..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR NAGA PUTIH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR NAGA PUTIH. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Februari 2025

SERIAL PENDEKAR NAGA PUTIH FULL EPISODE

 Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu


Selamat Datang Di Blog matjenuh khairil..Kali ini matjenuh khairil mau menshare lagi cerita silat pendekar Naga Putih Full Episode.. walaupun ada beberapa buku tidak ada tapi tak apalah yah di buat judul full episode


Semoga apa yang matjenuh khairil share di blog ini membawa kita kelak menuju surga dan bukan neraka.. karena disini matjenuh menshare saja dan keseluruhan cerita ini adalah karya daripada pengarang itu sendiri dan bukan karangan matjenuh 


Ambil Hikmah Baik Nya Dan Campakkan Yang Buruknya


Berikut ini Judul Serial Pendekar Naga Putih


matjenuh khairil


001. Tiga Iblis Bukit Tandur.pdf

002. Dedemit Bukit Iblis.pdf

003. Algojo Gunung Sutra.pdf

004. Partai Rimba Hitam.pdf

005. Jari Maut Pencabut Nyawa.pdf

006. Penghuni Rimba Gerantang.pdf

007. Raja Iblis dari Utara.pdf

008. Penjagal Alam Akherat.pdf

009. Mencari Jejak Pembunuh.pdf

010. Bunga Abadi di Gunung Kembaran.pdf

011. Memburu Harta Karun.pdf

012. Kelabang Hitam.pdf

13.pengembala mayat.pdf

014. Pusaka Bernoda Darah.pdf

015. Pendekar Murtad.pdf

016. Kecapi Perak dari Selatan.pdf

017. Serigala Siluman.pdf

018. Dewi Baju Merah.pdf

019. Asmara di Ujung Pedang.pdf

020. Bencana dari Alam Kubur.pdf

021. Hilangnya Pusaka Kerajaan.pdf

022. Tragedi Gunung Langkeng.pdf

023. Dewa Tangan Api.pdf

024. Macan Tutul Lembah Daru.pdf

025. Malaikat Gerbang Neraka.pdf

026. Rahasia Pedang Naga Langit.pdf

027. Sengketa Jago-jago Pedang.pdf

028. Laba-laba Hitam.pdf

029. Tersesat di Lembah Kematian.pdf

030. Dendam Pendekar Cacat.pdf

031. Terdampar di Pulau Asing.pdf

032. Kumbang Merah.pdf

033. Bidadari Iblis.pdf

034. Mustika Naga Hijau.pdf

035. Pendekar Gila.pdf

036. Misteri Desa Siluman.pdf

037. Keturunan Datuk-datuk Persilatan.pdf

038. Tewasnya Raja Racun Merah.pdf

039. Putra Harimau.pdf

040. Sepasang Mambang Lembah Maut.pdf

041. Hantu Laut Pajang.pdf

042. Terjebak di Perut Bumi.pdf

043. Darah Perawan Suci.pdf

044. Badai Rimba Persilatan.pdf

045. Pengemban Dosa Turunan.pdf

046. Petualangan di Alam Roh.pdf

047.TIDAK ADA BUKU NYA

048. Misteri Selendang Biru.pdf

049. Tumbal Perkawinan.pdf

050. Sang Penghancur.pdf

051. Petaka Kuil Tua.pdf

052. Penyembah Dewi Matahari.pdf

053. Pasukan Pembunuh.pdf

054. Racun Ular Karang.pdf

055. Panggung Kematian.pdf

056. Pembunuh Bayaran.pdf

057. Pemburu Nyawa.pdf

058. Majikan Pulau Setan.pdf

059. Sepasang Pedang Iblis.pdf

060. Goa Larangan.pdf

061. Pewaris Dendam Sesat.pdf

062. Penculik-penculik Misterius.pdf

063. Duel Jago-jago Persilatan.pdf

064. Gerombolan Setan Merah.pdf

065.TIDAK ADA BUKU

066. Siluman Gurun Setan.pdf

067. Jerat Peri Kembangan.pdf

068. Warisan Terkutuk.pdf

069. Tokoh Buronan.pdf

070. Gendruwo Rimba Dandara.pdf

071. Petualang Sakti.pdf

072. Pertarungan Dua Naga.pdf

073. Rase Perak.pdf

074. Misteri di Bukit Ular Emas.pdf

075. Perempuan-perempuan Lembah Hitam.pdf

076. Neraka Bumi.pdf

077. Altar Setan.pdf

078. Tinju Topan dan Badai.pdf

079. Tongkat Delapan Naga.pdf

080. Iblis Angkara Murka.pdf

081. Budak Nafsu Terkutuk.pdf

082. Tujuh Satria Perkasa.pdf

083. Perempuan Berbisa.pdf

084.TIDAK ADA BUKU

085. Setan Pantai Timur.pdf

086 TIDAK ADA BUKU

087.TIDAK ADA BUKU

088. Bayang-bayang Maut.pdf

089. Orang-orang Terbuang.pdf

090.TIDAK ADA BUKU

091.TIDAK ADA BUKU

092. Pengantin Ratu Pesolek.pdf

093.TIDAK ADA BUKU

94.TIDAK ADA BUKU

095. Utusan dari Neraka.pdf

096.TIDAK ADA BUKU

097. Pembalasan Topeng Tengkorak.pdf

098. Pembunuh Berdarah Dingin .pdf,

099,TIDAK ADA BUKU

0100.TIDAK ADA BUKU

0101,TIDAK ADA BUKU

0102.TIDAK ADA BUKU

0104. Perantauan ke Tanah India.pdf

O105.TIDAK ADA BUKU,

0106,TIDAK ADA BUKU

0107,TIDAK ADA BUKU

0108,TIDAK ADA BUKU

0109,TIDAK ADA BUKU

0110,TIDAK ADA BUKU

0111,TIDAK ADA BUKU

0112.TIDAK ADA BUKU

0113. Makhluk Haus Darah.pdf

Semoga bermanfaat Akhirulqalam

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu







Share:

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MAHKLUK HAUS DARAH

matjenuh

 

Serial Pendekar Naga Putih dalam episode :
MAKHLUK HAUS DARAH 
T. Hidayat
MAHLUK HAUS DARAH
CINTAMEDIA
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tuti S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode : Makhluk Haus Darah 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Seekor kuda berbulu hitam pekat melesat cepat bagai 
anak panah lepas dari busur. Penunggangnya berteriak-
teriak sementara tangannya sibuk melecutkan sisa tali 
kekang dalam genggaman. Nampaknya penunggang kuda 
hitam itu begitu terburu-buru. Mungkin karena ingin segera 
tiba di tempat tujuan, atau tengah berpacu dengan waktu 
yang saat itu sudah menjelang sore.
Di sebuah persimpangan jalan penunggang kuda hitam 
menarik tali kekang. Setelah sejenak merayapi keadaan 
sekitarnya, dia kembali menggebah binatang 
tunggangannya, Bukan ke kiri atau ke kanan, tapi lurus 
menerobos semak-semak. Tentu saja Iari kuda hitam itu 
tidak bisa cepat. Daerah yang dilalui bukanlah jalan yang 
biasa digunakan orang.
Setelah lebih kurang seratus tombak kemudian, 
perjalanan itu kembali dihentikan. Kali ini ia berhenti tepat 
di depan sebuah bangunan candi tua yang hampir
keseluruhannya rusak. Belum lagi ia melompat turun dari 
atas punggung kuda, dua sosok bayangan berkelebat. 
Tahu-tahu, si penunggang kuda merasakan tubuhnya 
terenggut hingga ia sampai terpekik kaget.
Penunggang kuda itu merasa pasti tubuhnya akan 
terbanting di tanah. Tapi pikirannya meleset. la jatuh 
dengan kedua kaki lebih dulu. Sebuah tangan kokoh 
mencengkeram leher bajunya. Tangan kokoh itu milik salah 
satu dari sosok bayangan yang tadi berkelebat dengan 
demikian cepat. Sosok itulah yang membetot turun tubuh 
penunggang kuda.
"A-aku... aku orang suruhan Senapati Malingkat...," 
penunggang kuda yang ternyata seorang lelaki empat 
puluh tahunan berkata gagap. Wajahnya nampak agak 
pucat. Diri penunggang kuda itu doyong ke depan kefika 
tangan yang mencengkeram leher bajunya menyentak 
dengan kasar.
Nama Senapati Malingkat ternyata cukup

berpengaruh. Cengkeraman tangan kokoh itu mengendur.
"Apa yang telah diperintahkannya kepadamu?!" Pemilik 
tangan kokoh bertanya dengan nada bengis. Ia seorang 
lelaki tinggi besar dengan otot-otot bertonjolan, 
menunjukkan kekuatannya yang besar. Wajahnya terhias 
brewok lebat. Sepasang matanya besar dan berwarna 
merah saga. Sorot mata itu mencerminkan watak yang 
kasar dan licik. Suatu gambaran bukan orang baik-baik.
"Uuntuk menemui kalian berdua," lelaki penunggang 
kuda masih gagap. Sambil berkata ia menggerakkan ekor 
matanya ke arah teman si brewok.
Sosok lelaki kedua ini tidak seseram si brewok. 
Tubuhnya gemuk, bahkan nyaris bulat. Kepalanya tidak 
ditumbuhi selembar rambut pun alias botak. Wajahnya 
bulat dengan daging pipi yang berlebihan hingga kedua 
matanya nyaris terpejam. Beralis tebal dan hitam. Mulutnya 
nampak seperti orang yang selalu tertawa. Tapi, ada satu 
keanehan yang tidak lumrah pada diri lelaki gemuk ini. 
Seluruh kulit tubuhnya berwama kehijauan!
"Kalian siapa yang kau maksudkan?" lelaki gemuk 
seperti kodok blentung itu bertanya. Suaranya kecil seperti 
suara perempuan.
"Katak Hijau dan Setan Mata Api," jawab penunggang 
kuda. "Aku membawa pesan dari beliau untuk kalian 
berdua." Diambilnya sesuatu dari balik pakaian kemudian 
diserahkannya kepada lelaki brewok
Setan Mata Api langsung saja menyambar bumbung 
bambu itu. Setelah melepaskan cengkeramannya pada 
leher baju penunggang kuda, buru-buru dibukanya penutup 
bumbung. Dari dalam bumbung dikeluarkannya gulungan 
daun lontar yang berisikan pesan Senapati Malingkat. 
Setan Mata Api terlihat mengangguk-angguk ketika mem-
baca pesan tersebut.
"Apa isi pesan Malingkat itu?" Katak Hijau bertanya 
ingin tahu. Dia adalah gembong kaum sesat yang sangat 
ditakuti. Sosok dan wajahnya boleh jadi bisa membuat 
orang tersenyum. Tapi. di balik wajah lucu ini justru

tersembunyi watak yang kejamnya melebihi iblis!
"Rezeki besar," sahut Setan Mata Api. "Dua hari lagi 
akan ada iring-iringan tentara kerajaan yang mengawal 
emas dan batu-batu mulia. Kau tahu berapa banyak harta 
yang mereka bawa?"
Katak Hijau mengerutkan kening. Sesaat kemudian 
kepalanya digelengkan.
"Harta itu dibawa dengan menggunakan dua buah 
kereta kuda!" lanjut Setan Mata Api, membuat Katak Hijau 
membelalakkan mata. "Nah, coba kau bayangkan berapa 
banyak harta yang ada di dalamnya."
Katak Hijau cuma bisa berdecak kagum sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. Si penunggang kuda 
terbengong-bengong. Sebelumnya ia memang tidak tahu isi 
pesan yang dibawanya.
"Eh, tapi tunggu dulu!" Tiba-tiba Setan Mata Api 
berujar. "Masih ada pesan lainnya..."
"Apa?" tanya Katak Hijau.
"Hadiah untuk orang yang membawa pesan ini."
"Biar aku yang memberikannya," Katak Hijau segera 
berpaling kepada penunggung kuda.
Perkataan Setan Mata Api tentu saja membuat hati si 
penunggang kuda berdebar girang. Tapi, ia berusaha 
sedapat mungkin menyembunyikan kegembiraan hatinya 
itu.
"Aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa," 
penunggang kuda berpura-pura menolak. "Bagiku asal 
pesan itu sudah sampai ke tangan kalian, aku sudah 
merasa senang."
"Heh heh heh.... Tidak baik menolak rezeki, Kawan. 
Apalagi kau sudah bersusah payah me- nVATiipaikan pesan 
ini. Untuk itu, tentu saja sangat pantas jika kau kami beri
hadiah," ujar Katak Hijau dengan ramah.
Sayang, penunggang kuda tidak mengetahui watak asli 
Katak Hijau. Dedengkot kaum sesat ini memiliki watak 
yang aneh luar biasa. Semakin ramah kata-katanya, maka 
itu merupakan pertanda kalau nafsu membunuhnya mulai

bangkit Dan sebelum penunggang kuda menyadari bahaya 
yang mengancam dirinya, Katak Hijau sudah mengulurkan 
jari-jarinya yang langsung mencengkeram leher 
penunggang kuda.
Krekkkh!
Sekali remas saja terdengarlah suara tulang-tulang 
patah. Ketika Katak Hijau menarik tangannya, tubuh 
penunggang kuda yang malang itu pun ambruk ke tanah. 
Tewas dengan mata terbeliak.
"Bagus!"
Suara pujian itu membuat Katak Hijau dan Setan Mata 
Api terkejut. Cepat keduanya menoleh ke arah datangnya 
suara. Sosok lelaki gagah yang muncul dari balik salah satu 
dinding candi membuat mereka terkejut bukan main.
"Malingkat?!"
Katak Hijau dan Setan Mata Api menyerukan nama itu 
dengan wajah membayangkan keheranan besar. 
Nampaknya mereka tidak percaya dengan penglihatannya. 
Sementara itu sosok lelaki gagah melangkah mendekati.
"Hei, mengapa kalian seperti melihat hantu di siang 
bolong? Aku masih hidup. Dan aku memang benar-benar 
Senapati Malingkat, orang yang telah mengirim pesan 
kepada kalian!" "Lelaki gagah itu mengembangkan kedua 
lengannya dan tersenyum lebar.
"Tapi mengapa kau berada di sini, Malingkat?" Setan 
Mata Api mengungkapkan keheranannya setelah beberapa 
saat meneliti sosok Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat tertawa pelan "Apa ada larangan
bagiku berada di tempat ini?" kilahnya.
"Bukan begitu maksud kami, Malingkat," kali ini Katak 
Hijau yang berkata. "Tapi...."
"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kau kata- kan, 
Katak Hijau," Senapati Malingkat buru-buru memotong. 
"Kalian tentu heran mengapa aku berada di sini; 
sedangkan pesan kukirim melalui orang lain. Begitu yang 
hendak kau katakan, bukan?"
Katak Hijau dan Setan Mata Api tidak menyahuti,

Mereka cuma menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menyuruh anak buahku untuk 
mengantarkan pesan itu. Hendak kulihat bagaimana
tanggapan kalian terhadap berita besar tersebut." ujar 
Senapati Malingkat memberikan keterangan.
“Jadi, kau sudah sejak tadi berada di sini dan
mengintai perbuatan kami?" Setan Mata Api tampak tidak 
senang dengan tindakan Senapati Malingkat
"Tidak!" Senapati Malingkat menggeleng dengan mulut 
tersenyum. Ketidaksenangan Setan Mata Api nampaknya 
tidak membuat ia terpengaruh. "Aku tiba sewaktu Katak 
Hijau hendak mencekik leher orang suruhanku. Semula 
pesan itu kuanggap cukup untuk mewakili diriku, tapi 
setelah orang suruhanku pergi, pikiran lain melintas di 
benakku. Pertama, aku khawafir orang suruhanku tidak 
berjumpa dengan kalian. Kedua, kupikir alangkah lebih 
baiknya jlka aku yang langsung datang menemui kalian di 
sini. Nah, itulah alasan mengapa aku sampai berada di 
sini. Jelas?"
Setan Mata Api mengangguk-anggukkan kepala. 
Tampaknya ia bisa menerima alasan Senapati Malingkat. 
Demikian pula dengan Katak Hijau. Apa yang dikatakan 
Senapati Malingkat memang tidak salah.
"Mengatur rencana bersama-sama memang jauh lebih 
baik. Apalagi yang harus dibicarakan adalah sebuah 
pekerjaan besar. Karena itu, kita harus merencanakannya 
dengan matang," ujar Setan Mata Api kemudian.
"Itulah sebabnya aku berada di sini," Senapati 
Malingkat kembali menegaskan. "Nah, marilah kita susun 
rencana untuk pekeijaan besar itu."
Sekejap kemudian ketiga orang itu memutar tubuh dan 
melangkah memasuki bangunan candi.
***
Katak Hijau dan Setan Mata Api termasuk orang-orang 
yang mengetahui siapa Senapati Malingkat sebenarnya.

Sangat sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Sebelum 
menjadi senapati, Malingkat sebenarnya seorang tokoh 
sesat ternama. Jari Beracun, itulah julukan Malingkat 
sewaktu masih malang-melintang di rimba persilatan.
Jari Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Sederetan 
nama tokoh tokoh terkenal golongan putih roboh di 
tangannya. Dengan perbuatannya itu namanya pun 
terangkat naik. Tapi meskipun tokoh- tokoh golongan putih 
telah mensejajarkan namanya dengan dedengkot kaurn 
sesat, hal itu belum membuat Jari Beracun menjadi puas. 
Golongan hitam pun harus mengakui keperkasaannya juga.
Keinginan itu bukan cuma dipikirkan, tapi 
dibuktikannya dengan tindakan. Dan demi ingin 
mendapatkan pengakuan tersebut, Jari Beracun Bdak 
segan-segan membunuh para dedengkot golongan hitam. 
Perbuatan Jari Beracun tentu saja mendatangkan tanda 
tanya besar di kalangan rimba persilatan. Golongan pufih 
maupun golongan hitam sa-ing mempertanyakan di mana 
sebenarnya Jari Beracun berpihak. Karena kedua golongan 
itu tidak puas, mereka lalu menganggap Jari Beracun seba-
gai musuh!
Jari Beracun kaget bukan main mendapati dua 
golongan itu mengincar dirinya. Tiba-tiba saja ia jadi 
mempunyai banyak musuh. Sadar kalau dirinya berada 
dalam bahaya, Jari Beracun akhirnya meninggalkan daerah 
utara. Jika ia nekat bertahan untuk tetap tinggal di derah 
asalnya itu, cepat atau lambat kematian pastl akan datang 
menjemput. Mereka yang mengincar kematiannya 
bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, dan Jari Beiacun 
belum mau buru-buru mati la masih belum puas 
merasakan kenikmatan hidup.
Dalam pelariannya Jari Beracun singgah di kotaraja. 
Adanya pengumuman bahwa kerajaan hendak 
mengadakan pemilihan untuk menjadi calon perwira, 
membuat Jari Beracun tertarik. la segera mendaftarkan 
diri. Jari Beracun menggunakan nama aslinya, Malingkat. 
Di tempat seperti ini dia merasa julukannya hanya akan

menimbulkan kesulitan.
Bukan cuma julukannya saja yang harus 
disembunyikan. Ciri ilmunya pun ia samarkan. Keganasan-
keganasan serangannya sengaja dirubah agar kelihatan 
lebih bersih dan menimbulkan kesan gagah. Tentu saja 
perubahan itu tidak sampai mengurangi keperkasaannya. 
Akhirnya Malingkat lulus dan mendapat jabatan sebagai 
perwira menengah. Beberapa tahun kemudian, berkat jasa-
jasanya serta pengabdiannya kepada kerajaan, Malingkat 
diangkat menjadi senapati.
Tapi karena pada dasarnya Malingkat memiliki watak 
yang tidak pernah puas, jabatan tinggi yang diperolehnya 
masih dirasanya belum cukup. Padahal, dengan 
jabatannya itu hidupnya sudah bergelimang kemewahan 
dan kesenangan. Ketika mendengar Raja hendak 
mengirimkan hadiah dalam jumlah hesar kepada kerajaan 
lain, sebuah rencana pun muncul di pikiran Senapati 
Malingkat.
Senapati Malingkat segera menghadap Raja, la 
meminta izin untuk menjenguk keluarganya di daerah 
utara. Tentu saja bukan itu alasan sebenarnya Senapati
Malingkat. la berangkat ke utara untuk menghubungi dua 
tokoh sesat yang ia tahu pasti akan tertarik dengan 
rencananya.
Perhitungan Senapati Malingkat memang tidak 
meleset. Katak Hijau dan Setan Mata Api sangat tertarik. 
Tanpa merasa perlu mempertimbangkan lagi, mereka 
langsung menyatakan persetujuannya. Senapati Malingkat 
berjanji akan menghubungi mereka kembali setelah 
memperoleh kepastlan kapan hadiah-hadiah itu akan 
dikirim. Dia juga menentukan di mana Katak Hijau dan 
Setan Mata Api harus menunggu.
***
Senapati Malingkat tengah sibuk membayangkan 
betapa rencananya akan berhasil dengan baik ketika

seorang prajurit datang menghadap . Senapati Malingka 
jengkel bukan main. Itu terlihat jelas pada wajah dan 
tatapan matanya. Prajurit yang nampaknya dapat
membaca tanda-tanda itu buru-buru melaporkan maksud 
kedatangannya. Senapati Malingkat diminta untuk segera 
menghadap raja.
"Kapan?!" tanya Senapati Malingkat dengan sisa-sisa 
kemarahan yang terpaksa harus ditelan.
Sekarang Tuanku Senapati," jawab prajurit itu seraya 
menghaturkan sembah.
Senapati Malingkat mendengus. Cuma itu yang bisa 
dilakukannya untuk menumpahkan kejengkelan hati. Tidak 
mungkin baginya menolak perintah Raja. Dengan hati 
diliputi tanda-tanya Senapati Malingkat bergegas 
menghadap raja.
"Senapati Malingkat," ujar Raja setelah Sena pati 
Malingkat menghaturkan sembah dan menganmbil tempat 
duduk. "Esok hadiah untuk kerajaan sahabat akan segera 
dikirim. Kau kutunjuk untuk mengepalai pengawalan 
hadiah itu."
Mendengar titah junjungannya berubahlah paras 
Senapati Malingkat. la sangat terkejut sekali. Sungguh 
tidak pernah dibayangkannya Raja akan menunjuk dirinya 
untuk mempimpin pengawalan hadiah itu. Saking kagetnya 
Senapati Malingkat sampai tidak bisa bicara beberapa saat 
lamanya.
Ampun beribu ampun, Gusti Prabu," Senapati 
Malingkat menghaturkan sembah. "Bukankah Gusti Prabu
sudah menunjuk Senapati Wanalaga sebagai pimplnan 
pengawalan? Bukan maksud hamba menolak perintah 
Paduka, tapi... hamba merasa tidak enak terhadap 
Senapati Wanalaga."
"Hhm... Buang pikiran itu jauh-jauh, Senapati Malingkat
Raja menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Justru 
engkau kutunjuk karena Senapati Wanalaga tidak bisa 
melakukannya. Dia sudah kutugaskan menangani 
kekacauan di perbatasan selatan. Setelah Senapati

Wanalaga, kaulah yang paling bisa diandalkan dari yang 
lainnya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagimu untuk menolak 
Sekarang siapkan saja segala keperluanmu. Dua belas 
prajurit-prajurit pilihan akan menyertaimu."
Senapati Malingkat tidak bisa berkata apa-apa lagi. 
Setelah berpamitan dan menghaturkan sembah, 
dilangkahkan kakinya meninggalkan balairung.
"Ini pasti ulah bangsat tua Wanalaga!" gerutu Senapati 
Malingkat sepanjang jalan menuju tempat kediamannya.
Perintah itu membuat hati Senapati Malingkat gelisah 
bukan main! la merasa curiga adanya permainan di balik 
semua ini. Senapati Wanalaga memang tidak menyukai 
dirinya. Senapati Malingkat sadar betul akan hal itu. Tapi ia 
berpura-pura tidak tahu, karena Senapati Wanalaga 
merupakan orang kepercayaan raja. Untuk itu Senapati 
Malingkat harus selalu berhati-hati dan menjaga setiap 
langkahnya. Senapati Wanalaga jangan sampai 
menemukan kesalahannya yang dapat dijadikan alat untuk 
menjatuhkannya.
Senapati Malingkat merasa curiga kalau perintah itu 
bertujuan Ontuk menguji dirinya. Dan itu membuat hatinya 
gelisah. Karena ia sudah merencanakan untuk merampok 
barang-barang kiriman itu menggunakan tangan Katak 
Hijau dan Setan Mata Api. Kedua orang tokoh sesat itu 
akan melakukan penghadangan di suatu tempat yang telah 
ditentukan. Sungguh tidak disangkanya kalau raja akan 
merubah rencana. Memerintahkan dirinya untuk 
memimpin pengawalan itu. Dan waktunya sangat 
mendadak sekali. Sehingga tidak ada kesempatan lagi 
untuk menghubungi Katak Hijau dan Setan Mata Api.
"Celaka! Benar-benar keparat bangsat tua Wanalaga!" 
Lagi-lagi Senapati Malingkat merutuk seraya meninju 
telapak tangannya sendiri. "Hancur sudah semua 
rencanaku! Entah apa yang harus kulakukan jika 
berhadapan dengan Katak Hijau dan Satan Mata Api nanti? 
Menyuruh mereka membatalkan rencana, jelas tidak 
mungkin!"

Senapati Malingkat menghentikan langkahnya dengan 
kening mengerut. Beberapa kali terlihat ia mengangguk-
angguk Sepertinya, Senapati Malingkat tengah
menimbang-nimbang sesuatu.
Haruskah kulepaskan jabatan ini untuk melanjutkan 
rencana semula? Itu artinya aku kembali menjadi buronan. 
Malah, kali ino lebih gawat, Buronan kerajaan! Tapi..., jika 
tidak kulakukan, berarti aku harus berhadapan dengan 
Katak Hijau dan Setan Mata Api. Sanggupkah aku 
menghadapi mereka berdua? Bagaimana jika aku sampai 
binasa di tangan mereka? Ah, mungkin sebaiknya 
kulenyapkan saja mereka sebelum keburu membuka 
mulut. Rasanya lebih baik mempertahankan jabatan ini 
daripada harus hidup sebagai buronan lagi."
Dengan hati masih diliputi kebimbangan Senapati 
Malingkat bergegas melanjutkan langkahnya kembali.
***

DUA

Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Senapati 
Malingkat dan rombongannya sudah bergerak 
meninggalkan pintu gerbang kotaraja. Senapati Malingkat 
yang ditugaskan memimpin pengawalan berjalan paling 
depan. la menunggangi seekor kuda jantan berwarna 
hitam pekat Setengah tombak agak ke belakang dua orang 
penunggang kuda mengapitnya. Mereka duduk dengan 
kepala tegak dan pandangan lurus ke depan
Kereta pertama yang ditarik seekor kuda dikawal 
empat orang prajurit Masing masing menunggana seekor 
kuda pilihan. Mereka berjalan di kiri kanan kereta. 
Demikian juga yang teijadi pada kereta kedua, yang 
berjarak kira-kira satu tombak dibelakang kereta pertama. 
Sementara dua orang prajurit berkuda berjalan paling 
belakang. Keseluruhan anggota rombongan, termasuk 
Senapati Malingkat dan dua orang kusir, berjumlah lima 
belas orang. Jumlah itu memang terhitung sedikit Tapi, 
semuanya sudah diperhitungkan oleh Senapati Wanalaga 
yang mendapat kepercayaan untuk memilih prajurit-prajurit 
pengawal.
Senapati Malingkat bukannya tidak tahu kalau anggota 
rombongannya terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Sudah 
lama ia mendengar tentang adanya pasukan khusus. Tapi 
tidak banyak yang diketahuinya. Pasukan khusus itu 
sengaja disembunyikan dan dilatih secara tertutup. Kecuali 
Raja dan Senapati Wanalaga, cuma dua orang jagoan 
istana yang mengetahuinya.
Dua orang jagoan istana tersebut adalah yang terlihai 
di antara jago-jago istana lainnya. Mereka terhitung jagoan 
nomor satu di kerajaan. Dan, mereka berdua termasuk 
orang-orang yang mendidik pasukan khusus, terutama 
dalam ilmu silat Mengenai siasat ilmu perang, Senapati 
Wanalaga yang melatihnya. Sehingga, kepandaian 
perorangan anggota pasukan khusus bisa melebihi tokoh 
silat tingkat pertengahan. Pasukan khusus yang hanya

berjumlah seratus orang itu jauh lebih tangguh dan 
berbahaya dari seribu prajurit!
Senapati Wanalaga percaya penuh kepada dua belas 
orang anggota pasukan khusus yang mengawal kiriman 
hadiah raja. Andaikan Senapati Malingkat hendak 
berkhianat, para anggota pasukan khusus tersebut akan 
sanggup menghadapinya. Kecuali jika berhadapan secara 
perorangan. Senapati Malingkat jelas bukan tandingan 
mereka. Dan, Senapati Wanalaga sudah memperhitungkan 
hal itu. Tanpa sepengetahuan Senapati Malingkat serta 
anggota rombongan lainnya, diam-diam Senapati Wanalaga 
menyelundupkan dua orang jagoan kerajaan ke dalam 
rombongan. Tak satu pun dari anggota rombongan yang 
menyangka kalau dua orang kusir kereta sebenarnya 
jagoan-jagoan nomor dua di istana!
Rombongan terus bergerak maju. Bunyi roda-roda 
kereta menggilas bebatuan terdengar begitu jelas
Deraknya demikian bising memecah keheningan sore. 
Semakin jauh rombongan itu meninggalkan kotaraja, 
semakin gelisah pula hati Senapati M.illngkat Sehingga, 
meskipun udara sore itu tidak panas, keringat nampak 
membasahi wajah senapati. Dan, Senapati Malingkat 
gagal menyembunyikan kegelisahan hatinya. Mendekati 
tempat penghadangan yang direncanakannya bersama 
Katak Hijau serta Setan Mata Api, kegelisahan itu makin 
menyiksa dirinya.
Hhhh...!" Senapati Malingkat menghela napas berat.
Perbuatan itu membuat dua prajurit di kiri-kanannya 
menoleh.
"Tuan Senapati," prajurit yang berada di sebelah kanan 
menegur dengan kening dikerutkan. la nampak heran 
sewaktu melihat wajah dan sikap Senapati Malingkat 
"Nampaknya Tuan sedang kurang sehat?" tanyanya 
kemudian tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Senapati Malingkat yang tidak menyadari kalau helaan 
napasnya telah menarik perhatian dua prajurit di kiri-
kanannya, nampak tersentak kaget la tak menyangka dua

orang prajurit itu ternyata memperhatikan dirinya. 
Pandangan mereka membuat Senapati Malingkat agak 
gugup, takut kalau-kalau kegelisahan hatinya diketahui. 
Buru-buru ditariknya napas panjang sementara otaknya 
bekerja mencari alasan yang sekiranya bisa diterima kedua 
prajurit itu.
"Hh... Aku tidak apa-apa," jawab Senapati Malingkat 
sambil menghembuskan napas panjang. "Aku cuma sedikit 
lelah. Aku tidak terbiasa dengan tugas seperti ini, tapi Gusti 
Prabu mempercayakannya kepadaku. Kuterima juga tugas 
ini karena tidak ingin mengecewakan beliau. Terus terang 
kukatakan tugas ini agak mengganggu pikiranku, sampai-
sampai semalaman aku tidak bisa tidur."
Dua prajurit itu mengangguk-angguk. Alasan Senapati 
Malingkat memang bisa diterima akal. Tapi sebagai 
anggota pasukan khusus mereka bukan saja tangguh di 
arena pertempuran, tapi juga dapat menilai situasi dan 
memiliki naluri yang tajam. Dan naluri mereka mengatakan 
ada sesuatu yang tidak beres pada diri Senapati Malingkat! 
Namun mereka tidak berkata apa-apa, hanya 
meningkatkan kewaspadaan.
Diamnya dua orang prajurit itu agak melegakan hati 
Senopati Malingkat. Tapi bukan berarti ia percaya mereka 
dapat menerima alasannya. Sebagai seorang bekas tokoh 
aliran hitam, Senapati Malingkat bukan cuma 
mengandalkan ilmu silat saja. la juga cerdik, licik, dan tidak 
percaya terhadap siapa pun! Tidak terhadap Katak Hijau 
atau pun Setan Mata Api.
"He he he...! Kalian memang pantas untuk berhati-hati 
Sebentar lagi aku akan memenggal kepala kalian," ujar 
Senapati Malingkat dalam hati.
Sore terus merambat Cahaya jingga sudah mewarnai 
kaki langit sebelah barat. Keremangan cuaca mulai
menyelimuti permukaan bumi Saat itu rombongan
Senapati Malingkat tengah melintasi jalan berbatu yang 
diapit dua anak bukit. Bukit Dampet. 
Demikianlah orang menamakan daerah itu.

Karena jalan yang harus dilalui agak sempit, empat 
prajurit yang mengawal kereta terdepan terpaksa harus 
mendahului kereta. Sedangkan empat prajurit yang 
mengapit kereta kedua bergerak mundur untuk 
memperkuat penjagaan di bagian belakang. Perjalanan 
agak lambat karena permukaan tanah berbatu tidak rata. 
Jalan sempit itu sendiri berjarak cukup panjang. Lebih 
kurang seratus tombak lebih. Mereka baru menempuh 
separuh jalan ketika keremangan mulai memekat, tanda 
sebentar lagi malam akan jatuh.
Kecuali Senapati Malingkat, tak seorang pun tahu 
betapa saat itu dua pasang mata tengah mengawasi 
rombongan. Siapa lagi pemilik dua pasang mata itu kalau 
bukan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Mereka mengintai 
dari atas lereng bukit. Katak Hijau di sebelah kiri, 
sedangkan Setan Mata Api dari sebelah kanan. Ketika 
rombongan telah lewat, Setan Mata Api berdiri tegap 
menghadap ke tempat Katak Hijau mengintai Tangan 
kanannya diangkat tinggi-tinggi dan digerakkan ke kiri-
kanan. Itu adalah tanda bagi Katak Hijau untuk segera 
bertindak. Gmkkkhhh...!
Suara bergemuruh yang menggetarkan tanah 
membuat semua anggota rombongan berpaling ke 
belakang. Senapati Malingkat juga melakukan hal yang 
sama. Wajahnya menampakkan kekagetan sewaktu 
melihat bongkahan batu sebesar kerbau bunting 
menggelinding dari atas dan jatuh berdebum menutupi 
jalan di belakang rombongan.
"Kurang ajar! Ini pasti ulah perampok-perampok yang 
tidak tahu penyakit!" Senapati Malingkat menggeram 
sambil berusaha menenangkan binatang tunggangannya 
yang meringkik ketakutan.
Dua orang prajurit yang kini berada setengah tombak 
di depan Senapati Malingkat langsung menileh. Dua 
pasang mata tajam itu menyorot wajah Senapati Malingkat. 
Bukan cuma curiga saja, malah mulut mereka 
menyunggingkan senyum mengejek.

"Tuan pasti sudah tahu hal ini bakal terjadi, bukan?!" 
salah seorang prajurit bertanya dengan nada menuduh. 
Prajurit yang satunya lagi mengangguk-angguk menyetujui 
ucapan rekannya.
"Kurang ajar...!" Senapati Malingkat melotot dengan
wajah merah padam. "Apa maksud kata-katamu Itu? Berani 
benar kau berbicara seperti itu kepadaku, hah!"
Lima orang prajurit itu tertawa dingin. Tapi sebelum
mereka sempat berkata, tiba-tiba suara bergemuruh 
kembali terdengar. Kali ini datang dari sebelah depan. 
Untuk kedua kalinya, sebuah batu sebesar kerbau bunting 
jatuh berdebum menggetarkan tanah di tempat itu Dinding-
dinding bukit bergetar hingga batu-batu berguguran ke 
bawah menghujani rombongan Senapati Malingkat. 
Keadaan menjadi kacau. Kuda-kuda meringkik ketakutan.
"Masihkah Tuan Senapati hendak berpura-pura tidak 
mengetahui kalau semua ini bakal terjadi?" Di tengah 
kesibukan menenangkan kuda tunggangannya, prajurit 
berkumis tebal menatap Senapati Malingkat dengan bibir 
mencemooh.
"Dalam perjalanan sikap Tuan sangat gelisah sekali. 
Kami menjadi curiga. Rupanya, inilah yang telah membuat 
Tuan selalu gelisah," prajurit kedua menimpati.
Senapati Malingkat menggeram dengan wajah gelap. 
Tuduhan itu membuat senapati tersebut baru menyadari 
mengapa mereka disebut pasukan khusus. Mereka bukan 
cuma pandai dalam bertempur, tapi juga memiliki naluri 
tajam. Namun, sungguh ia tidak menyangka kedua prajurit 
itu berani bersikap kurang ajar kepadanya.
Senapati Malingkat tidak tahu kalau seluruh anggota 
pasukan khusus sebelumnya telah disumpah. Mereka 
hanya akan patuh kepada Raja dan Senapati Wanalaga 
saja. Itu selalu dltekankan dalam setiap latihan. Bahkan, 
kedua orang jago nomor satu istana yang mendidik mereka 
pun tidak mengetahui adanya sumpah tersebut. Hal itu 
rupanya memang sengaja dirahasiakan.
Tujuan utama dibentuknya pasukan khusus adalah

untuk melindungi raja. Mereka dididik sejak berusia 
delapan tahun. Dalam usia itu telah ditanamkan sikap-
sikap seorang prajurit sejati dan nilai-nilai kesetiaan. 
Mereka dididik dengan keras. Senapati Wanalaga tidak 
akan segan-segan menghukum setiap anggota yang 
melanggar peraturan. Hukuman itu dilakukan di hadapan 
anggota-anggota lainnya. Tujuannya adalah memberi 
contoh pada mereka untuk tidak berani melanggar 
peraturan.
Tapi meskipun telah memberikan didikan yang keras.
Senapati Wanalaga masih merasa kurang puas Sebagai 
seorang tokoh tua yang banyak pengalaman senapati itu 
maklum kalau hati manusia sewaktu-waktu bisa saja 
berubah. Entah karena penuh keadaan, perasaan, atau 
pun kemungkinan- kemungkinan lainnya.
Untuk mcnjaga agar seluruh anggota pasukan khusus 
tidak menyeleweng, dijejalinya mereka dengan racun yang 
baru bekerja setelah satu tahun. Jika lewat dari waktu yang 
ditentukan belum memperoleh obat penawar, kematianlah 
yang akan mereka dapatkan. Dan setiap satu tahun sekali, 
setelah diberi obat penawar, Senapati Wanalaga kembali 
memberikan kepada mereka racun serupa.
Senapati Malingkat tidak mengetahui semua itu. Tidak 
heran jika ia merasa terkejut bukan main sewaktu kedua 
prajurit anggota pasukan khusus itu berani menentang 
dirinya. Seluruh anggota yang tergabung dalam pasukan 
khusus memang tidak memakai jabatan. Mereka tetap 
merupakan seorang prajurit meski ketangguhan dan 
kecakapan mereka melebihi seorang perwira. Itu sebabnya 
mengapa Senapati Malingkat marah bukan kepalang 
terhadap dua orang anggota pasukan khusus itu.
Jangankan seorang senapati seperti Malingkat, sedang 
yang berpangkat perwira rendahan pun pasti akan marah 
besar jika ada prajurit yang berani menentang perintahnya. 
Apalagi sampai berani menuduh dan menunjukkan sikap 
jelas-jelas menantang. Baru berlama-lama menentang 
pandang saja, sudah merupakan alasan yang cukup untuk

memberi hukuman.
"Sayang, sekarang bukan waktu yang tepat untuk 
memberi hajaran kepada kalian," geram Senapati 
Malingkat. "Tapi camkan baik-baik, aku tidak akan 
melupakan ucapan kalian yang tak berdasar itu!"
Senapati Malingkat kemudian memutar kudanya. 
Tepat pada saat itu dari atas lereng bukit sesosok 
bayangan melayang turun dan langsung mendarat di 
hadapannya. Senapati Malingkat segera memberikan 
isyarat dengan kedipan mata sewaktu dilihatnya wajah 
Katak Hijau menggambarkan keheranan. Dan, Katak Hijau 
cepat menangkap isyarat itu.
"Ha ha ha...!" Katak Hijau tertawa berkakakan. 
Ditatapnya wajah Senapati Malingkat dengan sorot mata 
tajam. "Kaukah yang menjadi kepala rombongan ini, Tuan 
Senapati? Sebaiknya kau perintahkan kepada orang-
orangmu untuk meninggalkan dua buah kereta itu Kau 
beserta rombonganmu boleh pergi dengan selamat. Nah, 
apa lagi yang kau lunggu? Apakah kata-kataku kurang 
jelas?!"
"Dengar, Manusia Kulit Hijau!" sahut Senapati 
Malingkat dengan suara keren. "Jika kau tidak segera
menyingkirkan batu itu dan minggat dari hadapanku, 
jangan bilang aku kejam jika kepalamu kupisahkan dari 
tubuhmu!" ancamnya. Senapati Malingkat bergegas 
melompat turun dari atas punggung kuda dan meloloskan 
pedang yang tergantung di pinggang. Demikian cepat 
pedang itu dicabut dari sarungnya. Begitu menginjak tanah, 
pedang sudah berada dalam genggaman tangan.
Katak Hijau kembali tertawa bergelak. Keduanya kini 
berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak. 
Nampaknya perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi. Sikap 
Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat dua orang 
prajurit yang menyaksikannya segera melompat maju. 
Mereka berdiri mengapit Senapati Malingkat dengan 
senjata terhunus. Sekitas keduanya mengerling ke arah 
Senapati Malingkat. Rupanya mereka masih tetap menaruh

curiga.
"Agaknya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu 
yang hanya selembar itu, Tuan Senapati," ujar Katak Hijau 
sambil melirik dua prajurit yang berada di kiri-kanan 
Senapati Malingkat "Hm.... Nyawa dua orang prajuritmu itu 
kurasa cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak main-
main!"
Begitu selesai dengan ucapannya, Katak Hijau segera 
melesat ke arah prajurit di sebelah kiri Senapati Malingkat 
Prajurit itu lebih dekat dengan tempatnya berdiri.
"Koook...!"
Sambil mengeluarkan bunyi seperti katak sungguhan, 
Katak Hijau melancarkan sebuah pukulan lurus. Yang 
diincamya adalah bagian ubun-ubun. Tapi, Senapati 
Malingkat tidak membiarkan perbuatan Katak Hijau. 
Sebelum serangan itu tiba, Senapati Malingkat sudah lebih 
dulu bertindak. Digagalkannya serangan Katak Hijau.
"Manusia tak tahu penyakit! Menggelindinglah dari 
hadapanku...!"
Senapati Malingkat mengulurkan tangan kirinya 
dengan dua jari terbuka. Serangan Katak Hijau hendak 
digagalkannya dengan totokan ke arah siku. tapi, Katak 
Hijau terlalu cerdik. Lengannya segera diputar dan 
disambutnya totokan Senapati Malingkat dengan kibasan 
telapak tangan.
Praaattt...!
Benturan itu membuat keduanya terdorong mundur. 
Katak Hijau maupun Senapati Malingkat langsung 
berpandangan dengan wajah terkejut. Masing-masing 
merasakan nyeri akibat benturan itu.
"He he he...! Ternyata kau boleh juga, Tuan Senopati."
Katak Hijau memuji. Sementara yang dipuji cuma
mendengus kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi segera 
diterjangnya Katak Hijau. Kali ini Senapati Malingkat 
menggunakan pedang. Suara sambaran angin pedang 
terdengar mengaung bagai ratusan lebah marah!
Lagi-lagi Katak Hijau memperdengarkan kekehnya.

Sambaran pedang Senapati Malingkat dielakkan dengan 
cara melompat-lompat, persis gerak seekor katak. Lewat 
tiga jurus kemudian, Katak Hijau mulai membangun 
serangan balasan.
***

TIGA

Kedua prajurit yang semula masih mencurigai Senapati 
Malingkat nampak saling bertukar pandang. Mereka 
melihat kesungguhan dalam serangan yang dilancarkan 
Senapati Malingkat Hal itu terlihat dengan jelas. Serangan-
serangan Senapati Malingkat sangat mematikan. Perlahan 
kecurigaan mereka pun terhapus.
"Tuan Senapati, kami datang membantu...!" Teriakan 
dua orang prajurit itu membuat Senapati Malingkat 
tersenyum penuh kemenangan. Pancingannya ternyata 
berhasil. Mereka segera terjun ke arena untuk 
membantunya.
"Bagus! Aku memang sudah menunggu-nunggu
bantuan kalian," Senapati Malingkat berkata dalam hati.
Dan ketika kedua prajurit itu hendak mendaratkan kaki di 
kiri-kanannya, Senapati Malingkat langsung berputar 
dengan kecepatan yang sangat mengejutkan!
Semula kedua prajurit itu sedikit pun tidak menaruh 
curiga. Tapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu 
menyadari perbuatan Senapati Malingkat ternyata 
dimaksudkan untuk menghabisi mereka!
Crasss! Breeettt!
Sayang, kesadaran itu terlambat datangnya. Pedang 
Senapati Malingkat sudah keburu merobek perut. 
Keduanya memekik keras. Kemudian, terpental roboh dan 
tewas seketika Pedang Senapati Malingkat merobek dalam 
hingga usus mereka terburai keluar.
Sementara kedua prajurit itu roboh, Senapati 
Malingkat sudah melemparkan pedangnya kepada Katak 
Hijau. Tokoh sesat berkulit kehijauan itu terkekeh. Sekali 
mengulurkan tangan pedang telah berada dalam 
genggaman tangannya. Kemudian, langsung dibabatkan ke 
depan.
"Keparat busuk! Kau harus menebusnya dengan 
nyawa anjingmu!" Senapati Malingkat mengutuk Katak 
Hijau seraya melompat jauh ke belakang. Dihindarinya

babatan pedang yang mengancam perut
Empat prajurit anggota pasukan khusus yang 
mendengar jerit kematian lawan-lawannya bergegas 
menoleh. Alangkah terkejut hati mereka sewaktu 
menyaksikan kedua rekannya telah roboh bermandikan 
darah. Sementara Senapati Malingkat tengah bertarung 
sengit melawan lelaki tua berkulit kehijauan. Adanya 
pedang Senapati Malingkat di tangan lelaki tua berkulit 
kehijauan membuat mereka maklum kalau dialah yang 
telah membunuh kedua rekan mereka.
"Ayo, kita bantu Tuan Senapati. Nampaknya beliau 
mendapat kesulitan untuk merobohkan pembunuh rekan 
kita itu!" salah seorang prajurit berkata kepada kawan-
kawannya. Segera dicabutnya pedang, dan tanpa 
membuang-buang waktu lagi langsung mendahului ketiga 
rekannya untuk membantu Senapati Malingkat. Yang 
lainnya pun bergegas berlompatan menyusul.
Setan Mata Api segera melayang turun dari tempatnya 
bersembunyi. Tokoh sesat itu langsung dlkepung enam 
orang prajurit. Tokoh yang memiliki sorot mata merah 
seperti nyala api ini memperhatikan cara keenam lawannya 
melakukan kepungan. Bentuk kepungan dan sikap kuda-
kuda mereka terasa asing.
Keenam anggota pasukan khusus tidak 
memperdulikan keheranan lawannya. Mereka terus 
bergerak mengelilingi Setan Mata Api. Beberapa kali, 
sambil terus berputar, mereka bertukar tempat dengan
melakukan lompatan menyilang. Sementara senjata 
keenamnya terus diputar hingga memperdengarkan suara 
berdesingan. Semakiri lama lingkaran mereka semakin 
rapat. Dan, sambaran angin pedang membuat pakaian 
Setan Mata Api berkibaran.
"Hei! Apa kalian sedang menyuguhkan tarian monyet 
untukku?" Setan Mata Api berkata mengejek. Kemudian, 
tertawa bergelak dengan kepala tengadah.
Keenam prajurit pilihan itu sama sekali tidak 
menggubris. Mereka tetap mengelilingi Setan Mata Api

sambil sesekali melompat untuk bertukar tempat. Cara 
mengepung yang aneh itulah membuat Setan Mata Api 
menamakan gerakan tersebut tarian monyet.
"Jiaaahhh...!"
Setelah jarak kepungan tinggal satu tombak lagi, tiba-
tiba terdengar bentakan dari sebelah kiri. Cepat Setan 
Mata Api memutar tubuh. la sudah siap menghadapi 
pengepungnya yang membentak itu Namun ternyata lawan 
bukan hendak menyerang, malainkan untuk bertukar 
tempat. Setan Mata Api sempat kaget dan segera 
menyadari bentakan itu cuma tipuan. Apalagi ketika 
telinganya menangkap suara berdesing di belakangnya.
"Keparat...!"
Merasa telah diperdayai, Setan Mata Api marah bukan 
main. Tubuhnya diputar secepat kilat. Begitu samar-samar 
dilihatnya kilatan sinar pedang meluncur ke arahnya, Setan 
Mata Api langsung menyambut dengan kibasan lengan 
kanan. Tentu saja ia telah menyalurkan tenaga dalam 
terlebih dulu untuk melindungi lengannya.
Lagi-lagi Setan Mata Api harus menelan kenyataan 
pahit. Serangan itu pun sebuah tipuan! Sementara orang 
yang dikiranya menyetang menarik pedang kemudian 
berputar untuk berganti tempat dengan kawannya, 
serangan yang sesungguhnya meluncur datang ke arah 
lambung!
Breeettt...!
Pada saat-saat terakhir Setan Mata Api masih sempat 
menggeliatkan tubuhnya. Tusukan pedang merobek 
pakaian dan cuma menggores sisi lambung Tapi meskipun 
demikian, kemarahan Setan Mata Api semakin berkobar-
kobar. Sambil memperdegarkan geraman keras laksana 
harimau luka, tangannya diputar melibat pedang yang 
belum sempat ditarik pulang. Untuk menghindari agar 
lengannya tidak tersayat mata pedang, Setan Mata Api 
melindunginya dengan libatan pakaian.
Terdengar bunyi patahnya pedang begitu Setan Mata 
Api menekuk lengan. Sekejap kemudian tokoh sesat itu

bergerak secepat kilat mengulurkan jari-jari tangannya ke 
atas.
Kreppp!
Jari-jari sekuat capit baja itu mencengkeram leher 
lawannya yang langsung diangkat naik. Bergemeretaknya 
bunyi tulang leher yang remuk mengiringi geraman Setan 
Mata Api ketika mengetatkan cengkeraman. Lawan yang 
sudah kehilangan nyawa itu kemudian diputar berkeliling.
"Heaaa...!"
Lima prajurit anggota pasukan khusus lainnya tentu 
saja terkejut. Kelimanya segera berloncatan mundur. 
Ditatapnya Setan Mata Api dengan sorot mata penuh 
dendam dan kebencian. , 
"Heh heh heh...!" Setan Mata Api menanggapi ' dengan 
tawa mengejek. "Mengapa kalian mundur? Takut dengan 
mayat ini? Wah, sungguh menyedih- kan sekali. Biar 
kubuang saja kalau kalian memang takut."
Setan Mata Api melemparkan mayat di tangannya ke 
arah dua orang. lawan yang berdiri di depannya. Pada saat 
yang bersamaan, sewaktu lawan-lawannya terkesima, 
Setan Mata Api mencelat ke kiri. Sepasang tangannya 
meluncur deras laksana seekor elang menyambar ariak 
ayam. Serangan itu dilancarkan dengari kecepatan tinggi. 
Dua orang prajurit yang menjadi sasarannya tidak mampu 
bertindak apa pun. Jari-jari Setan Mata Api tinggal 
sejengkal lagi dari leher mereka.
Tapi, rupanya keberuntungan belum mau singgah pada 
diri Setan Mata Api. Saat hasil serangannya sudah di depan 
mata, sesosok bayangan melenyapkan senyum di b'lbir 
Setan Mata Api.
Plak! Plak!
Kuat bukan main benturan dua pasang lengan lengan 
itu. Setan Mata Api sampai tak bisa menahan pekik 
kagetnya. Sosok bayangan itu bukan saja menggagalkan 
serangannya, tapi juga membuat kedua lengannya terasa 
nyeri. Malah kuda-kudanya sampai tergempur. Sumpah 
serapah Setan Mata Api langsung terdengar di saat

tubuhnya terhuyung llmbung.
"Siapa kau?!"
Setan Mata Api menatap sosok bayangan yang telah
menggagalkan serangannya. Dipandanginya wajah dan 
tubuh sosok di depan kedua prajurit yang nyaris dapat 
dibinasakannya. Setan Mata Api mengerutkan kening, 
berusaha mengenali siapa manusia usilan itu.
Dia seorang lelaki tua bermata sayu. Jenggot dan 
kumisnya terpelihara rapi, namun sorot wajahnya tampak 
begitu murung. Sepertinya ia menjalani hidup dengan 
tanpa semangat. Tubuhnya lebih pendek dari Setan Mata 
Api maupun kedua prajurit yang telah diselamatkannya. 
Sosok lelaki tua ini sebenarnya sangat jauh dari gambaran 
seorang ahli silat. Dia lebih tepat menjadi seorang 
pujangga (ahli sastra). Apalagi pakaian yang dikenakannya 
adalah pakaian para pujangga. Lelaki tua berusia lima pu-
luh lima tahun ini cuma mengerapkan mata ketika 
mendengar pertanyaan Setan Mata Api.
Sementara Setan Mata Api menatap lelaki tua bermata 
sayu dengan penuh selidik, kelima anggota pasukan 
khusus malah membelalak lebar. Mulut mereka sampai 
ternganga, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 
Perasaan terkejut dan juga heran tergambar nyata di wajah 
mereka. Kakek berpakaian sastrawan itu adalah salah satu 
dari kusir kereta kuda! Tidak heran kalau kelima prajurit 
anggota pasukan khusus hampir tidak percaya. Memang, 
siapa yang akan menyangka kalau orang yang selama 
perjalanan tidak pernah mereka lirik sedikit pun itu 
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan telah 
menyelamatkan dua orang di antara mereka. Dan sanggup 
membuat Setan Mata Api sampai terhuyung.
"Benarkah kau ingin tahu namaku?" Kakek bermata 
sayu bertanya kepada Setan Mata Api. Suaranya pelan 
seperti enggan bicara. Dan wajahnya tidak berubah, tetap 
murung.
"Siapa peduli dengan namamu!" bentak Setan Mata 
Api keras, membuat lima orang prajurit yang hendak

menyaksikan tanggapan kakek mata sayu berjingkrak 
kaget. "Yang kutanyakan adalah julukanmu. Tapi terserah, 
mau jawab boleh, tidak pun tak akan kupaksa. Tak ada 
bedanya bagimu. Apa pun jawabanmu, aku akan tetap 
membunuhmu!"
Kakek bermata sayu mengangguk-angguk lemah. 
Ditariknya sedikit ujung bibir kanannya ke atas. Mungkin 
maksudnya hendak tersenyum tipis. Tapi yang terlihat 
justru senyum getir. Segetir raut wajah dan sorot matanya.
"Jika demikian, ada baiknya aku memperkenalkan diri. 
Aku tidak ingin mati tanpa nisan di atas makamku," ujar 
kakek bermata sayu. Suaranya tetap pelan dan tanpa 
gairah. "Aku disebut Sastrawan Murung. Mungkin itu 
karena wajah dan mataku. Tapi bagiku semua itu tidak 
menjadi soal. Yang penting aku punya julukan," lanjutnya 
seraya tersenyum getir.
"Sastrawan Murung?!" Setan Mata Api mengerutkari 
kening berusaha mengingat-ingat. "Hei...?!" serunya tiba-
tiba. "Kalau aku tidak salah, Sastrawan Murung adalah 
salah seorang jagoan istana. Ah, pasti tidak salah! Kau 
memang jagoan istana yang digetari Sastrawan Murung! 
Hah hah hah...!"
"Ya, memang. Ha ha ha...!" Sastrawan Murung malah 
menimpali tawa Setan Mata Api. Akan tetapi, tawa itu tidak 
juga melenyapkan kemurungan wajahnya.
Setelah mengetahui siapa kakek bermata sayu itu, 
Setan Mata Api malah kelihatan gembira. Tidak demikian 
halnya dengan lima prajurit anggota pasukan khusus. 
Mereka semakin bertambah kaget. Siapa yang tidak kenal 
dengan Sastrawan Murung. Bukan saja yang berada di 
lingkungan istana, bahkan hampir seluruh penduduk 
kotaraja mengetahuinya. Kalau selama ini mereka cuma 
mendengar namanya saja, maka sekarang dapat melihat 
dengan jelas sosok Sastrawan Murung yang terkenal itu.
Kini Sastrawan Murung berhadapan dengan seorang 
kakek yang sorot matanya semerah nyala api. Mereka telah 
membuktikan sendiri kehebatan kakek mata merah itu.

Dan mereka jadi ingin tahu apakah Sastrawan Murung 
akan sanggup menundukkan kakek mata merah yang lihai 
ita Maka seperti dikomando saja kelimanya bergerak 
mundur. Tidak sabar untuk segera menyaksikan 
pertarungan yang pasti akan sangat menarik itu
Mundurnya kelima prajurit anggota pasukan khusus itu 
membuat Sastrawan Murung lagi-lagi tersenyum getir. la 
maklum apa yang ada dalam pikiran kelima prajurit itu. 
Tapi hal itu tidak dipusingkannya. Apalagi saat itu Setan 
Mata Api dilihatnya sudah siap untuk bertarung.
"Kau tidak ingin memperkenalkan namamu lebih 
dulu?" tanya Sastrawan Murung.
"Nanti pun kau akan tahu sendiri," jawab Setan Mata 
Api tak acuh. "Kapan?"
"Nanti kalau kau sudah menjadi penghuni akhirat!" 
sahut Setan Mata Api seenak perutnya. Lalu, tertawa keras. 
Nampaknya ia merasa puas dapat imempermainkan calon 
lawannya.
"Jadi, kau sudah ingin buru-buru mati?" Kening Setan 
Mata Api langsung mengerut. Apakah manusia satu ini 
rada-rada congek? Pikir Setan Mata Api. "Bukan aku, tapi 
kau, Sastrawan Budek!" sahutnya kemudian.
"Iya, aku paham," Sastrawan Murung mengangguk 
pelan. "Yang ingin buru-buru mati bukan aku, tapi kau!" 
Ditunjuknya Setan Mata Api yang melotot sampai biji 
matanya seperti mau copot.
"Terserah bacotmu saja!" ujar Setan Mata Api sambil 
menepiskan tangan di udara. Nampaknya, Setan Mata Api 
merasa kalah bicara. "Pokoknya, kaulah yang akan 
mampus!"
Dengan sebuah pukulan lurus Setan Mata Api 
kemudian membuka serangan. Ketika Sastrawan Murung 
menggeser tubuh ke kanan menghindari pukulannya, 
Setan Mata Api mengirimkan tamparan dengan tangan 
kanan. Kali ini sasarannya pelipis lawan. Bukan cuma itu 
saja. Tamparan tersebut disertai dengan sebuah 
tendangan ke bagian bawah perut!

Whuuut... dukkk...!
Tamparan ke arah pelipisnya dielakkan Sastra-wan 
Murung dengan menekuk kedua lutut. Tamparan itu lewat 
sejengkal di atas kepala. Sedangkan tendangan yang 
mengancam bawah perutnya disambut dengan kedua 
belah tangan yang langsung menjepit dan melibat kaki 
Setan Mata Api. Sambil membentak keras, dilemparkannya 
kaki lawan kuat-kuat. Pada saat tubuh Setan Mata Api 
menga- pung di udara, Sastrawan Murung segera 
memburunya dengan dorongan udara telapak tangan.
Akan tetapi Setan Mata Api ternyata tidak mudah 
dirobohkan. Dengan gerakan yang sangat mengagumkan 
dia memutar tubuhnya setengah lingkaran. .Kedua kakinya 
ditendangkan kuat-kuat untuk menyambut dorongan 
telapak tangan Sastrawan Murung. Benturan antara tangan 
dan kaki pun tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh keduanya langsung terpental balik. Karena 
kedudukan Sastrawan Murung lebih kuat, keadaannya 
lebih baik daripada Setan Mata Api. Sastiawan Murung 
dapat mengatur pendaratan tu-buhnya, sedangkan Setan 
Mata Api jatuh terguling- guling di tanah. Benturan itu 
membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Cuh, cuh, cuh...!"
Setan Mata Api meludah beberapa kali karena 
mulutnya kemasukan debu Sumpah serapah kotor 
langsung terlontar dari mulutnya. Kemudian, dengan 
bernafsu Setan Mata Api kembali menerjang Sastrawan 
Murung.
Sambaran angin pukulan lawan menderu kuat. 
Sastrawan Murung maklum kalau serangan lawan jauh 
lebih berbahaya dari sebelumnya. Tapi Sastrawan Murung 
sedikit pun tidak menjadi gentar. Disambutnya serangan 
Setan Mata Api dengan tidak kalah ganasnya.
Pertarungan kembali berlanjut. Kali ini lebih seru dan 
lebih menegangkan. Masing-masing mengerahkan segenap 
kemampuannya. Meskipun begitu, tidaklah mudah bagi 
mereka untuk segera memenangkan pertarungan.

Keduanya sama kuat, dan sama-sama tangguh!
***

EMPAT

Seorang pemuda nampak tengah melangkah di atas 
jalan berbatu yang agak menurun. Wajahnya bersih dan 
tampan. Tubuhnya tidak seberapa kekar, namun padat 
berisi. la mengenakan pakaian serba putih. Demikian pula 
dengan ikat kepalanya. Pemuda ini adalah Panji, atau yang 
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Setelah beberapa puluh tombak, jalan mulai agak rata. 
Permukaan jalan dilapisi tanah merah. Tidak seperti yang 
baru saja dilalui, hampir seluruh permukaannya dipenuhi 
bebatuan.
Baru beberapa tombak jalan tanah merah dilalui, Panji 
rnenghentikan langkahnya karena tiba-tiba angin 
berhembus keras. Hembusan angin keras itu Hanya terjadi 
di satu tempat. Tepatnya pada pohon besar di atas 
kepalanya. Pohon itu bergoyang keras hingga daun-
daunnya berguguran. Keheranan Panji inendadak berubah 
menjadi rasa kaget! Daun-daun yang berguguran 
menimbulkan suara berdesingan. Daya luncurnya pun 
dirasakan tidak wajar.
Panji terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan diri 
dari daun-daun yang bagai hujan Sebagian daun-daun 
jatuh menancap di tanah, tak ubahnya pisau-pisau terbang. 
Yang mengejutkan adalah gerakan sebagian daun lainnya. 
Daun-daun itu tidak berjatuhan ke tanah melainkan 
melayang ke arah Panji!
"Hm.... Ini jelas tidak wajar lagi, tapi sudah kurang 
ajar!" desis Panji.
Pemuda itu bersiap-siap menyambut datangnya 
luncuran daun-daun. Tenaga dalamnya dikerahkan ke 
kedua telapak tangan. Kemudian, dengan sebuah 
hentakan perlahan tangan itu didorongkan ke depan. 
Serangkum angin keras berhembus membuat dedaunan 
yang tengah meluncur ke arahnya langsung terhenti. Panji 
lalu mengibaskan tangannya dengan gerakan ke atas. 
Daun daun itu pun membalik. Meluncur ke atas pohon

dengan pesatnya seolah hendak kembali ke ranting 
tempatnya semula bergantung.
Prasssh...!
Puluhan dedaunan yang dikembalikan Panji terus 
menerobos bagian atas pohon hingga memperdengarkan 
suara berkerosakan. Bukan saja membuat daun-daun yang 
masih melekat jatuh berguguran, tapi juga mematahkan 
ranting-ranting pohon.
Panji menunggu beberapa saat sambil mene-
ngadahkan kepala. Apa yang diinginkannya ternyata tidak 
kunjung muncul. Tadinya Panji bermaksud memaksa si 
penyerang gelap keluar dari persembunyiannya di atas 
pohon. Tapi perkiraannya ternyata keliru. Penyerang gelap 
itu tidak berada di sana. Padahal jika orang yang 
dimaksudkannya benar-benar berada di atas pohon besar 
itu, pasti dia akan keluar. Kecuali kalau memang mau 
membiarkan tubuhnya ditancapi daun-daun yang 
dikembalikan Panji.
Demikian hebatkah manusia curang itu hingga daun-
daun yang kukembalikan tidak bisa memaksanya 
menunjukkan diri?" desis Panji keheranan. Pandangannya 
diedarkan ke sekeliling tempat itu. Diperhatikannya bagian 
atas pohon yang berada di sana. Tidak terlihat tanda-tanda 
yang mencurigakan. Keheningan membungkus tempat itu.
Panji baru saja hendak melangkah. Tapi kakinya tiba-
tiba dirasakan berat dan tidak bisa digerakkan. Jangankan 
untuk melangkah, mengangkatnya saja tidak bisa 
dilakukan. Tentu saja Panji terkejut. Seseorang telah 
dengan sengaja hendak mempermainkannya.
"Jika didiamkan pasti semakin menjadi-jadi. Bisa-bisa 
aku dijadikan mainannya," gumam Panji. Dengan sebuah 
sentakan mendadak, tubuhnya segera diputar ke samping. 
Kuda-kudanya rendah dengan sikap kedua kaki menekuk 
persilangan. Gerakan itu untuk mengunci dan 
membuyarkan tenaga yang melibat kedua kakinya.
"Heahhh...!"
Berbarengan dengan suara bentakan pendek Panji

melompat ke atas. Dua kakinya masih menekuk 
bersilangan. Dan ketika mendarat di tanah, baru ia 
membuka kedua kakinya. Kekuatan tak nampak yang 
melibat kedua kakinya pun lenyap.
"Hebat.., hebat...!"
Pujian itu masih disertai dengan tepukan tangan. Panji 
berpaling, diperhatikannya sosok seorang kakek yang 
entah dari mana datangnya tahu- tahu tengah melangkah 
mendekatinya.
"Kepandaianmu benar-benar sangat mengagumkan, 
Anak Muda," kakek itu rnemuji Panji. "Terutama caramu 
membebaskan pengaruh tenaga yang melibat kedua 
kakimu. He he he.... Kehebatanmu membuat selera 
bertempurku bangkit. Mari kita bertarung, Anak Muda. 
Kalau bisa mengalahkan aku, kau akan kuhadiahkan 
seorang janda bahenol. Wajahnya cantik dengan senyum 
yang menggemaskan. Bibirnya mungil. Tubuhnya langsing 
dan padat. Kulitnya putih halus. Nah, bagaimana? Aku 
yakin baru mendengarnya saja kau sudah mengilar. He he 
he...!"
"Kalau begitu, biarlah aku rnengaku kalah, Kek," ujar 
Panji setelah menghela napas. "Silakan kau ambil janda 
bahenol itu. Rasanya aku lebih suka memilih untuk 
melanjutkan perjalanan."
Tanpa menunggu jawaban lagi Panji segera mengayun 
langkah. Saat itu keremangan senja sudah semakin 
memekat. Sebentar lagi malam akan segera jatuh. Panji 
tidak ingin kemalaman di jalan. la berharap dapat 
menemukan perkampungan setelah melewati Bukit 
Dampet yang dari tempatnya berada kini kira-kira seratus 
tombak lagi. Tapi langkahnya terpaksa harus ditunda. 
Kakek itu sudah berdiri menghadang di depannya.
Panji menarik napas sesaat. Sejurus ditatapnya kakek 
itu. "Apa sebenarnya yang kau inginkan dari ku, Kek?" 
tanyanya penasaran
In tidak mengerti mengapa kakek itu seperti sepertinya 
mencari-cari perkara. Padahal Panji sudah berusaha

mengalah. Si kakek terkekeh memamerkan gigi-giginya 
yang berwarna kehitainan dan sudah tidak lengkap lagi.
"Kalau kukatakan, apakah kau bersedia meme 
nuhinya?" tanya kakek itu.
Panji termenung beberapa saat. Sikap kakek itu 
menurutnya tidak wajar. Seperti dibuat-buat. Seolah 
dengan sengaja hendak menunda perjalanan nya. Pikiran 
itu membuat Panji menjadi curiga.
"Bersedia atau tidak aku memenuhinya itu ter gantung 
dari permintaanmu. Jadi, sebaiknya jelas kan dulu 
permintaanmu itu. Setelah itu aku akan 
mempertimbangkannya," sahut Panji kemudian. Matanya 
menatap wajah si kakek dengan penuh selidik.
"Permintaanku tidak sulit. Aku yakin kau sanggup 
memenuhinya."
"Kalau begitu, katakarilah," desak Panji.
"Setelah itu kau akan bersedia untuk memenuhinya?"
"Aku sudah menjelaskannya tadi," tukas Panji 
mengingatkan. "Jadi cepat katakan keinginanmu itu!"
"Aku sudah beberapa hari tinggal di tempat ini. Dari 
aku merasa kesepian karena tidak ada yang menemaniku 
bermain. Tiba-tiba kau datang tanpa kuundang. Jadi... aku 
meminta kesediaanmu untuk menemaniku bermalam di 
tempat ini. Tidak perlu lama-lama. Semalam saja sudah 
cukup," jelas kakek itu dengan suara memelas, seolah 
hendak menggambarkan kesepian yang menyiksanya.
Panji mendengarkan dengan penuh perhatian. 
Matanya tak lepas dari raut wajah keriput berkumis dan 
jenggot memutih itu. Rasa kesepian yang disampaikan 
kakek itu memang menyentuh perasaan. Namun Panji 
meragukan kebenarannya. Nalurinya mengatakan kakek 
itu telah berdusta. Selain itu, kakek di hadapannya ini 
agaknya bukanlah orang baik-baik. Cara kakek ini 
mempermainkannya dengan serangan-serangan 
mematikan menunjukkan itikad jeleknya.
"Maaf Kek, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. 
Aku harus pergi...."

Begitu kata-katanya setesai diucapkan, Panji langsung 
melesat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Pemuda 
itu lewat di samping tubuh si kakek vnng berdiri tertegun. 
Tak disangkanya Panji akan menolak permintaannya.
"Hm ... Jangan kira kau bisa pergi begitu saja dari 
hadapanku, Pendekar Naga Putih...!" Kakek itu Menggeram 
gusar. Lalu, cepat bagai sambaran kilat ia melesat seraya 
mengulur kedua lengannya ke arah Panji yang berada tiga 
tombak di depannya.
Panji menyadari sepenuhnya perbuatannya itu tidak 
akan dibiarkan si kakek. Maka ketika dirasakan sambaran 
angin halus di belakangnya, kedua kaki Panji segera 
dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melambung ke udara. 
Berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun setelah 
memperhitungkan sambaran angin telah lewat di bawah 
kakinya. Perhitungannya memang tidak meleset.
Keyakinan itu diperkuat dengan sumpah serapah yang 
dilontarkan si kakek. Maka begitu menginjak tanah, Panji 
kembali melesat dengan kecepatan tinggi.
"Berhenti kau, Pendekar Naga Putih! Seorang 
pendekar besar sepertimu tidak pantas berlaku pengecut!" 
Sambil berlari mengejar kakek itu memaki kalang-kabut.
Teriakan-teriakan si kakek bukannya membuat Panji 
berhenti. Malah, larinya semakin dipercepat. Kakek itu 
telah mengenal julukannya. Ini merupakan satu bukti lagi 
kalau kakek itu memang bukan orang baik-baik.
"Pasti bukan tanpa alasan ia menghambat 
perjalananku," gumam Panji dalam hati, "Entah apa, aku 
belum bisa menduganya...."
Jalan sempit Bukit Dampet berada dua puluh tombak 
di depan Panji. Saat itu keremangan sudah semakin 
memekat. Tiba-tiba, samar-samar telinga Panji menangkap 
suara jeritan yang menyayat. Apa yang didengarnya itu 
langsung saja dikaitkan dengan perbuatan si kakek yang 
terus mengejarnya.
"Sekarang aku baru mengerti mengapa kakek itu 
berkeras hendak mencegah perjalananku. Ia pasti

mengetahui apa yang sedang terjadi di celah- celah Bukit 
Dampet Pasti ia tidak menghendaki aku sampai 
mengetahuinya," gumam Panji.
Sebagai orang yang cukup pengalaman, Panji maklum 
kalau suara jeritan itu berasal dari seseorang yang tengah 
di ambang ajal. la menyimpulkan di tempat jeritan itu 
berasal pasti tengah terjadi perkelahian. Dugaan dugaan 
yang melintas ini membuat Panji ingin segera Hba 
secepatnya di tempat lersebut.
***

LIMA

Tanpa sepengetahuan empat orang prajurit pasukan 
khusus yang tengah rnelayang ke arena, Katak Hijau 
memberi tanda kepada Senapati Malingkat dengan 
kedipan mata. Sekejap kemudian, Katak Hijau melompat 
ke depan. Senjatanya dilemparkan kepada Senapati 
Malingkat, yang begitu berada dalam genggaman langsung 
dibabatkannya ke samping, di mana dua orang prajurit 
yang hendak membantunya baru saja mendarat.
Gerakan Senapati Malingkat cepat bukan main. Selain 
itu, sasarannya pun tidak pernah menduga Senapati 
Malingkat malah akan menyerang mereka. Tidak ada lagi 
yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri. Maka, 
terdengarlah jerit kematian sewaktu mata pedang merobek 
perut. Keduanya roboh dengan tubuh bermandikan darah. 
Tawa Senapati Malingkat mengiringi kematian dua orang 
prajurit yang naas itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dua orang 
prajurit lainnya ikut ambruk ke tanah dengan tenggorokan 
berlubang. Pelakunya bukan lain Katak Hijau. Saat 
melompat dan melemparkan pedang kepada Senapati 
Malingkat, Katak Hijau langsung menerkam dua orang 
prajurit di sebelah kanan senapati tersebut Dua prajurit 
pasukan khusus itu tidak mungkin menghindar. Keadaan 
mereka sangat tidak menguntungkan. Dengan mudah 
Katak Hijau membenamkan cakar-cakarnya ke 
tenggorokan dua prajurit itu.
"Pengkhianat busuk...!"
Senapati Malingkat dan Katak Hijau terkejut 
mendengar makian itu. Cepat keduanya menoleh. Dan, 
Senapati Malingkat bergegas melempar tubuhnya 
berjumpalitan ke belakang. Begitu ia menoleh, dilihatnya 
sesosok bayangan melayang ke arahnya. Suara angin 
pukulan yang menderu membuat Senapati Malingkat sadar 
kalau serangan itu sangatlah berbahaya. Maka, tanpa perlu 
berpikir lagi ia langsung menyelamatkan diri. Tapi sosok

bayangan itu lidak mau memberi kesempatan. Dia segera 
memburu dengan serangkaian serangan maut.
"Hyahhh...!"
Senapati Malingkat menjadi geram. Dengan sebuah 
teriakan pendek, kedua tangannya diayunkan menyambut 
serangan sosok bayangan. 
Plakkk! Plakkk!
.Kedudukannya yang tidak menguntungkan membuat 
Senapati Malingkat terhuyung mundur. Serangan lawan 
memang berhasil dipatahkannya, namun ia kalah tenaga. 
Benturan itu nyaris menjungkalkan tubuhnya. Sumpah 
serapah kotor terlontar dari mulut Senapati Malingkat.
Sementara itu akibat tangkisan Senapati Malingkat 
luncuran tubuh sosok bayangan jadi tertunda. Kedua 
kakinya mendarat ringan di tanah. Dan selagi tubuh 
Senapati Malingkat terhuyung-huyung, ia kembali 
menerjangnya dengan serangan yang mematikan!
Katak Hijau bukan tidak tahu keadaan Senapati 
Malingkat yang sangat teijepit. Namun ia sedikit pun tidak 
tergerak untuk berbuat sesuatu Katak Hijau cuma berdiri 
menyaksikan dengan kepala mengangguk-angguk. Sikap 
masa bodoh Katak Hijau ini membuat Senapati Malingkat 
geram bukan main.
"Katak Hijau!" teriak Senapati Malingkat. "Jika kau 
tidak membantuku, aku bersumpah akan menyebar
luaskan kejadian hari ini! Itu berarti kau akan menjadi 
buronan kerajaan!"
Ancaman Senapati Malingkat membuat wajah Katak 
Hijau langsung berubah. Tentu saja ia sangat terkejut. Jika 
Senapati Malingkat bisa selamat dan benar-benar 
melaksanakan ancamannya, berarti ia akan menjadi 
buronan kerajaan. Hal itu sudah pasti tidak diinginkannya. 
Apa gunanya memperoleh banyak harta jika hidup menjadi 
buronan.
"Benar-benar licik manusia satu itu!"
Katak Hijau menggeram. Ia sadar ancaman itu sangat 
berbahaya. Jelas tidak ada pilihan lain baginya kecuali

terpaksa membantu Senapati Malingkat. Katak Hijau pun 
segera melayang ke tengah arena, di mana Senapati 
Malingkat tengah jatuh bangun untuk menyelamatkan din.
"Kok Uok kok...!"
Sosok bayangan yang tengah mendesak Senapati 
Malingkat terpaksa harus menunda serangannya. Suara 
katak yang datang dari sampingnya itu dirasakan sangat 
aneh. Dan, alangkah terkejutnya dia. Dilihatnya Katak Hijau 
tengah berjongkok dengan mulut terbuka. Dari mulut itu 
meluncur keluar gulungan asap berwarna kehijauan yang 
disertai bunyi aneh seperti suara katak. Bau amis yang 
tercium membuat sosok bayangan itu sadar kalau asap 
kehijauan mengandung racun mematikan. Cepat ia 
melemparkan tubuhnya ke belakang menghindari asap 
beracun.
Tindakan sosok bayangan membuat Senapati 
Malingkat tersenyum iblis. Ia melihat satu peluang yang 
sangat baik untuk melakukan pembalasan. Senapati 
Malingka bergegas melompat bergulingan di tanah. 
Disambarnya pedang yang tadi terjatuh. Dan dengan 
sebuah teriakan panjang, Senapati Malingkat melompat 
seraya melontarkan pedang di tangannya dengan sekuat 
:enaga.
Syuuuttt... Cappp!
Sosok bayangan itu tak sempat menyelamatkan diri. 
Pedang meluncur deras dan menancap di perut selagi 
tubuhnya masih berada di udara. Pedang yang menancap 
dalam hingga tembus ke belakang itu membua sosok 
bayangan ambruk di tanah. Dia menggelepar sesaat 
sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Mati!
Sementara di tempat lain ...
Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya 
Sastrawan Murung harus mengakui keunggulan Setan 
Mata Api. Pada jurus-jurus selanjutnya ia lebih banyak 
bertahan dan hanya sesekali membalas serangan. 
Keadaan itu tentu saja membuat Sastrawan Murung lama-
kelamaan menjadi terdesak.

Lima orang prajurit yang semula hanya menon ton 
serentak bangkit berdiri. Dan sebeum Sastrawan Murung 
benar-benar roboh di tangan Setan Mata Api, kelima 
prajurit pasukan khusus itu segera membantunya. Namun 
sebelum mereka memasuki arena, dua sosok bayangan 
telah mendarat di hadapan mereka.
"Tuan Senapati...?!"
Lima prajurit itu berseru kaget begitu mengena salah 
satu satu dari kedua sosok tersebut Kelimanya segera 
bergerak mundur. Wajah dan sikap Senapati Malingka 
membuat mereka curiga. Sayang, sebelum mereka sempat 
berbuat sesuatu Katak Hijau telah berjongkok seraya 
melontarkan 'Pukulan Katak Hijau'nya yang mengandung 
racun jahat!
"Kok kok kok ..!" '
Kelima prajurit itu tertegun. Heran dan belum mengerti 
dengan apa yang dilakukan Katak Hijau Keheranan mereka 
segera berubah menjadi jerit kematian. 'Pukulan Katak 
Hijau' menghantam tubuh kelimanya yang langsung 
berpentalan dan jatuh berdebuk di tanah. Mereka tewas 
dengan kulit tubuh berubah kehijauan.
Katak Hijau terkekeh. Ditatapnya Senapati Malingkat 
"Sekarang tinggal satu lagi yang harus kita bereskan," 
ujarnya seraya mengerling ke arah Sastrawan Murung.
Kemunculan Senapati Malingkat dan Katak Hijau 
membuat pikiran Sastrawan Murung bertambah kacau. 
Perhatiannya terpecah, hingga ia tak bisa lagi menghindari 
sebuah hantaman Setan Mata Api yang telak menggedor 
dada kanannya.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, Sastrawan Murung terjengkang ke 
belakang. Dadanya terasa sesak Panas dan juga nyeri. 
Kendafi demikian, Sastrawan Murung bergegas bangkit 
berdiri dan menatap tajam sosok Setan Mata Api yang 
tertawa terbahak-bahak. Sungguh tidak disadarinya betapa 
saat itu Senapati Malingkat sudah berada di belakangnya 
dengan pedang teracung

Whuuut... Crakkk...!
Terlambat bagi Sastrawan Murung untuk menyadari 
datangnya serangan. Mata pedang langsung memutus 
lehernya, tepat di saat kepalanya ditolehkan ke belakang. 
Kepala itu langsung jatuh ke tanah. Sementara dari leher 
Sastrawan Murung memancur darah segar.
"Malingkat," ujar Setan Mata Api seraya menatap lekat-
lekat wajah Senapati Malingkat. 
"Mengapa kau tidak memberitahu kami bahwa kaulah 
yang akan memimpin pengawalan ini? Jelas ini di luar 
rencana kita. Jika kau kembali ke istana dalam keadaan 
segar bugar seperti ini, mana mau mereka percaya dengan 
ceritamu? Ini jelas berbahaya. Terutama bagi dirimu. Jalan 
satu-satunya untuk melenyapkan kecurigaan orang istana 
adalah kau harus bersedia kami lukai. Dengan adanya 
luka-luka tersebut kemungkinan penjelasanmu bisa 
mereka percaya. Paling tidak, mereka akan 
mempertimbangkan ceritamu. Bagaimana, kau bersedia?"
Senapati Malingkat tidak langsung menjawab. Terlebih 
dulu ditatapnya wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau 
bergantian. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-
dalam. Sebenarnya ia tidak percaya dengan kedua tokoh 
itu. Tapi semuanya sudah telanjur. Untuk mundur jelas 
tidak mungkin. Jalan satu-satunya memang dia harus 
menerima usul Setan Mata Api.
"Tentu saja," jawab Senapati Malingkat kemudian. la 
tidak mau membuat mereka curiga karena terlalu lama 
berdiam diri. "Kurasa usulmu cukup baik. Silakan kalian 
lukai aku. Buat agar cukup parah. Tapi ingat! Kalian harus 
menyisihkan harta bagianku. Tunggu di tempat yang telah 
kutentukan. Kalian masih ingat tempat itu, bukan?"
"Heh heh heh...! Mana bisa kami lupa, Malingkat," 
Katak Hijau terkekeh seraya mengerling pada Setan Mata 
Api. "Nama tempat itu adalah Lembah Batu Hitam. 
Letaknya di sebelah tenggara wilayah utara, daerah tempat 
kita bertiga berasal."
"Kami akan menunggu kedatanganmu, Malingkat,"

Setan Mata Api menambahkan. Sedangkan dalam hati ia 
melanjutkan dengan kata-kata, "Tapi kau tidak akan 
pernah bisa datang. Malam ini kau akan kukirim ke 
akhirat!"
Senapati Malingkat mengangguk puas. Dia tidak 
menduga kalau Setan Mata Api dan Katak Hijau 
mempunyai rencana lain terhadap dirinya. Mereka bukan 
sekadar ingin melukai, tapi membunuh! Senapati 
Malingkat tidak menyadari hal itu. la sudah melangkah 
mundur. Lalu, mengangguk sebagai tanda dirinya telah 
siap.
Setan Mata Api dan Katak Hijau saling bertukar 
pandang sesaat. Kemudian, Setan Mata Api melangkah 
maju seraya membabatkan pedang ke dada Senapati 
Malingkat. Perbuatan itu dilakukan dengan tanpa 
mengerahkan tenaga dalam. Sambaran pedang itu hanya 
akan menimbulkan luka luar. Senapati Malingkat tentu 
saja tahu. Diam-diam ia tersenyum dalam hati, 
mentertawakan kebodohan Setan Mata Api.
Namun, di saat mata pedang sudah hampir mengenai 
kulit dadanya, tiba-tiba Senapati Malingkat menjadi pucat 
pasi! Ia pun sadar Setan Mata Api telah berkhianat. Di 
akhir serangan yang sudah tidak mungkin dielakkannya itu 
Setan Mata Api mengerahkan tenaga dalam!
"Kepar...!"
Breeettt!
"Arghhh...!"
Makian Senapati Malingkat berubah menjadi raung 
kesakitan yang mendirikan bulu roma. Sabetan pedang 
Setan Mata Api yang sangat kuat mengoyakkan dada 
Senapati Malingkat. Tanpa ampun lagi, tubuh senapati itu 
terpelanting disertai percikan darah yang membanjir dari 
luka di dada
Meskipun menderita luka yang parah, Senapati 
Malingkat berkeras untuk bangkit. Menyesal ia telah 
mempercayai makhluk-makhluk licik seperti Setan Mala Api 
dan Katak Hijau. Sayang, penyesalan itu terlambat

datangnya. Selagi ia tengah berusaha berdiri dengan kedua 
kaki gemetar, pukulan maut Katak Hijau meluncur datang.
Desss...!
Senapati MaUngkat menjerit ngeri. Tubuhnya 
terlempar hampir dua tombak. Kemudian, jatuh 
menggelepar seperti ayam disembelih. Sebuah telapak 
kaki yang dijejakkan di dada menghentikan gerakan tubuh 
Senapati Malingkat. Jejakan itu menghancurkan tulang-
tulang dadanya. Sepasang mata Senapati Malingkat 
terbeliak. Ditatapnya sesaat wajah Setan Mata Api dan 
Katak Hijau dengan sorot penuh dendam. Setelah itu, 
kepalanya terkulai.
"Ha ha ha...!"
Tawa Setan Mata Api dan Katak Hijau menggema 
bagai tawa setan-setan gentayangan. Dan sesaat 
kemudian, berganti dengan suara derak roda kereta
menggilas permukaan tanah berbatu.
***
Pendekar Naga Putih berdiri mematung. Tubuh-tubuh 
bersimbah darah berserakan di sekitarnya. Cuma 
pemandangan itu yang ditemuinya saat ia tiba, selain jejak 
bekas roda kereta. Sayang, saat itu hari sudah malam. 
Tentu sangat sulit menelusuri jejak roda kereta di tengah 
kegelapan.
"Jika saja peristiwa ini terjadi pada siang hari, mungkin 
aku bisa menemukan bekas jejak kereta- kereta itu," sesal 
Panji.
Namun, tiba-tiba satu suara mengusik kesendirian 
Panji
"Ha ha ha ... Hebat... hebat...!"
Suara tawa itu disusul dengan munculnya sesosok 
tubuh yang bukan lain kakek yang tadi mengejar Panji. 
Kakek itu muncul sambil bertepuk tangan keras-keras. 
Panji menatapnya dengan kening berkerut
"Apa maksud kata-katamu, Kek?" tanya Panji.

"Eh, masih mau berpura-pura juga, ya?" ujar kakek itu 
seraya menghentikan langkah setengah tombak dari Panji.
"Jelaskan maksudmu, Kek! Ini bukan saat yang tepat 
untuk berteka-teki!"
"Apa aku bilang begitu?" Kakek ini menelengkan 
kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Sorot 
matanya tajam berkilat. Amarahnya jelas terpancing nleh 
sikap kakek itu yang sengaja hendak memper-
inalnkannya. Tapi untuk meladeni ia merasa percuma saja. 
Menurut pengamatannya, kakek itu agak kurang beres 
otaknya.
"Sudahlah!" Panji mengibaskan tangannya. 
"Tidak ada gunanya melayanimu berdebat. Kalau kau 
kurang puas, silakan ajak mayat-mayat itu untuk melayani 
omonganmu. Maaf, aku harus pergi!" Panji langsung 
memutar tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Kakek itu berteriak sambil melompat 
tinggi. Dia berputar beberapa kali di udara sebelum 
mendarat satu tombak di hadapan Panji. "Mana bisa pergi 
begitu saja setelah membantai belasan prajurit kerajaan!" 
tuduh si kakek, membuat Panji terperangah kaget.
"Apa-apaan ini? Main tuduh seenak perut sendiri! 
ltukah makna tawa dan pujianmu tadi?" Panji kelihatan 
gusar sekati. la merasa tidak enak dituduh seperti itu.
"He he he ... Tidak perlu main sembunyi seperti itu 
kepadaku, Pendekar Naga Putih," sahut si kakek berkeras 
dengan tuduhannya. "Harta yang dibawa pasukan kerajaan 
yang baru kau bantai ini memang sangat banyak. Tidak 
heran kalau seorang pendekar besar sepertimu sampai 
bisa khilaf Tapi terus terang, aku tidak mempersoalkan 
kematian mereka. Aku akan tutup mulut asalkan kau mau 
membagi dua harta itu. Kau tidak keberatan, bukan? 
Separuhnya saja sudah cukup untuk kau gunakan berfoya-
foya selama hidup!"
"Gila...!" Panji menggeram. Sekarang ia benar benar 
jengkel. "Aku sama sekali tidak tahu-menahu seal harta

yang kau maksud itu. Kau sendiri yang menyebut-
nyebutnya. Aku jadi curiga...."
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih?"
"Semua ini pasti sudah kau atur bersama kawan-
kawanmu." lanjut Panji seraya tersenyum sinis. "Kau 
sengaja mencegahku tadi. Itu baru kusadari saat 
menemukan mayat-mayat yang berserakan di tempat ini. 
Jelas kau menghambat perjalananku agar pekerjaan 
kawan-kawanmu tidak terganggu."
"Ha ha ha...!" Tuduhan balik Panji malah membuat si 
kakek tergelak. "Maling teriak maling. Bagus... bagus! Aku 
suka itu... aku suka!"
Panji menggelengkan kepala. Melayani bicara kakek 
itu, ia jelas tidak bakal menang.
"Terserah kau sajalah, Kek. Yang jelas aku tidak 
membunuh mereka. Sekarang aku mau pergi! Akan kucari 
dua buah kereta kuda itu sebagai bukti kalau aku tidak 
bersalah!" usai berkata demikian, Panji benar-benar 
melangkah pergi. Tak akan dipedulikannya meski kakek itu 
akan mencegah.
Si kakek kembali tertawa mengekeh. Kali ini ia tidak 
mencegah kepergian Panji. 'Ya, temukanlah Setan Mata Api 
dan Katak Hijau, Pendekar Naga Putih. Manusia-manusia 
licik itu telah mengkhianatiku. Mereka telah 
memperdayaiku, yang mencegahmu agar tidak sampai 
menggagalkan rencana perampokan," ujar si kakek dalam 
hati seraya menatap kepergian Pendekar Naga Putih.
Sepeninggal Panji, kakek ini segera memeriksa mayat 
mayat Ketika berdiri di dekat mayat Senapati Malingkat, 
mulutnya berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak 
jelas.
"Setan Mata Api, Katak Hijau!" ujar si kakek kemudian. 
Suaranya lantang dan bergetar. "Tunggulah. Akan ada 
pembalasan yang mengerikan untuk orang-orang serakah 
seperti kalian...!" Dalam suara kakek itu terkandung 
sesuatu yang menggetarkan hati. Seperti menyimpan suatu 
kutuk mengerikan. Mengandung getaran dendam dan sa

kit hati. Yang kelak akan dibalasnya dengan cara yang tak 
pernah terlintas dalam pikiran Setan Mata Api maupun 
Katak Hijau.
***

ENAM

Hari itu adalah hari kesembilan sejak peristiwa di Bukit 
Dampet Pagi setelah terjadinya perampokan Panji 
menelusuri jejak roda kereta yang berisikan harta kerajaan. 
Pada hari kesembilan, saat menjelang siang, Panji berhasil 
menemukan dua buah kereta kuda tersebut Namun kedua 
kereta itu telah kosong. Tak satu pun benda berharga ter 
sisa di dalamnya.
Hal itu tidak membuat Panji menyerah. Apalagi ia 
sudah bisa memperkirakan ke mana perampok- perampok 
itu melarikan diri. Jejak roda kereta terus bergerak ke arah 
utara. Dari kenyataan itu Panji mengambil kesimpulan 
kemungkinan besar perampok-perampok berasal dari 
daerah utara. Atau paling tidak, hendak membawa harta 
rampokannya ke wilayah utara.
Perkiraan itu memang masih dalam rabaannya saja. 
Memang hal itu bisa dijadikan sebagai pegangan. Selain itu 
memang tidak ada petunjuk lagi. Dan la sama sekali belum 
mendapat gambaran tentang ciri-ciri dari perampok-
perampok itu, yang berjumlah sedikitnya dua orang. Sebab 
tidak mungkin satu orang bisa membawa dua buah kereta 
kuda sekaligus. Dan Panji memang harus mengakui 
kelihaian perampok-perampok itu yang tidak pernah 
melintasi daerah pemukiman penduduk. Dua buah kereta 
kuda itu selalu dibawa melalui daerah-daerah sepi yang 
jauh dari tempat-tempat pemukiman penduduk. Sehingga 
Panji menemui kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri atau 
pun jumlah perampok-perampok itu. Tidak ada orang yang 
bisa ditanyainya untuk mencari keterangan tentang kereta 
kuda atau pun orang-orang yang membawanya.
Suara langkah orang berlari mengusik lamunan Panji. 
Tubuhnya segera diputar menghadap arah suara langkah 
itu datang. Dan, pandangannya terbentur pada dua sosok 
tubuh yang kemudian berhenti tepat di depannya.
Tanpa berkata sepatah pun kedua pendatang itu 
meneliti Panji dari ujung kepala sampai kaki. Dan tanpa

sadar Panji melakukan hal yang sama pada mereka 
Keduanya adalah seorang nenek berambut putih riap-
riapan dan seorang gadis cantik bermata bulat Mata itu
bersinar sinar. Mencerminkan watak yang jenaka. Di ujung 
bibir sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat. Tanda 
bahwa gadis cantik itu seorang yang cerewet.
"Hei! Mengapa kau pandangi kami seperti itu? Belum 
pernah berjumpa dengan perempuan, ya?" Gadis cantik 
bertahi lalat menegur Panji lebih dulu. Suaranya terdengar 
galak. Begitu juga dengan roman mukanya. Malah, dia 
bertolak pinggang segala.
Tadinya Panji bermaksud membela diri. Karena 
mereka juga melakukan perbuatan serupa kepada dirinya. 
Tapi niat itu diurungkan. Ditariknya napas sesaat, lalu 
dicobanya tersenyum ramah kepada mereka.
"Maaf, kalau sikapku membuat Nona tidak suka...."
"Siapa bilang aku tidak suka?"
Gadis bertahi lalat memotong kalimat Panji. Sementara 
nenek berambut putih riap-riapan bersikap tidak peduli. 
Nenek itu tetap meneliti Panji. Dari kepala ke ujung kakl, 
kemudian balik dari kaki ke ujung kepala. Perbuatan itu 
dilakukannya sampai berulang-ulang.
"Jika demikian, biarlah kutarik lagi perkataanku llu," 
Panji tetap menunjukkan sikap ramahnya. "Dan maaf kalau 
sikapku tadi telah membuat Nona merasa suka." 
"Aku juga tidak bilang begitu!" Lagi-lagi gadis itu 
menukas.
"Hh...," Panji menghela napas "Entah apa lagi yang 
harus kukatakan kepadamu, Nona...."
"Tanya kek siapa namaku. Itu kan lebih enak 
didengarnya," sahut gadis bertahi lalat.
"Aneh...?!" gerutu Panji seraya menggaruk-garuk 
kepala. Bukan karena gatal, tapi bingung menghadapi 
sikap aneh gadis itu. "Hik hik hik...!"
Panji mengalihkan perhatiannya pada sosok nenek 
berambut riap-riapan. Sejak tadi nenek itu cuma diam 
sambil terus memperhatikannya. Dan sekalinya membuka

mulut, si nenek tertawa mengikik seraya menutupi 
mulutnya seperti lagak seorang gadis saja. Sikap nenek 
mau tidak mau membuat Panji tersenyum geli.
"Tanyalah, Anak Tampan, tanyalah," si nenek malah 
menyumh Panji. "Apa kau tidak tertarik dengan muridku 
yang bahenol ini? Wajahnya cantik dan segar berseri-seri. 
Tubuhnya langsing padat," lalu dia berpaling kepada 
muridnya. "Coba biarkan anak tampan itu memegang 
tubuhmu, Muridku. Biar dia rasakan sendiri betapa hangat 
dan lunaknya tubuhmu yang bahenol itu," perintahnya 
kepada si
gadis yang ternyata muridnya.
Ucapan nenek itu tentu saja membuat Panji jengah. 
Parasnya berubah kemerahan. Nenek gendeng, gerutu 
Panji dalam hati. Diam-diam ia merasa kasihan kepada 
gadis bertahi lalat, yang menurutnya pasti merasa malu 
dengan permintaan gurunya itu.
Tapi, alangkah kaget hati Panji sewaktu melihat gadis 
itu tersenyum malu-malu seraya menggoyang- goyangkan 
tubuhnya. Gadis ini melangkah maju mendekati Panji. 
Tubuhnya disorongkan untuk dipegang Panji seperti 
permintaan gurunya.
"Peganglah, Anak Tampan. Raba sesukamu. Bagian 
yang mana saja boleh," sambil diselingi kekehnya si nenek 
memerintah Panji. Karuan saja Panji menjadi kelabakan!
"Celaka..." keluh Panji dalam hati. "Guru dan murid 
sama gilanya! Mereka jelas tidak sedang bermain-main. 
Heran, mengapa belakangan ini aku sering menemukan 
manusia kurang waras?"
"Mengapa bengong, Anak Tampan? Hayo, jangan malu-
malu!"
Si nenek mendesak Panji yang makin kelabakan dan 
salah tingkah. Sementara gadis cantik bertahi lalat sudah 
berdiri di depan hidung Panji. Kendati kedua belah pipinya 
dironai warna kemerahan, namun ia tidak malu-malu 
menarik tangan Panji dan dibawanya ke tubuhnya.
Panji terperangah dalam keheranan. Terbengong

bengong memandang si nenek dan gadis di depannya 
bergantian. Seperti tidak sadar tangannya dibiarkan 
dibawa gadis itu ke bagian tubuhnya yang paling menonjol. 
Buah dada yang membukit dan sedang ranum-ranumnya. 
"Aiii...!"
Setengah terpekik Panji menarik tangannya. Hampir 
saja ia menyentuh buah dada gadis itu. Dengan wajah 
kemerahan Panji melompat mundur. Sementara si gadis 
membelalakkan matanya. Kelihatan sekali betapa ia 
sangat heran dengan tindakan Panji. Yang ia tahu selama 
ini, tak ada seorang lelaki pun akan menolak jika diberi 
kesempatan seperti itu. Hanya lelaki tolol saja yang 
berbuat begitu. Mungkin pemuda ini termasuk dalam 
golongan itu, pikirnya dalam keheranan.
Lain tanggapan gadis itu, lain pula tanggapan si nenek. 
Parasnya langsung berubah. Kekehnya seketika lenyap. 
Wajahnya membesi dengan sorot mata yang nyata-nyata 
menunjukkan kemarahan.
"Hei, Pemuda Bego!" Si nenek memaki Panji. Suaranya 
melengking menusuk telinga. Jari telunjuknya yang 
berkuku runcing ditudingkan lurus-lurus ke wajah Panji. 
"Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Apa yang kau 
lakukan merupakan penghinaan tak berampun. Hanya 
nyawamu yang dapat menebusnya!"
Panji terperangah. Sungguh tak disangka tindakannya 
membuat nenek itu marah besar. Padahal, yang 
dilakukannya adalah suatu kebenaran. la telah 
menyelamatkan si gadis dari rasa malu.
"Nek," ujar Panji. "Tidak ada niat sedikit pun di hatiku 
untuk menghina kalian berdua. Dan.. ."
"Cukup! tidak pertu berdalih lagi!" Si nenek membentak 
garang. "Menolak untuk menyentuh tubuh muridku sama 
artinya dengan melakukan penghinaan besar! Padahal, 
sewaktu pertama kali melihatmu aku sudah merasa cocok 
untuk menjadikanmu suami muridku. Itu adalah suatu 
kehormatann yang tiada taranya. Aku tidak pernah 
sembarangan memilih Tapi kau ternyata menolaknya

mentah-mentah. Satu-satunya cara untuk menebus 
penghinaan ini adalah kematianmu! Nah, Murni," lanjutnya 
seraya menoleh kepada muridnya. "Bunuh pemuda yang 
tidak tahu diuntung itu!" perintahnya tanpa bisa ditawar 
lagi. 
Gadis cantik bertahi lalat yang bernama Murni ini 
segera mematuhi perintah gurunya. Terdengar suara angin 
berdesing sewaktu ia mencabut pedang. Lalu, tanpa 
berkata apa-apa lagi Murni mengayun langkahnya 
menghampiri Panji.
"Murni, tahan dulu...!" Panji berusaha mencegah. 
Kedua telapak tangannya diangkat di depan dada. "Aku 
tidak ingin kelak kau menyesali perbuatanmu. Sekali lagi 
kutegaskan, aku sama sekali tidak bermaksud 
menghinamu. Simpanlah senjatamu itu. Jangan turuti 
nafsu amarah yang dihembuskan setan."
Tapi Murni tidak mendengarkan kata-kata Panji. Gadis 
ini terus melangkah dengan pedang terhunus. Sorot 
matanya tajam berkilat, memancarkan tekad yang tidak 
bisa dicegah. "Haliittt..!""
Tiga langkah di dekat Panji, Murni membentak seraya 
membabatkan pedangnya yang memperdengarkan suara 
mengaung. Serangan itu jelas tidak main-main. Panji yang 
tidak ingin kehilangan kepala segera bergerak mundur. 
Babatan pedang yang mengancam lehernya lewat satu 
jengkal. Dan Panji masih harus berlompatan beberapa kali 
ketika se-rangan Murni tidak berhenti sampai di situ.
"Terus, Murni, terus!" Si nenek berteriak-teriak 
memberi semangat. "Pemuda tolol macam dia tidak perlu 
diberi hati. Jangan ragu-ragu. HaHsi saja pemuda sial 
dangkalan itu...!"
Dan Murni memang tidak main-main. Serangannya 
datang bertubi-tubi laksana curahan air hujan. Agak repot 
juga Panji dibuatnya. Murni ternyata bukan gadis 
sembarangan. Kecepatan dan kekuatan serangannya 
menunjukkan kepandaian yang tinggi. Lama-kelamaan 
Panji menjadi waswas juga. Jika terus-terusan menghindar,

bukan mustahil serangan itu akan mengenai tubuhnya.
"Berhenti, Murni! Jangan paksa aku untuk melawan!"
Panji berseru di tengah desing pedang Murni, Namun, 
gadis itu tidak peduli. Malah serangannya semakin 
diperhebat.
Kesabaran Panji mulai habis. Kalau dinasihati sudah 
tidak bisa, maka jalan satu-satunya adalah unjuk gigi. 
Ketika serangan Murni kembali datang mengancam, Panji 
langsung memapakinya dengan satu tangkisan menyilang.
Tapi Panji kecewa. Tangkisannya hanya membabat 
angin kosong. Murni sudah lebih dulu merubah
serangannya. Dengan gerak berputar yang indah, 
pedangnya langsung beralih sasaran Kalau tadi meluncur 
lurus ke dada Panji, maka kali ini leher yang menjadi 
incarannya.
Whuuuttt..!
Panji menekuk lutut dan tubuhnya hingga sambaran 
pedang lewat di atas kepala. Lengannya kemudian diputar 
sambil menggeser kaki kanan ke depan. Gerakan itu 
dilakukan Panji dengan sangat cepat. Murni menahan 
pekiknya ketika tahu-tahu saja jari jari Panji sudah 
menceka pergelangan tangannya hingga pedangnya 
terlepas dari genggaman. Tubuhnya sendiri terjajar oleh 
dorongan tangan kiri Panji pada perutnya.
Panji baru saja hendak menarik napas lega, tapi 
sambaran angin keras menerpa tubuhnya. Sebuah telapak 
tangan yang dilandasi kekuatan hebat langsung 
membentur tubuh.
Deeesss...!
Tak ayal lagi tubuh Panji terlempar deras dan jatuh 
terguling-guling di tanah. Panji menyeringai kesakitan. 
Dadanya berdenyut-denyut oleh rasa nyeri. Pukulan itu 
telah mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya. 
Untungnya, 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' langsung 
bekerja dan menyembuhkan luka dalam itu. Pengaruh 
tenaga mukjizat tersebut membuat sekujur tubuh Panji 
dilapisi pancaran sinar kuning keemasan.

"Ayyyaaa...!" Si nenek memekik tertahan menyaksikan 
munculnya sinar kuning keemasan yang membungkus 
tubuh Panji. 'Ternyata pemuda tak tahu diuntung itu adalah 
Pendekar Naga Putih!" serunya dengan roman muka 
terkejut.
"D-dia... Pendekar Naga Putih...?!' Murni tidak kalah 
kagetnya .
"Kalian tidak keliru,' ujar Panji seteah pengobatan 
terhadap lukanya selesai. "Aku, pemuda tolol dan bego ini 
memang dijuluki Pendekar Naga Putih."
"Hih hih hih...!" Si nenek terkikik seraya menutup mulut
dengan telapak tangan. "Bagus... bagus! sungguh suatu 
kebetulan yang sanga menyenangkan Nah, Pendekar Naga
Putih. Setelah aku mengetahui siapa kau sebenarnya, 
maka biarlah kutarik kembali kata kata yang tadi 
kuucapkan. Aku tidak akan membunuhmu."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Nek," ucap 
Panji tersenyum lega.
"Tapi...," Si nenek memandang Panji dengan mata 
berbinar "Dengan satu syarat, kau harus bersedia menjadi 
suami muridku "
"Celaka...!" desis Panji dalam hati. "Rupanya nenek 
sinting ini tidak berubah juga!"
"Jawablah, Pendekar Naga Putih," si nenek mendesak 
tak sabar. "Katakan kalau kau bersedia mengawini 
muridku yang bahenol ini. Sebab jika menolak, kau akan 
kubunuh!" lanjutnya kembali mengancam.
Panji tetap bungkam. Nenek itu tampaknya benar-
benar akan melaksanakan ancamannya. Ini sangat 
berbahaya sekali. Nenek berambut putih riap-riapan itu 
sangat lihai.
"Lebih baik kau terima tawaranku, Pendekar Naga 
Putih. Dengan begitu, akan banyak keuntungan yang kau 
peroleh," Si nenek kembali berkata.
"Tapi, Nek ..."
"Tidak periu kau jelaskan, Pendekar Naga Putih! Aku 
tahu alasan apa yang hendak kau ajukan. Aku bisa

membacanya dari raut wajahmu. Dan melalui dua kereta 
kuda itu, aku juga bisa mengetahui siapa yang sedang kau 
buru." "Eh?"
Panji menarik wajahnya dengan wajah kaget. Apa yang 
dikatakan nenek berambut putih riap-riapan itu memang 
sangat mengejutkan hatinya. Tapi kekagetan itu cuma 
berlangsung beberapa saat saja.
Sebuah pikiran yang melintasi benaknya membuat 
Panji meragukan kebenaran kata-kata si nenek. Siapa tahu 
itu adalah siasat si nenek untuk menjeratnya.
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak 
membuktikan kata-katamu, Nek?" pancing Panji.
Si nenek tersenyum. Diperhatikannya dua kereta kuda 
yang berada di belakang Panji "Kereta kuda itu milik 
kerajaan," jelasnya tanpa mengalihkan perhatian. 
"Sebelumnya berisikan emas permata yang sangat mahal 
harganya. Kusirnya dua orang berkepandaian tinggi. 
Dikawal dua belas prajurit langguh yang dipimpin seorang 
senapati. Dan...," tiba-tiba si nenek memejamkan matanya.
"Ada apa, Nek?!" Panji bertanya dengan rasa 
prnasaran yang besar. Keterangan nenek itu benar- IxMiar 
mengejutkan hatinya. Meskipun ia tidak tahu lunyak, 
namun tentang isi kereta kuda dan dua belas prajurit itu 
memang sudah tepat. Begitu juga dengan senapati dan 
dua kusir kereta. Jumlah itu sama persis dengan mayat-
mayat yang ditemuinya di Bukit Dampet beberapa hari lalu 
Dan itu benar-benar satu berita yang sangat menarik 
baginya. Karena ia sekarang yakin kalau nenek itu juga 
pasti tahu siapa pelaku perampokan dan pembantaian itu.
"Senapati yang menjadi pimpinan rombongan itu 
ternyata seorang pengkhianat. Bersama dua orang 
kawannya yang menghadang di sebuah jalan sempit, ia 
membantai prajurit prajuritnya sendiri. Sayang, ia keliru 
memilih orang. Dia mati dibunuh kedua rekannya itu. 
Mereka lalu membawa lari kereta kuda yang berisi harta 
berlimpah," lanjut si nenek mengakhiri penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Nek?!"

Diam-diam timbul kecurigaan di hati Panji. Jangan-
jangan guru dan murid itulah yang menjadi pelakunya. 
Kemunculan mereka sangat aneh. Tepat di saat kedua 
kereta kuda yang telah kosong itu ditemukan.
"Goblok! Diberitahu malah menuduh yang bukan-
bukan! Buang pikiran itu dari kepalamu, Pendekar Naga 
Putih!" bentak si nenek.
"Gila! Rupanya ia benar-benar dapat membaca pikiran 
orang!" gumam Panji dalam hati. la merasa tidak enak 
juga.
"Tidak semua orang memiliki kepandaian seperti ini, 
Pendekar Naga Putih. Dengan kepandaian inilah aku bisa 
membaca jalan pikiran orang. Mengetahui suatu kejadian 
yang sudah maupun akan terjadi. Dan..., eh?!"
Tiba-tiba si nenek memejamkan matanya. la melihat 
sesuatu pada wajah Pendekar Naga Putih.
"Kau... pernah bertemu, dan bahkan berselisih dengan 
bangsat tua keparat itu!" ujar si nenek dengan setengah 
memekik. Parasnya nampak agak memucat
"Siapa yang kau maksud, Nek?" Panji menjadi tegang 
sewaktu menyaksikan perubahan wajah nenek itu. 
Dilihatnya ada sorot kemarahan dan kebencian dalam 
sepasang matanya.
"Setan Tua Gila..,!" desis si nenek. "Kau pernah 
berjumpa dengannya, bukan?"
"Setan Tua Gila?!"
"Kau sempat bertengkar mulut serta meladeninya
bermain-main," ujar si nenek untuk membantu ingatan 
Panji. Itu kau lakukan di saat perampokan tengah 
bertangsung."
"Aah...!" Panji menampar keningnya perlahan.
Sekarang ia baru ingat. "Jadi, kakek sinting itukah yang kau 
maksud? Ya, aku memang telah bertemu dengannya
Apakah Setan Tua Gila ada hubungannya dengan
perampokan itu?"
Si nenek menggeleng lemah. "Kalau itu aku tidak tahu. 
Kecuali jika aku bertemu langsung dengan Setan Tua Gila.

Sedangkan kedua perampok itu adalah...," si nenek tidak 
melanjutkan. Senyumnya mengembang, seperti baru sadar 
kalau dia telah terlalu banyak bicara.
"Siapa mereka, Nek?" desak Panji.
Si nenek menggeleng. "Enak saja kau mencari 
keterangan secara cuma-cuma," ujarnya. "Semua yang 
kukatakan tad'i sudah lebih dari cukup. Sekarang aku 
menuntut jawabanmu. Jika kau bersedia, bukan saja nama 
kedua perampok itu yang akan kau ketahui, tapi aku 
bahkan akan membantumu menangkap mereka."
Pendekar Naga Putih menarik napas dalam-da- lam. 
"Maaf, Nek, aku tidak bisa menerima tawaran- mu. Terus 
terang, aku sudah mempunyai calon istri," jelasnya.
"Huh, jangankan cuma calon. Kalaupun kau sudah 
beristri, itu tidak jadi soal. Yang penting kau bersedia 
menjadi suami muridku," si nenek berkeras Sementara 
Murni menunggu dengan sabar. Membiarkan gurunya yang 
menyelesaikan semua itu "Dengar, Pendekar Naga Putih. 
Aku melihat bahaya besar bakal menimpamu. Kau tidak 
akan mampu menghadapinya seorang diri. Suatu kekuatan 
maha dahsyat akan menghadang. Hanya aku dan muridku 
yang bisa menolongmu. Dan kami rela mempertaruhkan 
nyawa asalkan kau bersedia menjadi suami muridku ini."
"Aku tidak bisa, Nek," Panji berkata dengan wajah 
menyesal. "Dan aku tidak mau mendustai kalian dengan 
mengatakan bersedia menerima tawaran itu. Tidak. Itu 
bukan sifatku."
"Hm...," si nenek mengangguk-angguk. Nampaknya ia 
bisa menerima alasan itu "Sekarang begini saja. Kami 
berdua akan membantumu. Jika kami berdua binasa, kau 
boleh bebas. Tapi jika kita semua selamat, atau cuma aku 
yang tewas, maka kau harus mengawini muridku. 
Bagaimana? Aku sudah memberi kebijaksanaan 
kepadamu, Pendekar Naga Putih."
"Maaf Nek, aku tetap tidak bisa," Panji menggeleng
lemah. "Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak 
mungkin dapat kulakukan."

"Keras kepala!" Si nenek menggeram dengan wajah
bengis. "Kau memang hendak menghina kami! Pemuda 
tolol sepertimu sebaiknya mampus saja!”
SI nenek langsung melompat dengan kecepatan luar 
biasa. Teriakannya mengguntur, meningkahi sambaran 
angin pukulannya yang menderu keras laksana topan 
prahara.
Whuuusss... blaaarrr...!
Beruntung Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya 
Pukulan nenek itu pun membongkar tanah di bekas 
tempatnya berdiri Bongkahan tanah beterbangan disertai 
kepulan debu. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Dia 
segera melesat pergi menerobos semak belukar. Panji 
merasa tidak punya alasan untuk bertempur dengan nenek 
itu.
"Kurang ajar...!"
Si nenek mendesis gusar. Dari balik kepulan debu 
dilihatnya sosok Panji yang hendak melarikan diri. Cepat 
bagai kilat diterobosnya kepulan debu itu. Pukulan 
mautnya kembali menderu ketika sosok bayangan Panji 
hampir menghilang ke dalam rimbunan semak.
Sambaran angin pukulan itu mengejutkan Panji. Tidak 
mungkin baginya untuk melanjutkan niatnya. Pukulan itu 
memang tidak ditujukan ke tubuhnya, tapi pada semak 
belukar di depannya. Jika ia melanjutkan, maka 
tubuhnyalah yang akan menjadi sasaran. Panji terpaksa 
melenting kembali ke belakang.
"Bagus...!"
Terdengar suara pujian si nenek. Dan seiring dengan 
terbongkarnya semak belukar yang memperdengarkan 
ledakan keras, nenek itu mendarat setengah tombak di 
dekat Panji meluncur turun. Tanpa memberi kesempatan 
lagi si nenek menerjang dengan hebatnya.
Panji terpaksa mengangkat kedua lengannya 
menyambuti serangan itu. Untuk mengelak tidak ada 
kesempatan lagi.
Plak! Dukkk!

Benturan kedua pasang lengan membuat Pendekar 
Naga Putih memekik tertahan. Lengannya terasa nyeri 
bukan main, sementara tubuhnya terpental satu tombak ke 
belakang Dan selagi tubuhnya melayang di udara, si nenek 
sudah menyusuli dengan serangkaian totokan.
Panji mengetuh pendek. Tiga totokan bersarang telak 
di tubuhnya. Seketika pemuda itu kehilangan kesadaran. Si 
nenek yang tidak ingin tubuh Pendekar Naga Putih 
terbanting ke tanah, buru-buru menyambarnya.
Berterima kasihlah kepada gurumu ini, Murni. Pemuda 
inilah satu-satunya yang dapat menolongmu. Dalam
tubuhnya mengalir darah naga siluman. Aku yakln itu Sejak 
pertama kali melihatnya, aku bisa merasakan getaran 
darah mukjizat tersebut Hih hih hih...!" Si nenek terkekeh 
senang.
Murni sendiri berseri-seri wajahnya. Gadis ini segera 
menjatuhkan diri di hadapan gurunya. Sambil berlutut dia 
mengucapkan terima kasih. Murni baru berani bangkit 
berdiri setelah mendapat perkenan gurunya. Diikutinya 
langkah si nenek meninggalkan tempat itu dengan 
membawa tubuh Pendekar Naga Putih.
***

TUJUH

Di bawah langit sore dua sosok tubuh tampak berlari 
bagai dikejar setan. Langkah kaki mereka tak beraturan. 
Dengus napas yang terdengar tak ubahnya kuda pacu. 
Peluh mengalir deras di wajah yang agak pucat. Melihat 
keadaan itu tampaknya mereka telah berlari melewati 
batas kemampuan, dan telah menempuh jarak yang 
sangat jauh.
Keadaan kedua sosok tubuh itu sebenarnya bukanlah 
sesuatu yang mengherankan kalau terjadi pada orang 
biasa. Tapi, mereka bukanlah orang- orang kebanyakan. 
Kedua sosok tubuh itu tidak lain Katak Hijau dan Setan 
Mata Api. Dua gembong kaum sesat yang keganasannya 
menjadi momok tokoh tokoh persilatan daerah utara.
Langkah-langkah mereka sudah sangat kelelahan, 
yang akhirnya tak dapat dipertahankan lagi. Keduanya 
jatuh terguling-guling di pinggiran sebatang sungai. Terus, 
terjerembab masuk ke dalam air. Sesaat tubuh keduanya 
lenyap ditelan air sungai.
"Fuaaahhh...!"
Katak Hijau menyembul ke atas permukaan air seraya 
menghempaskan napas kuat-kuat. Setan Mata Api 
menyusul kemudian. Keduanya lalu berenang ke tepian 
setelah mengibaskan air yang membasahi kepala. Tiba di 
tepian mereka melempar tubuhnya ke atas rerumputan 
yang agak kering.
"Keparat..!" umpat Setan Mata Api tiba-tiba seraya 
meninju tanah kuat-kuat. "Nasib kita benar- benar sedang 
sial! Musnah sudah impian untuk bisa menikmatl hidup 
dengan penuh kemewahan!"
Katak Hijau menoleh sekilas. Dihembuskannya napas 
kuat-kuat tanpa berniat menimpali kata-kata Setan Mata 
Api Nampaknya Katak Hijau lebih bisa menerima 
kenyataan yang terjadi. Tanpa berkata- kata pandangannya 
dialihkan kembali menatap langit sore.
"Kelihatannya kau rela menerima penghinaan ini

begitu saja, Katak Hijau? Tidak adakah niat di hatimu 
untuk merebut kembali semua hasil jerih payah kita?" 
Setan Mata Api bertanya dengan mimik wajah mencemooh. 
Kelihatan sekali perasaan tidak sukanya terhadap sikap 
yang ditunjukkan Katak Hijau.
Katak Hijau masih membisu. Ditariknya napas sesaat. 
Lalu, wajahnya dipalingkan dengan gerak perlahan. 
Ditentangnya tatapan Setan Mata Api. Untuk beberapa saat 
mulutnya tetap terkunci.
"Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat, Setan Mata Api," 
ujar lelaki itu kemudian. Pelan dan dalam desahan napas 
yang menunjukkan keputusasaan. "Raja Sesat Selatan 
bukanlah tandingan kita. Apa yang bisa kita perbuat? 
Masih bagus kita dapat menyelamatkan diri. Jika tidak, kau 
tahu sendiri bagaimana kejamnya manusia satu ini Jadi, 
seharusnya kau malah bersyukur karena masih bisa 
melihat matahari esok pagi."
Setan Mata Api membungkam. Harus diakuinya 
kebenaran ucapan Katak Hijau. Kalau dipikir- pikir memang 
tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Raja Sesat 
Selatan bukan tandingan mereka berdua. Memikirkan 
untuk membalas perbuatan tokoh sesat nomor satu di 
daerah selatan itu, sama artinya dengan mencari mati.
Srakkk...!
Suara dedaunan kering yang terinjak membuat Setan
Mata Api dan Katak Hijau tersentak kaget. Keduanya 
bergegas bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan ke 
sekeliling tempat itu. "llfhhh...!" 
Bukan cuma Katak Hijau saja yang menutup hidung. 
Setan Mata Api pun ikut-ikutan. Mereka saling 
berpandangan dengan kening berkerut. Ke- heranan 
tergambar jelas di wajah keduanya. Bau yang memualkan 
perut menyergap hidung mereka saat angin sore tiba-tiba 
berhembus agak keras. Bau yang membuat bulu kuduk 
mereka meremang. Bau mayat yang telah membusuk!
"Kurang ajar!" Setan Mata Api mendesis jeng- kel untuk 
mengurangi kengerian hatinya. "Bau bu suk ini benar-benar

memualkan perut! Siapa pula yang mati di tempat sepi 
seperti ini?!"
Srakkk...!
Suara dedaunan kering terinjak membuat oceh- an 
Setan Mata Api langsung terhenti. Tokoh bertu- buh besar 
dan tinggi ini sampai berjingkrak kaget. Di tengah 
ketegangan yang mencekam, suara deda¬unan kering 
terinjak seolah terdengar bagai ledakan petir. Kengerian 
dirasakan kian memuncak! Lebih- lebih bau bangkai 
semakin keras tercium. Setan Mata Api sampai 
mengeluarkan keringat dingin!
"A-aku merasakan ada sesuatu yang tidak be- res...!" 
Katak Hijau berbisik lirih. Wajah yang bia sanya berwarna 
kehijauan itu kini nampak pu- cat. Katak Hijau pun dilanda 
ketegangan dan 
kengerian. Bau busuk mayat yang semakin keras 
seperti bisikan malaikat maut yang siap merenggut 
nyawanya.
"A-apa... maksudmu?" tanya Setan Mata Api. Meski 
laki-Iaki itu merasa nalurinya juga menga- takan ada 
sesuatu yang tidak wajar. Sejak semula perasaan itu 
berusaha disembunyikannya. Ia tidak ingin Katak Hijau 
sampai mengetahui perasaannya itu. Tentu saja ia kaget 
sewaktu mendengar ucapan Katak' Hijau.
Pernyataan Katak Hijau membuat Setan Mata Api 
maklum kalau apa yang mereka berdua rasakan Itu bukan 
lagi suatu kebetulan. Hanya saja ia masih belum bisa 
mengerti mengapa bau busuk mayat sa- |a dapat 
menimbulkan pengaruh yang begitu besar kepada mereka 
berdua. Padahal bagi mereka bau nlaupun hamparan 
mayat bukanlah sesuatu yang inch. Bahkan bisa dikatakan 
bahwa hal itu merupa- knn santapan hidung dan mata 
mereka sehari-hari. In II Hdak aneh kalau sekarang mereka 
keheranan. 'irbab apa yang mereka alami dan rasakan itu 
me- inang sangat tidak wajar. Lain persoalan jika orang Inin 
yang mengalami dan merasakannya.

Katak Hijau belum sempat menjawab perta- ■ ivnnn 
Setan Mata Api, ketika terdengar suara napas
MAKIII UK HAUS DARAH 
yang berat. Suara napas itu membuat hati mereka 
bergetar dalam cekaman kengerian memuncak. Dan selagi 
mereka saling berpandangan dengan wa¬jah pucat-pasi, 
dari rimbunan semak di sebelah kiri menyeruak sesosok 
tubuh.
"K-kau...!" Dengan paras sepucat mayat dan mata 
terbelalak lebar, jari-jari gemetar Setan Mata Api menuding 
sosok tubuh itu.
"Mus... tahil!"
Cuma kalimat itu yang bisa diucapkan Katak Hijau. 
Sepasang matanya terbelilak lebar. Mulutnya ternganga 
dengan kepala digelengkan. Tidak perca¬ya dengan apa 
yang dilihatnya. "Hhh...!"
Sosok yang baru datang kembali mengeluarkan 
desahan berat, Langkahnya tertatih menghampiri Setan 
Mata Api dan Katak Hijau. Bau busuk ter- sebar dari 
tubuhnya.
Keadaan sosok yang baru muncul ini memang sanggup 
merontokkan jantung. Sorot matanya di- ngin dan kosong. 
Tidak ada cahaya kehidupan sedi- kit pun. Daging wajahnya 
menggembung bengkak, kendati masih bisa dikenali. 
Pakaian di bagian dada terkoyak memperlihatkan luka 
melintang sepanjang satu jengkal. Di luka itu terlihat 
makhluk-makhluk kecil. Belatung! Tapi yang paling 
mehgejutkan Se tan Mata Api dan Katak Hijau, sosok 
mengerikan itu adalah Senapati Malingkat! Padahal, 
mereka berdua tahu betul kalau Senapati Malingkat telah 
tewas. Merekalah yang membunuhnya!
"Katak Hijau... Setan Mata Api.... Aku datang untuk 
menagih hutang di antara kita," sosok mayat Senapati 
Malingkat berkata dengan susah payah.
"Tidak... tidak!" Setan Mata Api bergerak mundur 
seraya menggoyang-goyangkan teiapak ta¬ngan. la belum 
bisa menerima kenyataan yang ba- qinya sangat mustahil

itu.
"Pergi! Jangan ganggu kami! Kau... sudah mati. Sudah 
mati!"
Katak Hijau pun tersurut mundur. Kemunculan i isok 
mayat Senapati Malingkat merupakan mimpi Inburuk 
baginya. Dan seperti halnya Setan Mata Api, Katak Hijau 
pun belum bisa menerima kenya limn Itu
Sosok mayat Senapati Malingkat menggeleng I aim 
"Aku datang untuk mengambil nyawa kalian Inn juga harta 
rampokan itu. .." Kakinya terus ■■■• Unykah kaku dengan 
kedua tangan diulurkan
!• pan Jari jarinya yang berbau busuk dikem- l«ii'|k.iu 
Siap untuk mencekik batang leher kedua
cabn korbannya.
"Harta itu tidak ada pada kami!" Setan Mata Api 
berkata keras-keras dengan napas tersengal. "Raja... Raja 
Sesat Selatan telah merampasnya. Jika kau menghendaki 
harta itu, mintalah kepada- nya!"
Mayat Senapati Malingkat menunda langkah- nya 
sesaat. Kepalanya ditengadahkan dengan tarik- an napas 
yang keras dan panjang. Lalu, kembali perhatiannya 
dialihkan pada Katak Hijau dan Setan Mata Api. Tiba-tiba 
sosok itu melompat lurus seperti sebatang tombak yang 
dilemparkan. Kendati gerak- annya kaku, namun 
kecepatannya sangat luar bi- asa.
Bagai terkena sihir, Katak Hijau dan Setan Ma¬ta Api 
cuma bisa memandang dengan mata terbela- lak lebar. 
Baru setelah sepuluh jari tangan itu ham- pir 
mencengkeram lehernya, Katak Hijau dapat membebaskan 
diri dari kungkungan pengaruh aneh. Cepat ia mengangkat 
kedua lengannya untuk mematahkan serangan. Tapi 
alangkah kaget hati- nya. Lengannya yang menangkis 
terpental hingga bagian lehernya semakin terbuka. Katak 
Hijau tidak bisa menghindar lagi ketika jari-jari tangan kiri 
ma¬yat Senapati Malingkat mencekik lehernya. Semen-
tara yang kanan menusuk dada kiri hingga telapak tangan 
itu terbenam.

"Arghhh...!"
Katak Hijau meraung setinggi langit. Jan- tungnya telah 
ditarik putus. Tubuh sekarat itu Hdak roboh karena 
lehernya masih berada dalam cengke- raman mayat 
Senapati Malingkat. Terdengar suara tulang leher patah. 
Begitu cengkeraman ditarik, tu¬buh sekarat Katak Hijau 
menggelepar jatuh ke ta¬nah. Lalu, tewas dengan mata 
mendelik dan lidah terjulur keluar.
Selesai menghabisi nyawa Katak Hijau, mayat 
Senapati Malingkat tidak menemukan Setan Mata Api di 
tempat itu. Rupanya, Setan Mata Api meng- nmbil 
kesempatan itu untuk lari menyelamatkan diri Tidak 
dipedulikannya nasib rekannya. -"Stan Mata Api merasa 
lebih baik mencari selamat ketim- !>niig membantu 
rekannya yang berarti memperta- ruhkan nyawa yang cuma 
satu-satunya.
"Ke mana pun kau pergi aku akan bisa me-
Tn'inukanmu, Setan Mata Api...," desah parau ma- ynl 
Senapati Malingkat.
***
Saat memperoleh kesadarannya kembali, yang 
pertama kali didengar Panji adalah suara tawa ce- kikikan. 
Panji membuka matanya periahan sambil mengingat-ingat 
apa yang telah dialaminya. Semua- nya menjadi jelas 
sewaktu pandangannya menemu- kan dua wajah 
perempuan. Si nenek berambut ri- ap-riapan dan muridnya.
"Hih hih hih. .. Aku sengaja menyadarkanmu, Pendekar 
Naga Putih!" suara si nenek terdengar melengking. "Terus 
terang aku membutuhkan da- rahmu. Itu hanya bisa 
kuperoleh dengan jalan membunuhmu. Kecuali jika kau 
bersedia berhu- bungan dengan muridku ini," lanjutnya 
seraya me- nunjuk Murni yang berdiri di sampingnya.
Panji menatap kedua perempuan itu bergan-
Ban.
"Jadi, kau dan muridmu adalah manusia-ma- nusia 
peminum darah? Dan yang akan kalian jadi- kan korban 
kali ini adalah aku."

"Kami bukan sebangsa manusia seperti yang kau duga 
itu, Pendekar Naga Putih," si nenek menggelengkan 
kepala. "Muridku mengidap satu penyakit aneh. Satu-
satunya obat yang dapat me- nyembuhkannya hanyalah 
darahmu. Muridku harus meminum darahmu."
"Mengapa hams darahku?" tanya Panji pena- saran. 
"Apa istimewanya? Mengapa tidak darahmu saja? Lagi 
pula, penyakit aneh macam apa yang cara mengobatinya 
hams meminum darah manu sia?"
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga 
Putih," si nenek tersenyum mengejek. "Aku tidak bisa 
dibohongi. Dan aku tahu dalam tubuhmu mengalir darah 
naga siluman yang sangat mukjizat. Itu sebabnya aku 
membutuhkan darahmu."
Panji terkejut. Bagaimana nenek itu bisa me-
ngetahuinya?
"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Apa kau lupa 
kalau aku mempunyai kepandaian yang hlsa mengetahui 
kejadian-kejadian masa lalu dan yang akan datang?"
Ucapan si nenek membuat Panji teringat dengan
pengalamannya di masa lalu. Memang tidak seluruhnya 
dapat diingat dengan jelas. Karena, saat menghadapi naga 
siluman ia tidak dapat berpikir dengan baik. Itu terijadi 
sewaktu Panji hendak memetik sebuah tanaman langka. 
(Mengenai peristiwa itu pembaca dapat mengikutinya 
dalam episode : Bunga Abadi Di Gunung Kembaran).
"Nanti dulu. Nek," pinta Panji seraya bergerak untuk 
duduk. "Kalau boleh aku tahu, penyakit apa sebenarnya 
yang diderita muridmu itu?"
"Awal dari penyakit muridku terjadi pada lima tahun 
silam," si nenek memulai ceritanya. "Saat itu aku masih 
berhubungan dengan Setan Tua Gila. Tapi jangan kau 
samakan Setan Tua Gila yang dulu dengan sekarang. Dulu 
pikiran kakek itu masih waras. Cuma julukannya saja Setan 
Tua Gila. Itu karena wataknya yang memang kadang 
kurang lumrah. Dan kalau sekarang jalan pikirannya 
seperti anak-anak, itu ada hubungannya dengan penyakit

yang diderita muridku."
Nenek yang mengaku bemama Suri Gandil itu 
kemudian berhenti sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam. 
Dia lalu tercenung sejenak seolah hendak mengumpulkan 
seluruh ingatannya tentang pe ristiwa itu.
"Waktu itu aku dan Setan Tua Gila masih hidup dalam 
satu atap. Kami saling mencintai. Meskipun belasan tahun 
menjalani hidup layaknya sepasang suami istri, tapi kami 
tidak menikah. Waktu itu aku belum mempunyai murid. 
Malah, aku tidak pemah mempunyai niat untuk mengambil 
murid. Niat itu baru muncul setelah Setan Tua Gila pergi 
meninggalkan aku. Kakek keparat itu ternyata makhluk 
serakah! Dia tega mencampakkan diriku begitu saja hanya 
karena saking gilanya dengan ilmu silat!"
Panji diam tidak menanggapl. Sekarang ia baru 
mengerti mengapa sewaktu pertama kali menyebut nama 
Setan Tua Gila, sorot mata Nenek Suri Gandil menyiratkan 
dendam dan sakit hati.
"Pendekar Naga Putih," tiba-tiba Nenek Suri Gandil 
berkata. "Coba kau terka berapa kira-kira usia muridku 
ini?"
Panji tidak segera menjawab. Pandangannya segera 
dialihkan ke wajah Murni. Ditatapnya wajah gadis cantik itu 
sambil menaksir-naksir.
"Mungkin sekitar dua puluh dua tahun," terka Panji.
Nenek Suri Gandil tertawa cekikikan.
"Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan usia
Murni sebenarnya baru dua belas tahun!"
"Dua belas tahun?!" desis Panji tak percaya. Nenek 
Suri Gandil pasti hendak mempermainkannya. Siapa mau 
percaya kalau sosok gadis yang dilihat seperti orang 
dewasa itu baru berusia dua belas lahun?
"Aku tidak berdusta, Pendekar Naga Putih. Lima tahun
silam, setelah Setan Tua Gila meninggalkanku, Murni baru 
berusia tujuh tahun. Bakatnya dalam ilmu silat kulihat 
sangat besar sekali. Dia kuselamatkan dari keganasan 
bencana alam yang merenggut nyawa kedua orangtuanya.

Pertumbuhannya memang tidak wajar. Dan, itu ada 
hubungannya dengan penyakit yang dideritanya."
"Hhh.... Sungguh sukar untuk dipercaya...," Panji 
menggeleng seraya kembali memperhatikan Murni. 
Kesungguhan Nenek Suri Gandil membuat Panji mau tidak 
mau harus percaya juga.
***

DELAPAN

"Lima tahun silam aku dan Setan Tua Gila membunuh 
seorang tokoh sakti yang bermukim di salah satu pulau di 
Lautan Timur," Nenek Suri Gandil melanjutkan kisahnya. 
"Sebenarnya kalau tokoh itu mau melawan, kami berdua 
pasti dapat dibunuhnya dengan mudah. Tapi hal itu tidak 
dilakukannya. Ia telah bersumpah untuk tidak 
menggunakan ilmu silatnya lagi Menurutnya, ilmu silat 
hanyalah pembawa bencana. Karena kepandaian silat 
itulah dia harus kehilangan istri dan dua orang anaknya. la 
sendiri waktu itu tengah berkelana untuk memperdalam
ilmu. Dan ia sangat terpukul ketika kembali ke tempat 
kediamannya, hanya pusara ketiga orang yang dicintainya 
itu saja yang dijumpai. Kematian orang-orang yang 
dicintainya membuat jiwanya terguncang. Ia menyalahkan 
dirinya sendiri karena lebih mementingkan ilmu silat 
ketimbang keluarganya. Puluhan tahun tokoh itu 
menyembunyikan diri di salah satu pulau terpencil di 
Lautan Timur. Dan dia bersumpah di depan makam istri 
dan anak- anaknya untuk tidak menggunakan ilmu silatya 
lagi. Karena tahu tentang sumpahnya itulah, maka kami 
berani mendatangi tempat tinggalnya. Tokoh itu tidak 
memberikan perlawanan sedikit pun hingga dengan mudah 
kami membunuhnya. Lalu, kami membawa pergi beberapa 
kitab ilmu silat miliknya. Kami tidak peduli dengan kutuk 
yang diucapkannya sesaat sebelum menghembuskan 
napas terakhir. Kitab-kitab ilmu silat itu hanya akan 
mendatangkan kesengsaraan bagi kami, begitu bunyi 
kutuk yang diucapkannya."
Nenek Suri Gandil menghentikan ceritanya. Diliriknya 
sekilas wajah Murni yang kelihatan agak tegang. Sesaat 
kemudian, nenek itu melarrjutkan kisahnya kembali.
"Sungguh tidak kusangka kalau kutuknya itu akan 
menjadi kenyataan! Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku 
dengan membawa beberapa buah kitab. Perbuatan Setan 
Tua Gila itulah yang membuatku mulai mempercayai

kutukan tersebut. Perasaan was-was akan kutukan itu 
membuat aku tidak berani mempelajari isi kitab yang 
kubawa. Aku hanya membaca dan menghapal isinya. Suatu 
hari aku menemukan Murni tengah menangisi mayat orang
tuanya yang tertimpa runtuhan rumah akibat gempa. 
Ketika melihat bakat yang ada dalam dirinya, timbullah 
satu pikiran di benakku. Murni akan kudidik dengan ilmu 
silat yang terdapat dalam kitab tokoh hebat itu. Hendak 
kulihat apa yang akan terjadi jika Murni mempelajari isi 
kitab itu."
Nenek Suri Gandil menatap Murni dengan perasaan 
bersalah. Mumi sendiri cuma tersenyum pahit. Gadis itu 
tidak menyalahkan gurunya kendati jelas-jelas betapa 
selama ini ia hanya dijadikan percobaan.
"Kutuk tokoh itu ternyata menjadi kenyataanl" Nenek 
Suri Gandil melanjutkan. Suaranya terdengar agak parau. 
"Mula-mula aku tidak begitu memperhatikan ketika Murni 
tumbuh dengan cepat. Dua tahun kemudian, Murni 
mengeluh tentang rasa nyeri yang kadang menyiksa 
dirinya. Tubuhnya seperti ditusuki ratusan jarum-jarum 
halus. Pada tahun ketiga, di sekujur tubuh Murni muncul 
bintil- bintil merah yang mengandung air. Dan pada usia 
sepuluh tahun itu, tubuh Murni tak ubahnya dengan usia 
tujuh belas tahun. Penderitaan Mumi membuat aku 
berpikir tentang kejahatan-kejahatan yang telah kulakukan. 
Aku telah banyak menimbulkan kesengsaraan pada orang 
lain. Akhirnya, aku berjanji kepada diri sendiri untuk 
meninggalkan jalan sesat. Dan aku bersumpah untuk 
menyembuhkan penyakit Murni. Sampai kemudian aku 
memperoleh petunjuk tentang darah naga siluman yang 
mukjizat Darah itu mengalir dalam tubuh seorang pemuda. 
Ternyata... bukan cuma itu saja penyakit yang diderita 
Murni. Sejak memasuki tahun kelima, pada setiap malam 
bulan purnama salah satu bintil di tubuh Murni akan 
membesar seperti bisul. Sakitnya sulit sekali untuk 
kugambarkan. Murni akan meraung-raung karena rasa 
sakit yang menyiksa... "

"Tapi, aku tidak melihat adanya bintil-bintil ataupun 
blsu! pada wajah dan tangan Murni?" Panji memotong 
cerita Nenek Suri Gandil. Pemuda itu agaknya meragukan 
kebenaran cerita si nenek
"Setelah melihat kelainan pada diri Murni, aku 
berusaha mengobatinya. Meskipun tidak sempurna tapi 
usahaku tidak terlalu mengecewakan," jawab Nenek Suri 
Gandil. "Sayang, hasil kerja kerasku selama hampir tiga 
tahun hanya mampu melenyapkan penyakit itu untuk 
sementara. Tiga hari menjelang purnama bintil-bintil itu 
akan kembali muncul. Dan sekarang benjolan yang seperti 
bisul telah berjumlah enam buah. Dua di atas payudara, 
dua di kiri-kanan pusar, sedang dua lainnya di wajah. Tepat 
di atas kedua tulang pipi. Bayangkan, Pendekar Naga 
Putih. Bagaimana pedih dan tersiksanya hati seorang gadis 
jika mendapati wajahnya dihiasi dua benjolan kemerahan 
yang mengandung darah bercampur nanah."
"Nek," ujar Panji selesai Nenek Suri Gandil bercerita. 
"Tidak adakah pengobatan cara lain selain meminum 
darahku?"
Nenek Suri Gandil menggeleng pelan.
"Dengan meminum darahmu, berarti kekuatan 
mukjizat darah naga siluman akan memenuhi seluruh jalan 
darah di tubuh Murni. Lalu, darah mukjizat ltu akan bekerja 
memusnahkan sumber penyakit di dalam tubuh muridku."
"Tapi, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada setetes 
pun darah naga siluman yang mengalir di tubuhku...."
"Eh, kau hendak mengingkari janjimu, Pendekar Naga 
Putih!" Nenek Suri Gandil menukas dengan sorot mata 
berkilat. "Jangan kau kira aku bisa dibohongi. Aku bisa 
merasakan darah mukjizat itu menyatu di dalam tubuhmu."
"Kekuatan mukjizat Naga Langit memang kuakui
mengalir di seluruh tubuhku. Tapi bukan darah Nek, 
melainkan sesuatu yang berupa tenaga mukjizat Naga
Langit menyatu dalam diriku berupa satu kekuatan," Panji 
menjelaskan dengan agak terburu- buru, khawatir Nenek 
Suri Gandil akan memotong penjelasannya.

"Bukan darah?! Tenaga mukjizat?!"
Nenek Suri Gandil kelihatan kecewa. Ia memang tidak 
tahu jelas tentang sesuatu yang dirasakannya mengalir 
dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Nenek Suri Gandil 
memastikan kalau sesuatu itu adalah darah. Sungguh 
tidak pernah terpikir kalau sesuatu tersebut sebenarnya 
kekuatan mukjizat Pedang Pusaka Naga Langit, yang bisa 
menjelma menjadi seekor naga.
"Benar, Nek," tegas Panji dengan perasaan lega. "Aku 
bisa memindahkannya ke tubuh Mumi tanpa harus kau 
bunuh."
Nenek Suri Gandil dan Murni sampai terpekik. 
Keduanya berpelukan dengan penuh kegembiraan. Tapi, 
beberapa saat kemudian Nenek Suri Gandil melepaskan 
pelukannya. Ditatapnya Panji dengan wajah gelisah.
"Tapi... aku tidak bisa menentukan sampai berapa 
lama Murni memerlukan tenaga mukjizat itu, Pendekar 
Naga Putih."
"Tidak apa-apa, Nek," Panji tersenyum. "Aku tidak 
keberatan meminjamkan tenaga mukjizat itu sampai Murni 
benar-benar sembuh. Lagi pula tenaga mukjizat itu tidak 
bisa dikendalikan orang lain. Jika Murni sudah sembuh, 
dengan sendirinya kekuatan mukjizat itu akan kembali 
kepadaku."
***
Seperti tidak mengenal lelah, Setan Mata Api lerus 
berlari. Tak peduli jarak dan waktu yang sudah 
lllempuhnya. Yang ada dalam pikirannya adalah heilari 
sejauh-jauhnya menghindari mayat hidup enapati 
Malingkat.
Ketika tengah berlari melintasi kaki sebuah anak bukit, 
tiba-tiba satu pikiran melintas di benak Setan Mata Api. 
Satu harapan baru yang membuat semangatnya bangkit. 
Lalu, dengan sisa-sisa tenaga di dakinya lereng anak bukit 
Itu, sampai ia tiba di depan sebuah bangunan yang cukup

megah. Kepada penjaga pintu gerbang Setan Mata Api 
minta diantarkan untuk menemui pemilik bangunan.
"Hoa ha ha.... Apa yang sudah terjadi denganmu, Setan 
Mata Api?" tanya seorang lelaki tinggi besar dan berkulit 
hitam sewaktu melihat keadaan Setan Mata Api yang telah 
duduk di hadapannya. "Ada keperluan apa kau tiba-tiba 
datang kepadaku?"
"Maafkan kelancanganku. Raja Sesat Utara," Setan 
Mata Api menjura dalam-dalam. "Terus terang aku sangat 
membutuhkan pertolongan. Aku...hendak meminta 
perlindungan darimu."
Lelaki tinggi besar yang ternyata gembong tokoh sesat 
di daerah utara itu nampak mengerutkan kening. Sorot 
matanya mengeluarkan cahaya yang berkilat-kilat. Raja 
Sesat Utara kelihatan sangat marah.
"Hra.... Apa yang hendak kau berikan sebagai 
imbalannya, Setan Mata Api?! Jika itu tidak sangat 
berharga, kepalamu akan kupisahkan dari tubuhmu! Ini 
sama saja dengan menghina aku!"
Setan Mata Api mengangguk berulang-ulang. la tentu 
saja maklum dengan siapa sedang berhadapan. Ucapan itu 
bukan hanya gertakan kosong. Maka, diceritakannya 
tentang harta rampokan yang telah dirampas Raja Sesat 
Selatan.
Brakkk..!
Suara meja kayu jati yang pecah berhamburan akibat 
hantaman telapak tangan Raja Sesat Utara membuat 
Setan Mata Api betjingkrak kaget. Dia jatuh telentang 
dengan paras pucat-pasi.
"Bedebah kurang ajar kau, Setan Mata Api!" bentak 
Raja Sesat Utara. Tokoh tinggi besar ini sudah bangkit dari 
duduknya. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sinar mata 
mencorong. "Jadi, kau rupanya yang telah berani lancang 
merampok harta kiriman raja tanpa sepengetahuanku!"
Belum juga gema suara bentakannya lenyap, Raja 
Sesat Utara sudah melompat ke depan. Sekali langannya 
bergerak, tubuh Setan Mata Api telah diangkatnya.

"A-apa...?! Mengapa...?!" Setan Mata Api merasa
jantungnya serasa copot.
"Tahukah kau, gara-gara perbuatanmu itu aku 
dldatangi tiga orang utusan raja. Dan mereka bukan orang
sembarangan yang bisa dibuat main-main! Mereka adalah 
Senapati Wanalaga. Pejabat tinggi yang paling berpengaruh 
di istana. Dan juga dua orang jago nomor satu istana!" ujar 
Raja Sesat Utara yang membuat tubuh Setan Mata Api 
menggigil. Mereka mencari orang bernama Malingkat. 
Mulanya aku tidak kenal dengan orang itu. Tapi setelah 
cirri-cirinya mereka sebutkan, baru aku tahu kalau 
Malingkat ternyata si Jari Beracun! Ia mengaku berasal dari 
daerah utara ini Maka, kesinilah mereka mencari. Dan jika 
aku tidak bersedia membantu menemukan si keparat Jari 
Beracun itu, mereka akan menangkapku dengan tuduhan 
hendak memberontak terhadap kerajaan. Aku akan 
dihukum gantung, tahu!"
"T tapi... harta itu... sangat banyak sekali, Raja Sesat. 
Kau akan hidup dalam gelimang kesenangan jika mau 
merampasnya dari tangan Raja Sesat Selatan. Kau...."
"Diaaam...!" Raja Sesat Utara membentak. "Kau tahu
untuk apa harta itu sebenarnya, hah? Harta itu adalah 
hadiah untuk melamar putri kerajaan tetangga. Tentu saja 
sangat banyak jumlahnya. Aku tidak mau terlibat dalam 
urusan celaka ini. Dan untuk menunjukkan ketidak
terlibatanku, kau akan kuserahkan kepada ketiga tokoh 
penting istana itu, Akan kuberitahukan kepada mereka di 
mana harta itu sekarang berada!"
Setan Mata Api merasa nyawanya terbang seketika. 
Maksudnya hendak mencari perlindungan, tapi ternyata 
malah menghampiri kematian. Pihak istana ternyata telah 
mencurigai Senapati Malingkat Maklumlah Setan Mata Api 
kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia tidak 
melawan ketika Raja Sesat Utara membawanya untuk 
diserahkan kepada Senapati Wanalaga.
Raja Sesat Utara baru saja tiba di kaki bukit, ketika 
tahu-tahu saja di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh.

Hidungnya dikernyitkan saat mencium bau busuk bangkai 
yang memualkan perut. Raja Sesat Utara tidak jadi 
menegur sosok itu ketika didengarnya teriakan Setan Mata 
Api.
"D-dia... d-dia... mayat hidup Senapati Malingkat..!"
Setan Mata Api menuding sosok penghadang dengan 
sekujur tubuh gemetar. Deraan rasa takut yang hebat 
membuat Setan Mata Api meronta dalam cekalan Raja 
Sesat Utara. Tak peduli kendati Kaja Sesat Utara 
mengancam akan membunuhnya saat itu juga. Bagi Setan 
Mata Api, sosok mayat Senapati Malingkat jauh lebih 
menakutkan ketimbang Raja Sesat Utara.
"Dam kau, Bedebah Tolol!"
Karena jengkel. Raja Sesat Utara membanting tubuh 
Setan Mata Api ke tanah. Kalau dalam keadaan biasa, 
bantingan Raja Sesat Utara yang sangat ku.nl itu pasti 
akan membuat Setan Mata Api meringkuk kesakitan. Tapi 
semua itu tidak dirasakannya. Sosok mayat hidup Senapati 
Malingkat lebih menarik perhatiannya. Setan Mata Api 
langsung bangkit dengan sangat kalap. Bergegas tubuhnya 
dibalikkan hendak lari menyelamatkan diri.
Tapi baru saja bergerak dua langkah, mayat Senapati 
Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Sosok itu melesat 
dengan geiakan kaku namun cepat luar biasa. Raja Sesat 
Utara sendiri sampai tidak sempat berbuat apa-apa. Tahu-
tahu jari-jari berbau busuk yang sudah membengkak itu 
menjambret leher baju bagian belakang Setan Mata Api.
"Tolooong...!" Saking ngerinya, Setan Mata Api sampai 
berteriak seperti anak kecil. Lupa kalau dirinya seorang 
tokoh sesat yang kejam dan ditakuti.
"Hei, berhenti!" Raja Sesat Utara berusaha mencegah. 
Bukan karena kasihan kepada Setan Mata Api, tapi karena 
ia membutuhkan tokoh sesat itu untuk membuktikan 
kepada pihak istana kalau dirinya tidak terlibat dalam 
perampokan harta kerajaan. "Jangan main gila dengan 
Raja Sesat Utara!" ancamnya.
Mayat hidup Senapati Malingkat mana bisa ditakut

takuti. Tanpa peduli, tangan kanannya langsung 
mencengkeram batok kepala Setan Mata Api.
Prakkk...!
Perlahan saja jari-jari tangannya meremas. Namun, 
akibatnya sangat mengerikan sekali. Raja Sesat Utara 
sampai terbelalak. Remasan jari-jari mayat hidup Senapati 
Malingkat membuat batok kepala Setan Mata Api remuk. 
Hal itu rupanya masih belum cukup. Jari-jari tangan yang 
semula mencengkeram leher baju belakang ditusukkan ke 
tulang belikat sebelah kiri, hingga melesak sampai 
pergelangan. Dan sewaktu ditarik keluar, dalam 
genggaman tangannya nampak sebuah benda sebesar 
kepalan yang penuh dengan darah dan masih berdenyut 
lemah. Jantung Setan Mata Api!
"Iblisss...!" Raja Sesat Utara mendesis ngeri. Meskipun 
terkenal sangat kejam, namun Raja Sesat Utara merasa 
ngeri juga menyaksikan perbuatan mayat hidup Senapati 
Malingkat.
Mayat Senapati Malingkat cuma mengeluarkan 
desahan panjang. Ditolehnya Raja Sesat Utara. Bola mata 
yang memancarkan cahaya kehijauan itu imenyorot tajam.
"Hmhhh...!"
Raja Sesat Utara menggeram untuk meredam kegerian 
di hatinya. Kedua tangannya dikepalkan. Kemudian, 
dipasangnya kuda-kuda. Siap menghadapi mayat hidup 
Senapati Malingkat yang sudah menunjukkan tanda-tanda 
hendak menyerang.
Diawali suara napas besar mayat Senapati Malingkat 
melesat kaku. Sepasang tangannya dijulurkan dengan jari-
jan terbuka. Siap mencekik leher Raja Sesat Utara Namun, 
kendati terganggu bau busuk bangkai Raja Sesat Utara 
masih bisa menghindar Bahkan membalas dengan tiga 
pukulan yang susul-menyusul.
Buk! Buk! Buk!
Tiga pukulan itu mendarat telak di dada, perut, dan 
lambung. Jangankan sampai terpental, bergeming pun 
mayat Senapati Malingkat tidak. Justru Raja Sesat Utara

sendiri yang menjerit kesakitan. Tenaga pukulannya 
membalik. Kedua lengannya terasa seperti lumpuh, hingga 
untuk beberapa saat tidak bisa digerakkan. Tubuh mayat 
yang dipukulnya itu dirasakan kenyal bagai sebongkah 
karet.
Dan belum lagi Raja Sesat Utara sempat berbuat 
sesuatu, tahu-tahu batang lehernya telah dicengkeram jari-
jari sekeras jepitan baja. Bersamaan dengan remasan di 
lehernya, Raja Sesa Utara merasakan sesuatu menembus 
dada kirinya. Raung kesakitannya merobek langit sewaktu 
jantungnya dibetot keluar.
"Hei...?!"
Mayat hidup Senapati Malingkat sudah melepaskan 
tubuh Raja Sesa Utara yang melorot ke tanah sewaktu 
teriakan itu terdengar. Diputarny tubuh menghadapi tiga 
sosok yang berlarian mendatangi.
Raung kematian yang menggetarkan hati itu membuat 
langkah Pendekar Naga Putih, Nenek Suri Gandil, dan 
Mumi terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama 
lain.
"Entah kematian macam apa yang dialami ma nusia itu 
sampai-sampai suara jeritannya membuat bulu kuduk 
berdiri," ujar Nenek Suri Gandil. "Aku Jadi ingin tahu. Ayo, 
kita lihat."
Nenek Suri Gandil langsung saja melesat menuju
tempat asal suara. Panji dan Murni tentu saja tidak mau 
ketinggalan. Keduanya mengikuti langkah Nenek Suri 
Gandil. Tidak berapa lama ketiganya tiba di tempat mayat 
hidup Senapati Malingkat berada. Suara raung kematian 
yang mereka dengar berasal dari Raja Sesat Utara. Tiba di 
tempat itu mereka melihat empat sosok tubuh tengah 
saling berhadapan. Selisih waktu kedatangan mereka 
dengan tiga sosok pertama, yang bukan lain Senapati 
Wanalaga dan dua orang jagoan istana, memang tidak 
terlalu lama. Tiga tokoh penting istana itu langsung 
menoleh sewaktu mendengar suara langkah kaki orang 
mendatangi dari belakang mereka.

"Hih hih hih.. . Rupanya di tempat ini sedang ada pesta 
meriah yang dihadiri tokoh-tokoh penting istana!" Nenek 
Suri Gandil berkata sambil berlari menghampiri keempat 
sosok tubuh itu.
Celoteh Nenek Suri Gandil tidak ditanggapi Senapati 
Wanalaga dan kedua rekannya. Mereka tengah dilanda 
ketegangan hebat setelah mengenali siapa sosok yang 
telah membunuh Raja Sesat Utara. Tak satu pun dari 
mereka yang mengeluarkan suara.
"Hei...?!" Tiba-tiba, Panji berseru seraya menuding 
sosok mayat Senapati Malingkat "Aku pernah melihat 
orang itu! Dia adalah salah satu mayat yang kutemukan di 
Bukit Dampit?!"
"Dia memang Senapati Malingkat...," Senapati 
Wanalaga menjelaskan.
"Hih hih hih...! Aku tahu sekarang!" Nenek Suri Gandil 
mendekati Panji dan Murni. Kemudian bisiknya, "Ini adalah 
pekerjaan Setan Tua Gila. Dia membangkitkan mayat 
Senapati Malingkat. Seperti yang telah kuceritakan 
kepadamu, Pendekar Naga Putih. Ilmu membangkitkan 
mayat itu berasal dari kitab yang pernah kami curi. Itu 
berarti Setan Tua Gila berada di sekitar tempat ini. la harus 
mengendalikan mayat Senapati Malingkat"
Nenek Suri Gandil berhenti sebentar. Dipandanginya 
wajah mayat Senapati Malingkat. Beberapa saat kemudian 
nenek itu terlihat mengangguk- ngangguk.
"Setan Tua Gila berada di lereng bukit sebelah 
selatan," bisiknya kemudian kepada Panji dan Murni. 
"Sementara aku dan tiga tokoh kerajaan itu menghadapi 
mayat hidup ini, kalian berdua pergilah dan bunuh tua 
bangka keparat itu! Tanpa membunuh Setan Tua Gila, 
mayat hidup ini tidak akan bisa dikalahkan."
Lalu, Nenek Suri Gandil bergegas menghampiri mayat 
hidup Senapati Malingkat. Diberikannya isyarat kepada 
ketiga tokoh kerajaan untuk membantunya.
Sementara Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh Istana itu 
siap menghadapi mayat hidup Senapati Malilngkat, Panji

dan Murni bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka 
menuju lereng bukit sebelah Selatan. Tidak sulit bagi Panji 
dan Mumi untuk menemukan Setan Tua Gila. Dari 
kejauhan mereka sudah melihat sesosok tubuh tengah 
duduk bersila di dekat tepi sungai. Sosok itu bukan lain 
dari Setan Tua Gila yang pernah dijumpai Panji.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang Panji?" Murni 
berbisik kepada Panji, sementara pandangannya tertuju 
pada sosok Setan Tua Gila. Kakek itu tengah bersemadi 
dengan kedua mata teipejam.
"Tunggu saja dulu. Lihat apa yang akan dilakukan 
Setan Tua Gila selanjutnya," jawab Panji.
Tidak berapa lama Panji serta Murni menyaksikan 
tubuh Setan Tua Gila bergetar. Kedua lengannya 
dikembangkan. Diputar ke atas dan ke bawah, sementara 
mulutnya berkemak-kemik seperti tengah membaca 
mantera.
"Sekarang...!"
Panji memberi isyarat setelah memberikan petunjuk 
kepada Murni cara menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas 
Bumi' yang telah dipinjamkannya untuk sementara waktu. 
Sedang ia sendiri mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan'. Mereka berdua harus menggencet 
Setan Tua Gila dari depan dan belakang dengan 
menggunakan kekuatan mukjizat yang berlainan unsur itu.
"Haiiittt...!"
Dari belakang, Murni membentak seraya 
mendorongkan kedua telapak tangannya. Sinar kuning 
keemasan melesat dari tangannya. Serangkum hawa 
panas maha dahsyat Itu menderu ke arah lambung kiri-
kanan Setan Tua Gila.
"Hyahhh...!"
Pada saat bersamaan Pendekar Naga Putih berseru 
keras. Kedua telapak tangannya didorongkan dengan 
gerak menyilang. Satu ke arah ubun- ubun, sedang satunya 
lagi menuju bagian bawah perut. Angin dingin laksana 
badai salju menderu luras. Malah, tubuh Panji sampai

menggigil. Dalam serangan itu ia memang mengerahkan 
tenaga hingga ke puncak.
Bressshhh...!
Dua kekuatan raksasa menghantam dari depan dan 
belakang tubuhnya. Setan Tua Gila terdengar 
mengeluarkan suara seperti orang tercekik! Tubuhnya 
mengejang sesaat. Lalu, dengan sebuah teriakan
mengguntur kedua tangannya didorongkan ke depan dan 
belakang.
Pendekar Naga Putih dan Murni sama terpekik kuat 
Kekuatan dahsyat yang dilontarkan Setan Tua Gila 
membuat tubuh mereka terlempar satu tombak lebih. 
Kemudian, jatuh terguling-guling di tanah. Beruntung tubuh 
mereka dilapisi cahaya mukjizat. Sehingga, hantaman 
tenaga dahsyat Setan Tua Gila tidak sampai menimbulkan 
luka parah.
Meskipun begitu, beberapa saat lamanya mereka 
seperti lumpuh. Telentang di tanah berumput dengan
napas tersengal dan wajah agak pucat.
Mereka baru dapat bergerak bangkit bersamaan 
dengan munculnya Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh 
istana.
"Nek, Setan Tua Gila itu... "
"Dia sudah ko'it."
Nenek Suri Gandil langsung menukas ucapan Panji. Si 
nenek menghampiri Setan Tua Gila yang masih duduk 
dalam keadaan bersila. Kedua tangannya terkembang ke 
depan dan belakang. Namun begitu disentuh ujung jari 
Nenek Suri Gandil, tubuh Setan Tua Gila langsung hancur 
menjadi abu.
"Setan Tua Gila rupanya paman guru Setan Mata Api," 
ujar Nenek Suri Gandil kepada Panji. "Tidak heran kalau ia 
mencegahmu sewaktu hendak melewati Bukit Dampet. 
Setan Mata Api dan Katak Hijau menghubungi Setan Tua 
Gila lalu mengajaknya bersekongkol. Dasar orang-orang 
serakah, setelah berhasil mereka meninggalkan Setan Tua 
Gila. Keduanya hendak mengangkangi harta itu sendiri.

Setan Tua Gila menjadi sakit hati. Dan karena Setan Mata 
Api dan Katak Hijau merencanakan semua itu bersama 
Senapati Malingkat, maka mayat senapati itu digunakan 
Setan Tua Gila untuk membalas pengkhinatan orang-orang 
serakah itu."
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam diam ia
merasa bersyukur telah bertemu dengan Nenek Suri 
Gandil. Meski pada mulanya sempat merepotkan epotkan 
Panji, tapi kemudian nenek itu malah membantunya 
menghancurkan keangkaramurkaan.
"Mengenai harta itu bagaimana, Nek? Apa sudah
ditemukan?" tanya Panji ketika teringat harta kerajaan, 
yang sedianya akan dipergunakan untuk melamar putri 
kerajaan sahabat.
"Mulanya aku sempat pusing juga melihat Setan Mata 
Api sudah tewas. Tapi..., kau tahu sendiri kan aku bisa 
mengetahui sesuatu dengan membaca wajah orang. Dari 
wajah mayat Setan Mata Api Itulah aku mengetahui kalau 
harta itu sekarang berada pada Raja Sesat Selatan."
Nenek Suri Gandil kemudian menoleh kepada 
Senapati Wanalaga dan dua jago istana yang tersenyum
lebar.
"Kami akan mengurusnya. Raja Sesat Selatan pasti 
tidak ingin digantung. Dan kalaupun ia berkeras tidak mau
menyerahkan harta itu, kami dengan mudah bias
memaksanya. Bawa saja seribu prajurit. Lalu, ratalah
tempat kediaman Raja Sesat Selatan” ujar Senapati 
Wanalaga. Kemudian, disambung dengan tawanya yang 
keras.
Semua yang berada di tempat itu jadi ikut tertawa. 
Menyambuti kelucuan rencana Senapati Wanalaga...


                        SELESAI


 




Share: