HANTU LAUT
PAJANG
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Hantu Laut Pajang
126 Hal ; 12 x 18 cm
SATU
Hembusan angin di tepian pantai sebelah Utara
Laut Panjang terasa agak keras menerpa kulit. Sesosok
tubuh tinggi tegap tampak tengah berdiri kokoh pada
bagian tebing karang pantai yang tidak begitu tinggi.
Tubuh kekar itu tak ubahnya batu karang yang tidak
pernah goyah oleh hantaman ombak. Rambutnya yang
panjang dan tebal dibiarkan tergerai, dipermainkan ti-
upan angin.
Sosok itu terus menatap luas Lautan Pajang,
tanpa mempedulikan percikan ombak di bawahnya
yang sesekali membasahi pakaiannya. Tatapan ma-
tanya yang tajam, tertuju lurus bagaikan tengah meni-
lai luasnya lautan itu. Bahkan keindahan sinar mata-
hari pagi yang jatuh menimpa air laut pun, juga tidak
menarik perhatiannya. Sosok tubuh lelaki kekar itu
sama sekali tidak bergerak meski cahaya matahari su-
dah merambat naik. Tubuhnya tetap tegak, seolah-
olah ia bagai sebuah patung batu karang yang menjadi
bagian pantai itu.
“Hhhh....”
Terdengar helaan napas panjang dan berulang-
ulang dari mulut dan hidung sosok tubuh tegap itu.
Sepasang tangannya yang semula terlipat di depan da-
da, kini tersangga di kedua pinggangnya. Entah apa,
yang membuat sosok lelaki tegap itu demikian terha-
nyut alam pikirannya yang bagai tak berkesudahan
itu.
Setelah beberapa saat lamanya bersikap begitu,
mendadak saja sosok tegap itu menengadahkan wa-
jahnya, disertai tarikan napas berat. Dipandanginya
langit kebiruan yang nampak cerah di pagi ini. Cukup
lama hal itu dilakukan, seolah-olah pada awan itu ada
sesuatu yang menarik hatinya.
“Bhirawa, bukan aku tidak menyetujui tekadmu
itu. Tapi, perlu kau ingat. Istana Kerajaan Bantar Ge-
bang merupakan tempat berkumpulnya jago-jago dari
segala penjuru rimba persilatan yang datang untuk
mengabdikan diri pada negeri ini. Tidak banyak yang
dapat kulakukan selain menasihati mu agar tidak ce-
roboh dalam mengambil tindakan. Salah-salah, dirimu
sendirilah yang akan celaka. Meski semua ilmuku te-
lah dapat kau serap secara sempurna, tapi semua itu
bukan jaminan kalau usahamu akan berhasil. Seka-
rang lagi, berhati-hatilah....”
Pesan gurunya kembali mendengung memenuhi
benak Bhirawa. Semua pesan itu disampaikan gu-
runya sehari sebelum ia meninggalkan tempat kedia-
mannya selama menuntut ilmu olah kanuragan.
“Hhhh....”
Sosok lelaki tegap yang ternyata bernama Bhira-
wa itu kembali menghela napasnya.
“Guru..., percayalah. Aku akan selalu berhati-
hati dalam mengarungi kehidupan ini. Terlebih lagi,
dalam menghadapi musuh-musuhku. Meskipun kau
tidak menyertaiku, namun bekal yang telah kau beri-
kan merupakan budi baik yang tidak mungkin dapat
kulupakan begitu saja. Aku pamit, Guru...,” desah Bhi-
rawa, mantap.
Setelah membungkukkan tubuhnya sebanyak ti-
ga kali ke arah laut, lelaki tinggi tegap itu pun men-
gayun langkahnya meninggalkan Pesisir Pantai Laut
Pajang.
***
Sosok lelaki tegap berambut panjang terurai itu
melangkah lambat memasuki pintu gerbang Kota Kera-
jaan Bantar Gebang. Sebuah caping bambu lebar tam-
pak menutupi wajahnya, sehingga terlindung dari te-
riknya cahaya matahari.
Keramaian Ibu Kota Kerajaan Bantar Gebang sa-
ma sekali tidak mengusik ketenangan langkahnya. Ka-
kinya terus terayun tanpa memperhatikan orang-orang
yang lalu-lalang di sekelilingnya. Ia baru berhenti keti-
ka tiba di sebuah bangunan megah milik salah seorang
pejabat kerajaan. Sepasang matanya yang terlindung
di balik caping bambu menatap tajam sekeliling ban-
gunan megah itu.
Sikap sosok pemuda tegap itu tentu saja mem-
buat dua orang prajurit penjaga pintu gerbang menjadi
curiga. Keduanya meneliti mengawasi sosok tegap yang
wajahnya terlindung caping. Karena cukup lama pe-
muda itu tidak juga beranjak, salah seorang prajurit
segera menghampirinya
Dengan langkah yang dibuat berkesan seram,
prajurit muda bertubuh gemuk itu menghampiri pe-
muda bercaping. Tangan kanannya meremas-remas
sebatang tombak, seolah-olah hendak menakuti pe-
muda bercaping dengan senjatanya.
“Kisanak, ada yang bisa kubantu...?” tegur praju-
rit muda itu sambil mencoba menegasi wajah yang ter-
lindung caping bambu. Namun karena pemuda itu te-
lah menundukkan wajahnya, maka ia tidak berhasil
menegasi.
“Ah! Tidak, Tuan. Aku hanya merasa kagum den-
gan bangunan yang demikian indah ini. Kalau boleh
tahu, siapakah yang menghuni bangunan besar ini,
Tuan...?” pemuda bercaping ini mengangguk sopan,
sebelum menyahuti.
“Hm.... Kau tentu bukan penduduk kota ini, dari
mana asalmu? Dan, apa tujuanmu datang ke kota
ini...?” prajurit muda itu malah balik bertanya. Sikap-
nya jelas menandakan kalau pemuda bercaping itu di-
curigainya.
“Benar, Tuan. Aku hanyalah orang dusun yang
kebetulan singgah di kota besar ini. Desa ku tengah di-
landa kemarau yang sangat panjang. Sehingga, para
penduduknya banyak yang pergi mencari kehidupan
yang lebih baik. Aku pun tidak berbeda dengan mere-
ka, sehingga langkahku tiba di kota ini. Terus terang di
desa ku tidak ada bangunan yang sebesar dan seindah
ini. Makanya aku jadi tertarik dan merasa kagum.
Penghuni bangunan besar ini pastilah seorang pejabat
kerajaan...,” puji pemuda tegap bercaping itu, seolah-
olah hendak mengulangi pertanyaannya dalam bentuk
kalimat lain. Sehingga, prajurit muda itu teringat kem-
bali akan pertanyaan yang tadi belum dijawabnya.
“Benar! Bangunan besar ini adalah tempat ke-
diaman seorang pejabat tinggi Kerajaan Bantar Ge-
bang. Tapi, beliau jarang sekali menempatinya. Seba-
gai seorang senapati, tentu saja beliau lebih banyak
tinggal di istana. Sedangkan bangunan ini digunakan
hanya sebagai tempat istirahat, apabila Senapati Gada
Sura sedang tidak bertugas,” jelas prajurit muda itu,
penuh kebanggaan.
“Senapati Gada Sura...?” gumam pemuda bercap-
ing ini, seolah-olah tidak begitu yakin terhadap penje-
lasan prajurit muda itu.
“Benar. Jabatan itu baru tiga tahun dipegangnya.
Mengapa kau kelihatan heran, Kisanak? Apakah penje-
lasanku salah...?” tanya prajurit muda itu ragu. Keli-
hatannya pemuda bercaping itu seperti tidak begitu
percaya dengan keterangannya.
“Ah, tidak. Keterangan Tuan sangat jelas. Aku
sangat berterima kasih atas keteranganmu. Karena
dengan begitu, aku bisa menceritakannya kepada te-
man-teman di desa nanti. Maaf. Aku permisi, Tuan...,”
pamit pemuda bercaping itu yang segera membungkuk
hormat Kemudian, dia berlalu meninggalkan bangunan
besar itu.
”Ya..., ya...,” sahut prajurit muda itu mengang-
guk-anggukkan kepala.
Tampaknya prajurit itu tak mengerti melihat si-
kap pemuda bercaping yang dianggapnya cukup aneh.
Begitu nama Senapati Gada Sura disebutnya, dia se-
perti terkejut. Sambil menggeleng-gelengkan kepala,
prajurit muda itu kembali ke pos jaganya. “
Sementara itu si pemuda bercaping terus me-
langkah dengan kepala tertunduk. Sepertinya, ia ma-
sih memikirkan keterangan yang baru didapatnya dari
prajurit muda penjaga pintu gerbang tadi.
“Hei, minggir...! Minggir...!”
Tiba-tiba terdengar teriakan berulang-ulang yang
membuat pemuda bercaping itu tersentak kaget dari
lamunannya. Serentak kepalanya terangkat dan me-
mandang ke depan melalui tepi caping bambunya. Bu-
kan main terkejut hatinya ketika di depannya dalam
jarak kurang dari dua tombak, tampak tiga ekor kuda
tengah berlari kencang!
“Minggir kau, Gelandangan Busuk...!” maki seo-
rang penunggang kuda yang terdepan.
Sambil berkata demikian, cambuknya dilecutkan
ke tubuh pemuda bercaping itu ketika lewat di sam-
pingnya. Sepertinya, ia merasa jengkel melihat pemuda
itu seperti enggan menyingkir!
Jtarrr...!
Tali cambuk kuda itu meledak ketika mengenai
punggung si pemuda bercaping. Namun, yang terjadi
selanjutnya membuat penunggang kuda itu menjadi
marah. Ternyata cambuk yang digunakan untuk men-
dera pemuda bercaping itu terlihat pecah bagian
ujungnya. Bahkan wajah penunggang kuda yang kira-
kira berusia sekitar dua puluh tahun tampak meringis
seperti merasakan nyeri pada telapak tangannya.
“Bedebah...!” maki pemuda tampan berpakaian
mewah yang menunggang kuda berbulu hitam.
Seketika, pemuda itu menarik tali kekangnya,
sehingga binatang tunggangannya berhenti dan me-
ringkik keras. Kemudian bergegas memutar kudanya
berbalik.
Dua orang penunggang kuda lain yang berada di
sekitar satu tombak di belakang pemuda tampan itu,
segera saja ikut menarik tali kekang kudanya. Kemu-
dian, binatang tunggangannya ikut pula diputar balik
menyertai pemuda tampan itu.
Sedangkan si pemuda bercaping yang sempat ter-
jatuh akibat serangan yang mendadak tadi, telah
bangkit sambil membersihkan debu-debu yang melekat
di jubah coklatnya. Caping yang dikenakannya tetap
bertengger di atas kepala, untuk menyembunyikan wa-
jahnya.
“Hei, Orang Buta! Apa kau juga tuli, hingga tidak
mau menyingkir ke tepi? Atau sengaja hendak mema-
merkan kepandaianmu di kota ini...?” maki pemuda
tampan yang menunggang kuda hitam itu kalang ka-
but Seolah-olah, kejadian tadi bukan merupakan kesa-
lahannya. Jelas hal itu menandakan kesombongan dan
sikapnya yang semena-mena.
“Maaf..., maaf. Aku benar-benar tidak sempat
menyingkir, karena kuda Tuan begitu cepat berlari.
Aku mohon maaf...,” ucap pemuda tegap bercaping itu
sambil membungkuk-bungkuk.
Dari pakaian serta sikapnya, pemuda bercaping
itu dapat menduga kalau orang yang membentaknya
pastilah putra seorang pembesar atau juragan kaya-
raya. Dan karena tidak ingin mencari persoalan, maka
pemuda bercaping itu terpaksa mengalah.
“Hm.... Begitu caramu meminta maaf kepadaku?!
Apakah kau tidak kenal siapa aku?! Lepas capingmu,
dan menyembah sambil mengucapkan permintaan
ampun. Dan bukan maaf...!” bentak pemuda berpa-
kaian mewah itu.
Pemuda tampan yang sombong itu sepertinya ti-
dak puas atas sikap lelaki tegap berjubah coklat itu.
Permintaannya benar-benar keterlaluan!
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda bercaping
itu terdiam. Seolah-olah dia merasa keberatan atas
permintaan pemuda tampan yang sombong itu. Tentu
saja sikapnya semakin membuat marah pemuda kaya-
raya penunggang kuda hitam itu.
“Bangsat! Kau berani membantah perintahku...?!
Kau memang patut dihajar!”
Sambil membentak marah, pemuda tampan itu
kembali melecutkan tali kekang kudanya ke tubuh
pemuda bercaping bambu.
Wuuut...!
Kali ini pemuda tegap bercaping itu rupanya ti-
dak sudi menerima perlakuan kejam itu begitu saja.
Seketika tangan kanannya terulur, dan langsung me-
nangkap ujung pecut yang siap menyengat tubuhnya.
Tappp...!
“Setan...! Kau ingin melawanku...!” rutuk pemuda
tampan itu.
Bukan main murkanya pemuda tampan yang
sombong itu. Dengan wajah kemerahan karena hawa
marah telah naik ke kepalanya, segera saja tali pecut
itu dibetot dengan pengerahan tenaganya! Karuan saja
tali pecut itu menegang, karena pemuda bercaping itu
tidak mau melepaskannya! Sehingga, terjadilah adu ta-
rik-menarik beberapa saat lamanya!
“Bedebah...!”
Untuk kesekian kalinya lelaki muda berwajah
tampan itu kembali melontarkan makian. Kemudian
kekuatannya untuk menarik tali kekang itu di tam-
bahnya. Akibatnya....
“Aaah...!”
Karena terlalu bernafsu untuk memenangkan
adu tarik-menarik itu, maka tanpa dapat dicegah lagi
tubuh pemuda tampan itu langsung terjatuh dari atas
punggung kuda! Apalagi, pemuda bercaping itu telah
melepaskan pegangannya pada ujung tali.
Bruggg...!
Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda tampan itu
langsung terbanting di tanah! Tentu saja peristiwa lucu
itu membuat orang-orang yang menyaksikannya terta-
wa geli, tanpa dapat ditahan lagi.
“Tuan Muda Jata Sura...!?”
Dua orang penunggang kuda lain yang sepertinya
merupakan pengawal pemuda tampan itu, segera saja
melompat turun dari atas punggung kuda. Bergegas
mereka menolong pemuda itu bangkit.
“Huh! Benar-benar kurang ajar sekali orang
itu...!” mulut pemuda tampan itu kembali mengomel
panjang-pendek.
Ia bangkit berdiri sambil mengebut-ngebutkan
debu yang mengotori pakaian indahnya. Kemudian,
wajahnya berpaling menatapi orang-orang yang berada
di sekelilingnya. Karuan saja orang-orang itu segera
beranjak pergi, melihat sinar mata penuh ancaman da-
ri pemuda tampan itu.
“Hei, tunggu...!” cegah pemuda tampan bernama
Jata Sura, keras.
Rupanya dia melihat pemuda bercaping tadi hen-
dak meninggalkan tempat itu. Kemudian, kedua ka-
kinya segera saja menjejak tanah! Seketika itu juga,
tubuh pemuda tampan itu melambung, dan berputar
melewati kepala si pemuda bercamping. Dan kini ka-
kinya mendarat di depan pemuda itu.
“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja...,” ucap
pemuda bercaping itu sambil membungkukkan tubuh-
nya. Rupanya, ia tidak ingin memperpanjang persoalan
ini.
‘Tidak semudah itu, Gelandangan Busuk! Kau
sudah berani menghina putra Senapati Gada Sura.
Untuk itu, kau harus dihukum cambuk sebanyak se-
ratus kali!” ancam Jata Sura dengan wajah merah pa-
dam.
Jelas sekali kalau ia sangat mendendam terhadap
pemuda bertubuh tegap itu.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya me-
natap tajam seperti hendak menilai pemuda bercaping
itu.
‘Tuan..., peristiwa tadi merupakan musibah kecil
yang rasanya tidak perlu diperpanjang. Kalaupun Tuan
menganggapku telah bersalah, rasanya ucapan maafku
telah cukup sebagai hukumannya. Lalu, mengapa
Tuan harus memberi hukuman sekejam itu kepada ra-
kyat yang lemah seperti aku? Apalagi, Tuan adalah pu-
tra seorang pembesar kerajaan yang semestinya bisa
jadi contoh bagi rakyat...”
Dengan panjang-lebar pemuda bercaping itu
memberi pengertian kepada Jata Sura. Ucapannya kali
ini bukan lagi menandakan kalau ia adalah seorang
gelandangan bodoh. Dari kata-katanya yang tersusun
rapi, menandakan kalau pemuda bercaping itu meru-
pakan seorang yang terpelajar.
“Enak saja bicara, Gembel! Sadarkah kalau kau
telah menghinaku di depan umum?! Dan itu tidak bisa
dibayar hanya dengan ucapan maafmu! Mau atau ti-
dak, kau harus menerima hukuman cambuk seratus
kali!” Jata Sura tetap berkeras dengan keinginannya.
Kemudian, ia menoleh kepada dua orang pengawalnya,
“Cambuk gelandangan ini sampai dia menjerit-jerit
minta ampun!”
Pemuda bercaping itu terdiam sejenak. Sadar ka-
lau perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi, maka ia
segera melangkah mundur siap menghadapi segala
kemungkinan. Tampak pemuda itu menarik napas pe-
nuh sesal. Seolah-olah kejadian itu membuatnya ter-
pukul dan sangat kecewa.
“Yeaaah...!”
Jtarrr...! Ctarrr...!
Terdengar lecutan cambuk yang meledak-ledak
memekakkan telinga. Menilik dari ledakan yang keras
itu, kelihatannya si pemegang cambuk memiliki tenaga
dalam yang sangat kuat!
Karena tidak rela tubuhnya dijadikan umpan
cambuk, pemuda bercaping itu segera saja berlompa-
tan mengelak. Sehingga, ujung cambuk yang melecut
dan mematuk-matuk itu hanya mengenai tempat ko-
song. Karena, sasarannya telah menghindari sebelum
ujung cambuk itu menyentuhnya.
“Danta, bantu dia...!” perintah Jata Sura.
Rupanya, pemuda tampan itu merasa penasaran
melihat pembantunya tidak juga berhasil menghajar
pemuda bercaping. Maka segera saja dia memerintah
lelaki bertubuh gempal yang berwajah kasar. Yang di-
panggil Danta. Tanpa diperintah dua kali, Danta segera
saja maju ke tengah arena.
“Yeaaat..!”
Danta rupanya bukan hanya sekadar membantu
saja. Lelaki bertubuh gempal dan berwajah kasar itu
menerjang pemuda bercaping dengan serangan puku-
lan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin men-
deru tajam. Tentu saja serangan itu bukan lagi meru-
pakan hukuman, tapi lebih tepat seperti hendak mem-
bunuh si pemuda bercaping.
Tentu saja serangan-serangan Danta yang ganas
dan berbahaya tidak bisa dihindari terus-menerus oleh
pemuda bercaping itu, dia terpaksa melontarkan se-
rangan balasan sesekali, untuk mencegah agar tidak
terlalu terdesak.
Malangnya, perlawanan pemuda itu malah sema-
kin menyulitkan dirinya. Jata Sura yang mulai terbuka
matanya setelah melihat kepandaian pemuda itu tentu
saja semakin bertambah geram. Segera saja dia berte-
riak memanggil empat orang prajurit kerajaan yang
kebetulan lewat tidak jauh dari arena perkelahian.
“Hei, Prajurit...! Cepat kalian kemari...!” panggil
Jata Sura mengulapkan tangannya memanggil keem-
pat orang prajurit itu.
Begitu mengenali kalau yang memanggil adalah
putra seorang pembesar yang sangat dihormati, lang-
sung saja empat orang prajurit itu bergegas mengham-
piri.
“Ada apa, Tuan Muda...?” tanya salah seorang
dari keempat prajurit itu sambil membungkuk hormat.
Sedangkan ketiga kawannya tampak memandang per-
kelahian itu dengan kening berkerut.
“Kalian tangkap pengacau yang hendak membe-
rontak itu. Cepat!” perintah Jata Sura yang langsung
saja melontarkan tuduhan berat bagi pemuda bercaping bambu itu.
Benar-benar licik dan keji sekali pemuda tampan
putra Senapati Gada Sura itu. Kesalahan yang kecil
saja, bisa membuatnya tega mencelakakan orang yang
sebenarnya tidak bersalah!
***
DUA
Terjunnya empat orang berseragam prajurit kera-
jaan, tentu saja membuat si pemuda bercaping menja-
di terkejut. Apabila nekat melanjutkan perkelahian, bi-
sa-bisa ia ditangkap. Bahkan dituduh sebagai pembe-
rontak. Maka, begitu melihat keempat orang prajurit
mulai ikut menyerang, pemuda yang sebenarnya ada-
lah Bhirawa itu melesat ke kanan. Dia terus melarikan
diri dari arena pertempuran.
Memang kalau didekati, pemuda bertubuh tegap
dan memiliki hidung besar, dan mempunyai tanda ke-
hitaman seperti bekas penyakit kulit pada bagian ba-
wah matanya. Ciri-ciri itu memang membuktikan ka-
lau dia adalah Bhirawa.
“Setan pemberontak! Mau lari ke mana kau...!”
bentak Jata Sura.
Rupanya, dia tidak rela melepaskan pemuda ber-
caping bambu itu. Maka, segera saja Jata Sura melesat
dan langsung melontarkan serangan maut ke arah la-
wannya.
Bettt...!
“Haiiit...!”
Bacokan sisi telapak tangan Jata Sura yang mengancam batang leher Bhirawa dapat dielakkan dengan
melenting ke udara, dan terus kabur! Tapi Danta dan
Barna Pati, dua orang pengawal Jata Sura, tidak ting-
gal diam. Kedua lelaki gagah itu melesat mengejar.
Langsung mereka menghadang jalan keluar pemuda
bercaping itu.
“Hm..” Apa kau pikir setelah menghina tuan mu-
da kami, lalu dapat lolos begitu saja? Kau keliru pe-
muda pemberontak! Lebih baik menyerah saja dan te-
rima hukumanmu...,” dengus Danta yang kini telah
meloloskan senjatanya.
Sedangkan Barna Pati memutar-mutar cambuk-
nya di atas kepala. Jelas, mereka tidak akan membiar-
kan Bhirawa melarikan diri.
“Hm.... Barna Pati, Danta...!” geram pemuda ber-
caping itu penuh dendam. “Rupanya kalian masih saja
setia mengikuti manusia licik dan jahat seperti Jata
Sura itu!”
Pemuda bercaping itu yang bernama Bhirawa ini
seperti telah mengenal kedua orang pengawal, serta
pemuda tampan yang bernama Jata Sura. Maka tentu
saja ucapan itu membuat Jata Sura, Danta, dan Barna
Pati menjadi tertegun.
“Bangsat! Siapa kau sebenarnya...?! Sepertinya
kau telah mengenal kami. Hm.... Aku semakin penasa-
ran ingin mengetahui wajah yang kau sembunyikan di
balik caping buruk itu,” desis Barna Pati, mencoba
menyimak wajah yang memang sebagian terlindung
caping bambu itu.
“Hm....”
Danta pun tidak kalah terkejutnya begitu men-
dengar pemuda bercaping itu menyebut namanya begi-
tu saja. Padahal kalau diukur dari pangkat keprajuri-
tan, kedua orang itu setingkat perwira. Dan, tidak seorang pun dari kalangan rakyat jelata yang berani me-
nyebut namanya begitu saja tanpa embel-embel ‘tuan’.
Maka hal itu tentu saja membuat Danta mengerutkan
keningnya sambil menggeram marah.
Demikian pula halnya Jata Sura. Pemuda putra
Senapati Gada Sura yang selalu dihormati orang itu
kian bertambah penasaran, ketika mendengar pemuda
itu menyebut namanya. Meskipun mungkin tadi pe-
muda itu sempat mendengarnya dari prajurit-prajurit
kerajaan, tapi dari cara pengucapannya, jelas seperti
orang yang telah lama mengenalnya. Dan itu membuat
Jata Sura semakin bernafsu untuk menangkap pemu-
da itu.
Sedangkan Bhirawa, sudah bersiap-siap membela
dirinya mati-matian. Keadaannya yang sudah terke-
pung itu, membuatnya sulit bisa lolos, kecuali mela-
kukan perlawanan. Tapi untuk itu, Bhirawa terpaksa
harus berhadapan dengan prajurit-prajurit kerajaan.
Bahkan akibatnya, dia dianggap sebagai pemberontak.
“Hm...,” Bhirawa menggeram ketika melihat la-
wannya yang berjumlah tujuh orang itu telah bergerak
merapatkan kepungan.
“Yeaaat..!”
Barna Pati berteriak nyaring, mengambil kesem-
patan pertama untuk menyerang. Lelaki gemuk yang
wajahnya terhias cambang tipis itu melesat, disertai le-
cutan cambuknya yang meledak-ledak memekakkan
telinga. Menilik dari ledakan cambuk dan sambaran
angin yang menderu tajam, tampaknya kali ini Barna
Pati bukan bermaksud sekadar memberi hajaran lagi.
Bahkan sudah seperti hendak menewaskan pemuda
bercaping itu.
Danta tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berwajah
bulat dengan sepasang mata sipit itu bergerak menyusul Barna Pati, disertai pedangnya yang mengaung-
ngaung bagaikan ratusan lebah marah! Tentu saja se-
rangan senjata lelaki itu pun tidak kalah berbahayanya
dengan lecutan cambuk kawannya. Sehingga sulit se-
kali dinilai, apakah Bhirawa akan mampu menghadapi
keroyokan yang demikian ganas dan tidak tanggung-
tanggung? Belum lagi menghadapi empat orang praju-
rit dan juga Jata Sura. Rasanya sulit sekali bagi pe-
muda itu untuk selamat kalau tidak mempunyai bekal
ilmu silat yang cukup.
Tapi, kali ini Bhirawa tidak tanggung-tanggung
lagi. Begitu melihat betapa ganasnya serangan para
pengeroyoknya, caping yang selama ini menyembunyi-
kan wajahnya dilepaskan. Dan....
“Hiaaah...!”
Berbarengan bentakan menggeledek dari mulut-
nya, pemuda itu mengibaskan lengannya disertai pen-
gerahan tenaga dalam. Langsung saja caping bambu di
tangannya melesat dengan kecepatan kilat, diiringi su-
ara mengaung tajam. Benda itu terus berputar menge-
lilingi tempat pemuda berjubah coklat itu.
Wuuus...!
Karena dilemparkan oleh sebuah kekuatan hebat,
maka caping yang hanya terbuat dari bambu itu ter-
nyata bisa menjadi sebuah senjata berbahaya! Buk-
tinya empat orang prajurit yang ikut mengeroyok dan
tidak sempat menghindar, langsung tersungkur diiringi
jerit kesakitan begitu terkena ujung caping bambu. Se-
ketika pada dada mereka terdapat sebuah goresan
panjang, hingga mengeluarkan darah! Meskipun tidak
terlalu dalam, tapi cukup menghentikan perlawanan
keempat orang prajurit tadi.
Jdarrr...! Jtarrr...!
Bhirawa, segera menggeser tubuhnya menghindari lecutan cambuk Barna Pati. Kemudian dengan se-
buah liukan indah, pemuda itu bergerak dengan lang-
kah bagaikan orang mabuk, sambil melontarkan tusu-
kan jemari tangannya yang mengancam tubuh lawan!
Sayang, saat itu Danta dan Jata Sura telah ber-
gerak memotong jalan serangannya. Sehingga, seran-
gan Bhirawa terpaksa harus ditarik mundur. Lalu, dia
melompat ke belakang untuk mengatur jurus-jurus
barunya.
“Yaaat...!”
Jata Sura yang demikian bernafsu untuk segera
dapat menundukkan Bhirawa, cepat melanjutkan se-
rangannya disertai pekikan nyaring! Hebat dan berba-
haya sekali serangannya. Sambaran tangannya yang
membentuk cakar harimau, bercuitan mengancam tu-
buh pemuda berwajah kehitaman itu. Sehingga mau
tidak mau, Bhirawa terpaksa harus mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya pula!
“Yeaaah...!”
Didahului sebuah pekikan melengking, Bhirawa
menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda
rendah. Sepasang tangannya yang mirip kepala ular,
meliuk-liuk lincah dan luwes. Sehingga, sepasang tan-
gannya tidak ubahnya seperti ular hidup saja
Bettt! Bettt! Bettt!
Disertai sambaran angin tajam yang merobek
udara, sepasang tangan Bhirawa mematuk-matuk me-
nyelinap di balik sambaran cakar harimau Jata Sura.
Pemuda bangsawan putra Senapati Gada Sura
itu cukup terkejut melihat kelincahan permainan se-
pasang tangan lawan. Meskipun cakar harimaunya ti-
dak kalah berbahaya dari sepasang paruh ular, namun
jelas kalau Jata Sura masih lebih mentah ilmunya ke-
timbang Bhirawa. Dan kekurangan yang sedikit itu
membuat Bhirawa dapat mendesak lawannya, setelah
bertarung selama dua puluh jurus lebih. Hanya karena
di situ masih terdapat Danta dan Barna Pati sajalah,
yang membuat Jata Sura tidak mudah ditundukkan.
Memang, setiap kali pemuda tampan itu terdesak, ke-
dua orang pembantu setianya selalu saja menyela-
matkannya.
“Heyaaah...!”
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang
kelima puluh, mendadak saja tubuh Bhirawa melent-
ing ke udara disertai pekikan yang mengejutkan! Sepa-
sang tangannya kini tidak lagi membentuk paruh ular,
tapi lebih tepat seperti sayap seekor burung elang yang
tengah mengepak. Tentu saja perubahan mendadak itu
sempat membuat ketiga pengeroyoknya melompat
mundur!
“Berhenti...!”
Pada saat pertarungan sudah semakin memun-
cak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan melengking,
mirip suara seorang wanita. Karuan saja mereka yang
tengah bertarung menghentikan gerakannya sejenak,
kemudian menoleh ke arah asal suara.
Baik Bhirawa, Jata Sura, Danta, dan Barna Pati,
sama-sama mengerutkan kening ketika melihat seo-
rang wanita berpakaian biru muda tampak berlari ke
arah pertempuran.
“Winarsih...!?” Jata Sura yang memang mengenali
wanita berpakaian biru muda itu segera saja berseru.
Kemudian, dia berdiri tegak dengan kening berkerut
menanti kedatangannya.
Demikian pula halnya Bhirawa, Danta, dan Bar-
na Pati. Ketiganya menghentikan pertempuran dan
menanti tibanya gadis berpakaian biru muda. Melihat
dari sikap Danta dan Barna Pati yang agak hormat, jelas kalau gadis yang baru datang itu juga merupakan
majikannya.
“Gusti Ayu Winarsih...,” sapa Danta dan Barna
Pati saat wanita yang ternyata berwajah cantik itu te-
lah tiba di dekat mereka. Kedua orang lelaki gagah itu
mengangguk hormat, kemudian menundukkan kepala
agak takut-takut.
“Kakang! Keributan apa lagi yang kau buat kali
ini?! Kau selalu mencari-cari perkara setiap hari. Apa
kau tidak merasa bosan?” tegur dara yang ternyata
bernama Winarsih itu dengan mulut memberengut pe-
nuh kemanjaan.
Melihat sikapnya, jelas kalau antara Winarsih
dan Jata Sura terdapat hubungan erat. Kalau tidak,
mana mungkin gadis itu berani menegur Jata Sura.
“Aaah...! Kau ini selalu saja mencampuri urusan-
ku, Winarsih. Tapi perlu kau tahu. Yang kali ini kuha-
dapi bukan semata-mata karena kesalahanku. Lihat-
lah sendiri keempat orang prajurit yang terluka itu.
Dan lihat pula gelandangan busuk pemberontak itu.
Tahukah kau! Gelandangan bermuka hitam itu telah
berani menghinaku di depan umum. Jadi sudah sepa-
tutnya kalau kuberi sedikit pelajaran...,” ujar Jata Su-
ra.
Jata Sura sepertinya mencoba membela diri den-
gan menjatuhkan fitnah kepada Bhirawa. Sedangkan
Bhirawa menatap heran, karena Jata Sura seperti ti-
dak berani bersikap keras terhadap gadis itu.
“Winarsih...?” gumam Bhirawa sambil menatap
tajam wajah gadis itu. “Hm.... Kalau tidak salah ia pun
putri Gada Sura. Pantas, Jata Sura seperti tidak ber-
daya menghadapinya. Rupanya rasa sayangnya mem-
buat pemuda sombong itu tidak berani bertindak keras
terhadap adiknya....”
Bhirawa sepertinya juga mulai ingat, siapa gadis
cantik berpakaian biru muda itu. Sedangkan dara can-
tik yang bernama Winarsih itu sudah berpaling mena-
tapnya. Kemudian Winarsih melangkah menghampiri
pemuda itu dengan menyipitkan matanya yang indah.
Sepertinya, dia hendak melakukan penilaian terhadap
sosok pemuda berwajah kehitaman dan agak buruk
itu.
“Kisanak. Benarkah kau seorang pemberontak,
dan yang memulai perkelahian ini...?” tanya Winarsih
tanpa seorang pun berani mencegahnya, termasuk ju-
ga Jata Sura.
Bhirawa sama sekali tidak menjawab sepatah
pun. Setelah mengangukkan kepala secara samar, pe-
muda itu pun berbalik.
“Maaf, aku harus pergi....”
Setelah mengenakan kembali caping bambunya,
pemuda berwajah buruk itu pun segera berkelebat
tanpa ada yang bergerak mencegahnya. Semua itu ter-
jadi karena adanya Winarsih di tempat itu. Sehingga,
Bhirawa dapat meloloskan diri dengan selamat tanpa
ada yang menghalang-halangi.
“Hm..., seorang pemuda yang aneh. Tapi, nam-
paknya ia tidak seburuk sangkaan Kakang Jata Su-
ra.... Entah, siapa dia? Tatapan matanya terlihat begi-
tu aneh...,” gumam Winarsih sambil menatapi bayan-
gan Bhirawa yang semakin samar dan menjauh.
“Keparat! Lain kali kau tak akan kubiarkan lolos
dari tanganku...,” geram Jata Sura.
Pemuda tampan itu hanya dapat memandang
dengan perasaan dongkol ke arah bayangan Bhirawa,
yang entah mengapa telah menimbulkan kebencian da-
lam hatinya. Maka tanpa banyak bicara lagi, pemuda
itu segera mengajak orang-orangnya untuk meninggal
kan tempat itu. Termasuk juga, Winarsih adik perem-
puan satu-satunya yang sangat disayanginya.
***
Pemuda berjubah coklat yang mengenakan cap-
ing itu terus berlari meninggalkan Kotaraja Bantar Ge-
bang. Kemudian, terus dilewatinya pintu gerbang dan
menuju sebelah Barat. Pemuda itu baru memperlam-
bat larinya ketika merasa telah cukup jauh meninggal-
kan kotaraja. Siapa lagi pemuda bertubuh tegap itu
kalau bukan Bhirawa?
“Hhh....”
Bhirawa menghempaskan pantatnya di rerumpu-
tan tebal di bawah sebatang pohon rindang. Hatinya
betul-betul kecewa atas kejadian yang baru saja diala-
minya di dalam kotaraja. Memang setelah kejadian itu,
ia pasti akan sulit sekali mencari musuh-musuh di sa-
na.
“Celaka...,” desis pemuda itu sambil membanting
caping bambunya ke tanah,” Jata Sura pasti tak akan
tinggal diam. Pemuda keparat itu mungkin akan terus
mencariku. Apalagi, kini aku telah dianggap sebagai
pemberontak. Kurang ajar sekali manusia berhati bu-
suk itu! Ia benar-benar telah mewarisi sifat-sifat keji
ayahnya!”
Bhirawa benar-benar geram dengan wajah duka.
Dengan helaan napas berat yang panjang sebagai pele-
pas kekecewaannnya, tubuhnya disandarkan ke ba-
tang pohon.
Terbayang kembali dalam benak pemuda itu na-
sib menyedihkan yang menimpa keluarganya pada se-
kitar empat atau lima tahun yang lewat. Semua itu
masih tergambar jelas, seperti baru saja terjadi kema
rin. Perlahan-lahan, tanpa disadari ada butiran air
bening yang mengalir turun, membasahi pipinya yang
berkulit kehitaman.
“Ayah.... Ibu.... Bantulah aku dalam melaksana-
kan dendam keluarga kita ini. Tolonglah beri jalan ke-
padaku, untuk dapat menjangkau manusia-manusia
terkutuk itu. Semuanya kini menjadi serba sulit dan
kacau. Apalagi, kalau sampai pemuda terkutuk itu
mengadukan kepada pihak kerajaan tentang kejadian
tadi. Tentu beban yang tersangga di pundakku akan
semakin berat..,” desah Bhirawa dengan mata terpejam
rapat
Jelas peristiwa tadi telah membuatnya berduka,
karena musuh-musuh keluarganya yang kini telah
menjabat sebagai pembesar Kerajaan Bantar Gebang,
tentu akan semakin sulit diraihnya. Jangankan untuk
dapat menemui mereka. Sedangkan untuk masuk ke
dalam kotaraja pun kini hatinya merasa ragu. Sebab,
bukan tidak mungkin kalau sekarang dirinya tengah
dicari-cari pihak kerajaan. Semua pemikiran itu sema-
kin membuatnya tenggelam dalam lautan duka dan
keresahan.
Mendadak saja, telinga Bhirawa yang tajam men-
dengar adanya suara roda kereta kuda yang berasal
dari sebelah kanannya. Bergegas pemuda itu melesat
ke atas, dan bersembunyi di dalam kelebatan pohon
besar tempatnya melepas lelah tadi
Bhirawa yang kini mudah curiga semenjak keja-
dian tadi, tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat
kemudian, di jalan yang tidak terlalu besar berjarak
sekitar dua tombak di depannya, melintas sebuah ke-
reta yang ditarik dua ekor kuda. Yang membuat kening
pemuda itu berkerut, ternyata kereta itu bukan meru-
pakan kereta barang atau kereta bangsawan. Tapi, justru menyerupai sebuah kereta tawanan. Itu bisa dili-
hat di sekeliling kereta yang terdapat jeruji besi dan
pintunya terkunci.
Sepasang mata pemuda itu menyipit, saat meli-
hat keenam orang gadis terdapat di dalamnya. Empat
di antara mereka tampak masih terisak dengan wajah
bersimbah air mata. Hal itu tentu saja membuat hati
Bhirawa dipenuhi tanda tanya.
“Mengapa gadis-gadis itu seperti tengah ditawan?
Kesalahan apa yang telah mereka buat, sampai harus
digiring dalam kerangkeng itu?” gumam Bhirawa den-
gan hati agak berdebar.
Kemudian perhatian pemuda tegap itu beralih ke
arah delapan orang prajurit di depan dan belakang ke-
reta tawanan.
Setelah berpikir beberapa saat, Bhirawa segera
memutuskan untuk mencari penjelasan apa yang me-
nyebabkan gadis-gadis itu berada dalam kereta taha-
nan. Segera saja pemuda berkulit wajah agak kehita-
man itu meluncur turun, dan berdiri menghadang ja-
lan.
Tentu saja kening empat orang prajurit yang be-
rada di depan jadi berkerut, melihat seorang pemuda
yang tengah berdiri di tengah jalan dalam jarak tiga
tombak. Maka langsung saja mereka meraba gagang
pedang di pinggang.
Dengan berpura-pura seperti orang kurang inga-
tan, Bhirawa melangkah maju dengan kepala mengge-
leng-geleng. Sedangkan ekor matanya tetap melirik ke
arah rombongan prajurit terdepan. Meski sikapnya ter-
lihat sembarangan, tapi pemuda itu telah memper-
siapkan ilmu-ilmunya untuk menghadapi segala ke-
mungkinan.
Sedangkan kereta tawanan itu terus saja bergerak, meski kali ini terlihat sengaja diperlambat. Bah-
kan wajah-wajah para prajurit yang mengawal kereta
tawanan, terlihat mulai menegang. Jelas mereka mera-
sa curiga terhadap sosok tubuh bertubuh tinggi tegap
yang menyembunyikan wajahnya di balik caping bam-
bu.
***
TIGA
Melihat adanya seorang pemuda bertingkah laku
seperti pemabuk yang melangkah di tengah jalan, sa-
lah seorang prajurit segera melangkah mendekat. Me-
nilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, jelas ka-
lau prajurit itu merupakan kepala pengawal. Dengan
lagak dibuat menyeramkan, kepala pengawal itu ber-
henti satu tombak di depan Bhirawa.
“Hei, Manusia Pemabukan! Menyingkirlah! Kami
akan lewat! Atau, kami terpaksa harus melempar mu
ke tepi jalan!” bentak kepala pengawal itu dengan sua-
ra dibesar-besarkan. Sedang tangan kanannya meraba
gagang pedang untuk menakut-nakuti.
Mendengar teguran itu, Bhirawa mengangkat ke-
palanya dengan tubuh bergoyang-goyang. Tingkahnya
benar-benar tak ubahnya orang mabuk. Bahkan sepa-
sang matanya menatap sayu dengan sorot memancar-
kan ketidaksadaran. Kemudian, dia terus melangkah
sambil tertawa dan menuding-nudingkan telunjuknya.
“He he he.... Ada rombongan penari yang men-
gawal monyet-monyet. Lucu..., lucu...,” kata pemuda
itu dengan nada pelo dan tak begitu jelas.
Bahkan ketika berbicara, Bhirawa sengaja mempermainkan air liurnya, hingga jatuh menetes ke ta-
nah. Tentu saja tingkahnya itu membuat kepala pen-
gawal menjadi jengkel.
“Hm..., dasar pemuda pemabuk! Rupanya kau
memilih dilemparkan ketimbang menyingkir secara
baik-baik. Kalau memang begitu keinginanmu, baik-
lah...!” dengus kepala pengawal itu, geram.
Setelah berkata demikian, ia melangkah maju
dan mengulurkan tangannya hendak mencengkeram
bahu Bhirawa.
“Eit..., tunggu dulu...,” cegah Bhirawa terkekeh
dengan tubuh tetap bergoyang-goyang, “Ng..., bolehkah
aku melihat monyet-monyet yang kau tangkap itu...?
Siapa tahu, aku suka kepada salah satu dari hasil bu-
ruanmu itu. Dengan begitu, beban kalian akan berku-
rang....”
Setelah berkata demikian, Bhirawa melangkah ke
tepi dan terus bergerak mendekati kereta berjeruji
dengan tubuh oleng.
Bhirawa rupanya cukup cerdik untuk dapat
mengetahui keadaan gadis-gadis itu. Para prajurit sa-
ma sekali tidak tahu kalau pemuda yang dianggap pe-
mabukan itu telah mengirimkan suaranya dari jarak
jauh. Karena tingkah-lakunya seperti pemabuk, maka
para prajurit itu sama sekali tidak curiga melihat bibir
pemuda itu berkemak-kemik tanpa suara.
“Nyai! Kalau kalian memang dibawa orang-orang
ini secara paksa, berteriaklah. Makilah mereka. Tapi,
kalau kalian memang dibawa secara suka rela, tak per-
lu kau pedulikan ucapanku. Jangan takut, aku hanya
berpura-pura mabuk untuk mengetahui keadaan ka-
lian yang sebenarnya....”
Suara yang dikirim Bhirawa terdengar jelas oleh
salah seorang dari gadis-gadis itu. Semula, ia merasa
takut karena mendengar suara tanpa wujud. Tapi sete-
lah Bhirawa memberi keterangan, gadis itu segera saja
menatap pemuda pemabuk itu dengan kening berke-
rut.
Rupanya, pilihan Bhirawa tidak meleset. Gadis
yang dibisikannya dari jauh itu ternyata cukup cerdik.
Dia bisa menangkap maksud baik pemuda yang diang-
gapnya pemabuk itu. Sehingga setelah berpikir sejenak
gadis itu pun mulai berteriak dan memaki-maki.
“Tuan! Tolong lepaskan kami, Tuan. Kembalikan-
lah kami ke desa tempat asal kami. Kami tidak sudi
dipaksa untuk jadi pemuas nafsu pejabat-pejabat pe-
merintah. Jangan paksa kami, Tuan.... Tolonglah be-
baskan kami...,” gadis berpakaian merah muda yang
rambutnya dikepang dua itu berteriak-teriak dengan
cerdiknya.
Bhirawa. tersenyum dalam hati ketika melihat
kecerdikan gadis itu. Kini jelas sudah gadis-gadis itu
dibawa secara paksa dari desanya. Maka seketika itu
juga, terdengarlah kekehnya yang berkepanjangan.
“He he he..., lihat. Mereka ternyata minta dibe-
baskan. Jadi, kalian sengaja mencuri monyet-monyet
ini dari hutan? Apakah kalian tidak tahu kalau perbu-
atan itu dilarang...? Ayo, bebaskan mereka...,” ujar
Bhirawa dengan lagak masih tetap tidak berubah.
Bahkan, kali ini pemuda itu melangkah mende-
kati kereta tawanan. Tentu saja perbuatannya tidak
didiamkan begitu saja oleh para prajurit.
“Hei, mau apa kau...! Ayo menyingkir. Atau, ku-
tebas batang lehermu!” kepala pengawal itu marah bu-
kan main melihat kelakuan Bhirawa. Maka dia segera
saja melompat dengan pedang terhunus.
Tapi, Bhirawa tidak mau ayal-ayalan lagi. Meski-
pun untuk itu, ia akan mengalami kesukaran dalam
melaksanakan dendam keluarganya. Namun, Bhirawa
tidak peduli lagi. Sebagai orang yang memiliki kepan-
daian, tentu saja pemuda itu tidak bisa berpangku
tangan melihat ketidakadilan yang terjadi di depan ma-
tanya.
“Kisanak...!”
Kali ini, Bhirawa tidak lagi berpura-pura sebagai
pemuda pemabukan. Sorot mata dan sikapnya telah
berubah bagaikan langit dan bumi. Kalau tadi berdiri
kakinya goyah dan sorot matanya sayu, kini sepasang
kakinya terpancang kokoh bagaikan seekor singa yang
sedang marah. Sedangkan sepasang matanya menyo-
rot tajam menggetarkan jantung para prajurit. Karuan
saja mereka terkejut melihat perubahan mendadak
pemuda pemabuk itu.
“Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak
menghadang kami dengan berpura-pura mabuk! Tapi
jangan dikira kami takut, Pemuda Jelek. Sadarkah
akibat perbuatanmu ini, kau bisa dianggap pemberon-
tak! Kau akan mendapat kesulitan seumur hidup ka-
lau sampai berani mengganggu kami...,” kepala pen-
gawal itu mencoba menggertak Bhirawa.
Rupanya, ia mulai sadar kalau pemuda tinggi te-
gap yang berpura-pura mabuk itu pasti bukan orang
sembarangan. Kalau tidak mustahil berani mengha-
dang rombongan prajurit kerajaan.
“Hm.... Jangankan baru menghadapi kalian para
prajurit recehan. Seandainya yang melakukan hal ini
orang besar seperti Senapati Gada Sura pun, aku tetap
akan mencegah! Jadi, tidak ada gunanya kalian meng-
gertak aku...,” ejek Bhirawa, gagah.
Sambil berkata demikian, pemuda tegap itu me-
langkah seperti hendak membebaskan gadis-gadis
muda yang berada dalam kerangkeng.
“Bangsat! Kau benar-benar cari mampus, Pemu-
da Gila...!”
Sambil membentak marah, kepala pengawal itu
segera saja menerjang Bhirawa. Bahkan prajurit-
prajuritnya sudah diperintah untuk mengurung pemu-
da itu.
“Heaaat...!”
Wuuut...!
Dengan sikap tenang, Bhirawa menggeser mun-
dur langkahnya sambil menarik tubuh ke belakang.
Begitu mata golok lawan lewat di depan tubuhnya,
tangannya bergerak cepat mencengkeram pergelangan
tangan lawan yang memegang senjata. Sayang gerakan
itu harus cepat ditarik pulang. Karena pada saat itu
juga, sebilah pedang lain datang mengancam hendak
menebas tangannya yang siap mencengkeram.
Meskipun cengkeramannya gagal, Bhirawa tidak
kehilangan akal. Cepat bagai kilat, tubuhnya berputar
disertai tendangan kaki kanannya yang langsung
menghajar perut salah seorang prajurit yang berada di
kanannya!
Buggg...!
“Hukhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh prajurit itu langsung
terjengkang muntah darah! Tendangan yang dialiri te-
naga dalam kuat itu membuat lawan tidak mampu
bergerak bangkit lagi. Tendangan Bhirawa langsung
membuat korbannya tewas seketika.
Lelaki gemuk berkumis tebal yang menjadi pe-
mimpin para prajurit tentu saja menjadi murka! Pe-
dang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga
memperdengarkan suara mengaung tajam! Kemudian,
tubuhnya meluruk deras dengan tusukan kilat ke tu-
buh Bhirawa!
“Haiiit...!”
Untuk kesekian kalinya, Bhirawa kembali memu-
tar tubuhnya menghindari sambaran pedang lawan.
Kemudian, tubuhnya terus melenting ke samping den-
gan indahnya, lalu membagi dua buah pukulan telak
ke arah dada dan perut dua orang pengeroyoknya!
Tanpa ampun lagi, kedua orang prajurit itu langsung
terjungkal dan tidak bangkit lagi!
Masih dengan gerakan yang sukar diikuti mata,
telapak tangan Bhirawa berkelebatan susul-menyusul
ke arah kepala dua orang pengeroyok! Dan....
Plakkk! Plakkk!
“Aaakh...!”
Dua orang prajurit bernasib malang itu langsung
terjungkal roboh dengan kepala pecah! Rupanya, Bhi-
rawa yang merasa benci dengan kelakuan prajurit-
prajurit, langsung saja menumpahkan kekesalannya.
Akibatnya dua orang prajurit itu langsung tewas seke-
tika terhantam pukulan kerasnya.
Kematian dua orang pengawal, tentu saja mem-
buat lelaki gemuk yang memimpin pasukan kecil itu
menjadi pucat! Apalagi, melihat kesaktian pemuda
yang benar-benar mengejutkan hatinya. Kontan saja
keberanian dan kegalakannya lenyap bagaikan asap
yang tersaput angin.
“Yiaaah...!”
Bhirawa yang sudah seperti orang kesetanan, ti-
dak sudi membiarkan lolos lawan-lawannya. Merasa
telanjur basah, pemuda itu berniat menceburkan di-
rinya sekaligus. Dia berpikir, apabila ada salah seorang
prajurit yang lolos, bisa jadi ia akan semakin sulit me-
masuki kotaraja. Untuk itu, Bhirawa bertekad mem-
bunuh semua prajurit-prajurit
Kembali sisa prajurit yang tinggal dua orang
menjerit ngeri ketika jari-jari tangan pemuda itu me-
nembus batok kepala mereka! Karuan saja hal itu se-
makin membuat hati si kepala pengawal semakin ciut.
Akhirnya, ia pun menjatuhkan diri, berlutut minta
ampun kepada Bhirawa. Karena, semua prajuritnya te-
lah habis digasak pemuda itu.
“Ampun, Tuan Pendekar.... Aku hanyalah orang
suruhan yang terpaksa harus menuruti perintah maji-
kan. Kalau tidak, jabatanku bisa copot. Ampuni aku,
Tuan Pendekar. Kasihan anak istriku di rumah...,” ra-
tap lelaki gemuk itu terisak-isak.
Sepertinya, ia sudah tidak mempunyai rasa malu
lagi untuk melakukan tindakan serendah itu agar
nyawanya selamat.
“Hm.... Bangsat Tengik! Kau ingin mencari sela-
mat sendiri, ya? Orang sepertimu seharusnya tidak bo-
leh dibiarkan hidup! Kali ini meratap-ratap minta am-
pun, tapi lain kali kau kembali akan melakukannya!
Lalu, apa gunanya penyesalanmu itu...?” hardik Bhi-
rawa yang semakin bertambah geram melihat lelaki itu
meratap-ratap memohon ampun.
“Ampun, Tuan Pendekar. Aku Pandara berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Aku tobat,
Tuan Pendekar....”
Lelaki gemuk yang mengaku bernama Pandara
itu semakin ketakutan, sampai-sampai keningnya di-
bentur-benturkan ke tanah sebagai tanda benar-benar
ingin bertobat
“Hm.... Bisakah janjimu kupercaya? Bagaimana
bila kau diperintah lagi untuk melakukan kejahatan
semacam ini? Apa yang akan kau katakan apabila ma-
jikanmu menanyakan tentang prajurit-prajurit yang
tewas itu?” tanya Bhirawa.
Pemuda itu rupanya mulai tergerak hatinya melihat kelakuan dan ratapan lelaki gemuk itu. Makanya,
dia mencoba memancing.
“Sekarang aku tidak takut jabatanku dicopot,
Tuan Pendekar. Biarlah. Lebih baik tidak memiliki ja-
batan, daripada selalu dipaksa melakukan kejahatan
seperti ini. Sedangkan mengenai kawan-kawanku, bisa
saja kukatakan kalau mereka diterkam binatang buas.
Ampunilah aku, Tuan Pendekar...,” ratap Pandara ber-
sungguh-sungguh ketika mendengar pertanyaan Bhi-
rawa.
Hati laki-laki gemuk itu mulai lega ketika men-
dengar nada ucapan Bhirawa yang sepertinya mulai
lunak. Hatinya berdebar melihat adanya kemungkinan
ia tidak dibunuh.
“Hm..., baiklah. Untuk sekali ini, kau kube-
baskan. Tapi, ingat! Kalau lain kali kau berbuat seperti
ini lagi, aku akan datang mencabut nyawamu! Seka-
rang, pergilah...,” ujar Bhirawa. Pandara akhirnya me-
mang dilepaskan, karena Bhirawa tidak tega melihat
ratapannya. Yang membuat hatinya lemah adalah, ke-
tika lelaki gemuk itu menyebutkan nasib anak istrinya.
Hal itu mengingatkan dia akan kematian kedua orang
tuanya, sehingga hatinya merasa tersentuh.
Pandara membentur-benturkan kembali kening-
nya sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Kemudian, dia terus berlari meninggalkan tempat itu
tanpa menoleh lagi.
Bhirawa sendiri segera menghampiri kereta ta-
wanan setelah bayangan Pandara tidak nampak lagi.
Kemudian, dibebaskannya enam orang gadis desa yang
menangis bahagia karena terlepas dari ancaman yang
lebih menakutkan daripada kematian.
“Terima kasih, Tuan Pendekar.... Kami tidak akan
melupakan budi baik Tuan,” ucap gadis berpakaian
merah muda mewakili teman-temannya yang lain.
Bhirawa hanya tersenyum. Kemudian, diajaknya
gadis-gadis itu untuk kembali ke desa tempat tinggal-
nya.
Ada sedikit penyesalan di hati pemuda itu, kare-
na lupa menanyakan tentang orang yang menyuruh
Pandara membawa gadis-gadis itu ke kotaraja. Namun,
ia bertekad menyelidiki masalah itu, dan ingin mem-
basminya.
***
EMPAT
Saat ini, malam sudah bertambah larut. Suara
burung malam terdengar saling bersahutan. Saat itu,
pintu gerbang Kotaraja Bantar Gebang sudah tertutup
rapat Sedang para prajurit penjaga hanya berdiam di
dalam posnya di dekat gerbang.
Dalam kepekatan malam yang hanya diterangi
cahaya bulan sepotong, tampak sesosok bayangan hi-
tam bergerak melewati tembok Selatan kotaraja. Meni-
lik dari gerakannya yang gesit dan cekatan, jelas ilmu
meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang rendah.
Sosok tubuh tegap itu terus bergerak menuju pu-
sat kota, melalui tempat-tempat yang tersembunyi dari
kilatan cahaya obor. Tidak lama kemudian, tibalah so-
sok itu di bagian samping sebuah bangunan besar
yang cukup gelap.
“Huppp!”
Dengan suara halus, tubuhnya melenting dan
langsung mendarat di halaman dalam bangunan besar
itu. Kemudian, dia terus mengendap-endap ke bagian
belakang.
“Hm...,” gumam sosok bayangan hitam Itu perla-
han ketika melihat adanya bangunan-bangunan yang
lebih kecil, terletak di samping gedung. Sepasang mata
di balik genap rambut itu tampak berkilat seperti telah
menemukan apa yang dicarinya.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia ber-
gerak mendekati dua buah bangunan kecil disamping
bagian belakang bangunan besar itu. Tubuhnya segera
dirapatkan ke dinding batu ketika mendengar suara
orang berbicara di dalam. Pendengarannya dipasang
tajam-tajam untuk dapat menangkap pembicaraan
yang diduga terdiri dari dua orang itu.
“Apa kau tidak bisa menduga, siap” pemuda ber-
wajah buruk itu, Kakang Barna? Atau mungkin, kau
bisa mengenali dasar-dasar ilmu silat yang dimili-
kinya...?”
Terdengar sebuah suara agak berbisik. Dan sosok
bayangan hitam itu dapat jelas mendengarnya.
“Sulit untuk menduga, siapa pemuda berwajah
buruk itu, Adi Danta,” sahut orang yang dipanggil
Barna Pati lirih.
Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Danta
dan Barna Pati. Mereka adalah pembantu Jata Sura,
putra Senapati Gada Sura. Rupanya, bangunan samp-
ing itu merupakan tempat tinggal mereka.
Sepertinya sosok bayangan hitam itu tengah me-
nahan napasnya, saat pembicaraan kedua orang itu
berhenti sejenak. Tindakan itu jelas menandakan sikap
hati-hatinya. Apalagi, kedua orang pembantu Jata Su-
ra itu memang bukan orang-orang sembarangan. Dan
sepertinya, sosok bayangan hitam itu pun menyadari.
“Bagaimana mengenai ilmu silatnya? Aku seperti
pernah mengenalnya. Hanya saja, aku tidak bisa menduganya secara pasti,” terdengar suara orang yang
bernama Danta kembali bergaung pelan.
“Hm.... Melihat gerak-geriknya yang kokoh, ada
kemungkinan pemuda berwajah buruk itu berasal dari
daerah Utara. Buktinya, ilmu-ilmu silat dari Utara ke-
banyakan mengandalkan kekuatan, dan bukan ke-
luwesan seperti halnya daerah Selatan. Dan menilik
pakaiannya, dapat kupastikan kalau orang itu berasal
dari daerah pantai...,” sahut Suara Barna Pati.
Nyatanya, pembicaraan itu membuat dada sosok
bayangan hitam di luar jadi bergelombang. Jelas, ha-
tinya merasa tegang mendengar pembicaraan itu.
“Pantai Utara...,” desah Danta, mengulang kata-
kata itu sambil mengerutkan dahinya, “Hm.... Di dae-
rah Pantai Utara Laut Pajang, bukankah ada seorang
tokoh yang berjuluk....”
Krakkk!
Danta menghentikan ucapan ketika mendengar
suara yang mengejutkan. Serentak mereka bergerak
bangkit, dan langsung melesat keluar. Keduanya terke-
jut begitu melihat sesosok bayangan hitam melesat
meninggalkan tempat itu.
“Hei...., berhenti...!” seru Barna Pati mencegah
sosok bayangan hitam yang melarikan diri.
Baru saja ia hendak bergerak mengejar, Danta
mencekal lengannya. Sehingga, lelaki itu menahan ge-
rakannya.
“Lebih baik panggil para penjaga saja...,” ujar
Danta mengusulkan.
“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera menge-
jar orang itu,” sergah Barna Pati.
Barna Pati tidak setuju, karena hal itu hanya
akan menyebabkan sosok bayangan hitam tadi keburu
jauh. Maka, segera saja diajaknya Danta untuk mengejar.
Kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu
langsung saja berkelebat mengejar. Tubuh mereka ber-
gerak cepat, menerobos kegelapan malam yang hanya
diterangi sinar bulan redup.
Tapi, sepertinya sosok bayangan hitam itu me-
mang tidak sungguh-sungguh hendak melarikan diri.
Buktinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, Danta
dan Barna Pati sudah berada dalam jarak tiga tombak
di belakangnya. Meski dalam keadaan agak gelap, ke-
dua orang lelaki gagah itu tentu saja dapat menangkap
bayangan buruannya. Apalagi, mata mereka tidak da-
pat disamakan dengan mata orang biasa. Sebagai seo-
rang tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi,
mereka dapat mempertajam pandangan dengan penge-
rahan tenaga pada matanya.
Sosok bayangan hitam itu terus bergerak mele-
wati tembok kotaraja. Kemudian, dia terus bergerak
menuju sebuah hutan kecil di sebelah Selatan kotara-
ja.
Sedangkan saat itu, jarak di antara mereka se-
makin dekat saja.
“Hm.... Jangan harap dapat lolos dari kejaran
kami, Pengecut! Lebih baik menyerahlah...!” ujar Barna
Pati yang berada di depan Danta, bernada geram.
Terlihat lelaki gagah itu menambah kekuatannya
untuk memperpendek jarak di antara mereka. Sedang-
kan Danta hanya mengikuti dari sebelah belakang, ka-
rena kepandaiannya memang masih kalah setingkat
dibanding rekannya.
Setelah memasuki hutan kecil, sosok bayangan
itu tampak menghentikan larinya di sebuah tempat
yang agak lapang. Sinar bulan redup yang jatuh mene-
rangi tubuh, membuat sosok bayangan hitam yang
bertubuh tegap itu nampak angker dan memancarkan
perbawa. Jelas sudah, ia memang sengaja hendak
memancing kedua orang itu agar mengejarnya.
“Hm.... Aku tidak akan melarikan diri dari kalian,
Bangsat Terkutuk! Malam ini biarlah rembulan menja-
di saksi atas kematian kalian...!” ancam sosok tubuh
tinggi tegap yang berdiri kokoh bagaikan batu karang
itu.
Sorot mata orang itu tampak demikian tajam,
seolah hendak menelan tubuh kedua orang pengawal
Jata Sura. Sehingga, hati kedua orang itu sempat ber-
getar karenanya.
Namun sebagai orang yang mempunyai pengaruh
di dalam wilayah kotaraja, baik Danta dan Barna Pati
tetap menunjukkan sikap sombongnya. Apalagi, pihak
lawan hanya seorang diri dan tidak terlihat tanda-
tanda adanya kawan-kawannya yang lain. Tentu saja
kedua orang itu berusaha membesar-besarkan hati.
“Hm.... Jadi kau sengaja memancing kami untuk
mengejarmu? Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak.
Dan siapa kau sebenarnya...?” geram Barna Pati yang
sedikit terkejut ketika mengenali sosok bayangan hi-
tam itu.
“Dia pemuda yang pagi tadi membuat keributan
itu...,” desis Danta ketika dapat melihat jelas wajah so-
sok bertubuh tinggi tegap berambut panjang terurai
itu.
“Benar! Aku sengaja datang untuk mencabut
nyawa kalian berdua! Kalian ternyata juga ikut mem-
bantu dalam menghancurkan keluargaku! Malam ini,
dendamku harus ditebus dengan darah hitam yang
berbau busuk dari tubuh kalian berdua...!”
Terdengar suara datar sosok tubuh tegap yang
memang Bhirawa. Rupanya, kedua orang pengawal
pribadi Jata Sura itu termasuk dalam daftar musuh-
musuh keluarganya.
“Kisanak, kami tidak mengenalmu. Dan sama se-
kali tidak tahu tentang kejadian yang menimpa keluar-
gamu. Meskipun begitu, jangan dikira kami takut
menghadapimu,” sahut Danta yang bergerak maju
sambil menghunus senjatanya.
“Oh.... Jadi peristiwa di Laut Pajang yang terjadi
lima tahun yang lalu, telah kalian lupakan begitu saja?
Rupanya kalian pikir semua anggota keluarga itu telah
tewas, bukan? Sekarang dengarlah baik-baik. Aku ada-
lah Bhirawa, keturunan dari orang yang telah kalian
bunuh secara licik! Tapi, kalian tidak akan mempunyai
waktu lagi untuk memberitahukannya kepada kawan-
kawanmu. Karena, setelah kalian tahu siapa aku, be-
rarti kematianlah yang akan kalian dapatkan!”
Setelah mengancam demikian, Bhirawa menca-
but keluar sebilah pedang yang mengeluarkan sinar
kebiruan.
“Hantu Laut Pajang...!?” desis Barna Pati dan
Danta hampir berbarengan.
Jelas mereka telah mengenal baik senjata yang
terhunus di tangan pemuda berwajah buruk itu.
“Benar. Akulah Hantu Laut Pajang yang akan
mencabut nyawa anjing kalian, Manusia-Manusia Bu-
suk!”
Setelah berkata demikian, Bhirawa menyilangkan
pedangnya di depan dada. Sorot matanya tampak de-
mikian tajam, dan mengiriskan!
“Hiaaat..!”
Tanpa banyak bicara lagi, Bhirawa segera melesat
ke arah dua orang lawan disertai putaran senjatanya
yang telah membentuk gundukan sinar kebiruan.
Bettt! Bettt! Bettt!
Kilatan sinar kebiruan tampak berkeredep me-
nyambar-nyambar, memperdengarkan suara berdeng-
ing. Tapi, semua itu terjadi bukan karena kehebatan
tenaga dalam Bhirawa, melainkan karena senjata pu-
saka di tangannya. Bahkan senjata itu memang dapat
membuat perhatian lawan terpecah. Itulah salah satu
keistimewaan senjata yang dimiliki Hantu Laut Pajang.
Hanya yang tidak habis pikir, mengapa usia tokoh itu
masih sangat muda?! Padahal pada waktu mereka
muda, nama tokoh itu telah lebih dahulu terkenal da-
lam dunia persilatan.
Tapi, Bhirawa tidak membiarkan dua orang la-
wannya untuk memikirkan keanehan itu. Apalagi pe-
dang di tangannya telah berkelebat mengancam tubuh
kedua orang lawan. Sehingga, baik Danta dan Barna
Pati terpaksa harus menghindari ancaman maut itu!
“Yeaaah...!”
Danta yang memang sudah siap dengan pedang-
nya, segera saja melontarkan serangan balasan yang
tidak kalah ganas. Pedang di tangannya mengaung ta-
jam, merobek kesunyian malam. Kilatan cahayanya
yang berkeredep, ditimpa sinar redup sang rembulan
menyambar-nyambar kian kemari dengan kecepatan
mengagumkan. Jelas, kepandaian yang dimiliki Danta
pun tidak bisa dipandang remeh!
Demikian pula halnya Barna Pati. Lelaki gagah
itu sudah mencabut keluar senjatanya berupa sepa-
sang trisula sepanjang satu setengah jengkal. Cara le-
laki gagah itu memainkannya pun, sangat mengagum-
kan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa
tampak kerepotan dalam menghadapi gempuran dua
orang lawan.
Tapi, Bhirawa malam ini tidak dapat disamakan
dengan Bhirawa yang tadi pagi. Kali ini, serangan
serangan maupun gerakannya terlihat jauh lebih sem-
purna dan mengejutkan. Gerakannya pun banyak
memiliki perubahan mendadak yang tak terduga. Ten-
tu saja kenyataan ini membuat kedua orang lawan
menjadi terkejut, dan tak berani lagi menganggap en-
teng pemuda berwajah buruk itu!
Setelah pertarungan lewat dari dua puluh jurus,
terlihat Bhirawa mulai menunjukkan kehebatannya.
Serangan-serangannya semakin tajam dan berbahaya!
Bahkan beberapa kali sambaran dan tusukan senja-
tanya, nyaris membuat Danta dan Barna Pati terluka.
Karuan saja, kedua orang lelaki gagah itu semakin ke-
repotan!
“Haiiit...!”
Memasuki jurus yang keempat puluh lima, tiba-
tiba saja Bhirawa mengeluarkan bentakan nyaring dis-
ertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan pada saat
kedua orang itu terkejut, tubuhnya cepat melenting ke
udara disertai sambaran pedang secara mendatar!
Wuuut..!
Jrasss...!
Crakkk...!
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika
mata pedang di tangan Bhirawa merobek leher dan da-
da kedua orang lawan! Darah segar langsung muncrat
dari kedua luka di tubuh Danta dan Barna Pati! Tubuh
mereka terhuyung limbung, sebelum akhirnya ambruk
tersabet pedang pemuda berwajah buruk itu!
“Aaa...!”
Barna Pati kembali menjerit panjang ketika ujung
padang Bhirawa melesak menembus jantungnya. Pa-
dahal, dia sudah tak berdaya di tanah. Tubuh lelaki
gagah itu langsung berkelojotan. Tewas!
Kematian Barna Pati masih lebih beruntung kalau melihat cara kematian yang dialami Danta. Buk-
tinya, tanpa ampun lagi Bhirawa langsung menebas
putus kepala lelaki gemuk itu dengan sambaran pe-
dangnya! Danta kontan tewas tanpa sempat mengeluh
lagi, karena kepalanya telah terpisah dari badan!
Setelah yakin kalau kedua orang lawannya telah
tewas, Bhirawa menengadahkan kepalanya menatap
langit kelam. Terdengar bisikannya yang parau dan
menggeletar.
“Ayah.... Ibu.... Semoga darah kedua orang ma-
nusia terkutuk ini dapat membuat arwah kalian te-
nang...,” desah Bhirawa dengan wajah penuh kepua-
san.
Sesaat kemudian, pemuda itu melesat mening-
galkan tempat itu, yang kemudian kembali sunyi.
***
LIMA
Malam ini, seorang lelaki gemuk berpakaian pra-
jurit mendatangi bangunan indah milik Senapati Gada
Sura. Lelaki gemuk yang tak lain Pandara itu minta
untuk menghadap Jata Sura yang memang mendiami
bangunan besar itu.
“Tolong katakan kepada Tuan Muda Jata Sura
bahwa Pandara ingin menghadap...,” ujar lelaki gemuk
itu kepada penjaga pintu gerbang. Si penjaga men-
gangguk hormat kepada Pandara, karena tingkatan le-
laki gemuk itu memang lebih tinggi.
Tanpa banyak cakap lagi, salah seorang dari pen-
jaga gerbang segera saja mengantarkan Pandara ketempat Jata Sura berada pada setiap pagi.
Jata Sura mengangguk tipis, ketika prajurit pintu
gerbang itu melaporkan. Kemudian, disuruhnya agar
Pandara menemuinya di halaman samping.
“Hm.... Bagaimana, Pandara? Apa gadis-gadis itu
sudah kau dapatkan...?” tanya Jata Sura. Suaranya
terdengar rendah, seperti tidak ingin terdengar orang
lain.
“Mmm.... Begini, Tuan Muda...,” sahut Pandara
takut-takut
Lelaki gemuk itu tampak gugup dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan Jata Sura. Pandara yang
merupakan orang kepercayaan pemuda itu dalam hal
mencari gadis-gadis cantik pemuas nafsunya, terlihat
agak bingung dan salah tingkah. Sehingga, kening Jata
Sura jadi berkerut tak senang.
“Mengapa kau kelihatan gelisah, Pandara? Apa
kau gagal membawa gadis-gadis itu ke sini? Sejak ma-
lam aku menunggumu. Mengapa baru muncul seka-
rang?” suara Jata Sura mulai terdengar agak meninggi,
meski masih dalam tekanan rendah.
“Kami.... Kami gagal, Tuan Muda. Kami....”
“Goblok!” Jata Sura membentak marah, memo-
tong kalimat Pandara yang belum selesai.
Lelaki muda berwajah tampan itu bangkit dari
kursinya dengan wajah memerah. Jelas sekali kalau ia
merasa marah mendengar laporan itu.
“Kami telah dihadang seorang pemuda bertubuh
tegap dan bercaping, Tuan Muda. Dan gadis-gadis itu
dibawanya pergi. Tujuh orang prajurit tewas. Hanya
tinggal aku seoranglah yang masih selamat,” tutur
Pandara napasnya ditarik.
“Pemuda bercaping kau bilang?! Hhh.... Lagi-lagi
dia membuat aku gila! Belum kapok rupanya bangsat
itu. Kalau begitu kerahkan lima puluh orang prajurit
dan cari pemuda bercaping itu. Rebut kembali gadis-
gadis yang telah dirampas itu. Perlu kau ingat, aku ti-
dak sudi mendengar kegagalanmu lagi!” perintah Jata
Sura dengan wajah berang.
“Tapi, Tuan Muda. Membawa prajurit sebanyak
itu bisa menimbulkan kecurigaan. Dan kalau sampai
terdengar ayah Tuan Muda atau pembesar lain, kita
bisa celaka. Sedangkan pemuda itu sendiri sudah me-
larikan diri entah ke mana...,” Pandara memberi alasan
yang cukup masuk akal, sehingga Jata Sura sempat
terdiam, dan berpikir keras.
Pandara agak lega ketika melihat sikap pemuda
itu terdiam ketika mendengar alasan yang dikemukan-
nya. Tampaknya, Jata Sura tidak berani bertindak se-
telah mendengar nasihat Pandara. Memang, perbua-
tannya yang menculik paksa gadis-gadis dari desa-
desa yang agak jauh letaknya dengan kotaraja, dilaku-
kannya secara sembunyi-sembunyi. Dan kalau renca-
nanya dilanjutkan, tentu bisa menimbulkan kegempa-
ran dan tanda tanya besar bagi pembesar-pembesar
kerajaan lainnya. Dan kalau kebusukannya sampai di-
ketahui orang, tentu ayahnya sendirilah yang akan
malu karena perbuatannya.
“Hm.... Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pan-
dara? Apakah perbuatan pemuda bercaping itu harus
kita diamkan begitu saja?” tanya Jata Sura, bingung.
Tampaknya ucapan Pandara tadi telah membuatnya
tidak bisa berpikir dengan baik. ‘
Kembali Jata Sura berpikir keras. Dan tiba-tiba
saja bibirnya tersenyum. Ternyata sebuah rencana
mulai tersusun di benaknya.
“Hm.... Bukankah pemuda itu telah kuanggap
sebagai pemberontak? Ah.... Bodohnya aku. Biar saja
ku kerahkan prajurit, dengan alasan mencari seorang
pemberontak,” gumam Jata Sura seperti berkata-kata
sendiri.
“Pemberontak? Memangnya, siapa pemuda itu,
Tuan Muda?” tanya Pandara bingung.
“Pemuda itu tadi pagi memang telah membuat
masalah padaku. Aku juga tidak tahu, siapa dia se-
sungguhnya. Tapi dia telah kuanggap sebagai pembe-
rontak. Jadi dengan memakai alasan itu, tak ada yang
akan mencurigai kita lagi,” jelas Jata Sura.
“Baiklah kalau begitu, Tuan Muda. Rasanya me-
mang tak ada salahnya mengerahkan prajurit jika ala-
sannya demikian,” kata Pandara.
“O ya, Pandara, di mana Paman Danta Dan Pa-
man Barna Pati? Tolong panggilkan mereka. Aku ingin
bicara.”
“Baik, Tuan Muda...,” sahut Pandara yang segera
saja menjura memberi hormat, dan berlalu dari situ.
***
Seorang pemuda tampan berjubah putih dan seo-
rang dara jelita berpakaian serba hijau tengah melang-
kah tenang, memasuki Kotaraja Bantar Gebang.
Orang-orang yang kebetulan berpapasan, selalu saja
menoleh dengan sinar mata penuh kagum dan iri. Be-
berapa orang gadis cekikikan sambil berbisik satu sa-
ma lain. Sesekali, ekor mata mereka menyambar wajah
pemuda tampan berjubah putih itu. Jelas, mereka ten-
gah membicarakan pasangan muda yang memang ter-
lihat sangat cocok. Sehingga, wajar saja kalau kebera-
daan mereka mengundang berbagai pendapat dari
orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan pasangan muda itu sama sekali tidak
ambil peduli.
Mereka terus melangkah lambat-lambat menyu-
suri jalan utama kota itu. Ketika melewati sebuah ban-
gunan besar yang di depannya bertuliskan rumah ma-
kan dan penginapan, segera saja mereka bergerak ma-
suk.
Setelah memesan hidangan, pasangan muda itu
duduk sambil melepaskan pandangannya ke sekeliling
ruangan. Kedai makan itu tampak agak sepi, karena
saat itu hari baru menjelang sore. Tapi, justru suasana
itulah yang mereka inginkan. Dengan demikian, mere-
ka bisa tenang menikmati hidangan.
“Paman...,” pemuda berjubah putih itu memang-
gil pelayan setelah menyelesaikan hidangannya.
Ketika pelayan setengah baya itu datang mende-
kat, pemuda tampan ini menyatakan ingin memesan
dua buah kamar untuk mereka. Karuan saja pelayan
itu mengerutkan keningnya dengan wajah agak heran.
“Tapi, bukankah kalian suami istri? Mengapa
memesan dua kamar? Di sini, kami juga menyediakan
satu kamar yang dapat digunakan untuk pasangan
suami istri. Tuan boleh melihat kamar itu. Soal kera-
pian dan kebersihan, jangan khawatir...,” kata pelayan
itu sambil mengacungkan ibu jarinya disertai senyum
manis.
“Tidak, Paman. Kami bukan suami istri. Jadi, to-
long sediakan dua buah kamar yang berdampingan
untuk kami berdua...,” jelas pemuda tampan berjubah
putih ini, agar pelayan itu tidak banyak bicara lagi.
“Ooo. Kalau begitu, baiklah.... Mari...,” sahut pe-
layan itu.
Segera dibawanya kedua orang tamunya ke ba-
gian belakang bangunan. Memang, letak penginapan
itu berada di bagian belakang. Sedangkan di bagian
depan merupakan kedai makan bagi tamu penginapan
maupun orang-orang yang kebetulan lewat.
Tapi baru saja pelayan itu dan dua orang ta-
munya hendak menuju ke bagian belakang bangunan,
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kemudian dis-
usul, masuknya belasan orang prajurit bersenjata ter-
hunus. Tentu saja kedatangan para prajurit itu mem-
buat beberapa orang tamu yang sedang menikmati hi-
dangan menjadi ketakutan.
“Semua tetap tinggal di tempat, dan jangan coba-
coba berbuat hal-hal yang mencurigakan! Kami tidak
segan-segan menangkap dan menghukum siapa saja
yang berani membantah...!” seorang lelaki tinggi besar
bercambang bauk berseru memperingatkan.
Kini orang-orang yang semula hendak mening-
galkan ruangan itu, kembali duduk di tempatnya se-
mula. Termasuk juga pasangan muda yang baru saja
hendak meninggalkan tempat itu.
“Hei, Pelayan! Coba panggil keluar semua tamu
yang saat ini masih di dalam kamarnya...!” perintah le-
laki tinggi besar itu lagi dengan suara berwibawa.
Tanpa banyak cakap lagi, pelayan setengah baya
itu segera saja mematuhinya.
“Dengar! Kami tengah mencari seorang pemuda
bercaping yang telah membunuh prajurit-prajurit pagi
tadi. Dan kalau di antara kalian ada yang melihatnya,
harap segera beri tahukan kepada pihak prajurit.
Orang muda bercaping itu sangat berbahaya, dan ke-
mungkinan tidak waras...,” kata lelaki tinggi besar itu
kembali sambil melangkah mengitari ruangan rumah
makan.
Sepasang matanya yang galak, meneliti orang-
orang di ruangan itu penuh selidik. Dia berhenti pada
wajah pemuda tampan berjubah putih yang duduk
bersama dara berpakaian hijau.
Menyadari kalau lelaki tinggi besar bercambang
bauk itu adalah seorang perwira kerajaan, maka pe-
muda tampan dan gadis jelita itu segera saja men-
gangguk hormat Kemudian, wajah mereka ditunduk-
kan, karena tidak ingin menentang pandangan mata
lelaki berpakaian perwira itu. Memang, mereka tahu
kalau menentangnya, hanya akan mencari penyakit
saja.
“Hm.... Coba tegakan kepala kalian...,” perintah
lelaki tinggi besar yang sudah berdiri di depan meja
pasangan muda itu.
Tanpa membantah, pemuda tampan berjubah
putih itu menegakkan kepala dengan tatapan lurus ke
depan. Sikapnya nampak tenang, sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Sehingga, per-
wira tinggi besar itu diam-diam mengagumi ketenan-
gan pemuda tampan di depannya. Tapi ketika ia bera-
lih ke arah dara jelita berpakaian serba hijau di sebe-
lah pemuda itu. Keningnya baru berkerut tak senang.
Ternyata gadis itu sama sekali tidak mematuhi perin-
tahnya.
“Nisanak, angkat kepalamu. Kami hanya ingin
memastikan kalau orang yang dicurigai bukanlah ka-
lian. Untuk itu aku mengharap pengertianmu...,” tegur
perwira tinggi besar itu dengan nada galak. Jelas, ia ti-
dak suka melihat ada orang yang berani membantah
perintahnya.
Mendengar teguran ini, rupanya pemuda berju-
bah putih itu baru sadar kalau kawannya tidak menu-
ruti keinginan perwira tinggi besar di depan mereka.
Segera saja disentuhnya tubuh dara jelita itu dengan
ujung sikunya. Sentuhan perlahan itu ternyata cukup
ampuh. Terbukti, dara jelita itu langsung mengangkat
kepalanya meski dengan wajah cemberut. Sepertinya,
ia tidak suka mendengar perintah itu. Gadis itu mera-
sa kalau dirinya dianggap sebagai bawahan yang pan-
tas diperintah seenak perutnya.
“Bagus...,” gumam perwira bercambang bauk itu
tersenyum tipis ketika dara jelita di depannya mene-
gakkannya wajahnya. Kemudian perwira itu berlalu se-
telah meneliti sejenak.
***
“Huh!”
Dara jelita berpakaian serba hijau itu mendengus
lirih, begitu si perwira tinggi besar tadi berlalu dari ha-
dapannya. Rasa tidak senang masih tergambar jelas
pada wajahnya yang cantik. Tentu saja, keinginan
perwira bercambang bauk itu dituruti hanya karena
isyarat pemuda berjubah putih di sebelahnya.
“Sombong sekali lelaki berpangkat perwira itu.
Kalau saja ia tahu kalau orang di hadapannya adalah
Pendekar Naga Putih, tentu tidak akan berani selan-
cang barusan...,” omel dara jelita itu.
Rupanya gadis itu tidak merasa puas sebelum
mengeluarkan perasaan tidak senangnya melalui kata-
kata. Jelas sudah, siapa dara jelita di sebelah pemuda
berjubah putih yang dikenal sebagai Pendekar Naga
Putih.
“Perwira itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Ia
hanya menuruti perintah atasannya. Kalau pun kata-
katanya tadi terdengar agak kasar dan menyinggung
perasaanmu, hal itu wajar saja. Sebagai seorang perwi-
ra, ia diharuskan selalu bertindak tegas tanpa harus
mengikuti perasaan hati,” pemuda berjubah putih yang
sudah pasti Panji itu, menasihati kekasihnya sambil
tersenyum.
Tentu saja pembicaraan itu dilakukan secara
berbisik, agar tidak sampai terdengar orang lain. Teru-
tama perwira tinggi besar dan prajurit-prajurit kera-
jaan itu.
“Hm.... Boleh saja ia bertindak tegas dan berkata
kasar kepada bawahannya. Tapi, apakah terhadap seo-
rang wanita yang tidak termasuk anggota pasukannya
juga harus bertindak setegas dan sekasar itu?! Ra-
sanya tidak adil, Kakang. Coba saja kalau yang diben-
tak-bentak seorang wanita tokoh sesat. Pasti perwira
itu tidak akan bisa melihat matahari esok pagi....”
Kenanga masih saja mengomel karena, hatinya
masih merasa sakit dibentak-bentak seperti oleh per-
wira tinggi besar itu tadi.
“Sudahlah. Jangan kau turuti perasaan marah-
mu itu. Mungkin saja orang yang tengah dicari me-
mang benar-benar berbahaya, dan harus segera dite-
mukan. Kalau tidak, belum tentu ia membawa pasu-
kan yang cukup lengkap. Heran. Orang gila dari mana
yang berani mengacau kotaraja? Apa dia tidak tahu
kalau kotaraja merupakan gudangnya orang-orang
pandai...?” gumam Panji.
Pendekar Naga Putih tidak habis mengerti kalau
ada orang yang berani mengacau di kotaraja. Sebab,
pemuda itu tahu kalau kotaraja banyak terdapat orang
sakti yang mengabdikan dirinya pada kerajaan.
“Aku rasa, pengacau itu bukan orang gila, Ka-
kang. Dia pasti mempunyai alasan kuat. Atau bisa ju-
ga prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri yang sengaja
mencari perkara. Rasanya tidak mungkin bila ia men-
gacau tanpa sebab. Apalagi sampai membunuh. Kalau
prajurit-prajurit itu tidak keterlaluan, aku yakin ia tak
akan membunuh. Buktinya, prajurit-prajurit barusan
sudah merasa sok kuasa saja...,” bantah Kenanga.
Rupanya gadis itu malah berpihak kepada orang
buruan yang dicari-cari tentara kerajaan. Tentu saja
pendapat itu dikemukakan karena rasa ketidaksenan-
gannya terhadap perwira tinggi besar tadi.
Pembicaraan pasangan pendekar muda itu ter-
henti sejenak ketika melihat si perwira tinggi besar
kembali lewat di depan meja mereka. Melihat dari raut
wajahnya, jelas kalau si pengacau tidak ditemukan di
rumah penginapan ini.
“Ingat, apa yang kukatakan tadi. Siapa saja yang
melihat pemuda yang mengenakan caping, dan bertu-
buh tinggi tegap, harap segera melaporkannya kepada
kami. Maaf, kalau kedatangan kami telah membuat ka-
lian semua terganggu....”
Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar itu
pun meninggalkan ruangan kedai, diikuti para prajurit
yang berjumlah sekitar dua puluh orang lebih.
Setelah bayangan para prajurit dan perwira tinggi
besar itu tidak nampak lagi, barulah suasana di dalam
ruang kedai menjadi bising. Mereka saling berbicara
satu sama lain, seperti kumpulan lebah dekat sarang-
nya.
Dalam suasana bagai puluhan ekor lebah itu,
Panji segera mengajak Kenanga untuk menemui pe-
layan rumah penginapan. Mereka tidak segera masuk
ke kamar masing-masing, tapi Kenanga memaksa un-
tuk membicarakan soal buronan yang dicari pihak ke-
rajaan di kamar kekasihnya.
“Kakang... apa kau tidak berniat menyelidiki si
pengacau itu? Rasanya kita perlu tahu, apa alasannya
si pengacau membunuh para prajurit kerajaan pagi ta-
di. Dan, menurutku, orang itu pasti mempunyai suatu
alasan yang sulit diketahui. Hm.... Aku jadi tergerak
untuk mengetahuinya...,” kata Kenanga ketika mereka
telah berada di dalam kamar Panji.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum ketika me-
lihat sinar mata dara jelita itu berbinar seperti haus
akan petualangan baru.
“Hm.... Menurutku, kita harus menunggu kelan-
jutannya dulu. Mungkin saja orang yang menjadi bu-
ronan pemerintah hanya kebetulan singgah di kotaraja
ini. Siapa tahu, ia telah pergi jauh dari sini untuk tidak
kembali lagi. Nah! Kalau dugaanku benar, apa yang
hendak kau selidiki...?” bantah Pendekar Naga Putih.
Panji sepertinya tidak ingin bertindak, sebelum
mengetahui persoalannya secara jelas. Hal itu tentu
saja bisa dimengerti kekasihnya.
“Menurutmu, kita harus tinggal untuk beberapa
hari di kotaraja ini...?” tanya Kenanga. Semangatnya
tampak mulai mengendor. Memang penjelasan Panji
itu pantas dipikirkan.
“Yah..., kira-kira begitulah.... Sekarang, sebaik-
nya kita istirahat saja dulu. Besok baru kita mengeli-
lingi kotaraja ini untuk melihat-lihat, sambil mencari
keterangan tentang kelanjutan peristiwa pagi tadi...,”
sahut Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian segera merebah-
kan diri di atas pembaringan. Sementara Kenanga
hanya mengangguk-anggukkan kepala dan bergegas
menuju kamarnya.
Sebentar kemudian, senja pun berganti malam.
Dan kini, rumah penginapan itu sudah mulai tampak
sepi, karena para penghuninya telah memasuki kamar
masing-masing. Hanya satu dua orang saja yang masih
terlihat di dalam ruangan kedai. Itu pun tidak berlang-
sung lama. Mereka juga bergegas meninggalkan ruan-
gan kedai untuk beristirahat, ketika malam semakin
larut
***
Jata Sura menghempaskan tubuhnya di atas
kursi. Terdengar helaan napas beratnya yang menan-
dakan kekecewaan hati. Tapi tidak berapa lama kemu-
dian, pemuda itu melompat bangkit ketika mendengar
teriakan Pandara dari kejauhan. Bergegas pemuda itu
menyambut kedatangan pembantunya yang bertubuh
gemuk itu.
“Mengapa baru kembali sekarang, Pandara?
Hanya mencari dua orang saja perlu waktu sehari.
Huh! Lalu, sekarang mana Paman Danta dan Paman
Barna Pati...?” tegur Jata Sura.
Pemuda itu segera menyongsong kedatangan
pembantunya. Wajahnya tampak semakin memerah,
ketika melihat tidak adanya Danta dan Barna Pati
yang menyertai Pandara.
“Mereka tidak kutemukan, Tuan Muda. Hamba
telah mencari ke mana-mana tapi tidak berhasil. Seha-
rian hamba mencari, ke tempat mereka biasa berkum-
pul...,” lapor lelaki gemuk itu dengan napas memburu.
Meskipun begitu, dari sorot mata Pandara terlihat
kelegaan. Jelas, ia merasa bersyukur karena tidak me-
nemukan kedua orang pengawal pribadi tuan mudanya
itu.
“Aneh! Tidak biasanya mereka pergi begini la-
ma...? Bahkan biasanya mereka selalu melapor apabila
hendak keluar...,” gumam Jata Sura dengan berbagai
tanda tanya memenuhi benaknya. Memang, tidak bi-
asanya kedua orang pengawal pribadinya itu keluar
tanpa melapor terlebih dahulu kepadanya.
Jata Sura dan Pandara yang tengah berpikir ke-
ras, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara lang
kah kaki mendekati tempat mereka. Serentak kedua-
nya menoleh dengan alis berkerut.
“Ada apa kau menghadap tanpa dipanggil...?” da-
lam kejengkelannya, Jata Sura membentak prajurit
yang tergopoh-gopoh datang menghadap itu.
“Maaf, Tuan Muda.... Mmm..., Perwira Kala
Sungga ingin menghadap...,” lapor prajurit itu, takut-
takut.
Tubuh prajurit itu tampak agak gemetar akibat
bentakan Jata Sura. Hatinya baru lega ketika melihat
junjungannya menganggukkan kepala.
Kemudian prajurit itu berbalik, dan pergi dari si-
tu. Namun, sebentar saja dia sudah kembali bersama
seorang perwira bertubuh tinggi besar. Pada wajahnya
tampak dihiasi cambang bauk yang lebat
“Tuan muda! Aku Kala Sungga datang mengha-
dap...,” perwira tinggi besar yang ternyata bernama Ka-
la Sungga membungkuk hormat kepada pemuda itu.
Lalu, segera saja diceritakan keperluannya.
“Apa...!? Danta dan Barna Pati tewas? Siapa yang
membunuh mereka? Dan di mana kalian menemukan
mayatnya...?!
Terkejut bukan main Jata Sura ketika mendengar
laporan perwira tinggi besar itu. Segera saja ia berge-
gas mengikuti Kala Sungga yang memang telah mem-
bawa mayat kedua orang pengawal pribadinya.
Gemetar sekujur tubuh Jata Sura ketika melihat
mayat kedua orang pengawal pribadinya. Apalagi, me-
nyaksikan mayat Danta yang kepalanya terpisah dari
badan. Karuan saja pemuda itu bertambah murka.
“Keparat! Manusia gila dari mana yang berani
melakukan kekejian ini...!” desis Jata Sura mengepal-
kan tinjunya erat-erat.
Hati Jata Sura sedih bukan main. Dua orang
pengawal pribadinya ini telah mengabdikan diri semen-
jak ia kecil. Tapi kini, mereka tewas dengan kematian
begitu menyedihkan, tanpa diketahui siapa yang telah
melakukannya.
“Di tempat mayat mereka terbaring, kami mene-
mukan tulisan Hantu Laut Pajang yang ditulis dengan
darah. Rupanya sebelum kematiannya, Barna Pati
sempat menuliskan nama pembunuh keji itu. Hanya
saja aku merasa heran, sebab Hantu Laut Pajang telah
lama hilang dari dunia persilatan. Tapi, orang yang su-
dah hampir mati tidak mungkin salah menuduh...,”
kata Kala Sungga, menyadarkan Jata Sura dari kese-
dihannya.
“Hantu Laut Pajang...,” desis Jata Sura tanpa
mempedulikan ucapan Kala Sungga, “Kau boleh pergi,
Kala Sungga. Tapi jangan lupa, selidikilah siapa sebe-
narnya yang telah melakukan pembunuhan ini....”
Tanpa banyak membantah lagi, Kala Sungga se-
gera saja bergegas meninggalkan Jata Sura. Pandara
pun ikut meninggalkan tempat itu setelah memerin-
tahkan para prajurit membawa mayat Danta dan Bar-
na Pati, untuk segera dimakamkan. Kini tinggallah Ja-
ta Sura termenung seorang diri dengan wajah murung.
“Hm.... Aku harus memberitahukan ayah tentang
kejadian ini,” desis pemuda itu yang segera beranjak
dan bersiap memberitahukan Senapati Gada Sura
yang berada di istana.
***
Senapati Gada Sura segera saja bergegas me-
ninggalkan istana setelah menerima laporan dari pu-
tranya. Lelaki gagah bertubuh gemuk berwajah bersih
itu tentu saja menjadi geram mendengar laporan pu-
tranya itu. Sebelum meninggalkan Istana Bantar Gebang, lelaki gagah itu mengajak dua orang jagoan ista-
na untuk membantunya. Untungnya, semua kejadian
itu tidak sampai terdengar pejabat lain atau keluarga
kerajaan. Hanya Senapati Gada Sura dan dua orang
jagoan istana Itu sajalah yang mengetahuinya. Kalau
sampai terdengar, bukan mustahil akan menimbulkan
kegemparan.
“Apa kau tidak salah dengar kalau yang melaku-
kan pembunuhan itu adalah Hantu Laut Pajang...?”
tanya Senapati Gada Sura setelah tiba di tempat ke-
diamannya.
Suara lelaki gemuk itu terdengar berat dan keras,
sewajarnya seorang pembesar tinggi harus selalu ber-
wibawa.
“Tidak, Ayah. Kalau Ayah masih kurang percaya,
silakan tanya kepada Paman Kala Sungga. Dialah yang
menemukan mayat dan tulisan dengan darah itu...,”
sahut Jata Sura menoleh ke arah lelaki tinggi besar
berwajah brewok yang juga telah dipanggil menghadap
Senapati Gada Sura.
“Benar, Tuan. Hanya yang masih hamba heran-
kan, tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu telah
lama lenyap dan tidak pernah terdengar lagi kabar-
nya...,” jelas Kala Sungga.
“Aku pun merasa heran, Kala Sungga. Dan me-
mang, menurut apa yang kudengar pun demikian. Tapi
untuk lebih jelasnya, aku akan menugaskan Adi Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru untuk menyelidikinya. Ka-
lau memang Hantu Laut Pajang masih hidup dan be-
nar melakukan pembunuhan terhadap kedua orangku,
bunuh saja tokoh itu...,” kata Senapati Gada Sura
sambil menoleh ke arah dua orang jagoan istana yang
memang sengaja dibawanya untuk tugas itu.
“Jangan khawatir, Tuan Senapati. Kami berdua
akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Tidak
sulit rasanya untuk mencari tokoh itu, karena mereka
tinggal di daerah pantai sebelah Utara Laut Pajang.
Bukan begitu, Adi Barangga...?” lelaki tua berusia seki-
tar enam puluh tahun yang bernama Ki Tumbal Waru
itu menolehkan kepala ke arah lelaki gemuk dan ber-
kepala agak botak yang bernama Barangga.
“Benar, Tuan Senapati. Serahkan saja persoalan
ini kepada kami berdua. Percayalah. Dalam waktu de-
kat, kami akan segera mengabarkan hasilnya...,” janji
lelaki gemuk bernama Barangga itu sambil terkekeh
parau. Jelas, ucapannya itu menandakan kesombon-
gan hatinya.
“Baiklah. Kapan kalian berangkat...?” tanya Se-
napati Gada Sura singkat. Sepertinya, ia ingin selalu
bertindak cepat dalam segala sesuatu.
“Kalau diizinkan, sekarang juga kami akan be-
rangkat,” langsung saja Ki Tumbal Waru menyahuti
tanpa menunggu keputusan Senapati Gada Sura. Se-
dangkan Gada Sura mengangguk saja menyetujui.
Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Gada Sura
langsung memerintahkan agar mereka segera berke-
mas. Sedangkan ia sendiri segera saja memasuki ka-
mar yang khusus untuk beristirahat apabila di istana
sedang tidak ada tugas.
Ruang pertemuan itu pun kembali sunyi, setelah
semua orang yang berada di dalamnya pergi mengem-
ban tugas masing-masing.
***
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, dua
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang bergegas
menuju Pantai Utara. Laut Pajang. Tujuan mereka je-
las. Mencari Hantu Laut Pajang untuk meminta penjelasan tokoh itu mengenai pembunuhan dua orang ke-
percayaan Senapati Gada Sura.
Ki Tumbal Waru dan Barangga tiba-tiba meng-
hentikan larinya, saat mereka baru menginjakkan kaki
di pantai sebelah Utara Laut Pajang. Memang, satu se-
tengah tombak di depan mereka berdiri tegak seorang
lelaki tegap yang melindungi wajahnya dengan caping
bambu. Merasa kalau sosok bercaping itu sengaja
menghadang jalan, Barangga segera saja menegurnya.
“Kisanak! Apakah kau ada keperluan dengan
kami berdua?” tanya Barangga agak hati-hati sambil
meneliti sosok tegap di depannya.
Sepasang mata lelaki gemuk itu nampak agak
menyipit seperti hendak menilai sosok bercaping bam-
bu itu.
“Hm.... Seharusnya, akulah yang bertanya kepa-
da kalian berdua. Apa keperluan kalian hingga sampai
ke daerah kekuasaanku ini?” sahut sosok tegap yang
wajahnya terlindung caping bambu itu.
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak
menaikkan tepi caping. Tampaklah sepasang mata
yang menyorot tajam menggetarkan.
“Hm.... Siapa kau, hingga berani-beraninya men-
gaku pantai ini merupakan daerah kekuasaanmu?
Kami kenal, siapa pemilik Pantai Utara Laut Pajang ini.
Dan kami pun tahu, orang itu bukanlah kau, Kisanak.
Jadi, kau tidak mempunyai hak bertanya seperti itu!”
Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi hanya diam me-
natapi sosok bercaping itu, mulai angkat bicara. Nada
suaranya demikian tegas dan tandas.
“Ha ha ha.... Begitukah? Lalu, tahukah kalian.
Siapa orang yang kini berdiri menghadang jalan ka-
lian?!” kata sosok bercaping itu, lebih mantap dan
menggeletar. Jelas kalau ia telah mengerahkan tenaga
dalamnya melalui suara itu.
“Pemilik tempat ini adalah sahabat kami yang
berjuluk Hantu Laut Pajang. Dan, aku tidak tahu siapa
dirimu. Maka sebaiknya menyingkirlah, sebelum ter-
lambat...,” sahut Barangga dengan tekanan ancaman
halus. Tampaknya lelaki gemuk jagoan Istana Kerajaan
Bantar Gebang ini mulai tidak sabar menanggapi uca-
pan sosok bercaping itu.
Sosok tinggi tegap yang wajahnya terlindung di
balik caping bambu itu kembali memperdengarkan su-
ara tawanya, seraya menggerakkan tangannya untuk
melepas caping yang menyembunyikan wajahnya. Ta-
pak seraut wajah kehitaman yang di sebelah kiri wa-
jahnya terdapat sebuah luka seperti bekas penyakit
kulit. Tentu saja Ki Tumbal Waru dan Barangga sema-
kin berkerut kening, karena sama sekali tidak menge-
nali seraut wajah yang jelas masih muda di depannya.
“Hm.... Kalian pasti tidak kenal wajahku lagi yang
telah menjadi buruk ini. Tapi, ketahuilah. Aku tidak
pernah melupakan kebiadaban kalian yang telah
membantai keluargaku secara keji di Laut Pajang. Un-
tuk itulah aku menghadang kalian di tempat ini. Mak-
sudku adalah hendak mencabut nyawa kalian berdua,”
tegas sosok tegap berwajah buruk yang ternyata Bhi-
rawa.
Rupanya, kedua orang jagoan istana itu terma-
suk dalam daftar musuh-musuh keluarganya. Ma-
kanya dia menghadang perjalanan Ki Tumbal Waru
dan Barangga.
Baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga agak
tersentak mendengar ucapan pemuda itu. Meskipun
peristiwa itu telah dapat diingat, tapi mereka sama se-
kali tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk
yang berada di depannya itu.
“Maaf. Aku tetap tidak mengenalmu, Kisanak.
Tapi kalau memang hendak membalas dendam, se-
butkanlah namamu. Dan, apa hubunganmu dengan
peristiwa itu...?” tanya Ki Tumbal Waru yang memang
tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk yang
memiliki sepasang mata mencorong tajam itu.
“Baik, namaku Bhirawa. Dan mengenai hubun-
ganku dengan peristiwa itu maupun orang-orang yang
kalian bantai secara kejam, rasanya tidak perlu lagi ku
jelaskan...,” sahut Bhirawa datar namun penuh me-
nyimpan dendam kesumat.
“Aaah...!?”
Barangga tersentak mundur dengan wajah agak
berubah. Jelas, ia sangat terkejut mendengar nama
pemuda bertubuh tegap itu. Sepasang matanya tam-
pak melotot lebar, bagaikan orang melihat hantu di
siang bolong!
“Mustahil...?!” desis Ki Tumbal Waru yang juga
hampir tidak mempercayai pendengarannya.
Berbeda dengan Barangga, Ki Tumbal Waru me-
natap tajam seolah-olah ingin memastikan kalau pe-
muda itu tidak berbohong atau sengaja menakut-
nakutinya. Memang, Bhirawa yang mereka kenal, tentu
saja berbeda jauh dengan pemuda buruk rupa itu.
“Sudahlah. Tidak perlu lagi kalian berpura-pura
pikun sebaiknya, bersiaplah untuk menerima kema-
tian...!” desis Bhirawa tanpa mempedulikan keterkeju-
tan kedua orang musuh keluarganya.
Swing...!
Tahu-tahu saja, sebilah pedang bersinar kebi-
ruan telah tergenggam di tangan kanan pemuda itu.
“Hantu Laut Pajang...?!”
Kedua orang jagoan istana itu tersentak mundur
begitu mengenali senjata yang berada dalam gengga
man Bhirawa. Jelas mereka sangat terkejut melihat
adanya senjata yang sekarang berada di tangan pemu-
da berwajah buruk itu.
“Ya! Dan, senjata ini pulalah yang telah menghi-
rup darah dua orang manusia busuk Danta dan Barna
Pati semalam...,” desis Bhirawa datar.
Kemudian senjata Bhirawa dilintangkan di depan
dada. Siap untuk menghirup darah musuh-musuh ke-
luarganya yang masih tersisa.
***
ENAM
Ki Tumbal Waru dan Barangga cukup terkejut
mendengar pengakuan pemuda buruk rupa itu. Untuk
meyakinkan hatinya, kedua jagoan kerajaan itu kem-
bali meneliti sosok tinggi tegap di depannya.
“Benarkah kau yang telah membunuh Danta dan
Barna Pati dengan menyamar sebagai Hantu Laut Pa-
jang...?” tanya Barangga masih tetap meragukan pen-
gakuan Bhirawa.
Keraguan lelaki gemuk itu bukannya tanpa ala-
san. Ia sendiri cukup tahu, sampai di mana kepan-
daian kedua orang pengawal pribadi putra atasannya.
Bahkan Barangga sendiri harus memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat menundukkan Danta
dan Barna Pati. Jadi, wajar saja kalau ia tidak begitu
yakin kalau pemuda buruk rupa itu yang telah mem-
bunuh Danta dan Barna Pati.
“Hm.... Percaya atau tidak, itu terserah kalian.
Yang jelas, akulah yang telah menghukum kedua ja-
hanam busuk itu! Dan aku tidak menyamar sebagai
Hantu Laut Pajang, karena memang aku sendiri yang
kini berjuluk Hantu Laut Pajang. Itu bisa kalian yakini
dengan senjata kebesaran tokoh itu yang kini berada
di tanganku,” jelas Bhirawa tanpa mempedulikan keti-
dakpercayaan lelaki gemuk itu.
“Jadi..., kau putra....”
“Ya! Sekarang bersiaplah menerima kematian...!”
potong Bhirawa tanpa memberi kesempatan kepada Ki
Tumbal Waru untuk menyelesaikan kalimatnya.
Usai berkata demikian, pemuda berwajah buruk
yang penuh perbawa itu bergerak ke kiri sambil meng-
gerakkan pedangnya.
Yakin kalau pemuda itu memang benar-benar
pembunuh yang dicarinya, maka Ki Tumbal Waru dan
Barangga segera saja bergerak merenggang.
“Kalau begitu, kau bukan saja harus ditangkap.
Tapi, kau juga harus menerima hukuman berat..,” de-
sis Ki Tumbal Waru yang kini merasa geram.
Ki Tumbal Waru dan Barangga sepertinya tidak
ingin menganggap remeh pemuda itu. Terbukti, mere-
ka telah mencabut senjata masing-masing.
Wuuut! Wuuut!
Barangga menggeser langkahnya ke kanan sam-
bil mengibaskan senjata di tangannya yang berupa se-
bilah pedang tipis. Terdengar suara mengaung ketika
senjata di tangan lelaki gemuk itu berputar memben-
tuk gulungan sinar memanjang.
Sedangkan Ki Tumbal Waru dengan sepasang
pedang sepanjang dua jengkal, telah pula menggeser
tubuhnya ke kiri pemuda itu. Sepasang pedang pen-
deknya berkesiutan membeset udara, ketika digerak-
kan. Jelas, kedua orang jagoan istana itu sama-sama
memiliki tenaga dalam tinggi.
Bhirawa yang dikepung dari dua arah, tetap ber-
sikap tenang. Langkah-langkahnya terlihat demikian
kokoh dan mantap. Sepertinya, pemuda itu sangat ya-
kin akan kepandaian yang dimiliki. Hal itu tergambar
jelas dari pancaran mata dan raut wajahnya yang te-
nang.
“Haaat..!”
Barangga yang memang memiliki sikap tidak sa-
bar, segera saja memulai serangan dengan sebuah
bentakan nyaring. Seketika itu juga, tubuh gemuknya
langsung bergerak maju dengan langkah-langkah pen-
dek namun menampakkan kekokohan. Senjata di tan-
gannya bergerak turun naik berkecepatan tinggi. Jelas,
jurus yang digunakannya bukan ilmu pasaran!
Dengan selisih waktu yang tidak lebih dari seke-
jap mata, Ki Tumbal Waru pun telah pula membuka
serangan. Tubuh lelaki tua berusia sekitar enam puluh
tahun itu melenting ke udara diiringi pekikan nyaring.
Melihat gerakan dua orang itu yang sangat ber-
beda, sadarlah Bhirawa kalau lawan hendak memecah
perhatiannya dengan serangan dari atas dan bawah.
“Heaaah...!”
Bhirawa berseru pendek sambil mengkelebatkan
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemu-
dian langsung disambutnya serangan dua orang lawan
dengan menggeser langkah ke kiri dan kanan. Gerakan
itu dimaksudkan untuk menipu, agar lawan-lawannya
tak mudah menduga ke mana serangannya ditujukan.
Serangan Barangga tiba lebih dulu dengan kece-
patan menggetarkan! Senjata di tangannya mengaung,
membelah udara dengan ujungnya yang bergetar ba-
gaikan mengincar beberapa jalan darah kematian di
tubuh Bhirawa. Langsung saja pemuda berwajah bu
ruk itu memutar senjatanya untuk menyambut ujung
pedang lawan.
Wettt! Wettt!
Mendadak saja ketika ujung pedang itu hampir
berbenturan, Barangga merubah gerakan dengan me-
mutar pergelangan tangannya. Sehingga, ujung pe-
dangnya berputar setengah lingkaran dan meluncur
deras mengancam tenggorokan lawan!
Cuittt!
Tapi, Bhirawa rupanya sudah menduga akan ge-
rakan tipu lawannya. Terbukti, ketika ujung pedang
lawan berputar dan mengancam tenggorokannya, pe-
muda itu cepat menarik mundur tubuhnya satu lang-
kah dengan kuda-kuda agak rendah. Sehingga, pedang
lawan lewat di depan wajahnya, sejengkal lebih ke
atas.
“Yiaaah...!”
Bhirawa yang tak ingin membuang setiap peluang
yang dilihatnya, segera saja menusukkan pedang lu-
rus-lurus ke depan, mengincar tepat di jantung lawan!
Swing...!
Sayang, Bhirawa tidak mempunyai banyak ke-
sempatan untuk melanjutkan serangan mautnya. Ka-
rena pada saat yang bersamaan, Ki Tumbal Waru su-
dah datang menerjang dengan sepasang pedang pen-
deknya. Suara mendesing-desing yang ditimbulkan
sambaran pedang pendek lelaki tua itu, membuat Bhi-
rawa terpaksa harus memutar tubuhnya. Langsung
pedangnya dikibaskan dalam keadaan berputar!
Ki Tumbal Waru yang melihat serangan balasan
pemuda itu, cepat mengangkat pedang di tangan ka-
nannya untuk menangkis.
Trang...!
Terdengar benturan yang menimbulkan percikan
bunga api. Tubuh keduanya tampak sama melompat
mundur, sejauh satu setengah tombak. Jelas, baik
Bhirawa maupun Ki Tumbal Waru sama memiliki te-
naga dalam yang kuat dan seimbang.
Bhirawa yang belum lagi sempat mengatur kuda-
kudanya, cepat merendahkan tubuh. Karena, pada
saat itu juga, pedang Barangga datang mengancam
disertai suara mengaung tajam!
Cuiiit..!
“Aaah...!?”
Bhirawa memekik tertahan ketika hampir saja
mata pedang lawan menggores lehernya! Untungnya,
pemuda itu masih sempat memiringkan kepala dengan
membentuk kuda-kuda serong. Sehingga, mata pedang
itu lewat tiga jari di samping kulit lehernya!
“Hihhh!”
Tindakan Bhirawa dalam melakukan serangan
balasan rupanya memang patut dipuji. Kejelian ma-
tanya dalam memanfaatkan setiap peluang, membuat
pemuda itu cepat tanggap. Maka pada saat berhasil
menghindari sambaran mata pedang itu, langsung saja
kaki kanannya terlontar menghajar tubuh Barangga!
Buggg!
“Hukhhh...!”
Tendangan yang keras itu telak menghajar perut
Barangga yang memang tidak pernah menduga akan
kejelian mata lawannya. Karuan saja tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang. Untungnya, lelaki gemuk
itu bisa menguasai keadaan. Cepat tubuhnya melent-
ing dan bersalto beberapa kali, untuk kemudian men-
darat empuk sejauh dua tombak dari lawan. Meski
demikian, terlihat wajahnya agak meringis menahan
nyeri. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah se-
gar, yang membuatnya semakin geram.
Saat itu, Bhirawa yang berniat menyusuli seran-
gannya selagi tubuh lawan berada di udara, terpaksa
harus menundanya. Karena pedang pendek Ki Tumbal
Waru memang sudah mencegahnya!
Wettt! Wettt! Wettt!
Serangkaian sambaran pedang pendek di tangan
Ki Tumbal Waru datang susul-menyusul diiringi deci-
tan-decitan menyakitkan telinga. Untuk beberapa saat
lamanya, Bhirawa terpaksa harus bermain mundur.
Serangan orang tua itu memang cukup membuatnya
kerepotan!
“Hiaaah...!”
Ki Tumbal Waru sepertinya tidak lagi ingin mem-
beri peluang kepada lawan untuk membalas. Terbukti
serangan sepasang pedang pendeknya tidak berhenti
sampai di situ saja. Senjata sepanjang dua jengkal itu
terus menyambar-nyambar hebat! Tentu saja Bhirawa
semakin terdesak hebat!
Gencarnya serangan yang dilontarkan Ki Tumbal
Waru sepertinya tidak sia-sia. Setelah selama sepuluh
jurus lebih mencecar lawannya, akhirnya salah satu
dari pedang pendeknya berhasil merobek lengan ba-
gian atas pemuda itu!
Wuttt.... Crasss...!
“Aaakh...!”
Bhirawa terpekik kaget saat ujung pedang pen-
dek di tangan lawan mengenai bagian tubuhnya. Da-
rah segar segera menyembur dari luka yang cukup da-
lam dan panjang itu. Bahkan Bhirawa sempat melintir
dibuatnya!
“Haiiit...!”
Selagi tubuh lawan melintir akibat sambaran sa-
lah satu pedang pendeknya, Ki Tumbal Waru berseru
keras sambil melontarkan tendangan berputar ke kepala lawannya. Namun dalam keadaan yang cukup su-
lit itu, rupanya Bhirawa sempat melihat datangnya
tendangan maut. Langsung saja tubuhnya bergeser
untuk menghindar. Sayang ia masih kalah cepat den-
gan lawannya. Sehingga....
Desss...!
Tendangan itu ternyata masih sempat menghajar
punggungnya! Maka karuan saja tubuh pemuda ter-
lempar, dan tersungkur mencium tanah! Darah segar
semakin banyak mengalir dari lukanya. Tendangan ke-
ras tadi memang tepat mengenai dekat bagian lukanya.
“Uhhh...!”
Bhirawa mengeluh sambil meringis menahan sa-
kit pada lukanya. Tapi selagi pemuda itu bergerak
hendak bangkit, Barangga datang menjejakkan ka-
kinya ke tubuh pemuda itu!
Derrr!
Debu mengepul ketika telapak kaki yang disaluri
tenaga dalam menjejak tanah di dekat tubuh Bhirawa.
Karena, pemuda itu sempat menggulingkan tubuhnya
untuk menghindar.
Tapi, Barangga bukan orang bodoh. Maka begitu
pijakannya luput, kaki itu langsung terlontar mengha-
jar lambung Bhirawa!
Desss...!”
“Hukhhh...!”
Tendangan keras itu telak mengenai lambung
Bhirawa. Seketika itu juga tubuhnya bagai disentak-
kan bangkit secara paksa, dan tumbang kembali diser-
tai keluhannya. Darah segar pun semakin banyak yang
keluar dari mulut pemuda itu.
Barangga yang rupanya sangat bernafsu untuk
menewaskan lawan, mengobat-abitkan pedangnya ke
tubuh Bhirawa yang terus bergulingan menghindarkan
diri. Meskipun demikian, tak urung beberapa buah
goresan ujung pedang harus diterimanya. Dan akhir-
nya, Bhirawa tidak lagi mampu untuk menggulingkan
diri. Pemuda itu hanya terdiam pasrah, menanti da-
tangnya maut yang akan menjemput!
“Hiyaaa...!”
Wukkk...!
Pedang di tangan Barangga berkeredep menyi-
laukan mata, hendak membelah tubuh Bhirawa. Se-
dangkan pemuda itu menatap tak berkedip, pasrah
menerima kematiannya.
Mata pedang Barangga meluncur deras tanpa da-
pat dicegah lagi! Nampaknya, riwayat Hantu Laut Pa-
jang harus tamat di tangan salah seorang jagoan Kera-
jaan Bantar Gebang.
Trang...!
“Aaah...!”
Mendadak, pada saat yang sangat gawat bagi ke-
selamatan Bhirawa, meluncur seberkas sinar hitam
dengan kecepatan tidak bisa ditangkap mata biasa.
Kemudian, sinar itu langsung membentur pedang di
tangan Barangga yang siap menamatkan riwayat Han-
tu Laut Pajang.
Benturan sinar hitam itu ternyata berakibat san-
gat mengejutkan! Bukan saja pedang di tangan Ba-
rangga dapat dibuat terpental lepas dari genggaman,
bahkan tubuhnya hampir terjengkang jatuh! Tentu sa-
ja kenyataan itu hampir membuat Barangga tidak
mempercayainya. Dia lalu bangkit, dengan mata tertu-
ju ke arah penyerangnya.
“Siapa kau...?!” bentak Barangga.
Mata laki-laki gemuk itu melotot bagai hendak
keluar ketika melihat seorang pemuda berjubah putih
yang membantu Bhirawa bangkit. Wajah pemuda itu
bersih dan tampan, dengan senyum ramah menghias
wajahnya.
Bhirawa yang sama sekali tidak menduga kalau
nyawanya bisa selamat, tertegun menatap pemuda
tampan berjubah putih yang berusia sebaya dengan-
nya. Bhirawa segera menundukkan wajahnya, tidak
berani menentang pandangan mata pemuda tampan
yang terlihat demikian tajam dan mengandung perba-
wa amat kuat.
‘Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,”
ucap Bhirawa, tanpa mengangkat wajahnya. Dia juga
masih belum percaya kalau nyawanya selamat.
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya men-
gangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum meneri-
ma ucapan terima kasih Bhirawa. Dibawanya pemuda
itu bangkit, dan disandarkannya di dinding karang.
“Bagaimana dengan musuh-musuhku itu, Kisa-
nak...?” tanya Bhirawa mengalihkan pandangan ke
arah dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Kening pemuda berwajah buruk itu tampak ber-
kerut, ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping
terbungkus pakaian hijau yang tengah berdiri meng-
hadapi kedua orang musuhnya.
“Gadis berpakaian hijau itu adalah kawanku. Ja-
di, tenangkanlah dirimu...,” jelas pemuda berjubah pu-
tih, sebelum sempat bertanya.
Pemuda berjubah putih itu memang Panji, yang
di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar
Naga Putih. Sedangkan gadis jelita berpakaian hijau
yang tak lain dari Kenanga. Kemudian tanpa banyak
cakap lagi Pendekar Naga Putih segera mengobati luka-
luka di tubuh Bhirawa.
Kekaguman di hati Bhirawa semakin bertambah
ketika merasakan betapa jemari tangan pemuda itu
demikian lincah dalam melakukan pengobatan terha-
dap dirinya. Bahkan obot-obatan yang diberikan pe-
muda tampan itu sangat manjur. Maka tentu saja se-
mua itu membuat Bhirawa jadi terbengong-bengong.
Kau hebat sekali, Kisanak. Aku benar-benar ka-
gum dan tunduk kepadamu...,” aku Bhirawa tulus
dengan wajah berseri.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapi ucapan tulus pemuda berwajah buruk itu.
“Sekarang kau istirahatlah. Biar kami yang akan
menangani kedua orang itu...,” ujar Panji yang segera
bergerak meninggalkan Bhirawa.
“Maaf. Kalau kami mencampuri urusan ini, Kisa-
nak sekalian. Tapi melihat betapa teganya kalian me-
nyiksa lawan yang sudah tidak berdaya, rasanya aku
tidak bisa tinggal diam. Alangkah lebih baik apabila
musuh yang sudah tidak berdaya, diampuni dan diba-
wa kembali ke jalan kebenaran. Dengan demikian, ka-
lian berarti bukan saja telah menolong jiwanya, tapi
juga menyelamatkan manusia-manusia lain. Karena,
bisa saja pemuda itu jadi menyadari kesalahannya se-
lama ini...,” kata Pendekar Naga Putih dengan tutur
kata yang halus dan sopan. Sehingga, baik Barangga
maupun Ki Tumbal Waru saling berpandang sejenak.
“Hm.... Siapakah kau, Kisanak. Usia dan penam-
pilan mu mengingatkanku pada seorang pendekar
yang telah menggemparkan dunia persilatan. Benar-
kah dugaanku kalau kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?” Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi memang
memperhatikan pemuda tampan itu secara teliti, sege-
ra saja mengungkapkan dugaannya meski agak ragu.
“Benar, Orang tua. Sahabatku ini adalah orang
yang berjuluk Pendekar Naga Putih,” sahut gadis ber-
paras jelita berpakaian serba hijau itu cepat.
“Hm.... Sebagai seorang pendekar besar yang se-
lalu menentang setiap kejahatan, seharusnya kau ti-
dak menghalangiku untuk melenyapkan pemuda lak-
nat itu. Ketahuilah, pemuda berwajah buruk itu ada-
lah seorang pemberontak yang telah melakukan pem-
bunuhan terhadap dua orang pembantu Senapati Ga-
da Sura. Bahkan dia pula yang telah membunuh bebe-
rapa prajurit pada beberapa hari yang lewat Nah! Apa-
kah kau masih tetap ingin membela penjahat itu, Pen-
dekar Naga Putih...?”
Barangga yang masih menyimpan kejengkelan
terhadap campur tangan pemuda itu, menjelaskan du-
duk perkaranya. Tentu saja dengan maksud agar Pen-
dekar Naga Putih tidak ikut campur tangan dalam per-
kara ini.
“Maaf. Sebelumnya, mungkin dugaanku akan
sama dengan kalian. Tapi setelah melihat pedang yang
menjadi lambang seorang tokoh sahabat guruku, maka
aku merasa yakin kalau pemuda itu bukan seorang
penjahat seperti yang kalian, tuduhkan. Kalaupun ia
telah melakukan pembunuhan, pasti ada alasan kuat
di balik semua perbuatannya. Kuharap, kalian berdua
suka memaafkan perbuatannya. Berilah kepercayaan
kepadaku untuk menyadarkannya,” kata Pendekar Na-
ga Putih.
Panji yang kedatangannya memang bukan tanpa
sebab, sepertinya masih tetap ingin membela pemuda
berwajah buruk itu. Dan apa yang dikatakannya pun
memang merupakan kebenaran. Memang tokoh yang
berjuluk Hantu Laut Pajang itu merupakan sahabat
lama gurunya. Kedatangannya ke tempat itu pun hen-
dak mengunjungi tokoh sahabat gurunya.
“Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, pe-
muda itu merupakan ancaman yang sangat berbahaya
bagi kami dan juga atasan kami. Untuk itu, kami ditu-
gaskan untuk melenyapkan nya. Kalau kau menentang
kami, itu sama artinya hendak memberontak terhadap
Kerajaan Bantar Gebang!” dengus Ki Tumbal Waru.
Laki-laki tua yang memang diberi tugas Senapati
Gada Sura untuk mendapatkan pemuda itu hidup
atau mati, tidak bisa menerima alasan Panji. Dan ia te-
tap berkeras hendak mengambil Bhirawa, meskipun
untuk itu harus berhadapan dengan Pendekar Naga
Putih yang kesaktiannya telah menggemparkan jagad.
Panji tersenyum dengan wajah tetap tenang. Se-
pertinya pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar
atas gertakan Ki Tumbal Waru yang mengatasnama-
kan Kerajaan Bantar Gebang. Dan Panji bukan pemu-
da bodoh. Kalau memang pemuda itu musuh kerajaan,
tentunya bukan hanya mereka berdua yang akan diki-
rim untuk menangkapnya. Tapi, orang-orang berpa-
kaian prajuritlah yang akan melakukan tugas itu.
Sekali melihat saja, Panji dapat menilai kalau Ki
Tumbal Waru dan Barangga merupakan orang-orang
kasar yang mungkin bekerja untuk kepentingan seseo-
rang. Bukan untuk kerajaan. Pikiran itulah yang
membuat Panji tidak gentar, meskipun kedua orang itu
menggertaknya.
“Maaf. Apa pun alasannya aku tetap tidak akan
membiarkan pemuda itu menjadi korban keganasan
kalian,” tegas Panji yang sepertinya tetap ingin membe-
la Bhirawa. Memang Pendekar Naga Putih dapat meli-
hat pancaran kebaikan di hati Bhirawa.
“Kalau begitu, kami harus menggempurmu...,”
geram Barangga dengan sikap mengancam.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu berge-
rak merenggang. Demikian pula halnya Ki Tumbal Wa-
ru. Lelaki tua itu pun sudah siap hendak menyerang
Pendekar Naga Putih.
***
TUJUH
Kenanga yang tadi hanya mendengarkan perde-
batan kekasihnya dengan dua orang jagoan Kerajaan
Bantar Gebang, melangkah maju. Rasa penasaran
yang semenjak tadi ditahannya bangkit seketika.
“Biar aku yang memberi pelajaran kepada mere-
ka, Kakang. Rasanya kalau hanya untuk menghadapi
dua ayam sayur ini kau tidak perlu turun tangan,” ujar
Kenanga sambil menatap kekasihnya meminta perse-
tujuan. Biarpun marahnya demikian besar, namun ga-
dis itu tidak berani melangkahi Panji.
Panji yang mengetahui sifat kekasihnya terme-
nung sejenak. Disadari kalau pribadi gadis jelita itu
lembut Tapi dia sadar pula kalau Kenanga bila membe-
ri hajaran kepada orang-orang yang tidak disukainya,
atau berani menghina kekasihnya, dapat bersikap ke-
ras. Pikiran itulah yang membuat Panji termenung.
“Untuk kali ini, biarlah aku saja yang menghada-
pi mereka. Kau menyingkirlah, Kenanga...,” tolak Panji,
setelah berpikir sesaat.
Tanpa membantah lagi, Kenanga segera saja bergerak menyingkir. Meskipun hatinya penasaran, na-
mun ia tidak mau membantah ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih melangkah maju, dan berdi-
ri tegak menghadapi kedua orang lawannya dalam ja-
rak satu tombak lebih. Sikap dan wajahnya tetap terli-
hat tenang, tanpa sorot kebencian atau permusuhan.
“Silakan kalian memulai...,” ucap Panji tanpa
persiapan sedikit pun. Kedua kakinya sama sekali ti-
dak menunjukkan kalau telah siap tempur.
Ki Tumbal Waru dan Barangga pun menyadari
sikap pemuda itu. Tapi, justru sikap tenang tanpa per-
siapan pemuda itulah yang membuat mereka berhati-
hati. Jelas, sikap itu menandakan kalau Pendekar Na-
ga Putih memang sudah tidak perlu siap-siap dalam
menghadapi pertarungan. Dalam keadaan bagaimana-
pun, seorang pendekar besar seperti pemuda tampan
itu dapat saja bergerak ke mana suka. Itulah yang
membuat Ki Tumbal Waru dan Barangga berhati-hati.
Dengan geseran telapak kaki lembut, kedua
orang jagoan istana itu bergerak mengitari Pendekar
Naga Putih. Sejauh itu, mereka belum menunjukkan
tanda-tanda untuk memulai serangan. Sepertinya, me-
reka hendak mencari kelemahan pemuda tampan itu.
Panji sendiri tetap berdiri tegak tanpa merubah
kedudukannya. Hanya sepasang matanya saja yang
bergerak mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.
“Haiiit...!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Ki Tumbal
Waru memulai serangannya dari samping kiri Pende-
kar Naga Putih. Terdengar suara berkeciutan ketika
sepasang pedang pendek di tangan orang tua itu ber-
gerak susul-menyusul dengan kecepatan sukar diikuti
mata biasa.
Wettt! Wettt!
Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya
ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tubuhnya
berputar ke samping menghindari tusukan dua bilah
pedang pendek yang mengincarnya. Kemudian, Pende-
kar Naga Putih terus melangkah mundur dan bergerak
ke kiri dan kanan ketika serangan Ki Tumbal Waru
masih terus bersambungan.
“Haiiih...!”
Pada suatu kesempatan, telapak tangan Panji
menepiskan serangan, ketika senjata di tangan kanan
lawan bergerak menuju tenggorokannya!
Plakkk!
“Uhhh...!”
Ki Tumbal Waru mengeluh pendek. Tepisan yang
kelihatannya sembarangan itu ternyata mampu mem-
buat tubuhnya berputar. Tentu saja orang tua itu
menjadi terkejut dibuatnya.
Tapi, tidak percuma Ki Tumbal Waru menjadi sa-
lah seorang jagoan di Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Putaran tubuhnya itu dapat dimanfaatkan untuk me-
lanjutkan serangannya. Pedang pendek di tangan ka-
nannya bergerak menusuk ke belakang, dan langsung
mengancam dada kanan Pendekar Naga Putih.
Swiiit...!
Sayang, kali ini yang dihadapinya bukanlah seo-
rang tokoh sembarangan. Bagi seorang pendekar se-
perti Panji, serangan itu sama sekali tidak membuat-
nya kaget. Dengan sebuah kelitan indah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih bergerak ke depan. Langsung si-
kunya disodokkan ke iga lawan.
Namun sayang, serangan itu tidak bisa dite-
ruskan. Karena pada saat itu juga, pedang di tangan
Barangga datang mengancam dari atas ke bawah.
Maksudnya untuk memapas putus lengan pemuda itu.
“Haiiit...!”
Kegagalan serangannya sama sekali tidak mem-
buat Panji kehilangan akal. Dibarengi seruan nyaring,
tubuh pemuda itu melenting berputar ke belakang Ba-
rangga. Bahkan terus mengirimkan sebuah tendangan
kilat yang mengejutkan!
Plakk!
“Uhhh...!”
Barangga memang berhasil menangkis tendangan
lawan dengan menggunakan lengan kirinya. Tapi un-
tuk tindakannya itu, ia harus menanggung rasa nyeri
yang bagaikan menusuk ke dalam tulangnya. Sedang-
kan tubuhnya sendiri hampir terbanting jatuh. Untung
saja ia bertindak cepat menguasai keseimbangan tu-
buhnya.
Pertarungan kembali berlangsung seru. Ki Tum-
bal Waru dan Barangga kembali melancarkan seran-
gan-serangan maut ke arah lawannya. Kali ini, mereka
dapat berkerja sama dengan baik dan saling melin-
dungi satu sama lain. Sehingga, beberapa kali seran-
gan Panji dapat digagalkan.
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang
ketiga puluh, Pendekar Naga Putih mulai menebarkan
pengaruh ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Kabut bersi-
nar putih keperakan mulai menebarkan hawa dingin
menusuk tulang. Sehingga, baik Ki Tumbal Waru
maupun Barangga sangat merasa terganggu oleh pan-
caran hawa dingin yang keluar dari tubuh dan samba-
ran pukulan lawan. Akibatnya hal itu membuat mere-
ka tidak lagi leluasa untuk melontarkan serangan-
serangan. Dengan demikian, berarti gempuran-
gempuran kedua orang tokoh istana itu mulai berku-
rang.
Pendekar Naga Putih tidak mau bersikap ayal
ayalan lagi. Dengan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya, pe-
muda itu mulai mendesak Ki Tumbal Waru dan Ba-
rangga. Sehingga dalam beberapa jurus saja, kedua
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang itu benar-
benar dibuat kalang kabut!
“Gila...!” maki Barangga jengkel.
Barangga tampaknya kali ini tidak mampu lagi
melontarkan serangan-serangannya. Setiap kali melon-
tarkan serangan, selalu saja membalik. Serangannya
bagaikan terbentur lapisan benteng salju yang sukar
ditembus.
Keadaan Ki Tumbal Waru pun tidak berbeda
jauh. Lelaki tua itu tampak tidak lagi garang seperti
semula. Sambaran-sambaran sepasang pedang pen-
deknya selalu saja gagal. Memang gerakan lawannya
kali ini terasa terlalu cepat. Sehingga, untuk membu-
runya Ki Tumbal Waru harus memerlukan tenaga ba-
nyak. Tentu saja hal itu membuatnya cepat kehabisan
tenaga.
“Hiaaat...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keem-
pat puluh, terdengar pekikan nyaring dari Pendekar
Naga Putih. Pada saat yang bersamaan terlihat tubuh
pemuda berjubah putih itu bergerak cepat bagaikan
sambaran kilat di angkasa. Maka seketika, hawa din-
gin menusuk tulang langsung menebar bagai men-
gungkungi kedua jagoan istana itu.
Plaggg! Desss...!
Serangan dahsyat Pendekar Naga Putih tidak
mampu lagi dihindari Barangga maupun Ki Tumbal
Waru. Hantaman telapak tangan Panji telak menghajar
dada dan punggung mereka!
Ki Tumbal Waru dan Barangga memekik kesaki-
tan! Tubuh kedua tokoh istana itu langsung terpental
dan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk
nyaring!
“Huakhhh...!”
Hampir berbarengan, mereka memuntahkan da-
rah kental akibat pukulan hawa dingin Pendekar Naga
Putih. Bahkan tubuh mereka terlihat masih menggigil,
dan belum bisa bergerak bangkit.
Tanpa setahu Panji, Bhirawa yang berada tidak
jauh dari tempat jatuhnya kedua orang tokoh istana
itu diam-diam meraba pedangnya. Kebencian dan den-
dam di hati pemuda berwajah buruk itu, telah mem-
buatnya menjadi gelap mata. Seketika itu juga, Bhira-
wa melompat dan langsung menyabetkan senjata ke
arah leher Barangga. Bahkan juga langsung menusuk
tubuh Ki Tubal Waru!
“Hei, tahaaan...!”
Tentu saja Panji terkejut bukan main melihat
perbuatan pemuda berwajah buruk itu. Namun karena
jarak pemuda itu dan kedua orang musuhnya memang
sangat dekat, Panji tidak sempat mencegahnya.
Barangga terlihat menggelepar dengan tubuh
tanpa kepala, lalu dia tak bergerak lagi. Sedangkan Ki
Tumbal Waru menekap dadanya yang mengucurkan
darah. Sebentar kemudian, lelaki tua itu pun tewas,
karena tusukan pedang Bhirawa tepat mengenai jan-
tungnya.
“Mengapa kau lakukan perbuatan rendah seperti
ini...?” desis Panji menahan rasa sesal karena terlam-
bat untuk mencegah perbuatan pemuda itu.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Dendamku kepada
dua orang manusia terkutuk itu sudah terlalu berka-
rat. Sehingga, aku menjadi gelap mata...,” desah Bhi-
rawa sambil menggenggam pedang yang telah berlu-
muran darah di tangan kanannya.
Setelah berkata demikian, Bhirawa berbalik. Dia
langsung berlari meninggalkan tempat itu.
“Kisanak, tunggu..!” seru Panji
Pendekar Naga Putih segera melesat mengejar
pemuda buruk rupa itu. Sekali melompat saja, tubuh-
nya telah berdiri menghadang jalan pemuda berwajah
buruk itu.
“Oh, maaf kalau aku lupa mengucapkan terima
kasih atas pertolonganmu...,” ucap Bhirawa langsung
saja membungkuk memberi hormat
Rupanya ia menganggap sikap Panji yang mence-
gah kepergiannya, karena belum mengucapkan terima
kasih.
“Bukan itu yang kuinginkan, Kisanak. Kalau bo-
leh aku tahu, siapakah namamu. Dan apa yang mem-
buat kau demikian membenci mereka?” tanya Panji
dengan sikap tenang, seperti tidak mempedulikan
pandangan pemuda itu terhadapnya.
“Aku bernama Bhirawa. Tentang persoalan den-
damku, maaf. Aku tidak bisa menceritakannya. Sela-
mat tinggal...,” pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera melesat meski dengan langkah
yang belum tetap. Karena, ia masih belum sembuh be-
nar dari luka-lukanya.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah. Ia me-
mang merasa tidak mempunyai hak untuk mengetahui
persoalan orang lain. Lain halnya kalau pemuda itu
menceritakan secara suka rela.
Melihat kekasihnya termenung sambil menatap
bayangan Bhirawa yang semakin jauh, Kenanga da-
tang menghampiri.
“Hm.... Seorang pemuda yang keras kepala dan
angkuh..,” desis Kenanga sambil ikut memandang ke
arah yang sama.
“Tampaknya dia memang tidak ingin orang lain
ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapinya,”
desah Panji tanpa mengalihkan pandangannya.
“Lalu, bagaimana tentang Hantu Laut Pajang?
Apakah Kakang masih ingin menjumpainya?” tanya
Kenanga, mengingatkan Panji akan tujuan mereka se-
mula mendatangi Pantai Utara Laut Pajang.
“Untuk sementara, kita lupakan saja dulu. Aku
khawatir pemuda keras kepala itu masih mempunyai
musuh-musuh lain di kotaraja yang belum didatan-
ginya. Dan mungkin juga, dia mempunyai hubungan-
nya dengan Hantu Laut Pajang. Hanya saja, dia masih
keras kepala hendak menyimpan rahasia itu sendiri...,”
jawab Panji yang kini menoleh menatap kekasihnya.
“Jadi, Kakang berniat hendak melindunginya...?”
desak Kenanga lagi ingin mengetahui tindakan Panji
selanjutnya.
“Tidak pasti begitu. Yang jelas, pemuda itu san-
gat menaruh dendam terhadap musuh-musuhnya. En-
tah, apa yang dilakukan musuh-musuhnya terhadap
pemuda itu di masa lalu,” sahut Panji lagi sambil me-
langkah menghampiri mayat Barangga dan Ki Tumbal
Waru.
Ketika melihat Panji mengangkat mayat Barangga
beserta kepalanya yang terpisah, Kenanga segera men-
gangkat mayat Ki Tumbal Waru. Dia mengikuti lang-
kah Pendekar Naga Putih yang hendak mencari tempat
yang baik untuk makam kedua orang itu.
***
Sepasang pendekar itu terus melangkah sambil
membawa kedua mayat jagoan Istana Kerajaan Bantar
Gebang. Mereka meninggalkan pantai untuk mencari
daerah yang pantas sebagai makam kedua orang itu.
Memang di sekitar mereka hanya terdapat tanah ber-
pasir yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk
menguburkan mayat
Tidak berapa lama kemudian, mereka menghen-
tikan langkah di sebuah daerah berbatu yang tanah-
nya tidak lagi mengandung pasir. Kenanga meletakkan
mayat Ki Tumbal Waru dari bahunya, seperti halnya
yang dilakukan Panji terhadap mayat Barangga.
“Hm.... Rasanya tempat ini cukup baik untuk pe-
ristirahatan terakhir mereka,” gumam Panji.
Kini Pendekar Naga Putih mulai menggali dengan
menggunakan pedang kekasihnya. Karena pemuda itu
menggunakan tenaga dalamnya, maka sebentar saja
terciptalah dua buah lubang besar.
Mendadak saja, sebelum Panji sempat memasuk-
kan mayat-mayat itu ke dalam liang lahat, terdengar
suara bergemuruh derap puluhan ekor kuda. Serentak
mereka menoleh saling bertukar pandang. Kemudian,
dinantikannya rombongan berkuda itu datang, lewat
dekat mereka.
Ketika rombongan berkuda itu mulai nampak,
Panji sempat merasa tegang. Karena, rombongan ber-
kuda itu ternyata terdiri dari prajurit Kerajaan Bantar
Gebang.
“Celaka, Kakang. Kita bisa dipersalahkan dengan
adanya mayat-mayat ini...,” desis Kenanga yang lang-
sung saja menghubungkan prajurit berkuda itu den-
gan mayat dua orang jagoan istana yang ada bersama
mereka.
Panji terdiam ketika mendengar kekhawatiran
kekasihnya. Untuk lari menghindar, tentu saja pemu-
da itu tidak sudi. Maka, kakinya segera melangkah beberapa tindak, dan berdiri di situ. Seolah-olah Pende-
kar Naga Putih hendak menanti kedatangan prajurit
kerajaan yang jumlahnya puluhan. Memang pemuda
itu berniat menceritakan seadanya.
“Hooop...!”
Seorang lelaki gagah bercambang bauk berpa-
kaian perwira, mengangkat tangan kanannya agar pa-
sukan di belakangnya berhenti. Lalu matanya menatap
ke arah pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpa-
kaian hijau yang membungkuk hormat kepadanya.
Baik Panji maupun Kenanga segera dapat mengenali
dengan baik, kalau perwira itu adalah orang yang me-
meriksa kedai tempat mereka menginap.
Perwira tinggi besar yang tak lain Kala Sungga itu
menatap tajam ke arah pasangan muda di depannya.
Ia yang mendapat perintah untuk segera menyusul Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru, segera saja membawa pa-
sukannya ke Pantai Utara Laut Pajang. Karena, Sena-
pati Gada Sura merasa khawatir kalau-kalau orang
yang dicarinya memiliki banyak pengikut. Untuk itulah
Kala Sungga sekarang berada di daerah Pantai Utara
ini.
“Hahhh!? Bukankah itu Barangga dan Ki Tumbal
Waru...!? Siapa yang telah melakukan kebiadaban
itu...?” kata Kala Sungga,
Laki-laki bercambang bauk itu terkejut bukan
main ketika melihat adanya dua sosok mayat di bela-
kang pasangan muda di depannya. Segera saja ia me-
lompat turun dari atas punggung kuda dengan wajah
setengah tak percaya.
Kala Sungga melangkah lebar agak terburu-buru.
Dengan gerakan kasar, didorongnya Panji dan Kenanga
yang untungnya segera menyingkir. Sehingga, mereka
tidak sampai terjajar.
“Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” teriak
Kala Sungga, kalap.
Kemudian perwira tinggi besar itu mengalihkan
pandangan ke arah pemuda berjubah putih dan gadis
jelita berpakaian hijau dengan sorot mengerikan!
“Kami menemukan kedua mayat itu di pantai, la-
lu membawa kemari untuk dimakamkan...,” jelas Pan-
ji, sedikit berbohong. Ia sengaja menjelaskan sebelum
ditanya perwira tinggi besar itu.
“Bangsat! Siapa yang telah membunuh mereka...?
Ayo, katakan padaku!” dengus Kala Sungga.
Mendengar keterangan Panji, prajurit itu semakin
bertambah murka. Bahkan tangannya terulur hendak
mencengkeram bahu Panji. Dan tentu saja Pendekar
Naga Putih tidak sudi diperlakukan demikian. Segera
saja tubuhnya bergeser mundur satu langkah ke bela-
kang. Sehingga, cengkeraman Kala Sungga hanya
mengenai angin.
“Hahhh!?”
Untuk ke sekian kalinya, Kala Sungga kembali
tertegun heran. Begitu sadar, kemarahannya pun men-
jadi berlipat-lipat. Karena perbuatan pemuda itu yang
menghindari cengkeramannya, dianggap sebagai sikap
membangkang.
“Kurang ajar! Rupanya kau memiliki sedikit ke-
pandaian, ya! Aku yakin, kalian berdua pasti tahu
orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap
dua orang jagoan istana itu! Kalian harus kami tang-
kap untuk diperiksa!” geram Kala Sungga dengan wa-
jah semakin gelap.
Kenanga yang memang tidak suka terhadap sikap
kasar perwira tinggi besar itu tentu saja menjadi ber-
tambah dongkol. Tanpa mengenal takut, gadis jelita itu
menudingkan jarinya ke wajah Kala Sungga.
“Dengar, Perwira Gila!” maki Kenanga tak kalah
marahnya. “Aku tidak suka dijadikan tawanan! Dan,
apa yang dikatakan kawanku ini memang benar. Kalau
tidak percaya, terserah! Tapi, ingat! Aku tidak suka di-
bentak-bentak seperti orang pesakitan!”
Panji yang tidak sempat mencegah kemarahan
dara jelita itu tentu saja cukup terkejut. Ucapan-
ucapan Kenanga jelas-jelas seperti tengah menumpah-
kan semua kejengkelan. Maka cepat-cepat dia maju
beberapa tindak untuk menjelaskan masalahnya.
“Hm.... Kau juga ingin memberontak rupanya,”
desis Kala Sungga sebelum Panji sempat mengucap
sepatah kata pun. “Tangkap kedua orang ini! Bunuh
kalau mereka melawan!”
Terdengar perintah perwira tinggi besar itu kepa-
da puluhan orang prajuritnya. Maka segera saja mere-
ka berlompatan turun dari atas punggung kuda dan
mengepung kedua orang muda itu.
‘Tunggu...!” cegah Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya mencoba meng-
hindari keributan dengan tentara kerajaan. Tapi, usa-
hanya sia-sia belaka. Ternyata pasukan prajurit itu te-
tap bergerak mengepung dan siap menangkap mereka.
***
DELAPAN
“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Prajurit Kerajaan Bantar Gebang yang berjumlah
kurang lebih sekitar enam puluh orang itu mengham-
bur maju ke arah Panji dan Kenanga. Tentu saja hal
itu membuat mereka harus cepat mengambil keputu-
san.
Begitu rombongan prajurit itu hampir mendekat,
Panji menahan kekasihnya yang hendak mencabut Pe-
dang Sinar Bulan. Kemudian ditariknya gadis jelita itu
ke samping. Dan bersamaan dengan itu, muncullah
lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kali ini, lapi-
san kabut itu tidak hanya menyelimuti sekujur tubuh
Panji saja, tapi juga tubuh Kenanga.
“Aaakh...!”
“Aaa...!”
Terdengar teriakan-teriakan ngeri saat prajurit-
prajurit itu menghantam senjatanya ke tubuh kedua
orang korbannya. Senjata mereka langsung berbalik.
Bahkan beberapa di antaranya langsung patah. Malah
tubuh para penyerang itu pun, terlempar bagaikan ter-
tolak balik oleh suatu tenaga yang tak tampak.
“Kakang, lebih baik kita tinggalkan saja tempat
ini...,” usul Kenanga.
Memang, gadis itu ingin berlalu dari kerumunan
prajurit-prajurit Ia takut, tidak bisa menahan dirinya,
dan melakukan perlawanan yang sudah pasti akan
menimbulkan korban di antara para prajurit.
“Baiklah...,” sahut Panji menyetujui usul keka-
sihnya.
Kemudian, pemuda itu mencari kepungan yang
lebih mudah untuk diterobosnya.
Namun rupanya Kala Sungga sempat memperha-
tikan tingkah laku pemuda berjubah putih itu yang
seperti hendak melarikan diri. Maka dengan empat
orang perwira lainnya, lelaki tinggi besar itu pun sege-
ra saja menerjang Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
“Yeaaat….!”
“Haaat...!”
Mendengar suara berdesingan yang lain dari de-
singan-desingan lainnya, Panji segera menoleh ke arah
asal suara. Tampak perwira tinggi besar dan empat
orang perwira lainnya tengah meluncur dengan senjata
masing-masing. Sadarlah Panji kalau perwira tinggi
besar itu sepertinya telah menduga maksudnya.
Wuettt... Trakkk!
“Uhhh...!”
Kala Sungga yang tiba lebih dulu daripada empat
orang kawannya, terkejut bukan main ketika pedang di
tangannya bagaikan membentur sebuah dinding baja
yang kokoh! Bahkan bukan hanya senjatanya saja
yang terpental balik. Tubuhnya pun sempat menggigil,
bagaikan orang terserang demam tinggi. Karena, hawa
dingin yang amat kuat menyelusup melalui pedangnya
dan terus merasuk ke dalam tubuh.
“Gila...?!” maki Kala Sungga yang hampir-hampir
tidak mempercayai apa yang dialaminya.
Seumur hidupnya, belum pernah ia mengalami
hal yang demikian mengejutkan. Jangankan melihat
serangan yang dapat membuat tubuhnya bagai orang
terserang malaria. Untuk melihat orang yang mampu
menahan hantaman senjatanya dengan tubuh telan-
jang pun, belum pernah ditemukannya. Tentu saja ke-
tika pemuda itu dapat menahan senjata tanpa tameng,
Kala Sungga mulai memperhitungkannya.
Bukan hanya Kala Sungga saja yang merasakan
hal serupa itu. Perwira lainnya pun sama-sama mera-
sakan. Mereka bahkan sampai terlempar, karena de-
mikian bernafsu menamatkan riwayat pemuda berju-
bah putih itu. Akibatnya, mereka menderita lebih pa-
rah ketimbang Kala Sungga.
“Aaah...?!”
Tiba-tiba saja Kala Sungga yang kembali bersiap
menyerang dan mencoba mencari kelemahan lawan,
terkejut ketika teringat sesuatu. Wajah lelaki tinggi be-
sar itu berubah hebat seketika. Sepasang matanya ter-
belalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong.
“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seru laki-laki
bercambang bauk itu.
Kala Sungga kini benar-benar teringat ciri-ciri
seorang pendekar muda yang bergaung santer di ka-
langan rimba persilatan. Sementara itu empat orang
kawan perwiranya, kini sama-sama membisikkan hal
yang serupa. Wajah-wajah mereka tampak dilanda ke-
tegangan dan kecemasan.
Sedangkan para prajurit bawahan mereka seper-
tinya tidak begitu tahu tentang kemunculan tokoh
muda yang sangat sakti itu. Hanya ada beberapa di an-
tara mereka yang sempat berbisik-bisik. Sepertinya, ju-
lukan itu pernah didengarnya meski samar-samar dan
hanya sekilas.
Bagi Panji maupun Kenanga, keadaan seperti itu
jelas merupakan peluang baik untuk melarikan diri.
Cepat mereka berkelebat selagi Kala Sungga dan pasu-
kannya tertegun bagaikan terkesima, ketika teringat
orang-orang yang tengah mereka keroyok tadi.
“Hei...? Ke mana perginya mereka...?” teriak Kala
Sungga, begitu sadar dari keterpakuannya.
Perwira bercambang bauk itu memang tidak me-
nemukan pasangan muda itu di depannya. Tentu saja
Kala Sungga tidak mungkin dapat menemukan mereka
lagi, karena pasangan pendekar itu telah pergi meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh yang telah menca-
pai tingkat tinggi.
Sadar kalau Pendekar Naga Putih dan gadis jelita
berpakaian hijau itu telah lenyap, Kala Sungga segera
saja mengajak pasukannya untuk kembali. Sepertinya,
lelaki tinggi besar itu ingin melaporkan keterlibatan
Pendekar Naga Putih dalam persoalan itu. Beberapa
saat kemudian, terlihatlah iring-iringan pasukan ber-
gerak kembali menuju kotaraja sambil membawa
mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru yang belum
sempat dikuburkan oleh Pendekar Naga Putih.
***
Saat itu malam sudah semakin larut. Sinar bulan
yang redup tidak mampu menerangi gelapnya suasana
malam itu. Namun, suasana seperti itu justru sangat
disukai sesosok tubuh tegap terbungkus jubah pan-
jang berwarna coklat tua. la terus bergerak gesit, me-
nyelinap ke dalam bangunan kediaman Senapati Gada
Sura.
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok
berjubah coklat itu melewati para penjaga di bawahnya
dengan selamat Menilik gerakannya yang lincah dan
sangat ringan, jelas kalau sosok tegap itu memiliki ke-
pandaian tinggi.
Ketika sosok ini tiba di bagian samping kanan
bangunan besar itu, tubuhnya meluruk turun tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian, dia me-
nyelinap masuk melalui pintu samping, dan terus ber-
gerak menerobos ruang tengah. Tanpa mengalami ke-
sulitan sedikit pun, sosok tegap itu pun tiba di tempat
yang ditujunya.
Sementara seorang lelaki berperawakan gemuk
yang tengah berada di ruang perpustakaan rumahnya,
sepertinya sama sekali tidak sadar kalau dirinya ten-
gah diintai. Lelaki itu terus saja membaca dengan te-
nang, tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Pada, saat itu orang yang mengintainya telah menyeli-
nap masuk.
“Hiaaat..! Mampus kau pengkhianat busuk, Gada
Sura...!”
Lelaki berperawakan gemuk yang ternyata Sena-
pati Gada Sura itu sama sekali tidak kelihatan terkejut
Jelas, sikap tidak tahunya tadi seperti memang disen-
gaja. Dan tampaknya, hal itu memang untuk memanc-
ing sosok tegap agar masuk ke dalam ruangan. Ter-
bukti, ketika pedang di tangan sosok berjubah coklat
tua itu membacoknya dari belakang, Senapati Gada
Sura lebih dahulu menghindar dengan lompatan pan-
jang ke samping.
Brakkk!
Meja dan kursi tempat semula senapati itu du-
duk kontan hancur berantakan, akibat hantaman ke-
ras dari sebilah pedang bersinar kebiruan yang digu-
nakan sosok berjubah coklat
Senapati Gada Sura memang bukan orang sem-
barangan. Begitu melompat menghindari sambaran
pedang yang sempat ditangkapnya tadi, lelaki gemuk
itu langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat
yang telak menghantam iga lelaki berjubah coklat tua
itu!
Bukkk!
“Aaakh...!”
Tanpa ampun lagi, tendangan yang cukup keras
langsung membuat sosok tegap itu terlempar keluar,
setelah menabrak daun jendela hingga hancur beran-
takan!
“Yeaaat..!”
Derrr...!
Senapati Gada Sura langsung mengejar lawannya
dengan jejakan keras. Dia semakin merasa geram ketika jejakan telapak kakinya ternyata tidak mengenai
sasaran, karena sosok itu telah lebih dahulu bergulin-
gan. Kemudian, sosok berpakaian coklat itu terus me-
lenting disertai lompatan panjang ke belakang, dan
siap melanjutkan perkelahian.
“Sudah kuduga, kau akan datang sendiri ke tem-
pat ini untuk mencariku, Pembunuh! Hm.... Sudah
empat orang pembantu-pembantuku yang kau bunuh
secara keji! Apa sebenarnya yang kau inginkan? Dan,
siapa yang kau cari...?!” kata Senapati Gada Sura da-
tar, dengan sikap merasa tinggi.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu mene-
liti sosok dan wajah lawannya. Namun, keningnya ber-
kerut ketika merasa tidak pernah mengenal sosok yang
ternyata seorang pemuda berambut panjang dan ber-
wajah buruk.
“Hm.... Gada Sura! Kaulah pengecut busuk,
pengkhianat yang tidak patut hidup! Kau kira kejadian
lima tahun yang lalu di Laut Pajang sudah berakhir
begitu saja?! Huh! Kau keliru, Gada Sura. Ayah-ibuku
memang tewas oleh kebusukan dan kelicikanmu beser-
ta kawan-kawanmu itu. Tapi, kau lupa. Saat terjatuh
ke dalam laut, aku sama sekali belum tewas. Sayang,
kau dan pembantu-pembantumu yang berhati busuk
itu tidak mengetahuinya. Sekarang, kau harus mene-
busnya seperti empat orang kawanmu itu...!” ancam
sosok tegap berjubah coklat yang tak lain dari Bhira-
wa.
Rupanya, pemuda itu masih tetap nekat menda-
tangi musuh-musuhnya yang masih hidup. Apalagi ka-
lau bukan untuk melampiaskan dendamnya?
“Kau... kau...,” Senapati Gada Sura tidak mampu
melanjutkan ucapannya, karena hatinya terlalu terke-
jut mendengar pengakuan pemuda itu.
“Benar! Akulah Bhirawa putra tunggal Senapati
Kalang Bawung, yang telah kau khianati itu! Rupanya,
diam-diam kau mengincar jabatan senapati dalam Ke-
rajaan Bantar Gebang ini. Kau manusia busuk yang ti-
dak pernah puas dengan apa yang didapatkan, Gada
Sura. Pangkat sebagai wakil senapati yang diberikan
ayah rupanya tidak membuatmu berterima kasih. Pa-
dahal, kalau tidak ayahku yang mengusulkannya ke-
pada Gusti Prabu, belum tentu kau bisa memegang ja-
batan itu! Tapi, ternyata kau tak lebih dari seekor ular
yang tega membunuh, meski orang itu adalah maji-
kanmu yang telah memberi kebaikan berlimpah-
limpah! Kau memang tidak pantas hidup, Gada Su-
ra...!” geram Bhirawa dengan sepasang mata menco-
rong kemerahan. Jelas, pemuda itu sangat menden-
dam terhadap Senapati Gada Sura yang menjadi mu-
suh utamanya.
Mendengar ucapan-ucapan itu, tentu saja Sena-
pati Gada Sura terkejut bukan main. Lelaki berpera-
wakan gemuk itu menoleh ke kiri-kanan, seolah-olah
takut ada yang mendengarnya. Setelah merasa tidak
ada yang ikut mendengarkan ucapan Bhirawa, terlihat
rona kelegaan pada wajah lelaki gemuk itu.
“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus, Bhira-
wa! Dengan demikian, rahasia ini tak akan terbongkar
selamanya...,” desis Gada Sura dengan senyum iblis.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu me-
nyambar sebatang tombak berujung golok yang me-
mang terpajang di rak senjata halaman samping ban-
gunan itu.
Wuuut! Wuuut...!
Dengan lihainya, Senapati Gada Sura memutar
tombak bermata golok di tangannya, hingga menim-
bulkan suara mengaung keras. Kemudian....
“Heaaat...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Senapati Gada Sura
melesat dengan tusukan tombak bergoloknya.
“Yiaaah...!”
Bhirawa tidak tinggal diam. Pemuda bertubuh
tinggi tegap itu berseru keras sambil memutar pedang
sinar kebiruan yang tergenggam di tangan kanannya.
Senjata itu mengaung tajam, menimbulkan angin
menderu. Gulungan sinar kebiruan pun terbentuk,
dan bergerak turun naik bagaikan naga raksasa yang
bermain-main di angkasa.
Bhirawa yang memang telah tahu kalau Senapati
Gada Sura bekas pembantu ayahnya itu memiliki ke-
pandaian tinggi, segera mengerahkan seluruh kemam-
puannya. Pedang di tangannya berkelebatan menyam-
bar-nyambar disertai kilatan cahaya kebiruan. Namun
sampai sejauh itu, tubuh lawan belum juga dapat dis-
entuh. Bahkan gempuran tombak bergolok di tangan
Senapati Gada Sura terlihat semakin bertambah cepat
dan mengejutkan! ,
Wuettt..!
“Aihhh...!?”
Bukan main terkejutnya Bhirawa ketika pada su-
atu kesempatan, tombak bergolok di tangan lawan ber-
gerak menusuk dengan kecepatan kilat. Untungnya, ia
masih sempat memiringkan kepala. Sehingga, lehernya
selamat dari golok yang berada di ujung tombak la-
wannya.
“Yeaaah...!”
Bhirawa yang selalu dapat memanfaatkan saat-
saat tak terduga, berteriak nyaring disertai lompatan
dan putaran tubuhnya ketika sabetan mendatar tom-
bak bergolok Senapati Gada Sura lewat sebatas ping-
gangnya. Dalam melompat ke atas sambil berputar itu,
pedang Bhirawa dikelebatkan untuk membabat dada
lawan dari udara!
Brettt!
Buggg!
“Aaark...!
Senapati Gada Sura menjerit kaget ketika pedang
lawan sempat menyerempet bahunya. Padahal, dia su-
dah berusaha menghindar! Namun dengan sigapnya,
lelaki gemuk itu memutar balik gagang tombak bergo-
loknya. Bahkan langsung menghajar punggung lawan!
Meski hajaran itu tidak terlalu keras, tapi Bhira-
wa cukup merasa nyeri pada punggungnya. Pemuda
keras hati yang tidak pernah menyerah itu kembali
mengibaskan pedang di tangannya dengan putaran in-
dah. Sepasang matanya tetap mencorong tajam menyi-
ratkan dendam kesumat.
“Yeaaat..!”
Kali ini, rupanya bukan Bhirawa yang lebih ber-
nafsu untuk melenyapkan lawannya. Tapi justru Se-
napati Gada Sura-lah yang terlihat lebih ingin mele-
nyapkan pemuda itu. Sepertinya, lelaki gemuk itu cu-
kup sadar kalau Bhirawa satu-satunya ancaman yang
bisa membuat jabatannya hilang. Itulah sebabnya,
mengapa Senapati Gada Sura sangat bernafsu sekali
untuk segera menghabisi nyawa Bhirawa.
Pertarungan pun terus berlanjut semakin seru.
Keduanya memang memiliki tingkat kepandaian ham-
pir berimbang, sehingga, pertarungan juga terlihat
agak seimbang.
Tapi suara teriakan-teriakan dan dentang senjata
yang memekakkan telinga, ternyata telah mengundang
seluruh penghuni bangunan besar itu. Terbukti, tidak
berapa lama kemudian terlihat cahaya obor yang ber-
gerombol diiringi suara riuh-rendah.
Bhirawa yang saat itu telah mampu mendesak
Senapati Gada Sura menjadi terkejut bukan main, be-
gitu tahu-tahu saja di sekeliling tempat itu telah dipe-
nuhi prajurit kerajaan yang lengkap dengan senjata di
tangan. Bahkan di satu sudut, juga terlihat Jata Sura
dan Kala Sungga. Hanya Winarsih, putri Senapati Ga-
da Sura yang tidak terlihat di tempat itu.
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tem-
pat itu, Bhirawa teringat pesan terakhir gurunya. Ce-
pat dirabanya suatu benda yang tersembunyi di balik
sabuknya. Selama ini ia memang tidak pernah meng-
gunakan, karena gurunya yang berjuluk Hantu Laut
Pajang telah berpesan sebelum kematiannya. Senjata
maut itu hanya boleh digunakan bila pada saat yang
amat genting.
Kini setelah tidak ada lagi kesempatan untuk lo-
los, Bhirawa pun segera teringat pesan mendiang gu-
runya itu. Namun sayang, ia tidak sempat mengguna-
kannya. Karena saat itu, Senapati Gada Sura telah
memerintahkan putra dan pengawal-pengawalnya un-
tuk mengeroyok Bhirawa. Memang lelaki gemuk itu
sendiri terlihat mulai kepayahan. Hal itu karena lelaki
gemuk itu tidak pernah memperhatikan ilmu silatnya.
Selama ini, ia hanya kesenangan, sehingga lupa akan
pentingnya ilmu silat bagi orang berpangkat seperti di-
rinya.
Keroyokan itu tentu saja membuat Bhirawa ter-
desak hebat. Belum lagi, para prajurit yang telah siap
dengan senjata di tangan. Maka semakin sulitlah bagi
pemuda itu untuk selamat!
“Yiaaat..!”
Bukkk!
Desss...!
“Aaakh...!”
Sebuah tendangan Jata Sura dan hantaman telak
Kala Sungga, membuat tubuh pemuda itu terjengkang
memuntahkan darah segar. Belum lagi Bhirawa sem-
pat bangkit, Senapati Gada Sura telah datang dengan
ayunan tombak bergoloknya!
Wuuut!
Tombak bermata sebuah golok besar itu men-
gaung tajam, siap merencah tubuh Bhirawa. Karena
masih merasakan luka pada tubuhnya, pemuda itu ti-
dak lagi bisa menghindari tebasan golok besar yang di-
luncurkan Senapati Gada Sura.
Namun pada saat yang sangat gawat bagi kese-
lamatan nyawa Bhirawa, tiba-tiba melesat sesosok
bayangan putih yang langsung menggagalkan tebasan
tombak bergolok Senapati Gada Sura.
Plakkk!
“Aaakh...!”
Hantaman telapak tangan sosok bayangan putih
itu memang sangat hebat! Terbukti, tubuh Senapati
Gada Sura terdorong, dan hampir terjungkal jatuh ke
belakang! Wajah lelaki gemuk itu tampak menyeringai
menahan sakit.
Bhirawa yang sempat menyaksikan kejadian itu
tentu saja tidak ingin menyia-nyiakannya. Cepat bagai
kilat tubuh, pemuda itu melesat dengan tusukan pe-
dangnya ke tubuh Senapati Gada Sura!
Bresss...!
“Aaa...!”
Senapati Gada Sura meraung tinggi! Darah segar
mengalir membasahi pedang dan tanah di bawahnya,
begitu pedang Bhirawa yang tepat menembus jantung-
nya dicabut pemiliknya. Lelaki gemuk itu memang ti-
dak sempat lagi menghindar. Karena saat itu, ia belum
lagi terbebas dari pengaruh tangkisan sosok berjubah
putih yang menyelamatkan Bhirawa dari kematian.
Sedangkan sosok berjubah putih itu tidak sempat
mencegahnya, karena pada saat itu tengah memperha-
tikan seorang perwira tinggi besar dan pemuda tampan
tinggi kurus yang menerjangnya dari dua arah.
“Bhirawa...?!” seru sosok berjubah putih itu.
Pemuda berjubah putih itu benar-benar terkejut
ketika menoleh ke arah Bhirawa. Rupanya pemuda
berwajah buruk itu tidak puas dengan tindakannya.
Dia kini tengah memenggal kepala Senapati Gada Su-
ra! Maka, cepat bagai kilat sosok berjubah putih itu
segera melesat ke arah Bhirawa. Maksudnya, untuk
membawa keluar pemuda itu dari kepungan prajurit
Kerajaan Bantar Gebang.
Tapi, Kala Sungga dan Jata Sura tidak sudi
membiarkan kedua orang itu meloloskan diri begitu sa-
ja. Mereka segera saja bergerak menyerbu sambil ber-
teriak memerintah pasukannya untuk merapatkan ke-
pungan.
Bhirawa yang masih mendendam terhadap Jata
Sura, segera saja berbalik dengan pedang di tangan.
Kemudian, diterjangnya Jata Sura dengan putaran pe-
dang yang menimbulkan deru angin berkesiutan.
“Bhirawa, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak,
kau akan ditangkap pihak kerajaan karena telah
membunuh salah seorang pejabat penting...,” bisik so-
sok berjubah putih itu, yang segera menyambar tangan
Bhirawa. Kemudian, Bhirawa dibawanya pergi mening-
galkan kediaman Senapati Gada Sura.
‘Tangkap...! Cegah mereka...!” Kala Sungga berte-
riak-teriak sambil berusaha mengejar sosok berjubah
putih yang membawa lari Bhirawa.
Tapi, sepertinya pemuda berwajah buruk itu pun
tidak memberontak. Karena, ia cukup merasa puas telah melepaskan dendam keluarga dengan tewasnya
Senapati Gada Sura. Sehingga saat sosok berjubah pu-
tih itu membawanya lari, Bhirawa tidak membantah.
Dan karena sosok berjubah putih menggunakan ilmu
meringankan tubuh sepenuhnya, maka cepat sekali
tubuhnya menghilang bersama Bhirawa.
Jata Sura, Kala Sungga, dan pasukannya terpak-
sa menghentikan pengejaran ketika bayangan kedua
orang itu sudah tidak terlihat lagi. Baik Bhirawa mau-
pun sosok berjubah putih itu bagai lenyap ditelan bu-
mi. Apalagi, suasana benar-benar gelap. Gagalnya pen-
gejaran itu membuat mereka kembali, karena harus
mengurus mayat Senapati Gada Sura.
Sementara itu, Bhirawa dan sosok berjubah putih
yang tak lain dari Pendekar Naga Putih terus berlari
menembus kegelapan malam yang semakin melarut.
“Ehhh...?!”
Bhirawa yang berlari di sebelah Panji, tertegun
ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri
menghadang jalan mereka. Karena keadaan cukup ge-
lap, baik Panji maupun Bhirawa tidak mengenali sosok
yang berdiri menghadang jalan itu.
“Winarsih...!? Sedang apa kau di sini...?” kata
Bhirawa begitu sudah memperhatikan sosok itu.
Ternyata, sosok itu memang putri bungsu Sena-
pati Gada Sura. Melihat hal itu Bhirawa sedikit tegang.
Ia menduga, kemunculan gadis itu pasti ada hubun-
gannya dengan kematian orang tuanya.
“Bhirawa.... Aku telah tahu semua tentang per-
soalan di antara keluarga kita. Tadi aku telah menden-
gar pembicaraanmu dengan ayahku. Dan kenyataan
itu membuat aku merasa malu. Karena, ayahku ter-
nyata seorang berhati kejam. Dia begitu tega
mengkhianati orang yang telah begitu menaruh keper
cayaan kepadanya. Ketika mendengar keributan terjadi
di antara kalian, aku segera meninggalkan gedung
tanpa tahu harus berbuat apa-apa...,” jelas Winarsih
dengan air mata membasahi wajahnya.
“Lalu, mengapa kau menghadang kami...? Apa-
kah kau pun ingin membalas dendam atas kematian
ayahmu itu...?” tanya Bhirawa sambil menatap gadis
cantik itu dengan sikap curiga.
Sedangkan Pendekar Naga Putih hanya berdiri di
samping pemuda itu sambil menatap wajah gadis ber-
nama Winarsih penuh selidik.
“Jadi, kau sudah berhasil membunuh ayahku...?”
desis gadis cantik itu dengan bibir bergetar.
Air mata Winarsih terlihat semakin banyak ber-
gulir membasahi pipinya. Jelas sekali kalau dia begitu
sedih mendengar kematian ayahnya. Sepasang mata
indah yang basah itu menatap, tepat ke bola mata Bhi-
rawa. Sehingga, pemuda itu terlihat agak bingung di-
buatnya.
“Apakah kau pun akan membunuh Kakang Jata
Sura dan aku...? Bukankah aku juga keturunan ma-
nusia jahat...?” kata Winarsih tanpa melepaskan pan-
dangan matanya dari wajah Bhirawa.
“Tidak. Aku sudah cukup puas dengan kematian
Senapati Gada Sura, orang tuamu itu. Tapi aku pun
tidak akan lari dari tanggung jawab, apabila kau ber-
niat membalas kematian ayahmu...,” sahut Bhirawa,
siap menghadapi gadis cantik itu.
“Bagus. Kalau begitu, biarlah aku merelakan ke-
matian ayahku. Kurasa itu cukup adil, bukan...?” kata
Winarsih. Sepertinya, Winarsih agak heran mendengar
jawaban Bhirawa yang ternyata tidak mendendam ke-
pada Jata Sura maupun dirinya. Wajah berduka itu
terlihat agak berseri sekejap.
“Aku pun tidak bermaksud melanjutkan dendam
yang memusingkan ini. Kalau begitu, aku pergi.... Se-
lamat tinggal, Winarsih. Berilah pengertian kepada ka-
kakmu...,” ucap Bhirawa yang segera meninggalkan
tempat itu diiringi Pendekar Naga Putih.
“Selamat jalan, Bhirawa. Aku akan berusaha
memberi pengertian kepada Kakang Jata Sura agar
melupakan dendam atas kematian ayah...,” sahut Wi-
narsih sambil melambaikan tangannya ke arah Bhira-
wa dan Panji.
Gadis itu masih tetap terpaku di tempatnya, se-
belum bayangan kedua orang itu lenyap dari pandan-
gan. Sedangkan Panji dan Bhirawa terus berlari menu-
ju rumah penginapan, tempat Kenanga menunggu di
sana. Pemuda berjubah putih itu memang sengaja ti-
dak mengajak kekasihnya, ketika berniat menyelidiki
tempat kediaman Senapati Gada Sura.
Dan Kenanga memang telah menanti mereka di
taman belakang rumah penginapan itu. Kemudian,
mereka bergerak meninggalkan Kotaraja Bantar Ge-
bang.
“Kita harus cepat pergi meninggalkan negeri ini.
Apalagi, kau sekarang telah membunuh seorang sena-
pati kerajaan. Rasanya, tidak ada tempat lagi bagimu
untuk tinggal di Kerajaan Bantar Gebang. Bahkan
Pantai Utara Laut Pajang pun tidak bisa lagi ditinggali.
Siapa tahu, pihak kerajaan akan mengobrak-abrik
tempat itu...,” kata Panji, saat mereka baru saja mele-
wati tembok kotaraja.
‘Yaaah.... Aku pun memang tidak berniat mene-
tap di Kerajaan Bantar Gebang. Aku ingin mengemba-
ra, meluaskan pengetahuan. Selamat berpisah, Pende-
kar Naga Putih...,” pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera memisahkan diri dari Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Tampak Bhirawa melam-
baikan tangannya sebelum bergerak menuju ke Timur.
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya hanya bisa
membalas lambaian tangan pemuda itu, karena me-
mang hendak menuju ke Barat. Memang mereka tidak
setujuan, sehingga harus berpisah di sini.
“Sudah kuduga, dia pasti mempunyai alasan
kuat atas semua perbuatannya...,” desah Kenanga saat
mereka melangkah bersamaan. Panji hanya tersenyum
sambil melingkarkan tangannya memeluk gadis jelita itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar