MAKHLUK HAUS DARAH
T. Hidayat
MAHLUK HAUS DARAH
CINTAMEDIA
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode : Makhluk Haus Darah
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Seekor kuda berbulu hitam pekat melesat cepat bagai
anak panah lepas dari busur. Penunggangnya berteriak-
teriak sementara tangannya sibuk melecutkan sisa tali
kekang dalam genggaman. Nampaknya penunggang kuda
hitam itu begitu terburu-buru. Mungkin karena ingin segera
tiba di tempat tujuan, atau tengah berpacu dengan waktu
yang saat itu sudah menjelang sore.
Di sebuah persimpangan jalan penunggang kuda hitam
menarik tali kekang. Setelah sejenak merayapi keadaan
sekitarnya, dia kembali menggebah binatang
tunggangannya, Bukan ke kiri atau ke kanan, tapi lurus
menerobos semak-semak. Tentu saja Iari kuda hitam itu
tidak bisa cepat. Daerah yang dilalui bukanlah jalan yang
biasa digunakan orang.
Setelah lebih kurang seratus tombak kemudian,
perjalanan itu kembali dihentikan. Kali ini ia berhenti tepat
di depan sebuah bangunan candi tua yang hampir
keseluruhannya rusak. Belum lagi ia melompat turun dari
atas punggung kuda, dua sosok bayangan berkelebat.
Tahu-tahu, si penunggang kuda merasakan tubuhnya
terenggut hingga ia sampai terpekik kaget.
Penunggang kuda itu merasa pasti tubuhnya akan
terbanting di tanah. Tapi pikirannya meleset. la jatuh
dengan kedua kaki lebih dulu. Sebuah tangan kokoh
mencengkeram leher bajunya. Tangan kokoh itu milik salah
satu dari sosok bayangan yang tadi berkelebat dengan
demikian cepat. Sosok itulah yang membetot turun tubuh
penunggang kuda.
"A-aku... aku orang suruhan Senapati Malingkat...,"
penunggang kuda yang ternyata seorang lelaki empat
puluh tahunan berkata gagap. Wajahnya nampak agak
pucat. Diri penunggang kuda itu doyong ke depan kefika
tangan yang mencengkeram leher bajunya menyentak
dengan kasar.
Nama Senapati Malingkat ternyata cukup
berpengaruh. Cengkeraman tangan kokoh itu mengendur.
"Apa yang telah diperintahkannya kepadamu?!" Pemilik
tangan kokoh bertanya dengan nada bengis. Ia seorang
lelaki tinggi besar dengan otot-otot bertonjolan,
menunjukkan kekuatannya yang besar. Wajahnya terhias
brewok lebat. Sepasang matanya besar dan berwarna
merah saga. Sorot mata itu mencerminkan watak yang
kasar dan licik. Suatu gambaran bukan orang baik-baik.
"Uuntuk menemui kalian berdua," lelaki penunggang
kuda masih gagap. Sambil berkata ia menggerakkan ekor
matanya ke arah teman si brewok.
Sosok lelaki kedua ini tidak seseram si brewok.
Tubuhnya gemuk, bahkan nyaris bulat. Kepalanya tidak
ditumbuhi selembar rambut pun alias botak. Wajahnya
bulat dengan daging pipi yang berlebihan hingga kedua
matanya nyaris terpejam. Beralis tebal dan hitam. Mulutnya
nampak seperti orang yang selalu tertawa. Tapi, ada satu
keanehan yang tidak lumrah pada diri lelaki gemuk ini.
Seluruh kulit tubuhnya berwama kehijauan!
"Kalian siapa yang kau maksudkan?" lelaki gemuk
seperti kodok blentung itu bertanya. Suaranya kecil seperti
suara perempuan.
"Katak Hijau dan Setan Mata Api," jawab penunggang
kuda. "Aku membawa pesan dari beliau untuk kalian
berdua." Diambilnya sesuatu dari balik pakaian kemudian
diserahkannya kepada lelaki brewok
Setan Mata Api langsung saja menyambar bumbung
bambu itu. Setelah melepaskan cengkeramannya pada
leher baju penunggang kuda, buru-buru dibukanya penutup
bumbung. Dari dalam bumbung dikeluarkannya gulungan
daun lontar yang berisikan pesan Senapati Malingkat.
Setan Mata Api terlihat mengangguk-angguk ketika mem-
baca pesan tersebut.
"Apa isi pesan Malingkat itu?" Katak Hijau bertanya
ingin tahu. Dia adalah gembong kaum sesat yang sangat
ditakuti. Sosok dan wajahnya boleh jadi bisa membuat
orang tersenyum. Tapi. di balik wajah lucu ini justru
tersembunyi watak yang kejamnya melebihi iblis!
"Rezeki besar," sahut Setan Mata Api. "Dua hari lagi
akan ada iring-iringan tentara kerajaan yang mengawal
emas dan batu-batu mulia. Kau tahu berapa banyak harta
yang mereka bawa?"
Katak Hijau mengerutkan kening. Sesaat kemudian
kepalanya digelengkan.
"Harta itu dibawa dengan menggunakan dua buah
kereta kuda!" lanjut Setan Mata Api, membuat Katak Hijau
membelalakkan mata. "Nah, coba kau bayangkan berapa
banyak harta yang ada di dalamnya."
Katak Hijau cuma bisa berdecak kagum sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Si penunggang kuda
terbengong-bengong. Sebelumnya ia memang tidak tahu isi
pesan yang dibawanya.
"Eh, tapi tunggu dulu!" Tiba-tiba Setan Mata Api
berujar. "Masih ada pesan lainnya..."
"Apa?" tanya Katak Hijau.
"Hadiah untuk orang yang membawa pesan ini."
"Biar aku yang memberikannya," Katak Hijau segera
berpaling kepada penunggung kuda.
Perkataan Setan Mata Api tentu saja membuat hati si
penunggang kuda berdebar girang. Tapi, ia berusaha
sedapat mungkin menyembunyikan kegembiraan hatinya
itu.
"Aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa,"
penunggang kuda berpura-pura menolak. "Bagiku asal
pesan itu sudah sampai ke tangan kalian, aku sudah
merasa senang."
"Heh heh heh.... Tidak baik menolak rezeki, Kawan.
Apalagi kau sudah bersusah payah me- nVATiipaikan pesan
ini. Untuk itu, tentu saja sangat pantas jika kau kami beri
hadiah," ujar Katak Hijau dengan ramah.
Sayang, penunggang kuda tidak mengetahui watak asli
Katak Hijau. Dedengkot kaum sesat ini memiliki watak
yang aneh luar biasa. Semakin ramah kata-katanya, maka
itu merupakan pertanda kalau nafsu membunuhnya mulai
bangkit Dan sebelum penunggang kuda menyadari bahaya
yang mengancam dirinya, Katak Hijau sudah mengulurkan
jari-jarinya yang langsung mencengkeram leher
penunggang kuda.
Krekkkh!
Sekali remas saja terdengarlah suara tulang-tulang
patah. Ketika Katak Hijau menarik tangannya, tubuh
penunggang kuda yang malang itu pun ambruk ke tanah.
Tewas dengan mata terbeliak.
"Bagus!"
Suara pujian itu membuat Katak Hijau dan Setan Mata
Api terkejut. Cepat keduanya menoleh ke arah datangnya
suara. Sosok lelaki gagah yang muncul dari balik salah satu
dinding candi membuat mereka terkejut bukan main.
"Malingkat?!"
Katak Hijau dan Setan Mata Api menyerukan nama itu
dengan wajah membayangkan keheranan besar.
Nampaknya mereka tidak percaya dengan penglihatannya.
Sementara itu sosok lelaki gagah melangkah mendekati.
"Hei, mengapa kalian seperti melihat hantu di siang
bolong? Aku masih hidup. Dan aku memang benar-benar
Senapati Malingkat, orang yang telah mengirim pesan
kepada kalian!" "Lelaki gagah itu mengembangkan kedua
lengannya dan tersenyum lebar.
"Tapi mengapa kau berada di sini, Malingkat?" Setan
Mata Api mengungkapkan keheranannya setelah beberapa
saat meneliti sosok Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat tertawa pelan "Apa ada larangan
bagiku berada di tempat ini?" kilahnya.
"Bukan begitu maksud kami, Malingkat," kali ini Katak
Hijau yang berkata. "Tapi...."
"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kau kata- kan,
Katak Hijau," Senapati Malingkat buru-buru memotong.
"Kalian tentu heran mengapa aku berada di sini;
sedangkan pesan kukirim melalui orang lain. Begitu yang
hendak kau katakan, bukan?"
Katak Hijau dan Setan Mata Api tidak menyahuti,
Mereka cuma menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menyuruh anak buahku untuk
mengantarkan pesan itu. Hendak kulihat bagaimana
tanggapan kalian terhadap berita besar tersebut." ujar
Senapati Malingkat memberikan keterangan.
“Jadi, kau sudah sejak tadi berada di sini dan
mengintai perbuatan kami?" Setan Mata Api tampak tidak
senang dengan tindakan Senapati Malingkat
"Tidak!" Senapati Malingkat menggeleng dengan mulut
tersenyum. Ketidaksenangan Setan Mata Api nampaknya
tidak membuat ia terpengaruh. "Aku tiba sewaktu Katak
Hijau hendak mencekik leher orang suruhanku. Semula
pesan itu kuanggap cukup untuk mewakili diriku, tapi
setelah orang suruhanku pergi, pikiran lain melintas di
benakku. Pertama, aku khawafir orang suruhanku tidak
berjumpa dengan kalian. Kedua, kupikir alangkah lebih
baiknya jlka aku yang langsung datang menemui kalian di
sini. Nah, itulah alasan mengapa aku sampai berada di
sini. Jelas?"
Setan Mata Api mengangguk-anggukkan kepala.
Tampaknya ia bisa menerima alasan Senapati Malingkat.
Demikian pula dengan Katak Hijau. Apa yang dikatakan
Senapati Malingkat memang tidak salah.
"Mengatur rencana bersama-sama memang jauh lebih
baik. Apalagi yang harus dibicarakan adalah sebuah
pekerjaan besar. Karena itu, kita harus merencanakannya
dengan matang," ujar Setan Mata Api kemudian.
"Itulah sebabnya aku berada di sini," Senapati
Malingkat kembali menegaskan. "Nah, marilah kita susun
rencana untuk pekeijaan besar itu."
Sekejap kemudian ketiga orang itu memutar tubuh dan
melangkah memasuki bangunan candi.
***
Katak Hijau dan Setan Mata Api termasuk orang-orang
yang mengetahui siapa Senapati Malingkat sebenarnya.
Sangat sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Sebelum
menjadi senapati, Malingkat sebenarnya seorang tokoh
sesat ternama. Jari Beracun, itulah julukan Malingkat
sewaktu masih malang-melintang di rimba persilatan.
Jari Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Sederetan
nama tokoh tokoh terkenal golongan putih roboh di
tangannya. Dengan perbuatannya itu namanya pun
terangkat naik. Tapi meskipun tokoh- tokoh golongan putih
telah mensejajarkan namanya dengan dedengkot kaurn
sesat, hal itu belum membuat Jari Beracun menjadi puas.
Golongan hitam pun harus mengakui keperkasaannya juga.
Keinginan itu bukan cuma dipikirkan, tapi
dibuktikannya dengan tindakan. Dan demi ingin
mendapatkan pengakuan tersebut, Jari Beracun Bdak
segan-segan membunuh para dedengkot golongan hitam.
Perbuatan Jari Beracun tentu saja mendatangkan tanda
tanya besar di kalangan rimba persilatan. Golongan pufih
maupun golongan hitam sa-ing mempertanyakan di mana
sebenarnya Jari Beracun berpihak. Karena kedua golongan
itu tidak puas, mereka lalu menganggap Jari Beracun seba-
gai musuh!
Jari Beracun kaget bukan main mendapati dua
golongan itu mengincar dirinya. Tiba-tiba saja ia jadi
mempunyai banyak musuh. Sadar kalau dirinya berada
dalam bahaya, Jari Beracun akhirnya meninggalkan daerah
utara. Jika ia nekat bertahan untuk tetap tinggal di derah
asalnya itu, cepat atau lambat kematian pastl akan datang
menjemput. Mereka yang mengincar kematiannya
bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, dan Jari Beiacun
belum mau buru-buru mati la masih belum puas
merasakan kenikmatan hidup.
Dalam pelariannya Jari Beracun singgah di kotaraja.
Adanya pengumuman bahwa kerajaan hendak
mengadakan pemilihan untuk menjadi calon perwira,
membuat Jari Beracun tertarik. la segera mendaftarkan
diri. Jari Beracun menggunakan nama aslinya, Malingkat.
Di tempat seperti ini dia merasa julukannya hanya akan
menimbulkan kesulitan.
Bukan cuma julukannya saja yang harus
disembunyikan. Ciri ilmunya pun ia samarkan. Keganasan-
keganasan serangannya sengaja dirubah agar kelihatan
lebih bersih dan menimbulkan kesan gagah. Tentu saja
perubahan itu tidak sampai mengurangi keperkasaannya.
Akhirnya Malingkat lulus dan mendapat jabatan sebagai
perwira menengah. Beberapa tahun kemudian, berkat jasa-
jasanya serta pengabdiannya kepada kerajaan, Malingkat
diangkat menjadi senapati.
Tapi karena pada dasarnya Malingkat memiliki watak
yang tidak pernah puas, jabatan tinggi yang diperolehnya
masih dirasanya belum cukup. Padahal, dengan
jabatannya itu hidupnya sudah bergelimang kemewahan
dan kesenangan. Ketika mendengar Raja hendak
mengirimkan hadiah dalam jumlah hesar kepada kerajaan
lain, sebuah rencana pun muncul di pikiran Senapati
Malingkat.
Senapati Malingkat segera menghadap Raja, la
meminta izin untuk menjenguk keluarganya di daerah
utara. Tentu saja bukan itu alasan sebenarnya Senapati
Malingkat. la berangkat ke utara untuk menghubungi dua
tokoh sesat yang ia tahu pasti akan tertarik dengan
rencananya.
Perhitungan Senapati Malingkat memang tidak
meleset. Katak Hijau dan Setan Mata Api sangat tertarik.
Tanpa merasa perlu mempertimbangkan lagi, mereka
langsung menyatakan persetujuannya. Senapati Malingkat
berjanji akan menghubungi mereka kembali setelah
memperoleh kepastlan kapan hadiah-hadiah itu akan
dikirim. Dia juga menentukan di mana Katak Hijau dan
Setan Mata Api harus menunggu.
***
Senapati Malingkat tengah sibuk membayangkan
betapa rencananya akan berhasil dengan baik ketika
seorang prajurit datang menghadap . Senapati Malingka
jengkel bukan main. Itu terlihat jelas pada wajah dan
tatapan matanya. Prajurit yang nampaknya dapat
membaca tanda-tanda itu buru-buru melaporkan maksud
kedatangannya. Senapati Malingkat diminta untuk segera
menghadap raja.
"Kapan?!" tanya Senapati Malingkat dengan sisa-sisa
kemarahan yang terpaksa harus ditelan.
Sekarang Tuanku Senapati," jawab prajurit itu seraya
menghaturkan sembah.
Senapati Malingkat mendengus. Cuma itu yang bisa
dilakukannya untuk menumpahkan kejengkelan hati. Tidak
mungkin baginya menolak perintah Raja. Dengan hati
diliputi tanda-tanya Senapati Malingkat bergegas
menghadap raja.
"Senapati Malingkat," ujar Raja setelah Sena pati
Malingkat menghaturkan sembah dan menganmbil tempat
duduk. "Esok hadiah untuk kerajaan sahabat akan segera
dikirim. Kau kutunjuk untuk mengepalai pengawalan
hadiah itu."
Mendengar titah junjungannya berubahlah paras
Senapati Malingkat. la sangat terkejut sekali. Sungguh
tidak pernah dibayangkannya Raja akan menunjuk dirinya
untuk mempimpin pengawalan hadiah itu. Saking kagetnya
Senapati Malingkat sampai tidak bisa bicara beberapa saat
lamanya.
Ampun beribu ampun, Gusti Prabu," Senapati
Malingkat menghaturkan sembah. "Bukankah Gusti Prabu
sudah menunjuk Senapati Wanalaga sebagai pimplnan
pengawalan? Bukan maksud hamba menolak perintah
Paduka, tapi... hamba merasa tidak enak terhadap
Senapati Wanalaga."
"Hhm... Buang pikiran itu jauh-jauh, Senapati Malingkat
Raja menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Justru
engkau kutunjuk karena Senapati Wanalaga tidak bisa
melakukannya. Dia sudah kutugaskan menangani
kekacauan di perbatasan selatan. Setelah Senapati
Wanalaga, kaulah yang paling bisa diandalkan dari yang
lainnya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagimu untuk menolak
Sekarang siapkan saja segala keperluanmu. Dua belas
prajurit-prajurit pilihan akan menyertaimu."
Senapati Malingkat tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Setelah berpamitan dan menghaturkan sembah,
dilangkahkan kakinya meninggalkan balairung.
"Ini pasti ulah bangsat tua Wanalaga!" gerutu Senapati
Malingkat sepanjang jalan menuju tempat kediamannya.
Perintah itu membuat hati Senapati Malingkat gelisah
bukan main! la merasa curiga adanya permainan di balik
semua ini. Senapati Wanalaga memang tidak menyukai
dirinya. Senapati Malingkat sadar betul akan hal itu. Tapi ia
berpura-pura tidak tahu, karena Senapati Wanalaga
merupakan orang kepercayaan raja. Untuk itu Senapati
Malingkat harus selalu berhati-hati dan menjaga setiap
langkahnya. Senapati Wanalaga jangan sampai
menemukan kesalahannya yang dapat dijadikan alat untuk
menjatuhkannya.
Senapati Malingkat merasa curiga kalau perintah itu
bertujuan Ontuk menguji dirinya. Dan itu membuat hatinya
gelisah. Karena ia sudah merencanakan untuk merampok
barang-barang kiriman itu menggunakan tangan Katak
Hijau dan Setan Mata Api. Kedua orang tokoh sesat itu
akan melakukan penghadangan di suatu tempat yang telah
ditentukan. Sungguh tidak disangkanya kalau raja akan
merubah rencana. Memerintahkan dirinya untuk
memimpin pengawalan itu. Dan waktunya sangat
mendadak sekali. Sehingga tidak ada kesempatan lagi
untuk menghubungi Katak Hijau dan Setan Mata Api.
"Celaka! Benar-benar keparat bangsat tua Wanalaga!"
Lagi-lagi Senapati Malingkat merutuk seraya meninju
telapak tangannya sendiri. "Hancur sudah semua
rencanaku! Entah apa yang harus kulakukan jika
berhadapan dengan Katak Hijau dan Satan Mata Api nanti?
Menyuruh mereka membatalkan rencana, jelas tidak
mungkin!"
Senapati Malingkat menghentikan langkahnya dengan
kening mengerut. Beberapa kali terlihat ia mengangguk-
angguk Sepertinya, Senapati Malingkat tengah
menimbang-nimbang sesuatu.
Haruskah kulepaskan jabatan ini untuk melanjutkan
rencana semula? Itu artinya aku kembali menjadi buronan.
Malah, kali ino lebih gawat, Buronan kerajaan! Tapi..., jika
tidak kulakukan, berarti aku harus berhadapan dengan
Katak Hijau dan Setan Mata Api. Sanggupkah aku
menghadapi mereka berdua? Bagaimana jika aku sampai
binasa di tangan mereka? Ah, mungkin sebaiknya
kulenyapkan saja mereka sebelum keburu membuka
mulut. Rasanya lebih baik mempertahankan jabatan ini
daripada harus hidup sebagai buronan lagi."
Dengan hati masih diliputi kebimbangan Senapati
Malingkat bergegas melanjutkan langkahnya kembali.
***
DUA
Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Senapati
Malingkat dan rombongannya sudah bergerak
meninggalkan pintu gerbang kotaraja. Senapati Malingkat
yang ditugaskan memimpin pengawalan berjalan paling
depan. la menunggangi seekor kuda jantan berwarna
hitam pekat Setengah tombak agak ke belakang dua orang
penunggang kuda mengapitnya. Mereka duduk dengan
kepala tegak dan pandangan lurus ke depan
Kereta pertama yang ditarik seekor kuda dikawal
empat orang prajurit Masing masing menunggana seekor
kuda pilihan. Mereka berjalan di kiri kanan kereta.
Demikian juga yang teijadi pada kereta kedua, yang
berjarak kira-kira satu tombak dibelakang kereta pertama.
Sementara dua orang prajurit berkuda berjalan paling
belakang. Keseluruhan anggota rombongan, termasuk
Senapati Malingkat dan dua orang kusir, berjumlah lima
belas orang. Jumlah itu memang terhitung sedikit Tapi,
semuanya sudah diperhitungkan oleh Senapati Wanalaga
yang mendapat kepercayaan untuk memilih prajurit-prajurit
pengawal.
Senapati Malingkat bukannya tidak tahu kalau anggota
rombongannya terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Sudah
lama ia mendengar tentang adanya pasukan khusus. Tapi
tidak banyak yang diketahuinya. Pasukan khusus itu
sengaja disembunyikan dan dilatih secara tertutup. Kecuali
Raja dan Senapati Wanalaga, cuma dua orang jagoan
istana yang mengetahuinya.
Dua orang jagoan istana tersebut adalah yang terlihai
di antara jago-jago istana lainnya. Mereka terhitung jagoan
nomor satu di kerajaan. Dan, mereka berdua termasuk
orang-orang yang mendidik pasukan khusus, terutama
dalam ilmu silat Mengenai siasat ilmu perang, Senapati
Wanalaga yang melatihnya. Sehingga, kepandaian
perorangan anggota pasukan khusus bisa melebihi tokoh
silat tingkat pertengahan. Pasukan khusus yang hanya
berjumlah seratus orang itu jauh lebih tangguh dan
berbahaya dari seribu prajurit!
Senapati Wanalaga percaya penuh kepada dua belas
orang anggota pasukan khusus yang mengawal kiriman
hadiah raja. Andaikan Senapati Malingkat hendak
berkhianat, para anggota pasukan khusus tersebut akan
sanggup menghadapinya. Kecuali jika berhadapan secara
perorangan. Senapati Malingkat jelas bukan tandingan
mereka. Dan, Senapati Wanalaga sudah memperhitungkan
hal itu. Tanpa sepengetahuan Senapati Malingkat serta
anggota rombongan lainnya, diam-diam Senapati Wanalaga
menyelundupkan dua orang jagoan kerajaan ke dalam
rombongan. Tak satu pun dari anggota rombongan yang
menyangka kalau dua orang kusir kereta sebenarnya
jagoan-jagoan nomor dua di istana!
Rombongan terus bergerak maju. Bunyi roda-roda
kereta menggilas bebatuan terdengar begitu jelas
Deraknya demikian bising memecah keheningan sore.
Semakin jauh rombongan itu meninggalkan kotaraja,
semakin gelisah pula hati Senapati M.illngkat Sehingga,
meskipun udara sore itu tidak panas, keringat nampak
membasahi wajah senapati. Dan, Senapati Malingkat
gagal menyembunyikan kegelisahan hatinya. Mendekati
tempat penghadangan yang direncanakannya bersama
Katak Hijau serta Setan Mata Api, kegelisahan itu makin
menyiksa dirinya.
Hhhh...!" Senapati Malingkat menghela napas berat.
Perbuatan itu membuat dua prajurit di kiri-kanannya
menoleh.
"Tuan Senapati," prajurit yang berada di sebelah kanan
menegur dengan kening dikerutkan. la nampak heran
sewaktu melihat wajah dan sikap Senapati Malingkat
"Nampaknya Tuan sedang kurang sehat?" tanyanya
kemudian tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Senapati Malingkat yang tidak menyadari kalau helaan
napasnya telah menarik perhatian dua prajurit di kiri-
kanannya, nampak tersentak kaget la tak menyangka dua
orang prajurit itu ternyata memperhatikan dirinya.
Pandangan mereka membuat Senapati Malingkat agak
gugup, takut kalau-kalau kegelisahan hatinya diketahui.
Buru-buru ditariknya napas panjang sementara otaknya
bekerja mencari alasan yang sekiranya bisa diterima kedua
prajurit itu.
"Hh... Aku tidak apa-apa," jawab Senapati Malingkat
sambil menghembuskan napas panjang. "Aku cuma sedikit
lelah. Aku tidak terbiasa dengan tugas seperti ini, tapi Gusti
Prabu mempercayakannya kepadaku. Kuterima juga tugas
ini karena tidak ingin mengecewakan beliau. Terus terang
kukatakan tugas ini agak mengganggu pikiranku, sampai-
sampai semalaman aku tidak bisa tidur."
Dua prajurit itu mengangguk-angguk. Alasan Senapati
Malingkat memang bisa diterima akal. Tapi sebagai
anggota pasukan khusus mereka bukan saja tangguh di
arena pertempuran, tapi juga dapat menilai situasi dan
memiliki naluri yang tajam. Dan naluri mereka mengatakan
ada sesuatu yang tidak beres pada diri Senapati Malingkat!
Namun mereka tidak berkata apa-apa, hanya
meningkatkan kewaspadaan.
Diamnya dua orang prajurit itu agak melegakan hati
Senopati Malingkat. Tapi bukan berarti ia percaya mereka
dapat menerima alasannya. Sebagai seorang bekas tokoh
aliran hitam, Senapati Malingkat bukan cuma
mengandalkan ilmu silat saja. la juga cerdik, licik, dan tidak
percaya terhadap siapa pun! Tidak terhadap Katak Hijau
atau pun Setan Mata Api.
"He he he...! Kalian memang pantas untuk berhati-hati
Sebentar lagi aku akan memenggal kepala kalian," ujar
Senapati Malingkat dalam hati.
Sore terus merambat Cahaya jingga sudah mewarnai
kaki langit sebelah barat. Keremangan cuaca mulai
menyelimuti permukaan bumi Saat itu rombongan
Senapati Malingkat tengah melintasi jalan berbatu yang
diapit dua anak bukit. Bukit Dampet.
Demikianlah orang menamakan daerah itu.
Karena jalan yang harus dilalui agak sempit, empat
prajurit yang mengawal kereta terdepan terpaksa harus
mendahului kereta. Sedangkan empat prajurit yang
mengapit kereta kedua bergerak mundur untuk
memperkuat penjagaan di bagian belakang. Perjalanan
agak lambat karena permukaan tanah berbatu tidak rata.
Jalan sempit itu sendiri berjarak cukup panjang. Lebih
kurang seratus tombak lebih. Mereka baru menempuh
separuh jalan ketika keremangan mulai memekat, tanda
sebentar lagi malam akan jatuh.
Kecuali Senapati Malingkat, tak seorang pun tahu
betapa saat itu dua pasang mata tengah mengawasi
rombongan. Siapa lagi pemilik dua pasang mata itu kalau
bukan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Mereka mengintai
dari atas lereng bukit. Katak Hijau di sebelah kiri,
sedangkan Setan Mata Api dari sebelah kanan. Ketika
rombongan telah lewat, Setan Mata Api berdiri tegap
menghadap ke tempat Katak Hijau mengintai Tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi dan digerakkan ke kiri-
kanan. Itu adalah tanda bagi Katak Hijau untuk segera
bertindak. Gmkkkhhh...!
Suara bergemuruh yang menggetarkan tanah
membuat semua anggota rombongan berpaling ke
belakang. Senapati Malingkat juga melakukan hal yang
sama. Wajahnya menampakkan kekagetan sewaktu
melihat bongkahan batu sebesar kerbau bunting
menggelinding dari atas dan jatuh berdebum menutupi
jalan di belakang rombongan.
"Kurang ajar! Ini pasti ulah perampok-perampok yang
tidak tahu penyakit!" Senapati Malingkat menggeram
sambil berusaha menenangkan binatang tunggangannya
yang meringkik ketakutan.
Dua orang prajurit yang kini berada setengah tombak
di depan Senapati Malingkat langsung menileh. Dua
pasang mata tajam itu menyorot wajah Senapati Malingkat.
Bukan cuma curiga saja, malah mulut mereka
menyunggingkan senyum mengejek.
"Tuan pasti sudah tahu hal ini bakal terjadi, bukan?!"
salah seorang prajurit bertanya dengan nada menuduh.
Prajurit yang satunya lagi mengangguk-angguk menyetujui
ucapan rekannya.
"Kurang ajar...!" Senapati Malingkat melotot dengan
wajah merah padam. "Apa maksud kata-katamu Itu? Berani
benar kau berbicara seperti itu kepadaku, hah!"
Lima orang prajurit itu tertawa dingin. Tapi sebelum
mereka sempat berkata, tiba-tiba suara bergemuruh
kembali terdengar. Kali ini datang dari sebelah depan.
Untuk kedua kalinya, sebuah batu sebesar kerbau bunting
jatuh berdebum menggetarkan tanah di tempat itu Dinding-
dinding bukit bergetar hingga batu-batu berguguran ke
bawah menghujani rombongan Senapati Malingkat.
Keadaan menjadi kacau. Kuda-kuda meringkik ketakutan.
"Masihkah Tuan Senapati hendak berpura-pura tidak
mengetahui kalau semua ini bakal terjadi?" Di tengah
kesibukan menenangkan kuda tunggangannya, prajurit
berkumis tebal menatap Senapati Malingkat dengan bibir
mencemooh.
"Dalam perjalanan sikap Tuan sangat gelisah sekali.
Kami menjadi curiga. Rupanya, inilah yang telah membuat
Tuan selalu gelisah," prajurit kedua menimpati.
Senapati Malingkat menggeram dengan wajah gelap.
Tuduhan itu membuat senapati tersebut baru menyadari
mengapa mereka disebut pasukan khusus. Mereka bukan
cuma pandai dalam bertempur, tapi juga memiliki naluri
tajam. Namun, sungguh ia tidak menyangka kedua prajurit
itu berani bersikap kurang ajar kepadanya.
Senapati Malingkat tidak tahu kalau seluruh anggota
pasukan khusus sebelumnya telah disumpah. Mereka
hanya akan patuh kepada Raja dan Senapati Wanalaga
saja. Itu selalu dltekankan dalam setiap latihan. Bahkan,
kedua orang jago nomor satu istana yang mendidik mereka
pun tidak mengetahui adanya sumpah tersebut. Hal itu
rupanya memang sengaja dirahasiakan.
Tujuan utama dibentuknya pasukan khusus adalah
untuk melindungi raja. Mereka dididik sejak berusia
delapan tahun. Dalam usia itu telah ditanamkan sikap-
sikap seorang prajurit sejati dan nilai-nilai kesetiaan.
Mereka dididik dengan keras. Senapati Wanalaga tidak
akan segan-segan menghukum setiap anggota yang
melanggar peraturan. Hukuman itu dilakukan di hadapan
anggota-anggota lainnya. Tujuannya adalah memberi
contoh pada mereka untuk tidak berani melanggar
peraturan.
Tapi meskipun telah memberikan didikan yang keras.
Senapati Wanalaga masih merasa kurang puas Sebagai
seorang tokoh tua yang banyak pengalaman senapati itu
maklum kalau hati manusia sewaktu-waktu bisa saja
berubah. Entah karena penuh keadaan, perasaan, atau
pun kemungkinan- kemungkinan lainnya.
Untuk mcnjaga agar seluruh anggota pasukan khusus
tidak menyeleweng, dijejalinya mereka dengan racun yang
baru bekerja setelah satu tahun. Jika lewat dari waktu yang
ditentukan belum memperoleh obat penawar, kematianlah
yang akan mereka dapatkan. Dan setiap satu tahun sekali,
setelah diberi obat penawar, Senapati Wanalaga kembali
memberikan kepada mereka racun serupa.
Senapati Malingkat tidak mengetahui semua itu. Tidak
heran jika ia merasa terkejut bukan main sewaktu kedua
prajurit anggota pasukan khusus itu berani menentang
dirinya. Seluruh anggota yang tergabung dalam pasukan
khusus memang tidak memakai jabatan. Mereka tetap
merupakan seorang prajurit meski ketangguhan dan
kecakapan mereka melebihi seorang perwira. Itu sebabnya
mengapa Senapati Malingkat marah bukan kepalang
terhadap dua orang anggota pasukan khusus itu.
Jangankan seorang senapati seperti Malingkat, sedang
yang berpangkat perwira rendahan pun pasti akan marah
besar jika ada prajurit yang berani menentang perintahnya.
Apalagi sampai berani menuduh dan menunjukkan sikap
jelas-jelas menantang. Baru berlama-lama menentang
pandang saja, sudah merupakan alasan yang cukup untuk
memberi hukuman.
"Sayang, sekarang bukan waktu yang tepat untuk
memberi hajaran kepada kalian," geram Senapati
Malingkat. "Tapi camkan baik-baik, aku tidak akan
melupakan ucapan kalian yang tak berdasar itu!"
Senapati Malingkat kemudian memutar kudanya.
Tepat pada saat itu dari atas lereng bukit sesosok
bayangan melayang turun dan langsung mendarat di
hadapannya. Senapati Malingkat segera memberikan
isyarat dengan kedipan mata sewaktu dilihatnya wajah
Katak Hijau menggambarkan keheranan. Dan, Katak Hijau
cepat menangkap isyarat itu.
"Ha ha ha...!" Katak Hijau tertawa berkakakan.
Ditatapnya wajah Senapati Malingkat dengan sorot mata
tajam. "Kaukah yang menjadi kepala rombongan ini, Tuan
Senapati? Sebaiknya kau perintahkan kepada orang-
orangmu untuk meninggalkan dua buah kereta itu Kau
beserta rombonganmu boleh pergi dengan selamat. Nah,
apa lagi yang kau lunggu? Apakah kata-kataku kurang
jelas?!"
"Dengar, Manusia Kulit Hijau!" sahut Senapati
Malingkat dengan suara keren. "Jika kau tidak segera
menyingkirkan batu itu dan minggat dari hadapanku,
jangan bilang aku kejam jika kepalamu kupisahkan dari
tubuhmu!" ancamnya. Senapati Malingkat bergegas
melompat turun dari atas punggung kuda dan meloloskan
pedang yang tergantung di pinggang. Demikian cepat
pedang itu dicabut dari sarungnya. Begitu menginjak tanah,
pedang sudah berada dalam genggaman tangan.
Katak Hijau kembali tertawa bergelak. Keduanya kini
berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak.
Nampaknya perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi. Sikap
Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat dua orang
prajurit yang menyaksikannya segera melompat maju.
Mereka berdiri mengapit Senapati Malingkat dengan
senjata terhunus. Sekitas keduanya mengerling ke arah
Senapati Malingkat. Rupanya mereka masih tetap menaruh
curiga.
"Agaknya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu
yang hanya selembar itu, Tuan Senapati," ujar Katak Hijau
sambil melirik dua prajurit yang berada di kiri-kanan
Senapati Malingkat "Hm.... Nyawa dua orang prajuritmu itu
kurasa cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak main-
main!"
Begitu selesai dengan ucapannya, Katak Hijau segera
melesat ke arah prajurit di sebelah kiri Senapati Malingkat
Prajurit itu lebih dekat dengan tempatnya berdiri.
"Koook...!"
Sambil mengeluarkan bunyi seperti katak sungguhan,
Katak Hijau melancarkan sebuah pukulan lurus. Yang
diincamya adalah bagian ubun-ubun. Tapi, Senapati
Malingkat tidak membiarkan perbuatan Katak Hijau.
Sebelum serangan itu tiba, Senapati Malingkat sudah lebih
dulu bertindak. Digagalkannya serangan Katak Hijau.
"Manusia tak tahu penyakit! Menggelindinglah dari
hadapanku...!"
Senapati Malingkat mengulurkan tangan kirinya
dengan dua jari terbuka. Serangan Katak Hijau hendak
digagalkannya dengan totokan ke arah siku. tapi, Katak
Hijau terlalu cerdik. Lengannya segera diputar dan
disambutnya totokan Senapati Malingkat dengan kibasan
telapak tangan.
Praaattt...!
Benturan itu membuat keduanya terdorong mundur.
Katak Hijau maupun Senapati Malingkat langsung
berpandangan dengan wajah terkejut. Masing-masing
merasakan nyeri akibat benturan itu.
"He he he...! Ternyata kau boleh juga, Tuan Senopati."
Katak Hijau memuji. Sementara yang dipuji cuma
mendengus kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi segera
diterjangnya Katak Hijau. Kali ini Senapati Malingkat
menggunakan pedang. Suara sambaran angin pedang
terdengar mengaung bagai ratusan lebah marah!
Lagi-lagi Katak Hijau memperdengarkan kekehnya.
Sambaran pedang Senapati Malingkat dielakkan dengan
cara melompat-lompat, persis gerak seekor katak. Lewat
tiga jurus kemudian, Katak Hijau mulai membangun
serangan balasan.
***
TIGA
Kedua prajurit yang semula masih mencurigai Senapati
Malingkat nampak saling bertukar pandang. Mereka
melihat kesungguhan dalam serangan yang dilancarkan
Senapati Malingkat Hal itu terlihat dengan jelas. Serangan-
serangan Senapati Malingkat sangat mematikan. Perlahan
kecurigaan mereka pun terhapus.
"Tuan Senapati, kami datang membantu...!" Teriakan
dua orang prajurit itu membuat Senapati Malingkat
tersenyum penuh kemenangan. Pancingannya ternyata
berhasil. Mereka segera terjun ke arena untuk
membantunya.
"Bagus! Aku memang sudah menunggu-nunggu
bantuan kalian," Senapati Malingkat berkata dalam hati.
Dan ketika kedua prajurit itu hendak mendaratkan kaki di
kiri-kanannya, Senapati Malingkat langsung berputar
dengan kecepatan yang sangat mengejutkan!
Semula kedua prajurit itu sedikit pun tidak menaruh
curiga. Tapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu
menyadari perbuatan Senapati Malingkat ternyata
dimaksudkan untuk menghabisi mereka!
Crasss! Breeettt!
Sayang, kesadaran itu terlambat datangnya. Pedang
Senapati Malingkat sudah keburu merobek perut.
Keduanya memekik keras. Kemudian, terpental roboh dan
tewas seketika Pedang Senapati Malingkat merobek dalam
hingga usus mereka terburai keluar.
Sementara kedua prajurit itu roboh, Senapati
Malingkat sudah melemparkan pedangnya kepada Katak
Hijau. Tokoh sesat berkulit kehijauan itu terkekeh. Sekali
mengulurkan tangan pedang telah berada dalam
genggaman tangannya. Kemudian, langsung dibabatkan ke
depan.
"Keparat busuk! Kau harus menebusnya dengan
nyawa anjingmu!" Senapati Malingkat mengutuk Katak
Hijau seraya melompat jauh ke belakang. Dihindarinya
babatan pedang yang mengancam perut
Empat prajurit anggota pasukan khusus yang
mendengar jerit kematian lawan-lawannya bergegas
menoleh. Alangkah terkejut hati mereka sewaktu
menyaksikan kedua rekannya telah roboh bermandikan
darah. Sementara Senapati Malingkat tengah bertarung
sengit melawan lelaki tua berkulit kehijauan. Adanya
pedang Senapati Malingkat di tangan lelaki tua berkulit
kehijauan membuat mereka maklum kalau dialah yang
telah membunuh kedua rekan mereka.
"Ayo, kita bantu Tuan Senapati. Nampaknya beliau
mendapat kesulitan untuk merobohkan pembunuh rekan
kita itu!" salah seorang prajurit berkata kepada kawan-
kawannya. Segera dicabutnya pedang, dan tanpa
membuang-buang waktu lagi langsung mendahului ketiga
rekannya untuk membantu Senapati Malingkat. Yang
lainnya pun bergegas berlompatan menyusul.
Setan Mata Api segera melayang turun dari tempatnya
bersembunyi. Tokoh sesat itu langsung dlkepung enam
orang prajurit. Tokoh yang memiliki sorot mata merah
seperti nyala api ini memperhatikan cara keenam lawannya
melakukan kepungan. Bentuk kepungan dan sikap kuda-
kuda mereka terasa asing.
Keenam anggota pasukan khusus tidak
memperdulikan keheranan lawannya. Mereka terus
bergerak mengelilingi Setan Mata Api. Beberapa kali,
sambil terus berputar, mereka bertukar tempat dengan
melakukan lompatan menyilang. Sementara senjata
keenamnya terus diputar hingga memperdengarkan suara
berdesingan. Semakiri lama lingkaran mereka semakin
rapat. Dan, sambaran angin pedang membuat pakaian
Setan Mata Api berkibaran.
"Hei! Apa kalian sedang menyuguhkan tarian monyet
untukku?" Setan Mata Api berkata mengejek. Kemudian,
tertawa bergelak dengan kepala tengadah.
Keenam prajurit pilihan itu sama sekali tidak
menggubris. Mereka tetap mengelilingi Setan Mata Api
sambil sesekali melompat untuk bertukar tempat. Cara
mengepung yang aneh itulah membuat Setan Mata Api
menamakan gerakan tersebut tarian monyet.
"Jiaaahhh...!"
Setelah jarak kepungan tinggal satu tombak lagi, tiba-
tiba terdengar bentakan dari sebelah kiri. Cepat Setan
Mata Api memutar tubuh. la sudah siap menghadapi
pengepungnya yang membentak itu Namun ternyata lawan
bukan hendak menyerang, malainkan untuk bertukar
tempat. Setan Mata Api sempat kaget dan segera
menyadari bentakan itu cuma tipuan. Apalagi ketika
telinganya menangkap suara berdesing di belakangnya.
"Keparat...!"
Merasa telah diperdayai, Setan Mata Api marah bukan
main. Tubuhnya diputar secepat kilat. Begitu samar-samar
dilihatnya kilatan sinar pedang meluncur ke arahnya, Setan
Mata Api langsung menyambut dengan kibasan lengan
kanan. Tentu saja ia telah menyalurkan tenaga dalam
terlebih dulu untuk melindungi lengannya.
Lagi-lagi Setan Mata Api harus menelan kenyataan
pahit. Serangan itu pun sebuah tipuan! Sementara orang
yang dikiranya menyetang menarik pedang kemudian
berputar untuk berganti tempat dengan kawannya,
serangan yang sesungguhnya meluncur datang ke arah
lambung!
Breeettt...!
Pada saat-saat terakhir Setan Mata Api masih sempat
menggeliatkan tubuhnya. Tusukan pedang merobek
pakaian dan cuma menggores sisi lambung Tapi meskipun
demikian, kemarahan Setan Mata Api semakin berkobar-
kobar. Sambil memperdegarkan geraman keras laksana
harimau luka, tangannya diputar melibat pedang yang
belum sempat ditarik pulang. Untuk menghindari agar
lengannya tidak tersayat mata pedang, Setan Mata Api
melindunginya dengan libatan pakaian.
Terdengar bunyi patahnya pedang begitu Setan Mata
Api menekuk lengan. Sekejap kemudian tokoh sesat itu
bergerak secepat kilat mengulurkan jari-jari tangannya ke
atas.
Kreppp!
Jari-jari sekuat capit baja itu mencengkeram leher
lawannya yang langsung diangkat naik. Bergemeretaknya
bunyi tulang leher yang remuk mengiringi geraman Setan
Mata Api ketika mengetatkan cengkeraman. Lawan yang
sudah kehilangan nyawa itu kemudian diputar berkeliling.
"Heaaa...!"
Lima prajurit anggota pasukan khusus lainnya tentu
saja terkejut. Kelimanya segera berloncatan mundur.
Ditatapnya Setan Mata Api dengan sorot mata penuh
dendam dan kebencian. ,
"Heh heh heh...!" Setan Mata Api menanggapi ' dengan
tawa mengejek. "Mengapa kalian mundur? Takut dengan
mayat ini? Wah, sungguh menyedih- kan sekali. Biar
kubuang saja kalau kalian memang takut."
Setan Mata Api melemparkan mayat di tangannya ke
arah dua orang. lawan yang berdiri di depannya. Pada saat
yang bersamaan, sewaktu lawan-lawannya terkesima,
Setan Mata Api mencelat ke kiri. Sepasang tangannya
meluncur deras laksana seekor elang menyambar ariak
ayam. Serangan itu dilancarkan dengari kecepatan tinggi.
Dua orang prajurit yang menjadi sasarannya tidak mampu
bertindak apa pun. Jari-jari Setan Mata Api tinggal
sejengkal lagi dari leher mereka.
Tapi, rupanya keberuntungan belum mau singgah pada
diri Setan Mata Api. Saat hasil serangannya sudah di depan
mata, sesosok bayangan melenyapkan senyum di b'lbir
Setan Mata Api.
Plak! Plak!
Kuat bukan main benturan dua pasang lengan lengan
itu. Setan Mata Api sampai tak bisa menahan pekik
kagetnya. Sosok bayangan itu bukan saja menggagalkan
serangannya, tapi juga membuat kedua lengannya terasa
nyeri. Malah kuda-kudanya sampai tergempur. Sumpah
serapah Setan Mata Api langsung terdengar di saat
tubuhnya terhuyung llmbung.
"Siapa kau?!"
Setan Mata Api menatap sosok bayangan yang telah
menggagalkan serangannya. Dipandanginya wajah dan
tubuh sosok di depan kedua prajurit yang nyaris dapat
dibinasakannya. Setan Mata Api mengerutkan kening,
berusaha mengenali siapa manusia usilan itu.
Dia seorang lelaki tua bermata sayu. Jenggot dan
kumisnya terpelihara rapi, namun sorot wajahnya tampak
begitu murung. Sepertinya ia menjalani hidup dengan
tanpa semangat. Tubuhnya lebih pendek dari Setan Mata
Api maupun kedua prajurit yang telah diselamatkannya.
Sosok lelaki tua ini sebenarnya sangat jauh dari gambaran
seorang ahli silat. Dia lebih tepat menjadi seorang
pujangga (ahli sastra). Apalagi pakaian yang dikenakannya
adalah pakaian para pujangga. Lelaki tua berusia lima pu-
luh lima tahun ini cuma mengerapkan mata ketika
mendengar pertanyaan Setan Mata Api.
Sementara Setan Mata Api menatap lelaki tua bermata
sayu dengan penuh selidik, kelima anggota pasukan
khusus malah membelalak lebar. Mulut mereka sampai
ternganga, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Perasaan terkejut dan juga heran tergambar nyata di wajah
mereka. Kakek berpakaian sastrawan itu adalah salah satu
dari kusir kereta kuda! Tidak heran kalau kelima prajurit
anggota pasukan khusus hampir tidak percaya. Memang,
siapa yang akan menyangka kalau orang yang selama
perjalanan tidak pernah mereka lirik sedikit pun itu
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan telah
menyelamatkan dua orang di antara mereka. Dan sanggup
membuat Setan Mata Api sampai terhuyung.
"Benarkah kau ingin tahu namaku?" Kakek bermata
sayu bertanya kepada Setan Mata Api. Suaranya pelan
seperti enggan bicara. Dan wajahnya tidak berubah, tetap
murung.
"Siapa peduli dengan namamu!" bentak Setan Mata
Api keras, membuat lima orang prajurit yang hendak
menyaksikan tanggapan kakek mata sayu berjingkrak
kaget. "Yang kutanyakan adalah julukanmu. Tapi terserah,
mau jawab boleh, tidak pun tak akan kupaksa. Tak ada
bedanya bagimu. Apa pun jawabanmu, aku akan tetap
membunuhmu!"
Kakek bermata sayu mengangguk-angguk lemah.
Ditariknya sedikit ujung bibir kanannya ke atas. Mungkin
maksudnya hendak tersenyum tipis. Tapi yang terlihat
justru senyum getir. Segetir raut wajah dan sorot matanya.
"Jika demikian, ada baiknya aku memperkenalkan diri.
Aku tidak ingin mati tanpa nisan di atas makamku," ujar
kakek bermata sayu. Suaranya tetap pelan dan tanpa
gairah. "Aku disebut Sastrawan Murung. Mungkin itu
karena wajah dan mataku. Tapi bagiku semua itu tidak
menjadi soal. Yang penting aku punya julukan," lanjutnya
seraya tersenyum getir.
"Sastrawan Murung?!" Setan Mata Api mengerutkari
kening berusaha mengingat-ingat. "Hei...?!" serunya tiba-
tiba. "Kalau aku tidak salah, Sastrawan Murung adalah
salah seorang jagoan istana. Ah, pasti tidak salah! Kau
memang jagoan istana yang digetari Sastrawan Murung!
Hah hah hah...!"
"Ya, memang. Ha ha ha...!" Sastrawan Murung malah
menimpali tawa Setan Mata Api. Akan tetapi, tawa itu tidak
juga melenyapkan kemurungan wajahnya.
Setelah mengetahui siapa kakek bermata sayu itu,
Setan Mata Api malah kelihatan gembira. Tidak demikian
halnya dengan lima prajurit anggota pasukan khusus.
Mereka semakin bertambah kaget. Siapa yang tidak kenal
dengan Sastrawan Murung. Bukan saja yang berada di
lingkungan istana, bahkan hampir seluruh penduduk
kotaraja mengetahuinya. Kalau selama ini mereka cuma
mendengar namanya saja, maka sekarang dapat melihat
dengan jelas sosok Sastrawan Murung yang terkenal itu.
Kini Sastrawan Murung berhadapan dengan seorang
kakek yang sorot matanya semerah nyala api. Mereka telah
membuktikan sendiri kehebatan kakek mata merah itu.
Dan mereka jadi ingin tahu apakah Sastrawan Murung
akan sanggup menundukkan kakek mata merah yang lihai
ita Maka seperti dikomando saja kelimanya bergerak
mundur. Tidak sabar untuk segera menyaksikan
pertarungan yang pasti akan sangat menarik itu
Mundurnya kelima prajurit anggota pasukan khusus itu
membuat Sastrawan Murung lagi-lagi tersenyum getir. la
maklum apa yang ada dalam pikiran kelima prajurit itu.
Tapi hal itu tidak dipusingkannya. Apalagi saat itu Setan
Mata Api dilihatnya sudah siap untuk bertarung.
"Kau tidak ingin memperkenalkan namamu lebih
dulu?" tanya Sastrawan Murung.
"Nanti pun kau akan tahu sendiri," jawab Setan Mata
Api tak acuh. "Kapan?"
"Nanti kalau kau sudah menjadi penghuni akhirat!"
sahut Setan Mata Api seenak perutnya. Lalu, tertawa keras.
Nampaknya ia merasa puas dapat imempermainkan calon
lawannya.
"Jadi, kau sudah ingin buru-buru mati?" Kening Setan
Mata Api langsung mengerut. Apakah manusia satu ini
rada-rada congek? Pikir Setan Mata Api. "Bukan aku, tapi
kau, Sastrawan Budek!" sahutnya kemudian.
"Iya, aku paham," Sastrawan Murung mengangguk
pelan. "Yang ingin buru-buru mati bukan aku, tapi kau!"
Ditunjuknya Setan Mata Api yang melotot sampai biji
matanya seperti mau copot.
"Terserah bacotmu saja!" ujar Setan Mata Api sambil
menepiskan tangan di udara. Nampaknya, Setan Mata Api
merasa kalah bicara. "Pokoknya, kaulah yang akan
mampus!"
Dengan sebuah pukulan lurus Setan Mata Api
kemudian membuka serangan. Ketika Sastrawan Murung
menggeser tubuh ke kanan menghindari pukulannya,
Setan Mata Api mengirimkan tamparan dengan tangan
kanan. Kali ini sasarannya pelipis lawan. Bukan cuma itu
saja. Tamparan tersebut disertai dengan sebuah
tendangan ke bagian bawah perut!
Whuuut... dukkk...!
Tamparan ke arah pelipisnya dielakkan Sastra-wan
Murung dengan menekuk kedua lutut. Tamparan itu lewat
sejengkal di atas kepala. Sedangkan tendangan yang
mengancam bawah perutnya disambut dengan kedua
belah tangan yang langsung menjepit dan melibat kaki
Setan Mata Api. Sambil membentak keras, dilemparkannya
kaki lawan kuat-kuat. Pada saat tubuh Setan Mata Api
menga- pung di udara, Sastrawan Murung segera
memburunya dengan dorongan udara telapak tangan.
Akan tetapi Setan Mata Api ternyata tidak mudah
dirobohkan. Dengan gerakan yang sangat mengagumkan
dia memutar tubuhnya setengah lingkaran. .Kedua kakinya
ditendangkan kuat-kuat untuk menyambut dorongan
telapak tangan Sastrawan Murung. Benturan antara tangan
dan kaki pun tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh keduanya langsung terpental balik. Karena
kedudukan Sastrawan Murung lebih kuat, keadaannya
lebih baik daripada Setan Mata Api. Sastiawan Murung
dapat mengatur pendaratan tu-buhnya, sedangkan Setan
Mata Api jatuh terguling- guling di tanah. Benturan itu
membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Cuh, cuh, cuh...!"
Setan Mata Api meludah beberapa kali karena
mulutnya kemasukan debu Sumpah serapah kotor
langsung terlontar dari mulutnya. Kemudian, dengan
bernafsu Setan Mata Api kembali menerjang Sastrawan
Murung.
Sambaran angin pukulan lawan menderu kuat.
Sastrawan Murung maklum kalau serangan lawan jauh
lebih berbahaya dari sebelumnya. Tapi Sastrawan Murung
sedikit pun tidak menjadi gentar. Disambutnya serangan
Setan Mata Api dengan tidak kalah ganasnya.
Pertarungan kembali berlanjut. Kali ini lebih seru dan
lebih menegangkan. Masing-masing mengerahkan segenap
kemampuannya. Meskipun begitu, tidaklah mudah bagi
mereka untuk segera memenangkan pertarungan.
Keduanya sama kuat, dan sama-sama tangguh!
***
EMPAT
Seorang pemuda nampak tengah melangkah di atas
jalan berbatu yang agak menurun. Wajahnya bersih dan
tampan. Tubuhnya tidak seberapa kekar, namun padat
berisi. la mengenakan pakaian serba putih. Demikian pula
dengan ikat kepalanya. Pemuda ini adalah Panji, atau yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Setelah beberapa puluh tombak, jalan mulai agak rata.
Permukaan jalan dilapisi tanah merah. Tidak seperti yang
baru saja dilalui, hampir seluruh permukaannya dipenuhi
bebatuan.
Baru beberapa tombak jalan tanah merah dilalui, Panji
rnenghentikan langkahnya karena tiba-tiba angin
berhembus keras. Hembusan angin keras itu Hanya terjadi
di satu tempat. Tepatnya pada pohon besar di atas
kepalanya. Pohon itu bergoyang keras hingga daun-
daunnya berguguran. Keheranan Panji inendadak berubah
menjadi rasa kaget! Daun-daun yang berguguran
menimbulkan suara berdesingan. Daya luncurnya pun
dirasakan tidak wajar.
Panji terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan diri
dari daun-daun yang bagai hujan Sebagian daun-daun
jatuh menancap di tanah, tak ubahnya pisau-pisau terbang.
Yang mengejutkan adalah gerakan sebagian daun lainnya.
Daun-daun itu tidak berjatuhan ke tanah melainkan
melayang ke arah Panji!
"Hm.... Ini jelas tidak wajar lagi, tapi sudah kurang
ajar!" desis Panji.
Pemuda itu bersiap-siap menyambut datangnya
luncuran daun-daun. Tenaga dalamnya dikerahkan ke
kedua telapak tangan. Kemudian, dengan sebuah
hentakan perlahan tangan itu didorongkan ke depan.
Serangkum angin keras berhembus membuat dedaunan
yang tengah meluncur ke arahnya langsung terhenti. Panji
lalu mengibaskan tangannya dengan gerakan ke atas.
Daun daun itu pun membalik. Meluncur ke atas pohon
dengan pesatnya seolah hendak kembali ke ranting
tempatnya semula bergantung.
Prasssh...!
Puluhan dedaunan yang dikembalikan Panji terus
menerobos bagian atas pohon hingga memperdengarkan
suara berkerosakan. Bukan saja membuat daun-daun yang
masih melekat jatuh berguguran, tapi juga mematahkan
ranting-ranting pohon.
Panji menunggu beberapa saat sambil mene-
ngadahkan kepala. Apa yang diinginkannya ternyata tidak
kunjung muncul. Tadinya Panji bermaksud memaksa si
penyerang gelap keluar dari persembunyiannya di atas
pohon. Tapi perkiraannya ternyata keliru. Penyerang gelap
itu tidak berada di sana. Padahal jika orang yang
dimaksudkannya benar-benar berada di atas pohon besar
itu, pasti dia akan keluar. Kecuali kalau memang mau
membiarkan tubuhnya ditancapi daun-daun yang
dikembalikan Panji.
Demikian hebatkah manusia curang itu hingga daun-
daun yang kukembalikan tidak bisa memaksanya
menunjukkan diri?" desis Panji keheranan. Pandangannya
diedarkan ke sekeliling tempat itu. Diperhatikannya bagian
atas pohon yang berada di sana. Tidak terlihat tanda-tanda
yang mencurigakan. Keheningan membungkus tempat itu.
Panji baru saja hendak melangkah. Tapi kakinya tiba-
tiba dirasakan berat dan tidak bisa digerakkan. Jangankan
untuk melangkah, mengangkatnya saja tidak bisa
dilakukan. Tentu saja Panji terkejut. Seseorang telah
dengan sengaja hendak mempermainkannya.
"Jika didiamkan pasti semakin menjadi-jadi. Bisa-bisa
aku dijadikan mainannya," gumam Panji. Dengan sebuah
sentakan mendadak, tubuhnya segera diputar ke samping.
Kuda-kudanya rendah dengan sikap kedua kaki menekuk
persilangan. Gerakan itu untuk mengunci dan
membuyarkan tenaga yang melibat kedua kakinya.
"Heahhh...!"
Berbarengan dengan suara bentakan pendek Panji
melompat ke atas. Dua kakinya masih menekuk
bersilangan. Dan ketika mendarat di tanah, baru ia
membuka kedua kakinya. Kekuatan tak nampak yang
melibat kedua kakinya pun lenyap.
"Hebat.., hebat...!"
Pujian itu masih disertai dengan tepukan tangan. Panji
berpaling, diperhatikannya sosok seorang kakek yang
entah dari mana datangnya tahu- tahu tengah melangkah
mendekatinya.
"Kepandaianmu benar-benar sangat mengagumkan,
Anak Muda," kakek itu rnemuji Panji. "Terutama caramu
membebaskan pengaruh tenaga yang melibat kedua
kakimu. He he he.... Kehebatanmu membuat selera
bertempurku bangkit. Mari kita bertarung, Anak Muda.
Kalau bisa mengalahkan aku, kau akan kuhadiahkan
seorang janda bahenol. Wajahnya cantik dengan senyum
yang menggemaskan. Bibirnya mungil. Tubuhnya langsing
dan padat. Kulitnya putih halus. Nah, bagaimana? Aku
yakin baru mendengarnya saja kau sudah mengilar. He he
he...!"
"Kalau begitu, biarlah aku rnengaku kalah, Kek," ujar
Panji setelah menghela napas. "Silakan kau ambil janda
bahenol itu. Rasanya aku lebih suka memilih untuk
melanjutkan perjalanan."
Tanpa menunggu jawaban lagi Panji segera mengayun
langkah. Saat itu keremangan senja sudah semakin
memekat. Sebentar lagi malam akan segera jatuh. Panji
tidak ingin kemalaman di jalan. la berharap dapat
menemukan perkampungan setelah melewati Bukit
Dampet yang dari tempatnya berada kini kira-kira seratus
tombak lagi. Tapi langkahnya terpaksa harus ditunda.
Kakek itu sudah berdiri menghadang di depannya.
Panji menarik napas sesaat. Sejurus ditatapnya kakek
itu. "Apa sebenarnya yang kau inginkan dari ku, Kek?"
tanyanya penasaran
In tidak mengerti mengapa kakek itu seperti sepertinya
mencari-cari perkara. Padahal Panji sudah berusaha
mengalah. Si kakek terkekeh memamerkan gigi-giginya
yang berwarna kehitainan dan sudah tidak lengkap lagi.
"Kalau kukatakan, apakah kau bersedia meme
nuhinya?" tanya kakek itu.
Panji termenung beberapa saat. Sikap kakek itu
menurutnya tidak wajar. Seperti dibuat-buat. Seolah
dengan sengaja hendak menunda perjalanan nya. Pikiran
itu membuat Panji menjadi curiga.
"Bersedia atau tidak aku memenuhinya itu ter gantung
dari permintaanmu. Jadi, sebaiknya jelas kan dulu
permintaanmu itu. Setelah itu aku akan
mempertimbangkannya," sahut Panji kemudian. Matanya
menatap wajah si kakek dengan penuh selidik.
"Permintaanku tidak sulit. Aku yakin kau sanggup
memenuhinya."
"Kalau begitu, katakarilah," desak Panji.
"Setelah itu kau akan bersedia untuk memenuhinya?"
"Aku sudah menjelaskannya tadi," tukas Panji
mengingatkan. "Jadi cepat katakan keinginanmu itu!"
"Aku sudah beberapa hari tinggal di tempat ini. Dari
aku merasa kesepian karena tidak ada yang menemaniku
bermain. Tiba-tiba kau datang tanpa kuundang. Jadi... aku
meminta kesediaanmu untuk menemaniku bermalam di
tempat ini. Tidak perlu lama-lama. Semalam saja sudah
cukup," jelas kakek itu dengan suara memelas, seolah
hendak menggambarkan kesepian yang menyiksanya.
Panji mendengarkan dengan penuh perhatian.
Matanya tak lepas dari raut wajah keriput berkumis dan
jenggot memutih itu. Rasa kesepian yang disampaikan
kakek itu memang menyentuh perasaan. Namun Panji
meragukan kebenarannya. Nalurinya mengatakan kakek
itu telah berdusta. Selain itu, kakek di hadapannya ini
agaknya bukanlah orang baik-baik. Cara kakek ini
mempermainkannya dengan serangan-serangan
mematikan menunjukkan itikad jeleknya.
"Maaf Kek, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.
Aku harus pergi...."
Begitu kata-katanya setesai diucapkan, Panji langsung
melesat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Pemuda
itu lewat di samping tubuh si kakek vnng berdiri tertegun.
Tak disangkanya Panji akan menolak permintaannya.
"Hm ... Jangan kira kau bisa pergi begitu saja dari
hadapanku, Pendekar Naga Putih...!" Kakek itu Menggeram
gusar. Lalu, cepat bagai sambaran kilat ia melesat seraya
mengulur kedua lengannya ke arah Panji yang berada tiga
tombak di depannya.
Panji menyadari sepenuhnya perbuatannya itu tidak
akan dibiarkan si kakek. Maka ketika dirasakan sambaran
angin halus di belakangnya, kedua kaki Panji segera
dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melambung ke udara.
Berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun setelah
memperhitungkan sambaran angin telah lewat di bawah
kakinya. Perhitungannya memang tidak meleset.
Keyakinan itu diperkuat dengan sumpah serapah yang
dilontarkan si kakek. Maka begitu menginjak tanah, Panji
kembali melesat dengan kecepatan tinggi.
"Berhenti kau, Pendekar Naga Putih! Seorang
pendekar besar sepertimu tidak pantas berlaku pengecut!"
Sambil berlari mengejar kakek itu memaki kalang-kabut.
Teriakan-teriakan si kakek bukannya membuat Panji
berhenti. Malah, larinya semakin dipercepat. Kakek itu
telah mengenal julukannya. Ini merupakan satu bukti lagi
kalau kakek itu memang bukan orang baik-baik.
"Pasti bukan tanpa alasan ia menghambat
perjalananku," gumam Panji dalam hati, "Entah apa, aku
belum bisa menduganya...."
Jalan sempit Bukit Dampet berada dua puluh tombak
di depan Panji. Saat itu keremangan sudah semakin
memekat. Tiba-tiba, samar-samar telinga Panji menangkap
suara jeritan yang menyayat. Apa yang didengarnya itu
langsung saja dikaitkan dengan perbuatan si kakek yang
terus mengejarnya.
"Sekarang aku baru mengerti mengapa kakek itu
berkeras hendak mencegah perjalananku. Ia pasti
mengetahui apa yang sedang terjadi di celah- celah Bukit
Dampet Pasti ia tidak menghendaki aku sampai
mengetahuinya," gumam Panji.
Sebagai orang yang cukup pengalaman, Panji maklum
kalau suara jeritan itu berasal dari seseorang yang tengah
di ambang ajal. la menyimpulkan di tempat jeritan itu
berasal pasti tengah terjadi perkelahian. Dugaan dugaan
yang melintas ini membuat Panji ingin segera Hba
secepatnya di tempat lersebut.
***
LIMA
Tanpa sepengetahuan empat orang prajurit pasukan
khusus yang tengah rnelayang ke arena, Katak Hijau
memberi tanda kepada Senapati Malingkat dengan
kedipan mata. Sekejap kemudian, Katak Hijau melompat
ke depan. Senjatanya dilemparkan kepada Senapati
Malingkat, yang begitu berada dalam genggaman langsung
dibabatkannya ke samping, di mana dua orang prajurit
yang hendak membantunya baru saja mendarat.
Gerakan Senapati Malingkat cepat bukan main. Selain
itu, sasarannya pun tidak pernah menduga Senapati
Malingkat malah akan menyerang mereka. Tidak ada lagi
yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri. Maka,
terdengarlah jerit kematian sewaktu mata pedang merobek
perut. Keduanya roboh dengan tubuh bermandikan darah.
Tawa Senapati Malingkat mengiringi kematian dua orang
prajurit yang naas itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dua orang
prajurit lainnya ikut ambruk ke tanah dengan tenggorokan
berlubang. Pelakunya bukan lain Katak Hijau. Saat
melompat dan melemparkan pedang kepada Senapati
Malingkat, Katak Hijau langsung menerkam dua orang
prajurit di sebelah kanan senapati tersebut Dua prajurit
pasukan khusus itu tidak mungkin menghindar. Keadaan
mereka sangat tidak menguntungkan. Dengan mudah
Katak Hijau membenamkan cakar-cakarnya ke
tenggorokan dua prajurit itu.
"Pengkhianat busuk...!"
Senapati Malingkat dan Katak Hijau terkejut
mendengar makian itu. Cepat keduanya menoleh. Dan,
Senapati Malingkat bergegas melempar tubuhnya
berjumpalitan ke belakang. Begitu ia menoleh, dilihatnya
sesosok bayangan melayang ke arahnya. Suara angin
pukulan yang menderu membuat Senapati Malingkat sadar
kalau serangan itu sangatlah berbahaya. Maka, tanpa perlu
berpikir lagi ia langsung menyelamatkan diri. Tapi sosok
bayangan itu lidak mau memberi kesempatan. Dia segera
memburu dengan serangkaian serangan maut.
"Hyahhh...!"
Senapati Malingkat menjadi geram. Dengan sebuah
teriakan pendek, kedua tangannya diayunkan menyambut
serangan sosok bayangan.
Plakkk! Plakkk!
.Kedudukannya yang tidak menguntungkan membuat
Senapati Malingkat terhuyung mundur. Serangan lawan
memang berhasil dipatahkannya, namun ia kalah tenaga.
Benturan itu nyaris menjungkalkan tubuhnya. Sumpah
serapah kotor terlontar dari mulut Senapati Malingkat.
Sementara itu akibat tangkisan Senapati Malingkat
luncuran tubuh sosok bayangan jadi tertunda. Kedua
kakinya mendarat ringan di tanah. Dan selagi tubuh
Senapati Malingkat terhuyung-huyung, ia kembali
menerjangnya dengan serangan yang mematikan!
Katak Hijau bukan tidak tahu keadaan Senapati
Malingkat yang sangat teijepit. Namun ia sedikit pun tidak
tergerak untuk berbuat sesuatu Katak Hijau cuma berdiri
menyaksikan dengan kepala mengangguk-angguk. Sikap
masa bodoh Katak Hijau ini membuat Senapati Malingkat
geram bukan main.
"Katak Hijau!" teriak Senapati Malingkat. "Jika kau
tidak membantuku, aku bersumpah akan menyebar
luaskan kejadian hari ini! Itu berarti kau akan menjadi
buronan kerajaan!"
Ancaman Senapati Malingkat membuat wajah Katak
Hijau langsung berubah. Tentu saja ia sangat terkejut. Jika
Senapati Malingkat bisa selamat dan benar-benar
melaksanakan ancamannya, berarti ia akan menjadi
buronan kerajaan. Hal itu sudah pasti tidak diinginkannya.
Apa gunanya memperoleh banyak harta jika hidup menjadi
buronan.
"Benar-benar licik manusia satu itu!"
Katak Hijau menggeram. Ia sadar ancaman itu sangat
berbahaya. Jelas tidak ada pilihan lain baginya kecuali
terpaksa membantu Senapati Malingkat. Katak Hijau pun
segera melayang ke tengah arena, di mana Senapati
Malingkat tengah jatuh bangun untuk menyelamatkan din.
"Kok Uok kok...!"
Sosok bayangan yang tengah mendesak Senapati
Malingkat terpaksa harus menunda serangannya. Suara
katak yang datang dari sampingnya itu dirasakan sangat
aneh. Dan, alangkah terkejutnya dia. Dilihatnya Katak Hijau
tengah berjongkok dengan mulut terbuka. Dari mulut itu
meluncur keluar gulungan asap berwarna kehijauan yang
disertai bunyi aneh seperti suara katak. Bau amis yang
tercium membuat sosok bayangan itu sadar kalau asap
kehijauan mengandung racun mematikan. Cepat ia
melemparkan tubuhnya ke belakang menghindari asap
beracun.
Tindakan sosok bayangan membuat Senapati
Malingkat tersenyum iblis. Ia melihat satu peluang yang
sangat baik untuk melakukan pembalasan. Senapati
Malingka bergegas melompat bergulingan di tanah.
Disambarnya pedang yang tadi terjatuh. Dan dengan
sebuah teriakan panjang, Senapati Malingkat melompat
seraya melontarkan pedang di tangannya dengan sekuat
:enaga.
Syuuuttt... Cappp!
Sosok bayangan itu tak sempat menyelamatkan diri.
Pedang meluncur deras dan menancap di perut selagi
tubuhnya masih berada di udara. Pedang yang menancap
dalam hingga tembus ke belakang itu membua sosok
bayangan ambruk di tanah. Dia menggelepar sesaat
sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Mati!
Sementara di tempat lain ...
Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya
Sastrawan Murung harus mengakui keunggulan Setan
Mata Api. Pada jurus-jurus selanjutnya ia lebih banyak
bertahan dan hanya sesekali membalas serangan.
Keadaan itu tentu saja membuat Sastrawan Murung lama-
kelamaan menjadi terdesak.
Lima orang prajurit yang semula hanya menon ton
serentak bangkit berdiri. Dan sebeum Sastrawan Murung
benar-benar roboh di tangan Setan Mata Api, kelima
prajurit pasukan khusus itu segera membantunya. Namun
sebelum mereka memasuki arena, dua sosok bayangan
telah mendarat di hadapan mereka.
"Tuan Senapati...?!"
Lima prajurit itu berseru kaget begitu mengena salah
satu satu dari kedua sosok tersebut Kelimanya segera
bergerak mundur. Wajah dan sikap Senapati Malingka
membuat mereka curiga. Sayang, sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu Katak Hijau telah berjongkok seraya
melontarkan 'Pukulan Katak Hijau'nya yang mengandung
racun jahat!
"Kok kok kok ..!" '
Kelima prajurit itu tertegun. Heran dan belum mengerti
dengan apa yang dilakukan Katak Hijau Keheranan mereka
segera berubah menjadi jerit kematian. 'Pukulan Katak
Hijau' menghantam tubuh kelimanya yang langsung
berpentalan dan jatuh berdebuk di tanah. Mereka tewas
dengan kulit tubuh berubah kehijauan.
Katak Hijau terkekeh. Ditatapnya Senapati Malingkat
"Sekarang tinggal satu lagi yang harus kita bereskan,"
ujarnya seraya mengerling ke arah Sastrawan Murung.
Kemunculan Senapati Malingkat dan Katak Hijau
membuat pikiran Sastrawan Murung bertambah kacau.
Perhatiannya terpecah, hingga ia tak bisa lagi menghindari
sebuah hantaman Setan Mata Api yang telak menggedor
dada kanannya.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, Sastrawan Murung terjengkang ke
belakang. Dadanya terasa sesak Panas dan juga nyeri.
Kendafi demikian, Sastrawan Murung bergegas bangkit
berdiri dan menatap tajam sosok Setan Mata Api yang
tertawa terbahak-bahak. Sungguh tidak disadarinya betapa
saat itu Senapati Malingkat sudah berada di belakangnya
dengan pedang teracung
Whuuut... Crakkk...!
Terlambat bagi Sastrawan Murung untuk menyadari
datangnya serangan. Mata pedang langsung memutus
lehernya, tepat di saat kepalanya ditolehkan ke belakang.
Kepala itu langsung jatuh ke tanah. Sementara dari leher
Sastrawan Murung memancur darah segar.
"Malingkat," ujar Setan Mata Api seraya menatap lekat-
lekat wajah Senapati Malingkat.
"Mengapa kau tidak memberitahu kami bahwa kaulah
yang akan memimpin pengawalan ini? Jelas ini di luar
rencana kita. Jika kau kembali ke istana dalam keadaan
segar bugar seperti ini, mana mau mereka percaya dengan
ceritamu? Ini jelas berbahaya. Terutama bagi dirimu. Jalan
satu-satunya untuk melenyapkan kecurigaan orang istana
adalah kau harus bersedia kami lukai. Dengan adanya
luka-luka tersebut kemungkinan penjelasanmu bisa
mereka percaya. Paling tidak, mereka akan
mempertimbangkan ceritamu. Bagaimana, kau bersedia?"
Senapati Malingkat tidak langsung menjawab. Terlebih
dulu ditatapnya wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau
bergantian. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-
dalam. Sebenarnya ia tidak percaya dengan kedua tokoh
itu. Tapi semuanya sudah telanjur. Untuk mundur jelas
tidak mungkin. Jalan satu-satunya memang dia harus
menerima usul Setan Mata Api.
"Tentu saja," jawab Senapati Malingkat kemudian. la
tidak mau membuat mereka curiga karena terlalu lama
berdiam diri. "Kurasa usulmu cukup baik. Silakan kalian
lukai aku. Buat agar cukup parah. Tapi ingat! Kalian harus
menyisihkan harta bagianku. Tunggu di tempat yang telah
kutentukan. Kalian masih ingat tempat itu, bukan?"
"Heh heh heh...! Mana bisa kami lupa, Malingkat,"
Katak Hijau terkekeh seraya mengerling pada Setan Mata
Api. "Nama tempat itu adalah Lembah Batu Hitam.
Letaknya di sebelah tenggara wilayah utara, daerah tempat
kita bertiga berasal."
"Kami akan menunggu kedatanganmu, Malingkat,"
Setan Mata Api menambahkan. Sedangkan dalam hati ia
melanjutkan dengan kata-kata, "Tapi kau tidak akan
pernah bisa datang. Malam ini kau akan kukirim ke
akhirat!"
Senapati Malingkat mengangguk puas. Dia tidak
menduga kalau Setan Mata Api dan Katak Hijau
mempunyai rencana lain terhadap dirinya. Mereka bukan
sekadar ingin melukai, tapi membunuh! Senapati
Malingkat tidak menyadari hal itu. la sudah melangkah
mundur. Lalu, mengangguk sebagai tanda dirinya telah
siap.
Setan Mata Api dan Katak Hijau saling bertukar
pandang sesaat. Kemudian, Setan Mata Api melangkah
maju seraya membabatkan pedang ke dada Senapati
Malingkat. Perbuatan itu dilakukan dengan tanpa
mengerahkan tenaga dalam. Sambaran pedang itu hanya
akan menimbulkan luka luar. Senapati Malingkat tentu
saja tahu. Diam-diam ia tersenyum dalam hati,
mentertawakan kebodohan Setan Mata Api.
Namun, di saat mata pedang sudah hampir mengenai
kulit dadanya, tiba-tiba Senapati Malingkat menjadi pucat
pasi! Ia pun sadar Setan Mata Api telah berkhianat. Di
akhir serangan yang sudah tidak mungkin dielakkannya itu
Setan Mata Api mengerahkan tenaga dalam!
"Kepar...!"
Breeettt!
"Arghhh...!"
Makian Senapati Malingkat berubah menjadi raung
kesakitan yang mendirikan bulu roma. Sabetan pedang
Setan Mata Api yang sangat kuat mengoyakkan dada
Senapati Malingkat. Tanpa ampun lagi, tubuh senapati itu
terpelanting disertai percikan darah yang membanjir dari
luka di dada
Meskipun menderita luka yang parah, Senapati
Malingkat berkeras untuk bangkit. Menyesal ia telah
mempercayai makhluk-makhluk licik seperti Setan Mala Api
dan Katak Hijau. Sayang, penyesalan itu terlambat
datangnya. Selagi ia tengah berusaha berdiri dengan kedua
kaki gemetar, pukulan maut Katak Hijau meluncur datang.
Desss...!
Senapati MaUngkat menjerit ngeri. Tubuhnya
terlempar hampir dua tombak. Kemudian, jatuh
menggelepar seperti ayam disembelih. Sebuah telapak
kaki yang dijejakkan di dada menghentikan gerakan tubuh
Senapati Malingkat. Jejakan itu menghancurkan tulang-
tulang dadanya. Sepasang mata Senapati Malingkat
terbeliak. Ditatapnya sesaat wajah Setan Mata Api dan
Katak Hijau dengan sorot penuh dendam. Setelah itu,
kepalanya terkulai.
"Ha ha ha...!"
Tawa Setan Mata Api dan Katak Hijau menggema
bagai tawa setan-setan gentayangan. Dan sesaat
kemudian, berganti dengan suara derak roda kereta
menggilas permukaan tanah berbatu.
***
Pendekar Naga Putih berdiri mematung. Tubuh-tubuh
bersimbah darah berserakan di sekitarnya. Cuma
pemandangan itu yang ditemuinya saat ia tiba, selain jejak
bekas roda kereta. Sayang, saat itu hari sudah malam.
Tentu sangat sulit menelusuri jejak roda kereta di tengah
kegelapan.
"Jika saja peristiwa ini terjadi pada siang hari, mungkin
aku bisa menemukan bekas jejak kereta- kereta itu," sesal
Panji.
Namun, tiba-tiba satu suara mengusik kesendirian
Panji
"Ha ha ha ... Hebat... hebat...!"
Suara tawa itu disusul dengan munculnya sesosok
tubuh yang bukan lain kakek yang tadi mengejar Panji.
Kakek itu muncul sambil bertepuk tangan keras-keras.
Panji menatapnya dengan kening berkerut
"Apa maksud kata-katamu, Kek?" tanya Panji.
"Eh, masih mau berpura-pura juga, ya?" ujar kakek itu
seraya menghentikan langkah setengah tombak dari Panji.
"Jelaskan maksudmu, Kek! Ini bukan saat yang tepat
untuk berteka-teki!"
"Apa aku bilang begitu?" Kakek ini menelengkan
kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Sorot
matanya tajam berkilat. Amarahnya jelas terpancing nleh
sikap kakek itu yang sengaja hendak memper-
inalnkannya. Tapi untuk meladeni ia merasa percuma saja.
Menurut pengamatannya, kakek itu agak kurang beres
otaknya.
"Sudahlah!" Panji mengibaskan tangannya.
"Tidak ada gunanya melayanimu berdebat. Kalau kau
kurang puas, silakan ajak mayat-mayat itu untuk melayani
omonganmu. Maaf, aku harus pergi!" Panji langsung
memutar tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Kakek itu berteriak sambil melompat
tinggi. Dia berputar beberapa kali di udara sebelum
mendarat satu tombak di hadapan Panji. "Mana bisa pergi
begitu saja setelah membantai belasan prajurit kerajaan!"
tuduh si kakek, membuat Panji terperangah kaget.
"Apa-apaan ini? Main tuduh seenak perut sendiri!
ltukah makna tawa dan pujianmu tadi?" Panji kelihatan
gusar sekati. la merasa tidak enak dituduh seperti itu.
"He he he ... Tidak perlu main sembunyi seperti itu
kepadaku, Pendekar Naga Putih," sahut si kakek berkeras
dengan tuduhannya. "Harta yang dibawa pasukan kerajaan
yang baru kau bantai ini memang sangat banyak. Tidak
heran kalau seorang pendekar besar sepertimu sampai
bisa khilaf Tapi terus terang, aku tidak mempersoalkan
kematian mereka. Aku akan tutup mulut asalkan kau mau
membagi dua harta itu. Kau tidak keberatan, bukan?
Separuhnya saja sudah cukup untuk kau gunakan berfoya-
foya selama hidup!"
"Gila...!" Panji menggeram. Sekarang ia benar benar
jengkel. "Aku sama sekali tidak tahu-menahu seal harta
yang kau maksud itu. Kau sendiri yang menyebut-
nyebutnya. Aku jadi curiga...."
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih?"
"Semua ini pasti sudah kau atur bersama kawan-
kawanmu." lanjut Panji seraya tersenyum sinis. "Kau
sengaja mencegahku tadi. Itu baru kusadari saat
menemukan mayat-mayat yang berserakan di tempat ini.
Jelas kau menghambat perjalananku agar pekerjaan
kawan-kawanmu tidak terganggu."
"Ha ha ha...!" Tuduhan balik Panji malah membuat si
kakek tergelak. "Maling teriak maling. Bagus... bagus! Aku
suka itu... aku suka!"
Panji menggelengkan kepala. Melayani bicara kakek
itu, ia jelas tidak bakal menang.
"Terserah kau sajalah, Kek. Yang jelas aku tidak
membunuh mereka. Sekarang aku mau pergi! Akan kucari
dua buah kereta kuda itu sebagai bukti kalau aku tidak
bersalah!" usai berkata demikian, Panji benar-benar
melangkah pergi. Tak akan dipedulikannya meski kakek itu
akan mencegah.
Si kakek kembali tertawa mengekeh. Kali ini ia tidak
mencegah kepergian Panji. 'Ya, temukanlah Setan Mata Api
dan Katak Hijau, Pendekar Naga Putih. Manusia-manusia
licik itu telah mengkhianatiku. Mereka telah
memperdayaiku, yang mencegahmu agar tidak sampai
menggagalkan rencana perampokan," ujar si kakek dalam
hati seraya menatap kepergian Pendekar Naga Putih.
Sepeninggal Panji, kakek ini segera memeriksa mayat
mayat Ketika berdiri di dekat mayat Senapati Malingkat,
mulutnya berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak
jelas.
"Setan Mata Api, Katak Hijau!" ujar si kakek kemudian.
Suaranya lantang dan bergetar. "Tunggulah. Akan ada
pembalasan yang mengerikan untuk orang-orang serakah
seperti kalian...!" Dalam suara kakek itu terkandung
sesuatu yang menggetarkan hati. Seperti menyimpan suatu
kutuk mengerikan. Mengandung getaran dendam dan sa
kit hati. Yang kelak akan dibalasnya dengan cara yang tak
pernah terlintas dalam pikiran Setan Mata Api maupun
Katak Hijau.
***
ENAM
Hari itu adalah hari kesembilan sejak peristiwa di Bukit
Dampet Pagi setelah terjadinya perampokan Panji
menelusuri jejak roda kereta yang berisikan harta kerajaan.
Pada hari kesembilan, saat menjelang siang, Panji berhasil
menemukan dua buah kereta kuda tersebut Namun kedua
kereta itu telah kosong. Tak satu pun benda berharga ter
sisa di dalamnya.
Hal itu tidak membuat Panji menyerah. Apalagi ia
sudah bisa memperkirakan ke mana perampok- perampok
itu melarikan diri. Jejak roda kereta terus bergerak ke arah
utara. Dari kenyataan itu Panji mengambil kesimpulan
kemungkinan besar perampok-perampok berasal dari
daerah utara. Atau paling tidak, hendak membawa harta
rampokannya ke wilayah utara.
Perkiraan itu memang masih dalam rabaannya saja.
Memang hal itu bisa dijadikan sebagai pegangan. Selain itu
memang tidak ada petunjuk lagi. Dan la sama sekali belum
mendapat gambaran tentang ciri-ciri dari perampok-
perampok itu, yang berjumlah sedikitnya dua orang. Sebab
tidak mungkin satu orang bisa membawa dua buah kereta
kuda sekaligus. Dan Panji memang harus mengakui
kelihaian perampok-perampok itu yang tidak pernah
melintasi daerah pemukiman penduduk. Dua buah kereta
kuda itu selalu dibawa melalui daerah-daerah sepi yang
jauh dari tempat-tempat pemukiman penduduk. Sehingga
Panji menemui kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri atau
pun jumlah perampok-perampok itu. Tidak ada orang yang
bisa ditanyainya untuk mencari keterangan tentang kereta
kuda atau pun orang-orang yang membawanya.
Suara langkah orang berlari mengusik lamunan Panji.
Tubuhnya segera diputar menghadap arah suara langkah
itu datang. Dan, pandangannya terbentur pada dua sosok
tubuh yang kemudian berhenti tepat di depannya.
Tanpa berkata sepatah pun kedua pendatang itu
meneliti Panji dari ujung kepala sampai kaki. Dan tanpa
sadar Panji melakukan hal yang sama pada mereka
Keduanya adalah seorang nenek berambut putih riap-
riapan dan seorang gadis cantik bermata bulat Mata itu
bersinar sinar. Mencerminkan watak yang jenaka. Di ujung
bibir sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat. Tanda
bahwa gadis cantik itu seorang yang cerewet.
"Hei! Mengapa kau pandangi kami seperti itu? Belum
pernah berjumpa dengan perempuan, ya?" Gadis cantik
bertahi lalat menegur Panji lebih dulu. Suaranya terdengar
galak. Begitu juga dengan roman mukanya. Malah, dia
bertolak pinggang segala.
Tadinya Panji bermaksud membela diri. Karena
mereka juga melakukan perbuatan serupa kepada dirinya.
Tapi niat itu diurungkan. Ditariknya napas sesaat, lalu
dicobanya tersenyum ramah kepada mereka.
"Maaf, kalau sikapku membuat Nona tidak suka...."
"Siapa bilang aku tidak suka?"
Gadis bertahi lalat memotong kalimat Panji. Sementara
nenek berambut putih riap-riapan bersikap tidak peduli.
Nenek itu tetap meneliti Panji. Dari kepala ke ujung kakl,
kemudian balik dari kaki ke ujung kepala. Perbuatan itu
dilakukannya sampai berulang-ulang.
"Jika demikian, biarlah kutarik lagi perkataanku llu,"
Panji tetap menunjukkan sikap ramahnya. "Dan maaf kalau
sikapku tadi telah membuat Nona merasa suka."
"Aku juga tidak bilang begitu!" Lagi-lagi gadis itu
menukas.
"Hh...," Panji menghela napas "Entah apa lagi yang
harus kukatakan kepadamu, Nona...."
"Tanya kek siapa namaku. Itu kan lebih enak
didengarnya," sahut gadis bertahi lalat.
"Aneh...?!" gerutu Panji seraya menggaruk-garuk
kepala. Bukan karena gatal, tapi bingung menghadapi
sikap aneh gadis itu. "Hik hik hik...!"
Panji mengalihkan perhatiannya pada sosok nenek
berambut riap-riapan. Sejak tadi nenek itu cuma diam
sambil terus memperhatikannya. Dan sekalinya membuka
mulut, si nenek tertawa mengikik seraya menutupi
mulutnya seperti lagak seorang gadis saja. Sikap nenek
mau tidak mau membuat Panji tersenyum geli.
"Tanyalah, Anak Tampan, tanyalah," si nenek malah
menyumh Panji. "Apa kau tidak tertarik dengan muridku
yang bahenol ini? Wajahnya cantik dan segar berseri-seri.
Tubuhnya langsing padat," lalu dia berpaling kepada
muridnya. "Coba biarkan anak tampan itu memegang
tubuhmu, Muridku. Biar dia rasakan sendiri betapa hangat
dan lunaknya tubuhmu yang bahenol itu," perintahnya
kepada si
gadis yang ternyata muridnya.
Ucapan nenek itu tentu saja membuat Panji jengah.
Parasnya berubah kemerahan. Nenek gendeng, gerutu
Panji dalam hati. Diam-diam ia merasa kasihan kepada
gadis bertahi lalat, yang menurutnya pasti merasa malu
dengan permintaan gurunya itu.
Tapi, alangkah kaget hati Panji sewaktu melihat gadis
itu tersenyum malu-malu seraya menggoyang- goyangkan
tubuhnya. Gadis ini melangkah maju mendekati Panji.
Tubuhnya disorongkan untuk dipegang Panji seperti
permintaan gurunya.
"Peganglah, Anak Tampan. Raba sesukamu. Bagian
yang mana saja boleh," sambil diselingi kekehnya si nenek
memerintah Panji. Karuan saja Panji menjadi kelabakan!
"Celaka..." keluh Panji dalam hati. "Guru dan murid
sama gilanya! Mereka jelas tidak sedang bermain-main.
Heran, mengapa belakangan ini aku sering menemukan
manusia kurang waras?"
"Mengapa bengong, Anak Tampan? Hayo, jangan malu-
malu!"
Si nenek mendesak Panji yang makin kelabakan dan
salah tingkah. Sementara gadis cantik bertahi lalat sudah
berdiri di depan hidung Panji. Kendati kedua belah pipinya
dironai warna kemerahan, namun ia tidak malu-malu
menarik tangan Panji dan dibawanya ke tubuhnya.
Panji terperangah dalam keheranan. Terbengong
bengong memandang si nenek dan gadis di depannya
bergantian. Seperti tidak sadar tangannya dibiarkan
dibawa gadis itu ke bagian tubuhnya yang paling menonjol.
Buah dada yang membukit dan sedang ranum-ranumnya.
"Aiii...!"
Setengah terpekik Panji menarik tangannya. Hampir
saja ia menyentuh buah dada gadis itu. Dengan wajah
kemerahan Panji melompat mundur. Sementara si gadis
membelalakkan matanya. Kelihatan sekali betapa ia
sangat heran dengan tindakan Panji. Yang ia tahu selama
ini, tak ada seorang lelaki pun akan menolak jika diberi
kesempatan seperti itu. Hanya lelaki tolol saja yang
berbuat begitu. Mungkin pemuda ini termasuk dalam
golongan itu, pikirnya dalam keheranan.
Lain tanggapan gadis itu, lain pula tanggapan si nenek.
Parasnya langsung berubah. Kekehnya seketika lenyap.
Wajahnya membesi dengan sorot mata yang nyata-nyata
menunjukkan kemarahan.
"Hei, Pemuda Bego!" Si nenek memaki Panji. Suaranya
melengking menusuk telinga. Jari telunjuknya yang
berkuku runcing ditudingkan lurus-lurus ke wajah Panji.
"Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Apa yang kau
lakukan merupakan penghinaan tak berampun. Hanya
nyawamu yang dapat menebusnya!"
Panji terperangah. Sungguh tak disangka tindakannya
membuat nenek itu marah besar. Padahal, yang
dilakukannya adalah suatu kebenaran. la telah
menyelamatkan si gadis dari rasa malu.
"Nek," ujar Panji. "Tidak ada niat sedikit pun di hatiku
untuk menghina kalian berdua. Dan.. ."
"Cukup! tidak pertu berdalih lagi!" Si nenek membentak
garang. "Menolak untuk menyentuh tubuh muridku sama
artinya dengan melakukan penghinaan besar! Padahal,
sewaktu pertama kali melihatmu aku sudah merasa cocok
untuk menjadikanmu suami muridku. Itu adalah suatu
kehormatann yang tiada taranya. Aku tidak pernah
sembarangan memilih Tapi kau ternyata menolaknya
mentah-mentah. Satu-satunya cara untuk menebus
penghinaan ini adalah kematianmu! Nah, Murni," lanjutnya
seraya menoleh kepada muridnya. "Bunuh pemuda yang
tidak tahu diuntung itu!" perintahnya tanpa bisa ditawar
lagi.
Gadis cantik bertahi lalat yang bernama Murni ini
segera mematuhi perintah gurunya. Terdengar suara angin
berdesing sewaktu ia mencabut pedang. Lalu, tanpa
berkata apa-apa lagi Murni mengayun langkahnya
menghampiri Panji.
"Murni, tahan dulu...!" Panji berusaha mencegah.
Kedua telapak tangannya diangkat di depan dada. "Aku
tidak ingin kelak kau menyesali perbuatanmu. Sekali lagi
kutegaskan, aku sama sekali tidak bermaksud
menghinamu. Simpanlah senjatamu itu. Jangan turuti
nafsu amarah yang dihembuskan setan."
Tapi Murni tidak mendengarkan kata-kata Panji. Gadis
ini terus melangkah dengan pedang terhunus. Sorot
matanya tajam berkilat, memancarkan tekad yang tidak
bisa dicegah. "Haliittt..!""
Tiga langkah di dekat Panji, Murni membentak seraya
membabatkan pedangnya yang memperdengarkan suara
mengaung. Serangan itu jelas tidak main-main. Panji yang
tidak ingin kehilangan kepala segera bergerak mundur.
Babatan pedang yang mengancam lehernya lewat satu
jengkal. Dan Panji masih harus berlompatan beberapa kali
ketika se-rangan Murni tidak berhenti sampai di situ.
"Terus, Murni, terus!" Si nenek berteriak-teriak
memberi semangat. "Pemuda tolol macam dia tidak perlu
diberi hati. Jangan ragu-ragu. HaHsi saja pemuda sial
dangkalan itu...!"
Dan Murni memang tidak main-main. Serangannya
datang bertubi-tubi laksana curahan air hujan. Agak repot
juga Panji dibuatnya. Murni ternyata bukan gadis
sembarangan. Kecepatan dan kekuatan serangannya
menunjukkan kepandaian yang tinggi. Lama-kelamaan
Panji menjadi waswas juga. Jika terus-terusan menghindar,
bukan mustahil serangan itu akan mengenai tubuhnya.
"Berhenti, Murni! Jangan paksa aku untuk melawan!"
Panji berseru di tengah desing pedang Murni, Namun,
gadis itu tidak peduli. Malah serangannya semakin
diperhebat.
Kesabaran Panji mulai habis. Kalau dinasihati sudah
tidak bisa, maka jalan satu-satunya adalah unjuk gigi.
Ketika serangan Murni kembali datang mengancam, Panji
langsung memapakinya dengan satu tangkisan menyilang.
Tapi Panji kecewa. Tangkisannya hanya membabat
angin kosong. Murni sudah lebih dulu merubah
serangannya. Dengan gerak berputar yang indah,
pedangnya langsung beralih sasaran Kalau tadi meluncur
lurus ke dada Panji, maka kali ini leher yang menjadi
incarannya.
Whuuuttt..!
Panji menekuk lutut dan tubuhnya hingga sambaran
pedang lewat di atas kepala. Lengannya kemudian diputar
sambil menggeser kaki kanan ke depan. Gerakan itu
dilakukan Panji dengan sangat cepat. Murni menahan
pekiknya ketika tahu-tahu saja jari jari Panji sudah
menceka pergelangan tangannya hingga pedangnya
terlepas dari genggaman. Tubuhnya sendiri terjajar oleh
dorongan tangan kiri Panji pada perutnya.
Panji baru saja hendak menarik napas lega, tapi
sambaran angin keras menerpa tubuhnya. Sebuah telapak
tangan yang dilandasi kekuatan hebat langsung
membentur tubuh.
Deeesss...!
Tak ayal lagi tubuh Panji terlempar deras dan jatuh
terguling-guling di tanah. Panji menyeringai kesakitan.
Dadanya berdenyut-denyut oleh rasa nyeri. Pukulan itu
telah mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya.
Untungnya, 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' langsung
bekerja dan menyembuhkan luka dalam itu. Pengaruh
tenaga mukjizat tersebut membuat sekujur tubuh Panji
dilapisi pancaran sinar kuning keemasan.
"Ayyyaaa...!" Si nenek memekik tertahan menyaksikan
munculnya sinar kuning keemasan yang membungkus
tubuh Panji. 'Ternyata pemuda tak tahu diuntung itu adalah
Pendekar Naga Putih!" serunya dengan roman muka
terkejut.
"D-dia... Pendekar Naga Putih...?!' Murni tidak kalah
kagetnya .
"Kalian tidak keliru,' ujar Panji seteah pengobatan
terhadap lukanya selesai. "Aku, pemuda tolol dan bego ini
memang dijuluki Pendekar Naga Putih."
"Hih hih hih...!" Si nenek terkikik seraya menutup mulut
dengan telapak tangan. "Bagus... bagus! sungguh suatu
kebetulan yang sanga menyenangkan Nah, Pendekar Naga
Putih. Setelah aku mengetahui siapa kau sebenarnya,
maka biarlah kutarik kembali kata kata yang tadi
kuucapkan. Aku tidak akan membunuhmu."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Nek," ucap
Panji tersenyum lega.
"Tapi...," Si nenek memandang Panji dengan mata
berbinar "Dengan satu syarat, kau harus bersedia menjadi
suami muridku "
"Celaka...!" desis Panji dalam hati. "Rupanya nenek
sinting ini tidak berubah juga!"
"Jawablah, Pendekar Naga Putih," si nenek mendesak
tak sabar. "Katakan kalau kau bersedia mengawini
muridku yang bahenol ini. Sebab jika menolak, kau akan
kubunuh!" lanjutnya kembali mengancam.
Panji tetap bungkam. Nenek itu tampaknya benar-
benar akan melaksanakan ancamannya. Ini sangat
berbahaya sekali. Nenek berambut putih riap-riapan itu
sangat lihai.
"Lebih baik kau terima tawaranku, Pendekar Naga
Putih. Dengan begitu, akan banyak keuntungan yang kau
peroleh," Si nenek kembali berkata.
"Tapi, Nek ..."
"Tidak periu kau jelaskan, Pendekar Naga Putih! Aku
tahu alasan apa yang hendak kau ajukan. Aku bisa
membacanya dari raut wajahmu. Dan melalui dua kereta
kuda itu, aku juga bisa mengetahui siapa yang sedang kau
buru." "Eh?"
Panji menarik wajahnya dengan wajah kaget. Apa yang
dikatakan nenek berambut putih riap-riapan itu memang
sangat mengejutkan hatinya. Tapi kekagetan itu cuma
berlangsung beberapa saat saja.
Sebuah pikiran yang melintasi benaknya membuat
Panji meragukan kebenaran kata-kata si nenek. Siapa tahu
itu adalah siasat si nenek untuk menjeratnya.
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak
membuktikan kata-katamu, Nek?" pancing Panji.
Si nenek tersenyum. Diperhatikannya dua kereta kuda
yang berada di belakang Panji "Kereta kuda itu milik
kerajaan," jelasnya tanpa mengalihkan perhatian.
"Sebelumnya berisikan emas permata yang sangat mahal
harganya. Kusirnya dua orang berkepandaian tinggi.
Dikawal dua belas prajurit langguh yang dipimpin seorang
senapati. Dan...," tiba-tiba si nenek memejamkan matanya.
"Ada apa, Nek?!" Panji bertanya dengan rasa
prnasaran yang besar. Keterangan nenek itu benar- IxMiar
mengejutkan hatinya. Meskipun ia tidak tahu lunyak,
namun tentang isi kereta kuda dan dua belas prajurit itu
memang sudah tepat. Begitu juga dengan senapati dan
dua kusir kereta. Jumlah itu sama persis dengan mayat-
mayat yang ditemuinya di Bukit Dampet beberapa hari lalu
Dan itu benar-benar satu berita yang sangat menarik
baginya. Karena ia sekarang yakin kalau nenek itu juga
pasti tahu siapa pelaku perampokan dan pembantaian itu.
"Senapati yang menjadi pimpinan rombongan itu
ternyata seorang pengkhianat. Bersama dua orang
kawannya yang menghadang di sebuah jalan sempit, ia
membantai prajurit prajuritnya sendiri. Sayang, ia keliru
memilih orang. Dia mati dibunuh kedua rekannya itu.
Mereka lalu membawa lari kereta kuda yang berisi harta
berlimpah," lanjut si nenek mengakhiri penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Nek?!"
Diam-diam timbul kecurigaan di hati Panji. Jangan-
jangan guru dan murid itulah yang menjadi pelakunya.
Kemunculan mereka sangat aneh. Tepat di saat kedua
kereta kuda yang telah kosong itu ditemukan.
"Goblok! Diberitahu malah menuduh yang bukan-
bukan! Buang pikiran itu dari kepalamu, Pendekar Naga
Putih!" bentak si nenek.
"Gila! Rupanya ia benar-benar dapat membaca pikiran
orang!" gumam Panji dalam hati. la merasa tidak enak
juga.
"Tidak semua orang memiliki kepandaian seperti ini,
Pendekar Naga Putih. Dengan kepandaian inilah aku bisa
membaca jalan pikiran orang. Mengetahui suatu kejadian
yang sudah maupun akan terjadi. Dan..., eh?!"
Tiba-tiba si nenek memejamkan matanya. la melihat
sesuatu pada wajah Pendekar Naga Putih.
"Kau... pernah bertemu, dan bahkan berselisih dengan
bangsat tua keparat itu!" ujar si nenek dengan setengah
memekik. Parasnya nampak agak memucat
"Siapa yang kau maksud, Nek?" Panji menjadi tegang
sewaktu menyaksikan perubahan wajah nenek itu.
Dilihatnya ada sorot kemarahan dan kebencian dalam
sepasang matanya.
"Setan Tua Gila..,!" desis si nenek. "Kau pernah
berjumpa dengannya, bukan?"
"Setan Tua Gila?!"
"Kau sempat bertengkar mulut serta meladeninya
bermain-main," ujar si nenek untuk membantu ingatan
Panji. Itu kau lakukan di saat perampokan tengah
bertangsung."
"Aah...!" Panji menampar keningnya perlahan.
Sekarang ia baru ingat. "Jadi, kakek sinting itukah yang kau
maksud? Ya, aku memang telah bertemu dengannya
Apakah Setan Tua Gila ada hubungannya dengan
perampokan itu?"
Si nenek menggeleng lemah. "Kalau itu aku tidak tahu.
Kecuali jika aku bertemu langsung dengan Setan Tua Gila.
Sedangkan kedua perampok itu adalah...," si nenek tidak
melanjutkan. Senyumnya mengembang, seperti baru sadar
kalau dia telah terlalu banyak bicara.
"Siapa mereka, Nek?" desak Panji.
Si nenek menggeleng. "Enak saja kau mencari
keterangan secara cuma-cuma," ujarnya. "Semua yang
kukatakan tad'i sudah lebih dari cukup. Sekarang aku
menuntut jawabanmu. Jika kau bersedia, bukan saja nama
kedua perampok itu yang akan kau ketahui, tapi aku
bahkan akan membantumu menangkap mereka."
Pendekar Naga Putih menarik napas dalam-da- lam.
"Maaf, Nek, aku tidak bisa menerima tawaran- mu. Terus
terang, aku sudah mempunyai calon istri," jelasnya.
"Huh, jangankan cuma calon. Kalaupun kau sudah
beristri, itu tidak jadi soal. Yang penting kau bersedia
menjadi suami muridku," si nenek berkeras Sementara
Murni menunggu dengan sabar. Membiarkan gurunya yang
menyelesaikan semua itu "Dengar, Pendekar Naga Putih.
Aku melihat bahaya besar bakal menimpamu. Kau tidak
akan mampu menghadapinya seorang diri. Suatu kekuatan
maha dahsyat akan menghadang. Hanya aku dan muridku
yang bisa menolongmu. Dan kami rela mempertaruhkan
nyawa asalkan kau bersedia menjadi suami muridku ini."
"Aku tidak bisa, Nek," Panji berkata dengan wajah
menyesal. "Dan aku tidak mau mendustai kalian dengan
mengatakan bersedia menerima tawaran itu. Tidak. Itu
bukan sifatku."
"Hm...," si nenek mengangguk-angguk. Nampaknya ia
bisa menerima alasan itu "Sekarang begini saja. Kami
berdua akan membantumu. Jika kami berdua binasa, kau
boleh bebas. Tapi jika kita semua selamat, atau cuma aku
yang tewas, maka kau harus mengawini muridku.
Bagaimana? Aku sudah memberi kebijaksanaan
kepadamu, Pendekar Naga Putih."
"Maaf Nek, aku tetap tidak bisa," Panji menggeleng
lemah. "Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak
mungkin dapat kulakukan."
"Keras kepala!" Si nenek menggeram dengan wajah
bengis. "Kau memang hendak menghina kami! Pemuda
tolol sepertimu sebaiknya mampus saja!”
SI nenek langsung melompat dengan kecepatan luar
biasa. Teriakannya mengguntur, meningkahi sambaran
angin pukulannya yang menderu keras laksana topan
prahara.
Whuuusss... blaaarrr...!
Beruntung Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya
Pukulan nenek itu pun membongkar tanah di bekas
tempatnya berdiri Bongkahan tanah beterbangan disertai
kepulan debu. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Dia
segera melesat pergi menerobos semak belukar. Panji
merasa tidak punya alasan untuk bertempur dengan nenek
itu.
"Kurang ajar...!"
Si nenek mendesis gusar. Dari balik kepulan debu
dilihatnya sosok Panji yang hendak melarikan diri. Cepat
bagai kilat diterobosnya kepulan debu itu. Pukulan
mautnya kembali menderu ketika sosok bayangan Panji
hampir menghilang ke dalam rimbunan semak.
Sambaran angin pukulan itu mengejutkan Panji. Tidak
mungkin baginya untuk melanjutkan niatnya. Pukulan itu
memang tidak ditujukan ke tubuhnya, tapi pada semak
belukar di depannya. Jika ia melanjutkan, maka
tubuhnyalah yang akan menjadi sasaran. Panji terpaksa
melenting kembali ke belakang.
"Bagus...!"
Terdengar suara pujian si nenek. Dan seiring dengan
terbongkarnya semak belukar yang memperdengarkan
ledakan keras, nenek itu mendarat setengah tombak di
dekat Panji meluncur turun. Tanpa memberi kesempatan
lagi si nenek menerjang dengan hebatnya.
Panji terpaksa mengangkat kedua lengannya
menyambuti serangan itu. Untuk mengelak tidak ada
kesempatan lagi.
Plak! Dukkk!
Benturan kedua pasang lengan membuat Pendekar
Naga Putih memekik tertahan. Lengannya terasa nyeri
bukan main, sementara tubuhnya terpental satu tombak ke
belakang Dan selagi tubuhnya melayang di udara, si nenek
sudah menyusuli dengan serangkaian totokan.
Panji mengetuh pendek. Tiga totokan bersarang telak
di tubuhnya. Seketika pemuda itu kehilangan kesadaran. Si
nenek yang tidak ingin tubuh Pendekar Naga Putih
terbanting ke tanah, buru-buru menyambarnya.
Berterima kasihlah kepada gurumu ini, Murni. Pemuda
inilah satu-satunya yang dapat menolongmu. Dalam
tubuhnya mengalir darah naga siluman. Aku yakln itu Sejak
pertama kali melihatnya, aku bisa merasakan getaran
darah mukjizat tersebut Hih hih hih...!" Si nenek terkekeh
senang.
Murni sendiri berseri-seri wajahnya. Gadis ini segera
menjatuhkan diri di hadapan gurunya. Sambil berlutut dia
mengucapkan terima kasih. Murni baru berani bangkit
berdiri setelah mendapat perkenan gurunya. Diikutinya
langkah si nenek meninggalkan tempat itu dengan
membawa tubuh Pendekar Naga Putih.
***
TUJUH
Di bawah langit sore dua sosok tubuh tampak berlari
bagai dikejar setan. Langkah kaki mereka tak beraturan.
Dengus napas yang terdengar tak ubahnya kuda pacu.
Peluh mengalir deras di wajah yang agak pucat. Melihat
keadaan itu tampaknya mereka telah berlari melewati
batas kemampuan, dan telah menempuh jarak yang
sangat jauh.
Keadaan kedua sosok tubuh itu sebenarnya bukanlah
sesuatu yang mengherankan kalau terjadi pada orang
biasa. Tapi, mereka bukanlah orang- orang kebanyakan.
Kedua sosok tubuh itu tidak lain Katak Hijau dan Setan
Mata Api. Dua gembong kaum sesat yang keganasannya
menjadi momok tokoh tokoh persilatan daerah utara.
Langkah-langkah mereka sudah sangat kelelahan,
yang akhirnya tak dapat dipertahankan lagi. Keduanya
jatuh terguling-guling di pinggiran sebatang sungai. Terus,
terjerembab masuk ke dalam air. Sesaat tubuh keduanya
lenyap ditelan air sungai.
"Fuaaahhh...!"
Katak Hijau menyembul ke atas permukaan air seraya
menghempaskan napas kuat-kuat. Setan Mata Api
menyusul kemudian. Keduanya lalu berenang ke tepian
setelah mengibaskan air yang membasahi kepala. Tiba di
tepian mereka melempar tubuhnya ke atas rerumputan
yang agak kering.
"Keparat..!" umpat Setan Mata Api tiba-tiba seraya
meninju tanah kuat-kuat. "Nasib kita benar- benar sedang
sial! Musnah sudah impian untuk bisa menikmatl hidup
dengan penuh kemewahan!"
Katak Hijau menoleh sekilas. Dihembuskannya napas
kuat-kuat tanpa berniat menimpali kata-kata Setan Mata
Api Nampaknya Katak Hijau lebih bisa menerima
kenyataan yang terjadi. Tanpa berkata- kata pandangannya
dialihkan kembali menatap langit sore.
"Kelihatannya kau rela menerima penghinaan ini
begitu saja, Katak Hijau? Tidak adakah niat di hatimu
untuk merebut kembali semua hasil jerih payah kita?"
Setan Mata Api bertanya dengan mimik wajah mencemooh.
Kelihatan sekali perasaan tidak sukanya terhadap sikap
yang ditunjukkan Katak Hijau.
Katak Hijau masih membisu. Ditariknya napas sesaat.
Lalu, wajahnya dipalingkan dengan gerak perlahan.
Ditentangnya tatapan Setan Mata Api. Untuk beberapa saat
mulutnya tetap terkunci.
"Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat, Setan Mata Api,"
ujar lelaki itu kemudian. Pelan dan dalam desahan napas
yang menunjukkan keputusasaan. "Raja Sesat Selatan
bukanlah tandingan kita. Apa yang bisa kita perbuat?
Masih bagus kita dapat menyelamatkan diri. Jika tidak, kau
tahu sendiri bagaimana kejamnya manusia satu ini Jadi,
seharusnya kau malah bersyukur karena masih bisa
melihat matahari esok pagi."
Setan Mata Api membungkam. Harus diakuinya
kebenaran ucapan Katak Hijau. Kalau dipikir- pikir memang
tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Raja Sesat
Selatan bukan tandingan mereka berdua. Memikirkan
untuk membalas perbuatan tokoh sesat nomor satu di
daerah selatan itu, sama artinya dengan mencari mati.
Srakkk...!
Suara dedaunan kering yang terinjak membuat Setan
Mata Api dan Katak Hijau tersentak kaget. Keduanya
bergegas bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan ke
sekeliling tempat itu. "llfhhh...!"
Bukan cuma Katak Hijau saja yang menutup hidung.
Setan Mata Api pun ikut-ikutan. Mereka saling
berpandangan dengan kening berkerut. Ke- heranan
tergambar jelas di wajah keduanya. Bau yang memualkan
perut menyergap hidung mereka saat angin sore tiba-tiba
berhembus agak keras. Bau yang membuat bulu kuduk
mereka meremang. Bau mayat yang telah membusuk!
"Kurang ajar!" Setan Mata Api mendesis jeng- kel untuk
mengurangi kengerian hatinya. "Bau bu suk ini benar-benar
memualkan perut! Siapa pula yang mati di tempat sepi
seperti ini?!"
Srakkk...!
Suara dedaunan kering terinjak membuat oceh- an
Setan Mata Api langsung terhenti. Tokoh bertu- buh besar
dan tinggi ini sampai berjingkrak kaget. Di tengah
ketegangan yang mencekam, suara deda¬unan kering
terinjak seolah terdengar bagai ledakan petir. Kengerian
dirasakan kian memuncak! Lebih- lebih bau bangkai
semakin keras tercium. Setan Mata Api sampai
mengeluarkan keringat dingin!
"A-aku merasakan ada sesuatu yang tidak be- res...!"
Katak Hijau berbisik lirih. Wajah yang bia sanya berwarna
kehijauan itu kini nampak pu- cat. Katak Hijau pun dilanda
ketegangan dan
kengerian. Bau busuk mayat yang semakin keras
seperti bisikan malaikat maut yang siap merenggut
nyawanya.
"A-apa... maksudmu?" tanya Setan Mata Api. Meski
laki-Iaki itu merasa nalurinya juga menga- takan ada
sesuatu yang tidak wajar. Sejak semula perasaan itu
berusaha disembunyikannya. Ia tidak ingin Katak Hijau
sampai mengetahui perasaannya itu. Tentu saja ia kaget
sewaktu mendengar ucapan Katak' Hijau.
Pernyataan Katak Hijau membuat Setan Mata Api
maklum kalau apa yang mereka berdua rasakan Itu bukan
lagi suatu kebetulan. Hanya saja ia masih belum bisa
mengerti mengapa bau busuk mayat sa- |a dapat
menimbulkan pengaruh yang begitu besar kepada mereka
berdua. Padahal bagi mereka bau nlaupun hamparan
mayat bukanlah sesuatu yang inch. Bahkan bisa dikatakan
bahwa hal itu merupa- knn santapan hidung dan mata
mereka sehari-hari. In II Hdak aneh kalau sekarang mereka
keheranan. 'irbab apa yang mereka alami dan rasakan itu
me- inang sangat tidak wajar. Lain persoalan jika orang Inin
yang mengalami dan merasakannya.
Katak Hijau belum sempat menjawab perta- ■ ivnnn
Setan Mata Api, ketika terdengar suara napas
MAKIII UK HAUS DARAH
yang berat. Suara napas itu membuat hati mereka
bergetar dalam cekaman kengerian memuncak. Dan selagi
mereka saling berpandangan dengan wa¬jah pucat-pasi,
dari rimbunan semak di sebelah kiri menyeruak sesosok
tubuh.
"K-kau...!" Dengan paras sepucat mayat dan mata
terbelalak lebar, jari-jari gemetar Setan Mata Api menuding
sosok tubuh itu.
"Mus... tahil!"
Cuma kalimat itu yang bisa diucapkan Katak Hijau.
Sepasang matanya terbelilak lebar. Mulutnya ternganga
dengan kepala digelengkan. Tidak perca¬ya dengan apa
yang dilihatnya. "Hhh...!"
Sosok yang baru datang kembali mengeluarkan
desahan berat, Langkahnya tertatih menghampiri Setan
Mata Api dan Katak Hijau. Bau busuk ter- sebar dari
tubuhnya.
Keadaan sosok yang baru muncul ini memang sanggup
merontokkan jantung. Sorot matanya di- ngin dan kosong.
Tidak ada cahaya kehidupan sedi- kit pun. Daging wajahnya
menggembung bengkak, kendati masih bisa dikenali.
Pakaian di bagian dada terkoyak memperlihatkan luka
melintang sepanjang satu jengkal. Di luka itu terlihat
makhluk-makhluk kecil. Belatung! Tapi yang paling
mehgejutkan Se tan Mata Api dan Katak Hijau, sosok
mengerikan itu adalah Senapati Malingkat! Padahal,
mereka berdua tahu betul kalau Senapati Malingkat telah
tewas. Merekalah yang membunuhnya!
"Katak Hijau... Setan Mata Api.... Aku datang untuk
menagih hutang di antara kita," sosok mayat Senapati
Malingkat berkata dengan susah payah.
"Tidak... tidak!" Setan Mata Api bergerak mundur
seraya menggoyang-goyangkan teiapak ta¬ngan. la belum
bisa menerima kenyataan yang ba- qinya sangat mustahil
itu.
"Pergi! Jangan ganggu kami! Kau... sudah mati. Sudah
mati!"
Katak Hijau pun tersurut mundur. Kemunculan i isok
mayat Senapati Malingkat merupakan mimpi Inburuk
baginya. Dan seperti halnya Setan Mata Api, Katak Hijau
pun belum bisa menerima kenya limn Itu
Sosok mayat Senapati Malingkat menggeleng I aim
"Aku datang untuk mengambil nyawa kalian Inn juga harta
rampokan itu. .." Kakinya terus ■■■• Unykah kaku dengan
kedua tangan diulurkan
!• pan Jari jarinya yang berbau busuk dikem- l«ii'|k.iu
Siap untuk mencekik batang leher kedua
cabn korbannya.
"Harta itu tidak ada pada kami!" Setan Mata Api
berkata keras-keras dengan napas tersengal. "Raja... Raja
Sesat Selatan telah merampasnya. Jika kau menghendaki
harta itu, mintalah kepada- nya!"
Mayat Senapati Malingkat menunda langkah- nya
sesaat. Kepalanya ditengadahkan dengan tarik- an napas
yang keras dan panjang. Lalu, kembali perhatiannya
dialihkan pada Katak Hijau dan Setan Mata Api. Tiba-tiba
sosok itu melompat lurus seperti sebatang tombak yang
dilemparkan. Kendati gerak- annya kaku, namun
kecepatannya sangat luar bi- asa.
Bagai terkena sihir, Katak Hijau dan Setan Ma¬ta Api
cuma bisa memandang dengan mata terbela- lak lebar.
Baru setelah sepuluh jari tangan itu ham- pir
mencengkeram lehernya, Katak Hijau dapat membebaskan
diri dari kungkungan pengaruh aneh. Cepat ia mengangkat
kedua lengannya untuk mematahkan serangan. Tapi
alangkah kaget hati- nya. Lengannya yang menangkis
terpental hingga bagian lehernya semakin terbuka. Katak
Hijau tidak bisa menghindar lagi ketika jari-jari tangan kiri
ma¬yat Senapati Malingkat mencekik lehernya. Semen-
tara yang kanan menusuk dada kiri hingga telapak tangan
itu terbenam.
"Arghhh...!"
Katak Hijau meraung setinggi langit. Jan- tungnya telah
ditarik putus. Tubuh sekarat itu Hdak roboh karena
lehernya masih berada dalam cengke- raman mayat
Senapati Malingkat. Terdengar suara tulang leher patah.
Begitu cengkeraman ditarik, tu¬buh sekarat Katak Hijau
menggelepar jatuh ke ta¬nah. Lalu, tewas dengan mata
mendelik dan lidah terjulur keluar.
Selesai menghabisi nyawa Katak Hijau, mayat
Senapati Malingkat tidak menemukan Setan Mata Api di
tempat itu. Rupanya, Setan Mata Api meng- nmbil
kesempatan itu untuk lari menyelamatkan diri Tidak
dipedulikannya nasib rekannya. -"Stan Mata Api merasa
lebih baik mencari selamat ketim- !>niig membantu
rekannya yang berarti memperta- ruhkan nyawa yang cuma
satu-satunya.
"Ke mana pun kau pergi aku akan bisa me-
Tn'inukanmu, Setan Mata Api...," desah parau ma- ynl
Senapati Malingkat.
***
Saat memperoleh kesadarannya kembali, yang
pertama kali didengar Panji adalah suara tawa ce- kikikan.
Panji membuka matanya periahan sambil mengingat-ingat
apa yang telah dialaminya. Semua- nya menjadi jelas
sewaktu pandangannya menemu- kan dua wajah
perempuan. Si nenek berambut ri- ap-riapan dan muridnya.
"Hih hih hih. .. Aku sengaja menyadarkanmu, Pendekar
Naga Putih!" suara si nenek terdengar melengking. "Terus
terang aku membutuhkan da- rahmu. Itu hanya bisa
kuperoleh dengan jalan membunuhmu. Kecuali jika kau
bersedia berhu- bungan dengan muridku ini," lanjutnya
seraya me- nunjuk Murni yang berdiri di sampingnya.
Panji menatap kedua perempuan itu bergan-
Ban.
"Jadi, kau dan muridmu adalah manusia-ma- nusia
peminum darah? Dan yang akan kalian jadi- kan korban
kali ini adalah aku."
"Kami bukan sebangsa manusia seperti yang kau duga
itu, Pendekar Naga Putih," si nenek menggelengkan
kepala. "Muridku mengidap satu penyakit aneh. Satu-
satunya obat yang dapat me- nyembuhkannya hanyalah
darahmu. Muridku harus meminum darahmu."
"Mengapa hams darahku?" tanya Panji pena- saran.
"Apa istimewanya? Mengapa tidak darahmu saja? Lagi
pula, penyakit aneh macam apa yang cara mengobatinya
hams meminum darah manu sia?"
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga
Putih," si nenek tersenyum mengejek. "Aku tidak bisa
dibohongi. Dan aku tahu dalam tubuhmu mengalir darah
naga siluman yang sangat mukjizat. Itu sebabnya aku
membutuhkan darahmu."
Panji terkejut. Bagaimana nenek itu bisa me-
ngetahuinya?
"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Apa kau lupa
kalau aku mempunyai kepandaian yang hlsa mengetahui
kejadian-kejadian masa lalu dan yang akan datang?"
Ucapan si nenek membuat Panji teringat dengan
pengalamannya di masa lalu. Memang tidak seluruhnya
dapat diingat dengan jelas. Karena, saat menghadapi naga
siluman ia tidak dapat berpikir dengan baik. Itu terijadi
sewaktu Panji hendak memetik sebuah tanaman langka.
(Mengenai peristiwa itu pembaca dapat mengikutinya
dalam episode : Bunga Abadi Di Gunung Kembaran).
"Nanti dulu. Nek," pinta Panji seraya bergerak untuk
duduk. "Kalau boleh aku tahu, penyakit apa sebenarnya
yang diderita muridmu itu?"
"Awal dari penyakit muridku terjadi pada lima tahun
silam," si nenek memulai ceritanya. "Saat itu aku masih
berhubungan dengan Setan Tua Gila. Tapi jangan kau
samakan Setan Tua Gila yang dulu dengan sekarang. Dulu
pikiran kakek itu masih waras. Cuma julukannya saja Setan
Tua Gila. Itu karena wataknya yang memang kadang
kurang lumrah. Dan kalau sekarang jalan pikirannya
seperti anak-anak, itu ada hubungannya dengan penyakit
yang diderita muridku."
Nenek yang mengaku bemama Suri Gandil itu
kemudian berhenti sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam.
Dia lalu tercenung sejenak seolah hendak mengumpulkan
seluruh ingatannya tentang pe ristiwa itu.
"Waktu itu aku dan Setan Tua Gila masih hidup dalam
satu atap. Kami saling mencintai. Meskipun belasan tahun
menjalani hidup layaknya sepasang suami istri, tapi kami
tidak menikah. Waktu itu aku belum mempunyai murid.
Malah, aku tidak pemah mempunyai niat untuk mengambil
murid. Niat itu baru muncul setelah Setan Tua Gila pergi
meninggalkan aku. Kakek keparat itu ternyata makhluk
serakah! Dia tega mencampakkan diriku begitu saja hanya
karena saking gilanya dengan ilmu silat!"
Panji diam tidak menanggapl. Sekarang ia baru
mengerti mengapa sewaktu pertama kali menyebut nama
Setan Tua Gila, sorot mata Nenek Suri Gandil menyiratkan
dendam dan sakit hati.
"Pendekar Naga Putih," tiba-tiba Nenek Suri Gandil
berkata. "Coba kau terka berapa kira-kira usia muridku
ini?"
Panji tidak segera menjawab. Pandangannya segera
dialihkan ke wajah Murni. Ditatapnya wajah gadis cantik itu
sambil menaksir-naksir.
"Mungkin sekitar dua puluh dua tahun," terka Panji.
Nenek Suri Gandil tertawa cekikikan.
"Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan usia
Murni sebenarnya baru dua belas tahun!"
"Dua belas tahun?!" desis Panji tak percaya. Nenek
Suri Gandil pasti hendak mempermainkannya. Siapa mau
percaya kalau sosok gadis yang dilihat seperti orang
dewasa itu baru berusia dua belas lahun?
"Aku tidak berdusta, Pendekar Naga Putih. Lima tahun
silam, setelah Setan Tua Gila meninggalkanku, Murni baru
berusia tujuh tahun. Bakatnya dalam ilmu silat kulihat
sangat besar sekali. Dia kuselamatkan dari keganasan
bencana alam yang merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Pertumbuhannya memang tidak wajar. Dan, itu ada
hubungannya dengan penyakit yang dideritanya."
"Hhh.... Sungguh sukar untuk dipercaya...," Panji
menggeleng seraya kembali memperhatikan Murni.
Kesungguhan Nenek Suri Gandil membuat Panji mau tidak
mau harus percaya juga.
***
DELAPAN
"Lima tahun silam aku dan Setan Tua Gila membunuh
seorang tokoh sakti yang bermukim di salah satu pulau di
Lautan Timur," Nenek Suri Gandil melanjutkan kisahnya.
"Sebenarnya kalau tokoh itu mau melawan, kami berdua
pasti dapat dibunuhnya dengan mudah. Tapi hal itu tidak
dilakukannya. Ia telah bersumpah untuk tidak
menggunakan ilmu silatnya lagi Menurutnya, ilmu silat
hanyalah pembawa bencana. Karena kepandaian silat
itulah dia harus kehilangan istri dan dua orang anaknya. la
sendiri waktu itu tengah berkelana untuk memperdalam
ilmu. Dan ia sangat terpukul ketika kembali ke tempat
kediamannya, hanya pusara ketiga orang yang dicintainya
itu saja yang dijumpai. Kematian orang-orang yang
dicintainya membuat jiwanya terguncang. Ia menyalahkan
dirinya sendiri karena lebih mementingkan ilmu silat
ketimbang keluarganya. Puluhan tahun tokoh itu
menyembunyikan diri di salah satu pulau terpencil di
Lautan Timur. Dan dia bersumpah di depan makam istri
dan anak- anaknya untuk tidak menggunakan ilmu silatya
lagi. Karena tahu tentang sumpahnya itulah, maka kami
berani mendatangi tempat tinggalnya. Tokoh itu tidak
memberikan perlawanan sedikit pun hingga dengan mudah
kami membunuhnya. Lalu, kami membawa pergi beberapa
kitab ilmu silat miliknya. Kami tidak peduli dengan kutuk
yang diucapkannya sesaat sebelum menghembuskan
napas terakhir. Kitab-kitab ilmu silat itu hanya akan
mendatangkan kesengsaraan bagi kami, begitu bunyi
kutuk yang diucapkannya."
Nenek Suri Gandil menghentikan ceritanya. Diliriknya
sekilas wajah Murni yang kelihatan agak tegang. Sesaat
kemudian, nenek itu melarrjutkan kisahnya kembali.
"Sungguh tidak kusangka kalau kutuknya itu akan
menjadi kenyataan! Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku
dengan membawa beberapa buah kitab. Perbuatan Setan
Tua Gila itulah yang membuatku mulai mempercayai
kutukan tersebut. Perasaan was-was akan kutukan itu
membuat aku tidak berani mempelajari isi kitab yang
kubawa. Aku hanya membaca dan menghapal isinya. Suatu
hari aku menemukan Murni tengah menangisi mayat orang
tuanya yang tertimpa runtuhan rumah akibat gempa.
Ketika melihat bakat yang ada dalam dirinya, timbullah
satu pikiran di benakku. Murni akan kudidik dengan ilmu
silat yang terdapat dalam kitab tokoh hebat itu. Hendak
kulihat apa yang akan terjadi jika Murni mempelajari isi
kitab itu."
Nenek Suri Gandil menatap Murni dengan perasaan
bersalah. Mumi sendiri cuma tersenyum pahit. Gadis itu
tidak menyalahkan gurunya kendati jelas-jelas betapa
selama ini ia hanya dijadikan percobaan.
"Kutuk tokoh itu ternyata menjadi kenyataanl" Nenek
Suri Gandil melanjutkan. Suaranya terdengar agak parau.
"Mula-mula aku tidak begitu memperhatikan ketika Murni
tumbuh dengan cepat. Dua tahun kemudian, Murni
mengeluh tentang rasa nyeri yang kadang menyiksa
dirinya. Tubuhnya seperti ditusuki ratusan jarum-jarum
halus. Pada tahun ketiga, di sekujur tubuh Murni muncul
bintil- bintil merah yang mengandung air. Dan pada usia
sepuluh tahun itu, tubuh Murni tak ubahnya dengan usia
tujuh belas tahun. Penderitaan Mumi membuat aku
berpikir tentang kejahatan-kejahatan yang telah kulakukan.
Aku telah banyak menimbulkan kesengsaraan pada orang
lain. Akhirnya, aku berjanji kepada diri sendiri untuk
meninggalkan jalan sesat. Dan aku bersumpah untuk
menyembuhkan penyakit Murni. Sampai kemudian aku
memperoleh petunjuk tentang darah naga siluman yang
mukjizat Darah itu mengalir dalam tubuh seorang pemuda.
Ternyata... bukan cuma itu saja penyakit yang diderita
Murni. Sejak memasuki tahun kelima, pada setiap malam
bulan purnama salah satu bintil di tubuh Murni akan
membesar seperti bisul. Sakitnya sulit sekali untuk
kugambarkan. Murni akan meraung-raung karena rasa
sakit yang menyiksa... "
"Tapi, aku tidak melihat adanya bintil-bintil ataupun
blsu! pada wajah dan tangan Murni?" Panji memotong
cerita Nenek Suri Gandil. Pemuda itu agaknya meragukan
kebenaran cerita si nenek
"Setelah melihat kelainan pada diri Murni, aku
berusaha mengobatinya. Meskipun tidak sempurna tapi
usahaku tidak terlalu mengecewakan," jawab Nenek Suri
Gandil. "Sayang, hasil kerja kerasku selama hampir tiga
tahun hanya mampu melenyapkan penyakit itu untuk
sementara. Tiga hari menjelang purnama bintil-bintil itu
akan kembali muncul. Dan sekarang benjolan yang seperti
bisul telah berjumlah enam buah. Dua di atas payudara,
dua di kiri-kanan pusar, sedang dua lainnya di wajah. Tepat
di atas kedua tulang pipi. Bayangkan, Pendekar Naga
Putih. Bagaimana pedih dan tersiksanya hati seorang gadis
jika mendapati wajahnya dihiasi dua benjolan kemerahan
yang mengandung darah bercampur nanah."
"Nek," ujar Panji selesai Nenek Suri Gandil bercerita.
"Tidak adakah pengobatan cara lain selain meminum
darahku?"
Nenek Suri Gandil menggeleng pelan.
"Dengan meminum darahmu, berarti kekuatan
mukjizat darah naga siluman akan memenuhi seluruh jalan
darah di tubuh Murni. Lalu, darah mukjizat ltu akan bekerja
memusnahkan sumber penyakit di dalam tubuh muridku."
"Tapi, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada setetes
pun darah naga siluman yang mengalir di tubuhku...."
"Eh, kau hendak mengingkari janjimu, Pendekar Naga
Putih!" Nenek Suri Gandil menukas dengan sorot mata
berkilat. "Jangan kau kira aku bisa dibohongi. Aku bisa
merasakan darah mukjizat itu menyatu di dalam tubuhmu."
"Kekuatan mukjizat Naga Langit memang kuakui
mengalir di seluruh tubuhku. Tapi bukan darah Nek,
melainkan sesuatu yang berupa tenaga mukjizat Naga
Langit menyatu dalam diriku berupa satu kekuatan," Panji
menjelaskan dengan agak terburu- buru, khawatir Nenek
Suri Gandil akan memotong penjelasannya.
"Bukan darah?! Tenaga mukjizat?!"
Nenek Suri Gandil kelihatan kecewa. Ia memang tidak
tahu jelas tentang sesuatu yang dirasakannya mengalir
dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Nenek Suri Gandil
memastikan kalau sesuatu itu adalah darah. Sungguh
tidak pernah terpikir kalau sesuatu tersebut sebenarnya
kekuatan mukjizat Pedang Pusaka Naga Langit, yang bisa
menjelma menjadi seekor naga.
"Benar, Nek," tegas Panji dengan perasaan lega. "Aku
bisa memindahkannya ke tubuh Mumi tanpa harus kau
bunuh."
Nenek Suri Gandil dan Murni sampai terpekik.
Keduanya berpelukan dengan penuh kegembiraan. Tapi,
beberapa saat kemudian Nenek Suri Gandil melepaskan
pelukannya. Ditatapnya Panji dengan wajah gelisah.
"Tapi... aku tidak bisa menentukan sampai berapa
lama Murni memerlukan tenaga mukjizat itu, Pendekar
Naga Putih."
"Tidak apa-apa, Nek," Panji tersenyum. "Aku tidak
keberatan meminjamkan tenaga mukjizat itu sampai Murni
benar-benar sembuh. Lagi pula tenaga mukjizat itu tidak
bisa dikendalikan orang lain. Jika Murni sudah sembuh,
dengan sendirinya kekuatan mukjizat itu akan kembali
kepadaku."
***
Seperti tidak mengenal lelah, Setan Mata Api lerus
berlari. Tak peduli jarak dan waktu yang sudah
lllempuhnya. Yang ada dalam pikirannya adalah heilari
sejauh-jauhnya menghindari mayat hidup enapati
Malingkat.
Ketika tengah berlari melintasi kaki sebuah anak bukit,
tiba-tiba satu pikiran melintas di benak Setan Mata Api.
Satu harapan baru yang membuat semangatnya bangkit.
Lalu, dengan sisa-sisa tenaga di dakinya lereng anak bukit
Itu, sampai ia tiba di depan sebuah bangunan yang cukup
megah. Kepada penjaga pintu gerbang Setan Mata Api
minta diantarkan untuk menemui pemilik bangunan.
"Hoa ha ha.... Apa yang sudah terjadi denganmu, Setan
Mata Api?" tanya seorang lelaki tinggi besar dan berkulit
hitam sewaktu melihat keadaan Setan Mata Api yang telah
duduk di hadapannya. "Ada keperluan apa kau tiba-tiba
datang kepadaku?"
"Maafkan kelancanganku. Raja Sesat Utara," Setan
Mata Api menjura dalam-dalam. "Terus terang aku sangat
membutuhkan pertolongan. Aku...hendak meminta
perlindungan darimu."
Lelaki tinggi besar yang ternyata gembong tokoh sesat
di daerah utara itu nampak mengerutkan kening. Sorot
matanya mengeluarkan cahaya yang berkilat-kilat. Raja
Sesat Utara kelihatan sangat marah.
"Hra.... Apa yang hendak kau berikan sebagai
imbalannya, Setan Mata Api?! Jika itu tidak sangat
berharga, kepalamu akan kupisahkan dari tubuhmu! Ini
sama saja dengan menghina aku!"
Setan Mata Api mengangguk berulang-ulang. la tentu
saja maklum dengan siapa sedang berhadapan. Ucapan itu
bukan hanya gertakan kosong. Maka, diceritakannya
tentang harta rampokan yang telah dirampas Raja Sesat
Selatan.
Brakkk..!
Suara meja kayu jati yang pecah berhamburan akibat
hantaman telapak tangan Raja Sesat Utara membuat
Setan Mata Api betjingkrak kaget. Dia jatuh telentang
dengan paras pucat-pasi.
"Bedebah kurang ajar kau, Setan Mata Api!" bentak
Raja Sesat Utara. Tokoh tinggi besar ini sudah bangkit dari
duduknya. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sinar mata
mencorong. "Jadi, kau rupanya yang telah berani lancang
merampok harta kiriman raja tanpa sepengetahuanku!"
Belum juga gema suara bentakannya lenyap, Raja
Sesat Utara sudah melompat ke depan. Sekali langannya
bergerak, tubuh Setan Mata Api telah diangkatnya.
"A-apa...?! Mengapa...?!" Setan Mata Api merasa
jantungnya serasa copot.
"Tahukah kau, gara-gara perbuatanmu itu aku
dldatangi tiga orang utusan raja. Dan mereka bukan orang
sembarangan yang bisa dibuat main-main! Mereka adalah
Senapati Wanalaga. Pejabat tinggi yang paling berpengaruh
di istana. Dan juga dua orang jago nomor satu istana!" ujar
Raja Sesat Utara yang membuat tubuh Setan Mata Api
menggigil. Mereka mencari orang bernama Malingkat.
Mulanya aku tidak kenal dengan orang itu. Tapi setelah
cirri-cirinya mereka sebutkan, baru aku tahu kalau
Malingkat ternyata si Jari Beracun! Ia mengaku berasal dari
daerah utara ini Maka, kesinilah mereka mencari. Dan jika
aku tidak bersedia membantu menemukan si keparat Jari
Beracun itu, mereka akan menangkapku dengan tuduhan
hendak memberontak terhadap kerajaan. Aku akan
dihukum gantung, tahu!"
"T tapi... harta itu... sangat banyak sekali, Raja Sesat.
Kau akan hidup dalam gelimang kesenangan jika mau
merampasnya dari tangan Raja Sesat Selatan. Kau...."
"Diaaam...!" Raja Sesat Utara membentak. "Kau tahu
untuk apa harta itu sebenarnya, hah? Harta itu adalah
hadiah untuk melamar putri kerajaan tetangga. Tentu saja
sangat banyak jumlahnya. Aku tidak mau terlibat dalam
urusan celaka ini. Dan untuk menunjukkan ketidak
terlibatanku, kau akan kuserahkan kepada ketiga tokoh
penting istana itu, Akan kuberitahukan kepada mereka di
mana harta itu sekarang berada!"
Setan Mata Api merasa nyawanya terbang seketika.
Maksudnya hendak mencari perlindungan, tapi ternyata
malah menghampiri kematian. Pihak istana ternyata telah
mencurigai Senapati Malingkat Maklumlah Setan Mata Api
kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia tidak
melawan ketika Raja Sesat Utara membawanya untuk
diserahkan kepada Senapati Wanalaga.
Raja Sesat Utara baru saja tiba di kaki bukit, ketika
tahu-tahu saja di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh.
Hidungnya dikernyitkan saat mencium bau busuk bangkai
yang memualkan perut. Raja Sesat Utara tidak jadi
menegur sosok itu ketika didengarnya teriakan Setan Mata
Api.
"D-dia... d-dia... mayat hidup Senapati Malingkat..!"
Setan Mata Api menuding sosok penghadang dengan
sekujur tubuh gemetar. Deraan rasa takut yang hebat
membuat Setan Mata Api meronta dalam cekalan Raja
Sesat Utara. Tak peduli kendati Kaja Sesat Utara
mengancam akan membunuhnya saat itu juga. Bagi Setan
Mata Api, sosok mayat Senapati Malingkat jauh lebih
menakutkan ketimbang Raja Sesat Utara.
"Dam kau, Bedebah Tolol!"
Karena jengkel. Raja Sesat Utara membanting tubuh
Setan Mata Api ke tanah. Kalau dalam keadaan biasa,
bantingan Raja Sesat Utara yang sangat ku.nl itu pasti
akan membuat Setan Mata Api meringkuk kesakitan. Tapi
semua itu tidak dirasakannya. Sosok mayat hidup Senapati
Malingkat lebih menarik perhatiannya. Setan Mata Api
langsung bangkit dengan sangat kalap. Bergegas tubuhnya
dibalikkan hendak lari menyelamatkan diri.
Tapi baru saja bergerak dua langkah, mayat Senapati
Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Sosok itu melesat
dengan geiakan kaku namun cepat luar biasa. Raja Sesat
Utara sendiri sampai tidak sempat berbuat apa-apa. Tahu-
tahu jari-jari berbau busuk yang sudah membengkak itu
menjambret leher baju bagian belakang Setan Mata Api.
"Tolooong...!" Saking ngerinya, Setan Mata Api sampai
berteriak seperti anak kecil. Lupa kalau dirinya seorang
tokoh sesat yang kejam dan ditakuti.
"Hei, berhenti!" Raja Sesat Utara berusaha mencegah.
Bukan karena kasihan kepada Setan Mata Api, tapi karena
ia membutuhkan tokoh sesat itu untuk membuktikan
kepada pihak istana kalau dirinya tidak terlibat dalam
perampokan harta kerajaan. "Jangan main gila dengan
Raja Sesat Utara!" ancamnya.
Mayat hidup Senapati Malingkat mana bisa ditakut
takuti. Tanpa peduli, tangan kanannya langsung
mencengkeram batok kepala Setan Mata Api.
Prakkk...!
Perlahan saja jari-jari tangannya meremas. Namun,
akibatnya sangat mengerikan sekali. Raja Sesat Utara
sampai terbelalak. Remasan jari-jari mayat hidup Senapati
Malingkat membuat batok kepala Setan Mata Api remuk.
Hal itu rupanya masih belum cukup. Jari-jari tangan yang
semula mencengkeram leher baju belakang ditusukkan ke
tulang belikat sebelah kiri, hingga melesak sampai
pergelangan. Dan sewaktu ditarik keluar, dalam
genggaman tangannya nampak sebuah benda sebesar
kepalan yang penuh dengan darah dan masih berdenyut
lemah. Jantung Setan Mata Api!
"Iblisss...!" Raja Sesat Utara mendesis ngeri. Meskipun
terkenal sangat kejam, namun Raja Sesat Utara merasa
ngeri juga menyaksikan perbuatan mayat hidup Senapati
Malingkat.
Mayat Senapati Malingkat cuma mengeluarkan
desahan panjang. Ditolehnya Raja Sesat Utara. Bola mata
yang memancarkan cahaya kehijauan itu imenyorot tajam.
"Hmhhh...!"
Raja Sesat Utara menggeram untuk meredam kegerian
di hatinya. Kedua tangannya dikepalkan. Kemudian,
dipasangnya kuda-kuda. Siap menghadapi mayat hidup
Senapati Malingkat yang sudah menunjukkan tanda-tanda
hendak menyerang.
Diawali suara napas besar mayat Senapati Malingkat
melesat kaku. Sepasang tangannya dijulurkan dengan jari-
jan terbuka. Siap mencekik leher Raja Sesat Utara Namun,
kendati terganggu bau busuk bangkai Raja Sesat Utara
masih bisa menghindar Bahkan membalas dengan tiga
pukulan yang susul-menyusul.
Buk! Buk! Buk!
Tiga pukulan itu mendarat telak di dada, perut, dan
lambung. Jangankan sampai terpental, bergeming pun
mayat Senapati Malingkat tidak. Justru Raja Sesat Utara
sendiri yang menjerit kesakitan. Tenaga pukulannya
membalik. Kedua lengannya terasa seperti lumpuh, hingga
untuk beberapa saat tidak bisa digerakkan. Tubuh mayat
yang dipukulnya itu dirasakan kenyal bagai sebongkah
karet.
Dan belum lagi Raja Sesat Utara sempat berbuat
sesuatu, tahu-tahu batang lehernya telah dicengkeram jari-
jari sekeras jepitan baja. Bersamaan dengan remasan di
lehernya, Raja Sesa Utara merasakan sesuatu menembus
dada kirinya. Raung kesakitannya merobek langit sewaktu
jantungnya dibetot keluar.
"Hei...?!"
Mayat hidup Senapati Malingkat sudah melepaskan
tubuh Raja Sesa Utara yang melorot ke tanah sewaktu
teriakan itu terdengar. Diputarny tubuh menghadapi tiga
sosok yang berlarian mendatangi.
Raung kematian yang menggetarkan hati itu membuat
langkah Pendekar Naga Putih, Nenek Suri Gandil, dan
Mumi terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama
lain.
"Entah kematian macam apa yang dialami ma nusia itu
sampai-sampai suara jeritannya membuat bulu kuduk
berdiri," ujar Nenek Suri Gandil. "Aku Jadi ingin tahu. Ayo,
kita lihat."
Nenek Suri Gandil langsung saja melesat menuju
tempat asal suara. Panji dan Murni tentu saja tidak mau
ketinggalan. Keduanya mengikuti langkah Nenek Suri
Gandil. Tidak berapa lama ketiganya tiba di tempat mayat
hidup Senapati Malingkat berada. Suara raung kematian
yang mereka dengar berasal dari Raja Sesat Utara. Tiba di
tempat itu mereka melihat empat sosok tubuh tengah
saling berhadapan. Selisih waktu kedatangan mereka
dengan tiga sosok pertama, yang bukan lain Senapati
Wanalaga dan dua orang jagoan istana, memang tidak
terlalu lama. Tiga tokoh penting istana itu langsung
menoleh sewaktu mendengar suara langkah kaki orang
mendatangi dari belakang mereka.
"Hih hih hih.. . Rupanya di tempat ini sedang ada pesta
meriah yang dihadiri tokoh-tokoh penting istana!" Nenek
Suri Gandil berkata sambil berlari menghampiri keempat
sosok tubuh itu.
Celoteh Nenek Suri Gandil tidak ditanggapi Senapati
Wanalaga dan kedua rekannya. Mereka tengah dilanda
ketegangan hebat setelah mengenali siapa sosok yang
telah membunuh Raja Sesat Utara. Tak satu pun dari
mereka yang mengeluarkan suara.
"Hei...?!" Tiba-tiba, Panji berseru seraya menuding
sosok mayat Senapati Malingkat "Aku pernah melihat
orang itu! Dia adalah salah satu mayat yang kutemukan di
Bukit Dampit?!"
"Dia memang Senapati Malingkat...," Senapati
Wanalaga menjelaskan.
"Hih hih hih...! Aku tahu sekarang!" Nenek Suri Gandil
mendekati Panji dan Murni. Kemudian bisiknya, "Ini adalah
pekerjaan Setan Tua Gila. Dia membangkitkan mayat
Senapati Malingkat. Seperti yang telah kuceritakan
kepadamu, Pendekar Naga Putih. Ilmu membangkitkan
mayat itu berasal dari kitab yang pernah kami curi. Itu
berarti Setan Tua Gila berada di sekitar tempat ini. la harus
mengendalikan mayat Senapati Malingkat"
Nenek Suri Gandil berhenti sebentar. Dipandanginya
wajah mayat Senapati Malingkat. Beberapa saat kemudian
nenek itu terlihat mengangguk- ngangguk.
"Setan Tua Gila berada di lereng bukit sebelah
selatan," bisiknya kemudian kepada Panji dan Murni.
"Sementara aku dan tiga tokoh kerajaan itu menghadapi
mayat hidup ini, kalian berdua pergilah dan bunuh tua
bangka keparat itu! Tanpa membunuh Setan Tua Gila,
mayat hidup ini tidak akan bisa dikalahkan."
Lalu, Nenek Suri Gandil bergegas menghampiri mayat
hidup Senapati Malingkat. Diberikannya isyarat kepada
ketiga tokoh kerajaan untuk membantunya.
Sementara Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh Istana itu
siap menghadapi mayat hidup Senapati Malilngkat, Panji
dan Murni bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka
menuju lereng bukit sebelah Selatan. Tidak sulit bagi Panji
dan Mumi untuk menemukan Setan Tua Gila. Dari
kejauhan mereka sudah melihat sesosok tubuh tengah
duduk bersila di dekat tepi sungai. Sosok itu bukan lain
dari Setan Tua Gila yang pernah dijumpai Panji.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang Panji?" Murni
berbisik kepada Panji, sementara pandangannya tertuju
pada sosok Setan Tua Gila. Kakek itu tengah bersemadi
dengan kedua mata teipejam.
"Tunggu saja dulu. Lihat apa yang akan dilakukan
Setan Tua Gila selanjutnya," jawab Panji.
Tidak berapa lama Panji serta Murni menyaksikan
tubuh Setan Tua Gila bergetar. Kedua lengannya
dikembangkan. Diputar ke atas dan ke bawah, sementara
mulutnya berkemak-kemik seperti tengah membaca
mantera.
"Sekarang...!"
Panji memberi isyarat setelah memberikan petunjuk
kepada Murni cara menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' yang telah dipinjamkannya untuk sementara waktu.
Sedang ia sendiri mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'. Mereka berdua harus menggencet
Setan Tua Gila dari depan dan belakang dengan
menggunakan kekuatan mukjizat yang berlainan unsur itu.
"Haiiittt...!"
Dari belakang, Murni membentak seraya
mendorongkan kedua telapak tangannya. Sinar kuning
keemasan melesat dari tangannya. Serangkum hawa
panas maha dahsyat Itu menderu ke arah lambung kiri-
kanan Setan Tua Gila.
"Hyahhh...!"
Pada saat bersamaan Pendekar Naga Putih berseru
keras. Kedua telapak tangannya didorongkan dengan
gerak menyilang. Satu ke arah ubun- ubun, sedang satunya
lagi menuju bagian bawah perut. Angin dingin laksana
badai salju menderu luras. Malah, tubuh Panji sampai
menggigil. Dalam serangan itu ia memang mengerahkan
tenaga hingga ke puncak.
Bressshhh...!
Dua kekuatan raksasa menghantam dari depan dan
belakang tubuhnya. Setan Tua Gila terdengar
mengeluarkan suara seperti orang tercekik! Tubuhnya
mengejang sesaat. Lalu, dengan sebuah teriakan
mengguntur kedua tangannya didorongkan ke depan dan
belakang.
Pendekar Naga Putih dan Murni sama terpekik kuat
Kekuatan dahsyat yang dilontarkan Setan Tua Gila
membuat tubuh mereka terlempar satu tombak lebih.
Kemudian, jatuh terguling-guling di tanah. Beruntung tubuh
mereka dilapisi cahaya mukjizat. Sehingga, hantaman
tenaga dahsyat Setan Tua Gila tidak sampai menimbulkan
luka parah.
Meskipun begitu, beberapa saat lamanya mereka
seperti lumpuh. Telentang di tanah berumput dengan
napas tersengal dan wajah agak pucat.
Mereka baru dapat bergerak bangkit bersamaan
dengan munculnya Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh
istana.
"Nek, Setan Tua Gila itu... "
"Dia sudah ko'it."
Nenek Suri Gandil langsung menukas ucapan Panji. Si
nenek menghampiri Setan Tua Gila yang masih duduk
dalam keadaan bersila. Kedua tangannya terkembang ke
depan dan belakang. Namun begitu disentuh ujung jari
Nenek Suri Gandil, tubuh Setan Tua Gila langsung hancur
menjadi abu.
"Setan Tua Gila rupanya paman guru Setan Mata Api,"
ujar Nenek Suri Gandil kepada Panji. "Tidak heran kalau ia
mencegahmu sewaktu hendak melewati Bukit Dampet.
Setan Mata Api dan Katak Hijau menghubungi Setan Tua
Gila lalu mengajaknya bersekongkol. Dasar orang-orang
serakah, setelah berhasil mereka meninggalkan Setan Tua
Gila. Keduanya hendak mengangkangi harta itu sendiri.
Setan Tua Gila menjadi sakit hati. Dan karena Setan Mata
Api dan Katak Hijau merencanakan semua itu bersama
Senapati Malingkat, maka mayat senapati itu digunakan
Setan Tua Gila untuk membalas pengkhinatan orang-orang
serakah itu."
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam diam ia
merasa bersyukur telah bertemu dengan Nenek Suri
Gandil. Meski pada mulanya sempat merepotkan epotkan
Panji, tapi kemudian nenek itu malah membantunya
menghancurkan keangkaramurkaan.
"Mengenai harta itu bagaimana, Nek? Apa sudah
ditemukan?" tanya Panji ketika teringat harta kerajaan,
yang sedianya akan dipergunakan untuk melamar putri
kerajaan sahabat.
"Mulanya aku sempat pusing juga melihat Setan Mata
Api sudah tewas. Tapi..., kau tahu sendiri kan aku bisa
mengetahui sesuatu dengan membaca wajah orang. Dari
wajah mayat Setan Mata Api Itulah aku mengetahui kalau
harta itu sekarang berada pada Raja Sesat Selatan."
Nenek Suri Gandil kemudian menoleh kepada
Senapati Wanalaga dan dua jago istana yang tersenyum
lebar.
"Kami akan mengurusnya. Raja Sesat Selatan pasti
tidak ingin digantung. Dan kalaupun ia berkeras tidak mau
menyerahkan harta itu, kami dengan mudah bias
memaksanya. Bawa saja seribu prajurit. Lalu, ratalah
tempat kediaman Raja Sesat Selatan” ujar Senapati
Wanalaga. Kemudian, disambung dengan tawanya yang
keras.
Semua yang berada di tempat itu jadi ikut tertawa.
Menyambuti kelucuan rencana Senapati Wanalaga...
SELESAI