RAJA IBLIS DARI UTARA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Rusli K.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Raja Iblis dari Utara 128 hal. ;
12 x 18 cm
SATU
Suasana pagi yang indah dan tenang di
Puncak Gunung Kebat, tiba-tiba dipecahkan
oleh teriakan-teriakan dan bentakan yang
nyaring! Burung-burung yang berkicauan di
dahan-dahan pohon terbang berserabutan
karena terkejut. Bahkan beberapa di
antaranya jatuh tergeletak mati akibat
kedahsyatan bentakan itu!
Di sebuah tanah lapang, tampak dua
sosok tubuh tengah bertempur sengit.
Beberapa batang pohon sepelukan orang
dewasa roboh terkena pukulan nyasar.
Dapat dibayangkan betapa hebatnya
kepandaian kedua orang yang tengah
bertarung itu!
"Heaaat...!"
Sesosok tubuh kurus jangkung berjubah
putih memekik keras! Tubuhnya melayang di
udara sambil melontarkan dua buah pukulan
yang menimbulkan suara mencicit tajam,
pertanda tenaga dalamnya hampir mencapai
kesempurnaan.
Sementara lawannya yang bertubuh
tinggi besar dan bercambang bauk meng-
geram keras. Kedua belah tangannya
diputar-putar sedemikian rupa hingga me-
nimbulkan putaran angin kencang. Demikian
hebatnya putaran angin yang ditimbulkan,
sehingga daerah di sekitarnya bagaikan
tengah dilanda angin topan! Bukan main!
Rupanya kedua orang yang sedang bertarung
itu merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi
yang jarang tertandingi.
"Yeaaat...!"
Sambil memekik nyaring, tubuh si
tinggi besar melesat memapak serangan
lawannya. Dan....
Blarrr!
Terdengar suara ledakan menggelegar.
Akibatnya tubuh kedua orang sakti itu
terpental ke belakang, seolah-olah ada
tangan-tangan raksasa yang melempar tubuh
mereka. Namun keduanya segera melakukan
salto di udara, sehingga dapat menjejak
permukaan bumi dengan baik.
"Ha ha ha.... Ayo! Keluarkan seluruh
ilmu yang kau miliki, Dewa Gunung Kebat!"
teriak orang yang bertubuh tinggi besar
sambil tertawa menantang. Perutnya yang
buncit turut terguncang-guncang ketika
tertawa. Luar biasa sekali kekuatan daya
tahan tubuh orang ini! Sedikit pun ia
tidak terpengaruh oleh benturan tenaga
dalam tadi, malah ia masih dapat
memanaskan perut lawannya.
"Hm..., jangan kau merasa sombong
dulu, Reksa Pati! Ilmu 'Perogoh Sukma'
milikmu tak banyak berarti bagiku!" sahut
si kakek tak mau kalah. Wajahnya yang
sudah berkeriput tampak tenang. Rupanya
kakek yang berjuluk Dewa Gunung Kebat itu
pun tidak menderita luka.
"Jangan takabur dulu, peot! Ilmu yang
kukeluarkan itu belum seberapa! Lebih
baik kau berdoa agar kematianmu nanti
dapat lebih mudah," ejek orang yang
disebut Reksa Pati tadi. Wajahnya yang
bertotol-totol hitam itu tampak memerah
karena gembira.
Luar biasa sekali keberanian yang
dimiliki si tinggi besar itu. Padahal
musuh di hadapannya bukanlah tokoh
sembarangan, tapi ia masih sempat ter-
tawa-tawa mengejek.
Dewa Gunung Kebat hanya tersenyum
menanggapi ucapan lawannya. Wajahnya
tetap tenang. Wajah seorang tua bijaksana
dan penuh wibawa yang merasa yakin akan
kemampuannya.
"Hm..., kau mau bertarung atau cuma
ingin mengumbar kesombongan, Reksa Pati?"
tanya kakek itu tetap sabar.
"Bangsat! Hei manusia peot, ayo kita
lanjutkan pertarungan kita!" bentak Reksa
Pati gusar. Laki-laki tinggi besar
berusia enam puluhan itu menghentak-hen-
takkan kakinya dengan geram. Kemudian
tangannya kembali bergerak menutup dan
mengembang. Wajahnya kemerahan karena
saat itu ia tengah mulai memusatkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Asap
tipis mengepul ketika kedua belah telapak
tangannya digosok-gosokkan.
"Hm..., ilmu 'Telapak Lidah Api'...,"
gumam Dewa Gunung Kebat. Setelah berkata
demikian, kakek itu pun bergegas mela-
kukan sebuah gerakan yang luar biasa
cepatnya. Sepasang tangannya berputar-
putar bersilangan. Makin lama semakin
cepat hingga menimbulkan pusaran hawa
dingin yang menusuk tulang sum-sum.
"Hm..., ilmu 'Tapak Sakti Inti
Salju'...," si tinggi besar bergumam
ketika ia melihat ilmu yang diperlihatkan
lawannya.
"Heaaat..!"
"Hiaaa...!"
Kedua tokoh itu kembali melompat
saling terjang! Reksa Pati yang
menggunakan ilmu 'Telapak Lidah Api',
menjulurkan kedua belah tangannya
bergantian. Lidah-lidah api menyembur
keluar dari telapak tangannya. Ilmu yang
dipergunakan si tinggi besar benar-benar
berbahaya sekali. Berkali-kali Dewa
Gunung Kebat hampir terjilat lidah api
itu. Untunglah ilmu meringankan tubuhnya
yang hebat itu dapat membuat tubuhnya
bergerak gesit, sehingga serangan-
serangan Reksa Pati selalu mengenai angin
kosong.
Krak!
Brill!
Sebatang pohon yang berada di
belakang Dewa Gunung Kebat berderak
patah. Bagian tengah batangnya hangus
terbakar akibat terkena pukulan ilmu
'Telapak Lidah Api' yang nyasar.
"Ha ha ha..., sebentar lagi tubuh
peotmu itulah yang hangus terbakar!" ejek
Reksa Pati seraya tertawa bergelak.
"Jangan sesumbar dulu, Reksa Pati!
Lihat seranganku!" balas Dewa Gunung
Kebat sambil melontarkan sebuah pukulan
kilat 'Tapak Sakti Inti Salju' yang
terkenal ampuh.
Wusss!
Serangkum angin dingin berhembus
keras mengiringi pukulan yang dilancarkan
pendekar tua itu.
Blarrr!
Sebuah batu sebesar perut kerbau
pecah berhamburan diikuti dengan suara
ledakan keras! Untunglah Reksa Pati
sempat menghindari pukulan maut itu.
Kalau saja ia lengah, dapat dipastikan
tubuhnya luluh lantak tak berbentuk lagi.
Reksa Pati mendecakkan lidahnya takjub!
"Hiahhh...!" secepat kilat Reksa Pati
melontarkan pukulan balasan yang tidak
kalah ganasnya. Hawa panas berkesiuran
menyertai pukulannya.
Dewa Gunung Kebat menggeser kaki
kanannya ke belakang. Serangan pertama
lewat hanya beberapa rambut di samping
tubuhnya. Ketika pukulan kedua meluncur
deras ke arah pelipis, kakek itu segera
mengangkat tangan kanannya sambil
merendahkan kuda-kuda.
"Aaakh...!"
"Uuukh...!"
Cesss!
Terdengar suara mendesis bagaikan
bara api dicelupkan ke dalam air ketika
kedua pukulan yang berlawanan itu
bertemu. Tubuh keduanya terjajar mundur
sejauh tiga tombak. Darah segar menetes
pelahan dari sela-sela bibir Dewa Gunung
Kebat. Cepat-cepat dikerahkannya hawa
murni untuk mengusir rasa nyeri yang
menusuk dadanya. Dari sini dapat
diketahui bahwa tenaga dalamnya berada
satu tingkat di bawah lawan.
"Hm...! Terimalah kematianmu, peot!"
sambil membentak keras, Reksa Pati yang
sama sekali tidak terluka itu sudah
melompat sambil mengirimkan dua pukulan
beruntun mematikan!
Singgg!
"Aihhh...!"
Reksa Pati berteriak kaget! Cepat
dilempar tubuhnya ke belakang sambil
melakukan salto sebanyak empat putaran.
Tubuhnya mendarat ringan sejauh empat
batang tombak dari lawan. Wajahnya agak
pucat karena perutnya nyaris tertusuk
pedang.
Rupanya pada saat gawat itu, Dewa
Gunung Kebat sempat mencabut pedang di
pinggangnya. Secepat ia mencabut, secepat
itu pula pedangnya berdesing menyambar
tubuh lawan. Untunglah Reksa Pati cepat
mengetahui gerakan itu. Kalau tidak,
dapat dipastikan bahwa perutnya sudah
terburai.
"Keparat!" laki-laki tinggi besar itu
menjadi gusar. Kedua tangannya meraba
pinggang. Sesaat kemudian, di tangannya
telah tergenggam dua buah senjata kecer.
Senjata itu berbentuk bulat tipis
bagaikan piling lebar. Pada bagian
dalamnya terdapat tempat untuk jari-jari
tangan.
Cerrr! Cerrr!
Sepasang senjata itu dibenturkan satu
sama lain hingga menimbulkan suara
memekakkan telinga. Inilah senjata an-
dalan Reksa Pati. Senjata itu memiliki
gerigi pada sisinya. Benar-benar sebuah
senjata yang aneh dan mengerikan!
Dewa Gunung Kebat cepat memutar-
mutarkan pedangnya hingga menimbulkan
suara berdengung untuk mengatasi suara
kecer. Pikirannya dipusatkan agar tidak
terpengaruh suara tersebut.
"Ha ha ha..., bersiaplah menerima
kematianmu, kakek peot!" setelah berkata
demikian, tubuh Reksa Pati kembali
melesat bagai kilat menerjang.
Kakek itu mencelat ke atas ketika
senjata Reksa Pati mengancam lambungnya.
Secepat kilat ia melakukan balasan dengan
sabetan pedang ditujukan ke kepala lawan.
Terdengar suara berdentang nyaring ketika
pedang di tangan pendekar tua itu beradu
dengan senjata Reksa Pati yang berusaha
melindungi kepalanya. Kakek itu melompat
dan berputar beberapa kali menjauhi
lawannya.
Reksa Pati kembali membenturkan
senjatanya hingga menimbulkan suara yang
memekakkan telinga. Dewa Gunung Kebat
terkejut mundur sambil mendekap telinga-
nya. Pada saat itu tubuh lawannya mela-
yang ke arahnya. Sepasang kecernya ber-
siutan menyambar-nyambar mencari sasaran.
Trang! Trang!
Dua kali si kakek berhasil mematahkan
serangan lawan. Namun karena posisi
lawannya lebih kuat menekan, maka tubuh
tua itu terdesak mundur. Reksa Pati tidak
ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Pada saat itu juga sepasang kakinya
terangkat menghantam dada lawan yang
terbuka pertahanannya.
Des!
"Ughhh...!"
Tubuh kurus itu terlempar ke
belakang. Tendangan kedua kaki Reksa Pati
yang disertai dorongan tenaga sakti itu
tepat mengenai sasaran.
"Huakkk...!"
Segumpal darah segar keluar dari
mulut Dewa Gunung Kebat. Dadanya terasa
remuk redam. Si kakek berdiri terhuyung-
huyung sambil berusaha memperbaiki posisi
kuda- kudanya. Tapi Reksa Pati tidak
memberi kesempatan. Secepat kilat
tubuhnya melesat dengan sepasang senjata
berdesing mengancam leher dan perut
lawan.
Trang!
Sambaran kecer yang meluncur ke arah
perutnya masih sempat ditangkis walaupun
dengan susah payah. Namun sayang sambaran
kecer yang menuju lehernya tak sempat
lagi dielakkan. Maka....
Cras!
Dewa Gunung Kebat tak sempat lagi
bersuara. Tahu-tahu kepalanya sudah meng-
gelinding putus terbabat kecer!
Desss!
Reksa Pati kembali melontarkan sebuah
tendangan ke arah tubuh tanpa kepala yang
masih berdiri tegak. Tubuh jangkung tanpa
kepala itu terlempar sejauh enam tombak.
Darah segar mengucur deras dari luka-luka
di lehernya. Setelah berkelojotan
beberapa saat, akhirnya tubuh itu tidak
bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan Reksa Pati
bergema ke lembah-lembah. Reksa Pati
berlari cepat menuruni Lereng Gunung
Kebat. Tubuh tinggi besar itu melayang
bagaikan seekor burung besar yang tengah
bermain-main.
***
Beberapa hari kemudian, tampak tujuh
orang laki-laki gagah berjalan beriringan
mendatangi Lereng Gunung Kebat. Dari
langkah-langkahnya yang ringan, jelas
terlihat kalau mereka rata-rata memiliki
kepandaian yang tinggi. Tak berapa lama
kemudian, tujuh orang itu pun telah tiba
di atas puncak gunung.
"Aneh, perasaanku tidak enak, Ka-
kang?" ujar salah seorang dari mereka
lirih. Orang itu bertubuh sedang. Pada
raut wajahnya yang tampan, terhias
sebaris kumis tipis. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang serupa dengan
milik keenam orang lainnya.
"Hm...," yang diajak bicara hanya
bergumam tak jelas. Langkahnya dihentikan
sambil mengedarkan pandangannya merayapi
daerah di sekitarnya. Sepertinya ia pun
memiliki perasaan yang sama.
Ketujuh orang itu meneruskan langkah-
nya menuju sebuah pondok yang terletak
tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Dari sikapnya, jelas terlihat seperti
membaui sesuatu yang tak beres.
"Guru...!" seru orang tertua sambil
mengulurkan tangannya membuka pintu
pondok. "Hm..., tidak terkunci?" gumamnya
heran. Sementara ia membuka pintu pondok,
enam orang lainnya bersiaga sambil
mencabut pedang di punggung mereka.
"Kalian bertiga tunggu di luar! Biar
aku dan yang lainnya yang memeriksa
keadaan di dalam pondok!" ucap yang
satunya lagi pelan seraya bergerak
mengikuti langkah saudara tertuanya
memasuki pondok. Orang itu bertubuh kekar
dan berkumis tebal.
Empat orang laki-laki gagah itu
mengerutkan alisnya ketika mendapati isi
pondok itu ternyata kosong! Meskipun
mereka memeriksa hingga ke ruang
belakang, namun tidak dijumpainya juga
orang yang dicarinya. Keempat orang itu
segera bergegas menemui saudara-
saudaranya di luar.
"Kosong!" ujar laki-laki gagah yang
berusia paling tua itu cepat sebelum yang
lainnya sempat bertanya.
Rupanya ketujuh orang laki-laki gagah
itu adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat.
Dalam rimba persilatan mereka dijuluki
Tujuh Pedang Pembelah Samudra. Pada hari
ini mereka bermaksud mengunjungi sang
guru setelah merantau kurang lebih dua
tahun lamanya.
"Apa tidak sebaiknya kita berpencar,
Kakang Bandawa?" usul salah seorang dari
mereka kepada orang tertua yang bernama
Bandawa itu.
"Baik sekali usulmu, Gumadi. Kalau
begitu, mari kita berpencar. Apabila
salah seorang dari kita menemukan Guru,
berilah tanda dengan siulan," ujar laki-
laki tertua yang dipanggil Bandawa tadi.
Sedetik kemudian, ketujuh murid Dewa
Gunung Kebat itu sudah berpencar. Sekali
menggerakkan tubuh saja, ketujuh orang
itu telah lenyap ditelan rimbunan pohon.
"Tolong..., tolong...!" tiba-tiba
terdengar sebuah teriakan memecah
keheningan.
Bandawa yang berada paling dekat dari
asal suara itu segera melesat menuju arah
sumber suara. Beberapa saat kemudian,
sepasang matanya. yang tajam menangkap
sesosok tubuh yang tengah berlari
tunggang langgang menuruni lereng gunung.
"Hup!"
Kedua kaki Bandawa menjejak bumi.
Sesaat kemudian tubuh laki-laki gagah itu
sudah melayang mengejar orang itu. Dalam
beberapa lompatan saja, Bandawa telah
berdiri menghadang.
"Hah! Se... setan...! Tolong ada
setaaan...!" orang itu berteriak-teriak
ketakutan ketika tahu-tahu saja di
hadapannya telah berdiri seorang laki-
laki gagah.
“Tenang, Kisanak. Aku bukan setan
seperti yang kau kira. Aku manusia biasa
seperti kau. Lihatlah baik-baik," ujar
Bandawa ramah.
"Betulkah..., betulkah kau bukan
setan? Tapi..., tapi mengapa kau bisa
terbang?" tanya laki-laki yang rupanya
seorang pencari kayu. Sambil berkata
demikian, laki-laki itu memandangi Ban-
dawa mulai dari ujung kaki sampai ke
ujung rambut.
"Hm..., sudahlah," hibur Bandawa
sambil tangannya terulur menyentuh bahu
si pencari kayu dengan lembut "Nah,
sekarang coba kau ceritakan kepadaku.
Mengapa engkau sampai berlari bagai
dikejar hantu? Apa yang kau lihat di atas
sana?" tanya Bandawa pelan.
"Mayat!" jawabnya orang itu sambil
menengok ke kiri-kanan seolah-olah ia
takut kalau mayat itu mengejarnya.
"Mayat?! Di mana? Mayat siapa? Ayo
tunjukkan padaku!" tanya Bandawa
berdebar. Karena ketegangan yang
menyelimuti dirinya, tanpa sadar ia
menekan pundak si pencari kayu kuat-kuat.
Bandawa baru tersadar ketika orang itu
mengaduh kesakitan. Cepat dilepaskannya
cengkeraman di pundak orang itu.
“Tapi..., mayat itu tanpa kepala...."
sambil berkata demikian, matanya berputar
liar. Sepertinya orang itu memang benar-
benar takut.
“Tidak perlu takut! Kalau mayat itu
bangkit, biar aku yang akan menghadapinya
nanti. Ayo!" Bandawa yang mulai tak sabar
itu segera menarik tangan orang itu.
Dengan terpaksa si pencari kayu
menuruti kemauan Bandawa. Kedua kakinya
agak gemetar ketika melangkah.
Tidak berapa lama kemudian, mereka
pun tiba di bagian sebelah Barat puncak
gunung itu. Di hadapan mereka terbentang
sebuah tanah lapang yang cukup luas.
Bandawa merayapi sekitar tempat itu
dengan kening berkerut. Jantungnya
berdebar tegang ketika didapatinya daerah
sekitar tempat itu banyak pohon-pohon
yang tumbang.
"Hm..., sepertinya di tempat ini
telah terjadi pertempuran pada beberapa
hari yang lalu," gumam laki-laki gagah
itu semakin tegang. Secepat kilat
tubuhnya melesat ke tengah-tengah tanah
lapang berumput tebal itu.
"Di mana mayat itu?" tanya Bandawa
agak memburu. Ketegangan dan kekhawatiran
akan keselamatan gurunya membuat Bandawa
tak dapat bersikap tenang lagi.
"Di dekat pohon itu...!" sahut orang
itu gugup. Setelah berkata demikian, dia
pun langsung melarikan diri meninggalkan
Bandawa. Rupanya rasa takut yang mengu-
asainya, benar-benar sudah tak dapat
dikendalikan lagi.
Sementara itu Bandawa sudah melesat
menghampiri pohon yang ditunjuk orang
tadi. Laki-laki gagah itu berdiri dengan
wajah pucat! Kedua lututnya terasa lemas
melihat pemandangan di hadapannya.
"Guru...," Bandawa menjatuhkan kedua
lututnya di tanah. Laki-laki gagah itu
tak mampu lagi membendung air matanya.
Pikirannya kacau hingga tak ingat lagi
untuk memberi tanda kepada saudara-
saudaranya yang lain. Hatinya benar-benar
terguncang melihat mayat orang tua yang
amat dihormatinya itu.
Setelah berhasil menguasai perasaan-
nya, barulah Bandawa teringat untuk
memberitahu saudara-saudaranya. Suara
siulan Bandawa bergetar karena kesedihan
hatinya yang mendalam.
"Kakang, kau menemukan sesuatu?"
belum lagi gema siulannya lenyap, keenam
adik seperguruannya sudah berlompatan
menghampiri Bandawa. Keenam orang itu tak
sempat bertanya lagi. Tubuh mereka
langsung bergetar ketika mengenali sosok
mayat tanpa kepala terpampang di
hadapannya.
"Guru...!" enam orang laki-laki gagah
yang pan-tang menangis dalam menghadapi
apa pun itu, akhirnya menitikkan air mata
di hadapan mayat sang guru.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang
selama ini ditakuti kaum sesat itu, kini
menangis tersedu-sedu mengelilingi guru
mereka yang telah menjadi mayat!
DUA
"Kakang, kita harus mencari penggalan
kepala guru kita. Aku yakin kepalanya
pasti masih berada di sekitar sini," ujar
seorang adik seperguruan Bandawa yang
bertubuh gemuk dan berwajah bulat Men-
dengar perkataan itu, saudara-saudaranya
mengangguk setuju. Sesaat kemudian,
mereka sudah menyebar mencari penggalan
kepala Dewa Gunung Kebat.
Setelah berhasil menemukan penggalan
kepala gurunya, ketujuh orang itu segera
menguburkan jenazahnya.
"Guru, kami tujuh orang muridmu
berjanji akan mencari pembunuhmu sampai
dapat. Untuk sementara kami akan menetap
di sini guna memperdalam ilmu silat kami.
Karena kami sadar kalau kepandaian pem-
bunuhmu pastilah sangat tinggi," janji
Bandawa mewakili saudara-saudaranya yang
lain. Ketujuh murid Dewa Gunung Kebat itu
bangkit dan memberikan penghormatan
terakhir di hadapan makam guru mereka.
Mulai hari itu ketujuh murid Dewa
Gunung Kebat berlatih giat. Mereka terus
memperdalam ilmu 'Tujuh Pedang Membelah
Samudra' yang merupakan ilmu tertinggi
yang pernah diajarkan guru mereka. Tanpa
mengenal lelah, tujuh laki-laki gagah itu
terus berlatih guna menuntut balas atas
kematian guru mereka.
"Hari ini adalah hari terakhir kita
berlatih. Marilah kita satukan seluruh
perhatian dan kekuatan kita," ujar
Bandawa yang memimpin adik-adik sepergi-
ruannya dalam setiap latihan. Setelah
berkata demikian, orang tertua dari Tujuh
Pedang Pembelah Samudra itu melompat ke
belakang. Kedua kakinya menekuk rendah.
Kaki kanannya yang berada di depan,
berada dalam posisi jinjit. Sementara
tangan kanannya yang menggenggam pedang
terangkat ke atas, melintang di atas
kepala. Sedangkan tangan kirinya berada
di depan dada.
Gerakan Bandawa segera diikuti oleh
saudara-saudaranya. Namun posisi kuda-
kuda mereka berlainan. Inilah salah satu
keistimewaan ilmu 'Tujuh Pedang Membelah
Samudra'. Masing-masing mempunyai gerakan
yang berlainan. Meskipun demikian mereka
tetap mempunyai kekuatan dan tujuan yang
satu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bandawa berseru keras.
Pedang di tangan kanannya bergerak cepat
menimbulkan angin berkesiuran. Sinar
pedangnya bergulung-gulung bagaikan ingin
membelah gelombang samudra!
Bentakan Bandawa disambut bentakan-
bentakan lainnya. Satu persatu adik
seperguruannya mulai bergerak sesuai
dengan tugasnya masing-masing. Hebat
sekali ilmu pedang yang dimainkan ketujuh
orang murid Dewa Gunung Kebat itu. Angin
keras berdesing menyambar-nyambar ke
segala penjuru. Kadang-kadang ujung-ujung
pedang mereka nampak laksana seekor ular
yang tengah meliuk-liuk di atas rerum-
putan. Namun di lain saat ketujuh mata
pedang itu menyambar ganas bagaikan
seekor burung elang menyambar mangsa.
Benar-benar hebat sekali ilmu yang
dipertunjukkan tujuh jago pedang itu!
"Heaaat..!"
Pada akhir gerakan, ketujuh orang
pendekar itu berteriak nyaring secara
bersamaan. Teriakan itu sengaja mereka
lakukan guna membuyarkan perhatian lawan.
Tapi pada saat itu juga, ketujuh orang
itu melesat secara bergelombang saling
susul menyusul.
Singgg! Singgg! Singgg...!
Sinar pedang berkelebatan sambil
mengeluarkan sinar yang menyilaukan.
Tujuannya adalah untuk mengaburkan
pandangan lawan.
Tujuh pedang itu secara bergantian
membabat dalam posisi yang berlainan.
Setelah itu mereka pun berloncatan mundur
sambil menyusut keringat yang meleleh
membasahi wajah.
Memang hebat sekali ilmu pedang yang
dipertunjukkan tujuh murid Dewa Gunung
Kebat. Apabila lawan tidak berhati-hati,
pastilah sudah kehabisan tenaga dalam
menghadapi serbuan tujuh mata pedang yang
bagaikan tak pernah habis itu.
"Hhh..., puas rasanya hatiku melihat
kemajuan yang kita capai selama beberapa
bulan ini," ucap Bandawa berseri-seri.
Wajahnya tampak segar kemerahan. Beberapa
tetes keringat masih menghias wajahnya.
"Yahhh..., tidak sia-sia jerih payah
kita selama ini. Semoga arwah guru merasa
bahagia melihat keberhasilan kita,"
timpal Gumadi yang merupakan orang kedua
setelah Bandawa. Wajahnya yang gagah,
mengulum senyum puas.
"Kalau begitu, besok kita dapat
meninggalkan tempat ini," sahut yang
lainnya gembira. Biar bagaimanapun,
kembali ke dunia ramai merupakan suatu
hal yang sangat menyenangkan.
Selesai berlatih, ketujuh orang
saudara seperguruan itu berkemas-kemas
untuk meninggalkan Gunung Kebat keesokan
harinya. Angin sejuk bertiup agak keras
seolah-olah ikut menyambut kegembiraan
Tujuh Pedang Pembelah Samudra.
***
Matahari belum lagi menampakkan
sinarnya. Kokok ayam hutan telah
terdengar bersahut-sahutan menyambut
datangnya sang pagi. Alam masih
terselimut kegelapan yang meremang.
Di tengah keremangan pagi itu, tampak
Tujuh Pedang Pembelah Samudra berlutut di
depan sebuah makam yang terawat rapi.
Makam itu adalah tempat beristirahatnya
Dewa Gunung Kebat, guru mereka.
"Guru..., kami mohon restu untuk
mencari pembunuhmu. Semoga kami dapat
membalaskan kematianmu sesuai dengan apa
yang telah dilakukannya terhadapmu,"
Bandawa memejamkan matanya menahan
keharuan yang menyeruak dalam rongga
dadanya. Sesaat kemudian, ia pun bangkit.
Setelah menarik napas panjang, Bandawa
melangkah meninggalkan makam gurunya
diikuti adik-adik seperguruannya.
Bersamaan dengan munculnya cahaya
keperakan di kaki langit sebelah Timur,
tampak tujuh sosok berlarian menuruni
Lereng Gunung Kebat. Kabut putih yang
memenuhi lereng gunung, tidak menjadi
halangan bagi mereka. Sorot mata mereka
yang tajam mampu menembus kepekatan sang
kabut.
Sesekali tubuh ketujuh orang itu
tampak melambung ke atas melompati batu
besar yang banyak bertonjolan di
sepanjang jalan. Gerakan-gerakan mereka
tampak lebih gesit dan lincah daripada
beberapa bulan sebelumnya. Mereka benar-
benar telah mencapai kemajuan pesat
sekali.
Pada saat sinar matahari mulai
menebar ke permukaan bumi, ketujuh orang
itu sudah tiba di kaki gunung. Sebuah
aliran sungai yang berair jernih
menghadang perjalanan mereka.
"Arah mana yang sebaiknya kita tuju,
Kakang?" tanya salah seorang adik
seperguruannya kepada Bandawa, sambil
mengedarkan pandangannya.
"Hm..., bagaimana menurutmu, Adi
Gumadi?" Bandawa melemparkan pertanyaan
kepada adik seperguruannya yang lain.
Meskipun keputusan berada di tangannya,
namun ia ingin meminta pendapat dari
saudara-saudaranya terlebih dahulu.
"Bagaimana kalau kita ke arah Barat
saja dulu, Kakang? Arah itu lebih cepat
menuju desa terdekat. Bukankah kita harus
mencari keterangan terlebih dahulu
tentang rupa dan ciri-ciri si pembunuh?"
ujar Gumadi.
"Baiklah! Kalau begitu kita ke arah
Barat," sahut Bandawa sambil bergegas
melangkahkan kakinya menyeberangi sungai.
Sepasang kakinya bergerak lincah ber-
loncatan di atas tonjolan batu-batu yang
banyak terdapat di sungai itu.
"Kita harus mempercepat perjalanan,
ayo!" ajak Bandawa, begitu mereka telah
melewati sungai. Sambil berkata demikian,
Bandawa pun melesat mendahului yang
lainnya. Gerakan orang tertua dari Tujuh
Pedang Pembelah Samudra ini cepat sekali.
Sekali lompat saja tubuhnya sudah berada
jauh beberapa tombak di depan saudara-
saudaranya.
"Ayo, kita berlomba!" usul Gumadi
latah. Seketika itu juga tubuh mereka
melesat saling mendahului.
Bandawa yang saat itu berada paling
depan, mengembangkan senyumnya melihat
kegembiraan adik-adik seperguruannya.
Baru beberapa puluh tombak ia berlari,
mendadak matanya menangkap sosok tubuh
yang terbujur agak tersembunyi di balik
semak-semak.
Dengan penuh waspada, Bandawa
melangkah mendekati sosok itu. Kening
pendekar itu berkerut ketika melihat
percikan darah yang telah mengering
menempel pada dedaunan. Cepat ia mencabut
pedang di punggungnya. Sekali lompatan
saja, tubuhnya sudah berada di balik
semak belukar itu.
"Ahhh...!"
Bandawa terguling ke kiri ketika kaki
kanannya menginjak sebuah benda bulat.
Setelah melenting bangkit, Bandawa
mencari benda yang membuatnya terguling
itu. Alangkah terperanjatnya pendekar itu
ketika mengetahui benda bulat yang
diinjaknya tadi ternyata adalah kepala
manusia!
Bandawa menyarungkan pedangnya
setelah sebelumnya dipergunakan untuk
memapas rerimbunan semak yang menutupi
mayat itu. Pelahan-lahan sosok mayat itu
ditariknya keluar dari rerimbunan semak.
"Ada apa, Kakang? Mayat siapa itu?"
tanya Gumadi begitu tiba di tempat itu.
Saudara-saudaranya yang lain ikut
berkerumun dan menghujani Bandawa dengan
berbagai pertanyaan.
Laki-laki gagah berusia empat puluh
tahun itu mengangkat tangannya ke atas.
Agaknya ia meminta saudara-saudaranya
bersabar. Setelah keadaan menjadi hening,
barulah Bandawa angkat bicara.
"Kalian kenali mayat ini baik-baik!
Siapakah dia?" ujar Bandawa kepada
saudara-saudaranya. Sambil melontarkan
pertanyaan itu, ditunjuknya kepala yang
telah terpisah dari tubuhnya.
"Pendekar Golok Sakti...?!" teriak
keenam saudara seperguruan Bandawa
terkejut bercampur heran. Mereka kenal
betul dengan Pendekar Golok Sakti. Beliau
adalah seorang pendekar besar yang
namanya menjadi momok bagi kaum sesat.
Keharuman nama pendekar ini boleh
dibilang hampir sejajar dengan guru
mereka.
"Biadab! Pembunuhnya pastilah orang
yang juga membunuh guru kita! Benar-benar
iblis yang haus darah! Rasanya aku ingin
mencincang tubuh iblis itu sampai lumat!"
geram salah seorang adik seperguruan
Bandawa sambil mengepalkan tangannya
kuat-kuat.
"Sabarlah, Adi Supena. Pembunuh itu
pastilah orang yang berilmu tinggi.
Nyatanya guru kita dan Pendekar Golok
Sakti saja tewas di tangannya," ujar
Gumadi menenangkan adik seperguruannya
yang bernama Supena. Hatinya pun
sebenarnya merasa geram. Namun ia masih
dapat menguasainya.
"Hm..., itu pun belum pasti, Adi
Gumadi. Bisa jadi pembunuh itu tidak
bertindak seorang diri. Mungkin saja guru
kita dan juga pendekar ini tewas
dikeroyok," Bandawa memberikan tanggapan
atas dugaan Gumadi. Ia sengaja
mengeluarkan pendapat demikian karena
tidak ingin nyali adik-adiknya menjadi
ciut bila membayangkan pembunuh guru
mereka adalah seorang yang benar-benar
berilmu tinggi.
"Ya! Mungkin saja, Kakang. Siapa tahu
mereka memang tewas dikeroyok!" sahut
Supena menyetujui ucapan kakak tertuanya
itu.
"Sudahlah! Sekarang lebih baik kita
kuburkan jenazah Pendekar Golok Sakti
ini," ajak Bandawa kepada yang lainnya.
Dalam waktu singkat, di tempat itu
sudah terlihat sebuah gundukan tanah
merah yang letaknya agak ke tepi jalan.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra kemudian
bergegas meninggalkan tempat itu
meneruskan perjalanannya.
***
Seorang laki-laki tinggi besar
berusia enam puluhan melangkah tegap. Di
punggungnya tampak sepasang kecer yang
bergerigi pada sisinya. Wajahnya yang
bertotol-totol hitam menyiratkan
kebengisan. Orang itu terus melangkah
menghampiri sebuah pintu gerbang
perguruan.
"Hm...!" orang yang tak lain adalah
Reksa Pati, menggeram pelahan. Sesaat
kemudian, tubuh gendut itu melesat
menjambret papan nama yang bertuliskan
'Perguruan Gagak Putih'. Papan nama yang
terbuat dari kayu jati tebal dan kuat itu
lalu diinjaknya hingga hancur berkeping-
keping.
Setelah menghancurkan papan nama
Perguruan Gagak Putih, Reksa Pati
mengayunkan kakinya yang besar ke depan
pintu gerbang perguruan itu.
"Hiah...!"
Brakkk!
Pintu gerbang perguruan yang kokoh
kuat itu jebol hingga menimbulkan suara
gaduh. Kakek tinggi besar dan menakutkan
itu mengibaskan tangannya menghalau
kepingan-kepingan kayu yang bertebaran ke
arahnya, sambil mengayunkan kakinya
memasuki halaman perguruan.
"Hei! Orang gila dari mana datang-
datang membuat keributan?!" bentak salah
seorang dari dua penjaga pintu gerbang
yang berlari mendatangi. Orang itu segera
mengayunkan pedangnya membacok tubuh si
pendatang.
"Hm...!"
Reksa Pati hanya mendengus kasar.
Sedikit pun ia tidak mempedulikan
sambaran pedang yang membabat perutnya.
Bagaikan orang yang tidak tahu bahaya,
dia terus melanjutkan langkahnya.
"Mampuslah!" seru orang itu geram.
Meskipun sebenarnya hati penjaga itu
terkejut, namun ia tetap saja tidak
menahan bacokannya.
Singgg!
Trak!
"Aaakh...!"
Aneh! Penjaga itu malah menjerit
kesakitan ketika mata pedangnya
menghantam perut gendut itu. Perut Reksa
Pati sama sekali tidak terobek seperti
yang dibayangkan si penjaga. Malah
pedangnya patah menjadi dua ketika
bertemu perut si kakek. Si penjaga
terpukul roboh. Tulang tangannya terasa
patah. Penjaga gerbang itu beringsut
menjauh dengan mata terbelalak ngeri.
"Huh! Tikus busuk tak tahu diri!"
bentak Reksa Pati gusar. Setelah berkata
demikian, tahu-tahu tubuh si penjaga yang
masih telentang itu terangkat naik!
"Oh! Tolong...! Tolooong...!" orang
itu berteriak-teriak ketakutan. Tubuhnya
sudah terangkat kira-kira satu tombak di
atas permukaan tanah! Benar-benar
pertunjukan tenaga dalam yang sukar
diukur kehebatannya.
"Pergilah!" bentak Reksa Pati sambil
mengibaskan tangannya, bagaikan mengusir
seekor lalat yang menjijikkan.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan
oleh gerakan pergelangan tangan itu.
Tubuh penjaga gerbang terpental deras
bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak
tampak. Tubuh itu terus meluncur ke arah
sebatang pohon yang berjarak sekitar
empat tombak jauhnya.
Derrr!
"Heghk...!"
Krak!
Terdengar suara berderak keras tanda
tulang-belulang orang itu berpatahan
ketika tubuhnya membentur batang pohon
sepelukan orang dewasa. Darah berhamburan
dari mulut dan kepalanya yang retak.
Sesaat kemudian, terdengar suara
berderak yang disusul suara hiruk pikuk!
Kiranya batang pohon tadi ikut pula
tumbang! Dapat dibayangkan, betapa hebat
nya tenaga sakti yang dimiliki kakek
tinggi besar yang menyeramkan itu.
"Pembunuh gila! Kucincang tubuhmu!
Hiaaat...!" penjaga yang seorang lagi
berteriak marah. Meskipun hatinya
berdebar melihat kesaktian si kakek, tapi
kematian temannya membuat ia tidak
berpikir tentang rasa takut Tanpa pikir
panjang lagi, penjaga itu menusukkan
tombaknya ke perut Reksa Pati.
Trak!
Tombak itu patah menjadi tiga bagian
ketika menyentuh perut Reksa Pati. Orang
itu terbelalak pucat. Tubuhnya gemetar.
Ketika tangan kakek tinggi besar itu
menampar kepalanya, terdengar suara
gemeretak. Penjaga gerbang itu tewas
seketika. Tamparan yang kelihatannya
pelahan itu ternyata telah membuat kepala
si penjaga pecah! Darah segar bercampur
cairan putih menggenang membasahi
pekarangan Perguruan Gagak Putih.
"Tolooong...! Ada pembunuh gila...!"
teriak beberapa orang murid yang ikut
menyaksikan kejadian itu sambil berlarian
ketakutan. Perguruan Gagak Putih gempar!
Dalam waktu singkat, tempat itu telah
dipenuhi puluhan orang murid Perguruan
Gagak Putih. Mereka mengepung Reksa Pati
yang masih berdiri di tengah pelataran.
Beberapa di antaranya berteriak-teriak
marah sambil mengacung-acungkan senja
tanya. Namun, tak seorang pun di antara
mereka yang berani maju. Kekejaman yang
baru saja dipertunjukkan Reksa Pati
membuat mereka harus berpikir dua kali
untuk maju.
"Iblis biadab!" maki seorang murid
yang ikut mengepung.
"Kita bunuh saja iblis itu!" seru
yang lainnya sambil mengacung-acungkan
tombaknya.
Reksa Pati menatap para pengepungnya
dengan wajah dingin. Sedikit pun dia
tidak mempedulikan teriakan-teriakan itu.
Kakek tinggi besar itu malah melangkah
menuju gedung yang menjadi pusat perguru-
an. Para pengepung yang berada di
depannya bergerak mundur. Wajah-wajah
mereka terlihat tegang dan pucat.
"Hm...!"
Wusss!
Reksa Pati mendengus gusar seraya
mengayunkan tangannya melontarkan pukulan
jarak jauh. Terdengar suara angin
berkesiuran mengiringi datangnya pukulan
maut itu.
"Aaa...!"
Belasan pengepung di depannya
terlempar bagaikan daun-daun kering.
Beberapa orang di antaranya langsung
tergeletak tewas! Dari mulut, hidung, dan
telinga mereka mengalir darah segar.
Sedangkan sisanya berkelojotan meregang
nyawa!
Bukan main terkejutnya para murid
Perguruan Gagak Putih. Sesaat kemudian
kepungan itu pun merenggang. Mereka yang
tadinya berteriak-teriak marah, langsung
bungkam. Kegentaran dan kengerian
menyelimuti hari mereka.
"Ihhh...!"
Belasan pengepung yang berada di kiri
kanan si kakek serentak mundur dibarengi
seruan-seruan ngeri ketika tatapan Reksa
Pati merayapi mereka. Demikian dinginnya
tatapan mata Reksa Pati, sehingga membuat
tubuh mereka menggigil!
"Hm..., siapa yang berani mati
mengacau perguruan kami?" tiba-riba
terdengar suara berat dan berwibawa
memecah keheningan. Belum lagi gema
suaranya lenyap, tahu-tahu lima orang
laki-laki gagah telah mendaratkan kakinya
ke tengah kepungan.
"Kakang, kakek buruk itu kejam
sekali! Bunuh saja dia!" seru salah
seorang pengepung ketika melihat murid-
murid utama telah datang ke tempat itu.
"Benar, Kakang! Bunuh saja! Lihatlah!
Dia sudah membunuh puluhan saudara kita!"
teriak yang lainnya geram. Meskipun
begitu, mereka tetap saja tidak berani
maju mendekati Reksa Pati.
"Hm..., siapakah kau, Kakek Tua? Apa
kesalahan saudara-saudara kami sampai kau
tega menurunkan tangan maut kepada
mereka?" tanya salah seorang murid utama
Perguruan Gagak Putih. Orang itu berusia
sekitar empat puluh tahun. Wajahnya gagah
dengan sorot mata yang menyiratkan
kesabaran dan keluasan pandangan.
"Mana gurumu si Gagak Sakti? Suruh
dia keluar!" Reksa Pati sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan tadi. Malah
sebaliknya ia bertanya menuntut dengan
dingin. Ia sama sekali tidak memandang
sebelah mata pun kepada laki-laki gagah
di depannya. Begitulah sifat-sifat tokoh-
tokoh sesat yang berkepandaian tinggi!
"Bangsat! Akan kurobek mulutmu yang
lancang, kakek buruk!" bukan main
marahnya hati salah seorang murid utama
Perguruan Gagak Putih demi mendengar
ucapan Reksa Pati. Detik itu juga
tubuhnya melesat disertai ayunan
pedangnya yang berdesing membelah udara.
Reksa Pati sama sekali tidak menaruh
perhatian pada serangan itu. Tepat pada
saat mata pedang hampir tiba menusuk
lehernya, ia hanya mengangkat sebelah
tangannya ke atas. Sebuah getaran
gelombang tenaga yang sukar diukur
tingginya memagari tubuh kakek itu.
Sehingga mata pedang murid utama tadi
tertahan beberapa rambut dari lehernya.
Murid utama Perguruan Gagak Putih itu
terbelalak kaget. Wajahnya pucat
seketika. Keringat sebesar biji-biji
jagung menetes membasahi wajahnya. Dia
berusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk
menarik pulang senjatanya. Tapi anehnya
senjata itu bagai dijepit tenaga yang tak
tampak! Sehingga dia tidak dapat menarik
ataupun mendorong senjatanya itu.
"Oh..., ah..., hhh...!"
Dengan napas yang semakin memburu
karena rasa takut dan ngeri, orang itu
terus berusaha melepaskan senjatanya.
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Reksa Pati
mengibaskan tangannya dari bawah ke atas.
Seketika itu juga, tubuh orang itu kontan
melayang bagai disentakkan tenaga
dahsyat! Darah segar memercik dari mulut
dan hidungnya.
"Wuaaa...!"
Brak!
Tubuh orang itu terbanting di atap
gedung perguruan. Jerit kematian menggema
memenuhi tempat itu. Murid utama
Perguruan Gagak Putih itu tewas karena
isi perutnya telah hancur akibat pukulan
tenaga dalam yang dahsyat dari Reksa
Pati.
***
TIGA
Empat orang murid utama dan puluhan
murid lainnya membelalak pucat! Reksa
Pati kembali telah menunjukkan kehebatan
dan kekejamannya yang tidak lumrah
manusia itu. Tanpa sadar, mereka bergerak
semakin mundur menjauh.
"Hm.... Cepat panggil gurumu sebelum
kesabaranku habis!" geram Reksa Pati
penuh ancaman. Sepasang matanya kali ini
mencorong tajam bagaikan mata seekor
harimau buas. Sambil berkata demikian,
Reksa Pati mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
Puluhan orang murid yang semula
mengepungnya menjadi buyar dan berlarian
menyelamatkan diri. Beberapa orang di
antaranya bergegas melaporkan kejadian
itu kepada guru mereka. Rupanya ancaman
kakek tinggi besar itu telah merenggut
seluruh keberanian di hari mereka.
Beberapa saat kemudian, tampak
seorang laki-laki berusia sekitar enam
puluh tahun berjalan tergesa-gesa menuju
halaman depan perguruan. Langkah kaki
orang tua itu sangat ringan, pertanda
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sepasang matanya jernih menyiratkan
kesabaran. Wajah seorang tua yang bijak
sana.
"Raja Iblis dari Utara...!" gumam
kakek itu ketika dari kejauhan ia melihat
Reksa Pati. Wajahnya yang semula tenang,
berubah cemas. Jelas sekali kalau orang
tua yang berjuluk Pendekar Gagak Sakti
ini merasa gentar! Langkahnya dihentikan
sejauh sepuluh batang tombak di hadapan
Reksa Pati yang berjuluk Raja Iblis dari
Utara itu.
"Ha ha ha...! Pendekar Gagak Sakti,
mengapa kau tidak segera menyambut
kedatanganku. Jangan salahkan aku kalau
orang-orangmu yang lancang terpaksa
kuberi sedikit pelajaran," Reksa Pati
tertawa bergelak begitu melihat kehadiran
orang yang dicarinya. Sesaat kemudian,
wajahnya kembali beku. Dingin dan
menakutkan!
"Guru...!"
Empat orang murid utama Perguruan
Gagak Putih serentak menjatuhkan dirinya
berlutut ketika melihat kedatangan guru
mereka. Salah seorang di antara mereka
yang hendak berbicara terpaksa
mengurungkan niatnya ketika sang guru
mengangkat sebelah tangannya sebagai
isyarat untuk diam.
"Hm..., beruntunglah kalian masih
selamat. Ketahuilah, kakek tinggi besar
ini adalah seorang datuk sesat dari
wilayah Utara. Tidak ada seorang pun di
kalangan persilatan yang dapat mengukur
kepandaiannya. Kekejamannya yang seperti
iblis, membuat dunia persilatan men-
julukinya Raja Iblis dari Utara!"
Pendekar Gagak Sakti menghentikan uca-
pannya sejenak. Orang tua itu menarik
napas panjang sambil matanya berkeliling
menatap murid-muridnya.
"Satu pesanku kepada kalian. Apabila
aku sampai bertarung melawan iblis itu,
kalian harus segera pergi menyelamatkan
diri. Aku tidak yakin akan mampu
menghadapinya," ujar Ketua Perguruan
Gagak Putih itu lirih.
“Tapi, Guru...!" murid utama Pendekar
Gagak Sakti yang paling tua mencoba
membantah ucapan gurunya.
"Sudahlah, turuti saja pesanku!"
sahut pendekar itu cepat. Setelah berkata
demikian, Pendekar Gagak Sakti segera
melangkah mendekati Reksa Pati.
Ketua Perguruan Gagak Putih itu
menghentikan langkahnya beberapa tombak
di hadapan kakek iblis itu. Wajah yang
biasanya selalu tenang, kini tampak
gelisah. Orang tua itu gelisah bukan
memikirkan nasibnya. Tapi ia memikirkan
keselamatan murid-muridnya. Apabila dia
kalah, sudah dapat dipastikan Perguruan
Gagak Putih akan musnah. Pendekar Gagak
Sakti kenal betul sifat Raja Iblis dari
Utara yang tidak pernah kepalang tanggung
dalam melakukan setiap kejahatan.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara, apa
maksudmu membuat keonaran di tempatku?
Setahuku di antara kita tidak pernah ada
persoalan?" ucap Pendekar Gagak Sakti
mencela kakek tinggi besar itu.
"Ha ha ha...! Hei! Adiyasa. Perlu kau
ketahui! Aku tidak pernah sudi mengurusi
cecunguk-cecunguk seperti murid-muridmu
itu. Tapi mereka sendirilah yang mencari
celaka," sahut kakek iblis itu tanpa me-
rasa bersalah sedikit pun. Malah
sebaliknya ia menyalahkan murid-murid
Pendekar Gagak Sakti.
"Apa maksud kedatanganmu mencariku?"
tanya Pendekar Gagak Sakti yang bernama
Ki Adiyasa, mencoba menekan kemarahannya.
Meskipun ia telah mendengar sepak terjang
Reksa Pati beberapa bulan belakangan ini,
namun ia ingin mendengar sendiri
pengakuannya.
"Apakah kau tidak pernah mendengar
berita selama beberapa bulan terakhir
ini? Baiklah! Aku akan mengatakannya
kepadamu. Seperti halnya kepada para
pendekar yang telah kubunuh itu, aku pun
ingin menanyakan di mana aku bisa
menemukan Pendekar Naga Putih? Jangan
coba-coba membohongiku bila kau tidak
ingin mengalami nasib seperti mereka!"
ancam Raja Iblis dari Utara, mulai hilang
keramahannya.
“Pendekar Naga Putih? Aku memang
pernah berjumpa dengannya. Tapi
sepengetahuanku, tidak ada seorang tokoh
pun yang mengetahui tempat tinggalnya.
Mengapa kau menanyakan hal itu kepadaku?"
Ki Adiyasa mengerutkan keningnya dalam-
dalam. Ia tahu bahwa pertanyaan itu
hanyalah alasan yang dibuat-buat.
"Ha ha ha...! Sudah kuduga bahwa kau
tidak akan memberitahukannya kepadaku!
Baiklah kalau begitu, aku akan
menggunakan caraku sendiri untuk
memancing keluar pendekar sombong itu.
Nah, sekarang bersiaplah untuk kukirim ke
neraka, Adiyasa!" ucap Reksa Pati ringan.
“Tunggu dulu! Kalau boleh kutahu, apa
urusanmu mencari Pendekar Naga Putih?"
tanya Ki Adiyasa penasaran.
"Hm..., pendekar sombong itu telah
membunuh tiga orang muridku! Aku ingin
tahu sampai di mana kepandaiannya hingga
berani membunuh muridku," Reksa Pati
menurunkan tangannya yang semula sudah
siap melontarkan serangan.
"Siapakah muridmu itu?"
"Muridku adalah Tiga Setan Sungai
Kandal. Sudahlah! Lebih baik kau bersiap-
siap menghadapi kematianmu yang sudah di
ambang pintu," setelah berkata demikian,
Raja Iblis dari Utara menggerakkan kedua
tangannya menutup dan mengembang. Asap
tipis tampak mengepul ketika ia mulai
menggosok-gosokkan kedua belah telapak
tangannya.
"Ilmu 'Telapak Lidah Api'!" seru Ki
Adiyasa terkejut. Ia sudah mendengar
kehebatan ilmu itu yang belum pernah
tertandingi oleh tokoh mana pun. Cepat-
cepat digerakkan tangannya menyilang di
depan dada.
Ki Adiyasa sadar kalau lawan yang
dihadapi kali ini bukanlah tokoh
sembarangan. Mau tak mau harus dikerahkan
seluruh kepandaiannya kalau masih ingin
hidup lebih lama.
"Hm...!" Ketua Perguruan Gagak Putih
itu menggeram pelahan. Buku-buku jari
tangannya berkerotokan pertanda kalau
orang tua itu tengah mengempos tenaga
dalamnya. Wajahnya yang semula bersih itu
tampak kemerahan.
"Mulailah, Raja Iblis !" seru
Pendekar Gagak Sakti mempersilakan
lawannya menyerang terlebih dahulu.
"Ha ha ha..., kaulah yang harus mulai
lebih dulu, Adiyasa. Kuberi kau kesem-
patan menyerang sebanyak sepuluh jurus,"
jawab Reksa Pati mengejek lawannya.
“Tidak! Aku adalah tuan rumah di
sini. Sudah sepatutnya kalau memberi
kesempatan kepada tamuku terlebih
dahulu!" sahut Ki Adiyasa tetap pada
pendiriannya.
"Kalau memang itu maumu, baiklah!
Lihat serangan!" belum lagi gema suaranya
lenyap, tubuh Reksa Pati telah meluncur
cepat sambil mengayunkan kedua tangannya
bergantian. Hawa panas yang menyengat
kulit menyebar memenuhi pekarangan depan
Perguruan Gagak Putih.
Empat orang murid utama Ki Adiyasa
bergegas menepi. Mereka menjauhi arena
pertarungan yang menegangkan itu.
Sebentar saja tubuh keempat murid utama
itu basah bersimbah peluh.
"Gila! Ilmu apa yang dipergunakan
iblis itu?" maki murid tertua itu
mengumpat.
Kalau keempat orang muridnya yang
berada agak jauh dari arena pertarungan
saja sudah merasa kegerahan, apalagi Ki
Adiyasa sendiri yang memang menjadi
sasaran serangan. Pakaian yang dikenakan
orang tua itu basah kuyup bagai dicelup
ke dalam air. Meskipun demikian, ia tetap
berusaha mengadakan perlawanan sengit.
Setiap kali mendapat kesempatan, orang
tua itu mencoba membalas.
"Hiaaat...!"
Ki Adiyasa berteriak nyaring sambil
melontarkan sebuah pukulan dengan
pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Angin
pukulannya menderu-deru membuyarkan hawa
panas yang menyengat itu. Telapak ta-
ngannya yang terbuka, meluncur dan
berputar mengancam titik kelemahan lawan.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang dilontarkan
Ketua Perguruan Gagak Putih berhasil
dihindari Reksa Pati. Sambil menggeser
tubuhnya, Raja Iblis dari Utara langsung
melontarkan sebuah tendangan kilat ke
lambung lawan. Melihat serangan balasan
yang tak terduga itu Ki Adiyasa melempar
tubuhnya ke belakang sambil bersalto
beberapa kali menjauhi lawannya.
Tapi baru saja kedua kakinya menjejak
tanah, terdengar suara mencicit tajam
menyambar ke arahnya. Ki Adiyasa
meliukkan tubuhnya menghindari dua buah
pukulan jari tangan lawan. Begitu
serangan lawan luput, lalu dilanjutkannya
dengan sebuah pukulan sisi telapak
tangannya ke arah pelipis Reksa Pati.
Dukkk!
"Ahhh...!"
Ki Adiyasa terdorong ke belakang
ketika hantaman sisi telapak tangannya
disambut tangkisan lawan. Meski agak
limbung, orang tua itu masih sempat
memperbaiki kuda-kudanya sehingga tidak
sampai terjatuh.
Pendekar Gagak Sakti meringis menahan
sakit pada pergelangan tangannya. Tulang-
tulang lengannya seperti remuk ketika
bertemu lengan Reksa Pati yang sekeras
baja. Ki Adiyasa terkejut melihat bagian
bawah lengannya ternyata melepuh bagaikan
terbakar api saja layaknya. Sadar kalau
kepandaiannya masih beberapa tingkat di
bawah lawan, orang tua itu segera
mencabut pedang yang tergantung di
pinggangnya.
Sring!
Seberkas sinar kebiruan terpancar
ketika Ki Adiyasa mencabut keluar
senjatanya. Pedang itu lalu diputarnya
hingga menimbulkan suara berdesing tajam.
"He he he.... Ayo keluarkan seluruh
kepandaianmu, Adiyasa!" ejek Reksa Pati
bergelak.
Ki Adiyasa tidak menimpali ucapan
lawan yang sengaja memanasinya. Ketua
Perguruan Gagak Putih itu terus bergerak
maju sambil memainkan jurus pedangnya.
Dibarengi sebuah bentakan nyaring,
diputar dan ditusuk pedangnya ke perut
gendut lawan.
Raja Iblis dari Utara sama sekali
tidak menghindar ketika pedang lawannya
berdesing menuju perutnya. Kakek tinggi
besar itu hanya mengangkat kedua le-
ngannya ke depan dada. Tepat pada saat
ujung pedang hampir menyentuh kulit
tubuhnya, kedua tangannya bergerak
merangkap di depan, menjepit pedang itu.
Tappp!
"Hiah...!"
Pendekar Gagak Sakti mengerahkan
seluruh tenaganya untuk menekan ujung
pedangnya. Namun sepasang tangan Raja
Iblis dari Utara yang laksana jepitan
baja itu ternyata tak dapat ditembusnya.
Gagal menekan, Ki Adiyasa mencoba
menyentak pedangnya dari jepitan telapak
tangan lawan. Sayang usahanya tetap tidak
berhasil!
Asap tipis mulai mengepul dari ubun-
ubun Ki Adiyasa. Pertanda kalau orang tua
itu telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya
Raja Iblis dari Utara tidak
menghindar ketika pedang Pendekar Gagak
Sakti berdesing cepat. Tepat pada saat
ujung pedang hampir menyentuhnya, kedua
tangannya bergerak menjepit pedang itu.
"Hiah...!" Pendekar Gagak Sakti
berusaha sekuat tenaga menusukkan ujung
pedangnya!
Tiba-tiba Raja Iblis dari Utara
menyentakkan pedang itu ke kiri.
Terdengar suara 'kletak' saat pedang itu
patah menjadi dua. Sebelum Ki Adiyasa
sempat menyadarinya, Reksa Pati melang-
kahkan kaki kanannya ke depan. Sambil
merendahkan tubuhnya, kakek tinggi besar
itu mendorong kedua telapak tangannya ke
dada Pendekar Gagak Sakti.
Bughk!
"Ahhh...!"
Ketua Perguruan Gagak Putih terlempar
ke belakang diiringi jerit tertahan.
Darah segar menyembur dari mulutnya. Debu
tipis mengepul ketika tubuh pendekar tua
itu terbanting keras di tanah. Baju di
bagian dadanya hangus bagaikan termakan
api. Sedangkan di dadanya tampak ter-
gambar dua buah telapak tangan yang
hitam, melepuh dan menimbulkan bau sengit
daging terbakar. Itulah pukulan 'Telapak
Lidah Api' yang terkenal ganas dan keji!
"Guru...!" murid tertua Ki Adiyasa
berlari memburu tubuh gurunya diikuti
ketiga adik seperguruannya.
Orang tua itu terkapar lemah. Napas-
nya sudah tak beraturan lagi. Pukulan
lawan yang telak itu rupanya telah
menghancurkan isi dadanya. Darah segar
masih saja mengalir dari mulutnya. Sesaat
kemudian, kepala Ki Adiyasa terkulai di
atas pangkuan murid tertuanya. Ketua
Perguruan Gagak Putih tewas tanpa sempat
mengucapkan sepatah kata pun kepada
murid-muridnya!
"Guru...!"
Keempat orang murid utama Ki Adiyasa
itu berteriak-teriak sambil mengguncang-
guncangkan tubuh gurunya. Namun, Ketua
Perguruan Gagak Putih telah membisu untuk
selama-lamanya.
"Keparat kau, Iblis Utara! Kau harus
menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
seru salah seorang murid utama geram.
Dengan wajah masih bersimbah air mata,
dia bangkit seraya mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya.
"Jangan...!" murid tertua Ki Adiyasa
berteriak mencegah adik seperguruannya.
Tapi sayang ia sudah terlambat untuk
mencegah. Adik seperguruannya yang telah
gelap mata itu sudah tiba di hadapan Raja
Iblis dari Utara
Trak!
Krep!
Pedang di tangan orang itu memang
berhasil menyentuh tubuh Reksa Pati. Tapi
bukan perut Raja Iblis dari Utara yang
robek, melainkan pedang itu yang patah
menjadi dua. Sebelum sempat murid
Perguruan Gagak Putih itu menyadari,
tahu-tahu tangan kakek tinggi besar itu
sudah terulur menangkap lehernya.
"Hekh...!"
Krek!
Terdengar suara gemeretak bunyi
tulang yang patah ketika Reksa Pati
mengerahkan tenaga pada cengkeramannya.
Tubuh orang itu lalu dilemparkannya ke
arah tiga orang murid utama yang masih
berdiri terpaku. Serentak ketiganya
melompat maju menangkap tubuh adik seper-
guruannya yang telah menjadi mayat.
"Pergilah! Selamatkan diri kalian.
Biar aku dan murid-murid yang lainnya
menghadapi iblis itu," ujar murid tertua
kepada dua orang adik seperguruannya.
Setelah berkata demikian, segera dicabut
pedangnya dan bersiap menghadapi Reksa
Pati.
"Tidak, Kakang! Lebih baik kami mari
daripada harus lari seperti anjing
pengecut!" bantah salah seorang di
antaranya.
"Kalau kalian ikut mati, siapa yang
akan membalaskan dendam ini kelak?
Sudahlah, pergilah kalian sesuai pesan
guru kita."
"Tidak, Kakang! Biarkan kami di sini
bersamamu untuk...."
"Pergi kataku!" murid tertua Ki
Adiyasa membentak marah. Akhirnya kedua
adik seperguruannya itu dengan hati pilu
meninggalkan halaman gedung utama
Perguruan Gagak Putih, dan menyelinap
masuk ke pintu di balik gedung.
"Ha ha ha..., jangan harap kalian
dapat lolos dari tanganku!" seru Raja
Iblis dari Utara bergelak. Sesaat
kemudian, tubuh tinggi besar itu melesat
mengejar dua orang murid utama yang
hendak lari itu.
"Seraaang...!" murid tertua Ki
Adiyasa berteriak memberi peringatan
kepada puluhan orang murid yang berada di
belakangnya. Sambil berkata demikian, ia
mendahului yang lainnya melompat maju.
Puluhan orang murid Perguruan Gagak
Putih itu serentak berlari menerjang Raja
Iblis dari Utara yang hendak mengejar dua
orang murid utama itu. Mereka sudah tidak
lagi mempedulikan kematian yang akan
dihadapi. Hanya satu tekad mereka yaitu
mencegah Raja Iblis dari Utara agar tidak
mengejar kakak seperguruan mereka yang
hendak meloloskan diri.
"Hm...!"
Bukan main marahnya Raja Iblis dari
Utara melihat kenekatan puluhan murid
Perguruan Gagak Putih. Sambil mendengus
gusar, kakek tinggi besar itu segera
membagi-bagi pukulan dan tamparannya.
Blarrr!
"Aaa...!"
Puluhan orang murid Perguruan Gagak
Putih beterbangan bagaikan daun-daun
kering. Darah muncrat menggenangi
pelataran depan perguruan. Bau anyir
darah mulai menyebar memenuhi tempat itu.
Amukan si kakek iblis benar-benar
menggiriskan sekali! Dalam beberapa
gebrak saja, puluhan mayat murid
perguruan itu sudah saling tumpang tindih
tak karuan.
"Hiaaa...!"
Murid tertua Ki Adiyasa melompat
sambil mengayunkan pedangnya membabat
leher Reksa Pati. Namun, Raja Iblis dari
Utara yang sudah bagaikan malaikat
pencabut nyawa, segera melontarkan
tamparan yang menimbulkan suara mencicit
tajam.
Prak!
Tanpa sempat berteriak lagi, orang
itu ambruk dengan kepala pecah! Darah
bercampur cairan putih kental, memercik
menyebarkan bau anyir yang makin kuat
Setelah menewaskan murid tertua
Perguruan Gagak Putih, Raja Iblis dari
Utara berkelebat mengejar dua orang
lainnya yang bermaksud meloloskan diri.
Sesaat kemudian, dua orang murid utama Ki
Adiyasa itu sudah berhasil dikejarnya.
Bukan main terkejutnya hati kedua
orang itu ketika tahu-tahu di depan
mereka telah menghadang Raja Iblis dari
Utara.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana
kalian? Jangan harap kalian dapat lolos
dari kematian!" ujar Reksa Pati sambil
tertawa sinis.
"Huh! Jangan harap kami akan menyerah
begitu saja, iblis! Heaaat...!" sambil
berteriak keras, salah seorang dari murid
utama Perguruan Gagak Putih itu menerjang
disertai ayunan senjatanya.
Melihat kawannya sudah menerjang,
yang seorang lagi bergegas mencabut
senjatanya. Sesaat kemudian, ia pun
bergegas membantu kawannya yang sudah le-
bih dahulu menerjang Raja Iblis dari
Utara.
"Hm...!"
Disertai dengusan kasar, Reksa Pati
mengembang-kan sepasang tangannya memapak
serangan dua orang itu.
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua
orang itu pun terjengkang akibat
tangkisan Raja Iblis dari Utara.
Dan sebelum keduanya sempat bangkit,
sepasang kaki yang besar dan kuat telah
menjejak perut mereka. Terdengar bunyi
gemeretak tulang-tulang yang berpatahan!
Darah segar pun langsung mengalir dari
mulut kedua orang murid utama Perguruan
Gagak Putih itu.
Raja Iblis dari Utara mengangkat
kedua kakinya begitu tubuh yang
diinjaknya sudah tidak bergerak lagi.
Diiringi gelak tawa yang menyeramkan,
kakek iblis itu pun berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu.
EMPAT
Sepak terjang Raja Iblis dari Utara
dan kekejamannya dalam membantai tokoh-
tokoh persilatan maupun perguruan-pergu-
ruan silat golongan putih, benar-benar
menggemparkan dunia persilatan.
Hampir di setiap pelosok, orang ramai
membicarakan tentang peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan itu. Cerita tentang
keganasan Raja Iblis dari Utara benar-
benar menjadi wabah saat itu.
"Gila! Kalau begini caranya, bisa
habis tokoh-tokoh persilatan golongan
putih dibantainya. Siapa yang sanggup
menghentikan perbuatan Raja Iblis dari
Utara itu?" ujar seorang laki-laki
berwajah bulat bernada penasaran. Tangan-
nya menggebrak meja agak keras sehingga
para pengunjung kedai makan di sekitarnya
serentak memalingkan wajah ke arah orang
itu.
"Jangan terlalu keras bicaramu, Adi
Gantara. Ucapanmu bisa-bisa membawamu
melayat ke akherat nanti!" ucap kawannya
mengingatkan. Orang itu menekan suaranya
serendah mungkin agar tidak terdengar
pengunjung yang lain.
"Benar apa yang dikatakan Kakang
Ranjalu, Adi Guntara. Kita tidak boleh
sembarangan membicarakan hal itu. Kalau
mata-mata iblis itu mendengar, bisa
runyam urusannya," bisik yang satunya
lagi lirih. Sambil berkata demikian
matanya melirik ke kiri-kanan. Raut
wajahnya menyiratkan keemasan.
"Bukan itu saja. Kalau ada tokoh
persilatan golongan putih yang merasa
tersinggung dengan ucapanmu, bisa repot
kita," orang paling tua yang bernama
Ranjalu itu kembali mengingatkan.
"Huh! Untuk apa kita takut? Bukankah
benar perkataanku tadi! Daripada harus
tersinggung, bukankah lebih baik
menumpahkan rasa kedongkolan kepada Raja
Iblis dari Utara! Bukan kepada kita?"
orang berwajah bulat yang bernama Guntara
itu tetap saja mengobral rasa tak puasnya
terhadap sikap kebanyakan tokoh-tokoh
golongan putih saat itu. Ia terus saja
mengumbar ucapannya keras-keras.
"Iya, tapi jangan di tempat umum
seperti ini!" geram Ranjalu merasa agak
kesal. Wajahnya mulai memerah karena
amarahnya sudah bangkit melihat
kebandelan adik seperguruannya.
"Benar yang dikatakan Saudara
Guntara!" tiba-tiba seorang laki-laki
setengah baya berambut sebahu, melangkah
menghampiri meja di mana ketiga laki-laki
itu duduk. Laki-laki itu mengucapkan
kata-katanya sambil memperlihatkan senyum
lebar. "Boleh aku bergabung di meja
kalian?" pinta orang itu ramah.
"Silakan, silakan Kisanak," sahut
Ranjalu membalas keramahan orang itu.
Wajahnya yang semula sudah memerah,
kembali berubah seperti sediakala. Ia
tidak ingin kalau pertengkaran antara dia
dan adik seperguruannya sampai diketahui
orang lain.
"Namaku Karmapala. Aku menjadi
tertarik untuk bergabung ikut mendengar-
kan obrolan kalian tadi. Rasa-rasanya apa
yang diucapkan Saudara Guntara tadi, sama
dengan apa yang ada dalam pikiranku,"
laki-laki setengah baya itu memperkenal-
kan diri, sambil mengungkapkan sikapnya
dalam menanggapi persoalan yang tengah
melanda dunia persilatan pada masa itu.
"Aku Ranjalu. Dan kedua orang ini
adalah saudara-saudara seperguruanku,"
sahut Ranjalu sambil memperkenalkan nama
kedua orang adik seperguruannya. Ia
sengaja tidak menyebutkan nama
perguruannya, karena laki-laki setengah
baya itu juga tidak menyebutkan nama
perguruan atau partainya.
"Nah! Benar kan ucapanku tadi,
Kakang? Nyatanya Ki Karmapala pun
berpikiran sama sepertiku. Bukankah
begitu, Ki?" tegas Guntara sambil menatap
laki-laki setengah baya itu. Pemuda
berusia dua puluh tahun itu merasa
gembira karena mendapat teman sepen-
dirian.
"Hm...," Ranjalu hanya bergumam
menanggapi ucapan adiknya. Rupanya ia
masih tetap belum dapat menerima pendapat
Guntara.
"Kalau menurut pendapatku, orang yang
mesti kita cari adalah Pendekar Naga
Putih!" Ki Karmapala sengaja menekan pada
kalimat 'Pendekar Naga Putih', untuk
melihat reaksi ketiga orang itu. Sengaja
suaranya agak dikeraskan sedikit agar
dapat didengar semua pengunjung kedai
makan itu.
"Eh, mengapa harus begitu?" Ranjalu
terpaksa menyahut ketika mendengar
disebutnya nama Pendekar Naga Putih yang
selama ini mereka kagumi.
"Ya, mengapa harus Pendekar Naga
Putih yang kita cari?" Guntara pun
mengerutkan keningnya ketika mendengar
ucapan Ki Karmapala yang cukup menga-
getkan itu.
"Tentu Saja!" jawab Ki Karmapala
tambah bersemangat ketika melihat
perhatian ketiga orang gagah itu mulai
tercurah kepadanya. Laki-laki setengah
baya itu mulai mengemukakan pendapat dan
pandangannya. Ternyata bukan hanya tiga
orang itu saja yang tertarik. Bahkan
hampir semua pengunjung kedai makan ikut
memasang telinga guna mendengar lebih
jelas tentang apa yang diceritakan dan
direncanakan Ki Karmapala.
"Hm..., rasanya pendapat Ki Karmapala
boleh kita coba!" usul Guntara yang
disambut anggukan dua orang kakak
seperguruannya. Selesai berkata demikian,
ia pun bangkit berdiri diikuti ketiga
orang lainnya. Rupanya keempat orang
gagah itu berniat meninggalkan kedai itu.
Beberapa saat setelah kepergian
keempat orang gagah itu, beberapa orang
yang menyandang pedang, bangkit dari
kursinya. Setelah membayar harga makanan,
orang-orang itu bergegas mengikuti arah
yang diambil empat orang gagah tadi.
***
Panji atau yang dikenal berjuluk
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya
lambat-lambat Kepalanya tertunduk
memandangi batu-batu kerikil yang ter-
gilas kakinya. Wajah pemuda tampan itu
terlihat murung. Rupanya ada persoalan
yang mengganggu pikirannya.
"Hhh...," terdengar helaan napas
berat mewakili perasaan pemuda itu.
Sebuah kerikil ditendangnya secara iseng.
Batu, kecil itu melambung jauh diikuti
tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan. Para tokoh persilatan yang
tak berdosa itu tewas hanya karena mereka
tidak dapat memberitahu di mana adanya
aku. Iblis itu benar-benar biadab sekali!
Mengapa ia tidak mencariku saja? Mengapa
ia harus menanyakannya kepada orang-orang
yang memang betul-betul tidak mengeta-
huinya?" bermacam-macam perasaan terus
berkecamuk dalam benaknya. Panji benar-
benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang
diinginkan orang yang berjuluk Raja Iblis
dari Utara itu. Dan mengapa pada saat ia
muncul malah sebaliknya iblis itu tak
pernah muncul? Baru kali inilah Panji
merasa pikirannya benar-benar buntu!
Tiba-tiba Panji menghentikan
langkahnya ketika pendengarannya yang
tajam mendengar tangisan dan jerit orang
minta tolong. Cepat pemuda itu menge-
darkan pandangannya untuk mencari sumber
suara.
"Hm..., kalau mendengar dari suara
gaungnya, pastilah teriakan itu berada
dekat sebuah tebing. Kalau begitu,
pastilah suara itu berasal dari sebuah
lembah atau dari balik bukit." Berpikir
demikian, tubuh pemuda itu segera melesat
mencari tempat yang dimaksud.
Pendekar Naga Putih itu berkelebat
cepat mengitari daerah sekitarnya. Namun
hingga lelah mencari, ternyata apa yang
diduganya tidak dijumpainya. Pemuda itu
terpaksa menghentikan pencariannya.
"Ah, mungkin itu hanya suara angin
saja. Atau aku yang salah dengar?" gumam
Panji sambil mengerutkan kening.
"Angin...? Ya, suara teriakan itu pasti
terbawa angin!" Secepat kilat, Panji
segera melesat mendaki sebuah anak bukit
yang berada tidak jauh di depannya. Tak
lama kemudian, tubuh pemuda itu sudah
membungkuk di antara rimbunan semak-
semak.
Apa yang dilihatnya benar-benar
membuat kening pemuda itu berkerut. Di
atas puncak anak bukit itu ternyata
terdapat sebuah perkampungan kecil.
Beberapa buah rumah sederhana yang ter-
buat dari kayu dan beratap rumbia tampak
menghias puncak anak bukit itu.
"Hm.... Perkampungan apa ini?
Benarkah apa yang kudengar tadi berasal
dari sini?" hari Panji mulai ragu-ragu
Tapi sebelum pemuda itu berpikir lebih
jauh, tiba-tiba terdengar suara pertem-
puran yang diselingi suara bentakan dan
jerit kematian.
"Hup!"
Tanpa berpikir dua kali, Panji
menggenjot tubuhnya hingga melambung ke
sebuah pohon besar yang berdaun lebat.
Merasa aman dan agak tersembunyi dari
pandangan orang-orang di bawahnya, ia pun
bergegas duduk di atas sebuah cabang
pohon yang dirasa cukup kuat menahan
bobot tubuhnya.
"Keempat orang gagah itu pastilah
tidak akan sanggup menahan gempuran
puluhan orang kasar yang mengeroyoknya.
Heran, mengapa mereka begitu berani mati,
memasuki tempat ini tanpa perhitungan?"
gumam Panji tak habis pikir. Merasa bahwa
keempat orang itu akan tewas apabila
tidak cepat ditolong, Panji berniat
melompat untuk menolong mereka.
"Jangan takut, Kawan-kawan! Kami
datang membantu!"
Panji menahan gerakannya ketika
mendengar suara itu. Delapan orang yang
baru datang itu bergerak cepat memasuki
kancah pertempuran. Dalam beberapa gebrak
saja, keadaan telah berubah! Keempat
orang gagah itu kini dapat menarik napas
lega. Apalagi ketika mendapat kenyataan
bahwa kepandaian delapan orang itu
ternyata rata-rata cukup tinggi.
“Terima kasih atas bantuan kalian,
Sahabat!" teriak laki-laki setengah baya
sambil mengayunkan pedangnya membacok
seorang lawan yang seketika itu juga
roboh mandi darah! Ternyata orang itu
adalah Ki Karmapala. Orang-orang yang
membantunya itu adalah orang-orang yang
mengikutinya semenjak dari kedai.
"Ah! Tidak perlu sungkan-sungkan,
Pendekar Pedang Sakti. Bukankah hal ini
memang sudah menjadi kewajiban kita?"
sahut salah seorang dari delapan laki-
laki gagah itu cepat.
Bret! Crak!
"Aaakh...!"
Dua orang laki-laki kasar terjungkal
mandi darah akibat sambaran pedang orang
yang berbicara kepada Ki Karmapala itu.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi orang
itu kembali menggempur lawan-lawannya
yang mulai berkurang banyak itu.
Panji yang duduk di atas dahan, diam-
diam merasa kagum akan sepak tenang kedua
belas laki-laki gagah itu. Sambaran
pedang mereka mantap dan terlatih baik.
Beberapa waktu kemudian, para pengeroyok
itu pun melarikan diri karena tak sanggup
menahan amukan kedua belas orang itu.
Tiba-tiba sepasang mata Panji yang
tajam menangkap sesosok bayangan yang
melesat menuruni anak bukit. Sesosok
tubuh ramping tampak meronta-ronta dalam
pondongannya. Rupanya salah seorang dari
gerombolan itu berusaha menyelamatkan
diri sambil membawa lari seorang gadis.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Panji segera melayang turun mengejar
orang itu. Bagaikan seekor burung camar
yang bermain-main di antara deburan
ombak, tubuh pemuda itu meliuk dan
berputar beberapa kali di udara.
Tappp!
Pendekar Naga Putih mendaratkan
kakinya ke tanah berbatu menghadang lari
orang itu. Sepasang matanya mencorong
tajam menerbangkan semangat orang itu.
"Sssi... siapa kau...?" tanya laki-
laki berwajah kusam itu agak bergetar.
Rupanya ia begitu terkejut melihat
kehadiran Panji yang tahu-tahu sudah
berdiri di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku bukanlah hal yang
penting. Lepaskan gadis itu! Dan kau
boleh pergi!" sahut Panji penuh ancaman.
"Anak Muda! Wanita ini adalah
istriku. Apakah kau ingin mencampuri
urusan rumah tangga ku?" laki-laki
berwajah kusam itu rupanya sudah
mendapatkan ketenangannya kembali. Kata-
kata yang dilontarkannya sempat membuat
Panji kaget.
"Eh...?!" untuk beberapa saat
lamanya, Panji hanya berdiri termangu. Ia
benar-benar tak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Sesaat kemudian,
kepala pemuda itu kembali terangkat.
Rupanya ia tidak ingin dibohongi mentah-
mentah. "Kalau memang benar begitu,
turunkan perempuan itu. Biar kutanyakan
sendiri kepadanya."
"Bangsat! Rupanya kau memang peng-
ganggu rumah tangga orang! Nah, terimalah
ini! Hih...!" setelah melontarkan makian
yang membuat wajah pemuda itu memerah,
laki-laki itu bergerak cepat menusukkan
pedangnya ke perut Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak
jelas. Pada saat serangan itu tiba, tubuh
pemuda itu melenting sambil mengulur
kedua tangannya merebut wanita dari
pondongan laki-laki berwajah kusam itu.
Tubuh Panji terus melayang hingga
beberapa tombak jauhnya. Kakinya menjejak
tanah secara indah. Tangannya lalu
bergerak membebaskan totokan pada
perempuan itu.
“Terima kasih, Kisanak. Aku bukanlah
istri laki-laki biadab itu. Aku adalah
salah seorang dari sekian banyak gadis
desa yang diculiknya. Bunuh saja laki-
laki jahanam itu, Kisanak. Dia... dia
jahat dan kejam!" begitu terbebas dari
totokan, wanita itu cepat menerangkan.
Tadi dia hanya dapat mendengar tanpa
mampu berbicara karena laki-laki berwajah
kusam itu telah menotok urat dagunya.
"Hm..., masih mau mengatakan
perempuan ini sebagai istrimu?" tanya
Panji tersenyum mengejek. Hati pemuda itu
lega begitu mendengar keterangan yang
diberikan perempuan itu. Meskipun ia
sudah menduganya sejak semula, namun
sebelum mendapat kepastian tetap saja ia
masih meragukannya.
"Keparat busuk! Kucincang tubuh-
mu...!" laki-laki berwajah kusam itu
kembali melompat sambil menyabetkan
senjatanya ke leher pemuda itu.
Panji hanya menggeser kaki kanannya
ke belakang yang disertai kelitan
tubuhnya, dan pedang itu pun mengenai
tempat kosong. Lawannya bergerak sigap
menarik kembali senjatanya sambil mele-
paskan dua buah tendangan susul menyusul.
Tendangan pertama dielakkan secara
mudah. Dan ketika tendangan kedua tiba,
Panji menggerakkan tangannya mengangkat
kaki lawan. Sehingga....
Buk!
"Uhhh...!"
Laki-laki itu terbanting keras di
tanah yang dipenuhi batu-batu yang
bertonjolan. Wajahnya meringis menahan
sakit akibat membentur batu-batu yang
bertonjolan itu. Sesaat kemudian, tubuh-
nya melenting berdiri dan langsung
menyabetkan kembali senjatanya
Kali ini tangan Panji bergerak cepat.
Bagaikan seekor ular hidup, tangan pemuda
itu meliuk dan menangkap pergelangan
tangan lawan. Laki-laki itu menjerit
kesakitan ketika Panji mengerahkan tena-
ganya meremas pergelangan orang itu.
Begitu pedangnya terlepas, tangan Panji
langsung bergerak menusuk lambung
menggunakan jari-jari terbuka.
"Hughk...!"
Orang itu mengeluh tertahan. Kedua
kakinya sampai terlompat ketika tusukan
jari-jari tangan Panji menghunjam lam-
bungnya. Darah segar meleleh dari sela-
sela bibirnya. Untunglah Panji tidak
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya
sehingga orang itu tidak sampai tewas.
Tubuh orang itu hanya menggelepar-gelepar
menahan sakit yang tak terkira pada
lambungnya.
"Pergilah, sebelum aku berubah
pikiran!" ancam Panji sambil menendang
tubuh orang itu hingga terguling-guling.
Sambil menahan rasa sakit, orang itu
berlari tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu. Belum lagi laki-laki berwajah
kusam itu berlari jauh, tiba-tiba sesosok
bayangan melesat dari sebelah kirinya.
Sosok tadi langsung mengayunkan goloknya
membabat leher laki-laki berwajah kusam
tadi.
Crak!
Darah memancur dari luka di lehernya.
Sedangkan kepala orang itu telah
menggelinding entah ke mana. Laki-laki
berwajah kusam itu tewas tanpa sempat
berteriak lagi.
"Orang seperti dia tidak patut
mendapat ampunan, Kisanak! Kematian
adalah Balasan yang paling setimpal
untuknya," ujar sosok bertubuh sedang
sambil melangkah menghampiri Panji yang
hanya berdiri terpaku.
Kemunculan laki-laki setengah baya
bertubuh sedang itu disusul beberapa
orang laki-laki gagah. Dua belas orang
laki-laki gagah itu meneliti Panji dari
ujung rambut hingga ke ujung kakinya.
Sesaat kemudian, dua belas orang laki-
laki gagah itu berseru tertahan.
"Anak Muda. Apakah kau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih?" tanya laki-laki
setengah baya yang ternyata adalah Ki
Karmapala. Serentak kaki orang tua itu
melangkah mundur. Sedang pedang di
tangannya yang masih berlumuran darah itu
tampak bergetar.
Gerakan mundur yang dilakukan Ki
Karmapala diikuti oleh sebelas kawannya.
Jari-jari tangan mereka meraba gagang
senjata masing-masing. Jelas sekali kalau
mereka telah bersiap-siap menghadapi
sebuah pertarungan.
"Benar, Paman. Orang rimba persilatan
menjuluki aku Pendekar Naga Putih," jawab
Panji yang mulai meraba sikap yang
diperlihatkan kedua belas orang laki-laki
gagah yang dikaguminya itu.
Ki Karmapala kembali meneliti mulai
dari ikat kepala, pakaian dan juga pedang
yang melilit pinggang pemuda itu.
"Hm..., tidak salah lagi! Pemuda
inilah yang kita cari-cari!" ujar Ki
Karmapala sambil menolehkan kepalanya ke
arah kawan kawannya.
"Ada apakah sebenarnya, Paman?" Panji
yang sudah melihat gelagat tidak baik
yang diperlihatkan laki-laki gagah itu,
bersiap meninggalkan tempat itu. Pengala-
mannya pada beberapa hari yang lalu telah
membuatnya curiga. Memang, beberapa hari
yang lalu dirinya pernah dikeroyok
belasan orang tokoh persilatan golongan
putih yang hendak menyerahkan dirinya
kepada Raja Iblis dari Utara. Pemuda ini
heran sekali mengapa para tokoh rimba
persilatan golongan putih kini malah
berbalik memusuhinya.
"Hm..., Pendekar Naga Putih. Karena
ulahmu dunia persilatan menjadi kacau.
Lebih baik sekarang kau menyerah secara
baik-baik! Kau akan kami serahkan kepada
Raja Iblis dari Utara. Ingat! Bila kau
menolak, kami tidak segan-segan bertindak
keras padamu!" ancam Ki Karmapala
mengingatkan.
"Baik! Aku menyerah. Tapi aku tidak
ingin diperlakukan seperti seorang
tawanan. Bagaimana?" sahut Panji yang
tidak ingin bentrok dengan dua belas
orang laki-laki gagah itu.
"Tidak bisa! Kami harus menotok dan
mengikat seluruh tubuhmu. Barulah kami
dapat membawamu," Ki Karmapala tidak
menyetujui usul yang diajukan Panji.
"Ki, bukankah pendekar muda itu sudah
mengalah. Sudahlah, kita bawa saja dia
sekarang ke tempat iblis itu," tiba-tiba
Ranjalu berbisik di telinga laki-laki
setengah baya itu. Rupanya Ranjalu tidak
menyukai cara yang ditempuh Ki Karmapala.
Oleh karena itu dia berusaha agar Ki
Karmapala menerima usul Panji.
"Tidak, Adi Ranjalu. Kalau kita tidak
melumpuhkannya terlebih dahulu, bagaimana
kita dapat menjamin kalau dia tidak akan
melarikan diri?" jawab Ki Karmapala tak
mau kalah. Ranjalu tidak menjawab. Ia
tidak dapat menyangkal ucapan itu.
"Aku bukan seorang pengecut, Paman.
Aku berjanji tidak akan melarikan diri
seperti yang Paman kira," tersinggung
juga hari pemuda itu melihat sikap yang
ditunjukkan Ki Karmapala.
“Tidak! Kami tetap akan membawamu
dalam keadaan terikat dan tertotok
lumpuh! Kalau tidak, lebih baik kami
membawa mayatmu saja untuk kami serahkan
kepada Raja Iblis dari Utara!" Ki
Karmapala tetap kukuh pada pendiriannya.
LIMA
Sesabar-sabarnya hati orang, pastilah
ada batasnya. Sikap yang ditunjukkan Ki
Karmapala benar-benar membangkitkan
amarah Pendekar Naga Putih. Sepasang
matanya berkilat-kilat mencerminkan pera-
saan hatinya yang mulai dilanda
kemarahan.
"Kau terlalu mendesakku, Orang Tua!"
Panji tidak lagi menggunakan istilah
paman kepada Ki Karmapala. Meskipun
kesadaran masih menguasai pikirannya, na-
mun sikap hormatnya kepada orang tua itu
sudah hilang.
"Nah, kalian lihatlah! Betapa
sombongnya pendekar muda ini. Ayo, kita
tangkap dia! Lihat serangan...!" sambil
berkata demikian, Ki Karmapala yang
berjuluk Pendekar Pedang Sakti menerjang
ke arah Panji. Angin pedangnya berdesing
tajam menandakan kalau orang tua itu
tidak main-main dalam serangannya.
Sebelas orang lainnya segera
mengurung Panji. Sesaat kemudian di
tangan mereka telah tergenggam senjata
masing-masing.
Panji melompat ke kiri menghindari
serangan maut yang dilancarkan Ki
Karmapala. Baru saja kakinya menyentuh
tanah, tiba-tiba suara mengaung tajam
telah mengancam tubuhnya. Cepat-cepat
Panji meliukkan tubuhnya menggunakan
kuda-kuda serendah mungkin. Pada saat
pedang di tangan lawan lewat di atas
kepalanya, tubuh Panji bersalto ke
belakang sejauh tiga tombak. Rupanya
pemuda itu masih sungkan untuk membalas
serangan-serangan lawannya.
"Rupanya kau memang lebih suka
kekerasan, pendekar sombong!" seru
Pendekar Pedang Sakti mengejek. Seperti-
nya laki-laki setengah baya itu merasa
benci sekali kepada Pendekar Naga Putih.
Tak mengherankan jika serangan-serangan-
nya pun demikian ganas dan mematikan.
Kali ini pedangnya diputar sedemikian
rupa hingga membentuk gulungan-gulungan
sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Pendekar Naga Putih masih terus
mengelak tanpa berusaha untuk membalas.
Wajar saja kalau dalam beberapa jurus
pemuda itu sudah terdesak hebat! Dua
belas orang pendekar itu rupanya memang
benar-benar menginginkan kematiannya.
Mereka tidak tanggung-tanggung lagi dalam
melancarkan serangan.
Dua puluh jurus sudah Panji berusaha
mati-matian menghindari serangan dua
belas mata pedang itu. Namun sampai
sejauh itu belum satu pun pedang lawan
yang berhasil menyentuh kulitnya. Gerakan
Panji yang meliuk-liuk bagaikan seekor
naga sakti yang tengah bermain di
angkasa, membuat lawan-lawannya semakin
penasaran!
"Hiaaat...!"
Ki Karmapala yang sudah dipengaruhi
rasa penasaran dan kemarahan, semakin
memperhebat serangannya. Pedangnya
berkelebat bagaikan sambaran-sambaran
kilat di angkasa. Bahkan beberapa kali
mata pedangnya hampir menyentuh tubuh
Pendekar Naga Putin. Hal itu membuat
orang tua itu semakin bernafsu.
Ranjalu, Guntara, dan sembilan orang
lainnya pun tak mau kalah. Sinar-sinar
pedang mereka berkilatan menimbulkan
angin berkesiutan yang menyambar-nyambar
ganas. Pedang-pedang mereka tak ubahnya
seperti tangan-tangan malaikat maut yang
siap mencabut nyawa Panji setiap saat.
Bret!
"Akh...!"
Sebuah tusukan pedang lawan hampir
melukai tubuh Panji. Untunglah serangan
itu sempat dielakkan, sehingga ujung
senjata itu hanya merobek baju pada
bagian lambungnya. Pemuda itu melenting
ke udara dan bersalto beberapa kali
menjauhi lawan-lawannya.
"Berhenti!" teriak Panji keras
Suaranya menggelegar bagai ledakan petir
di angkasa. Sepasang bola mata anak muda
itu mencorong tajam, hingga sempat
membuat lawan-lawannya tergetar mundur.
Luar biasa sekali perbawa yang keluar
dari sepasang matanya. "Jangan paksa aku
melakukan kekerasan!" ancam Panji
meskipun dirinya masih tetap berada dalam
kepungan dua belas orang laki-laki gagah
itu.
Pendekar Naga Putih mengedarkan
pandangannya bagaikan mata seekor naga
yang sedang marah! Beberapa saat lamanya
kedua belas orang itu saling berpandangan
ragu. Mereka memang harus mengakui
kelihaian pemuda itu. Sampai sekian jauh
mereka melancarkan serangan-serangan yang
mematikan, namun hanya berhasil merobek
baju pemuda itu. Padahal Pendekar Naga
Putih sama sekali belum membalas serangan
mereka. Diam-diam mereka merasa ngeri,
kalau saja Panji membalas, dapat
dipastikan mereka tidak mungkin dapat
bertahan lebih dari dua puluh jurus.
"Jadi kau menyerah, Pendekar Naga
Putih?" tanya Guntara yang tubuhnya
menjadi panas dingin ketika tatapan Panji
terarah padanya.
"Tidak! Aku hanya tidak ingin kalian
menyerangku lagi. Tunjukkan padaku
kediaman Raja Iblis dari Utara. Biar aku
sendiri yang akan mendatanginya," sahut
Panji tanpa melepaskan kewaspadaannya.
"Huh! Tidak bisa, pendekar sombong!
Ayo, kawan-kawan. Tunggu apa lagi?
Serang...!" teriak Ki Karmapala langsung
melesat membabatkan pedangnya.
Begitu melihat Pendekar Pedang Sakti
sudah menyerang, yang lain pun serentak
mengikuti. Panji segera memusatkan
perhatian menghadapi serangan tokoh-tokoh
itu.
"Hm...!"
Pendekar Naga Putih menggeram murka.
Sesaat kemudian dia mulai mengempos
tenaga dalamnya. Tiupan angin dingin yang
menusuk tulang sum-sum berhembus keras
memenuhi daerah di sekitarnya. Tak lama
kemudian, terdengar suara berkerotokan
ketika 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' mulai
mengalir deras melalui tangannya. Selapis
kabut putih keperakan bersinar
menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Heaaah...!"
Wusss...!
Blarrr!
Debu mengepul tinggi ketika pukulan
jarak jauh yang dilontarkan Panji
menghantam tanah berbatu. Untunglah empat
pendekar yang tengah menerjangnya dari
depan sempat menghindar. Kalau tidak,
tubuh mereka tentu sudah bergelimpangan
tanpa nyawa!
Setelah melepaskan pukulan itu, tubuh
Panji melambung ke atas dan berputar
bagaikan gasing. Beberapa saat kemudian,
tubuhnya meluruk ke arah lawan-lawannya
sambil melontarkan serangan.
Delapan laki-laki gagah itu berjum-
palitan sambil bergulingan menghina dari
serangan Panji yang datang bagai air bah.
Setelah berhasil menyelamatkan diri,
mereka bergegas bangkit dan bersiap
menghadapi Pendekar Naga Putih kembali.
"Hei, ke mana pemuda itu?" seru
Ranjalu heran ketika tidak menemukan
Panji di tempat itu. Ranjalu mengedarkan
pandangan ke sekelilingnya. Namun, Panji
benar-benar telah lenyap bagai ditelan
bumi.
Rupanya pada saat-saat lawannya sibuk
menghindari serangannya yang laksana
angin topan tadi, diam-diam Panji
langsung melesat meninggalkan arena
pertarungan. Dia merasa tidak ada gunanya
meladeni tokoh-tokoh persilatan yang
sudah gelap mata itu. Satu-satunya jalan
terbaik menurut pemuda itu adalah
menghindari mereka.
"Benar-benar pemuda hebat! Seusia itu
dia sudah mampu mengekang amarahnya.
Benar-benar seorang pendekar sejati!"
puji Ranjalu tulus.
"Huh! Dia tak lebih dari seorang
pengecut bagi-ku!" tiba-tiba terdengar
suara ketus penuh kebencian. Kata-kata
kasar itu terlontar dari mulut Ki
Karmapala. Sepertinya dia tidak senang
kawan-kawannya memuji-muji pendekar muda
itu. Karena sesungguhnya laki-laki
setengah baya ini adalah salah seorang
pendekar yang telah menyimpang dan
bergabung dengan Raja Iblis dari Utara.
Itulah sebabnya mengapa ia begitu
membenci Panji.
"Kukira, ia bukan takut menghadapi
kita, Ki. Mungkin ia tidak ingin salah
seorang di antara kita menjadi korban
pukulannya," ujar Guntara mencoba memban-
tah ucapan Pendekar Pedang Sakti. Dalam
hati kecilnya, ia menyetujui langkah yang
diambil Pendekar Naga Putih.
"Ahhh, sudahlah! Lebih baik sekarang
kita kejar pendekar pengecut itu, ayo!"
sahut Ki Karmapala tak senang. Selesai
berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu segera melesat mengejar Pendekar Naga
Putih.
"Heran! Mengapa Ki Karmapala begitu
membenci Pendekar Naga Putih?" desah
Ranjalu tak habis mengerti.
"Entahlah, Kakang? Pasti ada
sebabnya," sahut Guntara sambil menghela
napas berat.
"Sudahlah. Lebih baik kita segera
menyusulnya," usul yang lain sambil
bersiap-siap hendak menyusul Pendekar
Pedang Sakti.
"Eh, bagaimana dengan wanita-wanita
yang diculik perampok itu? Apa tidak
sebaiknya kita mengantarkan mereka kepada
keluarganya terlebih dahulu?" tiba-tiba
salah seorang di antaranya mengingatkan
kalau pekerjaan mereka belum selesai.
"Hm..., mengapa kita sampai
melupakannya? Kalau begitu kita berbagi
tugas. Aku dan kedua orang saudaraku akan
mengantarkan wanita-wanita desa itu.
Sedangkan kalian menyusul Pendekar Pedang
Sakti. Bagaimana?" Ranjalu mengusulkan.
"Kalau begitu, baiklah. Nah! Selamat
berpisah, Sahabat. Mudah-mudahan kita
dapat berjumpa lagi nanti," ujar Salah
seorang menyetujui usul Ranjalu. Maka
berpisahlah para tokoh persilatan itu
dengan mengemban tugas masing-masing.
***
Panji terus berlari menghindari dua
belas orang tokoh persilatan yang hendak
menangkapnya. Dikerahkannya ilmu 'Lari
Terbang di Atas Angin', sehingga tubuhnya
hanya nampak bagaikan sebuah bayangan
samar yang meluncur cepat melintasi
keremangan hutan.
Setelah merasa yakin dirinya tidak
akan terkejar, pemuda itu segera
menghentikan larinya. Panji mengusap
peluh yang membasahi keningnya dengan
punggung tangan. Belum lagi sempat
menarik napas lega, tiba-tiba beberapa
langkah kaki menuju ke arahnya. Secepat
kilat pemuda itu melompat ke atas sebuah
cabang pohon yang agak tinggi.
Dari tempat persembunyian, dilihatnya
tujuh orang laki-laki gagah yang
mengenakan pakaian warna-warni tengah
melangkah tergesa-gesa. Gagang pedang
yang menyembul di punggung orang-orang
itu terhias ronce-ronce yang sama dengan
warna pakaian mereka. Hiasan itu membuat
penampilan ketujuh orang itu semakin
gagah dan berwibawa.
Ketujuh orang laki-laki gagah itu
ternyata adalah murid-murid Dewa Gunung
Kebat. Rupanya dalam usaha mencari
pembunuh guru mereka, tujuh orang pen-
dekar itu telah menemukan titik terang.
Semua itu terungkap jelas dari pembi-
caraan mereka.
"Kakang, apakah kau yakin kalau
kepala rampok itu tidak berbohong?" tanya
adik seperguruan Bandawa yang bertubuh
gemuk dan berwajah bulat. Sepertinya ia
belum merasa yakin sepenuhnya atas
penjelasan kepala rampok yang disebutnya
tadi.
"Aku yakin, Adi Gumadi. Orang yang
sudah tak berdaya seperti dia pastilah
akan berkata jujur. Tokoh-tokoh sesat
macam dia lebih mementingkan
keselamatannya sendiri daripada kese-
lamatan orang lain," jawab Bandawa
meyakinkan adik seperguruannya yang
bernama Gumadi itu.
"Kakang, menurutmu apakah tidak
mungkin kalau Raja Iblis dari Utara
mempunyai pengikut setia yang menjaga
tempat tinggalnya?" adik seperguruannya
yang lain latah bertanya.
"Kalau memang Raja Iblis dari Utara
itu mempunyai pengikut, apakah kau merasa
gentar, Adi?" ujar Bandawa balik
bertanya. Sambil berkata demikian, wajah
adik seperguruannya itu ditatapnya lekat-
lekat. Seolah-olah dia ingin mengetahui
apa yang tergambar di wajah sang adik.
Merasa kalau Bandawa meragukan
keberaniannya, orang itu membalas tatapan
kakak seperguruannya itu. Seolah-olah
ingin menunjukkan kalau ia sama sekali
tidak merasa gentar. Tidak seperti dugaan
kakak seperguruannya.
"Aku sama sekali tidak merasa gentar,
Kakang. Hanya saja kalau Raja Iblis dari
Utara itu mempunyai pengikut, kita harus
lebih berhati-hati. Apabila dugaanku ini
benar, maka kita tidak boleh memasuki
tempat iblis itu secara terang-terangan,"
sahut adiknya tegas.
Mendengar penjelasan adiknya, Bandawa
tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu orang
itu. Nampaknya ia gembira mendengar
ucapan yang penuh semangat dan
perhitungan itu.
"Hm.,., kita lihat saja nanti. Apakah
kita harus datang secara terang-terangan
atau secara sembunyi-sembunyi," ujar
Bandawa sambil mengalihkan pandangannya
memandang cakrawala.
"Kalau menurutku, lebih baik lata
tantang saja si Raja Iblis dari Utara.
Biasanya seorang datuk sesat seperti dia
pasti terlalu sombong untuk melibatkan
pengikutnya menghadapi kita. Nah,
bukankah dengan demikian kita dapat
tenang menghadapinya!" tiba-tiba salah
seorang adik seperguruan Bandawa yang
lain memberikan usulnya.
"Nah, itu baru suatu usul yang jitu!"
sahut Bandawa sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda setuju.
"Ya, aku setuju," seru Gumadi cepat,
diikuti teriakan-teriakan yang sama dari
saudara-saudaranya.
Panji yang ikut mendengar percakapan
ketujuh orang pendekar itu berdebar
hatinya. Betapa tidak! Ia yang selama
beberapa hari ini berusaha mencari tempat
kediaman si Raja Iblis dari Utara, belum
juga berhasil. Kini malah tak disengaja
ia mendengar pembicaraan tujuh orang
pendekar yang hendak menyatroni kediaman
iblis itu.
"Hm..., lebih baik mereka kuikuti
secara diam-diam," gumam Panji mengambil
keputusan. Tadinya ia berniat untuk
menampakkan dirinya di hadapan ketujuh
orang itu. Tapi begitu ia mengenali siapa
mereka, pemuda itu segera mengurungkan
niatnya. Dia mengenali ketujuh orang ini
adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat yang
berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra.
Panji tidak menginginkan bentrok dengan
mereka sebagaimana ia bentrok dengan
pendekar-pendekar lain yang pernah
ditemui sebelumnya. Itulah sebabnya
mengapa ia mengambil keputusan untuk
mengikuti mereka secara sembunyi-sembunyi
saja.
Sementara itu, ketujuh orang pendekar
itu semakin mempercepat langkah mereka.
Bandawa yang mengenakan pakaian biru
cerah berada paling depan. Laki-laki itu
tampaknya sudah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Rupanya ia ingin
cepat-cepat tiba di tempat tujuan.
Setelah beberapa waktu lamanya
berlari, akhirnya mereka tiba di kaki
sebuah bukit yang berdiri kokoh
menyeramkan. Selimut kabut tebal tampak
menutupi puncaknya. Pohon-pohon raksasa
yang berdiri berjajar bagaikan barisan
pengawal, membuat suasana bukit itu
semakin angker dan menyeramkan.
"Hm..., benar-benar sebuah tempat
yang sangat cocok untuk tempat tinggal
iblis biadab itu," gumam Gumadi sambil
merayapi daerah sekitarnya penuh curiga
"Benar, ayo kita naik!" ajak Bandawa
yang segera melesat mendaki lereng bukit
yang dipenuhi pohon-pohon dan batu-batu
besar. Gerakan laki-laki gagah itu sigap
sekali, seolah-olah batu yang bertonjolan
itu sama sekali tidak menyulitkannya.
Keenam orang adik seperguruannya pun
melesat mengikuti Bandawa. Dalam waktu
singkat, mereka sudah tiba di lapangan
rumput yang agak luas. Beberapa pohon
besar tampak mengelilingi sebuah bangunan
kuno yang masih tampak tokoh dan kuat.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra segera
menyelinap di antara batang-batang pohon
besar yang terdapat di sekitar tempat
itu. Sepasang bola mata Bandawa merayapi
daerah sekitar bangunan itu penuh
selidik. Setelah memastikan kalau di
depan mereka tidak terdapat penjaga,
Bandawa dan adik-adiknya bergegas keluar
dari tempat persembunyiannya.
"Hei! Raja Iblis dari Utara!
Keluarlah kau! Kami murid-murid Dewa
Gunung Kebat menantangmu mengadu
nyawa...!" Bandawa berteriak sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, suaranya
bergaung memenuhi puncak bukit itu.
Saat-saat yang mencekam, berlalu
penuh ketegangan. Ketujuh pendekar itu
sudah mencabut pedangnya masing-masing.
Mereka sudah siap menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Setelah agak lama menanti namun belum
juga ada jawaban, Bandawa kembali bersiap
mengulang tantangannya. Tapi, sebelum
Bandawa mengulang tantangannya, tiba-tiba
angin dingin bertiup keras disertai suara
bergelak yang mengguncangkan isi dada
mereka.
"Ha ha ha...! Ada tujuh ekor lalat
datang hendak mengantar nyawa!" terdengar
suara serak menggelegar menggetarkan
puncak bukit. Rupanya Raja Iblis dari
Utara sengaja mempertunjukkan tenaga
dalamnya untuk menciutkan semangat lawan.
Panji yang bersembunyi di balik
semak-semak, merasa terkejut mendengar
suara tawa Raja Iblis dari Utara. Dari
suaranya saja sudah dapat diduga kalau
orang yang berjuluk Raja Iblis dari Utara
itu tentu memiliki tenaga dalam yang
sukar diukur. Diam-diam ia
mengkhawatirkan keselamatan tujuh laki-
laki gagah itu. Bahkan ia sendiri pun
meragukan kemampuannya bila harus
menandingi kekuatan tenaga dalam iblis
itu. Panji kembali mengalihkan panda-
ngannya ke arah bangunan itu ketika
dirasakannya tiupan angin yang semakin
keras.
Sesosok tubuh tinggi besar berperut
gendut, melesat melampaui tembok bangunam
itu. Gerakannya ringan sekali. Seolah-
olah melompati tembok tinggi itu bukan
merupakan pekerjaan yang sulit baginya.
Jleg!
Bumi di sekitar puncak bukit itu
bergetar ketika Raja Iblis dari Utara
dengan sengaja menjejakkan kakinya kuat-
kuat ke tanah. Beberapa batang pohon yang
berada di sekitarnya bergetar, bahkan
beberapa daunnya berguguran. Rupanya
kakek tinggi besar yang menyeramkan itu
kembali ingin mempertunjukkan kekuatan
tenaga dalamnya.
Bandawa dan adik-adik seperguruannya
bergerak mundur sambil mengerahkan tenaga
dalamnya ketika merasakan sambaran angin
keras mendorong tubuh mereka ke belakang.
Diam-diam mereka merasa kagum menyaksikan
kekuatan yang dipertunjukkan si kakek.
"Hm..., pantas saja kalau Guru sampai
tewas di tangan iblis ini. Rupanya
kepandaian yang dimilikinya sudah hampir
mencapai taraf kesempurnaan," gumam
Bandawa kepada dirinya sendiri. Kecemasan
mulai membayang pada wajahnya. Namun
Bandawa berusaha untuk menyembunyikannya.
Ia tidak ingin mematahkan semangat adik-
adik seperguruannya.
"Ha ha ha...! Kalian tentulah yang
berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra.
Jadi kalian ingin menuntut balas atas
kematian guru kalian? Ha ha ha...!
Seharusnya kalian mencari Pendekar Naga
Putih untuk minta pertanggungjawabannya
atas kematian guru kalian. Bukan padaku!"
seru Raja Iblis dari Utara sambil tertawa
bergelak.
Tentu saja Panji terkejut di tempat
persembunyiannya. Hampir saja ia tidak
dapat menahan dirinya. Dia bermaksud
keluar dari tempat persembunyiannya untuk
meminta penjelasan dari Raja Iblis dari
Utara. Tapi untunglah jawaban orang
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra
itu telah menahan langkah kakinya yang
sudah siap bergerak maju.
"Ha ha ha..., jangan coba mengadu
domba, Raja Iblis dari Utara! Meskipun
kau mengatakan Pendekar Naga Putih yang
bertanggung jawab atas kematian guru
kami, tapi kami tahu kalau semua itu
hanyalah siasat busukmu saja. Bukankah
kau ingin agar pendekar muda itu dimusuhi
tokoh-tokoh golongan putih?! Kami
tidaklah sebodoh yang kau duga, kakek
buruk!" jawab Bandawa yang membuat Raja
Iblis dari Utara menjadi terdiam beberapa
saat. Kakek iblis itu sama sekali tidak
menyangka akan mendapat jawaban seperti
itu. Hal ini membuat kemarahannya bangkit
seketika.
"Hm..., kalau begitu mengapa kalian
tidak segera bertindak? Apakah kalian
hanya pandai bicara saja?" Raja Iblis
dari Utara yang masih penasaran, kembali
melontarkan ejekan yang memanaskan perut.
"Ayo, Kakang. Tunggu apa lagi?" ajak
Gumadi. Setelah berkata demikian,
langsung saja disiapkannya sebuah
serangan.
"Jangan gegabah, Adi Gumadi! Ingat!
Tidak boleh ada seorang pun yang boleh
maju kecuali atas perintahku, mengerti!
Nah, sekarang marilah kita bersiap-siap
membentuk barisan ilmu Tujuh Pedang
Membelah Samudra'," perintah Bandawa
kepada adik-adik seperguruannya. Setelah
berkata demikian, murid tertua Dewa
Gunung Kebat itu segera mengambil posisi
sebagaimana yang telah mereka latih
bersama
Melihat kakak seperguruannya sudah
mengambil posisinya, maka yang lain
segera bergerak membentuk lingkaran
mengurung Raja Iblis dari Utara yang
hanya tertawa-tawa saja.
ENAM
"Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara
tertawa terbahak-bahak ketika tujuh orang
pendekar mengurungnya. Kepandaian yang
dimilikinya membuat kakek iblis itu
menganggap enteng lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Bandawa berteriak nyaring sebagai
isyarat kepada saudara-saudara sepergi-
ruannya untuk memulai serangan. Orang
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra
itu melesat diiringi ayunan pedangnya
yang menimbulkan suara berdesing nyaring.
Senjatanya meluncur deras membabat lutut
Raja Iblis dari Utara.
"Hm...!"
Wut!
Pedang Bandawa mengenai angin kosong
ketika Raja Iblis dari Utara mengangkat
kakinya. Begitu sambaran pedang itu
lewat, kakek iblis itu langsung
melepaskan tendangan kilat ke kepala
lawan. Bandawa segera melemparkan
tubuhnya menghindar ke samping.
Pada saat yang bersamaan, seorang
adik seperguruan Bandawa menyabetkan
pedangnya ke leher si Raja Iblis dari
Utara. Kakek itu memiringkan kepalanya
sambil menundukkan, jari-jari tangannya
mengancam tenggorokan orang itu. Untung-
lah orang itu segera mencondongkan
tubuhnya ke belakang. Sehingga serangan
itu hanya mengenai angin kosong.
Belum lagi Raja Iblis dari Utara
sempat bernapas lega, serangan yang
lainnya meluruk ke perutnya yang gendut.
Kakek itu cepat-cepat mengibaskan tangan-
nya menghalau serangan itu. Pada saat
yang bersamaan, serangan dari belakang
telah meluncur datang
"Bangsat!" Raja Iblis dari Utara
mengumpat kasar. Ia yang semula terlalu
memandang remeh lawan-lawannya, kini
terpaksa harus kalang-kabut menghindari.
Serangan Tujuh Pedang Pembelah Samudra
yang bagai gelombang samudra itu benar-
benar telah membuatnya repot.
Raja Iblis dari Utara yang bernama
asli Reksa Pati itu melempar tubuhnya ke
belakang sambil mengatur kuda-kudanya.
Wajahnya memerah karena amarahnya sudah
bergejolak memenuhi rongga dadanya.
Sambil menggeram marah, mulai dipersiap-
kan serangannya.
Sebenarnya kepandaian tujuh orang
pendekar itu jauh di bawah kepandaian
Raja Iblis dari Utara. Namun karena kakek
iblis itu terlalu menganggap enteng la-
wannya, akhirnya dia sendirilah yang
dibuat kelabakan. Padahal, kalau saja
Reksa Pati bersikap tenang, belum tentu
dia akan menjadi kerepotan seperti itu.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra kembali
mengatur serangan sesuai dengan posisinya
masing-masing. Serangan mereka pada
gebrakan pertama tadi benar-benar telah
membangkitkan rasa kepercayaan diri dan
keberanian mereka.
"Hati-hati, jangan merasa bangga
dulu. Iblis itu belum mengeluarkan
seluruh kepandaiannya!" teriak Bandawa
mengingatkan adik seperguruannya agar
kewaspadaan mereka tetap terjaga.
"Jangan khawatir, Kakang. Kami akan
tetap waspada," sahut salah seorang adik
seperguruannya.
"Hm...! Jangan merasa sombong dulu,
lalat-lalat busuk! Sebentar lagi kalian
akan segera merasakan kelihaian Raja
Iblis dari Utara yang sesungguhnya!" ujar
Reksa Pati geram. Sinar matanya mencorong
tajam, penuh nafsu membunuh.
Dua orang adik seperguruan Bandawa
tersentak mundur ketika tatapan Raja
Iblis dari Utara menghunjam mereka. Tubuh
dua orang itu bergetar sesaat bagaikan
tersengat ratusan lebah berbisa.
"Pusatkan pikiran kalian! Jangan
lihat matanya!" Bandawa memperingatkan
dua orang adiknya. Untunglah keduanya
cepat menundukkan kepalanya. Sesaat
kemudian, mereka sudah terbebas dari
pengaruh si Raja Iblis dari Utara. Kini
keduanya kembali memusatkan perhatian
pada permainan ilmu 'Tujuh Pedang
Membelah Samudra'.
"Haaat...!"
Kali ini Gumadi membuka serangan
lebih dulu.
Sinar pedangnya bergulung-gulung
bagaikan deburan gelombang ombak di
lautan. Sesekali ujung pedangnya
menyambar mengancam tubuh lawan.
Pada saat yang hampir bersamaan,
saudara-saudaranya juga meluncur ke arah
Raja Iblis dari Utara. Serangan mereka
yang saling susul-menyusul dan sating
melindungi itu memang merupakan sebuah
gaya serangan yang membuat lemah
pertahanan lawan.
"Ha ha ha...," Reksa Pati kembali
bergelak. Kali ,ini rupanya ia sudah
mempersiapkan diri untuk menghadapi
gempuran ketujuh orang pendekar itu.
Wurrr! Werrr...!
Angin dingin bertiup keras ketika
Raja Iblis dari Utara memutar-mutar kedua
tangannya. Akibatnya daerah di sekitar
arena pertarungan bagaikan dilanda angin
topan. Pohon-pohon berderak ribut hendak
tumbang. Batu-batu sebesar kepalan
tangan, beterbangan bagai dilemparkan
tangan-tangan yang tak kelihatan.
"Heaaah...!"
Raja Iblis dari Utara membentak
menggelegar. Tiba-tiba tangan kanannya
terulur ke arah Gumadi yang tengah
meluncur ke arahnya. Serangkum angin
tajam berdesir menyertai uluran tangan si
kakek iblis. Benar-benar sebuah serangan
maut!
Gumadi yang berlindung di balik
gulungan sinar pedangnya, menjadi gugup.
Di depannya secara tiba-tiba saja telah
menanti beberapa pasang tangan yang
tengah terulur ke arahnya. Segera disa
betkan pedangnya untuk menghalau puluhan
tangan yang tiba-tiba berubah hendak
mencengkeramnya.
Wut! Wut!
Bukan main terkejutnya hati Gumadi
ketika mendapat kenyataan tangan-tangan
yang ditebasnya sama sekali tidak
terputus. Apalagi sampai mengeluarkan
darah! Pedangnya seolah-olah hanya
menebas angin. Kini wajahnya mendadak
menjadi pucat! Namun sebelum sempat
dikuasai perasaannya, tahu-tahu tubuhnya
bagaikan dihantam palu godam yang berat.
Desss!
"Ugh...!"
Tubuh Gumadi terlempar keras. Darah
segar menyembur dari mulutnya hingga
memercik ke mana-mana. Terdengar suara
berdebuk keras ketika orang kedua dari
Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu
terbanting ke tanah. Gumadi berusaha
untuk merangkak bangkit. Namun isi
dadanya terasa remuk! Dia hanya dapat
rebah sambil menyeringai menahan sakit.
Sesaat setelah tubuh Gumadi
terpental, serangan yang lainnya telah
tiba. Seberkas sinar yang bagaikan sebuah
lorong, meluncur seolah-olah hendak
menelan tubuh Raja Iblis dari Utara.
Dalam lorong sinar pedang itu terdapat
daya sedot yang cukup kuat, hingga
mengibarkan baju kakek iblis itu.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara menggeram
gusar. Secepat kilat kakek tinggi besar
itu melempar kakinya ke atas seraya
memutar tubuhnya setengah lingkaran.
Selagi masih berada di udara, sepasang
tangannya didorongkan ke depan. Sesaat
kemudian telapak tangan itu sudah
dikembangkan ke kiri dan kanan. Gerakan
yang dilakukan kakek iblis itu cepat luar
biasa sehingga mengaburkan pandangan
lawannya. Hingga....
Plak! Buk!
"Aaakh...!"
Entah dengan cara bagaimana, tahu-
tahu saja sepasang telapak tangan Raja
Iblis dari Utara telah menampar pelipis
dan lambung lawan. Orang itu menjerit
kesakitan. Tubuhnya terpental beberapa
tombak ke belakang disertai darah segera
yang muncrat dari mulutnya. Luka yang
dialaminya lebih parah daripada Gumadi.
Setelah berkelojotan sekejap, napas orang
itu terlepas dari raganya dengan
tengkorak kepala retak!
Melihat kejadian yang sama sekali di
luar dugaannya itu, Bandawa cepat
memerintahkan adik-adik seperguruannya
mundur.
Gumadi yang semula masih mencoba
untuk bangkit, tak lama kemudian juga
tewas. Pukulan Raja Iblis dari Utara yang
mengenai dadanya, telah mematahkan
tulang-tulang dadanya hingga menusuk
jantung. Dalam segebrakan saja, ilmu
'Perogoh Sukma' yang dimainkan Reksa Pati
telah menelan dua korban dalam waktu yang
hampir bersamaan.
Bandawa berdiri pucat diapit empat
orang adik seperguruannya. Sepasang
matanya menyiratkan api dendam yang
berkobar-kobar. Beberapa saat setelah
dapat menenangkan hatinya, segera
ditolehkan kepalanya ke arah adik-adik
seperguruannya.
"Kalau ada di antara kalian yang
ingin hidup, pergilah! Tinggalkan tempat
celaka ini. Biar aku yang menghadapi
iblis biadab ini," ujar Bandawa kepada
empat orang adik seperguruannya yang
masih tersisa. Suaranya terdengar parau
dan tersendat. Sebenarnya ucapan Bandawa
lebih tepat sebagai sebuah erangan
daripada ucapan.
"Kakang! Apakah kau pikir kami ini
adalah anjing-anjing pengecut! Tidak,
Kakang. Kami lebih suka mari daripada
hidup terhina!" jawab salah seorang adik
seperguruannya yang disambut anggukan
ketiga saudaranya.
"Kalau begitu, mari kita hadapi iblis
ini bersama-sama!" ucap Bandawa sambil
menggerakkan pedangnya. Tekadnya sudah
bulat! Ia tak takut menghadapi maut!
Kali ini lima orang pendekar itu
tidak lagi membentuk lingkaran untuk
mengurung lawan. Dengan tewasnya dua
orang saudara mereka, maka barisan 'Tujuh
Pedang Membelah Samudra' tidak lagi dapat
mereka mainkan. Kini mereka menyerang
dengan mengandalkan jurus-jurus tunggal
yang dimilikinya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara kembali
menggeram. Wajahnya yang kemerahan
semakin bertambah angker. Diiringi gelak
tawanya, si kakek iblis itu melangkah
maju mendekati lawan-lawannya. Kedua
telapak tangannya yang terbuka, diputar-
putar di depan dada. Sesekali kedua
telapak tangan yang terbuka itu
mengembang ke kin dan kanan.
"Hah...!"
Tiba-tiba kakek tinggi besar yang
sudah haus darah itu melompat menerjang
lima orang lawannya. Serangkum angin
panas yang menyesakkan dada bertiup
keras, hingga membuat kuda-kuda lima
pendekar itu hampir goyah.
Kelima pendekar bergerak cepat
memutar pedang masing-masing untuk
melindungi tubuh mereka. Usaha mereka
ternyata tidak sia-sia. Kini angin keras
yang menyesakkan dada itu tak lagi mereka
rasakan. Lalu bagaikan dikomando, kelima
pendekar itu bergerak berbarengan sambil
mengayunkan pedangnya ke arah lawan.
Raja Iblis dan Utara yang hasrat
membunuhnya sudah memuncak, tidak tinggal
diam. Tubuhnya yang tinggi besar melompat
memapak kelima batang pedang lawan.
Selagi tubuhnya melayang di udara, kedua
tangannya segera didorongkan ke depan
dengan jari-jari terbuka
Belum lagi serangan Raja Iblis dan
Utara tiba, sesosok bayangan putih
melesat memapak dorongan telapak
tangannya. Dan....
Blarrr!
"Aaakh...!"
Baik tubuh Raja Iblis dari Utara
maupun sosok bayangan putih itu sama-sama
terlempar ke belakang. Suara menggelegar
laksana ledakan petir, mengiringi
benturan tadi. Tanah di sekitar arena
pertarungan itu bagaikan diguncang gempa.
Sungguh luar biasa akibat benturan dua
gelombang tenaga dahsyat itu!
Bandawa dan empat orang kawannya
sadar kalau mereka baru saja terlepas
dari maut. Dengan wajah yang masih
memucat, kelima orang itu menatap pemuda
berpakaian putih yang tengah bertatapan
dengan Raja Iblis dari Utara. Selapis
kabut bersinar putih keperakan tampak
menyelimuti sosok berpakaian putih itu.
"Pendekar Naga Putih...!" seru
Bandawa dan empat orang adik
seperguruannya hampir bersamaan. Hati
mereka merasa heran bercampur girang.
Sosok berpakaian serba putih itu
memang Panji adanya. Tadinya pendekar
muda ini tidak mau turun tangan membantu
Bandawa dan adik-adik seperguruannya.
Tapi melihat mereka terdesak, mau tak mau
Panji tak bisa tinggal diam.
"Ha ha ha..., itukah 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang kau banggakan?" ujar
Raja Iblis dari Utara penuh kagum.
Sebagai seorang datuk persilatan yang
berpengalaman, ia tahu kalau ilmu 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' benar-benar sebuah
ilmu yang langka. Ilmu yang jarang ada
duanya di dunia persilatan. Dan kalau
pemuda itu telah dapat menyempurnakannya,
ia menjadi ragu kalau dapat
menandinginya.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara. Kini
aku sudah berada di hadapanmu. Marilah
kita selesaikan urusan kita," ucap Panji
dingin. Sama sekali tidak dipedulikan
ucapan lawannya. Panji yang sempat
tergetar akibat pertemuan tenaga dalam
tadi, dapat meraba kalau tenaga sakti
lawan tidak berada di bawahnya. Kenyataan
ini membuat Pendekar Naga Putih semakin
berhati-hati terhadap lawannya yang
terkenal kejam itu. 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' terus bergolak melindungi dirinya.
"Ha ha ha..., jangan merasa takabur
dengan nama besarmu Pendekar Naga Putih.
Orang lain boleh takut melihat ilmu-ilmu
mukjizatmu. Tapi Raja Iblis dari Utara
tidak gentar! Nama besarmu akan kuhapus
dari dunia persilatan hari ini!" sahut
Raja Iblis dari Utara seraya tertawa
terbahak-bahak. Jelas sekali kalau kakek
ini merasa yakin dapat menundukkan
pendekar muda yang tersohor itu. Apa yang
diucapkan Reksa Pati bukannya tidak
beralasan. Di antara datuk-datuk kaum
sesat pada masa itu, Raja Iblis dari
Utara inilah yang memiliki kepandaian
tertinggi.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak
cepat bertindak, Raja Iblis dari Utara?"
tanya Panji seraya tersenyum sabar. Dia
tetap berusaha tenang. Kemarahannya
ditekan agar tidak terpancing ucapan
Reksa Pati.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah tidak
sabar, Pendekar Naga Putih? Baiklah!
Bersiaplah menahan beberapa jurusku!"
setelah berkata demikian, Raja Iblis dari
Utara menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Jari-jarinya yang terbuka
tampak bergetar ketika dialiri tenaga
sakti.
Melihat lawannya sudah bersiap
menyerang, Panji segera menyedot napas
dalam-dalam. Tidak tanggung-tanggung
lagi, pemuda itu telah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Dia sadar
sepenuhnya kalau orang yang dihadapinya
kali ini adalah seorang tokoh sesat yang
maha sakti. Dia tidak ingin mendapat
celaka akibat kelalaiannya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus
kasar. Kedua tangannya yang semula
menyilang di depan dada, pelahan
terangkat ke atas kepalanya. Kedua
kakinya membentuk kuda-kuda.
"Heaaa...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring,
Reksa Pati meluncur ke arah Panji. Kedua
kakinya diseret maju hingga meninggalkan
guratan yang cukup dalam di tanah.
Sepasang tangannya bergerak cepat mela-
kukan tamparan-tamparan yang menimbulkan
suara mencicit tajam.
"Haaat...!"
Panji pun tidak ingin ketinggalan.
Diiringi teriakan panjang, pemuda itu
melesat menghampiri lawan. Jari-jari
tangannya yang sudah membentuk cakar naga
bergerak bersilangan. Suara berciutan
membelah udara mengiringi gerakan
tangannya.
Sesaat kemudian, kedua orang sakti
itu sudah terlibat dalam sebuah
pertempuran sengit! Reksa Pati dan Panji
saling serang dengan ganasnya. Sambaran-
sambaran telapak tangan Raja Iblis dari
Utara menderu-deru mengancam tubuh Panji.
Sesekali telapak tangan yang berisi
tenaga dalam tinggi itu membentuk totokan
yang mencicit dan mematuk-matuk buas. Mau
tak mau Panji harus meningkatkan kewas-
padaannya kalau tidak ingin terpagut
jari-jari tangan yang membawa hawa maut
itu.
Cakar naga Panji pun tidak bisa
dianggap remeh. Jari-jari tangannya yang
sekeras baja berciutan di sekeliling
tubuh lawannya. Reksa Pati mau tidak mau
harus berhati-hati menghadapi serangan
yang dilontarkan pemuda itu. Sekali saja
ia lengah, maka cakar naga itu tidak akan
segan-segan mengorek isi perutnya!
Pada jurus yang ketiga puluh satu,
sebuah hantaman telapak tangan Reksa Pati
meluncur deras mengancam pelipis Panji.
Kecepatannya yang melebihi sambaran kilat
itu benar-benar membuat pemuda itu
terkejut. Cepat-cepat tangannya bergerak
memapak serangan tersebut.
Plak!
"Uhhh...!"
Terdengar suara ledakan nyaring
ketika telapak tangan yang berisi tenaga
sakti tingkat tinggi itu bertemu di
udara. Tubuh Panji terdorong mundur
sampai dua tombak. Lengan kanannya yang
digunakan untuk menangkis, terasa ngilu
ke pangkalnya. Bergegas Panji menarik
napas dalam-dalam untuk menahan debaran
dalam rongga dadanya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara
tertawa bergelak-gelak penuh kegembiraan.
Meskipun tubuhnya sempat terdorong juga,
namun dia benar-benar merasa puas. Sudah
belasan tahun ia tidak pernah menemukan
tandingan yang memuaskan hatinya. Ter-
nyata baru beberapa bulan saja
meninggalkan kediamannya di Utara, kakek
ini telah dua kali menemui lawan yang
benar-benar membuatnya gembira. Kedua
orang itu adalah Dewa Gunung Kebat dan
Pendekar Naga Putih yang kini berada di
hadapannya.
"Ha ha ha..., aku tahu sekarang!
Rupanya kau adalah murid si tua bangka
Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir
itu. Hebat.. hebat! Tak kusangka si tua
bangka keparat itu mempunyai pewaris yang
sangat berbakat" ucap Reksa Pati yang
membuat Panji terkejut
"Hm..., dari mana kau dapat menerka
begitu, Orang Tua?" tanya pemuda itu
heran. Sepengetahuannya, selama bertahun-
tahun melakukan pengembaraan, baru kali
inilah ada orang yang mengetahui kalau
dirinya adalah murid Malaikat Petir.
"Ha ha ha..., tak perlu heran, Anak
Muda. Dari dasar-dasar ilmu silatmu, aku
sudah menduga kalau kau adalah pewaris
ilmu si tua bangka itu. He! Di mana
sekarang gurumu bersembunyi?" bentak Raja
Iblis dari Utara kasar.
"Hm..., apakah kau mencariku hanya
untuk diajak bicara? Mengapa tidak
dilanjutkan saja pertarungan kita?" sahut
Panji yang tidak ingin membicarakan soal
gurunya. Memang, Eyang Tirta Yasa
berpesan agar ia tidak menceritakan
perihal dirinya kepada siapa pun.
"Ha ha ha..., aku memang ingin
melanjutkan pertarungan ini. Tapi tidak
sekarang!" ujar Raja Iblis dari Utara
yang membuat Panji dan lima orang
pendekar lainnya tersentak kaget. Bagai-
mana mereka tidak menjadi kaget? Bukankah
selama ini kakek itu melakukan pembu-
nuhan-pembunuhan hanya untuk mencari Pen-
dekar Naga Putih? Dan mengapa sekarang
pada saat pendekar yang dicari-carinya
itu berada di hadapannya, malah tidak
ingin dibunuhnya?
"Apa maksudmu, Raja Iblis dari
Utara?" tanya Panji seraya mengerutkan
dahi. Ia benar-benar tidak mengerti apa
yang diinginkan kakek itu.
"Dengarlah baik-baik, Pendekar Naga
Putih! Aku tidak puas kalau kematianmu
tidak disaksikan oleh tokoh-tokoh
persilatan dari segala penjuru. Nah, aku
menantangmu untuk melanjutkan pertarungan
kita pada bulan dua hari ketujuh di
Lembah Biru. Sekarang kau dan lima ekor
lalat kotor itu boleh pergi! Ha ha
ha...!" diiringi suara gelak tawa yang
berkepanjangan, tubuh Raja Iblis dari
Utara lenyap dari tempat itu.
Tinggal Panji termenung memikirkan
ucapan Raja Iblis dari Utara tadi. Tapi
sebuah tepukan pada bahunya telah
menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.
Kiranya orang itu adalah Bandawa, orang
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra
yang baru saja diselamatkan Panji.
"Sudahlah, Kisanak. Kalau kakek iblis
itu sudah membuat keputusan, siapa yang
dapat menentangnya. Mari kita tinggalkan
tempat ini," ajak Bandawa kepada Panji.
Dengan membawa mayat dua orang
saudaranya, enam orang pendekar itu
bergegas menuruni lereng bukit
TUJUH
Berita tentang pertarungan antara
Raja Iblis dari Utara dan Pendekar Naga
Putih cepat menyebar ke seluruh penjuru.
Pertarungan yang akan berlangsung pada
bulan dua hari ketujuh di Lembah Biru
itu, benar-benar menggemparkan rimba
persilatan!
Hampir seluruh tokoh-tokoh persilatan
baik dari golongan putih maupun golongan
hitam, berdatangan menuju Lembah Biru.
Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang
sangat jarang terjadi pada masa itu. Di
mana dua orang tokoh sakti dari aliran
yang berbeda akan mempertunjukkan ilmu-
ilmu tingkat tinggi yang jarang ada
duanya di dunia persilatan.
Boleh dikatakan, tidak ada seorang
pun tokoh persilatan yang rela melewatkan
kesempatan itu. Baik pendekar-pendekar
ternama maupun orang-orang yang hanya
memiliki ilmu pas-pasan. Semuanya ingin
menimba pengalaman dari kedua tokoh sakti
yang sudah pasti akan mengeluarkan ilmu-
ilmu tingginya.
Beberapa hari sebelum waktu yang
ditentukan tiba, desa-desa yang berada di
sekitar Lembah Biru sudah banyak
dikunjungi orang.
"Wah...! Pertarungan itu pasti akan
seru sekali. Ini benar-benar sebuah
tontonan yang sangat menarik," ujar
seorang berkepala botak kepada teman
seperjalanannya. Wajah orang itu keli-
hatan berseri-seri. Sepertinya ia lupa
bahwa pertarungan itu adalah sebuah
pertarungan antara hidup dan mati.
''Tentu saja akan ramai dan seru! Eh,
menurutmu siapakah yang akan menang?"
tanya temannya juga gembira.
"Apakah kau ingin mengajak bertaruh?"
tanya orang itu lagi. Rupanya orang
berkepala botak itu termasuk orang yang
gemar berjudi. Tak mengherankan kalau ia
selalu menggunakan setiap kesempatan atau
apa saja untuk berjudi.
"Huh! Dasar otak judi!" bentak
temannya yang mengenakan ikat kepala
hitam sambil mencibir. "Eh, memangnya apa
yang hendak kau pertaruhkan?" biarpun
semula mencemooh, tapi akhirnya ia
tertarik juga pada usul kawannya.
Salah seorang dari tiga laki-laki
yang berjalan di belakangnya melangkah
maju. Wajahnya yang bulat menjadi merah
ketika mendengar perkataan kedua orang di
depannya.
"Hei! Manusia pemadatan! Apakah tidak
ada pikiran lain dalam otak kalian selain
judi?" bentak laki-laki yang ternyata
adalah Guntara sambil menuding ke arah
dua laki-laki yang hendak bertaruh itu.
Tentu saja dua orang itu menjadi
marah mendengar teguran Guntara yang
terdengar kasar dan menyakitkan itu.
Keduanya menggeram penuh kemarahan.
"He, muka bakpau! Apa pedulimu dengan
urusan kami? Kalau kau tidak suka
mendengarnya, ya sudah! Urus saja wajahmu
yang seperti bakpau itu!" bentak orang
yang berkepala botak tak mau kalah
gertak.
Sambil berkata demikian, tangannya
meraba gagang golok yang tersembul di
balik bajunya.
"Keparat! Kau kira aku takut melihat
golok dapurmu!" sahut Guntara yang merasa
tersinggung karena digertak lawan
bicaranya itu. Tangan kanannya tahu-tahu
sudah terulur menjambret leher baju orang
itu.
Krep!
"Hekh...!"
Entah karena gerakan tangan Guntara
yang terlalu cepat, atau memang orang
berkepala botak tidak memiliki kepan-
daian, tahu-tahu tubuh orang itu sudah
terangkat. Sepasang tangan Guntara telah
mencekik lehernya.
"Hm..., tikus busuk! Rupanya kau mau
bertingkah di hadapanku!" geram Guntara
yang sudah siap meremukkan batang leher
orang berkepala botak itu.
"Adik Guntara, tahan!" tiba-tiba saja
kakak seperguruannya yang bernama Ranjalu
sudah berdiri di samping Guntara. Tangan
Ranjalu segera mencekal tangan adik
seperguruannya. "Sabarlah, jangan turuti
emosimu."
Guntara berpaling sejenak memandang
wajah kakak seperguruannya. Sinar matanya
yang semula tajam, pelahan kembali
lembut. Jari-jari tangannya mengendur.
Tubuh orang berkepala botak itu lalu
didorongnya hingga terjerembab di tanah.
"Hm..., kali ini kau kuampuni. Tapi
ingat! Sekali lagi kau membicarakan soal
perjudian di depanku, akan kuremukkan
batok kepalamu!" ancam Guntara bengis.
Setelah berkata demikian, ia pun berlalu
meninggalkan Ranjalu yang hanya memandang
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tinggallah si botak dan kawannya
terpaku dengan wajah pucat. Keduanya
hanya dapat memandangi punggung ketiga
tokoh persilatan yang telah melanjutkan
perjalanannya.
"Untunglah orang itu dapat dijinakkan
kawannya. Kalau tidak, kepala botakmu
pasti sudah diremukkan orang galak itu,"
ujar kawan si botak seraya menarik napas
lega.
"Ah, sudahlah!" sahut laki-laki yang
berkepala botak sambil menggerakkan
tangannya seperti orang mengusir lalat
yang mengganggunya. Tanpa banyak cakap
lagi, ia pun segera melanjutkan
perjalanannya.
***
Tepat pada hari yang ditentukan Raja
Iblis dari Utara, Lembah Biru telah
dipenuhi tokoh-tokoh rimba persilatan
dari berbagai aliran. Bahkan ada beberapa
dl antara mereka yang memasang tenda-
tenda darurat.
Di tengah hamparan padang rumput yang
cukup luas, tampak seorang pemuda tampan
berpakaian serba putih tengah duduk
bersila. Rambutnya yang panjang,
dibiarkan berkibaran tertiup angin sore.
Kedua matanya terpejam rapat. Sepertinya
ia tengah bersemadi.
Pemuda tampan itu tak lain adalah
Panji atau lebih terkenal berjuluk
Pendekar Naga Putih yang tengah menanti
kehadiran Raja Iblis dari Utara. Pemuda
itu telah datang lebih awal dari
lawannya. Tekadnya sudah bulat untuk
menghadapi pertarungan mati-matian demi
menegakkan kebenaran.
Beberapa belas tombak di belakang
Pendekar Naga Putih, tampak Ranjalu dan
dua orang adik seperguruannya tengah
memperhatikan pendekar muda itu. Tiga
tokoh persilatan itu duduk di dahan pohon
yang cukup besar. Lima tombak di samping
kiri mereka, tampak Bandawa dan empat
orang adik seperguruannya.
Selain kedelapan orang tokoh
persilatan itu, masih terdapat puluhan
tokoh persilatan lainnya. Rupanya tokoh-
tokoh golongan putih itu sengaja
mengambil tempat di belakang Panji.
Sepertinya tokoh-tokoh itu siap membantu
pendekar muda itu apabila lawan bermain
curang.
Sedangkan belasan tombak di depan
Pendekar Naga Putih, tampak para tokoh
golongan sesat. Puluhan tokoh sesat itu
pun bergerombol memperhatikan Pendekar
Naga Putih yang tengah bersemadi.
Setelah beberapa saat lamanya para
tokoh persilatan itu menanti dengan penuh
ketegangan, tiba-tiba terdengar suara
tawa yang menggema ke seluruh lembah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa yang berkepanjangan dan
mengandung tenaga dalam yang sangat
tinggi itu, terus bergema hingga
menimbulkan ketegangan di hati para tokoh
rimba persilatan yang berkumpul di tempat
itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya
keadaan di sekitar Lembah Biru terasa
mencekam.
Belum lagi gema suara tawa itu
lenyap, tampak sesosok tubuh tinggi besar
berkelebat diiringi hawa dingin menusuk.
Tokoh tinggi besar itu berhenti agak jauh
dari tempat Panji bersemadi. Sengaja
dijejakkan kakinya kuat-kuat hingga
menimbulkan getaran yang membuat tanah di
sekitarnya bagai dilanda gempa.
"Raja Iblis dari Utara...!" beberapa
tokoh golongan putih di belakang Panji,
berbisik gentar. Wajah mereka mendadak
pucat. Cepat-cepat mereka mengerahkan
tenaga dalam untuk meredam isi dada yang
terguncang akibat hentakan kaki Raja
Iblis dari Utara itu.
Hal yang sama juga dialami para tokoh
golongan sesat. Namun tak lama kemudian
wajah mereka berubah berseri-seri
menyambut kehadiran datuk mereka.
Lain halnya dengan Panji. Begitu
didengarnya suara tawa iblis itu,
tubuhnya segera melompat bangkit. Dengan
sedikit mengerahkan tenaga sakti, ia
tidak terpengaruh oleh pertunjukan tenaga
dalam si Raja Iblis dari Utara tadi.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah
datang lebih dulu dariku, Pendekar Naga
Putih!" ujar Raja Iblis dari Utara seraya
bergelak.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak
jelas. Sama sekali tidak ditanggapi
ucapan calon lawannya. Hanya sepasang
matanya saja yang mencorong tajam menatap
lekat wajah kakek iblis itu.
Raja Iblis dari Utara kembali
bergelak. Sama sekali tidak dipedulikan,
apakah ucapannya dijawab atau tidak.
Tanpa mempedulikan Pendekar Naga Putih
yang berdiri beberapa tombak di
hadapannya, diedarkan pandangannya ke
sekitar tempat itu.
"Ha ha ha..., sudah banyak juga
tokoh-tokoh yang hadir di tempat ini.
Rupanya mereka tertarik ingin menyaksikan
bagaimana pendekar yang mereka banggakan
jatuh di bawah telapak kaki Raja Iblis
dari Utara," ujar Reksa Pati, sengaja
mengerahkan tenaga dalam agar suaranya
dapat didengar oleh semua yang hadir di
situ.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara! Apakah
kedatanganmu kemari hanya untuk
berkhotbah!" Panji yang sudah merasa tak
sabar itu menegur lawannya.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Hari
ini kematian pasti akan segera
menjemputmu. Nikmatilah dulu keindahan
Lembah Biru ini, agar kau dapat lebih te-
nang apabila harus meninggalkannya
nanti," sahut Raja Iblis dari Utara yang
sama sekali tidak terpengaruh ejekan
pemuda itu. "Hm..., kalau kau memang
sudah tak sabar, tak apalah! Hayo kita
mulai!"
"Baiklah! Lihat serangan...!" seru
Panji yang segera melesat, melancarkan
sebuah serangan yang menimbulkan suara
mencicit tajam. Angin dingin berhembus
keras hingga terasa sampai ke tulang sum-
sum.
Wut!
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus kasar
seraya memiringkan tubuhnya ke kiri
hingga serangan Panji luput. Begitu
serangan Pendekar Naga Putih itu lewat,
secepat kilat kakinya mencelat menghantam
lambung lawannya.
Wuttt!
Dukkk!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur hingga
beberapa tombak ke belakang. Panji
meringis menahan sakit pada lengannya.
Meskipun berhasil ditangkisnya tendangan
lawan, namun tulang lengannya terasa
nyeri dan linu. Cepat-cepat dikempos
seluruh tenaga saktinya untuk mengurangi
rasa sakit di lengannya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara,
meskipun sempat terjajar mundur akibat
tangkisan lawannya, namun dia sama sekali
tidak menderita rasa nyeri. Dari sini
sudah dapat disimpulkan kalau tenaga
dalam Reksa Pati masih lebih unggul
dibanding Pendekar Naga Putih. Pantaslah
kalau Raja Iblis dari Utara itu merasa
yakin dapat menundukkan lawannya.
"Ha ha ha..., bersiaplah, Pendekar
Naga Putih! Sebentar lagi malaikat maut
datang menjemputmu!" ejek Raja Iblis dari
Utara sombong.
Panji sama sekali tidak mempedulikan
ucapan lawannya. Pemuda itu bergegas
mempersiapkan ilmu 'Naga Sakti'nya.
Selapis kabut bersinar putih keperakan
berpendar-pendar mengelilingi sekujur
tubuhnya. Angin dingin semakin keras
menyebar hingga beberapa tombak di
sekitar arena pertarungan.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah
melesat sambil melancarkan ilmu pukulan
'Perogoh Sukma'. Kedua tangannya
berputaran hingga menimbulkan deruan
angin keras. Sepasang tangannya terus
diputar-putar hingga terlihat menjadi
berpuluh-puluh pasang banyaknya.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang dilontarkan
Raja Iblis dari Utara luput! Orang lain
boleh tertipu pandangannya oleh kecepatan
tangan kakek tinggi besar itu. Tapi tidak
bagi Panji! Matanya yang telah terlatih
baik, mampu membedakan mana tangan yang
asli dan mana yang hanya tipuan.
Reksa Pati cepat menarik pulang kedua
lengannya. Tapi sebelum sempat membangun
serangan kembali, tangan kanan Panji yang
membentuk cakar naga sudah terulur ke
wajahnya. Serangkum angin dingin lebih
dulu menyambar. Reksa Pati merasakan
wajahnya bagai dibenamkan dalam timbunan
salju.
Namun, Raja Iblis dari Utara bukanlah
tokoh kemarin sore. Hawa dingin yang
dapat membekukan wajahnya itu seketika
buyar hanya dengan memperdengarkan
tawanya yang didorong oleh tenaga dalam.
Pada saat cakar naga Panji tiba, Reksa
Pati hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Serangan pemuda itu hanya mengenai tempat
kosong. Tapi hal itu bukan berarti
ancaman bagi Reksa Pati telah lewat!
Karena pada saat itu juga tangan kiri
Panji sudah datang menyusul. Raja Iblis
dari Utara terpaksa menggerakkan
tangannya menangkis.
Dukkk!
"Ahhh...!"
Terdengar suara keras bagaikan dua
batang besi yang dibenturkan. Tubuh
keduanya terdorong ke belakang diiringi
seruan tertahan. Cepat-cepat Panji
melempar tubuhnya ke belakang sambil
bersalto beberapa kali untuk meredam daya
dorong yang kuat itu. Kedua kaki pemuda
itu mendarat manis di atas rumput.
Meskipun tidak sampai terjatuh, namun tak
urung isi dadanya terguncang. Dari sela-
sela bibir pemuda itu, mengalir darah
segar.
Demikian pula halnya dengan Reksa
Pati. Tubuhnya yang tinggi besar itu
terdorong limbung hingga beberapa tombak.
Namun kakek iblis itu cepat menghentakkan
kakinya ke tanah hingga daya dorong itu
terhenti seketika. Wajah Raja Iblis dari
Utara berkerut menahan rasa sakit pada
lengannya. Terlihat sinar berkilat di
kedua matanya. Sepasang mata itu menatap
wajah lawannya penuh nafsu membunuh!
"Grrr...!" Raja Iblis dari Utara
menggeram murka. Rupanya benturan itu
juga telah mengguncang bagian dalam
dadanya. Hawa dingin yang merasuk ke
dalam tubuhnya telah membangkitkan
kemarahan di hatinya. Tiba-tiba kedua
tangannya digerakkan membuka dan menutup
di depan dada. Sesaat kemudian, angin
yang berhawa panas mulai menyebar di
sekitar arena pertarungan. Itulah ilmu
'Telapak Lidah Api' yang mulai dimainkan
kakek iblis itu.
"Hiaaat...!"
Dibarengi teriakan yang mengguntur,
Reksa Pati kembali melangkah maju.
Sepasang tangannya meluncur dengan jari-
jari terbuka. Telapak tangan yang
kemerahan bagaikan bara itu meluncur ke
arah Panji. Serangkum angin panas
berhembus mengiringi pukulan yang
dilancarkannya.
Pertarungan pun kembali berlangsung
sengit! Hawa panas dan hawa dingin
memenuhi sekitar arena pertarungan silih
berganti. Kedua tokoh sakti itu saling
serang dengan dahsyatnya. Arena
pertarungan menjadi porak-poranda
bagaikan dilanda badai yang hebat!
Wusss! Blarrr!
Krrrakkkh!
Sebatang pohon sepelukan orang dewasa
tumbang menimbulkan suara berderak hebat.
Pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji
rupanya dapat dihindari Reksa Pati hingga
menghantam pohon yang berada tiga tombak
di belakang tokoh sesat itu.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus
kasar. Sepasang tangannya bergerak
melontarkan pukulan 'Telapak Lidah Api'.
Panji meliukkan tubuhnya ke kiri seraya
merendahkan kuda-kudanya. Serangkum angin
panas lewat di sampingnya.
Blarrr!
"Aaakh...!"
Tiga orang tokoh persilatan yang
berada lima tombak di belakang Panji
menjerit memilukan. Tubuh mereka
terpental diterjang pukulan nyasar itu.
Tiga orang tokoh yang bernasib sial itu
tewas seketika dengan dada hangus!
Belasan orang tokoh persilatan
golongan putih yang semula maju mendekat,
serentak berlari mundur. Kematian tiga
orang yang bernasib malang itu seolah-
olah memperingatkan kalau pertarungan itu
sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.
Lengah sedikit saja bisa mengakibatkan
nyawa mereka melayang.
"Keparat..!" maki Panji gusar.
Kematian tiga orang yang terkena pukulan
nyasar itu membuat hatinya terbakar.
Kemarahan semakin memenuhi rongga
dadanya. Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, Panji meluncur deras ke
arah Raja Iblis dari Utara. Jurus 'Naga
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' kini mulai
dimainkannya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus
melihat sepasang cakar naga Panji
berputar mengancamnya. Pada saat sepasang
cakar itu terulur ke dadanya, Reksa Pati
mengangkat kedua tangannya dengan telapak
tangan terbuka. Raja Iblis dari Utara
mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya
memapak serangan pemuda itu. Dan....
Blarrr!
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat benturan yang
maha dahsyat itu! Tanah di sekitar tempat
itu bergetar bagai dilanda gempa! Akibat
benturan dua gelombang tenaga sakti itu,
tubuh Panji terpental bagai sehelai daun
kering yang diterbangkan angin.
Kraaakkk!
Tubuh Panji yang meluncur deras,
menghantam sebatang pohon besar hingga
tumbang! Tubuh pemuda itu terbanting
keras ke tanah hingga menimbulkan suara
berdebuk.
"Huakkk...!"
Segumpal darah kental menyembur dari
mulut Panji. Wajahnya pucat bagai mayat!
Sepasang tangannya menekap dada yang
terasa nyeri laksana ditusuk ribuan
jarum. Rupanya benturan yang maha dahsyat
itu telah mengakibatkan luka dalam di
dadanya.
Sedangkan tubuh Raja Iblis dari Utara
terlempar ke belakang sejauh empat
tombak. Cepat kakek tinggi besar itu
melenting bangkit. Benturan hebat itu
tidak membuatnya terluka sedikit pun!
'Tenaga Inti Api' yang dikerahkan Raja
Iblis dari Utara rupanya telah melindungi
seluruh tubuhnya. Hanya saja napasnya
agak sedikit memburu.
"Ha ha ha..., hanya begitu sajakah
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang terkenal itu? Hayo, Pendekar Naga
Putih! Bangkitlah! Jangan hanya duduk
seperti kakek-kakek jompo begitu!" Raja
Iblis dari Utara tertawa mengejek Panji
yang masih terduduk lemah. Pelahan-lahan
dilangkahkan kakinya menghampiri Panji
yang masih belum mampu berdiri.
Baru saja Raja Iblis dari Utara
melangkah sejauh delapan tindak, tiba-
tiba terdengar sebuah bentakan yang
disusul berkelebatnya sosok bayangan
ramping yang langsung menyerangnya.
"Kakek iblis, rasakan tajamnya
pedangku!" bentak sosok ramping itu
marah.
"Hm..., pergilah!" bentak Reksa Pati
sambil menggerakkan tangannya ke
belakang. Tahu-tahu sepasang kecer
bergerigi sudah tergenggam di tangannya.
Secepat diambilnya senjata itu, secepat
itu pula digerakkan senjatanya menangkis
serangan orang itu.
Trang!
"Ihhh...!"
DELAPAN
Sosok ramping itu terdorong ke
belakang diiringi seruan kaget. Seruannya
begitu nyaring dan merdu. Menilik dari
suaranya, sosok itu pastilah seorang wa-
nita. Kini sosok ramping itu tersungkur
tidak jauh dari tempat Panji.
"Adik Kenanga...!" Panji berseru
parau menyebut nama sosok yang terpisah
hanya dua tombak di samping kirinya. Rasa
gembira dan cemas terbayang di wajahnya
yang pucat itu. Dengan susah payah Panji
berusaha bangkit mendekati kekasihnya.
Sosok ramping tadi memang Kenanga. Ia
yang ikut menyaksikan pertarungan itu
bergegas menyeruak di antara kerumunan
tokoh-tokoh persilatan ketika melihat
tubuh Panji terduduk lemah. Tanpa
mempedulikan keselamatan dirinya sendiri,
gadis itu langsung menyerang Raja Iblis
dari Utara yang tengah menghampiri Panji.
Kenanga menoleh ketika mendengar
panggilan Panji. Namun sinar matanya
terlihat dingin dan tak berperasaan.
Rupanya gadis itu masih marah kepada
pendekar muda itu (Baca serial Pendekar
Naga Putih dalam episode "Jari Maut
Pencabut Nyawa").
Panji semakin terharu ketika melihat
cairan merah mengalir dari sela-sela
bibir wanita yang dicintainya. Meskipun
sinar mata Kenanga terlihat dingin, namun
Panji tahu kalau gadis itu masih
mencintainya. Kalau tidak, mengapa dia
menolongnya. Kedatangan kekasihnya
membangkitkan semangat Panji. Kini
Pendekar Naga Putih itu sudah berdiri
sambil mencabut pedang yang melilit di
pinggangnya. Tanpa mempedulikan lukanya,
dipalingkan wajahnya ke arah Raja Iblis
dari Utara.
Saat itu Kenanga pun sudah bangkit
berdiri. Pedang hitamnya dilintangkan di
depan dada. Sesekali terlihat seringai di
bibirnya.
"Adik Kenanga, kau menyingkirlah!
Biar kuhadapi kakek iblis itu. Bukan aku
tidak menghargai bantuanmu, Adik Kenanga.
Tapi aku tidak ingin dikatakan sebagai
pengecut yang berlindung kepada seorang
wanita," pinta Panji lembut sambil
menatap wajah kekasihnya penuh permo-
honan.
Memaklumi ucapan Panji yang mengan-
dung kebenaran itu, Kenanga bergegas
mundur meskipun dengan hati berat.
Sekilas terlintas sinar kehangatan pada
sepasang matanya ketika beradu pandang
dengan mata Panji.
Setelah Kenanga mundur, Panji
menggerakkan pedangnya hingga menimbulkan
angin berkesiutan. Dengan jurus 'Naga Api
Meluruk ke Dalam Bumi', tubuh pemuda itu
berputar terselimut gulungan sinar pedang
yang menyilaukan mata.
Raja Iblis dari Utara tertawa
tergelak seraya melesat menyambut
serangan Pendekar Naga Putih. Pertempuran
pun kembali berlangsung sengit! Saat itu
malam telah menjelang. Para tokoh
persilatan yang menyaksikan pertarungan
telah menyalakan puluhan batang obor.
Suasana lembah yang seharusnya gelap,
kali ini menjadi terang benderang.
Pada jurus yang keempat puluh tujuh,
Reksa Pati memperhebat serangannya.
Sepasang kecer bergeriginya berkelebatan
di sekeliling tubuh lawannya. Panji mulai
terdesak hebat sehingga tidak mempunyai
peluang lagi untuk balas menyerang.
Bret! Bret!
"Aaakh...!"
Tepat memasuki jurus keempat puluh
delapan, Panji tak sempat lagi
menghindari dua buah sambaran kecer
bergerigi lawan. Tubuh pemuda itu
terjajar mundur sejauh dua tombak. Pada
bagian dada dan perutnya tampak luka
memanjang yang mengalirkan darah segar.
Untunglah lukanya tidak terlalu dalam.
Rupanya Panji masih sempat memiringkan
tubuhnya sehingga serangan lawan tidak
terlalu telak mengenai tubuhnya.
Raja Iblis dari Utara tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi
tubuh lawannya terhuyung, di-kirimkannya
sebuah tendangan ke dada pemuda itu.
Dan....
Bret! Bret!
"Aaakh…!" Tepat memasuki jurus
keempat puluh delapan, Panji tak sempat
lagi menghindari dua buah sambaran kecer
Raja Iblis dari Utara. Pada bagian dada
dan perutnya tampak luka memanjang yang
mengalirkan darah segar!
Desss!
"Huakkk...!"
Tubuh Panji terlempar keras ke
belakang. Telapak kaki Reksa Pati yang
besar dan mengandung tenaga dalam yang
amat kuat, telak menghantam dadanya.
Darah segar menyembur membasahi tanah
berumput maupun pakaiannya. Pendekar Naga
Putih itu merintih menahan rasa sakit dan
panas yang membakar dadanya. Lapisan
kabut putih keperakan yang selalu
menyelimuti tubuhnya, kini lenyap akibat
luka-luka yang dideritanya.
"Kakang...!" Kenanga berlari menubruk
tubuh Panji yang tengah berusaha duduk.
Dipeluknya pemuda yang dicintainya itu.
Kemarahan yang selama ini menguasai
hatinya, luluh seketika melihat
kekasihnya berada dalam keadaan sekarat.
Dengan wajah bersimbah air mata, gadis
jelita itu membelai-belai wajah ke-
kasihnya yang pucat bagai mayat.
"Ha ha ha.... Pendekar Naga Putih,
apakah pada saat menjelang kematianmu kau
ingin berlindung di balik kehangatan
tubuh seorang gadis?" Raja Iblis dari
Utara tertawa mengejek.
"Adik Kenanga. Kau... kau pergilah!
Pertarungan ini belum selesai. Aku... aku
harus menepati janjiku untuk bertarung
melawan kakek iblis itu sampai salah
seorang di antara kami tewas!" ujar Panji
tersendat.
"Tidak, Kakang! Aku tidak peduli
dengan anggapan tokoh-tokoh persilatan
yang mungkin akan mengejekmu. Aku akan
tetap bersamamu hidup atau mati!" Kenanga
membantah keras. Sambil berkata demikian,
gadis itu mencabut pedang hitamnya, siap
melindungi kekasihnya walau menghadapi
raja maut sekali pun!
"Ha ha ha..., lihatlah! Seekor kijang
muda yang mulus mencoba menggertak sang
harimau untuk melindungi pasangannya,"
seru Raja Iblis dari Utara sambil
mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Selintas terlihat sinar kebuasan dari
sepasang matanya. Setelah berkata
demikian, dilangkahkan kakinya mengham-
piri sepasang kekasih yang siap menanti
maut itu.
"Lihat pedang! Haiiit...!" teriak
Kenanga melengking. Begitu si Raja Iblis
dari Utara semakin mendekat, gadis itu
langsung menerjang. Pedang hitamnya
menderu tajam diiringi hawa maut.
Raja Iblis dari Utara yang sudah
menyimpan senjatanya, hanya tertawa
bergelak melihat serangan Kenanga. Kakek
tinggi besar itu merendahkan kuda-kudanya
sedikit disertai egosan tubuhnya. Ketika
pedang hitam itu lewat di atas kepalanya,
tangan kanannya sudah terulur menjambret
bagian dada gadis itu.
Tentu saja Kenanga tidak sudi dadanya
disentuh tangan kakek iblis itu. Cepat ia
melompat mundur sambil melepaskan sebuah
tendangan ke arah lawan.
Buk!
"Ihhh...!"
Tendangan Kenanga memang tepat
mengenai sasaran. Tapi alangkah terke-
jutnya gadis itu ketika merasakan telapak
kakinya bagai menghantam lempengan baja
yang panas dan sangat kuat. Ternyata
bukan kakek itu yang terlempar, malah
sebaliknya ia sendiri yang terdorong
hingga beberapa tombak jauhnya. Wajah
gadis itu meringis menahan rasa nyeri dan
panas pada telapak kakinya.
Belum lagi Kenanga sempat memperbaiki
kuda-kudanya, tahu-tahu tangan lawannya
sudah terulur ke arahnya. Dengan wajah
pucat, gadis itu melempar tubuhnya ke
samping. Namun alangkah terkejutnya hati
Kenanga ketika ia bangkit ternyata tangan
lawan sudah berada di depannya. Maka....
Bret! Bret!
"Auw...!"
Kenanga yang tak sempat menghindar,
menjerit tertahan ketika tahu-tahu saja
tangan kakek tinggi besar itu telah
merobek baju bagian atasnya. Maka,
tampaklah sebagian kulit punggung dan
dada yang putih mulus.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih.
Sebentar lagi kau akan menyaksikan betapa
mulusnya tubuh bidadarimu ini," Raja
Iblis dari Utara bergelak bengis. Se-
pasang matanya menyorot liar ke arah
tubuh yang terbuka sebagian itu.
"Keparat kau, Raja Iblis dari Utara!
Lepaskan dia! Mari kita bertarung sampai
seribu jurus!" Panji berteriak-teriak
parau. Pemuda itu mencoba bangkit dengan
berpegangan pada sebuah batang pohon.
Namun kondisi tubuhnya memang sudah
terlalu lemah. Setiap kali berusaha untuk
bangkit, setiap kali pula ia terjatuh
kembali. Darah segar kembali menetes dari
sela-sela bibirnya. Panji menggigit
bibirnya kuat-kuat karena tak sanggup
membayangkan penderitaan yang akan
dialami kekasihnya.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah
melompat kembali ke arah Kenanga.
Tangannya terulur ke arah gadis yang
tengah sibuk menutupi bagian-bagian tu-
buhnya yang terbuka. Kenanga memandang
dengan penuh kengerian melihat kebuasan
yang terpancar dari sepasang mata kakek
iblis itu.
Bret! Bret!
"Aaauwww...!"
Kembali terdengar bunyi kain sobek
dan jerit kengerian. Kedua tangan Kenanga
semakin sibuk menutupi tubuh bagian
atasnya yang sudah tidak terlindung lagi.
Kulit tubuhnya yang putih dan halus
semakin membuat biji mata Reksa Pati
hampir keluar. Air liurnya menetes dari
sela-sela bibirnya. Kakek itu benar-benar
mirip seekor binatang buas yang tengah
kelaparan.
"Oh, jangan...! Jangaaan...!" Kenanga
merintih lemah sambil mendekap dadanya
yang sudah tidak tertutup. Air mata
mengalir membasahi pipinya yang halus.
Para tokoh-tokoh sesat tertawa
bergelak melihat pertunjukan yang
dianggap sangat menyenangkan itu. Sinar
mata mereka menyorot penuh nafsu begitu
melihat tubuh indah yang terpampang di
hadapannya.
"Keparat keji!" maki salah seorang
dari kelompok tokoh golongan putih yang
berada di belakang Panji. Selesai berkata
demikian, orang itu segera menerjang Raja
Iblis dari Utara sambil menyabetkan
senjatanya. Perbuatan orang itu diikuti
pula oleh tiga orang lainnya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara berpaling
gusar! Secepat kilat tubuhnya berbalik
menghadap para penyerang itu. Sepasang
tangannya segera didorongkan ke depan me-
ngerahkan pukulan 'Telapak Lidah Api'.
Dan....
Darrr!
"Aaa...!"
Pukulan maut yang dilancarkan Reksa
Pati tepat mengenai keempat orang yang
tengah melompat ke arahnya. Tak pelak
lagi, tubuh keempat orang itu pun
terpental diiringi jerit kematian yang
menyayat. Mereka tewas seketika dengan
tubuh hangus.
Menyaksikan kejadian itu, para tokoh
lainnya bergerak mundur.. Kemurkaan Raja
Iblis dari Utara benar-benar telah
membuat hati mereka gentar. Kini tidak
ada seorang pun yang berani mengikuti
jejak keempat tokoh yang bernasib malang
itu.
Saat itu Panji yang menyaksikan
kekasihnya dihina di depan orang banyak,
meraung keras. Kesedihan, kemarahan, dan
rasa penasaran berbaur menjadi satu. Rasa
tak berdaya melihat orang yang
dicintainya tengah mengalami penderitaan
yang lebih mengerikan daripada mati itu
benar-benar menyiksanya.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih!
Sebagai balasan atas arwah-arwah tiga
orang muridku yang kau bunuh itu, maka
malam ini juga aku akan memberikan
tontonan yang sangat menarik untukmu,"
ujar Raja Iblis dari Utara sambil
melangkah mendekati Kenanga yang sudah
setengah telanjang.
"Raja Iblis dari Utara! Mengapa tidak
kau bunuh saja aku! Hei, kakek pengecut!
Kakek iblis! Hayo, bunuhlah aku! Jangan
kau bawa-bawa gadis yang tak berdosa
itu!" Panji berteriak-teriak serak. Tidak
dipedulikan lagi rasa sakit pada
kerongkongannya akibat teriakan itu.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara
hanya tertawa tanpa mempedulikan teriakan
Panji. Terus saja dilangkahkan kakinya
menghampiri Kenanga yang memandangnya
dengan wajah pucat.
Kenanga tak mampu lagi mengelak
ketika kakek tinggi besar itu
menubruknya. Gadis itu hanya bisa
menangis dan menjerit-jerit ketika kakek
itu mulai merobek baju bagian bawahnya
sambil menciumi penuh kebuasan.
"Jangaaan...! Biadaaab...!" Panji
berteriak-teriak sambil meremas-remas
rerumputan. Wajahnya menyeringai menahan
rasa sakit yang menusuk hatinya.
Mendadak alam yang semula cerah
berubah gelap pekat! Angin dingin bertiup
keras hingga membuat pepohonan di tempat
itu berderak-derak hendak roboh. Api-api
obor yang semula menerangi tempat itu
langsung padam tertiup angin berhawa
dingin.
Panji menengadahkan kepalanya ke atas
memandang perubahan alam yang begitu
tiba-tiba. Satu keanehan pun dialaminya!
Mula-mula sekujur tubuh pemuda itu
bergetar hebat! Pendekar Naga Putih itu
terbelalak ngeri ketika merasakan suatu
tenaga dahsyat menerobos masuk ke dalam
tubuhnya. Hawa yang maha dahsyat itu
terus bergolak dan menyatu dengan pusat
tenaga saktinya. Makin lama dirasakan
tubuhnya semakin membengkak bagaikan
sebuah balon yang ditiup.
Pendekar Naga Putih semakin terbe-
lalak ngeri. Dirasakan kerongkongannya
bagaikan tersumbat oleh aliran hawa
mukjizat itu.
"Heeeaaa...!!"
Tanpa sadar pemuda itu meraung
dahsyat! Dan, akibatnya sungguh
mengerikan sekali! Belasan tokoh persi-
latan yang berilmu pas-pasan terbanting
roboh dan tewas seketika! Dari mulut,
hidung, dan telinga mereka mengalir darah
segar!
Belasan tokoh lain yang memiliki
tenaga dalam lumayan tersentak mundur
dengan wajah pucat! Mereka sama sekali
tidak menyangka kalau Pendekar Naga Putih
bisa berbuat demikian. Para tokoh itu
hanya saling berpandangan tak mengerti.
Raja Iblis dari Utara pun terkejut
menyaksikan perubahan alam yang mendadak.
Perasaan terkejutnya semakin bertambah
ketika melihat Pendekar Naga Putih yang
semula terduduk lemah itu, mendadak
bangkit dengan tubuh bergetar, sepasang
mata Panji yang memerah saga itu
menyipit. Wajahnya terlihat begitu
menakutkan. Urat-urat wajahnya
bertonjolan keluar bagaikan hendak pecah!
"Gerhana bulan...?!" desis kakek
iblis itu bercampur heran. Tapi sebagai
tokoh sakti yang telah berpengalaman, ia
pun dapat mengerti apa sebenarnya yang
tengah dialami pemuda itu.
Munculnya gerhana bulan itulah
rupanya yang telah membuat Panji bangkit.
Inti kekuatan alam yang berada pada
gerhana bulan telah merasuk ke dalam
tubuhnya. Kekuatan alam tadi telah
menyebabkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang dimilikinya menjadi berlipat ganda!
Bahkan melewati takaran!
Panji semakin ngeri ketika merasakan
seluruh anggota tubuhnya bergerak-gerak
sendiri. Kedua kakinya terasa ringan
bagaikan tidak menyentuh tanah. Rupanya
pemuda itu masih belum sadar kalau inti
kekuatan gerhana bulan telah merasuki
tubuhnya.
Sepasang mata Panji yang semerah
saga, tiba-tiba tertuju pada wajah brewok
yang bertotol-totol hitam. Wajah Raja
Iblis dari Utara! Sejenak pemuda sakti
ini terlupa akan keadaan dirinya.
Kebencian dan kemurkaan menggelegak dalam
dadanya. Tanpa disadari didorongkan
sepasang lengannya ke arah Raja Iblis
dari Utara. Dan....
Blarrr!
"Aaah...!"
Luar biasa sekali akibat dorongan
sepasang telapak tangan pemuda itu. Tanah
di sekitar Lembah Biru bagaikan digoncang
oleh gempa yang dahsyat! Untunglah Raja
Iblis dari Utara sempat menghindar.
Sehingga tanah bekas raja iblis itu
berpijak, berlubang besar terhantam
tenaga yang terlontar dari sepasang
tangan pemuda itu.
"Gila...!" pekik Raja Iblis dari
Utara dengan wajah pucat Kakek tinggi
besar itu menggigit bibirnya.
Keberaniannya terbang ketika melihat
akibat yang ditimbulkan pukulan Panji.
Kenanga pun merasa ngeri melihat
keadaan kekasihnya saat itu. Masih belum
dimengerti, apa yang sebenarnya terjadi
pada diri Panji. Hatinya menjadi cemas.
Cepat gadis itu bersembunyi di balik
sebatang pohon besar ketika melihat
akibat yang ditimbulkan pukulan kekasih-
nya itu. Firasatnya mengatakan kalau saat
itu Panji tengah dalam keadaan separuh
sadar, sehingga bisa jadi pemuda itu
tidak mengenali dirinya.
"Heaaat...!"
Pendekar Naga Putih kembali berteriak
mengguntur sambil mendorongkan kedua
telapak tangannya ke arah Raja Iblis dari
Utara yang sudah mencabut sepasang
kecernya. Kakek iblis itu membentur-
benturkan sepasang kecernya untuk membu-
yarkan pengaruh teriakan yang menggelegar
menyakitkan telinga. Namun usahanya sia-
sia. Tubuhnya terhuyung-huyung karena
kekuatan teriakan yang dikeluarkan Panji
benar-benar luar biasa sekali. Kekuatan
tenaga sakti Raja Iblis dari Utara yang
selama ini tidak ada tandingannya,
menjadi tidak ada artinya bila
dibandingkan kekuatan Panji saat ini.
Blarrr!
"Uhhh...!"
Kraaakh...!
Empat batang pohon sebesar dua
pelukan orang dewasa berderak roboh
akibat hantaman Panji yang tidak mengenai
sasaran. Wajah Raja Iblis dari Utara
semakin memucat. Kegentaran mulai
menguasai hatinya. Disadari kalau dirinya
tidak akan mampu menandingi kekuatan
pemuda itu saat ini. Sepasang matanya
mulai berkeliling mencari-cari jalan
keluar untuk melarikan diri.
"Yeaaa...!"
Wusss!
Raja Iblis dari Utara kembali
melompat menghindari serangan Pendekar
Naga Putih yang tidak mungkin dapat
dihalaunya. Pukulan bertenaga dahsyat itu
kembali mengenai tempat kosong.
Namun selagi tubuh kakek iblis itu
melayang di udara, Panji sudah mulai
dapat meraba apa yang tengah terjadi pada
dirinya. Kembali didorongkan telapak
tangan kanannya ke arah kakek tinggi
besar itu.
Desss!
"Aaa...!"
Raja Iblis dari Utara terlempar deras
bagai sehelai laun kering. Tubuhnya terus
menabrak dua batang pohon hingga tumbang
seketika! Kakek iblis itu menjerit
menyayat. Darah segar menyembur deras
dari mulutnya. Setelah berkelojotan
sesaat, tubuh kakek tinggi besar itu pun
diam tak bergerak-gerak lagi. Raja Iblis
dari Utara tewas seketika dengan tulang
dada remuk.
Meskipun lawannya telah tewas, namun
Panji masih terus mengumbar pukulannya.
Tenaga sakti yang terus bergolak dalam
tubuhnya masih belum dapat dikendalikan.
Para tokoh persilatan, baik golongan
putih maupun hitam bergegas meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi
sasaran pukulan maut yang dapat
mengantarkan mereka ke akherat! Daerah
sekitar Lembah Biru itu pun seketika
menjadi porak-poranda bagaikan dilanda
badai yang dahsyat!
"Hhh..., hhh...," setelah tenaganya
terkuras habis, Panji jatuh berlutut di
atas rerumputan. Aliran tenaga sakti luar
biasa itu telah terhenti karena gerhana
bulan telah lama usai. Peluh yang telah
bercampur darah, membasahi sekujur tubuh
pemuda itu.
Tubuh Panji bergetar hebat karena
tiba-tiba saja hawa yang sangat dingin
bergolak hebat dari bawah pusarnya.
Pemuda itu menggigil kedinginan. Giginya
bergemeletuk menahankan rasa dingin yang
hebat.
"Kakang Panji...!" tiba-tiba terde-
ngar suara merdu memanggil namanya.
Kenanga berlari memburu tubuh kekasihnya
yang masih berlutut di atas rerumputan.
Gadis yang kini telah berpakaian lengkap
itu menubruk dan memeluk kekasihnya penuh
kecemasan. "Kakang, kenapa tubuhmu begini
dingin?" tanya Kenanga cemas.
"Adik Kenanga..., aku..... Aku...,
aaahhh...," Panji terkulai pingsan dalam
pelukan kekasihnya. Rupanya serangan hawa
dingin akibat tenaga sakti yang melewati
takaran itu tak sanggup ditahannya.
"Ah, Kakang... kasihan sekali
kau...," rintih gadis itu terisak.
"Mudah-mudahan Eyang Wiku Ginting dapat
menolongmu," ujar gadis itu lirih. Tanpa
banyak cakap lagi, Kenanga memondong
tubuh pemuda pujaannya itu, dan bergegas
meninggalkan Lembah Biru.
Apakah yang akan terjadi pada diri
Pendekar Naga Putih? Dan siapa pula Eyang
Wiku Ginting yang disebut-sebut Kenanga?
Untuk mengetahui jawabannya, ikutilah
kisah Pendekar Naga Putih selanjutnya
dalam episode "Penjagal Alam Akherat".
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar