PASUKAN PEMBUNUH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa bin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Pasukan Pembunuh
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Kegelapan malam perlahan menyelimuti permu-
kaan bumi. Bintang-bintang tampak berkerlip jenaka,
menghiasi langit kelam. Rembulan juga muncul penuh,
sehingga menambah semaraknya suasana malam. Se-
milir angin lembut yang mempermainkan dedaunan
pohon, sepertinya ingin ikut melengkapi indahnya ma-
lam.
"Bulan purnama kembali datang...," desis sosok
tubuh terbungkus pakaian berwarna putih.
Dia menengadahkan kepalanya, menatap bulatan
gemerlap yang menggantung menghias langit. Sesaat
kemudian, kepalanya kembali merunduk. Kali ini tata-
pannya tertuju lurus ke depan, seolah ingin menembus
keremangan malam.
"Mengapa Guru kelihatan gelisah...?" tegur sosok
lainnya.
Dia adalah seorang pemuda tampan, berusia seki-
tar dua puluh tahun. Sepasang matanya yang bulat
dan bersinar tajam, tampak mengawasi wajah laki-laki
berpakaian putih di samping kanannya.
"Hm.... Pada waktu aku masih muda dulu, bulan
purnama biasanya menjadi perlambang adanya suatu
kejadian mengerikan. Entah mengapa, tiba-tiba saja
aku teringat peristiwa-peristiwa dulu...," ujar sosok
berpakaian putih yang dipanggil guru.
Dia ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar lima
puluh lima tahun. Sepasang mata tuanya yang semula
menerawang jauh itu, berpaling sejenak. Ditatapnya
wajah pemuda tampan yang merupakan murid tung-
galnya. Terdengar helaan napas beratnya, sebelum wa-
jahnya kembali berpaling menatap kejauhan.
'Tapi..., bukankah malam bulan purnama kali ini
sangat indah, Guru? Rasanya aku belum bisa percaya
kalau malam yang indah ini adalah perlambang tidak
baik? Bolehkah aku tahu kejadian mengerikan semasa
Guru masih muda dulu...?" tanya pemuda tampan itu
lagi dengan wajah ingin tahu.
"Hhh.... Peristiwa itu sudah lama berlalu, Praba.
Lagi pula, aku sudah tidak ingin mengingatnya. Tapi...,
biarlah kali ini aku akan menceritakannya padamu...,"
ujar orang tua itu lagi. Tatapannya masih saja tertuju
pada keremangan malam, menembus bayang-bayang
dedaunan pohon yang menari-nari ditiup angin.
"Ceritakanlah, Guru. Aku ingin sekali mendengar-
nya...," desak pemuda tampan yang ternyata bernama
Praba. Sepertinya, dia sudah tidak sabar melihat gu-
runya masih saja bungkam disertai helaan napas be-
rat.
"Beberapa belas tahun yang lalu, aku adalah orang
yang berbahagia. Istriku cantik dan penuh pengertian.
Saat itu, kami baru saja dikaruniai seorang putra yang
tampan. Tapi..., siapa sangka malapetaka itu tiba-tiba
datang merenggutkan kebahagiaan kami. Dan..., peris-
tiwa itu tepat terjadi pada saat bulan purnama...."
Orang tua itu menghentikan ceritanya disertai tari-
kan napas berat. Keningnya tampak berkerut dalam,
seperti hendak mengingat semua kejadian yang telah
lama ingin dilupakannya itu.
Sementara Praba sama sekali tidak bersuara. Se-
pertinya gurunya sengaja dibiarkan untuk mengingat-
ingat kembali semua peristiwa itu.
"Saat itu, aku sedang berada di kebun yang letak-
nya cukup jauh dari tempat tinggalku. Entah menga-
pa, hatiku merasa tidak enak dan gelisah. Maka, ku
putuskan untuk pulang, karena pikiranku selalu saja
tertuju pada anak dan istriku di rumah. Rupanya pe-
rasaanku tidak berlebihan. Begitu tiba di rumah, ter-
nyata istriku tengah dinodai seorang lelaki kasar. Se-
mentara, kawannya tengah memegangi kaki anakku
dengan kepala di bawah. Bahkan di tangan kanan le-
laki itu tergenggam sebilah pedang terhunus...," tutur
lelaki tua itu.
Kembali ceritanya terhenti. Wajahnya tampak ke-
lam, menyimpan kedukaan. Rupanya, ia tengah beru-
saha menenteramkan hatinya yang terguncang, terin-
gat peristiwa pahit masa lalunya.
"Maafkan aku. Guru. Biarlah cerita itu tidak perlu
dilanjutkan. Itu sama saja hanya akan membangkitkan
luka lama di hati Guru...."
Praba yang rupanya menangkap adanya raut kese-
dihan di wajah gurunya, segera saja meminta maaf.
Langsung dicegahnya orang tua itu agar ceritanya ti-
dak dilanjutkan.
'Tidak apa, Praba. Peristiwa itu telah lama berlalu.
Luka hatiku sudah sembuh, meskipun dendam di ha-
tiku belum lagi terlampiaskan," sergah lelaki tua itu
mencoba tersenyum kepada muridnya.
Sementara Praba mencoba menafsirkan arti se-
nyum gurunya. Walau kelihatan penuh kelembutan,
tapi tetap seperti dipaksakan. Namun, Praba membalas
senyuman itu dengan tatapan penuh rasa terenyuh
mendengar cerita gurunya.
"Melihat kejadian itu, aku langsung mengambil ke-
putusan untuk menyelamatkan nyawa putra ku terle-
bih dahulu. Namun, ternyata orang itu memiliki keke-
jaman melebihi iblis! Putra ku yang baru berusia dua
tahun itu dipenggal kepalanya, tanpa rasa kasihan se-
dikit pun! Aku memang terlambat, dan hanya bisa
mengangkat mayat putra ku ketika lelaki itu melem
parkannya. Meskipun begitu, aku melukai wajah pem-
bunuh putra ku itu dengan senjata yang telah terhu-
nus. Kemudian, aku segera menyelamatkan kehorma-
tan istriku. Tapi..., dia juga telah tewas akibat pukulan
lelaki yang menodainya. Bahkan, dadaku sempat ter-
kena sambaran senjata manusia terkutuk itu."
Orang tua itu berhenti bercerita sebentar. Matanya
menatap ke atas, menerawang jauh pada kenangan-
kenangan pahitnya.
"Rasanya, saat itu langit di atas kepalaku runtuh!
Aku menjadi gelap mata. Dengan penuh kemarahan,
ku terjang lelaki terkutuk itu. Setelah bertarung sekian
puluh jurus, aku berhasil membabat putus lengan ki-
rinya. Liciknya, tiba-tiba mereka menebarkan bubuk
beracun, hingga aku terpaksa melompat jauh ke bela-
kang. Dan kesempatan itu digunakan mereka, untuk
melarikan diri...."
"Lalu, apakah Guru tidak mencari kedua orang
manusia keparat itu untuk membalaskan kematian is-
tri serta putra Guru...?" tanya Praba yang amarahnya
kontan bangkit, mendengar cerita gurunya yang benar-
benar menyedihkan.
'Tentu saja aku berusaha mencari kedua orang itu.
Sayang, usahaku sia-sia. Dan yang kutemukan hanya
dirimu, ketika kau kehilangan kedua orangtua mu saat
terjadi bencana alam. Akhirnya, aku menyepi di tempat
ini dan mendidikmu sampai sekarang...," lelaki tua itu
mengakhiri ceritanya dengan sebuah tarikan napas
panjang.
"Hm.... Siapakah manusia-manusia keparat itu,
Guru? Biarlah aku yang akan mencarinya untuk
membalaskan dendam itu...!" geram Praba sambil
mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Sepasang mata pe-
muda tampan itu tampak menyiratkan api dendam
yang mulai membakar dadanya.
"Ha ha ha...! Tidak perlu bersusah-payah mencari
kami, Bocah ingusan ..! Hei, Tua Bangka Janala...!
Kami berdua datang untuk menagih hutang-
hutangmu...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar me-
nyahuti tantangan Praba. Suara itu jelas dikirimkan
melalui kekuatan tenaga dalam yang tinggi, sehingga
terdengar seperti dari empat penjuru.
Mendengar suara itu, lelaki tua yang ternyata ber-
nama Ki Janala segera bangkit dari bangku bambunya.
Sepasang matanya berputar ke sekeliling, mencari
sumber suara.
"Hm.... Sepasang Tikus Bumi! Kalau kau memang
hendak menemui aku, mengapa tidak langsung ke-
luar? Untuk apa selama ini menyembunyikan diri, Ti-
kus-tikus Pengecut?! Bertahan-tahun aku mencarimu
yang ternyata mendekam dalam lubang mu! Mengapa
baru sekarang muncul...?!" seru Ki Janata sambil
mengerahkan tenaga saktinya. Hingga gema suaranya
terdengar sampai belasan tombak jauhnya.
Ki Janala dan Praba tidak perlu menunggu lama
untuk melihat si pengirim suara yang ternyata meru-
pakan musuh lamanya. Dua sosok bertubuh sedang
muncul dari kegelapan bayang-bayang pohon di sebe-
lah depan Ki Janala dan Praba. Mulut mereka mo-
nyong dengan kumis jarang. Kedua orang lelaki itulah
yang berjuluk Sepasang Tikus Bumi. Mereka kini me-
langkah lebar mendatangi Ki Janala dan Praba yang
sudah bersiap menghadapi pertarungan.
"Ha ha ha...! Kami bukan orang bodoh untuk me-
nyerahkan diri begitu saja kepadamu, Ki Janala. Sela-
ma ini, kami memang bersembunyi. Tapi, itu untuk
mengobati tanganku, sekaligus melatihnya secara
sempurna. Setelah itu, baru kami keluar untuk men-
carimu. Nah, sekarang mari kita selesaikan hutang-
hutang itu...!" tantang lelaki yang tubuhnya lebih ting-
gi sedikit ketimbang kawannya.
Rupanya bukan hanya Ki Janala saja yang me-
mendam dendam atas kematian istri dan putranya.
Kedua orang itu ternyata juga menyimpan dendam
atas kehilangan lengan dan cacat wajah akibat tinda-
kan Ki Janala.
"Hm.... Sebenarnya aku sudah tidak bernafsu lagi
untuk mencari kalian. Tapi karena kalian sendiri yang
datang, maka tidak ada salahnya kalau dendam itu ku
penuhi sekarang...," geram Ki Janala. Segera saja, pe-
dangnya dicabut begitu melihat lawan telah menghu-
nus senjata.
"Guru, izinkanlah aku membantumu...," pinta Pra-
ba.
Pemuda itu juga telah menghunus senjata, dan
menatap penuh dendam kedua orang yang telah mem-
buat gurunya menderita. Tapi, Praba terpaksa harus
menelan kekecewaan ketika melihat gelengan kepala
gurunya. Jelas, orang tua itu tidak ingin melibatkan
muridnya dalam persoalan dendam lamanya.
"Menyingkirlah, Praba. Biar aku saja yang akan
menyelesaikan persoalan ini...," ujar Ki Janala tanpa
ingin dibantah lagi.
Dan Praba terpaksa menyingkir dari arena perta-
rungan yang segera akan berlangsung.
"He he he…!"
Sepasang Tikus Bumi hanya terkekeh mendengar
ucapan Ki Janala. Kedua tokoh sesat itu sudah me-
renggang, mengepung lawannya dari dua arah. Se-
dangkan Ki Janala sendiri telah memutar senjatanya
membentuk gulungan sinar putih yang bergerak me
lindungi sekujur tubuhnya.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, orang tertua
dari Sepasang Tikus Bumi melesat cepat ke arah Ki
Janala. Tangan kirinya yang telah berupa lengan pal-
su, menyambar dengan cakar-cakar besi yang menye-
ramkan.
Bettt! Bettt..!
Ki Janala menggeser kakinya ke samping sambil
mengibaskan senjatanya ke tubuh lawan. Namun, ge-
rakan orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi ternyata
sangat gesit. Cakar bajanya bergerak berputar, dan
langsung menyampok tebasan pedang Ki Janala.
Trakkk!
Bentrokan keras itu membuat tubuh keduanya ter-
jajar mundur beberapa langkah. Dari sini bisa dibukti-
kan kalau kekuatan mereka berimbang. Diam-diam, Ki
Janala terkejut juga melihat pesatnya kemajuan lawan.
Sepertinya, kedua tokoh sesat itu tidak sia-sia me-
nyembunyikan diri dalam menambah kesaktian. Dan
itu dapat dirasakan melalui bentrokan barusan.
Meskipun belum mengerahkan tenaga sepenuhnya, ta-
pi Ki Janala cukup sadar kalau lawannya benar-benar
tidak bisa diremehkan lagi.
"Hm...."
Ki Janala menggeram gusar. Pedang di tangannya
bergerak menyilang, menimbulkan decitan angin ta-
jam. Seketika, tubuhnya merunduk saat orang termu-
da dari Sepasang Tikus Bumi menerjang dengan pe-
dangnya yang berbentuk arit. Maka, langsung dibalas-
nya serangan itu dengan tidak kalah cepat.
Tapi Ki Janala harus menunda serangannya, ketika
pada saat itu juga datang serangan lainnya dari lawan
yang seorang lagi. Maka, serangan orang tertua dari
Sepasang Tikus Bumi terpaksa dilayaninya. Kini, per-
tarungan pun berlangsung semakin seru, ketika kedua
orang tokoh sesat itu saling bantu dalam menggempur
Ki Janala.
***
Praba duduk dengan wajah cemas menyaksikan
gurunya dikeroyok dua orang tokoh sesat itu. Pemuda
tampan itu meremas-remas jemari tangannya dengan
hati tegang. Kalau saja gurunya mengizinkan, rasanya
saat itu juga ia sudah terjun ke dalam kancah perta-
rungan. Tapi, perintah itu tidak berani dibantah, kecu-
ali kalau orang tua itu telah benar-benar dalam kea-
daan berbahaya. Dan kini, ia hanya dapat mengikuti
jalannya pertempuran dengan hati tak karuan.
"Bangsat! Keparat tua Ini benar-benar alot..!"
Orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi itu tak
henti-hentinya menyumpah. Rupanya, ia merasa pena-
saran sekali setelah bertarung selama empat puluh ju-
rus, ternyata lawannya masih belum dapat didesak.
Kenyataan itu membuatnya menjadi jengkel!
Ki Janala sendiri pun merasa penasaran melihat
ketangguhan lawan-lawannya. Padahal, belasan tahun
yang lalu kedua orang tokoh sesat itu sama sekali bu-
kan lawan yang pantas diperhitungkan. Tapi sekarang,
ia benar-benar dibuat kerepotan. Bahkan seluruh ke-
pandaiannya harus dikerahkan untuk menundukkan
kedua orang lawannya.
"Hiaaah...!"
Memasuki jurus yang kelima puluh, Ki Janala ce-
pat menggunakan kesempatan baiknya. Langsung di-
lontarkannya sebuah tendangan keras ke tubuh orang
termuda dari Sepasang Tikus Bumi!
Desss...!
"Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung ter-
jengkang sejauh satu tombak ke belakang. Cepat-cepat
orang tua itu mengayunkan pedangnya, siap mengha-
bisi riwayat lawan.
Whuuut… tranggg...!
Mata pedang Ki Janala yang siap menghunjam tu-
buh lawan, tiba-tiba tertahan oleh cakar orang tertua
dari Sepasang Tikus Bumi. Namun, orang tua itu tidak
menjadi kehilangan akal. Pedangnya segera diputar
sedemikian rupa, dan langsung menusuk ke arah lam-
bung orang tertua Sepasang Tikus Bumi.
Bukan main terkejutnya orang tertua dari Sepa-
sang Tikus Bumi. Sadar kalau kesempatan untuk
menghindar jelas sudah tidak mungkin, maka tokoh
sesat itu nekat mengadu nyawa! Cakar bajanya diputar
ke luar, dan langsung mengancam kepala lawannya.
Gerakan itu tentu saja sangat berbahaya dan memati-
kan.
Ki Janala bukan tidak tahu akan maksud lawan.
Dan tentu saja ia tak sudi untuk mengadu nyawa den-
gan lawan. Maka kepalanya segera ditarik mundur
tanpa mengurangi tusukan pedangnya. Dan...
Cappp! Brettt!
"Aaakh...?!"
Kedua tokoh itu sama-sama menjerit kaget! Mereka
satu sama lain terjajar mundur sejauh satu tombak.
Darah tampak mengucur dari luka di lambung orang
tertua Sepasang Tikus Bumi. Meskipun tusukan pe-
dang Ki Janala tidak mendatangkan kematian, namun
cukup membuatnya menderita luka.
Sedangkan Ki Janala sendiri juga tidak bisa me-
nyelamatkan tubuhnya dari sambaran cakar baja la
wan. Meskipun kepalanya dapat selamat, namun ma-
sih juga harus menerima cakar baja lawan di pangkal
lengan kirinya. Tampak cairan merah merembes keluar
dari luka di pangkal lengan yang terkoyak cukup da-
lam. Luka yang terasa perih dan panas itu membuat
tubuh Ki Janala terjajar limbung. Sadarlah tokoh tua
itu kalau senjata lawan ternyata mengandung racun
ganas. Terbukti, lengan kirinya agak membengkak ka-
ku, dan sukar digerakkan.
"Guru...!"
Praba yang melihat tubuh gurunya terjajar limbung
sambil meringis kesakitan, segera saja berlari membu-
ru. Pemuda itu tidak peduli lagi bila gurunya akan ma-
rah nanti. Segera saja tubuh gurunya dipeluk.
"Praba, menyingkirlah! Aku tidak apa-apa. Biar ku
tuntaskan kedua manusia jahanam itu...!" ujar Ki Ja-
nala, tidak ingin melibatkan muridnya ke dalam per-
soalan itu.
Kekerasan hatinya jelas tidak menguntungkan, ka-
rena keadaan tubuhnya terasa mulai melemah. Ru-
panya, racun itu semakin cepat menjalar ke seluruh
tubuh Ki Janala.
"He he he..! Bergeraklah terus, Ki Janala. Dengan
demikian, kematianmu akan semakin cepat datang...,"
ejek orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi tergelak
penuh kemenangan.
Ucapan itu jelas mengisyaratkan kalau racun aki-
bat cakar baja lawan akan semakin cepat menyebar,
apabila Ki Janala semakin banyak bergerak. Menden-
gar hal ini, tentu saja Ki Janala menjadi terkejut. Ter-
paksa langkahnya dihentikan dengan wajah bingung.
"Hm.... Aku tidak takut mati, Tikus-tikus Kotor!
Sekarang, aku akan membawa kalian berdua ke akhi-
rat untuk mengantarkan arwahku...!" geram Ki Janala.
Setelah terdiam sesaat, Ki Janala segera mengambil
keputusan yang mengejutkan kedua orang lawannya.
Sedangkan Praba yang mendengar ucapan kedua
orang lawan gurunya, segera saja melolos senjatanya.
Sepertinya sudah tidak dipedulikan lagi perintah gu-
runya. Maka, langsung diterjangnya Sepasang Tikus
Bumi yang sudah bergabung itu.
"Haaat..! Mampus kalian, Manusia-manusia Lak-
nat..!" bentak Praba sambil mengayunkan pedang se-
penuh tenaga.
Melihat kecepatan dan angin pedang yang ditim-
bulkan, jelas kalau pemuda itu telah cukup matang
dalam meyakini ilmunya. Sehingga, Sepasang Tikus
Bumi tidak berani memandang remeh.
Trang! Trang!
Orang termuda dari kedua tokoh sesat itu seper-
tinya merasa penasaran, ingin menjajal kekuatan te-
naga dalam pemuda tampan itu. Maka begitu samba-
ran pedang Praba datang, langsung dipapaknya sekuat
tenaga. Akibatnya, tubuh keduanya terdorong ke bela-
kang.
Melihat betapa tubuh Praba agak terhuyung, jelas
kalau tenaganya masih kalah sedikit. Buktinya, lawan
hanya terjajar beberapa langkah, dengan kuda-kuda
tetap kokoh.
Tahan, Adi...!"
Tiba-tiba, orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi
memegang bahu adiknya yang telah siap melanjutkan
pertarungan. Keduanya saling berpandangan sesaat.
Kemudian mereka mengangguk seperti mengambil ka-
ta sepakat.
"Suiiit..!"
Tiba-tiba, orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi
mengeluarkan suitan nyaring bernada aneh. Di tangannya, sudah terjepit sebuah benda kecil berbentuk
pipih yang melekat di bibir. Benda itu bisa mengelua-
rkan suara aneh dan tidak tetap.
Sementara itu, Ki Janala dan Praba hanya meman-
dang dengan wajah bingung melihat perbuatan lawan.
Dan beberapa saat kemudian, barulah mereka menger-
ti apa arti irama siulan aneh itu. Guru dan murid itu
menjadi tegang ketika mendengar suara gemerisik riuh
dari sekelilingnya.
"Ahhh...?!"
Ki Janala dan Praba berseru kaget menyaksikan
makhluk-makhluk kecil dan besar datang dari segala
penjuru. Dan kini makhluk-makhluk itu mulai berde-
sak-desakan mengepung mereka. Rupanya, makhluk-
makhluk yang ternyata ratusan ekor tikus itulah yang
barusan mendatangkan suara-suara riuh-rendah keti-
ka melewati pohon dan semak-semak ilalang.
***
DUA
"Gila...?!" pekik Ki Janala. Laki-laki tua itu menjadi
pias wajahnya ketika melihat ratusan ekor tikus besar
dan kecil tengah berdesak-desakan hendak menge-
royok mereka berdua.
Sementara itu, Praba pun merasa jijik melihat ti-
kus-tikus yang berdatangan dari segala penjuru. Bina-
tang-binatang kotor itu tampak memandang marah ke
arahnya dan gurunya. Mata yang kecil dan mencorong
kemerahan, jelas merupakan pertanda kalau tikus-
tikus itu telah menjadi liar dan buas. Air liurnya tam-
pak menetes-netes, menimbulkan pemandangan yang
memualkan. Taring-taring yang kecil runcing dan ber-
kilat, diperlihatkan sambil memperdengarkan suara
mencicit bising.
"Rencah tubuh mereka...!"
Tiba-tiba orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi
memerintah dengan suara aneh menggeletar. Bagaikan
diberi aba-aba, ratusan ekor tikus itu bergerak saling
mendahului untuk mengoyak tubuh kedua korbannya.
"Haaat…!"
Praba seketika merasa bulu kuduknya meremang,
melihat ratusan ekor tikus meluruk ke arahnya. Maka
segera dia berteriak sambil mengibaskan pedang ke
sekeliling tubuhnya. Dan meskipun belasan ekor telah
menjadi korban, namun sepertinya tikus-tikus itu sa-
ma sekali tidak gentar. Bahkan semakin bertambah
buas, ketika irama aneh dari benda pipih di mulut Se-
pasang Tikus Bumi kembali mengalun turun-naik.
Tentu saja Praba semakin bertambah kewalahan
menghadapi serbuan binatang-binatang yang telah
semakin liar dan buas itu.
Demikian pula halnya Ki Janala. Lelaki tua itu
mengibaskan pedang ke kiri dan kanan dengan sisa-
sisa tenaganya. Gerakannya yang semakin melemah,
membuat beberapa ekor tikus mulai dapat mencapai
dan menggigit tubuhnya. Darah yang semakin banyak
mengalir, justru membuat binatang-binatang itu se-
makin kesetanan!
Namun, pada saat Ki Janala dan Praba merasa ka-
lau kematian sudah berada di ambang pintu, tiba-tiba
terdengar lengkingan panjang. Tak lama kemudian,
melayang dua sosok bayangan putih dan hijau, yang
langsung menghantamkan pukulan ke arah kawanan
tikus-tikus buas itu. Akibatnya, belasan ekor tikus
terpental ke kiri dan kanan dalam keadaan hancur.
Rupanya, kedua sosok bayangan yang baru tiba itu
memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi.
"Hiaaa...!"
Kembali terdengar pekikan tinggi dari sosok bayan-
gan putih yang baru tiba. Kedua tangannya didorong-
kan ke depan, dan....
Blarrr...!
Mengerikan sekali akibat yang ditimbulkannya. Pu-
luhan ekor tikus seketika berhamburan seiring leda-
kan keras yang membuat tanah berlubang sebesar ku-
bangan kerbau.
"Gila...!"
Sepasang Tikus Bumi sama-sama terpekik kaget
melihat perubahan yang sama sekali tidak disangka.
Mata mereka terbelalak, menyaksikan hasil pukulan
dahsyat yang dilontarkan sosok berjubah putih tadi.
Sadarlah mereka kalau Ki Janala dan muridnya tadi
telah ditolong seorang tokoh sakti luar biasa!
Sementara itu, yang dilakukan sosok berpakaian
hijau pun tidak kalah mengejutkan. Kilatan sinar putih
keperakan berkelebatan kian kemari. Setiap kali sinar
itu bergerak, selalu saja ada belasan ekor tikus yang
terpental dengan tubuh terbelah. Maka semakin ber-
tambahlah rasa terkejut kedua orang tokoh sesat itu.
Sepasang Tikus Bumi tidak bisa lagi mengendali-
kan tikus-tikusnya. Rupanya, binatang-binatang itu
pun memiliki rasa gentar juga terhadap dua pendekar
muda yang baru datang itu. Makhluk-makhluk itu ter-
lihat menghentikan gerakannya, dan menyurut mun-
dur saling berdesak-desakan. Mata-mata yang menyala
kemerahan, terlihat menyiratkan kegentaran terhadap
kedua orang lawannya.
Melihat kenyataan itu, Sepasang Tikus Bumi kem-
bali memperdengarkan irama aneh yang lebih memba
wa pengaruh lagi. Sehingga, binatang-binatang menji-
jikkan itu merasa resah dan bingung. Dan kini, tanpa
mempedulikan siulan majikannya, tikus-tikus buas itu
pun saling berlompatan lari!
"Keparat…!" maki kedua orang tokoh sesat itu, ma-
rah dan jengkel sambil membanting-banting kaki ke
tanah.
"Hm..., Sepasang Tikus Bumi. Rupanya kalian
kembali menyebar kejahatan di tempat ini...! Rasanya,
cukup pantas kalau kalian berdua sekarang kuberi
hukuman setimpal...," kata sosok berjubah panjang
warna putih.
Sosok itu ternyata seorang pemuda tampan. Sinar
matanya tajam menggetarkan jantung, memancarkan
tingginya tenaga sakti yang dimilikinya.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis orang tertua dari
Sepasang Tikus Bumi, ketika mengenali sosok berju-
bah putih itu. Sekilas terlihat sinar kegentaran di ma-
tanya. Bisa ditebak kalau kedua orang tokoh sesat itu
menjadi ciut nyalinya terhadap sosok yang ternyata
Pendekar Naga Putih.
"Benar! Dan aku akan segera mengakhiri petualan-
gan kalian hari ini juga...," ancam Pendekar Naga Pu-
tih. Sorot matanya langsung menusuk ke wajah kedua
orang tokoh sesat itu. Seketika, Sepasang Tikus Bumi
menyurut mundur tatkala melihat pemuda itu melang-
kah maju perlahan.
'Tunggu...!'
Orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi menjulur-
kan lengan kanannya mencegah Panji untuk maju. Se-
dangkan pemuda itu hanya bergumam perlahan.
Langkahnya juga segera dihentikan dalam jarak satu
tombak dari kedua tokoh sesat itu.
"Apakah kau mempunyai permintaan terakhir, se
belum kukirim ke akhirat...?" tanya Panji, tenang dan
datar nada suaranya.
"Pendekar Naga Putih! Kalau kau benar-benar jan-
tan, kami menantangmu bertarung tanpa bantuan
orang lain! Kami akan menunggumu di luar hutan
ini...!" tantang orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi.
Jelas-jelas, dia hendak membuat siasat licik.
Panji sendiri hanya tersenyum mendengar tantan-
gan lawannya. Pemuda tampan itu menoleh sejenak ke
belakang, ketika mendengar suara langkah mengham-
pirinya.
"Kakang! Untuk apa meladeni omong kosong dan
siasat licik mereka? Sebaiknya ringkus saja mereka
sekarang! Kita tidak perlu lagi menerima segala macam
tantangan yang hanya siasat busuk mereka," ujar data
jelita berpakaian hijau yang memang Kenanga.
Dara jelita itu tak lepas menatap wajah kekasih-
nya. Pandangannya segera dilemparkan ke arah Sepa-
sang Tikus Bumi, yang menjadi pucat ketika menden-
gar ucapannya tadi. Rupanya, gadis jelita itu baru da-
tang menghampiri begitu mendengar tantangan Sepa-
sang Tikus Bumi yang ditujukan kepada Panji. Mala-
han, Ki Janala langsung ditinggalkan setelah luka aki-
bat racun Sepasang Tikus Bumi diobati.
"Hm.... Siapa bilang aku akan meladeni tantangan
kedua orang manusia tikus itu, Kenanga? Jangan
khawatir, mereka tidak akan kulepaskan kali ini.
Orang-orang kejam seperti mereka, harus segera diki-
rim ke neraka, agar tidak menimbulkan malapetaka la-
gi di atas muka bumi ini...," sergah Panji.
Pendekar Naga Putih memang tidak ingin mele-
paskan kedua orang tokoh sesat itu. Apalagi, dia telah
banyak mendengar tentang kejahatan Sepasang Tikus
Bumi selama dalam pengembaraan. Maka, tentu saja
pertemuan itu tidak akan disia-sia-kan begitu saja.
Ucapan Panji itu tentu saja membuat Sepasang Ti-
kus Bumi menjadi pucat. Mereka melangkah mundur
ketika melihat Pendekar Naga Putih bergerak maju.
Kemudian tanpa mempedulikan rasa malu, keduanya
langsung saja berbalik dan kabur.
"Hm...."
Panji hanya bergumam melihat perbuatan kedua
orang tokoh sesat itu. Kedua kakinya langsung saja
menjejak tanah, sehingga tubuhnya langsung me-
layang ke depan mengejar lawannya.
***
Jleg!
"Hahhh...?!"
Sepasang Tikus Bumi terbelalak pucat ketika tahu-
tahu saja sosok tubuh berjubah putih telah mendarat
dan berdiri membelakangi, setengah tombak di depan
mereka.
"Keparat! Haaat..!"
Dengan kemarahan yang amat sangat, Sepasang
Tikus Bumi menerjang. Kini mereka harus melupakan
rasa takutnya, karena sadar kalau untuk melepaskan
diri dari pendekar kosen itu memang jelas mustahil.
Maka, diambillah keputusan untuk menerjang maju.
Bettt! Whuttt...!
Kilatan sinar pedang dan cakar baja itu bergerak
menyambar saling mendahului. Namun, sasaran me-
reka ternyata telah lenyap. Sepasang Tikus Bumi
hanya sempat melihat kelebatan sinar putih yang me-
layang di atas kepala mereka. Dan, serangan mereka
hanya mengenai angin kosong.
"Kalian mencari siapa...?" tegur suara di belakang
Sepasang Tikus Bumi.
Seketika wajah kedua orang tokoh sesat itu sema-
kin pucat! Cepat-cepat mereka berbalik dan kembali
melancarkan serangan tanpa menoleh lebih dulu.
Dan....
"Hahhh...?!"
Untuk kedua kalinya, senjata mereka hanya men-
genai angin kosong! Kedua orang tokoh sesat itu hanya
celingukan mencari lawannya yang kembali telah le-
nyap, tanpa sempat melihat gerakannya.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Mengapa kau
hanya bisa menghilang bagai orang pengecut? Ayo, la-
wan kami...!"
Rasa gentar, marah, jengkel, dan penasaran, mem-
buat Sepasang Tikus Bumi memaki kalap. Mereka
mencari-cari sosok pemuda tampan berjubah putih itu
yang kali ini benar-benar lenyap entah ke mana.
"Aku di sini, Kisanak...." Terdengar sebuah suara di
belakang kedua orang tokoh sesat itu. Seketika Sepa-
sang Tikus Bumi berbalik. Dan lagi-lagi mereka hanya
menemukan tempat kosong tanpa terlihat sosok yang
tengah dicari.
"Aku di belakangmu...." Kembali terdengar suara
Panji. Sepertinya, Pendekar Naga Putih memang senga-
ja hendak mempermainkan lawannya. Hal ini sengaja
dilakukan, agar Sepasang Tikus Bumi dapat mengala-
mi bagaimana rasanya menderita ketakutan dalam
menghadapi kematian. Memang, kedua orang tokoh
sesat itu biasanya menganggap rasa takut korban me-
reka sebagai suatu kenikmatan tersendiri.
Tapi, kali ini Sepasang Tikus Bumi sama sekali ti-
dak menoleh. Mereka langsung saja melesat mening-
galkan tempat itu. Jelas, maksud mereka hendak me-
larikan diri.
"Hm.... Ke mana pun kalian pergi, jangan harap bi-
sa lepas dari tanganku...," ancam Panji. Pemuda itu
hanya menatap kepergian Sepasang Tikus Bumi yang
kelihatan semakin menjauh.
Sepasang Tikus Bumi sama sekali tidak mempedu-
likan ucapan lawannya. Lari mereka terus dipercepat
dengan mengerahkan seluruh kekuatan ilmu merin-
gankan tubuh. Sehingga, sebentar saja mereka telah
berada di mulut hutan.
"Ahhh...?!"
Ketika hampir mencapai bibir hutan, langkah ke-
dua orang tokoh sesat itu jadi tertahan. Mereka kontan
berseru dengan wajah pucat, begitu di depan tampak
sosok bertubuh sedang, mengenakan jubah panjang
berwarna putih, telah berdiri menanti. Tentu saja ke-
duanya menjadi ketakutan setengah mati, karena so-
sok tubuh itu tak lain dari Panji yang berjuluk Pende-
kar Naga Putih!
"Hm.... Sudah kukatakan sejak semula, kalian ti-
dak akan terlepas dari tanganku. Nan, sekarang ber-
siaplah menerima kematian," desis Panji seraya berba-
lik ke arah Sepasang Tikus Bumi.
"Haaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang Tikus Bumi
langsung bergerak menerjang Pendekar Naga Putih.
Namun, kali ini Panji tidak lagi berniat main-main. Ce-
pat tubuhnya melesat, menyambut serangan kedua
orang lawannya.
Plak! Plak!
"Akh...!"
Sepasang Tikus Bumi berteriak tertahan ketika se-
rangan mereka dipapak pemuda itu. Tanpa ampun la-
gi, tubuh kedua orang tokoh sesat itu terpelanting.
Dengan gerakan cepat, mereka bergegas bangkit berdi
ri. Dan sebelum mereka sempat menyerang kembali,
Panji kembali melayang dengan tamparan-tamparan
keras yang menimbulkan deru angin dingin menusuk
tulang! Akibatnya, Sepasang Tikus Bumi menjadi sa-
dar akan datangnya bahaya. Cepat mereka melempar
tubuh ke belakang, dan terus bergulingan menjauhi
tempat itu.
"Heaaah...!"
Namun, kecepatan gerak kedua orang tokoh sesat
itu tentu saja tidak mampu menandingi Pendekar Naga
Putih. Maka, tidak heran ketika Sepasang Tikus Bumi
melenting bangkit, Panji telah berada dekat dengan
kedua orang lawannya, dan langsung melontarkan
tamparan keras.
Plak! Plak!
"Hugkhhh...!"
Karuan saja tubuh Sepasang Tikus Bumi terpelant-
ing ketika tamparan Panji mendarat di wajah mereka.
Darah segar tampak mengalir dari sudut bibir mereka.
Meskipun tamparan itu tidak mematikan, namun
mampu membuat Sepasang Tikus Bumi harus mende-
rita luka dalam yang parah.
"Hm.... Sekarang, terimalah kematian kalian den-
gan ikhlas...," desis Panji, seraya mengirimkan tampa-
ran maut ke kepala kedua orang lawannya.
"Haaat..!"
Pada saat kematian sudah di ambang pintu bagi
Sepasang Tikus Bumi, tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring yang disusul melesatnya sesosok bayangan
merah ke tengah arena pertempuran. Sayangnya, ge-
rakan sosok bayangan merah itu masih kalah cepat
dibanding gerakan Pendekar Naga Putih. Sehingga,
tamparan pemuda tampan berjubah putih itu tetap
mengenai sasaran.
Prakkk! Prakkk!
Tanpa ampun lagi, kepala Sepasang Tikus Bumi
langsung berderak keras ketika bertemu telapak tan-
gan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Tubuh kedua tokoh sesat itu kontan ambruk
ke tanah dengan kepala pecah!
"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih...!" pekik sosok
bayangan merah yang segera saja memutar gerakan-
nya, menerjang Pendekar Naga Putih!
Dukkk! Dukkk... Plak...!
Terdengar suara benturan keras berturut-turut ke-
tika dua pasang lengan saling bertemu di udara. Aki-
batnya, sosok bayangan merah itu terpental balik. Na-
mun, ia bisa menarik napas lega, setelah mendarat
ringan di atas tanah.
"Hm...."
Panji sendiri terdengar menggeram gusar. Tubuh-
nya pun sempat terdorong akibat benturan keras tadi.
Memang, Panji tadi tidak mengerahkan tenaga sepe-
nuhnya. Sebaliknya, sosok bayangan merah itu seperti
telah mengetahui kelihaiannya. Sehingga, tenaga da-
lamnya dikerahkan sekuatnya ketika pukulan mereka
saling berbenturan.
"Raja Iblis Jubah Merah...?!" desis Panji dengan
kening berkerut ketika mengenali sosok berpakaian
merah itu. Ada kilatan penasaran dalam tatapan mata
Panji.
"Hm.... Kau kembali menanamkan bibit permusu-
han denganku, Pendekar Naga Putih. Kedua orang
yang telah kau bunuh itu adalah muridku. Maka kau
harus menebusnya dengan nyawamu...'" desis Raja Ib-
lis Jubah Merah, murka. Jelas sekali kalau sepasang
mata tokoh sesat itu menyimpan dendam yang dalam
kepada Pendekar Naga Putih.
Raja Iblis Jubah Merah adalah salah seorang datuk
sesat berkepandaian tinggi. Tentu saja Panji telah cu-
kup mengenai lelaki pendek gemuk berjubah merah
itu. Demikian pula tentang kesaktiannya. Dan mereka
memang pernah bertemu ketika Panji menyelamatkan
takhta Kerajaan Mulawarta dari ancaman Malaikat
Gerbang Neraka, yang hendak merebut negeri itu (Bagi
yang ingin mengetahui asal-usul Raja Iblis Jubah Me-
rah, silakan mengikuti episode "Malaikat Gerbang Ne-
raka" dan "Rahasia Pedang Naga Langit").
Kemunculan Raja Iblis Jubah Merah ternyata tidak
hanya seorang diri. Karena tak lama kemudian, bertu-
rut-turut muncul datuk-datuk sesat lain yang juga
pernah terlibat dalam pemberontakan bersama Malai-
kat Gerbang Neraka. Dan para datuk sesat itu pergi
menyelamatkan diri, setelah melihat kegagalan usaha
Malaikat Gerbang Neraka. Tentu saja kemunculan para
datuk sesat itu membuat Panji bergerak mundur, dan
siap menghadapi pertarungan.
"Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan…
Kuntilanak Bukit Mandau...?" desis Panji mengenali
ketiga orang datuk sesat yang tahu-tahu saja telah
berkumpul, seperti tengah mempunyai suatu rencana.
"Hm..., kemunculan mereka pasti akan menda-
tangkan bencana bagi dunia persilatan...."
"He he he.... Kau masih mengenali kami rupanya,
Pendekar Naga Putih? Kau tentu terkejut melihat kami
dapat muncul bersama-sama, bukan?" tegur seorang
lelaki tinggi besar berwajah kelimis. Dia mengenakan
pakaian seperti seorang senapati. Tokoh itulah yang
berjuluk Datuk Panglima Sesat. Seperti biasanya, to-
koh menggiriskan itu selalu ditemani selusin laki-laki
gagah berpakaian prajurit.
"Hm.... Tentu saja aku masih mengenali kalian,
Pemberontak-pemberontak Hina! Dan kewajibanku
adalah membekuk kalian agar negeri ini menjadi aman
dari gangguan penjahat-penjahat keji macam kalian!"
sahut Panji tanpa rasa gentar sedikit pun.
Walaupun Pendekar Naga Putih pernah bertarung
dan dikeroyok datuk-datuk sesat itu, tapi sama sekali
tidak merasa gentar. Bahkan, ia ingin menebus keka-
lahannya beberapa waktu yang lalu.
"He he he.... Bocah itu ternyata masih tetap saja
sombong! Ia benar-benar patut diberi pelajaran seperti
tempo hari, agar tidak sesumbar lagi...,"
Terdengar suara melengking tinggi, yang berasal
dari Kuntilanak Bukit Mandau. Nenek berpakaian ser-
ba hijau itu melangkah sambil menudingkan tongkat-
nya ke wajah Panji.
"Kakang...!"
Tiba-tiba perdebatan itu terhenti ketika terdengar
seruan halus, yang disusul munculnya sosok ramping
berpakaian serba hijau. Dara jelita itu adalah Kenanga
yang menyusul Panji dengan meninggalkan Ki Janala
serta Praba, setelah yakin kalau kedua orang itu tidak
mendapatkan luka yang mengkhawatirkan. Kini Ke-
nanga menatap tajam keempat sosok tubuh itu, sambil
mencekal lengan kekasihnya.
"Kakang. Bukankah mereka...."
Kenanga tidak melanjutkan kata-katanya ketika
melihat anggukan kepala Panji. Dara jelita itu menjadi
terkejut bukan main, karena kali ini yang dihadapi
adalah datuk-datuk sesat dan empat penjuru. Tentu
saja hatinya menjadi tegang.
Sementara itu, Kuntilanak Bukit Mandau melang-
kah mundur ketika melihat kemunculan dara jelita
berpakaian serba hijau ini. Rupanya, nenek itu pun
dapat mengenali Kenanga, dan tahu sampai di mana
kesaktiannya. Maka, tentu saja ia tidak berani gegabah
untuk langsung turun tangan, begitu mengingat ke-
munculan dara jelita yang pernah membuat geger den-
gan julukan Bidadari Iblis itu. Dan tentu saja, dengan
kemunculan kekasihnya, membuat Panji semakin ber-
tambah kuat. Alasan itulah yang membuat Kuntilanak
Bukit Mandau terpaksa surut ke belakang, dan me-
mandang rekan-rekannya meminta pendapat.
"Kita hajar saja mereka sekarang, Kakang. Lalu, ki-
ta serahkan ke Istana Mulawarta...," bisik Kenanga
tanpa melepaskan tatapan matanya dari keempat so-
sok datuk sesat itu.
'Tenanglah, Kenanga. Kita tunggu dulu apa ke-
mauan mereka...," bisik Panji dengan sikap tenang.
Kenanga terpaksa bungkam, dan menyerahkan kepu-
tusan kepada kekasihnya.
***
TIGA
Panji dan Kenanga menggeser langkahnya ketika
melihat keempat datuk itu bergerak merenggang.
Menghadapi tokoh-tokoh sakti seperti mereka, Pende-
kar Naga Putih tidak ingin gegabah. Maka, langsung
saja 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan-nya dikerahkan,
siap dipergunakan sewaktu-waktu.
Kenanga sendiri sudah menghunus Pedang Sinar
Rembulan. Dara jelita itu pun sadar, yang kali ini di-
hadapi bukanlah tokoh-tokoh sembarangan. Oleh ka-
rena itu, senjatanya telah disiapkan dalam menghada-
pi serbuan lawan-lawannya.
"Hm...."
Raja Iblis Jubah Merah yang menaruh dendam
atas kematian kedua orang muridnya, menggeram gu-
sar. Datuk sesat yang mengepalai tokoh-tokoh sesat
wilayah selatan itu, melangkah berputar mendekati
Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Dari sorot matanya
yang tajam, dapat ditebak kalau kematian Panji sangat
diinginkannya.
Demikian pula halnya Kuntilanak Bukit Mandau.
Nenek bungkuk udang yang menjadi pimpinan tokoh
sesat di wilayah utara itu juga bergerak dari sebelah
kanan Pendekar Naga Putih. Tongkat hitam di tangan-
nya sudah diputar, membentuk gulungan sinar hitam
yang menimbulkan angin menderu-deru. Daun dan re-
rumputan kering seketika beterbangan akibat putaran
angin yang ditimbulkan tongkat hitamnya. Hal itu
membuktikan, kekuatan tenaga dalam Kuntilanak Bu-
kit Mandau tidak bisa diremehkan.
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat pun
tidak mau ketinggalan. Kedua tokoh puncak golongan
sesat di wilayah timur dan barat itu sama-sama berge-
rak dari arah berlawanan, mengepung Panji dan Ke-
nanga. Tampaknya, pertarungan dahsyat akan segera
terjadi.
"Yeaaat...!"
Dengan sebuah pekikan parau, tubuh cebol Raja
Iblis Jubah Merah melayang dengan cengkeraman
mautnya yang menyambar-nyambar.
Wuttt! Wuttt!
Panji yang membelakangi Kenanga, langsung saja
memiringkan tubuhnya pada saat serangan lawan da-
tang. Kemudian, disertai 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya, se-
rangan itu dibalas dengan terjangan yang tidak kalah
cepat dan ganasnya.
Sebentar saja, angin dingin telah berhembus seiring sambaran cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan
tentu saja Raja Iblis Jubah Merah tidak berani menga-
du kekuatan secara langsung. Karena disadari tenaga
sakti lawannya masih sangat tinggi. Maka cepat-cepat
tubuhnya bergeser dengan lompatan pendek sambil
mengirimkan tendangan kilat ke arah lambung Pende-
kar Naga Putih.
Pada saat yang bersamaan, Kuntilanak Bukit Man-
dau pun telah datang dengan serangan tongkatnya.
Hembusan angin keras menderu-deru, membuat Panji
sadar akan bahaya dari belakangnya. Dan untuk
menghadapi dua serangan sekaligus, tubuhnya segera
melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. La-
lu, sepasang telapak tangannya cepat didorong ke ba-
wah, ke arah Raja Iblis Jubah Merah yang berada di
bawahnya.
Whusss...!
Tentu saja pukulan jarak jauh Pendekar Naga Pu-
tih sangat berbahaya! Raja Iblis Jubah Merah sadar
betul akan bahaya maut itu. Maka segera saja dia ber-
gulingan sambil menyambut serangan dengan kibasan
tangan kanannya.
Bresssh!
"Aihhh...?!"
Akibat pertemuan dua gelombang tenaga sakti itu,
Raja Iblis Jubah Merah tidak bisa menahan pekikan.
Tubuhnya yang cebol dan gemuk itu kontan mengge-
linding bagai bola, menjauhi arena pertempuran. Jelas,
tokoh cebol itu merasa terkejut ketika lengannya tera-
sa bagai lumpuh setelah berbenturan dengan sepasang
telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Bettt..!
Tiba-tiba sambaran angin tajam mengaung, datang
mengiringi hantaman tongkat hitam Kuntilanak Bukit
Mandau. Panji cepat mengegoskan tubuhnya ke samp-
ing, seraya mengulurkan tangannya hendak menghan-
curkan tongkat di tangan lawan. Namun, nenek itu
ternyata sangat cerdik dalam memperhitungkan seran-
gannya. Sebelum tercengkeram cakar naga Panji,
tongkatnya sudah diputar setengah lingkaran. Bahkan
langsung mengancam kepala lawan.
Tapi, yang kali ini dihadapi Kuntilanak Bukit Man-
dau adalah seorang pemuda yang telah di-gembleng
oleh pengalaman-pengalaman mengerikan. Sehingga
tidak heran kalau sabetan tongkat yang mampu meng-
hancurkan batu karang sebesar kerbau itu mampu di-
elakkan dengan memutar tubuhnya menggunakan te-
naga pinggang. Lalu, Panji berbalik memutar kakinya,
menyapu kuda-kuda lawan.
Breeet..!
Sapuan kaki Panji ternyata hanya menyambar re-
rumputan kering, karena tubuh Kuntilanak Bukit
Mandau telah berputaran melompat ke udara. Kesem-
patan baik itu tidak disia-siakan Panji. Cepat tubuh-
nya melesat ke arah pertempuran. Kenanga yang ha-
rus menghadapi keroyokan dua orang datuk sesat
lainnya. Melihat kekasihnya telah terdesak hebat, Pen-
dekar Naga Putih langsung terjun dan menerjang salah
seorang dari pengeroyok.
Plak! Plak!
"Aihhh...!”
Lelaki tinggi besar berpakaian senapati yang tak
lain dari Datuk Panglima Sesat, memekik ketika dua
buah pukulannya yang hampir dipastikan akan mero-
bohkan Kenanga, terpental balik akibat papakan Pen-
dekar Naga Putih. Bahkan lelaki tinggi besar itu ter-
huyung limbung beberapa langkah ke belakang, kare-
na Panji mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya.
Kenanga yang saat itu telah merasa lelah mengha-
dapi dua orang lawan, sempat menarik napas lega.
Meskipun saat itu ia masih harus menyelamatkan diri
dari gempuran Memedi Karang Api yang mencecarnya
dengan serangan-serangan dahsyat.
Buggg!
"Aaakh...?!"
Karena gerakannya semakin lambat, akhirnya Ke-
nanga tidak mampu menghindari sebuah tendangan
Memedi Karang Api yang singgah di lambung kanan-
nya. Dan meskipun tenaga dalamnya sudah dikerah-
kan untuk melindungi, tetap saja tubuhnya terjeng-
kang tak sanggup menerima tendangan keras dari da-
tuk sesat itu.
"Yeaaah...!
Memedi Karang Api yang sepertinya sangat bernaf-
su untuk segera dapat melumpuhkan Kenanga, lang-
sung menyusuli serangannya tanpa membuang-buang
waktu lagi. Sepasang tangannya bergerak cepat, siap
melumpuhkan dara jelita yang tengah berusaha bang-
kit itu.
Tapi, Panji tentu saja tidak sudi melihat kekasih-
nya sampai tewas di tangan datuk sesat itu. Maka
dengan sebuah teriakan nyaring, tubuhnya sudah me-
lesat mencegah tindakan Memedi Karang Api.
Dukkk, dukkk...
Bukkk!
"Aaa...!"
Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih benar-benar
sangat mengagumkan! Sehingga, meskipun Memedi
Karang Api telah mengerahkan kesaktian, tak urung
sebuah tebasan sisi telapak tangan miring Panji bersa-
rang di iganya. Akibatnya, tubuh kakek tinggi kurus
itu terdorong dan hampir jatuh terpelanting. Untung
saja kuda-kudanya segera dapat dikuasai. Meskipun
begitu, tampak juga lelehan darah di sudut bibirnya.
Rupanya, pukulan Panji telah membuat dada bagian
dalam kakek itu terguncang!
"Kenanga! Kau tidak apa-apa...?" tanya Panji kha-
watir sambil memegang bahu kekasihnya yang tampak
kelelahan.
"Aku tidak apa-apa, Kakang...," desah Kenanga
sambil memijat lambungnya yang terasa nyeri.
Dara jelita itu menatap wajah kekasihnya penuh
kekhawatiran. Jelas, Kenanga lebih mencemaskan ke-
selamatan pemuda itu ketimbang dirinya sendiri.
"Hm.... Rasanya aku harus bertarung mati-matian
menghadapi mereka...!" geram Panji.
Pendekar Naga Putih segera berbalik menghadapi
keempat orang datuk sesat yang sudah bergerak maju
mengepung.
"Kakang...," desah Kenanga.
Gadis itu merasa cemas ketika mendengar ucapan
Panji. Meskipun disadari kalau kematian setiap saat
bisa datang bagi orang-orang yang selalu bermain-
main dengan maut seperti mereka, tapi hati kecil dara
jelita itu tetap saja merasa khawatir.
"Menyingkirlah, Kenanga. Atau sebaiknya, tinggal-
kanlah tempat ini. Kalau masih bisa selamat, aku akan
segera menemuimu di desa depan sana. Mudah-
mudahan, letak desa itu tidak terlalu jauh, dan kau bi-
sa mencapainya...," ujar Panji sambil menatap wajah
kekasihnya yang tampak sangat mempesona di bawah
siraman cahaya purnama.
"Tidak, Kakang. Mati atau hidup, kita harus tetap
bersama. Aku tidak akan tahan menunggu dengan hati
selalu gelisah. Lebih baik aku di sini saja bersama-
mu...," bantah Kenanga yang kali ini tidak menuruti
permintaan Panji.
Melihat sinar mata yang menyimpan tekad bulat
itu, Panji hanya menghela napas. Disadari kalau me-
maksa Kenanga untuk meninggalkan tempat itu tentu
akan percuma saja.
"Hm.... Terserah kaulah, Kenanga. Tapi untuk se-
kali ini, kuminta agar kau menyingkir saja dari sini.
Apabila dalam enam puluh jurus dua orang dari mere-
ka masih belum bisa ku robohkan, kau baru boleh
membantu...," ujar Panji.
Kali ini, saran Panji dituruti oleh dara jelita itu.
Dan kini, Kenanga segera menyingkir, menyaksikan
dari kejauhan.
"He he he.... Rupanya kau masih sayang dengan
nyawa dara jelita itu, Pendekar Naga Putih? Kau pasti
takut kalau kulitnya yang putih halus itu akan lecet
apabila bertarung dengan kami. Tapi, jangan khawatir.
Aku akan senang sekali bila dapat membawanya pu-
lang ke istanaku, dan akan kuangkat menjadi permai-
suri ku...," kata Datuk Panglima Sesat, mengumbar
kesombongannya.
Namun, Panji sendiri sama sekali tidak menyahut.
Malah, matanya sudah dipejamkan sejenak, untuk
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Se-
bentar kemudian, terciptalah lapisan sinar kuning
keemasan di sebelah kanan tubuh Pendekar Naga Pu-
tih. Sedangkan pada tubuh sebelah kirinya, terlapis
kabut putih keperakan. Jelas sudah kalau saat itu
Panji telah mengerahkan kedua tenaga dahsyatnya,
dan menggabungkannya untuk menghadapi keroyokan
empat orang datuk sesat dari empat penjuru angin.
"Gila...?!"
Datuk Panglima Sesat sampai melangkah mundur
melihat perubahan yang terjadi dalam diri pendekar
muda itu. Hatinya sempat bergetar menyaksikan beta-
pa pendekar yang masih berusia muda itu telah mam-
pu menggabungkan dua unsur tenaga sakti berlainan
sifat.
"Mustahil..?!"
"Ilmu sihir...?!"
Tiga orang datuk lainnya pun tidak kalah terkejut
menyaksikan perubahan lawannya. Mereka benar-
benar takjub dan semakin bertambah kagum terhadap
pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Tidak perlu gentar, Sahabat-sahabat.
Meskipun seluruh kesaktiannya digunakan, mustahil
dapat mengalahkan kita berempat. Mari kita lenyapkan
pendekar celaka itu...," tegas Raja Iblis Jubah Merah,
lantang.
Tentu saja ia khawatir melihat kawan-kawannya
seperti gentar ketika melihat tindakan pemuda tampan
berjubah putih itu. Maka, segera saja kakinya melang-
kah maju, untuk membuktikan ketidakgentaran ter-
hadap lawannya. Memang, ia sendirilah yang lebih
menaruh dendam terhadap Pendekar Naga Putih.
Mendengar ucapan Raja Iblis Jubah Merah, tentu
saja ketiga orang datuk lainnya segera menyadari ke-
keliruan sikap mereka. Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, mereka kembali menyebar, mengepung
Pendekar Naga Putih.
***
"Haaat..!"
Raja Iblis Jubah Merah kembali membuka seran-
gan, mendahului rekan-rekannya. Tubuh lelaki gemuk
pendek itu bergerak maju dengan langkah-langkah
bersilangan. Sepasang tangannya bergerak cepat, saling mendahului untuk menyarangkannya ke tubuh la-
wan.
Memedi Karang Api pun tidak ketinggalan. Tokoh
tinggi kurus berjubah putih kumal itu bergerak maju
dengan jurus 'Ular Beracun Menembus Kabut". Sepa-
sang tangannya bergerak silih berganti, dengan kece-
patan luar biasa. Bahkan terkadang lengannya terlihat
memanjang melebihi ukuran biasa. Jelas, datuk tinggi
kurus itu telah mengeluarkan ilmu andalan yang ja-
rang digunakan.
Datuk Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Man-
dau seolah bergerak saling mendahului. Mereka juga
telah menggunakan ilmu andalannya, ketika melihat
Panji telah mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang dah-
syat. Sehingga, Pendekar Naga Putih sendiri sempat
merasa tegang menghadapi serbuan empat gembong
kaum sesat yang berkepandaian menggiriskan itu.
"Haiiit..!"
Ketika empat orang pengeroyok itu sudah semakin
dekat, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya
yang menggetarkan jantung. Bersamaan dengan itu,
tubuhnya bergerak cepat sambil mengerahkan jurus
'Ilmu Silat Naga Sakti'nya yang luar biasa. Dengan il-
mu meringankan tubuhnya yang tinggi, tubuhnya ber-
kelebatan menyambut serbuan empat orang lawannya.
Pertarungan yang terjadi kali ini benar-benar dah-
syat. Kenanga sendiri sampai berdebar melihatnya. Be-
tapa tidak? Angin pukulan berhawa maut yang silih
berganti bertebaran ke sekitar arena pertarungan, te-
lah membuat pohon-pohon besar di sekelilingnya re-
bah. Bahkan dara jelita itu harus bergerak lebih men-
jauh, karena ada serangkum angin pukulan yang nya-
ris melukainya. Untunglah Kenanga sudah cepat mele-
sat menghindar, sehingga pohon di belakangnyalah
yang berderak roboh terkena pukulan maut yang nya-
sar. Belum lagi datangnya bebatuan yang tersepak ka-
ki-kaki tokoh-tokoh sakti itu. Padahal, lontaran batu
itu sanggup memecahkan kepala seorang tokoh yang
belum memiliki tenaga dalam tinggi. Benar-benar men-
gerikan pertarungan lima tokoh dahsyat itu!
Panji sendiri dalam menghadapi pertarungan mati-
matian itu harus menguras seluruh kesaktiannya. Jadi
wajar saja kalau merasa sedikit kewalahan, karena la-
wan-lawannya bukan tokoh sembarangan. Mereka
adalah gembong kaum sesat yang memiliki kesaktian
luar biasa. Sehingga, tidak mudah bagi Pendekar Naga
Putih untuk dapat merobohkan dalam waktu singkat.
Bahkan, terkadang harus bergerak mundur untuk
menghindari gempuran-gempuran hebat dari lawan-
lawannya.
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh,
Panji kembali mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya.
Tubuh pemuda itu kini berkelebatan laksana samba-
ran kilat. Kemudian tubuhnya melenting ke udara, ba-
gaikan seekor naga perkasa yang terbang ke langit.
Dan dari atas, tubuhnya berputaran beberapa kali, se-
belum meluncur turun melepaskan jurus 'Naga Sakti
Meluruk ke Dalam Bumi’.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api
yang menjadi sasaran, terkejut bukan main! Mata me-
reka begitu silau melihat lingkaran sinar kuning kee-
masan yang berbaur dengan sinar putih keperakan
yang berputaran. Serbuan hawa dingin dan panas
yang berganti-ganti, membuat tubuh mereka bagaikan
tengah dilanda demam hebat. Sadar akan bahaya yang
tidak mungkin sanggup diatasi, maka kedua datuk se-
sat ini segera melempar tubuhnya dan bergulingan
menjauhi tempat itu.
Rupanya, mereka belum memahami sifat jurus
yang kali ini digunakan Panji. Buktinya, meskipun me-
reka berusaha menghindar sejauh-jauhnya, serangan
pemuda itu terus mengejar kedua orang sasaran, se-
perti memiliki mata saja. Sehingga, baik Raja Iblis Ju-
bah Merah maupun Memedi Karang Api terpaksa me-
nangkis serangan lawan disertai pengerahan seluruh
kekuatan tenaga saktinya.
Lagi-lagi, mereka tidak tahu akan sifat jurus pa-
mungkas dan Pendekar Naga Putih. Ternyata baik
menghindar atau menangkis, sama-sama berbahaya.
Serangan yang sukar dihalau itu meluncur disertai
sambaran angin bercicit tajam. Dan...
Plak! Desss...!
Meskipun pada hantaman pertama kedua orang
datuk sesat itu masih bisa memapak, namun gerakan
melingkar lengan pemuda itu benar-benar tak terduga
dan sulit dihindari lagi. Akibatnya, tubuh kedua orang
pentolan kaum sesat itu seketika terjungkal memun-
tahkan darah segar. Kedua datuk sesat itu terus ter-
guling-guling, hingga sejauh empat tombak dari tempat
berdiri semula. Meski demikian, mereka masih beru-
saha bergerak bangkit sambil menyeringai kesakitan.
Mereka baru terkejut ketika merasakan sekujur tubuh
sukar digerakkan. Hawa panas dan dingin yang ber-
ganti-ganti, membuat mereka terkadang menggigil ke-
dinginan, dan terkadang mendesis-desis kepanasan.
Jelas, akibat pukulan pada tubuh mereka tidak bisa
lenyap untuk beberapa saat Sehingga, kedua datuk se-
sat itu hanya bisa pasrah menanti kematian.
Sementara itu, Datuk Panglima Sesat dan Kuntila-
nak Bukit Mandau seperti sadar akan keadaan kedua
orang rekan mereka. Tampak keduanya berusaha
menggempur Pendekar Naga Putih, agar menjauhi ke-
dua orang rekan mereka. Panji sendiri yang baru saja
menjejakkan kedua kaki di atas tanah, mau tak mau
harus berlompatan menghindari hujan serangan Datuk
Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Mandau. Dan
saat yang sedikit itu digunakan sebaik-baiknya oleh
kedua datuk sesat itu untuk segera melompat jauh ke
belakang. Setelah menyambar tubuh kedua orang re-
kannya yang masih belum mampu bangkit, mereka
pun langsung mencelat jauh, melarikan diri.
Sementara itu, dua belas orang pengawal Datuk
Panglima Sesat segera saja menghambur ketika meli-
hat pimpinannya telah melesat pergi meninggalkan
tempat ini.
Panji sendiri tidak berusaha mengejar, karena lebih
mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Dugaan-
nya, bisa saja para datuk itu mengambil jalan berputar
selagi ia mengejar. Dan mereka bisa saja tiba kembali
di tempat semula, untuk membekuk Kenanga. Alasan
itulah yang membuat Panji tidak berusaha mengejar.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...," tanya Kenanga se-
raya memeluk tubuh kekasihnya dengan helaan napas
lega.
Panji sendiri hanya menggelengkan kepala. Kemu-
dian, diajaknya dara jelita itu untuk segera meninggal-
kan hutan ini
***
EMPAT
"Hm.... Kesaktian Pendekar Naga Putih memang
sangat luar biasa! Rasanya, hanya gabungan ilmu kita
berempat sajalah yang mungkin bisa melumpuhkan-
nya. Makanya, kita harus segera menyelesaikan renca-
na yang telah disepakati bersama...," kata seorang le-
laki tinggi besar.
Orang itu berwajah kelimis, karena kumis dan
jenggotnya telah tercukur bersih. Menilik dari pa-
kaiannya yang seperti senapati, sudah bisa dipastikan
kalau lelaki tinggi besar itu adalah Datuk Panglima Se-
sat, seorang gembong golongan hitam di wilayah timur.
Tiga orang lainnya saling bertukar pandangan se-
jenak. Mereka kini duduk mengelilingi sebuah meja
kayu bulat. Dua di antara keempat datuk sesat itu
tampak masih agak pucat wajahnya. Rupanya keseha-
tan mereka berdua belum pulih setelah bertarung me-
lawan Pendekar Naga Putih kemarin.
"Hm...."
Lelaki pendek gemuk brewok yang mengenakan ju-
bah berwarna merah itu bergumam. Pandangannya
tampak dilayangkan ke arah Datuk Panglima Sesat.
"Persiapan kita telah berjalan cukup lama, dan
hampir sempurna. Tapi melihat kesaktian Pendekar
Naga Putih yang telah maju sangat pesat, kita masih
harus banyak berbenah diri. Begitu semuanya telah
sempurna, barulah pemuda yang merupakan pengha-
lang besar bagi setiap kaum kita digempur...," tandas
Raja Iblis Jubah Merah setelah berpikir beberapa saat.
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan
Kuntilanak Bukit Mandau sama-sama menganggukkan
kepala. Mereka semua maklum setelah merasakan ke-
saktian Pendekar Naga Putih, yang memang telah maju
pesat. Untuk ini, rupanya mereka harus sungguh-
sungguh mempersiapkan diri apabila hendak mele-
nyapkan Pendekar Naga Putih.
"Ada baiknya bila kita sekarang menengok pasukan
yang telah dipersiapkan itu. Kemudian, mereka harus
dicoba sebelum dilepaskan untuk menggempur Pende-
kar Naga Putih. Bagaimana...?" usul Kuntilanak Bukit
Mandau, setelah mendengar ucapan kawan-kawannya.
"Aku setuju...," sahut Memedi Karang Api, lang-
sung. Sedangkan dua orang lainnya ikut menyatakan
persetujuannya.
Keempat datuk golongan hitam itu pun sama-sama
bergerak bangkit, dan meninggalkan ruang pertemuan
yang berlangsung di kediaman Datuk Panglima Sesat.
Kemudian, mereka melangkah ke belakang bangunan
besar dan megah ini.
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang datuk
sesat itu tiba di bagian belakang bangunan yang beru-
pa sebuah tanah lapang luas. Di tempat itu, terlihat
delapan orang yang rata-rata berperawakan tegap ten-
gah sibuk berlatih. Gerakan-gerakan mereka terlihat
sangat gesit dan mantap. Bisa dilihat kalau ilmu me-
ringankan tubuh dan tenaga dalam mereka tidak bisa
dipandang remeh.
Setelah memperhatikan sejenak, Datuk Panglima
Sesat bertepuk tangan perlahan sebanyak tiga kali.
Karena dilakukan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi, tentu saja pengaruh tepukan itu segera terlihat.
Delapan orang lelaki muda berperawakan tegap itu se-
rentak menghentikan gerakan dan berbalik mengha-
dap keempat orang datuk sesat ini. Wajah mereka ra-
ta-rata dingin tanpa perasaan. Meski demikian, sorot
mata mereka nampak demikian tajam dan menimbul-
kan rasa seram bagi yang memandang.
Terlihat kedelapan sosok tubuh berpakaian warna-
warni itu sama-sama membungkukkan kepala dengan
sikap kaku. Sikap mereka jelas tidak wajar, dan seperti
berada dalam pengaruh sihir.
"Hmhhh...."
Datuk Panglima Sesat mengibaskan kedua tangan-
nya ke kiri dan kanan, seperti memerintahkan mereka
untuk berpencar. Kemudian, lelaki tinggi besar berpa-
kaian senapati kerajaan itu melangkah maju ke tengah
lapangan.
"Panglima Sesat! Rasanya terlalu berbahaya apabi-
la kau hendak menghadapi mereka seorang diri.
Meskipun ilmu gabungan yang kita ciptakan untuk
mereka belum seluruhnya dikuasai, tapi tetap saja aku
merasa kalau mereka tidak bisa dihadapi seorang di-
ri...," Raja Iblis Jubah Merah memperingatkan rekan-
nya yang rupanya hendak menjajal kemampuan dela-
pan lelaki muda berwajah dingin itu.
"Hm.... Jangan khawatir, Iblis Jubah Merah. Jika
dalam sepuluh jurus salah seorang dari mereka belum
bisa kujatuhkan, barulah kalian boleh turun tan-
gan...," sahut Datuk Panglima Sesat mengabaikan pe-
ringatan rekannya.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi besar itu
kembali bertepuk tangan dua kali. Sepertinya, tepukan
itu merupakan isyarat bagi kedelapan orang itu untuk
mulai menyerang.
Kedelapan lelaki muda yang terbentuk dalam satu
pasukan yang telah terlatih baik itu, segera saja berge-
rak mengepung dari delapan penjuru. Mereka belum
memperlihatkan tanda-tanda akan menyerang, namun
sebaliknya malah berputaran saling berpindah-pindah
tempat.
"Hm..."
Datuk Panglima Sesat hanya bergumam perlahan
meskipun saat itu putaran lawan-lawannya semakin
bertambah cepat, hingga yang terlihat hanyalah
bayangan berwarna-warni mengelilinginya. Baru saja
datuk sesat itu hendak memulai serangan, tiba-tiba
saja gerakan berputar kedelapan orang itu terhenti dan
berbalik arah. Semua itu dilakukan dengan sangat ce-
pat dan tanpa kesulitan. Mau tak mau, Datuk Pangli-
ma Sesat diam-diam harus mengagumi tindakan la-
wan-lawannya.
"Haaat…"
Dengan sebuah lengkingan nyaring yang panjang,
kedelapan orang itu pun mulai membuka serangan.
Dua orang berseragam biru muda yang berada di de-
pan Datuk Panglima Sesat, melesat ke depan sambil
melancarkan tusukan jari-jari tangan yang menimbul-
kan suara angin berdecitan. Kelihatannya, serangan
itu sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kema-
tian. Atau, paling tidak luka dalam yang parah.
Serangan dua orang berseragam biru muda itu be-
lum lagi tiba, namun dua orang lawan berseragam me-
rah darah dari sebelah kanan Datuk Panglima Sesat
juga telah menerjang dalam waktu hampir bersamaan.
Bahkan serangan mereka juga tidak kalah berba-
hayanya!
"Haaat..!"
Datuk Panglima Sesat segera saja menggeser tu-
buhnya, menghindari serangan dua orang berseragam
biru muda dari depan. Namun, justru dua orang berse-
ragam merah yang menyerang dari kanannya itulah
yang lebih berbahaya. Padahal serangan pertama tadi
hanya sekadar memancing perhatian Datuk Panglima
Sesat.
Bettt! Bettt!
Dua buah pukulan yang menimbulkan suara angin
tajam, datang mengancam tubuh Datuk Panglima Se-
sat. Cepat tokoh sakti itu mengangkat kedua tangan-
nya, untuk memapak serangan lawan.
Dan...
Plak! Plak!
'Aihhh,..?!”
Terdengar seruan tertahan dari lelaki gagah itu ke-
tika merasakan kuatnya gelombang tenaga pukulan
kedua orang pengeroyoknya. Akibatnya, ia yang semu-
la menganggap enteng serangan itu, hampir terjungkal
dibuatnya. Jelas, Datuk Panglima Sesat tidak menge-
tahui kemajuan yang diperoleh kedelapan lelaki muda
yang digembleng oleh Raja Iblis Jubah Merah dan Me-
medi Karang Api. Di lain pihak, Datuk Panglima Sesat
dan Kuntilanak Bukit Mandau tidak terlalu memperha-
tikan. Maka, wajar saja kalau lelaki tinggi besar itu jadi
terkejut ketika merasakan kekuatan pukulan lawan-
lawannya.
Pertarungan berjalan semakin seru dan cepat. Da-
tuk Panglima Sesat tampak mulai merasakan tekanan
berat, setelah bertarung lebih dari lima jurus. Hal itu
merupakan bukti kalau ilmu gabungan yang dicipta-
kan empat orang datuk itu memang hebat sekali. Buk-
tinya, Datuk Panglima Sesat yang tentu saja telah
mengenai ilmu yang digunakan para pengeroyoknya,
masih harus kerepotan menghindari hujan serangan.
Bahkan setelah sepuluh jurus lebih, dia beberapa kali
nyaris celaka. Mendapat kenyataan ini, karuan saja
hati datuk tinggi besar ini menjadi tegang.
Kuntilanak Bukit Mandau yang melihat rekannya
mulai kewalahan, segera terjun ke arena pertempuran.
Begitu memasuki arena, tongkat hitam di tangannya
langsung bergerak berputaran dengan suara menderu-
deru laksana ratusan lebah marah.
Tapi, delapan orang laki-laki muda berwajah dingin
dan bersikap kaku itu sama sekali tidak menjadi mun-
dur. Bahkan desakan mereka pun tidak berkurang,
meski Datuk Panglima Sesat telah dibantu Kuntilanak
Bukit Mandau yang juga memiliki kesaktian menggi-
riskan. Malah mereka masih saja dapat didesak kede-
lapan lelaki muda itu. Melihat hal ini, tentu saja hati
nenek bungkuk udang itu menjadi gemas, meski ada
rasa kebanggaan melihat hasil jerih payahnya.
Plakkk!
Bukkk!
"Uuugh...!"
Datuk Panglima Sesat yang berusaha mati-matian
menghindari dan membalas serangan lawan, terpaksa
harus merelakan tubuhnya terkena hantaman salah
seorang pengeroyoknya. Akibatnya, tubuhnya terpental
beberapa langkah ke belakang. Kemudian, dia berge-
rak bangkit secepat kilat dan kembali melakukan per-
lawanan hebat. Dari lelehan darah di sudut bibirnya,
jelas kalau Datuk Panglima Sesat agak terguncang ba-
gian dalam tubuhnya, akibat pukulan lawan yang
singgah di lambung kirinya.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api
yang mengetahui betul akan kehebatan pasukan itu,
segera saja melayang ke dalam arena pertarungan. Se-
hingga, kali ini kedelapan lelaki muda itu harus meng-
hadapi empat orang datuk sesat yang rata-rata memi-
liki kesaktian sangat dahsyat.
Turunnya Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Ka-
rang Api, ternyata tidak juga merubah keadaan. Den-
gan gerakan-gerakan yang semakin hebat dan berba-
haya, kedelapan lelaki muda berwajah dingin itu terus
mendesak. Akibatnya, empat orang datuk sesat itu jadi
kelabakan. Kini, mereka semakin sadar kalau pasukan
yang telah dipersiapkan itu benar-benar tangguh.
"Haiiit..!"
Dibarengi pekikan nyaring, Memedi Karang Api melesat keluar dari gelanggang pertempuran. Kemudian,
disusul berturut-turut ketiga orang datuk lainnya.
Dengan beberapa kali lompatan saja, keempat orang
datuk sesat itu telah berada sejauh tiga tombak dari
lawan-lawannya.
"Bagus..., bagus...! Kalian betul-betul tidak menge-
cewakan...," puji Memedi Karang Api sambil bertepuk
tangan dengan wajah berseri.
Sementara itu, delapan orang lelaki muda yang
menjadi lawan mereka tadi sama sekali tidak menun-
jukkan tanggapannya. Mereka hanya membungkuk
dengan wajah sedingin es. Meskipun begitu, bibir me-
reka terlihat menggerimit mengucapkan sesuatu.
"Terima kasih, Tuan ku...," suara delapan orang la-
ki-laki berpakaian warna-warni itu bergaung jelas.
Ternyata, gerakan bibir yang sepertinya hanya be-
rupa bisikan itu terdengar sangat jelas. Pasti hal itu di-
lakukan dengan pengerahan tenaga dalam.
"Hm.... Meskipun mereka memang tidak bisa kita
taklukkan, tapi.... Rasanya mereka belum cukup kuat
untuk menghadapi Pendekar Naga Putih. Paling tidak,
mereka harus dipersiapkan beberapa waktu lagi. Sete-
lah itu, barulah mereka bisa melaksanakan tugas yang
teramat penting itu...," kata Kuntilanak Bukit Mandau.
Sepertinya, nenek ini masih belum puas, meskipun
memang harus diakui kehebatan pasukan itu. Tapi ka-
rena telah beberapa kali bentrok dengan Pendekar Na-
ga Putih, maka dia masih kurang yakin kalau pasukan
yang tengah dipersiapkan itu belum mampu mengha-
dapi Pendekar Naga Putih. Apalagi, setelah ia sendiri
menyaksikan kemajuan pendekar muda yang digdaya
itu.
"Sejak pertama tadi sudah kukatakan, kita masih
harus mempersiapkan mereka lebih sempurna. Kelak
setelah mereka sudah menguasai ilmu ciptaan kita
bersama, barulah ditugaskan untuk melenyapkan
Pendekar Naga Putih," timpal Memedi Karang Api.
"Benar, Kuntilanak Bukit Mandau. Oleh karena itu,
mulai sekarang mereka harus dipersiapkan bersama-
sama. Setelah itu, aku yakin Pasukan Pembunuh ini
akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dan
tidak perlu diragukan lagi...," tambah Raja Iblis Jubah
Merah. Nada suaranya terdengar penuh kebanggaan
dan keyakinan.
"Hm.... Hal itu memang tidak kur agukan lagi. Ta-
pi..., bagaimana dengan kemungkinan kalau mereka
berkhianat? Seperti kita semua sudah tahu, Pendekar
Naga Putih memiliki ilmu pengobatan yang tidak kalah
dibanding Raja Obat Nah! Hal itulah yang masih
mengganggu pikiranku...," ungkap Datuk Panglima Se-
sat, tentang kekhawatirannya.
Kuntilanak Bukit Mandau yang sepertinya juga
memiliki pemikiran serupa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Rupanya, dia menyetujui juga kekhawati-
ran Datuk Panglima Sesat.
"He he he.... Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Ob-
at-obat ramuan yang ku jejali, telah membuat otak me-
reka tidak dapat bekerja lagi. Kecuali, oleh perintah ki-
ta berempat. Pokoknya, mereka tidak akan bisa ter-
pengaruh lagi. Dan, aku telah memperhitungkannya
jauh-jauh hari mengenai hal itu. Mereka memang bisa
menjadi ancaman bagi kita, apabila dibiarkan hidup
lama-lama. Itulah sebabnya, aku menjejalkan sejenis
racun mematikan, yang membuat umur mereka tidak
akan lebih dari dua bulan. Setelah itu, mereka akan
tewas dengan pembuluh darah pecah, dan tidak
mungkin bisa diobati lagi. Jadi, kalian tidak perlu lagi
mengkhawatirkan nya...," jelas Memedi Karang Api.
Rupanya dia telah mempersiapkan segalanya den-
gan cermat dan teliti. Sehingga, baik Datuk Panglima
Sesat maupun Kuntilanak Bukit Mandau sama-sama
mengangguk penuh kepuasan. Keraguan mereka pun
pupus setelah mendengar penjelasan yang melegakan
hati itu.
"Hm.... Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu? Mari-
lah kita segera menyelesaikan pekerjaan ini. Setelah
itu, mereka kita kirim untuk membunuh Pendekar Na-
ga Putih. Dan apabila pendekar muda itu telah tewas,
tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Maka, kita be-
rempat akan menguasai dunia persilatan. Ha ha ha...!"
kata Datuk Panglima Sesat seraya tertawa. Sepertinya,
dia memiliki keinginan untuk menjadi raja dunia persi-
latan.
"He he he.... Mengapa kau berpikiran sempit sekali,
Sahabat? Rencanaku justru jauh lebih besar lagi. Se-
belum membunuh Pendekar Naga Putih, aku akan
menugaskan Pasukan Pembunuh ini untuk membu-
nuh Prabu Pungga Lawa. Ini merupakan ujian berat
bagi mereka, karena istana merupakan gudangnya to-
koh-tokoh sakti. Nah! Apabila berhasil, mereka harus
melenyapkan Pendekar Naga Putih. Bagaimana? Apa-
kah rencanaku itu jauh lebih baik dari keinginanmu,
Datuk Panglima Sesat..?" usul Memedi Karang Api.
Sepertinya, datuk itu masih mendendam terhadap
penguasa Kerajaan Mulawarta. Dan dia memang ingin
melanjutkan cita-cita Malaikat Gerbang Neraka, yang
pernah dibantunya dalam merebut kerajaan itu dari
tangan Prabu Pungga Lawa (Untuk lebih jelasnya, sila-
kan ikuti episode "Malaikat Gerbang Neraka" dan "Ra-
hasia Pedang Naga Langit").
"Hei?! Itu sangat berbahaya, Memedi Karang Api!
Bagaimana kalau pasukan kecil yang telah dipersiapkan ini sampai tertangkap, atau terbunuh? Bu-
kankah jerih payah kita selama ini akan sia-sia saja?
Rasanya, aku kurang setuju pada rencanamu itu! Ter-
lalu berbahaya!" bantah Datuk Panglima Sesat.
Jelas, dia kurang setuju terhadap rencana Memedi
Karang Api, karena khawatir kalau Pasukan Pembu-
nuh yang telah dipersiapkan untuk melenyapkan Pen-
dekar Naga Putih akan tewas atau tertangkap oleh pra-
jurit istana. Tentu saja hal itu tidak diinginkannya.
"Jangan bodoh, Panglima Sesat! Meskipun Pasukan
Pembunuh dipersiapkan untuk melenyapkan Pendekar
Naga Putih, tetapi kita harus mengujinya terlebih da-
hulu. Dan saru-satunya ujian yang paling baik hanya-
lah dengan mengacaukan istana. Itu sebabnya aku te-
lah merencanakannya dengan baik...!" bantah Memedi
Karang Api, tidak mau kalah.
Kakek itu memang tetap pada rencananya semula,
dan tidak mempedulikan bantahan Datuk Panglima
Sesat. Sehingga, lelaki gagah bertubuh tinggi besar itu
menggeram marah. Maka, suasana pun semakin ber-
tambah tegang ketika kedua orang datuk itu telah siap
saling gempur!
"Bodoh! Hentikan pertengkaran tak berguna ini...!"
sentak Raja Iblis Jubah Merah, berusaha menengahi.
Lelaki gemuk berwajah brewok itu tentu saja tidak
ingin rencana yang telah disusun dengan susah-payah,
hancur karena perpecahan di antara mereka.
Namun, campur tangan Raja Iblis Jubah Merah di-
tanggapi lain oleh Datuk Panglima Sesat. Lelaki tinggi
besar itu menggeram, mengira Raja Iblis Jubah Merah
hendak membantu Memedi Karang Api. Maka Datuk
Panglima Sesat segera mundur beberapa langkah, se-
perti bersiap menghadapi keroyokan Memedi Karang
Api dan Raja Iblis Jubah Merah.
"Hm.... Meskipun harus menghadapi keroyokan ka-
lian, jangan dikira aku akan gentar. Mari kita mengadu
nyawa...!" dengus Datuk Panglima Sesat, geram. Lang-
sung saja jurus-jurus ampuhnya disiapkan. Sehingga,
baik Raja iblis Jubah Merah maupun Memedi Karang
Api sama-sama melompat ke belakang.
"Tahan amarah mu, Panglima Sesat! Aku tidak
berpihak kepada siapa pun. Tapi, perlu diingat musuh
akan tertawa apabila mendengar kita saling berbunu-
han di antara rekan sendiri. Bahkan, dunia persilatan
akan menertawai kita. Hm.... Apakah kalian berdua in-
gin mendapatkan cemoohan seperti itu? Kalau me-
mang itu yang diinginkan, silakan kalian bertarung
sampai mati! Aku tidak peduli lagi...!" bentak Raja Iblis
Jubah Merah.
Laki-laki berjubah merah itu memang menjadi
jengkel melihat gelagat kalau pertarungan seperti sulit
dihindari lagi.
"Hm.... Tapi aku tidak sudi mengikuti rencana Me-
medi Karang Api yang sangat berbahaya! Untuk apa je-
rih payah kita selama ini kalau akhirnya hanya untuk
mengantarkan Pasukan Pembunuh itu ke akhirat, se-
belum melenyapkan Pendekar Naga Putih?!" tandas
Datuk Panglima Sesat, tetap pada pendiriannya semu-
la.
"Aku juga tidak suka dengan rencanamu yang
sempit dan tidak mendatangkan keuntungan itu!" ser-
gah Memedi Karang Api, juga tak mau kalah. Ia tetap
menganggap kalau rencana Datuk Panglima Sesat ti-
dak berguna dan hanya membuang-buang waktu saja.
"Hm.... Mengenai rencana itu, biarlah kita runding-
kan belakangan. Sekarang yang penting, Pasukan
Pembunuh harus disiapkan secara lebih sempurna.
Setelah itu, barulah kita adakan mufakat. Siapa yang
mendapatkan suara terbanyak dari kita berempat, ma-
ka rencana itulah yang harus disetujui. Bagaimana...?"
usul Raja Iblis Jubah Merah.
Jalan tengah itu ternyata membuat Datuk Pangli-
ma Sesat dan Memedi Karang Api saling berpandangan
sejenak. Terlihat mereka saling mengangguk setuju,
dan tertawa terbahak-bahak.
"Aku setuju...," sambut Datuk Panglima Sesat.
Datuk itu tampak kembali sudah bersikap biasa
dan wajar. Sedikit pun tidak kelihatan kalau di antara
mereka pernah hampir saling bentrok.
Raja Iblis Jubah Merah dan Kuntilanak Bukit
Mandau sama-sama menarik nafas lega. Mereka pun
kembali ke tujuan semula, menyempurnakan ilmu Pa-
sukan Pembunuh yang telah dibentuk itu.
***
LIMA
Malam sudah cukup larut. Cahaya sang dewi ma-
lam yang temaram, tak mampu menerobos kegelapan.
Bintang yang bertaburan bagaikan lampu-lampu
penghias malam, membiaskan cahayanya untuk mem-
bantu sang rembulan menerangi permukaan bumi.
Para peronda yang berjaga di sekitar bangunan in-
duk Kerajaan Mulawarta, telah berganti. Rombongan
pertama segera berputar ke sekeliling bangunan induk.
Sedangkan rombongan yang bertugas menggantikan,
berjaga di pos yang telah tersedia.
Belum berapa lama rombongan kedua itu beristira-
hat, tiba-tiba muncul seorang lelaki gagah berusia lima
puluh tahun yang mendatangi pos. Serentak delapan
orang prajurit itu bangkit, dan membungkuk hormat
kepada lelaki gagah berpakaian senapati itu.
"Hm.... Ada apa Tuan Senapati Jagaraksa malam-
malam begini mendatangi pos penjagaan? Tidak bi-
asanya beliau berbuat seperti ini...," desis kepala jaga
yang berpangkat perwira. Memang, kedatangan pan-
glima gagah itu tentu saja membuat para penjaga men-
jadi tegang, takut-takut kalau telah berbuat salah.
"Hm...."
Lelaki gagah bernama Senapati Jagaraksa itu
hanya menggumam seperti balasan penghormatan pa-
ra prajuritnya. Sepasang matanya yang tajam menga-
wasi wajah-wajah tertunduk di depannya. Sehingga,
delapan orang prajurit, termasuk perwira jaga itu se-
makin berdebar. Mereka seperti menanti ucapan yang
bakal keluar dari mulut panglima gagah itu.
Senapati Jagaraksa belum lama menjabat sebagai
Panglima Kerajaan Mulawarta. Semula, ia adalah seo-
rang pendekar besar yang tangguh. Julukannya, Pen-
dekar Pedang Perak. Jabatan itu diperoleh setelah tu-
rut membantu dalam menghancurkan pemberontak
yang hampir-hampir berhasil merebut Kerajaan Mula-
warta. Mengingat jasa-jasa serta kesaktiannya yang
tinggi, maka Prabu Pungga Lawa menganugerahkan
jabatan senapati. Meskipun demikian, Senapati Jaga-
raksa tidak menjadi tinggi hati dan berbuat sewenang-
wenang terhadap bawahan. Sikapnya yang tegas dan
memperhatikan bawahan, membuat para prajurit dan
perwira merasa hormat dan segan terhadapnya. Jadi
wajar saja kalau para prajurit jaga malam itu merasa
tegang ketika melihat Senapati Jagaraksa datang dan
tiba-tiba memeriksa.
"Maafkan kami, Tuan Panglima. Kedatangan Tuan
benar-benar membuat kami terkejut dan bertanya
tanya. Kami takut kalau-kalau telah berbuat kesala-
han. Mohon Tuan menjelaskan...," pinta perwira beru-
sia empat puluh tahun yang tubuhnya tinggi tegap.
Kepala perwira itu tertunduk dalam, menanti jawa-
ban atasannya. Demikian pula ketujuh orang prajurit
lainnya. Mereka sama-sama menanti dengan dada ber-
debar.
"Hm..., kalian sama sekali tidak berbuat salah. Aku
hanya ingin berjalan-jalan sambil memeriksa sekitar
tempat ini. Aku merasa gembira melihat kalian yang
penuh semangat dalam melaksanakan tugas. Nah, Te-
nangkanlah hati kalian, dan selamat bertugas...," ucap
lelaki gagah itu.
Senapati Jagaraksa segera melangkah meninggal-
kan kedelapan peronda yang sama-sama menghela na-
pas lega. Mereka kembali membungkuk hormat, saat
senapati gagah itu berjalan pergi.
"Hm.... Kalau sampai Senapati Jagaraksa keluar
seorang diri dan memeriksa sekeliling bangunan induk
ini, pasti bakal ada sesuatu yang terjadi. Meskipun hal
itu belum pasti, tapi kewaspadaan harus lebih diting-
katkan...," pesan perwira kepala jaga itu.
Rupanya, dia cepat dapat meraba gelagat dari sikap
atasannya yang menurutnya agak aneh. Dan perasaan
itu membuatnya harus mengingatkan kawan-
kawannya agar lebih bersiaga.
Dan, apa yang diperkirakan perwira jaga itu me-
mang tidak berlebihan. Saat itu, tidak jauh dari pos
penjagaan, tampak beberapa sosok bayangan hitam
berkelebat menuju bangunan induk. Gerakan mereka
terlihat sangat gesit dan terlatih baik. Sehingga, sedikit
pun tidak menimbulkan suara mencurigakan saat me-
langkah. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah
mencapai tingkat tinggi.
Sebagai seorang senapati dan bekas pendekar pe-
tualang, Senapati Jagaraksa sepertinya merasakan ke-
tidakwajaran suasana malam ini. Senapati Jagaraksa
tahu kebiasaan orang-orang persilatan, apabila ingin
menyatroni istana selalu melewati jalan atas. Maka ke-
palanya seringkali menengadah ke atap-atap bangu-
nan. Dan suatu ketika ia sempat menangkap sosok-
sosok hitam yang berkelebatan di atas atap bangunan.
"Hm.... Perasaanku rupanya tidak salah. Siapa pu-
la yang berani mati mendatangi istana ini? Dan apa
pula tujuan mereka...?" desis Senapati Jagaraksa ber-
gumam seorang diri.
Lelaki gagah itu mendekam, merendahkan tubuh-
nya agar tidak terlihat oleh sosok-sosok tubuh di atas
atap. Dan kalau tidak salah hitung, jumlahnya sekitar
delapan orang. Melihat cara mereka bergerak, dada
Senapati Jagaraksa seketika berdebar tegang. Ia sadar,
kedelapan sosok bayangan hitam itu rata-rata memiliki
ilmu meringankan tubuh yang beberapa tingkat di atas
kepandaiannya! Tidak heran kalau lelaki gagah itu
menjadi terkejut.
"Gila! Hal ini tidak boleh dibiarkan! Aku harus
memberitahukan yang lain untuk bersiap siaga...,"
gumam Senapati Jagaraksa yang segera berlari menu-
ju pos penjagaan semula yang didatanginya.
"Hahhh...?!"
Betapa terkejutnya hati senapati gagah itu ketika
melihat para penjaga di pos telah bergeletakan tewas.
Hal itu diketahuinya setelah memeriksa kedelapan pra-
jurit jaga yang rata-rata telah tertembus sebatang ja-
rum merah pada bagian leher.
"Keparat! Mereka jelas pembunuh-pembunuh ke-
ji...!" geram Senapati Jagaraksa.
Langsung saja laki-laki gagah itu memukul ken
tongan tanda bahaya dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya. Suara kentongan terdengar bertalu-talu me-
mecah keheningan malam. Kemudian, Senapati Jaga-
raksa telah melesat naik ke atap bangunan, mengejar
sosok-sosok bayangan hitam yang diduga pasti menuju
istana tempat kediaman Prabu Pungga Lawa.
"Heaaat..! Hendak lari ke mana kalian, Penjahat-
penjahat Busuk...?!" bentak Senapati Jagaraksa, se-
raya mencabut pedang peraknya dan langsung menye-
rang orang-orang di bawahnya.
Bettt!
Trang...!
"Akhhh...?!"
Senapati Jagaraksa berteriak kaget ketika pedang-
nya dipapaki salah seorang berpakaian hitam. Bahkan
tubuhnya hampir terpelanting ke tanah. Untung saja,
ia masih bisa mengimbangi tubuhnya. Sehingga, tu-
buhnya melenting ke udara, lalu mendarat dengan ku-
da-kuda kokoh.
Sementara itu, belasan orang prajurit yang memer-
goki delapan lelaki terbungkus pakaian serba hitam,
langsung mengeroyok. Namun, tak lama terdengar jeri-
tan susul-menyusul. Sebentar saja, nyawa belasan
prajurit itu telah melayang akibat pukulan hebat yang
dilontarkan tujuh orang lelaki berseragam serba hitam
itu. Sementara orang berseragam hitam yang satu lagi,
telah melesat menyerang Senapati Jagaraksa.
"Gila! Siapa orang-orang ini...? Kepandaian mereka
benar-benar hebat! Rasanya aku bukan tandingan me-
reka...!" desis Senapati Jagaraksa.
Laki-laki itu menjadi terkejut bukan main, me-
nyaksikan belasan orang prajurit pilihan yang bertugas
meronda istana induk, dapat dilumpuhkan hanya da-
lam beberapa gebrakan saja. Betul-betul sukar dapat
dipercaya!
Tapi, senapati gagah itu tidak bisa berpikir lama-
lama, karena saat itu serangan lawan telah datang ba-
gaikan gelombang angin topan yang menggiriskan! Sa-
dar kalau serangan lawan terlalu sukar dibendung,
Senapati Jagaraksa langsung saja berlompatan men-
jauh.
Namun, gerakan sosok berpakaian serba hitam itu
benar-benar membuat Senapati Jagaraksa terbelalak
ngeri. Dengan kecepatan menggetarkan, sosok berpa-
kaian hitam itu terus melesat memperhebat serangan-
nya. Sehingga, lelaki gagah yang terkenal sebagai Pen-
dekar Pedang Perak itu merasa kewalahan menghada-
pinya.
"Hahhh...!"
Senapati Jagaraksa yang sudah tidak punya ke-
sempatan berkelit, mencoba memapak cengkeraman
lawan dengan mata pedangnya.
Trang!
"Aaakh...!"
Untuk kesekian kalinya, Senapati Jagaraksa me-
mekik kesakitan. Kali ini, rupanya lawan telah me-
nambah kekuatan tenaganya. Buktinya, senapati ga-
gah itu sampai terpelanting dengan lengan terasa lum-
puh dan ngilu.
Plak!
"Uuugh...!"
Meskipun masih berusaha mengelak, tak urung
bahu kanan Senapati Jagaraksa terkena hantaman te-
lapak tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu
kembali terpelanting mencium tanah. Darah segar
tampak meleleh keluar dari sudut bibirnya. Senapati
Jagaraksa merasakan bahunya bagaikan remuk akibat
tamparan lawan. Dan rasanya, ia tidak mungkin lagi
bisa menyelamatkan diri dari ancaman pukulan lawan
yang kembali tiba mengancam.
"Yiaaat..!"
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Se-
napati Jagaraksa, tiba-tiba sesosok tubuh jangkung
melayang dan langsung menusukkan pedangnya ke
tubuh orang berpakaian hitam yang tengah meluncur
ke arah Senapati Jagaraksa. Dan....
Trakkk! Buggg!
"Huagkhhh...!"
Bukan main hebatnya gerakan yang dilakukan so-
sok orang berpakaian hitam itu. Dengan kecepatan
yang tidak terlihat mata, sepasang tangannya yang
berbentuk cakar bergerak memapak serangan sosok
tubuh jangkung. Bahkan langsung dikirimkannya han-
taman telapak tangan secara telak ke tubuh jangkung
itu.
Sebagai akibatnya, sosok tubuh jangkung yang
menyelamatkan Senapati Jagaraksa itu harus meneri-
ma kenyataan pahit. Tubuhnya kontan terjungkal ke
belakang, kemudian disambut tamparan keras oleh sa-
lah seorang dari sosok berseragam hitam lainnya.
Brukkk!
Tanpa ampun lagi, sosok jangkung yang juga ber-
pangkat senapati itu langsung ambruk ke tanah den-
gan kepala pecah. Tentu saja kejadian itu membuat
Senapati Jagaraksa terpukul.
Untunglah saat itu para prajurit telah banyak ber-
datangan. Sehingga, delapan sosok tubuh tegap berpa-
kaian serba hitam yang kini berkumpul, terperangkap
dalam kepungan dua ratus lebih prajurit kerajaan. Be-
lasan senapati, perwira, dan punggawa tampak berada
di depan. Obor-obor ditancapkan di pohon dan tembok
di sekeliling tempat itu untuk menerangi arena pertempuran yang akan berlangsung sengit.
Senapati Jagaraksa yang juga telah bergabung
dengan senapati lainnya, menatap tajam delapan sosok
tubuh itu. Sepertinya, dia hendak mencoba mengeta-
hui orang-orang yang berani mati mendatangi istana
ini. Namun, tak satu pun dari mereka yang dapat di-
kenali. Wajah-wajah mereka yang pucat, dingin, dan
kaku, menimbulkan kesan seram bagi siapa saja yang
mencoba menentang pandangan mata mereka.
"Hm.... Siapa kalian sebenarnya, Pembunuh-
pembunuh Keji?! Apa maksud kalian menyatroni ista-
na kediaman Gusti Prabu Pungga Lawa ini?" bentak
Senapati Jagaraksa. Jelas-jelas dia merasa penasaran
terhadap delapan sosok berpakaian serba hitam yang
tampak demikian aneh itu.
Namun setelah agak lama menunggu, tak juga ter-
dengar jawaban sepatah pun. Akibatnya, Senapati Ja-
garaksa dan para senapati lain menjadi jengkel. Maka
segera saja para prajurit yang semakin bertambah ba-
nyak itu diperintahkan untuk menyerbu. Biarpun me-
reka sangat sakti bagai dewa, namun pasti ada batas-
nya. Dan untuk melawan ratusan orang prajurit yang
mengepung rapat, tentu saja mereka tidak akan lolos.
Meskipun, korban yang jatuh sudah pasti tidak sedikit
"Serbuuu...!"
Tanpa diperintah dua kali, ratusan prajurit Kera-
jaan Mulawarta itu langsung saja bergerak maju. Me-
reka menerjang delapan orang lelaki tegap berpakaian
serba hitam dengan teriakan-teriakan pertempuran
yang membahana. Sebentar saja, pertempuran berda-
rah pun pecah.
Senapati Jagaraksa dan para senapati lain segera
bergerak maju di depan dengan senjata terhunus. Para
pembesar Kerajaan Mulawarta itu benar-benar merasa
terkejut ketika melihat akibat amukan delapan orang
lelaki berpakaian hitam. Sebentar saja, belasan orang
prajurit beterbangan ke sana kemari, laksana laron-
laron yang menghampiri api. Teriakan-teriakan ngeri
terdengar sahut-menyahut, diiringi percikan darah se-
gar yang membuat halaman istana berubah menjadi
lautan darah!
Bahkan, bukan hanya para prajurit saja yang jatuh
menjadi korban amukan pembunuh-pembunuh keji
itu. Beberapa orang perwira pun tampak tergeletak tak
berdaya terkena sambaran jari-jari tangan yang mam-
pu memukul pecah sebongkah batu karang besar! Aki-
batnya, keadaan pun semakin bertambah kacau.
Saat pembantaian besar-besaran itu tengah ber-
langsung, tiba-tiba terdengar suara sangkala mening-
kahi riuhnya teriakan kematian. Senapati Jagaraksa
yang tahu betul tanda itu, segera saja memberi perin-
tah untuk mundur bagi para prajuritnya.
Sementara, delapan lelaki tegap berwajah dingin
seperti mayat hidup itu sama sekali tidak berusaha
mendesak ketika lawan-lawannya bergerak mundur.
Ternyata suara sangkala itu berasal dari rombongan
orang berkuda yang baru tiba. Sikap mereka yang
tampak gagah dan berwibawa, tampak diawasi oleh
empat pasang mata dingin dan menyeramkan.
"Hm...."
Sosok bertubuh tinggi kokoh yang merupakan
pimpinan delapan sosok tubuh itu bergumam sambil
meneliti tiga rombongan yang mengenakan seragam
berbeda.
Rombongan sebelah kanan berseragam merah da-
rah. Mereka membawa bendera besar bergambar see-
kor naga merah. Tampaknya rombongan itu merupa-
kan pasukan inti Kerajaan Mulawarta yang bernama
Pasukan Naga Merah. Sedangkan dua pasukan lain
adalah Pasukan Naga Hijau dan Pasukan Naga Hitam.
Melihat munculnya pasukan-pasukan inti yang ja-
rang menampakkan diri itu, membuat para prajurit
bergerak menyingkir untuk memberi jalan. Meskipun
agak heran melihat pasukan tersembunyi itu keluar
dan ingin menangani, namun tak seorang pun dari
mereka yang berani bertanya. Para prajurit itu hanya
menatap penuh kagum ke arah rombongan inti Kera-
jaan Mulawarta.
Senapati Jagaraksa pun tidak kalah heran melihat
munculnya pasukan inti itu. Ia juga tahu, para anggo-
ta pasukan itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi,
hanya beberapa tingkat di bawahnya. Selain itu, setiap
kelompok mempunyai sebuah ilmu khusus yang bisa
diterapkan secara berkelompok. Dan ternyata hasilnya
sangat hebat. Ia sendiri pernah mencoba kehebatan-
nya. Biasanya, pasukan inti itu hanya digunakan un-
tuk menggempur musuh kerajaan yang sangat berba-
haya. Maka tentu saja Senapati Jagaraksa jadi heran
melihat pasukan itu muncul hendak menangani dela-
pan orang pembunuh ini. Walaupun kedelapan lelaki
tegap berpakaian serba hitam itu memiliki kesaktian
tinggi, tapi menurutnya tidak perlu menggunakan pa-
sukan khusus untuk melumpuhkan mereka.
"Maaf, Tuan Panglima...," ucap pimpinan Pasukan
Naga Merah kepada Senapati Jagaraksa. "Sebenarnya,
ini memang bukan tugas kami. Tapi, mendengar lapo-
ran kalau mereka sangat berbahaya dan memiliki ilmu
yang sangat tinggi, Tuan Patih Argadipta memerintah-
kan agar kami segera turun untuk menanganinya. Me-
nurutnya, hal ini untuk mencegah agar korban di pi-
hak kita tidak terlalu banyak. Kuharap, Tuan Senapati
dapat memakluminya."
"Hm...."
Senapati Jagaraksa hanya bergumam mendengar
alasan yang dikemukakan Pimpinan Pasukan Naga
Merah itu. Kepalanya tampak mengangguk perlahan,
memaklumi dan membenarkan apa yang diucapkan
Patih Argadipta. Lalu, ia pun segera memberi jalan ke-
pada pasukan itu untuk maju dan meringkus delapan
orang berseragam hitam yang kini sudah menanti.
Namun, sebelum ketiga pasukan inti dari Kerajaan
Mulawarta maju lebih dekat, delapan lelaki tegap ber-
wajah pucat tanpa perasaan itu sama-sama mendo-
rongkan telapak tangan ke depan!
Bummm...!
Seketika terdengar ledakan keras yang bagaikan
hendak mengguncang bumi. Suasana di sekitar tempat
itu pun menjadi pekat dalam sekejap, oleh debu dan
tanah yang beterbangan.
"Tutup semua jalan keluar...!" perintah Senapati
Jagaraksa.
Rupanya senapati ini langsung menyadari siasat
kedelapan pembunuh itu. Namun karena suasana ge-
lap belum reda, para prajurit tidak dapat menentukan
arah yang harus dituju. Sehingga, banyak di antara
mereka yang saling bertabrakan. Tentu saja keadaan
itu membuat suasana semakin bertambah kacau.
Bahkan tak ada yang menyadari kalau kedelapan
orang itu telah bergerak menyingkir.
"Diam di tempat masing-masing...!" terpaksa Sena-
pati Jagaraksa merubah perintahnya, untuk mereda-
kan kegaduhan.
Seketika suasana kembali tenang. Setelah gumpa-
lan debu itu lenyap, barulah disadari kalau delapan
orang berseragam hitam itu telah lenyap. Maka, Sena-
pati Jagaraksa memerintahkan para prajuritnya untuk
memeriksa sekitar bangunan istana induk.
"Hm.... Menurutku, mereka pasti sudah pergi me-
ninggalkan tempat ini, Tuan Panglima. Tapi, memang
tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga dan memeriksa
sekitar istana."
Setelah berkata demikian, Pimpinan Pasukan Naga
Merah itu pun bergerak meninggalkan tempat ini, ber-
gerak meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dahulu
memeriksa sekeliling istana untuk memastikan kea-
daan.
Namun, delapan orang lelaki berwajah pucat dan
berpakaian serba hitam itu seperti lenyap di-telan bu-
mi saja. Seputar istana telah teliti diperiksa. Tapi, so-
sok berseragam hitam yang telah meninggalkan pulu-
han korban itu memang lenyap tanpa jejak.
"Hm.... Lenyapnya mereka, bukan berarti kita boleh
merasa aman! Perketat penjagaan. Mungkin suatu saat
mereka akan muncul kembali dan membuat keonaran
di istana," ujar Senapati Jagaraksa, mengingatkan. Da-
lam hatinya, ia berjanji untuk mencari tahu tentang
kedelapan orang berseragam hitam dari kawan-
kawannya di rimba hijau. Senapati gagah itu segera
membubarkan pasukannya, setelah menekankan pe-
san-pesannya untuk diingat anggota pasukan.
Demikian pula dua pasukan inti lain. Mereka ber-
gerak meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dahulu
memeriksa sekeliling istana untuk memastikan kea-
daan.
Namun, delapan orang lelaki berwajah pucat dan
berpakaian serba hitam itu seperti lenyap di telan bu-
mi saja. Seputar istana telah teliti diperiksa. Tapi, so-
sok berseragam hitam yang telah meninggalkan pulu-
han korban itu memang hilang tanpa jejak.
“Hm… Lenyapnya mereka, bukan berarti kita boleh
merasa aman! Perketat penjagaan. Mungkin suatu saat
mereka akan muncul kembali dan membuat keonaran
di Istana,” ujar Senapati Jagaraksa, mengingatkan. Da-
lam hatinya, ia berjanji untuk mencari tahun tentang
kedelapan orang berseragam hitam dari kawan-
kawannya di rimba hijau. Senapati gagah itu segera
membubarkan pasukannya, setelah menekankan pe-
san-pesannya untuk diingat anggota pasukan.
***
ENAM
"Kita singgah dulu di kedai itu, Praba...," ajak seo-
rang lelaki separuh baya, kepada pemuda gagah yang
berjalan di sebelahnya. Saat itu mereka tengah me-
langkah menyusuri jalan utama sebuah desa yang cu-
kup ramai dan padat penduduknya.
"Baik, Guru...," sahut pemuda gagah berusia seki-
tar dua puluh dua tahun, yang dipanggil Praba.
Bergegas, mereka melangkah memasuki kedai ma-
kan yang siang itu tampak agak ramai oleh pengun-
jung. Praba berjalan di belakang laki-laki separuh baya
yang menjadi gurunya ketika memasuki pintu kedai.
Laki-laki yang tak lain bernama Ki Janala itu berhenti
sejenak, menyapu ruangan dengan pandangan ma-
tanya yang setajam elang. Kemudian kakinya kembali
melangkah ketika telah menemukan sebuah meja ko-
song yang terletak agak ke sudut.
Praba berjalan mengikuti langkah kaki Ki Janala.
Pemuda gagah itu memang tidak banyak bicara, dan
selalu patuh kepada lelaki setengah baya yang mendi-
dik dan memeliharanya sejak kecil. Kasih sayang dan
ketekunan Ki Janala dalam mendidiknya, membuat
Praba tahu diri dan tidak banyak menuntut.
Tiba-tiba saja lelaki setengah baya itu menghenti-
kan langkahnya saat melewati sebuah meja. Sepasang
matanya terbelalak lebar menegasi pemuda tampan
berjubah putih yang tengah menikmati hidangan ber-
sama seorang dara jelita berpakaian hijau.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Janala setengah
berbisik dengan wajah gembira. Sehingga, pemuda
tampan dan dara cantik jelita itu sama-sama mema-
lingkan wajah ke arah suara yang memanggilnya.
"Ki Janala...!" seru pemuda tampan berjubah putih
yang memang Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih bangkit dan me-
nyalami lelaki setengah baya yang masih kelihatan se-
hat itu.
"Praba...," lanjut Panji ketika melihat pemuda ga-
gah yang berada di belakang Ki Janala.
"Ah! Sungguh gembira aku bisa. bertemu lagi den-
ganmu, Pendekar Naga Putih. Waktu itu, aku belum
sempat mengucapkan terima kasih atas pertolongan-
mu. Aku benar-benar gembira...," ucap Ki Janala den-
gan wajah berseri-seri. Tampak sekali kalau kegembi-
raannya tidak dapat disembunyikan begitu berjumpa
Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Kenanga juga bangkit menyalami
kedua orang guru dan murid itu. Lalu, diajaknya ber-
gabung, karena di tempat itu masih tersisa dua kursi
lain yang kosong.
'Terima kasih..., terima kasih,..," sambut Ki Janala.
Segera diajaknya Praba untuk menerima tawaran itu.
"Hm.... Sepertinya kalian berdua telah melakukan
perjalanan cukup melelahkan. Kalau boleh tahu, hen-
dak ke manakah kalian berdua...?" tanya Panji lagi, setelah memesan makanan kepada pelayan kedai untuk
Ki Janala dan Praba.
"Sebenarnya sungguh suatu kebetulan yang sangat
kami harapkan, sehingga dapat berjumpa denganmu di
tempat ini, Pendekar Naga Putih. Apakah kau sudah
mendengar tentang kejadian yang menimpa Istana Mu-
lawarta...?" kata Ki Janala sambil meneguk minuman
yang telah disediakan pelayan kedai.
"Kejadian yang menimpa Istana Mulawarta? Apa
itu, Ki? Kami sama sekali belum mendengarnya...,"
sentak Panji, menjadi heran ketika mendengar ucapan
Ki Janala.
"Seorang utusan Ki Jagaraksa mendatangi kedia-
manku. Dia meminta bantuanku untuk menyelidiki de-
lapan orang aneh yang telah memasuki istana bebera-
pa hari yang lalu. Maksud mereka belum jelas. Tapi
menurut Ki Jagaraksa, mereka pasti hendak berbuat
jahat. Kedelapan orang itu disebut sebagai Pasukan
Pembunuh, karena pada saat dipergoki membantai
banyak prajurit dan perwira kerajaan di malam keja-
dian," jelas Ki Janala dengan nada perlahan. Ia me-
mang tidak ingin kalau berita itu sampai tersebar di
luar, seperti yang dipesankan Ki Jagaraksa melalui
utusannya.
"Maksudmu, Ki Jagaraksa yang berjuluk Pendekar
Pedang Perak?" tegas Panji dengan kening berkerut.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa heran, ka-
rena pernah bahu-membahu menumpas pemberontak
Malaikat Gerbang Neraka bersama Pendekar Pedang
Perak. Dan juga telah didengarnya kalau tokoh itu te-
lah mendapat kedudukan yang terhormat di Kerajaan
Mulawarta bersama Pendekar Laut Selatan.
"Benar! Ki Jagaraksa telah menjabat sebagai salah
satu senapati kepercayaan Gusti Prabu Pungga Lawa.
Sebenarnya, beliau hendak menghubungimu. Tapi ka-
rena kau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, ak-
hirnya Ki Jagaraksa meminta bantuanku, sekaligus
untuk mencarimu dan menjelaskan kejadian itu," ja-
wab Ki Janala lagi. Sedangkan Kenanga dan Praba
hanya menjadi pendengar saja.
"Pasukan Pembunuh...?! Rasanya nama itu baru
sekarang ini kudengar, Ki. Apakah Ki Jagaraksa tidak
menceritakan ciri-ciri mereka...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih berusaha memutar otaknya
untuk mencari tahu, siapa orang-orang yang dijuluki
Pasukan Pembunuh itu. Tapi setelah sekian lamanya
memutar otak, tetap saja tidak menemukannya. Maka,
Panji pun mengerti kalau nama itu pasti belum lama
muncul.
"Itulah yang masih menjadi tanda-tanya bagiku. Ki
Jagaraksa hanya mengatakan kalau jumlah mereka
delapan orang. Wajah mereka rata-rata dingin dan ti-
dak berperasaan dengan tatapan mata kejam seperti
pembunuh berdarah dingin. Dan, yang membuatku
terkejut, ternyata Ki Jagaraksa dapat dikalahkan
hanya dalam waktu kurang dari lima puluh jurus oleh
seorang dari mereka. Bahkan beliau nyaris tewas di
tangan Pasukan Pembunuh itu," jawab Ki Janala lagi,
meyakinkan.
"Eh...?! Sampai demikian hebatkah kesaktian me-
reka?" gumam Panji, seolah tak percaya.
Memang, Pendekar Naga Putih tahu betul, sampai
di mana kesaktian Pendekar Pedang Perak. Dan kalau
sampai tokoh itu memuji-muji lawannya, jelas kalau
kepandaian Pasukan Pembunuh tidak bisa diremeh-
kan. Paling tidak, tentu setingkat dengan Kenanga.
"Bukan hanya itu saja. Dalam suratnya, Ki Jaga-
raksa pun mengatakan kalau kesaktian mereka secara
berkelompok sangat luar biasa! Bahkan mungkin para
datuk di empat penjuru pun tidak akan sanggup
menghadapi mereka...," tegas Ki Janala melanjutkan
keterangannya. Sehingga, membuat Panji jadi terme-
nung sesaat lamanya.
"Hm..., baiklah. Aku akan mencoba untuk menyeli-
diki orang-orang yang dijuluki Pasukan Pembunuh itu.
Mudah-mudahan aku bisa menemukan mereka...," te-
gas Pendekar Naga Putih.
"Mmm.... Bagaimana kalau kita mencari bersama-
sama, Pendekar Naga Putih? Mungkin kita bisa saling
bantu...," usul Ki Janala, agak ragu.
"Kurasa itu lebih baik...," jawab Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa tidak enak
untuk menolak. Ia tidak ingin kalau Ki Janala menjadi
tersinggung. Walaupun, dalam hal kepandaian Ki Ja-
nala masih jauh di bawah Pendekar Naga Putih. Dan
hal itulah yang membuat Panji tidak berani menolak.
"Kita berangkat sekarang...?" tanya Ki Janala sam-
bil melihat semua hidangan di atas meja yang telah tak
tersisa sedikit pun. Panji hanya mengangguk. Setelah
membayar harga makanan, mereka pun beranjak me-
ninggalkan kedai itu.
***
"Kira-kira ke mana tujuan pertama dalam mencari
Pasukan Pembunuh itu, Panji...?" tanya Ki Janala.
Kini, laki-laki setengah baya itu menyebut Pende-
kar Naga Putih dengan nama saja, sesuai permintaan
Panji.
"Hm.... Menurutku, sebaiknya kita datangi datuk
sesat yang menguasai wilayah timur ini. Di sana kita
selidiki, bagaimana tanggapan datuk sesat itu setelah
mendengar kemunculan Pasukan Pembunuh. Kalau
mereka tidak tahu, berarti para datuk itu akan muncul
dan kemungkinan akan mencari Pasukan Pembunuh.
Entah untuk bergabung, atau hanya sekadar ingin
menjajal kepandaian mereka. Dengan begitu, kita akan
mudah menemukan orang-orang aneh itu...," ungkap
Panji tentang rencananya.
"Aku setuju. Rasanya, rencana itu merupakan sa-
tu-satunya yang terbaik saat ini...," sambut Ki Janala,
berseri.
"Ha ha ha...!"
Pendekar Naga Putih dan yang lainnya menahan
langkah ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang
berkumandang dari empat penjuru. Sadar kalau suara
itu dikirim lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, ma-
ka cepat-cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk me-
lindungi dada agar tidak berguncang.
Dan, baik Pendekar Naga Putih maupun yang lain
tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat setelah su-
ara gelak tawa itu lenyap, tahu-tahu bermunculan de-
lapan sosok tubuh tegap terbungkus pakaian warna-
warni. Tiap dua orang mengenakan seragam serupa,
sehingga sekali pandang saja segera diketahui kalau
mereka itulah yang mungkin disebut sebagai Pasukan
Pembunuh. Bukti yang menguatkan dugaan Panji, si-
nar wajah yang dingin beku dan sorot mata yang tajam
liar.
"Mungkinkah mereka yang disebut sebagai Pasu-
kan Pembunuh...?" desis Ki Janala, memperhatikan
delapan sosok tubuh yang kini telah membentuk ling-
karan, mengurung keempat tokoh persilatan itu.
"Mungkin saja, Ki, menilik dari langkah mereka, je-
las kalau kepandaian mereka sangat tinggi. Selain itu,
pakaian yang dikenakan, seperti sengaja dibentuk agar
terlihat seperti pasukan kecil. Jadi, besar kemungki-
nan kalau mereka inilah yang disebut sebagai Pasukan
Pembunuh," jelas Panji. Tentu saja Pendekar Naga Pu-
tih hanya sekadar menduga-duga meskipun ada keya-
kinan kalau perkiraannya tidak meleset.
"Lalu, mengapa mereka sepertinya bermusuhan
kepada kita...?" tanya Ki Janala lagi.
Pertanyaan itu seperti terdengar bodoh sekali, ka-
rena telah diutarakan sebelumnya. Tapi, Panji hanya
tersenyum tanpa bermaksud melecehkannya.
"Hm.... Cobalah ajak Praba menyingkir. Aku ingin
tahu, siapa sebenarnya yang mereka tuju," ujar Panji
lagi.
Pendekar Naga Putih memang ingin mengetahui,
siapa yang diinginkan Pasukan Pembunuh itu.
"Kau juga, Kenanga," lanjut Panji kepada kekasih-
nya.
"Tidak, Kakang. Sebaiknya mereka dihadapi ber-
sama-sama. Kalaupun hanya satu orang yang diingin-
kan, tapi kita harus menghadapi mereka bersama-
sama," bantah Kenanga. Memang, gadis itu belum
mengerti arah ucapan Panji.
'Tenang dulu," sergah Panji menyabarkan dara jeli-
ta itu. "Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya yang
mereka musuhi. Dengan begitu, kita bisa menebak
orang yang berdiri di belakang mereka. Karena melihat
dari gelagatnya, mereka seperti telah dicekoki oleh ra-
cun yang membuat otak lumpuh...."
Kini dara jelita itu sadar akan kekeliruannya. Ma-
ka, kakinya pun melangkah ke belakang.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset. Kedelapan
orang itu sama sekali tidak mempedulikan mundurnya
ketiga orang itu. Mereka kini bergerak mengepung
Pendekar Naga Putih. Jelas sudah, yang diinginkan
mereka ternyata Pendekar Naga Putih!
Melihat hal itu, Kenanga, Ki Janala, dan Praba
kembali bergerak maju. Tapi, kedelapan orang berwa-
jah dingin itu sama sekali tidak peduli. Mereka terus
melangkah semakin dekat dan menyebar membentuk
lingkaran lebar.
"Hm.... Jelas sudah sekarang, akulah yang diingin-
kan. Tapi, orang yang berdiri di belakang mereka aku
belum bisa menduganya...," gumam Panji, setelah
mengetahui secara jelas kalau Pasukan Pembunuh itu
pasti menginginkan kematiannya.
"Kita gempur saja mereka, Kakang...," usul Kenan-
ga.
Saat itu, Kenanga sudah hendak melepaskan Pe-
dang Sinar Rembulan yang melingkari pinggangnya.
Namun, gerakannya tertahan karena dicegah Panji.
"Kisanak sekalian! Siapakah kalian? Seingatku, ki-
ta belum pernah bertemu sebelumnya. Kalau boleh ku
tahu, apa maksud kalian mencariku...?" tanya Panji,
lantang. Dirayapinya delapan wajah dingin itu dengan
sinar mata tajam, seolah-olah ingin membaca pikiran
mereka.
"Kami adalah Pasukan Pembunuh yang ditugaskan
untuk melenyapkanmu dari muka bumi ini...!" sahut
sosok terdepan yang berpakaian serba merah.
Suara orang itu terdengar demikian datar dan din-
gin, tanpa irama. Dan segera saja dapat diduga kalau
ucapan itu seperti memang telah lama ditanamkan da-
lam benak kedelapan lelaki muda bertubuh tegap itu.
Seluruh tubuh Panji menegang ketika delapan
orang pembunuh itu melangkah semakin dekat. Bah-
kan, 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya telah bergolak
melindungi sekujur tubuh. Sehingga, terciptalah kabut
bersinar putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang.
"Haaak..!"
Mendadak salah seorang yang berada di samping
kanan Panji memekik aneh. Kemudian, kedelapan
orang aneh itu berputaran mengelilingi Panji dan ka-
wan-kawannya. Melihat serangan aneh dan belum
pernah dilihatnya, kening Panji berkerut dalam. Tapi ia
tidak bisa berpikir lama, karena lingkaran yang dibuat
kedelapan orang itu terlihat semakin mengecil.
"Awaaas...!"
Panji berseru mengingatkan kawan-kawannya keti-
ka melihat salah satu dari kedelapan sosok tubuh itu
mencelat keluar dari dalam lingkaran. Dan orang itu
langsung melontarkan serangan yang menimbulkan
suara mencicit tajam, ke arah Kenanga!
"Yeaaah...!"
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam. Cepat pe-
dangnya berkelebat menebas. Sayang, gerakan orang
itu jauh lebih cepat. Tangan yang semula hendak men-
cengkeram, tiba-tiba berputar aneh dengan kecepatan
mengejutkan. Dan tahu-tahu, Kenanga merasakan
adanya sambaran angin tajam yang mengancam kepa-
lanya!
Wuttt..!
Dengan gerakan indah, Kenanga memutar tubuh-
nya dengan kuda-kuda rendah. Saat itu, kaki kanan-
nya mencelat naik menuju ulu hati lawan. Tapi, ten-
dangannya ternyata hanya berupa tipuan. Buktinya
sebelum menyentuh sasaran, kakinya telah ditarik pu-
lang. Bahkan kini digantikan dengan sambaran pedang
ke leher lawan.
Plakkk!
Hebat dan cepat sekali gerakan menangkis yang di-
lakukan sosok berpakaian biru tua itu. Dan tahu-tahu
saja, Kenanga terpekik mundur beberapa langkah ke
belakang. Bahkan pergelangan tangannya terasa nyeri
akibat terbentur sisi telapak tangan lawan. Maka ce-
pat-cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang, ketika
lawannya telah kembali menerjang dengan tusukan ja-
ri-jari tangan yang membentuk paruh ular.
"Haiiit..!"
Kenanga terus melenting dan berputaran beberapa
kali untuk menghindari kejaran tangan lawan yang se-
perti ular hidup itu. Dan kakinya baru mendarat, sete-
lah yakin telah terbebas dari ancaman serangan maut
lawan.
Panji yang akan melesat untuk melindungi Kenan-
ga, terpaksa menahan langkahnya. Karena, sosok ber-
pakaian biru tua itu telah melesat kembali ke dalam
barisan, dan ikut berputaran bersama tujuh orang
lainnya.
"Hm..," gumam Panji lirih, melihat cara-cara penye-
rangan lawannya yang aneh itu.
Pendekar Naga Putih sudah bisa meraba, dari ma-
na asal kepandaian delapan orang aneh itu. Hanya sa-
ja hatinya merasa khawatir akan keselamatan Kenan-
ga, Ki Janala, dan Praba. Memang, setelah melihat ge-
rakan salah satu dari mereka yang berhasil membuat
Kenanga kelabakan, Panji sadar kalau kepandaian la-
wan-lawannya rata-rata berada di atas kepandaian ke-
kasihnya. Tentu saja kenyataan itu membuat hatinya
cemas.
"Kenanga! Ajaklah Ki Janala dan Praba keluar dari
lingkaran ini, setelah aku dapat memecah barisan me-
reka. Hm.... Rasanya mereka harus dihadapi dengan
tenaga gabungan. Dan itu sangat berbahaya bagi ka-
lian, karena bukan tidak mungkin akan terpengaruh
dan tersiksa oleh hawa panas dan dingin berganti
ganti yang keluar dari tubuhku. Kuharap, kau bisa
memakluminya...," bisik Panji.
Kenanga mengangguk maklum. Karena, sedikit ba-
nyak sudah bisa dirasakan kehebatan salah seorang
lawannya.
Semula, Ki Janala dan Praba merasa keberatan
atas usul yang diajukan Kenanga. Tapi setelah dara je-
lita itu memberikan alasan yang dikatakan Panji, ke-
dua orang itu mau mengerti. Dan kini, mereka bersiap
menanti isyarat dari Pendekar Naga Putih.
Setelah melihat kedua orang tokoh itu setuju den-
gan rencananya, Panji mulai mempersiapkan seluruh
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Apalagi, saat
itu gerakan lawan semakin bertambah cepat, dan
membuat pandangan agak kabur. Menyadari hal itu,
Panji menggoyangkan kepala untuk menetapkan kem-
bali pandangan matanya. Namun, hatinya agak terke-
jut ketika melihat tubuh Kenanga, Ki Janala, dan Pra-
ba yang tampak bergoyang-goyang. Jelas, semua itu
akibat pengaruh gerakan lawan. Dan kini, Panji baru
mengerti akan kegunaan gerak berputar lawan-
lawannya. Khawatir pengaruh itu akan semakin men-
jadi, maka Pendekar Naga Putih bersiap untuk meng-
gempur!
“Haiiit…!”
Dengan sebuah lengkingan tinggi, tubuh Panji me-
lesat ke arah samping kanannya. Sepasang telapak
tangannya yang terbuka, mendorong ke depan dengan
kekuatan penuh.
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras saat dorongan sepasang
telapak tangan Panji yang bagaikan badai salju itu
menghantam sebatang pohon besar! Sedangkan, kede-
lapan sosok tubuh itu telah berlompatan ke kiri dan
kanan menyelamatkan diri. Dan saat itulah, Kenanga,
Ki Janala, dan Praba melesat lolos dari lingkaran ke-
pungan Pasukan Pembunuh.
Tapi, kedelapan orang itu sama sekali tidak mem-
pedulikan ketiga orang lawan yang meninggalkan are-
na pertempuran. Sebaliknya, mereka berlompatan lak-
sana sambaran kilat di angkasa, menuju Pendekar Na-
ga Putih yang tegak di tengah arena.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Seiring pekikan-pekikan nyaring yang memekak-
kan telinga, kedelapan sosok tubuh itu melesat ke arah
Pendekar Naga Putih secara berturut-turut. Sambaran
tamparan dan pukulan terdengar bercicitan, menan-
dakan betapa hebatnya tenaga yang terkandung di da-
lam serangan-serangan mereka.
"Ahhh...?!"
Kenanga tak bisa menahan seruan kagetnya ketika
melihat kejadian itu. Hatinya kontan berdebar tegang
melihat keadaan kekasihnya yang tampak benar-benar
dalam incaran bahaya maut. Tapi, baik Kenanga mau-
pun Ki Janala dan Praba hanya bisa memandang dan
berdoa demi keselamatan Panji. Mereka sadar betul,
betapa dahsyatnya gempuran kedelapan orang yang di-
juluki sebagai Pasukan Pembunuh itu.
Panji sendiri sangat terkejut melihat perubahan
yang mendadak itu, tapi sama sekali tidak gentar. Ce-
pat semangatnya dikempos dan tenaga gabungan yang
maha dahsyat dikerahkannya.
"Hiaaat..!"
Seiring 'Pekikan Naga Marah' yang merontokkan
jantung, tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat laksa-
na sambaran kilat di antara serangan lawan-lawannya.
Kemudian, 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya dikerahkan untuk menghadapi Pasukan Pembunuh. Sebentar saja,
terjadilah pertempuran maut yang mendebarkan jan-
tung.
Setelah lewat dua puluh jurus, Panji semakin me-
nyadari kehebatan kedelapan orang itu. Dan hatinya
pun mulai percaya, kalau Pasukan Pembunuh tidak
segera dilenyapkan, mereka pasti akan menguasai du-
nia persilatan! Buktinya, jangankan tokoh-tokoh per-
tengahan, bahkan tokoh-tokoh puncak di empat pen-
juru pun rasanya tidak mungkin sanggup menghadapi
mereka.
"Hiaaat..!"
Plakkk! Plakkk!
Serangan dua orang lawan yang mengancam tubuh
disertai decitan angin tajam, terpaksa disambut Panji
dengan kedua telapak tangan terbuka. Karena kalau
tidak berbuat demikian, bukan mustahil kalau Pende-
kar Naga Putih akan celaka oleh serangan lain yang
juga berdatangan mengincar tubuhnya.
Benturan itu membuat kedua orang lawannya ter-
jajar mundur sejauh setengah tombak. Sedangkan
Panji sendiri sudah bergulingan menghindari samba-
ran kepala dan tamparan maut dari enam orang lawan
yang lain.
"Yiaaah...!"
Secara tiba-tiba, tubuh Pendekar Naga Putih yang
tengah bergulingan, melenting ke udara sambil mele-
paskan tendangan kilat yang menderu tajam. Kemu-
dian, telapak tangan kanannya mengibas menerbitkan
sambaran angin panas yang menyengat kulit.
Bresssh...!
Tendangan yang dilakukan Panji dapat dielakkan
lawan. Sedangkan kibasan tangan kanannya, disam-
but dorongan pukulan jarak jauh dari lawan yang di
sebelah kanannya. Akibatnya, tubuh orang itu melesak
ke dalam tanah, hingga melewati mata kaki. Sementa-
ra Panji sendiri terangkat ke atas akibat kuatnya tena-
ga sakti yang dikerahkan lawan. Namun, kesempatan
itu cepat digunakannya untuk mengeluarkan jurus
pamungkasnya.
"Hiaaa...!"
Seiring pekikan melengking tinggi, tubuh Pendekar
Naga Putih meluncur turun disertai jurus 'Naga Sakti
Meluruk ke Dalam Bumi'.
Ternyata, kedelapan orang pengeroyok itu sadar
akan kedahsyatan serangan Pendekar Naga Putih kali
ini. Terbukti, mereka semua tampak saling berpegan-
gan tangan satu sama lain. Lalu dua orang dari mere-
ka yang berada di kanan dan kiri, mendorongkan sebe-
lah telapak tangan, menyambut gempuran Pendekar
Naga Putih. Akibatnya....
Blarrr...!
Ledakan keras pun bergaung, seiring kepulan debu
dan bebatuan kecil, serta percikan bunga api. Dari sini
bisa terlihat, betapa dahsyatnya ledakan yang terjadi.
"Aaakh...?!"
Tubuh Pendekar Naga Putih sendiri terdorong ba-
lik, sejauh dua tombak lebih. Luncurannya baru ber-
henti setelah merobohkan pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa. Tubuh Panji kemudian melorot jatuh,
dengan wajah agak pucat. Dia berusaha berdiri,
meskipun agak goyah! Sebenarnya hal itu wajar saja.
Memang, meskipun tenaga saktinya sangat tinggi dan
sukar diukur, tapi menghadapi tenaga gabungan dela-
pan orang yang rata-rata bertenaga hebat, tentu saja
Panji tidak mungkin menang!
Namun yang dialami delapan orang lawannya pun
tidak kalah hebat. Meski mereka telah menggabungkan
tenaga sakti untuk menahan gempuran lawan, tetap
saja harus merasakan tenaga dalam Pendekar Naga
Putih. Walaupun tidak sampai terpental karena Panji
melakukan gempuran dari udara, tapi tubuh mereka
telah tertanam hampir sebatas lutut di dalam tanah.
Jelas, hal itu membuktikan kalau kekuatan tenaga
gempuran Pendekar Naga Putih memang benar-benar
luar biasa!
"Kakang...!"
Kenanga yang menyaksikan tubuh pemuda pu-
jaannya terpental dan membentur pohon besar hingga
tumbang, segera saja berlari memburu dengan hati
cemas.
Demikian pula halnya Ki Janala dan Praba. Mereka
bergegas mendekati Pendekar Naga Putih yang tampak
mengalami luka dalam cukup parah. Untung saja obat-
obatan yang selalu dibawa Panji sangat manjur. Buk-
tinya setelah pil-pil berwarna putih ditelan, Panji tidak
perlu khawatir lagi terhadap luka dalamnya.
"Kenanga. Lawan-lawan kita kali ini terlalu tang-
guh. Rasanya, aku tidak akan mampu menghadapi
mereka sekaligus. Sebaiknya, kalian bertiga segera
tinggalkan tempat ini. Tunggulah aku di kedai tempat
kita berjumpa semula. Setelah berhasil mengecoh me-
reka, aku akan menemui kalian untuk mengatur ren-
cana. Kalau menggunakan kepandaian saja, rasanya
tidak mungkin mereka dapat dikalahkan. Kita harus
mencari siasat dengan menggunakan otak. Dan kuha-
rap, kalian semua jangan membantah. Semua ini ku-
lakukan demi kebaikan bersama. Nah, sekarang pergi-
lah," ujar Panji, agak perlahan. Keputusan pemuda itu
jelas sudah tidak bisa dibantah lagi.
'Tapi, bagaimana denganmu, Kakang...?" bantah
Kenanga.
Tentu saja gadis itu tidak ingin kehilangan keka-
sihnya. Jelas, keputusan Panji belum bisa diterima se-
penuhnya. Malah sepasang mata dara jelita itu tampak
mulai terselimut mendung.
"Percayalah, Kenanga. Aku akan menemui kalian
nanti. Pergilah, sebelum terlambat...," ujar Panji lagi
sambil mengelus wajah jelita yang tampak mendung
itu.
Karena keputusan Panji sudah tidak bisa dirubah,
maka Kenanga dengan berat hati menuruti ucapan ke-
kasihnya. Bersama Ki Janala dan Praba, dara jelita itu
bergerak meninggalkan kekasihnya yang akan meng-
hadapi maut seorang diri!
***
TUJUH
Sepeninggal Kenanga, Ki Janala, dan Praba, Panji
bergegas bangkit sambil mengempos semangatnya.
Dengan sorot mata tajam, dirayapinya sosok Pasukan
Pembunuh yang telah siap melanjutkan pertarungan.
Dan Panji tidak bisa menyembunyikan keheranannya
ketika melihat kedelapan orang lawannya kelihatan ti-
dak terluka sama sekali.
"Gila! Sepertinya, orang-orang ini memang sengaja
dipersiapkan untuk menghadapi lawan tangguh. Mere-
ka pandai sekali membaca gelagat, dan dapat bertin-
dak cepat dalam menghalau serangan yang bagaima-
napun. Satu-satunya cara untuk melumpuhkan,
hanya dengan memisahkan mereka. Mudah-mudahan
dengan cara seperti itu, tidak akan sulit menghadapi
mereka...," gumam Panji, memutar otaknya dalam
mencari cara untuk menghadapi Pasukan Pembunuh.
Karena disadari kalau kepandaiannya tidak akan
mampu menghadapi keroyokan mereka.
Berpikir demikian, Panji segera menggeser lang-
kahnya ke kanan dengan lompatan-lompatan pendek.
Sementara, otaknya berpikir keras mencari cara terse-
but. Saat itu juga, terlintas dalam pikiran untuk men-
ciptakan 'Naga Langit' untuk menarik perhatian Pasu-
kan Pembunuh. Sayang, sebelum hal itu sempat dila-
kukan, lawan-lawannya telah berlompatan menerjang.
"Heaaat..!"
Panji bergegas memutar dan memiringkan tubuh-
nya, ketika sebuah kepalan lawan datang mengancam.
Kemudian, langsung dibalasnya dengan sodokan siku.
Namun serangan balasan itu terpaksa ditunda, karena
saat itu juga serangan lawan-lawannya yang lain da-
tang menyusuli secara berturut-turut.
Whuuut! Whuuut!
Dengan melempar tubuh ke samping, Pendekar
Naga Putih berhasil menghindari tamparan dan ten-
dangan dua orang pengeroyoknya. Tapi baru saja kaki
kanannya menyentuh tanah, sebuah tendangan keras
telah mengancam. Mau tak mau, tendangan itu ter-
paksa harus dipapak dengan telapak tangan kirinya.
Plakkk!
Selagi tubuh lawan berputar akibat tangkisannya
yang amat kuat, Panji langsung mengirimkan tendan-
gan berputar dengan kekuatan hebat. Sayang, kerja-
sama Pasukan Pembunuh demikian kompak dan rapi.
Sehingga pada waktu tendangannya luput, dua buah
telapak tangan lawan datang menggedor dadanya.
Bukkk! Desss!
“Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar Naga Putih terjungkal ke belakang. Dengan napas sesak Panji segera
menghapus tetesan darah yang mengalir di ujung bi-
birnya. Cepat kuda-kudanya diperbaiki dan bersiap
menerima serangan berikut dari para pengeroyok yang
memang sangat tangguh.
Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Meski-
pun dadanya agak sesak, namun gerakan Pendekar
Naga Putih masih belum berkurang. Lesatan tubuhnya
dalam menghindari serangan lawan dan memberikan
balasan, membuat pertarungan kembali menjadi sen-
git. Tapi biar bagaimanapun, Panji harus mengakui
kehebatan lawan-lawannya. Mereka benar-benar telah
dipersiapkan secara sempurna, sehingga Pendekar Na-
ga Putih benar-benar harus menguras semua kesak-
tiannya.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa,
seratus jurus kembali telah dilalui. Panji yang telah
banyak mengeluarkan tenaga, mulai merasakan teka-
nan berat dari lawan-lawannya. Maka ketika pertarun-
gan memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji
kembali harus merelakan tubuhnya menjadi sasaran
pukulan dan tendangan dua orang lawannya.
Tubuh Pendekar Naga Putih kembali terjengkang
dan jatuh bergulingan. Darah segar kembali menetes
dari ujung bibirnya, menodai jubahnya yang berwarna
putih.
"Hhh.... Mungkinkah di sini akhir petualanganku?
Mereka memang terlalu tangguh bagiku. Melihat dari
gerakan-gerakan mereka, aku yakin kalau mereka te-
lah dipersiapkan oleh datuk-datuk di empat penjuru
untuk melenyapkan aku. Buktinya, dasar-dasar gera-
kan mereka sangat mirip dengan yang dimiliki keempat
datuk sesat itu. Sepertinya, mereka akan berhasil un-
tuk melenyapkan aku...," gumam Panji.
Pendekar Naga Putih segera bangkit dengan tubuh
lemas, karena telah banyak kehilangan tenaga.
Sementara itu, Pasukan Pembunuh telah berada
semakin mendekati Panji. Sepertinya, mereka pun da-
pat mengetahui keadaan Pendekar Naga Putih. Terbuk-
ti, langkah mereka tidak terburu-buru dalam meng-
hampiri. Jelas, mereka telah sangat yakin akan segera
dapat melenyapkan Pendekar Naga Putih.
Melihat gerak langkah Pasukan Pembunuh yang
seperti sengaja bergerak lambat, Panji pun tidak ingin
membuang kesempatan baik ini. Cepat matanya dipe-
jamkan dan pikirannya disatukan dengan Pedang Naga
Langit yang menyatu ke dalam tubuhnya. Tak berapa
lama kemudian,
"Naga Langit...'"
Terdengar bentakan mengguntur seiring terbu-
kanya sepasang mata pemuda gagah itu. Dan.., yang
terjadi kemudian benar-benar membuat Pasukan Pem-
bunuh tersentak bagaikan disengat lebah! Memang,
hampir bersamaan dengan bentakan Pendekar Naga
Putih, terdengar ledakan petir yang sambung-
menyambung. Bahkan langit seperti tertutup men-
dung, gelap untuk beberapa saat lamanya.
Pasukan Pembunuh bergerak mundur ketika meli-
hat pijaran cahaya keemasan memenuhi arena perta-
rungan. Ketika kepala mereka tengadah ke arah pija-
ran sinar itu, terdengarlah pekikan laksana ratusan
guntur di angkasa!
"Kreaaaaghhh...!"
Tiba-tiba sesosok makhluk mengerikan yang hanya
ada dalam dongeng, muncul dengan segala perba-
wanya. Tentu saja, pemandangan itu membuat Pasu-
kan Pembunuh tersurut mundur. Tanpa sadar, mereka
terpisah begitu menatap ke arah binatang raksasa
yang mengerikan itu.
Melihat kenyataan itu, Panji melesat ke arah empat
orang anggota Pasukan Pembunuh yang telah terpisah.
"Haaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, Pendekar Naga
Putih menerjang keempat orang lawannya mempergu-
nakan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang menjadi andalan-
nya. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga
bergerak susul-menyusul disertai hembusan angin
dingin menusuk tulang. Tentu saja serangan itu mem-
buat keempat orang lawan terkejut, dan cepat bergerak
melakukan perlawanan.
Kali ini, Panji tidak merasa khawatir kalau empat
orang Pasukan Pembunuh lain akan datang memban-
tu. Memang, Naga Langit telah diperintahkan untuk
menghadapi keempat orang lawannya yang lain. Se-
hingga, kini pertempuran pun terpecah menjadi dua.
Panji sendiri telah memusatkan seluruh perhatian
untuk melenyapkan keempat orang lawannya selekas
mungkin. Karena biar bagaimana pun, keempat orang
lawannya tetap masih sangat tangguh, dan tidak mu-
dah ditundukkan dalam waktu singkat.
"Haiiit..!"
Ketika pertarungan telah berlangsung selama lima
puluh jurus, tiba-tiba Pendekar Naga Putih memekik
tinggi. Tubuhnya bergerak bagai sambaran kilat di
angkasa mengincar dua orang lawannya.
Desss! Breeet!
"Auuughhh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok
itu terjungkal ke tanah. Bahkan seorang di antaranya
langsung menggelepar kedinginan akibat hantaman te-
lapak tangan Pendekar Naga Putih yang mengandung
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya. Akibatnya,
tentu saja orang itu langsung tewas dengan urat-urat
tubuh membeku. Sedangkan lawan yang seorang lagi
tampak berusaha bangkit, meski dengan tubuh berlu-
muran darah. Memang, lambung orang itu telah terke-
na cakar naga Panji. Dan kini, orang itu berusaha
hendak melakukan perlawanan membantu kawan-
kawannya.
Panji tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik
itu. Meskipun dua orang lawannya yang lain telah ber-
gerak menggempur, pemuda itu sama sekali tidak keli-
hatan gentar lagi. Karena, kini mereka tidak bisa lagi
menggunakan ilmu gabungan secara sempurna. Dan
hal itu membuat Panji dapat bergerak leluasa untuk
menghadapi gempuran kedua lawannya.
"Heaaah...!"
Bettt! Bettt!
Sambaran cakar-cakar lawannya dengan mudah
dielakkan Pendekar Naga Putih. Bahkan langsung da-
pat membalasnya dengan kibasan lengan kanan ke
tengkuk salah seorang lawan. Akibatnya, orang itu
langsung terjerunuk dan tewas dengan tulang leher
patah. Sementara yang seorang lagi punggungnya telah
dihantam dengan telapak tangan kiri, kemudian dis-
usul tendangan berputar yang telak singgah di rahang.
Kraaak...!
Terdengar bunyi tulang rahang patah akibat ten-
dangan maut Pendekar Naga Putih! Tanpa ampun lagi
tubuh orang itu langsung ambruk dan tewas, dengan
tulang rahang patah, dan bagian dalam tubuh rusak.
Begitu kedua orang lawan ambruk, Panji yang me-
rasakan adanya angin keras dari arah belakang segera
merunduk. Sehingga, cengkeraman yang siap mere-
mukkan batok kepalanya luput dari sasaran. Lalu, cepat-cepat tubuhnya berbalik dan mengirimkan kedua
telapak tangannya ke dada lawan yang telah terluka
oleh cakarannya.
Bresssh...!
Tubuh orang yang malang itu langsung melambung
ke udara, dan terbanting jatuh ke tanah. Orang itu
kontan tewas dengan tulang dada remuk! Darah segar
tampak mengalir keluar dari mulutnya.
"Hm...," Panji bergumam datar sambil menghem-
buskan napas penuh kelegaan.
Di pertarungan lain, ternyata Naga Langit telah
membereskan empat orang Pasukan Pembunuh lain-
nya. Terbukti, Panji melihat adanya empat sosok
mayat yang hangus bagaikan terbakar. Pemuda itu
pun mengerti kalau kematian mereka karena sembu-
ran api dari mulut Naga Langit.
Melihat adanya sebilah pedang yang tergeletak di
rerumputan, Panji pun tahu kalau Naga Langit telah
kembali berubah wujud setelah menyelesaikan tugas-
nya dengan baik. Kembali, pedang mukjizat itu disatu-
kan ke dalam tubuhnya. Lalu, Pendekar Naga Putih
bergerak hendak menemui Kenanga serta dua orang
tokoh sahabatnya.
***
"Sudahlah, Kenanga. Tidak perlu terlalu mence-
maskan keselamatan Panji. Aku percaya, pemuda se-
perkasa dan semulia dia akan dapat selamat dan dilin-
dungi Tuhan. Sebaiknya, kita berdoa saja untuk kese-
lamatannya...," hibur lelaki setengah baya kepada data
jelita berpakaian serba hijau yang berjalan di sebelah
kiri. Siapa lagi mereka kalau bukan Ki Janala dan Kenanga.
"Benar, Kenanga. Aku pun percaya akan kesaktian
Pendekar Naga Putih. Ia pasti akan menemukan cara
untuk menghadapi Pasukan Pembunuh yang sangat
tangguh itu. Kalaupun belum menemukan cara, Ka-
kang Panji pasti bisa meloloskan diri untuk menemui
kita...," timpal Praba yang berjalan di sebelah kanan Ki
Janala. Ia pun merasa suka dan kagum terhadap Pen-
dekar Naga Putih. Dia mengharapkan agar pemuda itu
dapat selamat.
"Hhh...."
Kenanga hanya menghela napas dengan wajah ma-
sih terselimut kecemasan. Rupanya, ia belum bisa te-
nang kalau kekasihnya belum muncul. Sehingga, Ki
Janala dan Praba pun memaklumi apa yang dirasakan
dara jelita itu. Memang, dalam hati mereka berdua pun
terbersit kekhawatiran terhadap nasib Pendekar Naga
Putih. Hanya saja, hal itu berusaha disembunyikan
agar tidak terlihat Kenanga.
"Yahhh.... Mudah-mudahan saja Kakang Panji se-
lamat, dan bisa menemui kita...."
Akhirnya, hanya ucapan lirih itu yang keluar dari
bibir indah milik Kenanga.
"Kami berdua pun berharap demikian...," desah Ki
Janala dengan tatapan mata menerawang jauh ke de-
pan.
Namun tiba-tiba lelaki tua itu mengerutkan ke-
ningnya. Langkahnya terhenti sambil tetap meman-
dang ke depan.
"Ada apa, Guru...?" tanya Praba.
Rupanya, pemuda itu sempat heran melihat Ki Ja-
nala yang berhenti tanpa sebab. Tapi begitu mengikuti
pandang mata gurunya, pemuda itu pun mengerutkan
kening. Seketika pandangan matanya dipertajam.
Kenanga yang melihat sikap Ki Janala dan murid
nya jadi heran. Tanpa berkata-kata, matanya menatap
lurus ke depan, mengikuti pandangan mata guru dan
murid itu. Dan jantung dara jelita itu seketika berde-
gup kencang saat melihat adanya empat sosok tubuh
yang tampak berdiri terlindung pohon besar yang ber-
jarak delapan tombak dari tempat mereka berdiri. Da-
rah di tubuhnya kini mengalir cepat ketika secara sa-
mar-samar mengenali empat sosok tubuh yang jelas-
jelas hendak menghadang perjalanan mereka.
"Celaka...!" desis dara jelita itu, tegang. Rupanya,
keempat sosok tubuh yang tengah menanti mereka itu
dapat dikenalinya.
"Siapa mereka, Kenanga...?" tanya Ki Janala. Ru-
panya lelaki setengah baya itu belum mengenal keem-
pat sosok tubuh yang berdiri menghadang. Sedangkan
Praba hanya menatap wajah gadis jelita itu dengan so-
rot mata minta penjelasan.
"Mereka..., empat datuk sesat yang mendendam
kepadaku dan Kakang Panji. Hm..., tahulah aku seka-
rang. Rupanya Pasukan Pembunuh mempunyai hu-
bungan dengan mereka. Itu sebabnya mengapa hanya
Kakang Panji yang diincar...," gumam Kenanga, sekali-
gus menjawab pertanyaan Ki Janala. Sehingga, tokoh
tua itu tersentak kaget dan menjadi tegang wajahnya.
"Maksudmu, mereka itu gembong-gembong kaum
sesat dari empat penjuru...?" desis Ki Janala.
Tampaknya, orang tua ini masih belum bisa per-
caya dengan keterangan Kenanga yang memang ku-
rang jelas. Dan setahunya, keempat orang datuk sesat
itu hampir tidak pernah terlihat bersama-sama. Hal
itulah yang membuatnya merasa ragu dan belum bisa
mempercayai keterangan Kenanga.
"Pandanganku pasti tidak salah, Ki. Aku dan Ka-
kang Panji telah beberapa kali berjumpa dan bentrok
dengan mereka. Dan melihat bentuk tubuh dan pa-
kaiannya, jelas mereka adalah Raja Iblis Jubah Merah,
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan Kunti-
lanak Bukit Mandau...," urai Kenanga, benar-benar
merasa yakin pandangannya tidak salah.
'Tapi, apa maksud mereka menanti kedatangan ki-
ta...?" tanya Ki Janala, lagi-lagi mengeluarkan perta-
nyaan bodoh. Memang, orang-orang sesat seperti
keempat orang datuk itu, tentu tidak mempunyai mak-
sud lain kecuali berbuat kejahatan.
"Hm.... Pasti akulah yang dituju, dan bukan kalian.
Tapi, aku tidak akan gentar menghadapi mereka...!" te-
gas Kenanga dengan sepasang mata berkilat penuh
amarah.
Tangan kanan gadis itu segera meraba gagang pe-
dang ketika melihat empat calon lawannya bergerak
menghampiri. Rupanya, mereka tidak sabar menunggu
kedatangan Kenanga, Ki Janala, dan Praba.
"Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ber-
sama-sama, Kenanga. Kalau memang harus tewas, apa
boleh buat..," timpal Ki Janala. Seketika seluruh otot
tubuhnya mengejang, siap menghadapi pertarungan
mati-matian.
Demikian pula halnya Praba. Pemuda tampan ber-
tubuh tegap dan berkulit coklat itu juga telah siap ber-
tarung. Meski disadari kalau kepandaiannya tidak
mungkin sanggup melindunginya dari empat orang da-
tuk sesat itu, tapi hatinya sama sekali tidak gentar.
Sebagai pemuda gemblengan Ki Janala yang telah dije-
jali sifat-sifat kependekaran, Praba pun siap untuk ma-
ti demi membela kebenaran.
"Ha ha ha...! Kau lihat, Panglima Sesat. Meskipun
tanpa naga jantan, tapi naga betina itu masih saja ber-
sikap garang. Kasihan, ia sama sekali tidak tahu kalau
pemuda pujaannya telah tewas direncah pasukan kecil
kita...," kata lelaki pendek gemuk yang mengenakan
jubah merah sambil tertawa terbahak-bahak, begitu ti-
ba di depan Kenanga dan kedua orang temannya. Le-
laki gemuk brewok itu dikenal sebagai Raja Iblis Jubah
Merah.
"Benar, Raja Iblis. Tapi, aku bersedia menggantikan
naga jantan untuk menemani naga betina yang cantik
seperti bidadari itu. Aku memang telah lama mengin-
ginkannya untuk menjadi permaisuri ku. Dan rasa-
rasanya, hari ini keinginanku itu akan segera terlaksa-
na...," timpal lelaki tinggi kekar berpakaian panglima
kerajaan.
Orang itu adalah Datuk Panglima Sesat, yang me-
mang sudah lama menyukai Kenanga. Tentu saja ha-
tinya menjadi gembira melihat dara jelita itu telah be-
rada di depan matanya. Bahkan sebentar lagi akan se-
gera menjadi miliknya.
Dua orang lainnya yang tak lain dari Memedi Ka-
rang Api dan Kuntilanak Bukit Mandau hanya tertawa
mendengar ucapan kedua orang kawannya. Jelas, me-
reka telah merasa yakin kalau Pendekar Naga Putih ti-
dak akan selamat dari tangan Pasukan Pembunuh
yang telah dipersiapkan secara sempurna.
"Hm.... Sudah kuduga, manusia-manusia busuk
seperti kalianlah yang menjadi biang keladi dari semua
ini. Tapi, mengapa kalian mengirim Pasukan Pembu-
nuh itu ke istana?! Apakah kalian masih ingin mem-
bunuh Gusti Prabu Pungga Lawa...?!" geram Kenanga,
yang sudah menghunus senjatanya.
"He he he...! Mengapa kau masih saja galak, Bida-
dari ku? Tindakan kami itu hanya sekadar coba-coba.
Tapi kalau bisa, memang kami hendak membunuh raja
yang tak becus memerintah itu. Selain itu, juga untuk
mengundang munculnya Pendekar Naga Putih. Karena
biasanya, pemuda sombong itu akan muncul apabila
mendengar peristiwa-peristiwa yang mengundang jiwa
pendekarnya yang sok itu...," sahut Memedi Karang
Api sambil melangkah maju tiga tindak. Tindakannya
membuat Kenanga, Ki Janala, dan muridnya bergerak
mundur dengan otot-otot semakin menegang.
"Hm.... Kalian memang manusia-manusia jahanam
yang pengecut dan tidak tahu malu. Tapi, jangan ha-
rap akan dapat berbuat sesuka hati, selagi aku dan
Kakang Panji masih berdiri tegak. Sampai mati pun,
kami akan tetap menentang manusia-manusia jahat
seperti kalian...!" sahut Kenanga tanpa rasa gentar se-
dikit pun. Bisa diduga kalau dara jelita itu telah berte-
kad untuk melawan sampai titik darah penghabisan.
"Hm.... Seharusnya sebagai tokoh terpandang, ka-
lian merasa malu. Rasanya para tokoh persilatan akan
menertawakan perbuatan kalian, apabila sampai ter-
sebar di luaran kalau empat datuk yang berkepan-
daian tinggi harus mengeroyok, hanya untuk mengha-
dapi kami bertiga. Benar-benar menggelikan...!" kata Ki
Janala.
Rupanya dia sadar kalau tidak mungkin sanggup
menghadapi ketiga orang datuk itu. Makanya, dico-
banya untuk mengadu kecerdikan, dengan memancing
harga diri para datuk itu.
Tapi orang-orang golongan sesat seperti keempat
datuk itu, mana peduli segala macam aturan. Sehing-
ga, ucapan Ki Janala hanya disambut tawa mereka.
Jelas, pancingan Ki Janala tidak berhasil. Bahkan
keempat datuk itu mulai bergerak mendekat. Maka,
Kenanga dan kawan-kawannya segera melintangkan
pedang di depan dada, siap menghadapi serangan lawan
DELAPAN
"Hm.... Biar aku yang menangkap naga betina yang
cantik seperti bidadari itu...," pinta Datuk Panglima
Sesat sambil memperdengarkan tawanya yang mengge-
tarkan jantung. Sedangkan ketiga orang datuk lainnya
hanya tertawa.
"Kalau begitu, bagianku adalah pemuda tampan
gagah itu. He he he.... Pasti menyenangkan mempu-
nyai sahabat baik seperti pemuda gagah yang akan
menemaniku sepanjang hari...," kata Kuntilanak Bukit
Mandau sambil terkekeh genit, ketika menegasi wajah
dan sosok murid Ki Janala. Sehingga, wajah Praba
menjadi merah, karena sudah tahu maksud nenek ca-
bul itu.
"Hm.... Kau boleh memiliki mayatku, Nenek Cabul"
geram Praba yang menjadi marah mendengar ucapan
Kuntilanak Bukit Mandau. Jelas, pemuda itu harus
melawan mati-matian kalau tidak ingin jatuh ke dalam
pelukan nenek berwatak cabul ini.
Kenanga sendiri merasa ngeri membayangkan di-
rinya akan jatuh ke dalam pelukan Datuk Panglima
Sesat. Karena biarpun sosoknya tidak terlalu mena-
kutkan dan bisa dibilang cukup gagah, tapi hatinya je-
las merasa ngeri kalau harus melayani manusia bengis
seperti datuk sesat itu. Tentu saja gadis itu lebih rela
mati ketimbang harus menerima hinaan dari gembong
kaum sesat ini.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api
yang merasa tidak mendapat bagian sama-sama me-
langkah mundur, karena Ki Janala telah menghadapi
Kuntilanak Bukit Mandau. Rupanya, orang tua itu in-
gin membantu muridnya untuk menghadapi nenek
bertubuh bungkuk udang yang ternyata memiliki wa-
tak cabul.
"Heaaah...!"
Datuk Panglima Sesat yang sudah tidak sabar in-
gin segera menangkap tubuh ramping Kenanga, segera
melompat dengan lengan terkembang. Kenanga tentu
saja tidak tinggal diam. Pedang Sinar Rembulan di
tangan kanannya segera bergerak menyambut serga-
pan lawan.
Bettt..!
Terdengar suara berdesing ketika pedang pusaka
itu mengibas, hendak membabat pubis lengan Datuk
Panglima Sesat. Tapi, tokoh bertubuh raksasa itu keli-
hatannya sama sekali tidak peduli. Tangan kanannya
yang mengibas, bermaksud memapak tebasan pedang
dara jelita itu.
Kenanga yang tahu kalau kekuatannya pasti kalah,
tidak mau bertindak bodoh. Pedangnya diputar sede-
mikian rupa, dan langsung meluncur ke arah tenggo-
rokan lawan.
Plakkk!
Gerakan Datuk Panglima Sesat memang benar-
benar luar biasa! Tangan kanannya yang semula men-
gibas, bergerak cepat dan menepiskan tusukan pedang
lawannya. Akibatnya, tubuh Kenanga terdorong bebe-
rapa langkah ke belakang. Memang, tenaganya masih
beberapa tingkat di bawah datuk sesat itu. Sehingga,
benturan itu membuatnya rugi.
Tapi, gadis jelita yang gagah itu sama sekali tidak
kehilangan akal. Cepat kuda-kudanya diperbaiki, dan
kembali menerjang dengan jurus-jurus ampuh. Jurus-
jurus pedang gabungannya memang tidak bisa dipan-
dang remeh. Akibatnya, Datuk Panglima Sesat harus
sungguh-sungguh melayani gempuran dara jelita itu.
Dan kini, pertempuran pun semakin seru.
Di bagian lain, Ki Janala dan Praba harus mengu-
ras seluruh kepandaian dalam menghadapi gempuran-
gempuran Kuntilanak Bukit Mandau. Untungnya, ne-
nek sakti itu hanya ingin menangkap Praba hidup-
hidup. Dan tentu saja hal itu tidak mudah dilakukan,
apalagi Ki Janala dan Praba bertarung mati-matian
bagaikan banteng terluka.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Praba menusukkan pe-
dang ke arah ulu hati nenek bungkuk udang itu.
Sayang, kecepatan gerak pemuda itu masih kalah
jauh. Sehingga, ketika Kuntilanak Bukit Mandau me-
mapak dengan tongkat hitamnya, Praba tidak sempat
menarik pulang serangannya.
Trakkk!
"Aaah...!"
Karuan saja tubuh pemuda itu terpelanting dan ti-
dak sanggup mempertahankan kuda-kudanya. Tu-
buhnya kontan terbanting, jatuh ke tanah. Sedangkan
saat itu, Kuntilanak Bukit Mandau sudah menyusuli
tangkisannya dengan totokan ujung tongkat yang siap
melumpuhkan.
Ki Janala yang tidak ingin muridnya tertawan Kun-
tilanak Bukit Mandau, segera melesat dengan samba-
ran pedang yang menimbulkan suara mengaung tajam.
Tapi, ternyata nenek bertubuh bungkuk udang itu ber-
tindak lebih cekatan. Tongkat hitamnya diputar-putar
membentuk lingkaran yang menimbulkan putaran an-
gin keras! Belum lagi Ki Janala dapat menyadarinya,
tahu-tahu saja ujung tongkat hitam itu telah meluncur
ke arah tenggorokannya!
"Aihhh...?!"
Sebisa-bisanya, Ki Janala menghindar dengan me
lempar tubuhnya ke samping. Sayang, gerakannya
masih kalah cepat dengan ujung tongkat Kuntilanak
Bukit Mandau. Meskipun nyawanya dapat disela-
matkan, tapi terpaksa harus menerima hantaman
ujung tongkat pada bahu kanannya.
Tukkk!
"Akhhh...!"
Ki Janala kontan memekik kesakitan. Tubuhnya
terlempar dan terbanting jatuh. Bahkan pedangnya
sudah terlepas dari genggaman, karena totokan ujung
tongkat lawan telah melumpuhkan tangan kanannya.
"Yiaaa...! Mampus kau...!" bentak Kuntilanak Bukit
Mandau sambil mengayunkan tongkat hitamnya, siap
meremukkan tubuh Ki Janala yang saat itu masih be-
rusaha bangkit!
Plakkk!
Namun tiba-tiba saja, sesosok bayangan bersinar
putih keperakan melayang dan langsung memapaki
hantaman tongkat yang mengancam jiwa Ki Janala.
Akibatnya, hebat sekali. Tubuh Kuntilanak Bukit
Mandau terlempar ke belakang. Untunglah nenek itu
masih sempat bertindak cepat, dengan melenting ke
udara dan berputaran. Kemudian, kakinya mendarat
ringan tanpa menderita apa-apa.
"Pendekar Naga Putih...!" Sebuah seruan terdengar
dari mulut Kuntilanak Bukit Mandau, Raja Iblis Jubah
Merah, dan Memedi Karang Api. Enam pasang mata itu
membelalak seperti tengah melihat hantu di siang bo-
long! Jelas, mereka sangat terkejut melihat kemuncu-
lan pemuda sakti itu. Sedangkan Datuk Panglima Se-
sat tidak ikut berseru, karena harus menghadapi Ke-
nanga.
Sosok bersinar putih keperakan yang tak lain dari
Panji, sama sekali tidak mempedulikan keterkejutan
tiga orang datuk sesat itu. Kini, tubuhnya telah me-
layang ke arah pertarungan lain. Bahkan langsung di-
kirimkannya sebuah pukulan jarak jauh ke arah Da-
tuk Panglima Sesat yang saat itu tengah mendesak
Kenanga.
Whusss...!
Merasakan adanya sambaran angin tajam dari
samping kiri, Datuk Panglima Sesat cepat mengi-
baskan lengan menyambut datangnya pukulan jarak
jauh itu. Tokoh bertubuh raksasa itu pun sepertinya
memahami terhadap serangan berkekuatan hebat.
Maka separuh lebih dari tenaganya telah dikerahkan
untuk memapaknya. Namun sayang, ia tidak tahu ka-
lau penyerangnya adalah Pendekar Naga Putih. Se-
hingga, rugilah datuk sesat itu.
Plarrr...!
Dua gelombang tenaga dalam itu pun saling ber-
benturan di udara, menimbulkan ledakan keras. Bah-
kan, Datuk Panglima Sesat hampir terpelanting, kare-
na kecerobohannya. Untung saja kuda-kudanya bisa
dikuasai, sehingga tubuhnya hanya agak terhuyung
akibat benturan keras tadi.
Merasa penasaran dengan kenyataan yang dialami,
Datuk Panglima Sesat mengangkat kepala hendak me-
lihat orang yang berani mati menyerangnya.
"Pendekar Naga Putih,..?!" desis Datuk Panglima
Sesat. Rupanya, dia terkejut bukan kepalang ketika
mengenali sosok yang menyerangnya tadi. Hampir-
hampir pandangan matanya tidak dipercayai. Sebab
menurut pikirannya, Pendekar Naga Putih pasti telah
tewas di tangan Pasukan Pembunuh.
"Hm.... Mengapa kau terkejut melihatku, Datuk
Panglima Sesat? Aku masih hidup, dan bukan han-
tu...," ledek Panji, sambil tersenyum melihat wajah tokoh yang seperti orang bodoh itu.
Kenanga yang mendengar seruan Datuk Panglima
Sesat, segera saja menoleh ke arah Panji. Dan lang-
sung disambutnya kedatangan pemuda tampan berju-
bah putih itu dengan penuh kegembiraan. Kecema-
sannya seketika lenyap, begitu sosok kekasihnya telah
muncul tanpa menderita apa-apa.
"Kakang.... Syukurlah kau selamat..," ucap Kenan-
ga sambil memegang lengan Panji. Pendekar Naga Pu-
tih hanya tersenyum sambil membelai rambut dara je-
lita itu.
"Seperti yang kau lihat, Kenanga. Sekarang, me-
nyingkirlah. Manusia-manusia sesat itu memang harus
dilenyapkan demi ketenangan umat manusia...," ujar
Panji.
Kenanga menuruti kata-kata Panji tanpa memban-
tah. Dara jelita itu segera berkumpul bersama Ki Jana-
la dan Praba yang bergegas menjauhi arena.
Panji sendiri telah berdiri tegak berhadapan dengan
keempat datuk sesat itu. Tangan kanannya tampak te-
lah menggenggam Pedang Naga Langit. Rupanya, Pen-
dekar Naga Putih hendak melawan datuk-datuk sesat
itu dengan menggunakan pedang mukjizatnya.
"Hm.... Apakah kalian kira Pasukan Pembunuh itu
dapat melenyapkanku...?" kata Panji, ketika melihat
tatapan mata keempat orang lawannya yang seperti be-
lum percaya akan penglihatan mereka. "Pasukan Pem-
bunuh yang kalian ciptakan telah melayat ke akhirat.
Jadi, sebaiknya kalian bersiaplah menyusul...."
Keempat orang datuk itu saling berpandangan satu
sama lain. Jelas sekali, ada pancaran kegentaran di
mata mereka. Betapa tidak? Kalau sampai Pasukan
Pembunuh tidak mampu melenyapkan Pendekar Naga
Putih, apalagi mereka yang jelas-jelas tidak mampu
untuk menghadapi pasukan ciptaan mereka.
"Hm.... Tapi jangan menepuk dada dulu, Pendekar
Naga Putih! Kalau Pasukan Pembunuh tidak sanggup
melenyapkanmu, kami berempat akan menyelesaikan
tugas itu...!" geram Datuk Panglima Sesat, seraya men-
cabut sebilah golok besar yang terselip di pinggangnya.
Demikian pula ketiga orang datuk sesat lainnya.
Mereka juga bersiap mengeroyok Pendekar Naga Putih.
Dan kini, keempat datuk sesat itu tampak mengepung
lawannya.
"Hm...!"
Panji hanya bergumam lirih melihat gerakan la-
wannya. Perlahan, pedang di tangan kanannya berge-
rak melintang naik ke atas kepala, menerbitkan sinar
berkeredep yang menyilaukan mata. Sekujur tubuhnya
pun telah terbungkus kabut bersinar putih keperakan
yang membentengi diri dalam jarak tiga jengkal. Jelas,
Pendekar Naga Putih telah mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga saktinya dalam menghadapi keempat
orang datuk sesat itu.
"Haaat..!"
Datuk Panglima Sesat membuka serangan dengan
sambaran golok besarnya yang mengerikan. Terdengar
suara mengaung bagaikan ratusan lebah marah, keti-
ka senjata itu datang mengancam tubuh Pendekar Na-
ga Putih.
Panji cepat-cepat berkelit dengan egosan tubuhnya.
Dan begitu serangan pertama lawan luput, tubuhnya
cepat melesat ke samping menyambut Raja Iblis Jubah
Merah. Tentu saja tokoh itu menjadi terkejut, karena
tidak menyangka sama sekali kalau Pendekar Naga Pu-
tih akan menyerang dirinya, dan bukan Datuk Pangli-
ma Sesat. Tapi sebagai tokoh kawakan, ia tidak menja-
di gugup. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke samping
dengan lompatan panjang, karena sambaran pedang
lawan menebarkan hawa panas yang menyengat kulit.
Saat itu, tongkat hitam Kuntilanak Bukit Mandau
datang hendak menotok jalan darah kematian di teng-
kuk lawan. Dan tentu saja Pendekar Naga Putih tidak
sudi menyerahkan tengkuknya jadi sasaran totokan
ujung tongkat lawan Cepat senjatanya diputar, lang-
sung memalangi tengkuk.
Trang...!
“Uhhh...!”
Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tu-
buhnya kontan terjajar mundur akibat tangkisan Panji
yang mengandung tenaga dalam tinggi. Belum lagi ne-
nek bertubuh bungkuk udang itu sempat memperbaiki
kuda-kudanya, tahu-tahu saja pedang di tangan Pen-
dekar Naga Putih telah menyambar dengan kecepatan
menggetarkan jantung!
"Aihhh...!"
Tentu saja serangan itu membuat Kuntilanak Bukit
Mandau memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan
bergulingan menjauh. Sehingga, sambaran pedang
Panji hanya mengenai angin kosong.
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan
Raja Iblis Jubah Merah, kembali bergerak susul-
menyusul menerjang Pendekar Naga Putih. Sementara
Kuntilanak Bukit Mandau sudah kembali memasuki
arena pertempuran yang semakin seru dan menegang-
kan. Keempat datuk sesat itu tampaknya sudah men-
gerahkan segenap kesaktian untuk menggempur Pen-
dekar Naga Putih. Sedangkan Panji pun kelihatannya
tidak ingin bermain-main lagi. Hal itu terbaca dari ge-
rakan pedang di tangannya yang bagaikan tangan
tangan maut, siap mencabut nyawa lawan-lawannya.
"Yeaaa...!"
Saat pertarungan menginjak jurus yang keseratus
sepuluh, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'.
Seketika tubuhnya melenting ke udara, dan berputa-
ran cepat luar biasa. Dan dari atas, tubuhnya melun-
cur turun disertai putaran pedang yang membentuk
lingkaran keemasan menyilaukan mata.
"Heaaah...!"
Seketika Kuntilanak Bukit Mandau memekik nyar-
ing sambil menusukkan ujung tongkat hitamnya un-
tuk menyambut serangan lawan. Sepertinya, nenek itu
lupa akan keistimewaan jurus pamungkas Pendekar
Naga Putih. Maka akibatnya....
Breeet! Breeet!
"Aaargh...!"
Kuntilanak Bukit Mandau kontan meraung keras
saat ujung pedang Pendekar Naga Putih merobek-
robek tubuhnya. Sedangkan tongkat hitamnya telah
terlepas dari genggaman dan terpental jauh dari tem-
patnya berdiri. Tubuh kurus bungkuk itu pun ambruk
disertai semburan darah segar yang melumuri tubuh-
nya.
Gerakan Panji tidak berhenti sampai di situ saja.
Datuk Panglima Sesat yang tengah menghindar dari
serangan maut, harus menerima bagian yang serupa
dengan Kuntilanak Bukit Mandau. Dan sepertinya, dia
menjadi agak gugup melihat ketiadaan kawannya. Se-
hingga ketika pedang Panji meluncur datang, dia men-
coba memapaknya. Sayang, gerakannya terlihat kacau.
Sehingga, terpaksa tenggorokannya harus direlakan
jadi sasaran ujung pedang lawan.
Crappp!
"Hikhhh...!"
Terdengar keluhan seperti orang tercekik ketika
ujung pedang Pendekar Naga Putih menancap, hingga
tembus ke leher belakang tokoh bertubuh raksasa itu.
Darah segar memancur saat Panji mencabut senja-
tanya dari tenggorokan lawan. Lalu, tubuh datuk sesat
itu pun ambruk ke tanah dengan nyawa terlepas dari
raga.
Memedi Karang Api dan Raja Iblis Jubah Merah
tentu saja terkejut melihat kedua orang kawannya te-
was secara berturut-turut. Mereka seketika bergerak
mundur dan menggabungkan sebelah tangan masing-
masing. Sedang tangan yang lain langsung didorong-
kan ke depan.
Whusss...!
Serangkum angin keras yang berasal dari tenaga
gabungan kedua orang datuk sesat itu meluncur ke
arah Panji.
"Hm...!"
Panji yang sadar akan kehebatan serangan gabun-
gan itu, segera melesat ke samping. Sehingga, batu se-
besar kerbau yang berada satu tombak di belakangnya
kontan hancur berantakan disertai suara hingar-
bingar. Serpihan-serpihannya pun beterbangan kian
kemari, bagaikan hujan batu saja.
Tapi, Panji tidak mempedulikannya. Tubuhnya te-
lah melesat maju dengan putaran pedang yang bergu-
lung-gulung bagaikan angin puyuh!
Tentu saja baik Raja Iblis Jubah Merah maupun
Memedi Karang Api menjadi kaget bukan main. Mereka
berusaha menghindar mencari selamat, namun Panji
tidak memberi kesempatan. Kemana pun mereka ber-
gerak, ujung pedangnya selalu saja mengikuti bagai-
kan bayangan tubuh kedua orang datuk sesat itu. Ak-
hirnya....
"Aaa...!"
Raja Iblis Jubah Merah langsung menjerit keras
saat Pedang Naga Langit tertancap di ulu hati, hingga
tembus ke punggung! Tubuh tokoh sesat berwajah
brewok itu langsung tersungkur mencium tanah, ber-
mandikan darah! Raja Iblis Jubah Merah pun tewas
menyusul kawan-kawannya, setelah meregang nyawa
beberapa saat.
Sekarang, hanya Memedi Karang Api yang masih
tertinggal. Wajah datuk sesat itu nampak pucat pasi.
Sosok Pendekar Naga Putih baginya seperti bayangan
malaikat maut yang siap menjemput nyawanya!
"Sekarang giliranmu, Memedi Karang Api..!" desis
Panji.
Seketika Pendekar Naga Putih melesat ke depan.
Ujung pedangnya meluncur cepat menimbulkan desing
angin tajam yang menyakitkan telinga. Maka, cepat-
cepat Memedi Karang Api melompat jauh ke belakang.
Namun, Panji tidak ingin membiarkannya lolos. Lawan
terus dikejar dengan sambaran senjata yang bercuitan.
Bettt..!
"Ahhh...?!"
Memedi Karang Api menjerit ketika pedang Panji
nyaris menikam lambungnya. Untunglah tubuhnya
masih bisa dimiringkan, sehingga ujung pedang lawan
hanya lewat dua jari di samping lambung.
Tapi, gerakan Pendekar Naga Putih selanjutnya be-
nar-benar tidak diduga Memedi Karang Api. Tiba-tiba
saja, senjata pemuda tampan itu ditarik pulang sambil
digoyang-goyangkan seperti gerak seekor ular. Akibat-
nya, bagian samping tubuh datuk sesat itu tersayat-
sayat dengan cepat. Darah pun langsung mengucur
dari luka-luka yang ditimbulkan pedang lawannya.
Dan sebelum kekagetannya lenyap, tahu-tahu saja pe
dang Pendekar Naga Putih telah bergerak kembali den-
gan kecepatan luar biasa!
Cappp!
Sepasang mata Memedi Karang Api kontan terbela-
lak bagaikan hendak keluar, saat pedang Panji amblas
menembus jantungnya. Tubuh kakek tinggi kurus itu
pun ambruk saat Pedang Naga Langit telah tercabut
keluar. Darah segar kembali membasahi bumi. Kini,
Memedi Karang Api pun tewas menyusul kawan-
kawannya, setelah menggelepar beberapa saat.
"Kakang...."
Kenanga langsung saja berlari dan memeluk tubuh
kekasihnya dari belakang. Hatinya langsung merasa
lega, karena musuh-musuh yang berbahaya telah da-
pat dilenyapkan.
Ki Janala dan Praba saling berpandangan sambil
tersenyum. Jelas, guru dan murid itu pun merasa
gembira melihat kematian datuk-datuk sesat di empat penjuru itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar