SEPASANG MAMBANG
LEMBAH MAUT
T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Sepasang Mambang Lembah Maut
128 hal:12 x l8 cm
SATU
Pagi mulai datang mengusir kegelapan. Semilir
angin lembut mengusap pucuk-pucuk dedaunan, dan
menghempaskan butir-butir embun yang melekat di
atasnya. Kicau burung-burung terdengar ramai me-
nyemarakkan suasana pagi yang indah ini.
Sayang, suasana pagi di Gunung Larang mulai
terganggu teriakan-teriakan nyaring yang berganti-
ganti. Demikian hebatnya teriakan yang susul-
menyusul itu, hingga beberapa ekor burung yang kebe-
tulan tidak jauh dari sumber suara, langsung jatuh.
Bahkan langsung tewas seketika! Dari kejadian itu saja
sudah dapat diukur, betapa mengerikannya tenaga
sakti yang tersalur melalui teriakan-teriakan keras itu.
Suara teriakan-teriakan dan bentakan yang
terkadang nyaring melengking tinggi itu, sesekali beru-
bah parau bagaikan raungan binatang buas yang ten-
gah murka. Jangankan manusia. Rasanya binatang
buas sekalipun pasti akan terbirit-birit apabila men-
dengar teriakan parau yang terasa hendak mencopot
jantung itu!
Ternyata, bukan hanya bentakan-bentakan itu
saja yang mengerikan. Bahkan tempat asal teriakan-
teriakan itupun merupakan sebuah tempat yang di-
anggap keramat. Bahkan sangat ditakuti, baik oleh
penduduk desa sekitar, maupun kaum rimba persila-
tan!
Lembah Maut! Itulah nama tempat suara-suara
teriakan dan bentakan dahsyat tadi berasal. Lembah
itu terletak di sebelah Utara Gunung Larang. Selain
agak tersembunyi dan menjorok ke dalam, lembah itu
pun tidak pernah lepas dari lapisan kabut. Tidak peduli siang panas terik, kabut tebal selalu saja melapi-
sinya.
Nama Lembah Maut bukan sekadar julukan be-
laka. Nama itu diberikan karena selain tempatnya san-
gat tersembunyi dan selalu dilapisi kabut tebal, juga
terdapat jurang-jurang yang menganga lebar, dan pe-
rangkap-perangkap alam yang bisa mendatangkan
kematian Tidak sedikit korban yang tertelan jurang-
jurang yang disamarkan oleh lapisan kabut. Sehingga,
orang menamakan tempat Itu sebagai Lembah Maut!
Lembah yang terletak di lereng sebelah Utara
Gunung Larang itu ternyata tidak ditakuti semua
orang. Para penduduk desa sekitar kaki gunung itu
tahu kalau Lembah Maut juga dihuni dua orang aneh
berwajah mengerikan! Meski jarang menampakkan di-
ri, namun penduduk desa sekitar tahu kalau kedua
orang aneh itulah yang menjadi Penguasa Lembah
Maut!
Bagi tokoh-tokoh persilatan sendiri, kedua
penghuni lembah itu telah sangat dikenal. Mereka
memberi sebuah julukan yang tidak kalah mengerikan
dengan lembah itu sendiri. Kesaktian yang mengi-
riskan, dan wajah yang membuat orang terbirit-birit
ketakutan, membuat kaum persilatan memberikan ju-
lukan Sepasang Mambang kepada kedua orang tokoh
itu. Kemudian julukan itu dikaitkan dengan nama
tempat yang dihuninya. Sehingga dalam dunia persila-
tan, bergaunglah sebuah julukan yang menggetarkan!
Sepasang Mambang Lembah Maut!
Dari kedua orang tokoh itulah bentakan dan te-
riakan dahsyat berasal. Tokoh mengiriskan yang tidak
diketahui asal-usulnya itu, seperti biasa selalu melatih
ilmu-ilmu setiap hari. Itulah sebabnya, mengapa sepa-
gi itu di Lembah Maut sudah bergaung teriakan dan
bentakan menggelegar!
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar te-
riakan nyaring menggetarkan jantung! Sesosok tubuh
ramping tampak berkelebatan cepat, bagaikan tidak
menyentuh permukaan tanah! Kemudian dengan in-
dahnya, sosok tubuh itu mulai memainkan jurus-jurus
maut! Sambaran tangan dan kakinya selalu dibarengi
deru angin mencicil dalam setiap lontaran. Hal itu me-
nandakan kalau sosok ramping itu jelas memiliki ke-
kuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, dan jarang
tandingannya
"Yiaaah...!"
Sosok tubuh yang wajahnya tersembunyi di ba-
lik topeng tengkorak itu menutup gerakannya dengan
sebuah pekikan halus, namun menyakitkan telinga.
Saat itu juga, tubuhnya melenting ke udara. Kemu-
dian, kakinya mendarat manis di atas rentangan tali
setelah berputaran beberapa kali. Gerakan yang demi-
kian ringan dan indah itu jelas menandakan kalau so-
sok ramping itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa!
Apabila orang menyaksikan apa yang dilakukan
sosok tubuh itu, tentu akan terbeliak dengan wajah
pucat! Sebab, sosok itu enak saja memainkan jurus-
jurus silatnya di atas rentangan tali yang di bawahnya
menganga jurang tak berdasar. Bukan main! Jelas se-
kali bahwa tokoh penghuni Lembah Maut itu tengah
melatih ilmu meringankan tubuhnya di atas rentangan
tali sebesar ibu jari itu
"Bagus... bagus..."
Terdengar seruan memuji yang diiringi tepuk
tangan Seseorang tengah berdiri sambil menatap ke
arah sosok ramping yang bagaikan tengah menari-nari
di atas rentangan tali-tali itu. Raut wajahnya juga ter-
lindung sebuah topeng tengkorak yang mengerikan.
Jelas, mereka itulah yang dijuluki sebagai Sepasang
Mambang Lembah Maut.
Setelah cukup lama berada di atas rentangan
tali, sosok raping itu pun kembali berseru menutup
permainannya. Tubuhnya melenting, dan berputar be-
berapa kali. Kemudian, dia mendarat di samping sosok
yang bertubuh agak gemuk. Kilatan cahaya sepasang
mata orang yang bertubuh gemuk, jelas menggambar-
kan kepuasan hati.
"Hm.... Kini kita hanya tinggal menyempurna-
kan satu ilmu lagi. Setelah itu, dunia persilatan akan
gempar! Mereka yang mengaku sebagai pendekar, ha-
rus tahu siapa sebenarnya Mambang Lembah Maut!"
kata sosok bertubuh gemuk dan jangkung, berkata
sambil mengepalkan tinjunya Hingga, terdengarlah su-
ara tulang-tulang yang berkerotokan.
"Benar. Tapi karena musuh kita yang lain telah
tewas, maka hanya satu yang kini harus dilenyapkan.
Apalagi, orang itu merupakan penghalang besar bagi
kita...," sosok yang bertubuh lebih kecil menyahuti,
dengan nada geram.
Tampaknya, Sepasang Mambang Lembah Maut
menyimpan dendam yang dalam. Semua itu terbukti
dari ucapan-ucapan mereka!
"Hm...,"gumam sosok yang bertubuh lebih te-
gap, sambil menengadahkan wajah menatap langit ce-
rah. Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu tam-
pak menerawang ke masa lalunya. Sesekali, terdengar
helaan napasnya yang berat dan panjang.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Kakang Jongga-
la?" tanya sosok yang lebih ramping, menatap orang
yang dipanggil Jonggala.
"Sayang, Resi Begawa yang berjuluk si Cambuk
Hujan dan Badai telah tewas, Jonggala. Jadi, kekala-
han kita pada beberapa tahun lewat, tidak bisa terba-
las. Kalau saja masih hidup, mungkin ia orang perta-
ma bagi percobaan kita...," desah Jonggala sesaat ke-
mudian, wajahnya berpaling kepada kembarannya
yang ternyata bernama Jonggali
"Yahhh..., hanya orang tua itulah yang dulu
pernah merasakan 'Ilmu Golok Terbang Perenggut
Sukma'. Dan, dia pulalah yang bisa menilai kemajuan
ilmu itu. Sayang, keinginan kita tidak bisa terlaksa-
na...," sesal Jonggali, orang kedua dari Sepasang
Mambang Lembah Maut Memang musuh mereka yang
bernama Resi Begawa telah tewas. Sehingga, mereka
benar-benar menyesalinya. Sebab, tokoh itulah yang
menjadi musuh bebuyutan mereka (Untuk lebih jelas-
nya, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Penghuni Rimba Gerantang").
"Sudahlah! Lupakan tentang tua bangka itu,
Jonggali. Sebaiknya kita segera menyempurnakan ilmu
"Golok Terbang Perenggut Sukma' yang hanya tinggal
menyempurnakannya saja. Setelah itu, baru kita ting-
galkan Lembah Maut untuk memberi pelajaran kepada
orang-orang yang menamakan dirinya pendekar persi-
latan...," ujar Jonggala yang segera beranjak mening-
galkan bibir jurang. Sehingga, Jonggali pun mau tidak
mau harus mengikutinya.
Tidak berapa lama kemudian, kembali terden-
gar bentakan-bentakan keras yang diselingi deru na-
pas bagai kuda pacu. Jelas, Sepasang Mambang Lem-
bah Maut tengah melatih ilmu-ilmu tingkat tingginya.
***
Desiran angin bertiup silir-silir lembut mengi-
ringi langkah kaki tiga orang laki-laki tegap. Suara ge-
merincing terdengar mengiringi ayunan langkah mere-
ka, yang berasal dari gelang-gelang baja putih di kedua
tangan mereka. Menilik dari beratnya gelang-gelang
baja putih di tangan ketiga orang lelaki itu, jelas kalau
mereka adalah tokoh-tokoh persilatan.
Dugaan itu memang beralasan. Ketiga orang le-
laki gagah itu adalah murid-murid Perguruan Gelang
Terbang yang sudah cukup terkenal di kalangan rimba
persilatan. Bahkan mereka juga merupakan tokoh-
tokoh yang cukup penting dalam perguruan. Semua
itu dapat diketahui dari adanya gelang-gelang baja pu-
tih di tangan mereka. Makin sedikit jumlah gelang baja
di tangan murid-murid Perguruan Gelang Terbang,
makin tinggilah kepandaian yang dimiliki. Hanya saja
meskipun jumlah gelang itu lebih sedikit, tapi beban-
nya jauh lebih berat. Itulah ciri-ciri yang telah tersebar
di kalangan persilatan.
"Hanya tinggal sebuah undangan lagi yang ter-
sisa, Karpala, Ratmala. Setelah itu, kita harus segera
kembali sebagaimana pesan guru...," kata salah seo-
rang dari ketiga lelaki itu.
Melihat dari jumlah gelang baja yang sembilan
di tangannya, jelas kalau lelaki gagah berkumis tipis
itu merupakan tokoh tingkat tiga. Demikian pula ke-
dua kawannya yang dipanggil Karpala dan Ratmala.
Masing-masing dari mereka mengenakan sembilan ge-
lang baja pada kedua lengannya.
"Benar. Kalau tidak salah, hanya tinggal Pende-
kar Cakar Maut sajalah yang tersisa. Setelah itu, maka
selesailah tugas kita...," timpal orang yang terlihat pal-
ing muda, yang bernama Karpala. Pada sepasang ma-
tanya tampak tersirat kelegaan, karena tugas yang di
bebankan kepada mereka dapat dilaksanakan dengan
baik.
"Ssst...!"
Tiba-tiba saja lelaki berkumis tipis yang
usianya jauh lebih tua ketimbang dua temannya,
memberi isyarat sambil meletakkan jari telunjuk di bi-
bir. Keningnya berkerut seolah-olah hendak memperta-
jam pendengarannya.
"Ada apa, Kakang Sentana...?" tanya Ratmala,
lelaki gemuk yang tulang pipinya menonjol. Dia berbi-
sik lirih di telinga kawannya, sehingga suaranya ham-
pir tak terdengar.
Meski demikian, wajah Ratmala tampak tenang.
Memang, la sama sekali tidak mengetahui apa maksud
tingkah laku aneh saudara seperguruannya yang ber-
nama Sentana. Jelas, hal itu membuatnya penasaran!
"Hati-hatilah...! Entah mengapa, dadaku tiba-
tiba berdebar tanpa sebab. Dan..., sepertinya aku
mendengar langkah kaki berat. Tapi..., sekarang le-
nyap begitu saja...," lelaki berkumis tipis yang bernama
Sentana itu menjawab, juga dengan nada berbisik. Na-
pasnya terdengar agak memburu, karena hatinya me-
mang tengah dilanda ketegangan.
"Kakang, lihat...'"
Belum lagi Sentana dan Ratmala sempat bertu-
kar pendapat, tiba-tiba terdengar teriakan Karpala.
Cepat mereka menoleh ke arah yang ditunjuk lelaki
kurus bermuka hitam itu.
"Hm.... Siapa mereka...? Apa maksudnya meng-
hadang di tengah jalan? Hati-hatilah. Mungkin mereka
memang sengaja hendak membegal kita...," desis Sen-
tana, mengingatkan kedua orang saudara sepergu-
ruannya agar berhati-hati. Dia sendiri sudah meraba
gagang pedangnya, sambil melangkah maju
Semula, baik Sentana maupun Karpala dan
Ratmala, sama sekali tidak merasa gentar dengan ke-
dua orang penghadang itu Namun keberanian dan se-
mangat mereka langsung terbang seketika, saat men-
genali kedua orang berpakaian putih itu. Setelah jarak
di antara mereka semakin dekat, nyatalah kalau kedua
penghadang itu mengenakan topeng tengkorak!
"Sepasang Mambang Lembah Maut..?!"
Sentana dan dua orang saudara seperguruan-
nya langsung melompat mundur dengan wajah pias!
Hampir mereka tidak percaya dengan apa yang dilihat
mereka. Masalahnya, selain kedua orang tokoh sesat
itu tidak pernah terdengar lagi dalam kancah rimba
persilatan, tempat mereka dihadang sekarang pun cu-
kup jauh terpisah dari Gunung Larang. Jadi, wajar sa-
ja kalau Sentana, Karpala Dan Ratmala terkejut seten-
gah mati.
"Mau apa kalian...?! Mengapa menghadang per-
jalanan kami?" sentak Santana coba memberanikan di-
ri
Wajah laki-laki berkumis tipis itu tampak de-
mikian tegang! Bahkan sepasang tangannya tampak
telah dialiri tenaga dalam, dan siap melepaskan ge-
lang-gelang bajanya. Wajar saja, karena untuk meng-
hadapi lawan-lawan berat, senjata andalannyalah yang
harus dipergunakan.
"Hm.... Kudengar Perguruan Gelang Terbang
hendak merayakan hari ulang tahunnya. Lalu, menga-
pa kami berdua tidak diundang?" kata sosok yang le-
bih tegap Suaranya berat dan dalam, tanpa mempedu-
likan pertanyaan Sentana.
Jelas Sepasang Mambang Lembah Maut me-
mang tidak memandang sebelah mata pun kepada mu-
rid-murid tingkat tiga Perguruan Gelang Terbang Tentu
saja hal itu tidak aneh. Selain merupakan tokoh pun-
cak golongan sesat. Sepasang Mambang Lembah Maut
memang memiliki watak yang angkuh, dan tidak per-
nah sudi menghormati orang lain.
"Jangan tanya kepada kami. Aku dan dua orang
saudaraku ini hanya melaksanakan tugas beliau. Soal
diundang atau tidaknya kalian, aku sama sekali tidak
tahu menahu. Maka, harap menyingkirlah. Beri kami
jalan...." Sentana mencoba membela diri dan sebisa
mungkin menghindari bentrokan dengan sepasang to-
koh maut itu.
"Hm..., kalian hendak pergi ke manakah...?"
kali ini sosok yang lebih langsing dan bernama Jongga-
li yang bertanya.
Suara Jonggali terdengar lebih lunak dan nyar-
ing, dan lebih tepat dimiliki seorang perempuan.
Sayangnya dalam soal kekejaman, Jonggali sama seka-
li tidak kalah oleh kembarannya. Bahkan terkadang
tindakan dan tingkahnya jauh lebih kejam dan berin-
gas daripada Jonggala.
"Kami hendak mengantarkan undangan kepada
Pendekar Cakar Maut. Maka, harap kalian memberi ja-
lan. Undangan ini penting sekali. Dan kalau Pendekar
Cakar Maut sampai mendengar adanya orang yang
menghalangi perjalanan kami, tentu dia tidak akan
tinggal diam. Dengan demikian, berarti kesulitan akan
menimpa kalian...," Sentana mencoba menggunakan
nama tokoh yang tercantum dalam surat undangan-
nya. Tentu saja, lelaki berkumis tipis itu hanya seka-
dar menggertak agar tidak sampai diganggu oleh kedua
tokoh dari Lembah Maut itu.
Sayang, ucapan Sentana sama sekali tidak di-
gubris Jonggala dan Jonggali. Kedua tokoh sesat itu
bahkan tertawa bergelak gelak mendengar ancaman
Sentana.
"Hua ha ha....'"
Jonggala sampai memegangi perutnya yang te-
rasa sakit mendengar ancaman itu. Jelas, gertakan
Sentana lebih merupakan sesuatu yang lucu, ketim-
bang sebuah ancaman. Memang begitulah anggapan
bagi Sepasang Mambang Lembah Maut.
"Mana surat undangan itu! Berikan padaku...,"
Sesaat setelah gema tawa mereka lenyap, Jonggala
mengulurkan tangannya merenggut tubuh Sentana.
Tapi, lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh lima tahun
itu tentu tidak tinggal diam. Cepat Sentana melompat
panjang ke belakang, sehingga cengkeraman Jonggala
luput!
Tapi, apa yang kemudian terjadi benar-benar
membuat Sentana pucat! Ternyata cengkeraman orang
tertua dari Sepasang Mambang Lembah Maut itu ma-
sih terus mengejarnya! Tentu saja kenyataan itu mem-
buat Sentana kelabakan!
"Gila...?!" umpat Sentana melihat lengan lawan
terus memanjang mengincar tubuhnya. Seolah-olah
lengan Jonggala bertambah panjang beberapa jengkal!
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi gugup!
Untunglah pada saat yang gawat bagi kesela-
matan Sentana, Karpala dan Ratmala bertindak cepat
Terdengar suara gemerincing saat keduanya melolos
gelang-gelang baja dari tangan masing-masing. Lalu,
mereka melepaskannya dengan pengerahan tenaga da-
lam yang mereka miliki!
Ziiing! Ziiing!
Empat buah gelang baja berbentuk pipih mele-
sat diiringi suara berdesing tajam! Senjata-senjata ber-
bentuk gelang itu memang tidak bisa dipandang re-
meh! Karena selain dapat merenggut nyawa lawan dari
jarak jauh, gelang itu pun dapat berputar kembali ke
arah tuannya. Itulah keistimewaan 'Ilmu Gelang Ter-
bang" yang sudah terkenal di kalangan rimba persila-
tan.
Jonggala mendengus kasar dengan nada mere-
mehkan. Empat buah gelang baja yang mengincar tu-
buh dan sikunya, memang berhasil menyelamatkan
nyawa Sentana. Tapi untuk itu, kedua adik sepergu-
ruan Sentana harus membayar dengan mahal! Buk-
tinya, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata,
Jonggala memutar lengannya. Langsung dikibasnya
keempat senjata itu sehingga berbalik arah.
"Hiaaah...!"
Hebat sekali akibat kibasan lengan yang terlihat
sembarangan itu! Setelah mengapung bagai ditahan
tangan-tangan yang tak tampak, gelang-gelang baja itu
berbalik melesat dengan kecepatan dan kekuatan ber-
lipat ganda!
Crabbb! Crabbb!
"Arghhh...!"
"Akhhh...!"
Dalam waktu yang tidak lebih dari sekejap ma-
ta, gelang-gelang baja itu telah menembus leher Rat-
mala dan Karpala. Mereka ambruk ke tanah. Setelah
meregang nyawa sesaat, mereka langsung tewas. Me-
mang, gelang-gelang baja itu telah menembus leher
mereka lebih dari separuhnya!
"Bangsat keji...!" maki Sentana kalap.
Tampak kedua orang saudara seperguruannya
telah roboh mandi darah! Dengan kemarahan yang me-
luap-luap, empat buah gelang bajanya diloloskan dari
tangannya dan langsung dilepaskan disertai bentakan
keras!
Lagi-lagi Jonggala hanya mendengus kasar! Cepat bagai kilat, tangannya berkelebat Maka tahu-tahu
saja, empat buah gelang baja itu telah dapat ditang-
kapnya! Karuan saja tindakan lawan yang boleh dibi-
lang mustahil itu membuat Sentana terpaku dengan
mata terbelalak lebar! Kalau saja tidak melihat dengan
mata kepala sendiri, Sentana tidak mungkin memper-
cayainya.
"Hmhhh...!"
Sayang, Sentana tidak dapat berpikir lebih jauh
lagi. Sebab disertai sebuah dengusan kasar, Jonggala
telah mengirimkan kembali senjata itu kepada tuan-
nya! Dan....
Ziiing! Ziiing!
"Aaa...!"
Sentana meraung begitu gelang baja miliknya
menembus tubuh dan lehernya! Tanpa ampun lagi, tu-
buh lelaki gagah itu pun terjungkal. Dia kelojotan se-
saat, lalu diam tak bergerak lagi.
"Hm..., akan kubuat gempar Perguruan Gelang
Terbang pada hari perayaan nanti...," desis Jonggala
yang kemudian tertawa berkakakan, diikuti Jonggali.
***
DUA
Hari ini di setiap sudut bangunan Perguruan
Gelang Terbang tampak telah terjadi kesibukan. Segala
hiasan indah berwarna cerah tampak menghiasi ba-
gian dalam bangunan. Bahkan bendera-bendera yang
bertuliskan Perguruan Gelang Terbang, tampak ter-
pancang menyemaraki di pelataran bangunan pergu-
ruan itu. Tampaknya Perguruan Gelang Terbang hendak merayakan hari jadinya yang kelima.
Di tengah kesibukan murid-murid Perguruan
Gelang Terbang yang tengah bekerja, terlihat seorang
lelaki gagah bertubuh kekar sedang berdiri mengamati.
Sepasang matanya yang tajam dengan brewok meng-
hias wajahnya, membuat penampilan lelaki itu sema-
kin bertambah angker. Melihat tiga buah gelang perak
yang menghias sepasang tangannya, dapat ditebak ka-
lau lelaki itu adalah murid utama Perguruan Gelang
Terbang.
"Kakang...," sapa seorang lelaki muda berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Dia menyapa lelaki ga-
gah itu dengan napas agak memburu, seperti begitu
tergesa-gesa.
"Ada apa...?" tanya lelaki gagah berwajah bre-
wok itu dengan suara berat.
"Guru menyuruhku untuk memanggil Kakang
Panawangan, agar menghadap sekarang juga...," sahut
lelaki muda itu sambil mengangguk hormat.
"Hm..., baiklah...."
Meski agak heran, lelaki gagah bernama Pana-
wangan itu beranjak juga untuk menghadap guru be-
sarnya. Namun sambil melangkah lebar-lebar, batin-
nya bertanya-tanya. Maka begitu tiba di dalam bangu-
nan utama, ia langsung masuk ke dalam ruang perte-
muan. Didapatinya dua orang murid tingkat satu dan
empat murid tingkat dua tengah berkumpul di dalam
ruangan.
"Guru...." Panawangan membungkuk memberi
hormat, kemudian duduk di hadapan gurunya.
"Panawangan! Tadi aku bertanya kepada Suba-
dra dan Kandira. Kata mereka, Sentana, Ratmaja, dan
Karpala belum terlihat kembali. Apa itu betul?" tanya
seorang lelaki berkumis lebat, berusia sekitar enam
puluh tahun.
Laki-laki itu adalah Ki Pangrawit. Atau, lebih
dikenal sebagai Pendekar Gelang Maut. Pada kedua
lengannya masing-masing terlihat sepasang gelang
yang terbuat dari emas.
"Betul, Guru. Aku pun merasa heran atas keter-
lambatan mereka. Padahal, semestinya kemarin sudah
harus tiba di perguruan. Aku khawatir ada sesuatu
yang telah menimpa mereka," Panawangan membenar-
kan keterangan Subadra dan Kandira.
"Hm.... Rasanya, tidak mungkin mereka sengaja
melakukannya. Tapi kalau memang ada sesuatu yang
terjadi terhadap mereka, mengapa kita tidak mendapat
kabar! Apa sebenarnya yang membuat mereka belum
juga kembali...?" gumam Ki Pangrawit pelan sambil
mengelus jenggotnya yang panjang dan lebat.
Sepasang mata tua Ki Pangrawit tampak me-
nyipit, seolah-olah hendak mencari dugaan atas keter-
lambatan ketiga orang muridnya yang belum juga
kembali dari tugas yang diberikan.
"Apa mungkin mereka mengalami kesulitan di
jalan...," gumam Subadra, seorang lelaki berwajah ku-
rus yang juga murid utama Ki Pangrawit bergumam li-
rih. Meski demikian, ucapannya terdengar jelas oleh
orang-orang di ruangan itu.
"Kesulitan di jalan...?" gumam Ki Pangrawit
dengan kening berkerut "Rasanya, kemungkinan itu
kecil sekali, Subadra. Sebelum berangkat, mereka te-
lah ku pesan tegas-tegas, agar menghindari setiap per-
kara yang bisa membawa keributan. Dan aku percaya
kalau mereka pasti akan mentaatinya."
"Aku rasa, kemungkinan seperti itu bisa saja
terjadi, Guru. Kalau ada orang yang mencari keributan
dan terlalu menghina, mungkin saja Sentana dan teman-temannya terpaksa menghadapi," timpal Pana-
wangan, yang memiliki dugaan sama dengan Subadra.
"Hm...," Ki Pangrawit hanya menggumam tak je-
las menanggapi pendapat murid-muridnya.
Suasana menjadi hening sejenak, ketika orang
tua gagah itu termenung memikirkan kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi terhadap Sentana dan dua
orang murid lainnya.
Panawangan dan murid-murid lainnya terme-
nung, seperti tengah ikut memikirkan Sentana dan
kawan-kawannya yang belum kembali Bahkan bebera-
pa orang di antaranya terlihat mengerutkan kening,
seperti tengah berpikir keras untuk mencari jawaban
atas persoalan itu.
"Hhh...."
Terdengar helaan napas berat Ki Pangrawit se-
telah kesunyian mengungkungi ruangan itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita bersiap-siap me-
nyambut ramu. Untuk sementara, lupakan saja masa-
lah Sentana. Dan, ingat. Persoalan ini jangan dicerita-
kan kepada murid-murid yang lain. Aku tidak ingin pe-
rayaan ini terganggu," ujar Ki Pangrawit yang segera
membubarkan murid-murid lainnya.
"Baik, Guru...."
Secara serempak, ketujuh orang tokoh Pergu-
ruan Gelang Terbang berpamitan meninggalkan ruang
itu. Kini, tinggallah Ki Pangrawit termenung seorang
diri memikirkan persoalan itu.
***
Ketika matahari mulai naik tinggi, satu-persatu
para undangan mulai berdatangan. Suasana di dalam
bangunan Perguruan Gelang Terbang pun semakin
bertambah ramai. Hal itu memang tidak terlalu aneh,
sebab nama Pendekar Gelang Maut telah dikenal oleh
hampir seluruh tokoh persilatan. Tidak heran kalau
perayaan itu juga dihadiri pejabat-pejabat pemerintah
setempat.
Ki Pangrawit yang duduk di bangku kehorma-
tan bersama tokoh-tokoh seangkatan yang diundang-
nya, tersenyum penuh kepuasan. Memang, hampir
semua yang diundangnya datang menghadiri perayaan
itu. Tentu saja hal ini menimbulkan kebanggaan ter-
sendiri di hatinya. Sebab, hal ini berarti namanya ma-
sih cukup disegani dan dihormati orang.
Panawangan yang bersama Subadra dan Kandi-
ra duduk di belakang gunanya, sejenak mengawasi
tempat para undangan yang telah penuh. Berbagai ha-
diah yang dibawa para undangan telah bertumpuk-
tumpuk tiga meja penuh, membuat para murid pergu-
ruan itu sempat kewalahan menanganinya. Ki Pangra-
wit memang menyebar undangan tidak kurang dari ti-
ga ratus, sehingga perayaan itu terlihat sangat meriah.
"Hm.... Rupanya, semakin tua usia perguruan
ini semakin terkenal Selamat kuucapkan untukmu,
Pendekar Gelang Maut Semoga di tahun-tahun menda-
tang perguruan ini semakin bertambah maju, dan bisa
menghasilkan murid-murid pandai berhari luhur,"
ucap seorang lelaki tinggi kurus mengenakan pakaian
sederhana.
Dia tampak memberi hormat kepada Ki Pan-
grawit Sementara, Ki Pangrawit langsung bangkit me-
nyambut tamunya.
"Terima kasih..., terima kasih. Ah..., kau sema-
kin bertambah gagah saja Ki Janiga. Lima tahun tidak
berjumpa, ternyata kau semakin bertambah gemuk.
Ha ha ha.... Silakan..., silakan...," sambut Ki Pangrawit
tertawa gembira menerima kedatangan lelaki jangkung
itu.
"Kau bisa saja, Ki Pangrawit. Apa untuk pujian
itu aku harus memberi hadiah yang lebih besar kepa-
damu?" lelaki jangkung bernama Ki Janiga itu pun ter-
tawa gembira. Sepertinya, pertemuan itu benar-benar
membuat mereka gembira.
"Tidak juga, Sahabatku. Yang jelas, aku sangat
gembira atas kehadiranmu kali ini Tidak seperti tahun-
tahun lalu, saat kau selalu sibuk dan sulit ditemui,"
sanggah Ki Pangrawit seraya mempersilakan Ki Janiga
untuk memilih tempat duduk.
Ki Janiga menyalami tokoh-tokoh lainnya sebe-
lum menghempaskan pantatnya di atas kursi.
Tapi suasana gembira itu tiba-tiba berubah te-
gang, begitu dari pintu gerbang tempat penerimaan pa-
ra tamu, terdengar jeritan-jeritan kesakitan. Beberapa
orang murid yang ditugaskan menyambut para undan-
gan, tampak terpental ke dalam bangunan perguruan.
Jelas, ada kejadian yang tak dinginkan di depan pintu
gerbang itu.
"Coba kau lihat, Panawangan. Ada apa di depan
sana? Hati-hati, jangan memperpanjang urusan," pe-
rintah Ki Pangrawit, sambil tak lupa berpesan.
Tanpa diperintah dua kali, Panawangan segera
saja bergerak bangkit dan berlari menuju pintu ger-
bang utama. Sedang Subadra dan Kandira tetap di
tempat, karena tidak berani bertindak tanpa diperintah
Ki Pangrawit.
Panawangan yang tiba di depan pintu gerbang,
tentu saja menjadi terkejut. Cepat kemarahannya yang
sudah naik ke kepalanya ditekan, begitu melihat enam
orang yang ditugaskan menyambut kedatangan para
tamu telah bergeletakan pingsan. Kalau saja Panawan
gan tidak teringat pesan gurunya, rasanya batok kepa-
la pengacau Itu ingin dihancurkannya. "Ada apa ini...?"
tegur Panawangan, kaku. Memang, biar bagaimanapun
kemarahan yang ditekannya itu tidak hilang seluruh-
nya. Sehingga meski diusahakan untuk tenang, tetap
saja tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
Lelaki gagah berwajah brewok itu menatap ta-
jam ke arah seorang lelaki gemuk berwajah bulat yang
tengah dikepung murid-murid tingkat dua dan tiga.
Panawangan heran melihat kilatan kemarahan di mata
lelaki gemuk itu. Kemudian, kakinya melangkah lebar
menghampiri orang-orang yang telah siap bertarung.
"Kami tidak mengenal lelaki gemuk itu, Kakang.
Begitu datang, dia langsung marah-marah. Selain itu,
dia juga tidak membawa undangan. Dan ketika kawan-
kawan yang bertugas menanyakan secara baik-baik,
tapi ia malah menghajarnya. Bahkan sambil memaki
Guru Besar kita!" lapor seorang murid tingkat tiga ke-
pada Panawangan. Sehingga, lelaki gagah itu semakin
dalam mengerutkan keningnya.
"Orang tua! Siapakah kau! Dan mengapa mem-
buat keributan di tempat ini?!" tegur Panawangan. Si-
kapnya tetap kaku, meski telah dicoba untuk ramah.
"Hm.... Kau pasti murid Tua Bangka Sombong
Pangrawit itu, bukan? Katakan pada Gurumu! Aku, si
Cakar Maut datang berkunjung, namun kawan-
kawanmu menahanku, dengan alasan kalau aku tidak
mempunyai undangan. Padahal, kedatanganku bukan
karena tertarik menghadiri perayaan gombal ini! Tapi,
kesombongan gurumulah yang membawa langkahku
datang ke sini!" sahut lelaki gemuk yang mengaku ber-
juluk Cakar Maut. Tentu saja pengakuan itu membuat
Panawangan terkejut.
"Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Cakar
Maut?" desis Panawangan, tak yakin. Di telitinya sosok
tubuh lelaki gemuk berusia lima puluh tahun itu.
"Maaf, mungkin guruku lupa karena banyaknya saha-
bat beliau. Tapi, tidak seharusnya kau berbuat sede-
mikian kasar terhadap murid-murid kami yang tidak
berdosa."
Panawangan sepertinya belum percaya sepe-
nuhnya kepada lelaki gemuk itu. Memang, ia tahu be-
tul kalau tokoh berjuluk Pendekar Cakar Maut telah
terdaftar namanya dalam undangan. Dan karena tidak
pernah berjumpa sebelumnya, maka Panawangan pun
masih belum mempercayainya. Maka, rasa tidak se-
nangnya belum juga lenyap.
"Hm.... Masih untung mereka tidak kubikin
mampus! Kau tahu! Dengan mengadakan perayaan ini
tanpa mengundangku, itu sama artinya Ki Pangrawit
tidak memandang mukaku! Dan itu sama saja sebuah
penghinaan!" bentak Pendekar Cakar Maut.
Rupanya, laki-laki gemuk itu tidak menerima
undangan dari Ki Pangrawit Maka tentu saja tokoh itu
marah, karena sama artinya dianggap remeh oleh Pen-
dekar Gelang Maut. Baginya itu merupakan penghi-
naan!
Mendengar dirinya dibentak-bentak, kontan
kemarahan yang semula ditahan-tahan Panawangan,
serentak naik ke kepalanya. Karuan saja, wajahnya ge-
lap seketika. Bahkan sorot matanya pun memancar-
kan kilatan kemarahan.
"Hm.... Ucapanmu terlalu sombong, Orang Tua!
Apa kau kira begitu mudah membuktikan ucapan itu?
Hmh! Dengan ucapanmu itu, sama saja sebuah peng-
hinaan bagi perguruan kami! Dan aku tidak bisa teri-
ma!" desis Panawangan, sambil menggertakkan giginya
hingga menimbulkan suara bergemelutuk yang cukup
jelas.
"Hm.... Sudah kuduga. Perguruan Gelang Ter-
bang telah menjadi besar kepala seiring kemajuannya.
Benar-benar mengagumkan. Kalau begitu, mengapa
kau tidak segera turun tangan memberi pelajaran ke-
padaku? Ingin kulihat, apakah kepandaianmu sebesar
mulutmu?" ejek Pendekar Cakar Maut yang semakin
tersinggung atas sikap Panawangan, yang dianggap ti-
dak sopan terhadap tokoh yang tingkatannya sejajar
gurunya.
"Keparat! Siapa takut kepadamu!" bentak Pa-
nawangan.
Laki-laki berwajah brewok jadi lepas kendali
karena merasa diremehkan. Begitu ucapannya selesai,
langsung diterjangnya lelaki gemuk yang mengaku se-
bagai Pendekar Cakar Maut itu.
"Hiaaat...!"
Dengan mengandalkan jurus-jurus tangan ko-
songnya Panawangan merangsek maju. Terdengar an-
gin berkesiutan saat pukulan dan tendangan lelaki
brewok itu meluncur membelah udara!
Whuuut! Whuuut!
"Hm.... Tidak jelek..," desis lelaki gemuk itu
sambil menggeser langkahnya menghindari serangan
Panawangan.
Sampai lima jurus lamanya, serangan murid
utama Ki Pangrawit sama sekali tidak mengenai sasa-
ran, luput tanpa hasil! Memang gerakan lelaki gemuk
itu masih jauh lebih cepat ketimbang Panawangan Dan
semua itu semakin menambah kemarahan di hati mu-
rid utama Ki Pangrawit!
"Yeaaah...!"
Rasa kemarahan dan penasaran membuat Pa-
nawangan terhina. Sehingga, serangan-serangan se
makin di perhebat Bahkan terlihat sudah mulai meng-
gunakan gelang peraknya sebagai senjata.
"Awasss...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang ke-
dua puluh, Cakar Maut mengejutkan lawannya dengan
sebuah seruan tiba-tiba. Pada saat yang sama tubuh-
nya melompat tinggi, dan langsung melepaskan se-
buah tendangan ke dada lawannya.
Karuan saja Panawangan menjadi gugup di-
buatnya. Padahal, ia tengah menahan debaran akibat
seruan mendadak lawannya. Tapi, pada saat itu pula,
Pendekar Cakar Maut tiba-tiba melepaskan tendangan
kilatnya. Akibatnya....
Bukkk!
"Hukhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Panawangan
langsung terjajar hingga sejauh satu tombak. Merasa
kalau lawan sengaja mengurangi tenaganya pada saat
menendangnya, membuat Panawangan merasa terhi-
na! Maka kemarahannya pun kian berlipat. Dia merasa
kalau lawan terlalu menganggap remeh dirinya.
"Hm.... Hadapilah senjataku. Keparat Som-
bong...!" geram Panawangan sambil meloloskan gelang
perak di lengannya. Sekejap saja, di tangan Panawan-
gan telah tergenggam dua pasang gelang perak.
"Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana ilmu
yang telah diturunkan orang tua sombong itu kepada-
mu, Orang Gagah...," ejek Cakar Maut. Wajahnya tam-
pak mengulas senyum, sehingga menyakitkan hati Pa-
nawangan.
Ucapan Cakar Maut rupanya bukan hanya se-
kadar omong kosong: Buktinya, meskipun Panawan-
gan telah menggunakan senjata andalannya, tetap saja
tidak bisa mendesak lawan. Memang nyata sekali kalau kepandaian lelaki gemuk itu masih berada di atas-
nya.
"Hiaaah...!" „
Dalam kepenasarannya, Panawangan mulai
menggunakan gelang peraknya sungguh-sungguh. Di-
iringi sebuah bentakan nyaring, lelaki gagah itu men-
dadak melompat mundur jauh kebelakang Sambil me-
lompat, tangannya mengibaskan melepaskan sepasang
gelang terbang di tangan kanannya!
Ziiing! Ziiing!
Dua buah gelang perak itu langsung mengaung
tajam merobek udara siang! Dan senjata itu terus me-
laju pesat, mengancam Pendekar Cakar Maut!
"Haiiit...!"
Panawangan tidak berhenti sampai di situ saja.
Begitu sepasang senjatanya terlontar, lelaki gagah itu
ikut melesat sambil kembali melontarkan sepasang ge-
lang peraknya yang di tangan kiri! Sebuah serangan
hebat, dan Jelas menggambarkan kecerdikan otaknya!
"Bagus...," puji Pendekar Cakar Maut, tulus.
Pujiannya kali ini bukan merupakan ejekan.
Memang, apa yang dilakukan lelaki gagah itu benar-
benar patut dipuji.'
"Hiaaah..!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh lelaki
gemuk itu berputar bagaikan kitiran. Sepasang gelang
terbang pertama luput, dan kembali berputar ke arah
tuannya. Sedangkan sambaran sepasang gelang perak
kedua, dihindari Pendekar Cakar Maut melambung ke
atas, dan berputar melewati gelang-gelang lawannya!
Panawangan rupanya tidak sekadar mengan-
dalkan senjata-senjatanya saja. Lelaki gagah itu bah-
kan menyertainya dengan serangkaian serangan kilat
untuk menyusuli senjatanya, sehingga semakin membuat kagum lawannya!
Whuuut! Whuuut!
"Haiiit...!"
Pendekar Cakar Maut membentak keras dalam
menyambut pukulan Panawangan. Tubuh gemuk itu
bergerak miring ke kiri, meskipun kedua kakinya baru
saja menyentuh tanah. Namun serangan Panawangan
dapat dihindarinya! Bahkan sebuah cengkeraman
mautnya nyaris merobek tenggorokan lawan!
**Gila.-.!" desis Panawangan.
Untungnya laki-laki brewok itu telan lebih dulu
melompat mundur ke belakang. Sehingga, cengkera-
man jari-jari sekeras besi itu tidak sampai mencelakai
dirinya!
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang
membuat kedua orang itu menghentikan gerakannya.
Berbarengan suara bentakan itu, berkelebat sesosok
tubuh yang langsung menjejakkan kakinya di tengah
arena pertarungan!
***
TIGA
"Guru...!"
"Ki Pangrawit..!"
Baik Panawangan mau pun Pendekar Cakar
Maut sama-sama berseru ketika mengenali sosok tegap
yang melerai pertarungan mereka. Panawangan sendiri
sudah langsung membungkuk hormat kepada gu-
runya. Sedangkan Pendekar Cakar Maut tetap berdiri
tegak dengan tatapan tajam.
Ki Pangrawit menatap Panawangan lekat-lekat
Dari kilatan matanya, jelas sekali kalau orang tua itu
tidak suka atas kelakuan murid utamanya.
"Kau lupa pesanku tadi, Panawangan...?" tegur
Ki Pangrawit penuh kekecewaan.
"Ampun, Guru. Aku tidak mungkin berani me-
langgar pesan itu kalau saja dia tidak memaksa dan
menghina Guru di depanku...," dengan wajah tertun-
duk, Panawangan mencoba membela diri Jelas, ia ti-
dak mau disalahkan dalam persoalan ini.
"Hm.... Biar bagaimanapun, kau tetap salah,
Panawangan. Bukankah kau bisa melaporkannya pa-
daku? Lalu, mengapa tidak kau lakukan? Apakah kau
sudah merasa hebat, hingga ingin menyelesaikan ma-
salah ini seorang diri dengan mengandalkan kepan-
daianmu?" kata Ki Pangrawit, kembali memojokkan
Panawangan.
Memang bagaimanapun, lelaki gagah itu telah
bersalah karena telah mendahului gurunya. Itu yang
tidak bisa diterima Ki Pangrawit
"Ampun, Guru. Aku mengaku salah ..." Akhir-
nya Panawangan tidak bisa membantah lagi. Apa yang
dikatakan gurunya sangat jelas dan terang. Dan dis-
adari kebenaran ucapan gurunya itu.
"Hhh..., sudahlah. Lain kali, pikirkanlah dulu
sebelum mengambil tindakan," ujar Ki Pangrawit di
dahului desahan napas panjang. Kemudian, Ketua
Perguruan Gelang Terbang itu berpaling kepada Pen-
dekar Cakar Maut. Tubuhnya segera dibungkukkan,
memberi hormat dengan sapaan ramah serta permo-
honan maaf atas kelancangan muridnya.
"Hmh...!" dengus Pendekar Cakar Maut, kasar.
Sikapnya jelas-jelas menyiratkan kesombongan ha-
tinya. Tentu saja Ki Pangrawit agak heran melihatnya.
Setahunya, sahabatnya yang berjuluk Cakar Maut ini
sama sekali tidak memiliki perangai sombong.
"Maaf, atas semua kejadian yang tidak menye-
nangkan hatimu. Sahabat Cakar Maut. Kuharap, kau
berkenan melupakannya. Sekarang, marilah kita ke
dalam. Cukup banyak sahabat kita yang telah ber-
kumpul dan ingin segera berjumpa denganmu," ucap
Ki Pangrawit tetap bersabar.
Dengan wajah penuh senyum, orang tua itu
mempersilakan Pendekar Cakar Maut untuk segera
bergabung dengan tamu-tamu lainnya.
"Hmhhh...! Jangan berpura-pura manis, Pan-
grawit! Katakanlah sejujurnya. Apa maksudmu tidak
mengirim undangan kepadaku? Apakah aku sudah se-
demikian rendah hingga tidak pantas menghadiri
ulang tahun perguruanmu?" dengus Pendekar Cakar
Maut.
Pendekar Cakar Maut sepertinya tidak tergerak
oleh sikap manis sahabatnya. Lelaki bertubuh gemuk
itu seperti menuntut jawaban dari Ki Pangrawit
"Tidak mengundangmu...? Mana mungkin. Sa-
habat Aku belum gila untuk memutuskan persahaba-
tan di antara kita. Undangan untukmu tentu saja telah
kukirimkan. Apakah kau benar-benar tidak meneri-
manya...." Ki Pangrawit malah bertanya dengan kening
berkerut dalam. Jelas sekali kalau orang tua itu mera-
sa terkejut mendengar pertanyaan sahabatnya.
"Hm.... Jadi, kau telah mengirimkan undangan
kepadaku, begitu?" tukas Pendekar Cakar Maut ber-
nada sangat tidak enak didengar.
"Tentu saja...," sahut Ki Pangrawit cepat.
Orang tua itu tetap bersabar meski ucapan
Pendekar Cakar Maut seperti sengaja memancing ke-
marahannya.
"Hm... kalau begitu, coba panggil orang yang
mengirimkan undangan untukku. Aku ingin melihat,
seperti apa orangnya...," kembali Pendekar Cakar Maut
mendesak dengan wajah tidak sedap dipandang.
"Itulah yang masih menjadi pikiranku, Cakar
Maut. Sebab, sampai hari ini ketiga orang muridku
yang bertugas mengantarkan undangan kepadamu be-
lum juga kembali. Apakah kau tidak menerima undan-
gan itu...?" tanya Ki Pangrawit, agak heran.
"Menurutmu sendiri, bagaimana?" sahut Pen-
dekar Cakar Maut cepat. Sikapnya tetap belum beru-
bah.
"Maaf kalau aku terpaksa mencampuri urusan
ini...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara menimpali.
Dari dalam bangunan, melangkah seorang lelaki tinggi
kurus yang mengenakan pakaian sederhana.
"Tinju Pemecah Badai...! Rupanya kau sudah
datang ke tempat ini. Apakah kau hendak membela Ki
Pangrawit..?" seru Pendekar Cakar Maut Wajahnya ter-
lihat agak berseri begitu mengenali orang yang datang.
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Tinju Peme-
cah Badai itu tak lain dari Ki Janiga. Langkahnya le-
bar-lebar menghampiri sahabat-sahabatnya yang ten-
gah bersitegang itu. Dia kemudian memberi hormat
kepada Pendekar Cakar Maut, dan berdiri di samping
Ki Pangrawit.
"Sahabat, Cakar Maut. Apa yang dikatakan Ki
Pangrawit sama sekali tidak bohong. Memang, pada
saat aku menerima undangan yang disampaikan mela-
lui tiga orang muridnya, sempat kulihat undangan te-
rakhir yang menurut mereka akan disampaikan kepa-
damu. Nah, apakah kau pun akan menuduhku sebagai
pembohong?" kata Ki Janiga, sambil menatap tajam
wajah Pendekar Cakar Maut. Kemudian, kepalanya te-
rangguk memohon pengertian sahabatnya.
Pendekar Cakar Maut termenung ketika men-
dengar penjelasan Ki Janiga. Sebenarnya, ia pun bu-
kan tidak mempercayai keterangan Ki Pangrawit Tapi
karena merasa terhina dan tidak sudi dianggap remeh,
maka la masih bersikap keras kepala. Maka, ikut cam-
purnya Ki Janiga tentu saja membuat Pendekar Cakar
Maut tidak enak hati. Sebagaimana Ki Pangrawit, Ki
Janiga pun merupakan sahabat baiknya. Dan kini, le-
laki gemuk itu terlihat mengangguk-anggukkan kepa-
lanya tanda mencoba mengerti.
"Baiklah. Tapi, mengapa ketiga orang murid
yang kau tugaskan itu tidak sampai ke tempatku?
Dan...,benarkan mereka belum kembali?" tanya Pen-
dekar Cakar Maut, meminta penjelasan Ki Pangrawit.
"Aku pun tidak tahu, Cakar Maut. Tapi sebaik-
nya, kita lupakan saja masalah itu, agar tidak meng-
ganggu jalannya perayaan ini. Mudah-mudahan saja
mereka hanya terlambat, dan bukan mengalami musi-
bah...," sahut Ki Pangrawit berharap.
"Ya.... Kalau begitu, maafkanlah tindakanku
yang mungkin telah mengganggu jalannya acaramu...,"
ucap Pendekar Cakar Maut, yang akhirnya bersedia
mengerti keterangan Ki Pangrawit.
"Ayolah...," ajak Ki Pangrawit mempersilakan
kedua orang sahabatnya ke tempat yang telah disedia-
kan.
Panawangan pun segera beranjak meninggal-
kan gerbang depan, setelah berpesan kepada para mu-
ridnya yang ditugaskan di tempat itu.
***
"Para sahabat sekalian. Aku sebagai tuan ru-
mah, mengucapkan banyak terima kasih atas kedatan-
gan kalian. Hari ini, adalah hari jadinya Perguruan Ge-
lang Terbang yang kelima. Seperti biasanya, kami akan
memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang telah dipe-
roleh murid-murid Perguruan Gelang Terbang. Dan
apabila ada sesuatu yang kurang dalam penyambutan
maupun pelayanan, harap mohon dimaafkan," Pana-
wangan yang bertugas mewakili Ki Pangrawit untuk
membuka perayaan itu, menghentikan ucapannya se-
jenak. Karena saat itu, terdengar tepuk tangan para
tamu menyambut ucapannya. Bahkan sekelompok
undangan di sebelah kanan, berteriak-teriak ramai.
"Hidup Perguruan Gelang Terbang...!"
Teriakan-teriakan itu terus bergemuruh bagai
hendak meruntuhkan bangunan gedung. Panawangan
tersenyum-senyum sambil membungkukkan tubuhnya
ke segala arah. Lelaki gagah itu baru melanjutkan
ucapannya setelah suara teriakan itu lenyap.
"Seperti biasanya, dalam acara ini kami mem-
buka kesempatan kepada para undangan sekalian un-
tuk mengisi acara bebas ini. Untuk itu, yang berminat
silakan naik ke atas panggung...."
Baru saja ucapan Panawangan selesai, terlihat
sesosok tubuh bergerak melenting ke udara. Kemu-
dian, kakinya menjejak di atas panggung setelah ber-
putaran di udara. Langsung saja para undangan ber-
tepuk tangan riuh menyambut pertunjukan ilmu me-
ringankan tubuh yang hebat itu.
"Sahabat! Aku, Rajawali Merah hendak ikut me-
ramaikan pesta ini...."
Sambil berkata demikian, lelaki berusia kira-
kira tiga puluh tahun berpakaian serba merah itu
membungkukkan tubuhnya kepada Panawangan. Kemudian, dia berputar memberi hormat kepada para
undangan di tiga penjuru.
"Terima kasih atas kesediaan sahabat...," ucap
Panawangan.
Laki-laki brewok itu segera saja beranjak turun
untuk memberi keleluasaan kepada lelaki muda bertu-
buh sedang yang terlihat gesit. Dari caranya melompat
ke atas panggung, memang pantas sekali dia memakai
julukan 'Rajawali'. Sebab, gerakannya sangat gesit, tak
ubahnya seekor burung rajawali yang bermain-main di
angkasa.
Namun sayang. Baru saja lelaki berjuluk Raja-
wali Merah itu bergerak mempertontonkan kebolehan-
nya, tiba-tiba terdengar kegaduhan yang berasal dari
gerbang depan. Serentak para tamu menoleh ke arah
pintu gerbang. Itu berarti pertunjukan Rajawali Merah
sama sekali tidak mendapat perhatian untuk beberapa
saat lamanya.
Subadra dan Kandira yang bertugas menga-
mankan suasana, segera saja bergegas menuju ger-
bang. Beberapa saat kemudian, salah satu di anta-
ranya telah kembali bersama seorang lelaki gagah. Di-
lihat dari pakaiannya, dapat ditebak kalau lelaki itu
merupakan anggota pengawal barang. Kini, orang itu
menghadap Ki Pangrawit dengan diantar Kandira.
"Kami ditugaskan dua orang yang tidak dikenal
untuk menyampaikan hadiah ini kepada Ketua Pergu-
ruan Gelang Terbang. Mereka mohon maaf, karena ti-
dak bisa hadir meramaikan pesta yang diadakan Per-
guruan Gelang Terbang...."
Sambil berkata demikian, lelaki gagah berusia
sekitar empat puluh tahun itu menyerahkan sebuah
peri berukir kepada Ki Pangrawit. Sementara, Ketua
Perguruan Gelang Terbang itu segera menyambutnya
"Apakah Kisanak tidak mengenal kedua orang
itu?" tanya Ki Pangrawit, dengan sikap wajar. Memang
pada peti yang cukup besar itu tidak tertera nama
pengirimnya.
"Maaf. Kami sama sekali tidak mengenal kedua
orang itu. Tapi menurut mereka, Ki Pangrawit akan se-
gera tahu setelah membuka peti itu. Mungkin di da-
lamnya terdapat keterangan, siapa pengirim hadiah
Itu...," jelas lelaki pengawal barang itu menerangkan.
"Hm...," Ki Pangrawit hanya bergumam dengan
kening berkerut
Karena merasa penasaran. Lelaki tua itu segera
saja membukanya di depan beberapa murid dan saha-
batnya. Dan....
"Aaah. ..!?"
"Keji...!"
Berbagai seruan terdengar saling bersahutan,
saat peti itu di buka Ki Pangrawit. Wajah lelaki tua itu
seketika menjadi gelap. Sepasang tangannya mengepal
memperdengarkan suara berkerotokan buku-buku ja-
rinya.
"Biadab...!" desis Ki Pangrawit, gemetar.
Orang tua yang biasanya sabar dan bijaksana
itu, ternyata tidak sanggup menahan kemarahannya.
Memang, dia telah menyaksikan bentuk hadiah yang
dikirimkannya melalui perkumpulan pengawal barang
itu.
Pendekar Cakar Maut dan Tinju Pemecah Badai
menjadi penasaran. Keduanya segera melangkah meli-
hat wajah Ki Pangrawit yang nampak dijalari kemara-
han besar itu.
"Aaah...?!" seru Pendekar Cakar Maut, kaget ke-
tika melihat isi peti.
Demikian pula halnya Ki Janiga. Pendekar bertubuh tinggi kurus itu mendesis geram begitu melihat
bentuk hadiah yang diterima sahabatnya.
"Ya..., Sentana, Karpala dan Ratmana inilah
yang kutugaskan mengirimkan undangan kepada sa-
habat-sahabatku. Termasuk, kau dan Cakar Maut.
Rupanya, inilah yang membuat undangan itu tidak
sampai ke tanganmu, Cakar Maut...," sahut Ki Pan-
grawit seraya menundukkan wajahnya. Kemudian se-
gera ditutupnya kembali peti berukir indah itu.
Pendekar Cakar maut yang merasa bersalah da-
lam hal ini segera saja menyambar leher baju lelaki ga-
gah yang mengantarkan hadiah itu. Gerakannya demi-
kian cepat, sehingga tidak sempat lagi dihindari. Se-
hingga, tahu-tahu tubuh lelaki gagah itu telah terang-
kat ke udara dalam cengkeraman Pendekar Cakar
Maut!
"Katakan, siapa yang menyuruhmu mengirim-
kan hadiah terkutuk itu! Jawab! Kalau tidak, kepala-
mu terpaksa kuhancurkan sekarang juga!" bentak
Pendekar Cakar Maut dengan wajah merah padam.
Kepalan tangan kanannya terlihat telah siap mereng-
gut nyawa orang itu.
Tentu saja perbuatan yang tak disangka-sangka
ini membuat lelaki gagah itu pucat. Sadar, kalau ia ti-
dak mungkin selamat dari ancaman maut itu. Sehing-
ga, keringat dingin pun mulai merembes membasahi
pakaiannya.
"Aku..., aku sungguh-sungguh tidak tahu, Ki.
Mereka sama sekali tidak mengatakannya...," kata le-
laki gagah itu. Dia semakin bertambah ciut nyalinya
setelah mengenali orang yang mengancam dirinya.
"Bohong! Sekali lagi, kuberi kesempatan! Jawab
sejujurnya, atau kau tunggu mereka di akhirat!" an-
cam Pendekar Cakar Maut lagi, tak percaya terhadap
keterangan orang itu.
Ki Pangrawit yang melihat kejadian itu segera
saja bertindak mencegah.
"Sabarlah, sahabat. Orang ini memang tidak
bersalah. Sebagai pengawal barang, tentu saja ia tidak
perlu bertanya panjang lebar mengenai diri pelanggan-
nya. Aku yakin, ia berkata benar," bujuk Ki Pangrawit
sambil menepuk bahu Pendekar Cakar Maut.
Maka, lelaki gemuk itu mengendorkan cekalan-
nya, dan melepaskannya begitu saja. Karuan saja lela-
ki gagah anggota pengawal barang itu terbanting jatuh
di tanah, karena pendekar Cakar Maut melepaskannya
secara mendadak.
"Aku merasa malu sekali kepadamu, Pangrawit
Maaf kalau aku tidak bisa menahan diri setelah tahu
kalau tiga buah kepala itu adalah murid-muridmu
yang bertugas mengantarkan undangan untukku Bu-
kankah secara tidak langsung aku ikut terlibat di da-
lamnya?" bantah Pendekar Cakar Maut yang kemara-
hannya masih juga belum lenyap.
"Kau tidak perlu merasa bersalah dalam hal ini.
Menurutku, orang yang melakukan perbuatan biadab
ini memang sengaja. Mengenai siapa mereka, aku be-
lum jelas," ujar Ki Pangrawit dengan wajah berduka.
Jelas sekali kalau ia cukup terpukul atas keja-
dian yang menimpa ketiga orang itu Bahkan wajahnya
yang semula cerah, tampak mendung kelabu. Namun,
dia masih bisa menahan kesabarannya.
"Yang jelas, dia pasti seorang tokoh sesat ber-
hati keji. Mustahil seorang tokoh golongan putih sam-
pai tega melakukan kebiadaban seperti ini...," timpal Ki
Janiga.
Sepertinya, Tinju Pemecah Badai pun tergerak
jiwa kependekarannya menyaksikan kejadian yang
menimpa perguruan sahabatnya.
"Hhh.... Sudah bertahun-tahun aku tidak me-
ninggalkan perguruan. Kalau pun ada tokoh-tokoh se-
sat yang mendendam kepadaku, mungkin aku sudah
tidak ingat lagi," desah Ki Pangrawit yang tidak bisa
mengambil kesimpulan mengenai si pembunuh keji
itu.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut sama-sama
termenung, mendengar jawaban Ki Pangrawit. Me-
mang, seperti halnya orang tua itu, mereka pun jarang
meninggalkan tempat kediamannya untuk bertualang.
Sehingga untuk menduga siapa yang masih menyim-
pan dendam terhadap" Pendekar Gelang Terbang, ten-
tu saja sangat sulit.
Sementara itu, perayaan ulang tahun Pergu-
ruan Gelang Terbang masih berlangsung semarak. Ki
Pangrawit yang tidak ingin acaranya terganggu, me-
minta kepada yang lain untuk tidak menceritakan ma-
salah yang baru saja terjadi Mereka pun kembali ke
tempat semula, setelah anggota pengawal barang itu
memohon pamit Ki Pangrawit yang berusaha untuk
menahan, terpaksa, melepaskan kepergian lelaki pen-
gawal barang itu. Karena, Ketua Perguruan Gelang
Terbang maklum akan kesibukan sebagai pengawal
barang
"Selamat jalan, Kisanak. Kuharap, kau bersedia
memberitahukan apabila si pengirim hadiah itu datang
menemuimu kembali," ucap Ki Pangrawit berbasa-basi.
Memang la sendiri yakin kalau pengirim tiga
kepala muridnya itu tidak mungkin akan menemui
pengawal barang itu lagi
***
EMPAT
Semenjak melihat kiriman tiga kepala murid-
nya, Ki Pangrawit tidak lagi banyak bicara. Orang tua
itu lebih banyak termenung, ketimbang menyaksikan
pertunjukan-pertunjukan di atas panggung.
Semua sikap Pendekar Gelang Terbang tidak
lepas dari pengamatan dua orang sahabatnya. Ki Jani-
ga dan Pendekar Cakar Maut hanya bisa menghela na-
pas melihat kemurungan sahabatnya. Namun mereka
tidak banyak bicara. Seperti halnya Ki Pangrawit, ke-
dua tokoh itu juga tidak memperhatikan pertunjukan
di atas panggung. Padahal, saat itu para undangan
berteriak-teriak memberi semangat kepada jago mas-
ing-masing. Memang di atas panggung tengah terjadi
pertarungan persahabatan yang sangat seru. Perta-
rungan itu hanya untuk meramaikan perayaan berdi-
rinya Perguruan Gelang Terbang yang kelima.
Sedangkan Panawangan yang bertindak sebagai
pembawa acara, memperhatikan pertunjukan di atas
panggung dengan wajah berseri. Lelaki gagah murid
utama Ki Pangrawit itu sama sekali tidak sempat
memperhatikan sikap gurunya yang duduk di sebelah-
nya. Semua perhatiannya tercurah pada pertarungan
seru di atas panggung. Bahkan dia juga tidak tahu ka-
lau adik seperguruannya tertimpa musibah yang sem-
pat membuat gurunya resah.
Sesekali terlihat Panawangan mengangguk-
angguk kagum terhadap sosok berpakaian merah yang
terlihat mulai mendesak lawannya. Lelaki gagah ber-
cambang bauk itu benar-benar terpesona oleh penam-
pilan tokoh yang berjuluk Rajawali Merah itu. Meski-
pun sudah mengalahkan lima orang lawan sebelum
nya, namun kegesitan serta tenaga Rajawali Merah
sama sekali tidak kelihatan berkurang. Terbukti pada
pertarungan keenam, Rajawali Merah masih mampu
mendesak lawannya. Dari kenyataan itu saja, sudah
menandakan kelihaian Rajawali Merah.
"Hebat sekali tokoh yang berjuluk Rajawali Me-
rah itu. Guru. Rasanya kali ini pun, ia pasti akan me-
menangkan pertarungan kembali," bisik Panawangan,
di sebelah kiri Ki Pangrawit.
Ketika tidak mendengar tanggapan gurunya,
Panawangan mengangkat wajahnya. Langsung dita-
tapnya Ki Pangrawit Memang, ketika berbisik tadi, ma-
tanya tak lepas dari pertarungan sengit di atas pang-
gung, tanpa memandang wajah gurunya.
Ki Pangrawit yang tengah termenung dengan
pikiran tak menentu, sama sekali tidak sadar kalau
kening Panawangan berkerut menyaksikan wajah mu-
rungnya. Kini Panawangan sadar kalau semenjak tadi
gurunya sama sekali tidak memperhatikan pertarun-
gan di atas panggung. Tentu saja sikap Ki Pangrawit
menimbulkan tanda tanya besar di hati murid uta-
manya.
"Guru...," panggil Panawangan hati-hati dengan
sedikit tekanan untuk mengembalikan kesadaran
orang tua itu.
Karena Ki Pangrawit tetap tidak berpaling, ak-
hirnya Panawangan menyentuh lengan gurunya perla-
han. Tak lama kemudian....
"Ehhh?!"
Sentuhan Panawangan yang hanya perlahan itu
ternyata mengakibatkan Ki Pangrawit tersentak kaget
Bahkan langsung melompat bangkit dari kursinya. Ka-
ruan saja Panawangan ikut-ikutan tegang!
Sadar akan sikapnya yang tidak wajar, Ki Pan
grawit kembali menghempaskan pantatnya di atas
kursi. Terdengar helaan napasnya yang berat dan pan-
jang. Sehingga membuat kerutan di kening Panawan-
gan semakin dalam.
"Kau mengejutkanku, Panawangan..."
Terdengar desisan tak senang keluar dari orang
tua itu. Dari tatapan tajam yang menyorot wajah murid
utamanya, jelas kalau Ki Pangrawit berusaha menelan
kejengkelannya.
"Maaf, Guru. Aku sama sekali tidak bermaksud
demikian. Tapi, mengapa Guru kupanggil berkali-kali
tidak juga mendengar? Apakah ada sesuatu yang dipi-
kirkan?" tanya Panawangan.
"Betulkah...?" tanya Ki Pangrawit, tak yakin
akan keterangan muridnya.
Panawangan hanya mengangguk untuk memas-
tikan keterangannya. Kemudian, lelaki gagah itu me-
natap gurunya, untuk minta penjelasan atas sikap
aneh orang tua itu.
"Hhh... Mungkin aku hanya sedikit lelah, Pa-
nawangan. Tapi, kau tidak perlu cemas. Setelah pe-
rayaan ini selesai, tentu aku bisa banyak beristirahat,"
desah Ketua Perguruan Gelang Terbang itu.
Ki Pangrawit terpaksa berbohong, karena tidak
ingin Panawangan ikut memikirkan apa yang telah
menimpa tiga orang muridnya.
Apa lagi, hai Itu bisa-bisa mengganggu kelanca-
ran acara yang menjadi tugas Panawangan. itu sebab-
nya, Ki Pangrawit terpaksa berbohong.
Kembali Panawangan hanya menganggukkan
kepalanya, kemudian kembali berpaling ke atas pang-
gung. Saat itu, pertarungan sudah semakin memuncak
dan bertambah seru
***
"Saudara-saudara sekalian...."
Baru saja Panawangan hendak melanjutkan
acara yang bagi para tamu sangat menarik, tiba-tiba
terdengar jerit kematian susul-menyusul. Cepat-cepat
lelaki gagah itu menoleh ke arah deretan tamu di sebe-
lah kanan panggung. Kening Panawangan tampak ber-
kerut ketika melihat para undangan yang berada di
tempat itu berlarian meninggalkan tempatnya masing-
masing.
Subadra dan Kandira yang sudah tiba di tempat
itu menjadi pucat selebar wajahnya. Betapa tidak, se-
bab delapan orang undangan terlihat menggelepar di
atas tanah mirip seperti ayam disembelih dengan mu-
lut berbusa.
"Apa yang terjadi terhadap mereka...?" tanya
Subadra, sambil menangkap lengan seorang undangan
untuk dimintai keterangannya.
Dalam ketegangannya, Subadra sampai tidak
menyadari ada tenaga dalamnya yang tersalur melalui
jari-jari tangannya. Lelaki itu baru tersadar setelah
melihat wajah orang yang dicekalnya meringis kesaki-
tan.
"Maaf..., maaf...," ucap Subadra sambil mele-
paskan cekalan tangannya. 'Tolong jelaskan, apa yang
telah terjadi terhadap mereka?"
Seorang tamu bertubuh raksasa menghampiri
Subadra. Dari sorot matanya yang tajam, Subadra ta-
hu kalau orang itu tengah menahan kemarahan.
"Kalian orang-orang Gelang Terbang sengaja
berpura-pura tidak tahu! Mereka tewas setelah minum
air yang dihidangkan murid-murid Perguruan Gelang
Terbang! Jelas, kalian sengaja hendak membunuh to
koh-tokoh persilatan untuk menguasai rimba persila-
tan! Jangan kira aku tidak tahu akal busuk ini!" ben-
tak lelaki bertubuh raksasa itu dengan wajah merah
padam. Tentu saja tuduhan itu membuat amarah Sub-
adra bangkit seketika.
"Jaga mulutmu, Kisanak! Ucapanmu itu bisa
membuat keruh suasana! Sebaiknya, teliti dulu sebe-
lum melemparkan tuduhan kotor itu kepada kami! Bi-
sa saja kau yang justru melakukannya dengan men-
gambinghitamkan Perguruan Gelang Terbang!"
Dengan wajah yang juga merah padam, Suba-
dra melempar balik tuduhan yang dilontarkan oleh le-
laki bertubuh raksasa itu. Sehingga, lelaki bertubuh
raksasa itu tidak dapat lagi menahan kemarahannya!
"Keparat kau, Manusia Licik! Kau harus bayar
mahal tuduhan itu! Sambut pukulanku...!" sentak le-
laki bertubuh raksasa itu kemudian dia melompat dis-
ertai luncuran kepalanya yang sebesar kepala bayi!
Whuuut!
Subadra pun tidak sudi jadi sasaran empuk be-
gitu saja! Pukulan yang mengancam dadanya segera
dielakkan dengan menarik mundur tubuhnya ke bela-
kang! Kemudian dengan kecepatan berbahaya, murid
utama Ki Pangrawit itu langsung melepaskan sebuah
tendangan kilat ke tubuh lawan!
Plakkk!
"Uhhh...?!"
Bukan main terkejutnya Subadra ketika tu-
buhnya terdorong akibat tangkisan lengan kekar ber-
bulu lebat itu. Baru disadari kalau lelaki bertubuh
raksasa Itu memiliki tenaga luar yang sangat besar.
Maka, ia segera melompat mundur dan mengatur se-
rangannya kembali.
"Kupecahkan batok kepalamu. Manusia Li
cik...!"
Lelaki bertubuh raksasa itu kembali melesat
dengan pukulannya yang susul-menyusul Sambaran
angin menderu-deru menyertai lontaran kepalan yang
besar dan mengerikan.
Sebagai murid utama Ki Pangrawit, tentu saja
Subadra telah memiliki bekal yang cukup. Pertarungan
pun kembali berlanjut, dan bertambah seru! Mereka
saling terjang bagaikan dua orang musuh bebuyutan
yang ingin membunuh lawan satu sama lain. Tentu sa-
ja keadaan tempat itu menjadi kacau!
Pertarungan yang terjadi antara Subadra dan
lelaki bertubuh raksasa itu terus menjalar ke tamu-
tamu lainnya. Ucapan lelaki bertubuh raksasa itu telah
mempengaruhi tamu-tamu yang lain. Sehingga, sema-
kin kewalahanlah para murid Perguruan Gelang Ter-
bang menahan gelombang serangan para undangan
yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh persilatan.
Suasana yang semula semarak oleh tepuk so-
rak dan keakraban, kini berubah menjadi medan per-
tempuran yang kacau dan tidak beraturan. Bahkan,
beberapa orang murid Perguruan Gelang Terbang mu-
lai jatuh mandi darah! Hal Itu wajar saja, karena yang
harus dihadapi adalah tokoh-tokoh persilatan yang te-
lah malang melintang dan banyak pengalaman. Se-
hingga, pihak Perguruan Gelang Terbang nampak ter-
desak hebat!
Sedangkan di atas panggung, Panawangan
hanya memandang bingung. Sungguh tidak pernah di-
bayangkan kalau suasana yang semula meriah, akan
menjadi medan pertarungan yang membawa maut. Ke-
nyataan yang tiba-tiba membuatnya terkesima untuk
beberapa saat lamanya.
Rajawali Merah yang saat itu masih berada di
atas panggung, berpaling ke arah lelaki gagah itu den-
gan pandangan curiga. Tentu saja tatapan penuh curi-
ga itu membuat Panawangan naik pitam. Namun den-
gan cepat ia berusaha menekan rasa jengkel, dan men-
coba memberi pengertian kepada Rajawali Merah yang
nampaknya sudah terpancing dengan kata-kata Long-
gawa.
"Tidak perlu bersandiwara lagi, Panawangan.
Semua yang terjadi di sebelah kanan panggung telah
kudengar. Huh! Sungguh tidak kusangka kalau Pergu-
ruan Gelang Terbang ternyata berhati busuk!" bentak
Rajawali Merah sambil menudingkan jari telunjuknya
ke wajah Panawangan.
Jelas, tokoh yang tidak terikat perguruan ma-
napun itu, telah terpengaruh ucapan lelaki bertubuh
raksasa tadi. Makanya, dia langsung naik pitam, dan
Panawanganlah sasarannya.
"Jangan bodoh, Kisanak. Lebih baik kita berbi-
cara baik-baik. Aku yakin, pasti ada orang yang men-
jadi dalangnya, dan sengaja mengadu domba kita se-
mua. Harap kau sudi membantu kami untuk menjer-
nihkan masalah ini. Percayalah kami tidak sebusuk
persangkaanmu," bantah Panawangan.
Laki-laki brewok itu masih memberikan penger-
tian kepada tokoh muda yang berjuluk Rajawali Merah.
Tapi tentu saja semua itu bukan karena Panawangan
merasa gentar terhadapnya, la hanya tidak ingin sua-
sana menjadi semakin keruh apabila mereka ikut ber-
tarung.
Sementara itu, Ki Pangrawit, Ki Janiga, dan
Pendekar Cakar Maut berusaha menarik mundur mu-
rid-murid Perguruan Gelang Terbang. Ketiga orang to-
koh berkepandaian tinggi itu berusaha menyelamatkan
anggota Gelang Terbang, dengan memukul mundur tokoh-tokoh persilatan yang tengah dilanda kemarahan.
Ki Pangrawit sendiri merasa berterima kasih
terhadap kedua orang sahabatnya yang tidak terpanc-
ing. Ngeri juga orang tua itu membayangkan nasib
perguruannya, apabila Ki Janiga dan Pendekar Cakar
Maut sampai ikut memusuhi Perguruan Gelang Ter-
bang. Untunglah, kekhawatirannya tidak sampai men-
jadi kenyataan. Sehingga, Ki Pangrawit bisa menarik
napas lega
Dengan kepandaiannya yang tinggi, ketiga to-
koh sakti itu berhasil menggiring murid Ki Pangrawit
hingga dapat bersatu. Dengan adanya ketiga tokoh
sakti dibarisan depan, semua tokoh persilatan yang
menggempur murid-murid Perguruan Gelang Terbang
dapat dipukul mundur.
Panawangan yang merasa bersyukur karena te-
lah dapat membujuk Rajawali Merah, segera mengga-
bungkan diri dengan pihak murid-murid Gelang Ter-
bang. Ki Pangrawit mengucap syukur melihat tokoh
muda berjuluk Rajawali Merah tidak ikut terpengaruh.
Memang, biarpun kepandaian tokoh muda itu masih
berada di bawah kepandaiannya, tapi bisa mendatang-
kan kesulitan juga apabila ikut-ikutan dengan tokoh
persilatan lainnya!
Dengan dibantu tiga murid utama dan Rajawali
Merah, ketiga tokoh sakti itu mulai dapat memecah
kekuatan lawan. Sehingga, kedua belah pihak kini sal-
ing berhadapan dalam jarak satu tombak.
"Sahabat sekalian, harap hentikan pertumpa-
han darah yang tiada guna ini...!"
Dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, Ki Pangrawit berseru untuk menghentikan
pertarungan berdarah ini. Orang tua itu berdiri gagah
ditemani Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut, Rajawali
Merah, dan murid-murid utamanya. Mereka berdiri
berjajar melindungi murid-murid Gelang Terbang, dan
para undangan yang sama sekali tidak mengerti ilmu
silat Seorang lelaki bertubuh raksasa menyibak keru-
munan tokoh-tokoh persilatan, dan melangkah maju
ke depan. Di lari-kanannya ikut menyertai delapan
orang tokoh persilatan. Seolah-olah kedelapan tokoh
persilatan itu hendak melindungi lelaki bertubuh rak-
sasa yang bertindak sebagai wakil mereka.
"Ki Pangrawit..!" geram lelaki bertubuh raksasa
itu dengan wajah gelap, "Kau tidak perlu mungkir lagi!
Telah ku saksikan sendiri kematian tokoh persilatan
yang meminum air suguhan murid-muridmu! Kalau
kau memang ingin menguasai dunia persilatan, jangan
begitu caranya. Kau bisa mengundang para tokoh un-
tuk memperebutkan jago nomor satu di negeri ini me-
lalui sebuah pertandingan jujur. Dan bukan kelicikan
seperti yang kau lakukan ini! Tak kusangka, ternyata
Pendekar Gelang Terbang memiliki hati kejam dan li-
cik!"
"Dengar, Longgawa. Selama mengenalku, per-
nahkah kau menemukan sifat jahat dan licik padaku?
Pernahkah kau mendengar bahwa aku berniat menjadi
jago nomor satu? Telitilah baik-baik. Aku khawatir,
semua ini adalah perbuatan orang-orang golongan hi-
tam yang hendak memecah belah kita. Sadarilah keke-
liruan ini sebelum terlambat," sahut Ki Pangrawit
memberi keterangan panjang lebar kepada orang yang
bernama Longgawa itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Longgawa dan
para tokoh lainnya saling bertukar pandang. Jelas,
ucapan Ki Pangrawit cukup mengena di hati Longgawa
dan para tokoh persilatan lainnya. Memang, selama
mereka mengenal Ki Pangrawit dalam rimba persilatan
sebagai orang yang belum pernah berbuat kesalahan.
Sehingga, Longgawa dan para tokoh lainnya menjadi
ragu.
"Longgawa! Kau pun cukup mengenalku, bu-
kan?" Ki Janiga yang dalam kalangan persilatan berju-
luk Tinju Pemecah Badai, juga ikut angkat bicara un-
tuk melerai perselisihan di antara kedua tokoh itu.
"Aku cukup mengenalmu, Ki...," jawab Longga-
wa tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan beberapa
orang tokoh persilatan ikut menganggukkan kepalanya
tanda mengenal tokoh yang berjuluk Pendekar Peme-
cah Badai itu.
"Nah! Katakanlah dengan jujur, bagaimana tin-
dakanku dalam menangani kejahatan yang baru kau
dengar selama ini? Apakah aku akan membela orang
yang salah walaupun ia sahabat baik, atau keluarga-
ku?" tanya Ki Janiga lagi, tenang.
"Tapi..., aku melihat sendiri apa yang menimpa
delapan orang tokoh persilatan itu. Mereka tewas sete-
lah meneguk minuman yang disuguhkan, murid-murid
Ki Pangrawit," bantah Longgawa. Tokoh bertubuh rak-
sasa itu memang tidak jauh dari korban-korban kera-
cunan yang tewas seketika itu juga.
"Hm.... Kau belum menjawab pertanyaanku,
Longgawa. Masalah lain bisa diselesaikan setelahnya,"
tukas Ki Janiga, terhadap ucapan Longgawa yang se-
perti hendak membela diri.
"Baiklah. Aku memang tidak mungkin meragu-
kan jiwa pendekar mu, Ki Janiga. Dan aku pun per-
caya kalau kau akan menindak tegas setiap kejahatan
meski keluargamu sendiri yang harus ditindak. Tapi..."
"Cukup!" potong Ki Janiga tegas. "Nah! kalau
sekarang aku membela Ki Pangrawit, apakah bukan
berarti aku telah melakukan tindakan yang benar? Lalu, apa pendapatmu tentang tindakanku ini? Apakah
aku telah membela orang yang salah?"
Ki Janiga terus memojokkan Longgawa dengan
mengandalkan jawaban lelaki bertubuh raksasa itu.
Sehingga, Longgawa tidak mampu menjawab untuk
beberapa saat lamanya.
"Aku harus mendengar sendiri penjelasan Ki
Pangrawit mengenai kematian para tokoh persilatan
yang keracunan itu Sesudah itu, mungkin aku bisa
mempertimbangkannya."
Akhirnya, hanya ucapan itulah yang keluar dari
mulut Longgawa. Jelas, lelaki bertubuh raksasa itu te-
lah menyerah.
"Bagus. Kalau begitu, mari kita bicarakan baik-
baik," ajak Ki Janiga.
Kini Ki Janiga merasa lega karena pertumpahan
darah itu tidak berkelanjutan dan memakan korban
terlalu banyak. Kemudian, dibawanya Longgawa dan
delapan tokoh persilatan itu ke dalam ruang perte-
muan Perguruan Gelang Terbang.
Ki Pangrawit, Pendekar Cakar Maut, dan Raja-
wali Merah ikut menyertainya. Sedangkan Panawan-
gan, Subadra, Kandira dan murid-murid Perguruan
Gelang Terbang di tempat, menanti keputusan perun-
dingan itu.
***
LIMA
Tidak berapa lama kemudian, Ki Pangrawit dan
para tokoh lainnya keluar dari dalam ruang perte-
muan. Wajah-wajah mereka tampak tidak setegang
semula. Sehingga, baik pihak murid-murid Perguruan
Gelang Terbang maupun tokoh persilatan sama-sama
menarik napas lega.
Ki Pangrawit melangkah menghampiri ketiga
orang murid utamanya. Jelas, Panawangan dan dua
orang lainnya sudah tidak sabar lagi ingin mendengar
penyelesaian dari kejadian itu.
"Kalian tetaplah berjaga-jaga di sini, bersama
murid yang lain. Ingat, jangan buat kesulitan baru,"
pesan Ki Pangrawit Kemudian, dia berbalik meninggal-
kan Panawangan, Subadra, Kandira yang hanya men-
gangguk bingung.
Longgawa juga berbuat hal yang serupa. Tokoh
bertubuh raksasa itu berpesan kepada yang lain agar
tidak bertindak sendiri-sendiri. Setelah itu, dia beran-
jak mengikuti langkah Ki Pangrawit bersama para to-
koh lain.
Ki Pangrawit terus membawa Longgawa dan pa-
ra tokoh persilatan menuju bagian dapur.
"Nah! Kalau air yang kami suguhkan memang
benar dibubuhi racun, pastilah semua air yang dis-
ediakan di sini juga mengandung racun. Untuk itu, bi-
arlah ku percayakan kepada Ki Janiga," kata Ki Pan-
grawit, setelah tiba di bagian belakang bangunan uta-
ma perguruan.
'Terima kasih atas kepercayaan yang kau beri-
kan kepadaku, Ki Pangrawit," ucap Ki Janiga.
Si Tinju Pemecah Badai itu memang tahu ba-
nyak tentang masalah racun. Maka segera saja dipe-
riksanya tempat-tempat air teh yang telah disediakan
untuk keperluan pesta perayaan.
Dengan wajah agak tegang, Ki Pangrawit dan
yang lain menanti hasil pemeriksaan Ki Janiga. Bah-
kan Longgawa merasa agak gelisah.
"Bagaimana, Ki...?"
Longgawa langsung bergerak maju ketika Ki
Janiga membalikkan tubuhnya, setelah selesai meme-
riksa. Wajah tokoh itu tampak agak gelap. Sehingga, Ki
Pangrawit menjadi berdebar karenanya.
"Kau menemukan di dalam minuman-minuman
itu, Ki Janiga?" tanya Ki Pangrawit yang mendadak ha-
tinya berdebar melihat wajah murung sahabatnya.
"Hhh.. " Ki Janiga menghela napas berat dan
menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah kecewa.
"Aneh! Semua minuman di sini ternyata men-
gandung racun jahat yang mematikan...."
Longgawa menghela napas lega mendengar ja-
waban Ki Janiga. Maka segera saja lelaki bertubuh
raksasa itu berpaling menatap Ki Pangrawit Senyum
kemenangan tampak menghias wajahnya.
"Nah, sekarang apa jawabanmu setelah men-
dengar hasil pemeriksaan Ki Janiga? Apakah kau ingin
mungkir lagi?" terdengar ucapan bernada sinis dari
mulut Longgawa.
Ki Pangrawit sama sekali tidak menimpali uca-
pan Longgawa. Orang tua yang tubuhnya masih nam-
pak gagah itu menoleh ke kiri dan kanan, seperti ten-
gah mencari sesuatu. Kemudian, dia terus bergerak ke
belakang tanpa mempedulikan tatapan heran yang
lainnya.
Longgawa yang kini benar-benar merasa yakin
kalau Ki Pangrawit jelas bersalah, segera saja bergerak
mengejar. Sepertinya, lelaki bertubuh raksasa itu hen-
dak mencegah Ki Pangrawit melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau, Ki Pangrawit..?" seru
Longgawa sambil melesat mengejarnya.
Ki Janiga dan tokoh lainnya tentu saja heran
terhadap tingkah laku Ki Pangrawit Bergegas para tokoh itu bergerak mengejar ke arah taman belakang
Perguruan Gelang Terbang.
Longgawa merasa geram terhadap Ki Pangrawit,
segera mengerahkan ilmu lari cepatnya. Setelah ber-
jumpalitan beberapa kali, lelaki itu mendarat empuk
satu tombak di depan Ki Pangrawit. Hal itu terjadi bu-
kan karena ilmu lari Longgawa lebih hebat, tapi karena
Ki Pangrawit memang tidak bermaksud melarikan diri.
Itu sebabnya, Longgawa dapat menyusul orang tua itu.
"Hm... Hendak lari ke mana kau, Ki Pangrawit?
Lebih baik menyerah, sebelum tokoh-tokoh persilatan
menghancurkan perguruan ini!" ancam Longgawa.
Ki Pangrawit tertegun sejenak ketika menden-
gar ancaman itu. Sepertinya, orang tua sakti itu baru
sadar kalau sikapnya telah menimbulkan dugaan
bahwa ia hendak melarikan diri. Tampak Ki Pangrawit
menahan langkahnya, lalu menarik napas panjang.
"Longgawa! Kalau aku memang bersalah, tidak
nanti aku mengambil tindakan pengecut melarikan di-
ri. Maaf kalau sikapku telah menimbulkan dugaan je-
lek 'Terus terang aku bukan hendak melarikan diri se-
perti yang kau duga. Tapi, aku ingin mencari murid-
muridku yang bertugas menyiapkan hidangan untuk
para tamu Kau lihat sendiri, di ruang tadi tidak nam-
pak satu pun dari mereka," jelas Ki Pangrawit bernada
tetap tenang. Karena, ia sama sekali tidak merasa ber-
buat salah.
"Lalu, mengapa kau pergi dengan sikap mencu-
rigakan? Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan?"
tanya Longgawa tetap waspada. Rupanya, laki-laki ber-
tubuh raksasa itu siap untuk menghadapi kalau-kalau
orang tua itu menyerang selagi berbicara. Jelas, keper-
cayaan Longgawa terhadap Pendekar Gelang Terbang
telah pudar.
"Aku jelas mencurigai keadaan ini. Sebab aku
yakin, perbuatan ini pasti dilakukan orang-orang licik
yang hendak mengadu domba kita. Untuk itu, bantu-
lah aku menemukan murid-muridku yang bertugas di
dapur. Carilah di sekitar taman ini. Kalau tidak, biar-
lah aku rela menebus kesalahan yang tidak pernah ku-
lakukan itu," ujar Ki Pangrawit setengah meminta.
Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut, dan para to-
koh lainnya yang baru tiba di tempat itu segera saja
menyebar begitu mendengar ucapan Ki Pangrawit Je-
las, mereka masih menaruh sedikit kepercayaan kepa-
da orang tua itu.
Longgawa sendiri segera beranjak meninggal-
kan Ki Pangrawit, setelah melihat tokoh-tokoh lain te-
lah memenuhi keinginan orang tua itu. Meski dengan
separuh hati, lelaki bertubuh raksasa itu ikut juga
mencari murid-murid yang dimaksudkan Ki Pangrawit.
Beberapa saat setelah para tokoh itu berpencar,
terdengar siulan nyaring yang panjang. Sebentar saja,
para tokoh persilatan itu telah berlarian mendatangi
asal siulan.
"Ada apa. Rajawali Merah...?" Ki Pangrawit dan
Longgawa bertanya bersamaan. Mereka menatap Ra-
jawali Merah, seperti meminta penjelasan arti siulan
itu.
"Lihatlah sendiri di semak-semak itu...," sahut
Rajawali Merah sambil menuding semak-semak yang
berada satu tombak di sebelah kanannya.
Tanpa diperintah dua kali, Ki Pangrawit dan
Longgawa seperti berlomba menyibakkan semak pepo-
honan itu. Dan apa yang ada dibalik semak-semak itu,
membuat mata mereka terbelalak!
"Biadab...!" desis Ki Pangrawit ketika melihat ti-
dak kurang dari sepuluh mayat muridnya yang ditugaskan di bagian dapur. Tentu saja kenyataan itu
membuat Ki Pangrawit geram.
Longgawa sendiri terdiam tanpa mampu berka-
ta-kata. Sebab dengan bukti mayat-mayat petugas da-
pur itu, tentu saja membuatnya terpaksa harus minta
maaf, dan menarik tuduhannya terhadap Ketua Pergu-
ruan Gelang Terbang.
"Dugaanku ternyata keliru, Ki Pangrawit. Harap
kau sudi memaafkan kesalahanku," desah Longgawa,
penuh penyesalan.
"Tidak perlu meminta maaf padaku, Longgawa.
Tindakanmu tidak seluruhnya salah. Hanya sa-
ja, lain kali kita harus lebih berhati-hati dalam meng-
hadapi suatu masalah," sahut Ki Pangrawit, sehingga
membuat Longgawa tersenyum pahit
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?
Sedangkan kematian murid-murid Ki Pangrawit dan
tokoh-tokoh persilatan lain masih belum jelas." Raja-
wali Merah yang merasa penasaran atas kejadian itu
mengutarakan rasa penasarannya.
"Hm.... Karena masalah ini jelas merupakan
masalah perguruanku, biarlah aku yang akan menye-
lidikinya. Longgawa, jelaskanlah masalah ini kepada
yang lain. Dan, bawa mereka kembali ketempatnya
masing-masing," ujar Ki Pangrawit kepada para tokoh
persilatan yang berkumpul di tempat itu. Terutama se-
kali, kepada Longgawa. Karena lelaki raksasa itu me-
mang merupakan wakil dari tokoh-tokoh persilatan
yang diundangnya.
"Kami akan menetap di tempatmu untuk se-
mentara. Tentu saja, kalau kau tidak keberatan." Ki
Janiga bersama Pendekar Cakar Maut dan Rajawali
Merah rupanya bersepakat membantu Ki Pangrawit
untuk menyingkap teka-teki ini.
Longgawa dan delapan orang tokoh persilatan
lain segera berpamitan kepada keempat orang tokoh
itu. Kemudian, mereka berlalu untuk memenuhi per-
mintaan Ki Pangrawit.
***
Seorang pemuda tampan berjubah putih tam-
pak tengah melangkah ringan menyibak rerumputan
hijau. Rambutnya yang terurai dengan ikat kepala pu-
tih, tampak melambai tertiup angin yang sesekali ber-
hembus keras. Bibirnya selalu membentuk senyum
ramah, membuat orang merasa suka. Meskipun, baru
sekali bertemu dengannya. Dia memang pemuda yang
gagah dan menarik.
Di sebelah kiri pemuda tampan itu, seorang ga-
dis berpakaian serba hijau melangkah mengiringinya.
Wajahnya tampak demikian jelita, dan penuh daya pi-
kat Menatap wajah gadis itu, mengingatkan orang
akan dongeng kecantikan bidadari.
Sebatang pedang yang tergantung di pinggang
kirinya, menandakan kalau gadis itu adalah tokoh
rimba persilatan. Tentu saja dugaan itu tidak salah,
karena sepasang anak muda itu tak lain Pendekar Na-
ga Putih dan Kenanga yang selalu bertualang untuk
menumpas keangkaramurkaan.
Panji dan Kenanga yang melangkah dengan ta-
tapan lurus ke depan, sama-sama seperti menyipitkan
mata ketika melihat kepulan debu tebal di depannya.
"Lebih baik kita menepi, Kenanga. Sepertinya di
depan sana ada serombongan orang berkuda yang
akan melintasi jalan ini," ujar Panji yang segera meng-
genggam tangan dara jelita itu. Kemudian Kenanga di-
bawanya ke tepi.
Kenanga sama sekali tidak membantah. Dara
jelita itu menurut saja ketika Panji membawanya ke
tepi.
Tidak berapa lama kemudian, dari jarak sekitar
sepuluh tombak tampak serombongan orang berkuda
tengah menuju ke arah mereka. Mereka segera me-
nundukkan kepala, untuk menghindari debu yang bisa
mengotori wajah mereka.
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang di-
iringi suara gemuruh kaki kuda. Sebentar kemudian,
rombongan itu pun telah melewati sepasang pendekar
ini.
Tapi sebelum debu-debu yang mengepul itu le-
nyap tersaput angin, tiba-tiba rombongan penunggang
kuda yang berada di belakang segera menghentikan la-
ri kudanya Tentu saja hal itu membuat Panji dan ke-
kasihnya menoleh, hendak mengetahui apa yang
membuat rombongan itu berhenti.
Kenanga mengerutkan keningnya ketika meli-
hat rombongan itu berbalik kembali ke arah mereka.
Karena sempat melirik wajah-wajah mereka ketika me-
lintas di sampingnya, kecurigaan dara jelita itu pun
timbul. Apalagi wajah-wajah kasar yang sempat dili-
hatnya meski sekilas itu menunjukkan kalau mereka
bukan orang baik-baik.
"Mereka kembali, Kakang...," kata Kenanga,
seolah-olah hendak meminta pendapat kekasihnya.
"Mmm.... Mungkin mereka hendak menanyakan
sesuatu kepada kita," sahut Panji yang tetap bersikap
tenang, meski tahu akan perasaan hati kekasihnya
"Menurutku, bukan itu yang mereka kehendaki.
Menilik dari wajahnya, jelas mereka bukan orang baik-
baik. Mungkin sebangsa perampok yang tengah men
cari mangsa," bantah Kenanga, mengungkapkan du-
gaannya.
"Kalaupun begitu, apa yang dapat mereka ram-
pas dari kita? Rasanya, salah alamat kalau kita hen-
dak dirampok," sahut Panji sambil tersenyum.
Terus-terang ada keharuan yang sempat me-
nyelinap di relung hati Pendekar Naga Putih. Jelas,
ucapannya itu mengingatkannya kalau Kenanga sama
sekali tidak memakai perhiasan, sebagaimana wanita-
wanita umumnya.
Kenanga yang sempat menangkap semua itu
dari tatap mata kekasihnya, segera saja tersenyum.
Kemudian, jemarinya menggenggam hangat jemari pe-
muda itu.
"Kau tidak perlu memikirkan hal seperti itu.
Kakang. Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan
keadaan ini. Selain itu, aku pun tidak pernah menun-
tut yang bukan-bukan darimu. Jadi hal itu jangan
sampai mengganggu pikiranmu," hibur Kenanga sam-
bil meremas jemari pemuda itu sebagai ungkapan rasa
bahagianya.
Panji tidak sempat lagi menimpali ucapan ke-
kasihnya. Karena, saat itu rombongan penunggang
kuda telah berada satu tombak di hadapan mereka.
Tiga orang dari penunggang kuda itu terlihat
melompat turun dari atas punggung kuda. Sikap me-
reka tampak angkuh dengan wajah dibuat sebengis
mungkin. Jelas, rombongan penunggang kuda itu se-
perti sengaja mencari gara-gara.
"Adakah yang bisa kami bantu, Kisa-
nak...?"tanya Panji, seraya menganggukkan kepalanya.
Sedangkan Kenanga sudah menundukkan ke-
pala dalam-dalam. Memang ia tidak ingin kilatan ma-
tanya yang memancarkan kemarahan sampai terlihat
oleh rombongan itu. Karena akan menimbulkan keri-
butan di antara mereka.
"Hm….."
Ketiga orang lelaki kasar yang sepertinya pim-
pinan rombongan itu hanya bergumam, tanpa mempe-
dulikan pertanyaan Panji. Mereka kemudian mengitari
pasangan pendekar itu dengan mata tak lepas dari so-
sok berpakaian hijau itu.
"Hm.... Kau benar-benar bersedia membantu
kami, Kisanak...?"
Tiba-tiba salah satu dari ketiga orang itu meng-
hampiri Panji. Sepertinya, ada maksud tersembunyi
dalam ucapannya.
Panji tersenyum menatap wajah penuh cam-
bang bauk itu.
"Kalau aku bisa, aku ikhlas membantu kalian.
Katakanlah. Mudah-mudahan saja aku dapat mem-
bantu:..," jawab Panji, tenang. Sebuah jawaban yang
cerdik, dan sukar dicari kelemahannya.
Lelaki bercambang bauk dengan sepasang mata
agak redup itu terdiam beberapa saat Setelah beberapa
kali melirik ke arah Kenanga, ia kembali melanjutkan
ucapannya.
"Kalau begitu, tolong bantu kami. Tinggalkan-
lah gadis ini. Untuk itu, aku akan sangat berterima
kasih sekali."
"Aaah... Kalau itu, tentu saja aku tidak dapat
membantu. Mintalah yang lain. Maka, aku berjanji
akan membantu, itu pun kalau bisa...," sahut Panji
tanpa rasa terkejut sedikit pun. memang, sejak semula
pemuda itu telah menduganya.
"Hm.... Ternyata kau pendusta, Anak Muda!
Tadi kau katakan akan menolong kami. Tapi nya-
tanya...!" hardik lelaki bermata sayu itu sambil menuding wajah Pendekar Naga Putih. Terlihat ancaman
maut membayang di wajahnya.
"Hm.... kau salah, Kisanak. Tadi sudah kukata-
kan, kalau aku bisa. Tapi yang ini..., tentu saja tidak
bisa. Jadi maaf kalau aku telah mengecewakan ka-
lian...," sahut Panji tanpa mempedulikan kemarahan
lelaki brewok itu.
"Aaah! Mengapa mesti bertele-tele. Hajar saja,
habis perkara!" bentak yang lain tak sabar.
Begitu ucapannya selesai, orang berhidung be-
sar itu langsung mencabut sebuah golok panjangnya.
Kemudian, diayunkannya golok itu ke leher Panji!
Whuuut!
Ayunan golok panjang itu meluncur deras di-
iringi suara mengaung tajam! Tapi kecepatan dan ke-
kuatan serangan itu sama sekali tidak membuat Panji
gugup. Bahkan gerakan orang itu terlihat masih terlalu
lambat bagi Pendekar Naga Putih. Maka tanpa kesuli-
tan sedikit pun, pemuda itu sudah menggeser tubuh-
nya, sehingga luput dari incaran mata golok lawan!
"Setaan..!"
Lelaki berhidung besar itu tentu saja semakin
bertambah penasaran. Golok di tangannya berputar
cepat, kemudian dia kembali meluruk tajam mengan-
cam pemuda berjubah putih itu.
Untuk kali ini, Panji tidak berusaha mengelak
Sudah dapat diukurnya kekuatan tenaga lawan, mela-
lui sambaran pertama tadi. Maka pada serangan kali
ini, Panji hanya berdiri tegak menanti datangnya mata
golok yang hendak memenggal lehernya!
Beuuut! Trakkk!
"Aaakh...?!"
Lelaki berhidung besar itu memekik kesakitan!
Pedang di tangannya terpental dalam keadaan patah!
Sedang ia sendiri terlempar hingga satu setengah tom-
bak jauhnya! Bahkan tangan kanannya yang meng-
genggam golok, terlihat bengkak dan berwarna hijau
kebiruan.
"Iblisss...!"
Dua orang pimpinan rombongan orang berkuda
itu mendesis dengan wajah pucat! Mereka sempat me-
nyaksikan begitu mata golok menghantam leher, terli-
hat adanya lapisan kabut bersinar putih keperakan
yang muncul tiba-tiba di seluruh tubuh pemuda Itu.
kemudian kabut itu lenyap kembali setelah lawannya
terpental! Itulah yang membuat mereka gentar!
"Hm...."
Panji yang sepertinya Ingin membuat kapok pa-
ra penunggang kuda itu, kembali mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Kemudian bertiuplah
angin dingin yang menusuk tulang.
"Brrr...."
Dua orang kepala rombongan yang tengah me-
narik bangkit kawannya, kontan menggigil kedinginan
dengan gigi bergemelutuk. Jelas mereka yang bertiga
berada paling depan tentu saja terpengaruh hawa din-
gin yang diciptakan Pendekar Naga Putih.
"Mari kita pergi...," ajak lelaki brewok bermata
sayu dengan suara gemetar karena kedinginan.
Sedangkan para anggota lainnya yang masih
berada di atas kuda telah lebih dulu dilarikan kuda-
kuda mereka, pada saat hawa dingin itu muncul.
Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian
rombongan itu dengan tarikan napas lega.
"Hm.... Untunglah mereka dapat kuusir hanya
dengan gertakan saja. Padahal, kalau sampai terjadi
pertarungan belum tentu aku dapat menundukkan
mereka dalam waktu singkat..," desah Panji.
Kenanga hanya menghela napas panjang men-
dengar ucapan Panji. Gadis itu bukan tidak tahu, apa
yang dilakukan kekasihnya. Memang, Pendekar Naga
Putih mengusir rombongan penunggang kuda itu den-
gan mempergunakan kesaktiannya tanpa harus ber-
tempur lama. Masalahnya kalau sampai pertempuran
terjadi, bukan tidak mungkin akan banyak jatuh kor-
ban dari rombongan yang berjumlah 10 orang itu, ter-
makan pedangnya. Kenanga jelas mengerti maksud
pemuda itu.
Panji yang melihat dara jelita itu tercenung, se-
gera saja mengulurkan tangannya. Langsung direng-
kuhnya bahu Kenanga. Kemudian, mereka melangkah
tanpa melanjutkan perjalanan.
"Apakah perjalanan menuju Perguruan Gelang
Terbang jadi dilanjutkan?" tanya Panji.
"Kurasa, kalau tidak datang rasanya tidak
enak, Kakang," sahut Kenanga.
"Tapi kita sudah terlambat, Kenanga." "Lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali. Aku yakin,
Ki Pangrawit mau memaklumi kita. Jelaskan saja per-
soalannya, kenapa kita terlambat," tegas Kenanga.
Kemudian sepasang pendekar itu melangkah
tenang menuju Perguruan Gelang Terbang
***
ENAM
Cahaya merah jelaga yang menghias langit se-
belah Barat, tampak telah mulai pudar. Sebentar ke-
mudian, senja pun menunjukkan kekuasaan. Kegela-
pan tenis merambat, menyelimuti permukaan bumi.
Dan kini, malam pun mulai datang.
Malam itu, di dalam ruang pertemuan Pergu-
ruan Gelang Terbang, tampak Ki Pangrawit mengum-
pulkan ketiga orang murid utamanya. Demikian pula
ketiga tokoh persilatan yang merupakan sahabat dan
juga tamunya. Tokoh-tokoh itu berkumpul untuk
membahas kejadian yang telah menimpa Perguruan
Gelang Terbang baru-baru ini.
"Apakah kau sudah mempunyai dugaan, Ki..?"
tanya Rajawali Merah. Dia memang menyumbangkan
tenaga dan pikirannya untuk membantu Perguruan
Gelang Terbang yang tengah dilanda musibah.
"Hhh.... Sayang sekali, aku belum bisa mene-
mukan tokoh yang telah sekeji itu. Dari sekian banyak
tokoh sesat yang menjadi musuhku, tak seorang pun
yang menggunakan racun dalam setiap kejahatannya.
Jadi, bisa dikatakan kalau aku telah gagal menemu-
kan si pembuat onar itu...," ujar Ki Pangrawit dengan
wajah kecewa.
Sepasang mata Ketua Perguruan Gelang Ter-
bang tampak menatap ketiga orang sahabatnya penuh
harap. Jelas, Ki Pangrawit mengharapkan agar ketiga
orang sahabatnya membantu untuk menemukan si
pembuat onar.
"Bagaimana denganmu, Ki Janiga? Apakah pe-
nyelidikan mu membawa hasil..?"
Pendekar Cakar Maut menoleh ke arah Tinju
Pemecah Badai yang tampak terangguk-angguk den-
gan kening berkerut Sepertinya, ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya.
"Hhh...."
Ki Janiga menghela napas sebelum menjawab
pertanyaan Pendekar Cakar Maut.
"Ada suatu yang aneh kutemukan dalam penyelidikanku beberapa hari ini," lanjut Ki Janiga.
Semenjak hari kejadian, Ki Janiga telah me-
ninggalkan Perguruan Gelang Terbang untuk melaku-
kan penyelidikan. Dan baru siang tadi kembali. Se-
dangkan Pendekar Cakar Maut dan Rajawali Merah,
baru kembali sore tadi Itulah sebabnya, mengapa me-
reka baru berkumpul malam ini.
"Keanehan seperti apa yang kau maksudkan, Ki
Janiga? Tolong kau jelaskan secara rinci, agar kami ti-
dak bertanya-tanya," desak Ki Pangrawit, tak sabar.
"Benar, Ki. Atau kau memang sengaja hendak
membuat teka-teki agar kami menduga-duga?" timpal
Rajawali Merah yang sama tidak sabarnya dengan Ki
Pangrawit. Sedangkan Pendekar Cakar Maut dan tiga
murid utama Ki Pangrawit terdiam menunggu jawaban
Ki Janiga.
"Pertama-tama, aku mendatangi perkumpulan
pengawal barang yang mengantarkan bingkisan tiga
kepala murid Ki Pangrawit Terus terang, aku merasa
aneh dengan keterangan tentang ciri-ciri pelanggan
yang menyuruh mereka mengantarkan peti itu. Maka,
aku harus berkeliling untuk mencari orang yang mirip
dengan yang digambarkan pengawal barang itu.
Sayang, aku gagal menemukannya. Anehnya, aku ti-
dak bisa percaya kalau orang itu yang telah mengecoh
kita. Rasanya tidak mungkin! Kalian tahu, siapa orang
yang dimaksudkan kelompok pengawal barang itu...?"
tanya Ki Janiga mengakhiri ceritanya.
Tentu saja, yang lain langsung menggelengkan
kepala. Mungkin enggan untuk berpikir, atau memang
benar-benar tidak tahu, yang jelas, jawaban itu mem-
buat Ki Janiga tersenyum, dan siap melanjutkan ceri-
tanya.
'Tunggu dulu...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Cakar Maut mengang-
kat tangannya. Serentak semua yang berada di ruan-
gan itu menoleh ke arah lelaki gemuk itu, termasuk
juga Ki Janiga.
"Kau bisa menduganya, Cakar Maut..?" desak
Ki Janiga meminta ketegasan tokoh itu.
Pendekar Cakar Maut mengangguk pasti.
"Kalau begitu, mengapa tidak segera kau se-
butkan?" desak Ki Pangrawit.
Ki Pangrawit menjadi semakin tak sabar ketika
melihat Pendekar Cakar maut seperti sengaja mem-
buat penasaran. Bagaikan tidak merasa bersalah, lela-
ki gemuk itu mengusap-usap kening seolah tengah
berpikir keras.
"Hm...! Kalau tidak salah, ciri-ciri yang kau se-
butkan tadi mirip pimpinan gerombolan perampok. Se-
benarnya, mereka bertiga. Dan mereka dijuluki sebagai
Tiga Brewok Hutan Larang. Apakah dugaanku salah,
Ki Janiga...?" tebak Pendekar Cakar Maut sambil men-
gembangkan senyum.
"Dugaanmu tepat. Cakar Maut. Lalu, dapatkah
kau lihat keanehannya, apabila dihubungkan dengan
peristiwa yang menimpa Perguruan Gelang Terbang?"
Ki Janiga melontarkan pertanyaan itu. Seolah-olah dia
mengetahui sampai di mana kecerdikan Pendekar Ca-
kar Maut.
'Tentu saja aku tahu, Ki Janiga. Gerombolan
perampok itu tidak seberapa kuat. Bahkan kepandaian
tiga orang pemimpinnya masih belum mampu untuk
melawanku. Jadi tidak mungkin rasanya kalau gerom-
bolan perampok itu berani berbuat macam-macam
terhadap Perguruan Gelang Terbang. Jadi, ini pasti ada
orang di belakang layar yang sengaja menggunakan
mereka untuk membingungkan kita," jelas Pendekar
Cakar Maut.
Kening pendekar bertubuh gemuk itu menjadi
berkerut ketika teringat akan tokoh tersembunyi yang
sengaja hendak mengadu domba tokoh-tokoh golongan
putih.
"Tepat! Ternyata kau masih dapat berpikir jer-
nih. Cakar Maut Itulah yang tengah ku pikirkan Tokoh
tersembunyi, yang sengaja menggunakan Tiga Brewok
Hutan Larang untuk mengecoh kita. Sayang, aku be-
lum bisa menduga siapa adanya tokoh licik itu...," de-
sah Ki Janiga menggelengkan kepala.
"Mengapa tidak kita cari saja gerombolan pe-
rampok itu? Dari mereka, kita bisa minta keterangan.
Bukankah hal itu tidak terlalu sulit?" usul Rajawali
Merah yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja.
"Ah! Kau ini bagaimana, Rajawali Merah. Seper-
tinya yang kukatakan tadi, perampok-perampok itu te-
lah kabur entah ke mana. Mungkin setelah persoalan
ini selesai, mereka baru kembali. Tapi kita tidak boleh
menyerah, dan harus mampu membongkar teka-teki
manusia licik itu" tegas Ki Janiga seraya mengepalkan
tinjunya erat-erat. Sehingga, yang lainnya ikut terpen-
garuh oleh ketinggian semangat Ki Janiga.
"Hua ha ha...!"
Baru saja ucapan Ki Janiga selesai, tiba-tiba
terdengar gaung suara yang mengandung kekuatan
hebat, dan mendirikan bulu roma. Karuan saja ketu-
juh orang tokoh itu serentak bangkit, dan berlari ke-
luar ruangan.
***
Ki Pangrawit yang tiba di luar lebih dahulu,
memandang berkeliling. Lelaki berusia enam puluh ta
hun namun masih tampak gagah itu terkejut melihat
obor-obor di kedua sudut bangunan perguruan tam-
pak padam. Tidak terlihatnya penjaga penjaga di atas
pintu gerbang, membuat Ki Pangrawit segera menyada-
ri kalau murid-muridnya mungkin telah tewas!
Ki Janiga dan yang lain berdiri berjajar di depan
pintu ruang pertemuan. Para tokoh itu sama-sama
terkejut saat melihat obor yang menerangi gerbang de-
pan telah padam seluruhnya.
"Hm.... Ada musuh yang telah menyusup ke da-
lam bangunan ini," bisik Ki Janiga di dekat telinga
Ki Pangrawit Orang tua itu hanya mengangguk
sambil tetap mengedarkan pandangan ke kegelapan
malam.
Panawangan yang sempat mendengar bisikan
Ki Janiga, tentu saja menjadi khawatir terhadap nasib
saudara-saudaranya yang tengah berjaga di pos pintu
gerbang. Rasa kekhawatiran itu membuatnya segera
melesat menuju gerbang.
Melihat perbuatan muridnya, tentu saja Ki Pan-
grawit menjadi terkejut bukan main! Cepat tubuhnya
ikut melesat sambil berseru mencegah!
"Panawangan, tahan...!"
Kekhawatiran Ki Pangrawit rupanya bukan
hanya dugaan kosong. Terbukti pada saat tubuh Pa-
nawangan melesat ke gerbang depan yang berjarak ki-
ra-kira sepuluh tombak dari mereka, terlihat dua so-
sok bayangan putih melayang bagaikan seekor elang
hendak menyambar anak ayam!
"Awaaas...!"
Ki Janiga dan para tokoh lain yang melihat dua
kilatan mirip cahaya putih itu segera saja berseru
memperingatkan! Mereka juga tidak tinggal diam.
Sambil berseru, tubuh para tokoh itu segera melesat
disertai pengerahan seluruh ilmu lari cepat.
Ki Pangrawit yang merasakan adanya bahaya
mengancam muridnya, segera saja mendorong tubuh
Panawangan hingga tersungkur mencium tanah! Se-
dangkan la sendiri segera menjatuhkan dirinya, sambil
melepaskan tendangan ke arah salah satu dari kedua
sosok bayangan putih yang mengancamnya!
Namun, sosok bayangan putih yang tengah
mengulurkan cengkeramannya itu sama sekali tidak
menarik pulang serangannya. Dengan gerakan cepat
dan sukar ditangkap mata, sosok bayangan putih itu
memutar pergelangan lengannya, dan langsung me-
nangkis tendangan Ki Pangrawit!
Plakkk!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit tertahan yang dibarengi ledakan
bagai sambaran petir! Sosok bayangan putih itu me-
lenting kembali ke udara, karena pada saat itu juga Ki
Janiga dan yang lain telah datang menyelamatkan Ki
Pangrawit Kalau tidak, pastilah Ketua Perguruan Ge-
lang Terbang yang terdorong dalam keadaan rebah ter-
lentang itu, tidak akan terlepas dari susulan cengke-
raman maut sosok bayangan putih tadi.
"Uhhh.... Gila! Apa sebenarnya yang telah me-
nyerangku itu? Tenaga dan kecepatannya benar-benar
mengiriskan. Rasanya, aku belum pernah menyaksi-
kannya! Untunglah kalian cepat tiba." desah Ki Pan-
grawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu kemudian
bergerak bangkit dengan agak terpincang. Jelas, tang-
kisan telapak tangan sosok bayangan putih tadi telah
membuatnya menderita. Pergelangan kaki kanannya
terasa nyeri dan agak membengkak.
"Jangan meremehkan kepandaian sendiri, Ki
Meskipun aku menduga begitu, tapi kau tidak dalam
keadaan siap. Lain halnya dengan sosok bayangan itu,
yang memang telah menyiapkan serangan sebelumnya.
Jadi, wajar saja kalau kau menderita kerugian kare-
nanya," hibur Ki Janiga sambil menepuk bahu saha-
batnya perlahan.
Panawangan sendiri sudah bergerak bangkit,
dan segera meminta maaf atas kecerobohannya. Kini,
ketujuh tokoh itu berkumpul di halaman depan ban-
gunan utama, menanti kedua sosok bayangan putih
yang lenyap entah ke mana.
"Hua ha ha.... Dengarlah, hai tokoh-tokoh pen-
dekar berhati sombong! Mulai hari ini, kalian akan ku
bantai satu persatu. Seperti halnya, ketiga orang murid
Perguruan Gelang Terbang, dan juga para tokoh yang
tewas keracunan. Hanya saja, kalian kuberi kesempa-
tan untuk membela diri. Nah, bersiaplah. Akan segera
ku mulai...."
Suara tanpa wujud itu terdengar jelas, bagai
muncul dari segala sudut bangunan Perguruan Gelang
Terbang Tentu saja hal itu membuat Ki Pangrawit dan
yang lain menjadi terkejut setengah mati.
"Keparat..! Pengecut itu sengaja menggunakan
'Ilmu Memecah Suara'. Dengan begitu, kita tidak akan
dapat menduga di mana iblis-iblis itu bersembunyi.
Benar-benar licik..!" desis Ki Pangrawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu menjadi
terkejut ketika mengenali ilmu yang dipergunakan so-
sok bayangan putih yang entah berada di mana. Diam-
diam, timbul kekhawatiran dalam hatinya, karena dari
ilmu itu bisa ditebak kalau lawan memiliki kepandaian
sangat tinggi. Semua itu terbukti dengan 'Ilmu Peme-
cah Suara' yang setahunya merupakan ilmu langka
dan sulit dipelajari.
"Gila...! Siapa sebenarnya orang gila itu? Lalu
apa pula alasannya sehingga kita dimusuhi...?" Ki Ja-
niga yang juga mengetahui tentang 'Ilmu Pemecah Su-
ara', tentu saja tidak kalah terkejutnya dengan Ki Pan-
grawit.
"Hai, Manusia-manusia Pengecut! Mengapa ka-
lian tidak berani menampakkan diri?! Kalau memang
hendak bertarung, keluarlah! Kami tidak sudi berha-
dapan dengan manusia pengecut'" Pendekar Cakar
Maut yang merasa marah, segera saja berteriak me-
nantang.
Lelaki gemuk itu menatap berkeliling sambil
bertolak pinggang. Dengan tatapan matanya yang ta-
jam, dicobanya mencari tempat musuh-musuhnya ber-
sembunyi.
"Heee...!"
"Aia...!"
Mendadak, baru saja ucapan Pendekar Cakar
Maut selesai, terdengar pekikan-pekikan parau uang
saling susul. Karena pekikan-pekikan nyaring itu juga
menggunakan 'Ilmu Pemecah Suara', tentu saja ketu-
juh orang tokoh ini menjadi kebingungan. Mereka ti-
dak bisa menduga secara pasti, di mana lawan memu-
lai serangan.
Ki Pangrawit yang tidak bergerak dari tempat-
nya, menatap tajam menggunakan tenaga batinnya.
Dengan begitu, meski tidak terlalu jelas, arah serangan
lawan dapat dirasakannya.
"Awaaas...!"
Ki Pangrawit cepat berseru mengingatkan, keti-
ka menangkap dua buah sinar putih melesat ke arah
mereka dari sebelah kanan! Serentak para tokoh persi-
latan itu berpencaran ke segala arah!
Namun, kesaktian dua sosok bayangan putih
itu benar-benar mengerikan! Bagaikan dua ekor bu-
rung besar tubuh keduanya berputar tanpa menginjak
tanah, kemudian terus melesat berbarengan ke arah
Panawangan!
Panawangan sadar kalau dirinya jadi sasaran
pertama dua sosok bayangan putih itu. Maka, segera
saja gelang peraknya yang dua pasang, segera dilo-
loskan dan langsung dilontarkan sekuat tenaga begitu
kedua sosok itu datang mendekat!
Ziiing! Ziiing!
Dua pasang gelang perak itu langsung melun-
cur diiringi suara mengaung tajam!
"Bagus...," terdengar pujian keluar dari salah
satu bayangan putih itu.
Sayangnya pujian itu bukan berarti mereka ti-
dak sanggup mematahkan serangan gelang perak Pa-
nawangan. Memang, dengan ilmu meringankan tubuh
yang telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit
bagi sosok bayangan putih itu untuk menghindar dari
gelang perak Panawangan.
Apa yang dilakukan sepasang bayangan putih
itu benar-benar membuat Panawangan dan yang lain
ternganga! Betapa tidak? Untuk kesekian kalinya, ke-
dua sosok tubuh itu kembali melenting tanpa menyen-
tuh tanah lagi. Benar-benar sebuah ilmu meringankan
tubuh yang sangat langka, dan jarang ada duanya di
dunia.
Meskipun serangan gelang peraknya dapat di-
hindari lawan dengan cara melenting ke atas, namun
Panawangan tidak putus asa. Gelang perak yang kini
tinggal sepasang di tangannya, kembali dilontarkan se-
saat, setelah serangan pertamanya gagal!
"Hiaaah...!"
Kali ini sepasang gelang perak Panawangan
hanya mengancam salah satu dari kedua sosok bayan-
gan putih itu. Sedang dua pasang gelang yang pertama
dilepaskannya, telah berputar balik kembali kepada
tuannya.
Sayang, serangan yang kedua itu pun terpaksa
harus gagal! Ternyata, sosok bayangan putih yang te-
rancam sepasang gelang perak Panawangan cepat
mengulurkan tangan, tanpa khawatir jari-jarinya ter-
papas!
Lagi-lagi, Panawangan harus menerima kenya-
taan pahit! Begitu telapak tangan sosok bayangan pu-
tih itu terulur, sepasang gelang terbang Panawangan
berhenti dan melayang di udara. Seolah-olah kedua ge-
lang perak itu seperti kupu-kupu yang jinak Tentu saja
kenyataan itu cukup mengejutkan! Dan dalam sekejap
mata, sosok bayangan putih melontar balik gelang ter-
bang Panawangan dengan kecepatan berlipat ganda!
Wuuung! Wuuung!
Diiringi sebuah gaung tajam, dua buah gelang
terbang itu meluncur tanpa terlihat jelas bentuknya.
Yang terlihat hanyalah dua sinar perak yang bergerak
bagai kilat, mengancam leher dan dada Panawangan!
Hebatnya, sepasang gelang terbang itu tiba lebih dulu
daripada dua pasang gelang terbang yang tengah me-
luncur balik ke arah tuanya. Dan...
"Arrrgh...!"
Panawangan memekik begitu sepasang gelang
perak miliknya amblas hingga hampir tak terlihat! Ke-
dua gelang terbang itu melesat ke dalam leher dan da-
da majikannya! Benar-benar sebuah kematian yang
menyedihkan!
"Panawangan...?!"
Ki Pangrawit berseru parau. Kejadian yang san-
gat singkat itu tidak sempat dicegahnya. Dan hal ini
merupakan sebuah pukulan berat bagi batin Ki Pan-
grawit. Murid utamanya terpaksa tewas di depan ma-
tanya, tanpa mampu untuk diselamatkannya! Benar-
benar sebuah peristiwa yang amat menyakitkan!
Tubuh Panawangan ambruk ke tanah disertai
lelehan darah dari mulut, dada, dan lehernya. Napas
lelaki gagah itu putus seketika!
Ki Janiga dan yang lain segera saja melesat
menerjang dua sosok tubuh yang masih juga melayang
di udara, setelah tadi terlihat menginjak tanah, selesai
menewaskan Panawangan. Para tokoh itu pun tidak
sempat menyelamatkan murid utama Ki Pangrawit, ka-
rena kejadiannya memang terlalu singkat Sehingga,
mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut bahkan Raja-
wali Merah yang terkenal gesit hanya mampu terbela-
lak takjub ketika menyaksikan perbuatan kedua sosok
bayangan putih itu, yang dalam waktu sangat singkat
telah melesat ke arah pintu gerbang yang terletak ku-
rang lebih sekitar lima tombak dari mereka.
"Berhenti, Pengecut..!"
Bentakan Pendekar Cakar Maut yang merasa
penasaran bukan main, keluar disertai pengerahan te-
naga dalam Kemudian kekuatan ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan untuk melakukan pengejaran!
Tapi usaha lelaki gemuk itu sia-sia belaka, karena ke-
dua sosok bayangan putih itu telah melewati pintu
gerbang, untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan.
***
TUJUH
Keesokan paginya, Perguruan Gelang Terbang
kembali dilanda kegemparan! Enam orang murid yang
bertugas menjaga pintu gerbang kedapatan tewas di
pos jaga. Lalu enam orang peronda malam juga dite-
mukan tewas dengan kepala pecah! Tentu saja musi-
bah itu membuat Ki Pangrawit sangat terpukul Apala-
gi, semua itu masih ditambah kematian Panawangan
yang tewas secara menyedihkan. Semua kejadian itu,
membuat Ki Pangrawit tidak mau diganggu. Ketua Per-
guruan Gelang Terbang terpekur di dalam kamarnya
dengan wajah berduka.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki? Guru sendi-
ri telah mengurung diri tanpa mau diganggu. Padahal,
kita masih belum terlepas dari ancaman sepasang iblis
yang hanya berupa bayangan putih itu. Hhh..., aku
benar-benar tidak habis pikir...," ungkap Subadra ke-
pada Ki Janiga, setelah selesai menguburkan mayat
saudara-saudaranya, termasuk Panawangan.
Sedangkan Kandira hanya termenung dengan
pandangan menerawang Sepertinya, lelaki berusia tiga
puluh lima tahun itu pun tengah bingung memikirkan
cara untuk menghadapi maut uang mengancam peng-
huni Perguruan Gelang Terbang.
"Hm.... Kau bersabarlah, Subadra. Bisa ku
maklumi apa yang saat ini tengah dirasakan gurumu.
Beliau benar-benar sangat terpukul atas kematian Pa-
nawangan. Kalau saja Ki Pangrawit tidak menyaksi-
kannya sendiri, mungkin tidak akan terpukul sedemi-
kian parahnya. Tapi, semua itu terjadi di depan ma-
tanya, tanpa mampu dicegahnya. Kenyataan itulah
yang membuatnya merasa berdosa. Karena sebagai
guru, ternyata ia tidak bisa melindungi nyawa murid-
nya. Kau paham apa yang kumaksudkan, Subadra...?"
tanya Ki Janiga setelah menjelaskan secara panjang
lebar.
"Yaaah.... Tapi, mengapa guru harus mengu-
rung diri? Tidakkah beliau sadar kalau malam nanti,
sepasang iblis itu akan datang kembali untuk men-
gambil nyawa salah seorang di antara kita!" Subadra
yang meskipun telah cukup mengerti apa yang dimak-
sudkan Ki Janiga, tetap saja tidak bisa menerima tin-
dakan gurunya dalam hal itu
"Hm.... Memang licik sekali sepasang iblis itu.
Mereka sengaja tidak membunuh kita sekaligus. Den-
gan ancaman-ancaman seperti itu, mereka bisa mem-
buat kita tidak tenang. Dan mungkin juga, kita telah
pasrah sebelum mereka datang. Mereka menakut-
nakuti kita sehingga bisa mengganggu pikiran. Benar-
benar keji sekali sepasang iblis itu...," geram Rajawali
Merah.
Semenjak kejadian semalam, wajah Rajawali
Merah nampak selalu tegang. Jelas, ia pun telah ter-
pengaruh ancaman pembunuh keji itu.
Sebenarnya, bukan hanya Rajawali Merah yang
merasa tegang dan cemas. Bahkan Ki Janiga dan Pen-
dekar Cakar Maut sendiri mengalami hal yang sama.
Selain belum dapat diterka siapa sebenarnya musuh
yang harus dihadapi, juga musuh itu pun memiliki ke-
saktian yang mengiriskan! Hingga dapat dipastikan ka-
lau untuk selamat dari incaran maut, sulit sekali.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut mencoba
untuk tetap tenang. Semua itu dimaksudkan agar mu-
rid-murid Perguruan Gelang Terbang tidak dilanda re-
sah. Meskipun usaha itu tidak seluruhnya berhasil,
tapi sedikitnya telah melenyapkan sebagian rasa takut
yang dialami hampir seluruh murid perguruan itu.
Ketika hari telah menjelang sore, dan saat Ki
Janiga mengatur siasat untuk menjebak musuh, Ki
Pangrawit muncul dengan wajah agak pucat. Meski
demikian, kehadirannya telah membangkitkan seman-
gat baru bagi murid-muridnya.
"Maaf, kalau aku telah menyusahkan kalian...,"
ucap Ki Pangrawit kepada Ki Janiga, Pendekar Cakar
Maut, dan Rajawali Merah.
Betapa terharunya Ketua Perguruan Gelang
Terbang itu karena ketiga orang sahabatnya masih te-
tap bersedia membantu, meski untuk itu nyawa taru-
hannya. Pengorbanan tanpa pamrih dari tokoh-tokoh
itulah yang membuat Ki Pangrawit keluar dari dalam
kamarnya. Karena, tidak mungkin tanggung jawabnya
dilepaskan begitu saja kepada orang lain. Meskipun,
orang itu merupakan sahabat baiknya.
Keempat orang tokoh itu pun, kembali berkum-
pul dengan ditemani Subadra dan Kandira. Mereka
menyusun rencana untuk menghadapi musuh yang
belum diketahui, siapa sebenarnya.
***
Saat kegelapan mulai menyelimuti alam, sua-
sana Perguruan Gelang Terbang tampak gelap dan
sunyi. Di dekat gerbang atau di sudut-sudut bangu-
nan, tidak lagi terlihat cahaya obor. Malam itu Pergu-
ruan Gelang Terbang terasa mati, bagaikan bangunan
tua yang dihuni hantu!
Suara binatang malam terus bersahutan me-
nyemarakkan sang malam. Tiupan angin terasa sejuk,
membuat tubuh terasa letih dan mudah terlena Un-
tungnya, malam itu sang Dewi Malam demikian berani
memancarkan cahayanya Sehingga, kegelapan yang
demikian pekat mulai memudar.
Mendadak saja, jantung Ki Pangrawit yang ber-
sembunyi bersama ketiga orang sahabatnya berdebar,
saat menatap pintu gerbang depan. Di kiri kanan ger-
bang, tampak dua sosok bayangan putih bertengger di
atas kayu-kayu bulat. Pakaiannya yang lebar berkiba-
ran tertiup angin. Pemandangan itu benar-benar men-
debarkan, dan sanggup membuat seorang yang pena-
kut pingsan seketika!
"Hm... Iblis itu sudah muncul... Tampaknya
mereka sengaja menunjukkan kedatangannya kali ini
Sayang, jaraknya masih terlalu jauh. Sulit untuk men-
genalinya," desah Ki Pangrawit sambil menajamkan
pandangan matanya agar bisa mengenali sepasang so-
sok bayangan putih itu.
"Mudah-mudahan Subadra dan Kandira dapat
menahan diri sesuai rencana kita,..," bisik Ki Janiga,
lirih.
Lelaki bertubuh tinggi kurus itu pun tengah
mengawasi dua sosok bayangan putih yang tegak di
atas gerbang.
"Nampaknya, Iblis-iblis itu lebih berhati-hati.
Lihat saja. Mereka masih tetap tegak tanpa berani me-
lewati gerbang. Jelas, Mereka telah menaruh curiga
dengan suasana sunyi dan tanpa penerangan ini," gu-
mam Pendekar Cakar Maut Rupanya, Pendekar Cakar
Maut yang memiliki watak berangasan, tidak sabar
melihat kedua sosok bayangan putih itu masih tetap
tegak bagai patung.
"Biarlah. Kita lihat saja, apakah mereka berani
masuk atau tidak," timpal Rajawali Merah yang juga
ikut mengawasi dua sosok berpakaian putih itu.
Wajah tokoh muda itu terlihat agak tegang dan
sedikit pucat Meski demikian, ia tetap berusaha tenang
dan terus menatap kedua sosok putih di atas gerbang.
"Hua ha ha...! Bagus, Ki Pangrawit! Rencana
yang kau susun memang tidak jelek! Sayangnya, ti-
puan-tipuanmu sama sekali tidak berarti bagiku...!"
Selagi puluhan pasang mata yang tersembunyi
di tempat gelap sambil sama-sama mengawasi sosok di
atas gerbang, tiba-tiba terdengar gema tawa berkepan-
jangan yang membuat jantung para murid Gelang Ter-
bang hampir copot dibuatnya.
"Gila! Iblis itu benar-benar licik! Apa yang kita
bicarakan bisa didengar mereka, sehingga membuat
rencana kita gagal, Ki Janiga. Aku khawatir, Subadra
dan Kandira tidak bisa menenangkan murid-
muridku...," desis Ki Pangrawit yang menjadi cemas
bukan main atas kejadian itu.
Apa yang dikhawatirkan Ki Pangrawit ternyata
tidak meleset! Baru saja ucapannya selesai, terdengar
teriakan-teriakan ribut yang disusul berloncatannya
murid-murid Gelang Terbang dari tempat persembu-
nyian. Jelas, suara tanpa wujud itu telah mempenga-
ruhi mereka.
"Hei, kembali...!" cegah Subadra yang bertugas
mengepalai dua puluh lima orang murid.
Sayang semuanya sudah terlambat Apalagi dari
tempat lain pun murid-murid yang dipimpin Kandira
juga telah berlompatan keluar.
Karuan saja Ki Pangrawit, Ki Janiga, Pendekar
Cakar Maut dan Rajawali Merah menjadi terkejut Me-
reka yang bersembunyi di dua tempat itu ikut berte-
riak mencegah. Bahkan ikut melompat keluar dari per-
sembunyian karena mengkhawatirkan keselamatan
murid-murid Ki Pangrawit.
Tepat pada saat yang bersamaan, dua sosok
bayangan putih melesat bagaikan dua ekor burung
malam mencari mangsa. Dengan sepasang tangan
membentuk cakar, kedua sosok bayangan putih itu
langsung menyambar murid-murid Perguruan Gelang
Terbang yang tengah ketakutan.
Tapi, keempat orang tokoh itu pun tidak tinggal
diam. Sebelum korban berjatuhan, serentak mereka
bergerak menyambut dua sosok bayangan putih itu.
"Merunduuuk...!"
Sambil berteriak memerintahkan murid-
muridnya merunduk, Ki Pangrawit bersama Rajawali
Merah bergerak memapak cengkeraman bayangan pu-
tih yang berada di sebelah kanan. Sadar kalau kedua
sosok bayangan putih itu bukan tokoh sembarangan,
maka seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki di-
kerahkan. Dan....
Plakkk! Plakkk!
"Ughhh...!"
"Aaaah... !"
Terdengarlah benturan keras yang diiringi ke-
luhan tertahan dari mulut Ki Pangrawit dan Rajawali
Merah. Tubuh mereka sama-sama terpental ke bela-
kang! Bedanya, Ki Pangrawit dapat mematahkan daya
luncur tubuhnya dengan berjumpalitan beberapa kali
di udara. Sedangkan Rajawali Merah terpaksa harus
rela tubuhnya terbanting di tanah!
Sedangkan sosok bayangan putih itu sendiri
melenting kembali ke udara. Kemudian kedua kakinya
mendarat di tanah, setelah berjumpalitan sebanyak ti-
ga kali di udara. Jelas, sosok itu pun merasakan aki-
bat dari benturan dua orang tokoh yang memang ber-
kepandaian tinggi itu.
"Sepasang Mambang Lembah Maut..?!" Ki Pan-
grawit dan Rajawali Merah sama-sama berseru dengan
wajah berubah hebat! Mereka terkejut bukan main me-
lihat wajah sosok bayangan putih itu yang terlindung
di balik topeng tengkorak. Jelas sudah, siapa sebenar-
nya yang telah melakukan serangkaian tindak kekera-
san terhadap Perguruan Gelang Terbang.
Bukan Hanya Ki Pangrawit dan Rajawali Merah
saja yang merasa terkejut. Ki Janiga dan Pendekar Ca-
kar Maut juga sama-sama terkejutnya melihat kedua
orang sahabatnya. Mereka yang juga berhasil menye-
lamatkan nyawa murid-murid Gelang Terbang dengan
memapak serangan sosok bayangan putih lainnya, me-
rasakan akibat yang sama. Dan keduanya pun tersen-
tak pucat begitu mengenali sosok yang tangan maut-
nya tengah merajalela.
Belum lagi lenyap rasa keterkejutan keempat
orang tokoh sakti itu, tiba-tiba terdengar jerit kematian
susul menyusul! Untuk kedua kalinya, keempat orang
tokoh itu kembali dikejutkan adanya dua sosok bayan-
gan putih lain yang mengamuk membantai murid-
murid Perguruan Gelang Terbang. Untunglah, Subadra
dan Kandira cepat bertindak menghadapi kedua sosok
bayangan putih yang melayang turun dari atas pintu
gerbang itu Sehingga, korban di pihak mereka tidak
bertambah banyak.
"Gila! Entah siapa lagi kedua sosok bayangan
putih itu? Untunglah kepandaiannya tidak begitu ting-
gi, sehingga Subadra dan Kandira dapat menghada-
pinya...," desis Ki Pangrawit yang bertambah heran me-
lihat adanya dua sosok bayangan putih bin.
"Hm.... Menurutku, mereka pasti dua di antara
Tiga Brewok Hutan Larang. Sepertinya, mereka kemba-
li dipergunakan Sepasang Mambang Lembah Maut un-
tuk mengecoh kita tadi...," duga Ki Janiga.
Rupanya, si Tinju Pemecah Badai itu langsung
saja bisa menebak tepat, siapa adanya kedua sosok
bayangan putih itu. Tapi, pembicaraan mereka tidak
dapat berlanjut lagi, karena saat itu sepasang Mam-
bang Lembah Maut tengah melangkah menghampiri.
Serentak keempat orang pendekar itu saling berpencar,
dan siap melakukan pertarungan mati-matian!
"Sepasang Mambang Lembah Maut, apa kesa-
lahan kami sehingga kalian sampai tega berbuat keke-
jian ini? Sedangkan di antara kita belum pernah ada
urusan," tegur Ki Pangrawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu ingin
mendapat penjelasan atas segala tindakan tokoh sesat
yang telah lama mengasingkan diri itu.
"Hm.... Di antara kita memang tidak ada per-
musuhan, Pendekar Gelang Terbang. Tapi di antara go-
longan kita, memang tidak pernah sependapat. Aku
sengaja muncul untuk membasmi manusia-manusia
sombong yang menganggap sebagai seorang pendekar
berbudi. Entah sudah berapa banyak korban dari go-
longanku yang tewas, karena kalian ingin dianggap se-
bagai pembela kebenaran. Untuk alasan itulah, aku
akan menghancur-leburkan semua manusia sombong
yang selalu mengganggu golonganku. Dengan begitu,
barulah orang-orang golongan hitam dapat bergerak le-
luasa di dalam rimba persilatan ini," jelas salah seo-
rang dari pasangan Mambang Lembah Maut yang ber-
tubuh lebih tinggi dan berbadan tegap. Dia adalah
orang yang bernama Jonggala.
"Kau salah, Sepasang Mambang. Semua itu
kami lakukan sama sekali bukan karena ingin dipuji
atau dianggap sebagai pahlawan. Tapi, semua itu me-
mang sudah kewajiban untuk memberantas segala
bentuk kejahatan yang ada di bumi ini. Dan, kami ti-
dak perlu pendapatmu. Jangan dikira kami takut
menghadapi kalian berdua, meskipun dengan taruhan
nyawa. Bagi kami, lebih baik mati dalam membela ke-
benaran dan keadilan ketimbang berpangku tangan
menyaksikan kekejaman yang dilakukan orang-orang
golonganmu," timpal Ki Janiga.
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah melayat ke ak-
herat!" timpal Jonggali, orang termuda dari Sepasang
Mambang Lembah Maut
Setelah berkata demikian, kedua tokoh yang
mengiriskan itu segera melangkah menghampiri keem-
pat orang tokoh yang sudah merenggang dan siap
menghadapi pertarungan mati-matian.
"Yeaaa...!"
Dibarengi pekikan menggetarkan jantung, Se-
pasang Mambang Lembah Maut bergerak secara ber-
samaan. Tubuh mereka bagaikan terbang dan saling
bersilangan sehingga membingungkan Ki Pang-rawit
dan kawan-kawan.
Whuuut! Whuuut!
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut segera saja
melompat ke kanan menghindari cengkeraman jari-jari
sekeras baja lawan. Dari sambaran angin yang menci-
cit tajam, sadarlah kedua orang tokoh itu kalau kekua-
tan tenaga sakti lawan benar-benar telah mencapai ti-
tik kesempurnaan. Untuk itu, mereka harus menge-
rahkan seluruh kemampuan agar tidak sampai celaka
di tangan Sepasang Mambang Lembah Maut. Demikian
pula halnya Ki Pangrawit dan Rajawali Merah. Mereka
yang bertarung menghadapi orang tertua dari sepa-
sang mambang itu benar-benar harus bekerja keras
menyelamatkan selembar nyawa. Memang serangan-
serangan tokoh sesat itu benar-benar sangat cepat dan
menimbulkan sambaran angin tajam. Jangankan ter-
kena cakaran mautnya. Bahkan sambaran anginnya
saja rasanya sanggup menewaskan seorang tokoh yang
memiliki kepandaian tanggung. Dapat dibayangkan,
betapa berbahayanya serangan-serangan cakar maut
itu.
Ki Pangrawit yang dalam dunia persilatan diju-
luki Pendekar Gelang Terbang mempergunakan gelang-
gelang emasnya untuk membendung gempuran lawan.
Meskipun beberapa kali senjatanya dapat dipukul ba-
lik Jonggala, namun orang tua itu tetap gigih melaku-
kan perlawanan! Sehingga, pertarungan antara ketiga
orang tokoh itu benar-benar sangat seru dan mene-
gangkan!
Tapi ketika pertarungan menginjak jurus yang
kelima puluh, baik Ki Pangrawit maupun Rajawali Me-
rah terpaksa harus mengakui kehebatan ilmu lawan-
nya. Memang, pada jurus-jurus itu mereka mulai me-
rasakan tekanan berat lawannya! Bahkan Rajawali Me-
rah yang biasanya sangat gesit dan tidak pernah keha-
bisan tenaga, kali ini sudah benar-benar kepayahan.
Selain kepandaiannya yang memang berada di bawah
Ki Pangrawit, kepandaian lawannya pun telah mem-
buatnya tak berdaya.
"Haiiit...!"
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang
Lembah Maut rupanya memiliki mata yang sangat jeli.
Buktinya, dia lebih banyak mencecar Rajawali Merah
ketimbang Ki Pangrawit Sehingga pada jurus yang ke-
lima puluh lima. Rajawali Merah terpaksa harus men-
gakui keunggulan lawan. Sebuah lontaran telapak tan-
gan yang mengancam dadanya, tidak mampu lagi di-
hindari! Maka....
Whuuut... Buggg...!
"Huaaakh...!"
Hebat bukan main akibat hantaman telapak
tangan Jonggala. Bagaikan selembar daun kering yang
tertiup angin, tubuh Rajawali Merah terlempar hingga
tiga tombak lebih. Darah segar kontan berhamburan
membasahi tanah!
Brakkk!
Dinding bangunan utama Perguruan Gelang
Terbang langsung jebol ketika terlanda keras tubuh
Rajawali Merah, diiringi suara berderak ribut! Tubuh
Rajawali Merah terbanting jatuh di antara reruntuhan
dinding bangunan itu.
"Huaaakh...!"
Untuk yang kedua kalinya. Rajawali Merah
memuntahkan darah segar. Setelah meregang seben-
tar, tubuhnya pun tergolek lemah. Tewas!
"Biadab keji...!" maki Ki Pangrawit.
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu merasa
marah bukan kepalang menyaksikan kematian orang
yang membela perguruannya tanpa pamrih. Kenyataan
itu membuat Ki Pangrawit mengamuk tanpa mempe-
dulikan keselamatan dirinya lagi.
"Heaaat..!"
Ki Pangrawit yang berjuluk Pendekar Gelang
Terbang berteriak mengguntur sambil melepaskan sen-
jata andalannya disertai pengerahan seluruh sisa-sisa
tenaganya. Pada saat yang sama, tubuhnya bergerak
meluncur dengan serangan sepasang tangan yang
menggunakan jurus-jurus tangan kosong!
Sayang, meski serangan yang dilancarkan Ki
Pangrawit begitu hebat, namun lawan memang terlalu
kuat baginya. Dalam lima jurus saja, orang tua itu
kembali terdesak hebat. Sehingga, ia tidak mampu lagi
melontarkan serangan. Ki Pangrawit hanya bisa men-
gelak sambil sesekali menangkis. Meskipun demikian
itu masih membuatnya jatuh bangun. Karena, tenaga
dalam Jonggala masih jauh di atasnya.
"Haiiih...!"
Ki Pangrawit yang benar-benar sudah tidak
mempunyai daya untuk membalas serangan lawan, ja-
di tertegun dengan tubuh gemetar ketika Jonggala
mengeluarkan pekikan nyaring disertai pengerahan te-
naga dalam. Dan saat itu pula, cengkeraman lawannya
datang mengancam leher orang tua itu!
"Haiiit..!"
Pada saat yang sangat menentukan bagi mati
hidupnya Ketua Perguruan Gelang Terbang, tiba-tiba
terdengar pekikan lain yang tidak kalah dahsyatnya!
Berbarengan dengan itu, sesosok tubuh yang bersinar
putih keperakan disertai hawa dingin menusuk tulang,
melesat memapak serangan Jonggala! Akibatnya...!
Brrresh....'
"Aaah...?!"
"Haiiit..?!"
Seiring suara dentuman akibat pertemuan dua
gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat, terdengar
seruan-seruan terkejut dari mulut kedua sosok bayan-
gan yang tadi saling berbenturan! Bahkan tubuh satu
sama lain terdorong deras ke belakang.
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang
Lembah Maut cepat menguasai daya luncur tubuhnya
dengan melakukan salto beberapa kali di udara. Ke-
mudian, kakinya mendarat ke tanah meski dengan
kuda-kuda agak goyah! Tentu saja kenyataan itu san-
gat mengejutkan baginya!
Demikian pula halnya sosok tubuh yang terse-
limuti kabut putih keperakan itu. Sosok yang telah
menyelamatkan Ki Pangrawit itu juga dapat mengatasi
daya dorong akibat benturan dahsyat tadi. Dengan me-
lakukan tiga kali putaran menakjubkan, sosok tubuh
itu dapat mendarat indah dengan kuda-kuda kokoh
dan tidak tergoyahkan. Dari sini saja dapat dinilai, ka-
lau sosok bersinar putih keperakan itu masih lebih
kuat dibanding Jonggala.
Ki Pangrawit yang tidak menyangka kalau di-
rinya masih dapat selamat, menatap sosok yang terse-
limut lapisan kabut putih keperakan itu dengan sepa-
sang mata terbelelak. Tapi sebentar kemudian, wajah
orang tua itu telah langsung berseri gembira ke arah
penolongnya.
***
DELAPAN
Sementara itu di arena pertarungan, Ki Janiga
dan Pendekar Cakar Maut melawan Jonggali yang me-
rupakan orang termuda dari Sepasang Mambang Lem-
bah Maut, juga terjadi perubahan hebat.
Jonggali yang sudah berada di atas angin dan
siap menghabisi nyawa lawan-lawannya, tiba-tiba ter-
kejut ketika pukulan mautnya terpapak oleh sesosok
bayangan hijau. Benturan keras pun tak terhindarkan
lagi! Tapi dalam benturan dua gelombang tenaga dalam
yang amat kuat itu, Jonggali terlihat masih unggul.
Orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut
itu hanya terjajar mundur beberapa langkah, sedang-
kan sosok berpakaian hijau itu terpental dengan de-
rasnya. Untungnya, sosok bayangan hijau itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Sehingga, kedua
kakinya dapat mendarat dengan selamat.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut sama-sama
terkejut sekaligus juga kagum terhadap penolongnya
yang ternyata seorang gadis muda berparas jelita. Ka-
lau saja mereka tidak membuktikan sendiri, rasanya
belum tentu percaya kalau gadis muda jelita itu mam-
pu menahan gempuran dahsyat Jonggali.
Sedangkan sosok berpakaian hijau itu tampak
mengatur pernapasannya. Dari wajahnya yang nampak
agak pucat itu, nampaknya ia cukup menderita akibat
benturan tenaga dalam yang hebat tadi. Bahkan dari
sudut bibir indah itu, nampak cairan merah mengalir
turun.
Hadirnya dua penolong yang menyelamatkan
tokoh-tokoh persilatan itu dari kematian, membuat
Jonggala dan Jonggali bersatu kembali. Sepertinya,
mereka merasa kalau kehadiran kedua sosok bayan-
gan putih dan hijau itu patut diperhitungkan.
Demikian pula halnya sosok bayangan putih
dan hijau. Mereka pun bersatu dan berkumpul dengan
sisa dari tokoh persilatan itu. Sebab, Rajawali Merah
telah lebih dulu tewas di tangan Jonggala.
"Pendekar Naga Putih! Akhirnya kau datang ju-
ga memenuhi undanganku," kata Ki Pangrawit
"Benar, Ki. Maaf atas keterlambatanku," sahut
pemuda tampan berjubah putih yang ternyata Pende-
kar Naga Putih.
"Bagus!"
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat
para pendekar itu menolehkan wajah.
"Kehadiranmu memang sangat tepat sekali,
Pendekar Naga Putih. Dengan demikian, berarti aku ti-
dak perlu bersusah payah lagi mencarimu...," lanjut
Jonggala.
Rupanya dia masih juga menampakkan kesom-
bongannya. Padahal, sebenarnya hari kedua tokoh se-
sat itu agak bergetar atas kemunculan Pendekar Naga
Putih yang tidak disangka-sangka. Tapi, Sepasang
Mambang Lembah Maut tidak mau menunjukkan rasa
terkejutnya di hadapan lawan-lawannya.
"Hm..., Sepasang Mambang Lembah Maut..,"
sebut Panji yang segera mengenali sepasang tokoh se-
sat itu dari topeng tengkorak yang dikenakan, "Ru-
panya, kaulah yang menjadi biang keladi dari semua
kejahatan-kejahatan yang kudengar baru-baru ini. Apa
sebenarnya yang kau inginkan, hingga begitu tega me-
lakukan perbuatan-perbuatan tercela. Bahkan meng-
ganggu acara Ki Pangrawit?!"
"Hua ha ha….!"
Tawa Sepasang Mambang Lembah Maut ter-
dengar berderai panjang. Jelas, mereka merasa kalau
ucapan Pendekar Naga Putih merupakan sesuatu yang
lucu. Sehingga, Ki Pangrawit dan kawan-kawannya
mengerutkan kening tak senang.
"Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau bersiap-
lah melihat alam akhirat'" bentak Jonggala.
Dengan penuh keyakinan kalau mampu mena-
matkan petualangan Pendekar Naga Putih, Jonggala
berkacak pinggang. Meskipun tahu pihak lawan lebih
banyak, tapi Jonggala mengerti orang-orang golongan
putih tidak akan melakukan pengeroyokan, kalau ti-
dak terpaksa. Itulah sebabnya, mengapa Sepasang
Mambang Lembah Maut tidak merasa gentar.
"Hm.... Harap kalian semua menyingkir. Menu-
rut penilaianku, kedua orang tokoh sesat ini sangat
berbahaya. Bahkan mungkin mereka belum mengelua-
rkan semua kesaktian pada pertempuran tadi," ujar
Panji dengan suara tetap tenang, tanpa kesan som-
bong.
"Tapi, Kakang Tidakkah terlalu berbahaya bila
kau menghadapi mereka seorang diri...?" bisik Kenan
ga agak khawatir.
Memang gadis itu tadi sudah merasakan betapa
kepandaian yang dimilikinya masih beberapa tingkat di
bawah salah seorang tokoh sesat itu. Tentu saja pen-
galaman itu membuatnya merasa khawatir akan kese-
lamatan kekasihnya.
"Berdoalah. Mudah-mudahan, aku bisa menga-
tasi mereka...," sahut Panji, tidak ingin takabur.
"Baiklah, Kakang. Hati-hatilah...," bisik Kenan-
ga, dan segera menepi berkumpul bersama Ki Pangra-
wit dan kedua orang pendekar lainnya.
"Hua ha ha.... Pendekar Naga Putih. Ingatlah!
Kami selalu tampil berpasangan. Rasanya, tidak adil
kalau kau maju seorang diri untuk menghadapi kami
berdua. Sebaiknya, ajaklah salah seorang kawanmu
agar pertandingan terlihat lebih adil...," pancing Jong-
gali, orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah
Maut.
"Hm.... Tidak perlu kau mengutarakan apa yang
sebenarnya tidak kau inginkan, Kisanak. Sebaiknya,
kalian bersiaplah. Dan jangan terlalu mengumbar
omong kosong...," tukas Pendekar Naga Putih, memu-
kul balik ucapan lawannya. Sehingga, tokoh itu terli-
hat agak kaget mendengar jawaban yang seperti mene-
lanjangi mereka.
"Hm...." Jonggali, orang termuda dari Sepasang
Mambang Lembah Maut menggeram gusar. Rupanya ia
merasa marah mendengar ucapan balik pemuda itu.
Panji bergegas menggeser langkahnya ke kiri
ketika melihat kedua orang lawannya mulai bergerak
maju. Meskipun Sepasang Mambang Lembah Maut
bergerak maju dengan siasat licik dan berganti-ganti,
tapi Pendekar Naga Putih tetap tenang Ditatapnya ge-
rak-gerik lawannya dengan sinar mata mencorong tajam. Pendekar Naga Putih siap menanti lawan membu-
ka serangan terlebih dulu.
***
"Yeaaat..!"
Salah satu dari Sepasang Mambang yang bera-
da paling depan, berseru nyaring disertai luncuran tu-
buhnya yang bergulingan bagaikan seekor trenggiling.
Seiring dengan itu, Jonggali yang berada di belakang
melenting ke udara, tanpa mengeluarkan teriakan se-
dikit pun. Jelas, siasat itu digunakan untuk memecah
perhatian lawan.
Meskipun begitu, Pendekar Naga Putih tetap
tenang dan menanti datangnya serangan lawan. Pe-
muda itu sama sekali tidak terpengaruh gerakan Jong-
gala yang bergulingan di tanah dalam serangan pem-
bukaan itu.
"Yiaaah...!"
Jonggali yang melancarkan serangan dari atas,
terlihat mulai mengulurkan cengkeraman-cengkeram-
an mautnya diiringi suara mencicit tajam! Jelas tokoh
sesat itu telah mengerahkan tenaga dalamnya yang
tinggi dalam serangan pertamanya.
Tapi sebelum serangan Jonggali tiba, mendadak
saja Jonggala yang semula tengah bergulingan mende-
kat melenting ke udara. Langsung dilontarkan cengke-
ramannya ke arah leher dan dada Pendekar Naga Pu-
tih. Sedangkan Jonggali telah meluncur turun sambil
melontarkan tendangan-tendangan maut susul me-
nyusul!
Panji yang telah mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' dan 'Jurus Naga Sakti' nya, bergerak
menghindar sambil melontarkan serangan balasan
yang tidak kalah berbahaya. Tubuh pemuda tampan
berjubah putih itu berkelebat bagaikan seekor naga
sakti yang tengah meliuk-liuk indahnya. Sesekali,
sambaran cakar naganya mencicit mengancam tubuh
kedua orang lawannya. Jelas, seluruh kekuatan tenaga
saktinya telah dikerahkan untuk menghadapi gempu-
ran Sepasang Mambang Lembah Maut'
"Hyaaat..!"
Bettt! Bettt!
Jonggala yang menjadi sasaran cengkeraman
cakar naga lawan, bergerak ke kiri. Langsung dilontar-
kannya sebuah tendangan kilat yang mengejutkan.
Sepertinya, dalam soal kecepatan dan ilmu meringan-
kan tubuh, kedua tokoh sesat itu memang tidak bera-
da di bawah lawannya. Hal itu pun dapat dirasakan
Pendekar Naga Putih. Sehingga, pemuda tampan itu
sempat terkagum-kagum di buatnya!
Plakkk!
"Uuuh...!"
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang
Mengeluh perlahan ketika tendangannya dapat ditepis
telapak tangan Pendekar Naga Putih. Karuan saja tu-
buh tokoh sesat itu tergetar mundur, hampir sejauh
satu tombak. Itu menandakan kalau dalam hal tenaga
sakti, Jonggala masih kalah.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak
tergoyah dalam menangkis tendangan lawannya. Bah-
kan pemuda itu kini terlihat bergerak mendesak Jong-
gali. Karuan saja tokoh sesat itu kelabakan mengha-
dapi gempuran Pendekar Naga Putih yang datang ba-
gaikan gelombang badai salju itu.
Untungnya dalam keadaan terdesak, Jonggala
telah masuk kembali dalam arena pertarungan Se-
hingga, Jonggali dapat menarik napas lega, karena ter-
bebas tekanan lawan. Kenyataan itu membuat Jonggali
sadar kalau kesaktiannya ternyata masih di bawah
Pendekar Naga Putih.
"Kreeegh...!"
Pada saat pertarungan menginjak jurus kesera-
tus dua puluh, tiba-tiba saja Panji melenting ke udara
disertai pekikan 'Naga Marah'nya. Hembusan angin
dingin bertiup semakin kuat, mengiringi putaran sepa-
sang tangan Pendekar Naga Putih yang disertai penda-
ran cahaya putih keperakan. Karuan saja jurus pa-
mungkas pendekar muda itu mengejutkan kedua
orang lawannya!
Whuuut... Desss....'
"Aaakh...?!"
Jonggali memekik kesakitan ketika sebuah
hantaman telapak tangan yang berkecepatan tinggi,
tahu-tahu saja telah menggedor dada kirinya! Darah
segar langsung menyembur diiringi terlemparnya tu-
buh orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah
Maut itu.
Demikian pula halnya Jonggala. Orang tertua
dari Sepasang Mambang itu pun mendapat bagian
yang sama. Sebuah sambaran cakar Pendekar Naga
Putih, membuat tubuh tokoh sesat itu melintir bagai-
kan kitiran! Darah segar segera saja membasahi pa-
kaiannya yang putih. Karena, luka cakaran Panji cu-
kup dalam pada bagian bahunya.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan itu
selekas mungkin, segera saja memburu lawan-
lawannya dengan cengkeraman-cengkeraman maut!
Namun dengan sisa-sisa tenaganya, kedua orang tokoh
sesat itu dapat menyelamatkan dirinya dengan lompa-
tan jauh ke belakang.
Begitu terbebas dari kejaran serangan maut la-
wan. Sepasang Mambang Lembah Maut langsung menjatuhkan tubuh di atas tanah secara bersamaan. Ke-
duanya duduk bersila sebelah menyebelah, dengan sa-
lah satu telapak tangan bersatu. Hal itu dilakukan se-
telah meletakkan senjatanya yang berbentuk clurit di
depan mereka.
Panji tersentak mundur ketika merasakan
adanya gelombang tenaga aneh yang menolak tubuh-
nya ke belakang. Keterkejutannya semakin menjadi
tatkala melihat sepasang senjata berbentuk clurit itu
bergerak naik seperti bernyawa. Sadarlah Panji kalau
dua lawan telah menggunakan ilmu yang mengguna-
kan tenaga batin.
"Ilmu 'Golok Terbang Perenggut Sukma'...?!" de-
sis Pendekar Naga Putih ketika dapat mengenali ilmu
yang kini digunakan Sepasang Mambang Lembah
Maut untuk menghadapinya.
Ternyata, bukan hanya Pendekar Naga Putih
saja yang merasa terkejut dengan ilmu lawannya. Bah-
kan Kenanga, Ki Pangrawit, Ki Janiga dan Pendekar
Cakar Maut sampai terbelalak kagum menyaksikan il-
mu yang tengah dipergunakan Sepasang Mambang
Lembah Maut.
Diam-diam, para tokoh persilatan itu merasa
bersyukur kalau di pihak mereka ada Pendekar Naga
Putih. Kalau tidak, sulit dibayangkan, bagaimana ca-
ranya menghadapi ilmu aneh itu. Kini, mereka hanya
tinggal menunggu, bagaimana Pendekar Naga Putih
menghadapi ilmu Sepasang Mambang Lembah Maut.
Di antara keempat orang itu, hanya Kenanga
saja yang tidak merasa tegang. Memang, gadis jelita itu
tahu kalau kekasihnya juga memiliki sebuah ilmu yang
menggunakan tenaga batin. Bahkan Kenanga percaya
kalau ilmu kekasihnya masih jauh lebih hebat ketim-
bang ilmu Sepasang Mambang Lembah Maut
Dugaan Kenanga ternyata tidak meleset Jauh.
Panji yang melihat sepasang senjata berbentuk bulan
sabit itu mulai meluncur ke arah dirinya, segera saja
memusatkan pikirannya. Sebentar kemudian, tercipta-
lah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning
keemasan. Itulah Pedang Naga Langit yang selama ini
tersimpan di dalam tubuh pemuda itu, dan berubah
menjadi suatu kekuatan yang dahsyat.
Panji membuka kedua matanya setelah mera-
sakan adanya sebatang pedang dalam genggaman.
Langsung saja Pedang Naga Langit itu dilemparkan ke
udara.
Pedang Pusaka Naga Langit mengapung sejenak
sebelum berputar, dan meluncur memapak datangnya
sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu, yang ten-
gah mengancam Pendekar Naga Putih. Terjadilah sua-
tu peristiwa aneh yang sulit ditangkap akal sehat.
Tampak, ketiga batang senjata itu saling berusaha me-
nekan, dalam usaha membantu majikan masing-
masing.
Sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu be-
rusaha mengapit pedang Pendekar Naga Putih dari lari
kanan Terdengar suara mengaung tajam ketika senja-
ta-senjata itu bergerak dengan kecepatan tinggi untuk
meruntuhkan pedang Pendekar Naga Putih. Sayang-
nya, pedang milik Panji lebih hidup daripada senjata
lawan-lawannya. Sehingga dalam waktu yang tidak ter-
lalu lama, sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu
dapat didesak Pendekar Naga Putih. Kemudian, senja-
ta-senjata itu terpental kembali ke arah majikan mas-
ing-masing!
Sepasang Mambang Lembah Maut yang meme-
jamkan mata tampak telah dibanjiri peluh. Pada tubuh
mereka Bahkan pada saat sepasang senjata mereka
dipukul balik oleh pedang lawan, terlihat tubuh Sepa-
sang Mambang Lembah Lembah Maut terjungkal ke
belakang. Dan sebelum keduanya sempat menyadari
hal yang dianggap mustahil itu, sepasang senjata bu-
lan sabit mereka telah meluncur deras. Bahkan lang-
sung menembus jantung kedua tokoh sesat itu!
"Ughhh...!"
Terdengar jerit kematian yang susul-menyusul
dari mulut kedua tokoh sesat mengiriskan itu. Darah
segar kontan mengucur keluar dari luka akibat senjata
makan tuan. Sebentar kemudian, putuslah nyawa Se-
pasang Lembah Maut karena termakan senjatanya
sendiri.
Pendekar Naga Putih kembali memerintahkan
pedangnya melalui tenaga batin agar segera kembali.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja Pedang Na-
ga Langit telah kembali ke dalam genggaman Panji ke-
mudian lenyap tanpa bekas. Memang, Panji telah me-
nyatukan pedang itu kembali ke dalam tubuhnya.
Sementara itu, pertarungan lain pun telah pula
usai. Dua dari Tiga Brewok Hutan Larang telah berha-
sil dilenyapkan Subadra dan Kandira Sehingga, selu-
ruh murid termasuk Ketua Perguruan Gelang terbang
merasa lega. Mereka bersorak menyambut kemenan-
gan Pendekar Naga Putih yang kembali mengukir na-
manya di dalam hati tokoh-tokoh persilatan.
"Pendekar Naga Putih! Aku benar-benar merasa
berhutang kepadamu. Entah, bagaimana aku harus
membalas hutang budi ini..." ucap Ki Pangrawit yang
langsung memeluk tubuh pendekar muda itu sebagai
tanda terima kasihnya.
'Tidak perlu dibesar-besarkan, Ki Kita semua
sama-sama mengetahui kalau apa yang kulakukan
hanyalah suatu kewajiban belaka. Jadi, janganlah Ki
Pangrawit merasa berhutang budi," sergah Panji diser-
tai senyum di wajah tampannya.
"Hm.... Sebagai tanda syukur dan terima kasih
pada tamu kita Pendekar Naga Putih, marilah kita
mengadakan pesta," ujar Ki Pangrawit di hadapan sa-
habat dan murid-muridnya.
Panji dan Kenanga hanya bisa tersenyum sam-
bil menggeleng-gelengkan kepala. Karena bila menolak,
mereka takut menyinggung perasaan Ki Pangrawit dan
yang lain.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga hanya bisa
pasrah ketika mereka digiring memasuki bangunan
utama Perguruan Gelang Terbang, diiringi sorak-sorai
murid-murid Ki Pangrawit.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar