..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE SEPASANG MAMBANG LEMBAH MAUT

Sepasang Mambang Lembah Maut

 

SEPASANG MAMBANG 
LEMBAH MAUT
T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Sepasang Mambang Lembah Maut 
128 hal:12 x l8 cm


SATU

Pagi mulai datang mengusir kegelapan. Semilir 
angin lembut mengusap pucuk-pucuk dedaunan, dan 
menghempaskan butir-butir embun yang melekat di 
atasnya. Kicau burung-burung terdengar ramai me-
nyemarakkan suasana pagi yang indah ini.
Sayang, suasana pagi di Gunung Larang mulai 
terganggu teriakan-teriakan nyaring yang berganti-
ganti. Demikian hebatnya teriakan yang susul-
menyusul itu, hingga beberapa ekor burung yang kebe-
tulan tidak jauh dari sumber suara, langsung jatuh. 
Bahkan langsung tewas seketika! Dari kejadian itu saja 
sudah dapat diukur, betapa mengerikannya tenaga 
sakti yang tersalur melalui teriakan-teriakan keras itu.
Suara teriakan-teriakan dan bentakan yang 
terkadang nyaring melengking tinggi itu, sesekali beru-
bah parau bagaikan raungan binatang buas yang ten-
gah murka. Jangankan manusia. Rasanya binatang 
buas sekalipun pasti akan terbirit-birit apabila men-
dengar teriakan parau yang terasa hendak mencopot 
jantung itu!
Ternyata, bukan hanya bentakan-bentakan itu
saja yang mengerikan. Bahkan tempat asal teriakan-
teriakan itupun merupakan sebuah tempat yang di-
anggap keramat. Bahkan sangat ditakuti, baik oleh 
penduduk desa sekitar, maupun kaum rimba persila-
tan!
Lembah Maut! Itulah nama tempat suara-suara 
teriakan dan bentakan dahsyat tadi berasal. Lembah 
itu terletak di sebelah Utara Gunung Larang. Selain 
agak tersembunyi dan menjorok ke dalam, lembah itu 
pun tidak pernah lepas dari lapisan kabut. Tidak peduli siang panas terik, kabut tebal selalu saja melapi-
sinya.
Nama Lembah Maut bukan sekadar julukan be-
laka. Nama itu diberikan karena selain tempatnya san-
gat tersembunyi dan selalu dilapisi kabut tebal, juga 
terdapat jurang-jurang yang menganga lebar, dan pe-
rangkap-perangkap alam yang bisa mendatangkan 
kematian Tidak sedikit korban yang tertelan jurang-
jurang yang disamarkan oleh lapisan kabut. Sehingga, 
orang menamakan tempat Itu sebagai Lembah Maut!
Lembah yang terletak di lereng sebelah Utara 
Gunung Larang itu ternyata tidak ditakuti semua 
orang. Para penduduk desa sekitar kaki gunung itu 
tahu kalau Lembah Maut juga dihuni dua orang aneh 
berwajah mengerikan! Meski jarang menampakkan di-
ri, namun penduduk desa sekitar tahu kalau kedua 
orang aneh itulah yang menjadi Penguasa Lembah 
Maut!
Bagi tokoh-tokoh persilatan sendiri, kedua 
penghuni lembah itu telah sangat dikenal. Mereka 
memberi sebuah julukan yang tidak kalah mengerikan 
dengan lembah itu sendiri. Kesaktian yang mengi-
riskan, dan wajah yang membuat orang terbirit-birit 
ketakutan, membuat kaum persilatan memberikan ju-
lukan Sepasang Mambang kepada kedua orang tokoh 
itu. Kemudian julukan itu dikaitkan dengan nama 
tempat yang dihuninya. Sehingga dalam dunia persila-
tan, bergaunglah sebuah julukan yang menggetarkan! 
Sepasang Mambang Lembah Maut!
Dari kedua orang tokoh itulah bentakan dan te-
riakan dahsyat berasal. Tokoh mengiriskan yang tidak 
diketahui asal-usulnya itu, seperti biasa selalu melatih 
ilmu-ilmu setiap hari. Itulah sebabnya, mengapa sepa-
gi itu di Lembah Maut sudah bergaung teriakan dan

bentakan menggelegar! 
"Haiiit..!" 
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar te-
riakan nyaring menggetarkan jantung! Sesosok tubuh 
ramping tampak berkelebatan cepat, bagaikan tidak 
menyentuh permukaan tanah! Kemudian dengan in-
dahnya, sosok tubuh itu mulai memainkan jurus-jurus 
maut! Sambaran tangan dan kakinya selalu dibarengi 
deru angin mencicil dalam setiap lontaran. Hal itu me-
nandakan kalau sosok ramping itu jelas memiliki ke-
kuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, dan jarang
tandingannya 
"Yiaaah...!"
Sosok tubuh yang wajahnya tersembunyi di ba-
lik topeng tengkorak itu menutup gerakannya dengan 
sebuah pekikan halus, namun menyakitkan telinga. 
Saat itu juga, tubuhnya melenting ke udara. Kemu-
dian, kakinya mendarat manis di atas rentangan tali 
setelah berputaran beberapa kali. Gerakan yang demi-
kian ringan dan indah itu jelas menandakan kalau so-
sok ramping itu memiliki ilmu meringankan tubuh 
yang luar biasa!
Apabila orang menyaksikan apa yang dilakukan 
sosok tubuh itu, tentu akan terbeliak dengan wajah 
pucat! Sebab, sosok itu enak saja memainkan jurus-
jurus silatnya di atas rentangan tali yang di bawahnya 
menganga jurang tak berdasar. Bukan main! Jelas se-
kali bahwa tokoh penghuni Lembah Maut itu tengah 
melatih ilmu meringankan tubuhnya di atas rentangan 
tali sebesar ibu jari itu 
"Bagus... bagus..."
Terdengar seruan memuji yang diiringi tepuk 
tangan Seseorang tengah berdiri sambil menatap ke 
arah sosok ramping yang bagaikan tengah menari-nari

di atas rentangan tali-tali itu. Raut wajahnya juga ter-
lindung sebuah topeng tengkorak yang mengerikan. 
Jelas, mereka itulah yang dijuluki sebagai Sepasang
Mambang Lembah Maut.
Setelah cukup lama berada di atas rentangan 
tali, sosok raping itu pun kembali berseru menutup 
permainannya. Tubuhnya melenting, dan berputar be-
berapa kali. Kemudian, dia mendarat di samping sosok 
yang bertubuh agak gemuk. Kilatan cahaya sepasang 
mata orang yang bertubuh gemuk, jelas menggambar-
kan kepuasan hati.
"Hm.... Kini kita hanya tinggal menyempurna-
kan satu ilmu lagi. Setelah itu, dunia persilatan akan 
gempar! Mereka yang mengaku sebagai pendekar, ha-
rus tahu siapa sebenarnya Mambang Lembah Maut!" 
kata sosok bertubuh gemuk dan jangkung, berkata 
sambil mengepalkan tinjunya Hingga, terdengarlah su-
ara tulang-tulang yang berkerotokan.
"Benar. Tapi karena musuh kita yang lain telah 
tewas, maka hanya satu yang kini harus dilenyapkan. 
Apalagi, orang itu merupakan penghalang besar bagi 
kita...," sosok yang bertubuh lebih kecil menyahuti, 
dengan nada geram.
Tampaknya, Sepasang Mambang Lembah Maut 
menyimpan dendam yang dalam. Semua itu terbukti 
dari ucapan-ucapan mereka!
"Hm...,"gumam sosok yang bertubuh lebih te-
gap, sambil menengadahkan wajah menatap langit ce-
rah. Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu tam-
pak menerawang ke masa lalunya. Sesekali, terdengar 
helaan napasnya yang berat dan panjang.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Kakang Jongga-
la?" tanya sosok yang lebih ramping, menatap orang 
yang dipanggil Jonggala.
"Sayang, Resi Begawa yang berjuluk si Cambuk 
Hujan dan Badai telah tewas, Jonggala. Jadi, kekala-
han kita pada beberapa tahun lewat, tidak bisa terba-
las. Kalau saja masih hidup, mungkin ia orang perta-
ma bagi percobaan kita...," desah Jonggala sesaat ke-
mudian, wajahnya berpaling kepada kembarannya 
yang ternyata bernama Jonggali
"Yahhh..., hanya orang tua itulah yang dulu 
pernah merasakan 'Ilmu Golok Terbang Perenggut 
Sukma'. Dan, dia pulalah yang bisa menilai kemajuan 
ilmu itu. Sayang, keinginan kita tidak bisa terlaksa-
na...," sesal Jonggali, orang kedua dari Sepasang 
Mambang Lembah Maut Memang musuh mereka yang 
bernama Resi Begawa telah tewas. Sehingga, mereka 
benar-benar menyesalinya. Sebab, tokoh itulah yang 
menjadi musuh bebuyutan mereka (Untuk lebih jelas-
nya, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: 
"Penghuni Rimba Gerantang").
"Sudahlah! Lupakan tentang tua bangka itu, 
Jonggali. Sebaiknya kita segera menyempurnakan ilmu 
"Golok Terbang Perenggut Sukma' yang hanya tinggal 
menyempurnakannya saja. Setelah itu, baru kita ting-
galkan Lembah Maut untuk memberi pelajaran kepada 
orang-orang yang menamakan dirinya pendekar persi-
latan...," ujar Jonggala yang segera beranjak mening-
galkan bibir jurang. Sehingga, Jonggali pun mau tidak 
mau harus mengikutinya.
Tidak berapa lama kemudian, kembali terden-
gar bentakan-bentakan keras yang diselingi deru na-
pas bagai kuda pacu. Jelas, Sepasang Mambang Lem-
bah Maut tengah melatih ilmu-ilmu tingkat tingginya.
***
Desiran angin bertiup silir-silir lembut mengi-
ringi langkah kaki tiga orang laki-laki tegap. Suara ge-
merincing terdengar mengiringi ayunan langkah mere-
ka, yang berasal dari gelang-gelang baja putih di kedua 
tangan mereka. Menilik dari beratnya gelang-gelang 
baja putih di tangan ketiga orang lelaki itu, jelas kalau 
mereka adalah tokoh-tokoh persilatan.
Dugaan itu memang beralasan. Ketiga orang le-
laki gagah itu adalah murid-murid Perguruan Gelang 
Terbang yang sudah cukup terkenal di kalangan rimba 
persilatan. Bahkan mereka juga merupakan tokoh-
tokoh yang cukup penting dalam perguruan. Semua 
itu dapat diketahui dari adanya gelang-gelang baja pu-
tih di tangan mereka. Makin sedikit jumlah gelang baja 
di tangan murid-murid Perguruan Gelang Terbang, 
makin tinggilah kepandaian yang dimiliki. Hanya saja 
meskipun jumlah gelang itu lebih sedikit, tapi beban-
nya jauh lebih berat. Itulah ciri-ciri yang telah tersebar 
di kalangan persilatan.
"Hanya tinggal sebuah undangan lagi yang ter-
sisa, Karpala, Ratmala. Setelah itu, kita harus segera 
kembali sebagaimana pesan guru...," kata salah seo-
rang dari ketiga lelaki itu.
Melihat dari jumlah gelang baja yang sembilan 
di tangannya, jelas kalau lelaki gagah berkumis tipis 
itu merupakan tokoh tingkat tiga. Demikian pula ke-
dua kawannya yang dipanggil Karpala dan Ratmala. 
Masing-masing dari mereka mengenakan sembilan ge-
lang baja pada kedua lengannya.
"Benar. Kalau tidak salah, hanya tinggal Pende-
kar Cakar Maut sajalah yang tersisa. Setelah itu, maka 
selesailah tugas kita...," timpal orang yang terlihat pal-
ing muda, yang bernama Karpala. Pada sepasang ma-
tanya tampak tersirat kelegaan, karena tugas yang di

bebankan kepada mereka dapat dilaksanakan dengan 
baik.
"Ssst...!"
Tiba-tiba saja lelaki berkumis tipis yang 
usianya jauh lebih tua ketimbang dua temannya, 
memberi isyarat sambil meletakkan jari telunjuk di bi-
bir. Keningnya berkerut seolah-olah hendak memperta-
jam pendengarannya.
"Ada apa, Kakang Sentana...?" tanya Ratmala, 
lelaki gemuk yang tulang pipinya menonjol. Dia berbi-
sik lirih di telinga kawannya, sehingga suaranya ham-
pir tak terdengar.
Meski demikian, wajah Ratmala tampak tenang. 
Memang, la sama sekali tidak mengetahui apa maksud 
tingkah laku aneh saudara seperguruannya yang ber-
nama Sentana. Jelas, hal itu membuatnya penasaran!
"Hati-hatilah...! Entah mengapa, dadaku tiba-
tiba berdebar tanpa sebab. Dan..., sepertinya aku 
mendengar langkah kaki berat. Tapi..., sekarang le-
nyap begitu saja...," lelaki berkumis tipis yang bernama 
Sentana itu menjawab, juga dengan nada berbisik. Na-
pasnya terdengar agak memburu, karena hatinya me-
mang tengah dilanda ketegangan.
"Kakang, lihat...'"
Belum lagi Sentana dan Ratmala sempat bertu-
kar pendapat, tiba-tiba terdengar teriakan Karpala. 
Cepat mereka menoleh ke arah yang ditunjuk lelaki 
kurus bermuka hitam itu.
"Hm.... Siapa mereka...? Apa maksudnya meng-
hadang di tengah jalan? Hati-hatilah. Mungkin mereka 
memang sengaja hendak membegal kita...," desis Sen-
tana, mengingatkan kedua orang saudara sepergu-
ruannya agar berhati-hati. Dia sendiri sudah meraba 
gagang pedangnya, sambil melangkah maju

Semula, baik Sentana maupun Karpala dan 
Ratmala, sama sekali tidak merasa gentar dengan ke-
dua orang penghadang itu Namun keberanian dan se-
mangat mereka langsung terbang seketika, saat men-
genali kedua orang berpakaian putih itu. Setelah jarak 
di antara mereka semakin dekat, nyatalah kalau kedua 
penghadang itu mengenakan topeng tengkorak!
"Sepasang Mambang Lembah Maut..?!"
Sentana dan dua orang saudara seperguruan-
nya langsung melompat mundur dengan wajah pias! 
Hampir mereka tidak percaya dengan apa yang dilihat 
mereka. Masalahnya, selain kedua orang tokoh sesat 
itu tidak pernah terdengar lagi dalam kancah rimba 
persilatan, tempat mereka dihadang sekarang pun cu-
kup jauh terpisah dari Gunung Larang. Jadi, wajar sa-
ja kalau Sentana, Karpala Dan Ratmala terkejut seten-
gah mati.
"Mau apa kalian...?! Mengapa menghadang per-
jalanan kami?" sentak Santana coba memberanikan di-
ri
Wajah laki-laki berkumis tipis itu tampak de-
mikian tegang! Bahkan sepasang tangannya tampak 
telah dialiri tenaga dalam, dan siap melepaskan ge-
lang-gelang bajanya. Wajar saja, karena untuk meng-
hadapi lawan-lawan berat, senjata andalannyalah yang 
harus dipergunakan.
"Hm.... Kudengar Perguruan Gelang Terbang 
hendak merayakan hari ulang tahunnya. Lalu, menga-
pa kami berdua tidak diundang?" kata sosok yang le-
bih tegap Suaranya berat dan dalam, tanpa mempedu-
likan pertanyaan Sentana.
Jelas Sepasang Mambang Lembah Maut me-
mang tidak memandang sebelah mata pun kepada mu-
rid-murid tingkat tiga Perguruan Gelang Terbang Tentu

saja hal itu tidak aneh. Selain merupakan tokoh pun-
cak golongan sesat. Sepasang Mambang Lembah Maut 
memang memiliki watak yang angkuh, dan tidak per-
nah sudi menghormati orang lain.
"Jangan tanya kepada kami. Aku dan dua orang 
saudaraku ini hanya melaksanakan tugas beliau. Soal 
diundang atau tidaknya kalian, aku sama sekali tidak 
tahu menahu. Maka, harap menyingkirlah. Beri kami 
jalan...." Sentana mencoba membela diri dan sebisa
mungkin menghindari bentrokan dengan sepasang to-
koh maut itu.
"Hm..., kalian hendak pergi ke manakah...?" 
kali ini sosok yang lebih langsing dan bernama Jongga-
li yang bertanya.
Suara Jonggali terdengar lebih lunak dan nyar-
ing, dan lebih tepat dimiliki seorang perempuan. 
Sayangnya dalam soal kekejaman, Jonggali sama seka-
li tidak kalah oleh kembarannya. Bahkan terkadang 
tindakan dan tingkahnya jauh lebih kejam dan berin-
gas daripada Jonggala.
"Kami hendak mengantarkan undangan kepada
Pendekar Cakar Maut. Maka, harap kalian memberi ja-
lan. Undangan ini penting sekali. Dan kalau Pendekar 
Cakar Maut sampai mendengar adanya orang yang 
menghalangi perjalanan kami, tentu dia tidak akan 
tinggal diam. Dengan demikian, berarti kesulitan akan 
menimpa kalian...," Sentana mencoba menggunakan 
nama tokoh yang tercantum dalam surat undangan-
nya. Tentu saja, lelaki berkumis tipis itu hanya seka-
dar menggertak agar tidak sampai diganggu oleh kedua 
tokoh dari Lembah Maut itu.
Sayang, ucapan Sentana sama sekali tidak di-
gubris Jonggala dan Jonggali. Kedua tokoh sesat itu 
bahkan tertawa bergelak gelak mendengar ancaman

Sentana.
"Hua ha ha....'"
Jonggala sampai memegangi perutnya yang te-
rasa sakit mendengar ancaman itu. Jelas, gertakan 
Sentana lebih merupakan sesuatu yang lucu, ketim-
bang sebuah ancaman. Memang begitulah anggapan 
bagi Sepasang Mambang Lembah Maut.
"Mana surat undangan itu! Berikan padaku...,"
Sesaat setelah gema tawa mereka lenyap, Jonggala 
mengulurkan tangannya merenggut tubuh Sentana. 
Tapi, lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh lima tahun 
itu tentu tidak tinggal diam. Cepat Sentana melompat 
panjang ke belakang, sehingga cengkeraman Jonggala 
luput!
Tapi, apa yang kemudian terjadi benar-benar 
membuat Sentana pucat! Ternyata cengkeraman orang 
tertua dari Sepasang Mambang Lembah Maut itu ma-
sih terus mengejarnya! Tentu saja kenyataan itu mem-
buat Sentana kelabakan!
"Gila...?!" umpat Sentana melihat lengan lawan 
terus memanjang mengincar tubuhnya. Seolah-olah 
lengan Jonggala bertambah panjang beberapa jengkal! 
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi gugup!
Untunglah pada saat yang gawat bagi kesela-
matan Sentana, Karpala dan Ratmala bertindak cepat 
Terdengar suara gemerincing saat keduanya melolos 
gelang-gelang baja dari tangan masing-masing. Lalu, 
mereka melepaskannya dengan pengerahan tenaga da-
lam yang mereka miliki!
Ziiing! Ziiing!
Empat buah gelang baja berbentuk pipih mele-
sat diiringi suara berdesing tajam! Senjata-senjata ber-
bentuk gelang itu memang tidak bisa dipandang re-
meh! Karena selain dapat merenggut nyawa lawan dari

jarak jauh, gelang itu pun dapat berputar kembali ke 
arah tuannya. Itulah keistimewaan 'Ilmu Gelang Ter-
bang" yang sudah terkenal di kalangan rimba persila-
tan.
Jonggala mendengus kasar dengan nada mere-
mehkan. Empat buah gelang baja yang mengincar tu-
buh dan sikunya, memang berhasil menyelamatkan 
nyawa Sentana. Tapi untuk itu, kedua adik sepergu-
ruan Sentana harus membayar dengan mahal! Buk-
tinya, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, 
Jonggala memutar lengannya. Langsung dikibasnya 
keempat senjata itu sehingga berbalik arah.
"Hiaaah...!"
Hebat sekali akibat kibasan lengan yang terlihat 
sembarangan itu! Setelah mengapung bagai ditahan 
tangan-tangan yang tak tampak, gelang-gelang baja itu 
berbalik melesat dengan kecepatan dan kekuatan ber-
lipat ganda!
Crabbb! Crabbb!
"Arghhh...!"
"Akhhh...!"
Dalam waktu yang tidak lebih dari sekejap ma-
ta, gelang-gelang baja itu telah menembus leher Rat-
mala dan Karpala. Mereka ambruk ke tanah. Setelah 
meregang nyawa sesaat, mereka langsung tewas. Me-
mang, gelang-gelang baja itu telah menembus leher 
mereka lebih dari separuhnya!
"Bangsat keji...!" maki Sentana kalap.
Tampak kedua orang saudara seperguruannya 
telah roboh mandi darah! Dengan kemarahan yang me-
luap-luap, empat buah gelang bajanya diloloskan dari 
tangannya dan langsung dilepaskan disertai bentakan 
keras!
Lagi-lagi Jonggala hanya mendengus kasar! Cepat bagai kilat, tangannya berkelebat Maka tahu-tahu 
saja, empat buah gelang baja itu telah dapat ditang-
kapnya! Karuan saja tindakan lawan yang boleh dibi-
lang mustahil itu membuat Sentana terpaku dengan 
mata terbelalak lebar! Kalau saja tidak melihat dengan 
mata kepala sendiri, Sentana tidak mungkin memper-
cayainya.
"Hmhhh...!"
Sayang, Sentana tidak dapat berpikir lebih jauh 
lagi. Sebab disertai sebuah dengusan kasar, Jonggala 
telah mengirimkan kembali senjata itu kepada tuan-
nya! Dan....
Ziiing! Ziiing!
"Aaa...!"
Sentana meraung begitu gelang baja miliknya 
menembus tubuh dan lehernya! Tanpa ampun lagi, tu-
buh lelaki gagah itu pun terjungkal. Dia kelojotan se-
saat, lalu diam tak bergerak lagi.
"Hm..., akan kubuat gempar Perguruan Gelang 
Terbang pada hari perayaan nanti...," desis Jonggala 
yang kemudian tertawa berkakakan, diikuti Jonggali.
***
DUA


Hari ini di setiap sudut bangunan Perguruan 
Gelang Terbang tampak telah terjadi kesibukan. Segala 
hiasan indah berwarna cerah tampak menghiasi ba-
gian dalam bangunan. Bahkan bendera-bendera yang 
bertuliskan Perguruan Gelang Terbang, tampak ter-
pancang menyemaraki di pelataran bangunan pergu-
ruan itu. Tampaknya Perguruan Gelang Terbang hendak merayakan hari jadinya yang kelima.
Di tengah kesibukan murid-murid Perguruan 
Gelang Terbang yang tengah bekerja, terlihat seorang 
lelaki gagah bertubuh kekar sedang berdiri mengamati. 
Sepasang matanya yang tajam dengan brewok meng-
hias wajahnya, membuat penampilan lelaki itu sema-
kin bertambah angker. Melihat tiga buah gelang perak 
yang menghias sepasang tangannya, dapat ditebak ka-
lau lelaki itu adalah murid utama Perguruan Gelang 
Terbang.
"Kakang...," sapa seorang lelaki muda berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Dia menyapa lelaki ga-
gah itu dengan napas agak memburu, seperti begitu 
tergesa-gesa.
"Ada apa...?" tanya lelaki gagah berwajah bre-
wok itu dengan suara berat.
"Guru menyuruhku untuk memanggil Kakang 
Panawangan, agar menghadap sekarang juga...," sahut 
lelaki muda itu sambil mengangguk hormat.
"Hm..., baiklah...."
Meski agak heran, lelaki gagah bernama Pana-
wangan itu beranjak juga untuk menghadap guru be-
sarnya. Namun sambil melangkah lebar-lebar, batin-
nya bertanya-tanya. Maka begitu tiba di dalam bangu-
nan utama, ia langsung masuk ke dalam ruang perte-
muan. Didapatinya dua orang murid tingkat satu dan 
empat murid tingkat dua tengah berkumpul di dalam 
ruangan.
"Guru...." Panawangan membungkuk memberi 
hormat, kemudian duduk di hadapan gurunya.
"Panawangan! Tadi aku bertanya kepada Suba-
dra dan Kandira. Kata mereka, Sentana, Ratmaja, dan 
Karpala belum terlihat kembali. Apa itu betul?" tanya 
seorang lelaki berkumis lebat, berusia sekitar enam

puluh tahun.
Laki-laki itu adalah Ki Pangrawit. Atau, lebih 
dikenal sebagai Pendekar Gelang Maut. Pada kedua 
lengannya masing-masing terlihat sepasang gelang 
yang terbuat dari emas.
"Betul, Guru. Aku pun merasa heran atas keter-
lambatan mereka. Padahal, semestinya kemarin sudah 
harus tiba di perguruan. Aku khawatir ada sesuatu 
yang telah menimpa mereka," Panawangan membenar-
kan keterangan Subadra dan Kandira.
"Hm.... Rasanya, tidak mungkin mereka sengaja 
melakukannya. Tapi kalau memang ada sesuatu yang 
terjadi terhadap mereka, mengapa kita tidak mendapat 
kabar! Apa sebenarnya yang membuat mereka belum 
juga kembali...?" gumam Ki Pangrawit pelan sambil 
mengelus jenggotnya yang panjang dan lebat.
Sepasang mata tua Ki Pangrawit tampak me-
nyipit, seolah-olah hendak mencari dugaan atas keter-
lambatan ketiga orang muridnya yang belum juga 
kembali dari tugas yang diberikan.
"Apa mungkin mereka mengalami kesulitan di 
jalan...," gumam Subadra, seorang lelaki berwajah ku-
rus yang juga murid utama Ki Pangrawit bergumam li-
rih. Meski demikian, ucapannya terdengar jelas oleh 
orang-orang di ruangan itu.
"Kesulitan di jalan...?" gumam Ki Pangrawit 
dengan kening berkerut "Rasanya, kemungkinan itu 
kecil sekali, Subadra. Sebelum berangkat, mereka te-
lah ku pesan tegas-tegas, agar menghindari setiap per-
kara yang bisa membawa keributan. Dan aku percaya 
kalau mereka pasti akan mentaatinya."
"Aku rasa, kemungkinan seperti itu bisa saja
terjadi, Guru. Kalau ada orang yang mencari keributan 
dan terlalu menghina, mungkin saja Sentana dan teman-temannya terpaksa menghadapi," timpal Pana-
wangan, yang memiliki dugaan sama dengan Subadra.
"Hm...," Ki Pangrawit hanya menggumam tak je-
las menanggapi pendapat murid-muridnya.
Suasana menjadi hening sejenak, ketika orang 
tua gagah itu termenung memikirkan kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi terhadap Sentana dan dua 
orang murid lainnya.
Panawangan dan murid-murid lainnya terme-
nung, seperti tengah ikut memikirkan Sentana dan 
kawan-kawannya yang belum kembali Bahkan bebera-
pa orang di antaranya terlihat mengerutkan kening, 
seperti tengah berpikir keras untuk mencari jawaban 
atas persoalan itu.
"Hhh...."
Terdengar helaan napas berat Ki Pangrawit se-
telah kesunyian mengungkungi ruangan itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita bersiap-siap me-
nyambut ramu. Untuk sementara, lupakan saja masa-
lah Sentana. Dan, ingat. Persoalan ini jangan dicerita-
kan kepada murid-murid yang lain. Aku tidak ingin pe-
rayaan ini terganggu," ujar Ki Pangrawit yang segera 
membubarkan murid-murid lainnya.
"Baik, Guru...."
Secara serempak, ketujuh orang tokoh Pergu-
ruan Gelang Terbang berpamitan meninggalkan ruang 
itu. Kini, tinggallah Ki Pangrawit termenung seorang 
diri memikirkan persoalan itu.
***
Ketika matahari mulai naik tinggi, satu-persatu 
para undangan mulai berdatangan. Suasana di dalam 
bangunan Perguruan Gelang Terbang pun semakin

bertambah ramai. Hal itu memang tidak terlalu aneh, 
sebab nama Pendekar Gelang Maut telah dikenal oleh 
hampir seluruh tokoh persilatan. Tidak heran kalau 
perayaan itu juga dihadiri pejabat-pejabat pemerintah 
setempat.
Ki Pangrawit yang duduk di bangku kehorma-
tan bersama tokoh-tokoh seangkatan yang diundang-
nya, tersenyum penuh kepuasan. Memang, hampir 
semua yang diundangnya datang menghadiri perayaan 
itu. Tentu saja hal ini menimbulkan kebanggaan ter-
sendiri di hatinya. Sebab, hal ini berarti namanya ma-
sih cukup disegani dan dihormati orang.
Panawangan yang bersama Subadra dan Kandi-
ra duduk di belakang gunanya, sejenak mengawasi 
tempat para undangan yang telah penuh. Berbagai ha-
diah yang dibawa para undangan telah bertumpuk-
tumpuk tiga meja penuh, membuat para murid pergu-
ruan itu sempat kewalahan menanganinya. Ki Pangra-
wit memang menyebar undangan tidak kurang dari ti-
ga ratus, sehingga perayaan itu terlihat sangat meriah.
"Hm.... Rupanya, semakin tua usia perguruan 
ini semakin terkenal Selamat kuucapkan untukmu, 
Pendekar Gelang Maut Semoga di tahun-tahun menda-
tang perguruan ini semakin bertambah maju, dan bisa 
menghasilkan murid-murid pandai berhari luhur," 
ucap seorang lelaki tinggi kurus mengenakan pakaian 
sederhana.
Dia tampak memberi hormat kepada Ki Pan-
grawit Sementara, Ki Pangrawit langsung bangkit me-
nyambut tamunya.
"Terima kasih..., terima kasih. Ah..., kau sema-
kin bertambah gagah saja Ki Janiga. Lima tahun tidak 
berjumpa, ternyata kau semakin bertambah gemuk. 
Ha ha ha.... Silakan..., silakan...," sambut Ki Pangrawit

tertawa gembira menerima kedatangan lelaki jangkung 
itu.
"Kau bisa saja, Ki Pangrawit. Apa untuk pujian 
itu aku harus memberi hadiah yang lebih besar kepa-
damu?" lelaki jangkung bernama Ki Janiga itu pun ter-
tawa gembira. Sepertinya, pertemuan itu benar-benar 
membuat mereka gembira.
"Tidak juga, Sahabatku. Yang jelas, aku sangat 
gembira atas kehadiranmu kali ini Tidak seperti tahun-
tahun lalu, saat kau selalu sibuk dan sulit ditemui," 
sanggah Ki Pangrawit seraya mempersilakan Ki Janiga 
untuk memilih tempat duduk.
Ki Janiga menyalami tokoh-tokoh lainnya sebe-
lum menghempaskan pantatnya di atas kursi.
Tapi suasana gembira itu tiba-tiba berubah te-
gang, begitu dari pintu gerbang tempat penerimaan pa-
ra tamu, terdengar jeritan-jeritan kesakitan. Beberapa 
orang murid yang ditugaskan menyambut para undan-
gan, tampak terpental ke dalam bangunan perguruan. 
Jelas, ada kejadian yang tak dinginkan di depan pintu 
gerbang itu.
"Coba kau lihat, Panawangan. Ada apa di depan 
sana? Hati-hati, jangan memperpanjang urusan," pe-
rintah Ki Pangrawit, sambil tak lupa berpesan.
Tanpa diperintah dua kali, Panawangan segera 
saja bergerak bangkit dan berlari menuju pintu ger-
bang utama. Sedang Subadra dan Kandira tetap di 
tempat, karena tidak berani bertindak tanpa diperintah 
Ki Pangrawit.
Panawangan yang tiba di depan pintu gerbang, 
tentu saja menjadi terkejut. Cepat kemarahannya yang 
sudah naik ke kepalanya ditekan, begitu melihat enam 
orang yang ditugaskan menyambut kedatangan para 
tamu telah bergeletakan pingsan. Kalau saja Panawan

gan tidak teringat pesan gurunya, rasanya batok kepa-
la pengacau Itu ingin dihancurkannya. "Ada apa ini...?" 
tegur Panawangan, kaku. Memang, biar bagaimanapun 
kemarahan yang ditekannya itu tidak hilang seluruh-
nya. Sehingga meski diusahakan untuk tenang, tetap 
saja tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
Lelaki gagah berwajah brewok itu menatap ta-
jam ke arah seorang lelaki gemuk berwajah bulat yang 
tengah dikepung murid-murid tingkat dua dan tiga. 
Panawangan heran melihat kilatan kemarahan di mata 
lelaki gemuk itu. Kemudian, kakinya melangkah lebar 
menghampiri orang-orang yang telah siap bertarung.
"Kami tidak mengenal lelaki gemuk itu, Kakang. 
Begitu datang, dia langsung marah-marah. Selain itu, 
dia juga tidak membawa undangan. Dan ketika kawan-
kawan yang bertugas menanyakan secara baik-baik, 
tapi ia malah menghajarnya. Bahkan sambil memaki 
Guru Besar kita!" lapor seorang murid tingkat tiga ke-
pada Panawangan. Sehingga, lelaki gagah itu semakin 
dalam mengerutkan keningnya.
"Orang tua! Siapakah kau! Dan mengapa mem-
buat keributan di tempat ini?!" tegur Panawangan. Si-
kapnya tetap kaku, meski telah dicoba untuk ramah.
"Hm.... Kau pasti murid Tua Bangka Sombong 
Pangrawit itu, bukan? Katakan pada Gurumu! Aku, si 
Cakar Maut datang berkunjung, namun kawan-
kawanmu menahanku, dengan alasan kalau aku tidak 
mempunyai undangan. Padahal, kedatanganku bukan 
karena tertarik menghadiri perayaan gombal ini! Tapi, 
kesombongan gurumulah yang membawa langkahku 
datang ke sini!" sahut lelaki gemuk yang mengaku ber-
juluk Cakar Maut. Tentu saja pengakuan itu membuat 
Panawangan terkejut.
"Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Cakar

Maut?" desis Panawangan, tak yakin. Di telitinya sosok 
tubuh lelaki gemuk berusia lima puluh tahun itu. 
"Maaf, mungkin guruku lupa karena banyaknya saha-
bat beliau. Tapi, tidak seharusnya kau berbuat sede-
mikian kasar terhadap murid-murid kami yang tidak 
berdosa."
Panawangan sepertinya belum percaya sepe-
nuhnya kepada lelaki gemuk itu. Memang, ia tahu be-
tul kalau tokoh berjuluk Pendekar Cakar Maut telah 
terdaftar namanya dalam undangan. Dan karena tidak 
pernah berjumpa sebelumnya, maka Panawangan pun 
masih belum mempercayainya. Maka, rasa tidak se-
nangnya belum juga lenyap.
"Hm.... Masih untung mereka tidak kubikin 
mampus! Kau tahu! Dengan mengadakan perayaan ini 
tanpa mengundangku, itu sama artinya Ki Pangrawit 
tidak memandang mukaku! Dan itu sama saja sebuah 
penghinaan!" bentak Pendekar Cakar Maut.
Rupanya, laki-laki gemuk itu tidak menerima 
undangan dari Ki Pangrawit Maka tentu saja tokoh itu 
marah, karena sama artinya dianggap remeh oleh Pen-
dekar Gelang Maut. Baginya itu merupakan penghi-
naan!
Mendengar dirinya dibentak-bentak, kontan 
kemarahan yang semula ditahan-tahan Panawangan, 
serentak naik ke kepalanya. Karuan saja, wajahnya ge-
lap seketika. Bahkan sorot matanya pun memancar-
kan kilatan kemarahan.
"Hm.... Ucapanmu terlalu sombong, Orang Tua! 
Apa kau kira begitu mudah membuktikan ucapan itu? 
Hmh! Dengan ucapanmu itu, sama saja sebuah peng-
hinaan bagi perguruan kami! Dan aku tidak bisa teri-
ma!" desis Panawangan, sambil menggertakkan giginya 
hingga menimbulkan suara bergemelutuk yang cukup

jelas.
"Hm.... Sudah kuduga. Perguruan Gelang Ter-
bang telah menjadi besar kepala seiring kemajuannya. 
Benar-benar mengagumkan. Kalau begitu, mengapa 
kau tidak segera turun tangan memberi pelajaran ke-
padaku? Ingin kulihat, apakah kepandaianmu sebesar 
mulutmu?" ejek Pendekar Cakar Maut yang semakin 
tersinggung atas sikap Panawangan, yang dianggap ti-
dak sopan terhadap tokoh yang tingkatannya sejajar 
gurunya.
"Keparat! Siapa takut kepadamu!" bentak Pa-
nawangan.
Laki-laki berwajah brewok jadi lepas kendali 
karena merasa diremehkan. Begitu ucapannya selesai, 
langsung diterjangnya lelaki gemuk yang mengaku se-
bagai Pendekar Cakar Maut itu.
"Hiaaat...!"
Dengan mengandalkan jurus-jurus tangan ko-
songnya Panawangan merangsek maju. Terdengar an-
gin berkesiutan saat pukulan dan tendangan lelaki 
brewok itu meluncur membelah udara!
Whuuut! Whuuut!
"Hm.... Tidak jelek..," desis lelaki gemuk itu 
sambil menggeser langkahnya menghindari serangan 
Panawangan.
Sampai lima jurus lamanya, serangan murid 
utama Ki Pangrawit sama sekali tidak mengenai sasa-
ran, luput tanpa hasil! Memang gerakan lelaki gemuk 
itu masih jauh lebih cepat ketimbang Panawangan Dan 
semua itu semakin menambah kemarahan di hati mu-
rid utama Ki Pangrawit!
"Yeaaah...!"
Rasa kemarahan dan penasaran membuat Pa-
nawangan terhina. Sehingga, serangan-serangan se

makin di perhebat Bahkan terlihat sudah mulai meng-
gunakan gelang peraknya sebagai senjata.
"Awasss...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang ke-
dua puluh, Cakar Maut mengejutkan lawannya dengan 
sebuah seruan tiba-tiba. Pada saat yang sama tubuh-
nya melompat tinggi, dan langsung melepaskan se-
buah tendangan ke dada lawannya.
Karuan saja Panawangan menjadi gugup di-
buatnya. Padahal, ia tengah menahan debaran akibat 
seruan mendadak lawannya. Tapi, pada saat itu pula, 
Pendekar Cakar Maut tiba-tiba melepaskan tendangan 
kilatnya. Akibatnya....
Bukkk!
"Hukhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Panawangan 
langsung terjajar hingga sejauh satu tombak. Merasa 
kalau lawan sengaja mengurangi tenaganya pada saat 
menendangnya, membuat Panawangan merasa terhi-
na! Maka kemarahannya pun kian berlipat. Dia merasa 
kalau lawan terlalu menganggap remeh dirinya.
"Hm.... Hadapilah senjataku. Keparat Som-
bong...!" geram Panawangan sambil meloloskan gelang 
perak di lengannya. Sekejap saja, di tangan Panawan-
gan telah tergenggam dua pasang gelang perak.
"Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana ilmu 
yang telah diturunkan orang tua sombong itu kepada-
mu, Orang Gagah...," ejek Cakar Maut. Wajahnya tam-
pak mengulas senyum, sehingga menyakitkan hati Pa-
nawangan.
Ucapan Cakar Maut rupanya bukan hanya se-
kadar omong kosong: Buktinya, meskipun Panawan-
gan telah menggunakan senjata andalannya, tetap saja 
tidak bisa mendesak lawan. Memang nyata sekali kalau kepandaian lelaki gemuk itu masih berada di atas-
nya.
"Hiaaah...!" „
Dalam kepenasarannya, Panawangan mulai 
menggunakan gelang peraknya sungguh-sungguh. Di-
iringi sebuah bentakan nyaring, lelaki gagah itu men-
dadak melompat mundur jauh kebelakang Sambil me-
lompat, tangannya mengibaskan melepaskan sepasang 
gelang terbang di tangan kanannya!
Ziiing! Ziiing!
Dua buah gelang perak itu langsung mengaung 
tajam merobek udara siang! Dan senjata itu terus me-
laju pesat, mengancam Pendekar Cakar Maut!
"Haiiit...!"
Panawangan tidak berhenti sampai di situ saja. 
Begitu sepasang senjatanya terlontar, lelaki gagah itu 
ikut melesat sambil kembali melontarkan sepasang ge-
lang peraknya yang di tangan kiri! Sebuah serangan 
hebat, dan Jelas menggambarkan kecerdikan otaknya!
"Bagus...," puji Pendekar Cakar Maut, tulus.
Pujiannya kali ini bukan merupakan ejekan. 
Memang, apa yang dilakukan lelaki gagah itu benar-
benar patut dipuji.'
"Hiaaah..!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh lelaki 
gemuk itu berputar bagaikan kitiran. Sepasang gelang 
terbang pertama luput, dan kembali berputar ke arah 
tuannya. Sedangkan sambaran sepasang gelang perak 
kedua, dihindari Pendekar Cakar Maut melambung ke 
atas, dan berputar melewati gelang-gelang lawannya!
Panawangan rupanya tidak sekadar mengan-
dalkan senjata-senjatanya saja. Lelaki gagah itu bah-
kan menyertainya dengan serangkaian serangan kilat 
untuk menyusuli senjatanya, sehingga semakin membuat kagum lawannya!
Whuuut! Whuuut!
"Haiiit...!"
Pendekar Cakar Maut membentak keras dalam 
menyambut pukulan Panawangan. Tubuh gemuk itu 
bergerak miring ke kiri, meskipun kedua kakinya baru 
saja menyentuh tanah. Namun serangan Panawangan 
dapat dihindarinya! Bahkan sebuah cengkeraman 
mautnya nyaris merobek tenggorokan lawan!
**Gila.-.!" desis Panawangan.
Untungnya laki-laki brewok itu telan lebih dulu 
melompat mundur ke belakang. Sehingga, cengkera-
man jari-jari sekeras besi itu tidak sampai mencelakai 
dirinya!
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang 
membuat kedua orang itu menghentikan gerakannya. 
Berbarengan suara bentakan itu, berkelebat sesosok 
tubuh yang langsung menjejakkan kakinya di tengah 
arena pertarungan!
***
TIGA


"Guru...!"
"Ki Pangrawit..!"
Baik Panawangan mau pun Pendekar Cakar 
Maut sama-sama berseru ketika mengenali sosok tegap 
yang melerai pertarungan mereka. Panawangan sendiri 
sudah langsung membungkuk hormat kepada gu-
runya. Sedangkan Pendekar Cakar Maut tetap berdiri 
tegak dengan tatapan tajam.


Ki Pangrawit menatap Panawangan lekat-lekat 
Dari kilatan matanya, jelas sekali kalau orang tua itu 
tidak suka atas kelakuan murid utamanya.
"Kau lupa pesanku tadi, Panawangan...?" tegur 
Ki Pangrawit penuh kekecewaan.
"Ampun, Guru. Aku tidak mungkin berani me-
langgar pesan itu kalau saja dia tidak memaksa dan 
menghina Guru di depanku...," dengan wajah tertun-
duk, Panawangan mencoba membela diri Jelas, ia ti-
dak mau disalahkan dalam persoalan ini.
"Hm.... Biar bagaimanapun, kau tetap salah, 
Panawangan. Bukankah kau bisa melaporkannya pa-
daku? Lalu, mengapa tidak kau lakukan? Apakah kau 
sudah merasa hebat, hingga ingin menyelesaikan ma-
salah ini seorang diri dengan mengandalkan kepan-
daianmu?" kata Ki Pangrawit, kembali memojokkan 
Panawangan.
Memang bagaimanapun, lelaki gagah itu telah 
bersalah karena telah mendahului gurunya. Itu yang 
tidak bisa diterima Ki Pangrawit
"Ampun, Guru. Aku mengaku salah ..." Akhir-
nya Panawangan tidak bisa membantah lagi. Apa yang 
dikatakan gurunya sangat jelas dan terang. Dan dis-
adari kebenaran ucapan gurunya itu.
"Hhh..., sudahlah. Lain kali, pikirkanlah dulu 
sebelum mengambil tindakan," ujar Ki Pangrawit di 
dahului desahan napas panjang. Kemudian, Ketua 
Perguruan Gelang Terbang itu berpaling kepada Pen-
dekar Cakar Maut. Tubuhnya segera dibungkukkan, 
memberi hormat dengan sapaan ramah serta permo-
honan maaf atas kelancangan muridnya.
"Hmh...!" dengus Pendekar Cakar Maut, kasar. 
Sikapnya jelas-jelas menyiratkan kesombongan ha-
tinya. Tentu saja Ki Pangrawit agak heran melihatnya.

Setahunya, sahabatnya yang berjuluk Cakar Maut ini 
sama sekali tidak memiliki perangai sombong.
"Maaf, atas semua kejadian yang tidak menye-
nangkan hatimu. Sahabat Cakar Maut. Kuharap, kau
berkenan melupakannya. Sekarang, marilah kita ke 
dalam. Cukup banyak sahabat kita yang telah ber-
kumpul dan ingin segera berjumpa denganmu," ucap 
Ki Pangrawit tetap bersabar.
Dengan wajah penuh senyum, orang tua itu 
mempersilakan Pendekar Cakar Maut untuk segera 
bergabung dengan tamu-tamu lainnya.
"Hmhhh...! Jangan berpura-pura manis, Pan-
grawit! Katakanlah sejujurnya. Apa maksudmu tidak 
mengirim undangan kepadaku? Apakah aku sudah se-
demikian rendah hingga tidak pantas menghadiri 
ulang tahun perguruanmu?" dengus Pendekar Cakar 
Maut.
Pendekar Cakar Maut sepertinya tidak tergerak 
oleh sikap manis sahabatnya. Lelaki bertubuh gemuk 
itu seperti menuntut jawaban dari Ki Pangrawit
"Tidak mengundangmu...? Mana mungkin. Sa-
habat Aku belum gila untuk memutuskan persahaba-
tan di antara kita. Undangan untukmu tentu saja telah 
kukirimkan. Apakah kau benar-benar tidak meneri-
manya...." Ki Pangrawit malah bertanya dengan kening 
berkerut dalam. Jelas sekali kalau orang tua itu mera-
sa terkejut mendengar pertanyaan sahabatnya.
"Hm.... Jadi, kau telah mengirimkan undangan 
kepadaku, begitu?" tukas Pendekar Cakar Maut ber-
nada sangat tidak enak didengar.
"Tentu saja...," sahut Ki Pangrawit cepat.
Orang tua itu tetap bersabar meski ucapan 
Pendekar Cakar Maut seperti sengaja memancing ke-
marahannya.
"Hm... kalau begitu, coba panggil orang yang 
mengirimkan undangan untukku. Aku ingin melihat, 
seperti apa orangnya...," kembali Pendekar Cakar Maut 
mendesak dengan wajah tidak sedap dipandang.
"Itulah yang masih menjadi pikiranku, Cakar 
Maut. Sebab, sampai hari ini ketiga orang muridku 
yang bertugas mengantarkan undangan kepadamu be-
lum juga kembali. Apakah kau tidak menerima undan-
gan itu...?" tanya Ki Pangrawit, agak heran.
"Menurutmu sendiri, bagaimana?" sahut Pen-
dekar Cakar Maut cepat. Sikapnya tetap belum beru-
bah.
"Maaf kalau aku terpaksa mencampuri urusan 
ini...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara menimpali. 
Dari dalam bangunan, melangkah seorang lelaki tinggi 
kurus yang mengenakan pakaian sederhana.
"Tinju Pemecah Badai...! Rupanya kau sudah 
datang ke tempat ini. Apakah kau hendak membela Ki 
Pangrawit..?" seru Pendekar Cakar Maut Wajahnya ter-
lihat agak berseri begitu mengenali orang yang datang.
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Tinju Peme-
cah Badai itu tak lain dari Ki Janiga. Langkahnya le-
bar-lebar menghampiri sahabat-sahabatnya yang ten-
gah bersitegang itu. Dia kemudian memberi hormat 
kepada Pendekar Cakar Maut, dan berdiri di samping 
Ki Pangrawit.
"Sahabat, Cakar Maut. Apa yang dikatakan Ki 
Pangrawit sama sekali tidak bohong. Memang, pada 
saat aku menerima undangan yang disampaikan mela-
lui tiga orang muridnya, sempat kulihat undangan te-
rakhir yang menurut mereka akan disampaikan kepa-
damu. Nah, apakah kau pun akan menuduhku sebagai 
pembohong?" kata Ki Janiga, sambil menatap tajam

wajah Pendekar Cakar Maut. Kemudian, kepalanya te-
rangguk memohon pengertian sahabatnya.
Pendekar Cakar Maut termenung ketika men-
dengar penjelasan Ki Janiga. Sebenarnya, ia pun bu-
kan tidak mempercayai keterangan Ki Pangrawit Tapi 
karena merasa terhina dan tidak sudi dianggap remeh, 
maka la masih bersikap keras kepala. Maka, ikut cam-
purnya Ki Janiga tentu saja membuat Pendekar Cakar 
Maut tidak enak hati. Sebagaimana Ki Pangrawit, Ki 
Janiga pun merupakan sahabat baiknya. Dan kini, le-
laki gemuk itu terlihat mengangguk-anggukkan kepa-
lanya tanda mencoba mengerti.
"Baiklah. Tapi, mengapa ketiga orang murid 
yang kau tugaskan itu tidak sampai ke tempatku? 
Dan...,benarkan mereka belum kembali?" tanya Pen-
dekar Cakar Maut, meminta penjelasan Ki Pangrawit.
"Aku pun tidak tahu, Cakar Maut. Tapi sebaik-
nya, kita lupakan saja masalah itu, agar tidak meng-
ganggu jalannya perayaan ini. Mudah-mudahan saja 
mereka hanya terlambat, dan bukan mengalami musi-
bah...," sahut Ki Pangrawit berharap.
"Ya.... Kalau begitu, maafkanlah tindakanku 
yang mungkin telah mengganggu jalannya acaramu...," 
ucap Pendekar Cakar Maut, yang akhirnya bersedia 
mengerti keterangan Ki Pangrawit.
"Ayolah...," ajak Ki Pangrawit mempersilakan 
kedua orang sahabatnya ke tempat yang telah disedia-
kan.
Panawangan pun segera beranjak meninggal-
kan gerbang depan, setelah berpesan kepada para mu-
ridnya yang ditugaskan di tempat itu.
***

"Para sahabat sekalian. Aku sebagai tuan ru-
mah, mengucapkan banyak terima kasih atas kedatan-
gan kalian. Hari ini, adalah hari jadinya Perguruan Ge-
lang Terbang yang kelima. Seperti biasanya, kami akan 
memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang telah dipe-
roleh murid-murid Perguruan Gelang Terbang. Dan
apabila ada sesuatu yang kurang dalam penyambutan 
maupun pelayanan, harap mohon dimaafkan," Pana-
wangan yang bertugas mewakili Ki Pangrawit untuk 
membuka perayaan itu, menghentikan ucapannya se-
jenak. Karena saat itu, terdengar tepuk tangan para 
tamu menyambut ucapannya. Bahkan sekelompok 
undangan di sebelah kanan, berteriak-teriak ramai. 
"Hidup Perguruan Gelang Terbang...!" 
Teriakan-teriakan itu terus bergemuruh bagai 
hendak meruntuhkan bangunan gedung. Panawangan 
tersenyum-senyum sambil membungkukkan tubuhnya 
ke segala arah. Lelaki gagah itu baru melanjutkan 
ucapannya setelah suara teriakan itu lenyap.
"Seperti biasanya, dalam acara ini kami mem-
buka kesempatan kepada para undangan sekalian un-
tuk mengisi acara bebas ini. Untuk itu, yang berminat 
silakan naik ke atas panggung...."
Baru saja ucapan Panawangan selesai, terlihat 
sesosok tubuh bergerak melenting ke udara. Kemu-
dian, kakinya menjejak di atas panggung setelah ber-
putaran di udara. Langsung saja para undangan ber-
tepuk tangan riuh menyambut pertunjukan ilmu me-
ringankan tubuh yang hebat itu.
"Sahabat! Aku, Rajawali Merah hendak ikut me-
ramaikan pesta ini...."
Sambil berkata demikian, lelaki berusia kira-
kira tiga puluh tahun berpakaian serba merah itu 
membungkukkan tubuhnya kepada Panawangan. Kemudian, dia berputar memberi hormat kepada para 
undangan di tiga penjuru.
"Terima kasih atas kesediaan sahabat...," ucap 
Panawangan.
Laki-laki brewok itu segera saja beranjak turun 
untuk memberi keleluasaan kepada lelaki muda bertu-
buh sedang yang terlihat gesit. Dari caranya melompat
ke atas panggung, memang pantas sekali dia memakai 
julukan 'Rajawali'. Sebab, gerakannya sangat gesit, tak 
ubahnya seekor burung rajawali yang bermain-main di 
angkasa.
Namun sayang. Baru saja lelaki berjuluk Raja-
wali Merah itu bergerak mempertontonkan kebolehan-
nya, tiba-tiba terdengar kegaduhan yang berasal dari 
gerbang depan. Serentak para tamu menoleh ke arah 
pintu gerbang. Itu berarti pertunjukan Rajawali Merah 
sama sekali tidak mendapat perhatian untuk beberapa 
saat lamanya.
Subadra dan Kandira yang bertugas menga-
mankan suasana, segera saja bergegas menuju ger-
bang. Beberapa saat kemudian, salah satu di anta-
ranya telah kembali bersama seorang lelaki gagah. Di-
lihat dari pakaiannya, dapat ditebak kalau lelaki itu 
merupakan anggota pengawal barang. Kini, orang itu 
menghadap Ki Pangrawit dengan diantar Kandira.
"Kami ditugaskan dua orang yang tidak dikenal 
untuk menyampaikan hadiah ini kepada Ketua Pergu-
ruan Gelang Terbang. Mereka mohon maaf, karena ti-
dak bisa hadir meramaikan pesta yang diadakan Per-
guruan Gelang Terbang...."
Sambil berkata demikian, lelaki gagah berusia 
sekitar empat puluh tahun itu menyerahkan sebuah 
peri berukir kepada Ki Pangrawit. Sementara, Ketua 
Perguruan Gelang Terbang itu segera menyambutnya

"Apakah Kisanak tidak mengenal kedua orang
itu?" tanya Ki Pangrawit, dengan sikap wajar. Memang 
pada peti yang cukup besar itu tidak tertera nama 
pengirimnya.
"Maaf. Kami sama sekali tidak mengenal kedua 
orang itu. Tapi menurut mereka, Ki Pangrawit akan se-
gera tahu setelah membuka peti itu. Mungkin di da-
lamnya terdapat keterangan, siapa pengirim hadiah 
Itu...," jelas lelaki pengawal barang itu menerangkan.
"Hm...," Ki Pangrawit hanya bergumam dengan 
kening berkerut
Karena merasa penasaran. Lelaki tua itu segera 
saja membukanya di depan beberapa murid dan saha-
batnya. Dan....
"Aaah. ..!?"
"Keji...!"
Berbagai seruan terdengar saling bersahutan, 
saat peti itu di buka Ki Pangrawit. Wajah lelaki tua itu 
seketika menjadi gelap. Sepasang tangannya mengepal 
memperdengarkan suara berkerotokan buku-buku ja-
rinya.
"Biadab...!" desis Ki Pangrawit, gemetar.
Orang tua yang biasanya sabar dan bijaksana 
itu, ternyata tidak sanggup menahan kemarahannya. 
Memang, dia telah menyaksikan bentuk hadiah yang 
dikirimkannya melalui perkumpulan pengawal barang 
itu.
Pendekar Cakar Maut dan Tinju Pemecah Badai 
menjadi penasaran. Keduanya segera melangkah meli-
hat wajah Ki Pangrawit yang nampak dijalari kemara-
han besar itu.
"Aaah...?!" seru Pendekar Cakar Maut, kaget ke-
tika melihat isi peti.
Demikian pula halnya Ki Janiga. Pendekar bertubuh tinggi kurus itu mendesis geram begitu melihat 
bentuk hadiah yang diterima sahabatnya.
"Ya..., Sentana, Karpala dan Ratmana inilah 
yang kutugaskan mengirimkan undangan kepada sa-
habat-sahabatku. Termasuk, kau dan Cakar Maut. 
Rupanya, inilah yang membuat undangan itu tidak 
sampai ke tanganmu, Cakar Maut...," sahut Ki Pan-
grawit seraya menundukkan wajahnya. Kemudian se-
gera ditutupnya kembali peti berukir indah itu.
Pendekar Cakar maut yang merasa bersalah da-
lam hal ini segera saja menyambar leher baju lelaki ga-
gah yang mengantarkan hadiah itu. Gerakannya demi-
kian cepat, sehingga tidak sempat lagi dihindari. Se-
hingga, tahu-tahu tubuh lelaki gagah itu telah terang-
kat ke udara dalam cengkeraman Pendekar Cakar 
Maut!
"Katakan, siapa yang menyuruhmu mengirim-
kan hadiah terkutuk itu! Jawab! Kalau tidak, kepala-
mu terpaksa kuhancurkan sekarang juga!" bentak 
Pendekar Cakar Maut dengan wajah merah padam. 
Kepalan tangan kanannya terlihat telah siap mereng-
gut nyawa orang itu.
Tentu saja perbuatan yang tak disangka-sangka 
ini membuat lelaki gagah itu pucat. Sadar, kalau ia ti-
dak mungkin selamat dari ancaman maut itu. Sehing-
ga, keringat dingin pun mulai merembes membasahi 
pakaiannya.
"Aku..., aku sungguh-sungguh tidak tahu, Ki. 
Mereka sama sekali tidak mengatakannya...," kata le-
laki gagah itu. Dia semakin bertambah ciut nyalinya 
setelah mengenali orang yang mengancam dirinya.
"Bohong! Sekali lagi, kuberi kesempatan! Jawab 
sejujurnya, atau kau tunggu mereka di akhirat!" an-
cam Pendekar Cakar Maut lagi, tak percaya terhadap

keterangan orang itu.
Ki Pangrawit yang melihat kejadian itu segera 
saja bertindak mencegah.
"Sabarlah, sahabat. Orang ini memang tidak 
bersalah. Sebagai pengawal barang, tentu saja ia tidak 
perlu bertanya panjang lebar mengenai diri pelanggan-
nya. Aku yakin, ia berkata benar," bujuk Ki Pangrawit 
sambil menepuk bahu Pendekar Cakar Maut.
Maka, lelaki gemuk itu mengendorkan cekalan-
nya, dan melepaskannya begitu saja. Karuan saja lela-
ki gagah anggota pengawal barang itu terbanting jatuh 
di tanah, karena pendekar Cakar Maut melepaskannya 
secara mendadak.
"Aku merasa malu sekali kepadamu, Pangrawit 
Maaf kalau aku tidak bisa menahan diri setelah tahu 
kalau tiga buah kepala itu adalah murid-muridmu 
yang bertugas mengantarkan undangan untukku Bu-
kankah secara tidak langsung aku ikut terlibat di da-
lamnya?" bantah Pendekar Cakar Maut yang kemara-
hannya masih juga belum lenyap.
"Kau tidak perlu merasa bersalah dalam hal ini. 
Menurutku, orang yang melakukan perbuatan biadab 
ini memang sengaja. Mengenai siapa mereka, aku be-
lum jelas," ujar Ki Pangrawit dengan wajah berduka.
Jelas sekali kalau ia cukup terpukul atas keja-
dian yang menimpa ketiga orang itu Bahkan wajahnya
yang semula cerah, tampak mendung kelabu. Namun, 
dia masih bisa menahan kesabarannya.
"Yang jelas, dia pasti seorang tokoh sesat ber-
hati keji. Mustahil seorang tokoh golongan putih sam-
pai tega melakukan kebiadaban seperti ini...," timpal Ki 
Janiga.
Sepertinya, Tinju Pemecah Badai pun tergerak 
jiwa kependekarannya menyaksikan kejadian yang

menimpa perguruan sahabatnya.
"Hhh.... Sudah bertahun-tahun aku tidak me-
ninggalkan perguruan. Kalau pun ada tokoh-tokoh se-
sat yang mendendam kepadaku, mungkin aku sudah 
tidak ingat lagi," desah Ki Pangrawit yang tidak bisa 
mengambil kesimpulan mengenai si pembunuh keji 
itu.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut sama-sama 
termenung, mendengar jawaban Ki Pangrawit. Me-
mang, seperti halnya orang tua itu, mereka pun jarang 
meninggalkan tempat kediamannya untuk bertualang. 
Sehingga untuk menduga siapa yang masih menyim-
pan dendam terhadap" Pendekar Gelang Terbang, ten-
tu saja sangat sulit.
Sementara itu, perayaan ulang tahun Pergu-
ruan Gelang Terbang masih berlangsung semarak. Ki 
Pangrawit yang tidak ingin acaranya terganggu, me-
minta kepada yang lain untuk tidak menceritakan ma-
salah yang baru saja terjadi Mereka pun kembali ke 
tempat semula, setelah anggota pengawal barang itu 
memohon pamit Ki Pangrawit yang berusaha untuk 
menahan, terpaksa, melepaskan kepergian lelaki pen-
gawal barang itu. Karena, Ketua Perguruan Gelang 
Terbang maklum akan kesibukan sebagai pengawal 
barang
"Selamat jalan, Kisanak. Kuharap, kau bersedia 
memberitahukan apabila si pengirim hadiah itu datang 
menemuimu kembali," ucap Ki Pangrawit berbasa-basi.
Memang la sendiri yakin kalau pengirim tiga 
kepala muridnya itu tidak mungkin akan menemui 
pengawal barang itu lagi
***
EMPAT

Semenjak melihat kiriman tiga kepala murid-
nya, Ki Pangrawit tidak lagi banyak bicara. Orang tua 
itu lebih banyak termenung, ketimbang menyaksikan 
pertunjukan-pertunjukan di atas panggung.
Semua sikap Pendekar Gelang Terbang tidak 
lepas dari pengamatan dua orang sahabatnya. Ki Jani-
ga dan Pendekar Cakar Maut hanya bisa menghela na-
pas melihat kemurungan sahabatnya. Namun mereka 
tidak banyak bicara. Seperti halnya Ki Pangrawit, ke-
dua tokoh itu juga tidak memperhatikan pertunjukan 
di atas panggung. Padahal, saat itu para undangan 
berteriak-teriak memberi semangat kepada jago mas-
ing-masing. Memang di atas panggung tengah terjadi 
pertarungan persahabatan yang sangat seru. Perta-
rungan itu hanya untuk meramaikan perayaan berdi-
rinya Perguruan Gelang Terbang yang kelima.
Sedangkan Panawangan yang bertindak sebagai 
pembawa acara, memperhatikan pertunjukan di atas 
panggung dengan wajah berseri. Lelaki gagah murid 
utama Ki Pangrawit itu sama sekali tidak sempat 
memperhatikan sikap gurunya yang duduk di sebelah-
nya. Semua perhatiannya tercurah pada pertarungan 
seru di atas panggung. Bahkan dia juga tidak tahu ka-
lau adik seperguruannya tertimpa musibah yang sem-
pat membuat gurunya resah.
Sesekali terlihat Panawangan mengangguk-
angguk kagum terhadap sosok berpakaian merah yang 
terlihat mulai mendesak lawannya. Lelaki gagah ber-
cambang bauk itu benar-benar terpesona oleh penam-
pilan tokoh yang berjuluk Rajawali Merah itu. Meski-
pun sudah mengalahkan lima orang lawan sebelum

nya, namun kegesitan serta tenaga Rajawali Merah 
sama sekali tidak kelihatan berkurang. Terbukti pada 
pertarungan keenam, Rajawali Merah masih mampu 
mendesak lawannya. Dari kenyataan itu saja, sudah 
menandakan kelihaian Rajawali Merah.
"Hebat sekali tokoh yang berjuluk Rajawali Me-
rah itu. Guru. Rasanya kali ini pun, ia pasti akan me-
menangkan pertarungan kembali," bisik Panawangan, 
di sebelah kiri Ki Pangrawit.
Ketika tidak mendengar tanggapan gurunya, 
Panawangan mengangkat wajahnya. Langsung dita-
tapnya Ki Pangrawit Memang, ketika berbisik tadi, ma-
tanya tak lepas dari pertarungan sengit di atas pang-
gung, tanpa memandang wajah gurunya.
Ki Pangrawit yang tengah termenung dengan 
pikiran tak menentu, sama sekali tidak sadar kalau
kening Panawangan berkerut menyaksikan wajah mu-
rungnya. Kini Panawangan sadar kalau semenjak tadi 
gurunya sama sekali tidak memperhatikan pertarun-
gan di atas panggung. Tentu saja sikap Ki Pangrawit 
menimbulkan tanda tanya besar di hati murid uta-
manya.
"Guru...," panggil Panawangan hati-hati dengan 
sedikit tekanan untuk mengembalikan kesadaran 
orang tua itu.
Karena Ki Pangrawit tetap tidak berpaling, ak-
hirnya Panawangan menyentuh lengan gurunya perla-
han. Tak lama kemudian....
"Ehhh?!"
Sentuhan Panawangan yang hanya perlahan itu 
ternyata mengakibatkan Ki Pangrawit tersentak kaget 
Bahkan langsung melompat bangkit dari kursinya. Ka-
ruan saja Panawangan ikut-ikutan tegang!
Sadar akan sikapnya yang tidak wajar, Ki Pan
grawit kembali menghempaskan pantatnya di atas 
kursi. Terdengar helaan napasnya yang berat dan pan-
jang. Sehingga membuat kerutan di kening Panawan-
gan semakin dalam.
"Kau mengejutkanku, Panawangan..."
Terdengar desisan tak senang keluar dari orang 
tua itu. Dari tatapan tajam yang menyorot wajah murid 
utamanya, jelas kalau Ki Pangrawit berusaha menelan 
kejengkelannya.
"Maaf, Guru. Aku sama sekali tidak bermaksud 
demikian. Tapi, mengapa Guru kupanggil berkali-kali 
tidak juga mendengar? Apakah ada sesuatu yang dipi-
kirkan?" tanya Panawangan.
"Betulkah...?" tanya Ki Pangrawit, tak yakin 
akan keterangan muridnya.
Panawangan hanya mengangguk untuk memas-
tikan keterangannya. Kemudian, lelaki gagah itu me-
natap gurunya, untuk minta penjelasan atas sikap 
aneh orang tua itu.
"Hhh... Mungkin aku hanya sedikit lelah, Pa-
nawangan. Tapi, kau tidak perlu cemas. Setelah pe-
rayaan ini selesai, tentu aku bisa banyak beristirahat," 
desah Ketua Perguruan Gelang Terbang itu.
Ki Pangrawit terpaksa berbohong, karena tidak 
ingin Panawangan ikut memikirkan apa yang telah 
menimpa tiga orang muridnya.
Apa lagi, hai Itu bisa-bisa mengganggu kelanca-
ran acara yang menjadi tugas Panawangan. itu sebab-
nya, Ki Pangrawit terpaksa berbohong.
Kembali Panawangan hanya menganggukkan 
kepalanya, kemudian kembali berpaling ke atas pang-
gung. Saat itu, pertarungan sudah semakin memuncak 
dan bertambah seru

***
"Saudara-saudara sekalian...."
Baru saja Panawangan hendak melanjutkan 
acara yang bagi para tamu sangat menarik, tiba-tiba 
terdengar jerit kematian susul-menyusul. Cepat-cepat 
lelaki gagah itu menoleh ke arah deretan tamu di sebe-
lah kanan panggung. Kening Panawangan tampak ber-
kerut ketika melihat para undangan yang berada di 
tempat itu berlarian meninggalkan tempatnya masing-
masing.
Subadra dan Kandira yang sudah tiba di tempat 
itu menjadi pucat selebar wajahnya. Betapa tidak, se-
bab delapan orang undangan terlihat menggelepar di 
atas tanah mirip seperti ayam disembelih dengan mu-
lut berbusa.
"Apa yang terjadi terhadap mereka...?" tanya 
Subadra, sambil menangkap lengan seorang undangan 
untuk dimintai keterangannya.
Dalam ketegangannya, Subadra sampai tidak 
menyadari ada tenaga dalamnya yang tersalur melalui 
jari-jari tangannya. Lelaki itu baru tersadar setelah 
melihat wajah orang yang dicekalnya meringis kesaki-
tan.
"Maaf..., maaf...," ucap Subadra sambil mele-
paskan cekalan tangannya. 'Tolong jelaskan, apa yang 
telah terjadi terhadap mereka?"
Seorang tamu bertubuh raksasa menghampiri
Subadra. Dari sorot matanya yang tajam, Subadra ta-
hu kalau orang itu tengah menahan kemarahan.
"Kalian orang-orang Gelang Terbang sengaja 
berpura-pura tidak tahu! Mereka tewas setelah minum 
air yang dihidangkan murid-murid Perguruan Gelang 
Terbang! Jelas, kalian sengaja hendak membunuh to

koh-tokoh persilatan untuk menguasai rimba persila-
tan! Jangan kira aku tidak tahu akal busuk ini!" ben-
tak lelaki bertubuh raksasa itu dengan wajah merah 
padam. Tentu saja tuduhan itu membuat amarah Sub-
adra bangkit seketika.
"Jaga mulutmu, Kisanak! Ucapanmu itu bisa 
membuat keruh suasana! Sebaiknya, teliti dulu sebe-
lum melemparkan tuduhan kotor itu kepada kami! Bi-
sa saja kau yang justru melakukannya dengan men-
gambinghitamkan Perguruan Gelang Terbang!"
Dengan wajah yang juga merah padam, Suba-
dra melempar balik tuduhan yang dilontarkan oleh le-
laki bertubuh raksasa itu. Sehingga, lelaki bertubuh 
raksasa itu tidak dapat lagi menahan kemarahannya!
"Keparat kau, Manusia Licik! Kau harus bayar 
mahal tuduhan itu! Sambut pukulanku...!" sentak le-
laki bertubuh raksasa itu kemudian dia melompat dis-
ertai luncuran kepalanya yang sebesar kepala bayi!
Whuuut!
Subadra pun tidak sudi jadi sasaran empuk be-
gitu saja! Pukulan yang mengancam dadanya segera 
dielakkan dengan menarik mundur tubuhnya ke bela-
kang! Kemudian dengan kecepatan berbahaya, murid 
utama Ki Pangrawit itu langsung melepaskan sebuah 
tendangan kilat ke tubuh lawan!
Plakkk!
"Uhhh...?!"
Bukan main terkejutnya Subadra ketika tu-
buhnya terdorong akibat tangkisan lengan kekar ber-
bulu lebat itu. Baru disadari kalau lelaki bertubuh 
raksasa Itu memiliki tenaga luar yang sangat besar. 
Maka, ia segera melompat mundur dan mengatur se-
rangannya kembali.
"Kupecahkan batok kepalamu. Manusia Li
cik...!"
Lelaki bertubuh raksasa itu kembali melesat 
dengan pukulannya yang susul-menyusul Sambaran 
angin menderu-deru menyertai lontaran kepalan yang 
besar dan mengerikan.
Sebagai murid utama Ki Pangrawit, tentu saja 
Subadra telah memiliki bekal yang cukup. Pertarungan 
pun kembali berlanjut, dan bertambah seru! Mereka 
saling terjang bagaikan dua orang musuh bebuyutan 
yang ingin membunuh lawan satu sama lain. Tentu sa-
ja keadaan tempat itu menjadi kacau!
Pertarungan yang terjadi antara Subadra dan 
lelaki bertubuh raksasa itu terus menjalar ke tamu-
tamu lainnya. Ucapan lelaki bertubuh raksasa itu telah 
mempengaruhi tamu-tamu yang lain. Sehingga, sema-
kin kewalahanlah para murid Perguruan Gelang Ter-
bang menahan gelombang serangan para undangan 
yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh persilatan.
Suasana yang semula semarak oleh tepuk so-
rak dan keakraban, kini berubah menjadi medan per-
tempuran yang kacau dan tidak beraturan. Bahkan, 
beberapa orang murid Perguruan Gelang Terbang mu-
lai jatuh mandi darah! Hal Itu wajar saja, karena yang 
harus dihadapi adalah tokoh-tokoh persilatan yang te-
lah malang melintang dan banyak pengalaman. Se-
hingga, pihak Perguruan Gelang Terbang nampak ter-
desak hebat!
Sedangkan di atas panggung, Panawangan 
hanya memandang bingung. Sungguh tidak pernah di-
bayangkan kalau suasana yang semula meriah, akan 
menjadi medan pertarungan yang membawa maut. Ke-
nyataan yang tiba-tiba membuatnya terkesima untuk 
beberapa saat lamanya.
Rajawali Merah yang saat itu masih berada di
atas panggung, berpaling ke arah lelaki gagah itu den-
gan pandangan curiga. Tentu saja tatapan penuh curi-
ga itu membuat Panawangan naik pitam. Namun den-
gan cepat ia berusaha menekan rasa jengkel, dan men-
coba memberi pengertian kepada Rajawali Merah yang 
nampaknya sudah terpancing dengan kata-kata Long-
gawa.
"Tidak perlu bersandiwara lagi, Panawangan. 
Semua yang terjadi di sebelah kanan panggung telah 
kudengar. Huh! Sungguh tidak kusangka kalau Pergu-
ruan Gelang Terbang ternyata berhati busuk!" bentak
Rajawali Merah sambil menudingkan jari telunjuknya 
ke wajah Panawangan.
Jelas, tokoh yang tidak terikat perguruan ma-
napun itu, telah terpengaruh ucapan lelaki bertubuh 
raksasa tadi. Makanya, dia langsung naik pitam, dan 
Panawanganlah sasarannya.
"Jangan bodoh, Kisanak. Lebih baik kita berbi-
cara baik-baik. Aku yakin, pasti ada orang yang men-
jadi dalangnya, dan sengaja mengadu domba kita se-
mua. Harap kau sudi membantu kami untuk menjer-
nihkan masalah ini. Percayalah kami tidak sebusuk 
persangkaanmu," bantah Panawangan.
Laki-laki brewok itu masih memberikan penger-
tian kepada tokoh muda yang berjuluk Rajawali Merah. 
Tapi tentu saja semua itu bukan karena Panawangan 
merasa gentar terhadapnya, la hanya tidak ingin sua-
sana menjadi semakin keruh apabila mereka ikut ber-
tarung.
Sementara itu, Ki Pangrawit, Ki Janiga, dan 
Pendekar Cakar Maut berusaha menarik mundur mu-
rid-murid Perguruan Gelang Terbang. Ketiga orang to-
koh berkepandaian tinggi itu berusaha menyelamatkan 
anggota Gelang Terbang, dengan memukul mundur tokoh-tokoh persilatan yang tengah dilanda kemarahan.
Ki Pangrawit sendiri merasa berterima kasih 
terhadap kedua orang sahabatnya yang tidak terpanc-
ing. Ngeri juga orang tua itu membayangkan nasib 
perguruannya, apabila Ki Janiga dan Pendekar Cakar 
Maut sampai ikut memusuhi Perguruan Gelang Ter-
bang. Untunglah, kekhawatirannya tidak sampai men-
jadi kenyataan. Sehingga, Ki Pangrawit bisa menarik 
napas lega
Dengan kepandaiannya yang tinggi, ketiga to-
koh sakti itu berhasil menggiring murid Ki Pangrawit 
hingga dapat bersatu. Dengan adanya ketiga tokoh 
sakti dibarisan depan, semua tokoh persilatan yang 
menggempur murid-murid Perguruan Gelang Terbang 
dapat dipukul mundur.
Panawangan yang merasa bersyukur karena te-
lah dapat membujuk Rajawali Merah, segera mengga-
bungkan diri dengan pihak murid-murid Gelang Ter-
bang. Ki Pangrawit mengucap syukur melihat tokoh 
muda berjuluk Rajawali Merah tidak ikut terpengaruh. 
Memang, biarpun kepandaian tokoh muda itu masih 
berada di bawah kepandaiannya, tapi bisa mendatang-
kan kesulitan juga apabila ikut-ikutan dengan tokoh 
persilatan lainnya!
Dengan dibantu tiga murid utama dan Rajawali 
Merah, ketiga tokoh sakti itu mulai dapat memecah 
kekuatan lawan. Sehingga, kedua belah pihak kini sal-
ing berhadapan dalam jarak satu tombak.
"Sahabat sekalian, harap hentikan pertumpa-
han darah yang tiada guna ini...!"
Dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga 
dalamnya, Ki Pangrawit berseru untuk menghentikan 
pertarungan berdarah ini. Orang tua itu berdiri gagah 
ditemani Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut, Rajawali

Merah, dan murid-murid utamanya. Mereka berdiri 
berjajar melindungi murid-murid Gelang Terbang, dan 
para undangan yang sama sekali tidak mengerti ilmu 
silat Seorang lelaki bertubuh raksasa menyibak keru-
munan tokoh-tokoh persilatan, dan melangkah maju 
ke depan. Di lari-kanannya ikut menyertai delapan 
orang tokoh persilatan. Seolah-olah kedelapan tokoh 
persilatan itu hendak melindungi lelaki bertubuh rak-
sasa yang bertindak sebagai wakil mereka.
"Ki Pangrawit..!" geram lelaki bertubuh raksasa 
itu dengan wajah gelap, "Kau tidak perlu mungkir lagi! 
Telah ku saksikan sendiri kematian tokoh persilatan
yang meminum air suguhan murid-muridmu! Kalau 
kau memang ingin menguasai dunia persilatan, jangan 
begitu caranya. Kau bisa mengundang para tokoh un-
tuk memperebutkan jago nomor satu di negeri ini me-
lalui sebuah pertandingan jujur. Dan bukan kelicikan 
seperti yang kau lakukan ini! Tak kusangka, ternyata 
Pendekar Gelang Terbang memiliki hati kejam dan li-
cik!"
"Dengar, Longgawa. Selama mengenalku, per-
nahkah kau menemukan sifat jahat dan licik padaku? 
Pernahkah kau mendengar bahwa aku berniat menjadi 
jago nomor satu? Telitilah baik-baik. Aku khawatir, 
semua ini adalah perbuatan orang-orang golongan hi-
tam yang hendak memecah belah kita. Sadarilah keke-
liruan ini sebelum terlambat," sahut Ki Pangrawit 
memberi keterangan panjang lebar kepada orang yang 
bernama Longgawa itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Longgawa dan 
para tokoh lainnya saling bertukar pandang. Jelas, 
ucapan Ki Pangrawit cukup mengena di hati Longgawa 
dan para tokoh persilatan lainnya. Memang, selama 
mereka mengenal Ki Pangrawit dalam rimba persilatan 
sebagai orang yang belum pernah berbuat kesalahan. 
Sehingga, Longgawa dan para tokoh lainnya menjadi 
ragu.
"Longgawa! Kau pun cukup mengenalku, bu-
kan?" Ki Janiga yang dalam kalangan persilatan berju-
luk Tinju Pemecah Badai, juga ikut angkat bicara un-
tuk melerai perselisihan di antara kedua tokoh itu.
"Aku cukup mengenalmu, Ki...," jawab Longga-
wa tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan beberapa 
orang tokoh persilatan ikut menganggukkan kepalanya 
tanda mengenal tokoh yang berjuluk Pendekar Peme-
cah Badai itu.
"Nah! Katakanlah dengan jujur, bagaimana tin-
dakanku dalam menangani kejahatan yang baru kau 
dengar selama ini? Apakah aku akan membela orang 
yang salah walaupun ia sahabat baik, atau keluarga-
ku?" tanya Ki Janiga lagi, tenang.
"Tapi..., aku melihat sendiri apa yang menimpa 
delapan orang tokoh persilatan itu. Mereka tewas sete-
lah meneguk minuman yang disuguhkan, murid-murid 
Ki Pangrawit," bantah Longgawa. Tokoh bertubuh rak-
sasa itu memang tidak jauh dari korban-korban kera-
cunan yang tewas seketika itu juga.
"Hm.... Kau belum menjawab pertanyaanku, 
Longgawa. Masalah lain bisa diselesaikan setelahnya," 
tukas Ki Janiga, terhadap ucapan Longgawa yang se-
perti hendak membela diri.
"Baiklah. Aku memang tidak mungkin meragu-
kan jiwa pendekar mu, Ki Janiga. Dan aku pun per-
caya kalau kau akan menindak tegas setiap kejahatan
meski keluargamu sendiri yang harus ditindak. Tapi..."
"Cukup!" potong Ki Janiga tegas. "Nah! kalau 
sekarang aku membela Ki Pangrawit, apakah bukan 
berarti aku telah melakukan tindakan yang benar? Lalu, apa pendapatmu tentang tindakanku ini? Apakah 
aku telah membela orang yang salah?"
Ki Janiga terus memojokkan Longgawa dengan 
mengandalkan jawaban lelaki bertubuh raksasa itu. 
Sehingga, Longgawa tidak mampu menjawab untuk 
beberapa saat lamanya.
"Aku harus mendengar sendiri penjelasan Ki 
Pangrawit mengenai kematian para tokoh persilatan 
yang keracunan itu Sesudah itu, mungkin aku bisa 
mempertimbangkannya."
Akhirnya, hanya ucapan itulah yang keluar dari 
mulut Longgawa. Jelas, lelaki bertubuh raksasa itu te-
lah menyerah.
"Bagus. Kalau begitu, mari kita bicarakan baik-
baik," ajak Ki Janiga.
Kini Ki Janiga merasa lega karena pertumpahan 
darah itu tidak berkelanjutan dan memakan korban 
terlalu banyak. Kemudian, dibawanya Longgawa dan 
delapan tokoh persilatan itu ke dalam ruang perte-
muan Perguruan Gelang Terbang.
Ki Pangrawit, Pendekar Cakar Maut, dan Raja-
wali Merah ikut menyertainya. Sedangkan Panawan-
gan, Subadra, Kandira dan murid-murid Perguruan 
Gelang Terbang di tempat, menanti keputusan perun-
dingan itu.
***
LIMA


Tidak berapa lama kemudian, Ki Pangrawit dan 
para tokoh lainnya keluar dari dalam ruang perte-
muan. Wajah-wajah mereka tampak tidak setegang


semula. Sehingga, baik pihak murid-murid Perguruan 
Gelang Terbang maupun tokoh persilatan sama-sama 
menarik napas lega.
Ki Pangrawit melangkah menghampiri ketiga 
orang murid utamanya. Jelas, Panawangan dan dua 
orang lainnya sudah tidak sabar lagi ingin mendengar 
penyelesaian dari kejadian itu.
"Kalian tetaplah berjaga-jaga di sini, bersama 
murid yang lain. Ingat, jangan buat kesulitan baru," 
pesan Ki Pangrawit Kemudian, dia berbalik meninggal-
kan Panawangan, Subadra, Kandira yang hanya men-
gangguk bingung.
Longgawa juga berbuat hal yang serupa. Tokoh 
bertubuh raksasa itu berpesan kepada yang lain agar 
tidak bertindak sendiri-sendiri. Setelah itu, dia beran-
jak mengikuti langkah Ki Pangrawit bersama para to-
koh lain.
Ki Pangrawit terus membawa Longgawa dan pa-
ra tokoh persilatan menuju bagian dapur.
"Nah! Kalau air yang kami suguhkan memang 
benar dibubuhi racun, pastilah semua air yang dis-
ediakan di sini juga mengandung racun. Untuk itu, bi-
arlah ku percayakan kepada Ki Janiga," kata Ki Pan-
grawit, setelah tiba di bagian belakang bangunan uta-
ma perguruan.
'Terima kasih atas kepercayaan yang kau beri-
kan kepadaku, Ki Pangrawit," ucap Ki Janiga.
Si Tinju Pemecah Badai itu memang tahu ba-
nyak tentang masalah racun. Maka segera saja dipe-
riksanya tempat-tempat air teh yang telah disediakan 
untuk keperluan pesta perayaan.
Dengan wajah agak tegang, Ki Pangrawit dan 
yang lain menanti hasil pemeriksaan Ki Janiga. Bah-
kan Longgawa merasa agak gelisah.

"Bagaimana, Ki...?"
Longgawa langsung bergerak maju ketika Ki 
Janiga membalikkan tubuhnya, setelah selesai meme-
riksa. Wajah tokoh itu tampak agak gelap. Sehingga, Ki 
Pangrawit menjadi berdebar karenanya.
"Kau menemukan di dalam minuman-minuman 
itu, Ki Janiga?" tanya Ki Pangrawit yang mendadak ha-
tinya berdebar melihat wajah murung sahabatnya.
"Hhh.. " Ki Janiga menghela napas berat dan 
menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah kecewa.
"Aneh! Semua minuman di sini ternyata men-
gandung racun jahat yang mematikan...."
Longgawa menghela napas lega mendengar ja-
waban Ki Janiga. Maka segera saja lelaki bertubuh 
raksasa itu berpaling menatap Ki Pangrawit Senyum 
kemenangan tampak menghias wajahnya.
"Nah, sekarang apa jawabanmu setelah men-
dengar hasil pemeriksaan Ki Janiga? Apakah kau ingin 
mungkir lagi?" terdengar ucapan bernada sinis dari 
mulut Longgawa.
Ki Pangrawit sama sekali tidak menimpali uca-
pan Longgawa. Orang tua yang tubuhnya masih nam-
pak gagah itu menoleh ke kiri dan kanan, seperti ten-
gah mencari sesuatu. Kemudian, dia terus bergerak ke 
belakang tanpa mempedulikan tatapan heran yang 
lainnya.
Longgawa yang kini benar-benar merasa yakin 
kalau Ki Pangrawit jelas bersalah, segera saja bergerak 
mengejar. Sepertinya, lelaki bertubuh raksasa itu hen-
dak mencegah Ki Pangrawit melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau, Ki Pangrawit..?" seru 
Longgawa sambil melesat mengejarnya.
Ki Janiga dan tokoh lainnya tentu saja heran 
terhadap tingkah laku Ki Pangrawit Bergegas para tokoh itu bergerak mengejar ke arah taman belakang 
Perguruan Gelang Terbang.
Longgawa merasa geram terhadap Ki Pangrawit, 
segera mengerahkan ilmu lari cepatnya. Setelah ber-
jumpalitan beberapa kali, lelaki itu mendarat empuk 
satu tombak di depan Ki Pangrawit. Hal itu terjadi bu-
kan karena ilmu lari Longgawa lebih hebat, tapi karena 
Ki Pangrawit memang tidak bermaksud melarikan diri. 
Itu sebabnya, Longgawa dapat menyusul orang tua itu.
"Hm... Hendak lari ke mana kau, Ki Pangrawit? 
Lebih baik menyerah, sebelum tokoh-tokoh persilatan 
menghancurkan perguruan ini!" ancam Longgawa.
Ki Pangrawit tertegun sejenak ketika menden-
gar ancaman itu. Sepertinya, orang tua sakti itu baru 
sadar kalau sikapnya telah menimbulkan dugaan 
bahwa ia hendak melarikan diri. Tampak Ki Pangrawit 
menahan langkahnya, lalu menarik napas panjang.
"Longgawa! Kalau aku memang bersalah, tidak 
nanti aku mengambil tindakan pengecut melarikan di-
ri. Maaf kalau sikapku telah menimbulkan dugaan je-
lek 'Terus terang aku bukan hendak melarikan diri se-
perti yang kau duga. Tapi, aku ingin mencari murid-
muridku yang bertugas menyiapkan hidangan untuk 
para tamu Kau lihat sendiri, di ruang tadi tidak nam-
pak satu pun dari mereka," jelas Ki Pangrawit bernada 
tetap tenang. Karena, ia sama sekali tidak merasa ber-
buat salah. 
"Lalu, mengapa kau pergi dengan sikap mencu-
rigakan? Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan?" 
tanya Longgawa tetap waspada. Rupanya, laki-laki ber-
tubuh raksasa itu siap untuk menghadapi kalau-kalau 
orang tua itu menyerang selagi berbicara. Jelas, keper-
cayaan Longgawa terhadap Pendekar Gelang Terbang 
telah pudar.
"Aku jelas mencurigai keadaan ini. Sebab aku 
yakin, perbuatan ini pasti dilakukan orang-orang licik 
yang hendak mengadu domba kita. Untuk itu, bantu-
lah aku menemukan murid-muridku yang bertugas di 
dapur. Carilah di sekitar taman ini. Kalau tidak, biar-
lah aku rela menebus kesalahan yang tidak pernah ku-
lakukan itu," ujar Ki Pangrawit setengah meminta.
Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut, dan para to-
koh lainnya yang baru tiba di tempat itu segera saja 
menyebar begitu mendengar ucapan Ki Pangrawit Je-
las, mereka masih menaruh sedikit kepercayaan kepa-
da orang tua itu.
Longgawa sendiri segera beranjak meninggal-
kan Ki Pangrawit, setelah melihat tokoh-tokoh lain te-
lah memenuhi keinginan orang tua itu. Meski dengan 
separuh hati, lelaki bertubuh raksasa itu ikut juga 
mencari murid-murid yang dimaksudkan Ki Pangrawit.
Beberapa saat setelah para tokoh itu berpencar, 
terdengar siulan nyaring yang panjang. Sebentar saja,
para tokoh persilatan itu telah berlarian mendatangi 
asal siulan.
"Ada apa. Rajawali Merah...?" Ki Pangrawit dan 
Longgawa bertanya bersamaan. Mereka menatap Ra-
jawali Merah, seperti meminta penjelasan arti siulan 
itu.
"Lihatlah sendiri di semak-semak itu...," sahut 
Rajawali Merah sambil menuding semak-semak yang 
berada satu tombak di sebelah kanannya.
Tanpa diperintah dua kali, Ki Pangrawit dan 
Longgawa seperti berlomba menyibakkan semak pepo-
honan itu. Dan apa yang ada dibalik semak-semak itu, 
membuat mata mereka terbelalak!
"Biadab...!" desis Ki Pangrawit ketika melihat ti-
dak kurang dari sepuluh mayat muridnya yang ditugaskan di bagian dapur. Tentu saja kenyataan itu 
membuat Ki Pangrawit geram.
Longgawa sendiri terdiam tanpa mampu berka-
ta-kata. Sebab dengan bukti mayat-mayat petugas da-
pur itu, tentu saja membuatnya terpaksa harus minta 
maaf, dan menarik tuduhannya terhadap Ketua Pergu-
ruan Gelang Terbang.
"Dugaanku ternyata keliru, Ki Pangrawit. Harap 
kau sudi memaafkan kesalahanku," desah Longgawa, 
penuh penyesalan.
"Tidak perlu meminta maaf padaku, Longgawa.
Tindakanmu tidak seluruhnya salah. Hanya sa-
ja, lain kali kita harus lebih berhati-hati dalam meng-
hadapi suatu masalah," sahut Ki Pangrawit, sehingga 
membuat Longgawa tersenyum pahit
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? 
Sedangkan kematian murid-murid Ki Pangrawit dan 
tokoh-tokoh persilatan lain masih belum jelas." Raja-
wali Merah yang merasa penasaran atas kejadian itu 
mengutarakan rasa penasarannya.
"Hm.... Karena masalah ini jelas merupakan 
masalah perguruanku, biarlah aku yang akan menye-
lidikinya. Longgawa, jelaskanlah masalah ini kepada 
yang lain. Dan, bawa mereka kembali ketempatnya 
masing-masing," ujar Ki Pangrawit kepada para tokoh 
persilatan yang berkumpul di tempat itu. Terutama se-
kali, kepada Longgawa. Karena lelaki raksasa itu me-
mang merupakan wakil dari tokoh-tokoh persilatan 
yang diundangnya.
"Kami akan menetap di tempatmu untuk se-
mentara. Tentu saja, kalau kau tidak keberatan." Ki 
Janiga bersama Pendekar Cakar Maut dan Rajawali 
Merah rupanya bersepakat membantu Ki Pangrawit 
untuk menyingkap teka-teki ini.

Longgawa dan delapan orang tokoh persilatan 
lain segera berpamitan kepada keempat orang tokoh 
itu. Kemudian, mereka berlalu untuk memenuhi per-
mintaan Ki Pangrawit.
***
Seorang pemuda tampan berjubah putih tam-
pak tengah melangkah ringan menyibak rerumputan 
hijau. Rambutnya yang terurai dengan ikat kepala pu-
tih, tampak melambai tertiup angin yang sesekali ber-
hembus keras. Bibirnya selalu membentuk senyum 
ramah, membuat orang merasa suka. Meskipun, baru
sekali bertemu dengannya. Dia memang pemuda yang 
gagah dan menarik.
Di sebelah kiri pemuda tampan itu, seorang ga-
dis berpakaian serba hijau melangkah mengiringinya. 
Wajahnya tampak demikian jelita, dan penuh daya pi-
kat Menatap wajah gadis itu, mengingatkan orang 
akan dongeng kecantikan bidadari.
Sebatang pedang yang tergantung di pinggang 
kirinya, menandakan kalau gadis itu adalah tokoh 
rimba persilatan. Tentu saja dugaan itu tidak salah, 
karena sepasang anak muda itu tak lain Pendekar Na-
ga Putih dan Kenanga yang selalu bertualang untuk 
menumpas keangkaramurkaan.
Panji dan Kenanga yang melangkah dengan ta-
tapan lurus ke depan, sama-sama seperti menyipitkan 
mata ketika melihat kepulan debu tebal di depannya.
"Lebih baik kita menepi, Kenanga. Sepertinya di 
depan sana ada serombongan orang berkuda yang 
akan melintasi jalan ini," ujar Panji yang segera meng-
genggam tangan dara jelita itu. Kemudian Kenanga di-
bawanya ke tepi.

Kenanga sama sekali tidak membantah. Dara 
jelita itu menurut saja ketika Panji membawanya ke 
tepi.
Tidak berapa lama kemudian, dari jarak sekitar 
sepuluh tombak tampak serombongan orang berkuda 
tengah menuju ke arah mereka. Mereka segera me-
nundukkan kepala, untuk menghindari debu yang bisa 
mengotori wajah mereka.
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang di-
iringi suara gemuruh kaki kuda. Sebentar kemudian, 
rombongan itu pun telah melewati sepasang pendekar 
ini.
Tapi sebelum debu-debu yang mengepul itu le-
nyap tersaput angin, tiba-tiba rombongan penunggang 
kuda yang berada di belakang segera menghentikan la-
ri kudanya Tentu saja hal itu membuat Panji dan ke-
kasihnya menoleh, hendak mengetahui apa yang 
membuat rombongan itu berhenti.
Kenanga mengerutkan keningnya ketika meli-
hat rombongan itu berbalik kembali ke arah mereka. 
Karena sempat melirik wajah-wajah mereka ketika me-
lintas di sampingnya, kecurigaan dara jelita itu pun
timbul. Apalagi wajah-wajah kasar yang sempat dili-
hatnya meski sekilas itu menunjukkan kalau mereka 
bukan orang baik-baik.
"Mereka kembali, Kakang...," kata Kenanga, 
seolah-olah hendak meminta pendapat kekasihnya.
"Mmm.... Mungkin mereka hendak menanyakan 
sesuatu kepada kita," sahut Panji yang tetap bersikap 
tenang, meski tahu akan perasaan hati kekasihnya
"Menurutku, bukan itu yang mereka kehendaki. 
Menilik dari wajahnya, jelas mereka bukan orang baik-
baik. Mungkin sebangsa perampok yang tengah men

cari mangsa," bantah Kenanga, mengungkapkan du-
gaannya.
"Kalaupun begitu, apa yang dapat mereka ram-
pas dari kita? Rasanya, salah alamat kalau kita hen-
dak dirampok," sahut Panji sambil tersenyum.
Terus-terang ada keharuan yang sempat me-
nyelinap di relung hati Pendekar Naga Putih. Jelas, 
ucapannya itu mengingatkannya kalau Kenanga sama 
sekali tidak memakai perhiasan, sebagaimana wanita-
wanita umumnya.
Kenanga yang sempat menangkap semua itu 
dari tatap mata kekasihnya, segera saja tersenyum. 
Kemudian, jemarinya menggenggam hangat jemari pe-
muda itu.
"Kau tidak perlu memikirkan hal seperti itu.
Kakang. Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan 
keadaan ini. Selain itu, aku pun tidak pernah menun-
tut yang bukan-bukan darimu. Jadi hal itu jangan 
sampai mengganggu pikiranmu," hibur Kenanga sam-
bil meremas jemari pemuda itu sebagai ungkapan rasa 
bahagianya.
Panji tidak sempat lagi menimpali ucapan ke-
kasihnya. Karena, saat itu rombongan penunggang 
kuda telah berada satu tombak di hadapan mereka.
Tiga orang dari penunggang kuda itu terlihat 
melompat turun dari atas punggung kuda. Sikap me-
reka tampak angkuh dengan wajah dibuat sebengis 
mungkin. Jelas, rombongan penunggang kuda itu se-
perti sengaja mencari gara-gara.
"Adakah yang bisa kami bantu, Kisa-
nak...?"tanya Panji, seraya menganggukkan kepalanya.
Sedangkan Kenanga sudah menundukkan ke-
pala dalam-dalam. Memang ia tidak ingin kilatan ma-
tanya yang memancarkan kemarahan sampai terlihat

oleh rombongan itu. Karena akan menimbulkan keri-
butan di antara mereka.
"Hm….."
Ketiga orang lelaki kasar yang sepertinya pim-
pinan rombongan itu hanya bergumam, tanpa mempe-
dulikan pertanyaan Panji. Mereka kemudian mengitari 
pasangan pendekar itu dengan mata tak lepas dari so-
sok berpakaian hijau itu.
"Hm.... Kau benar-benar bersedia membantu 
kami, Kisanak...?"
Tiba-tiba salah satu dari ketiga orang itu meng-
hampiri Panji. Sepertinya, ada maksud tersembunyi 
dalam ucapannya.
Panji tersenyum menatap wajah penuh cam-
bang bauk itu.
"Kalau aku bisa, aku ikhlas membantu kalian. 
Katakanlah. Mudah-mudahan saja aku dapat mem-
bantu:..," jawab Panji, tenang. Sebuah jawaban yang 
cerdik, dan sukar dicari kelemahannya.
Lelaki bercambang bauk dengan sepasang mata 
agak redup itu terdiam beberapa saat Setelah beberapa 
kali melirik ke arah Kenanga, ia kembali melanjutkan 
ucapannya.
"Kalau begitu, tolong bantu kami. Tinggalkan-
lah gadis ini. Untuk itu, aku akan sangat berterima 
kasih sekali."
"Aaah... Kalau itu, tentu saja aku tidak dapat 
membantu. Mintalah yang lain. Maka, aku berjanji 
akan membantu, itu pun kalau bisa...," sahut Panji 
tanpa rasa terkejut sedikit pun. memang, sejak semula 
pemuda itu telah menduganya.
"Hm.... Ternyata kau pendusta, Anak Muda! 
Tadi kau katakan akan menolong kami. Tapi nya-
tanya...!" hardik lelaki bermata sayu itu sambil menuding wajah Pendekar Naga Putih. Terlihat ancaman 
maut membayang di wajahnya.
"Hm.... kau salah, Kisanak. Tadi sudah kukata-
kan, kalau aku bisa. Tapi yang ini..., tentu saja tidak 
bisa. Jadi maaf kalau aku telah mengecewakan ka-
lian...," sahut Panji tanpa mempedulikan kemarahan 
lelaki brewok itu.
"Aaah! Mengapa mesti bertele-tele. Hajar saja, 
habis perkara!" bentak yang lain tak sabar.
Begitu ucapannya selesai, orang berhidung be-
sar itu langsung mencabut sebuah golok panjangnya. 
Kemudian, diayunkannya golok itu ke leher Panji!
Whuuut!
Ayunan golok panjang itu meluncur deras di-
iringi suara mengaung tajam! Tapi kecepatan dan ke-
kuatan serangan itu sama sekali tidak membuat Panji 
gugup. Bahkan gerakan orang itu terlihat masih terlalu 
lambat bagi Pendekar Naga Putih. Maka tanpa kesuli-
tan sedikit pun, pemuda itu sudah menggeser tubuh-
nya, sehingga luput dari incaran mata golok lawan!
"Setaan..!"
Lelaki berhidung besar itu tentu saja semakin 
bertambah penasaran. Golok di tangannya berputar 
cepat, kemudian dia kembali meluruk tajam mengan-
cam pemuda berjubah putih itu.
Untuk kali ini, Panji tidak berusaha mengelak 
Sudah dapat diukurnya kekuatan tenaga lawan, mela-
lui sambaran pertama tadi. Maka pada serangan kali 
ini, Panji hanya berdiri tegak menanti datangnya mata 
golok yang hendak memenggal lehernya!
Beuuut! Trakkk!
"Aaakh...?!"
Lelaki berhidung besar itu memekik kesakitan! 
Pedang di tangannya terpental dalam keadaan patah!

Sedang ia sendiri terlempar hingga satu setengah tom-
bak jauhnya! Bahkan tangan kanannya yang meng-
genggam golok, terlihat bengkak dan berwarna hijau 
kebiruan.
"Iblisss...!"
Dua orang pimpinan rombongan orang berkuda 
itu mendesis dengan wajah pucat! Mereka sempat me-
nyaksikan begitu mata golok menghantam leher, terli-
hat adanya lapisan kabut bersinar putih keperakan 
yang muncul tiba-tiba di seluruh tubuh pemuda Itu. 
kemudian kabut itu lenyap kembali setelah lawannya 
terpental! Itulah yang membuat mereka gentar!
"Hm...."
Panji yang sepertinya Ingin membuat kapok pa-
ra penunggang kuda itu, kembali mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Kemudian bertiuplah 
angin dingin yang menusuk tulang.
"Brrr...."
Dua orang kepala rombongan yang tengah me-
narik bangkit kawannya, kontan menggigil kedinginan 
dengan gigi bergemelutuk. Jelas mereka yang bertiga 
berada paling depan tentu saja terpengaruh hawa din-
gin yang diciptakan Pendekar Naga Putih.
"Mari kita pergi...," ajak lelaki brewok bermata 
sayu dengan suara gemetar karena kedinginan.
Sedangkan para anggota lainnya yang masih 
berada di atas kuda telah lebih dulu dilarikan kuda-
kuda mereka, pada saat hawa dingin itu muncul.
Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian 
rombongan itu dengan tarikan napas lega.
"Hm.... Untunglah mereka dapat kuusir hanya 
dengan gertakan saja. Padahal, kalau sampai terjadi 
pertarungan belum tentu aku dapat menundukkan 
mereka dalam waktu singkat..," desah Panji.

Kenanga hanya menghela napas panjang men-
dengar ucapan Panji. Gadis itu bukan tidak tahu, apa 
yang dilakukan kekasihnya. Memang, Pendekar Naga 
Putih mengusir rombongan penunggang kuda itu den-
gan mempergunakan kesaktiannya tanpa harus ber-
tempur lama. Masalahnya kalau sampai pertempuran 
terjadi, bukan tidak mungkin akan banyak jatuh kor-
ban dari rombongan yang berjumlah 10 orang itu, ter-
makan pedangnya. Kenanga jelas mengerti maksud
pemuda itu.
Panji yang melihat dara jelita itu tercenung, se-
gera saja mengulurkan tangannya. Langsung direng-
kuhnya bahu Kenanga. Kemudian, mereka melangkah 
tanpa melanjutkan perjalanan.
"Apakah perjalanan menuju Perguruan Gelang 
Terbang jadi dilanjutkan?" tanya Panji.
"Kurasa, kalau tidak datang rasanya tidak 
enak, Kakang," sahut Kenanga.
"Tapi kita sudah terlambat, Kenanga." "Lebih 
baik terlambat daripada tidak sama sekali. Aku yakin, 
Ki Pangrawit mau memaklumi kita. Jelaskan saja per-
soalannya, kenapa kita terlambat," tegas Kenanga.
Kemudian sepasang pendekar itu melangkah 
tenang menuju Perguruan Gelang Terbang 
***
ENAM


Cahaya merah jelaga yang menghias langit se-
belah Barat, tampak telah mulai pudar. Sebentar ke-
mudian, senja pun menunjukkan kekuasaan. Kegela-
pan tenis merambat, menyelimuti permukaan bumi.

Dan kini, malam pun mulai datang.
Malam itu, di dalam ruang pertemuan Pergu-
ruan Gelang Terbang, tampak Ki Pangrawit mengum-
pulkan ketiga orang murid utamanya. Demikian pula 
ketiga tokoh persilatan yang merupakan sahabat dan 
juga tamunya. Tokoh-tokoh itu berkumpul untuk 
membahas kejadian yang telah menimpa Perguruan 
Gelang Terbang baru-baru ini.
"Apakah kau sudah mempunyai dugaan, Ki..?" 
tanya Rajawali Merah. Dia memang menyumbangkan 
tenaga dan pikirannya untuk membantu Perguruan 
Gelang Terbang yang tengah dilanda musibah.
"Hhh.... Sayang sekali, aku belum bisa mene-
mukan tokoh yang telah sekeji itu. Dari sekian banyak 
tokoh sesat yang menjadi musuhku, tak seorang pun 
yang menggunakan racun dalam setiap kejahatannya. 
Jadi, bisa dikatakan kalau aku telah gagal menemu-
kan si pembuat onar itu...," ujar Ki Pangrawit dengan 
wajah kecewa.
Sepasang mata Ketua Perguruan Gelang Ter-
bang tampak menatap ketiga orang sahabatnya penuh 
harap. Jelas, Ki Pangrawit mengharapkan agar ketiga 
orang sahabatnya membantu untuk menemukan si 
pembuat onar.
"Bagaimana denganmu, Ki Janiga? Apakah pe-
nyelidikan mu membawa hasil..?"
Pendekar Cakar Maut menoleh ke arah Tinju 
Pemecah Badai yang tampak terangguk-angguk den-
gan kening berkerut Sepertinya, ada sesuatu yang 
mengganggu pikirannya.
"Hhh...."
Ki Janiga menghela napas sebelum menjawab 
pertanyaan Pendekar Cakar Maut.
"Ada suatu yang aneh kutemukan dalam penyelidikanku beberapa hari ini," lanjut Ki Janiga.
Semenjak hari kejadian, Ki Janiga telah me-
ninggalkan Perguruan Gelang Terbang untuk melaku-
kan penyelidikan. Dan baru siang tadi kembali. Se-
dangkan Pendekar Cakar Maut dan Rajawali Merah, 
baru kembali sore tadi Itulah sebabnya, mengapa me-
reka baru berkumpul malam ini.
"Keanehan seperti apa yang kau maksudkan, Ki 
Janiga? Tolong kau jelaskan secara rinci, agar kami ti-
dak bertanya-tanya," desak Ki Pangrawit, tak sabar.
"Benar, Ki. Atau kau memang sengaja hendak 
membuat teka-teki agar kami menduga-duga?" timpal 
Rajawali Merah yang sama tidak sabarnya dengan Ki 
Pangrawit. Sedangkan Pendekar Cakar Maut dan tiga 
murid utama Ki Pangrawit terdiam menunggu jawaban 
Ki Janiga.
"Pertama-tama, aku mendatangi perkumpulan 
pengawal barang yang mengantarkan bingkisan tiga 
kepala murid Ki Pangrawit Terus terang, aku merasa 
aneh dengan keterangan tentang ciri-ciri pelanggan 
yang menyuruh mereka mengantarkan peti itu. Maka, 
aku harus berkeliling untuk mencari orang yang mirip 
dengan yang digambarkan pengawal barang itu. 
Sayang, aku gagal menemukannya. Anehnya, aku ti-
dak bisa percaya kalau orang itu yang telah mengecoh 
kita. Rasanya tidak mungkin! Kalian tahu, siapa orang 
yang dimaksudkan kelompok pengawal barang itu...?" 
tanya Ki Janiga mengakhiri ceritanya.
Tentu saja, yang lain langsung menggelengkan 
kepala. Mungkin enggan untuk berpikir, atau memang 
benar-benar tidak tahu, yang jelas, jawaban itu mem-
buat Ki Janiga tersenyum, dan siap melanjutkan ceri-
tanya.
'Tunggu dulu...!"

Tiba-tiba saja Pendekar Cakar Maut mengang-
kat tangannya. Serentak semua yang berada di ruan-
gan itu menoleh ke arah lelaki gemuk itu, termasuk 
juga Ki Janiga.
"Kau bisa menduganya, Cakar Maut..?" desak 
Ki Janiga meminta ketegasan tokoh itu.
Pendekar Cakar Maut mengangguk pasti.
"Kalau begitu, mengapa tidak segera kau se-
butkan?" desak Ki Pangrawit.
Ki Pangrawit menjadi semakin tak sabar ketika 
melihat Pendekar Cakar maut seperti sengaja mem-
buat penasaran. Bagaikan tidak merasa bersalah, lela-
ki gemuk itu mengusap-usap kening seolah tengah 
berpikir keras.
"Hm...! Kalau tidak salah, ciri-ciri yang kau se-
butkan tadi mirip pimpinan gerombolan perampok. Se-
benarnya, mereka bertiga. Dan mereka dijuluki sebagai 
Tiga Brewok Hutan Larang. Apakah dugaanku salah, 
Ki Janiga...?" tebak Pendekar Cakar Maut sambil men-
gembangkan senyum.
"Dugaanmu tepat. Cakar Maut. Lalu, dapatkah 
kau lihat keanehannya, apabila dihubungkan dengan 
peristiwa yang menimpa Perguruan Gelang Terbang?"
Ki Janiga melontarkan pertanyaan itu. Seolah-olah dia 
mengetahui sampai di mana kecerdikan Pendekar Ca-
kar Maut.
'Tentu saja aku tahu, Ki Janiga. Gerombolan
perampok itu tidak seberapa kuat. Bahkan kepandaian 
tiga orang pemimpinnya masih belum mampu untuk 
melawanku. Jadi tidak mungkin rasanya kalau gerom-
bolan perampok itu berani berbuat macam-macam 
terhadap Perguruan Gelang Terbang. Jadi, ini pasti ada 
orang di belakang layar yang sengaja menggunakan 
mereka untuk membingungkan kita," jelas Pendekar

Cakar Maut.
Kening pendekar bertubuh gemuk itu menjadi 
berkerut ketika teringat akan tokoh tersembunyi yang 
sengaja hendak mengadu domba tokoh-tokoh golongan 
putih.
"Tepat! Ternyata kau masih dapat berpikir jer-
nih. Cakar Maut Itulah yang tengah ku pikirkan Tokoh 
tersembunyi, yang sengaja menggunakan Tiga Brewok 
Hutan Larang untuk mengecoh kita. Sayang, aku be-
lum bisa menduga siapa adanya tokoh licik itu...," de-
sah Ki Janiga menggelengkan kepala.
"Mengapa tidak kita cari saja gerombolan pe-
rampok itu? Dari mereka, kita bisa minta keterangan. 
Bukankah hal itu tidak terlalu sulit?" usul Rajawali 
Merah yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja.
"Ah! Kau ini bagaimana, Rajawali Merah. Seper-
tinya yang kukatakan tadi, perampok-perampok itu te-
lah kabur entah ke mana. Mungkin setelah persoalan 
ini selesai, mereka baru kembali. Tapi kita tidak boleh
menyerah, dan harus mampu membongkar teka-teki 
manusia licik itu" tegas Ki Janiga seraya mengepalkan 
tinjunya erat-erat. Sehingga, yang lainnya ikut terpen-
garuh oleh ketinggian semangat Ki Janiga. 
"Hua ha ha...!"
Baru saja ucapan Ki Janiga selesai, tiba-tiba 
terdengar gaung suara yang mengandung kekuatan 
hebat, dan mendirikan bulu roma. Karuan saja ketu-
juh orang tokoh itu serentak bangkit, dan berlari ke-
luar ruangan.
***
Ki Pangrawit yang tiba di luar lebih dahulu, 
memandang berkeliling. Lelaki berusia enam puluh ta

hun namun masih tampak gagah itu terkejut melihat 
obor-obor di kedua sudut bangunan perguruan tam-
pak padam. Tidak terlihatnya penjaga penjaga di atas 
pintu gerbang, membuat Ki Pangrawit segera menyada-
ri kalau murid-muridnya mungkin telah tewas!
Ki Janiga dan yang lain berdiri berjajar di depan 
pintu ruang pertemuan. Para tokoh itu sama-sama 
terkejut saat melihat obor yang menerangi gerbang de-
pan telah padam seluruhnya.
"Hm.... Ada musuh yang telah menyusup ke da-
lam bangunan ini," bisik Ki Janiga di dekat telinga
Ki Pangrawit Orang tua itu hanya mengangguk 
sambil tetap mengedarkan pandangan ke kegelapan 
malam.
Panawangan yang sempat mendengar bisikan 
Ki Janiga, tentu saja menjadi khawatir terhadap nasib 
saudara-saudaranya yang tengah berjaga di pos pintu 
gerbang. Rasa kekhawatiran itu membuatnya segera 
melesat menuju gerbang.
Melihat perbuatan muridnya, tentu saja Ki Pan-
grawit menjadi terkejut bukan main! Cepat tubuhnya 
ikut melesat sambil berseru mencegah!
"Panawangan, tahan...!"
Kekhawatiran Ki Pangrawit rupanya bukan 
hanya dugaan kosong. Terbukti pada saat tubuh Pa-
nawangan melesat ke gerbang depan yang berjarak ki-
ra-kira sepuluh tombak dari mereka, terlihat dua so-
sok bayangan putih melayang bagaikan seekor elang 
hendak menyambar anak ayam!
"Awaaas...!"
Ki Janiga dan para tokoh lain yang melihat dua 
kilatan mirip cahaya putih itu segera saja berseru 
memperingatkan! Mereka juga tidak tinggal diam. 
Sambil berseru, tubuh para tokoh itu segera melesat

disertai pengerahan seluruh ilmu lari cepat.
Ki Pangrawit yang merasakan adanya bahaya 
mengancam muridnya, segera saja mendorong tubuh 
Panawangan hingga tersungkur mencium tanah! Se-
dangkan la sendiri segera menjatuhkan dirinya, sambil 
melepaskan tendangan ke arah salah satu dari kedua 
sosok bayangan putih yang mengancamnya!
Namun, sosok bayangan putih yang tengah 
mengulurkan cengkeramannya itu sama sekali tidak 
menarik pulang serangannya. Dengan gerakan cepat
dan sukar ditangkap mata, sosok bayangan putih itu 
memutar pergelangan lengannya, dan langsung me-
nangkis tendangan Ki Pangrawit! 
Plakkk! 
"Aaakh...!"
Terdengar jerit tertahan yang dibarengi ledakan 
bagai sambaran petir! Sosok bayangan putih itu me-
lenting kembali ke udara, karena pada saat itu juga Ki 
Janiga dan yang lain telah datang menyelamatkan Ki 
Pangrawit Kalau tidak, pastilah Ketua Perguruan Ge-
lang Terbang yang terdorong dalam keadaan rebah ter-
lentang itu, tidak akan terlepas dari susulan cengke-
raman maut sosok bayangan putih tadi.
"Uhhh.... Gila! Apa sebenarnya yang telah me-
nyerangku itu? Tenaga dan kecepatannya benar-benar 
mengiriskan. Rasanya, aku belum pernah menyaksi-
kannya! Untunglah kalian cepat tiba." desah Ki Pan-
grawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu kemudian 
bergerak bangkit dengan agak terpincang. Jelas, tang-
kisan telapak tangan sosok bayangan putih tadi telah 
membuatnya menderita. Pergelangan kaki kanannya 
terasa nyeri dan agak membengkak.
"Jangan meremehkan kepandaian sendiri, Ki

Meskipun aku menduga begitu, tapi kau tidak dalam 
keadaan siap. Lain halnya dengan sosok bayangan itu, 
yang memang telah menyiapkan serangan sebelumnya. 
Jadi, wajar saja kalau kau menderita kerugian kare-
nanya," hibur Ki Janiga sambil menepuk bahu saha-
batnya perlahan.
Panawangan sendiri sudah bergerak bangkit, 
dan segera meminta maaf atas kecerobohannya. Kini, 
ketujuh tokoh itu berkumpul di halaman depan ban-
gunan utama, menanti kedua sosok bayangan putih 
yang lenyap entah ke mana.
"Hua ha ha.... Dengarlah, hai tokoh-tokoh pen-
dekar berhati sombong! Mulai hari ini, kalian akan ku
bantai satu persatu. Seperti halnya, ketiga orang murid 
Perguruan Gelang Terbang, dan juga para tokoh yang 
tewas keracunan. Hanya saja, kalian kuberi kesempa-
tan untuk membela diri. Nah, bersiaplah. Akan segera 
ku mulai...."
Suara tanpa wujud itu terdengar jelas, bagai 
muncul dari segala sudut bangunan Perguruan Gelang 
Terbang Tentu saja hal itu membuat Ki Pangrawit dan 
yang lain menjadi terkejut setengah mati.
"Keparat..! Pengecut itu sengaja menggunakan 
'Ilmu Memecah Suara'. Dengan begitu, kita tidak akan 
dapat menduga di mana iblis-iblis itu bersembunyi. 
Benar-benar licik..!" desis Ki Pangrawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu menjadi 
terkejut ketika mengenali ilmu yang dipergunakan so-
sok bayangan putih yang entah berada di mana. Diam-
diam, timbul kekhawatiran dalam hatinya, karena dari 
ilmu itu bisa ditebak kalau lawan memiliki kepandaian 
sangat tinggi. Semua itu terbukti dengan 'Ilmu Peme-
cah Suara' yang setahunya merupakan ilmu langka 
dan sulit dipelajari.
"Gila...! Siapa sebenarnya orang gila itu? Lalu 
apa pula alasannya sehingga kita dimusuhi...?" Ki Ja-
niga yang juga mengetahui tentang 'Ilmu Pemecah Su-
ara', tentu saja tidak kalah terkejutnya dengan Ki Pan-
grawit.
"Hai, Manusia-manusia Pengecut! Mengapa ka-
lian tidak berani menampakkan diri?! Kalau memang 
hendak bertarung, keluarlah! Kami tidak sudi berha-
dapan dengan manusia pengecut'" Pendekar Cakar 
Maut yang merasa marah, segera saja berteriak me-
nantang.
Lelaki gemuk itu menatap berkeliling sambil 
bertolak pinggang. Dengan tatapan matanya yang ta-
jam, dicobanya mencari tempat musuh-musuhnya ber-
sembunyi.
"Heee...!" 
"Aia...!"
Mendadak, baru saja ucapan Pendekar Cakar 
Maut selesai, terdengar pekikan-pekikan parau uang 
saling susul. Karena pekikan-pekikan nyaring itu juga 
menggunakan 'Ilmu Pemecah Suara', tentu saja ketu-
juh orang tokoh ini menjadi kebingungan. Mereka ti-
dak bisa menduga secara pasti, di mana lawan memu-
lai serangan.
Ki Pangrawit yang tidak bergerak dari tempat-
nya, menatap tajam menggunakan tenaga batinnya.
Dengan begitu, meski tidak terlalu jelas, arah serangan 
lawan dapat dirasakannya.
"Awaaas...!"
Ki Pangrawit cepat berseru mengingatkan, keti-
ka menangkap dua buah sinar putih melesat ke arah 
mereka dari sebelah kanan! Serentak para tokoh persi-
latan itu berpencaran ke segala arah!
Namun, kesaktian dua sosok bayangan putih

itu benar-benar mengerikan! Bagaikan dua ekor bu-
rung besar tubuh keduanya berputar tanpa menginjak 
tanah, kemudian terus melesat berbarengan ke arah 
Panawangan!
Panawangan sadar kalau dirinya jadi sasaran 
pertama dua sosok bayangan putih itu. Maka, segera 
saja gelang peraknya yang dua pasang, segera dilo-
loskan dan langsung dilontarkan sekuat tenaga begitu 
kedua sosok itu datang mendekat! 
Ziiing! Ziiing!
Dua pasang gelang perak itu langsung melun-
cur diiringi suara mengaung tajam!
"Bagus...," terdengar pujian keluar dari salah 
satu bayangan putih itu.
Sayangnya pujian itu bukan berarti mereka ti-
dak sanggup mematahkan serangan gelang perak Pa-
nawangan. Memang, dengan ilmu meringankan tubuh 
yang telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit 
bagi sosok bayangan putih itu untuk menghindar dari 
gelang perak Panawangan.
Apa yang dilakukan sepasang bayangan putih 
itu benar-benar membuat Panawangan dan yang lain 
ternganga! Betapa tidak? Untuk kesekian kalinya, ke-
dua sosok tubuh itu kembali melenting tanpa menyen-
tuh tanah lagi. Benar-benar sebuah ilmu meringankan 
tubuh yang sangat langka, dan jarang ada duanya di 
dunia.
Meskipun serangan gelang peraknya dapat di-
hindari lawan dengan cara melenting ke atas, namun 
Panawangan tidak putus asa. Gelang perak yang kini 
tinggal sepasang di tangannya, kembali dilontarkan se-
saat, setelah serangan pertamanya gagal! 
"Hiaaah...!"
Kali ini sepasang gelang perak Panawangan

hanya mengancam salah satu dari kedua sosok bayan-
gan putih itu. Sedang dua pasang gelang yang pertama 
dilepaskannya, telah berputar balik kembali kepada 
tuannya.
Sayang, serangan yang kedua itu pun terpaksa 
harus gagal! Ternyata, sosok bayangan putih yang te-
rancam sepasang gelang perak Panawangan cepat
mengulurkan tangan, tanpa khawatir jari-jarinya ter-
papas!
Lagi-lagi, Panawangan harus menerima kenya-
taan pahit! Begitu telapak tangan sosok bayangan pu-
tih itu terulur, sepasang gelang terbang Panawangan 
berhenti dan melayang di udara. Seolah-olah kedua ge-
lang perak itu seperti kupu-kupu yang jinak Tentu saja 
kenyataan itu cukup mengejutkan! Dan dalam sekejap 
mata, sosok bayangan putih melontar balik gelang ter-
bang Panawangan dengan kecepatan berlipat ganda!
Wuuung! Wuuung!
Diiringi sebuah gaung tajam, dua buah gelang 
terbang itu meluncur tanpa terlihat jelas bentuknya. 
Yang terlihat hanyalah dua sinar perak yang bergerak 
bagai kilat, mengancam leher dan dada Panawangan! 
Hebatnya, sepasang gelang terbang itu tiba lebih dulu 
daripada dua pasang gelang terbang yang tengah me-
luncur balik ke arah tuanya. Dan... 
"Arrrgh...!"
Panawangan memekik begitu sepasang gelang 
perak miliknya amblas hingga hampir tak terlihat! Ke-
dua gelang terbang itu melesat ke dalam leher dan da-
da majikannya! Benar-benar sebuah kematian yang 
menyedihkan!
"Panawangan...?!"
Ki Pangrawit berseru parau. Kejadian yang san-
gat singkat itu tidak sempat dicegahnya. Dan hal ini

merupakan sebuah pukulan berat bagi batin Ki Pan-
grawit. Murid utamanya terpaksa tewas di depan ma-
tanya, tanpa mampu untuk diselamatkannya! Benar-
benar sebuah peristiwa yang amat menyakitkan!
Tubuh Panawangan ambruk ke tanah disertai 
lelehan darah dari mulut, dada, dan lehernya. Napas 
lelaki gagah itu putus seketika!
Ki Janiga dan yang lain segera saja melesat 
menerjang dua sosok tubuh yang masih juga melayang 
di udara, setelah tadi terlihat menginjak tanah, selesai 
menewaskan Panawangan. Para tokoh itu pun tidak 
sempat menyelamatkan murid utama Ki Pangrawit, ka-
rena kejadiannya memang terlalu singkat Sehingga, 
mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut bahkan Raja-
wali Merah yang terkenal gesit hanya mampu terbela-
lak takjub ketika menyaksikan perbuatan kedua sosok 
bayangan putih itu, yang dalam waktu sangat singkat 
telah melesat ke arah pintu gerbang yang terletak ku-
rang lebih sekitar lima tombak dari mereka.
"Berhenti, Pengecut..!"
Bentakan Pendekar Cakar Maut yang merasa 
penasaran bukan main, keluar disertai pengerahan te-
naga dalam Kemudian kekuatan ilmu meringankan 
tubuhnya dikerahkan untuk melakukan pengejaran! 
Tapi usaha lelaki gemuk itu sia-sia belaka, karena ke-
dua sosok bayangan putih itu telah melewati pintu 
gerbang, untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan.
***
TUJUH

Keesokan paginya, Perguruan Gelang Terbang 
kembali dilanda kegemparan! Enam orang murid yang 
bertugas menjaga pintu gerbang kedapatan tewas di 
pos jaga. Lalu enam orang peronda malam juga dite-
mukan tewas dengan kepala pecah! Tentu saja musi-
bah itu membuat Ki Pangrawit sangat terpukul Apala-
gi, semua itu masih ditambah kematian Panawangan 
yang tewas secara menyedihkan. Semua kejadian itu, 
membuat Ki Pangrawit tidak mau diganggu. Ketua Per-
guruan Gelang Terbang terpekur di dalam kamarnya 
dengan wajah berduka.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki? Guru sendi-
ri telah mengurung diri tanpa mau diganggu. Padahal, 
kita masih belum terlepas dari ancaman sepasang iblis 
yang hanya berupa bayangan putih itu. Hhh..., aku 
benar-benar tidak habis pikir...," ungkap Subadra ke-
pada Ki Janiga, setelah selesai menguburkan mayat 
saudara-saudaranya, termasuk Panawangan.
Sedangkan Kandira hanya termenung dengan 
pandangan menerawang Sepertinya, lelaki berusia tiga 
puluh lima tahun itu pun tengah bingung memikirkan
cara untuk menghadapi maut uang mengancam peng-
huni Perguruan Gelang Terbang.
"Hm.... Kau bersabarlah, Subadra. Bisa ku 
maklumi apa yang saat ini tengah dirasakan gurumu. 
Beliau benar-benar sangat terpukul atas kematian Pa-
nawangan. Kalau saja Ki Pangrawit tidak menyaksi-
kannya sendiri, mungkin tidak akan terpukul sedemi-
kian parahnya. Tapi, semua itu terjadi di depan ma-
tanya, tanpa mampu dicegahnya. Kenyataan itulah 
yang membuatnya merasa berdosa. Karena sebagai

guru, ternyata ia tidak bisa melindungi nyawa murid-
nya. Kau paham apa yang kumaksudkan, Subadra...?" 
tanya Ki Janiga setelah menjelaskan secara panjang 
lebar.
"Yaaah.... Tapi, mengapa guru harus mengu-
rung diri? Tidakkah beliau sadar kalau malam nanti, 
sepasang iblis itu akan datang kembali untuk men-
gambil nyawa salah seorang di antara kita!" Subadra 
yang meskipun telah cukup mengerti apa yang dimak-
sudkan Ki Janiga, tetap saja tidak bisa menerima tin-
dakan gurunya dalam hal itu
"Hm.... Memang licik sekali sepasang iblis itu. 
Mereka sengaja tidak membunuh kita sekaligus. Den-
gan ancaman-ancaman seperti itu, mereka bisa mem-
buat kita tidak tenang. Dan mungkin juga, kita telah 
pasrah sebelum mereka datang. Mereka menakut-
nakuti kita sehingga bisa mengganggu pikiran. Benar-
benar keji sekali sepasang iblis itu...," geram Rajawali 
Merah.
Semenjak kejadian semalam, wajah Rajawali 
Merah nampak selalu tegang. Jelas, ia pun telah ter-
pengaruh ancaman pembunuh keji itu.
Sebenarnya, bukan hanya Rajawali Merah yang 
merasa tegang dan cemas. Bahkan Ki Janiga dan Pen-
dekar Cakar Maut sendiri mengalami hal yang sama. 
Selain belum dapat diterka siapa sebenarnya musuh 
yang harus dihadapi, juga musuh itu pun memiliki ke-
saktian yang mengiriskan! Hingga dapat dipastikan ka-
lau untuk selamat dari incaran maut, sulit sekali.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut mencoba 
untuk tetap tenang. Semua itu dimaksudkan agar mu-
rid-murid Perguruan Gelang Terbang tidak dilanda re-
sah. Meskipun usaha itu tidak seluruhnya berhasil, 
tapi sedikitnya telah melenyapkan sebagian rasa takut

yang dialami hampir seluruh murid perguruan itu.
Ketika hari telah menjelang sore, dan saat Ki 
Janiga mengatur siasat untuk menjebak musuh, Ki 
Pangrawit muncul dengan wajah agak pucat. Meski 
demikian, kehadirannya telah membangkitkan seman-
gat baru bagi murid-muridnya.
"Maaf, kalau aku telah menyusahkan kalian...," 
ucap Ki Pangrawit kepada Ki Janiga, Pendekar Cakar 
Maut, dan Rajawali Merah.
Betapa terharunya Ketua Perguruan Gelang 
Terbang itu karena ketiga orang sahabatnya masih te-
tap bersedia membantu, meski untuk itu nyawa taru-
hannya. Pengorbanan tanpa pamrih dari tokoh-tokoh 
itulah yang membuat Ki Pangrawit keluar dari dalam 
kamarnya. Karena, tidak mungkin tanggung jawabnya 
dilepaskan begitu saja kepada orang lain. Meskipun, 
orang itu merupakan sahabat baiknya.
Keempat orang tokoh itu pun, kembali berkum-
pul dengan ditemani Subadra dan Kandira. Mereka 
menyusun rencana untuk menghadapi musuh yang 
belum diketahui, siapa sebenarnya.
***
Saat kegelapan mulai menyelimuti alam, sua-
sana Perguruan Gelang Terbang tampak gelap dan 
sunyi. Di dekat gerbang atau di sudut-sudut bangu-
nan, tidak lagi terlihat cahaya obor. Malam itu Pergu-
ruan Gelang Terbang terasa mati, bagaikan bangunan 
tua yang dihuni hantu!
Suara binatang malam terus bersahutan me-
nyemarakkan sang malam. Tiupan angin terasa sejuk, 
membuat tubuh terasa letih dan mudah terlena Un-
tungnya, malam itu sang Dewi Malam demikian berani


memancarkan cahayanya Sehingga, kegelapan yang 
demikian pekat mulai memudar.
Mendadak saja, jantung Ki Pangrawit yang ber-
sembunyi bersama ketiga orang sahabatnya berdebar, 
saat menatap pintu gerbang depan. Di kiri kanan ger-
bang, tampak dua sosok bayangan putih bertengger di 
atas kayu-kayu bulat. Pakaiannya yang lebar berkiba-
ran tertiup angin. Pemandangan itu benar-benar men-
debarkan, dan sanggup membuat seorang yang pena-
kut pingsan seketika!
"Hm... Iblis itu sudah muncul... Tampaknya 
mereka sengaja menunjukkan kedatangannya kali ini 
Sayang, jaraknya masih terlalu jauh. Sulit untuk men-
genalinya," desah Ki Pangrawit sambil menajamkan 
pandangan matanya agar bisa mengenali sepasang so-
sok bayangan putih itu.
"Mudah-mudahan Subadra dan Kandira dapat 
menahan diri sesuai rencana kita,..," bisik Ki Janiga, 
lirih.
Lelaki bertubuh tinggi kurus itu pun tengah 
mengawasi dua sosok bayangan putih yang tegak di 
atas gerbang.
"Nampaknya, Iblis-iblis itu lebih berhati-hati. 
Lihat saja. Mereka masih tetap tegak tanpa berani me-
lewati gerbang. Jelas, Mereka telah menaruh curiga 
dengan suasana sunyi dan tanpa penerangan ini," gu-
mam Pendekar Cakar Maut Rupanya, Pendekar Cakar 
Maut yang memiliki watak berangasan, tidak sabar
melihat kedua sosok bayangan putih itu masih tetap 
tegak bagai patung.
"Biarlah. Kita lihat saja, apakah mereka berani 
masuk atau tidak," timpal Rajawali Merah yang juga 
ikut mengawasi dua sosok berpakaian putih itu.
Wajah tokoh muda itu terlihat agak tegang dan

sedikit pucat Meski demikian, ia tetap berusaha tenang 
dan terus menatap kedua sosok putih di atas gerbang.
"Hua ha ha...! Bagus, Ki Pangrawit! Rencana 
yang kau susun memang tidak jelek! Sayangnya, ti-
puan-tipuanmu sama sekali tidak berarti bagiku...!"
Selagi puluhan pasang mata yang tersembunyi 
di tempat gelap sambil sama-sama mengawasi sosok di 
atas gerbang, tiba-tiba terdengar gema tawa berkepan-
jangan yang membuat jantung para murid Gelang Ter-
bang hampir copot dibuatnya.
"Gila! Iblis itu benar-benar licik! Apa yang kita 
bicarakan bisa didengar mereka, sehingga membuat 
rencana kita gagal, Ki Janiga. Aku khawatir, Subadra 
dan Kandira tidak bisa menenangkan murid-
muridku...," desis Ki Pangrawit yang menjadi cemas 
bukan main atas kejadian itu.
Apa yang dikhawatirkan Ki Pangrawit ternyata 
tidak meleset! Baru saja ucapannya selesai, terdengar 
teriakan-teriakan ribut yang disusul berloncatannya 
murid-murid Gelang Terbang dari tempat persembu-
nyian. Jelas, suara tanpa wujud itu telah mempenga-
ruhi mereka.
"Hei, kembali...!" cegah Subadra yang bertugas 
mengepalai dua puluh lima orang murid.
Sayang semuanya sudah terlambat Apalagi dari 
tempat lain pun murid-murid yang dipimpin Kandira 
juga telah berlompatan keluar.
Karuan saja Ki Pangrawit, Ki Janiga, Pendekar 
Cakar Maut dan Rajawali Merah menjadi terkejut Me-
reka yang bersembunyi di dua tempat itu ikut berte-
riak mencegah. Bahkan ikut melompat keluar dari per-
sembunyian karena mengkhawatirkan keselamatan 
murid-murid Ki Pangrawit.
Tepat pada saat yang bersamaan, dua sosok

bayangan putih melesat bagaikan dua ekor burung 
malam mencari mangsa. Dengan sepasang tangan 
membentuk cakar, kedua sosok bayangan putih itu 
langsung menyambar murid-murid Perguruan Gelang 
Terbang yang tengah ketakutan.
Tapi, keempat orang tokoh itu pun tidak tinggal 
diam. Sebelum korban berjatuhan, serentak mereka 
bergerak menyambut dua sosok bayangan putih itu. 
"Merunduuuk...!"
Sambil berteriak memerintahkan murid-
muridnya merunduk, Ki Pangrawit bersama Rajawali 
Merah bergerak memapak cengkeraman bayangan pu-
tih yang berada di sebelah kanan. Sadar kalau kedua 
sosok bayangan putih itu bukan tokoh sembarangan, 
maka seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki di-
kerahkan. Dan....
Plakkk! Plakkk!
"Ughhh...!"
"Aaaah... !"
Terdengarlah benturan keras yang diiringi ke-
luhan tertahan dari mulut Ki Pangrawit dan Rajawali 
Merah. Tubuh mereka sama-sama terpental ke bela-
kang! Bedanya, Ki Pangrawit dapat mematahkan daya 
luncur tubuhnya dengan berjumpalitan beberapa kali 
di udara. Sedangkan Rajawali Merah terpaksa harus 
rela tubuhnya terbanting di tanah!
Sedangkan sosok bayangan putih itu sendiri 
melenting kembali ke udara. Kemudian kedua kakinya 
mendarat di tanah, setelah berjumpalitan sebanyak ti-
ga kali di udara. Jelas, sosok itu pun merasakan aki-
bat dari benturan dua orang tokoh yang memang ber-
kepandaian tinggi itu.
"Sepasang Mambang Lembah Maut..?!" Ki Pan-
grawit dan Rajawali Merah sama-sama berseru dengan

wajah berubah hebat! Mereka terkejut bukan main me-
lihat wajah sosok bayangan putih itu yang terlindung 
di balik topeng tengkorak. Jelas sudah, siapa sebenar-
nya yang telah melakukan serangkaian tindak kekera-
san terhadap Perguruan Gelang Terbang.
Bukan Hanya Ki Pangrawit dan Rajawali Merah 
saja yang merasa terkejut. Ki Janiga dan Pendekar Ca-
kar Maut juga sama-sama terkejutnya melihat kedua 
orang sahabatnya. Mereka yang juga berhasil menye-
lamatkan nyawa murid-murid Gelang Terbang dengan 
memapak serangan sosok bayangan putih lainnya, me-
rasakan akibat yang sama. Dan keduanya pun tersen-
tak pucat begitu mengenali sosok yang tangan maut-
nya tengah merajalela.
Belum lagi lenyap rasa keterkejutan keempat 
orang tokoh sakti itu, tiba-tiba terdengar jerit kematian 
susul menyusul! Untuk kedua kalinya, keempat orang 
tokoh itu kembali dikejutkan adanya dua sosok bayan-
gan putih lain yang mengamuk membantai murid-
murid Perguruan Gelang Terbang. Untunglah, Subadra 
dan Kandira cepat bertindak menghadapi kedua sosok 
bayangan putih yang melayang turun dari atas pintu 
gerbang itu Sehingga, korban di pihak mereka tidak 
bertambah banyak.
"Gila! Entah siapa lagi kedua sosok bayangan 
putih itu? Untunglah kepandaiannya tidak begitu ting-
gi, sehingga Subadra dan Kandira dapat menghada-
pinya...," desis Ki Pangrawit yang bertambah heran me-
lihat adanya dua sosok bayangan putih bin.
"Hm.... Menurutku, mereka pasti dua di antara
Tiga Brewok Hutan Larang. Sepertinya, mereka kemba-
li dipergunakan Sepasang Mambang Lembah Maut un-
tuk mengecoh kita tadi...," duga Ki Janiga.
Rupanya, si Tinju Pemecah Badai itu langsung

saja bisa menebak tepat, siapa adanya kedua sosok 
bayangan putih itu. Tapi, pembicaraan mereka tidak 
dapat berlanjut lagi, karena saat itu sepasang Mam-
bang Lembah Maut tengah melangkah menghampiri. 
Serentak keempat orang pendekar itu saling berpencar, 
dan siap melakukan pertarungan mati-matian!
"Sepasang Mambang Lembah Maut, apa kesa-
lahan kami sehingga kalian sampai tega berbuat keke-
jian ini? Sedangkan di antara kita belum pernah ada 
urusan," tegur Ki Pangrawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu ingin 
mendapat penjelasan atas segala tindakan tokoh sesat 
yang telah lama mengasingkan diri itu.
"Hm.... Di antara kita memang tidak ada per-
musuhan, Pendekar Gelang Terbang. Tapi di antara go-
longan kita, memang tidak pernah sependapat. Aku 
sengaja muncul untuk membasmi manusia-manusia 
sombong yang menganggap sebagai seorang pendekar 
berbudi. Entah sudah berapa banyak korban dari go-
longanku yang tewas, karena kalian ingin dianggap se-
bagai pembela kebenaran. Untuk alasan itulah, aku 
akan menghancur-leburkan semua manusia sombong
yang selalu mengganggu golonganku. Dengan begitu, 
barulah orang-orang golongan hitam dapat bergerak le-
luasa di dalam rimba persilatan ini," jelas salah seo-
rang dari pasangan Mambang Lembah Maut yang ber-
tubuh lebih tinggi dan berbadan tegap. Dia adalah 
orang yang bernama Jonggala.
"Kau salah, Sepasang Mambang. Semua itu 
kami lakukan sama sekali bukan karena ingin dipuji 
atau dianggap sebagai pahlawan. Tapi, semua itu me-
mang sudah kewajiban untuk memberantas segala 
bentuk kejahatan yang ada di bumi ini. Dan, kami ti-
dak perlu pendapatmu. Jangan dikira kami takut

menghadapi kalian berdua, meskipun dengan taruhan 
nyawa. Bagi kami, lebih baik mati dalam membela ke-
benaran dan keadilan ketimbang berpangku tangan 
menyaksikan kekejaman yang dilakukan orang-orang
golonganmu," timpal Ki Janiga.
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah melayat ke ak-
herat!" timpal Jonggali, orang termuda dari Sepasang 
Mambang Lembah Maut
Setelah berkata demikian, kedua tokoh yang 
mengiriskan itu segera melangkah menghampiri keem-
pat orang tokoh yang sudah merenggang dan siap 
menghadapi pertarungan mati-matian.
"Yeaaa...!"
Dibarengi pekikan menggetarkan jantung, Se-
pasang Mambang Lembah Maut bergerak secara ber-
samaan. Tubuh mereka bagaikan terbang dan saling 
bersilangan sehingga membingungkan Ki Pang-rawit 
dan kawan-kawan. 
Whuuut! Whuuut!
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut segera saja 
melompat ke kanan menghindari cengkeraman jari-jari 
sekeras baja lawan. Dari sambaran angin yang menci-
cit tajam, sadarlah kedua orang tokoh itu kalau kekua-
tan tenaga sakti lawan benar-benar telah mencapai ti-
tik kesempurnaan. Untuk itu, mereka harus menge-
rahkan seluruh kemampuan agar tidak sampai celaka 
di tangan Sepasang Mambang Lembah Maut. Demikian 
pula halnya Ki Pangrawit dan Rajawali Merah. Mereka 
yang bertarung menghadapi orang tertua dari sepa-
sang mambang itu benar-benar harus bekerja keras 
menyelamatkan selembar nyawa. Memang serangan-
serangan tokoh sesat itu benar-benar sangat cepat dan 
menimbulkan sambaran angin tajam. Jangankan ter-
kena cakaran mautnya. Bahkan sambaran anginnya

saja rasanya sanggup menewaskan seorang tokoh yang 
memiliki kepandaian tanggung. Dapat dibayangkan, 
betapa berbahayanya serangan-serangan cakar maut 
itu.
Ki Pangrawit yang dalam dunia persilatan diju-
luki Pendekar Gelang Terbang mempergunakan gelang-
gelang emasnya untuk membendung gempuran lawan. 
Meskipun beberapa kali senjatanya dapat dipukul ba-
lik Jonggala, namun orang tua itu tetap gigih melaku-
kan perlawanan! Sehingga, pertarungan antara ketiga 
orang tokoh itu benar-benar sangat seru dan mene-
gangkan!
Tapi ketika pertarungan menginjak jurus yang 
kelima puluh, baik Ki Pangrawit maupun Rajawali Me-
rah terpaksa harus mengakui kehebatan ilmu lawan-
nya. Memang, pada jurus-jurus itu mereka mulai me-
rasakan tekanan berat lawannya! Bahkan Rajawali Me-
rah yang biasanya sangat gesit dan tidak pernah keha-
bisan tenaga, kali ini sudah benar-benar kepayahan. 
Selain kepandaiannya yang memang berada di bawah 
Ki Pangrawit, kepandaian lawannya pun telah mem-
buatnya tak berdaya. 
"Haiiit...!"
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang 
Lembah Maut rupanya memiliki mata yang sangat jeli. 
Buktinya, dia lebih banyak mencecar Rajawali Merah 
ketimbang Ki Pangrawit Sehingga pada jurus yang ke-
lima puluh lima. Rajawali Merah terpaksa harus men-
gakui keunggulan lawan. Sebuah lontaran telapak tan-
gan yang mengancam dadanya, tidak mampu lagi di-
hindari! Maka....
Whuuut... Buggg...!
"Huaaakh...!"
Hebat bukan main akibat hantaman telapak

tangan Jonggala. Bagaikan selembar daun kering yang 
tertiup angin, tubuh Rajawali Merah terlempar hingga 
tiga tombak lebih. Darah segar kontan berhamburan 
membasahi tanah!
Brakkk!
Dinding bangunan utama Perguruan Gelang 
Terbang langsung jebol ketika terlanda keras tubuh 
Rajawali Merah, diiringi suara berderak ribut! Tubuh 
Rajawali Merah terbanting jatuh di antara reruntuhan 
dinding bangunan itu.
"Huaaakh...!"
Untuk yang kedua kalinya. Rajawali Merah 
memuntahkan darah segar. Setelah meregang seben-
tar, tubuhnya pun tergolek lemah. Tewas!
"Biadab keji...!" maki Ki Pangrawit.
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu merasa 
marah bukan kepalang menyaksikan kematian orang 
yang membela perguruannya tanpa pamrih. Kenyataan 
itu membuat Ki Pangrawit mengamuk tanpa mempe-
dulikan keselamatan dirinya lagi.
"Heaaat..!"
Ki Pangrawit yang berjuluk Pendekar Gelang 
Terbang berteriak mengguntur sambil melepaskan sen-
jata andalannya disertai pengerahan seluruh sisa-sisa 
tenaganya. Pada saat yang sama, tubuhnya bergerak 
meluncur dengan serangan sepasang tangan yang 
menggunakan jurus-jurus tangan kosong!
Sayang, meski serangan yang dilancarkan Ki 
Pangrawit begitu hebat, namun lawan memang terlalu 
kuat baginya. Dalam lima jurus saja, orang tua itu 
kembali terdesak hebat. Sehingga, ia tidak mampu lagi 
melontarkan serangan. Ki Pangrawit hanya bisa men-
gelak sambil sesekali menangkis. Meskipun demikian 
itu masih membuatnya jatuh bangun. Karena, tenaga

dalam Jonggala masih jauh di atasnya.
"Haiiih...!"
Ki Pangrawit yang benar-benar sudah tidak 
mempunyai daya untuk membalas serangan lawan, ja-
di tertegun dengan tubuh gemetar ketika Jonggala 
mengeluarkan pekikan nyaring disertai pengerahan te-
naga dalam. Dan saat itu pula, cengkeraman lawannya 
datang mengancam leher orang tua itu!
"Haiiit..!"
Pada saat yang sangat menentukan bagi mati 
hidupnya Ketua Perguruan Gelang Terbang, tiba-tiba 
terdengar pekikan lain yang tidak kalah dahsyatnya! 
Berbarengan dengan itu, sesosok tubuh yang bersinar 
putih keperakan disertai hawa dingin menusuk tulang, 
melesat memapak serangan Jonggala! Akibatnya...!
Brrresh....'
"Aaah...?!" 
"Haiiit..?!"
Seiring suara dentuman akibat pertemuan dua 
gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat, terdengar 
seruan-seruan terkejut dari mulut kedua sosok bayan-
gan yang tadi saling berbenturan! Bahkan tubuh satu 
sama lain terdorong deras ke belakang.
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang 
Lembah Maut cepat menguasai daya luncur tubuhnya 
dengan melakukan salto beberapa kali di udara. Ke-
mudian, kakinya mendarat ke tanah meski dengan 
kuda-kuda agak goyah! Tentu saja kenyataan itu san-
gat mengejutkan baginya!
Demikian pula halnya sosok tubuh yang terse-
limuti kabut putih keperakan itu. Sosok yang telah 
menyelamatkan Ki Pangrawit itu juga dapat mengatasi 
daya dorong akibat benturan dahsyat tadi. Dengan me-
lakukan tiga kali putaran menakjubkan, sosok tubuh
itu dapat mendarat indah dengan kuda-kuda kokoh 
dan tidak tergoyahkan. Dari sini saja dapat dinilai, ka-
lau sosok bersinar putih keperakan itu masih lebih 
kuat dibanding Jonggala.
Ki Pangrawit yang tidak menyangka kalau di-
rinya masih dapat selamat, menatap sosok yang terse-
limut lapisan kabut putih keperakan itu dengan sepa-
sang mata terbelelak. Tapi sebentar kemudian, wajah 
orang tua itu telah langsung berseri gembira ke arah 
penolongnya.
***
DELAPAN


Sementara itu di arena pertarungan, Ki Janiga 
dan Pendekar Cakar Maut melawan Jonggali yang me-
rupakan orang termuda dari Sepasang Mambang Lem-
bah Maut, juga terjadi perubahan hebat.
Jonggali yang sudah berada di atas angin dan 
siap menghabisi nyawa lawan-lawannya, tiba-tiba ter-
kejut ketika pukulan mautnya terpapak oleh sesosok 
bayangan hijau. Benturan keras pun tak terhindarkan 
lagi! Tapi dalam benturan dua gelombang tenaga dalam 
yang amat kuat itu, Jonggali terlihat masih unggul. 
Orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut 
itu hanya terjajar mundur beberapa langkah, sedang-
kan sosok berpakaian hijau itu terpental dengan de-
rasnya. Untungnya, sosok bayangan hijau itu memiliki 
ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Sehingga, kedua 
kakinya dapat mendarat dengan selamat.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut sama-sama 
terkejut sekaligus juga kagum terhadap penolongnya

yang ternyata seorang gadis muda berparas jelita. Ka-
lau saja mereka tidak membuktikan sendiri, rasanya 
belum tentu percaya kalau gadis muda jelita itu mam-
pu menahan gempuran dahsyat Jonggali.
Sedangkan sosok berpakaian hijau itu tampak 
mengatur pernapasannya. Dari wajahnya yang nampak 
agak pucat itu, nampaknya ia cukup menderita akibat 
benturan tenaga dalam yang hebat tadi. Bahkan dari 
sudut bibir indah itu, nampak cairan merah mengalir 
turun.
Hadirnya dua penolong yang menyelamatkan 
tokoh-tokoh persilatan itu dari kematian, membuat 
Jonggala dan Jonggali bersatu kembali. Sepertinya, 
mereka merasa kalau kehadiran kedua sosok bayan-
gan putih dan hijau itu patut diperhitungkan.
Demikian pula halnya sosok bayangan putih 
dan hijau. Mereka pun bersatu dan berkumpul dengan 
sisa dari tokoh persilatan itu. Sebab, Rajawali Merah 
telah lebih dulu tewas di tangan Jonggala.
"Pendekar Naga Putih! Akhirnya kau datang ju-
ga memenuhi undanganku," kata Ki Pangrawit
"Benar, Ki. Maaf atas keterlambatanku," sahut 
pemuda tampan berjubah putih yang ternyata Pende-
kar Naga Putih.
"Bagus!"
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat 
para pendekar itu menolehkan wajah.
"Kehadiranmu memang sangat tepat sekali, 
Pendekar Naga Putih. Dengan demikian, berarti aku ti-
dak perlu bersusah payah lagi mencarimu...," lanjut 
Jonggala.
Rupanya dia masih juga menampakkan kesom-
bongannya. Padahal, sebenarnya hari kedua tokoh se-
sat itu agak bergetar atas kemunculan Pendekar Naga

Putih yang tidak disangka-sangka. Tapi, Sepasang 
Mambang Lembah Maut tidak mau menunjukkan rasa 
terkejutnya di hadapan lawan-lawannya.
"Hm..., Sepasang Mambang Lembah Maut..," 
sebut Panji yang segera mengenali sepasang tokoh se-
sat itu dari topeng tengkorak yang dikenakan, "Ru-
panya, kaulah yang menjadi biang keladi dari semua 
kejahatan-kejahatan yang kudengar baru-baru ini. Apa 
sebenarnya yang kau inginkan, hingga begitu tega me-
lakukan perbuatan-perbuatan tercela. Bahkan meng-
ganggu acara Ki Pangrawit?!"
"Hua ha ha….!"
Tawa Sepasang Mambang Lembah Maut ter-
dengar berderai panjang. Jelas, mereka merasa kalau 
ucapan Pendekar Naga Putih merupakan sesuatu yang 
lucu. Sehingga, Ki Pangrawit dan kawan-kawannya 
mengerutkan kening tak senang.
"Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau bersiap-
lah melihat alam akhirat'" bentak Jonggala.
Dengan penuh keyakinan kalau mampu mena-
matkan petualangan Pendekar Naga Putih, Jonggala 
berkacak pinggang. Meskipun tahu pihak lawan lebih 
banyak, tapi Jonggala mengerti orang-orang golongan 
putih tidak akan melakukan pengeroyokan, kalau ti-
dak terpaksa. Itulah sebabnya, mengapa Sepasang 
Mambang Lembah Maut tidak merasa gentar.
"Hm.... Harap kalian semua menyingkir. Menu-
rut penilaianku, kedua orang tokoh sesat ini sangat 
berbahaya. Bahkan mungkin mereka belum mengelua-
rkan semua kesaktian pada pertempuran tadi," ujar 
Panji dengan suara tetap tenang, tanpa kesan som-
bong.
"Tapi, Kakang Tidakkah terlalu berbahaya bila 
kau menghadapi mereka seorang diri...?" bisik Kenan

ga agak khawatir.
Memang gadis itu tadi sudah merasakan betapa 
kepandaian yang dimilikinya masih beberapa tingkat di 
bawah salah seorang tokoh sesat itu. Tentu saja pen-
galaman itu membuatnya merasa khawatir akan kese-
lamatan kekasihnya.
"Berdoalah. Mudah-mudahan, aku bisa menga-
tasi mereka...," sahut Panji, tidak ingin takabur.
"Baiklah, Kakang. Hati-hatilah...," bisik Kenan-
ga, dan segera menepi berkumpul bersama Ki Pangra-
wit dan kedua orang pendekar lainnya.
"Hua ha ha.... Pendekar Naga Putih. Ingatlah!
Kami selalu tampil berpasangan. Rasanya, tidak adil 
kalau kau maju seorang diri untuk menghadapi kami 
berdua. Sebaiknya, ajaklah salah seorang kawanmu 
agar pertandingan terlihat lebih adil...," pancing Jong-
gali, orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah 
Maut.
"Hm.... Tidak perlu kau mengutarakan apa yang 
sebenarnya tidak kau inginkan, Kisanak. Sebaiknya, 
kalian bersiaplah. Dan jangan terlalu mengumbar 
omong kosong...," tukas Pendekar Naga Putih, memu-
kul balik ucapan lawannya. Sehingga, tokoh itu terli-
hat agak kaget mendengar jawaban yang seperti mene-
lanjangi mereka.
"Hm...." Jonggali, orang termuda dari Sepasang 
Mambang Lembah Maut menggeram gusar. Rupanya ia 
merasa marah mendengar ucapan balik pemuda itu.
Panji bergegas menggeser langkahnya ke kiri 
ketika melihat kedua orang lawannya mulai bergerak 
maju. Meskipun Sepasang Mambang Lembah Maut 
bergerak maju dengan siasat licik dan berganti-ganti, 
tapi Pendekar Naga Putih tetap tenang Ditatapnya ge-
rak-gerik lawannya dengan sinar mata mencorong tajam. Pendekar Naga Putih siap menanti lawan membu-
ka serangan terlebih dulu.
***
"Yeaaat..!"
Salah satu dari Sepasang Mambang yang bera-
da paling depan, berseru nyaring disertai luncuran tu-
buhnya yang bergulingan bagaikan seekor trenggiling.
Seiring dengan itu, Jonggali yang berada di belakang 
melenting ke udara, tanpa mengeluarkan teriakan se-
dikit pun. Jelas, siasat itu digunakan untuk memecah 
perhatian lawan.
Meskipun begitu, Pendekar Naga Putih tetap 
tenang dan menanti datangnya serangan lawan. Pe-
muda itu sama sekali tidak terpengaruh gerakan Jong-
gala yang bergulingan di tanah dalam serangan pem-
bukaan itu.
"Yiaaah...!"
Jonggali yang melancarkan serangan dari atas, 
terlihat mulai mengulurkan cengkeraman-cengkeram-
an mautnya diiringi suara mencicit tajam! Jelas tokoh 
sesat itu telah mengerahkan tenaga dalamnya yang 
tinggi dalam serangan pertamanya.
Tapi sebelum serangan Jonggali tiba, mendadak 
saja Jonggala yang semula tengah bergulingan mende-
kat melenting ke udara. Langsung dilontarkan cengke-
ramannya ke arah leher dan dada Pendekar Naga Pu-
tih. Sedangkan Jonggali telah meluncur turun sambil 
melontarkan tendangan-tendangan maut susul me-
nyusul!
Panji yang telah mengerahkan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' dan 'Jurus Naga Sakti' nya, bergerak 
menghindar sambil melontarkan serangan balasan 
yang tidak kalah berbahaya. Tubuh pemuda tampan
berjubah putih itu berkelebat bagaikan seekor naga 
sakti yang tengah meliuk-liuk indahnya. Sesekali, 
sambaran cakar naganya mencicit mengancam tubuh 
kedua orang lawannya. Jelas, seluruh kekuatan tenaga 
saktinya telah dikerahkan untuk menghadapi gempu-
ran Sepasang Mambang Lembah Maut'
"Hyaaat..!"
Bettt! Bettt!
Jonggala yang menjadi sasaran cengkeraman 
cakar naga lawan, bergerak ke kiri. Langsung dilontar-
kannya sebuah tendangan kilat yang mengejutkan. 
Sepertinya, dalam soal kecepatan dan ilmu meringan-
kan tubuh, kedua tokoh sesat itu memang tidak bera-
da di bawah lawannya. Hal itu pun dapat dirasakan 
Pendekar Naga Putih. Sehingga, pemuda tampan itu 
sempat terkagum-kagum di buatnya!
Plakkk!
"Uuuh...!"
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang 
Mengeluh perlahan ketika tendangannya dapat ditepis 
telapak tangan Pendekar Naga Putih. Karuan saja tu-
buh tokoh sesat itu tergetar mundur, hampir sejauh 
satu tombak. Itu menandakan kalau dalam hal tenaga 
sakti, Jonggala masih kalah.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak 
tergoyah dalam menangkis tendangan lawannya. Bah-
kan pemuda itu kini terlihat bergerak mendesak Jong-
gali. Karuan saja tokoh sesat itu kelabakan mengha-
dapi gempuran Pendekar Naga Putih yang datang ba-
gaikan gelombang badai salju itu.
Untungnya dalam keadaan terdesak, Jonggala 
telah masuk kembali dalam arena pertarungan Se-
hingga, Jonggali dapat menarik napas lega, karena ter-
bebas tekanan lawan. Kenyataan itu membuat Jonggali

sadar kalau kesaktiannya ternyata masih di bawah 
Pendekar Naga Putih.
"Kreeegh...!"
Pada saat pertarungan menginjak jurus kesera-
tus dua puluh, tiba-tiba saja Panji melenting ke udara 
disertai pekikan 'Naga Marah'nya. Hembusan angin 
dingin bertiup semakin kuat, mengiringi putaran sepa-
sang tangan Pendekar Naga Putih yang disertai penda-
ran cahaya putih keperakan. Karuan saja jurus pa-
mungkas pendekar muda itu mengejutkan kedua 
orang lawannya!
Whuuut... Desss....'
"Aaakh...?!"
Jonggali memekik kesakitan ketika sebuah 
hantaman telapak tangan yang berkecepatan tinggi, 
tahu-tahu saja telah menggedor dada kirinya! Darah 
segar langsung menyembur diiringi terlemparnya tu-
buh orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah 
Maut itu.
Demikian pula halnya Jonggala. Orang tertua 
dari Sepasang Mambang itu pun mendapat bagian 
yang sama. Sebuah sambaran cakar Pendekar Naga 
Putih, membuat tubuh tokoh sesat itu melintir bagai-
kan kitiran! Darah segar segera saja membasahi pa-
kaiannya yang putih. Karena, luka cakaran Panji cu-
kup dalam pada bagian bahunya.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan itu 
selekas mungkin, segera saja memburu lawan-
lawannya dengan cengkeraman-cengkeraman maut! 
Namun dengan sisa-sisa tenaganya, kedua orang tokoh 
sesat itu dapat menyelamatkan dirinya dengan lompa-
tan jauh ke belakang.
Begitu terbebas dari kejaran serangan maut la-
wan. Sepasang Mambang Lembah Maut langsung menjatuhkan tubuh di atas tanah secara bersamaan. Ke-
duanya duduk bersila sebelah menyebelah, dengan sa-
lah satu telapak tangan bersatu. Hal itu dilakukan se-
telah meletakkan senjatanya yang berbentuk clurit di 
depan mereka.
Panji tersentak mundur ketika merasakan 
adanya gelombang tenaga aneh yang menolak tubuh-
nya ke belakang. Keterkejutannya semakin menjadi 
tatkala melihat sepasang senjata berbentuk clurit itu 
bergerak naik seperti bernyawa. Sadarlah Panji kalau 
dua lawan telah menggunakan ilmu yang mengguna-
kan tenaga batin.
"Ilmu 'Golok Terbang Perenggut Sukma'...?!" de-
sis Pendekar Naga Putih ketika dapat mengenali ilmu 
yang kini digunakan Sepasang Mambang Lembah 
Maut untuk menghadapinya.
Ternyata, bukan hanya Pendekar Naga Putih 
saja yang merasa terkejut dengan ilmu lawannya. Bah-
kan Kenanga, Ki Pangrawit, Ki Janiga dan Pendekar 
Cakar Maut sampai terbelalak kagum menyaksikan il-
mu yang tengah dipergunakan Sepasang Mambang 
Lembah Maut.
Diam-diam, para tokoh persilatan itu merasa 
bersyukur kalau di pihak mereka ada Pendekar Naga 
Putih. Kalau tidak, sulit dibayangkan, bagaimana ca-
ranya menghadapi ilmu aneh itu. Kini, mereka hanya 
tinggal menunggu, bagaimana Pendekar Naga Putih 
menghadapi ilmu Sepasang Mambang Lembah Maut.
Di antara keempat orang itu, hanya Kenanga 
saja yang tidak merasa tegang. Memang, gadis jelita itu 
tahu kalau kekasihnya juga memiliki sebuah ilmu yang
menggunakan tenaga batin. Bahkan Kenanga percaya 
kalau ilmu kekasihnya masih jauh lebih hebat ketim-
bang ilmu Sepasang Mambang Lembah Maut
Dugaan Kenanga ternyata tidak meleset Jauh. 
Panji yang melihat sepasang senjata berbentuk bulan 
sabit itu mulai meluncur ke arah dirinya, segera saja 
memusatkan pikirannya. Sebentar kemudian, tercipta-
lah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning 
keemasan. Itulah Pedang Naga Langit yang selama ini 
tersimpan di dalam tubuh pemuda itu, dan berubah 
menjadi suatu kekuatan yang dahsyat.
Panji membuka kedua matanya setelah mera-
sakan adanya sebatang pedang dalam genggaman. 
Langsung saja Pedang Naga Langit itu dilemparkan ke 
udara.
Pedang Pusaka Naga Langit mengapung sejenak 
sebelum berputar, dan meluncur memapak datangnya 
sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu, yang ten-
gah mengancam Pendekar Naga Putih. Terjadilah sua-
tu peristiwa aneh yang sulit ditangkap akal sehat. 
Tampak, ketiga batang senjata itu saling berusaha me-
nekan, dalam usaha membantu majikan masing-
masing.
Sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu be-
rusaha mengapit pedang Pendekar Naga Putih dari lari 
kanan Terdengar suara mengaung tajam ketika senja-
ta-senjata itu bergerak dengan kecepatan tinggi untuk 
meruntuhkan pedang Pendekar Naga Putih. Sayang-
nya, pedang milik Panji lebih hidup daripada senjata 
lawan-lawannya. Sehingga dalam waktu yang tidak ter-
lalu lama, sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu 
dapat didesak Pendekar Naga Putih. Kemudian, senja-
ta-senjata itu terpental kembali ke arah majikan mas-
ing-masing!
Sepasang Mambang Lembah Maut yang meme-
jamkan mata tampak telah dibanjiri peluh. Pada tubuh 
mereka Bahkan pada saat sepasang senjata mereka

dipukul balik oleh pedang lawan, terlihat tubuh Sepa-
sang Mambang Lembah Lembah Maut terjungkal ke 
belakang. Dan sebelum keduanya sempat menyadari 
hal yang dianggap mustahil itu, sepasang senjata bu-
lan sabit mereka telah meluncur deras. Bahkan lang-
sung menembus jantung kedua tokoh sesat itu! 
"Ughhh...!"
Terdengar jerit kematian yang susul-menyusul 
dari mulut kedua tokoh sesat mengiriskan itu. Darah 
segar kontan mengucur keluar dari luka akibat senjata 
makan tuan. Sebentar kemudian, putuslah nyawa Se-
pasang Lembah Maut karena termakan senjatanya 
sendiri.
Pendekar Naga Putih kembali memerintahkan 
pedangnya melalui tenaga batin agar segera kembali.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja Pedang Na-
ga Langit telah kembali ke dalam genggaman Panji ke-
mudian lenyap tanpa bekas. Memang, Panji telah me-
nyatukan pedang itu kembali ke dalam tubuhnya.
Sementara itu, pertarungan lain pun telah pula 
usai. Dua dari Tiga Brewok Hutan Larang telah berha-
sil dilenyapkan Subadra dan Kandira Sehingga, selu-
ruh murid termasuk Ketua Perguruan Gelang terbang 
merasa lega. Mereka bersorak menyambut kemenan-
gan Pendekar Naga Putih yang kembali mengukir na-
manya di dalam hati tokoh-tokoh persilatan.
"Pendekar Naga Putih! Aku benar-benar merasa 
berhutang kepadamu. Entah, bagaimana aku harus 
membalas hutang budi ini..." ucap Ki Pangrawit yang 
langsung memeluk tubuh pendekar muda itu sebagai 
tanda terima kasihnya.
'Tidak perlu dibesar-besarkan, Ki Kita semua 
sama-sama mengetahui kalau apa yang kulakukan 
hanyalah suatu kewajiban belaka. Jadi, janganlah Ki

Pangrawit merasa berhutang budi," sergah Panji diser-
tai senyum di wajah tampannya.
"Hm.... Sebagai tanda syukur dan terima kasih 
pada tamu kita Pendekar Naga Putih, marilah kita 
mengadakan pesta," ujar Ki Pangrawit di hadapan sa-
habat dan murid-muridnya.
Panji dan Kenanga hanya bisa tersenyum sam-
bil menggeleng-gelengkan kepala. Karena bila menolak, 
mereka takut menyinggung perasaan Ki Pangrawit dan 
yang lain.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga hanya bisa 
pasrah ketika mereka digiring memasuki bangunan 
utama Perguruan Gelang Terbang, diiringi sorak-sorai 
murid-murid Ki Pangrawit.



                             SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar