..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 08 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE ALGOJO GUNUNG SUTRA

Algojo Gunung Sutra

 ALGOJO GUNUNG 

SUTRA
Oleh T. Hidayat
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam Episode 003 :
Algojo Gunung Sutra
128 Hal ; 12 x 28 cm


SATU

Di atas sebuah puncak gunung yang 
terletak cukup Jauh dari Selatan Desa
Cikunir, berdiri sebuah bangunan besar 
yang dikurung oleh pagar tembok yang 
tinggi dan kokoh. Di atas pintu gerbang 
yang terbuat dari kayu pilihan tertera 
nama 'PERGURUAN GUNUNG SALAKA' yang 
tertulis pada papan tebal. Nama 
perguruan itu ditulis dengan tinta emas. 
Huruf-hurufnya yang besar dan terukir, 
cukup indah dan gagah dipandang. Dalam 
jarak sepuluh tombak, orang sudah dapat 
jelas membacanya.
Bagi kaum rimba persilatan, nama 
Perguruan Gunung Salaka bukanlah nama 
asing. Perguruan itu terkenal sebagai 
pusatnya pendekar-pendekar.
Malam itu, Ki Tunggul Jagad yang 
merupakan Ketua Perguruan Gunung Salaka 
tampak sedang mengumpulkan murid-murid 
utamanya yang berjumlah delapan orang. 
Mereka adalah tokoh-tokoh tingkatan atas 
di perguruan itu, karena merupakan 
murid-murid langsung dari Ki Tunggul 
Jagad.

“Tentu hati kalian bertanya-tanya, 
mengapa mendadak aku memanggil. 
Sebenarnya hal ini sudah lama 
kupikirkan, namun baru kali ini 
mempunyai kesempatan untuk 
mengutarakannya kepada kalian!" orang 
tua sakti itu terdiam sejenak sambil 
menarik napas panjang, sepertinya apa 
yang akan disampaikannya ada suatu hal 
yang penting. 
"Begini murid-muridku! Aku 
bermaksud menyerahkan urusan perguruan 
ini untuk sementara waktu kepada 
kalian."
"Apakah maksud Guru, ada sesuatu 
yang tidak berkenan di hati Guru?" tanya 
salah seorang murid tertua Perguruan 
Gunung Salaka yang dipimpin Ki Tunggul 
Jagad. Wajah murid ketua itu gelisah, 
takut kalau-kalau ada tingkah mereka 
yang telah membuat hati orang tua sakti 
itu kecewa.
"Tidak ada satu pun dari kalian yang 
berbuat salah! Aku hanya berniat ingin 
beristirahat dari kesibukan-kesibukan 
perguruan selama beberapa waktu. Nah! 
Oleh karena itu akan kutunjuk salah 
seorang dari kalian, yang akan 
menggantikanku selama beristirahat. Dan

untuk selama itu aku tidak ingin diganggu 
oleh siapa pun, atau urusan apa pun! 
Apakah kalian sanggup?" tanya Ki Tunggul 
Jagad sambil merayapi wajah-wajah 
muridnya dengan tajam.
"Sanggup, Guru! Dan selanjutnya 
kami mohon petunjuk dan nasihat demi 
kelancaran tugas kami...!" jawab delapan 
orang murid Ki Tunggul Jagad, dengan 
suara tegas.
"Hm, bagus..., bagus! Memang 
begitulah seharusnya," ujar Ki Tunggul 
Jagad. Kini wajahnya menjadi cerah.
Kemudian orang tua sakti itu pun 
menunjuk Ki Sukma Kelana untuk mengurus 
perguruan selama dirinya menyepi. Selain
itu juga ditunjuk Ki Surya Kencana 
sebagai wakil. Begitu juga keenam orang 
lainnya yang masing-masing diserahi 
tugas yang harus dilaksanakan 
sungguh-sungguh.
"Nah! Sekarang kemukakanlah 
pendapat kalian! Kalau ada yang merasa 
keberatan, sampaikanlah selagi aku masih 
ada di sini. Sebab, aku tidak ingin
apabila di kemudian hari ada kejadian 
yang tidak diharapkan. Dan jika hal itu 
terjadi, maka tidak akan segan-segan 
untuk menghukum kalian!" ujar Ki Tunggul

Jagad, dengan suara yang tegas dan 
berwibawa.
"Kami setuju, Guru! Dan semua 
perintah Guru akan kami laksanakan 
dengan sebaik baiknya!" janji kedelapan 
orang murid-murid Ki Tunggul Jagad, 
ber-sungguh-sungguh.
"Baiklah. Kalau memang sudah tidak 
ada persoalan lagi, kalian boleh kembali 
ke tempat masing-masing "
"Baik Guru!" seru kedelapan orang 
itu serempak Setelah memberi hormat, 
delapan orang itu pun segera 
meninggalkan tempat itu.
Pada keesokan harinya kedelapan 
murid Perguruan Gunung Salaka mulai 
menjalankan tugas sebagaimana yang telah 
dipesankan guru mereka. Dan tidak 
seorang murid lain pun yang mengetahui 
hal itu, kecuali delapan murid utama 
Perguruan Gunung Salaka. 
Hal itu memang sudah dipesankan oleh 
Ki Tunggul Jagad, agar tidak terjadi 
keresahan di antara murid Perguruan 
Gunung Salaka itu.
***

Hari masih pagi, ketika serombongan 
orang bersama-sama mendaki Lereng Gunung 
Salaka. Kalau di lihat dari keadaan yang 
rata-rata kusut dan agak kotor, itu, 
jelas bahwa mereka telah menempuh 
perjalanan yang jauh dan melelahkan. 
Meskipun langkah-langkah kaki terlihat 
agak gemetar, namun dari sorot mata 
terpancar semangat mereka yang tinggi.
Rombongan itu teidiri dari berbagai 
golongan. Ada anak hartawan, anak 
saudagar kaya, dan ada juga anak pedagang 
kecil. Maksud kedatangan mereka ke 
tempat itu adalah sama, yaitu untuk 
mengikuti ujian penerimaan murid baru, 
yang akan diadakan Perguruan Gunung 
Salaka pada setiap enam bulan sekali.
Setelah melakukan pendakian yang 
sukar dan melelahkan, rombongan itu tiba 
pada pos pertama yang dijaga dua orang 
murid tingkat enam, Perguruan Gunung 
Salaka.
"Saudara-saudara, harap berhenti 
sebentar...!" seru salah seorang dari 
dua penjaga itu.
"Huh! Apa maksudnya badut-badut itu 
mencegah kita?!" Membuat jengkel orang 
saja...!" umpat salah seorang pemuda 
dari rombongan itu. Tarikan wajahnya

kelihatan angkuh. Pemuda itu berusia 
sekitar enam belas tahun. Pakaiannya 
terbuat dari bahan sutra pilihan 
berwarna biru muda. Wajahnya tampan, 
bagai seorang bangsawan. Kelihatan manja 
dan pesolek. 
"Sudahlah! Jangan mencari penyakit, 
Sobat! Kita baru memasuki pos penjagaan 
yang pertama!" jawab seorang pemuda 
lain, yang rupanya tidak suka ucapan 
pemuda pesolek tadi.
"Benar! Kalau kita diterima menjadi 
murid Perguruan Gunung Salaka, kita 
harus sabar dan bersikap sopan," sahut 
pemuda lainnya lagi, ikut memberikan 
nasihat
Sementara itu, kedua orang murid 
Perguruan Gunung Salaka yang bertugas 
menjaga di pos pertama mulai melakukan 
pemeriksaan. Setiap orang yang akan 
melewati pos pertama, harus meninggalkan 
segala bentuk senjata tajam yang dibawa. 
Jika benar-benar bersih tanpa senjata, 
baru mereka diperbolehkan meneruskan 
perjalanan.
"Hm, sombong sekali orang-orang 
gunung itu! Untuk apa buntalan pakaian 
diperiksa? Memangnya kita ini

pencuri...?" geruru si pemuda pesolek 
lagi.
Kedua orang pemuda yang tadi mencoba 
memberi nasehat menoleh sejenak. Dan 
tanpa menjawab sepatah kata pun segera 
dipalingkan wajah mereka dengan perasaan 
sebal. Memang sudah bisa ditebak sifat 
jelek pemuda pesolek yang sombong itu.
"Huh! Dikira perguruan ini milik 
nenek moyangnya apa...!" gerutu salah 
seorang dari dua pemuda itu, sambil 
melengos meninggalkan pemuda pesolek 
anak hartawan itu. Tindak-tanduknya 
memang kelihatan sombong.
Mendengar gerutu itu, pemuda yang 
satunya lagi hanya tertawa saja. Segera 
diikuti langkah temannya, yang sudah 
berjalan ke arah pos pemeriksaan itu.
Setelah rombongan itu melewati pos 
penjagaan pertama, maka mereka kini tiba 
pada pos penjagaan kedua. Di pos penjagan 
kedua ini dijaga tiga orang murid tingkat 
lima. Di sini, para calon murid ditanya 
tentang maksud dan tujuan memasuki 
Perguruan Gunung Salaka.
"Sahabat, apa tujuanmu memasuki 
perguruan kami?" tanya salah seorang 
yang menjadi pimpinan di pos kedua ini. 
Kali ini yang mendapat giliran adalah

salah seorang dari dua pemuda yang 
memberi nasihat kepada pemuda pesolek 
yang sombong tadi.
"Paman" jawab pemuda itu sambil 
membungkukkan badannya sebagai tanda 
hormat. Ia sengaja memanggil paman, 
karena melihat penjaga itu berumur 
sekitar tiga puluh lima tahun. 
"Maksud hamba memasuki Perguruan 
Gunung Salaka adalah untuk mempelajari 
ilmu silat!" jawabnya jujur.
"Hm, untuk apa kau pelajari ilmu 
silat? Bukankah ilmu silat hanya akan 
mengundang keributan saja?" tanya 
penjaga itu lagi. Kali ini disertai 
senyum. Memang, penjaga itu ingin 
mengetahui jawaban atau pandangan anak 
muda itu tentang ilmu silat
"Paman, menurut pendapat hamba yang 
bodoh ini, setiap sesuatu yang kita 
pelajari atau kita mitiki tentulah 
memiliki sifat baik dan buruk. Dan semua 
itu tergantung pada orang itu sendiri. 
Apakah orang itu mempergunakan apa yang 
dimiliki untuk kebaikan ataukah untuk 
kejahatan? Bukan begitu, Paman?" pemuda 
itu berhenti sejenak untuk melihat 
reaksi penjaga tersebut.

Si penjaga itu mengangguk-angguk 
penuh kepuasan. Maka kakinya segera 
menyingkir, memberi jalan kepada pemuda 
itu meneruskan maksudnya.
Setelah pemuda tadi lulus dengan 
baik, ternyata masih ada beberapa orang 
pemuda yang berhasil melewati pos 
penjagaan kedua itu. Demikian pula si 
pemuda pesolek yang sombong tadi. 
Sedangkan para pemuda yang mengalami 
kegagalan, dipersilakan meninggalkan 
Perguruan Gunung Salaka. Mereka yang 
gagal berjumlah lima belas orang.
Dengan wajah penuh kekecewaan, lima 
belas orang pemuda itu bergegas 
meninggalkan Perguruan Gunung Salaka. 
Kini barulah mereka merasakan kelelahan 
yang sangat pada tubuhnya. Kelelahan 
yang semula tertutup semangat berapi-api 
tadi, dan baru muncul setelah semangat 
itu hancur dilanda kegagalan.
Setelah cukup lama perjalanan dari 
Kaki Gunung Salaka, lima belas orang 
pemuda tadi menjatuhkan diri di atas 
sebuah padang rumput tebal. Layaknya se-
buah permadani hijau terhampar di mulut 
sebuah hutan. Mereka segera beristirahat 
sambil mengeluarkan bekal yang dibawa di 
dalam buntalan pakaian masing-masing.

"Hhh! Tidak kusangka, kalau 
demikian sulitnya untuk menjadi murid 
perguruan itu!" keluh seorang pemuda 
sambil mengunyah makanannya pelahan 
lahan. Seolah-olah selera makannya ikut 
lenyap tergilas kegagalan yang 
dihadapinya.
"Benar! Tidak seperti guru-guru 
silat di desa, siapa pun akan diterima 
asalkan dapat membayar sejumlah uang 
yang cukup!" jawab pemuda lain dengan
suara pelahan. Seakan-akan berkata 
untuk dirinya sendiri.
"Tentu saja. Sebab kata orang, 
Perguruan Gunung Salaka itu pusatnya 
para pendekar. Bahkan kepandaian mereka 
sudah seperti dewa saja. Malah di antara 
tokoh-tokohnya ada yang pandai 
menghilang!" pemuda lain lagi ikut pula 
menimpali.
"Eh! Sampai sedemikian hebatnya!" 
seru kedua orang pemuda tadi, yang 
diikuti pula oleh para pemuda lainnya. 
Para pemuda itu segera menggeser 
bokongnya karena merasa tertarik pada 
cerita salah satu kawannya itu.
Pemuda tadi jadi semakin 
bersemangat, karena empat belas orang 
kawannya itu merasa tertarik oleh

ceritanya. Dan untuk sementara, mereka 
segera terlupa akan kegagalan dan 
kelelahan. Sepertinya lenyap begitu 
saja. Tapi belum lagi cerita itu sempat 
diteruskan, tiba-tiba terdengar suara 
tawa yang berkumandang di sekitar tempat 
itu.
"Ha ha ha...! Mana ada manusia yang 
mampu menghilang, anak-anak tolol! Coba 
katakan padaku, siapa yang sudah pernah 
melihat manusia yang dapat menghilang! 
Ayo, jawab!" belum lagi gema tawa itu 
lenyap, orang yang bersuara itu 
tiba-tiba sudah berdiri di hadapan 
mereka.
Kelima belas orang pemuda itu 
tersentak bagai disengat kalajengking! 
Wajah mereka mendadak pucat karena rasa 
kaget yang luar biasa.
"Ssseeettt... tttaaannn...!" 
teriak beberapa orang pemuda dengan 
tubuh gemetar. Mereka serentak saling 
berangkulan satu sama lain Orang yang 
baru datang itu benar-benar disangka 
dedemit. Sebab bagaimana mungkin orang 
itu tiba-tiba muncul dihadapan mereka, 
tanpa diketahui dari mana dan kapan 
datangnya

Sementara, beberapa orang pemuda 
lain yang telah memiliki pengetahuan 
cukup, mulai menduga bahwa orang itu
pasti memiliki kesaktian dan kepandaian 
tinggi. Mereka yang lebih mempunyai 
keberanian dan pengalaman itu, segera 
saja dapat menguasai hati dan 
perasaannya.
"Ha ha ha! Hanya sedemikianlah 
keberanian orang-orang yang ingin 
berguru ke Gunung Salaka? Benar-benar 
memalukan! Pantas kalau kalian tidak 
diterima manusia-manusia sombong itu!" 
seru orang itu lagi. Nadanya benar-benar 
menghina.
Mendengar hinaan itu, lima orang 
pemuda yang telah dapat meredakan 
kekagetannya itu segera bangkit sambil 
mengepal tangan meskipun belum menjadi 
murid Perguruan Gunung Salaka, namun 
mereka tidak terima dihina orang itu.
"Kisanak yang gagah!" ujar salah 
seorang dari lima pemuda itu, tanpa
meninggalkan kesopanannya. "Mengapa 
Tuan menghina kami? Bukankah kita tidak 
saling mengenal? Biarpun kami gagal, 
tapi kami tidak ingin dihina seperti 
itu."

"Hm," orang yang bertubuh tinggi 
besar dan bercambang bewok itu mendengus 
kasar. Namun ada kekaguman atas 
perkataan anak muda di hadapannya yang 
terdengar sopan tapi mempunyai 
ketegasan.
"Siapa yang menghinamu, Anak Muda? 
Bukankah aku hanya bertanya? Apakah 
pertanyaan itu di anggap menghina?! 
Kalaupun aku menghinamu, kau mau apa?" 
tantang orang tua itu. Namun kali ini 
nada suaranya terdengar lebih halus 
meskipun masih mengandung ejekan yang 
menyakitkan.
"Hm, Orang Tua! Rupanya kau adalah 
orang sombong yang merasa paling pandai, 
sehingga tidak ingin mendengar kelebihan 
orang lain. Kami berbicara di antara kami 
sendiri, lalu apa urusannya denganmu, 
Orang Tua? Kami ingin bercerita apa pun, 
itu adalah urusan kami! Lantas, mengapa 
dirimu yang kelabakan? Seperti 
kakek-kakek yang kebakaran jenggot 
saja!" jawab pemuda itu lagi semakin 
berani, karena sama sekali tidak merasa 
bersalah.
"Eh eh eh, semakin berani saja kau 
bicara! Tahukah kau, dengan siapa 
berhadapan?! Jaga mulutmu, Anak Muda!

Kalau habis kesabaranku, bisa-bisa kau 
tidak mempunyai mulut lagi!" ancam orang 
tua itu, karena merasa kalah bicara 
dengan pemuda yang ternyata pandai 
memutarbalikan kata-kata itu.
"Huh! Tentu saja tahu, aku sedang 
berhadapan dengan siapa?" jawabnya lagi, 
berwajah sungguh-sungguh.
"Eh eh eh. Rupanya kau sudah pula 
mengenal diriku, Anak Muda! Coba 
sebutkan siapa diriku?! Mungkin nanti 
bisa kupertimbangkan, apakah kau akan 
kuampuni atau tidak?!" teriak orang tua 
itu. Rupanya dia merasa senang karena 
namanya sudah dikenal sampai sedemikian 
jauh.
"Hm, aku tahu!" jawab anak muda itu 
sambil tersenyum geli.
" Engkau adalah kakek buruk, gendut, 
dan usil dengan urusan orang!"
Setelah berkata demikian meledaklah 
tawa kelima belas orang pemuda itu. Ini 
karena mereka dapat membalas hinaan 
orang tua itu tadi.
Bukan main terperanjatnya orang tua 
itu. Wajahnya yang semula berseri 
gembira itu mendadak gelap. Matanya 
mencorong tajam berwarna merah seperti 
darah! Selama hidup belum pernah dia

mengalami hinaan yang sedemikian itu. 
Masalahnya sampai saat ini tak ada 
seorang pun yang berani menghina tokoh 
sesat macam dirinya yang kejam seperti 
iblis. Jangankan menghina, baru 
mendengar namanya saja orang pasti lari 
pontang-panting!
"Hm! Kalau belum menghirup darah 
kalian, belum puas hatiku! Dengarlah 
baik-baik! Aku adalah Ganda-uwo Hutan 
Jagal! Maka akan kucerai-beraikan tubuh 
kalian semua!" ancam orang tua yang 
berjuluk Gandaruwo Hutan Jagal itu. 
Suaranya begitu parau dan menggeletar 
karena amarah yang menggelegak.
Mendengar ancaman itu, mau tidak mau 
bulu kuduk lima belas orang pemuda itu 
meremang. Sungguh tidak pernah 
dibayangkan kalau mereka akan berjumpa 
iblis itu di tempat ini. Apalagi lima 
orang pemuda yang mengejeknya tadi. 
Mereka pernah mendengar kekejaman 
Gandaruwo Hutan Jagal yang suka makan 
daging manusia. Terutama daging anak 
muda yang merupakan kesukaannya.
Kelima belas orang pemuda itu 
menggigil hebat. Mereka benar-benar 
dilanda ketakutan luar biasa. Kengerian 
pun tergambar di wajah masing-masing

Bahkan beberapa di antaranya sampai 
terkencing- kencing, karena rasa ngeri 
yang mencekam.
Kelima belas pemuda itu menggigil 
hebat! Mereka benar-benar dilanda 
ketakutan luar biasa!
Lalu terdengar teriakan-teriakan 
ngeri, ketika Gandaruwo Hutan Jagal 
mulai membantai mereka! Dalam waktu 
singkat, pemuda-pemuda itu sudah banyak 
yang roboh dalam keadaan mengenaskan!

Lalu terdengar teriakan-teriakan 
ngeri, ketika Gandaruwo Hutan Jagal itu 
mulai membantai mereka. Dalam waktu 
singkat, kelima belas orang pemuda itu 
tewas dengan keadaan yang sangat 
mengerikan. Tubuh-tubuh mereka 
cerai-berai, bagai diamuk segerombolan 
binatang liar. Darah merah pun 
membanjiri rerumputan tebal yang semula 
bersih dan menghijau itu.
Setelah puas membunuhi dan memakan 
anggota tubuh, dan meminum darah lima 
belas orang pemuda, dengan langkah 
santai Gandaruwo Hutan Jagal itu segera 
meninggalkan tempat itu. Wajah iblis itu 
kembali berseri-seri penuh kepuasan.
Angin gunung bertiup lembut 
menerobos sela-sela dedaunan 
menimbulkan suara gemerisik lembut, 
bagai kan senandung alam yang melenakan. 
Seolah-olah sang angin ingin 
menyampaikan berita duka kepada 
orang-orang yang tengah dilanda 
kesibukannya masing-masing.
* * *

DUA

Beberapa hari setelah pembantaian 
lima belas orang pemuda yang malang itu, 
tampak serombongan pemuda yang berjumlah 
sepuluh orang bergegas menuruni Lereng 
Gunung Salaka. Mereka adalah murid 
Perguruan Gunung Salaka yang mendapat 
tugas untuk membeli bahan-bahan makanan 
untuk keperluan sehari-hari.
Tujuh hari sekali beberapa murid 
Perguruan Gunung Salaka turun ke Desa 
Cikunir, yang merupakan desa terdekat 
dari gunung itu. Kesepuluh orang itu 
melakukan perjalanan dengan penuh 
kegembiraan. Kadang-kadang diselingi 
derai tawa apabila salah seorang 
menceritakan hal-hal yang menggelitik 
perut.
"He he he! Rupanya Kakang Rupaksa 
sudah tidak sabar lagi untuk bertemu si 
jantung hati, sehingga tega-teganya 
meninggalkan kita!" ledek salah seorang 
ketika melihat orang yang dipanggil 
Rupaksa itu melangkah mendahuluinya.
Mendengar gurauan itu, yang lain 
kontan tertawa geli sambil mempermainkan 
bola matanya melirik Rupaksa. Mereka

memang sudah tahu apa yang dimaksud salah 
seorang kawannya itu.
"Ah! Kau bisa saja, Adi! Aku hanya 
ingin memeriksa keadaan di depan kita 
saja!" bantah Rupaksa sambil terpaksa 
menghentikan langkahnya masalahnya, 
kalau langkahnya diteruskan, pastilah 
mereka akan terus menggodanya.
"Hm! Kalau begitu, silakan teruskan 
maksud Kakang. Siapa tahu di balik 
semak-semak depan sana ada anak gadis 
kepala desa yang cantik itu! Ha ha 
ha...!" goda orang itu, kemudian tertawa 
terbahak-bahak sambil memegangi 
perutnya yang terasa sakit.
Demikian pula kedelapan orang 
lainnya. Mereka tidak dapat lagi menahan 
geli di hati, yang tergelitik oleh 
perkataan kawannya itu. Dan tanpa dapat 
dicegah lagi, meledaklah tawa mereka 
sambil terbungkuk-bungkuk memegangi 
perut.
Rupaksa yang kali ini menjadi bahan 
godaan kawan-kawannya, hanya dapat 
berdiri sambil menggeleng-gelengkan 
kepalanya tanpa mampu berkata-kata. 
Wajahnya sebentar pucat sebentar merah, 
karena jengah dan malu. Namun meskipun 
demikian, Rupaksa sama sekali tidak

merasa tersinggung. Memang, hal seperti 
itu sudah biasa bagi mereka. Lagipula, ia 
tidak ingin merusak suasana yang 
menggembirakan itu, hanya karena masalah 
sepele.
"Hm. Tapi kali ini aku 
sungguh-sungguh, Adi. Entah mengapa, 
sejak berangkat tadi, hatiku selalu 
was-was. Dan hal ini tidak pernah kualami 
sebelumnya," ujar Rupaksa 
sungguh-sungguh, ketika tawa kawan 
kawannya mulai mereda.
Melihat wajah dan suara yang 
sungguh-sungguh itu, tawa kesembilan 
orang kawannya itu pun berhenti
seketika. Untuk beberapa saat lamanya, 
mereka hanya saling pandangan dengan 
wajah bingung. Seolah-olah saling 
meminta pendapat masing-masing, apakah 
akan melanjutkan godaan itu atau tidak.
"Hm..., maksud Kakang, bagaimana?" 
tanya salah seorang ragu-ragu.
"Entahlah Adi? Sebaiknya 
tingkatkanlah kewaspadaan kita! Yahhh, 
mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa," 
desah Rupaksa penuh harap.
Maka kesepuluh orang murid 
Perguruan Gunung Salaka itu kembali 
melanjutkan perjalanan. Kali ini tidak

lagi terdengar gelak tawa atau senda 
gurau. Memang, mereka sudah mulai 
terpengaruh perkataan Rupaksa tadi.
"Uuufff, bau apa ini?" teriak salah 
seorang ketika mereka melewati sebuah 
hutan yang cukup jauh dari Kaki Gunung 
Salaka. Orang itu mengendus-enduskan 
hidungnya, seolah-olah ingin memastikan 
bau yang tercium itu.
"Eh! Seperti bau bangkai! Mungkin 
bangkai binatang hutan yang mulai 
mengering!" teriak yang lain sambil 
menutup hidung.
Lain halnya Rupaksa. Saat 
teman-temannya mulai ribut, ia hanya 
termenung sambil mengernyitkan dahinya. 
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, 
segera dilepaskan sabuk merah yang 
melilit pinggangnya.
"Kalian tetaplah di sini, aku akan 
memeriksa sebentar!" perintah Rupaksa 
sambil mengikatkan sabuk pada wajah 
untuk menutupi hidungnya. Dan dengan 
langkah pelahan-lahan, mulai dimasuki 
mulut hutan itu.
"Aku ikut, Kakang...!" teriak dua 
orang kawannya yang segera mengikuti 
langkah Rupaksa memasuki hutan. Mereka 
juga ikut melepaskan sabuk masing-masing

untuk menutupi hidungnya, akibat bau 
yang menyengat.
"Hei, hati-hati!" teriak yang 
lainnya, memperingatkan.
Dengan penuh kewaspadaan, ketiga 
orang itu mulai memasuki hutan yang 
menjadi sumber bau sehingga mengusik 
hidung. Tentu saja hal itu tidak terlalu 
sulit. Dengan semakin santernya bau 
busuk itu, berarti semakin dekat pula ke 
arah sumbernya. Selang beberapa waktu 
kemudian, Rupaksa dan kedua orang 
kawannya mulai mendekati tempat lima 
belas orang pemuda yang dibantai secara 
mengerikan!
"Aaahhh...!" kenguh ketiga murid 
Perguruan Gunung Salaka itu, tertahan.
Mata mereka membelalak dengan wajah 
pucat. Apa yang disaksikan ini, 
benar-benar membuat hati terguncang! Di 
hadapan mereka kini terbentang sebuah 
pemandangan yang dapat membuat hati 
siapa saja akan menggigil ketakutan, 
karena rasa ngeri yang hebat! Memang, 
yang disaksikan mereka adalah belasan 
mayat yang sudah tidak mungkin dapat 
dikenali. Tubuh belasan mayat itu sudah 
mulai mengering, dan tidak satu pun yang 
anggota tubuhnya masih lengkap. Ada

sosok mayat yang tanpa kepala. Ada pula 
yang tanpa kaki. Bahkan ada yang isi 
perutnya berhamburan!
Rupaksa dan kedua orang kawannya 
segera berlari meninggalkan tempat itu, 
dengan langkah terhuyung-huyung. Mereka 
tidak sanggup lagi menahan rasa mual yang 
tiba-tiba menyerang. Seluruh tubuh 
mereka kini dibanjiri keringat dingin. 
Dan begitu tiba di tempat 
kawan-kawannya, tubuh ketiga orang itu 
ambruk bagai sehelai karung basah. 
Dengan cepat mereka segera melepaskan 
sabuk yang menutupi mulut dan hidungnya. 
"Huaaakkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tiga orang 
itu langsung muntah-muntah. Rasanya 
seluruh isi perut ingin dikeluarkan saat 
itu. Setelah tidak ada lagi yang 
dimuntahkan, ketiga orang itu masih 
belum dapat berkata-kata. Tubuh mereka 
lemas seolah-olah tenaga ikut pula 
tersedot.
"Ada apa, Kakang? Apa yang sudah 
terjadi?" tanya kawan-kawannya, cemas. 
Memang mereka tidak tahu apa yang telah 
dialami tiga kawannya itu. Mereka memang 
tidak sempat bertanya sebab begitu tiba 
ketiganya langsung ambruk dan

muntah-muntah hebat. Sehingga, ketujuh 
orang kawannya itu hanya dapat
memandang, disertai wajah bingung. 
Mereka segera membantu mengurut-urut 
tubuh ketiganya, agar pernapasannya 
lebih longgar.
Selang beberapa waktu kemudian, 
Rupaksa dan dua orang lainnya sudah mulai 
pulih kembali lagi. Wajah ketiganya 
tampak sudah segar seperti semula. 
Ketiganya pun segera melangkah 
menghampiri tujuh orang kawannya yang 
sudah pula berdiri menyambutnya.
"Ayolah, Kakang. Kami sudah tidak 
sabar mendengar ceritamu," pinta salah 
seorang kawannya, ketika mereka sudah 
duduk di atas bebatuan.
"Baiklah. Akan kuceritakan kepada 
kalian, apa yang telah kami temukan dalam 
hutan itu," jawab Rupaksa kalem.
Rupaksa pun mulai menceritakan 
semua yang disaksikan di dalam hutan itu. 
Ketujuh orang temannya itu berkali-kali 
berseru kaget bercampur ngeri. Sama 
sekali tidak disangka kalau bau busuk itu 
berasal dari mayat-mayat manusia yang 
hampir mengering. Sungguh di iuar dugaan 
sama sekali.

"Meriurut cerita Kakang, mayat itu 
berjumlah belasan banyaknya. Aku jadi 
curiga, jangan-jangan...," orang itu 
tidak meneruskan ucapannya. Hal ini 
memang dapat berakibat buruk bagi 
Perguruan Gunung Salaka, maka segera 
dibuang jauh-jauh pikiran yang 
bukan-bukan itu.
"Hm, mengapa tidak kau teruskan 
ucapanmu, Adi? Katakanlah apa yang 
menjadi dugaanmu. Nanti baru kita teliti 
benar tidaknya," ujar Rupaksa penasaran.
"Benar! Katakanlah apa yang menjadi 
dugaanmu. Siapa tahu misteri pembunuhan 
itu dapat disingkap," bujuk kawan yang 
lain, ikut menimpali.
"Sebenarnya aku takut tentang 
dugaanku itu. Sebab hal ini akan besar 
sekali pengaruhnya bagi nama besar 
perguruan kita. Maka sebaiknya, kubuang 
jauh-jauh pikiran itu," bantah orang itu 
cemas.
"Jadi, kejadian itu bisa 
berpengaruh pada perguruan kita? Gila!" 
ujar kawannya yang lain.
"Nanti dulu, nanti dulu! Mmm..., 
belasan orang yang terbunuh dan mayatnya 
sudah hampir mengering. Jadi paling 
sedikitnya sudah dua atau tiga hari

terbunuh. Dan hari kejadian pembunuhan 
ini, paling tidak berbarengan dengan 
hari penerimaan murid-murid baru. 
Aaahhh..., benarkah dugaanku?" ujar 
Rupaksa. Wajahnya terlihat agak pucat.
"Kalau memang demikian, berarti 
malapetaka akan menimpa perguruan kita!"
"Benar! itulah yang kutakutkan, 
Kakang!" ujar kawannya, yang memang 
berpikir demikian.
"Kalau begitu, kita harus bertindak 
cepat! Kalian bertujuh, tetaplah pada 
tugas semula. Sedangkan aku dan dua orang 
teman lainnya akan kembali keperguruan 
untuk melaporkan kepada Guru. Biar 
bagaimana-pun, pembunuhan itu terjadi di 
wilayah kita. Maka sudah merupakan 
kewajiban kita untuk menyelidikinya," 
usul Rupaksa.
"Baiklah, kalau memang sudah 
menjadi keputusanmu, Kakang!" jawab 
mereka, segera menyetujui usul itu.
Maka murid-murid Perguruan Gunung 
Salaka itu pun berpisah. Rupaksa dan dua 
orang lainnya bergegas kembali 
keperguruan, sedang tujuh orang lainnya 
segera meneruskan perjalanannya. 
Sementara itu Rupaksa mengerahkan ilmu

meringankan tubuh untuk mempercepat 
perjalanan, diikuti dua orang kawannya.
Kihi Rupaksa dan dua orang kawannya 
tiba di Puncak Gunung Salaka. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, mereka 
memasuki bangsal utama perguruan itu 
untuk menghadap guru besar mereka.
"Hei, berhenti dulu! Mau ke mana, 
kalian?" tegur seorang murid yang sedang 
mendapat tugas membersihkan bangsal 
utama itu.
"Kami ingin menghadap Guru. Ada 
sesuatu yang ingin dilaporkan!" jawab 
Rupaksa. Suaranya dibuat hormat karena 
yang menyapa mempunyai tingkatan yang 
lebih tinggi daripadanya.
"Hm, penting sekalikah kabar itu? 
Tidak dapatkah ditunda hingga nanti 
sore, Adi Rupaksa?" tanya orang itu mulai 
ragu.
"Tidak bisa, Kakang! Ini menyangkut 
nama besar perguruan kita. Dan kalau Guru 
Besar marah, biarlah akan kutanggung 
akibatnya!" ujar Rupaksa. Suaranya 
begitu tegas.
"Ah! Bukan begitu maksudku. Adi 
Rupaksa! Kalau begitu masuklah. Biarlah 
resikonya kita tanggung bersama-sama."

Maka keempat orang itu segera 
melangkah menuju bangsal utama yang 
dijadikan tempat pertemuan. Letaknya di 
tengah-tengah bangunan besar Perguruan 
Gunung Salaka. Rupaksa dan dua orang 
temannya segera memasukinya. Sedangkan 
orang yang mengantar sudah kembali 
meneruskan pekerjaannya yang tertunda 
karena kedatangan mereka.
***
"Ampun, Guru! Kami bertiga datang 
menghadap," ucap Rupaksa dan dua 
temannya sambil berlutut. Kepala mereka 
tertunduk, seperti tak berani menatap 
sorot mata tajam Ki Sukma Kelana wakil 
guru besar mereka.
"Hm.... Bangkitlah, kalian. Kabar 
apakah yang kau bawa Rupaksa?" tanya Ki 
Sukma Kelana dengan suara dalam.
"Ampun, Guru! Kami membawa berita 
buruk, dan mohon petunjuk!" tutur 
Rupaksa penuh hormat. Kemudian dengan 
dibantu dua orang temannya, Rupaksa 
segera menceritakan apa yang telah 
ditemukannya di dalam hutan di dekat Kaki 
Gunung Salaka.

"Kurang ajar! Siapa orangnya yang 
berani melakukan perbuatan biadab itu?!" 
Hm. Segera harus diselidiki, Kakang! 
Kalau tidak, mereka tentu akan semakin 
kurang ajar kepada kita!" ujar Ki Surya 
kencana dengan wajah merah padam. 
Laki-laki setengah baya ini memang wakil 
Ki Sukma Kelana. Bahkan dulu juga sebagai 
adik seperguruan Guru Besar Perguruan 
Gunung Salaka itu.
"Sabarlah, Adi. Kita toh belum 
mengetahui pasti, apakah pembunuhan itu 
dilakukan manusia atau binatang buas. 
Sedangkan menurut laporan Rupaksa, 
keadaan mayat-mayat itu bagai diamuk 
binatang buas dan ganas. Dan sebelum 
mengetahui secara jelas, kita tidak bisa 
asal tuduh saja. Jika hal itu akan 
menjadi persoalan baru bagi kita, maka 
sebaiknya harus diperiksa dulu 
kebenarannya. Setelah itu baru dicari 
keterangan penyebab kematian 
orang-orang itu," ujar Ketua Perguruan
Gunung Salaka, Ki Sukma Kelana panjang 
lebar.
"Tapi, Kakang! Kita tidak boleh 
mendiamkan saja! Aku yakin, perbuatan 
itu pasti dilakukan oleh orang-orang 
yang tidak senang dengan kemajuan dan

nama besar Perguruan Gunung Salaka. 
Jadi, biar bagaimanapun kita harus 
segera bertindak! Agar mereka tahu bahwa 
perguruan kita tidak dapat dibuat 
main-main!" tegas Ki Surya Kencana yang 
benar-benar merasa terpukul akan 
kejadian itu. Jelas itu merupakan sebuah 
tamparan pada wajah mereka, karena 
terjadi masih di sekitar daerah 
perguruan itu.
"Benar. Tapi aku akan mengutus 
beberapa orang murid-murid tingkat empat 
untuk mencari tahu penyebab kematian 
orang-orang itu. Kemudian, baru 
dipikirkan langkah selanjutnya!" ujar Ki 
Sukma Kelana memberi keputusan.
"Tidak perlu, Kakang! Biar aku 
sendiri yang akan menyelidikinya!" 
sergah Ki Surya Kencana yang sudah 
bangkit dari duduknya. 
"Maafkan aku, Kakahg! Tapi 
percayalah! Aku akan bertindak sesuai 
dengan perintahmu, dan aku akan berusaha 
untuk tidak membuat persoalan baru. Aku 
pamit dulu, Kakang!"
Setelah berkata demikian, Ki Surya 
Kencana membungkuk hormat kepada Ki 
Sukma Kelana yang juga kakak 
seperguruannya itu. Dengan langkah lebar

laki-laki setengah baya itu segera 
meninggalkan tempat bangsal utama.
Tidak lama setelah kepergian wakil 
ketua Perguruan Gunung Salaka itu pergi, 
Rupaksa dan kedua orang murid lainnya 
juga segera mohon diri. Ki Sukma Kelana 
hanya mengangguk saja.
"Hmm, Tunggu!" cegah Ki Sukma Kelana 
ketika tiga muridnya itu akan melangkah.
" Ada apa Guru?"
"Kupesankan kepada kalian bertiga 
agar tak menceritakan kepada siapa pun. 
Dan sampaikan pesanku ini kepada rujuh 
orang murid lainnya," jelas Ki Sukma 
Kelana.
"Baik, Guru. Kami akan melaksanakan 
perintah Guru sebaik-baiknya," jawab 
ketiganya serempak. Setelah memberi 
hormat mereka segera beranjak 
meninggalkan tempat itu.
***
Hari baru menjelang siang, ketika 
sesosok tubuh berlumuran darah melangkah 
terseok-seok menaiki Lereng Gunung 
Salaka. Pakaian yang dikenakan sobek di 
sana-sini, akibat sayatan senjata tajam 
yang juga melukai kulit dan dagingnya.

Rasanya hanya karena semangat baja saja 
yang membuatnya mampu bertahan hidup 
sampai saat itu.
Duggg! Duggg! Brukkk...!
Setelah menggedor pintu gerbang di 
hadapannya beberapa kali, orang itu pun 
ambruk. Kedua kakinya sudah tidak mampu 
lagi berdiri, dan merintih lirih. 
Dirasakan sakit pada luka-lukanya yang 
diderita.
Dua orang murid Perguruan Gunung 
Salaka yang bertugas menjaga pintu 
gerbang bergegas membukanya, ketika 
mendengar gedoran yang cukup keras tadi. 
Dan alangkah terkejutnya mereka 
mendapati sesosok tubuh yang berlumur 
darah tergeletak tak berdaya di depan 
pintu gerbang perguruan. Bergegas 
keduanya menghampiri dan membalikkan 
tubuh yang tertelungkup itu.
"Hei! Bukankah dia salah satu kawan 
kita yang bertugas memberi bahan makanan 
ke Desa Cikunir? Kemana yang lainnya? Apa 
yang terjadi pada mereka?!" seru salah 
seorang penjaga itu. Wajahnya diliputi 
ketegangan.
"Sudahlah, jangan banyak tanya 
dulu! Cepat laporkan hal ini kepada Guru 
Besar! Lihatlah! Luka-lukanya parah

sekali. Mungkin ia tidak bisa bertahan 
terialu lama. Cepat, beritahukan kepada 
Guru Besar!" teriak penjaga yang satunya 
lagi. Hatinya juga diliputi kecemasan. 
Dia memang merasa khawatir kalau-kalau 
orang itu sudah tewas, sebelum sempat 
menceritakan kejadian yang dialaminya.
Bagai dikejar setan, salah seorang 
dari dua penjaga itu melesat 
meninggalkan tempat itu menuju bangsal 
utama perguruan. Tentu saja kelakuannya 
yang di luar kebiasaan itu, mengundang 
perhatian murid-murid lainnya. Hal ini 
memang menjadikan mereka bingung, dan 
hatinya diliputi keheranan.
"Hei, berhenti! Ada apa ini?! 
Mengapa berlari bagai di kejar setan? Apa 
yang telah terjadi?! Cepal katakan!" 
seru seorang murid tingkat empat 
tiba-tiba sambil menghadang perjalanan 
penjaga itu.
"Kakang, di depan pintu gerbang ada 
salah seorang murid yang terluka parah. 
Dan aku tidak tahu kenapa. Aku harus 
cepat-cepat melaporkan hal ini kepada 
Guru Besar! orang itu sepertinya sudah 
tidak dapat bertahan lebih lama lagi!" 
lapor penjaga itu dengan napas 
tersengal-sengal.

"Baiklah kalau begitu. Cepat kau 
menghadap Guru. Aku akan memeriksanya 
teriebih dulu."
Setelah berkata demikian, orang 
yang dipanggil kakang itu berkelebat 
menuju pintu gerbang. Gerakannya cepat 
sekali, seolah-olah kedua kakinya tidak 
menyentuh permukaan tanah. Dan dalam 
waktu singkat saja dia telah tiba di 
tempat sosok tubuh yang membujur tak 
berdaya.
"Ayo, semua ke pinggir! Jangan 
merubung seperti itu," teriak murid 
tingkat empat itu ketika melihat di depan 
pintu gerbang telah dipenuhi murid yang 
berdesak-desakkan ingin menyaksikan 
kejadian itu.
Mendengar suara teriakan keras, 
murid yang berdiri bergerombol seketika 
buyar untuk memberi jalan kepada salah 
seorang kakak seperguruan mereka yang 
baru tiba itu. Namun mereka hanya 
bergeser sedikit, tanpa berniat 
meninggalkan tempat. Tentu saja hal ini 
membuat tokoh tingkat empat yang baru 
datang tadi menjadi berang.
"Hei! Ayo, semuanya kembali ke 
tempat masing-masing! Atau kalian ingin 
dihukum, hah!"

"Ampun, Kakang...!" seru 
murid-murid perguruan itu. Yang kemudian 
bergegas meninggalkan tempat tanpa 
menoleh lagi.
Tanpa buang-buang waktu lagi tokoh 
tingkat empat Perguruan Gunung Salaka 
itu segera memeriksa keadaan murid yang 
terluka parah tadi. Hatinya menjadi 
terkejut, ketika mendapati luka-luka 
akibat pukulan-pukulan yang cukup kuat. 
Apalagi ditambah sayatan senjata tajam 
yang memenuh seluruh tubuh adik 
seperguruannya itu. Cepat-cepat 
dilakukan totokkan di beberapa bagian 
tubuh yang penuh luka, ketika mendengar 
suara mengorok dari kerongkongan tubuh 
yang tergeletak itu. Pertanda bahwa 
nyawanya akan meninggalkan raga.
"Hkkkhhh... huaaakkk...!" segumpal 
darah kental yang menyumbat 
kerongkongannya terlompat keluar ketika 
beberapa bagian tubuhnya ditotok kakak
seperguruannya. Dan beberapa saat 
kemudian, orang itu pun membuka kedua 
matanya pelahan-lahan.
"Cepat, katakan. Siapa yang 
melakukan perbuatan keji ini?" tanya 
tokoh itu dengan suara tegang.

"Algojooo.... Ghununghhh.... 
Sutraaa... akkkhhrrr...!" setelah 
berkata susah payah, orang itu pun 
menghembuskan napasnya yang terakhir di 
atas pangkuan salah seorang kakak 
seperguruannya.
"Gunung Sutra!" gumam tokoh tingkat 
empat itu sambil memandang salah satu 
penjaga pintu gerbang yang juga ikut 
mendengar perkataan terakhir kawannya.
"Kakang, bukankah Perguruan Gunung 
Sutra adalah sebuah perguruan yang besar 
dan terhormat. Mengapa mereka begitu 
tega melakukan pembunuhan sekejam ini 
kepada perguruan kita?" tanva penjaga
pintu gerbang itu heran.
"Entahlah! Rasanya mustahil kalau 
perbuatan ini dilakukan perguruan itu. 
Tapi ucapan orang yang sekarat, tidak 
mungkin bohong! Ahhh! Sebaiknya, hal ini 
harus dilaporkan dulu kepada Guru Besar. 
Biarlah Guru yang memutuskannya nanti!"
"Apa yang harus kuputuskan, 
Santiaji?" tiba-tiba terdengar suara 
yang berat dan berwibawa. Dan sebelum 
gema suara itu hilang, di samping mereka 
telah berdiri Guru Besar mereka, ki Sukma 
Kelana.

"Guru!" seru keduanya sambil 
berlutut di hadapan guru besar mereka.
"Hm, bangkitlah kalian. Ceritakan, 
apa yang sudah terjadi?" tanya Ki Sukma 
Kelana kepada tokoh tingkat empat yang 
ternyata bernama Santiaji. Hanya dengan 
sekilas pandang saja, guru besar 
Perguruan Gunung Salaka itu sudah 
mengetahui bahwa murid yang diceritakan 
penjaga tadi sudah tidak bernyawa lagi.
"Ampun, Guru. Kami pun tidak tahu 
pasti kejadiannya, Dan mayat ini adalah 
salah seorang dari tujuh murid perguruan 
yang bertugas membeli bahan-bahan 
keperluan di Desa Cikunir. Dia kembali 
seorang diri dalam keadaan terluka 
parah. Sedangkan yang enam murid 
lainnya, sampai saat ini belum kembali, 
Guru!" lapor Santiaji dengan panjang 
lebar.
"Lalu, apakah pada saat-saat 
terakhirnya, dia tidak mengatakan 
apa-apa? tanya Ki Sukma Kelana lagi 
sambil menunjuk mayat muridnya itu.
"Ada, Guru. Dia memang mengatakan 
sesuatu. Tapi...," Santiaji tidak berani 
meneruskan ucapannya.
"Tapi apa, Santiaji?" tanya Ki Sukma 
Kelana, heran.

"Em, anu, Guru! la... ia mengatakan, 
semua... semua itu adalah perbuatan 
Perguruan Gunung Sutra, Guru!" jelas 
Santiaji kemudian menunduk hormat.
"Hm. Benarkah yang kudengar ini, 
Santiaji?" tanya Ki Sukma Kelana dengan 
wajah gelap. 
"Apakah mungkin mereka melakukan 
perbuatan sekejam ini kepada kita?!"
"Benar, Guru! Memang demikianlah 
yang dikatakannya. Aku pun ikut 
mendengarkan, Guru!" jawab penjaga pintu 
gerbang yang tadi ikut mendengarkan 
bersama Santiaji.
"Hhh...," Ki Sukma Kelana hanya 
menarik napas panjang, setelah mendengar 
pernyataan yang menguatkan laporan 
Santiaji itu. 
"Sudahlah. Sekarang urus mayat itu 
baik-baik. Dan jangan menceritakan 
kejadian ini kepada siapa pun. Santiaji, 
kau ikut aku!"
Setelah berkata demikian, Ki Sukma 
Kelana segera meninggalkan tempat itu.
"Baik, Guru!" ujar Santiaji, yang 
segera melangkah mengikuti Pimpinan 
Perguruan Gunung Salaka itu.
Sepeninggal tokoh-tokoh perguruan 
itu, beberapa orang murid yang berada tak
jauh dari tempat kejadian segera 
dipanggil oleh penjaga pintu gerbang 
uniuk menjalankan perintah guru besar 
mereka.
***
TIGA


Hari masih sangat pagi, ketika lima 
orang murid yang bertugas mengambil air 
di Lereng Gunung Salaka itu menemukan 
beberapa manusia yang telah menjadi 
mayat! Mayat-mayat itu seolah-olah 
sengaja di letakkan di pinggir sungai 
tempat biasanya mengambil air. Setelah 
meneliti mayat yang ternyata berjumlah 
enam orang itu, kelima orang murid 
Perguruan Gunung Salaka tersentak mundur 
diiringi wajah pucat. Memang, mereka 
kenal betul, bahwa mayat-mayat itu tidak 
lain adalah kawan seperguruan mereka 
sendiri.
"Kalian berdua cepat naik ke atas. 
Laporkan hal ini kepada Guru Besar. 
Cepat...!" perintah salah seorang dari 
mereka. Dua orang yang mendapat perintah 
itu, yang semula hanya berdiri terpaku

tanpa sanggup mengeluarkan suara. 
Akhirnya dapat pula bersuara.
"Baiklah. Kami akan segera kembali 
secepatnya!" jawab salah seorang setelah 
tersadar. Dan tanpa di perintah dua kali, 
kedua orang itu segera melesat 
meninggalkan tiga orang kawannya yang 
menunggu di tempat itu. Karena jaraknya 
tidak terlalu jauh, maka tidak lama 
kemudian dua orang itu sudah kembali 
disertai dua orang tokoh tingkat empat 
yang salah seorang di antaranya adalah 
Santiaji.
"Kakang, apa yang terjadi terhadap 
mereka?" tanya salah seorang yang tadi 
menunggui mayat-mayat itu. Di wajahnya 
tergambar kegelisahan dan kemarahan.
"Entahlah. Aku tidak tahu, siapa 
yang telah membunuh mereka? Dan apa 
maksudnya meletakkan mayat-mayat itu di 
sini!" jawab Santiaji yang masih ingin 
menyembunyikan persoalan yang sedang 
dihadapi Perguruan Gunung Salaka.
'’Tapi, kesalahan apa yang telah 
mereka perbuat, Kakang? Bukankah mereka 
adalah murid-murid yang ditugaskan untuk 
membeli bahan-bahan makanan ke desa 
terdekat?" tanya yang lainnya mendesak.

Memang mereka merasa tidak puas atas 
jawaban Santiaji tadi.
"Ahhh, sudahlah! Lebih baik, 
sekarang bawa mayat-mayat itu ke atas, 
agar Guru Besar dapat memeriksanya! Ayo, 
cepat!" perintah Santiaji yang mencoba 
mengelak dari pertanyaan adik 
seperguruannya itu.
Tanpa membantah lagi, lima murid 
tadi dengan dibantu oleh beberapa 
kawannya segera mematuhi perintah kakak 
seperguruannya itu. Karena mayat-mayat 
itu masih baru, jadi mereka tidak merasa 
jijik untuk membawanya.
Ki Sukma Kelana termenung di hadapan 
tujuh mayat muridnya itu, di halaman 
Perguruan Gunung Salaka. Wajah orang tua 
yang biasanya selalu tenang, kini 
menjadi muram. Kemarahan mulai terbayang 
diwajah tuanya. Rupanya kali ini hatinya 
benar-benar terpukul atas kematian 
murid-muridnya itu. Namun meskipun 
demikian, Ki Sukma Kelana masih berusaha 
untuk tidak menunjukkan kemarahannya. 
Hanya, di matanya sekilas terlihat 
kilatan cahaya kemerahan yang membuat 
hati orang-orang yang memandangnya 
tergetar.

Namun, tidak demikian sikap yang 
ditujukkan Ki Surya Kencana. Orang kedua 
dari Gunung Salaka itu sudah tidak dapat 
menyembunyikan kemarahannya lagi. 
Tubuhnya sampai menggigil karena menahan 
amarah yang telah memenuhi rongga 
dadanya.
"Heaaattt...!"
Tiba-tiba tubuh Ki Surya Kencana 
melesat cepat bagai kilat ke arah sebuah 
pohon besar yang berjarak sekitar lima 
batang tombak darinya. Tangan kanannya 
berkelebat cepat ke arah batang pohon 
besar itu. Dan....
Kraaakkk.... Gusraaakkk...!
Pohon sebesar badan kerbau itu 
kontan patah, kemudian tumbang dengan 
menimbulkan suara bergemuruh. Hebat 
sekali tenaga sakti orang tua itu. Entah 
apa jadinya kalau yang menjadi sasaran 
telapak tangannya adalah tubuh manusia. 
Ngeri rasanya untuk membayangkannya.
Para murid Perguruan Gunung Salaka 
yang menyaksikan kehebatan pukulan Ki 
Surya Kencana itu, hanya terbelalak 
kagum sambil berdecak. Memang selama 
berdiam di Gunung Salaka, baru kali 
inilah mereka dapat menyaksikan 
kehebatan orang tua itu.

"Maafkan aku, Kakang! Bukan 
maksudku untuk memamerkan, kekuatan di 
depan murid-murid. Sebab kalau tidak 
kutumpahkan kemarahanku, bisa-bisa 
kepalaku pecah dibuatnya. Aku 
benar-benar tidak sanggup lagi untuk 
bersabar, Kakang! Oleh karena itu, 
ijinkanlah aku kembali untuk mencari 
pembunuh biadab itu!" ujar Ki Surya 
Kencana kepada kakak seperguruannya, 
penuh harap. Dia memang pernah mencari 
sipembunuh, namun hasilnya sia-sia. 
Maka, diputuskanlah untuk kembali ke 
perguruan. Dan kini, Ki Surya Kencana
masih belum punya bukti-bukti yang 
jelas.
Ki Sukma Kelana yang merasa maklum 
akan kemarahan adik seperguruannya itu 
hanya tersenyum penuh kesabaran. Ia tahu 
betul watak adiknya. Meskipun ia tidak 
mengijinkan adik seperguruannya itu 
pergi, pastilah Ki Surya Kencana akan 
pergi secara diam-diam.
"Baiklah, Adi! Kali ini kau 
kuijinkan kembali untuk pergi 
menyelidikinya. Tapi ingat. Jangan 
menurunkan tangan kejam pada sembarang 
orang. Kendalikan hawa amarahmu, jangan 
sampai membuat persoalan baru lagi!


pesan Ki Sukma Kelana yang akhirnya 
terpaksa mengalah kepada adik 
seperguruannya itu.
"Terima kasih, Kakang. Aku pergi 
dulu," ucap Ki Surya Kencana 
bersemangat. Tubuh orang tua sakti itu 
berkelebat cepat, seolah-olah pandai 
menghilang saja.
"Hati-hati, Adi!" seru Ki Sukma 
Kelana memperingatkan. Suaranya 
terdengar melengking tinggi karena 
didorong tenaga dalam yang kuat. Bahkan 
gema suaranya terdengar sampai 
sedemikian jauhnya.
"Bagaimana dengan kami, Guru? 
Apakah kami harus berdiam diri saja, 
melihat keadaan perguruan yang sedang 
dalam kemelut itu?" tanya Santiaji yang 
merupakan tokoh tingkat empat di 
Perguruan Gunung Salaka. Pertanyaan 
bernada penuh permohonan.
"Betul, Guru. Berilah kami tugas. 
Dan akan kami jalankan sebagai mana yang 
diperintahkan!" pinta yang lain lagi. 
Tingkatannya dalam perguruan ini sama 
dengan Santiaji.
"Baik! Tanpa kalian minta pun 
sebenarnya sudah kupersiapkan sebuah 
tugas untuk kalian berdua," ujar Ki Sukma

Kelana yang merasa maklum akan perasaan 
kedua orang murid kepalanya tersebut 
Yang ingin segera mencari biang keladi 
dari kemelut yang tengah mereka hadapi. 
"Tugas yang akan kuberikan kepada 
kalian adalah pergi ke Desa Cikunir. Di 
sana tanyakanlah kejadian yang 
sebenarnya kepada penduduk setempat. Dan 
ingat! Dalam melakukan penyelidikan, 
lakukanlah penyamaran. Hal ini agar 
tidak mudah dikenali musuh-musuh kita. 
Dan juga, kalian harus berangkat pada 
malam hari untuk menghindari intaian 
musuh! Karena, kita tidak mengetahui 
siapa dan di mana musuh-musuh yang 
sebenarnya. Kalian mengerti maksudku?"
"Mengerti, Guru!" jawab keduanya 
serempak.
"Nah! Kalau begitu, sekarang 
uruslah dulu mayat-mayat ini sebagaimana 
mestinya. Baru setelah itu, kalian bisa 
mempersiapkan segala sesuatu yang 
diperlukan untuk penyamaran nanti. Nah, 
aku pergi dulu!" ujar Ki Sukma Kelana 
sambil melangkah meninggalkan tempat 
itu.
'’Terima kasih, Guru...!" jawab 
keduanya lagi sambil berlutut memberi

hormat, diikuti murid-murid lainnya yang 
juga masih di tempat itu.
Sepeninggal Ki Sukma Kelana maka 
mulailah mereka mengurus mayat keenam 
orang kawan seperguruannya itu. 
Sedangkan Santiaji dan teman 
setingkatnya bergegas kembali ke kamar 
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang 
diperlukan dalam melakukan tugas yang 
diberikan guru besarnya itu.
* * *
EMPAT


Kehangatan sinar matahari pagi 
menyertai langkahnya memasuki 
perbatasan sebuah desa. Meskipun usianya 
sudah tua, namun langkah kakinya 
teriihat ringan dan mantap. Tubuhnya 
tegap dan sehat, pertanda orang itu 
selalu memperhatikan kesehatan. 
Pakaiannya yang terbuat dari kain kasar 
berwarna putih itu, disatukan dengan 
celana hitam. Maka penampilan orang tua 
itu menjadi teriihat sederhana. Siapa 
lagi kalau bukan Ki Surya Kencana yang 
sedang dalam penyelidikan atas

pembantaian beberapa murid Perguruan 
Gunung Salaka.
Ki Surya Kencana juga sengaja 
melakukan penyamaran agar kehadirannya 
dalam dunia persilatan tidak mudah 
dikenali orang. Sudah hampir seminggu 
melakukan penyelidikan, namun yang 
ditempuh masih tetap gelap. Sama sekali 
belum ditemukan tanda-tanda tentang si 
pembunuh sedikit pun. Tapi berkat 
semangatnya yang tinggi, Ki Surya 
Kencana tetap meneruskan pencarian.
Orang kedua di Perguruan Gunung 
Salaka itu melangkahkan kakinya menuju 
sebuah kedai makan yang terletak di tepi 
jalan utama desa itu. Hatinya merasa lega
ketika di dalam kedai makan tidak terlalu 
banyak pengunjung. Dihampirinya sebuah 
meja yang terletak dekat jendela. Dengan 
demikian dia dapat memandang bebas 
keluar. Ki Surya Kencana menggerakkan 
tangannya memanggil pelayan, dan memesan 
beberapa jenis makanan dan minuman,
Tidak lama, pelayan yang dipanggil 
kembali kemejanya dengan membawa 
beberapa makanan dan minuman. Kemudian 
segera disantap makanannya dengan 
pelahan. Di dalam kedai, ada juga 
beberapa orang juga tengah menyantap

makanan. Semula tidak dipedulikan sama 
sekali obrolan orang-orang yang sedang 
mengisi perut itu. Tapi, mendadak 
wajahnya berubah ketika mendengar cerita 
dua orang yang berada di seberang 
mejanya.
"Bayangkan! Siapa yang tidak 
gemetar bila melihat sesosok mayat yang 
keadaannya sangat mengerikan itu! Entah 
binatang buas jenis apa yang begitu ganas 
menyiksanya. Sampai-sampai anggota 
tubuhnya terpisah-pisah! Hiii! 
Mengerikan sekali!" tutur salah seorang.
Tentu saja hal ini sangat menarik 
perhatian Ki Surya Kencana.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
segera ditinggalkan mejanya untuk 
menghampiri meja dua orang yang tengah 
bercerita. Dengan langkah yang 
dibuat-buat, segera didekati dua orang 
itu.
"Selamat pagi, Kisanak," sapa Ki 
Surya Kencana, sambil menganggukkan 
kepalanya. "Aku tertarik dengan ceritamu 
tadi. Hm, bolehkah aku ikut 
mendengarkannya?"
"Selamat pagi! Silakan..., 
silakan!" jawab kedua orang itu, dengan 
senyum ramah.

"Ceritamu tadi sungguh menarik, 
Kisanak Mmm, dimanakah engkau melihat 
mayat yang sedemikian mengerikan itu?" 
tanya Ki Surya Kencana penuh minat 
Wajahnya begitu bersungguh-sungguh.
Sebagaimana sifat manusia pada 
umumnya, kedua orang itu pun senang jika 
ceritanya menarik perhatian orang lain. 
Dan dengan suara yang dibuat-buat, orang 
itu lalu menceritakan pengalamannya 
kepada Ki Surya Kencana. Laki-laki 
setengah baya itu mendengarkan dengan 
wajah berseri-seri.
"Karena kami berdua adalah pedagang 
keliling, maka banyak mengetahui atau 
menemukan peristiwa yang sedang terjadi 
saat ini," jelas orang itu penuh 
kebanggaan.
"Jadi, pembunuh seperti itu sedang 
mewabah di sekitar sini?" tanya Ki Surya 
Kencana lagi, meminta kepastian.
"Benar! Bahkan dua hari yang lalu, 
di Desa Karang Gempal ini seorang pemuda 
berumur empat belas tahun lenyap tanpa 
jejak. Dan pada keesokan paginya, 
seorang pencari kayu menemukan sesosok 
mayat yang masih baru. Namun tubuh si 
mayat sudah hampir tak berdaging. 
Rupanya binatang itu merasa kekenyangan

sehingga tidak menghabiskan santapannya 
itu," tutur orang itu wajahnya 
menggambarkan kengerian yang amat 
sangat.
"Wah, sungguh berbahaya kalau 
begitu," desah Ki Surya Kencana yang juga 
memasang wajah kengerian, agar tidak 
menimbulkan kecurigaan.
"Ha ha ha...! Jangan takut, Kisanak 
hewan itu hanya memilih daging-daging 
yang masih segar saja, jadi tidak perlu 
khawatir," hibur keduanya. Hati mereka 
merasa geli melihat wajah orang tua itu 
yang mendadak pucat
"Ah, syukuriah kalau begitu. 
Sekarang lebih baik aku pergi saja. 
Sungguh aku menjadi semakin ngeri 
mendengar ceritamu, Kisanak. Mari," ujar 
Ki Surya Kencana meminta diri.
Setelah membayar harga makanan 
serta minumannya teriebih dahulu, orang 
tua itu pun bergegas meninggalkan kedai 
makan. Kepergiannya diiringi gelak tawa 
dua orang pedagang keliling tadi.
Sesampainya di luar kedai, Ki Surya 
Kencana segera berkelebat menuju keluar 
Desa Karang Gempal. Dia berminat 
memeriksa ke sekeliling perbatasan desa 
itu. Siapa tahu di sana dapat menemukan

sedikit pe-tunjuk, atau pun tanda-tanda 
yang akan membawanya kepada pembunuh 
biadab itu.
Setelah cukup lama berkeliling, 
tiba-tiba telinganya mendengar sebuah 
suara yang mencurigakan. Ki Surya 
Kencana semakin mempertajam indra 
pende-ngarannya, untuk memastikan arah 
suara yang mencurigakan itu. Beberapa 
saat kemudian, orang tua itu menarik 
napas kecewa. Ternyata yang didengarnya 
adalah suara langkah kaki manusia yang 
terdengar lambat dan berat.
"He he he...! Rupanya cacing-cacing 
di dalam perutku sudah mulai kelaparan 
lagi," terdengar suara orang berbicara.
Tiba-tiba muncul sosok tubuh tinggi 
besar dan bercambang bauk. Dielus-elus
perutnya yang gendut, sambil bergumam 
sendirian. Entah mengapa tahu-tahu saja 
orang itu meludah kekiri-kekanan dengan 
cuping hidungnya bergerak-gerak 
seolah-olah mengendus sesuatu.
"Huh! Bau daging alot! Bau daging 
alot!" teriak sosok tubuh itu 
berkali-kali.
Ki Surya Kencana yang bersembunyi di 
balik semak-semak merasa terkejut sekali 
mendengar umpatan orang tinggi besar,

"Gila! Manusia ini tajam sekali 
penciumannya. Seperti binatang pemakan 
daging saja layaknya," pikir Ki Surya 
Kencana.
"Hei! Keluar kau, kakek peot! Baumu 
memualkan perut, tahu!" teriak orang 
tinggi besar itu. Suaranya begitu serak 
menakutkan.
Ki Surya Kencana merasa panas 
perutnya mendengar sumpah yang 
dilontarkan orang yang berwajah 
menyeramkan itu. Dengan langkah bagaikan 
orang lemah, Ki Surya Kencana segera 
keluar dari tempat persembunyian. Ia 
sengaja berbuat demikian agar reaksi 
orang itu terpancing.
"Hm, mengapa kau bersembunyi di 
balik semak-semak itu?! Apakah sengaja 
memata-mataiku? Jawab, peot! Jangan 
sampai kurobek-robek mulutmu yang sudah 
mulai ompong itu!" bentak orang tinggi 
besar, yang tak lain adalah Gandaruwo 
Hutan Jagal.
"Oh. Tidak..., tidak! Aku... aku 
hanya tersesat," jawab Ki Surya Kencana, 
pura-pura gugup. Hatinya sudah mulai 
menduga tentang orang yang berada di 
hadapannya. Namun, ia tidak ingin

bertindak sebelum dapat memastikan bahwa 
orang tinggi besar itulah yang dicari.
"Hm, untung aku sedang tidak 
berselera untuk membunuh. Kalau tidak, 
aku tidak akan segan-segan merobek-robek 
tubuh peotmu itu. Hayo, pergilah sebelum 
pikiranku berubah!" dengus orang itu 
sambil mengibaskan tangannya, secara 
pelahan dan sembarangan.
Namun, Ki Surya Kencana yang berdiri 
sejauh dua tombak dari orang itu, menjadi 
terkejut sekali. Dirasakannya sambaran 
angin kuat yang ditimbulkan gerakan 
sembarangan tadi. Dengan wajah 
seolah-olah tidak menyadari adanya 
bahaya, Ki Surya Kencana segera 
mengerahkan tenaga sakti untuk 
melindungi tubuhnya dari serangan itu.
Ketika sambaran angin kuat itu tiba, 
Ki Surya Kencana cepat mengendorkan 
kedua kakinya. Maka tak ayal lagi, tubuh 
orang tua itu terdorong dan jatuh 
bergulingan sejauh tiga tombak. Dan 
dengan pura-pura susah payah, Ki Surya 
Kencana berusaha bangkit berdiri.
"He he he.... Orang tua peot yang 
lemah dan menjemukan, huh!" dengus orang itu.

Setelah berkata demikian, Gandaruwo 
Hutan Jagal itu melangkah pergi. Tidak 
dipedulikannya lagi Ki Surya Kencana 
yang masih pura-pura terhuyung.
Ki Surya Kencana masih belum dapat 
memastikan siapa sebenarnya orang yang 
bertubuh tinggi besar dan menyeramkan 
itu, juga tidak ingin memperpanjang 
urusan. Maka ketika Gandaruwo Hutan 
Jagal melangkah pergi, hanya didiamkan 
saja. Tapi yang jelas dia berniat 
menguntit orang yang mencurigakan itu 
dari kejauhan.
Mendadak kening orang tua itu 
berkerut dan wajahnya menegang, ketika 
secara samar-samar teringat akan seorang 
tokoh golongan hitam yang ciri-cirinya 
mirip dengan orang tinggi besar itu. 
Dengan kecepatan kilat, tubuhnya pun 
segera berkelebat ke arah Gandaruwo 
Hutan Jagal itu pergi.
"Kisanak, pelahan sedikit...!" seru 
Ki Surya Kencana ketika sudah melihat 
orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Mendengar seruan itu, Gandaruwo 
Hutan Jagal segera menghentikan 
langkahnya. Hatinya jadi heran ketika 
melihat orang yang berteriak itu adalah 
tubuh tua yang tadi dibuatnya

terpelanting. Selintas terpancar hawa 
maut dari sepasang sinar matanya yang 
semerah buah saga itu.
"Hhh! Apakah ingin mencari mampus, 
orang tua peot?! Berani benar kau menunda 
perjalananku!" ujar Gandaruwo Hutan 
Jagal dengan suara menggeram marah.
"Tunggu dulu, Kisanak. Aku hanya 
ingin bertanya sedikit!" jawab Ki Surya 
Kencana tenang. Namun sorot matanya 
terlihat tajam dan berpengaruh.
"Huh! Apa yang ingin kau tanyakan?! 
Cepat katakan!" kata Gandaruwo Hutan 
Jagal tak sabar. Sekejap tadi hatinya 
sempat terkejut melihat sinar mata yang 
tajam menusuk dari orang tua yang 
dianggap remeh itu. Namun karena 
ketinggian hatinya, maka tidak 
dipedulikannya.
"Hm.... Kalau mata tuaku tidak salah 
lihat, Kisanak pastilah yang berjuluk 
Gandaruwo Hutan Jagal. Benar?" tanya Ki 
Surya Kencana. Pandangan matanya seperti 
menyelidik.
"Ha ha ha.... Memang tidak salah, 
peot! Akulah yang berjuluk Gandaruwo 
Hutan Jagal. Lalu, apa maumu?i" jawab 
Gandaruwo Hutan Jagal penuh kesombongan. 
Tapi memang demikian kebiasan

tokoh-tokoh golongan hitam, yang selalu 
merasa bangga apabila namanya sudah 
dikenal orang.
"Dan aku pun sudah pula mengenal 
kebiasaanmu yang suka memakan daging 
manusia itu. Satu lagi pertanyaanku. 
Pemahkah kau berkeliaran di sekitar 
Gunung Salaka pada dua minggu yang lalu?" 
tanya Ki Surya Kencana dengan wajah yang 
mulai menegang. Sengaja dia memancing 
dengan pertanyaan itu untuk menuju 
kepada pokok persoalan yang 
sesungguhnya.
"He! Apa maksudmu, orang tua peot! 
Dan apa hubunganmu dengan Perguruan 
Gunung Salaka? Hm..., nanti dulu! He he 
he..., sekarang aku ingat. Bukankah kau 
yang berjuluk si Tangan Pedang? Tidak 
salah lagi, kaulah orangnya!" tebak 
Gandaruwo Hutan Jagal. Wajahnya juga 
kelihatan menegang.
"Tidak salah penglihatanmu. Akulah 
Surya Kencana yang berjuluk si Tangan 
Pedang itu! Hm, Gandaruwo Hutan Jagal. 
Kalau kau bukan seorang pengecut, pasti 
mau mengakui perbuatanmu yang telah 
membantai lima belas orang pemuda secara 
kejam di hutan dekat Kaki Gunung Salaka 
dua minggu lalu! Apakah kau akan

menyangkal?" tanya Ki Surya Kencana. 
Sengaja nada suara pada kata-kata 
'Pengecut' diberikan tekanan agar reaksi 
Gandaruwo Hutan Jagal terpancing. Namun 
demikian, hatinya dibuat setenang 
mungkin.
Memang pada umumnya tokoh-tokoh 
golongan hitam, paling tabu dengan 
kata-kata pengecut. Masalahnya, mereka 
rata rata memiliki hati sombong dan 
paling suka menonjolkan kekejamannya.
"Hm, jadi kau sengaja turun gunung 
untuk mencariku, orang tua peot? He he 
he.... Memang sudah lama ingin kurasakan 
ketajaman tangan pedangmu! Nah! Kalau 
memang aku yang melakukannya, apa yang 
akan kau perbuat?" tantang Gandaruwo 
Hutan Jagal sambil bertolak pinggang. 
Sikapnya angkuh sekali.
"Hm. Kalau memang demikian, harus 
ikut aku ke Gunung Salaka untuk 
mempertanggungjawabkan perbuatan 
biadabmu itu!" kata Ki Surya Kencana 
bernada mengancam.
"He he he...! Lakukanlah kalau 
mampu, orang tua peot!" tantang 
Gandaruwo Hutan Jagal sambil 
memperdengarkan tawanya yang panjang.

"Hm. Bersiaplah kau, Gandaruwo 
Hutan Jagal! Hiaaattt..!" sambil 
berteriak mengguntur, tubuh Ki Surya 
Kencana meluncur deras. Kedua tangan 
berputar mencari sasaran yang mematikan.
Hebat sekali serangan yang 
dilakukan tokoh sakti dari Perguruan 
Gunung Salaka itu. Angin keras 
menderu-deru mengiringi putaran 
tangannya seolah menjadi banyak Dan 
tahu-tahu tangan kanannya me-nyembul 
keluar, menusuk ke arah tenggorokan 
Gandaruwo Hutan Jagal dengan kecepatan 
kilat. 
Wuuusss...!
Gandaruwo Hutan Jagal mengetahui 
kelihaian lawan. Dikerahkan tenaganya 
menyambut serangan lawan. Dan 
merendahkan kakinya agak miring serta 
tangan kirinya cepat mengnakis tusukan 
tangan Ki Surya Kencana ke 
tenggorokannya itu.
Dukkk!
Terdengar benturan keras. Tubuh Ki 
Surya Kencana terpental. Namun dengan 
gerakan indah, tubuh orang tua itu 
berputar di udara empat kali. Dan 
mendarat di atas berumput. Hatinya 
terkejut, tangannya te-rasa bergetar

ketika beradu dengan tangan lawan. 
Diam-diam dipujinya kekuatan tenaga 
sakti lawannya.
Demikian halnya Gandaruwo Hutan 
Jagal. Tubuhnya yang tinggi besar itu, 
terpelanting ketika menangkis serangan 
lawannya. Lengan kirinya yang digunakan 
untuk menangkis terasa linu dan nyeri. 
Gandaruwo Hutan Jagal merasa terkejut. 
Sama sekali tak disangka tenaga dalam 
lawannya sangat kuat. Bahkan mungkin 
lebih kuat daripada tenaganya.
"Gila! Tak kusangka tenaga orang tua 
itu demikian kuat," umpat Gandaruwo 
Hutan Jagal dalam hati.
Kedua kembali berhadapan sambil 
meneliti posisi lawan. Rupanya dalam 
pertemuan tenaga tadi masing masing 
sudah dapat mengukur kemampuan lawan.
Sehingga kali ini keduanya teriihat 
lebih berhati-hati dalam melakukan 
serangan berikutnya. 
"Haaattt!"
Dengan sebuah teriakan yang sember, 
Gandaruwo Hutan Jagal ,mencoba membuka 
serangan mendahului lawan. Kedua 
tangannya melakukan serangan secara 
bergantian, diiringi pukulan yang 
mengandung tenaga dalam tinggi. Angin

tajam menderu-deru dan menyambar 
demikian kuat. Bumi di sekitar tempat 
pertarungan terasa bergetar, ketika
tubuh tinggi besar itu berlompatan 
lincah dan cepat
Melihat lawannya sudah membuka 
serangan, maka Ki Surya Kencana tak 
tinggal diam. Kedua tangannya kembali 
berputar hingga menimbulkan suara 
mengaung ribut. Daun-daun pohon di 
sekitar pertarungan berguguran 
terianggar angin pukulan bertenaga dalam 
yang amat kuat. Dan sekejap saja keduanya 
segera terlibat sebuah pertarungan yang 
hebat dan sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat. 
Hingga tanpa terasa pertarungan sudah 
mencapai jurus yang kedua puluh. Namun 
keduanya masih teriihat seimbang, dan 
tanpa mampu mendesak lawannya 
masing-masing. Sehingga, pertempuran 
semakin teriihat alot saja.
Ki Surya Kencana berusaha mendesak 
lawannya lewat serangan-serangan yang 
gencar dan berbahaya. Setiap serangan di 
arahkan pada bagian-bagian yang 
mematikan di tubuh lawannya. Namun 
sampai sedemikian jauh, dia merasa masih 
belum perlu mengeluarkan ilmu

andalannya, ilmu 'Tangan Pedang'. Dengan 
ilmu itu namanya menjadi terangkat dalam 
dunia persilatan pada dua puluh tahun 
lalu. Ilmu andalannya masih belum 
dikerahkan, karena sampai sejauh ini 
serangan-serangan lawan masih dapat 
diatasi.
Sementara itu, Gandaruwo Hutan 
Jagal semakin lama semakin merasa 
terkejut akan kelihaian lawannya yang 
sudah tua itu. Dengan susah payah 
berusaha dibalas serangan-serangan Ki 
Surya Kencana. Memang cukup ganas dan 
berbahaya. Kedua tangannya yang mengepal 
itu, menyambar-nyambar ganas ke 
bagian-bagian terlemah di tubuh 
lawannya.
Demikian pula dengan Gandaruwo 
Hutan Jagal. Seperti halnya Ki Surya 
Kencana, dia pun sampai sejauh ini belum 
mengeluarkan ilmu andalannya. 
Menurutnya, rasa nya belum pernah 
mempergunakannya.
Tempo pertarungan semakin lama 
semakin cepat. Sepuluh jurus kembali 
terlewat. Ketika menginjak jurus yang 
ketiga puluh empat, Gandaruwo Hutan 
Jagal tak sempat lagi menghindar dari 
tebasan sisi telapak tangan Ki Surya


Kencana yang meluncur bagai kilat menuju 
lambungnya. Maka tahu-tahu saja tangan 
orang tua itu telah menghajar lambung 
sebelah kanannya.
Buuukkk!
"Uhhhkkk...!" lenguh Gandaruwo 
Hutan Jagal.
Tubuh laki-laki tinggi besar itu 
terpelanting sejauh dua batang tombak 
lebih. Belum lagi, Gandaruwo Hutan Jagal 
menyadari apa yang terjadi, kembali 
datang serangan yang demikian cepat. Dan 
untuk menghindarinya lelaki seram itu 
langsung bergulingan menjatuhkan diri. 
Dan dengan gerakan gesit tubuhnya 
melenting berdiri, membentuk kuda-kuda 
kokoh.
Gandaruwo Hutan Jagal meringis 
merasakan pedih pada kulit lambungnya, 
yang terkena hantaman tangan lawan tadi. 
Biarpun pukulan itu cukup keras, namun 
sama sekali tidak mengakibatkan luka 
yang parah pada tubuhnya.
Diiringi gerengan yang 
menggetarkan, Gandaruwo Hutan Jagal 
segera mencabut keluar senjatanya berupa 
gada yang teriihat berat. Dengan penuh 
kemurkaan, Gandaruwo Hutan Jagal 
memutar-mutar senjatanya di atas kepala

hingga menimbulkan suara angin 
menderu-deru. Daun-daun dan ranting 
berterbangan terlanda putaran angin yang 
sangat kuat itu. Rupanya Gandaruwo Hutan 
Jagal telah mengeluarkan jurus andalan 
'Putaran Angin Puyuh', yang terkenal 
kehebatannya.
Melihat lawannya sudah mulai 
mengeluarkan ilmu andalan, Ki Surya 
Kencana pun tidak ingin berbuat ceroboh. 
Kehebatan ilmu itu pernah didengarnya. 
Maka segera digerakkan tangannya secara 
bersilangan, sehingga terdengar suara 
berdesing keras. Padahal gerakan orang 
tua itu sepertinya tidak terialu cepat 
Namun, desingan angin tajam yang 
ditimbulkan telah mampu membuat 
permukaan kulit lawan terluka. Memang
betapa ampuhnya ilmu yang bernama 'Ta-
ngan Pedang' itu. Bahkan ketajamannya 
tidak kalah dengan sambaran pedang yang 
tajam.
"Yeeeaaahhh...!"
Disertai teriakan yang menggetarkan 
jantung, tubuh Gandaruwo Hutan Jagal 
meluruk deras ke arah Ki Surya Kencana. 
Serangannya begitu dahsyat! Angin keras 
berputar dan menderu-deru menyertai

luncuran gadanya yang besar dan berat 
itu.
Weeerrr...! Weeerrr...!
"Haiiit..!"
Tubuh Ki Surya Kencana bergerak 
indah. Kakinya bergeser ke samping kanan 
sambil melepaskan sebuah tusukan yang 
menimbulkan suara mencicit tajam ke arah 
lambung kiri lawannya. Tusukan tangan 
kiri dengan jari-jari terbuka itu, 
demikian hebatnya. Apabila mengenai 
sasaran, maka dapat dipastikan tubuh 
lawan akan tertembus tak ubahnya 
tertusuk pedang. Memang, tusukan itu 
didorong oleh tenaga dalam yang tinggi.
Tentu saja Gandaruwo Hutan Jagal 
tidak membiarkan lambungnya ditembus 
jari-jari tangan lawan. Dengan egosan 
yang tidak kalah hebatnya, segera 
diputar tubuhnya sambil menghantam gada 
ke punggung Ki Surya Kencana.
Wuuuttt...!
Suara angin pukulan gada itu 
mengaung tajam. Kecepatannya hampir 
tidak teriihat mata biasa. Hebat sekali 
pukulan yang diiancarkan Gandaruwo Hutan 
Jagal itu. Jangankan tubuh manusia. Batu 
karang pun akan hancur berkeping-keping 
apabila terhantam!

Ki Surya Kencana cepat-cepat 
merendahkan tu buhnya, sehingga serangan 
lawannya lewat di atas ke pala. Dan 
sebelum Gandaruwo Hutan Jagal 
memperbaiki posisi, tiba-tiba tubuh Ki 
Surya Kencana melesat tinggi melewati 
kepala lawannya. Segera dilepaskan 
sebuah bacokan yang disertai tenaga 
dalam penuh dalam upaya membelah kepala 
lawan.
Bukan main berbahayanya serangan 
laki-laki tua itu. Apalagi dilakukan 
secara mendadak. Sehingga untuk sesaat, 
Gandaruwo Hutan Jagal menjadi gugup. 
Buru-buru dilempar tubuhnya ke kiri.
Siiinnng!
Crattt!
"Aaakkk...!"
Terdengar jerit melengking 
kesakitan yang keluar dari mulut 
Gandaruwo Hutan Jagal. Sambil memegangi 
kaki kirinya yang tersayat tebasan 
tangan lawannya, laki-laki seram itu 
meringis kesakitan. Rupanya walaupun dia 
mampu berkelit, namun tetap saja tebasan 
Ki Surya Kencana mengenai kaki kirinya. 
Darah pun langsung mengucur dari 
lukanya.

"Kurang ajar! Monyet tua! Rupanya 
kau benar-benar tidak bisa dikasih hati! 
Awas! Kulumat tubuhmu dan akan kumakan 
jantungmu, setan!" umpat Gandaruwo Hutan 
Jagal karena merasa kecolongan.
"He he he.... Jangan hanya bisa 
berteriak-teriak, gendut jelek! Ayo, 
buktikan ucapanmu!" ejek Ki Surya 
Kencana sambil tertawa.
"Setannn.... Iblisss...! Kubunuh, 
kau! Heaaattt...!" umpat Gandaruwo Hutan 
Jagal.
Selesai berkata demikian tubuh 
Gandaruwo Hutan Jagal melesat ke arah Ki 
Surya Kencana, melakukan 
serangan-serangan cepat dan berbahaya. 
Segera dia berputar beberapa kali di 
udara, disertai putaran gada yang 
menimbulkan suara menderu-deru. Dalam 
kemarahannya itu rupanya Gandaruwo Hutan 
Jagal telah mengeluarkan jurus-jurus 
terakhir dari ilmu 'Putaran Angin 
Puyuh'.
Ki Surya Kencana sempat terkejut 
melihat tubuh lawanya berputar di udara 
itu. Bahkan kadang-kadang melepaskan 
pukulan gadanya tanpa terduga. Diam-diam 
diakui kehebatan jurus lawannya. Namun, 
Ki Surya Kencana tidak dapat berpikir

lebih jauh lagi. Karena pukulan-pukulan 
lawan yang berbahaya itu tidak dapat 
dibiarkan begitu saja.
Dengan cepat, Ki Surya Kencana 
segera mengempos seluruh kekuatan tenaga
sakrinya. Dan tiba-tiba saja tubuh 
laki-laki tua itu bergerak sangat cepat. 
Kedua kakinya secara bergantian 
melakukan langkah-langkah yang sulit dan 
membingungkan. Sedangkan kedua 
tangannya bergerak-gerak, sukar diduga 
arahnya. memang hebat sekali jurus ilmu 
'Tangan Pedang' tingkat terakhir yang 
diperlihatkan Ki Surya Kencana itu. 
Seolah-olah tubuhnya timbul tenggelam 
tertutup gerakan tangan yang luar biasa 
cepatnya itu.
Dalam sekejap saja keduanya kembali 
terlibat pertarungan yang lebih sengit 
dan mendebarkan. Masing-masing 
berkelebat sambil melepaskan 
serangan-serangan yang tidak terduga. 
Kadang-kadang tubuh mereka terpisah 
karena benturan-benturan tangan. Dan 
dalam beberapa saat saja, pertempuran 
telah berjalan tiga puluh jurus.
Gandaruwo Hutan Jagal bernafsu 
sekali untuk segera dapat menjatuhkan 
lawan. Serangannya semakin gencar dan

berbahaya. Pukulannya yang mengandung 
tenaga dalam penuh, menyambar-nyambar di 
sekitar tubuh lawan. Hebat sekali 
serangan-serangan yang dilakukan tokoh 
hitam itu. Kalau saja bukan Ki Surya 
Kencana yang dihadapi, mungkin lawannya 
sudah tewas di tangan Gandaruwo Hutan 
Jagal yang lihai dan ganas itu.
Karena yang dihadapinya adalah 
lawan yang telah mewarisi hampir seluruh 
ilmu tinggi Perguruan Gunung Salaka, 
maka serangan-serangan Gandaruwo Hutan 
Jagal selalu kandas dan mengenai tempat 
kosong. Meskipun demikian, Ki Surya 
Kencana pun tidak mudah untuk 
menjatuhkan lawannya. Dia terus berusaha 
keras mendesak lawannya lewat 
serangan-serangan yang tidak kalah 
berbahayanya. Namun sampai sejauh itu. 
Lawan belum juga terdesak.
Sementara tanpa mereka ketahui 
pertarungan telah bergeser cukup jauh 
dari semula. Pertarungan yang semula 
berlangsung di daerah berumput, kini 
berpindah ke daerah berbatu-batu, di 
tepi sungai yang mengalir jernih. 
Batu-batu yang bertonjolan di permukaan 
tanah, melesak terkena jejakan kaki-kaki 
yang bertenaga dalam kuat.

"Heaaattt...!"
Memasuki jurus keempat puluh tujuh, 
Gandaruwo Hutan Jagal berteriak 
melengking tinggi. Tubuhnya yang tinggi 
besar itu meluruk deras, sejajar dengan 
permukaan tanah. Dia melakukan serangan 
dahsyat dam memarikan. Tangan kirinya 
dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah 
dua mata lawan. Sementara tangan 
kanannya yang memegang gada, 
berputar-putar menimbulkan suara 
mengaung keras. Rasanya tubuh Ki Surya 
Kencana siap dijadikan sasaran pukulan! 
Hebat dan ganas sekali serangan yang 
dilakukan Gandaruwo Hutan Jagal kali 
ini.
Ki Surya Kencana yang mengetahui 
serangan berbahaya itu, cepat 
menjatuhkan tubuhnya ke depan, dengan 
posisi terlentang. Dan dengan kecepatan 
luar biasa, tiba-tiba kedua kakinya 
mencuat ke atas menghantam perut 
Gandaruwo Hutan Jagal. Laki-laki tinggi 
besar itu menjadi terkejut setengah mati 
karena tidak menduga bahwa lawannya akan 
melakukan serangan demikian. Karena 
tidak ada waktu untuk menghindar, 
Gandaruwo Hutan Jagal segera mengerahkan

tenaga dalamnya untuk melindungi perut 
dari tendangan itu.
Deeesss!
"Ouuugggh...!" lenguh Gandaruwo 
Hutan Jagal.
Ternyata hantaman kedua kaki Ki 
Surya Kencana mendarat telak di perut 
laki-laki seram itu. Tubuh yang tinggi 
besar itu melambung ke udara, lalu jatuh 
di tanah dengan kerasnya sehingga 
menimbulkan suara berdebuk. Dari 
sela-sela bibirnya mengalir darah segar. 
Sambil membungkuk merasakan sakit pada 
perut, Gandaruwo Hutan Jagal berusaha 
bangkit dengan bertumpu pada gadanya. 
Walaupun tubuhnya limbung, tapi 
Gandaruwo Hutan Jagal berusaha berdiri 
tegak. Kembali dia bersiap menghadapi 
lawannya.
"Hm.... Manusia biadab, terimalah 
hukumanmu!" ancam Ki Surya Kencana.
Setelah berkata demikian, Ki Surya 
Kencana kembali melancarkan serangan ke 
arah lawannya. Kedua tangannya bergerak 
cepat hingga menimbulkan suara mencicit 
tajam. Dan tiba-tiba saja tangan kirinya 
sudah meluncur ke ulu hati lawan.
Menyadari kalau tidak mungkin 
menghindar, Gandaruwo Hutan Jagal hanya

berdiri tegak sambil menanti serangan 
lawan. Sedangkan tangan kanannya 
menggenggam gadanya erat-erat agar 
sewaktu-waktu dapat dihantamkan ke 
kepala lawannya. Licik sekali manusia 
iblis itu. Dalam keadaan terjepit, dia 
sengaja ingin mengadu nyawa.
Ki Surya Kencana sempat merasa 
terkejut melihat lawannya tidak 
bergeming sedikit pun. Namun, untuk 
menarik pulang serangannya sudah tidak 
mungkin dilakukan. Serangannya itu 
memang sudah dekat sekali ke tubuh lawan. 
Dan.....
Jreeebbb!
Wuuuttt!
Kraaakkk!
"Arrrggghhh...!"
"Aaahhhkkk...!"
Masing-masing orang yang tengah 
mengadu nyawa itu menjerit bareng dengan 
tubuh terhuyung-huyung. Rupanya pada 
saat jari-jari tangan kanan Ki Surya 
Kencana menembus tubuhnya, Gandaruwo Hu-
tan Jagal membarengi dengan ayunan gada 
ke kepala lawan. Saat itu, Ki Surya 
Kencana tidak mempunyai waktu lagi untuk 
menghidar. Terpaksa diangkat tangan 
kirinya menyambut hantaman tersebut.

Akibatnya, kini tulang lengan kirinya 
remuk terhantam gada yang berat dan 
mengandung tenaga kuat. Kedua orang itu 
sama-sama terpental balik ke belakang.
Ki Surya Kencana marah bukan main 
ketika mendapat kenyataan tulang lengan 
kirinya remuk. Dengan kemarahan 
meluap-luap, tubuh laki-laki itu 
meluncur deras ke arah Gandaruwo Hutan 
Jagal yang masih terhuyung-huyung sambil 
menekap ulu hatinya yang terluka itu. 
Maka seketika Ki Surya Kencana 
membabatkan tangan kanan ke leher lawan 
menggunakan ilmu 'Tangan Pedang'. Itu 
pun masih disertai pengerahan tenaga 
dalam penuh.
Gandaruwo Hutan Jagal yang sudah 
terluka hanya dapat memandang dengan 
mata membelalak ngeri. Rasanya sudah 
tidak mungkin lagi menghidar dari 
tebasan maut itu.
Siiinnng!
Craaakkk!
Terdengar suara bagaikan sebatang 
pedang menebas tulang. Tangan Ki Surya 
Kencana tepat menebas putus leher 
Gandaruwo Hutan Jagal itu. Darah lang-
sung menyembur dari leher yang tanpa 
kepala itu. Tubuh tinggi besar tanpa

kepala masih berdiri limbung, 
bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Ki 
Surya Kencana yang sudah diliputi amarah 
yang memuncak, segera menggerakkan 
kakinya menendang tubuh Gandaruwo Hutan 
Jagal.
Desss!
Tubuh tinggi besar tanpa kepala itu, 
terpental sejauh tiga tombak dan ambruk 
tanpa dapat bangkit lagi. Tamat sudah 
riwayat Gandaruwo Hutan Jagal yang 
sangat kejam dan buas di tangan Ki Surya 
Kencana. Tapi laki-laki tua itu harus 
mengorbankan tangan kirinya yang tak 
mungkin berfungsi lagi.
Tokoh kedua Perguruan Gunung Salaka 
itu berdiri mematung, memandangi mayat 
Gandaruwo Hutan Jagal yang tewas 
menyedihkan. Setelah menotok pangkal 
lengan agar darah berhenti mengalir,
laki-laki tua itu pun melangkah 
meninggalkan bekas arena pertempuran. 
Biarpun harus kehilangan kirinya, namun 
Ki Surya Kencana tersenyum puas karena 
telah berhasil menunaikan tugasnya 
dengan baik.
Hembusan angin terasa lembut 
silir-silir, mengiringi langkah Ki Surya 
Kencana yang akan kembali ke Gunung

Salaka. Memang, untuk sementara tugasnya 
telah selesai.
* * *
LIMA


Beberapa saat sepeninggal si Tangan 
Pedang atau Ki Surya Kencana, beberapa 
sosok tubuh berjalan ke arah bekas tempat 
pertempuran. Jumlahnya sekitar tiga 
belas orang. Wajah mereka rata-rata 
memancarkan sifat kejam dan licik. 
Masing-masing di pinggang tergantung 
sebatang pedang, yang menandakan bahwa 
mereka dari rimba persilatan. Dan kalau 
melihat dari tingkah dan penampilan, 
jelaslah bahwa ketiga belas orang itu 
dari golongan hitam.
Tiba-tiba orang yang berjalan 
paling depan menghentikan langkahnya 
seraya memandang berkeliling dengan 
kening berkerut. Rupanya hatinya merasa 
heran melihat keadaan di sekeliling yang 
teriihat porak-poranda itu.
"Hm.... Di tempat ini seperti baru 
saja terjadi pertempuran hebat. Entah, 
tokoh-tokoh mana yang telah bertarung di

tempat ini. Kalau dilihat dari 
bekas-bekasnya, pastilah mereka bukan 
orang sembarangan?" ujar orang yang 
berjalan paling depan. Sepertinya dia 
merupakan pimpinan dari kedua belas 
orang lainnya. Mukanya kuning pucat, dan 
wataknya licik. Jadi, wajarlah kalau 
kaum rimba persilatan menjulukinya, Ular 
Muka Kuning.
"Betul, Ketua! Dan sepertinya 
pertempuran itu belum lama terjadi!" 
jelas orang yang berada di belakangnya, 
dengan wajah terheran-heran.
Si pemimpin yang berwajah kuning itu 
melangkah pelahan-lahan mengitari 
tempat bekas pertempuran tadi. Dan 
kerutan pada keningnya teriihat semakin 
dalam, ketika memperhatikan bekas-bekas 
pertempuran yang terus bergeser dari 
tempat semula.
"Hm, rupanya pertempuran itu 
semakin bergeser ke tepi sungai. Jelas 
pertempuran itu pasti berlangsung lama 
dan sangat seru," ujar Ular Muka Kuning 
semakin heran.
"Ketua, lihat! Di sini ada kepala 
manusia!" teriak salah seorang anak 
buahnya. Laki-laki berperawakan kekar

itu juga ikut memeriksa sekitar daerah 
tepian sungai.
Orang yang dipanggil ketua dan 
berjuluk Ular Muka Kuning itu bergegas 
menghampiri salah seorang anak buahnya 
yang berteriak tadi. Dan matanya 
terbelalak seketika, karena dikenali 
betul kepala tanpa tubuh itu. Sejenak 
diedarkan pandangannya ke sekeliling 
tempat itu. Sikapnya benar-benar 
waspada. Namun ketika tidak menemukan 
sesuatu yang mencurigakan, laki-laki 
yang memiliki wajah kuning itu kembali 
menatap kepala tanpa tubuh.
"Gila! Siapa yang telah membunuh 
Gandaruwo Hutan Jagal ini? Hm, kalau 
orang itu telah mampu membunuh Gandaruwo 
Hutan Jagal, tentu kepandaiannya sangat 
hebat," gumam Ular Muka Kuning, pelan. 
"Kalau melihat keadaan kepala tanpa 
tubuh ini, pastilah orang yang telah 
membunuhnya belum pergi terlalu jauh. 
Mari kita kejar!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka 
Kuning segera melesat, diikuti dua belas 
orang anak buahnya.
Ketiga belas orang itu terus berlari 
menuju arah Selatan. Sebentar-sebentar 
sang ketua yang berjuluk Ulang Muka

Kuning menghentikan langkahnya seraya 
memandang berkeliling. Setelah 
memastikan arah yang dituju, kembali 
dilanjutkan pengejaran. Mulutnya 
seketika tersenyum saat dari kejauhan 
dilihatnya sosok berpakaian putih yang 
berlari sambil memegangi tangan kirinya.
"Hei, tunggu!" teriak Ular Muka 
Kuning ketika jaraknya tinggal beberapa 
puluh tombak lagi.
Orang berbaju putih yang tak lain 
adalah Ki Surya Kencana tersentak kaget, 
ketika mendengar teriakan tadi. Untuk 
beberapa saat lamanya orang tua itu 
kelihatan ragu-ragu. Namun tetap 
dihentikan langkahnya dan menunggu 
kedatangan serombongan orang itu. Hati 
Ki Surya Kencana menjadi heran, karena 
merasa tidak pernah berurusan terhadap 
mereka.
"Hei, Orang Tua! Ke mana tujuanmu? 
Mengapa begitu terburu-buru?" tanya Ular 
Muka Kuning setelah dekat. Pandang 
matanya penuh selidik. Sedangkan hatinya 
menjadi curiga ketika melihat lengan 
baju sebelah kiri orang tua itu ada 
tetesan darah yang sepertinya masih 
baru.

"Oh! Aku..., aku hendak pergi ke 
desa sebelah untuk menengok cucuku yang 
sakit keras," jawab Kl Surya Kencana 
terpaksa berbohong. Dia tidak ingin 
mencari keributan tanpa sebab. Jawabnya 
pun dibuat gugup, agar penyamarannya 
tidak terbongkar.
"Hm.... Lengan kirimu kenapa, Orang 
Tua! Nampaknya seperti luka yang masih 
baru. Boleh kulihat?" tanya Ular Muka 
Kuning, semakin berani.
Dan sebelum Ki Surya Kencana 
merijawab. Laki-laki bermuka kuning itu 
sudah mengulurkan tangannya ke arah 
tangan kiri Ki Surya Kencana yang 
tergantung lumpuh itu.
Orang kedua di Perguruan Gunung 
Salaka itu segera menggeser kakinya 
kebelakang sehingga tangkapan Ular Muka 
Kuning mengeriai tempat kosong. Dan 
tanpa disadari, hawa murni Ki Surya 
Kencana segera menyebar melindungi 
tubuhnya.
"Hm. Sudah kuduga! Kau pasti 
mempunyai sedikit kepandaian, Orang Tua! 
Kalau melihat luka di tanganmu, rasanya 
baru saja habis bertarung. Apakah 
tanganmu yang telah membunuh Gandaruwo 
Hutan Jagal?" tanya Ular Muka Kuning.

Hatinya diliputi keraguan karena melihat 
penampilan orang tua itu yang sederhana.
"Benar! Akulah yang membunuhnya. 
Siapa kalian dan apa maksudnya 
menghadang perjalananku?" tegas Ki Surya 
Kencana seraya balik bertanya.
Sebagai seorang pendekar, dia 
memang tidak pernah kecut hatinya. Maka, 
dengan beraninya diakui segera 
perbuatannya terhadap Gandaruwo Hutan 
Jagal. Tapi, pengakuannya itu sama 
sekali bukan karena terdorong oleh 
kesombongan. Itu memang sudah jadi 
sifatnya, untuk tidak lari dari 
tanggungjawab terhadap segala 
perbuatannya.
"Hhh! Jangan besar kepala dulu, 
Orang Tua! Aku adalah sahabat Gandaruwo 
Hutan Jagal. Kau telah berhutang nyawa 
pada temanku. Maka aku harus menebusnya 
dengan nyawamu! Bersiaplah!" bentak Ular 
Muka Kuning, sambil menggeram.
"Tunggu dulu! Siapa kau 
sebenarnya?" tanya Ki Surya Kencana, 
heran.
"Hm. Kau pasti belum pernah mengenal 
orang yang berjuluk Ular Muka Kuning. 
Itulah julukanku! Sekarang, sebutkan 
namamu, agar kau tidak mati sia-sia

bentak Ular Muka Kuning lagi. Hatinya me-
mang diliputi kegeraman.
"Kalau kau belum kenal diriku,
baiklah! Akulah Ki Surya Kencana! Nah! 
Kini aku sudah siap, Ular Muka Kuning!" 
tantang Ki Surya Kencana tidak kalah 
garangnya. Dia memang sudah bersiap-siap 
menjaga segala kemungkinan.
"Eh, tunggu dulu! Rupanya kaulah 
yang berjuluk si Tangan Pedang dari 
Gunung Salaka?! Ha ha ha...! Ternyata 
julukanmu lebih terkenal daripada namamu 
sendiri. Bersiaplah untuk mampus, kakek 
peot!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka 
Kuning segera menggerakkan tangannya. 
Murid-muridnya yang mengerrj isyarat itu 
serempak maju mengeroyok Ki Surya 
Kencana. Dengan teriakan-teriakan keras 
mereka segera membabatkan senjatanya ke 
arah orang tua yang berjuluk si Tangan 
Pedang. Terdengar berdesingan ketika 
senjata-senjata itu menyambar-nyambar 
ganas.
Ki Surya Kencana yang sudah menduga 
kalau tiga belas orang itu bukan orang 
baik-baik, segera bersikap waspada. Maka 
ketika musuh-musuhnya mulai menyerang, 
segera dikerahkan kelincahan kakinya

untuk menghindari serangan 
lawan-lawannya. Namun sayang sekali 
gerakannya tidak selincah semula. Tentu 
saja, ini karena tangan kirinya yang 
telah lumpuh yang sangat mengganggu 
gerakannya. Sebentar-sebentar terlihat 
wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri 
pada lukanya.
Melihat gerakan orang tua itu yang 
tersendat-sendat, Ular Muka Kuning 
segera melesat dan ikut maju mengeroyok. 
Akibatnya keadaan Ki Surya Kencana 
menjadi terdesak. Serangan Ular Muka 
Kuning menderu-deru mencari 
bagian-bagian yang mematikan. Ternyata 
dia memang cukup lihai.
Pada suatu kesempatan, salah 
seorang pengikut Ular Muka Kuning 
menyabetkan pedangnya ke pinggang Ki 
Surya Kencana. Namun dengan gerakan 
ringan, orang tua itu segera menggeser 
tubuhnya. Maka, serangan itu hanya lewat 
tanpa mengenai sasaran. Dan sebelum 
orang itu menyadari keadaannya, 
tahu-tahu saja tangan Ki Surya Kencana 
cepat meluruk membelah dadanya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan menyayat ketika 
bacokan tangan Ki Surya Kencana mengenai

sasaran. Tubuh orang itu terjengkang dan 
tewas seketika dengan dada terbelah. 
Cepat-cepat Ki Surya Kencana menyambar 
senjata orang itu. Dan dengan gerakan 
indah, dia melompat. Tubuhnya berputar 
beberapa kali, kemudian mendarat ringan 
sejauh enam tombak dari lawan-lawannya.
"Aaakh!" Terdengar teriakan 
menyayat ketika bacokan tangan Ki Surya 
Kencana mengenai sasaran. Tubuh orang 
itu terjengkang dan tewas seketika 
dengan dada terbelah!

Ki Surya Kencana pun segera 
menyambar senjata orang itu, untuk 
memotong lengan kirinya yang tergantung 
lumpuh!
Dan tiba-tiba orang tua itu 
menggerakkan senjata rampasannya ke arah 
tangan kiri yang tergantung lumpuh itu. 
Crakkk!
Tangan kiri Ki Surya Kencana yang 
sudah lumpuh itu kini putus sebatas siku. 
Sambil menggigit bibir, orang tua itu 
menotok pangkal lengannya untuk 
menghentikan darah. Hal itu sengaja 
dilakukan, agar gerakannya tidak 
terganggu.
Pada saat itu Ular Muka Kuning sudah 
mencabut golok bergerigi, yang 
tergantung di pinggang. Langsung 
dilancarkan serangan cepat dan kuat. 
Angin tajam berdesing mengiringi 
serangannya.
Ki Surya Kencana mengegoskan 
tubuhnya kesamping, menghindari 
serangan lawan. Untunglah! Serangan Ular 
Muka Kuning hanya mengenai tempat 
kosong. Tapi alangkah terkejutnya hati 
Ki Surya Kencana ketika golok besar

bergerigi itu meliuk-liuk bagaikan ular 
hidup dan kembali mengancam tubuhnya. 
Cepat-cepat direndahkan tubuhnya sambil 
melepaskan sebuah tusukan yang cepat dan 
kuat. Dan lagi-lagi Ki Surya Kencana 
terkejut, ketika melihat lawannya tidak 
mengelak mundur. Bahkan malah 
mencondongkan tubuhnya ke depan disertai 
liukan yang mengagumkan. Dengan demikian 
tusukan tangan orang tua itu luput.
Sementara itu, para pengikut Ular 
Muka Kuning sudah kembali menyerbu. Dan 
memang lama-kelamaan Ki Surya Kencana 
mulai terdesak, oleh serangan
lawan-lawannya yang semakin gencar. 
Diam-diam orang tua itu mulai merasa 
cemas terhadap keadaan yang tidak 
memungkinkan itu.
Sebenarnya, Ki Surya Kencana bisa 
terdesak bukan disebabkan kelihaian 
lawan. Kalau saja keadaan tubuhnya tidak 
seburuk ini, rasanya tidaklah sulit 
untuk menjatuhkan lawan-lawanya. Tapi, 
karena kelelahan akibat bertarung 
melawan Gandaruwo Hutan Jagal, tenaganya 
sudah terkuras. Itu pun masih ditambah 
dengan hilangnya tangan kiri. Jadi, 
wajarlah kalau keadaan Ki Surya Kencana 
benar-benar di bawah bayangan maut.


Memasuki jurus kedua puluh, kembali 
terdengar jeritan dua orang pengikut 
Ular Muka Kuning yang melengking. Tubuh 
mereka terpental, dengan luka menganga 
di perut dan lehernya. Jelas itu akibat 
tebasan ilmu 'Tangan Pedang' yang 
dimiliki Ki Surya Kencana. Maka, 
seketika kepungan lawan-lawannya agak 
mengendor. Rupanya mereka agak gentar 
juga melihat kelihaian laki-laki tua 
itu. Secara serentak mereka pun melompat 
mundur sambil mempersiapkan serangan 
berikut.
Untuk beberapa saat Ki Surya Kencana 
dapat bemapas lega. Namun tiba-tiba, 
tubuh orang tua itu bergoyang-goyang. 
Ternyata dari tangannya yang telah 
buntung itu, darah kembali mengalir 
deras. Rupanya totokan pada pangkal 
lengannya sudah terbuka, akibat terlalu 
banyak bergerak dan mengerahkan tenaga 
dalam secara berlebihan. Sehingga, 
keadaan orang tua itu semakin melemah.
"He he he.... Rupanya malaikat maut 
sudah tidak sabar menunggumu, tua 
bangka!" ejek Ular Muka Kuning. Rupanya 
dia telah membaca keadaan lawannya. 
"Ayo, anak-anak! Kuras tenaga Orang 
Tua itu!"
Setelah berkata demikian Ular Muka 
Kuning kembali menerjang lawan, diikuti 
sisa para pengikutnya. Maka pertarungan 
pun kembali berjalan sengit.
Kali ini Ki Surya Kencana 
benar-benar dibuat tidak berdaya. Setiap 
kali dia membalas serangan salah seorang 
lawan, namun Ular Muka Kuning selalu 
membokongnya dengan serangan dahsyat Hal 
ini membuat Ki Surya Kencana semakin 
marah dan penasaran.
Menginjak jurus keempat puluh tiga, 
gerakan Ki Surya Kencana sudah tidak 
lincah lagi. Darah semakin banyak keluar 
dari lukanya. Akibatnya, gerakannya pun 
kembali teriihat semakin lambat. Peluh 
telah membanjiri wajah dan tubuhnya. 
Kelelahan yang sangat terpancar di wajah 
tua itu. Namun meskipun demikian, dia 
masih berusaha untuk membunuh lawan 
sebanyak-banyaknya.
Suatu kesempatan, Ular Muka Kurang 
menusukkan goloknya yang cepat bagai 
kilat ke arah lambung lawan. Angin 
sambaran goloknya berdesing tajam. 
Jelas, betapa kuatnya tenaga yang 
terkandung dalam serangan itu.
Wuuuttt!

Ki Surya Kencana bergegas menggeser 
kedua kakinya hingga serangan itu luput. 
Dan ketika golok itu meliuk dengan 
gerakan lemas, Ki Surya Kencana 
cepat-cepat memapak ke arah pergelangan 
lawan.
Namun hatinya jadi kaget. Ternyata 
tiba-tiba Ular Muka Kuning menarik 
pulang tangannya sambil melepaskan
tendangan kilat ke lambung Ki Surya 
Kencana. Orang tua itu berusaha memutar 
tubuh dan meng-gerakkan tangan menangkis 
tendangan lawan. Namun, sayang. 
Gerakannya sudah terlambat. Maka.... 
Buuukkk!
"Ouuuggghhh...!" lenguh Ki Surya 
Kencana.
Tubuh laki-laki tua itu terjengkang 
ketika tendangan lawan mendarat telak di 
lambung kiri. Untuk sejenak dirasakan 
keadaan sekitarnya bergoyang-goyang. Ki 
Surya Kencana mendesis pelahan sambil 
mendekap lambungnya yang terasa nyeri 
dan ngilu. Untuk beberapa saat, hatinya 
merasa menyesal karena kehilangan tangan 
kiri. Kalau saja tidak kehilangan 
sebelah tangan tentu hal seperti ini 
tidak akan terjadi.

Ular Muka Kuning segera berteriak 
kepada anak buahnya untuk menyerbu Ki 
Surya Kencana yang telah terluka itu. 
Beberapa batang senjata langsung 
meluncur, mengancam tubuhnya. Dengan 
tangan masih menekap lambung, orang tua 
itu berusaha berkelit. Namun gerakannya 
yang lambat itu, sudah diduga Ular Muka 
Kuning. Maka dia segera menyambutnya de-
ngan tebasan ke leher. Gerakannya cepat 
bukan main.
Ki Surya Kencana melempar tubuhnya 
ke belakang untuk menghindari serangan 
lawan. Tapi sungguh tidak diduga kalau 
empat orang pengikut Ular Muka Kuning 
sudah menunggu dengan ujung ujung 
senjatanya. Laki-laki tua itu berusaha 
memutar tubuh sambil menusukkan 
tangannya.
Cappp!
Brertt! 
Crakkk!
"Aaahhhkkk...!"
"Uhhhkkk...!"
Terdengar teriakan kesakitan dari 
seorang lawan. Tubuhnya terpelanting dan 
tewas dengan leher berlubang. Sedangkan 
tubuh Ki Surya Kencana melintir 
tersambar tiga buah senjata lawan. Orang

tua itu jatuh terduduk, dan wajahnya 
langsung berubah pucat. Darah mengalir 
dari luka di dada dan punggungnya akibat 
sambaran pedang lawan.
"Ohhh Rupanya ajalku sudah hampir 
tiba. Sayang, belum sempat kulaporkan 
keberhasilan tugasku, kepada Kakang 
Sukma Kelana," desah Ki Surya Kencana 
dengan wajah murung.
Dengan susah payah, laki-laki tua 
itu berusaha bangkit berdiri. Pakaiannya 
yang berwarna putih itu, sudah dibasahi 
darah yang bercampur peluh. Keadaannya 
saat itu benar-benar menyedihkan. Namun,
meskipun telah mendapat luka yang cukup 
parah, orang tua itu tidak ingin mati 
sia-sia.
"Hm. Sebelum ajal tiba, aku harus 
dapat membunuh mereka 
sebanyak-banyaknya!" tekad Ki Surya 
Kencana geram.
"He he he, peot! Sekarang, terimalah 
kematianmu!" ejek Ular Muka Kuning 
sambil tertawa terkekeh berkepanjangan.
Setelah berkata demikian Ular Muka 
Kuning segera menggerakkan tangan 
memberi isyarat kepada enam orang anak 
buahnya. Maka tanpa buang-buang waktu 
lagi mereka serempak berlompatan sambil

membabatkan senjata ke tubuh lawan yang 
sudah hampir tidak berdaya itu. Enam buah 
senjata itu berkelebat sehingga 
menimbulkan suara berdesing.
Tubuh Ki Surya Kencana bergeser ke 
kanan, mencoba menghindari serangan enam 
buah senjata lawan. Dan langsung 
digerakkan tangannya ke punggung lawan 
terdekat. Tak ayal lagi orang itu 
terhantam kibasan tangan laki-laki tua 
itu. Tubuhnya terjungkal dengan luka 
memanjang di punggung.
"Bangsat! Rupanya setan tua ini 
masih berbahaya juga!" umpat Ular Muka 
Kuning dengan wajah merah padam.
Dan dengan kemarahan yang 
meluap-luap dia segera melesat, 
menyerang dahsyat. Golok besarnya 
diputar sedemikian rupa hingga 
menimbulkan suara mengaung. Bagai ribuan 
ekor lebah yang sedang marah saja 
layaknya.
Ki Surya Kencana yang menyadari 
bahaya itu, berlompatan menghindari 
serangan dahsyat Ular Muka Kuning. 
Gerakan kakinya terlihat goyah, ketika 
mela-kukan lompatan-lompatan. Dengan 
pengerahan sisa-sisa tenaga, sesekali Ki 
Surya Kencana melepaskan serangan

disertai ilmu 'Tangan Pedang'. Hanya 
saja sekarang tidak lagi seampuh semula, 
tapi cukup kuat untuk melukai kulit tubuh 
lawan.
Sayang sekali perlawanan Ki Surya 
Kencana tidak banyak membantu untuk 
menghadapi serangan-serangan ganas Ular
Muka Kuning. Sehingga dalam beberapa 
jurus saja, Ki Surya Kencana sudah tidak 
dapat lagi memberi perlawanan berarti. 
Secara lambat tapi meyakinkan, Ular Muka 
Kuning mulai mendesak lawan disertai 
serangan yang mematikan.
Ki Surya Kencana kini hanya mampu 
menghindar sambil bermain mundur. 
Sehingga ketika Ular Muka Kuning 
melakukan serangan ganda, Ki Surya 
Kencana tidak mampu berbuat apa-apa 
lagi. Walaupun berusaha mengangkat 
tangannya untuk memapak, tapi gedoran 
telapak tangan lawan tetap saja lolos dan
menghantam dada sebelah kiri.
Dheeesss!
Seketika Ki Surya Kencana 
terpelanting keras! Segumpal darah segar 
kontan menyembur dari mulutnya. Hantaman 
telapak tangan lawan memang benar-benar 
kuat. Laki-laki tua itu berusaha 
melompat bangkit, sambil menekap dadanya

yang terasa panas dan sesak. Belum lagi
tubuhnya sempat berdiri tegak, beberapa 
sosok bayangan berkelebat disertai suara 
desingan senjata.
Crasss! 
Brettt! 
Crattt!
"Aaarrrggghhh...!" jerit Ki Surya 
Kencana.
Tubuh orang tua itu telah tertembus 
beberapa batang senjata. Darah kontan 
berhamburan dari luka-luka akibat 
tertembus senjata-senjata lawan. Tubuh 
Ki Surya Kencana terdorong dan 
terhuyung-huyung, seperti tak kuat lagi 
berdiri. Dan sebelum tubuhnya ambruk ke 
tanah, sebuah bayangan berkelebat cepat 
sambil menggerakkan senjata secara 
mendatar ke leher Ki Surya Kencana.
Siiinnng! 
Croookkk!
Dengan ganas golok besar bergerigi 
itu menebas putus leher Ki Surya Kencana. 
Darah segar kembali memancur dari luka di 
leher laki-laki tua yang telah buntung. 
Dan golok besar itu kembali berkelebat 
menembus ulu hati tubuh yang sudah tak 
berkepala itu. Seketika tubuh Ki Surya 
Kencana yang tanpa kepala itu ambruk ke

tanah berumput hijau yang langsung 
berubah memerah oleh darah. Laki-laki 
tua tokoh sakti dari Perguruan Gunung 
Salaka kini tewas dalam keadaan sangat 
menyedihkan! Tubuhnya sudah hampir tidak 
berbentuk lagi. Di sana-sini terdapat 
bekas-bekas senjata tajam.
"Ha ha ha.... Orang-orang Gunung 
Salaka memang terlalu sombong! Kalian 
lihat nanti. Kami akan datang dengan 
membawa bencana! Ha ha ha...!” Ular Muka 
Kuning tertawa terbahak-bahak.
Hati orang berwajah kuning itu 
gembira bukan main, karena telah 
berhasil membunuh salah seorang tokoh 
utama perguruan yang sangat dibencinya 
itu. Memang,t itu sudah menjadi sifat 
tokoh golongan hitam yang selalu 
menganggap golongan putih sebagai ma-
nusia sombong. Bagi mereka, golongan 
putih adalah ancaman yang harus 
dimusnahkan.
Setelah puas dengan tawanya, Ular 
Muka Kuning dan delapan orang sisa anak 
buahnya bergegas meninggalkan tempat itu 
sambil memperdengarkan suara lawa yang 
berkumandang ke sekitarnya. Suasana 
ditempat itu kembali sepi, seperti tidak 
pernah terjadi apa-apa.

Sinar mentari yang semula memancar 
garang, mendadak meredup. Seolah-olah 
turut berkabung atas kematian Ki Surya 
Kencana di tangan orang-orang yang 
berjiwa binatang. Tiupan angin lembut 
telah merontokkan sehelai daun pohon 
yang menguning. Daun itu melayang-layang 
dan jatuh ke permuka bumi.
* * *
ENAM


Hari baru menjelang sore. Dua orang 
laki-laki berjalan menyusuri jalan utama 
Desa Cikunir. Mereka adalah Santiaji dan 
Ranjita, dua orang tokoh tjngkat empat 
Perguruan Gunung Salaka. Keduanya memang 
tengah melakukan penyelidikan tentang 
kematian murid-murid Gunung Salaka yang 
misterius.
Mereka baru saja meninggalkan rumah 
Kepala Desa Cikunir, untuk mencari 
keterangan tentang si pelaku. Menurut 
keterangan yang didapat dari warga dan 
kepala desa setempat, memang pernah 
terjadi bentrokan antara dua perguruan 
pada dua minggu yang lalu. Tapi kedua 
perguruan itu hanya bertengkar mulut dan

tidak menjurus pada perkelahian. Apalagi 
sampai menimbulkan korban jiwa.
Seorang pemilik kedai yang
tempatnya dijadikan arena pertengkaran 
mulut mengatakan, bahwa mungkin saja 
kedua belah pihak mengadakan perjanjian 
untuk bertemu di luar desa. Di sana 
mereka kemudian bertempur tanpa 
sepengetahuan penduduk desa. Dan dugaan 
itu bisa diterima Santiaji maupun 
Ranjita, tapi bukan berarti harus 
mempercayainya. Mereka harus 
menyelidiki kebenarannya terlebih 
dahulu, setelah ilu barulah berani 
memastikan. Memang sebagaimana pesan 
guru, mereka harus berhati-hati dalam 
mengambil tindakan agar tidak sampai 
menimbulkan persoalan baru lagi.
Kedua orang itu kini melangkah tanpa 
mengeluarkan sepatah kata pun. Pikiran 
Santiaji maupun Ranjita masih dipenuhi 
pertanyaan yang sulit terjawab.
"Hhh...!" Ranjita menghela napas 
yang berat memecah kesunyian di antara 
mereka. Wajahnya terlihat murung karena 
sampai sejauh ini belum juga mendapat 
tanda-tanda yang berarti sebagai 
pegangan


"Yahhh...! Persoalan ini memang 
masih gelap. Bagaimana kalau kita 
kembali, dan melaporkan kepada Guru?" 
usul Santiaji sambil menoleh kepada 
saudara seperguruannya. Tatapan matanya 
seperti menunggu tanggapan.
"Tidak, Santiaji! Kita sudah 
bertekad untuk tidak kembali keperguruan 
sebelum menemukan jawaban dari semua 
peristiwa yang menimpa perguruan kita.
Tapi kalau kau ingin kembali, silakan. 
Biar aku sendiri yang meneruskan 
penyelidikan ini," tegas Ranjita tanpa 
menolehkan kepalanya kepada Santiaji.
Santiaji tidak langsung menanggapi 
penegasan Ranjita tadi. Dialihkan 
pandang matanya ke depan dengan helaan 
napas berat. Murid tingkat empat 
Perguruan Gunung Salaka itu berusaha 
memahami perasaan saudara 
seperguruannya itu. Seperti halnya 
Ranjita, Santiaji pun sebenarnya 
mempunyai pikiran sama. Rasanya memang 
malu kembali keperguruan tanpa hasil 
sedikit pun.
"Sebenarnya aku pun mempunyai 
pikiran yang sama denganmu, Ranjita! Aku 
juga merasa malu untuk menghadap Guru 
dengan tangan hampa. Apa kata Guru

nanti?" ungkap Santiaji tanpa semangat. 
Saat itu pikirannya benar buntu. Dia 
tidak tahu lagi, ke mana harus mencari 
keterangan sesudah ke Desa Cikunir.
"Hmm. Bagaimana kalau kita 
mendatangi Gunung Sutra, dan 
menanyakannya langsung kepada Ki Ageng 
Pandira yang menjadi ketua perguruan 
itu?" usul Ranjita tiba-tiba yang 
langsung membuyarkan lamunan Santiaji.
"Hei, jangan Ranjita! Tanpa 
persetujuan Guru, aku tidak berani untuk 
berkunjung ke sana. Bisa-bisa kedatangan 
kita ke sana hanya akan memperuncing 
keadaan saja. Masalahnya, sama sekali 
kita belum tahu, apakah dipihak mereka 
juga telah timbul korban atau tidak? Nah! 
Seandainya di sana juga terjadi korban, 
bukankah kedatangan kita hanya akan 
membangkitkan kemarahan di hati mereka," 
tegas Santiaji.
Laki-laki setingkat dengan Ranjita 
ini memang memiliki pandangan lebih luas 
daripada Ranjita. Demikian pula dalam 
menghadapi persoalan yang sangat rumit 
dan peka ini. Dia lebih mengandalkan otak 
daripada amarah. Oleh karena itu, 
mengapa Ki Sukma Kelana menugaskan 
Santiaji dalam menyelidiki persoalan

itu. Orang tua itu percaya akan 
kebijaksanaan muridnya dalam menghadapi 
setiap persoalan.
"Lalu, Ke mana lagi kita harus 
mencari keterangan?" tanya Ranjita yang 
suaranya mengandung rasa penasaran.
Benar-benar tidak dimengerti jalan 
pikiran Santiaji, yang menurutnya 
terlalu lemah dan terlalu banyak 
perhitungan. Bahkan dia sampai mempunyai 
pikiran kalau Santiaji ini seorang 
pengecut. Dan sengaja menyembunyikan 
sifat pengecutnya itu dengan berkedok 
kesabaran, dan kehati-hatian dalam 
bertindak.
"Entahlah. Tapi, kurasa tidak ada 
salahnya kalau mencari keterangan di 
desa-desa sekitar Gunung Salaka. Siapa 
tahu di sana dapat menemukan petunjuk 
yang dapat dipakai sebagai pegangan," 
ujar Santiaji penuh harap.
"Kalau memang sudah menjadi 
keputusanmuj tunggu apa lagi? Ayo, 
berangkat!" sahut Ranjita Tidak banyak 
bicara lagi!
"Baiklah. Mari," sambut Santiaji 
yang segera bangkit semangatnya.
Kedua orang tokoh Perguruan Gunung 
Salaka itupun segera bergegas menuju

perbatasan Desa Cikunir. Mereka
melangkah dengan mempergunakan ilmu 
meringankan tubuh, sehingga dalam waktu 
yang, tidak begitu lama telah 
meninggalkan Desa Cikunir. Santiaji 
maupun Ranjita sepakat untuk mengambill 
arah Selatan terlebih dahulu, sebagai 
langkah awalj penyelidikan.
Untuk mempersingkat waktu, keduanya 
sengaja menempuh jalan pintas yang 
jarang dilalui orang. Sekarang mereka 
harus menerobos semak belukar dan hutan 
kecil yang banyak terdapat di daerah itu. 
Kini mereka telah tiba pada sebuah padang 
rumput yang cukup luas.
"Setelah melewati padang rumput 
ini, kita akan menemukan sebuah bukit. 
Nah! Di balik bukit itu terdapat sebuah 
perkampungan yang akan menjadi 
penyelidikan kita," jelas Santiaji.
"Berapa lama lagi kira-kira waktu 
yang diperlukan, untuk mencapai 
perkampungan itu ?" tanya Ranjita.
"Kalau melakukan perjalanan biasa, 
bisa memakan waktu setengah harian. Dan 
berarti akan tiba di sana setelah hari 
gelap. Maka untuk mempersingkat waktu 
kita harus tetap mengerahkan ilmu

meringankan tubuh, agar tidak kemalaman 
di jalan."
Ranjita mendengarkan sambil 
manggut-manggut. Tanpa berpikir dua 
kali, mereka segera melanjutkan 
perjalanan.
"Baik, Santiaji. Ayo, nanti kita 
malah kemalaman!" kata Ranjita dengan 
wajah berseri-seri.
***
Di tengah padang rumput yang cukup 
luas dan sunyi itu, melesat cepat 
bagaikan kilat dua buah bayangan. Kedua 
bayangan itu sepertinya tengah berlomba 
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki. Santiaji maupun Ranjita 
sama-sama mengerahkan kemampuannya agar 
tiba lebih dahulu di bukit yang dimaksud.
Santiaji dan Ranjita terus berlari,
sambil mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh yang sudah hampir mencapai taraf 
kesempurnaan. Keduanya seperti saling 
mendahului, memang tingkat kepandaian 
mereka pada dasarnya seimbang. Maka 
tanpa banyak mengalami kesulitan, 
keduanya tiba di bukit yang dituju secara 
bersama.

Plok plok plok!
Tiba-tiba terdengar tepukan riuh, 
yang menyambut kedatangan mereka. 
Keduanya tersentak kaget, dan segera 
menoleh ke arah asal suara tepukan itu. 
Dan betapa terkejutnya mereka, ketika 
melihat seorang bertubuh jangkung dan 
berkumis lebat telah berdiri tidak jauh 
dari situ. Orang itu memandang Santiaji 
dan Ranjita disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...! Hebat.,, hebat! Suatu 
ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan. 
Tapi sayang masih mentah," ujar orang 
itu, seperti menghina.
"Hm, kata-katamu tepat sekali, 
Kisanak. Sungguh kami bukan bermaksud 
memamerkan kepandaian yang tidak 
seberapa ini di hadapanmu. Siapakah, Ki-
sanak ini?" tanya Santiaji sambil
membungkuk hormat. Wajahnya teriihat 
tenang, seolah-olah tidak terpengaruh 
hinaan orang itu.
Orang bertubuh jangkung dan 
berkumis lebat itu tertegun sejenak 
ketika mendengar jawaban Santiaji yang 
di luar dugaannya. Sehingga untuk 
beberapa saat lamanya, hanya berdiri 
mematung karena kehilangan kata-kata. 
Tapi hal itu tidaklah berlangsung lama.

Tiba-tiba saja orang itu sudah mulai 
membuka mulut lagi.
"Ha ha ha...! Apakah kalian tidak 
akan lari terbirit-birit kalau 
kuperkenalkan nama besarku?"
Seketika wajah Santiaji dan Ranjita 
memerah ketika mendengar perkataan yang 
bernada penghina-an. Santiaji segera 
menyentuh tangan Ranjita yang sudah 
melangkah maju, sambil mengepalkan 
tangan. Sejenak keduanya saling 
bertatapan. Dan Ranjita segera 
mengurungkan niatnya ketika Santiaji 
mengedipkan sebelah matanya sebagai 
isyarat untuk bersabar.
"Maafkanlah kami yang tidak 
mengenai nama besarmu, Kisanak! 
Maklumlah, kami hanya perantau yang 
memiliki sedikit bekal untuk menjaga 
diri. Dan karena takut kemalaman di 
jalan, maka kami harus mempercepat 
perjalanan untuk mencari tempat 
menginap. Dapatkah Kisanak membantu 
untuk mendapatkan tempat bermalam yang 
terdekat dari sini?" tanya Santiaji yang 
masih mencoba untuk menghindari 
keributan.
"Tentu saja dapat. Jaraknya dekat 
sekali!" jawab laki-laki kurus dan

berkumis lebat itu, penuh teka-teki. 
Seringainya semakin melebar, sehingga 
wajahnya semakin tak sedap dipandang.
"Oh, benarkah?" Di manakah tempat 
itu, Kisanak tanya Santiaji berwajah 
cerah. Meskipun sebenarnya merasa 
curiga, namun pertanyaan itu terlompat 
begitu saja dari bibir Santiaji.
"Ha ha ha.... Tentu saja di sini. 
Memangnya di mana lagi? Tempat ini sangat 
cocok utuk menginap kalian 
selama-lamanya! Bahkan tidak akan 
dipungut uang sewa. Ha ha ha...!" setelah 
berkata demikian, meledaklah tawa orang 
berkumis tebal itu.
"Kurang ajar! Monyet kurus, rupanya 
kau memang sengaja ingin mencari perkara 
dengan kami. Baiklah, kalau memang itu 
yang diingini! Nah, sambutlah 
seranganku! Hiaaattt...!"
Begitu ucapannya habis, tubuh 
Ranjita segera melesat dibarengi 
teriakan menggeledek. Kedua tangan nya 
bergerak cepat mencari 
kelemahan-kelemahan di tubuh lawan. 
Rupanya dalam kemarahannya itu Ranjita 
telah mengeluarkan salah satu ilmu 
andalannya, 'Menggetar Langit Mengacau 
Bumi.

Wuuuttt! Wuuusss!
Akibat yang ditimbulkan jurus yang 
dikeluarkan Ranjita memang begitu 
dahsyat. Angin keras berputar, 
seolah-olah di tempat itu tengah terjadi 
topan hebat. Sehingga untuk beberapa 
saat lamanya, tempat itu menjadi gelap 
tertutup debu-debu yang mengepul 
keudara.
Sesaat orang bertubuh jangkung itu 
dibuat kagum oleh kehebatan ilmu 
lawannya, namun sesaat kemudian senyum 
mengejek menghias wajahnya. Tiba-tiba 
dengan gerakan gesit, orang bertubuh 
jangkung itu segera menyelinap di antara 
sambaran-sambaran tangan Ranjita. 
Gerakannya hebat sekali, seolah-olah 
yang terlihat hanya bayangan tubuhnya 
yang berkelebat cepat mengurung Ranjita. 
Sehingga ke mana pun Ranjita bergerak, 
tubuh jangkung itu selalu membayanginya. 
Dan tentu saja hal ini membuat Ranjita 
menjadi terkejut. Dan diam-diam diakui 
kehebatan lawannya itu.
Tiba-tiba saja Ranjita dikejutkan 
oleh sambaransambaran angin kuat yang 
ditimbulkan pukulan lawan. Rupanya orang 
bertubuh jangkung itu sudah mulai 
melepaskan serangan di antara kelebatan

tubuhnya. Dan secara pelahan-lahan 
Ranjita mulai terdesak hebat. Hingga 
pada suatu saat, sebuah hantaman telapak 
tangan lawan tidak dapat lagi dihindari 
lagi. 
Deeesss!
"Aaakh!" terdengar suara keluhan 
dari mulut Ranjita.
Pukulan yang mengandung tenaga 
dalam yang tinggi itu telah mendarat di 
dada kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi, 
tubuh Ranjita terlempar dari arena 
pertempuran, dan jatuh tepat di hadapan 
Santiaji. Ranjita berusaha bangkit,
meski dadanya terasa bagai terbakar. 
Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir 
darah segar. Dadanya terasa sesak, dan 
napasnya tersengal.
"Kau... kau tidak apa-apa, 
Ranjita?" tanya Santiaji cemas, sambil 
berusaha membantu adik seperguruannya 
bangkit
"Uhuk..,, uhuk! Uh! Dia hebat 
sekali, Santiaji. Pukulannya mengandung 
hawa panas yang amat kuat! 
Berhati-hatilah menghadapinya," ujar 
Ranjita di antara batuknya.
Ranjita benar-benar tidak menyangka 
sama sekali bahwa kepandaian lawannya

ternyata demikian hebat. Rasanya untuk 
dapat mengatasi orang itu, dia harus 
bergabung bersama Santiaji. Maka segera
dikerahkan hawa murni untuk mengusir 
hawa panas yang membakar dadanya. 
Sementara itu, Santiaji sudah mulai 
bersiap untuk menghadapi orang bertubuh 
jangkung yang sama sekali belum 
dikenalnya.
"Kisanak, apa maksudmu mencelakai 
kami?! Bukankah di antara kita tidak 
saling mengenai dan tidak memiliki 
persoalan? Siapakah kau sebenarnya?!" 
tanya Santiaji. Kemarahan di dadanya 
mulai memuncak, karena tanpa sebab apa 
pun orang bertubuh jangkung itu ingin 
membunuh mereka.
"Ha ha ha...! Dengarlah, 
manusia-manusia sombong dari Gunung 
Salaka! Aku adalah Algojo Gunung Sutra 
yang akan menuntut balas atas kematian 
murid-muridku. Nah, bersiaplah menerima 
hukuman!" bentak orang beriubah jangkung 
yang temyata berjuluk Algojo Gunung 
Sutra. Suaranya begitu bengis dan berbau 
hawa maut.
Santiaji terkejut, sebab orang itu 
ternyata mengetahui asalnya. Tapi yang 
membuatnya benar-benar terkejut adalah

ketika orang bertubuh jangkung itu 
memperkenalkan diri sebagai Algojo 
Gunung Sutra. Untuk beberapa saat 
lamanya, Santiaji hanya dapat memandang 
dengan mulut ternganga. Sebab, siapa 
yang tidak mengenai nama Algojo Gunung 
Sutra? Meskipun dalam urutan perguruan 
hanya tergolong tokoh tingkat dua, namun 
menurut kabar kepandaiannya cukup 
tinggi. Memang Santiaji yang sebelumnya 
tidak pernah bertemu tokoh itu, tidak 
segera dapat mengenali. Baru setelah 
orang itu menyebutkan julukannya, ia 
segera teringat akan ciri-ciri dari 
tokoh tersebut.
Setelah mengamati sesaat, barulah 
dapat dipastikan kalau orang itu 
benar-benar Algojo Gunung Sutra, atau 
bernama asli Ki Ageng Sampang. Tapi hal 
itu justru membuat lega hati Santiaji. 
Sebab biar bagaimanapun juga, sebagai 
tokoh yang kepandaiannya tinggi, Ki 
Ageng Sampang tentu lebih berpandangan 
luas dan tak akan turun tangan secara 
membabi buta.
"Ah! Maafkan aku, Ki. Benar-benar 
tidak kusangka kalau sekarang tengah 
berhadapan dengan Ki Ageng Sampang yang 
sangat kuhormati. Sekali lagi aku mohon

maaf. Dan marilah kita membicarakan 
masalah yang sedang dihadapi ini, agar 
semuanya menjadi terang dan jelas," ujar 
Santiaji, penuh hormat.
"Hm..., tidak perlu kau banyak 
tingkah lagi! Sekarang, kau bersiaplah 
untuk segera kukirim keneraka!" teriak 
orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra 
itu, dengan wajah berang.
"Tapi... tapi..., Ki...!"
Santiaji menjadi heran melihat 
sikap yang ditunjukkan oleh tokoh utama 
dari Gunung Sutra itu. Dan sebelum dapat 
berpikir lebih jauh lagi, Ki Ageng 
Sampang sudah menerjangnya dengan 
pukulan ganas dan keji. Tentu saja 
Santiaji tak membiarkan tubuhnya 
dijadikan sasaran pukulan itu. Dengan 
gerakan yang indah tubuhnya meliuk 
menghindari pukulan lawan. Dan langsung 
dibalasnya dengan serangan-serangan 
cepat dan kuat. Sehingga dalam waktu 
singkat, keduanya segera teriihat sebuah 
pertempuran sengit.
Tapi, memang pada dasarnya 
kepandaian Santiaji masih jauh di bawah 
kepandaian Algojo Gunung Sutra. Maka 
setelah lewat dua puluh jurus, tampak' 
Santiaji mulai terdesak. Dapat

dipastikan, tidak lama lagi Santiaji 
pasti tidak dapat menahan gempuran 
lawan.
Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng 
Sampang nampak semakin bernafsu untuk 
segera menjatuhkan lawannya. Pukulannya 
pun semakin cepat dan kuat sehingga 
Santiaji semakin tak berdaya dibuatnya.
Melihat keadaan saudara 
seperguruannya yang tengah diincar maut 
itu, Ranjita yang keadaannya sudah pulih 
kembali segera melompat ke arena 
pertempuran membantu Santiaji. Tentu 
saja hal ini, sangat menggembirakan hati 
Santiaji. Dengan masuknya Ranjita, dia 
dapat terbebas dari desakkan lawannya. 
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya pun 
segera bekerja sama menghadapi Algojo 
Gunung Sutra yang amat lihai itu.
Menghadapi gempuran dan kerja sama 
yang kompak saudara seperguruan itu, 
Algojo Gunung Sutra pun semakin 
memperhebat serangannya. Namun karena 
Santiaji dan Ranjita bertempur secara 
saling mengisi dan melindungi, maka 
cukup sulit bagi lawan untuk segera 
menguasai mereka.
Sudah tiga puluh jurus kedua belah 
pihak berusaha saling menjatuhkan. Tapi

sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda 
yang akan keluar sebagai pemenang. Dan 
hal ini membuat Algojo Gunung Sutra men-
jadi marah dan penasaran. Hingga pada 
suatu kesempatan, dia melepaskan pukulan 
cepat Kedua telapak tangannya terbuka 
mengarah dada dua lawannya sambil 
mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Wuuusss! Wuuusss!
Bukan main hebatnya serangan Algojo 
Gunung Sutra itu. Jangankan terkena 
hantaman telapak tangan. Terlanggar 
angin pukulan saja, lawan yang tidak 
mempunyai tenaga dalam kuat akan tewas 
seketika dengan dada ringsek.
Santiaji dan Ranjita tentu saja 
menyadari bahaya pukulan lawan. Keduanya 
segera mengempos semangat, dan langsung 
menggabungkan tenaga dalam sambil 
berpegangan tangan. Dengan kuda-kuda 
rendah, mereka segera menyambut pukulan 
lawan dengan telapak tangan kiri.
Blannng!
"Aaahhh...!"
Terdengar ledakan dahsyat ketika 
tenaga dalam mereka beradu. Hebat sekali 
akibat bentrokan tenaga dalam tingkat 
tinggi itu, sehingga ledakan itu 
menggetarkan udara di sekitar arena


pertempuran. Santiaji dan Ranjita yang 
mengalami benturan itu, terlempar ke 
udara diiringi jerit kesakitan. Keduanya 
jatuh terduduk sambil menekan dada yang 
terasa berguncang. Terlihat dari 
sela-sela bibir mereka, cairan merah 
menetes.
Sedangkan lawannya yang juga 
terpental akibat benturan tadi, mudah 
sekali mendaratkan kakinya di tanah. 
Gerakannya ringan, tanpa luka sedikit 
pun. Hanya kedua lengannya saja yang 
terasa bergetar. Dari sini saja sudah 
dapat diketahui kalau tenaga dalam Ki 
Ageng Sampang jauh lebih tinggi daripada 
mereka berdua.
"Ha ha ha...! Bersiaplah! Sebentar 
lagi malaikat maut akan datang menjemput 
kalian!" ejek Algojo Gunung Sutra itu, 
jumawa.
Setelah berkata demikian, tubuh 
laki-laki tinggi berkumis itu segera 
melayang. Kedua lengannya ter-kembang, 
mengarah pada batok kepala Santiaji dan 
Ranjita yang masih terduduk tak 
bergerak.
"Heaaattt...!"
Darrr! Darrr!

Debu mengepul tinggi, ketika 
pukulan kedua tangan Ki Ageng Sampang 
mengenai tanah yang terdiri dari 
batu-batu cadas itu. Rupanya Santiaji 
dan Ranjita yang semula sengaja berdiam 
diri untuk memulihkan tenaga, segera 
melesat menghindari serangan ketika 
pukulan lawan hampir tiba. Serangan 
lawan hanya mengenai batu-batu cadas 
sehingga hancur berkeping-keping. Dan 
kini mereka sudah bersiap-siap kembali 
menghadapi orang tua lihai itu.
Melihat lawannya dapat menghindari 
serangan, Algojo Gunung Sutra semakin 
meluap-luap kemarahannya.
"Huh, sayang! Aku tidak mempunyai 
banyak waktu untuk menghadapi kalian!" 
ujar Algojo Gunung Sutra geram.
Setelah berkata demikian, mulutnya 
segera bersiul nyaring dan panjang. 
Suaranya bergema ke seluruh penjuru 
karena didorong tenaga dalam tinggi. 
Seketika tempat itu sudah diramaikan 
belasan sosok tubuh yang berloncatan 
dari balik bukit. Melihat dari gerakan 
mereka, dapat dipastikan bahwa semuanya 
memiliki kepandaian yang tidak rendah. 
Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu

langsung menerjang Santiaji dan Ranjita 
dengan senjata terhunus!
Keduanya segera berloncatan 
menghindari sambaran senjata-senjata 
lawan yang berdesingan mengancam tubuh. 
Sambil berusaha mengelak, Santiaji dan 
Ranjita melepaskan pukulan-pukulan 
balasan yang ampuh. Sehingga dalam waktu 
singkat, kedua belah pihak sudah 
terlibat pertempuran yang seru dan 
mendebarkan. Santiaji dan Ranjita 
menjadi terkejut. Ternyata mereka
mendapat kenyataan bahwa kepandaian 
lawan rata-rata cukup tinggi.
Siiinnng! Siiinnng!
"Aaahhh...!" keduanya melenguh 
tertahan ketika dua buah senjata lawan 
hampir melukai tubuh mereka.
Dengan wajah agak pucat, keduanya 
segera berloncatan mundur sambil 
mencabut senjata masing-masing. Di 
tangan Santiaji sudah tergenggam dua 
buah pedang pendek. Sedangkan Ranjita 
sudah pula mencabut sebuah pedang yang 
bersinar kuning. Dengan senjata di 
tangan, kini mereka kembali menghadapi 
belasan orang lawannya itu.
Melihat keadaan itu, Algojo Gunung 
Sutra yang semenjak tadi hanya berdiam

diri tiba-tiba melayang ke arena 
pertempuran. Diputar kedua tangannya 
hingga menimbulkan angin yang 
menderu-deru. Langsung dihantamkan 
telapak tangannya ke arah Santiaji dan 
Ranjita yang tengah bertempur saling 
bahu membahu itu.
Deeesss! 
Plaaakkk!
"Aaarrrggghh...!"
Santiaji dan Ranjita yang tengah 
kerepotan meng hadapi belasan orang 
lawan, tak sempat lagi untuk menghindari 
hantaman telapak tangan Ki Ageng Sampang 
yang mengandung tenaga dalam tinggi itu, 
Keduanya terpelanting akibat hantaman 
yang keras pada bahu dan punggung. 
"Huaaak...!" .
Santiaji yang terhantam 
punggungnya, memuntahkan darah kental 
berwarna kehitaman. Punggungnya 
dirasakan bagai terbakar akibat hawa 
panas yang terkandung dalam pukulan 
Algojo Gunung Sutra. Santiaji berdiri 
limbung dengan pandangan mata 
berkunang-kunang.
"Ranjita, lari! Selamatkan dirimu! 
Biar aku yang menghadang mereka!" teriak 
Santiaji dengan napas tersengal-sengal.

Santiaji benar-benar menyadari bahwa 
pihak musuh terlalu kuat. Setelah 
berkata demikian, dia langsung melompat 
membendung serangan lawan-lawannya yang 
sudah melancarkan serangan kembali.
"Tidak, Santiaji! Aku tidak akan 
meninggalkanmu. Biarlah kita mati 
bersama-sama!" teriak Ranjita.
Ternyata Rajita juga tidak tega 
membiarkan kawannya menghadapi musuh 
sendirian. Walaupun sebelah tangannya 
lumpuh akibat hantaman telapak tangan 
Algojo Gunung Sutra itu, dia ikut pula 
melompat membantu Santiaji yang tengah 
kerepotan menghadapi belasan orang 
lawannya.
"Ranjita, pergi! Bodoh kau! Kalau 
kita berdua mati, lalu siapa... aduh!" 
teriak Santiaji.
Laki-laki tingkat empat di 
Perguruan Gunung Salaka itu merasa 
kesakitan akibat sabetan pedang lawan 
yang mengenai pangkal lengan kirinya. 
Dengan penuh kegeraman segera dibabatkan 
pedang pendeknya membelah dada lawan 
itu. Kontan orang itu menjerit menyayat. 
Tubuhnya langsung ambruk dan tewas 
dengan dada terbelah.

"Aaahhhkkk...!" kembali Santiaji 
berteriak kesakitan karena pundaknya 
tertusuk pedang lawan yang tainnya. 
"Lari, Ranjita! Lari! Kau harus 
melaporkan hal ini kepada Guru! Aku..., 
aku sudah tidak kuat lagi. Cepat...! 
Aduh...!"
Lagi-lagi senjata lawan menyabet 
lambungnya. Santiaji kembali mengamuk 
membabi buta, tanpa mempedulikan 
keselamatannya lagi.
Ranjita berdiri dengan wajah 
bingung. Pelahan-lahan butir-butiran 
air bening mengalir membasahi pipinya. 
Hatinya benar-benar trenyuh menyaksikan 
pengorbanan yang dilakukan saudara 
seperguruannya itu. la masih berdiri 
bimbang tanpa dapat mengambil keputusan. 
Saat itu Santiaji melompat ke arahnya 
sambil melepaskan sebuah tendangan ke 
arah Ranjita.
Bukkk!
"Pergi, manusia bodoh! Jangan 
korbankan nyawamu sia-sia!" bentak 
Santiaji, tak sabar.
Memang keadaannya sudah menyedihkan 
sekali. Sekujur tubuhnya telah dibanjiri 
darah yang mengalir dari luka-luka 
akibat sabetan golok lawan. Meskipun

demikian dia masih dapat melakukan 
perlawanan hebat
"Jangan biarkan orang itu lolos! 
Habisi mereka!" teriak Algojo Gunung 
Sutra ketika melihat Ranjita berlari 
meninggalkan arena pertempuran sambil 
memegangi tangan kirinya yang lumpuh 
itu.
Beberapa orang segera berlompatan 
mengejar Ranjita. Namun, Santiaji tidak 
membiarkan hal itu. Segera tubuhnya 
melompat menghadang lawan dengan senjata 
di tangan.
"Monyet-monyet busuk! Rasakan 
seranganku ini! Heaaattt...!" Santiaji 
segera menggerakkan kedua senjatanya 
menerjang orang-orang yang hendak 
mengejar Ranjita. Sayang gerakannya 
sudah sangat lemah. Sehingga, lawannya 
mudah sekali dapat menghindari 
serangannya dan langsung membalas ganas.
Crasss! 
Brettt! 
Craaasss!
"Aaarrrggghhh...!"
Santiaji meraung tinggi, ketika 
beberapa tusukan dan bacokan senjata 
lawan menembus tubuhnya. Dia langsung
ambruk dan tewas seketika.

"Santiaji...!" Ranjita berteriak 
parau, ketika mendengar suara jeritan 
kematian saudara seperguruannya itu. 
Dari kejauhan, sempat disaksikan 
bagaimana tubuh Santiaji tertembus 
beberapa buah senjata lawan. Ranjita 
hanya memandang dengan tubuh menggigil 
menahan luapan amarah yang memenuhi 
rongga dada.
"Manusia keparat! Inilah 
pembalasanku! Hiaaa...!" Tanpa 
mempedulikan keselamatannya lagi, 
Ranjita segera berlari dan menerjang 
lawan-lawannya. Rupanya ia telah lupa 
dengan pesan terakhir Santiaji. Ini 
terjadi akibat kemarahan yang 
meledak-ledak dalam dada.
Namun sebelum Ranjita dan 
musuh-musuhnya berlaga, tiba-tiba 
melesat cepat sebuah bayangan yang 
langsung mendarat di tengah-tengah 
mereka. Dan bayangan itu segera 
mendorong telapak tangannya ke arah 
belasan orang yang meluncur ke arah 
Ranjita. 
Wuuusss!
Hembusan angin yang dingin luar 
biasa, menyambut kedatangan belasan 
orang itu. Tubuh belasan orang itu kontan

berpentalan ke kiri dan kanan akibat 
terlanggar hembusan angin dingin. 
Belasan orang itu jatuh terduduk sambil 
menggigil kedinginan.
"Pendekar Naga Putih...!" seru 
orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra, 
terkejut.
"Pendekar Naga Putih...!" gumam 
Ranjita pelahan, seolah-olah berkata 
pada dirinya sendiri. Tiba-tiba 
terlintas di benaknya secercah harapan 
yang membuatnya menarik napas lega.
Memang bepar apa yang diucapkan 
Algojo Gunung Sutra itu. Di 
tengah-tengah arena pertempuran, 
berdiri seorang pemuda berbaju putih. 
Selapis kabut berwarna keperakan 
menyelimuti sekujur tubuhnya. Orang itu 
adalah Pendekar Naga Putih atau..., 
murid tunggal Malaikat Petir atau Tirta 
Yasa!
"Hm.... Menyingkiriah kau Pendekar 
Naga Putih. Aku tidak mempunyai urusan 
denganmu!" bentak Algojo Gunung Sutra 
atau Ki Ageng Sampang sambil memasang 
wajah bengis.
"Tapi aku mempunyai urusan 
denganmu, Orang Tua!" seru Pendekar Naga 
Putih bersikap tenang. Sementara sinar

matanya menyorot tajam, bagalkan mata 
naga yang sedang marah.
Algojo Gunung Sutra tergetar 
hatinya ketika beradu pandang dengan 
sinar mata Panji yang tajam itu. 
Cepat-cepat dikerahkan tenaga untuk 
menekan debaran dalam dadanya.
"Huh! Jangan kira aku akan gentar 
mendengar nama besarmu, Pendekar Naga 
Putih. Dan sekarang, sambutlah 
seranganku! Yeaaattt...!" tegas Algojo 
Gunung Sutra.
Setelah berkata demikian, tubuh 
jangkung itu melayang dengan kecepatan 
tinggi, disertai teriakan menggeledek. 
Kedua tangan berputar dan susul-menyusul 
dengan serangan yang berbahaya.
"Menyingkirlah, Paman! Biar aku 
yang menghadapinya," ujar Panji kepada 
Ranjita yang berdiri terpaku di 
belakangnya.
Setelah berkata demikian, Panji 
mengegoskan tubuhnya sambil memasang 
kuda-kuda rendah untuk menghindari 
serangan lawan. Begitu serangan lawan 
lolos, Panji segera membalasnya dengan 
serangan yang tidak kalah berbahayanya. 
Dalam waktu singkat, keduanya sudah 
bertempur sengit.

Panji yang tidak pernah lalai 
melatih ilmunya dalam setiap kesempatan, 
teriihat bergerak semakin gesit dan 
matang. Kedua tangannya yang berbentuk 
cakar naga itu, menyambar-nyambar di 
sekitar tubuh lawan. Bahkan kecepatannya 
sukar diikuti mata. Hingga dalam 
beberapa jurus saja, Algojo Gunung Sutra 
tampak terdesak oleh sambaran-sambaran 
tangan yang berbentuk cakar itu.
Breeettt!
"Uuuhhh...!" lenguh Algojo Gunung 
Sutra.
Dan memang tahu-tahu pangkal 
lengannya terkena sambaran tangan lawan 
yang amat kuat. Tubuh jangkung itu sampai 
melintir seperti gangsing. Cepat-cepat 
Algojo Gunung Sutra bergulingan menjauhi 
lawannya. Orang tua itu bangkit berdiri 
sambil memandang luka di pangkal lengan. 
Untunglah sambaran tangan lawan tidak 
terlalu telak mengenainya. Kalau saja 
telak, bukan hanya kulit dan bajunya yang 
terkelupas. Bahkan daging pangkal 
lengannya bisa hancur akibat cakaran 
yang berbahaya itu. Cepat orang tua itu 
mengerahkan hawa murni untuk mengusir 
hawa dingin yang menyelusup dari 
lukanya.

"Gila! Anak Muda ini gerakannya 
seperti iblis saja!" ucap Algojo Gunung 
Sutra dalam hati. Dia memang tidak tahu, 
bagaimana caranya pendekar itu bisa 
melukainya.
"Anak-anak, serbu...!" teriak 
laki-laki tua itu tanpa malu-malu lagi.
Tanpa diperintah dua kali, belasan 
orang anak buahnya yang telah terbebas 
dari hawa dingin itu segera berlompatan 
sambil membabatkan pedangnya ke arah 
Panji. Pendekar Naga Putih memang sudah 
memperhitungkan hal itu.
Dengan kecepatan yang luar biasa, 
tubuh Panji berkelebatan di antara 
belasan sinar pedang yang berdesingan 
mengincar tubuhnya. Dan setiap kali 
tangannya bergerak, selalu disertai 
terlemparnya tubuh lawan yang kemudian 
tewas dengan tubuh membiru. Hal ini 
akibat hawa dingin yang terpancar dari 
kedua belah tangan Pendekar Naga Putih.
Dalam beberapa jurus saja, serangan 
belasan orang itu menjadi kacau dan tidak 
teratur lagi. Rasa gentar mulai 
menyelimuti hati mereka, setelah melihat 
kelincahan pemuda yang menjadi lawannya 
itu. Tanpa disadari, mereka mulai 
merenggangkan kepungan. Tentu saja hal

ini membuat gerakan Panji semakin 
leluasa untuk melancarkan 
serangan-serangan balasan.
Desss! 
Blaggg!
"Aaahk!"
Kembali dua orang lawannya 
terjungkal, sambil memperdengarkan 
jerit kematian. Dua orang yang terkena 
hantaman sisi telapak tangan Panji itu 
tergeletak tewas, dan tubuhnya membiru. 
Menyaksikan hal ini, kawan-kawannya 
segera berloncatan mundur disertai wajah 
yang memucat.
"Ombak besar, lari!" teriak Algojo 
Gunung Sutra yang merasa bahwa anak 
buahnya tidak akan mampu menghadapi 
lawannya.
Setelah berkata demikian orang tua 
bertubuh jangkung itu segera melompat ke 
arah semak-semak, diikuti anak buahnya. 
Dalam sekejap saja, belasan orang itu 
sudah lenyap di balik rimbunnya 
pepohonan.
"Mengapa tidak dikejar, Kisanak?" 
tanya Ranjita, keheranan.
"Biarlah, Paman! Sekarang sebaiknya 
kita pergi. Di perjalanan kita bisa 
berbincang-bincang tentang pengeroyokan
mereka terhadap Paman," tegas Pendekar 
Naga Putih kalem.
* * *
TUJUH


Perguruan Gunung Salaka kembali 
dilanda kegemparan. Suasana di sekitar 
perguruan terlihat sunyi, karena para 
murid dan tokoh-tokoh perguruan tengah 
berkumpul di ruang utama perguruan itu. 
Mereka duduk bersimpuh mengelilingi 
sebuah peti mati. Wajah mereka semua 
menggambarkan perasaan sedih dan marah. 
Memang, sejak Ki Tunggul Jagad 
mengundurkan diri, malapetaka itu terus 
saja mengancam.
Kejadian yang melanda Perguruan 
Gunung Salaka secara berturut-turut, 
telah membuat perguruan itu seolah-olah 
larut dalam mimpi yang buruk dan 
menakutkan. Mereka yang selalu hidup 
dalam ketentraman tiba-tiba saja 
dikejutkan kejadian-kejadian yang mem-
buat hati penasaran dan marah.
Baru saja, perguruan itu kedatangan 
beberapa orang penduduk Desa Cikunir 
yang dipimpin langsung kepala desanya

sendiri. Mereka mengantarkan sebuah 
bungkusan yang tidak diketahui isinya. 
Menurut mereka, bungkusan itu diterima 
dari seorang laki-laki tua yang mengaku 
berjuluk Algojo Gunung Sutra. Dia telah 
berpesan agar menyampaikan bungkusan itu 
pada Perguruan Gunung Salaka.
"Ketika kami tanyakan mengapa tidak 
mengantarkannya sendiri, ia mengatakan 
bahwa masih mempunyai tugas yang amat 
mendadak. Begitulah, yang dikatakan 
orang bertubuh jangkung itu," tutur 
Kepala Desa Cikunir kepada beberapa 
orang murid perguruan yang menyambut 
kedatangannya.
Setelah menyampaikari bungkusan 
itu, Kepala Desa Cikunir dan beberapa 
orang warganya segera mohon diri. 
Murid-murid Perguruan Gunung Salaka yang 
memang sudah mengenai mereka, tentu saja 
tidak menjadi curiga. Dan dibiarkan saja 
kepala desa dan beberapa orang warganya 
itu meninggalkan perguruan itu.
Dua orang murid perguruan bergegas 
menyampaikan bungkusan itu kepada guru 
besar mereka. Segera diceritakannya 
asal-usul bungkusan itu.
"Algojo Gunung Sutra...!" gumam Ki 
Sukma Kelana dengan kening berkerut

setelah mendengar keterangan dua orang 
muridnya. Lalu diperintahkanlah dua 
orang muridnya untuk melanjutkan 
tugasnya. Dengan disaksikan empat orang 
tokoh tingkat tiga, Ki Sukma Kelana 
segera membuka bungkusan tadi.
"Aaah!"
Empat orang tokoh tingkat tiga itu 
kontan menjerit tertahan ketika 
menyaksikan isi bungkusan. Tubuh mereka 
menggigil menahan gejolak amarah yang 
memenuhi rongga dada. Wajah keempat 
orang itu pucat dan merah 
berganti-ganti.
Sedangkan Ki Sukma Kelana sendiri 
hanya termangu-mangu, namun wajahnya 
pucat. Wakil ketua yang diserahi tugas 
memegang jabatan ketua sementara selama 
gurunya mengasingkan diri itu, memandang 
sayu. Jelas sekali gambaran kesedihan 
dan penyesalan membayang di wajah tua 
nya.
"Oh..., Adi Surya Kencana. Apa yang
harus kukatakan kepada Guru nanti? 
Mengapa begitu berat tanggungjawab yang 
harus kupikul? Ya, Tuhan..., dosa apa 
kiranya yang telah hamba lakukan?" tatap 
orang tua itu sambil memandangi kepala Ki 
Surya Kencana yang tanpa tubuh itu.

"Guru, benarkah yang melakukan 
perbuatan keji itu adalah Ki Ageng 
Sampang?" tanya salah seorang dari 
keempat murid itu. Suara mereka 
mengandung rasa penasaran yang tak dapat 
disembunyikan.
"Hhh..., entahlah! Aku sendiri 
masih meragukannya," desah Ki Sukma 
Kelana. Helaan napasnya terdengar berat.
Keempat orang murid tingkat tiga 
Perguruan Gunung Salaka itu terdiam 
ketika menyadari bahwa Ki Sukma Kelana 
tidak ingin membicarakan persoalan itu 
saat ini. Menyadari hal ini, empat orang 
murid utama itu pun segera berpamit 
kepada gurunya.
Itulah kejadian yang menggemparkan 
seisi Perguruan Gunung Salaka. Kiriman 
mayat kepala tanpa tubuh Ki Surya Kencana 
itu, benar-benar membuat seluruh 
penghuni perguruan menjadi marah dan 
penasaran. Jadi, itulah mengapa pada 
hari ini Perguruan Gunung Salaka 
teriihat sunyi tanpa kegiatan. Rupanya 
Perguruan Gunung Salaka tengah 
berkabung.
Di tengah suasana berkabung yang 
hening dan mencekam itu, tiba-tiba

terdengar teriakan lantang yang bergema 
ke seluruh penjuru bangunan besar itu.
"Ki Tunggul Jagad! Aku utusan Ki 
Ageng Pandira, datang berkunjung!"
Murid-murid Gunung Salaka yang 
tengah dilanda kesedihan itu saling 
pandang satu sama lain. Entah siapa yang 
memulainya, tiba-tiba saja mereka 
berloncatan sambil menghunus pedang.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar 
bentakan keras mengandung tenaga dalam 
tinggi. Bagaikan ledakkan petir di 
angkasa saja layaknya.
Para murid perguruan yang berlarian 
serentak menghentikan langkahnya, 
ketika mendengar teriakan yang terdengar 
marah. Puluhan orang murid dengan 
senjata di tangan itu berpaling menatap 
gurunya. Pandangan mereka menyiratkan 
kekecewaan.
“Apa maksud kalian semua, heh! 
Jawab!" bentak Ki Sukma Kelana dengan 
wajah merah padam karena amarah. 
"Apakah kalian ingin main hakim 
sendiri? Kalian anggap apa aku, hah!"
Puluhan orang murid Gunung Salaka 
itu menunduk dalam-dalam. Tidak ada 
seorang pun yang berani mengangkat 
wajahnya. Sama sekali tidak disangka

bahwa guru besar mereka menjadi 
sedemikian marahnya. Tanpa diperintah
murid-murid Gunung Salaka itu segera 
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki 
Sukma Kelana.
"Ampunilah kami, Guru...!" seru 
mereka serentak.
Tersentuh hati ki Sukma Kelana 
melihat permohonan maaf murid-muridnya 
itu. Dia pun sebenarnya merasa maklum 
akan perasaan murid-muridnya itu. 
Apalagi untuk menyalahkan sikap mereka 
yang sedang dilanda kesedihan.
"Bangkitlah, kalian murid-muridku! 
Marilah kita sambut mereka dengan kepala 
dingin," ajak orang tua itu lembut.
Sekarang, bukalah pintu untuk mereka!"
"Baik, Guru," jawab dua orang di 
antara murid-muridnya yang kemudian 
bangkit dan bergegas mengerjakan 
perintah.
"Selamat bertemu, Kakang Sukma 
Kelana. Apakah sehat-sehat saja? 
Bagaimana pula kabar Ki Tunggul Jagad?" 
tanya orang bertubuh jangkung dan 
berkumis lebat itu, sambil melangkah 
masuk diikuti empat orang lainnya.
"Baik-baik saja! Bagaimana pula 
keadaan Ki Ageng Pandira?" tanya Ki Sukma

Kelana berbasa-basi, sambil berusaha 
menekan kemarahan dalam hatinya. 
Meskipun begitu, tetap tidak 
menyembunyikan nada suaranya, yang 
terdengar dingin dan kaku. 
"Ada kabar apa sehingga kau 
berkunjung kemari?"
"Guru, untuk apa berbasa-basi lagi? 
Bukankah sudah jelas kalau dia yang telah 
mengirimkan bungkusan itu!" teriak salah 
seorang dari empat murid utama Gunung 
Salaka itu, tak sabar.
"Eh... eh! Ada apa ini? Apa maksud 
kalian?" tanya Ki Ageng Sampang dengan 
wajah keheranan. Seolah-olah orang tua 
itu memang tidak mengetahui maksud 
perkataan tokoh utama Perguruan Gunung 
Salaka itu.
"Oh, Apakah Algojo Gunung Sutra 
sudah kehilangan keberanian utuk 
mengakui, perbuatannya?" ujar tokoh yang 
lain bernada mengejek.
"Nanti dulu..., nanti dulu, hei! 
Kakang Sukma, ada apa ini sebenarnya? Aku 
sungguh tidak mengerti?" sahut Ki Ageng 
Sampang dengan wajah yang mulai diliputi 
ketegangan.
"Hm. Benarkah kau tidak 
mengetahuinya?" tanya Ki Sukma Kelana

dingin. Nada suara orang tua itu 
benar-benar tidak enak terdengar di 
telinga.
"Sungguh! Aku sama sekali tidak 
mengerti, Kakang! Dan kedatanganku 
kemari pun, bukan tidak membawa 
persoalan!" jawab Ki Ageng Sampang yang 
amarahnya mulai terpancing. 
"Kedatanganku kemari sebenarnya 
ingin meminta pertanggungjawaban Ki 
Surya Kencana dan beberapa murid 
perguruan ini. Mereka telah membantai 
puluhan murid Gunung Sutra dan tiga tokoh 
utama secara biadab! Di sini aku sengaja 
bersikap sabar dan tidak ingin bertindak 
sembarangan, namun ternyata sikap baikku 
malah tidak kalian anggap sama sekali!"
"Huh! Kau sengaja ingin memutar 
balikkan kenyataan, Ki Ageng Sampang! 
Belum lama ini kami telah menerima 
bungkusan yang kau titipkan kepada 
Kepala Desa Cikunir! Kau tahu apa isi 
bungkusan itu?" jelas salah seorang 
tokoh Gunung Salaka penuh amarah.
"Oh! Apa... apa isinya...?" yang 
bertanya kali ini adalah seorang tokoh 
Gunung Sutra yang sejak tadi hanya diam 
saja.

"Hm. Baiklah kalau kalian enggan 
berterus terang kepada kami. Kalian 
tahu, bungkusan itu adalah isi mayat 
kepala tanpa tubuh dari Ki Surya Kencana, 
yang dituduh telah membantai murid-murid 
kalian itu!" jawab tokoh Gunung Salaka 
itu lagi, geram.
"Mustahil! Guru, mereka pasti 
sengaja menyembunyikan Ki Surya Kencana 
dan sengaja membuat cerita yang tidak 
masuk akal itu!" selak salah seorang 
tokoh Gunung Sutra kepada Ki Ageng 
Sampang yang berjuluk Algojo Gunung 
Sutra itu.
"Ya! Kalau memang cerita itu benar, 
coba tunjukkan kepada kami!" sambung 
tokoh Gunung Sutra yang lainnya, 
diiringi senyum mengejek.
"Bangsat! Apa kau kira kami ini 
orang-orang pengecut yang tidak berani 
menghadapi kalian?! Huh! Manusia 
sombong, rasakanlah pukulanku!" teriak 
salah seorang tokoh Gunung Salaka yang 
sudah tidak dapat menahan kemarahannya 
lagi.
Begitu ucapannya selesai, tokoh itu 
segera melompat menerjang salah seorang 
tokoh Gunung Sutra yang menjadi lawan 
bicaranya itu. Dan tanpa dapat dicegah

lagi, keduanya segera terlibat dalam 
sebuah pertempuran sengit.
Kedua orang tokoh dari dua perguruan 
berbeda itu saling serang dengan 
hebatnya. Karena satu sama lain ingin 
segera menjatuhkan lawannya, maka 
dikeluarkan ilmu andalan masing-masing. 
Namun, kepandaian kedua orang tokoh dari 
perguruan berbeda itu, ternyata 
seimbang. Sehingga pertarungan itu 
bagaikan dua saudara seperguruan yang 
sedang berlatih saja.
Melihat kawannya sudah mulai 
terlibat pertarungan, maka tiga orang 
murid tingkat tiga dari Gunung Salaka 
segera melesat ke arah tiga murid Gunung 
Sutra lainnya. Maka kini masing-masing
pihak sudah saling menyerang ganas.
Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng 
Sampang yang berniat mencegah 
pertempuran itu, ternyata disalah
artikan oleh Ki Sukma Kelana.
"Sabar dulu. Biarkanlah mereka 
bermain-main sejenak. Tapi kalau memang 
tanganmu sudah gatal, aku sanggup 
melayanimu bermain-main barang satu atau 
dua jurus. Nah, sambutlah seranganku."
Setelah berkata demikian tubuh 
orang tua itu sudah tiba di hadapan Ki

Ageng Sampang dan langsung melancarkan 
pukulan ke arah Algojo Gunung Sutra. 
Laki-laki pemimpin Perguruan Gunung 
Sutra itu terkejut dibuatnya karena 
serangan Ki Sukma Kelana begitu cepat 
datangnya. Itulah salah satu 
keistimewaan tokoh tua dari Gunung 
Salaka itu. Maka tidak heran kalau orang 
menjulukinya Pendekar Tangan Kilat 
Gerakan orang tua itu benar-benar bagai 
kilat saja cepatnya.
Tentu saja Algojo Gunung Sutra atau 
Ki Ageng Sampang tidak membiarkan 
tubuhnya jadi sasaran pukulan yang 
berbahaya itu. Dengan gerakan indah, 
tubuhnya segera berkelebat 
menghindarinya. Langsung dibalasnya 
serangan itu dengan tidak kalah 
dah-syat! Dalam sekejap saja tokoh sakti 
itu segera terlibat dalam pertarungan 
dahsyat dan mendebarkan!
Menyaksikan pertempuran tiba-tiba 
itu, muridmu-rid Perguruan Gunung Salaka 
yang belum bertempur segera berlari 
menjauhi arena pertarungan. Memang 
sambaran angin pukulan yang dikeluarkan 
dua tokoh sakti itu sangat berbahaya. 
Jika terlanggar akibatnya sangat fatal.

Sudah sepuluh jurus terlewat, namun 
sama sekali belum dapat dipastikan pihak 
mana yang akan keluar sebagai pemenang. 
Memang mereka semua sama-sama gesit dan 
sama-sama lihai.
Di antara pertarungan lima pasang 
tokoh itu, yang paling seru dan 
mendebarkan adalah pertarungan antara 
Algojo Gunung Sutra melawan Ki Sukma 
Kelana si Pendekar Tangan Kilat. 
Apalagi, kedua tokoh itu sudah 
menggunakan ilmu andalan perguruan 
masing-masing. 
Ki Sukma Kelana yang sudah 
mengeluarkan jurus 'Sebelas Jurus 
Penahan Ombak', bergerak agak lambat 
namun tenaga yang terkandung dalam 
setiap serangannya benar-benar tidak 
dapat dianggap ringan. Setiap lontaran 
pukulannya, menimbulkan getaran udara 
yang kuat. Sehingga mau tidak mau lawan 
harus bersikap lebih hati-hati.
Di lain pihak, Algojo Gunung Sutra 
pun sudah menggunakan jurus 'Tinju 
Delapan Bayangan', yang menjadi salah 
satu ilmu andalan perguruannya. Ilmu itu 
memiliki keampuhan yang tidak kalah 
dahsyatnya. Gerakannya yang cepat dan 
tak terduga itu seolah-olah bergerak

dari delapan penjuru angin. Akibatnya, 
lawan bagaikan dikeroyok delapan orang 
saja.
Setelah bertempur kurang lebih 
selama empat puluh jurus, kedua tokoh 
sakti itu mulai merasa penasaran. 
tiba-tiba masing-masing melompat ke 
belakang dan langsung membentuk 
kuda-kuda kokoh bagaikan batu karang. 
Angin berhembus keras, ketika kedua 
tokoh sakti yang berdiri berhadapan 
dalam jarak tiga tombak itu mengerahkan 
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaattt...!"
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan mengguntur, satu 
sama lain langsung melesat sambil 
melepaskan pukulan yang terampuh dari 
ilmu masing-masing. Dan....
Blaaarrr!
Terdengar ledakan keras yang 
memekakkan telinga. Ternyata ada tiga 
sosok tubuh saling bertubruk-kan di 
udara. Mereka berpentalan dan jatuh 
sejauh tujuh tombak dari titik benturan 
tadi. Ki Sukma Kelana maupun Ki Ageng 
Sampang langsung bangkit, meskipun tubuh 
masing-masing limbung. Dari sela-sela 
bibir mereka menetes darah segar. Kedua

tokoh sakti itu merasa terkejut sekali, 
karena disaat hampir beradu pukulan tadi 
tiba-tiba sesosok bayangan putih 
langsung melesat ke tengah-tengah sambil 
mendorongkan telapak tangan ke tubuh 
mereka.
Kedua orang tokoh sakti itu bergegas 
menghampiri sesosok tubuh yang tengah 
berusaha bangkit dengan susah payah. Dan 
tanpa menghiraukan keadaan 
sekelilingnya, sosok tubuh berjubah 
putih itu segera bersemadi untuk 
memulihkan kekuatannya.
Sementara kegiatan di sekitar 
tempat itu menjadi terhenti. Para tokoh 
dari dua perguruan berbeda telah 
menghentikan pertempuran ketika 
mendengar ledakkan dahsyat tadi. Mereka 
pun segera menepi dan berkumpul pada 
kelompok masing-masing
"Guru...!" seru seorang laki-laki 
yang berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun tiba-tiba. Langsung dijatuhkan 
dirinya berlutut di hadapan Ki Sukma 
Kelana.
"Oh, Ranjita! Apa yang terjadi 
denganmu? Mana Santiaji?" tanya Ki Sukma 
Kelana. Keningnya berkerut ketika

melihat keadaan Ranjita yang seperti 
habis bertempur itu.
"Panjang sekali ceritanya, Guru!" 
jawab Ranjita pelan. "Guru! Dia itu, 
Pendekar Naga Purih," seru Ranjita 
sambil menunjuk pemuda berjubah putih 
yang tengah bersila untuk menghimpun 
tenaga.
"Oh, Pendekar Naga Putih!" gumam 
sepuluh orang tokoh dari dua perguruan 
itu, mereka semua memasang wajah heran.
Sementara itu. Panji yang telah 
selesai bersemadi segera bangkit dan 
menghampiri mereka. Langkahnya begitu 
tenang. Wajahnya yang semula memucat 
akibat benturan dahsyat tadi, kini 
tampak memerah pertanda sudah dapat 
dipulihkan tenaganya.
Setelah saling bertegur sapa, Ki 
Sukma Kelana segera mengajak mereka 
memasuki bangsal utama perguruan Gunung 
Salaka. Tak lupa, mereka juga mengajak 
tokoh-tokoh dari Perguruan Gunung Sutra 
untuk melanjutkan pembicaraan dan 
memecahkan masalah misterius ini.
* * *

"Nah! Sekarang, marilah kita 
pecahkan teka-teki ini dengan kepala 
dingin. Ranjita, coba ceritakan 
pengalamanmu," usul Ki Sukma Kelana 
ketika mereka telah berkumpul di ruang 
bangsal utama. Ki Sukma Kelana rupanya 
sudah menyadari kekeliruannya, dan kini 
bersikap lebih hati-hati.
Ranjita segera menceritakan apa-apa 
yang dialami dari awal, hingga akhirnya 
ditolong Panji Pendekar Naga Putih. 
Murid tingkat empat itu sama sekali tidak 
melebih-lebihkan atau pun mengurangi 
ceritanya.
"Demikianlah, Guru. Kalau saja saat 
itu tidak datang Pendekar Naga Putih, 
pasti aku tidak akan pernah kembali lagi 
ke perguruan!" desah Ranjita menutup 
ceritanya.
"Tidak mungkin!" selak salah 
seorang tokoh Gunung Sutra. "Selama dua 
hari ini, kami selalu bersama. Jadi 
bagaimana mungkin kalau Ki Ageng Sampang 
melakukan hal itu?!"
"Sabarlah! Bukankah Ki Sukma Kelana 
sudah mengatakan akan membahas masalah 
ini dengan kepala dingin. Mengapa kau 
menjadi tidak sabar?" tegur Algojo 
Gunung Sutra.

"Ah, maafkan aku. Aku benar-benar 
bingung!" ucap orang yang menyelak tadi 
dengan wajah kemerahan.
Ki Sukma Kelana lalu melanjutkan 
pembicaraan itu. Akhirnya kedua belah 
pihak memutuskan untuk menunda 
perselisihan di antara mereka, sampai 
bisa ditemukan bukti-bukti nyata. Lalu 
mereka sepakat untuk mengutus murid 
andalan masing-masing untuk menyelidiki 
dan memperjelas persoalan itu.
"Adi Panji, kami sangat memerlukan 
bantuanmu untuk menyertai seorang murid 
kami dalam melakukan penyelidikan. 
Mudah-mudahan kau bersedia," ujar Ki 
Sukma Kelana penuh harap.
"Benar! Sebenarnya kami tidak dapat 
meninggalkan perguruan tanpa seijin 
ketua. Sedangkan saat ini ketua 
Perguruan Gunung Salaka maupun Gunung 
Sutra tengah mengasingkan diri. Dan 
sekarang ini kami diberi tugas untuk 
mengurus perguruan selama beliau pergi," 
sambung Ki Ageng Sampang menimpali 
ucapan Ki Sukma Kelana.
"Baiklah, Ki. Akan kucoba untuk 
membantu memperjelas persoalan ini," 
jawab Pendekar Naga Putih.

Tidak berapa lama, Ki Ageng Sampang 
beserta rombongannya bergegas 
meninggalkan perguruan itu diikuti Panji 
dan seorang murid andalan dari Perguruan 
Gunung Salaka yang bernama Suntara.
Suntara adalah murid langsung Ki 
Tunggul Jagad yang dirahasiakan. Hanya 
dua orang murid kepala yaitu Ki Sukma 
Kelana dan Ki Surya Kencana yang 
mengetahuinya. Karena Suntara dibimbing 
langsung Ki Tunggul Jagad, maka 
kepandaiannya pun tidak jauh di banding 
dua tokoh itu. Itulah sebabnya, mengapa 
Ki Sukma Kelana berani mempercayakan 
tugas ini kepadanya.
"Ayo, kita harus mempercepat 
perjalanan," ajak Algojo Gunung Sutra 
sambil melesat mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya.
Melihat orang tua itu sudah berlari 
meninggalkan mereka, tapa dikomando lagi 
enam orang lainnya segera berlari 
mengejar. Terjadilah kejar-kejaran yang 
seru di antara tujuh orang sakti itu.
Ki Ageng Sampang semakin 
mempercepat larinya karena diam-diam, 
ingin diujinya kepandaian Panji dan 
Suntara yang masih belum diketahuinya 
jelas. Tapi, alangkah terkejutnya orang

tua itu ketika menoleh ke belakang. 
Ternyata baik Pendekar Naga Putih maupun 
Suntara sudah berada di belakangnya. 
Sedangkan empat tokoh Gunung Sutra 
lainnya tertinggal di belakang.
Karena masih merasa penasaran, Ki 
Ageng Sampang segera mengempos 
semangatnya. Segera dikerahkan seluruh 
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. 
Tubuh orang tua itu meluncur bagaikan 
anak panah lepas dari busur. Napasnya 
agak sedikit memburu dan butir-butir 
keringat mulai membasahi dahinya. Dan 
untuk kedua kalinya ia menjadi terkejut 
ketika menoleh. Ternyata dua pemuda itu 
masih saja berada di belakangnya.
"Hm, anak-anak muda yang hebat!" 
ucapnya dalam hati.
Merasa sudah cukup menguji dua 
pemuda itu, Ki Ageng Sampang kembali 
memperlambat larinya.
"Kalau kuteruskan, bisa-bisa putus 
napasku," ujar Ki Ageng Sampang dalam 
hati sambil tersenyum mesem.
Setelah melakukan perjalanan selama 
kurang lebih satu setengah hari, maka 
tujuh orang itu tiba di daerah Gunung 
Sutra. Kegelapan telah menyelimuti bumi, 
ketika Ki Ageng Sampang, Panji, Suntara,

dan empat orang tokoh Gunung Sutra tiba 
di Perguruan Gunung Sutra.
Ki Ageng Sampang segera mengajak 
Panji dan Suntara untuk bermalam di 
perguruan itu, agar keesokan paginya 
dapat melanjutkan perjalanan dengan 
tubuh segar.
"Apakah Ki Ageng akan ikut dengan 
kami, besok?" tanya Panji kepada Ki Ageng 
Sampang, sebelum memasuki kamar yang 
disediakan untuknya dan Suntara.
"Oh! Tidak, Saudara Panji. Kami akan 
mengutus seorang murid kesayangan Ki 
Ageng Pandira yang bernama Rahayu. 
Dialah yang akan menyertai kalian berdua 
dalam melakukan penyelidikan. Nah, 
sekarang beristirahatlah dulu, agar 
kalian menjadi lebih segar," ujar Ki 
Ageng Sampang. Setelah berkata demikian, 
orang tua itu beranjak meninggalkan 
mereka.
Malam semakin larut. Nyanyian 
binatang-binatang malam saling 
bersahutan sehingga membuat suasana 
malam semakin semarak.
* * *
DELAPAN

Hari masih sangat pagi. Bumi pun 
masih terselimut kegelapan. Di kejauhan 
terdengar kokok ayam hutan yang 
bersahut-sahutan, Semilir angin pagi 
yang berhembus masih terasa dingin 
menyentuh kulit.
Dari kejauhan teriihat tiga sosok 
tubuh tergesa-gesa menuruni Lereng 
Gunung Sutra, yang puncaknya masih 
dilapisi kabut tebal. Ketiga sosok tubuh 
itu berlompatan dengan lincahnya, bagai 
tiga ekor burung yang tengah menikmati 
keindahan suasana pagi. Lereng Gunung 
Sutra yang masih basah oleh embun itu, 
sepertinya tidak menjadi halangan bagi 
mereka untuk menuruninya.
Tidak beberapa lama, ketiganya 
sudah tiba di kaki gunung. Sejenak mereka 
berhenti, sambil menoleh ke kiri dan 
kanan.
"Arah mana yang harus ditempuh, 
Panji?" tanya lelaki di sebelahnya yang 
bertubuh agak jangkung. Dia tak lain dari 
Suntara, murid kesayangan Ki Tunggul 
Jagad.
"Lebih baik ambil jalan Selatan 
saja, karena di Utara banyak

perkampungan penduduk," jawab orang yang 
tak lain adalah Panji Pendekar Naga 
Putih. "Bagaimana menurutmu, Adik 
Rahayu?" tanya Panji sambil menoleh 
kepada orang yang dipanggil Rahayu, dan 
ternyata seorang wanita.
"Kalau aku terserah kalian saja," 
jawab gadis yang bernama Rahayu itu. 
Suaranya begitu halus.
Rahayu adalah satu-satunya murid 
wanita dari Ki Ageng Pandira yang menjadi 
ketua Perguruan Gunung Sutra. Biarpun 
seorang wanita, namun tidak mungkin 
dipandang remeh. Sebab sebagai murid Ki 
Ageng Pandira yang berjuluk Dewa 
Berlengan Delapan itu. Rahayu pasti 
memiliki kepandaian yang tidak rendah. 
Apalagi sudah dipercayakan untuk 
menunaikan tugas yang berbahaya seperti 
itu. Pasti ia telah dibekali ilmu-ilmu 
yang tinggi dan hebat.
Memang, akhirnya arah yang diambil 
tiga orang muda-mudi itu adalah ke arah 
Selatan, sebagaimana yang diusulkan 
Pendekar Naga Putih. Mereka melangkah 
bersisian, melewati sebuah hutan kecil 
yang jarang dijamah manusia. Jalan itu
sengaja dipilih, karena itu adalah jalan 
pintas.

Setelah hampir setengah harian 
berjalan, beberapa ratus depa di hadapan 
mereka terbentang sebuah jalan besar 
yang banyak dilalui orang.
"Hm, rasanya kita akan melewati 
sebuah perkampungan penduduk," gumam 
Panji tak jelas.
"Apakah kita akan singgah, Panji?" 
tanya Rahayu yang rupanya mendengar 
gumaman Panji tadi.
"Tentu saja. Perutku sudah 
keroncongan minta diisi," jawab Suntara 
tanpa malu-malu sambil menepuk-nepuk 
perutnya hingga menimbulkan suara 
nyaring.
"Apa kau kira perutku dari batu? 
Dengarlah nyanyian cacing-cacing di 
perutku yang sudah segera minta diisi," 
timpal Panji seraya tertawa 
terbahak-bahak.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? 
Ayo!" seru Rahayu sambil melesat 
mendahului kedua kawannya. Gerakan gadis 
itu gesit sekali, bagaikan seekor burung 
walet yang baru keluar dari sarangnya.
Melihat gadis itu sudah mendahului, 
kedua pemuda itu tidak mau ketinggalan. 
Sekali menjejak tanah, tubuh mereka 
segera melayang mengejar Rahayu.

Timbul kegembiraan di hati gadis itu 
ketika melihat dua kawannya yang 
sama-sama tampan dan gagah mengejar di 
belakangnya. la pun segera mempercepat 
larinya seraya mengerahkan seluruh 
tenaga, sehingga dua orang pemuda itu 
tertinggal di belakangnya.
Suntara dan Panji tentu saja 
mengetahui maksud gadis itu sebenarnya. 
Maka segera dikerahkan kemampuan mereka 
untuk mengejar Rahayu, yang beberapa 
ratus depa di depan. Namun meskipun 
Suntara telah mengerahkan seluruh 
kemampuan tetap saja jarak di antara 
mereka tidak berubah.
Panji yang mengetahui bahwa Suntara 
tertarik kepada Rahayu, tidak berusaha 
untuk mengejar gadis itu. Sebenarnya dia 
bisa mengejarnya, tapi sengaja 
berpura-pura lelah dan mengalah kepada 
mereka.
"Eh! Di mana Panji?" tanya Rahayu, 
yang sudah duduk di atas sebuah batu di 
tepi jalan ketika Suntara tiba di 
dekatnya.
"Entahlah. Mungkin sudah merasa 
kelelahan," jawab Suntara yang teriihat 
agak sedikit lelah itu. Namun tak lama

kemudian Panji muncul, dengan napas 
dibuat tersengal-sengal.
"Wah! Tega-teganya kalian 
meninggalkan aku, hhh...," setelah 
berkata demikian, Panji segera 
menjatuhkan tubuhnya di atasa tanah 
berumput.
"Sudahlah. Ayo kita mencari kedai 
makan," ajak Suntara. Dia segera 
berjalan memasuki perbatasan desa, yang 
tinggal beberajpa ratus meter itu.
Tanpa berkata-kata lagi, Panji dan 
Rahayu segera melangkah mengikuti 
Suntara. Pemuda itu kini sudah memasuki 
sebuah kedai makan yang terletak di tepi 
jalan utama desa. Panji dan Rahayu juga 
segera memasuki kedai, dan langsung 
mengambil tempat duduk dihadapan 
Suntara.
Setelah selesai mengisi perut tiga 
muda-mudi itu segera melanjutkan 
perjalanan.
***
"Wah! Terpaksa harus menginap di 
dalam hutan!" ujar Suntara, ketika hari 
telah gelap.

"Aku kira demikian. Rasanya tidak 
ada desa terdekat di sekitar sini!" jawab 
Panji. "Mari, kita cari tempat yang 
lebih enak."
Maka mereka segera meneruskan 
langkahnya memasuki hutan, dan akhirnya 
tiba pada sebuah tempat yang agak luas. 
Dan tempat itu baik sekali untuk melewati 
malam.
"Kalian tunggulah di sini. Aku mau 
mencari air. Sepertinya, tidak jauh dari 
tempat ini ada sebuah sungai. Aku telah 
mendengar gemericik air," jelas Panji 
sambil melangkah meninggalkan kedua 
kawannya.
"Baiklah. Biarlah aku yang mencari 
ranting-ranting kering, agar dapat 
digunakan untuk mengusir nyamuk dan hawa 
dingin, Kau tunggulah di sini, Adik 
Rahayu!" ujar Suntara. Tidak berapa lama 
kemudian, kedua orang pemuda itu pun 
sudah tidak terlihat lagi.
Rahayu yang ditinggal seorang diri 
itu, tiba-tiba menjadi gelisah. 
Diputuskanlah untuk jalan-jalan saja, 
daripada berdiam diri sendiri seperti 
patung. Maka segera kakinya melangkah 
mengitari tempat itu.

Ketika tengah melangkah dengan hati 
resah, tiba-tiba telinganya yang 
terlatih menangkap sebuah desiran halus 
dari arah belakang. Cepat bagaikan kilat 
gadis itu berbalik, dan cepat sekali 
tangannya bergerak menampar sambil 
memiringkan kuda-kudanya. Dan gadis itu 
menjadi terkejut, ketika merasakan 
tangannya bergetar setelah bergerak 
menampar.
"Hm, hebat juga tenaga orang yang 
berjiwa curang itu!" desis Rahayu. 
Penasaran sekaligus geram.
Rahayu yang semula ingin berteriak 
menyuruh penyerang gelap itu keluar, 
segera mengurungkan niatnya. Alisnya 
yang indah itu berkerut, ketika 
memperhatikan benda yang menyerangnya 
secara gelap tadi. Dengan sikap waspada 
diraihnya benda yang ternyata adalah 
sebuah daun lontar yang terlipat rapi.
"Hm. Apa maksud orang itu sebenamya? 
Jelas orang itu tidak berniat 
mencelakakan. Sebab kalau berniat jahat, 
mengapa harus menggunakan daun lontar?" 
desah Rahayu di tengah keheranannya.
Tangan gadis itu bergerak membuka 
lipatan daun lontar. Hatinya berdebar 
tegang, ketika membaca tulisan yang

tertera di dalamnya. Dibacanya 
berulang-ulang, seolah-olah tidak 
mempercayai matanya.
“Kalau ingin menemukan orang ketiga 
yang mengacaukan perguruanmu, temuilah 
aku di sebuah danau. Letaknya tidak jauh 
dan tempatmu. Cepatlah, sebelum semuanya 
terlambat.”
Rahayu membaca berulang-ulang 
surat yang tertera di atas daun lontar 
tadi. Dadanya berdebar cepat antara 
perasaan girang dan tegang. Sebab tugas 
yang dikatakan berat oleh gurunya itu, 
ternyata dapat dilakukan amat mudah. 
Tanpa berpikir dua kali, Rahayu 
berkelebat cepat mencari tempat yang 
dimaksudkan si pengirim daun lontar 
tadi. Karena gembira yang meluap-luap, 
sehingga Rahayu terlupa akan Suntara dan 
Panji yang juga mempunyai tujuan serupa.
Di tempat lain, Suntara yang tengah 
memunguti ranting-ranting kering 
menjadi terkejut ketika mendengar suara 
langkah kaki yang berjalan ke arahnya. 
Semula Suntara tidak mempedulikannya, 
karena dikira itu adalah suara langkah 
kawannya. Namun ketika menoleh, mendadak 
wajahnya menegang. Ternyata orang yang

tengah menghampirinya itu adalah Algojo 
Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang.
Suntara yang sudah mendengar cerita 
Ranjita dan Panji tentang seorang yang 
menyamar menjadi Ki Ageng Sampang itu, 
sejenak meragu. Tapi keraguannya menjadi 
pudar ketika mendengar sapaan orang tua 
itu.
"Ha ha ha..., Suntara! Apakah kau 
sudah menemukan tanda-tanda orang yang 
kau curigai?" tanya Algojo Gunung Sutra, 
sambil terus melangkah menghampirinya.
"Oh! Belum. Belum, Ki! Kami... kami 
belum menemukan apa-apa," jawab Suntara 
gagap. Sementara pandang matanya tetap 
meneliti sekujur tubuh Ki Ageng Sampang. 
"Mengapa Ki Ageng berada di tempat ini? 
Bukankah dia harus mengurus perguruan?" 
Suntara bertanya-tanya dalam hati dengan 
sikap tetap waspada.
Biar bagaimanapun, Suntara masih 
tetap meragukan keaslian orang tua itu. 
Sebab sebelum meninggalkan Gunung Sutra, 
Ki Ageng Sampang berkata bahwa ia tidak 
bisa meninggalkan perguruan. Hal ini 
karena ketua Perguruan Gunung Sutra 
tengah menyepi di suatu tempat yang tidak 
diketahui siapa pun kecuali Ki Ageng 
Sampang sendiri. Memang sampai saat ini

ia masih belum mempercayai orang tua di 
hadapannya itu. Maka diam-diam 
dikerahkan tenaga saktinya untuk 
menghadapi segala kemungkinan.
Orang tua bertubuh jangkung dan 
berkumis lebat itu mengangguk-anggukkan 
kepalanya. Seakan-akan dipahami betul 
keraguan Suntara.
"Yahhh.... Dapat kumengerti sikapmu 
yang mencurigai aku, Suntara. Memang, 
kita tidak boleh mempercayai sesuatu
yang belum diketahui kebenarannya," 
tegas orang yang mengaku sebagai Ki Ageng 
Sampang disertai helaan napas yang 
dalam.
Wajah orang itu memang teriihat 
sedih seolah-olah menyesali perbuatan 
orang yang telah menyamar sebagai Algojo 
Gunung Sutra. Sedangkan kedua kakinya 
terus melangkah mendekati Suntara.
Suntara tertunduk malu mendengar 
kata-kata bernada sedih dari orang tua 
yang dihormatinya itu. Untuk beberapa 
saat lamanya kesiagaannya lenyap 
tersentuh kata-kata halus tadi.
Namun, kalau saja Suntara tidak 
menundukkan wajahnya tentulah akan 
terkejut melihat sinar mata orang tua 
itu. Sinar mata yang semula meredup, kini

tampak berkilat penuh cahaya nafsu 
membunuh. Jarak di antara mereka hanya 
tinggal satu jangkauan tangan saja. Dan, 
tiba-tiba saja tangan orang tua itu 
terangkat dengan cengkraman maut
Suntara yang tengah lengah itu 
mengira bahwa orang yang diduganya Ki 
Ageng Sampang itu ingin menepuk 
pundaknya, sehingga sama sekali tidak 
merasa curiga. Tapi, ketika dirasakan 
sambaran angin kuat yang keluar dari 
kedua tangan orang tua itu, rasanya sudah 
terlambat untuk menghindar. Untung saja, 
tenaga dalamnya merasakan ada tekanan 
membahayakan dan segera cepat bergolak 
melindungi dirinya.
Deeesss!
Tubuh Suntara terpelanting ketika 
tamparan keras itu menghantamnya.
Untunglah pada saat yang berbahaya itu
masih dapat dimiringkan tubuhnya. 
Sehingga tamparan yang semula tertuju ke 
kepalanya, melesat menghantam bahunya 
dengan keras. Cepat-cepat Suntara 
bergulingan mengikuti dorongan itu, agar 
dapat menjauhi lawannya.
"Huaaakkk...!"
Suntara seketika memuntahkan darah 
berwarna kehitaman. Jelas itu akibat

hantaman kuat, yang rupanya telah 
melukai bagian dalam tubuhnya. Meskipun 
demikian Suntara masih mencoba bangkit. 
Untunglah tenaga dalamnya telah bergerak 
melindungi tubuhnya. Kalau tidak, pasti 
bahu yang terkena hantaman lawan itu akan 
patah tulang-tulangnya.
Saat itu, orang yang menyamar 
sebagai Algojo Gunung Sutra sudah 
meluncur sambil mengarahkan 
totokan-totokan yang dapat melumpuhkan 
tubuh lawan. Kedua tangannya bergerak 
susul-menyusul, seolah-olah berebut 
untuk menyentuh tubuh Suntara.
Dengan gerakan limbung bagaikan 
orang mabuk tuak, Suntara berusaha 
menghindari serangan lawannya. Dalam 
posisi seperti ini, Suntara masih 
mencoba untuk melontarkan 
serangan-serangan balasan. Sehingga 
untuk beberapa saat lamanya, dia masih 
melakukan perlawanan yang cukup berarti.
"Setan! Bocah ini ternyata alot 
juga," umpat orang bertubuh jangkung itu 
mengumpat, penuh kegeraman. Mau tidak 
mau harus diakui keuletan pemuda yang 
menjadi lawannya itu.
Wuuuttt!

Orang tua itu memiringkan tubuhnya 
menghindari sambaran "tangan kanan 
Suntara yang mengarah kepala. Dan 
memang, serangan pemuda itu luput. Ki
Ageng Sampang palsu itu langsung 
membalas dengan sebuah totokan yang 
menimbulkan desingan angin tajam. 
Suntara melempar tubuh ke belakang untuk 
menghindarinya. Tapi alangkah 
terkejutnya pemuda Itu ketika melihat 
jari-jari tangan lawan masih tetap 
mengejar dan mengancam tubuhnya.
Suntara yang tidak melihat jalan 
keluar, terpaksa menyambutnya dengan 
sisi telapak tangan miring. Pemuda itu 
kembali terkejut ketika jari-jari yang 
hendak ditepis, tiba-tiba meliuk dan 
meluncur pesat menuju lehernya.
"Aaahhh...!" keluh Suntara agak 
terkesiap.
Segera dijatuhkan tubuhnya dan 
bergulingan menghindari kejaran tangan 
lawan yang bagai seekor ular hidup itu. 
Setelah memasrikan bahwa lawannya cukup 
jauh, pemuda itu melenting berdiri. 
Namun, belum juga Suntara memantapkan 
posisi berdirinya, tiba-tiba orang tua 
itu bersalto melewati kepalanya dan 
mendarat di belakangnya. Sementara

Suntara yang masih terkesiap tiba-tiba 
merasakan....
Desss!
"Uuughhh...!" Suntara melenguh 
tertahan.
Tubuh Suntara terlontar keras ke 
depan, ketika sebuah tendangan 
berkekuatan hebat menghantam bagian 
belakangnya. Pemuda itu ambruk tak 
sadarkan diri, setelah terlebih dahulu 
memuntahkan darah segar. Sejenak orang 
tua itu tertawa, lalu mendekati tubuh 
Suntara. Segera dipanggulnya tubuh murid 
kesayangan Ki Tunggul Jagad itu.
***
Sementara itu, Panji yang sudah 
kembali ke tempat Rahayu menunggu, 
menjadi keheranan ketika tidak menemukan 
gadis itu. Nalurinya yang tajam 
mengisyaratkan adanya bahaya yang 
mengancam di sekitar tempat ini. Panji 
mengitari sekitarnya dengan kewaspadaan 
penuh. Pendekar Naga Putih itu 
mengurungkan niatnya untuk memanggil 
Rahayu, ketika pendengarannya yang 
terlatih menangkap samar-samar suara 
orang tengah melangkahkan kaki.

Cepat bagai kilat Panji melesat ke 
arah asal suara tadi. Beberapa saat 
kemudian, pemuda itu menjadi kebingungan 
ketika suara itu mendadak terhenri. 
Pendekar Naga Putih itu mengerutkan 
keningnya sambil mengerahkan seluruh 
kepekaan pendengarannya. Panji segera 
menyusupkan tubuhnya di balik 
semak-semak, ketika mendengar suara 
langkah kaki kembali terdengar 
mendatanginya.
"He he he.... Ki Tunggul Jagad, 
tunggulah kehancuranmu!" terdengar 
suara tawa kemenangan dari mulut orang 
tua bertubuh jangkung ketika melintas 
tidak jauh di hadapan Panji Pendekar Naga 
Putih itu menjadi terkejut melihat tubuh 
yang terkulai di atas bahu orang yang 
mengaku sebagai Algojo Gunung Sutra.
"Suntara...!" desisnya keheranan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
tubuhnya segera melesat melampaui kepala 
orang tua tersebut.
"Berhenti...!" bentak Panji begitu 
kakinya mendarat di hadapan orang 
bertubuh jangkung itu. "Hm..., lagi-lagi 
kau membuat ulah, Orang Tua!" desis Panji 
penuh kemarahan.

Orang tua itu tersentak kaget, 
sambil melangkah mundur. Jelas tergambar 
rasa gentar di wajahnya ketika mengenali 
pemuda yang menghalangi jalannya.
Matanya berputar liar mencari jalan 
untuk menghindar.
"Huh! Mengapa kau selalu mencampuri 
urusanku, Pendekar Naga Putih?!" dengus 
orang tua itu.
Mulutnya berkata demikian, tapi 
sementara otak-nya berputar mencari 
jalan selamat. Rupanya Ki Ageng Sampang 
palsu yang sudah pernah merasakan 
kehebatan Panji, merasa yakin tidak akan 
dapat mengatasi pemuda sakti itu. 
Makanya, sekarang ini dia berusaha untuk 
mengulur waktu sambil memutar otaknya 
mencan jalan keluar.
"Tidak perlu banyak bicara lagi, 
Orang Tua! Terimalah hukumanmu!" bentak 
Panji geram.
Begitu ucapannya selesai, tubuh 
pemuda itu melesat cepat membawa
serangan berbahaya. Selapis kabut tipis 
yang berwarna putih keperakan kini telah 
menyelimuti tubuhnya. Pertanda bahwa 
pemuda sakti itu telah mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang 
menimbulkan hawa dingin luar biasa.

Kedua tangannya yang telah membentuk 
cakar naga itu terulur disertai hembusan 
udara dingin yang menggigit.
Algojo Gunung Sutra palsu terkejut 
ketika merasakan sambaran hawa dingin 
yang sangat kuat menerpa tubuhnya. 
Cepat-cepat dilempar tubuhnya 
kebelakang untuk menghindari serangan 
yang luar bisa hebatnya. Wajah orang tua 
itu berubah pucat ketika sepasang tangan 
yang bagaikan cakar-cakar naga itu terus 
mengejarnya. Karena tidak mempunyai 
peluang untuk lolos, orang tua itu pun 
menggerakkan tangan nya menangkis 
serangan Pendekar Naga Putih dengan 
sekuat tenaga!
Dukkk!
"Aiiihhh.,.!" jerit orang tua itu.
Seketika dirasakan hawa dingin yang 
amat kuat menyusup dari tangan pemuda 
itu. Saat menangkis serangannya. 
Tubuhnya terpelanting ke belakang sejauh 
tiga tombak. Sehingga tubuh Suntara yang 
semula berada di bahunya ikut pula 
terlempar. Cepat dia bangkit sambil 
mengerahkan hawa mumi untuk mengusir 
hawa dingin yang membuat tubuhnya 
menggigil hebat. Darah merah yang agak

mengental karena hawa dingin itu 
mengalir melalui sela-sela bibirnya.
"Ilmu iblis...!" dengus orang yang 
mengaku-ngaku sebagai Algojo Gunung 
Sutra. Wajahnya nampak semakin memucat
Setelah dapat mengusir hawa dingin 
tubuhnya, orang tua itu segera bersiap 
menghadapi gempuran lawannya.
"Huh! Jangan bertepuk dada dulu, 
Anak Muda! Ayo kita bertempur sampai 
seribu jurus!" gertak Algojo Gunung 
Sutra palsu di tengah keputusasaannya.
Namun, sebelum kedua orang itu 
saling bergebrak, tiba-tiba terdengar 
lengkingan halus yang menyakitkan 
telinga, Panji terkejut ketika merasakan 
kekuatan yang terkandung dalam suara 
lengkingan itu. Meskipun tidak 
membahayakan dirinya, tapi hatinya cemas 
juga. Dari suara lengkingan itu Pendekar 
Naga Putih dapat menebak kepandaian 
orang yang mengeluarkan suara lengkingan 
itu.
Di lain pihak, orang yang menyamar 
sebagai Algojo Gunung Sutra itu menjadi 
berseri-seri wajahnya.
"Ha ha ha...! Syukurlah kau segera 
datang, Nyai Serondeng!" ujar orang tua 
itu tertawa gembira. Sementara tubuh

Suntara sudah pula berada dalam 
pondongannya. Dia memang ingin menculik 
pemuda ini.
"Cepat tinggalkan tempat ini, 
goblok!" perintah wanita tua yang 
tiba-tiba saja sudah berada di tempat 
itu.
"Berhenti! Langkahi dulu mayatku 
kalau kalian ingin meninggalkan tempat 
ini!" bentak Panji. Segera dia melesat 
mengejar Algojo Gunung Sutra palsu yang 
sudah bergerak meninggalkan tempat 
pertarungan.
"Hi hi hi.... Selamat tinggal, 
Pendekar Naga Putih! Sayang sekali, hari 
ini aku tidak mempunyai waktu untuk 
bermain-main denganmu!" tegas wanita tua 
itu. Suaranya begitu tinggi dan nyaring.
Setelah berkata demikian, wanita 
tua itu menggerakkan tangannya ke arah 
Pendekar Naga Putih. Melihat luncuran 
sebuah benda putih yang berbentuk bulat 
itu bagitu deras, cepat-cepat Panji 
melesat ke atas dan berputar dua kali di 
udara.
Darrr!
Benda sebesar telur puyuh itu 
meledak ketika menyentuh permukaan 
tanah. Asap putih tebal yang menebarkan

bau itu bergulung-gulung menutupi 
sekitarnya. Pendekar Naga Putih yang 
baru saja mendaratkan kakinya di tanah, 
tidak dapat mengejar kedua musuhnya. 
Tentu saja, karena asap tebal telah 
menghalangi penglihatannya.
"Asap beracun...!" sentak Panji 
sambil melompat keluar dari gulungan 
asap tebal tersebut Kedua tangan pemuda 
sakti itu mendorong ke depan seraya 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 
Wuuusss!
Angin yang berhawa dingin luar biasa 
seketika berhembus keras mengusir asap 
beracun yang menyelimuti sekitarnya. 
Dalam beberapa saat saja, tempat itu 
kembali terang. Hanya sayangnya, Panji 
sudah tidak menemukan dua orang 
musuhnya.
Pendekar Naga Putih berlari 
mengitari seluruh daerah itu untuk 
mencari dua orang musuhnya tadi. Tapi 
mereka bagaikan lenyap ditelan bumi. 
Dengan langkah gontai, Panji kambali ke 
tempatnya semula, tempat mereka berniat 
melewatkan malam. Pemuda itu termenung 
mengingat-ingat kejadian-kejadian yang 
baru beberapa hari ini dialaminya.

Memang, masih menjadi misteri yang harus 
diungkapnya.
Angin malam bersilir lembut 
menyejukan tubuh. Seolah-olah ingin 
menghibur dan menghilangkan keresahan di 
hati pemuda itu. Sekejap kemudian, Panji 
sudah terlelap.
Kemanakah perginya Rahayu? Dan 
bagaimana nasib Suntara? Siapakah orang 
tua yang menyamar sebagai Algojo Gunung 
Sutra, dan siapa pula tokoh yang bernama 
Nyai Sorendeng itu? Dan yang terpenting, 
siapakah yang mendalangi semua kemelut 
ini?! Untuk jawabnya, ikutilah kisah 
selanjutnya dalam episode “PARTAI RIMBA 
HITAM.”

                                 SELESAI
 



Share:

0 comments:

Posting Komentar