SATU
Padang rumput di kaki Gunung Pucung terhampar
luas, membentuk permadani alam berwarna hijau.
Matahari bersinar penuh kehangatan, membuat
warna hijau rerumputan padang menjadi berpendar
cerah.
Dari sebatang pohon beringin besar berumur
ratusan tahun yang berdiri tegak diliputi kesan
angker, melantun alunan seruling. Suaranya
mendayu, seperti berlari pada pucuk rerumputan, lalu
hilang tertelan hembusan angin. Alunannya sendiri
membawa cerita pada alam, bahwa hidup ini penuh
warna-warni yang setiap saat patut disyukuri.
Padang rumput biasa menjadi tempat main para
bocah pengembara sapi, sambil melepas makan
binatang peliharaannya. Di sana, mereka sering
terlihat duduk tenang di punggung seekor kerbau
besar sambil meniup suling.
Tapi lantunan seruling yang saat ini terdengar,
bukan dari bocah pengembala. Melainkan, dari
seorang bocah kecil berumur sebelas tahun. Dia
tampak duduk santai sambil mengangkat satu
kakinya pada kaki lain, di sebatang tangkai besar
pohon beringin. Tangannya tampak bergerak-gerak
indah pada lubang-lubang nada seruling bambu.
Bocah itu tampak lusuh. Rambutnya panjang
melewati bahu, ikal dan kotor. Bajunya kuning dihiasi
tambalan di beberapa bagian, dipadu celana pendek
berwarna hitam yang sekotor rambutnya. Namun
penampilan yang lusuh itu tak membuat wajahnya
tampak susah. Wajahnya malah terlihat ceria.
Sepasanag matanya yang bulat tampak berbinar-
binar. Kelihatan kalau dia adalah anak yang memiliki
rasa percaya diri. Hidungnya bangir. Sementara,
bibirnya yang masih menghembuskan udara ke
serulingnya tampak tipis, meski agak kering karena
panasnya sengatan matahari. Dengan bentuk yang
bulat telor, wajahnya terlihat menggemaskan.
"Ah! Aku haus sekali," keluh bocah itu setelah puas
memainkan seruling. "Perutku pun sudah kalap minta
diisi."
Anak kecil itu beranjak turun dari dahan pohon,
dan berniat pergi ke desa terdekat untuk mencari
makanan. Apa pun caranya, yang penting perutnya
bisa terisi.
Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu
dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memain-
kan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di
warung kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu
merdu, membuat para pengunjung kedai tak
sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak
jarang pula, ada pengunjung kedai yang tak sudi
mendengar alunan serulingnya.
Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain
sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-
nya si Bocah Ajaib
Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah
tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang
sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang
secara serempak membuka usaha, sehingga ber-
duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun
desa untuk berbelanja atau mencari hiburan.
Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil.
Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil ber-
senandung kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu
lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara
melangkahnya tampak santai. Kedua tangannya
diletakkan di belakang tubuhnya. Sedang matanya
yang bulat melirik ke sana kemari.
"Walet...! Oi, Walet!" panggil seseorang dari balik
kerumunan orang yang mengelilingi seorang penjual
keranjinan tangan.
Bocah itu menoleh ke asal suara. Matanya
menemukan seorang lelaki berusia empat puluhan
dengan pakaian amat sederhana. Bajunya ke-
coklatan, dengan celana hitam sebatas betis.
Kepalanya yang ditumbuhi uban, ditutupi blankon
batik lusuh. Dari sinar matanya, tampak sekali kalau
lelaki berbadan agak kurus itu mengenali si Kecil
yang dipanggil Walet.
Wajah lelaki itu tak bisa disebut tampan, tapi tidak
juga jelek. Bibirnya yang kehitaman karena terlalu
banyak merokok, selalu memperlihatkan keramahan.
Hidungnya tampak kecil, tak sesuai dengan matanya
yang agak besar.
"Ada apa, Kang Sentana?" tanya Walet.
Walet. Sebuah nama yang terdengar aneh. Bocah
itu sendiri senang dengan namanya. Dia pula
memberi diri nama itu, setelah mengganti nama
aslinya yang terdengar bodoh. Walet, ya, nama
sejenis burung bertubuh mungil. Bocah itu memang
kagum dengan burung walet. Terutama, pada
kecerdikannya dalam mengarungi alam. Mampu
meliuk-liuk di antara karang tajam, sementara burung
lain tak mampu melakukannya.
Sentana tiba di dekat Walet. Sebelum menjawab
pertanyaan tadi, kepalanya menoleh ke belakang
takut-takut.
"Jiran datang, Let," bisik Sentana hati-hati sekali,
seakan tak mau terdengar seorang pun.
"Jiran tengik itu?"
"Iya. Yang mana lagi?"
Walet menggeleng-gelengkan kepala. Wajah bocah
itu tampak dongkol, menerima berita dari Sentana.
"Apa kutu busuk itu memang sudah tidak punya
muka?" desis Walet.
"Iya! Padahal, seminggu yang lalu kau sudah
membuatnya malu di kedai Ki Soma," timpal Sentana.
Kurang lebih seminggu lalu, orang yang sedang
dibicarakan Walet dan Sentana memang telah
dipermalukan anak berjuluk Bocah Ajaib itu. Dengan
kehebatannya mengelabui pandangan seseorang.
Walet mempermainkan lelaki bernama Jiran. Bocah
itu amat benci melihat perbuatan Jiran yang selalu
memeras rakyat lemah. Jiran kemudian ditantang
untuk bertarung di tengah-tengah pasar. Tentu saja
tantangan itu amat membuat Jiran kalap. Padahal,
dia adalah orang yang paling ditakuti di Desa Dukuh.
Selama ini, tak ada seorang pun penduduk berani
menentangnya secara terang-terangan. Mendengar
namanya saja, mereka langsung merengket seperti
siput. Tapi, ternyata Walet berani mengejeknya habis-
habisan.
Waktu itu, Jiran mengeluarkan parangnya, lalu
membabat perut Walet. Walet sendiri tak mencoba
mengelak. Akibatnya, perutnya sampai tersayat lebar.
Orang seisi pasar sudah mengira, riwayat Walet akan
segera tamat. Tapi kenyataannya, malah membuat
Jiran mendelik sejadi-jadinya. Dari luka sayatan di
perut Walet, ternyata ular-ular berbisa yang menjulur-
julurkan kepala ke arah Jiran.
Melihat hal itu, Jiran lantas lari kocar-kacir. Selama
ini, dia memang belum tahu kalau bocah yang
dihadapinya adalah anak lelaki yang memiliki
kekuatan batin, sehingga, mampu menipu mata
seseorang.
***
"Jadi bagaimana, Let?" tegur Sentana ketika
melihat bocah lelaki itu tercenung.
"Aku tidak mau dia terus-terusan memeras rakyat,
Kang," jawab Walet tegas.
"Jadi?"
"Kali ini aku harus membuatnya benar-benar
kapok!" tandas Walet, geram.
Tangan Sentana bergerak memukul udara.
Wajahnya tampak bersemangat setelah mendengar
ucapan Walet barusan.
"Aku setuju, Let! Biarpun kau jauh lebih muda
dariku, tapi kau amat cocok menjadi sahabatku," puji
Sentana, berbinar-binar.
"Mari, Kang," ajak Walet.
"Ke mana, Let?"
"Katanya mau kasih pelajaran sama Jiran tengik
itu?" tukas Walet.
"Ah! Aku sih tunggu di sini aja, Let. Kau sendirilah
yang datangi kutu kupret itu...," sergah Sentana
seraya cengar-cengir.
"Takut?" seloroh Walet.
"O, tidak.... Tidak. Tapi kan, kalau parangnya
tersangkut di leherku terasa sakit sekali, Let...."
Walet tertawa kecil.
"Iyalah, Kang," ujar bocah itu seraya melangkah ke
arah Jiran.
Tak beberapa jauh dari tempat Walet, Jiran tampak
sedang membuat onar. Seorang pedagang buah
semangka berdiri ketakutan di hadapan Jiran. Seperti
biasa, lelaki itu tengah memungut pajak liar dari para
pedagang. Dengan terpaksa, beberapa pedagang
memberi apa yang diminta Jiran, kalau tidak ingin
mendapat perlakuan kejam.
Tapi tampaknya lain bagi si pedagang semangka.
Dia bukannya tidak ingin memberi. Namun karena
hari ini, dagangannya belum terjual sebuah pun.
Maka, dia tak bisa memberi uang pada Jiran.
"Aku benar-benar belum punya uang, Den.
Daganganku belum terjual. Maklum, musim hujan,"
ucap lelaki pedagang semangka, memelas.
"Aku tak peduli," hardik Jiran kasar.
Laki-laki bertampang kasar itu berdiri angkuh
dengan tangan di pinggang. Perawakannya tidak
tinggi, tapi terbilang kekar. Bajunya hitam bergaris-
garis putih. Bagian dadanya yang tak tertutup
memperlihatkan bulu-bulu lebat. Celananya hitam,
memanjang hingga mata kaki. Pinggangnya terlilit
sabuk kulit lebar sebagai tempat parang. Matanya
agak menukik dengan kelopak mata terlipat ke
dalam. Alis mata lelaki itu setebal brewok yang
tumbuh di dagunya. Hidungnya besar dan bibirnya
tebal.
"Kau mau beri aku uang apa tidak?! Atau ku acak-
acak daganganmu ini!" ancam Jiran. Matanya
mendelik, seperti hendak keluar.
"Ampun, Den. Jangan diacak-acak daganganku...,"
pinta pedagang semangka memelas.
"Aaah, tai kucing!"
Baru saja Jiran hendak menendang peti
semangka....
Tiba-tiba terdengar bentakan bocah kecil yang
nyaring.
"Hey, Bajingan!"
Jiran kenal suara itu. Ingatannya langsung kembali
pada kejadian seminggu lalu, yang membuat dirinya
kehilangan muka karena telah dipecundangi oleh
seorang bocah kecil. Ketika menoleh ke asal suara,
dilihatnya Walet sedang berdiri menantang, tujuh
tombak dari tempatnya.
"Kau...," desis Jiran geram.
"Ya, aku!" sahut Walet gagah. "Apa kau belum
kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi padamu?!"
Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan
Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat
ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak
ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian memalu-
kan seminggu lalu terulang lagi.
"Mau apa kau, Bocah Sialan?" kata Jiran, dingin
dan datar.
Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut
terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap
menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si
Bocah Ajaib.
"Tak banyak yang kumau," ucap Walet. "Aku hanya
ingin kau tak mengusik-usik para pedagang lagi...."
"Apa?! Hua ha ha...! Kau mimpi, Bocah!"
"Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu,
kalau kau tidak mau pergi dari sini," ancam Walet
tanpa kenal rasa takut sedikit pun.
"Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu
bermain sihir padaku?! Silakan.... Kau pikir aku akan
tertipu lagi?!" ledek Jiran, mencibir.
Walet melangkah lebih dekat ke arah Jiran. Tak
ada kesan keragu-raguan pada gerak kakinya.
Bahkan matanya menatap lurus-lurus ke mata Jiran
yang mampu membuat ciut nyali para penduduk lain.
"Kau menduga aku tidak bisa menipumu lagi
seperti waktu itu? Benar. Aku tidak bisa menipumu
lagi. Tapi aku akan membuatmu lari terkencing-
kencing, lelaki bernyali kodok!" cemooh Walet,
berusaha memancing kegusaran lawannya.
Jiran terpancing. Tapi, tampaknya belum cukup
untuk membuatnya kalap. Hanya saja wajahnya yang
terlihat makin terbakar merah dan tangannya terus
meremas-remas gagang parang.
"Nah! Lebih baik, kau segera pergi dari sini. Kau
tak mau kujadikan kodok buduk, kan?" cecar Walet,
lebih keterlaluan.
Kali ini, cemoohnya berhasil mencukil harga diri
Jiran. Lelaki bertampang sangar itu merasa ubun-
ubunnya hendak dijebol aliran darah panas yang
mendadak mendesir keras.
"Bajingan...," rutuk Jiran. Sisi rahangnya mengeras,
memperdengarkan gemelutuk gigi-giginya yang
beradu geram. "Kucincang kau, Bocah Keparat!"
"Kau mau cincang aku? Ayo! Cincang bagian mana
yang kau suka!" tantang Walet seraya mengangkat
dagu tinggi-tinggi.
Bagi bocah itu bersikap angkuh pada manusia
bejat seperti Jiran memang mesti dilakukan. Orang
yang tak pernah memperlakukan manusia seperti
manusia, pantas diperlakukan layak anjing geladak.
"Hiaaa!"
Berbareng satu lengkingan merobek angkasa,
Jiran meluruk ke arah bocah kecil itu. Tak ada lagi
rasa malu menghadapi lawan yang jauh lebih kecil
darinya. Karena pada dasarnya, dia sendiri memang
sudah tak punya rasa malu lagi.
Parangnya menciptakan bunyi yang menggidikkan
manakala ditarik dari pinggangnya.
"Hih!"
Bet!
Satu tebasan dilepaskan Jiran dengan kejamnya.
Senjatanya yang setiap hari diasah itu berkelebat di
udara, bersama sinar pantulan matahari. Leher kecil
Bocah Ajaib adalah sasaran pertama.
Tes!
"Aaakh...!"
Dalam sekerdipan mata, leher Walet terpenggal
diiringi desahan kesakitan. Kepala kecilnya yang
terlontar dari tubuh, lalu menggelinding di atas tanah
berlumpur.
Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu akan
bergidik ngeri. Lain halnya Jiran. Lelaki bengis itu tak
puas dengan tebasan pertama. Dia tidak ingin tertipu
lagi, seperti kejadian minggu lalu. Maka parangnya
kembali diayunkan setengah tenaga.
Bet!
Tes!
Tebasan susulan Jiran, membabat bahu Walet
hingga tangan kanannya putus. Sebelum tubuh Walet
yang tak utuh terpuruk di jalanan pasar, Jiran
mengayun sekali lagi parang haus darahnya.
Sing!
Bret!
Dada bocah kecil itu kontan terbelah dengan luka
menganga lebar. Tepat ketika Jiran mendengus
garang, tubuh Walet yang tanpa kepala dan lengan
lagi ambruk diiringi bunyi berdebam. Darah sudah
terpercik ke mana-mana. Warna merahnya menodai
jalanan berlumpur. Sebagian mengalir lambat dalam
genangan air sisa hujan tadi malam di sisi jalan.
Sementara itu para panghuni pasar tak sanggup
melihat kejadian ini lebih lama. Perbuatan Jiran
memang lebih telengas daripada pembantaian yang
pernah mereka lihat di mana pun. Beberapa wanita
yang melihat bahkan menjerit sejadi-jadinya. Bahkan
ada yang langsung tak sadarkan diri, menyaksikan
kebiadaban ini.
Tak lama, dari balik kerumunan, seseorang
menyeruak. Langsung ditubruknya tubuh Walet yang
mengenaskan. Lelaki kebodoh-bodohan itu adalah
Sentana yang begitu akrab dengan Walet.
"Walet! Walet!" seru Sentana, sesegukan.
Sambil mendekap, Sentana menangis meraung-
raung seperti anak kecil kehilangan boneka
kesayangan.
"Ini salahku. Let. Kalau saja aku tak mem-
beritahukanmu tentang kedatangan lelaki iblis itu,
tentu kau tak akan bernasib senaas ini," desah
Sentana lirih di antara isak tangis.
Sementara itu, Jiran berdiri sombong tak jauh dari
tempat Sentana. Tangannya sibuk membersihkan
parangnya yang bernoda darah. Sambil mem-
perdengarkan tawa puas tak henti-hentinya, seperti
tingkahnya jika sedang menang judi.
"Hua ha ha...! Dikira aku tidak memiliki persiapan
jika harus menghadapinya lagi," kata Jiran lantang.
Seakan-akan, dia memberi pemberitahuan pada
setiap teIinga di pasar itu, bahwa dirinya tidak bisa
dipermainkan lagi.
Usai memasukkan senjata ke dalam sarungnya
kembali, Jiran mengeluarkan sesuatu dari balik ikat
pinguang lebarnya.
"Kalian lihat ini!" seru Jiran pada seisi orang pasar,
seraya mengangkat tinggi-tinggi sesuatu di tangan
kanannya.
Seketika orang-orang yang berkerumun mengarah-
kan pandangannya pada tangan kanan Jiran.
"Aku sudah mencari tahu tentang bocah itu
seminggu belakangan ini. Setelah kutahu kalau dia
memiliki kekuatan sihir, aku pun mencari dukun yang
mampu mematahkan kekuatan gaibnya. Dan ini...."
Jiran menggoyang-goyangkan bungkusan kecil dari
kain hitam di tangannya.
"Ini adalah pemberian dukun itu. Jimat hitam yang
dapat melumpuhkan kekuatan bocah sialan ini. Ha ha
ha...!"
Tawa Jiran yang penuh kemenangan bergetar,
menggema ke segala arah.
"Jadi kalian sudah tak bisa berharap perlindungan
dari bocah dungu ini lagi," sambung laki-laki
bertampang seram itu seraya memasukkan jimat
hitam tadi ke dalam bajunya.
Setelah puas tertawa, Jiran melangkah pergi
meninggalkan tempat itu diiringi seringai kepuasan
Tinggal penghuni pasar dan Sentana yang terus
menangisi kemalangan nasib Walet.
***
DUA
Sementara Jiran telah menghilang di ujung jalan,
Sentana masih terduduk di jalan becek. Tidak
dipedulikan lagi pakaiannya yang dikotori lumpur.
Kematian mengerikan yang menimpa Walet terus
ditangisinya. Sedangkan, orang seisi pasar
berkerumun di sekitarnya dengan wajah ngeri
bercampur kasihan melihat nasib bocah malang itu.
Sampai hujan rintik-rintik mulai turun, mereka
tetap terpaku bisu di tempat masing-masing. Tak ada
sepatah kata pun ingin dikeluarkan. Mereka
bukannya tidak mau menghibur Sentana, karena
begitu terguncang dengan pembantaian brutal di
depan biji mata. Dan mereka hanya terdiam mem-
bisu.
Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan
pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah
mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih
terpaku di sana.
Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman
kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya
mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong
siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara
mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak
sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya
mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka
memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki
kejam itu.
Sekian lama mereka terdiam dalam siraman
gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya....
"Yhiaaa! Walet brengsek! Anak sialan!"
Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak
oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung
terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana
yang terdengar ganjil di telinga! "Apa-apaan ini? Apa
Sentana kemasukan setan?" tanya hati masing-
masing. Dan keheranan mereka terjawab seketika,
saat tangan Sentana mengangkat tubuh kaku Walet
yang kini telah berubah menjadi batang pohon
pisang. Begitu juga kepala dan tangan bocah itu.
Berbarengan, para penghuni pasar berseru
gembira. Tak pernah terpikirkan kalau Walet masih
mampu mempermainkan Jawara Desa Dukuh.
Padahal, Jiran telah sesumbar kalau memiliki jimat
hitam yang mampu mematahkan kekuatan si Bocah
Ajaib itu.
"Walet! Walet! Ke mana kau, Bocah Brengsek?!"
seru Sentana seraya bangkit.
Mata laki-laki itu yang masih tampak berair, kini
berbinar-binar diliputi kegembiraan.
"Walet! Sembunyi di mana kau?!" teriak Sentana.
Sentana mencari-carinya Walet di antara
kerumunan orang pasar. Tapi meski menyeruak ke
sana kemari, bocah kecil itu tak juga ditemukan.
***
Sementara itu jauh dari pasar, seorang anak
tengah duduk santai di atas dahan pohon yang
tumbuh di sisi jalan setapak. Dia tak lain Walet, bocah
sakti yang baru saja mengecoh Jiran. Jemarinya terus
memainkan seruling, seperti tak pernah terjadi apa-
apa sebelumnya.
Sengaja Walet duduk di sana, karena ada
seseorang yang ditunggunya. Tentu saja orang yang
dimaksud adalah Jiran. Walet amat tahu, lelaki itu
akan melintasi jalan tempatnya menunggu. Jalan ini
memang biasa dilewati, jika Jiran hendak pulang ke
tempat tuan tanah Sumpena, majikannya.
Tak lama Walet menunggu. Kini, Jiran tampak
melintas tepat di bawah dahan tempat Walet duduk.
Lelaki bertampang kasar itu melangkah tenang.
Bibirnya memperdengarkan siulan berirama kacau,
seakan prajurit menang perang.
Dan ketika mendengar tiupan seruling dari atas
pohon yang menurut cerita penduduk setempat amat
angker, Jiran menghentikan langkah sekaligus
siulannya. Desas-desus tentang dedemit yang ber-
sarang di pohon itu, berseliweran di benak Jiran. Dan
seketika matanya melirik tegang ke kanan dan kiri.
Sementara di atas dahan, Walet bisa menangkap
garis ketakutan di wajah Jiran. Memang, biarpun
sanggup berlaku bengis, Jiran amat percaya pada
takhayul. Betapa takutnya dia, jika membayangkan
bentuk genderuwo yang suka mengunyah jantung
manusia. Dan Walet tahu akan ketakutan laki-laki itu.
Maka, ada baiknya dimanfaatkannya kepercayaan
Jiran pada takhayul.
"Jiran...," desah Walet dengan suara dibuat-buat.
Mendengar namanya disebut, Jiran makin tegang.
Sebenarnya, laki-laki itu tak begitu merasa takut
melewati tempat ini bila siang hari. Terangnya sinar
matahari, membuatnya yakin kalau para dedemit
tidak bakal gentayangan. Tapi kalau hari sudah
termakan senja, apalagi ditambah mendung gelap di
langit seperti itu? Jelas, jantungnya akan berdetak-
detak keras bagai tabuhan gendang.
"Jiraaan...!"
Sekali lagi Walet memperdengarkan suara berat.
Lebih keterlaluan lagi, suaranya sengaja dibuat
bergetar, seperti rintihan dari alam kubur.
Sedangkan lelaki bertampang kasar di bawahnya
mulai blingsatan. Kepalanya menoleh takut-takut ke
satu sudut paling gelap di dekat batang pohon
sebesar kerbau itu. Napasnya pun mulai turun naik
tak teratur. Kemudian menyusul keringat dingin
membasahi keningnya.
"Jiii... raaannnthhh...," goda Walet, kian dibuat
seseram mungkin.
Sekejap, Jiran menghentikan gerak tubuhnya.
Dipasangnya telinga jelas-jelas, untuk menentukan
asal suara mendirikan bulu roma yang tertangkap
telinganya. Yakin suara itu dari atas pohon, kepalanya
segera mendongak.
Untunglah, lebatnya dedaunan pohon mampu
melindungi Walet. Sehingga, mata Jiran tak sempat
menangkap kehadirannya. Terlebih, hari sudah
demikian sunyi. Sehingga membuat kepekatan me-
rayapi sekitarnya.
"Jirrraaannnthhh, aku hauuusss. Aku ingin me-
minum darahhhmuuu, Jiran. Dan aku juga lapar.
Jantungmu tentu amat lembut bila kukunyahhh...."
Napas Jiran langsung terhenti. Begitu pula detak
jantungnya. Rasanya, dia bisa mati berdiri tanpa
darah di wajahnya. Wajahnya benar-benar menjadi
pucat melebihi mayat.
Saat berikutnya....
Srak!
Walet tiba-tiba membuang tubuhnya ke bawah.
Gesekan dengan dedaunan yang menimbulkan suara
cukup keras, membuat Jiran tersentak bukan alang
kepalang. Dan ketika matanya menangkap sesosok
tubuh melayang dari atas pohon, kontan saja kedua
kakinya yang sudah sejak tadi bergetar hebat
bergerak. Lelaki bengis berhati kodok itu kontan lari
tunggang langgang.
"Wuaaa, ampun Mbah! Jantungku jangan
dimakaaan!" jerit laki-laki bertampang seram itu amat
keras.
Tanpa menoleh sedikit pun, Jiran terus lari sampai
tubuhnya menghilang di ujung jalan setapak.
Sepeninggaran Jiran, Walet kontan tertawa
terbahak-bahak. Perutnya bahkan sampai terasa
sakit, melihat kejadian lucu tadi.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba tawa bocah kecil itu terpenggal oleh
tepukan seseorang. Masih dengan wajah merah
menahan geli, Walet cepat menoleh. Dilihatnya
seorang pemuda gagah dan tampan berdiri tak jauh
dari tempatnya. Pemuda berpakaian hijau muda itu
dipundaknya tersampir kain bercorak catur.
Sementara, rambutnya yang panjang sebahu tak
teratur, membuat penampilannya makin terlihat
gagah.
"Siapa Kakang ini?" sapa Walet sopan.
"Aku Andika. Kau siapa?" sahut pemuda itu, tak
kalah ramah.
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Andika, yang
kesohor dengan julukan Pendekar Slebor.
Keduanya kemudian saling berjabatan tangan
dengan hangat. Sesaat kemudian keduanya terlibat
percakapan ringan sambil melangkah beriringan.
***
Di sebuah pondok terbengkalai di pinggir desa
tampak dua orang berbeda usia sedang bercakap-
cakap. Suara mereka lamat-lamat menembus
curahan hujan gerimis di luar pondok. Dan mereka
memang Walet dan Andika.
Keduanya tampak akrab bertukar cerita setelah
tadi berkenalan. Andika sudah memperhatikan
seluruh sepak terjang Walet sejak di pasar. Pemuda
itu terkesan melihat keberanian bocah kurus ini
dalam membela orang lemah terhadap tangan kejam
Jiran. Makanya, Pendekar Slebor tertarik untuk
mengenal lebih jauh. Seperti juga Sentana, Andika
pun merasa tidak ada salahnya bersahabat dengan
seseorang yang usianya jauh lebih muda. Nilai
sebuah persahabatan, toh tak bisa hanya dinilai
dengan perbedaan usia.
Secara jujur, Andika mengakui kalau
ketertarikannya pada Walet, dikarenakan ada
kesamaan sewaktu kecil dulu. Mereka sama-sama
gelandangan, tak memiliki siapa-siapa. Dan mereka
merasa senasib hingga persahabatan itu sudah
seperti keluarga sendiri. Dan mereka pun sama-sama
tak sudi melihat ketidakadilan, kesemena-menaan,
dan kekejaman yang terjadi di depan mata. Bedanya,
Andika kecil memilih jalan menjarahi pundi-pundi
uang milik para penguasa lalim. Sedangkan Walet
menentang orang-orang lalim dengan kekuatan
batinnya.
"Jadi, Kang Andika tak tertipu oleh kekuatan
batinku?" tanya Walet seraya merapatkan kain
pusaka pinjaman Andika ke tubuhnya.
Andika mengangguk.
"Aku juga tidak mengerti, kenapa orang lain tertipu
sedang aku tidak," jawab Andika.
"Mmm, mungkin karena Kakang memiliki hati
bersih," duga Walet.
"0, ya?"
"Bersihnya hati Kakang Andika, karena berpegang
teguh pada kebenaran sebagai amanat Tuhan.
Keimanan pada Tuhan, tidak membuat orang mudah
terpengaruh sesuatu...," tutur Walet.
Mendengar ucapan bijaksana bocah kecil di
depannya, Andika tertawa renyah. Dikucek-kuceknya
rambut Walet seperti sikap seorang kakak pada
adiknya. Andika tidak bermaksud meledek Walet. Dia
tertawa, karena merasa tak percaya kalau ucapan
penuh makna tadi terlontar dari bibir seorang anak
sebelas tahun.
"Kau anak yang hebat. Let!" puji Andika tulus.
"Ah, masa? Setiap orang bisa berkata seperti itu,
Kang. Asal dia bisa memperhatikan hidup yang
dijalaninya," sergah Walet, menghindari pujian
Andika.
Lama keduanya berbincang simpang siur, berbagai
kisah duka atau suka. Namun....
"Tunggu, Let...," tukas Andika tiba-tiba.
Mata pemuda itu menyipit dan terarah ke tempat
yang cukup gelap di depannya. Seolah dia hendak
menembus rintik-rintik gerimis di luar.
"Ada apa, Kang?" tanya Walet heran.
"Aku melihat seorang berdiri di sana tadi. Kau
tunggu saja di sini. Aku ingin menyelidikinya," ujar
Andika seraya beranjak dari pondok tua ini.
Tanpa mempedulikan kepungan hujan, Andika
berlari menuju tempat seseorang yang dilihatnya tadi.
Wajar saja jika kecurigaannya timbul, karena tidak
biasanya seseorang berdiri di bawah curahan gerimis
dan kungkungan udara dingin.
Begitu cepat Andika berkelebat, sehingga sebentar
saja tubuhnya tiba di tempat tujuan. Namun ternyata
di situ Andika tidak melihat orang tadi. Bagi pemuda
itu, hal ini tergolong aneh. Bagaimana tidak? Tempat
itu berupa padang rumput luas, yang tidak
memungkinkan seserang bersembunyi. Satu-satunya
tempat bersembunyi, hanya pohon besar di dekatnya.
Tapi ketika seluruh penjuru pohon diawasi, tidak juga
diketemukan orang yang dicari.
"Apa mungkin dia melarikan diri?" tanya hati
Andika. "Ah! Sepertinya tidak mungkin!"
Sewaktu mendekati tempat itu, Andika telah
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Di dunia
persilatan, kecepatan gerak warisan dari buyutnya
yang berjuluk Pendekar Lembah Kutukan, memang
sulit dicari tandingan. Bila orang itu melarikan diri,
tentu masih sempat terlihat. Lalu kenapa tiba-tiba
orang itu menghilang bagai menyatu dengan desir
angin malam?
"Aneh...," bisik Andika, tidak mengerti.
Belum lagi keheranannya terjawab, mendadak saja
ada teguran lembut di belakang Andika.
"Tuan...."
Meski sapaan itu tak terdengar keras, Andika tetap
tersentak. Lagi-lagi benaknya digerayangi keheranan.
Kenapa tiba-tiba pula orang itu muncul lagr? Tak ada
suara sekecil apa pun yang tertangkap telinga Andika.
Bahkan desah napasnya sekalipun.
Dengan gumpalan keheranan dalam benaknya,
Andika menoleh ke belakang. Tampak seorang wanita
cantik nan anggun berdiri tepat dua tombak di
dekatnya. Saat mata Andika bertumbukan dengan
wajahnya, pendekar muda itu menjadi terpukau. Tak
pernah dalam hidupnya wajah secantik itu dilihatnya.
Kulitnya putih agak berpendar terang, meski suasana
saat ini dirundung gelap. Matanya berhias bulu-bulu
lentik, seolah menggapai langsung ke hati Andika.
Hidungnya bangir dan bibirnya merekah merah
delima. Rambutnya yang hitam legam sebatas
pinggang, terurai bak hamparan permadani surga.
Tubuhnya yang tinggi sintal diselimuti gaun kuning
rembulan.
Andika menarik napas dalam-dalam, mencoba
menguasai getaran asing yang mendadak menyeruak
dalam relung batinnya.
"Dia benar-benar sempurna...," desah Andika tak
sabar.
"Tuan...," sapa wanita itu sekali lagi.
Andika terkesiap dari keterpesonaannya. Sambil
mengutuki dirinya yang bersikap seperti orang bodoh,
bergegas dilontarkannya senyum ramah. Namun yang
terlihat di bibirnya ternyata lebih mirip ringisan seekor
kuda pikun. Maklum saja, dia begitu kikuk.
"Kau..., kau ini siapa?" tanya Andika, agak
tergagap.
Tak, terdengar jawaban dari bibir wanita cantik itu,
kecuali membalas senyum Andika dengan keranuman
bibirnya. Sehingga, memaksa jantung Andika kian
berdetak tak karuan.
"Ng..., anu kau. Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi, kan?" kata Andika.
"Tolong aku, Tuan Pendekar," pinta wanita itu, tak
sedikit pun menjawab pertanyaan Andika sebelum-
nya.
Sepasang alis sayap elang pemuda gagah itu
bertaut.
"Tolong? Tolong bagaimana?" bisik batin Andika
lagi.
"Bencana itu..., bencana itu. Aku terpaksa me-
lakukannya. Tolong aku, Tuan Pendekar," lanjut
wanita cantik itu, makin membingungkan Andika.
"Tunggu dulu, Dik. Bisakah kau jelaskan padaku
satu persatu?" tanggap Andika sambil menggaruk-
garuk kepala. Matanya kali ini menangkap bias
kemurungan di wajah wanita itu.
Cukup lama Andika menunggu jawaban, tapi
wanita di hadapannya tetap tertunduk dalam-dalam.
Andika menggeleng-geleng kepala. Dan saat meng-
geleng, matanya terlempar ke arah lain.
"Bagaimana aku bi...."
Andika tak melanjutkan ucapannya, karena begitu
matanya kembali pada wanita itu, dia tak me-
nemukan siapa-siapa lagi.
"Hei.... Ke mana kau?!" panggil Andika.
Seketika Andika menyadari sesuatu yang ganjil.
Ternyata wanita itu menghilang begitu saja dalam
waktu demikian singkat! Padahal, Andika hanya
sempat mengalihkan pandangan saat menggeleng.
Maka saat berikutnya bulu roma Andika meremang.
"Siapa wanita itu?" bisik pemuda itu amat samar.
***
TIGA
Wilayah Kadipaten Karangwaja yang luas, terbentang
dari kaki Gunung Srandil di sebelah timur hingga
Pesisir Pantai Laut Selatan. Di kadipaten itu berdiri
empat perguruan besar. Masing-masing Perguruan
Elang Hitam di wilayah timur, Perguruan Tangan Wesi
di sebelah barat, Perguruan Naga Langit di wilayah
selatan, dan Perguruan Ular Iblis di wilayah utara. Dari
keempat perguruan ini, hanya Perguruan Ular Iblis
yang kerap kali menimbulkan masalah di kadipaten
itu.
Kadipaten yang yang dipimpin Adipati Tunggul
Manik ini sering dibuat susah oleh para murid
Perguruan Ular Iblis yang melanggar hukum.
Kerusuhan sering diciptakan di beberapa kampung.
Tabiat ugal-ugalan dan semena-mena adalah hal
biasa bagi murid perguruan itu. Untuk melakukan
penangkapan, para prajurit kadipaten malah dibuat
kewalahan. Karena, murid-murid perguruan itu rata-
rata memiliki ilmu kesaktian tinggi
Dengan alasan inilah, Adipati Tunggul Manik
berulang kali mengirim utusan ke tiga perguruan lain,
untuk memohon bantuan mengatasi sepak terjang
Perguruan Ular Iblis. Meski begitu, persoalan demi
persoalan yang ditimbulkan para murid Perguruan
Ular Iblis tak kunjung selesai.
Seperti halnya hari ini, dua lelaki dari Perguruan
Ular Iblis terlihat memasuki gerbang desa. Keduanya
berpakaian serupa. Rompi merah tua dengan rajutan
ular bertaring besar di bagian belakangnya. Pakaian
itu masih dipadu dengan celana panjang warna
kelabu. Kepala mereka diikat kain merah bergambar
lambang perguruan, seperti di baju bagian belakang
yang dikenakannya. Kegagahan tampak pada kedua
lelaki muda berwajah tampan itu. Sayang, sinar mata
mereka berbinar culas.
Mereka terus melangkah angkuh, memasuki jalan
desa yang lengang siang ini. Tak heran, karena para
penduduk yang terutama laki-laki sedang pergi ke
sawah. Sedangkan para wanitanya sedang memper-
siapkan makan siang untuk dibawa ke sawah nanti.
Ketika kedua lelaki itu melewati jembatan bambu
yang membelah anak Sungai Lanang, seorang gadis
desa berwajah cantik dan bertubuh molek kebetulan
melintasi jembatan pula. Maka ketiganya berpapasan
di tengah jembatan bambu.
"Ada anak kelinci, Kang Wisesa," seloroh lelaki
yang berwajah lebih muda.
"Anak kelinci yang montok dan manis, Karta,"
timpal laki-laki yang dipanggil Wisesa seraya ter-
bahak-bahak keras.
Sedangkan gadis desa yang digoda menjadi
tersurut ketakutan ke sisi jembatan. Matanya mem-
beliak ngeri, mendapati seringai nakal Karta dan
Wisesa. Dia berniat lari menerobos sisi kiri jembatan,
tapi Wisesa dengan sigap menghalang-halanginya.
"Kenapa terburu-buru, Nyai?" tanya Wisesa. "Apa
tidak sebaiknya kita berkenalan dulu? Siapa
namamu?
"Marni," sahut gadis itu, cepat.
"Marilah, kita ngobrol-ngobrol dulu," ajak Karta.
Marni menggelengkan kepala. Rambutnya yang
panjang tergerai bergoyang-goyang mengikuti irama
gelengan kepalanya.
"Maaf, aku terburu-buru, Kang. Mau ngantar
makanan buat Ayah di sawah," tukas Marni, berusaha
menolak ajakan Wisesa.
"Aaah! Hanya ngobrol saja kan tidak lama," selak
Karta sambil menjulurkan tangan untuk menjamah
pangkal lengan Marni.
"Tapi, Emak sudah menunggu di rumah. Masakan
buat Ayah pasti sudah matang," tolak Marni lagi
seraya berusaha mundur, menghindari tangan liar
Karta dengan wajah mulai memucat.
Merasa usahanya untuk melintasi jembatan sia-
sia, Marni perlahan-lahan melangkah mundur.
Pikirnya, lebih baik kembali ketimbang harus ber-
urusan dengan dua lelaki hidung belang ini. Terlebih,
dia tahu kalau mereka adalah anggota Perguruan Ular
Iblis, biang kekacauan di Kadipaten Karangwaja.
Melihat Marni siap-siap melarikan diri, Karta
mendekatkan wajahnya pada telinga Wisesa.
"Kang, mumpung tidak ada orang. Bagaimana
kalau kita bawa lari perempuan ini?" bisik Karta,
memberi usulan.
Wisesa melirik kawannya sesaat. Entah apa yang
dipikirkannya saat itu. Yang pasti, bibirnya
menyeringai jalang. Setelah itu, kepalanya meng-
angguk, memberi persetujuan atas usul Karta tadi.
Marni tahu, gelagat itu tidak baik. Ia memang
sering bertemu orang-orang seperti Karta dan Wisesa
yang selalu memperlihatkan tingkah mencurigakan
jika menyimpan niat busuk pada dirinya yang menjadi
kembang desa.
Menyadari hal ini, Marni segera berbalik, dan lari
sekuat tenaga di atas jembatan bambu. Sehingga,
membuat jembatan itu bergoyang-goyang bersama
suara berderit.
"Mang, kejar!" seru Karta setengah berteriak, dan
langsung mengejar Marni.
Saat berikutnya, Wisesa pun mengejar gadis itu.
Tiga orang berlari di atas jembatan, mengakibatkan
kerangka bambu itu nyaris roboh. Deritnya riuh,
seperti oleng ke kiri dan kanan, sehingga Marni
terhuyung-huyung.
Sementara di bawah sana, anak sungai berbatu
sebesar kerbau siap menanti. Bagi Karta maupun
Wisesa, jarak setinggi tujuh tombak dari jembatan ke
permukaan sungai bukan masalah. Dengan tingkat
meringankan tubuh yang mereka miliki, ketinggian
yang lebih dari itu pun sanggup ditaklukkan.
Tapi buat Marni, yang tak memiliki ilmu bela diri
sekalipun? Ancaman terenggut maut di atas batu
besar bisa saja menimpa dirinya.
Rasa bingung Marni membuat keseimbangan
tubuhnya tidak bisa terkuasai lagi. Tubuhnya oleng ke
kiri, langsung melanggar sisi jembatan dari bilah
bambu memanjang. Dorongan tubuhnya yang begitu
keras, menyebabkan bambu di sisi jembatan tak
kuasa menahannya.
Krak!
Bambu sisi jembatan itu patah, dan....
"Aaa...!"'
Tak ayal lagi, Marni terlempar ke bawah. Jeritan
melengking yang terdengar menyayat keluar dari
tenggorokannya, sehingga tercipta gema ke setiap
penjuru, seperti panggilan maut.
"Bodoh! Kenapa tidak menggunakan ilmu
meringankan tubuh untuk menangkapnya?!" bentak
Wisesa menyesali keterlambatan Karta mengejar
gadis desa itu.
"Mak..., maksudku tadi hanya ingin mempermain
kan dia, Kang," jawab Karta tergagap.
"Tapi akibatnya dia jatuh ke sana!" hardik Wisesa
kembali seraya menunjuk ke anak sungai. Di sana,
tubuh Marni tergolek tanpa bergerak sedikitpun
setelah menghantam permukaan sebongkah batu
besar.
"Jadi apa harus diperbuat, Kang? Apa penduduk
kampung bakal tahu?" tanya Karta, tertunduk-tunduk.
"Goblok! Aku memarahimu bukan karena takut
pada penduduk kampung!"
"Jadi apa, Kang?"
"Karena kita tak jadi menikmati tubuh gadis cantik
itu!"
"Ooo, aku kira apa. Kalau itu sih, aku juga
menyesal, Kang," tukas Karta seraya meringis-ringis
takut.
"Ayo kita pergi! Aku tak ingin buang-buang tenaga
jika penduduk desa tahu kejadian ini...," ajak Wisesa
pada Karta.
Keduanya baru hendak melangkah tapi segera
diurungkan. Karena, mata mereka menemukan
seseorang berdiri di ujung jembatan. Tangannya
terlipat di depan dada, seperti menantang Karta dan
Wisesa.
"Siapa kau?!" bentak Wisesa kasar. Sikap orang itu
membuat dirinya merasa ditantang secara tak
langsung.
Bentakan itu sama sekali tidak digubris lelaki yang
baru datang. Malah matanya menatap terus kedua
orang murid Perguruan Ular Iblis itu tajam-tajam.
Jemari tangan kanannya terlihat menepuk-nepuk
lengan yang lain.
"Hey, aku bicara padamu!" bentak Wisesa sekali
lagi. Suaranya terdengar makin meninggi.
Bukannya menyahut, pemuda berpakaian hijau
dan tersampir kain bercorak catur pada pundaknya
itu malah menoleh ke belakang. Seolah seruan itu
ditujukan pada orang di belakangnya. Tentu saja
perbuatan ini kian membuat Wisesa dongkol.
"Aku bicara padamu, Goblok!" maki Wisesa dengan
wajah matang.
Sekali lagi si Pemuda menoleh ke belakang. Lebih
menjengkelkan lagi, badannya dibalikkan pula.
Dengan membelakangi Karta dan Wisesa, bahunya
diangkat.
"Apa orang itu sudah sinting? Tidak ada siapa-
siapa di belakangmu, kok teriak-teriak seperti itu...?"
Meski tidak terlalu keras, ucapannya tetap dapat
ditangkap telinga Wisesa. Kontan saja wajah lelaki itu
menjadi tertekuk beringas. Pangkal hidungnya ter-
lipat. Sedang bibir atasnya terangkat, seperti mulut
kera sedang marah.
Saat itulah pemuda tadi berbalik menghadap
mereka. Wajahnya terperangah, melihat mimik muka
Wisesa. Sepasang alisnya terangkat, seperti orang
ketakutan.
"Astaga, jadi orang itu benar-benar sinting...," ujar
pemuda itu agak keras.
"Bangsaaat!" maki Wisesa tak alang kepalang
murka.
Siapa yang sudi disebut orang sinting? Begitu
marahnya Wisesa, sampai-sampai seluruh urat
lehernya tersembul ketika memaki.
Sementara Karta di belakangnya malah tertawa
terpingkal-pingkal menyaksikan kejengkelan kawan-
nya. Apalagi jika teringat ucapan si Pemuda yang
menganggap Wisesa orang gila.
"Tolong! Tolooong, ada dua orang sinting di
jembatan!" teriak pemuda berpakaian hijau itu
selanjutnya.
Tawa meriah Karta terputus seketika mendengar
teriakan tadi. Jelas, perasaannya ikut tersinggung. Itu
artinya dia juga dianggap sinting! Dan wajahnya pun
tertular wajah jelek Wisesa....
"Kita hajar saja dia, Kang," usul Karta pada
Wisesa.
"Diam kau!" bentak Wisesa, kesal ditertawai Karta.
Dihampirinya pemuda yang tampak berpura-pura
ketakutan. Langkahnya terbanting-banting di
jembatan bambu, membuat getaran bagai ada
gempa.
"Hei..., hei, hati-hati! Bambu-bambu itu sudah
keropos!" teriak pemuda gondrong yang ternyata
Andika, alias Pendekar Slebor seraya menjentik kulit
bambu yang dikeratnya dari sisi jembatan.
Keratan kulit bambu itu kontan meluncur deras
tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan tiba-tiba saja
menghantam bagian jembatan yang hendak diinjak
Wisesa.
Krak!
Sebelah kaki Wisesa kontan terperosok, begitu
jentikan kecil Andika tadi disertai tenaga dalam
tingkat tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan
remuk. Sehingga, tak kuat menahan bobot Wisesa.
"Kunyuk! Kunyuk!" umpat Wisesa seraya bangkit
terseok.
Wisesa memegangi selangkangan yang terantuk
potongan bambu. Sambil meringis menahan nyeri
yang merasuk hingga ke ulu hati, tangannya
menunjuk ke arah Karta.
"Karta! Tunggu apa lagi. Goblok?! Ayo singkirkan
manusia pembawa sial itu!" teriak Wisesa.
Mendapat teriakan Wisesa, Karta tersentak. Masih
setengah terkejut, dia berlari menuju Andika.
"Manusia siaaal...!" teriak Karta seraya
mengayunkan tinju ke wajah Andika.
Di lain pihak, Pendekar Slebor malah asyik
senyum-senyum saja menantikan serangan. Padahal,
Karta mengirim pukulan beserta pengerahan tenaga
dalam. Maka ketika tinju Karta hampir mendarat di
wajah, Andika segera menggenjot tubuh dengan
pengerahan seluruh kemampuan meringankan tubuh-
nya. Wesss!
Tubuh Pendekar Slebor tiba-tiba seperti meng-
hilang dari pandangan Karta. Alhasil, pukulannya pun
melayang tanpa kendali. Tubuh lelaki gagah namun
agak bodoh itu meluruk deras, kemudian terjerembab
di ujung jembatan. Lalu dengan segera Karta bangkit
dengan mata membesar sejadi-jadinya.
"Kang! Cepat lari, Kang! Orang tadi barangkali
prajurit Nyi Roro Kidul!" jerit Karta pada Wisesa yang
menyaksikan juga peristiwa tadi.
Tak ada dua helaan napas, keduanya sudah kocar-
kacir kelimpungan. Sebentar saja, mereka sudah
cukup jauh meninggalkan jembatan bambu ini.
Menyusul menghilangnya dua lelaki tadi, Andika
muncul kembali.
"Walet! Ayo kita teruskan perjalanan!" seru
Pendekar Slebor ke arah sebatang pohon besar.
Dari balik pohon besar itu, keluar Walet bersama
Marni. Ya! Marni memang tidak mati. Tubuhnya yang
tergolek di atas bongkahan batu sebenarnya, hanya
batang kayu kering. Sudah pasti itu hasil kerja Walet.
Memang, semula Pendekar Slebor dan Walet
hendak berkunjung ke beberapa desa untuk
menemui sesepuhnya. Ini karena Andika hendak
menanyakan tentang bencana yang terjadi seperti
disebutkan wanita aneh yang ditemuinya beberapa
malam lalu. Secara kebetulan, mereka melintasi
daerah itu dan menyaksikan Marni sedang dipermain-
kan dua lelaki tadi.
***
EMPAT
Setelah Andika mengalami kejadian aneh beberapa
hari lalu, kepalanya tak habis-habisan berpikir
tentang wanita cantik yang ditemuinya di bawah
sebatang pohon besar. Siapa dia? Bagaimana dia
bisa tiba-tiba hadir, lalu tiba-tiba pula menghilang?
Apa maksudnya meminta tolong? Lalu, bencana
macam apa yang dimaksudnya? Seruntun pertanyaan
itu terus bergaung di benak Andika.
Di mulut sebuah jendela kamar, Andika terpekur.
Dicobanya memahami seluruh ucapan wanita itu.
Lama dia begitu, namun tak secercah jawaban pun
yang didapat.
Setelah menolong Marni siang tadi, Andika dan
Walet mengantarnya pulang dan sampai di rumah.
Mereka berdua ditawari bermalam oleh Nyi Saodah,
ibunya Marni. Semula, Andika menolak karena masih
punya urusan. Terutama hendak mencari tahu makna
pesan wanita cantik aneh itu kepada beberapa
sesepuh desa berbeda. Namun ketika hujan begitu
saja mengguyur bumi, mau tak mau diterimanya juga
tawaran Nyi Saodah.
Mereka diperlakukan seperti tamu kehormatan
oleh keluarga Marni. Bukan karena telah berjasa
menyelamatkan Marni dari cengkeraman dua lelaki
bejat siang tadi, tapi semata-mata karena nilai-nilai
tata krama dalam keluarga itu sendiri. Kendati
demikian, kedua orangtua Marni amat berterima
kasih anaknya telah diselamatkan.
Andika dan Walet mendapat kamar istirahat di
rumah yang lumayan besar itu. Sejak lepas senja tadi,
Walet sudah tertidur pulas di balai dalam kamar.
Tampaknya, bocah itu terlalu lelah setelah seharian
berjalan bersama Andika.
Kini keadaan sepi. Suara hujan di luar, menembus
dinding bilik kamar. Sementara, angin basah singgah
melalui jendela tempat Andika merenung.
Sampai saat itu, hujan tidak juga mau berhenti.
Dan ini agaknya membuat Andika kesal karena
urusannya jadi mandek. Namun biar bagaimanapun,
dia harus menerima perlakuan alam yang seperti ini.
Lagi pula, siapa yang bisa menolak kehendak Tuhan
untuk menurunkan hujan?
Lamat-lamat Andika bisa menikmati suasana
seperti ini. Sampai tiba-tiba berkelebat bayangan
seseorang di balik dinding bilik. Dari bentuk tubuhnya,
diyakini kalau bayangan itu tubuh seseorang wanita.
"Marni.... Kaukah itu?" sapa Andika, menduga-
duga. Tidak ada jawaban. Sementara, desah hujan di
luar masih terus terdengar.
"Marni...," ulang Andika. Dugaannya, barangkali
suaranya terlalu lemah untuk menembus hujan,
sehingga Marni tidak mendengar.
Tapi, tak juga ada sahutan.
Andika mulai curiga. Dipasangnya pendengaran
tajam-tajam, mencoba menangkap gerakan terkecil
yang mencurigakan. Tapi, justru matanya kembali
menangkap kelebatan seseorang. Anehnya, telinga-
nya tidak menangkap suara sedikit pun!
Entah kenapa, kuduk Andika meremang hebat.
Padahal, dia belum menduga yang bukan-bukan.
"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Slebor amat
samar.
Andika jadi teringat wanita cantik yang ditemuinya
beberapa hari lalu. Saat itu, kuduknya pun
meremang. Dan kini, napas Andika seperti hendak
terhenti karena tegang. Saat berikutnya....
Brak!
Dinding bilik di depan Andika jebol seketika,
menciptakan suara keras mengalahkan keramaian
hujan. Dan tiba-tiba, seorang berambut panjang
menerobos masuk. Dari arah terjangannya, Andika
tahu kalau orang itu hendak menyerang Walet.
Dengan sigap Andika menghentakkan kakinya.
Tubuhnya cepat meluruk deras ke arah orang yang
baru masuk. Tak ada tindakan lain yang ingin
dilakukannya saat itu, kecuali menahan si penyerang
agar tidak mendekati Walet.
Mendapati seseorang berusaha menghalangi,
sosok berpakaian merah-merah itu menghentikan
gerakannya.
Sementara Walet yang mendengar keributan,
seketika terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap
pedih, karena terbangun tiba-tiba.
"Ada apa, Kang Andika?" tanya Walet setengah
berseru.
Andika tak menyahut, apalagi menoleh. Karena
pada saat bersamaan, sosok yang baru datang itu
menuding ke arahnya.
"Minggir kau! Jangan campuri urusanku!" bentak
sosok berpakaian serba merah itu.
"Kalau kau berurusan dengan kawan kecilku ini, itu
berarti berurusan langsung denganku," sanggah
Andika, menanggapi bentakan orang yang ternyata
bukan wanita.
Sosok itu ternyata lelaki berusia lima puluh
tahunan. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban.
Wajahnya amat menakutkan dengan bekas luka
sayatan pedang yang memanjang dari kening hingga
ke pipi. Sebelah matanya terlihat sudah tidak utuh
lagi karena sayatan itu. Meski rambutnya panjang,
bagian depan kepalanya tak berambut. Sehingga
keningnya tampak menjadi lebih lebar. Dengan kumis
lebat menutupi bibir, lelaki itu makin terlihat sangar.
"Kau akan menyesal jika mencampuri urusanku,
Anak Muda," ancam orang itu dingin.
Andika tersenyum sinis, di bawah terpaan sinar
lampu minyak dalam kamar.
"Keliru! Justru kau yang akan menyesal telah
berurusan denganku," tangkis Andika tenang.
"Bagaimana, ya? Karena siang tadi, aku baru saja
mendapat sebutan baru dari dua orang laki-laki.
Manusia pembawa sial. Kau mau ikut sial seperti dua
lelaki itu?"
"Kau terlalu memaksa, Kisanak. Hiaaah!"
Tak banyak berbasa-basi lagi, lelaki itu melancar-
kan serangan ganas ke mata Andika. Jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya mengejang, seakan
ditarik rentangan kawat baja di dalamnya.
Wut!
Untuk mengukur tingkat kekuatan tenaga dalam
lawannya, sengaja Andika memapak totokan itu
dengan telapak tangan kanannya.
Dab!
Kini Andika tahu, lawannya memiliki ilmu kesaktian
yang tergolong tinggi. Itu bisa dirasakan dari getaran
hebat yang mengalir di sekujur persendian tangan
kanannya. Menyadari lawan tidak bisa dibuat main-
main, Pendekar Slebor lantas mengirim serangan
balasan.
Jurus awal 'Memapak Petir Membabi Buta'
dikerahkan untuk menyerang tinju geledek tingkat
lima milik laki-laki itu. Sasarannya adalah tulang iga.
Wesss!
Pukulan sepasang tangan yang bergerak dari dua
arah berbeda, menimbulkan deru angin keras. Ini
sebagai bukti kalau kecepatan dan penyaluran
tenaga Andika dikerahkan tak tanggung-tanggung.
"Hih!"
Laki-laki berpakaian serba merah itu menaikkan
kaki kanannya dalam bentuk melipat ke atas. Dan
begitu pukulan itu dekat, kaki kanan yang terlipat
sudah melepaskan tendangan ke perut, dengan
badan condong ke samping. Dengan demikian selain
bisa menghindari pukulan Andika, orang itu mampu
melepaskan serangan balasan. Dan itu memang
sebuah gerak kembangan dari jurus 'Sapuan Ekor
Ular'.
Andika cepat menarik tubuh ke belakang, lalu
secepatnya berputar. Berbareng dengan itu, kakinya
membuat gerakan menyapu untuk menjatuhkan
lawan dengan mendepak kakinya yang masih
menjejak.
Wres!
Namun gerakan laki-laki itu tak kalah cepat dalam
memindahkan jejakan kakinya, setelah melompat
terlebih dahulu untuk menghindari sapuan Andika.
Sementara keduanya bertukar jurus, Walet malah
berteriak-teriak menyemangati Andika.
"Terus, Kang! Hajar jidatnya yang lebar itu! Yak,
yak! Jitak saja!" teriak Walet seraya meninju-ninju.
Matanya yang semula kuyu karena kantuk, kini
terbuka lebar-lebar dan berbinar penuh semangat.
Tiga puluh jurus berlalu begitu cepat. Pertarungan
antara Pendekar Slebor melawan laki-laki berpakaian
serba merah itu belum menghasilkan apa-apa bagi
satu sama lain. Dugaan Andika sebelumnya memang
tidak meleset. Lawan memang memiliki kedigdayaan
yang cukup tangguh.
"Hiyaaah!"
Jep!
Biarpun hingga saat ini belum tahu alasan pasti,
mengapa lelaki berwajah sangar itu hendak menye-
rang Walet, namun Andika bersungguh-sungguh
untuk menjatuhkan lawannya. Dalam pertarungan
seperti ini hanya ada dua pilihan, membunuh atau
dibunuh. Meski selaku ksatria sejati Pendekar Slebor
lebih suka tidak ada yang menjadi korban.
Sesekali terbetik dugaan dalam benak Andika
bahwa lawannya mungkin mengalami kesalah-
pahaman. Namun serangan-serangan mematikan
yang dihadapi tidak memberi kesempatan untuk
mempertimbangkan dugaan itu. Mau tak mau,
Pendekar Slebor melayani setiap gempuran yang
datang.
Memasuki jurus ketiga puluh empat, kecepatan
gerak Pendekar Slebor meningkat pesat. Bukan
hanya itu, jurus yang dimainkannya pun terlihat tak
beraturan lagi. Dengan begitu, bukan berarti lelaki
berpakaian serba merah itu mendapat kesempatan
untuk berada di atas angin. Gerakan menggila
pendekar muda berjuluk Pendekar Slebor justru
seperti menutup seluruh ruang geraknya.
"Gila! Jurus apa ini!" maki lelaki itu, antara
kekaguman dan kegusaran.
Jep! Wess, wesss, jeb, jeb, jeb!
Keterperanjatan lawan dimanfaatkan Andika untuk
melepaskan totokan beruntun ke leher, dada, ulu
hati, dan pinggang.
Melihat hal ini, lelaki berpakaian serba merah itu
kian terperangah. Wajah buruknya menegang
demikian rupa. Lalu sekejap berikutnya, berganti
ringisan menahan sakit luar biasa pada bahunya.
Des!
"Akh!"
Tanpa disangka-sangka, rupanya Pendekar Slebor
menyelipkan satu bacokan lengan di antara pukulan
berantainya.
Bersama erangan tertahan, tubuh lelaki setengah
baya itu terlempar ke belakang, langsung meng-
hantam dinding bilik. Kemudian, dia jatuh berguling di
tanah tergenang air. Hujan langsung menyerbunya,
membuat seluruh badan lelaki itu basah kuyup.
Sebelum benar-benar berhenti berguling, orang itu
menghentakkan kakinya ke udara, sehingga bisa
berdiri kembali. Sambil mendekap bahu kanan, dia
langsung melarikan diri begitu cepat laksana
kelelawar malam. Sementara Andika hanya berdiri
saja memperhatikan kepergian orang itu.
"Kenapa tak dikejar, Kang?" Walet, tak puas
menyaksikan Andika membiarkan lawan melarikan
diri. "Itu orang dari Perguruan Ular Iblis. Orang
brengsek yang tak pantas diberi ampun!"
"Tak perlu," sergah Andika. "Yang perlu sekarang
ini, adalah penjelasanmu. Kenapa orang itu hendak
menyerangmu?"
"Mana aku tahu," sahut Walet, seraya mengangkat
bahunya.
"Jangan bohong. Buktinya kau tahu kalau dia dari
Perguruan Ular Iblis. Pasti kau punya masalah dengan
mereka, kan?" desak Andika.,
"Sumpah modar bohongan! Aku tidak punya
masalah apa-apa dengan mereka, Kang. Kalau aku
tahu bahwa dia dari perguruan itu, karena sempat
melihat lambang perguruan di punggung bajunya,"
sangkal Walet.
Andika menyerah. Bisa saja anak ini tidak
berbohong.
"Ada apa, Nak Andika?!" tanya Nyi Saodah yang
tiba-tiba menguak pintu kamar.
"Tidak ada apa-apa, kok Nyi. Hanya ada tikus tadi,"
sahut Walet cepat.
Nyi Saodah melongo. Tikus sebesar apa yang bisa
menjebol dinding bilik rumahnya?
***
Satu teka-teki belum terjawab, telah datang lagi
teka-teki lain. Andika jadi pusing memikirkannya. Di
lain sisi, dia yakin adanya satu hubungan antara
peristiwa wanita cantik yang ditemaninya, dengan
tokoh sakti dari Perguruan Ular Iblis semalam. Namun
demikian jawabannya masih buntu.
Untuk menghubungkan seluruh mata rantai
peristiwa semua itu, Andika memang harus menye-
lidiki satu persatu. Mula-mula hal ihwal mengenai
Perguruan Ular Iblis secara lengkap harus diketahui-
nya. Termasuk, kepentingannya terhadap diri Walet.
Selanjutnya dia akan mencari tahu tentang bencana
seperti disebutkan wanita cantik yang ditemuinya
beberapa hari lalu. Dan yang terakhir, akan diselidiki-
nya siapa wanita cantik terselubung teka-teki itu
sebenarnya.
"Benar-benar rumit...," keluh Andika bersama satu
helaan napas panjang.
"Kopinya, Kang Andika...."
Andika tersadar dari kecamuk pikirannya.
Didapatinya Marni telah berdiri di depannya, membawa dua cangkir tanah liat berisi kopi panas.
"Wah! Pagi-pagi seperti ini, memang tepat kalau
disuguhkan kopi ngebul-ngebul," seloroh Andika
seraya menyambut cangkir di tangan kanan Marni.
"Terima kasih, ya."
Gadis manis di depan pemuda itu tersipu-sipu
sambil meletakkan cangkir kopi yang lain di meja
kayu. Kulit wajahnya yang putih memperlihatkan
semu merah, kala mata Andika berusaha menangkap
mata lentiknya.
"Mmm, kopi ini betul-betul nikmat. Kau yang buat,
Ni?" tanya Andika setelah menyeruput kopi.
Marni mengangguk malu, tanpa berani mengadu
pandang dengan pemuda tampan yang duduk di kursi
itu.
"Tapi, kurasa hanya perlu kopi satu cangkir.
Kenapa disediakan dua?" lanjut Andika.
"Ah! Cangkir yang ini buat Walet, kok Kang...," kata
Marni lembut.
"Ooo," bibir Andika membulat. "Dikira buat aku. He
he he...!"
Lagi-lagi Marni tersipu. Wajah ayu berhias rona
merah itu membuat Andika gemas. Hati pemuda itu
mau tak mau memuji keayuan Marni yang begitu
alami. Bulu matanya yang lentik, berkelopak lembut.
Hidungnya tinggi menipis, dan bibirnya merah
delima....
"Aku ke belakang dulu, ya Kang Andika."
Andika tersentak. Matanya sempat berkerjap kaget
mendengar sapaan Marni.
"Eh! Iya, ya. E..., apa tidak sebaiknya menemani
aku ngobrol?" sahut Andika gelagapan.
Mendapat tawaran Andika, Marni tidak bisa
menyembunyikan rasa senang di wajahnya. Itu bisa
dilihat dari bias mata beningnya. Dia pun duduk di
depan Andika malu-malu. Kepalanya tertunduk dalam
memandang ke bawah meja.
Lama keduanya terdiam seperti orang bodoh.
Andika sendiri bingung, mau bicara mulai dari mana.
Rasanya semua jadi serba salah. Sampai akhirnya,
dia teringat pada wanita aneh berwajah cantik yang
pernah ditemuinya.
"Ngomong-ngomong, apa kau pernah mendengar
desas-desus tentang wanita cantik yang aneh?" tanya
Andika pada Marni.
Marni mengangkat kepala.
"Aneh bagaimana, Kang?"
"Datang tiba-tiba dan pergi pun tiba-tiba. Ya,
seperti menghilang begitu saja."
Wajah Marni mendadak memperlihatkan
kengerian.
"Ada apa, Ni?" ungkit Andika, ingin tahu. Marni
tidak segera menjawab. Sepertinya, dia sedang mem-
pertimbangkan sesuatu.
"Apa yang Kakang maksud Nyai Roro Kidul?" tanya
Marni, hati-hati.
"Nyai Roro Kidul?"
"Dia Ratu Penguasa Laut Setan. Dan Kadipaten
Karangwaja masih termasuk wilayah kekuasaannya.
Beliau..., beliau Ratu Lelembut."
Andika tercekat. Bulu halus di kuduknya kontan
meremang.
"Ratu Lelembut," desis pemuda itu tak sadar.
***
LIMA
Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan menanjak
menuju puncak singgasananya. Sinarnya yang
kemilau singgah pada genangan air hujan, lalu
memantul lagi ke udara. Pantulan cahaya matahari
pada genangan air yang beriak diterpa angin, mem-
buat genangan itu bagai kilau mutiara berserakan.
Awal siang ini Andika memutuskan untuk melanjut-
kan perjalanan bersama Walet. Keduanya pamit pada
keluarga Marni yang dengan berat hati melepas
kepergian mereka. Terlebi-lebih, bagi Marni. Per-
kenalan singkat dengan pemuda tampan itu mengukir
kesan teramat dalam hati Marni.
Marni sendiri tak pernah mengerti perasaan
macam apa yang mengusiknya, setelah mengenal
Andika. Gadis itu hanya tahu kalau dirinya amat
berharap Andika tetap tinggal bersama keluarganya.
Dan kalaupun tetap harus pergi, dia berharap dapat
berjumpa lagi.
"Selamat jalan, Kang Andika...," ucap Marni begitu
berat, seperti tercekat di tenggorokan.
Keluarga Marni kini berdiri di pintu rumah untuk
melepas kepergian Andika dan Walet.
Andika menghentikan langkahnya seraya menoleh.
Ucapan perlahan Marni sempat tertangkap telinga-
nya. Dijawabnya kalimat perpisahan Marni dengan
seulas senyum. Lalu langkahnya dilanjutkan me-
nyusul Walet yang berjalan lebih dahulu.
"Ke mana kita, Kang?" tanya Walet ketika mereka
sudah cukup jauh.
"Kau tahu orang yang paling tepat untuk ditanyai
tentang Kadipaten Karangwaja ini?" Andika balik
bertanya.
"Adipati Tunggul Manik, aku rasa."
"Tepat."
"Jadi kita akan ke pendapa kadipaten?"
Andika mengangguk.
"Wah! Seumur-umur, baru kali ini aku mau masuk
tempatnya para kanjeng. Apa kita bakal diizinkan
masuk ke sana, Kang? Kita kan hanya wong cilik?"
tukas Walet agak ragu.
"Kau jangan cerewet. Lihat saja nanti," sahut
Andika.
Kali ini, Walet yang mengangguk-angguk. Matanya
bergerak kian kemari, membayangkan suasana
pendapa kadipaten.
"Pasti dayangnya cantik-cantik ya, Kang!" usik
Walet, seraya tersenyum nakal.
Andika menggeleng-geleng. Bibirnya memperlihat-
kan senyum yang hanya dimengerti oleh dirinya
sendiri.
"Kau mirip sekali dengan diriku waktu kecil, Let!"
ucap Andika dalam hati.
***
Sesampai di kadipatenan, Pendekar Slebor dan
Walet disambut dua prajurit penjaga gerbang yang
berseragam punggawa, dan bercelana hitam sebatas
betis berlapis kain batik. Rambut keduanya digelung
ke atas. Pada masing-masing pangkal lengan,
terdapat semacam gelang berukir.
"Siapa Kisanak. Dan ada keperluan apa?" tanya
seorang di antara dua punggawa seraya meng-
acungkan tombak.
"Aku ingin bertemu Adipati Tunggul Manik," sahut
Andika. "Katakan pada beliau, Pendekar Slebor ingin
bertemu."
Mendengar nama Pendekar Slebor disebutkan,
prajurit itu tampak agak terperangah. Baginya, bisa
bertemu langsung pendekar besar seperti Andika
adalah suatu kehormatan tak ternilai. Paling tidak
sama saja mendapat kepercayaan dari seorang
bangsawan.
Sementara, prajurit punggawa yang satu lagi pun
terperanjat.
"Maafkan kebodohanku, Tuan Pendekar. Aku
benar-benar tak mengenalimu," hatur punggawa itu
seraya menjura hormat, disusul kawannya.
"Ah! Jangan perlakukan aku seperti kalian
memperlakukan kalangan istana. Aku sama saja
seperti kalian," sergah Andika, risih mendapat peng-
hormatan berlebihan kedua punggawa itu.
"Sudikah kiranya Tuan menunggu sesaat. Aku akan
melapor dahulu pada Kanjeng Adipati," pamit prajurit
yang menanyai Andika tadi.
"Silakan."
Sepeninggalan prajurit tersebut, Walet menyenggol
lengan Andika.
"Jadi Kang Andika adalah Pendekar Slebor itu? Oh,
jadi selama ini aku bersama seorang pendekar
kesohor!"
Sambil berbicara mata bocah kecil itu terus
membesar. Entah karena kesal tidak pernah diberi
tahu Andika tentang dirinya selaku pendekar yang
begitu disegani, atau karena bocah kecil itu sama
kaget dengan prajurit kadipaten tadi.
"Kakang ini benar-benar brengsek...," gerutu Walet.
"Kalau tahu begitu, aku sudah minta diajarkan jurus
saktimu...."
Andika tak mempedulikan gerutuanmu Walet,
karena prajurit yang melapor telah kembali.
"Tuan Pendekar dipersilakan menemui Kanjeng
Adipati di pendapa," kata prajurit itu, mempersilakan.
Andika dan Walet memasuki gerbang kekadi-
patenan, diantar prajurit tadi.
Setelah berjalan melewati taman sari kekadi-
patenan, mereka tiba di satu bangunan besar ber-
tiang-tiang kokoh. Bangunan ini tak berdinding,
sehingga orang di dalamnya bisa melepas pandangan
ke seluruh penjuru taman sari. Di tengah ruangan
berlantai agak meninggi itu, tampak Adipati Tunggul
Manik duduk di atas kursi kebesaran. Mimik wajah-
nya terlihat senang. Matanya berbinar-binar menyam-
but kedatangan Andika.
"Selamat datang di kadipaten kami, Pendekar
Slebor," sambut laki-laki setengah baya itu seraya
berdiri ketika Andika telah melewati tangga batu
pendapa.
"Salam hormat dari hamba, Kanjeng Adipati," hatur
Andika sambil menjura berbareng dengan Walet.
Setelah mempersilakan duduk, Adipati Tunggul
Manik menanyakan maksud kedatangan Andika dan
Walet. Maka secara gamblang, Pendekar Slebor pun
mengajukan beberapa pertanyaan pada Penguasa
Kadipaten Karangwaja ini.
"Apakah di kadipaten belakangan ini sering terjadi
keresahan, Kanjeng Adipati?" tanya Andika, meng-
ungkapkan keingintahuannya.
"Keresahan?" gumam Adipati Tunggul Manik
sambil mengusap-usap dagu. "Aku tidak tahu, apakah
yang terjadi belakangan ini di kadipatenku bisa
disebut sesuatu yang meresahkan. Karena menurut-
ku, kejadian-kejadian itu lebih tepat disebut
bencana."
Mata Adipati Tunggul Manik jatuh pada lantai
pendapa, seperti sikap seseorang yang sedang
prihatin.
"Bencana?" Andika teringat langsung pada wanita
cantik yang menemuinya. Dan dia juga bertutur
tentang bencana. "Bencana macam apa, Kanjeng
Adipati?"
Adipati Tunggul Manik menarik napas dalam-
dalam. Beban berat tampak tergambar di wajahnya,
karena begitu memikirkan keadaan kadipatennya
yang sedang dilanda sesuatu yang amat mengerikan.
"Kalau ingin mengetahui lebih jelas, lebih baik
Kisanak bermalam beberapa lama di sini," ujar
Adipati Tunggul Manik itu lemah. "Aku sangat ber-
harap kau dapat membantu memecahkan persoalan
kami."
Andika menyetujui tawaran Adipati Tunggul Manik.
Lebih-lebih, Walet yang begitu berhasrat menikmati
sedikit kenyamanan tempat tinggal para pembesar.
Terutama, kecantikan para dayangnya.
***
Waktu tanpa lelah terus berputar, sebagaimana
hukum alam. Malam pun menjelang. Angin dingin
berlarian di seluruh wilayah Kadipaten Karangwaja.
Untung saja hujan yang biasanya turun, tidak
menampakkan diri. Meski begitu, suasana di luar
tetap tidak terasa nyaman.
Seluruh kampung di kadipaten ini tampak mati.
Tidak ada seorang penduduk kampung pun yang
menampakkan batang hidung. Mereka semua
meringkuk was-was di tempat tidur masing-masing.
Sementara di luar sana, lolongan anjing hutan ber-
sahut-sahutan seakan membawa ancaman di setiap
saat.
Hingga malam demikian menua, Andika belum
juga bisa memejamkan matanya. Maka diputus-
kannya untuk bergabung dengan para pengawal di
gerbang istana. Dan baru saja kakinya melangkah
keluar dari kamar, Walet menyusul. Rupanya, bocah
itu juga tidak bisa tidur. Menurut perasaannya, ada
sesuatu yang bakal terjadi malam ini. Benar saja!
karena....
"Aaa...!
Firasat mereka ternyata terbukti. Baru saja
keduanya hendak menyapa tiga prajurit, tiba-tiba saja
terdengar teriakan tinggi melengking, merobek ke-
heningan malam.
"Pasti ada satu korban lagi," desis seorang prajurit
dengan wajah menegang.
"Kalian tetap berjaga di sini. Biar aku yang akan
memeriksa apa yang terjadi!" ujar Andika sigap. "Kau
juga Walet!"
Andika memang melihat gelagat, bocah kecil
tampaknya juga ingin tahu itu. Maka tanpa mem-
pedulikan gerutuan Walet, pendekar gagah itu
melesat cepat keluar dari rumah adipati itu. Ke-
cepatannya begitu memukau. Sampai-sampai prajurit
yang menjaga pintu gerbang terperangah tak percaya,
menyaksikan tubuh Andika tiba-tiba saja menghilang.
"Itu tadi teman karibku, kalian mesti tahu itu,"
tukas Walet, menyombong. Tapi, siapa yang mau
peduli ocehan bocah macam Walet?
***
Di tempat lain, tepatnya di sebuah bukit yang
ditumbuhi pepohonan lebat, sebelas lelaki sedang
mengadu jiwa melawan lima lelaki bertopeng.
Seorang di antara mereka tampak tergeletak tanpa
nyawa di tanah basah. Tubuhnya bermandikan darah
dari luka menganga di dadanya. Bisa dipastikan,
jeritan yang didengar Andika tadi berasal dari mulut
lelaki naas itu.
Sebelas lelaki yang bertarung melawan lima orang
itu berasal dari Perguruan Naga Langit. Itu bisa dilihat
dari gambar naga bersayap yang terdapat di dada
kanan mereka. Sedangkan lelaki yang tergeletak juga
berasal dari Perguruan Naga Langit.
Di lain pihak, kelima lawan orang-orang Perguruan
Naga Langit itu hitam-hitam. Topeng mereka juga
berwarna hitam.
Dengan senjata berbentuk cakar dari logam,
orang-orang Perguruan Naga Langit berusaha
menggempur habis-habisan kelima lawan mereka.
Cara mereka bertempur demikian membabi-buta. Ini
memperlihatkan, bagaimana kalapnya kesebelas
lelaki itu. Sementara, lima lelaki bertopeng itu meng-
gunakan golok untuk melakukan gempuran balik.
Trang, tring, tring!
"Heaaa!"
"Hih!"
Gegap gempita pertempuran, memporak-
porandakan kesenyapan kaki bukit. Berbaurnya
denting senjata beradu dengan teriakan pembangkit
semangat, merambah suasana malam ini. Bukit ini
seolah hendak digoncang gempa. Sementara,
dedaunan seolah hendak dirontokkan.
Ditilik dari jumlah, kawanan lelaki bertopeng
mestinya kewalahan. Tapi kenyataannya, justru
sebaliknya. Kelima orang itu malah tampak
menguasai keadaan. Bahkan lambat-laun mereka
mulai berada di atas angin.
Dari cara bertempurnya jelas sekali kalau kelima
lelaki bertopeng itu, rata-rata memiliki ilmu beberapa
tingkat di atas orang-orang Perguruan Naga Langit.
Bahkan.... Bret!
"Waaa!"
Bukti kelebihan lima lelaki bertopeng itu terjadi,
ketika seorang lagi dari kawanan Perguruan Naga
Langit mendapat sabetan golok telak di perutnya.
Padahal, lelaki yang menjadi korban memiliki ilmu
paling tinggi. Bahkan dia sudah dibantu seorang
kawannya dalam mengeroyok.
Kenyataan yang terjadi di depan mata itu mem-
buat semangat orang-orang Perguruan Naga Langit
yang lain menjadi susut. Mereka mulai dirasuki
kegentaran, melihat ketangguhan yang rata-rata
dimiliki kelima lelaki itu. Bahkan kegentaran itu makin
parah, tatkala kesepuluh lelaki dari Perguruan Naga
Langit melihat kakak seperguruan mereka meng-
gelepar-gelepar sambil mendekap perutnya.
Seorang di antara mereka rupanya masih memiliki
sedikit keberanian. Walaupun orang itu paling muda,
namun memiliki semangat menggebu, sebagaimana
layaknya orang berdarah muda.
"Ayo, jangan biarkan nyali kita ciut! Tak perlu ragu
menghadapi maut, jika berada di pihak yang benar!"
teriak anak muda itu lantang.
Namun teriakan penuh gelegak semangat tempur
itu seperti tidak berarti dalam membakar keberanian
sembilan orang Perguruan Naga Langit yang lain.
Mereka terlihat mulai tersurut setindak demi
setindak, setelah sebelumnya menghentikan
serangan.
"Kenapa kalian ini?" bentak murid termuda itu
gusar. "Apa kalian tak ingin menuntut balas atas
kematian guru kita tercinta yang telah dibunuh secara
mengerikan oleh orang-orang biadab ini!"
Sementara itu, kelima lelaki bertopeng sudah
siaga penuh menanti serangan selanjutnya. Masing-
masing tahu, pihak mereka sudah mampu mengalah-
kan nyali sisa orang-orang Perguruan Naga Langit.
Dalam suatu pertempuran, hal ini sudah menjadi
suatu keuntungan yang tak ternilai.
"Ayooo!" seru si Murid termuda lagi. Mata anak
muda itu memerah bagai seonggok bara. Begitu pula
wajahnya yang ditumbuhi kumis tipis. Ketampanan-
nya berubah menjadi mimik kemurkaan tak
terkendali. Dia benar-benar murka terhadap kelima
lelaki bertopeng yang telah banyak membunuh
saudara seperguruan dan gurunya. Di sisi lain dia
juga murka kepada kesembilan kawannya.
"Kalian pengecut semua!" hardik anak muda itu
ketika menyaksikan sembilan lelaki saudara seper-
guruannya tiba-tiba saja lari serabutan tanpa mem-
pedulikan seluruh ucapannya.
Kemudian, mata anak muda itu beralih jalang
pada kelima lelaki itu. Sepasang tangannya yang
menggenggam senjata berbentuk cakar meregang
kuat, memperlihatkan tarikan otot-otot. Seakan, dia
hendak meremas hancur gagang senjatanya.
"Aku memang tak akan mampu menandingi kalian.
Tapi, jangan harap aku akan melarikan diri seperti
mereka!" dengus anak muda itu geram, seberat
auman seekor singa luka.
Kelima lelaki bertopeng itu saling berpandangan
mendengar kalimat nekat anak muda tadi. Mata
mereka terlihat begitu meremehkan. Dari balik topeng
yang hanya memperlihatkan mata, terdengar tawa
mengejek kelima lelaki itu.
"Apa kau tak dengar ocehan seekor lalat yang
hendak kita tepuk mati ini?" leceh seorang lawan
berperawakan kurus, namun berotot kenyal.
"Ah! Aku tidak mendengarnya, Kang. Yang ku-
dengar malah suara ng... ng... ng!"
"Suara lalat! Hus... ha ha...!" Ejekan demi ejekan
semakin memanaskan telinga pemuda dari
Perguruan Naga Langit ini. Maka kemarahannya
makin terukir hingga ke puncak. Telinganya terasa
terbakar, karena darah sudah menggelegak sampai
ke ubun-ubun. Dia murka semurka-murkanya.
"Keparat busuk kalian semuaaa! Hiaaa!" Kini
pemuda itu meluruk buas. Tak ada lagi keinginan
untuk bisa memenangkan pertarungan, kecuali meng-
adu jiwa. Kalaupun tangannya tak mampu mencabut
satu nyawa lawan, dia tidak peduli. Mati sebagai
seorang ksatria jauh lebih baik ketimbang menjadi
seorang pengecut.
Tubuh pemuda itu terus melabrak salah seorang
lawan terdekatnya. Sepasang senjata di tangannya
terayun cepat dari samping menuju wajah dan dada.
"Hih!"
Wut, wut!
Orang yang menjadi sasaran sempat terkesiap
mendapat gempuran membabi buta ini. Sebelumnya
orang itu tahu kalau kemampuan jurus pemuda itu
berada jauh di bawahnya. Namun sedikit pun tak
diduga kalau puncak kenekatan seseorang mampu
melipatgandakan kekuatannya. Begitu pula yang
terjadi pada diri pemuda dari Perguruan Naga Lagit
ini.
"Hiah!"
Trang!
Satu tebasan ke wajah dapat ditangkis dengan
golok orang bertopeng itu. Namun keterkejutannya
membuat matanya lengah menangkap sambaran
senjata pemuda dari Perguruan Naga Langit yang
mengarah ke dadanya. Akibatnya....
Bret!
"Aaakh!"
Lolongan panjang terdengar setelah dada lelaki
bertopeng itu terkoyak oleh senjata pemuda ini.
Begitu kuatnya senjata berbentuk cakar itu merobek
dadanya, sehingga sebagian kulitnya terbawa di ujung
senjata cakar itu. Darah pun kontan tersembur dari
lukanya yang tertembus, hingga nyaris mengenai
dinding paru-parunya.
Lelaki bertopeng itu terhuyung-huyung limbung.
Kedua tangannya mendekap dada yang bersimbah
warna merah. Tak begitu lama kemudian, tubuhnya
pun ambruk tak berkutik lagi.
Tak puas membabat satu orang, pemuda dari
Perguruan Naga Langit melabrak lawan berikutnya.
Serangan pertama yang membawa hasil tak terduga
tadi, membuatnya makin bersemangat dan menggila
menggempur lawan.
Dengan satu terkaman pemuda itu berusaha
menyambar salah seorang lawan di sisi kanan.
"Hiaaa!"
Namun tentu saja lelaki bertopeng yang menjadi
sasaran tak ingin mengalami nasib serupa kawannya.
Terkaman pemuda itu segera dihindarinya dengan
membuang tubuh ke belakang. Sambil melempar
tubuh, kaki kanannya terangkat tinggi-tinggi ke perut
pemuda dari Perguruan Naga Langit yang masih di
udara.
Begkh!
"Akh!"
Bersama satu erangan pendek, pemuda dari
Perguruan Naga Langit itu terpental lebih tinggi ke
udara. Setelah itu, tubuhnya jatuh menghantam bumi.
Isi perutnya yang terasa bagai diaduk-aduk oleh
tangan-tangan raksasa, membuatnya berguling-
gulingan di tanah berlumpur. Seluruh tubuhnya
langsung berlumur tanah kecoklat-coklatan. Demikian
juga kedua tangannya. Dan keadaan itu membuat
telapak tangannya menjadi licin. Akibatnya, senjata-
nya langsung terlepas.
Kesempatan baik itu tak disia-siakan tiga lelaki
bertopeng yang masih berdiri siaga. Serentak mereka
menyerbu pemuda nekat itu. Tiga batang tombak
setajam taring iblis terayun di udara, siap merencah
tubuhnya yang masih bergelinjang di tanah.
"Hiaaa!"
"Mampus kau bangsat busuk!"
"Kini kau akan menebus nyawa kawan kami!"
***
ENAM
Ketika sekejap lagi senjata-senjata tiga orang
bertopeng memangsa tubuh pemuda dari Perguruan
Naga Langit, tiba-tiba....
Wusss!
Mendadak terdengar suara keras menderu. Lalu....
Trang, trang, trang!
Tahu-tahu ketiga tombak lelaki bertopeng itu
berterbangan ke udara dalam keadaan terbelah dua.
Kejadian tak terduga sama sekali ini, membuat tiga
orang bertopeng tersentak. Sementara itu, tangan
mereka terasa berdenyar-denyar nyeri.
"Apakah kalian ini anjing-anjing lapar yang
memperebutkan sepotong tulang? Sungguh tak tahu
malu mengeroyok pemuda yang tak berdaya itu? Di
mana muka kalian ditaruh? Di pantat?" cecar seorang
pemuda tampan berbaju hijau yang baru datang.
Wajahnya tampak bersungut-sungut. Siapa lagi
pemuda itu kalau bukan Andika, pendekar yang
memiliki seribu satu tingkah slebor?
"Keparat! Jangan cari mampus kau!" bentak salah
seorang bertopeng.
"Kalau aku cari mampus, kenapa senjata kalian
kubuat terpental seperti itu? Kasihan-kasihan.... Di
samping tidak punya muka, kalian ini juga tidak
punya otak," cemooh Andika.
"Tutup bacotmu!"
"Dan di samping tidak punya otak, kalian juga tidak
punya perasaan," tambah Andika, makin memanas-
manasi.
"Diam! Diam! Diam!"
"Dan..., di samping tidak punya perasaan, kalian
juga tidak punya... he... he," Andika terkekeh. Saat
memapak senjata ketiga lelaki bertopeng dengan
kain pusakanya tadi, dia rupanya sempat pula
melucuti celana mereka. "Kalian juga tidak punya
celana lagi... hi... hi... hi."
Mendadak ketiga lelaki bertopeng itu melirik
celana mereka berbarengan. Benar saja! Celana
mereka ternyata sudah hilang entah ke mana!
"Nah! Aku rasa urusan dengan kalian cukup
sampai di sini. Izinkanlah aku pergi bersama lawan
kalian ini," ujar Andika lagi.
Kemudian Andika berkelebat cepat bagai
bayangan hantu, setelah menyambar tubuh pemuda
dari Perguruan Naga Langit. Ditinggalkannya tempat
itu, sekaligus tiga lelaki bertopeng yang sibuk
mengumpat-umpat karena merasa begitu bodoh telah
dipermainkan seseorang tak dikenal. Sementara
seorang bertopeng lain yang tak kebagian kerjaan usil
Pendekar Slebor, hanya menatap ketiga kawannya
tak mengerti.
***
Pendekar Slebor memapah pemuda dari
Perguruan Naga Lagit yang ditolongnya. Pemuda yang
mengaku bernama Senaaji kemudian menceritakan
kejadian yang sebenarnya, kenapa orang-orang
Perguruan Naga Langit sampai bertarung melawan
orang-orang bertopeng itu.
Menurut Senaaji, waktu itu Perguruan Naga Langit
tengah dirundung suasana berkabung. Seluruh murid
berkumpul di ruang khusus guru mereka yang
bernama Ki Kusuma. Seminggu, belakangan,
perguruan ini dilanda kejadian aneh yang mengeri-
kan. Setiap malam, beberapa murid mendadak jatuh
sakit, memuntahkan darah segar. Lebih mengerikan
lagi, pada muntahan darah mereka terserak puluhan
batang jarum.
Setelah memakan banyak korban dari murid
perguruan, malam itu pun Ki Kusuma menderita
penyakit aneh pula. Dan hal ini menyebabkan murid-
murid Perguruan Naga Langit jadi begitu khawatir.
Dan akhirnya berkumpul di sekitar pembaringan Ki
Kusuma.
Saat mereka lengah, lima lelaki bertopeng
menyelinap masuk untuk menjarah benda-benda
pusaka di ruang penyimpanan. Namun sebelum
sempat membawa lari benda-benda pusaka termasuk
kitab kesaktian Perguruan Naga Langit, seorang
murid memergoki mereka. Maka terjadilah per-
tempuran maut di halaman perguruan yang mem-
bawa korban lima murid perguruan.
Ketika kelima lelaki bertopeng melarikan diri, dua
belas murid segera melakukan pengejaran. Sampai
akhirnya terjadi pertarungan yang menyebabkan dua
orang murid Perguruan Naga Langit gugur, sedangkan
sembilan lainnya melarikan diri. Maka tinggalah
Senaaji sendiri sampai akhirnya ditolong oleh
Pendekar Slebor.
Kini Pendekar Slebor dan Senaaji tiba di halaman
depan Perguruan Naga Langit. Di halaman yang
cukup luas ini lima mayat murid Perguruan Naga
Langit masih tergeletak bermandikan darah.
"Mari kita langsung masuk ke ruang semadi guru,
Tuan Pendekar," ajak Senaaji.
Pemuda itu masuk lebih dahulu, baru kemudian
diikuti Andika. Setelah melewati lorong kamar-kamar
perguruan, nanti mereka akan tiba di ruang khusus Ki
Kusuma. Memasuki kelokan lorong, keduanya
berpapasan dengan seorang murid yang lari tergegas-
gesa.
"Ada apa, Kang Dirun?" tanya Senaaji was-was
karena melihat gelagat tak baik di wajah lelaki itu.
"Guru.... Guru!" jawab murid bernama Dirun itu
terbata. "Beliau sedang sekarat! Kau mesti cepat
menemuinya, Senaaji! Aku mau memberi tahu murid-
murid yang sedang berjaga di ruang penyimpanan
benda pusaka!"
Bagai diberi aba-aba, Senaaji dan Dirun berlari ke
arah berlawanan. Sedangkan Andika terus mengikuti
Senaaji dari belakang.
Setibanya di ruang khusus gurunya, Senaaji
menyeruak di antara puluhan murid yang berkerumun
di sana.
"Guru!" teriak Senaaji tatkala tiba di sisi
pembaringan Ki Kusuma. "Bertahanlah, Guru. Kau
pasti akan sembuh," suara Senaaji terdengar lirih,
dibebani duka. Sementara yang diajak bicara sama
sekali tidak memberi tanggapan.
"Kalian kenapa berkumpul di sini?! Bubar. Beri
Guru udara segar!" hardik Senaaji kemudian pada
murid-murid yang lain sambil menoleh ke belakang.
Senaaji tak peduli lagi, apakah di antara mereka
kakak-kakak seperguruannya atau tidak. Di hanya
ingin udara di ruang yang tak terlalu besar itu, tidak
jadi penat.
"Beri jalan pada Pendekar Slebor!" sambung
pemuda itu ketika mendapati Andika masih berdiri di
pintu ruangan.
Pendekar Slebor? Para murid yang lain langsung
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tak dinyana sama
sekali kalau tokoh besar seperti Pendekar Slebor
akan mengunjungi perguruan mereka. Seraya
melangkah teratur untuk keluar ruangan, mereka
menjura pada Andika sebagai salam penghormatan.
Mata mereka terus menatap Andika lekat-lekat,
karena telah salah terka. Selama ini pendekar yang
menggemparkan dunia persilatan itu dianggap
seorang lelaki setengah baya berwibawa. Tapi yang
disaksikan kali ini adalah seorang pemuda ber-
penampilan acuh, namun ramah. Sama sekali di luar
perkiraan mereka!
Sementara, Andika membalas penghormatan itu
dengan menjura pula. Sikap yang ramah harus
dibalas dengan ramah pula. Meskipun sudah masuk
dalam jajaran tokoh kalangan atas dunia persilatan,
toh di dalam semesta yang luas tak terbatas ini
Andika hanya setitik debu tak berarti.
Seseorang maju ke depan Andika. Dia murid tertua
di perguruan itu. Namanya, Subali penampilannya
gagah berwibawa. Berkumis dan beralis lebat dan
hitam. Rambutnya yang ikal sebatas bahu diikat kain
coklat, warna perguruan mereka.
"Salam hormat, Tuan Pendekar. Selamat datang di
perguruan kami," ucap Subali. "Maafkan, kami tak
menyambut selayaknya, karena keadaan mempri-
hatinkan yang menimpa kami."
"Tak apa-apa, Kisanak. Kedatanganku ke sini
justru ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Sekaligus, untuk menjenguk guru kalian," kata
Andika.
"Subali, biarkan tamu kita menemuiku," terdengar
suara Ki Kusuma seperti keluhan panjang bergetar.
"Aku ingin berbicara.... Padanya...."
Subali mempersilakan Andika.
"Ada apa, Ki?" tanya Andika seraya mendekati Ki
Kusuma.
Di sisi Senaaji, Andika bersimpuh. Ditunggunya
kata-kata lemah Ki Kusuma yang akan disampaikan.
"Bolehkah aku berwasiat padamu, Anak Muda?" Ki
Kusuma memulai, namun tersendat-sendat.
Mata lelaki tua itu tampak sayu tak bercahaya,
dirangsek penyakit aneh. Di sela-sela janggut putih di
sudut bibirnya terdapat darah mengering.
Dan Andika hanya mengangguk. Dia tahu isyarat
itu cukup bagi Ki Kusuma sebagai tanda setuju.
"Kadipaten Karangwaja sedang dilanda bencana
mengerikan. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi,
karena ajalku sudah semakin dekat. Sebelum kau
datang, aku didatangi seorang wanita secara gaib.
Dalam sekaratku, dia memberi 'petunjuk' padaku,
bahwa kaulah yang dapat melepaskan kadipaten ini
dari bencana. Namun terlebih dahulu kau harus
meminta bantuan seorang yang pribadinya ibarat
'kendi berisi telaga'. Kujungilah dua perguruan malam
ini juga...," ucapan terpatah-patah Ki Kusuma ter-
henti.
"Perguruan apa saja, Ki?" desak Andika. Pendekar
Slebor ingin mengetahui lebih jelas, tapi lelaki tua
Pemimpin Perguruan Naga Langit itu sudah meng-
hembuskan napas terakhir.
"Guru.... Guru," Senaaji tersentak. Senaaji yang
begitu mencintai gurunya memanggil-manggil nama
Ki Kusuma dalam sesenggukan. Sementara Subali
menundukkan kepala dalam-dalam. Di samping rasa
kehilangan merayapi batinnya, dia juga merasa beban
yang amat berat siap menantinya selaku murid tertua.
Dan tentu saja Subali akan meneruskan
kepemimpinan Perguruan Naga Langit. Seperti juga
Subali, murid-murid lain di luar ruang semadi juga
tertunduk penuh rasa duka.
Sementara itu, Andika justru tengah berpikir keras
tentang wasiat terakhir Ki Kusuma. Ucapannya
seperti pesan terselubung, seperti satu teka-teki yang
menuntut jawaban tepat dan cepat. Mengingat,
keadaan gawat kini menimpa Kadipaten Karangwaja.
Setiap saat bisa berarti satu nyawa!
"Aku turut berdukacita atas kematian guru kalian,"
ucap Andika setelah tersadar dari kecamuk
pikirannya. "Lebih baik kalian segera mengurus
jenazah Ki Kusuma dan kawan-kawan yang
meninggal di halaman depan. Dan sungguh menyesal
aku tidak bisa mengikuti upacara pemakaman,
mengingat pesan terakhir Ki Kusuma agar aku segera
berangkat malam ini juga."
Bersama satu tarikan napas penyesalan, Andika
segera mohon pamit.
"Tuan Pendekar," cegah Subali, saat Andika beru
saja hendak beranjak. "Ada sesuatu yang hendak
kusampaikan. Mari...."
Subali mengajak Andika meninggalkan ruang
khusus itu. Mereka lantas berjalan beriringan.
Setibanya di lorong kamar-kamar perguruan, barulah
Subali memulai.
"Sewaktu lima orang bertopeng melakukan
perampokan tadi, aku berusaha meringkus mereka
bersama murid lain. Tanpa sengaja, kalung salah
seorang lelaki bertopeng terjatuh, dan kutemukan."
Subali mengeluarkan kalung yang dikatakannya
dari balik baju.
"Ini Tuan Pendekar," kata Subali.
Kalung telah berpindah tangan. Kini Andika
mengamati dengan teliti benda itu. Mata kalung itu
berbentuk lempengan bundar dengan gambar seekor
ular bertaring besar.
"Hey? Bukankah ini lambang Perguruan Ular Iblis?"
cetus Andika.
"Benar, Tuan Pendekar," sahut Subali cepat.
"Tolong panggil aku Andika saja, Kang Subali. Aku
terlalu risih bila disebut Tuan," pinta Andika,
membetulkan panggilan Subali terhadap dirinya.
"Mmm, bisa Kakang ceritakan tentang perguruan
itu?"
"Tidak banyak yang kutahu tentang Perguruan Ular
Iblis, ng.... Andika. Perguruan itu begitu tertutup,
seakan diselimuti tabir rahasia. Namun ada sesuatu
yang sempat kuketahui dari cerita guru kami...."
"Apa itu?"
Sesaat Subali mengisi penuh-penuh paru-parunya
dengan udara.
"Ki Kusuma serta dua kawan seperjuangannya
pernah bentrok dengan pemimpin perguruan itu
kurang lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Waktu
itu mereka masing-masing belum mendirikan
perguruan."
"Sebabnya?" tanya Andika lagi.
"Aku tak tahu jelas. Namun kudengar, bentrokan
itu ada kaitannya dengan Mustika Putri Terkutuk...,"
jawab Subali dengan mata menyipit, mengingat
seluruh cerita yang sempat didengarnya dari Ki
Kusuma.
"Mustika Putri Terkutuk? Ah! Makin rumit saja
persoalan ini," keluh Andika dalam hati.
Belum lagi sempat Andika tahu tentang wanita
cantik yang mendatanginya dan mendatangi Ki
Kusuma saat menjelang ajal, kini sudah ditambah
persoalan lelaki berwajah seram yang menyerang
Walet tanpa alasan jelas. Lalu muncul persoalan
tentang seorang yang bisa membantunya dalam
menghentikan bencana Kadipaten Karangwaja. Dan
menurut Ki Kusuma, orang itu berkepribadian ibarat
'kendi berisi telaga'. Bahkan Andika pun harus
mendatangi dua perguruan malam ini juga. Malah
muncul persoalan baru tentang Mustika Putri
Terkutuk, yang menurut Andika juga harus
disingkapnya. Benar-benar bisa membuat seluruh
rambut di kepalanya rontok!
"Tapi, tunggu dulu...," bisik Andika.
Tiba-tiba saja benaknya teringat pada cerita Subali.
"Kau tahu, dua orang kawan Ki Kusuma yang kini
membangun perguruan silat seperti kau katakan
tadi?" ungkap Andika dengan mata berbinar-binar.
"Maksudmu?" Subali belum menangkap arah
pertanyaan Andika.
"Apa nama perguruan yang mereka dirikan?"
sambung Andika, langsung pada permasalahan.
Subali termangu beberapa tarikan napas. Lelaki
berperawakan tinggi besar itu tampak berusaha keras
mengorek ingatannya.
"Ah! Aku ingat! Perguruan Elang Hitam dan
Perguruan Tangan Wesi!" cetus Subali.
"Dua perguruan itu pasti dimaksud Ki Kusuma,"
papar Andika tanpa diminta Subali. "Di mana letak
dua perguruan itu, Kang?"
Dengan singkat, Subali pun memberitahukan letak
dua perguruan yang diyakini Andika akan menjadi
kunci dari seluruh teka-teki.
***
TUJUH
Warna merah bara di kaki langit sebelah timur mulai
nampak, beriring kokok lantang ayam jantan yang
bersahut-sahutan. Pagi telah lahir kembali.
Dalam perjalanan menuju timur Kadipaten
Karangwaja, Andika banyak menemukan serakan
mayat, akibat pembantaian ganjil. Di sebuah dusun
tak jauh dari Perguruan Elang Hitam, kejadian serupa
juga ditemukan.
Mulanya Andika merasa curiga menyaksikan
dusun itu begitu lengang dan sunyi, bagai tak ada
denyut kehidupan sedikit pun. Padahal, warga dusun
ini selalu menyambut datangnya sang Fajar untuk
mencari nafkah pagi-pagi sekali. Namun didapatinya
saat ini sama sekali bertolak belakang.
Kecurigaan itu mendorong keingintahuan Andika.
Segera didatanginya rumah-rumah panggung para
penduduk. Dan apa yang didapatinya? Ternyata para
penghuni rumah telah bergeletakkan tanpa nyawa.
Bahkan Andika memandanginya sampai bergidik.
Lantai kayu di sekitar mayat dipenuhi darah
kehitaman bercampur serakan jarum.
Dan ketika rumah demi rumah dimasukinya,
pemandangan demi pemandangan menggidikkan pun
disaksikannya. Sehingga memaksa kuduknya
meremang tanpa dikehendaki.
"Ini sungguh-sungguh bencana mengerikan," desis
Andika dengan bibir terangkat ngeri. "Ini bukan lagi
perbuatan manusia! Ini perbuatan iblis!"
Ketika Andika hendak melanjutkan perjalanan,
masih sempat disaksikannya seorang penduduk yang
merangkak mencoba keluar rumah. Mulutnya merah
oleh darah. Wajahnya pucat, layaknya mayat.
Andika mencoba menolong orang itu, tapi usaha-
nya sia-sia. Nyawa orang itu telah melayang lebih
dulu, saat Pendekar Slebor tiba di sisinya.
"Laknat...," dengus Andika untuk kesekian kali.
Begitu selesai kata-katanya, Andika segera
melesat cepat, pergi dari situ. Dikerahkannya seluruh
ilmu meringankan tubuh agar segera tiba di
Perguruan Elang Hitam. Dia tak ingin semua kejadian
gila itu menjadi kian berlarut.
"Aku harus segera menyelesaikannya," tandas
Andika, sarat kegalauan.
Dengan kobar api amarah yang seakan hendak
membakar seluruh jaringan tubuhnya, Andika berlari
sepenuh tenaga. Bagai orang kerasukan setan,
diterabasnya onak berduri dan semak belukar.
Dicobanya mencari jalan pintas yang bisa mem-
bawanya cepat tiba di tujuan. Pohon-pohon raksasa
yang mencoba menghalangi luncuran tubuhnya,
dilompati bagai seekor Walet mematahkan hadangan
batu karang.
Seribu satu perasaan yang berkecamuk dalam diri
berbaur menjadi sebentuk kekuatan tak terduga.
Kecepatan larinya jadi kian menggila. Sampai-sampai,
pandangannya hanya menangkap kelebatan
bayangan kabur dari benda-benda yang dilewatinya
saat berlari.
Tak ada berapa lama, Andika tiba di satu lembah
luas yang diapit bukit. Rumput hijau setinggi betis
menghampar indah dalam selimut sinar surya.
Jajaran pepohonan pinus memagari sekitar lembah.
Tepat di tengah lembah itulah Perguruan Elang Hitam
berdiri.
Tanpa ingin membuang waktu sekejap pun, Andika
melanjutkan larinya. Dadanya yang saat itu hendak
terbelah karena dengus napas memburu, tak lagi
dihiraukan. Hanya satu yang dipikirkan saat itu, dia
harus memecahkan seluruh teka-teki lalu menuntas-
kan bencana brutal ini!
"Heaaa...!"
Wrrr...!
Setibanya di pagar tinggi Perguruan Elang Hitam,
Andika melenting tinggi ke udara. Tubuhnya melayang
di udara, melewati pagar dari batang-batang cemara.
Jlek!
Begitu usai melakukan gerakan indah di angkasa,
kaki Pendekar Slebor menjejak mantap di pelataran
depan perguruan itu. Apa yang ditemukannya di
sana? Ternyata sebuah pemandangan yang semula
begitu dikhawatirkan Andika terjadi. Puluhan mayat
murid perguruan tampak berserakan tumpang tindih,
bagai onggokan daging tak berharga.
"Biadaaab! Siapa dalang semua ini?!" teriak
Andika, dengan suara menggelegar penuh ke-
murkaan.
Dengan napas memburu, Andika mencoba men-
cari sisa-sisa kehidupan di dalam bangunan
Perguruan Elang Hitam. Seluruh ruang dijelajahinya.
Namun, tak sejengkal pun dilewati. Dan lagi-lagi
matanya dijejali anyir darah dan mayat-mayat tanpa
tanda kehidupan.
"Oh, Tuhan...," keluh Andika lemah.
Tak mampu lagi pemuda itu menatap apa yang
tergambar di depan matanya. Matanya dipejamkan
rapat-rapat. Kepalanya menggeleng lemah, seakan
tidak ingin mempercayai semua yang dilihatnya.
Saat berikutnya, Andika kembali melesat lebih gila
dari sebelumnya. Tak ingin lagi. Tak ingin lagi dia
menyaksikan apa yang terjadi di perguruan
mengenaskan itu. Bahkan sekadar untuk mengingat
sekalipun!
Tak lama kemudian, tubuh Pendekar Slebor sudah
melesat di luar Perguruan Elang Hitam. Dia berlari
deras menuju tujuan berikut, Perguruan Tangan Wesi
di wilayah barat. Sebuah jarak yang jauh, karena
ditempuh dari satu ujung ke ujung lain. Tapi hal itu
sama sekali tidak mengusik tekadnya untuk segera
sampai di penguruan itu. Sementara, hati nuraninya
terus berharap agar tidak menemukan lagi
pemandangan seperti di Perguruan Elang Hitam.
***
Jauh dari harapan Andika, di Perguruan Tangan
Wesi saat ini justru sedang terjadi pertempuran maut.
Tiga puluh orang bertopeng datang menyerbu. Seperti
maksud kedatangan mereka di Perguruan Elang
Hitam dan Perguruan Naga Langit, pasukan
bertopeng itu juga hendak merampas benda-benda
pusaka milik Perguruan Tangan Wesi.
Kejadian yang menimpa dua perguruan besar di
wilayah timur dan selatan, dialami Perguruan Tangan
Wesi. Sebelum penyerbuan orang-orang bertopeng,
beberapa murid perguruan juga tertimpa bencana
aneh. Mereka mendadak menggelepar-gelepar
sekarat. Dari mulut masing-masing, keluar muntahan
darah bercampur puluhan batang jarum. Kemudian,
kejadian serupa menimpa guru besar perguruan itu.
Belum sempat sisa murid Perguruan Tangan Wesi
menguburkan jenazah rekan-rekan dan guru mereka,
pasukan bertopeng datang dari berbagai penjuru,
laksana serigala-serigala lapar memburu sekerat
daging. Berikutnya, pertarungan hidup mati pun
meletus dahsyat.
Orang-orang bertopeng itu yang bersenjatakan
golok membabat setiap murid Perguruan Tangan
Wesi yang lengah, karena kematian guru tercinta
mereka. Sebagian murid yang masih sempat
melakukan perlawanan, harus bersusah payah
mempertahankan nyawa.
"Hiaaa!"
"Haih!"
Trang! Trang! Bret!
"Wuaaa!"
Orang kelima belas dari Perguruan Tangan Wesi
menemui ajal, terbabat golok pada bagian wajahnya.
Di lain pihak, lawan orang-orang bertopeng itu
tetap dalam jumlah semula. Belum seorang pun
mengalami luka. Apalagi sampai tewas. Jelas-jelas
kalau orang-orang bertopeng itu tidak mau tanggung-
tanggung menjalankan niat busuknya. Tampaknya,
yang dikirim ke perguruan itu adalah orang-orang
pilihan yang memang tangguh.
Pertempuran terus berlangsung di sekitar
pelataran perguruan. Setiap jengkal tanah pelataran,
menjadi kancah penentuan antara hidup dan mati.
Terutama, bagi para murid Perguruan Tangan Wesi.
Yang mati-matian membela diri dan nama perguruan.
Lebih dari itu, mereka pun siap mati untuk
menghadapi kebatilan.
Di beberapa sudut pelataran, satu lelaki bertopeng
dikeroyok tiga murid perguruan. Keroyokan itu
dilakukan tidak ksatria, tapi semata-mata mereka
menyadari kalau ketangguhan orang-orang bertopeng
itu tidak bisa diremehkan.
Di sebelah timur kancah pertarungan, dua murid
Perguruan Tangan Wesi harus melayani habis-
habisan, golok seorang lelaki bertopeng yang
bergerak begitu cepat mengejar keduanya. Padahal
mereka sudah berusaha memperlebar jarak satu
dengan yang lain, agar perhatian orang bertopeng itu
dapat terpecah.
Kedua murid perguruan yang tidak menggunakan
senjata dalam pertempuran itu terpaksa tunggang
langgang menghadapi sabetan golok orang
bertopeng. Sebagaimana namanya, murid-murid
Perguruan Tangan Wesi memang hanya meng-
andalkan sepasang tangan sebagai senjata. Mereka
dilatih sedemikian rupa, agar tangan mereka mampu
menjebol karang. Namun begitu, bukan berarti
tangan mereka kebal terhadap senjata tajam. Itu
sebabnya, mereka hanya menghindari serangan
tanpa mampu menangkis sambaran golok. Kalau
kebetulan beruntung, mereka bisa menangkis tangan
orang bertopeng yang memegang senjata.
"Hiah!"
Bet, bet!
"Hait!"
Pada suatu kesempatan, lelaki bertopeng yang
terus menyabet-nyabetkan golok bertubi-tubi, tiba-tiba
melepaskan tendangan menyapu dengan memutar
tubuh terlebih dahulu.
Gerakan yang tak terduga ini membuat seorang
murid terkesiap kaget. Dia tak terburu lagi melangkah
mundur untuk menghindari kepalanya dari ancaman
tendangan. Terpaksa badan merunduk, sehingga
luput dari tendangan ganas itu. Namun baru saja bisa
bernapas lega. Lelaki bertopeng itu segera
melancarkan serangan susulan. Goloknya langsung
menggempur buas dari atas. Sehingga....
"Mampus kau! Hiaaah!"
Crak!
"Aaakh!"
Didahului satu suara benda tajam membelah
batok kepala, terdengar jerit kematian dari murid
Perguruan Tangan Wesi. Tengkorak murid naas itu
nyaris terbelah hingga pelipis. Darah pun langsung
menyembur deras, begitu golok itu dicabut dari
kepalanya.
"Adi Karsa!" teriak murid Perguruan Tangan Wesi
yang seorang lagi, melebihi kerasnya jerit kematian
kawannya. Wajahnya memerah matang menyaksikan
adik seperguruannya mengalami nasib memilukan di
tangan orang bertopeng itu.
"Hua ha ha...! Kenapa?! Kaget melihat kawanmu
mampus dengan mudah di tanganku?! Atau kau takut
mendapat giliran berikutnya?" ejek lelaki bertopeng
itu pongah.
Dengan mata berkobar-kobar amat gusar, murid
Perguruan Tangan Wesi yang baru saja kehilangan
seorang saudaranya, mendengus geram. Pangkal
hidungnya terangkat sebagai tanda kegeramannya
pada orang bertopeng itu.
"Iblis! Kau harus membayar nyawa saudara
seperguruanku!" dengus murid itu, sambil
mengangkat tangan di depan dada. Otot-otot
tangannya kontan bersembulan dan menegang.
"Ah! Jangan anggap dirimu pedagang tempe. Pakai
bayar-bayaran segala," cemooh orang bertopeng itu
kembali, kian mendidihkan darah murid Perguruan
Tangan Wesi.
"Bangsat! Hiyaaa...!"
Deb, deb, deb!
Tubuh murid Perguruan Tangan Wesi melenting
tinggi ke arah orang bertopeng itu. Kedua tangannya
memukul bergantian di udara, menimbulkan bunyi
menggetarkan gendang telinga. Rupanya, dia berniat
meremukkan kepala lawannya sebagai bayaran atas
kematian adik seperguruannya yang bernama Karsa.
"Hih!"
Seketika orang bertopeng itu secepatnya menyer-
gap tanah untuk menyelamatkan kepalanya. Usaha-
nya berhasil. Tubuhnya langsung bergulingan, tepat di
bawah kaki murid Perguruan Tangan Wesi yang
tengah melayang. Dan dalam satu rangkaian gerak
yang begitu cepat, golok di tangannya menebas ke
atas, tepat diarahkan ke sepasang betis murid itu.
Crak!
"Waaa!"
Bruk!
Setelah kawannya mengalami nasib mengerikan,
kali ini murid Perguruan Tangan Wesi itu mendapat
giliran. Kedua kakinya terputus sebatas betis di
udara. Potongannya langsung terpetal ke samping,
diikuti semburan darah segar. Kemudian tubuhnya
ambruk ke tanah, karena tidak bisa lagi berpijak.
"Sayang sekali! Sebenarnya aku masih suka main-
main denganmu beberapa jurus lagi. Tapi, tampaknya
kau tak bisa lagi menjadi lawan tandingku. Lebih
menyesal lagi, pemimpinku menugaskan agar
pekerjaanku harus diselesaikan secara tuntas.
Jadi...."
"Kau ingin bunuh aku? Bunuhlah! Aku tak pernah
gentar untuk mati di tanganmu, Bangsat!"
"O-o-o! Itu sudah pasti kulakukan. Nah, terimalah
ke.... Akh!"
Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, lelaki
bertopeng keji itu mengejang. Matanya mendelik
keatas. Sedangkan dadanya membusung ke depan
tegang. Tak pernah diduga kalau ucapannya tadi
justru menjadi sambutan bagi ajalnya sendiri.
"Ya! Terimalah kematianmu, Iblis Keparat," ujar
seseorang di belakangnya seraya membetot tangan
kanannya dari tubuh lelaki bertopeng itu. Orang yang
membokong memang murid tertua Perguruan Tangan
Wesi.
Bruk!
Tubuh lelaki bertopeng ambruk ke depan seperti
sebatang pohon tumbang. Di bokongnya kini terlihat
jelas lubang menganga, yang mengeluarkan darah
segar.
"Menyingkirlah, Adi! Selamatkan dirimu bagai-
manapun caranya!" perintah lelaki berperawakan
pendek kekar dengan kumis melintang di bawah
hidungnya. Sementara kepalanya dicukur gundul.
"Tapi, Kang Manggala...."
"Jangan pakai tetapi! Kau harus menjadi saksi
mata atas kejadian ini, agar para tokoh aliran putih
bisa menyelesaikannya. Sehingga, kejadian seperti ini
tidak terulang pada perguruan lain!" hardik orang
yang dipanggil Manggala, tanpa maksud memarahi
adik seperguruannya.
"Baik, Kakang. Tapi bukan berarti aku takut mati.
Kau harus tahu itu, Kakang," ucap murid yang dua
kakinya buntung itu.
"Aku tahu. Kita semua bukan orang-orang
pengecut. Kita adalah ksatria yang tak gentar mati
demi menghadapi kebatilan. Ayo, cepatlah Adi...,"
pinta Manggala dengan suara bergetar.
Meski Manggala dikenal sebagai lelaki berjiwa
tegar, tak urung perasaannya tersentuh melihat
semangat juang adik seperguruannya.
Dalam kancah pertarungan yang kian mendebar
bau anyir darah, seorang murid Perguruan Tangan
Wesi terseok-seok menyeret tubuh untuk keluar dari
medan kematian. Mata berairnya tak henti-henti
menatapi mayat demi mayat saudaranya.
"Kalau kalian gugur semua hari ini, aku berjanji
tidak akan menangisi. Karena kalian adalah ksatria.
Ya, ksatria. Dan walau aku ditinggalkan sendiri di
dunia busuk ini, yang penting kalian jangan
memisahkan aku pada saat kita akan bertemu lagi
nanti...."
***
DELAPAN
Andika semula berharap, bencana yang menimpa dua
perguruan yang dikunjungi sebelumnya, tidak
menimpa Perguruan Tangan Wesi pula. Namun,
Tuhan berkehendak lain. Apa yang diharapkannya
ternyata melesat. Begitu pun keinginannya agar tidak
terlambat tiba di perguruan itu.
Setibanya di Perguruan Tangan Wesi, matanya
malah menyaksikan pembantaian. Manggala, murid
tertua perguruan itu pun menemui ajal, tepat saat
Andika menjejakkan kaki di pelataran perguruan.
Darah Pendekar Slebor mendidih sehebat-
hebatnya. Kemurkaannya yang memang sudah
menggelegak, kini tiba di puncak ubun-ubun. Dalam
sekejap, rahangnya mengeras. Demikian pula seluruh
otot di sekujur tubuhnya. Dadanya kini ibarat gunung
berapi yang siap meletus.
"Kalian keparat semua! Akan kubantai kalian,
seperti kalian bantai mereka!" bentak Andika
menggelegar, seraya menunjuk pada serakan mayat
para murid Perguruan Tangan Wesi.
Teriakan itu mengejutkan dua puluh orang
bertopeng yang masih hidup. Serempak mereka
menoleh ke arah Andika, dengan tatapan siaga.
Namun kesiagaan itu percuma, karena Pendekar
Slebor telah bergerak sebelum mereka lebih lama
melihatnya.
"Hiaaat!"
Wesss!
Bayangan hijau muda dari pakaian Pendekar
Slebor bergerak dalam kecepatan luar biasa. Mata
para lelaki bertopeng sampai-sampai begitu sulit
menangkap bentuk tubuhnya, kecuali seberkas
bayangan hijau muda.
Plak! Des!
Dan tiba-tiba saja, seorang bertopeng terpental
tinggi ke udara. Dari mulutnya berceceran percikan
darah. Entah apa yang hancur dari bagian tubuhnya,
setelah menerima hantaman Pendekar Slebor. Yang
pasti, begitu tubuhnya ambruk di tanah, sudah tak
memiliki nyawa lagi.
Andika terus berkelebat, lalu....
"Khaaah!"
Deb! Krak!
"Waaa!"
Menyusul dua lelaki bertopeng yang kontan
ambruk terkena serangan Pendekar Slebor. Kedua
orang itu pun terpental bagai batang pohon kering
terhempas topan. Satu orang memuntahkan darah
segar, setelah menerima jotosan telak yang langsung
memecah ulu hatinya. Seorang lagi tak sempat
berteriak. Kepalanya remuk begitu saja dari ubun-
ubun hingga pangkal hidung.
Tujuh belas lelaki bertopeng lain terkesiap bukan
alang kepalang. Seumur hidup, belum pernah mereka
menyaksikan serangan yang begitu cepat. Bagi
mereka, kecepatan itu sudah tidak mungkin
dilakukan manusia. Tapi kenyataan yang terjadi di
depan mata? Sungguh membuat mereka bertanya
dalam hati masing-masing, apakah mereka telah
diserang siluman sinting?
Untuk menjawab pertanyaan itu, mereka tidak
punya waktu lagi. Langkah terbaik sisa pasukan
bertopeng itu adalah bersiap menanti serangan
datang. Seandainya melarikan diri pun tampaknya
sia-sia belaka, karena dengan mudah sosok
bayangan hijau itu akan dapat mengejar.
"Jangan lengah!" seru salah seorang yang
tampaknya menjadi pemimpin pasukan, mempe-
ingati bawahannya.
Baru saja seruan itu selesai....
Plak!
"Aaa!"
Kembali terdengar pekikan, yang diawali suara
tamparan keras. Tampak seorang laki-laki bertopeng
terjengkang ke tanah.
Melihat kenyataan ini, nyali sisa pasukan
bertopeng makin menciut. Napas mereka tersengal
tak beraturan, sebagai ungkapan kengerian yang
terjadi. Orang-orang keji itu kini bisa merasakan,
bagaimana keadaan bila maut siap menjemput
seperti dialami murid-murid Tangan Wesi.
"Kenapa kalian diam saja?! Apa iblis di diri kalian
telah pergi, setelah puas membantai?!"
Terdengar teriakan Andika dari sebelah selatan
pelataran.
Secara berbarengan, keenam belas lelaki
bertopeng itu menoleh. Kini mereka baru bisa melihat
jelas sosok yang dihadapi. Dia adalah seorang
pemuda yang ketampanannya kini diselimuti kobaran
api kemurkaan.
"Sss..., siapa kau sebenarnya?!" tanya pemimpin
pasukan bertopeng agak gentar.
"Aku? Aku siapa, ya?" cemooh Andika, mencibir,
"Barangkali orang sinting yang begitu berselera
menghisap darah kalian hidup-hidup."
Bibir Pendekar Slebor kali ini menyeringai penuh
ancaman. Sementara dari balik topeng, mata keenam
belas lelaki bertopeng itu menyipit. Bisa jadi mereka
menanggapi secara sungguh-sungguh ucapan Andika
barusan.
"Kam... kami tidak ada urusan denganmu. Kenapa
kau turut campur?" untuk yang kedua kalinya, sang
Pemimpin pasukan bertopeng bertanya tersendat.
"Ada! Kenapa tidak?!" bentak Andika sangar.
"Kalian tahu apa hubunganku dengan orang-orang
yang telah kalian bantai?!"
Para lelaki bertopeng itu saling melirik. Bagaimana
pertanyaan terakhir Pendekar Slebor terjawab, kalau
mereka sendiri tidak mengenalnya.
"Tidak tahu, kan? Aku juga tidak tahu!" cerocos
Pendekar Slebor lagi.
Kata-kata Andika membuat keenam belas lelaki di
sekitarnya makin yakin kalau orang yang dihadapi
memang orang sinting tulen.
"Kau ingin tahu?!" bentak Andika pada pemimpin
pasukan lawan.
Bentakan barusan disertai penyaluran tenaga
dalam penuh, sehingga terdengar mengguntur.
Pemimpin orang bertopeng yang memang sudah jatuh
nyali tersentak bukan main. Sampai-sampai kepala-
nya tersentak ke atas seperti sedang mengangguk.
"Bagusss! Jadi kau ingin tahu?!" sambung Andika
setelah melihat gerakan kepala lelaki itu. "Kalau kau
dan anak buahmu benar-benar ingin tahu, maka
kuizinkan pergi dari sini...."
Mereka amat lega mendengar keputusan terakhir
Andika.
"Dan kalian harus ke suatu tempat, untuk
mengetahui jawabannya!" terabas Andika lagi.
Keenam belas lelaki bertopeng itu menunggu kata
Pendekar Slebor selanjutnya. Mereka berharap,
pemuda sinting itu menyebutkan nama suatu tempat.
Sehingga mereka bisa aman meninggalkan pelataran
Perguruan Tangan Wesi.
Sementara itu, Andika malah menggeram tak
karuan.
"Grrrmmmhhh! Ya! Kalian harus pergi ke... ke
neraka!"
Kelegaan sesaat mereka buyar seketika men-
dengar jawaban Pendekar Slebor. Jantung mereka
saat itu juga terasa hendak berhenti berdenyut,
dengan napas tersekat di tenggorokan. Bagaimana
mereka tidak setakut itu kalau pemuda berbaju hijau
ini memiliki kesaktian yang tak mungkin ditandingi,
meski dikeroyok sekaligus.
"Ampun...."
Baru saja pemimpin pasukan bertopeng hendak
memohon ampun, mulut Pendekar Slebor sudah
memperdengarkan gelegar menggetarkan bangunan
perguruan.
"Khhhuaaa...!"
Lalu....
Pendekar Slebor langsung berkelebat cepat,
sambil melepaskan pukulan dan tendangan berturut-
turut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Akh!"
"Waaakh...!."
Dua lelaki bertopeng yang berdiri paling dekat
terhempas ke belakang bagai tanpa bobot, begitu
terhantam pukulan dan tendangan Andika. Tubuh
keduanya baru berhenti terlempar, kala menghantam
dinding bangunan perguruan. Dinding itu langsung
remuk, seperti remuknya tubuh kedua lelaki yang
termakan serangan Pendekar Slebor.
Saat berikutnya....
Pendekar Slebor kembali berkelebat, disertai
tamparan khas. Dan....
Jbret! Prak! Prak!
"Aaakh...! Aaa...! Aaakh...!"
Tiga suara menggidikkan terdengar dalam waktu
hampir bersamaan. Satu orang langsung melintir di
udara terhajar tamparan sakti pada wajahnya. Dua
orang lagi masih tetap tegak di tempat. Namun
kepalanya sudah tidak utuh lagi, terkena babatan
tangan pada leher. Lalu keduanya ambruk ber-
samaan, disertai semburan darah segar.
Pendekar Slebor tak puas sampai di situ. Baginya,
mereka telah berhutang nyawa puluhan murid
Perguruan Tangan Wesi. Suka tidak suka, hutang itu
harus dibayar lunas dengan nyawa.
"Hiaaa!"
Kembali terdengar teriakan merobek angkasa dari
Pendekar Slebor. Ketika teriakan itu terdengar,
tubuhnya sudah tidak ada di tempat. Saat berikutnya,
Pendekar Slebor sudah tiba di depan empat lawan
yang tersurut ketakutan. Dan tanpa dapat ditangkap
mata, tangannya bergerak membentuk kelebatan
hijau muda.
Deb, deb, deb, deb!
Empat jotosan telak langsung menghajar ulu hati
keempat lelaki bertopeng. Wajah mereka sulit
digambarkan dengan mata terbeliak.
Tak terlontar jeritan sedikit pun dari mulut
keempat lelaki bertopeng itu, karena nyawa lebih
dahulu terlepas ketika ambruk di tanah.
Bruk, bruk, bruk, bruk!
Menyaksikan kematian mengerikan kawan-
kawannya, sisa pasukan bertopeng itu putus harapan.
"Ampuni kami, Tuan! Ampuni kami...."
Seperti bocah kecil bodoh, mereka serempak
berlutut sambil merengek-rengek.
Pendekar Slebor sendiri sudah berdiri tepat di
depan mereka dengan napas mendengus-dengus.
Hanya napas banteng ngamuk yang bisa menandingi
kekerasan Andika. Tak ada tanda-tanda kalau Andika
telah puas atas kematian para lawannya tadi. Itu
terlihat jelas dari warna matanya yang memerah
matang. Namun entah kenapa, Pendekar Slebor
menghentikan gerak menggilanya kala sisa pasukan
bertopeng itu berlutut memelas. Seolah ada satu
kekuatan dari relung batinnya yang mencegah
serangannya.
"Ka..., kami memang manusia busuk, Tuan. Kami
mengaku bersalah. Kami juga mengaku, kalau kami
semua pantas mendapat perlakuan seperti yang Tuan
Pendekar lakukan. Tapi, tolong beri kesempatan
hidup agar kami dapat menebus semua kesalahan,"
pinta seorang dari mereka mengiba.
"Kalian bisa menebus kesalahan hanya dengan
nyawa...," tandas Andika bergetar dan terdengar
dingin.
"Tapi, apakah di hadapan Tuhan kami tidak bisa
bertobat, Tuan Pendekar? Kalau Tuan tidak bisa
mengampuni kami, sudikah menyerahkan kami pada
Tuhan Penguasa Alam. Biar Dia yang akan
menentukan, hukuman apa yang pantas bagi kami...,"
lanjut orang itu makin lirih. Kepalanya tertunduk
dalam, seperti juga kawan-kawannya.
Seberkas kekuatan asing tiba-tiba menyeruak
kembali dari relung batin Andika yang terdalam.
Seolah, dalam dirinya terdengar ucapan, "Tuhan
Maha Pengampun...."
Lalu terjadi keganjilan. Seluruh daya kemurkaan
yang bergolak dalam diri Andika surut bagai tersapu
gelombang maha sejuk.
"Baiklah.... Kalian kumaafkan," putus Andika
perlahan. "Namun, kuminta kalian membuka topeng
itu. Di mataku, topeng itu adalah perlambang
manusia tak bertanggung jawab. Bisanya hanya
melakukan kebusukan dari belakang, namun tetap
ingin dianggap orang baik...."
Mereka pun memenuhi permintaan Andika. Satu
persatu mereka melepas kain hitam penutup kepala.
Sampai pada orang terakhir yang membuat Andika
mengerutkan dahi dalam-dalam.
"Kau.... Jiran?" ujar Andika setengah bertanya.
***
SEMBILAN
Andika benar-benar tak menduga kalau Jiran, lelaki
yang pernah disaksikannya saat dipermainkan Walet
di pasar Desa Dukuh, ada di antara orang-orang
bertopeng itu. Setahu dia, Jiran bukan murid
Perguruan Ular Iblis.
"Tuan Pendekar mengenalku?" tanya Jiran
terheran-heran.
"Bukankah kau yang hendak membunuh seorang
bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?" Andika balik
bertanya, seakan ingin meyakinkan diri.
"Maafkan aku, Tuan. Waktu itu aku khilaf," sahut
Jiran.
"Jadi benar?"
Jiran mengangguk.
"Apa hubunganmu dengan Perguruan Ular Iblis?"
tanya Andika kembali.
"Tidak ada Tuan...."
Alis Andika langsung bertaut rapat. Kelihatannya
ada sesuatu yang tak beres.
"Kau bersedia menceritakan padaku tentang
semua yang kau ketahui?" tanya Andika, setengah
mendesak.
Jiran tak segera menjawab. Air wajahnya berubah,
memperlihatkan ketakutan. Kepalanya pun meng-
geleng-geleng tak beraturan. Di mata Andika, lelaki itu
tampak amat gelisah.
"Kau takut pada seseorang?" duga Andika.
Jiran langsung mengangguk. Matanya menebar
takut-takut ke setiap penjuru, seakan sedang diintai
maut.
"Ketakutan itu tak perlu disimpan. Aku akan
berusaha melindungimu. Lagi pula, bukankah kau
ingin bertobat? Inilah saatnya untuk membuktikan
kesungguhanmu pada Tuhan. Paling tidak, kau telah
berusaha menebus sedikit dosamu...," desak Andika,
berusaha menekan ketakutan Jiran.
Lama Jiran meremas-remas tangannya sendiri.
"Baiklah, Tuan Pendekar. Aku harap ini bisa menebus
sedikit kesalahanku...," desah Jiran, akhirnya.
Andika lega. Bibirnya menawarkan senyum senang
pada keputusan Jiran yang berani menanggung
akibat demi tobatnya.
"Silakan," ucap Andika. "Aku senang sekali
mendengarnya."
"Sebenarnya, seluruh bencana yang terjadi di
kadipaten ini tidak ada hubungan sama sekali
dengan Perguruan Ular Iblis," Jiran memulai ceritanya.
"Perguruan itu memang tertutup dan penuh
kerahasiaan, tapi tidak pernah melakukan tindak
kerusuhan...."
"Jadi, selama ini ada seseorang yang hendak
memfitnah perguruan itu?" selak Andika.
"Lebih tepat, jika dikatakan hendak mengadu
domba, Tuan," lanjut Jiran. "Orang-orang bertopeng
yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan
Perguruan Naga Langit, sengaja diperintah untuk
meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular
Iblis. Demikian juga, beberapa orang yang melakukan
pengacauan. Mereka diperintah untuk mengenakan
pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu,
Perguruan Ular Iblis akan makin dibenci perguruan
lain di kadipaten ini. Dan setiap kejahatan yang
terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai
pelakunya...."
"Sementara orang yang memfitnah bisa bertindak
seenaknya tanpa kedoknya terbuka? Agar dia tetap
dipandang bersih dan tetap aman?" selak Andika lagi.
"Benar, Tuan...," jawab Jiran singkat. Sesaat Andika
bergumam samar. Ditepuk-tepuknya dagu dengan
jemari tangan kanannya.
"Lalu, bagaimana caranya manusia keparat itu
dapat melakukan pembunuhan keji, dengan me-
masukkan puluhan batang jarum ke dalam tubuh
manusia?" lanjut Andika.
Jiran baru hendak menjawab. Tapi otak jernih
Andika sudah lebih dahulu menemukan jawabannya.
"Pasti Mustika Putri Terkutuk itu!" duga Pendekar
Slebor agak heran, setelah ingat pesan terakhir Ki
Kusuma.
"Benar, Tuan. Bagaimana Tuan tahu tentang
mustika itu?" tanya Jiran heran.
"Bagaimana mustika itu dapat digunakan untuk
membunuh?" lanjut Andika, seakan tidak mendengar
pertanyaan Jiran tadi.
"Kalau itu aku tidak tahu, Tuan," jawab Jiran.
Padahal, Andika tidak mengajukan pertanyaan itu
pada dirinya.
"Sekarang katakan, siapa biang keladi semua ini?
Siapa dalang pembantaian keji ini?" tanya Andika
dengan kata-kata tegas.
Untuk kesekian kalinya, Jiran melirik kian kemari.
"Gusti Adipati, Tuan...," bisik Jiran amat halus, dan
takut-takut.
Andika menatap Jiran dengan sinar mata tak
percaya. Kelopak matanya tampak menyipit, seakan
hendak membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu.
"Kau jangan main-main, Jiran," tandas Pendekar
Slebor setengah memojokkan. "Apa kau pikir aku
akan mudah dipermainkan?"
Jiran menggeleng-gelengkan kepala. Alis matanya
terlihat merapat, untuk memperlihatkan kesungguhan
ucapannya barusan.
"Kalau Tuan tidak percaya, aku bisa dilumpuhkan
selama Tuan membuktikan hal itu. Kalau aku ternyata
menipu, Tuan boleh membunuhku," tegas Jiran yakin.
Andika menarik napas. Sudut bibirnya sedikit
terangkat. Dia tidak bisa lagi menganggap lelaki itu
hendak menipunya. ,
"Ya, Tuhan...," desis Andika tiba-tiba terperangah.
Saat itu pula dia ingat sesuatu. "Walet ada di
kadipaten. Dan dia pernah hendak dibunuh oleh
seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang
sudah pasti kaki tangan Adipati itu juga. Bocah itu kini
dalam sarang harimau, dan berarti dalam bahaya
besar...."
"Tuan sedang berbicara padaku?" usik Jiran pada
Andika.
"Walet! Kau kenal dia, kan?"
"Jadi bocah itu masih hidup?" sergah Jiran
bingung. Setahunya, anak itu telah habis direncahnya.
"Kau tahu, kenapa Adipati Tunggul Manik ingin
membunuhnya?" tanya Andika tergesa, dirasuki
kekhawatiran pada nasib Walet.
"Aku tidak tahu, Tuan. Hanya waktu aku
dipecundangi bocah itu seminggu sebelumnya, aku
melapor pada Adipati. Mendengar laporanku, Adipati
Tunggul Manik tampak geram. Aku masih ingat,
telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia
membisikkan sesuatu pada Artabuncah...."
"Artabuncah? Lelaki yang wajahnya cacat bekas
sayatan?"
"Betul, Tuan. Dia tangan kanan Adipati."
Dugaan Andika jadi memang benar. Tapi, apa
alasannya Walet hendak dibunuh? Lama Andika
memikirkan pertanyaan itu, sampai akhirnya
menyerah.
"Ah, sudahlah. Begini saja. Kalian lebih baik
sembunyi dulu, selama aku menyelesaikan masalah
ini. Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati
Tunggul Manik," putus Andika secepatnya. "Aku harus
segera ke kadipaten. Kawan kecilku dalam bahaya."
"Tapi, di mana tempat yang aman bagi kami, Tuan.
Seluruh kadipaten ini selalu ditempatkan mata-mata
Adipati?" tukas Jiran dengan wajah pasi.
"Ng..., lebih baik kalian pergi ke Perguruan Naga
Langit. Katakan, kalian adalah utusan Pendekar
Slebor," ujar Andika cepat.
"Jadi Tuan ini Pendekar Slebor?!" kata Jiran
setengah berseru.
Wajah lelaki itu menampakkan keterkejutan yang
amat sangat. Begitu juga kawannya. Pantas saja
mereka merasa tak mampu menghadapi pendekar
muda itu.
Kalau Jiran menatap Andika penuh kekaguman,
Andika sendiri mendadak terdiam. Benaknya ter-
ngiang kembali pesan Ki Kusuma saat teringat
Perguruan Naga Langit.
"'Kendi berisi telaga'...," bisik Andika. "Bukankah
ibarat itu berarti seseorang yang berjasmani kecil,
namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang
tangguh. Walet! Dialah orang yang dimaksud wanita
cantik dalam 'petunjuk' Ki Kusuma, orang yang
mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika
Putri Terkutuk! Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak
membunuh Walet! Ya, bocah itulah yang sanggup
menghalanginya memanfaatkan kekuatan Mustika
Putri Terkutuk...."
Andika mengangguk-angguk penuh kepuasan.
Kemudian Pendekar Slebor pamit pada sisa pasukan
bertopeng yang masih menatapnya, seperti kumpulan
orang' dungu. Sampai tubuh Andika menghilang,
barulah mereka tersadar.
***
Kekadipatenan siang itu terlihat lengang. Dua
prajurit jaga tampak berdiri tegak di sisi pintu
gerbang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi,
membuat keduanya agak terkantuk. Di sekitar pagar
tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik
angin lalu.
Di sebuah kamar dalam bangunan kadipaten,
Walet tertidur pulas. Sejak Andika pergi, bocah lelaki
itu sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa
sempat tertidur, Walet terus menunggu Andika
kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan per-
juangan Andika jauh di sana. Setelah keletihan
meringkusnya habis-habisan, dia tak bisa lagi terjaga.
Di kamar yang disediakan Adipati Tunggul Manik
bocah itu akhirnya tertidur.
Cukup lama kamar Walet tampak damai. Kuakan
jendela tempat angin melintas masuk mengirim
cahaya siang ke dalam kamar yang ditata apik ini. Di
sebelah jendela tampak lemari besar berukir berdiri.
Di sudut lain, sepasang meja dan kursi berukir
terpaku bisu. Tirai putih yang menutup tempat tidur
yang selama hidup baru dinikmati Walet, merambai
halus ketika angin menerpa.
Semua itu tak sedikit pun menampakkan ancaman
bagi Walet. Namun, tanpa disadari sepasang mata
bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari
sang Pengintai itulah bahaya maut siap men-
cengkeram jiwa Walet.
Saat berikutnya, lemari besar berukir bergeser
perlahan. Suara geserannya begitu halus, sehingga
tak mengusik kenyenyakan tidur Walet. Namun
begitu, kalaupun suaranya terdengar lebih keras,
Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia
memang sudah begitu lelah, membuat tidurnya amat
nyenyak.
Grrr...!
Setelah lemari bergeser satu tombak, terlihatlah
satu lubang persegi sebesar pintu. Dari sana, se-
seorang muncul mengendap. Dan ternyata orang itu
Adipati Tunggul Manik!
Lelaki setengah baya itu kini tidak lagi mengena-
kan pakaian kebesaran, melainkan berpakaian jubah
hitam dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celana-
nya berwarna hitam pula. Sedangkan kepalanya diikat
kain berwarna merah darah.
Sangat hati-hati Adipati Tunggul Manik mendekati
Walet. Sedikit pun tak terdengar suara kala sepasang
kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal dia
mengenakan kasut kayu. Dengan begitu, terlihat jelas
bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuhnya.
Adipati Tunggul Manik makin dekat. Dan ketika
tiba tepat di sisi tempat tidur Walet, tangan kanannya
bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya.
Sret!
Keris dari baja hitam sepanjang dua jengkal kini
tergenggam kuat-kuat, siap dihujamkan ke tubuh
bocah kecil yang tetap tertidur pulas.
Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata
itu diangkat tinggi-tinggi di atas tubuh Walet. Sesaat
keris itu hendak dihujamkannya ke dada Walet, tiba-
tiba....
"Adipati! Keluar kau!"
Terdengar bentakan keras menggelegar yang tidak
hanya mengagetkan Adipati Tunggul Manik. Walet
punkontan tersentak kaget, hingga terjaga.
Menyaksikan calon korbannya terbangun, Adipati
Tunggul Manik bergerak sigap. Hanya sekali hentak
saja, tubuhnya berputar ke belakang di udara. Dalam
waktu yang demikian cepat, dia sudah menghilang
kembali di balik pintu rahasia sebelum Walet benar-
benar sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun
kembali ke tempat semula.
"Adipati! Di mana kau?!" Kembali terdengar seruan
di luar.
"Hei? Bukankah itu suara Kang Andika?" gumam
Walet seraya mengusap-usap kelopak matanya yang
sepat.
Bergegas bocah itu bangkit, lalu meninggalkan
kamar. Dia terus berlari, melewati lorong-lorong
kamar. Dan setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak
girang melihat lelaki yang ditunggu-tunggunya
seharian penuh telah kembali.
"Kau sudah pulang, Kang?! Wah, bawa oleh-oleh
apa?!" kata Walet.
"Kesini kau!"
Bukannya menjawab, Andika malah berseru keras-
keras pada Walet.
Dengan wajah bersungut-sungut, Walet meng-
hampiri Andika.
"Ada apa sih. Kang?! Kayaknya sewot sekali...,"
gerutu bocah itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Andika segera, ketika
Walet sampai di dekatnya.
Walet menaikkan satu sudut bibirnya. Dipandangi-
nya Andika dengan bola mata terangkat ke atas.
"Ya, baik-baik saja. Apa aku kelihatan seperti orang
sakit lepra?" sahut Walet asal bunyi.
"Bagus! Berarti bajingan itu tidak memiliki
kesempatan untuk menghabisimu...."
"Banjingan? Siapa, Kang?" tanya Walet. Bocah itu
bingung melihat sikap Andika yang begitu tegang.
Matanya bahkan bergerak-gerak siaga, seakan
hendak mengawasi setiap gerak mencurigakan di
seluruh penjuru kekadipatenan ini.
"Pasti selama ini kau selalu waspada. Itu bagus!"
lanjut Andika, tanpa mempedulikan keheranan bocah
kecil di depannya.
"Selama Kang Andika pergi, aku memang tidak
bisa tidur. Mataku melek terus, seperti kerbau
kebanyakan kopi!"
"Kau tahu di mana Adipati Tunggul Manik?" tanya
Andika lagi.
"Mana aku tahu. Tadi aku ketiduran," sahut Walet
acuh. "Memangnya ada apa, Kang?"
Lagi-lagi Andika seperti tidak mempedulikannya.
"Adipati! Keluar kau! Apa perlu aku yang
memaksamu keluar!"
Pendekar muda itu malah berseru kembali dengan
tenaga penuh, membuat Walet menutup telinganya
rapat-rapat.
"Kang! Oi, Kang! Apa Kakang baru dicolek setan
sewot?" dengus Walet sambil mendongak ke wajah
tegang Andika. "Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di
pintu gerbang itu?"
Walet mengarahkan pembicaraan ketika matanya
menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah.
"Aku menotoknya," jawab Andika singkat. Tanpa
menoleh sedikit pun.
Sikap Andika itu membuat Walet mulai dongkol.
Maka disikutnya lengan Andika.
"Kenapa Kakang jadi usil?" tanya Walet, setengah
menggerutu.
"Kau tidak mengerti. Nanti akan kujelaskan
semuanya," sergah Andika.
"Aku maunya sekarang, Kang."
Andika tidak menanggapi, tapi malah sibuk
mengawasi bangunan kadipaten yang masih tetap
sepi.
"Kaaang, aku maunya sekarang!" jerit Walet sewot.
"Diam! Ini bukan waktunya bergurau!" hardik
Andika.
Terpaksa Walet menutup bibirnya rapat-rapat.
Rupanya pemuda itu memang bersungguh-sungguh.
Tak lama kemudian beberapa orang muncul dari
bangunan kadipaten dengan setengah berlari.
Mereka menuju halaman depan, dan satu persatu
berdiri menyusun pagar betis. Sehingga, terbentuklah
empat baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka
adalah para prajurit pilihan kadipaten yang ditempat-
kan di padepokan belakang.
Layaknya para prajurit pilihan, tubuh mereka rata-
rata tegar berotot dengan dada bidang membusung
penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan
celana hitam sebatas betis yang dililit kain batik,
tanpa memakai baju. Sementara rambut mereka
digelung ke atas. Di tangan masing-masing ter-
genggam sebatang tombak serta tameng besi.
Puluhan prajurit itu siap menjalani titah
junjungannya, tanpa pernah disadari kalau ternyata
diumpankan untuk membela seorang berhati busuk
dan bermuka dua.
"Kalian kuminta menyingkir! Jangan sampai kalian
mati di tanganku hanya karena telah dibodohi
Adipati," pinta Andika.
"Tidak mungkin. Mereka adalah punggawa istana
yang berkewajiban menjalani segala titah
junjungannya...!" seru seseorang dari belakang
barisan. Kemudian muncul dua orang berpakaian
senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-
masing bernama Senapati Wisesa dan Tumenggung
Adiguna.
Senapati Wisesa berperawakan tinggi dan tegap.
Dadanya yang kekar berisi, ditutup selempengan kain
merah berjumbai benang warna emas di sisinya.
Seperti juga para prajurit, dia mengenakan celana
hitam yang dililit kain batik. Bedanya, pada ujung
celananya terdapat hiasan dari benang perak.
Wajah Senapati Wisesa tergolong tampan. Apalagi,
mengingat usianya yang masih tiga puluh lima tahun.
Kumis tebal serta cambang hitam di depan telinga,
membuat penampilannya terlihat kian gagah.
Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan kepala
dari perak berukir. Di tangannya terhunus keris
pusaka miliknya.
Sementara Tumenggung Adiguna bertubuh agak
gemuk. Badannya ditutup pakaian kebesaran seorang
tumenggung. Dia berbaju dan bertopi hitam, seperti
milik Adipati. Bentuk topinya yang seperti tabung
meninggi itu, dihiasi garis-garis lurus berwarna emas.
Begitu pula ujung-ujung bajunya, dihiasi ukiran
berwarna emas. Celananya berwarna putih susu,
dibalut batik dan diikat kain bergaris merah putih.
Wajah Tumenggung Adiguna agak bulat, tanpa
ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup
tua, membuat matanya agak abu-abu. Namun,
wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya
yang agak tipis berlawanan dengan hidungnya yang
agak tebal.
"Tuan Senapati dan Tuan Tumenggung," mulai
Andika kembali, "Aku sangat menghormati kalian,
selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak
menghalangiku untuk meringkus Adipati Tunggul
Manik."
"Bagaimana mungkin kami membiarkan begitu
saja junjungan kami diusik orang?" sanggah
Tumenggung Adiguna tegas.
"Kalian harus mempercayaiku...."
"Karena kau seorang pendekar kesohor?" selak
Senapati Wisesa.
"Bukan...," Pendekar Slebor segera menggeleng.
"Karena aku telah mendapatkan bukti kalau
junjungan kalian telah melakukan makar jahat."
"Bagaimana orang yang baru dikenal seperti dirimu
bisa dipercaya, kami sudah kenal lama pada Kanjeng
Adipati, selaku pemimpin yang baik," sanggah
Tumenggung Adiguna kembali.
"Kalian memang tak bisa mempercayaiku begitu
saja. Aku bisa memaklumi. Tapi, izinkanlah aku
meringkus Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian
kupertemukan pada seseorang yang mengetahui
jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya," tutur
Andika berusaha bersabar.
"Bagaimana kami harus mempercayaimu?
Bagaimana kalau kau ternyata menipu kami?" tanya
Tumenggung Adiguna, lagi-lagi berusaha menyudut-
kan Andika.
Andika kini benar-benar mati kutu. Bagaimanapun
caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka
pada junjungan. Apalagi, Andika tidak bisa langsung
membuktikan seluruh makar Adipati Tunggul Manik.
Namun begitu, Andika harus tetap meringkus
Adipati Tunggul Manik untuk diserahkan pada pihak
Perguruan Naga Langit. Di lain sisi, dia tak ingin ada
korban tak berdosa di pihak kadipatenan. Karena
mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas tanpa
tahu apa-apa.
Kini, Andika benar-benar berada dalam keadaan
sulit. Seakan dia dihadapkan pada buah simalakama.
Dua pilihan yang meski diambil, tapi sama-sama
mengandung bahaya. Kalau bersikeras untuk
meringkus Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau
harus dihadapinya para prajurit dan Senapati Wisesa
dan bersama Tumenggung Adiguna. Itu berarti mem-
bahayakan jiwa mereka. Sementara, kalau usaha
meringkus Adipati ditangguhkan, maka bisa saja
pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa
memakan korban lebih banyak di pihak rakyat.
"Jadi lebih baik kau segera menyingkir dari tempat
ini sebelum kami bertindak," ujar Senapati Wisesa
mengancam.
Andika tidak berbuat apa-apa. Peringatan Senapati
Wisesa tadi seperti tidak didengarnya. Bukan apa-
apa. Andika hanya sedang diamuk kebimbangan,
untuk mengambil satu keputusan. Meski dirinya
dikenal sebagai pendekar berotak encer, keadaan
yang dihadapinya kali ini tetap saja menyulitkan.
Sikap Andika itu tentu saja memancing kegusaran
Senapati Wisesa. Selaku petinggi, sikapnya harus
tegas pada siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar
yang disegani di seantero persilatan sekalipun.
"Kalau itu maumu, apa boleh buat...," tandas
senapati itu. Kemudian.... "Seraaang!"
Layaknya air bah, puluhan prajurit segera
menyerbu Pendekar Slebor. Dalam sekejap mata
saja, Pendekar Slebor sudah dikepung. Hanya ada
satu tujuan di benak para prajurit saat itu, menunai-
kan tugas sebaik-baiknya.
"Hiaaat!"
Seruan perang terlontar ke udara, seiring tusukan
tombak.
Wut, wut, wut!
***
SEPULUH
Sejak malang melintang dalam dunia persilatan,
maka pertarungan terberat yang dialami Andika kali
ini adalah pertarungan yang terberat. Bukan karena
lawan-lawan yang meski dihadapinya rata-rata
berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka semua
mengeroyoknya, belum tentu mampu mengalahkan
pendekar urakan ini. Tentu saja selaku pendekar
sejati, Andika merasa berat untuk menurunkan
tangan kejam pada orang-orang yang sebenarnya
hanya diperalat.
Namun demikian, Pendekar Slebor tidak begitu
bodoh untuk membiarkan tubuhnya direncah puluhan
batang tombak yang mengancam dirinya dari segala
penjuru. Secepatnya dilepas kain pusaka dari
pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam
secukupnya, serbuan tombak para prajurit itu bisa
disapu bersih.
"Hih!"
Wut! Kra-krak-krak-krak!
Satu rentetan suara patahan tombak terdengar.
Dua puluh tiga prajurit saat itu juga terlonjak,
mengikuti hentakan pada senjata masing-masing.
Tombak mereka sendiri sudah tidak memiliki ujung
lagi, patah terkena hantaman senjata ganjil Andika.
Patahannya bertebaran sesaat di udara, lalu jatuh
berserakan di tanah.
Serangan awal yang gagal itu dilanjutkan serangan
susulan oleh para prajurit. Sebagai pasukan pilihan,
dengan sigap mereka membentuk satu bentuk
pertempuran mirip bintang berpijar. Secara ber-
gantian, orang yang di belakang maju ke depan dan
sebaliknya. Sehingga, gerakan mereka tampak
seperti kerlip bintang.
Meski tingkat kepandaian para prajurit masih jauh
di bawahnya, tapi tak urung Andika merasa agak
bingung menghadapi siasat serangan itu. Serangan
bergantian berupa tangan dan kaki itu benar-benar
mendobrak benteng pertahanan Andika.
Terlebih, ketika kedua puluh tiga orang itu mulai
mengeluarkan pedang panjang masing-masing.
Dengan begitu, daya jangkau serangan makin mem-
besar. Dan itu berarti semakin memperkecil ruang
gerak Pendekar Slebor.
Agar tidak terus diserbu kelebatan pedang para
prajurit yang terus mencecarnya, Pendekar .Slebor
mengubah siasat pertahanannya. Di tengah
kepungan, tubuhnya tiba-tiba berputaran cepat
dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya
yang lain sengaja diseret di tanah berdebu.
Sekejap saja, kepulan debu pekat berterbangan.
Angin hasil ciptaan Andika, membuat kepulan debu
itu bertebaran di tengah kepungan. Maka tubuh
Pendekar Slebor pun terselimuti, dan tak dapat
ditangkap lagi oleh mata para pengeroyoknya.
Saat selanjutnya, tubuh Andika meluncur ke atas
seperti hendak terbang. Dia berusaha untuk
melepaskan diri dari kepungan rapat para prajurit.
Dan usahanya ternyata berhasil.
"Walet! Apa kau hanya bisa bengong seperti tuyul
bego!"
Ketika masih di udara, Andika berteriak pada
Walet yang berdiri di dekat tembok kadipatenan.
Memang, sebelum Pendekar Slebor dirangsek begitu
rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu.
Kebetulan dia tidak menjadi incaran para prajurit,
sehingga tidak mendapat rintangan apa-apa.
Sebenarnya, Andika dongkol melihat bocah itu
yang hanya menonton dirinya. Padahal Andika sendiri
sedang sungsang sumbel menghindari keroyokan.
"Lawan saja, Kang! Salah sendiri, kenapa hanya
bertahan!" sahut Walet begitu Andika menjejak tanah,
lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak
bocah itu seperti tukang sabung ayam yang sedang
memberi semangat pada jagonya.
"Tai kucing!" maki Andika sengit. "Aku tak mau
mereka celaka, karena diperalat Adipati Tunggul
Manik!"
"Lumpuhkan saja kalau begitu! Totok saja mereka.
Tok, tok, tok, bereskan?!"
"Dengkulmu beres! Jumlah mereka terlalu banyak
untuk ditotok satu persatu! Apa matamu buta?!"
"Kalau begitu, gimana ya?" tanya Walet santai
seraya menaikkan kedua bola matanya.
"Jangan banyak tanya! Kau bisa bantu apa tidak,
Bocah Sialan?!"
"Tentu saja. Kenapa tidak?" sahut Walet, tetap
acuh.
"Ayo lakukan! Kenapa masih tunggu-tunggu lagi!"
bentak Andika, buru-buru manakala melihat seluruh
prajurit kini malah turut menyerbunya.
Walet hanya menggeleng-gelengkan kepala santai.
"Kenapa Kakang tidak bilang dari tadi. Salah
sendiri...."
"Cepaaat!" sergah Andika mangkel tak ketolongan.
Walet nyengir sebentar, kemudian mulai bersila
seraya memejamkan mata.
Seketika daya pengaruh batin bocah kecil itu pun
memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang
kian membesar. Kekuatan tak terlihat itu lalu mulai
merasuk dalam benak setiap prajurit. Dan tiba-tiba
saja, para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar
menyeramkan menghadang di depan.
Tinggi makhluk itu hampir sama dengan pohon
kelapa. Badannya ditumbuhi lumut berwarna hijau
tua berlendir. Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra
dengan taring sebesar mata tombak di mulutnya yang
terbuka lebar. Sepasang matanya bersinar merah
tanpa bola mata, semerah liur yang memanjang di
rongga mulutnya.
Saat makhluk itu menyerang bagai salakan seribu
guntur, puluhan prajurit di depannya tersurut mundur
dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak ber-
kedip pada makhluk yang diciptakan oleh kekuatan
batin Walet.
Berbarengan satu erangan kembali, tangan
makhluk itu bergerak menyapu.
"Aaarrrgggkhhh!"
Wessshhh!
"Wuaaa!"
Tujuh prajurit langsung terlempar ke udara laksana
kulit padi terhempas angin. Prajurit yang lain tentu
saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur
hidup, tak pernah mereka menyaksikan makhluk yang
demikian mengerikan. Tanpa banyak kata, puluhan
orang itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi
perkedel, ditumbuk tangan besar makhluk aneh ini.
Andika sendiri pun sempat terkesima melihat
kawan kecilnya mampu memunculkan makhluk dari
dasar bumi seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat
memuji kehebatan Walet. Tak percuma si wanita
cantik aneh itu menjuluki Walet 'kendi berisi telaga'.
"Bagus, Walet! Usahakan agar mereka tak celaka.
Cukup membuat mereka 'buang hajat' di celana saja!
He he he...," seloroh Andika, puas melihat hasil kerja
sahabatnya.
Usai terkekeh, pendekar muda ini menggenjot
tubuhnya menuju bangunan kadipatenan.
Dilain sisi, Senapati Wisesa dan Tumenggung
Adiguna masih berusaha mengadakan perlawanan
pada makhluk ciptaan Walet. Keduanya segera
mengeluarkan keris pusaka masing-masing. Dengan
senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa
kenal takut.
Selaku orang kepercayaan adipati, mereka
memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Ini bisa
terlihat dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk
jejadian ciptaan Walet itu mencoba menyampok,
dengan gesit keduanya melenting tinggi ke perut
buncit makhluk besar itu. Lalu, disusul sabetan keris
pusaka di tangan masing-masing.
"Khiah!"
Sret!
Kulit perut makhluk itu memang terkena sabetan
mereka. Tapi, sama sekali tidak mengakibatkan luka
sedikit pun. Senjata mereka seperti menebas
gumpalan asap tebal saja. Kenyataan itu benar-benar
mengejutkan Senapati dan Tumenggung Adiguna.
Padahal, keduanya belum lagi bisa mengerti, kenapa
makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja.
Selama hidup, Senapati Wisesa maupun
Tumenggung Adiguna memang belum pernah
memperdalam ilmu batin tingkat tinggi. Mereka hanya
terbatas mempelajari ilmu olah kanuragan yang
terpusat pada pengolahan kekuatan luar. Itu
sebabnya, mereka menjadi terheran-heran dengan
kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini.
Sementara itu, Andika telah jauh memasuki
bangunan kekadipatenan. Pemuda itu tiba di ruang
tengah besar, berlangit-langit tinggi. Di sana
ditemukannya Adipati Tunggul Manik yang sudah
berdiri menantang dengan sorot mata tajam. Kedua
tangannya memegang sesuatu di depan dada. Dari
bentuknya yang bulat telur sebesar kepalan tangan
dan berwarna biru laut, dapat diduga kalau benda itu
adalah Mustika Putri Terkutuk.
"Sudah kuduga sejak kedatanganmu, Pendekar
Slebor! Kau memang akan menjadi penghalang
segala rencanaku," sambut Adipati Tunggul Manik
dingin.
"O, ya?" timpal Andika kalem. "Kalau begitu, aku
memang benar-benar manusia pembawa sial seperti
kata anak buahmu."
Adipati Tunggul Manik menggeram.
"Kau memang pembawa sial. Tapi, percayalah.
Sebentar lagi kesialan yang kau bawa akan pergi
bersama nyawamu ke dasar neraka!"
"Wow-wow-wow! Tunggu dulu. Bagaimana kalau
kesialan yang kubawa, justru memberimu ongkos ke
liang lahat. Mungkin cacing-cacing tanah sudah
begitu kangen padamu...," ledek Andika menimpali.
Adipati Tunggul Manik mengacungkan mustika di
tangannya.
"Dengan benda keramat di tanganku ini, kau
memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi
pemenang!"
"Ah! Jangan bicara soal menang atau kalah! Aku
tak suka pasang undian!" tukas Andika ngaco.
Merasa ucapannya tak ditanggapi sungguh-
sungguh, Adipati Tunggul Manik mengangkat pangkal
hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar.
"Kenapa meringis? Belum menunaikan kewajiban,
buang hajat sebelum bertarung? Hi hi hi...," ejek
Andika.
"Kau banyak mulut, Babi!" hardik Adipati Tunggul
Manik.
Seketika Adipati Tunggul Manik menyerbu Andika
dengan amarah membludak. Mustika di tangan
kanannya langsung dihantamkan ke kepala Pendekar
Slebor.
"Khiaaa!"
Wut!
Andika menghindari hantaman itu hanya dengan
menggeser tubuh satu langkah ke belakang.
Luputnya serangan pertama, disusul serangan kedua.
Tubuh Adipati Tunggul Manik cepat berputar dengan
kaki kiri terangkat, berusaha meremukkan kepala
Pendekar Slebor kembali.
Kali ini, Andika tak menghindar. Namun
dipapaknya tendangan berputar Adipati Tunggul
Manik dengan pergelangan tangannya. Sementara
tangan kirinya yang bebas, segera mengirim sodokan
ke selangkangan sebagai balasan.
Tentu saja Adipati Tunggul Manik tak mau barang
rahasianya pecah. Maka dengan sigap bagian ter-
penting dalam hidupnya itu dilindunginya dengan
kedua tangan. Seketika tangan mereka berbenturan
keras.
Baru saja terjadi benturan, Andika sudah menyusul
Adipati Tunggul Manik satu serangan lagi. Dengan
tubuh merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi
tumpuan tubuhnya. Serangan yang begitu cepat itu
membuat Adipati Tunggul Manik mati langkah. Dia
tidak bisa lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran
sapuan kaki Pendekar Slebor. Satu-satunya jalan
hanya membuang tubuh ke belakang.
"Hiaaah!"
Dengan menggenjot satu kakinya, Adipati Tunggul
Manik melenting ke udara dan berputaran ke
belakang. Lalu kakinya mendarat, dan berdiri empat
tombak dengan kuda-kuda mantap kembali.
Pendekar Slebor tak sudi membiarkan adipati itu
bernapas lega. Baru saja tubuhnya sampai di atas
tanah, Andika sudah melabraknya dengan satu
terkaman menggila. Dari gerakannya terlihat kalau
Andika tengah mengeluarkan jurus sakti ciptaannya,
'Memapak Petir Membabi Buta'.
Adipati Tunggul Manik benar-benar terperangah,
menyaksikan jurusnya yang aneh. Bagaimana Adipati
Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan
yang diperlihatkan lawannya lebih mirip terjangan
orang sinting yang kalap?
Belum sempat wajah keterkejutan adipati itu
hilang, tangan kanan Pendekar Slebor sudah tiba di
dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul
Manik serba salah. Maka diusahakannya untuk
menyelamatkan wajah dari sampokan tangan
Pendekar Slebor. Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba
saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah tangan itu
bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak
menentu.
"Gila! Jurus sial macam apa itu?!" maki Adipati
Tunggul Manik dongkol.
"Pengumuman...! Pengumuman. Ini jurus
'Memapak Petir Membabi Buta'! Hea ha ha ha...!"
teriak Andika seraya menyambung terjangan
ngawurnya.
Tubuh Pendekar Slebor mendadak terhuyung
deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya
siap dibenturkan ke dada.
Berbareng pelototan matanya karena terkesiap,
Adipati Tunggul Manik merunduk sedalam-dalamnya.
Hanya itu yang bisa dilakukan, karena dia sudah
berada di sudut ruangan. Saat itu, sifat berandalan
Andika sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul
kembali. Dia ingin sedikit mempermainkan orang
terhormat bermuka dua itu.
Maka sebelum Adipati Tunggul Manik mengubah
keadaan tubuhnya yang membungkuk, Andika
mengangkat kaki kanan ke atas kepala, lalu menjejak
keras-keras di atasnya. Mau tak mau Adipati Tunggul
Manik makin merundukkan badan. Sampai akhirnya,
dia merangkak serabutan layaknya babi tolol.
"Huh! Hus!" ledek Pendekar Slebor sambil ber-
tepuk-tepuk tangan.
Namun kesempatan luang itu digunakan Adipati
Tunggul Manik untuk berguling menjauhi lawan. Dan,
mulutnya pun langsung memaki panjang pendek,
karena merasa telah dipermainkan.
"Bangsat-bangsat-bangsat!" maki adipati itu saat
bergulingan.
"Biar-biar-biar-biaaarrr!" balas Andika tak kalah
gencar.
Setelah itu, Andika tertawa terbahak-bahak keras.
Puas rasanya mempermainkan seorang penguasa
pengkhianat yang menganggap orang-orang kecil
hanya anjing yang bisa diperalat.
Adipati Tunggul Manik kini bangkit dengan wajah
terbakar. Sepasang matanya berkobar-kobar merah,
di puncak kemurkaan.
"Kau harus membayar perlakuan ini dengan
nyawa, Keparat!" ancam lelaki setengah baya itu
bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di
dada.
"Ng.... Ngomong-ngomong, dari mana kau
dapatkan benda itu?" tanya Pendekar Slebor berlagak
pilon.
Padahal, Andika tahu kalau adipati itu sudah siap
memanfaatkan kekuatan gaib benda keramat yang
dipegangnya.
"Pasti kau telah merebutnya dari tangan pemimpin
Perguruan Ular Iblis. Iya, kan? Lalu, dia kau bunuh
secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak
pernah sadar kalau mereka telah kecolongan. Dan
kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka.
Setelah itu, kau bisa leluasa mengadu domba
perguruan itu dengan perguruan lain...," kata Andika,
berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik.
"Diaaam!" bentak Adipati Tunggul Manik meng-
gelegar.
"Wah-waaah! Sebagai seorang penguasa, kau
ternyata memiliki otak encer. Sayang sekali,
keenceran otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan
diri sendiri...."
"Diaaam! Aku memang ingin berkuasa penuh di
daerah ini. Aku ingin seluruh cita-citaku tercapai. Aku
ingin mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya,
agar dapat membuat sorgaku sendiri. Tapi itu tak
akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-perguruan
itu masih tetap berdiri. Mereka pasti akan menentang
tindak-tandukku. Maka, mereka harus dimusnahkan!"
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
"Ck, ck, ck.... Tak kusangka kalau kau hanya
seekor babi rakus!"
Adipati Tunggul Manik kian kalap. Rahangnya
mengejang, memperlihatkan gerakan otot kegeraman
di sisi wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar
hebat. Selama ini, tak ada seorang pun yang berani
menghinanya seperti itu.
"Bersiaplah untuk mampus, Pemuda Busuk!"
dengus Adipati Tunggul Manik mengakhiri ucapan.
Setelah itu dia memejamkan mata seraya
mengangkat Mustika Putri Terkutuk ke depan
wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-gerak merapal-
kan mantera.
Pendekar Slebor memperhatikan perbuatan lawan-
nya dengan kewaspadaan penuh. Hari ini, bisa
disaksikannya bagaimana benda keramat itu mampu
melakukan serangan biadab. Mungkin Andika harus
menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu
menyusup ratusan batang jarum ke dalam perutnya,
seperti dialami rakyat dan orang-orang perguruan
tempo hari.
Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas, manakala
selarik sinar berwarna merah bara terlontar dari
Mustika Putri Terkutuk. Sesaat benda itu berputar
mengelilingi tubuh Adipati Tunggul Manik, seakan
menunggu aba-aba darinya. Lalu....
Nging...!
Terdengar denging halus saat cahaya merah itu
meluruk menuju Pendekar Slebor. Meski belum
pernah menghadapi serangan seganjil itu, namun
Pendekar Slebor tak mau ayal-ayalan. Segera seluruh
daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap
mata saja tubuhnya telah diselimuti lapisan kekuatan
yang tak terlihat. Memang, benteng tembusan
pandang itu sanggup menahan satu terjangan petir
sekalipun.
Tapi, Andika rupanya salah perhitungan. Sewaktu
menjalani penyempurnaan kedigdayaan di Lembah
Kutukan, petir memang tak sanggup menembus
benteng pertahanan puncaknya. Namun bagi
kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini
melesat cepat ke arahnya, benteng itu ternyata tidak
berguna sama sekali!
Seperti menembus lapisan asap, cahaya merah
milik Adipati Tunggul Manik menelusup begitu saja
dalam lapisan benteng pertahanan Andika. Akibatnya,
cahaya itu langsung menerjang dada bidang
Pendekar Slebor.
Tanpa menimbulkan suara, cahaya merah tersebut
telah menghilang di dalam dada Andika. Seketika
saat itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu
halus di tubuhnya meremang hebat. Saat berikutnya,
dadanya mulai terasa sesak. Napasnya menjadi
tersengal-sengal tak menentu. Dadanya kini terasa
direncah-rencah dari dalam. Rupanya, ratusan batang
jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari
dalam!
"Aaa!"
Terdengar satu lengkmgan menyayat yang
terlempar dari kerongkongan Andika. Rasa sakit luar
biasa yang kini diderita memaksanya berteriak kuat-
kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa
sadar ikut terbawa dalam teriakannya. Sehingga,
membuat lapisan luar dinding beton kadipatenan
menjadi retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung
besar di tengah ruangan yang terbuat dari pualam
gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, lampu
hias itu runtuh, menimbulkan suara keras berderak
ke seluruh ruangan.
Sementara itu, tubuh Pendekar Slebor berguling-
gulingan di lantai ruangan. Kedua tangannya
mencengkeram dadanya sendiri dan perutnya. Otot di
lehernya tampak membesar, karena erangan ter-
tahan.
Pada puncak penderitaan itu, Andika masih
sempat menyadari kebenaran 'petunjuk' yang di-
terima Ki Kusuma dari wanita cantik aneh itu. Hanya
seseorang yang bisa menolongnya. Seorang ber-
kepribadian 'kendi berisi telaga'.
"Walet! Ke mana kau?" desis Andika seiring
lelehan darah kental dari bibirnya.
Seingatnya, bocah kecil itu sedang berusaha
menghalau Senapati Wisesa dan Tumenggung
Adiguna. Kalau anak itu mendapat kesulitan, apakah
nyawanya akan berakhir di sini?
Kala kesadarannya nyaris terhempas akibat
deraan sakit yang begitu hebat, tiba-tiba selarik sinar
hijau menyala membersit dari langit-langit ruangan.
Sinar itu cepat menerabas masuk ke tubuh Pendekar
Slebor.
Seketika terdengar pekikan panjang kembali.
Tubuh Pendekar Slebor mengejang dengan kepala
mendongak. Satu pertempuran gaib memang sedang
terjadi dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan
siksaan yang lebih menggila dari sebelumnya.
Pendekar Slebor tak mampu lagi merasakan
siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu terkulai. Belum
lama Andika terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar
merah dan hijau keluar dalam keadaan menyatu.
Di udara, sinar itu saling menghimpit, hingga
menimbulkan sayatan-sayatan cahaya beraneka
warna. Lama kejadian itu berlangsung sampai
akhirnya cahaya hijau menelan habis cahaya merah
membara.
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah,
Mustika Putri Terkutuk sirna di tangan Adipati Tunggul
Manik. Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang,
langsung menghantam tembok beton setebal tiga
jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang
besar menganga, bersama hancurnya seluruh tulang
punggung Adipati Tunggul Manik. Penguasa lalim itu
tewas dengan mata terbeliak dan darah merah
membasahi mulutnya.
***
Ada terpaan hangat pada wajah Andika. Ada
lantunan seruling mendayu mengusik telinganya.
Pendekar Slebor membuka mata perlahan. Dia tidak
berharap kalau dirinya telah tiba di sorga, setelah
ingat kejadian terakhir yang dialaminya. Harapannya
terkabul. Di sisinya, Walet tampak asyik meniup
seruling bambu.
"Syukurlah kau sudah siuman, Kang. Bagaimana
dadamu? Apa masih terasa sakit. Kalau masih,
tahanlah sedikit. Jamak bagi pendekar kesohor
seperti Kakang Andika," kata Walet seraya melepas
ujung suling dari bibirnya.
"Walet..., apa yang terjadi?" tanya Andika
tersendat.
"Ng.... Kemarin kita berhasil menumpas manusia
busuk yang bernama Adipati Tunggul Manik. Sayang
Kang Andika tidak sampai selesai menikmati pesta
itu."
Andika mendelik berang.
"Jangan gila kau! Aku sudah hampir mati dibilang
pesta!"
"Seperti kukatakan tadi, jamak bagi pendekar
kesohor seperti Kakang," sahut Walet santai.
Bocah itu lantas berdiri seraya menepuk-nepuk
pantat. Kakinya melangkah perlahan. Dan dari bibir
mungilnya terdengar siulan riang.
"Mau ke mana kau?" tanya Andika seraya bangkit
terseok. Disusulnya Walet.
"Cuci mata ke Desa Dukuh. Aku sudah lama tidak
melihat janda penjual batik di pasar itu," kata bocah
itu seenaknya.
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
"Hey! Kau tahu tentang Mustika Putri Terkutuk?
Apa ada riwayatnya?" tanya Andika.
"Dulu ada seorang putri dan pangeran yang jatuh
cinta. Mereka ingin menikah, tapi tak diizinkan orang-
tua masing-masing. Karena kerajaan keduanya
sedang bermusuhan satu sama lain. Namun mereka
nekat dengan kawin lari. Mengetahui hal itu, ayah
sang Pangeran yang sakti mengutuk keduanya. Putri
itu menjadi mustika keramat, dan sang Pangeran
mati tertelan bumi," tutur Walet santai.
"Dari mana kau tahu?"
"Jangan usil, Kang! Kalau aku tahu, ya tahu,"
sergah Walet acuh.
"Ah, sayang. Aku kira wanita cantik itu penjelmaan
Nyi Roro Kidul. Padahal, aku ingin sekali bertemu
dengannya...," bisik Andika amat perlahan.
Keduanya terus menelusuri jalan berumput hijau
menuju barat, tempat matahari terpuruk lelah dalam
selimut lembayung. Dan sampai saat itu, Andika tidak
pernah mengetahui kalau Walet adalah titisan sang
Pangeran yang kini berada di sampingnya!
SELESAI