ALGOJO GUNUNG
SUTRA
Oleh T. Hidayat
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam Episode 003 :
Algojo Gunung Sutra
128 Hal ; 12 x 28 cm
SATU
Di atas sebuah puncak gunung yang
terletak cukup Jauh dari Selatan Desa
Cikunir, berdiri sebuah bangunan besar
yang dikurung oleh pagar tembok yang
tinggi dan kokoh. Di atas pintu gerbang
yang terbuat dari kayu pilihan tertera
nama 'PERGURUAN GUNUNG SALAKA' yang
tertulis pada papan tebal. Nama
perguruan itu ditulis dengan tinta emas.
Huruf-hurufnya yang besar dan terukir,
cukup indah dan gagah dipandang. Dalam
jarak sepuluh tombak, orang sudah dapat
jelas membacanya.
Bagi kaum rimba persilatan, nama
Perguruan Gunung Salaka bukanlah nama
asing. Perguruan itu terkenal sebagai
pusatnya pendekar-pendekar.
Malam itu, Ki Tunggul Jagad yang
merupakan Ketua Perguruan Gunung Salaka
tampak sedang mengumpulkan murid-murid
utamanya yang berjumlah delapan orang.
Mereka adalah tokoh-tokoh tingkatan atas
di perguruan itu, karena merupakan
murid-murid langsung dari Ki Tunggul
Jagad.
“Tentu hati kalian bertanya-tanya,
mengapa mendadak aku memanggil.
Sebenarnya hal ini sudah lama
kupikirkan, namun baru kali ini
mempunyai kesempatan untuk
mengutarakannya kepada kalian!" orang
tua sakti itu terdiam sejenak sambil
menarik napas panjang, sepertinya apa
yang akan disampaikannya ada suatu hal
yang penting.
"Begini murid-muridku! Aku
bermaksud menyerahkan urusan perguruan
ini untuk sementara waktu kepada
kalian."
"Apakah maksud Guru, ada sesuatu
yang tidak berkenan di hati Guru?" tanya
salah seorang murid tertua Perguruan
Gunung Salaka yang dipimpin Ki Tunggul
Jagad. Wajah murid ketua itu gelisah,
takut kalau-kalau ada tingkah mereka
yang telah membuat hati orang tua sakti
itu kecewa.
"Tidak ada satu pun dari kalian yang
berbuat salah! Aku hanya berniat ingin
beristirahat dari kesibukan-kesibukan
perguruan selama beberapa waktu. Nah!
Oleh karena itu akan kutunjuk salah
seorang dari kalian, yang akan
menggantikanku selama beristirahat. Dan
untuk selama itu aku tidak ingin diganggu
oleh siapa pun, atau urusan apa pun!
Apakah kalian sanggup?" tanya Ki Tunggul
Jagad sambil merayapi wajah-wajah
muridnya dengan tajam.
"Sanggup, Guru! Dan selanjutnya
kami mohon petunjuk dan nasihat demi
kelancaran tugas kami...!" jawab delapan
orang murid Ki Tunggul Jagad, dengan
suara tegas.
"Hm, bagus..., bagus! Memang
begitulah seharusnya," ujar Ki Tunggul
Jagad. Kini wajahnya menjadi cerah.
Kemudian orang tua sakti itu pun
menunjuk Ki Sukma Kelana untuk mengurus
perguruan selama dirinya menyepi. Selain
itu juga ditunjuk Ki Surya Kencana
sebagai wakil. Begitu juga keenam orang
lainnya yang masing-masing diserahi
tugas yang harus dilaksanakan
sungguh-sungguh.
"Nah! Sekarang kemukakanlah
pendapat kalian! Kalau ada yang merasa
keberatan, sampaikanlah selagi aku masih
ada di sini. Sebab, aku tidak ingin
apabila di kemudian hari ada kejadian
yang tidak diharapkan. Dan jika hal itu
terjadi, maka tidak akan segan-segan
untuk menghukum kalian!" ujar Ki Tunggul
Jagad, dengan suara yang tegas dan
berwibawa.
"Kami setuju, Guru! Dan semua
perintah Guru akan kami laksanakan
dengan sebaik baiknya!" janji kedelapan
orang murid-murid Ki Tunggul Jagad,
ber-sungguh-sungguh.
"Baiklah. Kalau memang sudah tidak
ada persoalan lagi, kalian boleh kembali
ke tempat masing-masing "
"Baik Guru!" seru kedelapan orang
itu serempak Setelah memberi hormat,
delapan orang itu pun segera
meninggalkan tempat itu.
Pada keesokan harinya kedelapan
murid Perguruan Gunung Salaka mulai
menjalankan tugas sebagaimana yang telah
dipesankan guru mereka. Dan tidak
seorang murid lain pun yang mengetahui
hal itu, kecuali delapan murid utama
Perguruan Gunung Salaka.
Hal itu memang sudah dipesankan oleh
Ki Tunggul Jagad, agar tidak terjadi
keresahan di antara murid Perguruan
Gunung Salaka itu.
***
Hari masih pagi, ketika serombongan
orang bersama-sama mendaki Lereng Gunung
Salaka. Kalau di lihat dari keadaan yang
rata-rata kusut dan agak kotor, itu,
jelas bahwa mereka telah menempuh
perjalanan yang jauh dan melelahkan.
Meskipun langkah-langkah kaki terlihat
agak gemetar, namun dari sorot mata
terpancar semangat mereka yang tinggi.
Rombongan itu teidiri dari berbagai
golongan. Ada anak hartawan, anak
saudagar kaya, dan ada juga anak pedagang
kecil. Maksud kedatangan mereka ke
tempat itu adalah sama, yaitu untuk
mengikuti ujian penerimaan murid baru,
yang akan diadakan Perguruan Gunung
Salaka pada setiap enam bulan sekali.
Setelah melakukan pendakian yang
sukar dan melelahkan, rombongan itu tiba
pada pos pertama yang dijaga dua orang
murid tingkat enam, Perguruan Gunung
Salaka.
"Saudara-saudara, harap berhenti
sebentar...!" seru salah seorang dari
dua penjaga itu.
"Huh! Apa maksudnya badut-badut itu
mencegah kita?!" Membuat jengkel orang
saja...!" umpat salah seorang pemuda
dari rombongan itu. Tarikan wajahnya
kelihatan angkuh. Pemuda itu berusia
sekitar enam belas tahun. Pakaiannya
terbuat dari bahan sutra pilihan
berwarna biru muda. Wajahnya tampan,
bagai seorang bangsawan. Kelihatan manja
dan pesolek.
"Sudahlah! Jangan mencari penyakit,
Sobat! Kita baru memasuki pos penjagaan
yang pertama!" jawab seorang pemuda
lain, yang rupanya tidak suka ucapan
pemuda pesolek tadi.
"Benar! Kalau kita diterima menjadi
murid Perguruan Gunung Salaka, kita
harus sabar dan bersikap sopan," sahut
pemuda lainnya lagi, ikut memberikan
nasihat
Sementara itu, kedua orang murid
Perguruan Gunung Salaka yang bertugas
menjaga di pos pertama mulai melakukan
pemeriksaan. Setiap orang yang akan
melewati pos pertama, harus meninggalkan
segala bentuk senjata tajam yang dibawa.
Jika benar-benar bersih tanpa senjata,
baru mereka diperbolehkan meneruskan
perjalanan.
"Hm, sombong sekali orang-orang
gunung itu! Untuk apa buntalan pakaian
diperiksa? Memangnya kita ini
pencuri...?" geruru si pemuda pesolek
lagi.
Kedua orang pemuda yang tadi mencoba
memberi nasehat menoleh sejenak. Dan
tanpa menjawab sepatah kata pun segera
dipalingkan wajah mereka dengan perasaan
sebal. Memang sudah bisa ditebak sifat
jelek pemuda pesolek yang sombong itu.
"Huh! Dikira perguruan ini milik
nenek moyangnya apa...!" gerutu salah
seorang dari dua pemuda itu, sambil
melengos meninggalkan pemuda pesolek
anak hartawan itu. Tindak-tanduknya
memang kelihatan sombong.
Mendengar gerutu itu, pemuda yang
satunya lagi hanya tertawa saja. Segera
diikuti langkah temannya, yang sudah
berjalan ke arah pos pemeriksaan itu.
Setelah rombongan itu melewati pos
penjagaan pertama, maka mereka kini tiba
pada pos penjagaan kedua. Di pos penjagan
kedua ini dijaga tiga orang murid tingkat
lima. Di sini, para calon murid ditanya
tentang maksud dan tujuan memasuki
Perguruan Gunung Salaka.
"Sahabat, apa tujuanmu memasuki
perguruan kami?" tanya salah seorang
yang menjadi pimpinan di pos kedua ini.
Kali ini yang mendapat giliran adalah
salah seorang dari dua pemuda yang
memberi nasihat kepada pemuda pesolek
yang sombong tadi.
"Paman" jawab pemuda itu sambil
membungkukkan badannya sebagai tanda
hormat. Ia sengaja memanggil paman,
karena melihat penjaga itu berumur
sekitar tiga puluh lima tahun.
"Maksud hamba memasuki Perguruan
Gunung Salaka adalah untuk mempelajari
ilmu silat!" jawabnya jujur.
"Hm, untuk apa kau pelajari ilmu
silat? Bukankah ilmu silat hanya akan
mengundang keributan saja?" tanya
penjaga itu lagi. Kali ini disertai
senyum. Memang, penjaga itu ingin
mengetahui jawaban atau pandangan anak
muda itu tentang ilmu silat
"Paman, menurut pendapat hamba yang
bodoh ini, setiap sesuatu yang kita
pelajari atau kita mitiki tentulah
memiliki sifat baik dan buruk. Dan semua
itu tergantung pada orang itu sendiri.
Apakah orang itu mempergunakan apa yang
dimiliki untuk kebaikan ataukah untuk
kejahatan? Bukan begitu, Paman?" pemuda
itu berhenti sejenak untuk melihat
reaksi penjaga tersebut.
Si penjaga itu mengangguk-angguk
penuh kepuasan. Maka kakinya segera
menyingkir, memberi jalan kepada pemuda
itu meneruskan maksudnya.
Setelah pemuda tadi lulus dengan
baik, ternyata masih ada beberapa orang
pemuda yang berhasil melewati pos
penjagaan kedua itu. Demikian pula si
pemuda pesolek yang sombong tadi.
Sedangkan para pemuda yang mengalami
kegagalan, dipersilakan meninggalkan
Perguruan Gunung Salaka. Mereka yang
gagal berjumlah lima belas orang.
Dengan wajah penuh kekecewaan, lima
belas orang pemuda itu bergegas
meninggalkan Perguruan Gunung Salaka.
Kini barulah mereka merasakan kelelahan
yang sangat pada tubuhnya. Kelelahan
yang semula tertutup semangat berapi-api
tadi, dan baru muncul setelah semangat
itu hancur dilanda kegagalan.
Setelah cukup lama perjalanan dari
Kaki Gunung Salaka, lima belas orang
pemuda tadi menjatuhkan diri di atas
sebuah padang rumput tebal. Layaknya se-
buah permadani hijau terhampar di mulut
sebuah hutan. Mereka segera beristirahat
sambil mengeluarkan bekal yang dibawa di
dalam buntalan pakaian masing-masing.
"Hhh! Tidak kusangka, kalau
demikian sulitnya untuk menjadi murid
perguruan itu!" keluh seorang pemuda
sambil mengunyah makanannya pelahan
lahan. Seolah-olah selera makannya ikut
lenyap tergilas kegagalan yang
dihadapinya.
"Benar! Tidak seperti guru-guru
silat di desa, siapa pun akan diterima
asalkan dapat membayar sejumlah uang
yang cukup!" jawab pemuda lain dengan
suara pelahan. Seakan-akan berkata
untuk dirinya sendiri.
"Tentu saja. Sebab kata orang,
Perguruan Gunung Salaka itu pusatnya
para pendekar. Bahkan kepandaian mereka
sudah seperti dewa saja. Malah di antara
tokoh-tokohnya ada yang pandai
menghilang!" pemuda lain lagi ikut pula
menimpali.
"Eh! Sampai sedemikian hebatnya!"
seru kedua orang pemuda tadi, yang
diikuti pula oleh para pemuda lainnya.
Para pemuda itu segera menggeser
bokongnya karena merasa tertarik pada
cerita salah satu kawannya itu.
Pemuda tadi jadi semakin
bersemangat, karena empat belas orang
kawannya itu merasa tertarik oleh
ceritanya. Dan untuk sementara, mereka
segera terlupa akan kegagalan dan
kelelahan. Sepertinya lenyap begitu
saja. Tapi belum lagi cerita itu sempat
diteruskan, tiba-tiba terdengar suara
tawa yang berkumandang di sekitar tempat
itu.
"Ha ha ha...! Mana ada manusia yang
mampu menghilang, anak-anak tolol! Coba
katakan padaku, siapa yang sudah pernah
melihat manusia yang dapat menghilang!
Ayo, jawab!" belum lagi gema tawa itu
lenyap, orang yang bersuara itu
tiba-tiba sudah berdiri di hadapan
mereka.
Kelima belas orang pemuda itu
tersentak bagai disengat kalajengking!
Wajah mereka mendadak pucat karena rasa
kaget yang luar biasa.
"Ssseeettt... tttaaannn...!"
teriak beberapa orang pemuda dengan
tubuh gemetar. Mereka serentak saling
berangkulan satu sama lain Orang yang
baru datang itu benar-benar disangka
dedemit. Sebab bagaimana mungkin orang
itu tiba-tiba muncul dihadapan mereka,
tanpa diketahui dari mana dan kapan
datangnya
Sementara, beberapa orang pemuda
lain yang telah memiliki pengetahuan
cukup, mulai menduga bahwa orang itu
pasti memiliki kesaktian dan kepandaian
tinggi. Mereka yang lebih mempunyai
keberanian dan pengalaman itu, segera
saja dapat menguasai hati dan
perasaannya.
"Ha ha ha! Hanya sedemikianlah
keberanian orang-orang yang ingin
berguru ke Gunung Salaka? Benar-benar
memalukan! Pantas kalau kalian tidak
diterima manusia-manusia sombong itu!"
seru orang itu lagi. Nadanya benar-benar
menghina.
Mendengar hinaan itu, lima orang
pemuda yang telah dapat meredakan
kekagetannya itu segera bangkit sambil
mengepal tangan meskipun belum menjadi
murid Perguruan Gunung Salaka, namun
mereka tidak terima dihina orang itu.
"Kisanak yang gagah!" ujar salah
seorang dari lima pemuda itu, tanpa
meninggalkan kesopanannya. "Mengapa
Tuan menghina kami? Bukankah kita tidak
saling mengenal? Biarpun kami gagal,
tapi kami tidak ingin dihina seperti
itu."
"Hm," orang yang bertubuh tinggi
besar dan bercambang bewok itu mendengus
kasar. Namun ada kekaguman atas
perkataan anak muda di hadapannya yang
terdengar sopan tapi mempunyai
ketegasan.
"Siapa yang menghinamu, Anak Muda?
Bukankah aku hanya bertanya? Apakah
pertanyaan itu di anggap menghina?!
Kalaupun aku menghinamu, kau mau apa?"
tantang orang tua itu. Namun kali ini
nada suaranya terdengar lebih halus
meskipun masih mengandung ejekan yang
menyakitkan.
"Hm, Orang Tua! Rupanya kau adalah
orang sombong yang merasa paling pandai,
sehingga tidak ingin mendengar kelebihan
orang lain. Kami berbicara di antara kami
sendiri, lalu apa urusannya denganmu,
Orang Tua? Kami ingin bercerita apa pun,
itu adalah urusan kami! Lantas, mengapa
dirimu yang kelabakan? Seperti
kakek-kakek yang kebakaran jenggot
saja!" jawab pemuda itu lagi semakin
berani, karena sama sekali tidak merasa
bersalah.
"Eh eh eh, semakin berani saja kau
bicara! Tahukah kau, dengan siapa
berhadapan?! Jaga mulutmu, Anak Muda!
Kalau habis kesabaranku, bisa-bisa kau
tidak mempunyai mulut lagi!" ancam orang
tua itu, karena merasa kalah bicara
dengan pemuda yang ternyata pandai
memutarbalikan kata-kata itu.
"Huh! Tentu saja tahu, aku sedang
berhadapan dengan siapa?" jawabnya lagi,
berwajah sungguh-sungguh.
"Eh eh eh. Rupanya kau sudah pula
mengenal diriku, Anak Muda! Coba
sebutkan siapa diriku?! Mungkin nanti
bisa kupertimbangkan, apakah kau akan
kuampuni atau tidak?!" teriak orang tua
itu. Rupanya dia merasa senang karena
namanya sudah dikenal sampai sedemikian
jauh.
"Hm, aku tahu!" jawab anak muda itu
sambil tersenyum geli.
" Engkau adalah kakek buruk, gendut,
dan usil dengan urusan orang!"
Setelah berkata demikian meledaklah
tawa kelima belas orang pemuda itu. Ini
karena mereka dapat membalas hinaan
orang tua itu tadi.
Bukan main terperanjatnya orang tua
itu. Wajahnya yang semula berseri
gembira itu mendadak gelap. Matanya
mencorong tajam berwarna merah seperti
darah! Selama hidup belum pernah dia
mengalami hinaan yang sedemikian itu.
Masalahnya sampai saat ini tak ada
seorang pun yang berani menghina tokoh
sesat macam dirinya yang kejam seperti
iblis. Jangankan menghina, baru
mendengar namanya saja orang pasti lari
pontang-panting!
"Hm! Kalau belum menghirup darah
kalian, belum puas hatiku! Dengarlah
baik-baik! Aku adalah Ganda-uwo Hutan
Jagal! Maka akan kucerai-beraikan tubuh
kalian semua!" ancam orang tua yang
berjuluk Gandaruwo Hutan Jagal itu.
Suaranya begitu parau dan menggeletar
karena amarah yang menggelegak.
Mendengar ancaman itu, mau tidak mau
bulu kuduk lima belas orang pemuda itu
meremang. Sungguh tidak pernah
dibayangkan kalau mereka akan berjumpa
iblis itu di tempat ini. Apalagi lima
orang pemuda yang mengejeknya tadi.
Mereka pernah mendengar kekejaman
Gandaruwo Hutan Jagal yang suka makan
daging manusia. Terutama daging anak
muda yang merupakan kesukaannya.
Kelima belas orang pemuda itu
menggigil hebat. Mereka benar-benar
dilanda ketakutan luar biasa. Kengerian
pun tergambar di wajah masing-masing
Bahkan beberapa di antaranya sampai
terkencing- kencing, karena rasa ngeri
yang mencekam.
Kelima belas pemuda itu menggigil
hebat! Mereka benar-benar dilanda
ketakutan luar biasa!
Lalu terdengar teriakan-teriakan
ngeri, ketika Gandaruwo Hutan Jagal
mulai membantai mereka! Dalam waktu
singkat, pemuda-pemuda itu sudah banyak
yang roboh dalam keadaan mengenaskan!
Lalu terdengar teriakan-teriakan
ngeri, ketika Gandaruwo Hutan Jagal itu
mulai membantai mereka. Dalam waktu
singkat, kelima belas orang pemuda itu
tewas dengan keadaan yang sangat
mengerikan. Tubuh-tubuh mereka
cerai-berai, bagai diamuk segerombolan
binatang liar. Darah merah pun
membanjiri rerumputan tebal yang semula
bersih dan menghijau itu.
Setelah puas membunuhi dan memakan
anggota tubuh, dan meminum darah lima
belas orang pemuda, dengan langkah
santai Gandaruwo Hutan Jagal itu segera
meninggalkan tempat itu. Wajah iblis itu
kembali berseri-seri penuh kepuasan.
Angin gunung bertiup lembut
menerobos sela-sela dedaunan
menimbulkan suara gemerisik lembut,
bagai kan senandung alam yang melenakan.
Seolah-olah sang angin ingin
menyampaikan berita duka kepada
orang-orang yang tengah dilanda
kesibukannya masing-masing.
* * *
DUA
Beberapa hari setelah pembantaian
lima belas orang pemuda yang malang itu,
tampak serombongan pemuda yang berjumlah
sepuluh orang bergegas menuruni Lereng
Gunung Salaka. Mereka adalah murid
Perguruan Gunung Salaka yang mendapat
tugas untuk membeli bahan-bahan makanan
untuk keperluan sehari-hari.
Tujuh hari sekali beberapa murid
Perguruan Gunung Salaka turun ke Desa
Cikunir, yang merupakan desa terdekat
dari gunung itu. Kesepuluh orang itu
melakukan perjalanan dengan penuh
kegembiraan. Kadang-kadang diselingi
derai tawa apabila salah seorang
menceritakan hal-hal yang menggelitik
perut.
"He he he! Rupanya Kakang Rupaksa
sudah tidak sabar lagi untuk bertemu si
jantung hati, sehingga tega-teganya
meninggalkan kita!" ledek salah seorang
ketika melihat orang yang dipanggil
Rupaksa itu melangkah mendahuluinya.
Mendengar gurauan itu, yang lain
kontan tertawa geli sambil mempermainkan
bola matanya melirik Rupaksa. Mereka
memang sudah tahu apa yang dimaksud salah
seorang kawannya itu.
"Ah! Kau bisa saja, Adi! Aku hanya
ingin memeriksa keadaan di depan kita
saja!" bantah Rupaksa sambil terpaksa
menghentikan langkahnya masalahnya,
kalau langkahnya diteruskan, pastilah
mereka akan terus menggodanya.
"Hm! Kalau begitu, silakan teruskan
maksud Kakang. Siapa tahu di balik
semak-semak depan sana ada anak gadis
kepala desa yang cantik itu! Ha ha
ha...!" goda orang itu, kemudian tertawa
terbahak-bahak sambil memegangi
perutnya yang terasa sakit.
Demikian pula kedelapan orang
lainnya. Mereka tidak dapat lagi menahan
geli di hati, yang tergelitik oleh
perkataan kawannya itu. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, meledaklah tawa mereka
sambil terbungkuk-bungkuk memegangi
perut.
Rupaksa yang kali ini menjadi bahan
godaan kawan-kawannya, hanya dapat
berdiri sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya tanpa mampu berkata-kata.
Wajahnya sebentar pucat sebentar merah,
karena jengah dan malu. Namun meskipun
demikian, Rupaksa sama sekali tidak
merasa tersinggung. Memang, hal seperti
itu sudah biasa bagi mereka. Lagipula, ia
tidak ingin merusak suasana yang
menggembirakan itu, hanya karena masalah
sepele.
"Hm. Tapi kali ini aku
sungguh-sungguh, Adi. Entah mengapa,
sejak berangkat tadi, hatiku selalu
was-was. Dan hal ini tidak pernah kualami
sebelumnya," ujar Rupaksa
sungguh-sungguh, ketika tawa kawan
kawannya mulai mereda.
Melihat wajah dan suara yang
sungguh-sungguh itu, tawa kesembilan
orang kawannya itu pun berhenti
seketika. Untuk beberapa saat lamanya,
mereka hanya saling pandangan dengan
wajah bingung. Seolah-olah saling
meminta pendapat masing-masing, apakah
akan melanjutkan godaan itu atau tidak.
"Hm..., maksud Kakang, bagaimana?"
tanya salah seorang ragu-ragu.
"Entahlah Adi? Sebaiknya
tingkatkanlah kewaspadaan kita! Yahhh,
mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa,"
desah Rupaksa penuh harap.
Maka kesepuluh orang murid
Perguruan Gunung Salaka itu kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini tidak
lagi terdengar gelak tawa atau senda
gurau. Memang, mereka sudah mulai
terpengaruh perkataan Rupaksa tadi.
"Uuufff, bau apa ini?" teriak salah
seorang ketika mereka melewati sebuah
hutan yang cukup jauh dari Kaki Gunung
Salaka. Orang itu mengendus-enduskan
hidungnya, seolah-olah ingin memastikan
bau yang tercium itu.
"Eh! Seperti bau bangkai! Mungkin
bangkai binatang hutan yang mulai
mengering!" teriak yang lain sambil
menutup hidung.
Lain halnya Rupaksa. Saat
teman-temannya mulai ribut, ia hanya
termenung sambil mengernyitkan dahinya.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya,
segera dilepaskan sabuk merah yang
melilit pinggangnya.
"Kalian tetaplah di sini, aku akan
memeriksa sebentar!" perintah Rupaksa
sambil mengikatkan sabuk pada wajah
untuk menutupi hidungnya. Dan dengan
langkah pelahan-lahan, mulai dimasuki
mulut hutan itu.
"Aku ikut, Kakang...!" teriak dua
orang kawannya yang segera mengikuti
langkah Rupaksa memasuki hutan. Mereka
juga ikut melepaskan sabuk masing-masing
untuk menutupi hidungnya, akibat bau
yang menyengat.
"Hei, hati-hati!" teriak yang
lainnya, memperingatkan.
Dengan penuh kewaspadaan, ketiga
orang itu mulai memasuki hutan yang
menjadi sumber bau sehingga mengusik
hidung. Tentu saja hal itu tidak terlalu
sulit. Dengan semakin santernya bau
busuk itu, berarti semakin dekat pula ke
arah sumbernya. Selang beberapa waktu
kemudian, Rupaksa dan kedua orang
kawannya mulai mendekati tempat lima
belas orang pemuda yang dibantai secara
mengerikan!
"Aaahhh...!" kenguh ketiga murid
Perguruan Gunung Salaka itu, tertahan.
Mata mereka membelalak dengan wajah
pucat. Apa yang disaksikan ini,
benar-benar membuat hati terguncang! Di
hadapan mereka kini terbentang sebuah
pemandangan yang dapat membuat hati
siapa saja akan menggigil ketakutan,
karena rasa ngeri yang hebat! Memang,
yang disaksikan mereka adalah belasan
mayat yang sudah tidak mungkin dapat
dikenali. Tubuh belasan mayat itu sudah
mulai mengering, dan tidak satu pun yang
anggota tubuhnya masih lengkap. Ada
sosok mayat yang tanpa kepala. Ada pula
yang tanpa kaki. Bahkan ada yang isi
perutnya berhamburan!
Rupaksa dan kedua orang kawannya
segera berlari meninggalkan tempat itu,
dengan langkah terhuyung-huyung. Mereka
tidak sanggup lagi menahan rasa mual yang
tiba-tiba menyerang. Seluruh tubuh
mereka kini dibanjiri keringat dingin.
Dan begitu tiba di tempat
kawan-kawannya, tubuh ketiga orang itu
ambruk bagai sehelai karung basah.
Dengan cepat mereka segera melepaskan
sabuk yang menutupi mulut dan hidungnya.
"Huaaakkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tiga orang
itu langsung muntah-muntah. Rasanya
seluruh isi perut ingin dikeluarkan saat
itu. Setelah tidak ada lagi yang
dimuntahkan, ketiga orang itu masih
belum dapat berkata-kata. Tubuh mereka
lemas seolah-olah tenaga ikut pula
tersedot.
"Ada apa, Kakang? Apa yang sudah
terjadi?" tanya kawan-kawannya, cemas.
Memang mereka tidak tahu apa yang telah
dialami tiga kawannya itu. Mereka memang
tidak sempat bertanya sebab begitu tiba
ketiganya langsung ambruk dan
muntah-muntah hebat. Sehingga, ketujuh
orang kawannya itu hanya dapat
memandang, disertai wajah bingung.
Mereka segera membantu mengurut-urut
tubuh ketiganya, agar pernapasannya
lebih longgar.
Selang beberapa waktu kemudian,
Rupaksa dan dua orang lainnya sudah mulai
pulih kembali lagi. Wajah ketiganya
tampak sudah segar seperti semula.
Ketiganya pun segera melangkah
menghampiri tujuh orang kawannya yang
sudah pula berdiri menyambutnya.
"Ayolah, Kakang. Kami sudah tidak
sabar mendengar ceritamu," pinta salah
seorang kawannya, ketika mereka sudah
duduk di atas bebatuan.
"Baiklah. Akan kuceritakan kepada
kalian, apa yang telah kami temukan dalam
hutan itu," jawab Rupaksa kalem.
Rupaksa pun mulai menceritakan
semua yang disaksikan di dalam hutan itu.
Ketujuh orang temannya itu berkali-kali
berseru kaget bercampur ngeri. Sama
sekali tidak disangka kalau bau busuk itu
berasal dari mayat-mayat manusia yang
hampir mengering. Sungguh di iuar dugaan
sama sekali.
"Meriurut cerita Kakang, mayat itu
berjumlah belasan banyaknya. Aku jadi
curiga, jangan-jangan...," orang itu
tidak meneruskan ucapannya. Hal ini
memang dapat berakibat buruk bagi
Perguruan Gunung Salaka, maka segera
dibuang jauh-jauh pikiran yang
bukan-bukan itu.
"Hm, mengapa tidak kau teruskan
ucapanmu, Adi? Katakanlah apa yang
menjadi dugaanmu. Nanti baru kita teliti
benar tidaknya," ujar Rupaksa penasaran.
"Benar! Katakanlah apa yang menjadi
dugaanmu. Siapa tahu misteri pembunuhan
itu dapat disingkap," bujuk kawan yang
lain, ikut menimpali.
"Sebenarnya aku takut tentang
dugaanku itu. Sebab hal ini akan besar
sekali pengaruhnya bagi nama besar
perguruan kita. Maka sebaiknya, kubuang
jauh-jauh pikiran itu," bantah orang itu
cemas.
"Jadi, kejadian itu bisa
berpengaruh pada perguruan kita? Gila!"
ujar kawannya yang lain.
"Nanti dulu, nanti dulu! Mmm...,
belasan orang yang terbunuh dan mayatnya
sudah hampir mengering. Jadi paling
sedikitnya sudah dua atau tiga hari
terbunuh. Dan hari kejadian pembunuhan
ini, paling tidak berbarengan dengan
hari penerimaan murid-murid baru.
Aaahhh..., benarkah dugaanku?" ujar
Rupaksa. Wajahnya terlihat agak pucat.
"Kalau memang demikian, berarti
malapetaka akan menimpa perguruan kita!"
"Benar! itulah yang kutakutkan,
Kakang!" ujar kawannya, yang memang
berpikir demikian.
"Kalau begitu, kita harus bertindak
cepat! Kalian bertujuh, tetaplah pada
tugas semula. Sedangkan aku dan dua orang
teman lainnya akan kembali keperguruan
untuk melaporkan kepada Guru. Biar
bagaimana-pun, pembunuhan itu terjadi di
wilayah kita. Maka sudah merupakan
kewajiban kita untuk menyelidikinya,"
usul Rupaksa.
"Baiklah, kalau memang sudah
menjadi keputusanmu, Kakang!" jawab
mereka, segera menyetujui usul itu.
Maka murid-murid Perguruan Gunung
Salaka itu pun berpisah. Rupaksa dan dua
orang lainnya bergegas kembali
keperguruan, sedang tujuh orang lainnya
segera meneruskan perjalanannya.
Sementara itu Rupaksa mengerahkan ilmu
meringankan tubuh untuk mempercepat
perjalanan, diikuti dua orang kawannya.
Kihi Rupaksa dan dua orang kawannya
tiba di Puncak Gunung Salaka. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, mereka
memasuki bangsal utama perguruan itu
untuk menghadap guru besar mereka.
"Hei, berhenti dulu! Mau ke mana,
kalian?" tegur seorang murid yang sedang
mendapat tugas membersihkan bangsal
utama itu.
"Kami ingin menghadap Guru. Ada
sesuatu yang ingin dilaporkan!" jawab
Rupaksa. Suaranya dibuat hormat karena
yang menyapa mempunyai tingkatan yang
lebih tinggi daripadanya.
"Hm, penting sekalikah kabar itu?
Tidak dapatkah ditunda hingga nanti
sore, Adi Rupaksa?" tanya orang itu mulai
ragu.
"Tidak bisa, Kakang! Ini menyangkut
nama besar perguruan kita. Dan kalau Guru
Besar marah, biarlah akan kutanggung
akibatnya!" ujar Rupaksa. Suaranya
begitu tegas.
"Ah! Bukan begitu maksudku. Adi
Rupaksa! Kalau begitu masuklah. Biarlah
resikonya kita tanggung bersama-sama."
Maka keempat orang itu segera
melangkah menuju bangsal utama yang
dijadikan tempat pertemuan. Letaknya di
tengah-tengah bangunan besar Perguruan
Gunung Salaka. Rupaksa dan dua orang
temannya segera memasukinya. Sedangkan
orang yang mengantar sudah kembali
meneruskan pekerjaannya yang tertunda
karena kedatangan mereka.
***
"Ampun, Guru! Kami bertiga datang
menghadap," ucap Rupaksa dan dua
temannya sambil berlutut. Kepala mereka
tertunduk, seperti tak berani menatap
sorot mata tajam Ki Sukma Kelana wakil
guru besar mereka.
"Hm.... Bangkitlah, kalian. Kabar
apakah yang kau bawa Rupaksa?" tanya Ki
Sukma Kelana dengan suara dalam.
"Ampun, Guru! Kami membawa berita
buruk, dan mohon petunjuk!" tutur
Rupaksa penuh hormat. Kemudian dengan
dibantu dua orang temannya, Rupaksa
segera menceritakan apa yang telah
ditemukannya di dalam hutan di dekat Kaki
Gunung Salaka.
"Kurang ajar! Siapa orangnya yang
berani melakukan perbuatan biadab itu?!"
Hm. Segera harus diselidiki, Kakang!
Kalau tidak, mereka tentu akan semakin
kurang ajar kepada kita!" ujar Ki Surya
kencana dengan wajah merah padam.
Laki-laki setengah baya ini memang wakil
Ki Sukma Kelana. Bahkan dulu juga sebagai
adik seperguruan Guru Besar Perguruan
Gunung Salaka itu.
"Sabarlah, Adi. Kita toh belum
mengetahui pasti, apakah pembunuhan itu
dilakukan manusia atau binatang buas.
Sedangkan menurut laporan Rupaksa,
keadaan mayat-mayat itu bagai diamuk
binatang buas dan ganas. Dan sebelum
mengetahui secara jelas, kita tidak bisa
asal tuduh saja. Jika hal itu akan
menjadi persoalan baru bagi kita, maka
sebaiknya harus diperiksa dulu
kebenarannya. Setelah itu baru dicari
keterangan penyebab kematian
orang-orang itu," ujar Ketua Perguruan
Gunung Salaka, Ki Sukma Kelana panjang
lebar.
"Tapi, Kakang! Kita tidak boleh
mendiamkan saja! Aku yakin, perbuatan
itu pasti dilakukan oleh orang-orang
yang tidak senang dengan kemajuan dan
nama besar Perguruan Gunung Salaka.
Jadi, biar bagaimanapun kita harus
segera bertindak! Agar mereka tahu bahwa
perguruan kita tidak dapat dibuat
main-main!" tegas Ki Surya Kencana yang
benar-benar merasa terpukul akan
kejadian itu. Jelas itu merupakan sebuah
tamparan pada wajah mereka, karena
terjadi masih di sekitar daerah
perguruan itu.
"Benar. Tapi aku akan mengutus
beberapa orang murid-murid tingkat empat
untuk mencari tahu penyebab kematian
orang-orang itu. Kemudian, baru
dipikirkan langkah selanjutnya!" ujar Ki
Sukma Kelana memberi keputusan.
"Tidak perlu, Kakang! Biar aku
sendiri yang akan menyelidikinya!"
sergah Ki Surya Kencana yang sudah
bangkit dari duduknya.
"Maafkan aku, Kakahg! Tapi
percayalah! Aku akan bertindak sesuai
dengan perintahmu, dan aku akan berusaha
untuk tidak membuat persoalan baru. Aku
pamit dulu, Kakang!"
Setelah berkata demikian, Ki Surya
Kencana membungkuk hormat kepada Ki
Sukma Kelana yang juga kakak
seperguruannya itu. Dengan langkah lebar
laki-laki setengah baya itu segera
meninggalkan tempat bangsal utama.
Tidak lama setelah kepergian wakil
ketua Perguruan Gunung Salaka itu pergi,
Rupaksa dan kedua orang murid lainnya
juga segera mohon diri. Ki Sukma Kelana
hanya mengangguk saja.
"Hmm, Tunggu!" cegah Ki Sukma Kelana
ketika tiga muridnya itu akan melangkah.
" Ada apa Guru?"
"Kupesankan kepada kalian bertiga
agar tak menceritakan kepada siapa pun.
Dan sampaikan pesanku ini kepada rujuh
orang murid lainnya," jelas Ki Sukma
Kelana.
"Baik, Guru. Kami akan melaksanakan
perintah Guru sebaik-baiknya," jawab
ketiganya serempak. Setelah memberi
hormat mereka segera beranjak
meninggalkan tempat itu.
***
Hari baru menjelang siang, ketika
sesosok tubuh berlumuran darah melangkah
terseok-seok menaiki Lereng Gunung
Salaka. Pakaian yang dikenakan sobek di
sana-sini, akibat sayatan senjata tajam
yang juga melukai kulit dan dagingnya.
Rasanya hanya karena semangat baja saja
yang membuatnya mampu bertahan hidup
sampai saat itu.
Duggg! Duggg! Brukkk...!
Setelah menggedor pintu gerbang di
hadapannya beberapa kali, orang itu pun
ambruk. Kedua kakinya sudah tidak mampu
lagi berdiri, dan merintih lirih.
Dirasakan sakit pada luka-lukanya yang
diderita.
Dua orang murid Perguruan Gunung
Salaka yang bertugas menjaga pintu
gerbang bergegas membukanya, ketika
mendengar gedoran yang cukup keras tadi.
Dan alangkah terkejutnya mereka
mendapati sesosok tubuh yang berlumur
darah tergeletak tak berdaya di depan
pintu gerbang perguruan. Bergegas
keduanya menghampiri dan membalikkan
tubuh yang tertelungkup itu.
"Hei! Bukankah dia salah satu kawan
kita yang bertugas memberi bahan makanan
ke Desa Cikunir? Kemana yang lainnya? Apa
yang terjadi pada mereka?!" seru salah
seorang penjaga itu. Wajahnya diliputi
ketegangan.
"Sudahlah, jangan banyak tanya
dulu! Cepat laporkan hal ini kepada Guru
Besar! Lihatlah! Luka-lukanya parah
sekali. Mungkin ia tidak bisa bertahan
terialu lama. Cepat, beritahukan kepada
Guru Besar!" teriak penjaga yang satunya
lagi. Hatinya juga diliputi kecemasan.
Dia memang merasa khawatir kalau-kalau
orang itu sudah tewas, sebelum sempat
menceritakan kejadian yang dialaminya.
Bagai dikejar setan, salah seorang
dari dua penjaga itu melesat
meninggalkan tempat itu menuju bangsal
utama perguruan. Tentu saja kelakuannya
yang di luar kebiasaan itu, mengundang
perhatian murid-murid lainnya. Hal ini
memang menjadikan mereka bingung, dan
hatinya diliputi keheranan.
"Hei, berhenti! Ada apa ini?!
Mengapa berlari bagai di kejar setan? Apa
yang telah terjadi?! Cepal katakan!"
seru seorang murid tingkat empat
tiba-tiba sambil menghadang perjalanan
penjaga itu.
"Kakang, di depan pintu gerbang ada
salah seorang murid yang terluka parah.
Dan aku tidak tahu kenapa. Aku harus
cepat-cepat melaporkan hal ini kepada
Guru Besar! orang itu sepertinya sudah
tidak dapat bertahan lebih lama lagi!"
lapor penjaga itu dengan napas
tersengal-sengal.
"Baiklah kalau begitu. Cepat kau
menghadap Guru. Aku akan memeriksanya
teriebih dulu."
Setelah berkata demikian, orang
yang dipanggil kakang itu berkelebat
menuju pintu gerbang. Gerakannya cepat
sekali, seolah-olah kedua kakinya tidak
menyentuh permukaan tanah. Dan dalam
waktu singkat saja dia telah tiba di
tempat sosok tubuh yang membujur tak
berdaya.
"Ayo, semua ke pinggir! Jangan
merubung seperti itu," teriak murid
tingkat empat itu ketika melihat di depan
pintu gerbang telah dipenuhi murid yang
berdesak-desakkan ingin menyaksikan
kejadian itu.
Mendengar suara teriakan keras,
murid yang berdiri bergerombol seketika
buyar untuk memberi jalan kepada salah
seorang kakak seperguruan mereka yang
baru tiba itu. Namun mereka hanya
bergeser sedikit, tanpa berniat
meninggalkan tempat. Tentu saja hal ini
membuat tokoh tingkat empat yang baru
datang tadi menjadi berang.
"Hei! Ayo, semuanya kembali ke
tempat masing-masing! Atau kalian ingin
dihukum, hah!"
"Ampun, Kakang...!" seru
murid-murid perguruan itu. Yang kemudian
bergegas meninggalkan tempat tanpa
menoleh lagi.
Tanpa buang-buang waktu lagi tokoh
tingkat empat Perguruan Gunung Salaka
itu segera memeriksa keadaan murid yang
terluka parah tadi. Hatinya menjadi
terkejut, ketika mendapati luka-luka
akibat pukulan-pukulan yang cukup kuat.
Apalagi ditambah sayatan senjata tajam
yang memenuh seluruh tubuh adik
seperguruannya itu. Cepat-cepat
dilakukan totokkan di beberapa bagian
tubuh yang penuh luka, ketika mendengar
suara mengorok dari kerongkongan tubuh
yang tergeletak itu. Pertanda bahwa
nyawanya akan meninggalkan raga.
"Hkkkhhh... huaaakkk...!" segumpal
darah kental yang menyumbat
kerongkongannya terlompat keluar ketika
beberapa bagian tubuhnya ditotok kakak
seperguruannya. Dan beberapa saat
kemudian, orang itu pun membuka kedua
matanya pelahan-lahan.
"Cepat, katakan. Siapa yang
melakukan perbuatan keji ini?" tanya
tokoh itu dengan suara tegang.
"Algojooo.... Ghununghhh....
Sutraaa... akkkhhrrr...!" setelah
berkata susah payah, orang itu pun
menghembuskan napasnya yang terakhir di
atas pangkuan salah seorang kakak
seperguruannya.
"Gunung Sutra!" gumam tokoh tingkat
empat itu sambil memandang salah satu
penjaga pintu gerbang yang juga ikut
mendengar perkataan terakhir kawannya.
"Kakang, bukankah Perguruan Gunung
Sutra adalah sebuah perguruan yang besar
dan terhormat. Mengapa mereka begitu
tega melakukan pembunuhan sekejam ini
kepada perguruan kita?" tanva penjaga
pintu gerbang itu heran.
"Entahlah! Rasanya mustahil kalau
perbuatan ini dilakukan perguruan itu.
Tapi ucapan orang yang sekarat, tidak
mungkin bohong! Ahhh! Sebaiknya, hal ini
harus dilaporkan dulu kepada Guru Besar.
Biarlah Guru yang memutuskannya nanti!"
"Apa yang harus kuputuskan,
Santiaji?" tiba-tiba terdengar suara
yang berat dan berwibawa. Dan sebelum
gema suara itu hilang, di samping mereka
telah berdiri Guru Besar mereka, ki Sukma
Kelana.
"Guru!" seru keduanya sambil
berlutut di hadapan guru besar mereka.
"Hm, bangkitlah kalian. Ceritakan,
apa yang sudah terjadi?" tanya Ki Sukma
Kelana kepada tokoh tingkat empat yang
ternyata bernama Santiaji. Hanya dengan
sekilas pandang saja, guru besar
Perguruan Gunung Salaka itu sudah
mengetahui bahwa murid yang diceritakan
penjaga tadi sudah tidak bernyawa lagi.
"Ampun, Guru. Kami pun tidak tahu
pasti kejadiannya, Dan mayat ini adalah
salah seorang dari tujuh murid perguruan
yang bertugas membeli bahan-bahan
keperluan di Desa Cikunir. Dia kembali
seorang diri dalam keadaan terluka
parah. Sedangkan yang enam murid
lainnya, sampai saat ini belum kembali,
Guru!" lapor Santiaji dengan panjang
lebar.
"Lalu, apakah pada saat-saat
terakhirnya, dia tidak mengatakan
apa-apa? tanya Ki Sukma Kelana lagi
sambil menunjuk mayat muridnya itu.
"Ada, Guru. Dia memang mengatakan
sesuatu. Tapi...," Santiaji tidak berani
meneruskan ucapannya.
"Tapi apa, Santiaji?" tanya Ki Sukma
Kelana, heran.
"Em, anu, Guru! la... ia mengatakan,
semua... semua itu adalah perbuatan
Perguruan Gunung Sutra, Guru!" jelas
Santiaji kemudian menunduk hormat.
"Hm. Benarkah yang kudengar ini,
Santiaji?" tanya Ki Sukma Kelana dengan
wajah gelap.
"Apakah mungkin mereka melakukan
perbuatan sekejam ini kepada kita?!"
"Benar, Guru! Memang demikianlah
yang dikatakannya. Aku pun ikut
mendengarkan, Guru!" jawab penjaga pintu
gerbang yang tadi ikut mendengarkan
bersama Santiaji.
"Hhh...," Ki Sukma Kelana hanya
menarik napas panjang, setelah mendengar
pernyataan yang menguatkan laporan
Santiaji itu.
"Sudahlah. Sekarang urus mayat itu
baik-baik. Dan jangan menceritakan
kejadian ini kepada siapa pun. Santiaji,
kau ikut aku!"
Setelah berkata demikian, Ki Sukma
Kelana segera meninggalkan tempat itu.
"Baik, Guru!" ujar Santiaji, yang
segera melangkah mengikuti Pimpinan
Perguruan Gunung Salaka itu.
Sepeninggal tokoh-tokoh perguruan
itu, beberapa orang murid yang berada tak
jauh dari tempat kejadian segera
dipanggil oleh penjaga pintu gerbang
uniuk menjalankan perintah guru besar
mereka.
***
TIGA
Hari masih sangat pagi, ketika lima
orang murid yang bertugas mengambil air
di Lereng Gunung Salaka itu menemukan
beberapa manusia yang telah menjadi
mayat! Mayat-mayat itu seolah-olah
sengaja di letakkan di pinggir sungai
tempat biasanya mengambil air. Setelah
meneliti mayat yang ternyata berjumlah
enam orang itu, kelima orang murid
Perguruan Gunung Salaka tersentak mundur
diiringi wajah pucat. Memang, mereka
kenal betul, bahwa mayat-mayat itu tidak
lain adalah kawan seperguruan mereka
sendiri.
"Kalian berdua cepat naik ke atas.
Laporkan hal ini kepada Guru Besar.
Cepat...!" perintah salah seorang dari
mereka. Dua orang yang mendapat perintah
itu, yang semula hanya berdiri terpaku
tanpa sanggup mengeluarkan suara.
Akhirnya dapat pula bersuara.
"Baiklah. Kami akan segera kembali
secepatnya!" jawab salah seorang setelah
tersadar. Dan tanpa di perintah dua kali,
kedua orang itu segera melesat
meninggalkan tiga orang kawannya yang
menunggu di tempat itu. Karena jaraknya
tidak terlalu jauh, maka tidak lama
kemudian dua orang itu sudah kembali
disertai dua orang tokoh tingkat empat
yang salah seorang di antaranya adalah
Santiaji.
"Kakang, apa yang terjadi terhadap
mereka?" tanya salah seorang yang tadi
menunggui mayat-mayat itu. Di wajahnya
tergambar kegelisahan dan kemarahan.
"Entahlah. Aku tidak tahu, siapa
yang telah membunuh mereka? Dan apa
maksudnya meletakkan mayat-mayat itu di
sini!" jawab Santiaji yang masih ingin
menyembunyikan persoalan yang sedang
dihadapi Perguruan Gunung Salaka.
'’Tapi, kesalahan apa yang telah
mereka perbuat, Kakang? Bukankah mereka
adalah murid-murid yang ditugaskan untuk
membeli bahan-bahan makanan ke desa
terdekat?" tanya yang lainnya mendesak.
Memang mereka merasa tidak puas atas
jawaban Santiaji tadi.
"Ahhh, sudahlah! Lebih baik,
sekarang bawa mayat-mayat itu ke atas,
agar Guru Besar dapat memeriksanya! Ayo,
cepat!" perintah Santiaji yang mencoba
mengelak dari pertanyaan adik
seperguruannya itu.
Tanpa membantah lagi, lima murid
tadi dengan dibantu oleh beberapa
kawannya segera mematuhi perintah kakak
seperguruannya itu. Karena mayat-mayat
itu masih baru, jadi mereka tidak merasa
jijik untuk membawanya.
Ki Sukma Kelana termenung di hadapan
tujuh mayat muridnya itu, di halaman
Perguruan Gunung Salaka. Wajah orang tua
yang biasanya selalu tenang, kini
menjadi muram. Kemarahan mulai terbayang
diwajah tuanya. Rupanya kali ini hatinya
benar-benar terpukul atas kematian
murid-muridnya itu. Namun meskipun
demikian, Ki Sukma Kelana masih berusaha
untuk tidak menunjukkan kemarahannya.
Hanya, di matanya sekilas terlihat
kilatan cahaya kemerahan yang membuat
hati orang-orang yang memandangnya
tergetar.
Namun, tidak demikian sikap yang
ditujukkan Ki Surya Kencana. Orang kedua
dari Gunung Salaka itu sudah tidak dapat
menyembunyikan kemarahannya lagi.
Tubuhnya sampai menggigil karena menahan
amarah yang telah memenuhi rongga
dadanya.
"Heaaattt...!"
Tiba-tiba tubuh Ki Surya Kencana
melesat cepat bagai kilat ke arah sebuah
pohon besar yang berjarak sekitar lima
batang tombak darinya. Tangan kanannya
berkelebat cepat ke arah batang pohon
besar itu. Dan....
Kraaakkk.... Gusraaakkk...!
Pohon sebesar badan kerbau itu
kontan patah, kemudian tumbang dengan
menimbulkan suara bergemuruh. Hebat
sekali tenaga sakti orang tua itu. Entah
apa jadinya kalau yang menjadi sasaran
telapak tangannya adalah tubuh manusia.
Ngeri rasanya untuk membayangkannya.
Para murid Perguruan Gunung Salaka
yang menyaksikan kehebatan pukulan Ki
Surya Kencana itu, hanya terbelalak
kagum sambil berdecak. Memang selama
berdiam di Gunung Salaka, baru kali
inilah mereka dapat menyaksikan
kehebatan orang tua itu.
"Maafkan aku, Kakang! Bukan
maksudku untuk memamerkan, kekuatan di
depan murid-murid. Sebab kalau tidak
kutumpahkan kemarahanku, bisa-bisa
kepalaku pecah dibuatnya. Aku
benar-benar tidak sanggup lagi untuk
bersabar, Kakang! Oleh karena itu,
ijinkanlah aku kembali untuk mencari
pembunuh biadab itu!" ujar Ki Surya
Kencana kepada kakak seperguruannya,
penuh harap. Dia memang pernah mencari
sipembunuh, namun hasilnya sia-sia.
Maka, diputuskanlah untuk kembali ke
perguruan. Dan kini, Ki Surya Kencana
masih belum punya bukti-bukti yang
jelas.
Ki Sukma Kelana yang merasa maklum
akan kemarahan adik seperguruannya itu
hanya tersenyum penuh kesabaran. Ia tahu
betul watak adiknya. Meskipun ia tidak
mengijinkan adik seperguruannya itu
pergi, pastilah Ki Surya Kencana akan
pergi secara diam-diam.
"Baiklah, Adi! Kali ini kau
kuijinkan kembali untuk pergi
menyelidikinya. Tapi ingat. Jangan
menurunkan tangan kejam pada sembarang
orang. Kendalikan hawa amarahmu, jangan
sampai membuat persoalan baru lagi!
pesan Ki Sukma Kelana yang akhirnya
terpaksa mengalah kepada adik
seperguruannya itu.
"Terima kasih, Kakang. Aku pergi
dulu," ucap Ki Surya Kencana
bersemangat. Tubuh orang tua sakti itu
berkelebat cepat, seolah-olah pandai
menghilang saja.
"Hati-hati, Adi!" seru Ki Sukma
Kelana memperingatkan. Suaranya
terdengar melengking tinggi karena
didorong tenaga dalam yang kuat. Bahkan
gema suaranya terdengar sampai
sedemikian jauhnya.
"Bagaimana dengan kami, Guru?
Apakah kami harus berdiam diri saja,
melihat keadaan perguruan yang sedang
dalam kemelut itu?" tanya Santiaji yang
merupakan tokoh tingkat empat di
Perguruan Gunung Salaka. Pertanyaan
bernada penuh permohonan.
"Betul, Guru. Berilah kami tugas.
Dan akan kami jalankan sebagai mana yang
diperintahkan!" pinta yang lain lagi.
Tingkatannya dalam perguruan ini sama
dengan Santiaji.
"Baik! Tanpa kalian minta pun
sebenarnya sudah kupersiapkan sebuah
tugas untuk kalian berdua," ujar Ki Sukma
Kelana yang merasa maklum akan perasaan
kedua orang murid kepalanya tersebut
Yang ingin segera mencari biang keladi
dari kemelut yang tengah mereka hadapi.
"Tugas yang akan kuberikan kepada
kalian adalah pergi ke Desa Cikunir. Di
sana tanyakanlah kejadian yang
sebenarnya kepada penduduk setempat. Dan
ingat! Dalam melakukan penyelidikan,
lakukanlah penyamaran. Hal ini agar
tidak mudah dikenali musuh-musuh kita.
Dan juga, kalian harus berangkat pada
malam hari untuk menghindari intaian
musuh! Karena, kita tidak mengetahui
siapa dan di mana musuh-musuh yang
sebenarnya. Kalian mengerti maksudku?"
"Mengerti, Guru!" jawab keduanya
serempak.
"Nah! Kalau begitu, sekarang
uruslah dulu mayat-mayat ini sebagaimana
mestinya. Baru setelah itu, kalian bisa
mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk penyamaran nanti. Nah,
aku pergi dulu!" ujar Ki Sukma Kelana
sambil melangkah meninggalkan tempat
itu.
'’Terima kasih, Guru...!" jawab
keduanya lagi sambil berlutut memberi
hormat, diikuti murid-murid lainnya yang
juga masih di tempat itu.
Sepeninggal Ki Sukma Kelana maka
mulailah mereka mengurus mayat keenam
orang kawan seperguruannya itu.
Sedangkan Santiaji dan teman
setingkatnya bergegas kembali ke kamar
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan dalam melakukan tugas yang
diberikan guru besarnya itu.
* * *
EMPAT
Kehangatan sinar matahari pagi
menyertai langkahnya memasuki
perbatasan sebuah desa. Meskipun usianya
sudah tua, namun langkah kakinya
teriihat ringan dan mantap. Tubuhnya
tegap dan sehat, pertanda orang itu
selalu memperhatikan kesehatan.
Pakaiannya yang terbuat dari kain kasar
berwarna putih itu, disatukan dengan
celana hitam. Maka penampilan orang tua
itu menjadi teriihat sederhana. Siapa
lagi kalau bukan Ki Surya Kencana yang
sedang dalam penyelidikan atas
pembantaian beberapa murid Perguruan
Gunung Salaka.
Ki Surya Kencana juga sengaja
melakukan penyamaran agar kehadirannya
dalam dunia persilatan tidak mudah
dikenali orang. Sudah hampir seminggu
melakukan penyelidikan, namun yang
ditempuh masih tetap gelap. Sama sekali
belum ditemukan tanda-tanda tentang si
pembunuh sedikit pun. Tapi berkat
semangatnya yang tinggi, Ki Surya
Kencana tetap meneruskan pencarian.
Orang kedua di Perguruan Gunung
Salaka itu melangkahkan kakinya menuju
sebuah kedai makan yang terletak di tepi
jalan utama desa itu. Hatinya merasa lega
ketika di dalam kedai makan tidak terlalu
banyak pengunjung. Dihampirinya sebuah
meja yang terletak dekat jendela. Dengan
demikian dia dapat memandang bebas
keluar. Ki Surya Kencana menggerakkan
tangannya memanggil pelayan, dan memesan
beberapa jenis makanan dan minuman,
Tidak lama, pelayan yang dipanggil
kembali kemejanya dengan membawa
beberapa makanan dan minuman. Kemudian
segera disantap makanannya dengan
pelahan. Di dalam kedai, ada juga
beberapa orang juga tengah menyantap
makanan. Semula tidak dipedulikan sama
sekali obrolan orang-orang yang sedang
mengisi perut itu. Tapi, mendadak
wajahnya berubah ketika mendengar cerita
dua orang yang berada di seberang
mejanya.
"Bayangkan! Siapa yang tidak
gemetar bila melihat sesosok mayat yang
keadaannya sangat mengerikan itu! Entah
binatang buas jenis apa yang begitu ganas
menyiksanya. Sampai-sampai anggota
tubuhnya terpisah-pisah! Hiii!
Mengerikan sekali!" tutur salah seorang.
Tentu saja hal ini sangat menarik
perhatian Ki Surya Kencana.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
segera ditinggalkan mejanya untuk
menghampiri meja dua orang yang tengah
bercerita. Dengan langkah yang
dibuat-buat, segera didekati dua orang
itu.
"Selamat pagi, Kisanak," sapa Ki
Surya Kencana, sambil menganggukkan
kepalanya. "Aku tertarik dengan ceritamu
tadi. Hm, bolehkah aku ikut
mendengarkannya?"
"Selamat pagi! Silakan...,
silakan!" jawab kedua orang itu, dengan
senyum ramah.
"Ceritamu tadi sungguh menarik,
Kisanak Mmm, dimanakah engkau melihat
mayat yang sedemikian mengerikan itu?"
tanya Ki Surya Kencana penuh minat
Wajahnya begitu bersungguh-sungguh.
Sebagaimana sifat manusia pada
umumnya, kedua orang itu pun senang jika
ceritanya menarik perhatian orang lain.
Dan dengan suara yang dibuat-buat, orang
itu lalu menceritakan pengalamannya
kepada Ki Surya Kencana. Laki-laki
setengah baya itu mendengarkan dengan
wajah berseri-seri.
"Karena kami berdua adalah pedagang
keliling, maka banyak mengetahui atau
menemukan peristiwa yang sedang terjadi
saat ini," jelas orang itu penuh
kebanggaan.
"Jadi, pembunuh seperti itu sedang
mewabah di sekitar sini?" tanya Ki Surya
Kencana lagi, meminta kepastian.
"Benar! Bahkan dua hari yang lalu,
di Desa Karang Gempal ini seorang pemuda
berumur empat belas tahun lenyap tanpa
jejak. Dan pada keesokan paginya,
seorang pencari kayu menemukan sesosok
mayat yang masih baru. Namun tubuh si
mayat sudah hampir tak berdaging.
Rupanya binatang itu merasa kekenyangan
sehingga tidak menghabiskan santapannya
itu," tutur orang itu wajahnya
menggambarkan kengerian yang amat
sangat.
"Wah, sungguh berbahaya kalau
begitu," desah Ki Surya Kencana yang juga
memasang wajah kengerian, agar tidak
menimbulkan kecurigaan.
"Ha ha ha...! Jangan takut, Kisanak
hewan itu hanya memilih daging-daging
yang masih segar saja, jadi tidak perlu
khawatir," hibur keduanya. Hati mereka
merasa geli melihat wajah orang tua itu
yang mendadak pucat
"Ah, syukuriah kalau begitu.
Sekarang lebih baik aku pergi saja.
Sungguh aku menjadi semakin ngeri
mendengar ceritamu, Kisanak. Mari," ujar
Ki Surya Kencana meminta diri.
Setelah membayar harga makanan
serta minumannya teriebih dahulu, orang
tua itu pun bergegas meninggalkan kedai
makan. Kepergiannya diiringi gelak tawa
dua orang pedagang keliling tadi.
Sesampainya di luar kedai, Ki Surya
Kencana segera berkelebat menuju keluar
Desa Karang Gempal. Dia berminat
memeriksa ke sekeliling perbatasan desa
itu. Siapa tahu di sana dapat menemukan
sedikit pe-tunjuk, atau pun tanda-tanda
yang akan membawanya kepada pembunuh
biadab itu.
Setelah cukup lama berkeliling,
tiba-tiba telinganya mendengar sebuah
suara yang mencurigakan. Ki Surya
Kencana semakin mempertajam indra
pende-ngarannya, untuk memastikan arah
suara yang mencurigakan itu. Beberapa
saat kemudian, orang tua itu menarik
napas kecewa. Ternyata yang didengarnya
adalah suara langkah kaki manusia yang
terdengar lambat dan berat.
"He he he...! Rupanya cacing-cacing
di dalam perutku sudah mulai kelaparan
lagi," terdengar suara orang berbicara.
Tiba-tiba muncul sosok tubuh tinggi
besar dan bercambang bauk. Dielus-elus
perutnya yang gendut, sambil bergumam
sendirian. Entah mengapa tahu-tahu saja
orang itu meludah kekiri-kekanan dengan
cuping hidungnya bergerak-gerak
seolah-olah mengendus sesuatu.
"Huh! Bau daging alot! Bau daging
alot!" teriak sosok tubuh itu
berkali-kali.
Ki Surya Kencana yang bersembunyi di
balik semak-semak merasa terkejut sekali
mendengar umpatan orang tinggi besar,
"Gila! Manusia ini tajam sekali
penciumannya. Seperti binatang pemakan
daging saja layaknya," pikir Ki Surya
Kencana.
"Hei! Keluar kau, kakek peot! Baumu
memualkan perut, tahu!" teriak orang
tinggi besar itu. Suaranya begitu serak
menakutkan.
Ki Surya Kencana merasa panas
perutnya mendengar sumpah yang
dilontarkan orang yang berwajah
menyeramkan itu. Dengan langkah bagaikan
orang lemah, Ki Surya Kencana segera
keluar dari tempat persembunyian. Ia
sengaja berbuat demikian agar reaksi
orang itu terpancing.
"Hm, mengapa kau bersembunyi di
balik semak-semak itu?! Apakah sengaja
memata-mataiku? Jawab, peot! Jangan
sampai kurobek-robek mulutmu yang sudah
mulai ompong itu!" bentak orang tinggi
besar, yang tak lain adalah Gandaruwo
Hutan Jagal.
"Oh. Tidak..., tidak! Aku... aku
hanya tersesat," jawab Ki Surya Kencana,
pura-pura gugup. Hatinya sudah mulai
menduga tentang orang yang berada di
hadapannya. Namun, ia tidak ingin
bertindak sebelum dapat memastikan bahwa
orang tinggi besar itulah yang dicari.
"Hm, untung aku sedang tidak
berselera untuk membunuh. Kalau tidak,
aku tidak akan segan-segan merobek-robek
tubuh peotmu itu. Hayo, pergilah sebelum
pikiranku berubah!" dengus orang itu
sambil mengibaskan tangannya, secara
pelahan dan sembarangan.
Namun, Ki Surya Kencana yang berdiri
sejauh dua tombak dari orang itu, menjadi
terkejut sekali. Dirasakannya sambaran
angin kuat yang ditimbulkan gerakan
sembarangan tadi. Dengan wajah
seolah-olah tidak menyadari adanya
bahaya, Ki Surya Kencana segera
mengerahkan tenaga sakti untuk
melindungi tubuhnya dari serangan itu.
Ketika sambaran angin kuat itu tiba,
Ki Surya Kencana cepat mengendorkan
kedua kakinya. Maka tak ayal lagi, tubuh
orang tua itu terdorong dan jatuh
bergulingan sejauh tiga tombak. Dan
dengan pura-pura susah payah, Ki Surya
Kencana berusaha bangkit berdiri.
"He he he.... Orang tua peot yang
lemah dan menjemukan, huh!" dengus orang itu.
Setelah berkata demikian, Gandaruwo
Hutan Jagal itu melangkah pergi. Tidak
dipedulikannya lagi Ki Surya Kencana
yang masih pura-pura terhuyung.
Ki Surya Kencana masih belum dapat
memastikan siapa sebenarnya orang yang
bertubuh tinggi besar dan menyeramkan
itu, juga tidak ingin memperpanjang
urusan. Maka ketika Gandaruwo Hutan
Jagal melangkah pergi, hanya didiamkan
saja. Tapi yang jelas dia berniat
menguntit orang yang mencurigakan itu
dari kejauhan.
Mendadak kening orang tua itu
berkerut dan wajahnya menegang, ketika
secara samar-samar teringat akan seorang
tokoh golongan hitam yang ciri-cirinya
mirip dengan orang tinggi besar itu.
Dengan kecepatan kilat, tubuhnya pun
segera berkelebat ke arah Gandaruwo
Hutan Jagal itu pergi.
"Kisanak, pelahan sedikit...!" seru
Ki Surya Kencana ketika sudah melihat
orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Mendengar seruan itu, Gandaruwo
Hutan Jagal segera menghentikan
langkahnya. Hatinya jadi heran ketika
melihat orang yang berteriak itu adalah
tubuh tua yang tadi dibuatnya
terpelanting. Selintas terpancar hawa
maut dari sepasang sinar matanya yang
semerah buah saga itu.
"Hhh! Apakah ingin mencari mampus,
orang tua peot?! Berani benar kau menunda
perjalananku!" ujar Gandaruwo Hutan
Jagal dengan suara menggeram marah.
"Tunggu dulu, Kisanak. Aku hanya
ingin bertanya sedikit!" jawab Ki Surya
Kencana tenang. Namun sorot matanya
terlihat tajam dan berpengaruh.
"Huh! Apa yang ingin kau tanyakan?!
Cepat katakan!" kata Gandaruwo Hutan
Jagal tak sabar. Sekejap tadi hatinya
sempat terkejut melihat sinar mata yang
tajam menusuk dari orang tua yang
dianggap remeh itu. Namun karena
ketinggian hatinya, maka tidak
dipedulikannya.
"Hm.... Kalau mata tuaku tidak salah
lihat, Kisanak pastilah yang berjuluk
Gandaruwo Hutan Jagal. Benar?" tanya Ki
Surya Kencana. Pandangan matanya seperti
menyelidik.
"Ha ha ha.... Memang tidak salah,
peot! Akulah yang berjuluk Gandaruwo
Hutan Jagal. Lalu, apa maumu?i" jawab
Gandaruwo Hutan Jagal penuh kesombongan.
Tapi memang demikian kebiasan
tokoh-tokoh golongan hitam, yang selalu
merasa bangga apabila namanya sudah
dikenal orang.
"Dan aku pun sudah pula mengenal
kebiasaanmu yang suka memakan daging
manusia itu. Satu lagi pertanyaanku.
Pemahkah kau berkeliaran di sekitar
Gunung Salaka pada dua minggu yang lalu?"
tanya Ki Surya Kencana dengan wajah yang
mulai menegang. Sengaja dia memancing
dengan pertanyaan itu untuk menuju
kepada pokok persoalan yang
sesungguhnya.
"He! Apa maksudmu, orang tua peot!
Dan apa hubunganmu dengan Perguruan
Gunung Salaka? Hm..., nanti dulu! He he
he..., sekarang aku ingat. Bukankah kau
yang berjuluk si Tangan Pedang? Tidak
salah lagi, kaulah orangnya!" tebak
Gandaruwo Hutan Jagal. Wajahnya juga
kelihatan menegang.
"Tidak salah penglihatanmu. Akulah
Surya Kencana yang berjuluk si Tangan
Pedang itu! Hm, Gandaruwo Hutan Jagal.
Kalau kau bukan seorang pengecut, pasti
mau mengakui perbuatanmu yang telah
membantai lima belas orang pemuda secara
kejam di hutan dekat Kaki Gunung Salaka
dua minggu lalu! Apakah kau akan
menyangkal?" tanya Ki Surya Kencana.
Sengaja nada suara pada kata-kata
'Pengecut' diberikan tekanan agar reaksi
Gandaruwo Hutan Jagal terpancing. Namun
demikian, hatinya dibuat setenang
mungkin.
Memang pada umumnya tokoh-tokoh
golongan hitam, paling tabu dengan
kata-kata pengecut. Masalahnya, mereka
rata rata memiliki hati sombong dan
paling suka menonjolkan kekejamannya.
"Hm, jadi kau sengaja turun gunung
untuk mencariku, orang tua peot? He he
he.... Memang sudah lama ingin kurasakan
ketajaman tangan pedangmu! Nah! Kalau
memang aku yang melakukannya, apa yang
akan kau perbuat?" tantang Gandaruwo
Hutan Jagal sambil bertolak pinggang.
Sikapnya angkuh sekali.
"Hm. Kalau memang demikian, harus
ikut aku ke Gunung Salaka untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan
biadabmu itu!" kata Ki Surya Kencana
bernada mengancam.
"He he he...! Lakukanlah kalau
mampu, orang tua peot!" tantang
Gandaruwo Hutan Jagal sambil
memperdengarkan tawanya yang panjang.
"Hm. Bersiaplah kau, Gandaruwo
Hutan Jagal! Hiaaattt..!" sambil
berteriak mengguntur, tubuh Ki Surya
Kencana meluncur deras. Kedua tangan
berputar mencari sasaran yang mematikan.
Hebat sekali serangan yang
dilakukan tokoh sakti dari Perguruan
Gunung Salaka itu. Angin keras
menderu-deru mengiringi putaran
tangannya seolah menjadi banyak Dan
tahu-tahu tangan kanannya me-nyembul
keluar, menusuk ke arah tenggorokan
Gandaruwo Hutan Jagal dengan kecepatan
kilat.
Wuuusss...!
Gandaruwo Hutan Jagal mengetahui
kelihaian lawan. Dikerahkan tenaganya
menyambut serangan lawan. Dan
merendahkan kakinya agak miring serta
tangan kirinya cepat mengnakis tusukan
tangan Ki Surya Kencana ke
tenggorokannya itu.
Dukkk!
Terdengar benturan keras. Tubuh Ki
Surya Kencana terpental. Namun dengan
gerakan indah, tubuh orang tua itu
berputar di udara empat kali. Dan
mendarat di atas berumput. Hatinya
terkejut, tangannya te-rasa bergetar
ketika beradu dengan tangan lawan.
Diam-diam dipujinya kekuatan tenaga
sakti lawannya.
Demikian halnya Gandaruwo Hutan
Jagal. Tubuhnya yang tinggi besar itu,
terpelanting ketika menangkis serangan
lawannya. Lengan kirinya yang digunakan
untuk menangkis terasa linu dan nyeri.
Gandaruwo Hutan Jagal merasa terkejut.
Sama sekali tak disangka tenaga dalam
lawannya sangat kuat. Bahkan mungkin
lebih kuat daripada tenaganya.
"Gila! Tak kusangka tenaga orang tua
itu demikian kuat," umpat Gandaruwo
Hutan Jagal dalam hati.
Kedua kembali berhadapan sambil
meneliti posisi lawan. Rupanya dalam
pertemuan tenaga tadi masing masing
sudah dapat mengukur kemampuan lawan.
Sehingga kali ini keduanya teriihat
lebih berhati-hati dalam melakukan
serangan berikutnya.
"Haaattt!"
Dengan sebuah teriakan yang sember,
Gandaruwo Hutan Jagal ,mencoba membuka
serangan mendahului lawan. Kedua
tangannya melakukan serangan secara
bergantian, diiringi pukulan yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Angin
tajam menderu-deru dan menyambar
demikian kuat. Bumi di sekitar tempat
pertarungan terasa bergetar, ketika
tubuh tinggi besar itu berlompatan
lincah dan cepat
Melihat lawannya sudah membuka
serangan, maka Ki Surya Kencana tak
tinggal diam. Kedua tangannya kembali
berputar hingga menimbulkan suara
mengaung ribut. Daun-daun pohon di
sekitar pertarungan berguguran
terianggar angin pukulan bertenaga dalam
yang amat kuat. Dan sekejap saja keduanya
segera terlibat sebuah pertarungan yang
hebat dan sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat.
Hingga tanpa terasa pertarungan sudah
mencapai jurus yang kedua puluh. Namun
keduanya masih teriihat seimbang, dan
tanpa mampu mendesak lawannya
masing-masing. Sehingga, pertempuran
semakin teriihat alot saja.
Ki Surya Kencana berusaha mendesak
lawannya lewat serangan-serangan yang
gencar dan berbahaya. Setiap serangan di
arahkan pada bagian-bagian yang
mematikan di tubuh lawannya. Namun
sampai sedemikian jauh, dia merasa masih
belum perlu mengeluarkan ilmu
andalannya, ilmu 'Tangan Pedang'. Dengan
ilmu itu namanya menjadi terangkat dalam
dunia persilatan pada dua puluh tahun
lalu. Ilmu andalannya masih belum
dikerahkan, karena sampai sejauh ini
serangan-serangan lawan masih dapat
diatasi.
Sementara itu, Gandaruwo Hutan
Jagal semakin lama semakin merasa
terkejut akan kelihaian lawannya yang
sudah tua itu. Dengan susah payah
berusaha dibalas serangan-serangan Ki
Surya Kencana. Memang cukup ganas dan
berbahaya. Kedua tangannya yang mengepal
itu, menyambar-nyambar ganas ke
bagian-bagian terlemah di tubuh
lawannya.
Demikian pula dengan Gandaruwo
Hutan Jagal. Seperti halnya Ki Surya
Kencana, dia pun sampai sejauh ini belum
mengeluarkan ilmu andalannya.
Menurutnya, rasa nya belum pernah
mempergunakannya.
Tempo pertarungan semakin lama
semakin cepat. Sepuluh jurus kembali
terlewat. Ketika menginjak jurus yang
ketiga puluh empat, Gandaruwo Hutan
Jagal tak sempat lagi menghindar dari
tebasan sisi telapak tangan Ki Surya
Kencana yang meluncur bagai kilat menuju
lambungnya. Maka tahu-tahu saja tangan
orang tua itu telah menghajar lambung
sebelah kanannya.
Buuukkk!
"Uhhhkkk...!" lenguh Gandaruwo
Hutan Jagal.
Tubuh laki-laki tinggi besar itu
terpelanting sejauh dua batang tombak
lebih. Belum lagi, Gandaruwo Hutan Jagal
menyadari apa yang terjadi, kembali
datang serangan yang demikian cepat. Dan
untuk menghindarinya lelaki seram itu
langsung bergulingan menjatuhkan diri.
Dan dengan gerakan gesit tubuhnya
melenting berdiri, membentuk kuda-kuda
kokoh.
Gandaruwo Hutan Jagal meringis
merasakan pedih pada kulit lambungnya,
yang terkena hantaman tangan lawan tadi.
Biarpun pukulan itu cukup keras, namun
sama sekali tidak mengakibatkan luka
yang parah pada tubuhnya.
Diiringi gerengan yang
menggetarkan, Gandaruwo Hutan Jagal
segera mencabut keluar senjatanya berupa
gada yang teriihat berat. Dengan penuh
kemurkaan, Gandaruwo Hutan Jagal
memutar-mutar senjatanya di atas kepala
hingga menimbulkan suara angin
menderu-deru. Daun-daun dan ranting
berterbangan terlanda putaran angin yang
sangat kuat itu. Rupanya Gandaruwo Hutan
Jagal telah mengeluarkan jurus andalan
'Putaran Angin Puyuh', yang terkenal
kehebatannya.
Melihat lawannya sudah mulai
mengeluarkan ilmu andalan, Ki Surya
Kencana pun tidak ingin berbuat ceroboh.
Kehebatan ilmu itu pernah didengarnya.
Maka segera digerakkan tangannya secara
bersilangan, sehingga terdengar suara
berdesing keras. Padahal gerakan orang
tua itu sepertinya tidak terialu cepat
Namun, desingan angin tajam yang
ditimbulkan telah mampu membuat
permukaan kulit lawan terluka. Memang
betapa ampuhnya ilmu yang bernama 'Ta-
ngan Pedang' itu. Bahkan ketajamannya
tidak kalah dengan sambaran pedang yang
tajam.
"Yeeeaaahhh...!"
Disertai teriakan yang menggetarkan
jantung, tubuh Gandaruwo Hutan Jagal
meluruk deras ke arah Ki Surya Kencana.
Serangannya begitu dahsyat! Angin keras
berputar dan menderu-deru menyertai
luncuran gadanya yang besar dan berat
itu.
Weeerrr...! Weeerrr...!
"Haiiit..!"
Tubuh Ki Surya Kencana bergerak
indah. Kakinya bergeser ke samping kanan
sambil melepaskan sebuah tusukan yang
menimbulkan suara mencicit tajam ke arah
lambung kiri lawannya. Tusukan tangan
kiri dengan jari-jari terbuka itu,
demikian hebatnya. Apabila mengenai
sasaran, maka dapat dipastikan tubuh
lawan akan tertembus tak ubahnya
tertusuk pedang. Memang, tusukan itu
didorong oleh tenaga dalam yang tinggi.
Tentu saja Gandaruwo Hutan Jagal
tidak membiarkan lambungnya ditembus
jari-jari tangan lawan. Dengan egosan
yang tidak kalah hebatnya, segera
diputar tubuhnya sambil menghantam gada
ke punggung Ki Surya Kencana.
Wuuuttt...!
Suara angin pukulan gada itu
mengaung tajam. Kecepatannya hampir
tidak teriihat mata biasa. Hebat sekali
pukulan yang diiancarkan Gandaruwo Hutan
Jagal itu. Jangankan tubuh manusia. Batu
karang pun akan hancur berkeping-keping
apabila terhantam!
Ki Surya Kencana cepat-cepat
merendahkan tu buhnya, sehingga serangan
lawannya lewat di atas ke pala. Dan
sebelum Gandaruwo Hutan Jagal
memperbaiki posisi, tiba-tiba tubuh Ki
Surya Kencana melesat tinggi melewati
kepala lawannya. Segera dilepaskan
sebuah bacokan yang disertai tenaga
dalam penuh dalam upaya membelah kepala
lawan.
Bukan main berbahayanya serangan
laki-laki tua itu. Apalagi dilakukan
secara mendadak. Sehingga untuk sesaat,
Gandaruwo Hutan Jagal menjadi gugup.
Buru-buru dilempar tubuhnya ke kiri.
Siiinnng!
Crattt!
"Aaakkk...!"
Terdengar jerit melengking
kesakitan yang keluar dari mulut
Gandaruwo Hutan Jagal. Sambil memegangi
kaki kirinya yang tersayat tebasan
tangan lawannya, laki-laki seram itu
meringis kesakitan. Rupanya walaupun dia
mampu berkelit, namun tetap saja tebasan
Ki Surya Kencana mengenai kaki kirinya.
Darah pun langsung mengucur dari
lukanya.
"Kurang ajar! Monyet tua! Rupanya
kau benar-benar tidak bisa dikasih hati!
Awas! Kulumat tubuhmu dan akan kumakan
jantungmu, setan!" umpat Gandaruwo Hutan
Jagal karena merasa kecolongan.
"He he he.... Jangan hanya bisa
berteriak-teriak, gendut jelek! Ayo,
buktikan ucapanmu!" ejek Ki Surya
Kencana sambil tertawa.
"Setannn.... Iblisss...! Kubunuh,
kau! Heaaattt...!" umpat Gandaruwo Hutan
Jagal.
Selesai berkata demikian tubuh
Gandaruwo Hutan Jagal melesat ke arah Ki
Surya Kencana, melakukan
serangan-serangan cepat dan berbahaya.
Segera dia berputar beberapa kali di
udara, disertai putaran gada yang
menimbulkan suara menderu-deru. Dalam
kemarahannya itu rupanya Gandaruwo Hutan
Jagal telah mengeluarkan jurus-jurus
terakhir dari ilmu 'Putaran Angin
Puyuh'.
Ki Surya Kencana sempat terkejut
melihat tubuh lawanya berputar di udara
itu. Bahkan kadang-kadang melepaskan
pukulan gadanya tanpa terduga. Diam-diam
diakui kehebatan jurus lawannya. Namun,
Ki Surya Kencana tidak dapat berpikir
lebih jauh lagi. Karena pukulan-pukulan
lawan yang berbahaya itu tidak dapat
dibiarkan begitu saja.
Dengan cepat, Ki Surya Kencana
segera mengempos seluruh kekuatan tenaga
sakrinya. Dan tiba-tiba saja tubuh
laki-laki tua itu bergerak sangat cepat.
Kedua kakinya secara bergantian
melakukan langkah-langkah yang sulit dan
membingungkan. Sedangkan kedua
tangannya bergerak-gerak, sukar diduga
arahnya. memang hebat sekali jurus ilmu
'Tangan Pedang' tingkat terakhir yang
diperlihatkan Ki Surya Kencana itu.
Seolah-olah tubuhnya timbul tenggelam
tertutup gerakan tangan yang luar biasa
cepatnya itu.
Dalam sekejap saja keduanya kembali
terlibat pertarungan yang lebih sengit
dan mendebarkan. Masing-masing
berkelebat sambil melepaskan
serangan-serangan yang tidak terduga.
Kadang-kadang tubuh mereka terpisah
karena benturan-benturan tangan. Dan
dalam beberapa saat saja, pertempuran
telah berjalan tiga puluh jurus.
Gandaruwo Hutan Jagal bernafsu
sekali untuk segera dapat menjatuhkan
lawan. Serangannya semakin gencar dan
berbahaya. Pukulannya yang mengandung
tenaga dalam penuh, menyambar-nyambar di
sekitar tubuh lawan. Hebat sekali
serangan-serangan yang dilakukan tokoh
hitam itu. Kalau saja bukan Ki Surya
Kencana yang dihadapi, mungkin lawannya
sudah tewas di tangan Gandaruwo Hutan
Jagal yang lihai dan ganas itu.
Karena yang dihadapinya adalah
lawan yang telah mewarisi hampir seluruh
ilmu tinggi Perguruan Gunung Salaka,
maka serangan-serangan Gandaruwo Hutan
Jagal selalu kandas dan mengenai tempat
kosong. Meskipun demikian, Ki Surya
Kencana pun tidak mudah untuk
menjatuhkan lawannya. Dia terus berusaha
keras mendesak lawannya lewat
serangan-serangan yang tidak kalah
berbahayanya. Namun sampai sejauh itu.
Lawan belum juga terdesak.
Sementara tanpa mereka ketahui
pertarungan telah bergeser cukup jauh
dari semula. Pertarungan yang semula
berlangsung di daerah berumput, kini
berpindah ke daerah berbatu-batu, di
tepi sungai yang mengalir jernih.
Batu-batu yang bertonjolan di permukaan
tanah, melesak terkena jejakan kaki-kaki
yang bertenaga dalam kuat.
"Heaaattt...!"
Memasuki jurus keempat puluh tujuh,
Gandaruwo Hutan Jagal berteriak
melengking tinggi. Tubuhnya yang tinggi
besar itu meluruk deras, sejajar dengan
permukaan tanah. Dia melakukan serangan
dahsyat dam memarikan. Tangan kirinya
dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah
dua mata lawan. Sementara tangan
kanannya yang memegang gada,
berputar-putar menimbulkan suara
mengaung keras. Rasanya tubuh Ki Surya
Kencana siap dijadikan sasaran pukulan!
Hebat dan ganas sekali serangan yang
dilakukan Gandaruwo Hutan Jagal kali
ini.
Ki Surya Kencana yang mengetahui
serangan berbahaya itu, cepat
menjatuhkan tubuhnya ke depan, dengan
posisi terlentang. Dan dengan kecepatan
luar biasa, tiba-tiba kedua kakinya
mencuat ke atas menghantam perut
Gandaruwo Hutan Jagal. Laki-laki tinggi
besar itu menjadi terkejut setengah mati
karena tidak menduga bahwa lawannya akan
melakukan serangan demikian. Karena
tidak ada waktu untuk menghindar,
Gandaruwo Hutan Jagal segera mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi perut
dari tendangan itu.
Deeesss!
"Ouuugggh...!" lenguh Gandaruwo
Hutan Jagal.
Ternyata hantaman kedua kaki Ki
Surya Kencana mendarat telak di perut
laki-laki seram itu. Tubuh yang tinggi
besar itu melambung ke udara, lalu jatuh
di tanah dengan kerasnya sehingga
menimbulkan suara berdebuk. Dari
sela-sela bibirnya mengalir darah segar.
Sambil membungkuk merasakan sakit pada
perut, Gandaruwo Hutan Jagal berusaha
bangkit dengan bertumpu pada gadanya.
Walaupun tubuhnya limbung, tapi
Gandaruwo Hutan Jagal berusaha berdiri
tegak. Kembali dia bersiap menghadapi
lawannya.
"Hm.... Manusia biadab, terimalah
hukumanmu!" ancam Ki Surya Kencana.
Setelah berkata demikian, Ki Surya
Kencana kembali melancarkan serangan ke
arah lawannya. Kedua tangannya bergerak
cepat hingga menimbulkan suara mencicit
tajam. Dan tiba-tiba saja tangan kirinya
sudah meluncur ke ulu hati lawan.
Menyadari kalau tidak mungkin
menghindar, Gandaruwo Hutan Jagal hanya
berdiri tegak sambil menanti serangan
lawan. Sedangkan tangan kanannya
menggenggam gadanya erat-erat agar
sewaktu-waktu dapat dihantamkan ke
kepala lawannya. Licik sekali manusia
iblis itu. Dalam keadaan terjepit, dia
sengaja ingin mengadu nyawa.
Ki Surya Kencana sempat merasa
terkejut melihat lawannya tidak
bergeming sedikit pun. Namun, untuk
menarik pulang serangannya sudah tidak
mungkin dilakukan. Serangannya itu
memang sudah dekat sekali ke tubuh lawan.
Dan.....
Jreeebbb!
Wuuuttt!
Kraaakkk!
"Arrrggghhh...!"
"Aaahhhkkk...!"
Masing-masing orang yang tengah
mengadu nyawa itu menjerit bareng dengan
tubuh terhuyung-huyung. Rupanya pada
saat jari-jari tangan kanan Ki Surya
Kencana menembus tubuhnya, Gandaruwo Hu-
tan Jagal membarengi dengan ayunan gada
ke kepala lawan. Saat itu, Ki Surya
Kencana tidak mempunyai waktu lagi untuk
menghidar. Terpaksa diangkat tangan
kirinya menyambut hantaman tersebut.
Akibatnya, kini tulang lengan kirinya
remuk terhantam gada yang berat dan
mengandung tenaga kuat. Kedua orang itu
sama-sama terpental balik ke belakang.
Ki Surya Kencana marah bukan main
ketika mendapat kenyataan tulang lengan
kirinya remuk. Dengan kemarahan
meluap-luap, tubuh laki-laki itu
meluncur deras ke arah Gandaruwo Hutan
Jagal yang masih terhuyung-huyung sambil
menekap ulu hatinya yang terluka itu.
Maka seketika Ki Surya Kencana
membabatkan tangan kanan ke leher lawan
menggunakan ilmu 'Tangan Pedang'. Itu
pun masih disertai pengerahan tenaga
dalam penuh.
Gandaruwo Hutan Jagal yang sudah
terluka hanya dapat memandang dengan
mata membelalak ngeri. Rasanya sudah
tidak mungkin lagi menghidar dari
tebasan maut itu.
Siiinnng!
Craaakkk!
Terdengar suara bagaikan sebatang
pedang menebas tulang. Tangan Ki Surya
Kencana tepat menebas putus leher
Gandaruwo Hutan Jagal itu. Darah lang-
sung menyembur dari leher yang tanpa
kepala itu. Tubuh tinggi besar tanpa
kepala masih berdiri limbung,
bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Ki
Surya Kencana yang sudah diliputi amarah
yang memuncak, segera menggerakkan
kakinya menendang tubuh Gandaruwo Hutan
Jagal.
Desss!
Tubuh tinggi besar tanpa kepala itu,
terpental sejauh tiga tombak dan ambruk
tanpa dapat bangkit lagi. Tamat sudah
riwayat Gandaruwo Hutan Jagal yang
sangat kejam dan buas di tangan Ki Surya
Kencana. Tapi laki-laki tua itu harus
mengorbankan tangan kirinya yang tak
mungkin berfungsi lagi.
Tokoh kedua Perguruan Gunung Salaka
itu berdiri mematung, memandangi mayat
Gandaruwo Hutan Jagal yang tewas
menyedihkan. Setelah menotok pangkal
lengan agar darah berhenti mengalir,
laki-laki tua itu pun melangkah
meninggalkan bekas arena pertempuran.
Biarpun harus kehilangan kirinya, namun
Ki Surya Kencana tersenyum puas karena
telah berhasil menunaikan tugasnya
dengan baik.
Hembusan angin terasa lembut
silir-silir, mengiringi langkah Ki Surya
Kencana yang akan kembali ke Gunung
Salaka. Memang, untuk sementara tugasnya
telah selesai.
* * *
LIMA
Beberapa saat sepeninggal si Tangan
Pedang atau Ki Surya Kencana, beberapa
sosok tubuh berjalan ke arah bekas tempat
pertempuran. Jumlahnya sekitar tiga
belas orang. Wajah mereka rata-rata
memancarkan sifat kejam dan licik.
Masing-masing di pinggang tergantung
sebatang pedang, yang menandakan bahwa
mereka dari rimba persilatan. Dan kalau
melihat dari tingkah dan penampilan,
jelaslah bahwa ketiga belas orang itu
dari golongan hitam.
Tiba-tiba orang yang berjalan
paling depan menghentikan langkahnya
seraya memandang berkeliling dengan
kening berkerut. Rupanya hatinya merasa
heran melihat keadaan di sekeliling yang
teriihat porak-poranda itu.
"Hm.... Di tempat ini seperti baru
saja terjadi pertempuran hebat. Entah,
tokoh-tokoh mana yang telah bertarung di
tempat ini. Kalau dilihat dari
bekas-bekasnya, pastilah mereka bukan
orang sembarangan?" ujar orang yang
berjalan paling depan. Sepertinya dia
merupakan pimpinan dari kedua belas
orang lainnya. Mukanya kuning pucat, dan
wataknya licik. Jadi, wajarlah kalau
kaum rimba persilatan menjulukinya, Ular
Muka Kuning.
"Betul, Ketua! Dan sepertinya
pertempuran itu belum lama terjadi!"
jelas orang yang berada di belakangnya,
dengan wajah terheran-heran.
Si pemimpin yang berwajah kuning itu
melangkah pelahan-lahan mengitari
tempat bekas pertempuran tadi. Dan
kerutan pada keningnya teriihat semakin
dalam, ketika memperhatikan bekas-bekas
pertempuran yang terus bergeser dari
tempat semula.
"Hm, rupanya pertempuran itu
semakin bergeser ke tepi sungai. Jelas
pertempuran itu pasti berlangsung lama
dan sangat seru," ujar Ular Muka Kuning
semakin heran.
"Ketua, lihat! Di sini ada kepala
manusia!" teriak salah seorang anak
buahnya. Laki-laki berperawakan kekar
itu juga ikut memeriksa sekitar daerah
tepian sungai.
Orang yang dipanggil ketua dan
berjuluk Ular Muka Kuning itu bergegas
menghampiri salah seorang anak buahnya
yang berteriak tadi. Dan matanya
terbelalak seketika, karena dikenali
betul kepala tanpa tubuh itu. Sejenak
diedarkan pandangannya ke sekeliling
tempat itu. Sikapnya benar-benar
waspada. Namun ketika tidak menemukan
sesuatu yang mencurigakan, laki-laki
yang memiliki wajah kuning itu kembali
menatap kepala tanpa tubuh.
"Gila! Siapa yang telah membunuh
Gandaruwo Hutan Jagal ini? Hm, kalau
orang itu telah mampu membunuh Gandaruwo
Hutan Jagal, tentu kepandaiannya sangat
hebat," gumam Ular Muka Kuning, pelan.
"Kalau melihat keadaan kepala tanpa
tubuh ini, pastilah orang yang telah
membunuhnya belum pergi terlalu jauh.
Mari kita kejar!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka
Kuning segera melesat, diikuti dua belas
orang anak buahnya.
Ketiga belas orang itu terus berlari
menuju arah Selatan. Sebentar-sebentar
sang ketua yang berjuluk Ulang Muka
Kuning menghentikan langkahnya seraya
memandang berkeliling. Setelah
memastikan arah yang dituju, kembali
dilanjutkan pengejaran. Mulutnya
seketika tersenyum saat dari kejauhan
dilihatnya sosok berpakaian putih yang
berlari sambil memegangi tangan kirinya.
"Hei, tunggu!" teriak Ular Muka
Kuning ketika jaraknya tinggal beberapa
puluh tombak lagi.
Orang berbaju putih yang tak lain
adalah Ki Surya Kencana tersentak kaget,
ketika mendengar teriakan tadi. Untuk
beberapa saat lamanya orang tua itu
kelihatan ragu-ragu. Namun tetap
dihentikan langkahnya dan menunggu
kedatangan serombongan orang itu. Hati
Ki Surya Kencana menjadi heran, karena
merasa tidak pernah berurusan terhadap
mereka.
"Hei, Orang Tua! Ke mana tujuanmu?
Mengapa begitu terburu-buru?" tanya Ular
Muka Kuning setelah dekat. Pandang
matanya penuh selidik. Sedangkan hatinya
menjadi curiga ketika melihat lengan
baju sebelah kiri orang tua itu ada
tetesan darah yang sepertinya masih
baru.
"Oh! Aku..., aku hendak pergi ke
desa sebelah untuk menengok cucuku yang
sakit keras," jawab Kl Surya Kencana
terpaksa berbohong. Dia tidak ingin
mencari keributan tanpa sebab. Jawabnya
pun dibuat gugup, agar penyamarannya
tidak terbongkar.
"Hm.... Lengan kirimu kenapa, Orang
Tua! Nampaknya seperti luka yang masih
baru. Boleh kulihat?" tanya Ular Muka
Kuning, semakin berani.
Dan sebelum Ki Surya Kencana
merijawab. Laki-laki bermuka kuning itu
sudah mengulurkan tangannya ke arah
tangan kiri Ki Surya Kencana yang
tergantung lumpuh itu.
Orang kedua di Perguruan Gunung
Salaka itu segera menggeser kakinya
kebelakang sehingga tangkapan Ular Muka
Kuning mengeriai tempat kosong. Dan
tanpa disadari, hawa murni Ki Surya
Kencana segera menyebar melindungi
tubuhnya.
"Hm. Sudah kuduga! Kau pasti
mempunyai sedikit kepandaian, Orang Tua!
Kalau melihat luka di tanganmu, rasanya
baru saja habis bertarung. Apakah
tanganmu yang telah membunuh Gandaruwo
Hutan Jagal?" tanya Ular Muka Kuning.
Hatinya diliputi keraguan karena melihat
penampilan orang tua itu yang sederhana.
"Benar! Akulah yang membunuhnya.
Siapa kalian dan apa maksudnya
menghadang perjalananku?" tegas Ki Surya
Kencana seraya balik bertanya.
Sebagai seorang pendekar, dia
memang tidak pernah kecut hatinya. Maka,
dengan beraninya diakui segera
perbuatannya terhadap Gandaruwo Hutan
Jagal. Tapi, pengakuannya itu sama
sekali bukan karena terdorong oleh
kesombongan. Itu memang sudah jadi
sifatnya, untuk tidak lari dari
tanggungjawab terhadap segala
perbuatannya.
"Hhh! Jangan besar kepala dulu,
Orang Tua! Aku adalah sahabat Gandaruwo
Hutan Jagal. Kau telah berhutang nyawa
pada temanku. Maka aku harus menebusnya
dengan nyawamu! Bersiaplah!" bentak Ular
Muka Kuning, sambil menggeram.
"Tunggu dulu! Siapa kau
sebenarnya?" tanya Ki Surya Kencana,
heran.
"Hm. Kau pasti belum pernah mengenal
orang yang berjuluk Ular Muka Kuning.
Itulah julukanku! Sekarang, sebutkan
namamu, agar kau tidak mati sia-sia
bentak Ular Muka Kuning lagi. Hatinya me-
mang diliputi kegeraman.
"Kalau kau belum kenal diriku,
baiklah! Akulah Ki Surya Kencana! Nah!
Kini aku sudah siap, Ular Muka Kuning!"
tantang Ki Surya Kencana tidak kalah
garangnya. Dia memang sudah bersiap-siap
menjaga segala kemungkinan.
"Eh, tunggu dulu! Rupanya kaulah
yang berjuluk si Tangan Pedang dari
Gunung Salaka?! Ha ha ha...! Ternyata
julukanmu lebih terkenal daripada namamu
sendiri. Bersiaplah untuk mampus, kakek
peot!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka
Kuning segera menggerakkan tangannya.
Murid-muridnya yang mengerrj isyarat itu
serempak maju mengeroyok Ki Surya
Kencana. Dengan teriakan-teriakan keras
mereka segera membabatkan senjatanya ke
arah orang tua yang berjuluk si Tangan
Pedang. Terdengar berdesingan ketika
senjata-senjata itu menyambar-nyambar
ganas.
Ki Surya Kencana yang sudah menduga
kalau tiga belas orang itu bukan orang
baik-baik, segera bersikap waspada. Maka
ketika musuh-musuhnya mulai menyerang,
segera dikerahkan kelincahan kakinya
untuk menghindari serangan
lawan-lawannya. Namun sayang sekali
gerakannya tidak selincah semula. Tentu
saja, ini karena tangan kirinya yang
telah lumpuh yang sangat mengganggu
gerakannya. Sebentar-sebentar terlihat
wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri
pada lukanya.
Melihat gerakan orang tua itu yang
tersendat-sendat, Ular Muka Kuning
segera melesat dan ikut maju mengeroyok.
Akibatnya keadaan Ki Surya Kencana
menjadi terdesak. Serangan Ular Muka
Kuning menderu-deru mencari
bagian-bagian yang mematikan. Ternyata
dia memang cukup lihai.
Pada suatu kesempatan, salah
seorang pengikut Ular Muka Kuning
menyabetkan pedangnya ke pinggang Ki
Surya Kencana. Namun dengan gerakan
ringan, orang tua itu segera menggeser
tubuhnya. Maka, serangan itu hanya lewat
tanpa mengenai sasaran. Dan sebelum
orang itu menyadari keadaannya,
tahu-tahu saja tangan Ki Surya Kencana
cepat meluruk membelah dadanya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan menyayat ketika
bacokan tangan Ki Surya Kencana mengenai
sasaran. Tubuh orang itu terjengkang dan
tewas seketika dengan dada terbelah.
Cepat-cepat Ki Surya Kencana menyambar
senjata orang itu. Dan dengan gerakan
indah, dia melompat. Tubuhnya berputar
beberapa kali, kemudian mendarat ringan
sejauh enam tombak dari lawan-lawannya.
"Aaakh!" Terdengar teriakan
menyayat ketika bacokan tangan Ki Surya
Kencana mengenai sasaran. Tubuh orang
itu terjengkang dan tewas seketika
dengan dada terbelah!
Ki Surya Kencana pun segera
menyambar senjata orang itu, untuk
memotong lengan kirinya yang tergantung
lumpuh!
Dan tiba-tiba orang tua itu
menggerakkan senjata rampasannya ke arah
tangan kiri yang tergantung lumpuh itu.
Crakkk!
Tangan kiri Ki Surya Kencana yang
sudah lumpuh itu kini putus sebatas siku.
Sambil menggigit bibir, orang tua itu
menotok pangkal lengannya untuk
menghentikan darah. Hal itu sengaja
dilakukan, agar gerakannya tidak
terganggu.
Pada saat itu Ular Muka Kuning sudah
mencabut golok bergerigi, yang
tergantung di pinggang. Langsung
dilancarkan serangan cepat dan kuat.
Angin tajam berdesing mengiringi
serangannya.
Ki Surya Kencana mengegoskan
tubuhnya kesamping, menghindari
serangan lawan. Untunglah! Serangan Ular
Muka Kuning hanya mengenai tempat
kosong. Tapi alangkah terkejutnya hati
Ki Surya Kencana ketika golok besar
bergerigi itu meliuk-liuk bagaikan ular
hidup dan kembali mengancam tubuhnya.
Cepat-cepat direndahkan tubuhnya sambil
melepaskan sebuah tusukan yang cepat dan
kuat. Dan lagi-lagi Ki Surya Kencana
terkejut, ketika melihat lawannya tidak
mengelak mundur. Bahkan malah
mencondongkan tubuhnya ke depan disertai
liukan yang mengagumkan. Dengan demikian
tusukan tangan orang tua itu luput.
Sementara itu, para pengikut Ular
Muka Kuning sudah kembali menyerbu. Dan
memang lama-kelamaan Ki Surya Kencana
mulai terdesak, oleh serangan
lawan-lawannya yang semakin gencar.
Diam-diam orang tua itu mulai merasa
cemas terhadap keadaan yang tidak
memungkinkan itu.
Sebenarnya, Ki Surya Kencana bisa
terdesak bukan disebabkan kelihaian
lawan. Kalau saja keadaan tubuhnya tidak
seburuk ini, rasanya tidaklah sulit
untuk menjatuhkan lawan-lawanya. Tapi,
karena kelelahan akibat bertarung
melawan Gandaruwo Hutan Jagal, tenaganya
sudah terkuras. Itu pun masih ditambah
dengan hilangnya tangan kiri. Jadi,
wajarlah kalau keadaan Ki Surya Kencana
benar-benar di bawah bayangan maut.
Memasuki jurus kedua puluh, kembali
terdengar jeritan dua orang pengikut
Ular Muka Kuning yang melengking. Tubuh
mereka terpental, dengan luka menganga
di perut dan lehernya. Jelas itu akibat
tebasan ilmu 'Tangan Pedang' yang
dimiliki Ki Surya Kencana. Maka,
seketika kepungan lawan-lawannya agak
mengendor. Rupanya mereka agak gentar
juga melihat kelihaian laki-laki tua
itu. Secara serentak mereka pun melompat
mundur sambil mempersiapkan serangan
berikut.
Untuk beberapa saat Ki Surya Kencana
dapat bemapas lega. Namun tiba-tiba,
tubuh orang tua itu bergoyang-goyang.
Ternyata dari tangannya yang telah
buntung itu, darah kembali mengalir
deras. Rupanya totokan pada pangkal
lengannya sudah terbuka, akibat terlalu
banyak bergerak dan mengerahkan tenaga
dalam secara berlebihan. Sehingga,
keadaan orang tua itu semakin melemah.
"He he he.... Rupanya malaikat maut
sudah tidak sabar menunggumu, tua
bangka!" ejek Ular Muka Kuning. Rupanya
dia telah membaca keadaan lawannya.
"Ayo, anak-anak! Kuras tenaga Orang
Tua itu!"
Setelah berkata demikian Ular Muka
Kuning kembali menerjang lawan, diikuti
sisa para pengikutnya. Maka pertarungan
pun kembali berjalan sengit.
Kali ini Ki Surya Kencana
benar-benar dibuat tidak berdaya. Setiap
kali dia membalas serangan salah seorang
lawan, namun Ular Muka Kuning selalu
membokongnya dengan serangan dahsyat Hal
ini membuat Ki Surya Kencana semakin
marah dan penasaran.
Menginjak jurus keempat puluh tiga,
gerakan Ki Surya Kencana sudah tidak
lincah lagi. Darah semakin banyak keluar
dari lukanya. Akibatnya, gerakannya pun
kembali teriihat semakin lambat. Peluh
telah membanjiri wajah dan tubuhnya.
Kelelahan yang sangat terpancar di wajah
tua itu. Namun meskipun demikian, dia
masih berusaha untuk membunuh lawan
sebanyak-banyaknya.
Suatu kesempatan, Ular Muka Kurang
menusukkan goloknya yang cepat bagai
kilat ke arah lambung lawan. Angin
sambaran goloknya berdesing tajam.
Jelas, betapa kuatnya tenaga yang
terkandung dalam serangan itu.
Wuuuttt!
Ki Surya Kencana bergegas menggeser
kedua kakinya hingga serangan itu luput.
Dan ketika golok itu meliuk dengan
gerakan lemas, Ki Surya Kencana
cepat-cepat memapak ke arah pergelangan
lawan.
Namun hatinya jadi kaget. Ternyata
tiba-tiba Ular Muka Kuning menarik
pulang tangannya sambil melepaskan
tendangan kilat ke lambung Ki Surya
Kencana. Orang tua itu berusaha memutar
tubuh dan meng-gerakkan tangan menangkis
tendangan lawan. Namun, sayang.
Gerakannya sudah terlambat. Maka....
Buuukkk!
"Ouuuggghhh...!" lenguh Ki Surya
Kencana.
Tubuh laki-laki tua itu terjengkang
ketika tendangan lawan mendarat telak di
lambung kiri. Untuk sejenak dirasakan
keadaan sekitarnya bergoyang-goyang. Ki
Surya Kencana mendesis pelahan sambil
mendekap lambungnya yang terasa nyeri
dan ngilu. Untuk beberapa saat, hatinya
merasa menyesal karena kehilangan tangan
kiri. Kalau saja tidak kehilangan
sebelah tangan tentu hal seperti ini
tidak akan terjadi.
Ular Muka Kuning segera berteriak
kepada anak buahnya untuk menyerbu Ki
Surya Kencana yang telah terluka itu.
Beberapa batang senjata langsung
meluncur, mengancam tubuhnya. Dengan
tangan masih menekap lambung, orang tua
itu berusaha berkelit. Namun gerakannya
yang lambat itu, sudah diduga Ular Muka
Kuning. Maka dia segera menyambutnya de-
ngan tebasan ke leher. Gerakannya cepat
bukan main.
Ki Surya Kencana melempar tubuhnya
ke belakang untuk menghindari serangan
lawan. Tapi sungguh tidak diduga kalau
empat orang pengikut Ular Muka Kuning
sudah menunggu dengan ujung ujung
senjatanya. Laki-laki tua itu berusaha
memutar tubuh sambil menusukkan
tangannya.
Cappp!
Brertt!
Crakkk!
"Aaahhhkkk...!"
"Uhhhkkk...!"
Terdengar teriakan kesakitan dari
seorang lawan. Tubuhnya terpelanting dan
tewas dengan leher berlubang. Sedangkan
tubuh Ki Surya Kencana melintir
tersambar tiga buah senjata lawan. Orang
tua itu jatuh terduduk, dan wajahnya
langsung berubah pucat. Darah mengalir
dari luka di dada dan punggungnya akibat
sambaran pedang lawan.
"Ohhh Rupanya ajalku sudah hampir
tiba. Sayang, belum sempat kulaporkan
keberhasilan tugasku, kepada Kakang
Sukma Kelana," desah Ki Surya Kencana
dengan wajah murung.
Dengan susah payah, laki-laki tua
itu berusaha bangkit berdiri. Pakaiannya
yang berwarna putih itu, sudah dibasahi
darah yang bercampur peluh. Keadaannya
saat itu benar-benar menyedihkan. Namun,
meskipun telah mendapat luka yang cukup
parah, orang tua itu tidak ingin mati
sia-sia.
"Hm. Sebelum ajal tiba, aku harus
dapat membunuh mereka
sebanyak-banyaknya!" tekad Ki Surya
Kencana geram.
"He he he, peot! Sekarang, terimalah
kematianmu!" ejek Ular Muka Kuning
sambil tertawa terkekeh berkepanjangan.
Setelah berkata demikian Ular Muka
Kuning segera menggerakkan tangan
memberi isyarat kepada enam orang anak
buahnya. Maka tanpa buang-buang waktu
lagi mereka serempak berlompatan sambil
membabatkan senjata ke tubuh lawan yang
sudah hampir tidak berdaya itu. Enam buah
senjata itu berkelebat sehingga
menimbulkan suara berdesing.
Tubuh Ki Surya Kencana bergeser ke
kanan, mencoba menghindari serangan enam
buah senjata lawan. Dan langsung
digerakkan tangannya ke punggung lawan
terdekat. Tak ayal lagi orang itu
terhantam kibasan tangan laki-laki tua
itu. Tubuhnya terjungkal dengan luka
memanjang di punggung.
"Bangsat! Rupanya setan tua ini
masih berbahaya juga!" umpat Ular Muka
Kuning dengan wajah merah padam.
Dan dengan kemarahan yang
meluap-luap dia segera melesat,
menyerang dahsyat. Golok besarnya
diputar sedemikian rupa hingga
menimbulkan suara mengaung. Bagai ribuan
ekor lebah yang sedang marah saja
layaknya.
Ki Surya Kencana yang menyadari
bahaya itu, berlompatan menghindari
serangan dahsyat Ular Muka Kuning.
Gerakan kakinya terlihat goyah, ketika
mela-kukan lompatan-lompatan. Dengan
pengerahan sisa-sisa tenaga, sesekali Ki
Surya Kencana melepaskan serangan
disertai ilmu 'Tangan Pedang'. Hanya
saja sekarang tidak lagi seampuh semula,
tapi cukup kuat untuk melukai kulit tubuh
lawan.
Sayang sekali perlawanan Ki Surya
Kencana tidak banyak membantu untuk
menghadapi serangan-serangan ganas Ular
Muka Kuning. Sehingga dalam beberapa
jurus saja, Ki Surya Kencana sudah tidak
dapat lagi memberi perlawanan berarti.
Secara lambat tapi meyakinkan, Ular Muka
Kuning mulai mendesak lawan disertai
serangan yang mematikan.
Ki Surya Kencana kini hanya mampu
menghindar sambil bermain mundur.
Sehingga ketika Ular Muka Kuning
melakukan serangan ganda, Ki Surya
Kencana tidak mampu berbuat apa-apa
lagi. Walaupun berusaha mengangkat
tangannya untuk memapak, tapi gedoran
telapak tangan lawan tetap saja lolos dan
menghantam dada sebelah kiri.
Dheeesss!
Seketika Ki Surya Kencana
terpelanting keras! Segumpal darah segar
kontan menyembur dari mulutnya. Hantaman
telapak tangan lawan memang benar-benar
kuat. Laki-laki tua itu berusaha
melompat bangkit, sambil menekap dadanya
yang terasa panas dan sesak. Belum lagi
tubuhnya sempat berdiri tegak, beberapa
sosok bayangan berkelebat disertai suara
desingan senjata.
Crasss!
Brettt!
Crattt!
"Aaarrrggghhh...!" jerit Ki Surya
Kencana.
Tubuh orang tua itu telah tertembus
beberapa batang senjata. Darah kontan
berhamburan dari luka-luka akibat
tertembus senjata-senjata lawan. Tubuh
Ki Surya Kencana terdorong dan
terhuyung-huyung, seperti tak kuat lagi
berdiri. Dan sebelum tubuhnya ambruk ke
tanah, sebuah bayangan berkelebat cepat
sambil menggerakkan senjata secara
mendatar ke leher Ki Surya Kencana.
Siiinnng!
Croookkk!
Dengan ganas golok besar bergerigi
itu menebas putus leher Ki Surya Kencana.
Darah segar kembali memancur dari luka di
leher laki-laki tua yang telah buntung.
Dan golok besar itu kembali berkelebat
menembus ulu hati tubuh yang sudah tak
berkepala itu. Seketika tubuh Ki Surya
Kencana yang tanpa kepala itu ambruk ke
tanah berumput hijau yang langsung
berubah memerah oleh darah. Laki-laki
tua tokoh sakti dari Perguruan Gunung
Salaka kini tewas dalam keadaan sangat
menyedihkan! Tubuhnya sudah hampir tidak
berbentuk lagi. Di sana-sini terdapat
bekas-bekas senjata tajam.
"Ha ha ha.... Orang-orang Gunung
Salaka memang terlalu sombong! Kalian
lihat nanti. Kami akan datang dengan
membawa bencana! Ha ha ha...!” Ular Muka
Kuning tertawa terbahak-bahak.
Hati orang berwajah kuning itu
gembira bukan main, karena telah
berhasil membunuh salah seorang tokoh
utama perguruan yang sangat dibencinya
itu. Memang,t itu sudah menjadi sifat
tokoh golongan hitam yang selalu
menganggap golongan putih sebagai ma-
nusia sombong. Bagi mereka, golongan
putih adalah ancaman yang harus
dimusnahkan.
Setelah puas dengan tawanya, Ular
Muka Kuning dan delapan orang sisa anak
buahnya bergegas meninggalkan tempat itu
sambil memperdengarkan suara lawa yang
berkumandang ke sekitarnya. Suasana
ditempat itu kembali sepi, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa.
Sinar mentari yang semula memancar
garang, mendadak meredup. Seolah-olah
turut berkabung atas kematian Ki Surya
Kencana di tangan orang-orang yang
berjiwa binatang. Tiupan angin lembut
telah merontokkan sehelai daun pohon
yang menguning. Daun itu melayang-layang
dan jatuh ke permuka bumi.
* * *
ENAM
Hari baru menjelang sore. Dua orang
laki-laki berjalan menyusuri jalan utama
Desa Cikunir. Mereka adalah Santiaji dan
Ranjita, dua orang tokoh tjngkat empat
Perguruan Gunung Salaka. Keduanya memang
tengah melakukan penyelidikan tentang
kematian murid-murid Gunung Salaka yang
misterius.
Mereka baru saja meninggalkan rumah
Kepala Desa Cikunir, untuk mencari
keterangan tentang si pelaku. Menurut
keterangan yang didapat dari warga dan
kepala desa setempat, memang pernah
terjadi bentrokan antara dua perguruan
pada dua minggu yang lalu. Tapi kedua
perguruan itu hanya bertengkar mulut dan
tidak menjurus pada perkelahian. Apalagi
sampai menimbulkan korban jiwa.
Seorang pemilik kedai yang
tempatnya dijadikan arena pertengkaran
mulut mengatakan, bahwa mungkin saja
kedua belah pihak mengadakan perjanjian
untuk bertemu di luar desa. Di sana
mereka kemudian bertempur tanpa
sepengetahuan penduduk desa. Dan dugaan
itu bisa diterima Santiaji maupun
Ranjita, tapi bukan berarti harus
mempercayainya. Mereka harus
menyelidiki kebenarannya terlebih
dahulu, setelah ilu barulah berani
memastikan. Memang sebagaimana pesan
guru, mereka harus berhati-hati dalam
mengambil tindakan agar tidak sampai
menimbulkan persoalan baru lagi.
Kedua orang itu kini melangkah tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun. Pikiran
Santiaji maupun Ranjita masih dipenuhi
pertanyaan yang sulit terjawab.
"Hhh...!" Ranjita menghela napas
yang berat memecah kesunyian di antara
mereka. Wajahnya terlihat murung karena
sampai sejauh ini belum juga mendapat
tanda-tanda yang berarti sebagai
pegangan
"Yahhh...! Persoalan ini memang
masih gelap. Bagaimana kalau kita
kembali, dan melaporkan kepada Guru?"
usul Santiaji sambil menoleh kepada
saudara seperguruannya. Tatapan matanya
seperti menunggu tanggapan.
"Tidak, Santiaji! Kita sudah
bertekad untuk tidak kembali keperguruan
sebelum menemukan jawaban dari semua
peristiwa yang menimpa perguruan kita.
Tapi kalau kau ingin kembali, silakan.
Biar aku sendiri yang meneruskan
penyelidikan ini," tegas Ranjita tanpa
menolehkan kepalanya kepada Santiaji.
Santiaji tidak langsung menanggapi
penegasan Ranjita tadi. Dialihkan
pandang matanya ke depan dengan helaan
napas berat. Murid tingkat empat
Perguruan Gunung Salaka itu berusaha
memahami perasaan saudara
seperguruannya itu. Seperti halnya
Ranjita, Santiaji pun sebenarnya
mempunyai pikiran sama. Rasanya memang
malu kembali keperguruan tanpa hasil
sedikit pun.
"Sebenarnya aku pun mempunyai
pikiran yang sama denganmu, Ranjita! Aku
juga merasa malu untuk menghadap Guru
dengan tangan hampa. Apa kata Guru
nanti?" ungkap Santiaji tanpa semangat.
Saat itu pikirannya benar buntu. Dia
tidak tahu lagi, ke mana harus mencari
keterangan sesudah ke Desa Cikunir.
"Hmm. Bagaimana kalau kita
mendatangi Gunung Sutra, dan
menanyakannya langsung kepada Ki Ageng
Pandira yang menjadi ketua perguruan
itu?" usul Ranjita tiba-tiba yang
langsung membuyarkan lamunan Santiaji.
"Hei, jangan Ranjita! Tanpa
persetujuan Guru, aku tidak berani untuk
berkunjung ke sana. Bisa-bisa kedatangan
kita ke sana hanya akan memperuncing
keadaan saja. Masalahnya, sama sekali
kita belum tahu, apakah dipihak mereka
juga telah timbul korban atau tidak? Nah!
Seandainya di sana juga terjadi korban,
bukankah kedatangan kita hanya akan
membangkitkan kemarahan di hati mereka,"
tegas Santiaji.
Laki-laki setingkat dengan Ranjita
ini memang memiliki pandangan lebih luas
daripada Ranjita. Demikian pula dalam
menghadapi persoalan yang sangat rumit
dan peka ini. Dia lebih mengandalkan otak
daripada amarah. Oleh karena itu,
mengapa Ki Sukma Kelana menugaskan
Santiaji dalam menyelidiki persoalan
itu. Orang tua itu percaya akan
kebijaksanaan muridnya dalam menghadapi
setiap persoalan.
"Lalu, Ke mana lagi kita harus
mencari keterangan?" tanya Ranjita yang
suaranya mengandung rasa penasaran.
Benar-benar tidak dimengerti jalan
pikiran Santiaji, yang menurutnya
terlalu lemah dan terlalu banyak
perhitungan. Bahkan dia sampai mempunyai
pikiran kalau Santiaji ini seorang
pengecut. Dan sengaja menyembunyikan
sifat pengecutnya itu dengan berkedok
kesabaran, dan kehati-hatian dalam
bertindak.
"Entahlah. Tapi, kurasa tidak ada
salahnya kalau mencari keterangan di
desa-desa sekitar Gunung Salaka. Siapa
tahu di sana dapat menemukan petunjuk
yang dapat dipakai sebagai pegangan,"
ujar Santiaji penuh harap.
"Kalau memang sudah menjadi
keputusanmuj tunggu apa lagi? Ayo,
berangkat!" sahut Ranjita Tidak banyak
bicara lagi!
"Baiklah. Mari," sambut Santiaji
yang segera bangkit semangatnya.
Kedua orang tokoh Perguruan Gunung
Salaka itupun segera bergegas menuju
perbatasan Desa Cikunir. Mereka
melangkah dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, sehingga dalam waktu
yang, tidak begitu lama telah
meninggalkan Desa Cikunir. Santiaji
maupun Ranjita sepakat untuk mengambill
arah Selatan terlebih dahulu, sebagai
langkah awalj penyelidikan.
Untuk mempersingkat waktu, keduanya
sengaja menempuh jalan pintas yang
jarang dilalui orang. Sekarang mereka
harus menerobos semak belukar dan hutan
kecil yang banyak terdapat di daerah itu.
Kini mereka telah tiba pada sebuah padang
rumput yang cukup luas.
"Setelah melewati padang rumput
ini, kita akan menemukan sebuah bukit.
Nah! Di balik bukit itu terdapat sebuah
perkampungan yang akan menjadi
penyelidikan kita," jelas Santiaji.
"Berapa lama lagi kira-kira waktu
yang diperlukan, untuk mencapai
perkampungan itu ?" tanya Ranjita.
"Kalau melakukan perjalanan biasa,
bisa memakan waktu setengah harian. Dan
berarti akan tiba di sana setelah hari
gelap. Maka untuk mempersingkat waktu
kita harus tetap mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, agar tidak kemalaman
di jalan."
Ranjita mendengarkan sambil
manggut-manggut. Tanpa berpikir dua
kali, mereka segera melanjutkan
perjalanan.
"Baik, Santiaji. Ayo, nanti kita
malah kemalaman!" kata Ranjita dengan
wajah berseri-seri.
***
Di tengah padang rumput yang cukup
luas dan sunyi itu, melesat cepat
bagaikan kilat dua buah bayangan. Kedua
bayangan itu sepertinya tengah berlomba
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Santiaji maupun Ranjita
sama-sama mengerahkan kemampuannya agar
tiba lebih dahulu di bukit yang dimaksud.
Santiaji dan Ranjita terus berlari,
sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah hampir mencapai taraf
kesempurnaan. Keduanya seperti saling
mendahului, memang tingkat kepandaian
mereka pada dasarnya seimbang. Maka
tanpa banyak mengalami kesulitan,
keduanya tiba di bukit yang dituju secara
bersama.
Plok plok plok!
Tiba-tiba terdengar tepukan riuh,
yang menyambut kedatangan mereka.
Keduanya tersentak kaget, dan segera
menoleh ke arah asal suara tepukan itu.
Dan betapa terkejutnya mereka, ketika
melihat seorang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat telah berdiri tidak jauh
dari situ. Orang itu memandang Santiaji
dan Ranjita disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...! Hebat.,, hebat! Suatu
ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan.
Tapi sayang masih mentah," ujar orang
itu, seperti menghina.
"Hm, kata-katamu tepat sekali,
Kisanak. Sungguh kami bukan bermaksud
memamerkan kepandaian yang tidak
seberapa ini di hadapanmu. Siapakah, Ki-
sanak ini?" tanya Santiaji sambil
membungkuk hormat. Wajahnya teriihat
tenang, seolah-olah tidak terpengaruh
hinaan orang itu.
Orang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat itu tertegun sejenak
ketika mendengar jawaban Santiaji yang
di luar dugaannya. Sehingga untuk
beberapa saat lamanya, hanya berdiri
mematung karena kehilangan kata-kata.
Tapi hal itu tidaklah berlangsung lama.
Tiba-tiba saja orang itu sudah mulai
membuka mulut lagi.
"Ha ha ha...! Apakah kalian tidak
akan lari terbirit-birit kalau
kuperkenalkan nama besarku?"
Seketika wajah Santiaji dan Ranjita
memerah ketika mendengar perkataan yang
bernada penghina-an. Santiaji segera
menyentuh tangan Ranjita yang sudah
melangkah maju, sambil mengepalkan
tangan. Sejenak keduanya saling
bertatapan. Dan Ranjita segera
mengurungkan niatnya ketika Santiaji
mengedipkan sebelah matanya sebagai
isyarat untuk bersabar.
"Maafkanlah kami yang tidak
mengenai nama besarmu, Kisanak!
Maklumlah, kami hanya perantau yang
memiliki sedikit bekal untuk menjaga
diri. Dan karena takut kemalaman di
jalan, maka kami harus mempercepat
perjalanan untuk mencari tempat
menginap. Dapatkah Kisanak membantu
untuk mendapatkan tempat bermalam yang
terdekat dari sini?" tanya Santiaji yang
masih mencoba untuk menghindari
keributan.
"Tentu saja dapat. Jaraknya dekat
sekali!" jawab laki-laki kurus dan
berkumis lebat itu, penuh teka-teki.
Seringainya semakin melebar, sehingga
wajahnya semakin tak sedap dipandang.
"Oh, benarkah?" Di manakah tempat
itu, Kisanak tanya Santiaji berwajah
cerah. Meskipun sebenarnya merasa
curiga, namun pertanyaan itu terlompat
begitu saja dari bibir Santiaji.
"Ha ha ha.... Tentu saja di sini.
Memangnya di mana lagi? Tempat ini sangat
cocok utuk menginap kalian
selama-lamanya! Bahkan tidak akan
dipungut uang sewa. Ha ha ha...!" setelah
berkata demikian, meledaklah tawa orang
berkumis tebal itu.
"Kurang ajar! Monyet kurus, rupanya
kau memang sengaja ingin mencari perkara
dengan kami. Baiklah, kalau memang itu
yang diingini! Nah, sambutlah
seranganku! Hiaaattt...!"
Begitu ucapannya habis, tubuh
Ranjita segera melesat dibarengi
teriakan menggeledek. Kedua tangan nya
bergerak cepat mencari
kelemahan-kelemahan di tubuh lawan.
Rupanya dalam kemarahannya itu Ranjita
telah mengeluarkan salah satu ilmu
andalannya, 'Menggetar Langit Mengacau
Bumi.
Wuuuttt! Wuuusss!
Akibat yang ditimbulkan jurus yang
dikeluarkan Ranjita memang begitu
dahsyat. Angin keras berputar,
seolah-olah di tempat itu tengah terjadi
topan hebat. Sehingga untuk beberapa
saat lamanya, tempat itu menjadi gelap
tertutup debu-debu yang mengepul
keudara.
Sesaat orang bertubuh jangkung itu
dibuat kagum oleh kehebatan ilmu
lawannya, namun sesaat kemudian senyum
mengejek menghias wajahnya. Tiba-tiba
dengan gerakan gesit, orang bertubuh
jangkung itu segera menyelinap di antara
sambaran-sambaran tangan Ranjita.
Gerakannya hebat sekali, seolah-olah
yang terlihat hanya bayangan tubuhnya
yang berkelebat cepat mengurung Ranjita.
Sehingga ke mana pun Ranjita bergerak,
tubuh jangkung itu selalu membayanginya.
Dan tentu saja hal ini membuat Ranjita
menjadi terkejut. Dan diam-diam diakui
kehebatan lawannya itu.
Tiba-tiba saja Ranjita dikejutkan
oleh sambaransambaran angin kuat yang
ditimbulkan pukulan lawan. Rupanya orang
bertubuh jangkung itu sudah mulai
melepaskan serangan di antara kelebatan
tubuhnya. Dan secara pelahan-lahan
Ranjita mulai terdesak hebat. Hingga
pada suatu saat, sebuah hantaman telapak
tangan lawan tidak dapat lagi dihindari
lagi.
Deeesss!
"Aaakh!" terdengar suara keluhan
dari mulut Ranjita.
Pukulan yang mengandung tenaga
dalam yang tinggi itu telah mendarat di
dada kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh Ranjita terlempar dari arena
pertempuran, dan jatuh tepat di hadapan
Santiaji. Ranjita berusaha bangkit,
meski dadanya terasa bagai terbakar.
Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir
darah segar. Dadanya terasa sesak, dan
napasnya tersengal.
"Kau... kau tidak apa-apa,
Ranjita?" tanya Santiaji cemas, sambil
berusaha membantu adik seperguruannya
bangkit
"Uhuk..,, uhuk! Uh! Dia hebat
sekali, Santiaji. Pukulannya mengandung
hawa panas yang amat kuat!
Berhati-hatilah menghadapinya," ujar
Ranjita di antara batuknya.
Ranjita benar-benar tidak menyangka
sama sekali bahwa kepandaian lawannya
ternyata demikian hebat. Rasanya untuk
dapat mengatasi orang itu, dia harus
bergabung bersama Santiaji. Maka segera
dikerahkan hawa murni untuk mengusir
hawa panas yang membakar dadanya.
Sementara itu, Santiaji sudah mulai
bersiap untuk menghadapi orang bertubuh
jangkung yang sama sekali belum
dikenalnya.
"Kisanak, apa maksudmu mencelakai
kami?! Bukankah di antara kita tidak
saling mengenai dan tidak memiliki
persoalan? Siapakah kau sebenarnya?!"
tanya Santiaji. Kemarahan di dadanya
mulai memuncak, karena tanpa sebab apa
pun orang bertubuh jangkung itu ingin
membunuh mereka.
"Ha ha ha...! Dengarlah,
manusia-manusia sombong dari Gunung
Salaka! Aku adalah Algojo Gunung Sutra
yang akan menuntut balas atas kematian
murid-muridku. Nah, bersiaplah menerima
hukuman!" bentak orang beriubah jangkung
yang temyata berjuluk Algojo Gunung
Sutra. Suaranya begitu bengis dan berbau
hawa maut.
Santiaji terkejut, sebab orang itu
ternyata mengetahui asalnya. Tapi yang
membuatnya benar-benar terkejut adalah
ketika orang bertubuh jangkung itu
memperkenalkan diri sebagai Algojo
Gunung Sutra. Untuk beberapa saat
lamanya, Santiaji hanya dapat memandang
dengan mulut ternganga. Sebab, siapa
yang tidak mengenai nama Algojo Gunung
Sutra? Meskipun dalam urutan perguruan
hanya tergolong tokoh tingkat dua, namun
menurut kabar kepandaiannya cukup
tinggi. Memang Santiaji yang sebelumnya
tidak pernah bertemu tokoh itu, tidak
segera dapat mengenali. Baru setelah
orang itu menyebutkan julukannya, ia
segera teringat akan ciri-ciri dari
tokoh tersebut.
Setelah mengamati sesaat, barulah
dapat dipastikan kalau orang itu
benar-benar Algojo Gunung Sutra, atau
bernama asli Ki Ageng Sampang. Tapi hal
itu justru membuat lega hati Santiaji.
Sebab biar bagaimanapun juga, sebagai
tokoh yang kepandaiannya tinggi, Ki
Ageng Sampang tentu lebih berpandangan
luas dan tak akan turun tangan secara
membabi buta.
"Ah! Maafkan aku, Ki. Benar-benar
tidak kusangka kalau sekarang tengah
berhadapan dengan Ki Ageng Sampang yang
sangat kuhormati. Sekali lagi aku mohon
maaf. Dan marilah kita membicarakan
masalah yang sedang dihadapi ini, agar
semuanya menjadi terang dan jelas," ujar
Santiaji, penuh hormat.
"Hm..., tidak perlu kau banyak
tingkah lagi! Sekarang, kau bersiaplah
untuk segera kukirim keneraka!" teriak
orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra
itu, dengan wajah berang.
"Tapi... tapi..., Ki...!"
Santiaji menjadi heran melihat
sikap yang ditunjukkan oleh tokoh utama
dari Gunung Sutra itu. Dan sebelum dapat
berpikir lebih jauh lagi, Ki Ageng
Sampang sudah menerjangnya dengan
pukulan ganas dan keji. Tentu saja
Santiaji tak membiarkan tubuhnya
dijadikan sasaran pukulan itu. Dengan
gerakan yang indah tubuhnya meliuk
menghindari pukulan lawan. Dan langsung
dibalasnya dengan serangan-serangan
cepat dan kuat. Sehingga dalam waktu
singkat, keduanya segera teriihat sebuah
pertempuran sengit.
Tapi, memang pada dasarnya
kepandaian Santiaji masih jauh di bawah
kepandaian Algojo Gunung Sutra. Maka
setelah lewat dua puluh jurus, tampak'
Santiaji mulai terdesak. Dapat
dipastikan, tidak lama lagi Santiaji
pasti tidak dapat menahan gempuran
lawan.
Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng
Sampang nampak semakin bernafsu untuk
segera menjatuhkan lawannya. Pukulannya
pun semakin cepat dan kuat sehingga
Santiaji semakin tak berdaya dibuatnya.
Melihat keadaan saudara
seperguruannya yang tengah diincar maut
itu, Ranjita yang keadaannya sudah pulih
kembali segera melompat ke arena
pertempuran membantu Santiaji. Tentu
saja hal ini, sangat menggembirakan hati
Santiaji. Dengan masuknya Ranjita, dia
dapat terbebas dari desakkan lawannya.
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya pun
segera bekerja sama menghadapi Algojo
Gunung Sutra yang amat lihai itu.
Menghadapi gempuran dan kerja sama
yang kompak saudara seperguruan itu,
Algojo Gunung Sutra pun semakin
memperhebat serangannya. Namun karena
Santiaji dan Ranjita bertempur secara
saling mengisi dan melindungi, maka
cukup sulit bagi lawan untuk segera
menguasai mereka.
Sudah tiga puluh jurus kedua belah
pihak berusaha saling menjatuhkan. Tapi
sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda
yang akan keluar sebagai pemenang. Dan
hal ini membuat Algojo Gunung Sutra men-
jadi marah dan penasaran. Hingga pada
suatu kesempatan, dia melepaskan pukulan
cepat Kedua telapak tangannya terbuka
mengarah dada dua lawannya sambil
mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Wuuusss! Wuuusss!
Bukan main hebatnya serangan Algojo
Gunung Sutra itu. Jangankan terkena
hantaman telapak tangan. Terlanggar
angin pukulan saja, lawan yang tidak
mempunyai tenaga dalam kuat akan tewas
seketika dengan dada ringsek.
Santiaji dan Ranjita tentu saja
menyadari bahaya pukulan lawan. Keduanya
segera mengempos semangat, dan langsung
menggabungkan tenaga dalam sambil
berpegangan tangan. Dengan kuda-kuda
rendah, mereka segera menyambut pukulan
lawan dengan telapak tangan kiri.
Blannng!
"Aaahhh...!"
Terdengar ledakan dahsyat ketika
tenaga dalam mereka beradu. Hebat sekali
akibat bentrokan tenaga dalam tingkat
tinggi itu, sehingga ledakan itu
menggetarkan udara di sekitar arena
pertempuran. Santiaji dan Ranjita yang
mengalami benturan itu, terlempar ke
udara diiringi jerit kesakitan. Keduanya
jatuh terduduk sambil menekan dada yang
terasa berguncang. Terlihat dari
sela-sela bibir mereka, cairan merah
menetes.
Sedangkan lawannya yang juga
terpental akibat benturan tadi, mudah
sekali mendaratkan kakinya di tanah.
Gerakannya ringan, tanpa luka sedikit
pun. Hanya kedua lengannya saja yang
terasa bergetar. Dari sini saja sudah
dapat diketahui kalau tenaga dalam Ki
Ageng Sampang jauh lebih tinggi daripada
mereka berdua.
"Ha ha ha...! Bersiaplah! Sebentar
lagi malaikat maut akan datang menjemput
kalian!" ejek Algojo Gunung Sutra itu,
jumawa.
Setelah berkata demikian, tubuh
laki-laki tinggi berkumis itu segera
melayang. Kedua lengannya ter-kembang,
mengarah pada batok kepala Santiaji dan
Ranjita yang masih terduduk tak
bergerak.
"Heaaattt...!"
Darrr! Darrr!
Debu mengepul tinggi, ketika
pukulan kedua tangan Ki Ageng Sampang
mengenai tanah yang terdiri dari
batu-batu cadas itu. Rupanya Santiaji
dan Ranjita yang semula sengaja berdiam
diri untuk memulihkan tenaga, segera
melesat menghindari serangan ketika
pukulan lawan hampir tiba. Serangan
lawan hanya mengenai batu-batu cadas
sehingga hancur berkeping-keping. Dan
kini mereka sudah bersiap-siap kembali
menghadapi orang tua lihai itu.
Melihat lawannya dapat menghindari
serangan, Algojo Gunung Sutra semakin
meluap-luap kemarahannya.
"Huh, sayang! Aku tidak mempunyai
banyak waktu untuk menghadapi kalian!"
ujar Algojo Gunung Sutra geram.
Setelah berkata demikian, mulutnya
segera bersiul nyaring dan panjang.
Suaranya bergema ke seluruh penjuru
karena didorong tenaga dalam tinggi.
Seketika tempat itu sudah diramaikan
belasan sosok tubuh yang berloncatan
dari balik bukit. Melihat dari gerakan
mereka, dapat dipastikan bahwa semuanya
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu
langsung menerjang Santiaji dan Ranjita
dengan senjata terhunus!
Keduanya segera berloncatan
menghindari sambaran senjata-senjata
lawan yang berdesingan mengancam tubuh.
Sambil berusaha mengelak, Santiaji dan
Ranjita melepaskan pukulan-pukulan
balasan yang ampuh. Sehingga dalam waktu
singkat, kedua belah pihak sudah
terlibat pertempuran yang seru dan
mendebarkan. Santiaji dan Ranjita
menjadi terkejut. Ternyata mereka
mendapat kenyataan bahwa kepandaian
lawan rata-rata cukup tinggi.
Siiinnng! Siiinnng!
"Aaahhh...!" keduanya melenguh
tertahan ketika dua buah senjata lawan
hampir melukai tubuh mereka.
Dengan wajah agak pucat, keduanya
segera berloncatan mundur sambil
mencabut senjata masing-masing. Di
tangan Santiaji sudah tergenggam dua
buah pedang pendek. Sedangkan Ranjita
sudah pula mencabut sebuah pedang yang
bersinar kuning. Dengan senjata di
tangan, kini mereka kembali menghadapi
belasan orang lawannya itu.
Melihat keadaan itu, Algojo Gunung
Sutra yang semenjak tadi hanya berdiam
diri tiba-tiba melayang ke arena
pertempuran. Diputar kedua tangannya
hingga menimbulkan angin yang
menderu-deru. Langsung dihantamkan
telapak tangannya ke arah Santiaji dan
Ranjita yang tengah bertempur saling
bahu membahu itu.
Deeesss!
Plaaakkk!
"Aaarrrggghh...!"
Santiaji dan Ranjita yang tengah
kerepotan meng hadapi belasan orang
lawan, tak sempat lagi untuk menghindari
hantaman telapak tangan Ki Ageng Sampang
yang mengandung tenaga dalam tinggi itu,
Keduanya terpelanting akibat hantaman
yang keras pada bahu dan punggung.
"Huaaak...!" .
Santiaji yang terhantam
punggungnya, memuntahkan darah kental
berwarna kehitaman. Punggungnya
dirasakan bagai terbakar akibat hawa
panas yang terkandung dalam pukulan
Algojo Gunung Sutra. Santiaji berdiri
limbung dengan pandangan mata
berkunang-kunang.
"Ranjita, lari! Selamatkan dirimu!
Biar aku yang menghadang mereka!" teriak
Santiaji dengan napas tersengal-sengal.
Santiaji benar-benar menyadari bahwa
pihak musuh terlalu kuat. Setelah
berkata demikian, dia langsung melompat
membendung serangan lawan-lawannya yang
sudah melancarkan serangan kembali.
"Tidak, Santiaji! Aku tidak akan
meninggalkanmu. Biarlah kita mati
bersama-sama!" teriak Ranjita.
Ternyata Rajita juga tidak tega
membiarkan kawannya menghadapi musuh
sendirian. Walaupun sebelah tangannya
lumpuh akibat hantaman telapak tangan
Algojo Gunung Sutra itu, dia ikut pula
melompat membantu Santiaji yang tengah
kerepotan menghadapi belasan orang
lawannya.
"Ranjita, pergi! Bodoh kau! Kalau
kita berdua mati, lalu siapa... aduh!"
teriak Santiaji.
Laki-laki tingkat empat di
Perguruan Gunung Salaka itu merasa
kesakitan akibat sabetan pedang lawan
yang mengenai pangkal lengan kirinya.
Dengan penuh kegeraman segera dibabatkan
pedang pendeknya membelah dada lawan
itu. Kontan orang itu menjerit menyayat.
Tubuhnya langsung ambruk dan tewas
dengan dada terbelah.
"Aaahhhkkk...!" kembali Santiaji
berteriak kesakitan karena pundaknya
tertusuk pedang lawan yang tainnya.
"Lari, Ranjita! Lari! Kau harus
melaporkan hal ini kepada Guru! Aku...,
aku sudah tidak kuat lagi. Cepat...!
Aduh...!"
Lagi-lagi senjata lawan menyabet
lambungnya. Santiaji kembali mengamuk
membabi buta, tanpa mempedulikan
keselamatannya lagi.
Ranjita berdiri dengan wajah
bingung. Pelahan-lahan butir-butiran
air bening mengalir membasahi pipinya.
Hatinya benar-benar trenyuh menyaksikan
pengorbanan yang dilakukan saudara
seperguruannya itu. la masih berdiri
bimbang tanpa dapat mengambil keputusan.
Saat itu Santiaji melompat ke arahnya
sambil melepaskan sebuah tendangan ke
arah Ranjita.
Bukkk!
"Pergi, manusia bodoh! Jangan
korbankan nyawamu sia-sia!" bentak
Santiaji, tak sabar.
Memang keadaannya sudah menyedihkan
sekali. Sekujur tubuhnya telah dibanjiri
darah yang mengalir dari luka-luka
akibat sabetan golok lawan. Meskipun
demikian dia masih dapat melakukan
perlawanan hebat
"Jangan biarkan orang itu lolos!
Habisi mereka!" teriak Algojo Gunung
Sutra ketika melihat Ranjita berlari
meninggalkan arena pertempuran sambil
memegangi tangan kirinya yang lumpuh
itu.
Beberapa orang segera berlompatan
mengejar Ranjita. Namun, Santiaji tidak
membiarkan hal itu. Segera tubuhnya
melompat menghadang lawan dengan senjata
di tangan.
"Monyet-monyet busuk! Rasakan
seranganku ini! Heaaattt...!" Santiaji
segera menggerakkan kedua senjatanya
menerjang orang-orang yang hendak
mengejar Ranjita. Sayang gerakannya
sudah sangat lemah. Sehingga, lawannya
mudah sekali dapat menghindari
serangannya dan langsung membalas ganas.
Crasss!
Brettt!
Craaasss!
"Aaarrrggghhh...!"
Santiaji meraung tinggi, ketika
beberapa tusukan dan bacokan senjata
lawan menembus tubuhnya. Dia langsung
ambruk dan tewas seketika.
"Santiaji...!" Ranjita berteriak
parau, ketika mendengar suara jeritan
kematian saudara seperguruannya itu.
Dari kejauhan, sempat disaksikan
bagaimana tubuh Santiaji tertembus
beberapa buah senjata lawan. Ranjita
hanya memandang dengan tubuh menggigil
menahan luapan amarah yang memenuhi
rongga dada.
"Manusia keparat! Inilah
pembalasanku! Hiaaa...!" Tanpa
mempedulikan keselamatannya lagi,
Ranjita segera berlari dan menerjang
lawan-lawannya. Rupanya ia telah lupa
dengan pesan terakhir Santiaji. Ini
terjadi akibat kemarahan yang
meledak-ledak dalam dada.
Namun sebelum Ranjita dan
musuh-musuhnya berlaga, tiba-tiba
melesat cepat sebuah bayangan yang
langsung mendarat di tengah-tengah
mereka. Dan bayangan itu segera
mendorong telapak tangannya ke arah
belasan orang yang meluncur ke arah
Ranjita.
Wuuusss!
Hembusan angin yang dingin luar
biasa, menyambut kedatangan belasan
orang itu. Tubuh belasan orang itu kontan
berpentalan ke kiri dan kanan akibat
terlanggar hembusan angin dingin.
Belasan orang itu jatuh terduduk sambil
menggigil kedinginan.
"Pendekar Naga Putih...!" seru
orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra,
terkejut.
"Pendekar Naga Putih...!" gumam
Ranjita pelahan, seolah-olah berkata
pada dirinya sendiri. Tiba-tiba
terlintas di benaknya secercah harapan
yang membuatnya menarik napas lega.
Memang bepar apa yang diucapkan
Algojo Gunung Sutra itu. Di
tengah-tengah arena pertempuran,
berdiri seorang pemuda berbaju putih.
Selapis kabut berwarna keperakan
menyelimuti sekujur tubuhnya. Orang itu
adalah Pendekar Naga Putih atau...,
murid tunggal Malaikat Petir atau Tirta
Yasa!
"Hm.... Menyingkiriah kau Pendekar
Naga Putih. Aku tidak mempunyai urusan
denganmu!" bentak Algojo Gunung Sutra
atau Ki Ageng Sampang sambil memasang
wajah bengis.
"Tapi aku mempunyai urusan
denganmu, Orang Tua!" seru Pendekar Naga
Putih bersikap tenang. Sementara sinar
matanya menyorot tajam, bagalkan mata
naga yang sedang marah.
Algojo Gunung Sutra tergetar
hatinya ketika beradu pandang dengan
sinar mata Panji yang tajam itu.
Cepat-cepat dikerahkan tenaga untuk
menekan debaran dalam dadanya.
"Huh! Jangan kira aku akan gentar
mendengar nama besarmu, Pendekar Naga
Putih. Dan sekarang, sambutlah
seranganku! Yeaaattt...!" tegas Algojo
Gunung Sutra.
Setelah berkata demikian, tubuh
jangkung itu melayang dengan kecepatan
tinggi, disertai teriakan menggeledek.
Kedua tangan berputar dan susul-menyusul
dengan serangan yang berbahaya.
"Menyingkirlah, Paman! Biar aku
yang menghadapinya," ujar Panji kepada
Ranjita yang berdiri terpaku di
belakangnya.
Setelah berkata demikian, Panji
mengegoskan tubuhnya sambil memasang
kuda-kuda rendah untuk menghindari
serangan lawan. Begitu serangan lawan
lolos, Panji segera membalasnya dengan
serangan yang tidak kalah berbahayanya.
Dalam waktu singkat, keduanya sudah
bertempur sengit.
Panji yang tidak pernah lalai
melatih ilmunya dalam setiap kesempatan,
teriihat bergerak semakin gesit dan
matang. Kedua tangannya yang berbentuk
cakar naga itu, menyambar-nyambar di
sekitar tubuh lawan. Bahkan kecepatannya
sukar diikuti mata. Hingga dalam
beberapa jurus saja, Algojo Gunung Sutra
tampak terdesak oleh sambaran-sambaran
tangan yang berbentuk cakar itu.
Breeettt!
"Uuuhhh...!" lenguh Algojo Gunung
Sutra.
Dan memang tahu-tahu pangkal
lengannya terkena sambaran tangan lawan
yang amat kuat. Tubuh jangkung itu sampai
melintir seperti gangsing. Cepat-cepat
Algojo Gunung Sutra bergulingan menjauhi
lawannya. Orang tua itu bangkit berdiri
sambil memandang luka di pangkal lengan.
Untunglah sambaran tangan lawan tidak
terlalu telak mengenainya. Kalau saja
telak, bukan hanya kulit dan bajunya yang
terkelupas. Bahkan daging pangkal
lengannya bisa hancur akibat cakaran
yang berbahaya itu. Cepat orang tua itu
mengerahkan hawa murni untuk mengusir
hawa dingin yang menyelusup dari
lukanya.
"Gila! Anak Muda ini gerakannya
seperti iblis saja!" ucap Algojo Gunung
Sutra dalam hati. Dia memang tidak tahu,
bagaimana caranya pendekar itu bisa
melukainya.
"Anak-anak, serbu...!" teriak
laki-laki tua itu tanpa malu-malu lagi.
Tanpa diperintah dua kali, belasan
orang anak buahnya yang telah terbebas
dari hawa dingin itu segera berlompatan
sambil membabatkan pedangnya ke arah
Panji. Pendekar Naga Putih memang sudah
memperhitungkan hal itu.
Dengan kecepatan yang luar biasa,
tubuh Panji berkelebatan di antara
belasan sinar pedang yang berdesingan
mengincar tubuhnya. Dan setiap kali
tangannya bergerak, selalu disertai
terlemparnya tubuh lawan yang kemudian
tewas dengan tubuh membiru. Hal ini
akibat hawa dingin yang terpancar dari
kedua belah tangan Pendekar Naga Putih.
Dalam beberapa jurus saja, serangan
belasan orang itu menjadi kacau dan tidak
teratur lagi. Rasa gentar mulai
menyelimuti hati mereka, setelah melihat
kelincahan pemuda yang menjadi lawannya
itu. Tanpa disadari, mereka mulai
merenggangkan kepungan. Tentu saja hal
ini membuat gerakan Panji semakin
leluasa untuk melancarkan
serangan-serangan balasan.
Desss!
Blaggg!
"Aaahk!"
Kembali dua orang lawannya
terjungkal, sambil memperdengarkan
jerit kematian. Dua orang yang terkena
hantaman sisi telapak tangan Panji itu
tergeletak tewas, dan tubuhnya membiru.
Menyaksikan hal ini, kawan-kawannya
segera berloncatan mundur disertai wajah
yang memucat.
"Ombak besar, lari!" teriak Algojo
Gunung Sutra yang merasa bahwa anak
buahnya tidak akan mampu menghadapi
lawannya.
Setelah berkata demikian orang tua
bertubuh jangkung itu segera melompat ke
arah semak-semak, diikuti anak buahnya.
Dalam sekejap saja, belasan orang itu
sudah lenyap di balik rimbunnya
pepohonan.
"Mengapa tidak dikejar, Kisanak?"
tanya Ranjita, keheranan.
"Biarlah, Paman! Sekarang sebaiknya
kita pergi. Di perjalanan kita bisa
berbincang-bincang tentang pengeroyokan
mereka terhadap Paman," tegas Pendekar
Naga Putih kalem.
* * *
TUJUH
Perguruan Gunung Salaka kembali
dilanda kegemparan. Suasana di sekitar
perguruan terlihat sunyi, karena para
murid dan tokoh-tokoh perguruan tengah
berkumpul di ruang utama perguruan itu.
Mereka duduk bersimpuh mengelilingi
sebuah peti mati. Wajah mereka semua
menggambarkan perasaan sedih dan marah.
Memang, sejak Ki Tunggul Jagad
mengundurkan diri, malapetaka itu terus
saja mengancam.
Kejadian yang melanda Perguruan
Gunung Salaka secara berturut-turut,
telah membuat perguruan itu seolah-olah
larut dalam mimpi yang buruk dan
menakutkan. Mereka yang selalu hidup
dalam ketentraman tiba-tiba saja
dikejutkan kejadian-kejadian yang mem-
buat hati penasaran dan marah.
Baru saja, perguruan itu kedatangan
beberapa orang penduduk Desa Cikunir
yang dipimpin langsung kepala desanya
sendiri. Mereka mengantarkan sebuah
bungkusan yang tidak diketahui isinya.
Menurut mereka, bungkusan itu diterima
dari seorang laki-laki tua yang mengaku
berjuluk Algojo Gunung Sutra. Dia telah
berpesan agar menyampaikan bungkusan itu
pada Perguruan Gunung Salaka.
"Ketika kami tanyakan mengapa tidak
mengantarkannya sendiri, ia mengatakan
bahwa masih mempunyai tugas yang amat
mendadak. Begitulah, yang dikatakan
orang bertubuh jangkung itu," tutur
Kepala Desa Cikunir kepada beberapa
orang murid perguruan yang menyambut
kedatangannya.
Setelah menyampaikari bungkusan
itu, Kepala Desa Cikunir dan beberapa
orang warganya segera mohon diri.
Murid-murid Perguruan Gunung Salaka yang
memang sudah mengenai mereka, tentu saja
tidak menjadi curiga. Dan dibiarkan saja
kepala desa dan beberapa orang warganya
itu meninggalkan perguruan itu.
Dua orang murid perguruan bergegas
menyampaikan bungkusan itu kepada guru
besar mereka. Segera diceritakannya
asal-usul bungkusan itu.
"Algojo Gunung Sutra...!" gumam Ki
Sukma Kelana dengan kening berkerut
setelah mendengar keterangan dua orang
muridnya. Lalu diperintahkanlah dua
orang muridnya untuk melanjutkan
tugasnya. Dengan disaksikan empat orang
tokoh tingkat tiga, Ki Sukma Kelana
segera membuka bungkusan tadi.
"Aaah!"
Empat orang tokoh tingkat tiga itu
kontan menjerit tertahan ketika
menyaksikan isi bungkusan. Tubuh mereka
menggigil menahan gejolak amarah yang
memenuhi rongga dada. Wajah keempat
orang itu pucat dan merah
berganti-ganti.
Sedangkan Ki Sukma Kelana sendiri
hanya termangu-mangu, namun wajahnya
pucat. Wakil ketua yang diserahi tugas
memegang jabatan ketua sementara selama
gurunya mengasingkan diri itu, memandang
sayu. Jelas sekali gambaran kesedihan
dan penyesalan membayang di wajah tua
nya.
"Oh..., Adi Surya Kencana. Apa yang
harus kukatakan kepada Guru nanti?
Mengapa begitu berat tanggungjawab yang
harus kupikul? Ya, Tuhan..., dosa apa
kiranya yang telah hamba lakukan?" tatap
orang tua itu sambil memandangi kepala Ki
Surya Kencana yang tanpa tubuh itu.
"Guru, benarkah yang melakukan
perbuatan keji itu adalah Ki Ageng
Sampang?" tanya salah seorang dari
keempat murid itu. Suara mereka
mengandung rasa penasaran yang tak dapat
disembunyikan.
"Hhh..., entahlah! Aku sendiri
masih meragukannya," desah Ki Sukma
Kelana. Helaan napasnya terdengar berat.
Keempat orang murid tingkat tiga
Perguruan Gunung Salaka itu terdiam
ketika menyadari bahwa Ki Sukma Kelana
tidak ingin membicarakan persoalan itu
saat ini. Menyadari hal ini, empat orang
murid utama itu pun segera berpamit
kepada gurunya.
Itulah kejadian yang menggemparkan
seisi Perguruan Gunung Salaka. Kiriman
mayat kepala tanpa tubuh Ki Surya Kencana
itu, benar-benar membuat seluruh
penghuni perguruan menjadi marah dan
penasaran. Jadi, itulah mengapa pada
hari ini Perguruan Gunung Salaka
teriihat sunyi tanpa kegiatan. Rupanya
Perguruan Gunung Salaka tengah
berkabung.
Di tengah suasana berkabung yang
hening dan mencekam itu, tiba-tiba
terdengar teriakan lantang yang bergema
ke seluruh penjuru bangunan besar itu.
"Ki Tunggul Jagad! Aku utusan Ki
Ageng Pandira, datang berkunjung!"
Murid-murid Gunung Salaka yang
tengah dilanda kesedihan itu saling
pandang satu sama lain. Entah siapa yang
memulainya, tiba-tiba saja mereka
berloncatan sambil menghunus pedang.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar
bentakan keras mengandung tenaga dalam
tinggi. Bagaikan ledakkan petir di
angkasa saja layaknya.
Para murid perguruan yang berlarian
serentak menghentikan langkahnya,
ketika mendengar teriakan yang terdengar
marah. Puluhan orang murid dengan
senjata di tangan itu berpaling menatap
gurunya. Pandangan mereka menyiratkan
kekecewaan.
“Apa maksud kalian semua, heh!
Jawab!" bentak Ki Sukma Kelana dengan
wajah merah padam karena amarah.
"Apakah kalian ingin main hakim
sendiri? Kalian anggap apa aku, hah!"
Puluhan orang murid Gunung Salaka
itu menunduk dalam-dalam. Tidak ada
seorang pun yang berani mengangkat
wajahnya. Sama sekali tidak disangka
bahwa guru besar mereka menjadi
sedemikian marahnya. Tanpa diperintah
murid-murid Gunung Salaka itu segera
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki
Sukma Kelana.
"Ampunilah kami, Guru...!" seru
mereka serentak.
Tersentuh hati ki Sukma Kelana
melihat permohonan maaf murid-muridnya
itu. Dia pun sebenarnya merasa maklum
akan perasaan murid-muridnya itu.
Apalagi untuk menyalahkan sikap mereka
yang sedang dilanda kesedihan.
"Bangkitlah, kalian murid-muridku!
Marilah kita sambut mereka dengan kepala
dingin," ajak orang tua itu lembut.
Sekarang, bukalah pintu untuk mereka!"
"Baik, Guru," jawab dua orang di
antara murid-muridnya yang kemudian
bangkit dan bergegas mengerjakan
perintah.
"Selamat bertemu, Kakang Sukma
Kelana. Apakah sehat-sehat saja?
Bagaimana pula kabar Ki Tunggul Jagad?"
tanya orang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat itu, sambil melangkah
masuk diikuti empat orang lainnya.
"Baik-baik saja! Bagaimana pula
keadaan Ki Ageng Pandira?" tanya Ki Sukma
Kelana berbasa-basi, sambil berusaha
menekan kemarahan dalam hatinya.
Meskipun begitu, tetap tidak
menyembunyikan nada suaranya, yang
terdengar dingin dan kaku.
"Ada kabar apa sehingga kau
berkunjung kemari?"
"Guru, untuk apa berbasa-basi lagi?
Bukankah sudah jelas kalau dia yang telah
mengirimkan bungkusan itu!" teriak salah
seorang dari empat murid utama Gunung
Salaka itu, tak sabar.
"Eh... eh! Ada apa ini? Apa maksud
kalian?" tanya Ki Ageng Sampang dengan
wajah keheranan. Seolah-olah orang tua
itu memang tidak mengetahui maksud
perkataan tokoh utama Perguruan Gunung
Salaka itu.
"Oh, Apakah Algojo Gunung Sutra
sudah kehilangan keberanian utuk
mengakui, perbuatannya?" ujar tokoh yang
lain bernada mengejek.
"Nanti dulu..., nanti dulu, hei!
Kakang Sukma, ada apa ini sebenarnya? Aku
sungguh tidak mengerti?" sahut Ki Ageng
Sampang dengan wajah yang mulai diliputi
ketegangan.
"Hm. Benarkah kau tidak
mengetahuinya?" tanya Ki Sukma Kelana
dingin. Nada suara orang tua itu
benar-benar tidak enak terdengar di
telinga.
"Sungguh! Aku sama sekali tidak
mengerti, Kakang! Dan kedatanganku
kemari pun, bukan tidak membawa
persoalan!" jawab Ki Ageng Sampang yang
amarahnya mulai terpancing.
"Kedatanganku kemari sebenarnya
ingin meminta pertanggungjawaban Ki
Surya Kencana dan beberapa murid
perguruan ini. Mereka telah membantai
puluhan murid Gunung Sutra dan tiga tokoh
utama secara biadab! Di sini aku sengaja
bersikap sabar dan tidak ingin bertindak
sembarangan, namun ternyata sikap baikku
malah tidak kalian anggap sama sekali!"
"Huh! Kau sengaja ingin memutar
balikkan kenyataan, Ki Ageng Sampang!
Belum lama ini kami telah menerima
bungkusan yang kau titipkan kepada
Kepala Desa Cikunir! Kau tahu apa isi
bungkusan itu?" jelas salah seorang
tokoh Gunung Salaka penuh amarah.
"Oh! Apa... apa isinya...?" yang
bertanya kali ini adalah seorang tokoh
Gunung Sutra yang sejak tadi hanya diam
saja.
"Hm. Baiklah kalau kalian enggan
berterus terang kepada kami. Kalian
tahu, bungkusan itu adalah isi mayat
kepala tanpa tubuh dari Ki Surya Kencana,
yang dituduh telah membantai murid-murid
kalian itu!" jawab tokoh Gunung Salaka
itu lagi, geram.
"Mustahil! Guru, mereka pasti
sengaja menyembunyikan Ki Surya Kencana
dan sengaja membuat cerita yang tidak
masuk akal itu!" selak salah seorang
tokoh Gunung Sutra kepada Ki Ageng
Sampang yang berjuluk Algojo Gunung
Sutra itu.
"Ya! Kalau memang cerita itu benar,
coba tunjukkan kepada kami!" sambung
tokoh Gunung Sutra yang lainnya,
diiringi senyum mengejek.
"Bangsat! Apa kau kira kami ini
orang-orang pengecut yang tidak berani
menghadapi kalian?! Huh! Manusia
sombong, rasakanlah pukulanku!" teriak
salah seorang tokoh Gunung Salaka yang
sudah tidak dapat menahan kemarahannya
lagi.
Begitu ucapannya selesai, tokoh itu
segera melompat menerjang salah seorang
tokoh Gunung Sutra yang menjadi lawan
bicaranya itu. Dan tanpa dapat dicegah
lagi, keduanya segera terlibat dalam
sebuah pertempuran sengit.
Kedua orang tokoh dari dua perguruan
berbeda itu saling serang dengan
hebatnya. Karena satu sama lain ingin
segera menjatuhkan lawannya, maka
dikeluarkan ilmu andalan masing-masing.
Namun, kepandaian kedua orang tokoh dari
perguruan berbeda itu, ternyata
seimbang. Sehingga pertarungan itu
bagaikan dua saudara seperguruan yang
sedang berlatih saja.
Melihat kawannya sudah mulai
terlibat pertarungan, maka tiga orang
murid tingkat tiga dari Gunung Salaka
segera melesat ke arah tiga murid Gunung
Sutra lainnya. Maka kini masing-masing
pihak sudah saling menyerang ganas.
Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng
Sampang yang berniat mencegah
pertempuran itu, ternyata disalah
artikan oleh Ki Sukma Kelana.
"Sabar dulu. Biarkanlah mereka
bermain-main sejenak. Tapi kalau memang
tanganmu sudah gatal, aku sanggup
melayanimu bermain-main barang satu atau
dua jurus. Nah, sambutlah seranganku."
Setelah berkata demikian tubuh
orang tua itu sudah tiba di hadapan Ki
Ageng Sampang dan langsung melancarkan
pukulan ke arah Algojo Gunung Sutra.
Laki-laki pemimpin Perguruan Gunung
Sutra itu terkejut dibuatnya karena
serangan Ki Sukma Kelana begitu cepat
datangnya. Itulah salah satu
keistimewaan tokoh tua dari Gunung
Salaka itu. Maka tidak heran kalau orang
menjulukinya Pendekar Tangan Kilat
Gerakan orang tua itu benar-benar bagai
kilat saja cepatnya.
Tentu saja Algojo Gunung Sutra atau
Ki Ageng Sampang tidak membiarkan
tubuhnya jadi sasaran pukulan yang
berbahaya itu. Dengan gerakan indah,
tubuhnya segera berkelebat
menghindarinya. Langsung dibalasnya
serangan itu dengan tidak kalah
dah-syat! Dalam sekejap saja tokoh sakti
itu segera terlibat dalam pertarungan
dahsyat dan mendebarkan!
Menyaksikan pertempuran tiba-tiba
itu, muridmu-rid Perguruan Gunung Salaka
yang belum bertempur segera berlari
menjauhi arena pertarungan. Memang
sambaran angin pukulan yang dikeluarkan
dua tokoh sakti itu sangat berbahaya.
Jika terlanggar akibatnya sangat fatal.
Sudah sepuluh jurus terlewat, namun
sama sekali belum dapat dipastikan pihak
mana yang akan keluar sebagai pemenang.
Memang mereka semua sama-sama gesit dan
sama-sama lihai.
Di antara pertarungan lima pasang
tokoh itu, yang paling seru dan
mendebarkan adalah pertarungan antara
Algojo Gunung Sutra melawan Ki Sukma
Kelana si Pendekar Tangan Kilat.
Apalagi, kedua tokoh itu sudah
menggunakan ilmu andalan perguruan
masing-masing.
Ki Sukma Kelana yang sudah
mengeluarkan jurus 'Sebelas Jurus
Penahan Ombak', bergerak agak lambat
namun tenaga yang terkandung dalam
setiap serangannya benar-benar tidak
dapat dianggap ringan. Setiap lontaran
pukulannya, menimbulkan getaran udara
yang kuat. Sehingga mau tidak mau lawan
harus bersikap lebih hati-hati.
Di lain pihak, Algojo Gunung Sutra
pun sudah menggunakan jurus 'Tinju
Delapan Bayangan', yang menjadi salah
satu ilmu andalan perguruannya. Ilmu itu
memiliki keampuhan yang tidak kalah
dahsyatnya. Gerakannya yang cepat dan
tak terduga itu seolah-olah bergerak
dari delapan penjuru angin. Akibatnya,
lawan bagaikan dikeroyok delapan orang
saja.
Setelah bertempur kurang lebih
selama empat puluh jurus, kedua tokoh
sakti itu mulai merasa penasaran.
tiba-tiba masing-masing melompat ke
belakang dan langsung membentuk
kuda-kuda kokoh bagaikan batu karang.
Angin berhembus keras, ketika kedua
tokoh sakti yang berdiri berhadapan
dalam jarak tiga tombak itu mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaattt...!"
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan mengguntur, satu
sama lain langsung melesat sambil
melepaskan pukulan yang terampuh dari
ilmu masing-masing. Dan....
Blaaarrr!
Terdengar ledakan keras yang
memekakkan telinga. Ternyata ada tiga
sosok tubuh saling bertubruk-kan di
udara. Mereka berpentalan dan jatuh
sejauh tujuh tombak dari titik benturan
tadi. Ki Sukma Kelana maupun Ki Ageng
Sampang langsung bangkit, meskipun tubuh
masing-masing limbung. Dari sela-sela
bibir mereka menetes darah segar. Kedua
tokoh sakti itu merasa terkejut sekali,
karena disaat hampir beradu pukulan tadi
tiba-tiba sesosok bayangan putih
langsung melesat ke tengah-tengah sambil
mendorongkan telapak tangan ke tubuh
mereka.
Kedua orang tokoh sakti itu bergegas
menghampiri sesosok tubuh yang tengah
berusaha bangkit dengan susah payah. Dan
tanpa menghiraukan keadaan
sekelilingnya, sosok tubuh berjubah
putih itu segera bersemadi untuk
memulihkan kekuatannya.
Sementara kegiatan di sekitar
tempat itu menjadi terhenti. Para tokoh
dari dua perguruan berbeda telah
menghentikan pertempuran ketika
mendengar ledakkan dahsyat tadi. Mereka
pun segera menepi dan berkumpul pada
kelompok masing-masing
"Guru...!" seru seorang laki-laki
yang berusia sekitar tiga puluh lima
tahun tiba-tiba. Langsung dijatuhkan
dirinya berlutut di hadapan Ki Sukma
Kelana.
"Oh, Ranjita! Apa yang terjadi
denganmu? Mana Santiaji?" tanya Ki Sukma
Kelana. Keningnya berkerut ketika
melihat keadaan Ranjita yang seperti
habis bertempur itu.
"Panjang sekali ceritanya, Guru!"
jawab Ranjita pelan. "Guru! Dia itu,
Pendekar Naga Purih," seru Ranjita
sambil menunjuk pemuda berjubah putih
yang tengah bersila untuk menghimpun
tenaga.
"Oh, Pendekar Naga Putih!" gumam
sepuluh orang tokoh dari dua perguruan
itu, mereka semua memasang wajah heran.
Sementara itu. Panji yang telah
selesai bersemadi segera bangkit dan
menghampiri mereka. Langkahnya begitu
tenang. Wajahnya yang semula memucat
akibat benturan dahsyat tadi, kini
tampak memerah pertanda sudah dapat
dipulihkan tenaganya.
Setelah saling bertegur sapa, Ki
Sukma Kelana segera mengajak mereka
memasuki bangsal utama perguruan Gunung
Salaka. Tak lupa, mereka juga mengajak
tokoh-tokoh dari Perguruan Gunung Sutra
untuk melanjutkan pembicaraan dan
memecahkan masalah misterius ini.
* * *
"Nah! Sekarang, marilah kita
pecahkan teka-teki ini dengan kepala
dingin. Ranjita, coba ceritakan
pengalamanmu," usul Ki Sukma Kelana
ketika mereka telah berkumpul di ruang
bangsal utama. Ki Sukma Kelana rupanya
sudah menyadari kekeliruannya, dan kini
bersikap lebih hati-hati.
Ranjita segera menceritakan apa-apa
yang dialami dari awal, hingga akhirnya
ditolong Panji Pendekar Naga Putih.
Murid tingkat empat itu sama sekali tidak
melebih-lebihkan atau pun mengurangi
ceritanya.
"Demikianlah, Guru. Kalau saja saat
itu tidak datang Pendekar Naga Putih,
pasti aku tidak akan pernah kembali lagi
ke perguruan!" desah Ranjita menutup
ceritanya.
"Tidak mungkin!" selak salah
seorang tokoh Gunung Sutra. "Selama dua
hari ini, kami selalu bersama. Jadi
bagaimana mungkin kalau Ki Ageng Sampang
melakukan hal itu?!"
"Sabarlah! Bukankah Ki Sukma Kelana
sudah mengatakan akan membahas masalah
ini dengan kepala dingin. Mengapa kau
menjadi tidak sabar?" tegur Algojo
Gunung Sutra.
"Ah, maafkan aku. Aku benar-benar
bingung!" ucap orang yang menyelak tadi
dengan wajah kemerahan.
Ki Sukma Kelana lalu melanjutkan
pembicaraan itu. Akhirnya kedua belah
pihak memutuskan untuk menunda
perselisihan di antara mereka, sampai
bisa ditemukan bukti-bukti nyata. Lalu
mereka sepakat untuk mengutus murid
andalan masing-masing untuk menyelidiki
dan memperjelas persoalan itu.
"Adi Panji, kami sangat memerlukan
bantuanmu untuk menyertai seorang murid
kami dalam melakukan penyelidikan.
Mudah-mudahan kau bersedia," ujar Ki
Sukma Kelana penuh harap.
"Benar! Sebenarnya kami tidak dapat
meninggalkan perguruan tanpa seijin
ketua. Sedangkan saat ini ketua
Perguruan Gunung Salaka maupun Gunung
Sutra tengah mengasingkan diri. Dan
sekarang ini kami diberi tugas untuk
mengurus perguruan selama beliau pergi,"
sambung Ki Ageng Sampang menimpali
ucapan Ki Sukma Kelana.
"Baiklah, Ki. Akan kucoba untuk
membantu memperjelas persoalan ini,"
jawab Pendekar Naga Putih.
Tidak berapa lama, Ki Ageng Sampang
beserta rombongannya bergegas
meninggalkan perguruan itu diikuti Panji
dan seorang murid andalan dari Perguruan
Gunung Salaka yang bernama Suntara.
Suntara adalah murid langsung Ki
Tunggul Jagad yang dirahasiakan. Hanya
dua orang murid kepala yaitu Ki Sukma
Kelana dan Ki Surya Kencana yang
mengetahuinya. Karena Suntara dibimbing
langsung Ki Tunggul Jagad, maka
kepandaiannya pun tidak jauh di banding
dua tokoh itu. Itulah sebabnya, mengapa
Ki Sukma Kelana berani mempercayakan
tugas ini kepadanya.
"Ayo, kita harus mempercepat
perjalanan," ajak Algojo Gunung Sutra
sambil melesat mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya.
Melihat orang tua itu sudah berlari
meninggalkan mereka, tapa dikomando lagi
enam orang lainnya segera berlari
mengejar. Terjadilah kejar-kejaran yang
seru di antara tujuh orang sakti itu.
Ki Ageng Sampang semakin
mempercepat larinya karena diam-diam,
ingin diujinya kepandaian Panji dan
Suntara yang masih belum diketahuinya
jelas. Tapi, alangkah terkejutnya orang
tua itu ketika menoleh ke belakang.
Ternyata baik Pendekar Naga Putih maupun
Suntara sudah berada di belakangnya.
Sedangkan empat tokoh Gunung Sutra
lainnya tertinggal di belakang.
Karena masih merasa penasaran, Ki
Ageng Sampang segera mengempos
semangatnya. Segera dikerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuh orang tua itu meluncur bagaikan
anak panah lepas dari busur. Napasnya
agak sedikit memburu dan butir-butir
keringat mulai membasahi dahinya. Dan
untuk kedua kalinya ia menjadi terkejut
ketika menoleh. Ternyata dua pemuda itu
masih saja berada di belakangnya.
"Hm, anak-anak muda yang hebat!"
ucapnya dalam hati.
Merasa sudah cukup menguji dua
pemuda itu, Ki Ageng Sampang kembali
memperlambat larinya.
"Kalau kuteruskan, bisa-bisa putus
napasku," ujar Ki Ageng Sampang dalam
hati sambil tersenyum mesem.
Setelah melakukan perjalanan selama
kurang lebih satu setengah hari, maka
tujuh orang itu tiba di daerah Gunung
Sutra. Kegelapan telah menyelimuti bumi,
ketika Ki Ageng Sampang, Panji, Suntara,
dan empat orang tokoh Gunung Sutra tiba
di Perguruan Gunung Sutra.
Ki Ageng Sampang segera mengajak
Panji dan Suntara untuk bermalam di
perguruan itu, agar keesokan paginya
dapat melanjutkan perjalanan dengan
tubuh segar.
"Apakah Ki Ageng akan ikut dengan
kami, besok?" tanya Panji kepada Ki Ageng
Sampang, sebelum memasuki kamar yang
disediakan untuknya dan Suntara.
"Oh! Tidak, Saudara Panji. Kami akan
mengutus seorang murid kesayangan Ki
Ageng Pandira yang bernama Rahayu.
Dialah yang akan menyertai kalian berdua
dalam melakukan penyelidikan. Nah,
sekarang beristirahatlah dulu, agar
kalian menjadi lebih segar," ujar Ki
Ageng Sampang. Setelah berkata demikian,
orang tua itu beranjak meninggalkan
mereka.
Malam semakin larut. Nyanyian
binatang-binatang malam saling
bersahutan sehingga membuat suasana
malam semakin semarak.
* * *
DELAPAN
Hari masih sangat pagi. Bumi pun
masih terselimut kegelapan. Di kejauhan
terdengar kokok ayam hutan yang
bersahut-sahutan, Semilir angin pagi
yang berhembus masih terasa dingin
menyentuh kulit.
Dari kejauhan teriihat tiga sosok
tubuh tergesa-gesa menuruni Lereng
Gunung Sutra, yang puncaknya masih
dilapisi kabut tebal. Ketiga sosok tubuh
itu berlompatan dengan lincahnya, bagai
tiga ekor burung yang tengah menikmati
keindahan suasana pagi. Lereng Gunung
Sutra yang masih basah oleh embun itu,
sepertinya tidak menjadi halangan bagi
mereka untuk menuruninya.
Tidak beberapa lama, ketiganya
sudah tiba di kaki gunung. Sejenak mereka
berhenti, sambil menoleh ke kiri dan
kanan.
"Arah mana yang harus ditempuh,
Panji?" tanya lelaki di sebelahnya yang
bertubuh agak jangkung. Dia tak lain dari
Suntara, murid kesayangan Ki Tunggul
Jagad.
"Lebih baik ambil jalan Selatan
saja, karena di Utara banyak
perkampungan penduduk," jawab orang yang
tak lain adalah Panji Pendekar Naga
Putih. "Bagaimana menurutmu, Adik
Rahayu?" tanya Panji sambil menoleh
kepada orang yang dipanggil Rahayu, dan
ternyata seorang wanita.
"Kalau aku terserah kalian saja,"
jawab gadis yang bernama Rahayu itu.
Suaranya begitu halus.
Rahayu adalah satu-satunya murid
wanita dari Ki Ageng Pandira yang menjadi
ketua Perguruan Gunung Sutra. Biarpun
seorang wanita, namun tidak mungkin
dipandang remeh. Sebab sebagai murid Ki
Ageng Pandira yang berjuluk Dewa
Berlengan Delapan itu. Rahayu pasti
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Apalagi sudah dipercayakan untuk
menunaikan tugas yang berbahaya seperti
itu. Pasti ia telah dibekali ilmu-ilmu
yang tinggi dan hebat.
Memang, akhirnya arah yang diambil
tiga orang muda-mudi itu adalah ke arah
Selatan, sebagaimana yang diusulkan
Pendekar Naga Putih. Mereka melangkah
bersisian, melewati sebuah hutan kecil
yang jarang dijamah manusia. Jalan itu
sengaja dipilih, karena itu adalah jalan
pintas.
Setelah hampir setengah harian
berjalan, beberapa ratus depa di hadapan
mereka terbentang sebuah jalan besar
yang banyak dilalui orang.
"Hm, rasanya kita akan melewati
sebuah perkampungan penduduk," gumam
Panji tak jelas.
"Apakah kita akan singgah, Panji?"
tanya Rahayu yang rupanya mendengar
gumaman Panji tadi.
"Tentu saja. Perutku sudah
keroncongan minta diisi," jawab Suntara
tanpa malu-malu sambil menepuk-nepuk
perutnya hingga menimbulkan suara
nyaring.
"Apa kau kira perutku dari batu?
Dengarlah nyanyian cacing-cacing di
perutku yang sudah segera minta diisi,"
timpal Panji seraya tertawa
terbahak-bahak.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?
Ayo!" seru Rahayu sambil melesat
mendahului kedua kawannya. Gerakan gadis
itu gesit sekali, bagaikan seekor burung
walet yang baru keluar dari sarangnya.
Melihat gadis itu sudah mendahului,
kedua pemuda itu tidak mau ketinggalan.
Sekali menjejak tanah, tubuh mereka
segera melayang mengejar Rahayu.
Timbul kegembiraan di hati gadis itu
ketika melihat dua kawannya yang
sama-sama tampan dan gagah mengejar di
belakangnya. la pun segera mempercepat
larinya seraya mengerahkan seluruh
tenaga, sehingga dua orang pemuda itu
tertinggal di belakangnya.
Suntara dan Panji tentu saja
mengetahui maksud gadis itu sebenarnya.
Maka segera dikerahkan kemampuan mereka
untuk mengejar Rahayu, yang beberapa
ratus depa di depan. Namun meskipun
Suntara telah mengerahkan seluruh
kemampuan tetap saja jarak di antara
mereka tidak berubah.
Panji yang mengetahui bahwa Suntara
tertarik kepada Rahayu, tidak berusaha
untuk mengejar gadis itu. Sebenarnya dia
bisa mengejarnya, tapi sengaja
berpura-pura lelah dan mengalah kepada
mereka.
"Eh! Di mana Panji?" tanya Rahayu,
yang sudah duduk di atas sebuah batu di
tepi jalan ketika Suntara tiba di
dekatnya.
"Entahlah. Mungkin sudah merasa
kelelahan," jawab Suntara yang teriihat
agak sedikit lelah itu. Namun tak lama
kemudian Panji muncul, dengan napas
dibuat tersengal-sengal.
"Wah! Tega-teganya kalian
meninggalkan aku, hhh...," setelah
berkata demikian, Panji segera
menjatuhkan tubuhnya di atasa tanah
berumput.
"Sudahlah. Ayo kita mencari kedai
makan," ajak Suntara. Dia segera
berjalan memasuki perbatasan desa, yang
tinggal beberajpa ratus meter itu.
Tanpa berkata-kata lagi, Panji dan
Rahayu segera melangkah mengikuti
Suntara. Pemuda itu kini sudah memasuki
sebuah kedai makan yang terletak di tepi
jalan utama desa. Panji dan Rahayu juga
segera memasuki kedai, dan langsung
mengambil tempat duduk dihadapan
Suntara.
Setelah selesai mengisi perut tiga
muda-mudi itu segera melanjutkan
perjalanan.
***
"Wah! Terpaksa harus menginap di
dalam hutan!" ujar Suntara, ketika hari
telah gelap.
"Aku kira demikian. Rasanya tidak
ada desa terdekat di sekitar sini!" jawab
Panji. "Mari, kita cari tempat yang
lebih enak."
Maka mereka segera meneruskan
langkahnya memasuki hutan, dan akhirnya
tiba pada sebuah tempat yang agak luas.
Dan tempat itu baik sekali untuk melewati
malam.
"Kalian tunggulah di sini. Aku mau
mencari air. Sepertinya, tidak jauh dari
tempat ini ada sebuah sungai. Aku telah
mendengar gemericik air," jelas Panji
sambil melangkah meninggalkan kedua
kawannya.
"Baiklah. Biarlah aku yang mencari
ranting-ranting kering, agar dapat
digunakan untuk mengusir nyamuk dan hawa
dingin, Kau tunggulah di sini, Adik
Rahayu!" ujar Suntara. Tidak berapa lama
kemudian, kedua orang pemuda itu pun
sudah tidak terlihat lagi.
Rahayu yang ditinggal seorang diri
itu, tiba-tiba menjadi gelisah.
Diputuskanlah untuk jalan-jalan saja,
daripada berdiam diri sendiri seperti
patung. Maka segera kakinya melangkah
mengitari tempat itu.
Ketika tengah melangkah dengan hati
resah, tiba-tiba telinganya yang
terlatih menangkap sebuah desiran halus
dari arah belakang. Cepat bagaikan kilat
gadis itu berbalik, dan cepat sekali
tangannya bergerak menampar sambil
memiringkan kuda-kudanya. Dan gadis itu
menjadi terkejut, ketika merasakan
tangannya bergetar setelah bergerak
menampar.
"Hm, hebat juga tenaga orang yang
berjiwa curang itu!" desis Rahayu.
Penasaran sekaligus geram.
Rahayu yang semula ingin berteriak
menyuruh penyerang gelap itu keluar,
segera mengurungkan niatnya. Alisnya
yang indah itu berkerut, ketika
memperhatikan benda yang menyerangnya
secara gelap tadi. Dengan sikap waspada
diraihnya benda yang ternyata adalah
sebuah daun lontar yang terlipat rapi.
"Hm. Apa maksud orang itu sebenamya?
Jelas orang itu tidak berniat
mencelakakan. Sebab kalau berniat jahat,
mengapa harus menggunakan daun lontar?"
desah Rahayu di tengah keheranannya.
Tangan gadis itu bergerak membuka
lipatan daun lontar. Hatinya berdebar
tegang, ketika membaca tulisan yang
tertera di dalamnya. Dibacanya
berulang-ulang, seolah-olah tidak
mempercayai matanya.
“Kalau ingin menemukan orang ketiga
yang mengacaukan perguruanmu, temuilah
aku di sebuah danau. Letaknya tidak jauh
dan tempatmu. Cepatlah, sebelum semuanya
terlambat.”
Rahayu membaca berulang-ulang
surat yang tertera di atas daun lontar
tadi. Dadanya berdebar cepat antara
perasaan girang dan tegang. Sebab tugas
yang dikatakan berat oleh gurunya itu,
ternyata dapat dilakukan amat mudah.
Tanpa berpikir dua kali, Rahayu
berkelebat cepat mencari tempat yang
dimaksudkan si pengirim daun lontar
tadi. Karena gembira yang meluap-luap,
sehingga Rahayu terlupa akan Suntara dan
Panji yang juga mempunyai tujuan serupa.
Di tempat lain, Suntara yang tengah
memunguti ranting-ranting kering
menjadi terkejut ketika mendengar suara
langkah kaki yang berjalan ke arahnya.
Semula Suntara tidak mempedulikannya,
karena dikira itu adalah suara langkah
kawannya. Namun ketika menoleh, mendadak
wajahnya menegang. Ternyata orang yang
tengah menghampirinya itu adalah Algojo
Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang.
Suntara yang sudah mendengar cerita
Ranjita dan Panji tentang seorang yang
menyamar menjadi Ki Ageng Sampang itu,
sejenak meragu. Tapi keraguannya menjadi
pudar ketika mendengar sapaan orang tua
itu.
"Ha ha ha..., Suntara! Apakah kau
sudah menemukan tanda-tanda orang yang
kau curigai?" tanya Algojo Gunung Sutra,
sambil terus melangkah menghampirinya.
"Oh! Belum. Belum, Ki! Kami... kami
belum menemukan apa-apa," jawab Suntara
gagap. Sementara pandang matanya tetap
meneliti sekujur tubuh Ki Ageng Sampang.
"Mengapa Ki Ageng berada di tempat ini?
Bukankah dia harus mengurus perguruan?"
Suntara bertanya-tanya dalam hati dengan
sikap tetap waspada.
Biar bagaimanapun, Suntara masih
tetap meragukan keaslian orang tua itu.
Sebab sebelum meninggalkan Gunung Sutra,
Ki Ageng Sampang berkata bahwa ia tidak
bisa meninggalkan perguruan. Hal ini
karena ketua Perguruan Gunung Sutra
tengah menyepi di suatu tempat yang tidak
diketahui siapa pun kecuali Ki Ageng
Sampang sendiri. Memang sampai saat ini
ia masih belum mempercayai orang tua di
hadapannya itu. Maka diam-diam
dikerahkan tenaga saktinya untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Orang tua bertubuh jangkung dan
berkumis lebat itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seakan-akan dipahami betul
keraguan Suntara.
"Yahhh.... Dapat kumengerti sikapmu
yang mencurigai aku, Suntara. Memang,
kita tidak boleh mempercayai sesuatu
yang belum diketahui kebenarannya,"
tegas orang yang mengaku sebagai Ki Ageng
Sampang disertai helaan napas yang
dalam.
Wajah orang itu memang teriihat
sedih seolah-olah menyesali perbuatan
orang yang telah menyamar sebagai Algojo
Gunung Sutra. Sedangkan kedua kakinya
terus melangkah mendekati Suntara.
Suntara tertunduk malu mendengar
kata-kata bernada sedih dari orang tua
yang dihormatinya itu. Untuk beberapa
saat lamanya kesiagaannya lenyap
tersentuh kata-kata halus tadi.
Namun, kalau saja Suntara tidak
menundukkan wajahnya tentulah akan
terkejut melihat sinar mata orang tua
itu. Sinar mata yang semula meredup, kini
tampak berkilat penuh cahaya nafsu
membunuh. Jarak di antara mereka hanya
tinggal satu jangkauan tangan saja. Dan,
tiba-tiba saja tangan orang tua itu
terangkat dengan cengkraman maut
Suntara yang tengah lengah itu
mengira bahwa orang yang diduganya Ki
Ageng Sampang itu ingin menepuk
pundaknya, sehingga sama sekali tidak
merasa curiga. Tapi, ketika dirasakan
sambaran angin kuat yang keluar dari
kedua tangan orang tua itu, rasanya sudah
terlambat untuk menghindar. Untung saja,
tenaga dalamnya merasakan ada tekanan
membahayakan dan segera cepat bergolak
melindungi dirinya.
Deeesss!
Tubuh Suntara terpelanting ketika
tamparan keras itu menghantamnya.
Untunglah pada saat yang berbahaya itu
masih dapat dimiringkan tubuhnya.
Sehingga tamparan yang semula tertuju ke
kepalanya, melesat menghantam bahunya
dengan keras. Cepat-cepat Suntara
bergulingan mengikuti dorongan itu, agar
dapat menjauhi lawannya.
"Huaaakkk...!"
Suntara seketika memuntahkan darah
berwarna kehitaman. Jelas itu akibat
hantaman kuat, yang rupanya telah
melukai bagian dalam tubuhnya. Meskipun
demikian Suntara masih mencoba bangkit.
Untunglah tenaga dalamnya telah bergerak
melindungi tubuhnya. Kalau tidak, pasti
bahu yang terkena hantaman lawan itu akan
patah tulang-tulangnya.
Saat itu, orang yang menyamar
sebagai Algojo Gunung Sutra sudah
meluncur sambil mengarahkan
totokan-totokan yang dapat melumpuhkan
tubuh lawan. Kedua tangannya bergerak
susul-menyusul, seolah-olah berebut
untuk menyentuh tubuh Suntara.
Dengan gerakan limbung bagaikan
orang mabuk tuak, Suntara berusaha
menghindari serangan lawannya. Dalam
posisi seperti ini, Suntara masih
mencoba untuk melontarkan
serangan-serangan balasan. Sehingga
untuk beberapa saat lamanya, dia masih
melakukan perlawanan yang cukup berarti.
"Setan! Bocah ini ternyata alot
juga," umpat orang bertubuh jangkung itu
mengumpat, penuh kegeraman. Mau tidak
mau harus diakui keuletan pemuda yang
menjadi lawannya itu.
Wuuuttt!
Orang tua itu memiringkan tubuhnya
menghindari sambaran "tangan kanan
Suntara yang mengarah kepala. Dan
memang, serangan pemuda itu luput. Ki
Ageng Sampang palsu itu langsung
membalas dengan sebuah totokan yang
menimbulkan desingan angin tajam.
Suntara melempar tubuh ke belakang untuk
menghindarinya. Tapi alangkah
terkejutnya pemuda Itu ketika melihat
jari-jari tangan lawan masih tetap
mengejar dan mengancam tubuhnya.
Suntara yang tidak melihat jalan
keluar, terpaksa menyambutnya dengan
sisi telapak tangan miring. Pemuda itu
kembali terkejut ketika jari-jari yang
hendak ditepis, tiba-tiba meliuk dan
meluncur pesat menuju lehernya.
"Aaahhh...!" keluh Suntara agak
terkesiap.
Segera dijatuhkan tubuhnya dan
bergulingan menghindari kejaran tangan
lawan yang bagai seekor ular hidup itu.
Setelah memasrikan bahwa lawannya cukup
jauh, pemuda itu melenting berdiri.
Namun, belum juga Suntara memantapkan
posisi berdirinya, tiba-tiba orang tua
itu bersalto melewati kepalanya dan
mendarat di belakangnya. Sementara
Suntara yang masih terkesiap tiba-tiba
merasakan....
Desss!
"Uuughhh...!" Suntara melenguh
tertahan.
Tubuh Suntara terlontar keras ke
depan, ketika sebuah tendangan
berkekuatan hebat menghantam bagian
belakangnya. Pemuda itu ambruk tak
sadarkan diri, setelah terlebih dahulu
memuntahkan darah segar. Sejenak orang
tua itu tertawa, lalu mendekati tubuh
Suntara. Segera dipanggulnya tubuh murid
kesayangan Ki Tunggul Jagad itu.
***
Sementara itu, Panji yang sudah
kembali ke tempat Rahayu menunggu,
menjadi keheranan ketika tidak menemukan
gadis itu. Nalurinya yang tajam
mengisyaratkan adanya bahaya yang
mengancam di sekitar tempat ini. Panji
mengitari sekitarnya dengan kewaspadaan
penuh. Pendekar Naga Putih itu
mengurungkan niatnya untuk memanggil
Rahayu, ketika pendengarannya yang
terlatih menangkap samar-samar suara
orang tengah melangkahkan kaki.
Cepat bagai kilat Panji melesat ke
arah asal suara tadi. Beberapa saat
kemudian, pemuda itu menjadi kebingungan
ketika suara itu mendadak terhenri.
Pendekar Naga Putih itu mengerutkan
keningnya sambil mengerahkan seluruh
kepekaan pendengarannya. Panji segera
menyusupkan tubuhnya di balik
semak-semak, ketika mendengar suara
langkah kaki kembali terdengar
mendatanginya.
"He he he.... Ki Tunggul Jagad,
tunggulah kehancuranmu!" terdengar
suara tawa kemenangan dari mulut orang
tua bertubuh jangkung ketika melintas
tidak jauh di hadapan Panji Pendekar Naga
Putih itu menjadi terkejut melihat tubuh
yang terkulai di atas bahu orang yang
mengaku sebagai Algojo Gunung Sutra.
"Suntara...!" desisnya keheranan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
tubuhnya segera melesat melampaui kepala
orang tua tersebut.
"Berhenti...!" bentak Panji begitu
kakinya mendarat di hadapan orang
bertubuh jangkung itu. "Hm..., lagi-lagi
kau membuat ulah, Orang Tua!" desis Panji
penuh kemarahan.
Orang tua itu tersentak kaget,
sambil melangkah mundur. Jelas tergambar
rasa gentar di wajahnya ketika mengenali
pemuda yang menghalangi jalannya.
Matanya berputar liar mencari jalan
untuk menghindar.
"Huh! Mengapa kau selalu mencampuri
urusanku, Pendekar Naga Putih?!" dengus
orang tua itu.
Mulutnya berkata demikian, tapi
sementara otak-nya berputar mencari
jalan selamat. Rupanya Ki Ageng Sampang
palsu yang sudah pernah merasakan
kehebatan Panji, merasa yakin tidak akan
dapat mengatasi pemuda sakti itu.
Makanya, sekarang ini dia berusaha untuk
mengulur waktu sambil memutar otaknya
mencan jalan keluar.
"Tidak perlu banyak bicara lagi,
Orang Tua! Terimalah hukumanmu!" bentak
Panji geram.
Begitu ucapannya selesai, tubuh
pemuda itu melesat cepat membawa
serangan berbahaya. Selapis kabut tipis
yang berwarna putih keperakan kini telah
menyelimuti tubuhnya. Pertanda bahwa
pemuda sakti itu telah mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang
menimbulkan hawa dingin luar biasa.
Kedua tangannya yang telah membentuk
cakar naga itu terulur disertai hembusan
udara dingin yang menggigit.
Algojo Gunung Sutra palsu terkejut
ketika merasakan sambaran hawa dingin
yang sangat kuat menerpa tubuhnya.
Cepat-cepat dilempar tubuhnya
kebelakang untuk menghindari serangan
yang luar bisa hebatnya. Wajah orang tua
itu berubah pucat ketika sepasang tangan
yang bagaikan cakar-cakar naga itu terus
mengejarnya. Karena tidak mempunyai
peluang untuk lolos, orang tua itu pun
menggerakkan tangan nya menangkis
serangan Pendekar Naga Putih dengan
sekuat tenaga!
Dukkk!
"Aiiihhh.,.!" jerit orang tua itu.
Seketika dirasakan hawa dingin yang
amat kuat menyusup dari tangan pemuda
itu. Saat menangkis serangannya.
Tubuhnya terpelanting ke belakang sejauh
tiga tombak. Sehingga tubuh Suntara yang
semula berada di bahunya ikut pula
terlempar. Cepat dia bangkit sambil
mengerahkan hawa mumi untuk mengusir
hawa dingin yang membuat tubuhnya
menggigil hebat. Darah merah yang agak
mengental karena hawa dingin itu
mengalir melalui sela-sela bibirnya.
"Ilmu iblis...!" dengus orang yang
mengaku-ngaku sebagai Algojo Gunung
Sutra. Wajahnya nampak semakin memucat
Setelah dapat mengusir hawa dingin
tubuhnya, orang tua itu segera bersiap
menghadapi gempuran lawannya.
"Huh! Jangan bertepuk dada dulu,
Anak Muda! Ayo kita bertempur sampai
seribu jurus!" gertak Algojo Gunung
Sutra palsu di tengah keputusasaannya.
Namun, sebelum kedua orang itu
saling bergebrak, tiba-tiba terdengar
lengkingan halus yang menyakitkan
telinga, Panji terkejut ketika merasakan
kekuatan yang terkandung dalam suara
lengkingan itu. Meskipun tidak
membahayakan dirinya, tapi hatinya cemas
juga. Dari suara lengkingan itu Pendekar
Naga Putih dapat menebak kepandaian
orang yang mengeluarkan suara lengkingan
itu.
Di lain pihak, orang yang menyamar
sebagai Algojo Gunung Sutra itu menjadi
berseri-seri wajahnya.
"Ha ha ha...! Syukurlah kau segera
datang, Nyai Serondeng!" ujar orang tua
itu tertawa gembira. Sementara tubuh
Suntara sudah pula berada dalam
pondongannya. Dia memang ingin menculik
pemuda ini.
"Cepat tinggalkan tempat ini,
goblok!" perintah wanita tua yang
tiba-tiba saja sudah berada di tempat
itu.
"Berhenti! Langkahi dulu mayatku
kalau kalian ingin meninggalkan tempat
ini!" bentak Panji. Segera dia melesat
mengejar Algojo Gunung Sutra palsu yang
sudah bergerak meninggalkan tempat
pertarungan.
"Hi hi hi.... Selamat tinggal,
Pendekar Naga Putih! Sayang sekali, hari
ini aku tidak mempunyai waktu untuk
bermain-main denganmu!" tegas wanita tua
itu. Suaranya begitu tinggi dan nyaring.
Setelah berkata demikian, wanita
tua itu menggerakkan tangannya ke arah
Pendekar Naga Putih. Melihat luncuran
sebuah benda putih yang berbentuk bulat
itu bagitu deras, cepat-cepat Panji
melesat ke atas dan berputar dua kali di
udara.
Darrr!
Benda sebesar telur puyuh itu
meledak ketika menyentuh permukaan
tanah. Asap putih tebal yang menebarkan
bau itu bergulung-gulung menutupi
sekitarnya. Pendekar Naga Putih yang
baru saja mendaratkan kakinya di tanah,
tidak dapat mengejar kedua musuhnya.
Tentu saja, karena asap tebal telah
menghalangi penglihatannya.
"Asap beracun...!" sentak Panji
sambil melompat keluar dari gulungan
asap tebal tersebut Kedua tangan pemuda
sakti itu mendorong ke depan seraya
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Wuuusss!
Angin yang berhawa dingin luar biasa
seketika berhembus keras mengusir asap
beracun yang menyelimuti sekitarnya.
Dalam beberapa saat saja, tempat itu
kembali terang. Hanya sayangnya, Panji
sudah tidak menemukan dua orang
musuhnya.
Pendekar Naga Putih berlari
mengitari seluruh daerah itu untuk
mencari dua orang musuhnya tadi. Tapi
mereka bagaikan lenyap ditelan bumi.
Dengan langkah gontai, Panji kambali ke
tempatnya semula, tempat mereka berniat
melewatkan malam. Pemuda itu termenung
mengingat-ingat kejadian-kejadian yang
baru beberapa hari ini dialaminya.
Memang, masih menjadi misteri yang harus
diungkapnya.
Angin malam bersilir lembut
menyejukan tubuh. Seolah-olah ingin
menghibur dan menghilangkan keresahan di
hati pemuda itu. Sekejap kemudian, Panji
sudah terlelap.
Kemanakah perginya Rahayu? Dan
bagaimana nasib Suntara? Siapakah orang
tua yang menyamar sebagai Algojo Gunung
Sutra, dan siapa pula tokoh yang bernama
Nyai Sorendeng itu? Dan yang terpenting,
siapakah yang mendalangi semua kemelut
ini?! Untuk jawabnya, ikutilah kisah
selanjutnya dalam episode “PARTAI RIMBA
HITAM.”
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar