..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PETAKA KUIL TUA

Matjenuh khairil


PETAKA KUIL TUA 
Oleh T Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dan penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode 051 : 
Petaka Kuil Tua 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Malam kian merambah. Kepekatan makin kental 
menyelimuti bumi. Suara nyanyian binatang-binatang 
malam saling bersahutan. Desir angin mengalun perlahan 
mempermainkan daun-daun pohon, sehingga menimbul-
kan gemerisik lembut di telinga. Rembulan tersenyum 
malu di balik gumpalan awan kelabu. Semua itu makin 
menambah keindahan suasana malam. 
“Hm..., hari sudah semakin bertambah malam, Darmi. 
Rasanya sudah waktunya aku pulang....” 
Ucapan perlahan yang terasa agak berat itu meluncur 
dari bibir seorang pemuda tampan. Meskipun wajahnya 
tampak agak kehitaman, namun sosoknya cukup menarik. 
Sepasang matanya menatap lembut gadis manis berambut 
panjang yang duduk di sebelahnya. 
Gadis manis berusia sembilan belas tahun yang 
dipanggil Darmi itu tampak menunduk. Duduknya 
digeser semakin merapat. Bangku bambu yang mereka 
duduki berderit perlahan, saat Darmi menggeser 
tubuhnya. 
“Yahhh..., hari memang semakin bertambah malam, 
dan Kakang harus segera pulang. Tapi, bagaimana dengan 
pertanyaanku tadi, Kang? Kapan kau akan melamarku...?” 
tanya Darmi perlahan, mirip bisikan. Wajah yang semula 
tertunduk itu perlahan terangkat, dan menatap wajah 
kekasihnya.

“Akan kuusahakan secepatnya, Darmi...,” sahut 
pemuda tampan berkulit coklat itu seraya melingkarkan 
lengannya ke tubuh kekasihnya. Darmi pun segera 
merebahkan kepalanya di dada pemuda itu. 
“Aku takut, Kang...,” desah Darmi bernada cemas. 
“Tuan Muda Wintarsa selalu menggangguku. Aku 
khawatir pemuda jahat yang sombong itu akan berbuat 
yang tidak-tidak terhadap diriku. Hal itu tercermin dari 
cara ia memandangku. Sepertinya aku bukan lagi melihat 
sosok manusia. Tapi, binatang buas yang kelaparan...” 
“Hm..., pemuda mata keranjang itu memang tak 
ubahnya setan berwajah manusia...!” geram pemuda 
tampan itu sambil mengepalkan tinjunya erat-erat. 
Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Ia tahu 
persis, siapa yang dimaksudkan kekasihnya. “Baiklah, aku 
pulang dulu, Darmi. Tentang pernikahan kita, akan 
kubicarakan nanti dengan ayahku....” 
“Betul...?” tanya Darmi agak ragu sambil mengikuti 
kekasihnya bangkit. Sepasang mata gadis desa yang 
sederhana itu tampak berpijar penuh kebahagiaan. 
“Tentu saja betul...,” sahut pemuda itu melangkah dan 
merangkul tubuh Darmi. Keduanya berjalan menuju 
pondok yang berada di depan mereka. 
“Kutunggu kabar darimu, Kakang...,” ucap Darmi 
seraya menatap wajah kekasihnya, ketika ia berada di 
ambang pintu belakang rumahnya. Tapi, pemuda tampan 
itu sama sekali tidak menyahut, sebab ia telah memeluk 
tubuh kekasihnya erat-erat, dan melumat bibir merekah 
yang menantang itu. 
“Aku pulang dulu...,” pamit pemuda itu seraya

melepaskan pelukannya dan beranjak meninggalkan Darmi 
yang tersipu dengan napas agak sesak. Namun, tampak 
seulas senyum bahagia terukir di bibirnya. 
Dengan obor di tangan kanan, pemuda kekasih Darmi 
itu melangkah menerobos kegelapan malam. Sebentar saja 
rumah kekasihnya telah tertinggal cukup jauh di belakang. 
Melihat dari gerak-geriknya, jelas pemuda itu bukanlah 
orang lemah. Sepertinya, ia pun memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang lumayan. 
“Hm..., kau benar-benar bandel, Suminta...!” tiba-tiba 
terdengar suara teguran bernada penuh kegeraman. 
Pemuda tampan itu pun menahan langkahnya dan 
menoleh ke arah asal suara. Kakinya melangkah ke 
belakang ketika melihat tiga sosok tubuh muncul dari 
semak-semak di pinggir jalan. 
“Kau..., Wintarsa...?!” desis pemuda tampan bernama 
Suminta itu. Ia terkejut ketika obornya diangkat untuk 
mengenali wajah ketiga lelaki yang menghadangnya. 
“Hm..., dari mana kau malam-malam begini, Suminta? 
Apakah kau sudah lupa dengan peringatanku tempo 
hari...?” tegur pemuda pesolek berwajah tampan, yang 
tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Suminta. Sepasang mata 
Wintarsa tampak menyiratkan kemarahan yang masih 
ditahan. 
“Apa hakmu melarangku berhubungan dengan Darmi, 
Wintarsa? Sedangkan Darmi sendiri menyukaiku. Dan, ia 
tidak suka kepadamu!” jawab Suminta dengan menyebut 
Wintarsa begitu saja, tanpa embel-embel tuan muda. Hal 
itu membuat kening Wintarsa menjadi berkerut tak 
senang.

“Keparat! Kau semakin besar kepala saja, Suminta! 
Sudah berani melanggar laranganku, kau pun sudah tidak 
lagi menaruh hormat kepadaku! Semua itu akan membuat 
kau sekeluarga menjadi celaka, Suminta!” bentak Suminta. 
Pemuda pesolek itu menjadi geram ketika mendengar 
bantahan Suminta yang tidak menaruh hormat lagi 
kepadanya. Wintarsa kemudian berpaling kepada dua 
orang di kiri dan kanannya, dan memberikan isyarat. 
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki kekar 
berpakaian serba hitam, yang menjadi tukang pukul 
Wintarsa, segera melompat dan mengepung Suminta. 
Melihat hal itu, Suminta cepat bergerak mundur seraya 
mengebutkan obor di tangannya ke kiri dan kanan. 
Perbuatannya itu membuat kedua orang tukang pukul 
Wintarsa bergerak menghindar. 
“Hm..., kau memang harus diberi peringatan keras, 
Kerbau Dungu!” ujar salah seorang tukang pukul 
Wintarsa, geram. Kemudian laki-laki kasar itu pun segera 
menyiapkan jurusnya guna menghadapi Suminta. 
“Haaat...!” 
Orang yang berada di sebelah kanan Suminta berteriak 
sambil melompat dan melontarkan pukulan keras ke arah 
kepalanya. Suminta melangkah ke belakang, kemudian 
membalas dengan sebuah tendangan kilat. Sebentar saja, 
ketiga orang itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan 
seru. Suminta berjuang keras untuk menghadapi kedua 
orang lawannya yang memang terkenal sebagai jagoan-
jagoan di Desa Margaluyu itu. 
“Heaaah...!” 
Wrrr...!

Lidah api kembali berkobar ketika Suminta 
mengebutkan obornya, guna menghadapi serangan dari 
sebelah kanan. Sayang pemuda tampan itu kalah gesit, 
sehingga sebuah tendangan keras dari sebelah kiri tidak 
dapat dihindarinya, dan menghajar telak iganya. 
Bukkk! 
“Akh...!” 
Suminta bergulingan menjauhi kedua orang lawannya. 
Meskipun dengan wajah agak menyeringai, pemuda itu 
bergerak bangkit dan siap melakukan perlawanan kembali. 
Sedangkan obor dalam genggamannya telah terlepas, dan 
berada dalam genggaman Wintarsa yang mengangkatnya 
ke atas sebagai penerangan 
“Rasakan kepalanku...!” bentak lelaki berkumis tebal 
yang menjadi tukang pukul Wintarsa sambil melontarkan 
kepalannya yang menimbulkan desiran angin tajam. 
Whuttt...! 
Suminta merundukkan kepala, sehingga kepalan lawan 
lewat di atas kepalanya. Sayang, ia tidak menduga sama 
sekali kalau serangan susulan lawan datang demikian 
cepat. Akibatnya, tubuh Suminta kembali terpelanting ke 
belakang. Dan belum lagi sempat bangkit dan merasakan 
akibat tendangan itu, tahu-tahu lawan di sebelah kanannya 
sudah menendang iganya kuat-kuat. 
“Aaakh...!” 
Suminta kembali memekik kesakitan. Darah segar 
mulai menetes dari sudut bibirnya. Meskipun demikian, 
pemuda bertubuh gagah itu berusaha merangkak bangkit 
untuk melakukan perlawanan kembali. 
“Hm...,” kali ini Wintarsa sendiri yang sudah

melangkah maju. Kaki kanannya langsung mencelat ke 
wajah Suminta yang tengah merangkak maju itu. 
Desss! 
“Highhh...!” 
Untuk kesekian kalinya, tubuh Suminta kembali 
terlempar akibat tendangan kuat itu. Beberapa buah 
pukulan dan tendangan masih menerpa wajahnya. Tampak 
wajah tampan itu babak belur berbaur dengan darah. 
Sehingga, sulit untuk mengenalinya. 
Suminta merintih kesakitan tanpa mampu bangkit lagi. 
Sepertinya, Wintarsa dan kedua orang tukang pukulnya 
sama sekali tidak menginginkan kematian pemuda itu. 
Dalam penyiksaan mereka sengaja tidak mengerahkan 
tenaga terlalu kuat, agar Suminta tidak jatuh pingsan. 
Sehingga pemuda itu dapat merasakan penderitaan akibat 
pukulan dan tendangan mereka. Hal itu menandakan 
bahwa Wintarsa dan kedua tukang pukulnya merupakan 
orang-orang kejam yang tidak berperikemanusiaan. 
“Hm..., ini merupakan peringatan terakhir, Suminta. 
Sekali lagi kau berani mendekati Darmi, kepalamu akan 
kupatahkan...!” ancam Wintarsa sambil menarik rambut 
Suminta ke atas. Sedangkan kakinya menekan punggung 
pemuda itu dengan kasar. 
Suminta hanya bisa merintih menahan sakit pada 
kepalanya yang dipaksa terangkat ke belakang. Setelah 
berkata demikian, Wintarsa melepaskan kepala Suminta 
begitu saja, sehingga wajah pemuda itu membentur tanah, 
membuat Suminta mengerang kesakitan. Dari lubang 
hidungnya, darah segar kembali mengalir. 
Wintarsa dan kedua orang tukang pukulnya bergerak

meninggalkan tubuh Suminta yang tergeletak di tanah. 
Pemuda tampan pesolek itu melemparkan obor di 
tangannya, persis di depan wajah Suminta. Pemuda 
malang itu menyeret tubuhnya ke belakang, karena 
wajahnya yang berada dekat api obor terasa panas bagai 
terbakar. 
Dengan susah payah, Suminta bergerak bangkit 
berdiri. Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, 
pemuda itu bergerak menerobos kepekatan malam dengan 
langkah tertatih-tatih. 
*** 
“Ohhh...,” Suminta mengerang seraya menyandarkan 
tubuhnya di dinding rumah. 
Saat ini sudah lewat tengah malam. Hembusan angin 
sudah semakin dingin ketika Suminta tiba di rumahnya. 
Pemuda malang itu langsung bergerak ke belakang rumah 
untuk membersihkan wajahnya dengan air sumur. 
“Akh...?!” Suminta menahan jeritannya ketika 
wajahnya dirasakan perih. Lalu kakinya melangkah masuk 
ke dalam rumah melalui pintu belakang. 
Sinar pelita yang temaram menerpa tubuhnya ketika ia 
berada di dalam rumah. Suminta langsung menuju 
kamarnya, dan membaringkan tubuhnya disertai helaan 
napas berat. 
“Keparat kau, Wintarsa...!” umpat Suminta sambil 
mengepalkan tinjunya kuat-kuat. 
Suminta benar-benar geram sekali terhadap pemuda 
kaya yang sombong dan kejam itu. Hatinya mengeluh bila

mengingat perbedaan kehidupannya dengan Wintarsa 
yang laksana bumi dan langit. 
Pemuda putra tunggal seorang juragan terkaya di Desa 
Margaluyu itu memang seringkali memaksakan 
kehendaknya kepada orang lain. Apa yang diinginkannya 
harus tercapai, meskipun dengan jalan kekerasan. Tidak 
sedikit orang yang telah menjadi korban tindak 
kesewenang-wenangan pemuda jahat itu. Tapi, orangtua 
Wintarsa selalu membela putranya, dan membungkam 
mulut orang-orang desa yang menjadi korban putranya 
dengan sekantung uang. 
Orang-orang desa tidak berani menuntut karena sudah 
ada beberapa penduduk yang kedapatan tewas. Hal itu 
disebabkan karena mereka tidak mau menerima uang 
pembungkam dari juragan kaya itu. Sedangkan Kepala 
Desa Margaluyu tidak berani mengambil tindakan. Ia lebih 
suka menutup mata, dan tak mau melihat kejadian di 
sekelilingnya. 
“Hhh...,” Suminta kembali mengeluh bila teringat akan 
keadaan dirinya. 
Suminta tahu, yang menjadi incaran Wintarsa adalah 
Darmi, kekasihnya. Dan juga diketahuinya, Wintarsa tidak 
akan pernah berhenti sebelum mendapatkan Darmi. 
Ingatan itu membuat Suminta bangkit dari tidurnya. 
Otaknya bekerja cepat untuk mencari jalan keluar dari 
persoalan ini. 
“Hm..., satu-satunya jalan, aku harus membawa lari 
Darmi meninggalkan desa ini...,” gumam Suminta 
mengambil keputusan, setelah mempertimbangkan segala 
akibatnya. Semua itu dilakukan karena ia sangat mencintai


kekasihnya, dan tidak rela kalau Darmi jatuh ke tangan 
Wintarsa. 
Berpikir demikian, Suminta bangkit dan mem-buntal 
beberapa pakaiannya. Kemudian bergegas keluar dari 
dalam kamar. Sebelum meninggalkan rumah, kakinya 
melangkah ke ruangan depan untuk melihat kedua 
orangtuanya yang menurut pikirannya pasti masih 
terlelap. 
“Eh...?!” 
Kening Suminta berkerut ketika melihat ruangan 
depan berantakan. Meja kursi tampak terbalik, seperti 
sengaja diobrak-abrik orang! 
“Ayah...?!” Suminta tercekat ketika di dalam 
keremangan sinar pelita, dilihatnya sesosok tubuh 
berlumuran darah tengah tergeletak di dekat meja yang 
terbalik. Pemuda itu langsung melompat, dan memeriksa 
keadaan ayahnya. 
Bukan main sedihnya hati Suminta ketika ia mendapat 
kenyataan bahwa lelaki tua itu telah tewas. Beberapa luka 
bekas pukulan tampak membiru di sekujur tubuh ayahnya. 
Jelas orang tua itu telah disiksa sampai tewas! 
“Ibu...?!” 
Seperti disengat kalajengking, Suminta melepaskan 
tubuh ayahnya. Cepat ia melesat ke dalam ketika teringat 
akan ibunya. Dan, apa yang disaksikannya benar-benar 
membuat hati pemuda itu hancur luluh. 
Suminta meraung bagaikan seekor singa luka. 
Wajahnya pucat. Kedua kakinya serasa gemetar karena 
tidak sanggup menyaksikan pemandangan di depan 
matanya. Suminta jatuh dengan bertelekan kedua

lututnya. Lalu, sambil menangis sesenggukan, pemuda itu 
menekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. 
“Ibu...!” 
Suminta menguatkan hatinya untuk bergerak bangkit 
dan memasuki kamar orangtuanya. Wajah pemuda yang 
sembab oleh bekas luka-luka pukulan, tampak pucat 
berlinang air mata. Hatinya benar-benar hancur melihat 
tubuh ibunya tergantung di tiang rumah dengan lidah 
terjulur! 
Dengan kedua tangan gemetar, Suminta menurunkan 
tubuh ibunya. Angkin yang biasanya melingkar di 
pinggang perempuan yang melahirkannya itu, tampak 
menjerat leher. Sekilas pemuda itu menyangka kalau 
ibunya sengaja menggantung diri. Tapi Suminta dapat 
meraba, apa yang membuat ibunya sampai gantung diri. 
Dan, ia pun sudah mulai menduga apa yang menyebabkan 
kematian ayahnya. 
“Hm..., tidak salah lagi. Ini pasti perbuatan si keparat 
Wintarsa. Mungkin ia datang ke tempat ini untuk 
mencariku. Tapi, karena ayah tidak memberitahukannya, 
maka ia pun menyiksanya sampai tewas. Sedangkan ibu, 
mungkin sengaja bunuh diri ketika melihat ayah tewas! 
Benar-benar biadab sekali pemuda laknat itu! Ia 
sepantasnya menjadi iblis...!” geram Suminta dengan hati 
terselimut dendam membara. 
Teringat akan Wintarsa, Suminta langsung saja melesat 
keluar dengan maksud untuk meminta tanggung jawab 
Wintarsa atas kematian kedua orangtuanya. Tapi, langkah 
pemuda itu tertahan ketika di depan rumahnya telah 
berkumpul beberapa orang penduduk yang rumahnya

tidak berjauhan dengan tempat tinggal pemuda itu. 
“Suminta, kau hendak ke mana...?” tanya salah seorang 
pemuda sambil melangkah menghampiri Suminta yang 
berdiri dengan wajah pucat, dan sepasang mata merah 
menyala terbakar api dendam. 
“Akan kubunuh keparat keji itu...!” desis Suminta yang 
membuat tetangganya bergetar ketika mendengar ucapan 
pemuda itu. 
“Percuma, Suminta. Kalau kau pergi juga, itu sama saja 
dengan bunuh diri! Sebaiknya tinggalkan saja desa ini. 
Bawa kekasihmu pergi jauh-jauh. Kami tidak bisa berbuat 
lain kecuali menasihatimu. Kau tahu sendiri, apa akibatnya 
orang yang berani mencampuri urusan pemuda mata 
keranjang yang jahat itu...,” ujar seorang lelaki setengah 
baya. 
Menilik dari ucapan lelaki setengah baya itu, dapat 
diketahui kalau para tetangga Suminta telah tahu tentang 
kematian orangtuanya. Hanya saja mereka tidak bisa 
berbuat lain, kecuali mengutuk Wintarsa yang berhati 
iblis itu. Kalaupun mereka kini memergoki Suminta, itu 
karena mereka sempat mendengar raungan pemuda itu di 
saat melihat ibunya yang tewas tergantung. 
“Tidak! Biarpun harus mati, aku tetap akan mendatangi 
pemuda iblis itu! Ia sudah tidak pantas lagi untuk disebut 
sebagai manusia, Ki. Pemuda itu jelas merupakan iblis 
berkedok manusia...!” bantah Suminta, tetap berkeras 
hendak membalas kemati-an kedua orangtuanya. 
“Kalau kau berkeras hendak membalas kematian 
orangtuamu sekarang juga, terserahlah. Tapi, perlu kau 
ingat! Siapakah yang kelak akan membalaskan sakit hati

mereka, bila kau sampai tewas sebelum sempat 
menyentuh tubuh pemuda iblis itu? Sampai hatikah kau 
membiarkan arwah kedua orangtuamu menjadi setan-
setan penasaran karena dendamnya tak terbalaskan? Hanya 
karena kecerobohan dan ketololan putranya. Sadarlah, 
Suminta. Agar dendammu itu terlaksana, sebaiknya 
menyingkirlah untuk sementara waktu. Ajaklah kekasih-
mu meninggalkan desa ini. Carilah ilmu sebanyak-
banyaknya untuk bekalmu membalas kematian orang 
tuamu. Mengenai mayat kedua orangtuamu, biarlah kami 
yang urus.” 
Ucapan lelaki tua itu membuat hati Suminta lumer. 
Kepalanya bagaikan tersiram air dingin. Kesadarannya pun 
pulih kembali ketika orang tua itu menyebut-nyebut 
tentang setan-setan penasaran jelmaan ayah ibunya. 
“Terima kasih, Ki. Juga saudara-saudara semua. 
Baiklah, aku akan menyingkir dari desa ini sesuai anjuran 
kalian. Tolong urus mayat kedua orangtuaku baik-baik. 
Mudah-mudahan kelak aku bisa membalas kematian 
mereka. Agar arwah-arwah mereka dapat tenang, dan 
tidak menjadi setan-setan penasaran...,” ujar Suminta, 
setelah terdiam beberapa saat lamanya. 
Kemudian, setelah berpamitan kepada para tetangga, 
Suminta segera berlari menerobos kegelapan malam 
menjelang fajar. 
“Hhh...! Satu lagi korban kekejaman pemuda laknat 
itu. Entah keluarga mana yang menjadi korban 
selanjutnya...?” desah lelaki tua berusia lima puluh tahun 
yang baru saja menasihati Suminta. 
Para penduduk Desa Margaluyu baru bergerak

mengurus mayat kedua orangtua Suminta, setelah 
bayangan pemuda malang itu lenyap ditelan kegelapan 
malam. 
***

DUA

Tok, tok, tok...! 
Ketukan di pintu kayu itu demikian kuat, sehingga 
membangunkan penghuninya yang sedang terlelap tidur. 
Seorang lelaki setengah baya bergerak ke pintu, setelah 
menyambar sebilah golok yang terselip di dinding rumah. 
“Siapa...?” tanya lelaki setengah baya itu dengan wajah 
tegang. Meskipun Desa Margaluyu tidak pemah dijarah 
perampok atau sebangsanya, namun lelaki setengah baya 
itu tetap saja curiga. 
“Aku, Ki. Suminta...,” sahut suara di balik pintu yang 
kedengarannya tegang dan terburu-buru. 
Mendengar nama Suminta dan suaranya yang telah 
dikenal baik, lelaki setengah baya itu segera membukakan 
pintu. Seketika wajahnya tampak kaget ketika melihat 
wajah Suminta yang masih sembab, seperti habis 
berkelahi. 
“Apa yang terjadi, Suminta...? Mengapa wajahmu 
penuh luka bekas pukulan...?” tanya lelaki setengah baya 
yang bernama Ki Pawaka itu dengan wajah cemas. 
Diajaknya Suminta masuk, namun pemuda itu menolak. 
“Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya, Ki. Aku 
harus segera membawa Darmi meninggalkan desa ini. 
Kedua orangtuaku telah tewas terbunuh. Sedangkan aku 
dihajar habis-habisan oleh si keparat Wintarsa dan tukang 
pukulnya. Dugaanku, pemuda keparat itulah yang telah

membunuh kedua orangtuaku. Itulah sebabnya, aku 
datang malam-malam begini hendak membawa Darmi 
pergi. Mana Darmi, Ki...?” jelas Suminta terburu-buru 
seraya menorehkan kepalanya ke kiri dan kanan. Seolah-
olah ia khawatir kedatangannya diketahui orang lain. 
“Kakang...! Ada apa...?!” 
Seraut wajah manis yang tampak masih kusut, datang 
menghampiri kedua orang lelaki itu. Suminta langsung 
saja menarik tangan Darmi yang tampak keheranan itu. 
“Kita harus segera meninggalkan desa ini, Darmi. 
Kalau tidak, cepat atau lambat Wintarsa pasti akan 
menculikmu. Ayolah kita pergi...!” ajak Suminta. 
Wajah Darmi langsung pucat mendengar ucapan 
kekasihnya. Apalagi ketika dilihatnya wajah Suminta yang 
biru sembab seperti habis dipukuli orang. 
“Tapi...” 
“Nanti kujelaskan di perjalanan. Cepat berkemaslah! 
Kita harus meninggalkan desa ini sebelum fajar...!” potong 
Suminta tanpa memberi kesempatan kepada kekasihnya 
untuk bertanya-tanya lagi. 
“Cepatlah, Darmi. Menurutku, ini memang merupa-
kan jalan satu-satunya untuk menghindari pemuda keparat 
itu...!” Ki Pawaka ikut pula menyuruh putrinya untuk 
berkemas. Jelas orang tua itu setuju dengan tindakan 
Suminta. Karena ia sendiri sudah merasa putus asa ketika 
mengetahui bahwa Wintarsa mengincar putrinya. 
Tanpa banyak cakap lagi, Darmi segera berkemas. 
Kemudian, keduanya berpamitan kepada Ki Pawaka yang 
mengantarkan kepergian putrinya dengan mata berair. 
“Hati-hatilah, semoga kalian bisa mendapatkan

ketenangan di tempat lain...,” ucap Ki Pawaka. Hati lelaki 
setengah baya itu sebenarnya sedih karena bagaimanapun 
juga, ia merasa berat melepas kepergian putrinya. 
“Mudahan-mudahan kita dapat bertemu lagi, Ki...,” 
ujar Suminta yang diam-diam merasa terharu mendapat 
kepercayaan dari Ki Pawaka untuk membawa pergi putri 
tunggalnya. 
Ki Pawaka baru menutup daun pintu rumahnya ketika 
bayangan Suminta dan Darmi lenyap ditelan kegelapan. 
Kini lelaki setengah baya itu harus memikirkan jalan 
keluar untuk selamat dari tumpahan kemarahan Wintarsa, 
bila pemuda itu datang mencari Darmi. 
*** 
Matahari belum begitu tinggi ketika lima orang 
penunggang kuda berpacu cepat meninggalkan Desa 
Margaluyu. Sikap mereka tampak terburu-buru seperti 
tengah mengejar sesuatu. Hal itu terlihat dari cara mereka 
memacu binatang tunggangan masing-masing, yang berlari 
cepat bagaikan dikejar setan. 
“Hea..., heaaa...!” 
Penunggang kuda yang terdepan adalah seorang 
pemuda tampan pesolek. Melihat dari raut wajahnya, 
usianya paling tidak sekitar dua puluh tahun lebih. 
Sepasang matanya tampak seringkali meredup, 
membayangkan kelicikan dan kekejaman. Siapa lagi 
pemuda tampan pesolek itu kalau bukan orang yang 
dipanggil sebagai Tuan Muda Wintarsa oleh penduduk 
Desa Margaluyu. 
Sedangkan empat orang lelaki penunggang kuda

lainnya, rata-rata bertubuh kekar dan bermata tajam 
menyeramkan. Wajah mereka membayangkan sifat yang 
kasar dan bengis. Keempat orang itu adalah tukang pukul 
Wintarsa. Mereka selalu menyertai ke mana pemuda itu 
pergi. Meskipun tidak jarang pemuda itu hanya membawa 
dua orang dari mereka. Kalau kali ini keempat tukang 
pukulnya dibawa, tentu ada sesuatu hal yang membuat 
pemuda itu marah. 
Kelima ekor kuda yang tampak kekar dan kuat itu 
melesat bagaikan anak panah membelah semak-semak 
yang menghalangi jalan. Mereka telah cukup jauh 
meninggalkan Desa Margaluyu, dan mulai memasuki jalan 
berbatu yang tidak rata. Meskipun demikian, kelima 
penunggang kuda itu sama sekali tidak memperlambat lari 
kudanya. 
“Itu mereka, Tuan Muda...!” tiba-tiba salah seorang di 
antara tukang pukul Wintarsa berseru sambil 
menudingkan jari telunjuknya ke depan, ke arah dua 
orang yang tengah berjalan terburu-buru. 
“Hm..., sudah kuduga mereka pasti belum pergi 
jauh...,” gumam Wintarsa menggeram, menekan 
kemarahan yang siap meledak 
“Celaka...!” 
Pemuda tampan berkulit kecoklatan yang berjalan 
sambil menggenggam tangan gadis di sampingnya, berseru 
dengan wajah pucat. Jelas para penunggang kuda yang 
berada di belakang mereka telah diketahuinya. 
“Bagaimana ini, Kakang...?” terdengar suara gadis 
manis berkulit kuning langsat itu penuh kecemasan. 
Ternyata mereka adalah Suminta dan Darmi yang

meninggalkan Desa Margaluyu untuk menghindari 
kekejaman Wintarsa. Sayang, mereka dapat ditemui oleh 
orang yang dikhawatirkan itu. 
“Berhenti...!” seru Wintarsa keras ketika melihat 
Suminta dan Darmi berlari menerobos hutan lebat di 
sebelah kanan mereka. 
Sambil berkata demikian, pemuda itu cepat membedal 
kudanya yang langsung melesat dengan kecepatan kilat. Di 
belakang, empat orang tukang pukulnya bergegas 
mengejar dengan jalan menyebar. Jelas mereka hendak 
menghadang dua orang itu dari depan. 
Meskipun Suminta dan Darmi berusaha berlari 
secepatnya, tapi mereka tak mampu berpacu dengan 
kuda-kuda yang kokoh itu. Sebentar saja, dua orang 
tukang pukul Wintarsa telah menghadang langkah 
mereka. 
“He he he...! Mau lari ke mana kau, heh...?!” ujar salah 
seorang tukang pukul Wintarsa yang berwajah brewok 
dengan bekas luka di pipi kanannya. Kemudian ia segera 
melompat turun dari punggung kudanya, diikuti 
rekannya. 
“Keparat! Kalian benar-benar iblis!” maki Suminta 
sambil mencabut senjata, siap melindungi kekasihnya dari 
ancaman orang-orang kasar itu. 
“Hm..., jangan sok berpura-pura sebagai pahlawan, 
Suminta! Berani sekali kau membawa lari perempuan yang 
telah menjadi pilihan tuan muda kami! Rupanya kau 
memang patut dibikin mampus...!” geram salah sseorang 
dari kedua tukang pukul Wintarsa. 
“Surgala, tahan...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang mencegah 
tindakan kedua orang tukang pukul itu. Wintarsa langsung 
melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian, 
melangkah lebar dengan sikap sombong menghampiri 
Suminta dan Darmi. 
“Kau benar-benar iblis berkedok manusia, Wintarsa! 
Mengapa kau masih juga mengejar kami? Apakah nyawa 
kedua orangtuaku masih belum membuatmu puas...?!” 
geram Suminta yang benar-benar merasa benci sekali 
kepada pemuda pesolek di depannya itu. 
“Kurang ajar! Apa maksudmu, Suminta? Aku sama 
sekali tidak mengerti dengan apa yang kau katakan itu. 
Sebaiknya cepat kau serahkan Darmi kepadaku. Dan, kau 
boleh pergi ke mana kau suka...!” bentak Wintarsa yang 
menjadi berang ketika mendengar perkataan Suminta yang 
memang tidak dimengerti olehnya, atau Wintarsa 
berpura-pura bodoh? 
“Huh! Sandiwaramu sudah basi, Wintarsa! Semua 
orang Desa Margaluyu sudah tahu akan sifatmu yang selalu 
ingin memiliki apa yang kau inginkan. Kau tidak peduli 
apakah caramu itu kotor atau tidak, yang penting 
keinginanmu terlaksana. Sekarang kau coba memungkiri 
perbuatanmu yang telah membunuh kedua orangtuaku 
secara biadab!” ujar Suminta tidak kalah gertak. 
Suminta kini kelihatan tidak lagi gentar terhadap 
Wintarsa dan tukang-tukang pukulnya. Hal itu 
dikarenakan ia sadar kalau dirinya tak mungkin dapat 
selamat lagi. Sehingga, rasa takut yang ada di hatinya 
segera ditepiskan. 
“Keparat! Hajar pemuda bermulut besar itu...!”

perintah Wintarsa dengan wajah berang. Sebentar saja, 
dua di antara empat orang tukang pukul pemuda itu telah 
menerjang Suminta. 
“Heaaah...!” 
Suminta tidak mau menyerah begitu saja. Cepat 
pedangnya dikibaskan memberi perlawanan. Sebentar 
saja, ketiganya telah terlibat dalam pertarungan yang 
sengit, tapi berat sebelah! 
Bukkk! 
Sebuah pukulan keras mendarat tepat di dada Suminta! 
Tubuh pemuda itu langsung terjengkang, dan dari 
mulutnya keluar darah segar! Meskipun demikian, 
Suminta bergegas bangkit dan siap melanjutkan 
pertarungan. 
“Kakang...!” seru Darmi seraya memburu tubuh 
Suminta yang tampak tengah berdiri bergoyang-goyang 
merasakan dadanya yang sesak dan seperti remuk itu. 
Wintarsa yang melihat gerakan Darmi, segera melesat 
dan menangkap tubuh gadis desa itu. Kemudian, 
memeluknya erat-erat. Dara manis itu hanya bisa 
menangis sedih melihat kekasihnya dihajar habis-habisan 
oleh dua orang tukang pukul Wintarsa. 
“Jangan...! Lepaskan Kakang Suminta, biarkan dia 
pergi! Aku akan menuruti perintahmu kalau kau mau 
melepaskannya, Wintarsa...!” seru Darmi di antara isak 
tangisnya yang memilukan. Jelas Darmi tidak ingin 
melihat kekasihnya disiksa sampai mati. Gadis itu lebih 
suka mengorbankan dirinya ketimbang melihat kematian 
pemuda yang dicintainya. 
“Betulkah ucapanmu itu, Darmi...?” tanya Wintarsa

seraya mendekatkan wajahnya ke wajah gadis manis itu. 
“Aku memang sudah lama merindukanmu, Darmi. Dan, 
sebentar lagi kau akan menjadi milikku. Untuk apa kau 
pilih Suminta yang bodoh dan miskin itu...?” 
“Bebaskan dia, dan aku akan menuruti semua 
keinginanmu...,” ujar Darmi sambil menghindari ciuman 
pemuda yang sepertinya sudah kerasukan setan itu. 
Sementara itu, Suminta sudah jatuh bangun dipermain-
kan oleh dua orang tukang pukul Wintarsa. Darah segar 
bercucuran dari mulut dan hidungnya. Meskipun 
demikian, kedua orang tukang pukul itu belum juga 
berhenti menyiksanya. 
Desss...! 
“Huakh...!” 
Sebuah tendangan keras kembali menghantam tubuh 
Suminta. Tubuh pemuda itu langsung terjengkang dan 
memuntahkan darah segar. Suminta terkapar tanpa 
mampu bangkit lagi. 
“Hiaaa...!” 
Desss...! 
Kembali sebuah tendangan keras menerpa wajah 
Suminta. Tubuh pemuda itu tersentak ke atas, dan jatuh 
berdebuk ke tanah dengan suara keras. Terdengar 
suaranya merintih lirih. Tubuhnya bergerak-gerak lemah, 
tidak mampu untuk berdiri. 
“Kakang...!” Darmi menjerit keras ketika melihat 
tubuh Suminta terkapar berlumuran darah. Gadis itu 
berontak sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari 
dekapan Wintarsa. Tapi, tenaga Wintarsa yang kuat 
membuatnya tak berdaya. Darmi akhirnya hanya bisa

merintih pilu melihat Suminta yang masih bergerak-gerak 
lemah di atas tanah. 
“Habisi dia...!” Wintarsa kembali memerintah tukang 
pukulnya, sambil membawa Darmi yang hanya mampu 
berteriak-teriak dengan wajah bersimbah air mata. 
“Hm..., manusia-manusia kejam...!” Tiba-tiba ter-
dengar teguran halus. Dan bersamaan dengan itu, muncul 
sesosok pemuda tampan mengenakan jubah putih panjang. 
Sepasang mata pemuda itu menyorot tajam menggetarkan 
jantung kedua orang tukang pukul yang hendak 
menyelesaikan perintah tuannya. 
“Siapa kau, Kisanak?! Harap jangan mencampuri 
urusan kami...!” bentak tukang pukul berwajah brewok, 
seraya mengepalkan tinjunya yang besar dan tampak kuat. 
Sepertinya ia hendak menggertak pemuda tampan itu, 
yang menurutnya akan segera lari ketakutan. 
Sayang, pemuda itu sama sekali tidak gentar. Kakinya 
malah melangkah perlahan mendekati kedua tukang pukul 
Wintarsa yang menjadi marah melihat kebandelan pemuda 
itu. 
“Hm..., rupanya kau pun ingin merasakan kerasnya 
kepalanku...!” geram lelaki brewok yang bernama Surgala 
itu. Kemudian, ia melangkah menghampiri pemuda itu, 
dan kepalannya langsung dilayangkan dengan separuh 
tenaga. 
Bukkk! 
“Uuugh...!” 
Pukulan keras Surgala mendarat telak di dada 
lawannya. Tapi, bukannya tubuh pemuda itu yang 
terjengkang, melainkan tubuhnya sendiri yang terjajar

mundur. Lelaki kekar itu tampak memijat-mijat kepalan 
tangannya yang terasa sakit. Wajahnya tampak dihantui 
keheranan besar. 
Belum lagi keterkejutan Surgala hilang, tiba-tiba 
terdengar jerit kesakitan, yang disusul melayangnya 
sesosok tubuh tegap ke arah mereka. 
Brukkk! 
“Tuan Muda...?!” seru Suminta dan ketiga orang 
kawannya. 
Mereka terkejut sekali ketika mengenali sosok tubuh 
yang terbanting di dekat mereka itu. Cepat kepala mereka 
menoleh ke arah semak-semak, di mana majikan mereka 
tadi menghilang. Dan, dari tempat itu muncul seorang 
dara jelita berpakaian serba hijau sambil membimbing 
Darmi. Jelas dara jelita itulah yang melemparkan tubuh 
Wintarsa. 
“Siapa kalian sebenarnya...?” tanya Surgala bernada 
menuntut jawaban dari pemuda tampan berjubah putih 
dan dara jelita berpakaian serba hijau, yang telah berdiri 
berdampingan mengapit Darmi. 
“Hm..., mengenai jati diri kami tidaklah perlu. Yang 
jelas, kami adalah orang-orang yang membenci tindakan 
sewenang-wenang!” tegas pemuda tampan berjubah putih 
itu dengan suara mantap. 
Wintarsa yang baru saja bangkit berdiri, cepat 
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang terkena debu. 
Wajahnya terangkat menatap seraut wajah jelita 
berpakaian serba hijau. Pemuda pesolek itu tidak lagi 
melihat daya tarik Darmi ketika kedua wanita itu berdiri 
berjejer. Sampai-sampai Wintarsa menelan air liurnya

melihat dara jelita yang sama sekali belum pernah 
dijumpainya dalam mimpi sekalipun. Tak mengherankan 
kalau pemuda mata keranjang itu tidak bisa berbicara 
untuk beberapa saat lamanya. Sepasang matanya yang 
berminyak, bergerak liar menjelajahi sekujur tubuh dara 
jelita berpakaian serba hijau itu. 
“Hm...,” dara jelita berpakaian serba hijau itu tampak 
marah. Sepasang matanya yang besar dan indah itu 
menyorot tajam. Agaknya ia tidak suka dengan sikap 
Wintarsa yang dianggapnya tidak sopan. Dan, tahu-tahu 
saja tubuhnya melesat ke arah Wintarsa dengan tamparan 
keras ke wajah pemuda pesolek itu. 
Plakkk! 
Surgala yang melihat majikannya terancam, segera 
melesat menyambut datangnya serangan dara jelita itu. 
Akibatnya, tubuhnya terpental balik dan hampir ter-
pelanting. Untunglah salah seorang di antara kawannya 
bergerak menyelamatkannya. 
“Gila! Kalian ini setan atau manusia...?!” pekik Surgala 
yang baru kali ini merasa dipecundangi oleh seorang 
wanita dengan sekali gebrak! Dan ia sama sekali tidak bisa 
mencegah ketika gadis itu melanjutkan serangannya ke 
arah Wintarsa. 
Whuuut...! 
Tamparan keras yang mendatangkan angin berkesiutan 
itu luput ketika Wintarsa menggeser langkahnya ke kiri, 
dan terus melompat ke belakang. Tentu saja gadis 
berpakaian serba hijau itu menjadi penasaran. Maka, ia 
pun kembali mengejar dengan serangan berikutnya. 
Meskipun merasa gentar, Surgala segera

memerintahkan kawan-kawannya untuk melindungi 
majikan mereka. Cepat keempat orang tukang pukul itu 
menghunus senjata, dan langsung mengeroyok dara jelita 
itu. 
Namun, pemuda tampan berjubah putih itu rupanya 
tidak tinggal diam. Tubuhnya langsung melayang, meng-
hadang keempat orang tukang pukul Wintarsa. 
“Biarkan mereka bermain-main sebentar. Kalau kalian 
merasa sudah gatal tangan, biarlah aku yang akan meng-
hadapi kalian...,” ujar pemuda tampan yang berdiri tegak 
dan menunggu datangnya serangan lawan. 
“Keparat! Kucincang tubuhmu...!” pekik Surgala yang 
benar-benar jengkel melihat pemuda tampan itu meng-
hadangnya. Cepat pedangnya dibabatkan secara mendatar 
dengan maksud hendak membabat putus tubuh pemuda 
itu. 
Sementara itu, tiga orang tukang pukul lainnya tidak 
tinggal diam. Mereka langsung bergerak mengeroyok 
pemuda tampan berjubah putih itu, yang berloncatan 
menghindari sambaran empat pedang lawannya. 
Plakkk! Desss...! 
Salah seorang lawan yang membacokkan pedangnya 
dari atas ke bawah, dipapaki telapak tangan pemuda itu. 
Dan ia pun langsung mengirimkan hantaman telapak 
tangan kanannya ke dada lawan. Akibatnya, tubuh orang 
itu terjengkang dan memuntahkan darah segar. 
Kemudian, diam tak bergerak lagi. Pingsan! 
Surgala dan ketiga orang kawannya menjadi marah 
bukan main. Mereka menerjang pemuda tampan itu 
dengan serangan yang cepat dan kuat. Tapi, lagi-lagi salah

seorang dari pengeroyok itu terpaksa keluar dari arena 
pertarungan. Tendangan pemuda tampan itu membuat 
lawannya langsung pingsan. Melihat dari gerakannya, 
kelihatan sekali kalau pemuda itu sengaja tidak 
menurunkan tangan kejam kepada lawan-lawannya. 
Setelah tiga jurus berlalu, kedua orang lawan 
terjungkal. Surgala dan seorang kawannya itu langsung 
terlempar akibat tamparan keras yang menghantam pelipis 
dan perut mereka. Sebentar saja, keempat orang tukang 
pukul Wintarsa itu sudah bergeletakan tak berdaya. 
***

TIGA

Setelah menundukkan keempat orang lawannya, pemuda 
tampan berjubah putih yang tak lain dari Panji, atau yang 
lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih itu menoleh 
sekilas ke arah pertarungan lainnya. Menyaksikan betapa 
dara jelita berpakaian hijau itu tengah menghajar lawannya 
hingga jatuh bangun, Panji melangkah ke arah Suminta 
yang tengah ditangisi Darmi. 
Darmi menyingkir sedikit, seolah-olah hendak mem-
berikan peluang kepada penolongnya untuk memeriksa 
kekasihnya. Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera 
memeriksa Suminta. Namun, pemuda tampan itu hanya 
bisa menghela napas ketika mengetahui bahwa Suminta 
sudah tidak bernyawa lagi. Rupanya luka-luka di sekujur 
tubuh pemuda desa itu telah banyak mengeluar-kan darah. 
Akibatnya, Suminta menghembuskan napasnya yang 
terakhir sebelum Panji sempat menolongnya. 
“Menyesal sekali, Nisanak. Kawanmu ini tidak bisa 
tertolong lagi. Relakanlah kepergiannya...,” ucap Panji 
seraya mengusap wajah Suminta yang tampak sepasang 
matanya masih terbuka seperti menyimpan penasaran dan 
kebencian yang dalam. 
“Kakang...,” desis Darmi. Air matanya serasa telah 
habis karena terlalu banyak menangis. Gadis itu hanya bisa 
merintih pilu menyaksikan kekasihnya tewas. 
“Tabahkan hatimu, Nisanak...,” ucap Panji perlahan.

Pendekar Naga Putih yang semula hendak mengangkat 
mayat Suminta, menjadi terkejut ketika mendengar pekik 
kaget di belakangnya. Tentu saja Panji kenal betul dengan 
suara kekasihnya. Maka, pemuda berjubah putih itu cepat 
membalikkan badan, hendak mengetahui apa yang terjadi 
dengan kekasihnya. 
“Eh?!” 
Panji menahan seruannya ketika melihat kekasihnya 
tampak tersunat mundur dengan wajah agak pucat. Cepat 
pemuda itu melesat ke arah pertempuran yang tengah 
terhenti. 
“Hei...! Apa yang terjadi dengan pemuda itu...?” desis 
Panji yang juga menjadi terkejut ketika telah berada di 
dekat Kenanga, yang saat itu tengah berhadapan dengan 
Wintarsa. 
“Aku tidak tahu, Kakang. Ketika ia terjatuh oleh 
pukulanku yang keras, tahu-tahu saja pemuda itu 
menggereng seperti singa luka. Dan .., wajahnya berubah 
mengerikan...!” desis Kenanga dengan wajah agak pucat. 
Kelihatan sekali kalau dara jelita itu sangat terkejut 
melihat perubahan pada lawannya, yang sama sekali tidak 
pernah diduganya. 
Wajar kalau Kenanga yang semula menghajar habis-
habisan pemuda pesolek itu menjadi terkejut. Ia memang 
merasa benci melihat perbuatan pemuda itu terhadap 
gadis lemah yang ditolongnya. Karena itu, ia sengaja tidak 
memukul roboh Wintarsa, tapi menjadikan tubuh pemuda 
itu bulan-bulanan agar ia kapok. Sungguh tidak disangka 
kalau tiba-tiba pemuda pesolek itu berubah menakutkan! 
“Grrrrg...!”

Kembali terdengar suara gerengan yang menggetarkan 
jantung. Suara itu keluar dari kerongkongan Wintarsa. 
Wajah pemuda itu tampak gelap seperti orang yang 
kehilangan ingatan. Bahkan, sepasang matanya memancar-
kan sorot yang demikian menggetarkan jantung. Entah apa 
yang sudah terjadi dengan pemuda pesolek itu. 
“Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak wajar pada diri 
pemuda itu. Aku belum tahu apa penyebabnya. Yang 
pasti, kurasa ia sangat berbahaya sekali. Kau menyingkir 
dulu, Kenanga. Biar aku yang akan mengatasinya...,” ujar 
Panji yang sempat tergetar juga hatinya melihat sorot 
wajah dan tatapan pemuda pesolek itu. 
Namun, yang diincar Wintarsa ternyata bukan Panji. 
Terbukti sepasang mata yang merah menyala itu bergerak 
mengikuti langkah Kenanga, yang meninggalkan arena 
pertarungan. Kembali terdengar gerengannya yang meng-
getarkan tempat itu. 
Meskipun sadar bahwa dirinyalah yang diincar pemuda 
itu, Kenanga tetap saja melanjutkan langkahnya. Dara 
jelita itu sama sekali tidak merasa khawatir kalau tiba-tiba 
pemuda itu menyerangnya. Sebab, ia merasa yakin Panji 
tidak akan tinggal diam. 
“Kreaaagh...!” 
Mendadak Wintarsa memekik laksana binatang buas 
yang kesakitan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya yang 
tegap melayang ke arah Kenanga dengan jari-jari ter-
kembang, siap mencengkeram tubuh dara jelita ber-
pakaian hijau itu. 
“Hm...,” Panji tentu saja tidak tinggal diam. Bagai 
kilat, tubuh pemuda tampan itu melesat cepat memotong

gerak lawan yang hendak mencelakai kekasihnya. 
Plakkk! Plakkk! 
“Heh...?!” 
Terdengar benturan keras dua kali berturut-turut yang 
memekakkan telinga. Dan, kedua sosok tubuh yang saling 
berbenturan lengan itu sama-sama terdorong ke belakang. 
Tentu saja Panji tidak menduga sama sekali kalau 
lawannya memiliki kekuatan yang hebat. 
Dengan gerakan yang indah, tubuh Pendekar Naga 
Putih berputar dua kali di udara, kemudian mendarat 
ringan di atas tanah. Namun, pemuda itu menjadi terkejut 
ketika melihat tubuh lawannya kembali sudah melayang 
mengejar Kenanga. 
“Gila...! Hebat sekali pemuda itu...!” desis Panji yang 
tentu saja jadi tidak habis pikir. Kalau memang pemuda 
itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, mengapa 
ketika Kenanga menolong Darmi, ia bisa dihajar dengan 
mudah? 
Tapi, Panji tidak sempat lagi memikirkan keanehan itu 
lebih jauh. Sebab, saat itu Kenanga telah bertarung dengan 
Wintarsa. Tampak Kenanga terdesak oleh serangan-
serangan ngawur, tapi berbahaya dari pemuda itu. Cepat 
Panji melesat memasuki arena pertempuran. 
“Hait...!” 
Plakkk, plakkk.... Desss...! 
Begitu memasuki arena pertarungan, Pendekar Naga 
Putih langsung memapaki tamparan Wintarsa dan 
mengirimkan sebuah pukulan keras yang telak 
menghantam dada kiri pemuda itu. Akibatnya, tubuh 
pemuda pesolek itu terpental ke belakang sejauh satu

tombak lebih. 
Namun, kembali Panji diliputi keheranan besar. 
Hantaman telapak tangannya yang mampu meremukkan 
batu karang itu, ternyata sama sekali tidak membuat tubuh 
lawannya luka. Bahkan, saat telapak tangannya menyentuh 
dada pemuda aneh itu, Panji merasakan dari tubuh 
pemuda itu ada sebuah kekuatan yang menolak hantaman 
telapak tangannya. Tentu saja Pendekar Naga Putih 
menjadi semakin terkejut dan heran! 
“Tahan...!” tiba-tiba Panji mengeluarkan bentakan 
nyaring ketika melihat pemuda aneh itu sudah bersiap 
hendak menerjangnya kembali. 
Pendekar Naga Putih memang sengaja mengerahkan 
kekuatan tenaga dalamnya melalui bentakan itu. Hal itu 
dilakukannya untuk melenyapkan pengaruh kekuatan sihir 
yang mungkin berada dalam diri pemuda pesolek itu. 
Tapi, bentakan itu sama sekali tidak membuat Wintarsa 
berubah. Sosoknya tetap menggetarkan dengan sorot mata 
memerah! 
Kenanga sendiri yang mendengar bentakan kekasihnya, 
terjajar limbung. Untunglah tenaga saktinya cukup untuk 
melindungi isi dadanya dari guncangan hebat akibat 
bentakan itu. Kalau tidak, gadis ini mungkin sudah jatuh 
pingsan. 
Darmi, gadis desa yang tidak memiliki ilmu silat itu, 
merasakan akibat bentakan yang dikeluarkan Panji. Gadis 
berwajah manis itu seperti diangkat dari tempat 
duduknya. Sehingga, ia jatuh dan tak sadarkan diri. 
Untung saja jarak Darmi dan Panji terpisah tiga tombak 
lebih. Kalau tidak sejauh itu, mungkin Darmi terpaksa

harus merelakan nyawanya melayang dari badan. 
Wintarsa sendiri menjawab bentakan Panji dengan 
sebuah gerengan yang tidak kalah kuatnya. Bahkan angin 
berhembus keras ketika pemuda itu mengeluarkan 
gerengannya yang panjang. Sehingga, Panji sendiri 
terpaksa mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi 
dada. 
“Kenanga, bawa gadis itu menjauhi tempat ini...!” seru 
Panji mengingatkan kekasihnya akan bahaya yang 
menimpa Darmi. Untunglah gadis itu telah jatuh pingsan. 
Kalau tidak, nasibnya tidak akan tertolong lagi! 
Kenanga yang merasakan kedua kakinya hampir 
lumpuh akibat gerengan Wintarsa, segera bergerak 
mendekati Darmi. Kemudian membawa tubuh gadis desa 
itu menjauhi arena pertarungan yang benar-benar 
mengerikan itu. 
“Hm..., kalau didiamkan, pemuda ini jelas sangat 
berbahaya. Ia sepertinya tidak sadar dengan apa yang 
dilakukannya. Satu-satunya jalan, aku harus menunduk-
kannya...,” gumam Panji seraya mengerahkan seluruh 
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. 
Wintarsa kembali mengeluarkan gerengan meng-
getarkan ketika merasakan hawa dingin yang menusuk 
tulang, berhembus menerpa tubuhnya. Kemudian, kaki-
nya bergerak maju dengan langkah-langkah aneh seperti 
orang mabuk. Bahkan gerakan kedua lengannya terlihat 
sangat kacau dan tidak beraturan. Meskipun demikian, 
angin yang ditimbulkan terdengar bercicitan menulikan 
telinga. Jelas, pada sepasang lengan pemuda itu 
menyembunyikan kekuatan yang hebat.

“Gila...! Ilmu apa yang dipergunakannya...? Tampak-
nya demikian kacau dan tidak beraturan. Tapi, kekuatan-
nya jelas sangat berbahaya. Semua itu mudah ditebak dari 
sambaran angin yang tercipta dari putaran lengannya. 
Benar-benar aneh pemuda ini...!” gumam Panji sambil 
bergerak memutar ketika melihat lawannya semakin 
mendekat. 
“Keeekh...!” 
Diiringi pekikan aneh yang sama sekali belum pernah 
didengar Panji sebelumnya, tubuh pemuda aneh itu 
melayang ke arah lawannya dengan ca-karan-cakaran yang 
bercicitan merobek udara. Jelas, sambaran yang 
menimbulkan angin dan menyakitkan gendang telinga itu 
sangat berbahaya. Bahkan, samar-samar tercium bau racun 
keluar dari sambaran tangannya. 
“Heah...!” 
Pendekar Naga Putih bergerak ke kanan dengan 
lompatan kecil, sehingga sambaran cakar lawan dapat 
dielakkan. Kemudian, ia langsung membalas dengan 
sebuah tamparan keras ke arah pelipis lawannya. Namun, 
ketika serangannya dapat dihindari, Panji segera 
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah perut 
lawannya. 
Plakkk! 
Kembali keduanya terjajar ke belakang ketika 
tendangan Panji ditepiskan telapak tangan lawannya. 
Keduanya kembali saling terjang dengan hebatnya, 
membuat sekitar arena pertarungan seperti dilanda angin 
topan yang keras. Pepohonan di sekitar tempat itu 
berderak-derak bagaikan hendak patah.

Kenanga yang menyaksikan pertempuran itu dari 
kejauhan, menjadi tegang hatinya. Dara jelita itu benar-
benar tidak mengerti, mengapa pemuda tampan yang 
semula seperti tidak berdaya menghadapi serangannya 
tadi, kini terlihat sangat tangguh sekali. Bahkan Panji 
sendiri kelihatan cukup sulit untuk menundukkannya 
cepat-cepat. Kejadian itu benar-benar membuat Kenanga 
tidak mengerti. 
Sementara itu, pertarungan sengit antara Panji dan 
Wintarsa masih terus berlanjut. Panji sendiri menjadi 
penasaran ketika lewat dari enam puluh jurus, ia belum 
juga mampu menundukkan lawannya. Bahkan, untuk 
mendesak pun sangat sulit. Karena jurus-jurus aneh 
lawannya benar-benar sangat tangguh, dan merupakan 
benteng pertahanan yang sangat kuat. 
“Yeaaah...!” 
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh, 
Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah' 
yang sangat jarang dipergunakannya. Karena hanya dengan 
suara pekikannya saja, Panji dapat membunuh lawannya. 
Lantaran pembuluh darah lawannya bisa pecah, akibat 
pekikan maut itu. 
Tapi, untuk kesekian kalinya, Panji kembali harus 
memuji kehebatan lawan. 'Pekikan Naga Marah'nya sama 
sekali tidak menimbulkan pengaruh apa-apa pada 
Wintarsa, yang juga mengeluarkan pekikan menggetar-
kan. Jelas, kali ini Pendekar Naga Putih benar-benar 
menemui lawan yang sangat tangguh! 
“Eaaarghhh...!” 
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedelapan

puluh lima, mendadak Wintarsa mengeluarkan gerengan 
aneh mirip raung singa yang sekarat. Berbarengan dengan 
itu, ia segera menerjang lawan dengan gerakan-gerakan 
yang semakin bertambah cepat Dan Panji sendiri menjadi 
repot dibuatnya. 
Desss...! 
“Hukkkh...!” 
Panji tidak sempat lagi mengelakkan sebuah tendangan 
kuat yang singgah di perutnya. Akibatnya, tubuh pemuda 
tampan berjubah putih itu terpental ke belakang, sejauh 
satu setengah tombak. 
Untunglah tubuhnya telah dilindungi lapisan kabut 
bersinar putih keperakan, sehingga tidak membuat 
pemuda itu terluka parah. Dan, ketika tubuh lawan sudah 
meluncur dengan kecepatan kilat hendak menghabisi 
nyawanya, Panji bergerak ke kiri sambil memutar 
tubuhnya setengah lingkaran. Dari sebelah bawah, 
sepasang telapak tangannya yang berisikan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan', langsung menghantam tubuh Wintarsa 
dengan telak! 
Desss...! 
“Huakhhh...!” 
Kali ini Panji yakin bahwa lawannya tidak mungkin 
selamat lagi. Sebab, pukulannya itu dikerahkan dengan 
seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. 
Tapi, apa yang diduga Pendekar Naga Putih ternyata 
meleset. Meskipun lawannya memuntahkan darah segar, 
namun tetap saja belum mampu membuat pemuda aneh 
itu tewas. Dan, Panji hampir tidak mempercayai 
kenyataan yang berada di hadapannya itu.

“Gila...! Bagaimana mungkin ia masih dapat selamat 
dari pukulanku...? Seberapa kebal pun tubuhnya, paling 
tidak tulang-tulangnya pasti remuk...?!” desis Panji sambil 
menggeleng-gelengkan kepala penuh kekaguman. Tapi, 
sebelum Pendekar Naga Putih sempat berbuat sesuatu, 
tiba-tiba Wintarsa berseru seraya mengibaskan kedua 
tangan kearahnya. 
“Heh...?!” Panji berseru kaget ketika dari kedua 
telapak tangan Wintarsa menyebar bubuk-bubuk beracun 
berwarna merah muda. 
Pendekar Naga Putih cepat melompat ke belakang 
sambil memutar sepasang lengannya untuk menghalau 
bubuk-bubuk beracun, yang menutupi pandangannya. 
Panji terpaksa harus berhati-hati dengan racun yang 
ditebarkan lawannya. Sebab, dengan kepandaian lawannya 
yang sangat tinggi, bukan tidak mungkin racun yang 
digunakannya dapat mematikan. 
“Keparat...!” geram Panji ketika tidak melihat sosok 
lawannya. 
Memang, pada saat Pendekar Naga Putih sibuk meng-
halau bubuk-bubuk beracun itu, Wintarsa telah lenyap. 
Bahkan, keempat sosok lelaki berpakaian hitam yang 
menjadi tukang pukul pemuda pesolek itu pun lenyap 
entah ke mana. 
“Ke mana perginya pemuda aneh itu, Kakang...?” tegur 
Kenanga yang melangkah menghampiri Panji ketika 
melihat pertempuran telah berakhir. Gadis itu heran 
ketika tidak menemukan sosok pemuda aneh yang menjadi 
lawan kekasihnya. 
“Hhh..., aku sendiri tidak tahu. Karena khawatir
dengan bubuk beracun yang berbahaya itu, maka aku 
melompat menjauhi racun yang menuju ke arahku. 
Apakah kau tidak sempat melihatnya tadi...?” Panji balik 
bertanya karena mungkin saja dara jelita itu melihatnya. 
“Arena pertarungan terlalu gelap dipehuni asap merah 
muda. Sehingga aku tidak bisa melihatnya...,” jawab 
Kenanga yang juga tidak sempat melihat sosok pemuda 
aneh itu. 
“Hm..., kalau begitu, tinggal satu-satunya orang yang 
tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Dan, kita harus 
menanyakan kepadanya...,” gumam Panji setelah berpikir 
beberapa saat lamanya. Kemudian, kakinya melangkah 
bersama Kenanga ke arah tempat di mana gadis itu 
meninggalkan Darmi. 
Namun, setibanya di tempat persembunyian Kenanga 
tadi, keduanya tidak menemukan sosok Darmi. Tentu saja 
kenyataan itu membuat Panji dan Kenanga menjadi 
kebingungan. Sebab mereka sama sekali tidak melihat 
ataupun mendengar langkah kaki orang yang melarikan 
diri. 
“Aneh..., ke mana perginya gadis desa yang malang 
itu...?” desis Panji yang menjadi tidak mengerti dengan 
apa yang telah dialaminya. Sebab, mana mungkin 
keduanya dikecoh oleh seorang gadis desa yang lemah itu. 
“Mayat pemuda kawannya itu pun sudah tidak ada di 
tempatnya semula, Kakang...,” ujar Kenanga setelah 
mengedarkan pandangannya, dan tidak menemukan mayat 
pemuda desa yang disiksa empat orang berpakaian hitam 
tadi. “Apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini...?” 
Panji termenung seolah hendak mencari jawaban dari

semua kejadian aneh yang dialaminya barusan. Namun, 
meskipun telah memeras otaknya, tetap saja apa yang baru 
saja dialaminya itu belum terpecahkan. Sehingga, pemuda 
tampan itu hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan 
kekasihnya. 
“Apakah semua ini hanya merupakan tipuan dari 
seorang ahli sihir, Kakang...?” tanya Kenanga lagi yang 
sepertinya belum bisa melenyapkan semua keanehan itu 
dari pikirannya. 
“Tidak mungkin, Kenanga. Kalau benar semua ini 
hanya permainan sihir, pasti sudah punah ketika aku 
berteriak dengan menggunakan tenaga dalam tadi. Tapi, 
nyatanya tidak. Bahkan pemuda aneh itu sanggup 
membalas pekikanku dengan tidak kalah hebatnya. Hanya 
yang menjadi pertanyaan bagiku sekarang, mengapa gadis 
desa dan mayat pemuda itu juga lenyap? Apakah mungkin 
kalau gadis desa yang kelihatan lemah dan hanya bisa 
menangis itu sanggup membawa mayat pemuda itu? 
Atau..., mungkin juga ada seorang tokoh sakti yang telah 
menyelamatkannya tanpa setahu kita...,” hanya itu yang 
terpikirkan oleh Panji. Sebab, memang tidak ada jalan lain 
yang bisa digunakan sebagai pemecahan masalah itu. 
“Yahhh..., mungkin dugaan itulah yang paling benar 
untuk saat ini, Kakang...,” desah Kenanga, menyetujui 
dugaan Panji. 
“Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini, Kenanga. 
Dan, kita harus dapat mencari jawaban dari semua 
kejadian aneh ini...,” ujar Panji, mengajak Kenanga 
meninggalkan tempat itu untuk mencari kunci jawaban 
dari semua keanehan yang baru saja dialami mereka.


EMPAT

Hari masih pagi. Matahari baru saja menampakkan 
cahayanya yang kuning keemasan. Kehangatan segera 
menyapu permukaan bumi. Namun, penduduk Desa 
Margaluyu tampak berduyun-duyun menuju balai desa. 
Wajah mereka tampak diliputi tanda tanya besar. 
Apa yang menimbulkan rasa penasaran di hati para 
penduduk desa barulah terjawab setelah mereka tiba di 
balai desa. Sebab, di depan pintu gerbang bangunan itu 
terdapat dua sosok mayat manusia yang digantung secara 
biadab, 
“Iblis...!” desis seorang lelaki setengah baya dengan 
wajah membayangkan kengerian yang amat sangat. “Hanya 
iblislah yang tega melakukannya....” 
“Hei...! Bukankah itu Suminta dan Darmi...?!” seru 
seorang laki-laki bertubuh gemuk, berusia sekitar empat 
puluh tahun. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah dua 
sosok mayat itu. Jelas, mayat-mayat yang digantung di 
depan gerbang balai desa itu dikenalinya. 
Beberapa orang lelaki yang tampaknya kawan dari 
lelaki gemuk itu tidak berani menyahut sama sekali. 
Wajah-wajah mereka tampak pucat karena merasa 
ketakutan ketika mendengar ucapan kawannya yang agak 
keras itu. 
“Jangan mencari perkara. Sebaiknya, kita berpura-pura 
tidak mengenali mayat-mayat itu. Apa kau ingin bernasib

seperti mereka...?” bisik salah seorang kawannya, yang 
rupanya mengkhawatirkan nasib lelaki gemuk itu. 
Sehingga, lelaki gemuk itu menjadi bungkam seperti baru 
menyadari kesalahannya. 
Saat itu matahari semakin naik tinggi. Penduduk Desa 
Margaluyu tampak semakin banyak yang berdatangan. 
Desa itu pun menjadi gempar menyaksikan kejadian yang 
benar-benar membuat hati mereka resah itu. 
Seorang lelaki kekar berusia sekitar empat puluh tahun 
tampak berusaha mendekat dengan jalan menyeruak 
kerumunan para penduduk desa. Melihat dari sikapnya 
yang tegas dan gagah, serta beberapa orang berseragam 
hitam yang menyertainya, jelas lelaki gagah itu merupakan 
seorang yang berpengaruh di Desa Margaluyu. 
“Hayo..., hayo menyingkir! Beri jalan untuk Ki 
Dungkala...!” terdengar salah seorang dari enam lelaki 
berseragam hitam itu berteriak-teriak sambil mengibaskan 
lengannya ke kiri dan kanan. Orang-orang desa yang 
berkerumun itu pun segera menyisih, memberi jalan 
kepada lelaki gagah yang bernama Ki Dungkala itu. 
“Hm..., benar-benar keji sekali... Entah siapa yang 
demikian tega melakukan hal ini...?” desis lelaki gagah itu 
seraya menatap mayat yang tergantung di atas pintu 
gerbang balai desa. 
Kepala Ki Dungkala menggeleng-geleng melihat 
keadaan mayat wanita muda yang pakaiannya tidak karuan 
itu. Sekali pandang saja, dapat diduga apa yang telah 
terjadi dengan gadis itu sebelum terbunuh. Sedangkan 
mayat lelaki muda di sebelahnya tampak seperti telah 
menerima siksaan sebelum kematiannya. Benar-benar

sebuah perbuatan yang sangat keji dan tidak ber-
perikemanusiaan. 
Setelah memperhatikan kedua sosok mayat itu, Ki 
Dungkala menatap kerumunan penduduk. Kemudian, 
pandangannya beredar ke sekeliling. 
“Saudara-saudara sekalian, siapa di antara kalian yang 
mengenali kedua mayat yang malang ini...?!” terdengar 
suara Ki Dungkala mengatasi suara bising yang bagaikan 
dengungan lebah itu. 
Sebentar saja suasana menjadi sunyi. Para penduduk 
desa itu saling berpandangan satu sama lain. Seolah 
hendak mencari siapa di antara mereka yang bisa 
mengenali mayat-mayat itu. 
Cukup lama Ki Dungkala menunggu jawaban dari para 
penduduk desa. Namun, tak seorang pun yang terlihat 
dapat mengenali kedua sosok mayat itu. Melihat hal itu, 
Ki Dungkala kembali mengulangi pertanyaannya dengan 
suara yang lebih keras. 
“Saudara-saudara sekalian! Kalau kejadian ini kita 
biarkan, bukan mustahil bisa terulang lagi. Dan, bukan 
tidak mungkin kalau yang menjadi korban selanjutnya 
adalah diri saudara ataupun putra dan putri kalian. 
Kuharap kalian jangan merasa takut untuk mengadu bagi 
siapa yang mengenali kedua mayat ini. Aku yang akan 
bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Sebagai kepala 
keamanan di Desa Margaluyu ini, aku mengharapkan 
bantuan dari kalian semua...!” ujar Ki Dungkala, yang 
rupanya dapat menduga mengapa tidak ada seorang 
penduduk pun yang berani menyahuti pertanyaannya. 
Ki Dungkala menunggu beberapa saat lamanya seraya

mengedarkan pandang matanya berkeliling. Sepertinya ia 
tidak perlu lagi menunggu lama, karena seorang lelaki 
berusia enam puluh lima tahun tampak menyeruak 
kerumunan penduduk. Lelaki itu kemudian mendekati 
tempat Ki Dungkala berada. 
“Tuan. Aku sudah tua, dan tinggal menunggu mati 
saja. Untuk itu aku tidak lagi merasa takut terhadap 
ancaman ataupun siksaan. Aku kenal kedua mayat itu. 
Mereka adalah Suminta dan Darmi. Keduanya semalam 
melarikan diri dari desa ini untuk menyelamatkan diri. 
Karena gadis yang bernama Darmi itu diincar oleh putra 
tunggal Ki Sama Tungga, orang paling kaya dan ber-
pengaruh di Desa Margaluyu ini. Sedangkan mengenai 
siapa yang melakukan hal ini, aku tidak tahu persis. Tapi, 
semalam kedua orangtua Suminta telah tewas ter-
bunuh...,” bisik lelaki tua itu perlahan. Rupanya ia tidak 
ingin ada orang lain yang mendengar keterangannya itu. 
“Maksudmu..., Tuan Muda Wintarsa...?!” tegas Ki 
Dungkala dengan kening berkerut. 
Lelaki gagah itu memang sering mendengar 
selentingan tentang perbuatan Wintarsa. Tapi, karena 
tidak pernah mendapatkan bukti yang kuat, Ki Dungkala 
tidak bisa bertindak untuk menangkap pemuda itu. 
Sedangkan seluruh anggota keluarga sampai para 
pembantu keluarga Ki Sama Tungga selalu bisa mem-
berikan kesaksian tentang keberadaan pemuda itu di 
rumah, saat peristiwa terjadi. Sehingga Ki Dungkala tidak 
bisa berbuat apa-apa. Apalagi kepala desanya selalu 
memperingatkan agar ia tidak mengganggu keluarga Ki 
Sama Tungga
“Hm....” 
Ki Dungkala terdengar menggumam perlahan ketika 
melihat anggukan kepala kakek itu. Wajahnya tampak 
memerah. Jelas lelaki gagah itu tengah dilanda kemarahan 
hebat. 
“Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Aku akan 
berusaha untuk menangani kejadian ini sebaik-baiknya...,” 
ujar Ki Dungkala seraya menepuk-nepuk bahu lelaki tua 
itu perlahan. Kemudian, kepala keamanan desa itu 
memerintah para pembantunya untuk menurunkan dan 
menguburkan kedua mayat Suminta dan Darmi. 
Para penduduk desa mulai meninggalkan tempat itu 
satu persatu. Mereka saling berbicara satu sama lain. 
Seolah masih mempertanyakan tentang siapa mayat yang 
malang itu. Namun, suasana menjadi semakin gaduh 
ketika terdengar jerit kematian yang melengking tinggi 
bagaikan merobek angkasa. Teriakan kematian itu 
membuat sebagian penduduk melarikan diri berserabutan 
tanpa arah. Sedangkan sebagian yang lain menoleh ke arah 
asal jeritan melengking tinggi itu. 
Ki Dungkala yang mendengar teriakan itu segera 
berkelebat cepat ke arah asal suara. Hati lelaki gagah itu 
terkejut bukan main ketika melihat lelaki tua yang barusan 
berbicara kepadanya, telah tergeletak tewas. Tubuh lelaki 
tua itu tampak menghitam seperti keracunan. Di perutnya 
tampak tertancap sebilah belati. Jelas senjata itulah yang 
telah merenggut nyawanya. 
“Biadab...!” desis Ki Dungkala seraya mengedarkan 
pandangannya ke sekeliling, seolah hendak mencari orang 
yang dicurigainya.

Sepasang mata Kepala Keamanan Desa Margaluyu ini 
kemudian kembali tertuju kepada mayat lelaki tua yang 
malang itu. Perlahan tangannya terulur, mencabut belati 
yang tertancap di perut mayat itu. Digunakannya sehelai 
kain agar telapak tangannya tidak terkena racun, yang 
mungkin terdapat pada gagang belati itu. 
“Urus mayat ini...,” perintah Ki Dungkala kepada dua 
orang lelaki berpakaian serba hitam yang menjadi 
bawahannya. 
Kemudian, kepala keamanan desa itu melangkah 
sambil mengamati balati di tangannya. Keningnya tampak 
berkerut dalam. Sepertinya ia ingin mengenali belati itu. 
Namun, meskipun Ki Dungkala memeras otaknya, tetap 
saja ia tidak bisa mengenali belati yang tidak mempunyai 
tanda-tanda khusus itu. Kemudian, Ki Dungkala mem-
bungkus belati itu dengan kain hitam, dan menyimpannya. 
Sepertinya ia merasa belati itu mungkin ada gunanya 
kelak. 
*** 
Seorang pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita 
berpakaian serba hijau, melangkah lebar memasuki mulut 
Desa Margaluyu. Keduanya sama sekali tidak mem-
pedulikan pandangan orang-orang desa yang berpapasan 
dengan mereka. Keduanya tetap melangkah tenang, meski 
pun orang-orang desa itu menatap mereka dengan rasa 
curiga. 
“Hm..., mereka tampaknya seperti tidak menyukai 
kehadiran kita, Kakang...,” bisik dara jelita berpakaian

hijau, tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan matanya 
tertuju lurus ke depan. Sehingga tidak seorang pun yang 
menyangka ia berbicara. Apalagi bibirnya tidak kelihatan 
bergerak. 
“Sepertinya begitu,” sahut pemuda tampan berjubah 
putih, juga tanpa menoleh. Langkahnya tenang dan tetap 
terayun perlahan. “Tapi, kita tidak perlu mempeduli-
kannya. Itu hak mereka....” 
Setelah agak jauh berjalan, keduanya membelok 
memasuki sebuah kedai makan yang menyediakan tempat 
untuk menginap. Saat itu senja telah datang. Perlahan 
keremangan mulai menyelimuti Desa Margaluyu. 
Kedua orang muda itu sama sekali tidak mem-
pedulikan tatapan curiga dari beberapa orang pengunjung 
kedai, yang menoleh serentak saat keduanya masuk. 
Delapan pasang mata itu baru beralih ketika pemuda 
tampan dan dara jelita itu mengedarkan pandangan 
mereka ke sekeliling ruangan. Keduanya duduk dengan 
tenang, lalu memesan makanan dan minuman kepada 
seorang pelayan yang datang menghampiri. 
“Penduduk desa ini benar-benar aneh. Lama-lama aku 
bisa jengkel dengan sikap mereka yang tidak menyenang-
kan itu...,” gerutu dara jelita berpakaian hijau itu. 
Rupanya, ia mulai merasa terganggu dengan pandangan 
penduduk desa yang jelas-jelas menaruh rasa curiga dan 
tidak senang terhadap kehadiran mereka. 
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya tersenyum 
mendengar gerutuan kawannya, yang meskipun pelan 
namun terdengar cukup jelas. Pemuda itu tampak 
menghela napas panjang.

“Kenanga..., kita tidak tahu apa yang menyebabkan 
sikap mereka demikian aneh dan menjengkelkan. Menurut 
firasatku, sepertinya di desa ini telah terjadi sesuatu yang 
membuat mereka resah. Sehingga, setiap orang asing yang 
datang ke sini selalu dicurigai. Jadi, kuharap kau bisa 
menahan kemarahanmu dan memaklumi sikap mereka. 
Biarlah nanti kutanyakan kepada pelayan kedai ini, agar 
kau tidak penasaran...,” janji pemuda tampan berjubah 
putih yang tak lain dari Panji itu. Suaranya agak berbisik, 
agar tidak sampai terdengar orang lain. 
“Hhh..., terserah Kakang sajalah...,” sahut Kenanga 
seraya melemparkan senyum untuk menyenangkan hati 
kekasihnya. 
Tidak berapa lama kemudian, pelayan pun datang 
membawakan pesanan mereka. Kemudian, menatanya di 
atas meja dengan rapi. Namun, ketika hendak 
meninggalkan meja, Panji menahannya dengan halus. 
“Maaf, Paman. Kami ada perlu sebentar...,” ujar Panji 
seraya menatap wajah pelayan yang sepertinya agak 
kurang senang. Namun, Panji tidak mempedulikannya dan 
melanjutkan ucapannya. “Kami memerlukan dua buah 
kamar untuk menginap. Dapatkah Paman menyediakan-
nya?” 
“Bisa. Kisanak lihat sendiri tulisan di depan kedai ini, 
bukan?” sahut pelayan bertubuh kurus itu, tanpa 
menampakkan kesan yang ramah, sebagaimana seorang 
pelayan. Setelah berkata demikian, pelayan itu kembali 
hendak meninggalkan Panji. Namun, pemuda itu 
menahannya. 
“Mmm..., ada satu hal lagi yang hendak kami

tanyakan, Paman. Nampaknya ada sesuatu yang 
meresahkan penduduk desa ini, dapatkah Paman 
menjelaskannya...?” tanya Panji lagi. 
Pertanyaan pemuda tampan berjubah putih itu ternyata 
membuat sikap pelayan itu berubah. Wajahnya yang kurus 
tampak pucat. Sepasang matanya bergerak liar, seolah ada 
sesuatu yang sangat ditakutinya. Bahkan, pada keningnya 
mulai menitik butir-butir keringat. Jelas, pelayan itu 
sangat ketakutan. 
“Maaf, aku masih banyak pekerjaan...,” ujarnya dengan 
suara gemetar. Kemudian, pelayan itu langsung beranjak 
meninggalkan Panji dan Kenanga yang menjadi keheranan. 
Pemuda itu tidak berusaha mencegah. Karena ia bisa 
memaklumi rasa takut yang menyelimuti diri pelayan itu. 
“Hm..., jelas ada sesuatu yang aneh di desa ini. Kita 
harus menyelidikinya, Kakang...,” bisik Kenanga 
sepeninggal pelayan kedai itu. Sepertinya dara jelita ini 
penasaran ketika melihat sikap pelayan itu benar-benar 
mencurigakan. 
“Yah..., sepertinya memang begitu. Tapi, entah apa 
yang telah membuat pelayan itu demikian ketakutan...?” 
sahut Panji dengan nada rendah. 
Sesaat kemudian, mereka segera menikmati makanan 
yang telah terhidang di atas meja. Sesekali, Kenanga 
mencuri pandang ke sekelilingnya, seolah hendak 
menangkap basah bilamana ada orang yang memperhati-
kannya. Namun, ternyata tak seorang pun yang mem-
perhatikan mereka lagi. 
Baru saja Panji dan Kenanga menyelesaikan makannya, 
masuk seorang lelaki gagah yang ditemani empat orang

lelaki berseragam hitam. Sikap lelaki gagah itu tampak 
angker dan berwibawa. Ditambah lagi wajahnya terhias 
kumis lebat, yang membuat wajahnya semakin berwibawa 
bagi orang-orang yang memandangnya. 
Baik Panji maupun Kenanga hanya menoleh sekilas ke 
arah rombongan kecil itu. Mereka tidak menaruh curiga 
sama sekali terhadap kelima orang lelaki yang tampaknya 
sangat dihormati oleh penduduk setempat. Terbukti 
pelayan kedai yang ketakutan tadi, terlihat membungkuk 
hormat kepada lelaki itu. Demikian pula dengan beberapa 
orang pengunjung kedai yang lain. Rata-rata mereka 
menyapa dengan nada hormat. Tentu saja hal itu membuat 
Panji dan Kenanga menjadi tertarik. 
Tapi, rupanya Kenanga dan Panji tidak perlu mencari 
tahu tentang jati diri lelaki gagah itu. Sebab, mereka 
langsung melangkah ke meja pasangan pendekar muda itu. 
“Maaf, kalau kedatanganku mengganggu Kisanak 
berdua,” ujar lelaki gagah yang tak lain dari Ki Dungkala. 
“Boleh aku duduk bersama kalian...?” 
“Tidak mengapa, Paman. Silakan...,” sambut Panji 
yang sedikit heran, dan mulai menduga-duga apa kira-kira 
maksud kedatangan lelaki gagah yang langsung 
menemuinya itu. 
“Aku adalah Ki Dungkala, kepala keamanan desa ini. 
Kalau boleh kutahu, siapakah Kisanak berdua ini?” tanya 
Ki Dungkala seraya memperkenalkan dirinya kepada Panji 
dan Kenanga. 
“Namaku Panji. Sedang kawanku ini bernama 
Kenanga. Kami berdua adalah orang-orang yang biasa 
melakukan perjalanan jauh, sekadar untuk meluaskan

pengalaman. Harap maafkan kalau kehadiran kami telah 
merepotkan Paman...,” jawab Panji memperkenalkan diri 
kepada lelaki gagah itu. 
“Hm..., apakah kalian berdua tidak mempunyai 
keluarga di desa ini...?” tanya Ki Dungkala lagi sambil 
menatap wajah Panji, seolah hendak menilai pemuda 
tampan berjubah putih itu. 
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum ditatap seperti 
itu. Pemuda berjubah putih ini tidak merasa tersinggung 
atas pertanyaan Ki Dungkala yang jelas-jelas bersifat 
menyelidik. 
“Sama sekali tidak, Paman. Kami kebetulan singgah 
dan akan menginap di desa ini karena tidak ingin 
kemalaman di jalan. Apakah Paman merasa keberatan 
dengan keberadaan kami di desa ini...?” tanya Panji 
langsung membuka diri, membuat Ki Dungkala terpaksa 
memperlihatkan senyumnya sambil menggelengkan kepala 
perlahan. 
“Sama sekali tidak, Panji. Tapi..., maaf kalau 
kemungkinan ada sesuatu yang tidak enak di desa ini. 
Karena desa kami tengah menghadapi masalah misterius. 
Harap kalian bisa memaklumi sikapku maupun sikap 
penduduk desa yang mungkin kurang berkenan di hati 
kalian. Pagi tadi, baru saja ada peristiwa yang meng-
gemparkan desa ini. Dua orang penduduk desa kami 
kedapatan tewas tergantung di atas pintu gerbang balai 
desa. Meskipun kejadian-kejadian aneh telah banyak yang 
kudengar, tapi baru kali ini ada kejadian yang demikian 
jelas. Sepertinya orang-orang jahat itu mulai bertambah 
berani dalam menteror penduduk desa ini. Entah apa

maksud dari semua ini...?” ujar Ki Dungkala yang 
sepertinya sudah mempercayai Panji dan Kenanga. 
“Hm..., jadi benar dugaan kami kalau penduduk desa 
ini tengah dilanda kegelisahan. Siapa kira-kira orang jahat 
itu, Paman? Apakah tidak pernah ada yang me-
mergokinya...?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih 
langsung saja memanfaatkan kesempatan itu untuk 
mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi di Desa 
Margaluyu. 
“Hhh..., itulah yang sampai saat ini membuat hatiku 
penasaran, Panji. Selama ini, tak ada seorang pun yang 
berani melaporkan apa yang mereka alami. Sebab, 
penjahat itu sepertinya berada di sekitar desa ini, atau 
paling tidak banyak menyusupkan anggotanya ke dalam 
desa. Pagi tadi, di depan mataku ada seorang warga desa 
yang mati terbunuh. Orang itu baru saja memberi 
keterangan padaku mengenai keberadaan mayat laki-laki 
dan perempuan yang digantung di gerbang balai desa. 
Hm..., benar-benar membuat hatiku penasaran...!” geram 
Ki Dungkala mengakhiri ceritanya. 
“Ah..., sayang kami tiba agak terlambat. Kalau boleh 
kami tahu, berapakah kira-kira usia kedua mayat yang 
digantung itu?” tanya Panji hati-hati. Kemudian, Pendekar 
Naga Putih menceritakan kejadian yang pernah dialaminya 
di luar desa itu. Sehingga, Ki Dungkala menjadi terkejut 
setengah mati. 
“Hm..., tidak salah lagi. Pastilah pemuda dan gadis itu 
yang kalian lihat. Sedangkan pemuda pesolek yang 
ditemani empat orang laki-laki berseragam hitam, jelas 
Wintarsa. Ia adalah putra tunggal juragan kaya itu. Kali ini

mereka tidak bisa mungkir lagi. Hm..., bersediakah kalian 
berdua memberikan kesaksian, dan menunjukkan pemuda 
pesolek yang kalian maksud itu...?” tanya Ki Dungkala 
penuh harap. 
“Kalau memang diperlukan, kami siap membantu...,” 
Kenanga langsung saja menyanggupi, sebelum Panji 
menjawabnya. Sepertinya dara jelita itu memang sudah 
tidak bisa menahan rasa penasaran di hatinya. 
“Kalau begitu, marilah ikut aku...,” sambut Ki 
Dungkala dengan wajah cerah. 
Hati Ki Dungkala menjadi gembira bukan main. 
Selama ini tidak pernah ada orang yang berani 
membantunya untuk mengungkap keanehan-keanehan 
yang terjadi di desa itu. Maka, tanpa banyak cakap lagi, ia 
pun segera mengajak Panji dan Kenanga meninggalkan 
kedai. 
***

LIMA

“Paman, apakah tidak sebaiknya kita tunda dulu rencana 
ini...?” ujar Panji tiba-tiba, saat mereka tengah melangkah 
menuju tempat kediaman Ki Sama Tungga. 
Ki Dungkala menahan langkahnya ketika mendengar 
ucapan Panji. Kenanga serta empat orang berseragam 
hitam yang menjadi pengikut Ki Dungkala menghentikan 
pula langkahnya. Mereka menatap ke arah pemuda 
tampan berjubah putih itu dengan kening berkerut. 
“Mengapa, Panji...? Apa yang membuatmu tiba-tiba 
berubah pikiran?” tanya Ki Dungkala seraya menatap 
wajah pemuda itu lekat-lekat. Seolah lelaki gagah itu 
hendak membaca apa yang ada dalam pikiran pemuda 
tampan yang baru saja dikenalnya itu. Sedangkan Panji 
sendiri hanya tersenyum, tanpa mengalihkan tatapan 
matanya dari wajah Ki Dungkala. 
“Apakah perbuatan kita ini tidak terlalu terburu-buru, 
Paman? Tidakkah sebaiknya kita pergoki saja pembunuh 
itu di saat tengah melakukan aksinya? Dengan begitu, kita 
bisa menangkapnya langsung, dan sekaligus menghukum-
nya...,” jelas Panji, mengajukan alasan. 
“Tidak bisa, Panji. Dengan adanya kau dan Kenanga, 
sudah cukup sebagai saksi hidup atas kejahatan pemuda 
sombong itu. Kalau mereka melawan, aku akan 
mengerahkan seluruh anak buahku untuk membekuknya, 
dan sekaligus menghancurkan tempat tinggal mereka...!


Perbuatan mereka sudah keterlaluan, dan kita tidak bisa 
mengulur waktu lagi...!” ujar Ki Dungkala yang 
sepertinya telah bulat mengambil keputusan untuk 
membekuk penjahat yang selama ini menteror desanya. 
“Hm... Begini, Paman. Kalau benar dugaan Paman 
bahwa mereka banyak memiliki anak buah yang menjadi 
mata-mata, bukan tidak mungkin rencana kita diketahui 
oleh mereka. Dan, kemungkinan kita tidak akan berjumpa 
dengan pemuda yang bernama Wintarsa itu. Bisa saja 
mereka mengatakan pemuda itu tengah pergi 
mengunjungi sanak keluarganya di desa lain. Kalau sudah 
begitu, apa yang bisa kita lakukan? Apalagi kepandaian 
pemuda itu sangat tinggi, dan pandai dalam menggunakan 
racun. Siapa tahu mereka telah bersiap menyambut 
kedatangan kita. Menghadapi pemuda itu saja sudah sangat 
sulit, apalagi kalau di tempat itu masih ada ayahnya, yang 
bukan tidak mungkin memiliki kesaktian lebih tinggi dari 
Wintarsa. Nah, bukankah hal itu akan berbahaya...?” 
bantah Panji yang rupanya tengah menimbang-nimbang 
langkah mereka sepanjang perjalanan. Dan, baru 
menyampaikannya setelah diperhitungkan masak-masak. 
“Wintarsa memiliki kepandaian yang sangat tinggi...? 
Aneh? Mungkin kau salah melihat orang, Panji. Setahuku, 
meskipun Wintarsa memiliki kepandaian, tapi rasanya 
tidak mungkin lebih tinggi dari kepandaianku. Sedangkan 
Ki Sama Tungga masih lebih tinggi sedikit dari kepandaian 
putranya. Itu pun mungkin hanya setingkat di atasku. 
Dan, kalau selama ini Wintarsa berbuat sesuka hatinya, itu 
karena kepala desa merasa segan terhadap keluarga kaya 
yang selalu memberikan bantuan, baik berupa uang atau

hal-hal lainnya. Itulah yang membuat aku selama ini belum 
bisa mengambil tindakan. Karena kepala desa selalu 
menyarankan agar aku tidak mengganggu keluarga itu. 
Jadi, jelas kau mungkin salah mengenali orang, Panji...,” 
jelas Ki Dungkala. Laki-laki gagah ini menjadi ragu ketika 
mendengar keterangan Panji tentang kesaktian Wintarsa. 
Diketahuinya betul sampai di mana kepandaian yang 
dimiliki pemuda pesolek itu. 
Panji tampak mengerutkan keningnya. Mungkin saja ia 
memang telah salah melihat orang, karena belum pernah 
melihat Wintarsa. Kalaupun ciri-ciri yang ditunjukkannya 
mungkin ada persamaan dengan pemuda kaya itu, bisa saja 
ada orang lain lagi yang memiliki beberapa persamaan. 
Tak aneh kalau Panji dan Kenanga pun menjadi ragu. 
“Hm..., mungkinkah ada orang lain yang melakukan 
semua kejahatan di desa ini...? Pemuda yang kutemui di 
luar desa ini jelas sangat sakti, Paman. Jadi, bagaimana 
langkah kita selanjutnya...?” ujar Panji yang akhirnya 
menyerahkan keputusan di tangan Ki Dungkala. Karena 
biar bagaimanapun juga, lelaki gagah itulah yang berkuasa 
di desa ini. 
“Kalau kita harus menunggu penjahat itu kembali 
beraksi, jelas sangat berbahaya, Panji. Kau sudah dengar 
sendiri ceritaku, bukan? Di depan mataku sendiri ia dapat 
membunuh, tanpa dapat kuketahui kapan dan siapa yang 
melakukannya. Selain itu, ia tidak setiap hari melakukan 
aksinya. Kalau melihat dari korban-korban terdahulu, jelas 
Wintarsalah yang patut dicurigai. Sebab, orang-orang 
yang menjadi korban pembunuhan itu adalah mereka yang 
berani menentang keinginan pemuda kaya itu. Tidak

jarang mereka disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh. 
Aku jadi belum bisa memutuskan, langkah apa yang 
seharusnya kita ambil sekarang...,” desah lelaki gagah itu. 
Raut wajahnya kelihatan kecewa sekali. 
“Hm..., rasanya tidak terlalu sulit, Paman. Kita tinggal 
mencari saja, siapa yang saat ini berani menentang 
pemuda kaya itu. Dengan demikian, kita bisa melakukan 
pengintaian kalau-kalau penjahat itu akan datang 
melakukan aksinya. Setelah itu, kita bisa menyergapnya 
bersama-sama...,” usul Panji setelah berpikir beberapa 
saat lamanya. 
Wajah Ki Dungkala yang semula kelam, kini berubah 
cerah. Lelaki gagah itu tampaknya menyambut baik usul 
Pendekar Naga Putih. 
“Benar, Paman. Menurutku, hanya itulah satu-satunya 
jalan agar kita dapat menangkap basah pembunuh keji 
itu...,” timpal Kenanga, mendukung usul kekasihnya. 
“Yah..., rasanya usul itu cukup baik. Malam ini 
sebaiknya kalian berdua menginap di rumahku. Besok 
baru kita mencari tahu, siapa penduduk yang saat ini 
diincar Wintarsa...,” ujar Ki Dungkala mengajak Panji dan 
Kenanga untuk bermalam di rumahnya. 
Panji yang mendengar tawaran Ki Dungkala tersenyum 
lebar. Pemuda tampan itu menatap wajah kekasihnya 
sekilas, seolah hendak meminta persetujuan. Meskipun Ki 
Dungkala menawarkan kebaikan terhadap mereka berdua, 
tapi Panji tahu kalau lelaki gagah itu masih menaruh 
kecurigaan terhadap mereka berdua. Maka, ketika melihat 
Kenanga menyerahkan keputusan kepadanya, Panji segera 
menerima tawaran Ki Dungkala.

“Baiklah, Paman. Maaf kalau kami telah mere-
potkanmu...,” ujar Panji yang segera mengikuti langkah 
lelaki gagah itu menuju tempat tinggalnya. 
“Kalian kembalilah ke pos mulut desa. Bergabunglah 
dengan penjaga-penjaga di sana...,” perintah Ki Dungkala 
kepada empat orang anak buahnya. Setelah itu, barulah 
lelaki itu mengajak Panji dan Kenanga ke rumahnya. 
*** 
Malam semakin larut. Bulan sepotong tampak 
tersembul memancarkan sinarnya yang temaram. 
Hembusan angin bersilir lembut, membuat dedaunan 
bergemerisik perlahan. Suara burung malam terdengar 
saling bersahutan mendirikan bulu roma. 
Saat itu, di tengah kepekatan malam, tampak sesosok 
bayangan putih bergerak dengan kecepatan yang 
mengagumkan. Tubuhnya berloncatan dari atap rumah 
yang satu ke atap lainnya. Terkadang sosok bayangan putih 
itu bergerak dari pohon ke pohon, ketika tidak melintasi 
sebuah rumah pun. Melihat dari gerakannya yang 
demikian gesit dan ringan, jelas sosok bayangan putih itu 
seorang tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi. 
Tok, tok, tok...! 
Terdengar suara kentongan peronda desa yang dipukul 
berkali-kali. Sosok bayangan putih itu tampaknya tidak 
ingin berpapasan dengan para peronda. Buktinya ia 
langsung melesat mengambil jalan lain, agar tidak terlihat 
para peronda yang tengah mengitari desa ini. 
Sosok bayangan putih itu bergerak ke arah selatan 
desa, berlawanan arah dengan jalan yang dilalui para

peronda. Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan tanpa 
menimbulkan suara sedikit pun. Sehingga, tidak membuat 
ketenangan penduduk terganggu oleh suara langkahnya. 
“Hm...,” tiba-tiba sosok bayangan putih itu merandek 
ketika melihat tiga sosok tubuh yang bergerak beberapa 
tombak di bawahnya. Saat itu, ia sendiri tengah ber-
tengger di atas sebatang pohon besar. Sehingga, ketiga 
sosok bayangan itu sama sekali tidak mengetahui 
kehadirannya. 
Pada saat ketiga sosok tubuh itu bergerak semakin 
jauh, bayangan putih itu langsung meluncur turun dan 
membayangi ketiga sosok tubuh itu dari kejauhan. 
Tampak sosok bayangan putih itu menghentikan 
langkahnya, dan bersembunyi di balik sebatang pohon. 
Dilihatnya dua di antara ketiga orang itu tampak bergerak 
ke depan, setelah mengenakan topeng dari kain hitam 
untuk menutupi wajahnya. Sedangkan sosok bayangan 
yang satunya lagi berdiri seperti menanti hasil pekerjaan 
temannya. 
“Hm....” 
Sosok bayangan putih itu bergumam perlahan. Tubuh-
nya disembunyikan, menanti kedatangan kedua sosok 
bayangan hitam yang sepertinya hendak melakukan 
kejahatan itu. 
“Mana mungkin ada orang baik datang malam-malam 
dengan mengenakan topeng pada wajahnya,” pikir sosok 
bayangan putih yang terus mengintai itu. 
Rupanya si pengintai itu tidak menunggu lama. 
Beberapa saat kemudian, sosok bayangan hitam itu pun 
sudah kembali. Salah seorang di antaranya tampak

memondong sosok tubuh ramping yang telah tidak 
sadarkan diri. Meskipun demikian, sosok bayangan putih 
itu belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk 
menghadang. Bahkan, tubuhnya disembunyikan saat 
ketika sosok tubuh itu melintas beberapa langkah di 
depannya. Kemudian, melesat pergi setelah ketiga sosok 
tubuh penculik itu berada cukup jauh dari tempatnya 
sembunyi. Kemudian, ia melesat dan lenyap dari tempat 
itu. 
Sedangkan ketiga sosok tubuh itu terus bergerak 
menerobos kegelapan malam. Tidak lama kemudian, 
mereka mengambil sebatang obor, yang mereka 
tinggalkan di satu tempat. Namun, sebelum mereka 
kembali bergerak, tiba-tiba terdengar teguran bernada 
halus, tapi membuat ketiga sosok tubuh itu berjingkat 
kaget. 
“Hm..., ternyata kalian masih juga berani melakukan 
kejahatan seperti ini...!” ujar sosok tubuh yang 
mengenakan jubah panjang berwarna putih. Wajahnya 
yang tampan menyiratkan perbawa yang menggetarkan 
jantung. Terutama sekali tatapan matanya yang 
mencorong tajam, laksana mata naga yang sedang marah! 
“Kau...?!” desis lelaki brewok berpakaian serba hitam 
yang menatap pemuda tampan di depannya dengan mata 
terbelalak lebar. Ia kaget bagaikan melihat hantu di siang 
hari bolong. Suaranya terdengar bergetar menyiratkan 
kegentaran. Jelas, sosok pemuda tampan berjubah putih 
yang menghadangnya itu telah dikenalnya. 
Bukan hanya lelaki brewok bertubuh kekar itu saja 
yang menjadi terkejut. Dua orang lainnya pun tidak kalah

kaget ketika melihat dan mengenali si penghadang 
berjubah putih itu. Jelas, mereka bertiga telah mengenali 
penghadang itu. 
“Ya, aku...,” ucap pemuda tampan berjubah putih itu. 
Ia kemudian melangkah maju menghampiri salah satu dari 
mereka. Seorang pemuda tampan pesolek. “Kau pastilah 
yang bernama Wintarsa, bukan...?” 
“Bangsat! Dari mana kau tahu namaku...?! Dan, 
mengapa kau masih juga mencampuri urusanku...?!” 
bentak pemuda yang ternyata Wintarsa itu dengan wajah 
berang. Meskipun begitu, ia tidak bisa menyembunyikan 
kegentaran yang terpancar di wajahnya. Kelihatan sekali 
kalau ia merasa cemas dan hendak mencari jalan untuk 
lolos. 
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain 
dari Panji itu, kelihatan agak heran melihat tingkah 
Wintarsa yang tampak cemas dan gentar. 
“Hm..., pemuda itu benar-benar aneh? Dengan 
kesaktiannya yang sangat tinggi, mengapa ia harus merasa 
gentar?” gumam Panji dalam hati. Kali ini Pendekar Naga 
Putih berjanji untuk dapat menangkap pemuda tampan 
pesolek itu hidup-hidup dan menyerahkannya kepada Ki 
Dungkala. 
Wintarsa pun rupanya tidak ingin menunggu lama. 
Cepat ia memerintahkan lelaki brewok yang bernama 
Surgala, dan temannya untuk segera mengeroyok pemuda 
tampan berjubah putih itu. 
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki 
berseragam hitam itu langsung menghunus senjata dan 
mengepung Panji. Sedangkan pemuda tampan berjubah

putih itu melangkah terus tanpa mempe-dulikan kedua 
tukang pukul Wintarsa yang siap menerjangnya. Pendekar 
Naga Putih rupanya lebih tertarik kepada Wintarsa, 
ketimbang kedua orang tukang pukul itu. 
“Haaat...!” 
Lelaki brewok bertubuh kekar itu berseru keras 
memulai serangannya. Pedang di tangan kanannya 
berputaran menimbulkan suara berdesing tajam. 
Demikian pula tukang pukul yang satunya lagi, mereka 
langsung saja mengeroyok Panji dengan serangan-serangan 
yang ganas dan kuat. 
Namun kali ini Panji tidak ingin berlama-lama. Ketika 
serangan kedua batang pedang itu tiba, pemuda itu 
langsung menggeser tubuhnya dan mengirimkan serangan 
balasan yang cepat dan kuat. Sehingga, kedua pengeroyok-
nya itu terpaksa melompat mundur karena tidak ingin 
celaka. 
Tapi, gerakan kedua orang tukang pukul Win-tarsa itu 
jelas kalah jauh dalam hal kecepatan dan kekuatan. 
Sehingga, Panji tidak memerlukan waktu yang lama untuk 
merobohkan lawan-lawannya. Dalam lima jurus saja 
pukulan dan tendangan Pendekar Naga Putih telah 
membuat kedua orang pengeroyoknya terjungkal tewas. 
Rupanya Panji kali ini tidak ingin memberi hati kepada 
orang-orang jahat itu. Maka, ia langsung saja menurunkan 
tangan kejam kepada tukang-tukang pukul Wintarsa yang 
ternyata masih belum jera untuk berbuat jahat 
“Keparat...!” Wintarsa membentak marah ketika 
melihat dua orang tukang pukulnya menggeletak tanpa 
nyawa. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda pesolek itu


langsung melepaskan tubuh ramping yang ada dalam 
pondongannya. Kemudian senjatanya dihunus, siap untuk 
bertempur! 
Panji sudah menggeser langkahnya dengan sepasang 
mata tak lepas dari wajah Wintarsa. Sadar kalau lawannya 
tidak bisa dipandang ringan, Panji langsung mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sebentar saja, tubuh 
Pendekar Naga Putih telah terselimut lapisan kabut 
bersinar putih keperakan. 
Wintarsa yang melihat tubuh lawannya tampak 
terselimut sinar putih keperakan, menjadi terkejut bukan 
main. Namun, karena merasa tidak ada jalan untuk lolos, 
maka pemuda itu segera memutar pedangnya dengan 
sepenuh tenaga. Terbentuklah lingkaran putih yang 
bergulung-gulung menimbulkan suara menderu-deru. 
“Haaat..!” 
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh Wintarsa 
melayang ke arah Panji. Pedang di tangannya bergerak-
gerak dan meliuk mengancam tubuh Pendekar Naga 
Putih. 
Bettt! Bettt! 
Berkali-kali pedang di tangan Wintarsa bergerak kian 
kemari mengancam tubuh Panji. Namun, semua itu 
dengan mudah dapat dielakkan pemuda berjubah putih 
itu. Serangan Wintarsa sama sakali tidak membayangkan 
kekuatan maupun kecepatan yang hebat, bahkan terlihat 
sangat lambat bagi Panji. Tentu saja kenyataan itu 
membuat Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya. 
“Hm..., mengapa gerakannya terkesan biasa dan tidak 
berbahaya? Mungkinkah ia sengaja menyembunyikan

kepandaiannya dan berpura-pura bodoh? Tapi..., rasanya 
tidak mungkin. Melihat dari wajah dan gerakannya, ia 
tampak sungguh-sungguh? Lalu, mengapa ia tidak 
langsung mengeluarkan kesaktiannya yang hebat itu...?” 
gumam Panji yang benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan 
ketika melihat gerakan Wintarsa yang jauh dari apa yang 
dibayangkannya. 
Merasa penasaran, Panji tidak berusaha menghindari 
sebuah tebasan pedang yang dilakukan Wintarsa dengan 
gerakan mendatar, mengancam perutnya. Hanya dengan 
sedikit egosan, Pendekar Naga Putih langsung meng-
gerakkan tangan kanannya, menangkis pedang yang 
mengancam tubuhnya. 
Plakkk! 
Sengaja Panji memperlambat gerakannya ketika 
menangkis bacokan pedang lawan. Bahkan tenaganya tidak 
dikerahkan terlalu banyak. Karena melihat serangan 
Wintarsa tampaknya tidak terlalu berbahaya. 
Dan, apa yang dilihatnya benar-benar membuat hati 
Panji menjadi penasaran bukan main! Tangkisannya 
membuat tubuh Wintarsa terpelanting ke belakang. 
Seolah-olah pemuda itu memang tak sanggup 
mengimbangi kekuatan tangkisan Panji. 
“Kurang ajar...! Mengapa kekuatannya tidak sehebat 
beberapa hari yang lalu...? Apakah ia sengaja hendak 
mempermainkan aku...?” desis Panji, geram. Maka, tanpa 
menunggu lawannya bangkit, Pendekar Naga Putih 
langsung melesat dan mengirimkan totokan guna 
melumpuhkan Wintarsa. 
“Heh...?!”

Plak, plak... Desss...! 
“Akh...!” 
Panji terkejut bukan kepalang ketika serangannya 
hampir tiba, tahu-tahu muncul sesosok bayangan putih 
yang langsung memapaki serangannya. Bahkan, sebuah 
pukulannya sempat menghantam dada Pendekar Naga 
Putih. Sehingga, membuat tubuh Panji terpental balik. 
Untunglah pemuda tampan itu sempat mengatur 
keseimbangan tubuhnya. Dengan berputaran di udara, 
Panji dapat mendarat ringan di atas tanah dengan kedua 
kakinya. 
Panji menatap tajam sosok tinggi kurus di depannya. 
Keadaan malam yang gelap dan rambut yang 
menyembunyikan wajahnya, membuat Panji tidak bisa 
mengenali orang yang telah menyelamatkan Wintarsa. 
Sedangkan sosok tinggi kurus yang tampak gesit dan 
lincah itu bergerak ke kanan, tanpa berusaha untuk 
membantu Wintarsa bangkit. Cepat Panji menggeser 
langkahnya ketika melihat sosok tinggi kurus itu mulai 
membuka jurus serangannya. 
***

ENAM

Tanpa memberikan peringatan sedikit pun, sosok tinggi 
kurus berjubah putih itu langsung menerjang Panji. 
Gerakannya nampak demikian cepat laksana kilat Bahkan 
decitan angin yang ditimbulkan lontaran pukulannya 
terdengar sangat tajam dan menyakitkan telinga. Jelas, 
sosok tinggi kurus berjubah putih itu memang merupakan 
lawan yang sangat tangguh bagi Pendekar Naga Putih. 
Melihat lawannya sudah mulai menyerang, Panji 
langsung mempersiapkan jurus andalannya. Sekali 
pandang saja, Pendekar Naga Putih langsung tahu kalau 
lawannya ini tidak bisa dipandang enteng. Itu sebabnya 
Panji tidak mau mengambil resiko, dan langsung 
menggunakan jurus 'Naga Sakti'nya untuk menghadapi 
serangan lawan. Sebentar saja, keduanya telah terlibat 
dalam sebuah pertarungan yang sengit dan mendebarkan. 
Panji bertempur sambil mengawasi permainan jurus 
lawan. Pendekar Naga Putih terkejut ketika mengetahui 
jurus-jurus yang dimainkan sosok tinggi kurus itu 
mempunyai kesamaan dengan jurus-jurus yang dimainkan 
Wintarsa sewaktu pertama kali bertarung dengannya. 
Bedanya, gerakan sosok tinggi kurus itu tampak sangat 
teratur, dan memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat dari 
Wintarsa. 
Karena terus memikirkan perihal lawannya, pikiran 
Panji jadi terpecah. Sehingga ia tidak bisa lagi menghindari 
sebuah tamparan lawannya. Meskipun berusaha mengelak,

tetap saja bahunya terkena hantaman lawan. 
Bukkk! 
“Akh...!” 
Panji mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung limbung 
karena tamparan itu sangat kuat, dan sanggup meng-
hancurkan sebuah batu karang yang besar. Untungnya, 
tubuh pemuda itu telah terlindungi lapisan kabut bersinar 
putih keperakan. Kalau tidak, bukan mustahil bahunya 
akan remuk akibat tamparan lawan. 
“Yeaaah...!” 
Sosok tinggi kurus berjubah putih itu sepertinya sangat 
bernafsu merobohkan Panji secepat mungkin. Tanpa 
memberikan kesempatan kepada lawannya untuk mem-
perbaiki kuda-kuda, sosok tinggi kurus itu langsung 
menyusuli serangannya dengan serangan-serangan yang 
berbahaya dan bisa mendatangkan kematian! Apalagi yang 
diincarnya adalah bagian-bagian jalan darah kematian di 
tubuh Panji. Sudah barang tentu pemuda tampan berjubah 
putih itu tidak mau menyerahkan nyawanya begitu saja. 
“Hiaaah...!” 
Sambil mengempos semangat dan mengerahkan 
seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya, Pendekar Naga 
Putih menggerakkan kedua tangannya untuk memapaki 
serangan lawan. 
Plak! Plak! 
Bentrokan pun tak dapat dihindari lagi. Kedua 
pasangan lengan yang sama-sama terlindungi tenaga sakti 
tingkat tinggi itu saling berbenturan keras. Akibatnya, 
kedua tubuh mereka sama-sama terdorong mundur sejauh 
empat langkah. Jelas, dalam bentrokan itu keduanya


terlihat sama kuat. 
Begitu kedua kakinya kembali menginjak tanah dengan 
kokoh, sosok tinggi kurus itu kembali melesat dengan 
serangan yang lebih habat lagi. Jurus yang kali ini 
digunakannya tampak berbeda dari yang pertama. 
Meskipun demikian, kehebatannya jauh berbeda di atas 
jurus-jurus pertama tadi. Sehingga, Pendekar Naga Putih 
benar-benar harus menguras semua ilmunya untuk 
menundukkan lawan yang sangat misterius itu. 
“Hmh...!” Panji mendengus gusar melihat kehebatan 
dan kekuatan lawan. Cepat pemuda itu mengeluarkan 
jurus-jurus pamungkas dari rangkaian terakhir 'Ilmu Silat 
Naga Sakti'. 
“Yeaaah...!” 
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat 
dengan kecepatan menggetarkan ke arah lawannya. Angin 
dingin bertiup semakin keras mengiringi setiap gerakan 
yang dilakukan Pendekar Naga Putih. 
Wueeet...! Wueeet...! 
Dua buah sambaran cakar Pendekar Naga Putih 
berhasil dielakkan lawannya dengan menggeser tubuh ke 
kanan, seraya merendahkan kuda-kudanya. Tapi, serangan 
Panji tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki dan 
tangannya terus bergerak dengan lontaran serangan yang 
susul-menyusul, disertai tiupan angin dingin yang 
menusuk tulang laksana badai salju! 
Rupanya gempuran Pendekar Naga Putih kali ini cukup 
membuat lawannya kerepotan. Berkali-kali cakaran serta 
tamparan Panji nyaris mengenai tubuh lawannya. Hanya 
karena lawan memiliki ilmu langkah-langkah aneh sajalah,

yang membuatnya masih dapat menghindar dari sergapan 
Panji. Meskipun demikian, kelihatan sekali kalau sosok 
tinggi kurus itu mulai terdesak oleh serangan-serangan 
Pendekar Naga Putih. 
Entah sudah berapa belas kali dua pasang lengan 
mereka saling berbenturan keras. Dan setiap berbenturan, 
tubuh keduanya tampak terdorong ke belakang. Jelas 
kalau tenaga yang mereka miliki berimbang. Sehingga, 
meskipun pertarungan sudah berlangsung selama delapan 
puluh jurus, belum ada tanda-tanda salah seorang di antara 
mereka akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya 
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan 
kepastian siapa pemenang dalam pertarungan itu. 
Sekitar arena pertarungan terlihat sudah porak-
poranda bagaikan tersapu badai topan yang mengerikan. 
Belasan batang pohon tampak saling tumpang tindih 
berpatahan. Bahkan ada beberapa di antaranya yang 
tercabut hingga ke akar-akarnya. Dedaunan pohon sudah 
menumpuk bagaikan anak bukit. Jelas, pertarungan kedua 
tokoh sakti itu telah membuat alam di sekitarnya rusak. 
Sementara itu, Wintarsa sudah tidak kelihatan lagi 
batang hidungnya. Bahkan kedua mayat tukang pukul 
pemuda itu pun ikut lenyap. Jelas, pemuda tampan 
pesolek itu telah mengambil kesempatan untuk melarikan 
diri selagi Panji bertarung dengan sosok tinggi kurus 
berjubah putih itu. Sedangkan yang masih tertinggal di 
tempat itu hanyalah sosok tubuh gadis desa yang semula 
hendak diculik Wintarsa. 
Minat Wintarsa untuk memiliki gadis yang diincarnya 
itu sepertinya lenyap ketika dipergoki pemuda berjubah

putih, yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi. 
Sehingga, ia meninggalkannya begitu saja di bawah 
sebatang pohon kecil. Untungnya pertarungan kedua 
orang sakti itu telah bergeser jauh dari tempat semula. 
Maka, terhindarlah sosok gadis desa yang tengah tergolek 
tak sadarkan diri itu dari pukulan-pukulan yang 
dilontarkan dalam pertempuran maut itu. 
Saat itu kokok ayam jantan telah terdengar sesekali. 
Pertanda sebentar lagi fajar akan segera muncul. 
Hembusan angin malam tampak terasa semakin bertambah 
dingin. Bulan yang muncul separuh, seperti resah 
menyaksikan pertarungan yang belum juga usai itu. 
“Yeaaah...!” 
Panji yang semula sudah berhasil mendesak, kembali 
dibuat terkejut dan kagum oleh keuletan lawannya. 
Bahkan kali ini sosok tinggi kurus itu tampak mulai dapat 
menguasai pertempuran. Dan Panji malah terdesak oleh 
gempuran-gempuran lawan. Amukan sosok tinggi kurus 
itu sepertinya terpengaruh oleh suara kokoh ayam jantan 
yang mulai terdengar menyambut datangnya fajar. 
Plak! Plak! Plak...! 
Kedua pasang lengan kembali saling berbenturan 
keras. Tubuh mereka kembali terdorong mundur sejauh 
delapan langkah. Jelas, kedua tokoh itu sudah mulai 
merasa lelah, setelah bertarung selama hampir dua ratus 
jurus. 
Panji yang kembali tengah mempersiapkan, ilmunya, 
tersentak kaget ketika melihat lawannya bergerak seperti 
mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Cepat pemuda itu 
melompat mundur ketika sosok tinggi kurus itu

mengibaskan lengannya yang menimbulkan asap merah 
muda berbau harum. 
“Hiaaah...!” 
Sadar kalau asap itu pastilah merupakan racun ganas, 
Panji langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya 
dengan pukulan jarak jauh. Seketika itu juga, ber-
hembuslah angin dingin yang sangat kuat, membuat asap 
berwarna merah muda itu langsung buyar dan menipis. 
Namun, saat itu sosok lawannya ternyata telah lenyap dari 
arena pertarungan. Tentu saja hal itu membuat hati 
Pendekar Naga Putih menjadi penasaran. 
“Kurang ajar! Ke mana perginya sosok misterius 
itu...?” geram Panji sambil mengedarkan pandangan 
matanya ke sekeliling tempat itu. Namun, yang dilihatnya 
hanyalah sosok tubuh gadis desa yang masih menggeletak 
pingsan. 
“Pendekar Naga Putih...! Kau harus meninggalkan desa 
ini secepatnya...! Kalau tidak, bencana yang lebih hebat 
dan lebih mengerikan akan datang kepada seluruh 
penduduk Desa Margaluyu...!” tiba-tiba terdengar suara 
tanpa wujud. Suara itu bagaikan datang dari empat 
penjuru. Panji sendiri merasa sulit untuk mengetahui asal 
suara itu. Tapi, ia tahu kalau suara itu pasti berasal dari 
sosok tinggi kurus berjubah putih yang menjadi lawannya 
barusan. 
“Hm..., menurutku kau adalah seorang pengecut, 
Kisanak! Sangat kusesalkan kalau kepandaianmu yang 
tinggi itu digunakan untuk jalan sesat! Kalau benar-benar 
jantan, kutantang kau bertarung sampai salah seorang di 
antara kita menggeletak jadi mayat...!” Panji yang merasa

jengkel, langsung saja berseru menyahuti suara tanpa 
wujud itu. Namun, setelah menanti agak lama, tak 
terdengar jawaban sepatah kata pun. 
Pendekar Naga Putih yakin kalau lawannya tadi benar-
benar telah meninggalkan tempat itu. Kemudian, kakinya 
segera melangkah mendekati sosok gadis desa yang masih 
tergeletak pingsan. Hanya dengan mengusap bagian jalan 
darah untuk melancarkan peredaran darah di tubuh gadis 
itu, tampak sosok ramping itu mengeluh dan menggeliat 
perlahan. Terlihat gadis itu mulai sadar dari pingsannya. 
“Kau siapa...? Mengapa aku berada di tempat ini...?” 
tanya dara cantik berambut panjang sebahu itu seraya 
menatap wajah tampan di hadapannya dengan wajah pucat 
ketakutan. 
Panji mencoba tersenyum dengan maksud untuk 
membuat hati gadis itu menjadi tenang. Kemudian ia 
menerangkan dengan nada perlahan bahwa gadis itu baru 
saja ditolong dari cengkeraman pemuda yang dipanggil 
dengan nama Tuan Muda Wintarsa. 
”Ya! Aku ingat sekarang. Ada dua orang lelaki 
berpakaian hitam memasuki kamarku, dan menyergapku. 
Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Lalu, ke manakah 
mereka sekarang?” tanya gadis cantik itu sambil 
mengedarkan pandang matanya ke sekitar tempat itu. 
Namun, di sekelilingnya yang terlihat hanyalah kegelapan 
yang menyeramkan. Menyadari keadaan itu, gadis itu pun 
melangkah agak terburu-buru mendekati pemuda tampan 
yang menjadi penolongnya. Tanpa sadar ia memegang 
lengan Panji dengan wajah agak pucat. 
“Aku..., takut..,” kata gadis itu tanpa malu-malu lagi.

Bahkan tubuhnya semakin dirapatkan ke tubuh Panji. 
“Tidak ada yang perlu ditakuti lagi, Nisanak. Sekarang, 
marilah kau kuantar pulang...,” ujar Panji seraya 
melangkah perlahan. Sedangkan gadis desa yang cantik itu 
hanya mengangguk. Kemudian ia mengikuti Panji tanpa 
melepaskan pegangan tangannya pada lengan pemuda itu. 
*** 
Panji tertegun dengan wajah geram ketika tiba di 
tempat kediaman gadis cantik yang ditolongnya. Di dalam 
rumah itu dilihatnya dua sosok mayat laki-laki dan 
perempuan berusia setengah baya yang kepalanya retak. 
Melihat dari ceceran darah yang masih agak basah, Panji 
dapat menduga kalau pembunuhan itu belum lama terjadi. 
“Hm..., mungkinkah semua ini perbuatan kedua orang 
lelaki berpakaian hitam yang menjadi tukang pukul 
Wintarsa? Kejam sekali kalau mereka sampai membunuh 
kedua orang tua ini, hanya karena hendak menculik 
putrinya...,” desis Panji. Dalam hati, Pendekar Naga Putih 
merasa bersyukur telah melenyapkan 'kedua orang tukang 
pukul Wintarsa itu. 
“Ayah..., Ibu...!” 
Gadis cantik yang ditolong Panji menangis dengan hati 
hancur melihat keadaan orangtuanya. Panji tersadar dari 
lamunannya, segera kakinya melangkah dan menghibur 
gadis desa yang tengah dirundung malang itu. Ia bahkan 
membiarkan gadis itu menumpahkan air mata di dada 
bidangnya. 
“Tahukah kau, siapa kira-kira yang telah membunuh 
kedua orangtuamu...?” tanya Panji ketika isak tangis gadis

itu sudah mulai reda. Meskipun telah dapat menduga, tapi 
Panji ingin meyakini dugaannya. 
“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat yang bernama 
Wintarsa itu?! Ia memang sudah lama mengincarku! Tapi, 
ayah dan ibuku tidak mau membiarkan aku jatuh ke dalam 
pelukannya. Mungkin hal itu diketahuinya, dan merasa 
dendam terhadap ayah dan ibuku. Dua orang yang 
menculikku, pastilah tukang-tukang pukulnya yang galak 
dan kejam!” jawab gadis desa itu dengan nada menyiratkan 
dendam yang dalam. Kemudian, tangisnya kembali 
meledak ketika teringat bahwa dirinya kini sudah tidak 
mempunyai siapa-siapa lagi. 
“Harap kau bisa tabah dalam menghadapi semua ini, 
Nisanak. Aku akan melaporkan kejadian ini kepada Ki 
Dungkala. Pemuda jahat yang bernama Wintarsa itu 
memang harus ditangkap, agar tidak lagi berani 
mengganggu gadis-gadis dan penduduk di desa ini...,” ujar 
Panji, menenangkan hati gadis cantik itu. 
“Tapi, selama ini tidak pernah ada orang yang berani 
menentang Wintarsa dan keluarganya. Bahkan kepala desa 
sendiri tidak berani berbuat apa-apa. Sudah banyak orang 
yang menjadi korban kejahatan pemuda itu, tapi tak satu 
pun yang berani melaporkannya. Sebab, apabila ada yang 
berani melapor, sudah pasti akan mengalami kematian, 
tanpa ada yang tahu siapa pelakunya...,” bantah gadis 
cantik itu di antara isak tangisnya. 
“Hm..., pada waktu-waktu yang lalu memang belum 
ada orang berani menentangnya. Tapi percayalah, 
Nisanak. Aku akan menghentikan kejahatan pemuda bejat 
itu untuk selamanya...!” janji Panji dengan suara yang

tegas dan mantap. 
Wajah gadis desa yang cantik itu terangkat, seperti 
hendak mengetahui kebenaran ucapan pemuda tampan 
berjubah putih yang telah menyelamatkannya itu. 
“Betulkah itu, Kakang...?” tanyanya seraya menatap 
tepat di kedua bola mata Panji yang memang sedang 
menatap wajah gadis desa yang cantik itu. 
“Tentu saja benar. Dan, besok aku dan Ki Dungkala 
akan mendatangi keluarga Ki Sama Tungga. Aku akan 
membalaskan dendam semua orang desa yang telah 
disakiti dan dibunuhnya...,” lanjut Panji lagi. 
“Terima kasih, Kakang...,” ucap gadis cantik itu. 
Hati gadis cantik itu merasa senang mendengar janji 
penolongnya. Ia pun kembali merebahkan wajahnya ke 
dada Panji. Tentu saja Panji agak sedikit bingung melihat 
sikap gadis desa itu. Tapi, karena tidak ingin menyinggung 
perasaan, Panji terpaksa mendiamkannya. 
Tanpa terasa saat itu malam telah berganti pagi. 
Meskipun cuaca masih agak gelap, namun para penduduk 
desa telah banyak berdatangan ke rumah tempat di mana 
terjadi pembunuhan. Kedatangan orang-orang desa itu 
tentu saja atas pemberitahuan Panji. Pemuda itu kemudian 
meminta agar para tetangga yang berdekatan, mau 
membantu dan mengurus kedua mayat orangtua gadis 
yang ditolongnya. Sedangkan ia sendiri hendak melapor-
kan kejadian itu kepada Ki Dungkala. 
Kedatangan Panji disambut Ki Dungkala dengan wajah 
menyiratkan kecurigaan. Namun, ketika Panji 
menceritakan kejadian yang dialaminya semalam, lelaki 
gagah itu langsung saja memintanya untuk membawa ke

tempat kejadian. 
Orang-orang desa yang berkerumun langsung menyisih 
ketika kepala keamanan desa mereka tiba. Setelah 
memeriksa kedua mayat yang menjadi korban pem-
bunuhan itu, Ki Dungkala mengajak Panji menjauhi 
orang-orang desa, dan meminta keterangan lebih rinci 
dari pemuda itu. 
“Hm..., jadi benar bahwa orang yang kau hadang 
semalam itu adalah Wintarsa? Lalu, siapa pula laki-laki 
tinggi kurus berjubah putih yang bertarung denganmu dan 
menyelamatkan pemuda jahat itu...?” tanya Ki Dungkala 
setelah mendengar cerita Panji lebih lengkap dan jelas. 
Ada bayang kecurigaan pada sepasang mata lelaki gagah 
itu, yang membuat Panji memakluminya. Selain ia 
merupakan orang asing di Desa Margaluyu, Ki Dungkala 
pun belum mengenalnya sama sekali. 
“Ki Dungkala, kuharap kau suka melenyapkan 
kecurigaanmu...,” ujar Kenanga. Gadis ini juga 
menangkap sorot kecurigaan di mata lelaki gagah itu. Ia 
mengatakan itu, karena tidak suka melihat kekasihnya 
dicurigai. “Perlu kau ketahui, Ki. Pemuda yang berdiri di 
hadapanmu ini adalah seorang pendekar besar yang telah 
menggemparkan rimba persilatan. Jadi, kecurigaanmu 
jelas tidak beralasan....” 
“Ah...?!” Ki Dungkala nampak terkejut sekali ketika 
mendengar perkataan Kenanga. 
Lelaki gagah itu memandangi sosok Panji secara lebih 
teliti. Sepasang mata Ki Dungkala semakin membelalak 
ketika mendapati ciri-ciri yang sering didengarnya 
terdapat pada seorang pendekar muda yang mendatangkan

kekaguman di hatinya selama ini. 
“Kau..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih...?!” ucap Ki Dungkala dengan suara bergetar penuh 
harapan. 
“Begitulah orang-orang memberikan julukan kepada-
ku, Paman...,” jawab Panji. 
Pendekar Naga Putih kini merasa tidak perlu lagi 
menyembunyikan jati dirinya. Apalagi nama besarnya 
memang sangat dibutuhkan untuk melenyapkan kecuriga-
an Ki Dungkala terhadap dirinya. 
Sadar bahwa yang dihadapinya adalah benar Pendekar 
Naga Putih, Ki Dungkala langsung saja menjatuhkan 
tubuhnya dan bersimpuh di depan Panji. Tentu saja Panji 
tidak ingin mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu. 
Apalagi saat itu beberapa warga desa dan anak buah Ki 
Dungkala tengah menatap penuh keheranan. Kemudian, 
segera tubuh lelaki gagah itu diangkatnya. 
“Maafkan sikapku yang telah lancang menuduhmu 
secara tak langsung, Pendekar Naga Putih. Aku benar-
benar bodoh tidak bisa melihat siapa sesungguhnya orang 
yang berada bersamaku. Dengan kehadiranmu di desa ini, 
bukan mustahil kalau teror yang selama ini meresahkan 
penduduk desa akan segera berakhir...,” ujar Ki 
Dungkala. Dari kata-katanya, dapat dipastikan kalau lelaki 
gagah itu mengharapkan bantuan Pendekar Naga Putih 
untuk menenteramkan desanya. 
“Harapanku pun demikian, Paman. Sekarang sebaiknya 
kita segera mendatangi kediaman keluarga Ki Sama 
Tungga. Biarlah mayat kedua orang tua itu anak buahmu 
yang mengurusnya...,” usul Panji yang merasa tidak enak

melihat pandangan beberapa warga desa yang tampak 
masih keheranan melihat sikap kepala keamanan desa 
mereka. 
Setelah berpesan kepada warga desa dan anak buahnya 
untuk mengurus mayat-mayat itu, Ki Dungkala langsung 
membawa Panji ke tempat kediaman Ki Sama Tungga. 
***

TUJUH

Kedatangan Ki Dungkala, Panji, dan Kenanga tidak 
mendapat sambutan baik dari pihak Ki Sama Tungga. 
Bahkan mereka harus menunggu agak lama untuk 
menemui juragan yang kaya raya itu. Meskipun demikian, 
ketiganya berusaha menahan diri dan menyabarkan hatinya 
yang mulai jengkel. 
Setelah terasa pegal duduk menanti di ruang tengah, 
muncullah seorang lelaki tinggi kurus yang berusia sekitar 
lima puluh tahun lebih. Rambutnya digelung ke atas dan 
diikat dengan pita berwarna biru. Wajah dan sinar 
matanya mengesankan keangkuhan. Jelas, lelaki tinggi 
kurus yang bernama Ki Sama Tungga itu merupakan 
seorang yang tinggi hati, dan memandang rendah orang 
lain yang tidak sederajat dengannya. 
“Hm..., kau rupanya Dungkala...,” sambut Ki Sama 
Tungga, angkuh. 
Sepertinya juragan kaya itu menganggap Ki Dungkala 
bukanlah seorang tamu penting. Kecuali Kepala Desa 
Margaluyu, tampaknya tidak ada lagi yang dihormati Ki 
Sama Tungga. Tentu saja, Ki Dungkala yang memang baru 
pertama kali berkunjung ke rumah keluarga kaya itu 
menjadi jengkel. 
Namun, lelaki gagah itu ternyata dapat menekan 
kejengkelannya, dan mampu bersikap wajar. 
“Benar, Juragan. Perkenalkan kedua orang sahabatku, 
Panji dan Kenanga,” ujar Ki Dungkala memperkenalkan

kedua orang muda yang datang bersamanya. Ketiganya 
bangkit dan membungkukkan tubuh sedikit menghormati 
tuan rumah. Kemudian, mereka kembali duduk setelah Ki 
Sama Tungga mempersilakan. 
“Ada keperluan apa kau datang sepagi ini, Dungkala?” 
tanya Ki Sama Tungga seraya mengisap pipa tembakau di 
tangan kanannya. Sikapnya terlihat sangat angkuh dan 
tanpa basa-basi. 
“Maaf, Juragan. Sebenarnya kami ingin bertemu 
dengan Tuan Muda Wintarsa, karena suatu keperluan 
yang sangat penting. Untuk itu, kumohon agar kami dapat 
dipertemukan dengannya...,” sahut Ki Dungkala tanpa 
mempedulikan sikap angkuh Ki Sama Tungga. Lelaki 
gagah itu langsung saja ke pokok persoalan. Karena 
ucapan Ki Sama Tungga pun tanpa basa-basi. 
“Hm..., ada keperluan apa kau ingin berjumpa dengan 
putraku? Sekarang ia tidak berada di rumah, sejak kemarin 
ia belum kembali dari rumah pamannya di kadipaten. Jadi, 
maaf kalau kedatanganmu sia-sia. Tunggulah beberapa hari 
lagi, mungkin ia sudah kembali...,” jawab Ki Sama Tungga 
seraya menyipitkan sepasang matanya seperti tidak senang 
dengan permintaan Ki Dungkala yang dianggapnya terlalu 
lancang. 
“Juragan...,” tandas Ki Dungkala yang sepertinya tidak 
mau lagi berbasa-basi. “Malam tadi telah terjadi 
penculikan dan pembunuhan di Selatan desa ini. Dan, 
pemuda ini memergoki penculik dan pembunuh itu. 
Apakah Juragan tidak ingin mengetahui, siapa penculik 
dan pembunuh itu...?” 
“Dungkala...!” desis Ki Sama Tungga yang segera

bangkit dari tempat duduknya dengan wajah gelap. 
“Seharusnya kau laporkan semua itu kepada Ki Samparan, 
dan bukan kepadaku! Mengapa aku harus memusingkan 
segala persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan 
diriku? Cepatlah pergi dari sini, sebelum aku bertindak 
kasar, atau mengadukan perbuatanmu ini kepada Ki 
Samparan agar kau dipecat karena telah berani datang 
dengan sikap tidak sopan ke tempatku...!” bentak Ki Sama 
Tungga, marah. 
Tapi, Ki Dungkala tidak kalah gertak. Lelaki gagah itu 
ikut pula bangkit dengan wajah merah padam. Ia memang 
sudah lama merasa tidak suka dengan keluarga kaya yang 
sombong itu. Maka, sekarang ia ingin menumpahkan 
semua ketidaksenangannya itu. Selain merasa tersinggung 
karena tidak dipandang oleh Ki Sama Tungga, ia pun 
merasa bertanggung jawab penuh atas kejadian, yang 
menimpa warga desanya. Apalagi sekarang ia mendapat 
dukungan dari Pendekar Naga Putih. Maka, Ki Dungkala 
seperti harimau yang tumbuh sayap. Ia tidak lagi merasa 
takut atau segan kepada juragan yang sangat sombong itu. 
“Ki Sama Tungga...!” geram Ki Dungkala yang tidak 
lagi menyebut Ki Sama Tungga dengan sebutan juragan. 
“Ketahuilah, bahwa orang yang telah melakukan 
penculikan dan pembunuhan itu adalah putramu! Untuk 
itu, aku datang kemari hendak menangkapnya, agar lain 
kali tidak lagi berbuat sesuka hatinya! Sekarang juga kami 
ingin membawa Wintarsa. Kalau tidak, rumah ini terpaksa 
kami geledah!” 
“Keparat kau, Dungkala! Berani kau berbuat kurang 
sopan di rumahku ini! Kau memang pantas diberi

pelajaran...!” geram Ki Sama Tungga. Laki-laki tinggi 
kurus itu sangat marah ketika mendengar tuduhan Ki 
Dungkala terhadap putra tunggal yang sangat 
disayanginya. 
Setelah berkata demikian, Ki Sama Tungga bertepuk 
tangan tiga kali. Sebentar saja, telah bermunculan belasan 
orang berseragam hitam yang merupakan tukang pukul 
keluarga kaya itu. 
“Lemparkan mereka keluar! Beri pelajaran kepada 
keamanan desa yang tidak becus itu...!” perintah Ki Sama 
Tungga sambil melangkah meninggalkan ruangan itu. 
Tanpa diperintah dua kali, tiga belas orang lelaki kekar 
yang menjadi tukang pukul keluarga Ki Sama Tungga, 
langsung saja berlompatan mengepung Ki Dungkala, Panji 
dan Kenanga. 
Ki Dungkala sudah mencabut pedangnya, siap untuk 
bertarung mati-matian. Sedangkan Panji, sejak pertama 
kali melihat orang yang bernama Ki Sama Tungga itu, 
ingatannya langsung tertuju kepada sosok tinggi kurus 
berjubah putih yang semalam bertarung dengannya. 
Maka, ketika dilihatnya Ki Sama Tungga hendak 
meninggalkan tempat itu, Panji langsung melayang hendak 
mencegahnya. Sekali lompatan saja, tubuh Pendekar Naga 
Putih telah melayang, dan mendarat tepat di depan Ki 
Sama Tungga. 
Lelaki tinggi kurus itu langsung terkejut melihat 
pemuda tampan berjubah putih yang datang bersama Ki 
Dungkala tahu-tahu telah menghadang jalannya. 
Kemarahan Ki Sama Tungga seketika meledak, 
“Mau apa kau, Pemuda Asing?! Kau kira bisa berbuat

sesukamu di tempat ini...? Lebih baik menyingkirlah, 
sebelum kesabaranku hilang...!” ujar Ki Sama Tungga 
bernada mengancam. 
Namun, Panji tetap tidak mempedulikannya. Pemuda 
itu malah melangkah dua tindak ke depan, dan meneliti 
sosok di depannya. 
“Hm..., pertarungan kita semalam belum usai, Ki 
Sama Tungga. Tidakkah kau ingin melanjutkannya 
sekarang...?” ujar Panji sambil menatap tajam wajah lelaki 
tua di depannya. Sadar kalau orang yang dihadapinya 
memiliki kepandaian tinggi, Pendekar Naga Putih segera 
menyiapkan kuda-kuda yang kokoh. 
“Keparat! Kau rupanya sudah gila, Anak Muda! Apa 
maksud ucapanmu itu, aku sama sekali tidak mengerti...?” 
bentak Ki Sama Tungga, heran. Jelas, lelaki tinggi kurus 
itu tidak mengerti apa yang diucapkan Panji. 
“Huh! Tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Sama Tungga. 
Sebaiknya bersiaplah untuk menerima seranganku! Jangan 
salahkan aku, kalau kau sampai celaka...!” ujar Panji seraya 
membuka jurusnya untuk memancing Ki Sama Tungga 
agar mempersiapkan ilmunya. 
“Bedebah! Kau pikir hanya kau saja yang memiliki 
kepandaian! Nah, sambutlah seranganku...!” bentak Ki 
Sama Tungga karena merasa jengkel atas sikap pemuda 
tampan berjubah putih itu. Tubuh tinggi kurus itu 
meluruk ke arah Panji sambil melancarkan totokan dengan 
ujung pipanya yang panjangnya satu setengah jengkal itu. 
Bettt! Bettt...! 
Totokan ujung pipa yang datang bertubi-tubi itu 
dielakkan Pendekar Naga Putih tanpa banyak mengalami
kesukaran. Namun, Pendekar Naga Putih mengerutkan 
keningnya ketika melihat gerakan lawannya. Meskipun 
serangan Ki Sama Tungga cukup kuat dan berbahaya, 
namun menurutnya masih terlalu lamban. Gerakan Ki 
Sama Tungga sama sekali sangat jauh berbeda dengan 
gerakan lawannya semalam. Tentu saja Panji menduga 
kalau orang tua itu masih hendak menyembunyikan 
kepandaian guna mengecohnya. 
“Hm..., keluarkan seluruh kesaktianmu, Ki Sama 
Tungga. Kalau tidak, kau akan menyesal...!” pancing Panji 
memanasi lawan, dan mulai membalas serangan orang tua 
itu dengan tamparan dan tendangan kilat yang 
menggetarkan hati lawan. Namun, Panji kembali menjadi 
heran ketika melihat Ki Sama Tungga benar-benar 
kerepotan menghadapi serangannya yang cepat dan susul-
menyusul itu. 
Desss...! 
Sebuah tendangan yang dilontarkan Panji dengan 
mengerahkan sebagian dari tenaganya, menghantam telak 
tubuh Ki Sama Tungga. Untunglah Panji sempat 
mengurangi kekuatan tendangannya, ketika merasakan 
betapa tubuh lawan tidak mempunyai perlindungan sama 
sekali. Tentu saja, Pendekar Naga Putih semakin tak 
mengerti, mengapa orang tua itu lebih suka terkena 
tendangan ketimbang mempergunakan kesaktiannya 
untuk melawan. 
“Hm..., sudah kukatakan, keluarkan seluruh 
kemampuanmu, Ki Sama Tungga. Kalau tidak, kau pasti 
bisa terbunuh oleh pukulan mautku!” ancam Panji lagi. 
Walau bagaimanapun, Pendekar Naga Putih merasa tidak

enak untuk menjatuhkan lawan yang sepertinya tidak mau 
melayaninya bertarung dengan sungguh-sungguh. 
“Bocah sombong! Hanya sebuah tendangan tak berarti 
seperti itu kau sudah menganggap dirimu menang? Huh! 
Lihatlah, aku bisa membuatmu menangis minta ampun 
atas kesalahan dan kelancanganmu kepadaku...!” geram Ki 
Sama Tungga. “Yeaaat...!” 
Diiringi sebuah pekikan nyaring, Ki Sama Tungga 
menerjang Panji. Pipa di tangannya berputaran cepat 
membentuk gulungan sinar hitam yang menderu-deru. 
Meskipun demikian, Panji tetap saja kecewa. Sebab, 
serangan itu tidaklah sehebat dugaannya. Bahkan masih 
terhitung lamban bagi ukurannya. Sehingga, dengan 
mudah ia dapat mengelakkannya, bahkan langsung 
melontarkan serangan balasan yang diiringi hembusan 
hawa dingin menusuk tulang! 
Plakkk! Desss...! 
Untuk kedua kalinya, telapak tangan Panji bersarang di 
tubuh Ki Sama Tungga. Akibatnya, tubuh lelaki tinggi 
kurus itu terjungkal hingga satu tombak lebih ke belakang, 
la tampak terhuyung ketika mencoba bangkit berdiri. Dari 
sudut bibirnya mengalir darah segar. Bahkan wajahnya 
tampak agak pucat. Jelas, Ki Sama Tungga tidak mampu 
untuk menahan serbuan hawa dingin yang meresap ke 
dalam tubuhnya. 
“Gila...! Mungkin sosok tinggi kurus berjubah putih 
yang kuhadapi semalam bukan Ki Sama Tungga? Kalau 
begitu, siapa dia? Mengapa Wintarsa diselamatkannya...? 
Dan, mengapa ilmu silatnya sangat mirip dengan pemuda 
pesolek itu...?” gumam Panji.

Pendekar Naga Putih merasa ragu ketika untuk kedua 
kalinya Ki Sama Tungga sama sekali tidak bisa meng-
elakkan pukulannya. Bahkan tampaknya lelaki tua itu 
menderita luka dalam yang cukup parah. 
“Mengapa kau berhenti, Pemuda Setan?! Apakah kau 
kira aku sudah menyerah kalah...?” geram Ki Sama 
Tungga yang sepertinya masih hendak melanjutkan 
pertarungan. 
“Sebentar, Ki Sama Tungga, aku hendak bertanya. 
Kuharap kau mau menjawabnya dengan jujur. Benarkah 
kau belum pernah bertemu denganku sebelum ini? Dan, 
benarkah kau belum pernah bertarung denganku 
sebelumnya...?” tanya Panji. 
Pendekar Naga Putih mulai ragu setelah melihat ilmu 
silat yang dimiliki Ki Sama Tungga sama sekali tidak 
berbahaya baginya. Meskipun ilmu silat lelaki tua itu 
cukup tinggi, tapi jelas tidak bisa disamakan dengan 
kesaktian sosok tinggi kurus berjubah putih yang semalam 
bertarung dengannya. Hal itu membuat Panji menjadi 
bimbang. 
“Hm..., aku memang belum pernah bertarung dan 
berjumpa denganmu sebelum ini, Anak Muda! Tapi, hal 
itu bukan berarti aku takut menghadapimu! Aku benar-
benar tidak mengerti dengan perkataanmu yang aneh 
itu...?” jawab Ki Sama Tungga bersungguh-sungguh. 
Panji pun tahu kalau orang tua itu tidak mem-
bohonginya. Lagi pula, untuk apa lelaki tua itu menyem-
bunyikan kesaktiannya, dan mau menerima pukulan yang 
membuatnya terluka dalam? 
“Hm..., baiklah. Aku percaya dengan jawabanmu.

Sekarang aku minta agar kau menyerahkan putramu yang 
bernama Wintarsa itu. Karena ia telah melakukan 
pembunuhan serta penculikan. Meskipun aku berhasil 
memergokinya saat hendak melarikan seorang gadis, tapi 
ia telah melakukan pembunuhan terhadap orangtua gadis 
yang diculiknya itu. Apakah kau memang hendak 
membela putramu yang nyata-nyata telah berbuat jahat 
itu...?” ujar Panji. 
Pemuda tampan berjubah putih ini kini ganti mencari 
Wintarsa. Karena sangat diyakininya kalau Ki Sama 
Tungga bukanlah orang yang dimaksudkan. 
“Benar, Ki Sama Tungga! Sebaiknya kau serahkan 
putramu yang jahat itu! Ia telah terlalu banyak melakukan 
kejahatan di desa ini! Kuharap kau mau menyerahkannya 
kepada kami...!” 
Ki Dungkala yang rupanya sudah berhasil menunduk-
kan lawan-lawannya bersama Kenanga, ikut menimpali 
ucapan Panji. Kini lelaki tinggi kurus itu telah terkepung 
oleh ketiga lawannya, yang mempunyai tujuan sama. 
Yaitu, hendak menangkap putra tunggalnya. 
“Hm..., sejahat apa pun Wintarsa, ia tetap putraku. 
Karena itu aku harus membelanya dengan taruhan 
nyawaku! Mungkin ia memang seringkali berbuat jahat, 
tapi kalau sampai telah banyak membunuh orang, aku 
tidak percaya. Untuk itu, aku tidak akan sudi menyerah-
kan putraku kepada kalian...!” 
Ki Sama Tungga tetap berkeras hendak melindungi 
putranya. Dari sorot matanya yang tajam, Ki Dungkala, 
Panji, dan Kenanga tahu kalau Ki Sama Tungga ber-
sungguh-sungguh, dan tidak bisa dibujuk kecuali dengan

jalan kekerasan. 
“Hm..., kalau kau tetap berkeras, kami akan 
memaksamu! Dan, kau pun akan mendapat hukuman 
berat karena telah melindungi seorang pembunuh keji 
seperti putramu itu...!” geram Ki Dungkala. 
Sambil berkata demikian, lelaki gagah itu segera 
memutar pedangnya dan menerjang Ki Sama Tungga. 
Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam sebuah 
pertarungan yang sengit. 
“Kenanga, kau tetaplah di sini mengawasi pertarungan. 
Aku akan mencari Wintarsa yang mungkin tengah ber-
sembunyi di salah satu ruangan di rumah besar ini...,” ujar 
Panji. 
Tanpa menunggu jawaban kekasihnya, Pendekar Naga 
Putih segera berkelebat cepat dari tempat itu. Kenanga 
sendiri hanya mengangguk, meskipun Panji tidak sempat 
lagi melihat anggukan kepalanya. Dara jelita itu mengikuti 
jalannya pertarungan, dan siap turun tangan bila Ki 
Dungkala terdesak oleh lawannya. 
Pertarungan antara Ki Dungkala dan Ki Sama Tungga 
memang terlihat seru. Keduanya tampak sama-sama gesit, 
dan memiliki tenaga sakti yang hampir berimbang. 
Kalaupun Ki Sama Tungga masih lebih unggul sedikit 
dalam hal kecepatan gerak dan kekuatan tenaga dalam, 
tapi luka dalam akibat pukulan Panji telah membuat 
gerakannya sedikit terhambat. Sehingga, kelebihannya 
yang hanya sedikit itu telah tertutup. 
“Haittt...!” 
Ki Dungkala yang memang merasa tidak suka dan ingin 
memberi pelajaran kepada juragan yang sombong itu,

menerjang dengan seluruh kepandaian yang dimilikinya. 
Maka, tidaklah mengherankan bila dalam tiga puluh jurus, 
Ki Dungkala terlihat mulai berada di atas angin. Gerakan 
lelaki gagah itu terlihat penuh semangat dan memiliki 
perhitungan yang matang. Sehingga, lawannya yang 
memang sudah tidak tenang pikirannya itu semakin 
kerepotan dalam menghadapi serangannya. 
Memasuki jurus yang keempat puluh tiga, gerakan Ki 
Sama Tungga terlihat semakin lamban. Jelas kekuatan 
serta kegesitan lelaki tinggi kurus itu sudah mulai 
berkurang. Sehingga, Ki Dungkala berhasil menyarangkan 
sebuah tendangan keras ke lambung lawannya. 
Bukkk! 
“Huakhhh...!” 
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Sama Tungga langsung 
terjengkang memuntahkan darah segar. Meskipun 
demikian, jurangan kaya itu masih berusaha bangkit untuk 
melanjutkan pertarungan. Tapi, Ki Dungkala sepertinya 
tidak ingin memberikan kesempatan lagi kepada 
lawannya. Saat itu juga, ia langsung melesat dengan 
babatan pedangnya yang mengancam tubuh Ki Sama 
Tungga. 
“Akh...?!” 
Lelaki tinggi kurus yang biasanya sombong itu 
memucat wajahnya. Sadar kalau tidak mungkin dapat 
selamat dari pedang lawan, Ki Sama Tungga hanya bisa 
pasrah menerima kematian di tangan kepala keamanan 
desa itu. 
Tapi, pada saat kematian hampir menjemput Ki Sama 
Tungga, tiba-tiba melesat sesosok bayangan dari samping.

Dan langsung memapaki datangnya serangan pedang Ki 
Dungkala! Dan... 
Plak! 
“Aaakh...!” 
Hebat sekali akibat tangkisan sosok bayangan yang baru 
muncul itu. Bukan saja ia telah berhasil menyelamatkan 
nyawa Ki Sama Tungga dari kematian, tetapi tubuh Ki 
Dungkala terpelanting deras menghantam dinding di 
belakangnya. 
“Paman...!” seru Kenanga terkejut melihat perubahan 
yang sama sekali tidak diduganya itu. 
Cepat gadis jelita itu berlari memburu tubuh Ki 
Dungkala yang tampak tengah terduduk sambil 
memuntahkan darah segar. Kemudian, kepalanya menoleh 
ke arah sosok bayangan yang telah menyelamatkan nyawa 
Ki Sama Tungga. Wajah Kenanga tampak menegang 
ketika melihat dan mengenali sosok yang berdiri angker di 
depannya. 
***

DELAPAN

“Kau...?!” desis Kenanga, terkejut. 
Urat syaraf dara jelita itu seketika menjadi tegang 
ketika melihat seraut wajah menyeramkan, tengah 
menatapnya dengan sorot mata semerah darah! 
“Wintarsa...?!” Ki Dungkala pun tidak kalah ter-
kejutnya ketika melihat siapa orang yang telah memapaki 
serangan pedangnya tadi. 
Lelaki gagah itu benar-benar tidak percaya kalau yang 
mematahkan serangannya adalah Wintarsa, pemuda yang 
dikenalnya dengan baik. Yang membuat Ki Dungkala 
heran, bagaimana Wintarsa mampu menghalau serangan-
nya. Padahal setahunya, kepandaian pemuda itu tidak 
terlalu tinggi. Meskipun untuk mengalahkannya tidaklah 
begitu mudah, namun Ki Dungkala yakin kalau ia masih 
dapat menang melawan Wintarsa. Tapi, mengapa ia 
dengan mudah terluka oleh pemuda itu hanya dengan 
sekali gebrak saja? Padahal, pemuda pesolek itu hanya 
menangkis serangannya, tanpa menyarangkan pukulan ke 
tubuhnya. Kenyataan ini, membuat Ki Dungkala tak habis 
pikir. 
“Hmrrr...! Kalian berdua telah berani melukai ayahku! 
Untuk itu, kalian harus mampus di tanganku...!” geram 
Wintarsa dengan suara yang mampu membuat jantung 
seorang lelaki penakut copot.

“Benarkah dia adalah Wintarsa yang selama ini 
kukenal...?” gumam Ki Dungkala yang merasa bulu 
tengkuknya meremang melihat tatapan mata yang terasa 
bagaikan mengiris-iris jantungnya itu. Sebab, wajah 
pemuda itu berubah jauh dari biasanya. Suaranya pun 
terdengar menyeramkan seperti suara iblis pencabut 
nyawa. Tentu saja hal ini membuat Ki Dungkala menjadi 
gemetar. 
Melihat sikap dan perbawa yang menyeramkan 
terpancar dari wajah pemuda itu, Kenanga segera teringat 
akan peristiwa beberapa waktu yang lalu, di luar Desa 
Margaluyu. Ia pun sempat melihat bagaimana Panji 
kerepotan menghadapi pemuda itu yang sepertinya telah 
kerasukan setan. Sadar kalau keadaan mereka sangat 
berbahaya, dara jelita itu pun bangkit sambil menghunus 
pedangnya. 
“Yeaaarkh....!” 
Wintarsa yang sepertinya telah berubah menjadi iblis 
haus darah itu, kembali menggeram dengan suara aneh. 
Pemuda itu melangkah perlahan menghampiri Kenanga 
yang berdiri di depan Ki Dungkala. Dan, ketika Wintarsa 
melompat menerjang dengan ganasnya, Kenanga segera 
memutar Pedang Sinar Rembulan. Seketika itu, 
terbentuklah gulungan sinar putih keperakan yang 
berpendar menyilaukan mata. 
Bettt. .! 
Sinar putih keperakan berkeredep ketika Kenanga 
membabatkan senjatanya untuk menyambut datangnya 
serangan lawan. Tapi, bukan main terkejutnya hati dara 
jelita itu ketika melihat Wintarsa menyambut mata

pedangnya dengan telapak tangan! 
Plakkk! 
“Aihhh...?!” 
Hati dara jelita itu bukan main kaget ketika tamparan 
telapak tangan Wintarsa membuat senjatanya hampir 
terlepas dari genggaman tangan. Sedangkan telapak tangan 
pemuda itu telah berputar cepat dan meluncur ke arah 
tenggorokannya. Cepat Kenanga melempar tubuhnya ke 
belakang, dan berputaran beberapa kali, sebelum men-
daratkan kedua kakinya di tanah. 
Wintarsa yang telah kerasukan setan itu, rupanya tidak 
ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk 
mempersiapkan jurus baru. Tubuh pemuda aneh itu 
kembali meluncur dengan cengkeraman-cengkeraman 
mautnya, yang menimbulkan suara berdecitan tajam. 
Jelas, serangan pemuda itu sangat berbahaya dan 
mematikan! 
Trang...! 
Kenanga yang mencoba memapaki cengkeraman 
Wintarsa dengan sabetan pedangnya, kembali terkejut 
setengah mati. Sebab, Wintarsa sama sekali tidak berusaha 
menyelamatkan tangannya. Malah sengaja menyambut 
datangnya sambaran pedang dengan cengkeramannya. 
Untunglah pedang dara jelita itu bukan senjata 
sembarangan. Kalau tidak, mungkin sudah patah-patah 
akibat cengkeraman yang sangat kuat dari lawannya. 
Sebentar saja, dara jelita itu terdesak deh gem-puran-
gempuran Wintarsa yang aneh, namun sangat berbahaya 
itu.

“Haiiit...!” 
Pada saat Kenanga tengah sibuk mempertahankan 
dirinya dari gempuran Wintarsa, tiba-tiba terdengar 
pekikan nyaring yang disusul masuknya sesosok bayangan 
putih bersinar putih keperakan ke dalam kancah 
pertarungan. Begitu tiba, sosok bayangan bersinar putih 
keperakan yang tak lain dari Panji itu, langsung memapaki 
serangan Wintarsa. 
Plak, plak.... Desss...! 
Kedatangan Panji yang secara tiba-tiba itu di luar 
perhitungan Wintarsa. Sehingga, pemuda itu tidak sempat 
lagi mengelak. Dan, sebuah pukulan telapak tangan Panji 
pun singgah di dada pemuda aneh itu. Akibatnya, tubuh 
Wintarsa terdorong mundur sejauh satu tombak. Terlihat 
dari sudut bibirnya menetes darah segar. Jelas, pukulan 
yang sangat kuat itu telah membuat Wintarsa menderita. 
“Hm..., akhirnya kau muncul juga, Wintarsa! Sekarang 
kita tentukan, siapa yang akan keluar sebagai pemenang 
dalam pertarungan kari ini...,” desis Panji dingin. 
Pendekar Naga Putih kemudian menyilangkan kedua 
lengannya di depan dada dengan kedua mata terpejam. 
Dan sebentar kemudian, muncullah sinar kuning 
keemasan yang menyelimuti sebelah kanan tubuh pemuda 
itu. Sedangkan tubuh bagian kirinya, diselimuti lapisan 
kabut bersinar putih keperakan. Jelas, Pendekar Naga 
Putih telah menggabungkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sehingga, 
tubuhnya mengeluarkan dua buah sinar yang mempunyai 
dua unsur berbeda. Panas dan dingin!

Sinar kuning keemasan yang terpancar dari sebelah 
kanan tubuh Panji tampak menimbulkan pengaruh bagi 
Wintarsa. Terbukti pemuda itu melangkah mundur seraya 
menghalangi pandangan matanya dengan sepasang 
lengannya. Jelas, Wintarsa merasa agak terganggu dengan 
sinar kuning keemasan itu. 
“Hm...,” Panji yang melihat tingkah laku Wintarsa, 
yang merasa terganggu dengan sinar tenaga jelmaan 
Pedang Naga Langit itu, segera dapat menduga kalau ada 
sesuatu yang tidak beres dalam diri pemuda itu. Maka, 
untuk meyakinkan dirinya, Pendekar Naga Putih bergerak 
maju dengan menggunakan jurus-jurus andalannya yang 
sangat terkenal. 
“Haaat...!” 
Kali ini Panji lebih dahulu membuka serangan. 
Sepasang tangannya bergerak cepat dengan cakar naga 
yang siap mengoyak tubuh lawannya. 
Wintarsa tampak tidak lagi seganas semula. Kelihatan 
sekali kalau pemuda itu selalu menghindari gempuran 
tangan kanan Panji. Ia selalu bermain di sebelah kiri 
lawannya. Seolah serangan tangan kanan pemuda itu 
sanggup membuat kesaktiannya lenyap. 
Panji bukan tidak mengetahui hal itu. Maka, ia pun 
semakin mempergencar serangan-serangannya. Sepasang 
lengannya bergerak cepat dan sukar diikuti mata biasa. 
Tubuh pemuda itu sendiri berkelebat cepat laksana seekor 
naga yang tengah bermain-main di angkasa. 
Plakkk!

Tusukan jari tangan kanan Wintarsa yang meluncur ke 
tenggorokan Panji, langsung dipapaki dengan tangan 
kanannya. Akibatnya, kedua lengan itu saling berbenturan 
keras. Kali ini, tubuh Wintarsa tampak terhuyung-
huyung. Keadaan itu dipergunakan Panji untuk mengirim-
kan hantaman telapak tangan kanannya. Tak ayal lagi, 
pukulannya telak menghajar tubuh Wintarsa. 
Desss...! 
Akibatnya benar-benar mengejutkan sekali! Tubuh 
pemuda tampan pesolek itu terjengkang dan berkelojotan 
bagaikan ayam disembelih! Sekujur tubuhnya mengeluar-
kan sinar kuning keemasan. Jelas, kekuatan 'Tenaga Sakti 
Inti Panas Bumi' seperti terserap ke dalam tubuh pemuda 
itu. Lama-kelamaan sinar kuning keemasan itu semakin 
mengecil, kemudian lenyap sama sekali setelah berdiam 
agak lama di sekitar kepala Wintarsa. Pemuda itu pun 
menggeletak tak sadarkan diri. 
“Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak beres dalam diri 
pemuda itu. Entah apa! Aku belum begitu jelas. Tapi, 
mungkin ia memerlukan sedikit pengobatan. Sebaiknya 
kita bawa saja dia ke dalam...,” ujar Panji sambil 
menghampiri dan mengangkat tubuh Wintarsa. 
Sementara itu, Ki Dungkala, Ki Sama Tungga, dan 
Kenanga sama sekali belum bisa mengeluarkan kata-kata. 
Sepertinya mereka masih merasa terkesima dengan 
kejadian yang baru saja disaksikan tadi. Mereka hanya bisa 
mengangguk dan mengikuti langkah Panji. 
***

“Wintarsa, ceritakanlah! Dari mana kau mempelajari 
ilmu-ilmu aneh yang sangat berbahaya itu? Menurut 
keterangan ayahmu, ia sama sekali tidak pernah mengajar-
kan dan memiliki ilmu seperti itu? Dan, benarkah kau 
yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa 
ini...?” tanya Panji setelah Wintarsa sadar dari pingsannya. 
Sebelumnya, pemuda tampan berjubah putih itu telah 
menanyakan kepada Ki Sama Tungga yang tampaknya 
telah sadar akan kekeliruannya selama ini. 
Ki Dungkala, Kenanga, dan Ki Sama Tungga duduk 
berkumpul di tempat itu. Mereka ingin mendengar 
penjelasan dari pemuda pesolek itu. 
“Hhh..., sebelumnya aku memang jahat, dan sangat 
sombong. Aku sering menyakiti para penduduk desa yang 
berani menentang kemauanku. Banyak gadis-gadis dan 
istri orang yang kuganggu. Hal itu mungkin dikarenakan 
ayah selalu menuruti apa yang menjadi kehendakku. 
Tapi..., mengenai pembunuhan-pembunuhan yang kau 
tanyakan itu, aku sama sekali tidak pernah melakukannya. 
Mungkin ada satu-dua orang yang pernah tewas oleh 
tukang-tukang pukulku.” 
Wintarsa menghentikan ucapannya untuk mengambil 
napas. Pemuda itu merasakan dadanya agak sesak, 
walaupun tadi telah diobati oleh Pendekar Naga Putih. 
“Semua itu kuakui sebagai kesalahanku. Sedangkan 
mengenai ilmu-ilmu itu, kupelajari dari sebuah sumur tua 
yang terdapat di belakang kuil tua di sebelah Barat desa 
ini. Kuil rusak itu sudah lama tidak terpakai lagi. Ketika 
itu aku tengah beristirahat bersama kedua orang 
pengawalku, setelah berburu di hutan. Entah mengapa,

tiba-tiba saja aku merasa tertarik dengan sebuah sumur tua 
di belakang kuil itu. Karena dasar sumur itu terlihat dari 
atas, aku merasa penasaran, dan langsung turun ke 
dalamnya.” 
Wintarsa kembali menghentikan ceritanya. Ditatapnya 
wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya, seakan 
ingin mengetahui tanggapan mereka akan ceritanya. 
“Ternyata sumur tua itu berlubang pada dindingnya, 
dan mirip sebuah gua. Aku pun langsung masuk ke 
dalamnya. Di sana aku menemukan gambar-gambar orang 
yang tengah bersilat, lalu aku mempelajarinya. Dan sejak 
saat itu, aku hampir setiap hari datang untuk mempelajari 
ilmu silat yang ada di dalam gua itu,” Wintarsa kembali 
menghentikan ceritanya, dan menarik napas dalam-dalam 
mengenang peristiwa itu. 
“Hm..., gambar-gambar itu jelas peninggalan seorang 
tokoh sakti. Sayang, kau mempelajarinya tidak berurutan. 
Sehingga, hawa sakti yang kau himpun, telah merusak 
syaraf di kepalamu. Untunglah, masih belum terlambat 
untuk menyembuhkanmu. Kalau tidak, mungkin kau akan 
tewas bila jalan darah di kepalamu telah pecah akibat 
terlalu sering melatih ilmu yang salah itu...,” jelas Panji. 
Pendekar Naga Putih kini mulai mengerti mengapa 
ilmu silat pemuda itu menjadi sangat hebat bila kesadaran-
nya lenyap. Rupanya hal itu disebabkan tersumbatnya 
aliran darah di kepalanya, sehingga membuat ingatan 
pemuda itu lenyap, dan berganti ingatan tentang ilmu silat 
yang dipelajarinya secara terbalik. 
“Hm..., tahulah aku sekarang, siapa yang telah 
melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa ini...,” tiba

tiba Ki Dungkala bergumam, membuat yang lainnya 
segera menoleh ke arahnya. 
“Apa maksud Paman...?” tanya Panji seraya 
mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Ki 
Dungkala. 
“Panji, coba kau katakan, apakah Wintarsa bisa 
berubah menjadi gila seterusnya? Dan mungkinkah ia akan 
melakukan pembunuhan-pembunuhan, apabila ia telah 
mempelajari ilmu itu selama bertahun-tahun...?” tanya Ki 
Dungkala sebelum menjawab pertanyaan Pendekar Naga 
Putih. 
“Begitulah kira-kira, Paman. Perbuatan yang selama ini 
dilakukannya kebanyakan didorong oleh pengaruh ilmu 
sesat itu. Sebab, menurutku Wintarsa tidak jahat. 
Mungkin ia melakukan kejahatan-kejahatan itu setelah 
mempelajari ilmu yang ditemukannya di dasar sumur tua 
di belakang kuil itu. Jadi, apabila Wintarsa telah lima 
tahun lebih mempelajarinya, bisa jadi ia akan berubah gila. 
Kendatipun ia masih bisa mengenali orang, dan berbicara 
seperti biasa. Kegilaan yang kumaksudkan di sini adalah 
timbulnya pikiran-pikiran jahat akibat semakin tingginya 
tenaga sakti yang dipelajarinya. Sebab, bila kita mem-
pelajari ilmu tenaga dalam secara terbalik, akan merusak 
jaringan syaraf pada otak kita...,” tutur Panji yang 
membuat Ki Dungkala mengangguk-anggukkan kepala. 
“Kalau begitu, marilah kalian ikuti aku. Sebab, yang 
mempelajari ilmu itu mungkin bukan hanya Wintarsa 
seorang. Ada lagi orang lain yang telah mempelajarinya, 
sebelum Wintarsa menjadi pemuda dewasa seperti 
sekarang ini. Semula aku tidak begitu memperhatikannya

ketika ia seringkali pergi dan sampai menginap berhari-
hari di kuil tua itu. Dua tahun belakangan ini, ia seringkali 
menyepi di satu tempat. Diam-diam aku pernah 
mengintainya. Dan, ia memang tengah melatih ilmu 
silatnya secara sembunyi-sembunyi. Karena ia seperti 
merahasiakannya, maka aku pun tidak berani mem-
bicarakannya. Hanya saja tingkah dan sikapnya memang 
agak aneh. Mungkin karena ia memiliki dasar yang lebih 
kuat ketimbang Wintarsa, maka ia tidak terlalu merasakan 
perubahan itu...,” jelas Ki Dungkala. 
Panji dan yang lainnya menjadi tegang mendengar 
penjelasan kepala keamanan desa itu. Orang yang 
diceritakan Ki Dungkala itu jelas lebih berbahaya daripada 
Wintarsa. Kalau pemuda itu mempelajarinya baru satu 
tahun saja sudah sedemikian hebat, entah bagaimana 
dengan orang yang diceritakan Ki Dungkala yang telah 
mempelajarinya lebih dari lima tahun! 
“Hm..., apakah orang itu memiliki tinggi tubuh seperti 
Ki Sama Tungga...?” tanya Panji setelah terdiam beberapa 
saat lamanya. 
Rupanya Pendekar Naga Putih kembali teringat kepada 
sosok tinggi kurus berjubah putih yang pemah bertarung 
dengannya. Dan, lawannya itu memang memiliki gerakan 
serupa dengan Wintarsa. Bahkan kelihatan jauh lebih kuat 
dan lebih mantap. 
“Yah..., mungkin dia orang yang kau ceritakan itu, 
Panji. Marilah kalian ikuti aku. Ia ada di suatu tempat yang 
tersembunyi. Dan ia sudah berbulan-bulan menyepi di 
sana. Aku sendiri tidak tahu, apa yang membuat dia 
bertindak seperti itu...,” ujar Ki Dungkala sambil

bergerak bangkit dan mengajak Panji dan yang lainnya 
untuk segera mengikutinya. 
*** 
Dengan Ki Dungkala sebagai penunjuk jalan, tidaklah 
sulit bagi mereka untuk menemukan tempat yang 
dimaksud lelaki gagah itu. Tidak berapa lama kemudian, 
tibalah mereka di dekat sebuah pondok tua yang berada 
jauh di bagian Utara Desa Margaluyu. Bahkan sudah 
berada di luar desa. 
“Hm.., di sinikah orang itu tinggal...?” tanya Panji 
sambil melangkah mendekati pondok itu. 
“Betul. Kuharap kalian semua berhati-hati. Sebab, 
bukan mustahil kalau dia telah mengetahui kedatangan 
kita...,” Ki Dungkala mengingatkan dengan wajah sedikit 
tegang. 
Namun, saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara tawa 
berkepanjangan yang mendirikan bulu roma. Bahkan, 
suara tawa itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang 
sangat dahsyat. Sehingga, Panji harus mengerahkan tenaga 
saktinya guna melindungi dada dan pendengarannya dari 
pengaruh suara tawa itu. 
“Kalian semua menyingkirlah jauh-jauh...!” seru Panji 
ketika melihat yang lainnya tampak limbung, karena 
mereka tidak sanggup menahan getaran suara tawa itu. 
“Ki Samparan, keluarlah! Kami sudah mengetahui 
bahwa semua yang terjadi di desa adalah perbuatanmu...!” 
teriak Ki Dungkala seraya melangkah mundur menjauhi 
pondok.

“Ki Samparan...?!” desis Ki Sama Tungga dan Wintarsa 
bersamaan. Jelas, keduanya telah mengenal baik orang 
yang namanya disebut Ki Dungkala tadi. 
“Ki Samparan...?! Kau maksudkan yang melakukan 
pembunuhan-pembunuhan itu adalah Kepala Desa 
Margaluyu sendiri...?” tanya Panji dengan wajah terkejut. 
Karena ia telah mendengar tentang Kepala Desa 
Margaluyu itu. Tapi, tidak menduga sama sekali kalau 
justru orang tua itulah yang melakukan kejahatan di dalam 
desanya. Sebab, selama berada di desa itu Panji sama 
sekali belum pernah berjumpa dengan Ki Samparan. 
Pemuda itu tidak ingat untuk menanyakannya, karena Ki 
Dungkala pun tidak pernah menyinggung-nyinggung 
tentang kepala desanya itu. 
“Benar, Panji. Ki Samparanlah yang kumaksudkan...,” 
jawab Ki Dungkala yang tampaknya merasa berduka 
mengingat orang yang selama ini menteror warga desa 
justru orang yang seharusnya melindungi penduduk desa 
itu. 
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba hembusan 
angin bertiup keras diiringi suara tawa yang menggetarkan 
jantung. Begitu hembusan angin itu lenyap, muncullah 
sesosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah 
panjang berwarna putih. Sosok itu berdiri angker 
menatapi wajah-wajah di hadapannya. 
“Hm..., apa maksudmu membawa mereka kemari, 
Dungkala? Apakah kau hendak mengandalkan Pendekar 
Naga Putih untuk menghentikan kesenanganku...?” tegur 
lelaki tinggi kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu. 
Rambut dan wajahnya tampak tidak terurus, persis seperti

orang gila. Sorot matanya demikian tajam, tertuju kepada 
Ki Dungkala yang badannya langsung menjadi gemetar. 
“Benar! Akulah yang akan menghentikan kegilaanmu, 
Ki Samparan! Kau telah tersesat terlalu jauh...,” ujar Panji 
yang langsung saja bergerak melindungi Ki Dungkala, 
ketika melihat tangan kanan Ki Samparan siap bergerak 
untuk menghabisi nyawa kepala keamanan desa itu. 
“He he he...! Kalau begitu, kaulah yang lebih dulu 
harus kukirim ke neraka, Pendekar Naga Putih..!” 
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Samparan telah 
melayang dengan pukulan-pukulan mautnya yang 
menimbulkan angin bercuitan. 
Whuuut! Whuuut! 
Cepat Pendekar Naga Putih menyuruh yang lainnya 
untuk menjauhi tempat itu. Sedangkan ia sendiri sudah 
bergerak dengan lompatan ke samping, guna menghindari 
serangan yang menebarkan bau amis dan harum yang 
memabukkan. Jelas, serangan Ki Samparan mengandung 
racun yang mematikan. 
“Hm...,” Panji yang telah mengetahui kelemahan 
lawan, segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas 
Bumi'. Sebab, Wintarsa pun lumpuh dengan tenaga 
mukjizat itu. 
Apa yang diduga Panji terbukti. Ki Samparan tampak 
sangat takut sekali ketika melihat tubuh pemuda itu 
mengeluarkan sinar kuning keemasan. Hal itu tidaklah 
aneh. Sebab, tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit 
itu mampu melumpuhkan ilmu sihir ataupun segala jenis 
racun yang paling jahat sekalipun.

Dan, karena Ki Samparan maupun Wintarsa tengah 
menderita keracunan, maka mereka pun takut melihat 
sinar keemasan yang membuat tubuh mereka seperti 
lemas. Sadar akan kelemahan lawan, Panji tidak mau 
membuang-buang waktu lagi. Cepat bagai kilat, pemuda 
itu langsung melesat menerjang lawannya. 
Whuttt! Plakkk! 
“Aaakh...!” 
Ki Samparan menjerit kesakitan, karena ia terpaksa 
harus menangkis serangan pemuda yang tidak mungkin 
dapat dielakkannya itu. Tubuh lelaki tua itu terjajar 
mundur. Wajahnya tampak agak pucat. Sepasang matanya 
bergerak liar seperti hendak mencari jalan untuk selamat. 
“Hm..., hendak lari ke mana kau...?!” bentak Panji 
ketika melihat lawannya melesat ke arah Ki Dungkala dan 
yang lainnya. Jelas Ki Samparan hendak mencari korban 
yang lebih mudah untuk dilenyapkan. 
Namun, lelaki tua itu tidak sempat untuk mencapai 
sasaran yang ditujunya. Karena Panji lebih dulu 
menyambut serangan lelaki tua yang telah gila itu. Merasa 
tidak ada jalan lain, Ki Samparan pun segera mengeluar-
kan seluruh kesaktiannya untuk melenyapkan Pendekar 
Naga Putih. Sehingga, keduanya segera terlibat dalam 
sebuah pertarungan sengit. 
Sebenarnya, kalau saja Panji tidak mempergunakan 
tenaga mukjizat itu, rasanya sangat sulit untuk dapat 
mengalahkan Ki Samparan. Tapi, karena tenaga mukjizat 
yang mengeluarkan sinar kuning keemasan itu mem-
pengaruhi kekuatannya, maka Ki Samparan dengan mudah 
dapat didesak Panji dengan gempuran-gempuran yang

cepat dan kuat. Apalagi jurus yang digunakan Panji adalah 
jurus andalan yang sukar dicari bandingannya. Maka, 
setelah lewat dari enam puluh jurus, tampak Ki Samparan 
mulai kewalahan. Berkali-kali lelaki gila itu berteriak-
teriak kesakitan, saat lengan mereka saling berbenturan 
keras. Dan ketika Pendekar Naga Putih mengerahkan 
tenaganya sambil mendorongkan sepasang telapak 
tangannya ke depan, lelaki tua itu menjerit ngeri. 
Blarrr...! 
Seberkas sinar kuning keemasan yang meluncur keluar 
dari sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih, meng-
hajar telak tubuh Ki Samparan. Akibatnya, tubuh tinggi 
kurus itu terpental deras sejauh dua tombak lebih. 
Tubuhnya terus meluncur menabrak dinding pondok yang 
kayunya memang telah lapuk. Cepat Panji berlari 
memburu ke arah tubuh lawannya. 
“Hhh...,” Panji hanya bisa menghela napas panjang 
ketika melihat tubuh Ki Samparan diam dan tak bergerak-
gerak lagi. 
Kepala desa yang telah menjadi gila itu tewas akibat 
hantaman dahsyat yang mengandung kekuatan mukjizat. 
Panji memang terpaksa menghabisi lawannya. Karena ia 
sadar bahwa tidak ada kemungkinan lagi untuk 
menyembuhkan Ki Samparan. Hanya kematianlah jalan 
yang terbaik bagi lelaki tua itu. 
Ki Dungkala tampak menunduk sedih melihat tubuh Ki 
Samparan yang sudah tak bernyawa lagi itu. 
“Semoga arwahmu di alam baka dapat tenang, Ki...,” 
ucap Ki Dungkala seraya mengangkat tubuh tinggi kurus 
itu dan membawanya ke desa.

Panji dan yang lainnya mengikuti tanpa berkata-kata. 
Mereka pun bersyukur bahwa teror yang selama ini 
melanda penduduk Desa Margaluyu telah dapat 
dilenyapkan. 



                              SELESAI 

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar