..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label KERIS MERAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KERIS MERAH. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

KERIS MERAH EPISODE EMPAT GURU

Empat Guru

 

EMPAT GURU


SATU

SIANG itu dia sampai disatu anak sungai yang berair jernih.

Dengan perlahan-lahan dia turun dari kudanya, Tubuhnya

terhuyung-huyung, ketika dia menjejakkan kakinya ketanah

karena lelahnya. Dia melangkah menuntun binatang itu ketepi

sungai. Dengan menelungkup ditebing sungai dia mulai

menghirup air sungai yang segar itu sepuas-puasnya. Kemudian

dibasahkannya seluruh kepalanya sampai sebatas leher. Dan

untuk beberapa lamanya dia menelungkup, lalu berbaring

ditebing sungai sementara kuda yang tadi ditungganginya

setelah minum seperti pemiliknya mulai mencari rumput- rumput segar yang tumbuh disekitar tempat itu.

Dia berbaring dengan menelentang memandang kelangit

putih kebiruan diatasnya. Sayup-sayup telinganya menangkap

kicauan burung-burung didalam hutan. Kedua telapak

tangannya diletakkan diatas perutnya. Matanya dipejamkannya.

Sejak pagi tadi perutnya itu belum masuk apa-apa selain air

sungai yang baru sebentar tadi diteguknya. Perutnya terasa

agak sedikit memilin. Tapi tak diacuhkannya. Didalam hutan

yang dilaluinya dalam perjalanannya, tak satu tumbuhanpun

yang dapat dimakan. Selain itu tak pernah pula dia berpapasan

dengan orang lain, apa lagi menemui satu kedai nasi. Tapi

semuanya itu tidak membuat dia menjadi putus asa dan

menyesali perjalanan jauh yang telah dilakukannya sejak dua

hari yang lalu dengan penuh kesukaran. Maksud serta tujuan

dari perjalanannya itulah yang membuat dia tak mau berputus

asa. Dan memang dia tak boleh berputus asa. Dia harus

melakukan perjalanan itu. Tak peduli akan memakan waktu

satu bulan, satu tahun atau sampai mati sekalipun. Yang

penting adalah apa yang dirasakannya didalam dadanya harus

terlaksana.

Tanpa disadarinya akhirnya dia tertidur. Laki-laki itu

bernama Gaspar. Dia adalah anak buah seorang kepala rampok

yang bernama Mali Kodra. Oleh pemimpinnya, Gaspar diangkat

untuk mengepalai kawan rampok di Srimbilan. Pada suatu hari

Srimbilan kedatangan satu pendekar sakti yang ingin meminta



pertanggungan jawab atas segala perbuatan Gaspar itu.

Meskipun anak-anak buah Gaspar menemui ajalnya ditangan

pendekar tadi, namun Gaspar masih diberi sedikit

perikemanusiaan. Setelah menerima hajaran-hajaran keras dari

pendekar itu, Gaspar dilepaskan dengan pesan yang disertai

ancaman agar dia kembali kejalan yang benar. Tapi hajaran dan

kematian anak-anak buahnya itu bukan menjadi satu

peringatan bagi Gaspar, sebaliknya dia menjadi sangat marah

dan dendam kesumat yang tiada taranya bersarang didalam

dadanya. Karena menyadari bahwa dia tak bisa menghadapi

pendekar sakti tadi seorang diri, apalagi ketika diketahuinya

bahwa pendekar tadi mempunyai seorang kawan lain yang juga

sakti luar biasa, maka pergilah Gaspar menemui pemimpinnya

yaitu Mali Kodra yang bercokol di kota Kuala. Maksudnya

selain untuk memberitahukan apa yang telah terjadi terhadap

anak buahnya di Srimbilan, juga dia ingin agar Mali Kodra

membuat perhitungan dengan kedua pendekar tadi yang tak

lain adalah Suwantra dan Aditiajaya.

Tapi Gaspar datang terlambat di Kuala. Apa yang ditemuinya

disana adalah semakin menambah rasa amarahnya serta rasa

dendamnya. Pemimpinnya, Mali Kodra ditemuinya telah

menjadi mayat yang membusuk bersama lima orang kawan- kawannya kepala-kepala rampok. Dan bukan itu saja. Seluruh

anak buah Mali Kodra juga sudah dibikin musnah oleh kedua

pendekar tadi.

Dalam merenungi peristiwa yang menyeramkan itu Gaspar

akhirnya mendapat jalan bagaimana caranya dia menuntut

balas atas kematian kawan-kawannya, atas kematian

pemimpinnya dan kawan-kawan dari pemimpinnya itu. Jalan

itu adalah bahwa dia sendiri harus menjelajahi daratan

Kalimantan untuk mencari dan menemui guru-guru dari

pemimpin-pemimpinnya Mali Kodra dan kepala-kepala rampok

lainnya. Hanya tiga orang saja dari ke lima guru-guru kepala- kepala rampok itu yang diketahui oleh Gaspar. Tapi jumlah itu

sudah lebih dari cukup ditambah dengan guru dari

pemimpinnya sendiri. Empat guru sakti itu harus ditemuinya

dalam waktu yang cepat. Dia akan menceritakan apa yang telah


dialami oleh murid-murid mereka. Sudah pasti guru-guru sakti

itu akan menjadi kalap dan naik pitam mendengar kejadian itu

dan turun dari pertapaan masing-masing untuk menuntut balas

atas kematian murid-murid mereka.

Guru Mali Kodra yang bernama Pakarasa berdiam disatu

delta dimuara sungai Barito dilaut Jawa. Sedang ketiga guru- guru sakti dari lima orang kepala rampok yang diketahui oleh

Gaspar yang pertama adalah Nemini yaitu guru atau istrinya

Lunira. Perempuan sakti ini bertapa dilereng gunung Kinibalu.

Jauh di Kalimantan Utara. Yang kedua adalah gurunya Somaha

bernama Gondola, diam digunung Niut, Kalimantan Barat dan

yang ketiga adalah Surdala, gurunya Jantra, Surdala bertapa

ditepi danau Jempang. Karena letak pertapaan Pakarasa adalah

yang paling dekat yaitu didelta sungai Barito, maka kesanalah

Gaspar mula-mula menuju.

Setengah jam kemudian Gaspar terbangun dari tidurnya.

Perlahan-lahan dia membuka matanya. Kembali dia

memandang kelangit putih kebiruan diatasnya. Dia mengusap

mukanya beberapa kali lalu membalikkan diri memandang

pada air sungai yang mengalir perlahan dimukanya. Sebelum

bangkit berdiri dia merendam kepalanya sekali lagi lalu minum

beberapa teguk. Beberapa lamanya dia dengan bersandar

keperut kuda dan kemudian naik keatas punggungnya. Dengan

kecepatan sedang, keduanya, kuda dan penunggang menyusuri

jalan kecil ditepi sungai. Tapi celakanya satu jam kemudian

ternyata jalan kecil ditepi sungai itu buntu. Tertutup oleh

tebing-tebing batu yang tinggi dan semak belukar lebat. Gaspar

terpaksa memasuki hutan liar disamping kirinya. Dan

meneruskan perjalanan dengan susah payah. Dua jam

kemudian baru dia keluar dari hutan itu. Seekor kambing hutan

lalu dihadapannya dengan cepat, membuat laki-laki itu terkejut

dan menyumpah-nyumpah. Pemandangannya telah berkunang- kunang, tubuhnya letih. Seluruh tulang badannya lemah lunglai

sedang perutnya perih keroncongan.

“Kalau sore ini aku tak menemui kedai nasi atau rumah

penduduk...... matilah aku!” kata Gaspar dalam hatinya. Jalan

kudanya dipercepatnya kembali. Satu jam lagi berlalu. Senja


mendatangi kini. Keadaan disekitarnya mulai meremang dan

ketika matahari lenyap dibalik hutan dimuka sana malampun

tibalah, Kegelapan menyelubungi kini. Gaspar memacu

kudanya menyusuri tepi hutan menuju keselatan. Didalam

hutan didengarnya berbagai macam suara burung malam dan

binatang-binatang buas. Rasa khawatirnya mulai mencekam.

Tiba-tiba matanya yang kuyu itu menangkap beberapa buah

nyala api yang kelap-kelip diujung barat.

“Untung......” desisnya dan dia merubah arah kudanya.

Seperempat jam kemudia dia sampai ketempat itu. Enam buah

rumah terletak berdekatan. Salah sebuah dari padanya adalah

kedai nasi. Gaspar segera menuju kesana. Kudanya

diperlambatnya dan kemudian ditambatkannya kesebuah

pohon ditempat gelap. Beberapa orang laki-laki dilihatnya

bercakap-cakap dibangku panjang dimuka kedai. Gaspar

melangkah kesana. Orang-orang yang asyik bercakap-cakap

menghentikan pembicaraan dan sama menoleh pada Gaspar.

Gaspar melemparkan senyum yang seramah mungkin kepada

orang-orang itu kemudian memutar kepalanya pada pemilik

kedai, “Nasi......” katanya. Lalu duduk diujung bangku panjang

itu. Matanya memandang tak lepas-lepasnya pada gerak-gerik

tukang nasi yang tengah mengambilkan pesanannya. Tanpa

menoleh apalagi memperbasakan diri pada orang-orang yang

duduk sebangku dengannya, Gaspar langsung menyantap nasi

dipiring itu dengan lahapnya.

“Lagi satu piring......!” kata Gaspar lima menit kemudian

sambil menyodorkan piring nasinya yang telah kosong. Tukang

nasi menerima piring itu dengan tersenyum sedang Gaspar

meneguk air yang digelas. “Airnya juga tambah......” kata laki-

laki itu kemudian sambil menerima piring nasi tambahannya.

Gaspar makan lagi dengan lahapnya. Gulai yang pedas

membuat peluh berjatuhan dimukanya. Dia makan terus tak

peduli bagaimana keringatnya yang seperti banjir itu menetes- netes jatuh dari mukanya keatas nasi yang tengah dimakannya.

Lima menit kemudian si piring yang kedua itupun licin tandas

pula masuk keperutnya. Dia meluruskan dadanya sebentar


sambil berpikir-pikir apakah dia akan tambah sepiring lagi atau

tidak.

“Lagi......?” terdengar suara orang kedai bertanya.

“Ya...... tapi setengah saja......” jawab Gaspar. Suaranya

perlahan sekali seperti orang berbisik. Orang kedai itu

mengambilkan nasi dan gulai sekali lagi.

Diatas meja dikedai itu terdapat beberapa sisir pisang kuning

kecil-kecil. Selesai makan sebanyak dua setengah piring Gaspar

mulai mengambil pisang itu sebuah demi sebuah. Kulitnya

dilemparkannya saja dengan seenaknya. Semua orang

memperhatikan dengan sudut mata masing-masing tindak

tanduk dari laki-laki itu. Salah seorang dari mereka bertanya,

“Saudara habis berjalan jauh......?”.

“Hemm......” jawab Gaspar dan menganggukkan kepalanya.

“Saudara dari mana......?” tanya orang tadi lagi. Walaupun

sebenarnya dia segan untuk menjawab karena perutnya yang

sangat padat kenyang itu. Gaspar membuka mulut juga

meskipun seperti tadi suaranya sangat pelahan sekali.

“Kuala......”. Sampai disitu tak ada yang bertanya lagi. Gaspar

meneguk isi gelasnya. Lalu mengambil sebuah pisang lagi.

“Ini kampung apa namanya......?” tanya Gaspar beberapa

lama kemudian dengan acuh tak acuh. Tapi pemilik kedai itu

menjawabnya dengan ramah. “Kampung yang sangat kecil ini

tidak ada namanya, saudara. Disini cuma tinggal enam

keluarga. Saya membuka nasi sedang yang lainnya adalah

pencari-cari hasil hutan. Seorang peranakan Tionghoa sekali

seminggu datang kesini untuk membeli dan mengambil hasil

hutan yang dikumpulkan”. Gaspar menganggukkan kepalanya

beberapa kali.

“Saudara sendiri mau pergi kemana......?” tanya pemilik

kedai itu.

“Kemuara sungai......”

“Muara sungai Barito?”. Gaspar mengangguk membenarkan.

“Saudara nelayan?” tanya salah seorang laki-laki yang duduk

bangku disamping Gaspar.

“Tidak” jawab Gaspar sambil mengambil cangkirnya dan

minum. “Berapa semuanya......?” tanya Gaspar pada orang


kedai. Laki-laki itu menghitung-hitung harga dari makanan

yang telah dimakan Gaspar termasuk pisang. Lalu

menyebutkan jumlahnya. Gaspar berdiri dengan agak susah

payah karena kekenyangan. Dia meraba-raba saku bajunya.

Lalu saku celananya. “Baru aku ingat. Sabuk uangku ada

didalam kantong barang dipunggung kuda, Aku akan ambil

dulu saudara. Tapi sebaiknya tolonglah bungkuskan nasi serta

lauk untuk bekalku dijalan nanti. Tak usah pakai gulai......”.

Orang kedai itu melakukan apa yang diminta Gaspar. Dengan

sehelai daun pisang dibungkusnya nasi dan beberapa potong

lauk. Lalu diberikannya pada Gaspar.

“Tunggu sebentar. Saya akan ambil uang. Kuda saya didekat

pohon sana......” kata Gaspar sambil menunjuk kearah

kegelapan. Tanpa menaruh curiga pemilik kedai itu

mengangguk. Gaspar memutar tubuhnya dan melangkah

sampai akhirnya tubuhnya hilang dikegelapan. Dengan cepat

Gaspar membuka ikatan kudanya lalu naik keatas punggung

binatang itu. Perlahan-lahan dia menuju kemuka kedai. Dia

memandang kepada pemilik kedai itu. Orang yang dipandang

memperhatikannya dengan tak enak dan mulai curiga. Saat itu

berkatalah Gaspar sambil menyeringai buruk. “Terima kasih

untuk nasi, air dan pisang yang telah kau berikan kepadaku.

Terima kasih dan selamat tinggal. Ha...... ha...... ha...... ha......

ha............!” Sambil tertawa bekakakan Gaspar menarik tali

kekang kudanya. Binatang itu melompat kemuka dan dengan

seketika lenyap meninggalkan tempat itu.

“Kurang ajar! Bangsat! Hai...... bung...... berhenti! Bayar

dulu...... Hai.........!!!” Tapi hanya suara tapak-tapak kaki kuda

dan suara tawa bekakakan dari Gaspar yang semakin jauh yang

terdengar memberikan jawaban. Dan suara kaki kuda serta

tertawa itupun lenyap pula tak selang berapa lama. Pemilik

kedai itu tak henti-hentinya mengeluarkan kutuk serapah. Dan

memang hanya itulah yang bisa dibuatnya saat itu akibat

perbuatan Gaspar yang melarikan diri tanpa membayar barang

sepeser tengikpun!

Sepuluh menit kemudian baru Gaspar memperlambat jalan

kudanya. Dia masih tersenyum-senyum juga ketika mengingat


apa yang telah dilakukannya tadi. Perut kenyang sepadat- padatnya. Dibekali sebungkus nasi dan semuanya itu tanpa

mengeluarkan uang barang satu persenpun! “Ha...... ha......

ha...... ha......” Gaspar tertawa terbhak-bahak seperti orang gila

dimalam yang gelap pekat itu.

DUA

MALAM itu, Gaspar tidur diatas sebuah pohon setelah

terlebih dahulu mengikat tubuhnya erat-erat kecabang pohon

yang besar itu. Paginya dia cepat bangun dan meneruskan

perjalanan kembali. Tengah hari dia membuka bekal makanan

yang didapatnya dari kedai malam tadi dan dimakannya sampai

habis meskipun rasanya sudah agak rasan. Satu jam kemudian

baru dia menemui jalan yang menyusuri tepi sungai Barito yang

menuju kemuara. Beberapa rumah penduduk ditemuinya

disekitar sana. Akhirnya dia sampai kemuara.

Sungai Barito adalah termasuk salah satu sungai yang

terbesar di Kalimantan disamping sungai Kapuas dan

Mahakam. Sungai ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang

atau anak-anak sungai dipedalaman sehingga menyebabkan

arus air yang menuju kemuara menjadi agak besar. Arus yang

besar ini menyebabkan terjadinya pengikisan tanah-tanah

dikedua tepi dan dasar sungai itu oleh air. Endapan tanah atau

lumpur tadi dibawa oleh air sungai terus sampai kemuara.

Meskipun dibawanya secara berdikit-dikit dan tak kelihatan

sama sekali namun lama kelamaan endapan-endapan tanah

lumpur tadi semakin bertambah besar dan meninggi sehingga

merupakan daratan-daratan baru dimulut muara sungai Barito.

Meskipun tanah endapan atau delta itu sangat subur namun tak

ada seorang nelayan atau pendudukpun yang tinggal disana.

Satu-satunya manusia yang berdiam didelta itu adalah

Pakarasa, guru kepala rampok Mali Kodra, Pakarasa sangat

benci dan tidak senang bila mengetahui ada seorang lain yang

menginjakkan kakinya didelta itu. Baginya delta tersebut adalah

daerah wilayah kekuasaannya dan tak seorangpun boleh datang


kesana karena hal itu akan mengganggu ketenteramannya

dalam bertapa dan mengheningkan cipta raga menambah

kesaktiannya. Pernah seorang nelayan baru yang tidak tahu

menahu bahwa delta itu didiam oleh Pakarasa, dengan

seenaknya setelah menangkap ikan berjalan-jalan didelta itu.

Nelayan ini kemudian dilemparkan ketengah lautan oleh

Pakarasa. Untung saja ada sebuah perahu nelayan yang berada

disekitar sana sehingga nelayan yang dilemparkan tadi sempat

diselamatkan nyawanya.

Gaspar berdiri diujung muara. Dia memandang jauh ke

seberang laut yang memisahkan pantai dengan delta dimana

Pakarasa diam. Kudanya berdiri disampingnya. Kemudian dia

memandang berkeliling dan melangkah mendekati perahu yang

terdekat. “Kau lihat delta diseberang itu......?” tanya Gaspar

pada anak perahu sambil menunjuk ketengah lautan. Anak

perahu itu mengangguk.

“Antarkan aku kesana dan akan aku bayar......” kata Gaspar.

Orang yang punya perahu tampak seperti tengah berpikir-pikir.

Lalu jawabnya kemudian. “Aku akan antarkan kau sejarak

sepuluh sampai lima belas meter dari delta itu dan kemudian

kau harus berenang sendiri untuk sampai kesana......”.

“Sialan! Aturan mana yang kau pakai seperti itu?!” bentak

Gaspar dengan marahnya.

“Itu bukan aturan sobat. Mungkin kau tak tahu, Tapi aku

akan terangkan. Dipulau itu berdiam seorang pertapa sakti

bernama Pakarasa......”

“Aku sudah tahu!” potong Gaspar.

“Bagus! Tapi kau mungkin tidak tahu dia punya adat macam

apa. Siapa saja yang berani mendekati delta itu, apalagi

menginjakkan kaki disana, pasti akan dilemparkan ketengah

laut oleh Pakarasa. Dan mati konyol tenggelam kedasar laut

sebelum datang pertolongan. Jadi terserah padamu. Mau

menurut seperti yang kukatakan tadi atau tidak. Pokoknya aku

tak mau dilempar dan mati konyol didalam laut!”

Gaspar mengusap-usap tengkuk kudanya kemudian berkata,

“Baiklah...... Aku akan titipkan kudaku dulu!”. Laki-laki itu

keatas punggung kudanya dan menuju kesebuah pondok di tepi


pantai dimana dia menitipkan kudanya, lalu kembali lagi

ketempat tadi dan naik keatas perahu. Perlahan-lahan perahu

kecil itu mulai bergerak meninggalkan pantai menuju ketempat

tujuan yang letaknya tak lebih dari seratus lima puluh meter

dari pantai. Kira-kira lima belas meter dari tempat tujuan, anak

perahu menghentikan perahunya. “Nah untuk seterusnya kau

harus berenang!”.

“Kau mau tunggu aku disini......?” tanya Gaspar.

“Lama?”

“Paling lama satu jam” jawab Gaspar.

“Baik, aku akan berada disekitar sini. Tapi kalau kau bisa

lebih cepat akan lebih baik!”.

“Aku akan usahakan” kata Gaspar sambil membuka baju dan

celana luarnya. Pakaian itu diikatkannya diatas kepalanya.

Dengan hanya mengenakan celana dalam dia mulai berenang

menuju kedelta dimukanya. Sampai ditempat tujuan segera

dikenakannya pakaiannya kembali, sedang anak perahu yang

menunggunya memperhatikan dengan cemas sambil bertanya-

tanya dalam hati, ada keperluan apa orang itu pergi kesana?

Ingin minta dilempar kedalam lautan?!

Delta itu dikelilingi oleh pohon-pohon bambu kuning

diselang-seling oleh pohon-pohon tebu yang besar-besar.

Gaspar menyeruak diantara pohon-pohon tersebut. Dimuka

sebelah sana dilihatnya sebuah pondok yang berbentuk aneh.

Tiang-tiang pondok itu adalah bambu-bambu kuning yang

besar-besar. Dindingnya juga dari bambu-bambu kuning yang

dianyam. Juga atapnya dari bambu yang sejenis. Pondok itu

tampaknya tidak mempunyai pintu ataupun jendela. Gaspar

melangkah dan mendekati. Dia mengelilingi pondok tersebut.

Matanya dibukanya lebar-lebar. Namun dia masih belum

menemui dimana pintu dari pondok itu. Dia coba untuk

mengintip kedalam tapi anyaman bambu kuning dari dinding

rumah sangat rapat sekali. Gaspar jadi kehilangan akal dan

memandang berkeliling.

“Apa bukan disini tempat guru sakti itu......?” pikirnya. Dia

memutar tubuhnya dan melangkah. Maksudnya hendak

mengelilingi rumah itu sekali lagi dan memperhatikan dengan



teliti dimana pintu masuk dari pondok aneh tersebut.

Langkahnya terhenti dengan seketika. Satu tangan dengan jari-

jari yang besar kukuh dirasakannya menangkap batang

lehernya dari belakang sehingga nafasnya sesak. Sinar matahari

menimbulkan satu bayangan sosok tubuh yang sangat besar

dimukanya, menutupi tubuhnya sendiri. Ketika dia coba untuk

meronta melepaskan diri mendadak dirasakannya tubuhnya

diangkat keatas dan kemudian dibantingkan ketanah dengan

keras. Untung saja dia tidak kehilangan akal dan masih sempat

jungkir balik menyelamkatkan patahnya tulang-tulang

anggotanya. Kemudian dengan cepat dia berdiri dan memutar

tubuh. Pada saat itu pula terdengar suara tertawa yang

menggeledek dan mendirikan bulu tengkuk. Dihadapannya

berdiri seorang manusia yang menyeramkan. Tubuhnya tinggi

dan besar kukuh. Kulitnya sangat hitam dan berkilat.

Rambutnya gondrong. Alisnya tebal, hidungnya besar tapi dekat

pangkalnya agak melesak kedalam. Mulutnya lebar dan

bibirnya tebal. Dia memakai celana hitam sebatas dengkul. Baju

putih yang dikenakannya tiada berkancing sama sekali, terbuka

lepas begitu saja, memperlihatkan dadanya yang bidang dan

ditumbuhi banyak bulu. Begitu juga bagian tubuhnya yang lain,

mulai dari pangkal kaki, terus kebetis dan kepaha, kepusar dan

kedada sampai kemuka dan ketangannya penuh diselimuti

dengan bulu yang hitam tebal kasar kaku. Kalau ada orang yang

berpendapat bahwa sesungguhnya manusia ini adalah masih

turunan monyet, maka melihat keadaan tubuh serta tampang

laki-laki itu mau tak mau kita akan percaya juga. Mukanya yang

mengerikan persis seperti monyet. Tubuhnya yang tinggi besar

penuh bulu itu persis seperti gorila! Manusia monyet raksasa

ini masih terus tertawa dahsyat menunjukkan gigi-giginya yang

putih berkilat. Tiba-tiba tawanya berhenti dengan seketika.

“Kau siapa yang berani-beraninya datang ketempat ini?!”.

Dalam ketakutannya memandang manusia yang dahsyat

mengerikan itu Gaspar tak bisa memberikan jawaban. Lutut

dan bibirnya gemetaran. Meskipun saat itu adalah siang hari

bolong namun bulu tengkuknya berdiri sedang keringat dingin

membasahi tubuhnya.



“Kau tak mau jawab?! Bagus! Seperti yang lain-lainnya kau

akan kulemparkan ketengah lautan dan disana tubuh busukmu

berkubur!” kata orang yang tinggi besar tadi sambil melangkah.

“Ampun...... ampun...... jangan! Aku...... aku Gaspar...... aku

anak buah Mali Kodra. Ampun...... guru...... aku anak buah Mali

Kodra!” kata Gaspar seraya mundur kebelakang dengan

ketakutan.

Orang dahsyat itu yang tak lain adalah Pakarasa adanya,

menghentikan langkahnya. Matanya yang merah menyala

memandang pada Gaspar. “Kau murid Mali Kodra?!”.

“Ya, murid Mali Kodra. Laki-laki yang menjadi muridmu

sendiri!”


“Dusta! Kau mau menipu aku......?!” bentak Pakarasa.

“Demi jin lautan ini aku berani bersumpah bahwa aku tidak

berdusta” jawab Gaspar.

“Lantas ada apa kau datang kesini?!”

“Mali Kodra...... muridmu itu. Mati!”

“Apa?! Muridku mati?!”

“Ya. Mati! Mati dibunuh!” kata Gaspar sekali lagi.

Pakarasa melangkah maju. Gaspar mundur kebelakang.

“Tetap ditempatmu!” bentak Pakarasa. Gaspar diam tak

bergerak-gerak. “Dari mana kau tahu hal itu?!” tanya Pakarasa.

“Aku sendiri yang melihatnya dengan mata kepalaku. Bahkan

bukan dia seorang saja yang dibunuh melainkan bersama-sama

dengan lima orang kawan-kawannya, murid-murid dari lima

guru-guru sakti di Kalimantan ini!”

“Siapa yang melakukan perbuatan itu?!” tanya Pakarasa

dengan geram. “Sebaiknya kau terangkan dengan lengkap dan

jelas!”. Dan Gaspar mulai memberi keterangan yang tentunya

dibumbui dengan asam garam agar amarah guru Mali Kodra itu

semakin meluap.

“Benar-benar kurang ajar kedua manusia dari suku Kayan

itu!” maki Pakarasa. Dia memandang keatas langit seakan-akan

sinar matahari yang terik tidak menyilaukan matanya. “Jadi

baru aku yang pertama-tama kau temui?” tanya Pakarasa

kemudian.

“Ya, karena guru adalah yang terdekat......”

“Kau tahu semua tempat pertapaan kelima guru sakti dari

kawan muridku itu......?”.

“Cuma tiga orang saja, guru” jawab Gaspar.

“Sebenarnya aku sendiri juga bisa melakukan pembalasan

kepada kedua pendekar-pendekar laknat itu. Tapi guru-guru

yang lain itu juga punya hak dan wajib melakukan hal itu,

sekurang-kurangnya menyaksikan sendiri bagaimana aku nanti

akan mematahkan tulang-tulang leher kedua orang Kayan itu

satu demi satu!”


Kedua orang itu sama berdiam diri. Rasa takut didiri Gaspar

mulai berkurang kini. “Dari sini kau bermaksud mau kemana?”

tanya Pakarasa.

“Ke gunung Niut dulu, ketempat Gondola, gurunya Somaha”

jawab Gaspar. Pakarasa tampak termenung. Setelah beberapa

lamanya dia berkata. “Baiklah! Untuk menemui ketiga garu- guru sakti itu kau akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Kuberi tempo kau dua bulan. Dan katakan pada setiap guru- guru sakti yang kau temui itu bahwa mereka harus berada

dikaki gunung Bukit Raya sebelah timur pada permulaan bulan

baru yang kedua dari saat ini. Dari sana kami akan mengatur

jalannya pembalasan. Mengerti!?!”

“Mengerti guru......” jawab Gaspar. “Ada lagi yang guru ingin

terangkan?”

“Tidak. Cuma pesanku itu jangan sampai lupa. Ingat!

Permulaan bulan baru dua bulan dimuka dan dikaki gunung

Bukit Raya sebelah timur!”

“Akan saya ingat selalu” jawab Gaspar.

“Kalau begitu kau boleh pergi dari sini!”. Pakarasa memutar

tubuhnya dan melangkah menuju kepondoknya. Gaspar juga

cepat-cepat berlalu dari situ. Sampai ditepi delta dia melambai-

lambaikan tangannya kepada anak perahu yang menantinya

ditengah lautan. Perahu itu mendekat sampai sejarak sepuluh

meter dan setelah membuka pakaiannya Gaspar segera

berenang mendapati perahu. Diatas perahu dia mengenakan

pakaiannya kembali. Hatinya sangat gembira. Orang pertama

yang harus dicarinya dalam rencana pembalasan dendam itu

telah ditemuinya, Gaspar bersiul kecil. Hal itu membuat heran

si anak perahu. Dan dia bertanya. “Ada urusan apa kau didelta

itu?!”

“Peduli apa kau dengan urusanku?!” kata Gaspar acuh tak

acuh sambil terus bersiul entah membawakan lagu apa.

“Maksudku bukan ingin mengetahui urusanmu, saudara.

Tapi aku heran. Tak ada orang yang berani datang kedelta itu.

Pergi kesana sama saja dengan menghadang maut mencari

mati. Tapi kau pergi kesana dan kembali dengan selamat serta

gembira, bahkan bersiul-siul pula!”


“Lalu hal itu saja mambuat kau jadi heran?”.

“Lebih lagi heran!” jawab anak perahu itu.

“Manusia yang mendiami delta itu namanya Pakarasa.

Tingginya dua kali tinggimu sedang besar badannya ada kira- kira empat kali besar badanmu yang kerempeng ini! Mukanya

seram dan kalau engkau melihatnya pasti kau jatuh pingsan

karena ketakutan. Kesaktiannya tinggi sekali. Manusia macam

kau ini cukup diangkatnya dengan satu tangan! Dan kalau kau

ingin tahu lebih lanjut lagi maka aku adalah murid dari

Pakarasa!”. Anak perahu yang kena dibohongi oleh Gaspar

mengangguk dan memandang dengan mulut ternganga pada

laki-laki itu. “Tentunya kau seorang pendekar sakti yang

kawakan......”. Cuping hidung Gaspar yang memang sudah lebar

itu jadi bertambah lebar. Dengan menahan geli dia berkata.

“Kesaktianku belum seberapa kalau dibandingkan dengan

kesaktian guruku. Tapi kalau baru sepuluh orang saja yang

coba-coba untuk mengeroyokku, niscaya akan aku bereskan

dalam lima kali gebrakan saja!”.

“Bukan main!” memuji anak perahu dengan kagumnya.

Tanpa terasa perahu telah sampai keseberang. Gaspar meloncat

turun kedarat. “Uangku kutinggalkan dibuntalan perbekalan

disamping kudaku. Aku akan mengambilnya. Kau akan ikut

serta atau menunggu disini saja sampai aku datang

membawakan uang sewa perahumu?”. Tanpa rasa curiga sama

sekali anak perahu itu menjawab. “Ambillah uang itu, aku

tunggu kau disini”, Gaspar memutar tubuhnya dan melangkah

meninggalkan tempat itu. Sampai dipondok dimana dia

menitipkan kudanya dilihatnya tak seorangpun berada disana.

“Kebetulan yang menguntungkan sekali!” kata Gaspar dalam

hatinya. Segera diambilnya kudanya dari belakang rumah dan

dengan cepat ia berlalu dari sana. Apakah yang akan ditunggu

oleh si anak perahu? Sampai kiamatpun Gaspar tak akan

kembali, yang bisa dilakukannya adalah sama dengan apa yang

diperbuat oleh pemilik kedai yang kena tipu oleh Gaspar tempo

hari, yaitu menyumpah dan mengutuk!

Dari muara sungai Barito, Gaspar mengambil jalan yang

mengarah kebarat laut. Selama tiga jam lebih dia melalui


daerah yang banyak sawah dan ladang. Diladang-ladang seperti

ladang mentimun, buah-buahan dan lain sebagainya. Gaspar

tak lupa untuk memetik semua buah yang ditemuinya, seakan- akan kebun dan ladang orang itu adalah milik nenek

moyangnya, turun-temurun!

Ketika senja tiba daerah yang dilaluinya kembali ditum buhi

pohan-pohon lebat. Hutan belantara kini menghadang

jalannya. Dia membelok keselatan mencari jalan yang aman.

Malam itu dia berkemah disatu pedataran ditepi sebuah anak

sungai. Santapan pengisi perutnya saat itu tak lain adalah buah- buahan yang siang tadi dicurinya dikebun orang. Keesokan

paginya dia meneruskan perjalanan kembali. Saat itu masih ada

dua butir mentimun dalam kantong perbekalannya. Itulah

sarapannya dipagi itu. Kedua mentimun itu dimakannya sambil

memacu kudanya. Menjelang tengah hari, ketika perutnya

mulai minta diisi, maka dihadapannya membujur pegunungan

yang tinggi. Gaspar tak berani mengambil jalan dipegunungan

itu meskipun dia akan sampai lebih lekas ketujuannya.

Dipegunungan sudah dapat dipastikannya bahwa dia tak akan

menemui satu orang manusiapun. Berarti dia tak akan

menemui kedai nasi. Karena itu sekali lagi dia membelokkan

arahnya keselatan menyusuri kaki pegunungan.

Beberapa lama kemudian dia mulai berpapasan dengan

penduduk. “Hemm...... tanda perutku akan diisi pula......” kata

Gaspar. Seperempat jam kemudian dia menemui sebuah

kampung kecil disatu kelokan jalan. Matanya yang liar segera

melihat sebuah kedai makanan. Kudanya ditujukannya kesana

dan dia masuk kedalam. Dalam kedai itu hanya terdapat sebuah

meja yang sudah agak reyot dan tiga buah kursi. Satu kursi

telah diduduki oleh seorang laki-laki yang bertubuh kurus

kerempeng. Tampaknya dia tengah menunggu pesanannya.

Setelah memesan satu piring nasi yang diramaskan, Gaspar

duduk dikursi kedua disamping meja. Dia memperhatikan laki-

laki kurus yang disampingnya dengan sudut matanya. Orang

itupun memperhatikannya pula.

Tiga menit kemudian pelayan kedai datang membawakan

sepiring nasi ramas. Karena menyangka bahwa nasi itu adalah


pesanannya, Gaspar segera mengambilnya. Tapi pelayan kedai

berkata. “Maaf, saudara. Nasi ini adalah pesanan saudara itu.

Pesanan saudara sedang diambilkan. Sebentar lagi saya akan

antarkan kesini”. Gaspar memandang pada laki-laki kerempeng

disampingnya. Laki-laki itu tersenyum sedikit. Gaspar merasa

seperti diejek. Dengan cepat dirampasnya piring nasi sambil

berkata keras: “Peduli apa dengan dia. Dia boleh menunggu

piring nasi yang selanjutnya. Perutku lapar. Semenjak pagi tadi

belum makan apa-apa!”. Pelayan kedai tak bisa berkata apa-apa

sedang Gaspar, tanpa cuci tangan lagi mulai hendak menyuap

nasi ramas itu.

“Nasi ramas itu pesananku, saudara. Aku yang datang kesini

lebih dahulu. Dan aku yang memesan lebih dulu!”. Gaspar

memandang dengan mata melotot pada laki-laki kerempeng itu.

“Peduli apa dengan pesananmu? Persetan siapa yang datang

lebih dahulu! Pokoknya aku lapar. Kau boleh tunggu!

Mengerti?!”

“Sebaiknya bawa saja piring itu kesini......” ujar laki-laki

kerempeng dengan masih tersenyum.

Gaspar kehilangan kesabarannya. Meja yang dihadapannya

dipukulnya dengan keras. “Kau manusia cicak kering, belum

tahu siapa aku?!”

“Namaku Misa, sobat. Boleh saja kalau ingin menerangkan

siapa kau adaya!” jawab orang yang kurus.

Gaspar berdiri dari kursinya sambil menepuk dada. “Aku

Gaspar murid dari Mali Kodra dan Pakarasa! Kau inginkan nasi

ramas ini?!”. Misa mengangguk dan bersamaan dengan itu

Gaspar membantingkan piring nasi yang diatas meja kelantai

kedai. Piring itu pecah berantakan sedang nasi ramasnya

berhamburan. “Nah makanlah itu!” kata Gaspar sambil

menunjuk pada nasi yang berhamburan dilantai kedai. Sambil

tertawa terbahak-bahak kemudian dia duduk kembali

dikursinya. Tapi tertawanya itu mendadak berubah menjadi

suara rintihan karena tinju kanan Misa dengan tak terduga

sama sekali mampir dengan kerasnya dipelipis Gaspar. Dengan

amarah yang meluap-luap Gaspar bangkit dari kursi yang

diduduki. Tiba-tiba kaki kanannya melayang cepat keperut


bagian bawah dari Misa. Tapi Misa lebih cepat berkelit

mengelakkan tendangan itu. Akibatnya kaki kanan Gaspar jadi

menghantam meja. Meja makan yang sudah reyot itu mental

kebelakang sedang Gaspar merintih kesakitan.

“Ha...... ha...... ha! Manusia yang mengaku murid Mali Kodra

dan Pakarasa ayo maju ladeni aku! Mengapa meringis seperti

kunyuk......?!”

Mendengar ejekan itu tak tertahankan lagi geram amarahnya

Gaspar. Dengan melupakan sakit kakinya dia meloncat kemuka.

Kedua tangannya mencari sasaran keperut dan ketenggorokan

Misa. Serangan yang tanpa diperhitungkan itu dengan mudah

dapat dielakkan oleh Misa bahkan sambil mengelak tinjunya

berhasil mampir ditelinga kiri Gaspar, membuat telinga laki-

laki itu menjadi merah seperti api! Gaspar semakin kalap.

Goloknya segera dicabutnya. Tapi sebelum benda itu bisa

dipergunakannya, lutut Misa telah menghantam lambungnya.

Tak ampun lagi Gaspar rebah kelantai. Sebelum dia pingsan

karena sakit yang amat sangat dia masih sempat merasakan

bagaimana Misa meraup nasi yang berhamburan dilantai dan

menyumpalkannya kemulutnya yang menganga sambil

mengejek. “Nah kawan, santaplah nasi ramas yang sangat kau

ingini ini!”. Sudah itu Gaspar tak ingat apa-apa lagi. Sampai

pada saat Misa menghabiskan nasi ramasnya yang diantarkan

pelayan kedai kembali dan sampai pada saat dia keluar dari

kedai itu Gaspar belum juga sadarkan dirinya.

Sepuluh menit kemudian baru laki-laki itu siuman. Nasi

ramas yang disumpalkan Misa kemulutnya disemburkannya

keluar. Perlahan-lahan dengan terhuyung-huyung dia bangkit

dan duduk dikursi. Dia memandang berkeliling. Ketika matanya

membentur pelayan yang berdiri dekat pintu dapur dia segera

berteriak minta air dingin. Pelayan datang membawakan

segelas air dingin. Gaspar melangkah keluar kedai. Diluar dia

berkumur-kumur dan membersihkan mukanya kemudian

masuk lagi kedalam. Dan duduk ditempat semula.

“Nasi! Mana nasi?!” teriaknya kemudian ketika dirasakannya

perutnya sakit minta diisi. Nasi ramas yang telah lama

disiapkan segera diantarkan pada Gaspar. Gaspar memandang


pelayan itu lalu bertanya. “Kau tahu siapa laki-laki kerempeng

sialan tadi dan dimana rumahnya?!”. Pelayan yang ditanya

mengangkat bahunya dan menjawab : “Dia bukan orang sini.

Cuma dia kebetulan lalu dan mampir disini seperti saudara

sendiri......”.

“Kalau begitu pergilah......”. Gaspar mulai menyantap nasi

itu. Dia tak ada nafsu lagi untuk meminta tambah piring kedua.

“Berapa semuanya?!” tanya Gaspar pada pelayan kedai.

Pelayan itu menjawab dengan menambahkan. “Saudara harus

mengganti harga piring yang tadi kau pecahkan. Majikan saya

yang suruh mengatakan begitu......!”.

“Baik, itu soal remeh. Tapi kau tahu dimana orang berjualan

tembakau dan daun nipah? Tembakau dan nipahku kebetulan

habis. Aku mau beli!”.

“Diujung jalan ini. Kedai yang dibawah pohon seri. Kalau kau

suka, saya bisa tolong membelikan......” menawarkan si pelayan

kedai.

“Tak usah, biar aku beli sendiri. Aku akan kembali dalam

tempo tiga menit. Uang makanan dan piring jangan

khawatir......” Gaspar berdiri dan keluar dari kedai. Dia pura- pura mengambil sesuatu dari dalam buntalan perbekalannya

diperut kuda sadang tangan kirinya diam-diam melepaskan

ikatan tali binatang itu. Kedua matanya melirik kearah kedai.

Tiba-tiba Gaspar melompat keatas punggung kuda. Pinggul

binatang itu ditepuknya dengan keras. Kuda melompat kemuka

dan lari meninggalkan tempat itu dengan cepat. Untuk kesekian

kalinya Gaspar berhasil menjalankan tipu dayanya yang licik

itu.

TIGA

PADA hari yang kelima Gaspar sampai disatu kali kecil yang

berair dangkal. Bersama kudanya dia menyeberangi kali itu.

Sampai diseberang dia membelok keutara dan memasuki satu

rimba raya yang lebat. Dia harus menempuh rimba raya itu


karena itulah satu-satunya jalan yang bisa dilaluinya. Jalan

yang melalui pegunungan tak mungkin untuk ditempuhnya.

Sinar matahari boleh dikatakan tak sanggup menembus

kelebatan daun-daun pohon kayu yang tinggi-tinggi dihutan itu.

Keadaan disana teduh sekali sedang pohon-pohon kayu diliputi

lumut-lumut tipis yang licin hitam kehijauan. Gaspar tak bisa

mengendarai kudanya dengan cepat. Kadang-kadang dia

terpaksa mempergunakan goloknya membabat semak belukar

yang menghalangi perjalanannya. Tengah hari tepat baru

seperempat dari rimba tersebut yang dimasukinya. Sambil tetap

duduk dipunggung kudanya yang terus berjalan dengan

perlahan-lahan itu, dia membuka bekalnya dan mulai makan

seadanya.

Dua kali kudanya meringkik dahsyat ketika dua ekor ular

tanah lalu memapas jalan. Untung saja tak terjadi suatu apa.

Rasa cemas mulai menggerayangi dirinya, namun manusia yang

keras hati itu tak mengacuhkannya. Dia berjalan terus. Malam

hari dia sama sekali tak berhenti untuk berkemah atau

beristirahat. Ketika fajar menyingsing barulah dia berhenti.

Kebetulan disekitar tempat itu terdapat banyak rumput-rumput

hutan yang panjang-panjang seperti lalang. Kudanya segera

menyantap tumbuhan itu sedang Gaspar mencari sebuah pohon

yang bercabang cukup besar untuk tempatnya tidur. Tubuhnya

diikatnya erat-erat pada cabang pohon itu dan dia mulai tidur

seenaknya seakan-akan dia berada disatu tempat tidur empuk

didalam sebuah rumah. Satu jam kemudian sebuah benda besar

yang berwarna hitam kehijauan yang telah lama mendengkam

tak bergerak dipuncak pohon itu tampak bergerak. Benda itu

tak lain adalah seekor ular pohon yang sangat besar. Tubuhnya

yang panjangnya dua meter itu mulai bergerak melepaskan

gulungannya. Binatang itu terbangun dari tidurnya karena

hidungnya yang basah berlendir itu membaui suatu yang aneh

dari biasanya. Mula-mula sekali ditegakkannya kepalanya.

Dengan matanya yang kecil itu tanpa berkedip dia

memperhatikan tubuh Gaspar yang terbaring diatas cabang

pohon dibawahnya. Tubuh aneh Gaspar inilah yang telah


menimbulkan bau yang menusuk kedalam hidung ular pohon

itu, begitu juga bau dari kuda Gaspar yang tengah merumput.

Perlahan-lahan binatang itu melepaskan gulungannya.

Kemudian tanpa suara tubuhnya yang panjang itu mulai

meluncur kebawah. Kelebihan manusia dari pada binatang

adalah bahwa manusia itu diberi berakal. Tapi Tuhan Maha

Adil. Dilebihkannya pula binatang dalam satu hal dari manusia.

Ya itu perasaan serta pendengaran atau dengan satu kata,

instink, yang dimiliki binatang jauh lebih tajam dari manusia.

Kuda Gaspar yang tengah merumput dengan asyiknya tiba-

tiba menegakkan kepalanya. Hidungnya dihembus- hembuskannya sedang matanya mengedip-ngedip.

Pandangannya kemudian membentur ular pohon yang tengah

meluncur kebawah mendekati tuannya. Kuda itu menegakkan

kepalanya tinggi dan meringkik panjang dengan keras. Dua kali

binatang itu meringkik seperti itu. Suara ringkikan yang tinggi

keras membuat Gaspar jadi terbangun. Dia mengusap-usap

matanya. Saat itu dilihatnya matahari telah mulai

mamancarkan sinarnya. Tiba-tiba matanya membentur ular

pahon yang meluncur diatasnya. Saat itu pula kudanya

meringkik sekali lagi. Melihat bahaya itu Gaspar segera

menggerakkan tubuhnya, maksudnya hendak melompat

kecabang pohon yang dibawahnya terus turun ketanah. Tapi dia

lupa bahwa tubuhnya terikat kecabang besar yang ditidurinya.

Gaspar mencabut goloknya dengan cepat. Tali yang mengikat

badannya dipotongnya. Bersamaan pada saat tali yang

mengikatnya itu terlepas, pada saat itu pula kepala ular pohon

tadi sampai dimukanya dan mulai menyerangnya. Satu hal yang

menguntungkan laki-laki itu adalah bahwa dia tidak menjadi

gugup dengan bahaya yang mengancam jiwanya itu. Kedua

tangannya memegang cabang pohon dengan erat dan dengan

sigap dia menjatuhkan tubuhnya kesamping, berjuntai untuk

beberapa detik lamanya dan ketika ular pohon menyerang

untuk kedua kalinya, Gaspar telah melompat kecabang yang

dibawahnya. Sebelum dia mencapai tanah ular pahon itu masih

sempat menghantam ujung ekornya ketangan kanan Gaspar.


Gaspar menjerit kesakitan. Tangannya sakit sekali dan tanpa

dirasakannya, goloknya terlepas dari genggamannya.

Gaspar berlari dengan depat mendapati kudanya. Begitu dia

naik kepunggung binatang itu segera ditepuknya pinggul kuda

tersebut dan keduanya berlalu dari bawah pohon maut.

Meskipun tangannya tiada terperikan sakitnya sedang goloknya

tak sempat diambilnya namun yang penting bagi Gaspar adalah

bahwa dirinya selamat dari cengkeraman maut.

Sampai siang itu Gaspar baru berada dipertengahan rimba

raya yang luas lebat. Dia melalui tiga buah pohon manggis.

Ketiganya telah berbuah tapi cuma satu pohon yang buahnya

telah masak-masak. Dari pada tidak makan apa-apa sampai

saat itu sebaiknya dia memetik buah-buah manggis itu. Enam

buah manggis lenyap kedalam perutnya sedang dua belas buah

di masukkannya kedalam buntalannya untuk bekal kalau

sampai malam itu dia masih juga belum keluar dari hutan atau

tak menemui buah-buah lain yang dapat dimakan.

Sebelum senja datang, Gaspar sempat kedaerah yang banyak

ditumbuhi singkong-singkong hutan berdaun merah. Tanpa

pikir panjang lagi segera dicabutnya beberapa, batang dari

pohon-pohon tersebut. Setelah mengupas lima buah singkong,

dia mencari ranting-ranting kayu. Sangat sukar untuk mencari

ranting-ranting yang kering didalam hutan seperti itu.

Seperempat jam lamanya dia baru berhasil mengumpulkan

ranting-ranting yang agak basah dan seperempat jam pula

lamanya baru dia menyalakan api dari kayu-kayu yang basah

itu. Kelima singkong hutan yang telah dikupasnya itu

dipanggangnya diatas perapian untuk beberapa lamanya. Setiap

saat dibalik-balikkannya singkong agar rata masaknya. Gaspar

juga mengetahui bahwa banyak dari singkong-singkong yang

tumbuh didalam hutan beracun. Dia tak mau mati konyol oleh

racun singkong tersebut. Setelah hitam dan kering barulah

diangkatnya kelima singkong-singkong itu dan sambil meniup- niup makanan itu beberapa lamanya, barulah dia mulai

menggerogotinya satu demi satu. Kelima singkong bakar itu

licin tandas oleh Gaspar.

Karena tempat itu dirasakannya cukup aman maka dianta ra

pohon-pohon singkong tersebut Gaspar memutuskan untuk

berkemah malam itu. Sebelum membaringkan dirinya yang

terasa sangat letih sekali Gaspar menambah kayu perapian.

Rupanya maut masih juga terus mengintai dirinya Gaspar

dalam rimba raya itu. Setelah membereskan buntalan

pakaiannya pagi itu menyalakan api Gaspar mencabut tiga buah

batang singkong hutan yang tumbuh sekitar situ. Singkong yang

pertama kecil-kecil sekali. Tapi yang kedua dan ketiga cukup

besar dan lumayan untuk bekal diperjalanan nanti disamping

buah manggis sebanyak dua belas buah yang masih ada

padanya saat itu. Tengah dia asyik membalik-balik singkong


bakarnya, tiba-tiba dibelakangnya dilihatnya kuda yang

diberinya makan daun singkong hutan itu menunjukkan sikap

yang aneh. Binatang itu meninggikan lehernya. Hidungnya

menghembus-hembus sedang ekor dan kedua daun telinganya

bergerak-gerak, Gaspar memandang berkeliling. Dia tak

melihat apa-apa yang mencurigakan. Telinganya dipasangnya.

Tak satu suarapun yang terdengar. Angin pagi berhembus sejuk

sekali. Tanpa mengacuhkan kudanya laki-laki itu membalik- balikkan singkong bakarnya kembali. Dan pada saat itulah dari

balik semak-semak dibelakangnya dan dari atas-atas pohon

disekelilingnya keluar dan meloncat turun kira-kira dua puluh

orang yang hanya mengenakan cawat. Muka dan tubuh mereka

dicoreng-moreng dengan berbagai warna membuat tampang-

tampang mereka yang sudah buruk itu menjadi lebih buruk dan

menyeramkan. Mereka ada yang membawa golok, sumpritan,

tombak, kapak, penggada dan macam-macam senjata lagi dan

kesemuanya berteriak-teriak melolong setinggi langit seperti

kawanan-kawanan serigala yang kelaparan digurun pasir.

Orang-orang aneh itu berkeliling mengurung Gaspar. Gaspar

cepat berdiri hendak mencabut goloknya. Tapi senjata itu tak

ada. Dia baru ingat kalau golok tersebut jatuh ketanah ketika

tangannya disambar ular pagi tadi.

Dengan rasa cemas Gaspar memandang berkeliling. Orang- orang itu dilihatnya masih terus berteriak-teriak. Tiga orang

diantaranya membawa masing-masing segulung rotan dan

seperti orang gila yang menari-nari ketiganya mendekati

Gaspar. Kawan-kawannya yang lain siap dengan senjata

masing-masing, dan akan segera bertindak kalau Gaspar berani

membuat gerakan yang membahayakan diri ketiga kawannya

itu, Gaspar tahu akan hal itu karena itu dia diam tak bergerak- gerak. Hanya kedua bola matanya yang berputar-putar liar

memperhatikan tindak tanduk pengurungnya.

“Heiiiiaahhh!!!”. Ketiga orang yang paling dekat pada Gaspar

tiba-tiba sama berteriak dahsyat menyeramkan. Gaspar

merasakan lututnya gemetaran. Ketiga orang itu dengan cara

yang aneh membuka gulungan rotannya masing-masing. Lalu

mereka sama meloncat satu langkah kemuka dan tahu-tahu



tali-tali rotan tersebut sudah meluncur melilit tubuh Gaspar.

Laki-laki itu coba untuk berontak tapi tak ada gunanya. Lilitan

rotan semakin erat sedang jerit teriakan orang-orang itu

semakin nyaring meninggi. Tiba-tiba salah satu diantara

mereka, mungkin pemimpin dari rombongan manusia-manusia

aneh itu mengangkat kedua tangannya keatas dan berteriak

lebih keras meningkahi suara teriakan yang lain-lain. Dengan

serta merta semua teriakan jadi berhenti. Kesunyian yang

datang dengan tiba-tiba itu menjadikan suasana tambah lebih

menyeramkan.

“Kalian manusia-manusia gila! Lepaskan aku!” teriak Gaspar.

Suaranya menggema.

“He...... he...... he......” laki-laki yang berteriak tadi

menyeringai dan mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tak

diketahui oleh Gaspar.

“Lepaskan aku! Lepaskan!!” teriak Gaspar sekali lagi. Orang

itu menyeringai lagi dan kemudian menjawab dalam bahasa

Indonesia yang kaku. “Kau telah memasuki ini hutan, berarti

memasuki kami punya rumah. Kau tak bisa keluar dari sini.

Rohmu akan kami persembahkan pada Dewi Purnama malam

nanti!”. Tubuh Gaspar menggigil mendengar kata-kata itu. Tapi

dikuatkannya hatinya dan dia menjawab dengan keras. “Tidak!!

Kalian harus melepaskan aku. Aku akan beri hadiah kepada

kalian. Aku akan beri apa saja pada kalian! Bajuku, uang dan

juga kuda itu!”.

Orang yang bermuka coreng moreng didepannya

menggelengkan kepala. “Dewi Purnama menginginkan rohmu.

Dan kami tak akan melepaskanmu......!”. Orang itu berpaling

pada kawan-kawannya dan mengatakan sesuatu. Gaspar

kemudian didorong disuruh berjalan. Tak ada yang bisa

diperbuat oleh Gaspar selain mengikuti apa yang diperintahkan

oleh kepala rombongan tersebut. Dia melangkah dengan lutut

gemetar. Umurnya hanya sampai malam nanti. Dan sebelum itu

dia harus bisa menyelamatkan dirinya. Dia harus mencari akal

dengan otaknya yang cerdik licin itu. Kalau tidak maka dia akan

mati konyol ditangan manusia-manusia tak dikenal itu sedang

maksudnya untuk menemui guru-guru sakti akan menjadi gagal


dan dengan demikian rencana pembalasan dendam yang sudah

berbuat berakar didalam darah dagingnya tak akan pernah

kesampaian!

Gerombolan manusia-manusia coreng cemoreng yang hanya

mengenal cawat itu adalah orang-orang Dayak dari suku

Sampia. Orang-orang suku ini jumlahnya sedikit sekali yaitu

enam puluh orang. Kehidupan mereka sangat terpencil dan

selalu berpindah-pindah tempat didalam rimba raya yang luas

dikaki pegunungan yang membujur dari barat laut sampai

kepantai tenggara pulau Kalimantan. Mereka masih primitif

dan terhadap suku-suku lain dipedalaman Kalimantan mereka

selalu bermusuhan.

Orang-orang suku Sampia itu membawa Gaspar

keperkemahan mereka. Sebuah lubang digali sampai sebatas

paha dan Gaspar ditanam kedua kakinya didalam lubang itu.

Pakaian luarnya ditanggalkan. Dia hanya memakai celana

dalam saja. Sinar matahari seakan-akan membakar tubuhnya.

Dengan ditanam seperti itu sedang tangannya terikat

kebelakang. Gaspar memperhatikan segala kesibukan- kesibukan diperkemahan suku Sampia. Diujung sebelah sana

seorang laki-laki dengan tampang yang menyeramkan tampak

tengah mengasah sebuah kapak besar. Rupanya kapak itulah

yang akan menebas batang leher Gaspar dan orang yang

mengasah kapak adalah algojonya! Kembali tubuh Gaspar

menggigil. Badannya yang basah oleh keringat dingin menjadi

berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.

Gadis-gadis Sampia yang jumlahnya tak beberapa orang

sibuk membuat karangan bunga yang baunya sangat tajam

menusuk hidung. Ketika matahari tepat diubun-ubun kepala,

pemandangan Gaspar mulai berkunang-kunang. Seorang dari

suku Sampia mengguyur kepalanya dengan air bening yang

berbau anyir. Gaspar merutuk dalam hatinya. Badannya yang

selama beberapa jam tadi dijemur sampai panas ketika disiram

air anyir itu tampak jadi mengepul. Seharian itu Gaspar tak

diberi makan sama sekali. Tiada terkirakan bagaimana

penderitaan laki-laki itu. Ketika senja mendatang Gaspar antara

sadar dan tidak akan dirinya. Tubuhnya terkulai dan matanya



dipejamkannya. Ketika dia membuka matanya kembali

sekelilingnya telah terang benderang. Sepuluh orang laki-laki

berdiri dibelakang lingkaran manusia yang duduk ditanah dan

masing-masing memegang sebuah obor besar. Disebuah kursi

rotan yang berbentuk aneh duduk seorang laki-laki bertubuh

tinggi tegap. Matanya sangat besar dan dadanya berbulu, dialah

Inya, kepala atau raja suku Sampia. Disampingnya berdiri

seorang nenek-nenek yang sangat buruk rupanya. Rambutnya

awut-awutan. Kedua daun telinganya berlubang sangat besar

sekali. Seluruh mukanya, terutama kulit pada pinggiran kedua

matanya keriputan. Nenek-nenek tua itu bernama Gotah.

Umurnya tak seorangpun yang tahu. Kedudukannya ditengah-

tengah suku Sampia adalah penasehat Inya dan dukun sakti

yang ditakuti oleh seluruh orang Sampia. Apa yang

dikatakannya menjadi hukum aturan. Siapa yang berani

membantah atau melanggar kata-katanya, nyawa jadi

taruhannya!

Gotah berdiri dengan tak bergerak-gerak. Matanya

memandang tak berkedip pada Gaspar. Kedua bibirnya

terkatup sangat rapat. Ditangan kirinya terdapat sebuah

mangkuk besar yang terbuat dari tanah liat. Didalam mangkuk

itu terdapat air yang berwarna merah pekat dan yang baunya

sangat busuk sekali. Gaspar dengan kedua matanya yang kuyu

memandang Gotah, Tampang dukun yang seram menjijikan itu

membuat Gaspar mengalihkan pandangannya ketempat lain.

Ditepi lingkaran disamping muka sebelah kanannya tampak

beberapa buah genderang besar kecil yang berbentuk aneh.

Orang-orang yang akan memalu alat-alat itu telah bersiap-siap

didekat situ. Gaspar menengadahkan kepalanya memandang

kelangit diatasnya. Bulan purnama mulai menyembulkan

dirinya dibalik awan hitam. Keringat dingin semakin banyak

keluar dari tubuh laki-laki itu. Saat-saat terakhirnya hanya

tinggal beberapa menit saja lagi!*

* *

EMPAT

GOTAH memandang kelangit. Awan terakhir berarak

menjauh dari sang rembulan. Dukun perempuan itu maju satu

langkah. Tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya tinggi-

tinggi kemuka dan satu teriakan yang melengking tinggi,

menegakkan bulu roma keluar dari mulutnya. Genderang

kemudian dipukul mengikuti jeritan Gotah. Mula-mula

perlahan-lahan kemudian makin cepat dan makin keras. Suara

lengking jerit Gotah hilang ditelan kerasnya bunyi genderang.

Tiba-tiba Gotah menurunkan tangan kanannya dan genderang

dipukul perlahan seperti semula. Dukun bermuka iblis itu maju

kemuka. Teriakannya kini berubah dengan suara seperti orang

menyanyi yang sampai ketelinga Gaspar tak lebih seperti suara

lebah yang tengah membuat sarangnya. Nenek-nenek itu

barjalan mengelilingi Gaspar. Kini dia mulai membaca mantera

sambil dengan tangan kanannya dicipratkannya air busuk yang

didalam mangkuk tanah yang dipegangnya ditangan kiri kepada

Gaspar.

“Setan! Kalian manusia-manusia biadab yang gila semuanya!

Lepaskan aku!” teriak Gaspar. Dia masih bisa memaki

sekalipun rasa kecutnya sudah tak tertahankan lagi. Dan tak

satu orangpun dari suku Sampia itu yang menghiraukannya.

Gotah terus saja mengelilingi Gaspar dan memercikkan air

busuk itu ketubuh Gaspar sampai air tersebut habis. Setelah air

busuk habis, dukun tua itu meletakkan mangkuk tanah liat tadi

kekepala Gaspar kemudian berjalan kembali ketepi lingkaran

dan berdiri ditempatnya semula disamping rajanya yaitu Inya.

Suara genderang kini terdengar cepat seperti guntur,

menderu memekakkan telinga. Gaspar menggerakkan

kepalanya dan mangkuk tanah yang diletakkan diatas

kepalanya jatuh ketanah, pecah tiga! Inya, Gotah dan semuanya

orang yang berada disitu sama memandang dengan mata

terbeliak pada Gaspar. Pandangan-pandangan itu tambah

menyeramkan keadaan bagi Gaspar. Tapi dia berteriak lagi :

“Lepaskan aku! Lepaskan!”



Raja suku Sampia mengangkat tangan kanannya. Genderang

berhenti dengan serta merta. Inya memandang pada Gaspar

dan membuka mulut. Suaranya besar tapi tak berirama sama

sekali. “Kau manusia dari luar rimba berhentilah berteriak-

teriak. Sebentar lagi rohmu akan kami antarkan kepada Dewi

Purnama!”

“Kalian manusia-manusia bodoh semuanya!” menyemprot

Gaspar. “Dewi Purnama tak pernah ada dijagat ini! Kalian

mempercayai benda yang tidak ada. Kalian orang-orang gila.

Lepaskan aku!”. Gaspar melihat Gotah membisikkan sesuatu

ketelinga rajanya. Inya mengangguk dan dukun tua itu

menepuk tangannya tiga kali berturut-turut. Orang-orang yang

berdiri disamping kanan raja membuka jalan. Tujuh orang

gadis Sampia yang masing-masing memegang kalung-kalung

bunga dengan berbaris demi satu memasuki lingkaran. Bau

busuk bunga yang mereka bawa sangat memuakkan sekali.

Sebagai mana orang laki-lakinya, perempuan-perempuan ini

juga hanya memakai cawat belaka. Rombongan gadis-gadis itu

mengelilingi Gaspar beberapa kali. Suasana sunyi senyap.

Kesunyian berubah dengan seketika begitu terdengar suara

deru genderang. Gadis-gadis pembawa kalung-kalung bunga itu

berkeliling semakin cepat. Pada saat-saat tertentu, sesuai

dengan irama genderang yang dipalu mereka berteriak keras

sambil meloncat keudara, lalu lari lagi berkeliling memutari

tawanan. Irama genderang berubah menjadi pelahan kini. Dan

ketujuh penari yang mukanya coreng cemoreng itu melangkah

pula dengan lambat mengikuti irama genderang, mendekati

Gaspar. Kemudian satu demi satu kalung-kalung bunga itu

dilemparkan keatas kepala Gaspar. Kalung-kalung bunga itu

jatuh bertumpuk-tumpuk diatas bahunya, melingkari leher

terus kedagu dan sampai kemulutnya. Ketika lingkaran bunga

terakhir hendak dilemparkan pula, Gaspar menundukkan

kepalanya dan bunga itu lewat diatasnya lalu jatuh ketanah.

Kembali semua mata memandang terbeliak melihat kejadian

itu. Dan Gaspar sendiri merasakan adanya keanehan yang

dilihatnya dari orang-orang Sampia tersebut.



Suara genderang kembali semakin cepat dan keras. Ke tujuh

gadis-gadis yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kecil itu

menari seperti orang yang kemasukan setan. Berteriak-teriak

setinggi langit, meloncat lalu lari kian kemari, meloncat lagi dan

demikian seterusnya. Gerakan mereka tak menentu sama

sekali. Memperhatikan gerakan-gerakan penari itu lama-lama

Gaspar menjadi pusing sendiri. Dia memandang kelangit.

Dilihatnya awan-awan gelap hitam berarak perlahan-lahan dari

arah timur. Dalam tempo beberapa menit lagi awan-awan itu

kelak akan menutupi sang rembulan dan tak lama lagi tentu

hujan akan turun. Bintang-bintang yang tadi banyak bertaburan

diangkasa raya kini mulai menghilang satu demi satu.

Gotah mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan

meneriakkan sesuatu. Suara genderang dipalu lambat, begitu

juga gerakan ketujuh gadis-gadis tadi. Satu demi satu kemudian

gadis-gadis itu keluar meninggalkan lingkaran manusia sedang

Gaspar memperhatikan bagaimana wajah Gotah yang keriputan

itu membayangkan kecemasan. Sebentar-sebentar Gotah

melihat ke angkasa. Kecemasan si dukun tua ini dapat diketahui

oleh Gaspar. Pada detik-detik terakhir sebelum maut datang dia

bekerja keras untuk mencari akal agar dapat melepaskan diri.

Dan pada saat itu dia melihat laki-laki yang bertubuh tinggt

besar, berkepala botak masuk ketengah lingkaran. Ditangannya

tergenggam sebuah kapak besar yang sangat tajam. Kapak itu

berkilau-kilauan kena sinar api obor yang banyak disekeliling

lingkaran.

Gotah maju satu langkah kemuka. Dia menengadah menatap

pada bulan purnama diatasnya sedang kedua tangannya

dibentangkannya. Dan dari mulutnya terdengar kata-kata :

“Wahai Dewi Purnama Raya. Yang menerangi jagat dari utara

sampai ke selatan, dari barat sampai ke timur, yang memberi

cahaya didalam rimba raya ini. Detik ini...... jam ini...... hari

ini...... malam ini...... kami anak-anakmu orang-orang suku

Sampia akan mempersembahkan satu korban, satu roh, satu

jiwa orang laki-laki kehadapanmu, ya Dewi Purnama Raya.

Terimalah dia wahai Dewi Purnama. Semoga kau limpahkan

keselamatan dan.........” Gotah menghentikan kata-katanya. Dia


memandang tawanan yang ditanam kakinya. Semua orang juga

melihat pada Gaspar. Tubuh tawanan itu tampak jelas

bergerak-gerak seperti orang menggigil, tapi gerakannya jauh

lebih keras dari pada orang yang menggigil. Kadang-kadang

tubuh itu terhuyung-huyung kemuka, kadang-kadang

kesamping atau kebelakang. Gaspar tampak menengadah

kepalanya. Matanya terbeliak terbalik-balik. Gotah

mengerenyitkan keningnya yang keriputan sedang Inya bangkit

dari kursinya dan memperhatikan Gaspar tanpa berkedip. Dari

mulut tawanan itu terdengar suara yang tak begitu jelas. Lalu

agak keras dan semua orang memasang telinga mendengarkan

apa yang diucapkan tawanan yang tiba-tiba saja berubah

tingkah itu.

“He...... he...... he...... he......! Hu...... hu...... huuuh! Hemm......

Hai orang-orang Sampia dengar kalian semua...... Aku adalah

Dewi Purnama Raya yang menjelma meraga sukma kedalam

diri tawanan ini...... Dengar kalian semual”. Semua orang yang

berada disana menjadi terkejut. Suara yang dikeluarkan

tawanan yang dipendam ketanah sampai sebatas paha itu tak

ubahnya halus seperti suara perempuan. Seluruh tempat

menjadi sunyi senyap. Telinga dipasang lebar-lebar, mulut

sama terkatup rapat sedang mata membeliak besar

memperhatikan Gaspar.

Tubuh Gaspar kembali tampak menggigil. Kepalanya

menengadah memandang kearah bulan purnama dan mulutnya

ternganga. “Anak-anakku orang-orang Sampia. Dengar......

dengar. Aku Dewi Purnama Raya. Orang yang kalian tawan ini

tidak pantas menjadi korban persembahan untukku. Aku tidak

sudi menerimanya. Aku tidak suka...... Kalian harus melepaskan

dia...... kalian harus kembalikan semua barang miliknya.

Bajunya, celananya, buntalannya. Juga kudanya. Dan kalian

harus berikan beberapa potong barang-barang berharga kepada

dia. Dia harus kalian lepaskan. Harus! Malam inl juga......!”

Gotah maju mendekati Gaspar. Tubuh tawanan itu masih

menggigil sedang biji matanya terbalik-balik menyeramkan.

“Dewi Purnama Raya......! kata Gotah sambil berlutut

dihadapan tawanannya. “Sungguh gembira sekali hati kami


karena kau telah sudi datang menjelma diantara kami. Tapi

Dewi...... kalau kami boleh bertanya...... mengapa Dewi tolak

persembahan kami ini. Apakah kami telah membuat kesalahan

dan mengecewakan Dewi......?”

“Kau nenek-nenek tua...... Aku Dewi Purnama Raya tak

bersedia bersoal jawab dengan kamu. Apa yang kukatakan

harus segera dilakukan. Lepaskan tawanan inj!” terdengar

jawaban suara perempuan keluar dari mulut Gaspar.

“Tapi Dewi......” Gotah menghentikan kata-katanya.

Diangkasa terdengar suara petir menyambar. Satu detik


lamanya tempat sekitar situ menjadi terang benderang oleh

sinar kilat. Lalu geledek menggelegar keras. Semua orang

Sampia menjadi sangat takut. “Dewi Purnama marah......”.

“Dewi Purnama murka......”. Begitulah bisik mereka pada

sesamanya. Gotah si dukun tua menjadi kecut pula. Dia

memandang pada bulan diangkasa raya, Saat itu awan hitam

telah menutupi sebagian dari rembulan. Langit gelap pekat.

“Kalian tidak dengar apa yang kukatakan?! Lepaskan

tawanan ini sebelum aku murka!” terdengar suara penjelmaan

dari Dewi Purnama Raya. Sekali lagi kilat menyambar dan

sekali lagi guruh menggelegar. Orang-orang suku Sampia mulai

gelisah dan cemas kini. Gotah memutar kepalanya dan

memandang pada rajanya. Inya-pun tampak sangat ketakutan

sekali.

Gotah kemudian mengangkat tangannya, memberi isyarat.

Dua orang laki-laki kemudian maju kemuka dan segera

melepaskan ikatan tangan Gaspar. Kemudian tanah sekitar

mana tawanan itu dipendam kakinya digali dengan cepat. Saat

itu untuk ketiga kalinya kilat menyambar disusul oleh suara

guruh dan kemudian turunlah hujan rintik-rintik. Dari rintik- rintik berubah menjadi lebat sekali. Gaspar dibawa kedalam

sebuah kemah. Seluruh tempat terbuka itu kini menjadi sunyi

senyap. Semua orang-orang Sampia kembali kekemahnya

masing-masing. Yang turut kekemah dimana Gaspar dibawa

adalah dua orang yang menggali tanah tadi. Kemudian Gotah

dan Inya. Kejadian malam itu sungguh sangat mengejutkan hati

orang-orang Sampia, termasuk Gotah si dukun tua dan raja

sendiri. Mereka telah menyaksikan bagaimana mangkuk tanah

yang diletakkan diatas kepala tawanan jatuh ketanah dan pecah

menjadi tiga. Kemudian mereka saksikan lagi bagaimana bunga

terakhir yang dilemparkan kekepala Gaspar tidak berhasil

sampai ditempat tujuannya. Kedua peristiwa itu adalah

merupakan pertanda yang tidak baik. Selama berpuluh kali

mereka memberi korban kepada Dewi Purnama Raya tidak

pernah kejadian yang seperti itu. Lalu peristiwa yang terjadi

pada diri tawanan selanjutnya. Tingkah laki-laki itu mendadak

berubah. Dia menggigil seperti seorang yang sangat kedinginan.


Kemudian berkata dengan suara halus seperti perempuan.

Suara Dewi Purnama Raya yang menjelma meraga sukma

kedalam dirinya! Kemudian ketika Gotah coba untuk bertanya

pada Dewi Purnama melalui tawanan itu, sang Dewi telah

menjadi marah, Dia telah mengeluarkan ‘lecut apinya’ yaitu

kilat dan mengeluarkan ‘kata kemarahannya’ yaitu guruh!

Orang-orang Sampia yang masih primitif itu menjadi takut dan

cemas. Apa yang mereka lakukan adalah mengikuti apa yang

dikatakan oleh Dewi mereka......

Gaspar dibaringkan diatas sebuah balai-balai rotan.

Tubuhnya yang basah kena air hujan diseka hingga kering. Saat

itu tubuh sang tawanan tidak menggigil seperti tadi lagi. Cuma

matanya yang masih terbalik-balik sedang dari mulutnya keluar

kata-kata yang tak jelas. Segera diambil pakaian laki-laki itu

dan dipakaikannya kembali pada pemiliknya. Buntalannya juga

dibawa kesana sedang kudanya menunggu diluar kemah. Hujan

masih turun dengan hebatnya. Dua orang perempuan kemudian

masuk kedalam kemah membawa tiga keping emas dan dua

buah potongan berlian.

Gotah menjura dan berlutut disamping balai-balai rotan itu.

“Wahai Dewi Purnama Raya. Apa-apa yang telah engkau

perintahkan kepada anak-anakmu ini telah kami lakukan.

Tawanan ini telah kami lepaskan. Bajunya telah kami kenakan

kembali. Buntalannya kami sudah bawa kesini sedang kudanya

juga telah menunggu diluar. Barang-barang berharga yang Dewi

sebutkan telah pula kami masukkan kedalam saku bajunya.

Kami mohon diampunkan atas semua tindakan kami yang salah

ini. Ampun Dewi......”

Mulut Gaspar tampak komat-kamit tak karuan. Ludahnya

membusa. Diluar hujan mulai mereda. Kemudian terdengar

jawaban dari Dewi Purnama Raya. “Bagus...... bagus........ kau

telah menurut perintahku. Kalian kulimpahkan rahmat

keselamatan. Aku Dewimu akan pergi sekarang......”.

Bersamaan dengan itu mata Gaspar berhenti berputar-putar

dan berbalik-balik. Perlahan-lahan laki-laki itu bangkit dan

duduk diatas balai-balai. Dia memandang berkeliling,

memperhatikan orang-orang itu satu demi satu. “Dimana aku


ini......?” desisnya bertanya. Gotah bangkit pula dari

berlututnya. Dia, memandang pada laki-laki itu dan berkata.

“Dewi Purnama Raya telah menjelma kedalam dirimu dan

menyuruh kami, anak-anaknya untuk melepaskanmu. Kau tak

jadi kami korbankan dan saat ini juga kau boleh pergi dari sini.

Semua barang-barangmu telah kami kembalikan. Itu

buntalanmu dan kudamu menunggu diluar. Didalam saku

bajumu sebelah kanan kau dapati beberapa potong benda- benda berharga. Itu adalah pemberian kami yang diperintahkan

oleh Dewi Purnama......”. Gaspar memandang berkeliling

seperti orang yang tak percaya. Inya menganggukkan

kepalanya. “Aku raja suku Sampia. Kau bebas dan boleh

meninggalkan tempat ini saat ini juga!”

Gaspar menjangkau buntalannya. Dia turun dari balai-balai

itu. Sebelum keluar dari kemah dia memandang berkeliling

sekali lagi. Diluar didapatinya kudanya telah menunggu tanpa

kurang suatu apa. Orang-orang keluar dari kemah

memperhatikannya. Hujan telah reda sama sekali. Dan langit

tampak mulai terang kembali. Gaspar naik kepunggung

kudanya. Beberapa saat kemudian dia telah keluar dari

kelompok kemah-kemah suku Sampia itu. Seperempat jam kemudian baru Gaspar memperlambat jalan

kudanya dijalan yang becek didalam hutan itu. Rasa gelinya

yang selama ini ditahannya kini tak sanggup lagi dikuasainya.

Seperti orang gila dia tertawa terbahak-bahak didalam hutan

itu. “Hua...... ha...... ha...... ha...... ha...... Dasar manusia- manusia bodoh, tetap saja bodoh. Tak mengerti kalau aku telah

menipu kalian! Rasakan oleh kalian, bahkan aku berhasil

mengeruk keuntungan besar dari barang-barang berharga yang

ada disakuku saat ini! Bodoh! Ha...... ha...... ha...... ha......!”.

Memang segala apa yang diperbuat oleh Gaspar sebelum

detik-detik terakhir nyawanya direnggutkan oleh kapak maut

suku Sampia, semuanya adalah tipu daya dari akalnya yang

cerdik panjang itu. Kepanjangan akal serta kecerdikan ada

kalanya lebih besar artinya dari pada kekuatan tenaga. Dengan

kecerdikannya, dengan pura-pura meniru suara perempuan dan

mengaku sebagai Dewi Purnama Raya yang masuk meraga


sukma kedalam tubuhnya, Gaspar berhasil menyelamatkan diri

dari bahaya maut.

LIMA

MESKIPUN singkong bakar yang masih terdapat didalam

kantong perbekalannya sudah agak tak enak rasanya, namun

untuk mengisi perutnya yang belum makan apa-apa itu

terpaksa juga Gaspar pada keesokan paginya memakan

singkong-singkong bakar tersebut. Pada tengah harinya yang

bisa dimakannya adalah buah-buah manggis yang juga masih

banyak dalam persediaannya. Menjelang rembang petang dia

menemui sebuah kali kecil. Selesai mandi dan membersihkan

diri dikali itu, Gaspar meneruskan perjalanannya kembali. Lima

hari kemudian dia sampai kesungai Kapuas. Sebelum sampai

kesana dia melalui beberapa kampung dan kota-kota kecil. Dan

sebagai mana biasa disetiap kedai nasi yang terdapat dalam

kampung atau kota-kota tersebut dia selalu makan dengan tidak

membayar. Bukan karena kedai-kedai nasi itu punya keturunan

nenek moyangnya, tapi adalah karena setelah makan dengan

berbagai cara dia berhasil melarikan diri tanpa membayar

barang satu persenpun!

Dengan bertolak pinggang Gaspar memandang sungai itu.

Arus airnya sangat deras dan sungai itu lebar pula. Satu- satunya jalan untuk dapat menyeberangi sungai adalah dengan

memakai rakit atau perahu besar. Untuk itu Gaspar terpaksa

menuju kehilir sungai dimana banyak rakit-rakit dan perahu- perahu sewaan. Dua jam memacu binatang tunggangannya

akhirnya dia sampai kesatu pengkolan dihilir sungai. Persis

ditepi pengkolan sungai itu terletak sebuah pangkalan perahu

penyeberangan. Juga beberapa buah rakit terdapat disana.

Sedang dikejauhan tampak sebuah kedai nasi. Beberapa orang

tengah makan dengan lahapnya. Saat itu perut Gaspar memang

sudah saatnya untuk diisi. Dia meneguk air liurnya. Kali ini dia

tak lagi menjalankan prakteknya yang seperti biasa, yaitu

makan dan kabur. Kalau dia makan dikedai itu, lalu kabur


melarikan diri berarti dia tak bisa menyeberangi sungai

ditempat itu. Dan hal itu akan mendatangkan kesukaran

baginya. “Biarlah, sekali-kali tak apa makan dengan membayar.

Lagi pula barang-barang yang diberikan oleh orang-orang suku

Sampia yang kini ada dalam sakuku ini, tiada terkirakan

nilainya!” Pikir Gaspar.

Gaspar menuju kekedai itu dan makan sampai kenyang

disana. Selesai makan dan beristirahat sebentar maka dia

segera mencari sebuah perahu sewaan yang besar. Bersama

kudanya dia menumpang menyeberang keseberang. Sampai

diseberang dilihatnya banyak sekali orang-orang ditepi sungai.

Kalau dia kabur dan tak membayar sewa perahu ada

kemungkinan bahwa dia akan kena ditangkap oleh orang-orang

itu. Gaspar mengeruk kantungnya mengeluarkan uang kecil dan

membayar sewa perahu. “Hitung-hitung buang sial!” katanya

dalam hati.

Tiga hari tiga malam lamanya menempuh perjalanan dari

sungai Kapuas itu barulah tampak puncak gunung Niut

dihadapannya. Kebetulan sekali ada sebuah jalan kecil yang

menuju kekaki gunung yang 1701 meter itu tingginya sehingga

Gaspar dapat berlalu dengan cepat. Setengah jam kemudian dia

sampai kekaki gunung tersebut. Jalan kecil yang tadi dilaluinya

membelok kekanan. Dia meninggalkan jalan itu dan mulai

mendaki kaki gunung. Saat itu tengah hari tepat. Tapi pohon- pohon kayu yang banyak tumbuh disekitarnya memberi

pertolongan banyak dari panas teriknya sang surya kepada anak

buah Mali Kodra itu.

Gaspar mendaki gunung itu dengan mengitari lerengnya. Dia

tidak tahu dengan pasti apakah gurunya Somaha bertapa

dipuncak gunung tersebut atau dilerengnya. Menjelang sore

baru dia sampai kepuncak gunung. Tak seorangpun yang tahu

dengan tepat bilamana gunung itu meletus. Semenjak

meletusnya tak seorang juga yang pernah naik keatas

puncaknya. Akibat letusannya sendiri, gunung Niut membentuk

beberapa tanah pedataran yang kecil-kecil dan subur

dipuncaknya. Beberapa dari pedataran yang subur itu tampak

ditanami dengan berbagai jenis sayuran yang segar-segar. Buah


mentimun yang tumbuh disana lebih besar-besar dari pada

yang pernah dilihat oleh Gaspar. Dia turun dari kudanya.

Dengan menuntun binatang itu dia melangkah menuju

kesebuah pondok yang terdapat disebelah mukanya. Pintu

pondok tampak terbuka. Setelah mengikatkan kudanya

kesebuah tonggak kecil disamping pondok dia segera menuju

kepintu. Langkahnya terhenti didepan pintu ketika pandangnya

beradu dengan seorang laki-laki tua yang sangat kurus tengah

bersemedi duduk diatas sebuah tempayan yang dibalikkan.

Matanya terpejam, mulutnya terkatup rapat. Daging tubuhnya

boleh dikatakan tidak ada sama sekali melainkan yang tinggal

adalah kulit yang halus membaluti tulangnya sehingga tulang-

tulang dan urat-uratnya tampak membayang. Satu hal yang

agak ganjil yang dilihat Gaspar pada diri orang itu adalah

meskipun umurnya sudah sangat tua dan ditaksir tak kurang

dari tujuh puluh tahun namun rambutnya, alis matanya tetap

hitam tida memutih atau berubah warna menjadi abu-abu.

Gaspar tak berani terus masuk kedalam pondok itu. Dia

takut akan membuat suara berisik sehingga mengganggu tapa

guru sakti tersebut dan membuat dia jadi terbangun. Gaspar

melayangkan pandangannya meneliti isi pondok kecil itu.

Disudut sebelah kanan dekat pintu yang menuju keruang

belakang terdapat sebuah meja kecil. Dibawah meja itu terletak

satu tungku besi sedang diatas meja tampak satu kendi kecil

yang bagus sekali. Disamping sebelah kanan terletak sebuah

balai-balai yang dialasi dengan kain putih, sarung bantalnya

juga putih bersih. Lalu sebuah lemari kecil dan didinding

disamping tempat tidur tadi tergantung sebuah busur yang

sangat besar. Anak-anak panahnya yang cuma tiga buah

terletak dalam sebuah kantong kulit yang tergantung disamping

busur tadi. Gaspar menduga panjang busur yang baru sekali itu

dilihatnya ada kira-kira satu setengah meter. Tali busur

tersebut bukan terbuat dari tali biasa melainkan dari rotan yang

kuat liat. Anak-anak panahnya yang besar-besar panjangnya

mungkin satu meter atau mungkin lebih. Dikolong tempat tidur

tersembul tepi sebuah tempayan. Hanya itu semua yang dilihat

oleh Gaspar tak ada yang lain lagi.


Pandangannya kembali pada guru tua itu. Agaknya Gondola,

begitulah nama gurunya Somaha tak akan menyelesaikan

semedinya dalam waktu yang singkat. Ini berarti bahwa Gaspar

harus menanggu dengan sabar. Gaspar memutar tubuhnya, dia

berjalan mengelilingi pondok Gondola. Dibagian belakang

pondok ditemuinya sebuah balai-balai kayu yang sangat kotor

penuh dengan debu dan tanah liat. Agaknya balai-balai itu tak

pernah dipakai dan dibersihkan. Kemudian dia pergi kesatu

pedataran yang terletak ditepi puncak gunung. Dan tepi

pedataran itu dia dapat melihat pemandangan yang sangat

indah dibawahnya. Jauh disana tampak sungai Kapuas meliku-

liku seperti seekor ular. Warna air sungai yang putih seperti

perak tampak sangat jelas diantara hijaunya pohon-pohon

dirimba raya disekitarnya. Meskipun tempat dimana dia berdiri

tiada kelindungan sebuah pohon kayupun, tapi karena letaknya

tinggi dan disekitar sana banyak pula angin maka dia merasa

sangat sejuk berada disitu. Seperempat jam kemudian baru

Gaspar meninggalkan tempat itu dan menuju kepedataran yang

banyak ditanami berbagai jenis sayuran. Seperti biasa, ketika

melihat buah mentimun yang besar-besar segar diladang itu,

Gaspar jadi menitik air liurnya. Dia menoleh kearah pintu

pondok beberapa lamanya. Ketika dirasakannya aman baru satu

demi satu dipetiknya buah mentimun tadi. Dan satu demi satu

pula lenyap kedalam mulutnya. Selesai mengisi perut dia pergi

duduk-duduk kebawah sebuah pohon kayu yang rindang. Angin

silir-silir bertiup dengan nyamannya. Tak terasa lagi laki-laki

itu jadi mengantuk. Dia menguap beberapa kali dan akhirnya

tertidur ditempat itu.

Ketika dia bangun matahari telah bewarna merah

kekuningan tanda bahwa benda penerang jagat itu tak lama lagi

akan masuk kedalam peraduannya, tenggelam semalam suntuk

untuk kembali muncul lagi pada keesokan harinya. Gaspar

menyeka mukanya dengan ujung bajunya kemudian cepat

berdiri. Dia menuju kepondok itu. Tapi didapatinya Gondola

masih saja dalam keadaan bersemedi. Gaspar menarik nafas.

Dia menuju kebagian belakang pondok. Kalau guru sakti itu

tidak selesai dalam semedinya malam itu maka berarti Gaspar


harus menginap disana. Gaspar mulai membersihkan balai- balai kayu yang dibelakang pondok. Letaknya dirapatkannya

kedinding rumah dibawah cucuran atap sehingga kalau turun

hujan dia akan terlindung sedikit. Gaspar tak berani membawa

balai-balai itu kedalam pondok dan tidur didalam. Senjapun

datang. Diudara tampak beterbangan beratus-ratus kelelawar

sedang dikejauhan burung-burung beterbangan berombongan,

mungkin tengah menuju pulang kesarang masing-masing. Senja

berlalu dan malam yang gelap kini muncul. Saat itu bulan baru

masih belum muncul. Sinar-sinar bintang yang bertaburan

diangkasa raya tidak cukup untuk memberi penerangan. Alam

sekitar Gaspar tampak gelap gulita. Dekat pintu belakang dia

melihat sebuah lampu tempel. Tapi Gaspar tak berani

menyalakannya. Sinar lampu itu mungkin akan mengganggu

semedi Gondola. Sebelum pergi tidur malam itu Gaspar

menjenguk lagi dari pintu muka kedalam pondok yang gelap

pekat itu. Samar-samar kelihatan sang guru masih tetap

ditempatnya, diam tak bergerak. Gaspar mengeluarkan kain

sarungnya yang banyak tambalannya dan yang baunya cukup

membuat perut orang yang kosong menjadi muak. Dengan kain

sarung itu dia menutupi tubuhnya. Dia bergelung dan

berkelumun dari dinginnya udara dipuncak gunung.

Paginya ketika dia bangun Gondola masih juga belum selesai

dengan semedinya. Gaspar mulai tak sabar kini. Kalau orang

tua itu bersemedi sampai seminggu seperti itu, berarti

waktunya akan terbuang habis percuma menunggu sedemikian

lamanya sedang dua guru sakti lainnya yang harus

didatanginya, tempat keduanya terletak jauh sekali dari gunung

Niut itu. Dia khawatir kalau-kalau kabar yang harus

disampakannya itu datang terlambat sehingga pertemuan

antara keempat guru sakti tersebut ditempat yang telah

ditentukan oleh gurunya Mali Kodra akan mendapat halangan.

Dan halangan bisa berarti gagalnya rencana pembalasan yang

sudah sangat diidam-idamkan oleh Gaspar setiap siang dan

malam itu.

Menjelang tengah hari ketika perutnya mulai minta diisi,

kembali Gaspar memasuki ladang mentimun. Lima buah


mentimun telah masuk kedalam perutnya tenggorokannya.

Tapi dia masih merasa belum cukup. Dipetiknya dua buah lagi.

Mendadak sudut mata Gaspar menangkap satu gerakan

disampingnya. Dia memutar kepalanya kearah pondok. Disana,

dipintu pondok berdiri sesosok tubuh yang kurus kering dengan

bertolak pinggang. Gondola! Rupanya guru tua itu telah

menyelesaikan semedinya, tanpa setahu Gaspar ketika dia

enak-enakan menyantap mentimun ditengah ladang. Kedua

mata Gondola menyorot tajam pada Gaspar. Perlahan-lahan

Gaspar memutar tubuhnya. Kedua mentimun yang tadi

dipetiknya dijatuhkannya ketanah.

“Bangsat rendah!” terdengar suara bentakan dari pintu

pondok. “Kau manusia keparat berani datang kesini dan

mencuri diladangku, hah?!”.

Dengan langkah yang gemetar Gaspar mendekati guru tua

itu. Kira-kira lima tombak dihadapan Gondola, Gaspar menjura

memberi hormat. Kemudian tanpa berani menantang kedua

mata laki-laki itu dia berkata. “Harap dimaafkan guru. Sejak

kemarin siang saya menunggu guru menyelesaikan semedi.

Selama satu hari satu malam saya terpaksa menahan lapar dan

dahaga. Karena saya tak kuasa lagi menahannya akhirnya saya

petik mentimun-mentimun diladang itu. Harap maafkan

guru......”.

“Apa kau kira embah moyangmu yang menanam mentimun

itu sehingga kau boleh mengambilnya seenak perutmu?!”.

“Maaf guru...... saya tahu kalau buah itu guru yang

memilikinya karena guru yang menanamnya. Tapi untuk minta

izin mengambil dan mambangunkan guru dari semedi saya

takut......” kata Gaspar menjawab sambil menundukkan kepala.

“Berapa buah yang telah kau petik, pencuri bejat?! Katakan

terus terang!” bentak Gondola dengan garang.

“Tujuh buah, guru. Yang lima telah saya makan dan yang dua

lagi tadi saya jatuhkan ketanah......” jawab Gaspar tanpa

menyebutkan jumlah mentimun yang telah dipetiknya kemarin

siang.

“Hanja tujuh buah yang kau petik? Tidak lebih dan tidak

kurang?!” tanya Gondola sambil memandang tajam pada laki



laki yang dihadapannya. Sinar mata yang menyeramkan itu

membuat Gaspar tak mau main kucing-kucingan. Dia segera

menjawab : Kemarin siang enam buah......”

“Bagus! Kau telah memetik tiga belas buah mentimun

milikku. Dan kau harus bayar itu. Kesini!” perintah Gondola.

Dengan ketakutan Gaspar melangkah maju. Hatinya

berdebar. “Sa...... saya akan bayar...... guru......” kata Gaspar

sambil mengeruk saku bajunya maksudnya hendak

mengeluarkan uang.

“Pencuri laknat, aku tidak butuh uangmu! Kau harus bayar

dengan tubuhmu!” maki Gondola. Sekujur badan Gaspar

menjadi gemetaran kini. Apa maksud dari guru tua itu dengan

kata-kata ‘harus membayar dengan tubuhmu?’........ pikir

Gaspar dalam hatinya. Dia terkejut oleh bentakan Gondola.

“Kesini!”. Gaspar mendekat lagi. Sejarak satu langkah dari

hadapan orang tua itu, tiba-tiba tangan kanan Gondola

bergerak cepat dan tahu-tahu rambutnya sudah dijambak oleh

guru sakti itu, membuat Gaspar tak bisa berkutik sama sekali.

“Kau harus bayar dengan ini, pencuri rendah!” maki Gondola

dan bersamaan dengan itu tangan kirinya bergerak cepat

menampar kedua pipi Gaspar sampai tiga belas kali. Ketika

Gondola melepaskan jambakannya, Gaspar terhuyung-huyung

kebelakang. Saat itu dia sudah tak sadar akan dirinya sama

sekali. Tubuhnya jatuh ketanah dengan keras. Bibirnya pecah- pecah dan mulutnya sekitar kedua pipinya bengkak besar,

matang biru. Matanya antara terbuka dan tertutup. Dengan

bertolak pinggang Gondola tetap berdiri ditempatnya. Matanya

memandang tajam ketubuh Gaspar yang melingkar ditanah.

ENAM

Seperempat jam kemudian baru Gaspar sadar akan dirinya.

Matanya dibukanya, tapi segera dipejamkannya kembali karena

silau oleh matahari. Dengan susah payah dia duduk menjelepok

ditanah. Dengan kedua tangannya dipegangnya pipinya.

Disekanya darah yang mengalir dari pecah-pecah dipipinya.


“Sekarang terangkan, siapa kau!” bentak Gondola. Lehernya

terasa sakit ketika Gaspar coba untuk mengangkat kepalanya.

Dan ketika dia hendak membuka mulutnya dia mengerenyitkan

keningnya. Mulutnya yang bekas ditampar bertubi-tubi oleh

Gondola terasa sangat sakit sekali. Dia tak kuasa untuk

membuka mulut itu. Jawaban yang bisa diberikannya cuma

berupa erangan panjang.


“Kau siapa?!” bentak Gondola sekali lagi. Gaspar mengerang.

Dia hendak menjawab tapi masih tak berhasil. Gondola menjadi

kasihan juga melihat laki-laki itu. Dia membentangkan kedua


telapak tangannya. Kedua telapak tangannya itu diludahinya

masing-masing satu kali. Mulutnya kemudian komat-kamit. Dia

membungkuk dan dengan kedua telapak tangan yang basah

oleh air ludah itu diusapnya pipi Gaspar! Mula-mula Gaspar

merasakan kedua pipinya sakit sekali seperti dipanggang. Air

matanya bercucuran menahan sakit. Tapi beberapa detik

kemudian rasa sakit itu lenyap dan berubah dengan rasa dingin.

Dan ajaib sekali sakit dipipinya kini menjadi hilang!

“Sekarang kau bisa buka mulut! Katakan siapa kau dan apa

maksudmu datang kesini!” ujar Gondola. Dan benar, kali ini

Gaspar sudah bisa membuka mulutnya memberikan jawaban.

“Na........ namaku Gaspar. Saya anak buah Mali Kodra......”.

“Aku tidak kenal dengan manusia yang bernama Mali Kobra

itu......” potong Gondola.

“Mali Kodra, bukan Mali Kobra......” membenarkan Gaspar.

“Mali Kodra atau Mali Kobra, pokoknya aku tak kenal orang

itu!”.

“Mali Kodra adalah sahabat Somaha, murid dari guru

sendiri......” menerangkan Gaspar.

“Lantas ada apa kau datang kesini? Kau membawa kabar dari

muridku itu? Somaha?!” tanya Gondola.

“Somaha sudah tidak ada lagi dijagat ini. Somaha telah

dibunuh oleh dua orang dari suku Kayan, begitu juga pemimpin

saya sendiri yang bernama Mali Kodra itu!”.

“Kalau bicara jangan main-main denganku, bangsat!” kata

Gondola yang tak percaya mendengar kabar kematian muridnya

itu.

“Sungguh mati saya tidak main-main dengan guru. Baik saya

akan terangkan dengan jelas......”. Gaspar menerangkan segala

sesuatunya dari pangkal sampai keujung. Bumbu asam garam

yang dapat menambah amarah guru tua itu tak pula lupa

ditambahkan oleh Gaspar.

“Bangun! Mari masuk kepondokku!” kata Gondola

kemudian. Perlahan-lahan Gaspar berdiri dan melangkah

mengikuti si orang tua. Didalam pondok Gondola meminta

beberapa keterangan lagi dari Gaspar.



“Jadi baru Pakarasa seorang yang kau temui......?” Gaspar

mengangguk.

“Baik! Sebelum bulan purnama yang ditentukan itu, aku

akan sudah berada ditempat yang dijanjikan. Dikaki gunung

Bukit Raya sebelah timur! “Kau mau pergi sekarang......?”

Gaspar mengangguk.

“Pergilah dan kalau kau masih mau mentimun itu kau boleh

ambil, tapi jangan banyak-banyak!” kata Gondola pula. Gaspar

menjura memberi hormat dan keluar dari pondok. *

* * Tiga hari sudah dia meninggalkan gunung Niut. Dia bergerak

terus mengikuti cabang dari sungai Kapuas yang oleh penduduk

sekitar sana dinamai sungai Melawi. Semakin jauh

kepedalaman perjalanan yang ditempuh semakin sukar sedang

pegunungan yang selama ini dihindarkannya, terpaksa kini

ditempuhnya. Kalau dia membelok keselatan menghindari

pegunungan berarti akan membuang waktu sekitar satu

minggu. Karena takut terlambat menemui kedua orang guru

sakti lainnya Gaspar memutuskan untuk menempuh jalan di

sela-sela pegunungan. Kadang-kadang dia menemui tukang-

tukang perahu yang bisa membawanya melalui sungai bersama

kudanya.

Disatu kota yang bernama Putusahi dia mulai meneruskan

perjalanan melalui darat kembali setelah dua hari dua malam

mengarungi sungai Melawi sampai kehulunya. Satu hari

berkuda terus-terusan akhirnya baru Gaspar menemui hulu

dari sungai Mahakam. Siang malam sungai itu diikutinya terus.

Mahakam adalah sungai yang mengalir melalui danau Jempang

dimana Surdala, gurunya Jantra tinggal. Kelaparan, bahaya

maut yang mengancam dari binatang-binatang buas dan orang- orang dayak yang masih primitif datang silih berganti tiada

hentinya. Namun kalau memang ajal maka berpantang mati.

Semua kesukaran dan semua bahaya itu berhasil dilaluinya.


Dan dia sampai lima hari kemudian ditepi barat danau

Jempang.

Beberapa rumah penduduk tampak berdiri ditepi danau. Dia

bertanya pada orang-orang yang tinggal disitu apakah mereka

mengetahui dimana letak pertapaan guru sakti yang bernama

Surdala itu. Tapi tak satu pendudukpun yang mengetahuinya.

Setelah membeli makanan secara terpaksa dikampung kecil itu,

Gaspar meneruskan perjalanannya menyusuri tepi danau

kearah timur. Sampai senja dia mengelilingi danau itu sehingga

kembali lagi ketempatnya semula yaitu kampung kecil tadi,

namun dimana letak tempat kediaman Surdala tidak juga

ditemuinya. Malam itu dia menginap dirumah salah seorang

penduduk. Paginya dia melarikan diri setelah mencuri

sebungkus nasi dan beberapa potong ikan panggang. Pagi itu

dia mulai lagi menyelidiki seluruh tempat sekitar danau. Kini

dengan perlahan-lahan dan dengan lebih teliti. Namun tetap dia

tak berhasil menemui tempat kediaman Surdala. Gaspar

memutar kudanya dan sekali lagi menyelidiki. Dia tak berani

mendekati perkampungan itu apalagi melaluinya. Matahari

telah bergeser dari titik kulminasinya. Perutnya sudah sangat

lapar. Segera dibukanya bungkusan nasi yang dicurinya

dirumah dimana dia menginap malam tadi. Selesai makan dia

meneruskan penyelidikan lagi. Ditikungan danau sebelah timur

mendadak Gaspar berpapasan dengan seorang yang bertubuh

gemuk pendek. Orang yang tak dikenal itu mempunyai kumis

yang panjang sampai melewati dagunya, tak ubah seperti

kumis-kumis orang-orang Tiongkok pada abad-abad yang lalu.

Saat itu si orang gemuk pendek tengah menjinjing dua ekor

ikan besar yang mungkin diambilnya dari danau. Tanpa turun

dari kudanya Gaspar bertanya pada orang itu. “Bapak........

mungkin bapak pernah dengar tentang seorang guru sakti yang

diam disekitar danau ini......? Namanya Surdala......”.

Orang gemuk pendek itu mengerenyitkan alisnya. Dengan

kedua matanya yang bulat besar diperhatikannya Gaspar mulai

dari ujung rambut sampai keujung kaki.

“Memang aku pernah mendengar nama itu...... ada urusan

apa kau mencari dia......?”, tanya orang itu pula


Gaspar hendak memaki si orang gemuk. Tapi karena dia

membutuhkan keterangan dia mengurungkan niatnya dan

menjawab. “Ada satu urusan yang sangat penting. Mungkin

bapak tahu dimana tempat kediamannya?”. Sekali lagi orang

yang ditanya memperhatikan Gaspar.

“Kalau begitu ikuti aku!” kata orang tadi. Dia melangkah

tanpa turun dari kudanya Gaspar mengikuti orang itu.

Keduanya menyeruak diantara semak-semak. Lima menit

kemudian tampak sebuah jalan kecil. Orang itu membelok

memasuki jalan kecil tersebut. Gaspar terus mengikuti.

Meskipun dia cuma jalan kaki dan Gaspar naik kuda, namun

jalan orang itu cepat sekali. Kedua kakinya yang besar berat itu

berjalan dengan entengnya. Gaspar yang juga melihat keanehan

gerak-gerik penunjuk jalannya mulai merasa curiga. Dia selalu

berlaku waspada. Mungkin si gemuk ini seorang perampok yang

hendak menipunya, membawanya kesarangnya.

Sepuluh menit kemudian tampak sebuah rumah berbentuk

bulat. Dindingnya dari bambu sedang atapnya dari daun-daun

kelapa yang telah kering. Dimuka rumah itu terdapat sebuah

sumur.

“Ini rumahnya......?” tanya Gaspar sambil turun dari kuda.

Orang yang ditanya mengangguk. Si gemuk membuka pintu.

Sementara itu Gaspar mengikatkan kudanya disatu tiang ditepi

sumur. “Masuklah!” kata orang tadi.

“Tak apa-apa kita masuk tanpa diizinkan lebih dahulu........?

Dia ada didalam?” tanya Gaspar.

“Kataku masuk......!” ujar orang gemuk tadi. Gaspar

memandang tajam pada orang yang dipandang balas

memandang dengan lebih tajam. Pandangan balasan dari orang

gemuk pendek membuat hati Gaspar menjadi kecut. Dia merasa

sesuatu tak enak. Akhirnya dia menurut masuk kedalam rumah.

Orang itu menutupkan pintu kembali. Didalam rumah terletak

sebuah tikar besar. Disebelah pojok dari tikar itu terletak seekor

bangkai ular yang telah dikuliti. Kulit binatang itu dijadikan

tikar sedang kepalanya yang besar dengan mulut menganga

menjulur dibagian tengah tikar. Si orang gemuk langsung

duduk keatas kulit ular. “Duduk!” katanya pada Gaspar. Rasa


khawatir anak buah Mali Kodra almarhum itu menjadi semakin

besar. Namun seperti yang diperintahkan dia duduk juga diatas

tikar dihadapan kepala ular itu. Dia memandang pada dua ekor

ikan yang diletakkan disudut ruangan.

“Aku adalah Surdala, orang yang kau cari! Katakan apa

maksudmu!” terdengar suara si orang gemuk. Gaspar jadi

sangat terkejut. Dia memandang dengan mata membeliak pada

orang yang dihadapannya. Dia tak percaya sama sekali dengan

pengakuan itu.

“Berita yang saya bawa adalah sangat penting sekali.

Hendaknya bapak jangan main-main. Tolonglah panggilkan

guru sakti itu......” kata Gaspar.

“Kau tak percaya bahwa aku adalah Surdala?!” kata si orang

gemuk. “Lihat kedua ikan yang kuletakkan disudut itu!”. Gaspar

memutar kepalanya, menoleh kepada dua ekor ikan besar yang

diletakkan laki-laki itu disudut rumah. Orang yang mengaku

bernama Surdala mengangkat kedua telapak tangannya

dimukanya. Mulutnya komat-kamit. Beberapa detik kemudian

dengan satu teriakan. “Bahhhh......!” dipukulkannya kedua

telapak tangannya kemuka. Pada detik itu juga kedua ekor ikan

besar yang masih mentah tadi menjadi berubah berwarna agak

kehitam-hitaman, Keduanya mengeluarkan kepulan asap dan

juga mengeluarkan bau yang harum sekali. Ikan-ikan besar itu

dengan kekuatan tenaga dalam si orang gemuk yang sangat

tinggi sekali telah dirubahnya dari dua ekor ikan mentah

menjadi dua ekor ikan panggang!

Gaspar menganga melihat peristiwa itu. Tiba-tiba dia sadar

akan dirinya. Dengan cepat dia berlutut dan menjura memberi

hormat. “Harap maafkan, guru. Saya tidak tahu kalau bapak

adalah guru yang saya cari itu. Hendaknya dimaklumi saja

karena saya tak pernah bertemu muka dengan guru

sebelumnya......”

“Tak usah banyak cerita. Kau berkata bahwa kau mencari aku

untuk membawa satu berita yang sangat penting sekali.

Sekarang katakan cepat!”.

“Guru mempunyai seorang murid yang bernama Jantra

bukan?”


“Benar. Sudah lebih enam bulan lamanya dia tak

menyambangi aku kesini. Kau bawa kabar dari dia......?”

“Menyesal sekali guru. Saya membawa kabar yang buruk

tentang dia. Jantra bersama pemimpin saya sendiri dan empat

orang sahabat-sahabat lainnya telah menemui ajal telah

dibunuh oleh dua orang pendekar muda sakti yang berasal dari

suku Kayan......”.

“Apa?! Jantra muridku mati dibunuh orang?! Jantra mati?!”

tanya Surdala setengah berteriak.

“Benar guru...... Saya sendiri yang menyaksikan mayat-mayat

mereka. Mereka dibunuh disatu tempat diluar kota Kuala

beberapa minggu yang lalu!” jawab Gaspar. Dan laki-laki itu

mulai lagi dengan cerita lamanya yaitu memberi kabar lengkap

yang disertai bumbu hasutan. Memang sebagai guru yang cuma

punya satu murid yaitu Jantra, Surdala sangat panas sekali

hatinya mendengar kabar kematian muridnya itu. “Orang

Kayan biadab. Mereka biadab semuanya!” maki Surdala dengan

geram. “Sebenarnya aku juga sudah punya dendam lama

terhadap orang-orang dari suku itu. Merekalah yang telah

memusnahkan suku Kenia, suku yang rajanya menjadi sahabat

baikku tempo hari. Dan sekarang muridku yang mereka bunuh!

Agaknya tiba saatnya untuk menyelesaikan perhitungan dengan

bangsat-bangsat dari suku Kayan itu!” Surdala berdiri dari

duduknya.

“Sabar...... sabar guru. Keterangan saya belum habis” kata

Gaspar dengan cepat ketika melihat bagaimana gurunya Jantra

naik pitam seperti itu. “Sebelumnya saya telah menemui dua

orang guru sakti lainnya yang pertama adalah Pakarasa yang

diam dikaki delta sungai Barito. Pakarasa adalah guru

pemimpin saya sendiri. Kemudan Gondala, guru sakti yang

kedua yang tinggal digunung Niut. Pakarasa menyuruh saya

agar menyampaikan pesan pada guru-guru sakti yang bakal

saya temui. Pesan itu adalah agar guru-guru berkumpul

selambat-lambatnya bulan purnama bulan muka dikaki gunung

Bukit Raya sebelah timur. Disanalah rencana pembalasan akan

disusun”.


“Bulan Purnama dimuka...... dikaki gunung Bukit Raya

sebelah timur......” desis Surdala sambil memandang tajam

kepintu rumah. “Sebenarnya lebih cepat dari itu bisa

kulakukan. Tapi untuk tidak mengecewakan guru-guru sakti

lainnya dan untuk memenuhi perjanjian aku terima juga

keputusan Pakarasa itu. Dengan Gondola sendiri aku pernah

berkenalan. Enam bulan yang lalu aku pernah datang

kepertapaannya......”.

Keadaan didalam pondok itu hening seketika. Kemudian

terdengar suara bertanya dari Surdala. “Berapa orang guru lagi

yang akan kau temui......?”

“Tinggal satu lagi, guru” jawab Gaspar. “Yang dua orang lagi

tak saya ketahui dimana tempat tinggalnya”.

“Siapa yang seorang lagi itu......?”

“Nemini. Gurunya Luntra......”.

“Nemini......? Namanya seperti perempuan......”.

“Memang dia seorang pertapa perempuan, guru. Bahkan

Nemini adalah istri dari muridnya sendiri. Istrinya Luntra!”.

“Heh......” desis Surdala. “Selama hidupku baru kali ini aku

mendengar guru kawin dengan murid. Apa pertapa sakti yang

bernama Nemini itu masih muda dan masih gadis ketika

muridnya mengawininya......?”.

“Saya duga tentunya Nemini jauh lebih tua dari muridnya

sendiri. Tapi meskipun tua mungkin dia masih tetap cantik

seperti mudanya. Saya sendiri belum pernah bertemu muka

dengan pertapa perempuan itu” jawab Gaspar pula.

“Dimana perempuan itu tinggal?” tanya Surdala.

“Dilereng gunung Kinibalu”.

“Kau pasti benar bahwa dia diam disana? Gunung Kinibalu

sangat jauh dari sini. Kalau Nemini tinggal disana hanya

dugaanmu belaka sedang dia tidak diam disitu berarti

kepergianmu kesana hanya membuang-buang waktu saja!”.

“Tidak, guru. Saya tahu dengan pasti bahwa beliau tinggal

dilereng gunung Kinibalu itu. Cuma disebelah mananya

memang tidak saya ketahui......” jawab Gaspar.

“Kau hanya punya waktu tiga minggu lebih beberapa hari

lagi. Berarti kau harus berangkat cepat-cepat!


“Benar guru. Dan saat inipun saya hendak meminta diri

kepada guru” kata Gaspar sambil berdiri. Dia menjura memberi

hormat dan memutar tubuhnya. Ketika dia sampai kepintu

Surdala berkata. “Kurasa sebaiknya kau bawa saja seekor dari

ikan panggang itu untuk bekalmu dijalan. Ambillah!”.

Gaspar memutar langkahnya kesudut ruangan. “Terima

kasih, guru” katanya sambil mengambil salah seekor dari ikan

yang tersandar dipojok rumah yang dengan kekuatan tenaga

dalamnya telah dipanggang oleh Surdala. Gaspar kemudian

memandang pada guru sakti itu. Dengan agak ragu-ragu dia

berkata. “Kalau guru punya sedikit nasi...... alangkah sedapnya

bila ikan ini dimakan dengan nasi......”. Guru sakti itu

tersenyum. “Dia menunjuk kepintu belakang. “Dibelakang ada

sebuah gerobok. Buka gerobok itu dan kau akan menemui

setumpuk kecil nasi diatas sehelai daun. Ambillah!”.

Tanpa disuruh dua kali. Gaspar segera menuju kesana.

Dibelakang ditemuinya sebuah gerobok kecil. Dibukanya

penutup gerobok itu yang menimbulkan suara yang tak enak di

dengar dan didalam sana diatas sehelai daun talas dilihatnya

setumpuk kecil nasi merah. Nasi sudah agak berair sedikit.

Ketika dicium oleh Gaspar bau sang nasi sudah agak lain pula.

Tapi tak apa. Dari pada makan ikan panggang tanpa nasi lebih

baik dengan nasi juga sekalipun nasinya sudah agak berbeda

rasa! Setelah membungkus nasi itu cepat-cepat Gaspar menuju

keruangan tadi. Surdala masih duduk ditempatnya. “Sudah......?” tanya guru sakti itu. ”Sudah, guru. Dan terima

kasih banyak-banyak. Saya pergi sekarang......” jawab Gaspar.

Surdala mengangguk dan Gaspar keluar dari rumah itu.

TUJUH

DARI danau Jempang Gaspar terus menuju keutara. Dia

menyeberangi sungai Mahakam dengan sebuah rakit sewaan

dan meninggalkan rakit itu begitu saja tanpa membayar

sewanya. Selewatnya sungai besar itu, Gaspar melalui dua buah

danau lagi yaitu danau Melintang dan danau Semayang.


Pemandangan disekitar kedua danau itu sangat indah sekali.

Hal itu hanya diperhatikan secara sepintas oleh anak buah Mali

Kodra tersebut karena dia tak punya waktu untuk memandang

segala keindahan alam itu. Apa yang dipikirkannya ialah

bagaimana dia bisa sampai secepat mungkin ketempat

tujuannya yang terakhir, yang jauh letaknya diujung utara

pulau Kalimantan.

Dua hari kemudian kembali pegunungan menghadang

jalannya. Pegunungan itu dikenal dengan nama pegunungan

Tabur. Mungkin nama itu diberikan orang karena letaknya yang

rata menabur kesegala penjuru, sukar untuk didaki. Gaspar

terpaksa mengambil jalan sungai. Satu hari satu malam

lamanya baru dia berhasil mencari sebuah perahu sewaan yang

cukup besar yang bisa disewanya. Sungai yang dilaluinya tidak

seberapa besar tapi arusnya deras sekali. Gaspar terpaksa

membantu tukang perahu itu untuk mengayuh melawan arus.

Keesokan petangnya kira-kira lima kilo dari sumber sungai,

perjalanan tak mungkin lagi untuk diteruskan. Arus sungai

sangat besar sekali. Sedang muatan perahu, dua orang

ditambah seekor kuda adalah berat sekali.

Untuk pertama kalinya Gaspar mempunyai hati

kemanusiaan. Dia kasihan juga, melihat pakaian tukang perahu

yang compang-camping itu. Untuk mendapat sedikit uang dia

bekerja sebagai tukang perahu, mengantarkan penyewa kemana

saja yang dikehendakinya. Sampai didarat Gaspar segera

membayar ongkos perahu. Kemudian dia meneruskan

perjalanan melalui darat lagi setelah terlebih dahulu memberi

makan kudanya.

Dua hari lebih lamanya Gaspar menunggangi kudanya

melalui sela-sela pegunungan dengan hanya beristirahat

bilamana perlu. Pada hari yang ketiga kembali dia menemui

sebuah sungai kecil. Air sungai itu jernih sekali dan arusnya

mengalun tenang. Dia mengikuti sungai itu yang menuju

ketimur kemudian lurus kebarat. Disatu tempat dia menemui

sebuah perkampungan. Setelah mengisi perutnya disatu kedai

nasi yang sangat menyedihkan sekali keadaannya, Gaspar


menyewa sebuah perahu yang akan membawanya lebih jauh

keutara.

Hari masih pagi. Kicau burung-burung masih terdengar

disana-sini. Udara terasa sejuk sekali dan perahu yang berisi

dua orang laki-laki, penyewa dan penumpang serta seekor kuda

meluncur laju mengikuti arus sungai. Anak sungai yang mereka

tempuh itu sampai keinduknya. Arus sungai semakin tenang.

Ditepi sungai Gaspar melihat banyak sekali pohon-pohon

pisang yang tengah berbuah masak dan dikerumuni oleh kera- kera yang tak terhitungkan jumlahnya, sehingga pohon-pohon

pisang itu menjadi condong dibuatnya.

Pisang yang masak membuat selera Gaspar menitik. Dia

menyuruh tukang perahu untuk menuju ketepi sungai. Sam pai

ditepi Gaspar meloncat kedarat. Kera-kera yang banyak itu

berlarian ketakutan dengan mengeluarkan pekik jerit yang

hingar-bingar. Gaspar memotong dua tandan pisang kecil-kecil

yang telah masak-masak kemudian kembali keperahu. Sambil

bercakap-cakap kedua orang itu memakan pisang tersebut satu

demi satu sementara perahu meluncur juga. Tanpa terasa

tengah hari telah berlalu. Empat sisir pisang kecil-kecil telah

lenyap kedalam perut kedua laki-laki itu kulitnya diberikan

kepada kuda.

Gaspar memandang jauh kemuka. Sungai itu lurus sekali tak

ubahnya seperti sebuah jalan raya layaknya. Ketika dia

mengarahkan pandang kebelakang, kelihatan puncak

pegunungan Tabur menjulang dikejauhan. Dua buah benda

yang menghitam dikejauhan menarik perhatian Gaspar. Cuma

dua buah batang kayu, pikir laki-laki itu sambil memutar

kepalanya kembali dan memandang kemuka. Dia memetik

sebuah pisang lagi. Tapi hatinya terasa tidak enak. Dia menoleh

kebelakang kembali. Kedua benda yang diduganya adalah

batang-batang kayu yang dihanyutkan air masih kelihatan

dibelakangnya dan makin tambah dekat. Aneh...... masakah

batang kayu bisa menyusul mereka......? Dia memperhatikan

dengan seksama, dengan lebih teliti. Hatinya mulai berdebar.


“Ada apa yang kau lihat......?” tanya anak perahu ketika

memperhatikan penyewanya yang terus-terusan memandang

kebelakang.

“Kau lihat dua buah benda itu......?”. Si anak perahu memutar

kepalanya kearah yang ditunjukkan Gaspar. Mukanya jadi

pucat. “Buaya!” teriaknya.

“Ketepikan perahu cepat!” teriak Gaspar. “Ketepikan lekas!”.

Arah perahu segera membelok tajam kekiri. Satu meter sebelum

mencapai tepi sungai Gaspar telah meloncat keluar dari perahu

itu. Loncatan tersebut membuat perahu menjadi oleng keras.

Dan pada detik itu pula kedua ekor buaya yang sejak lama

mengikuti mereka sampai ketempat itu. Yang pertama

menyundul perahu dengan kepalanya. Perahu terbalik. Kuda

Gaspar meringkik keras sebelum tubuhnya terlempar kedalam

air. Anak perahu sendiri yang hendak meloncat menyelamatkan

diri kena dihantam pinggangnya oleh ekor buaya yang kedua.

Orang itu menjerit dan mental ketengah sungai.

Kuda dan manusia kini menjadi mangsa dua ekor buaya

sungai. Buaya yang pertama menggigit tengkuk kuda Gaspar.

Binatang itu meronta dan menendang-nendangkan kakinya.

Tapi gerakan tersebut membuat tubuhnya yang besar berat itu

menjadi semakin tenggelam kedalam air. Binatang darat yang

besar kukuh itu akhirnya tak berdaya sama sekali. Dia

tenggelam kedasar sungai bersama buaya yang sebentar lagi

bakal menyantap menggerogoti tubuhnya. Pada saat tubuh

anak perahu yang mental ketengah sungai mencapai air, pada

saat itu pula buaya yang kedua sampai disana dengan mulut

ternganga. Mulut yang lebar dengan gigi-gigi yang besar

runcing-runcing itu mencengkeram paha kanan si anak perahu.

Jerit terakhirnya masih kedengaran sebelum tubuhnya lenyap

diseret kedalam air oleh buaya itu. Air sungai dikeruhkan oleh

darah didua tempat. Yang pertama darah kudanya Gaspar

sedang yang terakhir darah dari tubuh anak perahu yang

malang itu. Dan semua kejadian itu dilihat oleh Gaspar dengan

mata kepala sendiri dari tepi sungai. Keringat dinginnya

membasahi tubuhnya. Lututnya goyah. Mulutnya ternganga.

Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Peristiwa sebentar tadi



yang baru dilihatnya itu melemahkan segala sendi anggotanya.

Dia duduk menjelepok ditanah, bersandar kesebuah pohon

ditepi sungai tanpa bisa bergerak-gerak.

Beberapa lama kemudian baru laki-laki itu sadar akan

dirinya. Dia berdiri kembali dengan perlahan-lahan. Matanya

masih tertuju ketengah sungai. Noda-noda darah telah lama

hilang dihanyutkan arus kearah muara. Dia sadar bahwa

perjalanan selanjutnya harus dilakukannya dengan jalan kaki!

Dan bisakah dia sampai ketempat yang dituju dalam waktunya?

Dengan terhuyung-huyung, dia melangkahkan kakinya. Dia

berharap-harap untuk dapat menemui sebuah perkampungan

dalam waktu yang singkat dimana dia dapat memiliki seekor

kuda lagi untuk meneruskan perjalanannya. Dia tak peduli

apakah dia harus mencuri atau membeli. Pokoknya memiliki

seekor kuda, habis perkara!.

Malam itu Gaspar bermalam dikaki sebuah bukit kecil.

Paginya dia meneruskan perjalanan kembali. Ditengah jalan dia

menemui beberapa buah pohon talas. Segera dicabutnya

tanaman itu sampai keakarnya. Tiga buah talas yang besar- besar cukup untuk mengisi perutnya saat itu. Untung saja korek

api yang dibawanya tidak jatuh kedalam sungai waktu dia

meloncat menyelamatkan diri dari bahaya maut kemarin.

Segera dicarinya ranting-ranting kayu dan mulai menyalakan

api.

Rupanya kemalangan masih belum habisnya merongrong

anak buah Mali Kodra almarhum itu! Dan bau talas panggang

yang dibakarnya itulah yang telah menyebabkan datangnya

kemalangan yang kedua pada diri Gaspar. Kira-kira seratus

meter dari tempatnya berada itu, terdapat sebuah jalan kecil

yang jarang dilalui manusia. Jalan itu menghubungkan sebuab

desa kecil dengan satu perkampungan yang terletak kira-kira

dua kilo dari sana. Tiga orang laki-laki yang tampak melintasi

jalan kecil dengan cepat. Salah seorang dari ketiganya tampak

menggerak-gerakan cuking hidungnya. “Heh......” desisnya.

“Aku mencium satu bau yang nyaman sekali. Seseorang tengah

membakar sesuatu...


“Aku juga......” kata kawannya sambil memandang

berkeliling. “Barangkali ada yang memanggang daging......”.

“Tolol! Daging panggang bukan begini baunya. Mungkin

singkong atau talas panggang ini!” tukas kawannya yang ketiga.

“Daging atau talas atau singkong atau apapun tak peduli!

Perut kita lapar dan kita harus menemui dimana sumber bau

yang sedap itu!” kata yang pertama. Melihat tampang-tampang

ketiga laki-laki itu nyatalah bahwa mereka bukan orang baik- baik. Pakaian yang mereka kenakan sama kumalnya dengan

tampang-tampang mereka. Masing-masing mereka membawa

sebuah golok yang disisipkan dipinggang kiri.


“Hem...... baunya dari sebelah sana......” kata yang paling

tinggi tubuhnya diantara ketiga orang itu. Kawannya yang dua

lagi segera mengikuti kemana kawannya itu melangkah.

Beberapa menit kemudian dari balik semak-semak mereka

melihat seorang laki-laki yang berpakaian sama kumalnya

dengan mereka tengah meniup-niup api pembakaran tiga buah

talas yang besar-besar.

“Dia tidak bersenjata......” bisik yang tinggi.

“Kita datangi dia, kita minta sebagian talas panggang itu, lalu

kita rampok dia!”. Kedua kawannya menganggukkan kepala.

Ketiga orang itu menyeruak dari balik semak-semak”.

“Hai kawan...... sungguh sedap panggang talasmu!”.

Gaspar terkejut dan memalingkan kepalanya kebelakang.

Tiga orang laki-laki dilihatnya datang mendekatinya. Dia cepat

berdiri. “Kalian siapa......?!!”

“Oh...... kami tentunya sahabat-sahabat barumu yang baik- baik yang ingin beramah tamah denganmu. Talas bakar itu

baunya harum sekali. Kalau kami bisa mendapatkannya

beberapa potong......?!”, jawab si jangkung. Dia tersenyum

ketika mengucapkan kata-kata itu.

Gaspar memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama.

Meskipun tampangnya sendiri buruk, tapi tampang ketiga

orang itu dirasakannya lebih buruk lagi. Kemudian dia

menjawab : “Talas yang tiga buah ini hanya cukup untukku

seorang. Kalau kau ingin talas cabut pohon-pohon talas yang

lainnya itu dan kau boleh memanggangnya sini!”.

Ketiga orang itu saling berpandangan sesamanya. Dan si

jangkung buka mulut lagi sambil memandang ketalas bakar

yang dihadapannya. “Perutmu teatunya perut keranjang

sampah kawan!” katanya sambil tersenyum. “Talas yang tiga

buah bukan main besarnya. Dan katamu cuma cukup untukmu

seorang. Bukan main!”.

“Macam apapun perutku, itu bukan urusanmu, sobat! Kalau

kau ingin makan talas bakar lakukan apa yang kukatakan. Tapi

kalau tidak silahkan jalan. Walau bagaimanapun aku tak akan

memberikan secuil dari ketiga talas ini kepadamu!” ujar Gaspar.


“Hem...... galak benar sobat baru kita ini! Tapi baiklah,

memang untuk mendapatkan sesuatu itu manusia harus

berusaha dan bekerja!”. Ketiga laki-laki tadi segera mencabut

beberapa buah pohon talas. Setelah mengupasinya lalu

dipanggang diatas perapian sementara Gaspar telah sibuk

mengunyah talasnya sendiri.

“Kau berasal dari mana, bung?!” tanya si jangkung sambil

membalikkan talas yang dibakarnya.

“Selatan......” jawab Gaspar, acuh tak acuh.

“Namaku Lasta kawanku yang ini Mika dan yang satu lagi

Sarda. Kau ada urusan apa berada ditempat ini?”.

“Aku tidak akan mengatakannya padamu!” jawab Gaspar.

“Urusan dagang......?” tanya Mika.

“Kukatakan aku tidak akan terangkan padamu, sobat!” jawab

Gaspar sambil mengunyah talasnya yang kedua.

“Hem...... orang pentingpun tak pernah merahasiakan

dirinya!” ujar Lasta.

“Orang penting! Dan aku bukan orang penting, cuma urusan

yang kubawa memang penting!” kata Gaspar pula.

“Dari selatan sampai kesini kau cuma jalan kaki......?” tanya

Sarda.

“Mula-mula aku memiliki seekor kuda. Ketika aku naik

perahu, dua ekor buaya lapar menyerang perahuku. Perahuku

terbalik. Kuda dan anak perahu menjadi mangsa binatang air

itu. Aku sendiri berhasil meloncat dari perahu menyelamatkan

diri!”.

“Tentunya kau punya ilmu juga, heh......?” tanya Lasta.

“Begitulah......” jawab Gaspar perlahan. “Kalian bertiga

siapa?!”

“Kami pedagang-pedagang hasil hutan. Kami baru saja

menjual rotan dan damar dikota ditepi sungai kira-kira lima

kilo dari sini......” jawab Lasta. Talas yang dipanggangnya telah

masak, Ketiga berkawan itu mulai menyantap talas masing- masing.

“Kau mau menuju kemana......?” tanya Mika dengan mulut

penuh.


“Utara......” jawab Gaspar antara terdengar dan tidak karena

mulutnya penuh dengan talas. Selama beberapa menit tak

seorangpun yang membuka mulut untuk bicara. Ketiga orang

itu telah selesai dengan santapan mereka. Gaspar memasukkan

korek apinya kedalam sakunya dan talas yang masih tinggal

sebuah dimasukkannya kebuntalannya.

“Kau mau berangkat......?” tanya Lasta. Gaspar mengangguk.

Lasta memberi isyarat pada kedua kawannya. Kedua laki-laki

itu segera berdiri. “Kenapa cepat-cepat amat?!” tanya Sarda.

“Bagaimana kalau kita sama-sama saja, kami juga hendak pergi

keutara......”.

“Tapi urusanmu dan urusanku berbeda! Aku pergi dulu,

sobat!”.

Lasta cepat berdiri. Dia tersenyum. Ketika Gaspar hendak

melangkah dia cepat berkata. “Tunggulah sebentar sobat!”.

“Ada apa lagi?!” tanya Gaspar kesal sedang hatinya sudah tak

enak.

“Kau belum melihat ini......” ujar Lasta sambil tangannya

meluncur kepinggang sebelah kirinya.

“Melihat apa?!” tanya Gaspar tak mengerti.

“Ini......” jawab Lasta dan bersamaan dengan itu goloknya

telah keluar dari sarungnya!

DELAPAN

Gaspar mundur dua langkah kebelakang. Kedua orang kawan

Lasta dilihatnya juga sama mencabut golok masing-masing.

Walaupun hatinya sudah sangat kecut melihat itu tapi Gaspar

masih memberanikan diri untuk memaki : “Manusia-manusia

terkutuk! Mengaku sebagai pedagang-pedagang hasil hutan.

Tak tahunya cuma rampok-rampok bejat rendah!”.

“Ha...... ha! Kalau kau sudah tahu siapa kami adanya, maka

tak usah banyak bicara. Sebaiknya segera serahkan saja apa-apa

barang yang kau bawa!” tukas Lasta dengan menyeringai buruk.

Dia maju selangkah dan memelintangkan goloknya dimuka

hidung Gaspar.

“Kalian manusia-manusia kurang ajar. Manusia tak punya

budi! Aku sama sekali tak memiliki barang-barang berharga.

Buntalan itu cuma berisi satu helai baju, lain tidak!”.

“Mika, coba periksa isi buntalan itu!” perintah Lasta pada

sahabatnya. Mika segera mambuka buntalan milik Gaspar.

Didalamnya ditemui satu stel pakaian, dan satu sarung

tambalan.

“Ambil benda-benda itu. Dia cukup laku untuk dijual pada

petani-petani sekitar sini!” kata Lasta. Mika membungkus

buntalan itu kembali dan tetap menjinjingnya dengan tangan

kiri.

“Kau Sarda, geledah isi sakunya! Dan kuperingatkan

kepadamu sobat, kalau kau berani bergerak sedikit saja,

kepalamu akan terpisah dari tubuhmu!” kata Lasta. Sarda

segera menggeledah isi saku Gaspar. Disaku kiri baju laki-laki

itu di temui secuil tembakau. Beberapa gulung daun nipah, lalu

korek api dan uang kecil. Benda-benda itu segera berpindah

kesaku Sarda. Kini saku sebelah kanan diperiksa. Gaspar

mundur selangkah. “Aku tak punya apa-apa lagi!” teriaknya.

“Kau bergerak sekali saja lagi, aku akan bunuh kau, bangsat!”

mengancam Lasta. Gaspar tak berdaya sama sekali. Dia tak

punya senjata untuk melawan. Sekalipun dia punya juga tak

mungkin baginya untuk merobohkan ketiga musuh itu. Dia

ingat rencana perjalanannya. Kalau dia melawan juga maka

nyawanya akan segera melayang meninggalkan tubuhnya

sedang Nemini gurunya Luntra tak berhasil ditemuinya, berarti

jumlah guru-guru sakti yang akan melakukan pembalasan jadi

berkurang. Ketika Sarda memasukkan tangan kirinya kesaku

kanannya, Gaspar hanya bisa berdiam diri dengan

mengatupkan barisan gigi-giginya karena geramnya.

Dari dalam saku itu Sarda mengeluarkan sebuah bungkusan

kain kecil yang sudah kumal sekali. Bungkusan itu dibukanya.

Dan...... “Hem......” katanya dia tak punya apa-apa! Tapi lihat

ini......!” Lasta dan Mika memandang keisi bungkusan yang

ditangan Sarda. Ternyata beberapa keping emas dan berlian.

Benda-benda berharga itu adalah yang diterima Gaspar dari


suku Sampia yaitu ketika menyelamatkan diri dengan pura- pura kemasukan rohnya Dewi Purnama Raya.

“Bawa sini barang-barang itu!” desis Lasta. Lasta

memasukkan barang-barang berharga tersebut kedalam

sakunya. Dia memandang Gaspar dengan menyeringai lalu

berkata. “Sekarang baru kau boleh pergi. Kau ketempat

tujuanmu dan aku ketempat tujuanku! Selamat jalan, sobat dan

terima kasih untuk semuanya ini!”.

“Ya, terima kasih untuk semuanya ini. Tapi ingat-ingat sobat,

suatu ketika aku akan mencarimu dan mematahkan batang

lehermu satu demi satu! Kau belum tahu siapa aku. Aku adalah

muridnya pertapa sakti yang bernama Nemini!”.

Lasta dan kedua orang kawannya sama terkejut mendengar

kata-kata Gaspar itu. Tapi kemudian kembali Lasta

menyeringai. Sambil memandang pada kedua kawannya dia

berkata. “Jangan kena ditipu kawan-kawan. Kalau dia benar

muridnya Nemini sudah lama kita bertiga kena dibereskannya,

mari!”. Lasta, Mika dan Sarda memutar tubuhnya dan

meninggalkan tempat itu. Mereka lenyap dibalik semak-semak

yang lebat. *

* * Satu hari sesudah dia dirampok habis-habisan oleh ketiga

orang itu, Gaspar dalam meneruskan perjalanannya masih saja

merutuk dan menyumpah-nyumpah didalam hatinya. Dia

mempercepat jalannya. Mendadak matanya memandang

kepulan asap yang menghitam kemerahan dikejauhan. Benda- benda kecil seperti bekas bakaran-bakaran kertas atau atap- atap rumah yang terbuat dari rumbia membubung tinggi

keangkasa bersama kepulan asap itu. Apakah yang terjadi......?

Pikir Gaspar. Hutan terbakar atau apa?! Dia mempercepat

jalannya lagi bahkan kini setengah berlari. Dua kali bajunya

dijambret oleh ranting-ranting kayu, sekali sampai robek,

namun tak diacuhkannya. Dia berlari terus. Nafasnya mulai

sengal Sepuluh menit kemudian telinganya kini mulai



mendengar suara hiruk-pikuk. Jeritan manusia, suara

bangunan rumah yang terbakar dan gejolak api, suara

beradunya senjata dan berbagai suara lagi.

Dia sampai kesatu jalan besar. Dari sana mulai dilihatnya

tegas nyala api yang membakar beberapa buah wuwungan dari

gedung-gedung yang besar dan indah. Dihalaman sekitar

gedung itu berpuluh-puluh prajurit tengah adu senjata dengan

hebatnya. Barisan panah dari kedua belah pihak yang

bertempur beterbangan diudara mencari sasaran, seperti hujan

layaknya. Tak ada satu orang laki-lakipun yang tidak terlibat

dalam pertempuran yang tengah berkecamuk itu. Diujung sana,

didepan barisan rumah-rumah yang sama bentuknya dua

pasukan berkuda yang penunggangnya masing-masing

bersenjatakan golok panjang atau pedang serta perisai saling

baku hantam dengan serunya.

Sebuah anak panah nyasar melayang kearah Gaspar. “Mati

aku!” jerit laki-laki itu sambil berguling menjatuhkan diri.

Disampingnya tampak sebuah pohon nangka. Tanpa pikir

panjang lagi, Gaspar memanjat pohon itu. Dari sebuah cabang

ditengah pohon dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya.

Ditanah utara Kalimantan, yaitu kira-kira persis

diperbatasan Kalimantan Utara jajahan imperialis Inggris

dengan daerah milik Republik Indonesia pada masa itu

terdapat sebuah kerajaan kecil yang bernama Bulungan.

Dulunya kerajaan ini bernama Tanjunglor. Tapi ketika raja

Tanjunglor yang bernama Bulungan, yang sangat dicintai oleh

seluruh rakyatnya meninggal dunia, maka atas kehendak

bersama dari rakyat, putera mahkota Rifal, anak dari

Tanjunglor kemudian mengganti nama kerajaan menjadi

Bulungan.

Raja Rifal mulanya mempunyai seorang istri yang bernama

Rumiah. Dari permaisuri Rumiah. Rifal mempunyai dua orang

anak laki-laki. Yang tua bernama Miari yang kecil bernama

Mista. Kecantikan permaisuri Rumiah terkenal diseluruh

penjuru kerajaan yang aman makmur itu. Tapi hati seorang

laki-laki......


Pada suatu hari Rifal tertarik hati pada seorang gadis berkulit

hitam manis bernama Sima yang ditemuinya dipasar buah- buahan waktu beliau tengah berjalan-jalan disana bersama para

menteri kerajaan. Sima adalah seorang anak penjual rempah- rempah keturunan Parsi. Mata raja saling beradu dengan mata

sang gadis. Bibir saling mengulum senyum dan hati sama

bicara! Dan kalau sudah begitu apalagi! Rifal diam-diam jadi

tergila-gila pada gadis itu. Sebagai seorang raja dia tidak mau

bertindak ceroboh. Mata rakyat akan selalu tertuju kepadanya,

kepada segala gerak-gerik dan perbuatannya. Tapi apa mau

dikata. Sekali panah asmara menancap didalam jantung, sukar

untuk dicabut kembali. Rifal mengirim seorang kepercayaannya

kepada ayah Sima. Orang kepercayaan alias yang melakukan

lamaran. Dan siapa pula yang akan menolak lamaran seorang

raja? Sima juga menerima lamaran itu. Bukan saja karena Rifal

adalah seorang raja, tapi juga karena Rifal merupakan seorang

laki-laki yang tampan. Perkawinan kemudian dilangsungkan

tanpa pesta. Pernikahan hanya dilakukan oleh seorang kadi

dihadapan beberapa orang saksi. Namun mulut manusia......

Kabar tentang perkawinan raja dengan gadis anak tukang

rempah-rempah itu entah bagaimana akhirnya bocor juga. Dari

beberapa gelintir manusia kini rahasia itu meluas sampai

keseluruh pelosok kerajaan. Dan kalau rahasia sudah tersebar

seluas itu maka namanya bukan rahasia lagi!

Setahun sesudah Rumiah melahirkan anaknya yang pertama

yaitu Miari maka Sima juga melahirkan seorang anak laki-laki

bernama Nisa. Dan setahun sesudah itu pula barulah lahir anak

laki-laki Rumiah yang kedua yaitu Mista. Pergaulan hidup

keluarga raja sehari-hari diistana kini tampak banyak

perubahan-perubahannya. Sima lebih disenangi oleh Rifal,

mungkin karena istri muda! Segala apa kehendaknya

diperturutkan. Sanak saudara Sima banyak yang diangkat jadi

orang penting didalam istana. Semuanya itu adalah atas

kehendak Sima juga. Rumiah bukan tak tahu kalau suaminya

lebih kasih pada istri mudanya dari dirinya sendiri. Namun apa

yang bisa dilaksanakannya hanyalah cuma bersabar. Karena

makan hati yang ditahan-tahan akhirnya Rumiah jatuh sakit.


Setahun kemudian permaisuri menutupkan matanya untuk

selama-lamanya. Kini segala apa yang dilakukan oleh Sima jadi

lebih leluasa. Siapa yang akan melarang dan membantah apa

yang disenanginya? Rifal sendiripun tak lain seperti seekor

kerbau yang diikat lehernya dengan tali. Dan tali itu berada

dalam genggaman erat sang istri muda.

Rakyat menjadi gempar ketika suatu hari diumumkan bahwa

Sima atas keputusan Baginda Raja diangkat menjadi permaisuri

sah dari kerajaan. Berarti kalau sudah tiba saatnya, anak laki-

laki yang lahir dari perempuan itupun berhak mewarisi tahta

kerajaan. Banyak pembesar-pembesar istana yang merasa tak

senang akan keputusan Baginda itu. Namun ketidaksenangan

itu cuma bisa mereka katakan dalam hati masing-masing. Kalau

dikeluarkan berarti mencari penyakit. Sima bisa saja menyuruh

penjarakan atau menyuruh bunuh pembesar-pembesar yang

dirasakannya akan menentang dan tak menyukainya.

Setahun kemudian kalangan yang memerintah diistana itu

benar-benar berubah kini. Atas kehendak dan hasutan Sima

hampir semua pembesar kerajaan ditukar dengan orang-orang

yang menjadi kepercayaannya, dengan orang-orang yang masih

ada hubungan keluarga dengan dia. Semua orang baru yang

diangkat Raja atas kehendak istrinya itu adalah orang-orang

yang tak becus menjalankan pemerintahan. Raja sudah tergila- gila oleh kecantikan dan keindahan tubuh serta rayuan Sima.

Hal yang berhubungan dengan pemerintahan diabaikan dan tak

diperhatikannya lagi. Orang-orangnya Sima sibuk berlomba-

lomba mengeruk harta kekayaan. Kerajaan yang dulu aman

makmur kini menjadi centang perenang tak karuan. Dan semua

penderitaan yang timbul tiada terkirakan itu jatuhnya tetap

kesatu golongan, yaitu rakyat! Pembesar-pembesar istana

bisanya cuma pesta ria setiap malam, main perempuan, judi,

minum, mengeruk harta kerajaan yang datangnya dari tetes

keringat rakyat. Didalam istana, Rifal hanya merupakan boneka

buta tuli dan bisu yang dikemudikan oleh Sima. Setiap hari

kerja permaisuri tak lain dari pada berhias dan berhias. Dan

begitu butanya Rifal, dia sampai tidak tahu kalau Sima sudah

main gila berulang kali dengan seorang pembesar istana yang


masih muda belia. Main gila dimuka hidungnya sendiri. Itulah

yang terjadi selama bertahun-tahun didalam istana Bulungan

yaitu kemewahan, segala macam kesenangan hidup, sedang

yang selama bertahun-tahun dialami rakyat tak lain dan tak

bukan hanyalah penderitaan. Dua puluh tahun berlalu. Dua

puluh tahun yang bagi Sima beserta orang-orangnya

merupakan masa yang sangat berbahagia. Rifal yang sudah tua

sudah tak diacuhkan lagi oleh Sima. Setiap malam berganti- ganti pemuda gagah yang memasuki kamar tidur permaisuri itu

untuk bersenda gurau, tertawa bercumbu rayu, untuk tidur

sampai keesokan paginya!

Beberapa pembesar yang masih setia pada Rifal segera

bersepakat untuk cepat menobatkan putera tertua dari Rifal

yaitu Miari. Namun mata-mata Sima berhasil mengetahui

rencana itu. Atas perintah Sima, Miari kemudian dibunuh

secara keji. Kematian putera tuanya itu merupakan satu titik

tolak dari perubahan pada diri Rifal. Dia sadar apa yang telah

dilakukannya selama ini. Dia sadar apa yang telah diperbuat

Sima atas dirinya. Dia insyaf betapa penderitaan rakyat dan

bagaimana kehidupan pemimpin-pemimpin bejat didalam

istana. Dia harus segera bertindak, dia harus segera kembali

kerelnya yang lama agar supaya kerajaan Bulungan tidak

tenggelam lebih lanjut kedalam lumpur busuk.

Tapi sebelum dia bisa melakukan sesuatu kearah perbaikan,

mendadak Rifal jatuh sakit. Batuk darah! Cuma dua puluh

empat jam lamanya, keesokan harinya wafatlah raja itu.

Kematian baginda segera tersebar diseluruh kerajaan. Namun

kabar yang menyedihkan itu hanya diterima dengan tarikan

nafas panjang, bukan dengan rasa terkejut dan bahkan boleh

dikatakan tanpa rasa duka cita sama sekali. Kelaparan,

keinginan akan keadilan dan kebenaran, keinginan untuk lepas

dari berbagai macam pajak kerajaan yang berat-berat dan

seribu satu macam penderitaan yang jatuh dipunggungnya

rakyat yang disebabkan oleh perbuatan Rifal yang lupa diri

karena mabuk oleh Sima, ditambah pula oleh dalang-dalang

pembesar kerajaan yang bisanya hanya pesta pora, main

perempuan dan memeras rakyat, penderitaan yang tiada


terperikan yang mereka rasakan itulah, membuat rakyat sama

sekali seakan-akan tak punya rasa iba dan haru sama sekali

ketika mendengar kematian raja mereka.

“Semua manusia harus mati. Tak terkecuali raja. Semua

manusia ingin keadilan dan kebenaran, ingin kemakmuran.

Rakyat adalah manusia. Tapi dimanakah keadilan dan

kemakmuran yang dulu digembar-gemborkan untuk rakyat

itu.......? yang kami terima dari istana cuma penderitaan. Keluh

kesah kami, cukuplah untuk kami sendiri untuk keluarga kami

sendiri yang menderita selama dua puluh tahun. Peduli apa

dengan kematian raja yang tahunya cuma istri dan menyia- nyiakan rakyatnya......?!”. Begitulah kata-kata seorang dari

rakyat jelata yang hidupnya morat-marit dilanda penderitaan,

yang punya satu istri dan delapan orang anak.

Rifal dimakamkan dengan segala macam kebesaran. Sima

sendiri seakan-akan acuh tak acuh pada kamatian suaminya itu.

Apa yang akan dipedulikannya? Gendaknya banyak. Dan dari

mereka dia bisa menginginkan surga mesum kapan saja dia

mau.

SEMBILAN

BELUM lagi berlalu satu minggu. Masih merah juga tanah

diatas kuburan baginda Rifal almarhum. Tapi apa yang terjadi,

terjadi juga. Apa yang akan dilangsungkan, dilangsungkan juga.

Oleh penyebar-penyebar kabar istana, disampaikan keseluruh

pelosok negeri bahwa pada hari ketiga sesudah wafatnya

baginda jadi besok, akan dilangsungkan pesta besar-besaran.

Pesta besar-besaran ini terbagi atas dua acara. Pertama acara

penobatan putera mahkota. Bukannya putera Rifal dari

Rumiah, tapi puteranya Rifal yang dari Sima yaitu Nisa! Acara

yang kedua adalah yang diterima rakyat dengan lebih gempar

dari acara yang pertama. Yaitu perlangsungan upacara

perkawinan antara ratu Sima dengan seorang pemuda yang

telah lama menjadi gendaknya! Pemuda yang namanya Kamia

adalah dua puluh dua tahun lebih muda dari pada Sima sendiri!


Paginya, istana yang sudah dihiasi dengan segala macam

gaba-gaba mulai dari dapur istana sampai kehalaman muka,

penuh oleh orang ramai. Semuanya adalah pembesar-pembesar

istana dan yang bekerja untuk kepentingan istaina. Rakyat

jelata boleh dikatakan tak ada disana. Janganpun berada

didalam istana, dekat-dekat kehalaman istanapun tak seorang

jua yang kelihatan. Rakyat lebih baik mendekam didalam gubuk

teratak masing-masing daripada melihat kedua upacara gila itu.

Gila karena hak waris tahta kerajaan sesungguhnya bukan jatuh

ketangan putera Sima melainkan kepada tangan putera

permaisuri yang sah yaitu Mista, adik kandung Miari yang

sampai saat itu masih hidup, bahkan masih tinggal disalah satu

bagian istana. Gila karena selain suami yang dikawini Sima itu

jauh lebih muda dari padanya juga gila karena Rifal, almarhum

suaminya yang dulu, belum lagi seminggu dikuburkan, dia telah

kawin! Kawin dengan gendaknya yang semasa Rifal masih

hidup telah berani berbuat mesum sekehendak hatinya!

Tamu-tamu dari berbagai negeri memenuhi seluruh bagian

istana yang besar luas itu. Bunyi-bunyian terdengar tiada

hentinya. Tuak, arak dan berbagai minuman keras lainnya serta

makanan yang enak-enak tersebar disegala penjuru. Semua

tamu boleh mengambil sekehendak hatinya, boleh minum

sampai gembul dan boleh makan sampai padat perutnya. Kedua

acara resmi tadi yaitu penobatan Nisa menjadi raja serta

perkawinan Sima dengan Kamia berlangsung tanpa halangan

apa-apa.

Satu hari sesudah pesta yang meriah itu masih banyak juga

tamu-tama yang datang untuk memberikan selamat. Semeatara

itu disalah satu bagian belakang istana......

Laki-laki tua yang berselempang kain putih itu berjalan

dengan cepat di gang istana. Tubuhnya sudah agak bungkuk.

Rambutnya putih seperti kapas. Mukanya bersih dan licin

meskipun gurat-gurat ketuaan memenuhi banyak muka yang

agak cekung itu. Dia menoleh kebelakang, seakan-akan ada

sesuatu yang dikhawatirkannya. Tapi tak satu manusiapun yang

dilihatnya berada di gang istana tersebut. Dia mempercepat

langkahnya. Gang yang dilaluinya itu mempunyai deretan


pintu-pintu dikiri kanannya. Pintu-pintu dari kamar-kamar.

Diujung sana gang yang dilaluinya bercabang dua. Si orang tua

yang berselempang kain putih membelok kekanan. Gang yang

dilaluinya kini lebih besar sedang dinding-dindingnya diberi

berukir-ukiran. Dia berhenti dimuka sebuah pintu besar.

Kepalanya ditolehkannya kekiri, Dia menunggu beberapa

lamanya. Kemudian tangannya mulai mengetuk pintu itu.

Seorang pengawal membukakannya. Si orang tua masuk dan

pintu tampak dikunci kembali. Ruangan itu merupakan sebuah

pelataran dimana terdapat kursi-kursi berjejeran. Disamping

sebelah kiri tampak sebuah tangga batu. Si orang tua

melangkah kesana dan menaiki tangga. Dua orang pengawal

berdiri dipintu sebuah gang. Kedua pengawal itu segera

memberi hormat ketika orang tua tadi lalu dihadapan mereka.

Diujung dari gang tersebut tampak sebuah pintu yang juga

dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti dua pengawal yang

mula-mula, pengawal-pengawal yang inipun memberi hormat.

Pintu diketuk sebanyak tiga kali secara cepat. Kemudian tiga

kali lagi agak perlahan-lahan. Beberapa detik kemudian pintu

itu terbuka.

Seorang pemuda yang berjubuh tegap dan berambut sedikit

keriting berdiri dibelakang daun pintu. Dia tersenyum sedikit

dan berkata : “Sudah tiga hari bapak tidak datang. Silahkan

masuk......”. Orang tua itu melangkah masuk dan pintu

dirapatkan kembali.

Ruang itu tidak begitu besar. Perabotannya sederhana sekali

tapi masih bagus, berkilat tanda dirawat dengan baik. Sinar

matahari yang masuk dari jendela disamping menerangi

ruangan itu. Dua buah pintu tampak didinding sebelah kiri.

Yang satu tertutup sedang yang lain agak terbuka sedikit. Orang

tua tadi memandang pada anuk muda yang didepannya, lalu

duduk kesebuah kursi yang ada bantalannya. Anak muda

itupun duduk pula disebuah kursi yang sama bentuknya

dihadapan si orang tua. Orang tua ini yang mengenakan

pakaian serba putih namanya adalah Desta. Umurnya hampir

mencapai delapan puluh tahun. Ketika ayah Rifal yaitu

Bulungan memerintah kerajaan, dia menjadi orang



kepercayaan baginda. Kemudian baginda mengangkatnya

menjadi maha patih, kepala dari segenap menteri dan penjabat

istana. Banyak sekali jasa-jasa yang telah diberikan Desta bagi

kemakmuran dan kejayaan kerajaan. Ketika Bulungan wafat

puteranya Rifal dinobatkan menjadi penggantinya. Rifal

sebagaimana ayahnya tetap mengangkat Desta dalam

kedudukannya yang lama yaitu maha patih kerajaan. Pada

waktu Sima dinobatkan sebagai permaisuri sah dari Rifal yaitu

setelah permaisuri yang pertama (Rumiah) meninggal dunia,

maka Sima kemudian menggeser Desta. Dia mengangkat

pamannya sendiri untuk menduduki jabatan Desta itu

sekalipun pamannya itu tak tahu apa-apa dan tak becus

sedikitpun dalam urusan istana dan urusan kerajaan. Rifal

sendiri yang telah mabuk pada Sima tidak memberikan reaksi

apa-apa atas penggeseran orang yang dipercayainya itu.

Meskipun istana Bulungan kini telah penuh dengan penjabat- pejabat, menteri-menteri dan orang-orang penjilat Sima namun

masih ada juga beberapa gelintir tokoh-tokoh lama yang dulu

pernah mengabdi pada Bulungan, pada Rifal. Dan salah satu

diantaranya adalah Desta. Mereka sama membenci Sima dan

tetap setia pada pemegang tahta yang sah turun temurun dan

menurut mereka, Sima adalah biang racun dari segala bencana

yang timbul dikerajaan.

“Kemana saja bapak selama tiga hari ini?” tanya pemuda itu

yang tak lain Mista adanya. Si orang tua menarik nafas dalam

lalu menjawab dengan suara tenang : “Di istana ini kedudukan

orang-orang kita sudah sangat terjepit disegala penjuru, Yang

Mulya. Tapi sebaliknya diluar istana saya telah mengetahui

sendiri bagaimana hati dan jiwa raga rakyat kita yang kini

menderita lahir bathin tetap berada dipihak kita, dipihak Yang

Mulya yang secara sah memiliki waris tahta kerajaan! Bahkan

dua ratus prajurit-prajurit kerajaan beserta tiga orang

pemimpin mereka juga menyatakan diri kepada saya, bahwa

mereka tetap setia pada keturunan Bulungan, kakek Yang

Mulya......”.

“Tapi bapak, bukankah pengangkatan Nisa, saudara satu

ayah dari saya sendiri itu sebagai raja adalah sah karena


almarhum .ayah telah menyatakan Sima sebagai permaisuri sah

dari kerajaan? Dan juga umurnya Nisa adalah setahun lebih tua

dari saya.” ujar Mista.

“Apa yang terjadi dengan diri ayah Yang Mulya,

sesungguhnya Yang Mulya lebih mengetahui. Apapun yang

dikatakan baginda Rifal almarhum, apapun yang dibuatnya,

semuanya itu tak lain adalah karena desakan dan mendapat

dorongan dan rencana Sima sendiri bersama penjilat- penjilatnya. Maaf bicara...... baginda Rifal sesungguhnya berada

dibawah telapak kaki permaisuri. Simalah yang telah mengatur


dan mengukur gerak-gerik dan tindakan ayah Paduka Yang

Mulya mengetahui sendiri, bagaimana sejak Sima duduk

disamping baginda Rifal, sejak itu pula terjadi perubahan total

didalam istana dan kerajaan Bulungan. Dari bujuk rayu yang

manis merayu tapi beracun, Sima kemudian secara terang-

terangan menitahkan perintah-perintahnya melalui ayah

Paduka. Pegawal-pengawal, pejabat-pejabat istana dan menteri- menteri termasuk saya atas kehendak Sima segera digeser,

dipecat atau diusir dari kerajaan. Sima kemudian mengangkat

dari sanak keluarganya sendiri untuk memegang jabatan-

jabatan penting didalam istana. Masih hidup baginda Rifal, dia

telah berani main gila berbuat mesum dengan berbagai

gendaknya. Masih merah tanah pekuburan ayah Paduka, dia

telah mengumumkan perkawinannya dengan laki-laki yang

pantas menjadi anaknya. Kesengsaraan dan penderitaan yang

tiada terperikan telah dibebankan Sima kepunggungnya rakyat

selama bertahun-tahun. Ketika baginda Rifal wafat rakyat

benar-benar kehilangan pemimpin mereka, kehilangan

pegangan, bahkan kehilangan kehidupan mereka sendiri!

Memang atas keputusan baginda Rifal, Sima telah diangkat

menjadi permaisuri sah dari kerajaan. Tapi sekali lagi bapak

katakan bahwa semua itu adalah rencana busuk dari Sima agar

supaua tampuk tertinggi dari kekuasaan ini jatuh kepadanya,

jatuh kepada anak cucunya! Baiklah kalau rakyat mau

menganggap sah keputusan tersebut. Tapi bisakah rakyat,

sudikah rakyat untuk terus-terusan mengalami penderitaan dan

kesengsaraan dibawah kaki Sima, dibawah kaki Nisa untuk

selama-lamanya?! Tidak Paduka! Rakyat tidak ingin ditindas

lebih lama. Rakyat tidak ingin diinjak lebih lanjut. Rakyat tidak

ingin penderitaan dan kesengsaraan lagi. Cukup dua puluh

tahun lamanya hidup dalam alam kelaparan, penindasan dan

penderitaan! Rakyat ingin bebas! Dan kebebasan dari segala

macam penderitaan itu cuma ada satu jalan. Tumbangkan

kekuasaan Sima, gulingkan Nisa dari tahta yang tidak menjadi

haknya. Hancurkan semua manusia-manusia jahanam pangkal

bahaya itu. Tapi apalah artinya rakyat yang menginginkan

kebebasan itu. Apalah artinya kekuatan mereka dan dua ratus


prajurit yang saya katakan tadi, bilamana mereka tidak punya

pimpinan, bilamana tidak ada orang yang akan memimpin

mereka untuk melepaskan mereka dari belenggu azab

penderitaan, untuk menghancurkan yang bathil dan

menegakkan yang hak!” Desta menyeka peluh yang mengalir

didahinya yang penuh dengan garis-garis ketuaan itu kemudian

meneruskan. “Satu-satunya orang yang bisa memimpin rakyat,

satu-satunya orang yang bisa mewujudkan cita-cita rakyat itu

yaitu cita-cita keadilan dan kebenaran, keamanan dan

kemakmuran adalah Yang Mulya sendiri! Terlepas dari

persoalan apakah tahta kerajaan itu milik sah dari Yang Mulya,

terlepas dari urusan pribadi antara Yang Mulya dengan Sima

beserta Nisa dan penjilat-penjilatnya itu, terlepas dari segala

semuanya itu maka adalah sudah menjadi kewajiban kita

semua, kewajiban Yang Mulya untuk menjalankan tugas yang

diamanatkan rakyat kepada Yang Mulya. Rakyat membutuhkan

pimpinan karena itu Yang Mulya pimpinlah mereka. Rakyat

memerlukan satu sinar yang terang untuk menghancurkan

sinar gelap yang selama ini menyungkupi Bulungan. Dan sinar

terang yang bapak katakan itu hanya Yang Mulya seoranglah

yang sanggup membawanya!”.

Mista termenung mendengar kata-kata orang tua itu. Dia

memandang keluar jendela. Dikejauhan tampak matahari

ditutupi awan abu-abu yang membendung sinarnya sehingga

udara agak redup sedikit. Awan abu-abu tadi berlalu dengan

perlahan-lahan dan udara kembali cerah terang benderang.

“Mengapa Paduka diam saja......? Tidak adakah yang ingin

Paduka katakan......?!” terdengar suara Desta.

“Semua yang bapak katakan itu adalah benar. Kekuasaan

Sima harus kita tamatkan riwayatnya. Tapi itu berarti harus

terjadi pertumpahan darah diantara kita sesama bangsa. Dan

saya tidak ingin melihat rakyat yang menderita itu harus pula

mati karena saya. Karena tahta kerajaan! Saya tidak sampai

hati, bapak......!”

Desta memandang tajam pada anak muda itu, lalu membuka

mulut : “Paduka berpikir terlampau singkat sekali agaknya.

Kalau terjadi pertempuran, kalau terjadi pertumpahan darah


dan kalau banyak rakyat kita yang mati dalam pertumpahan

darah itu, bukan berarti bahwa Padukalah yang menjadi

pangkal sebabnya, bukan Padukalah yang menjerumuskan

mereka! Mereka, rakyat berjuang angkat senjata bukan saja

untuk memerangi yang bathil guna menegakkan yang hak tapi

juga berjuang menyabung nyawa untuk menghancurkan

kelaliman, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan

kalau mereka mati dalam perjuangan itu, mereka mati dengan

rela, mereka mati syahid! Dan mati cara manakah lebih indah

serta mulia dari pada mati syahid itu? Rakyat tahu apa artinya

perjuangan yang mereka lakukan. Perjuangan suci demi

kebahagiaan anak cucu mereka dikemudian hari. Perjuangan

suci demi berdirinya kerajaan Bulungan sepanjang masa. Kalau

tidak sekarang kita bergerak, kapan lagi masanya!”

“Kita berjuang kata bapak. Baik! Tapi bisakah kita berhasil

mencapai kemenangan? Bisakah rakyat yang keadaannya kurus

kering, yang tubuhnya sangat lemah itu disuruh berjuang

angkat senjata? Sekalipun kita punya dua ratus prajurit yang

akan membantu kita, tapi bisakah kekuatan yang sebegitu

menghadapi kekuatan yang sangat besar dari orang-orangnya

Sima dan Nisa? Kita akan sia-sia, bapak. Perjuangan kita akan

gagal dan kita semuanya, termasuk rakyat yang tiada berdosa

itu akan disapu bersih! Akan dipancung satu demi satu”.

Desta menggelengkan kepalanya, Dia tersenyum sedikit lalu

baru berkata : “Itulah kesalahan manusia masa kini. Belum

pergi sudah pulang, belum sampai sudah kembali...... belum

dicoba sudah mengatakan gagal! Dalam hidup kita tidak bisa

berpikir dan berpegang secara itu, Paduka. Manusia yang

berbuat seperti itu, yang pulang sebelum pergi, yang kembali

sebelum sampai, yang berkata gagal sebelum mencoba,

sesungguhnya tak pernah dia hidup. Kalau dia hidup juga, maka

sesungguhnya dia mati dalam hidupnya! Memang benar apa

yang dikatakan oleh Yang Mulya. Rakyat kita berada dalam

keadaan menderita lahiriah dan bathinlah! Dalam keadaan

lemah! Tapi Yang Mulya...... apakah lemah namanya kalau

mereka sendiri yang menginginkan perjuangan, mereka sendiri

yang ingin angkat senjata?! Jumlah kita terlalu sedikit kata


Yang Mulya? Tidakkah pernah Yang Mulya mendengar dan

mengetahui kenyataan-kenyataan betapa pihak yang sedikit

bisa mengalahkan dan menghancur leburkan pihak musuh yang

banyak? Perjuangan kita bukan satu perjuangan kotor yang

diselimuti nafsu Yang Mulya. Perjuangan kita adalah suci. Satu

perjuangan yang suci senantiasa mendapat rahmat dan diridhoi

oleh Tuhan. Kita berjuang karena kita yakin kita benar. Karena

kita yakin perjuangan kita suci dan karena kita yakin Tuhan

bersama kita! Kalau kita sudah yakin dalam yang tiga hal itu,

mengapa kita tidak mau yakin dalam hal yang keempat?!

Mengapa kita tidak mau yakin bahwa kita akan menang?!

Sesungguhnya keyakinanlah yang membawa kemenangan,

meskipun jumlah kita sedikit. Ya, kita memang sedikit. Tapi

keyakinan memberikan kekuatan yang maha besar bagi kita.

Kita sedikit, tapi kita berada dipihak yang benar. Kita sedikit

tapi Tuhan bersama kita! Mereka memang banyak, tapi banyak

mereka itu dalam bersekutu didalam kejahatan, mereka banyak

karena mereka semua sama penjilat yang menginginkan

keuntungan uang dan kekayaan dari Sima! Mereka banyak tapi

mereka tak punya pendirian dan keyakinan dalam perjuangan

mereka. Mereka banyak, tapi mereka mabuk dengan segala

macam kemewahan, mereka berenang didalam segala macam

kemesuman. Mereka banyak, tapi mereka tidak mempunyai

keberanian seperti keberaniannya rakyat yang Paduka katakan

lemah itu. Kalau mereka berjuang dalam menegakkan

kebathilan, menegakkan kekufuran, mereka bersekutu dalam

kejahatan. Dan bilamana mereka mati, maka mati mereka

adalah mati didalam kehinaan yang tiada taranya. Neraka.

jahanam bagi orang-orang seperti mereka. Mereka banyak kata

Paduka, kita sedikit! Tapi bisakah mereka menghadapi

kebenaran yang datang dari Tuhan?! Bisakah kebathilan itu

mempertahankan diri untuk selama-lamanya dari yang hak?!

Itulah pegangan kita didalam perjuangan ini, Yang Mulya.

Kalau kita menyimpang dari pegangan iti, tidak usah sedikit,

seribu kalipun jumlah kita lebih besar dari mereka niscaya kita

akan gagal


Kesunyian menyeling seketika sampai saat Mista membuka

mulut. “Benar semuanya itu, bapak. Agaknya telah tiba saatnya

untuk menguburkan kejahatan, menguburkan kebathilan,

menguburkan kelaliman dan menegakkan kebaikan, kebenaran,

keadilan, hak dan kemakmuran!”

“Tepat sekali, Paduka. Memang sudah tiba saatnya!” kata

Desta pula.

SEPULUH

“SEKARANG saya akan bicara tentang keselamatan diri

Paduka sendiri” kata Desta selang beberapa lamanya. “Seperti

saya katakan mula-mula tadi, keadaan kita diistana ini sudah

sedemikian terjepitnya, termasuk diri Paduka. Kalau Sima dan

orang-orangnya menginginkan kematian almarhum baginda

Rifal dan kematian Miari mengapa tidak mungkin bahwa

mereka menginginkan pula kematian bagi keturunan terakhir

dari raja-raja Bulungan yaitu Paduka sendiri?! Dan justru

memang itulah yang tengah mereka rencanakan saat ini!”.

“Apa...... Sima dan orang-orangnya menginginkan jiwa

saya...... bapak?!” tanya Mista dengan terkejut.

“Seharusnya Paduka sendiri yang punya diri menyadari akan

hal itu” jawab si orang tua. Lalu dia meneruskan : “Sima, dan

juga Nisa ingin membumuh Paduka. Tidak bisa dengan cara

halus akan dilakukannya dengan cara kasar. Karena itu sebelum

terlambat. Paduka harus segera menjingkir dari istana ini tapi

dengan cara diam-diam. Dari mata-mata kita yang bekerja

didapur istana saya mendapat keterangan bahwa Paduka akan

diracun oleh orang-orangnya Sima!”

“Rencana mereka tak akan pernah berhasil. Saya tak pernah

makan atau minum apa saja yang datang dari dapur istana.

Kalau saya ingin makan, saya suruh orang kepercayaan saya

untuk membeli nasi diluar, begitu juga kalau saya ingin

minum!” jawab Mista.

“Tindakan Paduka, memang tepat sekali. Tapi meskipun

demikian sebaiknya juga kita siap-siap dengan daun pisang


sebelum hujan turun. Seperti saya katakan tadi, tidak dapat

dengan jalan halus mereka akan lakukan dengan jalan kasar,

dengan cara terang-terangan. Mereka akan bunuh pengawal- pengawal. Paduka yang diluar, mendobrak pintu dan

memancung Paduka. Kita harus selalu ingat bahwa kejahatan

itu banyak sekali pintu-pintunya. Tertutup pintu yang satu dia

akan masuk dari pintu lain! Dari itu sekali lagi Yang Mulya,

sudilah hendaknya Yang Mulya menyingkir dari sini dalam

waktu yang singkat. Kalau Paduka berada ditengah-tengah

rakyat, ditengah-tengah orang yang setia pada Paduka, bukan

saja Paduka akan terjamin keselamatannya tapi juga kita akan

bisa mengatur rencana selanjutnya...... Bagaimana?!”

“Sangat setuju sekali bapak. Malam ini juga saya akan

menyingkir dari sini!” jawab Mista, dia memandang si orang tua

seketika kemudian berkata : Tadi bapak berkata bahwa Sima

dan orang-orangnyalah yang menginginkan kematian ayahanda

dan saudara saya. Jadi merekalah yang......”.

“Benar Paduka” potong Desta. “Memang merekalah yang

membunuh almarhum baginda Rifal dan Miari!”. Kedua mata

Mista tampak membesar menyala.

“Bapak tahu dari mana?! Pasti?!” tanya Mista.

“Mulanya rahasia itu hanya samar-samar saja. Tapi tak

selang berapa lama segera bapak dan kawan-kawan berhasil

membongkarnya. Tapi selalu kami rahasiakan terhadap

Paduka. Dan kini saat untuk mengatakannya telah tiba......”

“Katakanlah, bapak! Terangkan!” kata Mista setengah

berteriak.

“Kematian pertama yang terjadi diistana semenjak Sima

menjadi istri ayah Yang Mulya adalah kematian permaisuri atau

ibu Yang Mulya sendiri. Memang beliau menutup mata untuk

selama-lamanya bukan perbuatan langsung dari Sima, tapi

karena Simalah maka sampai terjadi hal itu. Sima mengekang

ayah Yang Mulya dalam segala hal. Sima membuat permaisuri

menjadi makan hati sepanjang hari. Ketika itu tiada

tertahankan lagi, permaisuri jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Sima tahu bahwa pengganti sah dari raja adalah kakak Yang

Mulya yaitu Miari. Karena itu sebelum Miari dinobatkan


menjadi raja, maka dia harus dilenyapkan lebih dahulu, Sima

menyuruh seorang kepercayaannya untuk membunuh kakak

Paduka. Dan rencananya itu berhasil. Tapi Sima belum puas

sampai disitu. Dia telah terlalu bosan dengan ayah Yang Mulya,

karena dia mempunyai gendak-gendak yang banyak sekali.

Semuanya gagah-gagah dan masih muda-muda. Semuanya bisa

memberikan hiburan dan kepuasan pada dirinya. Sima sendiri

kemudian memasukkan racun kedalam air minum baginda.

Dan dalam tempo satu hari setelah mengalami batuk darah

akhirnya baginda menutupkan mata untuk selama-lamanya

menyusul permaisuri dan anak baginda yang tertua......”.

Mista membulatkan kedua tinjunya. Dia berdiri dan berjalan

ketepi jendela. Dadanya seperti hendak rengkah mendengar

keterangan nyata itu. “Sima dan anaknya, Sima dan orang- orangnya harus menebus dosa mereka dengan nyawa mereka

sendiri......!” desis Mista. *

* * Malam itu tanpa diketahui orang-orangnya Sima, Mista telah

menyingkir dari istana Bulungan. Untuk tidak mencurigakan,

kepada prajurit-prajurit yang selalu mengawalnya disuruhnya

tetap ditempat masing-masing. Ditengah-tengah rakyat yang

setia kepadanya. Mista dan Desta serta beberapa pemimpin

lainnya segera menyiapkan rencana penggulingan kekuasaan

itu.

Rakyat jelata yang jumlahnya sekitar delapan ratus orang itu

akan menyerang istana secara terang-terangan. Sedang dua

ratus prajurit yang berada dipihak Mista akan membobolkan

pertahanan istana dari dalam. Lima puluh orang akan

menghadapi pasukan berkuda istana. Lima puluh orang lagi

menghadapi pasukan panah dan yang seratus lainnya

bertempur menghadang prajurit-prajurit Sima yang jumlah

keseluruhannya ada sekitar seribu lima ratus orang!

Rencana telah disusun rapi. Tinggal menunggu saatnya saja

lagi. Malam itu diistana kelihatan diadakan satu pesta yang


meriah. Makanan dan minuman diedarkan tiada hentinya.

Diruang besar istana, yaitu ruang tengah diadakan

pertunjukkan tari-tarian. Gelak tawa tiada hentinya kedengaran

menyela suara bunyi-bunyian. Ketika Sima dan suaminya

masuk kedalam peraduan pada larut malam, Nisa dan para

menteri serta penjabat-pejabat istana lainnya masih

meneruskan pesta gila itu. Kemesuman yang tiada taranya

berlangsung terus semakin menjadi-jadi. Membuat orang yang

tak biasa melihat akan berdiri bulu tengkuknya menyaksikan

itu semua. Mereka seakan-akan bukan manusia-manusia lagi.

Tapi manusia-manusia yang sudah berubah menjadi binatang.

Penari-penari istana yang hampir tak menentu lagi letak

pakaian yang melekat ditubuhnya, bahkan diantaranya ada

yang sudah seperti tak berpakaian lagi, pindah dari satu tangan

ketangan lain. Paginya semua manusia itu menggeletak

diseluruh penjuru didalam istana. Ada yang sudah tidur pulas

karena letih, ada yang masih mabuk dan menggeletak dengan

mericau tak karuan. Prajurit-prajurit istanapun hampir

semuanya berada dalam keadaan seperti itu.

Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Mista dan orang- orangnya. Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya yang

gemerlapan, dari tempat rahasianya ditepi kerajaan Mista

bersama delapan ratus rakyat yang membawa segala macam

senjata seperti golok, kapak, pedang, kelewang, bambu runcing,

tombak, penggada dan lain sebagainya bergerak cepat menuju

keistana. Dalam sekejap mata istana telah dikurung dari segala

penjuru. Dua ratus prajurit pengikut Mista yang berada didalam

istana segera diberi tanda.

Sebuah panah api melayang keatas puncak istana. Itulah

tanda dimulainya penyerangan. Delapan ratus rakyat yang

bertubuh kurus-kurus bermuka cekung karena penderitaan dan

berpakaian compang-camping menyerbu dengan gegap gempita

memasuki istana. Prajurit-prajurit Sima memberikan

perlawanan hebat meskipun banyak diantara mereka yang

berada dalam keadaan setengah mabuk, letih dan lain

sebagainya. Pertahanan pintu istana sebelah muka bobol dalam

tempo sepuluh menit! Dengan melewati mayat prajurit-prajurit


Sima dan mayat kawan-kawnnya sendiri, rakyat memasuki

bagian dalam istana dengan gegap gempita


“Mana ratu?! Mana Sima! Bunuh! Gantung manusia keparat

itu!”.

“Gantung Sima dan Nisa!”

“Bakar mereka keduanya!”. Begitulah teriakan rakyat dalam

arus penyerangan itu.

Lima ratus prajurit Sima yang berada diluar istana

diantaranya seratus orang pasukan berkuda dan panah datang

memberi bantuan. Istana dikurung dan mereka menyerbu dari

belakang. Pasukan berkuda dari Mista dan pasukan panah tak


tinggal diam. Begitu pasukan-pasukan Sima mencapai

pelataran istana, satu demi satu mereka terjungkal roboh

dihantam panah dari berbagai jurusan. Pasukan berkuda dalam

keadaan penuh gugup coba memberikan perlawanan. Namun

mereka disapu bersih oleh pasukan berkuda Mista setelah

terjadi pertempuran seru yang memakan banyak korban.

Seratus orang prajurit yang berada dipihak Mista setelah

memereteli semua prajurit-prajurit yang didalam istana segera

memberi bantuan pada pasukan yang bertempur dipelataran.

Pertempuran semakin menghebat kini. Suara beradunya

senjata, suara jeritan manusia yang kena babatan pedang, yang

kena sambaran panah atau tusukan tombak serta suara teriakan

rakyat semuanya bergabung menjadi satu. Menjadi suara

gemuruh seperti air bah yang melanda istana.

Keberanian prajurit-prjurit Sima yang hanya dibayar dengan

uang serta kemewahan itu yang bukan datang dari rasa setia ter

hadap raja dan negeri luntur dengan seketika. Setelah bertahan

beberapa lamanya mereka segera didesak mundur untuk

kemudian lari tunggang langgang. Pemimpin mereka masih

berusaha untuk berteriak memberi komando : “Masuki istana

melalui jalan rahasia! Selamatkan Ratu dan Raja muda! Yang

lain-lain bakar istana cepat! Biar bangsat-bangsat itu terbakar

hidup-hidup didalamnya!” Dua ratus prajurit lari terus tanpa

menghiraukan komando pemimpin mereka. Kira-kira tujuh

puluh orang saja yang mematuhi perintah itu. Ketujuh puluh

prajurit itu dibawah pemimpin balatentara mereka segera

menuju kesatu pintu rahasia, yang lain-lainnya mulai

menghujani istana dengan panah-panah api. Didalam istana

lautan rakyat yang menegakkan kebenaran dan keadilan

bergerak dengan hebatnya sedang diatas istana diatapnya,

mengamuk lautan api!

Ketujuh puluh orang prajurit tadi sampai dimuka pintu

kamar ratu Sima. Mereka memecah menjadi dua kelompok.

Yang satu kelompok untuk menyelamatkan Sima sedang yang

lain untuk menyelamatkan Nisa. Tapi sebelum mereka bergerak

arus rakyat dan prajurit-prajurit pihaknya Mista yang dipimpin

langsung oleh Mista sendiri telah sampai ditempat itu. Tujuh


puluh prajurit dibawah satu pimpinan yang tak sudi menyerah

itu bertahan mati-matian. Namun gelombang rakyat tiada

terbendung lagi. Semua prajurit Sima menemui ajalnya. Pintu

kamar didobrak!

Saat itu Sima dan suaminya Kamia yang tertidur pulas

karena letih dan terlampau banyak minum, baru sadar akan apa

yang terjadi disekitar mereka. Keduanya meloncat turun dari

tempat tidur. Kalau Kamia hanya mengenakan celana pendek

saja maka Sima saat itu tiada selembar benangpun yang

menutupi tubuhnya. Dia coba untuk mengambil selimut guna

menutupi auratnya.

“Itu dia permaisuri bejat. Gantung!”

“Cingcang mereka keduanya! Bunuh!”.

Dari pintu membanjir masuk arus rakyat. Kamia coba

membuka jendela untuk melarikan diri sedang Sima menjerit

penuh ketakutan. Kamar itu penuh oleh rakyat jelata dan

ditengah-tengahnya Sima serta Kamia mulai menerima

pukulan-pukulan penggada, bacokan-bacokan pedang dan

golok, tusukan-tusukan tombak dan lain sebagainya. Hanya

sekejap mata tubuh kedua orang itu sudah hancur luluh tiada

berbentuk lagi. Nyawa keduanya sudah lama melayang dan

rakyat banyak masih saja melampiaskan hawa amarahnya yang

disekam selama bertahun-tahun itu. Permadani penutup lantai

yang indah berbunga-bunga, kini basah oleh darah kedua

manusia itu. Dan itulah akibat yang diterima oleh manusia

semacam keduanya.

Ketika orang banyak masih menusuk dan membacoki tubuh-

tubuh kedua orang yang sudah hancur luluh itu Mista keluar

dari kamar tersebut. Seorang kepala prajurit menemuinya dan

memberikan laporan : “Nisa ditawan hidup-hidup. Minta

keputusan terakhir dari Yang Mulya!”.

“Gantung dia dan pembesar-pembesar lainnya dihadapan

rakyat. Hari ini juga!” ujar Mista. Sesudah pertempuran selesai

dan sesudah api yang berkobar dipadamkan, maka dihadapan

mata kepala rakyat banyak digantunglah Nisa beserta dua belas

menteri-menteri dan pejabat istana lainnya yang semasa

hidupnya kerjanya tak lain dari pada berbuat mesum, gila


kemewahan dan menindas rakyat! Ya! Kalau rakyat sudah

menginginkan keadilan dan kebenaran, kalau rakyat sudah

menginginkan untuk menegakkan yang hak, maka tak satu

kekuatan apapun dikolong langit ini yang bisa

membendungnya. Semoga ini bisa menjadi contoh yang tepat

bagi pemimpin-pemimpin besar dari kerajaan dan negara

manapun juga, bahwasanya bukan saja diakhirat nanti mereka

akan dimintakan pertanggungan jawab tentang kepemimpinan

mereka, tapi didunia inipun rakyat sendiri bisa membuat

perhitungan langsung dengan mereka!

Dan pada saat berkecamuknya perang itulah Gaspar sampai

kekerajaan Bulungan. Ketika perang bersosoh dengan hebat- hebatnya dia turun dari atas pohon. Seekor kuda yang lain

dihadapannya segera dinaikinya. Dia tak peduli akan akhirnya

pertempuran gila itu. Yang penting baginya adalah

mendapatkan kuda yang besar tegap itu dan meneruskan

perjalanannya. Kalau lama-lama dia berada disana

kemungkinan besar nyawanya akan melayang pula, sekurang- kurangnya kena sambaran anak panah yang nyasar.

SEBELAS

DUA hari kemudian setelah menempuh jarak sejauh lebih

dari dua ratus kilo, setelah menyeberangi sebuah sungai

akhirnya gunung Kinibalu telah tampak dimukanya, Gaspar

merasa gembira sekali. Segala penderitaan dan segala apa yang

dialaminya selama perjalanan kini hilang pupus dari

ingatannya. Kudanya dipacunya tambah cepat. Senja hari

barulah dia berhenti disatu pedataran, Paginya dia meneruskan

perjalanan lagi. Sebelum tengah hari dia telah sampai kelereng

gunung yang menjadi tujuannya itu. Dan pertapaan guru sakti

perempuan itu yaitu Nemini ditemuinya secara mudah dan

kebetulan. Dari jauh dilihatnya kepulan asap yang samar- samar. Dia segera mendekati kepulan asap itu. Ternyata asap

tadi adalah asap yang keluar dari api dibawah sebuah periuk

tanah pemasak nasi milik Nemini sendiri!


Waktu dia datang guru sakti itu membelakanginya. Namun

Gaspar sudah maklum bahwa Nemini telah mengetahui

kedatangannya itu. Gaspar turun dari kudanya. Dihadapan

Nemini dia menjura memberi hormat. Pertapa perempuan yang

sudah lanjut usianya itu mengangkat kepalanya dan

memandang pada Gaspar, Gaspar melihat betapa wajah yang

meskipun sudah tua itu tapi masih membayang kecantikan

semasa mudanya. Rambut perempuan itu banyak putihnya dari

hitamnya namun disisir rapi dan disanggul kebelakang.

Matanya bening tapi menyorotkan sinar yang menyeramkan.

Alisnya berkeluk meruncing keujung. Bibirnya tipis panjang

dan kedua pipinya sedikit cekung. Kulitnya agak kekuningan

dan kulit mukanya penuh dengan gurat-gurat ketuaan. Gurat- gurat itulah yang membuat kecantikannya menjadi samar- samar namun tidak hilang sama sekali.

“Siapa kau yang berani datang ketempatku ini?!” tanya

Nemini dengan nada tajam meninggi.

Gaspar menjura lagi dan menjawab. “Nama saya Gaspar,

guru. Saya datang membawa kabar tentang suami guru......”

“Membawa kabar tentang suamiku?!” tanya Nemini terkejut.

Baru sekali ini ada seorang yang tak dikenal mendatangi

tempatnya dengan membawa berita dari suaminya atau

muridnya itu.

“Katakan, kabar baik atau kabar buruk?!”.

“Menyesal sekali guru...... saya membawa kabar buruk......”

“Kabar buruk!” Nemini berdiri dengan cepat. Saat itu

barulah Gaspar mengetahui kalau perempuan tua itu lebih

tinggi tubuhnya dari dia.

“Apa yang terjadi dengan dia?! Katakan lekas!” bentak

Nemini tak sabar. Hati kecilnya telah bisa menerka apa yang

telah terjadi. Tapi dia bertanya untuk memastikan.

“Suami guru telah dibunuh oleh dua orang dari suku Kayan”.

“Ampun......!” teriak Nemini. Kedua tangannya

dikepalkannya membentuk tinju. Matanya menyorot ganas

pada Gaspar. “Kau tahu dari mana?!” tanyanya kemudian.


“Saya saksikan sendiri. Bukan dia saja yang dibunuh tapi

juga kawan-kawannya. Jantra, Somaha, Tisna, Kukas dan Mali

Kodra, pemimpin saya sendiri”.

“Aku tahu mereka semua, aku tahu! Tapi suamiku......

terkutuk! Benar-benar terkutuk, mereka membunuh suamiku!

Ampun...... aku tak bisa hidup tanpa dia! Ampun......!”. Guru

sakti itu meraung dahsyat sambil memukul dadanya. Tapi tak

satu tetes air matapun yang keluar dari matanya. “Katakan!

Dimana tempat tinggal kedua manusia dajal pembunuh

suamiku itu. Katakan dimana tinggalnya!”.

“Kedatangan saya justru untuk mengatakan itu, guru. Tapi

saya harap guru suka bersabar untuk mendengarkan

keterangan lengkap dari saya. Kedua orang itu sangat sakti

sekali. Mereka adalah orang Dayak suku Kayan, Sebelum

menemui guru disini, saya telah menemui tiga orang guru-guru

lainnya, termasuk guru pemimpin saya sendiri yaitu Pakarasa.

Ketiga guru-guru sakti yang saya temui itu telah bermupakat

untuk menuntut balas atas kematian murid-murid mereka.

Mereka teiah sama menyetujui bahwa untuk menyusun rencana

pembalasan itu mereka harus berkumpul dikaki gunung Bukit

Raya sebelah timur pada bulan purnama yang akan datang ini.

Dan guru adalah orang terakhir yang saya temui......”.

Nemini menggaruk-garuk rambutnya sehingga menjadi

awut-awutan dan wajahnya kini membayangkan keseraman.

“Pembalasan...... ya, pembalasan! Aku sendiri yang akan

menghancurkan kepala kedua manusia pembunuh suamiku itu.

Akan kuhancurkan kepalanya!” Dia memandang pada Gaspar.

“Kita berangkat sekarang juga! Sekarang juga!”.

Gaspar memandang pada periuk nasi. Lalu berkata dengan

agak ragu-ragu. “Tapi...... guru...... sebaiknya dimakan dulu nasi

itu. Perut saya sangat lapar sekali”.

“Peduli amat dengan perutmu, monyet!” maki Nemini.

Dengan kaki kanannya ditendangnya periuk nasi. Periuk itu

pecah berantakan sedang nasi setengah masak didalamnia

berhamburan kesegala penjuru. Nemini melangkah cepat

memasuki sebuah gua. Itulah pertapaannya. Setengah menit

kemudian dia keluar lagi dengan membawa sebuah kantong


kain. Entah apa isi kantong itu tidaklah diketahui Gaspar. “Ayo

kita berangkat!”.

“Guru...... izinkanlah saya memberi minum kuda ini terlebih

dahulu. Kasihan dia......”.

“Beri minum cepat!”.

Gaspar menghampiri sebuah kaleng yang berisi air.

Meskipun agak kotor diberikannya juga kepada kudanya. Dan

binatang itu meminumnya sampai habis karena dahaganya.

Kemudian Gaspar naik kepunggung binatang itu. Dia menoleh

pada Nemini dan bertanya. “Guru sendiri naik apa......?”.

Nemini tidak menjawab melainkan dia memukul tubuh kuda

yang ditunggangi laki-laki itu. Ketika kuda Gaspar meloncat

dan berlari dengan cepat Nemini segera menyusul dengan

berlari! *

* * Malam itu bulan purnama empat belas hari. Senja

sebelumnya, Gaspar bersama Nemini telah sampai ditempat

pertemuan yang telah ditentukan. Ketiga guru sakti lainnya

yaitu Pakarasa, Gondola dan Surdala telah sampai lebih dahulu.

Mereka saling menjura memberi hormat pada Nemini yang

segera dibalas oleh pertapa perempuan ini. “Sudah bertahun-

tahun aku tidak bertemu dengan kalian. Pertemuan yang ini

sayang sekali dalam suasana yang berbau darah, berbau maut!

Apa rencana kalian?!” tanya Nemini.

“Kita berangkat malam ini juga dengan Gaspar sebagai

penunjuk jalan!” kata Pakarasa sambil melangkah maju satu

langkah. Kedua tangannya bersilangan diatas dadanya yang

bidang dan berbulu itu. “Besok pagi sebelum fajar kita akan

sampai keperkampungan mereka. Begitu matahari

mengeluarkan sinarnya, maka kita segera mulai. Setuju?!”

“Setuju!” jawab Nemini. Dia melontarkan satu seringai yang

menyeramkan. Pakarasa memberi isyarat pada Gaspar. Laki-

laki itu segera naik keatas kudanya. Dengan diterangi oleh

bulan purnama dimalam cerah itu maka Gaspar memacu


kudanya. Empat guru sakti mengikutinya dari belakang dengan

berlari cepat seperti angin!

Pada malam yang sama diperkampungan suku Kayan........

Dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan berdiri

bercakap-cakap diserambi depan rumah besar. Tempat sekitar

sana hampir seperti siang layaknya diterangi oleh sinar

rembulan. Langit cerah tiada berawan. Rembulan indah sekali

tampaknya. Sebuah lingkaran putih kelihatan nyata

mengelilingi puteri malam itu.

“Alangkah indahnya rembulan itu, Aditia......” kata Suwantri

perlahan sambil memandang kelangit lepas. Suaminya

mengangguk dan menjawab : “Seindah wajahmu, Wantri......”

“Hem...... untung saja kita sudah kawin. Kalau tidak...... aku

terpaksa harus berhati-hati terhadapmu, Aditia”. “Berhati-hati bagaimana...?” tanya Aditiajaya tak mengerti.

“Bila dua muda-mudi bertemu dan berkenalan dan si

pemuda sudah mulai memuji tentang paras si pemudi, maka

berarti sudah tiba saatnya si pemudi harus berhati-hati

terhadap si pemuda......”.

“Maksudmu pujian itu mengandung sesuatu?” tanya Aditia.

“Benar. Manusia bersusah payah memelihara lebah.

Gunanya apa? Tak lain untuk dapat mengambil madunya.

Begitu juga dengan manusia......”.

“Dan apakah dulu aku juga seperti itu?” tanya Aditia sambil

memeluk istrinya. Perempuan itu mengangkat bahunya. “Tanya

saja pada dirimu sendiri!”

“Kadang-kadang suatu maksud itu tidak selamanya dimulai

dengan memuji, Wantri. Kau ingat waktu dulu kau memulainya

dengan mengatakan aku kejam ketika aku meninggalkan gadis

Minangkabau itu......?”

“Hem...... kau ingat pada dia kembali, heh?! Kau rindu

padanya?!”.

“Maksudku bukan ingin mengingat gadis itu Wantri...... tapi.

Ah susah kalau bicara dengan perempuan cerdik sepertimu

ini......” kata Aditia sambil mencubit dagu perempuan itu.

“Seorang istri harus berlaku cerdik. Kalau tidak dia akan

dibuat susah oleh laki-laki atau suaminya!” ujar Suwantri pula.


Aditia memandang kebulan purnama yang besar diangkasa.

Kelihatannya dekat sekali. Seakan-akan sepejangkauan

jauhnya. “Ditanah Jawa kalau bulan purnama dilingkari oleh

gelang putih seperti saat sekarang ini, tandanya akan ada satu

per tumpahan darah disatu tempat......”.


“Takhayul!” tukas Suwantri.

“Takhayul atau tidak aku tak peduli. Yang aku katakan cuma

pendapat orang......” balas Aditia. Angin malam bertiup.

Dinginnya sampai ketulang-tulang sungsum. “Kita masuk


saja......? Dingin sekali disini......” bisik Aditia. Istrinya

mengangguk dan kedua berlalu dari tempat itu.

Kokok ayam yang pertama membangunkan Aditia dari

tidurnya. Dia mengambil kain sarung. Memandang wajah

istrinya yang masih pulas. Betapa paras perempuan itu tambah

cantik dalam keadaan tidur seperti itu. Aditia mencium kening

istrinya dan keluar dari kamar. Dia melangkah tanpa

menimbulkan suara diruang tengah rumah besar itu. Pintu

belakang dibukanya dan dia mulai menuruni tangga.

Dipancuran dibelakang rumah besar setelah mencuci muka dan

berkumur-kumur segera dia mengambil air sembahyang.

Bangun pagi bersentuhan dengan air seperti itu adalah sangat

dingin sekali bagi orang yang tak biasa. Tapi bagi Aditia dan

bagi setiap orang Islam lainnya yang telah biasa mengerjakan

hal itu setiap pagi tidaklah menjadi apa-apa. Mengambil air

sembahyang yang tengah dilakukan laki-laki itu sampai kepada

membersihkan kedua daun telinganya. Sampai disitu dia

merasakan suatu perasaan yang agak aneh, dia teringat

.mimpinya tadi malam. Dia mencuci kedua kakinya kini. Selesai

itu dia segera naik keatas rumah. Hatinya masih tidak enak

juga. Dan memang saat itu, lima pasang mata memperhatikan

Aditia tanpa berkedip. Namun suatu apapun tidak terjadi

sampai saat itu.

Aditia membentangkan tikar sembahyang dan mulai

melakukan sholat subuh. Sembahyangnya kali itupun

dirasakannya tidak khusuk seperti biasanya. Sehabis

mengucapkan salam dia membaca doa-doa suci. Suwantri

bangun, membalikkan tubuhnya kemudian perempuan itu

turun dari tempat tidur. Aditia mengantarkan istrinya pergi

mengambil air sembahyang kepancuran.

“Aneh...... perasaanku tidak enak pagi ini......!” kata Aditia

begitu Suwantri selesai sembahyang. “Tadi malam aku

bermimpi melihat guruku. Eyang Wilis. Beliau berada disatu

bukit dan aku dilereng bukit itu. Dia tersenyum padaku

kemudian berkata agar supaya aku berlaku hati-hati. Aneh......”

“Apa?! Kau bertemu dengan Eyang Wilis? Benar-benar aneh

ini jadinya! Saya juga bermimpi bertemu dengan guruku, Kiai


Ahmed Pasya! Beliau memandang padaku. Ketika aku dekati

dia menghilang. Gaib entah kemana...... Apa maknanya ini

semua......”. Aditia mengangkat bahu.

“Agaknya ada sesuatu yang bakal terjadi......” desis Suwantri.

Kokok ayam semakin riuh. Rumah besar itu yang tadinya

sunyi senyap mulai berisik oleh suara-suara penghuninya. *

* * DUA BELAS

DITIMUR langit telah kemerahan. Warna merah berubah

menjadi kekuningan dan warna kuning ini kemudian pupus

pula berganti dengan sinar putih menyegarkan. Semenit demi

semenit bola penerang dunia itu semakin naik juga meskipun

pergeserannya tiada kelihatan dan disadari oleh manusia.

Sekelompok demi sekelompok orang-orang Kayan mulai

turun dari rumah. Mereka menuju keladang dan kesawah.

Kelompok pertama berjalan sambil bercakap-cakap. Kesegaran

hawa pagi menyemarakkan percakapan itu. Mendadak orang

yang dimuka sekali menghentikan langkahnya. Seorang yang

bertubuh tinggi besar dengan bulu meliputi seluruh badannya

berdiri menghadang jalan. Empat orang tampak berdiri

dibelakangnya. Satu perempuan tua, tiga orang laki-laki. Dua

dari ketiga laki-laki itu sudah berumur.

“Kalian orang-orang Kayan?!” bentak si tinggi besar yang tak

lain adalah Pakarasa, gurunya Mali Kodra.

“Benar......” jawab orang yang ditanya. Namanya Sika.

“Semua kalian tinggal dirumah besar itu......?!” tanya

Pakarasa lagi. Sika membenarkan pula. “Kalian siapa dan ada

apa......?!”

“Tak usah banyak tanya. Minggir!”. Pakarasa melangkah

kemuka menabrak Sika hingga terpelanting sedang yang lain-

lain cepat menepi takut dilabrak. Gaspar, Nemini, Surdala dan

Gondola mengikuti dari belakang.


Dihadapan tangga besar diujung rumah Pakarasa berhenti.

Kedua tangannya terletak dipinggang. Kedua kakinya berdiri

dengan merenggang. Matanya menyorot tajam kedalam rumah.

“Dua orang pendekar sakti yang membunuh muridku Mali

Kodra, diminta supaya keluar dari dalam rumah dan

menyelesaikan perhitungan dengan aku!” Teriak Pakarasa.

Suaranya keras menggeledek membuat seluruh isi rumah besar

mendengarnya dengan jelas. Semua orang terkejut. Lebih-lebih

lagi Aditiajaya, Suwantra, Mirta dan Suwantri!

Aditia, Mirta dan Suwantra sama menuju kepintu dan berdiri

dimuka tangga. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar

dilihatnya tegak bertolak pinggang dimuka tangga sebelah

bawah. Dibelakang laki-laki itu berdiri empat orang. Mirta dan

Suwantra segera mengenali Gaspar. Begitu juga Gaspar. Gaspar

segera berbisik pada Pakarasa. “Yang berdiri paling ujung kiri

adalah salah seorang dari bangsat itu...”. Mata Pakarasa

menyorot pada Suwantra kini. Aditia dan Suwantra sudah

memaklumi bahwa laki-laki ini bukan sembarangan. Juga tiga

orang kawannya yang lain.

“Kau siapa?!” tanya Aditia pada Pakarasa.

Yang ditanya mendengus. “Kalau kau tahu peradatan

turunlah. Juga kau yang telah membunuh muridku. Mana

kawanmu yang satu lagi?!”.

“Aku sendiri orangnya......” jawab Aditia sambil melangkah

turun. Suwantra mengikuti gerakan Aditia, kemudian menyusul

Mirta.

“Kalian manusia-manusianya yang telah membunuh

muridku Mali Kodra?!”

“Benar, kami berdua yang membunuhnya! Kalian datang

mau apa?!” tanya Suwantra.

“Kau pernah dengar kalimat yang berbunyi kalau memukul

harus dipukul dan kalau membunuh harus dibunuh?!” tanya

Pakarasa.

“Jadi kalian datang untuk menyelesaikan perhitungan lama

itu? Kalian datang untuk menuntut balas”.

“Yeahh!”

“Baik! Terangkan dulu siapa kalian!” ujar Aditia.


Nemini yang sudah tak dapat menahan hatinya semenjak

tadi dengan satu gerakan cepat maju kemuka berdiri disamping

Pakarasa. “Buat apa segala percakapan dengan manusia- manusia setan ini. Kita selesaikan dia aaat ini juga. Kalian

adalah juga pembunuh-pembunuh suamiku, Luntra!”

Gerakan yang dibuat Nemini cukup mendapat perhatian

Aditia dan sekaligus dia sudah dapat mengukur bagaimana

hebatnya ilmu yang dimiliki perempuan itu.

“Perhitungan mudah diselesaikan sobat, tapi seperti kata

kawanmu tadi marilah kita pakai peradatan dalam kalangan

persilatan!” desis Suwantra.

“Baik, manusia bagus! Namaku Nemini! Luntra orang yang

kau bunuh itu adalah suamiku. Muridku! Aku datang bersama

kawan-kawanku untuk menghancurkan kepalamu berdua!”.

Gondola melangkah maju. Dia berdiri disamping Nemini.

“Aku Gondola dari gunung Niut. Datang untuk meminta

nyawa kalian berdua karena kalian telah membunuh muridku

Somaha!”.

Satu lagi meloncat kemuka. Dia adalah Surdala. “Aku

Surdala, guru dari Jantra. Kedatanganku sama dengan

kedatangan kawan-kawan yang lain. Darah dan nyawamu!”.

“Dan kau siapa?!” tanya Aditia sambil memandang pada

Gaspar.

“Dia adalah anak buah Mali Kodra. Dialah yang memberi

laporan pada kami!” jawab Pakarasa. “Sekarang beritahu siapa

nama kalian masing-masing supaya kalau kalian mampus

beberapa saat lagi akan senang hati kami!”.

Aditia menyeringai dan menjawab. “Aku Aditia dan dia

Suwantra. Yang dibelakang adalah Mirta. Puas......?!”.

Pakarasa tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Dari

jendela diatas rumah bermunculan kepala-kepala manusia.

Dihalaman juga penuh oleh orang-orang Kayan. Ayah Suwantra

hendak turun kebawah tapi segera diberi isyarat oleh anaknya

untuk tetap tinggal ditempatnya.

“Halaman ini cukup luas bukan?!” desis Pakarasa sambil

melirik pada Aditia.


“Memang cukup luas, sobat. Tapi sebelum segala sesuatunya

dimulai aku ingin bicara dulu. Kalian cuma mendapat kabar

dari laporan laki-laki itu. Tapi kalian tidak tahu apa

sesungguhnya yang telah dilakukan oleh murid-murid kalian.

Bilamana kalian mengetahuinya kelak, maka kalian akan

merasa malu untuk datang kesini. Kalian harus tahu bahwa

kami membunuh mereka bukan karena niat buruk. Tapi mereka

sendiri yang telah menentukan nasib mereka. Mereka sama

mencari mati karena mungkin segala kejahatan yang mereka

lakukan selama hidup telah sangat membosankan mereka.

Kalian adalah guru-guru sakti yang kemanapun kalian pergi

akan dihormati orang. Tapi sayang kalian mempunyai murid- murid yang berhati bukan manusia. Apa kalian tidak tahu atau

pura-pura tidak tahu bahwa murid-murid kalian itu adalah

pemimpin-pemimpin rampok yang kejam. Merampok.

membunuh, melarikan istri dan anak gadis orang, itulah kerja

murid-murid kalian. Sebagai gnru-guru dari mereka kalian

harus malu menyadari hal itu dan harus turun tangan,

Sekurang-kurangnya memberi nasehat kepada mereka agar

mereka kembali kejalan yang benar. Mempergunakan ilmu

mereka untuk kebaikan. Tapi kalian tidak melakukan satu

tindakan apapun. Kami tak ingin melihat manusia-manusia

sesama kami yang tiada berdosa mengalami penderitaan karena

murid-murid kalian. Kami tidak ingin terjadi perampokan dan

pembunuhan lebih lanjut. Kami mendatangi sarangnya Mali

Kodra pada saat saudaraku Suwantra berhasil ditawannya. Mali

Kodra mengadakan perlawanan, tapi dosanya telah terlampau

besar dan dia menemui ajalnya ditangan kami. Kebetulan saat

itu murid-murid kalian yang menjadi kawan dari Mali Kodra

hadir ditempat itu. Walau bagaimanapun kami tidak

mempunyai urusan dengan mereka. Tapi melihat kawannya

menemui ajalnya, mereka segera mengeroyok kami. Bagaimana

kalau kalian dikeroyok oleh orang-orang lain? Tidakkah kalian

akan melawan? Sekurang-kurangnya akan mem pertahankan

diri. Itulah yang terjadi dengan kami. Kami melawan dan

terpaksa mengirim mereka keneraka jahanam. Mereka mati

adalah keinginan mereka sendiri. Mati dalam dosa dan


kesalahan besar. Dan kematian mereka yang terkutuk itulah

yang hendak kalian ungkit-ungkit, hendak kalian buat

perhitungan. hendak kalian adakan pembalasan?! Kalian harus

malu. Kalian harus menyadari bahwa murid-murid kalian

berada dipihak yang salah! Dan bagi orang yang salah tiada ada

penuntutan balas macam apapun. Kalau kalian mau

menyadarinya. Tapi kalau tidak...... kukatakan pada kalian,

rumah ini adalah rumah kami, kami wajib

mempertahankannya. Tanah yang kalian injak adalah tanah

kami, kami harus mempertahankannya. Nyawa yang ada

ditubuh kami adalah nyawa kami, dan juga kami harus

mempertahankannya, kecuali kalau Tuhan tidak mengizinkan.

Kalau kalian ingin menyelesaikan perhitungan lama itu, maka

kalau kalian sudah menyadari kata-kataku tadi sesungguhnya

persoalannya sudah selesai!”.

“Ha...... ha...... sudah selesai?! Jangan bergurau dan bersilat

lidah denganku, sobat. Jangan coba putar balikkan persoalan.

Kalian telah membunuh murid-murid kami. Persoalannya jelas-

jemelas. Dan kami sebagai guru-guru mereka terlepas dari

persoalan apakah murid-murid kami salah atau benar, kami

tetap akan menuntut balas!” tukas Pakarasa.

“Persoalannya baru selesai bila kepala kalian berdua sudah

hancur lumat!” sambung Nemini. Dia melangkah mundur

kebelakang.

Aditia melirik pada Suwantra kemudian memandang

berkeliling pada orang banyak yang berada dihalaman samping

itu. Tanpa disuruh semua orang-orang itu mundur ketepi

halaman. Diantaranya ada yang masuk kekolong rumah besar.

“Selesaikanlah persoalan ini dengan jalan damai!” terdengar

teriakan dari jendela rumah. Teriakannya kepala suku Kayan

yaitu Praja Giana.

“Kalau kau orang tua ingin cara yang damai, turunlah

kebawah untuk mengantarkan nyawamu sendiri!” balas

berteriak Gondola. Sangat geram hati ayah Suwantra

mendengar tantangan itu. Tapi dia tak bergerak dari tempatnya

karena kembali Suwantra memberikan tanda agar dia tetap

ditempatnya berdiri.


Keempat guru sakti itu telah menuju ketengah halaman.

Mereka berdiri berjejeran, Aditia melirik sekali lagi pada

Suwantra. Dan satu detik kemudian kedua orang itu sama

melangkah ketengah halaman dengan langkah yang tetap tan pa

membayangkan kegentaran sama sekali.

Empat orang guru sakti sama berhadap-hadapan dengan dua

pendekar kawakan. Sampai pada saat itu tak seorangpun dari

mereka yang mengeluarkan senjata meskipun Aditia dan

Suwantra memaklumi bahwa keempat musuh itu tentu

mempunyai senjata dibalik baju masing-masing.

“Kalian tuan-tuan rumah, mulailah!” kata Pakarasa.

“Kami cukup tahu peradatan, sobat. Kalian tamu-tamu

silahkan lebih dahulu! balas Aditia.

Pakarasa yang berdiri diujung paling kanan melangkah

enteng kemuka. Kedua tangannya tergantuag lemah dikedua

sisinya. Tiba-tiba tangan kanan Pakarasa bergerak cepat kearah

Aditia. Sambaran angin yang sangat keras menyambar kedada

laki-laki itu. Murid Eyang Wilis meloncat kesamping sambil

melambaikan tangan kirinya. Pakarasa terkejut. Tak sangka

tenaga dalam lawannya yang tingginya cuma sampai kebahunya

itu hebat sekali. Cepat-cepat dia menghindarkar diri. Gerakan

pertama dari kedua orang itu berarti telah memulai jurus

pertama dari rentetan jurus-jurus panjang dari pertempuran

yang hebat itu! *

* * TIGA BELAS

EMPAT guru sakti sama bergerak cepat mengurung dua

pendekar ditengah-tengah. Pertempuran dimulai dengan

tangan kosong tanpa senjata sama sekali. Tapi tangan-tangan

dari keenam jago-jago itu yang bergerak kian kemari tidak sama

dengan gerakan tangan biasa. Tiap gerakan, tiap lambaian

adalah satu pukulan tenaga dalam yang telah sampai

kepuncaknya, yang kalau manusia biasa menerimanya pasti


akan roboh dengan seketika dalam keadaan terluka hebat tubuh

bagian dalamnya.

Satu sosok tubuh meloncat turun dari atas tangga rumah

besar dan langsung menuju kegelanggang pertempuran.

Suwantra dan Aditia sama terkejut. “Wantri! Jangan dekati

tempat ini, pergi!” teriak Aditia ketika dia mengetahui bahwa

orang itu tak lain istrinya adanya. Tapi Suwantri tak

mengindahkan. Dia masuk kegelanggang pertempuran itu dan

mulai turun tangan membantu kedua pendekar tersebut.

“Suwantri! Kataku tinggalkan tempat ini. Ini bukan

urusanmu!” teriak Suwantra sambil mengelakkan pukulan

tangan kanan Gondola yang datang cepat kearah ketiaknya.

Suwantri tetap tak mau mendengar. Dia semakin maju. Yang

didekatinya adalah Nemini.

“He...... he...... bagus! Ada perempuan cantik yang sudi

mengantarkan nyawanya. Rohmu cukup baik untuk duduk

disamping roh murid-murid kawan-kawanku! Mari maju!” ejek

Nemini sambil menggeser kedua kakinya dan meloncat cepat

dengan kedua tangan terkambang kearah lawannya. Suwantri

merubah kuda-kudanya. Kaki kanannya naik keatas sedang kaki

kirinya menjejak tanah. Jadi sambil mengelak kesamping dia

mengirimkan satu tendangan kedada perempuan tua itu. Tak

terduga Nemini merubah gerakannya. Tubuhnya melayang satu

tombak keudara. Kedua tangannya hendak menangkap kaki

kanan Suwantri. Istri murid Eyang Wilis cepat melambaikan

tangan kirinya. Nemini yang tak menduga bahwa lawannya

memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya tidak

mengacuhkan gerakan tersebut. Tapi dia jadi terkejut ketika

sambaran angin yang dingin menghantam kedua pergelangan

lengannya. Beberapa detik lamanya dia merasakan tangannya

itu seperti es sebelum dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk

menolak bahaya yang lebih besar. Dengan demikian terlibatlah

Suwantri dalam perkelahian seru itu. Kini empat guru sakti

mengeroyok tiga pendekar-pendekar muda.

Pakarasa, Gondola dan Surdala berusaha mengurung kedua

lawannya dari tiga jurusan. Tapi maksud mereka itu selalu

gagal. Aditia dan juga Suwantra cukup maklum bahwa dalam


pertempuran yang memakai tangan kosong dan mengerahkan

tenaga-tenaga dalam yang dahsyat adalah agak berbahaya kalau

menghadapi lawan dengan bertolak bahu saling membelakangi

sesama kawan. Karena itu setiap Gondola, atau Surdala

meloncat kesamping kiri atau kanan, mulai hendak mengurung.

Aditia dan Suwantra lekas menyapu gerakan lawan-lawan

tersebut sehingga ketiga guru sakti itu terpaksa menghadapi

lawannya dari muka terus.

Gondola berada disamping kiri kini sedang Surdala

disamping kanan. Jasi Pakarasa sendiri berada ditengah-

tengah. Ketiga orang itu mendesak Aditia dan Suwantra, Kedua


pendekar bertahan dengan gigih dan balas menyerang. Tubuh

Gondola yang kurus seakan-akan tinggal kulit pembalut tulang

itu berkelebat cepat kian kemari. Kedua tangannya yang dikepal

berbentuk tinju menari-nari kian kemari. Tubuh dan gerakan

tangannya, menimbulkan angin yang keras. Begitu juga

Pakarasa. Meskipun tubuhnya besar tinggi namun gerakannya

enteng dan cepat luar biasa. Karena keadaannya yang tinggi itu

dia lebih sering melakukan serangan yang datang dari atas.

Berkali-kali Suwantra dan Aditia terpaksa merunduk

menghindari pukulan-pukulan yang membahayakan dari

Pakarasa itu. Orang ketiga yaitu Surdala, guru sakti yang

bertubuh gemuk pendek, gerakannya tidak kalah dengan

kehebatan gerak kawan-kawannya. Tubuhnya yang gemuk serta

pendek itu melambung kian kemari seperti bola. Sedang

tangannya senantiasa mencari sasaran disetiap tubuh

lawannya.

Aditia dan Suwantra berusaha keras membendung semua

serangan yang dilancarkan musuh-musuhnya itu. Tiba-tiba

dengan satu jerit dahsyat menggetarkan bulu roma Pakarasa

menjatuhkan dirinya ketanah. Tubuhnya kemudian berguling

cepat di tanah. Kedua tangan menghantam keperut bagian

bawah dari Aditia sedang kedua kaki kebawah perut Suwantra!

Serangan yang sungguh hebat ini untung dengan cepat dapat

dielakkan oleh kedua pendekar itu dengan sama-sama meloncat

keudara. Tapi bersamaan dengan itu pula datang serangan

Gondola kearah Aditia dan Surdala kearah Suwantra!

Murid Eyang Wilis melipat kedua lututnya. Sedang tangan

kanannya dihantamkannya kepangkal leher Gondola. Gondola

yang juga maklum kehebatan lawan cepat meloncat mundur

kebelakang sambil memukulkan tangan kirinya. Pukulan tenaga

dalam yang datang dari tangan kiri Gondola ditangkis dengan

lambaian tangan kiri pula. Kedua tenaga dalam mereka saling

bentrokan, Gondola terhuyung-huyung kebelakang. Aditia

sendiri sebelum tubuhnya dibuat bergetar oleh tenaga dalam

lawan cepat-cepat mengelak kesamping dan dengan kecepatan

yang luar biasa maju menyerang kembali. Saat itu Gondola baru

saja mengimbangi dirinya kembali. Serangan Aditia


ditangkisnya dengan lengan kiri sambil kakinya menggeser

kesamping. Aditia yang ingin tahu kekuatan guru sakti itu

mengerahkan tenaga dalamnya untuk membentengi tubuh dan

pukulan tangan kanannya tidak ditariknya sama sekali. Tinju

kanan Aditia beradu keras dengan lengan kiri Gondola!

Gondola terdorong dua langkah kebelakang, Kulit lengannya

yang keriputan dan tipis sekali itu tampak kemerah-merahan.

Tinju kanan Aditia juga tampak memerah. Untuk pertama

kalinya Gondola menjadi terkejut. Tubuhnya bergetar karena

pukulan Aditia tadi dan juga bergetar karena geram. Dengan

membentak nyaring dia meloncati Aditia. Kaki kanannya

melayang kedada. Murid Eyang Wilis memiringkan tubuhnya

sambil coba untuk menolak pinggul orang tua yang kurus itu.

Tapi Gondola lebih cepat memutar tubuhnya dan mengirimkan

pukulan yang amat deras kekepala Aditia. Aditia tidak

mengelak melainkan memukul tinju kanan lawannya dengan

tinju kanan pula! Kedua tinju beradu dengan menimbulkan

suara keras. Dan kedua orang itu sama-sama mental

kebelakang sejauh satu tombak. Namun si guru sakti

memaklumi bahwa tenaga dalam lawannya lebih tinggi dari

tenaga dalamnya sendiri. Kalau lawannya mengerahkan

keseluruhan kekuatan tenaga dalamnya maka sudah dapat

dipastikan bahwa dia akan mengalami celaka. Diam-diam

Gondola mengagumi kehebatan ilmu lawannya yang masih

sangat muda itu.

Ketika Aditia diserang oleh Gondola dalam meloncat

menghindari serangan dahsyat dari Pakarasa, maka pada saat

yang sama Suwantrapun diserang oleh si gemuk pendek

Surdala. Guru sakti ini mengirimkan kedua tinjunya dengan

sekaligus. Tinju kanan mengarah dada kiri sedang tinju kiri ke

tengah perut. Suwantra membuang diri kesamping. Pukulan

yang kearah dada lewat sedang tinju lawan yang menuju

keperutnya ditangkis dengan lutut kiri. Surdala menarik pulang

tangan kirinya dengan cepat. Tinju kanannya kembali

melayang. Kini mengarah keleher lawanniy. Suwantra

merunduk cepat sambil mengirimkan tendangan dari kaki kiri

yang tadi dilipatkannya. Sekali lagi terpaksa Surdala menarik


pulang tangannya dan mundur kebelakang. Suwantra tak

memberi kesempatan dia memburu terus. Tapi lawannya

dengan cepat dapat mempersiapkan diri. Ketika kedua tinju

Suwantra datang kedadanya. Surdala memukul kedua lengan

laki-laki itu. Suwantra terhuyung-huyung kemuka dengan

menahan sakit pada lengannya. Kesempatan ini dipergunakan

oleh Surdala untuk menghantamkan tempurung lututnya

kebawah perut lawan. Suwantra meloncat keatas. Lutut Surdala

lewat diantara selangkangannya. Guru sakti itu membuka

lipatan lututnya dan menghantamkannya ketulang belakang

Suwantra. Namun tendangan itu tidak mengenai sasaran

karena tubuh Suwantra sudah berada demikian tingginya.

Akibat tendangan yang tak mengenai sasaran, si gemuk pendek

kehilangan keseimbangan diri. Dia coba meloncat kebelakang

tapi tinju kanan Suwantra tinggal beberapa senti saja lagi

dimuka hidungnya!

Surdala tahu, sekalipun dia memiringkan kepalanya atau

merunduk namun tinju lawan tetap akan bersarang dimukanya.

Karena itu sambil memiringkan kepala dia juga mengirimkan

pukulan tepi tangan kiri kekepala lawan. Karena dia

memiringkan kepalanya maka arah tinju Suwantra kini menjadi

kemulutnya. Tinju dan mulut beradu keras..Setengah detik

sesudah itu tangan kiri Surdala juga menghantam pelipis

lawannya. Surdala menyeringit kesakitan. Bibirnya yang kena

terpukul pecah-pecah dan mengeluarkan darah. Dia

terjerongkong kebelakang. Tangan kirinya yang tadi

menghantam pelipis lawannya juga terasa sakit karena

Suwantra yang tidak mengelakkan sambaran tepi tangan

lawannya itu diam-diam mengerahkan ilmu ‘remuk-kermuk’

yang terdapat dikepalanya sehingga mengakibatkan tangan kiri

Surdala menjadi sangat sakit. Kalau orang biasa yang memukul

kepala Suwantra itu bukan saja kullt tangannya akan lecet, tapi

mungkin sekali tulang-tulang tangannya akan hancur remuk.

Guru sakti itu mundur dua langkah kebelakang. Dia mengatur

jalan nafasnya dan mengerahkan tenaga dalamnya kedua

tempat. Yang pertama kekepalanya dan yang kedua ketangan

kirinya yang menderita itu.


Surdala merasakan mulutnya asin karena darah yang keluar

dari bibirnya yang pecah-pecah. Dia, maju kembali. Mulutnya

komat-kamit. Suwantra menyangka bahwa lawannya itu tengah

membaca satu mantera kesakitan tapi tak sangka kiranya

lawannya itu tengah mengulum-ngulum ludah yang bercampur

darah. Dalam jarak dua langkah tiba-tiba Surdala

menyemburkan ludah yang bercampur darah itu kemuka

lawannya. Suwantra cukup maklum dengan ilmu ludah seperti

itu. Dia cepat menghindarkan diri. Mukanya selamat tapi

bajunya yang kena cipratan sambaran tetesan ludah lawannya

tak urung menjadi bolong!

Dan nada saat itulah Pakarasa yang gagal dalam serangan

hebatnya tadi berdiri kembali. Dia menyerang dari belakang,

kearah Aditia. Aditia yang mendengar sambaran angin yang

deras dibelakangnya sudah maklum. Pada saat itu dia tengah

menghadapi Gondola yang sedang melancarkan serangan

berantai. Murid Eyang Wilis segera menjalankan sapunya.

Sebelum pukulan tangan kanan Pakarasa menghantam pangkal

tengkuknya, dengan cepat dia menjatuhkan diri kebawah lalu

seperti kodok layaknya meloncat kesamping. Tinju kanan

Pakarasa yang mengenai tempat kosong kini menghantam

kejurusan kawannya sendiri yaitu kejurusan Gondola yang

dimukanya. Meskipun tinju kanan Pakarasa itu tidak mengenai

kepala Gondola, tapi tenaga dalamnya yang datang dari tinju itu

cukup membahayakan lawannya sendiri.

Dengan memaki, “Gila!”. Gondola membanting diri

kesamping untuk menghindarkan pukulan yang nyasar itu.

“Ha...... ha...... belum apa-apa kau sudah mau mencelakai

kawan sendiri sobat” ejek Aditia. Saat itu dia sudah berdiri

kembali. Mendengar ejekan itu hati Gondola dan Pakarasa

menjadi panas. Keduanya maju dengan serentak, menyerang

Aditia dari dua jurusan, Murid Eyang Wilis bergerak cepat.

Kedua penyerangnya juga mempercepat gerakan mereka. Tiga

tubuh saling berkelebat seperti bayang-bayang dan Aditia

terkurung ditengah! Ketika gerakan ketiga orang itu sudah

sampai kepuncak kecepatannya, tiba-tiba Aditia meluncur

kebawah tanpa diketahui lawannya dan tahu-tahu dia sudah


berada dibelakang Pakarasa! Pakarasa dan Gondola sadar

bahwa dia telah kena ditipu. Dengan cepat guru itu

menghentikan gerakannya pula. Dimuka sana Aditia berdiri

dengan menyeringai. “Ya...... kau bisa tertawa sekarang, bung! Tapi sebentar lagi

roh busukmu akan sampai keneraka!” rutuk Pakarasa. Dia

menyerang kembali begitu juga Gondola. Tangan kiri Pakarasa

kelihatannya mencari sasaran dibawah ketiak lawannya. Ketika

Aditia hendak mengelak mendadak tinju lawannya berobah

arah kebawah perutnya. Masih ada kesempatan bagi Aditia

untuk mengelak. Namun dia cuma mengangkat lutut kirinya.

Kedua tangannya kemudian bergerak kemuka dada Pakarasa.

Tiga jengkal sebelum sampai kedada lawannya, Pakarasa telah

menggerakkan tangannya untuk menangkis, dan pada saat itu

pula kedua tinju Aditia berpisah memencar. Tinju kanan

kedagu Pakarasa sedang tinju kiri kearah lambung. Guru sakti

yang bertubuh tinggi besar itu memiringkan kepalanya sedang

tangan kanannya bergerak cepat menyapu lengan kiri Aditia.

Aditia menarik lengan kirinya dengan cepat sedang jari-jari

tangan kanannya kini terbuka, dan dengan satu bentakan keras

dia meloncat kesamping, Pakarasa meraung keras. Apa yang

terjadi? Jari-jari tangan Aditia berhasil merenggutkan bulu

dada laki-laki itu. Dada Pakarasa berkelukuran darah dan perih.

Dia menyumpah-nyumpah tiada hentinya, Aditia hanya

senyum-senyum saja dan satu kesalahan murid Eyang Wilis ini

karena asyik melihat lawannya menggerutu dengan mimik yang

lucu dia jadi bertindak sedikit lengah. Walaupun dia dapat

melihat serangan licik yang datang dari arah samping,

dilancarkan oleh Gondola namun dia agak terlambat untuk

mengelakkannya. Jotosan tangan kanan si guru kerempeng

bersarang dibahunya, bukan main sakitnya. Aditia miring

doyong kekiri. “Rasakan!” ejek Gondola dengan menyeringai

buruk. Sambil mengimbangi diri dan memperhatikan

kedudukan Pakarasa, Aditia menggerakkan tangan kirinya, Saat

itu mulut Gondola masih terbuka dalam keadaan menyeringai

senang karena berhasil menghantam lawannya. Bulu-bulu dada

Pakarasa yang masih ada dalam tangan kiri Aditia melayang


cepat kemuka Gondola. Gondola merunduk namun salah satu

dari bulu-bulu dada itu masih sempat memasuki mulutnya dan

menempel dilangit-langit dekat anak lidahnya. Gondola jadi

batuk-batuk. Air ludahnya yang membuih muncrat keluar dari

mulutnya. Sambil terbatuk-batuk dia memaki juga. Namun

bulu dada Pakarasa itu agaknya senang pula bersemayam

dalam mulut Gondola. Setelah perutnya hampir muak hendak

muntah, barulah bulu celaka itu berhasil dikeluarkannya. *

* * Mari kita perhatikan perang tanding antara dua orang

perempuan yang satu tua dan yang satu muda disamping

halaman sebelah kiri. Nemini yang tubuhnya lebih tinggi dari

Suwantri namun kalah kekar bergerak sangat cepat. Dari

mulutnya keluar suara seperti tawon membuat rumah. Entah

dia tengah membaca aji kesaktian atau mantera tak tahulah

Suwantri. Tapi gadis itu senantiasa bersikap waspada dan hati- hati. Langkah dan geraknya diukurnya benar-benar. Dia

maklum bahwa lawannya adalah bukan sembang lawan. Lawan

yang punya kesaktian tinggi dan yang punya tekad bulat untuk

menuntut balas atas kematian suami atau muridnya.

Satu kali gerakan Nemini tampaknya aneh sekali bagi

Suwantri. Guru sakti itu bergerak mencak-mencak seperti

monyet terbakar ekor. Tapi satu hal yang dilihat oleh Suwantri,

gerakan yang tampaknya seakan-akan tak teratur itu adalah

sangat berbahaya sekali. Ketika memasuki jurus keempat tiba-

tiba Nemini melengking keras. Semua mata orang-orang ditepi

gelanggang pertempuran ditujukan kepada Nemini. Perempuan

tua itu meloncat kemuka. Tubuhnya seperti terbang. Tangan

kirinya meluncur cepat keperut lawan sedang tangan kanan

dengan jari-jari terbuka coba hendak menjambak rambut

Suwantri. Untung saja Suwantri turun kegelanggang

pertempuran dengan memakai celana laki-laki. Kalau dia masih

memakai kain maka adalah mustahil baginya untuk menangkis

serangan yang datang kearah perutnya itu dengan jalan



mengangkat lutut. Begitulah, Suwantri mengangkat lututnya

keatas melindungi perutnya. Bersamaan dengan itu pula dia

merunduk. Kemudian dengan satu gerakan cepat dia meloncat

kesamping. Rupanya lawannya telah memperhitungkan

gerakannya itu karena pada saat dia meloncat, Nemini

menyusul melompat sambil mengirimkan serangan gencar.

Tangan kanan mengarah dada sedang sambil menyingsingkan

tepi kain dengan tangan kiri maka Nemini menggerakkan kaki

kirinya menendang keperut lawan. Muka Suwantri menjadi

merah karena melihat serangan yang ditujukan kearah dadanya

itu. Untung saja yang menjadi lawannya adalah kaum

sejenisnya sehingga dia bisa menganggap bahwa serangan itu

bukanlah untuk maksud yang kotor. Sekali lagi Suwantri

meloncat sambil merunduk, namun tak urung ujung jari

lawannya masih sempat menyambar sanggulnya. Gelung

sanggul perempuan itu terlepas dan rambutnya terurai.

Suwantri menjadi panas. Tanpa mengacuhkan rambutnya yang

terurai itu dia menyerang kemuka dengan dahsyat. Kaki

kanannya mencari sasaran ditulang iga sebelah kiri Nemini

sedang kedua jari-jari tangannya seperti hendak mencengkeram

muka perempuan tua itu. Nemini tidak bodoh. Dia meloncat

mundur satu langkah kebelakang sambil melambaikan

tangannya mengirimkan pukulan tenaga dalam kemuka

Suwantri. Suwantri mengerahkan ilmu ‘remuk-kermuk’ yang

didapatnya dari gurunya. Pukulan tenaga dalam Nemini tiada

mampu melukai lawannya bahkan sebaliknya tenaga dalamnya

itu berbalik menyambar tubuhnya, si guru sakti segera

meloncat kesamping dengan cepat.

Aditia yang memperhatikan pertempuran antara istrinya

dengan Nemini dengan sudut matanya segera berteriak.

“Wantri! Gelung rambutmu cepat!”. Suwantri baru sadar betapa

bahayanya keadaan dirinya dalam keadaan rambut terurai lepas

seperti itu. Kalau saja lawannya berhasil mencekal dan

menjambak rambutnya itu maka akan celakalah dia. Dengan

gerakan yang cepat kedua tangannya, segera menggelung

rambutnya membentuk sanggul kembali.


Nemini maju selangkah demi selangkah. Matanya menyorot

ganas kepada perempuan muda yang menjadi lawannya.

Mulutnya komat-kamit. Suwantri balas menantang pandangan

itu. Mendadak dia merasakan tubuhnya, menjadi gemetar.

Matanya menjadi perih. Cepat dia mengerahkan tenaga

dalamnya. Kini dia tahu bahwa lawannya tengah mengirimkan

satu serangan ilmu hitam kepadanya. Suwantri juga mulai

membaca manteraa dan aji kesaktian yang dimilikinya.

Matanya tanpa berkedip terus menantang lawannya. Kekuatan

ilmu dalam mereka kini saling beradu, Nemini merasakan

bagaimana kekuatan ilmunya perlahan-lahan mulai berkurang

dan akhirnya punah sama sekali, Bersamaan dengan gagalnya

ilmu hitamnya itu Nemini meloncat kemuka. Dan kedua orang

itu kini sama bergerak cepat kembali. Elak-mengelak, serang- menyerang silih berganti. Jurus kelima dan keenam serta

ketujuh berlalu penuh keseruan. Memasuki jurus kedelapan

Suwantri mulai membendung serangan-serangan lawannya.

Tubuhnya yang ramping itu berkelebat cepat seperti bayang- bayang. Nemini sendiri hampir tak bisa mempercayai bahwa

ada seorang perempuan lain didunia ini, yang masih muda pula

dan sanggup menandinginya. Sebelumnya dia tak pernah

berhadapan dengan musuh sejenisnya. Setiap musuh laki-

lakinya selalu kewalahan. Ada yang disikatnya sampai menemui

ajal, ada yang disapunya sampai cacat untuk selama-lamanya

dan ada pula yang melarikan diri sebelum dikalahkannya. Dan

kini dalam menghadapi perempuan sejenisnya dia mulai

dibikin terdesak!

Ketika Nemini mempercepat gerakannya. Suwantri merubah

cara berkelahinya. Gerakannya diperlambat. Tubuhnya seakan- akan seperti tengah menarikan satu tarian yang lemah gemulal.

Tapi matanya tiada lepas menyorot memandang lawannya.

Tampaknya gerakan yang dibuat oleh perempuan itu sangat

berbahaya sekali dan menguntungkan lawan. Dan Nemini juga

menduga demikian. Tinju kanannya menyerang kelambung

Suwantri. Dengan gerakan yang lemah gemulai Suwantri

mengelak. Nemini cepat merubah arah pukulannya sambil

melayangkan jotosan tangan kebawah ketiak kanan lawan. Dan


pada saat itulah gerakan Suwantri tiba-tiba menjadi berubah

cepat. Sangat cepat luar biasa! Nemini terkejut. Dia merasakan

tangan kirinya bentrokan dengan tangan kanan lawan,

membuat tangannya tergetar. Sebelum dia sempat meloncat

kesamping kaki kanan Suwantri telah menghantam pangkal

pahanya. Nemini menggeram menahan sakit. Tubuhnya

terdorong keras kesamping. Dia hampir roboh ke tanah kalau

tidak cepat mengimbangi diri.

“Perempuan celaka!” maki Nemini. “Kupecahkan kepalamu!”

Dia melesat kemuka. Gerakannya sungguh mendebarkan dada.

Seluruh kepandaian silat dan tenaga dalamnya dikeluarkannya.

Dalam setengah jurus saja Suwantri kini mulai terdesak. Dua

kali perempuan itu terjerongkong kebelakang kena pukulan

Nemini. Kalau saja tenaga dalam Suwantri tidak sampai

kepuncaknya tentu dia sudah terluka hebat tubuh bagian

dalamnya.

“Perempuan tua, kepalamu yang akan kupecahkan!” bentak

Suwantri detik itu juga permainan silatnya berubah. Tubuhnya

tidak lagi berkelebat kian kemari, tapi kini naik turun dengan

cepatnya sedang dalam setiap gerakan itu kedua lututnya selalu

dilipatnya sehingga tiada memungkinkan bagi lawan untuk

mencelakai perutnya sampai kebagian bawah tubuhnya. Kedua

tangan Suwantri berubah seakan-akan puluhan buah

banyaknya. Dan tangan-tangan itu mengurung Nemini dari

sebelah muka, samping kiri dan samping kanan. Tiga kali

Nemini kena dipukul oleh Suwantri dengan cuma bisa

membalas satu kali yang bagi Suwantri pukulan tersebut adalah

tidak berarti, Nemini semakin terdesak. Sambil mundur guru

sakti itu komat-kamit mulutnya membaca jampi-jampi. Tangan

kanannya senantiasa diangkatnya keatas dengan telapak tangan

mengarah kemuka. Nemini mundur terus. Suwantri maju

memburu musuhnya itu dengan sudut matanya melihat

bagaimana dari telapak tangan Nemini keluar asap hijau. Asap

itu semakin lama semakin tebal dan bergulung-gulung.

Perlahan-lahan dari asap yang tak tentu rupa kini berubah

menjadi seperti ular. Beberapa saat kemudian asap itu benar

berubah menjadi seekor ular hijau berkepala dua yang sangat


besar dan mengerikan. Orang-orang perempuan tak terkecuali

orang-orang laki-lakinya yang berdiri menyaksikan perkelahian

itu ditepi halaman pada menjerit ketakutan dan menjauhkan

diri.

Ular hijau berkepala dua itu membuka mulutnya yang lebar.

Sambil menunjuk dengan tangan kirinia kepada Suwantri,

Nemini berteriak memerintah ular ciptaannya. “Bunuh,

perempuan celaka itu!”.

Dengan serta merta ular kepala dua tadi menyerang

Suwantri. Dari masing-masing mulutnya keluar sinar hijau yang

menyilaukan menyambar kearah leher dan muka Suwantri.

Perempuan itu meloncat cepat kesamping. Serangan lewat.

“Kejar terus!” bentak Nemini pada ularnya. Sang ular

mengejar Suwantri kembali. Suwantri tidak tinggal diam kini.

Kedua tangannya dibentangkannya keatas mulutnya juga

komat-kamit membaca aji kesaktian. Sedang aji ‘remuk- kermuk’ telah lama disiapkannya. Ketika ular kepala dua datang

menyerangnya dari muka kembali sebelum binatang jadi-jadian

itu memuntahkan sinar mautnya. Suwantri telah menangkap

kedua kepalanya. Ular jadi-jadian itu menggolet-goletkan

ekornya berusaha untuk melepaskan cekalan Suwantri, tapi tak

berhasil. Dengan satu bentakan keras Suwantri menarik kedua

kepala ular itu kearah yang berlawanan. Kepala binatang itu

terpisah satu sama lain, tapi pada detik itu juga binatang jadi-

jadian ini segera berubah menjadi asap hijau lagi. Suwantri

meniup asap hijau itu. Asap tersebut menyerang kearah

Nemini. Nemini menurunkan telapak tangan kanannya dan

dengan serta merta asap tadi menghilang.

“Bagus...... bagus...... bagus! Kau memang sakti. Tapi mari

buktikan lebih lanjut, apa kau bisa menyelamatkan mukamu

yang cantik itu dari senjataku ini!”

Nemini mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik

punggungnya. Sebuah gagang besi ditariknya keluar. Gagang

besi itu berhubungan dengan sebuah rantai besi dan ketika

ujung rantai besi itu sampai diluar maka tersembullah sebuah

tengkorak kepala manusia yang dicantolkan pada ujung rantai

besi itu.


Suwantri dan orang-orang yang berada disekitar situ menjadi

terkejut ketika melihat senjata si guru sakti itu. Tengkorak

manusia dijadikan senjata yang dikaitkan pada rantai besi!

Bayangkan!

“Ha...... ha...... ha......! Kalau kau punya Tuhan, minta

ampunlah atas segara dosa-dosamu yang pernah kau buat

didunia ini karena sebentar lagi senjata ini akan

menghancurkan kepalamu!” kata Nemini dengan menyeringai

buruk. Mukanya kini membayangkan kekejaman yang amat

sangat!

Mirta yang berdiri dekat tangga rumah menyaksikan

pertempuran hebat itu sesungguhnya tiada tahan hati untuk

maju kegelanggang bersama Aditia, Suwantra dan Suwantri.

Namun dia memaklumi bahwa yang menjadi lawan mereka saat

itu bukan sembarang orang. Guru-guru sakti yang kehebatan

dari murid-muridnya telah disaksikan oleh Mirta waktu

pertempuran disarangnya Mali Kodra tempo hari. Dia sadar

bahwa dia tak bisa menandingi guru-guru sakti itu.

Kepandaiannya sangat rendah sekali. Jangankan terpukul, kena

sambaran angin tenaga dalam sajapun mungkin dia sudah

roboh dan mati konyol! Mirta melayangkan pandangan

berkeliling. Orang2-orang sesukunya yang berdiri jauh ditepi

halaman tampak menyaksikan pertempuran itu dengan mimik

yang berlainan. Jauh terpisah dari deretan orang-orang Kayan

dilihatnya berdiri seorang laki-laki dibawah pohon pisang.

Gaspar!

Seringai bermain dibibir Mirta. “Inilah lawanku...... mengapa

aku melupakan dia sejak tadi?!”. Pemuda itu menyesalkan

dirinya. Perlahan-lahan dia meninggalkan tempat itu dan

berjalan mendekati Gaspar. Gaspar yang juga asyik melihat

pertempuran tersebut dan merasa yakin bahwa keempat guru- guru sakti itu akan keluar sebagai pemenang tiada mengetahui

kedatangan Mirta yang muncul dari belakang. Mirta menepuk

bahu Gaspar. Laki-laki itu menoleh dengan terkejut.

“Kau......!”

“Ya, aku! Masih ingat kisah lama dikedai di Srimbilan...?!”

tanya Mirta dengan nada mengejek dan setengah menantang.


“Bagus! Kau sendiri datang untuk mengingatkan hal itu

padaku, bagus! Tapi tahukah kau, sobat bahwa peringatan itu

juga berarti pemberitahuan bahwa ajalmu akan sampai tak

lama lagi?!”

“Ah...... jangan terlampau sombong, bung, Kau bukan Yang

Maha Kuasa yang bisa menentukan hidup mati seorang!” tukas

Mirta.

“Untuk itu mari kita buktikan!” jawab Gaspar sambil

mencabut goloknya.


“Baik, sobat! Aku akan merasa senang sekali kalau melihat

golokku ini menebas batang lehermu nanti. Engkaulah yang


menjadi biang keladi sampai terjadinya pertempuran disitu!”

Mirta mundur satu langkah. Goloknya juga sudah tergenggam

ditangan kanannya. Kedua musuh lama itu melangkah

berputar-putar. Sambil berputar keduanya medekat juga.

Gaspar mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Mirta menunggu

dengan waspada. Keduanya berputaran lagi satu kali. Golok

yang ditangan Gaspar tiba-tiba membabat kebawah dengan

cepat tapi serangan pembukaan itu dapat dielakkan dengan

mudah oleh Mirta. Keduanya berputaran lagi, intai mengintai

kelengahan pihak lawan. Keduanya semakin dekat, semakin

dekat. Dan untuk kedua kalinya Gaspar membuka serangan.

Goloknya melayang kedada Mirta. Mirta menggeser letak

kakinya kebelakang. Begitu golok lawan lewat dia mengirimkan

sera ngan balasan kearah lambung. Gaspar meloncat dengan

sigap tapi lawannya kembali memburu dan mengirimkan dua

serangan berantai. Yang satu kearah dada dan yang kedua

kearah bahu kanan. Serangan yang mula-mula dielakkan oleh

Gaspar sedang yang mengarah bahu ditangkisnya dengan

senjatanya. Kedua golok sama beradu dengan menimbulkan

suara berdentang. Mata orang banyak mulai dibagi untuk

menyaksikan pertempuran antara kedua laki-laki itu.

Sebelum lawannya dapat memasang kuda-kuda baru, Mirta

terus menghujani Gaspar dengan serangan yang bertubi-tubi.

Satu hal yang menguntungkan lawannya adalah bahwa dia tidak

gugup. Dengan tenang Gaspar mengelak dan menangkis setiap

hantaman golok Mirta. Kedua orang itu sama-sama seimbang

tampaknya. Namun ketika jarinya terserempet senjata lawan

dan berdarah, ketenangan Gaspar menjadi lenyap. Amarahnya

kini menjadi meluap dan meskipun serangannya sangat hebat

sekali namun serangan itu tiada mempunyai perhitungan sama

sekali. Serangan-serangan yang dilancarkan dengan nafsu

amarah! Mirta sambil bertahan menjalankan taktik juga. Setiap

saat dari mulutnya keluar ejekan-ejekan yang semakin

memanaskan lawannya, Akhirnya permainan silat dan ilmu

golok Gaspar menjadi kacau, dikacaukan oleh amarah. Dan

kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu oleh Mirta. Sesudah

bertahan dalam jurus ketiga sampai keenam maka memasuki


jurus ketujuh dia membuka serangan balasan. Gaspar gugup.

Cara-cara bertahan yang wajar dilupakannya sama sekali. Dia

bertahan sambil coba juga untuk mendcsak lawan, namun

gagal. Dia dibuat mundur terus oleh Mirta. Langkahnya terhenti

ketika tubuhnya membentur pohon pisang dibelakangnya.

Gaspar hendak melompat kesamping namun serangan gencar

dari lawannya memaksa dia mengurungkan niatnya itu. Dengan

memepet kepohon pisang dia bertahan terus. Pertahanan yang

penuh kegugupan. Golok Mirta menyambar kelambung laki-laki

itu. Gaspar menangkis dengan senjatanya. Kedua golok beradu

lagi untuk kesekian kalinya. Satu kali Gaspar mendapat

kesempatan untuk menjauhkan diri dari batang pisang itu. Tapi

begitu kakinya menjejak tanah setelah melakukan lompatan itu

serangan Mirta tetap memburunya. Dia jadi lebih gugup karena

keseimbangan tubuh serta kedudukannya masih belum benar.

Dia menangkis ketika golok lawan dilancarkan kemuka, golok

Mirta membalik kearah yang sebenarnya, yaitu leher Gaspar.

Kali ini laki-laki itu tak punya kesempatan untuk mengelak

ataupun menangkis. Dan benar seperti yang dikatakan oleh

Mirta tadi, Gaspar menemui ajalnya dengan leher hampir putus

kena babatan golok! *

* * LIMA BELAS

RANTAI yang ujungnya dicantolkan tengkorak manusia yang

menjadi senjata dari Nemiri benar-benar hebat. Senjata dahsyat

itu mendesak Suwantri dalam jurus yang keempat belas,

Suwantri terpaksa bergerak cepat untuk mengelakkan serangan

itu, namun kemanapun dia berkelebat tengkorak maut itu

senantiasa memburunya. Sekali bahu kirinya kena terpukul.

Tulang bahunya terasa seperti hancur luluh. Setelah

mengalirkan tenaga dalamnya ketempat yang kena pukul itu

gerakan Suwantri agak lamban kini. Walaupun sakit hantaman

tengkorak itu sudah hilang, tapi pukulan itu benar-benar


mempengaruhi diri Suwantri. Perempuan itu terdesak terus.

“Ajalmu sudah didepan mata!” bentak Nemini.

Suwantri melompat mundur. Tangan kanannya bergerak

kebelakang, kebalik punggung. Dari balik bajunya keluarlah

sebuah pedang bergagang emas dan bermata baja putih yang

mengeluarkan dua sinar, yaitu sinar kuning dari gagang pedang

dan sinar putih menyilaukan dari mata pedang. Itujah pedang

sakti yang didapat Suwantri disatu gua dipuncak gunung

Merapi di pulau Andalas. Pasangan pedang itu yang bentuknya

persis sama cuma mempunyai tanda perbedaan pada hulunya

ada pada kakaknya, Suwantra.

Pedang yang pada gagangnya itu terukir lukisan bulan

genggam erat-erat ditangan Suwantri. Dia maju dengan

perlahan-lahan. Nemini sangat terkejut melihat kehebatan dari

pedang itu. Sinarnya mengagumkan tapi juga menggidikkan.

Baru sekali itu dia melihat senjata seperti itu. Kemudian si guru

sakti cepat menyadari bahwa dia harus menggempur lawannya

sebelum Suwantri mulai menyerang. Rantai yang ada tengkorak

manusia diujungnya itu diputar-putarnya dengan kecepatan

yang luar biasa. Baju yang dipakai Suwantri jadi berkibar-kibar

kena sambaran angin yang datang dari senjata dahsyat itu.

Sambil terus mengerahkan tenaga dalamnya, Suwantri maju

mendekati lawannya. Tiba-tiba tengkorak itu menyerang ganas

kekepalanya. Suwantri merunduk dengan cepat tapi tenang.

Begitu senjata lawan lewat dia tegak kembali. Pedang yang

ditangannya dibabatkannya kearah pinggang Nemini. Guru tua

itu mundur satu langkah kebelakang. Sambaran pedang lewat.

Tapi tubuh Nemini menjadi terhuyung-huyung. Hampir saja dia

dibuat jatuh duduk. Sambaran angin yang keluar dari pedang

sakti itu tiada terkirakan hebatnya. Nemini seperti dipukul

dengan sebuah balok besar pada pinggangnya. Suwantri sendiri

yang baru kali itu mempergunakan senjatanya juga terkejut

melihat kehebatan senjatanya itu.

Sekali lagi Nemini mendahului menyerang. Kali ini Suwantri

tidak memberi ampun lagi. Sambaran senjata lawan sengaja

tidak dielakkannya. Sebaliknya dengan pedang saktinya itu

dibabatnya tengkorak kepala manusia itu. Nemini juga tidak


berusaha untuk menarik senjatanya karena dia tahu tak satu

kekuatan apapun didunia ini yang sanggup menghancurkan.

Namun dia salah duga, dia terlalu bangga dan terlalu

mempercayai kehebatan senjata tengkoraknya itu. Dia tidak

tahu bahwa pedang yang ditangan lawannya adalah satu pedang

sakti yang berasal dari masa Nabi Muhammad yang

kesaktiannya tiada terlukiskan.

Pedang dan tengkorak beradu dahsyat. Dengan

mengeluarkan suara letusan dahsyat seperti suara meriam;

tengkorak itu hancur lebur berantakan. Keping-kepingnya

berhamburan keudara. Nemini mengeluarkan seruan tertahan.

Dia tidak bisa mempercayai kejadian itu. Namun rasa tidak

percayanya itu tidak bisa lama-lama dirasakannya. Senjata yang

ditangan Suwantri menyerangnya dengan hebat, dia mundur,

tapi lawannya meloncatinya. Dia coba menangkis dengan

tangannya maksudnya hendak menghantam sambungan siku

dari lengan Suwantri yang memegang pedang itu, tapi

sebaliknya Suwantri membabat puntung lengan si guru sakti

itu. Nemini menjerit setinggi langit, membuat bulu tengkuk

setiap orang yang mendengarnya jadi berdiri. Dengan tangan

berlumuran darah Nemini mundur terus. Namun tidak sanggup

bertahan dari lima belas detik lagi. Ketika pedang sakti

ditangan Suwantri menyambar kearah dadanya. Nemini tak

sanggup lagi untuk mengelak. Dia sudah sedemikian lemahnya

karena kehabisan darah. Pedang menghantam tulang-tulang

iganya, menghancurkan tulang dadanya dan membelah

jantungnya!

Pertempuran antara Aditia dan Suwantra melawan Gondola,

Pakarasa dan Surdala kini juga telah berubah. Dari

mempergunakan tangan-tangan kosong kelimanya kini telah

memakai senjata masing-masing.

Karena menyadari bahwa kedua lawannya itu tak akan

mungkin mereka bereskan dengan hanya memakai tangan-

tangan kosong, maka ketiga guru-guru sakti itu segera

mengeluarkan senjata masing-masing. Mula-mula sekali

Pakarasa mengeluarkan senjatanya yaitu lima helai lidi yang

diikat menjadi satu. Bukan saja senjata itu kelihatan aneh kalau


tidak mau dikatakan lucu, tapi juga bagaimana tak pantasnya

Pakarasa yang bertubuh tinggi besar itu memegang sebuah

senjata berupa sapu lidi yang kecil sekali. “Namun tidak

demikianlah dengan kehebatan senjata itu. Satu kali manusia

bisa kena dicambuk oleh sapu itu tak ampun nyawanya akan

melayang dengan seketika!

Gondola juga tak mau kalah. Dia mengeluarkan dua buah

senjata yang berbentuk tombak. Cuma agak kecil sedikit dari

pada tombak. Dengan kedua senjata ditangan kiri dan kanan

dia menyerang kembali. Begitu juga dengan gurunya Jantra

yaitu Surdala. Laki-laki pendek gemuk ini mengeluarkan

sebuah senjata yang berbentuk jangkar atau jelasnya berbentuk

besi pengait timba yang putus masuk kedalam sumur. Tiga guru

sakti dengan macam-macam senjata yang hebat-hebat

mengeroyok dua murid pertapa sakti. Saat itu Aditia dan

Suwantra telah bergabung menjadi satu dalam menghadapi

ketiga lawannya. Mereka hanya bisa bertahan dengan tangan

kosong selama tiga jurus. Jurus yang selanjutnya terpaksa

Suwantra mencabut goloknya sedang Aditia mencabut keris

saktinya.

Dan kini pertempuran benar-benar hebat luar biasa.

Sambaran-sambaran pedang dan keris sakti yang meskipun

tidak mengenai sasarannya itu namun membuat ketiga lawan

kawakan itu menjadi sibuk dan waspada. Ketiga mereka harus

berhati-hati dalam melakukan serangan ataupun dalam

mempertahankan diri. Ketiga guru sakti itu telah melihat

dengan sudut mata mereka bagaimana dengan pedang yang

serupa Suwantri telah menghancurkan senjata sakti kawan

mereka Nemini. Karena itu mereka selalu menarik diri setiap

hampir terjadi bentrokan senjata dengan pedang Suwantra.

Sebaliknya mereka senantiasa mengurung senjata Aditia.

Mereka menganggap remeh saja keris padahal mereka melihat

bagaimana sinar merah yang keluar dari keris itu bukan sinar

sembarangan. Menganggap remeh seorang lawan, baik dalam

perkelahian maupun dalam permainan apa saja adalah satu

kesalahan besar!


Aditia bergerak cepat. Tubuhnya hanya berupa bayang- bayang. Yang dihadapinya saat itu adalah Gandola. Sekali-kali

Pakarasa membantu juga menggempur Aditia. Gondola

mengikuti gerakan lawannya. Kedua senjatanya menusuk kian

kemari. Gondola baru terkejut dan mengetahui kehebatan keris

sakti itu ketika salah sebuah dari senjatanya dibabat puntung.

Dalam keadaan itu pula keris merah berhasil menyerempat

melukai jari kelingking Gondola. Gondola sama sekali tidak

mengacuhkan luka itu. Dia mengerahkan tenaga dalamnya

setengah-setengah. Tapi luka yang ditimbulkan oleh ujung keris

merah bukan luka biasa! Gondola merasakan tubuhnya mula- mula panas. Ketika rasa panas itu hilang berganti dengan rasa

dingin yang amat sangat. Dia kerahkan tenaga dalamnya.

Namun percuma. Ketika rasa dingin itu hilang dengan

sendirinya maka dia merasakan tubuhnya sangat lemah sekali.

Dia seakan-akan tak sanggup untuk berdiri lagi dengan kedua

kakinya, dia semakin lemah, semakin lemah dan ketika

tubuhnya terhuyung-huyung kesamping Aditia cepat

menyelesaikan lawannya. Dengan ujung kerisaya dicongkelnya

dada Gondola. Satu detik sebelum tubuh Gondola mencium

tanah maka nyawa guru sakti itu sudah tiada lagi.

Pakarasa dan Surdala sama mengertakkan geraham

menahan geram melihat kematian kawan mereka yang kedua

itu. Pakarasa meloncat kesamping menghadapi Aditia.

Senjatanya dikebut-kebutkannya kian kemari, maksudnya

hendak melumpuhkan tenaga dalam lawannya dulu sebelum

dia melancarkan serangan total, tapi bukannya dia berhasil

melumpuhkan tenaga dalam lawannya sebaliknya dia sendiri

kini yang merasakan tenaga dalamnya mulai lumpuh karena

sambaran-sambaran keris merah yang ditangan Aditia. Kini

Pakarasa benar-benar menyabung nyawa untuk memenangkan

pertempuran itu. Tubuhnya yang besar itu berkelebat cepat.

Semua anggota badannya bergerak. Sapu lidi aneh yang

menjadi senjatanya menyerang mulai dari kaki sampai keatas

kepala Aditia. Aditia sengaja mundur sedikit demi sedikit.

Sebaliknya Pakarasa tak menyangka kalau kemunduran itu

adalah taktik belaka. Dia yang merasa mendapat angin untuk


segera memenangkan perkelahian itu menyerang lebih ganas

lagi.

Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa Aditia berhasil

menangkap ujung sapu lidi itu. Dengan cepat ditariknya.

Pakarasa terbawa kedepan dan pada saat itu pula keris yang

ditangan Aditia menusuk cepat kemuka. Kalau Aditia mencekal

senjata lawannya, maka kini Pakarasa mencekal lengan Aditia

yang memegang keris itu. Cekal-mencekal terjadi dan kedua

lawan sama-sama mengerahkan tenaga dalam. Hal itu

berlangsung hampir satu menit. Karena memaklumi lawannya

lebih unggul dengan satu bentakan keras Pakarasa meloncat

mundur kebelakang. Dua dari lima lidi yang menjadi senjata

Pakarasa berhasil ditarik oleh Aditia. Dengan dua lidi ditangan

kiri dan keris merah ditangan kanan. Aditia menyerang

kembali. Pakarasa semakin terdesak. Dua jurus lagi dia sanggup

bertahan. Pada jurus yang menentukan dia berhasil memukul

dada Aditia dengan sapu lidinya namun nyawanya sendiri tidak

tertolong lagi ketika murid Eyang Wilis menusukkan keris

merahnya dengan cepat didada kiri yang berbulu dari Pakarasa.

Manusia tinggi besar itu mati tanpa sedikit rintihanpun!

Aditia mengatur jalan nafasnya kembali sambil mengusap- usap dadanya yang kena terpukul tadi oleh sapu lidi Pakarasa.

Dia memperhatikan pertempuran yang berlangsung antara

Suwantra dengan satu-satunya guru sakti yang tinggal saat itu

yaitu Surdala, manusia yang gemuk pendek itu. Semangat

tempur Surdala sebenarnya sudah hilang sama sekali.

Keberaniannya telah luntur berganti dengan kekecutan. Bukan

saja hal itu disebabkan karena senjatanya telah habis puntung- puntung dibabat senjata Suwantra tapi juga adalah karena

hanya dia sendirilah yang masih hidup saat itu. Dia maklum

bahwa dia juga akan segera menyusul kawan-kawannya. Ada

terpikir dihatinya untuk melarikan diri. Tapi selain

dirasakannya adalah suatu kesia-siaan saja juga dia tak ingin

menunjukkan kepengecutannya dihadapan lawannya dan

sekian banyak mata.

Sekali lagi Suwantra membabat rantai pengait itu. Makin

lama senjata yang ditangan Surdala semakin pendek juga.


Sedang pemiliknya sendiri sudah terjepit sedemikian rupa.

Ketika pedang sakti yang ditangan Suwantra membabat cepat

kemukanya, guru sakti itu yang agaknya sudah sangat putus asa

dengan sengaja meloncati pedang mengantarkan dadanya!

Pedang itu tenggelam serong sampai setengahnya kedalam

dada Surdala. Guru sakti yang terakhir menemui ajalnya.

Empat guru sakti dengan diantar oleh Gaspar telah datang

keperkampungan Kayan untuk melakukan penuntutan balas

atas kematian murid-murid mereka. Tapi rencana mereka itu

mengalami kegagalan total. Kegagalan yang tak akan pernah

mereka sesali untuk selama-lamanya karena kegagalan itu telah

mereka bayar dengan nyawa mereka sendiri, termasuk nyawa

Gaspar, manusia yang menjadi anak buah pemimpin rampok

Mali Kodra dan yang menjadi biang racun dari peristiwa

berdarah diatas itu.

Seluruh tempat sunyi senyap kini. Lima mayat menggeletak

bertebaran. Tanah halaman samping penuh dengan jejak-jejak

kaki dan noda-noda darah. Suwantra menyuruh orang- orangnya untuk menyeret kelima mayat itu kedalam hutan

dimana dalam lima buah lobang mereka dikuburkan satu demi

satu.



                             TAMAT












 


Share: