PENDEKAR NAGA PUTIH
DEDEMIT BUKIT IBLIS
Kitab ke : 002
DEDEMIT BUKIT IBLIS
Oleh T . Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa lzin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Dedemit Bukit Iblis
144 hal.; 12 x I8 cm
SATU
Kegelapan malam kini telah menyelimuti
bumi. Angin dingin yang membawa titik‐titik air,
terasa berhembus keras. Sementara cahaya
rembulan yang seharusnya menghiasi sang malam,
nampak lebih suka bersembunyi di balik gumpalan
awan hitam. Suasana pada malam itu semakin
hening dan mencekam!
Demikian pula keadaan Desa Ganjar yang
terletak di wilayah sebelah Barat. Di kedai‐kedai
makan hanya terlihat satu dua orang saja yang
tengah menghangatkan badan, dengan segelas
teh panas. Sedangkan di jalan‐jalan, tampak
lengang dan sepi. Padahal, malam belum begitu
larut.
Namun, di balik kesunyian yang mencekam
itu terlihat beberapa penduduk yang
berkelompok di tempat‐tempat yang
tersembunyi. Mereka berjaga‐jaga dengan senjata
di tangan. Memang, ada sesuatu yang bakal
mengancam desa itu.
Di pintu masuk, maupun di batas desa,
tampak telah dijaga ketat. Puluhan orang
dengan senjata di tangan, telah siap di posnya
masing‐masing.
Di sebuah pos jaga yang terdapat di mulut
desa, kurang lebih lima belas orang laki‐laki
tampak tengah mengelilingi sebuah api unggun.
Mereka sengaja membuatnya untuk mengusir
hawa dingin yang seperti menusuk tulang.
"Hm..., malam sudah semakin larut. Ayo, kita
keliling!" ajak salah seorang dari para peronda Itu.
"Ah! Kakang Jarwa, nanti sajalah! Sebentar lagi,
Kakang!" bantah beberapa orang saling bersahutan,
sambil menggosok‐gosokkan tangannya dekat api
unggun. Udara malam yang semakin dingin,
rupanya membuat mereka merasa malas untuk
meronda kelihng desa
Orang yang dipanggil Jarwa itu menghela napas
sejenak Dia sendiri pun sebenarnya merasa
enggan untuk keliling dalam suasana seperti ini.
Namun, pada saat‐saat desa tengah mengalami
bencana begini, rasanya tidak pantas untuk
mementingkan diri pribadi. Apalagi ia yang mendapat
kepercayaan sebagai kepala keamanan desa.
Sebab pada akhir‐akhir ini, Desa Ganjar telah
diteror oleh peristiwa penculikan bayi. Dalam dua
hari, ini saja, tiga orang bayi yang baru dilahirkan di
Desa Ganjar lenyap tanpa jejak. Malah, keluarga
dari salah satu bayi yang hilang itu, kedapatan
tewas dalam keadaan yang hampir tak dapat
dikenali lagi.
Desa Ganjar pun menjadi gempar! Para penduduk
desa dibayangi rasa takut yang hebat! Terlebih
lagi, Para wanita yang sedang hamil tua.
Kehadiran sang bayi yang biasanya mereka tunggu‐
tunggu, kini malah jadi beban yang menakutkan!
Sebenarnya, kejadian itu bukan hanya terjadi di
Desa Ganjar saja. Tetapi juga dialami oleh hampir
seluruh desa yang terletak di wilayah Barat. Oleh
karena itulah, mengapa pada malam ini hampir di
setiap sudut Desa Ganjar tampak para penduduk
berjaga‐jaga. Baik yang sembunyi‐sembunyi maupun
secara terang‐terangan.
Sementara, sang malam kian larut. Meskipun
hujan belum turun, namun hembusan angin terasa
semakin dingin, membekukan tulang.
"Ayolah! Apakah kalian ingin menunggu hujan?"
ajak Jarwa lagi, yang menjadi kepala jaga di gardu
depan.
Dengan rasa malas, beberapa orang dari para
peronda itu segera bangkit dari duduknya.
"Kalian bertujuh, tetaplah di sini. Awas! Jangan
ads seorang pun yang boleh meninggalkan tempat ini
tanpa sepengetahuanku! Mengerti?!" tegas suara
Jarwa memberi perintah.
"Baik, Kakang! Berhati‐hatilah!" jawab mereka.
Kedelapan orang itu pun, segera beranjak
meninggalkan pos jaga itu. Dengan diterangi tiga
buah obor, mereka mulai mengadakan perondaan di
sekitar Desa Ganjar.
Tok! Tok! Tok!
Suara kentongan terdengar saling bersahutan.
Para peronda yang dipimpin Jarwa berjalan
menerobos kegelapan malam yang dingin. Kadang‐
kadang, mereka berhenti di sudut‐sudut yang agak
gelap. Setelah memastikan keadaan di tempat itu
aman, para peronda itu pun segera meneruskan
langkahnya.
Tanpa sepengetahuan para peronda, sesosok ba
yangan putih nampak berkelebat menerobos kepekat
an malam. Gerakan bayangan putih itu bukan main
cepatnya! Sepertinya bayangan itu memiliki tingkat
kepandaian yang tinggi. Bayangan putih itu
berkelebat bagai secercah sinar yang samar‐samar.
Bayangan putih itu berloncatan dengan lincahnya dari
satu atap rumah penduduk ke atap lainnya, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Rambutnya yang
panjang dan berwarna putih itu berkibaran tertiup
angin. Sosok yang bagaikan hantu yang berkeliaran itu
terus melesat ke arah sebelah Timur Desa Ganjar.
Waktu sudah lewat tengah malam, ketika Jarwa
bersama ketujuh orang kawannya sampai di Balai Desa
yang terletak di tengah‐tengah desa itu. Sementara
dari arah yang berlawanan, tampak para peronda lain
yang sudah tiba pula di tempat itu.
"Selamat malam, Kang Jarwa ...... tegur salah seorang
dari mereka, yang bertindak selaku pimpinan dari para
peronda itu.
"Ah..., Adi Lugat! Selamat malam," sambut Jarwa,
yang kemudian diikuti oleh para peronda lainnya yang
saling berteguran. "Bagaimana keadaan di batas desa,
Adi Lugat!" tanya Jarwa kemudian.
"Yah..., sampai saat ini masih aman, Kakang!" jawab
orang yang dipanggil Lugat itu.
"Oh..., syukurlah kalau demikian. Mudah‐mudahan
malam ini tidak ada kejadian apa‐apa ...,"ujar ujar Jarwa
mengharap.
"Begitulah yang kita semua harapkan, Kakang!" ujar
Lugat senada. "Eh! Mari, Kakang! Kami ingin
meneruskan perondaan!" pamitnya kemudian.
"Oh! Silakan...,silakan, Adi Lugat!" sahut Jarwa pula.
Setelah berbasa‐basi sejenak, kedua rombongan itu
pun berpisah. Jarwa beserta rombongannya meneruskan
perondaan ke arah batas desa. Sedangkan rombongan
Lugat, menuju ke arah yang berlawanan.
Tok! Tok! Tok!
Suara kentongan kembali terdengar mengiringi
langkah kaki mereka, dengan Irama yang tetap.
Baru saja beberapa langkah mereka berjalan, tiba‐
tiba terdengar jerit ketakutan yang melengking tinggi
memecah kesunyian malam.
"Aaaaaawwww ... !"
Dengan sigap, Jarwa beserta rombongannya segera
berbalik ke tempat semula. Demikian juga dengan
rombongan Lugat. Sehingga kedua rombongan itu
bertemu kembali.
"Adi Lugat! Kau dengar jeritan itu?" tanya Jarwa
dengan wajah diliputi ketegangan.
"Tentu saja, Kakang! Sepertinya dari arah Timur!"
jawab Lugat tidak kalah tegangnya.
"Bunyikan kentongan tanda bahaya!" perintah
Jarwa dan Lugat berbarengan.
Tanpa diperintah dua kali, kentongan segera
dipukul. Suaranya segera disambut oleh kentongan‐
kentongan lainnya. Maka terdengarlah bunyi kentongan
yang bertalu‐talu dan bersahut‐sahutan. Suasana malam
yang semula sunyi dan mencekam itu pun berubah
menjadi ramai, bagai ada pesta rakyat saja.
Dalam sekejap saja, keadaan di Desa Ganjar berubah
menjadi terang benderang oleh puluhan batang obor
yang bermunculan dari segala penjuru.
Sementara itu, rombongan Jarwa dan Lugat telah
lebih dahulu berlari ke arah asal suara jeritan tadi.
Semakin lama, rombongan mereka semakin bertambah
banyak. Karena di dalam perjalanan menuju tempat
itu, banyak penduduk desa yang bergabung
dengan kedua rombongan itu. Meskipun
demikian, sebagian dari mereka tetap siaga di
posnya masing‐masing.
Tidak lama kemudian, rombongan itu tiba di
tempat yang dituju. Ternyata, di situ juga telah
banyak para penduduk dengan senjata di tangan.
Mereka mengurung sebuah rumah, yang
merupakan sumber suara teriakan tadi. Rumah
yang tidak begitu besar, dan berdinding bilik.
"Kakang Jarwa...!" sambut mereka penuh
harap. "Iblis itu ada di dalam!" sambung mereka lagi.
Jarwa segera melangkah mendekati rumah itu.
Setelah memperhatikan sejenak ia pun segera
berteriak keras;
"Hei, manusia, iblis! Keluarlah! Rumah ini sudah
dikepung!"
Ketika tidak mendapat jawaban sepatah kata
pun, mereka mulai tidak sabar untuk segera
bertindak Para penduduk Desa Ganjar memang
merasa geram sekali oleh malapetaka yang
selalu, menimpa desa mereka akhir‐akhir ini.
Mereka ingin sekali memergoki orang biadab itu,
untuk dicincang.
Melihat keadaan yang semakin memanas,
Jarwa dan Lugat kemudian mengatur siasat. Mereka
lalu memerintahkan beberapa orang penduduk
untuk berjaga‐jaga di depan. Sementara Jarwa
dan beberapa orang lainnya bersepakat untuk
menerobos ke dalam.
Dengan satu teriakan nyaring, Jarwa
menendang pintu rumah itu hingga jebol.
Tubuhnya langsung bergulingan dengan sigapnya.
Disusul kemudian beberapa orang lainnya, yang
berlompatan masuk.
Apa yang mereka saksikan dalam rumah itu,
benar‐benar telah melenyapkan nyali mereka.
Beberapa orang penduduk yang telah
berlompatan masuk Itu menjadi lemas kakinya.
Sehingga hanya dapat memandang saja dengan
kaki gemetar! Bahkan ada pula yang terhuyung‐
huyung jatuh sambil menekap mulutnya,
karena menahan rasa mual yang amat sangat.
Siapa yang tidak akan, gemetar, apabila di
hadapan mereka tampak mayat suami istri
pemilik rumah tergeletak dalam keadaan yang
mengenaskan sekali. Kedua mayat itu tidak dapat
dikenali lagi. Tubuh mereka terpisah‐pisah bagai
habis dicabik‐cabik seekor binatang buas yang
amat liar. Percikan‐percikan darah yang masih
segar membanjiri hampir seluruh ruangan itu!
Dan yang lebih mengerikan lagi, di hadapan
mereka berdiri sesosok tubuh berjubah putih
sambil menghirup darah bayi yang masih merah.
Rambutnya yang panjang dan berwarna putih
berjuntai hampir menutupi sebagian wajahnya.
Matanya yang bersinar kebiruan memandang
dengan liar orang‐orang yang berdiri di depan
pintu. Tapi, sepertinya dia tak peduli, dan terus
menggigit leher bayi itu untuk dihisap
darahnya.
"Hmmrrr! Nikmat sekali!" terdengar suara
yang serak dan menyeramkan dan mulutnya yang
dibasahi darah segar bayi itu.
"Ibb... Ilisss ... !" dengan susah payah Jarwa
dan Lugat dapat juga mengeluarkan suara.
Kerongkongan mereka bagaikan tercekik, seperti
berat untuk mengeluarkan suara.
"Hi hl hi...!"
Diiringi tawa yang mendirikan bulu roma, iblis itu
berkelebat sambil melemparkan mayat bayi yang telah
pucat itu ke arah Jarwa dan Lugat. Bayi yang telah mati
itu terus melesat menghantam Jarwa.
Bluk!
Kedua orang yang bagaikan tersihir itu tak sempat lagi
untuk menghindar. Dan anehnya, tubuh Jarwa
terjengkang keras ke belakang. Lugat yang berada di
belakang Jarwa ikut terjengkang. Padahal lemparan tadi
nampak pelahan sekall. Dan lagi, kedua orang itu
bukanlah tokoh kosong. Dapat dibayangkan, betapa
kuatnya tenaga iblis itu.
Sedangkan tubuh iblis itu melesat ke atas atap dan
menjebol wuwungan rumah itu hingga hancur. Tubuhnya
langsung berloncatan, melalui atap‐atap rumah
penduduk.
Beberapa orang penduduk yang berjaga‐jaga di luar
segera memburu bayangan itu.
"Hei, lihat! iblis itu melarikan diri ... !" teriak salah
seorang penduduk sambil menunjuk ke atas atap.
“Serang ... !" teriak yang lainnya.
Tanpa diperintah dua kali, para penduduk Desa
Ganjar itu pun segera melemparkan senjata‐senjata
mereka ke arah bayangan itu.
Trakk! Trakk!
Ketika iblis Itu mengebutkan tangannya untuk
menangkis senjata‐senjata itu, tombak dan golok yang
beterbangan langsung berjatuhan ke tanah. Bahkan
ada beberapa di antaranya yang jatuh dalam
keadaan patah!
"Gila! iblis itu memiliki ilmu kebal ... !" teriak
beberapa orang penduduk kaget.
Rupanya, Iblis itu tidak ingin memperpanjang
urusan. Sebab, selagi para penduduk itu terpaku,
iblis itu pun segera berkelebat meninggalkan tempat
itu.
Beberapa saat setelah kepergian iblis itu,
nampak seekor kuda yang ditunggangi seorang
lelaki gagah mendatangi tempat itu. Usia lelaki itu
kurang lebih lima puluh tahun. Sementara di
belakangnya terlihat dua orang yang mengawalnya.
"Ki Selangkit...!" seru para penduduk
serentak, sambil menganggukkan kepalanya
kepada orang tua itu.
Orang yang bernama Ki Selangkit Itu balas
menganggukkan kepalanya sedikit. Kemudian
dengan gerakan gesit, dia melompat turun dari
kudanya. Demikian pula kedua orang
pembantunya itu, yang tak kalah gesit melompat
dan alas punggung kudanya.
"Ah! Nampaknya aku sudah terlambat!" ujar
Ki Selangkit dengan wajah yang menggambarkan
kekecewaan.
"Benar, Ki! iblis itu baru saja pergi!" jawab
salah seorang dari para penduduk
"Hhh.... Lalu, di mana Jarwa dan Lugat?"
tanya Ki Selangkit, ketika tidak menemukan kedua
orang kepercayaannya itu di antara kerumunan
penduduk.
"Kami di sini, Ki...!" tiba‐tiba terdengar
sahutan dari arah rumah yang terkena musbah tadi
Para penduduk desa yang berkerumun itu segera
menoleh ke arah datangnya suara tadi.
Tampaklah dua orang yang dicari Ki Selangkit,
keluar dari dalam rumah itu.
"Apa yang terjadi Jarwa..., Lugat...T" tanya Ki
Selangkit, ketika kedua orang itu sudah dekat
di hadapannya.
"Hhh...! Kepandaian iblis itu ternyata hebat
sekali, Ki!" lapor Jarwa. Di wajahnya tergambar
rasa ngeri yang masih tersisa.
'Benar, Ki Dan hampir saja kami tewas di
tangannya!" sambung Lugat melengkapi laporan
Jarwa.
"Lalu, bagaimana keadaan di dalam rumah
itu?" tanya Ki Selangkit dengan wajah yang
menggambarkan rasa ingin tahu yang besar.
Jarwa dan Lugat segera menceritakan segala
kejadian yang dialaminya, tanpa mengurangi ataupun
menambahkan sedikit pun.
Setelah mendengar cerita Jarwa dan Lugat, Ki
Selangkit menghela napas dalam. Lalu
dilangkahkan kakinya ke arah rumah yang kini
jadi pusat perhatian itu. la terpaku di ambang
pintu rumah itu. Wajahnya memucat. Sebentar
kemudian wajahnya berubah merah, karena
menahan geram yang amat sangat. Selama
sepuluh tahun memimpin Desa Ganjar, baru kali
inilah la merasa benar‐benar sangat terpukul.
"Kumpulkan semua anggota tubuh mayat‐
mayat itu! Esok baru kita kebumikan sebagaimana
mestinya!" perintah Ki Selangkit, kepada para
penduduk yang masih berkumpul di tempat itu.
"Baik, Ki!" jawab mereka serempak.
"Dan ingat! Kejadian inii jangan kalian ceritakan
kepada anak dan istri kalian! Ingat itu!" pesan
Ki Selangkit sebelum melangkah meninggalkan
tempat itu.
***
Keesokan paginya, Ki Selangkit bersama para
pembantunya telah berada di Balai Desa, untuk
membicarakan musibah yang terus menerus
menimpa penduduk Desa Ganjar.
"Saudara‐saudaraku! Sengaja kukumpulkan.
kalian pada hari ini di sini, untuk membicarakan
masalah yang kita hadapi di desa kita ini.
Nampaknya keadaan sudah semakin gawat!" ujar Ki
Selangkit kepada para pembantunya yang hadir di
tempat pertemuan itu.
"Lalu, bagaimana kita harus mengatasi
masalah ini, Ki? Sedangkan kepandaian iblis itu
sangatlah hebat!" potong Lugat dengan wajah putus
asa.
"Oleh karena itulah aku mengajak kalian
berkumpul di tempat ini untuk meminta
pendapat ataupun usul‐usul kalian!" sergah Ki
Selangkit agak keras.
"Maafkan saya, Ki! Saya..., saya bingung ......
ucap Lugat gagap, ketika melihat Ki Selangkit gusar
karena pembicaraannya dipotong.
Namun Ki Selangkit menjadi sadar akan
perkataannya yang terdengar agak kasar itu.
"Aku pun minta maaf, Lugat! Aku juga heran,
mengapa akhir‐akhir ini aku menjadi mudah
sekali marah!" gumamnya dengan wajah lesu.
Mereka pun menjadi terdiam. Untuk beberapa
saat lamanya ruangan itu menjadi hening,
terbawa arus pikiran masing‐masing.
"Nah! Sekarang aku ingin mendengar
pendapatmu, Adi Jarwa!" ujar Ki Selangkit
kemudian, sambil mernandang ke arah kepala
keamanan desa itu
"Mmm..., begini, Ki! Menurut apa yang saya
ketahui, kepandaian iblis itu sangatlah tinggi.
Dan rasa‐rasanya usaha yang kita lakukan
bersama‐sama penduduk desa selama ini akan
sia‐sia saja! Ah! Maaf, Ki! Bukan berarti saya
meremehkan apa yang telah kita lakukan selama
ini!" ucap Jarwa panjang lebar.
"Lalu, menurutmu apa yang harus kita
perbuat?" tanya Ki Selangkit yang masih belum
dapat menerka arah pembicaraan pembantunya ini.
"Menurut hemat saya, untuk mengatasi
keganasan iblis itu adalah dengan meminta
bantuan para pendekar persilatan!" usul Jarwa
kemudian.
"Hm. Ya, ya," gumam Ki Selangkit sambil
mengangguk‐anggukkan kepalanya. Dan
memang sepertinya ia dapat menerima usul yang
diajukan Jarwa itu.
"Bagaimana, apa ada usul yang lain lagi?"
tanya Ki Selangkit kepada pembantunya yang lain.
"Saya kira usul Kakang Jarwa tepat sekali, Ki'
tegas Lugat sependapat.
"Baiklah! Kalau demikian, kita harus membagi
tugas!" ujar Ki Selangkit kemudian.
Setelah semua yang hadir mendapat
tugasnya masing‐masing, Ki Selangkit pun segera
membubarkan rapat itu. Kemudian, undangan
segera disebarkan ke perguruan‐perguruan silat
yang menjadi sahabat‐sahabat Ki Selangkit, juga
kepada pendekar‐pendekar yang telah mereka
ketahui kepandaiannya.
Pada hari yang telah ditentukan, Desa Ganjar
menjadi ramai oleh, para pendekar yang
berdatangan memenuhi undangan Ki Selangkit.
Puluhan orang‐orang gagah dan berbagai
perguruan berkumpul di Desa Ganjar. Mereka
semua datang dengan hati rela, tanpa
mengharapkan imbalan apa pun. Memang
sudah menjadi kewajiban mereka untuk
menggunakan ilmu yang mereka miliki untuk
kepentingan orang banyak.
Ki Selangkit pun sibuk menyambut
kedatangan para pendekar‐pendekar itu.
Wajahnya nampak berseri seri Terutama setelah
berjumpa dengan sahabat‐sahabat lamanya.
"Ah, Kakang Danu Wirya! silakan, silakan,
Kakang! Terima kasih atas kerelaan Kakang yang
telah sudi datang dari tempat yang jauh untuk
memenuhi undangan kami...!" sambut Ki
Selangkit kepada salah seorang sahabat lamanya
itu.
"Ah, Adi Selangkit! Mengapa sungkan‐
sungkan? Apakah kau telah melupakan
persahabatan kita...?" ujar orang yang dipanggil
Danu Wirya itu dengan wajah gembira.
"Ah! Kakang bisa saja ...... ucap Ki Selangkit
senang.
Danu Wirya merupakan salah seorang
sahabat lama Ki Selangkit. la memiliki sebuah
perguruan silat yang cukup terkenal di wilayah Barat
ini. Perguruannya bernama Gagak Putih, dan telah
banyak menciptakan pendekar‐pendekar tangguh
berjiwa ksatria. Sehingga nama perguruan Gagak
Putih itu sangat disegani kawan dan ditakuti
lawan.
Hampir semua pendekar yang diundang Ki Se
langkit itu datang memenuhi undangan. Mereka
dipersilakan untuk beristirahat melepaskan lelah
di tempat‐tempat yang telah disediakan
sebelumnya oleh Ki Selangkit.
Kedatangan para pendekar persilatan itu
untuk sementara ini telah melegakan hati
penduduk Desa Ganjar yang selama ini tertekan
akibat teror yang melanda desa mereka. Melihat
kegagahan para pendekar itu, penduduk Desa
Ganjar merasa yakin kalau malapetaka yang
menimpa desa mereka akan segera berakhir.
Pada sore harinya Ki Selangkit mengundang
mereka untuk menghadiri pertemuan yang
diadakan di Balai Desa.
Tidak lama kemudian, para pendekar pun mulai
berdatangan ke Balai Desa. Dari langkah‐langkah
kaki mereka yang ringan, dapat ditebak bahwa
mereka rata‐rata mempunyai kepandaian yang
tidak rendah. Sikap mereka juga sopan,
mencerminkan sifat seorang pendekar sejati.
"Silakan masuk, Tuan‐tuan...," sambut Lugat
yang bertugas menyambut di pintu depan.
Para pendekar itu segera mengambil tempat
duduk yang telah disediakan. setelah semua
pendekar yang diundang itu berkumpul, Ki
Selangkit segera membuka pertemuan.
"Sahabat‐sahabat sekalian! Sebelum
pertemuan ini kita mulai, kami persilakan untuk
mencicipi hidangan ala kadarnya ... !" ujar Ki
Selangkit membuka pertemuan.
Tanpa ragu‐ragu lagi, para pendekar itu lalu
mencicipi hidangan yang telah tersedia di atas
meja. Sehingga untuk beberapa saat lamanya,
ruang pertemuan itu menjadi sedikit gaduh.
Sambil mencicip hidangan, para pendekar Itu
saling bertegur sapa satu sama lain.
"Adi Selangkit, rasanya pertemuan ini sudah
bisa kita mulai!" bisik Ketua Perguruan Gagak
Putih, yang duduk di sebelah Ki Selangkit.
"Baiklah, Kakang!" jawab Ki Selangkit.
Plok! Plok! Plok!
Para pendekar itu menoleh secara bersamaan
ke arah suara tepukan itu berasal. Seketika
suara‐suara gaduh itu pun lenyap, berganti
keheningan. Mereka menunggu apa yang akan
dibicarakan Ki Selangkit.
"Sahabat‐sahabat sekalian, apakah pertemuan
ini sudah bisa kita mulai?" tanya Ki Selangkit.
Suaranya begitu berwibawa.
Terdengar suara riuh sejenak, ketika para
pendekar itu menyetujui usul Ki Selangkit ini. Ki
Selangkit segera mengangkat kedua tangannya
ke atas untuk menghentikan suara gaduh yang
seperti kumpulan lebah. Beberapa saat
kemudian, keadaan pun menjadi hening kembali.
"Sahabat‐sahabat sekalian! Mungkin sebagian
besar pendekar‐pendekar yang hadir di sini belum
saling mengenal satu sama lainnya, tetapi sudah
sering mendengar nama masing‐masing, maka kini
aku akan memperkenalkan kalian," ajar Ki
Selangkit dengan wajah berseri‐seri. "Orang yang
duduk di sebelah kanan saya, adalah Ki Danu Wirya
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Hati Emas. Dia adalah Ketua Perguruan Gagak Putih!"
Ki Danu Wirya segera bangkit dari tempat
duduknya, lalu menganggukkan kepalanya.
Semua yang hadir di situ memandang ke
arahnya dengan kagum Nama Pendekar Hati
Emas memang cukup mengguncangkan dunia
persilatan. Sepak terjangnya pun membuat lawan
akan berpikir dua kali untuk berurusan
dengannya.
Dalam lima tahun belakangan ini, namanya
mencuat karena tindakannya yang selalu
menolong orang yang lemah. Banyak sudah
tokoh hitam yang tewas di tangannya. Namun,
tidak sedikit pula yang dilepaskan begitu saja.
Mungkin karena memiliki pertimbangan lain.
"Ah! Sebuah julukan yang kosong saja,
kawan‐kawan!" ucap Ki Danu Wirya merendah.
Setelah berkata demikian, pendekar sakti itu pun
kembali duduk di kursinya.
"Dan, di sebelah kiri saya adalah seorang
pendekar yang tidak kalah terkenalnya. Apakah
di antara para sahabat sekalian ada yang dapat
menerkanya?" lanjut Ki Selangkit berteka‐teki.
"He he he…… Hanya sebuah julukan yang
berlebihan..., hik ... !” seru orang yang dimaksud Ki
Selangkit sambil menggoyang‐goyangkan guci
araknya.
"Pendekar Pemabuk ... !" seru beberapa
orang yang hadir di situ dengan mata bertanya‐
tanya
Mendengar disebutnya nama Pendekar
Pemabuk, beberapa pendekar lain pun menjadi
terkejut. Sebab. bagaimana caranya Ki Selangkit
mengundang pendekar itu? Menurut khabar,
Pendekar Pemabuk adalah seorang pendekar
perantau. Dan tidak seorang pun yang
mengetahui tempat tinggal pendekar sakti itu.
Pendekar Pemabuk pun bukan tidak
mengetahui apa yang dipikirkan oleh beberapa
pendekar yang hadir di tempat itu Dan ia pun
tidak ingin membuat mereka kebingungan.
"He he he... Hanya kebetulan lewat! Ya,
hanya kebetulan...!" ujarnya patah‐patah.
Setelah berkata demiklan pendekar sakti itu
segera menuangkan arak ke dalam mulutnya dari
dalam guci yang tak pernah lepas dari
tangannya itu. Terdengar suara arak memasuki
kerongkongannya.
Glek... glek ... !
Ada beberapa orang pendekar andal lagi yang
dikirimkan beberapa perguruan terkenal yang
diperkenalkan oleh Ki Selangkit.
Demikianlah, pertemuan para pendekar itu
pun berjalan lancar, sebagaimana yang
diharapkan. Beberapa keputusan pun telah
diambil dan disepakati bersama. Ki Selangkit dan
para pendekar itu segera mengatur siasat guna
menjebak iblis yang telah membunuh beberapa
penduduk Desa Ganjar, dan membawa petaka
bagi keselamatan umat manusia.
Hari sudah mulai gelap ketika pertemuan
para pendekar itu dibubarkan Ki Selangkit. Dan
mereka segera kembali ke tempat penginapan
masing‐masing. Mereka akan berkumpul
kembali pada waktu yang telah disepakati
bersama.
***
DUA
Malam itu, angin bertiup lembut. Bulan yang
muncul penuh itu memancarkan sinarnya yang
berwarna putih keperakan. Bintang‐bintang
pun bertaburan menghiasi wajah sang malam.
Sehingga, suasana pada malam purnama itu
menjadi semakin cerah.
Namun, keindahan suasana malam itu
ternyata tidak menarik perhatian penduduk
Desa Ganjar. Sebab, tak seorang pun para
penduduk desa itu yang berada di luar rumah.
Suasana desa itu menjadi sunyi dan mencekam.
Peronda desa pun hanya terlihat beberapa
orang saja di gardu jaga. Sedangkan para
peronda yang keliling desa hanya empat orang.
Sungguh aneh! Padahal keadaan Desa Ganjar saat
itu tengah diliputi ketegangan! Benar‐benar aneh!
Waktu sudah lewat tengah malam. Di antara
bayangan sinar rembulan, tampak berkelebat
sesosok bayangan putih yang berambut meriap.
Gerakannya sangat cepat, melalui atap‐atap
rumah penduduk. Bayangan putih itu
berloncatan dengan ringannya, bagaikan seekor
burung besar yang berloncatan dari dahan
kedahan. Arah yang dituju ke arah sebelah Barat
Desa Ganjar
Dari ciri‐ciri yang terlihat, jelas kalau
bayangan yang berkelebat bagai hantu itu adalah
iblis penculik bayi yang telah membuat resah
penduduk desa wilayah Barat. Rupanya malam
itu ia kembali beraksi di desa yang dipimpin Ki
Selangkit.
Iblis penculik bayi itu kelihatan ragu‐ragu sejenak.
Kemudian dipalingkan wajahnya ke sekeliling
tempat itu. Seolah‐olah merasa curiga dengan
keadaan yang sepi itu. Nalurinya mengatakan
bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun,
sepertinya iblis itu tidak mempedulikan
keadaan desa yang sepi itu. la pun kembali
meneruskan larinya ke arah tempat yang
ditujunya.
Ketika iblis itu sampai di tempat tujuannya,
tampak ia kembali ragu‐ragu. Pandangannya
beredar berkeliling. Nalurinya yang hampir
menyerupai binatang buas itu, membisikkan ada
bahaya besar yang sedang mengintainya. Tapi,
bayangan bayi yang masih segar itu telah
menghilangkan keragu‐raguannya.
"Oooaaa..., 0ooaaa ... !"
Tiba‐tiba terdengar suara tangis bayi yang keras.
Seolah‐olah naluri bayi yang masih suci itu
merasakan adanya suatu ancaman yang
membuat tidurnya gelisah. la seperti tengah
minta pertolongan kepada kedua orang tuanya.
Mendengar tangis bayi, air liur iblis itu
berlelehan di bibirnya. Nafsu binatangnya telah
terusik untuk segera menyantap si bayi yang
terus menerus menangis.
Tanpa, mempedulikan apa yang akan terjadi
nanti, iblis itu segera melesat ke atap rumah
tempat asal suara tangisan tadi. Dengan hati‐
hati, dibukanya atap rumah itu. Sementara air
liurnya semakin banyak menetes ketika melihat
sesosok tubuh mungil tergeletak di pembaringan.
Sedang sang ibu setengah tertidur di sampingnya
sambil mengelus‐elus kepala si bayi untuk
menenangkannya.
Mata iblis itu mulai memancarkan sinar yang
berwarna kehijauan. Suatu tanda bahwa nafsu si
iblis sudah mencapai puncaknya. Tiba‐tiba iblis
itu meluncur turun dengan gerakan yang ringan
sekali, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit
pun.
Namun sebelum kaki si iblis menyentuh
tanah, mendadak sebuah bayangan
menyambutnya dengan sebuah pukulan yang
dahsyat! Angin pukulan yang ditimbulkannya
membuat jubah luar iblis itu berkibar dengan
kuatnya. Kibaran itu memperdengarkan suara
gemuruh yang keras!
Betapa terkejutnya iblis penculik bayi itu
demi mendapat serangan yang tiba‐tiba. Jelas
pukulan yang meluncur datang itu, adalah
pukulan maut yang mematikan! Tentu saja iblis
itu tidak ingin membiarkan tubuhnya dijadikan
sasaran pukulan. Dengan sigap segera digerakkan
tangannya memapak pukulan itu.
Duukk!
Terdengar sebuah suara nyaring, bagai dua,
batang besi yang dibenturkan keras! Tubuh
keduanya, terdorong beberapa langkah ke
belakang. Keduanya memperlihatkan rasa kaget
yang tak dapat disembunyikan. Ternyata tenaga
keduanya berimbang!
Iblis penculik bayi itu merasa terkejut
karena kehadiran orang yang sama sekali tidak
diduganya. Ternyata nalurinya tidak salah!
Nyatanya, kini ia telah berhadapan dengan seorang
yang memiliki kepandaian yang tinggi.
Si penyerang itu pun tidak pula kalah
terkejutnya. Tidak disangkanya sama sekali kalau
kepandaian iblis itu demikian hebat sehingga
dalam adu tenaga tadi, telah membuat lengannya
terasa nyeri.
Keduanya kembali berhadapan dan saling
memandang dalam jarak sepuluh langkah.
Sementara di dalam rumah itu telah bermunculan
belasan orang lainnya dengan senjata terhunus di
tangan mereka.
"Selamatkan bayi itu...!" seru salah seorang
dari mereka yang baru datang itu.
"Hai, iblis biadab! Kali ini kau tak mungkin
dapat lolos lagi!" seru Ki Selangkit yang tiba‐tiba
saja muncul dari ruangan dalam rumah itu.
"Grrhhh ... ! Khauu login menangkapku?! Hi hi
hi...! Cobalah ... !" desis iblis penculik bayi itu
dengan suara parau.
“Lihatlah, iblis! Kau sudah terkepung!" ujar Ki
Selangkit lagi.
Iblis penculik bayi itu segera memandang ke
sekelilingnya. Di dalam rumah itu, belasan orang
telah mengurungnya. Ketika memandang ke atas
atap, juga telah dipenuhi belasan orang
bersenjata. Dan iblis itu kembali memandang
kepada penyerangnya tadi.
"Hm.... rupanya dia merasa gentar
kepadamu, Kakang Danu Wirya!" kata Ki Selangkit.
Si penyerang yang ternyata Pendekar Hati
Emas itu pun, tetap memandang tajam si iblis
penculik bayi.
Beberapa saat kemudian, rupanya iblis itu
telah mengambil keputusan. Dengan sebuah
teriakan parau, iblis itu segera menjejak bumi.
Tubuhnya cepat melambung ke atas atap, sambil
mengerahkan tenaga saktinya untuk menghadapi
segala kemungkinan.
Ketika melihat sesosok bayangan putih berkelebat
menerobos atap, Pendekar Pemabuk yang memimpin
pengepungan di atas segera menyambut dengan
hantaman guci araknya. Suaranya mengaung
membelah udara malam dengan kecepatan yang
sukar diikuti mata.
Tapi, si iblis yang telah memperhitungkan hal
itu tidak menjadi terkejut. Segera digerakkan
tangannya untuk menyambut serangan guci arak
tersebut.
Baaannng!
Benturan antara telapak tangan si iblis dengan
guci Pendekar Pemabuk menimbulkan suara nyaring
yang memekakkan telinga.
Tubuh iblis penculik bayi itu terpental dengan
keras. Namun dengan sebuah gerakan yang
indah, iblis itu bersalto beberapa kali di udara.
Tubuhnya kemudian mendarat di tanah dengan
ringannya. Untuk kedua kalinya ia merasa
terkejut, ketika tangan kanannya yang
menyambut serangan guci arak tadi terasa linu.
Demikian pula dengan Pendekar Pemabuk.
Dengan beberapa kali salto di udara, ia
mendaratkan kakinya di tanah. Pendekar
Pemabuk cepat‐cepat memeriksa guci araknya.
Setelah memastikan bahwa guci tersebut tidak
mengalami kerusakan, ia pun segera mengalihkan
pandangannya ke arah si iblis.
"Gila! Tidak kusangka, tenaga dalam iblis Itu hebat
sekali!" umpat Pendekar Pemabuk pelahan.
Pendekar Hati Emas juga merasakan lengannya nyeri
sekali akibat benturan tadi. Untunglah tadi ia hanya
mengerahkan tiga perempat dari tenaga
saktinya. Kalau tidak, tentu ia sudah terluka parah.
Sementara itu, iblis penculik bayi masih
tetap berada di tengah‐tengah kepungan para
pendekar. Pendekar Pemabuk segera melesat ke
arah kepungan itu. Ternyata, Pendekar Hati Emas
dan Ki Selangkit telah pula berada di antara para
pendekar yang mengepung si iblis.
"Hm. Malam ini adalah akhir dari
petualanganmu, Iblis!" bentak seorang pendekar
yang mengurungnya.
"Begithukahh?! Hi hi hi...! Kemarilah Anak Baik
Khemarilahhh… !" ujar si iblis dengan suara yang
menyeramkan.
Suara iblis itu menggetar dan menyelusup ke
dalam alam pikiran. Sementara matanya yang
memancarkan sinar kehijauan itu menatap
dengan tajam ke arah orang yang berbicara tadi.
Untuk sekejap orang itu menjadi gelagapan ketika
mendengar suara ajakan itu la terus saja
menatap ke arah iblis itu dengan sinar mata
yang kian meredup. Dan dengan tertatih‐tatih,
orang itu pun mulai melangkah mendekati si
iblis. Raut wajah orang itu bagai orang yang
hilang ingatan.
"Bhagusss.... kemarilah! Terus... terus...!" dengan
suaranya yang parau, iblis itu terus memerintah.
Para pendekar yang mengepung tempat itu
menjadi terpaku ketika melihat salah seorang
kawannya melangkah ke tempat si iblis berdiri.
Mereka menjadi tidak mengerti, apa yang
hendak dilakukan oleh temannya itu.
Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk juga
agak terkesiap demi melihat kejadian yang
tidak diduganya itu. Kedua pendekar itu
segera dapat menerka apa yang telah terjadi
terhadap salah seorang kawannya itu.
"Ilmu sihir...!" seru kedua orang sakti itu
bersamaan.
Tanya membuang‐buang waktu lag!, kedua orang
pendekar sakti itu segera menerjang iblis yang tetap
melancarkan kekuatan sihir dari matanya.
Sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi
yang mengandung tenaga Sakti, tubuh mereka
melesat menerjang.
Iblis penculik bayi itu tersentak mundur.
Wajahnya seketika berubah. la terkejut ketika
mendengar suara lengkingan yang mampu
membuyarkan pengaruh sihirnya itu. Semenjak
ia melakukan aksinya, baru kali inilah ia
menemukan lawan yang berat!
Ketika serangan kedua orang lawannya itu
meluncur datang, iblis itu pun segera berkelit dengan
indah. Langsung dibalasnya serangan‐serangan itu.
Namun, kali ini yang dihadapinya bukanlah
tokoh‐tokoh kosong. Kepandaian Pendekar Hati
Emas maupun Pendekar Pemabuk tidaklah
dapat dianggap remeh. Kedua orang sakti itu
sudah terbiasa menghadapi lawan tangguh.
Apalagi kini mereka maju bersama! Terlihat
betapa sibuknya iblis penculik bayi itu
menghadapi serangan‐serangan yang dahsyat
dari kedua pendekar itu.
Dua puluh jurus pun telah terlewat. Kini
kedua Pendekar sakti itu benar‐benar tidak
memberi peluang bagi si iblis untuk membalas.
Mereka terus mendesak dengan serangan‐serangan
gencar yang susul me nyusul.
Pada suatu saat, iblis itu tidak dapat menghindari lagi,
ketika sebuah pukulan yang dilancarkan Pendekar Hati
Emas meluncur deras ke dada kirinya. Pada saat
bersamaan, hantaman guci arak Pendekar Pemabuk
pun melayang ke kepalanya.
Dhiieesss! Blaaakkk!
Tubuh iblis itu terlempar dengan keras, dan jatuh
tersuruk menghantam bumi.
Namun, kedua orang pendekar Sakti itu menjadi
ternganga ketika melihat iblis itu bangkit tanpa
menderita luka sedikit pun. Sungguh suatu hal yang
mustahil.
"Gila! Apakah ia memiliki ilmu kebal?!" seru
Pendekar Pemabuk dengan wajah heran.
"Entahlah! Padahal aku telah mengerahkan tiga
perempat dari tenagaku! Apakah tubuh iblis itu lebih
keras dari batu karang?" seru Pendekar Hati Emas
pula.
"Hi hi hi! Ayo, keluarkan seluruh kepandaian
kalian!" ejek si iblis.
Tiga orang lainnya yang turut mengurung iblis itu
segera melompat sambil membabatkan senjatanya
dengan sekuat tenaga.
Tapi, iblis itu seolah‐olah tidak melihat serangan Itu.
Tentu saja ketiga orang penyerang itu menjadi girang.
Dan ketiganya merasa yakin dapat membunuh si iblis
dengan sekali tebas.
Buukk! Duukk! Dhaaakk!
Senjata ketiga orang itu memang tepat mengenai
tubuh si iblis. Namun, mereka menjadi tertegun.
Ternyata, senjata mereka bagaikan bertemu dengan
sebatang besi yang kuat. Kesempatan yang hanya
sekejap itu tidak disia‐siakan oleh iblis itu. Dengan
cepat bagai kilat, dilontarkannya tiga buah pukulan
sekaligus!
Dhiesss! Buukk! Dhieeess!
Tubuh ketiga orang pendekar itu terpental sejauh dua
tombak. Seteiah memuntahkan gumpalan darah yang
mengental, ketiga orang itu pun tewas seketika. Itulah
pukulan ilmu 'Iblis Pengejar Roh' yang menjadi andalan
iblis itu.
"Iblisss...!" teriak para pendekar bersamaan.
Mereka menjadi marah sekali ketika melihat tiga
orang kawannya tewas secara mengerikan. Dengan
teriakan‐teriakan gusar, mereka pun segera menyerbu
iblis penculik bayi itu.
"Jahanam...!" !" bentak Pendekar Hati Emas,
Pendekar Pemabuk, dan Ki Selangkit, bersamaan dengan
wajah merah padam.
Ketiganya segera melesat ke arah si iblis yang
tengah dikeroyok oleh para pendekar lainnya.
Menghadapi keroyokan itu, iblis penculik bayi
menjadi kalang kabut. Tubuhnya jatuh bangun terkena
hantaman pukulan maupun senjata‐senjata yang
berkelebatan di sekebling tubuhnya. Untunglah iblis itu
mempunyai kekebalan terhadap segala macam
senjata.
Meskipun si iblis dibuat jatuh bangun oleh para
pendekar itu, namun tak segores pun luka yang tampak
di tubuhnya. Kecuali, hantaman dan Pendekar Hati
Emas dan Pendekar Pemabuk yang terasa agak
menyakitkan. Berkali‐kali hantaman dari kedua
orang Sakti itu mendarat telak di tubuhnya. Tapi
iblis itu kembali bangkit tanpa menderita luka
sedikit pun, kecuali hanya meringis‐ringis.
Puluhan jurus telah terlewati. Namun, iblis itu
masih sukar untuk ditundukkan. Tentu saja para
pendekar Itu menjadi cemas. Kalau keadaan ini
tidak berubah, lama‐kelamaan tenaga mereka akan
habis juga.
Sebenarnya dalam hal ilmu siat, kepandaian
iblis itu tidaklah terlalu tinggi. Meskipun ilmunya
hanya satu tingkat lebih tinggi dari Pendekar Hati
Emas maupun Pendekar Pemabuk, namun
apabila kedua pendekar itu maju bersama, pasti
iblis itu dapat ditaklukkan. Apalagi kini ia harus
menghadapi keroyokan dari para pendekar lain
yang rata‐rata memiliki ilmu yang lumayan tinggi
itu.
Hanya berkat ilmu hitam serta ilmu
sihirnyalah, sehingga iblis itu dapat bertahan dari
gempuran para pendekar. Setiap kali hantaman
mereka mengenai tubuh si iblis, seketika itu pula ia
dapat bangkit kembali. Akibatnya, para pendekar itu
hampir putus asa.
Dhiieeess! Dhiiiggg!
Kembali tubuh iblis itu terjengkang terkena
pukulan para pendekar. Selagi tubuh iblis itu
bergulingan di atas tanah, para pendekar itu
segera memburunya. Tubuh si iblis kini siap
dicacah. Namun, tiba‐tiba tubuh iblis itu
melenting ke atas dan mendarat sejauh tiga
tombak.
"Hei!" Tiba‐tiba iblis itu membentak.
Suaranya keras menggetarkan hati. "Mengapa
kalian menyerangku dengan ular?!"
Para pendekar yang tengah meluncur ke arahnya,
mendadak berhenti dengan wajah bingung. Iblis
itu pasti telah gila, karena tidak dapat meloloskan
diri dari kepungan mereka. Dan dalam
keputusasaannya, jiwa iblis itu pun menjadi
terguncang. Demikian pikir para pendekar itu.
Tapi, bukan main terkejutnya para
pendekar, ketika memandang ke arah senjata
yang mereka genggam. Ternyata di tangan
mereka masing‐masing telah tergenggam seekor
ular yang mendesis‐desis dengan ganas.
"Hah!?! U... u... ular...!" teriak para pendekar
itu. Mereka langsung membuang ular‐ular Itu ke
tanah.
Namun, untuk ke sekian kalinya mereka
kembali terkejut. Karena ular‐ular yang mereka
lemparkan ke tanah, mendadak berubah
menjadi senjata‐senjata mereka kembali.
"Eh! Ini... ini ... !" teriak mereka gagap. Dan
tidak ada seorang pun dari para pendekar itu
yang berani menyentuh senjatanya.
"Ini pasti sihir...!" teriak pendekar Hati Emas.
"Awas! Jangan memandang kearah
matanya!" seru Pendekar Pemabuk. Karena ia
seringkali menemukan hal‐hal aneh dalam
perantauannya, maka ia sedikit mengerti tentang
cara menanggulangi ilmu sihir itu.
"Hi hi hi...! Aku adalah seorang raksasa yang
besaaar... dan menyeramkan! Dan Aku akan
menyantap tubuh kalian satu persatu! Hi hi
hi...!" kembali terdengar suara iblis itu yang
menggetarkan sukma.
Dan para pendekar itu kini merasakan jantung me
reka seperti copot! Ketika di hadapan mereka,
telah berdiri sesosok tubuh yang tinggi besar dan
menyeramkan! Matanya yang Iiar dan bersinar
kehijauan itu menatap para pendekar yang
berdiri dengan kaki gemetar! Betapa tidak?
Karena, mimpi seperti ini pun mereka tidak
pernah, apalagi menghadapinya secara nyata!
Untunglah Pendekar Hati Emas dan Pendekar
Pemabuk langsung mengambil tindakan cepat!
Kedua pendekar sakti itu segera mengempos
semangatnya untuk menyatukan tenaga sakti
mereka. Lalu, terdengar lengkingan tinggi yang
merobek angkasa!
Aneh! Tubuh tinggi besar yang menyeramkan
itu pun mendadak lenyap dan berubah menjadi
sediakala. Bahkan tubuh iblis itu sedikit terdorong
ke belakang. Sedangkan dan sela‐sela bibirnya
tampak mengalir cairan yang berwarna merah!
Sementara para pendekar lain tersentak kaget
oleh suara lengkingan yang menggetarkan
jantung itu. Serentak para pendekar itu duduk
bersila. Mereka mengerahkan hawa mumi
untuk melawan getaran suara itu. Dan dengan
sendirinya, pengaruh sihir dari iblis itu pun lenyap.
Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk
yang telah menyatukan tenaganya, serentak
meluncur ke arah iblis penculik bayi dengan
serangan gabungan mereka yang bergemuruh bagai
angin topan!
Rupanya iblis itu telah menjadi murka. la
bukannya mengelakkan pukulan kedua orang
sakti itu, tapi malah membiarkan tubuhnya jadi
sasaran. Kedua pendekar sakti itu kaget bukan
main! Mereka sama sekali tidak menyangka kalau
iblis itu akan melakukan hal yang nekad. Namun,
untuk menarik pulang tenaganya, mereka sudah
terlambat! Ketika serangan itu hampir mencapai
sasaran, tiba‐tiba iblis itu menghentakkan
langannya ke depan.
Dhiieess! Blakkk! Dhliggg!
Tubuh iblis penculik bayi itu melayang bagai
sehelai daun kering. Pukulan kedua orang sakti
itu dengan telak menghantam dada dan
lambungnya. Tubuhnya bergulingan di atas
tanah sejauh lima depa, tetapi kemudian ia
bangkit dengan sigapnya. Tidak terlihat luka
sedikit pun pada tubuhnya, kecuali rasa ngilu
pada dada dan lambungnya.
Sedangkan keadaan Pendekar Hati Emas dan
Pendekar Pemabuk lebih parah lagi. Tubuh
keduanya terbanting ke tanah disertai
semburan darah yang memercik membasahi
bumi. Pukulan balasan si iblis yang disertai
tenaga dalam penuh itu memang luar biasa
sekali. Dada kedua pendekar itu bagai dihantam
palu godam yang berat. Sehingga, untuk
beberapa saat mereka harus mengatur jalan
napas mereka yang terasa sesak.
Ki Selangkit, Jarwa, Lugat, dan para pendekar
lainnya kembali menyerbu ke arah si lblis.
Sepertinya tidak ingin memberi peluang kepada
iblis itu untuk meloloskan diri. Pertarungan pun
kembali berlangsung dengan seru.
Tangan Ki Selangkit yang menegang kaku
bagai cakar itu berkelebatan mengincar
kelemahan di tubuh lawan. Sedangkan pedang
dan golok para pendekar lainnya, berdengung
bagai lebab‐lebah marah! serangan‐serangan mereka
selalu ditujukan ke mata si iblis.
Tentu saja iblis penculik bayi itu menjadi
terperanjat Sehingga dalam pertarungan kali
ini, ia lebih banyak melindungi kedua matanya
yang merupakan kelemahan dari ilmunya itu.
Dengan demikian, serangan‐serangannya pun
menjadi, berkurang.
Ketika memasuki jurus kelima belas, Ki
Selangkit mulai mengubah serangannya. Dengan
jurus 'Dewa Menunjukkan Jalan', cakar Ki Selangkit
meluncur ke tenggorokan, lawan. Sedangkan kaki
kanannya melepaskan tendangan kilat ke perut
bagian bawah si iblis. Sementara tangan kirinya,
yang berada di sisi pinggang, siap terlontar
dengan tiba‐tiba. Sungguh sebuah serangan yang
berbahaya!
Namun, Ki Selangkit telah melupakan
sesuatu! Ternyata si iblis mempunyai kekebalan
tubuh yang sukar ditembus. Itulah sebabnya
ketika serangan Ki Selangkit meluncur datang, ia
sama sekali tidak menghindar. Malah iblis itu
mengulurkan tangannya untuk mencengkeram
leher Ki Selangkit, yang menjadi terkejut setengah
mati!
Ki Selangkit segera menarik pulang kedua
serangannya. Tangan kirinya yang dipersiapkan
untuk serangan susulan itu, terpaksa digunakan
untuk menangkis cengkeraman ke lehernya. Ki
Selangkit memiringkan tubuhnya ke kiri.
Sementara tangan kirinya yang terbuka, menepak
ke arah pergelangan tangan lawan.
Si iblis yang rupanya sudah memperhitungkan
gerakan lawan, secepat kilat menarik pulang
cengkeramannya. Dan sekaligus lengan kirinya
melayang ke arah kepala Ki Selangkit....
Breeettt!
Tubuh orang tua itu melintir, ketika tangan yang
membentuk cakar itu menyambar pipi kanannya.
Ki Selangkit berdiri limbung dengan pandangan
berkunang‐kunang. Sementara dari luka yang
memanjang di pipi kanannya, mengalir darah segar!
Bersamaan dengan melintirnya tubuh Ki
Selangkit, golok di tangan Jarwa meluncur deras
membabat tengkuk si iblis dari samping kiri.
Sedangkan dari sisi sebelah kanan, pedang dari
salah seorang pendekar yang mengeroyoknya
berkelebat ke arah dadanya.
Menghadapi kedua serangan yang meluncur
datang itu, si iblis tidak menjadi gugup. Dengan
sigap, kedua tangannya segera terulur menangkap
pergelangan kedua lawannya. Tentu saja kedua
penyerang itu menjadi terkejut dan wajah
mereka berubah pucat. Dengan sebuah teriakan
parau, iblis itu menyentak kedua tangannya.
Akibatnya kedua, tubuh lawannya itu tersuruk ke
depan. Segera disambutnya dua tubuh itu
dengan jari‐jari terbuka yang menusuk ke
tenggorokan.
Jreepp! Creeeppp!
"Arrrgghhh……. !"
Dibarengi sebuah jeritan yang panjang, tubuh
kedua orang itu tersentak ke belakang Sebentar
mereka meregang nyawa lalu diam tidak
bergerak. Kedua orang itu tewas dengan
tenggorokan berlubang!
Menyaksikan kehebatan iblis itu, para
pendekar yang mengeroyoknya serentak
mundur. Hati mereka diliputi bermacam perasaan
yang berkecamuk. Sedih, marah dan gentar
bercampur menjadi satu Sehingga sulit untuk
membedakan perasaan apa yang sebenarnya ada di
hati mereka saat itu.
Ketika melihat para pengeroyoknya
melangkah mundur, tanpa membuang‐buang
waktu lagi iblis penculik bayi itu segera melesat
meninggalkan arena pertarungan Tubuhnya
berkelebatan di antara pepohonan dan atap
rumah‐rumah penduduk.
"Kejar...!" tiba‐tiba terdengar sebuah teriakan
yang dibarengi dengan berkelebatnya dua sosok
tubuh dengan kecepatan yang sukar dikuti mata.
Para pendekar yang masih belum
menyadari kejadian itu, menjadi tersentak
kaget. Dan tanpa diperintah dua kali, para,
pendekar itu berlarian mengejar iblis penculik bayi
yang melarikan diri.
lblis itu semakin mempercepat larinya ketika
melihat para pendekar itu telah pula
mengejarnya. Tubuhnya melesat bagaikan anak
panah yang lepas dari busur. Dan dalam waktu
yang singkat saja, para pendekar itu tertinggal
jauh di belakang.
Memang kalau dalam hal ilmu meringankan
tubuh, sulit sekali rasanya untuk dapat
menandingi kecepatannya. Karena ilmu
meringankan tubuhnya benar‐benar sangat
hebat, dan jarang dimiliki tokoh dunia
persilatan.
Dua sosok bayangan yang berteriak tadi, tak
lain adalah Pendekar Hati Emas dan Pendekar
Pemabuk Kedua orang sakti itu pun masih tak
mampu juga menandingi kecepatan si iblis.
Padahal mereka telah mengerahkan seluruh
kemampuan meringankan tubuh mereka.
Namun, jarak antara mereka dengan si iblis tetap
saja tidak berubah.
"Huh! Tidak kusangka, ilmu meringankan tubuh
iblis itu hebat sekali!" ujar Pendekar Pemabuk antara
dengusan napasnya yang mulai memburu.
"Ya! Benar‐benar di luar dugaan kita!" jawab
Pendekar Hati Emas menimpali.
Akhirnya, kedua orang pendekar sakti itu
hanya dapat membayangi si iblis dari kejauhan.
Sedangkan para pendekar lainnya telah tertinggal
jauh di belakang.
lblis penculik bayi terus berlari melewati per
batasan Desa Ganjar. Dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang tinggi itu, ia berlari di atas
pematang‐pematang sawah tanpa mengalami
kesukaran sedikit pun.
Setelah cukup lama mereka berkejaran,
Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk
sempat melihat iblis itu memasuki sebuah hutan
lebat yang membentang di hadapan mereka.
Kedua orang sakti itu ikut pula memasuki hutan
itu. Namun ketika tiba pada sebuah daerah
perbukitan, kedua orang Sakti itu telah
kehilangan buruannya.
Iblis penculik bayi itu telah lenyap tanpa
meninggalkan jejak sedikit pun. Hilang bagai ditelan
bumi!
"Aneh! Ke mana larinya iblis keparat itu ... !'
gerutu Pendekar Pemabuk dengan perasaan jengkel.
"Entahlah! Tapi yang jelas, ia menghilang di sekitar
bukit‐bukit ini!" ujar Pendekar Hati Emas pula.
Kemudian kedua orang pendekar sakti itu segera
memeriksa semak‐semak di sekitar tempat itu.
Mereka menduga ada sebuah jalan rahasia yang
telah dipergunakan iblis tersebut. Namun, hingga
para pendekar lainnya tiba, belum juga
ditemukan jalan yang mereka cari.
"Bagaimana, Kakang ... ?" tanya Ki Selangkit
kepada Pendekar Hati Emas, begitu tiba
bersama para pendekar lainnya.
"Entahlah, Adi Selangkit! Ketika kami
mengejarnya, tiba‐tiba saja ia lenyap di sekitar
daerah ini!" jelas Pendekar Hati Emas.
Mendengar keterangan itu, Ki Selangkit segera,
mengedarkan pandang ke sekitar tempat
tersebut. Tiba‐tiba hatinya tersentak kaget ketika
pandangannya tertumbuk pada sebuah bukit
yang berdiri tegak menyeramkan.
"Bukit... lblisss ... !" seru Ki Selangkit dengan bibir
bergetar. Wajahnya seketika berubah pucat.
"Bukit Iblis...!" teriak para pendekar lainnya
tidak kalah kaget.
Sebagian orang persilatan memang telah
lama mendengar tentang bukit tersebut. Namun
baru kali inilah mereka mengetahui bentuk dan
letak bukit yang terkenal itu. Sebuah bukit yang
dikhabarkan menjadi tempat persembunyian para
dedengkot kaum sesat.
"Hm.... Kalau kita nekad menyatroni tempat
tersebut, sama saja dengan mengantarkan
nyawa!" ujar Pendekar Hati Emas. "Meskipun
kepandaian iblis itu tidak terlalu tinggi, namun
ilmu hitam dan ilmu kebalnya itulah yang
membuat dia sukar dikalahkan. Perlu diketahui
kalau di atas bukit itu, terdapat juga kawan‐
kawannya! Maka, akan sia‐sialah segala usaha
kita," lanjut pendekar itu lagi.
"Jadi..., apa yang harus kita lakukan?" tanya
M Selangkit bingung,
"Ya..., kurasa kita harus meminta bantuan kepada
orang‐orang Sakti yang tahu kelemahan ilmu
dedemit itu," jawab Pendekar Hati Emas pula.
"Lalu..., kepada siapa kita meminta
bantuan? Sedangkan para tokoh kelas atas jelas
tidak mungkin! Sebab mereka lebih suka
mengasingkan diri, daripada mencampuri urusan
dunia!" ujar Ki Selangkit. Dari matanya terpancar
sinar kekecewaan.
"Tunggu dulu!" potong Pendekar Pemabuk.
"Apakah kalian pernah mendengar seorang
pendekar muda yang telah menewaskan Tiga
Iblis Gunung Tandur dengan ilmu ilmunya yang
mujizat?" tanya Pendekar Pemabuk.
"Eh! Tiga Iblis Gunung Tandur telah dibunuh
seorang pendekar muda?" seru para pendekar
itu tidak percaya.
"Ya! Bahkan ketiga‐tiganya sekaligus!"
tambah Pendekar Pemabuk. Wajahnya barseri
gembira.
"Oh, hebat! Hebat!" teriak mereka semakin
terkejut.
"Bagaimanakah ceritanya, Adi?" tanya
Pendekar Hati Emas tertarik.
Pendekar Pemabuk lalu menceritakan
khabar yang sudah tersebar d daerah Selatan.
Dan sebagai seorang pendekar pengembara, ia
juga telah mendengar khabar ini.
"Luar Mara...!" seru para pendekar itu kagum.
"Tapi, ke mana kita harus mencarinya?" tanya Ki
Selangkit penuh harap.
"Mudah saja! Setiap pendekar yang berada di
sani harus menyebarkan berita tentang
mengganasnya makhluk yang bernama Dedemit
Bukit lblis di wilayah Barat, " usul Pendekar
Pemabuk.
"Tepat sekali!" sergah Pendekar Hati Emas.
"Dan sebagai seorang pendekar sejati, apabila
ia mendengar berita itu, pastilah ia akan datang
untuk membasminya. Bagaimana, sahabat‐
sahabat?" tanya pendekar itu kepada yang lainnya.
"Setuju!!" jawab para pendekar tersebut
serempak.
"Kalau demikian, sekarang marilah kita
kembali ke desa. Para penduduk tentu telah
menantikan dengan hati cemas!" seru Ki Selangikit.
Demikianlah, rombongan para pendekar itu
pun segera meninggalkan tempat tersebut.
Sementara, di kejauhan mulai terdengar kokok
ayam jantan yang menandakan pagi akan segera
datang
TIGA
Hari masih pagi ketika para tokoh rimba
persilatan yang dipimpin Pendekar Pemabuk
bergegas meninggalkan Desa Ganjar. Mereka
akan menyebar ke berbagai penjuru untuk
menyebarkan berita tentang mengganasnya iblis
penculik dan penghisap darah bayi yang berjuluk
Dedemit Bukit Iblis! Sementara Pendekar Hati
Emas dan Ki Selangkit tetap berada di Desa Ganjar
untuk berjaga‐jaga kalau si iblis kembali membuat
ulah di desa itu.
Dalam waktu beberapa bulan saja, kekejaman dan
kebiadaban Dedemit Bukit Iblis itu telah ramai
dibicarakan orang, Baik di desa‐desa, di kedai‐
kedai minum maupun di pasar‐pasar. Demikian
pula para petani, pedagang, maupun para
pembesar tinggi kerajaan. Mereka semua ikut
membicarakan hal berita itu, sehingga semakin
meluas ke pelbagai lapisan!
Apalagi di kalangan persilatan. Para
pendekar yang merasa ikut bertanggung jawab
untuk mengatasi masalah itu, mulai berdatangan
dari berbagai penjuru. Perguruan‐perguruan dari
berbagai aliran, mengutus murid‐murid utamanya
untuk menyelidiki kebenaran berita yang telah
tersebar luas itu
Maka tidaklah mengherankan apabila setiap
hari selalu saja ada rombongan orang berkuda
maupun yang berjalan kaki, mendatangi desa‐desa
yang terletak tidak jauh dari Bukit iblis itu. Selain
datang secara rombongan, ada pula pendekar
yang datang secara perorangan. Karena mereka
merupakan pendekar perantau, dan tidak memiliki
tempat tinggal tetap. Bagi mereka, di mana langit
dijunjung dan bumi dipijak, maka di situlah rumah
mereka.
Dan tidak sedikit pula dari para pendatang itu
yang berstatus pedagang‐pedagang yang
memanfaatkan kesempatan itu. Mereka
berdatangan dengan harapan dapat memperoleh
keuntungan besar. Karena tempat‐tempat yang
mereka datangi adalah desa‐desa yang terdekat
dengan Bukit iblis. Dan tentulah tempat‐tempat
tersebut akan ramai dikunjungi orang!
Memang tepatlah apa yang diperkirakan
para pedagang itu. Desa‐desa yang dekat dengan
Bukit iblis lebih ramai dikunjungi para pendatang,
daripada desa‐desa lainnya. Seperti Desa Ganjar,
Desa Pasiran, dan beberapa desa lainnya, yang
berada di sekitar Bukit iblis,
Namun, ternyata tidak semua rombongan
para pendatang itu yang singgah ke desa‐desa itu‐
Ada pula rombongan yang langsung menuju ke Bukit
iblis. Dari keberanian Itu, jelas kalau mereka
tentulah rombongan yang terdiri dari pendekar
persilatan yang tangguh.
Rombongan yang langsung menuju sasaran,
kurang lebih berjumlah empat puluhan orang.
Mereka tergabung dari tujuh buah perguruan
yang terbesar pada masa itu, dan ditambah
belasan orang pendekar perantau yang berdiri
sandiri.
Sikap mereka terlihat gagah dan berwibawa.
Senjata yang dibawa pun bermacam‐macam
bentuknya. Kebanyakan pendekar itu, membawa
pedang, golok, dan tombak. Hanya sebagian kecil
saja yang menggunakan kapak, tongkat, dan senjata
lain.
Setelah melakukan perjalanan setengah hari,
rombongan itu tiba di Kaki Bukit iblis. Mereka
bergegas berlompatan turun dari punggung kuda
masing‐masing. Kemudian para pendekar itu
pun beristirahat, karena telah menempuh
perjalanan yang cukup melelahkan. Kuda‐kuda
mereka ddepaskan di padang rumput luas, yang
banyak terdapat di sekitar tempat itu.
Setelah dirasa cukup beristirahat, para
pendekar itu segera berkumpul untuk
menentukan langkah berikutnya. Seorang lelaki
gagah yang bernama Ki Teja Laksana, tampil ke
depan. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Bulu‐
bulu menghiasi pipi dan dagunya, sehingga
membuat wajahnya tampak semakin
berwibawa. Namanya pun cukup terkenal di
kalangan persilatan, yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran Dia berjulukan Pendekar Tangan
Baja.
Pendekar Tangan Baja adalah pendekar
perantau yang tidak terikat suatu partai pun.
Namun, ia mempunyai hubungan baik di setiap
perguruan. Oleh karena itulah, maka hampir dari
seluruh pendekar yang hadir di situ telah
mengenalnya dengan baik. Dan para pendekar
yang hadir segera mempercayakan Pendekar
Tangan Baja untuk memimpin rapat ini.
"Sahabat‐sahabatku para pendekar yang
menjunjung tinggi kebenaran!" kata Ki Teja Laksana.
Sengaja suaranya disertai pengerahan tenaga
dalamnya agar semua yang hadir dapat
mendengar jelas. "Dalam musyawarah ini, para
sahabat dipersilakan mengeluarkan pendapat
masing‐masing, agar dapat diambil satu
keputusan! Tentu saja keputusan yang terbaik dan
disetujui kita bersama! Nah, sekarang, silahkan
para sahabat mengajukan pendapat secara
bergiliran," seru Pendekar Tangan Baja mengakhiri
ucapannya.
Ketika Pendekar Tangan Baja alias Ki Teja
Laksana mengakhiri perkataannya, terdengar
suara gaduh yang disebabkan pembicaraan para
pendekar itu di antara sesama kawannya. Ki Teja
Laksana cepat‐cepat mengangkat kedua tangannya
ke atas, untuk meredakan kegaduhan itu.
Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening.
Dan Ki Teja Laksana pun kembali mengulangi
perkataannya.
Salah seorang dari para pendekar itu segera
mengangkat tangannya ke atas sebagai tanda
ingin mengajukan usul. Ki Teja Laksana
menganggukkan kepalanya ke arah pendekar itu.
"Begini, Kakang! Bagaimana kalau beberapa
orang di antara kita menyelidiki keadaan bukit
itu terlebih dahulu? Siapa tahu bukit itu dipenuhi
perangkap yang akan mencelakakan kita!" usul
pendekar itu.
"Hm.... Sebuah usul yang sangat bagus, Adi
Kalingga!" ajar Pendekar Tangan Baja. la tampak
cukup gembira mendengar usul itu.
Mendengar usulnya disambut gembira,
pendekar yang dipanggil Kalingga itu berseri‐
seri wajahnya. Tokoh ini adalah seorang murid
andalan perguruan 'Tongkat Sakti'. la dikenal
dengan julukan Pendekar Tongkat Maut
Kepandaiannya hanya satu tingkat di bawah
gurunya. Maka dapatlah dibayangkan betapa
hebatnya kepandaian pendekar Itu. Kalingga
bersama tiga orang adik seperguruannya diutus
gurunya untuk menyelidiki kebenaran berita
yang menggemparkan itu.
Sementara itu, rapat dilanjutkan oleh
beberapa usulan lagi yang diajukan para
pendekar lainnya kemudian para pendekar yang
memimpin musyawarah itu segera berembuk
untuk mencapai kata sepakat. Beberapa saat
kemudian, Pendekar Tangan Baja alias Ki Teja
Laksana kembali tampil di hadapan para
pendekar itu untuk mengumumkan keputusannya.
Setelah mendengar alasan‐alasan yang
dikemukakan Ki Teja Laksana, akhirnya para
pendekar itu pun menyetujui usul yang telah
diajukan Pendekar Tongkat Maut. Setelah
mendengar persetujuan dari para pendekar
lainnya, Ki Teja Laksana lalu meminta setiap
perguruan yang hadir untuk mengajukan
seorang wakil.
Ketujuh perguruan itu pun segera
menyerahkan wakiInya, untuk menyelidiki
keadaan Bukit Iblis. Dengan dibantu oleh dua
orang pendekar perantau, rombongan yang
dipimpin langsung oleh KI Teja Laksana segera
berangkat.
***
Matahari sudah semakin meninggi ketika
rombongan yang berjumlah sepuluh orang mulai
mendaki Bukit lblis. Kesepuluh orang pendekar itu
berloncatan di atas batu‐batu yang bertonjolan di
Badan Bukit lblis.
Tidak berapa lama kemudian, kesepuluh
orang pendekar itu pun mulai memasuki daerah
yang sukar dilewati. Melihat keadaan medan
yang semakin sukar, Pendekar Tangan Baja yang
berjalan paling depan segera menghentikan
langkahnya.
"Ada apa, Ki?" tanya seorang pendekar yang
bertubuh tinggi kurus itu dengan suara pelahan.
Ki Teja Laksana tidak segera menjawab
pertanyaan rekannya. Segera diedarkan pandangan
ke sekelilingnya. Wajahnya terlihat agak tegang.
"Rasanya..., kita harus lebih meningkatkan
kewaspadaan! Aku merasa ada suatu bahaya
mengancam!" ujar Pendekar Tangan Baja
memperingatkan kawan‐kawannya.
Mendengar peringatan dari Pendekar Tangan Baja,
seketika wajah kesembilan orang pendekar itu
berubah tegang! Meskipun tidak mengetahui apa
yang dkhawatirkan itu, namun perkataan seorang
pendekar seperti Ki Teja Laksana, tidak mungkin
hanya omong kosong belaka.
Sementara Ki Teja Laksana masih terus
mengawasi sekitarnya. Memang pernah didengarnya
perihal bukit yang belum pernah dijamah manusia
itu. Dan menurut cerita kakek gurunya, di bukit itu
terdapat banyak ancaman yang mengerikan dan
telah banyak memakan korban. Namun, sampai saat
ini belum jelas apa bahaya itu. Belum ada orang yang
mengetahui bentuk ancaman itu, karena yang
didengar hanyalah cerita dari mulut ke mulut.
Belum ada seorang pun yang dapat
membuktikannya. Itulah, mengapa Ki Teja Laksana
merasa ragu‐ragu untuk melanjutkan langkahnya.
Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana
sudah memiliki banyak pengalaman dalam dunia
persilatan. Nalurinya pun telah terlatih dengan baik.
Dan kini, nalurinya mengatakan bahwa di sekitar
tempat ini banyak bahaya yang tengah mengincar.
Namun Pendekar Tangan Baja tidak ingin
membiarkan kawan‐kawannya dihantui bayangan
menakutkan. Pendekar itu lalu mengajak kesembilan
orang kawannya untuk meneruskan langkah, tanpa
meninggalkan kewaspadaan.
Dengan hati penuh ketegangan, kesepuluh orang
pendekar itu meneruskan langkahnya. Ki Teja Laksana
yang berjalan paling depan melangkah pelahan,
sambil sesekali memperhatikan keadaan
sekelilingnya.
Selang beberapa waktu kemudian, mereka tiba
pada sebuah tempat yang agak terbuka. Di hadapan
mereka terbentang sebuah tanah lapang yang
ditumbuhi ilalang setinggi dua tombak yang tumbuh
di kiri kanan jalan setapak.
Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana tiba‐
tiba, menghentikan langkahnya. Kesembilan orang
pendekar lainnya segera mengikutinya. Untuk
beberapa saat lamanya, orang tua gagah itu terdiam
mengamati hamparan ilalang yang terlihat agak
aneh. Bentuk tanah lapang yang ditumbuhi ilalang itu
tampaknya seperti sengaja dibuat sedemiklan rupa,
sehingga jika diperhatikan secara teliti seolah‐olah
membentuk kedudukan delapan penjuru angin.
Tentu saja hal ini dapat membingungkan orang yang
masuk ke dalamnya.
"Kita coba berjalan seorang demi seorang. Jarak
antara kita tidak boleh lebih dari tiga tombak, agar
tidak kehilangan jalan keluar!" perintah Ki Teja
Laksana.
Kesembilan orang pendekar yang juga merasa,
curiga, akan tempat itu, segera mengikuti petunjuk
yang diberikan Ki Teja Laksana. Mereka kini sudah
menghunus senjata masing‐masing. Hanya Ki Teja
Laksana saja yang masih bertangan kosong. Tapi
justru pada kedua tangan itulah terletak
keistimewaan pendekar tersebut!
Dengan kesiagaan penuh, kesepuluh orang
pendekar itu pun melangkah memasuki padang
ilaiang. Ki Teja Laksana yang menjadi pimpinan,
berjalan di depan. Setelah Ki Teja Laksana
berjalan sejauh tiga tombak salah seorang
pendekar segera melangkah mengikuti Pendekar
Tangan Baja, dan begitu seterusnya.
Ki Teja Laksana sudah berjalan sejauh lima
belas tombak. Dan Berarti sudah empat orang
pendekar yang mengikutinya. Mendadak,
pendengarannya yang tajam menangkap suara
suara mencurigakan yang datangnya dari
rimbunan ilalang. Secara spontan, tenaga
dalamnya menyebar ke seluruh tubuh untuk
menghadapi segala kemungkinan.
"Awas! Hati‐hati!" teriak Pendekar Tangan Baja.
Sementara dirinya sendiri sudah melangkah
mundur, sambil memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Ki Teja Laksana masih belum dapat
menduga, apa gerangan yang akan terjadi.
Suara berkeresekan itu semakin lama
semakin keras, dan tampaknya menuju ke arah
para pendekar yang berada di tengah padang
ilalang itu. Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja
Laksana mulai dapat menduga, apa yang telah
menimbulkan suara demikian ribut dalam
rimbunan ilalang itu.
"Kawan‐kawan, munduuur!!" teriak Ki Teja
Laksana keras memperingatkan para pendekar
lainnya. Sedangkan ia sendiri sudah melangkah
mundur, sambil meningkatkan kewaspadaannya.
Terlambat! Ternyata secara tiba‐tiba saja
benda hitam pekat, dan panjangnya kurang lebih
dua jengkal telah beterbangan ke arah mereka.
Pendekar Tangan Baja bergulingan menghindari
serangan benda‐benda itu. Begitu meloncat
bangun, di tangannya telah tergenggam
sebatang pedang yang bersinar kuning. Segera
dikelebatkan pedang itu membabat ke arah
Benda‐benda hitam pekat. Namun hati Pendekar
Tangan Baja menjadi tercekat, ketika benda‐
benda hitam itu dapat mengelak dari sambaran
pedangnya.
"Gila! Apa ini...?" teriaknya kaget.
Di tempat lain, tiga orang pendekar yang
telah ikut masuk ke dalam rimbunan ilalang juga
mengalami hal serupa. Mereka segera
membabatkan pedang ke arah benda tersebut.
Seperti halnya Ki Teja Laksana, mereka juga
menjadi terkejut, karena benda‐benda hitam
pekat itu dapat mengelak dari sambaran pedang
mereka!
Benda‐benda hitam pekat yang panjangnya
hanya dua jengkal itu kini beterbangan
mengincar tenggorokan dengan kecepatan yang
luar biasa!
Wess… wes... wes...!
Crebb ... ! Crebb...!
"Aaahhhkkk ... !"
Salah seorang dari tiga orang pendekar itu
berteriak ngeri. Dua buah benda yang berwarna
hitam pekat itu telah menembus tenggorokannya.
Tubuhnya terjungkal, lalu berkelojotan dengan
mata mendelik. Beberapa saat kemudian orang itu
pun tewas dengan tenggorokan bolong!
"Lariii...! Cepat! Lari keluar ... !” Ki Pendekar
Tangan Baja berteriak panik sambil memutar‐mutar
pedang untuk melindungi tubuhnya dan sambaran
benda‐benda itu.
Ki Teja Laksana melompat‐lompat dan bergulingan
ke arah jalan keluar. Kembali terdengar teriakan
menyayat dari dua orang pendekar yang lainnya.
Ketika ia menemukan mayat ke tiga kawannya yang
tergeletak di sepanjang jalan menuju keluar, wajah Ki
Teja Laksana pucat dan merah berganti‐ganti. Perasaan
marah dan ngeri bercampur menjadi satu. Sedangkan
benda‐benda berwarna hitam pekat itu menggeliat
geliat di sekujur tubuh tiga orang pendekar yang kini
telah menjadi mayat. Benar‐benar sebuah
pemandangan yang mendirikan bulu roma!
"U... ular... terbang…!" desis K! Teja Laksana
dengan wajah pucat dan bibir gemetar! Seketika itu
juga pendekar pemimpin rombongan itu
menghambur keluar, sambil memutar pedangnya
sekuat tenaga. Benda‐benda hitam pekat yang
disebut ular terbang itu berjatuhan terbabat
pedangnya.
Sementara itu, enam orang pendekar yang masih
berada di luar hanya dapat menunggu dengan wajah
penuh ketegangan. Mereka hanya mendengar teriakan
Pendekar Tangan Baja memperingatkan kawan‐
kawannya. Namun ketika mendengar teriakan ngeri
dari ketiga kawannya yang berada di dalam tempat
rimbunan ilalang itu, wajah keenam orang pendekar
itu menjadi pucat! Serentak mereka menghunus
senjata untuk menjaga segala kemungkinan.
Keenam orang pendekar itu tidak mengetahui
secara pasti kejadian yang menimpa Ki Teja Laksana
dan ketiga orang pendekar lainnya. Namun dari
teriakan dan jeritan tadi, tentulah mereka tengah
menghadapi sesuatu yang mengerikan!
Dengan pedang di tangan, keenam orang
pendekar itu berniat memasuki tempat itu membantu
kawan‐kawannya. Keenam orang pendekar itu segera
melesat ke arah padang ilalang. Namun, sebelum
mereka memasuki daerah itu, tiba‐tiba sesosok
bayangan melesat keluar dari jalan yang akan mereka
masuki.
"Munduuur! Jauhi tempat ini ... !" Bayangan yang
ternyata adalah Pendekar Tangan Baja itu, berteriak
gugup memperingatkan keenam orang pendekar
tersebut.
Keenam orang pendekar yang sedianya akan
membantu teman‐temannya, segera menarik
senjatanya. Mereka pun berlompatan mundur
menjauhi daerah yang ditumbuhi ilalang itu.
"Hah ... ?!" Enam orang pendekar itu terbeliak
memandang Ki Teja Laksana. Di wajah mereka
tergambar kengerian yang amat sangat!
"Ada apa?!" seru Pendekar Tangan Baja sambil
melintangkan pedangnya di depan dada.
"Bajumu, Ki...! Bajumu!" teriak mereka sambil
menunjuk pakaian Ki Teja Laksana.
Dengan wajah tegang, Pendekar Tangan Baja
segera memandang pakaian yang dikenakannya itu.
Alangkah terkejutnya hati pendekar itu, ketika melihat
pakaiannya yang tak ubahnya seperti yang dikenakan
para jembel.
"Aaah!!! " Pendekar Tangan Baja melangkah
mundur. Wajahnya semakin memucat. Bagaimana
hati pendekar itu tidak ngeri? Sebab pakaian yang
dikenakannya telah menjadi compang camping!
Benar‐benar seperti seorang jembel saja.
"Gila! Benar benar mengerikan!" ujar
Pendekar Tangan Baja. Suaranya bernada
penuh kengerian. Pendekar itu menarik napas
panjang sambil memandang ke arah hamparan
padang ilalang dan pakaiannya berganti‐ganti.
"Apa yang terjadi, Ki...?" tanya keenam
pendekar itu. Mereka masih belum mengerti
kejadian yang telah menimpa Ki Teja Laksana dan
kawan‐kawannya itu.
"Hhh! Sungguh berbahaya sekali! Ternyata,
padang ilalang itu dipenuhi ular terbang yang
sangat berbisal" gumam Ki Teja Laksana
pelahan, seolah‐olah berkata pada dirinya
sendiri. Ki Teja Laksana belum berhasil
menenangkan hatinya yang terguncang akibat
kejadian tadi.
"Ular terbang?!" seru keenam orang pendekar
itu heran. "Bukankah ular‐ular itu hanya
terdapat di daerah Utara? Lagi pula, ular jenis itu
sudah langka sekali!" kata salah seorang
pendekar yang agaknya lebih mengetahui dari
pada kelima orang kawannya.
"Benar! Aku pun pernah mendengar hal itu
dari guruku. Tapi kalau melihat bentuk padang
ilalang itu, nampaknya dedemit itu sengaja
memelihara ular terbang! Jelas, maksudnya agar
tempatnya tidak mudah didatangi sembarang
orang!" ujar Ki Teja Laksana pula.
"Ya! Rasanya ucapan Ki Teja Laksana cukup
beralasan. Mungkin dedemit itu memang
sengaja memeliharanya, supaya aman dari
gangguan musuh‐musuhnya," ucap seorang
pendekar yang bertubuh tinggi besar.
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di
sekitar tempat itu menjadi sunyi. Ketujuh orang
pendekat itu sama‐sama terdiam, terbawa arus
pikiran masing masing.
"Ayo, kita kembali ... !" seru Ki Teja Laksana
tiba‐tiba membuyarkan lamunan pendekar‐
pendekar lain.
Keenam orang itu tersentak kaget. Tanpa
berkata sepatah pun, keenam, orang pendekar
itu segera mengikuti langkah Pendekar Tangan
Baja.
Belum lagi jauh berjalan, tiba‐tiba Ki Teja Laksana
menghentikan langkahnya. Kening Pendekar
Tangan Baja berkerut‐kerut, bagai tengah
memikirkan sesuatu. Secara serentak enam orang
pendekar yang berada di belakangnya ikut pula
menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Ki?" tanya salah seorang dari
keenam orang pendekar itu. Sedangkan lima orang
lainnya ikut memandang Ki Teja Laksana dengan
sinar mata penuh pertanyaan.
Pendekar Tangan Baja terdiam sejenak, sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Cobalah perhatikan keadaan di sekitar sinil" kata
Pendekar Tangan Baja, tanpa mempedulikan
keheranan keenam pendekar itu. Pandangannya pun
tak lepas memperhatikan sekitarnya.
Meskipun keenam orang pendekar itu tidak
mengerti maksudnya, namun mereka tetap
mengikuti apa yang diinginkan Pendekar Tangan
Baja itu. Dengan wajah keheranan, keenam, orang
pendekar itu segera memperhatikan ke sekeliling
tempat itu.
"Rasanya tidak ada yang aneh pada tempat ini,
Ki...?" jawab salah seorang pendekar itu, setelah
tidak menemukan apa yang dianggapnya aneh
ataupun mencungakan.
Berturut turut kelima orang pendekar lainnya
mengatakan hal serupa. Mereka juga tidak
menemukan apa yang dimaksud Pendekar Tangan
Baja.
"Apakah kalian sudah memperhatikan secara
teliti?" tanya Pendekar Tangan Baja lagi.
"Rasanya sudah, Ki...!" jawab enam orang
pendekar itu pasti.
"Hm.... Sekarang, coba kalian perhatikan sekali
lagi! Dan ingat‐ingatlah! Apakah ini jalan yang tadi
kita lewati?" tanya Ki Teja Laksana. Wajahnya
mulai diliputi ketegangan.
Ketika mendengar ucapan Pendekar Tangan Baja,
keenam orang pendekar itu baru menyadari
kesalahan mereka. Wajah mereka mendadak pucat,
ketika memperhatikan sekitar tempat itu.
"Benar! Jalan ini bukanlah jalan yang kita lalui
sewaktu kita datang!" ujar salah seorang pendekar
yang wajahnya dipenuhi cambang bawuk yang lebat.
"Ah … ! Tapi, bukankah kita bisa mencari jalan lain?
“Kan hanya salah salah jalan saja?" bantah seorang
pendekar yang bertubuh tinggi kurus. Rupanya la
masih belum mengerti, apa yang dimaksudkan
Pendekar Tangan Baja.
"Hm..., tidak sesederhana itu, Kawan! Kurasa, kita
telah masuk dalam perangkap yang dibuat Dedemit
Bukit lblis!" jelas Pendekar Tangan Baja. Tentu saja
hal ini membuat keenam orang pendekar itu semakin
tegang saja.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Ki? Apakah
kita harus menyerah begitu saja?" tanya salah
seorang pendekar yang sudah dapat menangkap
maksud pembicaraan Pendekar Tangan Baja.
"Marilah kita berpencar, untuk mencari jalan yang
semula kita lalui Dan, apabila salah seorang dari kita
telah menemukannya, harus memberikan tanda
dengan siulan! Bagaimana? Setuju?" usul Pendekar
Tangan Baja.
Keenam orang pendekar itu segera menyetujui
usul yang dikemukakan Ki Teja Laksana. Mereka lalu
berpencar, untuk menemukan jalan yang semula
mereka lalui.
Pendekar Tangan Baja menuju sebelah Timur.
Sedangkan enam orang pendekar lainnya menuju ke
sebelah Barat, Utara, dan Selatan secara
berpasangan.
Ketujuh pendekar yang tersesat itu melangkah
dengan kesiagaan penuh. Tangan mereka masing‐
masing telah menggenggam senjata yang sewaktu‐
waktu siap digunakan. Memang disadari bahwa di
sekitar mereka banyak bahaya yang mengancam!
Bahkan dapat mencabut nyawa setiap saat.
Pendekar Tangan Baja telah berpesan kepada
keenam kawannya untuk memberi tanda pada
setiap jaIan yang mereka lewati. Agar mereka tidak
kehilangan arah dan dapat kembali ke tempat
semula.
***
EMPAT
Hari sudah mulai beranjak sore. Namun
Pendekar Tangan Baja belum juga menemukan jalan
yang dicari. Demikian juga dengan keenam orang
pendekar lainnya.
Ketujuh orang pendekar itu mulai merasa
cemas. Sebab apabila, kegelapan sudah
menyelimuti sekitarnya, pupuslah harapan untuk
dapat keluar dari Bukit lblis itu. Bahkan
kematianlah yang akan mereka temui!
Pada dasarnya, Bukit lblis memang tempat
yang angker dan mengerikan. Tidak ada seorang
pun yang dapat keluar dari tempat ini dalam
keadaan selamat. Karena, di bukit itu banyak
terdapat binatang yang sangat berbisa dan
lumpur hidup yang menyedot apa saja yang
lewat di atasnya. Apalagi, pohon‐pohon besar
yang tumbuh di sekitarnya, semakin menambah
keangkeran saja.
Semenjak didiami oleh seorang tokoh sesat
yang amat jahat, Bukit Iblis semakin terlihat
angker saja. Tokoh sesat juga menambahkan
jebakan‐jebakan yang tidak kalah berbahayanya.
Bahkan di tempat itu juga dibuat sedemikian
rupa, sehingga dapat menyesatkan orang yang
datang tanpa diundang! Jalan yang berliku‐liku
dan berkotak‐kotak itu, dibuat mirip satu sama
lain. Sehingga sulit membedakan satu sama lainnya.
Kadang‐kadang para pendekar itu menemui jalan
buntu yang tertutup semak belukar, sehingga
terpaksa harus kembali ke tempat semula. Benar‐
benar sebuah tempat yang membingungkan!
Pada saat itu, dua orang pendekar yang
menuju ke arah Barat telah tiba pada sebuah
lapangan rumput yang cukup luas. Rumput‐
rumput yang tumbuh di tempat itu memang tidak
terlalu tinggi, paling‐paling hanya seukuran anak
panah saja.
Dua orang pendekar itu paling berpandangan
satu sama lain, seolah minta pendapat masing‐
masing. Tanpa dikomando, mereka mengangguk
berbarengan. Dengan penuh kewaspadaan, dua
orang pendekar itu melangkah memasuki daerah
lapangan berumput itu. Mereka terpisah kurang
lebih sekitar dua meter. Tiba‐tiba....
Bress!
Rumput yang terpijak salah seorang dari
mereka melesak hingga sebatas lutut. Dengan
sekuat tenaga ia berusaha keluar dari lumpur itu.
Tapi alangkah terkejutnya pendekar itu, ketika
dirasakan setiap gerakannya justru semakin
menambah daya sedot lumpur itu.
"Adi Ragil, tolooong .. !" dengan wajah pucat
pendekar itu berteriak meminta pertolongan
kawannya.
Orang yang dipanggil Ragil itu tersentak
kaget ketika melihat kawannya terperosok
sebatas pinggang. Cepat bagai kilat Ragil segera
mendekati kawannya.
"Adi Ragil! Jangan mendekat! Jauhi daerah
berumput ini. Cepat...!" pendekar itu berteriak
memperingatkan Ragil yang sedang menuju ke
arahnya.
Terlambat! Tiba‐tiba saja tubuh Ragil telah
melesak dalam rerumputan yang dipijaknya.
"Kakang Juminta, awas! Ini lumpur hidup!" teriak
Ragil. Wajahnya pucat pasi. la berontak untuk
membebaskan diri dari lumpur maut yang
menjepitnya itu. Namun semakin keras
memberontak, semakin dalam pula tubuhnya
terperosok! Bukan main takutnya Ragil ketika
melihat kenyataan ini. Tanpa malu‐malu lagi, la pun
melolong sekuat‐kuatnya, "Tolooong...! Tolooong...!"
Teriakan Ragil bergema ke sekitar tempat itu.
Kelima, orang pendekar lainnya, serentak berlari
menuju tempat semula. Pendekar Tangan Baja
tiba lebih dulu dari yang lainnya. Sejenak mereka
semua saling pandang dengan wajah tegang!
"Mana Ragil dan Juminta?" tanya Ki Teja
Laksana alias Pendekar Tangan Baja kepada
empat orang kawannya.
"Pasti teriakan itu datang dari mereka, Ki"
seru seorang pendekar yang bercambang bawuk.
Tanpa membuang‐buang waktu lagi, lima
orang pendekar itu pun segera melesat ke arah
Barat. Mereka berlari sambil mengikuti tanda‐
tanda yang telah dibuat Ragil dan Juminta itu.
Tentu saja perjalanan itu tidak secepat yang
diharapkan, karena harus berhenti untuk mencari
tanda‐tanda yang dibuat oleh kedua kawannya
ltu. Selang beberapa waktu kemudian, lima orang
pendekar itu pun tiba di tempat Ragil dan
Juminta terperosok.
Ketika melihat dua pasang lengan sebatas
siku yang menggapai‐gapai, tiga orang dari
mereka segera melesat untuk memberi
pertolongan.
"Hei! Awaaass…!" Pendekar Tangan Baja
terlambat memperingatkan tiga orang kawannya
yang ceroboh itu. Akibatnya, tiga orang pendekar
tersebut juga terjebak dalam lumpur hidup itu.
"Diam! Jangan banyak bergerak! Kalau terus
bergerak, lumpur itu akan semakin kuat
menyedot tubuh kalian!" teriak Pendekar Tangan
Baja kepada rekannya yang terperosok itu.
Sementara matanya mencari‐cari sesuatu yang
kira‐kira dapat dipergunakan untuk menyelamatkan
mereka.
Sementara tiga orang pendekar itu terus
bergerak‐gerak sambil menggaruk di sana‐sini.
Mereka merasakan ada binatang kecil yang
menggigit sekujur tubuh. Terasa panas dan perih!
Ketiganya terus bergerak dan berteriak‐teriak,
tanpa mempedulikan peringatan Pendekar Tangan
Baja.
Pendekar Tangan Baja segera berlari menghampiri
segerombolan pohon bambu yang terdapat di
sekitar tempat itu. Dipilihnya sebatang pohon
bambu yang besar. Terdengar suara batang
bambu yang patah oleh hantaman tangan pendekar
itu.
Dengan mengerahkan tenaga saktinya,
Pendekar Tangan Baja melemparkan batang
bambu itu ke lapangan berumput, tempat tiga
orang kawannya tengah berjuang melawan maut.
Sedangkan dua orang iagi, dipastikan telah
tewas. Batang bambu itu melayang dan jatuh
melintang di hadapan tiga orang pendekar itu.
"Cepat! Pegang bambu ini kuat‐kuat!" teriak
Pendekar Tangan Baja. Dengan dibantu seorang
kawannya yang masih tersisa itu, Pendekar
Tangan Baja segera menarik batang bambu itu.
Tidak berapa lama kemudian, tiga orang pendekar
itu pun dapat diselamatkan dari ancaman lumpur
maut.
Begitu keluar dari lumpur maut, ketiga orang
pendekar itu segera melepaskan pakaian mereka.
Pendekar Tangan Baja dan pendekar yang tadi ikut
membantunya memandang ketiga kawannya dengan
wajah bingung. Namun, kebingungan itu segera
berganti dengan rasa kaget yang luar biasa.
Pendekar Tangan Baja dan seorang kawannya
melangkah mundur sambil terbelalak! Sebab, di tubuh
tiga orang pendekar yang baru saja diselamatkan itu,
menempel ketat puluhan binatang sebesar ibu jari kaki.
Sekujur tubuh mereka telah basah oleh darah akibat
gigitan binatang‐binatang itu.
"Lintah Kelabang...!" sera Pendekar Tangan Baja.
"Jangan sentuh! Lintah‐lintah itu sangat beracun!"
teriaknya lagi, ketika melihat kawannya akan menolong
ketiga orang pendekar itu. Ketika mendengar
peringatan Pendekar Tangan Baja, orang itu pun segera
menarik kembali tangannya yang sudah teruluritu.
"TapL.., tapi..., mereka harus ditolong, Ki!" bantah
pendekar itu, yang merasa tidak tega melihat
penderitaan tiga orang kawannya.
"Terlambak Adi Jalung! Mereka sudah tidak dapat
diselamatkan lagi. Racun Lintah Kelabang amatlah ganas,
dan cepat sekali menyebar ke seluruh tubuh! Maafkan
aku, Adi Jalung! Bukan tidak mau menyelamatkan
mereka. Tapi, harus pula dipikirkan keselamatan kita!"
ujar Pendekar Tangan Baja. Sinar matanya
memancarkan rasa penyesalan.
"Huh! Dedemit itu benar‐benar tidak punya
jantung!" geram orang yang dipanggil Jalung itu.
Wajahnya kelihatan gusar.
Kedua orang pendekar itu memandang tiga orang
kawannya yang berkelojotan dan bergulingan di tanah
sambil menggaruk‐garuk sekujur tubuhnya. Mereka
berteriak‐teriak dan melolong menyayat hati.
"Aaah..., gatal.... Gatal sekali! Aduh..., arrrhh...!"
ketiga orang pendekar itu meratap‐ratap sambil terus
menggaruk‐garuk sampai kulit tubuh mereka terkelupas
dan berdarah. Tidak berapa lama kemudian tiga orang
pendekar itu pun tewas dalam keadaan yang
menyedihkan.
Pendekar Tangan Baja dan Jalung memalingkan
wajahnya. Tidak tega melihat kematian tiga orang
kawannya yang mengenaskan itu. Titik air mata pun
bergulir dari dua pasang mata pendekar gagah itu.
Walaupun sudah terbiasa hidup dalam dunia yang
penuh dengan kekerasan dan bunuh‐membunuh itu,
mereka juga merasa tidak sanggup melihat penderitaan
tiga orang kawannya itu.
"Apakah tidak sebaiknya kita kuburkan mayat
mereka, Ki?" ujar Jalung yang merasa tidak tega
melihat mayat kawan‐kawannya dibiarkan begitu saja.
"Ah! apakah kau sudah lupa, Jalung! Tubuh mereka
sudah tercemar racun‐racun keparat itu!" jawab
Pendekar Tangan Baja mengingatkan kawannya.
"Ah! Maaf, Ki! Mengapa aku begitu pelupa?" ujar
Jalung sambil menepak kepalanya.
"Sudahlah! Yang penting sekarang, bagaimana kita
dapat keluar dari tempat keparat ini!" ucap Pendekar
Tangan Baja. Wajahnya menerawang lesu.
"Ki! Apakah kita akan dapat keluar dari tempat ini?"
tanya Jalung dengan nada putus asa.
Jalung memang nampaknya sudah merasa
putus asa! Kematian kawan‐kawannya yang
berturut‐turut dan mengerikan itu, telah
membuatnya terpukul. Kini dia hanya pasrah
menanti maut yang akan datang menjemputnya.
"Hm.... Apakah engkau ingin menantikan
kematian tanpa melakukan perlawanan sedikit
pun? Ingatlah, Jalung! Selagi masih hidup, kita
harus mempertahankan hidup kita ini sampai
titik darah yang terakhir! Tidak malukah dirimu
dengan julukan pendekarmu? Ke manakah
perginya sifat kependekaran yang selama ini
ditanamkan oleh gurumu? Hm.... Alangkah
kasihannya orang tua itu, yang bertahun‐tahun
mendidik dan menanamkan sifat‐sifat
kependekaran dalam dirimu. Ternyata kini
usahanya sia‐sia! Ah, sungguh sayang sekali' ujar
Pendekar Tangan Baja sambil menggeleng‐
gelengkan kepalanya. Kelihatan ada kesedihan
pada wajahnya.
Pada mulanya Jalung hanya menunduk
tanpa mempedulikan perkataan Pendekar
Tangan Baja yang terdengar gusar itu. Namun,
ketika Pendekar Tangan Baja mulai menyinggung‐
nyinggung tentang gurunya, wajah Jalung merah
seketika. Terbayang olehnya wajah orang tua
yang penuh kasih itu. Orang tua yang telah
mendidiknya tanpa mengharapkan imbalan sedikit
pun! Ilmu yang telah diberikan gurunya selama
bertahun‐tahun itu, kini akan dihancurkannya
begitu saja, hanya karena rasa takut mati. "Tidak!
Aku tidak boleh berputus asa! Aku harus bangkit!
Harus!" Demikian kata hati Jalung yang telah
dibakar semangat hidupnya oleh perkataan
Pendekar Tangan Baja.
"Maafkan aku, Ki! Ah.... Betapa
memalukannya sikapku tadi," desah Jalung yang
telah menyadari kekeliruannya. Sikapnya
memang memalukan karena tidak mencerminkan
sikap seorang pendekar.
"Sudahlah, Jalung! Maafkan juga sikapku yang
agak keterlaluan tadi!" ucap Pendekar Tangan
Baja tersenyum.
"Tidak, Ki! Akulah yang telah berbuat bodoh!
Semua yang kau katakan itu memang benar! Aku
yang bodoh, dan aku jugalah yang seharusnya
minta maaf!" bantah Jalung lagi.
"Ah..., sudahlah. Hari sudah hampir gelap.
Marilah kita bergegas, Jalung!" ajak Pendekar
Tangan Baja. Dia segera beranjak meninggalkan
tempat itu.
"Baiklah, Ki! Mari ...... Jalung pun segera
melangkah mengikuti Pendekar Tangan Baja
yang telah melangkah lebih dahulu.
Kedua orang pendekar itu pun memulai lagi
usahanya untuk mencari jalan keluar dari tempat
yang mengerikan itu. Kali ini mereka benar‐
benar harus berpacu dengan waktu. Karena tidak
lama lagi seluruh desa itu akan tertutup oleh
kegelapan
***
Cahaya kemerahan mulai tampak di ufuk
Barat. Para pendekar yang menanti di Kaki Bukit
Iblis mulai dicekam kecemasan! Mereka mulai
gelisah, karena kesepuluh orang pendekar yang
ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di Bukit iblis
belum juga kembali. Kalingga yang dipercayakan
untuk memimpin teman‐temannya, tampak gelisah
sekali. la berjalan mondar‐mandir sambil
menggendong tangannya ke belakang. Sebentar‐
sebentar Kalingga berhenti dan perhatikan jalan
tempat kesepuluh kawannya mulai mendaki
tadi. Beberapa kali dihapus butir‐butir keringat
yang membasahi dahinya.
Para pendekar yang lain pun tidak kalah
gelisahnya. Mereka mulai mengkhawatirkan
keselamatan rombongan yang dipimpin Pendekar
Tangan Baja itu. Berbagai dugaan memenuhi
pikiran mereka. Memang, para pendekar itu
telah juga mengetahui betapa banyaknya
bahaya yang mengincar di daerah Bukit Ibis itu.
"Kakang Kalingga, apakah tidak sebaiknya
beberapa orang di antara kita menyusul
mereka?" usul salah seorang pendekar. Dia
memang sudah tidak sabar menantikan kesepuluh
orang teman mereka.
“Betul, Kakang! Kami khawatir, jangan‐jangan
mereka dalam bahaya!" ujar salah seorang
lainnya, menimpali usul tadi.
"Sabarlah, kawan‐kawan! Aku percaya akan
kepandaian maupun pengalaman yang dimiliki
oleh Pendekar Tangan Baja. Jadi, biarlah kita
tunggu beberapa saat lagi!" pinta Kalingga
kepada kawan‐kawannya. Padahal
sesungguhnya dia juga mulai curiga alas
keterlambatan kesepuluh orang pendekar itu.
Namun semua itu tidak ingin ditunjukkannya di
hadapan para pendekar yang juga sedang dilanda
kegelisahan itu.
"Tapi, Kakang! Kalau hari sudah muiai gelap,
bukankah mereka akan mengalami kesulitan
untuk keluar dari tempat itu? Sedangkan mereka
sama sekali tidak membawa obor, untuk
menyusuri jalan yang akan mereka lalui!"
bantah seorang pendekar lainnya lagi.
”Hm…..,baiklah. Kalau memang itu sudah
kesepakatan kalian. Ayo, kita berangkat.
Bawalah beberapa buah obor untuk menandai jalan‐
jalan yang kita lalui. Dan sebagian dari kalian,
tetaplah berjaga jaga di sini!" tutur Kalingga yang
akhirnya menyetujui usul kawan‐kawannya itu.
"He he he! Tidak harus begitu, Kalingga! Kau
harus tetap tinggal di sini!" tiba‐tiba terdengar
sebuah suara yang membuat semua yang ada di
situ terkejut. Serentak semuanya menoleh ke
arah asal suara itu.
Sementara di tangan mereka masing‐masing telah
tergenggam senjata yang siap dihantamkan.
Untuk beberapa saat lamanya para pendekar
itu menjadi tertegun melihat si pemilik suara tadi
tengah menghampiri mereka dengan langkah yang
terhuyung‐huyung bagai orang mabuk. Sesekali
orang itu berhenti, seraya menuangkan arak dari
dalam sebuah guci yang tergenggam di tangan
kanannya. Terdengar suara tegukan, ketika arak
melewati tenggorokannya.
"Pendekar Pemabuk!" seru Kalingga dan
beberapa orang pendekar yang sudah pernah
berjumpa dengan pendekar itu sebelumnya.
Wajah mereka yang semula diliputi ketegangan,
mendadak cerah. Karena, dengan kehadiran
pendekar konyol itu, berarti mereka akan
memperoleh tambahan tenaga yang dapat
diandalkan.
Kalingga yang sudah mengenal Pendekar
Pemabuk dengan baik, segera menyambut dan
menyalaminya. Wajahnya berseri‐seri gembira!
Kedatangan pendekar yang terkenal berwatak
jenaka itu, benar‐benar melegakan hatinya. Jelas
pada saat ini pengalaman maupun nasihat
pendekar itu sangatlah diperlukan.
"He he he.... Apa khabar, Kalingga? Sudah
lama sekali kita tidak jumpa! Oh, ya. Bagaimana
keadaan gurumu? Apakah baik‐baik saja?"
berondong Pendekar Pemabuk dengan
pertanyaan begitu ia tiba di depan Kalingga.
Mendengar pertanyaan Pendekar Pemabuk
yang bagai air bah itu, Kalingga hanya tersenyum‐
senyum. Ditatapnya Pendekar Pemabuk yang
tengah menuangkan arak ke dalam mulutnya.
Pendekar Pemabuk segera menurunkan guci
araknya, ketika tidak didengarnya jawaban Kalingga.
"Eh! Mengapa engkau diam, Kalingga? Apakah
pertanyaanku ada yang aneh?" tanya Pendekar
Pemabuk. Wajahnya diliputi keheranan.
"Ha ha ha.... Bagaimana aku harus
menjawabnya, Kakang? Pertanyaanmu begitu
banyak! Jadi, mana yang harus kujawab lebih
dulu?" ujar Kalingga yang menjadi geli ketika
melihat pendekar kocak itu memandang penuh
ketololan.
"Eh! Apa betul begitu?" tanya Pendekar
Pemabuk sambil memandang ke sekelilingnya,
seolah‐olah meminta kepastian dari para
pendekar lain. "Ah! Sudahlah..., sudahlah ... !"
katanya lagi dengan goyangan tangan berkali‐kali.
"Eh, Kakang! Apakah maksud kata‐kata
Kakang yang menyuruhku tetap tinggal di sini?"
tanya Kalingga mengalihkan persoalan. Memang,
dia masih belum mengerti maksud kata‐kata
Pendekar Pemabuk itu.
"Oh, ya...! Mengapa aku sampai lupa
tujuanku semula?" ujar Pendekar Pemabuk
sambil menepuk dahinya sendiri.
"Tujuan? Tujuan apa yang Kakang
maksudkan?" anya Kalingga yang semakin tak
mengerti.
"Begini, Kalingga!" ujarnya mantap. "Ketika
tiba di tempat ini, aku mendengar kalian hendak
menyusul kawan‐kawan yang hingga kini belum
kembali dari Bukit lblis. Mendengar hal itu, aku
menjadi tertarik! Lalu, kuputuskan untuk ikut
dengan kalian. Itu pun kalau kalian tidak
keberatan!"
"Ah! Kakang ini ada‐ada saja! Mana mungkin
kami akan keberatan? Malah kami akan
berterima kasih sekali apabila Kakang bersedia ikut
membantu!" jawab Kalingga sungguh‐sungguh.
"Betul, Ki! Kami betul‐betul membutuhkan
bantuan!" timpal beberapa orang pendekar lainnya.
"Hm.... Siapakah yang memimpin pendakian
sebelumnya itu?" tanya Pendekar Pemabuk
kepada Kalingga.
"Yang memimpin adalah Ki Teja Laksana,
Kakang!" jawab Kalingga.
"Ki Teja Laksana?! Maksudmu Ki Teja Laksana
yang berjuluk Pendekar Tangan Baja itu?"
tanya Pendekar Pemabuk menegaskan.
“Betul, Kakang! Siapa lagi yang mempunyai
julukan Pendekar Tangan Baja kalau bukan Ki
Teja Laksana?!" jawab Kalingga dengan nada
bangga.
"Hm.... Kalau begitu, pasti terjadi apa‐apa dengan
mereka!" gumam Pendekar Pemabuk pelahan.
"Eh! Mengapa Kakang berpikir begitu?" tanya
Kalingga. Dia memang tengah mengkhawatirkan
keselamatan kesepuluh kawannya itu.
"Ya! Sebab aku kenal betul sifat Pendekar Tangan
Baja. Dia itu seorang pendekar yang selalu menepati
janjinya," Jelas Pendekar Pemabuk sambil
memandang lawan bicaranya.
"Jadi, menurut Kakang...?" tanya Kalingga. la
memang tidak ingin berpikir yang bukan‐bukan
tentang kawan kawannya itu.
"Hm..., begini, saja! Kau tetap saja di sini,
Kalingga! Biar aku dan beberapa orang pendekar
lainnya yang pergi menyusul mereka," tegas
Pendekar Pemabuk.
"Tap, Kakang...," Kalingga ingin membantah usul
Pendekar Pemabuk.
"Sudahlah! Bukankah engkau ditugaskan oleh
Pendekar Tangan Baja untuk menunggu di sini? Nah,
laksanakanlah tugasmu dengan baik!" potong
Pendekar Pemabuk cepat. Lalu la pun segera
mengajak beberapa orang pendekar untuk
segera mengadakan pencarian.
"Cepatlah! Hari sudah mulai gelap!" ujar
Pendekar Pemabuk.
Beberapa saat kemudian, Pendekar
Pemabuk yang ditemani dua belas orang
pendekar lainnya itu pun mulai mendaki Bukit
iblis. Dengan diterangi delapan buah obor,
mereka berjalan menerobos semak belukar yang
menghalangi jalan. Selang beberapa waktu
kemudian, mereka mulai melintasi jalan yang
tertutup pohon‐pohon besar. Sehingga tempat itu
lebih gelap daripada tempat‐tempat lainnya.
"Mulai dari sini, obor‐obor harus
ditinggalkan dengan jarak tertentu, agar tidak
kehilangan arah pulang!" ujar Pendekar Pemabuk.
Dia mulai merasakan keanehan pada tempat di
sekitarnya. Kecurigaannya mulai timbul ketika
melihat bentuk semak semak setinggi tiga tombak
lebih itu.
Tanpa banyak bertanya, para pendekar itu
pun mulai meninggalkan obor‐obornya satu
persatu, dan ditancapkan pada tempat yang agak
tinggi. Ini berguna untuk dapat melihat dari
kejauhan. Dengan demikian mereka tidak akan
tersesat, dan mudah menemukan jalan melalui
sinar obor itu.
Tiba‐tiba Pendekar Pemabuk yang berjalan di
depan itu, mengangkat tangan kanannya ke atas.
Melihat isyarat itu, para pendekar yang berada di
belakangnya serentak menghentikan langkah.
"Ada apa, Ki...?" bisik seorang pendekar yang
berada tepat di belakangnya. Suaranya sedikit
tegang.
Pendekar Pemabuk tidak segera menjawab
pertanyaan itu, tapi malah menoleh dan tersenyum
sambil menepuk‐nepuk bahu pendekar itu.
"Coba kemarikan obor itu!" pinta Pendekar
Pemabuk kepada salah seorang dari mereka
yang masih memegang obor. "Kalian tetaplah di
sini!" perintahnya lagi dengan suara pelahan.
Sambil memegang obor di tangan kirinya,
Pendekar Pemabuk segera melangkah hati‐hati.
Tenaga saktinya telah menyebar ke seluruh
tubuhnya. Dipertajam indra pendengarannya,
sehingga suara yang kecil sekalipun telah cukup,
untuk membuatnya berbalik dengan kesiagaan
penuh.
Sementara kedua belas orang pendekar
lainnya, tetap siaga di tempat. Mereka, menanti
dengan wajah tegang! Tangan‐tangan mereka telah
meraba gagang senjata masing‐masing, dan siap
melindungi Pendekar Pemabuk apabila terjadi
sesuatu.
Di tempat lain, Pendekar Pemabuk telah
menghentikan langkahnya. la berdiri di tengah
jalan dengan kaki terpentang. Ditengadahkan
kepalanya ke atas. Dan tiba‐tiba terdengar
siulan dari mulutnya. Mula‐mula siulan itu
terdengar pelahan, namun makin lama semakin
keras. Iramanya pun terdengar aneh! Secara
pelahan lahan suara siulan itu mulai menyelusup
semak belukar. Hembusan angin membawa
siulan itu hingga memenuhi daerah sekitarnya.
***
Sementara itu, Pendekar Tangan Baja dan
Jalung yang masih sibuk merambas semak belukar
sejenak menghentikan gerakannya. Kedua orang
itu segera menelengkan kepalanya sedikit
untuk memperjelas pendengaran mereka.
Setelah mendengar jelas, tiba‐tiba paras
Pendekar Tangan Baja berubah cerah! Sudah
dikenalnya betul suara siulan yang bernada
aneh itu. Sekilas, terbersit secercah harapan di
hati Pendekar Tangan Baja. Segera
digenggamnya tangan Jalung erat‐erat. Laki‐laki
itu masih belum mengetahui apa yang membuat
Pendekar Tangan Baja kelihatan begitu gembira.
"Suara apakah itu, Ki? Mengapa Ki Teja begitu
gembira mendengarnya?" tanya Jalung heran.
"Sudahlah! Mari ikuti aku! Dan jangan banyak
tanya!" ujar Pendekar Tangan Baja gembira.
Sambil melangkah pelahan, Pendekar Tangan
Baja mengerahkan tenaganya Ialu menyalurkannya
melalui kerongkongannya, Tidak lama kemudian,
terdengarlah lengkingan halus yang menyambut
suara siulan Pendekar Pemabuk tadi.
Di tempat lain, Pendekar Pemabuk yang
mendengar suara lengkingan itu menjadi berseri
wajahnya Sambil meneruskan siulannya,
Pendekar Pemabuk menggerakkan tangannya ke
depan sebagai isyarat agar kawan‐kawannya
datang mendekat. Dengan sigap, kedua belas
orang pendekar itu pun segera menghambur
kearahnya.
"Angkat ketiga obor itu tinggi‐tinggi!"
perintah Pendekar Pemabuk.
Tiga orang pendekar yang membawa obor itu
seperti tidak mengerti, namun dituruti juga
perintah pendekar itu.
Secara samar‐samar, kedua belas orang
pendekar itu mulai mendengar lengkingan halus
berkepanjangan. Serentak mereka saling
pandang satu sama lain, lalu saling menggeleng
tanda tidak mengerti. Pendekar Pemabuk sengaja
tidak memberitahu kawan‐kawannya. Hal ini
dilakukan agar tidak memancing keramaian yang
dapat mengundang perhatian Dedemit Bukit Iblis.
Makin lama suara lengkingan dan siulan itu
pun semakin dekat jaraknya. Sedangkan
pancaran sinar obor yang membias di antara
semak belukar itu, semakin menambah
keyakinan pendekar Tangan Baja. Kedua orang
pendekar itu pun semakin mempercepat
langkahnya. Dengan berpedoman cahaya itu,
mereka segera menyusuri jalan yang berliku‐liku.
Suara siulan yang dikeluarkan Pendekar Pemabuk
tidak iagi segencar semula, Dan kini suara siulan
itu hanya sekali‐sekali terdengar.
"Ayo! Tiga orang ikut denganku. Dan yang
lainnya tetap tinggal di sini!" ujar Pendekar Pemabuk
sambil melangkah meninggalkan kawan‐
kawannya. Dengan diterangi cahaya obor yang
dibawa salah seorang dari mereka, keempat
orang pendekar itu pun melangkah hati‐hati.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba‐
tiba dari segerombol semak belukar, melompat
dua sosok bayangan dengan gerakan gesit.
Cepat bagai kilat keempat orang pendekar
itu langsung menggeser kakinya membuat posisi
kuda‐kuda. Bahkan tiga orang yang menemani
Pendekar Pemabuk sudah pula menghunus
pedangnya!
"Kakang Teja! Kaukah itu...?" sapa Pendekar
Pemabuk yang lebih dahulu dapat menguasai
keadaan.
"Benar! Akulah adanya, Adi Panggal!" jawab
salah satu dari bayangan itu.
Pendekar Pemabuk yang dipanggil Panggal itu
segera menyalami dua sosok bayangan yang tak
lain adalah Ki Teja Laksana dan Jalung. Mereka pun
saling berpelukan erat, dan saling menyapa
dengan wajah gembira.
Pendekar Tangan Baja dan Pendekar
Pemabuk adalah merupakan dua orang sahabat
lama. Mereka sama‐sama pernah berguru pada
seorang pertapa sakti selama satu tahun
lamanya. Maka tidaklah heran apabila kedua
orang pendekar Itu, telah mengenal baik satu sama
lain.
"Kakang Teja, bukankah kalian berjumlah sepuluh
orang? Ke manakah para pendekar yan
lainnya?” tanya Pendekar Pemabuk ketika
melihat Ki Teja Laksana, hanya datang bersama
seorang pendekar yang bernama Jalung.
"Huh! Panjang sekali ceritanya, Adi! Nantilah
kuceritakan! Sekarang lebih baik kita tinggalkan
tempat ini secepatnya! Ayo!" ajak Pendekar Tangan
Baja.
"Baiklah, Kakang! Mari...," ujar Pendekar
Pemabuk yang ingin segera mendengar cerita
Pendekar Tangan Baja itu.
Dengan diterangi oleh cahaya obor, para
pendekar itu pun bergegas meninggalkan tempat
yang mengerikan itu. Kelima belas orang
pendekar itu dengan mudah dapat keluar dari
tempat itu, karena berpedoman obor‐obor yang
telah ditinggalkan sepanjang jalan.
***
LIMA
Hembusan angin sejuk mengiringl langkah kaki
seorang laki‐laki muda. Langkahnya mantap
menyusuri Jalan berbatu‐batu di daerah perbukitan
tandus. Wajahnya yang bersih dan tampan itu, selalu
dihiasi senyum cerah. Jubahnya yang berwarna putih
berkibar lembut diterpa angin yang sesekali
berhembus agak kuat.
Laki‐laki muda yang berusia sekitar Sembilan belas
tahun itu ternyata adalah Panji. Dia lebih dikenal
sebagai Pendekar Naga Putih. Pandang matanya yang
cerah menandakan bahwa Panji adalah seorang yang
menganggap bahwa hidup adalah untuk dinikmati
dari segi‐segi yang menyenangkan.
Kaki‐kaki Panji melangkah tetap dan kokoh. Dia
berniat mengunjungi Desa Pasiran yang terletak di
wilayah Barat, karena mendengar berita tentang
mengganasnya Dedemit Bukit Iblis di sana. Dan
sebagai seorang yang memiliki jiwa kependekaran
dan kesatriaan, dirinya merasa terpanggil untuk
ikut bertanggung jawab mengatasi keadaan itu.
Pada saat memikirkan tentang sebuah desa, tiba‐
tiba terlintas dalam bayangannya akan sebuah desa
yang telah mendatangkan kesan terindah dalam
hidupnya. Terlintas bayangan seraut wajah yang
cantik dan mempesona. Wajah seorang gadis jelita
yang telah mencuri sekeping hatinya.
"Kenanga...," desah Panji penuh getaran rasa
rindu yang menyeruak dari dalam relung hatinya.
"Ah, tidak ada salahnya kalau aku mengunjunginya
terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mengunjungi
Desa Pasiran yang menjadi tujuan semula,"
gumamnya pada diri sendiri.
Setelah berpikir demikian, Panji segera,
membelokkan langkah kakinya ke arah Selatan.
Mendadak pemuda itu menghentikan langkahnya.
Keraguan mulai menyelimuti hatinya.
"Hm.... Mana yang harus didahulukan?" ujarnya
seorang diri.
Rupanya dalam dirinya terjadi pertentangan batin.
Pertentangan yang berkecamuk dalam hatinya itu,
membuat Panji menunda langkahnya. Pemuda itu
berdiri termenung sambil mengangguk‐anggukkan
kepalanya. Keningnya berkerut‐kerut, pertanda
bahwa ia tengah berpikir keras. Sehingga, untuk
beberapa saat lamanya Panji bagaikan sebuah patung
bisu.
Di saat Panji tengah dilanda kebimbangan, tiba‐
tiba terngiang kata‐kata gurunya.
"Panji! Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian, engkau harus lebih mementingkan
kepentingan orang banyak daripada kepentingan
pribadi. Dengan dianugerahi kepandaian, berarti kita
telah ditugaskan untuk menggunakannya demi
menegakkan kebenaran." Demikian kata‐kata yang
telah ditanamkan Eyang Tirta Yasa atau Malaikat
Petir ke dalam jiwa murid kesayangannya itu.
Panji kini tertunduk dalam‐dalam. Bukan kata‐kata
gurunya yang menyentuh hatinya, tapi justru
bayangan orang tua itulah yang membuatnya
tertunduk haru. Laki‐laki tua yang telah mendidik dan
mengasuhnya sehingga, kini ia menjadi pendekar
digdaya.
"Eyang..., maafkanlah cucumu! Ternyata batinku
masih terlalu lemah, Eyang!" desah Panji mengakui
kesalahannya.
Beberapa saat kemudian, Panji kembali
meneruskan perjalanannya menuju Desa Pasiran.
"Nantilah! Setelah tugas ini selesai, baru aku akan
segera mengunjungimu, Adik Kenanga," ujar
Pendekar Naga Putih atau Panji dalam hati.
Setelah cukup lama melakukan perjalanan, tibalah
Panji pada sebuah hutan kecil. Letaknya tidak begitu
jauh dari perbatasan Desa Pasiran. Baru saja la
berniat meneruskan perjalanannya, tiba‐tiba
pendengarannya yang terlatih menangkap suara
pertempuran. Tanpa berpikir panjang lagi, Panji pun
melesat ke arah asal suara‐suara itu.
Suara benturan pedang yang disertai bentakan‐
bentakan itu semakin jelas terdengar, sehingga, Panji
semakin mempercepat larinya. Dan dari kejauhan,
pemuda itu melihat lima orang laki‐laki gagah tengah
bertarung melawan belasan orang yang berwajah
kasar dan bengis!
Panji yang belum mengetahui sebab‐sebab
terjadinya pertempuran itu, tidak ingin cepat‐cepat
mencampurinya. Pemuda itu berjalan mengendap‐
endap, di balik rimbunan semak di tepi jalan. Dia
terus melangkah semakin mendekati arena
pertempuran itu.
"He he he.... Apakah kalian masih belum bersedia
menyerahkan peti harta itu?" ejek salah seorang
di antara belasan orang itu. Suaranya berat dan
parau.
Orang itu bertubuh tinggi besar dan berotot kekar
di kedua lengannya. Sehingga ia terlihat sangat kokoh
dan kuat! Kepalan tangannya yang sebesar kepala
bayi, menyambar‐nyambar dan menimbulkan angin
yang menderu‐deru. Jelas sekali kalau orang itu
memiliki tenaga yang amat besar.
"Huh! Jangan mimpi kau, bangsat! Lebih balk
kami mati daripada hidup menjadi seorang
pengecut!" bentak salah seorang dari kelima orang
gagah itu. Setelah berkata demikian, lelaki itu
menyabetkan pedangnya ke pinggang orang yang
bertubuh tinggi besar itu.
"Hm.... Rupanya kau ingin merasakan kepalan
Setan Bertenaga Gajah! Nah, sambutlah!" Disertai
egosan badan untuk menghindari sabetan pedang,
orang yang berjulukan Setan Bertenaga Gajah itu
langsung melontarkan kepalannya ke dada lawan.
Bukkk!
"Uugghhh...!
Lelaki gagah itu menjerit tertahan ketika
hantaman Setan Bertenaga Gajah tepat mengenai
dadanya. Orang itu terjungkal dengan kerasnya!
Dadanya bagai dihantam palu godam yang berat!
Lelaki gagah itu terbatuk‐batuk. Dadanya, serasa
remuk! Darah segar keluar bersama batuknya yang
menghebat!
Sementara dua orang kawannya yang lain
berteriak ngeri, ketika senjata di tangan anak buah
Setan Bertenaga Gajah melukai tubuhnya. Tanpa
ampun IagI dua orang itu terjungkal dan tewas
seketika.
"He he he..., Gotawa Lihatlah dua orang anak
buahmu itu! Apakah itu yang kau inginkan?"
kembali Setan Bertenaga Gajah tertawa mengejek.
"Sudah kubilang, lebih baik aku mati, iblis!"
teriak orang yang ternyata bernama Gotawa itu.
Wajahnya terlihat merah padam. Dengan teriakan
keras, Gotawa menerjang lawannya. Ternyata
meskipun luka yang dideritanya akibat pukulan
Setan Bertenaga Gajah cukup parah, namun laki‐
laki gagah itu masih cukup berbahaya bagi
lawannya.
"Huh, manusia tolol! Rupanya kau memang
menghendaki kematian! Tidak semudah itu,
monyet! Kau harus menerima siksaan teriebih
dahulu, agar kau mati secara pelahan‐lahan!"
ancam Setan Bertenaga Gajah sambil
menyeringai kejam. Sedangkan kakinya
berloncatan menghindari sabetan pedang lawan
yang berdesingan mengancam tubuhnya.
Sementara itu, beberapa orang anak buah
Setan Bertenaga Gajah sudah menghampiri
sebuah kereta Yang ditarik empat ekor kuda.
Kereta itu cukup bagus dan indah, seperti yang
dimiliki para saudagar kaya.
"Ayo! Keluar kau, monyet gendut!" bentak
salah seorang perampok sambil memasang
wajah bengis. Ditendangnya pintu kereta itu
hingga hancur berantakan. Sambil menimang‐
nimang senjatanya, orang itu terus membentak‐
bentak dua orang yang berada di dalam kereta.
"Tolong..., jangan bunuh kami! Ambillah
semua Yang kau suka, asal kami berdua
dibebaskan," rintih orang yang berperut gendut
dan berkepala botak sambil melangkah turun.
Kedua kakinya gemetar ketakutan. Sedangkan
pada bagian tengah celananya telah dibasahi
cairan yang berbau tak sedap.
Seorang wanita cantik berusia sekitar tiga
puluh lima tahun, ikut pula melangkah turun.
Wajah wanita itu telah dibasahi air mata yang
mengalir tak henti‐hentinya. Dari perutnya yang
membukit, mudah diduga kalau wanita cantik itu
tengah hamil tua.
"He he he.... Istrimu cantik juga, bandot tua!"
ujar salah seorang dari Iaki‐laki berwajah bengis
itu. Matanya liar merayapi wajah cantik itu,
sambil menelan sudah. "Hm.... Sayang sedang
hamil tua," desisnya pelan.
"Ampun, Tuan! Jangan ganggu istriku!
Ambillah apa saja yang kalian mau, asal jangan
ganggu dia," rengek lelaki berkepala botak itu.
Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia lalu
berlutut di depan kaki orang‐orang berwajah
bengis itu dan merintih‐rintih mohon dikasihani.
Seorang di antara pengikut Setan Bertenaga
Gajah itu langsung menyambar pinggang wanita
cantik tadi. Diciuminya wanita itu dengan penuh
nafsu. Namun, tiba‐tiba, laki‐laki itu menjerit
tertahan dan terkulai di bahu si wanita cantik.
"Iiihhh ... !" Wanita cantik itu melangkah mundur,
sehingga tubuh laiki‐laki bengis itu ambruk ke
tanah tanpa nyawa lagi.
"Hei! Apa yang kaulakukan kepadanya?"
bentak salah seorang yang lainnya sambil
menodongkan pedangnya ke leher wanita cantik
itu. Sedangkan seorang lagi segera memeriksa
tubuh kawannya yang sudah tak bernyawa itu.
"Ah, dia.... Dia sudah tewas!" teriak orang itu
kaget. Ternyata, didapati kepala kawannya
terdapat luka yang membiru dan amat dingin.
Rupanya luka Itu telah menghancurkan urat‐
urat saraf di kepalanya sehingga membuatnya
tewas seketika.
Laki‐laki bengis yang tengah menodongkan ujung
pedangnya ke leher wanita cantik itu menjadi
terkejut setengah mati! Bergegas didekati dan
diperiksa mayat kawannya itu.
"Bangsat! Siapa yang telah melakukannya?"
ramnya gusar.
"Aku! Akulah yang telah membunuh manusia
bejad Itu! Apakah kalian ingin mengikuti
jejaknya?" Entah dari mana datangnya, tahu‐
tahu saja di dekat wanita itu telah berdiri
sesosok tubuh berjubah putih. Jelas dia tak lain
adalah Panji si Pendekar Naga Putih. Pemuda itu
berdiri tegak, dengan kedua, kaki terpentang.
Sinar matanya mencorong tajam bagai mata
seekor naga yang sedang murka.
"Setan...! Kau harus bayar mahal
perbuatanmu itu!" teriak salah seorang laki‐laki
bengis itu sambil menyabetkan pedangnya ke
tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi serangan itu
mudah sekali dielakkannya. Bahkan Pendekar
Naga Putih langsung mengirimkan tamparan ke
arah kepala orang itu.
Seketika terdengar lolong kematian, disertai
terpentalnya tubuh orang itu. Orang itu tewas
dengan kepala pecah! Melihat salah seorang
kawannya mati, maka yang lain serentak
menerjang Pemuda sakti itu. Pendekar Naga
Putih segera membagi‐bagi pukulannya Yang
mengandung tenaga sakti yang hebat itu.
Kontan saja tubuh para penyerangnya
berpentalan ke segala Penjuru dalam keadaan telah
menjadi mayat.
Setan Bertenaga Gajah yang masih berusaha
melumpuhkan lawannya menjadi terkejut
melihat anak buahnya berpentalan diiringi jeritan
yang memilukan. Dengan wajah merah padam,
tubuh tinggi besar itu segera meninggalkan
lawannya, melayang ke arah kereta kuda itu.
Bukan main murkanya Setan Bertenaga Gajah
ketika mendapati para pengikutnya telah tewas
bergelimpangan.
“Setan belang! Siapa kau, Anak Muda?!
Rupanya kau belum mengenalku, sehingga berani
jual lagak di hadapanku!" bentak Setan Bertenaga
Gajah murka.
"Hm..., bukankah kau yang bejuluk setan,
Orang Tua?! Dan mengapa pula kau campuri
urusanku?" tanya Pendekar Naga Putih alias
Panji sambil tersenyum mengejek.
Sementara, para pengikut Setan Bertenaga
Gajah yang lain sudah pula berdatangann ke
tempat itu. Rupanya mereka telah melupakan
lawannya yang masih tersisa, tiga orang itu.
"Bangsat! Kalau tertangkap, akan kukuliti seluruh
tubuhmu biar tau rasa!" Begitu ucapannya
selesai, Setan Bertenaga Gajah langsung
menyerang Pendekar Naga Putih dengan
pukulan‐pukulan yang menimbulkan angin kuat!
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak
merasa gentar menghadapinya. Sebab diketahui
bahwa lawannya hanyalah mengandalkan
kekuatan tenaga luarnya saja. Sedangkan
kekuatan tenaga dalam laki‐laki itu sama sekali
tidak berarti bagi Pendekar Naga Puth.
Pukulan‐pukulan yang selalu mengenai
tempat kosong itu, semakin membuat Setan
Bertenaga Gajah geram dan penasaran. Laki‐laki
tinggi besar itu segera mengerahkan seluruh
kemampuannya. Dia bermaksud memecahkan kepala
lawannya dengan sekali pukul.
Pada jurus yang kedelapan, Pendekar Naga
Putih sengaja ingin membuka mata lawannya. la
sama sekali tidak menghindar ketika pukulan lawan
meluncur deras menuju dadanya. Diam‐diam
dikerahkan tenaga saktinya untuk melindungi
tubuh. Dan entah dari mana datangnya, tahu‐
tahu saja di sekujur tubuh pemuda itu terlihat
selapis kabut yang bersinar putih keperakan.
Bukkk!
Kepalan sebesar kepala bayi itu mendarat
keras di dada Pendekar Naga Putih. Sungguh
aneh luar biasal Ternyata tubuh Setan
Bertenaga Gajah malah terlontar ke belakang
sejauh tiga tombak. Tubuh yang tinggi besar itu
merintih kesakitan sambil memegangi kepalan
tangan kanannya yang telah membengkak dan
tulang‐tulangnya terasa hancur! Bukan main
terkejutnya hati Setan Bertenaga Gajah
menghadapi kenyataan yang sungguh di luar
dugaannya itu.
Sementara, tubuh Pendekar Naga Putih
yang terhantam pukulan itu, sama sekali tidak
bergeming! Dan sebelum Setan Bertenaga Gajah
menyadari hal itu, Pendekar Naga Putih sudah
melayang ke arahnya diiring pukulan sisi telapak
tangannya. Angin dingin berhembus keras
menyertai dorongan tangan pemuda sakti itu.
"Pendekar Naga Putih...!" seru tiga orang
lelaki gagah yang juga turut menyaksikan
pertarungan itu. Semula ketiga orang lelaki gagah
itu sama sekali tidak mengenali Pendekar Naga
Putih. Tapi, begitu melihat selapis kabut yang
bersinar putih keperakan menyelimuti tubuh
pemuda itu, ketiganya segera paham. Jelas itu
adalah ciri‐ciri Pendekar Naga Putih. Namanya
memang sering dibicarakan orang, karena
kedigdayaannya dalam menumpas kejahatan.
Ketika pertarungan memasuki pada jurus
ketiga belas, Setan Bertenaga Gajah yang sudah
semakin terdesak itu sepertinya tidak mampu lagi
menghindari serangan Pendekar Naga Putih.
Pendekar muda ini bagai seekor naga, yang tengah
murka! Maka akibatnya memang sudah bisa
diduga. Sebuah hantaman telapak tangan pemuda
itu telak menghantam dadanya.
Deeesss!
Tiba‐tiba terdengar raunga kematian yang
panjang dan parau, disertai terlemparnya tubuh
Setan Bertenaga Gajah dari arena pertempuran.
Tubuh tinggi besar itu berkelojotan sesaat, lalu
diam tak bergerak lagi. Dada pemimpin
perampok itu remuk. Pelahan‐lahan tubuhnya
mulai membiru, bagai orang kedinginan.
Melihat pemimpinnya mati, para pengikut Setan
Bertenaga Gajah yang tinggal delapan orang serentak
menjatuhkan dirinya bersujud di hadapan
Pendekar Naga Putih.
"Ampuni kami, Tuan Pendekar...!" seru
delapan orang kasar itu, sambil membentur‐
benturkan dahinya ke tanah. Bahkan beberapa
orang di antaranya ada yang sampai berdarah!
"Hm…. Pergilah kalian! Awas, kalau melakukan
hal ini lagi, aku tak akan segan‐segan membunuh
kalian! Mengerti?!" bentak Pendekar Naga Putih
dengan suara keras.
Sambil mengangguk‐angguk dan berkali‐kali
mengucapkan terima kasih, delapan orang itu segera
berlari tanpa menoleh‐noleh lagi. Gerakan mereka
cukup cepat, sehingga dalam waktu yang tak lama
telah lenyap dari pandangan.
Setelah orang‐orang itu pergi, Pendekar Naga Putih
segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Tiga orang
laki‐laki gagah itu hanya sempat melihat bayangannya
saja, karena kepergiannya begitu cepat. Mereka hanya
bengong dan bergumam, seolah ingin mengucapkan
rasa terima kaslh kepada pendekar muda itu.
***
Malam belum begitu larut. Di dalam kamar sebuah
rumah penginapan yang terdapat di Desa Pasiran,tampak
seorang gadis tengah melakukan semadi. Gadis Itu
cantik sekali, apalagi ditambah pakaiannya yang serba
merah. Benar‐benar bagaikan seorang Dewi yang
agung dan mempesona layaknya.
Namur, jangan disangka bahwa ia adalah seorang
gadis biasa yang lemah dan mudah untuk dipikat. Karena
dalam rimba persilatan gadis yang bernama Sundari
Itu sudah sangat dikenal dan berjulukan Dewi Tangan
Merah. Sepak terjangnya yang tidak kenal kompromi
dalam memberantas setiap kejahatan membuat
namanya semakin ditakuti oleh tokoh golongan sesat.
Dan kehadirannya di Desa Pasiran juga untuk melakukan
hal yang serupa. MembasmiDedemit Bukitlblis!
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara kentongan yang dipukul para
peronda malam. Mereka memang tengah berkeliling
menyusuri jalan‐jalan desa dengan diterangi dua buah
obor. Udara malam yang dingin bukan halangan, karena
keenam orang peronda Itu sudah terbiasa dengan
suasana seperti Itu. Mereka kini hampir mencapai
sebuah kedai yang ramai dikunjungi orang.
"Hai! Sahabat‐sahabat! Mari singgah sejenak untuk
menghangatkan tubuhl" ajak salah seorang yang ada di
kedai ketika para peronda melewati tempat itu. Orang
yang mengajak itu berusia sekitar tiga puluh tahunan.
Wajahnya terlihat gagah dengan bentuk rahang yang
kokoh. Di pinggangnya tergantung sebilah golok besar
yang terlihat berat. Kalau dilihat darisikapnya, jelas dia
adalah seorang pendekar yang pada waktu itu banyak
berdatangan ke Desa Pasiran.
"Ah! Terima kasih, Kisanak! Biarlah kami
melaksanakan tugas kami terlebih dahulu," jawab
salah seorang dari para peronda itu.
"Oh! Kalau begItu, silakan, sahabat‐sahabat! Dan
selamat bertugas!" ujar seorang pendekar lain yang
bertubuh jangkung.
Setelah berbasa‐basi sebentar, keenam orang
peronda itu pun meneruskan langkahnya untuk menjaga
keamanan Desa Pasiran. Suara kentongan pun kembali
terdengan mengiringi langkah kaki mereka.
Sudah hampir sebulan lebih keadaan Desa Pasiran
aman‐aman saja. Dedemit Bukit Iblis sudah tidak pernah
muncul lagi di desa itu. Para penduduk Desa Pasiran pun
sudah mulai merasa tenang. Apalagi kehadiran para
pendekar di desa ini membuat hati penduduk desa
semakin tentram.
Namun, tidak demikian halnya dengan Kepala
Desa Pasiran yang tetap berjaga‐jaga meskipun
Dedemit Bukit Iblis tidak pernah muncul lagi.
Penjagaan ketat tetap dijalankan seperti biasa.
Dan kepala desa itu tidak akan pernah merasa
tenang, sebelum Dedemit Bukit Iblis tersebut
benar‐benar musnah.
Dan memang, kesiagaan sang kepala desa tidaklah
berlebihan. Buktinya pada suasana malam yang
cerah itu, tampak sesosok bayangan putih
berkelebatan di atas rumah‐rumah penduduk
Gerakannya ringan sekali, sehingga tidak
menimbulkan suara sedikit pun llmu
meringankan tubuhnya benar‐benar sempurna,
dan jarang terdapat di dunia persilatan.
Bayangan putih itu berloncatan menuju ke
sebelah Timur Desa Pasiran. Jubah luarnya yang
lebar dan berwarna putih, tampak berkibar
tertiup angin. Rambutnya yang panjang berwarna
putih, dibiarkan meriap menutupi sebagian
wajahnya. Jelas itu adalah bayangan Dedemit
Bukit Iblis yang menjadi momok bagi penduduk
desa di wilayah Barat.
Kadang‐kadang, tubuh Dedemit Bukit Iblis itu
berloncatan dari pohon yang satu ke pohon
lainnya. Bayangannya terus berkelebat menuju
sebuah rumah yang letaknya agak terpencil. Di
rumah itu, istri pemilik rumah baru saja melahirkan
seorang bayi laki‐laki yang sehat.
Dan kini, Dedemit Bukit Iblis telah tiba di
rumah itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi,
tidak sukarlah bagi Dedemit Bukit Iblis untuk
hinggap di atap rumah itu tanpa menimbulkan
suara sedikit pun. Sebentar diedarkan
pandangannya untuk memastikan keadaan di
sekitarnya. Setelah merasa aman, Dedemit Bukit lblis
menggerakkan tangannya melubangi atap rumah
itu.
Air liur Dedemit Bukit Iblis menetes seketika
melihat sesosok tubuh mungil tergolek di
pembaringan. Matanya bersinar kehijauan, tanda
seleranya mulai tergugah. Sejenak dedemit
tersebut mengurungkan niatnya ketika bayi itu
tersentak bangun sambil menangis keras‐keras.
Rupanya, naluri bayi yang masih murni itu, mulai
merasakan adanya bahaya mengancam.
Ibu si bayi yang masih terlelap itu langsung
bangun ketika mendengar tangisan anaknya.
Bergegas dia beringsut, lalu bangkit untuk
menimang dan menghibur buah hatinya.
"Shhh.... Tidur, ya Sayang ... ! Cup, cup, shhh.‐
rayu sang ibu, berusaha mendiamkan anaknya.
Namun celakanya, tangis si bayi malah semakin
keras. Matanya yang bening berputar‐putar liar,
seolah‐olah mengungkapkan kegelisahan hatinya.
Melihat keadaan bayinya yang aneh itu, si lbu
menjadi khawatir.
"Kang! Bangun, Kang! Lihat ini anak kita, Kang!"
teriak sang istri sambil membangunkan suaminya
yang masih tertidur pulas. Wajahnya mulai
cemas karma anaknya menanangis semakin keras.
Si suami tersentak bangun sambil mengerjap‐
ngerjapkan kedua matanya. Lelaki berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun itu terkejut
melihat keadaan anaknya.
"Ada apa, Nyai Si kecil kenapa?" tanya laki‐laki
itu dengan wajah tegang! Sejenak dia termenung
dan teringat akan cerita dan para tetangganya.
Benar! Tangis bayi itu adalah tanda‐tanda bayi Itu
bakal menjadi korban Dedemit Bukit Iblis.
"Kang! Jangan‐jangan?!" ujar istrinya tiba‐tiba
dengan wajah pucat pasi. Mendadak tubuh ibu muda itu
gemetar!
Si suami tidak menyahut. Segera disambarnya sebilah
golok yang tergantung di bilik, dan langsung dihunusnya!
Pandangannya beredar ke tiap sudut dalam rumahnya.
Napasnya seperti tertahan dan wajahnya penuh
ketegangan! Butir‐butir keringat sebesar biji jagung
memenuhl seluruh wajahnya!
Brraaakkk...!
Tiba‐tiba atap rumah itu ambrol dengan
menimbulkan suara ribut! Berbareng dengan suara itu,
sesosok bayangan putih melayang turun sambil
memperdengarkan suara tawa yang mendirikan bulu
roma.
"Kek kek kek...!" tahu‐tahu sesosok tubuh berambut
meriap telah berdiri di hadapan mereka. Sinar
matanya yang berwarna kehijauan memandang ke
arah si bayi penuh nafsu.
"Nyai, lariii ... !" teriak laki‐laki itu kepada istrinya.
"Hei. iblis! Pergi kau dari Sini! Jangan ganggu anak
kami!" lanjut si suami dengan golok melintang di depan
dada.
Mendengar teriakan suaminya, wanita itu
menghambur keluar. "Tolooong ... ! Setaaannn...!
Tolooong .. !" teriaknya sambil berlari.
Sementara itu, sang suami sudah langsung menerjang
Dedemit Bukit lblis dengan golok di tangan. Berkali‐kali
lelaki muda itu membacokkan goloknya ke tubuh iblis
itu. Anehnya...Iblis itu sama sekali tidak terluka, tapi
malah tertawa terkekeh.
Tiba‐tiba Dedemit Bukit Iblis menggerakkan
tangannya pelahan, bagai mengusir nyamuk. Akibatnya
sungguh luar biasa. Tubuh lelaki muda itu terbanting
sejauh tiga tombak, dan kontan menabrak bilik rumah
hingga jebol! Lelaki muda itu terkulai dengan luka
menganga pada lehemya!
Sementara itu, ketika suara minta tolong itu
terdengar oleh Para peronda, maka bunyi kentongan
tanda bahaya pun terdengar bertalu‐talu membelah udara
malam yang dingin! Suasana malam pun yang semula
hening, kini berubah menjadi ribut dan bising!
Teriakan‐teriakan bernada perintah terdengar bersahut‐
sahutan. Dalam sekejap saja, Desa Pasiran menjadi
terang benderang. Puluhan orang belarian hingga
menimbulkan suara bergemuruh! Cahaya‐cahaya obor
bermunculan dari setiap pelosok desa. Mereka semua
menuju sumbersuara minta tolong tadi.
Para pendekar yang memang sudah menantikan
kedatangan Dedemit Bukit lblis segera berkelebatan
mendahului para penduduk desa. Mereka berusaha saling
mendahului, untuk segera tiba di tempat kejadian. Maka
dikerahkan Ilmu peringan tubuh agar dapat tiba, lebih
cepat!
Di tempat lain, ibu muda yang berusaha
menyelamatkan anaknya itu terus berlari menjauhi
rumahnya. Tubuhnya telah basah oleh peluh. Namun,
tiba‐tiba sesosok bayangan putih itu berkelebat
melampaui kepalanya, dan tahu‐tahu telah berdiri di
hadapannya. Tak salah lagi. Dialah Dedemit Bukit Iblis.
"Iblis! Pergi, kau! Jangan ambil anakku! Pergi...!"
teriak ibu muda itu ketakutan. Air matanya mengalir
bercampur keringatnya. Tubuhnya gemetar karena
diserang rasa takut yang hebat! Meskipun demikian,
dia berusaha untuk mempertahankan buah hatinya.
Sambil berteriak dan menjerit‐jerit, dilemparinya
tubuh iblis itu dengan batu‐batu yang berada di
dekatnya. Tapi, Dedemit Bukit Iblis malah tertawa
terkekeh tanpa menghiraukan lemparan‐lemparan
itu. tiba‐tiba tangan Dedemit Bukit Iblis terulur ke
arah tubuh mungil yang berada dalam gendongan lbu
muda itu.
"Iblis keji! Mampuslah...!" tiba‐tiba terdengar
bentakan yang disertai dengan melayangnya dua
sosok tubuh menhalangi niat Dedemit Bukit Iblis. Dua
buah sinar putih berkilatan memotong ke arah
tangan yang terulur itu. Tangan Dedemit Bukit Iblis
itu sama sekali tidak mengelak ataupun ditarik
pulang, tapi malah terus terulur. Seolah‐olah dia
tidak mengetahui serangan yang mengancam
tangannya.
Takkk! Takkk!
Terdengar suara berdentang nyaring, dibarer4
terpentalnya dua tubuh si penyerang. Kedua sosok
tubuh itu terbanting keras, hingga menimbulkan
suara berdebum. Ketika berusaha bangkit, terlihat
mereka mentegangi Langan kanannya yang telah
patch! Mereka memang bagai membacok sebuah
balok baja yang amat keras, sehingga tenaganya
berbahk dan meluka! diri sendiri.
Tapi usaha kedua orang itu pun tidaklah sia‐sia.
Akibat dari bacokan itu, tangan iblis tersebut
melenceng dari sasarannya. Maka bayi itu pun
terbebas pula dari cengkraman Dedemit Bukit Iblis!
Alangkah murkanya Iblis itu melihat ada orang yang
menghalangi niatnya.
"Grrr .. ! Khu bunuhhh... khaliaan ... !" dengus iblis
itu gusar. Setelah berkata demikian, tubuh Dedemit
Bukit lblis meluncur ke arah dua orang pendekar yang
masih belum mampu bangkit itu. Jari jari tangannya
yang berkuku panjang dan hitam itu siap merejam
tubuh lawan.
Dengan susah payah, kedua orang pendekar itu
bergulingan untuk menghindari ancaman kuku‐kuku
yang sekeras baja itu. Dan hebatnya, ke mana pun
kedua orang pendekar itu menghindar, sepasang
tangan yang berkuku runcing itu tetap saja mengikuti
mereka. Hingga pada suatu saat, tidak dapat dihindari
lagi!
Breettt! Breettt!
"Aaarrrgghhh...!"
Kedua orang pendekar itu berteriak setinggi langit!
Tubuh mereka terlempar dengan usus memburai.
Jari‐jari tangannya yang berkuku runcing itu telah
merobek perut mereka! Setelah meregang nyawa
sesaat, kedua orang pendekar itu pun tewas.
"Biadab! Iblis keji! Mampuslah ... ! Heaaattt...!"
terdengar sebuah bentakan yang disusul
berkelebatnya sesosok bayangan yang menerjang
Dedemit Bukit lblis. Kemudian berturut‐turut
beberapa bayangan lainnya sudah pula berdatangan,
dan langsung ikut mengeroyok. Tidak lama
kemudian, tempat itu pun menjadi terang benderang
oleh sinar‐sinar obor yang dibawa penduduk desa
yang baru saja tiba di tempat itu.
***
ENAM
engan kemarahan yang meluap‐luap, pendekar
yang berjumlah sekitar sembilan belas orang itu
menyerang secara bertubi‐tubi. Mereka
mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya
untuk dapat segera meringkus Dedemit Bukit Iblis.
Pada jurus yang kelima, tiga buah senjata
berkelebat secara bersilangan mengancam tubuh si
iblis. Namun berkat kegesitannya yang luar biasa,
Dedemit Bukit Iblis mampu menyelinap di antara
sambaran tiga batang senjata itu. Dan dengan
kecepatan yang tak tampak oleh mata, tahu‐tahu
cakar Dedemit Bukit Iblis sudah mengancam
tenggorokan ketiga orang pendekar yang
menyerangnya tadi!
Crakkk! Jreppp! Crottt!
Ketiga orang pendekar itu menjerit menyayat
ketika kuku‐kuku yang sekeras baja itu merobek
tenggorokan mereka! Darah kontan memercik ke
sekitarnya bersamaan terhempasnya tubuh tiga
orang pendekar yang bernasib sial itu. Mereka tewas
seketika.
Menyaksikan keadaan tiga orang kawannya yang
tewas secara mengerikan itu, tanpa sadar para
pendekar lain melangkah mundur dengan wajah
pucat. Beberapa di antaranya yang pernah merasakan
kepandaian Dedemit Bukit Iblis, menjadi terkejut
sekali!
"Gila! Kepandaian iblis itu semakin hebat saja!
serunya heran.
Memang benar apa yang dikatakan salah seorang
dari pendekar itu. Kepandaian Dedemit Bukit Iblis
dalam beberapa bulan belakangan ini telah
meningkat jauh. Itulah sebabnya, mengapa iblis itu
tidak lagi menghindarkan diri ketika perbuatannya
dipergoki para pendekar. Rupanya dia sudah merasa
yakin akan kepandaiannya.
"Huh! Lebih balk mati daripada melihat makhluk
biadab ini tetap berkeliaran di muka bumi! Heaaattt ...
!" kata salah seorang pendekar. Setelah berkata
demikian diterjangnya Dedemit Bukit Iblis dengan
serangan yang ganas dan cepat!
Mendengar ucapan itu, para pendekar lainnya
merasa tergugah semangatnya. Ya! Lebih baik mati di
tangan iblis itu, daripada hidup sebagai seorang
pengecut! Dibarengi teriakan nyaring, para pendekar
itu pun kembali mengeroyok Dedemit Bukit Iblis yang
ganas itu.
Para pendekar yang kini berjumlah enam belas
orang itu, membabatkan senjatanya secara cepat dan
kuat! Mereka bertarung bagaikan singa lapar!
Meskipun demikian, mereka tidaklah bertempur
secara membabi buta! Serangan para pendekar itu
tetaplah diperhitungkan secara tepat. Mereka
bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan
kekuatan saja, tapi sudah terlatih dengan baik.
Namun kemajuan yang diperoleh Dedemit Bukit
Iblis memang hebat sekali! Dalam beberapa jurus saja
lima orang pendekar sudah menggeletak tewas! Dua
orang di antaranya, tewas dengan kepala pecah!
Sedangkan tiga lainnya dengan leher hampir patah
dan isi perut berhamburan! Benar‐benar
mengerikan akibat dari jurus 'Tangan Pengejar
Roh' yang menjadi jurus andalan Dedemit Bukit
Iblis itu.
Meskipun telah jatuh korban lagi, namun
semangat Para pendekar itu masih tetap tinggi.
Memang tekad Para pendekar itu sudah mantap.
Iblis itu yang tewas, atau mereka yang terkubur!
"Heaaattt ... !"
Dua orang pendekar kembali menusukkan
pedangnya ke mata dan tenggorokan Dedemit
Bukit iblis. Suara pedang yang berdesing tajam,
terdengar karena digerakkan dengan sepenuh
tenaga.
Lagi‐lagi Dedemit Bukit Iblis sama, sekali tidak
berusaha untuk menghindar! Dengan sikap acuh
tak acuh, iblis itu menanti datangnya dua serangan
itu.
Takkk! Takkk!
Dengan kecepatan luar biasa, tahu‐tahu
lengan Dedemit Bukit Iblis telah menangkis dua
pedang yang mengarah ke tubuhnya. Kedua
orang pendekar itu merasakan lengannya
lumpuh seketika. Dan sebelum menyadari hal
itu, mendadak leher mereka bagai dijepit oleh
baja yang amat kuat! Kedua orang pendekar itu
meronta‐ronta berusaha melepaskan jepitan
tangan Iblis itu pada leher mereka.
"Kreeaahh ... !"
Dengan gerengan yang mendirikan bulu
roma, dua tangan Dedemit Bukit Iblis
menghentak ke atas. Tubuh kedua orang
pendekar itu menggantung di udara, dengan
napas yang hampir putus! Dedemit Bukit Iblis
makin memperketat cengkraman tangannya hingga
terdengar suara gemeretak. Kepala kedua
orang pendekar itu terkulai, karena tulang
lehernya telah patah!
Huh...!" sambil mendengus kasar, Dedemit
Bukit Iblis membanting tubuh kedua orang
pendekar yang telah menjadi mayat itu. Dua
tubuh itu meluncur deras dan menghantam
sebuah batu besar yang berada tidak jauh darinya.
Praakkk!
Seketika cairan merah berhamburan dari
kepala dua orang pendekar itu.
Para pendekar yang kini tinggal sembilan
orang itu serentak mundur dengan mata
membelalak! Di wajah mereka terbayang
kengerian yang luar biasa! Tubuh mereka
gemetar dengan hebatnya! Berbagai perasaan
bercampur di hati, hingga kesembilan orang
pendekar itu tidak mengetahui apa sebenarnya
yang mereka rasakan saat itu!
Sementara Dedemit Bukit Iblis yang sudah dilanda
kemurkaan itu melangkah mendekati mereka.
Kedua tangannya yang berkuku ranting itu siap
melumat hancur sembilan tubuh yang tengah
dilanda kengerian itu. Matanya yang bersinar
kehijauan menatap dengan memancarkan daya
sihir yang kuat. Akibatnya kesembilan orang
pendekar itu hanya dapat memandang dengan
wajah pucat.
"Dengarrr ... !" sera Dedemit Bukit Iblis serak.
"Kalian adalah budak‐budakku yang selalu
tunduk pada segala perintahku ... ! Dan sekarang
kalian kuperintahkan untuk merebut bayi yang
ada dalam gendongan wanita itu! Bunuh siapa saja
yang menghalangi kalian.
Suara Dedemit Bukit Iblis yang mengandung
kekuatan gaib itu, menggeletar dan menyusup ke
dalam pikiran mereka. Untuk beberapa saat lamanya
tubuh kesembilan orang pendekar itu menegang, lalu
pelahan‐lahan mata yang semula membeliak
berubah menjadi layu tak bergairah. Wajah‐wajah
mereka pun menjadi dingin tak berperasaan.
"Kami siap menjalankan perintah tuanku...!" ujar
kesembilan orang pendekar itu. Suara mereka
terasa begitu dingin dan tak berperasaan. Dan
dengan langkah lambat, kesembilan orang pendekar
itu bergerak menghampiri si ibu muda yang sudah
diamankan para penduduk itu.
Melihat kejadian yang tak disangka‐sangka
itu, para penduduk menjadi pucat. Mereka tidak
mengerti, mengapa Para pendekar itu berbalik
hendak menyerang mereka? Dengan wajah
tegang, para penduduk menanti apa yang
hendak dilakukan para pendekar itu.
"Jauhkan bayi itu dari tempat ini, cepat!"
teriak seorang lelaki tua, sambil melompat
menghadang jalan kesembilan orang pendekar itu.
Walaupun telah berusia sekitar enam puluhan
tahun, namun tubuhnya masih terlihat gagah.
Sorot matanya tajam dan berwibawa. Suaranya
pun terdengar lantang ketika memberi perintah
kepada orang‐orang desa itu.
"Hafi‐hati, Ki! Nampaknya para pendekar itu
kini sudah dalam kekuasaan Dedemit Bukit Iblis.
Lihat saja wajah mereka! Dingin dan kaku, bagai
tak memiliki perasaan!" ujar salah seorang
penduduk memperingatkan orang tua gagah itu.
Dalam nada suaranya terkandung kekhawatiran
yang dalam.
"Hm...! ! Tampaknya iblis itu telah
mempergunakan kekuatan gaibnya untuk
menguasai para pendekar itu! Iblis keparat!
Rupanya ini sengaja dilakukan, agar kita saling
bunuh di antara kawan sendiri. Licik sekali iblis
keparat itu!" umpat orang tua gagah itu cemas.
Wajahnya menjadi murung terselimut
kedukaan yang hebat. Dengan hati berat, ia
terpaksa harus berhadapan dengan para pendekar
itu.
"Rebut bayi itu! Bunuh siapa saja yang
menghalangi...," suara Dedemit Iblis terus
bergema, mempengaruhi kesembilan orang
pendekar yang melangkah semakin dekat ke arah
kerumunan penduduk.
"Ya! Bunuh siapa saja yang menghalangi ... !" bisik
kesembilan orang pendekar Itu, mengulangi kata‐
kata Dedemit Bukit Iblis. Mendadak sinar mata yang
semula meredup itu berkilat penuh nafsu
membunuh!
Melihat sinar mata yang mengandung
kekuatan gaib, orang tua gagah itu agak gentar
juga hatinya. Tanpa sadar ia pun melangkah
mundur beberapa tindak. Beberapa orang yang
berada di kiri dan kanannya, ikut pula melangkah
mundur! Bulu kuduk mereka meremang ketika
beradu Pandang dengan kesembilan orang
pendekar itu. Beberapa kali mereka menelan
ludah dengan wajah pucat!
Tanpa banyak bicara lagi, kesembilan orang
pendekar itu sudah menerjang ke arah para
penduduk dengan, serangan yang cepat dan
ganas! Dari suara desingan tajam yang
ditimbulkan ayunan pedang para pendekar itu,
mudah ditebak kalau serangan itu mengandung
kekuatan tenaga dalam yang tinggi!
"Ki Palaran! Awas ... !" teriak beberapa orang yang
berada di sampingnya yang langsung bergulingan
menghindari serangan yang ganas tersebut.
Namun, orang tua gagah yang dipanggil Ki Palaran
itu tidak mempunyai waktu lagi untuk menghindar!
Posisinya yang berada di tengah‐tengah kawannya itu
sepertinya memang tidak memungkinkan dia untuk
menghindar. Satu‐satunya jalan untuk
menyelamatkan kepalanya dari sambaran pedang
adalah memapak dengan pedangnya.
Traaannng!
Terdengar benturan yang nyaring disertai
memerciknya bunga api yang menandai betapa
kerasnya benturan tadi. Dan sebagai akibatnya, tubuh
Ki Palaran terdorong sejauh lima langkah! Lengan
kanannya yang dipakai menangkis tadi terasa nyeri
dan linu. Cepat‐cepat Ki Palaran memeriksa
pedangnya. Dan alangkah terkejutnya orang tua gagah
itu ketika mendapati mata pedangnya telah rompal!
"Gila! Mengapa tenaga mereka menjadi demikian
hebat?" umpat Ki Palaran. Wajah laki‐laki tua itu
diliputi keheranan. Padahal ia tahu betul kepandaian
para pendekar itu tidaklah berada di atasnya! "Hm....
Tidak salah lagi! Pastilah ilmu gaib iblis inilah yang
telah melipatgandakan tenaga para pendekar itu!"
ucap Ki Palaran dalam hati. Tapi orang tua gagah itu
tidak dapat berpikir panjang lagi. Karena tiba‐tiba
serangan dari lawan telah meluncur datang.
Terjadilah pertarungan yang tak dapat dihindari
lagi. Pendekar yang jiwanya telah dikuasai Dedemit
Bukit lblis itu membabatkan pedangnya dengan
serangan‐serangan maut! Seolah‐olah pendekar itu
berhadapan dengan orang yang sangat dibencinya.
Sehingga apablia Ki Palaran lengah sedetik saja, maka
malaikat maut pasti segera menjemputnya!
Dapat dibayangkan, betapa sulitnya posisi Ki
Palaran saat itu. Di satu pihak, ia sebagai kepala desa
berkewajiban membela warganya. Sementara di pihak
lain, harus pula dimaklumi keadaan pendekar itu yang
tidak menyadari perbuatannya, akibat pengaruh gaib
si iblis. Itulah sebabnya, mengapa sampai pada jurus
kelima Ki Palaran masih belum juga membalas
serangan lawan. Memang, kepandaian mereka tidak
berselisih jauh. Tentu saja hal ini membuat Ki Palaran
menjadi terdesak hebat. Dan kalau pada jurus‐jurus
selanjutnya Ki Palaran masih tidak membalas
serangan lawan, maka kerugianlah yang akan
didapatnya.
Di arena lain, para pendekar yang telah dikuasai
Dedemit Bukit lblis juga mengamuk hebat. Para
penduduk yang tidak mengerti tentang ilmu olah
kanuragan, berlarian menjauhi tempat tersebut
Mereka merasa ngeri menyaksikan akibat dari amukan
para pendekar yang sudah seperti gila itu. Beberapa
orang penduduk yang tak sempat menghindar,
langsung berpentalan tewas. Usus mereka terburai,
dan kepala terpisah dari badan. Jerit dan tangis
bergema merobek udara malam yang semakin dingin
itu. Darah pun mengalir membasahi rerumputan
yang lembab.
Desa Pasiran malam itu benar‐benar telah berubah
menjadi neraka! Mayat para penduduk yang tidak
berdosa bergelimpangan tumpang tindh dengan
keadaan yang sangat menyedihkan! Amukan
kesembilan orang pendekar yang dipengaruhi iblis itu
sangat memilukan hati siapa saja yang berada di
dekatnya, langsung dibabat tanpa kenal ampun!
Pengawal kepala desa yang "Jumlah dua belas
orang segera mengerahkan seluruh kemampuannya
untuk membendung amukan Para pendekar yang
kesetanan itu. Meskipun sadar sepenuhnya bahwa
mereka bukanlah tandingan para pendekar Itu, namun
tanggung Jawab terhadap keselamatan desa kelahiran
membuat kedua belas orang Pengawal Kepala Desa rela
mengorbankan nyawa mereka.
Tapi sayang, kepandaian para Pengawal kepala desa
Itu masih terlalu rendah jika dibandingkan kepandaian
lawan‐lawannya. Sehingga dalam tiga jurus saja, pedang
kedelapan orang pendekar itu telah membabat putus
leher mereka! Darah kembali menyembur membasahi
bumi. Delapan tubuh tanpa kepala itu terhuyung‐
huyung untuk kemudian jatuh tanpa dapat bangkit lagi.
Sedangkan empat orang lainnya melompat mundur
dengan tubuh mengigil bagai terserang demam hebat.
Wajah mereka pucat bagai tak dialiri darah! Bibir
mereka gemetar, tanpa mampu mengeluarkan sepatah
kata pun. Rupanya kejadian itu telah mengguncangkan
hati para Pengawal kepala desa yang masih tersisa Itu.
Mereka benar‐benar tidak menyadari kalau pada saat itu
tengah terancam oleh dua batang pedang yang siap
mencincang hancurtubuh mereka.
Pada saat yang menentukan, tiba‐tiba sesosok
bayangan merah yang terbungkus oleh segulung sinar
hijauan meluncur memotong serangan kedelapan
orang pendekar itu.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara berdentang sebanyak delapan kali,
ketika pedang di tangan para pendekar itu
membentur sebatang pedang yang bersinar kehijauan.
Kedelapan orang pendekar itu terdorong mundur
sejauh lima langkah. Sementara pedang di tangan
mereka hanya tinggal separuhnya, akibat terbabat
pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan itu.
Meskipun demikian, kedelapan orang pendekar itu sama
sekali tidak menunjukkan rasa terkejut. Wajah mereka
tetap dingin dan kaku bagai mayat hidup.
Sedangkan di lain pihak, bayangan merah itu menjadi
terkejut! Akibat benturan tadi, tubuhnya terdorong
sejauh dua tindak. Dan tangannya yang memegang
pedang terasa bergetar dan nyeri. Dan bayangan merah
itu lebih terkejut lagi ketika melihat wajah kedelapan
orang lawannya yang nyaris bagai mayat hidup itu.
"Iiih ... !" pekik si bayangan merah tertahan!
Pandangan bayangan merah itu tak lepas ke arah
delapan orang di depannya. Tanpa sadar kakinya
melangkah ke belakang. Hatinya berdebar bercampur
tegang. Namun, sebelum dapat berpikir leblh jauh,
kedelapan orang lawannya sudah menerjang dengan
ganasnya. Si bayangan merah pun segera
menggerakkan pedangnya untuk menyambut serangan
lawan‐lawannya.
Pertarungan pun kembali berlangsung. Bahkan kali
ini, lebih hebat lagi. Si bayangan merah yang tak lain
adalah Sundari, atau yang lebih dikenal dengan julukan
Dewi Tangan Merah itu, segera membalas serangan
lawan dengan tidak kalah ganasnya. Pedangnya
yang bersinar kehijauan itu berkelebatan
mengancam tubuh semua lawannya.
Sementara itu, pertarungan yang
berlangsung antara Ki Palaran dan seorang
pendekar yang telah dikendalikan Dedemit Bukit
Iblis itu, mulai tidak seimbang. Ki Palaran
terdesak begitu hebatnya oleh serangan lawan
yang makin lama makin ganas dan kuat! Seolah‐
olah, lawannya itu memiliki sumber tenaga yang
tidak pernah habis‐habisnya. Hingga pada suatu
saat....
"Aaakh!" Ki Palaran memekik tertahan
Ternyata pedang lawan berhasil melukai
pangkal lengan laki‐laki tua itu. Ki Palaran
terhuyung sambil menekap pangkal lengan
kanannya. Sabetan pedang lawannya itu kuat
sekali, hingga terasa menembus sampai ke
tulang Darah pun mulai menetes membasahi
pakaiannya. Sedangkan lengannya terasa kaku
dan sukar sekali digerakkan. Ki Palaran terpaksa me
mindahkati pedangnya ke tangan kiri, karena
lengan kanannya telah lumpuh! Dan, belum lagi
dapat memperbaiki kuda‐kudanya, kini pedang
lawan sudah meluncur mengancam ulu hatinya.
Karena tidak mempunyal pilihan lain, Ki Palaran
berusaha menangkis sebisa‐bisanya.
Trannng! Cappp!
"Aaahhkk ... !" Ki Palaran menjerit kesakitan
karena pedang lawan telah menembus lambung
kirinya. Meskipun telah ditangkis dengan baik,
namun tenaganya sangatlah lemah. Sehingga
pedang itu tetap mengarah dan menancap di
lambungnya. Ki Palaran terhuyung‐huyung sambil
meringis menahan sakit pada lambungnya.
Sedangkan pedang lawannya sudah berputar
menyambar lehernya dengan kecepatan kilat.
Siiinnng!
"Ahh ... !" orang tua itu tersentak dengan
wajah memucat! la hanya dapat memejamkan
matanya, menanti datangnya sang maut yang siap
menjemput.
Duukkk! Dhieeesss!
Pada saat yang berbahaya itu sesosok
bayangan putih berkelebat cepat dan
menyambut serangan lawan terhadap Ki
Palaran. Dengan gerakan yang tak tampak oleh
mata, bayangan putih itu menggerakkan
tangannya untuk menotok ke arah tangan yang
memegang pedang. Itu pun masih dibarengi
dengan gedoran telapak tangannya ke arah dada!
Betapa dahsyatnya tenaga dalam orang yang
berjubah putih tersebut.
"Aarrrghh ... !"
Terdengar raung kematian yang mendirikan
bulu roma, disusul terpentalnya sesosok tubuh
yang menyemburkan darah segar dari mulut
Tubuh Itu berkelojotan sejenak untuk kemudian
diam tak bergerak untuk selama‐lamanya. Orang
itu tewas dengan dada remuk!
Ki Palaran yang telah pasrah menanti kematiannya
menjadi heran. Ternyata pedang lawan belum
juga menebas lehernya. Setelah menunggu
beberapa saat serangan tersebut belum juga tiba,
maka dengan wajah ketakutan bercampur heran
orang tua itu mencoba membuka matanya. Dan
keheranan Ki Palaran semakin menjadi‐jadi
ketika mendapati tubuh lawannya tergeletak tak
bernyawa sejauh dua tombak darinya. Sedang di
hadapannya telah berdiri sesosok tubuh Yang
mengenakan jubah luar berwarna putih.
Orang berjubah putih itu membalikkan
tubuhnya ketika mendengar suara berdebuk di
belakangnya. Dan betapa terkejutnya dia ketika
melihat tubuh Ki Palaran sudah menggeletak di
atas rumput dengan napas satu‐satu. Bergegas
dihampirinya dan diperiksanya keadaan orang
tua itu. Si jubah putih semakin terkejut melihat
luka Ki Palaran yang cukup parah itu. Cepat
ditotoknya tubuh Ki Palaran di beberapa, tempat
untuk menghentikan derasnya darah yang keluar.
"Terima... kasih..., Kisanak," ucap orang tua itu
perlahan sambil menggerakkan tangannya.
"Ah, sudahlah, Ki! Jangan terlalu banyak
bergerak dulu! Luka ini harus segera diobati dan
dibersihkan agar tidak membusuk!" ujar laki‐laki
berjubah putih Itu.
Setelah berkata demikian, orang berjubah
putih Itu segera mengangkat tubuh Ki Palaran
dan membawanya ke tempat yang aman.
Kemudian dipanggilnya salah seorang dari
pengawal Ki Palaran. Setelah memberikan
beberapa, Petunjuk cara mengobati luka yang
diderita Ki Palaran, si jubah putih memutar
tubuhnya dan memperhatikan pertarungan
Dewi Tangan Merah yang masih berlangsung seru.
Orang berjubah putih itu ternyata masih
muda. Paling tidak, usianya baru sekitar sembilan
belas tahun. Namun sikapnya terlihat tenang sekali.
Wajahnya yang tampan dan berkulit putih itu
selalu dihiasi senyum. Sudah bisa diduga, siapa,
pemuda berjubah putih Itu. Dia tak lain adalah
Panji, yang merupakan pewaris tunggal dari
seorang tokoh persilatan yang berjuluk
Malaikat Petir (baca episode: Tiga lblis Gunung
Tandur)
Dahi Panji yang dijuluki Pendekar Naga Putih Itu
berkerut ketika memandang wajah delapan orang
yang mengeroyok Dewi Tangan Merah. Wajah
pengeroyok yang dingin dan kaku tak
berperasaan itu telah mencurigakan hatinya.
"Hm. Sepertinya ada yang tidak wajar dalam diri
orang‐orang yang mengeroyok wanita berbaju
merah itu?" gumam Panji pelahan.
Panji mengedarkan pandangannya ke
sekelilingnya. Kerut di dahi pemuda itu tampak
semakin dalam ketika melihat mayat‐mayat yang
bergelimpangan dalam keadaan mengerikan. Dan
pemuda itu sangat tersentak ketika
pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh
yang berdiri tegak di bawah sebuah pohon besar
yang berjarak sekitar lima belas tombak darinya.
Hati Panji sempat tergetar ketika matanya
sempat beradu pandang dengan mata yang
bersinar kehijauan milik sosok tubuh itu. Panji
menduga‐duga sosok tubuh itu, tapi segera
perhatiannya beralih pada pertarungan yang
masih berlangsung seru itu.
Pada saat itu pertarungan sudah berjalan lima
puluh jurus. Dewi Tangan Merah tampak mulai
terdesak oleh kedelapan orang lawannya yang
sepertinya memiliki sumber tenaga yang tak
pernah habis. Dewi Tangan Merah yang
tenaganya mulai berkurang itu, merasakan
tekanan yang makin lama semakin berat!
Sehingga, kini tidak dapat lagi ia membalas serangan
lawan‐lawannya. Dia hanya mampu bertahan
sambil bermain mundur.
"Kurang ajar! Mengapa tenaga mereka
semakin lama semakin bertambah kuat saja?
Setan apa yang telah merasuk ke dalam tubuh
mereka?" umpat Dewi Tangan Merah geram.
Dewi Tangan Merah semakin terdesak hebat! Dia
benar‐benar tidak mampu lagi untuk menahan
serangan lawan‐lawannya yang kuat dan ganas
itu. Bahkan beberapa kali pedang lawan hampir
melukai tubuhnya. Pada saat yang gawat itu, tiba‐
tiba sesosok bayangan putih berkelebat memasuki
arena pertempuran.
"Nisanak! Mari kita gempur mereka bersama
sama!" seru bayangan putih yang tak lain dari
Panji, sambil melancarkan serangan ke arah
delapan orang yang mengeroyok Dewi Tangan
Merah.
Setelah Panji ikut membantu, barulah Devi
Tangan Merah merasa lega. Sepertinya baru
saja terbebas dari sebuah himpitan yang
menyesakkan dada. Mula‐mula Dewi Tangan
Merah atau Sundari merasa khawatir kalau‐
kalau pemuda itu akan mendapat celaka. Akan
tetapi ketika melihat gerakan‐gerakannya yang
kuat dan mantap, kekhawatiran itu pun lenyap.
Apalagi ketika pemuda yang hanya
menggunakan tangan kosong itu telah dapat
mendesak kedelapan orang pengeroyoknya. Maka
tak ada alasan lagi untuk ragu‐ragu, bahkan kini
berubah menjadi kekaguman!
"Siapakah dia? Kalau dilihat dari caranya
menghadapi kedelapan orang itu, pastilah ia
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Bahkan
mungkin, berada di atas kepandaianku! Hebat!"
ucap Dewi Tangan Merah dalam hati.
"Kisanak, hati‐hatilah! Kedelapan orang itu tidak
mengetahui apa yang mereka lakukan! Mereka
dalam pengaruh kekuatan gaib Dedemit Bukit
lblis!" seru Dewi Tangan Merah. Wanita itu merasa
khawatir kalau pemuda itu akan berlaku kejam
kepada delapan orang yang sebenarnya tak tahu
apa‐apa.
"Hm..., pantas saja kedelapan orang ini
bertempur bagai orang glia! Rupanya mereka
dikendalikan oleh ilmu sihir! Hm, Ialu di
manakah Dedemit Bukit Iblis itu sekarang,
Nisanak?" tanya Panji tanpa mengurangi
serangannya terhadap lawan‐lawannya.
Meskipun Panji sudah menduganya, namun ia
ingin memastikan dugaannya itu.
"Kau lihat orang yang berdiri di bawah pohon
besar itu? Dialah yang berjuluk Dedemit Bukit lblis!
Entah manusla, atau bukan, aku sendiri tidak
tahu!" jawab Dewi Tangan Merah sambil
mengelak dari sambaran pedang lawan yang
menuju ke pinggangnya.
Setelah mendapatkan kepastian dari Dewi
Tangan Merah, tiba‐tiba Panji melompat mundur
dan mengeluarkan sebuah bentakan yang
merontokkan jantung! Begitu dahsyatnya
bentakan itu, sehingga udara di sekitarnya terasa
bergetar.
Dewi Tangan Merah melompat ke belakang
sejauh dua tombak. Cepat dikerahkan tenaga
saktinya, untuk melindungi dadanya yang terasa
sesak akibat bentakan yang dahsyat tadi.
"Gila! Siapakah sebenarnya pemuda ini?"
pikir Dewi Tangan Merah semakin kagum.
Sebenarnya Dewi Tangan Merah atau Sundari
sudah mempunyai dugaan tentang pemuda
berjubah putih itu. Namun dugaannya menjadi
kabur karena tidak dillihat adanya selapis kabut
berwarna Putih keperakan yang khabarnya menjadi ciri
khas Pendekar Naga Putih.
Sementara, akibat bentakan Panji terhadap
kedelapan orang lawannya itu lebih dahsyat lagi!
Tubuh mereka jatuh bergulingan sambil menutup,
kedua telinganya yang terasa pecah! Wajah mereka
menyeringai menahan rasa sakit yang hebat,
Tidak terkecuali pula Dedemit Bukit Iblis. Meskipun
berada agak jauh dari arena pertempuran, namun
bentakan Panji tadi telah membuat dadanya berdebar.
Dedemit Bukit Ibis terkejut bukan main! Tidak
disangkanya kalau pada malam ini akan menemui lawan
Yang tangguh! Cepat dikerahkan kekuatan sihirnya
kembali untuk menguasai para pendekar yang tengah
bergulingan itu.
"Bangkitlah…… Bangkit…… Bunuh pemuda
berjubah putih dan gadis berbaju merah itu! Rasa sakit
itu tidak akan menghalangi niat kalian! Bangkit .. !
Seraaang .. ! Bunuh mereka....!" perintah Dedemit Bukit
Iblis dengan suara parau namun mengandung
kekuatan sihir yang luar biasa. Suaranya bergema ke
sekeliling tempat itu. Menyelusup dan menggetarkan
sukma delapan orang pendekaritu
Panji dan Sundari tersentak mundur! Mereka
terkejut sekali ketika melihat kedelapan orang
pendekar yang tengah bergulingan itu, tiba‐tiba
melompat bangkit dengan sigapnya. Diiringi gerengan
yang dirikan bulu roma, kedelapan orang pendekar itu
menyerbu Panji dan Sundari. Serangan budak iblis itu kini
lebih kuat dan lebih ganas daripada sebelumnya seolah‐
olah bentakan Panji tadi telah melipat gandakan
tenaga mereka.
"Nisanak, tahanlah serangan mereka untuk beberapa
jurus! Aku akan mencoba untuk menghadapi Dedemit
Bukit Iblis agar perhatiannya menjadi terpecah. Siapa
tahu dengan berbuat demikian, la tidak dapat lagi
mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi
mereka," ujar Panji kepada Dewi Tangan Merah.
"Baiklah, Kisanak! Aku akan mencobanya. Dan hati‐
hatilah! lblis itu sangat licik dan kepandaiannya pun
tinggi sekali!" jawab Dewi Tangan Merah
memperingatkan pemuda Sakti itu.
"Terima kasih ...... ujar Panji sambil melemparkan
senyumnya kepada dara jelita berbaju merah Itu.
Setelah berkata demikian, tubuh Panji berkelebat ke
arah berdirinya Dedemit Bukit Iblis.
Dewi Tangan Merah tidak sempat lagi
memperhatikan senyuman Panji, karena pada saat itu
delapan orang lawannya sudah datang menyerbu. Tanpa
membuang‐buang waktu lagi Dewi Tangan Merah
langsung menggerakkan pedangnya untuk menghalau
serangan lawan.
Pertarungan pun kembali berlangsung sengit. Namun
kali ini Dewi Tangan Merah benar‐benar terkejut!
Ternyata serangan‐serangan lawan kini semakin
mengandung tenaga yang berlipat ganda, sehingga dalam
beberapa jurus saia Dewi Tangan Merah sudah terdesak
hebat.
Dewi Tangan Merah mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk membendung serangan yang
datang bagai air bah itu. Pedangnya yang bersinar
kehijauan bergulung‐gulung membentuk sebuah
benteng Pertahanan yang sangat kuat, dan sulit untuk
ditembus,
Lima jurus pun berlalu cepat memasuki jurus
keenam, empat buah pedang lawan meluncur keempat
bagian tubuhnya! Suaranya berdesing tajam. Jelas
betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam
serangan itu.
Traanng! Triinng! Traanng!
"Aaahh ... !" pekik Dewi Tangan Merah tertahan.
Tubuh Dewi Tangan Merah terjengkang akibat
tangkisan yang dilakukannya sendiri. la merangkak,
berusaha bangun dengan tangan yang terasa bagai
patah! Sama sekali tidak diduga kalau tenaganya
sudah tidak mampu mengatasi lawan‐lawannya. Dewi
Tangan Merah meringis menahan rasa sakit pada
tangan kanannya.
Sedangkan keempat orang lawannya hanya
terdorong mundur sejauh empat langkah. Melihat
lawannya masih belum dapat bangkit, keempat orang
itu segera menerjang Dewi Tangan Merah dengan
serangan yang mematikan! Empat batang pedang Itu
meluncur ke arah leher dan lambungnya!
Dewi Tangan Merah hanya mampu memandang
dengan wajah pucat Rasanya tidak ada lagi waktu untuk
menghindar. Lengannya pun belum lagi dapat
digerakkan. Keadaan Dewi Tangan Merah saat itu
benar‐benar di ambang kematian.
Pada saat yang berbahaya Itu, seberkas sinar putih
keperakan meluncur. Kecepatannya luar biasa
menyambutserangan keempat batang pedang itu.
Siiinnng! Traaannng! Triiinnng!
Craatt! Sreett!
“Oouuuggh ...! Aaakkhhh...!”
Terdengar suara berdenting yang memekak telinga,
bercampur jerit kesakitan! Tubuh keempal orang
penyerang itu terpelanting ke segala penjuru. Pedang
mereka pun terpental dalam keadaan patah! Keempat
orang itu meringkuk disertai keluhan seperti orang yang
menderita rasa dingin yang hebat! Setelah beberapa saat
menggigil, mereka pun mengeluh untuk kemudian diam
tak bergerak lagi.
Sementara itu, keempat orang lainnya kontan
berloncatan mundur, karena pada saat hendak
menyerang, dirasakan sambaran hawa dingin yang luar
biasa menerpa tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih ... !" teriak Dewi Tangan
Merah penuh kagum. Kini dara jelita itu sudah tidak
ragu‐ragu lagi ketika melihat sosok tubuh berjubah
putih yang diselimuti selapis kabut bersinar putih
keperakan itu.
Orang yang memang Panji itu segera membalikkan
tubuhnya ke arah Dewi Tangan Merah sambil
tersenyum.
"Kau tidak apa‐apa, Nisanak?" tanya Panji ramah.
Pemuda itu mengulurkan tangannya untuk membantu
Dewi Tangan Merah bangkit.
"Ah, tidak apa‐apa! Terima kasih alas
pertolonganmu!" ucap, Dewi Tangan Merah. Mata
wanita itu tetap tertuju pada wajah pendekar yang telah
mengguncang dunia persilatan. Sepak terjangnya
langsung mencuat ketika menewaskan tiga pentolan
kaum sesat yang berkepandaian tinggi. (Baca episode:
Tiga Iblis Gunung Tandur)
Sementara itu, Panji segera berbalik untuk
menghadapi keempat orang pendekar yang masih
dalam pengaruh sihir Dedemit Bukit Iblis Itu. Pendekar
Naga Putih itu menjadi terkejut ketika melihat sinar
mata mereka mulai melemah. Belum lagi hilang rasa
herannya, tiba‐tiba keempat orang pendekar itu
mengeluh lalu roboh pingsan!
***
TUJUH
Panji segera melompat ke arah empat orang pendekar
yang kini tergeletak di tanah. Hatinya pun menjadi lega
setelah mengetahui keadaan mereka.
"Apa yang terjadi terhadap mereka, Kisanak?" tanya
Dewi Tangan Merah yang sudah berada dekat pemuda
Sakti itu. Di wajahnya terbayang keheranan, karena
keempat orang pendekar itu tahu‐tahu roboh tanpa
disentuh pemuda berjubah putih itu.
"Ah! Tidak apa‐apa, Nisanak! Mereka hanya pingsan!
Mungkin ini disebabkan oleh lenyapnya pengaruh gaib
dari Dedemit Bukit Iblis!" jelas Panji.
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih itu
melangkah menghampiri tubuh empat orang lainnya
yang juga masih tergeletak pingsan akibat tangkisan dan
serangan yang dilakukannya tadi.
Dewi Tangan Merah melangkah mengikuti pemuda itu.
Ingin juga diketahui apa yang akan diperbuat pemuda
itu terhadap empat orang yang tengah dihampirinya,
Tubuh empat orang itu terlihat mulai membiru. Padahat
luka mereka tidaklah terlalu parah! Sebab pedang
pemuda Itu hanya menggores pangkal lengan mereka
masing‐masing. Dan itu pun tidak terlalu dalam!
Memang sulit dimengerti.
Sementara Panji sudah berjongkok dan memeriksa
keadaan empat orang pendekar itu. Pendekar Naga
Putih menotok di beberapa bagian tubuh salah seorang
dari mereka. Setelah beberapa kali tangannya menotok
dan memijit, warna kebiruan di tubuh orang itu pun
pelahan memudar.
"Iiihh ... !" pekik Dewi Tangan Merah tertahan, dan
cepat‐cepat menarik Pulang tangannya. Wanita Itu
mencoba‐coba menyentuh tubuh salah seorang dari
empat orang yang tergeletak pingsan tersebut. Dan
Dewi Tangan Merah pun menjadi terkejut ketika
mendapat kenyataan bahwa tubuh orang itu terasa
dingin bagai segumpal salju. Dingin dan keras!
"Apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa
tubuh mereka begitu dingin?" tanya Dewi Tangan
Merah.
Panji yang langsung menoleh karena mendengar
Pekikan tadi, segera tersenyum mellhat gadis jelita
Yang tengah kebingungan Itu. Pemuda itu tidak segera
menjawabnya la pun melangkah menghampiri orang
yang tadi disentuh Dewi Tangan Merah. Kemudian jari‐
jarinya pun bergerak melakukan hal yang sama
seperti yang tadi dilakukannya.
"Mereka hanya terserang hawa dingin akibat
goresan pedangku tadi! Untunglah tubuh mereka
cukup kuat, sehingga keadaannya tidaklah
membahayakan," Jelas Panji sambil menotok dan
memijit orang itu.
"Hm.... Seorang Pemuda yang mengagumkan!"
ucap gadis itu dalam hati. "la tidak membanggakan
kehebatan tenaga saktinya, namun memuji kekuatan
tubuh keempat orang lawannya. Benar‐benar sikap
seorang pendekar sejati!"
Panji menarik napas lega setelah berturut‐turut
melakukan pengobatan kepada empat orang pendekar
itu. Tidak berapa lama kemudian, terdengar keluhan‐
keluhan dari mulut empat orang pendekar itu rupanya
mereka mulai sadar dari pingsannya.
"Eh Sudah mulai siuman," seru Dewi Tangan Merah
dengan wajah terseri. Kedua anak muda itu pun
bergegas menghampirinya.
"Ooob ... ! Siapakah Kisanak dan Nisanak ini Apa...
apa yang terjadi dengan diri kami? Dan, mana Iblis jahat
itu?" tanya salah seorang dari empat pendekar itu
memberondong begitu tersadar dari pingsannya.
Setelah berkata demikian, orang itu pun segera
melompat berdiri. Tapi alangkah terkejut hatinya ketika ia
kembali terjatuh karena kedua kakinya terasa lemas
sekali.
"Tenanglah, Kisanak! Kesehatanmu belum pulih
benar. Tenaga dalammu telah terkuras habis ketika
bertanding tadi!" ujar Panji sambil menggerakkan
tangannya ketika melihat orang itu akan bangkit kembali.
"Berkelahi? Menguras tenaga? Apa... apa
maksudmu?" tanya pendekar itu heran. Dia memang
tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya.
"Nantilah aku ceritakan! Sekarang lebih baik
melakukan semadi untuk mengembalikan tenagamu.
Mudah‐mudahan, setelah semadi tubuhmu segera pulih
kembali," kata Panji menasehati.
'Benar apa yang dikatakannya, Kisanak! Kalau
kurang percaya, cobalah kerahkan tenagamu
sekarang!" timpal Dewi Tangan Merah. Dia juga telah
dapat mengerti apa yang telah diucapkan Pendekar
Naga Putih tadi.
Meskipun merasa bingung, namun orang itu
segera mencoba mengerahkan tenaga saktinya.
Tapi, betapa terkejutnya dia ketika ternyata
tenaganya benar‐benar lenyap! Maka tanpa ragu‐
ragu lagi, segera dipusatkannnya untuk segera
memulihkan tenaganya. Seperti yang disarankan
Panji tadi. Demikian pula dengan ketujuh orang
Pendekar lainnya. Begitu tersadar, mereka pun
ikut melakukan hal yang sama.
"Hm, Kisanak! Bagaimana dengan Dedemit
Bukit Iblis? Apakah sudah kautemukan?" tanya
Dewi Tangan Merah. Memang, sewaktu Panji
memburu Dedemit Bukit Iblis, Dewi Tangan
Merah tak tahu kalau iblis itu telah melesat pergi.
Dan, Pendekar Naga Putih tak berhasil
mengejarnya.
Pengawal kepala desa yang kini tinggal empat
orang itu ikut berkumpul bersama Panji dan
Sundari. mereka semua duduk di atas batu‐
batu padas yang banyak terdapat di sekitar
tempat itu. Sedangkan Ki Palaran, sang kepala
desa, sudah dibawa kerumah. Dia mengalami luka‐
luka yang cukup parah, sehingga harus beristirahat
beberapa hari untuk mengembalikan
kesehatannya.
Sementara itu, Panji yang mendengar
pertanyaan Dewi Tangan Merah tadi, menjadi
tertunduk dengan wajah kecewa. Melihat sikap
pemuda itu, Dewi Tangan Merah pun merasa
heran.
"Ah..., menyesal sekali, Nisanak! Aku tidak
berhasil menemukan Dedemit Bukit lbljs itu.
Padahal telah kucari ke sekitar tempat ini, namun
iblis itu tidak juga kutemukan," jawab Panji lesu.
"Hm..mungkin Dedemit itu merasa gentar meIihat
kepandaianmu, lalu mengambil keputusan
untuk kembali ke sarangnya!" Ujar Dewi Tangan
Merah yang berniat memancing pendapat pemuda
itu.
"Ah! Aku rasa tidak begitu, Nisanak! Menurut
khabar yang kudengar, kepandaian Dedemit
Bukit Iblis sangatlah tinggi. Dan selama dalam
perjalanan, aku pun mendengar bahwa dia juga
memiliki ilmu sihir dan ilmu kebal yang sangat
hebat! Jadi menurut pendapatku, iblis itu
sangatlah berhati‐hati dalam mengambil suatu
tindakan. Dan kalau tidak dalam keadaan yang
sangat terpaksa, dia tidak ingin bentrok dengan
siapa pun!" jelas Panji. Dia memang cukup cerdik
dalam mengemukakan sebuah alasan yang sangat
tepat. Mau tidak mau Dewi Tangan Merah harus
mengakui bahwa apa yang dikatakan pemuda itu
sangat tepat dan tidak dapat disangkal
kebenarannya.
"Memang benar apa yang dikatakan Kisanak
ini. Karena menurut yang kuketahui, Dedemit
Bukit Iblis itu selalu menghindar apabila
bertemu dengan para peronda desa. Padahal
kalau mau, dengan kepandaiannya yang tinggi ia
dapat membunuh para peronda itu semudah
membalikkan telapak tangannya!" tegas seorang
dari para pengawal kepala desa itu.
"Memang, hal itu pun tidak kusangkal! Tapi
aku pun yakin, iblis keparat itu akan lari terbirit‐
birit apabila sudah merasakan kehebatan ilmu
dan ajian Pendekar Naga Putih yang mukjizat itu.
Lihat saja apa yang dilakukannya terhadap tokoh
sesat yang berjuluk Laba‐ Laba Beracun dan Tiga
Iblis Gunung Tandur. Padahal mereka sudah
terkenal kepandaian dan kehebatannya!" bantah
Dewi Tangan Merah tidak mau kalah.
"Ah! Nisanak terlalu memuji! Padahal mereka itu
tewas karena kesombongan mereka sendiri. Kalau saja
lebih berhati‐hati, mana bisa aku mengungguli
kepandaian mereka?" jawab Panji lagi. Dia memang
tidak ingin menonjol‐nonjolkan kepandaiannya.
"Oh, jadi begitu?!" ujar Dewi Tangan Merah sambil
membelalakkan kedua matanya. Lagaknya seperti orang
terkejut.
Panji menganggukkan kepalanya tanpa meninggalkan
senyumnya. la mulai dapat menduga kalau dara berbaju
Merah itu sengaja hendak menjajagisifatnya.
" Hm..., benar‐benar gadis yang cerdik dan pandai
bicara. Aku harus lebih berhati‐hati dalam menanggapi
ucapannya. Salah‐salah bisa terjebak oleh jawabanku
sendiri," ucap Panji dalam hati.
"Nini Dewi Tangan Merah, benarkah sahabat muda
yang gagah ini yang berjuluk Pendekar Naga Putih?"
tanya seseorang yang tiba‐tiba saja Ikut meramaikan
pembicaraan itu.
Keenam orang itu pun segera menoleh ke arah asal
suara itu. Panji dan Dewi Tangan Merah sedikit terkejut
juga, karena keduanya tidak mendengarsuara langkah kaki
yang mendatangi tempat itu. Namun, mereka tersenyum
senang ketika mengetahui bahwa orang yang bertanya
tad adalah salah seorang dari delapan orang pendekar
yang telah menyelesaikan semadinya.
Panji dan Dewi Tangan Merah saling berpandangan,
kemudian meledaklah tawa kedua orang muda‐mudi
itu. Mereka telah mengetahui apa yang ada dalam pikiran
masing‐masing. Sedangkan keempat orang pengawal
kepala desa itu hanya dapat saling pandangan dengan
wajah bingung, karena tidak mengerti apa yang
ditertawakan dua pendekar muda itu.
"Hai, mengapa kalian malah tertawa? Apakah
pertanyaanku ada yang salah?" tanya pendekar itu tak
mengerti.
Pendekar yang telah diselamatkan Panji itu pun
bangkit dan menghampiri enam orang yang tengah
berkumpul. Ketujuh orang pendekar lainnya yang juga
sudah menyelesaikan semadinya, ikut pula bangkit
menghampiri tempat itu. Panji yang khawatir kalau‐
kalau pendekar itu akan merasa tersinggung, buru‐buru
bangkit menyambut kedatangan mereka.
"Ah! Mari..., mari Kisanak semua! Silakan...,silakan!"
ucap Panjisambil tersenyum ramah.
Kedelapan orang pendekar itu pun segera mengambil
tempat duduk masing‐masing. Tiga orang di antaranya
duduk di alas hamparan rumput tebal, karena tidak ada
batu‐batu lagi yang dapat digunakan untuk tempat
duduk. Empat buah sinar obor yang ditancapkan di
empat penjuru, ikut pula menyemaraki tempat
pertemuan yang sederhana itu.
"Maaf, Kisanak. Terpaksa kuulangi pertanyaanku!
Apakah yang menyebabkan kalian tertawa begitu
lepas? Ataukah pertanyaanku ada yang salah? Kalau
benar demikian, mohon dimaafkan, Nini Dewi Tangan
Merah!" kata pendekar itu sambil membungkukkan
kepalanya kepada Dewi Tangan Merah dan Panji.
“Begini, Kisanak….,” Panji menghentikan kata‐
katanya karena belum mengenal nama pendekaritu.
"Panggil saya Ludira, Kisanak," jawab Pendekar
itu cepat
"Oh, ya. Panggil juga saya Panji. Hm..., begini
Kakang Ludira! Sebenarnya kami bukan menertawai
pertanyaan Kakang, tapi adalah kebodohan diri
kami Sendiri! " jawab Panji sambil tersenyum
geli. Dia masih teringat dengan tingkahnya itu.
"Menertawakan diri sendiri? Mengapa begitu?",
tanya pendekar yang bertubuh tinggi besar dan
kokoh. Tampak otot‐otot yang melingkar di
tangannya.
"Begini, Kisanak semua! Sebagai orang
persilatan yang telah terlatih semenjak kecil,
maka kepekaan kita pun terlatih dalam hal
pendengaran. Nah! Pada saat Kakang Ludira
mengeluarkan pertanyaan secara tiba‐tiba tadi,
kami berdua merasa terkejut, Sebab sama sekali
tidak mendengar suara langkah sedikit pun pada
saat kedatangannya. Tentu saja kami menduga
bahwa orang yang bertanya itu pastilah memiliki
kepandaian tinggi. Dan ketika kami menoleh ke
tempat asal suara, ternyata orang itu adalah
Kakang Ludira yang baru saja menyelesaikan
semadinya. Tentu saja kami tidak dapat
mendengar langkahnya, karena dia tengah
duduk bersila dengan santainya!" tutur Dewi
Tangan Merah sambil tertawa terpingkal‐pingkal.
Meledaklah gelak tawa kedelapan orang
pendekar dan keempat orang Pengawal kepala
desa itu. Bahkan beberapa di antaranya sampai
mengeluarkan air mata, karena cerita itu benar‐
benar menggelikan.
***
Sementara malam sudah mulai berganti pagi.
Kokok ayam jantan terdengar bersahut‐sahutan
menyambut datangnya fajar. Pertanda sebentar
lagi kehidupan akan segera dimulai kembali.
Setelah kedelapan orang pendekar itu benar‐
benar pulih tenaganya, Panji pun minta diri.
Pemuda itu berniat untuk menyatroni, Bukit lblis.
Namun, maksudnya itu tidak diceritakan kepada
mereka semua. sebelum, meninggalkan tempat
ini, Panji berpesan kepada kedelapan orang
pendekar itu untuk menjaga keamanan Desa
Pasiran selama Dedemit Bukit Iblis masih
berkeliaran mencari mangsa.
"Hendak pergi ke manakah, Kakang Panji?"
tanya Dewi Tangan Merah atau Sundari yang
sudah menyebut Panji dengan panggilan
'Kakang'. Memang, sejak peristiwa itu, mereka
sudah saling mengenalkan nama masing‐masing.
Bahkan semakin akrab saja.
"Aku hendak melanjutkan perjalananku, Adik
Sundari. "
"Hm.... Kalau begitu, aku pun hendak pamit pula.
Rasanya sudah tidak ada lagi yang dapat
kukerjakan di sini!" ujar Dewi Tangan Merah
seraya bangkit dari duduknya untuk berpamitan
kepada yang lainnya.
"Kau... kau hendak ke mana, Adik Sundari?"
tanya Panji cemas. Dari senyuman gadis baju
merah itu, sudah dapat diduga kalau gadis itu
sengaja hendak menggodanya.
"Tentu saja hendak melanjutkan
perjalananku! Apakah tidak boleh?" Dewi Tangan
Merah pura‐pura membelalakkan matanya sambil
berkacak pinggang. Sengaja diberi tekanan pada
kata 'tidak boleh', untuk memancing perhatian Panji.
Pemuda itu menjadi tertegun. karena tentu saja tidak
mempunyai hak untuk melarang kepergian gadis itu.
"Ah! Bukan begitu, Adik Sundari! Aku hanya
bertanya saja, kok. Tentu saja kau boleh pergi ke mana
kau sutra!" jawab Panji tersenyum masam. Dan dia
pun tidak berkata‐kata lagi, karena khawatir kalau kata‐
katanya nanti dijadikan senjata oleh gadis yang
pandai bicara itu.
"Nah, begitu dong! Mari kita berangkat sama
sama, Kakang!" ujar Dewi Tangan Merah sambil
menarik tangan Panji untuk segera meninggalkan
tempatitu.
"Eh …., eh…., bagaimana ini?!" Panji menjadi
bingung bercampur malu. Dan untuk beberapa saat
lamanya pemuda itu tidak mampu berkata‐kata.
"Kalau kutolak gadis ini pasti akan marah. Tapi,
kalau kuterima, tentu akan membuat repot
perjalananku! Hm..., apa yang harus kukatakan agar ia
tidak marah?" lanjut Panji dalam hati.
Sementara itu, kedelapan orang pendekar dan
empat pengawal kepala desa tersenyum geli melihat
Panji yang tidak berdaya menghadapi Dewi Tangan
Merah atau Sundari yang memang pandai bicara itu.
"Sudahlah, Adi Panji. Turuti saja kemauannya!
bukankah lebih menyenangkan daripada melakukan
Perjalanan sendirian! Apalagi yang menemani seorang
Dewi?" goda Ludira sambil tertawa terbahak‐bahak
melihat kebingungan pemuda yang mereka kagumi itu.
"Hm..., baiklah! Baiklah, aku mengalah! Mari,
Kakang!"akhirnya Panji pun mengalah, walaupun di
wajahnya menyemburat merah menahan malu.
Terpaksa dituruti kehendak gadis itu karena tidak ingin
membuat gadis itu tersinggung. Maka, Panji segera
berpamitan kepada yang lainnya.
"Nah, begitu baru enak! Lagi pula apa sih ruginya
melakukan perjalanan bersamaku?" ujar gadis itu lagi
sambil mencibirkan bibimya yang merah menantang.
Panji tidak menjawab perkataan gadis itu, tapi
hanya menoleh sambil tersenyum melihat keriangan
Dewi Tangan Merah. Memang pada dasamya, dia
adalah gadis yang periang dan pandai bicara.
Diiringi gelak tawa kedua belas kawannya, sepasang
muda‐mudi itu segera berjalan meninggalkan Desa
Pasiran dan menuju ke Bukit Iblis. Angin fajar
berhembus lembut mengantar kepergian sepasang
pendekar muda yang akan melaksanakan
kewajibannya sebagai penegak keadilan.
***
DELAPAN
Di tengah kegelapan malam yang hampir
menjelang pagi, sesosok bayangan putih berambut
meriap melesat meninggalkan perbatasan Desa
Pasiran. Kecepatan lari bayangan putih itu memang
sukar ditangkap mata biasa. Seolah‐olah, bayangan
itu tengah berpacu dengan sang waktu yang saat
itu sudah hampir berganti.
Bayangan itu terus berlari ke arah mulut hutan
yang terletak jauh di luar Desa Pasiran. Setelah
cukup memakan waktu, barulah ia tiba di mulut
hutan itu. Padahal, perjalanan itu biasa
ditempuh orang selama satu hari. Tapi oleh
bayangan itu hanya ditempuh kurang dari
seperempat hari! Dapat dibayangkan, betapa
tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
bayangan putih itu!
Bayangan putih itu terus melesat melewati
hutan belantara yang sukar dan gelap. Dan kini
dia tiba pada sebuah daerah perbukitan yang
tegak berjajar bagaikan raksasa‐raksasa yang
sedang tidur.
Mendadak bayangan putih yang ternyata
Dedemit Bukit Iblis itu, menghentikan larinya.
Kepalanya ditengadahkan ke langit yang
nampak mulai cerah itu. Cuping hidungnya
bergerak‐gerak, seolah‐olah mengendus
sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.
Perlahan‐lahan sinar matanya yang menyeramkan
itu berubah kehijauan. Otot‐otot di seluruh
tubuhnya menegang! Ternyata nalurinya yang
tajam memperingatkan adanya bahaya
mengancam yang tengah mengintainya. Iblis itu
terdiam sejenak seolah sedang mempertimbangkan
sesuatu.
Beberapa saat setelah hatinya mantap,
Dedemit Bukit Iblis melangkah pelahan menuju
tempat kediamannya. Langkah kakinya yang
satu‐satu itu, menandakan kalau ia tengah
bersiap‐slap menghadapi segala kemungkinan yang
bakal terjadi. Dan, tiba‐tiba....
Siiinnng! Seennng! Siiinng!
Terdengar suara berdesing yang disusul
meluncurnya beberapa buah senjata yang
menyambar ke arah tubuhnya! Namun dengan
gerakan yang sangat mengagumkan, kedua
tangan Dedemit Bukit lblis menangkap empat
batang tombak yang mengancam kepalanya.
Sedangkan yang mengancam tubuhnya, sama
sekah tidak digubris.
Tappp! Tappp! Trakkk! Trakkk!
Luar biasa sekali! Senjata‐seniata yang menyentuh
tubuhnya langsung patah dan runtuh ke tanah!
Sementara empat batang tombak yang
ditangkapnya, langsung dikembalikan dengan
kecepatan empat kali lipat dari semula. Senjata‐
senjata itu meluncur menuju semak‐semak yang
berada lima depa di sebelah kirinya.
Krosakkk!
"Aaarrggghhh...
Terdengar raungan tinggi, disusul munculnya
empat sosok tubuh yang berdiri limbung. Tangan
mereka memegangi tombak yang telah menembus
dada dan lehernya. Cairan merah seketika
membasahi pakaian mereka. Empat orang itu
ambruk ke tanah dan tidak bergerak‐gerak lagi.
Belum lagi ibiis itu dapat menarik napas lega,
tiba‐tiba bermunculan beberapa sosok tubuh
dari sekitar tempat itu. Dalam waktu yang singkat
saja Dedemit Bukit lblis sudah terkurung oleh
puluhan orang yang bersenjata.
Hm..., iblis busuk! Bersiaplah menerima
kematianmu! Seraaanng ... !" seru seseorang yang
memimpin penyerangan itu.
Tanpa diperintah dua kali puluhan orang itu pun
sagera berlompatan k e arah Dedemit Bukit
Iblis. Senjata‐senjata mereka berdesingan dan
menyambar‐nyambar dengan kuatnya.
"Arahkan senjata‐senjata kalian ke bagian
kepala!" kembali terdengar perintah yang
dikeluarkan oleh seorang lelaki gagah yang berusia
sekitar lima puluh tahun. Wajahnya masih terlihat
tampan dan berwibawa. Pada dagu dan pipinya
ditumbuhi bulu‐bulu halus yang lebat dan hitam.
Orang tua gagah itu tak lain adalah Ki Teja
Laksana atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar
Tangan Baja.
Di sebelah kiri Pendekar Tangan Baja,
terlihat seorang pendekar yang selalu
membawa‐bawa guci arak. Tidak salah lagi,
pendekar itu adalah Pendekar Pemabuk. Kedua
orang pendekar itu hanya berdiri di tepi arena
pertandingan, sambil memperhatikan jalannya
pertarungan itu. Rupanya kedua orang pendekar
itu sedang mengamati gerakan maupun
kelebihan Dedemit Bukit lblis, untuk mencari
kelemahan‐kelemahannya.
Dedemit Bukit Iblis yang lagi dikeroyok
puluhan orang pendekar itu, memang benar‐benar
lihai. Dalam beberapa jurus saja, tiga orang
pendekar telah menggeletak tewas dengan leher
berlubang! Namun mesikipun demikian, para
pendekar itu tidak menjadi gentar. Mereka tetap
bersemangat menyerang dengan semangat yang
tinggi.
Menghadapi serangan yang susul‐menyusul
itu, Dedemit Bukit Iblis menggeram gusar.
Dengan teriakan yang mendirikan bulu roma,
tubuhnya melesat melompat mundur. Tiba‐tiba
kedua tangannya berputar‐putar dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata. Dari sela‐sela
bibirnya terdengar suara desisan yang
menggetarkan jantung! Itulah jurus 'Tangan
Pengejar Roh' yang merupakan, gabungan antara
ilmu silat dengan ilmu sihir. Tentu saja pengaruh
dan kedahsyatannya pun sangatlah hebat!
Pada saat itu, dua orang pendekar
melancarkan serangan berbahaya yang
mengarah pada mata dan tenggorokan si iblis.
Tapi entah dengan cara bagaimana, tahu‐tahu
kedua tangan Dedemit Bukit Iblis sudah
mencengkrarn leher kedua orang itu.
Krekkk! Krakkk!
Terdengar bunyi tulang leher yang patah
ketika Dedemit Bukit Iblis itu mengerahkan
tenaga pada cengkramannya. Tanpa dapat
menjerit lagi, dua pendekar itu tewas. Dan
dengan sekali sentak, dua tubuh yang telah
menjadi mayat itu terlempar dan langsung
menimpa kawan‐kawannya. Seketika para
pendekar itu serentak mundur sambil menahan
senjatanya. Meskipun telah menjadi mayat, namun
sungguh tidak diinginkan kalau pedang mereka
membelah tubuh dua Pendekar itu.
"Wah, Kakang! Kalau didiamkan terus, bisa‐bisa
semua pendekar tewas di tangan iblis terkutuk
itu!" ujar Pendekar Pemabuk geram.
Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana
pun menjadi gusar melihat keadaan itu. Maka
ketika melihat Pendekar Pemabuk sudah tidak
sabar, dia pun segera melesat ke arena
pertempuran. "Mari, Adi. Kita gempur iblis itu!"
ujar Pendekar Tangan Baja.
"Mari, Kakang!" sahut Pendekar Pemabuk.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pemabuk pun
segera menggerakkan tubuhnya mengikuti
Pendekar Tangan Baja yang telah mendahului
melesat ke arena pertarungan.
Para pendekar yang semula sudah mulai
gentar, menjadi bangkit semangatnya ketika
melihat dua pemimpinnya telah memasuki arena
pertarungan. Mereka pun kembali menyerbu ke
arah Dedemit Bukit Iblis itu.
Pendekar Tangan Baja dan Pendekar Pemabuk
yang tidak ingin melihat kawan‐kawannya
terbantai, segera menghadang serangan‐serangan
iblis itu dengan ilmu andalannya. Maka
dikerahkanlah ilmu yang terkenal yaitu jurus
'Sepasang Kepalan Baja'.
Sepasang kepalan Ki Teja Laksana menyambar‐
nyambar menimbulkan suara menderu tajam karena
disertai oleh tenaga dalam penuh! Bukan main
hebatnya serangan itu! Kedua tangannya benar‐
benar kuat seperti baja. Jangankan kepala
manusia, bahkan batu karang pun akan hancur
apabila terlanggar pukulannya. Pantaslah kalau ia
dijuluki orang Pendekar Tangan Baja!
Dedemit Bukit Iblis sempat terkejut ketika
mendengar suara angin pukulan yang kuat
mengancam dadanya. Tapi sebagai tokoh sesat yang
selalu percaya akan kekuatannya, Dedemit Bukit
Iblis tidak mempedulikannya. Dipapaknya
serangan itu, bahkan dibarenginya dengan
cengkraman kedua tangannya ke arah pundak dan
kepala Iawan.
Bukkk! Breettt! Breettt!
"Aaakkkhhh ... !" Pendekar Tangan Baja menjerit
tertahan. Tubuh tua itu terpelanting. Kedua
pangkal lengannya terluka, dan tampak
mengeluarkan darah! Rupanya ketika
pukulannya telak menghantam dada si iblis, ia
menjadi terkejut setengah mati. Karena
tangannya seperti menghantam segumpal besi
yang keras dan licin. Dan bukan itu saja. Dari
tubuh Dedemit Bukit Iblis itu pun keluar daya
dorong yang sangat kuat! Akibatnya, tubuh
Pendekar Tangan Baja terlempar dengan kuatnya.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, sepasang
cakar si iblis itu sudah mencengkram bahunya. Ki
Teja Laksana segera mengerahkan tenaga dalam
untuk melindungi bahunya, yang dibarengi dengan
sentakan ke belakang. Untunglah, cengkraman
itu hanya melukai kedua pangkal lengannya.
Pendekar Tangan Baja meringis menahan
rasa sakit yang hebat pada lukanya. Untung saja
bahunya masih dapat diselamatkan. Kalau tidak,
pasti bakal remuk terkena, cengkraman jurus
'Tangan Pengejar Roh' yang sangat mengerikan
itu. Cepat Pendekar Tangan Baja mengerahkan
hawa murni ke arah luka itu, untuk menghilangkan
rasa nyeri pada luka akibat cengkraman tadi.
Sedangkan yang dialami Dedemit Bukit Iblis,
tidaklah separah Pendekar Tangan Baja. Iblis itu
hanya terdorong mundur sejauh tiga langkah.
Namun dadanya sempat bergetar akibat pukulan
yang dilancarkan Pendekar Tangan Baja. Mau
tidak mau iblis itu juga harus mengakui kehebatan
tenaga lawannya.
Dan pada saat yang hampir bersamaan di saat
tubuh Dedemit Bukit Iblis terjajar mundur, guci di
tangan Pendekar Pemabuk melayang dengan
kecepatan tinggi ke arah punggungnya.
Wuuukkk!
Guci arak itu meluncur deras menimbulkan suara
mengaung karena digerakkan oleh tenaga dalam
penuh! Jangankan tubuh manusia batu pun akan
hancur apabila terkena hantamannya.
Namun Dedemit Bukit Iblis yang dihadapinya
kali ini tidaklah sama dengan beberapa bulan
yang lalu. Kemajuan yang dicapai iblis itu saat ini
sangatlah pesat Selain itu, dia juga sudah Pernah
merasakan kelihaian Pendekar Pemabuk Maka, kini
dengan mudahnya iblis itu menggerakkan tangan
kanannya untuk menangkis serangan Pendekar
Pemabuk. Bahkan langsung disusulnya dengan
sebuah tendangan berputar yang menuju ke dada
lawan.
Klaaannng! Dheerr
"Ouuugghhh .... !”
Terdengar suara bagaikan dua batang besi
dibenturkan keras! Tubuh Pendekar Pemabuk
bergetar bagaikan menghantam sebuah tiang
baja kokoh! Sebelum Pendekar itu menyadari
keadaannya, sebuah tendangan yang berkekuatan
tenaga dalam penuh menghantam telak dadanya.
Dengan sebuah keluhan pendek, tubuh Pendekar
Pemabuk terlempar sejauh dua tombak. Dan dari
mulutnya menyembur darah segar Yang
berhamburan ke sekitarnya.
"Adi Panggal...!" seru Pendekar Tangan Baja
seraya beriari memburu laki‐laki itu dengan,
wajah pucat pasi. "Adi Panggal! Kau... kau tidak
apa‐apa?" tanyanya cemas.
"Uuuh..., Kakang Teja! Tendangan iblis itu
hebat sekali! Dadaku serasa remuk! Mungkin ada
beberapa tulangku yang patah! Ah, maafkan aku,
Kakang! Rasanya aku tidak mungkin dapat
membantumu lagi! Hati‐hatilah, Kakang!
Kepandaian iblis itu sudah, maju sedemikian
pesatnya," kata Pendekar Pemabuk. Sedangkan
Pendekar Tangan Baja hanya dapat mengangguk
dengan, wajah sedih.
"Istirahatlah dulu, Adi! Aku akan mencoba
menghadapinya. Mudah‐mudahan nasibku sedang
baik hari ini," tegas Pendekar Tangan Baja,
penuh harap. Kemudian pendekar itu pun
melangkah meninggalkan Pendekar Pemabuk
yang sudah tak berdaya. Dengan wajah gusar,
Pendekar Tangan Baja segera melesat ke arena
pertarungan.
Pada saat itu, pertarungan antara Dedemit
Bukit Iblis melawan pendekar‐pendekar lain
sudah memasuki jurus ketiga puluh. Kesaktian
Dedemit Bukit lblis benar‐benar telah
menggentarkan hati mereka. Pada tiga jurus
terakhir tadi, tujuh orang pendekar kembali
menjadi korban cengkeraman iblis tersebut
Mereka tewas dengan batok kepala berlubang.
"Aarrggghhh ... !"
Kembali terdengar lengking kesaidtan yang disusul
dengan terlemparnya tiga orang Pendekar. Isi
perut mereka berhamburan, karma pecah
dirobek jad‐im tangan Dedemit Bukit His yang
sekeras baja. Benarbenar mengerikan jurus 'Tangan
Pengejar Roh' Itu.
"Iblis keji! Mampuslah!" bentak Ki Teja Laksana
sambil melancarkan serangan‐serangan yang
menimbulkan angin bersiutan. Pendekar Tangan
Baja yang marahnya sudah memuncak itu segera
mengerahkan seluruh tenaganya. Serangannya
dilancarkan secara bertubi‐tubi.
Dedemit Bukit Iblis yang sudah mengetahui
kekuatan lawan, segera mengelak. Langsung
didesaknya lawan dengan serangan serangan
yang ganas dan mengerikan. Sepasang
tangannya bergerak cepat, dan menimbulkan
hawa yang menggetarkan. Memang, sepasang
tangan itu juga dialiri kekuatan gaib, sehingga
kehebatan jurus iblis itu berlipat ganda.
Jurus demi jurus berlalu cepat tidak terasa
pertarungan telah melewati lima belas jurus.
Meskipun para pendekar sudah dibantu Ki Teja
Laksana, namun beberapa orang kembali
menggeletak dengan leher patah!
"Gila! Iblis keparat! Biadab!" teriak Ki Teja
Laksana penuh kemarahan. Ternyata, iblis itu
kembali membunuh beberapa orang kawannya
tanpa mampu dicegah. Bahkan ini terjadi di
depan hidungnya. Betapa terpukulnya hati
Pendekar Tangan Baja melihat hal itu. Dan
dengan kemarahan yang meluap‐luap, Pendekar
Tangan Baja kembali memperhebat serangan‐
serangannya. Namun celakanya, ke mana saja ia
menyerang, Dedemit Bukit Iblis itu selalu dapat
mengelak. Kemarahan Ki Teja Laksana semakin
menjadi‐jadi saja.
Di saat pertarungan sudah memasuki jurus
yang kesembilan belas, Pendekar Tangan Baja
melontarkan dua buah pukulan disertai
pengerahan tenaga dalam penuh ke arah leher dan
ulu hati Dedemit Bukli Iblis.
Terkesiap hati Dedemit Bukit Iblis ketika melihat
serangan maut itu. Segera digerakkan
tangannya secara bersilangan, untuk menangkis
serangan lawan. Terdengar suara yang keras
ketika kedua tangan mereka bertemu. Ternyata,
Dedemit Bukit Iblis masih meneruskan kedua
telapak tangannya yang terbuka untuk
menghantam dada Pendekar Tangan Baja.
Dheeesss ... !
Bagai laying‐layang putus, tubuh Pendekar
Tangan Baja terlempar dan jatuh di tanah.
Darah menyemprot dari mulutnya sehingga
membasahi pakaian lawan. Ki Teja Laksana
tergeletak dengan napas satu‐satu. Dirasakan
dadanya hancur akibat hantaman telapak tangan
Dedemit Bukit Iblis yang menggunakan jurus
'Tangan Pengejar Roh'. Cairan merah masih
mengalir dari sela‐sela, bibirnya. Jelas, kalau
pendekar itu terluka dalam cukup parah.
Sementara itu, ketika melihat gedorannya
menemukan hasil, Dedemit Bukit lblis segera
melompat untuk menghabisi lawan yang sudah
tidak berdaya itu. Kedua tangan iblis itu terkembang
dan siap mengirim lawannya ke akhirat.
Pendekar Tangan Baja yang sudah tidak
berdaya itu, hanya dapat memandang tak
berkedip. Dia hanya pasrah, menantikan tangan‐
tangan maut itu menghunjam batok kepalanya.
Dheerrr!
Terdengar sebuah ledakan dahsyat yang
memekak telinga! Disusul dangan terlemparnya
Dedemit Bukit Iblis di iringi dengan dengan
jeritannya yang parau. Rupanya pada saat yang
gawat itu, tiba‐tiba sesosok bayangan putih
keperakan berkelebat memapak kedua tangan
Dedemit bukit Iblis. Bumi bagai bergetar akibat
pertemuan dua tenaga dalam penuh.
Sedangkan sosok tubuh berjubah putih itu
terjajar mundur sejauh lima langkah! Dia tak lain
adalah Panji. Pemuda yang dikenal sebagai
Pendekar Naga Putih ini merasa terkejut juga
ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga
dalam lawannya ternyata begitu dahsyat!
Pendekar Pemabuk yang masih dalam
keadaan lemah hanya mampu memandang takjub
kejadian itu. Sedangkan Pendekar Tangan Baja
hampir tak percaya mendapati dirinya dalam
keadaan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Pendekar
Tangan Baja dan Pendekar Pemabuk
berbarengan. Kedua orang pendekar Sakti itu
pun menarik. napas lega dengan wajah berseri‐
seri.
"Tidak salah lagi! Dia pasti Pendekar Naga
Putih! Lihat saja salah satu ciri dari ilmunya yang
mukjizat itu!" seru Pendekar Pemabuk yang
pernah mendengar ciri‐ciri Pendekar Naga Putih itu.
"Grrhh..., Anak Muda! Kaukah yang berjulukan
Pendekar Naga Putih itu? Rasanya tak percaya
kalau kau telah membunuh Tiga Iblis Gunung
Tandur!" kata Dedemit Bukit Iblis dengan suara
parau dan menjijikan.
“Begitulah orang‐orang menyebutku! Dan
sekarang bersiaplah kau untuk menerima
kematianmu, iblis keparat!" bentak Panji berang.
Dia memang merasa terpukul sekali melihat
mayat‐mayat pendekar yang telah dibantai secara
kejam itu.
"Anak Muda sombong! Kulumat tubuhmu
dan akan kuhirup darahmu!" teriak Iblis itu gusar.
Setelah berkata demikian, tubuh Dedemit
Bukit Iblis mencelat ke arah Panji dengan jurus
andalannya yang mengerikan itu. Kedua
tangannya berputaran mengaburkan pandangan
lawan. Dalam sekali serang saja, dia telah
mengancam delapan jalan darah kematian di
tubuh lawan.
"Hhm..!" dengus Panji ketika melihat
serangan itu. Secara spontan 'Tenaga Dalam
Gerhana Buminya bergolak dan membentuk
selapis kabut bersinar putih keperakan yang
menyelimuti seluruh tubuhnya. Tangannya lalu
digerakkan membentuk cakar naga. Dengan
menggunakan ilmu 'Naga Sakti', Panji segera
menyambut serangan lawan.
Kini keduanya segera terlibat dalam sebuah
pertarungan seru dan mendebarkan! Tubuh mereka
yang sama‐sama terselubung jubah putih itu,
saling serang dengan cepatnya. Kalau saja tubuh
Panji tidak mengeluarkan sinar putih keperakan,
Cukup sulit juga untuk dapat membedakan
keduanya. Memang sukar sekali mengikuti
gerakan mereka yang luar biasa cepatnya!
Kalau dilihat dari gerakan yang sama‐sama
gesit dan sama‐sama ringan itu, rasanya ilmu
meringankan tubuh keduanya berimbang! Kadang‐
kadang tubuh dua orang sakti itu melambung tinggi
melakukan serangan dari udara. Angin pukulan itu
membuat daun‐daun pohon di sekitar tempat
itu bagai dilanda angin topan dahsyat! Debu dan
pasir beterbangan akibat pukulan‐pukulan jarak
jauh yang dilancarkan masing‐masing lawan.
Tanpa terasa, pertarungan dua orang sakti itu
telah berlangsung empat puluh jurus. Dan
pada suatu kesempatan, Panji berhasil
memancing lawannya. Pemuda itu melontarkan
sebuah pukulan yang mengarah lambung
Sengaja dikerahkan separuh dari tenaganya
untuk mengetahui reaksi lawan. Angin
pukulannya berdesing tajam karena didorong
tenaga dalam penuh!
Melihat pukulan itu, Dedemit Bukit Iblis
tidak berani untuk memberikan tubuhnya. Segera
digeser kaki kanannya ke b elakang dan sambil
memutar tubuhnya, segera dilepaskannya sebuah
tendangan disertai pengerahan tenaga dalamnya ke
perut Panji suara mengaung keras menandakan kalau
serangan itu disertai tenaga dalam yang cukup
sempurna.
Panji yang memang sudah memperhitungkan hal
itu, segera memutar tubuhnya dengan kuda‐kuda
sangat rendah. Sehingga tendangan Dedemit Bukit
Iblis hanya lewat sedikit di atas kepalanya. Kemudian
dengan posisi kuda‐kuda 'Sepasang Kaki Berakar
Di Bumi', Pendekar Naga Putih itu segera
mendorongkan kedua telapak tangannya sekuat
tenaga ke dada Dedemit Bukit Iblis. Hembusan
angin yang luar biasa dinginnya mengiringi
dorongan tangan Pendekar Naga Putih itu.
Deeesss!
"Aaarrrhhkk...!"
Dedemit Bukit lblis meraung dahsyat ketika
dorongan telapak tangan Panji telah mengenal
dadanya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh iblis
itu terlempar sejauh lima tombak, dan terus
bergulingan sampai satu tombak jauhnya. Namun,
karena ilmu kekebolan tubuhnya yang
mengharuskan dia menghisap darah seorang bayi
yang baru lahir, dorongan itu seperti tidak
berpengaruh. Iblis itu langsung melompat berdiri
meskipun agak limbung. Memang luar biasa sekali
kekebalan tubuh yang dimiliki iblis itu.
Meskipun keadaan Panji tidak separah
keadaan Dedemit Bukit Iblis, tapi pemuda itu
cukup terkejut juga! Walaupun kuda‐kudanya
tidak sampai tergempur, namun tubuhnya
terdorong sejauh setengah meter. Bahkan
sampai meninggalkan bekas sedalam setengah
anak panah di atas tanah!
Gila! Iblis ini mempunyai daya tolak yang
kuat!" kata pemuda itu dalam hati.
Sementara itu Dedemit Bukit Iblis menjadi
murka sakali ketika mendapati ada cairan merah
yang merembes dari sela‐sela bibirnya.
Matanya yang memancarkan sinar kehijauan itu
bergerak‐gerak liar. Rupanya, pengaruh pukulan
Panji tadi memang berjalan lambat, tapi hasilnya
cukup memuaskan juga.
"Hm.... cabutlah pedangmu, Anak Muda!
Cabutlah.... Aku adalah tuanmu. Turuti semua
perintahku! Cabutlah pedang dan bunuhlah
dirimu sendiri, sebagal tanda baktimu
kepadaku!" bujuk Dedemit Bukit Iblis, sambil
menatap kedua mata Panji. Tentu saja disertai
kekuatan gaib yang mempengaruhi jalan
pikiran. Suaranya menggeletar memasuki alam
bawah sadar dan menguasai pikiran. Pengaruh
kata‐kata yang di ucapkan iblis itu sangatlah kuat
dan seakan‐akan tidak dapat dibantah lagi.
Beberapa orang pendekar yang
menyaksikannya, sudah siap mencabut pedang
Ternyata pengaruh kekuatan gaib yang
terkandung dalam suara Dedemit Bukit Iblis juga
mempengaruhi mereka. Dan para pendekar itu
pun segera mengacungkan pedangnya tinggi
tinggi dan siap dihunjamkan ke perutnya
masing‐masing.
Tiba‐tiba terdengar lengkingan tinggi yang
menindih getaran suara Dedemit Bukit Iblis.
Terjadilah sebuah letupan kecil di udara yang
menandakan musnahnya pengaruh sihir iblis itu.
Mendadak tubuh Dedemit Bukii Iblis terdorong
sambil menekap dadanya yang bergetar hebat
akibat lengkingan yang dikeluarkan Panji tadi.
Merasa ilmu sihirnya tidak dapat
mempengaruhi lawannya, Dedemit Bukit Iblis
menggereng bagaikan binatang terluka. Disertai
teriakan yang merontokkan jantung, tubuh iblis itu
meluncur ke arah Panji dengan kecepatan yang
sukar ditangkap mata biasa. Dia langsung
mengirim serangan dengan, jurus 'Tangan
Pengejar Roh' yang sangat mengerikan itu.
Panji yang sudah ingin menyelesaikan
pertarungan ini, segera mengempos semangatnya.
Hasilnya, 'Tenaga Dalarn Gerhana Bulan' semakin
deras mengalir ke seluruh anggota tubuhnya.
Dengan sebuah teriakan yang mengguntur, Panji
segera melompat menyambut serangan lawan.
Pertarungan pun kembali berlangsung
dengan hebatnya. Debu dan pasir beterbangan
dilanda angin Pukulan yang dahsyat itu. Daun‐daun
pohon berguguran membuat suasana pertarungan
semakin menegangkan.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu
merasa terbelak kagum! Mereka benar‐benar
tercengang menyaksikan semua itu. Selama hidup,
baru kali inilah mereka dapat menyaksikan pertarungan
yang benar hebat dan dahsyat!
Tiga Puluh jurus pun kembali berlalu dengan
cepatnya. Dan kali ini Dedemit Bukit Iblis benar‐benar
terdesak oleh serangan‐serangan gencar yang dilakukan
lawannya. Nyalinya pun mulai gentar merasakan
kehebatan anak muda yang menjadi lawannya itu.
Secara diam‐diam, mulai dipikirkan jalan keluar untuk
menyelamatkan dirinya.
Justru hal inilah yang menjadi pantangan bagi
seorang ahli silat. Karena dengan demikian perhatiannya
telah terbagi. Dan hal semacam ini tentu saja dapat
merugikan dirinya sendiri.
Memasuki Jurus ketiga puluh tujuh, Panji mulai
tahu apa yang dipikirkan lawannya. Maka semakin
diperhebatlah serangannya! Dan ketika Dedemit Bukit
Iblis melontarkan sebuah pukulan ke arah bawah
perutnya, pemuda itu segera melompat ke samping
sambil melepaskan tendangan beruntun yang
mengancam tujuh jalan darah kematian di tubuh lawan.
Tentu saja iblis itu menjadi terkejut setengah mati!
Dengan gugup dilempar tubuhnya ke belakang. Namun
Panji juga tidak tinggal diam. Pemuda itu segera
melompat ke atas tubuh lawannya dan langsung
dicengkramnya leher iblis itu. Dengan pengerahan
tenaga saktinya, disentakannya kuat‐kuat.
Brettt! Brettt!
"Krrooohhhk...!"
Terdengar suara mengorok yang keluar dari
kerongkongan iblis itu. Darah segar memancur dari
batang lehernya yang bolong akibat cengkraman Panji
tadi. Tubuh Dedemit Bukit Iblis berkelojotan meregang
nyawa, lalu, terdiam untuk selama‐lamanya. Dedemit
Bukit Iblis akhimya tewas dalam keadaan yang tidak
berbeda dengan korban‐korbannya.
Panji berdiri mematung sambil menengadahkan
wajahnya ke langit yang sudah mulai agak terang itu.
Ditariknya napas penuh kelegaan. Senyumnya
terkembang ketika melihat Dewi Tangan Merah atau
Sundarl berlari menghampirinya.
"Kau.... Kau tidak apa‐apa, Kakang Panji...?" tanya
Dewi Tangan Merah cemas. Tanya disadarinya
tangannya telah pula menggenggam kedua tangan
pemuda itu penuh kehangatan.
Tiba‐tiba tubuh Panji melorot jatuh di atas
rerumputan tebal, disertai suara keluhan pendek yang
keluar dari mulutnya.
Tentu saja Dewi Tangan Merah menjadi terkejut
setengah mati! Wajahnya yang cantik itu mendadak
pucat karena kekhawatiran yang amat sangat.
"Kakang Panji! Kau..., kau kenapa?" teriak Dewi
Tangan Merah sambil mengguncang‐guncangkan tubuh
pemuda itu. Dan kecemasannya pun semakin memuncak
ketika dilihatnya kedua mata Pendekar Naga Puth itu
terpejam.
Namun, tiba‐tiba Panji tersenyum sambil membuka
kedua matanya. "Aku hanya kepingin tidur!" kata
Pendekar Naga Putih singkat.
“Kurang ajar Rupanya kau sengaja menggodaku,
Awas kau!" rutuk Dewi Tangan Merah dengan wajah
kemerahan karena malu.
Panji cepat‐cepat bangkit dan berlari, karena Dewi
Tangan Merah sudah menggerakkan tangannya
untuk memukul. Panji terus berlari sambil tertawa
terbahak‐bahak. Rasanya senang sekali la telah berhasil
membohongi dara jelita yang sangat cerdik itu.
Angin pagi bertiup lembut seolah‐olah ikut gembira
menyaksikan dua muda‐mudi yang sedang bersenda
gurau itu. Cahaya kemerahan pun mulai muncul dari
ufuk timur. Pertanda sang matahari sudah memulai tugasnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar