..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PASUKAN PEMBUNUH

matjenuh khairil


PASUKAN PEMBUNUH
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting: Tuti S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa bin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Pasukan Pembunuh 
128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU

Kegelapan malam perlahan menyelimuti permu-
kaan bumi. Bintang-bintang tampak berkerlip jenaka, 
menghiasi langit kelam. Rembulan juga muncul penuh, 
sehingga menambah semaraknya suasana malam. Se-
milir angin lembut yang mempermainkan dedaunan 
pohon, sepertinya ingin ikut melengkapi indahnya ma-
lam.
"Bulan purnama kembali datang...," desis sosok
tubuh terbungkus pakaian berwarna putih.
Dia menengadahkan kepalanya, menatap bulatan 
gemerlap yang menggantung menghias langit. Sesaat 
kemudian, kepalanya kembali merunduk. Kali ini tata-
pannya tertuju lurus ke depan, seolah ingin menembus 
keremangan malam.
"Mengapa Guru kelihatan gelisah...?" tegur sosok 
lainnya.
Dia adalah seorang pemuda tampan, berusia seki-
tar dua puluh tahun. Sepasang matanya yang bulat 
dan bersinar tajam, tampak mengawasi wajah laki-laki 
berpakaian putih di samping kanannya.
"Hm.... Pada waktu aku masih muda dulu, bulan 
purnama biasanya menjadi perlambang adanya suatu 
kejadian mengerikan. Entah mengapa, tiba-tiba saja 
aku teringat peristiwa-peristiwa dulu...," ujar sosok 
berpakaian putih yang dipanggil guru.
Dia ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar lima 
puluh lima tahun. Sepasang mata tuanya yang semula 
menerawang jauh itu, berpaling sejenak. Ditatapnya 
wajah pemuda tampan yang merupakan murid tung-
galnya. Terdengar helaan napas beratnya, sebelum wa-
jahnya kembali berpaling menatap kejauhan.

'Tapi..., bukankah malam bulan purnama kali ini 
sangat indah, Guru? Rasanya aku belum bisa percaya 
kalau malam yang indah ini adalah perlambang tidak 
baik? Bolehkah aku tahu kejadian mengerikan semasa 
Guru masih muda dulu...?" tanya pemuda tampan itu 
lagi dengan wajah ingin tahu.
"Hhh.... Peristiwa itu sudah lama berlalu, Praba. 
Lagi pula, aku sudah tidak ingin mengingatnya. Tapi..., 
biarlah kali ini aku akan menceritakannya padamu...," 
ujar orang tua itu lagi. Tatapannya masih saja tertuju 
pada keremangan malam, menembus bayang-bayang 
dedaunan pohon yang menari-nari ditiup angin.
"Ceritakanlah, Guru. Aku ingin sekali mendengar-
nya...," desak pemuda tampan yang ternyata bernama 
Praba. Sepertinya, dia sudah tidak sabar melihat gu-
runya masih saja bungkam disertai helaan napas be-
rat.
"Beberapa belas tahun yang lalu, aku adalah orang 
yang berbahagia. Istriku cantik dan penuh pengertian. 
Saat itu, kami baru saja dikaruniai seorang putra yang 
tampan. Tapi..., siapa sangka malapetaka itu tiba-tiba 
datang merenggutkan kebahagiaan kami. Dan..., peris-
tiwa itu tepat terjadi pada saat bulan purnama...."
Orang tua itu menghentikan ceritanya disertai tari-
kan napas berat. Keningnya tampak berkerut dalam, 
seperti hendak mengingat semua kejadian yang telah 
lama ingin dilupakannya itu.
Sementara Praba sama sekali tidak bersuara. Se-
pertinya gurunya sengaja dibiarkan untuk mengingat-
ingat kembali semua peristiwa itu.
"Saat itu, aku sedang berada di kebun yang letak-
nya cukup jauh dari tempat tinggalku. Entah menga-
pa, hatiku merasa tidak enak dan gelisah. Maka, ku 
putuskan untuk pulang, karena pikiranku selalu saja

tertuju pada anak dan istriku di rumah. Rupanya pe-
rasaanku tidak berlebihan. Begitu tiba di rumah, ter-
nyata istriku tengah dinodai seorang lelaki kasar. Se-
mentara, kawannya tengah memegangi kaki anakku 
dengan kepala di bawah. Bahkan di tangan kanan le-
laki itu tergenggam sebilah pedang terhunus...," tutur 
lelaki tua itu.
Kembali ceritanya terhenti. Wajahnya tampak ke-
lam, menyimpan kedukaan. Rupanya, ia tengah beru-
saha menenteramkan hatinya yang terguncang, terin-
gat peristiwa pahit masa lalunya.
"Maafkan aku. Guru. Biarlah cerita itu tidak perlu 
dilanjutkan. Itu sama saja hanya akan membangkitkan 
luka lama di hati Guru...."
Praba yang rupanya menangkap adanya raut kese-
dihan di wajah gurunya, segera saja meminta maaf. 
Langsung dicegahnya orang tua itu agar ceritanya ti-
dak dilanjutkan.
'Tidak apa, Praba. Peristiwa itu telah lama berlalu. 
Luka hatiku sudah sembuh, meskipun dendam di ha-
tiku belum lagi terlampiaskan," sergah lelaki tua itu 
mencoba tersenyum kepada muridnya.
Sementara Praba mencoba menafsirkan arti se-
nyum gurunya. Walau kelihatan penuh kelembutan, 
tapi tetap seperti dipaksakan. Namun, Praba membalas 
senyuman itu dengan tatapan penuh rasa terenyuh 
mendengar cerita gurunya.
"Melihat kejadian itu, aku langsung mengambil ke-
putusan untuk menyelamatkan nyawa putra ku terle-
bih dahulu. Namun, ternyata orang itu memiliki keke-
jaman melebihi iblis! Putra ku yang baru berusia dua 
tahun itu dipenggal kepalanya, tanpa rasa kasihan se-
dikit pun! Aku memang terlambat, dan hanya bisa 
mengangkat mayat putra ku ketika lelaki itu melem

parkannya. Meskipun begitu, aku melukai wajah pem-
bunuh putra ku itu dengan senjata yang telah terhu-
nus. Kemudian, aku segera menyelamatkan kehorma-
tan istriku. Tapi..., dia juga telah tewas akibat pukulan 
lelaki yang menodainya. Bahkan, dadaku sempat ter-
kena sambaran senjata manusia terkutuk itu."
Orang tua itu berhenti bercerita sebentar. Matanya 
menatap ke atas, menerawang jauh pada kenangan-
kenangan pahitnya.
"Rasanya, saat itu langit di atas kepalaku runtuh! 
Aku menjadi gelap mata. Dengan penuh kemarahan, 
ku terjang lelaki terkutuk itu. Setelah bertarung sekian 
puluh jurus, aku berhasil membabat putus lengan ki-
rinya. Liciknya, tiba-tiba mereka menebarkan bubuk 
beracun, hingga aku terpaksa melompat jauh ke bela-
kang. Dan kesempatan itu digunakan mereka, untuk 
melarikan diri...."
"Lalu, apakah Guru tidak mencari kedua orang 
manusia keparat itu untuk membalaskan kematian is-
tri serta putra Guru...?" tanya Praba yang amarahnya 
kontan bangkit, mendengar cerita gurunya yang benar-
benar menyedihkan.
'Tentu saja aku berusaha mencari kedua orang itu. 
Sayang, usahaku sia-sia. Dan yang kutemukan hanya 
dirimu, ketika kau kehilangan kedua orangtua mu saat 
terjadi bencana alam. Akhirnya, aku menyepi di tempat 
ini dan mendidikmu sampai sekarang...," lelaki tua itu 
mengakhiri ceritanya dengan sebuah tarikan napas 
panjang.
"Hm.... Siapakah manusia-manusia keparat itu, 
Guru? Biarlah aku yang akan mencarinya untuk 
membalaskan dendam itu...!" geram Praba sambil 
mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Sepasang mata pe-
muda tampan itu tampak menyiratkan api dendam

yang mulai membakar dadanya.
"Ha ha ha...! Tidak perlu bersusah-payah mencari 
kami, Bocah ingusan ..! Hei, Tua Bangka Janala...! 
Kami berdua datang untuk menagih hutang-
hutangmu...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar me-
nyahuti tantangan Praba. Suara itu jelas dikirimkan 
melalui kekuatan tenaga dalam yang tinggi, sehingga 
terdengar seperti dari empat penjuru.
Mendengar suara itu, lelaki tua yang ternyata ber-
nama Ki Janala segera bangkit dari bangku bambunya. 
Sepasang matanya berputar ke sekeliling, mencari 
sumber suara.
"Hm.... Sepasang Tikus Bumi! Kalau kau memang 
hendak menemui aku, mengapa tidak langsung ke-
luar? Untuk apa selama ini menyembunyikan diri, Ti-
kus-tikus Pengecut?! Bertahan-tahun aku mencarimu 
yang ternyata mendekam dalam lubang mu! Mengapa 
baru sekarang muncul...?!" seru Ki Janata sambil 
mengerahkan tenaga saktinya. Hingga gema suaranya 
terdengar sampai belasan tombak jauhnya.
Ki Janala dan Praba tidak perlu menunggu lama 
untuk melihat si pengirim suara yang ternyata meru-
pakan musuh lamanya. Dua sosok bertubuh sedang 
muncul dari kegelapan bayang-bayang pohon di sebe-
lah depan Ki Janala dan Praba. Mulut mereka mo-
nyong dengan kumis jarang. Kedua orang lelaki itulah 
yang berjuluk Sepasang Tikus Bumi. Mereka kini me-
langkah lebar mendatangi Ki Janala dan Praba yang 
sudah bersiap menghadapi pertarungan.
"Ha ha ha...! Kami bukan orang bodoh untuk me-
nyerahkan diri begitu saja kepadamu, Ki Janala. Sela-
ma ini, kami memang bersembunyi. Tapi, itu untuk 
mengobati tanganku, sekaligus melatihnya secara


sempurna. Setelah itu, baru kami keluar untuk men-
carimu. Nah, sekarang mari kita selesaikan hutang-
hutang itu...!" tantang lelaki yang tubuhnya lebih ting-
gi sedikit ketimbang kawannya.
Rupanya bukan hanya Ki Janala saja yang me-
mendam dendam atas kematian istri dan putranya. 
Kedua orang itu ternyata juga menyimpan dendam 
atas kehilangan lengan dan cacat wajah akibat tinda-
kan Ki Janala.
"Hm.... Sebenarnya aku sudah tidak bernafsu lagi 
untuk mencari kalian. Tapi karena kalian sendiri yang 
datang, maka tidak ada salahnya kalau dendam itu ku 
penuhi sekarang...," geram Ki Janala. Segera saja, pe-
dangnya dicabut begitu melihat lawan telah menghu-
nus senjata.
"Guru, izinkanlah aku membantumu...," pinta Pra-
ba.
Pemuda itu juga telah menghunus senjata, dan 
menatap penuh dendam kedua orang yang telah mem-
buat gurunya menderita. Tapi, Praba terpaksa harus 
menelan kekecewaan ketika melihat gelengan kepala 
gurunya. Jelas, orang tua itu tidak ingin melibatkan 
muridnya dalam persoalan dendam lamanya.
"Menyingkirlah, Praba. Biar aku saja yang akan 
menyelesaikan persoalan ini...," ujar Ki Janala tanpa 
ingin dibantah lagi.
Dan Praba terpaksa menyingkir dari arena perta-
rungan yang segera akan berlangsung.
"He he he…!"
Sepasang Tikus Bumi hanya terkekeh mendengar 
ucapan Ki Janala. Kedua tokoh sesat itu sudah me-
renggang, mengepung lawannya dari dua arah. Se-
dangkan Ki Janala sendiri telah memutar senjatanya 
membentuk gulungan sinar putih yang bergerak me

lindungi sekujur tubuhnya.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, orang tertua 
dari Sepasang Tikus Bumi melesat cepat ke arah Ki 
Janala. Tangan kirinya yang telah berupa lengan pal-
su, menyambar dengan cakar-cakar besi yang menye-
ramkan.
Bettt! Bettt..!
Ki Janala menggeser kakinya ke samping sambil 
mengibaskan senjatanya ke tubuh lawan. Namun, ge-
rakan orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi ternyata 
sangat gesit. Cakar bajanya bergerak berputar, dan 
langsung menyampok tebasan pedang Ki Janala.
Trakkk!
Bentrokan keras itu membuat tubuh keduanya ter-
jajar mundur beberapa langkah. Dari sini bisa dibukti-
kan kalau kekuatan mereka berimbang. Diam-diam, Ki 
Janala terkejut juga melihat pesatnya kemajuan lawan. 
Sepertinya, kedua tokoh sesat itu tidak sia-sia me-
nyembunyikan diri dalam menambah kesaktian. Dan 
itu dapat dirasakan melalui bentrokan barusan. 
Meskipun belum mengerahkan tenaga sepenuhnya, ta-
pi Ki Janala cukup sadar kalau lawannya benar-benar 
tidak bisa diremehkan lagi. 
"Hm...."
Ki Janala menggeram gusar. Pedang di tangannya 
bergerak menyilang, menimbulkan decitan angin ta-
jam. Seketika, tubuhnya merunduk saat orang termu-
da dari Sepasang Tikus Bumi menerjang dengan pe-
dangnya yang berbentuk arit. Maka, langsung dibalas-
nya serangan itu dengan tidak kalah cepat.
Tapi Ki Janala harus menunda serangannya, ketika 
pada saat itu juga datang serangan lainnya dari lawan 
yang seorang lagi. Maka, serangan orang tertua dari

Sepasang Tikus Bumi terpaksa dilayaninya. Kini, per-
tarungan pun berlangsung semakin seru, ketika kedua 
orang tokoh sesat itu saling bantu dalam menggempur 
Ki Janala.
***
Praba duduk dengan wajah cemas menyaksikan 
gurunya dikeroyok dua orang tokoh sesat itu. Pemuda 
tampan itu meremas-remas jemari tangannya dengan 
hati tegang. Kalau saja gurunya mengizinkan, rasanya 
saat itu juga ia sudah terjun ke dalam kancah perta-
rungan. Tapi, perintah itu tidak berani dibantah, kecu-
ali kalau orang tua itu telah benar-benar dalam kea-
daan berbahaya. Dan kini, ia hanya dapat mengikuti 
jalannya pertempuran dengan hati tak karuan.
"Bangsat! Keparat tua Ini benar-benar alot..!"
Orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi itu tak 
henti-hentinya menyumpah. Rupanya, ia merasa pena-
saran sekali setelah bertarung selama empat puluh ju-
rus, ternyata lawannya masih belum dapat didesak. 
Kenyataan itu membuatnya menjadi jengkel!
Ki Janala sendiri pun merasa penasaran melihat 
ketangguhan lawan-lawannya. Padahal, belasan tahun 
yang lalu kedua orang tokoh sesat itu sama sekali bu-
kan lawan yang pantas diperhitungkan. Tapi sekarang, 
ia benar-benar dibuat kerepotan. Bahkan seluruh ke-
pandaiannya harus dikerahkan untuk menundukkan 
kedua orang lawannya.
"Hiaaah...!"
Memasuki jurus yang kelima puluh, Ki Janala ce-
pat menggunakan kesempatan baiknya. Langsung di-
lontarkannya sebuah tendangan keras ke tubuh orang 
termuda dari Sepasang Tikus Bumi!

Desss...!
"Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung ter-
jengkang sejauh satu tombak ke belakang. Cepat-cepat 
orang tua itu mengayunkan pedangnya, siap mengha-
bisi riwayat lawan.
Whuuut… tranggg...!
Mata pedang Ki Janala yang siap menghunjam tu-
buh lawan, tiba-tiba tertahan oleh cakar orang tertua 
dari Sepasang Tikus Bumi. Namun, orang tua itu tidak 
menjadi kehilangan akal. Pedangnya segera diputar 
sedemikian rupa, dan langsung menusuk ke arah lam-
bung orang tertua Sepasang Tikus Bumi.
Bukan main terkejutnya orang tertua dari Sepa-
sang Tikus Bumi. Sadar kalau kesempatan untuk 
menghindar jelas sudah tidak mungkin, maka tokoh 
sesat itu nekat mengadu nyawa! Cakar bajanya diputar 
ke luar, dan langsung mengancam kepala lawannya. 
Gerakan itu tentu saja sangat berbahaya dan memati-
kan.
Ki Janala bukan tidak tahu akan maksud lawan.
Dan tentu saja ia tak sudi untuk mengadu nyawa den-
gan lawan. Maka kepalanya segera ditarik mundur 
tanpa mengurangi tusukan pedangnya. Dan...
Cappp! Brettt!
"Aaakh...?!"
Kedua tokoh itu sama-sama menjerit kaget! Mereka 
satu sama lain terjajar mundur sejauh satu tombak. 
Darah tampak mengucur dari luka di lambung orang 
tertua Sepasang Tikus Bumi. Meskipun tusukan pe-
dang Ki Janala tidak mendatangkan kematian, namun 
cukup membuatnya menderita luka.
Sedangkan Ki Janala sendiri juga tidak bisa me-
nyelamatkan tubuhnya dari sambaran cakar baja la

wan. Meskipun kepalanya dapat selamat, namun ma-
sih juga harus menerima cakar baja lawan di pangkal 
lengan kirinya. Tampak cairan merah merembes keluar 
dari luka di pangkal lengan yang terkoyak cukup da-
lam. Luka yang terasa perih dan panas itu membuat 
tubuh Ki Janala terjajar limbung. Sadarlah tokoh tua 
itu kalau senjata lawan ternyata mengandung racun 
ganas. Terbukti, lengan kirinya agak membengkak ka-
ku, dan sukar digerakkan.
"Guru...!"
Praba yang melihat tubuh gurunya terjajar limbung 
sambil meringis kesakitan, segera saja berlari membu-
ru. Pemuda itu tidak peduli lagi bila gurunya akan ma-
rah nanti. Segera saja tubuh gurunya dipeluk.
"Praba, menyingkirlah! Aku tidak apa-apa. Biar ku
tuntaskan kedua manusia jahanam itu...!" ujar Ki Ja-
nala, tidak ingin melibatkan muridnya ke dalam per-
soalan itu.
Kekerasan hatinya jelas tidak menguntungkan, ka-
rena keadaan tubuhnya terasa mulai melemah. Ru-
panya, racun itu semakin cepat menjalar ke seluruh 
tubuh Ki Janala.
"He he he..! Bergeraklah terus, Ki Janala. Dengan 
demikian, kematianmu akan semakin cepat datang...," 
ejek orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi tergelak 
penuh kemenangan.
Ucapan itu jelas mengisyaratkan kalau racun aki-
bat cakar baja lawan akan semakin cepat menyebar, 
apabila Ki Janala semakin banyak bergerak. Menden-
gar hal ini, tentu saja Ki Janala menjadi terkejut. Ter-
paksa langkahnya dihentikan dengan wajah bingung.
"Hm.... Aku tidak takut mati, Tikus-tikus Kotor! 
Sekarang, aku akan membawa kalian berdua ke akhi-
rat untuk mengantarkan arwahku...!" geram Ki Janala.

Setelah terdiam sesaat, Ki Janala segera mengambil 
keputusan yang mengejutkan kedua orang lawannya. 
Sedangkan Praba yang mendengar ucapan kedua 
orang lawan gurunya, segera saja melolos senjatanya. 
Sepertinya sudah tidak dipedulikan lagi perintah gu-
runya. Maka, langsung diterjangnya Sepasang Tikus 
Bumi yang sudah bergabung itu.
"Haaat..! Mampus kalian, Manusia-manusia Lak-
nat..!" bentak Praba sambil mengayunkan pedang se-
penuh tenaga.
Melihat kecepatan dan angin pedang yang ditim-
bulkan, jelas kalau pemuda itu telah cukup matang 
dalam meyakini ilmunya. Sehingga, Sepasang Tikus
Bumi tidak berani memandang remeh.
Trang! Trang!
Orang termuda dari kedua tokoh sesat itu seper-
tinya merasa penasaran, ingin menjajal kekuatan te-
naga dalam pemuda tampan itu. Maka begitu samba-
ran pedang Praba datang, langsung dipapaknya sekuat 
tenaga. Akibatnya, tubuh keduanya terdorong ke bela-
kang.
Melihat betapa tubuh Praba agak terhuyung, jelas 
kalau tenaganya masih kalah sedikit. Buktinya, lawan 
hanya terjajar beberapa langkah, dengan kuda-kuda 
tetap kokoh.
Tahan, Adi...!"
Tiba-tiba, orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi 
memegang bahu adiknya yang telah siap melanjutkan 
pertarungan. Keduanya saling berpandangan sesaat.
Kemudian mereka mengangguk seperti mengambil ka-
ta sepakat.
"Suiiit..!"
Tiba-tiba, orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi 
mengeluarkan suitan nyaring bernada aneh. Di tangannya, sudah terjepit sebuah benda kecil berbentuk 
pipih yang melekat di bibir. Benda itu bisa mengelua-
rkan suara aneh dan tidak tetap.
Sementara itu, Ki Janala dan Praba hanya meman-
dang dengan wajah bingung melihat perbuatan lawan. 
Dan beberapa saat kemudian, barulah mereka menger-
ti apa arti irama siulan aneh itu. Guru dan murid itu 
menjadi tegang ketika mendengar suara gemerisik riuh 
dari sekelilingnya.
"Ahhh...?!"
Ki Janala dan Praba berseru kaget menyaksikan 
makhluk-makhluk kecil dan besar datang dari segala 
penjuru. Dan kini makhluk-makhluk itu mulai berde-
sak-desakan mengepung mereka. Rupanya, makhluk-
makhluk yang ternyata ratusan ekor tikus itulah yang 
barusan mendatangkan suara-suara riuh-rendah keti-
ka melewati pohon dan semak-semak ilalang.
***
DUA


"Gila...?!" pekik Ki Janala. Laki-laki tua itu menjadi 
pias wajahnya ketika melihat ratusan ekor tikus besar 
dan kecil tengah berdesak-desakan hendak menge-
royok mereka berdua.
Sementara itu, Praba pun merasa jijik melihat ti-
kus-tikus yang berdatangan dari segala penjuru. Bina-
tang-binatang kotor itu tampak memandang marah ke 
arahnya dan gurunya. Mata yang kecil dan mencorong
kemerahan, jelas merupakan pertanda kalau tikus-
tikus itu telah menjadi liar dan buas. Air liurnya tam-
pak menetes-netes, menimbulkan pemandangan yang

memualkan. Taring-taring yang kecil runcing dan ber-
kilat, diperlihatkan sambil memperdengarkan suara 
mencicit bising.
"Rencah tubuh mereka...!"
Tiba-tiba orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi 
memerintah dengan suara aneh menggeletar. Bagaikan 
diberi aba-aba, ratusan ekor tikus itu bergerak saling 
mendahului untuk mengoyak tubuh kedua korbannya.
"Haaat…!"
Praba seketika merasa bulu kuduknya meremang, 
melihat ratusan ekor tikus meluruk ke arahnya. Maka 
segera dia berteriak sambil mengibaskan pedang ke 
sekeliling tubuhnya. Dan meskipun belasan ekor telah 
menjadi korban, namun sepertinya tikus-tikus itu sa-
ma sekali tidak gentar. Bahkan semakin bertambah 
buas, ketika irama aneh dari benda pipih di mulut Se-
pasang Tikus Bumi kembali mengalun turun-naik. 
Tentu saja Praba semakin bertambah kewalahan 
menghadapi serbuan binatang-binatang yang telah 
semakin liar dan buas itu.
Demikian pula halnya Ki Janala. Lelaki tua itu 
mengibaskan pedang ke kiri dan kanan dengan sisa-
sisa tenaganya. Gerakannya yang semakin melemah, 
membuat beberapa ekor tikus mulai dapat mencapai 
dan menggigit tubuhnya. Darah yang semakin banyak 
mengalir, justru membuat binatang-binatang itu se-
makin kesetanan!
Namun, pada saat Ki Janala dan Praba merasa ka-
lau kematian sudah berada di ambang pintu, tiba-tiba 
terdengar lengkingan panjang. Tak lama kemudian, 
melayang dua sosok bayangan putih dan hijau, yang 
langsung menghantamkan pukulan ke arah kawanan 
tikus-tikus buas itu. Akibatnya, belasan ekor tikus 
terpental ke kiri dan kanan dalam keadaan hancur.


Rupanya, kedua sosok bayangan yang baru tiba itu 
memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi.
"Hiaaa...!"
Kembali terdengar pekikan tinggi dari sosok bayan-
gan putih yang baru tiba. Kedua tangannya didorong-
kan ke depan, dan....
Blarrr...!
Mengerikan sekali akibat yang ditimbulkannya. Pu-
luhan ekor tikus seketika berhamburan seiring leda-
kan keras yang membuat tanah berlubang sebesar ku-
bangan kerbau.
"Gila...!"
Sepasang Tikus Bumi sama-sama terpekik kaget 
melihat perubahan yang sama sekali tidak disangka. 
Mata mereka terbelalak, menyaksikan hasil pukulan 
dahsyat yang dilontarkan sosok berjubah putih tadi. 
Sadarlah mereka kalau Ki Janala dan muridnya tadi 
telah ditolong seorang tokoh sakti luar biasa!
Sementara itu, yang dilakukan sosok berpakaian 
hijau pun tidak kalah mengejutkan. Kilatan sinar putih 
keperakan berkelebatan kian kemari. Setiap kali sinar 
itu bergerak, selalu saja ada belasan ekor tikus yang 
terpental dengan tubuh terbelah. Maka semakin ber-
tambahlah rasa terkejut kedua orang tokoh sesat itu.
Sepasang Tikus Bumi tidak bisa lagi mengendali-
kan tikus-tikusnya. Rupanya, binatang-binatang itu 
pun memiliki rasa gentar juga terhadap dua pendekar 
muda yang baru datang itu. Makhluk-makhluk itu ter-
lihat menghentikan gerakannya, dan menyurut mun-
dur saling berdesak-desakan. Mata-mata yang menyala 
kemerahan, terlihat menyiratkan kegentaran terhadap 
kedua orang lawannya.
Melihat kenyataan itu, Sepasang Tikus Bumi kem-
bali memperdengarkan irama aneh yang lebih memba

wa pengaruh lagi. Sehingga, binatang-binatang menji-
jikkan itu merasa resah dan bingung. Dan kini, tanpa 
mempedulikan siulan majikannya, tikus-tikus buas itu 
pun saling berlompatan lari!
"Keparat…!" maki kedua orang tokoh sesat itu, ma-
rah dan jengkel sambil membanting-banting kaki ke 
tanah.
"Hm..., Sepasang Tikus Bumi. Rupanya kalian 
kembali menyebar kejahatan di tempat ini...! Rasanya, 
cukup pantas kalau kalian berdua sekarang kuberi 
hukuman setimpal...," kata sosok berjubah panjang 
warna putih.
Sosok itu ternyata seorang pemuda tampan. Sinar 
matanya tajam menggetarkan jantung, memancarkan 
tingginya tenaga sakti yang dimilikinya.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis orang tertua dari 
Sepasang Tikus Bumi, ketika mengenali sosok berju-
bah putih itu. Sekilas terlihat sinar kegentaran di ma-
tanya. Bisa ditebak kalau kedua orang tokoh sesat itu 
menjadi ciut nyalinya terhadap sosok yang ternyata 
Pendekar Naga Putih.
"Benar! Dan aku akan segera mengakhiri petualan-
gan kalian hari ini juga...," ancam Pendekar Naga Pu-
tih. Sorot matanya langsung menusuk ke wajah kedua 
orang tokoh sesat itu. Seketika, Sepasang Tikus Bumi 
menyurut mundur tatkala melihat pemuda itu melang-
kah maju perlahan.
'Tunggu...!'
Orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi menjulur-
kan lengan kanannya mencegah Panji untuk maju. Se-
dangkan pemuda itu hanya bergumam perlahan. 
Langkahnya juga segera dihentikan dalam jarak satu 
tombak dari kedua tokoh sesat itu.
"Apakah kau mempunyai permintaan terakhir, se

belum kukirim ke akhirat...?" tanya Panji, tenang dan 
datar nada suaranya.
"Pendekar Naga Putih! Kalau kau benar-benar jan-
tan, kami menantangmu bertarung tanpa bantuan 
orang lain! Kami akan menunggumu di luar hutan 
ini...!" tantang orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi. 
Jelas-jelas, dia hendak membuat siasat licik.
Panji sendiri hanya tersenyum mendengar tantan-
gan lawannya. Pemuda tampan itu menoleh sejenak ke 
belakang, ketika mendengar suara langkah mengham-
pirinya.
"Kakang! Untuk apa meladeni omong kosong dan 
siasat licik mereka? Sebaiknya ringkus saja mereka 
sekarang! Kita tidak perlu lagi menerima segala macam 
tantangan yang hanya siasat busuk mereka," ujar data 
jelita berpakaian hijau yang memang Kenanga.
Dara jelita itu tak lepas menatap wajah kekasih-
nya. Pandangannya segera dilemparkan ke arah Sepa-
sang Tikus Bumi, yang menjadi pucat ketika menden-
gar ucapannya tadi. Rupanya, gadis jelita itu baru da-
tang menghampiri begitu mendengar tantangan Sepa-
sang Tikus Bumi yang ditujukan kepada Panji. Mala-
han, Ki Janala langsung ditinggalkan setelah luka aki-
bat racun Sepasang Tikus Bumi diobati.
"Hm.... Siapa bilang aku akan meladeni tantangan 
kedua orang manusia tikus itu, Kenanga? Jangan
khawatir, mereka tidak akan kulepaskan kali ini. 
Orang-orang kejam seperti mereka, harus segera diki-
rim ke neraka, agar tidak menimbulkan malapetaka la-
gi di atas muka bumi ini...," sergah Panji.
Pendekar Naga Putih memang tidak ingin mele-
paskan kedua orang tokoh sesat itu. Apalagi, dia telah 
banyak mendengar tentang kejahatan Sepasang Tikus 
Bumi selama dalam pengembaraan. Maka, tentu saja


pertemuan itu tidak akan disia-sia-kan begitu saja.
Ucapan Panji itu tentu saja membuat Sepasang Ti-
kus Bumi menjadi pucat. Mereka melangkah mundur 
ketika melihat Pendekar Naga Putih bergerak maju. 
Kemudian tanpa mempedulikan rasa malu, keduanya 
langsung saja berbalik dan kabur.
"Hm...."
Panji hanya bergumam melihat perbuatan kedua 
orang tokoh sesat itu. Kedua kakinya langsung saja 
menjejak tanah, sehingga tubuhnya langsung me-
layang ke depan mengejar lawannya.
***
Jleg!
"Hahhh...?!"
Sepasang Tikus Bumi terbelalak pucat ketika tahu-
tahu saja sosok tubuh berjubah putih telah mendarat 
dan berdiri membelakangi, setengah tombak di depan 
mereka.
"Keparat! Haaat..!"
Dengan kemarahan yang amat sangat, Sepasang 
Tikus Bumi menerjang. Kini mereka harus melupakan 
rasa takutnya, karena sadar kalau untuk melepaskan 
diri dari pendekar kosen itu memang jelas mustahil. 
Maka, diambillah keputusan untuk menerjang maju. 
Bettt! Whuttt...!
Kilatan sinar pedang dan cakar baja itu bergerak 
menyambar saling mendahului. Namun, sasaran me-
reka ternyata telah lenyap. Sepasang Tikus Bumi 
hanya sempat melihat kelebatan sinar putih yang me-
layang di atas kepala mereka. Dan, serangan mereka 
hanya mengenai angin kosong.
"Kalian mencari siapa...?" tegur suara di belakang

Sepasang Tikus Bumi.
Seketika wajah kedua orang tokoh sesat itu sema-
kin pucat! Cepat-cepat mereka berbalik dan kembali 
melancarkan serangan tanpa menoleh lebih dulu. 
Dan....
"Hahhh...?!"
Untuk kedua kalinya, senjata mereka hanya men-
genai angin kosong! Kedua orang tokoh sesat itu hanya 
celingukan mencari lawannya yang kembali telah le-
nyap, tanpa sempat melihat gerakannya.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Mengapa kau 
hanya bisa menghilang bagai orang pengecut? Ayo, la-
wan kami...!"
Rasa gentar, marah, jengkel, dan penasaran, mem-
buat Sepasang Tikus Bumi memaki kalap. Mereka 
mencari-cari sosok pemuda tampan berjubah putih itu 
yang kali ini benar-benar lenyap entah ke mana.
"Aku di sini, Kisanak...." Terdengar sebuah suara di 
belakang kedua orang tokoh sesat itu. Seketika Sepa-
sang Tikus Bumi berbalik. Dan lagi-lagi mereka hanya 
menemukan tempat kosong tanpa terlihat sosok yang 
tengah dicari.
"Aku di belakangmu...." Kembali terdengar suara 
Panji. Sepertinya, Pendekar Naga Putih memang senga-
ja hendak mempermainkan lawannya. Hal ini sengaja 
dilakukan, agar Sepasang Tikus Bumi dapat mengala-
mi bagaimana rasanya menderita ketakutan dalam 
menghadapi kematian. Memang, kedua orang tokoh 
sesat itu biasanya menganggap rasa takut korban me-
reka sebagai suatu kenikmatan tersendiri.
Tapi, kali ini Sepasang Tikus Bumi sama sekali ti-
dak menoleh. Mereka langsung saja melesat mening-
galkan tempat itu. Jelas, maksud mereka hendak me-
larikan diri.


"Hm.... Ke mana pun kalian pergi, jangan harap bi-
sa lepas dari tanganku...," ancam Panji. Pemuda itu 
hanya menatap kepergian Sepasang Tikus Bumi yang 
kelihatan semakin menjauh.
Sepasang Tikus Bumi sama sekali tidak mempedu-
likan ucapan lawannya. Lari mereka terus dipercepat 
dengan mengerahkan seluruh kekuatan ilmu merin-
gankan tubuh. Sehingga, sebentar saja mereka telah 
berada di mulut hutan. 
"Ahhh...?!"
Ketika hampir mencapai bibir hutan, langkah ke-
dua orang tokoh sesat itu jadi tertahan. Mereka kontan 
berseru dengan wajah pucat, begitu di depan tampak
sosok bertubuh sedang, mengenakan jubah panjang 
berwarna putih, telah berdiri menanti. Tentu saja ke-
duanya menjadi ketakutan setengah mati, karena so-
sok tubuh itu tak lain dari Panji yang berjuluk Pende-
kar Naga Putih!
"Hm.... Sudah kukatakan sejak semula, kalian ti-
dak akan terlepas dari tanganku. Nan, sekarang ber-
siaplah menerima kematian," desis Panji seraya berba-
lik ke arah Sepasang Tikus Bumi.
"Haaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang Tikus Bumi 
langsung bergerak menerjang Pendekar Naga Putih. 
Namun, kali ini Panji tidak lagi berniat main-main. Ce-
pat tubuhnya melesat, menyambut serangan kedua 
orang lawannya.
Plak! Plak!
"Akh...!"
Sepasang Tikus Bumi berteriak tertahan ketika se-
rangan mereka dipapak pemuda itu. Tanpa ampun la-
gi, tubuh kedua orang tokoh sesat itu terpelanting. 
Dengan gerakan cepat, mereka bergegas bangkit berdi

ri. Dan sebelum mereka sempat menyerang kembali, 
Panji kembali melayang dengan tamparan-tamparan 
keras yang menimbulkan deru angin dingin menusuk 
tulang! Akibatnya, Sepasang Tikus Bumi menjadi sa-
dar akan datangnya bahaya. Cepat mereka melempar 
tubuh ke belakang, dan terus bergulingan menjauhi 
tempat itu. 
"Heaaah...!"
Namun, kecepatan gerak kedua orang tokoh sesat 
itu tentu saja tidak mampu menandingi Pendekar Naga 
Putih. Maka, tidak heran ketika Sepasang Tikus Bumi 
melenting bangkit, Panji telah berada dekat dengan
kedua orang lawannya, dan langsung melontarkan 
tamparan keras.
Plak! Plak!
"Hugkhhh...!"
Karuan saja tubuh Sepasang Tikus Bumi terpelant-
ing ketika tamparan Panji mendarat di wajah mereka. 
Darah segar tampak mengalir dari sudut bibir mereka. 
Meskipun tamparan itu tidak mematikan, namun 
mampu membuat Sepasang Tikus Bumi harus mende-
rita luka dalam yang parah.
"Hm.... Sekarang, terimalah kematian kalian den-
gan ikhlas...," desis Panji, seraya mengirimkan tampa-
ran maut ke kepala kedua orang lawannya.
"Haaat..!"
Pada saat kematian sudah di ambang pintu bagi 
Sepasang Tikus Bumi, tiba-tiba terdengar teriakan 
nyaring yang disusul melesatnya sesosok bayangan 
merah ke tengah arena pertempuran. Sayangnya, ge-
rakan sosok bayangan merah itu masih kalah cepat 
dibanding gerakan Pendekar Naga Putih. Sehingga, 
tamparan pemuda tampan berjubah putih itu tetap 
mengenai sasaran.

Prakkk! Prakkk!
Tanpa ampun lagi, kepala Sepasang Tikus Bumi 
langsung berderak keras ketika bertemu telapak tan-
gan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'. Tubuh kedua tokoh sesat itu kontan ambruk 
ke tanah dengan kepala pecah!
"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih...!" pekik sosok 
bayangan merah yang segera saja memutar gerakan-
nya, menerjang Pendekar Naga Putih!
Dukkk! Dukkk... Plak...!
Terdengar suara benturan keras berturut-turut ke-
tika dua pasang lengan saling bertemu di udara. Aki-
batnya, sosok bayangan merah itu terpental balik. Na-
mun, ia bisa menarik napas lega, setelah mendarat 
ringan di atas tanah.
"Hm...."
Panji sendiri terdengar menggeram gusar. Tubuh-
nya pun sempat terdorong akibat benturan keras tadi. 
Memang, Panji tadi tidak mengerahkan tenaga sepe-
nuhnya. Sebaliknya, sosok bayangan merah itu seperti 
telah mengetahui kelihaiannya. Sehingga, tenaga da-
lamnya dikerahkan sekuatnya ketika pukulan mereka 
saling berbenturan.
"Raja Iblis Jubah Merah...?!" desis Panji dengan 
kening berkerut ketika mengenali sosok berpakaian 
merah itu. Ada kilatan penasaran dalam tatapan mata 
Panji.
"Hm.... Kau kembali menanamkan bibit permusu-
han denganku, Pendekar Naga Putih. Kedua orang 
yang telah kau bunuh itu adalah muridku. Maka kau 
harus menebusnya dengan nyawamu...'" desis Raja Ib-
lis Jubah Merah, murka. Jelas sekali kalau sepasang 
mata tokoh sesat itu menyimpan dendam yang dalam 
kepada Pendekar Naga Putih.
Raja Iblis Jubah Merah adalah salah seorang datuk 
sesat berkepandaian tinggi. Tentu saja Panji telah cu-
kup mengenai lelaki pendek gemuk berjubah merah 
itu. Demikian pula tentang kesaktiannya. Dan mereka 
memang pernah bertemu ketika Panji menyelamatkan 
takhta Kerajaan Mulawarta dari ancaman Malaikat 
Gerbang Neraka, yang hendak merebut negeri itu (Bagi 
yang ingin mengetahui asal-usul Raja Iblis Jubah Me-
rah, silakan mengikuti episode "Malaikat Gerbang Ne-
raka" dan "Rahasia Pedang Naga Langit").
Kemunculan Raja Iblis Jubah Merah ternyata tidak 
hanya seorang diri. Karena tak lama kemudian, bertu-
rut-turut muncul datuk-datuk sesat lain yang juga 
pernah terlibat dalam pemberontakan bersama Malai-
kat Gerbang Neraka. Dan para datuk sesat itu pergi 
menyelamatkan diri, setelah melihat kegagalan usaha 
Malaikat Gerbang Neraka. Tentu saja kemunculan para 
datuk sesat itu membuat Panji bergerak mundur, dan 
siap menghadapi pertarungan.
"Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan…
Kuntilanak Bukit Mandau...?" desis Panji mengenali 
ketiga orang datuk sesat yang tahu-tahu saja telah 
berkumpul, seperti tengah mempunyai suatu rencana. 
"Hm..., kemunculan mereka pasti akan menda-
tangkan bencana bagi dunia persilatan...."
"He he he.... Kau masih mengenali kami rupanya, 
Pendekar Naga Putih? Kau tentu terkejut melihat kami 
dapat muncul bersama-sama, bukan?" tegur seorang 
lelaki tinggi besar berwajah kelimis. Dia mengenakan 
pakaian seperti seorang senapati. Tokoh itulah yang 
berjuluk Datuk Panglima Sesat. Seperti biasanya, to-
koh menggiriskan itu selalu ditemani selusin laki-laki 
gagah berpakaian prajurit.
"Hm.... Tentu saja aku masih mengenali kalian,

Pemberontak-pemberontak Hina! Dan kewajibanku 
adalah membekuk kalian agar negeri ini menjadi aman 
dari gangguan penjahat-penjahat keji macam kalian!" 
sahut Panji tanpa rasa gentar sedikit pun.
Walaupun Pendekar Naga Putih pernah bertarung 
dan dikeroyok datuk-datuk sesat itu, tapi sama sekali 
tidak merasa gentar. Bahkan, ia ingin menebus keka-
lahannya beberapa waktu yang lalu.
"He he he.... Bocah itu ternyata masih tetap saja 
sombong! Ia benar-benar patut diberi pelajaran seperti 
tempo hari, agar tidak sesumbar lagi...,"
Terdengar suara melengking tinggi, yang berasal 
dari Kuntilanak Bukit Mandau. Nenek berpakaian ser-
ba hijau itu melangkah sambil menudingkan tongkat-
nya ke wajah Panji.
"Kakang...!"
Tiba-tiba perdebatan itu terhenti ketika terdengar 
seruan halus, yang disusul munculnya sosok ramping 
berpakaian serba hijau. Dara jelita itu adalah Kenanga 
yang menyusul Panji dengan meninggalkan Ki Janala 
serta Praba, setelah yakin kalau kedua orang itu tidak 
mendapatkan luka yang mengkhawatirkan. Kini Ke-
nanga menatap tajam keempat sosok tubuh itu, sambil 
mencekal lengan kekasihnya.
"Kakang. Bukankah mereka...."
Kenanga tidak melanjutkan kata-katanya ketika 
melihat anggukan kepala Panji. Dara jelita itu menjadi 
terkejut bukan main, karena kali ini yang dihadapi 
adalah datuk-datuk sesat dan empat penjuru. Tentu 
saja hatinya menjadi tegang.
Sementara itu, Kuntilanak Bukit Mandau melang-
kah mundur ketika melihat kemunculan dara jelita 
berpakaian serba hijau ini. Rupanya, nenek itu pun 
dapat mengenali Kenanga, dan tahu sampai di mana

kesaktiannya. Maka, tentu saja ia tidak berani gegabah 
untuk langsung turun tangan, begitu mengingat ke-
munculan dara jelita yang pernah membuat geger den-
gan julukan Bidadari Iblis itu. Dan tentu saja, dengan 
kemunculan kekasihnya, membuat Panji semakin ber-
tambah kuat. Alasan itulah yang membuat Kuntilanak 
Bukit Mandau terpaksa surut ke belakang, dan me-
mandang rekan-rekannya meminta pendapat.
"Kita hajar saja mereka sekarang, Kakang. Lalu, ki-
ta serahkan ke Istana Mulawarta...," bisik Kenanga 
tanpa melepaskan tatapan matanya dari keempat so-
sok datuk sesat itu.
'Tenanglah, Kenanga. Kita tunggu dulu apa ke-
mauan mereka...," bisik Panji dengan sikap tenang. 
Kenanga terpaksa bungkam, dan menyerahkan kepu-
tusan kepada kekasihnya.
***
TIGA


Panji dan Kenanga menggeser langkahnya ketika 
melihat keempat datuk itu bergerak merenggang. 
Menghadapi tokoh-tokoh sakti seperti mereka, Pende-
kar Naga Putih tidak ingin gegabah. Maka, langsung 
saja 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan-nya dikerahkan, 
siap dipergunakan sewaktu-waktu.
Kenanga sendiri sudah menghunus Pedang Sinar 
Rembulan. Dara jelita itu pun sadar, yang kali ini di-
hadapi bukanlah tokoh-tokoh sembarangan. Oleh ka-
rena itu, senjatanya telah disiapkan dalam menghada-
pi serbuan lawan-lawannya.
"Hm...."

Raja Iblis Jubah Merah yang menaruh dendam 
atas kematian kedua orang muridnya, menggeram gu-
sar. Datuk sesat yang mengepalai tokoh-tokoh sesat 
wilayah selatan itu, melangkah berputar mendekati 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Dari sorot matanya 
yang tajam, dapat ditebak kalau kematian Panji sangat 
diinginkannya.
Demikian pula halnya Kuntilanak Bukit Mandau. 
Nenek bungkuk udang yang menjadi pimpinan tokoh 
sesat di wilayah utara itu juga bergerak dari sebelah 
kanan Pendekar Naga Putih. Tongkat hitam di tangan-
nya sudah diputar, membentuk gulungan sinar hitam 
yang menimbulkan angin menderu-deru. Daun dan re-
rumputan kering seketika beterbangan akibat putaran 
angin yang ditimbulkan tongkat hitamnya. Hal itu 
membuktikan, kekuatan tenaga dalam Kuntilanak Bu-
kit Mandau tidak bisa diremehkan.
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat pun 
tidak mau ketinggalan. Kedua tokoh puncak golongan 
sesat di wilayah timur dan barat itu sama-sama berge-
rak dari arah berlawanan, mengepung Panji dan Ke-
nanga. Tampaknya, pertarungan dahsyat akan segera 
terjadi.
"Yeaaat...!"
Dengan sebuah pekikan parau, tubuh cebol Raja 
Iblis Jubah Merah melayang dengan cengkeraman 
mautnya yang menyambar-nyambar.
Wuttt! Wuttt!
Panji yang membelakangi Kenanga, langsung saja 
memiringkan tubuhnya pada saat serangan lawan da-
tang. Kemudian, disertai 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya, se-
rangan itu dibalas dengan terjangan yang tidak kalah 
cepat dan ganasnya.
Sebentar saja, angin dingin telah berhembus seiring sambaran cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan 
tentu saja Raja Iblis Jubah Merah tidak berani menga-
du kekuatan secara langsung. Karena disadari tenaga 
sakti lawannya masih sangat tinggi. Maka cepat-cepat 
tubuhnya bergeser dengan lompatan pendek sambil 
mengirimkan tendangan kilat ke arah lambung Pende-
kar Naga Putih.
Pada saat yang bersamaan, Kuntilanak Bukit Man-
dau pun telah datang dengan serangan tongkatnya. 
Hembusan angin keras menderu-deru, membuat Panji 
sadar akan bahaya dari belakangnya. Dan untuk 
menghadapi dua serangan sekaligus, tubuhnya segera 
melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. La-
lu, sepasang telapak tangannya cepat didorong ke ba-
wah, ke arah Raja Iblis Jubah Merah yang berada di 
bawahnya.
Whusss...!
Tentu saja pukulan jarak jauh Pendekar Naga Pu-
tih sangat berbahaya! Raja Iblis Jubah Merah sadar 
betul akan bahaya maut itu. Maka segera saja dia ber-
gulingan sambil menyambut serangan dengan kibasan 
tangan kanannya.
Bresssh!
"Aihhh...?!"
Akibat pertemuan dua gelombang tenaga sakti itu, 
Raja Iblis Jubah Merah tidak bisa menahan pekikan. 
Tubuhnya yang cebol dan gemuk itu kontan mengge-
linding bagai bola, menjauhi arena pertempuran. Jelas, 
tokoh cebol itu merasa terkejut ketika lengannya tera-
sa bagai lumpuh setelah berbenturan dengan sepasang 
telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Bettt..!
Tiba-tiba sambaran angin tajam mengaung, datang 
mengiringi hantaman tongkat hitam Kuntilanak Bukit

Mandau. Panji cepat mengegoskan tubuhnya ke samp-
ing, seraya mengulurkan tangannya hendak menghan-
curkan tongkat di tangan lawan. Namun, nenek itu 
ternyata sangat cerdik dalam memperhitungkan seran-
gannya. Sebelum tercengkeram cakar naga Panji, 
tongkatnya sudah diputar setengah lingkaran. Bahkan 
langsung mengancam kepala lawan.
Tapi, yang kali ini dihadapi Kuntilanak Bukit Man-
dau adalah seorang pemuda yang telah di-gembleng 
oleh pengalaman-pengalaman mengerikan. Sehingga 
tidak heran kalau sabetan tongkat yang mampu meng-
hancurkan batu karang sebesar kerbau itu mampu di-
elakkan dengan memutar tubuhnya menggunakan te-
naga pinggang. Lalu, Panji berbalik memutar kakinya, 
menyapu kuda-kuda lawan.
Breeet..!
Sapuan kaki Panji ternyata hanya menyambar re-
rumputan kering, karena tubuh Kuntilanak Bukit 
Mandau telah berputaran melompat ke udara. Kesem-
patan baik itu tidak disia-siakan Panji. Cepat tubuh-
nya melesat ke arah pertempuran. Kenanga yang ha-
rus menghadapi keroyokan dua orang datuk sesat 
lainnya. Melihat kekasihnya telah terdesak hebat, Pen-
dekar Naga Putih langsung terjun dan menerjang salah 
seorang dari pengeroyok.
Plak! Plak!
"Aihhh...!”
Lelaki tinggi besar berpakaian senapati yang tak 
lain dari Datuk Panglima Sesat, memekik ketika dua 
buah pukulannya yang hampir dipastikan akan mero-
bohkan Kenanga, terpental balik akibat papakan Pen-
dekar Naga Putih. Bahkan lelaki tinggi besar itu ter-
huyung limbung beberapa langkah ke belakang, kare-
na Panji mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya.

Kenanga yang saat itu telah merasa lelah mengha-
dapi dua orang lawan, sempat menarik napas lega. 
Meskipun saat itu ia masih harus menyelamatkan diri 
dari gempuran Memedi Karang Api yang mencecarnya 
dengan serangan-serangan dahsyat.
Buggg!
"Aaakh...?!"
Karena gerakannya semakin lambat, akhirnya Ke-
nanga tidak mampu menghindari sebuah tendangan 
Memedi Karang Api yang singgah di lambung kanan-
nya. Dan meskipun tenaga dalamnya sudah dikerah-
kan untuk melindungi, tetap saja tubuhnya terjeng-
kang tak sanggup menerima tendangan keras dari da-
tuk sesat itu.
"Yeaaah...!
Memedi Karang Api yang sepertinya sangat bernaf-
su untuk segera dapat melumpuhkan Kenanga, lang-
sung menyusuli serangannya tanpa membuang-buang 
waktu lagi. Sepasang tangannya bergerak cepat, siap 
melumpuhkan dara jelita yang tengah berusaha bang-
kit itu.
Tapi, Panji tentu saja tidak sudi melihat kekasih-
nya sampai tewas di tangan datuk sesat itu. Maka 
dengan sebuah teriakan nyaring, tubuhnya sudah me-
lesat mencegah tindakan Memedi Karang Api. 
Dukkk, dukkk... 
Bukkk! 
"Aaa...!"
Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih benar-benar 
sangat mengagumkan! Sehingga, meskipun Memedi 
Karang Api telah mengerahkan kesaktian, tak urung 
sebuah tebasan sisi telapak tangan miring Panji bersa-
rang di iganya. Akibatnya, tubuh kakek tinggi kurus 
itu terdorong dan hampir jatuh terpelanting. Untung

saja kuda-kudanya segera dapat dikuasai. Meskipun 
begitu, tampak juga lelehan darah di sudut bibirnya. 
Rupanya, pukulan Panji telah membuat dada bagian 
dalam kakek itu terguncang!
"Kenanga! Kau tidak apa-apa...?" tanya Panji kha-
watir sambil memegang bahu kekasihnya yang tampak 
kelelahan.
"Aku tidak apa-apa, Kakang...," desah Kenanga 
sambil memijat lambungnya yang terasa nyeri.
Dara jelita itu menatap wajah kekasihnya penuh 
kekhawatiran. Jelas, Kenanga lebih mencemaskan ke-
selamatan pemuda itu ketimbang dirinya sendiri.
"Hm.... Rasanya aku harus bertarung mati-matian 
menghadapi mereka...!" geram Panji.
Pendekar Naga Putih segera berbalik menghadapi 
keempat orang datuk sesat yang sudah bergerak maju 
mengepung.
"Kakang...," desah Kenanga.
Gadis itu merasa cemas ketika mendengar ucapan 
Panji. Meskipun disadari kalau kematian setiap saat 
bisa datang bagi orang-orang yang selalu bermain-
main dengan maut seperti mereka, tapi hati kecil dara 
jelita itu tetap saja merasa khawatir.
"Menyingkirlah, Kenanga. Atau sebaiknya, tinggal-
kanlah tempat ini. Kalau masih bisa selamat, aku akan 
segera menemuimu di desa depan sana. Mudah-
mudahan, letak desa itu tidak terlalu jauh, dan kau bi-
sa mencapainya...," ujar Panji sambil menatap wajah 
kekasihnya yang tampak sangat mempesona di bawah 
siraman cahaya purnama.
"Tidak, Kakang. Mati atau hidup, kita harus tetap 
bersama. Aku tidak akan tahan menunggu dengan hati 
selalu gelisah. Lebih baik aku di sini saja bersama-
mu...," bantah Kenanga yang kali ini tidak menuruti

permintaan Panji.
Melihat sinar mata yang menyimpan tekad bulat 
itu, Panji hanya menghela napas. Disadari kalau me-
maksa Kenanga untuk meninggalkan tempat itu tentu 
akan percuma saja.
"Hm.... Terserah kaulah, Kenanga. Tapi untuk se-
kali ini, kuminta agar kau menyingkir saja dari sini. 
Apabila dalam enam puluh jurus dua orang dari mere-
ka masih belum bisa ku robohkan, kau baru boleh 
membantu...," ujar Panji.
Kali ini, saran Panji dituruti oleh dara jelita itu. 
Dan kini, Kenanga segera menyingkir, menyaksikan 
dari kejauhan.
"He he he.... Rupanya kau masih sayang dengan 
nyawa dara jelita itu, Pendekar Naga Putih? Kau pasti 
takut kalau kulitnya yang putih halus itu akan lecet 
apabila bertarung dengan kami. Tapi, jangan khawatir. 
Aku akan senang sekali bila dapat membawanya pu-
lang ke istanaku, dan akan kuangkat menjadi permai-
suri ku...," kata Datuk Panglima Sesat, mengumbar 
kesombongannya.
Namun, Panji sendiri sama sekali tidak menyahut.
Malah, matanya sudah dipejamkan sejenak, untuk 
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Se-
bentar kemudian, terciptalah lapisan sinar kuning 
keemasan di sebelah kanan tubuh Pendekar Naga Pu-
tih. Sedangkan pada tubuh sebelah kirinya, terlapis 
kabut putih keperakan. Jelas sudah kalau saat itu 
Panji telah mengerahkan kedua tenaga dahsyatnya, 
dan menggabungkannya untuk menghadapi keroyokan 
empat orang datuk sesat dari empat penjuru angin.
"Gila...?!"
Datuk Panglima Sesat sampai melangkah mundur 
melihat perubahan yang terjadi dalam diri pendekar

muda itu. Hatinya sempat bergetar menyaksikan beta-
pa pendekar yang masih berusia muda itu telah mam-
pu menggabungkan dua unsur tenaga sakti berlainan 
sifat.
"Mustahil..?!"
"Ilmu sihir...?!"
Tiga orang datuk lainnya pun tidak kalah terkejut 
menyaksikan perubahan lawannya. Mereka benar-
benar takjub dan semakin bertambah kagum terhadap 
pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Tidak perlu gentar, Sahabat-sahabat.
Meskipun seluruh kesaktiannya digunakan, mustahil 
dapat mengalahkan kita berempat. Mari kita lenyapkan 
pendekar celaka itu...," tegas Raja Iblis Jubah Merah, 
lantang.
Tentu saja ia khawatir melihat kawan-kawannya 
seperti gentar ketika melihat tindakan pemuda tampan 
berjubah putih itu. Maka, segera saja kakinya melang-
kah maju, untuk membuktikan ketidakgentaran ter-
hadap lawannya. Memang, ia sendirilah yang lebih 
menaruh dendam terhadap Pendekar Naga Putih.
Mendengar ucapan Raja Iblis Jubah Merah, tentu 
saja ketiga orang datuk lainnya segera menyadari ke-
keliruan sikap mereka. Maka tanpa membuang-buang 
waktu lagi, mereka kembali menyebar, mengepung 
Pendekar Naga Putih.
***
"Haaat..!"
Raja Iblis Jubah Merah kembali membuka seran-
gan, mendahului rekan-rekannya. Tubuh lelaki gemuk 
pendek itu bergerak maju dengan langkah-langkah 
bersilangan. Sepasang tangannya bergerak cepat, saling mendahului untuk menyarangkannya ke tubuh la-
wan.
Memedi Karang Api pun tidak ketinggalan. Tokoh 
tinggi kurus berjubah putih kumal itu bergerak maju 
dengan jurus 'Ular Beracun Menembus Kabut". Sepa-
sang tangannya bergerak silih berganti, dengan kece-
patan luar biasa. Bahkan terkadang lengannya terlihat 
memanjang melebihi ukuran biasa. Jelas, datuk tinggi 
kurus itu telah mengeluarkan ilmu andalan yang ja-
rang digunakan.
Datuk Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Man-
dau seolah bergerak saling mendahului. Mereka juga 
telah menggunakan ilmu andalannya, ketika melihat 
Panji telah mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang dah-
syat. Sehingga, Pendekar Naga Putih sendiri sempat 
merasa tegang menghadapi serbuan empat gembong 
kaum sesat yang berkepandaian menggiriskan itu.
"Haiiit..!"
Ketika empat orang pengeroyok itu sudah semakin 
dekat, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya 
yang menggetarkan jantung. Bersamaan dengan itu, 
tubuhnya bergerak cepat sambil mengerahkan jurus 
'Ilmu Silat Naga Sakti'nya yang luar biasa. Dengan il-
mu meringankan tubuhnya yang tinggi, tubuhnya ber-
kelebatan menyambut serbuan empat orang lawannya.
Pertarungan yang terjadi kali ini benar-benar dah-
syat. Kenanga sendiri sampai berdebar melihatnya. Be-
tapa tidak? Angin pukulan berhawa maut yang silih 
berganti bertebaran ke sekitar arena pertarungan, te-
lah membuat pohon-pohon besar di sekelilingnya re-
bah. Bahkan dara jelita itu harus bergerak lebih men-
jauh, karena ada serangkum angin pukulan yang nya-
ris melukainya. Untunglah Kenanga sudah cepat mele-
sat menghindar, sehingga pohon di belakangnyalah

yang berderak roboh terkena pukulan maut yang nya-
sar. Belum lagi datangnya bebatuan yang tersepak ka-
ki-kaki tokoh-tokoh sakti itu. Padahal, lontaran batu 
itu sanggup memecahkan kepala seorang tokoh yang 
belum memiliki tenaga dalam tinggi. Benar-benar men-
gerikan pertarungan lima tokoh dahsyat itu!
Panji sendiri dalam menghadapi pertarungan mati-
matian itu harus menguras seluruh kesaktiannya. Jadi 
wajar saja kalau merasa sedikit kewalahan, karena la-
wan-lawannya bukan tokoh sembarangan. Mereka 
adalah gembong kaum sesat yang memiliki kesaktian 
luar biasa. Sehingga, tidak mudah bagi Pendekar Naga 
Putih untuk dapat merobohkan dalam waktu singkat. 
Bahkan, terkadang harus bergerak mundur untuk 
menghindari gempuran-gempuran hebat dari lawan-
lawannya.
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, 
Panji kembali mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya. 
Tubuh pemuda itu kini berkelebatan laksana samba-
ran kilat. Kemudian tubuhnya melenting ke udara, ba-
gaikan seekor naga perkasa yang terbang ke langit. 
Dan dari atas, tubuhnya berputaran beberapa kali, se-
belum meluncur turun melepaskan jurus 'Naga Sakti 
Meluruk ke Dalam Bumi’.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api 
yang menjadi sasaran, terkejut bukan main! Mata me-
reka begitu silau melihat lingkaran sinar kuning kee-
masan yang berbaur dengan sinar putih keperakan 
yang berputaran. Serbuan hawa dingin dan panas 
yang berganti-ganti, membuat tubuh mereka bagaikan 
tengah dilanda demam hebat. Sadar akan bahaya yang 
tidak mungkin sanggup diatasi, maka kedua datuk se-
sat ini segera melempar tubuhnya dan bergulingan

menjauhi tempat itu.
Rupanya, mereka belum memahami sifat jurus 
yang kali ini digunakan Panji. Buktinya, meskipun me-
reka berusaha menghindar sejauh-jauhnya, serangan 
pemuda itu terus mengejar kedua orang sasaran, se-
perti memiliki mata saja. Sehingga, baik Raja Iblis Ju-
bah Merah maupun Memedi Karang Api terpaksa me-
nangkis serangan lawan disertai pengerahan seluruh 
kekuatan tenaga saktinya.
Lagi-lagi, mereka tidak tahu akan sifat jurus pa-
mungkas dan Pendekar Naga Putih. Ternyata baik 
menghindar atau menangkis, sama-sama berbahaya. 
Serangan yang sukar dihalau itu meluncur disertai 
sambaran angin bercicit tajam. Dan...
Plak! Desss...!
Meskipun pada hantaman pertama kedua orang 
datuk sesat itu masih bisa memapak, namun gerakan 
melingkar lengan pemuda itu benar-benar tak terduga 
dan sulit dihindari lagi. Akibatnya, tubuh kedua orang 
pentolan kaum sesat itu seketika terjungkal memun-
tahkan darah segar. Kedua datuk sesat itu terus ter-
guling-guling, hingga sejauh empat tombak dari tempat 
berdiri semula. Meski demikian, mereka masih beru-
saha bergerak bangkit sambil menyeringai kesakitan. 
Mereka baru terkejut ketika merasakan sekujur tubuh 
sukar digerakkan. Hawa panas dan dingin yang ber-
ganti-ganti, membuat mereka terkadang menggigil ke-
dinginan, dan terkadang mendesis-desis kepanasan. 
Jelas, akibat pukulan pada tubuh mereka tidak bisa 
lenyap untuk beberapa saat Sehingga, kedua datuk se-
sat itu hanya bisa pasrah menanti kematian.
Sementara itu, Datuk Panglima Sesat dan Kuntila-
nak Bukit Mandau seperti sadar akan keadaan kedua 
orang rekan mereka. Tampak keduanya berusaha

menggempur Pendekar Naga Putih, agar menjauhi ke-
dua orang rekan mereka. Panji sendiri yang baru saja 
menjejakkan kedua kaki di atas tanah, mau tak mau 
harus berlompatan menghindari hujan serangan Datuk 
Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Mandau. Dan 
saat yang sedikit itu digunakan sebaik-baiknya oleh 
kedua datuk sesat itu untuk segera melompat jauh ke 
belakang. Setelah menyambar tubuh kedua orang re-
kannya yang masih belum mampu bangkit, mereka 
pun langsung mencelat jauh, melarikan diri.
Sementara itu, dua belas orang pengawal Datuk 
Panglima Sesat segera saja menghambur ketika meli-
hat pimpinannya telah melesat pergi meninggalkan 
tempat ini.
Panji sendiri tidak berusaha mengejar, karena lebih 
mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Dugaan-
nya, bisa saja para datuk itu mengambil jalan berputar 
selagi ia mengejar. Dan mereka bisa saja tiba kembali 
di tempat semula, untuk membekuk Kenanga. Alasan 
itulah yang membuat Panji tidak berusaha mengejar.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...," tanya Kenanga se-
raya memeluk tubuh kekasihnya dengan helaan napas 
lega.
Panji sendiri hanya menggelengkan kepala. Kemu-
dian, diajaknya dara jelita itu untuk segera meninggal-
kan hutan ini
***
EMPAT


"Hm.... Kesaktian Pendekar Naga Putih memang 
sangat luar biasa! Rasanya, hanya gabungan ilmu kita

berempat sajalah yang mungkin bisa melumpuhkan-
nya. Makanya, kita harus segera menyelesaikan renca-
na yang telah disepakati bersama...," kata seorang le-
laki tinggi besar.
Orang itu berwajah kelimis, karena kumis dan 
jenggotnya telah tercukur bersih. Menilik dari pa-
kaiannya yang seperti senapati, sudah bisa dipastikan 
kalau lelaki tinggi besar itu adalah Datuk Panglima Se-
sat, seorang gembong golongan hitam di wilayah timur.
Tiga orang lainnya saling bertukar pandangan se-
jenak. Mereka kini duduk mengelilingi sebuah meja 
kayu bulat. Dua di antara keempat datuk sesat itu 
tampak masih agak pucat wajahnya. Rupanya keseha-
tan mereka berdua belum pulih setelah bertarung me-
lawan Pendekar Naga Putih kemarin.
"Hm...."
Lelaki pendek gemuk brewok yang mengenakan ju-
bah berwarna merah itu bergumam. Pandangannya 
tampak dilayangkan ke arah Datuk Panglima Sesat.
"Persiapan kita telah berjalan cukup lama, dan 
hampir sempurna. Tapi melihat kesaktian Pendekar
Naga Putih yang telah maju sangat pesat, kita masih 
harus banyak berbenah diri. Begitu semuanya telah 
sempurna, barulah pemuda yang merupakan pengha-
lang besar bagi setiap kaum kita digempur...," tandas 
Raja Iblis Jubah Merah setelah berpikir beberapa saat.
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan 
Kuntilanak Bukit Mandau sama-sama menganggukkan 
kepala. Mereka semua maklum setelah merasakan ke-
saktian Pendekar Naga Putih, yang memang telah maju 
pesat. Untuk ini, rupanya mereka harus sungguh-
sungguh mempersiapkan diri apabila hendak mele-
nyapkan Pendekar Naga Putih.
"Ada baiknya bila kita sekarang menengok pasukan

yang telah dipersiapkan itu. Kemudian, mereka harus 
dicoba sebelum dilepaskan untuk menggempur Pende-
kar Naga Putih. Bagaimana...?" usul Kuntilanak Bukit
Mandau, setelah mendengar ucapan kawan-kawannya.
"Aku setuju...," sahut Memedi Karang Api, lang-
sung. Sedangkan dua orang lainnya ikut menyatakan 
persetujuannya.
Keempat datuk golongan hitam itu pun sama-sama 
bergerak bangkit, dan meninggalkan ruang pertemuan 
yang berlangsung di kediaman Datuk Panglima Sesat.
Kemudian, mereka melangkah ke belakang bangunan 
besar dan megah ini.
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang datuk 
sesat itu tiba di bagian belakang bangunan yang beru-
pa sebuah tanah lapang luas. Di tempat itu, terlihat 
delapan orang yang rata-rata berperawakan tegap ten-
gah sibuk berlatih. Gerakan-gerakan mereka terlihat 
sangat gesit dan mantap. Bisa dilihat kalau ilmu me-
ringankan tubuh dan tenaga dalam mereka tidak bisa 
dipandang remeh.
Setelah memperhatikan sejenak, Datuk Panglima 
Sesat bertepuk tangan perlahan sebanyak tiga kali. 
Karena dilakukan lewat pengerahan tenaga dalam 
tinggi, tentu saja pengaruh tepukan itu segera terlihat. 
Delapan orang lelaki muda berperawakan tegap itu se-
rentak menghentikan gerakan dan berbalik mengha-
dap keempat orang datuk sesat ini. Wajah mereka ra-
ta-rata dingin tanpa perasaan. Meski demikian, sorot 
mata mereka nampak demikian tajam dan menimbul-
kan rasa seram bagi yang memandang.
Terlihat kedelapan sosok tubuh berpakaian warna-
warni itu sama-sama membungkukkan kepala dengan 
sikap kaku. Sikap mereka jelas tidak wajar, dan seperti 
berada dalam pengaruh sihir.

"Hmhhh...."
Datuk Panglima Sesat mengibaskan kedua tangan-
nya ke kiri dan kanan, seperti memerintahkan mereka 
untuk berpencar. Kemudian, lelaki tinggi besar berpa-
kaian senapati kerajaan itu melangkah maju ke tengah 
lapangan.
"Panglima Sesat! Rasanya terlalu berbahaya apabi-
la kau hendak menghadapi mereka seorang diri. 
Meskipun ilmu gabungan yang kita ciptakan untuk 
mereka belum seluruhnya dikuasai, tapi tetap saja aku 
merasa kalau mereka tidak bisa dihadapi seorang di-
ri...," Raja Iblis Jubah Merah memperingatkan rekan-
nya yang rupanya hendak menjajal kemampuan dela-
pan lelaki muda berwajah dingin itu.
"Hm.... Jangan khawatir, Iblis Jubah Merah. Jika 
dalam sepuluh jurus salah seorang dari mereka belum 
bisa kujatuhkan, barulah kalian boleh turun tan-
gan...," sahut Datuk Panglima Sesat mengabaikan pe-
ringatan rekannya.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi besar itu 
kembali bertepuk tangan dua kali. Sepertinya, tepukan 
itu merupakan isyarat bagi kedelapan orang itu untuk 
mulai menyerang.
Kedelapan lelaki muda yang terbentuk dalam satu 
pasukan yang telah terlatih baik itu, segera saja berge-
rak mengepung dari delapan penjuru. Mereka belum 
memperlihatkan tanda-tanda akan menyerang, namun 
sebaliknya malah berputaran saling berpindah-pindah 
tempat.
"Hm..."
Datuk Panglima Sesat hanya bergumam perlahan 
meskipun saat itu putaran lawan-lawannya semakin 
bertambah cepat, hingga yang terlihat hanyalah 
bayangan berwarna-warni mengelilinginya. Baru saja

datuk sesat itu hendak memulai serangan, tiba-tiba 
saja gerakan berputar kedelapan orang itu terhenti dan 
berbalik arah. Semua itu dilakukan dengan sangat ce-
pat dan tanpa kesulitan. Mau tak mau, Datuk Pangli-
ma Sesat diam-diam harus mengagumi tindakan la-
wan-lawannya. 
"Haaat…"
Dengan sebuah lengkingan nyaring yang panjang, 
kedelapan orang itu pun mulai membuka serangan. 
Dua orang berseragam biru muda yang berada di de-
pan Datuk Panglima Sesat, melesat ke depan sambil 
melancarkan tusukan jari-jari tangan yang menimbul-
kan suara angin berdecitan. Kelihatannya, serangan 
itu sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kema-
tian. Atau, paling tidak luka dalam yang parah.
Serangan dua orang berseragam biru muda itu be-
lum lagi tiba, namun dua orang lawan berseragam me-
rah darah dari sebelah kanan Datuk Panglima Sesat 
juga telah menerjang dalam waktu hampir bersamaan. 
Bahkan serangan mereka juga tidak kalah berba-
hayanya!
"Haaat..!"
Datuk Panglima Sesat segera saja menggeser tu-
buhnya, menghindari serangan dua orang berseragam 
biru muda dari depan. Namun, justru dua orang berse-
ragam merah yang menyerang dari kanannya itulah 
yang lebih berbahaya. Padahal serangan pertama tadi 
hanya sekadar memancing perhatian Datuk Panglima 
Sesat.
Bettt! Bettt!
Dua buah pukulan yang menimbulkan suara angin 
tajam, datang mengancam tubuh Datuk Panglima Se-
sat. Cepat tokoh sakti itu mengangkat kedua tangan-
nya, untuk memapak serangan lawan.

Dan...
Plak! Plak!
'Aihhh,..?!”
Terdengar seruan tertahan dari lelaki gagah itu ke-
tika merasakan kuatnya gelombang tenaga pukulan 
kedua orang pengeroyoknya. Akibatnya, ia yang semu-
la menganggap enteng serangan itu, hampir terjungkal 
dibuatnya. Jelas, Datuk Panglima Sesat tidak menge-
tahui kemajuan yang diperoleh kedelapan lelaki muda 
yang digembleng oleh Raja Iblis Jubah Merah dan Me-
medi Karang Api. Di lain pihak, Datuk Panglima Sesat 
dan Kuntilanak Bukit Mandau tidak terlalu memperha-
tikan. Maka, wajar saja kalau lelaki tinggi besar itu jadi 
terkejut ketika merasakan kekuatan pukulan lawan-
lawannya.
Pertarungan berjalan semakin seru dan cepat. Da-
tuk Panglima Sesat tampak mulai merasakan tekanan 
berat, setelah bertarung lebih dari lima jurus. Hal itu 
merupakan bukti kalau ilmu gabungan yang dicipta-
kan empat orang datuk itu memang hebat sekali. Buk-
tinya, Datuk Panglima Sesat yang tentu saja telah 
mengenai ilmu yang digunakan para pengeroyoknya, 
masih harus kerepotan menghindari hujan serangan. 
Bahkan setelah sepuluh jurus lebih, dia beberapa kali 
nyaris celaka. Mendapat kenyataan ini, karuan saja 
hati datuk tinggi besar ini menjadi tegang.
Kuntilanak Bukit Mandau yang melihat rekannya 
mulai kewalahan, segera terjun ke arena pertempuran. 
Begitu memasuki arena, tongkat hitam di tangannya 
langsung bergerak berputaran dengan suara menderu-
deru laksana ratusan lebah marah.
Tapi, delapan orang laki-laki muda berwajah dingin 
dan bersikap kaku itu sama sekali tidak menjadi mun-
dur. Bahkan desakan mereka pun tidak berkurang,

meski Datuk Panglima Sesat telah dibantu Kuntilanak 
Bukit Mandau yang juga memiliki kesaktian menggi-
riskan. Malah mereka masih saja dapat didesak kede-
lapan lelaki muda itu. Melihat hal ini, tentu saja hati 
nenek bungkuk udang itu menjadi gemas, meski ada 
rasa kebanggaan melihat hasil jerih payahnya.
Plakkk! 
Bukkk! 
"Uuugh...!"
Datuk Panglima Sesat yang berusaha mati-matian 
menghindari dan membalas serangan lawan, terpaksa 
harus merelakan tubuhnya terkena hantaman salah 
seorang pengeroyoknya. Akibatnya, tubuhnya terpental 
beberapa langkah ke belakang. Kemudian, dia berge-
rak bangkit secepat kilat dan kembali melakukan per-
lawanan hebat. Dari lelehan darah di sudut bibirnya, 
jelas kalau Datuk Panglima Sesat agak terguncang ba-
gian dalam tubuhnya, akibat pukulan lawan yang 
singgah di lambung kirinya.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api 
yang mengetahui betul akan kehebatan pasukan itu, 
segera saja melayang ke dalam arena pertarungan. Se-
hingga, kali ini kedelapan lelaki muda itu harus meng-
hadapi empat orang datuk sesat yang rata-rata memi-
liki kesaktian sangat dahsyat.
Turunnya Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Ka-
rang Api, ternyata tidak juga merubah keadaan. Den-
gan gerakan-gerakan yang semakin hebat dan berba-
haya, kedelapan lelaki muda berwajah dingin itu terus 
mendesak. Akibatnya, empat orang datuk sesat itu jadi 
kelabakan. Kini, mereka semakin sadar kalau pasukan 
yang telah dipersiapkan itu benar-benar tangguh.
"Haiiit..!"
Dibarengi pekikan nyaring, Memedi Karang Api melesat keluar dari gelanggang pertempuran. Kemudian, 
disusul berturut-turut ketiga orang datuk lainnya. 
Dengan beberapa kali lompatan saja, keempat orang 
datuk sesat itu telah berada sejauh tiga tombak dari 
lawan-lawannya.
"Bagus..., bagus...! Kalian betul-betul tidak menge-
cewakan...," puji Memedi Karang Api sambil bertepuk 
tangan dengan wajah berseri.
Sementara itu, delapan orang lelaki muda yang 
menjadi lawan mereka tadi sama sekali tidak menun-
jukkan tanggapannya. Mereka hanya membungkuk 
dengan wajah sedingin es. Meskipun begitu, bibir me-
reka terlihat menggerimit mengucapkan sesuatu.
"Terima kasih, Tuan ku...," suara delapan orang la-
ki-laki berpakaian warna-warni itu bergaung jelas.
Ternyata, gerakan bibir yang sepertinya hanya be-
rupa bisikan itu terdengar sangat jelas. Pasti hal itu di-
lakukan dengan pengerahan tenaga dalam.
"Hm.... Meskipun mereka memang tidak bisa kita 
taklukkan, tapi.... Rasanya mereka belum cukup kuat 
untuk menghadapi Pendekar Naga Putih. Paling tidak,
mereka harus dipersiapkan beberapa waktu lagi. Sete-
lah itu, barulah mereka bisa melaksanakan tugas yang 
teramat penting itu...," kata Kuntilanak Bukit Mandau.
Sepertinya, nenek ini masih belum puas, meskipun 
memang harus diakui kehebatan pasukan itu. Tapi ka-
rena telah beberapa kali bentrok dengan Pendekar Na-
ga Putih, maka dia masih kurang yakin kalau pasukan 
yang tengah dipersiapkan itu belum mampu mengha-
dapi Pendekar Naga Putih. Apalagi, setelah ia sendiri 
menyaksikan kemajuan pendekar muda yang digdaya 
itu.
"Sejak pertama tadi sudah kukatakan, kita masih 
harus mempersiapkan mereka lebih sempurna. Kelak

setelah mereka sudah menguasai ilmu ciptaan kita 
bersama, barulah ditugaskan untuk melenyapkan 
Pendekar Naga Putih," timpal Memedi Karang Api.
"Benar, Kuntilanak Bukit Mandau. Oleh karena itu, 
mulai sekarang mereka harus dipersiapkan bersama-
sama. Setelah itu, aku yakin Pasukan Pembunuh ini 
akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dan 
tidak perlu diragukan lagi...," tambah Raja Iblis Jubah 
Merah. Nada suaranya terdengar penuh kebanggaan 
dan keyakinan. 
"Hm.... Hal itu memang tidak kur agukan lagi. Ta-
pi..., bagaimana dengan kemungkinan kalau mereka 
berkhianat? Seperti kita semua sudah tahu, Pendekar 
Naga Putih memiliki ilmu pengobatan yang tidak kalah 
dibanding Raja Obat Nah! Hal itulah yang masih 
mengganggu pikiranku...," ungkap Datuk Panglima Se-
sat, tentang kekhawatirannya.
Kuntilanak Bukit Mandau yang sepertinya juga 
memiliki pemikiran serupa mengangguk-anggukkan 
kepalanya. Rupanya, dia menyetujui juga kekhawati-
ran Datuk Panglima Sesat.
"He he he.... Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Ob-
at-obat ramuan yang ku jejali, telah membuat otak me-
reka tidak dapat bekerja lagi. Kecuali, oleh perintah ki-
ta berempat. Pokoknya, mereka tidak akan bisa ter-
pengaruh lagi. Dan, aku telah memperhitungkannya 
jauh-jauh hari mengenai hal itu. Mereka memang bisa 
menjadi ancaman bagi kita, apabila dibiarkan hidup 
lama-lama. Itulah sebabnya, aku menjejalkan sejenis 
racun mematikan, yang membuat umur mereka tidak 
akan lebih dari dua bulan. Setelah itu, mereka akan 
tewas dengan pembuluh darah pecah, dan tidak 
mungkin bisa diobati lagi. Jadi, kalian tidak perlu lagi 
mengkhawatirkan nya...," jelas Memedi Karang Api.

Rupanya dia telah mempersiapkan segalanya den-
gan cermat dan teliti. Sehingga, baik Datuk Panglima 
Sesat maupun Kuntilanak Bukit Mandau sama-sama 
mengangguk penuh kepuasan. Keraguan mereka pun 
pupus setelah mendengar penjelasan yang melegakan 
hati itu.
"Hm.... Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu? Mari-
lah kita segera menyelesaikan pekerjaan ini. Setelah 
itu, mereka kita kirim untuk membunuh Pendekar Na-
ga Putih. Dan apabila pendekar muda itu telah tewas, 
tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Maka, kita be-
rempat akan menguasai dunia persilatan. Ha ha ha...!" 
kata Datuk Panglima Sesat seraya tertawa. Sepertinya, 
dia memiliki keinginan untuk menjadi raja dunia persi-
latan.
"He he he.... Mengapa kau berpikiran sempit sekali, 
Sahabat? Rencanaku justru jauh lebih besar lagi. Se-
belum membunuh Pendekar Naga Putih, aku akan 
menugaskan Pasukan Pembunuh ini untuk membu-
nuh Prabu Pungga Lawa. Ini merupakan ujian berat 
bagi mereka, karena istana merupakan gudangnya to-
koh-tokoh sakti. Nah! Apabila berhasil, mereka harus 
melenyapkan Pendekar Naga Putih. Bagaimana? Apa-
kah rencanaku itu jauh lebih baik dari keinginanmu, 
Datuk Panglima Sesat..?" usul Memedi Karang Api.
Sepertinya, datuk itu masih mendendam terhadap 
penguasa Kerajaan Mulawarta. Dan dia memang ingin 
melanjutkan cita-cita Malaikat Gerbang Neraka, yang 
pernah dibantunya dalam merebut kerajaan itu dari 
tangan Prabu Pungga Lawa (Untuk lebih jelasnya, sila-
kan ikuti episode "Malaikat Gerbang Neraka" dan "Ra-
hasia Pedang Naga Langit").
"Hei?! Itu sangat berbahaya, Memedi Karang Api! 
Bagaimana kalau pasukan kecil yang telah dipersiapkan ini sampai tertangkap, atau terbunuh? Bu-
kankah jerih payah kita selama ini akan sia-sia saja? 
Rasanya, aku kurang setuju pada rencanamu itu! Ter-
lalu berbahaya!" bantah Datuk Panglima Sesat.
Jelas, dia kurang setuju terhadap rencana Memedi 
Karang Api, karena khawatir kalau Pasukan Pembu-
nuh yang telah dipersiapkan untuk melenyapkan Pen-
dekar Naga Putih akan tewas atau tertangkap oleh pra-
jurit istana. Tentu saja hal itu tidak diinginkannya.
"Jangan bodoh, Panglima Sesat! Meskipun Pasukan 
Pembunuh dipersiapkan untuk melenyapkan Pendekar 
Naga Putih, tetapi kita harus mengujinya terlebih da-
hulu. Dan saru-satunya ujian yang paling baik hanya-
lah dengan mengacaukan istana. Itu sebabnya aku te-
lah merencanakannya dengan baik...!" bantah Memedi 
Karang Api, tidak mau kalah.
Kakek itu memang tetap pada rencananya semula, 
dan tidak mempedulikan bantahan Datuk Panglima 
Sesat. Sehingga, lelaki gagah bertubuh tinggi besar itu 
menggeram marah. Maka, suasana pun semakin ber-
tambah tegang ketika kedua orang datuk itu telah siap 
saling gempur!
"Bodoh! Hentikan pertengkaran tak berguna ini...!" 
sentak Raja Iblis Jubah Merah, berusaha menengahi.
Lelaki gemuk berwajah brewok itu tentu saja tidak 
ingin rencana yang telah disusun dengan susah-payah, 
hancur karena perpecahan di antara mereka.
Namun, campur tangan Raja Iblis Jubah Merah di-
tanggapi lain oleh Datuk Panglima Sesat. Lelaki tinggi 
besar itu menggeram, mengira Raja Iblis Jubah Merah 
hendak membantu Memedi Karang Api. Maka Datuk 
Panglima Sesat segera mundur beberapa langkah, se-
perti bersiap menghadapi keroyokan Memedi Karang 
Api dan Raja Iblis Jubah Merah.

"Hm.... Meskipun harus menghadapi keroyokan ka-
lian, jangan dikira aku akan gentar. Mari kita mengadu 
nyawa...!" dengus Datuk Panglima Sesat, geram. Lang-
sung saja jurus-jurus ampuhnya disiapkan. Sehingga, 
baik Raja iblis Jubah Merah maupun Memedi Karang 
Api sama-sama melompat ke belakang.
"Tahan amarah mu, Panglima Sesat! Aku tidak 
berpihak kepada siapa pun. Tapi, perlu diingat musuh 
akan tertawa apabila mendengar kita saling berbunu-
han di antara rekan sendiri. Bahkan, dunia persilatan 
akan menertawai kita. Hm.... Apakah kalian berdua in-
gin mendapatkan cemoohan seperti itu? Kalau me-
mang itu yang diinginkan, silakan kalian bertarung 
sampai mati! Aku tidak peduli lagi...!" bentak Raja Iblis 
Jubah Merah.
Laki-laki berjubah merah itu memang menjadi 
jengkel melihat gelagat kalau pertarungan seperti sulit 
dihindari lagi.
"Hm.... Tapi aku tidak sudi mengikuti rencana Me-
medi Karang Api yang sangat berbahaya! Untuk apa je-
rih payah kita selama ini kalau akhirnya hanya untuk 
mengantarkan Pasukan Pembunuh itu ke akhirat, se-
belum melenyapkan Pendekar Naga Putih?!" tandas 
Datuk Panglima Sesat, tetap pada pendiriannya semu-
la.
"Aku juga tidak suka dengan rencanamu yang 
sempit dan tidak mendatangkan keuntungan itu!" ser-
gah Memedi Karang Api, juga tak mau kalah. Ia tetap 
menganggap kalau rencana Datuk Panglima Sesat ti-
dak berguna dan hanya membuang-buang waktu saja.
"Hm.... Mengenai rencana itu, biarlah kita runding-
kan belakangan. Sekarang yang penting, Pasukan 
Pembunuh harus disiapkan secara lebih sempurna. 
Setelah itu, barulah kita adakan mufakat. Siapa yang

mendapatkan suara terbanyak dari kita berempat, ma-
ka rencana itulah yang harus disetujui. Bagaimana...?" 
usul Raja Iblis Jubah Merah.
Jalan tengah itu ternyata membuat Datuk Pangli-
ma Sesat dan Memedi Karang Api saling berpandangan 
sejenak. Terlihat mereka saling mengangguk setuju, 
dan tertawa terbahak-bahak.
"Aku setuju...," sambut Datuk Panglima Sesat.
Datuk itu tampak kembali sudah bersikap biasa 
dan wajar. Sedikit pun tidak kelihatan kalau di antara 
mereka pernah hampir saling bentrok.
Raja Iblis Jubah Merah dan Kuntilanak Bukit
Mandau sama-sama menarik nafas lega. Mereka pun 
kembali ke tujuan semula, menyempurnakan ilmu Pa-
sukan Pembunuh yang telah dibentuk itu.
***
LIMA


Malam sudah cukup larut. Cahaya sang dewi ma-
lam yang temaram, tak mampu menerobos kegelapan. 
Bintang yang bertaburan bagaikan lampu-lampu 
penghias malam, membiaskan cahayanya untuk mem-
bantu sang rembulan menerangi permukaan bumi.
Para peronda yang berjaga di sekitar bangunan in-
duk Kerajaan Mulawarta, telah berganti. Rombongan 
pertama segera berputar ke sekeliling bangunan induk.
Sedangkan rombongan yang bertugas menggantikan, 
berjaga di pos yang telah tersedia.
Belum berapa lama rombongan kedua itu beristira-
hat, tiba-tiba muncul seorang lelaki gagah berusia lima 
puluh tahun yang mendatangi pos. Serentak delapan

orang prajurit itu bangkit, dan membungkuk hormat 
kepada lelaki gagah berpakaian senapati itu.
"Hm.... Ada apa Tuan Senapati Jagaraksa malam-
malam begini mendatangi pos penjagaan? Tidak bi-
asanya beliau berbuat seperti ini...," desis kepala jaga 
yang berpangkat perwira. Memang, kedatangan pan-
glima gagah itu tentu saja membuat para penjaga men-
jadi tegang, takut-takut kalau telah berbuat salah.
"Hm...."
Lelaki gagah bernama Senapati Jagaraksa itu 
hanya menggumam seperti balasan penghormatan pa-
ra prajuritnya. Sepasang matanya yang tajam menga-
wasi wajah-wajah tertunduk di depannya. Sehingga, 
delapan orang prajurit, termasuk perwira jaga itu se-
makin berdebar. Mereka seperti menanti ucapan yang 
bakal keluar dari mulut panglima gagah itu.
Senapati Jagaraksa belum lama menjabat sebagai 
Panglima Kerajaan Mulawarta. Semula, ia adalah seo-
rang pendekar besar yang tangguh. Julukannya, Pen-
dekar Pedang Perak. Jabatan itu diperoleh setelah tu-
rut membantu dalam menghancurkan pemberontak 
yang hampir-hampir berhasil merebut Kerajaan Mula-
warta. Mengingat jasa-jasa serta kesaktiannya yang 
tinggi, maka Prabu Pungga Lawa menganugerahkan 
jabatan senapati. Meskipun demikian, Senapati Jaga-
raksa tidak menjadi tinggi hati dan berbuat sewenang-
wenang terhadap bawahan. Sikapnya yang tegas dan 
memperhatikan bawahan, membuat para prajurit dan 
perwira merasa hormat dan segan terhadapnya. Jadi 
wajar saja kalau para prajurit jaga malam itu merasa 
tegang ketika melihat Senapati Jagaraksa datang dan 
tiba-tiba memeriksa.
"Maafkan kami, Tuan Panglima. Kedatangan Tuan 
benar-benar membuat kami terkejut dan bertanya

tanya. Kami takut kalau-kalau telah berbuat kesala-
han. Mohon Tuan menjelaskan...," pinta perwira beru-
sia empat puluh tahun yang tubuhnya tinggi tegap.
Kepala perwira itu tertunduk dalam, menanti jawa-
ban atasannya. Demikian pula ketujuh orang prajurit 
lainnya. Mereka sama-sama menanti dengan dada ber-
debar.
"Hm..., kalian sama sekali tidak berbuat salah. Aku 
hanya ingin berjalan-jalan sambil memeriksa sekitar 
tempat ini. Aku merasa gembira melihat kalian yang 
penuh semangat dalam melaksanakan tugas. Nah, Te-
nangkanlah hati kalian, dan selamat bertugas...," ucap 
lelaki gagah itu.
Senapati Jagaraksa segera melangkah meninggal-
kan kedelapan peronda yang sama-sama menghela na-
pas lega. Mereka kembali membungkuk hormat, saat 
senapati gagah itu berjalan pergi.
"Hm.... Kalau sampai Senapati Jagaraksa keluar 
seorang diri dan memeriksa sekeliling bangunan induk 
ini, pasti bakal ada sesuatu yang terjadi. Meskipun hal 
itu belum pasti, tapi kewaspadaan harus lebih diting-
katkan...," pesan perwira kepala jaga itu.
Rupanya, dia cepat dapat meraba gelagat dari sikap 
atasannya yang menurutnya agak aneh. Dan perasaan 
itu membuatnya harus mengingatkan kawan-
kawannya agar lebih bersiaga.
Dan, apa yang diperkirakan perwira jaga itu me-
mang tidak berlebihan. Saat itu, tidak jauh dari pos 
penjagaan, tampak beberapa sosok bayangan hitam 
berkelebat menuju bangunan induk. Gerakan mereka 
terlihat sangat gesit dan terlatih baik. Sehingga, sedikit 
pun tidak menimbulkan suara mencurigakan saat me-
langkah. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah 
mencapai tingkat tinggi.

Sebagai seorang senapati dan bekas pendekar pe-
tualang, Senapati Jagaraksa sepertinya merasakan ke-
tidakwajaran suasana malam ini. Senapati Jagaraksa 
tahu kebiasaan orang-orang persilatan, apabila ingin 
menyatroni istana selalu melewati jalan atas. Maka ke-
palanya seringkali menengadah ke atap-atap bangu-
nan. Dan suatu ketika ia sempat menangkap sosok-
sosok hitam yang berkelebatan di atas atap bangunan.
"Hm.... Perasaanku rupanya tidak salah. Siapa pu-
la yang berani mati mendatangi istana ini? Dan apa 
pula tujuan mereka...?" desis Senapati Jagaraksa ber-
gumam seorang diri.
Lelaki gagah itu mendekam, merendahkan tubuh-
nya agar tidak terlihat oleh sosok-sosok tubuh di atas 
atap. Dan kalau tidak salah hitung, jumlahnya sekitar 
delapan orang. Melihat cara mereka bergerak, dada 
Senapati Jagaraksa seketika berdebar tegang. Ia sadar, 
kedelapan sosok bayangan hitam itu rata-rata memiliki 
ilmu meringankan tubuh yang beberapa tingkat di atas 
kepandaiannya! Tidak heran kalau lelaki gagah itu 
menjadi terkejut.
"Gila! Hal ini tidak boleh dibiarkan! Aku harus 
memberitahukan yang lain untuk bersiap siaga...," 
gumam Senapati Jagaraksa yang segera berlari menu-
ju pos penjagaan semula yang didatanginya. 
"Hahhh...?!"
Betapa terkejutnya hati senapati gagah itu ketika 
melihat para penjaga di pos telah bergeletakan tewas. 
Hal itu diketahuinya setelah memeriksa kedelapan pra-
jurit jaga yang rata-rata telah tertembus sebatang ja-
rum merah pada bagian leher.
"Keparat! Mereka jelas pembunuh-pembunuh ke-
ji...!" geram Senapati Jagaraksa.
Langsung saja laki-laki gagah itu memukul ken

tongan tanda bahaya dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya. Suara kentongan terdengar bertalu-talu me-
mecah keheningan malam. Kemudian, Senapati Jaga-
raksa telah melesat naik ke atap bangunan, mengejar 
sosok-sosok bayangan hitam yang diduga pasti menuju 
istana tempat kediaman Prabu Pungga Lawa.
"Heaaat..! Hendak lari ke mana kalian, Penjahat-
penjahat Busuk...?!" bentak Senapati Jagaraksa, se-
raya mencabut pedang peraknya dan langsung menye-
rang orang-orang di bawahnya. 
Bettt! 
Trang...! 
"Akhhh...?!"
Senapati Jagaraksa berteriak kaget ketika pedang-
nya dipapaki salah seorang berpakaian hitam. Bahkan 
tubuhnya hampir terpelanting ke tanah. Untung saja, 
ia masih bisa mengimbangi tubuhnya. Sehingga, tu-
buhnya melenting ke udara, lalu mendarat dengan ku-
da-kuda kokoh.
Sementara itu, belasan orang prajurit yang memer-
goki delapan lelaki terbungkus pakaian serba hitam, 
langsung mengeroyok. Namun, tak lama terdengar jeri-
tan susul-menyusul. Sebentar saja, nyawa belasan 
prajurit itu telah melayang akibat pukulan hebat yang 
dilontarkan tujuh orang lelaki berseragam serba hitam 
itu. Sementara orang berseragam hitam yang satu lagi, 
telah melesat menyerang Senapati Jagaraksa.
"Gila! Siapa orang-orang ini...? Kepandaian mereka 
benar-benar hebat! Rasanya aku bukan tandingan me-
reka...!" desis Senapati Jagaraksa.
Laki-laki itu menjadi terkejut bukan main, me-
nyaksikan belasan orang prajurit pilihan yang bertugas 
meronda istana induk, dapat dilumpuhkan hanya da-
lam beberapa gebrakan saja. Betul-betul sukar dapat

dipercaya!
Tapi, senapati gagah itu tidak bisa berpikir lama-
lama, karena saat itu serangan lawan telah datang ba-
gaikan gelombang angin topan yang menggiriskan! Sa-
dar kalau serangan lawan terlalu sukar dibendung, 
Senapati Jagaraksa langsung saja berlompatan men-
jauh.
Namun, gerakan sosok berpakaian serba hitam itu 
benar-benar membuat Senapati Jagaraksa terbelalak 
ngeri. Dengan kecepatan menggetarkan, sosok berpa-
kaian hitam itu terus melesat memperhebat serangan-
nya. Sehingga, lelaki gagah yang terkenal sebagai Pen-
dekar Pedang Perak itu merasa kewalahan menghada-
pinya.
"Hahhh...!"
Senapati Jagaraksa yang sudah tidak punya ke-
sempatan berkelit, mencoba memapak cengkeraman 
lawan dengan mata pedangnya.
Trang!
"Aaakh...!"
Untuk kesekian kalinya, Senapati Jagaraksa me-
mekik kesakitan. Kali ini, rupanya lawan telah me-
nambah kekuatan tenaganya. Buktinya, senapati ga-
gah itu sampai terpelanting dengan lengan terasa lum-
puh dan ngilu.
Plak!
"Uuugh...!"
Meskipun masih berusaha mengelak, tak urung 
bahu kanan Senapati Jagaraksa terkena hantaman te-
lapak tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu 
kembali terpelanting mencium tanah. Darah segar 
tampak meleleh keluar dari sudut bibirnya. Senapati 
Jagaraksa merasakan bahunya bagaikan remuk akibat 
tamparan lawan. Dan rasanya, ia tidak mungkin lagi

bisa menyelamatkan diri dari ancaman pukulan lawan 
yang kembali tiba mengancam.
"Yiaaat..!"
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Se-
napati Jagaraksa, tiba-tiba sesosok tubuh jangkung 
melayang dan langsung menusukkan pedangnya ke 
tubuh orang berpakaian hitam yang tengah meluncur 
ke arah Senapati Jagaraksa. Dan....
Trakkk! Buggg!
"Huagkhhh...!"
Bukan main hebatnya gerakan yang dilakukan so-
sok orang berpakaian hitam itu. Dengan kecepatan 
yang tidak terlihat mata, sepasang tangannya yang 
berbentuk cakar bergerak memapak serangan sosok 
tubuh jangkung. Bahkan langsung dikirimkannya han-
taman telapak tangan secara telak ke tubuh jangkung 
itu.
Sebagai akibatnya, sosok tubuh jangkung yang 
menyelamatkan Senapati Jagaraksa itu harus meneri-
ma kenyataan pahit. Tubuhnya kontan terjungkal ke 
belakang, kemudian disambut tamparan keras oleh sa-
lah seorang dari sosok berseragam hitam lainnya.
Brukkk!
Tanpa ampun lagi, sosok jangkung yang juga ber-
pangkat senapati itu langsung ambruk ke tanah den-
gan kepala pecah. Tentu saja kejadian itu membuat 
Senapati Jagaraksa terpukul.
Untunglah saat itu para prajurit telah banyak ber-
datangan. Sehingga, delapan sosok tubuh tegap berpa-
kaian serba hitam yang kini berkumpul, terperangkap 
dalam kepungan dua ratus lebih prajurit kerajaan. Be-
lasan senapati, perwira, dan punggawa tampak berada 
di depan. Obor-obor ditancapkan di pohon dan tembok 
di sekeliling tempat itu untuk menerangi arena pertempuran yang akan berlangsung sengit.
Senapati Jagaraksa yang juga telah bergabung 
dengan senapati lainnya, menatap tajam delapan sosok 
tubuh itu. Sepertinya, dia hendak mencoba mengeta-
hui orang-orang yang berani mati mendatangi istana 
ini. Namun, tak satu pun dari mereka yang dapat di-
kenali. Wajah-wajah mereka yang pucat, dingin, dan 
kaku, menimbulkan kesan seram bagi siapa saja yang 
mencoba menentang pandangan mata mereka.
"Hm.... Siapa kalian sebenarnya, Pembunuh-
pembunuh Keji?! Apa maksud kalian menyatroni ista-
na kediaman Gusti Prabu Pungga Lawa ini?" bentak 
Senapati Jagaraksa. Jelas-jelas dia merasa penasaran 
terhadap delapan sosok berpakaian serba hitam yang 
tampak demikian aneh itu.
Namun setelah agak lama menunggu, tak juga ter-
dengar jawaban sepatah pun. Akibatnya, Senapati Ja-
garaksa dan para senapati lain menjadi jengkel. Maka 
segera saja para prajurit yang semakin bertambah ba-
nyak itu diperintahkan untuk menyerbu. Biarpun me-
reka sangat sakti bagai dewa, namun pasti ada batas-
nya. Dan untuk melawan ratusan orang prajurit yang 
mengepung rapat, tentu saja mereka tidak akan lolos. 
Meskipun, korban yang jatuh sudah pasti tidak sedikit
"Serbuuu...!"
Tanpa diperintah dua kali, ratusan prajurit Kera-
jaan Mulawarta itu langsung saja bergerak maju. Me-
reka menerjang delapan orang lelaki tegap berpakaian 
serba hitam dengan teriakan-teriakan pertempuran 
yang membahana. Sebentar saja, pertempuran berda-
rah pun pecah.
Senapati Jagaraksa dan para senapati lain segera 
bergerak maju di depan dengan senjata terhunus. Para 
pembesar Kerajaan Mulawarta itu benar-benar merasa

terkejut ketika melihat akibat amukan delapan orang 
lelaki berpakaian hitam. Sebentar saja, belasan orang 
prajurit beterbangan ke sana kemari, laksana laron-
laron yang menghampiri api. Teriakan-teriakan ngeri 
terdengar sahut-menyahut, diiringi percikan darah se-
gar yang membuat halaman istana berubah menjadi 
lautan darah!
Bahkan, bukan hanya para prajurit saja yang jatuh 
menjadi korban amukan pembunuh-pembunuh keji 
itu. Beberapa orang perwira pun tampak tergeletak tak 
berdaya terkena sambaran jari-jari tangan yang mam-
pu memukul pecah sebongkah batu karang besar! Aki-
batnya, keadaan pun semakin bertambah kacau.
Saat pembantaian besar-besaran itu tengah ber-
langsung, tiba-tiba terdengar suara sangkala mening-
kahi riuhnya teriakan kematian. Senapati Jagaraksa 
yang tahu betul tanda itu, segera saja memberi perin-
tah untuk mundur bagi para prajuritnya.
Sementara, delapan lelaki tegap berwajah dingin 
seperti mayat hidup itu sama sekali tidak berusaha 
mendesak ketika lawan-lawannya bergerak mundur. 
Ternyata suara sangkala itu berasal dari rombongan 
orang berkuda yang baru tiba. Sikap mereka yang 
tampak gagah dan berwibawa, tampak diawasi oleh 
empat pasang mata dingin dan menyeramkan. 
"Hm...."
Sosok bertubuh tinggi kokoh yang merupakan 
pimpinan delapan sosok tubuh itu bergumam sambil 
meneliti tiga rombongan yang mengenakan seragam 
berbeda.
Rombongan sebelah kanan berseragam merah da-
rah. Mereka membawa bendera besar bergambar see-
kor naga merah. Tampaknya rombongan itu merupa-
kan pasukan inti Kerajaan Mulawarta yang bernama

Pasukan Naga Merah. Sedangkan dua pasukan lain 
adalah Pasukan Naga Hijau dan Pasukan Naga Hitam.
Melihat munculnya pasukan-pasukan inti yang ja-
rang menampakkan diri itu, membuat para prajurit 
bergerak menyingkir untuk memberi jalan. Meskipun 
agak heran melihat pasukan tersembunyi itu keluar 
dan ingin menangani, namun tak seorang pun dari 
mereka yang berani bertanya. Para prajurit itu hanya 
menatap penuh kagum ke arah rombongan inti Kera-
jaan Mulawarta.
Senapati Jagaraksa pun tidak kalah heran melihat 
munculnya pasukan inti itu. Ia juga tahu, para anggo-
ta pasukan itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, 
hanya beberapa tingkat di bawahnya. Selain itu, setiap 
kelompok mempunyai sebuah ilmu khusus yang bisa 
diterapkan secara berkelompok. Dan ternyata hasilnya 
sangat hebat. Ia sendiri pernah mencoba kehebatan-
nya. Biasanya, pasukan inti itu hanya digunakan un-
tuk menggempur musuh kerajaan yang sangat berba-
haya. Maka tentu saja Senapati Jagaraksa jadi heran 
melihat pasukan itu muncul hendak menangani dela-
pan orang pembunuh ini. Walaupun kedelapan lelaki 
tegap berpakaian serba hitam itu memiliki kesaktian 
tinggi, tapi menurutnya tidak perlu menggunakan pa-
sukan khusus untuk melumpuhkan mereka.
"Maaf, Tuan Panglima...," ucap pimpinan Pasukan 
Naga Merah kepada Senapati Jagaraksa. "Sebenarnya, 
ini memang bukan tugas kami. Tapi, mendengar lapo-
ran kalau mereka sangat berbahaya dan memiliki ilmu 
yang sangat tinggi, Tuan Patih Argadipta memerintah-
kan agar kami segera turun untuk menanganinya. Me-
nurutnya, hal ini untuk mencegah agar korban di pi-
hak kita tidak terlalu banyak. Kuharap, Tuan Senapati 
dapat memakluminya."

"Hm...."
Senapati Jagaraksa hanya bergumam mendengar 
alasan yang dikemukakan Pimpinan Pasukan Naga 
Merah itu. Kepalanya tampak mengangguk perlahan, 
memaklumi dan membenarkan apa yang diucapkan 
Patih Argadipta. Lalu, ia pun segera memberi jalan ke-
pada pasukan itu untuk maju dan meringkus delapan 
orang berseragam hitam yang kini sudah menanti.
Namun, sebelum ketiga pasukan inti dari Kerajaan 
Mulawarta maju lebih dekat, delapan lelaki tegap ber-
wajah pucat tanpa perasaan itu sama-sama mendo-
rongkan telapak tangan ke depan!
Bummm...!
Seketika terdengar ledakan keras yang bagaikan 
hendak mengguncang bumi. Suasana di sekitar tempat 
itu pun menjadi pekat dalam sekejap, oleh debu dan 
tanah yang beterbangan.
"Tutup semua jalan keluar...!" perintah Senapati 
Jagaraksa.
Rupanya senapati ini langsung menyadari siasat 
kedelapan pembunuh itu. Namun karena suasana ge-
lap belum reda, para prajurit tidak dapat menentukan 
arah yang harus dituju. Sehingga, banyak di antara 
mereka yang saling bertabrakan. Tentu saja keadaan 
itu membuat suasana semakin bertambah kacau. 
Bahkan tak ada yang menyadari kalau kedelapan 
orang itu telah bergerak menyingkir.
"Diam di tempat masing-masing...!" terpaksa Sena-
pati Jagaraksa merubah perintahnya, untuk mereda-
kan kegaduhan.
Seketika suasana kembali tenang. Setelah gumpa-
lan debu itu lenyap, barulah disadari kalau delapan 
orang berseragam hitam itu telah lenyap. Maka, Sena-
pati Jagaraksa memerintahkan para prajuritnya untuk

memeriksa sekitar bangunan istana induk.
"Hm.... Menurutku, mereka pasti sudah pergi me-
ninggalkan tempat ini, Tuan Panglima. Tapi, memang 
tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga dan memeriksa 
sekitar istana."
Setelah berkata demikian, Pimpinan Pasukan Naga 
Merah itu pun bergerak meninggalkan tempat ini, ber-
gerak meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dahulu 
memeriksa sekeliling istana untuk memastikan kea-
daan.
Namun, delapan orang lelaki berwajah pucat dan 
berpakaian serba hitam itu seperti lenyap di-telan bu-
mi saja. Seputar istana telah teliti diperiksa. Tapi, so-
sok berseragam hitam yang telah meninggalkan pulu-
han korban itu memang lenyap tanpa jejak.
"Hm.... Lenyapnya mereka, bukan berarti kita boleh 
merasa aman! Perketat penjagaan. Mungkin suatu saat 
mereka akan muncul kembali dan membuat keonaran
di istana," ujar Senapati Jagaraksa, mengingatkan. Da-
lam hatinya, ia berjanji untuk mencari tahu tentang 
kedelapan orang berseragam hitam dari kawan-
kawannya di rimba hijau. Senapati gagah itu segera 
membubarkan pasukannya, setelah menekankan pe-
san-pesannya untuk diingat anggota pasukan.
Demikian pula dua pasukan inti lain. Mereka ber-
gerak meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dahulu 
memeriksa sekeliling istana untuk memastikan kea-
daan.
Namun, delapan orang lelaki berwajah pucat dan
berpakaian serba hitam itu seperti lenyap di telan bu-
mi saja. Seputar istana telah teliti diperiksa. Tapi, so-
sok berseragam hitam yang telah meninggalkan pulu-
han korban itu memang hilang tanpa jejak.
“Hm… Lenyapnya mereka, bukan berarti kita boleh
merasa aman! Perketat penjagaan. Mungkin suatu saat 
mereka akan muncul kembali dan membuat keonaran 
di Istana,” ujar Senapati Jagaraksa, mengingatkan. Da-
lam hatinya, ia berjanji untuk mencari tahun tentang 
kedelapan orang berseragam hitam dari kawan-
kawannya di rimba hijau. Senapati gagah itu segera 
membubarkan pasukannya, setelah menekankan pe-
san-pesannya untuk diingat anggota pasukan.
***
ENAM


"Kita singgah dulu di kedai itu, Praba...," ajak seo-
rang lelaki separuh baya, kepada pemuda gagah yang 
berjalan di sebelahnya. Saat itu mereka tengah me-
langkah menyusuri jalan utama sebuah desa yang cu-
kup ramai dan padat penduduknya.
"Baik, Guru...," sahut pemuda gagah berusia seki-
tar dua puluh dua tahun, yang dipanggil Praba.
Bergegas, mereka melangkah memasuki kedai ma-
kan yang siang itu tampak agak ramai oleh pengun-
jung. Praba berjalan di belakang laki-laki separuh baya 
yang menjadi gurunya ketika memasuki pintu kedai. 
Laki-laki yang tak lain bernama Ki Janala itu berhenti 
sejenak, menyapu ruangan dengan pandangan ma-
tanya yang setajam elang. Kemudian kakinya kembali 
melangkah ketika telah menemukan sebuah meja ko-
song yang terletak agak ke sudut.
Praba berjalan mengikuti langkah kaki Ki Janala. 
Pemuda gagah itu memang tidak banyak bicara, dan 
selalu patuh kepada lelaki setengah baya yang mendi-
dik dan memeliharanya sejak kecil. Kasih sayang dan

ketekunan Ki Janala dalam mendidiknya, membuat 
Praba tahu diri dan tidak banyak menuntut.
Tiba-tiba saja lelaki setengah baya itu menghenti-
kan langkahnya saat melewati sebuah meja. Sepasang 
matanya terbelalak lebar menegasi pemuda tampan 
berjubah putih yang tengah menikmati hidangan ber-
sama seorang dara jelita berpakaian hijau.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Janala setengah 
berbisik dengan wajah gembira. Sehingga, pemuda 
tampan dan dara cantik jelita itu sama-sama mema-
lingkan wajah ke arah suara yang memanggilnya.
"Ki Janala...!" seru pemuda tampan berjubah putih 
yang memang Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih bangkit dan me-
nyalami lelaki setengah baya yang masih kelihatan se-
hat itu.
"Praba...," lanjut Panji ketika melihat pemuda ga-
gah yang berada di belakang Ki Janala.
"Ah! Sungguh gembira aku bisa. bertemu lagi den-
ganmu, Pendekar Naga Putih. Waktu itu, aku belum 
sempat mengucapkan terima kasih atas pertolongan-
mu. Aku benar-benar gembira...," ucap Ki Janala den-
gan wajah berseri-seri. Tampak sekali kalau kegembi-
raannya tidak dapat disembunyikan begitu berjumpa 
Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Kenanga juga bangkit menyalami 
kedua orang guru dan murid itu. Lalu, diajaknya ber-
gabung, karena di tempat itu masih tersisa dua kursi 
lain yang kosong.
'Terima kasih..., terima kasih,..," sambut Ki Janala. 
Segera diajaknya Praba untuk menerima tawaran itu.
"Hm.... Sepertinya kalian berdua telah melakukan 
perjalanan cukup melelahkan. Kalau boleh tahu, hen-
dak ke manakah kalian berdua...?" tanya Panji lagi, setelah memesan makanan kepada pelayan kedai untuk 
Ki Janala dan Praba.
"Sebenarnya sungguh suatu kebetulan yang sangat 
kami harapkan, sehingga dapat berjumpa denganmu di 
tempat ini, Pendekar Naga Putih. Apakah kau sudah 
mendengar tentang kejadian yang menimpa Istana Mu-
lawarta...?" kata Ki Janala sambil meneguk minuman 
yang telah disediakan pelayan kedai.
"Kejadian yang menimpa Istana Mulawarta? Apa 
itu, Ki? Kami sama sekali belum mendengarnya...," 
sentak Panji, menjadi heran ketika mendengar ucapan 
Ki Janala.
"Seorang utusan Ki Jagaraksa mendatangi kedia-
manku. Dia meminta bantuanku untuk menyelidiki de-
lapan orang aneh yang telah memasuki istana bebera-
pa hari yang lalu. Maksud mereka belum jelas. Tapi 
menurut Ki Jagaraksa, mereka pasti hendak berbuat 
jahat. Kedelapan orang itu disebut sebagai Pasukan 
Pembunuh, karena pada saat dipergoki membantai 
banyak prajurit dan perwira kerajaan di malam keja-
dian," jelas Ki Janala dengan nada perlahan. Ia me-
mang tidak ingin kalau berita itu sampai tersebar di 
luar, seperti yang dipesankan Ki Jagaraksa melalui 
utusannya.
"Maksudmu, Ki Jagaraksa yang berjuluk Pendekar 
Pedang Perak?" tegas Panji dengan kening berkerut.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa heran, ka-
rena pernah bahu-membahu menumpas pemberontak 
Malaikat Gerbang Neraka bersama Pendekar Pedang 
Perak. Dan juga telah didengarnya kalau tokoh itu te-
lah mendapat kedudukan yang terhormat di Kerajaan 
Mulawarta bersama Pendekar Laut Selatan.
"Benar! Ki Jagaraksa telah menjabat sebagai salah 
satu senapati kepercayaan Gusti Prabu Pungga Lawa.
Sebenarnya, beliau hendak menghubungimu. Tapi ka-
rena kau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, ak-
hirnya Ki Jagaraksa meminta bantuanku, sekaligus 
untuk mencarimu dan menjelaskan kejadian itu," ja-
wab Ki Janala lagi. Sedangkan Kenanga dan Praba 
hanya menjadi pendengar saja.
"Pasukan Pembunuh...?! Rasanya nama itu baru 
sekarang ini kudengar, Ki. Apakah Ki Jagaraksa tidak 
menceritakan ciri-ciri mereka...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih berusaha memutar otaknya 
untuk mencari tahu, siapa orang-orang yang dijuluki 
Pasukan Pembunuh itu. Tapi setelah sekian lamanya 
memutar otak, tetap saja tidak menemukannya. Maka, 
Panji pun mengerti kalau nama itu pasti belum lama 
muncul.
"Itulah yang masih menjadi tanda-tanya bagiku. Ki 
Jagaraksa hanya mengatakan kalau jumlah mereka 
delapan orang. Wajah mereka rata-rata dingin dan ti-
dak berperasaan dengan tatapan mata kejam seperti 
pembunuh berdarah dingin. Dan, yang membuatku 
terkejut, ternyata Ki Jagaraksa dapat dikalahkan 
hanya dalam waktu kurang dari lima puluh jurus oleh 
seorang dari mereka. Bahkan beliau nyaris tewas di 
tangan Pasukan Pembunuh itu," jawab Ki Janala lagi, 
meyakinkan.
"Eh...?! Sampai demikian hebatkah kesaktian me-
reka?" gumam Panji, seolah tak percaya.
Memang, Pendekar Naga Putih tahu betul, sampai 
di mana kesaktian Pendekar Pedang Perak. Dan kalau 
sampai tokoh itu memuji-muji lawannya, jelas kalau 
kepandaian Pasukan Pembunuh tidak bisa diremeh-
kan. Paling tidak, tentu setingkat dengan Kenanga.
"Bukan hanya itu saja. Dalam suratnya, Ki Jaga-
raksa pun mengatakan kalau kesaktian mereka secara

berkelompok sangat luar biasa! Bahkan mungkin para 
datuk di empat penjuru pun tidak akan sanggup 
menghadapi mereka...," tegas Ki Janala melanjutkan 
keterangannya. Sehingga, membuat Panji jadi terme-
nung sesaat lamanya.
"Hm..., baiklah. Aku akan mencoba untuk menyeli-
diki orang-orang yang dijuluki Pasukan Pembunuh itu. 
Mudah-mudahan aku bisa menemukan mereka...," te-
gas Pendekar Naga Putih.
"Mmm.... Bagaimana kalau kita mencari bersama-
sama, Pendekar Naga Putih? Mungkin kita bisa saling 
bantu...," usul Ki Janala, agak ragu.
"Kurasa itu lebih baik...," jawab Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa tidak enak 
untuk menolak. Ia tidak ingin kalau Ki Janala menjadi 
tersinggung. Walaupun, dalam hal kepandaian Ki Ja-
nala masih jauh di bawah Pendekar Naga Putih. Dan 
hal itulah yang membuat Panji tidak berani menolak.
"Kita berangkat sekarang...?" tanya Ki Janala sam-
bil melihat semua hidangan di atas meja yang telah tak 
tersisa sedikit pun. Panji hanya mengangguk. Setelah 
membayar harga makanan, mereka pun beranjak me-
ninggalkan kedai itu.
***
"Kira-kira ke mana tujuan pertama dalam mencari 
Pasukan Pembunuh itu, Panji...?" tanya Ki Janala.
Kini, laki-laki setengah baya itu menyebut Pende-
kar Naga Putih dengan nama saja, sesuai permintaan 
Panji.
"Hm.... Menurutku, sebaiknya kita datangi datuk 
sesat yang menguasai wilayah timur ini. Di sana kita 
selidiki, bagaimana tanggapan datuk sesat itu setelah

mendengar kemunculan Pasukan Pembunuh. Kalau 
mereka tidak tahu, berarti para datuk itu akan muncul 
dan kemungkinan akan mencari Pasukan Pembunuh. 
Entah untuk bergabung, atau hanya sekadar ingin 
menjajal kepandaian mereka. Dengan begitu, kita akan 
mudah menemukan orang-orang aneh itu...," ungkap 
Panji tentang rencananya.
"Aku setuju. Rasanya, rencana itu merupakan sa-
tu-satunya yang terbaik saat ini...," sambut Ki Janala, 
berseri. 
"Ha ha ha...!"
Pendekar Naga Putih dan yang lainnya menahan 
langkah ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang 
berkumandang dari empat penjuru. Sadar kalau suara 
itu dikirim lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, ma-
ka cepat-cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk me-
lindungi dada agar tidak berguncang.
Dan, baik Pendekar Naga Putih maupun yang lain 
tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat setelah su-
ara gelak tawa itu lenyap, tahu-tahu bermunculan de-
lapan sosok tubuh tegap terbungkus pakaian warna-
warni. Tiap dua orang mengenakan seragam serupa, 
sehingga sekali pandang saja segera diketahui kalau 
mereka itulah yang mungkin disebut sebagai Pasukan 
Pembunuh. Bukti yang menguatkan dugaan Panji, si-
nar wajah yang dingin beku dan sorot mata yang tajam 
liar.
"Mungkinkah mereka yang disebut sebagai Pasu-
kan Pembunuh...?" desis Ki Janala, memperhatikan 
delapan sosok tubuh yang kini telah membentuk ling-
karan, mengurung keempat tokoh persilatan itu.
"Mungkin saja, Ki, menilik dari langkah mereka, je-
las kalau kepandaian mereka sangat tinggi. Selain itu, 
pakaian yang dikenakan, seperti sengaja dibentuk agar
terlihat seperti pasukan kecil. Jadi, besar kemungki-
nan kalau mereka inilah yang disebut sebagai Pasukan 
Pembunuh," jelas Panji. Tentu saja Pendekar Naga Pu-
tih hanya sekadar menduga-duga meskipun ada keya-
kinan kalau perkiraannya tidak meleset.
"Lalu, mengapa mereka sepertinya bermusuhan 
kepada kita...?" tanya Ki Janala lagi.
Pertanyaan itu seperti terdengar bodoh sekali, ka-
rena telah diutarakan sebelumnya. Tapi, Panji hanya 
tersenyum tanpa bermaksud melecehkannya.
"Hm.... Cobalah ajak Praba menyingkir. Aku ingin 
tahu, siapa sebenarnya yang mereka tuju," ujar Panji 
lagi.
Pendekar Naga Putih memang ingin mengetahui, 
siapa yang diinginkan Pasukan Pembunuh itu.
"Kau juga, Kenanga," lanjut Panji kepada kekasih-
nya.
"Tidak, Kakang. Sebaiknya mereka dihadapi ber-
sama-sama. Kalaupun hanya satu orang yang diingin-
kan, tapi kita harus menghadapi mereka bersama-
sama," bantah Kenanga. Memang, gadis itu belum 
mengerti arah ucapan Panji.
'Tenang dulu," sergah Panji menyabarkan dara jeli-
ta itu. "Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya yang 
mereka musuhi. Dengan begitu, kita bisa menebak 
orang yang berdiri di belakang mereka. Karena melihat 
dari gelagatnya, mereka seperti telah dicekoki oleh ra-
cun yang membuat otak lumpuh...."
Kini dara jelita itu sadar akan kekeliruannya. Ma-
ka, kakinya pun melangkah ke belakang.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset. Kedelapan 
orang itu sama sekali tidak mempedulikan mundurnya 
ketiga orang itu. Mereka kini bergerak mengepung 
Pendekar Naga Putih. Jelas sudah, yang diinginkan

mereka ternyata Pendekar Naga Putih!
Melihat hal itu, Kenanga, Ki Janala, dan Praba 
kembali bergerak maju. Tapi, kedelapan orang berwa-
jah dingin itu sama sekali tidak peduli. Mereka terus 
melangkah semakin dekat dan menyebar membentuk 
lingkaran lebar.
"Hm.... Jelas sudah sekarang, akulah yang diingin-
kan. Tapi, orang yang berdiri di belakang mereka aku 
belum bisa menduganya...," gumam Panji, setelah 
mengetahui secara jelas kalau Pasukan Pembunuh itu 
pasti menginginkan kematiannya.
"Kita gempur saja mereka, Kakang...," usul Kenan-
ga.
Saat itu, Kenanga sudah hendak melepaskan Pe-
dang Sinar Rembulan yang melingkari pinggangnya. 
Namun, gerakannya tertahan karena dicegah Panji.
"Kisanak sekalian! Siapakah kalian? Seingatku, ki-
ta belum pernah bertemu sebelumnya. Kalau boleh ku
tahu, apa maksud kalian mencariku...?" tanya Panji, 
lantang. Dirayapinya delapan wajah dingin itu dengan 
sinar mata tajam, seolah-olah ingin membaca pikiran 
mereka.
"Kami adalah Pasukan Pembunuh yang ditugaskan 
untuk melenyapkanmu dari muka bumi ini...!" sahut 
sosok terdepan yang berpakaian serba merah.
Suara orang itu terdengar demikian datar dan din-
gin, tanpa irama. Dan segera saja dapat diduga kalau 
ucapan itu seperti memang telah lama ditanamkan da-
lam benak kedelapan lelaki muda bertubuh tegap itu.
Seluruh tubuh Panji menegang ketika delapan 
orang pembunuh itu melangkah semakin dekat. Bah-
kan, 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya telah bergolak 
melindungi sekujur tubuh. Sehingga, terciptalah kabut 
bersinar putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang.
"Haaak..!"
Mendadak salah seorang yang berada di samping 
kanan Panji memekik aneh. Kemudian, kedelapan 
orang aneh itu berputaran mengelilingi Panji dan ka-
wan-kawannya. Melihat serangan aneh dan belum 
pernah dilihatnya, kening Panji berkerut dalam. Tapi ia 
tidak bisa berpikir lama, karena lingkaran yang dibuat 
kedelapan orang itu terlihat semakin mengecil.
"Awaaas...!"
Panji berseru mengingatkan kawan-kawannya keti-
ka melihat salah satu dari kedelapan sosok tubuh itu 
mencelat keluar dari dalam lingkaran. Dan orang itu 
langsung melontarkan serangan yang menimbulkan 
suara mencicit tajam, ke arah Kenanga!
"Yeaaah...!"
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam. Cepat pe-
dangnya berkelebat menebas. Sayang, gerakan orang 
itu jauh lebih cepat. Tangan yang semula hendak men-
cengkeram, tiba-tiba berputar aneh dengan kecepatan 
mengejutkan. Dan tahu-tahu, Kenanga merasakan 
adanya sambaran angin tajam yang mengancam kepa-
lanya!
Wuttt..!
Dengan gerakan indah, Kenanga memutar tubuh-
nya dengan kuda-kuda rendah. Saat itu, kaki kanan-
nya mencelat naik menuju ulu hati lawan. Tapi, ten-
dangannya ternyata hanya berupa tipuan. Buktinya 
sebelum menyentuh sasaran, kakinya telah ditarik pu-
lang. Bahkan kini digantikan dengan sambaran pedang 
ke leher lawan.
Plakkk!
Hebat dan cepat sekali gerakan menangkis yang di-
lakukan sosok berpakaian biru tua itu. Dan tahu-tahu
saja, Kenanga terpekik mundur beberapa langkah ke 
belakang. Bahkan pergelangan tangannya terasa nyeri 
akibat terbentur sisi telapak tangan lawan. Maka ce-
pat-cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang, ketika 
lawannya telah kembali menerjang dengan tusukan ja-
ri-jari tangan yang membentuk paruh ular.
"Haiiit..!"
Kenanga terus melenting dan berputaran beberapa 
kali untuk menghindari kejaran tangan lawan yang se-
perti ular hidup itu. Dan kakinya baru mendarat, sete-
lah yakin telah terbebas dari ancaman serangan maut 
lawan.
Panji yang akan melesat untuk melindungi Kenan-
ga, terpaksa menahan langkahnya. Karena, sosok ber-
pakaian biru tua itu telah melesat kembali ke dalam 
barisan, dan ikut berputaran bersama tujuh orang 
lainnya.
"Hm..," gumam Panji lirih, melihat cara-cara penye-
rangan lawannya yang aneh itu.
Pendekar Naga Putih sudah bisa meraba, dari ma-
na asal kepandaian delapan orang aneh itu. Hanya sa-
ja hatinya merasa khawatir akan keselamatan Kenan-
ga, Ki Janala, dan Praba. Memang, setelah melihat ge-
rakan salah satu dari mereka yang berhasil membuat 
Kenanga kelabakan, Panji sadar kalau kepandaian la-
wan-lawannya rata-rata berada di atas kepandaian ke-
kasihnya. Tentu saja kenyataan itu membuat hatinya 
cemas.
"Kenanga! Ajaklah Ki Janala dan Praba keluar dari 
lingkaran ini, setelah aku dapat memecah barisan me-
reka. Hm.... Rasanya mereka harus dihadapi dengan 
tenaga gabungan. Dan itu sangat berbahaya bagi ka-
lian, karena bukan tidak mungkin akan terpengaruh 
dan tersiksa oleh hawa panas dan dingin berganti

ganti yang keluar dari tubuhku. Kuharap, kau bisa 
memakluminya...," bisik Panji.
Kenanga mengangguk maklum. Karena, sedikit ba-
nyak sudah bisa dirasakan kehebatan salah seorang 
lawannya.
Semula, Ki Janala dan Praba merasa keberatan 
atas usul yang diajukan Kenanga. Tapi setelah dara je-
lita itu memberikan alasan yang dikatakan Panji, ke-
dua orang itu mau mengerti. Dan kini, mereka bersiap 
menanti isyarat dari Pendekar Naga Putih. 
Setelah melihat kedua orang tokoh itu setuju den-
gan rencananya, Panji mulai mempersiapkan seluruh 
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Apalagi, saat 
itu gerakan lawan semakin bertambah cepat, dan 
membuat pandangan agak kabur. Menyadari hal itu, 
Panji menggoyangkan kepala untuk menetapkan kem-
bali pandangan matanya. Namun, hatinya agak terke-
jut ketika melihat tubuh Kenanga, Ki Janala, dan Pra-
ba yang tampak bergoyang-goyang. Jelas, semua itu 
akibat pengaruh gerakan lawan. Dan kini, Panji baru 
mengerti akan kegunaan gerak berputar lawan-
lawannya. Khawatir pengaruh itu akan semakin men-
jadi, maka Pendekar Naga Putih bersiap untuk meng-
gempur!
“Haiiit…!”
Dengan sebuah lengkingan tinggi, tubuh Panji me-
lesat ke arah samping kanannya. Sepasang telapak 
tangannya yang terbuka, mendorong ke depan dengan 
kekuatan penuh.
Blarrr...! 
Terdengar ledakan keras saat dorongan sepasang 
telapak tangan Panji yang bagaikan badai salju itu 
menghantam sebatang pohon besar! Sedangkan, kede-
lapan sosok tubuh itu telah berlompatan ke kiri dan

kanan menyelamatkan diri. Dan saat itulah, Kenanga, 
Ki Janala, dan Praba melesat lolos dari lingkaran ke-
pungan Pasukan Pembunuh.
Tapi, kedelapan orang itu sama sekali tidak mem-
pedulikan ketiga orang lawan yang meninggalkan are-
na pertempuran. Sebaliknya, mereka berlompatan lak-
sana sambaran kilat di angkasa, menuju Pendekar Na-
ga Putih yang tegak di tengah arena.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Seiring pekikan-pekikan nyaring yang memekak-
kan telinga, kedelapan sosok tubuh itu melesat ke arah 
Pendekar Naga Putih secara berturut-turut. Sambaran 
tamparan dan pukulan terdengar bercicitan, menan-
dakan betapa hebatnya tenaga yang terkandung di da-
lam serangan-serangan mereka.
"Ahhh...?!"
Kenanga tak bisa menahan seruan kagetnya ketika 
melihat kejadian itu. Hatinya kontan berdebar tegang 
melihat keadaan kekasihnya yang tampak benar-benar 
dalam incaran bahaya maut. Tapi, baik Kenanga mau-
pun Ki Janala dan Praba hanya bisa memandang dan 
berdoa demi keselamatan Panji. Mereka sadar betul, 
betapa dahsyatnya gempuran kedelapan orang yang di-
juluki sebagai Pasukan Pembunuh itu.
Panji sendiri sangat terkejut melihat perubahan
yang mendadak itu, tapi sama sekali tidak gentar. Ce-
pat semangatnya dikempos dan tenaga gabungan yang 
maha dahsyat dikerahkannya. 
"Hiaaat..!"
Seiring 'Pekikan Naga Marah' yang merontokkan 
jantung, tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat laksa-
na sambaran kilat di antara serangan lawan-lawannya. 
Kemudian, 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya dikerahkan untuk menghadapi Pasukan Pembunuh. Sebentar saja, 
terjadilah pertempuran maut yang mendebarkan jan-
tung.
Setelah lewat dua puluh jurus, Panji semakin me-
nyadari kehebatan kedelapan orang itu. Dan hatinya 
pun mulai percaya, kalau Pasukan Pembunuh tidak 
segera dilenyapkan, mereka pasti akan menguasai du-
nia persilatan! Buktinya, jangankan tokoh-tokoh per-
tengahan, bahkan tokoh-tokoh puncak di empat pen-
juru pun rasanya tidak mungkin sanggup menghadapi 
mereka.
"Hiaaat..!"
Plakkk! Plakkk!
Serangan dua orang lawan yang mengancam tubuh 
disertai decitan angin tajam, terpaksa disambut Panji 
dengan kedua telapak tangan terbuka. Karena kalau 
tidak berbuat demikian, bukan mustahil kalau Pende-
kar Naga Putih akan celaka oleh serangan lain yang 
juga berdatangan mengincar tubuhnya.
Benturan itu membuat kedua orang lawannya ter-
jajar mundur sejauh setengah tombak. Sedangkan 
Panji sendiri sudah bergulingan menghindari samba-
ran kepala dan tamparan maut dari enam orang lawan 
yang lain.
"Yiaaah...!"
Secara tiba-tiba, tubuh Pendekar Naga Putih yang 
tengah bergulingan, melenting ke udara sambil mele-
paskan tendangan kilat yang menderu tajam. Kemu-
dian, telapak tangan kanannya mengibas menerbitkan 
sambaran angin panas yang menyengat kulit.
Bresssh...!
Tendangan yang dilakukan Panji dapat dielakkan 
lawan. Sedangkan kibasan tangan kanannya, disam-
but dorongan pukulan jarak jauh dari lawan yang di

sebelah kanannya. Akibatnya, tubuh orang itu melesak 
ke dalam tanah, hingga melewati mata kaki. Sementa-
ra Panji sendiri terangkat ke atas akibat kuatnya tena-
ga sakti yang dikerahkan lawan. Namun, kesempatan 
itu cepat digunakannya untuk mengeluarkan jurus 
pamungkasnya.
"Hiaaa...!"
Seiring pekikan melengking tinggi, tubuh Pendekar 
Naga Putih meluncur turun disertai jurus 'Naga Sakti 
Meluruk ke Dalam Bumi'.
Ternyata, kedelapan orang pengeroyok itu sadar 
akan kedahsyatan serangan Pendekar Naga Putih kali 
ini. Terbukti, mereka semua tampak saling berpegan-
gan tangan satu sama lain. Lalu dua orang dari mere-
ka yang berada di kanan dan kiri, mendorongkan sebe-
lah telapak tangan, menyambut gempuran Pendekar 
Naga Putih. Akibatnya.... 
Blarrr...!
Ledakan keras pun bergaung, seiring kepulan debu 
dan bebatuan kecil, serta percikan bunga api. Dari sini 
bisa terlihat, betapa dahsyatnya ledakan yang terjadi.
"Aaakh...?!"
Tubuh Pendekar Naga Putih sendiri terdorong ba-
lik, sejauh dua tombak lebih. Luncurannya baru ber-
henti setelah merobohkan pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa. Tubuh Panji kemudian melorot jatuh, 
dengan wajah agak pucat. Dia berusaha berdiri, 
meskipun agak goyah! Sebenarnya hal itu wajar saja. 
Memang, meskipun tenaga saktinya sangat tinggi dan 
sukar diukur, tapi menghadapi tenaga gabungan dela-
pan orang yang rata-rata bertenaga hebat, tentu saja 
Panji tidak mungkin menang!
Namun yang dialami delapan orang lawannya pun 
tidak kalah hebat. Meski mereka telah menggabungkan
tenaga sakti untuk menahan gempuran lawan, tetap 
saja harus merasakan tenaga dalam Pendekar Naga 
Putih. Walaupun tidak sampai terpental karena Panji 
melakukan gempuran dari udara, tapi tubuh mereka 
telah tertanam hampir sebatas lutut di dalam tanah. 
Jelas, hal itu membuktikan kalau kekuatan tenaga 
gempuran Pendekar Naga Putih memang benar-benar 
luar biasa! 
"Kakang...!"
Kenanga yang menyaksikan tubuh pemuda pu-
jaannya terpental dan membentur pohon besar hingga 
tumbang, segera saja berlari memburu dengan hati 
cemas.
Demikian pula halnya Ki Janala dan Praba. Mereka 
bergegas mendekati Pendekar Naga Putih yang tampak 
mengalami luka dalam cukup parah. Untung saja obat-
obatan yang selalu dibawa Panji sangat manjur. Buk-
tinya setelah pil-pil berwarna putih ditelan, Panji tidak 
perlu khawatir lagi terhadap luka dalamnya.
"Kenanga. Lawan-lawan kita kali ini terlalu tang-
guh. Rasanya, aku tidak akan mampu menghadapi 
mereka sekaligus. Sebaiknya, kalian bertiga segera 
tinggalkan tempat ini. Tunggulah aku di kedai tempat 
kita berjumpa semula. Setelah berhasil mengecoh me-
reka, aku akan menemui kalian untuk mengatur ren-
cana. Kalau menggunakan kepandaian saja, rasanya 
tidak mungkin mereka dapat dikalahkan. Kita harus 
mencari siasat dengan menggunakan otak. Dan kuha-
rap, kalian semua jangan membantah. Semua ini ku-
lakukan demi kebaikan bersama. Nah, sekarang pergi-
lah," ujar Panji, agak perlahan. Keputusan pemuda itu 
jelas sudah tidak bisa dibantah lagi.
'Tapi, bagaimana denganmu, Kakang...?" bantah 
Kenanga.

Tentu saja gadis itu tidak ingin kehilangan keka-
sihnya. Jelas, keputusan Panji belum bisa diterima se-
penuhnya. Malah sepasang mata dara jelita itu tampak 
mulai terselimut mendung.
"Percayalah, Kenanga. Aku akan menemui kalian 
nanti. Pergilah, sebelum terlambat...," ujar Panji lagi 
sambil mengelus wajah jelita yang tampak mendung 
itu.
Karena keputusan Panji sudah tidak bisa dirubah, 
maka Kenanga dengan berat hati menuruti ucapan ke-
kasihnya. Bersama Ki Janala dan Praba, dara jelita itu 
bergerak meninggalkan kekasihnya yang akan meng-
hadapi maut seorang diri!
***
TUJUH


Sepeninggal Kenanga, Ki Janala, dan Praba, Panji 
bergegas bangkit sambil mengempos semangatnya. 
Dengan sorot mata tajam, dirayapinya sosok Pasukan 
Pembunuh yang telah siap melanjutkan pertarungan. 
Dan Panji tidak bisa menyembunyikan keheranannya 
ketika melihat kedelapan orang lawannya kelihatan ti-
dak terluka sama sekali.
"Gila! Sepertinya, orang-orang ini memang sengaja 
dipersiapkan untuk menghadapi lawan tangguh. Mere-
ka pandai sekali membaca gelagat, dan dapat bertin-
dak cepat dalam menghalau serangan yang bagaima-
napun. Satu-satunya cara untuk melumpuhkan, 
hanya dengan memisahkan mereka. Mudah-mudahan 
dengan cara seperti itu, tidak akan sulit menghadapi 
mereka...," gumam Panji, memutar otaknya dalam

mencari cara untuk menghadapi Pasukan Pembunuh. 
Karena disadari kalau kepandaiannya tidak akan 
mampu menghadapi keroyokan mereka.
Berpikir demikian, Panji segera menggeser lang-
kahnya ke kanan dengan lompatan-lompatan pendek.
Sementara, otaknya berpikir keras mencari cara terse-
but. Saat itu juga, terlintas dalam pikiran untuk men-
ciptakan 'Naga Langit' untuk menarik perhatian Pasu-
kan Pembunuh. Sayang, sebelum hal itu sempat dila-
kukan, lawan-lawannya telah berlompatan menerjang.
"Heaaat..!"
Panji bergegas memutar dan memiringkan tubuh-
nya, ketika sebuah kepalan lawan datang mengancam. 
Kemudian, langsung dibalasnya dengan sodokan siku. 
Namun serangan balasan itu terpaksa ditunda, karena 
saat itu juga serangan lawan-lawannya yang lain da-
tang menyusuli secara berturut-turut.
Whuuut! Whuuut!
Dengan melempar tubuh ke samping, Pendekar 
Naga Putih berhasil menghindari tamparan dan ten-
dangan dua orang pengeroyoknya. Tapi baru saja kaki 
kanannya menyentuh tanah, sebuah tendangan keras 
telah mengancam. Mau tak mau, tendangan itu ter-
paksa harus dipapak dengan telapak tangan kirinya.
Plakkk!
Selagi tubuh lawan berputar akibat tangkisannya 
yang amat kuat, Panji langsung mengirimkan tendan-
gan berputar dengan kekuatan hebat. Sayang, kerja-
sama Pasukan Pembunuh demikian kompak dan rapi. 
Sehingga pada waktu tendangannya luput, dua buah 
telapak tangan lawan datang menggedor dadanya.
Bukkk! Desss!
“Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar Naga Putih terjungkal ke belakang. Dengan napas sesak Panji segera 
menghapus tetesan darah yang mengalir di ujung bi-
birnya. Cepat kuda-kudanya diperbaiki dan bersiap 
menerima serangan berikut dari para pengeroyok yang 
memang sangat tangguh.
Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Meski-
pun dadanya agak sesak, namun gerakan Pendekar 
Naga Putih masih belum berkurang. Lesatan tubuhnya 
dalam menghindari serangan lawan dan memberikan 
balasan, membuat pertarungan kembali menjadi sen-
git. Tapi biar bagaimanapun, Panji harus mengakui
kehebatan lawan-lawannya. Mereka benar-benar telah 
dipersiapkan secara sempurna, sehingga Pendekar Na-
ga Putih benar-benar harus menguras semua kesak-
tiannya.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa, 
seratus jurus kembali telah dilalui. Panji yang telah 
banyak mengeluarkan tenaga, mulai merasakan teka-
nan berat dari lawan-lawannya. Maka ketika pertarun-
gan memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji
kembali harus merelakan tubuhnya menjadi sasaran 
pukulan dan tendangan dua orang lawannya.
Tubuh Pendekar Naga Putih kembali terjengkang 
dan jatuh bergulingan. Darah segar kembali menetes 
dari ujung bibirnya, menodai jubahnya yang berwarna 
putih.
"Hhh.... Mungkinkah di sini akhir petualanganku? 
Mereka memang terlalu tangguh bagiku. Melihat dari 
gerakan-gerakan mereka, aku yakin kalau mereka te-
lah dipersiapkan oleh datuk-datuk di empat penjuru 
untuk melenyapkan aku. Buktinya, dasar-dasar gera-
kan mereka sangat mirip dengan yang dimiliki keempat 
datuk sesat itu. Sepertinya, mereka akan berhasil un-
tuk melenyapkan aku...," gumam Panji.

Pendekar Naga Putih segera bangkit dengan tubuh 
lemas, karena telah banyak kehilangan tenaga.
Sementara itu, Pasukan Pembunuh telah berada 
semakin mendekati Panji. Sepertinya, mereka pun da-
pat mengetahui keadaan Pendekar Naga Putih. Terbuk-
ti, langkah mereka tidak terburu-buru dalam meng-
hampiri. Jelas, mereka telah sangat yakin akan segera 
dapat melenyapkan Pendekar Naga Putih.
Melihat gerak langkah Pasukan Pembunuh yang 
seperti sengaja bergerak lambat, Panji pun tidak ingin 
membuang kesempatan baik ini. Cepat matanya dipe-
jamkan dan pikirannya disatukan dengan Pedang Naga 
Langit yang menyatu ke dalam tubuhnya. Tak berapa 
lama kemudian,
"Naga Langit...'"
Terdengar bentakan mengguntur seiring terbu-
kanya sepasang mata pemuda gagah itu. Dan.., yang 
terjadi kemudian benar-benar membuat Pasukan Pem-
bunuh tersentak bagaikan disengat lebah! Memang, 
hampir bersamaan dengan bentakan Pendekar Naga 
Putih, terdengar ledakan petir yang sambung-
menyambung. Bahkan langit seperti tertutup men-
dung, gelap untuk beberapa saat lamanya.
Pasukan Pembunuh bergerak mundur ketika meli-
hat pijaran cahaya keemasan memenuhi arena perta-
rungan. Ketika kepala mereka tengadah ke arah pija-
ran sinar itu, terdengarlah pekikan laksana ratusan 
guntur di angkasa!
"Kreaaaaghhh...!"
Tiba-tiba sesosok makhluk mengerikan yang hanya 
ada dalam dongeng, muncul dengan segala perba-
wanya. Tentu saja, pemandangan itu membuat Pasu-
kan Pembunuh tersurut mundur. Tanpa sadar, mereka 
terpisah begitu menatap ke arah binatang raksasa

yang mengerikan itu.
Melihat kenyataan itu, Panji melesat ke arah empat 
orang anggota Pasukan Pembunuh yang telah terpisah.
"Haaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, Pendekar Naga 
Putih menerjang keempat orang lawannya mempergu-
nakan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang menjadi andalan-
nya. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga 
bergerak susul-menyusul disertai hembusan angin 
dingin menusuk tulang. Tentu saja serangan itu mem-
buat keempat orang lawan terkejut, dan cepat bergerak 
melakukan perlawanan.
Kali ini, Panji tidak merasa khawatir kalau empat 
orang Pasukan Pembunuh lain akan datang memban-
tu. Memang, Naga Langit telah diperintahkan untuk 
menghadapi keempat orang lawannya yang lain. Se-
hingga, kini pertempuran pun terpecah menjadi dua.
Panji sendiri telah memusatkan seluruh perhatian 
untuk melenyapkan keempat orang lawannya selekas 
mungkin. Karena biar bagaimana pun, keempat orang 
lawannya tetap masih sangat tangguh, dan tidak mu-
dah ditundukkan dalam waktu singkat.
"Haiiit..!"
Ketika pertarungan telah berlangsung selama lima 
puluh jurus, tiba-tiba Pendekar Naga Putih memekik 
tinggi. Tubuhnya bergerak bagai sambaran kilat di 
angkasa mengincar dua orang lawannya.
Desss! Breeet!
"Auuughhh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok 
itu terjungkal ke tanah. Bahkan seorang di antaranya 
langsung menggelepar kedinginan akibat hantaman te-
lapak tangan Pendekar Naga Putih yang mengandung
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya. Akibatnya, 
tentu saja orang itu langsung tewas dengan urat-urat 
tubuh membeku. Sedangkan lawan yang seorang lagi 
tampak berusaha bangkit, meski dengan tubuh berlu-
muran darah. Memang, lambung orang itu telah terke-
na cakar naga Panji. Dan kini, orang itu berusaha 
hendak melakukan perlawanan membantu kawan-
kawannya.
Panji tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik 
itu. Meskipun dua orang lawannya yang lain telah ber-
gerak menggempur, pemuda itu sama sekali tidak keli-
hatan gentar lagi. Karena, kini mereka tidak bisa lagi 
menggunakan ilmu gabungan secara sempurna. Dan 
hal itu membuat Panji dapat bergerak leluasa untuk 
menghadapi gempuran kedua lawannya.
"Heaaah...!"
Bettt! Bettt!
Sambaran cakar-cakar lawannya dengan mudah 
dielakkan Pendekar Naga Putih. Bahkan langsung da-
pat membalasnya dengan kibasan lengan kanan ke 
tengkuk salah seorang lawan. Akibatnya, orang itu 
langsung terjerunuk dan tewas dengan tulang leher 
patah. Sementara yang seorang lagi punggungnya telah 
dihantam dengan telapak tangan kiri, kemudian dis-
usul tendangan berputar yang telak singgah di rahang.
Kraaak...!
Terdengar bunyi tulang rahang patah akibat ten-
dangan maut Pendekar Naga Putih! Tanpa ampun lagi 
tubuh orang itu langsung ambruk dan tewas, dengan 
tulang rahang patah, dan bagian dalam tubuh rusak.
Begitu kedua orang lawan ambruk, Panji yang me-
rasakan adanya angin keras dari arah belakang segera 
merunduk. Sehingga, cengkeraman yang siap mere-
mukkan batok kepalanya luput dari sasaran. Lalu, cepat-cepat tubuhnya berbalik dan mengirimkan kedua 
telapak tangannya ke dada lawan yang telah terluka 
oleh cakarannya.
Bresssh...!
Tubuh orang yang malang itu langsung melambung 
ke udara, dan terbanting jatuh ke tanah. Orang itu 
kontan tewas dengan tulang dada remuk! Darah segar 
tampak mengalir keluar dari mulutnya.
"Hm...," Panji bergumam datar sambil menghem-
buskan napas penuh kelegaan.
Di pertarungan lain, ternyata Naga Langit telah 
membereskan empat orang Pasukan Pembunuh lain-
nya. Terbukti, Panji melihat adanya empat sosok 
mayat yang hangus bagaikan terbakar. Pemuda itu 
pun mengerti kalau kematian mereka karena sembu-
ran api dari mulut Naga Langit.
Melihat adanya sebilah pedang yang tergeletak di 
rerumputan, Panji pun tahu kalau Naga Langit telah 
kembali berubah wujud setelah menyelesaikan tugas-
nya dengan baik. Kembali, pedang mukjizat itu disatu-
kan ke dalam tubuhnya. Lalu, Pendekar Naga Putih
bergerak hendak menemui Kenanga serta dua orang 
tokoh sahabatnya.
***
"Sudahlah, Kenanga. Tidak perlu terlalu mence-
maskan keselamatan Panji. Aku percaya, pemuda se-
perkasa dan semulia dia akan dapat selamat dan dilin-
dungi Tuhan. Sebaiknya, kita berdoa saja untuk kese-
lamatannya...," hibur lelaki setengah baya kepada data 
jelita berpakaian serba hijau yang berjalan di sebelah 
kiri. Siapa lagi mereka kalau bukan Ki Janala dan Kenanga.

"Benar, Kenanga. Aku pun percaya akan kesaktian 
Pendekar Naga Putih. Ia pasti akan menemukan cara 
untuk menghadapi Pasukan Pembunuh yang sangat 
tangguh itu. Kalaupun belum menemukan cara, Ka-
kang Panji pasti bisa meloloskan diri untuk menemui 
kita...," timpal Praba yang berjalan di sebelah kanan Ki 
Janala. Ia pun merasa suka dan kagum terhadap Pen-
dekar Naga Putih. Dia mengharapkan agar pemuda itu 
dapat selamat.
"Hhh...."
Kenanga hanya menghela napas dengan wajah ma-
sih terselimut kecemasan. Rupanya, ia belum bisa te-
nang kalau kekasihnya belum muncul. Sehingga, Ki
Janala dan Praba pun memaklumi apa yang dirasakan 
dara jelita itu. Memang, dalam hati mereka berdua pun 
terbersit kekhawatiran terhadap nasib Pendekar Naga 
Putih. Hanya saja, hal itu berusaha disembunyikan 
agar tidak terlihat Kenanga.
"Yahhh.... Mudah-mudahan saja Kakang Panji se-
lamat, dan bisa menemui kita...."
Akhirnya, hanya ucapan lirih itu yang keluar dari 
bibir indah milik Kenanga.
"Kami berdua pun berharap demikian...," desah Ki 
Janala dengan tatapan mata menerawang jauh ke de-
pan.
Namun tiba-tiba lelaki tua itu mengerutkan ke-
ningnya. Langkahnya terhenti sambil tetap meman-
dang ke depan.
"Ada apa, Guru...?" tanya Praba.
Rupanya, pemuda itu sempat heran melihat Ki Ja-
nala yang berhenti tanpa sebab. Tapi begitu mengikuti 
pandang mata gurunya, pemuda itu pun mengerutkan 
kening. Seketika pandangan matanya dipertajam.
Kenanga yang melihat sikap Ki Janala dan murid

nya jadi heran. Tanpa berkata-kata, matanya menatap 
lurus ke depan, mengikuti pandangan mata guru dan 
murid itu. Dan jantung dara jelita itu seketika berde-
gup kencang saat melihat adanya empat sosok tubuh 
yang tampak berdiri terlindung pohon besar yang ber-
jarak delapan tombak dari tempat mereka berdiri. Da-
rah di tubuhnya kini mengalir cepat ketika secara sa-
mar-samar mengenali empat sosok tubuh yang jelas-
jelas hendak menghadang perjalanan mereka.
"Celaka...!" desis dara jelita itu, tegang. Rupanya, 
keempat sosok tubuh yang tengah menanti mereka itu 
dapat dikenalinya.
"Siapa mereka, Kenanga...?" tanya Ki Janala. Ru-
panya lelaki setengah baya itu belum mengenal keem-
pat sosok tubuh yang berdiri menghadang. Sedangkan 
Praba hanya menatap wajah gadis jelita itu dengan so-
rot mata minta penjelasan.
"Mereka..., empat datuk sesat yang mendendam 
kepadaku dan Kakang Panji. Hm..., tahulah aku seka-
rang. Rupanya Pasukan Pembunuh mempunyai hu-
bungan dengan mereka. Itu sebabnya mengapa hanya 
Kakang Panji yang diincar...," gumam Kenanga, sekali-
gus menjawab pertanyaan Ki Janala. Sehingga, tokoh 
tua itu tersentak kaget dan menjadi tegang wajahnya.
"Maksudmu, mereka itu gembong-gembong kaum 
sesat dari empat penjuru...?" desis Ki Janala.
Tampaknya, orang tua ini masih belum bisa per-
caya dengan keterangan Kenanga yang memang ku-
rang jelas. Dan setahunya, keempat orang datuk sesat 
itu hampir tidak pernah terlihat bersama-sama. Hal 
itulah yang membuatnya merasa ragu dan belum bisa 
mempercayai keterangan Kenanga.
"Pandanganku pasti tidak salah, Ki. Aku dan Ka-
kang Panji telah beberapa kali berjumpa dan bentrok

dengan mereka. Dan melihat bentuk tubuh dan pa-
kaiannya, jelas mereka adalah Raja Iblis Jubah Merah, 
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan Kunti-
lanak Bukit Mandau...," urai Kenanga, benar-benar 
merasa yakin pandangannya tidak salah.
'Tapi, apa maksud mereka menanti kedatangan ki-
ta...?" tanya Ki Janala, lagi-lagi mengeluarkan perta-
nyaan bodoh. Memang, orang-orang sesat seperti 
keempat orang datuk itu, tentu tidak mempunyai mak-
sud lain kecuali berbuat kejahatan.
"Hm.... Pasti akulah yang dituju, dan bukan kalian. 
Tapi, aku tidak akan gentar menghadapi mereka...!" te-
gas Kenanga dengan sepasang mata berkilat penuh 
amarah.
Tangan kanan gadis itu segera meraba gagang pe-
dang ketika melihat empat calon lawannya bergerak 
menghampiri. Rupanya, mereka tidak sabar menunggu 
kedatangan Kenanga, Ki Janala, dan Praba.
"Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ber-
sama-sama, Kenanga. Kalau memang harus tewas, apa 
boleh buat..," timpal Ki Janala. Seketika seluruh otot 
tubuhnya mengejang, siap menghadapi pertarungan 
mati-matian.
Demikian pula halnya Praba. Pemuda tampan ber-
tubuh tegap dan berkulit coklat itu juga telah siap ber-
tarung. Meski disadari kalau kepandaiannya tidak 
mungkin sanggup melindunginya dari empat orang da-
tuk sesat itu, tapi hatinya sama sekali tidak gentar. 
Sebagai pemuda gemblengan Ki Janala yang telah dije-
jali sifat-sifat kependekaran, Praba pun siap untuk ma-
ti demi membela kebenaran.
"Ha ha ha...! Kau lihat, Panglima Sesat. Meskipun 
tanpa naga jantan, tapi naga betina itu masih saja ber-
sikap garang. Kasihan, ia sama sekali tidak tahu kalau

pemuda pujaannya telah tewas direncah pasukan kecil 
kita...," kata lelaki pendek gemuk yang mengenakan
jubah merah sambil tertawa terbahak-bahak, begitu ti-
ba di depan Kenanga dan kedua orang temannya. Le-
laki gemuk brewok itu dikenal sebagai Raja Iblis Jubah 
Merah.
"Benar, Raja Iblis. Tapi, aku bersedia menggantikan 
naga jantan untuk menemani naga betina yang cantik 
seperti bidadari itu. Aku memang telah lama mengin-
ginkannya untuk menjadi permaisuri ku. Dan rasa-
rasanya, hari ini keinginanku itu akan segera terlaksa-
na...," timpal lelaki tinggi kekar berpakaian panglima 
kerajaan.
Orang itu adalah Datuk Panglima Sesat, yang me-
mang sudah lama menyukai Kenanga. Tentu saja ha-
tinya menjadi gembira melihat dara jelita itu telah be-
rada di depan matanya. Bahkan sebentar lagi akan se-
gera menjadi miliknya.
Dua orang lainnya yang tak lain dari Memedi Ka-
rang Api dan Kuntilanak Bukit Mandau hanya tertawa 
mendengar ucapan kedua orang kawannya. Jelas, me-
reka telah merasa yakin kalau Pendekar Naga Putih ti-
dak akan selamat dari tangan Pasukan Pembunuh 
yang telah dipersiapkan secara sempurna.
"Hm.... Sudah kuduga, manusia-manusia busuk 
seperti kalianlah yang menjadi biang keladi dari semua 
ini. Tapi, mengapa kalian mengirim Pasukan Pembu-
nuh itu ke istana?! Apakah kalian masih ingin mem-
bunuh Gusti Prabu Pungga Lawa...?!" geram Kenanga, 
yang sudah menghunus senjatanya.
"He he he...! Mengapa kau masih saja galak, Bida-
dari ku? Tindakan kami itu hanya sekadar coba-coba. 
Tapi kalau bisa, memang kami hendak membunuh raja 
yang tak becus memerintah itu. Selain itu, juga untuk

mengundang munculnya Pendekar Naga Putih. Karena 
biasanya, pemuda sombong itu akan muncul apabila 
mendengar peristiwa-peristiwa yang mengundang jiwa 
pendekarnya yang sok itu...," sahut Memedi Karang 
Api sambil melangkah maju tiga tindak. Tindakannya 
membuat Kenanga, Ki Janala, dan muridnya bergerak 
mundur dengan otot-otot semakin menegang.
"Hm.... Kalian memang manusia-manusia jahanam 
yang pengecut dan tidak tahu malu. Tapi, jangan ha-
rap akan dapat berbuat sesuka hati, selagi aku dan 
Kakang Panji masih berdiri tegak. Sampai mati pun, 
kami akan tetap menentang manusia-manusia jahat 
seperti kalian...!" sahut Kenanga tanpa rasa gentar se-
dikit pun. Bisa diduga kalau dara jelita itu telah berte-
kad untuk melawan sampai titik darah penghabisan.
"Hm.... Seharusnya sebagai tokoh terpandang, ka-
lian merasa malu. Rasanya para tokoh persilatan akan 
menertawakan perbuatan kalian, apabila sampai ter-
sebar di luaran kalau empat datuk yang berkepan-
daian tinggi harus mengeroyok, hanya untuk mengha-
dapi kami bertiga. Benar-benar menggelikan...!" kata Ki 
Janala.
Rupanya dia sadar kalau tidak mungkin sanggup 
menghadapi ketiga orang datuk itu. Makanya, dico-
banya untuk mengadu kecerdikan, dengan memancing 
harga diri para datuk itu.
Tapi orang-orang golongan sesat seperti keempat 
datuk itu, mana peduli segala macam aturan. Sehing-
ga, ucapan Ki Janala hanya disambut tawa mereka. 
Jelas, pancingan Ki Janala tidak berhasil. Bahkan 
keempat datuk itu mulai bergerak mendekat. Maka, 
Kenanga dan kawan-kawannya segera melintangkan 
pedang di depan dada, siap menghadapi serangan lawan

DELAPAN

"Hm.... Biar aku yang menangkap naga betina yang 
cantik seperti bidadari itu...," pinta Datuk Panglima 
Sesat sambil memperdengarkan tawanya yang mengge-
tarkan jantung. Sedangkan ketiga orang datuk lainnya 
hanya tertawa.
"Kalau begitu, bagianku adalah pemuda tampan 
gagah itu. He he he.... Pasti menyenangkan mempu-
nyai sahabat baik seperti pemuda gagah yang akan 
menemaniku sepanjang hari...," kata Kuntilanak Bukit 
Mandau sambil terkekeh genit, ketika menegasi wajah 
dan sosok murid Ki Janala. Sehingga, wajah Praba 
menjadi merah, karena sudah tahu maksud nenek ca-
bul itu.
"Hm.... Kau boleh memiliki mayatku, Nenek Cabul" 
geram Praba yang menjadi marah mendengar ucapan 
Kuntilanak Bukit Mandau. Jelas, pemuda itu harus 
melawan mati-matian kalau tidak ingin jatuh ke dalam 
pelukan nenek berwatak cabul ini.
Kenanga sendiri merasa ngeri membayangkan di-
rinya akan jatuh ke dalam pelukan Datuk Panglima 
Sesat. Karena biarpun sosoknya tidak terlalu mena-
kutkan dan bisa dibilang cukup gagah, tapi hatinya je-
las merasa ngeri kalau harus melayani manusia bengis 
seperti datuk sesat itu. Tentu saja gadis itu lebih rela 
mati ketimbang harus menerima hinaan dari gembong 
kaum sesat ini.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api 
yang merasa tidak mendapat bagian sama-sama me-
langkah mundur, karena Ki Janala telah menghadapi 
Kuntilanak Bukit Mandau. Rupanya, orang tua itu in-
gin membantu muridnya untuk menghadapi nenek

bertubuh bungkuk udang yang ternyata memiliki wa-
tak cabul.
"Heaaah...!"
Datuk Panglima Sesat yang sudah tidak sabar in-
gin segera menangkap tubuh ramping Kenanga, segera 
melompat dengan lengan terkembang. Kenanga tentu 
saja tidak tinggal diam. Pedang Sinar Rembulan di 
tangan kanannya segera bergerak menyambut serga-
pan lawan.
Bettt..!
Terdengar suara berdesing ketika pedang pusaka 
itu mengibas, hendak membabat pubis lengan Datuk 
Panglima Sesat. Tapi, tokoh bertubuh raksasa itu keli-
hatannya sama sekali tidak peduli. Tangan kanannya 
yang mengibas, bermaksud memapak tebasan pedang 
dara jelita itu.
Kenanga yang tahu kalau kekuatannya pasti kalah, 
tidak mau bertindak bodoh. Pedangnya diputar sede-
mikian rupa, dan langsung meluncur ke arah tenggo-
rokan lawan.
Plakkk!
Gerakan Datuk Panglima Sesat memang benar-
benar luar biasa! Tangan kanannya yang semula men-
gibas, bergerak cepat dan menepiskan tusukan pedang 
lawannya. Akibatnya, tubuh Kenanga terdorong bebe-
rapa langkah ke belakang. Memang, tenaganya masih 
beberapa tingkat di bawah datuk sesat itu. Sehingga, 
benturan itu membuatnya rugi.
Tapi, gadis jelita yang gagah itu sama sekali tidak 
kehilangan akal. Cepat kuda-kudanya diperbaiki, dan 
kembali menerjang dengan jurus-jurus ampuh. Jurus-
jurus pedang gabungannya memang tidak bisa dipan-
dang remeh. Akibatnya, Datuk Panglima Sesat harus 
sungguh-sungguh melayani gempuran dara jelita itu.

Dan kini, pertempuran pun semakin seru.
Di bagian lain, Ki Janala dan Praba harus mengu-
ras seluruh kepandaian dalam menghadapi gempuran-
gempuran Kuntilanak Bukit Mandau. Untungnya, ne-
nek sakti itu hanya ingin menangkap Praba hidup-
hidup. Dan tentu saja hal itu tidak mudah dilakukan, 
apalagi Ki Janala dan Praba bertarung mati-matian 
bagaikan banteng terluka. 
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Praba menusukkan pe-
dang ke arah ulu hati nenek bungkuk udang itu. 
Sayang, kecepatan gerak pemuda itu masih kalah 
jauh. Sehingga, ketika Kuntilanak Bukit Mandau me-
mapak dengan tongkat hitamnya, Praba tidak sempat 
menarik pulang serangannya.
Trakkk!
"Aaah...!"
Karuan saja tubuh pemuda itu terpelanting dan ti-
dak sanggup mempertahankan kuda-kudanya. Tu-
buhnya kontan terbanting, jatuh ke tanah. Sedangkan 
saat itu, Kuntilanak Bukit Mandau sudah menyusuli 
tangkisannya dengan totokan ujung tongkat yang siap 
melumpuhkan.
Ki Janala yang tidak ingin muridnya tertawan Kun-
tilanak Bukit Mandau, segera melesat dengan samba-
ran pedang yang menimbulkan suara mengaung tajam. 
Tapi, ternyata nenek bertubuh bungkuk udang itu ber-
tindak lebih cekatan. Tongkat hitamnya diputar-putar
membentuk lingkaran yang menimbulkan putaran an-
gin keras! Belum lagi Ki Janala dapat menyadarinya, 
tahu-tahu saja ujung tongkat hitam itu telah meluncur 
ke arah tenggorokannya!
"Aihhh...?!"
Sebisa-bisanya, Ki Janala menghindar dengan me

lempar tubuhnya ke samping. Sayang, gerakannya 
masih kalah cepat dengan ujung tongkat Kuntilanak 
Bukit Mandau. Meskipun nyawanya dapat disela-
matkan, tapi terpaksa harus menerima hantaman 
ujung tongkat pada bahu kanannya.
Tukkk!
"Akhhh...!"
Ki Janala kontan memekik kesakitan. Tubuhnya 
terlempar dan terbanting jatuh. Bahkan pedangnya 
sudah terlepas dari genggaman, karena totokan ujung 
tongkat lawan telah melumpuhkan tangan kanannya.
"Yiaaa...! Mampus kau...!" bentak Kuntilanak Bukit 
Mandau sambil mengayunkan tongkat hitamnya, siap 
meremukkan tubuh Ki Janala yang saat itu masih be-
rusaha bangkit! 
Plakkk!
Namun tiba-tiba saja, sesosok bayangan bersinar 
putih keperakan melayang dan langsung memapaki 
hantaman tongkat yang mengancam jiwa Ki Janala. 
Akibatnya, hebat sekali. Tubuh Kuntilanak Bukit 
Mandau terlempar ke belakang. Untunglah nenek itu 
masih sempat bertindak cepat, dengan melenting ke 
udara dan berputaran. Kemudian, kakinya mendarat 
ringan tanpa menderita apa-apa.
"Pendekar Naga Putih...!" Sebuah seruan terdengar 
dari mulut Kuntilanak Bukit Mandau, Raja Iblis Jubah 
Merah, dan Memedi Karang Api. Enam pasang mata itu 
membelalak seperti tengah melihat hantu di siang bo-
long! Jelas, mereka sangat terkejut melihat kemuncu-
lan pemuda sakti itu. Sedangkan Datuk Panglima Se-
sat tidak ikut berseru, karena harus menghadapi Ke-
nanga.
Sosok bersinar putih keperakan yang tak lain dari 
Panji, sama sekali tidak mempedulikan keterkejutan

tiga orang datuk sesat itu. Kini, tubuhnya telah me-
layang ke arah pertarungan lain. Bahkan langsung di-
kirimkannya sebuah pukulan jarak jauh ke arah Da-
tuk Panglima Sesat yang saat itu tengah mendesak 
Kenanga.
Whusss...!
Merasakan adanya sambaran angin tajam dari
samping kiri, Datuk Panglima Sesat cepat mengi-
baskan lengan menyambut datangnya pukulan jarak 
jauh itu. Tokoh bertubuh raksasa itu pun sepertinya 
memahami terhadap serangan berkekuatan hebat. 
Maka separuh lebih dari tenaganya telah dikerahkan 
untuk memapaknya. Namun sayang, ia tidak tahu ka-
lau penyerangnya adalah Pendekar Naga Putih. Se-
hingga, rugilah datuk sesat itu.
Plarrr...!
Dua gelombang tenaga dalam itu pun saling ber-
benturan di udara, menimbulkan ledakan keras. Bah-
kan, Datuk Panglima Sesat hampir terpelanting, kare-
na kecerobohannya. Untung saja kuda-kudanya bisa 
dikuasai, sehingga tubuhnya hanya agak terhuyung 
akibat benturan keras tadi.
Merasa penasaran dengan kenyataan yang dialami, 
Datuk Panglima Sesat mengangkat kepala hendak me-
lihat orang yang berani mati menyerangnya.
"Pendekar Naga Putih,..?!" desis Datuk Panglima 
Sesat. Rupanya, dia terkejut bukan kepalang ketika 
mengenali sosok yang menyerangnya tadi. Hampir-
hampir pandangan matanya tidak dipercayai. Sebab 
menurut pikirannya, Pendekar Naga Putih pasti telah 
tewas di tangan Pasukan Pembunuh.
"Hm.... Mengapa kau terkejut melihatku, Datuk 
Panglima Sesat? Aku masih hidup, dan bukan han-
tu...," ledek Panji, sambil tersenyum melihat wajah tokoh yang seperti orang bodoh itu.
Kenanga yang mendengar seruan Datuk Panglima 
Sesat, segera saja menoleh ke arah Panji. Dan lang-
sung disambutnya kedatangan pemuda tampan berju-
bah putih itu dengan penuh kegembiraan. Kecema-
sannya seketika lenyap, begitu sosok kekasihnya telah 
muncul tanpa menderita apa-apa.
"Kakang.... Syukurlah kau selamat..," ucap Kenan-
ga sambil memegang lengan Panji. Pendekar Naga Pu-
tih hanya tersenyum sambil membelai rambut dara je-
lita itu.
"Seperti yang kau lihat, Kenanga. Sekarang, me-
nyingkirlah. Manusia-manusia sesat itu memang harus 
dilenyapkan demi ketenangan umat manusia...," ujar 
Panji.
Kenanga menuruti kata-kata Panji tanpa memban-
tah. Dara jelita itu segera berkumpul bersama Ki Jana-
la dan Praba yang bergegas menjauhi arena.
Panji sendiri telah berdiri tegak berhadapan dengan 
keempat datuk sesat itu. Tangan kanannya tampak te-
lah menggenggam Pedang Naga Langit. Rupanya, Pen-
dekar Naga Putih hendak melawan datuk-datuk sesat 
itu dengan menggunakan pedang mukjizatnya.
"Hm.... Apakah kalian kira Pasukan Pembunuh itu 
dapat melenyapkanku...?" kata Panji, ketika melihat 
tatapan mata keempat orang lawannya yang seperti be-
lum percaya akan penglihatan mereka. "Pasukan Pem-
bunuh yang kalian ciptakan telah melayat ke akhirat. 
Jadi, sebaiknya kalian bersiaplah menyusul...."
Keempat orang datuk itu saling berpandangan satu 
sama lain. Jelas sekali, ada pancaran kegentaran di 
mata mereka. Betapa tidak? Kalau sampai Pasukan 
Pembunuh tidak mampu melenyapkan Pendekar Naga 
Putih, apalagi mereka yang jelas-jelas tidak mampu

untuk menghadapi pasukan ciptaan mereka.
"Hm.... Tapi jangan menepuk dada dulu, Pendekar 
Naga Putih! Kalau Pasukan Pembunuh tidak sanggup 
melenyapkanmu, kami berempat akan menyelesaikan 
tugas itu...!" geram Datuk Panglima Sesat, seraya men-
cabut sebilah golok besar yang terselip di pinggangnya.
Demikian pula ketiga orang datuk sesat lainnya. 
Mereka juga bersiap mengeroyok Pendekar Naga Putih. 
Dan kini, keempat datuk sesat itu tampak mengepung 
lawannya.
"Hm...!"
Panji hanya bergumam lirih melihat gerakan la-
wannya. Perlahan, pedang di tangan kanannya berge-
rak melintang naik ke atas kepala, menerbitkan sinar 
berkeredep yang menyilaukan mata. Sekujur tubuhnya 
pun telah terbungkus kabut bersinar putih keperakan 
yang membentengi diri dalam jarak tiga jengkal. Jelas, 
Pendekar Naga Putih telah mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga saktinya dalam menghadapi keempat 
orang datuk sesat itu.
"Haaat..!"
Datuk Panglima Sesat membuka serangan dengan 
sambaran golok besarnya yang mengerikan. Terdengar 
suara mengaung bagaikan ratusan lebah marah, keti-
ka senjata itu datang mengancam tubuh Pendekar Na-
ga Putih.
Panji cepat-cepat berkelit dengan egosan tubuhnya. 
Dan begitu serangan pertama lawan luput, tubuhnya 
cepat melesat ke samping menyambut Raja Iblis Jubah 
Merah. Tentu saja tokoh itu menjadi terkejut, karena 
tidak menyangka sama sekali kalau Pendekar Naga Pu-
tih akan menyerang dirinya, dan bukan Datuk Pangli-
ma Sesat. Tapi sebagai tokoh kawakan, ia tidak menja-
di gugup. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke samping

dengan lompatan panjang, karena sambaran pedang 
lawan menebarkan hawa panas yang menyengat kulit.
Saat itu, tongkat hitam Kuntilanak Bukit Mandau 
datang hendak menotok jalan darah kematian di teng-
kuk lawan. Dan tentu saja Pendekar Naga Putih tidak 
sudi menyerahkan tengkuknya jadi sasaran totokan 
ujung tongkat lawan Cepat senjatanya diputar, lang-
sung memalangi tengkuk.
Trang...!
“Uhhh...!”
Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tu-
buhnya kontan terjajar mundur akibat tangkisan Panji 
yang mengandung tenaga dalam tinggi. Belum lagi ne-
nek bertubuh bungkuk udang itu sempat memperbaiki
kuda-kudanya, tahu-tahu saja pedang di tangan Pen-
dekar Naga Putih telah menyambar dengan kecepatan 
menggetarkan jantung!
"Aihhh...!"
Tentu saja serangan itu membuat Kuntilanak Bukit 
Mandau memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan 
bergulingan menjauh. Sehingga, sambaran pedang 
Panji hanya mengenai angin kosong.
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan 
Raja Iblis Jubah Merah, kembali bergerak susul-
menyusul menerjang Pendekar Naga Putih. Sementara 
Kuntilanak Bukit Mandau sudah kembali memasuki 
arena pertempuran yang semakin seru dan menegang-
kan. Keempat datuk sesat itu tampaknya sudah men-
gerahkan segenap kesaktian untuk menggempur Pen-
dekar Naga Putih. Sedangkan Panji pun kelihatannya 
tidak ingin bermain-main lagi. Hal itu terbaca dari ge-
rakan pedang di tangannya yang bagaikan tangan

tangan maut, siap mencabut nyawa lawan-lawannya. 
"Yeaaa...!"
Saat pertarungan menginjak jurus yang keseratus 
sepuluh, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. 
Seketika tubuhnya melenting ke udara, dan berputa-
ran cepat luar biasa. Dan dari atas, tubuhnya melun-
cur turun disertai putaran pedang yang membentuk 
lingkaran keemasan menyilaukan mata.
"Heaaah...!"
Seketika Kuntilanak Bukit Mandau memekik nyar-
ing sambil menusukkan ujung tongkat hitamnya un-
tuk menyambut serangan lawan. Sepertinya, nenek itu 
lupa akan keistimewaan jurus pamungkas Pendekar 
Naga Putih. Maka akibatnya....
Breeet! Breeet!
"Aaargh...!"
Kuntilanak Bukit Mandau kontan meraung keras 
saat ujung pedang Pendekar Naga Putih merobek-
robek tubuhnya. Sedangkan tongkat hitamnya telah 
terlepas dari genggaman dan terpental jauh dari tem-
patnya berdiri. Tubuh kurus bungkuk itu pun ambruk 
disertai semburan darah segar yang melumuri tubuh-
nya.
Gerakan Panji tidak berhenti sampai di situ saja. 
Datuk Panglima Sesat yang tengah menghindar dari 
serangan maut, harus menerima bagian yang serupa 
dengan Kuntilanak Bukit Mandau. Dan sepertinya, dia 
menjadi agak gugup melihat ketiadaan kawannya. Se-
hingga ketika pedang Panji meluncur datang, dia men-
coba memapaknya. Sayang, gerakannya terlihat kacau. 
Sehingga, terpaksa tenggorokannya harus direlakan 
jadi sasaran ujung pedang lawan.
Crappp!
"Hikhhh...!"

Terdengar keluhan seperti orang tercekik ketika 
ujung pedang Pendekar Naga Putih menancap, hingga 
tembus ke leher belakang tokoh bertubuh raksasa itu. 
Darah segar memancur saat Panji mencabut senja-
tanya dari tenggorokan lawan. Lalu, tubuh datuk sesat 
itu pun ambruk ke tanah dengan nyawa terlepas dari 
raga.
Memedi Karang Api dan Raja Iblis Jubah Merah 
tentu saja terkejut melihat kedua orang kawannya te-
was secara berturut-turut. Mereka seketika bergerak 
mundur dan menggabungkan sebelah tangan masing-
masing. Sedang tangan yang lain langsung didorong-
kan ke depan.
Whusss...!
Serangkum angin keras yang berasal dari tenaga 
gabungan kedua orang datuk sesat itu meluncur ke 
arah Panji.
"Hm...!"
Panji yang sadar akan kehebatan serangan gabun-
gan itu, segera melesat ke samping. Sehingga, batu se-
besar kerbau yang berada satu tombak di belakangnya 
kontan hancur berantakan disertai suara hingar-
bingar. Serpihan-serpihannya pun beterbangan kian 
kemari, bagaikan hujan batu saja.
Tapi, Panji tidak mempedulikannya. Tubuhnya te-
lah melesat maju dengan putaran pedang yang bergu-
lung-gulung bagaikan angin puyuh!
Tentu saja baik Raja Iblis Jubah Merah maupun 
Memedi Karang Api menjadi kaget bukan main. Mereka 
berusaha menghindar mencari selamat, namun Panji
tidak memberi kesempatan. Kemana pun mereka ber-
gerak, ujung pedangnya selalu saja mengikuti bagai-
kan bayangan tubuh kedua orang datuk sesat itu. Ak-
hirnya....

"Aaa...!"
Raja Iblis Jubah Merah langsung menjerit keras
saat Pedang Naga Langit tertancap di ulu hati, hingga 
tembus ke punggung! Tubuh tokoh sesat berwajah 
brewok itu langsung tersungkur mencium tanah, ber-
mandikan darah! Raja Iblis Jubah Merah pun tewas 
menyusul kawan-kawannya, setelah meregang nyawa 
beberapa saat.
Sekarang, hanya Memedi Karang Api yang masih 
tertinggal. Wajah datuk sesat itu nampak pucat pasi. 
Sosok Pendekar Naga Putih baginya seperti bayangan 
malaikat maut yang siap menjemput nyawanya!
"Sekarang giliranmu, Memedi Karang Api..!" desis 
Panji.
Seketika Pendekar Naga Putih melesat ke depan. 
Ujung pedangnya meluncur cepat menimbulkan desing 
angin tajam yang menyakitkan telinga. Maka, cepat-
cepat Memedi Karang Api melompat jauh ke belakang.
Namun, Panji tidak ingin membiarkannya lolos. Lawan 
terus dikejar dengan sambaran senjata yang bercuitan.
Bettt..!
"Ahhh...?!"
Memedi Karang Api menjerit ketika pedang Panji 
nyaris menikam lambungnya. Untunglah tubuhnya 
masih bisa dimiringkan, sehingga ujung pedang lawan 
hanya lewat dua jari di samping lambung.
Tapi, gerakan Pendekar Naga Putih selanjutnya be-
nar-benar tidak diduga Memedi Karang Api. Tiba-tiba 
saja, senjata pemuda tampan itu ditarik pulang sambil 
digoyang-goyangkan seperti gerak seekor ular. Akibat-
nya, bagian samping tubuh datuk sesat itu tersayat-
sayat dengan cepat. Darah pun langsung mengucur 
dari luka-luka yang ditimbulkan pedang lawannya. 
Dan sebelum kekagetannya lenyap, tahu-tahu saja pe

dang Pendekar Naga Putih telah bergerak kembali den-
gan kecepatan luar biasa!
Cappp!
Sepasang mata Memedi Karang Api kontan terbela-
lak bagaikan hendak keluar, saat pedang Panji amblas 
menembus jantungnya. Tubuh kakek tinggi kurus itu 
pun ambruk saat Pedang Naga Langit telah tercabut 
keluar. Darah segar kembali membasahi bumi. Kini,
Memedi Karang Api pun tewas menyusul kawan-
kawannya, setelah menggelepar beberapa saat.
"Kakang...."
Kenanga langsung saja berlari dan memeluk tubuh 
kekasihnya dari belakang. Hatinya langsung merasa 
lega, karena musuh-musuh yang berbahaya telah da-
pat dilenyapkan.
Ki Janala dan Praba saling berpandangan sambil 
tersenyum. Jelas, guru dan murid itu pun merasa 
gembira melihat kematian datuk-datuk sesat di empat penjuru itu.



                          SELESAI 


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar