EMPAT GURU
SATU
SIANG itu dia sampai disatu anak sungai yang berair jernih.
Dengan perlahan-lahan dia turun dari kudanya, Tubuhnya
terhuyung-huyung, ketika dia menjejakkan kakinya ketanah
karena lelahnya. Dia melangkah menuntun binatang itu ketepi
sungai. Dengan menelungkup ditebing sungai dia mulai
menghirup air sungai yang segar itu sepuas-puasnya. Kemudian
dibasahkannya seluruh kepalanya sampai sebatas leher. Dan
untuk beberapa lamanya dia menelungkup, lalu berbaring
ditebing sungai sementara kuda yang tadi ditungganginya
setelah minum seperti pemiliknya mulai mencari rumput- rumput segar yang tumbuh disekitar tempat itu.
Dia berbaring dengan menelentang memandang kelangit
putih kebiruan diatasnya. Sayup-sayup telinganya menangkap
kicauan burung-burung didalam hutan. Kedua telapak
tangannya diletakkan diatas perutnya. Matanya dipejamkannya.
Sejak pagi tadi perutnya itu belum masuk apa-apa selain air
sungai yang baru sebentar tadi diteguknya. Perutnya terasa
agak sedikit memilin. Tapi tak diacuhkannya. Didalam hutan
yang dilaluinya dalam perjalanannya, tak satu tumbuhanpun
yang dapat dimakan. Selain itu tak pernah pula dia berpapasan
dengan orang lain, apa lagi menemui satu kedai nasi. Tapi
semuanya itu tidak membuat dia menjadi putus asa dan
menyesali perjalanan jauh yang telah dilakukannya sejak dua
hari yang lalu dengan penuh kesukaran. Maksud serta tujuan
dari perjalanannya itulah yang membuat dia tak mau berputus
asa. Dan memang dia tak boleh berputus asa. Dia harus
melakukan perjalanan itu. Tak peduli akan memakan waktu
satu bulan, satu tahun atau sampai mati sekalipun. Yang
penting adalah apa yang dirasakannya didalam dadanya harus
terlaksana.
Tanpa disadarinya akhirnya dia tertidur. Laki-laki itu
bernama Gaspar. Dia adalah anak buah seorang kepala rampok
yang bernama Mali Kodra. Oleh pemimpinnya, Gaspar diangkat
untuk mengepalai kawan rampok di Srimbilan. Pada suatu hari
Srimbilan kedatangan satu pendekar sakti yang ingin meminta
pertanggungan jawab atas segala perbuatan Gaspar itu.
Meskipun anak-anak buah Gaspar menemui ajalnya ditangan
pendekar tadi, namun Gaspar masih diberi sedikit
perikemanusiaan. Setelah menerima hajaran-hajaran keras dari
pendekar itu, Gaspar dilepaskan dengan pesan yang disertai
ancaman agar dia kembali kejalan yang benar. Tapi hajaran dan
kematian anak-anak buahnya itu bukan menjadi satu
peringatan bagi Gaspar, sebaliknya dia menjadi sangat marah
dan dendam kesumat yang tiada taranya bersarang didalam
dadanya. Karena menyadari bahwa dia tak bisa menghadapi
pendekar sakti tadi seorang diri, apalagi ketika diketahuinya
bahwa pendekar tadi mempunyai seorang kawan lain yang juga
sakti luar biasa, maka pergilah Gaspar menemui pemimpinnya
yaitu Mali Kodra yang bercokol di kota Kuala. Maksudnya
selain untuk memberitahukan apa yang telah terjadi terhadap
anak buahnya di Srimbilan, juga dia ingin agar Mali Kodra
membuat perhitungan dengan kedua pendekar tadi yang tak
lain adalah Suwantra dan Aditiajaya.
Tapi Gaspar datang terlambat di Kuala. Apa yang ditemuinya
disana adalah semakin menambah rasa amarahnya serta rasa
dendamnya. Pemimpinnya, Mali Kodra ditemuinya telah
menjadi mayat yang membusuk bersama lima orang kawan- kawannya kepala-kepala rampok. Dan bukan itu saja. Seluruh
anak buah Mali Kodra juga sudah dibikin musnah oleh kedua
pendekar tadi.
Dalam merenungi peristiwa yang menyeramkan itu Gaspar
akhirnya mendapat jalan bagaimana caranya dia menuntut
balas atas kematian kawan-kawannya, atas kematian
pemimpinnya dan kawan-kawan dari pemimpinnya itu. Jalan
itu adalah bahwa dia sendiri harus menjelajahi daratan
Kalimantan untuk mencari dan menemui guru-guru dari
pemimpin-pemimpinnya Mali Kodra dan kepala-kepala rampok
lainnya. Hanya tiga orang saja dari ke lima guru-guru kepala- kepala rampok itu yang diketahui oleh Gaspar. Tapi jumlah itu
sudah lebih dari cukup ditambah dengan guru dari
pemimpinnya sendiri. Empat guru sakti itu harus ditemuinya
dalam waktu yang cepat. Dia akan menceritakan apa yang telah
dialami oleh murid-murid mereka. Sudah pasti guru-guru sakti
itu akan menjadi kalap dan naik pitam mendengar kejadian itu
dan turun dari pertapaan masing-masing untuk menuntut balas
atas kematian murid-murid mereka.
Guru Mali Kodra yang bernama Pakarasa berdiam disatu
delta dimuara sungai Barito dilaut Jawa. Sedang ketiga guru- guru sakti dari lima orang kepala rampok yang diketahui oleh
Gaspar yang pertama adalah Nemini yaitu guru atau istrinya
Lunira. Perempuan sakti ini bertapa dilereng gunung Kinibalu.
Jauh di Kalimantan Utara. Yang kedua adalah gurunya Somaha
bernama Gondola, diam digunung Niut, Kalimantan Barat dan
yang ketiga adalah Surdala, gurunya Jantra, Surdala bertapa
ditepi danau Jempang. Karena letak pertapaan Pakarasa adalah
yang paling dekat yaitu didelta sungai Barito, maka kesanalah
Gaspar mula-mula menuju.
Setengah jam kemudian Gaspar terbangun dari tidurnya.
Perlahan-lahan dia membuka matanya. Kembali dia
memandang kelangit putih kebiruan diatasnya. Dia mengusap
mukanya beberapa kali lalu membalikkan diri memandang
pada air sungai yang mengalir perlahan dimukanya. Sebelum
bangkit berdiri dia merendam kepalanya sekali lagi lalu minum
beberapa teguk. Beberapa lamanya dia dengan bersandar
keperut kuda dan kemudian naik keatas punggungnya. Dengan
kecepatan sedang, keduanya, kuda dan penunggang menyusuri
jalan kecil ditepi sungai. Tapi celakanya satu jam kemudian
ternyata jalan kecil ditepi sungai itu buntu. Tertutup oleh
tebing-tebing batu yang tinggi dan semak belukar lebat. Gaspar
terpaksa memasuki hutan liar disamping kirinya. Dan
meneruskan perjalanan dengan susah payah. Dua jam
kemudian baru dia keluar dari hutan itu. Seekor kambing hutan
lalu dihadapannya dengan cepat, membuat laki-laki itu terkejut
dan menyumpah-nyumpah. Pemandangannya telah berkunang- kunang, tubuhnya letih. Seluruh tulang badannya lemah lunglai
sedang perutnya perih keroncongan.
“Kalau sore ini aku tak menemui kedai nasi atau rumah
penduduk...... matilah aku!” kata Gaspar dalam hatinya. Jalan
kudanya dipercepatnya kembali. Satu jam lagi berlalu. Senja
mendatangi kini. Keadaan disekitarnya mulai meremang dan
ketika matahari lenyap dibalik hutan dimuka sana malampun
tibalah, Kegelapan menyelubungi kini. Gaspar memacu
kudanya menyusuri tepi hutan menuju keselatan. Didalam
hutan didengarnya berbagai macam suara burung malam dan
binatang-binatang buas. Rasa khawatirnya mulai mencekam.
Tiba-tiba matanya yang kuyu itu menangkap beberapa buah
nyala api yang kelap-kelip diujung barat.
“Untung......” desisnya dan dia merubah arah kudanya.
Seperempat jam kemudia dia sampai ketempat itu. Enam buah
rumah terletak berdekatan. Salah sebuah dari padanya adalah
kedai nasi. Gaspar segera menuju kesana. Kudanya
diperlambatnya dan kemudian ditambatkannya kesebuah
pohon ditempat gelap. Beberapa orang laki-laki dilihatnya
bercakap-cakap dibangku panjang dimuka kedai. Gaspar
melangkah kesana. Orang-orang yang asyik bercakap-cakap
menghentikan pembicaraan dan sama menoleh pada Gaspar.
Gaspar melemparkan senyum yang seramah mungkin kepada
orang-orang itu kemudian memutar kepalanya pada pemilik
kedai, “Nasi......” katanya. Lalu duduk diujung bangku panjang
itu. Matanya memandang tak lepas-lepasnya pada gerak-gerik
tukang nasi yang tengah mengambilkan pesanannya. Tanpa
menoleh apalagi memperbasakan diri pada orang-orang yang
duduk sebangku dengannya, Gaspar langsung menyantap nasi
dipiring itu dengan lahapnya.
“Lagi satu piring......!” kata Gaspar lima menit kemudian
sambil menyodorkan piring nasinya yang telah kosong. Tukang
nasi menerima piring itu dengan tersenyum sedang Gaspar
meneguk air yang digelas. “Airnya juga tambah......” kata laki-
laki itu kemudian sambil menerima piring nasi tambahannya.
Gaspar makan lagi dengan lahapnya. Gulai yang pedas
membuat peluh berjatuhan dimukanya. Dia makan terus tak
peduli bagaimana keringatnya yang seperti banjir itu menetes- netes jatuh dari mukanya keatas nasi yang tengah dimakannya.
Lima menit kemudian si piring yang kedua itupun licin tandas
pula masuk keperutnya. Dia meluruskan dadanya sebentar
sambil berpikir-pikir apakah dia akan tambah sepiring lagi atau
tidak.
“Lagi......?” terdengar suara orang kedai bertanya.
“Ya...... tapi setengah saja......” jawab Gaspar. Suaranya
perlahan sekali seperti orang berbisik. Orang kedai itu
mengambilkan nasi dan gulai sekali lagi.
Diatas meja dikedai itu terdapat beberapa sisir pisang kuning
kecil-kecil. Selesai makan sebanyak dua setengah piring Gaspar
mulai mengambil pisang itu sebuah demi sebuah. Kulitnya
dilemparkannya saja dengan seenaknya. Semua orang
memperhatikan dengan sudut mata masing-masing tindak
tanduk dari laki-laki itu. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Saudara habis berjalan jauh......?”.
“Hemm......” jawab Gaspar dan menganggukkan kepalanya.
“Saudara dari mana......?” tanya orang tadi lagi. Walaupun
sebenarnya dia segan untuk menjawab karena perutnya yang
sangat padat kenyang itu. Gaspar membuka mulut juga
meskipun seperti tadi suaranya sangat pelahan sekali.
“Kuala......”. Sampai disitu tak ada yang bertanya lagi. Gaspar
meneguk isi gelasnya. Lalu mengambil sebuah pisang lagi.
“Ini kampung apa namanya......?” tanya Gaspar beberapa
lama kemudian dengan acuh tak acuh. Tapi pemilik kedai itu
menjawabnya dengan ramah. “Kampung yang sangat kecil ini
tidak ada namanya, saudara. Disini cuma tinggal enam
keluarga. Saya membuka nasi sedang yang lainnya adalah
pencari-cari hasil hutan. Seorang peranakan Tionghoa sekali
seminggu datang kesini untuk membeli dan mengambil hasil
hutan yang dikumpulkan”. Gaspar menganggukkan kepalanya
beberapa kali.
“Saudara sendiri mau pergi kemana......?” tanya pemilik
kedai itu.
“Kemuara sungai......”
“Muara sungai Barito?”. Gaspar mengangguk membenarkan.
“Saudara nelayan?” tanya salah seorang laki-laki yang duduk
bangku disamping Gaspar.
“Tidak” jawab Gaspar sambil mengambil cangkirnya dan
minum. “Berapa semuanya......?” tanya Gaspar pada orang
kedai. Laki-laki itu menghitung-hitung harga dari makanan
yang telah dimakan Gaspar termasuk pisang. Lalu
menyebutkan jumlahnya. Gaspar berdiri dengan agak susah
payah karena kekenyangan. Dia meraba-raba saku bajunya.
Lalu saku celananya. “Baru aku ingat. Sabuk uangku ada
didalam kantong barang dipunggung kuda, Aku akan ambil
dulu saudara. Tapi sebaiknya tolonglah bungkuskan nasi serta
lauk untuk bekalku dijalan nanti. Tak usah pakai gulai......”.
Orang kedai itu melakukan apa yang diminta Gaspar. Dengan
sehelai daun pisang dibungkusnya nasi dan beberapa potong
lauk. Lalu diberikannya pada Gaspar.
“Tunggu sebentar. Saya akan ambil uang. Kuda saya didekat
pohon sana......” kata Gaspar sambil menunjuk kearah
kegelapan. Tanpa menaruh curiga pemilik kedai itu
mengangguk. Gaspar memutar tubuhnya dan melangkah
sampai akhirnya tubuhnya hilang dikegelapan. Dengan cepat
Gaspar membuka ikatan kudanya lalu naik keatas punggung
binatang itu. Perlahan-lahan dia menuju kemuka kedai. Dia
memandang kepada pemilik kedai itu. Orang yang dipandang
memperhatikannya dengan tak enak dan mulai curiga. Saat itu
berkatalah Gaspar sambil menyeringai buruk. “Terima kasih
untuk nasi, air dan pisang yang telah kau berikan kepadaku.
Terima kasih dan selamat tinggal. Ha...... ha...... ha...... ha......
ha............!” Sambil tertawa bekakakan Gaspar menarik tali
kekang kudanya. Binatang itu melompat kemuka dan dengan
seketika lenyap meninggalkan tempat itu.
“Kurang ajar! Bangsat! Hai...... bung...... berhenti! Bayar
dulu...... Hai.........!!!” Tapi hanya suara tapak-tapak kaki kuda
dan suara tawa bekakakan dari Gaspar yang semakin jauh yang
terdengar memberikan jawaban. Dan suara kaki kuda serta
tertawa itupun lenyap pula tak selang berapa lama. Pemilik
kedai itu tak henti-hentinya mengeluarkan kutuk serapah. Dan
memang hanya itulah yang bisa dibuatnya saat itu akibat
perbuatan Gaspar yang melarikan diri tanpa membayar barang
sepeser tengikpun!
Sepuluh menit kemudian baru Gaspar memperlambat jalan
kudanya. Dia masih tersenyum-senyum juga ketika mengingat
apa yang telah dilakukannya tadi. Perut kenyang sepadat- padatnya. Dibekali sebungkus nasi dan semuanya itu tanpa
mengeluarkan uang barang satu persenpun! “Ha...... ha......
ha...... ha......” Gaspar tertawa terbhak-bahak seperti orang gila
dimalam yang gelap pekat itu.
DUA
MALAM itu, Gaspar tidur diatas sebuah pohon setelah
terlebih dahulu mengikat tubuhnya erat-erat kecabang pohon
yang besar itu. Paginya dia cepat bangun dan meneruskan
perjalanan kembali. Tengah hari dia membuka bekal makanan
yang didapatnya dari kedai malam tadi dan dimakannya sampai
habis meskipun rasanya sudah agak rasan. Satu jam kemudian
baru dia menemui jalan yang menyusuri tepi sungai Barito yang
menuju kemuara. Beberapa rumah penduduk ditemuinya
disekitar sana. Akhirnya dia sampai kemuara.
Sungai Barito adalah termasuk salah satu sungai yang
terbesar di Kalimantan disamping sungai Kapuas dan
Mahakam. Sungai ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang
atau anak-anak sungai dipedalaman sehingga menyebabkan
arus air yang menuju kemuara menjadi agak besar. Arus yang
besar ini menyebabkan terjadinya pengikisan tanah-tanah
dikedua tepi dan dasar sungai itu oleh air. Endapan tanah atau
lumpur tadi dibawa oleh air sungai terus sampai kemuara.
Meskipun dibawanya secara berdikit-dikit dan tak kelihatan
sama sekali namun lama kelamaan endapan-endapan tanah
lumpur tadi semakin bertambah besar dan meninggi sehingga
merupakan daratan-daratan baru dimulut muara sungai Barito.
Meskipun tanah endapan atau delta itu sangat subur namun tak
ada seorang nelayan atau pendudukpun yang tinggal disana.
Satu-satunya manusia yang berdiam didelta itu adalah
Pakarasa, guru kepala rampok Mali Kodra, Pakarasa sangat
benci dan tidak senang bila mengetahui ada seorang lain yang
menginjakkan kakinya didelta itu. Baginya delta tersebut adalah
daerah wilayah kekuasaannya dan tak seorangpun boleh datang
kesana karena hal itu akan mengganggu ketenteramannya
dalam bertapa dan mengheningkan cipta raga menambah
kesaktiannya. Pernah seorang nelayan baru yang tidak tahu
menahu bahwa delta itu didiam oleh Pakarasa, dengan
seenaknya setelah menangkap ikan berjalan-jalan didelta itu.
Nelayan ini kemudian dilemparkan ketengah lautan oleh
Pakarasa. Untung saja ada sebuah perahu nelayan yang berada
disekitar sana sehingga nelayan yang dilemparkan tadi sempat
diselamatkan nyawanya.
Gaspar berdiri diujung muara. Dia memandang jauh ke
seberang laut yang memisahkan pantai dengan delta dimana
Pakarasa diam. Kudanya berdiri disampingnya. Kemudian dia
memandang berkeliling dan melangkah mendekati perahu yang
terdekat. “Kau lihat delta diseberang itu......?” tanya Gaspar
pada anak perahu sambil menunjuk ketengah lautan. Anak
perahu itu mengangguk.
“Antarkan aku kesana dan akan aku bayar......” kata Gaspar.
Orang yang punya perahu tampak seperti tengah berpikir-pikir.
Lalu jawabnya kemudian. “Aku akan antarkan kau sejarak
sepuluh sampai lima belas meter dari delta itu dan kemudian
kau harus berenang sendiri untuk sampai kesana......”.
“Sialan! Aturan mana yang kau pakai seperti itu?!” bentak
Gaspar dengan marahnya.
“Itu bukan aturan sobat. Mungkin kau tak tahu, Tapi aku
akan terangkan. Dipulau itu berdiam seorang pertapa sakti
bernama Pakarasa......”
“Aku sudah tahu!” potong Gaspar.
“Bagus! Tapi kau mungkin tidak tahu dia punya adat macam
apa. Siapa saja yang berani mendekati delta itu, apalagi
menginjakkan kaki disana, pasti akan dilemparkan ketengah
laut oleh Pakarasa. Dan mati konyol tenggelam kedasar laut
sebelum datang pertolongan. Jadi terserah padamu. Mau
menurut seperti yang kukatakan tadi atau tidak. Pokoknya aku
tak mau dilempar dan mati konyol didalam laut!”
Gaspar mengusap-usap tengkuk kudanya kemudian berkata,
“Baiklah...... Aku akan titipkan kudaku dulu!”. Laki-laki itu
keatas punggung kudanya dan menuju kesebuah pondok di tepi
pantai dimana dia menitipkan kudanya, lalu kembali lagi
ketempat tadi dan naik keatas perahu. Perlahan-lahan perahu
kecil itu mulai bergerak meninggalkan pantai menuju ketempat
tujuan yang letaknya tak lebih dari seratus lima puluh meter
dari pantai. Kira-kira lima belas meter dari tempat tujuan, anak
perahu menghentikan perahunya. “Nah untuk seterusnya kau
harus berenang!”.
“Kau mau tunggu aku disini......?” tanya Gaspar.
“Lama?”
“Paling lama satu jam” jawab Gaspar.
“Baik, aku akan berada disekitar sini. Tapi kalau kau bisa
lebih cepat akan lebih baik!”.
“Aku akan usahakan” kata Gaspar sambil membuka baju dan
celana luarnya. Pakaian itu diikatkannya diatas kepalanya.
Dengan hanya mengenakan celana dalam dia mulai berenang
menuju kedelta dimukanya. Sampai ditempat tujuan segera
dikenakannya pakaiannya kembali, sedang anak perahu yang
menunggunya memperhatikan dengan cemas sambil bertanya-
tanya dalam hati, ada keperluan apa orang itu pergi kesana?
Ingin minta dilempar kedalam lautan?!
Delta itu dikelilingi oleh pohon-pohon bambu kuning
diselang-seling oleh pohon-pohon tebu yang besar-besar.
Gaspar menyeruak diantara pohon-pohon tersebut. Dimuka
sebelah sana dilihatnya sebuah pondok yang berbentuk aneh.
Tiang-tiang pondok itu adalah bambu-bambu kuning yang
besar-besar. Dindingnya juga dari bambu-bambu kuning yang
dianyam. Juga atapnya dari bambu yang sejenis. Pondok itu
tampaknya tidak mempunyai pintu ataupun jendela. Gaspar
melangkah dan mendekati. Dia mengelilingi pondok tersebut.
Matanya dibukanya lebar-lebar. Namun dia masih belum
menemui dimana pintu dari pondok itu. Dia coba untuk
mengintip kedalam tapi anyaman bambu kuning dari dinding
rumah sangat rapat sekali. Gaspar jadi kehilangan akal dan
memandang berkeliling.
“Apa bukan disini tempat guru sakti itu......?” pikirnya. Dia
memutar tubuhnya dan melangkah. Maksudnya hendak
mengelilingi rumah itu sekali lagi dan memperhatikan dengan
teliti dimana pintu masuk dari pondok aneh tersebut.
Langkahnya terhenti dengan seketika. Satu tangan dengan jari-
jari yang besar kukuh dirasakannya menangkap batang
lehernya dari belakang sehingga nafasnya sesak. Sinar matahari
menimbulkan satu bayangan sosok tubuh yang sangat besar
dimukanya, menutupi tubuhnya sendiri. Ketika dia coba untuk
meronta melepaskan diri mendadak dirasakannya tubuhnya
diangkat keatas dan kemudian dibantingkan ketanah dengan
keras. Untung saja dia tidak kehilangan akal dan masih sempat
jungkir balik menyelamkatkan patahnya tulang-tulang
anggotanya. Kemudian dengan cepat dia berdiri dan memutar
tubuh. Pada saat itu pula terdengar suara tertawa yang
menggeledek dan mendirikan bulu tengkuk. Dihadapannya
berdiri seorang manusia yang menyeramkan. Tubuhnya tinggi
dan besar kukuh. Kulitnya sangat hitam dan berkilat.
Rambutnya gondrong. Alisnya tebal, hidungnya besar tapi dekat
pangkalnya agak melesak kedalam. Mulutnya lebar dan
bibirnya tebal. Dia memakai celana hitam sebatas dengkul. Baju
putih yang dikenakannya tiada berkancing sama sekali, terbuka
lepas begitu saja, memperlihatkan dadanya yang bidang dan
ditumbuhi banyak bulu. Begitu juga bagian tubuhnya yang lain,
mulai dari pangkal kaki, terus kebetis dan kepaha, kepusar dan
kedada sampai kemuka dan ketangannya penuh diselimuti
dengan bulu yang hitam tebal kasar kaku. Kalau ada orang yang
berpendapat bahwa sesungguhnya manusia ini adalah masih
turunan monyet, maka melihat keadaan tubuh serta tampang
laki-laki itu mau tak mau kita akan percaya juga. Mukanya yang
mengerikan persis seperti monyet. Tubuhnya yang tinggi besar
penuh bulu itu persis seperti gorila! Manusia monyet raksasa
ini masih terus tertawa dahsyat menunjukkan gigi-giginya yang
putih berkilat. Tiba-tiba tawanya berhenti dengan seketika.
“Kau siapa yang berani-beraninya datang ketempat ini?!”.
Dalam ketakutannya memandang manusia yang dahsyat
mengerikan itu Gaspar tak bisa memberikan jawaban. Lutut
dan bibirnya gemetaran. Meskipun saat itu adalah siang hari
bolong namun bulu tengkuknya berdiri sedang keringat dingin
membasahi tubuhnya.
“Kau tak mau jawab?! Bagus! Seperti yang lain-lainnya kau
akan kulemparkan ketengah lautan dan disana tubuh busukmu
berkubur!” kata orang yang tinggi besar tadi sambil melangkah.
“Ampun...... ampun...... jangan! Aku...... aku Gaspar...... aku
anak buah Mali Kodra. Ampun...... guru...... aku anak buah Mali
Kodra!” kata Gaspar seraya mundur kebelakang dengan
ketakutan.
Orang dahsyat itu yang tak lain adalah Pakarasa adanya,
menghentikan langkahnya. Matanya yang merah menyala
memandang pada Gaspar. “Kau murid Mali Kodra?!”.
“Ya, murid Mali Kodra. Laki-laki yang menjadi muridmu
sendiri!”
“Dusta! Kau mau menipu aku......?!” bentak Pakarasa.
“Demi jin lautan ini aku berani bersumpah bahwa aku tidak
berdusta” jawab Gaspar.
“Lantas ada apa kau datang kesini?!”
“Mali Kodra...... muridmu itu. Mati!”
“Apa?! Muridku mati?!”
“Ya. Mati! Mati dibunuh!” kata Gaspar sekali lagi.
Pakarasa melangkah maju. Gaspar mundur kebelakang.
“Tetap ditempatmu!” bentak Pakarasa. Gaspar diam tak
bergerak-gerak. “Dari mana kau tahu hal itu?!” tanya Pakarasa.
“Aku sendiri yang melihatnya dengan mata kepalaku. Bahkan
bukan dia seorang saja yang dibunuh melainkan bersama-sama
dengan lima orang kawan-kawannya, murid-murid dari lima
guru-guru sakti di Kalimantan ini!”
“Siapa yang melakukan perbuatan itu?!” tanya Pakarasa
dengan geram. “Sebaiknya kau terangkan dengan lengkap dan
jelas!”. Dan Gaspar mulai memberi keterangan yang tentunya
dibumbui dengan asam garam agar amarah guru Mali Kodra itu
semakin meluap.
“Benar-benar kurang ajar kedua manusia dari suku Kayan
itu!” maki Pakarasa. Dia memandang keatas langit seakan-akan
sinar matahari yang terik tidak menyilaukan matanya. “Jadi
baru aku yang pertama-tama kau temui?” tanya Pakarasa
kemudian.
“Ya, karena guru adalah yang terdekat......”
“Kau tahu semua tempat pertapaan kelima guru sakti dari
kawan muridku itu......?”.
“Cuma tiga orang saja, guru” jawab Gaspar.
“Sebenarnya aku sendiri juga bisa melakukan pembalasan
kepada kedua pendekar-pendekar laknat itu. Tapi guru-guru
yang lain itu juga punya hak dan wajib melakukan hal itu,
sekurang-kurangnya menyaksikan sendiri bagaimana aku nanti
akan mematahkan tulang-tulang leher kedua orang Kayan itu
satu demi satu!”
Kedua orang itu sama berdiam diri. Rasa takut didiri Gaspar
mulai berkurang kini. “Dari sini kau bermaksud mau kemana?”
tanya Pakarasa.
“Ke gunung Niut dulu, ketempat Gondola, gurunya Somaha”
jawab Gaspar. Pakarasa tampak termenung. Setelah beberapa
lamanya dia berkata. “Baiklah! Untuk menemui ketiga garu- guru sakti itu kau akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Kuberi tempo kau dua bulan. Dan katakan pada setiap guru- guru sakti yang kau temui itu bahwa mereka harus berada
dikaki gunung Bukit Raya sebelah timur pada permulaan bulan
baru yang kedua dari saat ini. Dari sana kami akan mengatur
jalannya pembalasan. Mengerti!?!”
“Mengerti guru......” jawab Gaspar. “Ada lagi yang guru ingin
terangkan?”
“Tidak. Cuma pesanku itu jangan sampai lupa. Ingat!
Permulaan bulan baru dua bulan dimuka dan dikaki gunung
Bukit Raya sebelah timur!”
“Akan saya ingat selalu” jawab Gaspar.
“Kalau begitu kau boleh pergi dari sini!”. Pakarasa memutar
tubuhnya dan melangkah menuju kepondoknya. Gaspar juga
cepat-cepat berlalu dari situ. Sampai ditepi delta dia melambai-
lambaikan tangannya kepada anak perahu yang menantinya
ditengah lautan. Perahu itu mendekat sampai sejarak sepuluh
meter dan setelah membuka pakaiannya Gaspar segera
berenang mendapati perahu. Diatas perahu dia mengenakan
pakaiannya kembali. Hatinya sangat gembira. Orang pertama
yang harus dicarinya dalam rencana pembalasan dendam itu
telah ditemuinya, Gaspar bersiul kecil. Hal itu membuat heran
si anak perahu. Dan dia bertanya. “Ada urusan apa kau didelta
itu?!”
“Peduli apa kau dengan urusanku?!” kata Gaspar acuh tak
acuh sambil terus bersiul entah membawakan lagu apa.
“Maksudku bukan ingin mengetahui urusanmu, saudara.
Tapi aku heran. Tak ada orang yang berani datang kedelta itu.
Pergi kesana sama saja dengan menghadang maut mencari
mati. Tapi kau pergi kesana dan kembali dengan selamat serta
gembira, bahkan bersiul-siul pula!”
“Lalu hal itu saja mambuat kau jadi heran?”.
“Lebih lagi heran!” jawab anak perahu itu.
“Manusia yang mendiami delta itu namanya Pakarasa.
Tingginya dua kali tinggimu sedang besar badannya ada kira- kira empat kali besar badanmu yang kerempeng ini! Mukanya
seram dan kalau engkau melihatnya pasti kau jatuh pingsan
karena ketakutan. Kesaktiannya tinggi sekali. Manusia macam
kau ini cukup diangkatnya dengan satu tangan! Dan kalau kau
ingin tahu lebih lanjut lagi maka aku adalah murid dari
Pakarasa!”. Anak perahu yang kena dibohongi oleh Gaspar
mengangguk dan memandang dengan mulut ternganga pada
laki-laki itu. “Tentunya kau seorang pendekar sakti yang
kawakan......”. Cuping hidung Gaspar yang memang sudah lebar
itu jadi bertambah lebar. Dengan menahan geli dia berkata.
“Kesaktianku belum seberapa kalau dibandingkan dengan
kesaktian guruku. Tapi kalau baru sepuluh orang saja yang
coba-coba untuk mengeroyokku, niscaya akan aku bereskan
dalam lima kali gebrakan saja!”.
“Bukan main!” memuji anak perahu dengan kagumnya.
Tanpa terasa perahu telah sampai keseberang. Gaspar meloncat
turun kedarat. “Uangku kutinggalkan dibuntalan perbekalan
disamping kudaku. Aku akan mengambilnya. Kau akan ikut
serta atau menunggu disini saja sampai aku datang
membawakan uang sewa perahumu?”. Tanpa rasa curiga sama
sekali anak perahu itu menjawab. “Ambillah uang itu, aku
tunggu kau disini”, Gaspar memutar tubuhnya dan melangkah
meninggalkan tempat itu. Sampai dipondok dimana dia
menitipkan kudanya dilihatnya tak seorangpun berada disana.
“Kebetulan yang menguntungkan sekali!” kata Gaspar dalam
hatinya. Segera diambilnya kudanya dari belakang rumah dan
dengan cepat ia berlalu dari sana. Apakah yang akan ditunggu
oleh si anak perahu? Sampai kiamatpun Gaspar tak akan
kembali, yang bisa dilakukannya adalah sama dengan apa yang
diperbuat oleh pemilik kedai yang kena tipu oleh Gaspar tempo
hari, yaitu menyumpah dan mengutuk!
Dari muara sungai Barito, Gaspar mengambil jalan yang
mengarah kebarat laut. Selama tiga jam lebih dia melalui
daerah yang banyak sawah dan ladang. Diladang-ladang seperti
ladang mentimun, buah-buahan dan lain sebagainya. Gaspar
tak lupa untuk memetik semua buah yang ditemuinya, seakan- akan kebun dan ladang orang itu adalah milik nenek
moyangnya, turun-temurun!
Ketika senja tiba daerah yang dilaluinya kembali ditum buhi
pohan-pohon lebat. Hutan belantara kini menghadang
jalannya. Dia membelok keselatan mencari jalan yang aman.
Malam itu dia berkemah disatu pedataran ditepi sebuah anak
sungai. Santapan pengisi perutnya saat itu tak lain adalah buah- buahan yang siang tadi dicurinya dikebun orang. Keesokan
paginya dia meneruskan perjalanan kembali. Saat itu masih ada
dua butir mentimun dalam kantong perbekalannya. Itulah
sarapannya dipagi itu. Kedua mentimun itu dimakannya sambil
memacu kudanya. Menjelang tengah hari, ketika perutnya
mulai minta diisi, maka dihadapannya membujur pegunungan
yang tinggi. Gaspar tak berani mengambil jalan dipegunungan
itu meskipun dia akan sampai lebih lekas ketujuannya.
Dipegunungan sudah dapat dipastikannya bahwa dia tak akan
menemui satu orang manusiapun. Berarti dia tak akan
menemui kedai nasi. Karena itu sekali lagi dia membelokkan
arahnya keselatan menyusuri kaki pegunungan.
Beberapa lama kemudian dia mulai berpapasan dengan
penduduk. “Hemm...... tanda perutku akan diisi pula......” kata
Gaspar. Seperempat jam kemudian dia menemui sebuah
kampung kecil disatu kelokan jalan. Matanya yang liar segera
melihat sebuah kedai makanan. Kudanya ditujukannya kesana
dan dia masuk kedalam. Dalam kedai itu hanya terdapat sebuah
meja yang sudah agak reyot dan tiga buah kursi. Satu kursi
telah diduduki oleh seorang laki-laki yang bertubuh kurus
kerempeng. Tampaknya dia tengah menunggu pesanannya.
Setelah memesan satu piring nasi yang diramaskan, Gaspar
duduk dikursi kedua disamping meja. Dia memperhatikan laki-
laki kurus yang disampingnya dengan sudut matanya. Orang
itupun memperhatikannya pula.
Tiga menit kemudian pelayan kedai datang membawakan
sepiring nasi ramas. Karena menyangka bahwa nasi itu adalah
pesanannya, Gaspar segera mengambilnya. Tapi pelayan kedai
berkata. “Maaf, saudara. Nasi ini adalah pesanan saudara itu.
Pesanan saudara sedang diambilkan. Sebentar lagi saya akan
antarkan kesini”. Gaspar memandang pada laki-laki kerempeng
disampingnya. Laki-laki itu tersenyum sedikit. Gaspar merasa
seperti diejek. Dengan cepat dirampasnya piring nasi sambil
berkata keras: “Peduli apa dengan dia. Dia boleh menunggu
piring nasi yang selanjutnya. Perutku lapar. Semenjak pagi tadi
belum makan apa-apa!”. Pelayan kedai tak bisa berkata apa-apa
sedang Gaspar, tanpa cuci tangan lagi mulai hendak menyuap
nasi ramas itu.
“Nasi ramas itu pesananku, saudara. Aku yang datang kesini
lebih dahulu. Dan aku yang memesan lebih dulu!”. Gaspar
memandang dengan mata melotot pada laki-laki kerempeng itu.
“Peduli apa dengan pesananmu? Persetan siapa yang datang
lebih dahulu! Pokoknya aku lapar. Kau boleh tunggu!
Mengerti?!”
“Sebaiknya bawa saja piring itu kesini......” ujar laki-laki
kerempeng dengan masih tersenyum.
Gaspar kehilangan kesabarannya. Meja yang dihadapannya
dipukulnya dengan keras. “Kau manusia cicak kering, belum
tahu siapa aku?!”
“Namaku Misa, sobat. Boleh saja kalau ingin menerangkan
siapa kau adaya!” jawab orang yang kurus.
Gaspar berdiri dari kursinya sambil menepuk dada. “Aku
Gaspar murid dari Mali Kodra dan Pakarasa! Kau inginkan nasi
ramas ini?!”. Misa mengangguk dan bersamaan dengan itu
Gaspar membantingkan piring nasi yang diatas meja kelantai
kedai. Piring itu pecah berantakan sedang nasi ramasnya
berhamburan. “Nah makanlah itu!” kata Gaspar sambil
menunjuk pada nasi yang berhamburan dilantai kedai. Sambil
tertawa terbahak-bahak kemudian dia duduk kembali
dikursinya. Tapi tertawanya itu mendadak berubah menjadi
suara rintihan karena tinju kanan Misa dengan tak terduga
sama sekali mampir dengan kerasnya dipelipis Gaspar. Dengan
amarah yang meluap-luap Gaspar bangkit dari kursi yang
diduduki. Tiba-tiba kaki kanannya melayang cepat keperut
bagian bawah dari Misa. Tapi Misa lebih cepat berkelit
mengelakkan tendangan itu. Akibatnya kaki kanan Gaspar jadi
menghantam meja. Meja makan yang sudah reyot itu mental
kebelakang sedang Gaspar merintih kesakitan.
“Ha...... ha...... ha! Manusia yang mengaku murid Mali Kodra
dan Pakarasa ayo maju ladeni aku! Mengapa meringis seperti
kunyuk......?!”
Mendengar ejekan itu tak tertahankan lagi geram amarahnya
Gaspar. Dengan melupakan sakit kakinya dia meloncat kemuka.
Kedua tangannya mencari sasaran keperut dan ketenggorokan
Misa. Serangan yang tanpa diperhitungkan itu dengan mudah
dapat dielakkan oleh Misa bahkan sambil mengelak tinjunya
berhasil mampir ditelinga kiri Gaspar, membuat telinga laki-
laki itu menjadi merah seperti api! Gaspar semakin kalap.
Goloknya segera dicabutnya. Tapi sebelum benda itu bisa
dipergunakannya, lutut Misa telah menghantam lambungnya.
Tak ampun lagi Gaspar rebah kelantai. Sebelum dia pingsan
karena sakit yang amat sangat dia masih sempat merasakan
bagaimana Misa meraup nasi yang berhamburan dilantai dan
menyumpalkannya kemulutnya yang menganga sambil
mengejek. “Nah kawan, santaplah nasi ramas yang sangat kau
ingini ini!”. Sudah itu Gaspar tak ingat apa-apa lagi. Sampai
pada saat Misa menghabiskan nasi ramasnya yang diantarkan
pelayan kedai kembali dan sampai pada saat dia keluar dari
kedai itu Gaspar belum juga sadarkan dirinya.
Sepuluh menit kemudian baru laki-laki itu siuman. Nasi
ramas yang disumpalkan Misa kemulutnya disemburkannya
keluar. Perlahan-lahan dengan terhuyung-huyung dia bangkit
dan duduk dikursi. Dia memandang berkeliling. Ketika matanya
membentur pelayan yang berdiri dekat pintu dapur dia segera
berteriak minta air dingin. Pelayan datang membawakan
segelas air dingin. Gaspar melangkah keluar kedai. Diluar dia
berkumur-kumur dan membersihkan mukanya kemudian
masuk lagi kedalam. Dan duduk ditempat semula.
“Nasi! Mana nasi?!” teriaknya kemudian ketika dirasakannya
perutnya sakit minta diisi. Nasi ramas yang telah lama
disiapkan segera diantarkan pada Gaspar. Gaspar memandang
pelayan itu lalu bertanya. “Kau tahu siapa laki-laki kerempeng
sialan tadi dan dimana rumahnya?!”. Pelayan yang ditanya
mengangkat bahunya dan menjawab : “Dia bukan orang sini.
Cuma dia kebetulan lalu dan mampir disini seperti saudara
sendiri......”.
“Kalau begitu pergilah......”. Gaspar mulai menyantap nasi
itu. Dia tak ada nafsu lagi untuk meminta tambah piring kedua.
“Berapa semuanya?!” tanya Gaspar pada pelayan kedai.
Pelayan itu menjawab dengan menambahkan. “Saudara harus
mengganti harga piring yang tadi kau pecahkan. Majikan saya
yang suruh mengatakan begitu......!”.
“Baik, itu soal remeh. Tapi kau tahu dimana orang berjualan
tembakau dan daun nipah? Tembakau dan nipahku kebetulan
habis. Aku mau beli!”.
“Diujung jalan ini. Kedai yang dibawah pohon seri. Kalau kau
suka, saya bisa tolong membelikan......” menawarkan si pelayan
kedai.
“Tak usah, biar aku beli sendiri. Aku akan kembali dalam
tempo tiga menit. Uang makanan dan piring jangan
khawatir......” Gaspar berdiri dan keluar dari kedai. Dia pura- pura mengambil sesuatu dari dalam buntalan perbekalannya
diperut kuda sadang tangan kirinya diam-diam melepaskan
ikatan tali binatang itu. Kedua matanya melirik kearah kedai.
Tiba-tiba Gaspar melompat keatas punggung kuda. Pinggul
binatang itu ditepuknya dengan keras. Kuda melompat kemuka
dan lari meninggalkan tempat itu dengan cepat. Untuk kesekian
kalinya Gaspar berhasil menjalankan tipu dayanya yang licik
itu.
TIGA
PADA hari yang kelima Gaspar sampai disatu kali kecil yang
berair dangkal. Bersama kudanya dia menyeberangi kali itu.
Sampai diseberang dia membelok keutara dan memasuki satu
rimba raya yang lebat. Dia harus menempuh rimba raya itu
karena itulah satu-satunya jalan yang bisa dilaluinya. Jalan
yang melalui pegunungan tak mungkin untuk ditempuhnya.
Sinar matahari boleh dikatakan tak sanggup menembus
kelebatan daun-daun pohon kayu yang tinggi-tinggi dihutan itu.
Keadaan disana teduh sekali sedang pohon-pohon kayu diliputi
lumut-lumut tipis yang licin hitam kehijauan. Gaspar tak bisa
mengendarai kudanya dengan cepat. Kadang-kadang dia
terpaksa mempergunakan goloknya membabat semak belukar
yang menghalangi perjalanannya. Tengah hari tepat baru
seperempat dari rimba tersebut yang dimasukinya. Sambil tetap
duduk dipunggung kudanya yang terus berjalan dengan
perlahan-lahan itu, dia membuka bekalnya dan mulai makan
seadanya.
Dua kali kudanya meringkik dahsyat ketika dua ekor ular
tanah lalu memapas jalan. Untung saja tak terjadi suatu apa.
Rasa cemas mulai menggerayangi dirinya, namun manusia yang
keras hati itu tak mengacuhkannya. Dia berjalan terus. Malam
hari dia sama sekali tak berhenti untuk berkemah atau
beristirahat. Ketika fajar menyingsing barulah dia berhenti.
Kebetulan disekitar tempat itu terdapat banyak rumput-rumput
hutan yang panjang-panjang seperti lalang. Kudanya segera
menyantap tumbuhan itu sedang Gaspar mencari sebuah pohon
yang bercabang cukup besar untuk tempatnya tidur. Tubuhnya
diikatnya erat-erat pada cabang pohon itu dan dia mulai tidur
seenaknya seakan-akan dia berada disatu tempat tidur empuk
didalam sebuah rumah. Satu jam kemudian sebuah benda besar
yang berwarna hitam kehijauan yang telah lama mendengkam
tak bergerak dipuncak pohon itu tampak bergerak. Benda itu
tak lain adalah seekor ular pohon yang sangat besar. Tubuhnya
yang panjangnya dua meter itu mulai bergerak melepaskan
gulungannya. Binatang itu terbangun dari tidurnya karena
hidungnya yang basah berlendir itu membaui suatu yang aneh
dari biasanya. Mula-mula sekali ditegakkannya kepalanya.
Dengan matanya yang kecil itu tanpa berkedip dia
memperhatikan tubuh Gaspar yang terbaring diatas cabang
pohon dibawahnya. Tubuh aneh Gaspar inilah yang telah
menimbulkan bau yang menusuk kedalam hidung ular pohon
itu, begitu juga bau dari kuda Gaspar yang tengah merumput.
Perlahan-lahan binatang itu melepaskan gulungannya.
Kemudian tanpa suara tubuhnya yang panjang itu mulai
meluncur kebawah. Kelebihan manusia dari pada binatang
adalah bahwa manusia itu diberi berakal. Tapi Tuhan Maha
Adil. Dilebihkannya pula binatang dalam satu hal dari manusia.
Ya itu perasaan serta pendengaran atau dengan satu kata,
instink, yang dimiliki binatang jauh lebih tajam dari manusia.
Kuda Gaspar yang tengah merumput dengan asyiknya tiba-
tiba menegakkan kepalanya. Hidungnya dihembus- hembuskannya sedang matanya mengedip-ngedip.
Pandangannya kemudian membentur ular pohon yang tengah
meluncur kebawah mendekati tuannya. Kuda itu menegakkan
kepalanya tinggi dan meringkik panjang dengan keras. Dua kali
binatang itu meringkik seperti itu. Suara ringkikan yang tinggi
keras membuat Gaspar jadi terbangun. Dia mengusap-usap
matanya. Saat itu dilihatnya matahari telah mulai
mamancarkan sinarnya. Tiba-tiba matanya membentur ular
pahon yang meluncur diatasnya. Saat itu pula kudanya
meringkik sekali lagi. Melihat bahaya itu Gaspar segera
menggerakkan tubuhnya, maksudnya hendak melompat
kecabang pohon yang dibawahnya terus turun ketanah. Tapi dia
lupa bahwa tubuhnya terikat kecabang besar yang ditidurinya.
Gaspar mencabut goloknya dengan cepat. Tali yang mengikat
badannya dipotongnya. Bersamaan pada saat tali yang
mengikatnya itu terlepas, pada saat itu pula kepala ular pohon
tadi sampai dimukanya dan mulai menyerangnya. Satu hal yang
menguntungkan laki-laki itu adalah bahwa dia tidak menjadi
gugup dengan bahaya yang mengancam jiwanya itu. Kedua
tangannya memegang cabang pohon dengan erat dan dengan
sigap dia menjatuhkan tubuhnya kesamping, berjuntai untuk
beberapa detik lamanya dan ketika ular pohon menyerang
untuk kedua kalinya, Gaspar telah melompat kecabang yang
dibawahnya. Sebelum dia mencapai tanah ular pahon itu masih
sempat menghantam ujung ekornya ketangan kanan Gaspar.
Gaspar menjerit kesakitan. Tangannya sakit sekali dan tanpa
dirasakannya, goloknya terlepas dari genggamannya.
Gaspar berlari dengan depat mendapati kudanya. Begitu dia
naik kepunggung binatang itu segera ditepuknya pinggul kuda
tersebut dan keduanya berlalu dari bawah pohon maut.
Meskipun tangannya tiada terperikan sakitnya sedang goloknya
tak sempat diambilnya namun yang penting bagi Gaspar adalah
bahwa dirinya selamat dari cengkeraman maut.
Sampai siang itu Gaspar baru berada dipertengahan rimba
raya yang luas lebat. Dia melalui tiga buah pohon manggis.
Ketiganya telah berbuah tapi cuma satu pohon yang buahnya
telah masak-masak. Dari pada tidak makan apa-apa sampai
saat itu sebaiknya dia memetik buah-buah manggis itu. Enam
buah manggis lenyap kedalam perutnya sedang dua belas buah
di masukkannya kedalam buntalannya untuk bekal kalau
sampai malam itu dia masih juga belum keluar dari hutan atau
tak menemui buah-buah lain yang dapat dimakan.
Sebelum senja datang, Gaspar sempat kedaerah yang banyak
ditumbuhi singkong-singkong hutan berdaun merah. Tanpa
pikir panjang lagi segera dicabutnya beberapa, batang dari
pohon-pohon tersebut. Setelah mengupas lima buah singkong,
dia mencari ranting-ranting kayu. Sangat sukar untuk mencari
ranting-ranting yang kering didalam hutan seperti itu.
Seperempat jam lamanya dia baru berhasil mengumpulkan
ranting-ranting yang agak basah dan seperempat jam pula
lamanya baru dia menyalakan api dari kayu-kayu yang basah
itu. Kelima singkong hutan yang telah dikupasnya itu
dipanggangnya diatas perapian untuk beberapa lamanya. Setiap
saat dibalik-balikkannya singkong agar rata masaknya. Gaspar
juga mengetahui bahwa banyak dari singkong-singkong yang
tumbuh didalam hutan beracun. Dia tak mau mati konyol oleh
racun singkong tersebut. Setelah hitam dan kering barulah
diangkatnya kelima singkong-singkong itu dan sambil meniup- niup makanan itu beberapa lamanya, barulah dia mulai
menggerogotinya satu demi satu. Kelima singkong bakar itu
licin tandas oleh Gaspar.
Karena tempat itu dirasakannya cukup aman maka dianta ra
pohon-pohon singkong tersebut Gaspar memutuskan untuk
berkemah malam itu. Sebelum membaringkan dirinya yang
terasa sangat letih sekali Gaspar menambah kayu perapian.
Rupanya maut masih juga terus mengintai dirinya Gaspar
dalam rimba raya itu. Setelah membereskan buntalan
pakaiannya pagi itu menyalakan api Gaspar mencabut tiga buah
batang singkong hutan yang tumbuh sekitar situ. Singkong yang
pertama kecil-kecil sekali. Tapi yang kedua dan ketiga cukup
besar dan lumayan untuk bekal diperjalanan nanti disamping
buah manggis sebanyak dua belas buah yang masih ada
padanya saat itu. Tengah dia asyik membalik-balik singkong
bakarnya, tiba-tiba dibelakangnya dilihatnya kuda yang
diberinya makan daun singkong hutan itu menunjukkan sikap
yang aneh. Binatang itu meninggikan lehernya. Hidungnya
menghembus-hembus sedang ekor dan kedua daun telinganya
bergerak-gerak, Gaspar memandang berkeliling. Dia tak
melihat apa-apa yang mencurigakan. Telinganya dipasangnya.
Tak satu suarapun yang terdengar. Angin pagi berhembus sejuk
sekali. Tanpa mengacuhkan kudanya laki-laki itu membalik- balikkan singkong bakarnya kembali. Dan pada saat itulah dari
balik semak-semak dibelakangnya dan dari atas-atas pohon
disekelilingnya keluar dan meloncat turun kira-kira dua puluh
orang yang hanya mengenakan cawat. Muka dan tubuh mereka
dicoreng-moreng dengan berbagai warna membuat tampang-
tampang mereka yang sudah buruk itu menjadi lebih buruk dan
menyeramkan. Mereka ada yang membawa golok, sumpritan,
tombak, kapak, penggada dan macam-macam senjata lagi dan
kesemuanya berteriak-teriak melolong setinggi langit seperti
kawanan-kawanan serigala yang kelaparan digurun pasir.
Orang-orang aneh itu berkeliling mengurung Gaspar. Gaspar
cepat berdiri hendak mencabut goloknya. Tapi senjata itu tak
ada. Dia baru ingat kalau golok tersebut jatuh ketanah ketika
tangannya disambar ular pagi tadi.
Dengan rasa cemas Gaspar memandang berkeliling. Orang- orang itu dilihatnya masih terus berteriak-teriak. Tiga orang
diantaranya membawa masing-masing segulung rotan dan
seperti orang gila yang menari-nari ketiganya mendekati
Gaspar. Kawan-kawannya yang lain siap dengan senjata
masing-masing, dan akan segera bertindak kalau Gaspar berani
membuat gerakan yang membahayakan diri ketiga kawannya
itu, Gaspar tahu akan hal itu karena itu dia diam tak bergerak- gerak. Hanya kedua bola matanya yang berputar-putar liar
memperhatikan tindak tanduk pengurungnya.
“Heiiiiaahhh!!!”. Ketiga orang yang paling dekat pada Gaspar
tiba-tiba sama berteriak dahsyat menyeramkan. Gaspar
merasakan lututnya gemetaran. Ketiga orang itu dengan cara
yang aneh membuka gulungan rotannya masing-masing. Lalu
mereka sama meloncat satu langkah kemuka dan tahu-tahu
tali-tali rotan tersebut sudah meluncur melilit tubuh Gaspar.
Laki-laki itu coba untuk berontak tapi tak ada gunanya. Lilitan
rotan semakin erat sedang jerit teriakan orang-orang itu
semakin nyaring meninggi. Tiba-tiba salah satu diantara
mereka, mungkin pemimpin dari rombongan manusia-manusia
aneh itu mengangkat kedua tangannya keatas dan berteriak
lebih keras meningkahi suara teriakan yang lain-lain. Dengan
serta merta semua teriakan jadi berhenti. Kesunyian yang
datang dengan tiba-tiba itu menjadikan suasana tambah lebih
menyeramkan.
“Kalian manusia-manusia gila! Lepaskan aku!” teriak Gaspar.
Suaranya menggema.
“He...... he...... he......” laki-laki yang berteriak tadi
menyeringai dan mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tak
diketahui oleh Gaspar.
“Lepaskan aku! Lepaskan!!” teriak Gaspar sekali lagi. Orang
itu menyeringai lagi dan kemudian menjawab dalam bahasa
Indonesia yang kaku. “Kau telah memasuki ini hutan, berarti
memasuki kami punya rumah. Kau tak bisa keluar dari sini.
Rohmu akan kami persembahkan pada Dewi Purnama malam
nanti!”. Tubuh Gaspar menggigil mendengar kata-kata itu. Tapi
dikuatkannya hatinya dan dia menjawab dengan keras. “Tidak!!
Kalian harus melepaskan aku. Aku akan beri hadiah kepada
kalian. Aku akan beri apa saja pada kalian! Bajuku, uang dan
juga kuda itu!”.
Orang yang bermuka coreng moreng didepannya
menggelengkan kepala. “Dewi Purnama menginginkan rohmu.
Dan kami tak akan melepaskanmu......!”. Orang itu berpaling
pada kawan-kawannya dan mengatakan sesuatu. Gaspar
kemudian didorong disuruh berjalan. Tak ada yang bisa
diperbuat oleh Gaspar selain mengikuti apa yang diperintahkan
oleh kepala rombongan tersebut. Dia melangkah dengan lutut
gemetar. Umurnya hanya sampai malam nanti. Dan sebelum itu
dia harus bisa menyelamatkan dirinya. Dia harus mencari akal
dengan otaknya yang cerdik licin itu. Kalau tidak maka dia akan
mati konyol ditangan manusia-manusia tak dikenal itu sedang
maksudnya untuk menemui guru-guru sakti akan menjadi gagal
dan dengan demikian rencana pembalasan dendam yang sudah
berbuat berakar didalam darah dagingnya tak akan pernah
kesampaian!
Gerombolan manusia-manusia coreng cemoreng yang hanya
mengenal cawat itu adalah orang-orang Dayak dari suku
Sampia. Orang-orang suku ini jumlahnya sedikit sekali yaitu
enam puluh orang. Kehidupan mereka sangat terpencil dan
selalu berpindah-pindah tempat didalam rimba raya yang luas
dikaki pegunungan yang membujur dari barat laut sampai
kepantai tenggara pulau Kalimantan. Mereka masih primitif
dan terhadap suku-suku lain dipedalaman Kalimantan mereka
selalu bermusuhan.
Orang-orang suku Sampia itu membawa Gaspar
keperkemahan mereka. Sebuah lubang digali sampai sebatas
paha dan Gaspar ditanam kedua kakinya didalam lubang itu.
Pakaian luarnya ditanggalkan. Dia hanya memakai celana
dalam saja. Sinar matahari seakan-akan membakar tubuhnya.
Dengan ditanam seperti itu sedang tangannya terikat
kebelakang. Gaspar memperhatikan segala kesibukan- kesibukan diperkemahan suku Sampia. Diujung sebelah sana
seorang laki-laki dengan tampang yang menyeramkan tampak
tengah mengasah sebuah kapak besar. Rupanya kapak itulah
yang akan menebas batang leher Gaspar dan orang yang
mengasah kapak adalah algojonya! Kembali tubuh Gaspar
menggigil. Badannya yang basah oleh keringat dingin menjadi
berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.
Gadis-gadis Sampia yang jumlahnya tak beberapa orang
sibuk membuat karangan bunga yang baunya sangat tajam
menusuk hidung. Ketika matahari tepat diubun-ubun kepala,
pemandangan Gaspar mulai berkunang-kunang. Seorang dari
suku Sampia mengguyur kepalanya dengan air bening yang
berbau anyir. Gaspar merutuk dalam hatinya. Badannya yang
selama beberapa jam tadi dijemur sampai panas ketika disiram
air anyir itu tampak jadi mengepul. Seharian itu Gaspar tak
diberi makan sama sekali. Tiada terkirakan bagaimana
penderitaan laki-laki itu. Ketika senja mendatang Gaspar antara
sadar dan tidak akan dirinya. Tubuhnya terkulai dan matanya
dipejamkannya. Ketika dia membuka matanya kembali
sekelilingnya telah terang benderang. Sepuluh orang laki-laki
berdiri dibelakang lingkaran manusia yang duduk ditanah dan
masing-masing memegang sebuah obor besar. Disebuah kursi
rotan yang berbentuk aneh duduk seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap. Matanya sangat besar dan dadanya berbulu, dialah
Inya, kepala atau raja suku Sampia. Disampingnya berdiri
seorang nenek-nenek yang sangat buruk rupanya. Rambutnya
awut-awutan. Kedua daun telinganya berlubang sangat besar
sekali. Seluruh mukanya, terutama kulit pada pinggiran kedua
matanya keriputan. Nenek-nenek tua itu bernama Gotah.
Umurnya tak seorangpun yang tahu. Kedudukannya ditengah-
tengah suku Sampia adalah penasehat Inya dan dukun sakti
yang ditakuti oleh seluruh orang Sampia. Apa yang
dikatakannya menjadi hukum aturan. Siapa yang berani
membantah atau melanggar kata-katanya, nyawa jadi
taruhannya!
Gotah berdiri dengan tak bergerak-gerak. Matanya
memandang tak berkedip pada Gaspar. Kedua bibirnya
terkatup sangat rapat. Ditangan kirinya terdapat sebuah
mangkuk besar yang terbuat dari tanah liat. Didalam mangkuk
itu terdapat air yang berwarna merah pekat dan yang baunya
sangat busuk sekali. Gaspar dengan kedua matanya yang kuyu
memandang Gotah, Tampang dukun yang seram menjijikan itu
membuat Gaspar mengalihkan pandangannya ketempat lain.
Ditepi lingkaran disamping muka sebelah kanannya tampak
beberapa buah genderang besar kecil yang berbentuk aneh.
Orang-orang yang akan memalu alat-alat itu telah bersiap-siap
didekat situ. Gaspar menengadahkan kepalanya memandang
kelangit diatasnya. Bulan purnama mulai menyembulkan
dirinya dibalik awan hitam. Keringat dingin semakin banyak
keluar dari tubuh laki-laki itu. Saat-saat terakhirnya hanya
tinggal beberapa menit saja lagi!*
* *
EMPAT
GOTAH memandang kelangit. Awan terakhir berarak
menjauh dari sang rembulan. Dukun perempuan itu maju satu
langkah. Tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya tinggi-
tinggi kemuka dan satu teriakan yang melengking tinggi,
menegakkan bulu roma keluar dari mulutnya. Genderang
kemudian dipukul mengikuti jeritan Gotah. Mula-mula
perlahan-lahan kemudian makin cepat dan makin keras. Suara
lengking jerit Gotah hilang ditelan kerasnya bunyi genderang.
Tiba-tiba Gotah menurunkan tangan kanannya dan genderang
dipukul perlahan seperti semula. Dukun bermuka iblis itu maju
kemuka. Teriakannya kini berubah dengan suara seperti orang
menyanyi yang sampai ketelinga Gaspar tak lebih seperti suara
lebah yang tengah membuat sarangnya. Nenek-nenek itu
barjalan mengelilingi Gaspar. Kini dia mulai membaca mantera
sambil dengan tangan kanannya dicipratkannya air busuk yang
didalam mangkuk tanah yang dipegangnya ditangan kiri kepada
Gaspar.
“Setan! Kalian manusia-manusia biadab yang gila semuanya!
Lepaskan aku!” teriak Gaspar. Dia masih bisa memaki
sekalipun rasa kecutnya sudah tak tertahankan lagi. Dan tak
satu orangpun dari suku Sampia itu yang menghiraukannya.
Gotah terus saja mengelilingi Gaspar dan memercikkan air
busuk itu ketubuh Gaspar sampai air tersebut habis. Setelah air
busuk habis, dukun tua itu meletakkan mangkuk tanah liat tadi
kekepala Gaspar kemudian berjalan kembali ketepi lingkaran
dan berdiri ditempatnya semula disamping rajanya yaitu Inya.
Suara genderang kini terdengar cepat seperti guntur,
menderu memekakkan telinga. Gaspar menggerakkan
kepalanya dan mangkuk tanah yang diletakkan diatas
kepalanya jatuh ketanah, pecah tiga! Inya, Gotah dan semuanya
orang yang berada disitu sama memandang dengan mata
terbeliak pada Gaspar. Pandangan-pandangan itu tambah
menyeramkan keadaan bagi Gaspar. Tapi dia berteriak lagi :
“Lepaskan aku! Lepaskan!”
Raja suku Sampia mengangkat tangan kanannya. Genderang
berhenti dengan serta merta. Inya memandang pada Gaspar
dan membuka mulut. Suaranya besar tapi tak berirama sama
sekali. “Kau manusia dari luar rimba berhentilah berteriak-
teriak. Sebentar lagi rohmu akan kami antarkan kepada Dewi
Purnama!”
“Kalian manusia-manusia bodoh semuanya!” menyemprot
Gaspar. “Dewi Purnama tak pernah ada dijagat ini! Kalian
mempercayai benda yang tidak ada. Kalian orang-orang gila.
Lepaskan aku!”. Gaspar melihat Gotah membisikkan sesuatu
ketelinga rajanya. Inya mengangguk dan dukun tua itu
menepuk tangannya tiga kali berturut-turut. Orang-orang yang
berdiri disamping kanan raja membuka jalan. Tujuh orang
gadis Sampia yang masing-masing memegang kalung-kalung
bunga dengan berbaris demi satu memasuki lingkaran. Bau
busuk bunga yang mereka bawa sangat memuakkan sekali.
Sebagai mana orang laki-lakinya, perempuan-perempuan ini
juga hanya memakai cawat belaka. Rombongan gadis-gadis itu
mengelilingi Gaspar beberapa kali. Suasana sunyi senyap.
Kesunyian berubah dengan seketika begitu terdengar suara
deru genderang. Gadis-gadis pembawa kalung-kalung bunga itu
berkeliling semakin cepat. Pada saat-saat tertentu, sesuai
dengan irama genderang yang dipalu mereka berteriak keras
sambil meloncat keudara, lalu lari lagi berkeliling memutari
tawanan. Irama genderang berubah menjadi pelahan kini. Dan
ketujuh penari yang mukanya coreng cemoreng itu melangkah
pula dengan lambat mengikuti irama genderang, mendekati
Gaspar. Kemudian satu demi satu kalung-kalung bunga itu
dilemparkan keatas kepala Gaspar. Kalung-kalung bunga itu
jatuh bertumpuk-tumpuk diatas bahunya, melingkari leher
terus kedagu dan sampai kemulutnya. Ketika lingkaran bunga
terakhir hendak dilemparkan pula, Gaspar menundukkan
kepalanya dan bunga itu lewat diatasnya lalu jatuh ketanah.
Kembali semua mata memandang terbeliak melihat kejadian
itu. Dan Gaspar sendiri merasakan adanya keanehan yang
dilihatnya dari orang-orang Sampia tersebut.
Suara genderang kembali semakin cepat dan keras. Ke tujuh
gadis-gadis yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kecil itu
menari seperti orang yang kemasukan setan. Berteriak-teriak
setinggi langit, meloncat lalu lari kian kemari, meloncat lagi dan
demikian seterusnya. Gerakan mereka tak menentu sama
sekali. Memperhatikan gerakan-gerakan penari itu lama-lama
Gaspar menjadi pusing sendiri. Dia memandang kelangit.
Dilihatnya awan-awan gelap hitam berarak perlahan-lahan dari
arah timur. Dalam tempo beberapa menit lagi awan-awan itu
kelak akan menutupi sang rembulan dan tak lama lagi tentu
hujan akan turun. Bintang-bintang yang tadi banyak bertaburan
diangkasa raya kini mulai menghilang satu demi satu.
Gotah mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan
meneriakkan sesuatu. Suara genderang dipalu lambat, begitu
juga gerakan ketujuh gadis-gadis tadi. Satu demi satu kemudian
gadis-gadis itu keluar meninggalkan lingkaran manusia sedang
Gaspar memperhatikan bagaimana wajah Gotah yang keriputan
itu membayangkan kecemasan. Sebentar-sebentar Gotah
melihat ke angkasa. Kecemasan si dukun tua ini dapat diketahui
oleh Gaspar. Pada detik-detik terakhir sebelum maut datang dia
bekerja keras untuk mencari akal agar dapat melepaskan diri.
Dan pada saat itu dia melihat laki-laki yang bertubuh tinggt
besar, berkepala botak masuk ketengah lingkaran. Ditangannya
tergenggam sebuah kapak besar yang sangat tajam. Kapak itu
berkilau-kilauan kena sinar api obor yang banyak disekeliling
lingkaran.
Gotah maju satu langkah kemuka. Dia menengadah menatap
pada bulan purnama diatasnya sedang kedua tangannya
dibentangkannya. Dan dari mulutnya terdengar kata-kata :
“Wahai Dewi Purnama Raya. Yang menerangi jagat dari utara
sampai ke selatan, dari barat sampai ke timur, yang memberi
cahaya didalam rimba raya ini. Detik ini...... jam ini...... hari
ini...... malam ini...... kami anak-anakmu orang-orang suku
Sampia akan mempersembahkan satu korban, satu roh, satu
jiwa orang laki-laki kehadapanmu, ya Dewi Purnama Raya.
Terimalah dia wahai Dewi Purnama. Semoga kau limpahkan
keselamatan dan.........” Gotah menghentikan kata-katanya. Dia
memandang tawanan yang ditanam kakinya. Semua orang juga
melihat pada Gaspar. Tubuh tawanan itu tampak jelas
bergerak-gerak seperti orang menggigil, tapi gerakannya jauh
lebih keras dari pada orang yang menggigil. Kadang-kadang
tubuh itu terhuyung-huyung kemuka, kadang-kadang
kesamping atau kebelakang. Gaspar tampak menengadah
kepalanya. Matanya terbeliak terbalik-balik. Gotah
mengerenyitkan keningnya yang keriputan sedang Inya bangkit
dari kursinya dan memperhatikan Gaspar tanpa berkedip. Dari
mulut tawanan itu terdengar suara yang tak begitu jelas. Lalu
agak keras dan semua orang memasang telinga mendengarkan
apa yang diucapkan tawanan yang tiba-tiba saja berubah
tingkah itu.
“He...... he...... he...... he......! Hu...... hu...... huuuh! Hemm......
Hai orang-orang Sampia dengar kalian semua...... Aku adalah
Dewi Purnama Raya yang menjelma meraga sukma kedalam
diri tawanan ini...... Dengar kalian semual”. Semua orang yang
berada disana menjadi terkejut. Suara yang dikeluarkan
tawanan yang dipendam ketanah sampai sebatas paha itu tak
ubahnya halus seperti suara perempuan. Seluruh tempat
menjadi sunyi senyap. Telinga dipasang lebar-lebar, mulut
sama terkatup rapat sedang mata membeliak besar
memperhatikan Gaspar.
Tubuh Gaspar kembali tampak menggigil. Kepalanya
menengadah memandang kearah bulan purnama dan mulutnya
ternganga. “Anak-anakku orang-orang Sampia. Dengar......
dengar. Aku Dewi Purnama Raya. Orang yang kalian tawan ini
tidak pantas menjadi korban persembahan untukku. Aku tidak
sudi menerimanya. Aku tidak suka...... Kalian harus melepaskan
dia...... kalian harus kembalikan semua barang miliknya.
Bajunya, celananya, buntalannya. Juga kudanya. Dan kalian
harus berikan beberapa potong barang-barang berharga kepada
dia. Dia harus kalian lepaskan. Harus! Malam inl juga......!”
Gotah maju mendekati Gaspar. Tubuh tawanan itu masih
menggigil sedang biji matanya terbalik-balik menyeramkan.
“Dewi Purnama Raya......! kata Gotah sambil berlutut
dihadapan tawanannya. “Sungguh gembira sekali hati kami
karena kau telah sudi datang menjelma diantara kami. Tapi
Dewi...... kalau kami boleh bertanya...... mengapa Dewi tolak
persembahan kami ini. Apakah kami telah membuat kesalahan
dan mengecewakan Dewi......?”
“Kau nenek-nenek tua...... Aku Dewi Purnama Raya tak
bersedia bersoal jawab dengan kamu. Apa yang kukatakan
harus segera dilakukan. Lepaskan tawanan inj!” terdengar
jawaban suara perempuan keluar dari mulut Gaspar.
“Tapi Dewi......” Gotah menghentikan kata-katanya.
Diangkasa terdengar suara petir menyambar. Satu detik
lamanya tempat sekitar situ menjadi terang benderang oleh
sinar kilat. Lalu geledek menggelegar keras. Semua orang
Sampia menjadi sangat takut. “Dewi Purnama marah......”.
“Dewi Purnama murka......”. Begitulah bisik mereka pada
sesamanya. Gotah si dukun tua menjadi kecut pula. Dia
memandang pada bulan diangkasa raya, Saat itu awan hitam
telah menutupi sebagian dari rembulan. Langit gelap pekat.
“Kalian tidak dengar apa yang kukatakan?! Lepaskan
tawanan ini sebelum aku murka!” terdengar suara penjelmaan
dari Dewi Purnama Raya. Sekali lagi kilat menyambar dan
sekali lagi guruh menggelegar. Orang-orang suku Sampia mulai
gelisah dan cemas kini. Gotah memutar kepalanya dan
memandang pada rajanya. Inya-pun tampak sangat ketakutan
sekali.
Gotah kemudian mengangkat tangannya, memberi isyarat.
Dua orang laki-laki kemudian maju kemuka dan segera
melepaskan ikatan tangan Gaspar. Kemudian tanah sekitar
mana tawanan itu dipendam kakinya digali dengan cepat. Saat
itu untuk ketiga kalinya kilat menyambar disusul oleh suara
guruh dan kemudian turunlah hujan rintik-rintik. Dari rintik- rintik berubah menjadi lebat sekali. Gaspar dibawa kedalam
sebuah kemah. Seluruh tempat terbuka itu kini menjadi sunyi
senyap. Semua orang-orang Sampia kembali kekemahnya
masing-masing. Yang turut kekemah dimana Gaspar dibawa
adalah dua orang yang menggali tanah tadi. Kemudian Gotah
dan Inya. Kejadian malam itu sungguh sangat mengejutkan hati
orang-orang Sampia, termasuk Gotah si dukun tua dan raja
sendiri. Mereka telah menyaksikan bagaimana mangkuk tanah
yang diletakkan diatas kepala tawanan jatuh ketanah dan pecah
menjadi tiga. Kemudian mereka saksikan lagi bagaimana bunga
terakhir yang dilemparkan kekepala Gaspar tidak berhasil
sampai ditempat tujuannya. Kedua peristiwa itu adalah
merupakan pertanda yang tidak baik. Selama berpuluh kali
mereka memberi korban kepada Dewi Purnama Raya tidak
pernah kejadian yang seperti itu. Lalu peristiwa yang terjadi
pada diri tawanan selanjutnya. Tingkah laki-laki itu mendadak
berubah. Dia menggigil seperti seorang yang sangat kedinginan.
Kemudian berkata dengan suara halus seperti perempuan.
Suara Dewi Purnama Raya yang menjelma meraga sukma
kedalam dirinya! Kemudian ketika Gotah coba untuk bertanya
pada Dewi Purnama melalui tawanan itu, sang Dewi telah
menjadi marah, Dia telah mengeluarkan ‘lecut apinya’ yaitu
kilat dan mengeluarkan ‘kata kemarahannya’ yaitu guruh!
Orang-orang Sampia yang masih primitif itu menjadi takut dan
cemas. Apa yang mereka lakukan adalah mengikuti apa yang
dikatakan oleh Dewi mereka......
Gaspar dibaringkan diatas sebuah balai-balai rotan.
Tubuhnya yang basah kena air hujan diseka hingga kering. Saat
itu tubuh sang tawanan tidak menggigil seperti tadi lagi. Cuma
matanya yang masih terbalik-balik sedang dari mulutnya keluar
kata-kata yang tak jelas. Segera diambil pakaian laki-laki itu
dan dipakaikannya kembali pada pemiliknya. Buntalannya juga
dibawa kesana sedang kudanya menunggu diluar kemah. Hujan
masih turun dengan hebatnya. Dua orang perempuan kemudian
masuk kedalam kemah membawa tiga keping emas dan dua
buah potongan berlian.
Gotah menjura dan berlutut disamping balai-balai rotan itu.
“Wahai Dewi Purnama Raya. Apa-apa yang telah engkau
perintahkan kepada anak-anakmu ini telah kami lakukan.
Tawanan ini telah kami lepaskan. Bajunya telah kami kenakan
kembali. Buntalannya kami sudah bawa kesini sedang kudanya
juga telah menunggu diluar. Barang-barang berharga yang Dewi
sebutkan telah pula kami masukkan kedalam saku bajunya.
Kami mohon diampunkan atas semua tindakan kami yang salah
ini. Ampun Dewi......”
Mulut Gaspar tampak komat-kamit tak karuan. Ludahnya
membusa. Diluar hujan mulai mereda. Kemudian terdengar
jawaban dari Dewi Purnama Raya. “Bagus...... bagus........ kau
telah menurut perintahku. Kalian kulimpahkan rahmat
keselamatan. Aku Dewimu akan pergi sekarang......”.
Bersamaan dengan itu mata Gaspar berhenti berputar-putar
dan berbalik-balik. Perlahan-lahan laki-laki itu bangkit dan
duduk diatas balai-balai. Dia memandang berkeliling,
memperhatikan orang-orang itu satu demi satu. “Dimana aku
ini......?” desisnya bertanya. Gotah bangkit pula dari
berlututnya. Dia, memandang pada laki-laki itu dan berkata.
“Dewi Purnama Raya telah menjelma kedalam dirimu dan
menyuruh kami, anak-anaknya untuk melepaskanmu. Kau tak
jadi kami korbankan dan saat ini juga kau boleh pergi dari sini.
Semua barang-barangmu telah kami kembalikan. Itu
buntalanmu dan kudamu menunggu diluar. Didalam saku
bajumu sebelah kanan kau dapati beberapa potong benda- benda berharga. Itu adalah pemberian kami yang diperintahkan
oleh Dewi Purnama......”. Gaspar memandang berkeliling
seperti orang yang tak percaya. Inya menganggukkan
kepalanya. “Aku raja suku Sampia. Kau bebas dan boleh
meninggalkan tempat ini saat ini juga!”
Gaspar menjangkau buntalannya. Dia turun dari balai-balai
itu. Sebelum keluar dari kemah dia memandang berkeliling
sekali lagi. Diluar didapatinya kudanya telah menunggu tanpa
kurang suatu apa. Orang-orang keluar dari kemah
memperhatikannya. Hujan telah reda sama sekali. Dan langit
tampak mulai terang kembali. Gaspar naik kepunggung
kudanya. Beberapa saat kemudian dia telah keluar dari
kelompok kemah-kemah suku Sampia itu. Seperempat jam kemudian baru Gaspar memperlambat jalan
kudanya dijalan yang becek didalam hutan itu. Rasa gelinya
yang selama ini ditahannya kini tak sanggup lagi dikuasainya.
Seperti orang gila dia tertawa terbahak-bahak didalam hutan
itu. “Hua...... ha...... ha...... ha...... ha...... Dasar manusia- manusia bodoh, tetap saja bodoh. Tak mengerti kalau aku telah
menipu kalian! Rasakan oleh kalian, bahkan aku berhasil
mengeruk keuntungan besar dari barang-barang berharga yang
ada disakuku saat ini! Bodoh! Ha...... ha...... ha...... ha......!”.
Memang segala apa yang diperbuat oleh Gaspar sebelum
detik-detik terakhir nyawanya direnggutkan oleh kapak maut
suku Sampia, semuanya adalah tipu daya dari akalnya yang
cerdik panjang itu. Kepanjangan akal serta kecerdikan ada
kalanya lebih besar artinya dari pada kekuatan tenaga. Dengan
kecerdikannya, dengan pura-pura meniru suara perempuan dan
mengaku sebagai Dewi Purnama Raya yang masuk meraga
sukma kedalam tubuhnya, Gaspar berhasil menyelamatkan diri
dari bahaya maut.
LIMA
MESKIPUN singkong bakar yang masih terdapat didalam
kantong perbekalannya sudah agak tak enak rasanya, namun
untuk mengisi perutnya yang belum makan apa-apa itu
terpaksa juga Gaspar pada keesokan paginya memakan
singkong-singkong bakar tersebut. Pada tengah harinya yang
bisa dimakannya adalah buah-buah manggis yang juga masih
banyak dalam persediaannya. Menjelang rembang petang dia
menemui sebuah kali kecil. Selesai mandi dan membersihkan
diri dikali itu, Gaspar meneruskan perjalanannya kembali. Lima
hari kemudian dia sampai kesungai Kapuas. Sebelum sampai
kesana dia melalui beberapa kampung dan kota-kota kecil. Dan
sebagai mana biasa disetiap kedai nasi yang terdapat dalam
kampung atau kota-kota tersebut dia selalu makan dengan tidak
membayar. Bukan karena kedai-kedai nasi itu punya keturunan
nenek moyangnya, tapi adalah karena setelah makan dengan
berbagai cara dia berhasil melarikan diri tanpa membayar
barang satu persenpun!
Dengan bertolak pinggang Gaspar memandang sungai itu.
Arus airnya sangat deras dan sungai itu lebar pula. Satu- satunya jalan untuk dapat menyeberangi sungai adalah dengan
memakai rakit atau perahu besar. Untuk itu Gaspar terpaksa
menuju kehilir sungai dimana banyak rakit-rakit dan perahu- perahu sewaan. Dua jam memacu binatang tunggangannya
akhirnya dia sampai kesatu pengkolan dihilir sungai. Persis
ditepi pengkolan sungai itu terletak sebuah pangkalan perahu
penyeberangan. Juga beberapa buah rakit terdapat disana.
Sedang dikejauhan tampak sebuah kedai nasi. Beberapa orang
tengah makan dengan lahapnya. Saat itu perut Gaspar memang
sudah saatnya untuk diisi. Dia meneguk air liurnya. Kali ini dia
tak lagi menjalankan prakteknya yang seperti biasa, yaitu
makan dan kabur. Kalau dia makan dikedai itu, lalu kabur
melarikan diri berarti dia tak bisa menyeberangi sungai
ditempat itu. Dan hal itu akan mendatangkan kesukaran
baginya. “Biarlah, sekali-kali tak apa makan dengan membayar.
Lagi pula barang-barang yang diberikan oleh orang-orang suku
Sampia yang kini ada dalam sakuku ini, tiada terkirakan
nilainya!” Pikir Gaspar.
Gaspar menuju kekedai itu dan makan sampai kenyang
disana. Selesai makan dan beristirahat sebentar maka dia
segera mencari sebuah perahu sewaan yang besar. Bersama
kudanya dia menumpang menyeberang keseberang. Sampai
diseberang dilihatnya banyak sekali orang-orang ditepi sungai.
Kalau dia kabur dan tak membayar sewa perahu ada
kemungkinan bahwa dia akan kena ditangkap oleh orang-orang
itu. Gaspar mengeruk kantungnya mengeluarkan uang kecil dan
membayar sewa perahu. “Hitung-hitung buang sial!” katanya
dalam hati.
Tiga hari tiga malam lamanya menempuh perjalanan dari
sungai Kapuas itu barulah tampak puncak gunung Niut
dihadapannya. Kebetulan sekali ada sebuah jalan kecil yang
menuju kekaki gunung yang 1701 meter itu tingginya sehingga
Gaspar dapat berlalu dengan cepat. Setengah jam kemudian dia
sampai kekaki gunung tersebut. Jalan kecil yang tadi dilaluinya
membelok kekanan. Dia meninggalkan jalan itu dan mulai
mendaki kaki gunung. Saat itu tengah hari tepat. Tapi pohon- pohon kayu yang banyak tumbuh disekitarnya memberi
pertolongan banyak dari panas teriknya sang surya kepada anak
buah Mali Kodra itu.
Gaspar mendaki gunung itu dengan mengitari lerengnya. Dia
tidak tahu dengan pasti apakah gurunya Somaha bertapa
dipuncak gunung tersebut atau dilerengnya. Menjelang sore
baru dia sampai kepuncak gunung. Tak seorangpun yang tahu
dengan tepat bilamana gunung itu meletus. Semenjak
meletusnya tak seorang juga yang pernah naik keatas
puncaknya. Akibat letusannya sendiri, gunung Niut membentuk
beberapa tanah pedataran yang kecil-kecil dan subur
dipuncaknya. Beberapa dari pedataran yang subur itu tampak
ditanami dengan berbagai jenis sayuran yang segar-segar. Buah
mentimun yang tumbuh disana lebih besar-besar dari pada
yang pernah dilihat oleh Gaspar. Dia turun dari kudanya.
Dengan menuntun binatang itu dia melangkah menuju
kesebuah pondok yang terdapat disebelah mukanya. Pintu
pondok tampak terbuka. Setelah mengikatkan kudanya
kesebuah tonggak kecil disamping pondok dia segera menuju
kepintu. Langkahnya terhenti didepan pintu ketika pandangnya
beradu dengan seorang laki-laki tua yang sangat kurus tengah
bersemedi duduk diatas sebuah tempayan yang dibalikkan.
Matanya terpejam, mulutnya terkatup rapat. Daging tubuhnya
boleh dikatakan tidak ada sama sekali melainkan yang tinggal
adalah kulit yang halus membaluti tulangnya sehingga tulang-
tulang dan urat-uratnya tampak membayang. Satu hal yang
agak ganjil yang dilihat Gaspar pada diri orang itu adalah
meskipun umurnya sudah sangat tua dan ditaksir tak kurang
dari tujuh puluh tahun namun rambutnya, alis matanya tetap
hitam tida memutih atau berubah warna menjadi abu-abu.
Gaspar tak berani terus masuk kedalam pondok itu. Dia
takut akan membuat suara berisik sehingga mengganggu tapa
guru sakti tersebut dan membuat dia jadi terbangun. Gaspar
melayangkan pandangannya meneliti isi pondok kecil itu.
Disudut sebelah kanan dekat pintu yang menuju keruang
belakang terdapat sebuah meja kecil. Dibawah meja itu terletak
satu tungku besi sedang diatas meja tampak satu kendi kecil
yang bagus sekali. Disamping sebelah kanan terletak sebuah
balai-balai yang dialasi dengan kain putih, sarung bantalnya
juga putih bersih. Lalu sebuah lemari kecil dan didinding
disamping tempat tidur tadi tergantung sebuah busur yang
sangat besar. Anak-anak panahnya yang cuma tiga buah
terletak dalam sebuah kantong kulit yang tergantung disamping
busur tadi. Gaspar menduga panjang busur yang baru sekali itu
dilihatnya ada kira-kira satu setengah meter. Tali busur
tersebut bukan terbuat dari tali biasa melainkan dari rotan yang
kuat liat. Anak-anak panahnya yang besar-besar panjangnya
mungkin satu meter atau mungkin lebih. Dikolong tempat tidur
tersembul tepi sebuah tempayan. Hanya itu semua yang dilihat
oleh Gaspar tak ada yang lain lagi.
Pandangannya kembali pada guru tua itu. Agaknya Gondola,
begitulah nama gurunya Somaha tak akan menyelesaikan
semedinya dalam waktu yang singkat. Ini berarti bahwa Gaspar
harus menanggu dengan sabar. Gaspar memutar tubuhnya, dia
berjalan mengelilingi pondok Gondola. Dibagian belakang
pondok ditemuinya sebuah balai-balai kayu yang sangat kotor
penuh dengan debu dan tanah liat. Agaknya balai-balai itu tak
pernah dipakai dan dibersihkan. Kemudian dia pergi kesatu
pedataran yang terletak ditepi puncak gunung. Dan tepi
pedataran itu dia dapat melihat pemandangan yang sangat
indah dibawahnya. Jauh disana tampak sungai Kapuas meliku-
liku seperti seekor ular. Warna air sungai yang putih seperti
perak tampak sangat jelas diantara hijaunya pohon-pohon
dirimba raya disekitarnya. Meskipun tempat dimana dia berdiri
tiada kelindungan sebuah pohon kayupun, tapi karena letaknya
tinggi dan disekitar sana banyak pula angin maka dia merasa
sangat sejuk berada disitu. Seperempat jam kemudian baru
Gaspar meninggalkan tempat itu dan menuju kepedataran yang
banyak ditanami berbagai jenis sayuran. Seperti biasa, ketika
melihat buah mentimun yang besar-besar segar diladang itu,
Gaspar jadi menitik air liurnya. Dia menoleh kearah pintu
pondok beberapa lamanya. Ketika dirasakannya aman baru satu
demi satu dipetiknya buah mentimun tadi. Dan satu demi satu
pula lenyap kedalam mulutnya. Selesai mengisi perut dia pergi
duduk-duduk kebawah sebuah pohon kayu yang rindang. Angin
silir-silir bertiup dengan nyamannya. Tak terasa lagi laki-laki
itu jadi mengantuk. Dia menguap beberapa kali dan akhirnya
tertidur ditempat itu.
Ketika dia bangun matahari telah bewarna merah
kekuningan tanda bahwa benda penerang jagat itu tak lama lagi
akan masuk kedalam peraduannya, tenggelam semalam suntuk
untuk kembali muncul lagi pada keesokan harinya. Gaspar
menyeka mukanya dengan ujung bajunya kemudian cepat
berdiri. Dia menuju kepondok itu. Tapi didapatinya Gondola
masih saja dalam keadaan bersemedi. Gaspar menarik nafas.
Dia menuju kebagian belakang pondok. Kalau guru sakti itu
tidak selesai dalam semedinya malam itu maka berarti Gaspar
harus menginap disana. Gaspar mulai membersihkan balai- balai kayu yang dibelakang pondok. Letaknya dirapatkannya
kedinding rumah dibawah cucuran atap sehingga kalau turun
hujan dia akan terlindung sedikit. Gaspar tak berani membawa
balai-balai itu kedalam pondok dan tidur didalam. Senjapun
datang. Diudara tampak beterbangan beratus-ratus kelelawar
sedang dikejauhan burung-burung beterbangan berombongan,
mungkin tengah menuju pulang kesarang masing-masing. Senja
berlalu dan malam yang gelap kini muncul. Saat itu bulan baru
masih belum muncul. Sinar-sinar bintang yang bertaburan
diangkasa raya tidak cukup untuk memberi penerangan. Alam
sekitar Gaspar tampak gelap gulita. Dekat pintu belakang dia
melihat sebuah lampu tempel. Tapi Gaspar tak berani
menyalakannya. Sinar lampu itu mungkin akan mengganggu
semedi Gondola. Sebelum pergi tidur malam itu Gaspar
menjenguk lagi dari pintu muka kedalam pondok yang gelap
pekat itu. Samar-samar kelihatan sang guru masih tetap
ditempatnya, diam tak bergerak. Gaspar mengeluarkan kain
sarungnya yang banyak tambalannya dan yang baunya cukup
membuat perut orang yang kosong menjadi muak. Dengan kain
sarung itu dia menutupi tubuhnya. Dia bergelung dan
berkelumun dari dinginnya udara dipuncak gunung.
Paginya ketika dia bangun Gondola masih juga belum selesai
dengan semedinya. Gaspar mulai tak sabar kini. Kalau orang
tua itu bersemedi sampai seminggu seperti itu, berarti
waktunya akan terbuang habis percuma menunggu sedemikian
lamanya sedang dua guru sakti lainnya yang harus
didatanginya, tempat keduanya terletak jauh sekali dari gunung
Niut itu. Dia khawatir kalau-kalau kabar yang harus
disampakannya itu datang terlambat sehingga pertemuan
antara keempat guru sakti tersebut ditempat yang telah
ditentukan oleh gurunya Mali Kodra akan mendapat halangan.
Dan halangan bisa berarti gagalnya rencana pembalasan yang
sudah sangat diidam-idamkan oleh Gaspar setiap siang dan
malam itu.
Menjelang tengah hari ketika perutnya mulai minta diisi,
kembali Gaspar memasuki ladang mentimun. Lima buah
mentimun telah masuk kedalam perutnya tenggorokannya.
Tapi dia masih merasa belum cukup. Dipetiknya dua buah lagi.
Mendadak sudut mata Gaspar menangkap satu gerakan
disampingnya. Dia memutar kepalanya kearah pondok. Disana,
dipintu pondok berdiri sesosok tubuh yang kurus kering dengan
bertolak pinggang. Gondola! Rupanya guru tua itu telah
menyelesaikan semedinya, tanpa setahu Gaspar ketika dia
enak-enakan menyantap mentimun ditengah ladang. Kedua
mata Gondola menyorot tajam pada Gaspar. Perlahan-lahan
Gaspar memutar tubuhnya. Kedua mentimun yang tadi
dipetiknya dijatuhkannya ketanah.
“Bangsat rendah!” terdengar suara bentakan dari pintu
pondok. “Kau manusia keparat berani datang kesini dan
mencuri diladangku, hah?!”.
Dengan langkah yang gemetar Gaspar mendekati guru tua
itu. Kira-kira lima tombak dihadapan Gondola, Gaspar menjura
memberi hormat. Kemudian tanpa berani menantang kedua
mata laki-laki itu dia berkata. “Harap dimaafkan guru. Sejak
kemarin siang saya menunggu guru menyelesaikan semedi.
Selama satu hari satu malam saya terpaksa menahan lapar dan
dahaga. Karena saya tak kuasa lagi menahannya akhirnya saya
petik mentimun-mentimun diladang itu. Harap maafkan
guru......”.
“Apa kau kira embah moyangmu yang menanam mentimun
itu sehingga kau boleh mengambilnya seenak perutmu?!”.
“Maaf guru...... saya tahu kalau buah itu guru yang
memilikinya karena guru yang menanamnya. Tapi untuk minta
izin mengambil dan mambangunkan guru dari semedi saya
takut......” kata Gaspar menjawab sambil menundukkan kepala.
“Berapa buah yang telah kau petik, pencuri bejat?! Katakan
terus terang!” bentak Gondola dengan garang.
“Tujuh buah, guru. Yang lima telah saya makan dan yang dua
lagi tadi saya jatuhkan ketanah......” jawab Gaspar tanpa
menyebutkan jumlah mentimun yang telah dipetiknya kemarin
siang.
“Hanja tujuh buah yang kau petik? Tidak lebih dan tidak
kurang?!” tanya Gondola sambil memandang tajam pada laki
laki yang dihadapannya. Sinar mata yang menyeramkan itu
membuat Gaspar tak mau main kucing-kucingan. Dia segera
menjawab : Kemarin siang enam buah......”
“Bagus! Kau telah memetik tiga belas buah mentimun
milikku. Dan kau harus bayar itu. Kesini!” perintah Gondola.
Dengan ketakutan Gaspar melangkah maju. Hatinya
berdebar. “Sa...... saya akan bayar...... guru......” kata Gaspar
sambil mengeruk saku bajunya maksudnya hendak
mengeluarkan uang.
“Pencuri laknat, aku tidak butuh uangmu! Kau harus bayar
dengan tubuhmu!” maki Gondola. Sekujur badan Gaspar
menjadi gemetaran kini. Apa maksud dari guru tua itu dengan
kata-kata ‘harus membayar dengan tubuhmu?’........ pikir
Gaspar dalam hatinya. Dia terkejut oleh bentakan Gondola.
“Kesini!”. Gaspar mendekat lagi. Sejarak satu langkah dari
hadapan orang tua itu, tiba-tiba tangan kanan Gondola
bergerak cepat dan tahu-tahu rambutnya sudah dijambak oleh
guru sakti itu, membuat Gaspar tak bisa berkutik sama sekali.
“Kau harus bayar dengan ini, pencuri rendah!” maki Gondola
dan bersamaan dengan itu tangan kirinya bergerak cepat
menampar kedua pipi Gaspar sampai tiga belas kali. Ketika
Gondola melepaskan jambakannya, Gaspar terhuyung-huyung
kebelakang. Saat itu dia sudah tak sadar akan dirinya sama
sekali. Tubuhnya jatuh ketanah dengan keras. Bibirnya pecah- pecah dan mulutnya sekitar kedua pipinya bengkak besar,
matang biru. Matanya antara terbuka dan tertutup. Dengan
bertolak pinggang Gondola tetap berdiri ditempatnya. Matanya
memandang tajam ketubuh Gaspar yang melingkar ditanah.
ENAM
Seperempat jam kemudian baru Gaspar sadar akan dirinya.
Matanya dibukanya, tapi segera dipejamkannya kembali karena
silau oleh matahari. Dengan susah payah dia duduk menjelepok
ditanah. Dengan kedua tangannya dipegangnya pipinya.
Disekanya darah yang mengalir dari pecah-pecah dipipinya.
“Sekarang terangkan, siapa kau!” bentak Gondola. Lehernya
terasa sakit ketika Gaspar coba untuk mengangkat kepalanya.
Dan ketika dia hendak membuka mulutnya dia mengerenyitkan
keningnya. Mulutnya yang bekas ditampar bertubi-tubi oleh
Gondola terasa sangat sakit sekali. Dia tak kuasa untuk
membuka mulut itu. Jawaban yang bisa diberikannya cuma
berupa erangan panjang.
“Kau siapa?!” bentak Gondola sekali lagi. Gaspar mengerang.
Dia hendak menjawab tapi masih tak berhasil. Gondola menjadi
kasihan juga melihat laki-laki itu. Dia membentangkan kedua
telapak tangannya. Kedua telapak tangannya itu diludahinya
masing-masing satu kali. Mulutnya kemudian komat-kamit. Dia
membungkuk dan dengan kedua telapak tangan yang basah
oleh air ludah itu diusapnya pipi Gaspar! Mula-mula Gaspar
merasakan kedua pipinya sakit sekali seperti dipanggang. Air
matanya bercucuran menahan sakit. Tapi beberapa detik
kemudian rasa sakit itu lenyap dan berubah dengan rasa dingin.
Dan ajaib sekali sakit dipipinya kini menjadi hilang!
“Sekarang kau bisa buka mulut! Katakan siapa kau dan apa
maksudmu datang kesini!” ujar Gondola. Dan benar, kali ini
Gaspar sudah bisa membuka mulutnya memberikan jawaban.
“Na........ namaku Gaspar. Saya anak buah Mali Kodra......”.
“Aku tidak kenal dengan manusia yang bernama Mali Kobra
itu......” potong Gondola.
“Mali Kodra, bukan Mali Kobra......” membenarkan Gaspar.
“Mali Kodra atau Mali Kobra, pokoknya aku tak kenal orang
itu!”.
“Mali Kodra adalah sahabat Somaha, murid dari guru
sendiri......” menerangkan Gaspar.
“Lantas ada apa kau datang kesini? Kau membawa kabar dari
muridku itu? Somaha?!” tanya Gondola.
“Somaha sudah tidak ada lagi dijagat ini. Somaha telah
dibunuh oleh dua orang dari suku Kayan, begitu juga pemimpin
saya sendiri yang bernama Mali Kodra itu!”.
“Kalau bicara jangan main-main denganku, bangsat!” kata
Gondola yang tak percaya mendengar kabar kematian muridnya
itu.
“Sungguh mati saya tidak main-main dengan guru. Baik saya
akan terangkan dengan jelas......”. Gaspar menerangkan segala
sesuatunya dari pangkal sampai keujung. Bumbu asam garam
yang dapat menambah amarah guru tua itu tak pula lupa
ditambahkan oleh Gaspar.
“Bangun! Mari masuk kepondokku!” kata Gondola
kemudian. Perlahan-lahan Gaspar berdiri dan melangkah
mengikuti si orang tua. Didalam pondok Gondola meminta
beberapa keterangan lagi dari Gaspar.
“Jadi baru Pakarasa seorang yang kau temui......?” Gaspar
mengangguk.
“Baik! Sebelum bulan purnama yang ditentukan itu, aku
akan sudah berada ditempat yang dijanjikan. Dikaki gunung
Bukit Raya sebelah timur! “Kau mau pergi sekarang......?”
Gaspar mengangguk.
“Pergilah dan kalau kau masih mau mentimun itu kau boleh
ambil, tapi jangan banyak-banyak!” kata Gondola pula. Gaspar
menjura memberi hormat dan keluar dari pondok. *
* * Tiga hari sudah dia meninggalkan gunung Niut. Dia bergerak
terus mengikuti cabang dari sungai Kapuas yang oleh penduduk
sekitar sana dinamai sungai Melawi. Semakin jauh
kepedalaman perjalanan yang ditempuh semakin sukar sedang
pegunungan yang selama ini dihindarkannya, terpaksa kini
ditempuhnya. Kalau dia membelok keselatan menghindari
pegunungan berarti akan membuang waktu sekitar satu
minggu. Karena takut terlambat menemui kedua orang guru
sakti lainnya Gaspar memutuskan untuk menempuh jalan di
sela-sela pegunungan. Kadang-kadang dia menemui tukang-
tukang perahu yang bisa membawanya melalui sungai bersama
kudanya.
Disatu kota yang bernama Putusahi dia mulai meneruskan
perjalanan melalui darat kembali setelah dua hari dua malam
mengarungi sungai Melawi sampai kehulunya. Satu hari
berkuda terus-terusan akhirnya baru Gaspar menemui hulu
dari sungai Mahakam. Siang malam sungai itu diikutinya terus.
Mahakam adalah sungai yang mengalir melalui danau Jempang
dimana Surdala, gurunya Jantra tinggal. Kelaparan, bahaya
maut yang mengancam dari binatang-binatang buas dan orang- orang dayak yang masih primitif datang silih berganti tiada
hentinya. Namun kalau memang ajal maka berpantang mati.
Semua kesukaran dan semua bahaya itu berhasil dilaluinya.
Dan dia sampai lima hari kemudian ditepi barat danau
Jempang.
Beberapa rumah penduduk tampak berdiri ditepi danau. Dia
bertanya pada orang-orang yang tinggal disitu apakah mereka
mengetahui dimana letak pertapaan guru sakti yang bernama
Surdala itu. Tapi tak satu pendudukpun yang mengetahuinya.
Setelah membeli makanan secara terpaksa dikampung kecil itu,
Gaspar meneruskan perjalanannya menyusuri tepi danau
kearah timur. Sampai senja dia mengelilingi danau itu sehingga
kembali lagi ketempatnya semula yaitu kampung kecil tadi,
namun dimana letak tempat kediaman Surdala tidak juga
ditemuinya. Malam itu dia menginap dirumah salah seorang
penduduk. Paginya dia melarikan diri setelah mencuri
sebungkus nasi dan beberapa potong ikan panggang. Pagi itu
dia mulai lagi menyelidiki seluruh tempat sekitar danau. Kini
dengan perlahan-lahan dan dengan lebih teliti. Namun tetap dia
tak berhasil menemui tempat kediaman Surdala. Gaspar
memutar kudanya dan sekali lagi menyelidiki. Dia tak berani
mendekati perkampungan itu apalagi melaluinya. Matahari
telah bergeser dari titik kulminasinya. Perutnya sudah sangat
lapar. Segera dibukanya bungkusan nasi yang dicurinya
dirumah dimana dia menginap malam tadi. Selesai makan dia
meneruskan penyelidikan lagi. Ditikungan danau sebelah timur
mendadak Gaspar berpapasan dengan seorang yang bertubuh
gemuk pendek. Orang yang tak dikenal itu mempunyai kumis
yang panjang sampai melewati dagunya, tak ubah seperti
kumis-kumis orang-orang Tiongkok pada abad-abad yang lalu.
Saat itu si orang gemuk pendek tengah menjinjing dua ekor
ikan besar yang mungkin diambilnya dari danau. Tanpa turun
dari kudanya Gaspar bertanya pada orang itu. “Bapak........
mungkin bapak pernah dengar tentang seorang guru sakti yang
diam disekitar danau ini......? Namanya Surdala......”.
Orang gemuk pendek itu mengerenyitkan alisnya. Dengan
kedua matanya yang bulat besar diperhatikannya Gaspar mulai
dari ujung rambut sampai keujung kaki.
“Memang aku pernah mendengar nama itu...... ada urusan
apa kau mencari dia......?”, tanya orang itu pula
Gaspar hendak memaki si orang gemuk. Tapi karena dia
membutuhkan keterangan dia mengurungkan niatnya dan
menjawab. “Ada satu urusan yang sangat penting. Mungkin
bapak tahu dimana tempat kediamannya?”. Sekali lagi orang
yang ditanya memperhatikan Gaspar.
“Kalau begitu ikuti aku!” kata orang tadi. Dia melangkah
tanpa turun dari kudanya Gaspar mengikuti orang itu.
Keduanya menyeruak diantara semak-semak. Lima menit
kemudian tampak sebuah jalan kecil. Orang itu membelok
memasuki jalan kecil tersebut. Gaspar terus mengikuti.
Meskipun dia cuma jalan kaki dan Gaspar naik kuda, namun
jalan orang itu cepat sekali. Kedua kakinya yang besar berat itu
berjalan dengan entengnya. Gaspar yang juga melihat keanehan
gerak-gerik penunjuk jalannya mulai merasa curiga. Dia selalu
berlaku waspada. Mungkin si gemuk ini seorang perampok yang
hendak menipunya, membawanya kesarangnya.
Sepuluh menit kemudian tampak sebuah rumah berbentuk
bulat. Dindingnya dari bambu sedang atapnya dari daun-daun
kelapa yang telah kering. Dimuka rumah itu terdapat sebuah
sumur.
“Ini rumahnya......?” tanya Gaspar sambil turun dari kuda.
Orang yang ditanya mengangguk. Si gemuk membuka pintu.
Sementara itu Gaspar mengikatkan kudanya disatu tiang ditepi
sumur. “Masuklah!” kata orang tadi.
“Tak apa-apa kita masuk tanpa diizinkan lebih dahulu........?
Dia ada didalam?” tanya Gaspar.
“Kataku masuk......!” ujar orang gemuk tadi. Gaspar
memandang tajam pada orang yang dipandang balas
memandang dengan lebih tajam. Pandangan balasan dari orang
gemuk pendek membuat hati Gaspar menjadi kecut. Dia merasa
sesuatu tak enak. Akhirnya dia menurut masuk kedalam rumah.
Orang itu menutupkan pintu kembali. Didalam rumah terletak
sebuah tikar besar. Disebelah pojok dari tikar itu terletak seekor
bangkai ular yang telah dikuliti. Kulit binatang itu dijadikan
tikar sedang kepalanya yang besar dengan mulut menganga
menjulur dibagian tengah tikar. Si orang gemuk langsung
duduk keatas kulit ular. “Duduk!” katanya pada Gaspar. Rasa
khawatir anak buah Mali Kodra almarhum itu menjadi semakin
besar. Namun seperti yang diperintahkan dia duduk juga diatas
tikar dihadapan kepala ular itu. Dia memandang pada dua ekor
ikan yang diletakkan disudut ruangan.
“Aku adalah Surdala, orang yang kau cari! Katakan apa
maksudmu!” terdengar suara si orang gemuk. Gaspar jadi
sangat terkejut. Dia memandang dengan mata membeliak pada
orang yang dihadapannya. Dia tak percaya sama sekali dengan
pengakuan itu.
“Berita yang saya bawa adalah sangat penting sekali.
Hendaknya bapak jangan main-main. Tolonglah panggilkan
guru sakti itu......” kata Gaspar.
“Kau tak percaya bahwa aku adalah Surdala?!” kata si orang
gemuk. “Lihat kedua ikan yang kuletakkan disudut itu!”. Gaspar
memutar kepalanya, menoleh kepada dua ekor ikan besar yang
diletakkan laki-laki itu disudut rumah. Orang yang mengaku
bernama Surdala mengangkat kedua telapak tangannya
dimukanya. Mulutnya komat-kamit. Beberapa detik kemudian
dengan satu teriakan. “Bahhhh......!” dipukulkannya kedua
telapak tangannya kemuka. Pada detik itu juga kedua ekor ikan
besar yang masih mentah tadi menjadi berubah berwarna agak
kehitam-hitaman, Keduanya mengeluarkan kepulan asap dan
juga mengeluarkan bau yang harum sekali. Ikan-ikan besar itu
dengan kekuatan tenaga dalam si orang gemuk yang sangat
tinggi sekali telah dirubahnya dari dua ekor ikan mentah
menjadi dua ekor ikan panggang!
Gaspar menganga melihat peristiwa itu. Tiba-tiba dia sadar
akan dirinya. Dengan cepat dia berlutut dan menjura memberi
hormat. “Harap maafkan, guru. Saya tidak tahu kalau bapak
adalah guru yang saya cari itu. Hendaknya dimaklumi saja
karena saya tak pernah bertemu muka dengan guru
sebelumnya......”
“Tak usah banyak cerita. Kau berkata bahwa kau mencari aku
untuk membawa satu berita yang sangat penting sekali.
Sekarang katakan cepat!”.
“Guru mempunyai seorang murid yang bernama Jantra
bukan?”
“Benar. Sudah lebih enam bulan lamanya dia tak
menyambangi aku kesini. Kau bawa kabar dari dia......?”
“Menyesal sekali guru. Saya membawa kabar yang buruk
tentang dia. Jantra bersama pemimpin saya sendiri dan empat
orang sahabat-sahabat lainnya telah menemui ajal telah
dibunuh oleh dua orang pendekar muda sakti yang berasal dari
suku Kayan......”.
“Apa?! Jantra muridku mati dibunuh orang?! Jantra mati?!”
tanya Surdala setengah berteriak.
“Benar guru...... Saya sendiri yang menyaksikan mayat-mayat
mereka. Mereka dibunuh disatu tempat diluar kota Kuala
beberapa minggu yang lalu!” jawab Gaspar. Dan laki-laki itu
mulai lagi dengan cerita lamanya yaitu memberi kabar lengkap
yang disertai bumbu hasutan. Memang sebagai guru yang cuma
punya satu murid yaitu Jantra, Surdala sangat panas sekali
hatinya mendengar kabar kematian muridnya itu. “Orang
Kayan biadab. Mereka biadab semuanya!” maki Surdala dengan
geram. “Sebenarnya aku juga sudah punya dendam lama
terhadap orang-orang dari suku itu. Merekalah yang telah
memusnahkan suku Kenia, suku yang rajanya menjadi sahabat
baikku tempo hari. Dan sekarang muridku yang mereka bunuh!
Agaknya tiba saatnya untuk menyelesaikan perhitungan dengan
bangsat-bangsat dari suku Kayan itu!” Surdala berdiri dari
duduknya.
“Sabar...... sabar guru. Keterangan saya belum habis” kata
Gaspar dengan cepat ketika melihat bagaimana gurunya Jantra
naik pitam seperti itu. “Sebelumnya saya telah menemui dua
orang guru sakti lainnya yang pertama adalah Pakarasa yang
diam dikaki delta sungai Barito. Pakarasa adalah guru
pemimpin saya sendiri. Kemudan Gondala, guru sakti yang
kedua yang tinggal digunung Niut. Pakarasa menyuruh saya
agar menyampaikan pesan pada guru-guru sakti yang bakal
saya temui. Pesan itu adalah agar guru-guru berkumpul
selambat-lambatnya bulan purnama bulan muka dikaki gunung
Bukit Raya sebelah timur. Disanalah rencana pembalasan akan
disusun”.
“Bulan Purnama dimuka...... dikaki gunung Bukit Raya
sebelah timur......” desis Surdala sambil memandang tajam
kepintu rumah. “Sebenarnya lebih cepat dari itu bisa
kulakukan. Tapi untuk tidak mengecewakan guru-guru sakti
lainnya dan untuk memenuhi perjanjian aku terima juga
keputusan Pakarasa itu. Dengan Gondola sendiri aku pernah
berkenalan. Enam bulan yang lalu aku pernah datang
kepertapaannya......”.
Keadaan didalam pondok itu hening seketika. Kemudian
terdengar suara bertanya dari Surdala. “Berapa orang guru lagi
yang akan kau temui......?”
“Tinggal satu lagi, guru” jawab Gaspar. “Yang dua orang lagi
tak saya ketahui dimana tempat tinggalnya”.
“Siapa yang seorang lagi itu......?”
“Nemini. Gurunya Luntra......”.
“Nemini......? Namanya seperti perempuan......”.
“Memang dia seorang pertapa perempuan, guru. Bahkan
Nemini adalah istri dari muridnya sendiri. Istrinya Luntra!”.
“Heh......” desis Surdala. “Selama hidupku baru kali ini aku
mendengar guru kawin dengan murid. Apa pertapa sakti yang
bernama Nemini itu masih muda dan masih gadis ketika
muridnya mengawininya......?”.
“Saya duga tentunya Nemini jauh lebih tua dari muridnya
sendiri. Tapi meskipun tua mungkin dia masih tetap cantik
seperti mudanya. Saya sendiri belum pernah bertemu muka
dengan pertapa perempuan itu” jawab Gaspar pula.
“Dimana perempuan itu tinggal?” tanya Surdala.
“Dilereng gunung Kinibalu”.
“Kau pasti benar bahwa dia diam disana? Gunung Kinibalu
sangat jauh dari sini. Kalau Nemini tinggal disana hanya
dugaanmu belaka sedang dia tidak diam disitu berarti
kepergianmu kesana hanya membuang-buang waktu saja!”.
“Tidak, guru. Saya tahu dengan pasti bahwa beliau tinggal
dilereng gunung Kinibalu itu. Cuma disebelah mananya
memang tidak saya ketahui......” jawab Gaspar.
“Kau hanya punya waktu tiga minggu lebih beberapa hari
lagi. Berarti kau harus berangkat cepat-cepat!
“Benar guru. Dan saat inipun saya hendak meminta diri
kepada guru” kata Gaspar sambil berdiri. Dia menjura memberi
hormat dan memutar tubuhnya. Ketika dia sampai kepintu
Surdala berkata. “Kurasa sebaiknya kau bawa saja seekor dari
ikan panggang itu untuk bekalmu dijalan. Ambillah!”.
Gaspar memutar langkahnya kesudut ruangan. “Terima
kasih, guru” katanya sambil mengambil salah seekor dari ikan
yang tersandar dipojok rumah yang dengan kekuatan tenaga
dalamnya telah dipanggang oleh Surdala. Gaspar kemudian
memandang pada guru sakti itu. Dengan agak ragu-ragu dia
berkata. “Kalau guru punya sedikit nasi...... alangkah sedapnya
bila ikan ini dimakan dengan nasi......”. Guru sakti itu
tersenyum. “Dia menunjuk kepintu belakang. “Dibelakang ada
sebuah gerobok. Buka gerobok itu dan kau akan menemui
setumpuk kecil nasi diatas sehelai daun. Ambillah!”.
Tanpa disuruh dua kali. Gaspar segera menuju kesana.
Dibelakang ditemuinya sebuah gerobok kecil. Dibukanya
penutup gerobok itu yang menimbulkan suara yang tak enak di
dengar dan didalam sana diatas sehelai daun talas dilihatnya
setumpuk kecil nasi merah. Nasi sudah agak berair sedikit.
Ketika dicium oleh Gaspar bau sang nasi sudah agak lain pula.
Tapi tak apa. Dari pada makan ikan panggang tanpa nasi lebih
baik dengan nasi juga sekalipun nasinya sudah agak berbeda
rasa! Setelah membungkus nasi itu cepat-cepat Gaspar menuju
keruangan tadi. Surdala masih duduk ditempatnya. “Sudah......?” tanya guru sakti itu. ”Sudah, guru. Dan terima
kasih banyak-banyak. Saya pergi sekarang......” jawab Gaspar.
Surdala mengangguk dan Gaspar keluar dari rumah itu.
TUJUH
DARI danau Jempang Gaspar terus menuju keutara. Dia
menyeberangi sungai Mahakam dengan sebuah rakit sewaan
dan meninggalkan rakit itu begitu saja tanpa membayar
sewanya. Selewatnya sungai besar itu, Gaspar melalui dua buah
danau lagi yaitu danau Melintang dan danau Semayang.
Pemandangan disekitar kedua danau itu sangat indah sekali.
Hal itu hanya diperhatikan secara sepintas oleh anak buah Mali
Kodra tersebut karena dia tak punya waktu untuk memandang
segala keindahan alam itu. Apa yang dipikirkannya ialah
bagaimana dia bisa sampai secepat mungkin ketempat
tujuannya yang terakhir, yang jauh letaknya diujung utara
pulau Kalimantan.
Dua hari kemudian kembali pegunungan menghadang
jalannya. Pegunungan itu dikenal dengan nama pegunungan
Tabur. Mungkin nama itu diberikan orang karena letaknya yang
rata menabur kesegala penjuru, sukar untuk didaki. Gaspar
terpaksa mengambil jalan sungai. Satu hari satu malam
lamanya baru dia berhasil mencari sebuah perahu sewaan yang
cukup besar yang bisa disewanya. Sungai yang dilaluinya tidak
seberapa besar tapi arusnya deras sekali. Gaspar terpaksa
membantu tukang perahu itu untuk mengayuh melawan arus.
Keesokan petangnya kira-kira lima kilo dari sumber sungai,
perjalanan tak mungkin lagi untuk diteruskan. Arus sungai
sangat besar sekali. Sedang muatan perahu, dua orang
ditambah seekor kuda adalah berat sekali.
Untuk pertama kalinya Gaspar mempunyai hati
kemanusiaan. Dia kasihan juga, melihat pakaian tukang perahu
yang compang-camping itu. Untuk mendapat sedikit uang dia
bekerja sebagai tukang perahu, mengantarkan penyewa kemana
saja yang dikehendakinya. Sampai didarat Gaspar segera
membayar ongkos perahu. Kemudian dia meneruskan
perjalanan melalui darat lagi setelah terlebih dahulu memberi
makan kudanya.
Dua hari lebih lamanya Gaspar menunggangi kudanya
melalui sela-sela pegunungan dengan hanya beristirahat
bilamana perlu. Pada hari yang ketiga kembali dia menemui
sebuah sungai kecil. Air sungai itu jernih sekali dan arusnya
mengalun tenang. Dia mengikuti sungai itu yang menuju
ketimur kemudian lurus kebarat. Disatu tempat dia menemui
sebuah perkampungan. Setelah mengisi perutnya disatu kedai
nasi yang sangat menyedihkan sekali keadaannya, Gaspar
menyewa sebuah perahu yang akan membawanya lebih jauh
keutara.
Hari masih pagi. Kicau burung-burung masih terdengar
disana-sini. Udara terasa sejuk sekali dan perahu yang berisi
dua orang laki-laki, penyewa dan penumpang serta seekor kuda
meluncur laju mengikuti arus sungai. Anak sungai yang mereka
tempuh itu sampai keinduknya. Arus sungai semakin tenang.
Ditepi sungai Gaspar melihat banyak sekali pohon-pohon
pisang yang tengah berbuah masak dan dikerumuni oleh kera- kera yang tak terhitungkan jumlahnya, sehingga pohon-pohon
pisang itu menjadi condong dibuatnya.
Pisang yang masak membuat selera Gaspar menitik. Dia
menyuruh tukang perahu untuk menuju ketepi sungai. Sam pai
ditepi Gaspar meloncat kedarat. Kera-kera yang banyak itu
berlarian ketakutan dengan mengeluarkan pekik jerit yang
hingar-bingar. Gaspar memotong dua tandan pisang kecil-kecil
yang telah masak-masak kemudian kembali keperahu. Sambil
bercakap-cakap kedua orang itu memakan pisang tersebut satu
demi satu sementara perahu meluncur juga. Tanpa terasa
tengah hari telah berlalu. Empat sisir pisang kecil-kecil telah
lenyap kedalam perut kedua laki-laki itu kulitnya diberikan
kepada kuda.
Gaspar memandang jauh kemuka. Sungai itu lurus sekali tak
ubahnya seperti sebuah jalan raya layaknya. Ketika dia
mengarahkan pandang kebelakang, kelihatan puncak
pegunungan Tabur menjulang dikejauhan. Dua buah benda
yang menghitam dikejauhan menarik perhatian Gaspar. Cuma
dua buah batang kayu, pikir laki-laki itu sambil memutar
kepalanya kembali dan memandang kemuka. Dia memetik
sebuah pisang lagi. Tapi hatinya terasa tidak enak. Dia menoleh
kebelakang kembali. Kedua benda yang diduganya adalah
batang-batang kayu yang dihanyutkan air masih kelihatan
dibelakangnya dan makin tambah dekat. Aneh...... masakah
batang kayu bisa menyusul mereka......? Dia memperhatikan
dengan seksama, dengan lebih teliti. Hatinya mulai berdebar.
“Ada apa yang kau lihat......?” tanya anak perahu ketika
memperhatikan penyewanya yang terus-terusan memandang
kebelakang.
“Kau lihat dua buah benda itu......?”. Si anak perahu memutar
kepalanya kearah yang ditunjukkan Gaspar. Mukanya jadi
pucat. “Buaya!” teriaknya.
“Ketepikan perahu cepat!” teriak Gaspar. “Ketepikan lekas!”.
Arah perahu segera membelok tajam kekiri. Satu meter sebelum
mencapai tepi sungai Gaspar telah meloncat keluar dari perahu
itu. Loncatan tersebut membuat perahu menjadi oleng keras.
Dan pada detik itu pula kedua ekor buaya yang sejak lama
mengikuti mereka sampai ketempat itu. Yang pertama
menyundul perahu dengan kepalanya. Perahu terbalik. Kuda
Gaspar meringkik keras sebelum tubuhnya terlempar kedalam
air. Anak perahu sendiri yang hendak meloncat menyelamatkan
diri kena dihantam pinggangnya oleh ekor buaya yang kedua.
Orang itu menjerit dan mental ketengah sungai.
Kuda dan manusia kini menjadi mangsa dua ekor buaya
sungai. Buaya yang pertama menggigit tengkuk kuda Gaspar.
Binatang itu meronta dan menendang-nendangkan kakinya.
Tapi gerakan tersebut membuat tubuhnya yang besar berat itu
menjadi semakin tenggelam kedalam air. Binatang darat yang
besar kukuh itu akhirnya tak berdaya sama sekali. Dia
tenggelam kedasar sungai bersama buaya yang sebentar lagi
bakal menyantap menggerogoti tubuhnya. Pada saat tubuh
anak perahu yang mental ketengah sungai mencapai air, pada
saat itu pula buaya yang kedua sampai disana dengan mulut
ternganga. Mulut yang lebar dengan gigi-gigi yang besar
runcing-runcing itu mencengkeram paha kanan si anak perahu.
Jerit terakhirnya masih kedengaran sebelum tubuhnya lenyap
diseret kedalam air oleh buaya itu. Air sungai dikeruhkan oleh
darah didua tempat. Yang pertama darah kudanya Gaspar
sedang yang terakhir darah dari tubuh anak perahu yang
malang itu. Dan semua kejadian itu dilihat oleh Gaspar dengan
mata kepala sendiri dari tepi sungai. Keringat dinginnya
membasahi tubuhnya. Lututnya goyah. Mulutnya ternganga.
Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Peristiwa sebentar tadi
yang baru dilihatnya itu melemahkan segala sendi anggotanya.
Dia duduk menjelepok ditanah, bersandar kesebuah pohon
ditepi sungai tanpa bisa bergerak-gerak.
Beberapa lama kemudian baru laki-laki itu sadar akan
dirinya. Dia berdiri kembali dengan perlahan-lahan. Matanya
masih tertuju ketengah sungai. Noda-noda darah telah lama
hilang dihanyutkan arus kearah muara. Dia sadar bahwa
perjalanan selanjutnya harus dilakukannya dengan jalan kaki!
Dan bisakah dia sampai ketempat yang dituju dalam waktunya?
Dengan terhuyung-huyung, dia melangkahkan kakinya. Dia
berharap-harap untuk dapat menemui sebuah perkampungan
dalam waktu yang singkat dimana dia dapat memiliki seekor
kuda lagi untuk meneruskan perjalanannya. Dia tak peduli
apakah dia harus mencuri atau membeli. Pokoknya memiliki
seekor kuda, habis perkara!.
Malam itu Gaspar bermalam dikaki sebuah bukit kecil.
Paginya dia meneruskan perjalanan kembali. Ditengah jalan dia
menemui beberapa buah pohon talas. Segera dicabutnya
tanaman itu sampai keakarnya. Tiga buah talas yang besar- besar cukup untuk mengisi perutnya saat itu. Untung saja korek
api yang dibawanya tidak jatuh kedalam sungai waktu dia
meloncat menyelamatkan diri dari bahaya maut kemarin.
Segera dicarinya ranting-ranting kayu dan mulai menyalakan
api.
Rupanya kemalangan masih belum habisnya merongrong
anak buah Mali Kodra almarhum itu! Dan bau talas panggang
yang dibakarnya itulah yang telah menyebabkan datangnya
kemalangan yang kedua pada diri Gaspar. Kira-kira seratus
meter dari tempatnya berada itu, terdapat sebuah jalan kecil
yang jarang dilalui manusia. Jalan itu menghubungkan sebuab
desa kecil dengan satu perkampungan yang terletak kira-kira
dua kilo dari sana. Tiga orang laki-laki yang tampak melintasi
jalan kecil dengan cepat. Salah seorang dari ketiganya tampak
menggerak-gerakan cuking hidungnya. “Heh......” desisnya.
“Aku mencium satu bau yang nyaman sekali. Seseorang tengah
membakar sesuatu...
“Aku juga......” kata kawannya sambil memandang
berkeliling. “Barangkali ada yang memanggang daging......”.
“Tolol! Daging panggang bukan begini baunya. Mungkin
singkong atau talas panggang ini!” tukas kawannya yang ketiga.
“Daging atau talas atau singkong atau apapun tak peduli!
Perut kita lapar dan kita harus menemui dimana sumber bau
yang sedap itu!” kata yang pertama. Melihat tampang-tampang
ketiga laki-laki itu nyatalah bahwa mereka bukan orang baik- baik. Pakaian yang mereka kenakan sama kumalnya dengan
tampang-tampang mereka. Masing-masing mereka membawa
sebuah golok yang disisipkan dipinggang kiri.
“Hem...... baunya dari sebelah sana......” kata yang paling
tinggi tubuhnya diantara ketiga orang itu. Kawannya yang dua
lagi segera mengikuti kemana kawannya itu melangkah.
Beberapa menit kemudian dari balik semak-semak mereka
melihat seorang laki-laki yang berpakaian sama kumalnya
dengan mereka tengah meniup-niup api pembakaran tiga buah
talas yang besar-besar.
“Dia tidak bersenjata......” bisik yang tinggi.
“Kita datangi dia, kita minta sebagian talas panggang itu, lalu
kita rampok dia!”. Kedua kawannya menganggukkan kepala.
Ketiga orang itu menyeruak dari balik semak-semak”.
“Hai kawan...... sungguh sedap panggang talasmu!”.
Gaspar terkejut dan memalingkan kepalanya kebelakang.
Tiga orang laki-laki dilihatnya datang mendekatinya. Dia cepat
berdiri. “Kalian siapa......?!!”
“Oh...... kami tentunya sahabat-sahabat barumu yang baik- baik yang ingin beramah tamah denganmu. Talas bakar itu
baunya harum sekali. Kalau kami bisa mendapatkannya
beberapa potong......?!”, jawab si jangkung. Dia tersenyum
ketika mengucapkan kata-kata itu.
Gaspar memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama.
Meskipun tampangnya sendiri buruk, tapi tampang ketiga
orang itu dirasakannya lebih buruk lagi. Kemudian dia
menjawab : “Talas yang tiga buah ini hanya cukup untukku
seorang. Kalau kau ingin talas cabut pohon-pohon talas yang
lainnya itu dan kau boleh memanggangnya sini!”.
Ketiga orang itu saling berpandangan sesamanya. Dan si
jangkung buka mulut lagi sambil memandang ketalas bakar
yang dihadapannya. “Perutmu teatunya perut keranjang
sampah kawan!” katanya sambil tersenyum. “Talas yang tiga
buah bukan main besarnya. Dan katamu cuma cukup untukmu
seorang. Bukan main!”.
“Macam apapun perutku, itu bukan urusanmu, sobat! Kalau
kau ingin makan talas bakar lakukan apa yang kukatakan. Tapi
kalau tidak silahkan jalan. Walau bagaimanapun aku tak akan
memberikan secuil dari ketiga talas ini kepadamu!” ujar Gaspar.
“Hem...... galak benar sobat baru kita ini! Tapi baiklah,
memang untuk mendapatkan sesuatu itu manusia harus
berusaha dan bekerja!”. Ketiga laki-laki tadi segera mencabut
beberapa buah pohon talas. Setelah mengupasinya lalu
dipanggang diatas perapian sementara Gaspar telah sibuk
mengunyah talasnya sendiri.
“Kau berasal dari mana, bung?!” tanya si jangkung sambil
membalikkan talas yang dibakarnya.
“Selatan......” jawab Gaspar, acuh tak acuh.
“Namaku Lasta kawanku yang ini Mika dan yang satu lagi
Sarda. Kau ada urusan apa berada ditempat ini?”.
“Aku tidak akan mengatakannya padamu!” jawab Gaspar.
“Urusan dagang......?” tanya Mika.
“Kukatakan aku tidak akan terangkan padamu, sobat!” jawab
Gaspar sambil mengunyah talasnya yang kedua.
“Hem...... orang pentingpun tak pernah merahasiakan
dirinya!” ujar Lasta.
“Orang penting! Dan aku bukan orang penting, cuma urusan
yang kubawa memang penting!” kata Gaspar pula.
“Dari selatan sampai kesini kau cuma jalan kaki......?” tanya
Sarda.
“Mula-mula aku memiliki seekor kuda. Ketika aku naik
perahu, dua ekor buaya lapar menyerang perahuku. Perahuku
terbalik. Kuda dan anak perahu menjadi mangsa binatang air
itu. Aku sendiri berhasil meloncat dari perahu menyelamatkan
diri!”.
“Tentunya kau punya ilmu juga, heh......?” tanya Lasta.
“Begitulah......” jawab Gaspar perlahan. “Kalian bertiga
siapa?!”
“Kami pedagang-pedagang hasil hutan. Kami baru saja
menjual rotan dan damar dikota ditepi sungai kira-kira lima
kilo dari sini......” jawab Lasta. Talas yang dipanggangnya telah
masak, Ketiga berkawan itu mulai menyantap talas masing- masing.
“Kau mau menuju kemana......?” tanya Mika dengan mulut
penuh.
“Utara......” jawab Gaspar antara terdengar dan tidak karena
mulutnya penuh dengan talas. Selama beberapa menit tak
seorangpun yang membuka mulut untuk bicara. Ketiga orang
itu telah selesai dengan santapan mereka. Gaspar memasukkan
korek apinya kedalam sakunya dan talas yang masih tinggal
sebuah dimasukkannya kebuntalannya.
“Kau mau berangkat......?” tanya Lasta. Gaspar mengangguk.
Lasta memberi isyarat pada kedua kawannya. Kedua laki-laki
itu segera berdiri. “Kenapa cepat-cepat amat?!” tanya Sarda.
“Bagaimana kalau kita sama-sama saja, kami juga hendak pergi
keutara......”.
“Tapi urusanmu dan urusanku berbeda! Aku pergi dulu,
sobat!”.
Lasta cepat berdiri. Dia tersenyum. Ketika Gaspar hendak
melangkah dia cepat berkata. “Tunggulah sebentar sobat!”.
“Ada apa lagi?!” tanya Gaspar kesal sedang hatinya sudah tak
enak.
“Kau belum melihat ini......” ujar Lasta sambil tangannya
meluncur kepinggang sebelah kirinya.
“Melihat apa?!” tanya Gaspar tak mengerti.
“Ini......” jawab Lasta dan bersamaan dengan itu goloknya
telah keluar dari sarungnya!
DELAPAN
Gaspar mundur dua langkah kebelakang. Kedua orang kawan
Lasta dilihatnya juga sama mencabut golok masing-masing.
Walaupun hatinya sudah sangat kecut melihat itu tapi Gaspar
masih memberanikan diri untuk memaki : “Manusia-manusia
terkutuk! Mengaku sebagai pedagang-pedagang hasil hutan.
Tak tahunya cuma rampok-rampok bejat rendah!”.
“Ha...... ha! Kalau kau sudah tahu siapa kami adanya, maka
tak usah banyak bicara. Sebaiknya segera serahkan saja apa-apa
barang yang kau bawa!” tukas Lasta dengan menyeringai buruk.
Dia maju selangkah dan memelintangkan goloknya dimuka
hidung Gaspar.
“Kalian manusia-manusia kurang ajar. Manusia tak punya
budi! Aku sama sekali tak memiliki barang-barang berharga.
Buntalan itu cuma berisi satu helai baju, lain tidak!”.
“Mika, coba periksa isi buntalan itu!” perintah Lasta pada
sahabatnya. Mika segera mambuka buntalan milik Gaspar.
Didalamnya ditemui satu stel pakaian, dan satu sarung
tambalan.
“Ambil benda-benda itu. Dia cukup laku untuk dijual pada
petani-petani sekitar sini!” kata Lasta. Mika membungkus
buntalan itu kembali dan tetap menjinjingnya dengan tangan
kiri.
“Kau Sarda, geledah isi sakunya! Dan kuperingatkan
kepadamu sobat, kalau kau berani bergerak sedikit saja,
kepalamu akan terpisah dari tubuhmu!” kata Lasta. Sarda
segera menggeledah isi saku Gaspar. Disaku kiri baju laki-laki
itu di temui secuil tembakau. Beberapa gulung daun nipah, lalu
korek api dan uang kecil. Benda-benda itu segera berpindah
kesaku Sarda. Kini saku sebelah kanan diperiksa. Gaspar
mundur selangkah. “Aku tak punya apa-apa lagi!” teriaknya.
“Kau bergerak sekali saja lagi, aku akan bunuh kau, bangsat!”
mengancam Lasta. Gaspar tak berdaya sama sekali. Dia tak
punya senjata untuk melawan. Sekalipun dia punya juga tak
mungkin baginya untuk merobohkan ketiga musuh itu. Dia
ingat rencana perjalanannya. Kalau dia melawan juga maka
nyawanya akan segera melayang meninggalkan tubuhnya
sedang Nemini gurunya Luntra tak berhasil ditemuinya, berarti
jumlah guru-guru sakti yang akan melakukan pembalasan jadi
berkurang. Ketika Sarda memasukkan tangan kirinya kesaku
kanannya, Gaspar hanya bisa berdiam diri dengan
mengatupkan barisan gigi-giginya karena geramnya.
Dari dalam saku itu Sarda mengeluarkan sebuah bungkusan
kain kecil yang sudah kumal sekali. Bungkusan itu dibukanya.
Dan...... “Hem......” katanya dia tak punya apa-apa! Tapi lihat
ini......!” Lasta dan Mika memandang keisi bungkusan yang
ditangan Sarda. Ternyata beberapa keping emas dan berlian.
Benda-benda berharga itu adalah yang diterima Gaspar dari
suku Sampia yaitu ketika menyelamatkan diri dengan pura- pura kemasukan rohnya Dewi Purnama Raya.
“Bawa sini barang-barang itu!” desis Lasta. Lasta
memasukkan barang-barang berharga tersebut kedalam
sakunya. Dia memandang Gaspar dengan menyeringai lalu
berkata. “Sekarang baru kau boleh pergi. Kau ketempat
tujuanmu dan aku ketempat tujuanku! Selamat jalan, sobat dan
terima kasih untuk semuanya ini!”.
“Ya, terima kasih untuk semuanya ini. Tapi ingat-ingat sobat,
suatu ketika aku akan mencarimu dan mematahkan batang
lehermu satu demi satu! Kau belum tahu siapa aku. Aku adalah
muridnya pertapa sakti yang bernama Nemini!”.
Lasta dan kedua orang kawannya sama terkejut mendengar
kata-kata Gaspar itu. Tapi kemudian kembali Lasta
menyeringai. Sambil memandang pada kedua kawannya dia
berkata. “Jangan kena ditipu kawan-kawan. Kalau dia benar
muridnya Nemini sudah lama kita bertiga kena dibereskannya,
mari!”. Lasta, Mika dan Sarda memutar tubuhnya dan
meninggalkan tempat itu. Mereka lenyap dibalik semak-semak
yang lebat. *
* * Satu hari sesudah dia dirampok habis-habisan oleh ketiga
orang itu, Gaspar dalam meneruskan perjalanannya masih saja
merutuk dan menyumpah-nyumpah didalam hatinya. Dia
mempercepat jalannya. Mendadak matanya memandang
kepulan asap yang menghitam kemerahan dikejauhan. Benda- benda kecil seperti bekas bakaran-bakaran kertas atau atap- atap rumah yang terbuat dari rumbia membubung tinggi
keangkasa bersama kepulan asap itu. Apakah yang terjadi......?
Pikir Gaspar. Hutan terbakar atau apa?! Dia mempercepat
jalannya lagi bahkan kini setengah berlari. Dua kali bajunya
dijambret oleh ranting-ranting kayu, sekali sampai robek,
namun tak diacuhkannya. Dia berlari terus. Nafasnya mulai
sengal Sepuluh menit kemudian telinganya kini mulai
mendengar suara hiruk-pikuk. Jeritan manusia, suara
bangunan rumah yang terbakar dan gejolak api, suara
beradunya senjata dan berbagai suara lagi.
Dia sampai kesatu jalan besar. Dari sana mulai dilihatnya
tegas nyala api yang membakar beberapa buah wuwungan dari
gedung-gedung yang besar dan indah. Dihalaman sekitar
gedung itu berpuluh-puluh prajurit tengah adu senjata dengan
hebatnya. Barisan panah dari kedua belah pihak yang
bertempur beterbangan diudara mencari sasaran, seperti hujan
layaknya. Tak ada satu orang laki-lakipun yang tidak terlibat
dalam pertempuran yang tengah berkecamuk itu. Diujung sana,
didepan barisan rumah-rumah yang sama bentuknya dua
pasukan berkuda yang penunggangnya masing-masing
bersenjatakan golok panjang atau pedang serta perisai saling
baku hantam dengan serunya.
Sebuah anak panah nyasar melayang kearah Gaspar. “Mati
aku!” jerit laki-laki itu sambil berguling menjatuhkan diri.
Disampingnya tampak sebuah pohon nangka. Tanpa pikir
panjang lagi, Gaspar memanjat pohon itu. Dari sebuah cabang
ditengah pohon dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya.
Ditanah utara Kalimantan, yaitu kira-kira persis
diperbatasan Kalimantan Utara jajahan imperialis Inggris
dengan daerah milik Republik Indonesia pada masa itu
terdapat sebuah kerajaan kecil yang bernama Bulungan.
Dulunya kerajaan ini bernama Tanjunglor. Tapi ketika raja
Tanjunglor yang bernama Bulungan, yang sangat dicintai oleh
seluruh rakyatnya meninggal dunia, maka atas kehendak
bersama dari rakyat, putera mahkota Rifal, anak dari
Tanjunglor kemudian mengganti nama kerajaan menjadi
Bulungan.
Raja Rifal mulanya mempunyai seorang istri yang bernama
Rumiah. Dari permaisuri Rumiah. Rifal mempunyai dua orang
anak laki-laki. Yang tua bernama Miari yang kecil bernama
Mista. Kecantikan permaisuri Rumiah terkenal diseluruh
penjuru kerajaan yang aman makmur itu. Tapi hati seorang
laki-laki......
Pada suatu hari Rifal tertarik hati pada seorang gadis berkulit
hitam manis bernama Sima yang ditemuinya dipasar buah- buahan waktu beliau tengah berjalan-jalan disana bersama para
menteri kerajaan. Sima adalah seorang anak penjual rempah- rempah keturunan Parsi. Mata raja saling beradu dengan mata
sang gadis. Bibir saling mengulum senyum dan hati sama
bicara! Dan kalau sudah begitu apalagi! Rifal diam-diam jadi
tergila-gila pada gadis itu. Sebagai seorang raja dia tidak mau
bertindak ceroboh. Mata rakyat akan selalu tertuju kepadanya,
kepada segala gerak-gerik dan perbuatannya. Tapi apa mau
dikata. Sekali panah asmara menancap didalam jantung, sukar
untuk dicabut kembali. Rifal mengirim seorang kepercayaannya
kepada ayah Sima. Orang kepercayaan alias yang melakukan
lamaran. Dan siapa pula yang akan menolak lamaran seorang
raja? Sima juga menerima lamaran itu. Bukan saja karena Rifal
adalah seorang raja, tapi juga karena Rifal merupakan seorang
laki-laki yang tampan. Perkawinan kemudian dilangsungkan
tanpa pesta. Pernikahan hanya dilakukan oleh seorang kadi
dihadapan beberapa orang saksi. Namun mulut manusia......
Kabar tentang perkawinan raja dengan gadis anak tukang
rempah-rempah itu entah bagaimana akhirnya bocor juga. Dari
beberapa gelintir manusia kini rahasia itu meluas sampai
keseluruh pelosok kerajaan. Dan kalau rahasia sudah tersebar
seluas itu maka namanya bukan rahasia lagi!
Setahun sesudah Rumiah melahirkan anaknya yang pertama
yaitu Miari maka Sima juga melahirkan seorang anak laki-laki
bernama Nisa. Dan setahun sesudah itu pula barulah lahir anak
laki-laki Rumiah yang kedua yaitu Mista. Pergaulan hidup
keluarga raja sehari-hari diistana kini tampak banyak
perubahan-perubahannya. Sima lebih disenangi oleh Rifal,
mungkin karena istri muda! Segala apa kehendaknya
diperturutkan. Sanak saudara Sima banyak yang diangkat jadi
orang penting didalam istana. Semuanya itu adalah atas
kehendak Sima juga. Rumiah bukan tak tahu kalau suaminya
lebih kasih pada istri mudanya dari dirinya sendiri. Namun apa
yang bisa dilaksanakannya hanyalah cuma bersabar. Karena
makan hati yang ditahan-tahan akhirnya Rumiah jatuh sakit.
Setahun kemudian permaisuri menutupkan matanya untuk
selama-lamanya. Kini segala apa yang dilakukan oleh Sima jadi
lebih leluasa. Siapa yang akan melarang dan membantah apa
yang disenanginya? Rifal sendiripun tak lain seperti seekor
kerbau yang diikat lehernya dengan tali. Dan tali itu berada
dalam genggaman erat sang istri muda.
Rakyat menjadi gempar ketika suatu hari diumumkan bahwa
Sima atas keputusan Baginda Raja diangkat menjadi permaisuri
sah dari kerajaan. Berarti kalau sudah tiba saatnya, anak laki-
laki yang lahir dari perempuan itupun berhak mewarisi tahta
kerajaan. Banyak pembesar-pembesar istana yang merasa tak
senang akan keputusan Baginda itu. Namun ketidaksenangan
itu cuma bisa mereka katakan dalam hati masing-masing. Kalau
dikeluarkan berarti mencari penyakit. Sima bisa saja menyuruh
penjarakan atau menyuruh bunuh pembesar-pembesar yang
dirasakannya akan menentang dan tak menyukainya.
Setahun kemudian kalangan yang memerintah diistana itu
benar-benar berubah kini. Atas kehendak dan hasutan Sima
hampir semua pembesar kerajaan ditukar dengan orang-orang
yang menjadi kepercayaannya, dengan orang-orang yang masih
ada hubungan keluarga dengan dia. Semua orang baru yang
diangkat Raja atas kehendak istrinya itu adalah orang-orang
yang tak becus menjalankan pemerintahan. Raja sudah tergila- gila oleh kecantikan dan keindahan tubuh serta rayuan Sima.
Hal yang berhubungan dengan pemerintahan diabaikan dan tak
diperhatikannya lagi. Orang-orangnya Sima sibuk berlomba-
lomba mengeruk harta kekayaan. Kerajaan yang dulu aman
makmur kini menjadi centang perenang tak karuan. Dan semua
penderitaan yang timbul tiada terkirakan itu jatuhnya tetap
kesatu golongan, yaitu rakyat! Pembesar-pembesar istana
bisanya cuma pesta ria setiap malam, main perempuan, judi,
minum, mengeruk harta kerajaan yang datangnya dari tetes
keringat rakyat. Didalam istana, Rifal hanya merupakan boneka
buta tuli dan bisu yang dikemudikan oleh Sima. Setiap hari
kerja permaisuri tak lain dari pada berhias dan berhias. Dan
begitu butanya Rifal, dia sampai tidak tahu kalau Sima sudah
main gila berulang kali dengan seorang pembesar istana yang
masih muda belia. Main gila dimuka hidungnya sendiri. Itulah
yang terjadi selama bertahun-tahun didalam istana Bulungan
yaitu kemewahan, segala macam kesenangan hidup, sedang
yang selama bertahun-tahun dialami rakyat tak lain dan tak
bukan hanyalah penderitaan. Dua puluh tahun berlalu. Dua
puluh tahun yang bagi Sima beserta orang-orangnya
merupakan masa yang sangat berbahagia. Rifal yang sudah tua
sudah tak diacuhkan lagi oleh Sima. Setiap malam berganti- ganti pemuda gagah yang memasuki kamar tidur permaisuri itu
untuk bersenda gurau, tertawa bercumbu rayu, untuk tidur
sampai keesokan paginya!
Beberapa pembesar yang masih setia pada Rifal segera
bersepakat untuk cepat menobatkan putera tertua dari Rifal
yaitu Miari. Namun mata-mata Sima berhasil mengetahui
rencana itu. Atas perintah Sima, Miari kemudian dibunuh
secara keji. Kematian putera tuanya itu merupakan satu titik
tolak dari perubahan pada diri Rifal. Dia sadar apa yang telah
dilakukannya selama ini. Dia sadar apa yang telah diperbuat
Sima atas dirinya. Dia insyaf betapa penderitaan rakyat dan
bagaimana kehidupan pemimpin-pemimpin bejat didalam
istana. Dia harus segera bertindak, dia harus segera kembali
kerelnya yang lama agar supaya kerajaan Bulungan tidak
tenggelam lebih lanjut kedalam lumpur busuk.
Tapi sebelum dia bisa melakukan sesuatu kearah perbaikan,
mendadak Rifal jatuh sakit. Batuk darah! Cuma dua puluh
empat jam lamanya, keesokan harinya wafatlah raja itu.
Kematian baginda segera tersebar diseluruh kerajaan. Namun
kabar yang menyedihkan itu hanya diterima dengan tarikan
nafas panjang, bukan dengan rasa terkejut dan bahkan boleh
dikatakan tanpa rasa duka cita sama sekali. Kelaparan,
keinginan akan keadilan dan kebenaran, keinginan untuk lepas
dari berbagai macam pajak kerajaan yang berat-berat dan
seribu satu macam penderitaan yang jatuh dipunggungnya
rakyat yang disebabkan oleh perbuatan Rifal yang lupa diri
karena mabuk oleh Sima, ditambah pula oleh dalang-dalang
pembesar kerajaan yang bisanya hanya pesta pora, main
perempuan dan memeras rakyat, penderitaan yang tiada
terperikan yang mereka rasakan itulah, membuat rakyat sama
sekali seakan-akan tak punya rasa iba dan haru sama sekali
ketika mendengar kematian raja mereka.
“Semua manusia harus mati. Tak terkecuali raja. Semua
manusia ingin keadilan dan kebenaran, ingin kemakmuran.
Rakyat adalah manusia. Tapi dimanakah keadilan dan
kemakmuran yang dulu digembar-gemborkan untuk rakyat
itu.......? yang kami terima dari istana cuma penderitaan. Keluh
kesah kami, cukuplah untuk kami sendiri untuk keluarga kami
sendiri yang menderita selama dua puluh tahun. Peduli apa
dengan kematian raja yang tahunya cuma istri dan menyia- nyiakan rakyatnya......?!”. Begitulah kata-kata seorang dari
rakyat jelata yang hidupnya morat-marit dilanda penderitaan,
yang punya satu istri dan delapan orang anak.
Rifal dimakamkan dengan segala macam kebesaran. Sima
sendiri seakan-akan acuh tak acuh pada kamatian suaminya itu.
Apa yang akan dipedulikannya? Gendaknya banyak. Dan dari
mereka dia bisa menginginkan surga mesum kapan saja dia
mau.
SEMBILAN
BELUM lagi berlalu satu minggu. Masih merah juga tanah
diatas kuburan baginda Rifal almarhum. Tapi apa yang terjadi,
terjadi juga. Apa yang akan dilangsungkan, dilangsungkan juga.
Oleh penyebar-penyebar kabar istana, disampaikan keseluruh
pelosok negeri bahwa pada hari ketiga sesudah wafatnya
baginda jadi besok, akan dilangsungkan pesta besar-besaran.
Pesta besar-besaran ini terbagi atas dua acara. Pertama acara
penobatan putera mahkota. Bukannya putera Rifal dari
Rumiah, tapi puteranya Rifal yang dari Sima yaitu Nisa! Acara
yang kedua adalah yang diterima rakyat dengan lebih gempar
dari acara yang pertama. Yaitu perlangsungan upacara
perkawinan antara ratu Sima dengan seorang pemuda yang
telah lama menjadi gendaknya! Pemuda yang namanya Kamia
adalah dua puluh dua tahun lebih muda dari pada Sima sendiri!
Paginya, istana yang sudah dihiasi dengan segala macam
gaba-gaba mulai dari dapur istana sampai kehalaman muka,
penuh oleh orang ramai. Semuanya adalah pembesar-pembesar
istana dan yang bekerja untuk kepentingan istaina. Rakyat
jelata boleh dikatakan tak ada disana. Janganpun berada
didalam istana, dekat-dekat kehalaman istanapun tak seorang
jua yang kelihatan. Rakyat lebih baik mendekam didalam gubuk
teratak masing-masing daripada melihat kedua upacara gila itu.
Gila karena hak waris tahta kerajaan sesungguhnya bukan jatuh
ketangan putera Sima melainkan kepada tangan putera
permaisuri yang sah yaitu Mista, adik kandung Miari yang
sampai saat itu masih hidup, bahkan masih tinggal disalah satu
bagian istana. Gila karena selain suami yang dikawini Sima itu
jauh lebih muda dari padanya juga gila karena Rifal, almarhum
suaminya yang dulu, belum lagi seminggu dikuburkan, dia telah
kawin! Kawin dengan gendaknya yang semasa Rifal masih
hidup telah berani berbuat mesum sekehendak hatinya!
Tamu-tamu dari berbagai negeri memenuhi seluruh bagian
istana yang besar luas itu. Bunyi-bunyian terdengar tiada
hentinya. Tuak, arak dan berbagai minuman keras lainnya serta
makanan yang enak-enak tersebar disegala penjuru. Semua
tamu boleh mengambil sekehendak hatinya, boleh minum
sampai gembul dan boleh makan sampai padat perutnya. Kedua
acara resmi tadi yaitu penobatan Nisa menjadi raja serta
perkawinan Sima dengan Kamia berlangsung tanpa halangan
apa-apa.
Satu hari sesudah pesta yang meriah itu masih banyak juga
tamu-tama yang datang untuk memberikan selamat. Semeatara
itu disalah satu bagian belakang istana......
Laki-laki tua yang berselempang kain putih itu berjalan
dengan cepat di gang istana. Tubuhnya sudah agak bungkuk.
Rambutnya putih seperti kapas. Mukanya bersih dan licin
meskipun gurat-gurat ketuaan memenuhi banyak muka yang
agak cekung itu. Dia menoleh kebelakang, seakan-akan ada
sesuatu yang dikhawatirkannya. Tapi tak satu manusiapun yang
dilihatnya berada di gang istana tersebut. Dia mempercepat
langkahnya. Gang yang dilaluinya itu mempunyai deretan
pintu-pintu dikiri kanannya. Pintu-pintu dari kamar-kamar.
Diujung sana gang yang dilaluinya bercabang dua. Si orang tua
yang berselempang kain putih membelok kekanan. Gang yang
dilaluinya kini lebih besar sedang dinding-dindingnya diberi
berukir-ukiran. Dia berhenti dimuka sebuah pintu besar.
Kepalanya ditolehkannya kekiri, Dia menunggu beberapa
lamanya. Kemudian tangannya mulai mengetuk pintu itu.
Seorang pengawal membukakannya. Si orang tua masuk dan
pintu tampak dikunci kembali. Ruangan itu merupakan sebuah
pelataran dimana terdapat kursi-kursi berjejeran. Disamping
sebelah kiri tampak sebuah tangga batu. Si orang tua
melangkah kesana dan menaiki tangga. Dua orang pengawal
berdiri dipintu sebuah gang. Kedua pengawal itu segera
memberi hormat ketika orang tua tadi lalu dihadapan mereka.
Diujung dari gang tersebut tampak sebuah pintu yang juga
dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti dua pengawal yang
mula-mula, pengawal-pengawal yang inipun memberi hormat.
Pintu diketuk sebanyak tiga kali secara cepat. Kemudian tiga
kali lagi agak perlahan-lahan. Beberapa detik kemudian pintu
itu terbuka.
Seorang pemuda yang berjubuh tegap dan berambut sedikit
keriting berdiri dibelakang daun pintu. Dia tersenyum sedikit
dan berkata : “Sudah tiga hari bapak tidak datang. Silahkan
masuk......”. Orang tua itu melangkah masuk dan pintu
dirapatkan kembali.
Ruang itu tidak begitu besar. Perabotannya sederhana sekali
tapi masih bagus, berkilat tanda dirawat dengan baik. Sinar
matahari yang masuk dari jendela disamping menerangi
ruangan itu. Dua buah pintu tampak didinding sebelah kiri.
Yang satu tertutup sedang yang lain agak terbuka sedikit. Orang
tua tadi memandang pada anuk muda yang didepannya, lalu
duduk kesebuah kursi yang ada bantalannya. Anak muda
itupun duduk pula disebuah kursi yang sama bentuknya
dihadapan si orang tua. Orang tua ini yang mengenakan
pakaian serba putih namanya adalah Desta. Umurnya hampir
mencapai delapan puluh tahun. Ketika ayah Rifal yaitu
Bulungan memerintah kerajaan, dia menjadi orang
kepercayaan baginda. Kemudian baginda mengangkatnya
menjadi maha patih, kepala dari segenap menteri dan penjabat
istana. Banyak sekali jasa-jasa yang telah diberikan Desta bagi
kemakmuran dan kejayaan kerajaan. Ketika Bulungan wafat
puteranya Rifal dinobatkan menjadi penggantinya. Rifal
sebagaimana ayahnya tetap mengangkat Desta dalam
kedudukannya yang lama yaitu maha patih kerajaan. Pada
waktu Sima dinobatkan sebagai permaisuri sah dari Rifal yaitu
setelah permaisuri yang pertama (Rumiah) meninggal dunia,
maka Sima kemudian menggeser Desta. Dia mengangkat
pamannya sendiri untuk menduduki jabatan Desta itu
sekalipun pamannya itu tak tahu apa-apa dan tak becus
sedikitpun dalam urusan istana dan urusan kerajaan. Rifal
sendiri yang telah mabuk pada Sima tidak memberikan reaksi
apa-apa atas penggeseran orang yang dipercayainya itu.
Meskipun istana Bulungan kini telah penuh dengan penjabat- pejabat, menteri-menteri dan orang-orang penjilat Sima namun
masih ada juga beberapa gelintir tokoh-tokoh lama yang dulu
pernah mengabdi pada Bulungan, pada Rifal. Dan salah satu
diantaranya adalah Desta. Mereka sama membenci Sima dan
tetap setia pada pemegang tahta yang sah turun temurun dan
menurut mereka, Sima adalah biang racun dari segala bencana
yang timbul dikerajaan.
“Kemana saja bapak selama tiga hari ini?” tanya pemuda itu
yang tak lain Mista adanya. Si orang tua menarik nafas dalam
lalu menjawab dengan suara tenang : “Di istana ini kedudukan
orang-orang kita sudah sangat terjepit disegala penjuru, Yang
Mulya. Tapi sebaliknya diluar istana saya telah mengetahui
sendiri bagaimana hati dan jiwa raga rakyat kita yang kini
menderita lahir bathin tetap berada dipihak kita, dipihak Yang
Mulya yang secara sah memiliki waris tahta kerajaan! Bahkan
dua ratus prajurit-prajurit kerajaan beserta tiga orang
pemimpin mereka juga menyatakan diri kepada saya, bahwa
mereka tetap setia pada keturunan Bulungan, kakek Yang
Mulya......”.
“Tapi bapak, bukankah pengangkatan Nisa, saudara satu
ayah dari saya sendiri itu sebagai raja adalah sah karena
almarhum .ayah telah menyatakan Sima sebagai permaisuri sah
dari kerajaan? Dan juga umurnya Nisa adalah setahun lebih tua
dari saya.” ujar Mista.
“Apa yang terjadi dengan diri ayah Yang Mulya,
sesungguhnya Yang Mulya lebih mengetahui. Apapun yang
dikatakan baginda Rifal almarhum, apapun yang dibuatnya,
semuanya itu tak lain adalah karena desakan dan mendapat
dorongan dan rencana Sima sendiri bersama penjilat- penjilatnya. Maaf bicara...... baginda Rifal sesungguhnya berada
dibawah telapak kaki permaisuri. Simalah yang telah mengatur
dan mengukur gerak-gerik dan tindakan ayah Paduka Yang
Mulya mengetahui sendiri, bagaimana sejak Sima duduk
disamping baginda Rifal, sejak itu pula terjadi perubahan total
didalam istana dan kerajaan Bulungan. Dari bujuk rayu yang
manis merayu tapi beracun, Sima kemudian secara terang-
terangan menitahkan perintah-perintahnya melalui ayah
Paduka. Pegawal-pengawal, pejabat-pejabat istana dan menteri- menteri termasuk saya atas kehendak Sima segera digeser,
dipecat atau diusir dari kerajaan. Sima kemudian mengangkat
dari sanak keluarganya sendiri untuk memegang jabatan-
jabatan penting didalam istana. Masih hidup baginda Rifal, dia
telah berani main gila berbuat mesum dengan berbagai
gendaknya. Masih merah tanah pekuburan ayah Paduka, dia
telah mengumumkan perkawinannya dengan laki-laki yang
pantas menjadi anaknya. Kesengsaraan dan penderitaan yang
tiada terperikan telah dibebankan Sima kepunggungnya rakyat
selama bertahun-tahun. Ketika baginda Rifal wafat rakyat
benar-benar kehilangan pemimpin mereka, kehilangan
pegangan, bahkan kehilangan kehidupan mereka sendiri!
Memang atas keputusan baginda Rifal, Sima telah diangkat
menjadi permaisuri sah dari kerajaan. Tapi sekali lagi bapak
katakan bahwa semua itu adalah rencana busuk dari Sima agar
supaua tampuk tertinggi dari kekuasaan ini jatuh kepadanya,
jatuh kepada anak cucunya! Baiklah kalau rakyat mau
menganggap sah keputusan tersebut. Tapi bisakah rakyat,
sudikah rakyat untuk terus-terusan mengalami penderitaan dan
kesengsaraan dibawah kaki Sima, dibawah kaki Nisa untuk
selama-lamanya?! Tidak Paduka! Rakyat tidak ingin ditindas
lebih lama. Rakyat tidak ingin diinjak lebih lanjut. Rakyat tidak
ingin penderitaan dan kesengsaraan lagi. Cukup dua puluh
tahun lamanya hidup dalam alam kelaparan, penindasan dan
penderitaan! Rakyat ingin bebas! Dan kebebasan dari segala
macam penderitaan itu cuma ada satu jalan. Tumbangkan
kekuasaan Sima, gulingkan Nisa dari tahta yang tidak menjadi
haknya. Hancurkan semua manusia-manusia jahanam pangkal
bahaya itu. Tapi apalah artinya rakyat yang menginginkan
kebebasan itu. Apalah artinya kekuatan mereka dan dua ratus
prajurit yang saya katakan tadi, bilamana mereka tidak punya
pimpinan, bilamana tidak ada orang yang akan memimpin
mereka untuk melepaskan mereka dari belenggu azab
penderitaan, untuk menghancurkan yang bathil dan
menegakkan yang hak!” Desta menyeka peluh yang mengalir
didahinya yang penuh dengan garis-garis ketuaan itu kemudian
meneruskan. “Satu-satunya orang yang bisa memimpin rakyat,
satu-satunya orang yang bisa mewujudkan cita-cita rakyat itu
yaitu cita-cita keadilan dan kebenaran, keamanan dan
kemakmuran adalah Yang Mulya sendiri! Terlepas dari
persoalan apakah tahta kerajaan itu milik sah dari Yang Mulya,
terlepas dari urusan pribadi antara Yang Mulya dengan Sima
beserta Nisa dan penjilat-penjilatnya itu, terlepas dari segala
semuanya itu maka adalah sudah menjadi kewajiban kita
semua, kewajiban Yang Mulya untuk menjalankan tugas yang
diamanatkan rakyat kepada Yang Mulya. Rakyat membutuhkan
pimpinan karena itu Yang Mulya pimpinlah mereka. Rakyat
memerlukan satu sinar yang terang untuk menghancurkan
sinar gelap yang selama ini menyungkupi Bulungan. Dan sinar
terang yang bapak katakan itu hanya Yang Mulya seoranglah
yang sanggup membawanya!”.
Mista termenung mendengar kata-kata orang tua itu. Dia
memandang keluar jendela. Dikejauhan tampak matahari
ditutupi awan abu-abu yang membendung sinarnya sehingga
udara agak redup sedikit. Awan abu-abu tadi berlalu dengan
perlahan-lahan dan udara kembali cerah terang benderang.
“Mengapa Paduka diam saja......? Tidak adakah yang ingin
Paduka katakan......?!” terdengar suara Desta.
“Semua yang bapak katakan itu adalah benar. Kekuasaan
Sima harus kita tamatkan riwayatnya. Tapi itu berarti harus
terjadi pertumpahan darah diantara kita sesama bangsa. Dan
saya tidak ingin melihat rakyat yang menderita itu harus pula
mati karena saya. Karena tahta kerajaan! Saya tidak sampai
hati, bapak......!”
Desta memandang tajam pada anak muda itu, lalu membuka
mulut : “Paduka berpikir terlampau singkat sekali agaknya.
Kalau terjadi pertempuran, kalau terjadi pertumpahan darah
dan kalau banyak rakyat kita yang mati dalam pertumpahan
darah itu, bukan berarti bahwa Padukalah yang menjadi
pangkal sebabnya, bukan Padukalah yang menjerumuskan
mereka! Mereka, rakyat berjuang angkat senjata bukan saja
untuk memerangi yang bathil guna menegakkan yang hak tapi
juga berjuang menyabung nyawa untuk menghancurkan
kelaliman, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan
kalau mereka mati dalam perjuangan itu, mereka mati dengan
rela, mereka mati syahid! Dan mati cara manakah lebih indah
serta mulia dari pada mati syahid itu? Rakyat tahu apa artinya
perjuangan yang mereka lakukan. Perjuangan suci demi
kebahagiaan anak cucu mereka dikemudian hari. Perjuangan
suci demi berdirinya kerajaan Bulungan sepanjang masa. Kalau
tidak sekarang kita bergerak, kapan lagi masanya!”
“Kita berjuang kata bapak. Baik! Tapi bisakah kita berhasil
mencapai kemenangan? Bisakah rakyat yang keadaannya kurus
kering, yang tubuhnya sangat lemah itu disuruh berjuang
angkat senjata? Sekalipun kita punya dua ratus prajurit yang
akan membantu kita, tapi bisakah kekuatan yang sebegitu
menghadapi kekuatan yang sangat besar dari orang-orangnya
Sima dan Nisa? Kita akan sia-sia, bapak. Perjuangan kita akan
gagal dan kita semuanya, termasuk rakyat yang tiada berdosa
itu akan disapu bersih! Akan dipancung satu demi satu”.
Desta menggelengkan kepalanya, Dia tersenyum sedikit lalu
baru berkata : “Itulah kesalahan manusia masa kini. Belum
pergi sudah pulang, belum sampai sudah kembali...... belum
dicoba sudah mengatakan gagal! Dalam hidup kita tidak bisa
berpikir dan berpegang secara itu, Paduka. Manusia yang
berbuat seperti itu, yang pulang sebelum pergi, yang kembali
sebelum sampai, yang berkata gagal sebelum mencoba,
sesungguhnya tak pernah dia hidup. Kalau dia hidup juga, maka
sesungguhnya dia mati dalam hidupnya! Memang benar apa
yang dikatakan oleh Yang Mulya. Rakyat kita berada dalam
keadaan menderita lahiriah dan bathinlah! Dalam keadaan
lemah! Tapi Yang Mulya...... apakah lemah namanya kalau
mereka sendiri yang menginginkan perjuangan, mereka sendiri
yang ingin angkat senjata?! Jumlah kita terlalu sedikit kata
Yang Mulya? Tidakkah pernah Yang Mulya mendengar dan
mengetahui kenyataan-kenyataan betapa pihak yang sedikit
bisa mengalahkan dan menghancur leburkan pihak musuh yang
banyak? Perjuangan kita bukan satu perjuangan kotor yang
diselimuti nafsu Yang Mulya. Perjuangan kita adalah suci. Satu
perjuangan yang suci senantiasa mendapat rahmat dan diridhoi
oleh Tuhan. Kita berjuang karena kita yakin kita benar. Karena
kita yakin perjuangan kita suci dan karena kita yakin Tuhan
bersama kita! Kalau kita sudah yakin dalam yang tiga hal itu,
mengapa kita tidak mau yakin dalam hal yang keempat?!
Mengapa kita tidak mau yakin bahwa kita akan menang?!
Sesungguhnya keyakinanlah yang membawa kemenangan,
meskipun jumlah kita sedikit. Ya, kita memang sedikit. Tapi
keyakinan memberikan kekuatan yang maha besar bagi kita.
Kita sedikit, tapi kita berada dipihak yang benar. Kita sedikit
tapi Tuhan bersama kita! Mereka memang banyak, tapi banyak
mereka itu dalam bersekutu didalam kejahatan, mereka banyak
karena mereka semua sama penjilat yang menginginkan
keuntungan uang dan kekayaan dari Sima! Mereka banyak tapi
mereka tak punya pendirian dan keyakinan dalam perjuangan
mereka. Mereka banyak, tapi mereka mabuk dengan segala
macam kemewahan, mereka berenang didalam segala macam
kemesuman. Mereka banyak, tapi mereka tidak mempunyai
keberanian seperti keberaniannya rakyat yang Paduka katakan
lemah itu. Kalau mereka berjuang dalam menegakkan
kebathilan, menegakkan kekufuran, mereka bersekutu dalam
kejahatan. Dan bilamana mereka mati, maka mati mereka
adalah mati didalam kehinaan yang tiada taranya. Neraka.
jahanam bagi orang-orang seperti mereka. Mereka banyak kata
Paduka, kita sedikit! Tapi bisakah mereka menghadapi
kebenaran yang datang dari Tuhan?! Bisakah kebathilan itu
mempertahankan diri untuk selama-lamanya dari yang hak?!
Itulah pegangan kita didalam perjuangan ini, Yang Mulya.
Kalau kita menyimpang dari pegangan iti, tidak usah sedikit,
seribu kalipun jumlah kita lebih besar dari mereka niscaya kita
akan gagal
Kesunyian menyeling seketika sampai saat Mista membuka
mulut. “Benar semuanya itu, bapak. Agaknya telah tiba saatnya
untuk menguburkan kejahatan, menguburkan kebathilan,
menguburkan kelaliman dan menegakkan kebaikan, kebenaran,
keadilan, hak dan kemakmuran!”
“Tepat sekali, Paduka. Memang sudah tiba saatnya!” kata
Desta pula.
SEPULUH
“SEKARANG saya akan bicara tentang keselamatan diri
Paduka sendiri” kata Desta selang beberapa lamanya. “Seperti
saya katakan mula-mula tadi, keadaan kita diistana ini sudah
sedemikian terjepitnya, termasuk diri Paduka. Kalau Sima dan
orang-orangnya menginginkan kematian almarhum baginda
Rifal dan kematian Miari mengapa tidak mungkin bahwa
mereka menginginkan pula kematian bagi keturunan terakhir
dari raja-raja Bulungan yaitu Paduka sendiri?! Dan justru
memang itulah yang tengah mereka rencanakan saat ini!”.
“Apa...... Sima dan orang-orangnya menginginkan jiwa
saya...... bapak?!” tanya Mista dengan terkejut.
“Seharusnya Paduka sendiri yang punya diri menyadari akan
hal itu” jawab si orang tua. Lalu dia meneruskan : “Sima, dan
juga Nisa ingin membumuh Paduka. Tidak bisa dengan cara
halus akan dilakukannya dengan cara kasar. Karena itu sebelum
terlambat. Paduka harus segera menjingkir dari istana ini tapi
dengan cara diam-diam. Dari mata-mata kita yang bekerja
didapur istana saya mendapat keterangan bahwa Paduka akan
diracun oleh orang-orangnya Sima!”
“Rencana mereka tak akan pernah berhasil. Saya tak pernah
makan atau minum apa saja yang datang dari dapur istana.
Kalau saya ingin makan, saya suruh orang kepercayaan saya
untuk membeli nasi diluar, begitu juga kalau saya ingin
minum!” jawab Mista.
“Tindakan Paduka, memang tepat sekali. Tapi meskipun
demikian sebaiknya juga kita siap-siap dengan daun pisang
sebelum hujan turun. Seperti saya katakan tadi, tidak dapat
dengan jalan halus mereka akan lakukan dengan jalan kasar,
dengan cara terang-terangan. Mereka akan bunuh pengawal- pengawal. Paduka yang diluar, mendobrak pintu dan
memancung Paduka. Kita harus selalu ingat bahwa kejahatan
itu banyak sekali pintu-pintunya. Tertutup pintu yang satu dia
akan masuk dari pintu lain! Dari itu sekali lagi Yang Mulya,
sudilah hendaknya Yang Mulya menyingkir dari sini dalam
waktu yang singkat. Kalau Paduka berada ditengah-tengah
rakyat, ditengah-tengah orang yang setia pada Paduka, bukan
saja Paduka akan terjamin keselamatannya tapi juga kita akan
bisa mengatur rencana selanjutnya...... Bagaimana?!”
“Sangat setuju sekali bapak. Malam ini juga saya akan
menyingkir dari sini!” jawab Mista, dia memandang si orang tua
seketika kemudian berkata : Tadi bapak berkata bahwa Sima
dan orang-orangnyalah yang menginginkan kematian ayahanda
dan saudara saya. Jadi merekalah yang......”.
“Benar Paduka” potong Desta. “Memang merekalah yang
membunuh almarhum baginda Rifal dan Miari!”. Kedua mata
Mista tampak membesar menyala.
“Bapak tahu dari mana?! Pasti?!” tanya Mista.
“Mulanya rahasia itu hanya samar-samar saja. Tapi tak
selang berapa lama segera bapak dan kawan-kawan berhasil
membongkarnya. Tapi selalu kami rahasiakan terhadap
Paduka. Dan kini saat untuk mengatakannya telah tiba......”
“Katakanlah, bapak! Terangkan!” kata Mista setengah
berteriak.
“Kematian pertama yang terjadi diistana semenjak Sima
menjadi istri ayah Yang Mulya adalah kematian permaisuri atau
ibu Yang Mulya sendiri. Memang beliau menutup mata untuk
selama-lamanya bukan perbuatan langsung dari Sima, tapi
karena Simalah maka sampai terjadi hal itu. Sima mengekang
ayah Yang Mulya dalam segala hal. Sima membuat permaisuri
menjadi makan hati sepanjang hari. Ketika itu tiada
tertahankan lagi, permaisuri jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Sima tahu bahwa pengganti sah dari raja adalah kakak Yang
Mulya yaitu Miari. Karena itu sebelum Miari dinobatkan
menjadi raja, maka dia harus dilenyapkan lebih dahulu, Sima
menyuruh seorang kepercayaannya untuk membunuh kakak
Paduka. Dan rencananya itu berhasil. Tapi Sima belum puas
sampai disitu. Dia telah terlalu bosan dengan ayah Yang Mulya,
karena dia mempunyai gendak-gendak yang banyak sekali.
Semuanya gagah-gagah dan masih muda-muda. Semuanya bisa
memberikan hiburan dan kepuasan pada dirinya. Sima sendiri
kemudian memasukkan racun kedalam air minum baginda.
Dan dalam tempo satu hari setelah mengalami batuk darah
akhirnya baginda menutupkan mata untuk selama-lamanya
menyusul permaisuri dan anak baginda yang tertua......”.
Mista membulatkan kedua tinjunya. Dia berdiri dan berjalan
ketepi jendela. Dadanya seperti hendak rengkah mendengar
keterangan nyata itu. “Sima dan anaknya, Sima dan orang- orangnya harus menebus dosa mereka dengan nyawa mereka
sendiri......!” desis Mista. *
* * Malam itu tanpa diketahui orang-orangnya Sima, Mista telah
menyingkir dari istana Bulungan. Untuk tidak mencurigakan,
kepada prajurit-prajurit yang selalu mengawalnya disuruhnya
tetap ditempat masing-masing. Ditengah-tengah rakyat yang
setia kepadanya. Mista dan Desta serta beberapa pemimpin
lainnya segera menyiapkan rencana penggulingan kekuasaan
itu.
Rakyat jelata yang jumlahnya sekitar delapan ratus orang itu
akan menyerang istana secara terang-terangan. Sedang dua
ratus prajurit yang berada dipihak Mista akan membobolkan
pertahanan istana dari dalam. Lima puluh orang akan
menghadapi pasukan berkuda istana. Lima puluh orang lagi
menghadapi pasukan panah dan yang seratus lainnya
bertempur menghadang prajurit-prajurit Sima yang jumlah
keseluruhannya ada sekitar seribu lima ratus orang!
Rencana telah disusun rapi. Tinggal menunggu saatnya saja
lagi. Malam itu diistana kelihatan diadakan satu pesta yang
meriah. Makanan dan minuman diedarkan tiada hentinya.
Diruang besar istana, yaitu ruang tengah diadakan
pertunjukkan tari-tarian. Gelak tawa tiada hentinya kedengaran
menyela suara bunyi-bunyian. Ketika Sima dan suaminya
masuk kedalam peraduan pada larut malam, Nisa dan para
menteri serta penjabat-pejabat istana lainnya masih
meneruskan pesta gila itu. Kemesuman yang tiada taranya
berlangsung terus semakin menjadi-jadi. Membuat orang yang
tak biasa melihat akan berdiri bulu tengkuknya menyaksikan
itu semua. Mereka seakan-akan bukan manusia-manusia lagi.
Tapi manusia-manusia yang sudah berubah menjadi binatang.
Penari-penari istana yang hampir tak menentu lagi letak
pakaian yang melekat ditubuhnya, bahkan diantaranya ada
yang sudah seperti tak berpakaian lagi, pindah dari satu tangan
ketangan lain. Paginya semua manusia itu menggeletak
diseluruh penjuru didalam istana. Ada yang sudah tidur pulas
karena letih, ada yang masih mabuk dan menggeletak dengan
mericau tak karuan. Prajurit-prajurit istanapun hampir
semuanya berada dalam keadaan seperti itu.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Mista dan orang- orangnya. Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya yang
gemerlapan, dari tempat rahasianya ditepi kerajaan Mista
bersama delapan ratus rakyat yang membawa segala macam
senjata seperti golok, kapak, pedang, kelewang, bambu runcing,
tombak, penggada dan lain sebagainya bergerak cepat menuju
keistana. Dalam sekejap mata istana telah dikurung dari segala
penjuru. Dua ratus prajurit pengikut Mista yang berada didalam
istana segera diberi tanda.
Sebuah panah api melayang keatas puncak istana. Itulah
tanda dimulainya penyerangan. Delapan ratus rakyat yang
bertubuh kurus-kurus bermuka cekung karena penderitaan dan
berpakaian compang-camping menyerbu dengan gegap gempita
memasuki istana. Prajurit-prajurit Sima memberikan
perlawanan hebat meskipun banyak diantara mereka yang
berada dalam keadaan setengah mabuk, letih dan lain
sebagainya. Pertahanan pintu istana sebelah muka bobol dalam
tempo sepuluh menit! Dengan melewati mayat prajurit-prajurit
Sima dan mayat kawan-kawnnya sendiri, rakyat memasuki
bagian dalam istana dengan gegap gempita
“Mana ratu?! Mana Sima! Bunuh! Gantung manusia keparat
itu!”.
“Gantung Sima dan Nisa!”
“Bakar mereka keduanya!”. Begitulah teriakan rakyat dalam
arus penyerangan itu.
Lima ratus prajurit Sima yang berada diluar istana
diantaranya seratus orang pasukan berkuda dan panah datang
memberi bantuan. Istana dikurung dan mereka menyerbu dari
belakang. Pasukan berkuda dari Mista dan pasukan panah tak
tinggal diam. Begitu pasukan-pasukan Sima mencapai
pelataran istana, satu demi satu mereka terjungkal roboh
dihantam panah dari berbagai jurusan. Pasukan berkuda dalam
keadaan penuh gugup coba memberikan perlawanan. Namun
mereka disapu bersih oleh pasukan berkuda Mista setelah
terjadi pertempuran seru yang memakan banyak korban.
Seratus orang prajurit yang berada dipihak Mista setelah
memereteli semua prajurit-prajurit yang didalam istana segera
memberi bantuan pada pasukan yang bertempur dipelataran.
Pertempuran semakin menghebat kini. Suara beradunya
senjata, suara jeritan manusia yang kena babatan pedang, yang
kena sambaran panah atau tusukan tombak serta suara teriakan
rakyat semuanya bergabung menjadi satu. Menjadi suara
gemuruh seperti air bah yang melanda istana.
Keberanian prajurit-prjurit Sima yang hanya dibayar dengan
uang serta kemewahan itu yang bukan datang dari rasa setia ter
hadap raja dan negeri luntur dengan seketika. Setelah bertahan
beberapa lamanya mereka segera didesak mundur untuk
kemudian lari tunggang langgang. Pemimpin mereka masih
berusaha untuk berteriak memberi komando : “Masuki istana
melalui jalan rahasia! Selamatkan Ratu dan Raja muda! Yang
lain-lain bakar istana cepat! Biar bangsat-bangsat itu terbakar
hidup-hidup didalamnya!” Dua ratus prajurit lari terus tanpa
menghiraukan komando pemimpin mereka. Kira-kira tujuh
puluh orang saja yang mematuhi perintah itu. Ketujuh puluh
prajurit itu dibawah pemimpin balatentara mereka segera
menuju kesatu pintu rahasia, yang lain-lainnya mulai
menghujani istana dengan panah-panah api. Didalam istana
lautan rakyat yang menegakkan kebenaran dan keadilan
bergerak dengan hebatnya sedang diatas istana diatapnya,
mengamuk lautan api!
Ketujuh puluh orang prajurit tadi sampai dimuka pintu
kamar ratu Sima. Mereka memecah menjadi dua kelompok.
Yang satu kelompok untuk menyelamatkan Sima sedang yang
lain untuk menyelamatkan Nisa. Tapi sebelum mereka bergerak
arus rakyat dan prajurit-prajurit pihaknya Mista yang dipimpin
langsung oleh Mista sendiri telah sampai ditempat itu. Tujuh
puluh prajurit dibawah satu pimpinan yang tak sudi menyerah
itu bertahan mati-matian. Namun gelombang rakyat tiada
terbendung lagi. Semua prajurit Sima menemui ajalnya. Pintu
kamar didobrak!
Saat itu Sima dan suaminya Kamia yang tertidur pulas
karena letih dan terlampau banyak minum, baru sadar akan apa
yang terjadi disekitar mereka. Keduanya meloncat turun dari
tempat tidur. Kalau Kamia hanya mengenakan celana pendek
saja maka Sima saat itu tiada selembar benangpun yang
menutupi tubuhnya. Dia coba untuk mengambil selimut guna
menutupi auratnya.
“Itu dia permaisuri bejat. Gantung!”
“Cingcang mereka keduanya! Bunuh!”.
Dari pintu membanjir masuk arus rakyat. Kamia coba
membuka jendela untuk melarikan diri sedang Sima menjerit
penuh ketakutan. Kamar itu penuh oleh rakyat jelata dan
ditengah-tengahnya Sima serta Kamia mulai menerima
pukulan-pukulan penggada, bacokan-bacokan pedang dan
golok, tusukan-tusukan tombak dan lain sebagainya. Hanya
sekejap mata tubuh kedua orang itu sudah hancur luluh tiada
berbentuk lagi. Nyawa keduanya sudah lama melayang dan
rakyat banyak masih saja melampiaskan hawa amarahnya yang
disekam selama bertahun-tahun itu. Permadani penutup lantai
yang indah berbunga-bunga, kini basah oleh darah kedua
manusia itu. Dan itulah akibat yang diterima oleh manusia
semacam keduanya.
Ketika orang banyak masih menusuk dan membacoki tubuh-
tubuh kedua orang yang sudah hancur luluh itu Mista keluar
dari kamar tersebut. Seorang kepala prajurit menemuinya dan
memberikan laporan : “Nisa ditawan hidup-hidup. Minta
keputusan terakhir dari Yang Mulya!”.
“Gantung dia dan pembesar-pembesar lainnya dihadapan
rakyat. Hari ini juga!” ujar Mista. Sesudah pertempuran selesai
dan sesudah api yang berkobar dipadamkan, maka dihadapan
mata kepala rakyat banyak digantunglah Nisa beserta dua belas
menteri-menteri dan pejabat istana lainnya yang semasa
hidupnya kerjanya tak lain dari pada berbuat mesum, gila
kemewahan dan menindas rakyat! Ya! Kalau rakyat sudah
menginginkan keadilan dan kebenaran, kalau rakyat sudah
menginginkan untuk menegakkan yang hak, maka tak satu
kekuatan apapun dikolong langit ini yang bisa
membendungnya. Semoga ini bisa menjadi contoh yang tepat
bagi pemimpin-pemimpin besar dari kerajaan dan negara
manapun juga, bahwasanya bukan saja diakhirat nanti mereka
akan dimintakan pertanggungan jawab tentang kepemimpinan
mereka, tapi didunia inipun rakyat sendiri bisa membuat
perhitungan langsung dengan mereka!
Dan pada saat berkecamuknya perang itulah Gaspar sampai
kekerajaan Bulungan. Ketika perang bersosoh dengan hebat- hebatnya dia turun dari atas pohon. Seekor kuda yang lain
dihadapannya segera dinaikinya. Dia tak peduli akan akhirnya
pertempuran gila itu. Yang penting baginya adalah
mendapatkan kuda yang besar tegap itu dan meneruskan
perjalanannya. Kalau lama-lama dia berada disana
kemungkinan besar nyawanya akan melayang pula, sekurang- kurangnya kena sambaran anak panah yang nyasar.
SEBELAS
DUA hari kemudian setelah menempuh jarak sejauh lebih
dari dua ratus kilo, setelah menyeberangi sebuah sungai
akhirnya gunung Kinibalu telah tampak dimukanya, Gaspar
merasa gembira sekali. Segala penderitaan dan segala apa yang
dialaminya selama perjalanan kini hilang pupus dari
ingatannya. Kudanya dipacunya tambah cepat. Senja hari
barulah dia berhenti disatu pedataran, Paginya dia meneruskan
perjalanan lagi. Sebelum tengah hari dia telah sampai kelereng
gunung yang menjadi tujuannya itu. Dan pertapaan guru sakti
perempuan itu yaitu Nemini ditemuinya secara mudah dan
kebetulan. Dari jauh dilihatnya kepulan asap yang samar- samar. Dia segera mendekati kepulan asap itu. Ternyata asap
tadi adalah asap yang keluar dari api dibawah sebuah periuk
tanah pemasak nasi milik Nemini sendiri!
Waktu dia datang guru sakti itu membelakanginya. Namun
Gaspar sudah maklum bahwa Nemini telah mengetahui
kedatangannya itu. Gaspar turun dari kudanya. Dihadapan
Nemini dia menjura memberi hormat. Pertapa perempuan yang
sudah lanjut usianya itu mengangkat kepalanya dan
memandang pada Gaspar, Gaspar melihat betapa wajah yang
meskipun sudah tua itu tapi masih membayang kecantikan
semasa mudanya. Rambut perempuan itu banyak putihnya dari
hitamnya namun disisir rapi dan disanggul kebelakang.
Matanya bening tapi menyorotkan sinar yang menyeramkan.
Alisnya berkeluk meruncing keujung. Bibirnya tipis panjang
dan kedua pipinya sedikit cekung. Kulitnya agak kekuningan
dan kulit mukanya penuh dengan gurat-gurat ketuaan. Gurat- gurat itulah yang membuat kecantikannya menjadi samar- samar namun tidak hilang sama sekali.
“Siapa kau yang berani datang ketempatku ini?!” tanya
Nemini dengan nada tajam meninggi.
Gaspar menjura lagi dan menjawab. “Nama saya Gaspar,
guru. Saya datang membawa kabar tentang suami guru......”
“Membawa kabar tentang suamiku?!” tanya Nemini terkejut.
Baru sekali ini ada seorang yang tak dikenal mendatangi
tempatnya dengan membawa berita dari suaminya atau
muridnya itu.
“Katakan, kabar baik atau kabar buruk?!”.
“Menyesal sekali guru...... saya membawa kabar buruk......”
“Kabar buruk!” Nemini berdiri dengan cepat. Saat itu
barulah Gaspar mengetahui kalau perempuan tua itu lebih
tinggi tubuhnya dari dia.
“Apa yang terjadi dengan dia?! Katakan lekas!” bentak
Nemini tak sabar. Hati kecilnya telah bisa menerka apa yang
telah terjadi. Tapi dia bertanya untuk memastikan.
“Suami guru telah dibunuh oleh dua orang dari suku Kayan”.
“Ampun......!” teriak Nemini. Kedua tangannya
dikepalkannya membentuk tinju. Matanya menyorot ganas
pada Gaspar. “Kau tahu dari mana?!” tanyanya kemudian.
“Saya saksikan sendiri. Bukan dia saja yang dibunuh tapi
juga kawan-kawannya. Jantra, Somaha, Tisna, Kukas dan Mali
Kodra, pemimpin saya sendiri”.
“Aku tahu mereka semua, aku tahu! Tapi suamiku......
terkutuk! Benar-benar terkutuk, mereka membunuh suamiku!
Ampun...... aku tak bisa hidup tanpa dia! Ampun......!”. Guru
sakti itu meraung dahsyat sambil memukul dadanya. Tapi tak
satu tetes air matapun yang keluar dari matanya. “Katakan!
Dimana tempat tinggal kedua manusia dajal pembunuh
suamiku itu. Katakan dimana tinggalnya!”.
“Kedatangan saya justru untuk mengatakan itu, guru. Tapi
saya harap guru suka bersabar untuk mendengarkan
keterangan lengkap dari saya. Kedua orang itu sangat sakti
sekali. Mereka adalah orang Dayak suku Kayan, Sebelum
menemui guru disini, saya telah menemui tiga orang guru-guru
lainnya, termasuk guru pemimpin saya sendiri yaitu Pakarasa.
Ketiga guru-guru sakti yang saya temui itu telah bermupakat
untuk menuntut balas atas kematian murid-murid mereka.
Mereka teiah sama menyetujui bahwa untuk menyusun rencana
pembalasan itu mereka harus berkumpul dikaki gunung Bukit
Raya sebelah timur pada bulan purnama yang akan datang ini.
Dan guru adalah orang terakhir yang saya temui......”.
Nemini menggaruk-garuk rambutnya sehingga menjadi
awut-awutan dan wajahnya kini membayangkan keseraman.
“Pembalasan...... ya, pembalasan! Aku sendiri yang akan
menghancurkan kepala kedua manusia pembunuh suamiku itu.
Akan kuhancurkan kepalanya!” Dia memandang pada Gaspar.
“Kita berangkat sekarang juga! Sekarang juga!”.
Gaspar memandang pada periuk nasi. Lalu berkata dengan
agak ragu-ragu. “Tapi...... guru...... sebaiknya dimakan dulu nasi
itu. Perut saya sangat lapar sekali”.
“Peduli amat dengan perutmu, monyet!” maki Nemini.
Dengan kaki kanannya ditendangnya periuk nasi. Periuk itu
pecah berantakan sedang nasi setengah masak didalamnia
berhamburan kesegala penjuru. Nemini melangkah cepat
memasuki sebuah gua. Itulah pertapaannya. Setengah menit
kemudian dia keluar lagi dengan membawa sebuah kantong
kain. Entah apa isi kantong itu tidaklah diketahui Gaspar. “Ayo
kita berangkat!”.
“Guru...... izinkanlah saya memberi minum kuda ini terlebih
dahulu. Kasihan dia......”.
“Beri minum cepat!”.
Gaspar menghampiri sebuah kaleng yang berisi air.
Meskipun agak kotor diberikannya juga kepada kudanya. Dan
binatang itu meminumnya sampai habis karena dahaganya.
Kemudian Gaspar naik kepunggung binatang itu. Dia menoleh
pada Nemini dan bertanya. “Guru sendiri naik apa......?”.
Nemini tidak menjawab melainkan dia memukul tubuh kuda
yang ditunggangi laki-laki itu. Ketika kuda Gaspar meloncat
dan berlari dengan cepat Nemini segera menyusul dengan
berlari! *
* * Malam itu bulan purnama empat belas hari. Senja
sebelumnya, Gaspar bersama Nemini telah sampai ditempat
pertemuan yang telah ditentukan. Ketiga guru sakti lainnya
yaitu Pakarasa, Gondola dan Surdala telah sampai lebih dahulu.
Mereka saling menjura memberi hormat pada Nemini yang
segera dibalas oleh pertapa perempuan ini. “Sudah bertahun-
tahun aku tidak bertemu dengan kalian. Pertemuan yang ini
sayang sekali dalam suasana yang berbau darah, berbau maut!
Apa rencana kalian?!” tanya Nemini.
“Kita berangkat malam ini juga dengan Gaspar sebagai
penunjuk jalan!” kata Pakarasa sambil melangkah maju satu
langkah. Kedua tangannya bersilangan diatas dadanya yang
bidang dan berbulu itu. “Besok pagi sebelum fajar kita akan
sampai keperkampungan mereka. Begitu matahari
mengeluarkan sinarnya, maka kita segera mulai. Setuju?!”
“Setuju!” jawab Nemini. Dia melontarkan satu seringai yang
menyeramkan. Pakarasa memberi isyarat pada Gaspar. Laki-
laki itu segera naik keatas kudanya. Dengan diterangi oleh
bulan purnama dimalam cerah itu maka Gaspar memacu
kudanya. Empat guru sakti mengikutinya dari belakang dengan
berlari cepat seperti angin!
Pada malam yang sama diperkampungan suku Kayan........
Dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan berdiri
bercakap-cakap diserambi depan rumah besar. Tempat sekitar
sana hampir seperti siang layaknya diterangi oleh sinar
rembulan. Langit cerah tiada berawan. Rembulan indah sekali
tampaknya. Sebuah lingkaran putih kelihatan nyata
mengelilingi puteri malam itu.
“Alangkah indahnya rembulan itu, Aditia......” kata Suwantri
perlahan sambil memandang kelangit lepas. Suaminya
mengangguk dan menjawab : “Seindah wajahmu, Wantri......”
“Hem...... untung saja kita sudah kawin. Kalau tidak...... aku
terpaksa harus berhati-hati terhadapmu, Aditia”. “Berhati-hati bagaimana...?” tanya Aditiajaya tak mengerti.
“Bila dua muda-mudi bertemu dan berkenalan dan si
pemuda sudah mulai memuji tentang paras si pemudi, maka
berarti sudah tiba saatnya si pemudi harus berhati-hati
terhadap si pemuda......”.
“Maksudmu pujian itu mengandung sesuatu?” tanya Aditia.
“Benar. Manusia bersusah payah memelihara lebah.
Gunanya apa? Tak lain untuk dapat mengambil madunya.
Begitu juga dengan manusia......”.
“Dan apakah dulu aku juga seperti itu?” tanya Aditia sambil
memeluk istrinya. Perempuan itu mengangkat bahunya. “Tanya
saja pada dirimu sendiri!”
“Kadang-kadang suatu maksud itu tidak selamanya dimulai
dengan memuji, Wantri. Kau ingat waktu dulu kau memulainya
dengan mengatakan aku kejam ketika aku meninggalkan gadis
Minangkabau itu......?”
“Hem...... kau ingat pada dia kembali, heh?! Kau rindu
padanya?!”.
“Maksudku bukan ingin mengingat gadis itu Wantri...... tapi.
Ah susah kalau bicara dengan perempuan cerdik sepertimu
ini......” kata Aditia sambil mencubit dagu perempuan itu.
“Seorang istri harus berlaku cerdik. Kalau tidak dia akan
dibuat susah oleh laki-laki atau suaminya!” ujar Suwantri pula.
Aditia memandang kebulan purnama yang besar diangkasa.
Kelihatannya dekat sekali. Seakan-akan sepejangkauan
jauhnya. “Ditanah Jawa kalau bulan purnama dilingkari oleh
gelang putih seperti saat sekarang ini, tandanya akan ada satu
per tumpahan darah disatu tempat......”.
“Takhayul!” tukas Suwantri.
“Takhayul atau tidak aku tak peduli. Yang aku katakan cuma
pendapat orang......” balas Aditia. Angin malam bertiup.
Dinginnya sampai ketulang-tulang sungsum. “Kita masuk
saja......? Dingin sekali disini......” bisik Aditia. Istrinya
mengangguk dan kedua berlalu dari tempat itu.
Kokok ayam yang pertama membangunkan Aditia dari
tidurnya. Dia mengambil kain sarung. Memandang wajah
istrinya yang masih pulas. Betapa paras perempuan itu tambah
cantik dalam keadaan tidur seperti itu. Aditia mencium kening
istrinya dan keluar dari kamar. Dia melangkah tanpa
menimbulkan suara diruang tengah rumah besar itu. Pintu
belakang dibukanya dan dia mulai menuruni tangga.
Dipancuran dibelakang rumah besar setelah mencuci muka dan
berkumur-kumur segera dia mengambil air sembahyang.
Bangun pagi bersentuhan dengan air seperti itu adalah sangat
dingin sekali bagi orang yang tak biasa. Tapi bagi Aditia dan
bagi setiap orang Islam lainnya yang telah biasa mengerjakan
hal itu setiap pagi tidaklah menjadi apa-apa. Mengambil air
sembahyang yang tengah dilakukan laki-laki itu sampai kepada
membersihkan kedua daun telinganya. Sampai disitu dia
merasakan suatu perasaan yang agak aneh, dia teringat
.mimpinya tadi malam. Dia mencuci kedua kakinya kini. Selesai
itu dia segera naik keatas rumah. Hatinya masih tidak enak
juga. Dan memang saat itu, lima pasang mata memperhatikan
Aditia tanpa berkedip. Namun suatu apapun tidak terjadi
sampai saat itu.
Aditia membentangkan tikar sembahyang dan mulai
melakukan sholat subuh. Sembahyangnya kali itupun
dirasakannya tidak khusuk seperti biasanya. Sehabis
mengucapkan salam dia membaca doa-doa suci. Suwantri
bangun, membalikkan tubuhnya kemudian perempuan itu
turun dari tempat tidur. Aditia mengantarkan istrinya pergi
mengambil air sembahyang kepancuran.
“Aneh...... perasaanku tidak enak pagi ini......!” kata Aditia
begitu Suwantri selesai sembahyang. “Tadi malam aku
bermimpi melihat guruku. Eyang Wilis. Beliau berada disatu
bukit dan aku dilereng bukit itu. Dia tersenyum padaku
kemudian berkata agar supaya aku berlaku hati-hati. Aneh......”
“Apa?! Kau bertemu dengan Eyang Wilis? Benar-benar aneh
ini jadinya! Saya juga bermimpi bertemu dengan guruku, Kiai
Ahmed Pasya! Beliau memandang padaku. Ketika aku dekati
dia menghilang. Gaib entah kemana...... Apa maknanya ini
semua......”. Aditia mengangkat bahu.
“Agaknya ada sesuatu yang bakal terjadi......” desis Suwantri.
Kokok ayam semakin riuh. Rumah besar itu yang tadinya
sunyi senyap mulai berisik oleh suara-suara penghuninya. *
* * DUA BELAS
DITIMUR langit telah kemerahan. Warna merah berubah
menjadi kekuningan dan warna kuning ini kemudian pupus
pula berganti dengan sinar putih menyegarkan. Semenit demi
semenit bola penerang dunia itu semakin naik juga meskipun
pergeserannya tiada kelihatan dan disadari oleh manusia.
Sekelompok demi sekelompok orang-orang Kayan mulai
turun dari rumah. Mereka menuju keladang dan kesawah.
Kelompok pertama berjalan sambil bercakap-cakap. Kesegaran
hawa pagi menyemarakkan percakapan itu. Mendadak orang
yang dimuka sekali menghentikan langkahnya. Seorang yang
bertubuh tinggi besar dengan bulu meliputi seluruh badannya
berdiri menghadang jalan. Empat orang tampak berdiri
dibelakangnya. Satu perempuan tua, tiga orang laki-laki. Dua
dari ketiga laki-laki itu sudah berumur.
“Kalian orang-orang Kayan?!” bentak si tinggi besar yang tak
lain adalah Pakarasa, gurunya Mali Kodra.
“Benar......” jawab orang yang ditanya. Namanya Sika.
“Semua kalian tinggal dirumah besar itu......?!” tanya
Pakarasa lagi. Sika membenarkan pula. “Kalian siapa dan ada
apa......?!”
“Tak usah banyak tanya. Minggir!”. Pakarasa melangkah
kemuka menabrak Sika hingga terpelanting sedang yang lain-
lain cepat menepi takut dilabrak. Gaspar, Nemini, Surdala dan
Gondola mengikuti dari belakang.
Dihadapan tangga besar diujung rumah Pakarasa berhenti.
Kedua tangannya terletak dipinggang. Kedua kakinya berdiri
dengan merenggang. Matanya menyorot tajam kedalam rumah.
“Dua orang pendekar sakti yang membunuh muridku Mali
Kodra, diminta supaya keluar dari dalam rumah dan
menyelesaikan perhitungan dengan aku!” Teriak Pakarasa.
Suaranya keras menggeledek membuat seluruh isi rumah besar
mendengarnya dengan jelas. Semua orang terkejut. Lebih-lebih
lagi Aditiajaya, Suwantra, Mirta dan Suwantri!
Aditia, Mirta dan Suwantra sama menuju kepintu dan berdiri
dimuka tangga. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
dilihatnya tegak bertolak pinggang dimuka tangga sebelah
bawah. Dibelakang laki-laki itu berdiri empat orang. Mirta dan
Suwantra segera mengenali Gaspar. Begitu juga Gaspar. Gaspar
segera berbisik pada Pakarasa. “Yang berdiri paling ujung kiri
adalah salah seorang dari bangsat itu...”. Mata Pakarasa
menyorot pada Suwantra kini. Aditia dan Suwantra sudah
memaklumi bahwa laki-laki ini bukan sembarangan. Juga tiga
orang kawannya yang lain.
“Kau siapa?!” tanya Aditia pada Pakarasa.
Yang ditanya mendengus. “Kalau kau tahu peradatan
turunlah. Juga kau yang telah membunuh muridku. Mana
kawanmu yang satu lagi?!”.
“Aku sendiri orangnya......” jawab Aditia sambil melangkah
turun. Suwantra mengikuti gerakan Aditia, kemudian menyusul
Mirta.
“Kalian manusia-manusianya yang telah membunuh
muridku Mali Kodra?!”
“Benar, kami berdua yang membunuhnya! Kalian datang
mau apa?!” tanya Suwantra.
“Kau pernah dengar kalimat yang berbunyi kalau memukul
harus dipukul dan kalau membunuh harus dibunuh?!” tanya
Pakarasa.
“Jadi kalian datang untuk menyelesaikan perhitungan lama
itu? Kalian datang untuk menuntut balas”.
“Yeahh!”
“Baik! Terangkan dulu siapa kalian!” ujar Aditia.
Nemini yang sudah tak dapat menahan hatinya semenjak
tadi dengan satu gerakan cepat maju kemuka berdiri disamping
Pakarasa. “Buat apa segala percakapan dengan manusia- manusia setan ini. Kita selesaikan dia aaat ini juga. Kalian
adalah juga pembunuh-pembunuh suamiku, Luntra!”
Gerakan yang dibuat Nemini cukup mendapat perhatian
Aditia dan sekaligus dia sudah dapat mengukur bagaimana
hebatnya ilmu yang dimiliki perempuan itu.
“Perhitungan mudah diselesaikan sobat, tapi seperti kata
kawanmu tadi marilah kita pakai peradatan dalam kalangan
persilatan!” desis Suwantra.
“Baik, manusia bagus! Namaku Nemini! Luntra orang yang
kau bunuh itu adalah suamiku. Muridku! Aku datang bersama
kawan-kawanku untuk menghancurkan kepalamu berdua!”.
Gondola melangkah maju. Dia berdiri disamping Nemini.
“Aku Gondola dari gunung Niut. Datang untuk meminta
nyawa kalian berdua karena kalian telah membunuh muridku
Somaha!”.
Satu lagi meloncat kemuka. Dia adalah Surdala. “Aku
Surdala, guru dari Jantra. Kedatanganku sama dengan
kedatangan kawan-kawan yang lain. Darah dan nyawamu!”.
“Dan kau siapa?!” tanya Aditia sambil memandang pada
Gaspar.
“Dia adalah anak buah Mali Kodra. Dialah yang memberi
laporan pada kami!” jawab Pakarasa. “Sekarang beritahu siapa
nama kalian masing-masing supaya kalau kalian mampus
beberapa saat lagi akan senang hati kami!”.
Aditia menyeringai dan menjawab. “Aku Aditia dan dia
Suwantra. Yang dibelakang adalah Mirta. Puas......?!”.
Pakarasa tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Dari
jendela diatas rumah bermunculan kepala-kepala manusia.
Dihalaman juga penuh oleh orang-orang Kayan. Ayah Suwantra
hendak turun kebawah tapi segera diberi isyarat oleh anaknya
untuk tetap tinggal ditempatnya.
“Halaman ini cukup luas bukan?!” desis Pakarasa sambil
melirik pada Aditia.
“Memang cukup luas, sobat. Tapi sebelum segala sesuatunya
dimulai aku ingin bicara dulu. Kalian cuma mendapat kabar
dari laporan laki-laki itu. Tapi kalian tidak tahu apa
sesungguhnya yang telah dilakukan oleh murid-murid kalian.
Bilamana kalian mengetahuinya kelak, maka kalian akan
merasa malu untuk datang kesini. Kalian harus tahu bahwa
kami membunuh mereka bukan karena niat buruk. Tapi mereka
sendiri yang telah menentukan nasib mereka. Mereka sama
mencari mati karena mungkin segala kejahatan yang mereka
lakukan selama hidup telah sangat membosankan mereka.
Kalian adalah guru-guru sakti yang kemanapun kalian pergi
akan dihormati orang. Tapi sayang kalian mempunyai murid- murid yang berhati bukan manusia. Apa kalian tidak tahu atau
pura-pura tidak tahu bahwa murid-murid kalian itu adalah
pemimpin-pemimpin rampok yang kejam. Merampok.
membunuh, melarikan istri dan anak gadis orang, itulah kerja
murid-murid kalian. Sebagai gnru-guru dari mereka kalian
harus malu menyadari hal itu dan harus turun tangan,
Sekurang-kurangnya memberi nasehat kepada mereka agar
mereka kembali kejalan yang benar. Mempergunakan ilmu
mereka untuk kebaikan. Tapi kalian tidak melakukan satu
tindakan apapun. Kami tak ingin melihat manusia-manusia
sesama kami yang tiada berdosa mengalami penderitaan karena
murid-murid kalian. Kami tidak ingin terjadi perampokan dan
pembunuhan lebih lanjut. Kami mendatangi sarangnya Mali
Kodra pada saat saudaraku Suwantra berhasil ditawannya. Mali
Kodra mengadakan perlawanan, tapi dosanya telah terlampau
besar dan dia menemui ajalnya ditangan kami. Kebetulan saat
itu murid-murid kalian yang menjadi kawan dari Mali Kodra
hadir ditempat itu. Walau bagaimanapun kami tidak
mempunyai urusan dengan mereka. Tapi melihat kawannya
menemui ajalnya, mereka segera mengeroyok kami. Bagaimana
kalau kalian dikeroyok oleh orang-orang lain? Tidakkah kalian
akan melawan? Sekurang-kurangnya akan mem pertahankan
diri. Itulah yang terjadi dengan kami. Kami melawan dan
terpaksa mengirim mereka keneraka jahanam. Mereka mati
adalah keinginan mereka sendiri. Mati dalam dosa dan
kesalahan besar. Dan kematian mereka yang terkutuk itulah
yang hendak kalian ungkit-ungkit, hendak kalian buat
perhitungan. hendak kalian adakan pembalasan?! Kalian harus
malu. Kalian harus menyadari bahwa murid-murid kalian
berada dipihak yang salah! Dan bagi orang yang salah tiada ada
penuntutan balas macam apapun. Kalau kalian mau
menyadarinya. Tapi kalau tidak...... kukatakan pada kalian,
rumah ini adalah rumah kami, kami wajib
mempertahankannya. Tanah yang kalian injak adalah tanah
kami, kami harus mempertahankannya. Nyawa yang ada
ditubuh kami adalah nyawa kami, dan juga kami harus
mempertahankannya, kecuali kalau Tuhan tidak mengizinkan.
Kalau kalian ingin menyelesaikan perhitungan lama itu, maka
kalau kalian sudah menyadari kata-kataku tadi sesungguhnya
persoalannya sudah selesai!”.
“Ha...... ha...... sudah selesai?! Jangan bergurau dan bersilat
lidah denganku, sobat. Jangan coba putar balikkan persoalan.
Kalian telah membunuh murid-murid kami. Persoalannya jelas-
jemelas. Dan kami sebagai guru-guru mereka terlepas dari
persoalan apakah murid-murid kami salah atau benar, kami
tetap akan menuntut balas!” tukas Pakarasa.
“Persoalannya baru selesai bila kepala kalian berdua sudah
hancur lumat!” sambung Nemini. Dia melangkah mundur
kebelakang.
Aditia melirik pada Suwantra kemudian memandang
berkeliling pada orang banyak yang berada dihalaman samping
itu. Tanpa disuruh semua orang-orang itu mundur ketepi
halaman. Diantaranya ada yang masuk kekolong rumah besar.
“Selesaikanlah persoalan ini dengan jalan damai!” terdengar
teriakan dari jendela rumah. Teriakannya kepala suku Kayan
yaitu Praja Giana.
“Kalau kau orang tua ingin cara yang damai, turunlah
kebawah untuk mengantarkan nyawamu sendiri!” balas
berteriak Gondola. Sangat geram hati ayah Suwantra
mendengar tantangan itu. Tapi dia tak bergerak dari tempatnya
karena kembali Suwantra memberikan tanda agar dia tetap
ditempatnya berdiri.
Keempat guru sakti itu telah menuju ketengah halaman.
Mereka berdiri berjejeran, Aditia melirik sekali lagi pada
Suwantra. Dan satu detik kemudian kedua orang itu sama
melangkah ketengah halaman dengan langkah yang tetap tan pa
membayangkan kegentaran sama sekali.
Empat orang guru sakti sama berhadap-hadapan dengan dua
pendekar kawakan. Sampai pada saat itu tak seorangpun dari
mereka yang mengeluarkan senjata meskipun Aditia dan
Suwantra memaklumi bahwa keempat musuh itu tentu
mempunyai senjata dibalik baju masing-masing.
“Kalian tuan-tuan rumah, mulailah!” kata Pakarasa.
“Kami cukup tahu peradatan, sobat. Kalian tamu-tamu
silahkan lebih dahulu! balas Aditia.
Pakarasa yang berdiri diujung paling kanan melangkah
enteng kemuka. Kedua tangannya tergantuag lemah dikedua
sisinya. Tiba-tiba tangan kanan Pakarasa bergerak cepat kearah
Aditia. Sambaran angin yang sangat keras menyambar kedada
laki-laki itu. Murid Eyang Wilis meloncat kesamping sambil
melambaikan tangan kirinya. Pakarasa terkejut. Tak sangka
tenaga dalam lawannya yang tingginya cuma sampai kebahunya
itu hebat sekali. Cepat-cepat dia menghindarkar diri. Gerakan
pertama dari kedua orang itu berarti telah memulai jurus
pertama dari rentetan jurus-jurus panjang dari pertempuran
yang hebat itu! *
* * TIGA BELAS
EMPAT guru sakti sama bergerak cepat mengurung dua
pendekar ditengah-tengah. Pertempuran dimulai dengan
tangan kosong tanpa senjata sama sekali. Tapi tangan-tangan
dari keenam jago-jago itu yang bergerak kian kemari tidak sama
dengan gerakan tangan biasa. Tiap gerakan, tiap lambaian
adalah satu pukulan tenaga dalam yang telah sampai
kepuncaknya, yang kalau manusia biasa menerimanya pasti
akan roboh dengan seketika dalam keadaan terluka hebat tubuh
bagian dalamnya.
Satu sosok tubuh meloncat turun dari atas tangga rumah
besar dan langsung menuju kegelanggang pertempuran.
Suwantra dan Aditia sama terkejut. “Wantri! Jangan dekati
tempat ini, pergi!” teriak Aditia ketika dia mengetahui bahwa
orang itu tak lain istrinya adanya. Tapi Suwantri tak
mengindahkan. Dia masuk kegelanggang pertempuran itu dan
mulai turun tangan membantu kedua pendekar tersebut.
“Suwantri! Kataku tinggalkan tempat ini. Ini bukan
urusanmu!” teriak Suwantra sambil mengelakkan pukulan
tangan kanan Gondola yang datang cepat kearah ketiaknya.
Suwantri tetap tak mau mendengar. Dia semakin maju. Yang
didekatinya adalah Nemini.
“He...... he...... bagus! Ada perempuan cantik yang sudi
mengantarkan nyawanya. Rohmu cukup baik untuk duduk
disamping roh murid-murid kawan-kawanku! Mari maju!” ejek
Nemini sambil menggeser kedua kakinya dan meloncat cepat
dengan kedua tangan terkambang kearah lawannya. Suwantri
merubah kuda-kudanya. Kaki kanannya naik keatas sedang kaki
kirinya menjejak tanah. Jadi sambil mengelak kesamping dia
mengirimkan satu tendangan kedada perempuan tua itu. Tak
terduga Nemini merubah gerakannya. Tubuhnya melayang satu
tombak keudara. Kedua tangannya hendak menangkap kaki
kanan Suwantri. Istri murid Eyang Wilis cepat melambaikan
tangan kirinya. Nemini yang tak menduga bahwa lawannya
memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya tidak
mengacuhkan gerakan tersebut. Tapi dia jadi terkejut ketika
sambaran angin yang dingin menghantam kedua pergelangan
lengannya. Beberapa detik lamanya dia merasakan tangannya
itu seperti es sebelum dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk
menolak bahaya yang lebih besar. Dengan demikian terlibatlah
Suwantri dalam perkelahian seru itu. Kini empat guru sakti
mengeroyok tiga pendekar-pendekar muda.
Pakarasa, Gondola dan Surdala berusaha mengurung kedua
lawannya dari tiga jurusan. Tapi maksud mereka itu selalu
gagal. Aditia dan juga Suwantra cukup maklum bahwa dalam
pertempuran yang memakai tangan kosong dan mengerahkan
tenaga-tenaga dalam yang dahsyat adalah agak berbahaya kalau
menghadapi lawan dengan bertolak bahu saling membelakangi
sesama kawan. Karena itu setiap Gondola, atau Surdala
meloncat kesamping kiri atau kanan, mulai hendak mengurung.
Aditia dan Suwantra lekas menyapu gerakan lawan-lawan
tersebut sehingga ketiga guru sakti itu terpaksa menghadapi
lawannya dari muka terus.
Gondola berada disamping kiri kini sedang Surdala
disamping kanan. Jasi Pakarasa sendiri berada ditengah-
tengah. Ketiga orang itu mendesak Aditia dan Suwantra, Kedua
pendekar bertahan dengan gigih dan balas menyerang. Tubuh
Gondola yang kurus seakan-akan tinggal kulit pembalut tulang
itu berkelebat cepat kian kemari. Kedua tangannya yang dikepal
berbentuk tinju menari-nari kian kemari. Tubuh dan gerakan
tangannya, menimbulkan angin yang keras. Begitu juga
Pakarasa. Meskipun tubuhnya besar tinggi namun gerakannya
enteng dan cepat luar biasa. Karena keadaannya yang tinggi itu
dia lebih sering melakukan serangan yang datang dari atas.
Berkali-kali Suwantra dan Aditia terpaksa merunduk
menghindari pukulan-pukulan yang membahayakan dari
Pakarasa itu. Orang ketiga yaitu Surdala, guru sakti yang
bertubuh gemuk pendek, gerakannya tidak kalah dengan
kehebatan gerak kawan-kawannya. Tubuhnya yang gemuk serta
pendek itu melambung kian kemari seperti bola. Sedang
tangannya senantiasa mencari sasaran disetiap tubuh
lawannya.
Aditia dan Suwantra berusaha keras membendung semua
serangan yang dilancarkan musuh-musuhnya itu. Tiba-tiba
dengan satu jerit dahsyat menggetarkan bulu roma Pakarasa
menjatuhkan dirinya ketanah. Tubuhnya kemudian berguling
cepat di tanah. Kedua tangan menghantam keperut bagian
bawah dari Aditia sedang kedua kaki kebawah perut Suwantra!
Serangan yang sungguh hebat ini untung dengan cepat dapat
dielakkan oleh kedua pendekar itu dengan sama-sama meloncat
keudara. Tapi bersamaan dengan itu pula datang serangan
Gondola kearah Aditia dan Surdala kearah Suwantra!
Murid Eyang Wilis melipat kedua lututnya. Sedang tangan
kanannya dihantamkannya kepangkal leher Gondola. Gondola
yang juga maklum kehebatan lawan cepat meloncat mundur
kebelakang sambil memukulkan tangan kirinya. Pukulan tenaga
dalam yang datang dari tangan kiri Gondola ditangkis dengan
lambaian tangan kiri pula. Kedua tenaga dalam mereka saling
bentrokan, Gondola terhuyung-huyung kebelakang. Aditia
sendiri sebelum tubuhnya dibuat bergetar oleh tenaga dalam
lawan cepat-cepat mengelak kesamping dan dengan kecepatan
yang luar biasa maju menyerang kembali. Saat itu Gondola baru
saja mengimbangi dirinya kembali. Serangan Aditia
ditangkisnya dengan lengan kiri sambil kakinya menggeser
kesamping. Aditia yang ingin tahu kekuatan guru sakti itu
mengerahkan tenaga dalamnya untuk membentengi tubuh dan
pukulan tangan kanannya tidak ditariknya sama sekali. Tinju
kanan Aditia beradu keras dengan lengan kiri Gondola!
Gondola terdorong dua langkah kebelakang, Kulit lengannya
yang keriputan dan tipis sekali itu tampak kemerah-merahan.
Tinju kanan Aditia juga tampak memerah. Untuk pertama
kalinya Gondola menjadi terkejut. Tubuhnya bergetar karena
pukulan Aditia tadi dan juga bergetar karena geram. Dengan
membentak nyaring dia meloncati Aditia. Kaki kanannya
melayang kedada. Murid Eyang Wilis memiringkan tubuhnya
sambil coba untuk menolak pinggul orang tua yang kurus itu.
Tapi Gondola lebih cepat memutar tubuhnya dan mengirimkan
pukulan yang amat deras kekepala Aditia. Aditia tidak
mengelak melainkan memukul tinju kanan lawannya dengan
tinju kanan pula! Kedua tinju beradu dengan menimbulkan
suara keras. Dan kedua orang itu sama-sama mental
kebelakang sejauh satu tombak. Namun si guru sakti
memaklumi bahwa tenaga dalam lawannya lebih tinggi dari
tenaga dalamnya sendiri. Kalau lawannya mengerahkan
keseluruhan kekuatan tenaga dalamnya maka sudah dapat
dipastikan bahwa dia akan mengalami celaka. Diam-diam
Gondola mengagumi kehebatan ilmu lawannya yang masih
sangat muda itu.
Ketika Aditia diserang oleh Gondola dalam meloncat
menghindari serangan dahsyat dari Pakarasa, maka pada saat
yang sama Suwantrapun diserang oleh si gemuk pendek
Surdala. Guru sakti ini mengirimkan kedua tinjunya dengan
sekaligus. Tinju kanan mengarah dada kiri sedang tinju kiri ke
tengah perut. Suwantra membuang diri kesamping. Pukulan
yang kearah dada lewat sedang tinju lawan yang menuju
keperutnya ditangkis dengan lutut kiri. Surdala menarik pulang
tangan kirinya dengan cepat. Tinju kanannya kembali
melayang. Kini mengarah keleher lawanniy. Suwantra
merunduk cepat sambil mengirimkan tendangan dari kaki kiri
yang tadi dilipatkannya. Sekali lagi terpaksa Surdala menarik
pulang tangannya dan mundur kebelakang. Suwantra tak
memberi kesempatan dia memburu terus. Tapi lawannya
dengan cepat dapat mempersiapkan diri. Ketika kedua tinju
Suwantra datang kedadanya. Surdala memukul kedua lengan
laki-laki itu. Suwantra terhuyung-huyung kemuka dengan
menahan sakit pada lengannya. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Surdala untuk menghantamkan tempurung lututnya
kebawah perut lawan. Suwantra meloncat keatas. Lutut Surdala
lewat diantara selangkangannya. Guru sakti itu membuka
lipatan lututnya dan menghantamkannya ketulang belakang
Suwantra. Namun tendangan itu tidak mengenai sasaran
karena tubuh Suwantra sudah berada demikian tingginya.
Akibat tendangan yang tak mengenai sasaran, si gemuk pendek
kehilangan keseimbangan diri. Dia coba meloncat kebelakang
tapi tinju kanan Suwantra tinggal beberapa senti saja lagi
dimuka hidungnya!
Surdala tahu, sekalipun dia memiringkan kepalanya atau
merunduk namun tinju lawan tetap akan bersarang dimukanya.
Karena itu sambil memiringkan kepala dia juga mengirimkan
pukulan tepi tangan kiri kekepala lawan. Karena dia
memiringkan kepalanya maka arah tinju Suwantra kini menjadi
kemulutnya. Tinju dan mulut beradu keras..Setengah detik
sesudah itu tangan kiri Surdala juga menghantam pelipis
lawannya. Surdala menyeringit kesakitan. Bibirnya yang kena
terpukul pecah-pecah dan mengeluarkan darah. Dia
terjerongkong kebelakang. Tangan kirinya yang tadi
menghantam pelipis lawannya juga terasa sakit karena
Suwantra yang tidak mengelakkan sambaran tepi tangan
lawannya itu diam-diam mengerahkan ilmu ‘remuk-kermuk’
yang terdapat dikepalanya sehingga mengakibatkan tangan kiri
Surdala menjadi sangat sakit. Kalau orang biasa yang memukul
kepala Suwantra itu bukan saja kullt tangannya akan lecet, tapi
mungkin sekali tulang-tulang tangannya akan hancur remuk.
Guru sakti itu mundur dua langkah kebelakang. Dia mengatur
jalan nafasnya dan mengerahkan tenaga dalamnya kedua
tempat. Yang pertama kekepalanya dan yang kedua ketangan
kirinya yang menderita itu.
Surdala merasakan mulutnya asin karena darah yang keluar
dari bibirnya yang pecah-pecah. Dia, maju kembali. Mulutnya
komat-kamit. Suwantra menyangka bahwa lawannya itu tengah
membaca satu mantera kesakitan tapi tak sangka kiranya
lawannya itu tengah mengulum-ngulum ludah yang bercampur
darah. Dalam jarak dua langkah tiba-tiba Surdala
menyemburkan ludah yang bercampur darah itu kemuka
lawannya. Suwantra cukup maklum dengan ilmu ludah seperti
itu. Dia cepat menghindarkan diri. Mukanya selamat tapi
bajunya yang kena cipratan sambaran tetesan ludah lawannya
tak urung menjadi bolong!
Dan nada saat itulah Pakarasa yang gagal dalam serangan
hebatnya tadi berdiri kembali. Dia menyerang dari belakang,
kearah Aditia. Aditia yang mendengar sambaran angin yang
deras dibelakangnya sudah maklum. Pada saat itu dia tengah
menghadapi Gondola yang sedang melancarkan serangan
berantai. Murid Eyang Wilis segera menjalankan sapunya.
Sebelum pukulan tangan kanan Pakarasa menghantam pangkal
tengkuknya, dengan cepat dia menjatuhkan diri kebawah lalu
seperti kodok layaknya meloncat kesamping. Tinju kanan
Pakarasa yang mengenai tempat kosong kini menghantam
kejurusan kawannya sendiri yaitu kejurusan Gondola yang
dimukanya. Meskipun tinju kanan Pakarasa itu tidak mengenai
kepala Gondola, tapi tenaga dalamnya yang datang dari tinju itu
cukup membahayakan lawannya sendiri.
Dengan memaki, “Gila!”. Gondola membanting diri
kesamping untuk menghindarkan pukulan yang nyasar itu.
“Ha...... ha...... belum apa-apa kau sudah mau mencelakai
kawan sendiri sobat” ejek Aditia. Saat itu dia sudah berdiri
kembali. Mendengar ejekan itu hati Gondola dan Pakarasa
menjadi panas. Keduanya maju dengan serentak, menyerang
Aditia dari dua jurusan, Murid Eyang Wilis bergerak cepat.
Kedua penyerangnya juga mempercepat gerakan mereka. Tiga
tubuh saling berkelebat seperti bayang-bayang dan Aditia
terkurung ditengah! Ketika gerakan ketiga orang itu sudah
sampai kepuncak kecepatannya, tiba-tiba Aditia meluncur
kebawah tanpa diketahui lawannya dan tahu-tahu dia sudah
berada dibelakang Pakarasa! Pakarasa dan Gondola sadar
bahwa dia telah kena ditipu. Dengan cepat guru itu
menghentikan gerakannya pula. Dimuka sana Aditia berdiri
dengan menyeringai. “Ya...... kau bisa tertawa sekarang, bung! Tapi sebentar lagi
roh busukmu akan sampai keneraka!” rutuk Pakarasa. Dia
menyerang kembali begitu juga Gondola. Tangan kiri Pakarasa
kelihatannya mencari sasaran dibawah ketiak lawannya. Ketika
Aditia hendak mengelak mendadak tinju lawannya berobah
arah kebawah perutnya. Masih ada kesempatan bagi Aditia
untuk mengelak. Namun dia cuma mengangkat lutut kirinya.
Kedua tangannya kemudian bergerak kemuka dada Pakarasa.
Tiga jengkal sebelum sampai kedada lawannya, Pakarasa telah
menggerakkan tangannya untuk menangkis, dan pada saat itu
pula kedua tinju Aditia berpisah memencar. Tinju kanan
kedagu Pakarasa sedang tinju kiri kearah lambung. Guru sakti
yang bertubuh tinggi besar itu memiringkan kepalanya sedang
tangan kanannya bergerak cepat menyapu lengan kiri Aditia.
Aditia menarik lengan kirinya dengan cepat sedang jari-jari
tangan kanannya kini terbuka, dan dengan satu bentakan keras
dia meloncat kesamping, Pakarasa meraung keras. Apa yang
terjadi? Jari-jari tangan Aditia berhasil merenggutkan bulu
dada laki-laki itu. Dada Pakarasa berkelukuran darah dan perih.
Dia menyumpah-nyumpah tiada hentinya, Aditia hanya
senyum-senyum saja dan satu kesalahan murid Eyang Wilis ini
karena asyik melihat lawannya menggerutu dengan mimik yang
lucu dia jadi bertindak sedikit lengah. Walaupun dia dapat
melihat serangan licik yang datang dari arah samping,
dilancarkan oleh Gondola namun dia agak terlambat untuk
mengelakkannya. Jotosan tangan kanan si guru kerempeng
bersarang dibahunya, bukan main sakitnya. Aditia miring
doyong kekiri. “Rasakan!” ejek Gondola dengan menyeringai
buruk. Sambil mengimbangi diri dan memperhatikan
kedudukan Pakarasa, Aditia menggerakkan tangan kirinya, Saat
itu mulut Gondola masih terbuka dalam keadaan menyeringai
senang karena berhasil menghantam lawannya. Bulu-bulu dada
Pakarasa yang masih ada dalam tangan kiri Aditia melayang
cepat kemuka Gondola. Gondola merunduk namun salah satu
dari bulu-bulu dada itu masih sempat memasuki mulutnya dan
menempel dilangit-langit dekat anak lidahnya. Gondola jadi
batuk-batuk. Air ludahnya yang membuih muncrat keluar dari
mulutnya. Sambil terbatuk-batuk dia memaki juga. Namun
bulu dada Pakarasa itu agaknya senang pula bersemayam
dalam mulut Gondola. Setelah perutnya hampir muak hendak
muntah, barulah bulu celaka itu berhasil dikeluarkannya. *
* * Mari kita perhatikan perang tanding antara dua orang
perempuan yang satu tua dan yang satu muda disamping
halaman sebelah kiri. Nemini yang tubuhnya lebih tinggi dari
Suwantri namun kalah kekar bergerak sangat cepat. Dari
mulutnya keluar suara seperti tawon membuat rumah. Entah
dia tengah membaca aji kesaktian atau mantera tak tahulah
Suwantri. Tapi gadis itu senantiasa bersikap waspada dan hati- hati. Langkah dan geraknya diukurnya benar-benar. Dia
maklum bahwa lawannya adalah bukan sembang lawan. Lawan
yang punya kesaktian tinggi dan yang punya tekad bulat untuk
menuntut balas atas kematian suami atau muridnya.
Satu kali gerakan Nemini tampaknya aneh sekali bagi
Suwantri. Guru sakti itu bergerak mencak-mencak seperti
monyet terbakar ekor. Tapi satu hal yang dilihat oleh Suwantri,
gerakan yang tampaknya seakan-akan tak teratur itu adalah
sangat berbahaya sekali. Ketika memasuki jurus keempat tiba-
tiba Nemini melengking keras. Semua mata orang-orang ditepi
gelanggang pertempuran ditujukan kepada Nemini. Perempuan
tua itu meloncat kemuka. Tubuhnya seperti terbang. Tangan
kirinya meluncur cepat keperut lawan sedang tangan kanan
dengan jari-jari terbuka coba hendak menjambak rambut
Suwantri. Untung saja Suwantri turun kegelanggang
pertempuran dengan memakai celana laki-laki. Kalau dia masih
memakai kain maka adalah mustahil baginya untuk menangkis
serangan yang datang kearah perutnya itu dengan jalan
mengangkat lutut. Begitulah, Suwantri mengangkat lututnya
keatas melindungi perutnya. Bersamaan dengan itu pula dia
merunduk. Kemudian dengan satu gerakan cepat dia meloncat
kesamping. Rupanya lawannya telah memperhitungkan
gerakannya itu karena pada saat dia meloncat, Nemini
menyusul melompat sambil mengirimkan serangan gencar.
Tangan kanan mengarah dada sedang sambil menyingsingkan
tepi kain dengan tangan kiri maka Nemini menggerakkan kaki
kirinya menendang keperut lawan. Muka Suwantri menjadi
merah karena melihat serangan yang ditujukan kearah dadanya
itu. Untung saja yang menjadi lawannya adalah kaum
sejenisnya sehingga dia bisa menganggap bahwa serangan itu
bukanlah untuk maksud yang kotor. Sekali lagi Suwantri
meloncat sambil merunduk, namun tak urung ujung jari
lawannya masih sempat menyambar sanggulnya. Gelung
sanggul perempuan itu terlepas dan rambutnya terurai.
Suwantri menjadi panas. Tanpa mengacuhkan rambutnya yang
terurai itu dia menyerang kemuka dengan dahsyat. Kaki
kanannya mencari sasaran ditulang iga sebelah kiri Nemini
sedang kedua jari-jari tangannya seperti hendak mencengkeram
muka perempuan tua itu. Nemini tidak bodoh. Dia meloncat
mundur satu langkah kebelakang sambil melambaikan
tangannya mengirimkan pukulan tenaga dalam kemuka
Suwantri. Suwantri mengerahkan ilmu ‘remuk-kermuk’ yang
didapatnya dari gurunya. Pukulan tenaga dalam Nemini tiada
mampu melukai lawannya bahkan sebaliknya tenaga dalamnya
itu berbalik menyambar tubuhnya, si guru sakti segera
meloncat kesamping dengan cepat.
Aditia yang memperhatikan pertempuran antara istrinya
dengan Nemini dengan sudut matanya segera berteriak.
“Wantri! Gelung rambutmu cepat!”. Suwantri baru sadar betapa
bahayanya keadaan dirinya dalam keadaan rambut terurai lepas
seperti itu. Kalau saja lawannya berhasil mencekal dan
menjambak rambutnya itu maka akan celakalah dia. Dengan
gerakan yang cepat kedua tangannya, segera menggelung
rambutnya membentuk sanggul kembali.
Nemini maju selangkah demi selangkah. Matanya menyorot
ganas kepada perempuan muda yang menjadi lawannya.
Mulutnya komat-kamit. Suwantri balas menantang pandangan
itu. Mendadak dia merasakan tubuhnya, menjadi gemetar.
Matanya menjadi perih. Cepat dia mengerahkan tenaga
dalamnya. Kini dia tahu bahwa lawannya tengah mengirimkan
satu serangan ilmu hitam kepadanya. Suwantri juga mulai
membaca manteraa dan aji kesaktian yang dimilikinya.
Matanya tanpa berkedip terus menantang lawannya. Kekuatan
ilmu dalam mereka kini saling beradu, Nemini merasakan
bagaimana kekuatan ilmunya perlahan-lahan mulai berkurang
dan akhirnya punah sama sekali, Bersamaan dengan gagalnya
ilmu hitamnya itu Nemini meloncat kemuka. Dan kedua orang
itu kini sama bergerak cepat kembali. Elak-mengelak, serang- menyerang silih berganti. Jurus kelima dan keenam serta
ketujuh berlalu penuh keseruan. Memasuki jurus kedelapan
Suwantri mulai membendung serangan-serangan lawannya.
Tubuhnya yang ramping itu berkelebat cepat seperti bayang- bayang. Nemini sendiri hampir tak bisa mempercayai bahwa
ada seorang perempuan lain didunia ini, yang masih muda pula
dan sanggup menandinginya. Sebelumnya dia tak pernah
berhadapan dengan musuh sejenisnya. Setiap musuh laki-
lakinya selalu kewalahan. Ada yang disikatnya sampai menemui
ajal, ada yang disapunya sampai cacat untuk selama-lamanya
dan ada pula yang melarikan diri sebelum dikalahkannya. Dan
kini dalam menghadapi perempuan sejenisnya dia mulai
dibikin terdesak!
Ketika Nemini mempercepat gerakannya. Suwantri merubah
cara berkelahinya. Gerakannya diperlambat. Tubuhnya seakan- akan seperti tengah menarikan satu tarian yang lemah gemulal.
Tapi matanya tiada lepas menyorot memandang lawannya.
Tampaknya gerakan yang dibuat oleh perempuan itu sangat
berbahaya sekali dan menguntungkan lawan. Dan Nemini juga
menduga demikian. Tinju kanannya menyerang kelambung
Suwantri. Dengan gerakan yang lemah gemulai Suwantri
mengelak. Nemini cepat merubah arah pukulannya sambil
melayangkan jotosan tangan kebawah ketiak kanan lawan. Dan
pada saat itulah gerakan Suwantri tiba-tiba menjadi berubah
cepat. Sangat cepat luar biasa! Nemini terkejut. Dia merasakan
tangan kirinya bentrokan dengan tangan kanan lawan,
membuat tangannya tergetar. Sebelum dia sempat meloncat
kesamping kaki kanan Suwantri telah menghantam pangkal
pahanya. Nemini menggeram menahan sakit. Tubuhnya
terdorong keras kesamping. Dia hampir roboh ke tanah kalau
tidak cepat mengimbangi diri.
“Perempuan celaka!” maki Nemini. “Kupecahkan kepalamu!”
Dia melesat kemuka. Gerakannya sungguh mendebarkan dada.
Seluruh kepandaian silat dan tenaga dalamnya dikeluarkannya.
Dalam setengah jurus saja Suwantri kini mulai terdesak. Dua
kali perempuan itu terjerongkong kebelakang kena pukulan
Nemini. Kalau saja tenaga dalam Suwantri tidak sampai
kepuncaknya tentu dia sudah terluka hebat tubuh bagian
dalamnya.
“Perempuan tua, kepalamu yang akan kupecahkan!” bentak
Suwantri detik itu juga permainan silatnya berubah. Tubuhnya
tidak lagi berkelebat kian kemari, tapi kini naik turun dengan
cepatnya sedang dalam setiap gerakan itu kedua lututnya selalu
dilipatnya sehingga tiada memungkinkan bagi lawan untuk
mencelakai perutnya sampai kebagian bawah tubuhnya. Kedua
tangan Suwantri berubah seakan-akan puluhan buah
banyaknya. Dan tangan-tangan itu mengurung Nemini dari
sebelah muka, samping kiri dan samping kanan. Tiga kali
Nemini kena dipukul oleh Suwantri dengan cuma bisa
membalas satu kali yang bagi Suwantri pukulan tersebut adalah
tidak berarti, Nemini semakin terdesak. Sambil mundur guru
sakti itu komat-kamit mulutnya membaca jampi-jampi. Tangan
kanannya senantiasa diangkatnya keatas dengan telapak tangan
mengarah kemuka. Nemini mundur terus. Suwantri maju
memburu musuhnya itu dengan sudut matanya melihat
bagaimana dari telapak tangan Nemini keluar asap hijau. Asap
itu semakin lama semakin tebal dan bergulung-gulung.
Perlahan-lahan dari asap yang tak tentu rupa kini berubah
menjadi seperti ular. Beberapa saat kemudian asap itu benar
berubah menjadi seekor ular hijau berkepala dua yang sangat
besar dan mengerikan. Orang-orang perempuan tak terkecuali
orang-orang laki-lakinya yang berdiri menyaksikan perkelahian
itu ditepi halaman pada menjerit ketakutan dan menjauhkan
diri.
Ular hijau berkepala dua itu membuka mulutnya yang lebar.
Sambil menunjuk dengan tangan kirinia kepada Suwantri,
Nemini berteriak memerintah ular ciptaannya. “Bunuh,
perempuan celaka itu!”.
Dengan serta merta ular kepala dua tadi menyerang
Suwantri. Dari masing-masing mulutnya keluar sinar hijau yang
menyilaukan menyambar kearah leher dan muka Suwantri.
Perempuan itu meloncat cepat kesamping. Serangan lewat.
“Kejar terus!” bentak Nemini pada ularnya. Sang ular
mengejar Suwantri kembali. Suwantri tidak tinggal diam kini.
Kedua tangannya dibentangkannya keatas mulutnya juga
komat-kamit membaca aji kesaktian. Sedang aji ‘remuk- kermuk’ telah lama disiapkannya. Ketika ular kepala dua datang
menyerangnya dari muka kembali sebelum binatang jadi-jadian
itu memuntahkan sinar mautnya. Suwantri telah menangkap
kedua kepalanya. Ular jadi-jadian itu menggolet-goletkan
ekornya berusaha untuk melepaskan cekalan Suwantri, tapi tak
berhasil. Dengan satu bentakan keras Suwantri menarik kedua
kepala ular itu kearah yang berlawanan. Kepala binatang itu
terpisah satu sama lain, tapi pada detik itu juga binatang jadi-
jadian ini segera berubah menjadi asap hijau lagi. Suwantri
meniup asap hijau itu. Asap tersebut menyerang kearah
Nemini. Nemini menurunkan telapak tangan kanannya dan
dengan serta merta asap tadi menghilang.
“Bagus...... bagus...... bagus! Kau memang sakti. Tapi mari
buktikan lebih lanjut, apa kau bisa menyelamatkan mukamu
yang cantik itu dari senjataku ini!”
Nemini mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik
punggungnya. Sebuah gagang besi ditariknya keluar. Gagang
besi itu berhubungan dengan sebuah rantai besi dan ketika
ujung rantai besi itu sampai diluar maka tersembullah sebuah
tengkorak kepala manusia yang dicantolkan pada ujung rantai
besi itu.
Suwantri dan orang-orang yang berada disekitar situ menjadi
terkejut ketika melihat senjata si guru sakti itu. Tengkorak
manusia dijadikan senjata yang dikaitkan pada rantai besi!
Bayangkan!
“Ha...... ha...... ha......! Kalau kau punya Tuhan, minta
ampunlah atas segara dosa-dosamu yang pernah kau buat
didunia ini karena sebentar lagi senjata ini akan
menghancurkan kepalamu!” kata Nemini dengan menyeringai
buruk. Mukanya kini membayangkan kekejaman yang amat
sangat!
Mirta yang berdiri dekat tangga rumah menyaksikan
pertempuran hebat itu sesungguhnya tiada tahan hati untuk
maju kegelanggang bersama Aditia, Suwantra dan Suwantri.
Namun dia memaklumi bahwa yang menjadi lawan mereka saat
itu bukan sembarang orang. Guru-guru sakti yang kehebatan
dari murid-muridnya telah disaksikan oleh Mirta waktu
pertempuran disarangnya Mali Kodra tempo hari. Dia sadar
bahwa dia tak bisa menandingi guru-guru sakti itu.
Kepandaiannya sangat rendah sekali. Jangankan terpukul, kena
sambaran angin tenaga dalam sajapun mungkin dia sudah
roboh dan mati konyol! Mirta melayangkan pandangan
berkeliling. Orang2-orang sesukunya yang berdiri jauh ditepi
halaman tampak menyaksikan pertempuran itu dengan mimik
yang berlainan. Jauh terpisah dari deretan orang-orang Kayan
dilihatnya berdiri seorang laki-laki dibawah pohon pisang.
Gaspar!
Seringai bermain dibibir Mirta. “Inilah lawanku...... mengapa
aku melupakan dia sejak tadi?!”. Pemuda itu menyesalkan
dirinya. Perlahan-lahan dia meninggalkan tempat itu dan
berjalan mendekati Gaspar. Gaspar yang juga asyik melihat
pertempuran tersebut dan merasa yakin bahwa keempat guru- guru sakti itu akan keluar sebagai pemenang tiada mengetahui
kedatangan Mirta yang muncul dari belakang. Mirta menepuk
bahu Gaspar. Laki-laki itu menoleh dengan terkejut.
“Kau......!”
“Ya, aku! Masih ingat kisah lama dikedai di Srimbilan...?!”
tanya Mirta dengan nada mengejek dan setengah menantang.
“Bagus! Kau sendiri datang untuk mengingatkan hal itu
padaku, bagus! Tapi tahukah kau, sobat bahwa peringatan itu
juga berarti pemberitahuan bahwa ajalmu akan sampai tak
lama lagi?!”
“Ah...... jangan terlampau sombong, bung, Kau bukan Yang
Maha Kuasa yang bisa menentukan hidup mati seorang!” tukas
Mirta.
“Untuk itu mari kita buktikan!” jawab Gaspar sambil
mencabut goloknya.
“Baik, sobat! Aku akan merasa senang sekali kalau melihat
golokku ini menebas batang lehermu nanti. Engkaulah yang
menjadi biang keladi sampai terjadinya pertempuran disitu!”
Mirta mundur satu langkah. Goloknya juga sudah tergenggam
ditangan kanannya. Kedua musuh lama itu melangkah
berputar-putar. Sambil berputar keduanya medekat juga.
Gaspar mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Mirta menunggu
dengan waspada. Keduanya berputaran lagi satu kali. Golok
yang ditangan Gaspar tiba-tiba membabat kebawah dengan
cepat tapi serangan pembukaan itu dapat dielakkan dengan
mudah oleh Mirta. Keduanya berputaran lagi, intai mengintai
kelengahan pihak lawan. Keduanya semakin dekat, semakin
dekat. Dan untuk kedua kalinya Gaspar membuka serangan.
Goloknya melayang kedada Mirta. Mirta menggeser letak
kakinya kebelakang. Begitu golok lawan lewat dia mengirimkan
sera ngan balasan kearah lambung. Gaspar meloncat dengan
sigap tapi lawannya kembali memburu dan mengirimkan dua
serangan berantai. Yang satu kearah dada dan yang kedua
kearah bahu kanan. Serangan yang mula-mula dielakkan oleh
Gaspar sedang yang mengarah bahu ditangkisnya dengan
senjatanya. Kedua golok sama beradu dengan menimbulkan
suara berdentang. Mata orang banyak mulai dibagi untuk
menyaksikan pertempuran antara kedua laki-laki itu.
Sebelum lawannya dapat memasang kuda-kuda baru, Mirta
terus menghujani Gaspar dengan serangan yang bertubi-tubi.
Satu hal yang menguntungkan lawannya adalah bahwa dia tidak
gugup. Dengan tenang Gaspar mengelak dan menangkis setiap
hantaman golok Mirta. Kedua orang itu sama-sama seimbang
tampaknya. Namun ketika jarinya terserempet senjata lawan
dan berdarah, ketenangan Gaspar menjadi lenyap. Amarahnya
kini menjadi meluap dan meskipun serangannya sangat hebat
sekali namun serangan itu tiada mempunyai perhitungan sama
sekali. Serangan-serangan yang dilancarkan dengan nafsu
amarah! Mirta sambil bertahan menjalankan taktik juga. Setiap
saat dari mulutnya keluar ejekan-ejekan yang semakin
memanaskan lawannya, Akhirnya permainan silat dan ilmu
golok Gaspar menjadi kacau, dikacaukan oleh amarah. Dan
kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu oleh Mirta. Sesudah
bertahan dalam jurus ketiga sampai keenam maka memasuki
jurus ketujuh dia membuka serangan balasan. Gaspar gugup.
Cara-cara bertahan yang wajar dilupakannya sama sekali. Dia
bertahan sambil coba juga untuk mendcsak lawan, namun
gagal. Dia dibuat mundur terus oleh Mirta. Langkahnya terhenti
ketika tubuhnya membentur pohon pisang dibelakangnya.
Gaspar hendak melompat kesamping namun serangan gencar
dari lawannya memaksa dia mengurungkan niatnya itu. Dengan
memepet kepohon pisang dia bertahan terus. Pertahanan yang
penuh kegugupan. Golok Mirta menyambar kelambung laki-laki
itu. Gaspar menangkis dengan senjatanya. Kedua golok beradu
lagi untuk kesekian kalinya. Satu kali Gaspar mendapat
kesempatan untuk menjauhkan diri dari batang pisang itu. Tapi
begitu kakinya menjejak tanah setelah melakukan lompatan itu
serangan Mirta tetap memburunya. Dia jadi lebih gugup karena
keseimbangan tubuh serta kedudukannya masih belum benar.
Dia menangkis ketika golok lawan dilancarkan kemuka, golok
Mirta membalik kearah yang sebenarnya, yaitu leher Gaspar.
Kali ini laki-laki itu tak punya kesempatan untuk mengelak
ataupun menangkis. Dan benar seperti yang dikatakan oleh
Mirta tadi, Gaspar menemui ajalnya dengan leher hampir putus
kena babatan golok! *
* * LIMA BELAS
RANTAI yang ujungnya dicantolkan tengkorak manusia yang
menjadi senjata dari Nemiri benar-benar hebat. Senjata dahsyat
itu mendesak Suwantri dalam jurus yang keempat belas,
Suwantri terpaksa bergerak cepat untuk mengelakkan serangan
itu, namun kemanapun dia berkelebat tengkorak maut itu
senantiasa memburunya. Sekali bahu kirinya kena terpukul.
Tulang bahunya terasa seperti hancur luluh. Setelah
mengalirkan tenaga dalamnya ketempat yang kena pukul itu
gerakan Suwantri agak lamban kini. Walaupun sakit hantaman
tengkorak itu sudah hilang, tapi pukulan itu benar-benar
mempengaruhi diri Suwantri. Perempuan itu terdesak terus.
“Ajalmu sudah didepan mata!” bentak Nemini.
Suwantri melompat mundur. Tangan kanannya bergerak
kebelakang, kebalik punggung. Dari balik bajunya keluarlah
sebuah pedang bergagang emas dan bermata baja putih yang
mengeluarkan dua sinar, yaitu sinar kuning dari gagang pedang
dan sinar putih menyilaukan dari mata pedang. Itujah pedang
sakti yang didapat Suwantri disatu gua dipuncak gunung
Merapi di pulau Andalas. Pasangan pedang itu yang bentuknya
persis sama cuma mempunyai tanda perbedaan pada hulunya
ada pada kakaknya, Suwantra.
Pedang yang pada gagangnya itu terukir lukisan bulan
genggam erat-erat ditangan Suwantri. Dia maju dengan
perlahan-lahan. Nemini sangat terkejut melihat kehebatan dari
pedang itu. Sinarnya mengagumkan tapi juga menggidikkan.
Baru sekali itu dia melihat senjata seperti itu. Kemudian si guru
sakti cepat menyadari bahwa dia harus menggempur lawannya
sebelum Suwantri mulai menyerang. Rantai yang ada tengkorak
manusia diujungnya itu diputar-putarnya dengan kecepatan
yang luar biasa. Baju yang dipakai Suwantri jadi berkibar-kibar
kena sambaran angin yang datang dari senjata dahsyat itu.
Sambil terus mengerahkan tenaga dalamnya, Suwantri maju
mendekati lawannya. Tiba-tiba tengkorak itu menyerang ganas
kekepalanya. Suwantri merunduk dengan cepat tapi tenang.
Begitu senjata lawan lewat dia tegak kembali. Pedang yang
ditangannya dibabatkannya kearah pinggang Nemini. Guru tua
itu mundur satu langkah kebelakang. Sambaran pedang lewat.
Tapi tubuh Nemini menjadi terhuyung-huyung. Hampir saja dia
dibuat jatuh duduk. Sambaran angin yang keluar dari pedang
sakti itu tiada terkirakan hebatnya. Nemini seperti dipukul
dengan sebuah balok besar pada pinggangnya. Suwantri sendiri
yang baru kali itu mempergunakan senjatanya juga terkejut
melihat kehebatan senjatanya itu.
Sekali lagi Nemini mendahului menyerang. Kali ini Suwantri
tidak memberi ampun lagi. Sambaran senjata lawan sengaja
tidak dielakkannya. Sebaliknya dengan pedang saktinya itu
dibabatnya tengkorak kepala manusia itu. Nemini juga tidak
berusaha untuk menarik senjatanya karena dia tahu tak satu
kekuatan apapun didunia ini yang sanggup menghancurkan.
Namun dia salah duga, dia terlalu bangga dan terlalu
mempercayai kehebatan senjata tengkoraknya itu. Dia tidak
tahu bahwa pedang yang ditangan lawannya adalah satu pedang
sakti yang berasal dari masa Nabi Muhammad yang
kesaktiannya tiada terlukiskan.
Pedang dan tengkorak beradu dahsyat. Dengan
mengeluarkan suara letusan dahsyat seperti suara meriam;
tengkorak itu hancur lebur berantakan. Keping-kepingnya
berhamburan keudara. Nemini mengeluarkan seruan tertahan.
Dia tidak bisa mempercayai kejadian itu. Namun rasa tidak
percayanya itu tidak bisa lama-lama dirasakannya. Senjata yang
ditangan Suwantri menyerangnya dengan hebat, dia mundur,
tapi lawannya meloncatinya. Dia coba menangkis dengan
tangannya maksudnya hendak menghantam sambungan siku
dari lengan Suwantri yang memegang pedang itu, tapi
sebaliknya Suwantri membabat puntung lengan si guru sakti
itu. Nemini menjerit setinggi langit, membuat bulu tengkuk
setiap orang yang mendengarnya jadi berdiri. Dengan tangan
berlumuran darah Nemini mundur terus. Namun tidak sanggup
bertahan dari lima belas detik lagi. Ketika pedang sakti
ditangan Suwantri menyambar kearah dadanya. Nemini tak
sanggup lagi untuk mengelak. Dia sudah sedemikian lemahnya
karena kehabisan darah. Pedang menghantam tulang-tulang
iganya, menghancurkan tulang dadanya dan membelah
jantungnya!
Pertempuran antara Aditia dan Suwantra melawan Gondola,
Pakarasa dan Surdala kini juga telah berubah. Dari
mempergunakan tangan-tangan kosong kelimanya kini telah
memakai senjata masing-masing.
Karena menyadari bahwa kedua lawannya itu tak akan
mungkin mereka bereskan dengan hanya memakai tangan-
tangan kosong, maka ketiga guru-guru sakti itu segera
mengeluarkan senjata masing-masing. Mula-mula sekali
Pakarasa mengeluarkan senjatanya yaitu lima helai lidi yang
diikat menjadi satu. Bukan saja senjata itu kelihatan aneh kalau
tidak mau dikatakan lucu, tapi juga bagaimana tak pantasnya
Pakarasa yang bertubuh tinggi besar itu memegang sebuah
senjata berupa sapu lidi yang kecil sekali. “Namun tidak
demikianlah dengan kehebatan senjata itu. Satu kali manusia
bisa kena dicambuk oleh sapu itu tak ampun nyawanya akan
melayang dengan seketika!
Gondola juga tak mau kalah. Dia mengeluarkan dua buah
senjata yang berbentuk tombak. Cuma agak kecil sedikit dari
pada tombak. Dengan kedua senjata ditangan kiri dan kanan
dia menyerang kembali. Begitu juga dengan gurunya Jantra
yaitu Surdala. Laki-laki pendek gemuk ini mengeluarkan
sebuah senjata yang berbentuk jangkar atau jelasnya berbentuk
besi pengait timba yang putus masuk kedalam sumur. Tiga guru
sakti dengan macam-macam senjata yang hebat-hebat
mengeroyok dua murid pertapa sakti. Saat itu Aditia dan
Suwantra telah bergabung menjadi satu dalam menghadapi
ketiga lawannya. Mereka hanya bisa bertahan dengan tangan
kosong selama tiga jurus. Jurus yang selanjutnya terpaksa
Suwantra mencabut goloknya sedang Aditia mencabut keris
saktinya.
Dan kini pertempuran benar-benar hebat luar biasa.
Sambaran-sambaran pedang dan keris sakti yang meskipun
tidak mengenai sasarannya itu namun membuat ketiga lawan
kawakan itu menjadi sibuk dan waspada. Ketiga mereka harus
berhati-hati dalam melakukan serangan ataupun dalam
mempertahankan diri. Ketiga guru sakti itu telah melihat
dengan sudut mata mereka bagaimana dengan pedang yang
serupa Suwantri telah menghancurkan senjata sakti kawan
mereka Nemini. Karena itu mereka selalu menarik diri setiap
hampir terjadi bentrokan senjata dengan pedang Suwantra.
Sebaliknya mereka senantiasa mengurung senjata Aditia.
Mereka menganggap remeh saja keris padahal mereka melihat
bagaimana sinar merah yang keluar dari keris itu bukan sinar
sembarangan. Menganggap remeh seorang lawan, baik dalam
perkelahian maupun dalam permainan apa saja adalah satu
kesalahan besar!
Aditia bergerak cepat. Tubuhnya hanya berupa bayang- bayang. Yang dihadapinya saat itu adalah Gandola. Sekali-kali
Pakarasa membantu juga menggempur Aditia. Gondola
mengikuti gerakan lawannya. Kedua senjatanya menusuk kian
kemari. Gondola baru terkejut dan mengetahui kehebatan keris
sakti itu ketika salah sebuah dari senjatanya dibabat puntung.
Dalam keadaan itu pula keris merah berhasil menyerempat
melukai jari kelingking Gondola. Gondola sama sekali tidak
mengacuhkan luka itu. Dia mengerahkan tenaga dalamnya
setengah-setengah. Tapi luka yang ditimbulkan oleh ujung keris
merah bukan luka biasa! Gondola merasakan tubuhnya mula- mula panas. Ketika rasa panas itu hilang berganti dengan rasa
dingin yang amat sangat. Dia kerahkan tenaga dalamnya.
Namun percuma. Ketika rasa dingin itu hilang dengan
sendirinya maka dia merasakan tubuhnya sangat lemah sekali.
Dia seakan-akan tak sanggup untuk berdiri lagi dengan kedua
kakinya, dia semakin lemah, semakin lemah dan ketika
tubuhnya terhuyung-huyung kesamping Aditia cepat
menyelesaikan lawannya. Dengan ujung kerisaya dicongkelnya
dada Gondola. Satu detik sebelum tubuh Gondola mencium
tanah maka nyawa guru sakti itu sudah tiada lagi.
Pakarasa dan Surdala sama mengertakkan geraham
menahan geram melihat kematian kawan mereka yang kedua
itu. Pakarasa meloncat kesamping menghadapi Aditia.
Senjatanya dikebut-kebutkannya kian kemari, maksudnya
hendak melumpuhkan tenaga dalam lawannya dulu sebelum
dia melancarkan serangan total, tapi bukannya dia berhasil
melumpuhkan tenaga dalam lawannya sebaliknya dia sendiri
kini yang merasakan tenaga dalamnya mulai lumpuh karena
sambaran-sambaran keris merah yang ditangan Aditia. Kini
Pakarasa benar-benar menyabung nyawa untuk memenangkan
pertempuran itu. Tubuhnya yang besar itu berkelebat cepat.
Semua anggota badannya bergerak. Sapu lidi aneh yang
menjadi senjatanya menyerang mulai dari kaki sampai keatas
kepala Aditia. Aditia sengaja mundur sedikit demi sedikit.
Sebaliknya Pakarasa tak menyangka kalau kemunduran itu
adalah taktik belaka. Dia yang merasa mendapat angin untuk
segera memenangkan perkelahian itu menyerang lebih ganas
lagi.
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa Aditia berhasil
menangkap ujung sapu lidi itu. Dengan cepat ditariknya.
Pakarasa terbawa kedepan dan pada saat itu pula keris yang
ditangan Aditia menusuk cepat kemuka. Kalau Aditia mencekal
senjata lawannya, maka kini Pakarasa mencekal lengan Aditia
yang memegang keris itu. Cekal-mencekal terjadi dan kedua
lawan sama-sama mengerahkan tenaga dalam. Hal itu
berlangsung hampir satu menit. Karena memaklumi lawannya
lebih unggul dengan satu bentakan keras Pakarasa meloncat
mundur kebelakang. Dua dari lima lidi yang menjadi senjata
Pakarasa berhasil ditarik oleh Aditia. Dengan dua lidi ditangan
kiri dan keris merah ditangan kanan. Aditia menyerang
kembali. Pakarasa semakin terdesak. Dua jurus lagi dia sanggup
bertahan. Pada jurus yang menentukan dia berhasil memukul
dada Aditia dengan sapu lidinya namun nyawanya sendiri tidak
tertolong lagi ketika murid Eyang Wilis menusukkan keris
merahnya dengan cepat didada kiri yang berbulu dari Pakarasa.
Manusia tinggi besar itu mati tanpa sedikit rintihanpun!
Aditia mengatur jalan nafasnya kembali sambil mengusap- usap dadanya yang kena terpukul tadi oleh sapu lidi Pakarasa.
Dia memperhatikan pertempuran yang berlangsung antara
Suwantra dengan satu-satunya guru sakti yang tinggal saat itu
yaitu Surdala, manusia yang gemuk pendek itu. Semangat
tempur Surdala sebenarnya sudah hilang sama sekali.
Keberaniannya telah luntur berganti dengan kekecutan. Bukan
saja hal itu disebabkan karena senjatanya telah habis puntung- puntung dibabat senjata Suwantra tapi juga adalah karena
hanya dia sendirilah yang masih hidup saat itu. Dia maklum
bahwa dia juga akan segera menyusul kawan-kawannya. Ada
terpikir dihatinya untuk melarikan diri. Tapi selain
dirasakannya adalah suatu kesia-siaan saja juga dia tak ingin
menunjukkan kepengecutannya dihadapan lawannya dan
sekian banyak mata.
Sekali lagi Suwantra membabat rantai pengait itu. Makin
lama senjata yang ditangan Surdala semakin pendek juga.
Sedang pemiliknya sendiri sudah terjepit sedemikian rupa.
Ketika pedang sakti yang ditangan Suwantra membabat cepat
kemukanya, guru sakti itu yang agaknya sudah sangat putus asa
dengan sengaja meloncati pedang mengantarkan dadanya!
Pedang itu tenggelam serong sampai setengahnya kedalam
dada Surdala. Guru sakti yang terakhir menemui ajalnya.
Empat guru sakti dengan diantar oleh Gaspar telah datang
keperkampungan Kayan untuk melakukan penuntutan balas
atas kematian murid-murid mereka. Tapi rencana mereka itu
mengalami kegagalan total. Kegagalan yang tak akan pernah
mereka sesali untuk selama-lamanya karena kegagalan itu telah
mereka bayar dengan nyawa mereka sendiri, termasuk nyawa
Gaspar, manusia yang menjadi anak buah pemimpin rampok
Mali Kodra dan yang menjadi biang racun dari peristiwa
berdarah diatas itu.
Seluruh tempat sunyi senyap kini. Lima mayat menggeletak
bertebaran. Tanah halaman samping penuh dengan jejak-jejak
kaki dan noda-noda darah. Suwantra menyuruh orang- orangnya untuk menyeret kelima mayat itu kedalam hutan
dimana dalam lima buah lobang mereka dikuburkan satu demi
satu.
TAMAT