..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE HANTU LAUT PAJANG

matjenuh

 

HANTU LAUT 
PAJANG
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis 
dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Hantu Laut Pajang
126 Hal ; 12 x 18 cm

SATU

Hembusan angin di tepian pantai sebelah Utara 
Laut Panjang terasa agak keras menerpa kulit. Sesosok 
tubuh tinggi tegap tampak tengah berdiri kokoh pada 
bagian tebing karang pantai yang tidak begitu tinggi. 
Tubuh kekar itu tak ubahnya batu karang yang tidak 
pernah goyah oleh hantaman ombak. Rambutnya yang 
panjang dan tebal dibiarkan tergerai, dipermainkan ti-
upan angin.
Sosok itu terus menatap luas Lautan Pajang, 
tanpa mempedulikan percikan ombak di bawahnya 
yang sesekali membasahi pakaiannya. Tatapan ma-
tanya yang tajam, tertuju lurus bagaikan tengah meni-
lai luasnya lautan itu. Bahkan keindahan sinar mata-
hari pagi yang jatuh menimpa air laut pun, juga tidak 
menarik perhatiannya. Sosok tubuh lelaki kekar itu 
sama sekali tidak bergerak meski cahaya matahari su-
dah merambat naik. Tubuhnya tetap tegak, seolah-
olah ia bagai sebuah patung batu karang yang menjadi 
bagian pantai itu.
“Hhhh....”
Terdengar helaan napas panjang dan berulang-
ulang dari mulut dan hidung sosok tubuh tegap itu. 
Sepasang tangannya yang semula terlipat di depan da-
da, kini tersangga di kedua pinggangnya. Entah apa, 
yang membuat sosok lelaki tegap itu demikian terha-
nyut alam pikirannya yang bagai tak berkesudahan 
itu.
Setelah beberapa saat lamanya bersikap begitu, 
mendadak saja sosok tegap itu menengadahkan wa-
jahnya, disertai tarikan napas berat. Dipandanginya 
langit kebiruan yang nampak cerah di pagi ini. Cukup

lama hal itu dilakukan, seolah-olah pada awan itu ada 
sesuatu yang menarik hatinya.
“Bhirawa, bukan aku tidak menyetujui tekadmu 
itu. Tapi, perlu kau ingat. Istana Kerajaan Bantar Ge-
bang merupakan tempat berkumpulnya jago-jago dari 
segala penjuru rimba persilatan yang datang untuk 
mengabdikan diri pada negeri ini. Tidak banyak yang 
dapat kulakukan selain menasihati mu agar tidak ce-
roboh dalam mengambil tindakan. Salah-salah, dirimu 
sendirilah yang akan celaka. Meski semua ilmuku te-
lah dapat kau serap secara sempurna, tapi semua itu 
bukan jaminan kalau usahamu akan berhasil. Seka-
rang lagi, berhati-hatilah....”
Pesan gurunya kembali mendengung memenuhi 
benak Bhirawa. Semua pesan itu disampaikan gu-
runya sehari sebelum ia meninggalkan tempat kedia-
mannya selama menuntut ilmu olah kanuragan.
“Hhhh....”
Sosok lelaki tegap yang ternyata bernama Bhira-
wa itu kembali menghela napasnya.
“Guru..., percayalah. Aku akan selalu berhati-
hati dalam mengarungi kehidupan ini. Terlebih lagi, 
dalam menghadapi musuh-musuhku. Meskipun kau 
tidak menyertaiku, namun bekal yang telah kau beri-
kan merupakan budi baik yang tidak mungkin dapat 
kulupakan begitu saja. Aku pamit, Guru...,” desah Bhi-
rawa, mantap.
Setelah membungkukkan tubuhnya sebanyak ti-
ga kali ke arah laut, lelaki tinggi tegap itu pun men-
gayun langkahnya meninggalkan Pesisir Pantai Laut 
Pajang.
***
Sosok lelaki tegap berambut panjang terurai itu

melangkah lambat memasuki pintu gerbang Kota Kera-
jaan Bantar Gebang. Sebuah caping bambu lebar tam-
pak menutupi wajahnya, sehingga terlindung dari te-
riknya cahaya matahari.
Keramaian Ibu Kota Kerajaan Bantar Gebang sa-
ma sekali tidak mengusik ketenangan langkahnya. Ka-
kinya terus terayun tanpa memperhatikan orang-orang 
yang lalu-lalang di sekelilingnya. Ia baru berhenti keti-
ka tiba di sebuah bangunan megah milik salah seorang 
pejabat kerajaan. Sepasang matanya yang terlindung 
di balik caping bambu menatap tajam sekeliling ban-
gunan megah itu.
Sikap sosok pemuda tegap itu tentu saja mem-
buat dua orang prajurit penjaga pintu gerbang menjadi
curiga. Keduanya meneliti mengawasi sosok tegap yang 
wajahnya terlindung caping. Karena cukup lama pe-
muda itu tidak juga beranjak, salah seorang prajurit 
segera menghampirinya
Dengan langkah yang dibuat berkesan seram, 
prajurit muda bertubuh gemuk itu menghampiri pe-
muda bercaping. Tangan kanannya meremas-remas 
sebatang tombak, seolah-olah hendak menakuti pe-
muda bercaping dengan senjatanya.
“Kisanak, ada yang bisa kubantu...?” tegur praju-
rit muda itu sambil mencoba menegasi wajah yang ter-
lindung caping bambu. Namun karena pemuda itu te-
lah menundukkan wajahnya, maka ia tidak berhasil 
menegasi.
“Ah! Tidak, Tuan. Aku hanya merasa kagum den-
gan bangunan yang demikian indah ini. Kalau boleh 
tahu, siapakah yang menghuni bangunan besar ini, 
Tuan...?” pemuda bercaping ini mengangguk sopan, 
sebelum menyahuti.
“Hm.... Kau tentu bukan penduduk kota ini, dari
mana asalmu? Dan, apa tujuanmu datang ke kota 
ini...?” prajurit muda itu malah balik bertanya. Sikap-
nya jelas menandakan kalau pemuda bercaping itu di-
curigainya.
“Benar, Tuan. Aku hanyalah orang dusun yang 
kebetulan singgah di kota besar ini. Desa ku tengah di-
landa kemarau yang sangat panjang. Sehingga, para 
penduduknya banyak yang pergi mencari kehidupan
yang lebih baik. Aku pun tidak berbeda dengan mere-
ka, sehingga langkahku tiba di kota ini. Terus terang di 
desa ku tidak ada bangunan yang sebesar dan seindah 
ini. Makanya aku jadi tertarik dan merasa kagum. 
Penghuni bangunan besar ini pastilah seorang pejabat 
kerajaan...,” puji pemuda tegap bercaping itu, seolah-
olah hendak mengulangi pertanyaannya dalam bentuk 
kalimat lain. Sehingga, prajurit muda itu teringat kem-
bali akan pertanyaan yang tadi belum dijawabnya.
“Benar! Bangunan besar ini adalah tempat ke-
diaman seorang pejabat tinggi Kerajaan Bantar Ge-
bang. Tapi, beliau jarang sekali menempatinya. Seba-
gai seorang senapati, tentu saja beliau lebih banyak 
tinggal di istana. Sedangkan bangunan ini digunakan 
hanya sebagai tempat istirahat, apabila Senapati Gada 
Sura sedang tidak bertugas,” jelas prajurit muda itu, 
penuh kebanggaan.
“Senapati Gada Sura...?” gumam pemuda bercap-
ing ini, seolah-olah tidak begitu yakin terhadap penje-
lasan prajurit muda itu.
“Benar. Jabatan itu baru tiga tahun dipegangnya. 
Mengapa kau kelihatan heran, Kisanak? Apakah penje-
lasanku salah...?” tanya prajurit muda itu ragu. Keli-
hatannya pemuda bercaping itu seperti tidak begitu 
percaya dengan keterangannya.
“Ah, tidak. Keterangan Tuan sangat jelas. Aku

sangat berterima kasih atas keteranganmu. Karena 
dengan begitu, aku bisa menceritakannya kepada te-
man-teman di desa nanti. Maaf. Aku permisi, Tuan...,” 
pamit pemuda bercaping itu yang segera membungkuk 
hormat Kemudian, dia berlalu meninggalkan bangunan 
besar itu.
”Ya..., ya...,” sahut prajurit muda itu mengang-
guk-anggukkan kepala.
Tampaknya prajurit itu tak mengerti melihat si-
kap pemuda bercaping yang dianggapnya cukup aneh. 
Begitu nama Senapati Gada Sura disebutnya, dia se-
perti terkejut. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, 
prajurit muda itu kembali ke pos jaganya. “
Sementara itu si pemuda bercaping terus me-
langkah dengan kepala tertunduk. Sepertinya, ia ma-
sih memikirkan keterangan yang baru didapatnya dari 
prajurit muda penjaga pintu gerbang tadi.
“Hei, minggir...! Minggir...!”
Tiba-tiba terdengar teriakan berulang-ulang yang 
membuat pemuda bercaping itu tersentak kaget dari 
lamunannya. Serentak kepalanya terangkat dan me-
mandang ke depan melalui tepi caping bambunya. Bu-
kan main terkejut hatinya ketika di depannya dalam 
jarak kurang dari dua tombak, tampak tiga ekor kuda 
tengah berlari kencang!
“Minggir kau, Gelandangan Busuk...!” maki seo-
rang penunggang kuda yang terdepan.
Sambil berkata demikian, cambuknya dilecutkan 
ke tubuh pemuda bercaping itu ketika lewat di sam-
pingnya. Sepertinya, ia merasa jengkel melihat pemuda 
itu seperti enggan menyingkir!
Jtarrr...!
Tali cambuk kuda itu meledak ketika mengenai 
punggung si pemuda bercaping. Namun, yang terjadi

selanjutnya membuat penunggang kuda itu menjadi 
marah. Ternyata cambuk yang digunakan untuk men-
dera pemuda bercaping itu terlihat pecah bagian 
ujungnya. Bahkan wajah penunggang kuda yang kira-
kira berusia sekitar dua puluh tahun tampak meringis 
seperti merasakan nyeri pada telapak tangannya.
“Bedebah...!” maki pemuda tampan berpakaian 
mewah yang menunggang kuda berbulu hitam.
Seketika, pemuda itu menarik tali kekangnya, 
sehingga binatang tunggangannya berhenti dan me-
ringkik keras. Kemudian bergegas memutar kudanya 
berbalik.
Dua orang penunggang kuda lain yang berada di 
sekitar satu tombak di belakang pemuda tampan itu, 
segera saja ikut menarik tali kekang kudanya. Kemu-
dian, binatang tunggangannya ikut pula diputar balik 
menyertai pemuda tampan itu.
Sedangkan si pemuda bercaping yang sempat ter-
jatuh akibat serangan yang mendadak tadi, telah 
bangkit sambil membersihkan debu-debu yang melekat 
di jubah coklatnya. Caping yang dikenakannya tetap 
bertengger di atas kepala, untuk menyembunyikan wa-
jahnya.
“Hei, Orang Buta! Apa kau juga tuli, hingga tidak 
mau menyingkir ke tepi? Atau sengaja hendak mema-
merkan kepandaianmu di kota ini...?” maki pemuda 
tampan yang menunggang kuda hitam itu kalang ka-
but Seolah-olah, kejadian tadi bukan merupakan kesa-
lahannya. Jelas hal itu menandakan kesombongan dan 
sikapnya yang semena-mena.
“Maaf..., maaf. Aku benar-benar tidak sempat 
menyingkir, karena kuda Tuan begitu cepat berlari. 
Aku mohon maaf...,” ucap pemuda tegap bercaping itu 
sambil membungkuk-bungkuk.

Dari pakaian serta sikapnya, pemuda bercaping 
itu dapat menduga kalau orang yang membentaknya 
pastilah putra seorang pembesar atau juragan kaya-
raya. Dan karena tidak ingin mencari persoalan, maka 
pemuda bercaping itu terpaksa mengalah.
“Hm.... Begitu caramu meminta maaf kepadaku?! 
Apakah kau tidak kenal siapa aku?! Lepas capingmu, 
dan menyembah sambil mengucapkan permintaan 
ampun. Dan bukan maaf...!” bentak pemuda berpa-
kaian mewah itu.
Pemuda tampan yang sombong itu sepertinya ti-
dak puas atas sikap lelaki tegap berjubah coklat itu. 
Permintaannya benar-benar keterlaluan!
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda bercaping 
itu terdiam. Seolah-olah dia merasa keberatan atas 
permintaan pemuda tampan yang sombong itu. Tentu 
saja sikapnya semakin membuat marah pemuda kaya-
raya penunggang kuda hitam itu.
“Bangsat! Kau berani membantah perintahku...?! 
Kau memang patut dihajar!”
Sambil membentak marah, pemuda tampan itu 
kembali melecutkan tali kekang kudanya ke tubuh 
pemuda bercaping bambu.
Wuuut...!
Kali ini pemuda tegap bercaping itu rupanya ti-
dak sudi menerima perlakuan kejam itu begitu saja. 
Seketika tangan kanannya terulur, dan langsung me-
nangkap ujung pecut yang siap menyengat tubuhnya.
Tappp...!
“Setan...! Kau ingin melawanku...!” rutuk pemuda 
tampan itu.
Bukan main murkanya pemuda tampan yang 
sombong itu. Dengan wajah kemerahan karena hawa 
marah telah naik ke kepalanya, segera saja tali pecut
itu dibetot dengan pengerahan tenaganya! Karuan saja 
tali pecut itu menegang, karena pemuda bercaping itu 
tidak mau melepaskannya! Sehingga, terjadilah adu ta-
rik-menarik beberapa saat lamanya!
“Bedebah...!”
Untuk kesekian kalinya lelaki muda berwajah 
tampan itu kembali melontarkan makian. Kemudian 
kekuatannya untuk menarik tali kekang itu di tam-
bahnya. Akibatnya....
“Aaah...!”
Karena terlalu bernafsu untuk memenangkan 
adu tarik-menarik itu, maka tanpa dapat dicegah lagi 
tubuh pemuda tampan itu langsung terjatuh dari atas 
punggung kuda! Apalagi, pemuda bercaping itu telah 
melepaskan pegangannya pada ujung tali.
Bruggg...!
Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda tampan itu 
langsung terbanting di tanah! Tentu saja peristiwa lucu 
itu membuat orang-orang yang menyaksikannya terta-
wa geli, tanpa dapat ditahan lagi.
“Tuan Muda Jata Sura...!?”
Dua orang penunggang kuda lain yang sepertinya 
merupakan pengawal pemuda tampan itu, segera saja 
melompat turun dari atas punggung kuda. Bergegas 
mereka menolong pemuda itu bangkit.
“Huh! Benar-benar kurang ajar sekali orang 
itu...!” mulut pemuda tampan itu kembali mengomel 
panjang-pendek.
Ia bangkit berdiri sambil mengebut-ngebutkan 
debu yang mengotori pakaian indahnya. Kemudian, 
wajahnya berpaling menatapi orang-orang yang berada 
di sekelilingnya. Karuan saja orang-orang itu segera 
beranjak pergi, melihat sinar mata penuh ancaman da-
ri pemuda tampan itu.
“Hei, tunggu...!” cegah pemuda tampan bernama 
Jata Sura, keras.
Rupanya dia melihat pemuda bercaping tadi hen-
dak meninggalkan tempat itu. Kemudian, kedua ka-
kinya segera saja menjejak tanah! Seketika itu juga, 
tubuh pemuda tampan itu melambung, dan berputar 
melewati kepala si pemuda bercamping. Dan kini ka-
kinya mendarat di depan pemuda itu.
“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja...,” ucap 
pemuda bercaping itu sambil membungkukkan tubuh-
nya. Rupanya, ia tidak ingin memperpanjang persoalan 
ini.
‘Tidak semudah itu, Gelandangan Busuk! Kau 
sudah berani menghina putra Senapati Gada Sura. 
Untuk itu, kau harus dihukum cambuk sebanyak se-
ratus kali!” ancam Jata Sura dengan wajah merah pa-
dam.
Jelas sekali kalau ia sangat mendendam terhadap 
pemuda bertubuh tegap itu.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya me-
natap tajam seperti hendak menilai pemuda bercaping 
itu.
‘Tuan..., peristiwa tadi merupakan musibah kecil 
yang rasanya tidak perlu diperpanjang. Kalaupun Tuan 
menganggapku telah bersalah, rasanya ucapan maafku 
telah cukup sebagai hukumannya. Lalu, mengapa 
Tuan harus memberi hukuman sekejam itu kepada ra-
kyat yang lemah seperti aku? Apalagi, Tuan adalah pu-
tra seorang pembesar kerajaan yang semestinya bisa 
jadi contoh bagi rakyat...”
Dengan panjang-lebar pemuda bercaping itu 
memberi pengertian kepada Jata Sura. Ucapannya kali 
ini bukan lagi menandakan kalau ia adalah seorang
gelandangan bodoh. Dari kata-katanya yang tersusun
rapi, menandakan kalau pemuda bercaping itu meru-
pakan seorang yang terpelajar.
“Enak saja bicara, Gembel! Sadarkah kalau kau 
telah menghinaku di depan umum?! Dan itu tidak bisa 
dibayar hanya dengan ucapan maafmu! Mau atau ti-
dak, kau harus menerima hukuman cambuk seratus 
kali!” Jata Sura tetap berkeras dengan keinginannya. 
Kemudian, ia menoleh kepada dua orang pengawalnya, 
“Cambuk gelandangan ini sampai dia menjerit-jerit 
minta ampun!”
Pemuda bercaping itu terdiam sejenak. Sadar ka-
lau perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi, maka ia 
segera melangkah mundur siap menghadapi segala 
kemungkinan. Tampak pemuda itu menarik napas pe-
nuh sesal. Seolah-olah kejadian itu membuatnya ter-
pukul dan sangat kecewa.
“Yeaaah...!”
Jtarrr...! Ctarrr...!
Terdengar lecutan cambuk yang meledak-ledak 
memekakkan telinga. Menilik dari ledakan yang keras 
itu, kelihatannya si pemegang cambuk memiliki tenaga 
dalam yang sangat kuat!
Karena tidak rela tubuhnya dijadikan umpan 
cambuk, pemuda bercaping itu segera saja berlompa-
tan mengelak. Sehingga, ujung cambuk yang melecut 
dan mematuk-matuk itu hanya mengenai tempat ko-
song. Karena, sasarannya telah menghindari sebelum 
ujung cambuk itu menyentuhnya.
“Danta, bantu dia...!” perintah Jata Sura.
Rupanya, pemuda tampan itu merasa penasaran 
melihat pembantunya tidak juga berhasil menghajar 
pemuda bercaping. Maka segera saja dia memerintah 
lelaki bertubuh gempal yang berwajah kasar. Yang di-
panggil Danta. Tanpa diperintah dua kali, Danta segera
saja maju ke tengah arena.
“Yeaaat..!”
Danta rupanya bukan hanya sekadar membantu 
saja. Lelaki bertubuh gempal dan berwajah kasar itu 
menerjang pemuda bercaping dengan serangan puku-
lan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin men-
deru tajam. Tentu saja serangan itu bukan lagi meru-
pakan hukuman, tapi lebih tepat seperti hendak mem-
bunuh si pemuda bercaping.
Tentu saja serangan-serangan Danta yang ganas 
dan berbahaya tidak bisa dihindari terus-menerus oleh 
pemuda bercaping itu, dia terpaksa melontarkan se-
rangan balasan sesekali, untuk mencegah agar tidak 
terlalu terdesak.
Malangnya, perlawanan pemuda itu malah sema-
kin menyulitkan dirinya. Jata Sura yang mulai terbuka 
matanya setelah melihat kepandaian pemuda itu tentu 
saja semakin bertambah geram. Segera saja dia berte-
riak memanggil empat orang prajurit kerajaan yang 
kebetulan lewat tidak jauh dari arena perkelahian.
“Hei, Prajurit...! Cepat kalian kemari...!” panggil 
Jata Sura mengulapkan tangannya memanggil keem-
pat orang prajurit itu.
Begitu mengenali kalau yang memanggil adalah 
putra seorang pembesar yang sangat dihormati, lang-
sung saja empat orang prajurit itu bergegas mengham-
piri.
“Ada apa, Tuan Muda...?” tanya salah seorang 
dari keempat prajurit itu sambil membungkuk hormat. 
Sedangkan ketiga kawannya tampak memandang per-
kelahian itu dengan kening berkerut.
“Kalian tangkap pengacau yang hendak membe-
rontak itu. Cepat!” perintah Jata Sura yang langsung 
saja melontarkan tuduhan berat bagi pemuda bercaping bambu itu.
Benar-benar licik dan keji sekali pemuda tampan 
putra Senapati Gada Sura itu. Kesalahan yang kecil 
saja, bisa membuatnya tega mencelakakan orang yang 
sebenarnya tidak bersalah!
***
DUA


Terjunnya empat orang berseragam prajurit kera-
jaan, tentu saja membuat si pemuda bercaping menja-
di terkejut. Apabila nekat melanjutkan perkelahian, bi-
sa-bisa ia ditangkap. Bahkan dituduh sebagai pembe-
rontak. Maka, begitu melihat keempat orang prajurit 
mulai ikut menyerang, pemuda yang sebenarnya ada-
lah Bhirawa itu melesat ke kanan. Dia terus melarikan 
diri dari arena pertempuran.
Memang kalau didekati, pemuda bertubuh tegap 
dan memiliki hidung besar, dan mempunyai tanda ke-
hitaman seperti bekas penyakit kulit pada bagian ba-
wah matanya. Ciri-ciri itu memang membuktikan ka-
lau dia adalah Bhirawa.
“Setan pemberontak! Mau lari ke mana kau...!” 
bentak Jata Sura.
Rupanya, dia tidak rela melepaskan pemuda ber-
caping bambu itu. Maka, segera saja Jata Sura melesat 
dan langsung melontarkan serangan maut ke arah la-
wannya.
Bettt...!
“Haiiit...!”
Bacokan sisi telapak tangan Jata Sura yang mengancam batang leher Bhirawa dapat dielakkan dengan 
melenting ke udara, dan terus kabur! Tapi Danta dan 
Barna Pati, dua orang pengawal Jata Sura, tidak ting-
gal diam. Kedua lelaki gagah itu melesat mengejar. 
Langsung mereka menghadang jalan keluar pemuda 
bercaping itu.
“Hm..” Apa kau pikir setelah menghina tuan mu-
da kami, lalu dapat lolos begitu saja? Kau keliru pe-
muda pemberontak! Lebih baik menyerah saja dan te-
rima hukumanmu...,” dengus Danta yang kini telah 
meloloskan senjatanya.
Sedangkan Barna Pati memutar-mutar cambuk-
nya di atas kepala. Jelas, mereka tidak akan membiar-
kan Bhirawa melarikan diri.
“Hm.... Barna Pati, Danta...!” geram pemuda ber-
caping itu penuh dendam. “Rupanya kalian masih saja 
setia mengikuti manusia licik dan jahat seperti Jata 
Sura itu!”
Pemuda bercaping itu yang bernama Bhirawa ini 
seperti telah mengenal kedua orang pengawal, serta 
pemuda tampan yang bernama Jata Sura. Maka tentu 
saja ucapan itu membuat Jata Sura, Danta, dan Barna 
Pati menjadi tertegun.
“Bangsat! Siapa kau sebenarnya...?! Sepertinya 
kau telah mengenal kami. Hm.... Aku semakin penasa-
ran ingin mengetahui wajah yang kau sembunyikan di 
balik caping buruk itu,” desis Barna Pati, mencoba 
menyimak wajah yang memang sebagian terlindung
caping bambu itu.
“Hm....”
Danta pun tidak kalah terkejutnya begitu men-
dengar pemuda bercaping itu menyebut namanya begi-
tu saja. Padahal kalau diukur dari pangkat keprajuri-
tan, kedua orang itu setingkat perwira. Dan, tidak seorang pun dari kalangan rakyat jelata yang berani me-
nyebut namanya begitu saja tanpa embel-embel ‘tuan’.
Maka hal itu tentu saja membuat Danta mengerutkan 
keningnya sambil menggeram marah.
Demikian pula halnya Jata Sura. Pemuda putra 
Senapati Gada Sura yang selalu dihormati orang itu 
kian bertambah penasaran, ketika mendengar pemuda 
itu menyebut namanya. Meskipun mungkin tadi pe-
muda itu sempat mendengarnya dari prajurit-prajurit 
kerajaan, tapi dari cara pengucapannya, jelas seperti 
orang yang telah lama mengenalnya. Dan itu membuat 
Jata Sura semakin bernafsu untuk menangkap pemu-
da itu.
Sedangkan Bhirawa, sudah bersiap-siap membela 
dirinya mati-matian. Keadaannya yang sudah terke-
pung itu, membuatnya sulit bisa lolos, kecuali mela-
kukan perlawanan. Tapi untuk itu, Bhirawa terpaksa 
harus berhadapan dengan prajurit-prajurit kerajaan. 
Bahkan akibatnya, dia dianggap sebagai pemberontak.
“Hm...,” Bhirawa menggeram ketika melihat la-
wannya yang berjumlah tujuh orang itu telah bergerak 
merapatkan kepungan.
“Yeaaat..!”
Barna Pati berteriak nyaring, mengambil kesem-
patan pertama untuk menyerang. Lelaki gemuk yang 
wajahnya terhias cambang tipis itu melesat, disertai le-
cutan cambuknya yang meledak-ledak memekakkan 
telinga. Menilik dari ledakan cambuk dan sambaran 
angin yang menderu tajam, tampaknya kali ini Barna 
Pati bukan bermaksud sekadar memberi hajaran lagi. 
Bahkan sudah seperti hendak menewaskan pemuda 
bercaping itu.
Danta tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berwajah 
bulat dengan sepasang mata sipit itu bergerak menyusul Barna Pati, disertai pedangnya yang mengaung-
ngaung bagaikan ratusan lebah marah! Tentu saja se-
rangan senjata lelaki itu pun tidak kalah berbahayanya 
dengan lecutan cambuk kawannya. Sehingga sulit se-
kali dinilai, apakah Bhirawa akan mampu menghadapi 
keroyokan yang demikian ganas dan tidak tanggung-
tanggung? Belum lagi menghadapi empat orang praju-
rit dan juga Jata Sura. Rasanya sulit sekali bagi pe-
muda itu untuk selamat kalau tidak mempunyai bekal 
ilmu silat yang cukup.
Tapi, kali ini Bhirawa tidak tanggung-tanggung 
lagi. Begitu melihat betapa ganasnya serangan para 
pengeroyoknya, caping yang selama ini menyembunyi-
kan wajahnya dilepaskan. Dan....
“Hiaaah...!”
Berbarengan bentakan menggeledek dari mulut-
nya, pemuda itu mengibaskan lengannya disertai pen-
gerahan tenaga dalam. Langsung saja caping bambu di 
tangannya melesat dengan kecepatan kilat, diiringi su-
ara mengaung tajam. Benda itu terus berputar menge-
lilingi tempat pemuda berjubah coklat itu.
Wuuus...!
Karena dilemparkan oleh sebuah kekuatan hebat, 
maka caping yang hanya terbuat dari bambu itu ter-
nyata bisa menjadi sebuah senjata berbahaya! Buk-
tinya empat orang prajurit yang ikut mengeroyok dan 
tidak sempat menghindar, langsung tersungkur diiringi 
jerit kesakitan begitu terkena ujung caping bambu. Se-
ketika pada dada mereka terdapat sebuah goresan 
panjang, hingga mengeluarkan darah! Meskipun tidak 
terlalu dalam, tapi cukup menghentikan perlawanan 
keempat orang prajurit tadi.
Jdarrr...! Jtarrr...!
Bhirawa, segera menggeser tubuhnya menghindari lecutan cambuk Barna Pati. Kemudian dengan se-
buah liukan indah, pemuda itu bergerak dengan lang-
kah bagaikan orang mabuk, sambil melontarkan tusu-
kan jemari tangannya yang mengancam tubuh lawan!
Sayang, saat itu Danta dan Jata Sura telah ber-
gerak memotong jalan serangannya. Sehingga, seran-
gan Bhirawa terpaksa harus ditarik mundur. Lalu, dia 
melompat ke belakang untuk mengatur jurus-jurus 
barunya.
“Yaaat...!”
Jata Sura yang demikian bernafsu untuk segera 
dapat menundukkan Bhirawa, cepat melanjutkan se-
rangannya disertai pekikan nyaring! Hebat dan berba-
haya sekali serangannya. Sambaran tangannya yang 
membentuk cakar harimau, bercuitan mengancam tu-
buh pemuda berwajah kehitaman itu. Sehingga mau 
tidak mau, Bhirawa terpaksa harus mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya pula!
“Yeaaah...!”
Didahului sebuah pekikan melengking, Bhirawa 
menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda 
rendah. Sepasang tangannya yang mirip kepala ular, 
meliuk-liuk lincah dan luwes. Sehingga, sepasang tan-
gannya tidak ubahnya seperti ular hidup saja
Bettt! Bettt! Bettt!
Disertai sambaran angin tajam yang merobek 
udara, sepasang tangan Bhirawa mematuk-matuk me-
nyelinap di balik sambaran cakar harimau Jata Sura.
Pemuda bangsawan putra Senapati Gada Sura 
itu cukup terkejut melihat kelincahan permainan se-
pasang tangan lawan. Meskipun cakar harimaunya ti-
dak kalah berbahaya dari sepasang paruh ular, namun 
jelas kalau Jata Sura masih lebih mentah ilmunya ke-
timbang Bhirawa. Dan kekurangan yang sedikit itu

membuat Bhirawa dapat mendesak lawannya, setelah 
bertarung selama dua puluh jurus lebih. Hanya karena 
di situ masih terdapat Danta dan Barna Pati sajalah, 
yang membuat Jata Sura tidak mudah ditundukkan. 
Memang, setiap kali pemuda tampan itu terdesak, ke-
dua orang pembantu setianya selalu saja menyela-
matkannya.
“Heyaaah...!”
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang 
kelima puluh, mendadak saja tubuh Bhirawa melent-
ing ke udara disertai pekikan yang mengejutkan! Sepa-
sang tangannya kini tidak lagi membentuk paruh ular, 
tapi lebih tepat seperti sayap seekor burung elang yang 
tengah mengepak. Tentu saja perubahan mendadak itu 
sempat membuat ketiga pengeroyoknya melompat 
mundur!
“Berhenti...!”
Pada saat pertarungan sudah semakin memun-
cak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan melengking, 
mirip suara seorang wanita. Karuan saja mereka yang 
tengah bertarung menghentikan gerakannya sejenak, 
kemudian menoleh ke arah asal suara.
Baik Bhirawa, Jata Sura, Danta, dan Barna Pati, 
sama-sama mengerutkan kening ketika melihat seo-
rang wanita berpakaian biru muda tampak berlari ke 
arah pertempuran.
“Winarsih...!?” Jata Sura yang memang mengenali 
wanita berpakaian biru muda itu segera saja berseru. 
Kemudian, dia berdiri tegak dengan kening berkerut 
menanti kedatangannya.
Demikian pula halnya Bhirawa, Danta, dan Bar-
na Pati. Ketiganya menghentikan pertempuran dan 
menanti tibanya gadis berpakaian biru muda. Melihat 
dari sikap Danta dan Barna Pati yang agak hormat, jelas kalau gadis yang baru datang itu juga merupakan 
majikannya.
“Gusti Ayu Winarsih...,” sapa Danta dan Barna 
Pati saat wanita yang ternyata berwajah cantik itu te-
lah tiba di dekat mereka. Kedua orang lelaki gagah itu 
mengangguk hormat, kemudian menundukkan kepala 
agak takut-takut.
“Kakang! Keributan apa lagi yang kau buat kali 
ini?! Kau selalu mencari-cari perkara setiap hari. Apa 
kau tidak merasa bosan?” tegur dara yang ternyata 
bernama Winarsih itu dengan mulut memberengut pe-
nuh kemanjaan.
Melihat sikapnya, jelas kalau antara Winarsih 
dan Jata Sura terdapat hubungan erat. Kalau tidak, 
mana mungkin gadis itu berani menegur Jata Sura.
“Aaah...! Kau ini selalu saja mencampuri urusan-
ku, Winarsih. Tapi perlu kau tahu. Yang kali ini kuha-
dapi bukan semata-mata karena kesalahanku. Lihat-
lah sendiri keempat orang prajurit yang terluka itu. 
Dan lihat pula gelandangan busuk pemberontak itu. 
Tahukah kau! Gelandangan bermuka hitam itu telah 
berani menghinaku di depan umum. Jadi sudah sepa-
tutnya kalau kuberi sedikit pelajaran...,” ujar Jata Su-
ra.
Jata Sura sepertinya mencoba membela diri den-
gan menjatuhkan fitnah kepada Bhirawa. Sedangkan
Bhirawa menatap heran, karena Jata Sura seperti ti-
dak berani bersikap keras terhadap gadis itu.
“Winarsih...?” gumam Bhirawa sambil menatap 
tajam wajah gadis itu. “Hm.... Kalau tidak salah ia pun 
putri Gada Sura. Pantas, Jata Sura seperti tidak ber-
daya menghadapinya. Rupanya rasa sayangnya mem-
buat pemuda sombong itu tidak berani bertindak keras 
terhadap adiknya....”

Bhirawa sepertinya juga mulai ingat, siapa gadis 
cantik berpakaian biru muda itu. Sedangkan dara can-
tik yang bernama Winarsih itu sudah berpaling mena-
tapnya. Kemudian Winarsih melangkah menghampiri 
pemuda itu dengan menyipitkan matanya yang indah. 
Sepertinya, dia hendak melakukan penilaian terhadap 
sosok pemuda berwajah kehitaman dan agak buruk 
itu.
“Kisanak. Benarkah kau seorang pemberontak, 
dan yang memulai perkelahian ini...?” tanya Winarsih 
tanpa seorang pun berani mencegahnya, termasuk ju-
ga Jata Sura.
Bhirawa sama sekali tidak menjawab sepatah 
pun. Setelah mengangukkan kepala secara samar, pe-
muda itu pun berbalik.
“Maaf, aku harus pergi....”
Setelah mengenakan kembali caping bambunya, 
pemuda berwajah buruk itu pun segera berkelebat 
tanpa ada yang bergerak mencegahnya. Semua itu ter-
jadi karena adanya Winarsih di tempat itu. Sehingga, 
Bhirawa dapat meloloskan diri dengan selamat tanpa 
ada yang menghalang-halangi.
“Hm..., seorang pemuda yang aneh. Tapi, nam-
paknya ia tidak seburuk sangkaan Kakang Jata Su-
ra.... Entah, siapa dia? Tatapan matanya terlihat begi-
tu aneh...,” gumam Winarsih sambil menatapi bayan-
gan Bhirawa yang semakin samar dan menjauh.
“Keparat! Lain kali kau tak akan kubiarkan lolos 
dari tanganku...,” geram Jata Sura.
Pemuda tampan itu hanya dapat memandang 
dengan perasaan dongkol ke arah bayangan Bhirawa, 
yang entah mengapa telah menimbulkan kebencian da-
lam hatinya. Maka tanpa banyak bicara lagi, pemuda 
itu segera mengajak orang-orangnya untuk meninggal

kan tempat itu. Termasuk juga, Winarsih adik perem-
puan satu-satunya yang sangat disayanginya.
***
Pemuda berjubah coklat yang mengenakan cap-
ing itu terus berlari meninggalkan Kotaraja Bantar Ge-
bang. Kemudian, terus dilewatinya pintu gerbang dan 
menuju sebelah Barat. Pemuda itu baru memperlam-
bat larinya ketika merasa telah cukup jauh meninggal-
kan kotaraja. Siapa lagi pemuda bertubuh tegap itu 
kalau bukan Bhirawa?
“Hhh....”
Bhirawa menghempaskan pantatnya di rerumpu-
tan tebal di bawah sebatang pohon rindang. Hatinya 
betul-betul kecewa atas kejadian yang baru saja diala-
minya di dalam kotaraja. Memang setelah kejadian itu, 
ia pasti akan sulit sekali mencari musuh-musuh di sa-
na.
“Celaka...,” desis pemuda itu sambil membanting 
caping bambunya ke tanah,” Jata Sura pasti tak akan 
tinggal diam. Pemuda keparat itu mungkin akan terus 
mencariku. Apalagi, kini aku telah dianggap sebagai 
pemberontak. Kurang ajar sekali manusia berhati bu-
suk itu! Ia benar-benar telah mewarisi sifat-sifat keji 
ayahnya!”
Bhirawa benar-benar geram dengan wajah duka. 
Dengan helaan napas berat yang panjang sebagai pele-
pas kekecewaannnya, tubuhnya disandarkan ke ba-
tang pohon.
Terbayang kembali dalam benak pemuda itu na-
sib menyedihkan yang menimpa keluarganya pada se-
kitar empat atau lima tahun yang lewat. Semua itu 
masih tergambar jelas, seperti baru saja terjadi kema

rin. Perlahan-lahan, tanpa disadari ada butiran air 
bening yang mengalir turun, membasahi pipinya yang 
berkulit kehitaman.
“Ayah.... Ibu.... Bantulah aku dalam melaksana-
kan dendam keluarga kita ini. Tolonglah beri jalan ke-
padaku, untuk dapat menjangkau manusia-manusia 
terkutuk itu. Semuanya kini menjadi serba sulit dan 
kacau. Apalagi, kalau sampai pemuda terkutuk itu
mengadukan kepada pihak kerajaan tentang kejadian 
tadi. Tentu beban yang tersangga di pundakku akan 
semakin berat..,” desah Bhirawa dengan mata terpejam 
rapat
Jelas peristiwa tadi telah membuatnya berduka, 
karena musuh-musuh keluarganya yang kini telah 
menjabat sebagai pembesar Kerajaan Bantar Gebang, 
tentu akan semakin sulit diraihnya. Jangankan untuk 
dapat menemui mereka. Sedangkan untuk masuk ke 
dalam kotaraja pun kini hatinya merasa ragu. Sebab, 
bukan tidak mungkin kalau sekarang dirinya tengah 
dicari-cari pihak kerajaan. Semua pemikiran itu sema-
kin membuatnya tenggelam dalam lautan duka dan 
keresahan.
Mendadak saja, telinga Bhirawa yang tajam men-
dengar adanya suara roda kereta kuda yang berasal 
dari sebelah kanannya. Bergegas pemuda itu melesat 
ke atas, dan bersembunyi di dalam kelebatan pohon 
besar tempatnya melepas lelah tadi
Bhirawa yang kini mudah curiga semenjak keja-
dian tadi, tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat 
kemudian, di jalan yang tidak terlalu besar berjarak 
sekitar dua tombak di depannya, melintas sebuah ke-
reta yang ditarik dua ekor kuda. Yang membuat kening 
pemuda itu berkerut, ternyata kereta itu bukan meru-
pakan kereta barang atau kereta bangsawan. Tapi, justru menyerupai sebuah kereta tawanan. Itu bisa dili-
hat di sekeliling kereta yang terdapat jeruji besi dan 
pintunya terkunci.
Sepasang mata pemuda itu menyipit, saat meli-
hat keenam orang gadis terdapat di dalamnya. Empat 
di antara mereka tampak masih terisak dengan wajah 
bersimbah air mata. Hal itu tentu saja membuat hati 
Bhirawa dipenuhi tanda tanya.
“Mengapa gadis-gadis itu seperti tengah ditawan? 
Kesalahan apa yang telah mereka buat, sampai harus 
digiring dalam kerangkeng itu?” gumam Bhirawa den-
gan hati agak berdebar.
Kemudian perhatian pemuda tegap itu beralih ke 
arah delapan orang prajurit di depan dan belakang ke-
reta tawanan.
Setelah berpikir beberapa saat, Bhirawa segera 
memutuskan untuk mencari penjelasan apa yang me-
nyebabkan gadis-gadis itu berada dalam kereta taha-
nan. Segera saja pemuda berkulit wajah agak kehita-
man itu meluncur turun, dan berdiri menghadang ja-
lan.
Tentu saja kening empat orang prajurit yang be-
rada di depan jadi berkerut, melihat seorang pemuda 
yang tengah berdiri di tengah jalan dalam jarak tiga 
tombak. Maka langsung saja mereka meraba gagang 
pedang di pinggang.
Dengan berpura-pura seperti orang kurang inga-
tan, Bhirawa melangkah maju dengan kepala mengge-
leng-geleng. Sedangkan ekor matanya tetap melirik ke 
arah rombongan prajurit terdepan. Meski sikapnya ter-
lihat sembarangan, tapi pemuda itu telah memper-
siapkan ilmu-ilmunya untuk menghadapi segala ke-
mungkinan.
Sedangkan kereta tawanan itu terus saja bergerak, meski kali ini terlihat sengaja diperlambat. Bah-
kan wajah-wajah para prajurit yang mengawal kereta 
tawanan, terlihat mulai menegang. Jelas mereka mera-
sa curiga terhadap sosok tubuh bertubuh tinggi tegap 
yang menyembunyikan wajahnya di balik caping bam-
bu.
***
TIGA


Melihat adanya seorang pemuda bertingkah laku 
seperti pemabuk yang melangkah di tengah jalan, sa-
lah seorang prajurit segera melangkah mendekat. Me-
nilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, jelas ka-
lau prajurit itu merupakan kepala pengawal. Dengan 
lagak dibuat menyeramkan, kepala pengawal itu ber-
henti satu tombak di depan Bhirawa.
“Hei, Manusia Pemabukan! Menyingkirlah! Kami 
akan lewat! Atau, kami terpaksa harus melempar mu
ke tepi jalan!” bentak kepala pengawal itu dengan sua-
ra dibesar-besarkan. Sedang tangan kanannya meraba 
gagang pedang untuk menakut-nakuti.
Mendengar teguran itu, Bhirawa mengangkat ke-
palanya dengan tubuh bergoyang-goyang. Tingkahnya 
benar-benar tak ubahnya orang mabuk. Bahkan sepa-
sang matanya menatap sayu dengan sorot memancar-
kan ketidaksadaran. Kemudian, dia terus melangkah 
sambil tertawa dan menuding-nudingkan telunjuknya.
“He he he.... Ada rombongan penari yang men-
gawal monyet-monyet. Lucu..., lucu...,” kata pemuda 
itu dengan nada pelo dan tak begitu jelas.
Bahkan ketika berbicara, Bhirawa sengaja mempermainkan air liurnya, hingga jatuh menetes ke ta-
nah. Tentu saja tingkahnya itu membuat kepala pen-
gawal menjadi jengkel.
“Hm..., dasar pemuda pemabuk! Rupanya kau 
memilih dilemparkan ketimbang menyingkir secara 
baik-baik. Kalau memang begitu keinginanmu, baik-
lah...!” dengus kepala pengawal itu, geram.
Setelah berkata demikian, ia melangkah maju 
dan mengulurkan tangannya hendak mencengkeram 
bahu Bhirawa.
“Eit..., tunggu dulu...,” cegah Bhirawa terkekeh 
dengan tubuh tetap bergoyang-goyang, “Ng..., bolehkah 
aku melihat monyet-monyet yang kau tangkap itu...? 
Siapa tahu, aku suka kepada salah satu dari hasil bu-
ruanmu itu. Dengan begitu, beban kalian akan berku-
rang....”
Setelah berkata demikian, Bhirawa melangkah ke 
tepi dan terus bergerak mendekati kereta berjeruji 
dengan tubuh oleng.
Bhirawa rupanya cukup cerdik untuk dapat 
mengetahui keadaan gadis-gadis itu. Para prajurit sa-
ma sekali tidak tahu kalau pemuda yang dianggap pe-
mabukan itu telah mengirimkan suaranya dari jarak 
jauh. Karena tingkah-lakunya seperti pemabuk, maka 
para prajurit itu sama sekali tidak curiga melihat bibir 
pemuda itu berkemak-kemik tanpa suara.
“Nyai! Kalau kalian memang dibawa orang-orang 
ini secara paksa, berteriaklah. Makilah mereka. Tapi,
kalau kalian memang dibawa secara suka rela, tak per-
lu kau pedulikan ucapanku. Jangan takut, aku hanya 
berpura-pura mabuk untuk mengetahui keadaan ka-
lian yang sebenarnya....”
Suara yang dikirim Bhirawa terdengar jelas oleh 
salah seorang dari gadis-gadis itu. Semula, ia merasa
takut karena mendengar suara tanpa wujud. Tapi sete-
lah Bhirawa memberi keterangan, gadis itu segera saja 
menatap pemuda pemabuk itu dengan kening berke-
rut.
Rupanya, pilihan Bhirawa tidak meleset. Gadis 
yang dibisikannya dari jauh itu ternyata cukup cerdik. 
Dia bisa menangkap maksud baik pemuda yang diang-
gapnya pemabuk itu. Sehingga setelah berpikir sejenak 
gadis itu pun mulai berteriak dan memaki-maki.
“Tuan! Tolong lepaskan kami, Tuan. Kembalikan-
lah kami ke desa tempat asal kami. Kami tidak sudi 
dipaksa untuk jadi pemuas nafsu pejabat-pejabat pe-
merintah. Jangan paksa kami, Tuan.... Tolonglah be-
baskan kami...,” gadis berpakaian merah muda yang 
rambutnya dikepang dua itu berteriak-teriak dengan 
cerdiknya.
Bhirawa. tersenyum dalam hati ketika melihat 
kecerdikan gadis itu. Kini jelas sudah gadis-gadis itu 
dibawa secara paksa dari desanya. Maka seketika itu 
juga, terdengarlah kekehnya yang berkepanjangan.
“He he he..., lihat. Mereka ternyata minta dibe-
baskan. Jadi, kalian sengaja mencuri monyet-monyet 
ini dari hutan? Apakah kalian tidak tahu kalau perbu-
atan itu dilarang...? Ayo, bebaskan mereka...,” ujar 
Bhirawa dengan lagak masih tetap tidak berubah.
Bahkan, kali ini pemuda itu melangkah mende-
kati kereta tawanan. Tentu saja perbuatannya tidak 
didiamkan begitu saja oleh para prajurit.
“Hei, mau apa kau...! Ayo menyingkir. Atau, ku-
tebas batang lehermu!” kepala pengawal itu marah bu-
kan main melihat kelakuan Bhirawa. Maka dia segera 
saja melompat dengan pedang terhunus.
Tapi, Bhirawa tidak mau ayal-ayalan lagi. Meski-
pun untuk itu, ia akan mengalami kesukaran dalam
melaksanakan dendam keluarganya. Namun, Bhirawa 
tidak peduli lagi. Sebagai orang yang memiliki kepan-
daian, tentu saja pemuda itu tidak bisa berpangku 
tangan melihat ketidakadilan yang terjadi di depan ma-
tanya.
“Kisanak...!”
Kali ini, Bhirawa tidak lagi berpura-pura sebagai 
pemuda pemabukan. Sorot mata dan sikapnya telah 
berubah bagaikan langit dan bumi. Kalau tadi berdiri 
kakinya goyah dan sorot matanya sayu, kini sepasang 
kakinya terpancang kokoh bagaikan seekor singa yang 
sedang marah. Sedangkan sepasang matanya menyo-
rot tajam menggetarkan jantung para prajurit. Karuan 
saja mereka terkejut melihat perubahan mendadak 
pemuda pemabuk itu.
“Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak
menghadang kami dengan berpura-pura mabuk! Tapi 
jangan dikira kami takut, Pemuda Jelek. Sadarkah 
akibat perbuatanmu ini, kau bisa dianggap pemberon-
tak! Kau akan mendapat kesulitan seumur hidup ka-
lau sampai berani mengganggu kami...,” kepala pen-
gawal itu mencoba menggertak Bhirawa.
Rupanya, ia mulai sadar kalau pemuda tinggi te-
gap yang berpura-pura mabuk itu pasti bukan orang 
sembarangan. Kalau tidak mustahil berani mengha-
dang rombongan prajurit kerajaan.
“Hm.... Jangankan baru menghadapi kalian para 
prajurit recehan. Seandainya yang melakukan hal ini 
orang besar seperti Senapati Gada Sura pun, aku tetap 
akan mencegah! Jadi, tidak ada gunanya kalian meng-
gertak aku...,” ejek Bhirawa, gagah.
Sambil berkata demikian, pemuda tegap itu me-
langkah seperti hendak membebaskan gadis-gadis 
muda yang berada dalam kerangkeng.
“Bangsat! Kau benar-benar cari mampus, Pemu-
da Gila...!”
Sambil membentak marah, kepala pengawal itu 
segera saja menerjang Bhirawa. Bahkan prajurit-
prajuritnya sudah diperintah untuk mengurung pemu-
da itu.
“Heaaat...!”
Wuuut...!
Dengan sikap tenang, Bhirawa menggeser mun-
dur langkahnya sambil menarik tubuh ke belakang. 
Begitu mata golok lawan lewat di depan tubuhnya, 
tangannya bergerak cepat mencengkeram pergelangan 
tangan lawan yang memegang senjata. Sayang gerakan 
itu harus cepat ditarik pulang. Karena pada saat itu 
juga, sebilah pedang lain datang mengancam hendak 
menebas tangannya yang siap mencengkeram.
Meskipun cengkeramannya gagal, Bhirawa tidak 
kehilangan akal. Cepat bagai kilat, tubuhnya berputar 
disertai tendangan kaki kanannya yang langsung 
menghajar perut salah seorang prajurit yang berada di 
kanannya!
Buggg...!
“Hukhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh prajurit itu langsung 
terjengkang muntah darah! Tendangan yang dialiri te-
naga dalam kuat itu membuat lawan tidak mampu 
bergerak bangkit lagi. Tendangan Bhirawa langsung 
membuat korbannya tewas seketika.
Lelaki gemuk berkumis tebal yang menjadi pe-
mimpin para prajurit tentu saja menjadi murka! Pe-
dang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga 
memperdengarkan suara mengaung tajam! Kemudian, 
tubuhnya meluruk deras dengan tusukan kilat ke tu-
buh Bhirawa!

“Haiiit...!”
Untuk kesekian kalinya, Bhirawa kembali memu-
tar tubuhnya menghindari sambaran pedang lawan. 
Kemudian, tubuhnya terus melenting ke samping den-
gan indahnya, lalu membagi dua buah pukulan telak 
ke arah dada dan perut dua orang pengeroyoknya! 
Tanpa ampun lagi, kedua orang prajurit itu langsung 
terjungkal dan tidak bangkit lagi!
Masih dengan gerakan yang sukar diikuti mata, 
telapak tangan Bhirawa berkelebatan susul-menyusul 
ke arah kepala dua orang pengeroyok! Dan....
Plakkk! Plakkk!
“Aaakh...!”
Dua orang prajurit bernasib malang itu langsung 
terjungkal roboh dengan kepala pecah! Rupanya, Bhi-
rawa yang merasa benci dengan kelakuan prajurit-
prajurit, langsung saja menumpahkan kekesalannya. 
Akibatnya dua orang prajurit itu langsung tewas seke-
tika terhantam pukulan kerasnya.
Kematian dua orang pengawal, tentu saja mem-
buat lelaki gemuk yang memimpin pasukan kecil itu 
menjadi pucat! Apalagi, melihat kesaktian pemuda 
yang benar-benar mengejutkan hatinya. Kontan saja 
keberanian dan kegalakannya lenyap bagaikan asap 
yang tersaput angin.
“Yiaaah...!”
Bhirawa yang sudah seperti orang kesetanan, ti-
dak sudi membiarkan lolos lawan-lawannya. Merasa 
telanjur basah, pemuda itu berniat menceburkan di-
rinya sekaligus. Dia berpikir, apabila ada salah seorang 
prajurit yang lolos, bisa jadi ia akan semakin sulit me-
masuki kotaraja. Untuk itu, Bhirawa bertekad mem-
bunuh semua prajurit-prajurit
Kembali sisa prajurit yang tinggal dua orang

menjerit ngeri ketika jari-jari tangan pemuda itu me-
nembus batok kepala mereka! Karuan saja hal itu se-
makin membuat hati si kepala pengawal semakin ciut. 
Akhirnya, ia pun menjatuhkan diri, berlutut minta 
ampun kepada Bhirawa. Karena, semua prajuritnya te-
lah habis digasak pemuda itu.
“Ampun, Tuan Pendekar.... Aku hanyalah orang 
suruhan yang terpaksa harus menuruti perintah maji-
kan. Kalau tidak, jabatanku bisa copot. Ampuni aku, 
Tuan Pendekar. Kasihan anak istriku di rumah...,” ra-
tap lelaki gemuk itu terisak-isak.
Sepertinya, ia sudah tidak mempunyai rasa malu 
lagi untuk melakukan tindakan serendah itu agar 
nyawanya selamat.
“Hm.... Bangsat Tengik! Kau ingin mencari sela-
mat sendiri, ya? Orang sepertimu seharusnya tidak bo-
leh dibiarkan hidup! Kali ini meratap-ratap minta am-
pun, tapi lain kali kau kembali akan melakukannya! 
Lalu, apa gunanya penyesalanmu itu...?” hardik Bhi-
rawa yang semakin bertambah geram melihat lelaki itu 
meratap-ratap memohon ampun.
“Ampun, Tuan Pendekar. Aku Pandara berjanji 
tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Aku tobat, 
Tuan Pendekar....”
Lelaki gemuk yang mengaku bernama Pandara 
itu semakin ketakutan, sampai-sampai keningnya di-
bentur-benturkan ke tanah sebagai tanda benar-benar 
ingin bertobat
“Hm.... Bisakah janjimu kupercaya? Bagaimana 
bila kau diperintah lagi untuk melakukan kejahatan 
semacam ini? Apa yang akan kau katakan apabila ma-
jikanmu menanyakan tentang prajurit-prajurit yang 
tewas itu?” tanya Bhirawa.
Pemuda itu rupanya mulai tergerak hatinya melihat kelakuan dan ratapan lelaki gemuk itu. Makanya, 
dia mencoba memancing.
“Sekarang aku tidak takut jabatanku dicopot, 
Tuan Pendekar. Biarlah. Lebih baik tidak memiliki ja-
batan, daripada selalu dipaksa melakukan kejahatan 
seperti ini. Sedangkan mengenai kawan-kawanku, bisa 
saja kukatakan kalau mereka diterkam binatang buas. 
Ampunilah aku, Tuan Pendekar...,” ratap Pandara ber-
sungguh-sungguh ketika mendengar pertanyaan Bhi-
rawa.
Hati laki-laki gemuk itu mulai lega ketika men-
dengar nada ucapan Bhirawa yang sepertinya mulai 
lunak. Hatinya berdebar melihat adanya kemungkinan 
ia tidak dibunuh.
“Hm..., baiklah. Untuk sekali ini, kau kube-
baskan. Tapi, ingat! Kalau lain kali kau berbuat seperti 
ini lagi, aku akan datang mencabut nyawamu! Seka-
rang, pergilah...,” ujar Bhirawa. Pandara akhirnya me-
mang dilepaskan, karena Bhirawa tidak tega melihat 
ratapannya. Yang membuat hatinya lemah adalah, ke-
tika lelaki gemuk itu menyebutkan nasib anak istrinya. 
Hal itu mengingatkan dia akan kematian kedua orang 
tuanya, sehingga hatinya merasa tersentuh.
Pandara membentur-benturkan kembali kening-
nya sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. 
Kemudian, dia terus berlari meninggalkan tempat itu 
tanpa menoleh lagi.
Bhirawa sendiri segera menghampiri kereta ta-
wanan setelah bayangan Pandara tidak nampak lagi. 
Kemudian, dibebaskannya enam orang gadis desa yang 
menangis bahagia karena terlepas dari ancaman yang 
lebih menakutkan daripada kematian.
“Terima kasih, Tuan Pendekar.... Kami tidak akan 
melupakan budi baik Tuan,” ucap gadis berpakaian

merah muda mewakili teman-temannya yang lain.
Bhirawa hanya tersenyum. Kemudian, diajaknya 
gadis-gadis itu untuk kembali ke desa tempat tinggal-
nya.
Ada sedikit penyesalan di hati pemuda itu, kare-
na lupa menanyakan tentang orang yang menyuruh 
Pandara membawa gadis-gadis itu ke kotaraja. Namun, 
ia bertekad menyelidiki masalah itu, dan ingin mem-
basminya.
***
EMPAT


Saat ini, malam sudah bertambah larut. Suara 
burung malam terdengar saling bersahutan. Saat itu, 
pintu gerbang Kotaraja Bantar Gebang sudah tertutup 
rapat Sedang para prajurit penjaga hanya berdiam di 
dalam posnya di dekat gerbang.
Dalam kepekatan malam yang hanya diterangi 
cahaya bulan sepotong, tampak sesosok bayangan hi-
tam bergerak melewati tembok Selatan kotaraja. Meni-
lik dari gerakannya yang gesit dan cekatan, jelas ilmu 
meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang rendah.
Sosok tubuh tegap itu terus bergerak menuju pu-
sat kota, melalui tempat-tempat yang tersembunyi dari 
kilatan cahaya obor. Tidak lama kemudian, tibalah so-
sok itu di bagian samping sebuah bangunan besar 
yang cukup gelap.
“Huppp!”
Dengan suara halus, tubuhnya melenting dan 
langsung mendarat di halaman dalam bangunan besar 
itu. Kemudian, dia terus mengendap-endap ke bagian

belakang.
“Hm...,” gumam sosok bayangan hitam Itu perla-
han ketika melihat adanya bangunan-bangunan yang
lebih kecil, terletak di samping gedung. Sepasang mata 
di balik genap rambut itu tampak berkilat seperti telah 
menemukan apa yang dicarinya.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia ber-
gerak mendekati dua buah bangunan kecil disamping 
bagian belakang bangunan besar itu. Tubuhnya segera 
dirapatkan ke dinding batu ketika mendengar suara
orang berbicara di dalam. Pendengarannya dipasang 
tajam-tajam untuk dapat menangkap pembicaraan 
yang diduga terdiri dari dua orang itu.
“Apa kau tidak bisa menduga, siap” pemuda ber-
wajah buruk itu, Kakang Barna? Atau mungkin, kau 
bisa mengenali dasar-dasar ilmu silat yang dimili-
kinya...?”
Terdengar sebuah suara agak berbisik. Dan sosok 
bayangan hitam itu dapat jelas mendengarnya.
“Sulit untuk menduga, siapa pemuda berwajah 
buruk itu, Adi Danta,” sahut orang yang dipanggil 
Barna Pati lirih.
Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Danta 
dan Barna Pati. Mereka adalah pembantu Jata Sura, 
putra Senapati Gada Sura. Rupanya, bangunan samp-
ing itu merupakan tempat tinggal mereka.
Sepertinya sosok bayangan hitam itu tengah me-
nahan napasnya, saat pembicaraan kedua orang itu 
berhenti sejenak. Tindakan itu jelas menandakan sikap 
hati-hatinya. Apalagi, kedua orang pembantu Jata Su-
ra itu memang bukan orang-orang sembarangan. Dan 
sepertinya, sosok bayangan hitam itu pun menyadari.
“Bagaimana mengenai ilmu silatnya? Aku seperti 
pernah mengenalnya. Hanya saja, aku tidak bisa menduganya secara pasti,” terdengar suara orang yang 
bernama Danta kembali bergaung pelan.
“Hm.... Melihat gerak-geriknya yang kokoh, ada 
kemungkinan pemuda berwajah buruk itu berasal dari 
daerah Utara. Buktinya, ilmu-ilmu silat dari Utara ke-
banyakan mengandalkan kekuatan, dan bukan ke-
luwesan seperti halnya daerah Selatan. Dan menilik 
pakaiannya, dapat kupastikan kalau orang itu berasal 
dari daerah pantai...,” sahut Suara Barna Pati.
Nyatanya, pembicaraan itu membuat dada sosok 
bayangan hitam di luar jadi bergelombang. Jelas, ha-
tinya merasa tegang mendengar pembicaraan itu.
“Pantai Utara...,” desah Danta, mengulang kata-
kata itu sambil mengerutkan dahinya, “Hm.... Di dae-
rah Pantai Utara Laut Pajang, bukankah ada seorang 
tokoh yang berjuluk....”
Krakkk!
Danta menghentikan ucapan ketika mendengar 
suara yang mengejutkan. Serentak mereka bergerak 
bangkit, dan langsung melesat keluar. Keduanya terke-
jut begitu melihat sesosok bayangan hitam melesat 
meninggalkan tempat itu.
“Hei...., berhenti...!” seru Barna Pati mencegah 
sosok bayangan hitam yang melarikan diri.
Baru saja ia hendak bergerak mengejar, Danta 
mencekal lengannya. Sehingga, lelaki itu menahan ge-
rakannya.
“Lebih baik panggil para penjaga saja...,” ujar
Danta mengusulkan.
“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera menge-
jar orang itu,” sergah Barna Pati.
Barna Pati tidak setuju, karena hal itu hanya 
akan menyebabkan sosok bayangan hitam tadi keburu 
jauh. Maka, segera saja diajaknya Danta untuk mengejar.
Kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu 
langsung saja berkelebat mengejar. Tubuh mereka ber-
gerak cepat, menerobos kegelapan malam yang hanya 
diterangi sinar bulan redup.
Tapi, sepertinya sosok bayangan hitam itu me-
mang tidak sungguh-sungguh hendak melarikan diri. 
Buktinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, Danta 
dan Barna Pati sudah berada dalam jarak tiga tombak 
di belakangnya. Meski dalam keadaan agak gelap, ke-
dua orang lelaki gagah itu tentu saja dapat menangkap 
bayangan buruannya. Apalagi, mata mereka tidak da-
pat disamakan dengan mata orang biasa. Sebagai seo-
rang tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, 
mereka dapat mempertajam pandangan dengan penge-
rahan tenaga pada matanya.
Sosok bayangan hitam itu terus bergerak mele-
wati tembok kotaraja. Kemudian, dia terus bergerak 
menuju sebuah hutan kecil di sebelah Selatan kotara-
ja.
Sedangkan saat itu, jarak di antara mereka se-
makin dekat saja.
“Hm.... Jangan harap dapat lolos dari kejaran 
kami, Pengecut! Lebih baik menyerahlah...!” ujar Barna 
Pati yang berada di depan Danta, bernada geram.
Terlihat lelaki gagah itu menambah kekuatannya 
untuk memperpendek jarak di antara mereka. Sedang-
kan Danta hanya mengikuti dari sebelah belakang, ka-
rena kepandaiannya memang masih kalah setingkat 
dibanding rekannya.
Setelah memasuki hutan kecil, sosok bayangan 
itu tampak menghentikan larinya di sebuah tempat 
yang agak lapang. Sinar bulan redup yang jatuh mene-
rangi tubuh, membuat sosok bayangan hitam yang


bertubuh tegap itu nampak angker dan memancarkan 
perbawa. Jelas sudah, ia memang sengaja hendak 
memancing kedua orang itu agar mengejarnya.
“Hm.... Aku tidak akan melarikan diri dari kalian, 
Bangsat Terkutuk! Malam ini biarlah rembulan menja-
di saksi atas kematian kalian...!” ancam sosok tubuh 
tinggi tegap yang berdiri kokoh bagaikan batu karang 
itu.
Sorot mata orang itu tampak demikian tajam, 
seolah hendak menelan tubuh kedua orang pengawal 
Jata Sura. Sehingga, hati kedua orang itu sempat ber-
getar karenanya.
Namun sebagai orang yang mempunyai pengaruh
di dalam wilayah kotaraja, baik Danta dan Barna Pati
tetap menunjukkan sikap sombongnya. Apalagi, pihak 
lawan hanya seorang diri dan tidak terlihat tanda-
tanda adanya kawan-kawannya yang lain. Tentu saja 
kedua orang itu berusaha membesar-besarkan hati.
“Hm.... Jadi kau sengaja memancing kami untuk 
mengejarmu? Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak. 
Dan siapa kau sebenarnya...?” geram Barna Pati yang 
sedikit terkejut ketika mengenali sosok bayangan hi-
tam itu.
“Dia pemuda yang pagi tadi membuat keributan 
itu...,” desis Danta ketika dapat melihat jelas wajah so-
sok bertubuh tinggi tegap berambut panjang terurai 
itu.
“Benar! Aku sengaja datang untuk mencabut 
nyawa kalian berdua! Kalian ternyata juga ikut mem-
bantu dalam menghancurkan keluargaku! Malam ini, 
dendamku harus ditebus dengan darah hitam yang 
berbau busuk dari tubuh kalian berdua...!”
Terdengar suara datar sosok tubuh tegap yang 
memang Bhirawa. Rupanya, kedua orang pengawal

pribadi Jata Sura itu termasuk dalam daftar musuh-
musuh keluarganya.
“Kisanak, kami tidak mengenalmu. Dan sama se-
kali tidak tahu tentang kejadian yang menimpa keluar-
gamu. Meskipun begitu, jangan dikira kami takut 
menghadapimu,” sahut Danta yang bergerak maju 
sambil menghunus senjatanya.
“Oh.... Jadi peristiwa di Laut Pajang yang terjadi 
lima tahun yang lalu, telah kalian lupakan begitu saja? 
Rupanya kalian pikir semua anggota keluarga itu telah 
tewas, bukan? Sekarang dengarlah baik-baik. Aku ada-
lah Bhirawa, keturunan dari orang yang telah kalian 
bunuh secara licik! Tapi, kalian tidak akan mempunyai 
waktu lagi untuk memberitahukannya kepada kawan-
kawanmu. Karena, setelah kalian tahu siapa aku, be-
rarti kematianlah yang akan kalian dapatkan!”
Setelah mengancam demikian, Bhirawa menca-
but keluar sebilah pedang yang mengeluarkan sinar 
kebiruan.
“Hantu Laut Pajang...!?” desis Barna Pati dan 
Danta hampir berbarengan.
Jelas mereka telah mengenal baik senjata yang 
terhunus di tangan pemuda berwajah buruk itu.
“Benar. Akulah Hantu Laut Pajang yang akan 
mencabut nyawa anjing kalian, Manusia-Manusia Bu-
suk!”
Setelah berkata demikian, Bhirawa menyilangkan 
pedangnya di depan dada. Sorot matanya tampak de-
mikian tajam, dan mengiriskan!
“Hiaaat..!”
Tanpa banyak bicara lagi, Bhirawa segera melesat 
ke arah dua orang lawan disertai putaran senjatanya 
yang telah membentuk gundukan sinar kebiruan.
Bettt! Bettt! Bettt!

Kilatan sinar kebiruan tampak berkeredep me-
nyambar-nyambar, memperdengarkan suara berdeng-
ing. Tapi, semua itu terjadi bukan karena kehebatan 
tenaga dalam Bhirawa, melainkan karena senjata pu-
saka di tangannya. Bahkan senjata itu memang dapat 
membuat perhatian lawan terpecah. Itulah salah satu 
keistimewaan senjata yang dimiliki Hantu Laut Pajang. 
Hanya yang tidak habis pikir, mengapa usia tokoh itu 
masih sangat muda?! Padahal pada waktu mereka 
muda, nama tokoh itu telah lebih dahulu terkenal da-
lam dunia persilatan.
Tapi, Bhirawa tidak membiarkan dua orang la-
wannya untuk memikirkan keanehan itu. Apalagi pe-
dang di tangannya telah berkelebat mengancam tubuh 
kedua orang lawan. Sehingga, baik Danta dan Barna 
Pati terpaksa harus menghindari ancaman maut itu!
“Yeaaah...!”
Danta yang memang sudah siap dengan pedang-
nya, segera saja melontarkan serangan balasan yang 
tidak kalah ganas. Pedang di tangannya mengaung ta-
jam, merobek kesunyian malam. Kilatan cahayanya 
yang berkeredep, ditimpa sinar redup sang rembulan 
menyambar-nyambar kian kemari dengan kecepatan 
mengagumkan. Jelas, kepandaian yang dimiliki Danta 
pun tidak bisa dipandang remeh!
Demikian pula halnya Barna Pati. Lelaki gagah 
itu sudah mencabut keluar senjatanya berupa sepa-
sang trisula sepanjang satu setengah jengkal. Cara le-
laki gagah itu memainkannya pun, sangat mengagum-
kan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa 
tampak kerepotan dalam menghadapi gempuran dua 
orang lawan.
Tapi, Bhirawa malam ini tidak dapat disamakan 
dengan Bhirawa yang tadi pagi. Kali ini, serangan
serangan maupun gerakannya terlihat jauh lebih sem-
purna dan mengejutkan. Gerakannya pun banyak 
memiliki perubahan mendadak yang tak terduga. Ten-
tu saja kenyataan ini membuat kedua orang lawan 
menjadi terkejut, dan tak berani lagi menganggap en-
teng pemuda berwajah buruk itu!
Setelah pertarungan lewat dari dua puluh jurus, 
terlihat Bhirawa mulai menunjukkan kehebatannya. 
Serangan-serangannya semakin tajam dan berbahaya! 
Bahkan beberapa kali sambaran dan tusukan senja-
tanya, nyaris membuat Danta dan Barna Pati terluka. 
Karuan saja, kedua orang lelaki gagah itu semakin ke-
repotan!
“Haiiit...!”
Memasuki jurus yang keempat puluh lima, tiba-
tiba saja Bhirawa mengeluarkan bentakan nyaring dis-
ertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan pada saat 
kedua orang itu terkejut, tubuhnya cepat melenting ke 
udara disertai sambaran pedang secara mendatar!
Wuuut..!
Jrasss...!
Crakkk...!
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika 
mata pedang di tangan Bhirawa merobek leher dan da-
da kedua orang lawan! Darah segar langsung muncrat 
dari kedua luka di tubuh Danta dan Barna Pati! Tubuh 
mereka terhuyung limbung, sebelum akhirnya ambruk 
tersabet pedang pemuda berwajah buruk itu!
“Aaa...!”
Barna Pati kembali menjerit panjang ketika ujung 
padang Bhirawa melesak menembus jantungnya. Pa-
dahal, dia sudah tak berdaya di tanah. Tubuh lelaki 
gagah itu langsung berkelojotan. Tewas!
Kematian Barna Pati masih lebih beruntung kalau melihat cara kematian yang dialami Danta. Buk-
tinya, tanpa ampun lagi Bhirawa langsung menebas 
putus kepala lelaki gemuk itu dengan sambaran pe-
dangnya! Danta kontan tewas tanpa sempat mengeluh 
lagi, karena kepalanya telah terpisah dari badan!
Setelah yakin kalau kedua orang lawannya telah 
tewas, Bhirawa menengadahkan kepalanya menatap 
langit kelam. Terdengar bisikannya yang parau dan 
menggeletar.
“Ayah.... Ibu.... Semoga darah kedua orang ma-
nusia terkutuk ini dapat membuat arwah kalian te-
nang...,” desah Bhirawa dengan wajah penuh kepua-
san.
Sesaat kemudian, pemuda itu melesat mening-
galkan tempat itu, yang kemudian kembali sunyi.
***
LIMA


Malam ini, seorang lelaki gemuk berpakaian pra-
jurit mendatangi bangunan indah milik Senapati Gada 
Sura. Lelaki gemuk yang tak lain Pandara itu minta 
untuk menghadap Jata Sura yang memang mendiami 
bangunan besar itu.
“Tolong katakan kepada Tuan Muda Jata Sura 
bahwa Pandara ingin menghadap...,” ujar lelaki gemuk 
itu kepada penjaga pintu gerbang. Si penjaga men-
gangguk hormat kepada Pandara, karena tingkatan le-
laki gemuk itu memang lebih tinggi.
Tanpa banyak cakap lagi, salah seorang dari pen-
jaga gerbang segera saja mengantarkan Pandara ketempat Jata Sura berada pada setiap pagi.
Jata Sura mengangguk tipis, ketika prajurit pintu 
gerbang itu melaporkan. Kemudian, disuruhnya agar 
Pandara menemuinya di halaman samping.
“Hm.... Bagaimana, Pandara? Apa gadis-gadis itu 
sudah kau dapatkan...?” tanya Jata Sura. Suaranya 
terdengar rendah, seperti tidak ingin terdengar orang 
lain.
“Mmm.... Begini, Tuan Muda...,” sahut Pandara 
takut-takut
Lelaki gemuk itu tampak gugup dalam menjawab 
pertanyaan yang diajukan Jata Sura. Pandara yang 
merupakan orang kepercayaan pemuda itu dalam hal 
mencari gadis-gadis cantik pemuas nafsunya, terlihat 
agak bingung dan salah tingkah. Sehingga, kening Jata 
Sura jadi berkerut tak senang.
“Mengapa kau kelihatan gelisah, Pandara? Apa 
kau gagal membawa gadis-gadis itu ke sini? Sejak ma-
lam aku menunggumu. Mengapa baru muncul seka-
rang?” suara Jata Sura mulai terdengar agak meninggi, 
meski masih dalam tekanan rendah.
“Kami.... Kami gagal, Tuan Muda. Kami....”
“Goblok!” Jata Sura membentak marah, memo-
tong kalimat Pandara yang belum selesai.
Lelaki muda berwajah tampan itu bangkit dari 
kursinya dengan wajah memerah. Jelas sekali kalau ia 
merasa marah mendengar laporan itu.
“Kami telah dihadang seorang pemuda bertubuh 
tegap dan bercaping, Tuan Muda. Dan gadis-gadis itu 
dibawanya pergi. Tujuh orang prajurit tewas. Hanya 
tinggal aku seoranglah yang masih selamat,” tutur 
Pandara napasnya ditarik.
“Pemuda bercaping kau bilang?! Hhh.... Lagi-lagi 
dia membuat aku gila! Belum kapok rupanya bangsat

itu. Kalau begitu kerahkan lima puluh orang prajurit 
dan cari pemuda bercaping itu. Rebut kembali gadis-
gadis yang telah dirampas itu. Perlu kau ingat, aku ti-
dak sudi mendengar kegagalanmu lagi!” perintah Jata
Sura dengan wajah berang.
“Tapi, Tuan Muda. Membawa prajurit sebanyak 
itu bisa menimbulkan kecurigaan. Dan kalau sampai 
terdengar ayah Tuan Muda atau pembesar lain, kita 
bisa celaka. Sedangkan pemuda itu sendiri sudah me-
larikan diri entah ke mana...,” Pandara memberi alasan 
yang cukup masuk akal, sehingga Jata Sura sempat 
terdiam, dan berpikir keras.
Pandara agak lega ketika melihat sikap pemuda 
itu terdiam ketika mendengar alasan yang dikemukan-
nya. Tampaknya, Jata Sura tidak berani bertindak se-
telah mendengar nasihat Pandara. Memang, perbua-
tannya yang menculik paksa gadis-gadis dari desa-
desa yang agak jauh letaknya dengan kotaraja, dilaku-
kannya secara sembunyi-sembunyi. Dan kalau renca-
nanya dilanjutkan, tentu bisa menimbulkan kegempa-
ran dan tanda tanya besar bagi pembesar-pembesar 
kerajaan lainnya. Dan kalau kebusukannya sampai di-
ketahui orang, tentu ayahnya sendirilah yang akan 
malu karena perbuatannya.
“Hm.... Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pan-
dara? Apakah perbuatan pemuda bercaping itu harus 
kita diamkan begitu saja?” tanya Jata Sura, bingung. 
Tampaknya ucapan Pandara tadi telah membuatnya 
tidak bisa berpikir dengan baik. ‘
Kembali Jata Sura berpikir keras. Dan tiba-tiba 
saja bibirnya tersenyum. Ternyata sebuah rencana 
mulai tersusun di benaknya.
“Hm.... Bukankah pemuda itu telah kuanggap 
sebagai pemberontak? Ah.... Bodohnya aku. Biar saja

ku kerahkan prajurit, dengan alasan mencari seorang 
pemberontak,” gumam Jata Sura seperti berkata-kata 
sendiri.
“Pemberontak? Memangnya, siapa pemuda itu, 
Tuan Muda?” tanya Pandara bingung.
“Pemuda itu tadi pagi memang telah membuat 
masalah padaku. Aku juga tidak tahu, siapa dia se-
sungguhnya. Tapi dia telah kuanggap sebagai pembe-
rontak. Jadi dengan memakai alasan itu, tak ada yang 
akan mencurigai kita lagi,” jelas Jata Sura.
“Baiklah kalau begitu, Tuan Muda. Rasanya me-
mang tak ada salahnya mengerahkan prajurit jika ala-
sannya demikian,” kata Pandara.
“O ya, Pandara, di mana Paman Danta Dan Pa-
man Barna Pati? Tolong panggilkan mereka. Aku ingin 
bicara.”
“Baik, Tuan Muda...,” sahut Pandara yang segera
saja menjura memberi hormat, dan berlalu dari situ.
***
Seorang pemuda tampan berjubah putih dan seo-
rang dara jelita berpakaian serba hijau tengah melang-
kah tenang, memasuki Kotaraja Bantar Gebang. 
Orang-orang yang kebetulan berpapasan, selalu saja 
menoleh dengan sinar mata penuh kagum dan iri. Be-
berapa orang gadis cekikikan sambil berbisik satu sa-
ma lain. Sesekali, ekor mata mereka menyambar wajah 
pemuda tampan berjubah putih itu. Jelas, mereka ten-
gah membicarakan pasangan muda yang memang ter-
lihat sangat cocok. Sehingga, wajar saja kalau kebera-
daan mereka mengundang berbagai pendapat dari 
orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan pasangan muda itu sama sekali tidak 
ambil peduli.

Mereka terus melangkah lambat-lambat menyu-
suri jalan utama kota itu. Ketika melewati sebuah ban-
gunan besar yang di depannya bertuliskan rumah ma-
kan dan penginapan, segera saja mereka bergerak ma-
suk.
Setelah memesan hidangan, pasangan muda itu 
duduk sambil melepaskan pandangannya ke sekeliling 
ruangan. Kedai makan itu tampak agak sepi, karena 
saat itu hari baru menjelang sore. Tapi, justru suasana 
itulah yang mereka inginkan. Dengan demikian, mere-
ka bisa tenang menikmati hidangan.
“Paman...,” pemuda berjubah putih itu memang-
gil pelayan setelah menyelesaikan hidangannya.
Ketika pelayan setengah baya itu datang mende-
kat, pemuda tampan ini menyatakan ingin memesan 
dua buah kamar untuk mereka. Karuan saja pelayan 
itu mengerutkan keningnya dengan wajah agak heran.
“Tapi, bukankah kalian suami istri? Mengapa 
memesan dua kamar? Di sini, kami juga menyediakan
satu kamar yang dapat digunakan untuk pasangan 
suami istri. Tuan boleh melihat kamar itu. Soal kera-
pian dan kebersihan, jangan khawatir...,” kata pelayan 
itu sambil mengacungkan ibu jarinya disertai senyum 
manis.
“Tidak, Paman. Kami bukan suami istri. Jadi, to-
long sediakan dua buah kamar yang berdampingan 
untuk kami berdua...,” jelas pemuda tampan berjubah 
putih ini, agar pelayan itu tidak banyak bicara lagi.
“Ooo. Kalau begitu, baiklah.... Mari...,” sahut pe-
layan itu.
Segera dibawanya kedua orang tamunya ke ba-
gian belakang bangunan. Memang, letak penginapan 
itu berada di bagian belakang. Sedangkan di bagian 
depan merupakan kedai makan bagi tamu penginapan

maupun orang-orang yang kebetulan lewat.
Tapi baru saja pelayan itu dan dua orang ta-
munya hendak menuju ke bagian belakang bangunan, 
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kemudian dis-
usul, masuknya belasan orang prajurit bersenjata ter-
hunus. Tentu saja kedatangan para prajurit itu mem-
buat beberapa orang tamu yang sedang menikmati hi-
dangan menjadi ketakutan.
“Semua tetap tinggal di tempat, dan jangan coba-
coba berbuat hal-hal yang mencurigakan! Kami tidak 
segan-segan menangkap dan menghukum siapa saja 
yang berani membantah...!” seorang lelaki tinggi besar 
bercambang bauk berseru memperingatkan.
Kini orang-orang yang semula hendak mening-
galkan ruangan itu, kembali duduk di tempatnya se-
mula. Termasuk juga pasangan muda yang baru saja 
hendak meninggalkan tempat itu.
“Hei, Pelayan! Coba panggil keluar semua tamu 
yang saat ini masih di dalam kamarnya...!” perintah le-
laki tinggi besar itu lagi dengan suara berwibawa.
Tanpa banyak cakap lagi, pelayan setengah baya 
itu segera saja mematuhinya.
“Dengar! Kami tengah mencari seorang pemuda 
bercaping yang telah membunuh prajurit-prajurit pagi 
tadi. Dan kalau di antara kalian ada yang melihatnya, 
harap segera beri tahukan kepada pihak prajurit. 
Orang muda bercaping itu sangat berbahaya, dan ke-
mungkinan tidak waras...,” kata lelaki tinggi besar itu 
kembali sambil melangkah mengitari ruangan rumah 
makan.
Sepasang matanya yang galak, meneliti orang-
orang di ruangan itu penuh selidik. Dia berhenti pada 
wajah pemuda tampan berjubah putih yang duduk 
bersama dara berpakaian hijau.

Menyadari kalau lelaki tinggi besar bercambang 
bauk itu adalah seorang perwira kerajaan, maka pe-
muda tampan dan gadis jelita itu segera saja men-
gangguk hormat Kemudian, wajah mereka ditunduk-
kan, karena tidak ingin menentang pandangan mata 
lelaki berpakaian perwira itu. Memang, mereka tahu 
kalau menentangnya, hanya akan mencari penyakit
saja.
“Hm.... Coba tegakan kepala kalian...,” perintah 
lelaki tinggi besar yang sudah berdiri di depan meja 
pasangan muda itu.
Tanpa membantah, pemuda tampan berjubah 
putih itu menegakkan kepala dengan tatapan lurus ke 
depan. Sikapnya nampak tenang, sama sekali tidak 
menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Sehingga, per-
wira tinggi besar itu diam-diam mengagumi ketenan-
gan pemuda tampan di depannya. Tapi ketika ia bera-
lih ke arah dara jelita berpakaian serba hijau di sebe-
lah pemuda itu. Keningnya baru berkerut tak senang. 
Ternyata gadis itu sama sekali tidak mematuhi perin-
tahnya.
“Nisanak, angkat kepalamu. Kami hanya ingin 
memastikan kalau orang yang dicurigai bukanlah ka-
lian. Untuk itu aku mengharap pengertianmu...,” tegur 
perwira tinggi besar itu dengan nada galak. Jelas, ia ti-
dak suka melihat ada orang yang berani membantah 
perintahnya.
Mendengar teguran ini, rupanya pemuda berju-
bah putih itu baru sadar kalau kawannya tidak menu-
ruti keinginan perwira tinggi besar di depan mereka. 
Segera saja disentuhnya tubuh dara jelita itu dengan 
ujung sikunya. Sentuhan perlahan itu ternyata cukup 
ampuh. Terbukti, dara jelita itu langsung mengangkat 
kepalanya meski dengan wajah cemberut. Sepertinya,
ia tidak suka mendengar perintah itu. Gadis itu mera-
sa kalau dirinya dianggap sebagai bawahan yang pan-
tas diperintah seenak perutnya.
“Bagus...,” gumam perwira bercambang bauk itu 
tersenyum tipis ketika dara jelita di depannya mene-
gakkannya wajahnya. Kemudian perwira itu berlalu se-
telah meneliti sejenak.
***
“Huh!”
Dara jelita berpakaian serba hijau itu mendengus 
lirih, begitu si perwira tinggi besar tadi berlalu dari ha-
dapannya. Rasa tidak senang masih tergambar jelas 
pada wajahnya yang cantik. Tentu saja, keinginan 
perwira bercambang bauk itu dituruti hanya karena 
isyarat pemuda berjubah putih di sebelahnya.
“Sombong sekali lelaki berpangkat perwira itu. 
Kalau saja ia tahu kalau orang di hadapannya adalah 
Pendekar Naga Putih, tentu tidak akan berani selan-
cang barusan...,” omel dara jelita itu.
Rupanya gadis itu tidak merasa puas sebelum 
mengeluarkan perasaan tidak senangnya melalui kata-
kata. Jelas sudah, siapa dara jelita di sebelah pemuda 
berjubah putih yang dikenal sebagai Pendekar Naga 
Putih.
“Perwira itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Ia 
hanya menuruti perintah atasannya. Kalau pun kata-
katanya tadi terdengar agak kasar dan menyinggung
perasaanmu, hal itu wajar saja. Sebagai seorang perwi-
ra, ia diharuskan selalu bertindak tegas tanpa harus 
mengikuti perasaan hati,” pemuda berjubah putih yang 
sudah pasti Panji itu, menasihati kekasihnya sambil

tersenyum.
Tentu saja pembicaraan itu dilakukan secara 
berbisik, agar tidak sampai terdengar orang lain. Teru-
tama perwira tinggi besar dan prajurit-prajurit kera-
jaan itu.
“Hm.... Boleh saja ia bertindak tegas dan berkata 
kasar kepada bawahannya. Tapi, apakah terhadap seo-
rang wanita yang tidak termasuk anggota pasukannya 
juga harus bertindak setegas dan sekasar itu?! Ra-
sanya tidak adil, Kakang. Coba saja kalau yang diben-
tak-bentak seorang wanita tokoh sesat. Pasti perwira 
itu tidak akan bisa melihat matahari esok pagi....”
Kenanga masih saja mengomel karena, hatinya 
masih merasa sakit dibentak-bentak seperti oleh per-
wira tinggi besar itu tadi.
“Sudahlah. Jangan kau turuti perasaan marah-
mu itu. Mungkin saja orang yang tengah dicari me-
mang benar-benar berbahaya, dan harus segera dite-
mukan. Kalau tidak, belum tentu ia membawa pasu-
kan yang cukup lengkap. Heran. Orang gila dari mana 
yang berani mengacau kotaraja? Apa dia tidak tahu 
kalau kotaraja merupakan gudangnya orang-orang 
pandai...?” gumam Panji.
Pendekar Naga Putih tidak habis mengerti kalau
ada orang yang berani mengacau di kotaraja. Sebab, 
pemuda itu tahu kalau kotaraja banyak terdapat orang 
sakti yang mengabdikan dirinya pada kerajaan.
“Aku rasa, pengacau itu bukan orang gila, Ka-
kang. Dia pasti mempunyai alasan kuat. Atau bisa ju-
ga prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri yang sengaja 
mencari perkara. Rasanya tidak mungkin bila ia men-
gacau tanpa sebab. Apalagi sampai membunuh. Kalau 
prajurit-prajurit itu tidak keterlaluan, aku yakin ia tak 
akan membunuh. Buktinya, prajurit-prajurit barusan

sudah merasa sok kuasa saja...,” bantah Kenanga.
Rupanya gadis itu malah berpihak kepada orang 
buruan yang dicari-cari tentara kerajaan. Tentu saja 
pendapat itu dikemukakan karena rasa ketidaksenan-
gannya terhadap perwira tinggi besar tadi.
Pembicaraan pasangan pendekar muda itu ter-
henti sejenak ketika melihat si perwira tinggi besar 
kembali lewat di depan meja mereka. Melihat dari raut 
wajahnya, jelas kalau si pengacau tidak ditemukan di 
rumah penginapan ini.
“Ingat, apa yang kukatakan tadi. Siapa saja yang 
melihat pemuda yang mengenakan caping, dan bertu-
buh tinggi tegap, harap segera melaporkannya kepada 
kami. Maaf, kalau kedatangan kami telah membuat ka-
lian semua terganggu....”
Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar itu 
pun meninggalkan ruangan kedai, diikuti para prajurit 
yang berjumlah sekitar dua puluh orang lebih.
Setelah bayangan para prajurit dan perwira tinggi 
besar itu tidak nampak lagi, barulah suasana di dalam 
ruang kedai menjadi bising. Mereka saling berbicara 
satu sama lain, seperti kumpulan lebah dekat sarang-
nya.
Dalam suasana bagai puluhan ekor lebah itu, 
Panji segera mengajak Kenanga untuk menemui pe-
layan rumah penginapan. Mereka tidak segera masuk 
ke kamar masing-masing, tapi Kenanga memaksa un-
tuk membicarakan soal buronan yang dicari pihak ke-
rajaan di kamar kekasihnya.
“Kakang... apa kau tidak berniat menyelidiki si 
pengacau itu? Rasanya kita perlu tahu, apa alasannya 
si pengacau membunuh para prajurit kerajaan pagi ta-
di. Dan, menurutku, orang itu pasti mempunyai suatu 
alasan yang sulit diketahui. Hm.... Aku jadi tergerak

untuk mengetahuinya...,” kata Kenanga ketika mereka 
telah berada di dalam kamar Panji.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum ketika me-
lihat sinar mata dara jelita itu berbinar seperti haus 
akan petualangan baru.
“Hm.... Menurutku, kita harus menunggu kelan-
jutannya dulu. Mungkin saja orang yang menjadi bu-
ronan pemerintah hanya kebetulan singgah di kotaraja 
ini. Siapa tahu, ia telah pergi jauh dari sini untuk tidak 
kembali lagi. Nah! Kalau dugaanku benar, apa yang 
hendak kau selidiki...?” bantah Pendekar Naga Putih.
Panji sepertinya tidak ingin bertindak, sebelum 
mengetahui persoalannya secara jelas. Hal itu tentu 
saja bisa dimengerti kekasihnya.
“Menurutmu, kita harus tinggal untuk beberapa 
hari di kotaraja ini...?” tanya Kenanga. Semangatnya 
tampak mulai mengendor. Memang penjelasan Panji 
itu pantas dipikirkan.
“Yah..., kira-kira begitulah.... Sekarang, sebaik-
nya kita istirahat saja dulu. Besok baru kita mengeli-
lingi kotaraja ini untuk melihat-lihat, sambil mencari 
keterangan tentang kelanjutan peristiwa pagi tadi...,” 
sahut Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian segera merebah-
kan diri di atas pembaringan. Sementara Kenanga 
hanya mengangguk-anggukkan kepala dan bergegas 
menuju kamarnya.
Sebentar kemudian, senja pun berganti malam. 
Dan kini, rumah penginapan itu sudah mulai tampak 
sepi, karena para penghuninya telah memasuki kamar 
masing-masing. Hanya satu dua orang saja yang masih 
terlihat di dalam ruangan kedai. Itu pun tidak berlang-
sung lama. Mereka juga bergegas meninggalkan ruan-
gan kedai untuk beristirahat, ketika malam semakin

larut
***
Jata Sura menghempaskan tubuhnya di atas 
kursi. Terdengar helaan napas beratnya yang menan-
dakan kekecewaan hati. Tapi tidak berapa lama kemu-
dian, pemuda itu melompat bangkit ketika mendengar 
teriakan Pandara dari kejauhan. Bergegas pemuda itu 
menyambut kedatangan pembantunya yang bertubuh 
gemuk itu.
“Mengapa baru kembali sekarang, Pandara? 
Hanya mencari dua orang saja perlu waktu sehari. 
Huh! Lalu, sekarang mana Paman Danta dan Paman 
Barna Pati...?” tegur Jata Sura.
Pemuda itu segera menyongsong kedatangan 
pembantunya. Wajahnya tampak semakin memerah, 
ketika melihat tidak adanya Danta dan Barna Pati 
yang menyertai Pandara.
“Mereka tidak kutemukan, Tuan Muda. Hamba 
telah mencari ke mana-mana tapi tidak berhasil. Seha-
rian hamba mencari, ke tempat mereka biasa berkum-
pul...,” lapor lelaki gemuk itu dengan napas memburu.
Meskipun begitu, dari sorot mata Pandara terlihat 
kelegaan. Jelas, ia merasa bersyukur karena tidak me-
nemukan kedua orang pengawal pribadi tuan mudanya 
itu.
“Aneh! Tidak biasanya mereka pergi begini la-
ma...? Bahkan biasanya mereka selalu melapor apabila 
hendak keluar...,” gumam Jata Sura dengan berbagai 
tanda tanya memenuhi benaknya. Memang, tidak bi-
asanya kedua orang pengawal pribadinya itu keluar
tanpa melapor terlebih dahulu kepadanya.
Jata Sura dan Pandara yang tengah berpikir ke-
ras, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara lang

kah kaki mendekati tempat mereka. Serentak kedua-
nya menoleh dengan alis berkerut.
“Ada apa kau menghadap tanpa dipanggil...?” da-
lam kejengkelannya, Jata Sura membentak prajurit 
yang tergopoh-gopoh datang menghadap itu.
“Maaf, Tuan Muda.... Mmm..., Perwira Kala 
Sungga ingin menghadap...,” lapor prajurit itu, takut-
takut.
Tubuh prajurit itu tampak agak gemetar akibat 
bentakan Jata Sura. Hatinya baru lega ketika melihat 
junjungannya menganggukkan kepala.
Kemudian prajurit itu berbalik, dan pergi dari si-
tu. Namun, sebentar saja dia sudah kembali bersama 
seorang perwira bertubuh tinggi besar. Pada wajahnya 
tampak dihiasi cambang bauk yang lebat
“Tuan muda! Aku Kala Sungga datang mengha-
dap...,” perwira tinggi besar yang ternyata bernama Ka-
la Sungga membungkuk hormat kepada pemuda itu. 
Lalu, segera saja diceritakan keperluannya.
“Apa...!? Danta dan Barna Pati tewas? Siapa yang 
membunuh mereka? Dan di mana kalian menemukan 
mayatnya...?!
Terkejut bukan main Jata Sura ketika mendengar 
laporan perwira tinggi besar itu. Segera saja ia berge-
gas mengikuti Kala Sungga yang memang telah mem-
bawa mayat kedua orang pengawal pribadinya.
Gemetar sekujur tubuh Jata Sura ketika melihat 
mayat kedua orang pengawal pribadinya. Apalagi, me-
nyaksikan mayat Danta yang kepalanya terpisah dari 
badan. Karuan saja pemuda itu bertambah murka.
“Keparat! Manusia gila dari mana yang berani 
melakukan kekejian ini...!” desis Jata Sura mengepal-
kan tinjunya erat-erat.
Hati Jata Sura sedih bukan main. Dua orang

pengawal pribadinya ini telah mengabdikan diri semen-
jak ia kecil. Tapi kini, mereka tewas dengan kematian 
begitu menyedihkan, tanpa diketahui siapa yang telah 
melakukannya.
“Di tempat mayat mereka terbaring, kami mene-
mukan tulisan Hantu Laut Pajang yang ditulis dengan 
darah. Rupanya sebelum kematiannya, Barna Pati 
sempat menuliskan nama pembunuh keji itu. Hanya 
saja aku merasa heran, sebab Hantu Laut Pajang telah 
lama hilang dari dunia persilatan. Tapi, orang yang su-
dah hampir mati tidak mungkin salah menuduh...,” 
kata Kala Sungga, menyadarkan Jata Sura dari kese-
dihannya.
“Hantu Laut Pajang...,” desis Jata Sura tanpa 
mempedulikan ucapan Kala Sungga, “Kau boleh pergi, 
Kala Sungga. Tapi jangan lupa, selidikilah siapa sebe-
narnya yang telah melakukan pembunuhan ini....”
Tanpa banyak membantah lagi, Kala Sungga se-
gera saja bergegas meninggalkan Jata Sura. Pandara
pun ikut meninggalkan tempat itu setelah memerin-
tahkan para prajurit membawa mayat Danta dan Bar-
na Pati, untuk segera dimakamkan. Kini tinggallah Ja-
ta Sura termenung seorang diri dengan wajah murung.
“Hm.... Aku harus memberitahukan ayah tentang 
kejadian ini,” desis pemuda itu yang segera beranjak 
dan bersiap memberitahukan Senapati Gada Sura 
yang berada di istana.
***
Senapati Gada Sura segera saja bergegas me-
ninggalkan istana setelah menerima laporan dari pu-
tranya. Lelaki gagah bertubuh gemuk berwajah bersih 
itu tentu saja menjadi geram mendengar laporan pu-
tranya itu. Sebelum meninggalkan Istana Bantar Gebang, lelaki gagah itu mengajak dua orang jagoan ista-
na untuk membantunya. Untungnya, semua kejadian 
itu tidak sampai terdengar pejabat lain atau keluarga 
kerajaan. Hanya Senapati Gada Sura dan dua orang 
jagoan istana Itu sajalah yang mengetahuinya. Kalau 
sampai terdengar, bukan mustahil akan menimbulkan 
kegemparan.
“Apa kau tidak salah dengar kalau yang melaku-
kan pembunuhan itu adalah Hantu Laut Pajang...?” 
tanya Senapati Gada Sura setelah tiba di tempat ke-
diamannya.
Suara lelaki gemuk itu terdengar berat dan keras,
sewajarnya seorang pembesar tinggi harus selalu ber-
wibawa.
“Tidak, Ayah. Kalau Ayah masih kurang percaya, 
silakan tanya kepada Paman Kala Sungga. Dialah yang 
menemukan mayat dan tulisan dengan darah itu...,” 
sahut Jata Sura menoleh ke arah lelaki tinggi besar 
berwajah brewok yang juga telah dipanggil menghadap 
Senapati Gada Sura.
“Benar, Tuan. Hanya yang masih hamba heran-
kan, tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu telah 
lama lenyap dan tidak pernah terdengar lagi kabar-
nya...,” jelas Kala Sungga.
“Aku pun merasa heran, Kala Sungga. Dan me-
mang, menurut apa yang kudengar pun demikian. Tapi 
untuk lebih jelasnya, aku akan menugaskan Adi Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru untuk menyelidikinya. Ka-
lau memang Hantu Laut Pajang masih hidup dan be-
nar melakukan pembunuhan terhadap kedua orangku, 
bunuh saja tokoh itu...,” kata Senapati Gada Sura 
sambil menoleh ke arah dua orang jagoan istana yang 
memang sengaja dibawanya untuk tugas itu.
“Jangan khawatir, Tuan Senapati. Kami berdua

akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Tidak 
sulit rasanya untuk mencari tokoh itu, karena mereka 
tinggal di daerah pantai sebelah Utara Laut Pajang. 
Bukan begitu, Adi Barangga...?” lelaki tua berusia seki-
tar enam puluh tahun yang bernama Ki Tumbal Waru 
itu menolehkan kepala ke arah lelaki gemuk dan ber-
kepala agak botak yang bernama Barangga.
“Benar, Tuan Senapati. Serahkan saja persoalan 
ini kepada kami berdua. Percayalah. Dalam waktu de-
kat, kami akan segera mengabarkan hasilnya...,” janji 
lelaki gemuk bernama Barangga itu sambil terkekeh 
parau. Jelas, ucapannya itu menandakan kesombon-
gan hatinya.
“Baiklah. Kapan kalian berangkat...?” tanya Se-
napati Gada Sura singkat. Sepertinya, ia ingin selalu 
bertindak cepat dalam segala sesuatu.
“Kalau diizinkan, sekarang juga kami akan be-
rangkat,” langsung saja Ki Tumbal Waru menyahuti 
tanpa menunggu keputusan Senapati Gada Sura. Se-
dangkan Gada Sura mengangguk saja menyetujui.
Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Gada Sura 
langsung memerintahkan agar mereka segera berke-
mas. Sedangkan ia sendiri segera saja memasuki ka-
mar yang khusus untuk beristirahat apabila di istana 
sedang tidak ada tugas.
Ruang pertemuan itu pun kembali sunyi, setelah 
semua orang yang berada di dalamnya pergi mengem-
ban tugas masing-masing.
***
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, dua 
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang bergegas 
menuju Pantai Utara. Laut Pajang. Tujuan mereka je-
las. Mencari Hantu Laut Pajang untuk meminta penjelasan tokoh itu mengenai pembunuhan dua orang ke-
percayaan Senapati Gada Sura.
Ki Tumbal Waru dan Barangga tiba-tiba meng-
hentikan larinya, saat mereka baru menginjakkan kaki 
di pantai sebelah Utara Laut Pajang. Memang, satu se-
tengah tombak di depan mereka berdiri tegak seorang 
lelaki tegap yang melindungi wajahnya dengan caping 
bambu. Merasa kalau sosok bercaping itu sengaja 
menghadang jalan, Barangga segera saja menegurnya.
“Kisanak! Apakah kau ada keperluan dengan 
kami berdua?” tanya Barangga agak hati-hati sambil 
meneliti sosok tegap di depannya.
Sepasang mata lelaki gemuk itu nampak agak 
menyipit seperti hendak menilai sosok bercaping bam-
bu itu.
“Hm.... Seharusnya, akulah yang bertanya kepa-
da kalian berdua. Apa keperluan kalian hingga sampai 
ke daerah kekuasaanku ini?” sahut sosok tegap yang 
wajahnya terlindung caping bambu itu.
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak 
menaikkan tepi caping. Tampaklah sepasang mata 
yang menyorot tajam menggetarkan.
“Hm.... Siapa kau, hingga berani-beraninya men-
gaku pantai ini merupakan daerah kekuasaanmu? 
Kami kenal, siapa pemilik Pantai Utara Laut Pajang ini. 
Dan kami pun tahu, orang itu bukanlah kau, Kisanak. 
Jadi, kau tidak mempunyai hak bertanya seperti itu!” 
Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi hanya diam me-
natapi sosok bercaping itu, mulai angkat bicara. Nada 
suaranya demikian tegas dan tandas.
“Ha ha ha.... Begitukah? Lalu, tahukah kalian. 
Siapa orang yang kini berdiri menghadang jalan ka-
lian?!” kata sosok bercaping itu, lebih mantap dan 
menggeletar. Jelas kalau ia telah mengerahkan tenaga
dalamnya melalui suara itu.
“Pemilik tempat ini adalah sahabat kami yang 
berjuluk Hantu Laut Pajang. Dan, aku tidak tahu siapa 
dirimu. Maka sebaiknya menyingkirlah, sebelum ter-
lambat...,” sahut Barangga dengan tekanan ancaman 
halus. Tampaknya lelaki gemuk jagoan Istana Kerajaan 
Bantar Gebang ini mulai tidak sabar menanggapi uca-
pan sosok bercaping itu.
Sosok tinggi tegap yang wajahnya terlindung di 
balik caping bambu itu kembali memperdengarkan su-
ara tawanya, seraya menggerakkan tangannya untuk 
melepas caping yang menyembunyikan wajahnya. Ta-
pak seraut wajah kehitaman yang di sebelah kiri wa-
jahnya terdapat sebuah luka seperti bekas penyakit 
kulit. Tentu saja Ki Tumbal Waru dan Barangga sema-
kin berkerut kening, karena sama sekali tidak menge-
nali seraut wajah yang jelas masih muda di depannya.
“Hm.... Kalian pasti tidak kenal wajahku lagi yang 
telah menjadi buruk ini. Tapi, ketahuilah. Aku tidak
pernah melupakan kebiadaban kalian yang telah 
membantai keluargaku secara keji di Laut Pajang. Un-
tuk itulah aku menghadang kalian di tempat ini. Mak-
sudku adalah hendak mencabut nyawa kalian berdua,” 
tegas sosok tegap berwajah buruk yang ternyata Bhi-
rawa.
Rupanya, kedua orang jagoan istana itu terma-
suk dalam daftar musuh-musuh keluarganya. Ma-
kanya dia menghadang perjalanan Ki Tumbal Waru 
dan Barangga.
Baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga agak 
tersentak mendengar ucapan pemuda itu. Meskipun 
peristiwa itu telah dapat diingat, tapi mereka sama se-
kali tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk 
yang berada di depannya itu.

“Maaf. Aku tetap tidak mengenalmu, Kisanak. 
Tapi kalau memang hendak membalas dendam, se-
butkanlah namamu. Dan, apa hubunganmu dengan 
peristiwa itu...?” tanya Ki Tumbal Waru yang memang 
tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk yang 
memiliki sepasang mata mencorong tajam itu.
“Baik, namaku Bhirawa. Dan mengenai hubun-
ganku dengan peristiwa itu maupun orang-orang yang 
kalian bantai secara kejam, rasanya tidak perlu lagi ku 
jelaskan...,” sahut Bhirawa datar namun penuh me-
nyimpan dendam kesumat.
“Aaah...!?”
Barangga tersentak mundur dengan wajah agak
berubah. Jelas, ia sangat terkejut mendengar nama 
pemuda bertubuh tegap itu. Sepasang matanya tam-
pak melotot lebar, bagaikan orang melihat hantu di 
siang bolong!
“Mustahil...?!” desis Ki Tumbal Waru yang juga 
hampir tidak mempercayai pendengarannya.
Berbeda dengan Barangga, Ki Tumbal Waru me-
natap tajam seolah-olah ingin memastikan kalau pe-
muda itu tidak berbohong atau sengaja menakut-
nakutinya. Memang, Bhirawa yang mereka kenal, tentu 
saja berbeda jauh dengan pemuda buruk rupa itu.
“Sudahlah. Tidak perlu lagi kalian berpura-pura 
pikun sebaiknya, bersiaplah untuk menerima kema-
tian...!” desis Bhirawa tanpa mempedulikan keterkeju-
tan kedua orang musuh keluarganya.
Swing...!
Tahu-tahu saja, sebilah pedang bersinar kebi-
ruan telah tergenggam di tangan kanan pemuda itu.
“Hantu Laut Pajang...?!”
Kedua orang jagoan istana itu tersentak mundur 
begitu mengenali senjata yang berada dalam gengga

man Bhirawa. Jelas mereka sangat terkejut melihat 
adanya senjata yang sekarang berada di tangan pemu-
da berwajah buruk itu.
“Ya! Dan, senjata ini pulalah yang telah menghi-
rup darah dua orang manusia busuk Danta dan Barna 
Pati semalam...,” desis Bhirawa datar.
Kemudian senjata Bhirawa dilintangkan di depan 
dada. Siap untuk menghirup darah musuh-musuh ke-
luarganya yang masih tersisa.
***
ENAM


Ki Tumbal Waru dan Barangga cukup terkejut 
mendengar pengakuan pemuda buruk rupa itu. Untuk 
meyakinkan hatinya, kedua jagoan kerajaan itu kem-
bali meneliti sosok tinggi tegap di depannya.
“Benarkah kau yang telah membunuh Danta dan 
Barna Pati dengan menyamar sebagai Hantu Laut Pa-
jang...?” tanya Barangga masih tetap meragukan pen-
gakuan Bhirawa.
Keraguan lelaki gemuk itu bukannya tanpa ala-
san. Ia sendiri cukup tahu, sampai di mana kepan-
daian kedua orang pengawal pribadi putra atasannya. 
Bahkan Barangga sendiri harus memerlukan waktu 
yang cukup lama untuk dapat menundukkan Danta 
dan Barna Pati. Jadi, wajar saja kalau ia tidak begitu 
yakin kalau pemuda buruk rupa itu yang telah mem-
bunuh Danta dan Barna Pati.
“Hm.... Percaya atau tidak, itu terserah kalian.

Yang jelas, akulah yang telah menghukum kedua ja-
hanam busuk itu! Dan aku tidak menyamar sebagai 
Hantu Laut Pajang, karena memang aku sendiri yang 
kini berjuluk Hantu Laut Pajang. Itu bisa kalian yakini 
dengan senjata kebesaran tokoh itu yang kini berada 
di tanganku,” jelas Bhirawa tanpa mempedulikan keti-
dakpercayaan lelaki gemuk itu.
“Jadi..., kau putra....”
“Ya! Sekarang bersiaplah menerima kematian...!” 
potong Bhirawa tanpa memberi kesempatan kepada Ki 
Tumbal Waru untuk menyelesaikan kalimatnya.
Usai berkata demikian, pemuda berwajah buruk 
yang penuh perbawa itu bergerak ke kiri sambil meng-
gerakkan pedangnya.
Yakin kalau pemuda itu memang benar-benar 
pembunuh yang dicarinya, maka Ki Tumbal Waru dan 
Barangga segera saja bergerak merenggang.
“Kalau begitu, kau bukan saja harus ditangkap. 
Tapi, kau juga harus menerima hukuman berat..,” de-
sis Ki Tumbal Waru yang kini merasa geram.
Ki Tumbal Waru dan Barangga sepertinya tidak 
ingin menganggap remeh pemuda itu. Terbukti, mere-
ka telah mencabut senjata masing-masing.
Wuuut! Wuuut!
Barangga menggeser langkahnya ke kanan sam-
bil mengibaskan senjata di tangannya yang berupa se-
bilah pedang tipis. Terdengar suara mengaung ketika 
senjata di tangan lelaki gemuk itu berputar memben-
tuk gulungan sinar memanjang.
Sedangkan Ki Tumbal Waru dengan sepasang 
pedang sepanjang dua jengkal, telah pula menggeser 
tubuhnya ke kiri pemuda itu. Sepasang pedang pen-
deknya berkesiutan membeset udara, ketika digerak-
kan. Jelas, kedua orang jagoan istana itu sama-sama
memiliki tenaga dalam tinggi.
Bhirawa yang dikepung dari dua arah, tetap ber-
sikap tenang. Langkah-langkahnya terlihat demikian 
kokoh dan mantap. Sepertinya, pemuda itu sangat ya-
kin akan kepandaian yang dimiliki. Hal itu tergambar 
jelas dari pancaran mata dan raut wajahnya yang te-
nang.
“Haaat..!”
Barangga yang memang memiliki sikap tidak sa-
bar, segera saja memulai serangan dengan sebuah 
bentakan nyaring. Seketika itu juga, tubuh gemuknya 
langsung bergerak maju dengan langkah-langkah pen-
dek namun menampakkan kekokohan. Senjata di tan-
gannya bergerak turun naik berkecepatan tinggi. Jelas, 
jurus yang digunakannya bukan ilmu pasaran!
Dengan selisih waktu yang tidak lebih dari seke-
jap mata, Ki Tumbal Waru pun telah pula membuka 
serangan. Tubuh lelaki tua berusia sekitar enam puluh 
tahun itu melenting ke udara diiringi pekikan nyaring.
Melihat gerakan dua orang itu yang sangat ber-
beda, sadarlah Bhirawa kalau lawan hendak memecah 
perhatiannya dengan serangan dari atas dan bawah.
“Heaaah...!”
Bhirawa berseru pendek sambil mengkelebatkan 
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemu-
dian langsung disambutnya serangan dua orang lawan 
dengan menggeser langkah ke kiri dan kanan. Gerakan 
itu dimaksudkan untuk menipu, agar lawan-lawannya 
tak mudah menduga ke mana serangannya ditujukan.
Serangan Barangga tiba lebih dulu dengan kece-
patan menggetarkan! Senjata di tangannya mengaung, 
membelah udara dengan ujungnya yang bergetar ba-
gaikan mengincar beberapa jalan darah kematian di 
tubuh Bhirawa. Langsung saja pemuda berwajah bu
ruk itu memutar senjatanya untuk menyambut ujung 
pedang lawan.
Wettt! Wettt!
Mendadak saja ketika ujung pedang itu hampir 
berbenturan, Barangga merubah gerakan dengan me-
mutar pergelangan tangannya. Sehingga, ujung pe-
dangnya berputar setengah lingkaran dan meluncur 
deras mengancam tenggorokan lawan!
Cuittt!
Tapi, Bhirawa rupanya sudah menduga akan ge-
rakan tipu lawannya. Terbukti, ketika ujung pedang 
lawan berputar dan mengancam tenggorokannya, pe-
muda itu cepat menarik mundur tubuhnya satu lang-
kah dengan kuda-kuda agak rendah. Sehingga, pedang 
lawan lewat di depan wajahnya, sejengkal lebih ke 
atas.
“Yiaaah...!”
Bhirawa yang tak ingin membuang setiap peluang 
yang dilihatnya, segera saja menusukkan pedang lu-
rus-lurus ke depan, mengincar tepat di jantung lawan!
Swing...!
Sayang, Bhirawa tidak mempunyai banyak ke-
sempatan untuk melanjutkan serangan mautnya. Ka-
rena pada saat yang bersamaan, Ki Tumbal Waru su-
dah datang menerjang dengan sepasang pedang pen-
deknya. Suara mendesing-desing yang ditimbulkan 
sambaran pedang pendek lelaki tua itu, membuat Bhi-
rawa terpaksa harus memutar tubuhnya. Langsung 
pedangnya dikibaskan dalam keadaan berputar!
Ki Tumbal Waru yang melihat serangan balasan 
pemuda itu, cepat mengangkat pedang di tangan ka-
nannya untuk menangkis.
Trang...!
Terdengar benturan yang menimbulkan percikan
bunga api. Tubuh keduanya tampak sama melompat 
mundur, sejauh satu setengah tombak. Jelas, baik 
Bhirawa maupun Ki Tumbal Waru sama memiliki te-
naga dalam yang kuat dan seimbang.
Bhirawa yang belum lagi sempat mengatur kuda-
kudanya, cepat merendahkan tubuh. Karena, pada 
saat itu juga, pedang Barangga datang mengancam 
disertai suara mengaung tajam!
Cuiiit..!
“Aaah...!?”
Bhirawa memekik tertahan ketika hampir saja 
mata pedang lawan menggores lehernya! Untungnya, 
pemuda itu masih sempat memiringkan kepala dengan 
membentuk kuda-kuda serong. Sehingga, mata pedang 
itu lewat tiga jari di samping kulit lehernya!
“Hihhh!”
Tindakan Bhirawa dalam melakukan serangan 
balasan rupanya memang patut dipuji. Kejelian ma-
tanya dalam memanfaatkan setiap peluang, membuat 
pemuda itu cepat tanggap. Maka pada saat berhasil 
menghindari sambaran mata pedang itu, langsung saja 
kaki kanannya terlontar menghajar tubuh Barangga!
Buggg!
“Hukhhh...!”
Tendangan yang keras itu telak menghajar perut 
Barangga yang memang tidak pernah menduga akan 
kejelian mata lawannya. Karuan saja tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang. Untungnya, lelaki gemuk 
itu bisa menguasai keadaan. Cepat tubuhnya melent-
ing dan bersalto beberapa kali, untuk kemudian men-
darat empuk sejauh dua tombak dari lawan. Meski 
demikian, terlihat wajahnya agak meringis menahan 
nyeri. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah se-
gar, yang membuatnya semakin geram.

Saat itu, Bhirawa yang berniat menyusuli seran-
gannya selagi tubuh lawan berada di udara, terpaksa 
harus menundanya. Karena pedang pendek Ki Tumbal 
Waru memang sudah mencegahnya!
Wettt! Wettt! Wettt!
Serangkaian sambaran pedang pendek di tangan 
Ki Tumbal Waru datang susul-menyusul diiringi deci-
tan-decitan menyakitkan telinga. Untuk beberapa saat 
lamanya, Bhirawa terpaksa harus bermain mundur. 
Serangan orang tua itu memang cukup membuatnya 
kerepotan!
“Hiaaah...!”
Ki Tumbal Waru sepertinya tidak lagi ingin mem-
beri peluang kepada lawan untuk membalas. Terbukti 
serangan sepasang pedang pendeknya tidak berhenti 
sampai di situ saja. Senjata sepanjang dua jengkal itu 
terus menyambar-nyambar hebat! Tentu saja Bhirawa 
semakin terdesak hebat!
Gencarnya serangan yang dilontarkan Ki Tumbal 
Waru sepertinya tidak sia-sia. Setelah selama sepuluh 
jurus lebih mencecar lawannya, akhirnya salah satu 
dari pedang pendeknya berhasil merobek lengan ba-
gian atas pemuda itu!
Wuttt.... Crasss...!
“Aaakh...!”
Bhirawa terpekik kaget saat ujung pedang pen-
dek di tangan lawan mengenai bagian tubuhnya. Da-
rah segar segera menyembur dari luka yang cukup da-
lam dan panjang itu. Bahkan Bhirawa sempat melintir 
dibuatnya!
“Haiiit...!”
Selagi tubuh lawan melintir akibat sambaran sa-
lah satu pedang pendeknya, Ki Tumbal Waru berseru 
keras sambil melontarkan tendangan berputar ke kepala lawannya. Namun dalam keadaan yang cukup su-
lit itu, rupanya Bhirawa sempat melihat datangnya 
tendangan maut. Langsung saja tubuhnya bergeser 
untuk menghindar. Sayang ia masih kalah cepat den-
gan lawannya. Sehingga....
Desss...!
Tendangan itu ternyata masih sempat menghajar 
punggungnya! Maka karuan saja tubuh pemuda ter-
lempar, dan tersungkur mencium tanah! Darah segar 
semakin banyak mengalir dari lukanya. Tendangan ke-
ras tadi memang tepat mengenai dekat bagian lukanya.
“Uhhh...!”
Bhirawa mengeluh sambil meringis menahan sa-
kit pada lukanya. Tapi selagi pemuda itu bergerak 
hendak bangkit, Barangga datang menjejakkan ka-
kinya ke tubuh pemuda itu!
Derrr!
Debu mengepul ketika telapak kaki yang disaluri 
tenaga dalam menjejak tanah di dekat tubuh Bhirawa. 
Karena, pemuda itu sempat menggulingkan tubuhnya 
untuk menghindar.
Tapi, Barangga bukan orang bodoh. Maka begitu 
pijakannya luput, kaki itu langsung terlontar mengha-
jar lambung Bhirawa!
Desss...!”
“Hukhhh...!”
Tendangan keras itu telak mengenai lambung 
Bhirawa. Seketika itu juga tubuhnya bagai disentak-
kan bangkit secara paksa, dan tumbang kembali diser-
tai keluhannya. Darah segar pun semakin banyak yang 
keluar dari mulut pemuda itu.
Barangga yang rupanya sangat bernafsu untuk 
menewaskan lawan, mengobat-abitkan pedangnya ke 
tubuh Bhirawa yang terus bergulingan menghindarkan

diri. Meskipun demikian, tak urung beberapa buah 
goresan ujung pedang harus diterimanya. Dan akhir-
nya, Bhirawa tidak lagi mampu untuk menggulingkan 
diri. Pemuda itu hanya terdiam pasrah, menanti da-
tangnya maut yang akan menjemput!
“Hiyaaa...!”
Wukkk...!
Pedang di tangan Barangga berkeredep menyi-
laukan mata, hendak membelah tubuh Bhirawa. Se-
dangkan pemuda itu menatap tak berkedip, pasrah 
menerima kematiannya.
Mata pedang Barangga meluncur deras tanpa da-
pat dicegah lagi! Nampaknya, riwayat Hantu Laut Pa-
jang harus tamat di tangan salah seorang jagoan Kera-
jaan Bantar Gebang.
Trang...!
“Aaah...!”
Mendadak, pada saat yang sangat gawat bagi ke-
selamatan Bhirawa, meluncur seberkas sinar hitam 
dengan kecepatan tidak bisa ditangkap mata biasa. 
Kemudian, sinar itu langsung membentur pedang di 
tangan Barangga yang siap menamatkan riwayat Han-
tu Laut Pajang.
Benturan sinar hitam itu ternyata berakibat san-
gat mengejutkan! Bukan saja pedang di tangan Ba-
rangga dapat dibuat terpental lepas dari genggaman, 
bahkan tubuhnya hampir terjengkang jatuh! Tentu sa-
ja kenyataan itu hampir membuat Barangga tidak 
mempercayainya. Dia lalu bangkit, dengan mata tertu-
ju ke arah penyerangnya.
“Siapa kau...?!” bentak Barangga.
Mata laki-laki gemuk itu melotot bagai hendak 
keluar ketika melihat seorang pemuda berjubah putih 
yang membantu Bhirawa bangkit. Wajah pemuda itu

bersih dan tampan, dengan senyum ramah menghias 
wajahnya.
Bhirawa yang sama sekali tidak menduga kalau 
nyawanya bisa selamat, tertegun menatap pemuda 
tampan berjubah putih yang berusia sebaya dengan-
nya. Bhirawa segera menundukkan wajahnya, tidak 
berani menentang pandangan mata pemuda tampan 
yang terlihat demikian tajam dan mengandung perba-
wa amat kuat.
‘Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,” 
ucap Bhirawa, tanpa mengangkat wajahnya. Dia juga 
masih belum percaya kalau nyawanya selamat.
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya men-
gangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum meneri-
ma ucapan terima kasih Bhirawa. Dibawanya pemuda 
itu bangkit, dan disandarkannya di dinding karang.
“Bagaimana dengan musuh-musuhku itu, Kisa-
nak...?” tanya Bhirawa mengalihkan pandangan ke 
arah dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Kening pemuda berwajah buruk itu tampak ber-
kerut, ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping 
terbungkus pakaian hijau yang tengah berdiri meng-
hadapi kedua orang musuhnya.
“Gadis berpakaian hijau itu adalah kawanku. Ja-
di, tenangkanlah dirimu...,” jelas pemuda berjubah pu-
tih, sebelum sempat bertanya.
Pemuda berjubah putih itu memang Panji, yang 
di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar 
Naga Putih. Sedangkan gadis jelita berpakaian hijau 
yang tak lain dari Kenanga. Kemudian tanpa banyak 
cakap lagi Pendekar Naga Putih segera mengobati luka-
luka di tubuh Bhirawa.
Kekaguman di hati Bhirawa semakin bertambah 
ketika merasakan betapa jemari tangan pemuda itu

demikian lincah dalam melakukan pengobatan terha-
dap dirinya. Bahkan obot-obatan yang diberikan pe-
muda tampan itu sangat manjur. Maka tentu saja se-
mua itu membuat Bhirawa jadi terbengong-bengong.
Kau hebat sekali, Kisanak. Aku benar-benar ka-
gum dan tunduk kepadamu...,” aku Bhirawa tulus 
dengan wajah berseri.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapi ucapan tulus pemuda berwajah buruk itu.
“Sekarang kau istirahatlah. Biar kami yang akan 
menangani kedua orang itu...,” ujar Panji yang segera 
bergerak meninggalkan Bhirawa.
“Maaf. Kalau kami mencampuri urusan ini, Kisa-
nak sekalian. Tapi melihat betapa teganya kalian me-
nyiksa lawan yang sudah tidak berdaya, rasanya aku 
tidak bisa tinggal diam. Alangkah lebih baik apabila 
musuh yang sudah tidak berdaya, diampuni dan diba-
wa kembali ke jalan kebenaran. Dengan demikian, ka-
lian berarti bukan saja telah menolong jiwanya, tapi 
juga menyelamatkan manusia-manusia lain. Karena, 
bisa saja pemuda itu jadi menyadari kesalahannya se-
lama ini...,” kata Pendekar Naga Putih dengan tutur 
kata yang halus dan sopan. Sehingga, baik Barangga 
maupun Ki Tumbal Waru saling berpandang sejenak.
“Hm.... Siapakah kau, Kisanak. Usia dan penam-
pilan mu mengingatkanku pada seorang pendekar 
yang telah menggemparkan dunia persilatan. Benar-
kah dugaanku kalau kau yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih...?” Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi memang 
memperhatikan pemuda tampan itu secara teliti, sege-
ra saja mengungkapkan dugaannya meski agak ragu.
“Benar, Orang tua. Sahabatku ini adalah orang 
yang berjuluk Pendekar Naga Putih,” sahut gadis ber-
paras jelita berpakaian serba hijau itu cepat.

“Hm.... Sebagai seorang pendekar besar yang se-
lalu menentang setiap kejahatan, seharusnya kau ti-
dak menghalangiku untuk melenyapkan pemuda lak-
nat itu. Ketahuilah, pemuda berwajah buruk itu ada-
lah seorang pemberontak yang telah melakukan pem-
bunuhan terhadap dua orang pembantu Senapati Ga-
da Sura. Bahkan dia pula yang telah membunuh bebe-
rapa prajurit pada beberapa hari yang lewat Nah! Apa-
kah kau masih tetap ingin membela penjahat itu, Pen-
dekar Naga Putih...?”
Barangga yang masih menyimpan kejengkelan 
terhadap campur tangan pemuda itu, menjelaskan du-
duk perkaranya. Tentu saja dengan maksud agar Pen-
dekar Naga Putih tidak ikut campur tangan dalam per-
kara ini.
“Maaf. Sebelumnya, mungkin dugaanku akan 
sama dengan kalian. Tapi setelah melihat pedang yang 
menjadi lambang seorang tokoh sahabat guruku, maka 
aku merasa yakin kalau pemuda itu bukan seorang 
penjahat seperti yang kalian, tuduhkan. Kalaupun ia 
telah melakukan pembunuhan, pasti ada alasan kuat 
di balik semua perbuatannya. Kuharap, kalian berdua 
suka memaafkan perbuatannya. Berilah kepercayaan 
kepadaku untuk menyadarkannya,” kata Pendekar Na-
ga Putih.
Panji yang kedatangannya memang bukan tanpa 
sebab, sepertinya masih tetap ingin membela pemuda 
berwajah buruk itu. Dan apa yang dikatakannya pun 
memang merupakan kebenaran. Memang tokoh yang 
berjuluk Hantu Laut Pajang itu merupakan sahabat 
lama gurunya. Kedatangannya ke tempat itu pun hen-
dak mengunjungi tokoh sahabat gurunya.
“Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, pe-
muda itu merupakan ancaman yang sangat berbahaya

bagi kami dan juga atasan kami. Untuk itu, kami ditu-
gaskan untuk melenyapkan nya. Kalau kau menentang 
kami, itu sama artinya hendak memberontak terhadap 
Kerajaan Bantar Gebang!” dengus Ki Tumbal Waru.
Laki-laki tua yang memang diberi tugas Senapati 
Gada Sura untuk mendapatkan pemuda itu hidup 
atau mati, tidak bisa menerima alasan Panji. Dan ia te-
tap berkeras hendak mengambil Bhirawa, meskipun 
untuk itu harus berhadapan dengan Pendekar Naga 
Putih yang kesaktiannya telah menggemparkan jagad.
Panji tersenyum dengan wajah tetap tenang. Se-
pertinya pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar 
atas gertakan Ki Tumbal Waru yang mengatasnama-
kan Kerajaan Bantar Gebang. Dan Panji bukan pemu-
da bodoh. Kalau memang pemuda itu musuh kerajaan, 
tentunya bukan hanya mereka berdua yang akan diki-
rim untuk menangkapnya. Tapi, orang-orang berpa-
kaian prajuritlah yang akan melakukan tugas itu.
Sekali melihat saja, Panji dapat menilai kalau Ki 
Tumbal Waru dan Barangga merupakan orang-orang 
kasar yang mungkin bekerja untuk kepentingan seseo-
rang. Bukan untuk kerajaan. Pikiran itulah yang 
membuat Panji tidak gentar, meskipun kedua orang itu 
menggertaknya.
“Maaf. Apa pun alasannya aku tetap tidak akan 
membiarkan pemuda itu menjadi korban keganasan 
kalian,” tegas Panji yang sepertinya tetap ingin membe-
la Bhirawa. Memang Pendekar Naga Putih dapat meli-
hat pancaran kebaikan di hati Bhirawa.
“Kalau begitu, kami harus menggempurmu...,” 
geram Barangga dengan sikap mengancam.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu berge-
rak merenggang. Demikian pula halnya Ki Tumbal Wa-
ru. Lelaki tua itu pun sudah siap hendak menyerang
Pendekar Naga Putih.
***
TUJUH


Kenanga yang tadi hanya mendengarkan perde-
batan kekasihnya dengan dua orang jagoan Kerajaan 
Bantar Gebang, melangkah maju. Rasa penasaran 
yang semenjak tadi ditahannya bangkit seketika.
“Biar aku yang memberi pelajaran kepada mere-
ka, Kakang. Rasanya kalau hanya untuk menghadapi 
dua ayam sayur ini kau tidak perlu turun tangan,” ujar 
Kenanga sambil menatap kekasihnya meminta perse-
tujuan. Biarpun marahnya demikian besar, namun ga-
dis itu tidak berani melangkahi Panji.
Panji yang mengetahui sifat kekasihnya terme-
nung sejenak. Disadari kalau pribadi gadis jelita itu 
lembut Tapi dia sadar pula kalau Kenanga bila membe-
ri hajaran kepada orang-orang yang tidak disukainya, 
atau berani menghina kekasihnya, dapat bersikap ke-
ras. Pikiran itulah yang membuat Panji termenung.
“Untuk kali ini, biarlah aku saja yang menghada-
pi mereka. Kau menyingkirlah, Kenanga...,” tolak Panji, 
setelah berpikir sesaat.
Tanpa membantah lagi, Kenanga segera saja bergerak menyingkir. Meskipun hatinya penasaran, na-
mun ia tidak mau membantah ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih melangkah maju, dan berdi-
ri tegak menghadapi kedua orang lawannya dalam ja-
rak satu tombak lebih. Sikap dan wajahnya tetap terli-
hat tenang, tanpa sorot kebencian atau permusuhan.
“Silakan kalian memulai...,” ucap Panji tanpa 
persiapan sedikit pun. Kedua kakinya sama sekali ti-
dak menunjukkan kalau telah siap tempur.
Ki Tumbal Waru dan Barangga pun menyadari 
sikap pemuda itu. Tapi, justru sikap tenang tanpa per-
siapan pemuda itulah yang membuat mereka berhati-
hati. Jelas, sikap itu menandakan kalau Pendekar Na-
ga Putih memang sudah tidak perlu siap-siap dalam 
menghadapi pertarungan. Dalam keadaan bagaimana-
pun, seorang pendekar besar seperti pemuda tampan 
itu dapat saja bergerak ke mana suka. Itulah yang 
membuat Ki Tumbal Waru dan Barangga berhati-hati.
Dengan geseran telapak kaki lembut, kedua 
orang jagoan istana itu bergerak mengitari Pendekar 
Naga Putih. Sejauh itu, mereka belum menunjukkan 
tanda-tanda untuk memulai serangan. Sepertinya, me-
reka hendak mencari kelemahan pemuda tampan itu.
Panji sendiri tetap berdiri tegak tanpa merubah 
kedudukannya. Hanya sepasang matanya saja yang 
bergerak mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.
“Haiiit...!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Ki Tumbal 
Waru memulai serangannya dari samping kiri Pende-
kar Naga Putih. Terdengar suara berkeciutan ketika 
sepasang pedang pendek di tangan orang tua itu ber-
gerak susul-menyusul dengan kecepatan sukar diikuti 
mata biasa.
Wettt! Wettt!

Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya 
ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tubuhnya 
berputar ke samping menghindari tusukan dua bilah 
pedang pendek yang mengincarnya. Kemudian, Pende-
kar Naga Putih terus melangkah mundur dan bergerak 
ke kiri dan kanan ketika serangan Ki Tumbal Waru 
masih terus bersambungan.
“Haiiih...!”
Pada suatu kesempatan, telapak tangan Panji 
menepiskan serangan, ketika senjata di tangan kanan 
lawan bergerak menuju tenggorokannya!
Plakkk!
“Uhhh...!”
Ki Tumbal Waru mengeluh pendek. Tepisan yang 
kelihatannya sembarangan itu ternyata mampu mem-
buat tubuhnya berputar. Tentu saja orang tua itu 
menjadi terkejut dibuatnya.
Tapi, tidak percuma Ki Tumbal Waru menjadi sa-
lah seorang jagoan di Istana Kerajaan Bantar Gebang. 
Putaran tubuhnya itu dapat dimanfaatkan untuk me-
lanjutkan serangannya. Pedang pendek di tangan ka-
nannya bergerak menusuk ke belakang, dan langsung 
mengancam dada kanan Pendekar Naga Putih.
Swiiit...!
Sayang, kali ini yang dihadapinya bukanlah seo-
rang tokoh sembarangan. Bagi seorang pendekar se-
perti Panji, serangan itu sama sekali tidak membuat-
nya kaget. Dengan sebuah kelitan indah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih bergerak ke depan. Langsung si-
kunya disodokkan ke iga lawan.
Namun sayang, serangan itu tidak bisa dite-
ruskan. Karena pada saat itu juga, pedang di tangan 
Barangga datang mengancam dari atas ke bawah. 
Maksudnya untuk memapas putus lengan pemuda itu.

“Haiiit...!”
Kegagalan serangannya sama sekali tidak mem-
buat Panji kehilangan akal. Dibarengi seruan nyaring, 
tubuh pemuda itu melenting berputar ke belakang Ba-
rangga. Bahkan terus mengirimkan sebuah tendangan 
kilat yang mengejutkan!
Plakk!
“Uhhh...!”
Barangga memang berhasil menangkis tendangan 
lawan dengan menggunakan lengan kirinya. Tapi un-
tuk tindakannya itu, ia harus menanggung rasa nyeri 
yang bagaikan menusuk ke dalam tulangnya. Sedang-
kan tubuhnya sendiri hampir terbanting jatuh. Untung 
saja ia bertindak cepat menguasai keseimbangan tu-
buhnya.
Pertarungan kembali berlangsung seru. Ki Tum-
bal Waru dan Barangga kembali melancarkan seran-
gan-serangan maut ke arah lawannya. Kali ini, mereka 
dapat berkerja sama dengan baik dan saling melin-
dungi satu sama lain. Sehingga, beberapa kali seran-
gan Panji dapat digagalkan.
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang 
ketiga puluh, Pendekar Naga Putih mulai menebarkan 
pengaruh ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Kabut bersi-
nar putih keperakan mulai menebarkan hawa dingin 
menusuk tulang. Sehingga, baik Ki Tumbal Waru 
maupun Barangga sangat merasa terganggu oleh pan-
caran hawa dingin yang keluar dari tubuh dan samba-
ran pukulan lawan. Akibatnya hal itu membuat mere-
ka tidak lagi leluasa untuk melontarkan serangan-
serangan. Dengan demikian, berarti gempuran-
gempuran kedua orang tokoh istana itu mulai berku-
rang.
Pendekar Naga Putih tidak mau bersikap ayal

ayalan lagi. Dengan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya, pe-
muda itu mulai mendesak Ki Tumbal Waru dan Ba-
rangga. Sehingga dalam beberapa jurus saja, kedua 
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang itu benar-
benar dibuat kalang kabut!
“Gila...!” maki Barangga jengkel.
Barangga tampaknya kali ini tidak mampu lagi 
melontarkan serangan-serangannya. Setiap kali melon-
tarkan serangan, selalu saja membalik. Serangannya 
bagaikan terbentur lapisan benteng salju yang sukar 
ditembus.
Keadaan Ki Tumbal Waru pun tidak berbeda 
jauh. Lelaki tua itu tampak tidak lagi garang seperti 
semula. Sambaran-sambaran sepasang pedang pen-
deknya selalu saja gagal. Memang gerakan lawannya 
kali ini terasa terlalu cepat. Sehingga, untuk membu-
runya Ki Tumbal Waru harus memerlukan tenaga ba-
nyak. Tentu saja hal itu membuatnya cepat kehabisan 
tenaga.
“Hiaaat...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keem-
pat puluh, terdengar pekikan nyaring dari Pendekar 
Naga Putih. Pada saat yang bersamaan terlihat tubuh 
pemuda berjubah putih itu bergerak cepat bagaikan 
sambaran kilat di angkasa. Maka seketika, hawa din-
gin menusuk tulang langsung menebar bagai men-
gungkungi kedua jagoan istana itu.
Plaggg! Desss...!
Serangan dahsyat Pendekar Naga Putih tidak 
mampu lagi dihindari Barangga maupun Ki Tumbal 
Waru. Hantaman telapak tangan Panji telak menghajar 
dada dan punggung mereka!
Ki Tumbal Waru dan Barangga memekik kesaki-
tan! Tubuh kedua tokoh istana itu langsung terpental

dan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk 
nyaring!
“Huakhhh...!”
Hampir berbarengan, mereka memuntahkan da-
rah kental akibat pukulan hawa dingin Pendekar Naga 
Putih. Bahkan tubuh mereka terlihat masih menggigil, 
dan belum bisa bergerak bangkit.
Tanpa setahu Panji, Bhirawa yang berada tidak 
jauh dari tempat jatuhnya kedua orang tokoh istana
itu diam-diam meraba pedangnya. Kebencian dan den-
dam di hati pemuda berwajah buruk itu, telah mem-
buatnya menjadi gelap mata. Seketika itu juga, Bhira-
wa melompat dan langsung menyabetkan senjata ke 
arah leher Barangga. Bahkan juga langsung menusuk 
tubuh Ki Tubal Waru!
“Hei, tahaaan...!”
Tentu saja Panji terkejut bukan main melihat 
perbuatan pemuda berwajah buruk itu. Namun karena 
jarak pemuda itu dan kedua orang musuhnya memang 
sangat dekat, Panji tidak sempat mencegahnya.
Barangga terlihat menggelepar dengan tubuh 
tanpa kepala, lalu dia tak bergerak lagi. Sedangkan Ki 
Tumbal Waru menekap dadanya yang mengucurkan 
darah. Sebentar kemudian, lelaki tua itu pun tewas, 
karena tusukan pedang Bhirawa tepat mengenai jan-
tungnya.
“Mengapa kau lakukan perbuatan rendah seperti 
ini...?” desis Panji menahan rasa sesal karena terlam-
bat untuk mencegah perbuatan pemuda itu.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Dendamku kepada 
dua orang manusia terkutuk itu sudah terlalu berka-
rat. Sehingga, aku menjadi gelap mata...,” desah Bhi-
rawa sambil menggenggam pedang yang telah berlu-
muran darah di tangan kanannya.

Setelah berkata demikian, Bhirawa berbalik. Dia 
langsung berlari meninggalkan tempat itu.
“Kisanak, tunggu..!” seru Panji
Pendekar Naga Putih segera melesat mengejar 
pemuda buruk rupa itu. Sekali melompat saja, tubuh-
nya telah berdiri menghadang jalan pemuda berwajah 
buruk itu.
“Oh, maaf kalau aku lupa mengucapkan terima 
kasih atas pertolonganmu...,” ucap Bhirawa langsung 
saja membungkuk memberi hormat
Rupanya ia menganggap sikap Panji yang mence-
gah kepergiannya, karena belum mengucapkan terima 
kasih.
“Bukan itu yang kuinginkan, Kisanak. Kalau bo-
leh aku tahu, siapakah namamu. Dan apa yang mem-
buat kau demikian membenci mereka?” tanya Panji 
dengan sikap tenang, seperti tidak mempedulikan 
pandangan pemuda itu terhadapnya.
“Aku bernama Bhirawa. Tentang persoalan den-
damku, maaf. Aku tidak bisa menceritakannya. Sela-
mat tinggal...,” pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera melesat meski dengan langkah 
yang belum tetap. Karena, ia masih belum sembuh be-
nar dari luka-lukanya.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah. Ia me-
mang merasa tidak mempunyai hak untuk mengetahui 
persoalan orang lain. Lain halnya kalau pemuda itu 
menceritakan secara suka rela.
Melihat kekasihnya termenung sambil menatap 
bayangan Bhirawa yang semakin jauh, Kenanga da-
tang menghampiri.
“Hm.... Seorang pemuda yang keras kepala dan 
angkuh..,” desis Kenanga sambil ikut memandang ke 
arah yang sama.

“Tampaknya dia memang tidak ingin orang lain 
ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapinya,” 
desah Panji tanpa mengalihkan pandangannya.
“Lalu, bagaimana tentang Hantu Laut Pajang? 
Apakah Kakang masih ingin menjumpainya?” tanya 
Kenanga, mengingatkan Panji akan tujuan mereka se-
mula mendatangi Pantai Utara Laut Pajang.
“Untuk sementara, kita lupakan saja dulu. Aku 
khawatir pemuda keras kepala itu masih mempunyai 
musuh-musuh lain di kotaraja yang belum didatan-
ginya. Dan mungkin juga, dia mempunyai hubungan-
nya dengan Hantu Laut Pajang. Hanya saja, dia masih 
keras kepala hendak menyimpan rahasia itu sendiri...,” 
jawab Panji yang kini menoleh menatap kekasihnya.
“Jadi, Kakang berniat hendak melindunginya...?” 
desak Kenanga lagi ingin mengetahui tindakan Panji 
selanjutnya.
“Tidak pasti begitu. Yang jelas, pemuda itu san-
gat menaruh dendam terhadap musuh-musuhnya. En-
tah, apa yang dilakukan musuh-musuhnya terhadap 
pemuda itu di masa lalu,” sahut Panji lagi sambil me-
langkah menghampiri mayat Barangga dan Ki Tumbal 
Waru.
Ketika melihat Panji mengangkat mayat Barangga 
beserta kepalanya yang terpisah, Kenanga segera men-
gangkat mayat Ki Tumbal Waru. Dia mengikuti lang-
kah Pendekar Naga Putih yang hendak mencari tempat 
yang baik untuk makam kedua orang itu.
***
Sepasang pendekar itu terus melangkah sambil 
membawa kedua mayat jagoan Istana Kerajaan Bantar

Gebang. Mereka meninggalkan pantai untuk mencari 
daerah yang pantas sebagai makam kedua orang itu. 
Memang di sekitar mereka hanya terdapat tanah ber-
pasir yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk 
menguburkan mayat
Tidak berapa lama kemudian, mereka menghen-
tikan langkah di sebuah daerah berbatu yang tanah-
nya tidak lagi mengandung pasir. Kenanga meletakkan 
mayat Ki Tumbal Waru dari bahunya, seperti halnya 
yang dilakukan Panji terhadap mayat Barangga.
“Hm.... Rasanya tempat ini cukup baik untuk pe-
ristirahatan terakhir mereka,” gumam Panji.
Kini Pendekar Naga Putih mulai menggali dengan 
menggunakan pedang kekasihnya. Karena pemuda itu 
menggunakan tenaga dalamnya, maka sebentar saja 
terciptalah dua buah lubang besar.
Mendadak saja, sebelum Panji sempat memasuk-
kan mayat-mayat itu ke dalam liang lahat, terdengar 
suara bergemuruh derap puluhan ekor kuda. Serentak 
mereka menoleh saling bertukar pandang. Kemudian, 
dinantikannya rombongan berkuda itu datang, lewat
dekat mereka.
Ketika rombongan berkuda itu mulai nampak, 
Panji sempat merasa tegang. Karena, rombongan ber-
kuda itu ternyata terdiri dari prajurit Kerajaan Bantar 
Gebang.
“Celaka, Kakang. Kita bisa dipersalahkan dengan 
adanya mayat-mayat ini...,” desis Kenanga yang lang-
sung saja menghubungkan prajurit berkuda itu den-
gan mayat dua orang jagoan istana yang ada bersama 
mereka.
Panji terdiam ketika mendengar kekhawatiran 
kekasihnya. Untuk lari menghindar, tentu saja pemu-
da itu tidak sudi. Maka, kakinya segera melangkah beberapa tindak, dan berdiri di situ. Seolah-olah Pende-
kar Naga Putih hendak menanti kedatangan prajurit 
kerajaan yang jumlahnya puluhan. Memang pemuda 
itu berniat menceritakan seadanya.
“Hooop...!”
Seorang lelaki gagah bercambang bauk berpa-
kaian perwira, mengangkat tangan kanannya agar pa-
sukan di belakangnya berhenti. Lalu matanya menatap 
ke arah pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpa-
kaian hijau yang membungkuk hormat kepadanya. 
Baik Panji maupun Kenanga segera dapat mengenali 
dengan baik, kalau perwira itu adalah orang yang me-
meriksa kedai tempat mereka menginap.
Perwira tinggi besar yang tak lain Kala Sungga itu 
menatap tajam ke arah pasangan muda di depannya.
Ia yang mendapat perintah untuk segera menyusul Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru, segera saja membawa pa-
sukannya ke Pantai Utara Laut Pajang. Karena, Sena-
pati Gada Sura merasa khawatir kalau-kalau orang 
yang dicarinya memiliki banyak pengikut. Untuk itulah 
Kala Sungga sekarang berada di daerah Pantai Utara 
ini.
“Hahhh!? Bukankah itu Barangga dan Ki Tumbal 
Waru...!? Siapa yang telah melakukan kebiadaban 
itu...?” kata Kala Sungga,
Laki-laki bercambang bauk itu terkejut bukan 
main ketika melihat adanya dua sosok mayat di bela-
kang pasangan muda di depannya. Segera saja ia me-
lompat turun dari atas punggung kuda dengan wajah 
setengah tak percaya.
Kala Sungga melangkah lebar agak terburu-buru. 
Dengan gerakan kasar, didorongnya Panji dan Kenanga 
yang untungnya segera menyingkir. Sehingga, mereka 
tidak sampai terjajar.

“Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” teriak 
Kala Sungga, kalap.
Kemudian perwira tinggi besar itu mengalihkan 
pandangan ke arah pemuda berjubah putih dan gadis 
jelita berpakaian hijau dengan sorot mengerikan!
“Kami menemukan kedua mayat itu di pantai, la-
lu membawa kemari untuk dimakamkan...,” jelas Pan-
ji, sedikit berbohong. Ia sengaja menjelaskan sebelum 
ditanya perwira tinggi besar itu.
“Bangsat! Siapa yang telah membunuh mereka...? 
Ayo, katakan padaku!” dengus Kala Sungga.
Mendengar keterangan Panji, prajurit itu semakin 
bertambah murka. Bahkan tangannya terulur hendak 
mencengkeram bahu Panji. Dan tentu saja Pendekar 
Naga Putih tidak sudi diperlakukan demikian. Segera 
saja tubuhnya bergeser mundur satu langkah ke bela-
kang. Sehingga, cengkeraman Kala Sungga hanya 
mengenai angin.
“Hahhh!?”
Untuk ke sekian kalinya, Kala Sungga kembali 
tertegun heran. Begitu sadar, kemarahannya pun men-
jadi berlipat-lipat. Karena perbuatan pemuda itu yang 
menghindari cengkeramannya, dianggap sebagai sikap 
membangkang.
“Kurang ajar! Rupanya kau memiliki sedikit ke-
pandaian, ya! Aku yakin, kalian berdua pasti tahu 
orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap 
dua orang jagoan istana itu! Kalian harus kami tang-
kap untuk diperiksa!” geram Kala Sungga dengan wa-
jah semakin gelap.
Kenanga yang memang tidak suka terhadap sikap 
kasar perwira tinggi besar itu tentu saja menjadi ber-
tambah dongkol. Tanpa mengenal takut, gadis jelita itu 
menudingkan jarinya ke wajah Kala Sungga.

“Dengar, Perwira Gila!” maki Kenanga tak kalah 
marahnya. “Aku tidak suka dijadikan tawanan! Dan, 
apa yang dikatakan kawanku ini memang benar. Kalau
tidak percaya, terserah! Tapi, ingat! Aku tidak suka di-
bentak-bentak seperti orang pesakitan!”
Panji yang tidak sempat mencegah kemarahan 
dara jelita itu tentu saja cukup terkejut. Ucapan-
ucapan Kenanga jelas-jelas seperti tengah menumpah-
kan semua kejengkelan. Maka cepat-cepat dia maju 
beberapa tindak untuk menjelaskan masalahnya.
“Hm.... Kau juga ingin memberontak rupanya,” 
desis Kala Sungga sebelum Panji sempat mengucap 
sepatah kata pun. “Tangkap kedua orang ini! Bunuh 
kalau mereka melawan!”
Terdengar perintah perwira tinggi besar itu kepa-
da puluhan orang prajuritnya. Maka segera saja mere-
ka berlompatan turun dari atas punggung kuda dan 
mengepung kedua orang muda itu.
‘Tunggu...!” cegah Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya mencoba meng-
hindari keributan dengan tentara kerajaan. Tapi, usa-
hanya sia-sia belaka. Ternyata pasukan prajurit itu te-
tap bergerak mengepung dan siap menangkap mereka.
***
DELAPAN


“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Prajurit Kerajaan Bantar Gebang yang berjumlah 
kurang lebih sekitar enam puluh orang itu mengham-
bur maju ke arah Panji dan Kenanga. Tentu saja hal

itu membuat mereka harus cepat mengambil keputu-
san.
Begitu rombongan prajurit itu hampir mendekat, 
Panji menahan kekasihnya yang hendak mencabut Pe-
dang Sinar Bulan. Kemudian ditariknya gadis jelita itu 
ke samping. Dan bersamaan dengan itu, muncullah 
lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kali ini, lapi-
san kabut itu tidak hanya menyelimuti sekujur tubuh 
Panji saja, tapi juga tubuh Kenanga.
“Aaakh...!”
“Aaa...!”
Terdengar teriakan-teriakan ngeri saat prajurit-
prajurit itu menghantam senjatanya ke tubuh kedua 
orang korbannya. Senjata mereka langsung berbalik. 
Bahkan beberapa di antaranya langsung patah. Malah 
tubuh para penyerang itu pun, terlempar bagaikan ter-
tolak balik oleh suatu tenaga yang tak tampak.
“Kakang, lebih baik kita tinggalkan saja tempat 
ini...,” usul Kenanga.
Memang, gadis itu ingin berlalu dari kerumunan 
prajurit-prajurit Ia takut, tidak bisa menahan dirinya, 
dan melakukan perlawanan yang sudah pasti akan 
menimbulkan korban di antara para prajurit.
“Baiklah...,” sahut Panji menyetujui usul keka-
sihnya.
Kemudian, pemuda itu mencari kepungan yang 
lebih mudah untuk diterobosnya.
Namun rupanya Kala Sungga sempat memperha-
tikan tingkah laku pemuda berjubah putih itu yang
seperti hendak melarikan diri. Maka dengan empat 
orang perwira lainnya, lelaki tinggi besar itu pun sege-
ra saja menerjang Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
“Yeaaat….!”
“Haaat...!”

Mendengar suara berdesingan yang lain dari de-
singan-desingan lainnya, Panji segera menoleh ke arah 
asal suara. Tampak perwira tinggi besar dan empat 
orang perwira lainnya tengah meluncur dengan senjata 
masing-masing. Sadarlah Panji kalau perwira tinggi 
besar itu sepertinya telah menduga maksudnya.
Wuettt... Trakkk!
“Uhhh...!”
Kala Sungga yang tiba lebih dulu daripada empat 
orang kawannya, terkejut bukan main ketika pedang di 
tangannya bagaikan membentur sebuah dinding baja 
yang kokoh! Bahkan bukan hanya senjatanya saja 
yang terpental balik. Tubuhnya pun sempat menggigil, 
bagaikan orang terserang demam tinggi. Karena, hawa 
dingin yang amat kuat menyelusup melalui pedangnya 
dan terus merasuk ke dalam tubuh.
“Gila...?!” maki Kala Sungga yang hampir-hampir 
tidak mempercayai apa yang dialaminya.
Seumur hidupnya, belum pernah ia mengalami
hal yang demikian mengejutkan. Jangankan melihat 
serangan yang dapat membuat tubuhnya bagai orang 
terserang malaria. Untuk melihat orang yang mampu 
menahan hantaman senjatanya dengan tubuh telan-
jang pun, belum pernah ditemukannya. Tentu saja ke-
tika pemuda itu dapat menahan senjata tanpa tameng, 
Kala Sungga mulai memperhitungkannya.
Bukan hanya Kala Sungga saja yang merasakan 
hal serupa itu. Perwira lainnya pun sama-sama mera-
sakan. Mereka bahkan sampai terlempar, karena de-
mikian bernafsu menamatkan riwayat pemuda berju-
bah putih itu. Akibatnya, mereka menderita lebih pa-
rah ketimbang Kala Sungga.
“Aaah...?!”
Tiba-tiba saja Kala Sungga yang kembali bersiap
menyerang dan mencoba mencari kelemahan lawan, 
terkejut ketika teringat sesuatu. Wajah lelaki tinggi be-
sar itu berubah hebat seketika. Sepasang matanya ter-
belalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong.
“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seru laki-laki 
bercambang bauk itu.
Kala Sungga kini benar-benar teringat ciri-ciri 
seorang pendekar muda yang bergaung santer di ka-
langan rimba persilatan. Sementara itu empat orang 
kawan perwiranya, kini sama-sama membisikkan hal 
yang serupa. Wajah-wajah mereka tampak dilanda ke-
tegangan dan kecemasan.
Sedangkan para prajurit bawahan mereka seper-
tinya tidak begitu tahu tentang kemunculan tokoh 
muda yang sangat sakti itu. Hanya ada beberapa di an-
tara mereka yang sempat berbisik-bisik. Sepertinya, ju-
lukan itu pernah didengarnya meski samar-samar dan 
hanya sekilas.
Bagi Panji maupun Kenanga, keadaan seperti itu 
jelas merupakan peluang baik untuk melarikan diri. 
Cepat mereka berkelebat selagi Kala Sungga dan pasu-
kannya tertegun bagaikan terkesima, ketika teringat 
orang-orang yang tengah mereka keroyok tadi.
“Hei...? Ke mana perginya mereka...?” teriak Kala 
Sungga, begitu sadar dari keterpakuannya.
Perwira bercambang bauk itu memang tidak me-
nemukan pasangan muda itu di depannya. Tentu saja 
Kala Sungga tidak mungkin dapat menemukan mereka 
lagi, karena pasangan pendekar itu telah pergi meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh yang telah menca-
pai tingkat tinggi.
Sadar kalau Pendekar Naga Putih dan gadis jelita
berpakaian hijau itu telah lenyap, Kala Sungga segera 
saja mengajak pasukannya untuk kembali. Sepertinya,

lelaki tinggi besar itu ingin melaporkan keterlibatan 
Pendekar Naga Putih dalam persoalan itu. Beberapa 
saat kemudian, terlihatlah iring-iringan pasukan ber-
gerak kembali menuju kotaraja sambil membawa 
mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru yang belum 
sempat dikuburkan oleh Pendekar Naga Putih.
***
Saat itu malam sudah semakin larut. Sinar bulan 
yang redup tidak mampu menerangi gelapnya suasana 
malam itu. Namun, suasana seperti itu justru sangat 
disukai sesosok tubuh tegap terbungkus jubah pan-
jang berwarna coklat tua. la terus bergerak gesit, me-
nyelinap ke dalam bangunan kediaman Senapati Gada 
Sura.
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok 
berjubah coklat itu melewati para penjaga di bawahnya 
dengan selamat Menilik gerakannya yang lincah dan 
sangat ringan, jelas kalau sosok tegap itu memiliki ke-
pandaian tinggi.
Ketika sosok ini tiba di bagian samping kanan 
bangunan besar itu, tubuhnya meluruk turun tanpa 
menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian, dia me-
nyelinap masuk melalui pintu samping, dan terus ber-
gerak menerobos ruang tengah. Tanpa mengalami ke-
sulitan sedikit pun, sosok tegap itu pun tiba di tempat 
yang ditujunya.
Sementara seorang lelaki berperawakan gemuk 
yang tengah berada di ruang perpustakaan rumahnya, 
sepertinya sama sekali tidak sadar kalau dirinya ten-
gah diintai. Lelaki itu terus saja membaca dengan te-
nang, tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Pada, saat itu orang yang mengintainya telah menyeli-
nap masuk.
“Hiaaat..! Mampus kau pengkhianat busuk, Gada 
Sura...!”
Lelaki berperawakan gemuk yang ternyata Sena-
pati Gada Sura itu sama sekali tidak kelihatan terkejut 
Jelas, sikap tidak tahunya tadi seperti memang disen-
gaja. Dan tampaknya, hal itu memang untuk memanc-
ing sosok tegap agar masuk ke dalam ruangan. Ter-
bukti, ketika pedang di tangan sosok berjubah coklat 
tua itu membacoknya dari belakang, Senapati Gada 
Sura lebih dahulu menghindar dengan lompatan pan-
jang ke samping.
Brakkk!
Meja dan kursi tempat semula senapati itu du-
duk kontan hancur berantakan, akibat hantaman ke-
ras dari sebilah pedang bersinar kebiruan yang digu-
nakan sosok berjubah coklat
Senapati Gada Sura memang bukan orang sem-
barangan. Begitu melompat menghindari sambaran 
pedang yang sempat ditangkapnya tadi, lelaki gemuk
itu langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat 
yang telak menghantam iga lelaki berjubah coklat tua 
itu!
Bukkk!
“Aaakh...!”
Tanpa ampun lagi, tendangan yang cukup keras 
langsung membuat sosok tegap itu terlempar keluar, 
setelah menabrak daun jendela hingga hancur beran-
takan!
“Yeaaat..!”
Derrr...!
Senapati Gada Sura langsung mengejar lawannya 
dengan jejakan keras. Dia semakin merasa geram ketika jejakan telapak kakinya ternyata tidak mengenai 
sasaran, karena sosok itu telah lebih dahulu bergulin-
gan. Kemudian, sosok berpakaian coklat itu terus me-
lenting disertai lompatan panjang ke belakang, dan 
siap melanjutkan perkelahian.
“Sudah kuduga, kau akan datang sendiri ke tem-
pat ini untuk mencariku, Pembunuh! Hm.... Sudah 
empat orang pembantu-pembantuku yang kau bunuh 
secara keji! Apa sebenarnya yang kau inginkan? Dan, 
siapa yang kau cari...?!” kata Senapati Gada Sura da-
tar, dengan sikap merasa tinggi.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu mene-
liti sosok dan wajah lawannya. Namun, keningnya ber-
kerut ketika merasa tidak pernah mengenal sosok yang 
ternyata seorang pemuda berambut panjang dan ber-
wajah buruk.
“Hm.... Gada Sura! Kaulah pengecut busuk, 
pengkhianat yang tidak patut hidup! Kau kira kejadian 
lima tahun yang lalu di Laut Pajang sudah berakhir 
begitu saja?! Huh! Kau keliru, Gada Sura. Ayah-ibuku 
memang tewas oleh kebusukan dan kelicikanmu beser-
ta kawan-kawanmu itu. Tapi, kau lupa. Saat terjatuh 
ke dalam laut, aku sama sekali belum tewas. Sayang, 
kau dan pembantu-pembantumu yang berhati busuk 
itu tidak mengetahuinya. Sekarang, kau harus mene-
busnya seperti empat orang kawanmu itu...!” ancam 
sosok tegap berjubah coklat yang tak lain dari Bhira-
wa.
Rupanya, pemuda itu masih tetap nekat menda-
tangi musuh-musuhnya yang masih hidup. Apalagi ka-
lau bukan untuk melampiaskan dendamnya?
“Kau... kau...,” Senapati Gada Sura tidak mampu 
melanjutkan ucapannya, karena hatinya terlalu terke-
jut mendengar pengakuan pemuda itu.

“Benar! Akulah Bhirawa putra tunggal Senapati 
Kalang Bawung, yang telah kau khianati itu! Rupanya, 
diam-diam kau mengincar jabatan senapati dalam Ke-
rajaan Bantar Gebang ini. Kau manusia busuk yang ti-
dak pernah puas dengan apa yang didapatkan, Gada 
Sura. Pangkat sebagai wakil senapati yang diberikan 
ayah rupanya tidak membuatmu berterima kasih. Pa-
dahal, kalau tidak ayahku yang mengusulkannya ke-
pada Gusti Prabu, belum tentu kau bisa memegang ja-
batan itu! Tapi, ternyata kau tak lebih dari seekor ular 
yang tega membunuh, meski orang itu adalah maji-
kanmu yang telah memberi kebaikan berlimpah-
limpah! Kau memang tidak pantas hidup, Gada Su-
ra...!” geram Bhirawa dengan sepasang mata menco-
rong kemerahan. Jelas, pemuda itu sangat menden-
dam terhadap Senapati Gada Sura yang menjadi mu-
suh utamanya.
Mendengar ucapan-ucapan itu, tentu saja Sena-
pati Gada Sura terkejut bukan main. Lelaki berpera-
wakan gemuk itu menoleh ke kiri-kanan, seolah-olah 
takut ada yang mendengarnya. Setelah merasa tidak 
ada yang ikut mendengarkan ucapan Bhirawa, terlihat 
rona kelegaan pada wajah lelaki gemuk itu.
“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus, Bhira-
wa! Dengan demikian, rahasia ini tak akan terbongkar 
selamanya...,” desis Gada Sura dengan senyum iblis.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu me-
nyambar sebatang tombak berujung golok yang me-
mang terpajang di rak senjata halaman samping ban-
gunan itu.
Wuuut! Wuuut...!
Dengan lihainya, Senapati Gada Sura memutar 
tombak bermata golok di tangannya, hingga menim-
bulkan suara mengaung keras. Kemudian....

“Heaaat...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Senapati Gada Sura 
melesat dengan tusukan tombak bergoloknya.
“Yiaaah...!”
Bhirawa tidak tinggal diam. Pemuda bertubuh 
tinggi tegap itu berseru keras sambil memutar pedang 
sinar kebiruan yang tergenggam di tangan kanannya. 
Senjata itu mengaung tajam, menimbulkan angin 
menderu. Gulungan sinar kebiruan pun terbentuk, 
dan bergerak turun naik bagaikan naga raksasa yang 
bermain-main di angkasa.
Bhirawa yang memang telah tahu kalau Senapati 
Gada Sura bekas pembantu ayahnya itu memiliki ke-
pandaian tinggi, segera mengerahkan seluruh kemam-
puannya. Pedang di tangannya berkelebatan menyam-
bar-nyambar disertai kilatan cahaya kebiruan. Namun 
sampai sejauh itu, tubuh lawan belum juga dapat dis-
entuh. Bahkan gempuran tombak bergolok di tangan 
Senapati Gada Sura terlihat semakin bertambah cepat 
dan mengejutkan! ,
Wuettt..!
“Aihhh...!?”
Bukan main terkejutnya Bhirawa ketika pada su-
atu kesempatan, tombak bergolok di tangan lawan ber-
gerak menusuk dengan kecepatan kilat. Untungnya, ia 
masih sempat memiringkan kepala. Sehingga, lehernya 
selamat dari golok yang berada di ujung tombak la-
wannya.
“Yeaaah...!”
Bhirawa yang selalu dapat memanfaatkan saat-
saat tak terduga, berteriak nyaring disertai lompatan 
dan putaran tubuhnya ketika sabetan mendatar tom-
bak bergolok Senapati Gada Sura lewat sebatas ping-
gangnya. Dalam melompat ke atas sambil berputar itu,

pedang Bhirawa dikelebatkan untuk membabat dada 
lawan dari udara!
Brettt!
Buggg!
“Aaark...!
Senapati Gada Sura menjerit kaget ketika pedang 
lawan sempat menyerempet bahunya. Padahal, dia su-
dah berusaha menghindar! Namun dengan sigapnya, 
lelaki gemuk itu memutar balik gagang tombak bergo-
loknya. Bahkan langsung menghajar punggung lawan!
Meski hajaran itu tidak terlalu keras, tapi Bhira-
wa cukup merasa nyeri pada punggungnya. Pemuda 
keras hati yang tidak pernah menyerah itu kembali 
mengibaskan pedang di tangannya dengan putaran in-
dah. Sepasang matanya tetap mencorong tajam menyi-
ratkan dendam kesumat.
“Yeaaat..!”
Kali ini, rupanya bukan Bhirawa yang lebih ber-
nafsu untuk melenyapkan lawannya. Tapi justru Se-
napati Gada Sura-lah yang terlihat lebih ingin mele-
nyapkan pemuda itu. Sepertinya, lelaki gemuk itu cu-
kup sadar kalau Bhirawa satu-satunya ancaman yang 
bisa membuat jabatannya hilang. Itulah sebabnya, 
mengapa Senapati Gada Sura sangat bernafsu sekali 
untuk segera menghabisi nyawa Bhirawa.
Pertarungan pun terus berlanjut semakin seru. 
Keduanya memang memiliki tingkat kepandaian ham-
pir berimbang, sehingga, pertarungan juga terlihat 
agak seimbang.
Tapi suara teriakan-teriakan dan dentang senjata 
yang memekakkan telinga, ternyata telah mengundang 
seluruh penghuni bangunan besar itu. Terbukti, tidak 
berapa lama kemudian terlihat cahaya obor yang ber-
gerombol diiringi suara riuh-rendah.
Bhirawa yang saat itu telah mampu mendesak 
Senapati Gada Sura menjadi terkejut bukan main, be-
gitu tahu-tahu saja di sekeliling tempat itu telah dipe-
nuhi prajurit kerajaan yang lengkap dengan senjata di 
tangan. Bahkan di satu sudut, juga terlihat Jata Sura 
dan Kala Sungga. Hanya Winarsih, putri Senapati Ga-
da Sura yang tidak terlihat di tempat itu.
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tem-
pat itu, Bhirawa teringat pesan terakhir gurunya. Ce-
pat dirabanya suatu benda yang tersembunyi di balik 
sabuknya. Selama ini ia memang tidak pernah meng-
gunakan, karena gurunya yang berjuluk Hantu Laut 
Pajang telah berpesan sebelum kematiannya. Senjata 
maut itu hanya boleh digunakan bila pada saat yang 
amat genting.
Kini setelah tidak ada lagi kesempatan untuk lo-
los, Bhirawa pun segera teringat pesan mendiang gu-
runya itu. Namun sayang, ia tidak sempat mengguna-
kannya. Karena saat itu, Senapati Gada Sura telah 
memerintahkan putra dan pengawal-pengawalnya un-
tuk mengeroyok Bhirawa. Memang lelaki gemuk itu 
sendiri terlihat mulai kepayahan. Hal itu karena lelaki 
gemuk itu tidak pernah memperhatikan ilmu silatnya. 
Selama ini, ia hanya kesenangan, sehingga lupa akan 
pentingnya ilmu silat bagi orang berpangkat seperti di-
rinya.
Keroyokan itu tentu saja membuat Bhirawa ter-
desak hebat. Belum lagi, para prajurit yang telah siap 
dengan senjata di tangan. Maka semakin sulitlah bagi 
pemuda itu untuk selamat!
“Yiaaat..!”
Bukkk!
Desss...!
“Aaakh...!”

Sebuah tendangan Jata Sura dan hantaman telak 
Kala Sungga, membuat tubuh pemuda itu terjengkang 
memuntahkan darah segar. Belum lagi Bhirawa sem-
pat bangkit, Senapati Gada Sura telah datang dengan 
ayunan tombak bergoloknya!
Wuuut!
Tombak bermata sebuah golok besar itu men-
gaung tajam, siap merencah tubuh Bhirawa. Karena 
masih merasakan luka pada tubuhnya, pemuda itu ti-
dak lagi bisa menghindari tebasan golok besar yang di-
luncurkan Senapati Gada Sura.
Namun pada saat yang sangat gawat bagi kese-
lamatan nyawa Bhirawa, tiba-tiba melesat sesosok 
bayangan putih yang langsung menggagalkan tebasan
tombak bergolok Senapati Gada Sura.
Plakkk!
“Aaakh...!”
Hantaman telapak tangan sosok bayangan putih 
itu memang sangat hebat! Terbukti, tubuh Senapati 
Gada Sura terdorong, dan hampir terjungkal jatuh ke 
belakang! Wajah lelaki gemuk itu tampak menyeringai 
menahan sakit.
Bhirawa yang sempat menyaksikan kejadian itu 
tentu saja tidak ingin menyia-nyiakannya. Cepat bagai 
kilat tubuh, pemuda itu melesat dengan tusukan pe-
dangnya ke tubuh Senapati Gada Sura!
Bresss...!
“Aaa...!”
Senapati Gada Sura meraung tinggi! Darah segar 
mengalir membasahi pedang dan tanah di bawahnya, 
begitu pedang Bhirawa yang tepat menembus jantung-
nya dicabut pemiliknya. Lelaki gemuk itu memang ti-
dak sempat lagi menghindar. Karena saat itu, ia belum 
lagi terbebas dari pengaruh tangkisan sosok berjubah

putih yang menyelamatkan Bhirawa dari kematian.
Sedangkan sosok berjubah putih itu tidak sempat 
mencegahnya, karena pada saat itu tengah memperha-
tikan seorang perwira tinggi besar dan pemuda tampan 
tinggi kurus yang menerjangnya dari dua arah.
“Bhirawa...?!” seru sosok berjubah putih itu.
Pemuda berjubah putih itu benar-benar terkejut
ketika menoleh ke arah Bhirawa. Rupanya pemuda 
berwajah buruk itu tidak puas dengan tindakannya. 
Dia kini tengah memenggal kepala Senapati Gada Su-
ra! Maka, cepat bagai kilat sosok berjubah putih itu 
segera melesat ke arah Bhirawa. Maksudnya, untuk 
membawa keluar pemuda itu dari kepungan prajurit 
Kerajaan Bantar Gebang.
Tapi, Kala Sungga dan Jata Sura tidak sudi 
membiarkan kedua orang itu meloloskan diri begitu sa-
ja. Mereka segera saja bergerak menyerbu sambil ber-
teriak memerintah pasukannya untuk merapatkan ke-
pungan.
Bhirawa yang masih mendendam terhadap Jata 
Sura, segera saja berbalik dengan pedang di tangan. 
Kemudian, diterjangnya Jata Sura dengan putaran pe-
dang yang menimbulkan deru angin berkesiutan.
“Bhirawa, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak, 
kau akan ditangkap pihak kerajaan karena telah 
membunuh salah seorang pejabat penting...,” bisik so-
sok berjubah putih itu, yang segera menyambar tangan 
Bhirawa. Kemudian, Bhirawa dibawanya pergi mening-
galkan kediaman Senapati Gada Sura.
‘Tangkap...! Cegah mereka...!” Kala Sungga berte-
riak-teriak sambil berusaha mengejar sosok berjubah 
putih yang membawa lari Bhirawa.
Tapi, sepertinya pemuda berwajah buruk itu pun 
tidak memberontak. Karena, ia cukup merasa puas telah melepaskan dendam keluarga dengan tewasnya
Senapati Gada Sura. Sehingga saat sosok berjubah pu-
tih itu membawanya lari, Bhirawa tidak membantah. 
Dan karena sosok berjubah putih menggunakan ilmu 
meringankan tubuh sepenuhnya, maka cepat sekali 
tubuhnya menghilang bersama Bhirawa.
Jata Sura, Kala Sungga, dan pasukannya terpak-
sa menghentikan pengejaran ketika bayangan kedua 
orang itu sudah tidak terlihat lagi. Baik Bhirawa mau-
pun sosok berjubah putih itu bagai lenyap ditelan bu-
mi. Apalagi, suasana benar-benar gelap. Gagalnya pen-
gejaran itu membuat mereka kembali, karena harus 
mengurus mayat Senapati Gada Sura.
Sementara itu, Bhirawa dan sosok berjubah putih 
yang tak lain dari Pendekar Naga Putih terus berlari 
menembus kegelapan malam yang semakin melarut.
“Ehhh...?!”
Bhirawa yang berlari di sebelah Panji, tertegun 
ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri 
menghadang jalan mereka. Karena keadaan cukup ge-
lap, baik Panji maupun Bhirawa tidak mengenali sosok 
yang berdiri menghadang jalan itu.
“Winarsih...!? Sedang apa kau di sini...?” kata 
Bhirawa begitu sudah memperhatikan sosok itu.
Ternyata, sosok itu memang putri bungsu Sena-
pati Gada Sura. Melihat hal itu Bhirawa sedikit tegang. 
Ia menduga, kemunculan gadis itu pasti ada hubun-
gannya dengan kematian orang tuanya.
“Bhirawa.... Aku telah tahu semua tentang per-
soalan di antara keluarga kita. Tadi aku telah menden-
gar pembicaraanmu dengan ayahku. Dan kenyataan 
itu membuat aku merasa malu. Karena, ayahku ter-
nyata seorang berhati kejam. Dia begitu tega 
mengkhianati orang yang telah begitu menaruh keper

cayaan kepadanya. Ketika mendengar keributan terjadi 
di antara kalian, aku segera meninggalkan gedung 
tanpa tahu harus berbuat apa-apa...,” jelas Winarsih 
dengan air mata membasahi wajahnya.
“Lalu, mengapa kau menghadang kami...? Apa-
kah kau pun ingin membalas dendam atas kematian 
ayahmu itu...?” tanya Bhirawa sambil menatap gadis 
cantik itu dengan sikap curiga.
Sedangkan Pendekar Naga Putih hanya berdiri di 
samping pemuda itu sambil menatap wajah gadis ber-
nama Winarsih penuh selidik.
“Jadi, kau sudah berhasil membunuh ayahku...?” 
desis gadis cantik itu dengan bibir bergetar.
Air mata Winarsih terlihat semakin banyak ber-
gulir membasahi pipinya. Jelas sekali kalau dia begitu 
sedih mendengar kematian ayahnya. Sepasang mata 
indah yang basah itu menatap, tepat ke bola mata Bhi-
rawa. Sehingga, pemuda itu terlihat agak bingung di-
buatnya.
“Apakah kau pun akan membunuh Kakang Jata 
Sura dan aku...? Bukankah aku juga keturunan ma-
nusia jahat...?” kata Winarsih tanpa melepaskan pan-
dangan matanya dari wajah Bhirawa.
“Tidak. Aku sudah cukup puas dengan kematian
Senapati Gada Sura, orang tuamu itu. Tapi aku pun 
tidak akan lari dari tanggung jawab, apabila kau ber-
niat membalas kematian ayahmu...,” sahut Bhirawa, 
siap menghadapi gadis cantik itu.
“Bagus. Kalau begitu, biarlah aku merelakan ke-
matian ayahku. Kurasa itu cukup adil, bukan...?” kata 
Winarsih. Sepertinya, Winarsih agak heran mendengar 
jawaban Bhirawa yang ternyata tidak mendendam ke-
pada Jata Sura maupun dirinya. Wajah berduka itu 
terlihat agak berseri sekejap.

“Aku pun tidak bermaksud melanjutkan dendam 
yang memusingkan ini. Kalau begitu, aku pergi.... Se-
lamat tinggal, Winarsih. Berilah pengertian kepada ka-
kakmu...,” ucap Bhirawa yang segera meninggalkan 
tempat itu diiringi Pendekar Naga Putih.
“Selamat jalan, Bhirawa. Aku akan berusaha 
memberi pengertian kepada Kakang Jata Sura agar 
melupakan dendam atas kematian ayah...,” sahut Wi-
narsih sambil melambaikan tangannya ke arah Bhira-
wa dan Panji.
Gadis itu masih tetap terpaku di tempatnya, se-
belum bayangan kedua orang itu lenyap dari pandan-
gan. Sedangkan Panji dan Bhirawa terus berlari menu-
ju rumah penginapan, tempat Kenanga menunggu di 
sana. Pemuda berjubah putih itu memang sengaja ti-
dak mengajak kekasihnya, ketika berniat menyelidiki 
tempat kediaman Senapati Gada Sura.
Dan Kenanga memang telah menanti mereka di
taman belakang rumah penginapan itu. Kemudian, 
mereka bergerak meninggalkan Kotaraja Bantar Ge-
bang.
“Kita harus cepat pergi meninggalkan negeri ini. 
Apalagi, kau sekarang telah membunuh seorang sena-
pati kerajaan. Rasanya, tidak ada tempat lagi bagimu 
untuk tinggal di Kerajaan Bantar Gebang. Bahkan 
Pantai Utara Laut Pajang pun tidak bisa lagi ditinggali. 
Siapa tahu, pihak kerajaan akan mengobrak-abrik 
tempat itu...,” kata Panji, saat mereka baru saja mele-
wati tembok kotaraja.
‘Yaaah.... Aku pun memang tidak berniat mene-
tap di Kerajaan Bantar Gebang. Aku ingin mengemba-
ra, meluaskan pengetahuan. Selamat berpisah, Pende-
kar Naga Putih...,” pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera memisahkan diri dari Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Tampak Bhirawa melam-
baikan tangannya sebelum bergerak menuju ke Timur.
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya hanya bisa 
membalas lambaian tangan pemuda itu, karena me-
mang hendak menuju ke Barat. Memang mereka tidak 
setujuan, sehingga harus berpisah di sini.
“Sudah kuduga, dia pasti mempunyai alasan 
kuat atas semua perbuatannya...,” desah Kenanga saat 
mereka melangkah bersamaan. Panji hanya tersenyum 
sambil melingkarkan tangannya memeluk gadis jelita itu.




                             SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar