..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 08 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE RAJA IBLIS DARI UTARA

Raja Iblis Dari Utara

 

RAJA IBLIS DARI UTARA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Rusli K.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Raja Iblis dari Utara 128 hal. ;
12 x 18 cm

SATU

Suasana pagi yang indah dan tenang di 
Puncak Gunung Kebat, tiba-tiba dipecahkan 
oleh teriakan-teriakan dan bentakan yang 
nyaring! Burung-burung yang berkicauan di 
dahan-dahan pohon terbang berserabutan 
karena terkejut. Bahkan beberapa di 
antaranya jatuh tergeletak mati akibat 
kedahsyatan bentakan itu!
Di sebuah tanah lapang, tampak dua 
sosok tubuh tengah bertempur sengit. 
Beberapa batang pohon sepelukan orang 
dewasa roboh terkena pukulan nyasar. 
Dapat dibayangkan betapa hebatnya 
kepandaian kedua orang yang tengah 
bertarung itu!
"Heaaat...!"
Sesosok tubuh kurus jangkung berjubah 
putih memekik keras! Tubuhnya melayang di 
udara sambil melontarkan dua buah pukulan 
yang menimbulkan suara mencicit tajam, 
pertanda tenaga dalamnya hampir mencapai 
kesempurnaan.
Sementara lawannya yang bertubuh 
tinggi besar dan bercambang bauk meng-
geram keras. Kedua belah tangannya 
diputar-putar sedemikian rupa hingga me-
nimbulkan putaran angin kencang. Demikian 
hebatnya putaran angin yang ditimbulkan, 
sehingga daerah di sekitarnya bagaikan 
tengah dilanda angin topan! Bukan main!

Rupanya kedua orang yang sedang bertarung 
itu merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi 
yang jarang tertandingi.
"Yeaaat...!"
Sambil memekik nyaring, tubuh si 
tinggi besar melesat memapak serangan 
lawannya. Dan.... 
Blarrr!
Terdengar suara ledakan menggelegar. 
Akibatnya tubuh kedua orang sakti itu 
terpental ke belakang, seolah-olah ada 
tangan-tangan raksasa yang melempar tubuh 
mereka. Namun keduanya segera melakukan 
salto di udara, sehingga dapat menjejak 
permukaan bumi dengan baik.
"Ha ha ha.... Ayo! Keluarkan seluruh 
ilmu yang kau miliki, Dewa Gunung Kebat!" 
teriak orang yang bertubuh tinggi besar
sambil tertawa menantang. Perutnya yang 
buncit turut terguncang-guncang ketika 
tertawa. Luar biasa sekali kekuatan daya 
tahan tubuh orang ini! Sedikit pun ia 
tidak terpengaruh oleh benturan tenaga 
dalam tadi, malah ia masih dapat 
memanaskan perut lawannya.
"Hm..., jangan kau merasa sombong 
dulu, Reksa Pati! Ilmu 'Perogoh Sukma' 
milikmu tak banyak berarti bagiku!" sahut 
si kakek tak mau kalah. Wajahnya yang 
sudah berkeriput tampak tenang. Rupanya 
kakek yang berjuluk Dewa Gunung Kebat itu 
pun tidak menderita luka.

"Jangan takabur dulu, peot! Ilmu yang 
kukeluarkan itu belum seberapa! Lebih 
baik kau berdoa agar kematianmu nanti 
dapat lebih mudah," ejek orang yang 
disebut Reksa Pati tadi. Wajahnya yang 
bertotol-totol hitam itu tampak memerah 
karena gembira.
Luar biasa sekali keberanian yang 
dimiliki si tinggi besar itu. Padahal 
musuh di hadapannya bukanlah tokoh 
sembarangan, tapi ia masih sempat ter-
tawa-tawa mengejek.
Dewa Gunung Kebat hanya tersenyum 
menanggapi ucapan lawannya. Wajahnya 
tetap tenang. Wajah seorang tua bijaksana 
dan penuh wibawa yang merasa yakin akan 
kemampuannya.
"Hm..., kau mau bertarung atau cuma 
ingin mengumbar kesombongan, Reksa Pati?" 
tanya kakek itu tetap sabar.
"Bangsat! Hei manusia peot, ayo kita 
lanjutkan pertarungan kita!" bentak Reksa 
Pati gusar. Laki-laki tinggi besar 
berusia enam puluhan itu menghentak-hen-
takkan kakinya dengan geram. Kemudian 
tangannya kembali bergerak menutup dan 
mengembang. Wajahnya kemerahan karena 
saat itu ia tengah mulai memusatkan 
seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Asap 
tipis mengepul ketika kedua belah telapak 
tangannya digosok-gosokkan.
"Hm..., ilmu 'Telapak Lidah Api'...,"

gumam Dewa Gunung Kebat. Setelah berkata 
demikian, kakek itu pun bergegas mela-
kukan sebuah gerakan yang luar biasa 
cepatnya. Sepasang tangannya berputar-
putar bersilangan. Makin lama semakin 
cepat hingga menimbulkan pusaran hawa 
dingin yang menusuk tulang sum-sum.
"Hm..., ilmu 'Tapak Sakti Inti 
Salju'...," si tinggi besar bergumam 
ketika ia melihat ilmu yang diperlihatkan 
lawannya.
"Heaaat..!" 
"Hiaaa...!"
Kedua tokoh itu kembali melompat 
saling terjang! Reksa Pati yang 
menggunakan ilmu 'Telapak Lidah Api', 
menjulurkan kedua belah tangannya 
bergantian. Lidah-lidah api menyembur 
keluar dari telapak tangannya. Ilmu yang 
dipergunakan si tinggi besar benar-benar 
berbahaya sekali. Berkali-kali Dewa 
Gunung Kebat hampir terjilat lidah api 
itu. Untunglah ilmu meringankan tubuhnya 
yang hebat itu dapat membuat tubuhnya 
bergerak gesit, sehingga serangan-
serangan Reksa Pati selalu mengenai angin 
kosong. 
Krak! 
Brill!
Sebatang pohon yang berada di 
belakang Dewa Gunung Kebat berderak 
patah. Bagian tengah batangnya hangus

terbakar akibat terkena pukulan ilmu 
'Telapak Lidah Api' yang nyasar.
"Ha ha ha..., sebentar lagi tubuh 
peotmu itulah yang hangus terbakar!" ejek 
Reksa Pati seraya tertawa bergelak.
"Jangan sesumbar dulu, Reksa Pati! 
Lihat seranganku!" balas Dewa Gunung 
Kebat sambil melontarkan sebuah pukulan 
kilat 'Tapak Sakti Inti Salju' yang 
terkenal ampuh.
Wusss!
Serangkum angin dingin berhembus 
keras mengiringi pukulan yang dilancarkan 
pendekar tua itu. 
Blarrr!
Sebuah batu sebesar perut kerbau 
pecah berhamburan diikuti dengan suara 
ledakan keras! Untunglah Reksa Pati
sempat menghindari pukulan maut itu. 
Kalau saja ia lengah, dapat dipastikan 
tubuhnya luluh lantak tak berbentuk lagi. 
Reksa Pati mendecakkan lidahnya takjub!
"Hiahhh...!" secepat kilat Reksa Pati 
melontarkan pukulan balasan yang tidak 
kalah ganasnya. Hawa panas berkesiuran
menyertai pukulannya.
Dewa Gunung Kebat menggeser kaki 
kanannya ke belakang. Serangan pertama 
lewat hanya beberapa rambut di samping 
tubuhnya. Ketika pukulan kedua meluncur 
deras ke arah pelipis, kakek itu segera 
mengangkat tangan kanannya sambil

merendahkan kuda-kuda.
"Aaakh...!" 
"Uuukh...!" 
Cesss!
Terdengar suara mendesis bagaikan 
bara api dicelupkan ke dalam air ketika 
kedua pukulan yang berlawanan itu 
bertemu. Tubuh keduanya terjajar mundur 
sejauh tiga tombak. Darah segar menetes 
pelahan dari sela-sela bibir Dewa Gunung 
Kebat. Cepat-cepat dikerahkannya hawa 
murni untuk mengusir rasa nyeri yang 
menusuk dadanya. Dari sini dapat 
diketahui bahwa tenaga dalamnya berada 
satu tingkat di bawah lawan.
"Hm...! Terimalah kematianmu, peot!" 
sambil membentak keras, Reksa Pati yang 
sama sekali tidak terluka itu sudah 
melompat sambil mengirimkan dua pukulan 
beruntun mematikan!
Singgg!
"Aihhh...!"
Reksa Pati berteriak kaget! Cepat 
dilempar tubuhnya ke belakang sambil 
melakukan salto sebanyak empat putaran. 
Tubuhnya mendarat ringan sejauh empat 
batang tombak dari lawan. Wajahnya agak 
pucat karena perutnya nyaris tertusuk 
pedang.
Rupanya pada saat gawat itu, Dewa 
Gunung Kebat sempat mencabut pedang di 
pinggangnya. Secepat ia mencabut, secepat

itu pula pedangnya berdesing menyambar 
tubuh lawan. Untunglah Reksa Pati cepat 
mengetahui gerakan itu. Kalau tidak, 
dapat dipastikan bahwa perutnya sudah 
terburai.
"Keparat!" laki-laki tinggi besar itu 
menjadi gusar. Kedua tangannya meraba 
pinggang. Sesaat kemudian, di tangannya 
telah tergenggam dua buah senjata kecer.
Senjata itu berbentuk bulat tipis 
bagaikan piling lebar. Pada bagian 
dalamnya terdapat tempat untuk jari-jari 
tangan.
Cerrr! Cerrr!
Sepasang senjata itu dibenturkan satu 
sama lain hingga menimbulkan suara 
memekakkan telinga. Inilah senjata an-
dalan Reksa Pati. Senjata itu memiliki 
gerigi pada sisinya. Benar-benar sebuah 
senjata yang aneh dan mengerikan!
Dewa Gunung Kebat cepat memutar-
mutarkan pedangnya hingga menimbulkan 
suara berdengung untuk mengatasi suara 
kecer. Pikirannya dipusatkan agar tidak 
terpengaruh suara tersebut.
"Ha ha ha..., bersiaplah menerima 
kematianmu, kakek peot!" setelah berkata 
demikian, tubuh Reksa Pati kembali 
melesat bagai kilat menerjang.
Kakek itu mencelat ke atas ketika 
senjata Reksa Pati mengancam lambungnya. 
Secepat kilat ia melakukan balasan dengan

sabetan pedang ditujukan ke kepala lawan. 
Terdengar suara berdentang nyaring ketika 
pedang di tangan pendekar tua itu beradu 
dengan senjata Reksa Pati yang berusaha 
melindungi kepalanya. Kakek itu melompat 
dan berputar beberapa kali menjauhi 
lawannya.
Reksa Pati kembali membenturkan 
senjatanya hingga menimbulkan suara yang 
memekakkan telinga. Dewa Gunung Kebat 
terkejut mundur sambil mendekap telinga-
nya. Pada saat itu tubuh lawannya mela-
yang ke arahnya. Sepasang kecernya ber-
siutan menyambar-nyambar mencari sasaran. 
Trang! Trang!
Dua kali si kakek berhasil mematahkan 
serangan lawan. Namun karena posisi 
lawannya lebih kuat menekan, maka tubuh 
tua itu terdesak mundur. Reksa Pati tidak 
ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. 
Pada saat itu juga sepasang kakinya 
terangkat menghantam dada lawan yang 
terbuka pertahanannya.
Des!
"Ughhh...!"
Tubuh kurus itu terlempar ke 
belakang. Tendangan kedua kaki Reksa Pati
yang disertai dorongan tenaga sakti itu 
tepat mengenai sasaran.
"Huakkk...!"
Segumpal darah segar keluar dari 
mulut Dewa Gunung Kebat. Dadanya terasa

remuk redam. Si kakek berdiri terhuyung-
huyung sambil berusaha memperbaiki posisi 
kuda- kudanya. Tapi Reksa Pati tidak 
memberi kesempatan. Secepat kilat 
tubuhnya melesat dengan sepasang senjata 
berdesing mengancam leher dan perut 
lawan.
Trang!
Sambaran kecer yang meluncur ke arah 
perutnya masih sempat ditangkis walaupun 
dengan susah payah. Namun sayang sambaran 
kecer yang menuju lehernya tak sempat 
lagi dielakkan. Maka....
Cras!
Dewa Gunung Kebat tak sempat lagi 
bersuara. Tahu-tahu kepalanya sudah meng-
gelinding putus terbabat kecer!
Desss!
Reksa Pati kembali melontarkan sebuah 
tendangan ke arah tubuh tanpa kepala yang 
masih berdiri tegak. Tubuh jangkung tanpa 
kepala itu terlempar sejauh enam tombak. 
Darah segar mengucur deras dari luka-luka 
di lehernya. Setelah berkelojotan 
beberapa saat, akhirnya tubuh itu tidak 
bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya. 
"Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan Reksa Pati
bergema ke lembah-lembah. Reksa Pati
berlari cepat menuruni Lereng Gunung 
Kebat. Tubuh tinggi besar itu melayang 
bagaikan seekor burung besar yang tengah

bermain-main.
***
Beberapa hari kemudian, tampak tujuh 
orang laki-laki gagah berjalan beriringan 
mendatangi Lereng Gunung Kebat. Dari 
langkah-langkahnya yang ringan, jelas 
terlihat kalau mereka rata-rata memiliki 
kepandaian yang tinggi. Tak berapa lama
kemudian, tujuh orang itu pun telah tiba 
di atas puncak gunung.
"Aneh, perasaanku tidak enak, Ka-
kang?" ujar salah seorang dari mereka 
lirih. Orang itu bertubuh sedang. Pada 
raut wajahnya yang tampan, terhias 
sebaris kumis tipis. Di punggungnya 
tergantung sebatang pedang serupa dengan 
milik keenam orang lainnya.
"Hm...," yang diajak bicara hanya 
bergumam tak jelas. Langkahnya dihentikan 
sambil mengedarkan pandangannya merayapi 
daerah di sekitarnya. Sepertinya ia pun 
memiliki perasaan yang sama.
Ketujuh orang itu meneruskan langkah-
nya menuju sebuah pondok yang terletak 
tidak jauh dari tempat mereka berdiri. 
Dari sikapnya, jelas terlihat seperti 
membaui sesuatu yang tak beres.
"Guru...!" seru orang tertua sambil 
mengulurkan tangannya membuka pintu 
pondok. "Hm..., tidak terkunci?" gumamnya

heran. Sementara ia membuka pintu pondok, 
enam orang lainnya bersiaga sambil 
mencabut pedang di punggung mereka.
"Kalian bertiga tunggu di luar! Biar 
aku dan yang lainnya yang memeriksa 
keadaan di dalam pondok!" ucap yang 
satunya lagi pelan seraya bergerak 
mengikuti langkah saudara tertuanya 
memasuki pondok. Orang itu bertubuh kekar 
dan berkumis tebal.
Empat orang laki-laki gagah itu 
mengerutkan alisnya ketika mendapati isi 
pondok itu ternyata kosong! Meskipun 
mereka memeriksa hingga ke ruang 
belakang, namun tidak dijumpainya juga 
orang yang dicarinya. Keempat orang itu 
segera bergegas menemui saudara-
saudaranya di luar.
"Kosong!" ujar laki-laki gagah yang 
berusia paling tua itu cepat sebelum yang 
lainnya sempat bertanya.
Rupanya ketujuh orang laki-laki gagah 
itu adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat. 
Dalam rimba persilatan mereka dijuluki 
Tujuh Pedang Pembelah Samudra. Pada hari 
ini mereka bermaksud mengunjungi sang 
guru setelah merantau kurang lebih dua 
tahun lamanya.
"Apa tidak sebaiknya kita berpencar, 
Kakang Bandawa?" usul salah seorang dari 
mereka kepada orang tertua yang bernama 
Bandawa itu.

"Baik sekali usulmu, Gumadi. Kalau 
begitu, mari kita berpencar. Apabila 
salah seorang dari kita menemukan Guru, 
berilah tanda dengan siulan," ujar laki-
laki tertua yang dipanggil Bandawa tadi.
Sedetik kemudian, ketujuh murid Dewa 
Gunung Kebat itu sudah berpencar. Sekali 
menggerakkan tubuh saja, ketujuh orang 
itu telah lenyap ditelan rimbunan pohon.
"Tolong..., tolong...!" tiba-tiba 
terdengar sebuah teriakan memecah 
keheningan.
Bandawa yang berada paling dekat dari 
asal suara itu segera melesat menuju arah 
sumber suara. Beberapa saat kemudian, 
sepasang matanya. yang tajam menangkap 
sesosok tubuh yang tengah berlari 
tunggang langgang menuruni lereng gunung. 
"Hup!"
Kedua kaki Bandawa menjejak bumi. 
Sesaat kemudian tubuh laki-laki gagah itu 
sudah melayang mengejar orang itu. Dalam 
beberapa lompatan saja, Bandawa telah 
berdiri menghadang.
"Hah! Se... setan...! Tolong ada 
setaaan...!" orang itu berteriak-teriak 
ketakutan ketika tahu-tahu saja di 
hadapannya telah berdiri seorang laki-
laki gagah.
“Tenang, Kisanak. Aku bukan setan 
seperti yang kau kira. Aku manusia biasa 
seperti kau. Lihatlah baik-baik," ujar

Bandawa ramah.
"Betulkah..., betulkah kau bukan 
setan? Tapi..., tapi mengapa kau bisa 
terbang?" tanya laki-laki yang rupanya 
seorang pencari kayu. Sambil berkata 
demikian, laki-laki itu memandangi Ban-
dawa mulai dari ujung kaki sampai ke 
ujung rambut.
"Hm..., sudahlah," hibur Bandawa 
sambil tangannya terulur menyentuh bahu 
si pencari kayu dengan lembut "Nah, 
sekarang coba kau ceritakan kepadaku. 
Mengapa engkau sampai berlari bagai 
dikejar hantu? Apa yang kau lihat di atas 
sana?" tanya Bandawa pelan.
"Mayat!" jawabnya orang itu sambil 
menengok ke kiri-kanan seolah-olah ia 
takut kalau mayat itu mengejarnya.
"Mayat?! Di mana? Mayat siapa? Ayo 
tunjukkan padaku!" tanya Bandawa 
berdebar. Karena ketegangan yang 
menyelimuti dirinya, tanpa sadar ia 
menekan pundak si pencari kayu kuat-kuat. 
Bandawa baru tersadar ketika orang itu 
mengaduh kesakitan. Cepat dilepaskannya 
cengkeraman di pundak orang itu.
“Tapi..., mayat itu tanpa kepala...." 
sambil berkata demikian, matanya berputar 
liar. Sepertinya orang itu memang benar-
benar takut.
“Tidak perlu takut! Kalau mayat itu 
bangkit, biar aku yang akan menghadapinya


nanti. Ayo!" Bandawa yang mulai tak sabar 
itu segera menarik tangan orang itu.
Dengan terpaksa si pencari kayu 
menuruti kemauan Bandawa. Kedua kakinya 
agak gemetar ketika melangkah.
Tidak berapa lama kemudian, mereka 
pun tiba di bagian sebelah Barat puncak 
gunung itu. Di hadapan mereka terbentang 
sebuah tanah lapang yang cukup luas. 
Bandawa merayapi sekitar tempat itu 
dengan kening berkerut. Jantungnya 
berdebar tegang ketika didapatinya daerah 
sekitar tempat itu banyak pohon-pohon 
yang tumbang.
"Hm..., sepertinya di tempat ini 
telah terjadi pertempuran pada beberapa 
hari yang lalu," gumam laki-laki gagah 
itu semakin tegang. Secepat kilat 
tubuhnya melesat ke tengah-tengah tanah 
lapang berumput tebal itu.
"Di mana mayat itu?" tanya Bandawa 
agak memburu. Ketegangan dan kekhawatiran 
akan keselamatan gurunya membuat Bandawa 
tak dapat bersikap tenang lagi.
"Di dekat pohon itu...!" sahut orang 
itu gugup. Setelah berkata demikian, dia 
pun langsung melarikan diri meninggalkan 
Bandawa. Rupanya rasa takut yang mengu-
asainya, benar-benar sudah tak dapat 
dikendalikan lagi.
Sementara itu Bandawa sudah melesat 
menghampiri pohon yang ditunjuk orang

tadi. Laki-laki gagah itu berdiri dengan 
wajah pucat! Kedua lututnya terasa lemas 
melihat pemandangan di hadapannya.
"Guru...," Bandawa menjatuhkan kedua 
lututnya di tanah. Laki-laki gagah itu 
tak mampu lagi membendung air matanya. 
Pikirannya kacau hingga tak ingat lagi 
untuk memberi tanda kepada saudara-
saudaranya yang lain. Hatinya benar-benar 
terguncang melihat mayat orang tua yang 
amat dihormatinya itu.
Setelah berhasil menguasai perasaan-
nya, barulah Bandawa teringat untuk 
memberitahu saudara-saudaranya. Suara 
siulan Bandawa bergetar karena kesedihan 
hatinya yang mendalam.
"Kakang, kau menemukan sesuatu?" 
belum lagi gema siulannya lenyap, keenam 
adik seperguruannya sudah berlompatan 
menghampiri Bandawa. Keenam orang itu tak 
sempat bertanya lagi. Tubuh mereka 
langsung bergetar ketika mengenali sosok 
mayat tanpa kepala terpampang di 
hadapannya.
"Guru...!" enam orang laki-laki gagah 
yang pan-tang menangis dalam menghadapi 
apa pun itu, akhirnya menitikkan air mata 
di hadapan mayat sang guru.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang 
selama ini ditakuti kaum sesat itu, kini 
menangis tersedu-sedu mengelilingi guru 
mereka yang telah menjadi mayat!

DUA

"Kakang, kita harus mencari penggalan 
kepala guru kita. Aku yakin kepalanya 
pasti masih berada di sekitar sini," ujar 
seorang adik seperguruan Bandawa yang 
bertubuh gemuk dan berwajah bulat Men-
dengar perkataan itu, saudara-saudaranya 
mengangguk setuju. Sesaat kemudian, 
mereka sudah menyebar mencari penggalan 
kepala Dewa Gunung Kebat.
Setelah berhasil menemukan penggalan 
kepala gurunya, ketujuh orang itu segera 
menguburkan jenazahnya.
"Guru, kami tujuh orang muridmu 
berjanji akan mencari pembunuhmu sampai 
dapat. Untuk sementara kami akan menetap 
di sini guna memperdalam ilmu silat kami.
Karena kami sadar kalau kepandaian pem-
bunuhmu pastilah sangat tinggi," janji 
Bandawa mewakili saudara-saudaranya yang 
lain. Ketujuh murid Dewa Gunung Kebat itu
bangkit dan memberikan penghormatan 
terakhir di hadapan makam guru mereka.
Mulai hari itu ketujuh murid Dewa 
Gunung Kebat berlatih giat. Mereka terus 
memperdalam ilmu 'Tujuh Pedang Membelah 
Samudra' yang merupakan ilmu tertinggi 
yang pernah diajarkan guru mereka. Tanpa
mengenal lelah, tujuh laki-laki gagah itu 
terus berlatih guna menuntut balas atas 
kematian guru mereka.

"Hari ini adalah hari terakhir kita 
berlatih. Marilah kita satukan seluruh 
perhatian dan kekuatan kita," ujar 
Bandawa yang memimpin adik-adik sepergi-
ruannya dalam setiap latihan. Setelah 
berkata demikian, orang tertua dari Tujuh 
Pedang Pembelah Samudra itu melompat ke 
belakang. Kedua kakinya menekuk rendah. 
Kaki kanannya yang berada di depan, 
berada dalam posisi jinjit. Sementara 
tangan kanannya yang menggenggam pedang 
terangkat ke atas, melintang di atas 
kepala. Sedangkan tangan kirinya berada 
di depan dada.
Gerakan Bandawa segera diikuti oleh 
saudara-saudaranya. Namun posisi kuda-
kuda mereka berlainan. Inilah salah satu 
keistimewaan ilmu 'Tujuh Pedang Membelah 
Samudra'. Masing-masing mempunyai gerakan 
yang berlainan. Meskipun demikian mereka 
tetap mempunyai kekuatan dan tujuan yang 
satu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bandawa berseru keras. 
Pedang di tangan kanannya bergerak cepat 
menimbulkan angin berkesiuran. Sinar 
pedangnya bergulung-gulung bagaikan ingin 
membelah gelombang samudra!
Bentakan Bandawa disambut bentakan-
bentakan lainnya. Satu persatu adik 
seperguruannya mulai bergerak sesuai 
dengan tugasnya masing-masing. Hebat

sekali ilmu pedang yang dimainkan ketujuh 
orang murid Dewa Gunung Kebat itu. Angin 
keras berdesing menyambar-nyambar ke 
segala penjuru. Kadang-kadang ujung-ujung 
pedang mereka nampak laksana seekor ular 
yang tengah meliuk-liuk di atas rerum-
putan. Namun di lain saat ketujuh mata 
pedang itu menyambar ganas bagaikan 
seekor burung elang menyambar mangsa. 
Benar-benar hebat sekali ilmu yang 
dipertunjukkan tujuh jago pedang itu! 
"Heaaat..!"
Pada akhir gerakan, ketujuh orang 
pendekar itu berteriak nyaring secara 
bersamaan. Teriakan itu sengaja mereka 
lakukan guna membuyarkan perhatian lawan. 
Tapi pada saat itu juga, ketujuh orang 
itu melesat secara bergelombang saling 
susul menyusul.
Singgg! Singgg! Singgg...!
Sinar pedang berkelebatan sambil 
mengeluarkan sinar yang menyilaukan. 
Tujuannya adalah untuk mengaburkan 
pandangan lawan.
Tujuh pedang itu secara bergantian 
membabat dalam posisi yang berlainan. 
Setelah itu mereka pun berloncatan mundur 
sambil menyusut keringat yang meleleh 
membasahi wajah.
Memang hebat sekali ilmu pedang yang 
dipertunjukkan tujuh murid Dewa Gunung 
Kebat. Apabila lawan tidak berhati-hati,

pastilah sudah kehabisan tenaga dalam 
menghadapi serbuan tujuh mata pedang yang 
bagaikan tak pernah habis itu.
"Hhh..., puas rasanya hatiku melihat 
kemajuan yang kita capai selama beberapa 
bulan ini," ucap Bandawa berseri-seri. 
Wajahnya tampak segar kemerahan. Beberapa 
tetes keringat masih menghias wajahnya.
"Yahhh..., tidak sia-sia jerih payah 
kita selama ini. Semoga arwah guru merasa 
bahagia melihat keberhasilan kita," 
timpal Gumadi yang merupakan orang kedua 
setelah Bandawa. Wajahnya yang gagah, 
mengulum senyum puas.
"Kalau begitu, besok kita dapat 
meninggalkan tempat ini," sahut yang 
lainnya gembira. Biar bagaimanapun, 
kembali ke dunia ramai merupakan suatu 
hal yang sangat menyenangkan.
Selesai berlatih, ketujuh orang 
saudara seperguruan itu berkemas-kemas 
untuk meninggalkan Gunung Kebat keesokan 
harinya. Angin sejuk bertiup agak keras 
seolah-olah ikut menyambut kegembiraan 
Tujuh Pedang Pembelah Samudra.
***
Matahari belum lagi menampakkan 
sinarnya. Kokok ayam hutan telah 
terdengar bersahut-sahutan menyambut 
datangnya sang pagi. Alam masih

terselimut kegelapan yang meremang.
Di tengah keremangan pagi itu, tampak 
Tujuh Pedang Pembelah Samudra berlutut di 
depan sebuah makam yang terawat rapi. 
Makam itu adalah tempat beristirahatnya 
Dewa Gunung Kebat, guru mereka.
"Guru..., kami mohon restu untuk 
mencari pembunuhmu. Semoga kami dapat 
membalaskan kematianmu sesuai dengan apa 
yang telah dilakukannya terhadapmu," 
Bandawa memejamkan matanya menahan 
keharuan yang menyeruak dalam rongga 
dadanya. Sesaat kemudian, ia pun bangkit.
Setelah menarik napas panjang, Bandawa 
melangkah meninggalkan makam gurunya 
diikuti adik-adik seperguruannya.
Bersamaan dengan munculnya cahaya 
keperakan di kaki langit sebelah Timur, 
tampak tujuh sosok berlarian menuruni 
Lereng Gunung Kebat. Kabut putih yang 
memenuhi lereng gunung, tidak menjadi 
halangan bagi mereka. Sorot mata mereka 
yang tajam mampu menembus kepekatan sang 
kabut.
Sesekali tubuh ketujuh orang itu 
tampak melambung ke atas melompati batu 
besar yang banyak bertonjolan di 
sepanjang jalan. Gerakan-gerakan mereka 
tampak lebih gesit dan lincah daripada 
beberapa bulan sebelumnya. Mereka benar-
benar telah mencapai kemajuan pesat 
sekali.

Pada saat sinar matahari mulai 
menebar ke permukaan bumi, ketujuh orang 
itu sudah tiba di kaki gunung. Sebuah 
aliran sungai yang berair jernih 
menghadang perjalanan mereka.
"Arah mana yang sebaiknya kita tuju, 
Kakang?" tanya salah seorang adik 
seperguruannya kepada Bandawa, sambil 
mengedarkan pandangannya.
"Hm..., bagaimana menurutmu, Adi 
Gumadi?" Bandawa melemparkan pertanyaan 
kepada adik seperguruannya yang lain. 
Meskipun keputusan berada di tangannya, 
namun ia ingin meminta pendapat dari 
saudara-saudaranya terlebih dahulu.
"Bagaimana kalau kita ke arah Barat 
saja dulu, Kakang? Arah itu lebih cepat 
menuju desa terdekat. Bukankah kita harus 
mencari keterangan terlebih dahulu 
tentang rupa dan ciri-ciri si pembunuh?" 
ujar Gumadi.
"Baiklah! Kalau begitu kita ke arah 
Barat," sahut Bandawa sambil bergegas 
melangkahkan kakinya menyeberangi sungai. 
Sepasang kakinya bergerak lincah ber-
loncatan di atas tonjolan batu-batu yang 
banyak terdapat di sungai itu.
"Kita harus mempercepat perjalanan, 
ayo!" ajak Bandawa, begitu mereka telah 
melewati sungai. Sambil berkata demikian, 
Bandawa pun melesat mendahului yang 
lainnya. Gerakan orang tertua dari Tujuh

Pedang Pembelah Samudra ini cepat sekali. 
Sekali lompat saja tubuhnya sudah berada 
jauh beberapa tombak di depan saudara-
saudaranya.
"Ayo, kita berlomba!" usul Gumadi 
latah. Seketika itu juga tubuh mereka 
melesat saling mendahului.
Bandawa yang saat itu berada paling 
depan, mengembangkan senyumnya melihat 
kegembiraan adik-adik seperguruannya. 
Baru beberapa puluh tombak ia berlari, 
mendadak matanya menangkap sosok tubuh
yang terbujur agak tersembunyi di balik 
semak-semak.
Dengan penuh waspada, Bandawa 
melangkah mendekati sosok itu. Kening 
pendekar itu berkerut ketika melihat 
percikan darah yang telah mengering 
menempel pada dedaunan. Cepat ia mencabut 
pedang di punggungnya. Sekali lompatan 
saja, tubuhnya sudah berada di balik 
semak belukar itu.
"Ahhh...!"
Bandawa terguling ke kiri ketika kaki 
kanannya menginjak sebuah benda bulat. 
Setelah melenting bangkit, Bandawa 
mencari benda yang membuatnya terguling 
itu. Alangkah terperanjatnya pendekar itu 
ketika mengetahui benda bulat yang 
diinjaknya tadi ternyata adalah kepala 
manusia!
Bandawa menyarungkan pedangnya

setelah sebelumnya dipergunakan untuk 
memapas rerimbunan semak yang menutupi 
mayat itu. Pelahan-lahan sosok mayat itu 
ditariknya keluar dari rerimbunan semak.
"Ada apa, Kakang? Mayat siapa itu?" 
tanya Gumadi begitu tiba di tempat itu. 
Saudara-saudaranya yang lain ikut 
berkerumun dan menghujani Bandawa dengan 
berbagai pertanyaan.
Laki-laki gagah berusia empat puluh 
tahun itu mengangkat tangannya ke atas. 
Agaknya ia meminta saudara-saudaranya 
bersabar. Setelah keadaan menjadi hening, 
barulah Bandawa angkat bicara.
"Kalian kenali mayat ini baik-baik! 
Siapakah dia?" ujar Bandawa kepada 
saudara-saudaranya. Sambil melontarkan 
pertanyaan itu, ditunjuknya kepala yang 
telah terpisah dari tubuhnya.
"Pendekar Golok Sakti...?!" teriak 
keenam saudara seperguruan Bandawa 
terkejut bercampur heran. Mereka kenal 
betul dengan Pendekar Golok Sakti. Beliau 
adalah seorang pendekar besar yang 
namanya menjadi momok bagi kaum sesat. 
Keharuman nama pendekar ini boleh 
dibilang hampir sejajar dengan guru 
mereka.
"Biadab! Pembunuhnya pastilah orang 
yang juga membunuh guru kita! Benar-benar 
iblis yang haus darah! Rasanya aku ingin 
mencincang tubuh iblis itu sampai lumat!"

geram salah seorang adik seperguruan 
Bandawa sambil mengepalkan tangannya 
kuat-kuat.
"Sabarlah, Adi Supena. Pembunuh itu 
pastilah orang yang berilmu tinggi. 
Nyatanya guru kita dan Pendekar Golok 
Sakti saja tewas di tangannya," ujar 
Gumadi menenangkan adik seperguruannya 
yang bernama Supena. Hatinya pun 
sebenarnya merasa geram. Namun ia masih 
dapat menguasainya.
"Hm..., itu pun belum pasti, Adi 
Gumadi. Bisa jadi pembunuh itu tidak 
bertindak seorang diri. Mungkin saja guru 
kita dan juga pendekar ini tewas 
dikeroyok," Bandawa memberikan tanggapan 
atas dugaan Gumadi. Ia sengaja 
mengeluarkan pendapat demikian karena 
tidak ingin nyali adik-adiknya menjadi 
ciut bila membayangkan pembunuh guru 
mereka adalah seorang yang benar-benar 
berilmu tinggi.
"Ya! Mungkin saja, Kakang. Siapa tahu 
mereka memang tewas dikeroyok!" sahut 
Supena menyetujui ucapan kakak tertuanya 
itu.
"Sudahlah! Sekarang lebih baik kita 
kuburkan jenazah Pendekar Golok Sakti 
ini," ajak Bandawa kepada yang lainnya.
Dalam waktu singkat, di tempat itu 
sudah terlihat sebuah gundukan tanah 
merah yang letaknya agak ke tepi jalan.


Tujuh Pedang Pembelah Samudra kemudian 
bergegas meninggalkan tempat itu 
meneruskan perjalanannya.
***
Seorang laki-laki tinggi besar 
berusia enam puluhan melangkah tegap. Di 
punggungnya tampak sepasang kecer yang 
bergerigi pada sisinya. Wajahnya yang 
bertotol-totol hitam menyiratkan 
kebengisan. Orang itu terus melangkah 
menghampiri sebuah pintu gerbang 
perguruan.
"Hm...!" orang yang tak lain adalah 
Reksa Pati, menggeram pelahan. Sesaat 
kemudian, tubuh gendut itu melesat 
menjambret papan nama yang bertuliskan 
'Perguruan Gagak Putih'. Papan nama yang 
terbuat dari kayu jati tebal dan kuat itu 
lalu diinjaknya hingga hancur berkeping-
keping.
Setelah menghancurkan papan nama 
Perguruan Gagak Putih, Reksa Pati 
mengayunkan kakinya yang besar ke depan 
pintu gerbang perguruan itu. 
"Hiah...!" 
Brakkk!
Pintu gerbang perguruan yang kokoh 
kuat itu jebol hingga menimbulkan suara 
gaduh. Kakek tinggi besar dan menakutkan 
itu mengibaskan tangannya menghalau

kepingan-kepingan kayu yang bertebaran ke 
arahnya, sambil mengayunkan kakinya 
memasuki halaman perguruan.
"Hei! Orang gila dari mana datang-
datang membuat keributan?!" bentak salah 
seorang dari dua penjaga pintu gerbang 
yang berlari mendatangi. Orang itu segera 
mengayunkan pedangnya membacok tubuh si 
pendatang.
"Hm...!"
Reksa Pati hanya mendengus kasar. 
Sedikit pun ia tidak mempedulikan 
sambaran pedang yang membabat perutnya. 
Bagaikan orang yang tidak tahu bahaya, 
dia terus melanjutkan langkahnya.
"Mampuslah!" seru orang itu geram. 
Meskipun sebenarnya hati penjaga itu 
terkejut, namun ia tetap saja tidak 
menahan bacokannya.
Singgg! 
Trak!
"Aaakh...!"
Aneh! Penjaga itu malah menjerit 
kesakitan ketika mata pedangnya 
menghantam perut gendut itu. Perut Reksa 
Pati sama sekali tidak terobek seperti 
yang dibayangkan si penjaga. Malah 
pedangnya patah menjadi dua ketika 
bertemu perut si kakek. Si penjaga 
terpukul roboh. Tulang tangannya terasa 
patah. Penjaga gerbang itu beringsut 
menjauh dengan mata terbelalak ngeri.

"Huh! Tikus busuk tak tahu diri!" 
bentak Reksa Pati gusar. Setelah berkata 
demikian, tahu-tahu tubuh si penjaga yang 
masih telentang itu terangkat naik!
"Oh! Tolong...! Tolooong...!" orang 
itu berteriak-teriak ketakutan. Tubuhnya 
sudah terangkat kira-kira satu tombak di 
atas permukaan tanah! Benar-benar 
pertunjukan tenaga dalam yang sukar 
diukur kehebatannya.
"Pergilah!" bentak Reksa Pati sambil 
mengibaskan tangannya, bagaikan mengusir 
seekor lalat yang menjijikkan.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan 
oleh gerakan pergelangan tangan itu. 
Tubuh penjaga gerbang terpental deras 
bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak 
tampak. Tubuh itu terus meluncur ke arah 
sebatang pohon yang berjarak sekitar 
empat tombak jauhnya.
Derrr!
"Heghk...!" 
Krak!
Terdengar suara berderak keras tanda 
tulang-belulang orang itu berpatahan 
ketika tubuhnya membentur batang pohon
sepelukan orang dewasa. Darah berhamburan 
dari mulut dan kepalanya yang retak.
Sesaat kemudian, terdengar suara 
berderak yang disusul suara hiruk pikuk! 
Kiranya batang pohon tadi ikut pula 
tumbang! Dapat dibayangkan, betapa hebat

nya tenaga sakti yang dimiliki kakek 
tinggi besar yang menyeramkan itu.
"Pembunuh gila! Kucincang tubuhmu! 
Hiaaat...!" penjaga yang seorang lagi 
berteriak marah. Meskipun hatinya 
berdebar melihat kesaktian si kakek, tapi 
kematian temannya membuat ia tidak 
berpikir tentang rasa takut Tanpa pikir 
panjang lagi, penjaga itu menusukkan 
tombaknya ke perut Reksa Pati.
Trak!
Tombak itu patah menjadi tiga bagian 
ketika menyentuh perut Reksa Pati. Orang 
itu terbelalak pucat. Tubuhnya gemetar. 
Ketika tangan kakek tinggi besar itu 
menampar kepalanya, terdengar suara 
gemeretak. Penjaga gerbang itu tewas 
seketika. Tamparan yang kelihatannya 
pelahan itu ternyata telah membuat kepala 
si penjaga pecah! Darah segar bercampur 
cairan putih menggenang membasahi 
pekarangan Perguruan Gagak Putih.
"Tolooong...! Ada pembunuh gila...!" 
teriak beberapa orang murid yang ikut 
menyaksikan kejadian itu sambil berlarian 
ketakutan. Perguruan Gagak Putih gempar!
Dalam waktu singkat, tempat itu telah 
dipenuhi puluhan orang murid Perguruan 
Gagak Putih. Mereka mengepung Reksa Pati
yang masih berdiri di tengah pelataran. 
Beberapa di antaranya berteriak-teriak 
marah sambil mengacung-acungkan senja

tanya. Namun, tak seorang pun di antara 
mereka yang berani maju. Kekejaman yang 
baru saja dipertunjukkan Reksa Pati
membuat mereka harus berpikir dua kali 
untuk maju.
"Iblis biadab!" maki seorang murid 
yang ikut mengepung.
"Kita bunuh saja iblis itu!" seru 
yang lainnya sambil mengacung-acungkan 
tombaknya.
Reksa Pati menatap para pengepungnya 
dengan wajah dingin. Sedikit pun dia 
tidak mempedulikan teriakan-teriakan itu. 
Kakek tinggi besar itu malah melangkah 
menuju gedung yang menjadi pusat perguru-
an. Para pengepung yang berada di 
depannya bergerak mundur. Wajah-wajah 
mereka terlihat tegang dan pucat.
"Hm...!" 
Wusss!
Reksa Pati mendengus gusar seraya 
mengayunkan tangannya melontarkan pukulan 
jarak jauh. Terdengar suara angin 
berkesiuran mengiringi datangnya pukulan 
maut itu.
"Aaa...!"
Belasan pengepung di depannya 
terlempar bagaikan daun-daun kering. 
Beberapa orang di antaranya langsung 
tergeletak tewas! Dari mulut, hidung, dan 
telinga mereka mengalir darah segar. 
Sedangkan sisanya berkelojotan meregang

nyawa!
Bukan main terkejutnya para murid 
Perguruan Gagak Putih. Sesaat kemudian 
kepungan itu pun merenggang. Mereka yang 
tadinya berteriak-teriak marah, langsung 
bungkam. Kegentaran dan kengerian 
menyelimuti hari mereka. 
"Ihhh...!"
Belasan pengepung yang berada di kiri 
kanan si kakek serentak mundur dibarengi 
seruan-seruan ngeri ketika tatapan Reksa 
Pati merayapi mereka. Demikian dinginnya 
tatapan mata Reksa Pati, sehingga membuat 
tubuh mereka menggigil!
"Hm..., siapa yang berani mati 
mengacau perguruan kami?" tiba-riba 
terdengar suara berat dan berwibawa 
memecah keheningan. Belum lagi gema 
suaranya lenyap, tahu-tahu lima orang 
laki-laki gagah telah mendaratkan kakinya 
ke tengah kepungan.
"Kakang, kakek buruk itu kejam 
sekali! Bunuh saja dia!" seru salah 
seorang pengepung ketika melihat murid-
murid utama telah datang ke tempat itu.
"Benar, Kakang! Bunuh saja! Lihatlah! 
Dia sudah membunuh puluhan saudara kita!" 
teriak yang lainnya geram. Meskipun 
begitu, mereka tetap saja tidak berani 
maju mendekati Reksa Pati.
"Hm..., siapakah kau, Kakek Tua? Apa 
kesalahan saudara-saudara kami sampai kau

tega menurunkan tangan maut kepada 
mereka?" tanya salah seorang murid utama 
Perguruan Gagak Putih. Orang itu berusia
sekitar empat puluh tahun. Wajahnya gagah 
dengan sorot mata yang menyiratkan 
kesabaran dan keluasan pandangan.
"Mana gurumu si Gagak Sakti? Suruh 
dia keluar!" Reksa Pati sama sekali tidak 
mempedulikan pertanyaan tadi. Malah 
sebaliknya ia bertanya menuntut dengan 
dingin. Ia sama sekali tidak memandang 
sebelah mata pun kepada laki-laki gagah 
di depannya. Begitulah sifat-sifat tokoh-
tokoh sesat yang berkepandaian tinggi!
"Bangsat! Akan kurobek mulutmu yang 
lancang, kakek buruk!" bukan main 
marahnya hati salah seorang murid utama 
Perguruan Gagak Putih demi mendengar 
ucapan Reksa Pati. Detik itu juga 
tubuhnya melesat disertai ayunan 
pedangnya yang berdesing membelah udara.
Reksa Pati sama sekali tidak menaruh 
perhatian pada serangan itu. Tepat pada 
saat mata pedang hampir tiba menusuk 
lehernya, ia hanya mengangkat sebelah 
tangannya ke atas. Sebuah getaran 
gelombang tenaga yang sukar diukur 
tingginya memagari tubuh kakek itu. 
Sehingga mata pedang murid utama tadi 
tertahan beberapa rambut dari lehernya.
Murid utama Perguruan Gagak Putih itu 
terbelalak kaget. Wajahnya pucat

seketika. Keringat sebesar biji-biji 
jagung menetes membasahi wajahnya. Dia 
berusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk 
menarik pulang senjatanya. Tapi anehnya 
senjata itu bagai dijepit tenaga yang tak 
tampak! Sehingga dia tidak dapat menarik 
ataupun mendorong senjatanya itu. 
"Oh..., ah..., hhh...!"
Dengan napas yang semakin memburu 
karena rasa takut dan ngeri, orang itu 
terus berusaha melepaskan senjatanya.
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Reksa Pati
mengibaskan tangannya dari bawah ke atas. 
Seketika itu juga, tubuh orang itu kontan 
melayang bagai disentakkan tenaga
dahsyat! Darah segar memercik dari mulut 
dan hidungnya.
"Wuaaa...!" 
Brak!
Tubuh orang itu terbanting di atap 
gedung perguruan. Jerit kematian menggema 
memenuhi tempat itu. Murid utama 
Perguruan Gagak Putih itu tewas karena 
isi perutnya telah hancur akibat pukulan 
tenaga dalam yang dahsyat dari Reksa 
Pati.
***

TIGA

Empat orang murid utama dan puluhan 
murid lainnya membelalak pucat! Reksa 
Pati kembali telah menunjukkan kehebatan 
dan kekejamannya yang tidak lumrah 
manusia itu. Tanpa sadar, mereka bergerak 
semakin mundur menjauh.
"Hm.... Cepat panggil gurumu sebelum 
kesabaranku habis!" geram Reksa Pati 
penuh ancaman. Sepasang matanya kali ini 
mencorong tajam bagaikan mata seekor 
harimau buas. Sambil berkata demikian, 
Reksa Pati mengedarkan pandangannya ke 
sekeliling.
Puluhan orang murid yang semula 
mengepungnya menjadi buyar dan berlarian 
menyelamatkan diri. Beberapa orang di 
antaranya bergegas melaporkan kejadian 
itu kepada guru mereka. Rupanya ancaman 
kakek tinggi besar itu telah merenggut 
seluruh keberanian di hari mereka.
Beberapa saat kemudian, tampak 
seorang laki-laki berusia sekitar enam 
puluh tahun berjalan tergesa-gesa menuju 
halaman depan perguruan. Langkah kaki 
orang tua itu sangat ringan, pertanda 
memiliki kepandaian yang tidak rendah. 
Sepasang matanya jernih menyiratkan
kesabaran. Wajah seorang tua yang bijak
sana.

"Raja Iblis dari Utara...!" gumam 
kakek itu ketika dari kejauhan ia melihat 
Reksa Pati. Wajahnya yang semula tenang, 
berubah cemas. Jelas sekali kalau orang 
tua yang berjuluk Pendekar Gagak Sakti 
ini merasa gentar! Langkahnya dihentikan 
sejauh sepuluh batang tombak di hadapan
Reksa Pati yang berjuluk Raja Iblis dari 
Utara itu.
"Ha ha ha...! Pendekar Gagak Sakti, 
mengapa kau tidak segera menyambut 
kedatanganku. Jangan salahkan aku kalau 
orang-orangmu yang lancang terpaksa 
kuberi sedikit pelajaran," Reksa Pati
tertawa bergelak begitu melihat kehadiran 
orang yang dicarinya. Sesaat kemudian, 
wajahnya kembali beku. Dingin dan 
menakutkan! 
"Guru...!"
Empat orang murid utama Perguruan 
Gagak Putih serentak menjatuhkan dirinya 
berlutut ketika melihat kedatangan guru 
mereka. Salah seorang di antara mereka 
yang hendak berbicara terpaksa 
mengurungkan niatnya ketika sang guru 
mengangkat sebelah tangannya sebagai 
isyarat untuk diam.
"Hm..., beruntunglah kalian masih 
selamat. Ketahuilah, kakek tinggi besar 
ini adalah seorang datuk sesat dari
wilayah Utara. Tidak ada seorang pun di 
kalangan persilatan yang dapat mengukur

kepandaiannya. Kekejamannya yang seperti 
iblis, membuat dunia persilatan men-
julukinya Raja Iblis dari Utara!" 
Pendekar Gagak Sakti menghentikan uca-
pannya sejenak. Orang tua itu menarik 
napas panjang sambil matanya berkeliling 
menatap murid-muridnya.
"Satu pesanku kepada kalian. Apabila 
aku sampai bertarung melawan iblis itu, 
kalian harus segera pergi menyelamatkan 
diri. Aku tidak yakin akan mampu 
menghadapinya," ujar Ketua Perguruan 
Gagak Putih itu lirih.
“Tapi, Guru...!" murid utama Pendekar 
Gagak Sakti yang paling tua mencoba 
membantah ucapan gurunya.
"Sudahlah, turuti saja pesanku!" 
sahut pendekar itu cepat. Setelah berkata 
demikian, Pendekar Gagak Sakti segera 
melangkah mendekati Reksa Pati.
Ketua Perguruan Gagak Putih itu 
menghentikan langkahnya beberapa tombak 
di hadapan kakek iblis itu. Wajah yang 
biasanya selalu tenang, kini tampak 
gelisah. Orang tua itu gelisah bukan 
memikirkan nasibnya. Tapi ia memikirkan 
keselamatan murid-muridnya. Apabila dia 
kalah, sudah dapat dipastikan Perguruan 
Gagak Putih akan musnah. Pendekar Gagak 
Sakti kenal betul sifat Raja Iblis dari 
Utara yang tidak pernah kepalang tanggung 
dalam melakukan setiap kejahatan.

"Hm..., Raja Iblis dari Utara, apa 
maksudmu membuat keonaran di tempatku? 
Setahuku di antara kita tidak pernah ada 
persoalan?" ucap Pendekar Gagak Sakti 
mencela kakek tinggi besar itu.
"Ha ha ha...! Hei! Adiyasa. Perlu kau 
ketahui! Aku tidak pernah sudi mengurusi 
cecunguk-cecunguk seperti murid-muridmu 
itu. Tapi mereka sendirilah yang mencari 
celaka," sahut kakek iblis itu tanpa me-
rasa bersalah sedikit pun. Malah 
sebaliknya ia menyalahkan murid-murid 
Pendekar Gagak Sakti.
"Apa maksud kedatanganmu mencariku?" 
tanya Pendekar Gagak Sakti yang bernama 
Ki Adiyasa, mencoba menekan kemarahannya. 
Meskipun ia telah mendengar sepak terjang 
Reksa Pati beberapa bulan belakangan ini, 
namun ia ingin mendengar sendiri
pengakuannya.
"Apakah kau tidak pernah mendengar 
berita selama beberapa bulan terakhir 
ini? Baiklah! Aku akan mengatakannya 
kepadamu. Seperti halnya kepada para 
pendekar yang telah kubunuh itu, aku pun 
ingin menanyakan di mana aku bisa 
menemukan Pendekar Naga Putih? Jangan 
coba-coba membohongiku bila kau tidak 
ingin mengalami nasib seperti mereka!" 
ancam Raja Iblis dari Utara, mulai hilang 
keramahannya.
“Pendekar Naga Putih? Aku memang

pernah berjumpa dengannya. Tapi 
sepengetahuanku, tidak ada seorang tokoh 
pun yang mengetahui tempat tinggalnya. 
Mengapa kau menanyakan hal itu kepadaku?" 
Ki Adiyasa mengerutkan keningnya dalam-
dalam. Ia tahu bahwa pertanyaan itu 
hanyalah alasan yang dibuat-buat.
"Ha ha ha...! Sudah kuduga bahwa kau 
tidak akan memberitahukannya kepadaku! 
Baiklah kalau begitu, aku akan 
menggunakan caraku sendiri untuk 
memancing keluar pendekar sombong itu. 
Nah, sekarang bersiaplah untuk kukirim ke 
neraka, Adiyasa!" ucap Reksa Pati ringan.
“Tunggu dulu! Kalau boleh kutahu, apa 
urusanmu mencari Pendekar Naga Putih?" 
tanya Ki Adiyasa penasaran.
"Hm..., pendekar sombong itu telah 
membunuh tiga orang muridku! Aku ingin 
tahu sampai di mana kepandaiannya hingga 
berani membunuh muridku," Reksa Pati
menurunkan tangannya yang semula sudah 
siap melontarkan serangan.
"Siapakah muridmu itu?"
"Muridku adalah Tiga Setan Sungai 
Kandal. Sudahlah! Lebih baik kau bersiap-
siap menghadapi kematianmu yang sudah di 
ambang pintu," setelah berkata demikian, 
Raja Iblis dari Utara menggerakkan kedua 
tangannya menutup dan mengembang. Asap 
tipis tampak mengepul ketika ia mulai 
menggosok-gosokkan kedua belah telapak

tangannya.
"Ilmu 'Telapak Lidah Api'!" seru Ki 
Adiyasa terkejut. Ia sudah mendengar 
kehebatan ilmu itu yang belum pernah 
tertandingi oleh tokoh mana pun. Cepat-
cepat digerakkan tangannya menyilang di 
depan dada.
Ki Adiyasa sadar kalau lawan yang 
dihadapi kali ini bukanlah tokoh 
sembarangan. Mau tak mau harus dikerahkan 
seluruh kepandaiannya kalau masih ingin 
hidup lebih lama.
"Hm...!" Ketua Perguruan Gagak Putih 
itu menggeram pelahan. Buku-buku jari 
tangannya berkerotokan pertanda kalau 
orang tua itu tengah mengempos tenaga 
dalamnya. Wajahnya yang semula bersih itu 
tampak kemerahan.
"Mulailah, Raja Iblis !" seru 
Pendekar Gagak Sakti mempersilakan 
lawannya menyerang terlebih dahulu.
"Ha ha ha..., kaulah yang harus mulai 
lebih dulu, Adiyasa. Kuberi kau kesem-
patan menyerang sebanyak sepuluh jurus," 
jawab Reksa Pati mengejek lawannya.
“Tidak! Aku adalah tuan rumah di 
sini. Sudah sepatutnya kalau memberi 
kesempatan kepada tamuku terlebih 
dahulu!" sahut Ki Adiyasa tetap pada 
pendiriannya.
"Kalau memang itu maumu, baiklah! 
Lihat serangan!" belum lagi gema suaranya

lenyap, tubuh Reksa Pati telah meluncur 
cepat sambil mengayunkan kedua tangannya 
bergantian. Hawa panas yang menyengat 
kulit menyebar memenuhi pekarangan depan 
Perguruan Gagak Putih.
Empat orang murid utama Ki Adiyasa 
bergegas menepi. Mereka menjauhi arena 
pertarungan yang menegangkan itu. 
Sebentar saja tubuh keempat murid utama 
itu basah bersimbah peluh.
"Gila! Ilmu apa yang dipergunakan 
iblis itu?" maki murid tertua itu 
mengumpat.
Kalau keempat orang muridnya yang 
berada agak jauh dari arena pertarungan 
saja sudah merasa kegerahan, apalagi Ki 
Adiyasa sendiri yang memang menjadi 
sasaran serangan. Pakaian yang dikenakan 
orang tua itu basah kuyup bagai dicelup 
ke dalam air. Meskipun demikian, ia tetap 
berusaha mengadakan perlawanan sengit. 
Setiap kali mendapat kesempatan, orang 
tua itu mencoba membalas.
"Hiaaat...!"
Ki Adiyasa berteriak nyaring sambil 
melontarkan sebuah pukulan dengan 
pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Angin 
pukulannya menderu-deru membuyarkan hawa 
panas yang menyengat itu. Telapak ta-
ngannya yang terbuka, meluncur dan 
berputar mengancam titik kelemahan lawan.
Wut! Wut!

Dua buah pukulan yang dilontarkan 
Ketua Perguruan Gagak Putih berhasil 
dihindari Reksa Pati. Sambil menggeser 
tubuhnya, Raja Iblis dari Utara langsung 
melontarkan sebuah tendangan kilat ke 
lambung lawan. Melihat serangan balasan 
yang tak terduga itu Ki Adiyasa melempar 
tubuhnya ke belakang sambil bersalto 
beberapa kali menjauhi lawannya.
Tapi baru saja kedua kakinya menjejak 
tanah, terdengar suara mencicit tajam 
menyambar ke arahnya. Ki Adiyasa 
meliukkan tubuhnya menghindari dua buah 
pukulan jari tangan lawan. Begitu 
serangan lawan luput, lalu dilanjutkannya 
dengan sebuah pukulan sisi telapak 
tangannya ke arah pelipis Reksa Pati. 
Dukkk!
"Ahhh...!"
Ki Adiyasa terdorong ke belakang 
ketika hantaman sisi telapak tangannya 
disambut tangkisan lawan. Meski agak 
limbung, orang tua itu masih sempat 
memperbaiki kuda-kudanya sehingga tidak 
sampai terjatuh.
Pendekar Gagak Sakti meringis menahan 
sakit pada pergelangan tangannya. Tulang-
tulang lengannya seperti remuk ketika 
bertemu lengan Reksa Pati yang sekeras 
baja. Ki Adiyasa terkejut melihat bagian 
bawah lengannya ternyata melepuh bagaikan 
terbakar api saja layaknya. Sadar kalau

kepandaiannya masih beberapa tingkat di 
bawah lawan, orang tua itu segera 
mencabut pedang yang tergantung di 
pinggangnya.
Sring!
Seberkas sinar kebiruan terpancar 
ketika Ki Adiyasa mencabut keluar 
senjatanya. Pedang itu lalu diputarnya 
hingga menimbulkan suara berdesing tajam.
"He he he.... Ayo keluarkan seluruh 
kepandaianmu, Adiyasa!" ejek Reksa Pati
bergelak.
Ki Adiyasa tidak menimpali ucapan 
lawan yang sengaja memanasinya. Ketua 
Perguruan Gagak Putih itu terus bergerak 
maju sambil memainkan jurus pedangnya. 
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, 
diputar dan ditusuk pedangnya ke perut 
gendut lawan.
Raja Iblis dari Utara sama sekali 
tidak menghindar ketika pedang lawannya 
berdesing menuju perutnya. Kakek tinggi 
besar itu hanya mengangkat kedua le-
ngannya ke depan dada. Tepat pada saat 
ujung pedang hampir menyentuh kulit 
tubuhnya, kedua tangannya bergerak 
merangkap di depan, menjepit pedang itu.
Tappp! 
"Hiah...!"
Pendekar Gagak Sakti mengerahkan 
seluruh tenaganya untuk menekan ujung 
pedangnya. Namun sepasang tangan Raja

Iblis dari Utara yang laksana jepitan 
baja itu ternyata tak dapat ditembusnya. 
Gagal menekan, Ki Adiyasa mencoba 
menyentak pedangnya dari jepitan telapak 
tangan lawan. Sayang usahanya tetap tidak 
berhasil!
Asap tipis mulai mengepul dari ubun-
ubun Ki Adiyasa. Pertanda kalau orang tua 
itu telah mengerahkan seluruh tenaga 
dalamnya

Raja Iblis dari Utara tidak 
menghindar ketika pedang Pendekar Gagak 
Sakti berdesing cepat. Tepat pada saat 
ujung pedang hampir menyentuhnya, kedua 
tangannya bergerak menjepit pedang itu.
"Hiah...!" Pendekar Gagak Sakti 
berusaha sekuat tenaga menusukkan ujung 
pedangnya!
Tiba-tiba Raja Iblis dari Utara 
menyentakkan pedang itu ke kiri. 
Terdengar suara 'kletak' saat pedang itu 
patah menjadi dua. Sebelum Ki Adiyasa 
sempat menyadarinya, Reksa Pati melang-
kahkan kaki kanannya ke depan. Sambil 
merendahkan tubuhnya, kakek tinggi besar 
itu mendorong kedua telapak tangannya ke 
dada Pendekar Gagak Sakti.
Bughk!
"Ahhh...!" 
Ketua Perguruan Gagak Putih terlempar 
ke belakang diiringi jerit tertahan. 
Darah segar menyembur dari mulutnya. Debu 
tipis mengepul ketika tubuh pendekar tua 
itu terbanting keras di tanah. Baju di 
bagian dadanya hangus bagaikan termakan 
api. Sedangkan di dadanya tampak ter-
gambar dua buah telapak tangan yang 
hitam, melepuh dan menimbulkan bau sengit 
daging terbakar. Itulah pukulan 'Telapak 
Lidah Api' yang terkenal ganas dan keji!

"Guru...!" murid tertua Ki Adiyasa 
berlari memburu tubuh gurunya diikuti 
ketiga adik seperguruannya.
Orang tua itu terkapar lemah. Napas-
nya sudah tak beraturan lagi. Pukulan 
lawan yang telak itu rupanya telah 
menghancurkan isi dadanya. Darah segar 
masih saja mengalir dari mulutnya. Sesaat 
kemudian, kepala Ki Adiyasa terkulai di 
atas pangkuan murid tertuanya. Ketua 
Perguruan Gagak Putih tewas tanpa sempat 
mengucapkan sepatah kata pun kepada 
murid-muridnya!
"Guru...!"
Keempat orang murid utama Ki Adiyasa 
itu berteriak-teriak sambil mengguncang-
guncangkan tubuh gurunya. Namun, Ketua 
Perguruan Gagak Putih telah membisu untuk 
selama-lamanya.
"Keparat kau, Iblis Utara! Kau harus 
menebus kematian guruku dengan nyawamu!" 
seru salah seorang murid utama geram. 
Dengan wajah masih bersimbah air mata, 
dia bangkit seraya mencabut pedang yang 
tergantung di pinggangnya.
"Jangan...!" murid tertua Ki Adiyasa 
berteriak mencegah adik seperguruannya. 
Tapi sayang ia sudah terlambat untuk 
mencegah. Adik seperguruannya yang telah 
gelap mata itu sudah tiba di hadapan Raja 
Iblis dari Utara
Trak!

Krep!
Pedang di tangan orang itu memang 
berhasil menyentuh tubuh Reksa Pati. Tapi 
bukan perut Raja Iblis dari Utara yang 
robek, melainkan pedang itu yang patah 
menjadi dua. Sebelum sempat murid 
Perguruan Gagak Putih itu menyadari, 
tahu-tahu tangan kakek tinggi besar itu 
sudah terulur menangkap lehernya.
"Hekh...!"
Krek!
Terdengar suara gemeretak bunyi 
tulang yang patah ketika Reksa Pati
mengerahkan tenaga pada cengkeramannya. 
Tubuh orang itu lalu dilemparkannya ke 
arah tiga orang murid utama yang masih 
berdiri terpaku. Serentak ketiganya 
melompat maju menangkap tubuh adik seper-
guruannya yang telah menjadi mayat.
"Pergilah! Selamatkan diri kalian. 
Biar aku dan murid-murid yang lainnya 
menghadapi iblis itu," ujar murid tertua 
kepada dua orang adik seperguruannya. 
Setelah berkata demikian, segera dicabut 
pedangnya dan bersiap menghadapi Reksa 
Pati.
"Tidak, Kakang! Lebih baik kami mari 
daripada harus lari seperti anjing 
pengecut!" bantah salah seorang di 
antaranya.
"Kalau kalian ikut mati, siapa yang 
akan membalaskan dendam ini kelak?

Sudahlah, pergilah kalian sesuai pesan 
guru kita."
"Tidak, Kakang! Biarkan kami di sini 
bersamamu untuk...."
"Pergi kataku!" murid tertua Ki 
Adiyasa membentak marah. Akhirnya kedua 
adik seperguruannya itu dengan hati pilu 
meninggalkan halaman gedung utama 
Perguruan Gagak Putih, dan menyelinap 
masuk ke pintu di balik gedung.
"Ha ha ha..., jangan harap kalian 
dapat lolos dari tanganku!" seru Raja 
Iblis dari Utara bergelak. Sesaat 
kemudian, tubuh tinggi besar itu melesat 
mengejar dua orang murid utama yang 
hendak lari itu.
"Seraaang...!" murid tertua Ki 
Adiyasa berteriak memberi peringatan 
kepada puluhan orang murid yang berada di 
belakangnya. Sambil berkata demikian, ia 
mendahului yang lainnya melompat maju.
Puluhan orang murid Perguruan Gagak 
Putih itu serentak berlari menerjang Raja 
Iblis dari Utara yang hendak mengejar dua 
orang murid utama itu. Mereka sudah tidak 
lagi mempedulikan kematian yang akan 
dihadapi. Hanya satu tekad mereka yaitu 
mencegah Raja Iblis dari Utara agar tidak 
mengejar kakak seperguruan mereka yang 
hendak meloloskan diri.
"Hm...!"
Bukan main marahnya Raja Iblis dari

Utara melihat kenekatan puluhan murid 
Perguruan Gagak Putih. Sambil mendengus 
gusar, kakek tinggi besar itu segera 
membagi-bagi pukulan dan tamparannya.
Blarrr!
"Aaa...!"
Puluhan orang murid Perguruan Gagak 
Putih beterbangan bagaikan daun-daun 
kering. Darah muncrat menggenangi 
pelataran depan perguruan. Bau anyir 
darah mulai menyebar memenuhi tempat itu. 
Amukan si kakek iblis benar-benar 
menggiriskan sekali! Dalam beberapa 
gebrak saja, puluhan mayat murid 
perguruan itu sudah saling tumpang tindih 
tak karuan.
"Hiaaa...!"
Murid tertua Ki Adiyasa melompat 
sambil mengayunkan pedangnya membabat 
leher Reksa Pati. Namun, Raja Iblis dari 
Utara yang sudah bagaikan malaikat 
pencabut nyawa, segera melontarkan 
tamparan yang menimbulkan suara mencicit 
tajam.
Prak!
Tanpa sempat berteriak lagi, orang 
itu ambruk dengan kepala pecah! Darah 
bercampur cairan putih kental, memercik 
menyebarkan bau anyir yang makin kuat
Setelah menewaskan murid tertua 
Perguruan Gagak Putih, Raja Iblis dari 
Utara berkelebat mengejar dua orang

lainnya yang bermaksud meloloskan diri. 
Sesaat kemudian, dua orang murid utama Ki 
Adiyasa itu sudah berhasil dikejarnya.
Bukan main terkejutnya hati kedua 
orang itu ketika tahu-tahu di depan 
mereka telah menghadang Raja Iblis dari 
Utara.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana 
kalian? Jangan harap kalian dapat lolos 
dari kematian!" ujar Reksa Pati sambil 
tertawa sinis.
"Huh! Jangan harap kami akan menyerah 
begitu saja, iblis! Heaaat...!" sambil 
berteriak keras, salah seorang dari murid 
utama Perguruan Gagak Putih itu menerjang 
disertai ayunan senjatanya.
Melihat kawannya sudah menerjang, 
yang seorang lagi bergegas mencabut 
senjatanya. Sesaat kemudian, ia pun 
bergegas membantu kawannya yang sudah le-
bih dahulu menerjang Raja Iblis dari 
Utara.
"Hm...!"
Disertai dengusan kasar, Reksa Pati
mengembang-kan sepasang tangannya memapak 
serangan dua orang itu.
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua 
orang itu pun terjengkang akibat 
tangkisan Raja Iblis dari Utara.

Dan sebelum keduanya sempat bangkit, 
sepasang kaki yang besar dan kuat telah 
menjejak perut mereka. Terdengar bunyi 
gemeretak tulang-tulang yang berpatahan! 
Darah segar pun langsung mengalir dari 
mulut kedua orang murid utama Perguruan 
Gagak Putih itu.
Raja Iblis dari Utara mengangkat 
kedua kakinya begitu tubuh yang 
diinjaknya sudah tidak bergerak lagi. 
Diiringi gelak tawa yang menyeramkan, 
kakek iblis itu pun berkelebat cepat 
meninggalkan tempat itu.

EMPAT


Sepak terjang Raja Iblis dari Utara 
dan kekejamannya dalam membantai tokoh-
tokoh persilatan maupun perguruan-pergu-
ruan silat golongan putih, benar-benar 
menggemparkan dunia persilatan.
Hampir di setiap pelosok, orang ramai 
membicarakan tentang peristiwa-peristiwa 
yang menggemparkan itu. Cerita tentang 
keganasan Raja Iblis dari Utara benar-
benar menjadi wabah saat itu.
"Gila! Kalau begini caranya, bisa 
habis tokoh-tokoh persilatan golongan 
putih dibantainya. Siapa yang sanggup 
menghentikan perbuatan Raja Iblis dari 
Utara itu?" ujar seorang laki-laki

berwajah bulat bernada penasaran. Tangan-
nya menggebrak meja agak keras sehingga 
para pengunjung kedai makan di sekitarnya 
serentak memalingkan wajah ke arah orang 
itu.
"Jangan terlalu keras bicaramu, Adi 
Gantara. Ucapanmu bisa-bisa membawamu 
melayat ke akherat nanti!" ucap kawannya 
mengingatkan. Orang itu menekan suaranya 
serendah mungkin agar tidak terdengar 
pengunjung yang lain.
"Benar apa yang dikatakan Kakang 
Ranjalu, Adi Guntara. Kita tidak boleh 
sembarangan membicarakan hal itu. Kalau 
mata-mata iblis itu mendengar, bisa 
runyam urusannya," bisik yang satunya 
lagi lirih. Sambil berkata demikian 
matanya melirik ke kiri-kanan. Raut 
wajahnya menyiratkan keemasan.
"Bukan itu saja. Kalau ada tokoh 
persilatan golongan putih yang merasa 
tersinggung dengan ucapanmu, bisa repot 
kita," orang paling tua yang bernama 
Ranjalu itu kembali mengingatkan.
"Huh! Untuk apa kita takut? Bukankah 
benar perkataanku tadi! Daripada harus 
tersinggung, bukankah lebih baik 
menumpahkan rasa kedongkolan kepada Raja 
Iblis dari Utara! Bukan kepada kita?" 
orang berwajah bulat yang bernama Guntara 
itu tetap saja mengobral rasa tak puasnya 
terhadap sikap kebanyakan tokoh-tokoh

golongan putih saat itu. Ia terus saja 
mengumbar ucapannya keras-keras.
"Iya, tapi jangan di tempat umum 
seperti ini!" geram Ranjalu merasa agak 
kesal. Wajahnya mulai memerah karena 
amarahnya sudah bangkit melihat 
kebandelan adik seperguruannya.
"Benar yang dikatakan Saudara 
Guntara!" tiba-tiba seorang laki-laki 
setengah baya berambut sebahu, melangkah 
menghampiri meja di mana ketiga laki-laki 
itu duduk. Laki-laki itu mengucapkan 
kata-katanya sambil memperlihatkan senyum 
lebar. "Boleh aku bergabung di meja 
kalian?" pinta orang itu ramah.
"Silakan, silakan Kisanak," sahut 
Ranjalu membalas keramahan orang itu. 
Wajahnya yang semula sudah memerah, 
kembali berubah seperti sediakala. Ia 
tidak ingin kalau pertengkaran antara dia 
dan adik seperguruannya sampai diketahui 
orang lain.
"Namaku Karmapala. Aku menjadi 
tertarik untuk bergabung ikut mendengar-
kan obrolan kalian tadi. Rasa-rasanya apa 
yang diucapkan Saudara Guntara tadi, sama 
dengan apa yang ada dalam pikiranku," 
laki-laki setengah baya itu memperkenal-
kan diri, sambil mengungkapkan sikapnya 
dalam menanggapi persoalan yang tengah 
melanda dunia persilatan pada masa itu.
"Aku Ranjalu. Dan kedua orang ini

adalah saudara-saudara seperguruanku," 
sahut Ranjalu sambil memperkenalkan nama 
kedua orang adik seperguruannya. Ia 
sengaja tidak menyebutkan nama 
perguruannya, karena laki-laki setengah 
baya itu juga tidak menyebutkan nama 
perguruan atau partainya.
"Nah! Benar kan ucapanku tadi, 
Kakang? Nyatanya Ki Karmapala pun 
berpikiran sama sepertiku. Bukankah 
begitu, Ki?" tegas Guntara sambil menatap 
laki-laki setengah baya itu. Pemuda 
berusia dua puluh tahun itu merasa 
gembira karena mendapat teman sepen-
dirian.
"Hm...," Ranjalu hanya bergumam 
menanggapi ucapan adiknya. Rupanya ia 
masih tetap belum dapat menerima pendapat 
Guntara.
"Kalau menurut pendapatku, orang yang 
mesti kita cari adalah Pendekar Naga 
Putih!" Ki Karmapala sengaja menekan pada 
kalimat 'Pendekar Naga Putih', untuk 
melihat reaksi ketiga orang itu. Sengaja 
suaranya agak dikeraskan sedikit agar 
dapat didengar semua pengunjung kedai 
makan itu.
"Eh, mengapa harus begitu?" Ranjalu 
terpaksa menyahut ketika mendengar 
disebutnya nama Pendekar Naga Putih yang 
selama ini mereka kagumi.
"Ya, mengapa harus Pendekar Naga


Putih yang kita cari?" Guntara pun 
mengerutkan keningnya ketika mendengar 
ucapan Ki Karmapala yang cukup menga-
getkan itu.
"Tentu Saja!" jawab Ki Karmapala 
tambah bersemangat ketika melihat 
perhatian ketiga orang gagah itu mulai 
tercurah kepadanya. Laki-laki setengah 
baya itu mulai mengemukakan pendapat dan 
pandangannya. Ternyata bukan hanya tiga 
orang itu saja yang tertarik. Bahkan 
hampir semua pengunjung kedai makan ikut 
memasang telinga guna mendengar lebih 
jelas tentang apa yang diceritakan dan 
direncanakan Ki Karmapala.
"Hm..., rasanya pendapat Ki Karmapala 
boleh kita coba!" usul Guntara yang 
disambut anggukan dua orang kakak 
seperguruannya. Selesai berkata demikian, 
ia pun bangkit berdiri diikuti ketiga 
orang lainnya. Rupanya keempat orang 
gagah itu berniat meninggalkan kedai itu.
Beberapa saat setelah kepergian 
keempat orang gagah itu, beberapa orang 
yang menyandang pedang, bangkit dari 
kursinya. Setelah membayar harga makanan, 
orang-orang itu bergegas mengikuti arah 
yang diambil empat orang gagah tadi.
***
Panji atau yang dikenal berjuluk

Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya 
lambat-lambat Kepalanya tertunduk 
memandangi batu-batu kerikil yang ter-
gilas kakinya. Wajah pemuda tampan itu 
terlihat murung. Rupanya ada persoalan 
yang mengganggu pikirannya.
"Hhh...," terdengar helaan napas 
berat mewakili perasaan pemuda itu. 
Sebuah kerikil ditendangnya secara iseng. 
Batu, kecil itu melambung jauh diikuti
tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan. Para tokoh persilatan yang 
tak berdosa itu tewas hanya karena mereka 
tidak dapat memberitahu di mana adanya 
aku. Iblis itu benar-benar biadab sekali! 
Mengapa ia tidak mencariku saja? Mengapa 
ia harus menanyakannya kepada orang-orang 
yang memang betul-betul tidak mengeta-
huinya?" bermacam-macam perasaan terus 
berkecamuk dalam benaknya. Panji benar-
benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang 
diinginkan orang yang berjuluk Raja Iblis 
dari Utara itu. Dan mengapa pada saat ia 
muncul malah sebaliknya iblis itu tak 
pernah muncul? Baru kali inilah Panji 
merasa pikirannya benar-benar buntu!
Tiba-tiba Panji menghentikan 
langkahnya ketika pendengarannya yang 
tajam mendengar tangisan dan jerit orang 
minta tolong. Cepat pemuda itu menge-
darkan pandangannya untuk mencari sumber 
suara.

"Hm..., kalau mendengar dari suara 
gaungnya, pastilah teriakan itu berada 
dekat sebuah tebing. Kalau begitu, 
pastilah suara itu berasal dari sebuah 
lembah atau dari balik bukit." Berpikir 
demikian, tubuh pemuda itu segera melesat 
mencari tempat yang dimaksud.
Pendekar Naga Putih itu berkelebat 
cepat mengitari daerah sekitarnya. Namun 
hingga lelah mencari, ternyata apa yang 
diduganya tidak dijumpainya. Pemuda itu 
terpaksa menghentikan pencariannya.
"Ah, mungkin itu hanya suara angin 
saja. Atau aku yang salah dengar?" gumam 
Panji sambil mengerutkan kening. 
"Angin...? Ya, suara teriakan itu pasti 
terbawa angin!" Secepat kilat, Panji 
segera melesat mendaki sebuah anak bukit 
yang berada tidak jauh di depannya. Tak 
lama kemudian, tubuh pemuda itu sudah 
membungkuk di antara rimbunan semak-
semak.
Apa yang dilihatnya benar-benar 
membuat kening pemuda itu berkerut. Di 
atas puncak anak bukit itu ternyata 
terdapat sebuah perkampungan kecil. 
Beberapa buah rumah sederhana yang ter-
buat dari kayu dan beratap rumbia tampak 
menghias puncak anak bukit itu.
"Hm.... Perkampungan apa ini? 
Benarkah apa yang kudengar tadi berasal 
dari sini?" hari Panji mulai ragu-ragu

Tapi sebelum pemuda itu berpikir lebih 
jauh, tiba-tiba terdengar suara pertem-
puran yang diselingi suara bentakan dan 
jerit kematian. 
"Hup!"
Tanpa berpikir dua kali, Panji 
menggenjot tubuhnya hingga melambung ke 
sebuah pohon besar yang berdaun lebat. 
Merasa aman dan agak tersembunyi dari 
pandangan orang-orang di bawahnya, ia pun 
bergegas duduk di atas sebuah cabang 
pohon yang dirasa cukup kuat menahan 
bobot tubuhnya.
"Keempat orang gagah itu pastilah 
tidak akan sanggup menahan gempuran 
puluhan orang kasar yang mengeroyoknya. 
Heran, mengapa mereka begitu berani mati, 
memasuki tempat ini tanpa perhitungan?" 
gumam Panji tak habis pikir. Merasa bahwa 
keempat orang itu akan tewas apabila 
tidak cepat ditolong, Panji berniat 
melompat untuk menolong mereka.
"Jangan takut, Kawan-kawan! Kami 
datang membantu!"
Panji menahan gerakannya ketika 
mendengar suara itu. Delapan orang yang 
baru datang itu bergerak cepat memasuki 
kancah pertempuran. Dalam beberapa gebrak 
saja, keadaan telah berubah! Keempat 
orang gagah itu kini dapat menarik napas 
lega. Apalagi ketika mendapat kenyataan 
bahwa kepandaian delapan orang itu

ternyata rata-rata cukup tinggi.
“Terima kasih atas bantuan kalian, 
Sahabat!" teriak laki-laki setengah baya 
sambil mengayunkan pedangnya membacok 
seorang lawan yang seketika itu juga 
roboh mandi darah! Ternyata orang itu 
adalah Ki Karmapala. Orang-orang yang 
membantunya itu adalah orang-orang yang 
mengikutinya semenjak dari kedai.
"Ah! Tidak perlu sungkan-sungkan, 
Pendekar Pedang Sakti. Bukankah hal ini 
memang sudah menjadi kewajiban kita?" 
sahut salah seorang dari delapan laki-
laki gagah itu cepat.
Bret! Crak!
"Aaakh...!"
Dua orang laki-laki kasar terjungkal 
mandi darah akibat sambaran pedang orang 
yang berbicara kepada Ki Karmapala itu. 
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi orang 
itu kembali menggempur lawan-lawannya 
yang mulai berkurang banyak itu.
Panji yang duduk di atas dahan, diam-
diam merasa kagum akan sepak tenang kedua 
belas laki-laki gagah itu. Sambaran 
pedang mereka mantap dan terlatih baik. 
Beberapa waktu kemudian, para pengeroyok 
itu pun melarikan diri karena tak sanggup 
menahan amukan kedua belas orang itu.
Tiba-tiba sepasang mata Panji yang 
tajam menangkap sesosok bayangan yang 
melesat menuruni anak bukit. Sesosok

tubuh ramping tampak meronta-ronta dalam 
pondongannya. Rupanya salah seorang dari 
gerombolan itu berusaha menyelamatkan 
diri sambil membawa lari seorang gadis.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
Panji segera melayang turun mengejar 
orang itu. Bagaikan seekor burung camar 
yang bermain-main di antara deburan 
ombak, tubuh pemuda itu meliuk dan 
berputar beberapa kali di udara.
Tappp!
Pendekar Naga Putih mendaratkan 
kakinya ke tanah berbatu menghadang lari 
orang itu. Sepasang matanya mencorong 
tajam menerbangkan semangat orang itu.
"Sssi... siapa kau...?" tanya laki-
laki berwajah kusam itu agak bergetar. 
Rupanya ia begitu terkejut melihat 
kehadiran Panji yang tahu-tahu sudah
berdiri di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku bukanlah hal yang 
penting. Lepaskan gadis itu! Dan kau 
boleh pergi!" sahut Panji penuh ancaman.
"Anak Muda! Wanita ini adalah 
istriku. Apakah kau ingin mencampuri 
urusan rumah tangga ku?" laki-laki 
berwajah kusam itu rupanya sudah 
mendapatkan ketenangannya kembali. Kata-
kata yang dilontarkannya sempat membuat 
Panji kaget.
"Eh...?!" untuk beberapa saat 
lamanya, Panji hanya berdiri termangu. Ia

benar-benar tak menyangka akan mendapat 
pertanyaan seperti itu. Sesaat kemudian, 
kepala pemuda itu kembali terangkat. 
Rupanya ia tidak ingin dibohongi mentah-
mentah. "Kalau memang benar begitu, 
turunkan perempuan itu. Biar kutanyakan 
sendiri kepadanya."
"Bangsat! Rupanya kau memang peng-
ganggu rumah tangga orang! Nah, terimalah 
ini! Hih...!" setelah melontarkan makian 
yang membuat wajah pemuda itu memerah, 
laki-laki itu bergerak cepat menusukkan 
pedangnya ke perut Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak 
jelas. Pada saat serangan itu tiba, tubuh 
pemuda itu melenting sambil mengulur 
kedua tangannya merebut wanita dari 
pondongan laki-laki berwajah kusam itu.
Tubuh Panji terus melayang hingga 
beberapa tombak jauhnya. Kakinya menjejak 
tanah secara indah. Tangannya lalu 
bergerak membebaskan totokan pada 
perempuan itu.
“Terima kasih, Kisanak. Aku bukanlah 
istri laki-laki biadab itu. Aku adalah 
salah seorang dari sekian banyak gadis 
desa yang diculiknya. Bunuh saja laki-
laki jahanam itu, Kisanak. Dia... dia 
jahat dan kejam!" begitu terbebas dari 
totokan, wanita itu cepat menerangkan. 
Tadi dia hanya dapat mendengar tanpa 
mampu berbicara karena laki-laki berwajah

kusam itu telah menotok urat dagunya.
"Hm..., masih mau mengatakan 
perempuan ini sebagai istrimu?" tanya 
Panji tersenyum mengejek. Hati pemuda itu 
lega begitu mendengar keterangan yang 
diberikan perempuan itu. Meskipun ia 
sudah menduganya sejak semula, namun 
sebelum mendapat kepastian tetap saja ia 
masih meragukannya.
"Keparat busuk! Kucincang tubuh-
mu...!" laki-laki berwajah kusam itu 
kembali melompat sambil menyabetkan 
senjatanya ke leher pemuda itu.
Panji hanya menggeser kaki kanannya 
ke belakang yang disertai kelitan 
tubuhnya, dan pedang itu pun mengenai 
tempat kosong. Lawannya bergerak sigap 
menarik kembali senjatanya sambil mele-
paskan dua buah tendangan susul menyusul.
Tendangan pertama dielakkan secara 
mudah. Dan ketika tendangan kedua tiba, 
Panji menggerakkan tangannya mengangkat 
kaki lawan. Sehingga....
Buk!
"Uhhh...!"
Laki-laki itu terbanting keras di 
tanah yang dipenuhi batu-batu yang 
bertonjolan. Wajahnya meringis menahan
sakit akibat membentur batu-batu yang 
bertonjolan itu. Sesaat kemudian, tubuh-
nya melenting berdiri dan langsung 
menyabetkan kembali senjatanya

Kali ini tangan Panji bergerak cepat. 
Bagaikan seekor ular hidup, tangan pemuda 
itu meliuk dan menangkap pergelangan 
tangan lawan. Laki-laki itu menjerit 
kesakitan ketika Panji mengerahkan tena-
ganya meremas pergelangan orang itu. 
Begitu pedangnya terlepas, tangan Panji 
langsung bergerak menusuk lambung 
menggunakan jari-jari terbuka.
"Hughk...!"
Orang itu mengeluh tertahan. Kedua 
kakinya sampai terlompat ketika tusukan 
jari-jari tangan Panji menghunjam lam-
bungnya. Darah segar meleleh dari sela-
sela bibirnya. Untunglah Panji tidak 
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya 
sehingga orang itu tidak sampai tewas. 
Tubuh orang itu hanya menggelepar-gelepar 
menahan sakit yang tak terkira pada 
lambungnya.
"Pergilah, sebelum aku berubah 
pikiran!" ancam Panji sambil menendang 
tubuh orang itu hingga terguling-guling. 
Sambil menahan rasa sakit, orang itu 
berlari tertatih-tatih meninggalkan 
tempat itu. Belum lagi laki-laki berwajah 
kusam itu berlari jauh, tiba-tiba sesosok 
bayangan melesat dari sebelah kirinya. 
Sosok tadi langsung mengayunkan goloknya 
membabat leher laki-laki berwajah kusam 
tadi.
Crak!

Darah memancur dari luka di lehernya. 
Sedangkan kepala orang itu telah 
menggelinding entah ke mana. Laki-laki 
berwajah kusam itu tewas tanpa sempat 
berteriak lagi.
"Orang seperti dia tidak patut 
mendapat ampunan, Kisanak! Kematian 
adalah Balasan yang paling setimpal 
untuknya," ujar sosok bertubuh sedang 
sambil melangkah menghampiri Panji yang 
hanya berdiri terpaku. 
Kemunculan laki-laki setengah baya 
bertubuh sedang itu disusul beberapa 
orang laki-laki gagah. Dua belas orang 
laki-laki gagah itu meneliti Panji dari 
ujung rambut hingga ke ujung kakinya. 
Sesaat kemudian, dua belas orang laki-
laki gagah itu berseru tertahan.
"Anak Muda. Apakah kau yang berjuluk 
Pendekar Naga Putih?" tanya laki-laki 
setengah baya yang ternyata adalah Ki 
Karmapala. Serentak kaki orang tua itu 
melangkah mundur. Sedang pedang di 
tangannya yang masih berlumuran darah itu 
tampak bergetar.
Gerakan mundur yang dilakukan Ki 
Karmapala diikuti oleh sebelas kawannya. 
Jari-jari tangan mereka meraba gagang 
senjata masing-masing. Jelas sekali kalau 
mereka telah bersiap-siap menghadapi 
sebuah pertarungan.
"Benar, Paman. Orang rimba persilatan

menjuluki aku Pendekar Naga Putih," jawab 
Panji yang mulai meraba sikap yang 
diperlihatkan kedua belas orang laki-laki 
gagah yang dikaguminya itu.
Ki Karmapala kembali meneliti mulai 
dari ikat kepala, pakaian dan juga pedang 
yang melilit pinggang pemuda itu.
"Hm..., tidak salah lagi! Pemuda 
inilah yang kita cari-cari!" ujar Ki 
Karmapala sambil menolehkan kepalanya ke 
arah kawan kawannya.
"Ada apakah sebenarnya, Paman?" Panji 
yang sudah melihat gelagat tidak baik 
yang diperlihatkan laki-laki gagah itu, 
bersiap meninggalkan tempat itu. Pengala-
mannya pada beberapa hari yang lalu telah 
membuatnya curiga. Memang, beberapa hari 
yang lalu dirinya pernah dikeroyok 
belasan orang tokoh persilatan golongan 
putih yang hendak menyerahkan dirinya 
kepada Raja Iblis dari Utara. Pemuda ini 
heran sekali mengapa para tokoh rimba 
persilatan golongan putih kini malah 
berbalik memusuhinya.
"Hm..., Pendekar Naga Putih. Karena 
ulahmu dunia persilatan menjadi kacau. 
Lebih baik sekarang kau menyerah secara 
baik-baik! Kau akan kami serahkan kepada 
Raja Iblis dari Utara. Ingat! Bila kau 
menolak, kami tidak segan-segan bertindak 
keras padamu!" ancam Ki Karmapala 
mengingatkan.

"Baik! Aku menyerah. Tapi aku tidak 
ingin diperlakukan seperti seorang 
tawanan. Bagaimana?" sahut Panji yang 
tidak ingin bentrok dengan dua belas 
orang laki-laki gagah itu.
"Tidak bisa! Kami harus menotok dan 
mengikat seluruh tubuhmu. Barulah kami 
dapat membawamu," Ki Karmapala tidak 
menyetujui usul yang diajukan Panji.
"Ki, bukankah pendekar muda itu sudah 
mengalah. Sudahlah, kita bawa saja dia 
sekarang ke tempat iblis itu," tiba-tiba 
Ranjalu berbisik di telinga laki-laki 
setengah baya itu. Rupanya Ranjalu tidak 
menyukai cara yang ditempuh Ki Karmapala. 
Oleh karena itu dia berusaha agar Ki 
Karmapala menerima usul Panji.
"Tidak, Adi Ranjalu. Kalau kita tidak 
melumpuhkannya terlebih dahulu, bagaimana 
kita dapat menjamin kalau dia tidak akan 
melarikan diri?" jawab Ki Karmapala tak 
mau kalah. Ranjalu tidak menjawab. Ia
tidak dapat menyangkal ucapan itu.
"Aku bukan seorang pengecut, Paman. 
Aku berjanji tidak akan melarikan diri 
seperti yang Paman kira," tersinggung 
juga hari pemuda itu melihat sikap yang 
ditunjukkan Ki Karmapala.
“Tidak! Kami tetap akan membawamu 
dalam keadaan terikat dan tertotok 
lumpuh! Kalau tidak, lebih baik kami 
membawa mayatmu saja untuk kami serahkan

kepada Raja Iblis dari Utara!" Ki 
Karmapala tetap kukuh pada pendiriannya.


LIMA


Sesabar-sabarnya hati orang, pastilah 
ada batasnya. Sikap yang ditunjukkan Ki 
Karmapala benar-benar membangkitkan 
amarah Pendekar Naga Putih. Sepasang 
matanya berkilat-kilat mencerminkan pera-
saan hatinya yang mulai dilanda 
kemarahan.
"Kau terlalu mendesakku, Orang Tua!" 
Panji tidak lagi menggunakan istilah 
paman kepada Ki Karmapala. Meskipun 
kesadaran masih menguasai pikirannya, na-
mun sikap hormatnya kepada orang tua itu 
sudah hilang.
"Nah, kalian lihatlah! Betapa 
sombongnya pendekar muda ini. Ayo, kita 
tangkap dia! Lihat serangan...!" sambil 
berkata demikian, Ki Karmapala yang 
berjuluk Pendekar Pedang Sakti menerjang 
ke arah Panji. Angin pedangnya berdesing 
tajam menandakan kalau orang tua itu 
tidak main-main dalam serangannya.
Sebelas orang lainnya segera 
mengurung Panji. Sesaat kemudian di 
tangan mereka telah tergenggam senjata 
masing-masing.
Panji melompat ke kiri menghindari

serangan maut yang dilancarkan Ki 
Karmapala. Baru saja kakinya menyentuh 
tanah, tiba-tiba suara mengaung tajam 
telah mengancam tubuhnya. Cepat-cepat 
Panji meliukkan tubuhnya menggunakan 
kuda-kuda serendah mungkin. Pada saat 
pedang di tangan lawan lewat di atas 
kepalanya, tubuh Panji bersalto ke 
belakang sejauh tiga tombak. Rupanya 
pemuda itu masih sungkan untuk membalas 
serangan-serangan lawannya.
"Rupanya kau memang lebih suka 
kekerasan, pendekar sombong!" seru 
Pendekar Pedang Sakti mengejek. Seperti-
nya laki-laki setengah baya itu merasa 
benci sekali kepada Pendekar Naga Putih. 
Tak mengherankan jika serangan-serangan-
nya pun demikian ganas dan mematikan. 
Kali ini pedangnya diputar sedemikian 
rupa hingga membentuk gulungan-gulungan 
sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Pendekar Naga Putih masih terus 
mengelak tanpa berusaha untuk membalas. 
Wajar saja kalau dalam beberapa jurus 
pemuda itu sudah terdesak hebat! Dua 
belas orang pendekar itu rupanya memang 
benar-benar menginginkan kematiannya. 
Mereka tidak tanggung-tanggung lagi dalam 
melancarkan serangan.
Dua puluh jurus sudah Panji berusaha 
mati-matian menghindari serangan dua 
belas mata pedang itu. Namun sampai

sejauh itu belum satu pun pedang lawan 
yang berhasil menyentuh kulitnya. Gerakan 
Panji yang meliuk-liuk bagaikan seekor 
naga sakti yang tengah bermain di 
angkasa, membuat lawan-lawannya semakin 
penasaran! 
"Hiaaat...!"
Ki Karmapala yang sudah dipengaruhi 
rasa penasaran dan kemarahan, semakin 
memperhebat serangannya. Pedangnya 
berkelebat bagaikan sambaran-sambaran 
kilat di angkasa. Bahkan beberapa kali 
mata pedangnya hampir menyentuh tubuh 
Pendekar Naga Putin. Hal itu membuat 
orang tua itu semakin bernafsu.
Ranjalu, Guntara, dan sembilan orang 
lainnya pun tak mau kalah. Sinar-sinar 
pedang mereka berkilatan menimbulkan 
angin berkesiutan yang menyambar-nyambar 
ganas. Pedang-pedang mereka tak ubahnya 
seperti tangan-tangan malaikat maut yang 
siap mencabut nyawa Panji setiap saat.
Bret!
"Akh...!"
Sebuah tusukan pedang lawan hampir 
melukai tubuh Panji. Untunglah serangan 
itu sempat dielakkan, sehingga ujung 
senjata itu hanya merobek baju pada 
bagian lambungnya. Pemuda itu melenting 
ke udara dan bersalto beberapa kali 
menjauhi lawan-lawannya.
"Berhenti!" teriak Panji keras


Suaranya menggelegar bagai ledakan petir 
di angkasa. Sepasang bola mata anak muda 
itu mencorong tajam, hingga sempat 
membuat lawan-lawannya tergetar mundur. 
Luar biasa sekali perbawa yang keluar 
dari sepasang matanya. "Jangan paksa aku 
melakukan kekerasan!" ancam Panji 
meskipun dirinya masih tetap berada dalam 
kepungan dua belas orang laki-laki gagah 
itu.
Pendekar Naga Putih mengedarkan 
pandangannya bagaikan mata seekor naga 
yang sedang marah! Beberapa saat lamanya 
kedua belas orang itu saling berpandangan 
ragu. Mereka memang harus mengakui 
kelihaian pemuda itu. Sampai sekian jauh 
mereka melancarkan serangan-serangan yang 
mematikan, namun hanya berhasil merobek 
baju pemuda itu. Padahal Pendekar Naga 
Putih sama sekali belum membalas serangan 
mereka. Diam-diam mereka merasa ngeri, 
kalau saja Panji membalas, dapat 
dipastikan mereka tidak mungkin dapat 
bertahan lebih dari dua puluh jurus.
"Jadi kau menyerah, Pendekar Naga 
Putih?" tanya Guntara yang tubuhnya 
menjadi panas dingin ketika tatapan Panji 
terarah padanya.
"Tidak! Aku hanya tidak ingin kalian 
menyerangku lagi. Tunjukkan padaku 
kediaman Raja Iblis dari Utara. Biar aku 
sendiri yang akan mendatanginya," sahut

Panji tanpa melepaskan kewaspadaannya.
"Huh! Tidak bisa, pendekar sombong! 
Ayo, kawan-kawan. Tunggu apa lagi? 
Serang...!" teriak Ki Karmapala langsung 
melesat membabatkan pedangnya.
Begitu melihat Pendekar Pedang Sakti 
sudah menyerang, yang lain pun serentak 
mengikuti. Panji segera memusatkan 
perhatian menghadapi serangan tokoh-tokoh 
itu.
"Hm...!"
Pendekar Naga Putih menggeram murka. 
Sesaat kemudian dia mulai mengempos 
tenaga dalamnya. Tiupan angin dingin yang 
menusuk tulang sum-sum berhembus keras 
memenuhi daerah di sekitarnya. Tak lama 
kemudian, terdengar suara berkerotokan 
ketika 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' mulai 
mengalir deras melalui tangannya. Selapis 
kabut putih keperakan bersinar 
menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Heaaah...!"
Wusss...!
Blarrr!
Debu mengepul tinggi ketika pukulan 
jarak jauh yang dilontarkan Panji 
menghantam tanah berbatu. Untunglah empat 
pendekar yang tengah menerjangnya dari 
depan sempat menghindar. Kalau tidak, 
tubuh mereka tentu sudah bergelimpangan 
tanpa nyawa!
Setelah melepaskan pukulan itu, tubuh

Panji melambung ke atas dan berputar 
bagaikan gasing. Beberapa saat kemudian,
tubuhnya meluruk ke arah lawan-lawannya 
sambil melontarkan serangan.
Delapan laki-laki gagah itu berjum-
palitan sambil bergulingan menghina dari 
serangan Panji yang datang bagai air bah. 
Setelah berhasil menyelamatkan diri, 
mereka bergegas bangkit dan bersiap 
menghadapi Pendekar Naga Putih kembali.
"Hei, ke mana pemuda itu?" seru 
Ranjalu heran ketika tidak menemukan 
Panji di tempat itu. Ranjalu mengedarkan 
pandangan ke sekelilingnya. Namun, Panji 
benar-benar telah lenyap bagai ditelan 
bumi.
Rupanya pada saat-saat lawannya sibuk 
menghindari serangannya yang laksana 
angin topan tadi, diam-diam Panji 
langsung melesat meninggalkan arena 
pertarungan. Dia merasa tidak ada gunanya 
meladeni tokoh-tokoh persilatan yang 
sudah gelap mata itu. Satu-satunya jalan 
terbaik menurut pemuda itu adalah 
menghindari mereka.
"Benar-benar pemuda hebat! Seusia itu 
dia sudah mampu mengekang amarahnya. 
Benar-benar seorang pendekar sejati!" 
puji Ranjalu tulus.
"Huh! Dia tak lebih dari seorang 
pengecut bagi-ku!" tiba-tiba terdengar 
suara ketus penuh kebencian. Kata-kata

kasar itu terlontar dari mulut Ki 
Karmapala. Sepertinya dia tidak senang 
kawan-kawannya memuji-muji pendekar muda 
itu. Karena sesungguhnya laki-laki 
setengah baya ini adalah salah seorang 
pendekar yang telah menyimpang dan 
bergabung dengan Raja Iblis dari Utara. 
Itulah sebabnya mengapa ia begitu 
membenci Panji.
"Kukira, ia bukan takut menghadapi 
kita, Ki. Mungkin ia tidak ingin salah 
seorang di antara kita menjadi korban 
pukulannya," ujar Guntara mencoba memban-
tah ucapan Pendekar Pedang Sakti. Dalam 
hati kecilnya, ia menyetujui langkah yang 
diambil Pendekar Naga Putih.
"Ahhh, sudahlah! Lebih baik sekarang 
kita kejar pendekar pengecut itu, ayo!" 
sahut Ki Karmapala tak senang. Selesai 
berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu segera melesat mengejar Pendekar Naga 
Putih.
"Heran! Mengapa Ki Karmapala begitu 
membenci Pendekar Naga Putih?" desah 
Ranjalu tak habis mengerti.
"Entahlah, Kakang? Pasti ada 
sebabnya," sahut Guntara sambil menghela 
napas berat.
"Sudahlah. Lebih baik kita segera 
menyusulnya," usul yang lain sambil 
bersiap-siap hendak menyusul Pendekar 
Pedang Sakti.

"Eh, bagaimana dengan wanita-wanita 
yang diculik perampok itu? Apa tidak 
sebaiknya kita mengantarkan mereka kepada 
keluarganya terlebih dahulu?" tiba-tiba 
salah seorang di antaranya mengingatkan 
kalau pekerjaan mereka belum selesai.
"Hm..., mengapa kita sampai 
melupakannya? Kalau begitu kita berbagi 
tugas. Aku dan kedua orang saudaraku akan 
mengantarkan wanita-wanita desa itu. 
Sedangkan kalian menyusul Pendekar Pedang 
Sakti. Bagaimana?" Ranjalu mengusulkan.
"Kalau begitu, baiklah. Nah! Selamat 
berpisah, Sahabat. Mudah-mudahan kita 
dapat berjumpa lagi nanti," ujar Salah 
seorang menyetujui usul Ranjalu. Maka 
berpisahlah para tokoh persilatan itu 
dengan mengemban tugas masing-masing.
***
Panji terus berlari menghindari dua 
belas orang tokoh persilatan yang hendak 
menangkapnya. Dikerahkannya ilmu 'Lari 
Terbang di Atas Angin', sehingga tubuhnya 
hanya nampak bagaikan sebuah bayangan 
samar yang meluncur cepat melintasi 
keremangan hutan.
Setelah merasa yakin dirinya tidak 
akan terkejar, pemuda itu segera 
menghentikan larinya. Panji mengusap 
peluh yang membasahi keningnya dengan

punggung tangan. Belum lagi sempat 
menarik napas lega, tiba-tiba beberapa 
langkah kaki menuju ke arahnya. Secepat 
kilat pemuda itu melompat ke atas sebuah 
cabang pohon yang agak tinggi.
Dari tempat persembunyian, dilihatnya 
tujuh orang laki-laki gagah yang 
mengenakan pakaian warna-warni tengah 
melangkah tergesa-gesa. Gagang pedang 
yang menyembul di punggung orang-orang 
itu terhias ronce-ronce yang sama dengan 
warna pakaian mereka. Hiasan itu membuat 
penampilan ketujuh orang itu semakin 
gagah dan berwibawa.
Ketujuh orang laki-laki gagah itu 
ternyata adalah murid-murid Dewa Gunung 
Kebat. Rupanya dalam usaha mencari 
pembunuh guru mereka, tujuh orang pen-
dekar itu telah menemukan titik terang. 
Semua itu terungkap jelas dari pembi-
caraan mereka.
"Kakang, apakah kau yakin kalau 
kepala rampok itu tidak berbohong?" tanya 
adik seperguruan Bandawa yang bertubuh 
gemuk dan berwajah bulat. Sepertinya ia 
belum merasa yakin sepenuhnya atas 
penjelasan kepala rampok yang disebutnya 
tadi.
"Aku yakin, Adi Gumadi. Orang yang 
sudah tak berdaya seperti dia pastilah 
akan berkata jujur. Tokoh-tokoh sesat 
macam dia lebih mementingkan


keselamatannya sendiri daripada kese-
lamatan orang lain," jawab Bandawa 
meyakinkan adik seperguruannya yang 
bernama Gumadi itu.
"Kakang, menurutmu apakah tidak 
mungkin kalau Raja Iblis dari Utara 
mempunyai pengikut setia yang menjaga 
tempat tinggalnya?" adik seperguruannya 
yang lain latah bertanya.
"Kalau memang Raja Iblis dari Utara 
itu mempunyai pengikut, apakah kau merasa 
gentar, Adi?" ujar Bandawa balik 
bertanya. Sambil berkata demikian, wajah 
adik seperguruannya itu ditatapnya lekat-
lekat. Seolah-olah dia ingin mengetahui 
apa yang tergambar di wajah sang adik.
Merasa kalau Bandawa meragukan 
keberaniannya, orang itu membalas tatapan 
kakak seperguruannya itu. Seolah-olah 
ingin menunjukkan kalau ia sama sekali 
tidak merasa gentar. Tidak seperti dugaan 
kakak seperguruannya.
"Aku sama sekali tidak merasa gentar, 
Kakang. Hanya saja kalau Raja Iblis dari 
Utara itu mempunyai pengikut, kita harus 
lebih berhati-hati. Apabila dugaanku ini 
benar, maka kita tidak boleh memasuki 
tempat iblis itu secara terang-terangan," 
sahut adiknya tegas.
Mendengar penjelasan adiknya, Bandawa 
tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu orang 
itu. Nampaknya ia gembira mendengar

ucapan yang penuh semangat dan 
perhitungan itu.
"Hm.,., kita lihat saja nanti. Apakah 
kita harus datang secara terang-terangan 
atau secara sembunyi-sembunyi," ujar 
Bandawa sambil mengalihkan pandangannya 
memandang cakrawala.
"Kalau menurutku, lebih baik lata 
tantang saja si Raja Iblis dari Utara. 
Biasanya seorang datuk sesat seperti dia 
pasti terlalu sombong untuk melibatkan 
pengikutnya menghadapi kita. Nah, 
bukankah dengan demikian kita dapat 
tenang menghadapinya!" tiba-tiba salah 
seorang adik seperguruan Bandawa yang 
lain memberikan usulnya.
"Nah, itu baru suatu usul yang jitu!" 
sahut Bandawa sambil mengangguk-anggukkan 
kepalanya tanda setuju.
"Ya, aku setuju," seru Gumadi cepat, 
diikuti teriakan-teriakan yang sama dari 
saudara-saudaranya.
Panji yang ikut mendengar percakapan 
ketujuh orang pendekar itu berdebar 
hatinya. Betapa tidak! Ia yang selama 
beberapa hari ini berusaha mencari tempat 
kediaman si Raja Iblis dari Utara, belum 
juga berhasil. Kini malah tak disengaja 
ia mendengar pembicaraan tujuh orang 
pendekar yang hendak menyatroni kediaman 
iblis itu.
"Hm..., lebih baik mereka kuikuti

secara diam-diam," gumam Panji mengambil 
keputusan. Tadinya ia berniat untuk 
menampakkan dirinya di hadapan ketujuh 
orang itu. Tapi begitu ia mengenali siapa
mereka, pemuda itu segera mengurungkan 
niatnya. Dia mengenali ketujuh orang ini 
adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat yang 
berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra. 
Panji tidak menginginkan bentrok dengan 
mereka sebagaimana ia bentrok dengan 
pendekar-pendekar lain yang pernah 
ditemui sebelumnya. Itulah sebabnya 
mengapa ia mengambil keputusan untuk 
mengikuti mereka secara sembunyi-sembunyi 
saja.
Sementara itu, ketujuh orang pendekar 
itu semakin mempercepat langkah mereka. 
Bandawa yang mengenakan pakaian biru
cerah berada paling depan. Laki-laki itu 
tampaknya sudah mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya. Rupanya ia ingin 
cepat-cepat tiba di tempat tujuan.
Setelah beberapa waktu lamanya 
berlari, akhirnya mereka tiba di kaki 
sebuah bukit yang berdiri kokoh 
menyeramkan. Selimut kabut tebal tampak 
menutupi puncaknya. Pohon-pohon raksasa 
yang berdiri berjajar bagaikan barisan 
pengawal, membuat suasana bukit itu 
semakin angker dan menyeramkan.
"Hm..., benar-benar sebuah tempat 
yang sangat cocok untuk tempat tinggal

iblis biadab itu," gumam Gumadi sambil 
merayapi daerah sekitarnya penuh curiga
"Benar, ayo kita naik!" ajak Bandawa 
yang segera melesat mendaki lereng bukit 
yang dipenuhi pohon-pohon dan batu-batu 
besar. Gerakan laki-laki gagah itu sigap 
sekali, seolah-olah batu yang bertonjolan 
itu sama sekali tidak menyulitkannya.
Keenam orang adik seperguruannya pun 
melesat mengikuti Bandawa. Dalam waktu 
singkat, mereka sudah tiba di lapangan 
rumput yang agak luas. Beberapa pohon 
besar tampak mengelilingi sebuah bangunan 
kuno yang masih tampak tokoh dan kuat.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra segera 
menyelinap di antara batang-batang pohon 
besar yang terdapat di sekitar tempat 
itu. Sepasang bola mata Bandawa merayapi 
daerah sekitar bangunan itu penuh 
selidik. Setelah memastikan kalau di 
depan mereka tidak terdapat penjaga, 
Bandawa dan adik-adiknya bergegas keluar 
dari tempat persembunyiannya.
"Hei! Raja Iblis dari Utara! 
Keluarlah kau! Kami murid-murid Dewa 
Gunung Kebat menantangmu mengadu 
nyawa...!" Bandawa berteriak sambil 
mengerahkan tenaga dalamnya, suaranya 
bergaung memenuhi puncak bukit itu.
Saat-saat yang mencekam, berlalu 
penuh ketegangan. Ketujuh pendekar itu 
sudah mencabut pedangnya masing-masing.

Mereka sudah siap menghadapi segala 
kemungkinan yang bakal terjadi.
Setelah agak lama menanti namun belum 
juga ada jawaban, Bandawa kembali bersiap 
mengulang tantangannya. Tapi, sebelum 
Bandawa mengulang tantangannya, tiba-tiba 
angin dingin bertiup keras disertai suara 
bergelak yang mengguncangkan isi dada 
mereka.
"Ha ha ha...! Ada tujuh ekor lalat 
datang hendak mengantar nyawa!" terdengar 
suara serak menggelegar menggetarkan 
puncak bukit. Rupanya Raja Iblis dari 
Utara sengaja mempertunjukkan tenaga 
dalamnya untuk menciutkan semangat lawan.
Panji yang bersembunyi di balik
semak-semak, merasa terkejut mendengar 
suara tawa Raja Iblis dari Utara. Dari 
suaranya saja sudah dapat diduga kalau 
orang yang berjuluk Raja Iblis dari Utara 
itu tentu memiliki tenaga dalam yang 
sukar diukur. Diam-diam ia 
mengkhawatirkan keselamatan tujuh laki-
laki gagah itu. Bahkan ia sendiri pun 
meragukan kemampuannya bila harus 
menandingi kekuatan tenaga dalam iblis 
itu. Panji kembali mengalihkan panda-
ngannya ke arah bangunan itu ketika 
dirasakannya tiupan angin yang semakin 
keras.
Sesosok tubuh tinggi besar berperut 
gendut, melesat melampaui tembok bangunam

itu. Gerakannya ringan sekali. Seolah-
olah melompati tembok tinggi itu bukan 
merupakan pekerjaan yang sulit baginya.
Jleg!
Bumi di sekitar puncak bukit itu 
bergetar ketika Raja Iblis dari Utara 
dengan sengaja menjejakkan kakinya kuat-
kuat ke tanah. Beberapa batang pohon yang 
berada di sekitarnya bergetar, bahkan 
beberapa daunnya berguguran. Rupanya 
kakek tinggi besar yang menyeramkan itu 
kembali ingin mempertunjukkan kekuatan 
tenaga dalamnya.
Bandawa dan adik-adik seperguruannya 
bergerak mundur sambil mengerahkan tenaga 
dalamnya ketika merasakan sambaran angin 
keras mendorong tubuh mereka ke belakang. 
Diam-diam mereka merasa kagum menyaksikan 
kekuatan yang dipertunjukkan si kakek.
"Hm..., pantas saja kalau Guru sampai 
tewas di tangan iblis ini. Rupanya 
kepandaian yang dimilikinya sudah hampir 
mencapai taraf kesempurnaan," gumam 
Bandawa kepada dirinya sendiri. Kecemasan 
mulai membayang pada wajahnya. Namun 
Bandawa berusaha untuk menyembunyikannya. 
Ia tidak ingin mematahkan semangat adik-
adik seperguruannya.
"Ha ha ha...! Kalian tentulah yang 
berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra. 
Jadi kalian ingin menuntut balas atas 
kematian guru kalian? Ha ha ha...!

Seharusnya kalian mencari Pendekar Naga 
Putih untuk minta pertanggungjawabannya 
atas kematian guru kalian. Bukan padaku!" 
seru Raja Iblis dari Utara sambil tertawa 
bergelak.
Tentu saja Panji terkejut di tempat 
persembunyiannya. Hampir saja ia tidak 
dapat menahan dirinya. Dia bermaksud 
keluar dari tempat persembunyiannya untuk 
meminta penjelasan dari Raja Iblis dari 
Utara. Tapi untunglah jawaban orang 
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra 
itu telah menahan langkah kakinya yang
sudah siap bergerak maju.
"Ha ha ha..., jangan coba mengadu 
domba, Raja Iblis dari Utara! Meskipun 
kau mengatakan Pendekar Naga Putih yang 
bertanggung jawab atas kematian guru 
kami, tapi kami tahu kalau semua itu 
hanyalah siasat busukmu saja. Bukankah 
kau ingin agar pendekar muda itu dimusuhi 
tokoh-tokoh golongan putih?! Kami 
tidaklah sebodoh yang kau duga, kakek 
buruk!" jawab Bandawa yang membuat Raja 
Iblis dari Utara menjadi terdiam beberapa 
saat. Kakek iblis itu sama sekali tidak 
menyangka akan mendapat jawaban seperti 
itu. Hal ini membuat kemarahannya bangkit 
seketika.
"Hm..., kalau begitu mengapa kalian 
tidak segera bertindak? Apakah kalian 
hanya pandai bicara saja?" Raja Iblis

dari Utara yang masih penasaran, kembali 
melontarkan ejekan yang memanaskan perut.
"Ayo, Kakang. Tunggu apa lagi?" ajak 
Gumadi. Setelah berkata demikian, 
langsung saja disiapkannya sebuah 
serangan.
"Jangan gegabah, Adi Gumadi! Ingat! 
Tidak boleh ada seorang pun yang boleh 
maju kecuali atas perintahku, mengerti! 
Nah, sekarang marilah kita bersiap-siap 
membentuk barisan ilmu Tujuh Pedang 
Membelah Samudra'," perintah Bandawa 
kepada adik-adik seperguruannya. Setelah 
berkata demikian, murid tertua Dewa 
Gunung Kebat itu segera mengambil posisi
sebagaimana yang telah mereka latih 
bersama
Melihat kakak seperguruannya sudah 
mengambil posisinya, maka yang lain 
segera bergerak membentuk lingkaran 
mengurung Raja Iblis dari Utara yang 
hanya tertawa-tawa saja.

ENAM


"Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara 
tertawa terbahak-bahak ketika tujuh orang 
pendekar mengurungnya. Kepandaian yang 
dimilikinya membuat kakek iblis itu 
menganggap enteng lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Bandawa berteriak nyaring sebagai

isyarat kepada saudara-saudara sepergi-
ruannya untuk memulai serangan. Orang 
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra 
itu melesat diiringi ayunan pedangnya 
yang menimbulkan suara berdesing nyaring. 
Senjatanya meluncur deras membabat lutut 
Raja Iblis dari Utara.
"Hm...!"
Wut!
Pedang Bandawa mengenai angin kosong 
ketika Raja Iblis dari Utara mengangkat 
kakinya. Begitu sambaran pedang itu 
lewat, kakek iblis itu langsung 
melepaskan tendangan kilat ke kepala 
lawan. Bandawa segera melemparkan 
tubuhnya menghindar ke samping.
Pada saat yang bersamaan, seorang 
adik seperguruan Bandawa menyabetkan 
pedangnya ke leher si Raja Iblis dari 
Utara. Kakek itu memiringkan kepalanya
sambil menundukkan, jari-jari tangannya 
mengancam tenggorokan orang itu. Untung-
lah orang itu segera mencondongkan 
tubuhnya ke belakang. Sehingga serangan 
itu hanya mengenai angin kosong.
Belum lagi Raja Iblis dari Utara 
sempat bernapas lega, serangan yang 
lainnya meluruk ke perutnya yang gendut.
Kakek itu cepat-cepat mengibaskan tangan-
nya menghalau serangan itu. Pada saat 
yang bersamaan, serangan dari belakang 
telah meluncur datang


"Bangsat!" Raja Iblis dari Utara 
mengumpat kasar. Ia yang semula terlalu 
memandang remeh lawan-lawannya, kini 
terpaksa harus kalang-kabut menghindari. 
Serangan Tujuh Pedang Pembelah Samudra 
yang bagai gelombang samudra itu benar-
benar telah membuatnya repot.
Raja Iblis dari Utara yang bernama 
asli Reksa Pati itu melempar tubuhnya ke 
belakang sambil mengatur kuda-kudanya. 
Wajahnya memerah karena amarahnya sudah 
bergejolak memenuhi rongga dadanya. 
Sambil menggeram marah, mulai dipersiap-
kan serangannya.
Sebenarnya kepandaian tujuh orang 
pendekar itu jauh di bawah kepandaian 
Raja Iblis dari Utara. Namun karena kakek 
iblis itu terlalu menganggap enteng la-
wannya, akhirnya dia sendirilah yang 
dibuat kelabakan. Padahal, kalau saja 
Reksa Pati bersikap tenang, belum tentu 
dia akan menjadi kerepotan seperti itu.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra kembali 
mengatur serangan sesuai dengan posisinya 
masing-masing. Serangan mereka pada 
gebrakan pertama tadi benar-benar telah 
membangkitkan rasa kepercayaan diri dan 
keberanian mereka.
"Hati-hati, jangan merasa bangga 
dulu. Iblis itu belum mengeluarkan 
seluruh kepandaiannya!" teriak Bandawa 
mengingatkan adik seperguruannya agar

kewaspadaan mereka tetap terjaga.
"Jangan khawatir, Kakang. Kami akan 
tetap waspada," sahut salah seorang adik 
seperguruannya.
"Hm...! Jangan merasa sombong dulu, 
lalat-lalat busuk! Sebentar lagi kalian 
akan segera merasakan kelihaian Raja 
Iblis dari Utara yang sesungguhnya!" ujar 
Reksa Pati geram. Sinar matanya mencorong 
tajam, penuh nafsu membunuh.
Dua orang adik seperguruan Bandawa 
tersentak mundur ketika tatapan Raja 
Iblis dari Utara menghunjam mereka. Tubuh 
dua orang itu bergetar sesaat bagaikan 
tersengat ratusan lebah berbisa.
"Pusatkan pikiran kalian! Jangan 
lihat matanya!" Bandawa memperingatkan 
dua orang adiknya. Untunglah keduanya 
cepat menundukkan kepalanya. Sesaat 
kemudian, mereka sudah terbebas dari 
pengaruh si Raja Iblis dari Utara. Kini 
keduanya kembali memusatkan perhatian
pada permainan ilmu 'Tujuh Pedang 
Membelah Samudra'. 
"Haaat...!"
Kali ini Gumadi membuka serangan 
lebih dulu.
Sinar pedangnya bergulung-gulung 
bagaikan deburan gelombang ombak di 
lautan. Sesekali ujung pedangnya 
menyambar mengancam tubuh lawan.
Pada saat yang hampir bersamaan,

saudara-saudaranya juga meluncur ke arah 
Raja Iblis dari Utara. Serangan mereka 
yang saling susul-menyusul dan sating 
melindungi itu memang merupakan sebuah 
gaya serangan yang membuat lemah 
pertahanan lawan.
"Ha ha ha...," Reksa Pati kembali 
bergelak. Kali ,ini rupanya ia sudah 
mempersiapkan diri untuk menghadapi 
gempuran ketujuh orang pendekar itu.
Wurrr! Werrr...!
Angin dingin bertiup keras ketika 
Raja Iblis dari Utara memutar-mutar kedua 
tangannya. Akibatnya daerah di sekitar 
arena pertarungan bagaikan dilanda angin 
topan. Pohon-pohon berderak ribut hendak 
tumbang. Batu-batu sebesar kepalan 
tangan, beterbangan bagai dilemparkan 
tangan-tangan yang tak kelihatan.
"Heaaah...!"
Raja Iblis dari Utara membentak 
menggelegar. Tiba-tiba tangan kanannya 
terulur ke arah Gumadi yang tengah 
meluncur ke arahnya. Serangkum angin 
tajam berdesir menyertai uluran tangan si 
kakek iblis. Benar-benar sebuah serangan 
maut!
Gumadi yang berlindung di balik 
gulungan sinar pedangnya, menjadi gugup. 
Di depannya secara tiba-tiba saja telah 
menanti beberapa pasang tangan yang 
tengah terulur ke arahnya. Segera disa


betkan pedangnya untuk menghalau puluhan 
tangan yang tiba-tiba berubah hendak 
mencengkeramnya. 
Wut! Wut!
Bukan main terkejutnya hati Gumadi 
ketika mendapat kenyataan tangan-tangan 
yang ditebasnya sama sekali tidak 
terputus. Apalagi sampai mengeluarkan 
darah! Pedangnya seolah-olah hanya 
menebas angin. Kini wajahnya mendadak 
menjadi pucat! Namun sebelum sempat 
dikuasai perasaannya, tahu-tahu tubuhnya 
bagaikan dihantam palu godam yang berat.
Desss!
"Ugh...!"
Tubuh Gumadi terlempar keras. Darah 
segar menyembur dari mulutnya hingga 
memercik ke mana-mana. Terdengar suara 
berdebuk keras ketika orang kedua dari 
Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu 
terbanting ke tanah. Gumadi berusaha 
untuk merangkak bangkit. Namun isi 
dadanya terasa remuk! Dia hanya dapat 
rebah sambil menyeringai menahan sakit.
Sesaat setelah tubuh Gumadi 
terpental, serangan yang lainnya telah 
tiba. Seberkas sinar yang bagaikan sebuah 
lorong, meluncur seolah-olah hendak 
menelan tubuh Raja Iblis dari Utara. 
Dalam lorong sinar pedang itu terdapat 
daya sedot yang cukup kuat, hingga 
mengibarkan baju kakek iblis itu.

"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara menggeram 
gusar. Secepat kilat kakek tinggi besar 
itu melempar kakinya ke atas seraya 
memutar tubuhnya setengah lingkaran. 
Selagi masih berada di udara, sepasang 
tangannya didorongkan ke depan. Sesaat 
kemudian telapak tangan itu sudah 
dikembangkan ke kiri dan kanan. Gerakan 
yang dilakukan kakek iblis itu cepat luar 
biasa sehingga mengaburkan pandangan 
lawannya. Hingga....
Plak! Buk!
"Aaakh...!"
Entah dengan cara bagaimana, tahu-
tahu saja sepasang telapak tangan Raja 
Iblis dari Utara telah menampar pelipis 
dan lambung lawan. Orang itu menjerit 
kesakitan. Tubuhnya terpental beberapa 
tombak ke belakang disertai darah segera 
yang muncrat dari mulutnya. Luka yang 
dialaminya lebih parah daripada Gumadi. 
Setelah berkelojotan sekejap, napas orang 
itu terlepas dari raganya dengan 
tengkorak kepala retak!
Melihat kejadian yang sama sekali di 
luar dugaannya itu, Bandawa cepat 
memerintahkan adik-adik seperguruannya 
mundur.
Gumadi yang semula masih mencoba 
untuk bangkit, tak lama kemudian juga 
tewas. Pukulan Raja Iblis dari Utara yang

mengenai dadanya, telah mematahkan 
tulang-tulang dadanya hingga menusuk 
jantung. Dalam segebrakan saja, ilmu 
'Perogoh Sukma' yang dimainkan Reksa Pati
telah menelan dua korban dalam waktu yang 
hampir bersamaan.
Bandawa berdiri pucat diapit empat 
orang adik seperguruannya. Sepasang 
matanya menyiratkan api dendam yang 
berkobar-kobar. Beberapa saat setelah 
dapat menenangkan hatinya, segera 
ditolehkan kepalanya ke arah adik-adik 
seperguruannya.
"Kalau ada di antara kalian yang 
ingin hidup, pergilah! Tinggalkan tempat 
celaka ini. Biar aku yang menghadapi 
iblis biadab ini," ujar Bandawa kepada 
empat orang adik seperguruannya yang 
masih tersisa. Suaranya terdengar parau 
dan tersendat. Sebenarnya ucapan Bandawa 
lebih tepat sebagai sebuah erangan 
daripada ucapan.
"Kakang! Apakah kau pikir kami ini 
adalah anjing-anjing pengecut! Tidak, 
Kakang. Kami lebih suka mari daripada 
hidup terhina!" jawab salah seorang adik 
seperguruannya yang disambut anggukan 
ketiga saudaranya.
"Kalau begitu, mari kita hadapi iblis 
ini bersama-sama!" ucap Bandawa sambil 
menggerakkan pedangnya. Tekadnya sudah 
bulat! Ia tak takut menghadapi maut!

Kali ini lima orang pendekar itu 
tidak lagi membentuk lingkaran untuk 
mengurung lawan. Dengan tewasnya dua 
orang saudara mereka, maka barisan 'Tujuh 
Pedang Membelah Samudra' tidak lagi dapat 
mereka mainkan. Kini mereka menyerang 
dengan mengandalkan jurus-jurus tunggal 
yang dimilikinya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara kembali 
menggeram. Wajahnya yang kemerahan 
semakin bertambah angker. Diiringi gelak 
tawanya, si kakek iblis itu melangkah 
maju mendekati lawan-lawannya. Kedua 
telapak tangannya yang terbuka, diputar-
putar di depan dada. Sesekali kedua 
telapak tangan yang terbuka itu 
mengembang ke kin dan kanan. 
"Hah...!"
Tiba-tiba kakek tinggi besar yang 
sudah haus darah itu melompat menerjang 
lima orang lawannya. Serangkum angin 
panas yang menyesakkan dada bertiup 
keras, hingga membuat kuda-kuda lima 
pendekar itu hampir goyah.
Kelima pendekar bergerak cepat 
memutar pedang masing-masing untuk 
melindungi tubuh mereka. Usaha mereka 
ternyata tidak sia-sia. Kini angin keras 
yang menyesakkan dada itu tak lagi mereka 
rasakan. Lalu bagaikan dikomando, kelima 
pendekar itu bergerak berbarengan sambil

mengayunkan pedangnya ke arah lawan.
Raja Iblis dan Utara yang hasrat 
membunuhnya sudah memuncak, tidak tinggal 
diam. Tubuhnya yang tinggi besar melompat 
memapak kelima batang pedang lawan. 
Selagi tubuhnya melayang di udara, kedua 
tangannya segera didorongkan ke depan 
dengan jari-jari terbuka
Belum lagi serangan Raja Iblis dan 
Utara tiba, sesosok bayangan putih 
melesat memapak dorongan telapak 
tangannya. Dan....
Blarrr! 
"Aaakh...!"
Baik tubuh Raja Iblis dari Utara 
maupun sosok bayangan putih itu sama-sama 
terlempar ke belakang. Suara menggelegar 
laksana ledakan petir, mengiringi 
benturan tadi. Tanah di sekitar arena 
pertarungan itu bagaikan diguncang gempa. 
Sungguh luar biasa akibat benturan dua 
gelombang tenaga dahsyat itu!
Bandawa dan empat orang kawannya 
sadar kalau mereka baru saja terlepas 
dari maut. Dengan wajah yang masih 
memucat, kelima orang itu menatap pemuda 
berpakaian putih yang tengah bertatapan 
dengan Raja Iblis dari Utara. Selapis 
kabut bersinar putih keperakan tampak 
menyelimuti sosok berpakaian putih itu.
"Pendekar Naga Putih...!" seru 
Bandawa dan empat orang adik

seperguruannya hampir bersamaan. Hati 
mereka merasa heran bercampur girang.
Sosok berpakaian serba putih itu 
memang Panji adanya. Tadinya pendekar 
muda ini tidak mau turun tangan membantu 
Bandawa dan adik-adik seperguruannya. 
Tapi melihat mereka terdesak, mau tak mau 
Panji tak bisa tinggal diam.
"Ha ha ha..., itukah 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' yang kau banggakan?" ujar 
Raja Iblis dari Utara penuh kagum. 
Sebagai seorang datuk persilatan yang 
berpengalaman, ia tahu kalau ilmu 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan' benar-benar sebuah 
ilmu yang langka. Ilmu yang jarang ada 
duanya di dunia persilatan. Dan kalau 
pemuda itu telah dapat menyempurnakannya, 
ia menjadi ragu kalau dapat 
menandinginya.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara. Kini 
aku sudah berada di hadapanmu. Marilah 
kita selesaikan urusan kita," ucap Panji 
dingin. Sama sekali tidak dipedulikan 
ucapan lawannya. Panji yang sempat 
tergetar akibat pertemuan tenaga dalam 
tadi, dapat meraba kalau tenaga sakti 
lawan tidak berada di bawahnya. Kenyataan 
ini membuat Pendekar Naga Putih semakin 
berhati-hati terhadap lawannya yang 
terkenal kejam itu. 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' terus bergolak melindungi dirinya.
"Ha ha ha..., jangan merasa takabur

dengan nama besarmu Pendekar Naga Putih. 
Orang lain boleh takut melihat ilmu-ilmu 
mukjizatmu. Tapi Raja Iblis dari Utara 
tidak gentar! Nama besarmu akan kuhapus 
dari dunia persilatan hari ini!" sahut 
Raja Iblis dari Utara seraya tertawa 
terbahak-bahak. Jelas sekali kalau kakek 
ini merasa yakin dapat menundukkan 
pendekar muda yang tersohor itu. Apa yang 
diucapkan Reksa Pati bukannya tidak 
beralasan. Di antara datuk-datuk kaum 
sesat pada masa itu, Raja Iblis dari 
Utara inilah yang memiliki kepandaian 
tertinggi.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak 
cepat bertindak, Raja Iblis dari Utara?" 
tanya Panji seraya tersenyum sabar. Dia 
tetap berusaha tenang. Kemarahannya 
ditekan agar tidak terpancing ucapan 
Reksa Pati.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah tidak 
sabar, Pendekar Naga Putih? Baiklah! 
Bersiaplah menahan beberapa jurusku!" 
setelah berkata demikian, Raja Iblis dari 
Utara menyilangkan kedua tangannya di 
depan dada. Jari-jarinya yang terbuka 
tampak bergetar ketika dialiri tenaga 
sakti.
Melihat lawannya sudah bersiap 
menyerang, Panji segera menyedot napas 
dalam-dalam. Tidak tanggung-tanggung 
lagi, pemuda itu telah mengerahkan

seluruh tenaga dalamnya. Dia sadar 
sepenuhnya kalau orang yang dihadapinya 
kali ini adalah seorang tokoh sesat yang 
maha sakti. Dia tidak ingin mendapat 
celaka akibat kelalaiannya. 
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus 
kasar. Kedua tangannya yang semula 
menyilang di depan dada, pelahan 
terangkat ke atas kepalanya. Kedua 
kakinya membentuk kuda-kuda.
"Heaaa...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, 
Reksa Pati meluncur ke arah Panji. Kedua 
kakinya diseret maju hingga meninggalkan 
guratan yang cukup dalam di tanah. 
Sepasang tangannya bergerak cepat mela-
kukan tamparan-tamparan yang menimbulkan 
suara mencicit tajam.
"Haaat...!"
Panji pun tidak ingin ketinggalan. 
Diiringi teriakan panjang, pemuda itu 
melesat menghampiri lawan. Jari-jari 
tangannya yang sudah membentuk cakar naga 
bergerak bersilangan. Suara berciutan 
membelah udara mengiringi gerakan 
tangannya.
Sesaat kemudian, kedua orang sakti 
itu sudah terlibat dalam sebuah 
pertempuran sengit! Reksa Pati dan Panji 
saling serang dengan ganasnya. Sambaran-
sambaran telapak tangan Raja Iblis dari

Utara menderu-deru mengancam tubuh Panji. 
Sesekali telapak tangan yang berisi 
tenaga dalam tinggi itu membentuk totokan 
yang mencicit dan mematuk-matuk buas. Mau 
tak mau Panji harus meningkatkan kewas-
padaannya kalau tidak ingin terpagut 
jari-jari tangan yang membawa hawa maut 
itu.
Cakar naga Panji pun tidak bisa 
dianggap remeh. Jari-jari tangannya yang 
sekeras baja berciutan di sekeliling 
tubuh lawannya. Reksa Pati mau tidak mau 
harus berhati-hati menghadapi serangan 
yang dilontarkan pemuda itu. Sekali saja 
ia lengah, maka cakar naga itu tidak akan 
segan-segan mengorek isi perutnya!
Pada jurus yang ketiga puluh satu, 
sebuah hantaman telapak tangan Reksa Pati
meluncur deras mengancam pelipis Panji. 
Kecepatannya yang melebihi sambaran kilat 
itu benar-benar membuat pemuda itu 
terkejut. Cepat-cepat tangannya bergerak 
memapak serangan tersebut. 
Plak!
"Uhhh...!"
Terdengar suara ledakan nyaring 
ketika telapak tangan yang berisi tenaga 
sakti tingkat tinggi itu bertemu di 
udara. Tubuh Panji terdorong mundur 
sampai dua tombak. Lengan kanannya yang 
digunakan untuk menangkis, terasa ngilu 
ke pangkalnya. Bergegas Panji menarik

napas dalam-dalam untuk menahan debaran 
dalam rongga dadanya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara 
tertawa bergelak-gelak penuh kegembiraan. 
Meskipun tubuhnya sempat terdorong juga, 
namun dia benar-benar merasa puas. Sudah 
belasan tahun ia tidak pernah menemukan 
tandingan yang memuaskan hatinya. Ter-
nyata baru beberapa bulan saja 
meninggalkan kediamannya di Utara, kakek 
ini telah dua kali menemui lawan yang 
benar-benar membuatnya gembira. Kedua 
orang itu adalah Dewa Gunung Kebat dan 
Pendekar Naga Putih yang kini berada di 
hadapannya.
"Ha ha ha..., aku tahu sekarang! 
Rupanya kau adalah murid si tua bangka 
Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir 
itu. Hebat.. hebat! Tak kusangka si tua 
bangka keparat itu mempunyai pewaris yang 
sangat berbakat" ucap Reksa Pati yang 
membuat Panji terkejut
"Hm..., dari mana kau dapat menerka 
begitu, Orang Tua?" tanya pemuda itu 
heran. Sepengetahuannya, selama bertahun-
tahun melakukan pengembaraan, baru kali 
inilah ada orang yang mengetahui kalau 
dirinya adalah murid Malaikat Petir.
"Ha ha ha..., tak perlu heran, Anak 
Muda. Dari dasar-dasar ilmu silatmu, aku 
sudah menduga kalau kau adalah pewaris 
ilmu si tua bangka itu. He! Di mana

sekarang gurumu bersembunyi?" bentak Raja 
Iblis dari Utara kasar.
"Hm..., apakah kau mencariku hanya 
untuk diajak bicara? Mengapa tidak 
dilanjutkan saja pertarungan kita?" sahut 
Panji yang tidak ingin membicarakan soal 
gurunya. Memang, Eyang Tirta Yasa 
berpesan agar ia tidak menceritakan 
perihal dirinya kepada siapa pun.
"Ha ha ha..., aku memang ingin 
melanjutkan pertarungan ini. Tapi tidak 
sekarang!" ujar Raja Iblis dari Utara 
yang membuat Panji dan lima orang 
pendekar lainnya tersentak kaget. Bagai-
mana mereka tidak menjadi kaget? Bukankah 
selama ini kakek itu melakukan pembu-
nuhan-pembunuhan hanya untuk mencari Pen-
dekar Naga Putih? Dan mengapa sekarang 
pada saat pendekar yang dicari-carinya 
itu berada di hadapannya, malah tidak
ingin dibunuhnya?
"Apa maksudmu, Raja Iblis dari 
Utara?" tanya Panji seraya mengerutkan 
dahi. Ia benar-benar tidak mengerti apa 
yang diinginkan kakek itu.
"Dengarlah baik-baik, Pendekar Naga 
Putih! Aku tidak puas kalau kematianmu 
tidak disaksikan oleh tokoh-tokoh 
persilatan dari segala penjuru. Nah, aku 
menantangmu untuk melanjutkan pertarungan 
kita pada bulan dua hari ketujuh di 
Lembah Biru. Sekarang kau dan lima ekor

lalat kotor itu boleh pergi! Ha ha 
ha...!" diiringi suara gelak tawa yang 
berkepanjangan, tubuh Raja Iblis dari 
Utara lenyap dari tempat itu.
Tinggal Panji termenung memikirkan 
ucapan Raja Iblis dari Utara tadi. Tapi 
sebuah tepukan pada bahunya telah 
menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. 
Kiranya orang itu adalah Bandawa, orang 
tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra 
yang baru saja diselamatkan Panji.
"Sudahlah, Kisanak. Kalau kakek iblis 
itu sudah membuat keputusan, siapa yang 
dapat menentangnya. Mari kita tinggalkan 
tempat ini," ajak Bandawa kepada Panji.
Dengan membawa mayat dua orang 
saudaranya, enam orang pendekar itu 
bergegas menuruni lereng bukit

TUJUH


Berita tentang pertarungan antara 
Raja Iblis dari Utara dan Pendekar Naga 
Putih cepat menyebar ke seluruh penjuru. 
Pertarungan yang akan berlangsung pada 
bulan dua hari ketujuh di Lembah Biru 
itu, benar-benar menggemparkan rimba 
persilatan!
Hampir seluruh tokoh-tokoh persilatan 
baik dari golongan putih maupun golongan 
hitam, berdatangan menuju Lembah Biru. 
Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang

sangat jarang terjadi pada masa itu. Di 
mana dua orang tokoh sakti dari aliran 
yang berbeda akan mempertunjukkan ilmu-
ilmu tingkat tinggi yang jarang ada 
duanya di dunia persilatan.
Boleh dikatakan, tidak ada seorang 
pun tokoh persilatan yang rela melewatkan 
kesempatan itu. Baik pendekar-pendekar 
ternama maupun orang-orang yang hanya 
memiliki ilmu pas-pasan. Semuanya ingin 
menimba pengalaman dari kedua tokoh sakti 
yang sudah pasti akan mengeluarkan ilmu-
ilmu tingginya.
Beberapa hari sebelum waktu yang 
ditentukan tiba, desa-desa yang berada di 
sekitar Lembah Biru sudah banyak 
dikunjungi orang.
"Wah...! Pertarungan itu pasti akan 
seru sekali. Ini benar-benar sebuah 
tontonan yang sangat menarik," ujar 
seorang berkepala botak kepada teman 
seperjalanannya. Wajah orang itu keli-
hatan berseri-seri. Sepertinya ia lupa 
bahwa pertarungan itu adalah sebuah 
pertarungan antara hidup dan mati.
''Tentu saja akan ramai dan seru! Eh, 
menurutmu siapakah yang akan menang?" 
tanya temannya juga gembira.
"Apakah kau ingin mengajak bertaruh?" 
tanya orang itu lagi. Rupanya orang 
berkepala botak itu termasuk orang yang 
gemar berjudi. Tak mengherankan kalau ia

selalu menggunakan setiap kesempatan atau 
apa saja untuk berjudi.
"Huh! Dasar otak judi!" bentak 
temannya yang mengenakan ikat kepala 
hitam sambil mencibir. "Eh, memangnya apa 
yang hendak kau pertaruhkan?" biarpun 
semula mencemooh, tapi akhirnya ia 
tertarik juga pada usul kawannya.
Salah seorang dari tiga laki-laki 
yang berjalan di belakangnya melangkah 
maju. Wajahnya yang bulat menjadi merah 
ketika mendengar perkataan kedua orang di 
depannya.
"Hei! Manusia pemadatan! Apakah tidak 
ada pikiran lain dalam otak kalian selain 
judi?" bentak laki-laki yang ternyata 
adalah Guntara sambil menuding ke arah 
dua laki-laki yang hendak bertaruh itu.
Tentu saja dua orang itu menjadi 
marah mendengar teguran Guntara yang 
terdengar kasar dan menyakitkan itu. 
Keduanya menggeram penuh kemarahan.
"He, muka bakpau! Apa pedulimu dengan 
urusan kami? Kalau kau tidak suka 
mendengarnya, ya sudah! Urus saja wajahmu 
yang seperti bakpau itu!" bentak orang 
yang berkepala botak tak mau kalah 
gertak. 
Sambil berkata demikian, tangannya 
meraba gagang golok yang tersembul di 
balik bajunya.
"Keparat! Kau kira aku takut melihat

golok dapurmu!" sahut Guntara yang merasa 
tersinggung karena digertak lawan 
bicaranya itu. Tangan kanannya tahu-tahu 
sudah terulur menjambret leher baju orang 
itu.
Krep!
"Hekh...!"
Entah karena gerakan tangan Guntara 
yang terlalu cepat, atau memang orang 
berkepala botak tidak memiliki kepan-
daian, tahu-tahu tubuh orang itu sudah 
terangkat. Sepasang tangan Guntara telah 
mencekik lehernya.
"Hm..., tikus busuk! Rupanya kau mau 
bertingkah di hadapanku!" geram Guntara 
yang sudah siap meremukkan batang leher 
orang berkepala botak itu.
"Adik Guntara, tahan!" tiba-tiba saja 
kakak seperguruannya yang bernama Ranjalu 
sudah berdiri di samping Guntara. Tangan 
Ranjalu segera mencekal tangan adik 
seperguruannya. "Sabarlah, jangan turuti 
emosimu."
Guntara berpaling sejenak memandang 
wajah kakak seperguruannya. Sinar matanya 
yang semula tajam, pelahan kembali 
lembut. Jari-jari tangannya mengendur. 
Tubuh orang berkepala botak itu lalu 
didorongnya hingga terjerembab di tanah.
"Hm..., kali ini kau kuampuni. Tapi 
ingat! Sekali lagi kau membicarakan soal 
perjudian di depanku, akan kuremukkan

batok kepalamu!" ancam Guntara bengis. 
Setelah berkata demikian, ia pun berlalu 
meninggalkan Ranjalu yang hanya memandang 
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tinggallah si botak dan kawannya 
terpaku dengan wajah pucat. Keduanya 
hanya dapat memandangi punggung ketiga 
tokoh persilatan yang telah melanjutkan 
perjalanannya.
"Untunglah orang itu dapat dijinakkan 
kawannya. Kalau tidak, kepala botakmu 
pasti sudah diremukkan orang galak itu," 
ujar kawan si botak seraya menarik napas 
lega.
"Ah, sudahlah!" sahut laki-laki yang 
berkepala botak sambil menggerakkan 
tangannya seperti orang mengusir lalat 
yang mengganggunya. Tanpa banyak cakap 
lagi, ia pun segera melanjutkan 
perjalanannya.
***
Tepat pada hari yang ditentukan Raja 
Iblis dari Utara, Lembah Biru telah 
dipenuhi tokoh-tokoh rimba persilatan 
dari berbagai aliran. Bahkan ada beberapa 
dl antara mereka yang memasang tenda-
tenda darurat.
Di tengah hamparan padang rumput yang 
cukup luas, tampak seorang pemuda tampan 
berpakaian serba putih tengah duduk

bersila. Rambutnya yang panjang, 
dibiarkan berkibaran tertiup angin sore. 
Kedua matanya terpejam rapat. Sepertinya 
ia tengah bersemadi.
Pemuda tampan itu tak lain adalah 
Panji atau lebih terkenal berjuluk 
Pendekar Naga Putih yang tengah menanti 
kehadiran Raja Iblis dari Utara. Pemuda 
itu telah datang lebih awal dari 
lawannya. Tekadnya sudah bulat untuk 
menghadapi pertarungan mati-matian demi 
menegakkan kebenaran.
Beberapa belas tombak di belakang 
Pendekar Naga Putih, tampak Ranjalu dan 
dua orang adik seperguruannya tengah 
memperhatikan pendekar muda itu. Tiga 
tokoh persilatan itu duduk di dahan pohon 
yang cukup besar. Lima tombak di samping 
kiri mereka, tampak Bandawa dan empat 
orang adik seperguruannya.
Selain kedelapan orang tokoh 
persilatan itu, masih terdapat puluhan 
tokoh persilatan lainnya. Rupanya tokoh-
tokoh golongan putih itu sengaja 
mengambil tempat di belakang Panji. 
Sepertinya tokoh-tokoh itu siap membantu 
pendekar muda itu apabila lawan bermain 
curang.
Sedangkan belasan tombak di depan 
Pendekar Naga Putih, tampak para tokoh 
golongan sesat. Puluhan tokoh sesat itu 
pun bergerombol memperhatikan Pendekar

Naga Putih yang tengah bersemadi.
Setelah beberapa saat lamanya para 
tokoh persilatan itu menanti dengan penuh 
ketegangan, tiba-tiba terdengar suara 
tawa yang menggema ke seluruh lembah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa yang berkepanjangan dan 
mengandung tenaga dalam yang sangat 
tinggi itu, terus bergema hingga 
menimbulkan ketegangan di hati para tokoh 
rimba persilatan yang berkumpul di tempat 
itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya 
keadaan di sekitar Lembah Biru terasa 
mencekam.
Belum lagi gema suara tawa itu 
lenyap, tampak sesosok tubuh tinggi besar 
berkelebat diiringi hawa dingin menusuk. 
Tokoh tinggi besar itu berhenti agak jauh 
dari tempat Panji bersemadi. Sengaja 
dijejakkan kakinya kuat-kuat hingga 
menimbulkan getaran yang membuat tanah di 
sekitarnya bagai dilanda gempa.
"Raja Iblis dari Utara...!" beberapa 
tokoh golongan putih di belakang Panji, 
berbisik gentar. Wajah mereka mendadak 
pucat. Cepat-cepat mereka mengerahkan 
tenaga dalam untuk meredam isi dada yang 
terguncang akibat hentakan kaki Raja 
Iblis dari Utara itu.
Hal yang sama juga dialami para tokoh 
golongan sesat. Namun tak lama kemudian 
wajah mereka berubah berseri-seri

menyambut kehadiran datuk mereka.
Lain halnya dengan Panji. Begitu 
didengarnya suara tawa iblis itu, 
tubuhnya segera melompat bangkit. Dengan 
sedikit mengerahkan tenaga sakti, ia 
tidak terpengaruh oleh pertunjukan tenaga 
dalam si Raja Iblis dari Utara tadi.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah 
datang lebih dulu dariku, Pendekar Naga 
Putih!" ujar Raja Iblis dari Utara seraya 
bergelak.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak 
jelas. Sama sekali tidak ditanggapi 
ucapan calon lawannya. Hanya sepasang 
matanya saja yang mencorong tajam menatap 
lekat wajah kakek iblis itu.
Raja Iblis dari Utara kembali 
bergelak. Sama sekali tidak dipedulikan, 
apakah ucapannya dijawab atau tidak. 
Tanpa mempedulikan Pendekar Naga Putih 
yang berdiri beberapa tombak di 
hadapannya, diedarkan pandangannya ke 
sekitar tempat itu.
"Ha ha ha..., sudah banyak juga 
tokoh-tokoh yang hadir di tempat ini. 
Rupanya mereka tertarik ingin menyaksikan 
bagaimana pendekar yang mereka banggakan 
jatuh di bawah telapak kaki Raja Iblis 
dari Utara," ujar Reksa Pati, sengaja 
mengerahkan tenaga dalam agar suaranya 
dapat didengar oleh semua yang hadir di 
situ.

"Hm..., Raja Iblis dari Utara! Apakah 
kedatanganmu kemari hanya untuk 
berkhotbah!" Panji yang sudah merasa tak 
sabar itu menegur lawannya.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Hari 
ini kematian pasti akan segera 
menjemputmu. Nikmatilah dulu keindahan 
Lembah Biru ini, agar kau dapat lebih te-
nang apabila harus meninggalkannya 
nanti," sahut Raja Iblis dari Utara yang 
sama sekali tidak terpengaruh ejekan 
pemuda itu. "Hm..., kalau kau memang 
sudah tak sabar, tak apalah! Hayo kita 
mulai!"
"Baiklah! Lihat serangan...!" seru 
Panji yang segera melesat, melancarkan 
sebuah serangan yang menimbulkan suara 
mencicit tajam. Angin dingin berhembus 
keras hingga terasa sampai ke tulang sum-
sum. 
Wut! 
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus kasar 
seraya memiringkan tubuhnya ke kiri 
hingga serangan Panji luput. Begitu 
serangan Pendekar Naga Putih itu lewat, 
secepat kilat kakinya mencelat menghantam 
lambung lawannya.
Wuttt!
Dukkk!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur hingga

beberapa tombak ke belakang. Panji 
meringis menahan sakit pada lengannya. 
Meskipun berhasil ditangkisnya tendangan 
lawan, namun tulang lengannya terasa 
nyeri dan linu. Cepat-cepat dikempos 
seluruh tenaga saktinya untuk mengurangi 
rasa sakit di lengannya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara, 
meskipun sempat terjajar mundur akibat 
tangkisan lawannya, namun dia sama sekali 
tidak menderita rasa nyeri. Dari sini 
sudah dapat disimpulkan kalau tenaga 
dalam Reksa Pati masih lebih unggul 
dibanding Pendekar Naga Putih. Pantaslah 
kalau Raja Iblis dari Utara itu merasa 
yakin dapat menundukkan lawannya.
"Ha ha ha..., bersiaplah, Pendekar 
Naga Putih! Sebentar lagi malaikat maut 
datang menjemputmu!" ejek Raja Iblis dari 
Utara sombong.
Panji sama sekali tidak mempedulikan 
ucapan lawannya. Pemuda itu bergegas 
mempersiapkan ilmu 'Naga Sakti'nya. 
Selapis kabut bersinar putih keperakan 
berpendar-pendar mengelilingi sekujur 
tubuhnya. Angin dingin semakin keras 
menyebar hingga beberapa tombak di 
sekitar arena pertarungan.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah 
melesat sambil melancarkan ilmu pukulan 
'Perogoh Sukma'. Kedua tangannya
berputaran hingga menimbulkan deruan

angin keras. Sepasang tangannya terus 
diputar-putar hingga terlihat menjadi 
berpuluh-puluh pasang banyaknya.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang dilontarkan 
Raja Iblis dari Utara luput! Orang lain 
boleh tertipu pandangannya oleh kecepatan 
tangan kakek tinggi besar itu. Tapi tidak 
bagi Panji! Matanya yang telah terlatih 
baik, mampu membedakan mana tangan yang 
asli dan mana yang hanya tipuan.
Reksa Pati cepat menarik pulang kedua 
lengannya. Tapi sebelum sempat membangun 
serangan kembali, tangan kanan Panji yang 
membentuk cakar naga sudah terulur ke 
wajahnya. Serangkum angin dingin lebih 
dulu menyambar. Reksa Pati merasakan 
wajahnya bagai dibenamkan dalam timbunan 
salju.
Namun, Raja Iblis dari Utara bukanlah 
tokoh kemarin sore. Hawa dingin yang 
dapat membekukan wajahnya itu seketika 
buyar hanya dengan memperdengarkan 
tawanya yang didorong oleh tenaga dalam. 
Pada saat cakar naga Panji tiba, Reksa 
Pati hanya memiringkan kepalanya sedikit. 
Serangan pemuda itu hanya mengenai tempat 
kosong. Tapi hal itu bukan berarti 
ancaman bagi Reksa Pati telah lewat! 
Karena pada saat itu juga tangan kiri 
Panji sudah datang menyusul. Raja Iblis 
dari Utara terpaksa menggerakkan

tangannya menangkis.
Dukkk!
"Ahhh...!"
Terdengar suara keras bagaikan dua 
batang besi yang dibenturkan. Tubuh 
keduanya terdorong ke belakang diiringi 
seruan tertahan. Cepat-cepat Panji 
melempar tubuhnya ke belakang sambil 
bersalto beberapa kali untuk meredam daya 
dorong yang kuat itu. Kedua kaki pemuda 
itu mendarat manis di atas rumput.
Meskipun tidak sampai terjatuh, namun tak 
urung isi dadanya terguncang. Dari sela-
sela bibir pemuda itu, mengalir darah 
segar.
Demikian pula halnya dengan Reksa 
Pati. Tubuhnya yang tinggi besar itu 
terdorong limbung hingga beberapa tombak. 
Namun kakek iblis itu cepat menghentakkan 
kakinya ke tanah hingga daya dorong itu 
terhenti seketika. Wajah Raja Iblis dari 
Utara berkerut menahan rasa sakit pada 
lengannya. Terlihat sinar berkilat di 
kedua matanya. Sepasang mata itu menatap 
wajah lawannya penuh nafsu membunuh!
"Grrr...!" Raja Iblis dari Utara 
menggeram murka. Rupanya benturan itu 
juga telah mengguncang bagian dalam 
dadanya. Hawa dingin yang merasuk ke 
dalam tubuhnya telah membangkitkan 
kemarahan di hatinya. Tiba-tiba kedua 
tangannya digerakkan membuka dan menutup

di depan dada. Sesaat kemudian, angin 
yang berhawa panas mulai menyebar di 
sekitar arena pertarungan. Itulah ilmu 
'Telapak Lidah Api' yang mulai dimainkan 
kakek iblis itu.
"Hiaaat...!"
Dibarengi teriakan yang mengguntur, 
Reksa Pati kembali melangkah maju. 
Sepasang tangannya meluncur dengan jari-
jari terbuka. Telapak tangan yang 
kemerahan bagaikan bara itu meluncur ke 
arah Panji. Serangkum angin panas 
berhembus mengiringi pukulan yang 
dilancarkannya.
Pertarungan pun kembali berlangsung 
sengit! Hawa panas dan hawa dingin 
memenuhi sekitar arena pertarungan silih 
berganti. Kedua tokoh sakti itu saling
serang dengan dahsyatnya. Arena 
pertarungan menjadi porak-poranda 
bagaikan dilanda badai yang hebat!
Wusss! Blarrr!
Krrrakkkh!
Sebatang pohon sepelukan orang dewasa 
tumbang menimbulkan suara berderak hebat. 
Pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji 
rupanya dapat dihindari Reksa Pati hingga 
menghantam pohon yang berada tiga tombak 
di belakang tokoh sesat itu.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus 
kasar. Sepasang tangannya bergerak

melontarkan pukulan 'Telapak Lidah Api'. 
Panji meliukkan tubuhnya ke kiri seraya 
merendahkan kuda-kudanya. Serangkum angin 
panas lewat di sampingnya.
Blarrr!
"Aaakh...!"
Tiga orang tokoh persilatan yang 
berada lima tombak di belakang Panji 
menjerit memilukan. Tubuh mereka 
terpental diterjang pukulan nyasar itu. 
Tiga orang tokoh yang bernasib sial itu 
tewas seketika dengan dada hangus!
Belasan orang tokoh persilatan 
golongan putih yang semula maju mendekat, 
serentak berlari mundur. Kematian tiga 
orang yang bernasib malang itu seolah-
olah memperingatkan kalau pertarungan itu 
sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. 
Lengah sedikit saja bisa mengakibatkan 
nyawa mereka melayang.
"Keparat..!" maki Panji gusar. 
Kematian tiga orang yang terkena pukulan 
nyasar itu membuat hatinya terbakar. 
Kemarahan semakin memenuhi rongga 
dadanya. Dengan mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya, Panji meluncur deras ke 
arah Raja Iblis dari Utara. Jurus 'Naga 
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' kini mulai 
dimainkannya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara mendengus 
melihat sepasang cakar naga Panji

berputar mengancamnya. Pada saat sepasang 
cakar itu terulur ke dadanya, Reksa Pati 
mengangkat kedua tangannya dengan telapak 
tangan terbuka. Raja Iblis dari Utara 
mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya 
memapak serangan pemuda itu. Dan....
Blarrr! 
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat benturan yang 
maha dahsyat itu! Tanah di sekitar tempat 
itu bergetar bagai dilanda gempa! Akibat 
benturan dua gelombang tenaga sakti itu, 
tubuh Panji terpental bagai sehelai daun 
kering yang diterbangkan angin.
Kraaakkk!
Tubuh Panji yang meluncur deras, 
menghantam sebatang pohon besar hingga 
tumbang! Tubuh pemuda itu terbanting 
keras ke tanah hingga menimbulkan suara 
berdebuk.
"Huakkk...!"
Segumpal darah kental menyembur dari 
mulut Panji. Wajahnya pucat bagai mayat! 
Sepasang tangannya menekap dada yang 
terasa nyeri laksana ditusuk ribuan
jarum. Rupanya benturan yang maha dahsyat 
itu telah mengakibatkan luka dalam di 
dadanya.
Sedangkan tubuh Raja Iblis dari Utara 
terlempar ke belakang sejauh empat 
tombak. Cepat kakek tinggi besar itu 
melenting bangkit. Benturan hebat itu

tidak membuatnya terluka sedikit pun! 
'Tenaga Inti Api' yang dikerahkan Raja 
Iblis dari Utara rupanya telah melindungi 
seluruh tubuhnya. Hanya saja napasnya 
agak sedikit memburu.
"Ha ha ha..., hanya begitu sajakah 
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
yang terkenal itu? Hayo, Pendekar Naga 
Putih! Bangkitlah! Jangan hanya duduk 
seperti kakek-kakek jompo begitu!" Raja 
Iblis dari Utara tertawa mengejek Panji 
yang masih terduduk lemah. Pelahan-lahan 
dilangkahkan kakinya menghampiri Panji 
yang masih belum mampu berdiri.
Baru saja Raja Iblis dari Utara 
melangkah sejauh delapan tindak, tiba-
tiba terdengar sebuah bentakan yang 
disusul berkelebatnya sosok bayangan 
ramping yang langsung menyerangnya.
"Kakek iblis, rasakan tajamnya 
pedangku!" bentak sosok ramping itu 
marah.
"Hm..., pergilah!" bentak Reksa Pati 
sambil menggerakkan tangannya ke 
belakang. Tahu-tahu sepasang kecer 
bergerigi sudah tergenggam di tangannya. 
Secepat diambilnya senjata itu, secepat 
itu pula digerakkan senjatanya menangkis 
serangan orang itu.
Trang!
"Ihhh...!"

DELAPAN

Sosok ramping itu terdorong ke 
belakang diiringi seruan kaget. Seruannya 
begitu nyaring dan merdu. Menilik dari 
suaranya, sosok itu pastilah seorang wa-
nita. Kini sosok ramping itu tersungkur 
tidak jauh dari tempat Panji.
"Adik Kenanga...!" Panji berseru 
parau menyebut nama sosok yang terpisah 
hanya dua tombak di samping kirinya. Rasa 
gembira dan cemas terbayang di wajahnya 
yang pucat itu. Dengan susah payah Panji 
berusaha bangkit mendekati kekasihnya.
Sosok ramping tadi memang Kenanga. Ia 
yang ikut menyaksikan pertarungan itu 
bergegas menyeruak di antara kerumunan 
tokoh-tokoh persilatan ketika melihat 
tubuh Panji terduduk lemah. Tanpa 
mempedulikan keselamatan dirinya sendiri, 
gadis itu langsung menyerang Raja Iblis 
dari Utara yang tengah menghampiri Panji.
Kenanga menoleh ketika mendengar 
panggilan Panji. Namun sinar matanya 
terlihat dingin dan tak berperasaan. 
Rupanya gadis itu masih marah kepada 
pendekar muda itu (Baca serial Pendekar 
Naga Putih dalam episode "Jari Maut 
Pencabut Nyawa").
Panji semakin terharu ketika melihat 
cairan merah mengalir dari sela-sela

bibir wanita yang dicintainya. Meskipun 
sinar mata Kenanga terlihat dingin, namun 
Panji tahu kalau gadis itu masih 
mencintainya. Kalau tidak, mengapa dia 
menolongnya. Kedatangan kekasihnya 
membangkitkan semangat Panji. Kini 
Pendekar Naga Putih itu sudah berdiri 
sambil mencabut pedang yang melilit di 
pinggangnya. Tanpa mempedulikan lukanya, 
dipalingkan wajahnya ke arah Raja Iblis 
dari Utara.
Saat itu Kenanga pun sudah bangkit 
berdiri. Pedang hitamnya dilintangkan di 
depan dada. Sesekali terlihat seringai di 
bibirnya.
"Adik Kenanga, kau menyingkirlah! 
Biar kuhadapi kakek iblis itu. Bukan aku 
tidak menghargai bantuanmu, Adik Kenanga. 
Tapi aku tidak ingin dikatakan sebagai
pengecut yang berlindung kepada seorang 
wanita," pinta Panji lembut sambil 
menatap wajah kekasihnya penuh permo-
honan.
Memaklumi ucapan Panji yang mengan-
dung kebenaran itu, Kenanga bergegas 
mundur meskipun dengan hati berat. 
Sekilas terlintas sinar kehangatan pada 
sepasang matanya ketika beradu pandang 
dengan mata Panji.
Setelah Kenanga mundur, Panji 
menggerakkan pedangnya hingga menimbulkan 
angin berkesiutan. Dengan jurus 'Naga Api

Meluruk ke Dalam Bumi', tubuh pemuda itu 
berputar terselimut gulungan sinar pedang 
yang menyilaukan mata.
Raja Iblis dari Utara tertawa 
tergelak seraya melesat menyambut 
serangan Pendekar Naga Putih. Pertempuran 
pun kembali berlangsung sengit! Saat itu 
malam telah menjelang. Para tokoh 
persilatan yang menyaksikan pertarungan 
telah menyalakan puluhan batang obor. 
Suasana lembah yang seharusnya gelap, 
kali ini menjadi terang benderang.
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, 
Reksa Pati memperhebat serangannya. 
Sepasang kecer bergeriginya berkelebatan 
di sekeliling tubuh lawannya. Panji mulai 
terdesak hebat sehingga tidak mempunyai 
peluang lagi untuk balas menyerang.
Bret! Bret!
"Aaakh...!"
Tepat memasuki jurus keempat puluh 
delapan, Panji tak sempat lagi 
menghindari dua buah sambaran kecer 
bergerigi lawan. Tubuh pemuda itu 
terjajar mundur sejauh dua tombak. Pada 
bagian dada dan perutnya tampak luka 
memanjang yang mengalirkan darah segar. 
Untunglah lukanya tidak terlalu dalam. 
Rupanya Panji masih sempat memiringkan 
tubuhnya sehingga serangan lawan tidak 
terlalu telak mengenai tubuhnya.
Raja Iblis dari Utara tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi 
tubuh lawannya terhuyung, di-kirimkannya
sebuah tendangan ke dada pemuda itu. 
Dan....
Bret! Bret!
"Aaakh…!" Tepat memasuki jurus 
keempat puluh delapan, Panji tak sempat 
lagi menghindari dua buah sambaran kecer 
Raja Iblis dari Utara. Pada bagian dada 
dan perutnya tampak luka memanjang yang 
mengalirkan darah segar!

Desss!
"Huakkk...!"
Tubuh Panji terlempar keras ke 
belakang. Telapak kaki Reksa Pati yang 
besar dan mengandung tenaga dalam yang 
amat kuat, telak menghantam dadanya. 
Darah segar menyembur membasahi tanah 
berumput maupun pakaiannya. Pendekar Naga 
Putih itu merintih menahan rasa sakit dan 
panas yang membakar dadanya. Lapisan 
kabut putih keperakan yang selalu 
menyelimuti tubuhnya, kini lenyap akibat 
luka-luka yang dideritanya.
"Kakang...!" Kenanga berlari menubruk 
tubuh Panji yang tengah berusaha duduk. 
Dipeluknya pemuda yang dicintainya itu. 
Kemarahan yang selama ini menguasai 
hatinya, luluh seketika melihat 
kekasihnya berada dalam keadaan sekarat. 
Dengan wajah bersimbah air mata, gadis 
jelita itu membelai-belai wajah ke-
kasihnya yang pucat bagai mayat.
"Ha ha ha.... Pendekar Naga Putih, 
apakah pada saat menjelang kematianmu kau 
ingin berlindung di balik kehangatan 
tubuh seorang gadis?" Raja Iblis dari 
Utara tertawa mengejek.
"Adik Kenanga. Kau... kau pergilah! 
Pertarungan ini belum selesai. Aku... aku 
harus menepati janjiku untuk bertarung 
melawan kakek iblis itu sampai salah 
seorang di antara kami tewas!" ujar Panji

tersendat.
"Tidak, Kakang! Aku tidak peduli 
dengan anggapan tokoh-tokoh persilatan 
yang mungkin akan mengejekmu. Aku akan 
tetap bersamamu hidup atau mati!" Kenanga 
membantah keras. Sambil berkata demikian, 
gadis itu mencabut pedang hitamnya, siap 
melindungi kekasihnya walau menghadapi 
raja maut sekali pun!
"Ha ha ha..., lihatlah! Seekor kijang 
muda yang mulus mencoba menggertak sang 
harimau untuk melindungi pasangannya," 
seru Raja Iblis dari Utara sambil 
mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. 
Selintas terlihat sinar kebuasan dari 
sepasang matanya. Setelah berkata 
demikian, dilangkahkan kakinya mengham-
piri sepasang kekasih yang siap menanti 
maut itu.
"Lihat pedang! Haiiit...!" teriak 
Kenanga melengking. Begitu si Raja Iblis 
dari Utara semakin mendekat, gadis itu 
langsung menerjang. Pedang hitamnya 
menderu tajam diiringi hawa maut.
Raja Iblis dari Utara yang sudah 
menyimpan senjatanya, hanya tertawa 
bergelak melihat serangan Kenanga. Kakek 
tinggi besar itu merendahkan kuda-kudanya 
sedikit disertai egosan tubuhnya. Ketika 
pedang hitam itu lewat di atas kepalanya, 
tangan kanannya sudah terulur menjambret 
bagian dada gadis itu.

Tentu saja Kenanga tidak sudi dadanya 
disentuh tangan kakek iblis itu. Cepat ia 
melompat mundur sambil melepaskan sebuah 
tendangan ke arah lawan.
Buk!
"Ihhh...!"
Tendangan Kenanga memang tepat 
mengenai sasaran. Tapi alangkah terke-
jutnya gadis itu ketika merasakan telapak 
kakinya bagai menghantam lempengan baja 
yang panas dan sangat kuat. Ternyata 
bukan kakek itu yang terlempar, malah 
sebaliknya ia sendiri yang terdorong 
hingga beberapa tombak jauhnya. Wajah 
gadis itu meringis menahan rasa nyeri dan 
panas pada telapak kakinya.
Belum lagi Kenanga sempat memperbaiki 
kuda-kudanya, tahu-tahu tangan lawannya 
sudah terulur ke arahnya. Dengan wajah 
pucat, gadis itu melempar tubuhnya ke 
samping. Namun alangkah terkejutnya hati 
Kenanga ketika ia bangkit ternyata tangan 
lawan sudah berada di depannya. Maka....
Bret! Bret!
"Auw...!"
Kenanga yang tak sempat menghindar, 
menjerit tertahan ketika tahu-tahu saja 
tangan kakek tinggi besar itu telah 
merobek baju bagian atasnya. Maka, 
tampaklah sebagian kulit punggung dan 
dada yang putih mulus.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih.
Sebentar lagi kau akan menyaksikan betapa 
mulusnya tubuh bidadarimu ini," Raja 
Iblis dari Utara bergelak bengis. Se-
pasang matanya menyorot liar ke arah 
tubuh yang terbuka sebagian itu.
"Keparat kau, Raja Iblis dari Utara! 
Lepaskan dia! Mari kita bertarung sampai 
seribu jurus!" Panji berteriak-teriak 
parau. Pemuda itu mencoba bangkit dengan 
berpegangan pada sebuah batang pohon. 
Namun kondisi tubuhnya memang sudah 
terlalu lemah. Setiap kali berusaha untuk 
bangkit, setiap kali pula ia terjatuh 
kembali. Darah segar kembali menetes dari 
sela-sela bibirnya. Panji menggigit 
bibirnya kuat-kuat karena tak sanggup 
membayangkan penderitaan yang akan 
dialami kekasihnya.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah 
melompat kembali ke arah Kenanga. 
Tangannya terulur ke arah gadis yang 
tengah sibuk menutupi bagian-bagian tu-
buhnya yang terbuka. Kenanga memandang 
dengan penuh kengerian melihat kebuasan 
yang terpancar dari sepasang mata kakek 
iblis itu.
Bret! Bret!
"Aaauwww...!"
Kembali terdengar bunyi kain sobek 
dan jerit kengerian. Kedua tangan Kenanga 
semakin sibuk menutupi tubuh bagian 
atasnya yang sudah tidak terlindung lagi.

Kulit tubuhnya yang putih dan halus 
semakin membuat biji mata Reksa Pati
hampir keluar. Air liurnya menetes dari 
sela-sela bibirnya. Kakek itu benar-benar 
mirip seekor binatang buas yang tengah 
kelaparan.
"Oh, jangan...! Jangaaan...!" Kenanga 
merintih lemah sambil mendekap dadanya 
yang sudah tidak tertutup. Air mata 
mengalir membasahi pipinya yang halus.
Para tokoh-tokoh sesat tertawa 
bergelak melihat pertunjukan yang 
dianggap sangat menyenangkan itu. Sinar 
mata mereka menyorot penuh nafsu begitu 
melihat tubuh indah yang terpampang di 
hadapannya.
"Keparat keji!" maki salah seorang 
dari kelompok tokoh golongan putih yang 
berada di belakang Panji. Selesai berkata 
demikian, orang itu segera menerjang Raja 
Iblis dari Utara sambil menyabetkan 
senjatanya. Perbuatan orang itu diikuti 
pula oleh tiga orang lainnya.
"Hm...!"
Raja Iblis dari Utara berpaling
gusar! Secepat kilat tubuhnya berbalik 
menghadap para penyerang itu. Sepasang 
tangannya segera didorongkan ke depan me-
ngerahkan pukulan 'Telapak Lidah Api'. 
Dan....
Darrr!
"Aaa...!"

Pukulan maut yang dilancarkan Reksa 
Pati tepat mengenai keempat orang yang 
tengah melompat ke arahnya. Tak pelak 
lagi, tubuh keempat orang itu pun 
terpental diiringi jerit kematian yang 
menyayat. Mereka tewas seketika dengan 
tubuh hangus.
Menyaksikan kejadian itu, para tokoh 
lainnya bergerak mundur.. Kemurkaan Raja 
Iblis dari Utara benar-benar telah 
membuat hati mereka gentar. Kini tidak 
ada seorang pun yang berani mengikuti 
jejak keempat tokoh yang bernasib malang 
itu.
Saat itu Panji yang menyaksikan 
kekasihnya dihina di depan orang banyak, 
meraung keras. Kesedihan, kemarahan, dan 
rasa penasaran berbaur menjadi satu. Rasa 
tak berdaya melihat orang yang 
dicintainya tengah mengalami penderitaan 
yang lebih mengerikan daripada mati itu 
benar-benar menyiksanya.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih! 
Sebagai balasan atas arwah-arwah tiga 
orang muridku yang kau bunuh itu, maka 
malam ini juga aku akan memberikan 
tontonan yang sangat menarik untukmu," 
ujar Raja Iblis dari Utara sambil 
melangkah mendekati Kenanga yang sudah 
setengah telanjang.
"Raja Iblis dari Utara! Mengapa tidak 
kau bunuh saja aku! Hei, kakek pengecut!

Kakek iblis! Hayo, bunuhlah aku! Jangan 
kau bawa-bawa gadis yang tak berdosa 
itu!" Panji berteriak-teriak serak. Tidak 
dipedulikan lagi rasa sakit pada 
kerongkongannya akibat teriakan itu.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara 
hanya tertawa tanpa mempedulikan teriakan 
Panji. Terus saja dilangkahkan kakinya 
menghampiri Kenanga yang memandangnya 
dengan wajah pucat.
Kenanga tak mampu lagi mengelak 
ketika kakek tinggi besar itu 
menubruknya. Gadis itu hanya bisa 
menangis dan menjerit-jerit ketika kakek 
itu mulai merobek baju bagian bawahnya 
sambil menciumi penuh kebuasan.
"Jangaaan...! Biadaaab...!" Panji 
berteriak-teriak sambil meremas-remas 
rerumputan. Wajahnya menyeringai menahan 
rasa sakit yang menusuk hatinya.
Mendadak alam yang semula cerah 
berubah gelap pekat! Angin dingin bertiup 
keras hingga membuat pepohonan di tempat 
itu berderak-derak hendak roboh. Api-api 
obor yang semula menerangi tempat itu 
langsung padam tertiup angin berhawa 
dingin.
Panji menengadahkan kepalanya ke atas 
memandang perubahan alam yang begitu 
tiba-tiba. Satu keanehan pun dialaminya! 
Mula-mula sekujur tubuh pemuda itu 
bergetar hebat! Pendekar Naga Putih itu

terbelalak ngeri ketika merasakan suatu 
tenaga dahsyat menerobos masuk ke dalam 
tubuhnya. Hawa yang maha dahsyat itu 
terus bergolak dan menyatu dengan pusat 
tenaga saktinya. Makin lama dirasakan 
tubuhnya semakin membengkak bagaikan 
sebuah balon yang ditiup.
Pendekar Naga Putih semakin terbe-
lalak ngeri. Dirasakan kerongkongannya 
bagaikan tersumbat oleh aliran hawa 
mukjizat itu.
"Heeeaaa...!!"
Tanpa sadar pemuda itu meraung 
dahsyat! Dan, akibatnya sungguh 
mengerikan sekali! Belasan tokoh persi-
latan yang berilmu pas-pasan terbanting 
roboh dan tewas seketika! Dari mulut, 
hidung, dan telinga mereka mengalir darah 
segar!
Belasan tokoh lain yang memiliki 
tenaga dalam lumayan tersentak mundur 
dengan wajah pucat! Mereka sama sekali 
tidak menyangka kalau Pendekar Naga Putih 
bisa berbuat demikian. Para tokoh itu 
hanya saling berpandangan tak mengerti.
Raja Iblis dari Utara pun terkejut 
menyaksikan perubahan alam yang mendadak. 
Perasaan terkejutnya semakin bertambah 
ketika melihat Pendekar Naga Putih yang 
semula terduduk lemah itu, mendadak 
bangkit dengan tubuh bergetar, sepasang 
mata Panji yang memerah saga itu

menyipit. Wajahnya terlihat begitu 
menakutkan. Urat-urat wajahnya 
bertonjolan keluar bagaikan hendak pecah!
"Gerhana bulan...?!" desis kakek 
iblis itu bercampur heran. Tapi sebagai 
tokoh sakti yang telah berpengalaman, ia 
pun dapat mengerti apa sebenarnya yang 
tengah dialami pemuda itu.
Munculnya gerhana bulan itulah 
rupanya yang telah membuat Panji bangkit. 
Inti kekuatan alam yang berada pada 
gerhana bulan telah merasuk ke dalam 
tubuhnya. Kekuatan alam tadi telah 
menyebabkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
yang dimilikinya menjadi berlipat ganda! 
Bahkan melewati takaran!
Panji semakin ngeri ketika merasakan 
seluruh anggota tubuhnya bergerak-gerak 
sendiri. Kedua kakinya terasa ringan 
bagaikan tidak menyentuh tanah. Rupanya 
pemuda itu masih belum sadar kalau inti 
kekuatan gerhana bulan telah merasuki 
tubuhnya.
Sepasang mata Panji yang semerah 
saga, tiba-tiba tertuju pada wajah brewok 
yang bertotol-totol hitam. Wajah Raja 
Iblis dari Utara! Sejenak pemuda sakti 
ini terlupa akan keadaan dirinya. 
Kebencian dan kemurkaan menggelegak dalam 
dadanya. Tanpa disadari didorongkan 
sepasang lengannya ke arah Raja Iblis 
dari Utara. Dan....

Blarrr! 
"Aaah...!"
Luar biasa sekali akibat dorongan 
sepasang telapak tangan pemuda itu. Tanah 
di sekitar Lembah Biru bagaikan digoncang 
oleh gempa yang dahsyat! Untunglah Raja 
Iblis dari Utara sempat menghindar. 
Sehingga tanah bekas raja iblis itu 
berpijak, berlubang besar terhantam 
tenaga yang terlontar dari sepasang 
tangan pemuda itu.
"Gila...!" pekik Raja Iblis dari 
Utara dengan wajah pucat Kakek tinggi 
besar itu menggigit bibirnya. 
Keberaniannya terbang ketika melihat 
akibat yang ditimbulkan pukulan Panji.
Kenanga pun merasa ngeri melihat 
keadaan kekasihnya saat itu. Masih belum 
dimengerti, apa yang sebenarnya terjadi 
pada diri Panji. Hatinya menjadi cemas. 
Cepat gadis itu bersembunyi di balik 
sebatang pohon besar ketika melihat 
akibat yang ditimbulkan pukulan kekasih-
nya itu. Firasatnya mengatakan kalau saat 
itu Panji tengah dalam keadaan separuh 
sadar, sehingga bisa jadi pemuda itu 
tidak mengenali dirinya. 
"Heaaat...!"
Pendekar Naga Putih kembali berteriak 
mengguntur sambil mendorongkan kedua 
telapak tangannya ke arah Raja Iblis dari 
Utara yang sudah mencabut sepasang

kecernya. Kakek iblis itu membentur-
benturkan sepasang kecernya untuk membu-
yarkan pengaruh teriakan yang menggelegar 
menyakitkan telinga. Namun usahanya sia-
sia. Tubuhnya terhuyung-huyung karena 
kekuatan teriakan yang dikeluarkan Panji 
benar-benar luar biasa sekali. Kekuatan 
tenaga sakti Raja Iblis dari Utara yang 
selama ini tidak ada tandingannya, 
menjadi tidak ada artinya bila 
dibandingkan kekuatan Panji saat ini. 
Blarrr! 
"Uhhh...!" 
Kraaakh...! 
Empat batang pohon sebesar dua 
pelukan orang dewasa berderak roboh 
akibat hantaman Panji yang tidak mengenai 
sasaran. Wajah Raja Iblis dari Utara 
semakin memucat. Kegentaran mulai 
menguasai hatinya. Disadari kalau dirinya 
tidak akan mampu menandingi kekuatan 
pemuda itu saat ini. Sepasang matanya 
mulai berkeliling mencari-cari jalan 
keluar untuk melarikan diri.
"Yeaaa...!" 
Wusss!
Raja Iblis dari Utara kembali 
melompat menghindari serangan Pendekar 
Naga Putih yang tidak mungkin dapat 
dihalaunya. Pukulan bertenaga dahsyat itu 
kembali mengenai tempat kosong.
Namun selagi tubuh kakek iblis itu

melayang di udara, Panji sudah mulai 
dapat meraba apa yang tengah terjadi pada 
dirinya. Kembali didorongkan telapak 
tangan kanannya ke arah kakek tinggi 
besar itu.
Desss!
"Aaa...!"
Raja Iblis dari Utara terlempar deras 
bagai sehelai laun kering. Tubuhnya terus 
menabrak dua batang pohon hingga tumbang 
seketika! Kakek iblis itu menjerit 
menyayat. Darah segar menyembur deras 
dari mulutnya. Setelah berkelojotan 
sesaat, tubuh kakek tinggi besar itu pun 
diam tak bergerak-gerak lagi. Raja Iblis 
dari Utara tewas seketika dengan tulang 
dada remuk.
Meskipun lawannya telah tewas, namun 
Panji masih terus mengumbar pukulannya. 
Tenaga sakti yang terus bergolak dalam 
tubuhnya masih belum dapat dikendalikan. 
Para tokoh persilatan, baik golongan 
putih maupun hitam bergegas meninggalkan 
tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi 
sasaran pukulan maut yang dapat 
mengantarkan mereka ke akherat! Daerah 
sekitar Lembah Biru itu pun seketika 
menjadi porak-poranda bagaikan dilanda 
badai yang dahsyat!
"Hhh..., hhh...," setelah tenaganya 
terkuras habis, Panji jatuh berlutut di 
atas rerumputan. Aliran tenaga sakti luar

biasa itu telah terhenti karena gerhana 
bulan telah lama usai. Peluh yang telah 
bercampur darah, membasahi sekujur tubuh 
pemuda itu.
Tubuh Panji bergetar hebat karena 
tiba-tiba saja hawa yang sangat dingin 
bergolak hebat dari bawah pusarnya. 
Pemuda itu menggigil kedinginan. Giginya 
bergemeletuk menahankan rasa dingin yang 
hebat.
"Kakang Panji...!" tiba-tiba terde-
ngar suara merdu memanggil namanya. 
Kenanga berlari memburu tubuh kekasihnya 
yang masih berlutut di atas rerumputan.
Gadis yang kini telah berpakaian lengkap 
itu menubruk dan memeluk kekasihnya penuh 
kecemasan. "Kakang, kenapa tubuhmu begini 
dingin?" tanya Kenanga cemas.
"Adik Kenanga..., aku..... Aku...,
aaahhh...," Panji terkulai pingsan dalam
pelukan kekasihnya. Rupanya serangan hawa 
dingin akibat tenaga sakti yang melewati 
takaran itu tak sanggup ditahannya.
"Ah, Kakang... kasihan sekali 
kau...," rintih gadis itu terisak. 
"Mudah-mudahan Eyang Wiku Ginting dapat 
menolongmu," ujar gadis itu lirih. Tanpa 
banyak cakap lagi, Kenanga memondong 
tubuh pemuda pujaannya itu, dan bergegas 
meninggalkan Lembah Biru.
Apakah yang akan terjadi pada diri 
Pendekar Naga Putih? Dan siapa pula Eyang
Wiku Ginting yang disebut-sebut Kenanga? 
Untuk mengetahui jawabannya, ikutilah 
kisah Pendekar Naga Putih selanjutnya 
dalam episode "Penjagal Alam Akherat".


                                TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar