PETAKA KUIL TUA
Oleh T Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 051 :
Petaka Kuil Tua
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Malam kian merambah. Kepekatan makin kental
menyelimuti bumi. Suara nyanyian binatang-binatang
malam saling bersahutan. Desir angin mengalun perlahan
mempermainkan daun-daun pohon, sehingga menimbul-
kan gemerisik lembut di telinga. Rembulan tersenyum
malu di balik gumpalan awan kelabu. Semua itu makin
menambah keindahan suasana malam.
“Hm..., hari sudah semakin bertambah malam, Darmi.
Rasanya sudah waktunya aku pulang....”
Ucapan perlahan yang terasa agak berat itu meluncur
dari bibir seorang pemuda tampan. Meskipun wajahnya
tampak agak kehitaman, namun sosoknya cukup menarik.
Sepasang matanya menatap lembut gadis manis berambut
panjang yang duduk di sebelahnya.
Gadis manis berusia sembilan belas tahun yang
dipanggil Darmi itu tampak menunduk. Duduknya
digeser semakin merapat. Bangku bambu yang mereka
duduki berderit perlahan, saat Darmi menggeser
tubuhnya.
“Yahhh..., hari memang semakin bertambah malam,
dan Kakang harus segera pulang. Tapi, bagaimana dengan
pertanyaanku tadi, Kang? Kapan kau akan melamarku...?”
tanya Darmi perlahan, mirip bisikan. Wajah yang semula
tertunduk itu perlahan terangkat, dan menatap wajah
kekasihnya.
“Akan kuusahakan secepatnya, Darmi...,” sahut
pemuda tampan berkulit coklat itu seraya melingkarkan
lengannya ke tubuh kekasihnya. Darmi pun segera
merebahkan kepalanya di dada pemuda itu.
“Aku takut, Kang...,” desah Darmi bernada cemas.
“Tuan Muda Wintarsa selalu menggangguku. Aku
khawatir pemuda jahat yang sombong itu akan berbuat
yang tidak-tidak terhadap diriku. Hal itu tercermin dari
cara ia memandangku. Sepertinya aku bukan lagi melihat
sosok manusia. Tapi, binatang buas yang kelaparan...”
“Hm..., pemuda mata keranjang itu memang tak
ubahnya setan berwajah manusia...!” geram pemuda
tampan itu sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Ia tahu
persis, siapa yang dimaksudkan kekasihnya. “Baiklah, aku
pulang dulu, Darmi. Tentang pernikahan kita, akan
kubicarakan nanti dengan ayahku....”
“Betul...?” tanya Darmi agak ragu sambil mengikuti
kekasihnya bangkit. Sepasang mata gadis desa yang
sederhana itu tampak berpijar penuh kebahagiaan.
“Tentu saja betul...,” sahut pemuda itu melangkah dan
merangkul tubuh Darmi. Keduanya berjalan menuju
pondok yang berada di depan mereka.
“Kutunggu kabar darimu, Kakang...,” ucap Darmi
seraya menatap wajah kekasihnya, ketika ia berada di
ambang pintu belakang rumahnya. Tapi, pemuda tampan
itu sama sekali tidak menyahut, sebab ia telah memeluk
tubuh kekasihnya erat-erat, dan melumat bibir merekah
yang menantang itu.
“Aku pulang dulu...,” pamit pemuda itu seraya
melepaskan pelukannya dan beranjak meninggalkan Darmi
yang tersipu dengan napas agak sesak. Namun, tampak
seulas senyum bahagia terukir di bibirnya.
Dengan obor di tangan kanan, pemuda kekasih Darmi
itu melangkah menerobos kegelapan malam. Sebentar saja
rumah kekasihnya telah tertinggal cukup jauh di belakang.
Melihat dari gerak-geriknya, jelas pemuda itu bukanlah
orang lemah. Sepertinya, ia pun memiliki ilmu
meringankan tubuh yang lumayan.
“Hm..., kau benar-benar bandel, Suminta...!” tiba-tiba
terdengar suara teguran bernada penuh kegeraman.
Pemuda tampan itu pun menahan langkahnya dan
menoleh ke arah asal suara. Kakinya melangkah ke
belakang ketika melihat tiga sosok tubuh muncul dari
semak-semak di pinggir jalan.
“Kau..., Wintarsa...?!” desis pemuda tampan bernama
Suminta itu. Ia terkejut ketika obornya diangkat untuk
mengenali wajah ketiga lelaki yang menghadangnya.
“Hm..., dari mana kau malam-malam begini, Suminta?
Apakah kau sudah lupa dengan peringatanku tempo
hari...?” tegur pemuda pesolek berwajah tampan, yang
tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Suminta. Sepasang mata
Wintarsa tampak menyiratkan kemarahan yang masih
ditahan.
“Apa hakmu melarangku berhubungan dengan Darmi,
Wintarsa? Sedangkan Darmi sendiri menyukaiku. Dan, ia
tidak suka kepadamu!” jawab Suminta dengan menyebut
Wintarsa begitu saja, tanpa embel-embel tuan muda. Hal
itu membuat kening Wintarsa menjadi berkerut tak
senang.
“Keparat! Kau semakin besar kepala saja, Suminta!
Sudah berani melanggar laranganku, kau pun sudah tidak
lagi menaruh hormat kepadaku! Semua itu akan membuat
kau sekeluarga menjadi celaka, Suminta!” bentak Suminta.
Pemuda pesolek itu menjadi geram ketika mendengar
bantahan Suminta yang tidak menaruh hormat lagi
kepadanya. Wintarsa kemudian berpaling kepada dua
orang di kiri dan kanannya, dan memberikan isyarat.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki kekar
berpakaian serba hitam, yang menjadi tukang pukul
Wintarsa, segera melompat dan mengepung Suminta.
Melihat hal itu, Suminta cepat bergerak mundur seraya
mengebutkan obor di tangannya ke kiri dan kanan.
Perbuatannya itu membuat kedua orang tukang pukul
Wintarsa bergerak menghindar.
“Hm..., kau memang harus diberi peringatan keras,
Kerbau Dungu!” ujar salah seorang tukang pukul
Wintarsa, geram. Kemudian laki-laki kasar itu pun segera
menyiapkan jurusnya guna menghadapi Suminta.
“Haaat...!”
Orang yang berada di sebelah kanan Suminta berteriak
sambil melompat dan melontarkan pukulan keras ke arah
kepalanya. Suminta melangkah ke belakang, kemudian
membalas dengan sebuah tendangan kilat. Sebentar saja,
ketiga orang itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan
seru. Suminta berjuang keras untuk menghadapi kedua
orang lawannya yang memang terkenal sebagai jagoan-
jagoan di Desa Margaluyu itu.
“Heaaah...!”
Wrrr...!
Lidah api kembali berkobar ketika Suminta
mengebutkan obornya, guna menghadapi serangan dari
sebelah kanan. Sayang pemuda tampan itu kalah gesit,
sehingga sebuah tendangan keras dari sebelah kiri tidak
dapat dihindarinya, dan menghajar telak iganya.
Bukkk!
“Akh...!”
Suminta bergulingan menjauhi kedua orang lawannya.
Meskipun dengan wajah agak menyeringai, pemuda itu
bergerak bangkit dan siap melakukan perlawanan kembali.
Sedangkan obor dalam genggamannya telah terlepas, dan
berada dalam genggaman Wintarsa yang mengangkatnya
ke atas sebagai penerangan
“Rasakan kepalanku...!” bentak lelaki berkumis tebal
yang menjadi tukang pukul Wintarsa sambil melontarkan
kepalannya yang menimbulkan desiran angin tajam.
Whuttt...!
Suminta merundukkan kepala, sehingga kepalan lawan
lewat di atas kepalanya. Sayang, ia tidak menduga sama
sekali kalau serangan susulan lawan datang demikian
cepat. Akibatnya, tubuh Suminta kembali terpelanting ke
belakang. Dan belum lagi sempat bangkit dan merasakan
akibat tendangan itu, tahu-tahu lawan di sebelah kanannya
sudah menendang iganya kuat-kuat.
“Aaakh...!”
Suminta kembali memekik kesakitan. Darah segar
mulai menetes dari sudut bibirnya. Meskipun demikian,
pemuda bertubuh gagah itu berusaha merangkak bangkit
untuk melakukan perlawanan kembali.
“Hm...,” kali ini Wintarsa sendiri yang sudah
melangkah maju. Kaki kanannya langsung mencelat ke
wajah Suminta yang tengah merangkak maju itu.
Desss!
“Highhh...!”
Untuk kesekian kalinya, tubuh Suminta kembali
terlempar akibat tendangan kuat itu. Beberapa buah
pukulan dan tendangan masih menerpa wajahnya. Tampak
wajah tampan itu babak belur berbaur dengan darah.
Sehingga, sulit untuk mengenalinya.
Suminta merintih kesakitan tanpa mampu bangkit lagi.
Sepertinya, Wintarsa dan kedua orang tukang pukulnya
sama sekali tidak menginginkan kematian pemuda itu.
Dalam penyiksaan mereka sengaja tidak mengerahkan
tenaga terlalu kuat, agar Suminta tidak jatuh pingsan.
Sehingga pemuda itu dapat merasakan penderitaan akibat
pukulan dan tendangan mereka. Hal itu menandakan
bahwa Wintarsa dan kedua tukang pukulnya merupakan
orang-orang kejam yang tidak berperikemanusiaan.
“Hm..., ini merupakan peringatan terakhir, Suminta.
Sekali lagi kau berani mendekati Darmi, kepalamu akan
kupatahkan...!” ancam Wintarsa sambil menarik rambut
Suminta ke atas. Sedangkan kakinya menekan punggung
pemuda itu dengan kasar.
Suminta hanya bisa merintih menahan sakit pada
kepalanya yang dipaksa terangkat ke belakang. Setelah
berkata demikian, Wintarsa melepaskan kepala Suminta
begitu saja, sehingga wajah pemuda itu membentur tanah,
membuat Suminta mengerang kesakitan. Dari lubang
hidungnya, darah segar kembali mengalir.
Wintarsa dan kedua orang tukang pukulnya bergerak
meninggalkan tubuh Suminta yang tergeletak di tanah.
Pemuda tampan pesolek itu melemparkan obor di
tangannya, persis di depan wajah Suminta. Pemuda
malang itu menyeret tubuhnya ke belakang, karena
wajahnya yang berada dekat api obor terasa panas bagai
terbakar.
Dengan susah payah, Suminta bergerak bangkit
berdiri. Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa,
pemuda itu bergerak menerobos kepekatan malam dengan
langkah tertatih-tatih.
***
“Ohhh...,” Suminta mengerang seraya menyandarkan
tubuhnya di dinding rumah.
Saat ini sudah lewat tengah malam. Hembusan angin
sudah semakin dingin ketika Suminta tiba di rumahnya.
Pemuda malang itu langsung bergerak ke belakang rumah
untuk membersihkan wajahnya dengan air sumur.
“Akh...?!” Suminta menahan jeritannya ketika
wajahnya dirasakan perih. Lalu kakinya melangkah masuk
ke dalam rumah melalui pintu belakang.
Sinar pelita yang temaram menerpa tubuhnya ketika ia
berada di dalam rumah. Suminta langsung menuju
kamarnya, dan membaringkan tubuhnya disertai helaan
napas berat.
“Keparat kau, Wintarsa...!” umpat Suminta sambil
mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Suminta benar-benar geram sekali terhadap pemuda
kaya yang sombong dan kejam itu. Hatinya mengeluh bila
mengingat perbedaan kehidupannya dengan Wintarsa
yang laksana bumi dan langit.
Pemuda putra tunggal seorang juragan terkaya di Desa
Margaluyu itu memang seringkali memaksakan
kehendaknya kepada orang lain. Apa yang diinginkannya
harus tercapai, meskipun dengan jalan kekerasan. Tidak
sedikit orang yang telah menjadi korban tindak
kesewenang-wenangan pemuda jahat itu. Tapi, orangtua
Wintarsa selalu membela putranya, dan membungkam
mulut orang-orang desa yang menjadi korban putranya
dengan sekantung uang.
Orang-orang desa tidak berani menuntut karena sudah
ada beberapa penduduk yang kedapatan tewas. Hal itu
disebabkan karena mereka tidak mau menerima uang
pembungkam dari juragan kaya itu. Sedangkan Kepala
Desa Margaluyu tidak berani mengambil tindakan. Ia lebih
suka menutup mata, dan tak mau melihat kejadian di
sekelilingnya.
“Hhh...,” Suminta kembali mengeluh bila teringat akan
keadaan dirinya.
Suminta tahu, yang menjadi incaran Wintarsa adalah
Darmi, kekasihnya. Dan juga diketahuinya, Wintarsa tidak
akan pernah berhenti sebelum mendapatkan Darmi.
Ingatan itu membuat Suminta bangkit dari tidurnya.
Otaknya bekerja cepat untuk mencari jalan keluar dari
persoalan ini.
“Hm..., satu-satunya jalan, aku harus membawa lari
Darmi meninggalkan desa ini...,” gumam Suminta
mengambil keputusan, setelah mempertimbangkan segala
akibatnya. Semua itu dilakukan karena ia sangat mencintai
kekasihnya, dan tidak rela kalau Darmi jatuh ke tangan
Wintarsa.
Berpikir demikian, Suminta bangkit dan mem-buntal
beberapa pakaiannya. Kemudian bergegas keluar dari
dalam kamar. Sebelum meninggalkan rumah, kakinya
melangkah ke ruangan depan untuk melihat kedua
orangtuanya yang menurut pikirannya pasti masih
terlelap.
“Eh...?!”
Kening Suminta berkerut ketika melihat ruangan
depan berantakan. Meja kursi tampak terbalik, seperti
sengaja diobrak-abrik orang!
“Ayah...?!” Suminta tercekat ketika di dalam
keremangan sinar pelita, dilihatnya sesosok tubuh
berlumuran darah tengah tergeletak di dekat meja yang
terbalik. Pemuda itu langsung melompat, dan memeriksa
keadaan ayahnya.
Bukan main sedihnya hati Suminta ketika ia mendapat
kenyataan bahwa lelaki tua itu telah tewas. Beberapa luka
bekas pukulan tampak membiru di sekujur tubuh ayahnya.
Jelas orang tua itu telah disiksa sampai tewas!
“Ibu...?!”
Seperti disengat kalajengking, Suminta melepaskan
tubuh ayahnya. Cepat ia melesat ke dalam ketika teringat
akan ibunya. Dan, apa yang disaksikannya benar-benar
membuat hati pemuda itu hancur luluh.
Suminta meraung bagaikan seekor singa luka.
Wajahnya pucat. Kedua kakinya serasa gemetar karena
tidak sanggup menyaksikan pemandangan di depan
matanya. Suminta jatuh dengan bertelekan kedua
lututnya. Lalu, sambil menangis sesenggukan, pemuda itu
menekap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Ibu...!”
Suminta menguatkan hatinya untuk bergerak bangkit
dan memasuki kamar orangtuanya. Wajah pemuda yang
sembab oleh bekas luka-luka pukulan, tampak pucat
berlinang air mata. Hatinya benar-benar hancur melihat
tubuh ibunya tergantung di tiang rumah dengan lidah
terjulur!
Dengan kedua tangan gemetar, Suminta menurunkan
tubuh ibunya. Angkin yang biasanya melingkar di
pinggang perempuan yang melahirkannya itu, tampak
menjerat leher. Sekilas pemuda itu menyangka kalau
ibunya sengaja menggantung diri. Tapi Suminta dapat
meraba, apa yang membuat ibunya sampai gantung diri.
Dan, ia pun sudah mulai menduga apa yang menyebabkan
kematian ayahnya.
“Hm..., tidak salah lagi. Ini pasti perbuatan si keparat
Wintarsa. Mungkin ia datang ke tempat ini untuk
mencariku. Tapi, karena ayah tidak memberitahukannya,
maka ia pun menyiksanya sampai tewas. Sedangkan ibu,
mungkin sengaja bunuh diri ketika melihat ayah tewas!
Benar-benar biadab sekali pemuda laknat itu! Ia
sepantasnya menjadi iblis...!” geram Suminta dengan hati
terselimut dendam membara.
Teringat akan Wintarsa, Suminta langsung saja melesat
keluar dengan maksud untuk meminta tanggung jawab
Wintarsa atas kematian kedua orangtuanya. Tapi, langkah
pemuda itu tertahan ketika di depan rumahnya telah
berkumpul beberapa orang penduduk yang rumahnya
tidak berjauhan dengan tempat tinggal pemuda itu.
“Suminta, kau hendak ke mana...?” tanya salah seorang
pemuda sambil melangkah menghampiri Suminta yang
berdiri dengan wajah pucat, dan sepasang mata merah
menyala terbakar api dendam.
“Akan kubunuh keparat keji itu...!” desis Suminta yang
membuat tetangganya bergetar ketika mendengar ucapan
pemuda itu.
“Percuma, Suminta. Kalau kau pergi juga, itu sama saja
dengan bunuh diri! Sebaiknya tinggalkan saja desa ini.
Bawa kekasihmu pergi jauh-jauh. Kami tidak bisa berbuat
lain kecuali menasihatimu. Kau tahu sendiri, apa akibatnya
orang yang berani mencampuri urusan pemuda mata
keranjang yang jahat itu...,” ujar seorang lelaki setengah
baya.
Menilik dari ucapan lelaki setengah baya itu, dapat
diketahui kalau para tetangga Suminta telah tahu tentang
kematian orangtuanya. Hanya saja mereka tidak bisa
berbuat lain, kecuali mengutuk Wintarsa yang berhati
iblis itu. Kalaupun mereka kini memergoki Suminta, itu
karena mereka sempat mendengar raungan pemuda itu di
saat melihat ibunya yang tewas tergantung.
“Tidak! Biarpun harus mati, aku tetap akan mendatangi
pemuda iblis itu! Ia sudah tidak pantas lagi untuk disebut
sebagai manusia, Ki. Pemuda itu jelas merupakan iblis
berkedok manusia...!” bantah Suminta, tetap berkeras
hendak membalas kemati-an kedua orangtuanya.
“Kalau kau berkeras hendak membalas kematian
orangtuamu sekarang juga, terserahlah. Tapi, perlu kau
ingat! Siapakah yang kelak akan membalaskan sakit hati
mereka, bila kau sampai tewas sebelum sempat
menyentuh tubuh pemuda iblis itu? Sampai hatikah kau
membiarkan arwah kedua orangtuamu menjadi setan-
setan penasaran karena dendamnya tak terbalaskan? Hanya
karena kecerobohan dan ketololan putranya. Sadarlah,
Suminta. Agar dendammu itu terlaksana, sebaiknya
menyingkirlah untuk sementara waktu. Ajaklah kekasih-
mu meninggalkan desa ini. Carilah ilmu sebanyak-
banyaknya untuk bekalmu membalas kematian orang
tuamu. Mengenai mayat kedua orangtuamu, biarlah kami
yang urus.”
Ucapan lelaki tua itu membuat hati Suminta lumer.
Kepalanya bagaikan tersiram air dingin. Kesadarannya pun
pulih kembali ketika orang tua itu menyebut-nyebut
tentang setan-setan penasaran jelmaan ayah ibunya.
“Terima kasih, Ki. Juga saudara-saudara semua.
Baiklah, aku akan menyingkir dari desa ini sesuai anjuran
kalian. Tolong urus mayat kedua orangtuaku baik-baik.
Mudah-mudahan kelak aku bisa membalas kematian
mereka. Agar arwah-arwah mereka dapat tenang, dan
tidak menjadi setan-setan penasaran...,” ujar Suminta,
setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Kemudian, setelah berpamitan kepada para tetangga,
Suminta segera berlari menerobos kegelapan malam
menjelang fajar.
“Hhh...! Satu lagi korban kekejaman pemuda laknat
itu. Entah keluarga mana yang menjadi korban
selanjutnya...?” desah lelaki tua berusia lima puluh tahun
yang baru saja menasihati Suminta.
Para penduduk Desa Margaluyu baru bergerak
mengurus mayat kedua orangtua Suminta, setelah
bayangan pemuda malang itu lenyap ditelan kegelapan
malam.
***
DUA
Tok, tok, tok...!
Ketukan di pintu kayu itu demikian kuat, sehingga
membangunkan penghuninya yang sedang terlelap tidur.
Seorang lelaki setengah baya bergerak ke pintu, setelah
menyambar sebilah golok yang terselip di dinding rumah.
“Siapa...?” tanya lelaki setengah baya itu dengan wajah
tegang. Meskipun Desa Margaluyu tidak pemah dijarah
perampok atau sebangsanya, namun lelaki setengah baya
itu tetap saja curiga.
“Aku, Ki. Suminta...,” sahut suara di balik pintu yang
kedengarannya tegang dan terburu-buru.
Mendengar nama Suminta dan suaranya yang telah
dikenal baik, lelaki setengah baya itu segera membukakan
pintu. Seketika wajahnya tampak kaget ketika melihat
wajah Suminta yang masih sembab, seperti habis
berkelahi.
“Apa yang terjadi, Suminta...? Mengapa wajahmu
penuh luka bekas pukulan...?” tanya lelaki setengah baya
yang bernama Ki Pawaka itu dengan wajah cemas.
Diajaknya Suminta masuk, namun pemuda itu menolak.
“Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya, Ki. Aku
harus segera membawa Darmi meninggalkan desa ini.
Kedua orangtuaku telah tewas terbunuh. Sedangkan aku
dihajar habis-habisan oleh si keparat Wintarsa dan tukang
pukulnya. Dugaanku, pemuda keparat itulah yang telah
membunuh kedua orangtuaku. Itulah sebabnya, aku
datang malam-malam begini hendak membawa Darmi
pergi. Mana Darmi, Ki...?” jelas Suminta terburu-buru
seraya menorehkan kepalanya ke kiri dan kanan. Seolah-
olah ia khawatir kedatangannya diketahui orang lain.
“Kakang...! Ada apa...?!”
Seraut wajah manis yang tampak masih kusut, datang
menghampiri kedua orang lelaki itu. Suminta langsung
saja menarik tangan Darmi yang tampak keheranan itu.
“Kita harus segera meninggalkan desa ini, Darmi.
Kalau tidak, cepat atau lambat Wintarsa pasti akan
menculikmu. Ayolah kita pergi...!” ajak Suminta.
Wajah Darmi langsung pucat mendengar ucapan
kekasihnya. Apalagi ketika dilihatnya wajah Suminta yang
biru sembab seperti habis dipukuli orang.
“Tapi...”
“Nanti kujelaskan di perjalanan. Cepat berkemaslah!
Kita harus meninggalkan desa ini sebelum fajar...!” potong
Suminta tanpa memberi kesempatan kepada kekasihnya
untuk bertanya-tanya lagi.
“Cepatlah, Darmi. Menurutku, ini memang merupa-
kan jalan satu-satunya untuk menghindari pemuda keparat
itu...!” Ki Pawaka ikut pula menyuruh putrinya untuk
berkemas. Jelas orang tua itu setuju dengan tindakan
Suminta. Karena ia sendiri sudah merasa putus asa ketika
mengetahui bahwa Wintarsa mengincar putrinya.
Tanpa banyak cakap lagi, Darmi segera berkemas.
Kemudian, keduanya berpamitan kepada Ki Pawaka yang
mengantarkan kepergian putrinya dengan mata berair.
“Hati-hatilah, semoga kalian bisa mendapatkan
ketenangan di tempat lain...,” ucap Ki Pawaka. Hati lelaki
setengah baya itu sebenarnya sedih karena bagaimanapun
juga, ia merasa berat melepas kepergian putrinya.
“Mudahan-mudahan kita dapat bertemu lagi, Ki...,”
ujar Suminta yang diam-diam merasa terharu mendapat
kepercayaan dari Ki Pawaka untuk membawa pergi putri
tunggalnya.
Ki Pawaka baru menutup daun pintu rumahnya ketika
bayangan Suminta dan Darmi lenyap ditelan kegelapan.
Kini lelaki setengah baya itu harus memikirkan jalan
keluar untuk selamat dari tumpahan kemarahan Wintarsa,
bila pemuda itu datang mencari Darmi.
***
Matahari belum begitu tinggi ketika lima orang
penunggang kuda berpacu cepat meninggalkan Desa
Margaluyu. Sikap mereka tampak terburu-buru seperti
tengah mengejar sesuatu. Hal itu terlihat dari cara mereka
memacu binatang tunggangan masing-masing, yang berlari
cepat bagaikan dikejar setan.
“Hea..., heaaa...!”
Penunggang kuda yang terdepan adalah seorang
pemuda tampan pesolek. Melihat dari raut wajahnya,
usianya paling tidak sekitar dua puluh tahun lebih.
Sepasang matanya tampak seringkali meredup,
membayangkan kelicikan dan kekejaman. Siapa lagi
pemuda tampan pesolek itu kalau bukan orang yang
dipanggil sebagai Tuan Muda Wintarsa oleh penduduk
Desa Margaluyu.
Sedangkan empat orang lelaki penunggang kuda
lainnya, rata-rata bertubuh kekar dan bermata tajam
menyeramkan. Wajah mereka membayangkan sifat yang
kasar dan bengis. Keempat orang itu adalah tukang pukul
Wintarsa. Mereka selalu menyertai ke mana pemuda itu
pergi. Meskipun tidak jarang pemuda itu hanya membawa
dua orang dari mereka. Kalau kali ini keempat tukang
pukulnya dibawa, tentu ada sesuatu hal yang membuat
pemuda itu marah.
Kelima ekor kuda yang tampak kekar dan kuat itu
melesat bagaikan anak panah membelah semak-semak
yang menghalangi jalan. Mereka telah cukup jauh
meninggalkan Desa Margaluyu, dan mulai memasuki jalan
berbatu yang tidak rata. Meskipun demikian, kelima
penunggang kuda itu sama sekali tidak memperlambat lari
kudanya.
“Itu mereka, Tuan Muda...!” tiba-tiba salah seorang di
antara tukang pukul Wintarsa berseru sambil
menudingkan jari telunjuknya ke depan, ke arah dua
orang yang tengah berjalan terburu-buru.
“Hm..., sudah kuduga mereka pasti belum pergi
jauh...,” gumam Wintarsa menggeram, menekan
kemarahan yang siap meledak
“Celaka...!”
Pemuda tampan berkulit kecoklatan yang berjalan
sambil menggenggam tangan gadis di sampingnya, berseru
dengan wajah pucat. Jelas para penunggang kuda yang
berada di belakang mereka telah diketahuinya.
“Bagaimana ini, Kakang...?” terdengar suara gadis
manis berkulit kuning langsat itu penuh kecemasan.
Ternyata mereka adalah Suminta dan Darmi yang
meninggalkan Desa Margaluyu untuk menghindari
kekejaman Wintarsa. Sayang, mereka dapat ditemui oleh
orang yang dikhawatirkan itu.
“Berhenti...!” seru Wintarsa keras ketika melihat
Suminta dan Darmi berlari menerobos hutan lebat di
sebelah kanan mereka.
Sambil berkata demikian, pemuda itu cepat membedal
kudanya yang langsung melesat dengan kecepatan kilat. Di
belakang, empat orang tukang pukulnya bergegas
mengejar dengan jalan menyebar. Jelas mereka hendak
menghadang dua orang itu dari depan.
Meskipun Suminta dan Darmi berusaha berlari
secepatnya, tapi mereka tak mampu berpacu dengan
kuda-kuda yang kokoh itu. Sebentar saja, dua orang
tukang pukul Wintarsa telah menghadang langkah
mereka.
“He he he...! Mau lari ke mana kau, heh...?!” ujar salah
seorang tukang pukul Wintarsa yang berwajah brewok
dengan bekas luka di pipi kanannya. Kemudian ia segera
melompat turun dari punggung kudanya, diikuti
rekannya.
“Keparat! Kalian benar-benar iblis!” maki Suminta
sambil mencabut senjata, siap melindungi kekasihnya dari
ancaman orang-orang kasar itu.
“Hm..., jangan sok berpura-pura sebagai pahlawan,
Suminta! Berani sekali kau membawa lari perempuan yang
telah menjadi pilihan tuan muda kami! Rupanya kau
memang patut dibikin mampus...!” geram salah sseorang
dari kedua tukang pukul Wintarsa.
“Surgala, tahan...!”
Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang mencegah
tindakan kedua orang tukang pukul itu. Wintarsa langsung
melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian,
melangkah lebar dengan sikap sombong menghampiri
Suminta dan Darmi.
“Kau benar-benar iblis berkedok manusia, Wintarsa!
Mengapa kau masih juga mengejar kami? Apakah nyawa
kedua orangtuaku masih belum membuatmu puas...?!”
geram Suminta yang benar-benar merasa benci sekali
kepada pemuda pesolek di depannya itu.
“Kurang ajar! Apa maksudmu, Suminta? Aku sama
sekali tidak mengerti dengan apa yang kau katakan itu.
Sebaiknya cepat kau serahkan Darmi kepadaku. Dan, kau
boleh pergi ke mana kau suka...!” bentak Wintarsa yang
menjadi berang ketika mendengar perkataan Suminta yang
memang tidak dimengerti olehnya, atau Wintarsa
berpura-pura bodoh?
“Huh! Sandiwaramu sudah basi, Wintarsa! Semua
orang Desa Margaluyu sudah tahu akan sifatmu yang selalu
ingin memiliki apa yang kau inginkan. Kau tidak peduli
apakah caramu itu kotor atau tidak, yang penting
keinginanmu terlaksana. Sekarang kau coba memungkiri
perbuatanmu yang telah membunuh kedua orangtuaku
secara biadab!” ujar Suminta tidak kalah gertak.
Suminta kini kelihatan tidak lagi gentar terhadap
Wintarsa dan tukang-tukang pukulnya. Hal itu
dikarenakan ia sadar kalau dirinya tak mungkin dapat
selamat lagi. Sehingga, rasa takut yang ada di hatinya
segera ditepiskan.
“Keparat! Hajar pemuda bermulut besar itu...!”
perintah Wintarsa dengan wajah berang. Sebentar saja,
dua di antara empat orang tukang pukul pemuda itu telah
menerjang Suminta.
“Heaaah...!”
Suminta tidak mau menyerah begitu saja. Cepat
pedangnya dikibaskan memberi perlawanan. Sebentar
saja, ketiganya telah terlibat dalam pertarungan yang
sengit, tapi berat sebelah!
Bukkk!
Sebuah pukulan keras mendarat tepat di dada Suminta!
Tubuh pemuda itu langsung terjengkang, dan dari
mulutnya keluar darah segar! Meskipun demikian,
Suminta bergegas bangkit dan siap melanjutkan
pertarungan.
“Kakang...!” seru Darmi seraya memburu tubuh
Suminta yang tampak tengah berdiri bergoyang-goyang
merasakan dadanya yang sesak dan seperti remuk itu.
Wintarsa yang melihat gerakan Darmi, segera melesat
dan menangkap tubuh gadis desa itu. Kemudian,
memeluknya erat-erat. Dara manis itu hanya bisa
menangis sedih melihat kekasihnya dihajar habis-habisan
oleh dua orang tukang pukul Wintarsa.
“Jangan...! Lepaskan Kakang Suminta, biarkan dia
pergi! Aku akan menuruti perintahmu kalau kau mau
melepaskannya, Wintarsa...!” seru Darmi di antara isak
tangisnya yang memilukan. Jelas Darmi tidak ingin
melihat kekasihnya disiksa sampai mati. Gadis itu lebih
suka mengorbankan dirinya ketimbang melihat kematian
pemuda yang dicintainya.
“Betulkah ucapanmu itu, Darmi...?” tanya Wintarsa
seraya mendekatkan wajahnya ke wajah gadis manis itu.
“Aku memang sudah lama merindukanmu, Darmi. Dan,
sebentar lagi kau akan menjadi milikku. Untuk apa kau
pilih Suminta yang bodoh dan miskin itu...?”
“Bebaskan dia, dan aku akan menuruti semua
keinginanmu...,” ujar Darmi sambil menghindari ciuman
pemuda yang sepertinya sudah kerasukan setan itu.
Sementara itu, Suminta sudah jatuh bangun dipermain-
kan oleh dua orang tukang pukul Wintarsa. Darah segar
bercucuran dari mulut dan hidungnya. Meskipun
demikian, kedua orang tukang pukul itu belum juga
berhenti menyiksanya.
Desss...!
“Huakh...!”
Sebuah tendangan keras kembali menghantam tubuh
Suminta. Tubuh pemuda itu langsung terjengkang dan
memuntahkan darah segar. Suminta terkapar tanpa
mampu bangkit lagi.
“Hiaaa...!”
Desss...!
Kembali sebuah tendangan keras menerpa wajah
Suminta. Tubuh pemuda itu tersentak ke atas, dan jatuh
berdebuk ke tanah dengan suara keras. Terdengar
suaranya merintih lirih. Tubuhnya bergerak-gerak lemah,
tidak mampu untuk berdiri.
“Kakang...!” Darmi menjerit keras ketika melihat
tubuh Suminta terkapar berlumuran darah. Gadis itu
berontak sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari
dekapan Wintarsa. Tapi, tenaga Wintarsa yang kuat
membuatnya tak berdaya. Darmi akhirnya hanya bisa
merintih pilu melihat Suminta yang masih bergerak-gerak
lemah di atas tanah.
“Habisi dia...!” Wintarsa kembali memerintah tukang
pukulnya, sambil membawa Darmi yang hanya mampu
berteriak-teriak dengan wajah bersimbah air mata.
“Hm..., manusia-manusia kejam...!” Tiba-tiba ter-
dengar teguran halus. Dan bersamaan dengan itu, muncul
sesosok pemuda tampan mengenakan jubah putih panjang.
Sepasang mata pemuda itu menyorot tajam menggetarkan
jantung kedua orang tukang pukul yang hendak
menyelesaikan perintah tuannya.
“Siapa kau, Kisanak?! Harap jangan mencampuri
urusan kami...!” bentak tukang pukul berwajah brewok,
seraya mengepalkan tinjunya yang besar dan tampak kuat.
Sepertinya ia hendak menggertak pemuda tampan itu,
yang menurutnya akan segera lari ketakutan.
Sayang, pemuda itu sama sekali tidak gentar. Kakinya
malah melangkah perlahan mendekati kedua tukang pukul
Wintarsa yang menjadi marah melihat kebandelan pemuda
itu.
“Hm..., rupanya kau pun ingin merasakan kerasnya
kepalanku...!” geram lelaki brewok yang bernama Surgala
itu. Kemudian, ia melangkah menghampiri pemuda itu,
dan kepalannya langsung dilayangkan dengan separuh
tenaga.
Bukkk!
“Uuugh...!”
Pukulan keras Surgala mendarat telak di dada
lawannya. Tapi, bukannya tubuh pemuda itu yang
terjengkang, melainkan tubuhnya sendiri yang terjajar
mundur. Lelaki kekar itu tampak memijat-mijat kepalan
tangannya yang terasa sakit. Wajahnya tampak dihantui
keheranan besar.
Belum lagi keterkejutan Surgala hilang, tiba-tiba
terdengar jerit kesakitan, yang disusul melayangnya
sesosok tubuh tegap ke arah mereka.
Brukkk!
“Tuan Muda...?!” seru Suminta dan ketiga orang
kawannya.
Mereka terkejut sekali ketika mengenali sosok tubuh
yang terbanting di dekat mereka itu. Cepat kepala mereka
menoleh ke arah semak-semak, di mana majikan mereka
tadi menghilang. Dan, dari tempat itu muncul seorang
dara jelita berpakaian serba hijau sambil membimbing
Darmi. Jelas dara jelita itulah yang melemparkan tubuh
Wintarsa.
“Siapa kalian sebenarnya...?” tanya Surgala bernada
menuntut jawaban dari pemuda tampan berjubah putih
dan dara jelita berpakaian serba hijau, yang telah berdiri
berdampingan mengapit Darmi.
“Hm..., mengenai jati diri kami tidaklah perlu. Yang
jelas, kami adalah orang-orang yang membenci tindakan
sewenang-wenang!” tegas pemuda tampan berjubah putih
itu dengan suara mantap.
Wintarsa yang baru saja bangkit berdiri, cepat
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang terkena debu.
Wajahnya terangkat menatap seraut wajah jelita
berpakaian serba hijau. Pemuda pesolek itu tidak lagi
melihat daya tarik Darmi ketika kedua wanita itu berdiri
berjejer. Sampai-sampai Wintarsa menelan air liurnya
melihat dara jelita yang sama sekali belum pernah
dijumpainya dalam mimpi sekalipun. Tak mengherankan
kalau pemuda mata keranjang itu tidak bisa berbicara
untuk beberapa saat lamanya. Sepasang matanya yang
berminyak, bergerak liar menjelajahi sekujur tubuh dara
jelita berpakaian serba hijau itu.
“Hm...,” dara jelita berpakaian serba hijau itu tampak
marah. Sepasang matanya yang besar dan indah itu
menyorot tajam. Agaknya ia tidak suka dengan sikap
Wintarsa yang dianggapnya tidak sopan. Dan, tahu-tahu
saja tubuhnya melesat ke arah Wintarsa dengan tamparan
keras ke wajah pemuda pesolek itu.
Plakkk!
Surgala yang melihat majikannya terancam, segera
melesat menyambut datangnya serangan dara jelita itu.
Akibatnya, tubuhnya terpental balik dan hampir ter-
pelanting. Untunglah salah seorang di antara kawannya
bergerak menyelamatkannya.
“Gila! Kalian ini setan atau manusia...?!” pekik Surgala
yang baru kali ini merasa dipecundangi oleh seorang
wanita dengan sekali gebrak! Dan ia sama sekali tidak bisa
mencegah ketika gadis itu melanjutkan serangannya ke
arah Wintarsa.
Whuuut...!
Tamparan keras yang mendatangkan angin berkesiutan
itu luput ketika Wintarsa menggeser langkahnya ke kiri,
dan terus melompat ke belakang. Tentu saja gadis
berpakaian serba hijau itu menjadi penasaran. Maka, ia
pun kembali mengejar dengan serangan berikutnya.
Meskipun merasa gentar, Surgala segera
memerintahkan kawan-kawannya untuk melindungi
majikan mereka. Cepat keempat orang tukang pukul itu
menghunus senjata, dan langsung mengeroyok dara jelita
itu.
Namun, pemuda tampan berjubah putih itu rupanya
tidak tinggal diam. Tubuhnya langsung melayang, meng-
hadang keempat orang tukang pukul Wintarsa.
“Biarkan mereka bermain-main sebentar. Kalau kalian
merasa sudah gatal tangan, biarlah aku yang akan meng-
hadapi kalian...,” ujar pemuda tampan yang berdiri tegak
dan menunggu datangnya serangan lawan.
“Keparat! Kucincang tubuhmu...!” pekik Surgala yang
benar-benar jengkel melihat pemuda tampan itu meng-
hadangnya. Cepat pedangnya dibabatkan secara mendatar
dengan maksud hendak membabat putus tubuh pemuda
itu.
Sementara itu, tiga orang tukang pukul lainnya tidak
tinggal diam. Mereka langsung bergerak mengeroyok
pemuda tampan berjubah putih itu, yang berloncatan
menghindari sambaran empat pedang lawannya.
Plakkk! Desss...!
Salah seorang lawan yang membacokkan pedangnya
dari atas ke bawah, dipapaki telapak tangan pemuda itu.
Dan ia pun langsung mengirimkan hantaman telapak
tangan kanannya ke dada lawan. Akibatnya, tubuh orang
itu terjengkang dan memuntahkan darah segar.
Kemudian, diam tak bergerak lagi. Pingsan!
Surgala dan ketiga orang kawannya menjadi marah
bukan main. Mereka menerjang pemuda tampan itu
dengan serangan yang cepat dan kuat. Tapi, lagi-lagi salah
seorang dari pengeroyok itu terpaksa keluar dari arena
pertarungan. Tendangan pemuda tampan itu membuat
lawannya langsung pingsan. Melihat dari gerakannya,
kelihatan sekali kalau pemuda itu sengaja tidak
menurunkan tangan kejam kepada lawan-lawannya.
Setelah tiga jurus berlalu, kedua orang lawan
terjungkal. Surgala dan seorang kawannya itu langsung
terlempar akibat tamparan keras yang menghantam pelipis
dan perut mereka. Sebentar saja, keempat orang tukang
pukul Wintarsa itu sudah bergeletakan tak berdaya.
***
TIGA
Setelah menundukkan keempat orang lawannya, pemuda
tampan berjubah putih yang tak lain dari Panji, atau yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih itu menoleh
sekilas ke arah pertarungan lainnya. Menyaksikan betapa
dara jelita berpakaian hijau itu tengah menghajar lawannya
hingga jatuh bangun, Panji melangkah ke arah Suminta
yang tengah ditangisi Darmi.
Darmi menyingkir sedikit, seolah-olah hendak mem-
berikan peluang kepada penolongnya untuk memeriksa
kekasihnya. Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera
memeriksa Suminta. Namun, pemuda tampan itu hanya
bisa menghela napas ketika mengetahui bahwa Suminta
sudah tidak bernyawa lagi. Rupanya luka-luka di sekujur
tubuh pemuda desa itu telah banyak mengeluar-kan darah.
Akibatnya, Suminta menghembuskan napasnya yang
terakhir sebelum Panji sempat menolongnya.
“Menyesal sekali, Nisanak. Kawanmu ini tidak bisa
tertolong lagi. Relakanlah kepergiannya...,” ucap Panji
seraya mengusap wajah Suminta yang tampak sepasang
matanya masih terbuka seperti menyimpan penasaran dan
kebencian yang dalam.
“Kakang...,” desis Darmi. Air matanya serasa telah
habis karena terlalu banyak menangis. Gadis itu hanya bisa
merintih pilu menyaksikan kekasihnya tewas.
“Tabahkan hatimu, Nisanak...,” ucap Panji perlahan.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak mengangkat
mayat Suminta, menjadi terkejut ketika mendengar pekik
kaget di belakangnya. Tentu saja Panji kenal betul dengan
suara kekasihnya. Maka, pemuda berjubah putih itu cepat
membalikkan badan, hendak mengetahui apa yang terjadi
dengan kekasihnya.
“Eh?!”
Panji menahan seruannya ketika melihat kekasihnya
tampak tersunat mundur dengan wajah agak pucat. Cepat
pemuda itu melesat ke arah pertempuran yang tengah
terhenti.
“Hei...! Apa yang terjadi dengan pemuda itu...?” desis
Panji yang juga menjadi terkejut ketika telah berada di
dekat Kenanga, yang saat itu tengah berhadapan dengan
Wintarsa.
“Aku tidak tahu, Kakang. Ketika ia terjatuh oleh
pukulanku yang keras, tahu-tahu saja pemuda itu
menggereng seperti singa luka. Dan .., wajahnya berubah
mengerikan...!” desis Kenanga dengan wajah agak pucat.
Kelihatan sekali kalau dara jelita itu sangat terkejut
melihat perubahan pada lawannya, yang sama sekali tidak
pernah diduganya.
Wajar kalau Kenanga yang semula menghajar habis-
habisan pemuda pesolek itu menjadi terkejut. Ia memang
merasa benci melihat perbuatan pemuda itu terhadap
gadis lemah yang ditolongnya. Karena itu, ia sengaja tidak
memukul roboh Wintarsa, tapi menjadikan tubuh pemuda
itu bulan-bulanan agar ia kapok. Sungguh tidak disangka
kalau tiba-tiba pemuda pesolek itu berubah menakutkan!
“Grrrrg...!”
Kembali terdengar suara gerengan yang menggetarkan
jantung. Suara itu keluar dari kerongkongan Wintarsa.
Wajah pemuda itu tampak gelap seperti orang yang
kehilangan ingatan. Bahkan, sepasang matanya memancar-
kan sorot yang demikian menggetarkan jantung. Entah apa
yang sudah terjadi dengan pemuda pesolek itu.
“Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak wajar pada diri
pemuda itu. Aku belum tahu apa penyebabnya. Yang
pasti, kurasa ia sangat berbahaya sekali. Kau menyingkir
dulu, Kenanga. Biar aku yang akan mengatasinya...,” ujar
Panji yang sempat tergetar juga hatinya melihat sorot
wajah dan tatapan pemuda pesolek itu.
Namun, yang diincar Wintarsa ternyata bukan Panji.
Terbukti sepasang mata yang merah menyala itu bergerak
mengikuti langkah Kenanga, yang meninggalkan arena
pertarungan. Kembali terdengar gerengannya yang meng-
getarkan tempat itu.
Meskipun sadar bahwa dirinyalah yang diincar pemuda
itu, Kenanga tetap saja melanjutkan langkahnya. Dara
jelita itu sama sekali tidak merasa khawatir kalau tiba-tiba
pemuda itu menyerangnya. Sebab, ia merasa yakin Panji
tidak akan tinggal diam.
“Kreaaagh...!”
Mendadak Wintarsa memekik laksana binatang buas
yang kesakitan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya yang
tegap melayang ke arah Kenanga dengan jari-jari ter-
kembang, siap mencengkeram tubuh dara jelita ber-
pakaian hijau itu.
“Hm...,” Panji tentu saja tidak tinggal diam. Bagai
kilat, tubuh pemuda tampan itu melesat cepat memotong
gerak lawan yang hendak mencelakai kekasihnya.
Plakkk! Plakkk!
“Heh...?!”
Terdengar benturan keras dua kali berturut-turut yang
memekakkan telinga. Dan, kedua sosok tubuh yang saling
berbenturan lengan itu sama-sama terdorong ke belakang.
Tentu saja Panji tidak menduga sama sekali kalau
lawannya memiliki kekuatan yang hebat.
Dengan gerakan yang indah, tubuh Pendekar Naga
Putih berputar dua kali di udara, kemudian mendarat
ringan di atas tanah. Namun, pemuda itu menjadi terkejut
ketika melihat tubuh lawannya kembali sudah melayang
mengejar Kenanga.
“Gila...! Hebat sekali pemuda itu...!” desis Panji yang
tentu saja jadi tidak habis pikir. Kalau memang pemuda
itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, mengapa
ketika Kenanga menolong Darmi, ia bisa dihajar dengan
mudah?
Tapi, Panji tidak sempat lagi memikirkan keanehan itu
lebih jauh. Sebab, saat itu Kenanga telah bertarung dengan
Wintarsa. Tampak Kenanga terdesak oleh serangan-
serangan ngawur, tapi berbahaya dari pemuda itu. Cepat
Panji melesat memasuki arena pertempuran.
“Hait...!”
Plakkk, plakkk.... Desss...!
Begitu memasuki arena pertarungan, Pendekar Naga
Putih langsung memapaki tamparan Wintarsa dan
mengirimkan sebuah pukulan keras yang telak
menghantam dada kiri pemuda itu. Akibatnya, tubuh
pemuda pesolek itu terpental ke belakang sejauh satu
tombak lebih.
Namun, kembali Panji diliputi keheranan besar.
Hantaman telapak tangannya yang mampu meremukkan
batu karang itu, ternyata sama sekali tidak membuat tubuh
lawannya luka. Bahkan, saat telapak tangannya menyentuh
dada pemuda aneh itu, Panji merasakan dari tubuh
pemuda itu ada sebuah kekuatan yang menolak hantaman
telapak tangannya. Tentu saja Pendekar Naga Putih
menjadi semakin terkejut dan heran!
“Tahan...!” tiba-tiba Panji mengeluarkan bentakan
nyaring ketika melihat pemuda aneh itu sudah bersiap
hendak menerjangnya kembali.
Pendekar Naga Putih memang sengaja mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya melalui bentakan itu. Hal itu
dilakukannya untuk melenyapkan pengaruh kekuatan sihir
yang mungkin berada dalam diri pemuda pesolek itu.
Tapi, bentakan itu sama sekali tidak membuat Wintarsa
berubah. Sosoknya tetap menggetarkan dengan sorot mata
memerah!
Kenanga sendiri yang mendengar bentakan kekasihnya,
terjajar limbung. Untunglah tenaga saktinya cukup untuk
melindungi isi dadanya dari guncangan hebat akibat
bentakan itu. Kalau tidak, gadis ini mungkin sudah jatuh
pingsan.
Darmi, gadis desa yang tidak memiliki ilmu silat itu,
merasakan akibat bentakan yang dikeluarkan Panji. Gadis
berwajah manis itu seperti diangkat dari tempat
duduknya. Sehingga, ia jatuh dan tak sadarkan diri.
Untung saja jarak Darmi dan Panji terpisah tiga tombak
lebih. Kalau tidak sejauh itu, mungkin Darmi terpaksa
harus merelakan nyawanya melayang dari badan.
Wintarsa sendiri menjawab bentakan Panji dengan
sebuah gerengan yang tidak kalah kuatnya. Bahkan angin
berhembus keras ketika pemuda itu mengeluarkan
gerengannya yang panjang. Sehingga, Panji sendiri
terpaksa mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi
dada.
“Kenanga, bawa gadis itu menjauhi tempat ini...!” seru
Panji mengingatkan kekasihnya akan bahaya yang
menimpa Darmi. Untunglah gadis itu telah jatuh pingsan.
Kalau tidak, nasibnya tidak akan tertolong lagi!
Kenanga yang merasakan kedua kakinya hampir
lumpuh akibat gerengan Wintarsa, segera bergerak
mendekati Darmi. Kemudian membawa tubuh gadis desa
itu menjauhi arena pertarungan yang benar-benar
mengerikan itu.
“Hm..., kalau didiamkan, pemuda ini jelas sangat
berbahaya. Ia sepertinya tidak sadar dengan apa yang
dilakukannya. Satu-satunya jalan, aku harus menunduk-
kannya...,” gumam Panji seraya mengerahkan seluruh
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Wintarsa kembali mengeluarkan gerengan meng-
getarkan ketika merasakan hawa dingin yang menusuk
tulang, berhembus menerpa tubuhnya. Kemudian, kaki-
nya bergerak maju dengan langkah-langkah aneh seperti
orang mabuk. Bahkan gerakan kedua lengannya terlihat
sangat kacau dan tidak beraturan. Meskipun demikian,
angin yang ditimbulkan terdengar bercicitan menulikan
telinga. Jelas, pada sepasang lengan pemuda itu
menyembunyikan kekuatan yang hebat.
“Gila...! Ilmu apa yang dipergunakannya...? Tampak-
nya demikian kacau dan tidak beraturan. Tapi, kekuatan-
nya jelas sangat berbahaya. Semua itu mudah ditebak dari
sambaran angin yang tercipta dari putaran lengannya.
Benar-benar aneh pemuda ini...!” gumam Panji sambil
bergerak memutar ketika melihat lawannya semakin
mendekat.
“Keeekh...!”
Diiringi pekikan aneh yang sama sekali belum pernah
didengar Panji sebelumnya, tubuh pemuda aneh itu
melayang ke arah lawannya dengan ca-karan-cakaran yang
bercicitan merobek udara. Jelas, sambaran yang
menimbulkan angin dan menyakitkan gendang telinga itu
sangat berbahaya. Bahkan, samar-samar tercium bau racun
keluar dari sambaran tangannya.
“Heah...!”
Pendekar Naga Putih bergerak ke kanan dengan
lompatan kecil, sehingga sambaran cakar lawan dapat
dielakkan. Kemudian, ia langsung membalas dengan
sebuah tamparan keras ke arah pelipis lawannya. Namun,
ketika serangannya dapat dihindari, Panji segera
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah perut
lawannya.
Plakkk!
Kembali keduanya terjajar ke belakang ketika
tendangan Panji ditepiskan telapak tangan lawannya.
Keduanya kembali saling terjang dengan hebatnya,
membuat sekitar arena pertarungan seperti dilanda angin
topan yang keras. Pepohonan di sekitar tempat itu
berderak-derak bagaikan hendak patah.
Kenanga yang menyaksikan pertempuran itu dari
kejauhan, menjadi tegang hatinya. Dara jelita itu benar-
benar tidak mengerti, mengapa pemuda tampan yang
semula seperti tidak berdaya menghadapi serangannya
tadi, kini terlihat sangat tangguh sekali. Bahkan Panji
sendiri kelihatan cukup sulit untuk menundukkannya
cepat-cepat. Kejadian itu benar-benar membuat Kenanga
tidak mengerti.
Sementara itu, pertarungan sengit antara Panji dan
Wintarsa masih terus berlanjut. Panji sendiri menjadi
penasaran ketika lewat dari enam puluh jurus, ia belum
juga mampu menundukkan lawannya. Bahkan, untuk
mendesak pun sangat sulit. Karena jurus-jurus aneh
lawannya benar-benar sangat tangguh, dan merupakan
benteng pertahanan yang sangat kuat.
“Yeaaah...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh,
Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'
yang sangat jarang dipergunakannya. Karena hanya dengan
suara pekikannya saja, Panji dapat membunuh lawannya.
Lantaran pembuluh darah lawannya bisa pecah, akibat
pekikan maut itu.
Tapi, untuk kesekian kalinya, Panji kembali harus
memuji kehebatan lawan. 'Pekikan Naga Marah'nya sama
sekali tidak menimbulkan pengaruh apa-apa pada
Wintarsa, yang juga mengeluarkan pekikan menggetar-
kan. Jelas, kali ini Pendekar Naga Putih benar-benar
menemui lawan yang sangat tangguh!
“Eaaarghhh...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedelapan
puluh lima, mendadak Wintarsa mengeluarkan gerengan
aneh mirip raung singa yang sekarat. Berbarengan dengan
itu, ia segera menerjang lawan dengan gerakan-gerakan
yang semakin bertambah cepat Dan Panji sendiri menjadi
repot dibuatnya.
Desss...!
“Hukkkh...!”
Panji tidak sempat lagi mengelakkan sebuah tendangan
kuat yang singgah di perutnya. Akibatnya, tubuh pemuda
tampan berjubah putih itu terpental ke belakang, sejauh
satu setengah tombak.
Untunglah tubuhnya telah dilindungi lapisan kabut
bersinar putih keperakan, sehingga tidak membuat
pemuda itu terluka parah. Dan, ketika tubuh lawan sudah
meluncur dengan kecepatan kilat hendak menghabisi
nyawanya, Panji bergerak ke kiri sambil memutar
tubuhnya setengah lingkaran. Dari sebelah bawah,
sepasang telapak tangannya yang berisikan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan', langsung menghantam tubuh Wintarsa
dengan telak!
Desss...!
“Huakhhh...!”
Kali ini Panji yakin bahwa lawannya tidak mungkin
selamat lagi. Sebab, pukulannya itu dikerahkan dengan
seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Tapi, apa yang diduga Pendekar Naga Putih ternyata
meleset. Meskipun lawannya memuntahkan darah segar,
namun tetap saja belum mampu membuat pemuda aneh
itu tewas. Dan, Panji hampir tidak mempercayai
kenyataan yang berada di hadapannya itu.
“Gila...! Bagaimana mungkin ia masih dapat selamat
dari pukulanku...? Seberapa kebal pun tubuhnya, paling
tidak tulang-tulangnya pasti remuk...?!” desis Panji sambil
menggeleng-gelengkan kepala penuh kekaguman. Tapi,
sebelum Pendekar Naga Putih sempat berbuat sesuatu,
tiba-tiba Wintarsa berseru seraya mengibaskan kedua
tangan kearahnya.
“Heh...?!” Panji berseru kaget ketika dari kedua
telapak tangan Wintarsa menyebar bubuk-bubuk beracun
berwarna merah muda.
Pendekar Naga Putih cepat melompat ke belakang
sambil memutar sepasang lengannya untuk menghalau
bubuk-bubuk beracun, yang menutupi pandangannya.
Panji terpaksa harus berhati-hati dengan racun yang
ditebarkan lawannya. Sebab, dengan kepandaian lawannya
yang sangat tinggi, bukan tidak mungkin racun yang
digunakannya dapat mematikan.
“Keparat...!” geram Panji ketika tidak melihat sosok
lawannya.
Memang, pada saat Pendekar Naga Putih sibuk meng-
halau bubuk-bubuk beracun itu, Wintarsa telah lenyap.
Bahkan, keempat sosok lelaki berpakaian hitam yang
menjadi tukang pukul pemuda pesolek itu pun lenyap
entah ke mana.
“Ke mana perginya pemuda aneh itu, Kakang...?” tegur
Kenanga yang melangkah menghampiri Panji ketika
melihat pertempuran telah berakhir. Gadis itu heran
ketika tidak menemukan sosok pemuda aneh yang menjadi
lawan kekasihnya.
“Hhh..., aku sendiri tidak tahu. Karena khawatir
dengan bubuk beracun yang berbahaya itu, maka aku
melompat menjauhi racun yang menuju ke arahku.
Apakah kau tidak sempat melihatnya tadi...?” Panji balik
bertanya karena mungkin saja dara jelita itu melihatnya.
“Arena pertarungan terlalu gelap dipehuni asap merah
muda. Sehingga aku tidak bisa melihatnya...,” jawab
Kenanga yang juga tidak sempat melihat sosok pemuda
aneh itu.
“Hm..., kalau begitu, tinggal satu-satunya orang yang
tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Dan, kita harus
menanyakan kepadanya...,” gumam Panji setelah berpikir
beberapa saat lamanya. Kemudian, kakinya melangkah
bersama Kenanga ke arah tempat di mana gadis itu
meninggalkan Darmi.
Namun, setibanya di tempat persembunyian Kenanga
tadi, keduanya tidak menemukan sosok Darmi. Tentu saja
kenyataan itu membuat Panji dan Kenanga menjadi
kebingungan. Sebab mereka sama sekali tidak melihat
ataupun mendengar langkah kaki orang yang melarikan
diri.
“Aneh..., ke mana perginya gadis desa yang malang
itu...?” desis Panji yang menjadi tidak mengerti dengan
apa yang telah dialaminya. Sebab, mana mungkin
keduanya dikecoh oleh seorang gadis desa yang lemah itu.
“Mayat pemuda kawannya itu pun sudah tidak ada di
tempatnya semula, Kakang...,” ujar Kenanga setelah
mengedarkan pandangannya, dan tidak menemukan mayat
pemuda desa yang disiksa empat orang berpakaian hitam
tadi. “Apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini...?”
Panji termenung seolah hendak mencari jawaban dari
semua kejadian aneh yang dialaminya barusan. Namun,
meskipun telah memeras otaknya, tetap saja apa yang baru
saja dialaminya itu belum terpecahkan. Sehingga, pemuda
tampan itu hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan
kekasihnya.
“Apakah semua ini hanya merupakan tipuan dari
seorang ahli sihir, Kakang...?” tanya Kenanga lagi yang
sepertinya belum bisa melenyapkan semua keanehan itu
dari pikirannya.
“Tidak mungkin, Kenanga. Kalau benar semua ini
hanya permainan sihir, pasti sudah punah ketika aku
berteriak dengan menggunakan tenaga dalam tadi. Tapi,
nyatanya tidak. Bahkan pemuda aneh itu sanggup
membalas pekikanku dengan tidak kalah hebatnya. Hanya
yang menjadi pertanyaan bagiku sekarang, mengapa gadis
desa dan mayat pemuda itu juga lenyap? Apakah mungkin
kalau gadis desa yang kelihatan lemah dan hanya bisa
menangis itu sanggup membawa mayat pemuda itu?
Atau..., mungkin juga ada seorang tokoh sakti yang telah
menyelamatkannya tanpa setahu kita...,” hanya itu yang
terpikirkan oleh Panji. Sebab, memang tidak ada jalan lain
yang bisa digunakan sebagai pemecahan masalah itu.
“Yahhh..., mungkin dugaan itulah yang paling benar
untuk saat ini, Kakang...,” desah Kenanga, menyetujui
dugaan Panji.
“Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini, Kenanga.
Dan, kita harus dapat mencari jawaban dari semua
kejadian aneh ini...,” ujar Panji, mengajak Kenanga
meninggalkan tempat itu untuk mencari kunci jawaban
dari semua keanehan yang baru saja dialami mereka.
EMPAT
Hari masih pagi. Matahari baru saja menampakkan
cahayanya yang kuning keemasan. Kehangatan segera
menyapu permukaan bumi. Namun, penduduk Desa
Margaluyu tampak berduyun-duyun menuju balai desa.
Wajah mereka tampak diliputi tanda tanya besar.
Apa yang menimbulkan rasa penasaran di hati para
penduduk desa barulah terjawab setelah mereka tiba di
balai desa. Sebab, di depan pintu gerbang bangunan itu
terdapat dua sosok mayat manusia yang digantung secara
biadab,
“Iblis...!” desis seorang lelaki setengah baya dengan
wajah membayangkan kengerian yang amat sangat. “Hanya
iblislah yang tega melakukannya....”
“Hei...! Bukankah itu Suminta dan Darmi...?!” seru
seorang laki-laki bertubuh gemuk, berusia sekitar empat
puluh tahun. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah dua
sosok mayat itu. Jelas, mayat-mayat yang digantung di
depan gerbang balai desa itu dikenalinya.
Beberapa orang lelaki yang tampaknya kawan dari
lelaki gemuk itu tidak berani menyahut sama sekali.
Wajah-wajah mereka tampak pucat karena merasa
ketakutan ketika mendengar ucapan kawannya yang agak
keras itu.
“Jangan mencari perkara. Sebaiknya, kita berpura-pura
tidak mengenali mayat-mayat itu. Apa kau ingin bernasib
seperti mereka...?” bisik salah seorang kawannya, yang
rupanya mengkhawatirkan nasib lelaki gemuk itu.
Sehingga, lelaki gemuk itu menjadi bungkam seperti baru
menyadari kesalahannya.
Saat itu matahari semakin naik tinggi. Penduduk Desa
Margaluyu tampak semakin banyak yang berdatangan.
Desa itu pun menjadi gempar menyaksikan kejadian yang
benar-benar membuat hati mereka resah itu.
Seorang lelaki kekar berusia sekitar empat puluh tahun
tampak berusaha mendekat dengan jalan menyeruak
kerumunan para penduduk desa. Melihat dari sikapnya
yang tegas dan gagah, serta beberapa orang berseragam
hitam yang menyertainya, jelas lelaki gagah itu merupakan
seorang yang berpengaruh di Desa Margaluyu.
“Hayo..., hayo menyingkir! Beri jalan untuk Ki
Dungkala...!” terdengar salah seorang dari enam lelaki
berseragam hitam itu berteriak-teriak sambil mengibaskan
lengannya ke kiri dan kanan. Orang-orang desa yang
berkerumun itu pun segera menyisih, memberi jalan
kepada lelaki gagah yang bernama Ki Dungkala itu.
“Hm..., benar-benar keji sekali... Entah siapa yang
demikian tega melakukan hal ini...?” desis lelaki gagah itu
seraya menatap mayat yang tergantung di atas pintu
gerbang balai desa.
Kepala Ki Dungkala menggeleng-geleng melihat
keadaan mayat wanita muda yang pakaiannya tidak karuan
itu. Sekali pandang saja, dapat diduga apa yang telah
terjadi dengan gadis itu sebelum terbunuh. Sedangkan
mayat lelaki muda di sebelahnya tampak seperti telah
menerima siksaan sebelum kematiannya. Benar-benar
sebuah perbuatan yang sangat keji dan tidak ber-
perikemanusiaan.
Setelah memperhatikan kedua sosok mayat itu, Ki
Dungkala menatap kerumunan penduduk. Kemudian,
pandangannya beredar ke sekeliling.
“Saudara-saudara sekalian, siapa di antara kalian yang
mengenali kedua mayat yang malang ini...?!” terdengar
suara Ki Dungkala mengatasi suara bising yang bagaikan
dengungan lebah itu.
Sebentar saja suasana menjadi sunyi. Para penduduk
desa itu saling berpandangan satu sama lain. Seolah
hendak mencari siapa di antara mereka yang bisa
mengenali mayat-mayat itu.
Cukup lama Ki Dungkala menunggu jawaban dari para
penduduk desa. Namun, tak seorang pun yang terlihat
dapat mengenali kedua sosok mayat itu. Melihat hal itu,
Ki Dungkala kembali mengulangi pertanyaannya dengan
suara yang lebih keras.
“Saudara-saudara sekalian! Kalau kejadian ini kita
biarkan, bukan mustahil bisa terulang lagi. Dan, bukan
tidak mungkin kalau yang menjadi korban selanjutnya
adalah diri saudara ataupun putra dan putri kalian.
Kuharap kalian jangan merasa takut untuk mengadu bagi
siapa yang mengenali kedua mayat ini. Aku yang akan
bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Sebagai kepala
keamanan di Desa Margaluyu ini, aku mengharapkan
bantuan dari kalian semua...!” ujar Ki Dungkala, yang
rupanya dapat menduga mengapa tidak ada seorang
penduduk pun yang berani menyahuti pertanyaannya.
Ki Dungkala menunggu beberapa saat lamanya seraya
mengedarkan pandang matanya berkeliling. Sepertinya ia
tidak perlu lagi menunggu lama, karena seorang lelaki
berusia enam puluh lima tahun tampak menyeruak
kerumunan penduduk. Lelaki itu kemudian mendekati
tempat Ki Dungkala berada.
“Tuan. Aku sudah tua, dan tinggal menunggu mati
saja. Untuk itu aku tidak lagi merasa takut terhadap
ancaman ataupun siksaan. Aku kenal kedua mayat itu.
Mereka adalah Suminta dan Darmi. Keduanya semalam
melarikan diri dari desa ini untuk menyelamatkan diri.
Karena gadis yang bernama Darmi itu diincar oleh putra
tunggal Ki Sama Tungga, orang paling kaya dan ber-
pengaruh di Desa Margaluyu ini. Sedangkan mengenai
siapa yang melakukan hal ini, aku tidak tahu persis. Tapi,
semalam kedua orangtua Suminta telah tewas ter-
bunuh...,” bisik lelaki tua itu perlahan. Rupanya ia tidak
ingin ada orang lain yang mendengar keterangannya itu.
“Maksudmu..., Tuan Muda Wintarsa...?!” tegas Ki
Dungkala dengan kening berkerut.
Lelaki gagah itu memang sering mendengar
selentingan tentang perbuatan Wintarsa. Tapi, karena
tidak pernah mendapatkan bukti yang kuat, Ki Dungkala
tidak bisa bertindak untuk menangkap pemuda itu.
Sedangkan seluruh anggota keluarga sampai para
pembantu keluarga Ki Sama Tungga selalu bisa mem-
berikan kesaksian tentang keberadaan pemuda itu di
rumah, saat peristiwa terjadi. Sehingga Ki Dungkala tidak
bisa berbuat apa-apa. Apalagi kepala desanya selalu
memperingatkan agar ia tidak mengganggu keluarga Ki
Sama Tungga
“Hm....”
Ki Dungkala terdengar menggumam perlahan ketika
melihat anggukan kepala kakek itu. Wajahnya tampak
memerah. Jelas lelaki gagah itu tengah dilanda kemarahan
hebat.
“Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Aku akan
berusaha untuk menangani kejadian ini sebaik-baiknya...,”
ujar Ki Dungkala seraya menepuk-nepuk bahu lelaki tua
itu perlahan. Kemudian, kepala keamanan desa itu
memerintah para pembantunya untuk menurunkan dan
menguburkan kedua mayat Suminta dan Darmi.
Para penduduk desa mulai meninggalkan tempat itu
satu persatu. Mereka saling berbicara satu sama lain.
Seolah masih mempertanyakan tentang siapa mayat yang
malang itu. Namun, suasana menjadi semakin gaduh
ketika terdengar jerit kematian yang melengking tinggi
bagaikan merobek angkasa. Teriakan kematian itu
membuat sebagian penduduk melarikan diri berserabutan
tanpa arah. Sedangkan sebagian yang lain menoleh ke arah
asal jeritan melengking tinggi itu.
Ki Dungkala yang mendengar teriakan itu segera
berkelebat cepat ke arah asal suara. Hati lelaki gagah itu
terkejut bukan main ketika melihat lelaki tua yang barusan
berbicara kepadanya, telah tergeletak tewas. Tubuh lelaki
tua itu tampak menghitam seperti keracunan. Di perutnya
tampak tertancap sebilah belati. Jelas senjata itulah yang
telah merenggut nyawanya.
“Biadab...!” desis Ki Dungkala seraya mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, seolah hendak mencari orang
yang dicurigainya.
Sepasang mata Kepala Keamanan Desa Margaluyu ini
kemudian kembali tertuju kepada mayat lelaki tua yang
malang itu. Perlahan tangannya terulur, mencabut belati
yang tertancap di perut mayat itu. Digunakannya sehelai
kain agar telapak tangannya tidak terkena racun, yang
mungkin terdapat pada gagang belati itu.
“Urus mayat ini...,” perintah Ki Dungkala kepada dua
orang lelaki berpakaian serba hitam yang menjadi
bawahannya.
Kemudian, kepala keamanan desa itu melangkah
sambil mengamati balati di tangannya. Keningnya tampak
berkerut dalam. Sepertinya ia ingin mengenali belati itu.
Namun, meskipun Ki Dungkala memeras otaknya, tetap
saja ia tidak bisa mengenali belati yang tidak mempunyai
tanda-tanda khusus itu. Kemudian, Ki Dungkala mem-
bungkus belati itu dengan kain hitam, dan menyimpannya.
Sepertinya ia merasa belati itu mungkin ada gunanya
kelak.
***
Seorang pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita
berpakaian serba hijau, melangkah lebar memasuki mulut
Desa Margaluyu. Keduanya sama sekali tidak mem-
pedulikan pandangan orang-orang desa yang berpapasan
dengan mereka. Keduanya tetap melangkah tenang, meski
pun orang-orang desa itu menatap mereka dengan rasa
curiga.
“Hm..., mereka tampaknya seperti tidak menyukai
kehadiran kita, Kakang...,” bisik dara jelita berpakaian
hijau, tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan matanya
tertuju lurus ke depan. Sehingga tidak seorang pun yang
menyangka ia berbicara. Apalagi bibirnya tidak kelihatan
bergerak.
“Sepertinya begitu,” sahut pemuda tampan berjubah
putih, juga tanpa menoleh. Langkahnya tenang dan tetap
terayun perlahan. “Tapi, kita tidak perlu mempeduli-
kannya. Itu hak mereka....”
Setelah agak jauh berjalan, keduanya membelok
memasuki sebuah kedai makan yang menyediakan tempat
untuk menginap. Saat itu senja telah datang. Perlahan
keremangan mulai menyelimuti Desa Margaluyu.
Kedua orang muda itu sama sekali tidak mem-
pedulikan tatapan curiga dari beberapa orang pengunjung
kedai, yang menoleh serentak saat keduanya masuk.
Delapan pasang mata itu baru beralih ketika pemuda
tampan dan dara jelita itu mengedarkan pandangan
mereka ke sekeliling ruangan. Keduanya duduk dengan
tenang, lalu memesan makanan dan minuman kepada
seorang pelayan yang datang menghampiri.
“Penduduk desa ini benar-benar aneh. Lama-lama aku
bisa jengkel dengan sikap mereka yang tidak menyenang-
kan itu...,” gerutu dara jelita berpakaian hijau itu.
Rupanya, ia mulai merasa terganggu dengan pandangan
penduduk desa yang jelas-jelas menaruh rasa curiga dan
tidak senang terhadap kehadiran mereka.
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya tersenyum
mendengar gerutuan kawannya, yang meskipun pelan
namun terdengar cukup jelas. Pemuda itu tampak
menghela napas panjang.
“Kenanga..., kita tidak tahu apa yang menyebabkan
sikap mereka demikian aneh dan menjengkelkan. Menurut
firasatku, sepertinya di desa ini telah terjadi sesuatu yang
membuat mereka resah. Sehingga, setiap orang asing yang
datang ke sini selalu dicurigai. Jadi, kuharap kau bisa
menahan kemarahanmu dan memaklumi sikap mereka.
Biarlah nanti kutanyakan kepada pelayan kedai ini, agar
kau tidak penasaran...,” janji pemuda tampan berjubah
putih yang tak lain dari Panji itu. Suaranya agak berbisik,
agar tidak sampai terdengar orang lain.
“Hhh..., terserah Kakang sajalah...,” sahut Kenanga
seraya melemparkan senyum untuk menyenangkan hati
kekasihnya.
Tidak berapa lama kemudian, pelayan pun datang
membawakan pesanan mereka. Kemudian, menatanya di
atas meja dengan rapi. Namun, ketika hendak
meninggalkan meja, Panji menahannya dengan halus.
“Maaf, Paman. Kami ada perlu sebentar...,” ujar Panji
seraya menatap wajah pelayan yang sepertinya agak
kurang senang. Namun, Panji tidak mempedulikannya dan
melanjutkan ucapannya. “Kami memerlukan dua buah
kamar untuk menginap. Dapatkah Paman menyediakan-
nya?”
“Bisa. Kisanak lihat sendiri tulisan di depan kedai ini,
bukan?” sahut pelayan bertubuh kurus itu, tanpa
menampakkan kesan yang ramah, sebagaimana seorang
pelayan. Setelah berkata demikian, pelayan itu kembali
hendak meninggalkan Panji. Namun, pemuda itu
menahannya.
“Mmm..., ada satu hal lagi yang hendak kami
tanyakan, Paman. Nampaknya ada sesuatu yang
meresahkan penduduk desa ini, dapatkah Paman
menjelaskannya...?” tanya Panji lagi.
Pertanyaan pemuda tampan berjubah putih itu ternyata
membuat sikap pelayan itu berubah. Wajahnya yang kurus
tampak pucat. Sepasang matanya bergerak liar, seolah ada
sesuatu yang sangat ditakutinya. Bahkan, pada keningnya
mulai menitik butir-butir keringat. Jelas, pelayan itu
sangat ketakutan.
“Maaf, aku masih banyak pekerjaan...,” ujarnya dengan
suara gemetar. Kemudian, pelayan itu langsung beranjak
meninggalkan Panji dan Kenanga yang menjadi keheranan.
Pemuda itu tidak berusaha mencegah. Karena ia bisa
memaklumi rasa takut yang menyelimuti diri pelayan itu.
“Hm..., jelas ada sesuatu yang aneh di desa ini. Kita
harus menyelidikinya, Kakang...,” bisik Kenanga
sepeninggal pelayan kedai itu. Sepertinya dara jelita ini
penasaran ketika melihat sikap pelayan itu benar-benar
mencurigakan.
“Yah..., sepertinya memang begitu. Tapi, entah apa
yang telah membuat pelayan itu demikian ketakutan...?”
sahut Panji dengan nada rendah.
Sesaat kemudian, mereka segera menikmati makanan
yang telah terhidang di atas meja. Sesekali, Kenanga
mencuri pandang ke sekelilingnya, seolah hendak
menangkap basah bilamana ada orang yang memperhati-
kannya. Namun, ternyata tak seorang pun yang mem-
perhatikan mereka lagi.
Baru saja Panji dan Kenanga menyelesaikan makannya,
masuk seorang lelaki gagah yang ditemani empat orang
lelaki berseragam hitam. Sikap lelaki gagah itu tampak
angker dan berwibawa. Ditambah lagi wajahnya terhias
kumis lebat, yang membuat wajahnya semakin berwibawa
bagi orang-orang yang memandangnya.
Baik Panji maupun Kenanga hanya menoleh sekilas ke
arah rombongan kecil itu. Mereka tidak menaruh curiga
sama sekali terhadap kelima orang lelaki yang tampaknya
sangat dihormati oleh penduduk setempat. Terbukti
pelayan kedai yang ketakutan tadi, terlihat membungkuk
hormat kepada lelaki itu. Demikian pula dengan beberapa
orang pengunjung kedai yang lain. Rata-rata mereka
menyapa dengan nada hormat. Tentu saja hal itu membuat
Panji dan Kenanga menjadi tertarik.
Tapi, rupanya Kenanga dan Panji tidak perlu mencari
tahu tentang jati diri lelaki gagah itu. Sebab, mereka
langsung melangkah ke meja pasangan pendekar muda itu.
“Maaf, kalau kedatanganku mengganggu Kisanak
berdua,” ujar lelaki gagah yang tak lain dari Ki Dungkala.
“Boleh aku duduk bersama kalian...?”
“Tidak mengapa, Paman. Silakan...,” sambut Panji
yang sedikit heran, dan mulai menduga-duga apa kira-kira
maksud kedatangan lelaki gagah yang langsung
menemuinya itu.
“Aku adalah Ki Dungkala, kepala keamanan desa ini.
Kalau boleh kutahu, siapakah Kisanak berdua ini?” tanya
Ki Dungkala seraya memperkenalkan dirinya kepada Panji
dan Kenanga.
“Namaku Panji. Sedang kawanku ini bernama
Kenanga. Kami berdua adalah orang-orang yang biasa
melakukan perjalanan jauh, sekadar untuk meluaskan
pengalaman. Harap maafkan kalau kehadiran kami telah
merepotkan Paman...,” jawab Panji memperkenalkan diri
kepada lelaki gagah itu.
“Hm..., apakah kalian berdua tidak mempunyai
keluarga di desa ini...?” tanya Ki Dungkala lagi sambil
menatap wajah Panji, seolah hendak menilai pemuda
tampan berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum ditatap seperti
itu. Pemuda berjubah putih ini tidak merasa tersinggung
atas pertanyaan Ki Dungkala yang jelas-jelas bersifat
menyelidik.
“Sama sekali tidak, Paman. Kami kebetulan singgah
dan akan menginap di desa ini karena tidak ingin
kemalaman di jalan. Apakah Paman merasa keberatan
dengan keberadaan kami di desa ini...?” tanya Panji
langsung membuka diri, membuat Ki Dungkala terpaksa
memperlihatkan senyumnya sambil menggelengkan kepala
perlahan.
“Sama sekali tidak, Panji. Tapi..., maaf kalau
kemungkinan ada sesuatu yang tidak enak di desa ini.
Karena desa kami tengah menghadapi masalah misterius.
Harap kalian bisa memaklumi sikapku maupun sikap
penduduk desa yang mungkin kurang berkenan di hati
kalian. Pagi tadi, baru saja ada peristiwa yang meng-
gemparkan desa ini. Dua orang penduduk desa kami
kedapatan tewas tergantung di atas pintu gerbang balai
desa. Meskipun kejadian-kejadian aneh telah banyak yang
kudengar, tapi baru kali ini ada kejadian yang demikian
jelas. Sepertinya orang-orang jahat itu mulai bertambah
berani dalam menteror penduduk desa ini. Entah apa
maksud dari semua ini...?” ujar Ki Dungkala yang
sepertinya sudah mempercayai Panji dan Kenanga.
“Hm..., jadi benar dugaan kami kalau penduduk desa
ini tengah dilanda kegelisahan. Siapa kira-kira orang jahat
itu, Paman? Apakah tidak pernah ada yang me-
mergokinya...?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih
langsung saja memanfaatkan kesempatan itu untuk
mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi di Desa
Margaluyu.
“Hhh..., itulah yang sampai saat ini membuat hatiku
penasaran, Panji. Selama ini, tak ada seorang pun yang
berani melaporkan apa yang mereka alami. Sebab,
penjahat itu sepertinya berada di sekitar desa ini, atau
paling tidak banyak menyusupkan anggotanya ke dalam
desa. Pagi tadi, di depan mataku ada seorang warga desa
yang mati terbunuh. Orang itu baru saja memberi
keterangan padaku mengenai keberadaan mayat laki-laki
dan perempuan yang digantung di gerbang balai desa.
Hm..., benar-benar membuat hatiku penasaran...!” geram
Ki Dungkala mengakhiri ceritanya.
“Ah..., sayang kami tiba agak terlambat. Kalau boleh
kami tahu, berapakah kira-kira usia kedua mayat yang
digantung itu?” tanya Panji hati-hati. Kemudian, Pendekar
Naga Putih menceritakan kejadian yang pernah dialaminya
di luar desa itu. Sehingga, Ki Dungkala menjadi terkejut
setengah mati.
“Hm..., tidak salah lagi. Pastilah pemuda dan gadis itu
yang kalian lihat. Sedangkan pemuda pesolek yang
ditemani empat orang laki-laki berseragam hitam, jelas
Wintarsa. Ia adalah putra tunggal juragan kaya itu. Kali ini
mereka tidak bisa mungkir lagi. Hm..., bersediakah kalian
berdua memberikan kesaksian, dan menunjukkan pemuda
pesolek yang kalian maksud itu...?” tanya Ki Dungkala
penuh harap.
“Kalau memang diperlukan, kami siap membantu...,”
Kenanga langsung saja menyanggupi, sebelum Panji
menjawabnya. Sepertinya dara jelita itu memang sudah
tidak bisa menahan rasa penasaran di hatinya.
“Kalau begitu, marilah ikut aku...,” sambut Ki
Dungkala dengan wajah cerah.
Hati Ki Dungkala menjadi gembira bukan main.
Selama ini tidak pernah ada orang yang berani
membantunya untuk mengungkap keanehan-keanehan
yang terjadi di desa itu. Maka, tanpa banyak cakap lagi, ia
pun segera mengajak Panji dan Kenanga meninggalkan
kedai.
***
LIMA
“Paman, apakah tidak sebaiknya kita tunda dulu rencana
ini...?” ujar Panji tiba-tiba, saat mereka tengah melangkah
menuju tempat kediaman Ki Sama Tungga.
Ki Dungkala menahan langkahnya ketika mendengar
ucapan Panji. Kenanga serta empat orang berseragam
hitam yang menjadi pengikut Ki Dungkala menghentikan
pula langkahnya. Mereka menatap ke arah pemuda
tampan berjubah putih itu dengan kening berkerut.
“Mengapa, Panji...? Apa yang membuatmu tiba-tiba
berubah pikiran?” tanya Ki Dungkala seraya menatap
wajah pemuda itu lekat-lekat. Seolah lelaki gagah itu
hendak membaca apa yang ada dalam pikiran pemuda
tampan yang baru saja dikenalnya itu. Sedangkan Panji
sendiri hanya tersenyum, tanpa mengalihkan tatapan
matanya dari wajah Ki Dungkala.
“Apakah perbuatan kita ini tidak terlalu terburu-buru,
Paman? Tidakkah sebaiknya kita pergoki saja pembunuh
itu di saat tengah melakukan aksinya? Dengan begitu, kita
bisa menangkapnya langsung, dan sekaligus menghukum-
nya...,” jelas Panji, mengajukan alasan.
“Tidak bisa, Panji. Dengan adanya kau dan Kenanga,
sudah cukup sebagai saksi hidup atas kejahatan pemuda
sombong itu. Kalau mereka melawan, aku akan
mengerahkan seluruh anak buahku untuk membekuknya,
dan sekaligus menghancurkan tempat tinggal mereka...!
Perbuatan mereka sudah keterlaluan, dan kita tidak bisa
mengulur waktu lagi...!” ujar Ki Dungkala yang
sepertinya telah bulat mengambil keputusan untuk
membekuk penjahat yang selama ini menteror desanya.
“Hm... Begini, Paman. Kalau benar dugaan Paman
bahwa mereka banyak memiliki anak buah yang menjadi
mata-mata, bukan tidak mungkin rencana kita diketahui
oleh mereka. Dan, kemungkinan kita tidak akan berjumpa
dengan pemuda yang bernama Wintarsa itu. Bisa saja
mereka mengatakan pemuda itu tengah pergi
mengunjungi sanak keluarganya di desa lain. Kalau sudah
begitu, apa yang bisa kita lakukan? Apalagi kepandaian
pemuda itu sangat tinggi, dan pandai dalam menggunakan
racun. Siapa tahu mereka telah bersiap menyambut
kedatangan kita. Menghadapi pemuda itu saja sudah sangat
sulit, apalagi kalau di tempat itu masih ada ayahnya, yang
bukan tidak mungkin memiliki kesaktian lebih tinggi dari
Wintarsa. Nah, bukankah hal itu akan berbahaya...?”
bantah Panji yang rupanya tengah menimbang-nimbang
langkah mereka sepanjang perjalanan. Dan, baru
menyampaikannya setelah diperhitungkan masak-masak.
“Wintarsa memiliki kepandaian yang sangat tinggi...?
Aneh? Mungkin kau salah melihat orang, Panji. Setahuku,
meskipun Wintarsa memiliki kepandaian, tapi rasanya
tidak mungkin lebih tinggi dari kepandaianku. Sedangkan
Ki Sama Tungga masih lebih tinggi sedikit dari kepandaian
putranya. Itu pun mungkin hanya setingkat di atasku.
Dan, kalau selama ini Wintarsa berbuat sesuka hatinya, itu
karena kepala desa merasa segan terhadap keluarga kaya
yang selalu memberikan bantuan, baik berupa uang atau
hal-hal lainnya. Itulah yang membuat aku selama ini belum
bisa mengambil tindakan. Karena kepala desa selalu
menyarankan agar aku tidak mengganggu keluarga itu.
Jadi, jelas kau mungkin salah mengenali orang, Panji...,”
jelas Ki Dungkala. Laki-laki gagah ini menjadi ragu ketika
mendengar keterangan Panji tentang kesaktian Wintarsa.
Diketahuinya betul sampai di mana kepandaian yang
dimiliki pemuda pesolek itu.
Panji tampak mengerutkan keningnya. Mungkin saja ia
memang telah salah melihat orang, karena belum pernah
melihat Wintarsa. Kalaupun ciri-ciri yang ditunjukkannya
mungkin ada persamaan dengan pemuda kaya itu, bisa saja
ada orang lain lagi yang memiliki beberapa persamaan.
Tak aneh kalau Panji dan Kenanga pun menjadi ragu.
“Hm..., mungkinkah ada orang lain yang melakukan
semua kejahatan di desa ini...? Pemuda yang kutemui di
luar desa ini jelas sangat sakti, Paman. Jadi, bagaimana
langkah kita selanjutnya...?” ujar Panji yang akhirnya
menyerahkan keputusan di tangan Ki Dungkala. Karena
biar bagaimanapun juga, lelaki gagah itulah yang berkuasa
di desa ini.
“Kalau kita harus menunggu penjahat itu kembali
beraksi, jelas sangat berbahaya, Panji. Kau sudah dengar
sendiri ceritaku, bukan? Di depan mataku sendiri ia dapat
membunuh, tanpa dapat kuketahui kapan dan siapa yang
melakukannya. Selain itu, ia tidak setiap hari melakukan
aksinya. Kalau melihat dari korban-korban terdahulu, jelas
Wintarsalah yang patut dicurigai. Sebab, orang-orang
yang menjadi korban pembunuhan itu adalah mereka yang
berani menentang keinginan pemuda kaya itu. Tidak
jarang mereka disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Aku jadi belum bisa memutuskan, langkah apa yang
seharusnya kita ambil sekarang...,” desah lelaki gagah itu.
Raut wajahnya kelihatan kecewa sekali.
“Hm..., rasanya tidak terlalu sulit, Paman. Kita tinggal
mencari saja, siapa yang saat ini berani menentang
pemuda kaya itu. Dengan demikian, kita bisa melakukan
pengintaian kalau-kalau penjahat itu akan datang
melakukan aksinya. Setelah itu, kita bisa menyergapnya
bersama-sama...,” usul Panji setelah berpikir beberapa
saat lamanya.
Wajah Ki Dungkala yang semula kelam, kini berubah
cerah. Lelaki gagah itu tampaknya menyambut baik usul
Pendekar Naga Putih.
“Benar, Paman. Menurutku, hanya itulah satu-satunya
jalan agar kita dapat menangkap basah pembunuh keji
itu...,” timpal Kenanga, mendukung usul kekasihnya.
“Yah..., rasanya usul itu cukup baik. Malam ini
sebaiknya kalian berdua menginap di rumahku. Besok
baru kita mencari tahu, siapa penduduk yang saat ini
diincar Wintarsa...,” ujar Ki Dungkala mengajak Panji dan
Kenanga untuk bermalam di rumahnya.
Panji yang mendengar tawaran Ki Dungkala tersenyum
lebar. Pemuda tampan itu menatap wajah kekasihnya
sekilas, seolah hendak meminta persetujuan. Meskipun Ki
Dungkala menawarkan kebaikan terhadap mereka berdua,
tapi Panji tahu kalau lelaki gagah itu masih menaruh
kecurigaan terhadap mereka berdua. Maka, ketika melihat
Kenanga menyerahkan keputusan kepadanya, Panji segera
menerima tawaran Ki Dungkala.
“Baiklah, Paman. Maaf kalau kami telah mere-
potkanmu...,” ujar Panji yang segera mengikuti langkah
lelaki gagah itu menuju tempat tinggalnya.
“Kalian kembalilah ke pos mulut desa. Bergabunglah
dengan penjaga-penjaga di sana...,” perintah Ki Dungkala
kepada empat orang anak buahnya. Setelah itu, barulah
lelaki itu mengajak Panji dan Kenanga ke rumahnya.
***
Malam semakin larut. Bulan sepotong tampak
tersembul memancarkan sinarnya yang temaram.
Hembusan angin bersilir lembut, membuat dedaunan
bergemerisik perlahan. Suara burung malam terdengar
saling bersahutan mendirikan bulu roma.
Saat itu, di tengah kepekatan malam, tampak sesosok
bayangan putih bergerak dengan kecepatan yang
mengagumkan. Tubuhnya berloncatan dari atap rumah
yang satu ke atap lainnya. Terkadang sosok bayangan putih
itu bergerak dari pohon ke pohon, ketika tidak melintasi
sebuah rumah pun. Melihat dari gerakannya yang
demikian gesit dan ringan, jelas sosok bayangan putih itu
seorang tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi.
Tok, tok, tok...!
Terdengar suara kentongan peronda desa yang dipukul
berkali-kali. Sosok bayangan putih itu tampaknya tidak
ingin berpapasan dengan para peronda. Buktinya ia
langsung melesat mengambil jalan lain, agar tidak terlihat
para peronda yang tengah mengitari desa ini.
Sosok bayangan putih itu bergerak ke arah selatan
desa, berlawanan arah dengan jalan yang dilalui para
peronda. Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Sehingga, tidak membuat
ketenangan penduduk terganggu oleh suara langkahnya.
“Hm...,” tiba-tiba sosok bayangan putih itu merandek
ketika melihat tiga sosok tubuh yang bergerak beberapa
tombak di bawahnya. Saat itu, ia sendiri tengah ber-
tengger di atas sebatang pohon besar. Sehingga, ketiga
sosok bayangan itu sama sekali tidak mengetahui
kehadirannya.
Pada saat ketiga sosok tubuh itu bergerak semakin
jauh, bayangan putih itu langsung meluncur turun dan
membayangi ketiga sosok tubuh itu dari kejauhan.
Tampak sosok bayangan putih itu menghentikan
langkahnya, dan bersembunyi di balik sebatang pohon.
Dilihatnya dua di antara ketiga orang itu tampak bergerak
ke depan, setelah mengenakan topeng dari kain hitam
untuk menutupi wajahnya. Sedangkan sosok bayangan
yang satunya lagi berdiri seperti menanti hasil pekerjaan
temannya.
“Hm....”
Sosok bayangan putih itu bergumam perlahan. Tubuh-
nya disembunyikan, menanti kedatangan kedua sosok
bayangan hitam yang sepertinya hendak melakukan
kejahatan itu.
“Mana mungkin ada orang baik datang malam-malam
dengan mengenakan topeng pada wajahnya,” pikir sosok
bayangan putih yang terus mengintai itu.
Rupanya si pengintai itu tidak menunggu lama.
Beberapa saat kemudian, sosok bayangan hitam itu pun
sudah kembali. Salah seorang di antaranya tampak
memondong sosok tubuh ramping yang telah tidak
sadarkan diri. Meskipun demikian, sosok bayangan putih
itu belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk
menghadang. Bahkan, tubuhnya disembunyikan saat
ketika sosok tubuh itu melintas beberapa langkah di
depannya. Kemudian, melesat pergi setelah ketiga sosok
tubuh penculik itu berada cukup jauh dari tempatnya
sembunyi. Kemudian, ia melesat dan lenyap dari tempat
itu.
Sedangkan ketiga sosok tubuh itu terus bergerak
menerobos kegelapan malam. Tidak lama kemudian,
mereka mengambil sebatang obor, yang mereka
tinggalkan di satu tempat. Namun, sebelum mereka
kembali bergerak, tiba-tiba terdengar teguran bernada
halus, tapi membuat ketiga sosok tubuh itu berjingkat
kaget.
“Hm..., ternyata kalian masih juga berani melakukan
kejahatan seperti ini...!” ujar sosok tubuh yang
mengenakan jubah panjang berwarna putih. Wajahnya
yang tampan menyiratkan perbawa yang menggetarkan
jantung. Terutama sekali tatapan matanya yang
mencorong tajam, laksana mata naga yang sedang marah!
“Kau...?!” desis lelaki brewok berpakaian serba hitam
yang menatap pemuda tampan di depannya dengan mata
terbelalak lebar. Ia kaget bagaikan melihat hantu di siang
hari bolong. Suaranya terdengar bergetar menyiratkan
kegentaran. Jelas, sosok pemuda tampan berjubah putih
yang menghadangnya itu telah dikenalnya.
Bukan hanya lelaki brewok bertubuh kekar itu saja
yang menjadi terkejut. Dua orang lainnya pun tidak kalah
kaget ketika melihat dan mengenali si penghadang
berjubah putih itu. Jelas, mereka bertiga telah mengenali
penghadang itu.
“Ya, aku...,” ucap pemuda tampan berjubah putih itu.
Ia kemudian melangkah maju menghampiri salah satu dari
mereka. Seorang pemuda tampan pesolek. “Kau pastilah
yang bernama Wintarsa, bukan...?”
“Bangsat! Dari mana kau tahu namaku...?! Dan,
mengapa kau masih juga mencampuri urusanku...?!”
bentak pemuda yang ternyata Wintarsa itu dengan wajah
berang. Meskipun begitu, ia tidak bisa menyembunyikan
kegentaran yang terpancar di wajahnya. Kelihatan sekali
kalau ia merasa cemas dan hendak mencari jalan untuk
lolos.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain
dari Panji itu, kelihatan agak heran melihat tingkah
Wintarsa yang tampak cemas dan gentar.
“Hm..., pemuda itu benar-benar aneh? Dengan
kesaktiannya yang sangat tinggi, mengapa ia harus merasa
gentar?” gumam Panji dalam hati. Kali ini Pendekar Naga
Putih berjanji untuk dapat menangkap pemuda tampan
pesolek itu hidup-hidup dan menyerahkannya kepada Ki
Dungkala.
Wintarsa pun rupanya tidak ingin menunggu lama.
Cepat ia memerintahkan lelaki brewok yang bernama
Surgala, dan temannya untuk segera mengeroyok pemuda
tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki
berseragam hitam itu langsung menghunus senjata dan
mengepung Panji. Sedangkan pemuda tampan berjubah
putih itu melangkah terus tanpa mempe-dulikan kedua
tukang pukul Wintarsa yang siap menerjangnya. Pendekar
Naga Putih rupanya lebih tertarik kepada Wintarsa,
ketimbang kedua orang tukang pukul itu.
“Haaat...!”
Lelaki brewok bertubuh kekar itu berseru keras
memulai serangannya. Pedang di tangan kanannya
berputaran menimbulkan suara berdesing tajam.
Demikian pula tukang pukul yang satunya lagi, mereka
langsung saja mengeroyok Panji dengan serangan-serangan
yang ganas dan kuat.
Namun kali ini Panji tidak ingin berlama-lama. Ketika
serangan kedua batang pedang itu tiba, pemuda itu
langsung menggeser tubuhnya dan mengirimkan serangan
balasan yang cepat dan kuat. Sehingga, kedua pengeroyok-
nya itu terpaksa melompat mundur karena tidak ingin
celaka.
Tapi, gerakan kedua orang tukang pukul Win-tarsa itu
jelas kalah jauh dalam hal kecepatan dan kekuatan.
Sehingga, Panji tidak memerlukan waktu yang lama untuk
merobohkan lawan-lawannya. Dalam lima jurus saja
pukulan dan tendangan Pendekar Naga Putih telah
membuat kedua orang pengeroyoknya terjungkal tewas.
Rupanya Panji kali ini tidak ingin memberi hati kepada
orang-orang jahat itu. Maka, ia langsung saja menurunkan
tangan kejam kepada tukang-tukang pukul Wintarsa yang
ternyata masih belum jera untuk berbuat jahat
“Keparat...!” Wintarsa membentak marah ketika
melihat dua orang tukang pukulnya menggeletak tanpa
nyawa. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda pesolek itu
langsung melepaskan tubuh ramping yang ada dalam
pondongannya. Kemudian senjatanya dihunus, siap untuk
bertempur!
Panji sudah menggeser langkahnya dengan sepasang
mata tak lepas dari wajah Wintarsa. Sadar kalau lawannya
tidak bisa dipandang ringan, Panji langsung mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sebentar saja, tubuh
Pendekar Naga Putih telah terselimut lapisan kabut
bersinar putih keperakan.
Wintarsa yang melihat tubuh lawannya tampak
terselimut sinar putih keperakan, menjadi terkejut bukan
main. Namun, karena merasa tidak ada jalan untuk lolos,
maka pemuda itu segera memutar pedangnya dengan
sepenuh tenaga. Terbentuklah lingkaran putih yang
bergulung-gulung menimbulkan suara menderu-deru.
“Haaat..!”
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh Wintarsa
melayang ke arah Panji. Pedang di tangannya bergerak-
gerak dan meliuk mengancam tubuh Pendekar Naga
Putih.
Bettt! Bettt!
Berkali-kali pedang di tangan Wintarsa bergerak kian
kemari mengancam tubuh Panji. Namun, semua itu
dengan mudah dapat dielakkan pemuda berjubah putih
itu. Serangan Wintarsa sama sakali tidak membayangkan
kekuatan maupun kecepatan yang hebat, bahkan terlihat
sangat lambat bagi Panji. Tentu saja kenyataan itu
membuat Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya.
“Hm..., mengapa gerakannya terkesan biasa dan tidak
berbahaya? Mungkinkah ia sengaja menyembunyikan
kepandaiannya dan berpura-pura bodoh? Tapi..., rasanya
tidak mungkin. Melihat dari wajah dan gerakannya, ia
tampak sungguh-sungguh? Lalu, mengapa ia tidak
langsung mengeluarkan kesaktiannya yang hebat itu...?”
gumam Panji yang benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan
ketika melihat gerakan Wintarsa yang jauh dari apa yang
dibayangkannya.
Merasa penasaran, Panji tidak berusaha menghindari
sebuah tebasan pedang yang dilakukan Wintarsa dengan
gerakan mendatar, mengancam perutnya. Hanya dengan
sedikit egosan, Pendekar Naga Putih langsung meng-
gerakkan tangan kanannya, menangkis pedang yang
mengancam tubuhnya.
Plakkk!
Sengaja Panji memperlambat gerakannya ketika
menangkis bacokan pedang lawan. Bahkan tenaganya tidak
dikerahkan terlalu banyak. Karena melihat serangan
Wintarsa tampaknya tidak terlalu berbahaya.
Dan, apa yang dilihatnya benar-benar membuat hati
Panji menjadi penasaran bukan main! Tangkisannya
membuat tubuh Wintarsa terpelanting ke belakang.
Seolah-olah pemuda itu memang tak sanggup
mengimbangi kekuatan tangkisan Panji.
“Kurang ajar...! Mengapa kekuatannya tidak sehebat
beberapa hari yang lalu...? Apakah ia sengaja hendak
mempermainkan aku...?” desis Panji, geram. Maka, tanpa
menunggu lawannya bangkit, Pendekar Naga Putih
langsung melesat dan mengirimkan totokan guna
melumpuhkan Wintarsa.
“Heh...?!”
Plak, plak... Desss...!
“Akh...!”
Panji terkejut bukan kepalang ketika serangannya
hampir tiba, tahu-tahu muncul sesosok bayangan putih
yang langsung memapaki serangannya. Bahkan, sebuah
pukulannya sempat menghantam dada Pendekar Naga
Putih. Sehingga, membuat tubuh Panji terpental balik.
Untunglah pemuda tampan itu sempat mengatur
keseimbangan tubuhnya. Dengan berputaran di udara,
Panji dapat mendarat ringan di atas tanah dengan kedua
kakinya.
Panji menatap tajam sosok tinggi kurus di depannya.
Keadaan malam yang gelap dan rambut yang
menyembunyikan wajahnya, membuat Panji tidak bisa
mengenali orang yang telah menyelamatkan Wintarsa.
Sedangkan sosok tinggi kurus yang tampak gesit dan
lincah itu bergerak ke kanan, tanpa berusaha untuk
membantu Wintarsa bangkit. Cepat Panji menggeser
langkahnya ketika melihat sosok tinggi kurus itu mulai
membuka jurus serangannya.
***
ENAM
Tanpa memberikan peringatan sedikit pun, sosok tinggi
kurus berjubah putih itu langsung menerjang Panji.
Gerakannya nampak demikian cepat laksana kilat Bahkan
decitan angin yang ditimbulkan lontaran pukulannya
terdengar sangat tajam dan menyakitkan telinga. Jelas,
sosok tinggi kurus berjubah putih itu memang merupakan
lawan yang sangat tangguh bagi Pendekar Naga Putih.
Melihat lawannya sudah mulai menyerang, Panji
langsung mempersiapkan jurus andalannya. Sekali
pandang saja, Pendekar Naga Putih langsung tahu kalau
lawannya ini tidak bisa dipandang enteng. Itu sebabnya
Panji tidak mau mengambil resiko, dan langsung
menggunakan jurus 'Naga Sakti'nya untuk menghadapi
serangan lawan. Sebentar saja, keduanya telah terlibat
dalam sebuah pertarungan yang sengit dan mendebarkan.
Panji bertempur sambil mengawasi permainan jurus
lawan. Pendekar Naga Putih terkejut ketika mengetahui
jurus-jurus yang dimainkan sosok tinggi kurus itu
mempunyai kesamaan dengan jurus-jurus yang dimainkan
Wintarsa sewaktu pertama kali bertarung dengannya.
Bedanya, gerakan sosok tinggi kurus itu tampak sangat
teratur, dan memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat dari
Wintarsa.
Karena terus memikirkan perihal lawannya, pikiran
Panji jadi terpecah. Sehingga ia tidak bisa lagi menghindari
sebuah tamparan lawannya. Meskipun berusaha mengelak,
tetap saja bahunya terkena hantaman lawan.
Bukkk!
“Akh...!”
Panji mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung limbung
karena tamparan itu sangat kuat, dan sanggup meng-
hancurkan sebuah batu karang yang besar. Untungnya,
tubuh pemuda itu telah terlindungi lapisan kabut bersinar
putih keperakan. Kalau tidak, bukan mustahil bahunya
akan remuk akibat tamparan lawan.
“Yeaaah...!”
Sosok tinggi kurus berjubah putih itu sepertinya sangat
bernafsu merobohkan Panji secepat mungkin. Tanpa
memberikan kesempatan kepada lawannya untuk mem-
perbaiki kuda-kuda, sosok tinggi kurus itu langsung
menyusuli serangannya dengan serangan-serangan yang
berbahaya dan bisa mendatangkan kematian! Apalagi yang
diincarnya adalah bagian-bagian jalan darah kematian di
tubuh Panji. Sudah barang tentu pemuda tampan berjubah
putih itu tidak mau menyerahkan nyawanya begitu saja.
“Hiaaah...!”
Sambil mengempos semangat dan mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya, Pendekar Naga
Putih menggerakkan kedua tangannya untuk memapaki
serangan lawan.
Plak! Plak!
Bentrokan pun tak dapat dihindari lagi. Kedua
pasangan lengan yang sama-sama terlindungi tenaga sakti
tingkat tinggi itu saling berbenturan keras. Akibatnya,
kedua tubuh mereka sama-sama terdorong mundur sejauh
empat langkah. Jelas, dalam bentrokan itu keduanya
terlihat sama kuat.
Begitu kedua kakinya kembali menginjak tanah dengan
kokoh, sosok tinggi kurus itu kembali melesat dengan
serangan yang lebih habat lagi. Jurus yang kali ini
digunakannya tampak berbeda dari yang pertama.
Meskipun demikian, kehebatannya jauh berbeda di atas
jurus-jurus pertama tadi. Sehingga, Pendekar Naga Putih
benar-benar harus menguras semua ilmunya untuk
menundukkan lawan yang sangat misterius itu.
“Hmh...!” Panji mendengus gusar melihat kehebatan
dan kekuatan lawan. Cepat pemuda itu mengeluarkan
jurus-jurus pamungkas dari rangkaian terakhir 'Ilmu Silat
Naga Sakti'.
“Yeaaah...!”
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat
dengan kecepatan menggetarkan ke arah lawannya. Angin
dingin bertiup semakin keras mengiringi setiap gerakan
yang dilakukan Pendekar Naga Putih.
Wueeet...! Wueeet...!
Dua buah sambaran cakar Pendekar Naga Putih
berhasil dielakkan lawannya dengan menggeser tubuh ke
kanan, seraya merendahkan kuda-kudanya. Tapi, serangan
Panji tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki dan
tangannya terus bergerak dengan lontaran serangan yang
susul-menyusul, disertai tiupan angin dingin yang
menusuk tulang laksana badai salju!
Rupanya gempuran Pendekar Naga Putih kali ini cukup
membuat lawannya kerepotan. Berkali-kali cakaran serta
tamparan Panji nyaris mengenai tubuh lawannya. Hanya
karena lawan memiliki ilmu langkah-langkah aneh sajalah,
yang membuatnya masih dapat menghindar dari sergapan
Panji. Meskipun demikian, kelihatan sekali kalau sosok
tinggi kurus itu mulai terdesak oleh serangan-serangan
Pendekar Naga Putih.
Entah sudah berapa belas kali dua pasang lengan
mereka saling berbenturan keras. Dan setiap berbenturan,
tubuh keduanya tampak terdorong ke belakang. Jelas
kalau tenaga yang mereka miliki berimbang. Sehingga,
meskipun pertarungan sudah berlangsung selama delapan
puluh jurus, belum ada tanda-tanda salah seorang di antara
mereka akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan
kepastian siapa pemenang dalam pertarungan itu.
Sekitar arena pertarungan terlihat sudah porak-
poranda bagaikan tersapu badai topan yang mengerikan.
Belasan batang pohon tampak saling tumpang tindih
berpatahan. Bahkan ada beberapa di antaranya yang
tercabut hingga ke akar-akarnya. Dedaunan pohon sudah
menumpuk bagaikan anak bukit. Jelas, pertarungan kedua
tokoh sakti itu telah membuat alam di sekitarnya rusak.
Sementara itu, Wintarsa sudah tidak kelihatan lagi
batang hidungnya. Bahkan kedua mayat tukang pukul
pemuda itu pun ikut lenyap. Jelas, pemuda tampan
pesolek itu telah mengambil kesempatan untuk melarikan
diri selagi Panji bertarung dengan sosok tinggi kurus
berjubah putih itu. Sedangkan yang masih tertinggal di
tempat itu hanyalah sosok tubuh gadis desa yang semula
hendak diculik Wintarsa.
Minat Wintarsa untuk memiliki gadis yang diincarnya
itu sepertinya lenyap ketika dipergoki pemuda berjubah
putih, yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi.
Sehingga, ia meninggalkannya begitu saja di bawah
sebatang pohon kecil. Untungnya pertarungan kedua
orang sakti itu telah bergeser jauh dari tempat semula.
Maka, terhindarlah sosok gadis desa yang tengah tergolek
tak sadarkan diri itu dari pukulan-pukulan yang
dilontarkan dalam pertempuran maut itu.
Saat itu kokok ayam jantan telah terdengar sesekali.
Pertanda sebentar lagi fajar akan segera muncul.
Hembusan angin malam tampak terasa semakin bertambah
dingin. Bulan yang muncul separuh, seperti resah
menyaksikan pertarungan yang belum juga usai itu.
“Yeaaah...!”
Panji yang semula sudah berhasil mendesak, kembali
dibuat terkejut dan kagum oleh keuletan lawannya.
Bahkan kali ini sosok tinggi kurus itu tampak mulai dapat
menguasai pertempuran. Dan Panji malah terdesak oleh
gempuran-gempuran lawan. Amukan sosok tinggi kurus
itu sepertinya terpengaruh oleh suara kokoh ayam jantan
yang mulai terdengar menyambut datangnya fajar.
Plak! Plak! Plak...!
Kedua pasang lengan kembali saling berbenturan
keras. Tubuh mereka kembali terdorong mundur sejauh
delapan langkah. Jelas, kedua tokoh itu sudah mulai
merasa lelah, setelah bertarung selama hampir dua ratus
jurus.
Panji yang kembali tengah mempersiapkan, ilmunya,
tersentak kaget ketika melihat lawannya bergerak seperti
mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Cepat pemuda itu
melompat mundur ketika sosok tinggi kurus itu
mengibaskan lengannya yang menimbulkan asap merah
muda berbau harum.
“Hiaaah...!”
Sadar kalau asap itu pastilah merupakan racun ganas,
Panji langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya
dengan pukulan jarak jauh. Seketika itu juga, ber-
hembuslah angin dingin yang sangat kuat, membuat asap
berwarna merah muda itu langsung buyar dan menipis.
Namun, saat itu sosok lawannya ternyata telah lenyap dari
arena pertarungan. Tentu saja hal itu membuat hati
Pendekar Naga Putih menjadi penasaran.
“Kurang ajar! Ke mana perginya sosok misterius
itu...?” geram Panji sambil mengedarkan pandangan
matanya ke sekeliling tempat itu. Namun, yang dilihatnya
hanyalah sosok tubuh gadis desa yang masih menggeletak
pingsan.
“Pendekar Naga Putih...! Kau harus meninggalkan desa
ini secepatnya...! Kalau tidak, bencana yang lebih hebat
dan lebih mengerikan akan datang kepada seluruh
penduduk Desa Margaluyu...!” tiba-tiba terdengar suara
tanpa wujud. Suara itu bagaikan datang dari empat
penjuru. Panji sendiri merasa sulit untuk mengetahui asal
suara itu. Tapi, ia tahu kalau suara itu pasti berasal dari
sosok tinggi kurus berjubah putih yang menjadi lawannya
barusan.
“Hm..., menurutku kau adalah seorang pengecut,
Kisanak! Sangat kusesalkan kalau kepandaianmu yang
tinggi itu digunakan untuk jalan sesat! Kalau benar-benar
jantan, kutantang kau bertarung sampai salah seorang di
antara kita menggeletak jadi mayat...!” Panji yang merasa
jengkel, langsung saja berseru menyahuti suara tanpa
wujud itu. Namun, setelah menanti agak lama, tak
terdengar jawaban sepatah kata pun.
Pendekar Naga Putih yakin kalau lawannya tadi benar-
benar telah meninggalkan tempat itu. Kemudian, kakinya
segera melangkah mendekati sosok gadis desa yang masih
tergeletak pingsan. Hanya dengan mengusap bagian jalan
darah untuk melancarkan peredaran darah di tubuh gadis
itu, tampak sosok ramping itu mengeluh dan menggeliat
perlahan. Terlihat gadis itu mulai sadar dari pingsannya.
“Kau siapa...? Mengapa aku berada di tempat ini...?”
tanya dara cantik berambut panjang sebahu itu seraya
menatap wajah tampan di hadapannya dengan wajah pucat
ketakutan.
Panji mencoba tersenyum dengan maksud untuk
membuat hati gadis itu menjadi tenang. Kemudian ia
menerangkan dengan nada perlahan bahwa gadis itu baru
saja ditolong dari cengkeraman pemuda yang dipanggil
dengan nama Tuan Muda Wintarsa.
”Ya! Aku ingat sekarang. Ada dua orang lelaki
berpakaian hitam memasuki kamarku, dan menyergapku.
Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Lalu, ke manakah
mereka sekarang?” tanya gadis cantik itu sambil
mengedarkan pandang matanya ke sekitar tempat itu.
Namun, di sekelilingnya yang terlihat hanyalah kegelapan
yang menyeramkan. Menyadari keadaan itu, gadis itu pun
melangkah agak terburu-buru mendekati pemuda tampan
yang menjadi penolongnya. Tanpa sadar ia memegang
lengan Panji dengan wajah agak pucat.
“Aku..., takut..,” kata gadis itu tanpa malu-malu lagi.
Bahkan tubuhnya semakin dirapatkan ke tubuh Panji.
“Tidak ada yang perlu ditakuti lagi, Nisanak. Sekarang,
marilah kau kuantar pulang...,” ujar Panji seraya
melangkah perlahan. Sedangkan gadis desa yang cantik itu
hanya mengangguk. Kemudian ia mengikuti Panji tanpa
melepaskan pegangan tangannya pada lengan pemuda itu.
***
Panji tertegun dengan wajah geram ketika tiba di
tempat kediaman gadis cantik yang ditolongnya. Di dalam
rumah itu dilihatnya dua sosok mayat laki-laki dan
perempuan berusia setengah baya yang kepalanya retak.
Melihat dari ceceran darah yang masih agak basah, Panji
dapat menduga kalau pembunuhan itu belum lama terjadi.
“Hm..., mungkinkah semua ini perbuatan kedua orang
lelaki berpakaian hitam yang menjadi tukang pukul
Wintarsa? Kejam sekali kalau mereka sampai membunuh
kedua orang tua ini, hanya karena hendak menculik
putrinya...,” desis Panji. Dalam hati, Pendekar Naga Putih
merasa bersyukur telah melenyapkan 'kedua orang tukang
pukul Wintarsa itu.
“Ayah..., Ibu...!”
Gadis cantik yang ditolong Panji menangis dengan hati
hancur melihat keadaan orangtuanya. Panji tersadar dari
lamunannya, segera kakinya melangkah dan menghibur
gadis desa yang tengah dirundung malang itu. Ia bahkan
membiarkan gadis itu menumpahkan air mata di dada
bidangnya.
“Tahukah kau, siapa kira-kira yang telah membunuh
kedua orangtuamu...?” tanya Panji ketika isak tangis gadis
itu sudah mulai reda. Meskipun telah dapat menduga, tapi
Panji ingin meyakini dugaannya.
“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat yang bernama
Wintarsa itu?! Ia memang sudah lama mengincarku! Tapi,
ayah dan ibuku tidak mau membiarkan aku jatuh ke dalam
pelukannya. Mungkin hal itu diketahuinya, dan merasa
dendam terhadap ayah dan ibuku. Dua orang yang
menculikku, pastilah tukang-tukang pukulnya yang galak
dan kejam!” jawab gadis desa itu dengan nada menyiratkan
dendam yang dalam. Kemudian, tangisnya kembali
meledak ketika teringat bahwa dirinya kini sudah tidak
mempunyai siapa-siapa lagi.
“Harap kau bisa tabah dalam menghadapi semua ini,
Nisanak. Aku akan melaporkan kejadian ini kepada Ki
Dungkala. Pemuda jahat yang bernama Wintarsa itu
memang harus ditangkap, agar tidak lagi berani
mengganggu gadis-gadis dan penduduk di desa ini...,” ujar
Panji, menenangkan hati gadis cantik itu.
“Tapi, selama ini tidak pernah ada orang yang berani
menentang Wintarsa dan keluarganya. Bahkan kepala desa
sendiri tidak berani berbuat apa-apa. Sudah banyak orang
yang menjadi korban kejahatan pemuda itu, tapi tak satu
pun yang berani melaporkannya. Sebab, apabila ada yang
berani melapor, sudah pasti akan mengalami kematian,
tanpa ada yang tahu siapa pelakunya...,” bantah gadis
cantik itu di antara isak tangisnya.
“Hm..., pada waktu-waktu yang lalu memang belum
ada orang berani menentangnya. Tapi percayalah,
Nisanak. Aku akan menghentikan kejahatan pemuda bejat
itu untuk selamanya...!” janji Panji dengan suara yang
tegas dan mantap.
Wajah gadis desa yang cantik itu terangkat, seperti
hendak mengetahui kebenaran ucapan pemuda tampan
berjubah putih yang telah menyelamatkannya itu.
“Betulkah itu, Kakang...?” tanyanya seraya menatap
tepat di kedua bola mata Panji yang memang sedang
menatap wajah gadis desa yang cantik itu.
“Tentu saja benar. Dan, besok aku dan Ki Dungkala
akan mendatangi keluarga Ki Sama Tungga. Aku akan
membalaskan dendam semua orang desa yang telah
disakiti dan dibunuhnya...,” lanjut Panji lagi.
“Terima kasih, Kakang...,” ucap gadis cantik itu.
Hati gadis cantik itu merasa senang mendengar janji
penolongnya. Ia pun kembali merebahkan wajahnya ke
dada Panji. Tentu saja Panji agak sedikit bingung melihat
sikap gadis desa itu. Tapi, karena tidak ingin menyinggung
perasaan, Panji terpaksa mendiamkannya.
Tanpa terasa saat itu malam telah berganti pagi.
Meskipun cuaca masih agak gelap, namun para penduduk
desa telah banyak berdatangan ke rumah tempat di mana
terjadi pembunuhan. Kedatangan orang-orang desa itu
tentu saja atas pemberitahuan Panji. Pemuda itu kemudian
meminta agar para tetangga yang berdekatan, mau
membantu dan mengurus kedua mayat orangtua gadis
yang ditolongnya. Sedangkan ia sendiri hendak melapor-
kan kejadian itu kepada Ki Dungkala.
Kedatangan Panji disambut Ki Dungkala dengan wajah
menyiratkan kecurigaan. Namun, ketika Panji
menceritakan kejadian yang dialaminya semalam, lelaki
gagah itu langsung saja memintanya untuk membawa ke
tempat kejadian.
Orang-orang desa yang berkerumun langsung menyisih
ketika kepala keamanan desa mereka tiba. Setelah
memeriksa kedua mayat yang menjadi korban pem-
bunuhan itu, Ki Dungkala mengajak Panji menjauhi
orang-orang desa, dan meminta keterangan lebih rinci
dari pemuda itu.
“Hm..., jadi benar bahwa orang yang kau hadang
semalam itu adalah Wintarsa? Lalu, siapa pula laki-laki
tinggi kurus berjubah putih yang bertarung denganmu dan
menyelamatkan pemuda jahat itu...?” tanya Ki Dungkala
setelah mendengar cerita Panji lebih lengkap dan jelas.
Ada bayang kecurigaan pada sepasang mata lelaki gagah
itu, yang membuat Panji memakluminya. Selain ia
merupakan orang asing di Desa Margaluyu, Ki Dungkala
pun belum mengenalnya sama sekali.
“Ki Dungkala, kuharap kau suka melenyapkan
kecurigaanmu...,” ujar Kenanga. Gadis ini juga
menangkap sorot kecurigaan di mata lelaki gagah itu. Ia
mengatakan itu, karena tidak suka melihat kekasihnya
dicurigai. “Perlu kau ketahui, Ki. Pemuda yang berdiri di
hadapanmu ini adalah seorang pendekar besar yang telah
menggemparkan rimba persilatan. Jadi, kecurigaanmu
jelas tidak beralasan....”
“Ah...?!” Ki Dungkala nampak terkejut sekali ketika
mendengar perkataan Kenanga.
Lelaki gagah itu memandangi sosok Panji secara lebih
teliti. Sepasang mata Ki Dungkala semakin membelalak
ketika mendapati ciri-ciri yang sering didengarnya
terdapat pada seorang pendekar muda yang mendatangkan
kekaguman di hatinya selama ini.
“Kau..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?!” ucap Ki Dungkala dengan suara bergetar penuh
harapan.
“Begitulah orang-orang memberikan julukan kepada-
ku, Paman...,” jawab Panji.
Pendekar Naga Putih kini merasa tidak perlu lagi
menyembunyikan jati dirinya. Apalagi nama besarnya
memang sangat dibutuhkan untuk melenyapkan kecuriga-
an Ki Dungkala terhadap dirinya.
Sadar bahwa yang dihadapinya adalah benar Pendekar
Naga Putih, Ki Dungkala langsung saja menjatuhkan
tubuhnya dan bersimpuh di depan Panji. Tentu saja Panji
tidak ingin mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu.
Apalagi saat itu beberapa warga desa dan anak buah Ki
Dungkala tengah menatap penuh keheranan. Kemudian,
segera tubuh lelaki gagah itu diangkatnya.
“Maafkan sikapku yang telah lancang menuduhmu
secara tak langsung, Pendekar Naga Putih. Aku benar-
benar bodoh tidak bisa melihat siapa sesungguhnya orang
yang berada bersamaku. Dengan kehadiranmu di desa ini,
bukan mustahil kalau teror yang selama ini meresahkan
penduduk desa akan segera berakhir...,” ujar Ki
Dungkala. Dari kata-katanya, dapat dipastikan kalau lelaki
gagah itu mengharapkan bantuan Pendekar Naga Putih
untuk menenteramkan desanya.
“Harapanku pun demikian, Paman. Sekarang sebaiknya
kita segera mendatangi kediaman keluarga Ki Sama
Tungga. Biarlah mayat kedua orang tua itu anak buahmu
yang mengurusnya...,” usul Panji yang merasa tidak enak
melihat pandangan beberapa warga desa yang tampak
masih keheranan melihat sikap kepala keamanan desa
mereka.
Setelah berpesan kepada warga desa dan anak buahnya
untuk mengurus mayat-mayat itu, Ki Dungkala langsung
membawa Panji ke tempat kediaman Ki Sama Tungga.
***
TUJUH
Kedatangan Ki Dungkala, Panji, dan Kenanga tidak
mendapat sambutan baik dari pihak Ki Sama Tungga.
Bahkan mereka harus menunggu agak lama untuk
menemui juragan yang kaya raya itu. Meskipun demikian,
ketiganya berusaha menahan diri dan menyabarkan hatinya
yang mulai jengkel.
Setelah terasa pegal duduk menanti di ruang tengah,
muncullah seorang lelaki tinggi kurus yang berusia sekitar
lima puluh tahun lebih. Rambutnya digelung ke atas dan
diikat dengan pita berwarna biru. Wajah dan sinar
matanya mengesankan keangkuhan. Jelas, lelaki tinggi
kurus yang bernama Ki Sama Tungga itu merupakan
seorang yang tinggi hati, dan memandang rendah orang
lain yang tidak sederajat dengannya.
“Hm..., kau rupanya Dungkala...,” sambut Ki Sama
Tungga, angkuh.
Sepertinya juragan kaya itu menganggap Ki Dungkala
bukanlah seorang tamu penting. Kecuali Kepala Desa
Margaluyu, tampaknya tidak ada lagi yang dihormati Ki
Sama Tungga. Tentu saja, Ki Dungkala yang memang baru
pertama kali berkunjung ke rumah keluarga kaya itu
menjadi jengkel.
Namun, lelaki gagah itu ternyata dapat menekan
kejengkelannya, dan mampu bersikap wajar.
“Benar, Juragan. Perkenalkan kedua orang sahabatku,
Panji dan Kenanga,” ujar Ki Dungkala memperkenalkan
kedua orang muda yang datang bersamanya. Ketiganya
bangkit dan membungkukkan tubuh sedikit menghormati
tuan rumah. Kemudian, mereka kembali duduk setelah Ki
Sama Tungga mempersilakan.
“Ada keperluan apa kau datang sepagi ini, Dungkala?”
tanya Ki Sama Tungga seraya mengisap pipa tembakau di
tangan kanannya. Sikapnya terlihat sangat angkuh dan
tanpa basa-basi.
“Maaf, Juragan. Sebenarnya kami ingin bertemu
dengan Tuan Muda Wintarsa, karena suatu keperluan
yang sangat penting. Untuk itu, kumohon agar kami dapat
dipertemukan dengannya...,” sahut Ki Dungkala tanpa
mempedulikan sikap angkuh Ki Sama Tungga. Lelaki
gagah itu langsung saja ke pokok persoalan. Karena
ucapan Ki Sama Tungga pun tanpa basa-basi.
“Hm..., ada keperluan apa kau ingin berjumpa dengan
putraku? Sekarang ia tidak berada di rumah, sejak kemarin
ia belum kembali dari rumah pamannya di kadipaten. Jadi,
maaf kalau kedatanganmu sia-sia. Tunggulah beberapa hari
lagi, mungkin ia sudah kembali...,” jawab Ki Sama Tungga
seraya menyipitkan sepasang matanya seperti tidak senang
dengan permintaan Ki Dungkala yang dianggapnya terlalu
lancang.
“Juragan...,” tandas Ki Dungkala yang sepertinya tidak
mau lagi berbasa-basi. “Malam tadi telah terjadi
penculikan dan pembunuhan di Selatan desa ini. Dan,
pemuda ini memergoki penculik dan pembunuh itu.
Apakah Juragan tidak ingin mengetahui, siapa penculik
dan pembunuh itu...?”
“Dungkala...!” desis Ki Sama Tungga yang segera
bangkit dari tempat duduknya dengan wajah gelap.
“Seharusnya kau laporkan semua itu kepada Ki Samparan,
dan bukan kepadaku! Mengapa aku harus memusingkan
segala persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
diriku? Cepatlah pergi dari sini, sebelum aku bertindak
kasar, atau mengadukan perbuatanmu ini kepada Ki
Samparan agar kau dipecat karena telah berani datang
dengan sikap tidak sopan ke tempatku...!” bentak Ki Sama
Tungga, marah.
Tapi, Ki Dungkala tidak kalah gertak. Lelaki gagah itu
ikut pula bangkit dengan wajah merah padam. Ia memang
sudah lama merasa tidak suka dengan keluarga kaya yang
sombong itu. Maka, sekarang ia ingin menumpahkan
semua ketidaksenangannya itu. Selain merasa tersinggung
karena tidak dipandang oleh Ki Sama Tungga, ia pun
merasa bertanggung jawab penuh atas kejadian, yang
menimpa warga desanya. Apalagi sekarang ia mendapat
dukungan dari Pendekar Naga Putih. Maka, Ki Dungkala
seperti harimau yang tumbuh sayap. Ia tidak lagi merasa
takut atau segan kepada juragan yang sangat sombong itu.
“Ki Sama Tungga...!” geram Ki Dungkala yang tidak
lagi menyebut Ki Sama Tungga dengan sebutan juragan.
“Ketahuilah, bahwa orang yang telah melakukan
penculikan dan pembunuhan itu adalah putramu! Untuk
itu, aku datang kemari hendak menangkapnya, agar lain
kali tidak lagi berbuat sesuka hatinya! Sekarang juga kami
ingin membawa Wintarsa. Kalau tidak, rumah ini terpaksa
kami geledah!”
“Keparat kau, Dungkala! Berani kau berbuat kurang
sopan di rumahku ini! Kau memang pantas diberi
pelajaran...!” geram Ki Sama Tungga. Laki-laki tinggi
kurus itu sangat marah ketika mendengar tuduhan Ki
Dungkala terhadap putra tunggal yang sangat
disayanginya.
Setelah berkata demikian, Ki Sama Tungga bertepuk
tangan tiga kali. Sebentar saja, telah bermunculan belasan
orang berseragam hitam yang merupakan tukang pukul
keluarga kaya itu.
“Lemparkan mereka keluar! Beri pelajaran kepada
keamanan desa yang tidak becus itu...!” perintah Ki Sama
Tungga sambil melangkah meninggalkan ruangan itu.
Tanpa diperintah dua kali, tiga belas orang lelaki kekar
yang menjadi tukang pukul keluarga Ki Sama Tungga,
langsung saja berlompatan mengepung Ki Dungkala, Panji
dan Kenanga.
Ki Dungkala sudah mencabut pedangnya, siap untuk
bertarung mati-matian. Sedangkan Panji, sejak pertama
kali melihat orang yang bernama Ki Sama Tungga itu,
ingatannya langsung tertuju kepada sosok tinggi kurus
berjubah putih yang semalam bertarung dengannya.
Maka, ketika dilihatnya Ki Sama Tungga hendak
meninggalkan tempat itu, Panji langsung melayang hendak
mencegahnya. Sekali lompatan saja, tubuh Pendekar Naga
Putih telah melayang, dan mendarat tepat di depan Ki
Sama Tungga.
Lelaki tinggi kurus itu langsung terkejut melihat
pemuda tampan berjubah putih yang datang bersama Ki
Dungkala tahu-tahu telah menghadang jalannya.
Kemarahan Ki Sama Tungga seketika meledak,
“Mau apa kau, Pemuda Asing?! Kau kira bisa berbuat
sesukamu di tempat ini...? Lebih baik menyingkirlah,
sebelum kesabaranku hilang...!” ujar Ki Sama Tungga
bernada mengancam.
Namun, Panji tetap tidak mempedulikannya. Pemuda
itu malah melangkah dua tindak ke depan, dan meneliti
sosok di depannya.
“Hm..., pertarungan kita semalam belum usai, Ki
Sama Tungga. Tidakkah kau ingin melanjutkannya
sekarang...?” ujar Panji sambil menatap tajam wajah lelaki
tua di depannya. Sadar kalau orang yang dihadapinya
memiliki kepandaian tinggi, Pendekar Naga Putih segera
menyiapkan kuda-kuda yang kokoh.
“Keparat! Kau rupanya sudah gila, Anak Muda! Apa
maksud ucapanmu itu, aku sama sekali tidak mengerti...?”
bentak Ki Sama Tungga, heran. Jelas, lelaki tinggi kurus
itu tidak mengerti apa yang diucapkan Panji.
“Huh! Tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Sama Tungga.
Sebaiknya bersiaplah untuk menerima seranganku! Jangan
salahkan aku, kalau kau sampai celaka...!” ujar Panji seraya
membuka jurusnya untuk memancing Ki Sama Tungga
agar mempersiapkan ilmunya.
“Bedebah! Kau pikir hanya kau saja yang memiliki
kepandaian! Nah, sambutlah seranganku...!” bentak Ki
Sama Tungga karena merasa jengkel atas sikap pemuda
tampan berjubah putih itu. Tubuh tinggi kurus itu
meluruk ke arah Panji sambil melancarkan totokan dengan
ujung pipanya yang panjangnya satu setengah jengkal itu.
Bettt! Bettt...!
Totokan ujung pipa yang datang bertubi-tubi itu
dielakkan Pendekar Naga Putih tanpa banyak mengalami
kesukaran. Namun, Pendekar Naga Putih mengerutkan
keningnya ketika melihat gerakan lawannya. Meskipun
serangan Ki Sama Tungga cukup kuat dan berbahaya,
namun menurutnya masih terlalu lamban. Gerakan Ki
Sama Tungga sama sekali sangat jauh berbeda dengan
gerakan lawannya semalam. Tentu saja Panji menduga
kalau orang tua itu masih hendak menyembunyikan
kepandaian guna mengecohnya.
“Hm..., keluarkan seluruh kesaktianmu, Ki Sama
Tungga. Kalau tidak, kau akan menyesal...!” pancing Panji
memanasi lawan, dan mulai membalas serangan orang tua
itu dengan tamparan dan tendangan kilat yang
menggetarkan hati lawan. Namun, Panji kembali menjadi
heran ketika melihat Ki Sama Tungga benar-benar
kerepotan menghadapi serangannya yang cepat dan susul-
menyusul itu.
Desss...!
Sebuah tendangan yang dilontarkan Panji dengan
mengerahkan sebagian dari tenaganya, menghantam telak
tubuh Ki Sama Tungga. Untunglah Panji sempat
mengurangi kekuatan tendangannya, ketika merasakan
betapa tubuh lawan tidak mempunyai perlindungan sama
sekali. Tentu saja, Pendekar Naga Putih semakin tak
mengerti, mengapa orang tua itu lebih suka terkena
tendangan ketimbang mempergunakan kesaktiannya
untuk melawan.
“Hm..., sudah kukatakan, keluarkan seluruh
kemampuanmu, Ki Sama Tungga. Kalau tidak, kau pasti
bisa terbunuh oleh pukulan mautku!” ancam Panji lagi.
Walau bagaimanapun, Pendekar Naga Putih merasa tidak
enak untuk menjatuhkan lawan yang sepertinya tidak mau
melayaninya bertarung dengan sungguh-sungguh.
“Bocah sombong! Hanya sebuah tendangan tak berarti
seperti itu kau sudah menganggap dirimu menang? Huh!
Lihatlah, aku bisa membuatmu menangis minta ampun
atas kesalahan dan kelancanganmu kepadaku...!” geram Ki
Sama Tungga. “Yeaaat...!”
Diiringi sebuah pekikan nyaring, Ki Sama Tungga
menerjang Panji. Pipa di tangannya berputaran cepat
membentuk gulungan sinar hitam yang menderu-deru.
Meskipun demikian, Panji tetap saja kecewa. Sebab,
serangan itu tidaklah sehebat dugaannya. Bahkan masih
terhitung lamban bagi ukurannya. Sehingga, dengan
mudah ia dapat mengelakkannya, bahkan langsung
melontarkan serangan balasan yang diiringi hembusan
hawa dingin menusuk tulang!
Plakkk! Desss...!
Untuk kedua kalinya, telapak tangan Panji bersarang di
tubuh Ki Sama Tungga. Akibatnya, tubuh lelaki tinggi
kurus itu terjungkal hingga satu tombak lebih ke belakang,
la tampak terhuyung ketika mencoba bangkit berdiri. Dari
sudut bibirnya mengalir darah segar. Bahkan wajahnya
tampak agak pucat. Jelas, Ki Sama Tungga tidak mampu
untuk menahan serbuan hawa dingin yang meresap ke
dalam tubuhnya.
“Gila...! Mungkin sosok tinggi kurus berjubah putih
yang kuhadapi semalam bukan Ki Sama Tungga? Kalau
begitu, siapa dia? Mengapa Wintarsa diselamatkannya...?
Dan, mengapa ilmu silatnya sangat mirip dengan pemuda
pesolek itu...?” gumam Panji.
Pendekar Naga Putih merasa ragu ketika untuk kedua
kalinya Ki Sama Tungga sama sekali tidak bisa meng-
elakkan pukulannya. Bahkan tampaknya lelaki tua itu
menderita luka dalam yang cukup parah.
“Mengapa kau berhenti, Pemuda Setan?! Apakah kau
kira aku sudah menyerah kalah...?” geram Ki Sama
Tungga yang sepertinya masih hendak melanjutkan
pertarungan.
“Sebentar, Ki Sama Tungga, aku hendak bertanya.
Kuharap kau mau menjawabnya dengan jujur. Benarkah
kau belum pernah bertemu denganku sebelum ini? Dan,
benarkah kau belum pernah bertarung denganku
sebelumnya...?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih mulai ragu setelah melihat ilmu
silat yang dimiliki Ki Sama Tungga sama sekali tidak
berbahaya baginya. Meskipun ilmu silat lelaki tua itu
cukup tinggi, tapi jelas tidak bisa disamakan dengan
kesaktian sosok tinggi kurus berjubah putih yang semalam
bertarung dengannya. Hal itu membuat Panji menjadi
bimbang.
“Hm..., aku memang belum pernah bertarung dan
berjumpa denganmu sebelum ini, Anak Muda! Tapi, hal
itu bukan berarti aku takut menghadapimu! Aku benar-
benar tidak mengerti dengan perkataanmu yang aneh
itu...?” jawab Ki Sama Tungga bersungguh-sungguh.
Panji pun tahu kalau orang tua itu tidak mem-
bohonginya. Lagi pula, untuk apa lelaki tua itu menyem-
bunyikan kesaktiannya, dan mau menerima pukulan yang
membuatnya terluka dalam?
“Hm..., baiklah. Aku percaya dengan jawabanmu.
Sekarang aku minta agar kau menyerahkan putramu yang
bernama Wintarsa itu. Karena ia telah melakukan
pembunuhan serta penculikan. Meskipun aku berhasil
memergokinya saat hendak melarikan seorang gadis, tapi
ia telah melakukan pembunuhan terhadap orangtua gadis
yang diculiknya itu. Apakah kau memang hendak
membela putramu yang nyata-nyata telah berbuat jahat
itu...?” ujar Panji.
Pemuda tampan berjubah putih ini kini ganti mencari
Wintarsa. Karena sangat diyakininya kalau Ki Sama
Tungga bukanlah orang yang dimaksudkan.
“Benar, Ki Sama Tungga! Sebaiknya kau serahkan
putramu yang jahat itu! Ia telah terlalu banyak melakukan
kejahatan di desa ini! Kuharap kau mau menyerahkannya
kepada kami...!”
Ki Dungkala yang rupanya sudah berhasil menunduk-
kan lawan-lawannya bersama Kenanga, ikut menimpali
ucapan Panji. Kini lelaki tinggi kurus itu telah terkepung
oleh ketiga lawannya, yang mempunyai tujuan sama.
Yaitu, hendak menangkap putra tunggalnya.
“Hm..., sejahat apa pun Wintarsa, ia tetap putraku.
Karena itu aku harus membelanya dengan taruhan
nyawaku! Mungkin ia memang seringkali berbuat jahat,
tapi kalau sampai telah banyak membunuh orang, aku
tidak percaya. Untuk itu, aku tidak akan sudi menyerah-
kan putraku kepada kalian...!”
Ki Sama Tungga tetap berkeras hendak melindungi
putranya. Dari sorot matanya yang tajam, Ki Dungkala,
Panji, dan Kenanga tahu kalau Ki Sama Tungga ber-
sungguh-sungguh, dan tidak bisa dibujuk kecuali dengan
jalan kekerasan.
“Hm..., kalau kau tetap berkeras, kami akan
memaksamu! Dan, kau pun akan mendapat hukuman
berat karena telah melindungi seorang pembunuh keji
seperti putramu itu...!” geram Ki Dungkala.
Sambil berkata demikian, lelaki gagah itu segera
memutar pedangnya dan menerjang Ki Sama Tungga.
Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam sebuah
pertarungan yang sengit.
“Kenanga, kau tetaplah di sini mengawasi pertarungan.
Aku akan mencari Wintarsa yang mungkin tengah ber-
sembunyi di salah satu ruangan di rumah besar ini...,” ujar
Panji.
Tanpa menunggu jawaban kekasihnya, Pendekar Naga
Putih segera berkelebat cepat dari tempat itu. Kenanga
sendiri hanya mengangguk, meskipun Panji tidak sempat
lagi melihat anggukan kepalanya. Dara jelita itu mengikuti
jalannya pertarungan, dan siap turun tangan bila Ki
Dungkala terdesak oleh lawannya.
Pertarungan antara Ki Dungkala dan Ki Sama Tungga
memang terlihat seru. Keduanya tampak sama-sama gesit,
dan memiliki tenaga sakti yang hampir berimbang.
Kalaupun Ki Sama Tungga masih lebih unggul sedikit
dalam hal kecepatan gerak dan kekuatan tenaga dalam,
tapi luka dalam akibat pukulan Panji telah membuat
gerakannya sedikit terhambat. Sehingga, kelebihannya
yang hanya sedikit itu telah tertutup.
“Haittt...!”
Ki Dungkala yang memang merasa tidak suka dan ingin
memberi pelajaran kepada juragan yang sombong itu,
menerjang dengan seluruh kepandaian yang dimilikinya.
Maka, tidaklah mengherankan bila dalam tiga puluh jurus,
Ki Dungkala terlihat mulai berada di atas angin. Gerakan
lelaki gagah itu terlihat penuh semangat dan memiliki
perhitungan yang matang. Sehingga, lawannya yang
memang sudah tidak tenang pikirannya itu semakin
kerepotan dalam menghadapi serangannya.
Memasuki jurus yang keempat puluh tiga, gerakan Ki
Sama Tungga terlihat semakin lamban. Jelas kekuatan
serta kegesitan lelaki tinggi kurus itu sudah mulai
berkurang. Sehingga, Ki Dungkala berhasil menyarangkan
sebuah tendangan keras ke lambung lawannya.
Bukkk!
“Huakhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Sama Tungga langsung
terjengkang memuntahkan darah segar. Meskipun
demikian, jurangan kaya itu masih berusaha bangkit untuk
melanjutkan pertarungan. Tapi, Ki Dungkala sepertinya
tidak ingin memberikan kesempatan lagi kepada
lawannya. Saat itu juga, ia langsung melesat dengan
babatan pedangnya yang mengancam tubuh Ki Sama
Tungga.
“Akh...?!”
Lelaki tinggi kurus yang biasanya sombong itu
memucat wajahnya. Sadar kalau tidak mungkin dapat
selamat dari pedang lawan, Ki Sama Tungga hanya bisa
pasrah menerima kematian di tangan kepala keamanan
desa itu.
Tapi, pada saat kematian hampir menjemput Ki Sama
Tungga, tiba-tiba melesat sesosok bayangan dari samping.
Dan langsung memapaki datangnya serangan pedang Ki
Dungkala! Dan...
Plak!
“Aaakh...!”
Hebat sekali akibat tangkisan sosok bayangan yang baru
muncul itu. Bukan saja ia telah berhasil menyelamatkan
nyawa Ki Sama Tungga dari kematian, tetapi tubuh Ki
Dungkala terpelanting deras menghantam dinding di
belakangnya.
“Paman...!” seru Kenanga terkejut melihat perubahan
yang sama sekali tidak diduganya itu.
Cepat gadis jelita itu berlari memburu tubuh Ki
Dungkala yang tampak tengah terduduk sambil
memuntahkan darah segar. Kemudian, kepalanya menoleh
ke arah sosok bayangan yang telah menyelamatkan nyawa
Ki Sama Tungga. Wajah Kenanga tampak menegang
ketika melihat dan mengenali sosok yang berdiri angker di
depannya.
***
DELAPAN
“Kau...?!” desis Kenanga, terkejut.
Urat syaraf dara jelita itu seketika menjadi tegang
ketika melihat seraut wajah menyeramkan, tengah
menatapnya dengan sorot mata semerah darah!
“Wintarsa...?!” Ki Dungkala pun tidak kalah ter-
kejutnya ketika melihat siapa orang yang telah memapaki
serangan pedangnya tadi.
Lelaki gagah itu benar-benar tidak percaya kalau yang
mematahkan serangannya adalah Wintarsa, pemuda yang
dikenalnya dengan baik. Yang membuat Ki Dungkala
heran, bagaimana Wintarsa mampu menghalau serangan-
nya. Padahal setahunya, kepandaian pemuda itu tidak
terlalu tinggi. Meskipun untuk mengalahkannya tidaklah
begitu mudah, namun Ki Dungkala yakin kalau ia masih
dapat menang melawan Wintarsa. Tapi, mengapa ia
dengan mudah terluka oleh pemuda itu hanya dengan
sekali gebrak saja? Padahal, pemuda pesolek itu hanya
menangkis serangannya, tanpa menyarangkan pukulan ke
tubuhnya. Kenyataan ini, membuat Ki Dungkala tak habis
pikir.
“Hmrrr...! Kalian berdua telah berani melukai ayahku!
Untuk itu, kalian harus mampus di tanganku...!” geram
Wintarsa dengan suara yang mampu membuat jantung
seorang lelaki penakut copot.
“Benarkah dia adalah Wintarsa yang selama ini
kukenal...?” gumam Ki Dungkala yang merasa bulu
tengkuknya meremang melihat tatapan mata yang terasa
bagaikan mengiris-iris jantungnya itu. Sebab, wajah
pemuda itu berubah jauh dari biasanya. Suaranya pun
terdengar menyeramkan seperti suara iblis pencabut
nyawa. Tentu saja hal ini membuat Ki Dungkala menjadi
gemetar.
Melihat sikap dan perbawa yang menyeramkan
terpancar dari wajah pemuda itu, Kenanga segera teringat
akan peristiwa beberapa waktu yang lalu, di luar Desa
Margaluyu. Ia pun sempat melihat bagaimana Panji
kerepotan menghadapi pemuda itu yang sepertinya telah
kerasukan setan. Sadar kalau keadaan mereka sangat
berbahaya, dara jelita itu pun bangkit sambil menghunus
pedangnya.
“Yeaaarkh....!”
Wintarsa yang sepertinya telah berubah menjadi iblis
haus darah itu, kembali menggeram dengan suara aneh.
Pemuda itu melangkah perlahan menghampiri Kenanga
yang berdiri di depan Ki Dungkala. Dan, ketika Wintarsa
melompat menerjang dengan ganasnya, Kenanga segera
memutar Pedang Sinar Rembulan. Seketika itu,
terbentuklah gulungan sinar putih keperakan yang
berpendar menyilaukan mata.
Bettt. .!
Sinar putih keperakan berkeredep ketika Kenanga
membabatkan senjatanya untuk menyambut datangnya
serangan lawan. Tapi, bukan main terkejutnya hati dara
jelita itu ketika melihat Wintarsa menyambut mata
pedangnya dengan telapak tangan!
Plakkk!
“Aihhh...?!”
Hati dara jelita itu bukan main kaget ketika tamparan
telapak tangan Wintarsa membuat senjatanya hampir
terlepas dari genggaman tangan. Sedangkan telapak tangan
pemuda itu telah berputar cepat dan meluncur ke arah
tenggorokannya. Cepat Kenanga melempar tubuhnya ke
belakang, dan berputaran beberapa kali, sebelum men-
daratkan kedua kakinya di tanah.
Wintarsa yang telah kerasukan setan itu, rupanya tidak
ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk
mempersiapkan jurus baru. Tubuh pemuda aneh itu
kembali meluncur dengan cengkeraman-cengkeraman
mautnya, yang menimbulkan suara berdecitan tajam.
Jelas, serangan pemuda itu sangat berbahaya dan
mematikan!
Trang...!
Kenanga yang mencoba memapaki cengkeraman
Wintarsa dengan sabetan pedangnya, kembali terkejut
setengah mati. Sebab, Wintarsa sama sekali tidak berusaha
menyelamatkan tangannya. Malah sengaja menyambut
datangnya sambaran pedang dengan cengkeramannya.
Untunglah pedang dara jelita itu bukan senjata
sembarangan. Kalau tidak, mungkin sudah patah-patah
akibat cengkeraman yang sangat kuat dari lawannya.
Sebentar saja, dara jelita itu terdesak deh gem-puran-
gempuran Wintarsa yang aneh, namun sangat berbahaya
itu.
“Haiiit...!”
Pada saat Kenanga tengah sibuk mempertahankan
dirinya dari gempuran Wintarsa, tiba-tiba terdengar
pekikan nyaring yang disusul masuknya sesosok bayangan
putih bersinar putih keperakan ke dalam kancah
pertarungan. Begitu tiba, sosok bayangan bersinar putih
keperakan yang tak lain dari Panji itu, langsung memapaki
serangan Wintarsa.
Plak, plak.... Desss...!
Kedatangan Panji yang secara tiba-tiba itu di luar
perhitungan Wintarsa. Sehingga, pemuda itu tidak sempat
lagi mengelak. Dan, sebuah pukulan telapak tangan Panji
pun singgah di dada pemuda aneh itu. Akibatnya, tubuh
Wintarsa terdorong mundur sejauh satu tombak. Terlihat
dari sudut bibirnya menetes darah segar. Jelas, pukulan
yang sangat kuat itu telah membuat Wintarsa menderita.
“Hm..., akhirnya kau muncul juga, Wintarsa! Sekarang
kita tentukan, siapa yang akan keluar sebagai pemenang
dalam pertarungan kari ini...,” desis Panji dingin.
Pendekar Naga Putih kemudian menyilangkan kedua
lengannya di depan dada dengan kedua mata terpejam.
Dan sebentar kemudian, muncullah sinar kuning
keemasan yang menyelimuti sebelah kanan tubuh pemuda
itu. Sedangkan tubuh bagian kirinya, diselimuti lapisan
kabut bersinar putih keperakan. Jelas, Pendekar Naga
Putih telah menggabungkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sehingga,
tubuhnya mengeluarkan dua buah sinar yang mempunyai
dua unsur berbeda. Panas dan dingin!
Sinar kuning keemasan yang terpancar dari sebelah
kanan tubuh Panji tampak menimbulkan pengaruh bagi
Wintarsa. Terbukti pemuda itu melangkah mundur seraya
menghalangi pandangan matanya dengan sepasang
lengannya. Jelas, Wintarsa merasa agak terganggu dengan
sinar kuning keemasan itu.
“Hm...,” Panji yang melihat tingkah laku Wintarsa,
yang merasa terganggu dengan sinar tenaga jelmaan
Pedang Naga Langit itu, segera dapat menduga kalau ada
sesuatu yang tidak beres dalam diri pemuda itu. Maka,
untuk meyakinkan dirinya, Pendekar Naga Putih bergerak
maju dengan menggunakan jurus-jurus andalannya yang
sangat terkenal.
“Haaat...!”
Kali ini Panji lebih dahulu membuka serangan.
Sepasang tangannya bergerak cepat dengan cakar naga
yang siap mengoyak tubuh lawannya.
Wintarsa tampak tidak lagi seganas semula. Kelihatan
sekali kalau pemuda itu selalu menghindari gempuran
tangan kanan Panji. Ia selalu bermain di sebelah kiri
lawannya. Seolah serangan tangan kanan pemuda itu
sanggup membuat kesaktiannya lenyap.
Panji bukan tidak mengetahui hal itu. Maka, ia pun
semakin mempergencar serangan-serangannya. Sepasang
lengannya bergerak cepat dan sukar diikuti mata biasa.
Tubuh pemuda itu sendiri berkelebat cepat laksana seekor
naga yang tengah bermain-main di angkasa.
Plakkk!
Tusukan jari tangan kanan Wintarsa yang meluncur ke
tenggorokan Panji, langsung dipapaki dengan tangan
kanannya. Akibatnya, kedua lengan itu saling berbenturan
keras. Kali ini, tubuh Wintarsa tampak terhuyung-
huyung. Keadaan itu dipergunakan Panji untuk mengirim-
kan hantaman telapak tangan kanannya. Tak ayal lagi,
pukulannya telak menghajar tubuh Wintarsa.
Desss...!
Akibatnya benar-benar mengejutkan sekali! Tubuh
pemuda tampan pesolek itu terjengkang dan berkelojotan
bagaikan ayam disembelih! Sekujur tubuhnya mengeluar-
kan sinar kuning keemasan. Jelas, kekuatan 'Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi' seperti terserap ke dalam tubuh pemuda
itu. Lama-kelamaan sinar kuning keemasan itu semakin
mengecil, kemudian lenyap sama sekali setelah berdiam
agak lama di sekitar kepala Wintarsa. Pemuda itu pun
menggeletak tak sadarkan diri.
“Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak beres dalam diri
pemuda itu. Entah apa! Aku belum begitu jelas. Tapi,
mungkin ia memerlukan sedikit pengobatan. Sebaiknya
kita bawa saja dia ke dalam...,” ujar Panji sambil
menghampiri dan mengangkat tubuh Wintarsa.
Sementara itu, Ki Dungkala, Ki Sama Tungga, dan
Kenanga sama sekali belum bisa mengeluarkan kata-kata.
Sepertinya mereka masih merasa terkesima dengan
kejadian yang baru saja disaksikan tadi. Mereka hanya bisa
mengangguk dan mengikuti langkah Panji.
***
“Wintarsa, ceritakanlah! Dari mana kau mempelajari
ilmu-ilmu aneh yang sangat berbahaya itu? Menurut
keterangan ayahmu, ia sama sekali tidak pernah mengajar-
kan dan memiliki ilmu seperti itu? Dan, benarkah kau
yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa
ini...?” tanya Panji setelah Wintarsa sadar dari pingsannya.
Sebelumnya, pemuda tampan berjubah putih itu telah
menanyakan kepada Ki Sama Tungga yang tampaknya
telah sadar akan kekeliruannya selama ini.
Ki Dungkala, Kenanga, dan Ki Sama Tungga duduk
berkumpul di tempat itu. Mereka ingin mendengar
penjelasan dari pemuda pesolek itu.
“Hhh..., sebelumnya aku memang jahat, dan sangat
sombong. Aku sering menyakiti para penduduk desa yang
berani menentang kemauanku. Banyak gadis-gadis dan
istri orang yang kuganggu. Hal itu mungkin dikarenakan
ayah selalu menuruti apa yang menjadi kehendakku.
Tapi..., mengenai pembunuhan-pembunuhan yang kau
tanyakan itu, aku sama sekali tidak pernah melakukannya.
Mungkin ada satu-dua orang yang pernah tewas oleh
tukang-tukang pukulku.”
Wintarsa menghentikan ucapannya untuk mengambil
napas. Pemuda itu merasakan dadanya agak sesak,
walaupun tadi telah diobati oleh Pendekar Naga Putih.
“Semua itu kuakui sebagai kesalahanku. Sedangkan
mengenai ilmu-ilmu itu, kupelajari dari sebuah sumur tua
yang terdapat di belakang kuil tua di sebelah Barat desa
ini. Kuil rusak itu sudah lama tidak terpakai lagi. Ketika
itu aku tengah beristirahat bersama kedua orang
pengawalku, setelah berburu di hutan. Entah mengapa,
tiba-tiba saja aku merasa tertarik dengan sebuah sumur tua
di belakang kuil itu. Karena dasar sumur itu terlihat dari
atas, aku merasa penasaran, dan langsung turun ke
dalamnya.”
Wintarsa kembali menghentikan ceritanya. Ditatapnya
wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya, seakan
ingin mengetahui tanggapan mereka akan ceritanya.
“Ternyata sumur tua itu berlubang pada dindingnya,
dan mirip sebuah gua. Aku pun langsung masuk ke
dalamnya. Di sana aku menemukan gambar-gambar orang
yang tengah bersilat, lalu aku mempelajarinya. Dan sejak
saat itu, aku hampir setiap hari datang untuk mempelajari
ilmu silat yang ada di dalam gua itu,” Wintarsa kembali
menghentikan ceritanya, dan menarik napas dalam-dalam
mengenang peristiwa itu.
“Hm..., gambar-gambar itu jelas peninggalan seorang
tokoh sakti. Sayang, kau mempelajarinya tidak berurutan.
Sehingga, hawa sakti yang kau himpun, telah merusak
syaraf di kepalamu. Untunglah, masih belum terlambat
untuk menyembuhkanmu. Kalau tidak, mungkin kau akan
tewas bila jalan darah di kepalamu telah pecah akibat
terlalu sering melatih ilmu yang salah itu...,” jelas Panji.
Pendekar Naga Putih kini mulai mengerti mengapa
ilmu silat pemuda itu menjadi sangat hebat bila kesadaran-
nya lenyap. Rupanya hal itu disebabkan tersumbatnya
aliran darah di kepalanya, sehingga membuat ingatan
pemuda itu lenyap, dan berganti ingatan tentang ilmu silat
yang dipelajarinya secara terbalik.
“Hm..., tahulah aku sekarang, siapa yang telah
melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa ini...,” tiba
tiba Ki Dungkala bergumam, membuat yang lainnya
segera menoleh ke arahnya.
“Apa maksud Paman...?” tanya Panji seraya
mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Ki
Dungkala.
“Panji, coba kau katakan, apakah Wintarsa bisa
berubah menjadi gila seterusnya? Dan mungkinkah ia akan
melakukan pembunuhan-pembunuhan, apabila ia telah
mempelajari ilmu itu selama bertahun-tahun...?” tanya Ki
Dungkala sebelum menjawab pertanyaan Pendekar Naga
Putih.
“Begitulah kira-kira, Paman. Perbuatan yang selama ini
dilakukannya kebanyakan didorong oleh pengaruh ilmu
sesat itu. Sebab, menurutku Wintarsa tidak jahat.
Mungkin ia melakukan kejahatan-kejahatan itu setelah
mempelajari ilmu yang ditemukannya di dasar sumur tua
di belakang kuil itu. Jadi, apabila Wintarsa telah lima
tahun lebih mempelajarinya, bisa jadi ia akan berubah gila.
Kendatipun ia masih bisa mengenali orang, dan berbicara
seperti biasa. Kegilaan yang kumaksudkan di sini adalah
timbulnya pikiran-pikiran jahat akibat semakin tingginya
tenaga sakti yang dipelajarinya. Sebab, bila kita mem-
pelajari ilmu tenaga dalam secara terbalik, akan merusak
jaringan syaraf pada otak kita...,” tutur Panji yang
membuat Ki Dungkala mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau begitu, marilah kalian ikuti aku. Sebab, yang
mempelajari ilmu itu mungkin bukan hanya Wintarsa
seorang. Ada lagi orang lain yang telah mempelajarinya,
sebelum Wintarsa menjadi pemuda dewasa seperti
sekarang ini. Semula aku tidak begitu memperhatikannya
ketika ia seringkali pergi dan sampai menginap berhari-
hari di kuil tua itu. Dua tahun belakangan ini, ia seringkali
menyepi di satu tempat. Diam-diam aku pernah
mengintainya. Dan, ia memang tengah melatih ilmu
silatnya secara sembunyi-sembunyi. Karena ia seperti
merahasiakannya, maka aku pun tidak berani mem-
bicarakannya. Hanya saja tingkah dan sikapnya memang
agak aneh. Mungkin karena ia memiliki dasar yang lebih
kuat ketimbang Wintarsa, maka ia tidak terlalu merasakan
perubahan itu...,” jelas Ki Dungkala.
Panji dan yang lainnya menjadi tegang mendengar
penjelasan kepala keamanan desa itu. Orang yang
diceritakan Ki Dungkala itu jelas lebih berbahaya daripada
Wintarsa. Kalau pemuda itu mempelajarinya baru satu
tahun saja sudah sedemikian hebat, entah bagaimana
dengan orang yang diceritakan Ki Dungkala yang telah
mempelajarinya lebih dari lima tahun!
“Hm..., apakah orang itu memiliki tinggi tubuh seperti
Ki Sama Tungga...?” tanya Panji setelah terdiam beberapa
saat lamanya.
Rupanya Pendekar Naga Putih kembali teringat kepada
sosok tinggi kurus berjubah putih yang pemah bertarung
dengannya. Dan, lawannya itu memang memiliki gerakan
serupa dengan Wintarsa. Bahkan kelihatan jauh lebih kuat
dan lebih mantap.
“Yah..., mungkin dia orang yang kau ceritakan itu,
Panji. Marilah kalian ikuti aku. Ia ada di suatu tempat yang
tersembunyi. Dan ia sudah berbulan-bulan menyepi di
sana. Aku sendiri tidak tahu, apa yang membuat dia
bertindak seperti itu...,” ujar Ki Dungkala sambil
bergerak bangkit dan mengajak Panji dan yang lainnya
untuk segera mengikutinya.
***
Dengan Ki Dungkala sebagai penunjuk jalan, tidaklah
sulit bagi mereka untuk menemukan tempat yang
dimaksud lelaki gagah itu. Tidak berapa lama kemudian,
tibalah mereka di dekat sebuah pondok tua yang berada
jauh di bagian Utara Desa Margaluyu. Bahkan sudah
berada di luar desa.
“Hm.., di sinikah orang itu tinggal...?” tanya Panji
sambil melangkah mendekati pondok itu.
“Betul. Kuharap kalian semua berhati-hati. Sebab,
bukan mustahil kalau dia telah mengetahui kedatangan
kita...,” Ki Dungkala mengingatkan dengan wajah sedikit
tegang.
Namun, saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara tawa
berkepanjangan yang mendirikan bulu roma. Bahkan,
suara tawa itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang
sangat dahsyat. Sehingga, Panji harus mengerahkan tenaga
saktinya guna melindungi dada dan pendengarannya dari
pengaruh suara tawa itu.
“Kalian semua menyingkirlah jauh-jauh...!” seru Panji
ketika melihat yang lainnya tampak limbung, karena
mereka tidak sanggup menahan getaran suara tawa itu.
“Ki Samparan, keluarlah! Kami sudah mengetahui
bahwa semua yang terjadi di desa adalah perbuatanmu...!”
teriak Ki Dungkala seraya melangkah mundur menjauhi
pondok.
“Ki Samparan...?!” desis Ki Sama Tungga dan Wintarsa
bersamaan. Jelas, keduanya telah mengenal baik orang
yang namanya disebut Ki Dungkala tadi.
“Ki Samparan...?! Kau maksudkan yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu adalah Kepala Desa
Margaluyu sendiri...?” tanya Panji dengan wajah terkejut.
Karena ia telah mendengar tentang Kepala Desa
Margaluyu itu. Tapi, tidak menduga sama sekali kalau
justru orang tua itulah yang melakukan kejahatan di dalam
desanya. Sebab, selama berada di desa itu Panji sama
sekali belum pernah berjumpa dengan Ki Samparan.
Pemuda itu tidak ingat untuk menanyakannya, karena Ki
Dungkala pun tidak pernah menyinggung-nyinggung
tentang kepala desanya itu.
“Benar, Panji. Ki Samparanlah yang kumaksudkan...,”
jawab Ki Dungkala yang tampaknya merasa berduka
mengingat orang yang selama ini menteror warga desa
justru orang yang seharusnya melindungi penduduk desa
itu.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba hembusan
angin bertiup keras diiringi suara tawa yang menggetarkan
jantung. Begitu hembusan angin itu lenyap, muncullah
sesosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah
panjang berwarna putih. Sosok itu berdiri angker
menatapi wajah-wajah di hadapannya.
“Hm..., apa maksudmu membawa mereka kemari,
Dungkala? Apakah kau hendak mengandalkan Pendekar
Naga Putih untuk menghentikan kesenanganku...?” tegur
lelaki tinggi kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu.
Rambut dan wajahnya tampak tidak terurus, persis seperti
orang gila. Sorot matanya demikian tajam, tertuju kepada
Ki Dungkala yang badannya langsung menjadi gemetar.
“Benar! Akulah yang akan menghentikan kegilaanmu,
Ki Samparan! Kau telah tersesat terlalu jauh...,” ujar Panji
yang langsung saja bergerak melindungi Ki Dungkala,
ketika melihat tangan kanan Ki Samparan siap bergerak
untuk menghabisi nyawa kepala keamanan desa itu.
“He he he...! Kalau begitu, kaulah yang lebih dulu
harus kukirim ke neraka, Pendekar Naga Putih..!”
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Samparan telah
melayang dengan pukulan-pukulan mautnya yang
menimbulkan angin bercuitan.
Whuuut! Whuuut!
Cepat Pendekar Naga Putih menyuruh yang lainnya
untuk menjauhi tempat itu. Sedangkan ia sendiri sudah
bergerak dengan lompatan ke samping, guna menghindari
serangan yang menebarkan bau amis dan harum yang
memabukkan. Jelas, serangan Ki Samparan mengandung
racun yang mematikan.
“Hm...,” Panji yang telah mengetahui kelemahan
lawan, segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi'. Sebab, Wintarsa pun lumpuh dengan tenaga
mukjizat itu.
Apa yang diduga Panji terbukti. Ki Samparan tampak
sangat takut sekali ketika melihat tubuh pemuda itu
mengeluarkan sinar kuning keemasan. Hal itu tidaklah
aneh. Sebab, tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit
itu mampu melumpuhkan ilmu sihir ataupun segala jenis
racun yang paling jahat sekalipun.
Dan, karena Ki Samparan maupun Wintarsa tengah
menderita keracunan, maka mereka pun takut melihat
sinar keemasan yang membuat tubuh mereka seperti
lemas. Sadar akan kelemahan lawan, Panji tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Cepat bagai kilat, pemuda
itu langsung melesat menerjang lawannya.
Whuttt! Plakkk!
“Aaakh...!”
Ki Samparan menjerit kesakitan, karena ia terpaksa
harus menangkis serangan pemuda yang tidak mungkin
dapat dielakkannya itu. Tubuh lelaki tua itu terjajar
mundur. Wajahnya tampak agak pucat. Sepasang matanya
bergerak liar seperti hendak mencari jalan untuk selamat.
“Hm..., hendak lari ke mana kau...?!” bentak Panji
ketika melihat lawannya melesat ke arah Ki Dungkala dan
yang lainnya. Jelas Ki Samparan hendak mencari korban
yang lebih mudah untuk dilenyapkan.
Namun, lelaki tua itu tidak sempat untuk mencapai
sasaran yang ditujunya. Karena Panji lebih dulu
menyambut serangan lelaki tua yang telah gila itu. Merasa
tidak ada jalan lain, Ki Samparan pun segera mengeluar-
kan seluruh kesaktiannya untuk melenyapkan Pendekar
Naga Putih. Sehingga, keduanya segera terlibat dalam
sebuah pertarungan sengit.
Sebenarnya, kalau saja Panji tidak mempergunakan
tenaga mukjizat itu, rasanya sangat sulit untuk dapat
mengalahkan Ki Samparan. Tapi, karena tenaga mukjizat
yang mengeluarkan sinar kuning keemasan itu mem-
pengaruhi kekuatannya, maka Ki Samparan dengan mudah
dapat didesak Panji dengan gempuran-gempuran yang
cepat dan kuat. Apalagi jurus yang digunakan Panji adalah
jurus andalan yang sukar dicari bandingannya. Maka,
setelah lewat dari enam puluh jurus, tampak Ki Samparan
mulai kewalahan. Berkali-kali lelaki gila itu berteriak-
teriak kesakitan, saat lengan mereka saling berbenturan
keras. Dan ketika Pendekar Naga Putih mengerahkan
tenaganya sambil mendorongkan sepasang telapak
tangannya ke depan, lelaki tua itu menjerit ngeri.
Blarrr...!
Seberkas sinar kuning keemasan yang meluncur keluar
dari sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih, meng-
hajar telak tubuh Ki Samparan. Akibatnya, tubuh tinggi
kurus itu terpental deras sejauh dua tombak lebih.
Tubuhnya terus meluncur menabrak dinding pondok yang
kayunya memang telah lapuk. Cepat Panji berlari
memburu ke arah tubuh lawannya.
“Hhh...,” Panji hanya bisa menghela napas panjang
ketika melihat tubuh Ki Samparan diam dan tak bergerak-
gerak lagi.
Kepala desa yang telah menjadi gila itu tewas akibat
hantaman dahsyat yang mengandung kekuatan mukjizat.
Panji memang terpaksa menghabisi lawannya. Karena ia
sadar bahwa tidak ada kemungkinan lagi untuk
menyembuhkan Ki Samparan. Hanya kematianlah jalan
yang terbaik bagi lelaki tua itu.
Ki Dungkala tampak menunduk sedih melihat tubuh Ki
Samparan yang sudah tak bernyawa lagi itu.
“Semoga arwahmu di alam baka dapat tenang, Ki...,”
ucap Ki Dungkala seraya mengangkat tubuh tinggi kurus
itu dan membawanya ke desa.
Panji dan yang lainnya mengikuti tanpa berkata-kata.
Mereka pun bersyukur bahwa teror yang selama ini
melanda penduduk Desa Margaluyu telah dapat
dilenyapkan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar