PEWARIS DENDAM SESAT
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tufi S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Seriai Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Pewaris Dendam Sesat
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Suara roda pedati berderak ribut ketika melintasi jalan berbatu. Sesekali terdengar
suara ringkikan kuda, ditingkahi ledakan cambuk yang melecut punggung binatang itu.
"Hahhh...!"
Ctarrr!
Dengan susah-payah kuda jantan berbulu hitam itu bergerak maju. Sengatan
ujung cambuk di punggungnya semakin kerap terdengar, membuat binatang itu
menyentek-nyentak.
Enam orang berpakaian serba hitam termasuk kusir pedati, nampaknya menyadari
medan berat yang harus dilewati. Terbukti, empat orang dari mereka berlompatan turun
untuk mengurangi beban yang harus ditarik kuda pedati.
Perjalanan baru terasa agak lancar setelah keempat lelaki itu mendorong pedati
dari belakang. Sehingga beberapa saat kemudian, mereka sudah keluar dari jalan berbatu,
dan kini menyusuri jalan tanah merah yang rata.
"Cepat kalian naik! Kita harus segera tiba di Desa Babakan...!" teriak kusir pedati
ketika mereka sudah melewati jalan berbatu yang sulit dilalui itu.
"Tidak usah, Kakang Punjalu! Biar kami jalan kaki saja...," sahut seorang di antara
mereka. Dia bertubuh tegap dengan kulit wajah kemerahan, pertanda kesehatannya sangat
diperhatikan.
"Terserah kalianlah...," sahut kusir pedati berusia kira-kira empat puluh lima
tahun, yang dipanggil Punjalu.
Wajah laki-laki itu ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar dagu dan kedua sisi
wajah, membuatnya terlihat cukup berwibawa. Ditambah lagi dengan sorot matanya yang
tajam dengan alis mata tebal berbentuk golok. Sehingga, penampilannya membuat orang
menaruh hormat.
Pedati pun bergerak cepat melintasi jalanan tanah merah, hingga tak berapa lama
kemudian, mereka memasuki mulut Desa Babakan. Setelah menitipkan pedati di sebuah
muka kedai, keenam lelaki itu pun membaur dengan orang-orang desa yang tampak ramai
hilir-mudik. Rupanya di Desa Babakan saat itu tengah diadakan pasar, yang hanya sekali
dalam satu pekan.
Usai membeli segala keperluan, Ki Punjalu mengajak kawan-kawannya singgah di
kedai tempat mereka menitipkan pedati.
"Semua keperluan sudah kita dapatkan. Sekarang lebih baik kita beristirahat untuk
melepas lelah. Menjelang siang nanti, baru kita kembali," ujar Ki Punjalu saat
mengumpulkan kawan-kawannya. Kemudian, baru mereka masuk ke dalam kedai.
Belasan pasang mata menoleh saat Ki Punjalu dan kawan-kawannya memasuki
kedai. Beberapa di antaranya tampak memancarkan sinar mata mengejek. Tapi, semua itu
tidak dipedulikan. Ki Punjalu terus saja melangkah menuju dua buah meja kosong, lalu
memesan makanan dan minuman.
Tidak berapa lama kemudian, makanan yang mereka pesan pun tiba. Tapi, Ki
Punjalu mengerutkan kening saat melihat makanan yang mulai diatur pelayan di atas
meja.
"Paman, bukankah kami tidak memesan ayam panggang?" tegur Ki Punjalu
menyembunyikan keheranan. "Mungkin Paman salah melihat orang."
"Lelaki di sebelah sana itu yang memesankannya untuk Tuan-tuan sekalian.
Katanya, sebagai tanda persahabatan...," sahut pelayan kedai seraya menoleh ke bagian
sudut kanan ruangan itu, di sana terlihat empat orang pengunjung yang menoleh dan
mengangguk ke arah Ki Punjalu dan kawan-kawannya.
"Hm... Katakan padanya, kami menerima uluran persahabatannya dengan tangan
terbuka. Tapi, katakan juga bahwa kami tidak bisa menerima pemberiannya," ujar Ki
Punjalu yang membalas anggukan persahabatan orang itu.
"Baik, akan kusampaikan padanya...," sahut pelayan kedai dan segera membawa
dua ekor ayam panggang itu meninggalkan meja Ki Punjalu.
"Hmh...."
Lelaki berkumis lebat yang memesankan ayam panggang sebagai tanda
persahabatan untuk Ki Punjalu tampak menggeram gusar. Kelihatan sekali dia merasa
tersinggung atas penolakan itu.
"Sombong sekali mereka tidak mau menerima pemberian kita! Jelas ini merupakan
suatu penghinaan...!" geram yang lainnya sambil mengepalkan tinju kuat-kuat. Rupanya
penolakan Ki Punjalu membuat mereka tak senang.
Setelah saling bertukar pandang sejenak, lelaki berkumis lebat itu melambaikan
tangannya memanggil pelayan yang sudah kembali ke tempatnya. Bergegas pelayan itu
datang menghampiri.
"Tolong sediakan sayur-mayur mentah untuk keledai kami...," pinta lelaki berkumis
lebat itu dengan suara lantang hingga terdengar oleh semua pengunjung kedai.
Pelayan kedai itu tertegun sejenak. Sepertinya dia merasa heran mendengar
pesanan yang aneh itu.
"Tapi...."
"Cepat sediakan! Keledai-keledai kami belum makan sejak kemarin malam!" sergah
lelaki berkumis lebat itu ketika melihat keraguan di wajah pelayan kedai.
"Baik..., Tuan...," sahut pelayan kedai itu takut jika lelaki berkumis lebat itu
menjadi marah. Cepat dia berlalu untuk menyiapkan pesanan itu.
"Kurang ajar! Mereka jelas telah menghina kita, Kakang! Agaknya orang-orang itu
tahu pasti tentang peraturan yang berlaku di perguruan kita. Kalau tidak, mana mungkin
mereka mengirimkan ayam panggang! Kemudian berteriak-teriak memesan sayur-mayur
mentah! Kurasa kitalah yang dimaksudkannya sebagai keledai-keledai itu...!" geram rekan
Ki Punjalu, merasa tersinggung dengan tingkah dan ucapan lelaki berkumis lebat itu.
'Tidak perlu diladeni, Bolang. Sebaiknya, cepat selesaikan makanmu. Setelah itu
kita tinggalkan tempat ini...," ujar Ki Punjalu pada lelaki bernama Bolang.
Semula Bolang hendak membantah. Tapi ketika melihat sinar mata Ki Punjalu,
lelaki tegap berusa sekitar tiga puluh tujuh tahun itu merunduk, dan bergegas
menyelesaikan makannya.
Ki Punjalu melambaikan tangan memanggil pelayan kedai untuk menghitung harga
pesananannya. Setelah itu dia bergegas mengajak kawan-kawannya meninggalkan kedai.
"Kakang, apakah kau sudah mengikat keledai kita kuat-kuat? Sepertinya aku
mendengar suara langkah mereka yang hendak melarikan diri. Hhh… keledai-keledai
pengecut! Jelas binatang-binatang itu takut mendengar auman harimau...," ucapan lelaki
gemuk itu terdengar lantang. Kemudian dilanjutkan dengan suara tawa berderai. Agaknya,
keempat orang itu memang sengaja hendak mencari keributan dengan kelompok Ki
Punjalu.
"Bedebah! Aku tidak suka dihina sebagai keledai-ketedai pengecut!"
Bolang yang sejak tadi berusaha keras menahan amarahnya, menggeram murka.
Tanpa menoleh ke arah Ki Punjalu, lelaki tegap itu langsung bergerak menghampiri meja
lelaki berkumis lebat yang saat itu tengah tergelak bersama kawan-kawannya.
Ki Punjalu menghela napas panjang. Dia tidak dapat lagi mencegah tindakan
Bolang. Apalagi keempat kawannya yang lain kelihatan mendukung tindakan lelaki tegap
itu.
Brakkk!
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Bolang menggebrak meja tempat keempat
orang itu berada. Tentu saja kejadian itu membuat seisi kedai kaget. Terutama keempat
lelaki yang tadi tertawa tergelak-gelak itu.
"Aku paling pantang dihina sebagai pengecut! Kalian rupanya sengaja hendak
mencari keributan dengan kami, bukan? Nah. Kalau begitu, hadapi aku dengan sikap
jantan! Jangan seperti perempuan nyinyir yang hanya bisa mengomel di balik dinding!"
bentak Bolang setelah menghancurkan meja dengan hantaman telapak tangannya.
"Kisanak! Apa yang membuatmu datang tanpa kami undang dan marah-marah
tanpa sebab? Kalau memang hendak menantang berkelahi, mengapa harus mencari alasan
segala? Kami tentu akan menerima baik tantanganmu...," ujar lelaki berkumis lebat yang
bertubuh tegap. Sepasang matanya mencorong tajam meneliti wajah Bolang yang merah.
"Tim.... Sudah jelas kau yang sengaja mencari perkara. Mengapa sekarang hendak
memutarbalikkan kenyataan? Apa kau takut merasakan pukulanku...?" sahut Bolang
semakin jengkel melihat lelaki berkumis lebat itu menyalahkannya.
"Heh?! Dari mana kau menduga kami hendak mencari perkara dengan badut
sepertimu? Semua pengunjung kedai melihat dengan mata kepala sendiri, kau datang dan
langsung marah-marah serta menghancurkan meja kami. Apakah tidak boleh kami
berbicara di antara kawan sendiri?" kilah lelaki berkumis lebat itu.
Ucapan itu tentu saja membuat Bolang kaget. Apalagi ketika pandangannya
diedarkan ke sekeliling. Tampak semua pengujung terlihat mengangguk-angguk
membenarkan ucapan lelaki berkumis lebat itu. Karena mereka memang tidak tahu
mengapa Bolang begitu datang langsung marah-marah. Sehingga, mereka ikut mendukung
ucapan lelaki berkumis lebat itu. Akibatnya, Bolang menjadi tersudut.
"Bangsat licik! Kau memang pantas diberi pelajaran..!" bentak Bolang yang merasa
kalah dalam berdebat. Maka, dia langsung menerjang maju dengan tamparan bertubi-tubi.
"Hmh...!"
Lelaki berkumis lebat itu menarik mundur kursinya ketika melihat serangan
Bolang. Dan terus melompat menjauhi lawan.
"Kisanak! Orang-orang di dalam kedai ini menjadi saksi kalau kau yang memulai
perkelahian! Jadi, jangan salahkan aku kalau akan membalas bila kau tak mau pergi...!"
ujar lelaki berkumis lebat itu mengancam. Seolah memang dirinyalah yang benar dalam
persoalan itu. Dan, para pengunjung kedai pun seperti berpihak kepadanya.
"Adi Bolang, tahan...!"
Ki Punjalu yang melihat sikap para pengujung kedai memihak lelaki berkumis lebat
itu, segera melayang ke arah kawannya. Maksudnya hendak membawa Bolang pergi dari
tempat itu.
"Hei, rupanya kalian hendak mengeroyokku!" teriak lelaki berkumis tebat, seolah
ingin memperlihatkan pada para pengunjung kedai bahwa tindakan Ki Punjalu bukan
untuk memisahkan perkelahian. Sebaliknya malah hendak membantu kawannya. Tentu
saja para pengunjung semakin memihak lelaki berkumis lebat itu, ketika melihat seorang
lelaki gagah melayang maju ke arah-perkelahian.
"Hajar saja mereka, Kakang Bardewa...!" seru salah seorang kawan lelaki berkumis
lebat, membuat para pengunjung kedai meneriakkan kata yang sama.
"Haaat..!"
Lelaki berkumis lebat bernama Bardewa yang sadar mendapat banyak dukungan
bahwa dirinya berada di pihak yang benar, langsung bergerak maju menerjang Ki Punjalu
yang saat itu masih melayang di udara.
"Licik...!" geram Ki Punjalu melihat Bardewa sudah melancarkan serangan yang
berbahaya. Kenyataan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Haaat..!"
Ki Punjalu segera mengangkat kedua tangannya memapaki serangan Bardewa.
Dan....
Plak! Plak!
"Aihhh...!"
Terkejut bukan main hati Ki Punjalu. Sebab, tenaga lawan ternyata sangat kuat.
Sehingga tubuhnya terdorong balik dan terhuyung beberapa langkah, membuat dua meja
terlanggar jatuh.
Menyaksikan hal itu, kawan-kawan KI Punjalu pun kaget! Serentak mereka maju
untuk menolong lelaki gagah itu bangkit.
Lagi-lagi Bardewa melontarkan kata-kata liciknya. Kemudian mengajak kawan-
kawannya untuk menyambut kedatangan kawan-kawan Ki Punjalu yang sesungguhnya
tidak bermaksud ingin berkelahi.
"Celaka! Mereka hendak mengeroyok! Ayo, Kawan-kawan! Kita sambut mereka...!"
teriak Bardewa seraya memasang wajah kaget. Sedang dia sendiri sudah bergerak maju
dengan serangan yang lebih hebat dari semula.
Ki Punjalu dan kawan-kawannya semakin kaget. Sadar kalau perkelahian sudah
tidak mungkin bisa dihindari lagi, mereka pun bergegas menyambut serangan lawan-
lawannya. Sehingga sebentar saja pecahlah perkelahian itu.
Bolang yang kemarahannya sudah mencapai puncak, langsung menghunus
senjata. Kemudian merangsek maju dengan kelebatan pedang yang menimbulkan suara
berdesingan.
Brakkk! Brakkk!
Beberapa buah meja dan kursi yang berada di dekat Bardewa, langsung
beterbangan patah terkena sabetan pedang Bolang.
Bardewa kelihatan sangat kaget dengan kejadian itu. Cepat kawan-kawannya
diperintahkan mundur, kemudian meneriakkan kata-kata liciknya.
"Celaka! Mereka mau membunuh kita...?!" serunya dan memerintahkan kawan-
kawannya untuk mencabut senjata.
Ki Punjalu pun kaget melihat tindakan Bolang. Namun dia tidak bisa berbuat apa-
apa. Karena saat itu Bardewa dan kawan-kawannya sudah menghunus senjata. Demikian
pula dengan keempat orang kawan Ki Punjalu. Mereka sudah menggenggam senjata
telanjang.
"Kalian orang-orang Perguruan Pedang Baja benar-benar tidak tahu diri dan sangat
kejam! Hanya karena persoalan sepele saja, kalian hendak mencabut nyawa kami! Tapi,
jangan harap kami akan mundur...!" seru Bardewa, kembali melontarkan kesalahan pada
Ki Punjalu dan kawan-kawannya yang ternyata murid-murid Perguruan Pedang Baja.
Dan sebelum Ki Punjalu menjawab ucapan itu. Bardewa sudah memerintahkan
kawan-kawannya untuk menyerbu. Tidak ada jalan lain bagi lelaki itu untuk menghindari
pertempuran. Satu-satunya jalan adalah menghadapi serangan lawan, kalau tidak mau
mati konyol!
"Haaat..!"
Bardewa menerjang maju mendahului kawan-kawannya. Pedang di tangannya
berkelebatan cepat membawa desingan angin tajam. Sebentar kemudian, pertempuran pun
sudah berlangsung sengit. Kedua belah pihak saling terjang dengan hebatnya. Bahkan kali
ini dengan senjata di tangan yang siap merenggut korban.
***
"Yeaaat...!"
"Haiitt..!"
Ki Punjalu yang berhadapan dengan Bardewa semakin kaget ketika merasakan
kehebatan lelaki berkumis lebat itu. Dalam jurus-jurus awal Ki Punjalu kelihatan masih
bisa mengimbangi permainan lawan. Tapi, setelah lewat tiga puluh jurus, barulah Ki
Punjalu sadar Bardewa bukan tandingannya. Dia pun mulai terdesak hebat.
Apa yang dirasakan Ki Punjalu juga dirasakan oleh murid-murid Perguruan Pedang
Baja lainnya. Meskipun lawan mereka hanya berjumlah tiga orang, tapi mereka memiliki
kemampuan tinggi. Sehingga, Bolang dan kawan-kawannya terpaksa harus memperkuat
benteng pertahanan. Meskipun begitu, mereka masih juga dapat didesak mundur.
Sehingga, pertempuran semakin bergeser ke luar ruangan kedai.
"Haaat..!"
"Ahhh...?!"
Salah seorang murid Perguruan Pedang Baja yang terakhir keluar dari ruangan
kedai, terkejut bukan main, melihat seorang lawannya datang dengan tusukan pedang
yang sulit dihindari. Sehingga....
Crab!
"Aaa...!"
Darah segar menyembur keluar ketika ujung pedang yang runcing itu amblas
hampir separuhnya. Belum lagi murid Perguruan Pedang Baja itu menyadari apa yang
terjadi, lawan telah menarik keluar senjatanya. Sehingga, tubuh orang itu langsung
melorot jatuh dan tewas seketika.
Melihat kenyataan itu, Ki Punjalu menjadi kaget. Hatinya benar-benar sedih sekali.
Bagaimana dia harus melaporkan kejadian itu kepada gurunya bila kembali ke perguruan
nanti? Apalagi perkelahian itu mempunyai banyak saksi yang terdiri dari penduduk Desa
Babakan. Dan, penduduk desa itu tahu bahwa merekalah yang memulai perkelahian lebih
dulu. Dengan demikian, mereka berada di pihak yang salah.
Kelengahan karena memikirkan pertanggungjawaban di hadapan gurunya,
membuat Ki Punjalu harus menerima akibatnya. Sebuah tendangan lawan pada tubuhnya,
membuat lelaki itu terjungkal melanggar dinding ruangan kedai.
Brakkk!
Dinding kedai yang terbuat dari kayu langsung jebol terlanggar tubuh Ki Punjalu
yang terlempar ke luar. Sedangkan Bardewa tampaknya tidak ingin membiarkan lawannya
lolos. Lelaki berkumis lebat itu sudah mengejar dengan putaran pedangnya, yang membuat
Ki Punjalu berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari incaran senjata lawan.
Desss...!
Lagi-lagi lelaki itu tidak dapat menghindarkan sebuah tendangan keras saat
tubuhnya melenting bangkit. Akibatnya, tubuh Ki Punjalu kembali terlempar dan jatuh
berguling-guling. Darah segar tampak meleleh keluar dari sela bibirnya.
"Aaa...!"
Kembali terdengar jerit kematian dari pertempuran lainnya. Ki Punjalu semakin
pucat ketika melihat Bolang tersungkur mandi darah. Sedangkan kawan-kawannya yang
lain sudah bergeletakan tewas! Jelas, Bolang merupakan orang terakhir yang dibantai
lawan-lawannya. Sehingga, hanya Ki Punjalu-lah yang masih selamat sampai detik itu,
kecuali hanya luka memar yang tidak begitu mengkhawatirkan.
Bardewa tidak melanjutkan serangannya. Lelaki berkumis lebat itu seperti hendak
memamerkan kalau dirinya orang gagah yang tidak ingin menyerang lawan yang tak
berdaya. Maka, dibiarkannya Ki Punjalu bangkit berdiri.
"Hm.... Kulihat kau lebih sabar dan bijaksana dari kawan-kawanmu yang lain.
Untuk itu aku memberi kelonggaran padamu. Biarlah kelima orang kawanmu saja yang
menebus kesalahan kalian. Kau sendiri akan kubebaskan...," ujar Bardewa.
Para penduduk yang berada di dalam kedai mengangguk-anggukkan kepala
mendengar ucapan itu. Mereka memuji kebesaran hati dan kegagahan Bardewa yang mau
mengampuni Ki Punjalu.
"Keparat! Mengapa kau tidak bunuh aku sekalian...!" geram Ki Punjalu marah
mendengar ucapan lawannya. Sayang, dia tidak bisa mengejar ketika Bardewa dan ketiga
kawannya bergerak meninggalkan tempat itu.
Ki Punjalu hanya bisa menggertakkan giginya kuat-kuat. Hatinya benar-benar
terpukul dengan kejadian itu, karena hanya dirinya yang selamat
Sudah pasti, dirinyalah yang harus mempertanggungjawabkan semua ini di
hadapan gurunya.
Ki Punjalu menghela napas panjang. Sekilas kepalanya menoleh ke arah
kerumunan penduduk dan pengunjung kedai yang menatapnya dengan wajah sinis. Ketika
melihat pelayan kedai ada di antara para penonton, bergegas dihamplrinya.
"Kau tahu dari mana asal mereka...?" tanya Ki Punjalu tanpa basa-basi. Karena
disadari kalau pelayan kedai itu juga menyalahkan dirinya atas kejadian itu.
"Orang-orang Perguruan Merak Emas adalah laki-laki gagah yang berbudi. Mereka
mengganti kerusakan yang diderita kedai ini. Seharusnya kau berterima kasih karena
tidak dibunuhnya, Orang Tua...," ujar pelayan kedai yang tidak lagi menyebut tuan pada Ki
Punjalu. Sikapnya pun terlihat meremehkan dan menyalahkan lelaki itu, membuat Ki
Punjalu menahan kejengkelan hatinya. Karena dia tentu akan semakin dipersalahkan bila
menghajar pelayan kedai itu.
Dengan diiringi pandang mata mencemooh dari penduduk Desa Babakan, Ki
Punjalu menghela kudanya meninggalkan desa itu. Kelima kawannya dimasukkan ke
dalam pedati. Tidak dipedulikannya lagi darah kawan-kawannya telah mengotori dan
merusak segala keperluan yang dibelinya dari pasar di desa itu.
DUA
Kedatangan Ki Punjalu dengan membawa luka-luka dan lima sosok mayat,
membuat murid-murid perguruan itu marah. Agaknya, mereka sudah dapat menduga
kalau Ki Punjalu dan kawan-kawannya telah bertarung dengan orang luar. Tak heran, jika
di antara murid-murid yang menyambut kedatangan lelaki itu, melontarkan pertanyaan
sebagai ungkapan rasa penasaran mereka.
"Apa yang terjadi, Kakang...?"
"Siapa yang melakukan perbuatan ini, Kakang...?"
Ki Punjalu tidak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang memberondong
dirinya. Dia hanya melemparkan pandang dengan wajah berduka tanpa menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu.
"Aku akan menghadap guru...," ujar Ki Punjalu setelah menghentikan pedati dan
melompat turun dari tempat duduknya. Setelah memerintahkan kawan-kawannya untuk
menurunkan mayat di dalam pedati, Ki Punjalu melangkah lunglai menuju bangunan
utama Perguruan Pedang Baja.
Meskipun hati mereka masih penasaran, murid-murid perguruan segera mematuhi
perintah Ki Punjalu. Mereka mengiringi langkah lelaki setengah baya itu sambil membawa
mayat-mayat kawan mereka.
Ki Genawang, Ketua Perguruan Pedang Baja yang mendengar ribut-ribut itu sudah
menanti di ruang pertemuan. Wajah lelaki tua bertubuh tinggi besar dengan kumis lebat
itu, tampak menggambarkan beribu pertanyaan ketika melihat Ki Punjalu datang
menghadap.
Di kiri dan kanan Ki Genawang berdiri dua orang lelaki gagah bermata tajam.
Wajah keduanya juga memancarkan rasa penasaran yang dalam. "Ceritakan apa yang
sudah terjadi, Punjalu...?" Begitu Ki Punjalu duduk bersimpuh di dekatnya, Ki Genawang
langsung melemparkan pertanyaan yang sejak tadi sudah berada di ujung lidahnya. Jelas,
lelaki tua itu sudah tidak sabar ingin segera mengetahui kejadian yang dialami Ki Punjalu
serta lima orang murid lainnya.
"Kami..., diserang oleh murid-murid Perguruan Merak Emas, Guru...," jawab Ki
Punjalu segera menceritakan kejadiannya. Sehingga, semua orang yang mendengarkannya
menggeram marah. Jelas sekali terlihat pancaran dendam dan penasaran di wajah mereka.
"Hm.... Tidak mungkin mereka berani melontarkan hinaan-hinaan itu tanpa
sesuatu sebab. Jawab sejujurnya, apakah kalian yang memulai keributan itu...?" tanya Ki
Genawang lagi, ingin mengetahui secara jelas sebab kejadian itu.
"Kami sungguh tidak menginginkan keributan itu, Guru. Bahkan kami berusaha
menghindarinya. Tapi, mereka malah mengejek kami sebagai keledai pengecut. Sehingga,
Adi Bolang tidak dapat menahan kemarahannya. Selanjutnya..., keributan tidak bisa
dihindarkan lagi...," sahut Ki Punjalu dengan suara perlahan namun terdengar jelas oleh
orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.
"Lalu..., kau biarkan kawan-kawanmu bertarung sedang kau hanya menyaksikan
dari jauh, begitu...?" ujar Ki Genawang membuat Ki Punjalu serta murid-murid lainnya
terkejut. Sebab, guru mereka ternyata malah menyalahkan Ki Punjalu. Tentu saja mereka
menjadi penasaran meskipun tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ampun, Guru...," salah seorang murid utama yang berdiri di sebelah kanan Ki
Genawang berkata perlahan sambil membungkukkan tubuhnya. "Tidak seharusnya Ki
Punjalu disalahkan dalam masalah ini. Rasanya pukulan batin yang dideritanya sudah
terlalu berat. Dan, bukan tidak mungkin murid-murid Perguruan Merak Emas memang
sengaja membebaskannya. Dengan demikian, Ki Punjalu akan dipersalahkan, karena
hanya dia sendiri yang selamat, sedang yang lainnya terbunuh. Untuk itu, kami memohon
kebijaksanaan Guru agar tidak menjatuhkan kesalahan pada Ki Punjalu."
Ucapan murid utama Perguruan Pedang Baja yang bernama Gumarta itu ternyata
mendapat dukungan murid-murid lainnya. Sehingga, Ki Genawang terdiam beberapa saat
lamanya. Seolah lelaki tua itu tengah memikirkan tindakan selanjutnya sehubungan
dengan kejadian itu.
"Baiklah. Aku tidak akan memberikan hukuman yang akan memberatkan Punjalu
dan membuat penasaran kalian semua," ujar Ki Genawang setelah menarik napas panjang
sejenak "Meskipun demikian, aku melarang Punjalu untuk meninggalkan perguruan
sampai ada keputusan berikutnya. Sedangkan mengenai perbuatan murid-murid
Perguruan Merak Emas aku akan meminta pertanggungjawaban ketuanya. Keputusan ini
sudah menjadi ketetapan mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi...."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Guru. Hukuman itu akan kuterima dengan hati
lapang...," ujar Ki Punjalu bersujud di hadapan gurunya.
"Bagus...," gumam Ki Genawang puas melihat sikap menerima Ki Punjalu.
Kemudian lelaki tua itu membubarkan pertemuan, dan memerintahkan untuk mengubur
kelima mayat itu.
"Apa yang akan kita lakukan atas tindakan murid-murid Perguruan Merak Emas
yang telah melampaui batas itu. Guru...?" tanya Gumarta setelah semua murid-murid
pergi, hingga hanya tinggal Ki Genawang serta dua orang murid utamanya termasuk
Gumarta.
"Hm.... Aku akan mendatangi Perguruan Merak Emas bersama kakak
seperguruanmu. Kau sendiri kuberi tugas untuk mengawasi perguruan selama aku pergi.
Apakah kau sanggup, Gumarta...?" ujar Ki Genawang seraya menatap Gumarta lekat-lekat.
"Sanggup, Guru. Mudah-mudahan persoalan ini dapat diselesaikan tanpa
pertumpahan darah...," sahut Gumarta tanpa keraguan sedikit pun. Meski tugas yang
diterimanya sangat berat.
"Bagus...," puji Ki Genawang tersenyum tipis.
Kemudian, lelaki tua itu memerintahkan Ki Randita untuk menyiapkan perbekalan
selama perjalanan menuju Perguruan Merak Emas. Karena perjalanan itu memakan waktu
dua hari untuk tiba di tempat tujuan mereka.
***
Matahari sudah tinggi saat dua orang lelaki gagah bergerak memasuki mulut Desa
Babakan. Dari langkah mereka yang ringan dan mantap, dapat ditebak kalau kedua orang
itu bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah Ki Genawang, Ketua Perguruan Pedang
Baja, dan Ki Randita murid utama dari lelaki gagah di sebelahnya. Rupanya, mereka baru
tiba di Desa Babakan setelah menempuh perjalanan selama setengah hari penuh tanpa
beristirahat.
"Menurut penuturan Ki Punjalu, di desa inilah mereka berselisih dengan murid-
murid Perguruan Merak Emas, Guru...," ujar Ki Randita yang berusia sekitar lima puluh
tahun. Ucapan itu dilontarkan saat mereka sudah memasuki mulut desa.
"Hm...."
Ki Genawang hanya bergumam sebagai jawaban atas ucapan muridnya. Sepasang
matanya yang tajam menusuk bergerak meneliti rumah-rumah penduduk yang terlihat
agak jarang. Sepertinya, Ki Genawang tengah mencari kedai tempat terjadinya peristiwa
yang membuat murid-muridnya menjadi korban.
"Ingat Randita. Kita tidak perlu bertanya mengenai kejadian itu. Karena menurut
dugaan Punjalu, orang-orang desa ini lebih berpihak pada murid-murid Perguruan Merak
Emas. Kalau sampai penduduk desa ini tahu kita orang-orang Perguruan Pedang Baja,
mungkin mereka akan bersikap memusuhi kira. Untuk itu, lebih baik kita mengambil
sikap diam dan mendengarkan bila ada pembicaraan yang menyinggung peristiwa itu," ujar
Ki Genawang sambil mengayunkan langkah menyusuri jalan utama Desa Babakan. Mereka
kemudian berbelok ke sebuah kedai makan yang juga menyediakan penginapan bagi
pendatang-pendatang yang kemalaman di jalan.
Dengan sikap tenang dan langkah dilambatkan, mereka memasuki kedai makan
itu. Kemudian memesan makanan, setelah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan
yang hanya terdapat enam orang pengunjung. Mengingat saat itu hari sudah menjelang
malam, kedua orang itu pun menduga mereka orang-orang asing di Desa Babakan seperti
halnya mereka berdua.
"Kisanak, apakah masih ada kamar kosong untuk kami berdua menginap...?" tanya
Ki Genawang ketika pelayan kedai datang dan mengatur hidangan di atas meja.
"Masih, Tuan. Tapi, hanya ada satu kamar. Maklumlah, penginapan ini memang
tidak menyediakan banyak kamar. Karena desa ini jarang didatangi orang-orang dari luar.
Kebetulan malam ini ada enam orang pedagang yang hendak bermalam. Jadi hanya tinggal
satu kamar saja yang masih kosong," sahut pelayan kedai itu menjelaskan.
"Hm.... Ada berapa tempat tidur dalam kamar itu...? ' tanya Ki Genawang lagi.
"Satu, Tuan. Tapi, kalau Tuan berdua tidak keberatan menginap dalam satu kamar,
kami akan menyediakan satu tempat tidur lagi," jawab pelayan kedai, membuat Ki
Genawang dan muridnya saling berpandangan sesaat.
"Baiklah. Tolong kau rapikan kamar itu untuk kami...," ujar Ki Genawang setelah
mendapat kata sepakat untuk bermalam dalam satu kamar dengan muridnya.
Setelah memberi hormat pelayan kedai itu pun bergerak meninggalkan meja Ki
Genawang untuk membereskan kamar yang akan digunakan kedua orang tamunya itu.
Beberapa saat sepeninggal pelayan kedai, tampak empat orang lelaki berpakaian
serba hitam melangkah masuk. Salah seorang yang berkumis lebat mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruangan, dan berhenti pada sosok Ki Genawang dan Ki
Randita. Tatapan sepasang mata lelaki berkumis lebat itu terhenti agak lama. Terlihat
keningnya berkerut ketika melihat hidangan di atas meja guru dan murid itu yang hanya
terdiri dari sayur-sayuran. Orang-orang Perguruan Pedang Baja memang pantang
memakan barang bernyawa.
"Hm...," lelaki berkumis lebat bergumam sambil menyunggingkan senyum
mengejek.
Ki Genawang dan muridnya yang kebetulan menoleh saat keempat orang itu
masuk, juga menatap dengan kening berkerut. Karena sosok lelaki berkumis lebat itu
sangat cocok dengan penjelasan Ki Panjalu, tentang ciri-ciri orang yang menyerang murid-
muridnya. Tapi Ki Genawang segera memalingkan wajahnya. Dan kembali menikmati
hidangan tanpa mempedulikan kehadiran keempat orang itu.
"Hm.... Kiranya Ketua Perguruan Pedang Baja sendiri yang datang hendak
menuntut balas!" desis lelaki berkumis lebat yang tak lain Bardewa, orang yang telah
membunuh lima orang murid Ki Genawang.
Ucapan itu tentu saja membuat Ki Genawang kembali menoleh. Sepasang mata
lelaki tua itu tampak berkilat menyembunyikan kemarahan hatinya. Dia memang sudah
berusaha menghindari pandang mata lelaki berkumis lebat, karena siapa tahu hanya ciri-
cirinya saja yang mirip. Tapi, begitu mendengar ucapan bernada menyindir dari lelaki
berkumis lebat itu, tahulah Ki Genawang bahwa pelaku pembunuhan murid-muridnya
adalah empat orang yang baru datang itu. Kenyataan ini membuat amarah Ketua
Perguruan Pedang Baja bangkit. Andaikata benar muridnya yang memulai perkelahian itu,
tetap saja dia tidak senang, dan lebih suka memberi hukuman sendiri daripada dibunuh
oleh orang lain. Karena itu merupakan penghinaan bagi kehormatannya sebagai Ketua
Perguruan Pedang Baja.
Setelah mendengar perkataan itu, Ki Genawang langsung bangkit dari duduknya.
Ditatapnya sosok lelaki berkumis itu dan ketiga orang kawannya, yang juga menentang
pandang mata Ki Genawang tanpa rasa gentar sedikit pun. Perbuatan itu saja sudah
menyinggung kehormatan Ki Genawang. Sehingga, kemarahan orang tua itu semakin
menjadi-jadi.
"Rupanya kalian yang telah membantai murid-muridku secara kejam! Katakan,
siapa kalian sebenarnya? Dan mengapa begitu memusuhi orang-orang Perguruan Pedang
Baja? Padahal, seingatku kami tidak pernah mencari permusuhan dengan partai mana
pun!" desis Ki Genawang masih menekan kemarahannya ketika teringat yang dihadapinya
murid-murid biasa, yang menurutnya tidak terlalu pantas untuk berhadapan dengannya.
"Mengenai siapa kami sebenarnya, aku yakin kau sudah tahu, Ki Genawang. Jadi
tidak usah berpura-pura lagi! Kalian orang-orang Perguruan Pedang Baja memang angkuh
dan terlalu memandang rendah orang lain! Selain itu, kau sebagai ketua perguruan
sepertinya tidak pantas untuk menduduki jabatan yang terhormat itu. Karena kau tidak
becus mendidik tata krama pada murid-muridmu yang pemberang itu!" jawab Bardewa
memutarbalikkan ucapan Ki Genawang.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak? Sepanjang ingatanku, Ki Gawung tidak mempunyai
murid sepertimu. Karena kalau kau bisa mengalahkan Ki Punjalu, muridku, berarti kau
cukup menonjol di antara murid-murid Ki Gawung. Tapi aku tidak mengenalmu seperti
halnya aku mengenal murid-murid utama Perguruan Merak Emas. Mungkin kau orang
dari partai lain yang hendak memancing perselisihan antara aku dan Ki Gawung?!" ujar Ki
Genawang setelah memperhatikan dengan teliti sosok lelaki bertubuh kokoh dan berkumis
lebat itu. Kenyataan itu membuatnya ragu kalau keempat orang itu adalah murid-murid
Perguruan Merak Emas yang telah cukup lama dikenalnya.
"Boleh jadi kau belum mengenalku, Ki Genawang. Aku memang belum lama
bergabung dengan Perguruan Merak Emas. Meskipun begitu, bukan berarti aku tidak
dikenal di antara murid-murid Perguruan Merak Emas. Bahkan, aku terhitung murid
utama Ki Gawung. Beliau adalah seorang gagah yang bijaksana dan pandai mendidik
muridnya. Tidak seperti kau yang mendidik murid-muridmu dengan kemanjaan dan
menjejali mereka dengan kesombongan. Sehingga mereka tumbuh menjadi orang-orang
berjiwa angkuh dan memandang rendah orang lain!" sahut Bardewa dengan suara lantang,
membuat enam orang pedagang yang berada di ruangan itu bergegas meninggalkan meja
mereka menuju kamar masing-masing. Agaknya, mereka tidak ingin terlibat dalam
keributan yang sebentar lagi pasti akan terjadi.
Sedangkan pemilik dan pelayan kedai tampak meringkuk di sudut ruangan. Wajah
mereka kelihatan pucat, karena sudah dapat membayangkan kedai mereka pasti akan
mengalami kerusakan lagi.
"Kurahg ajar! Entah bagaimana cara Ki Gawung mendidikmu sehingga kau berani
berkata demikian di hadapanku! Melihat sikapmu yang sombong itu, aku dapat menduga
kaulah yang lebih dulu mencari gara-gara dengan muridku. Kau pantas mendapatkan
pelajaran atas kekurangajaranmu itu...!" geram Ki Genawang tidak dapat menahan
kemarahannya lagi.
"Guru, tahan...!"
Ki Randita yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan itu, bergegas
mencegah gurunya. Lelaki bertubuh gagah itu sudah bergerak maju mendekati Ki
Genawang yang menoleh ke arah muridnya dengan tatapan penuh teguran. Jelas,orang
tua itu tidak senang mendengar seruan muridnya.
"Guru..., biar aku saja yang menghadapi mereka. Rasanya tidak pantas kalau Guru
sendiri yang harus turun-tangan memberi pelajaran pada orang-orang itu. Mereka hanya
murid-murid rendahan yang tidak patut melawan Guru...," jelas Ki Randita dengan suara
agak perlahan. Sehingga, Ki Genawang pun menyadari kedudukannya. Dan, memang
sudah sepantasnyalah jika Ki Randita yang turun tangan menghadapi Bardewa dan
kawan-kawannya.
"Hm.... Semakin nyata sudah kesombongan orang-orang Perguruan Pedang Baja!
Kalian jelas-jelas meremehkan kami. Dan itu merupakan penghinaan terhadap perguruan
kami!" geram Bardewa membuat Ki Randita agak tersentak kaget.
"Kisanak. Mulutmu sungguh tajam sekali. Sekarang, aku semakin yakin kaulah
yang memulai perselisihan dengan murid-murid perguruan kami. Kau pun telah
mempergunakan kelicikanmu untuk mempengaruhi orang-orang desa ini agar mereka
berpihak kepadamu. Benar-benar sangat berbahaya jika Perguruan Merak Emas
mempunyai murid sepertimu. Aku yakin tidak lama lagi Perguruan Merak Emas akan
runtuh, bila orang licik sepertimu masih bercokol di dalamnya...," ujar Ki Randita
berusaha tetap tenang, meskipun hatinya terbakar oleh ucapan-ucapan Bardewa yang
sangat licik dan pandai bicara itu.
"Satu lagi penghinaan telah kau lontarkan terhadap ketua perguruan kami,
Kisanak! Dengan menghinaku sebagai orang yang berwatak licik itu sama artinya dengan
menghina guruku sebagai orang yang tidak mampu mendidik murid-muridnya. Aku tidak
bisa menerima penghinaan itu!" geram Bardewa kembali menunjukkan kelicikannya
dengan memutarbalikkan ucapan Ki Randita. Padahal, dia sendiri yang telah menghina Ki
Genawang dengan mengatakan kalau Ketua Perguruan Pedang Baja tidak mampu
mendidik murid-muridnya dengan baik.
"Keparat licik..!" desis Ki Randita tak dapat lagi menahan kemarahannya demi
mendengar ucapan itu. Sadar kalau tidak akan menang dalam bersilat lidah, maka Ki
Randita segera mempersiapkan jurusnya untuk memberi pelajaran pada Bardewa dan
kawan-kawannya.
"Biar aku saja yang menghadapi orang tua sombong itu, Kakang," ujar salah
seorang kawan Bardewa yang sejak tadi hanya diam saja. Tapi ketika melihat Ki Randita
telah siap menyerang, dia langsung mengajukan diri untuk menghadapi murid utama
Perguruan Pedang Baja itu.
"Jangan gegabah, Adi Sungkana. Orang ini tidak bisa kau samakan dengan yang
lainnya. Biar aku saja yang menghadapinya," bantah Bardewa yang rupanya sadar akan
kepandaian Ki Randita setelah melihat gerakan yang ditunjukkan orang tua itu.
"Heaaah...!"
Bettt!
Bardewa langsung melompat ke luar kedai, dan ketika telah bersiap siaga, Ki
Randita segera melontarkan serangan ke arahnya. Tendangan dan pukulan murid utama
Ki Genawang itu datang bertubi-tubi. Tapi, Bardewa masih dapat menyelamatkan diri dari
ancaman pukulan-pukulan yang kuat dan cepat itu.
"Yeaaat..!"
Bahkan Bardewa mampu melakukan serangkaian serangan balasan dengan
pukulan-pukulan dan tendangan yang tidak kalah kuatnya. Sehingga, Ki Genawang yang
menyaksikan perkelahian itu keningnya berkerut dalam. Lelaki tua itu merasa heran
melihat ketangkasan lelaki berkumis lebat yang bisa menandingi murid utamanya.
Sekarang, baru lelaki tua itu yakin Bardewa pasti bukan murid sembarangan. Paling tidak,
dia mendapat didikan langsung dari Ketua Perguruan Merak Emas. Melihat kenyataan itu,
maklumlah Ki Genawang kalau Ki Punjalu dan murid-muridnya sampai tidak sanggup
menghadapi Bardewa dan ketiga kawannya. Karena meski tanpa dibantu sekalipun, dia
yakin kalau lelaki berkumis lebat itu akan merobohkan Ki Punjalu serta kelima orang
muridnya yang lain.
"Hm... Melihat permainan Bardewa, jelas Ki Gawung telah menciptakan jurus-jurus
baru yang hebat. Pantas saja kalau Bardewa demikian sombong dan berani mencari
perkara dengan perguruan yang kupimpin. Mungkin ini memang dikehendaki Ki Gawung
sendiri, yang hendak menjajal ilmu ciptaannya...," gumam Ki Genawang, menduga-duga
penyebab perselisihan antara perguruannya dengan Perguruan Merak Emas.
Sementara itu pertarungan masih berjalan seimbang. Baik Ki Randita maupun
Bardewa sama-sama tangguh dalam jurus-jurus awal. Sampai dua puluh jurus lebih,
belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Memasuki jurus ketiga puluh satu, terlihat Ki Randita mulai dapat menguasai
arena. Serangan-serangan orang tua gagah itu tampak semakin gencar. Sedangkan
Bardewa mulai menitikberatkan pada pertahanan. Karena untuk balas menyerang, dia
sudah tidak memiliki kesempatan, karena gencarnya serangan-serangan yang dilontarkan
Ki Randita.
"Haaat..!"
Pada jurus ketiga puluh lima, Ki Randita mengeluarkan pekikan nyaring! Seiring
dengan itu, tubuhnya bergerak cepat melontarkan sebuah hantaman ke dada lawan yang
terbuka. Akibatnya....
Bukkk!
"Huakkkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Bardewa terjengkang ke belakang. Darah segar
termuntah dari mulutnya. Jelas, hantaman keras itu membuat isi dada Bardewa
terguncang keras.
Melihat kejadian itu, ketiga kawan Bardewa bergegas melompat dengan senjata
terhunus. Mereka berdiri menghadang di depan lelaki berkumis lebat itu untuk
melindunginya dari serangan Ki Randita selanjutnya.
"Setan...!" Bardewa merangkak bangkit sambil mengumpat kasar. Kali ini gagang
pedang di pinggangnya diraba, dan langsung dicabut keluar dari sarungnya.
Srattt..!
Dengan gerakan kepalanya, Bardewa memerintahkan kawan-kawannya untuk
mengeroyok Ki Randita. Sebentar kemudian, lelaki gagah murid utama Perguruan Pedang
Baja Itu telah terkurung dari empat penjuru.
"Haaat…" Seiring dengan pekikan itu, tubuh Ki Randita bergerak cepat
melontarkan sebuah hantaman ke dada lawan. Akibatnya....
"Huakkkh…!" Tanpa ampun lagi, tubuh Bardewa terjengkang ke belakang. Darah
segar termuntah dari mulutnya!
TIGA
"Heaaat..!"
Diawali sebuah teriakan nyaring, Bardewa dan kawan-kawannya menerjang maju.
Sambaran pedang keempat lelaki berpakaian serba hitam itu berdesingan mengancam
tubuh Ki Randita.
"Haiiit..!"
Ki Randita sendiri masih belum menggunakan senjatanya yang tergantung di
punggung. Dia masih mengandalkan kegesitannya untuk menghadapi serbuan empat
batang pedang lawan. Dalam lima jurus awal memang Ki Randita masih sanggup
menyelamatkan diri dari incaran pedang lawan. Bahkan sesekali masih sempat
mengirimkan serangan balasan yang berbahaya. Tapi, pada jurus-jurus selanjutnya, lelaki
tua itu baru merasakan betapa beratnya menghadapi empat pengeroyoknya yang memiliki
permainan pedang yang cepat dan kuat. Maka, Ki Randita mulai terdesak dan tidak
mampu lagi melancarkan serangan balasan. Bahkan, beberapa kali sambaran pedang
lawan nyaris melukai tubuhnya.
Plakkk!
Sebuah sambaran pedang yang mengancam lehernya berhasil ditepiskan Ki
Randita. Tapi serangan selanjutnya dari lawan yang lain, memaksa lelaki itu untuk
melompat jauh ke belakang.
Bettt..!
Sambaran pedang yang dilancarkan Bardewa mengenai angin kosong. Karena
lawan telah berjumpalitan menjauhkan diri dari mata pedangnya.
"Haaat..!"
Rasa dendam dan penasaran membuat Bardewa tidak ingin memberi kesempatan
pada lawannya untuk bernapas lega. Lelaki itu langsung melesat dengan tusukan
pedangnya selagi tubuh Ki Randita berada di udara.
Ki Genawang yang menyaksikan kenyataan itu terperanjat kaget. Lelaki tua itu
sadar kalau keadaan muridnya tengah terancam maut. Maka, tanpa berpikir panjang lagi,
tubuhnya langsung melayang dengan tujuan menyelamatkan nyawa muridnya dari
ancaman ujung pedang Bardewa.
"Hiaaaah...!"
Plakkk!
"Aihhh...?!"
Tamparan yang dilancarkan Ki Genawang sangat kuat. Sehingga, tubuh Bardewa
terpental ke samping! Untung lelaki bertubuh tegap itu masih sempat menyelamatkan
tubuhnya agar tidak terbanting ke tanah, dan dapat mendaratkan kedua kakinya dengan
selamat
"Hm... Sudah kuduga kau tidak akan tinggal diam melihat muridmu terancam
maut! Tapi, jangan kira kami akan gentar meskipun harus menghadapimu, Ki
Genawang...!" geram Bardewa menggertakkan giginya sambil memutar pedang dengan
sekuat tenaga.
Demikian pula dengan tiga orang kawan Bardewa. Mereka sama sekali tidak
kelihatan gentar, meskipun yang harus mereka hadapi ini Guru Besar Perguruan Pedang
Baja. Bahkan, mereka kembali membentuk kepungan dari empat penjuru.
"Sebenarnya aku merasa malu menghadapi kalian, mengingat kalian hanya murid-
murid rendahan Perguruan Merak Emas. Tapi, kekurangajaran dan kesombongan kalian
membuat aku terpaksa harus melupakan hal itu Sebab, kalau tidak diberi pelajaran,
kalian pasti akan semakin sombong dan bertindak semena-mena...," ujar Ki Genawang
segera menyiapkan jurusnya untuk menghadapi keroyokan murid-murid Perguruan Merak
Emas.
"Keparat tua sombong! Rasakan tajamnya pedangku...!" bentak Bardewa marah
mendengar ucapan Ki Genawang yang jelas menghina mereka. Maka, dia pun langsung
mendahului kawan-kawannya menerjang Ketua Perguruan Pedang Baja.
Ki Genawang hanya perlu menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindari tusukan
pedang yang mengancam jantungnya. Kemudian, langsung membalas dengan sebuah
tamparan yang mendatangkan sambaran angin kuat membuat Bardewa terhuyung.
Sehingga, tubuh lelaki itu terjajar mundur dan kehilangan keseimbangan.
Untung saat itu Sungkana dan dua orang lainnya datang membantu, kalau tidak,
bukan mustahil Ki Genawang akan menyusuli serangannya dan membuat Bardewa roboh.
Ketua Perguruan Pedang Baja terpaksa menunda serangan susulannya, ketika melihat
datangnya sambaran pedang ketiga pengeroyoknya itu.
"Haaah...!"
Dengan membungkukkan tubuhnya, ketiga sambaran mata pedang lawan lewat di
atasnya. Kemudian lelaki tua itu membentak sambil mengembangkan kedua lengannya ke
kiri dan kanan.
Desss! Desss!
Dua orang penyerang di kiri dan kanannya terjungkal tanpa ampun. Nyawa mereka
langsung putus akibat kuatnya tenaga yang terkandung di dalam gebrakan Ki Genawang.
Sehingga, kejadian itu sempat membuat Bardewa dan Sungkana terbelalak gentar. Mereka
tidak menduga kalau Ketua Perguruan Pedang Baja ternyata memiliki kepandaian yang
hebat, dan mampu merobohkan dua orang kawan mereka hanya dengan sekali gebrak.
"Sungkana, lari...!"
Setelah melihat kenyataan itu, Bardewa sadar kalau Ki Genawang tidak mungkin
dapat mereka hadapi berdua saja. Maka, lelaki itu pun segera mengajak Sungkana
melarikan diri menerobos kegelapan malam.
"Mengapa tidak dikejar, Guru...?" tanya Ki Randita heran melihat gurunya hanya
berdiri memandang kepergian lawan-lawannya. Tidak sedikit pun terlihat tanda-tanda
kalau lelaki gagah itu hendak mengejar.
"Tidak perlu, Randita. Persoalan ini sudah berkembang terlalu jauh. Biarlah kita
tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya...," gumam Ki Genawang pelan,
menyembunyikan kekecewaan hatinya.
Ki Randita pun tahu akan kegundahan hati gurunya. Maka dia tidak berkata-kata
lagi, dan mendiamkan saja lelaki tua itu terpaku menatap tempat di mana kedua lawannya
lenyap.
Ki Genawang benar-benar menyesali kejadian yang tidak diharapkannya itu.
Semula dia meninggalkan perguruan dengan maksud untuk menegur Ki Gawung, agar
menghukum murid-muridnya. Tapi, harapan untuk dapat menyelesaikan persoalan
dengan jalan damai musnah sudah. Kejadian barusan jelas akan semakin memperuncing
permusuhan di antara mereka. Hal itu membuat hati Ki Genawang gundah dan termenung
beberapa saat lamanya.
"Kita tunggu saja tanggapan Ki Gawung, Guru. Kalau jalan damai memang tidak
dapat ditempuh, kita layani saja kemauan mereka," ujar Ki Randita dengan nada perlahan,
seperti takut mengejutkan hati gurunya.
"Hhh..."
Terdengar helaan napas berat Ki Genawang yang menandakan keresahan hatinya.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, orang tua itu membalikkan tubuhnya dan
melangkah ke arah kedai tempat mereka melewatkan malam.
***
Ki Genawang dan Ki Randita yang tengah sarapan pagi di kedai tempat mereka
menginap, terkejut bukan main melihat kedatangan Gumarta yang dalam keadaan luka-
luka. Serentak keduanya melompat bangkit menyambut kedatangan lelaki tegap itu.
"Ada apa, Gumarta? Apa yang sudah terjadi...?" tanya Ki Genawang memapah
tubuh Gumarta yang kelihatannya sangat lelah. Rupanya, Gumarta telah melakukan
perjalanan dengan terburu-buru.
Gumarta tidak segera menjawab pertanyaan gurunya. Napasnya masih tersengal-
sengal. Sehingga, Ki Genawang segera mendudukkan tubuh muridnya di kursi. Lalu
memberinya segelas air putih, agar Gumarta jadi lebih teriang dan bisa menceritakan
kejadian yang menimpa Perguruan Pedang Baja.
Ki Genawang telah membatalkan niatnya untuk mendatangi Perguruan Merak
Emas. Kejadian semalam membuat orang tua itu merubah keputusannya. Karena tidak
ada gunanya lagi dia datang setelah membunuh dua orang murid Ki Gawung. Ketua
perguruan itu pasti tidak akan menerima mereka dengan baik. Bahkan, kemungkinan
besar kedatangan Ki Genawang ke Perguruan Merak Emas akan disambut dengan ujung
pedang. Itu sebabnya, mengapa Ki Genawang membatalkan niatnya semula.
Kini Ki Genawang dihadapkan lagi pada suatu masalah yang masih belum jelas.
Kedatangan muridnya dengan tubuh penuh luka, membuat hati lelaki itu berdebar tegang.
Sebab, Gumarta telah diberi amanat untuk menjaga perguruan selama dia pergi. Dan,
kalau sampai Gumarta berani meninggalkan tugas yang diembannya, sudah pasti ada
sesuatu yang hebat menimpa perguruan. Ki Genawang ingin segera mendengar dari mulut
Gumarta tentang keadaan perguruannya.
"Menjelang pagi tadi, saat fajar baru saja terbit, datang serombongan murid-murid
Perguruan Merak Emas yang dipimpin langsung oleh ketuanya sendiri. Mereka langsung
mengamuk dan membunuhi murid-murid kita. Aku berusaha melawan sekuat tenaga, tapi
mereka terlalu kuat. Sehingga, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan per-
tarungan dan menyusul Guru serta Kakang Randita," jelas Gumarta dengan suara
terputus-putus, membuat wajah kedua orang itu jadi merah bagai terbakar api.
"Seharusnya kau tetap memimpin murid-murid untuk menghadapi mereka,
Gumarta. Bukannya melarikan diri seperti pengecut!" geram Ki Genawang tidak setuju
dengan tindakan muridnya.
"Keadaan perguruan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, Guru. Kalau aku tidak
meninggalkan perguruan, lalu siapa yang akan melaporkan kejadian itu? Guru dan
Kakang Randita tentu tidak akan tahu siapa yang telah menghancurkan perguruan kita.
Alasan itulah yang membuatku memberanikan diri meninggalkan perguruan dan
menyusul kemari...."
Setelah berkata begitu, Gumarta terbatuk dan memuntahkan darah segar,
membuat Ki Genawang dan Ki Randita terkejut. Mereka baru menyadari betapa parahnya
luka yang diderita Gumarta.
"Gumarta...?!"
Ki Genawang dan Ki Randita berteriak kaget melihat lelaki tegap itu terpelanting
roboh dari kursi. Cepat keduanya berusaha untuk menangkapnya agar tidak terbanting ke
tanah. Tapi, betapa kaget dan murkanya hati mereka ketika mendapati Gumarta sudah tak
bernyawa!
"Keparat! Rupanya jahanam itu telah lebih dulu mendatangi perguruan kita!
Bahkan langsung membunuhi orang-orang kita tanpa menanyakan lebih dulu persoalan
yang sebenarnya! Hm..., mereka benar-benar tidak bisa didiamkan! Kita harus menuntut
balas atas kejadian ini!" geram Ki Genawang murka bukan main setelah mendengar
penuturan Gumarta yang tewas di depan matanya.
"Mereka pasti mengambil jalan lain, Guru. Kalau tidak, mana mungkin mereka
dapat tiba demikian cepat? Sekarang mereka pasti belum kembali. Kita harus
mencegatnya!" usul Ki Randita dengan wajah merah. Hatinya sungguh tidak bisa
menerima perbuatan orang-orang Perguruan Merak Emas yang menurutnya sudah
melewati batas.
"Tidak Sebaiknya kita langsung saja menuju Perguruan Merak Emas. Kalau mereka
belum kembali, kita langsung menyerbu dan membasmi murid-murid yang masih tinggal
di dalam perguruan! Dengan begitu, sedikit banyak kita telah membalas perbuatan kejam
yang telah mereka lakukan..!" ujar Ki Genawang.
Setelah meminta penduduk desa agar menguburkan mayat Gumarta dengan baik,
Ki Genawang melesat bersama muridnya menuju Perguruan Merak Emas. Diam-diam hati
mereka diliputi keheranan besar. Bagaimana mungkin Ki Gawung dan murid-muridnya
dapat tiba demikian cepat di Perguruan Pedang Baja? Sedangkan semalam empat orang
murid perguruan itu telah bertarung dengan mereka. Dugaan pun jatuh, Ki Gawung
sengaja mengirimkan empat orang muridnya untuk memancing keributan dengan Ki
Genawang dan Ki Randita. Sehingga, kedua tokoh Perguruan Pedang Baja itu tidak akan
menduga kalau pada saat itu Ki Gawung tengah bergerak menuju Perguruan Pedang Baja.
"Bedebah!" Ki Genawang memaki geram sambil berlari mengerahkan seluruh
tenaganya agar dapat segera tiba di tempat tujuan. Seolah dia hendak berlomba dengan
rombongan Ki Gawung yang diduganya tengah dalam perjalanan pulang.
Setelah berlari tanpa henti, lewat tengah hari, kedua tokoh itu pun tiba di
Perguruan Merak Emas. Tanpa merasa lelah sedikit pun, Ki Genawang dan Ki Randita
segera mendekati bangunan yang di sekelilingnya dipagari kayu-kayu bulat setinggi satu
setengah tombak.
Sebelum penjaga gerbang sempat menyadari kehadiran kedua orang itu, Ki
Genawang langsung mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendobrak pintu gerbang.
Brakkk..!
Pukulan yang dilandasi kekuatan hebat dan kemarahan menggelegak, membuat
pintu gerbang Perguruan Merak Emas berderak roboh berkeping-keping!
Tanpa menunggu serpihan kayu berjatuhan ke tanah, Ki Genawang dan Ki Randita
langsung menerobos masuk ke dalam bangunan. Tapi, langkah keduanya tertahan oleh
puluhan murid Perguruan Merak Emas yang menghadang dengan senjata terhunus.
Rupanya, ledakan di pintu gerbang itu membuat mereka langsung bersiap dengan pedang
di tangan. Sebab, hanya pengacaulah yang datang dengan menjebol pintu gerbang.
Tanpa banyak bicara lagi, Ki Genawang dan Ki Randita segera meloloskan senjata
masing-masing! Kemudian menerjang maju dengan hebatnya.
"Haaat..!"
Meskipun telah bersiap sebelumnya, tetap saja murid-murid Perguruan Merak
Emas terkejut. Apalagi kedua tamu tak diundang itu langsung menerjang ganas, dan
merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Tentu saja keadaan menjadi gaduh.
Jeritan kematian terdengar susul-menyusul! Darah segar memercik membasahi
tanah. Dan, tubuh-tubuh bersimbah darah berjatuhan satu persatu dengan napas putus.
Pedang di tangan Ki Genawang dan Ki Randita tak ubahnya tangan-tangan malaikat maut,
membuat murid-murid Perguruan Merak Emas menjadi gentar.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar yang mengatasi suara jeritan dan
dentingan senjata. Bersamaan dengan teriakan itu sesosok tubuh gagah melayang turun
ke tengah arena, membuat murid-murid Perguruan Merak Emas berlompatan mundur.
Rupanya mereka telah mengenal baik suara bentakan itu. Sehingga, mereka langsung
memberi tempat bagi sosok yang baru tiba.
"Hm.... Bagus kau cepat datang, Ki Gawung!" geram Ki Genawang dengan sorot
mata penuh dendam dan kebencian. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, pedangnya
langsung diputar dengan sekuat tenaga. Sehingga menciptakan putaran angin tajam.
"Tunggu dulu, Ki Genawang! Apa yang membuatmu seperti kesetanan dan hendak
membantai murid-muridku...?" cegah Ki Gawung bergeser mundur setelah melihat jurus
yang hendak digunakan lawannya. Sebab, jurus itu dikenalinya sebagai jurus andalan
Ketua Perguruan Pedang Baja.
Ki Genawang tidak mempedulikan teriakan lawannya. Dibarengi pekikan marah,
tubuhnya segera melayang dengan sambaran pedang yang berdesingan.
Bettt! Whuttt!
"Hel..?!"
Ki Gawung yang masih belum mengerti alasan kemarahan Ketua Perguruan Pedang
Baja, segera melompat ke belakang untuk menghindari serangan maut itu.
"Haaat…!"
Tapi Ki Genawang memang sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Begitu serangan
pertama gagal, langsung disusuli dengan serangan berikutnya. Sehingga dengan terpaksa
Ki Gawung mencabut senjatanya karena tahu serangan lawan memang tidak main-main.
Trang! Trang!
Begitu senjata tercabut dari sarungnya, terdengar benturan keras dua kali yang
menulikan telinga. Akibatnya, tubuh Ki Genawang maupun Ki Gawung, terjajar mundur
sejauh enam langkah.
"Coba jelaskan, apa yang membuatmu seperti kesetanan dan datang-datang
membuat keributan, Ki Genawang?"
Kembali Ki Gawung berusaha mencari keterangan penyebab kemarahan Ki
Genawang yang memang telah dikenalnya dengan baik.
Lagi-lagi Ki Genawang tidak mempedulikan pertanyaan Ketua Perguruan Merak
Emas itu. Serangannya kembali datang, membuat Ki Gawung terpaksa harus meladeninya
dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, sudah pasti dirinya akan celaka di tangan lawan
yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi. Sehingga pertempuran sengit kembali
pecah. Kedua tokoh tingkat tinggi itu saling gempur dengan hebatnya laksana dua ekor
harimau kelaparan yang memperebutkan mangsa.
Di bagian lain, Ki Randita pun telah bertarung sengit dengan dua orang lelaki
gagah, yang merupakan murid-murid utama Ki Gawung. Berbeda dengan gurunya yang
mendapat lawan seimbang, Ki Randita harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
mengimbangi permainan dua pengeroyoknya. Meski demikian, lelaki itu tetap tidak mampu
mendesak mereka. Karena lawan-lawannya memiliki kepandaian yang tinggi atau mungkin
setingkat dengannya. Untuk menghadapi keroyokan murid-murid utama Perguruan Merak
Emas, Ki Randita harus menguras tenaga dan kecepatannya.
"Heaaah...!
Berkali-kali Ki Randita berusaha mendesak mereka. Namun, selalu saja
serangannya kandas dan dapat diatasi lawan dengan baik. Bahkan ketika pertempuran
memasuki jurus kedua puluh, terlihat Ki Randita mulai terkurung oleh serangan pedang
lawan. Sehingga, orang kedua dalam Perguruan Pedang Baja itu hanya mampu bertahan,
tanpa bisa membalas serangan lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Brettt..!"
"Akh...!"
Suatu saat, Ki Randita tidak sempat lagi menyelamatkan tubuhnya dari incaran
pedang lawan. Karena pada saat yang bersamaan tubuhnya harus dilindungi dari serangan
lawan yang satunya lagi. Akibatnya, tubuh lelaki tua yang masih gagah itu terhuyung
limbung! Pangkal lengannya tampak berdarah dan terdapat luka yang cukup panjang.
"Yeaaat...!"
Kedua lawannya kembali meluncur datang dengan tusukan pedang yang
mengancam tenggorokan dan lambung lelaki tua itu. Sedangkan saat itu Ki Randita belum
sempat memperbaiki kedudukan kuda-kudanya. Sehingga, dia hanya dapat berusaha
menghindari kematian dengan semampunya.
"Haaaat...!"
Pada saat yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar pekikan merdu yang
melengking tinggi. Disusul dengan berkelebatnya sosok bayangan hijau yang langsung
memapaki tusukan pedang dua murid Ki Gawung.
Trang! Trang!
Sinar putih keperakan yang berkelebat cepat itu langsung membentur pedang dua
lawan Ki Randita, hingga kedua pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya. Sedangkan
tubuh mereka terpelanting roboh tanpa dapat dicegah lagi.
Sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau berdiri tegak
membelakangi Ki Randita!
EMPAT
ementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Ki Genawang dan Ki Gawung
sudah semakin meningkat. Serangan-serangan yang dilancarkan Ki Genawang memang
benar-benar hebat! Sehingga, Ketua Perguruan Merak Emas itu harus mengeluarkan
seluruh kemampuannya untuk mengimbangi serangan lawan.
"Heaaat..!"
Lagi-lagi Ki Genawang memekik keras seraya melepaskan sebuah bacokan dari atas
ke bawah! Andai saja sampai terkena tubuh lawan, pastilah tubuh itu akan terbelah
menjadi dua.
Tapi, Ki Gawung pun bukan lawan yang mudah untuk ditundukkan. Melihat
dahsyatnya serangan lawan, lelaki itu memutar senjatanya dengan mengerahkan seluruh
tenaga. Kemudian bersiap menyambutnya.
Namun, sesaat sebelum kedua tokoh itu saling beradu, mendadak berkelebat
sesosok bayangan putih yang langsung meluncur turun di antara keduanya. Dan...
"Heaaah...!"
Seiring dengan bentakan keras, sosok berpakaian serba putih itu mengibaskan
lengannya ke kiridan kanan.
Plak! Plak!
"Aaah...?!"
"Hei…?!"
Terkejut bukan main hati kedua tokoh itu ketika merasakan lengan mereka bagai
terbentur sebuah logam keras yang sangat dingin. Akibatnya, tubuh Ki Genawang dan Ki
Gawung terdorong ke belakang hingga jatuh bergulingan. Dapat dibayangkan betapa
hebatnya kekuatan yang dimiliki sosok bayangan putih itu!
"Hentikan pertempuran...!"
Setelah merobohkan Ki Genawang dan Ki Gawung, sosok berjubah putih
mengeluarkan teriakan keras yang menggelegar. Akibatnya, pertarungan yang berlangsung
di tempat itu pun terhenti, karena bentakan itu telah merobohkan mereka. Kecuali, sosok
tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Hampir berbarengan, Ki Genawang dan Ki Gawung berseru ketika melihat tubuh
sosok berjubah putih itu terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
memancarkan hawa dingin menggigit itulah ciri-ciri Pendekar Naga Putih!
Dugaan kedua orang ketua perguruan itu tidak salah! Sosok itu memang Pendekar
Naga Putih yang muncul bersama kekasihnya, Kenanga.
"Sepengetahuanku, Perguruan Pedang Baja dan Perguruan Merak Emas adalah
tempat orang-orang gagah. Persoalan apa yang telah membuat kalian harus saling
gempur?" tegur Panji seraya menghampiri Ki Genawang dan Ki Gawung. Sepasang mata
pendekar muda itu menyorot tajam membuat hati kedua tokoh tingkat tinggi itu berdebar.
"Sebenarnya Perguruan Merak Emas tidak mempunyai persoalan dengan orang-
orang Perguruan Pedang Baja. Tapi, bila ada orang yang hendak mengacau tempat ini,
kami akan melindungi dengan taruhan nyawa," jawab Ki Gawung seraya melirik ke arah Ki
Genawang dengan sinar mata mengejek.
"Keparat! Enak saja kau bilang tidak mempunyai persoalan! Kemarin lima orang
muridku tewas terbunuh di tangan murid-muridmu. Tapi, rupanya kau masih belum puas
hanya dengan lima nyawa saja. Lalu, kau datang membasmi seluruh murid-murid
perguruanku selagi aku hendak mencari jalan damai dan persoalan ini, yang mungkin
hanya sebuah kekeliruan! Nah, masihkah semua itu kau anggap bukan persoalan?" geram
Ki Genawang. Kemarahan ketua Perguruan Pedang Baja itu kembali bangkit ketika
mendengar ucapan Ki Gawung yang mengatakan kalau di antara mereka tidak ada
persoalan.
Merah wajah Ki Gawung mendengar perkataan Ki Genawang. Selain ucapan itu
suatu fitnah keji. Juga dikeluarkan di hadapan murid-muridnya.
Tentu saja Ketua Perguruan Merak Emas tidak dapat berdiam diri mendengar
hinaan itu.
Bukan hanya ketuanya saja yang merasa terhina. Tapi, hampir semua murid
Perguruan Merak Emas terdengar memaki dan menyumpah-nyumpah. Sehingga suasana
kembali menjadi ribut dan kedua belah pihak pun sudah siap bertempur.
"Jangan kau kira aku akan diam saja mendengar fitnah dan hinaanmu itu, Ki
Genawang! Kalau memang aku melakukan perbuatan yang kau tuduhkan itu, tentu aku
akan bertanggung jawab! Tapi, karena aku tidak melakukannya, dugaanku kau hanya
mencari-cari persoalan denganku. Sebagai seorang laki-laki, aku tidak akan mundur
meskipun harus bertarung sampai seribu jurus!"
Ki Gawung tampaknya tidak kalah berang dengan Ki Genawang. Bahkan, lelaki tua
bertubuh tegap itu sudah melintangkan senjatanya di depan dada, siap bertarung habis-
habisan.
"Tahan...!"
Panji yang melihat ketegangan di antara kedua belah pihak kembali memuncak dan
tampaknya akan terjadi pertarungan lagi, segera bertindak menengahi. Pemuda itu
melangkah dan berdiri di antara tokoh puncak dua perguruan itu.
Tinggallah Ki Genawang dan Ki Gawung saring pandang dengan mata
memancarkan dendam dan kebencian. Kalau saja Panji tidak berada di antara mereka,
bukan mustahil mereka akan kembali saling gebrak! Tapi, karena melihat siapa Pendekar
Naga Putih, mereka hanya bisa saling pandang dengan urat-urat tubuh menegang.
"Hm… Kalian berdua tidak ubahnya anak kecil! Kalau kalian tetap menuruti hawa
nafsu dan hati panas, mana mungkin persoalan ini bisa selesai? Sebagai ketua dari partai
yang terhormat, seharusnya sikap kalian harus lebih bijaksana. Setiap persoalan bisa
dibicarakan dengan kepala dingin. Baru kemudian kita bisa menemukan jalan keluarnya!"
tandas Panji yang mau tak mau terpaksa harus memberi nasihat dan pengarahan pada Ki
Ge nawang dan Ki Gawung, yang usianya hampir tiga kali lipat dari usianya sendiri. Tapi,
yang dilihatnya bukan usia. Melainkan cara berpikir dan pandangan yang luas. Ki
Genawang dan Ki Gawung pun terdiam dan mengendurkan urat-uratnya. Apa yang
dikatakan Pendekar Naga Putih adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah.
"Hm..... Kalau begitu, coba kau jawab pertanyaanku," gumam Ki Genawang dengan
wajah yang masih gelap, meskipun suaranya tidak lagi bernada tinggi. Agaknya, ucapan
Pendekar Naga Putih membuatnya merasa malu dan berusaha menekan dendam dan
penasaran di hatinya.
"Tanyakanlah! Aku akan menjawab seadanya berdasarkan apa yang kuketahui...,"
tukas Ki Gawung, juga dengan nada rendah. Hanya sepasang matanya saja yang masih
menggambarkan kejengkelan hatinya.
"Apa kesalahan murid-muridku hingga kau demikian kejam membantai mereka
tanpa ampun?" tanya Ki Genawang seraya menatap tajam wajah Ketua Perguruan Merak
Emas.
"Sudah kukatakan sejak semula kalau aku tidak pernah membantai murid-
muridmu! Jangankan sampai puluhan orang. Satu orang muridmu pun tidak pernah
kuganggu. Kau hanya mencari-cari persoalan dengan fitnah busukmu itu!" jawab Ki
Gawung kembali merasa geram, karena Ketua Perguruan Pedang Baja masih tetap
menyalahkannya.
"Dengar, Ki Gawung! Aku tidak mencari-cari perkara denganmu. Tapi, dengan mata
kepalaku sendiri aku melihat dan berjumpa dengan muridmu di Desa Babakan. Dengan
sangat kurang ajar muridmu menantangku dan melontarkan kata-kata hinaan yang
membuat darahku mendidih! Nah, apakah kau masih menyalahkanku dan mengatakan
aku hanya menuduh tanpa bukti?" Ki Genawang tidak mau kalah, karena mengalami
sendiri semua kejadian itu. Sehingga tetap bersikeras dengan tuduhannya.
"Kurang ajar! Aku tidak pernah mendidik muridku untuk bersikap sombong.
Apalagi sampai berani menghina seorang ketua perguruan. Jelas tuduhanmu tidak masuk
akal. Nah, sekarang coba kau tunjukkan, siapa muridku yang telah berani berbuat kurang
ajar dan menghinamu itu?" bantah Ki Gawung seraya membalikkan tubuhnya dan
mengedarkan pandang matanya merayapi wajah-wajah muridnya.
"He he he...! Kau anggap aku anak kecil yang bisa dibodohi! Mana mungkin orang
itu berada di antara murid-muridmu sekarang. Dia pasti sudah kau sembunyikan dari
mataku,'' Ki Genawang malah tertawa mengejek ketika Ki Gawung memintanya agar
menunjukkan orang yang telah menghinanya.
Gusar bukan main hati Ki Gawung mendengar suara tertawa bernada mengejek itu.
Namun, lagi-lagi dia tidak bisa bertindak lebih jauh. Karena di antara mereka berdua
berdiri Pendekar Naga Putih yang sampai sejauh itu masih bertindak sebagai pendengar.
Mungkin pemuda itu ingin mendengar lebih dulu persoalan yang sebenarnya. Baru
kemudian mengambil tindakan setelah semuanya menjadi jelas.
"Baiklah. Sekarang, aku akan menceritakan persoalan yang kedua," ujar Ki
Genawang setelah terdiam beberapa saat lamanya sambil merayapi wajah murid-murid
Perguruan Merak Emas, dan tidak menemukan sosok yang dicarinya. "Pagi tadi, Gumarta,
salah seorang murid utama yang ku tugaskan untuk mengurus perguruan selama aku
pergi, datang menemuiku di Desa Babakan dengan sekujur tubuh penuh luka. Setelah
menceritakan bahwa kau memimpin orang-orangmu untuk membantai murid-muridku,
Gumarta menghembuskan napas terakhir di hadapanku. Muridku itu orang yang jujur dan
kata-katanya bisa dipercaya. Kalau tidak, mana mungkin aku akan memberikan tugas
untuk mengurus perguruan. Nah, apa jawabmu sekarang, Ki Gawung? Apa kau masih
ingin membantah tuduhan itu lagi?"
"Dusta! Itu fitnah keji! Aku belum pernah meninggalkan perguruan selama lebih
dari sepuluh tahun, termasuk pagi tadi! Jadi, jelas tuduhan itu tidak betul!" bantah Ki
Gawung berang bukan main. Sebab Ki Genawang masih tetap bersikeras menuduhnya.
Sehingga darahnya kembali mendidih.
'Tidak! Itu bukan fitnah! Kau iri dengan kemajuan perguruan yang kupimpin!
Hingga membuatmu mata gelap dan melakukan perbuatan-perbuatan keji yang sepatutnya
tidak dilakukan oleh orang-orang gagah!" bentak Ki Genawang keras, karena merasa yakin
sepenuhnya bahwa orang yang melakukan semua perbuatan itu adalah Ki Gawung dan
murid-muridnya.
"Keparat!"
Ki Gawung sudah kehilangan kesabaran. Pedang di tangannya berputar, siap
menerjang Ki Genawang.
"Tunggu..!"
Panji mengangkat kedua belah tangannya ke atas. Suara bentakannya yang
menggelegar dan berpengaruh, membuat suasana bising hening seketika. Suasana pun
sunyi untuk beberapa saat lamanya.
"Dengar...!" seru Panji keras.
Ucapan Pendekar Naga Putih yang disertai pengerahan tenaga dalam itu
berkumandang jelas, hingga terdengar oleh semua orang yang berada di tempat itu.
"Sekarang aku sudah mengerti persoalan yang kalian ributkan ini! Menurutku,
kalian telah diadu domba oleh orang-orang yang ingin menghancurkan Perguruan Pedang
Baja dan Perguruan Merak Emas! Melihat ketegasan dan keteguhan Ki Gawung yang tetap
mempertahankan pendiriannya tidak mengakui perbuatan itu, jelas suah ada orang lain
yang melakukannya. Kita harus mencari manusia licik itu sampai dapat!"
Mendengar ucapan Pendekar Naga Putih yang lagi-lagi sukar untuk dibantah,
semua yang ada di tempat itu, terdiam. Murid-murid Perguruan Merak Emas saling
berpandangan dan beberapa di antaranya saling berbisik membicarakan kemungkinan
yang disebutkan Pendekar Naga Putih. Banyak di antara mereka yang mulai percaya akan
dugaan pemuda tampan berjubah putih itu.
Ki Genawang pun sepertinya ikut terpengaruh oleh ucapan Panji barusan. Terbukti,
lekaki gagah itu termenung beberapa saat seperti tengah memikirkan sesuatu untuk
mencari jawaban permasalahan itu.
"Ki Gawung....!"
Beberapa saat kemudian, Ki Genawang memanggil nama Ketua Perguruan Merak
Emas yang sejak tadi memandang wajah Ki Genawang yang tertunduk.
"Kau masih tetap menuduhku...?" tanya Ki Gawung yang masih saja belum hilang
rasa jengkelnya. Ditatapnya wajah Ketua Perguruan Pedang Baja itu lekat-lekat seolah
ingin membaca pikiran di dalam kepala Ki Genawang.
"Apakah kau mempunyai seorang murid bernama Bardewa yang bertubuh tinggi
tegap dan berkumis lebat..?" tanya Ki Genawang meminta ketegasan Ketua Perguruan
Merak Emas.
"Hm..., ya. Bardewa adalah muridku. Apa maksudmu menanyakan tentang dia...?"
Ki Gawung balik bertanya setelah memberikan jawaban yang membuat wajah Ki Genawang
berseri-seri. Rupanya, lelaki gagah itu yakin kalau kali ini Ki Gawung tidak akan bisa
berkelit lagi.
"Nah! Kau sudah mengakuinya, bukan? Muridmu yang bernama Bardewa itulah
yang membunuh lima orang muridku. Bahkan, dia berani menantangku bertarung...," ujar
Ki Genawang lagi sambil melemparkan senyum mengejek, membuat hati Ki Gawung
menjadi tidak enak
"Kau tidak keliru...?"
Tapi, Ki Gawung terlihat tidak merasa terkejut apalagi ketakutan setelah
mendengar nama Bardewa disebut yang menurut Ki Genawang adalah pelaku semua
peristiwa itu.
"Tentu saja aku yakin! Nah, sekarang coba kau tunjukkan mana muridmu yang
bernama Bardewa itu...?"
"Hm..., Ketahuilah, Ki Genawang. Orang yang kau cari itu sudah cukup lama
meninggal. Dia tewas terbunuh tanpa kami tahu siapa pelakunya. Kami telah berusaha
menyelidiki dengan diam-diam. Karena tidak juga membawa hasil, maka penyelidikan kami
hentikan. Itu terjadi setahun yang lalu. Bukan tidak mungkin kalau pelakunya adalah
murid-muridmu. Lalu, arwah Bardewa yang penasaran muncul membalas dendam dan
membantai murid-muridmu!"
Kali ini giliran Ki Gawung yang menyunggingkan senyum mengejek. Puas hati lelaki
gagah itu dapat membalas hinaan dan fitnahan Ki Genawang dengan tidak kalah
menyakitkan.
Ganti Ki Genawang dan Ki Randita yang menjadi merah wajahnya. Mereka benar-
benar terkejut, tidak menyangka jika pertanyaan Ki Genawang akan mengakibatkan
pukulan yang cukup telak bagi Ketua Perguruan Pedang Baja.
Panji yang melihat ketegangan mulai terasa, segera mengangkat kedua tangannya.
Dan berujar lantang.
"Orang yang sudah mati tidak mungkin dapat bangkit kembali, apalagi sampai
membalas dendam dan membunuh orang yang telah menganiayanya semasa hidup. Kalau
itu benar terjadi, maka semua murid-murid Perguruan Pedang Baja yang tewas terbantai
akan bangkit dan bergentayangan mencari pembunuhnya! Nah, coba kalian pikirkan baik-
baik Apakah hal itu mungkin terjadi...?"
Suasana tegang dan bising itu pun mereda. Banyak di antaranya merasa ngeri jika
apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih benar-benar terjadi. Tentu saja tak seorang pun
yang percaya serta menginginkan peristiwa itu terjadi, termasuk Ki Gawung yang barusan
memulai ucapan takhayul itu.
"Kalau begitu, persoalan kita selesai sampai di sini. Mari sama-sama kita selidiki
siapa sebenarnya orang yang menyamar sebagai Bardewa maupun Ki Gawung. Aku yakin
manusia licik itu masih akan melanjutkan aksinya...," Panji kembali melanjutkan
ucapannya saat suasana masih tenang.
"Baiklah. Aku akan mencoba menyelidikinya...," ujar Ki Genawang akhirnya
menerima keputusan Pendekar Naga Putih. Demikian juga dengan Ki Gawung. Sehingga,
perselisihan mereda untuk sementara.
Melihat semuanya telah dapat diselesaikan dengan baik. Panji mengajak Kenanga
meninggalkan tempat itu. Mereka pun berpamitan dan berjanji akan membantu
menyelesaikan persoalan yang menimpa Perguruan Pedang Baja dan Perguruan Merak
Emas.
Ki Genawang pun mengajak Ki Randita meninggalkan Perguruan Merak Emas.
Guru dan murid itu tidak kembali ke perguruannya, tapi merantau untuk mencari orang
ketiga yang diduga Pendekar Naga Putih sebagai penyebab timbulnya persoalan itu.
LIMA
"Hampir saja terjadi pertumpahan darah...," desah dara jelita berpakaian serba
hijau dengan helaan napas panjang tanda kelegaan hatinya.
"Yahhh... Untunglah kita tidak terlambat dan dapat membuat mereka mengerti...,"
timpal pemuda tampan berjubah putih, juga dengan desahan panjang.
Langkah keduanya terus terayun menyusuri jalan yang dipenuhi batu-batu kecil.
Semakin lama jalan yang mereka lalui kian melebar. Di kiri dan kanan jalan terlihat
perkebunan milik penduduk. Tampak beberapa orang petani tengah sibuk mengerjakan
ladangnya.
"Ke mana kita, Kakang?" tanya dara jelita yang tidak lain Kenanga. Dan, siapa lagi
pemuda tampan berjubah putih di sebelahnya kalau bukan Panji atau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih.
Keduanya tampak tengah terlibat pembicaraan mengenai pertengkaran antara
Perguruan Pedang Baja dengan Perguruan Merak Emas. Mereka merasa lega karena
persoalan yang semula rumit dan hampir menyebabkan pertumpahan darah dapat
dicegah. Kedua belah pihak sama-sama bisa mengerti, membuat pasangan pendekar muda
itu merasa bersyukur. Dan, berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan itu
semampu mereka.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan kekasihnya. Matanya berputar mengawasi
sekelilingnya yang kira dipenuhi hamparan sawah dengan padi yang menguning segar.
Baru kemudian menoleh menatap wajah jelita itu dari samping.
"Mengingat kejadian berawal dari Desa Babakan, maka sebaiknya kita memulai
penyelidikan dari sana," jawab Panji, mengalihkan perhatiannya menatap jalan di sebelah
depannya yang kini berupa tanah lembab dan tidak rata.
"Hm...," Kenanga hanya bergumam menanggapi jawaban kekasihnya. Kemudian
terdiam, seolah tengah memikirkan tempat yang bernama Desa Babakan.
Cukup lama keduanya dicekam kebisuan. Sehingga, tanpa disadari mereka mulai
merasakan betapa sejuknya hembusan angin siang menjelang sore. Suara gemerisik
dedaunan terasa indah terdengar di telinga. Kebisuan untuk beberapa lama itu membuat
dua pendekar muda itu kembali merasakan keindahan alam.
"Kakang...."
Suara Kenanga memecah kebisuan di antara mereka. Panji yang menangkap
panggilan lembut itu sejenak terpana. Seolah merasakan suara itu merupakan bagian dari
keindahan alam. Hati Panji tergetar, dan mengulurkan tangannya yang segera memeluk
pinggang ramping dara jelita itu.
"Hm...," setelah beberapa saat kemudian, baru terdengar jawaban Panji yang hanya
berupa gumaman pelan.
Kenanga yang merasakan lengan kekasihnya melingkar di pinggangnya,
menggenggam telapak tangan pemuda yang dicintainya itu dengan penuh kehangatan.
Sejenak mereka menoleh dan tersenyum dengan pandangan penuh kasih.
"Apa Kakang percaya orang yang bernama Bardewa itu benar-benar telah tewas
seperti yang dikatakan Ki Gawung?" tanya Kenanga kembali mengalihkan perhatiannya ke
ujung jalan yang masih cukup panjang.
"Mengapa kau berkata demikian? Apa kau tidak memperhatikan betapa
bersungguh-sungguhnya wajah Ki Gawung saat mengucapkan perkataan itu. Aku percaya
ucapannya benar," jawab Panji sambil mengetatkan pelukannya pada pinggang dara jelita
itu.
"Bukan aku tidak percaya, Kakang. Tapi, kedengarannya agak aneh...," tukas
Kenanga menoleh sejenak dan kembali memandang ke depan.
"Maksudmu...?"
"Ya, aneh. Mengapa justru setelah setahun Bardewa tewas peristiwa ini baru
terjadi? Dan, mengapa pelakunya orang yang mirip Bardewa, bahkan memiliki ciri-ciri
yang serupa dengan Bardewa asli. Nah, apakah itu tidak aneh...?" ujar Kenanga
mengemukakan rasa herannya ketika mengingat semua ucapan Ki Genawang dan Ki
Gawung. Meskipun tidak ikut mencampuri pertengkaran kedua tokoh itu, tapi Kenanga
memperhatikan semua ucapan mereka dan mengingatnya dengan baik.
"Kau ini aneh, Kenanga. Justru di situlah letak persoalannya. Dan, kita harus
menyelidiki siapa sebenarnya orang yang diduga sebagai Bardewa oleh Ki Genawang dan Ki
Randita...," tukas Panji yang tiba-tiba menjadi genit dan mencubit pipi kekasihnya dengan
gemas.
Kenanga tertawa renyah penuh kemanjaan merasakan kemesraan yang memang
jarang mereka lakukan. Bahkan gadis itu menangkap tangan kekasihnya dan meletakkan
di wajahnya erat-erat. Bahagia sekali hati dara jelita itu membuat Panji terharu.
"Seharusnya gadis sejelita dirimu tidak berkeliaran mengembara seperti ini. Kau
lebih pantas tinggal di istana bermandikan kemewahan dan kebahagiaan di
sekelilingmu...," gumam Panji yang memang sadar kalau kekasihnya lebih pantas menjadi
putri keraton.
"Mulai lagi,..," rengek Kenanga, pura-pura marah. Ucapan itu memang sering
dikeluarkan Panji pada saat-saat seperti itu.
"Apa kau ingin bebas pergi ke mana-mana sendirian, dan dapat memikat setiap
gadis yang jatuh hati padamu. Enak saja mengatakan orang berkeliaran! Memangnya aku
binatang...?" Kenanga semakin merajuk, bahkan melepaskan pelukan tangan Panji dari
pinggangnya. Dan melangkah mendahului.
"Wah, ngambek..," cetus Panji tertawa perlahan. Kemudian tangannya terulur
menangkap tubuh dara jelita itu, dan diangkatnya ke atas bahu.
"Iiih! Kakang apa-apaan sih...?" Kenanga memekik kecil dan pura-pura
memberontak dari gendongan Panji. Namun pemuda itu hanya terbahak dan berlari cepat
sambil menggendong tubuh kekasihnya.
Kenanga terkekeh perlahan ketika tangan kekasihnya menggelitik tubuhnya. Saat-
saat seperti itu membuat mereka lupa bahwa mereka tokoh-tokoh besar yang dihormati
dan dipuja banyak orang. Tidak aneh, sebab mereka pun manusia biasa yang tidak
berbeda dengan manusia lainnya.
Kenanga meskipun seorang gadis pendekar yang mendapat gemblengan orang-
orang pandai, namun tidak melenyapkan sifat-sifat kewanitaannya, sebagaimana wanita-
wanita pada umumnya yang kadang membutuhkan perhatian lebih dan ingin bermanja-
manja dengan kekasihnya. Tapi, semua itu tertutup oleh kerasnya kehidupan yang mereka
jalani Karena, sebagai seorang pendekar dia harus selalu berhadapan dengan maut Dan,
sifat-sifat itu baru terlihat saat mereka berada di alam lepas yang penuh dengan
keindahan.
Demikian pula dengan Panji. Sejak kecil pemuda itu telah kehilangan orangtua, dan
hidup di tempat terpencil bersama gurunya. Segala kepahitan hidup telah dirasakan
pemuda itu hingga akhirnya berjumpa dengan Kenanga, gadis jelita yang telah merebut
hatinya. Semangat hidupnya pun semakin bertambah tinggi. Kekosongan jiwanya telah
terisi oleh sosok jelita yang juga mencintainya dengan setulus hati. Hingga di saat-saaat
tertentu, rasa ingin memanjakan sang kekasih pun muncul dan tercetus begitu saja. Tapi,
tentu saja kemesraan sepasang pendekar itu mempunyai batas-batas tertentu yang mereka
jaga berdua dengan teguh. Meski demikian, kemesraan itu terasa lebih indah dan nikmat
bagi mereka.
Ketika sang Mentari sudah semakin bergeser ke arah barat, Kenanga dan Panji
sudah menapakkan kakinya di Desa Babakan. Keduanya langsung menuju sebuah kedai
yang berada tak jauh dari mulut desa.
Seorang pelayan bertubuh kurus tinggi, menyambut kedatangan Panji dan Kenanga
dengan sikap ramah. Dan mengantarkan pasangan pendekar muda itu ke sebuah meja
yang masih kosong. Segera saja keduanya memesan makanan.
"Sebentar, Paman...."
Langkah pelayan itu terhenti, dan menoleh ke arah dara jelita berpakaian hijau
yang memanggilnya.
"Ada apa, Nisanak..?" tanya pelayan bertubuh tinggi kurus, membungkukkan
tubuh dengan sikap hormat.
"Mmm.... Apakah kedai ini juga menyediakan kamar untuk menginap?" tanya
Kenanga yang rupanya telah bersepakat dengan kekasihnya untuk melewatkan malam di
desa itu Karena saat itu hari sudah gelap.
"Betul, Nisanak..," sahut pelayan kedai cepat. Dan mengatakan akan merapikan
kamar yang akan digunakan Panji dan Kenanga yang memesan dua kamar.
Baru saja pelayan itu berbalik hendak meninggalkan meja pasangan pendekar
muda itu, tiba-tiba terdengar suara ribut. Lalu muncullah sosok-sosok tubuh yang tampak
gagah dengan pakaian merah bergaris-garis hitam yang memanjang ke bawah. Suara ribut
barusan ternyata berasal dari mereka, yang berbicara satu sama lain sambil memasuki
kedai. Tentu saja kedatangan delapan orang itu membuat para pengunjung kedai menoleh
dengan kening berkerut.
Kepala rombongan yang berjalan paling depan, menghentikan langkahnya sejenak
dan mengedarkan pandang matanya dengan tatapan tajam menusuk. Melihat raut
wajahnya yang gelap, jelas lelaki bertubuh tegap bercambang bauk itu tengah dilanda
kemarahan. Sehingga pengunjung kedai yang kebetulan bentrok dengan mata lelaki itu,
langsung menunduk atau mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Mereka tidak ingin
menjadi sasaran kemarahan lelaki tegap itu.
Dengan langkah lebar lelaki tegap itu menghampiri dua buah meja kosong. Dan,
bersama dengan rombongannya mereka menempati meja itu. Kemudian melambaikan
tangannya memanggil pelayan kedai yang cepat-cepat mengangguk hormat. Tapi, karena
saat itu pelayan kedai sedang sibuk menyiapkan pesanan tamu-tamu lainnya termasuk
Panji dan Kenanga, pelayan kedai itu pun tidak bisa menyambut kedatangan rombongan
itu sebagaimana biasanya.
Merasa panggilannya tidak dipedulikan, wajah lelaki tegap itu tampak semakin
kelam. Sepasang matanya mencorong tajam bagai hendak menelan tubuh pelayan itu
bulat-bulat!
"Hel, Pelayan! Apa kau tuli...?!" teriak lelaki tegap itu sambil menggebrak meja di
depannya.
Tentu saja pengunjung kedai terkejut dengan suara ribut itu. Beberapa di
antaranya mengerling tak senang karena merasa terganggu oleh perbuatan lelaki tegap itu.
Tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menelan kedongkolan hatinya.
Sedangkan pelayan kedai tampak sangat terkejut. Wajahnya mendadak pucat
karena bentakan lelaki tegap berwajah brewok itu. Maka, pelayan itu segera menghampiri
setelah didesak pemilik kedai yang tidak ingin ada keributan di dalam kedainya. Apalagi
karena kesalahan pelayannya yang tidak bisa melayani tamu.
"Ada apa..., Tuan...?" tanya pelayan kedai seraya membungkukkan tubuh berkali-
kali, sebagai permintaan maafnya. Karena dia tidak ingin dipecat dari pekerjaan hanya
karena gara-gara tidak bisa melayani tamu dengan baik.
"Hm..., mengapa ketika kupanggil tadi kau tidak segera datang? Apa kau kira kami
tidak punya uang untuk membayar harga makanan yang akan kami pesan? Kau benar-
benar membuat aku marah!" geram lelaki berwajah brewok langsung mengulurkan tangan
mencengkeram leher baju pelayan itu dan menariknya ke bawah.
"Ampun..., Tuan...," pinta pelayan itu mengiba. Hampir saja tubuhnya tersungkur
mencium tanah. Untung lelaki brewok itu tidak melepaskan cengkeraman pada leher
bajunya. Sehingga, tubuh pelayan sial itu tertahan dan tidak sampai tersungkur ke tanah.
"Mengapa kau berbuat demikian pada kami, hah! Ayo, jawab?!" bentak lelaki gagah
berwajah brewok yang seperti mendapatkan tempat untuk menyalurkan kemarahan yang
terpendam di dadanya.
"Aku..., sedang sibuk menyiapkan pesanan untuk tamu-tamu lainnya, Tuan.
Jadi..., maaf kalau aku belum bisa melayani Tuan dengan baik. Maklumlah tanganku
cuma ada dua...," tukas pelayan itu membela diri.
"Keparat! Kau mau mempermainkan aku rupanya. Siapa yang bilang tanganmu ada
sepuluh, heh...?!" jawaban itu rupanya dianggap main-main, sehingga kemarahan lelaki
brewok itu semakin berkobar. Tangannya pun melayang melengkapi bentakan-
bentakannya yang menggelegar.
Plakkk!
"Ahhh...?!"
Tubuh pelayan tinggi kurus itu langsung terpelanting mencium tanah. Tampak
tanda merah berupa garis-garis jari tangan pada pipi kiri pelayan kedai yang bergerak
bangkit sambil merintih kesakitan. Pada sudut bibirnya terlihat ada cairan merah.
Melihat ketidakadilan berlangsung di depan mata, Panji dan Kenanga bergerak
bangkit bersamaan ingin mencegah kejadian selanjutnya. Tapi, kedua pendekar muda itu
menahan langkahnya ketika tiba-tiba....
"Manusia kurang ajar dari mana yang berani mengacau di tempat ini?"
Bersamaan dengan ucapan itu, seorang lelaki tinggi besar yang hanya mengenakan
rompi, memperlihatkan dada yang bidang dan berbulu lebat, bergerak maju menghampiri
rombongan lelaki berpakaian merah dengan garis-garis hitam memanjang ke bawah itu.
Bentakan keras itu membuat kepala rombongan dan anggotanya menolehkan
kepala ke arah asal suara. Mereka mengerutkan kening ketika melihat seorang lelaki tinggi
besar tengah bergerak menghampiri meja mereka. Rupanya mereka sudah dapat menebak
apa yang akan dilakukan lelaki tinggi besar itu.
Melihat ada sasaran lain untuk tempat menumpahkan kemarahannya, lelaki tegap
berwajah brewok bergerak bangkit dari kursinya. Kemudian melangkah menyambut
kedatangan lelaki tinggi besar yang masih lebih kekar dan lebih tinggi dari tubuhnya.
Bahkan, wajah lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun itu
ditumbuhi bulu-bulu hitam yang lebat. Sehingga, penampilannya tampak jantan dan kuat.
Kedua lelaki kekar itu saling berhadapan dalam jarak enam langkah. Dan, dua
pasang mata mereka saling tatap dengan sorot mata tajam menikam jantung. Agaknya,
keributan tidak bisa dihindari lagi.
"Hm.... Apa maumu, Kerbau Dungu...?!" desis lelaki berwajah brewok kepala
rombongan orang berpakaian merah. Kepalanya agak sedikit terangkat, karena tubuh
lawan lebih tinggi sedikit
"Hm.... Seharusnya akulah yang bertanya padamu, Orang Gila! Apa maksudmu
membuat keributan dengan menyiksa pelayan kedai yang tidak bersalah apa-apa itu? Kau
pikir dirimu siapa, sehingga minta dilayani lebih dulu? Sedangkan tamu-tamu lain banyak
yang masih menunggu pesanannya datang!" sergah lelaki tinggi besar yang sosoknya
laksana harimau muda jantan. Sepasang matanya menatap tak berkedip, menentang
pandang mata lawannya.
"Kurang ajar! Berani kau menghinaku seperti itu! Rupanya kau belum mengenali
siapa aku, heh!" geram kepala rombongan yang sudah mengepalkan tinjunya erat-erat.
Tanpa peringatan lebih dulu, kepalannya langsung melayang menuju dada lawan.
Lelaki tinggi besar yang agaknya penduduk desa itu tampak tidak berusaha untuk
mengelak. Rupanya, dia merasa yakin akan kekuatan daya tahan tubuhnya yang akan
mampu meredam pukulan keras itu. Dan...
Bukkk!
"Uhhh...?!"
Lelaki tinggi besar yang wajahnya tertutup cambang bauk itu mengeluh kaget.
Tubuhnya terhuyung saat pukulan lawan menghajar dadanya. Dia kelihatan sangat
terkejut dan tidak mempercayai apa yang baru saja dialaminya. Karena tubuh yang
biasanya kebal terhadap pukulan, ternyata terasa sakit. Dan kulit dadanya yang terpukul
meninggalkan tanda merah yang nyata.
"Grrr...!"
Lelaki tinggi besar itu menggereng gusar. Sepasang matanya memerah sebagai
tanda kalau dia sangat marah. Maka, seiring dengan teriakannya yang parau, kepalannya
datang menyambar tubuh lawan bertubi-tubi.
Bettt, bettt, bettt..!
Sayang, tak satu pun kepalan sebesar kepala bayi itu mengenai sasaran. Karena
kepala rombongan itu sudah mengelak ke kiri dengan mengandalkan kegesitannya.
Sehingga, lelaki besar itu semakin bertambah murka.
"Hm...," kepala rombongan orang-orang berpakaian merah dengan garis-garis hitam
memanjang ke bawah menggeram perlahan ketika lawannya kembali melanjutkan
serangan.
Kelihatan jelas betapa lelaki tinggi besar itu tidak memiliki kepandaian silat dan
hanya mengandalkan kekuatan otot-otot tubuhnya secara alami. Akibatnya, lelaki tinggi
besar itu tidak dapat berbuat banyak. Karena melihat dari caranya mengelak, kepala
rombongan itu jelas merupakan pesilat yang pandai.
"Heaaah...!"
Ketika kepalan-kepalan yang besar itu kembali datang menyambar, lelaki tegap itu
hanya perlu memiringkan tubuhnya dan menangkap pergelangan tangan lawan.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, diputarnya tangan lelaki tinggi besar itu hingga menjerit
kesakitan.
Kemudian kaki kanannya mencelat naik ke dagu lawan.
Desss!
"Aaargh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki tinggi besar itu terjengkang ke belakang menimpa
meja yang langsung berderak patah. Sedangkan tubuh yang besar dan berat itu terbanting
ke lantai dengan kerasnya.
"Uuuh...!"
Terdengar lelaki tinggi besar itu mengeluh sambil memegangi dagu yang tulang-
tulangnya terasa patah. Barulah dia sadar bahwa lelaki tegap yang berangasan itu bukan
lawan yang sebanding dengannya. Karena dia hanya orang kasar yang bekerja sebagai
penebang kayu di hutan. Dan kekuatan tabunnya tidak mampu melawan lelaki tegap
berpakaian merah bergaris-garis hitam, yang ternyata memiliki ilmu silat tinggi.
"Bangun...!" bentak lelaki tegap yang rupanya masih belum puas melampiaskan
kemarahannya. Sosoknya telah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Dan kedua
tangannya terkepal, siap memberikan hajaran selanjutnya.
"Tahan...!"
Baru saja kepala rombongan itu hendak mengayunkan kepalannya ke kepala lawan
yang tengah bergerak bangkit, terdengar bentakan nyaring yang membuat gerakan lelaki
tegap itu tertunda. Ada bias keheranan pada wajahnya. Karena bentakan yang
membuatnya menahan gerakan adalah suara wanita. Lelaki itu dapat membedakannya,
sebab suara itu bening dan halus.
Sepasang mata lelaki tegap itu terbelalak melihat dugaannya ternyata tidak
meleset. Ditatapnya sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau yang berdiri tegak, di
belakangnya. Kemudian terus naik meneliti raut wajah sosok ramping yang ternyata
sangat cantik laksana bidadari. Tentu saja lelaki tegap itu semakin bertambah heran.
"Siapa kau, Nisanak..?" tanya sosok tegap itu tanpa melewatkan kesempatan
menatap wajah wanita di depannya. Rupanya, lelaki itu merasa sayang jika harus
melewatkan begitu saja wajah yang demikian mempesona. Meski begitu, tidak terlihat
kekurangajaran dalam pandang matanya, yang terbatas hanya sekadar mengagumi
kejelitaan sosok dara berpakaian serba hijau itu.
Melihat tatapan mata lelaki tegap itu yang sedikit pun tidak menyiratkan maksud-
maksud kotor selain hanya mengagumi, Kenanga jadi agak ragu dan menduga kalau lelaki
tegap itu sebenarnya bukan orang jahat.
"Mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sehingga dia jadi cepat naik
darah...?" gumam batin dara jelita itu menduga-duga. Tapi, meskipun begitu Kenanga
tidak bisa membiarkan lelaki itu mengumbar kemarahannya pada setiap orang. Dia harus
menghentikannya.
"Aku sama sepertimu, pengunjung kedai ini yang juga belum dilayani. Bedanya aku
tidak marah-marah, karena aku sadar bukan aku seorang yang harus dilayani...," ujar
Kenanga dengan sorot mata tajam menikam jantung lelaki tegap itu.
"Pelayan itu terlalu kurang ajar, dan tidak memandangku sedikit pun. Buktinya,
panggilanku tidak diperhatikan. Jadi, wajar saja jika aku memberi sedikit pelajaran
kepadanya agar lain kali bisa melayani orang lebih baik...," tandas lelaki tegap itu masih
tidak mau disalahkan. Jelas dia merasa tindakannya sudah benar. Tentu saja kebenaran
menurut dirinya sendiri, dan bukan menurut pandangan umum.
"Kau terlalu sombong dan keras kepala, Kisanak. Jelas perbuatanmu itu salah, tapi
kau belum juga mau mengakuinya. Apa sebenarnya yang kau inginkan...?" tukas Kenanga
dengan sikap menantang. Dia memang ingin memberi pelajaran pada lelaki tegap itu, agar
lain kali tidak berbuat sesuka hatinya.
"Hm.... Aku tidak sudi melawan seorang wanita, itu merupakan pantangan
bagiku...!" tegas lelaki tegap itu ingin mengungkapkan bahwa Kenanga tidak pantas
menghadapinya.
"Hhh.... Semula kuduga yang akan kuhadapi harimau garang. Nyatanya, hanya
seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya...," gumam
Kenanga yang meskipun pelan tapi telak menusuk jantung, membuat wajah lelaki tegap
itu merah.
"Jangan memancing kemarahanku, Nisanak!" geram lelaki tegap berpakaian garis-
garis hitam dengan nada mengancam.
"Hm.... Justru itulah yang kuinginkan. Cepatlah kau tunjukkan kebiasaanmu di
hadapanku...," tantang Kenanga lagi tanpa mempedulikan peringatan calon lawannya.
"Kurang ajar! Kalau dibiarkan, kau pasti akan semakin bertambah kurang ajar...!"
Lelaki tegap itu rupanya sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi, sepasang
matanya mencorong tajam. Telapak tangannya langsung bergerak ingin memberi tamparan
ke wajah Kenanga agar gadis itu jera. Tapi....
Whuuut..!
"Eh...?!"
Bukan main kagetnya hati lelaki tegap itu melihat tubuh gadis itu lenyap seperti
asap terbawa angin! Sehingga, tamparannya mengenai tempat kosong!
"Hi hi hi... Apa yang kau cari, Manusia Pikun...?!" ejek Kenanga ketika melihat
lelaki tegap itu menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah bodoh. Rupanya dia merasa
kehilangan lawan.
Mendengar suara tawa mengejek dari belakangnya, lelaki tegap itu langsung
menoleh. Dilihatnya dara jelita itu tengah menutupi mulutnya. Sadarlah lelaki tegap itu
kalau lawannya ternyata bukan wanita sembarangan.
"Hm.... Pantas kau berani menantangku! Rupanya kau mempunyai sedikit
kepandaian! Tapi, jangan harap kau bisa melepaskan diri dari si Tapak Maut!" geram lelaki
tegap itu membanggakan julukannya. Setelah berkata demikian, lelaki itu pun lalu
mempersiapkan jurusnya untuk menyerang.
Kenanga sendiri tetap tenang tanpa mempersiapkan kuda-kuda. Sehingga Tapak
Maut menjadi semakin geram karena merasa dipandang remeh.
"Heaaat..!"
Disertai sebuah teriakan nyaring, tubuh Tapak Maut bergerak maju dengan
langkah-langkah cepat. Sepasang tangannya bergerak menyambar-nyambar dengan cepat
dan kuat
Bettt! Bettt!
Kenanga menarik mundur langkahnya dengan tubuh doyong ke belakang. Begitu
sambaran telapak tangan lawan lewat, kakinya langsung mencuat naik melakukan
tendangan kilat dalam kedudukan lurus ke depan.
Plakkk!
"Uhhh...?!"
Begitu melihat gadis itu melontarkan tendangan. Tapak Maut langsung
memapakinya dengan hantaman telapak tangan. Maksudnya jelas hendak membuat kaki
dara itu cidera dengan tamparannya. Tapi, apa yang dirasakannya membuat lelaki tegap
itu hampir tidak percaya.
"Gila...!" desis Tapak Maut ketika merasa telapak tangannya nyeri akibat menahan
tendangan dara jelita itu.
Lelaki tegap itu semakin sadar kalau lawannya bukan gadis sembarangan. Selain
memiliki kecepatan yang mengagumkan dan sukar diikuti mata, tenaga dalam gadis itu
pun masih beberapa tingkat di atasnya.
"Mengapa berhenti, Kisanak? Apa kau sudah menyerah?" ejek Kenanga membuat
wajah Tapak Maut berubah gelap. Ucapan gadis jelita itu membuatnya sangat malu.
Kenanga sendiri tidak peduli. Niatnya memang hendak memberi pelajaran pada
lelaki tegap itu, agar lain kali tidak sembarangan mengumbar kemarahan.
ENAM
"Haaat..!"
Tapak Maut kembali membuka serangan dengan menggunakan 'Ilmu Tapak
Maut'nya. Nampaknya kali ini lelaki itu benar-benar hendak merobohkan lawan, tanpa
ingat lagi akan perkataannya bahwa dirinya pantang bertarung dengan wanita. Bahkan
kelihatan sekali Tapak Maut sangat bernafsu.
Whuttt... whuttt..!
Sepasang telapak tangan lelaki tegap itu berkelebatan cepat disertai sambaran
angin kuat, membuat meja dan kursi terlempar ke kiri dan kanan terkena sambaran
tangannya.
Tapi, meskipun serangan yang dilancarkan Tapak Maut demikian gencar, Kenanga
tetap tidak kelihatan repot. Hanya dengan mengandalkan kelincahannya, dara jelita itu
dapat menghindari setiap sambaran telapak tangan lawan. Bahkan sesekali membalas
dengan pukulan satu dua untuk menghambat gempuran yang semakin gencar.
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan telah melewati jurus ketiga puluh, Kenanga tiba-tiba
mengeluarkan bentakan yang mengejutkan. Pukulan kanan lawan yang mengancam
pelipisnya dielakkan gadis itu dengan memiringkan tubuh. Kemudian, langsung
melepaskan sebuah pukulan dari bawah ke atas dengan kecepatan kilat.
Bukkk!
"Hukkkh...!"
Terlambat bagi Tapak Maut untuk mengelak. Dadanya terkena hantaman kepalan
mungil yang mengandung tenaga dalam kuat. Membuat tubuh lelaki tegap itu terjengkang
ke belakang dan menimpa meja hingga pecah berantakan.
"Uhhh...."
Tapak Maut berusaha bangkit menyingkirkan pecahan meja di sekeliling tubuhnya.
Wajahnya tampak agak pucat. Karena pukulan yang mengenai dada itu sempat
membuatnya sulit bernapas. Cairan merah yang menetes di sudut bibir, menandakan
lelaki tegap itu mengalami luka dalam yang cukup mengganggu.
Sementara itu, ketujuh orang kawan Tapak Maut sudah bangkit dari kursi. Mereka
langsung menghunus senjata dan berloncatan mengepung Kenanga.
"Perempuan liar! Kau akan menyesali perbuatanmu......!" geram seorang kawan
Tapak Maut yang bertubuh pendek kekar. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa
hingga menimbulkan deraan angin tajam.
Panji yang sejak tadi hanya duduk memperhatikan jalannya pertarungan, ikut
bergerak bangkit dari kursi. Kemudian menggerakkan kepala ketika Kenanga menoleh ke
arahnya. Gerakan itu merupakan isyarat agar dara jelita itu keluar dari ruangan kedai
yang belum seluruhnya berantakan.
Melihat isyarat kekasihnya, Kenanga langsung melesat meninggalkan ruangan
kedai. Sekali menyentakkan kaki ke tanah, tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau
itu melayang keluar bagaikan seekor burung walet.
"Hei! Hendak lari ke mana kau, Perempuan Liar...?!" bentak lelaki pendek kekar
yang mengira gadis jelita itu hendak melarikan diri. Cepat tubuhnya bergerak menyusul,
diikuti keenam orang kawannya.
Tapak Maut pun tidak mau ketinggalan. Meski dadanya dirasakan masih agak
nyeri, lelaki tegap itu memaksakan diri untuk mengejar gadis jelita yang telah
merobohkannya.
Panji yang lebih dulu tiba di luar kedai, segera mengisyaratkan agar Kenanga
mundur. Menurutnya, Kenanga sudah cukup memberi pelajaran pada lelaki tegap yang
berjuluk Tapak Maut. Dan sekarang pemuda itu hendak menyelesaikan persoalan ini
sendiri.
Kenanga tidak membantah. Gadis itu merasa sudah cukup puas menghajar Tapak
Maut yang berangasan. Tanpa banyak cakap lagi, dara jelita itu melangkah mundur dan
berdiri di tepi jalan.
"Tunggu...!" Panji berteriak mencegah ketika lelaki pendek kekar bersama enam
orang kawannya hendak mengejar Kenanga. Sehingga ketujuh orang itu menahan
langkahnya, dan memandang pemuda tampan berjubah putih di depannya dengan sinar
mata mengancam.
"Minggir! Aku tidak mempunyai urusan denganmu...!" bentak lelaki pendek kekar
sambil mengacung-acungkan pedangnya, menakut-nakuti.
Tapak Maut yang tiba belakangan, tampak menatap sosok pemuda tampan
berjubah putih itu dengan kening berkerut. Dia sempat mengenali kalau pemuda itu
sebagai kawan gadis berpakaian serba hijau yang barusan bertarung dengannya. Maka,
kakinya melangkah menghampiri pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya? Dan dari mana asalmu...?" tanya Tapak Maut
yang rupanya menduga kalau pemuda itu pasti bukan orang sembarangan. Jika gadis
jelita itu sudah demikian tinggi kepandaiannya, tentu pemuda tampan itu memiliki
kepandaian yang lebih tinggi lagi.
"Tapak Maut aku bernama Panji. Sedangkan kawanku itu Kenanga. Kami berdua
perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Karena di antara kita tidak
ada permusuhan sebelumnya, aku minta agar perselisihan ini kita sudahi sampai di sini,"
jawab Panji memperkenalkan diri.
"Tidak bisa!" bentak Tapak Maut keras. "Setelah melukaiku, berarti di antara kita
telah ada persoalan! Dan, aku ingin menyelesaikannya sampai tuntas!"
"Dengar, Tapak Maut!" tegas Panji dengan sinar mata mencorong tajam, membuat
lelaki itu bergidik memandangnya. "Keributan di dalam kedai tadi karena ulahmu yang
sombong dan mau menang sendiri! Seharusnya kau bisa menahan sabar dan tidak
mengumbar kemarahanmu pada setiap orang yang kau temui. Itu jelas tidak benar! Jadi,
wajar jika kawanku terpaksa menghentikan kelakuanmu yang tidak pantas itu. Kalau kau
mempunyai persoalan yang membuat kepalamu pusing, tidak sepantasnya kau
tumpahkan pada orang lain. Itu tidak adil namanya...."
"Biarpun begitu, tidak seharusnya kawan wanitamu itu mempermalukan aku di
depan orang banyak'" bentak Tapak Maut terpaksa mengajukan alasan yang kurang tepat.
Karena lelaki tegap itu tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar ucapan pemuda
tampan berjubah putih.
Panji tersenyum mendengar bantahan Tapak Maut Pendekar Naga Putih tahu kalau
alasan itu hanya dicari-cari dan tidak kuat.
"Tapak Maut. Kami berdua bukanlah orang-orang yang suka mencari keributan.
Bahkan, kami seringkali berusaha menghindarinya dengan mencari jalan damai. Sekarang
aku menawarkan jalan damai itu kepadamu. Terserah apa jawabanmu, kami siap
menerimanya," ujar Panji menyembunyikan tantangan, dan menyatakan secara tidak
langsung bahwa dia dan Kenanga tidak takut bertarung.
Mendengar tantangan tersembunyi itu. Tapak Maut kelihatan ragu. Sebab, jika
mendengar ucapan serta melihat sikap pemuda itu, jelas Panji bukan orang sembarangan.
"Hhh...."
Terdengar lelaki tegap itu menghela napas panjang sebagai tanda keresahan
hatinya. Rupanya dia merasa gentar juga dengan sikap tenang yang ditunjukkan Panji.
Karena dia mulai dapat menduga-duga siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
Tapak Maut bukanlah orang asing dalam kalangan persilatan. Pengetahuannya
tentang tokoh-tokoh golongan putih maupun golongan hitam cukup luas. Itu tidak aneh,
karena Tapak Maut beserta rombongannya adalah pengantar barang yang sering bepergian
sampai ke tempat yang jauh sekali. Dan, dari pekerjaannya itu, dia banyak mendapat
pengetahuan. Baik mengenai tokoh-tokoh puncak sampai yang baru muncul. Selain itu,
Tapak Maut beserta anggotanya tidak pernah ketinggalan mengikuti perkembangan yang
terjadi di kalangan persilatan. Itu sebabnya mengapa dia dapat menduga-duga siapa
pemuda tampan berjubah putih yang berdiri di hadapannya.
Melihat Tapak Maut termenung mengikuti arus pikirannya yang melayang-layang,
Panji merasa lega. Karena menurutnya itu merupakan pertanda baik. Mungkin lelaki itu
tengah memikirkan jawaban apa yang akan diberikan atas tawaran Panji. Kalau tidak,
mana mungkin dia sampai termenung demikian lama?
"Kisanak, sebutkan julukanniu! Karena sepertinya aku sudah bisa menebak siapa
dirimu sebenarnya," ujar Tapak Maut tiba-tiba, begitu terbebas dari lamunannya.
"Terkalah olehmu. Tapak Maut…," tukas Panji tanpa menjawab pertanyaan tokoh
itu.
"Hm… Kalau aku tidak salah lihat. Kau pasti Pendekar Naga Putih. Apakah
dugaanku keliru...?" ujar Tapak Maut yang rupanya dapat menebak dengan tepat. Sebab,
lelaki itu sebelumnya telah mendengar ciri-ciri tokoh muda berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Matamu ternyata sangat tajam, Tapak Maut" puji Panji tulus. "Sekarang kita
kembali pada tawaranku tadi...."
"Dengan memandang nama besarmu, aku bersedia mengakhiri persoalan ini
sampai di sini...," jawab Tapak Maut memilih berdamai setelah mengetahui siapa pemuda
berjubah putih itu sebenarnya.
"Syukurlah. Aku merasa lega dengan jawabanmu..," ucap Panji menghembuskan
napas panjang sebagal tanda kelegaan hatinya. Kemudian menyalami lelaki tegap itu yang
langsung memeluk tubuh Panji. Rupanya, Tapak Maut pun sangat mengagumi pendekar
muda itu. Sehingga, lelaki itu segera mempergunakan kesempatan selagi pemuda itu
menyalaminya.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," desah lelaki tegap itu terharu sekaligus
bertambah kagum.
Pendekar muda yang terkenal itu ternyata memiliki hati yang bijaksana dan
pandangan yang luas serta pemaaf. Tentu saja Tapak Maut merasa bangga dapat
berkenalan lebih dekat dengan Panji.
Suasana yang semula tegang berubah gembira. Tidak ada lagi rasa permusuhan
atau dendam di hati Tapak Maut maupun kawan-kawannya. Kegembiraan semakin
lengkap ketika lelaki tegap itu mengajak Panji dan Kenanga merayakan perdamaian itu di
kedai tempat mereka semula bertarung.
***
"Apa sebenarnya yang membuatmu tampak menahan marah ketika datang ke kedai
ini?" tanya Panji saat mereka telah berada di dalam kedai.
"Hhh.... Sebenarnya masalah itu memang tidak seharusnya membuatku lupa diri,
dan menumpahkannya pada orang lain," sesal Tapak Maut seraya menghela napas
panjang. Wajah lelaki tegap itu kelihatan murung dan menyimpan dendam serta kedukaan
yang dalam.
Melihat perubahan wajah lelaki tegap itu. Panji jadi semakin ingin tahu apa
sebenarnya yang telah menimpanya. Setelah menunggu cukup lama namun tak juga ada
kata yang terucap dari bibir Tapak Maut, akhirnya terlontar pertanyaan dari mulut Panji.
"Boleh aku tahu, apa yang telah kau alami,..?" tanya Panji memandang wajah di
depannya.
"Peristiwa ini benar-benar membuat hatiku penasaran!" ujar Tapak Maut, setelah
terdiam beberapa saat lamanya. "Beberapa waktu yang lalu empat orang kawanku
melakukan perjalanan untuk mengantarkan barang pesanan salah seorang pelanggan
kami. Ketika pada hari yang telah kuperhitungkan mereka sudah harus kembali, ternyata
tak seorang pun yang muncul. Karena keterlambatan itu sebelumnya tidak pernah terjadi,
timbul kecurigaanku. Dengan tujuh orang anggota yang tersisa, kami pun melakukan
penyelidikan. Apa yang kemudian kami temukan benar-benar membuat penasaran!
Keempat kawan kami menggeletak tewas di tepi sebuah hutan. Kereta yang seharusnya
berisi barang pesanan, lenyap tanpa bekas. Jelasnya, kemungkinan besar mereka telah
dihadang perampok. Anehnya, sepanjang pengetahuan kami, di daerah sekitar tempat itu
tidak terdapat komplotan perampok. Sehingga, meskipun kami telah menelusuri seluruh
wilayah hutan hingga beberapa desa, tidak ada tanda-tanda adanya gerombolan perampok
Nah, itulah yang membuatku pening dan mudah tersinggung." Tapak Maut termenung
setelah menceritakan persoalannya pada Panji. Sehingga pemuda itu mulai mengerti
mengapa lelaki tegap itu bersikap aneh ketika datang ke Desa Babakan. Tapi, keributan itu
tidak sampai membawa korban. Bahkan memberi hikmah yang membuat mereka
bersyukur, kejadian itu telah memperkenalkan mereka satu sama lain.
"Hm.... Jika demikian, kemungkinan besar mereka bukan perampok-perampok
biasa...," gumam Panji setelah terdiam beberapa saat dan mengkaji cerita Tapak Maut.
"Maksudmu...?" tanya Tapak Maut menegasi. Lelaki itu belum bisa menangkap ke
mana arah pembicaraan Panji.
"Begini. Kalau benar yang telah membunuh kawan-kawanmu gerombolan
perampok, pasti mereka mempunyai markas. Dan markas itu tentu sudah ditemukan,
mengingat seluruh daerah itu telah kau jelajahi. Tapi, ternyata mereka lenyap tanpa jejak
itu hanya berarti satu. Mereka bukan perampok yang sesungguhnya. Jelasnya, mereka
bukan perampok tapi tahu tentang barang yang tengah kalian kawal," ujar Panji
menjelaskan maksud perkataannya.
"Hm..., ya. Kemungkinan itu memang bisa terjadi. Tapi, siapa kira-kira yang
melakukan perbuatan biadab itu? Sebab, selama ini kami tidak mempunyai musuh dan
selalu mengikat tali persahabatan dengan tokoh-tokoh persilatan...?" ujar Tapak Maut
semakin bertambah bingung setelah mendengar ucapan Panji.
"Sebaiknya kita lihat saja nanti. Karena saat ini aku tengah mencari seorang lelaki
berkumis lebat yang bernama Bardewa," tukas Panji membuat Tapak Maut menoleh dan
memandang wajah pemuda itu, yang juga kebetulan tengah memandangnya.
"Apa hubungannya orang yang bernama Bardewa dengan terbunuhnya kawan-
kawanku...?" tanya Tapak Maut tidak mengerti ketika Panji menghubungkan pembunuhan
itu dengan orang yang dicarinya.
"Kemungkinan besar ada hubungannya. Karena Bardewa seorang manusia licik
yang sangat pandai menyamar. Beberapa hari yang lalu Bardewa telah mengelabui tokoh-
tokoh Perguruan Pedang Baja dan Perguruan Merak Emas. Sehingga, kedua perguruan itu
bentrok dan membawa korban nyawa yang tidak sedikit," jelas Panji membuat Tapak Maut
mengangguk-anggukkan kepala.
"Iblis Wajah Seribu...?!" desis Tapak Maut dengan wajah berubah. Sehingga
membuat Panji mengerutkan kening saat mendengar disebutnya nama tokoh sesat yang
menggetarkan itu.
"Iblis Wajah Seribu...?!" Panji menggumamkan julukan itu, karena sebelumnya
memang pernah mendengarnya.
"Ya. Hanya tokoh sesat yang berjuluk Iblis Wajah Seribu satu-satunya manusia
yang bisa menirukan wajah siapa saja," tegas Tapak Maut dengan nada suara agak kering.
Jelas, lelaki tegap itu merasa gentar dengan tokoh sesat itu.
"Hm... Aku pun pernah mendengar nama tokoh sesat itu. Tapi.... Apa mungkin
orang itu yang melakukan semua ini? Setahuku tokoh itu telah lama menghilang di dunia
ramai. Kalaupun muncul kembali, mungkin usianya telah mencapai seratus tahun
lebih...!" ujar Pendekar Naga Putih teringat akan cerita gurunya mengenai tokoh sesat yang
pernah menggetarkan rimba persilatan dengan berbagai ulahnya.
Tapak Maut pun mengetahui hal itu. Sehingga, ikut-ikutan termenung memikirkan
kemungkinan yang sangat mustahil itu. Nama Iblis Seribu Wajah memang muncul pada
puluhan tahun yang lalu, dan saat itu dia telah berumur sekitar tujuh puluh tahun. Jadi,
bagaimana mungkin tokoh itu kini muncul dan membuat kekacauan?
"Yahhh..., memang sulit untuk dipastikan. Tapi, siapa tahu diam-diam tokoh sesat
itu telah mendapatkan seorang murid yang berbakat, dan mewarisi seluruh ilmu-
ilmunya...," ujar Panji menduga-duga, membuat Tapak Maut tercenung memikirkan
kemungkinan itu.
"Kemungkinan besar Bardewa murid tokoh sesat itu, Kakang," Kenanga yang sejak
tadi hanya diam mendengarkan, tiba-tiba ikut menimpali. Rupanya dara jelita itu tertarik
mendengar tokoh sesat yang berjuluk Iblis Wajah Seribu.
"Ya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tapi, aku lebih suka berharap Bardewa
bukan murid Iblis Wajah Seribu. Sebab bila hal itu benar, celakalah dunia persilatan.
Ulahnya pasti akan membuat gempar!" ujar Panji.
"Demikian pula aku...." tukas Tapak Maut yang juga mengharapkan hal serupa
dengan Panji.
"Biarpun demikian, kita harus segera bertindak, Kakang. Aku khawatir Bardewa
akan membuat ulah lagi...," ujar Kenanga yang merasa khawatir Bardewa akan kembali
membuat ulah dengan mengadu domba tokoh-tokoh persilatan.
"Benar. Kita harus mencari orang yang bernama Bardewa...," Tapak Maut juga
mengajukan usul serupa dengan Kenanga.
"Memang. Itu seharusnya kita lakukan secepat mungkin. Tapi kita belum
menemukan petunjuk yang pasti, di mana kira-kira Bardewa sekarang berada. Karena
kemungkinan besar dia sudah melarikan diri dari tempat ini, mengingat Ki Genawang dan
Ki Gawung telah mengenali wajahnya," ujar Panji membuat Kenanga dan Tapak Maut
bingung sesaat.
"Hm... Mudah-mudahan orang itu belum lari jauh, dan ingin melihat lebih dulu
hasil perbuatannya...," harap Kenanga dengan suara perlahan.
Suasana pun berubah hening. Ketiga orang itu termenung mengikuti arus pikiran
masing-masing.
TUJUH
Matahari baru saja muncul di kaki langit sebelah timur. Serombongan penunggang
kuda tampak bergerak melewati mulut Desa Babakan. Suara derap dan ringkikan kuda
serta bentakan-bentakan penunggangnya, membuat penduduk setempat mengerutkan
kening tak senang. Namun, mereka hanya bisa memandang dengan hati jengkel tanpa
mampu berbuat apa-apa.
Rombongan penunggang kuda yang kurang lebih berjumlah dua belas orang itu
berlompatan turun dan menambatkan kudanya di muka kedai. Salah seorang yang
bertindak sebagai pimpinan, langsung menuju pintu kedai dengan langkah lebar, dan
menyeruak masuk ke dalam.
"Hei! Coba tunjukkan di mana Ki Kuntala! Aku dengar orang itu menginap di kedai
ini semalam...?!" teriak lelaki pendek gemuk berkepala botak sambil bertolak pinggang.
Sepasang matanya beredar ke sekeliling, ruangan, menyapu wajah-wajah pengunjung
kedai.
Tapak Maut yang saat itu tengah menikmati hidangan, segera berdiri dari kursinya.
Dengan wajah tenang, lelaki itu melangkah menghampiri lelaki gemuk berkepala botak.
Panji, Kenanga, dan tujuh orang kawan Tapak Maut hanya diam melihat kelanjutan
tindakan lelaki gemuk berkepala botak.
"Siapa kau, Kisanak? Ada apa mencariku...?" tegur Tapak Maut yang bernama Ki
Kuntala dengan sikap jumawa. Sepasang matanya meneliti sosok lelaki gemuk pendek dari
bawah ke atas.
"Hm.... Kaukah Ki Kuntala yang mengepalai rombongan pengawal barang...?" tanya
lelaki gemuk itu lagi sambil meneliti wajah Tapak Maut. Menilik sikapnya, jelas lelaki
gemuk pendek itu belum pernah berjumpa dengan Ki Kuntala dan hanya tahu namanya
saja.
"Ada apa mencariku...?!" tukas Ki Kuntala setengah membentak. Rupanya dia
sudah tidak sabar melihat tongkah lelaki botak itu yang seperti tengah memeriksa
pesakitan.
"Hm.... Beberapa hari yang lalu majikan kami menitipkan barang kepadamu. Lalu,
mengapa sampai hari ini barang itu belum tiba pada yang berhak menerimanya?" ujar
lelaki gemuk pendek itu seraya memperlihatkan pandangan mengejek.
Merah wajah Ki Kuntala, karena tatapan itu demikian menghina. Seakan-akan
menuduh dirinya telah menyalahgunakan kepercayaan majikan lelaki gemuk itu, dan
mempergunakan barang kiriman itu untuk kepentingannya sendiri.
"Dengar, Kisanak! Sebenarnya barang itu sudah kukirim dengan dikawal empat
orang anggotaku. Malang, mereka kutemukan tewas dan harta itu lenyap tanpa jejak di
tepi Hutan Ngarai. Itu sebabnya, mengapa sekarang aku berada di Desa Babakan ini.
Karena sampai saat ini aku masih menyelidiki siapa orang yang telah melakukan
perampokan itu. Kelak, bila barang-barang itu sudah kutemukan, akan kukembalikan
pada majikanmu, dan memberikan ganti rugi sepantasnya," jawab Ki Kuntala menahan
kegeraman hati. Karena itu merupakan kesalahannya, maka dirinya tidak bisa berbuat
apa-apa.
"Ha ha ha...!" lelaki pendek gemuk itu tertawa terbahak-bahak diikuti sebelas orang
kawannya. Rupanya, dia tidak percaya akan keterangan Ki Kuntala yang berjuluk Tapak
Maut.
"Diam!" bentak Ki Kuntala yang merasa tersinggung karena suara tawa itu
demikian menyakitkan.
Bentakan yang keras dan mengejutkan itu membuat suara tawa lelaki gemuk
terhenti. Sementara, sebelas orang lelaki di belakangnya sudah menghunus senjata.
Agaknya, mereka marah terhadap Ki Kuntala yang telah membuat mereka terkejut.
Melihat kenyataan itu, tujuh orang kawan Ki Kuntala langsung berlompatan
bangkit dari kursi. Mereka segera mencabut senjata dan siap membela pimpinan mereka.
Ki Kuntala segera menahan orang-orangnya.
Persoalan ini ingin diselesaikannya sendiri karena menjadi tanggung jawabnya.
Maka, dihadapinya lelaki pendek gemuk itu dengan sikap tenang.
"Katakan pada majikanmu, dalam beberapa hari ini aku akan datang untuk
mengganti barangnya yang hilang. Sekarang, sebaiknya kau pulang dan jaga majikanmu
baik-baik..," ujar Ki Kuntala menatap tajam wajah lelaki gemuk itu lekat-lekat. Sikapnya
terlihat tegas dan tidak bisa ditawar lagi.
"Enak saja kau bicara! Kalau memang kau mampu mengganti barang majikanku,
ayo berikan sekarang juga! Aku tidak ingin kembali dengan tangan kosong!" tukas lelaki
gemuk ¡tu memaksakan kehendaknya.
"Hm.... Sudah kukatakan aku akan datang sendiri mengantarkan pada majikanmu,
dan bukan kepadamu yang hanya seekor anjing penjaga...!" geram Ki Kuntala terpaksa
harus menahan kemarahannya. Meskipun dadanya saat itu hampir meledak.
"Kalau begitu aku akan memaksamu...!" tandas lelaki gemuk yang sepertinya akan
segera bertindak membuktikan ucapannya.
Tapak Maut sebenarnya memiliki sikap berangasan dan mudah tersinggung. Tapi,
kali ini lelaki itu mengambil sikap mengalah, itu karena dia tahu kalau dirinya berada di
pihak yang salah. Sehingga, dia hanya bisa menunggu apa yang akan dilakukan lelaki
gemuk itu.
"Hm...."
Lelaki pendek gemuk itu terlihat mempermainkan dua kepalan tangannya hingga
menimbulkan suara berkerotokan. Jelas, maksudnya hendak menakut-nakuti Ki Kuntala.
"Untuk apa kau tunjukkan permainan anak kecil, Kisanak. Kalau memang kau
tidak bisa menerima usulku, aku siap menghadapi keinginanmu...," tantang Ki Kuntala.
"Kurang ajar...!"
Setelah mendesis marah, lelaki gemuk itu segera melepaskan sebuah tamparan ke
pelipis Ki Kuntala. Maksudnya hendak memberi peringatan pada lelaki tinggi tegap itu agar
tidak menyepelekan dirinya.
Whuuut..!
Ki Kuntala menggeser langkahnya dua tindak, kemudian mendoyongkan tubuh.
Hingga serangan lelaki gemuk itu tidak mencapai sasaran.
"Jangan terlalu memaksa, Kisanak..!" ujar Ki Kuntala seakan mengingatkan untuk
tidak melanjutkan serangan.
Tapi lelaki gemuk itu tidak mau berhenti. Begitu serangan pertamanya gagal,
langsung disusul dengan serangan-serangan berikutnya yang lebih hebat lagi. Sehingga, Ki
Kuntala harus menggunakan kelincahannya untuk menghindar.
Setelah menghindar terus-menerus selama kurang lebih lima jurus, Ki Kuntala
merasa tidak bisa berdiam diri lagi. Maka, ketika pukulan lawan kembali datang
mengancam dada, lelaki tegap itu segera mengangkat tangan kanan memapaki serangan.
Sekaligus mengirimkan sebuah hantaman dengan telapak tangan ke tubuh lawan.
Dukkk!
Desss...!
Gerakan Ki Kuntala yang kelihatan masih jauh lebih cepat dari lawan, membuat
lelaki gemuk tidak dapat menghindari hantaman telapak tangan Ki Kuntala. Akibatnya,
tubuh gemuk itu langsung terpental ke belakang dan terbanting ke luar kedai.
Sebelas orang kawan lelaki gemuk itu segera berlompatan ke luar. Kemudian,
mengepung Ki Kuntala yang saat itu telah melesat keluar ruangan kedai.
Ketujuh orang anggota Tapak Maut ikut melesat ke luar dengan senjata di tangan.
Rupanya mereka khawatir jika pimpinan mereka sampai celaka di tangan kedua belas
orang itu.
"Katakan pada majikanmu apa yang tadi kukatakan..!" ujar Ki Kuntala kembali
mengingatkan agar lelaki gemuk itu segera meninggalkan Desa Babakan dan melaporkan
pada majikannya tentang janji lelaki tegap itu.
"Hm...!"
Namun, lelaki gemuk itu tidak mempedulikan ucapan Ki Kuntala. Bahkan, saat itu
senjata yang tergantung di pinggangnya telah dicabut. Dan memerintahkan sebelas orang
kawannya untuk mengeroyok lelaki tegap itu.
Ki Kuntala tetap bersikap tenang, tanpa mencabut senjatanya. Namun, ketujuh
orang anggotanya tidak bisa berdiam diri. Mereka sudah berlompatan dan menerjang
sebelas orang kawan lelaki gemuk itu.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat orang-orang itu menghentikan
gerakan. Mereka menoleh ke arah suara bentakan yang membuat hati mereka berdebar
keras. Bahkan, wajah mereka pun kelihatan agak pucat. Jelas, bentakan itu telah
mempengaruhi ketegaran hati mereka.
Panji yang mengeluarkan bentakan keras itu melangkah maju ke tengah arena.
Ditatapnya wajah lelaki gemuk pimpinan sebelas orang itu yang hendak bertarung dengan
Ki Kuntala dan kawan-kawannya.
"Kisanak," ujar Panji seraya menatap tajam sosok lelaki gemuk pendek itu. "Apa
yang dikatakan Ki Kuntala adalah hal yang sebenarnya. Dan janjinya bisa dipercaya.
Untuk itu, kuharap kau mau melaporkan semua ini pada majikanmu...."
"Tidak bisa! Majikanku telah memerintahkan agar jika aku kembali harus
membawa barang miliknya. Jika tidak, aku akan diusir pergi dari tempatku bekerja selama
ini...," lelaki gemuk itu tetap bersikeras meminta kembali barang yang dititipkan
majikannya pada Ki Kuntala. Dan, rupanya hal itu tidak bisa ditawar lagi.
"Hm.... Katakan pada majikanmu, Pendekar Naga Putih yang akan datang
mengantarkan barang titipannya...," karena sulit mencari alasan lain, akhirnya Panji
mempertaruhkan nama besarnya sebagai jaminan.
"Pendekar..., Naga Putih...?!" desis lelaki gemuk itu dengan wajah pucat ketika Panji
menyebutkan julukannya.
Dan, sebelas orang lainnya pun tidak kalah terkejutnya dengan lelaki pendek
gemuk itu. Mereka saling bertukar pandang satu sama lain dengan wajah tegang. Karena
nama pendekar besar itu bukan suatu yang asing di telinga mereka. Bahkan, mereka
sangat kagum dan bangga akan kegagahan Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih. Mengingat nama besarmu, biarlah kami akan menanggung
semua akibatnya nanti di hadapan majikan kami. Dan kuharap kau mau memaafkan
tindakan kami tadi...," ujar lelaki gemuk itu, mengalah setelah mendengar Pendekar Naga
Putih yang kelak akan datang mengantarkan barang milik majikannya.
"Terima kasih atas pengertian kalian semua...," ujar Panji merasa lega meskipun
untuk itu nama besarnya harus dipertaruhkan sebagai jaminan.
Sepeninggal lelaki gemuk bersama sebelas orang kawannya. Panji dan Kenanga
minta diri pada Ki Kuntala dan anggotanya. Pemuda itu berjanji akan ikut mencari para
perampok yang tengah dicari Ki Kuntala. Lelaki tegap itu hanya bisa mengucapkan terima
kasih atas segala bantuan yang telah didapatnya dari pemuda tampan berjubah putih itu.
Ki Kuntala dan tujuh orang kawannya masih tetap berdiri sampai bayangan
Pendekar Naga Putih dan Kenanga lenyap dari pandangan. Setelah itu mereka
meninggalkan Desa Babakan mengambil arah yang berlawanan dengan Panji dan Kenanga.
***
Panji dan kekasihnya melangkah mengambil jalan ke utara Desa Babakan. Sengaja
mereka mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Karena selain sulit, arah sebelah utara
Desa Babakan banyak ditumbuhi pepohonan lebat itu salah satu sebab mengapa jalan itu
jarang dilalui orang.
"Kakang,.., kau dengar suara itu...?" ujar Kenanga saat mereka sudah menapakkan
kaki memasuki sebuah mulut hutan lebat.
Sebenarnya Kenanga tidak perlu menanyakan Panji, karena pemuda itu telah
mendengarnya lebih dulu. Hanya saja Panji hendak memastikan betul suara yang
didengarnya itu.
"Suara orang bertempur. Mari kita lihat..!"
Baru saja ucapan itu selesai, Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah asal
suara dentang senjata dan bentakan-bentakan yang didengarnya. Sebentar saja, tubuh
sepasang pendekar muda itu sudah saling berkejaran menerobos semak belukar. Jalan-
jalan yang sebenarnya sangat sulit untuk dilalui orang, tidak membuat lari keduanya
terganggu, meskipun tidak jarang mereka harus berloncatan dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka pada sebuah lapangan berumput
yang cukup luas dan dikelilingi pepohonan besar. Tapi, suasana di tempat itu terlihat
sunyi. Sehingga, begitu Panji dan Kenanga tiba, mereka hanya mendapatkan enam sosok
tubuh yang bergeletakan dengan sekujur tubuh bermandikan darah segar.
"Celaka! Kita terlambat, Kakang...!" sesal Kenanga, karena pertempuran ternyata
telah usai.
Panji tidak menjawab. Pemuda itu memeriksa sosok-sosok tubuh yang bergeletakan
di atas rumput dengan harapan dapat menemukan sosok yang masih bernapas di antara
mayat-mayat itu.
Harapan Panji terkabul. Salah satu dari keenam sosok itu tampak masih bernapas,
meskipun satu-satu. Cepat pemuda itu menotok beberapa bagian tubuh sosok itu.
Sehingga, lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu membuka matanya perlahan.
"Katakan, siapa yang melakukan semua ini, Paman...?" tanya Panji begitu melihat
mata lelaki itu terbuka dan menatapnya dengan sayu.
"Iblis... Wajah... Se... ribu...!" ucap lelaki itu dengan susah payah.
"Iblis Wajah Seribu..?" gumam Panji seolah tak mempercayai pendengarannya.
"Lalu..., kalian ini siapa? Dan mengapa berada di dalam hutan ini...?"
"Kami., murid-murid Perguruan Merak Emas yang merasa penasaran dan ingin
mencari Kakang Bardewa...," sosok lelaki tua itu menjilati bibirnya yang terasa kering.
Sehingga, jawabannya terhenti sampai di situ.
"Jadi, Bardewa yang melakukan semua ini..?" desak Panji, karena diketahuinya
kalau lelaki itu tidak akan dapat bertahan lama. Untuk itu dia harus mencari keterangan
sebanyak-banyaknya.
"Bukan... tapi... tapi... Murid Perguruan Pedang Ba... ja... aaah...!"
Setelah menjawab pertanyaan Panji, lelaki itu menghembuskan napasnya yang
penghabisan, diawali dengan suara mengorok panjang.
"Murid Perguruan Pedang Baja...?" desis Panji seperti tidak mempercayai ucapan
terakhir orang itu. Tapi, mana mungkin orang yang sudah sekarat masih hendak
berdusta? Mungkin orang itu berkata benar, pikir pemuda itu tercenung sesaat.
"Kakang. Bukankah menurut Ki Genawang semua murid-muridnya telah tewas
dibantai Iblis Wajah Seribu yang menyamar sebagai Ki Gawung? Jadi.., bagaimana
mungkin ini bisa terjadi..?" tanya Kenanga penasaran mendengar keterangan orang itu.
"Benar. Dan kemungkinan besar yang melakukan semua ini adalah Iblis Wajah
Seribu yang menyamar sebagai murid Ki Genawang," tukas Panji perlahan sambil
merenung.
"Atau bisa juga Ki Genawang berbohong sewaktu mengatakan semua muridnya
telah tewas terbantai...," sergah Kenanga, membuat Panji mengerutkan kening.
"Hhh.... Persoalan ini semakin bertambah rumit..," gumam Panji dengan helaan
napas panjang. "Kalau begitu, sebaiknya kita mendatangi Perguruan Merak Emas. Aku
khawatir Iblis Wajah Seribu akan mendatangi perguruan itu...."
"Mengapa Kakang berpikiran demikian...?" tanya Kenanga heran dengan usul
kekasihnya.
"Kita lihat saja nanti. Tapi menurut dugaanku, iblis keji itu akan mendatangi
Perguruan Merak Emas. Kemungkinan besar mereka pun akan dibantai seperti murid-
murid Perguruan Pedang Baja...," jawab Panji membuat Kenanga terkejut. Gadis itu tidak
sampai berpikir ke arah itu.
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Kakang. Ayo, kita segera menuju Perguruan Merak
Emas...!" sergah Kenanga yang langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak cakap lagi. Panji pun segera menjejakkan kakinya ke tanah.
Sehingga tubuhnya melayang di udara dan jatuh tepat di sisi kekasihnya yang sedang
berlari. Kemudian menjajari langkah dara jelita itu menuju Perguruan Merak Emas.
DELAPAN
Serombongan penunggang kuda bergerak melintasi jalan berdebu. Suara derapnya
bagai hendak mengguncang bumi. Itu tidak terlalu aneh, karena jumlah penunggang kuda
itu sangat besar, kira-kira enam puluh orang lebih. Sehingga, kepulan debu yang
ditinggalkannya terlihat bagai letusan gunung berapi yang membentuk bulatan di angkasa.
Dengan diiringi derap yang menggetarkan bumi, rombongan itu terus bergerak
mendekati sebuah bangunan perguruan yang berada di depannya.
Penjaga-penjaga yang berada di atas gerbang bangunan perguruan tentu saja kaget
melihat kedatangan serombongan orang berkuda dalam jumlah yang cukup besar. Merasa
gelagat tidak baik, penjaga itu langsung melompat turun dan berlari tergesa-gesa menuju
bangunan utama perguruan.
"Guru...! Guru..!"
Sambil berlarian penjaga itu berteriak-teriak, membuat murid-murid yang lainnya
menatap heran.
Belum lagi penjaga itu tiba di depan pintu bangunan utama perguruan, tiba-tiba
seorang lelaki gagah telah berdiri tegak di ambang pintu. Lelaki itu tidak lain Ki Gawung
yang diapit dua orang murid utamanya.
"Ada apa...?" tegur Ki Gawung dengan suara tegas dan mengandung perbawa kuat.
"Ampun, Guru...."
Penjaga itu langsung menjatuhkan tubuhnya dan berlutut. Kemudian menceritakan
apa yang dilihatnya di luar bangunan. Meskipun dengan napas tersengal-sengal, namun
semua terdengar jelas oleh Ki Gawung. Sehingga, lelaki gagah itu mengerutkan keningnya
dalam-dalam.
"Hm... Ada apa lagi ini? Siapa mereka, dan apa maksud kedatangannya ke sini...?"
gumam Ki Gawung segera melangkah diikuti dua orang murid utamanya.
Baru saja lelaki gagah itu bergerak hendak mendekati pintu gerbang, tiba-tiba
terdengar suara berderak ribut. Dan..., pintu gerbang yang baru saja diganti itu hancur
berantakan! Bersamaan dengan itu, belasan sosok tubuh yang menunggang kuda bergerak
masuk menerobos kepingan kayu yang beterbangan.
Penunggang kuda terdepan yang ternyata seorang lelaki gagah berusia lima puluh
tahun, langsung melompat turun setelah melemparkan bungkusan besar ke tanah, tepat di
depan kaki Ki Gawung, Ketua Perguruan Merak Emas.
Langsung saja lelaki gagah itu melompat mundur dan menghunus pedang. Ki
Gawung mengira orang yang baru datang itu telah melakukan serangan gelap.
"Ha ha ha...! Bukalah bingkisan itu yang kuhadiahkan padamu, Ki Gawung..!" ujar
lelaki berwajah brewok seraya memperdengarkan tawanya yang parau dan besar.
Terkejut bukan main hati Ki Gawung merasakan adanya getaran tenaga dalam yang
kuat dalam suara tawa lelaki brewok itu. Ditelitinya wajah di depannya itu dengan sorot
mata tajam. Kemudian memerintahkan dua orang muridnya untuk membuka bungkusan
besar yang tergeletak di atas tanah.
"Hahhh...?!"
Kedua murid utama Ki Gawung melompat mundur dengan wajah pucat! Betapa
tidak? Bungkusan besar itu ternyata berisi tiga buah kepala yang telah dipisahkan dari
badan. Tentu saja mereka kaget bukan main.
"Biadab...!" Ki Gawung mendesis pucat ketika melihat tiga kepala yang masih
berdarah pada bagian batang lehernya. Melihat darah itu masih menetes segar, Ki Gawung
pun tahu kalau kepala-kepala itu belum lama dipisahkan dari lehernya.
"Guru.... Itu... itu kepala Ketua Perguruan Pedang Baja...?!" desis salah seorang
murid utama Ki Gawung sambil menunjuk sebuah kepala.
Sebenarnya, tanpa diberi tahu pun Ki Gawung telah tahu. Bukan hanya kepala Ki
Genawang saja yang dikenalinya. Bahkan, dua buah kepala lainnya pun telah dapat
dikenali dengan baik. Dua kepala itu adalah kepala Ki Randita, murid utama Ki Genawang,
serta kepala Ki Kuntala atau Tapak Maut yang dikenal Ki Gawung sebagai pengawal
pengantar barang. Dan, Tapak Maut merupakan salah seorang sahabatnya. Lelaki gagah
itu tampak semakin bertambah pucat!
"Apa maksudmu dengan semua kebiadaban ini...?" desis Ki Gawung sambil meneliti
wajah di depannya. Dia merasa pernah melihat wajah lelaki brewok itu. Sayang Ki Gawung
tidak begitu ingat di mana pernah melihatnya.
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar kekeh serak yang membuat Ki Gawung mengalihkan
perhatiannya, dan rupa akan pertanyaannya yang belum terjawab. Dan..., wajah lelaki tua
itu kian memucat ketika pemilik tawa serak itu menghentikan langkahnya di samping
lelaki berwajah brewok yang merupakan pimpinan rombongan penunggang kuda.
"Bardewa...?! Tidak salahkah penglihatanku...?!" desis Ki Gawung serak dengan
tubuh menggigil seperti orang terserang demam. Karena pemilik suara tawa serak itu
adalah Bardewa, muridnya yang ditemukan tewas sepuluh tahun yang lalu. Bahkan, dia
sendiri ikut menguburkan jenazah muridnya itu.
Lelaki kekar berkumis lebat itu memang Bardewa. Sedangkan lelaki berwajah
brewok di sebelahnya adalah Ki Punjalu, murid Perguruan Pedang Baja, yang menjadi
kepala bagian dapur di perguruan milik Ki Genawang itu.
Bardewa tetap memperdengarkan tawanya yang serak. Tanpa mempedulikan
wajah-wajah heran dan terkejut di hadapannya, lelaki kekar berkumis lebat itu enak saja
menarik kulit wajahnya. Dan...
"Ahhh...?!"
Ki Gawung dan dua orang murid utamanya kembali tersurut mundur ketika
Bardewa menunjukkan wajah aslinya. Kiranya lelaki kekar berkumis lebat itu mengenakan
sebuah topeng karet yang sangat tipis, hingga tidak berbeda dengan kulit asli.
Di samping terkejut, Ki Gawung pun merasa lega. Sebab, orang itu bukan Bardewa
yang sesungguhnya. Dengan begitu, rasa bersalah di dalam hatinya lenyap bersama
dengan terbukanya wajah asli lelaki kekar berkumis lebat, yang ternyata cukup tampan
dan menarik, meskipun pada pipi kirinya terdapat luka memanjang.
"Kami berdua adalah murid-murid langsung Iblis Wajah Seribu yang tewas di
tangan para pendekar. Guru-guru kalian semualah yang telah mengeroyoknya secara licik.
Untuk membalas sakit hati itu aku dan adik seperguruanku, Galiang, menyelundup
masuk ke dalam perguruanmu dan perguruan Ki Genawang," jelas lelaki berwajah brewok,
membuat Ki Gawung segera teringat siapa sebenarnya lelaki brewok yang tadi tak dapat
diingatnya itu.
"Kau..., Ki Punjalu...?!" desis Ki Gawung mulai dapat mengenali lelaki brewok itu
ketika mengatakan dirinya menyelundup ke dalam Perguruan Pedang Baja. "Hm.... Kiranya
kalian berdua telah mengadu domba kami dengan menyamar sebagai Bardewa...!"
"He he he...! Berteriaklah sepuas hatimu, Ki Gawung. Sebab, sebentar lagi kau akan
menemani ketiga kepala tanpa tubuh itu. Dan, aku akan menguasai perguruan-perguruan
besar di negeri ini. Ha ha ha...!" Ki Punjalu tertawa bergelak seraya menengadahkan
kepalanya ke angkasa yang mulai diwarnai cahaya matahari pagi.
"Keparat! Jangan kau kira aku takut menghadapi kematian...!" geram Ki Gawung
segera menyilangkan pedangnya di depan dada dan siap bertarung mati-matian.
Demikian pula dengan dua orang murid utama di kiri dan kanan lelaki gagah itu.
Mereka pun telah menghunus senjata. Dan siap mempertaruhkan nyawa demi kehormatan
perguruan mereka.
"Hm...."
Ki Punjalu hanya bergumam melihat lawan-lawannya telah siap bertarung. Setelah
terdiam sesaat, tangannya segera terangkat ke atas dan mengibas ke depan sebagai isyarat
bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerbu.
"Heaaat..!"
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan-teriakan ribut, puluhan pengikut Ki Punjalu bergerak menyerbu
murid-murid Perguruan Merak Emas yang juga telah siap dengan senjata terhunus.
"Heaaa...!"
Tanpa rasa gentar sedikit pun, murid-murid Perguruan Merak Emas yang
berjumlah sekitar tiga puluh orang itu langsung bergerak maju menyambut kedatangan
lawan. Sebentar kemudian, pertempuran pun berkobar.
Dentang senjata terdengar memecah keheningan pagi. Jeritan kematian yang
disusul tubuh-tubuh bersimbah darah, yang roboh termakan senjata lawan, mewarnai
pertempuran seru itu.
Ki Gawung yang melihat murid-muridnya bertempur mati-matian, segera memutar
pedangnya dengan sepenuh tenaga. Sebab, sebagai murid Iblis Wajah Seribu, Ki Punjalu
pasti memiliki kepandaian yang tinggi dan belum tentu dirinya dapat menandingi tokoh
itu. Sehingga, lelaki itu langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk
menggempur lawan.
"Haaat..!"
Dengan sebuah pekikan nyaring, tubuh Ki Gawung meluncur ke arah lawan.
Pedang di tangannya bergerak cepat membentuk gulungan sinar berpendar laksana ular
bermain-main di angkasa.
Cwittt, cwittt cwittt..!
Sekali bergerak, Ki Gawung telah melontarkan tiga buah serangan sekaligus. Ujung
senjatanya bergerak menusuk dan membacok dengan kecepatan yang mengagumkan.
Ki Punjalu yang telah bersiap menghadapi Ketua Perguruan Merak Emas, hanya
bergumam pelan ketika melihat datangnya serangan lawan. Tubuh lelaki itu bergerak ke
kiri dan kanan dengan lincahnya, menghindari incaran mata pedang lawan. Kemudian
langsung membalas dengan tamparan dan tendangan yang cepat bukan main! Sehingga, Ki
Gawung yang selama ini hanya mengenal Ki Punjalu sebagai kepala bagian dapur kaget
dibuatnya.
Whuttt...!
"Ahhh...?!"
Sebuah hantaman telapak tangan kanan lawan meluncur datang dengan kecepatan
yang sulit ditangkap mata. Untunglah pada saat terakhir pukulan itu tiba, lelaki gagah itu
sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga telapak tangan yang mengandung kekuatan
hebat itu lewat di sampingnya.
Tapi perubahan gerak yang dilakukan Ki Punjalu sama sekali di luar dugaan lawan.
Telapak tangan yang berputar itu langsung menggedor dada Ki Gawung.
Desss!
"Hugkhhh...!"
Ki Gawung terhuyung mundur terkena hantaman keras pada dadanya. Meskipun
demikian, lelaki gagah itu ternyata dapat mempertahankan kuda-kudanya. Sehingga tidak
sampai terjatuh.
"Haiiit..!"
Ki Punjalu kelihatannya ingin segera menyelesaikan pertarungan. Terbukti, lelaki
itu tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi lawannya untuk memperbaiki kedudukan
Saat lawan masih terhuyung, Ki Punjalu langsung menyusuli serangannya dengan
dorongan dua telapak tangannya yang menerbitkan suara menderu keras.
Whuuut..!
Bresssh!
"Hei...?!"
Pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Ki Gawung, sesosok bayangan putih
melesat dengan kecepatan tinggi, dan langsung menyambut dorongan dua telapak tangan
Ki Punjalu. Akibatnya, tubuh lelaki berwajah brewok itu terdorong enam langkah ke
belakang.
"Gila...?!" umpat lelaki itu segera menjejakkan kakinya ke tanah kuat-kuat.
Sehingga daya dorong itu terhenti dan Ki Punjalu dapat memperbaiki kuda-kudanya.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Ki Punjalu kaget ketika melihat seorang pemuda
tampan berjubah putih, yang sekeliling tubuhnya terlapisi kabut bersinar putih keperakan,
telah berdiri di depan Ki Gawung. Jelas, pemuda itulah yang telah menggagalkan
pukulannya.
Di bagian lain pun telah terjadi perubahan besar. Galiang, murid kedua Iblis Wajah
Seribu yang berhadapan dengan dua orang murid utama Ki Gawung, juga dilanda
keterkejutan hebat. Lelaki itu baru saja hendak menghabisi kedua lawannya, ketika
mendadak terpukul mundur oleh seorang dara jelita yang memasuki arena pertempuran.
"Keparat'" maki Galiang dengan wajah dilanda kemarahan hebat. Tanpa peduli
siapa lawannya, lelaki kekar itu segera menyerbu dengan jurus-jurus andalannya yang
sangat hebat dan mengerikan.
"Bagus...!" puji dara jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga. Setelah
berkata demikian, tubuh rampingnya bergerak ke depan menyambut terjangan lawan.
Sebentar, saja keduanya telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Sedangkan kedua murid utama Ki Gawung segera menggabungkan diri dengan
murid-murid lainnya. Keduanya mengamuk merobohkan para pengikut Ki Punjalu dengan
sambaran pedangnya. Sehingga, murid-murid Perguruan Merak Emas yang semula
terdesak kini ganti mendesak lawan. Kehadiran dua murid utama guru mereka membuat
semangat yang semula pudar kembali menyala. Dan, menggempur musuh dengan
semangat berapi-api.
Sementara itu, sosok berjubah putih yang tidak lain Panji telah bertarung melawan
Ki Punjalu.
Sedangkan Ki Gawung ikut menggabungkan diri dengan murid-muridnya untuk
menggempur musuh.
Ki Punjalu kelihatan sangat dendam sekali pada Pendekar Naga Putih. Hal itu
terlihat dari gempuran-gempurannya yang datang laksana air bah. Sambaran angin
pukulannya bersuitan menerbitkan putaran angin laksana badai topan. Ternyata
kepandaian bekas kepala bagian dapur itu sangat hebat. Rupanya, kali ini lelaki itu
menunjukkan siapa dirinya. Sebagai murid Iblis Wajah Seribu tentu Ki Punjalu telah
mewarisi ilmu-ilmu tinggi yang sangat hebat.
"Haiiit...!"
Untuk kesekian kalinya, pada jurus kedelapan puluh Ki Punjalu kembali
mengeluarkan pekikan yang menggetarkan tempat itu. Pukulan-pukulannya meluncur
datang dengan kecepatan kilat.
Dukkk, plak...!
"Uhhh...?!"
Tapi, yang harus dihadapi Ki Punjalu adalah seorang pendekar muda yang sangat
hebat kepandaiannya. Bahkan, pengalaman bertarungnya tidak kalah oleh Ki Punjalu.
Malah Pendekar Naga Putih telah menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih tinggi ilmu
silatnya. Sehingga, sehebat apa pun lawan melancarkan serangan, selalu dapat dihindari
dan ditepiskannya.
Saat tubuh Ki Punjalu terjajar mundur. Panji langsung melayang ke depan dengan
serangkaian serangan jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti.'
"Yeaaat..!"
Bagaikan seekor naga sakti yang sedang murka, tubuh Panji bergerak cepat dan
meliuk di udara. Kemudian meluncur turun dengan kecepatan laksana sambaran kilat di
angkasa. Dan ...
Desss!
"Aaakh...!"
Ki Punjahi tidak sempat lagi menghindari serangan Pendekar Naga Putih. Tubuhnya
terlempar seperti selembar daun kering diterbangkan angin. Darah segar menyembur
keluar dari mulutnya. Jelas, gempuran telapak tangan Panji telah membuat tokoh itu
terluka dalam.
Brakkk!
Luncuran tubuh Ki Punjalu masih terus menghantam sebatang pohon yang cukup
besar, yang langsung berderak tumbang bersama tubuh lelaki tegap itu.
Panji sendiri sudah melayang menyusuli tubuh Ki Punjalu. Pendekar Naga Putih
tidak ingin kehilangan lawan, yang bisa saja langsung melarikan diri. Karena terlempar
keluar dari dalam perguruan.
Ketika tiba di dekat tubuh Ki Punjalu, Panji hanya memperhatikan lawannya yang
tengah berusaha berdiri tegak.
"Uhhh...."
Ki Punjalu mengeluh dan terhuyung limbung. Rupanya, pukulan yang mengenai
tubuhnya demikian hebat. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya lelaki itu masih belum
bisa meredakan rasa sakit yang dideritanya.
Tapi...
"Heaaah...!"
Mendadak tubuh Ki Punjalu yang terhuyung-huyung itu meluncur ke depan
disertai dorongan kedua telapak tangannya. Benar-benar licik sekali serangan itu!
Sayangnya Panji telah memiliki pengalaman yang cukup dengan berbagai macam
kelicikan lawan. Sehingga, saat serangan mendadak itu datang Panji sudah siap dengan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersalur ke kedua lengannya. Dan...
Bresssh...!
Desss!
"Aaakh…!" Ki Panjalu tidak sempat lagi menghindari serangan Pendekar Naga
Putih. Tubuhnya terlempar deras ke balakang.
Brakkk!
Luncuran tubuh Ki Panjalu baru terhenti setelah menghantam sebatang pohon
besar.
Hebat sekali gempuran yang dilakukan Panji kali ini. Tanah di sekitar tempat itu
bergetar! Bahkan pepohonan berderak ribut bagai dilanda angin topan! Sedangkan tubuh
Ki Punjalu terlempar sejauh dua tombak, dan terbanting ke tanah tanpa bisa bergerak lagi.
Tulang-tulang tubuh lelaki itu remuk terkena hantaman keras Pendekar Naga Putih.
Pada saat yang hampir bersamaan, Kenanga pun telah menyelesaikan
pertarungannya. Kedua orang itu telah bertarung dengan menggunakan senjata, hingga
Galiang terpaksa harus merelakan nyawanya terbang. Sambaran pedang dara jelita itu
membuat perutnya robek dan ususnya berhamburan keluar. Galiang pun tersungkur
tewas dengan tubuh bermandikan darah.
"Hentikan pertempuran...!" Setelah kedua gembong penjahat itu tewas, Panji
berteriak menghentikan pertarungan antara Perguruan Merak Emas dengan para pengikut
Ki Punjalu dan Galiang.
'"Pemimpin kalian telah tewas! Sebaiknya kalian menyerah daripada kami
bunuh...!" kembali Panji berteriak lantang ketika pertempuran terhenti dan kedua belah
pihak bergerak mundur.
Tanpa banyak cakap lagi, para pengikut Ki Punjalu dan Galiang langsung
melemparkan senjatanya ke tanah. Kemudian mereka duduk bersimpuh mohon ampunan
pendekar muda itu
"Bagaimana, Ki Gawung...?" tanya Panji meminta pendapat Ketua Perguruan Merak
Emas. Pemuda itu tidak ingin mengambil keputusan sendiri selagi masih ada orang yang
lebih tua darinya.
"Hm...," Ki Gawung bergumam sambil mengelus jenggotnya yang berwarna dua.
"Jika mereka bersedia menjadi muridku, aku akan memberi ampunan atas kesalahan yang
telah dilakukan"
"Nah! Kalian dengar sendiri, bukan! Ketua Perguruan Merak Emas berkenan
menerima kalian sebagai murid-murid perguruan ini seandainya kalian bertobat dan
meninggalkan jalan sesat!" seru Panji setelah mendengar keputusan Ki Gawung.
Tanpa berpikir panjang lagi, para pengikut Ki Gawung langsung menyatakan
kesediaannya. Sehingga, Panji dan yang lainnya menjadi lega. Kemudian pemuda itu
memanggil salah seorang pengikut Ki Punjalu, dan menanyakan tentang perampokan di
Hutan Ngarai. Panji menduga pelaku perampokan itu pastilah Ki Punjalu dan Galiang
beserta kawan-kawannya.
Dugaan Panji ternyata tidak meleset. Orang itu langsung mengakui bahwa
perampokan itu memang perbuatan mereka. Lalu, menunjukkan di mana harta rampokan
itu disimpan.
"Ki Gawung. Karena kami berdua masih ada kepentingan lain, harap kau sudi
memaafkan bila kami tidak bisa lebih lama," pamit Panji dan Kenanga kepada Ki Gawung,
setelah mendapatkan keterangan jelas dari anak buah Ki Punjalu.
Ketua Perguruan Merak Emas tidak bisa berbuat lain. Lelaki tua itu melepas
kepergian pasangan pendekar muda itu dengan tatapan mata penuh haru. Karena berkat
jasa merekalah perguruannya tidak sampai musnah.
Setelah bayangan Panji dan Kenanga hilang dari pandangan, Ki Gawung
memerintahkan murid-muridnya untuk membereskan tempat itu. Ketua Perguruan Merak
Emas pun melangkah masuk ke dalam bangunan utama.
0 comments:
Posting Komentar