RAHASIA
PEDANG NAGA LANGIT
(Lanjutan : Malaikat Gerbang Neraka)
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Rahasia Pedang Naga Langit
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Bakar...! Ayo, musnahkan seluruh isi desa
ini...!"
Salah seorang dari tiga wanita cantik yang berada
di atas punggung kuda tampak berteriak-teriak membe-
ri perintah. Wajahnya yang cantik nampak berseri me-
nyaksikan pemandangan di depannya. Sepasang ma-
tanya yang indah, menyiratkan kekejaman yang men-
gerikan.
Sedangkan puluhan orang laki-laki berwajah ben-
gis yang juga menunggang kuda, berlarian menyerbu ru-
mah-rumah penduduk Desa Batu Apung. Beberapa di
antaranya memegang obor menyala di tangan.
"Heaaa….!"
Sambil berteriak-teriak, gerombolan laki-laki berwa-
jah bengis itu melemparkan obor-obor ke atap rumah
penduduk. Dalam sekejap saja, api pun berkobar melalap
beberapa rumah.
"Tolong...! Tolooong...!"
Para penghuni rumah berlarian keluar sambil berte-
riak-teriak ketakutan. Namun begitu melewati pintu ru-
mah, gerombolan penunggang kuda berwajah bengis itu
langsung menyambut dengan senjata.
"Mampus kau...!" bentak salah seorang gerombolan
itu sambil mengibaskan golok panjangnya.
Brettt... brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika mata golok
laki-laki kasar itu merobek tubuh beberapa orang pen-
duduk yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
orang-orang malang itu ambruk bermandikan darah se-
gar.
Malam yang seharusnya hening, kini menjadi ramai
oleh teriakan-teriakan menyayat penduduk Desa Batu
Apung. Mereka berlarian ke sana kemari tak tentu arah.
Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semua-
nya berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tak ada
lagi harta yang sempat dibawa. Jangankan harta.
Nyawa pun seperti tak luput dari incaran para peram-
pok itu.
Kekejaman yang dilakukan gerombolan itu tentu
saja semakin membuat para penduduk Desa Batu
Apung semakin kalang-kabut. Sadarlah mereka kalau
orang-orang itu adalah gerombolan perampok kejam
dan tak kenal ampun.
"Biadab...! Kalian lebih patut menjadi penghuni ne-
raka! Di sanalah tempat kalian bersama segala macam
iblis dan dedemit!" maki seorang laki-laki setengah
baya yang wajahnya ditumbuhi brewok. Dengan kemara-
han meluap-luap, golok di tangannya diayunkan.
Namun, kemarahan laki-laki brewok itu malah se-
makin membuat para perampok tertawa puas. Seorang
di antaranya bergegas menyambut ayunan golok yang
mengarah ke tubuhnya.
Tranggg...!
Terdengar benturan nyaring ketika dua batang
senjata bertemu. Namun, laki-laki berwajah brewok itu
rupanya berkepandaian juga. Begitu goloknya terben-
tur, secepat itu pula arah sambarannya diputar menggu-
nakan tenaga benturan tadi.
Wuttt! Brettt!
"Aaakh...!"
Sambaran golok yang tak terduga itu membuat si pe-
rampok menjerit ngeri. Karena, mata golok laki-laki bre-
wok itu telah merobek kulit tubuhnya. Maka tanpa dapat
dicegah lagi, tubuhnya ambruk dalam keadaan tewas!
"Bangsat! Rupanya kau cukup berisi. Pantas saja
berani bertingkah!" bentak salah seorang perampok
lainnya.
Dia sempat terkejut melihat tubuh kawannya tewas
akibat sambaran pedang laki-laki brewok itu. Maka
dengan wajah geram, empat orang rekannya diisya-
ratkan untuk mengeroyok laki-laki brewok itu. Dalam
sekejap saja, laki-laki brewok itu sudah terkurung oleh
lima orang gerombolan perampok.
"Majulah kalian, Manusia-Manusia Biadab! Aku,
Galung tidak ,akan menyerah begitu saja!" tantang
laki-laki brewok yang mengaku bernama Galung, tanpa
rasa gentar sedikit pun.
Wuttt... wuttt...!
Galung memutar-mutar golok untuk melindungi tu-
buhnya. Sadar kalau tidak mungkin bisa meloloskan di-
ri dari kematian, maka tekadnya pun semakin bulat. Be-
berapa orang dari para perampok itu harus dibunuh un-
tuk menebus nyawanya.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh kelima orang pe-
rampok itu berloncatan menyerbu Galung. Senjata mere-
ka langsung saja meluncur, mengancam lima bagian tu-
buh laki-laki gemuk brewok itu.
Namun tekad membaja yang tertanam di hati Ga-
lung sudah demikian kuat. Sehingga, tidak ada lagi rasa
takut di dalam dirinya. Maka begitu lima batang senjata
meluruk deras ke arahnya, laki-laki brewok itu menggeser
tubuh sebisa mungkin untuk menghindari sambaran
senjata lawan.
Sayang, kepandaian yang dimiliki kelima orang pe-
rampok itu cukup lumayan. Apalagi kali ini dengan cara
keroyokan. Maka, tentu saja Galung menjadi kerepotan.
Sehingga, dalam beberapa jurus saja tubuh laki-laki
brewok itu sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata
pengeroyoknva.
Brettt.... Crattt!
"Aaargh.,.!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kese- puluh, Galung tidak mampu menghindar lagi dari te- basan dua batang pedang lawan. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya pun terjungkal dan roboh mandi darah. Se-
telah berkelojotan sesaat, leher laki-laki brewok itu pun
terkulai. Tewas!
Namun, kelima orang perampok itu sepertinya
sangat mendendam kepada Galung. Meskipun laki-laki
brewok itu telah tewas, tubuhnya masih juga dicincang
dengan bengis! Benar-benar keji kelakuan kelima
orang perampok itu. Jelas, hati mereka benar-benar
telah mati dan tanpa perasaan.
Sementara itu, tiga orang wanita cantik yang jelas
merupakan pimpinan para perampok, kembali ber-
teriak memberi perintah.
"Ayo, cepat...! Kita harus segera meninggalkan
desa ini! Angkut semua barang berharga yang mereka
miliki!" teriak salah seorang dari ketiga wanita cantik
itu dengan suara nyaring dan lantang.
Puluhan laki-laki berwajah bengis yang masing-
masing sudah menggondol buntalan berisi harta ram-
pokan itu bergegas melompat ke atas punggung kuda.
Namun sebelum sempat meninggalkan Desa Batu
Apung, terdengar bentakan yang disusul berloncatan
nya beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan
mereka.
"Mau lari ke mana kalian, Manusia-manusia Bia-
dab?! Huh! Jangan harap dapat pergi begitu saja dari
desa ini!" ancam seorang laki-laki tinggi kurus, namun
memiliki sikap gagah dan jantan.
Sedangkan di belakang laki-laki tinggi kurus itu,
tampak belasan sosok tubuh bersenjata terhunus.
"Samilaga! Jangan biarkan mereka meninggalkan
desa kita seenak perutnya!"
Terdengar seruan keras yang diiringi suara derap
kaki kuda. Tak lama kemudian, tampak seorang laki-
laki berusia sekitar lima puluh lima tahun di atas
punggung kuda. Dia bergerak cepat mendatangi tempat
itu. Melihat sikapnya yang berwibawa, jelas kalau laki-
laki separuh baya itu merupakan orang terpandang di
Desa Batu Apung.
Sementara laki-laki tinggi kurus yang dipanggil
Samilaga itu menolehkan kepala ke arah asal seruan
nyaring tadi. Wajahnya tampak berseri begitu mengenali
orang yang datang menunggang kuda hitam itu.
"Ki Wanareja...!" seru Samilaga dengan nada
gembira.
Bergegas disambutnya kedatangan lelaki penung-
gang kuda hitam yang ternyata bernama Ki Wanareja,
penuh rasa hormat. Melihat dari sikap yang ditunjuk-
kan Samilaga, jelas kalau Ki Wanareja merupakan ata-
sannya.
Sikap hormat yang ditunjukkan Samilaga tentu
saja tidak berlebihan. Memang, Ki Wanareja adalah Ke-
pala Desa Batu Apung. Sedangkan ia sendiri sebagai
kepala keamanan.
Kedatangan Ki Wanareja tentu saja membuat hati
Samilaga bertambah lega Sebab, kepala desa itu telah
beberapa hari pergi menghadap Adipati Blambang ko-
ta kadipaten. Sehingga, kehadirannya memang sangat
tepat pada saat yang diperlukan.
Namun bukan hanya Samilaga saja yang merasa
lega. Bahkan belasan orang berseragam hitam yang
merupakan anggota keamanan Desa Batu Apung
bertambah keberaniannya. Maka rasa kegentaran terha-
dap banyaknya anggota perampok, seketika lenyap.
Tapi ketiga wanita cantik yang memimpin gerombo-
lan perampok itu ternyata tidak merasa khawatir. Malah
salah seorang yang memakai pakaian serba kuning mem-
perdengarkan tawanya yang merdu dan nyaring.
"Ha ha ha...! Untunglah kau cepat datang, Wanareja.
Jadi kami tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Bagai-
mana kabar Adipati Tunggul Wulung? Bukankah kau ba
ru saja menghadap adipati tolol itu?" kata wanita cantik
itu, bernada mengejek. Melihat dari cara berbicaranya, jelas
wanita itu telah cukup mengenal Kepala Desa Batu
Apung.
"Hm.... Kiranya Tiga Dewi Pulau Setan yang da-
tang berkunjung ke desaku ini. Apa yang telah
membuat kalian sampai jauh-jauh ke sini? Atau kalian
sudah tidak kerasan lagi tinggal di tempat yang me-
nyeramkan itu?" sahut Ki Wanareja. Suaranya tetap te-
nang, dan tanpa hawa amarah.
"Hik hik hik.... Bagus kau masih mengenali kami,
Wanareja. Dan kuharap, kau pun tidak terlalu pelit
memberikan hartamu sebelum kami meninggalkan de-
sa kotor ini," timpal wanita cantik yang mengenakan pa-
kaian ungu.
Dia memiliki lesung pipit, sehingga tampak sema-
kin menambah kemanisannya ketika tersenyum. Sayang,
sinar mata yang dimilikinya tampak demikian sayu.
Sepertinya mengandung undangan bercinta. Sehing-
ga sekali pandang saja, orang sudah dapat menilai
kalau dia bukanlah wanita baik-baik.
"Hm.... Tentu saja aku suka memberikannya kepada
kalian. Hanya saja, aku ragu. Apakah kalian akan sang-
gup melangkahi mayatku dulu?" sahut Ki Wanareja
sambil menyunggingkan senyum tenang.
Tentu saja ucapan yang lebih tepat sebuah tan-
tangan, membuat wajah ketiga wanita cantik itu
menjadi merah. Dengan sinar mata bengis, wanita
yang mengenakan pakaian serba kuning, mengibaskan
lengan kanannya ke depan.
"Anak-anak! Habisi orang-orang itu. Biar kakek
peot yang sombong ini menjadi bagianku," perintah
wanita cantik berpakaian serba kuning dengan suara
nyaring.
Setelah memberi perintah, tubuh ramping itu pun
melayang turun. Kemudian, dia hinggap sejauh satu
tombak di hadapan Ki Wanareja. Gerakannya indah, se-
hingga membuat Ki Wanareja terpukau.
"Bagus...!" puji Ki Wanareja.
Mau tidak mau, dia menjadi terkejut juga melihat
kehebatan ilmu meringankan tubuh calon lawannya.
Meskipun telah lama mendengar kalau ilmu meringankan
tubuh Tiga Dewi Pulau Setan cukup tinggi, namun ia
sama sekali tidak menduga akan sehebat itu. Tentu sa-
ja kenyataan ini membuatnya harus mengambil sikap le-
bih berhati- hati dalam menghadapi gadis-gadis cantik
yang terlihat lemah-lembut itu.
"Jangan cuma bengong seperti ayam sakit begitu,
Wanareja. Lebih baik bersiap-siaplah. Agar kematianmu
bisa terasa lebih nikmat," ujar wanita cantik itu dengan
suara bengis.
Namun, meskipun ucapan gadis berpakaian kuning
itu terdengar ketus, tapi bibirnya yang segar tampak
mengembangkan senyum manis.
Namun tidak demikian halnya Ki Wanareja. la
yang telah cukup mengenal banyak tokoh rimba
persilatan, tentu saja tidak merasa aneh atas sikap
wanita cantik itu. Memang tidak salah apa yang telah di-
dengarnya. Justru pada saat kemarahan tokoh cantik Pu-
lau Setan itu semakin memuncak, maka akan semakin
murahlah senyumnya diobral.
Namun demikian, di balik senyuman yang semakin
manis itu, ternyata tersembunyi kekejaman yang me-
ngerikan!. Sehingga, bagi para tokoh persilatan yang te-
lah mengenal perangainya akan semakin ciut nyalinya.
Melihat senyum dara berpakaian serba kuning se-
makin bertambah manis, hati Ki Wanareja seketika berge-
tar tenang. Cepat ia melompat turun dari punggung ku-
danya. Memang, selain memiliki kepandaian ilmu me
ringankan tubuh yang tinggi, kepandaian Tiga Dewi Pulau
Setan dalam permainan senjata beracun pun sudah
sangat terkenal. Tentu saja ingatan itu membuatnya
semakin berhati-hati.
Dan apa yang diduga Ki Wanareja ternyata cukup be-
ralasan. Tepat pada saat tubuhnya di udara, dara
cantik berpakaian serba kuning tampak mengibaskan
tangan ke arahnya.
Wuttt...!
Serangkum angin lembut mengiringi luncuran pulu-
han jarum beracun. Sasarannya, Ki Wanareja.
Untungnya lelaki setengah baya itu cepat mencapai
tanah, dan langsung bersalto beberapa kali di udara.
Sehingga, jarum-jarum beracun yang mematikan itu
pun tidak sampai menghunjam tubuhnya. Hanya sa-
ja, kudanya harus rela jadi korban sasaran senjata ra-
hasia itu.
"Gila! Wanita cantik itu benar-benar tidak berjantung!"
desis Ki Wanareja sambil mengusap peluh dingin yang
membasahi keningnya. Ngeri juga hatinya menyaksikan
kuda tunggangannya kontan menggelepar tewas dalam
keadaan tubuh hangus bagai terbakar.
"Hik hik hik.... Kau terkejut, Tua Bangka Peot?" ejek
wanita cantik itu, sambil tertawa bagai iblis. Seper-
tinya, kematian kuda itu hanya merupakan lelucon
yang menggelitik perutnya.
"Jangan keburu sombong dulu, Iblis Betina! Kelak kau
akan merasakan tajamnya sepasang golokku ini!" sahut Ki
Wanareja tanpa memperlihatkan kegentaran.
"Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan se-
pasang golok bututmu itu?" tantang dara cantik ber-
pakaian serba kuning itu, sinis.
Usai berkata demikian, tubuhnya yang ramping itu
berkelebat menerjang Kepala Desa Batu Apung.
"Haittt ..!"
Ki Wanareja tentu saja tidak ingin tubuhnya di-
jadikan sasaran pukulan bertangan keji. Maka pada saat
lengan halus itu hendak mencengkeram lehernya, Ki
Wanareja bergerak menggeser ke samping. Gerakan itu
masih diiringi tebasan golok di tangan kanannya.
Wuuut...!
Sambaran yang dilancarkan Ki Wanareja ternyata
cukup cepat. Bahkan meskipun tebasan pertamanya
dapat digagalkan lawan, lelaki setengah baya itu masih
dapat menyusuli dengan serangan berikutnya.
"Heaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Ki Wanareja
berkelebat disertai sambaran sepasang goloknya. Cepat
dan mantap sekali gerakannya. Sehingga mau tidak
mau, dara berbaju kuning yang menjadi lawannya ber-
gerak mundur.
Meskipun serangan-serangannya telah membuat
lawan terdesak, namun Ki Wanareja tidak mau terpancing
amarahnya. Tebasan-tebasan yang dilakukannya pun,
tetap terarah tepat. Bahkan terkadang masih ditam-
bah dengan tendangan-tendangan kilat yang menda-
dak.
"Yeaaat..!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh,
dara berpakaian serba kuning itu menjadi penasaran!
Sambil berteriak melengking, tubuhnya berkelebat ce-
pat dan menyelinap di antara sambaran golok lawan.
Sedangkan sepasang tangannya meluncur cepat den-
gan cengkeraman-cengkeraman yang menebarkan
bau amis.
Wuuut.... Wuuut...!
Bukan main terperanjatnya hati Ki Wanareja
melihat serangan yang menimbulkan hawa beracun
itu. Cepat tubuhnya dilempar hingga satu tombak ke
belakang.
Whusss...!
"Akhhh...!"
Sayang lemparan tubuh yang dilakukan Ki Wana-
reja masih kalah cepat dengan gerakan lawan. Se-
hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya siap men-
jadi sasaran pukulan lawan.
Bukkk...!
Ki Wanareja menjerit ketika tubuhnya terbanting
ambruk di atas tanah. Pukulan dara berpakaian kuning
itu tepat menghantam dadanya. Darah kental berwar-
na kehitaman, tampak mengalir dan mulutnya. Wajah-
nya pun perlahan-lahan berubah kehijauan.
"Hekhhh.... Hekhhh...."
Dan sungguh aneh akibat pukulan itu.
Bagaikan orang gila, Ki Wanareja mencekik lehernya
sendiri. Pengaruh racun yang memasuki tubuhnya, terasa
bagai hawa panas tertelan olehnya. Sehingga, kerongkon-
gannya terasa kering kerontang.
Samilaga yang saat itu juga tengah bertarung de-
ngan para anggota perampok, cepat menoleh. Namun,
wajahnya kontan memucat. Bergegas lelaki kurus itu
melompat ke arah kepala desanya yang seperti tengah
bertarung dengan diri sendiri.
"Ki...! Kau..., kau...."
Samilaga tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
Bahkan dia langsung melompat mundur begitu melihat
keadaan Ki Wanareja yang mengerikan itu.
Meskipun dalam keadaan sekarat seperti itu, ter-
nyata Ki Wanareja masih sempat mendengar teriakan
Samilaga. Maka, kepalanya pun berpaling cepat ke
samping.
Samilaga yang menjadi tangan kanan Ki Wanareja,
kembali melompat mundur melihat tatapan mata kepala
desa itu. Memang, sepasang mata Ki Wanareja berubah
menjadi liar. Bahkan otaknya tak lagi menunjukkan ke-
warasan. Jelas, orang nomor satu di Desa Batu Apung
itu telah menjadi gila, karena rasa sakit dan penderi-
taan yang menimpa.
"Hik hik hik.... Hayo lumatkan dia! Hancurkan sa-
ja tubuhnya!"
Dara berpakaian serba kuning yang merupakan
salah seorang dan Tiga Dewi Pulau Setan, berteriak
memerintah kepada Ki Wanareja untuk menerkam Sa-
milaga. Tentu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus itu
terkejut.
Dengan penuh amarah, Samilaga menolehkan
kepala ke arah dara berbaju kuning itu. Sepasang ma-
tanya tampak menyiratkan luka yang menerbitkan
dendam.
"Iblis keji! Kau benar-benar bukan manusia! Kau se-
pantasnya tidak hidup di dunia ini. Tempat yang cocok
buat orang sepertimu hanyalah neraka!" maki
Samilaga dengan sorot mata penuh dendam.
Dan tanpa basa-basi lagi, tubuh lelaki tinggi kurus
itu pun langsung melesat disertai tebasan goloknya.
Wuuut...!
Sambaran golok di tangan Samilaga, sama sekali ti-
dak membuat dara berpakaian kuning itu kewalahan.
Dengan gerakan yang sangat meremehkan, dia bergeser
ke kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.
Zebbb.... Desss...!
Tendangan dara berpakaian kuning yang tak
terduga itu telak menghajar lambung Samilaga. Maka, tu-
buh tinggi kurus itu pun langsung terpental deras di-
iringi jerit kesakitannya.
Sebenarnya, kalau Samilaga tidak terlalu termakan
amarahnya, belum tentu dapat begitu mudah dijatuh-
kan lawan. Sayang, kemarahan telah membuatnya
mata gelap. Sehingga, tendangan kilat itu tidak bisa
dihindarinya lagi. Memang, yang terpikir saat itu
hanyalah membunuh, dan mencincang tubuh lawan
secepatnya. Tentu saja hal itu membuat kewaspadaan-
nya hilang. Sehingga, kerugianlah yang harus diterima.
Dara cantik berpakaian serba kuning itu ternyata ti-
dak membiarkan Samilaga begitu saja. Dengan bibir me-
nyunggingkan senyum manis, dara cantik itu melang-
kahkan kakinya mendekati tubuh lawan yang hendak
bergerak bangkit.
"Hik hik hik...! Kau boleh menyusulnya kalau
memang suka...," ujar dara berpakaian kuning itu, dis-
ertai kerdipan matanya.
Kemudian, tangannya bergerak. Maka seketika
bertebaran semacam bulu-bulu ke seluruh tubuh Samila-
ga.
Kejadian yang menimpa Samilaga setelah tubuhnya
terserang bulu-bulu halus, memang mengerikan sekali.
Bagaikan orang gila, lelaki tinggi kurus itu mulai mendesis-
desis sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepa-
sang matanya membelalak. Seluruh kulit muka dan
tubuhnya, merah bagai terpanggang api.
"Uhhh.... Uhhh.... Uhhh...."
Makin lama, suara mendesis yang keluar dari
mulut Samilaga semakin cepat dan keras. Kemudian, ia
mulai menggaruk satu bagian tubuhnya. Setelah itu ber-
pindah ke lain tempat. Begitu seterusnya, seluruh tubuh
dan wajahnya kebagian.
Perbuatan Samilaga semakin menggila. Meskipun se-
kujur kulit wajah dan tubuhnya telah terkelupas, na
mun ia tetap saja menggaruk kuat-kuat. Sehingga, darah
segar pun mulai mengalir dari luka-luka yang ditimbul-
kan akibat garukan itu.
"Hik hik hik...! Kau lucu sekali, Lelaki Gagah. Ting-
kahmu tak jauh berbeda dengan monyet Sayang, wajahmu
jauh lebih jelek dari monyet," ejek dara berpakaian
serba kuning itu sambil memperdengarkan tawa iblisnya.
Setelah kedua orang tokoh Desa Batu Apung itu meng-
gelepar tewas, barulah rombongan perampok itu bergerak
meninggalkan desa. Tak seorang pun dari para pengawal
kepala desa, ataupun penduduk yang dibiarkan hidup. Se-
luruhnya tewas dibantai para pengikut Tiga Dewi Pulau
Setan.
Desa Batu Apung yang semula tenang dan penuh
kedamaian, kini terlihat lengang dan sunyi. Sedang di ja-
lan-jalan utama, hanyalah ceceran darah dan sosok- so-
sok mayat bergelimpangan tumpang-tindih.
Rumah-rumah penduduk yang semula berjajar ra-
pi, kini tinggal puing-puing hitam. Semua yang ada di
Desa Batu Apung lenyap dalam sekejap, akibat kega-
nasan gerombolan perampok yang dikepalai Tiga Dewi
Pulau Setan.
***
DUA
"Kurang ajar...!"
Brakkk!
Bentakan keras yang disusul suara berderak itu,
membuat beberapa orang yang duduk langsung me-
nundukkan kepala dengan wajah memucat. Mereka
seakan-akan tak berani menatap wajah laki-laki seten
gah baya yang tengah menahan amarah bergejolak.
"Mereka benar-benar telah menginjak mukaku! Ini su-
dah keterlaluan, dan tidak boleh didiamkan! Kalau hari
ini mereka sudah berani menjarah dan memusnahkan
Desa Batu Apung, bukan tidak mungkin kalau esok
atau lusa akan berani menginjak Kota Kadipaten. Dan
kalau hal itu benar-benar terjadi, hancur sudah kewi-
bawaan Kadipaten Blambang."
Kembali suara penuh kemarahan dari lelaki pendek
gemuk berkepala botak itu, menggelegar di ruang perte-
muan itu. Dia adalah Adipati Blambang. Namanya, Ja-
la Tungga.
"Ampun Gusti Adipati.... Hamba kira, hal ini hanya
merupakan pancingan saja. Sengaja desa yang letaknya
paling dekat dengan kadipaten ini dimusnahkan. Dan
apabila kita mengirimkan pasukan untuk membasmi
mereka, hamba rasa akan sia-sia saja, Paduka
Gusti. Bahkan bukan tidak mungkin pada saat pra-
jurit kita dalam perjalanan menuju Desa Batu Apung,
gerombolan perampok itu akan menyerbu kadipaten.
Nah, bukankah hal itu akan lebih berbahaya lagi, Gus-
ti?" sergah salah seorang perwira.
Dia berusia lima puluh tahun. Pakaiannya tampak di-
hiasi beberapa tanda jasa. Tampaknya, pengabdiannya pa-
da Kadipaten Blambang telah cukup lama. Dan kini, kem-
bali dia duduk di tempatnya semula.
"Mengapa kau menduga demikian, Pragala? Apakah
kau pikir mereka akan dapat merebut kadipaten ini
hanya dengan lima puluh orang? Huh! Jangankan baru
lima puluh orang perampok, lima ratus orang prajurit ter-
latih pun belum tentu sanggup merebut Kota Kadipaten ini
dan tanganku. Mengerti kau, Pragala?" sahut Adipati Jala
Tungga. Jelas kalau ia merasa sangat keberatan atas usul
yang diajukan perwira bernama Pragala itu.
"Maaf, Gusti Adipati. Dugaan hamba ini tentu saja di-
dasari alasan kuat. Pertama, selama ini tidak pernah ada
desa-desa terdekat yang mendapatkan gangguan perampok.
Jangankan desa terdekat. Yang letaknya agak jauh dan
kadipaten pun, tidak pernah ada gangguan. Jadi ka-
lau sekarang ini ada gerombolan perampok gila yang be-
rani mengacau desa paling dekat dengan Kadipaten
Blambang ini, jelas kalau mereka memang mempunyai niat
lain yang tersembunyi. Begitulah apa yang menjadi du-
gaan hamba, Gusti," jelas Pragala yang rupanya memiliki
pandangan tertentu sehubungan peristiwa yang me-
nimpa Desa Batu Apung.
"Tapi sepengetahuanku, yang menjadi kepala para pe-
rampok itu adalah tiga orang tokoh sesat yang men-
giriskan. Menurut apa yang pernah kudengar, mereka
adalah murid seorang nenek tua berwatak cabul yang
menjadi penguasa Bukit Setan. Itulah sebabnya, menga-
pa ketiga orang muridnya yang cantik-cantik itu dijulu-
ki sebagai Tiga Dewi Pulau Setan. Meskipun sangat can-
tik layaknya dewi kahyangan, namun kekejaman mereka
justru melebihi kekejaman iblis neraka. Jadi menurut
pendapat hamba, ya wajar saja. Tokoh-tokoh sesat ber-
kepandaian tinggi seperti mereka tentu saja tidak
merasa takut meski untuk mengacau Kota Kadipaten
sekalipun..!" timpal seorang laki-laki lain yang juga
berpakaian seorang perwira. Dan pendapat yang di-
kemukakannya, jelas sangat bertolak belakang den-
gan pendapat Pragala.
"Nah! Bagaimana pendapatmu, Pragala...? Apa
yang diucapkan Lukanji itu, jelas lebih tepat. Dan kalau
kita tetap diam diri saja, bukan tidak mungkin esok
mereka akan datang mengacau Kota Kadipaten Blambang
ini. Sudahlah, sebaiknya, sekarang seratus orang prajurit
pilihan harus dikumpulkan. Basmi gerombolan perampok kurang ajar itu sampai tuntas. Dan, ingat! Kau ku-
larang kembali sebelum para perampok laknat itu ber-
hasil ditumpas. Masih keberatan, Pragala...?" ujar Adi-
pati Jala Tungga sambil menatap wajah Pragala lekat-
lekat.
"Tentu saja tidak, Gusti Adipati. Segala titah Gusti, akan
hamba jalankan sebaik-baiknya," sahut perwira berusia
sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah tenang.
"Kapan kami harus berangkat, Gusti...?"
"Secepatnya. Usai persiapan, langsung bawa pasu-
kanmu ke Desa Batu Apung. Kuharap, kau dapat men-
jalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya, Pragala,"
sahut Adipati Jala Tungga dengan suara berwibawa.
"Hamba, Gusti Adipati...."
Setelah memberi hormat, Pragala pun beranjak ke-
luar dari ruang pertemuan itu. Langkahnya terlihat lebar
dan mantap. Jelas, lelaki bertubuh tegap itu merupa-
kan seorang ahli silat yang cukup tangguh.
"Hamba ragu kalau dia akan dapat menjalankan tu-
gas berat ini, Gusti…! Kata perwira berusia
empat puluh tahun yang tadi dipanggil Lukanji. Mimik
wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka kepada
Pragala.
"Hm.... Apakah kau merasa lebih mampu mengem-
ban tugas ini?" sahut Adipati Jala Tungga. Nadanya seperti
memperingatkan akan ucapan bawahannya itu.
Tentu saja Lukanji yang usulnya didengar Adipati Blam-
bang tadi menjadi terkejut. Semula karena usulnya di-
perhatikan, perwira itu merasa lebih disukai ketim-
bang Pragala. Buktinya, nyata sekali kalau Adipati Jala
Tungga membelanya tadi. Tapi, dugaannya ternyata me-
leset. Meskipun ucapan Pragala tadi tidak disukai sang
Adipati, namun ternyata masih lebih dipercaya daripa
da Lukanji. Dan terus terang, perwira muda itu memang
kurang begitu suka terhadap Pragala.
"Bagaimana, Lukanji? Apakah kau merasa lebih
mampu daripada Pragala?" tanya Adipati Jala Tungga lagi
ketika melihat perwira itu hanya memandanginya.
"Bukan begitu maksud hamba, Gusti Adipati. Hanya
saja, Kakang Pragala terlihat sudah cukup berumur.
Jadi, rasanya tugas yang diberikan kepadanya mung-
kin terlalu berat, Gusti," meski agak gugup, Lukanji
tetap memberikan jawaban. Sedang sepasang matanya
tampak gelisah mencari jalan keluar.
"Hm.... Jadi kau bermaksud hendak mengganti-
kannya? Begitu?" desak sang Adipati lagi. Hingga wa-
jah Lukanji tampak semakin gelisah.
"Maaf, Gusti. Sama sekali hamba tidak bermaksud
demikian. Hamba hanya..., hanya.... Ah, lebih baik
hamba pamit dulu, Gusti. Hamba masih mempunyai
pekerjaan yang belum diselesaikan."
Dan tanpa menunggu jawaban dari junjungannya,
perwira yang mempunyai kemauan tinggi itu pun ber-
gegas meninggalkan ruangan pertemuan tanpa menoleh
lagi.
Adipati Jala Tungga hanya tersenyum melihat ke-
lakuan perwira muda yang baru beberapa bulan men-
jadi pembantunya. Meskipun sang Adipati sendiri
sudah mengetahui wataknya, namun tidak terlihat
adanya sifat-sifat jelek yang ditunjukkan Lukanji. .Jadi ti-
dak ada alasan untuk memecat pembantunya yang
memiliki kepandaian cukup tinggi dan bisa diandalkan.
Tiga orang pengawal rahasia Adipati Jala Tungga
yang ikut hadir dalam pertemuan itu, tersenyum geli.
Mereka memang diperbolehkan mengikuti pertemuan
itu, namun tidak diperbolehkan mengutarakan penda-
pat. Ketiga orang pengawal rahasia itu bukan meru
pakan tentara kadipaten, namun keberadaannya sa-
ngat disegani baik oleh prajurit tingkat rendah, sampai
perwira kadipaten sendiri. Memang, mereka meru-
pakan pengawal rahasia yang bertugas melindungi
keselamatan Adipati Jala Tungga. Itulah yang menye-
babkan ketiga orang itu berada di ruang pertemuan.
Dan ketika sang Adipati sendiri mulai beranjak
meninggalkan ruang pertemuan itu, maka ketiga orang
pengawal rahasia itu pun bergegas mengikuti junjung-
annya.
***
Pragala, perwira tertua di Kadipaten Blambang itu
membawa seratus orang prajurit pilihannya menuju
Desa Batu Apung. Meskipun hal itu tidak terlalu dis-
etujuinya, namun perintah junjungannya tetap dituruti.
Biar bagaimanapun dia harus mengabdikan diri pada
Kadipaten Blambang.
Sebenarnya, Pragala bukanlah orang asing dalam
dunia persilatan. Sebagai murid sebuah perguruan
yang cukup besar dan cukup terkenal dalam rimba
persilatan, maka ia pun telah banyak mengenal tokoh
rimba persilatan. Hanya saja, nama Tiga Dewi Pulau Se-
tan memang belum pernah didengarnya. Dan itu me-
mang wajar, karena ketiga orang tokoh sesat yang kabar-
nya cantik bagai seorang dewi itu jarang sekali muncul di
dunia ramai. Mereka lebih suka menyembunyikan diri di
pulau kediaman mereka. Maka kalau sampai keluar dan
melakukan perampokan, tentu ada sesuatu yang menye-
babkannya.
"Hm.... Aneh-aneh saja orang-orang rimba persilatan
itu. Kalau memang benar mereka berwajah cantik bagai seo-
rang dewi, mengapa harus merampok? Rasanya kalau me
reka muncul di Kota Kadipaten, bukan tidak mungkin bisa
mendapatkan jodoh seorang putra adipati. Bukankah itu
lebih baik ketimbang menjadi perampok hina?" Batin
Pragala tak habis mengerti akan ulah ketiga tokoh aneh
yang dikabarkan sangat cantik itu.
Sementara, rombongan yang dibawa Pragala sudah
mulai memasuki perbatasan Desa Batu Apung. Perwira
setengah baya itu memerintahkan dengan isyarat tan-
gan agar pasukan di belakangnya memperlambat langkah.
Pragala menjalankan kudanya perlahan memeriksa
sekeliling tempat itu. Sedang pasukan di belakang-
nya berhenti dan menunggu isyarat lagi. Sementara
dua orang perwira lain yang masing-masing berusia tiga
puluh tahun dan tiga puluh lima tahun, bergerak men-
dampingi Pragala.
Dengan naluri peka, Pragala seperti bisa merasa-
kan kalau daerah di sekitar tempat itu sama sekali tidak
mengandung ancaman bahaya. Meski di sekeliling me-
reka rapat ditumbuhi semak-semak, namun semua itu
sama sekali tidak menimbulkan rasa tegang di hati Pra-
gala.
Tak lama setelah itu, Pragala mengibaskan lengan ka-
nannya ke depan sebagai isyarat untuk maju. Sedang-
kan ia sendiri, terus melangkahkan kudanya perlahan di
depan.
Kening perwira setengah baya itu baru berkerut keti-
ka mereka hampir tiba di mulut Desa Batu Apung.
Sepasang lengan Pragala memberi isyarat kepada para
prajuritnya untuk menyebar dan mengurung mulut de-
sa itu. Kemudian, setelah pasukan terpecah menjadi tiga
kelompok, mereka pun mulai bergerak hati-hati mema-
suki desa.
"Aaaa…..!"
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang memecah kete-
gangan para prajurit Kadipaten Blambang itu. Cepat ba
gai kilat, mereka berlompatan ke arah asal jeritan tadi.
Namun, apa yang disaksikan oleh para prajurit itu be-
nar-benar membuat keberanian seketika lenyap! Di depan
mereka, tampak lima orang prajurit berkelojotan sekarat Se-
kujur tubuh mereka berwarna kehijauan, dan dari mu-
lut keluar lendir yang berbau busuk.
"Gila! Hati-hati! Desa ini telah dipenuhi racun ja-
hat! Ayo, cepat keluar...!"
Pragala yang segera saja dapat membaca apa yang te-
lah menimpa lima prajuritnya, cepat mengambil sikap.
Diperintahkannya para prajurit yang lain untuk segera ke-
luar dari dalam desa.
Dan rasanya, Pragala tidak perlu mengulang perin-
tahnya. Memang tanpa diperintah sekalipun, para pra-
jurit yang sudah dicekam rasa ngeri itu pasti akan lari lin-
tang-pukang meninggalkan desa itu.
Dalam waktu singkat saja, puluhan orang prajurit Ka-
dipaten Blambang telah keluar dari Desa Batu Apung.
Dan kini mereka hanya berdiri menanti perintah perwira
mereka.
"Bagaimana ini, Kakang? Apa yang harus kita perbuat?"
tanya salah seorang perwira kepada Pragala yang meru-
pakan pimpinan rombongan.
"Kita ambil jalan memutar melalui hutan di depan
itu...," sahut Pragala sambil melepaskan pandangannya
ke sebuah mulut hutan yang terpisah beberapa belas
tombak dari tempat mereka berdiri.
"Bukankah hal itu akan lebih berbahaya, Kakang. Apa-
lagi, kita sama sekali belum tahu keadaan hutan itu," sa-
lah seorang perwira bawahan Pragala, mencoba memberi
pandangannya.
Jelas kalau ia sudah terpengaruh oleh kejadian
yang baru saja menimpa lima orang prajuritnya. Sehingga
kedua orang perwira itu bersikap lebih berhati-hati dalam
mengambil langkah berikutnya.
"Hm.... Kurasa jalan itu akan lebih baik daripada ha-
rus melewati desa yang seluruhnya mungkin telah terce-
mar racun keji itu. Nah, menurutmu jalan mana yang le-
bih baik, Adi?" tanya Pragala meminta pendapat kedua
orang pembantunya, meskipun sebenarnya ia tidak
memberi pilihan pada kedua orang perwira itu.
"Yah.... Rasanya memang tidak ada pilihan lagi un-
tuk kita, Kakang. Dan satu-satunya jalan, memang hutan
di depan itulah yang harus kita tembus," sahut salah seo-
rang perwira pembantu Pragala yang memiliki tahi lalat be-
sar di pipi sebelah Kirinya. Dia bernama Jatalu.
"Hm.... Bagaimana, Jaladra? Apakah punya jalan ke-
luar yang lebih baik?" tanya Pragala kepada perwira yang
bernama Jaladra.
"Tidak, Kakang. Memang itulah satu-satunya jalan ter-
dekat yang kita miliki saat ini," sahut Jaladra cepat.
"Kumpulkan mereka. Kita harus keluar dari dalam hu-
tan itu saat hari belum gelap. Ayo kita berangkat," perintah
Pragala yang segera melompat naik ke punggung kuda,
dan menggebahnya perlahan-lahan.
Rombongan prajurit Kadipaten Blambang itu pun kem-
bali bergerak. Kali ini mereka harus melewati hutan le-
bat, namun tidak terlalu besar. Sehingga, dapat dilalui tan-
pa harus bermalam di dalamnya.
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika rom-
bongan yang di bawah pimpinan Pragala hampir melewati
hutan lebat itu. Mereka terus bergerak tanpa mengenal le-
lah.
***
Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba di
luar hutan. Namun baru saja rombongan terakhir keluar
dari dalam hutan, terdengar teriakan ngeri yang disusul ber-
tumbangannya beberapa orang prajurit
Jaladra, perwira bertubuh kekar itu, bergegas meng-
hampiri enam sosok anak buahnya yang diam tak berge-
rak.
"Gila! Mereka tewas semua, Kakang. Entah apa yang
menyebabkannya?" lapor Jaladra ketika melihat Pragala
sudah berdiri di sebelahnya.
"Hm.... Mereka tergigit semut merah yang mengan-
dung racun api. Kau lihat saja kulit tubuh mereka yang
melepuh bagaikan terbakar itu," sahut Pragala yang se-
gera mengedarkan pandangan ke tanah tempatnya berpi-
jak.
"Ahhh...! Mundur...!"
Pragala yang melihat barisan semut merah yang be-
sarnya dua kali semut biasa, bergerak cepat merayap
menuju ke arah rombongan.
"Hik hik hik...! Ayo, Manis. Nikmatilah makan soremu
untuk hari ini."
Tiba-tiba terdengar suara merdu yang entah dari mana datangnya. Dan tahu-tahu saja, seorang dara cantik bagaikan seorang dewi telah duduk mencang- kung di atas sebatang ranting pohon yang cukup tinggi. "Keparat! Dasar kau iblis betina keji! Turunlah ka-
lau memang ingin membunuh kami. Mengapa harus ber-
sembunyi dan mengandalkan binatang beracun sebagai pelindungmu?!" tantang Pragala yang menjadi marah
sekali ketika melihat gadis cantik itu di atas cabang pohon.
"Hik hik hik.... Jangan takabur, Perwira Peot Lihat-
lah dirimu, apa yang kau andalkan untuk menghadapiku?
Pasukanmu, bukan? Lalu, apa bedamu dengan aku yang
hanya mengandalkan beberapa ratus ekor semut sebagai
pelindung. Apakah itu salah?" balas wanita cantik beru-
sia sekitar tiga puluh tahun itu.
Wanita itu mengenakan pakaian berwarna ungu. Itu
lah sebabnya, dia berjuluk Dewi Baju Ungu. Rambutnya
yang tebal dan gemuk, tampak diikat sehelai selendang
yang juga berwarna ungu. Benar-benar seorang wanita
yang sangat cantik dan menarik!
"Bangsat! Anak-anak, hujani iblis wanita itu dengan
anak panah. Cepat..!" teriak Pragala memerintah sambil
menudingkan tangan kanannya ke tempat wanita itu du-
duk.
Namun, sebelum para prajurit Pragala sempat me-
nyiapkan anak panah dan busurnya, tiba-tiba terdengar
suara mendengung laksana ribuan lebah mengamuk.
"Aaa…!"
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan-jeritan kematian yang merobek ke-
tenangan suasana sore itu. Kemudian, disusul berjatu-
hannya puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang da-
lam keadaan tewas.
Ternyata sebelum para prajurit Kadipaten Blambang
sempat melepaskan anak panah, mereka telah dihujani
puluhan batang anak panah dari empat penjuru. Dan se-
belum yang lain sempat menyadari keadaan itu, tiba-tiba
puluhan sosok tubuh berlompatan dari balik semak-
semak di sekeliling mereka.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan parau dan jerit kematian pun su-
sul menyusul ketika pertarungan besar-besaran itu tidak
bisa dihindari lagi.
Puluhan orang kasar yang ternyata memang ge-
rombolan perampok di bawah pimpinan Tiga Dewi Pulau
Setan, terus mendesak prajurit kadipaten tanpa membe-
ri peluang sedikit pun. Sehingga dalam waktu yang tidak
terlalu lama, tentara Kadipaten Blambang sudah lebih da-
ri separuhnya yang tewas.
Jaladra dan Jatalu tengah berjuang mati-matian un-
tuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman senjata para
pengeroyok
"Haiiit...!"
Sambil berseru nyaring, Jaladra melompat Setinggi bahu
dan langsung mengibaskan goloknya sekuat tenaga.
Bettt...!
Brettt! Brettt!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang pengepung
yang berada di sebelah kanannya terjungkal mandi da-
rah. Namun, sebelum Jaladra sempat memperbaiki kea-
daannya, sebuah bacokan keras telah membuat tubuhnya
terhuyung dengan luka menganga di punggung.
"Aaakh...!"
Jaladra meraung merasakan sakit luar biasa pada
punggungnya. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu,
tahu-tahu saja sebuah benda halus telah menjerat leher-
nya.
"Haaat ..!"
Terdengar sebuah bentakan nyaring yang dibarengi
terangkatnya tubuh Jaladra. Tentu saja kenyataan ini
membuat perwira itu semakin bertambah pucat. Saat itu
juga langsung dapat ditebak ketika keharuman yang
menebar dari selendang hijau yang melilit batang le-
hernya tercium. Dia adalah salah seorang dari Tiga
Dewi Pulau Setan, yang berjuluk Dewi Baju Hijau.
Tampak Dewi Baju Hijau yang berusia dua puluh tujuh
tahun dan memiliki paras memikat itu tengah tertawa-
tawa. Tangannya sibuk mempermainkan selendang hijau
yang ujungnya melilit di leher Jaladra.
"Hait ..!"
Tiba-tiba sambil memperdengarkan teriakan nyaring,
Dewi Baju Hijau melecutkan selendang hijaunya ke ba-
wah. Dan tentu saja gerakan selendang gadis itu membuat
tubuh Jaladra meluncur deras ke atas tanah! Dan....
Prakkk!
Darah segar berhamburan ketika kepala Jaladra
terjatuh menimpa sebuah batu cadas cukup besar. Tanpa
ampun lagi, laki-laki pendek kekar itu pun menghem-
buskan napasnya yang terakhir dengan keadaan menge-
naskan.
Sedangkan Pragala yang merasa sangat dendam ter-
hadap Dewi Baju Ungu sudah pula bertarung sengit Na-
mun, bukan main terkejutnya hati perwira setengah baya
itu ketika mendapat kenyataan kalau kepandaiannya ma-
sih berada di bawah dara jelita itu. Tentu saja kenyataan
pahit itu menimbulkan kecemasan dalam hatinya.
"Sahabat, kami datang menolong...!"
Terdengar seruan nyaring yang disusul berkelebatnya
belasan sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba
putih. Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung saja
menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran.
"Heaaat...!"
Salah seorang dari mereka yang dari teriakan dan ge-
rakannya jelas adalah seorang wanita, mengamuk hebat!
Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, enam
orang anggota perampok Tiga Dewi Pulau Setan telah da-
pat dirobohkannya.
Tentu saja kenyataan itu membuat Pragala menarik
napas lega. Bayangkan saja! la yang merasa sudah tidak
mempunyai harapan hidup lagi, tiba-tiba saja datang
belasan sosok jubah berpakaian serba putih yang
langsung menerjunkan diri dalam pertempuran.
Sedangkan ia sendiri sudah dibantu seorang berpakaian
putih yang wajahnya ditumbuhi brewok.
Gerakan golok besar di tangan laki-laki brewok itu ter-
nyata sanggup membendung serangan Dewi Baju Ungu.
Maka, selamatlah nyawa Pragala dari kematian.
Tengah para perampok itu terdesak hebat, terdengar
suara siulan melengking panjang dan menggetarkan.
Sehingga pertempuran yang tengah berlangsung sengit
itu terhenti sejenak.
Siulan melengking itu, rupanya merupakan isyarat bagi
para perampok. Mendengar suara itu, Dewi Baju Hijau dan
Dewi Baju Ungu serentak memberi isyarat kembali den-
gan nada yang sama. Saat itu juga keduanya mening-
galkan arena pertempuran, diikuti para anggotanya.
Pragala dan orang-orang berpakaian serba putih ter-
sentak kaget Ternyata sebelum meninggalkan arena per-
tarungan, Dewi Baju Ungu sempat melepaskan Semut Ra-
cun Api yang tadi telah dimasukkannya ke dalam bum-
bung bambu.
Untunglah baik Pragala maupun laki-laki brewok
yang menolongnya sempat melompat mundur. Se-
hingga, keduanya yang memang berada paling dekat
dengan Dewi Baju Ungu dapat menyelamatkan dirt dari
binatang-binatang beracun itu.
Beberapa orang prajurit yang tak sempat menghindarkan
diri, langsung menggelepar tewas dengan kulit tubuh mele-
puh. Tentu saja hal itu membuat yang lain menjadi kalang-
kabut!
"Ayo, cepat tinggalkan tempat celaka ini...!" seru bre-
wok, cepat mengambil tindakan tepat Kemudian, tu-
buhnya langsung melesat mendahului yang lain.
Mendengar seruan itu, Pragala pun tersadar dari keter-
pakuannya. Cepat diperintahkannya para prajurit untuk
segera menjauhi tempat itu.
Tanpa diperintah dua kali, sisa para prajurit Kadipa-
ten Blambang bergegas mengikuti pemimpinnya. Se-
bentar saja, tempat itu pun menjadi sunyi. Yang ting-
gal hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sang tum-
pang tindih. Sementara, bau amis yang disertai bau
anyir darah, menyebar memenuhi tempat itu.
***
TIGA
Seorang pemuda tampan mengenakan jubah ber-
warna putih, tengah melangkah diiringi hembusan
angin pagi. Jubah panjangnya, berkibar dipermainkan
angin. Rambutnya yang jatuh di bahu, bergoyang
mengikuti ayunan kakinya.
Menilik gerak-gerik maupun ayunan langkahnya
yang ringan dan mantap, jelas kalau pemuda tampan
itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya yang ta-
jam, menyiratkan perbawa dan kekuatan hebat. Apa-
lagi jika orang melihat gagang pedang yang menyembul
di balik bahunya. Jelas sudah kalau pemuda tampan itu
memang seorang tokoh rimba persilatan.
Melihat ciri-ciri maupun Pedang Naga Langit yang ter-
sampir di punggung, sudah dapat ditebak kalau pe-
muda itu pasti Panji yang lebih dikenal Pendekar Naga
Putih.
Ketika tiba pada sebuah tepi sungai, Panji meng-
hentikan langkahnya sejenak. Pandangannya segera
beredar ke sekeliling tempat itu. Pendekar Naga Putih te-
ringat akan tugas yang diberikan Raja Obat, sehingga ter-
paksa harus berpisah, setelah berhasil meloloskan diri
dari tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka.
Memang, Raja Obat menginginkan Panji agar menyelidiki
tokoh yang mengiriskan itu. Dan tugas itu telah disang-
gupinya.
Raja Obat sendiri akan menghubungi tokoh-tokoh go-
longan putih lain, karena kehadiran tokoh sesat itu jelas
merupakan ancaman bagi golongan putih. Dan Raja
Obat berniat mengadakan pertemuan sehubungan
dengan munculnya Malaikat Gerbang Neraka (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang pertemuan Pendekar Naga Pu-
tih dan Raja Obat, silakan mengikuti episode "Malaikat
Gerbang Neraka").
"Hm.... Apa sebenarnya yang tengah direncanakan
para tokoh golongan sesat itu? Rasanya tidak mung-
kin kalau hanya sekadar menguasai dunia persilatan sa-
ja. Aku harus mencari keterangan tentang rencana me-
reka yang sebenarnya," gumam Panji menanamkan tekad
dalam hati.
Setelah mengambil keputusan demikian, Pendekar Na-
ga Putih pun mengayun langkahnya. Sungai lebar yang
membentang di depan, sama sekali tidak menghalangi ge-
raknya. Dengan bertumpu pada permukaan batu-batu
yang menyembul di permukaan air, pemuda itu menyebe-
rangi aliran sungai tanpa kesulitan.
Bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-
main di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih berloncatan
menuju seberang sungai. Dalam beberapa kejapan mata sa-
ja, tubuhnya sudah tiba di seberang sana.
Tanpa terburu-buru, pendekar muda itu melanjutkan
perjalanannya menyusuri dataran berumput tebal. Panji
mengerutkan keningnya ketika tiba pada sebuah jalan le-
bar. Tampak orang berbondong-bondong tengah menuju
ke arahnya.
Kalau saja Panji tidak melihat raut wajah mereka yang
ketakutan dan juga buntalan-buntalan besar di bahu me-
reka, tentu tidak akan mengambil peduli. Namun karena
tingkah laku mereka demikian menarik perhatian, tentu saja
pemuda itu pun menjadi ingin mengetahuinya.
Ketika rombongan orang yang mirip pengungsi itu lewat
di sampingnya, Panji bergegas merendengi salah seorang di
antara mereka.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku tahu? Hendak ke manakah
tujuan kalian sebenarnya? Dan mengapa terlihat begitu ter-
buru-buru?" tanya Panji sambil mengiringi langkah kaki
salah seorang dan mereka yang berusia sekitar lima puluh
tahun lebih.
"Kau sendiri, hendak menuju ke manakah, Anak Mu-
da?" tanya laki-laki itu balik bertanya.
Orang itu menatap wajah dan sekujur tubuh Pendekar
Naga Putih. Keningnya terlihat berkerut ketika sepasang
matanya tertumbuk pada gagang pedang di punggung pe-
muda itu. Jelas, sepasang mata itu menyiratkan rasa ti-
dak suka melihat gagang pedang yang tersembul di balik
bahu pemuda itu.
"Maaf, Paman. Kebetulan aku hendak menuju ke arah
yang kalian tinggalkan. Jadi, aku ingin mengetahui
apa yang tengah terjadi di desa depan sana?" sahut
Panji sambil menuding ke belakang.
"Hm.... Kalau ingin mendapat celaka, pergilah ke sa-
na. Di depan sana, bukan sebuah desa seperti yang kau
kira. Tapi, sebuah kota kadipaten. Dan tempat itu sekarang
telah menjadi neraka! Empat orang laki-laki berwatak se-
perti iblis, telah mengamuk dan menguasai Kadipaten
Blambang. Tak lama setelah seluruh kota dikuasai, da-
tang serombongan orang berkuda yang mungkin meru-
pakan pengikutnya. Dan ternyata rombongan orang itu
lebih jahat lagi. Mereka merampok dan mengganggu
anak gadis serta istri orang. Siapa saja yang melawan,
dibunuh tanpa ampun. Itulah sebabnya, mengapa kami
para penduduk kadipaten hendak mengungsi dan men-
cari tempat lain yang lebih aman," jelas laki-laki seten-
gah baya itu tanpa menghentikan langkah sedikit pun.
"Apakah Paman tidak bisa mengenali, siapa adanya
orang-orang itu? Dan ke mana perginya penguasa Kadipa-
ten Blambang? Bukankah Gusti Adipati memiliki banyak
prajurit tangguh? Mengapa mereka tidak melakukan per
lawanan?" tanya Panji lagi merasa belum puas atas ke-
terangan orang itu.
"Hm.... Apakah kau tidak tahu, hampir sebagian pra-
jurit pilihan telah dikerahkan untuk menumpas ge-
rombolan perampok yang mengacau Desa Batu
Apung. Nah, tak lama setelah kepergian para prajurit yang
dipimpin perwira Pragala, datanglah keempat manusia
iblis itu. Mereka mengamuk dan membunuhi seluruh pra-
jurit yang mencoba melawan. Bahkan tiga orang jagoan
kadipaten pun, kabarnya tak mampu membendung amukan
mereka. Sampai-sampai Gusti Adipati sendiri harus tun-
duk di bawah kekuasaan keempat orang itu," tutur laki-
laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu menghentikan ceritanya
sejenak. Di matanya, tampak memancar sinar ketakutan.
Rupanya, peristiwa di Kadipaten Blambang sangat memu-
kul batinnya. Betapa tidak? Anak gadisnya telah diperko-
sa anggota perampok, lalu dibunuh!
"Karena tidak ada lagi yang dapat diharapkan un-
tuk melindungi keselamatan kami, maka para penduduk
yang masih selamat bergegas meninggalkan kota kadipa-
ten. Kalau boleh kunasihatkan, Anak Muda! Jika masih
menyayangi nyawamu, sebaiknya tinggalkanlah tempat
ini. Urungkan saja niatmu untuk melihat tempat yang kini
telah menjadi sarang manusia iblis itu," lanjut lelaki se-
tengah baya itu sambil menasihati Panji. Kemudian dia
bergegas menyusul rombongannya.
Setelah merasa kalau keterangan yang didapat cu-
kup lengkap, Panji pun menghentikan langkahnya. Di-
biarkannya lelaki setengah baya itu melangkah terburu-
buru menyusul kawan-kawannya yang lain.
"Hm.... Orang-orang yang menguasai Kadipaten
Blambang sudah hampir pasti para pengikut Malaikat Ger-
bang Neraka. Tahulah aku sekarang, mereka pasti bukan
hanya sekadar ingin menguasai kadipaten itu. Tapi,
mungkin saja tengah merencanakan sesuatu yang lebih
besar lagi," gumam Panji sambil melangkah menyusuri ja-
lan lebar yang berhubungan langsung dengan Kota
Kadipaten Blambang. "Aku harus menyelidikinya."
Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh
Panji pun segera berkelebat cepat menuju Kota Kadipa-
ten Blambang. Pemuda itu sengaja mengambil jalan mela-
lui hutan kecil agar tidak berpapasan dengan para pen-
gungsi ataupun gerombolan pengacau. Masalahnya,
bukan tidak mungkin kalau para pengacau itu akan
mengadakan pembersihan di sekitar daerah ini.
Pendekar Naga Putih menyelinap di balik semak-
semak ketika tiba di gerbang sebelah Barat. Tampak
beberapa belas orang tengah berjaga-jaga di sana.
Panji memutar otaknya untuk mencari jalan agar
dapat memasuki kota kadipaten tanpa harus menga-
lami kesulitan. Karena tidak juga menemukan jalan
masuk, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk me-
nyelidiki kota pada waktu malam. Hanya kegelapan
malamlah yang diharapkan dapat membantunya.
***
Saat itu, kegelapan sudah menyelimuti permukaan
Kota Kadipaten Blambang. Tampak sesosok bayangan
putih melesat melewati tempat-tempat sunyi dan gelap.
Melihat dari sikapnya, jelas kalau kedatangannya tidak
ingin diketahui orang.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang telah menca-
pai titik kesempurnaan, sosok bayangan putih itu
bergerak cepat di atas rumah-rumah penduduk. Kare-
na gerakannya sangat cepat dan hanya merupakan ke-
lebatan bayangan, maka tak seorang pun yang merasa
tertarik. Apalagi ia selalu bergerak di tempat-tempat yang
terlindung kegelapan. Maka sosok tubuh itu tidak sam-
pai terlihat dari bawah.
Tak lama kemudian, sosok bayangan putih itu terlihat
menghentikan gerakannya. Tubuhnya direndahkan un-
tuk mengamati sebuah bangunan megah yang jelas me-
rupakan tempat kediaman Adipati Jala Tungga.
Dengan mengandalkan pancaran cahaya obor
yang terpancang di depan bangunan megah itu,
matanya melihat belasan sosok tubuh tengah hilir-
mudik berjaga-jaga di depan gerbang.
Sosok bayangan putih itu kemudian melayang tu-
run ketika beberapa orang penjaga tampak meninggalkan
tempat itu untuk berkeliling. Maka kesempatan itu pun
dipergunakannya untuk membungkam seorang penjaga
yang kebetulan memisahkan diri dari kawan-kawannya.
Tanpa mengalami kesulitan, dibekuknya penjaga yang
tengah merapat ke semak-semak itu.
"Cepat katakan, siapa saja yang saat ini mendiami
bangunan besar itu! Jawab kalau tidak ingin melayat
ke akhirat!" ancam bayangan putih yang ternyata
Pendekar Naga Putih, setelah menyeret orang itu ke
semak-semak yang letaknya cukup jauh dari pintu ger-
bang.
Wajah orang itu pucat seperti mayat ketika melihat so-
sok tubuh bersinar putih keperakan menyergapnya. Kalau
saja Pendekar Naga Putih tidak menyangganya, pastilah tu-
buh orang itu sudah melorot jatuh. Memang, kedua lutut
orang itu terasa lemas bagaikan tak bertulang.
"Cepat jawab! Atau kau memang telah rindu dengan
api neraka!" desis Panji ketika orang itu belum juga bisa
menjawab pertanyaannya.
"Oh..., eh...! Datuk... Panglima Sesat, Memedi Ka-
rang Api..., Raja Iblis Baju Merah, dan.... Kuntilanak Bukit
Mandau.... Mereka... itulah yang berada dalam gedung," ja-
wab lelaki itu dengan suara terpatah-patah.
"Hm.... Apakah orang yang berjuluk Malaikat Gerbang
Neraka ada bersama mereka?" tanya Panji lagi.
"Tidak.... Pemimpin Agung kami belum datang," sahut
orang itu lagi dengan suara semakin lemah.
"Bagaimana dengan Tengkorak Hutan Jati dan Ga-
ruda Mata Satu? Apakah keduanya tidak berada di tempat
ini?"
"Ya, mereka juga di dalam gedung….”
"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah di sini,"
ucap Panji, langsung melancarkan totokan pelumpuh.
Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu pun melorot jatuh
dalam keadaan pingsan. Setelah menyembunyikan sosok
tubuh itu di semak yang tersembunyi, tubuh Panji pun se-
gera melesat menuju tembok samping bangunan megah
itu.
Yakin kalau dirinya tidak terlihat oleh seorang pun, Panji
segera menjejak tanah. Saat itu juga tubuhnya langsung
melambung melewati tembok setinggi dua tombak. Begi-
tu kakinya mendarat di halaman samping gedung, pemuda
itu kembali melesat melewati taman yang terletak di
samping gedung itu.
Malang! Baru saja pemuda itu hendak menyelinap di
balik sebatang pohon, sesosok tubuh memergoki nya!
"Hei, berhenti...!" seru sosok tinggi kurus yang
langsung melesat mengejar Panji.
"Celaka...! Bukankah orang itu yang berjuluk
Tengkorak Hutan Jati…!Hm.... Aku harus se-
gera membungkamnya," gumam Panji yang merasa ter-
kejut ketika dapat mengenali orang itu.
Panji merapatkan tubuhnya dengan batang pohon
sambil menanti kedatangan Tengkorak Hutan Jati.
Dan begitu sosok tubuh tinggi kurus itu semakin men
dekati tempatnya, tubuh pemuda itu langsung melesat
dan melancarkan serangan maut!
Bettt...!
"Aaakh...!"
Tengkorak Hutan Jati berseru kaget melihat da-
tangnya serangan dahsyat itu. Cepat tubuhnya digeser ke-
samping sambil mengirim serangan balasan dengan jurus
'Cakar Penghancur Tulang'nya.
Namun, yang kali ini dihadapi adalah Pendekar Naga
Putih, yang tidak bisa disamakan dengan lawan-lawannya
terdahulu. Apalagi, saat itu Panji mengirimkan serangan
yang tidak kepalang tanggung. Memang pemuda itu sadar
kalau harus segera membungkam lawannya. Kalau ti-
dak, maka kedudukannya akan sangat berbahaya. Maka,
begitu serangan pertamanya berhasil dihindari lawan,
Panji langsung menyusul dengan hantaman telapak tan-
gan yang meluncur deras mengancam dada, Sedangkan
tendangan yang mengarah ke lambungnya, sama sekali
tidak dipedulikan. Tapi, tentu saja Panji telah menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk melindungi lambung
yang menjadi incaran serangan lawan.
Bukkk!
Wuttt!
Desss...!
Tendangan Tengkorak Hutan Jati yang telak
menghajar lambung Panji, malah membuat orang itu men-
jerit kesakitan. Dan sebelum lawan terbebas dari rasa
terkejutnya, telapak tangan pemuda itu telah mengha-
jar dada kiri lawan.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu
pun terjengkang ke belakang. Darah segar langsung
menyembur dari mulutnya. Tokoh sesat yang terkenal ke-
jam dan jarang menemukan tandingan itu, terpaksa harus
merelakan tubuhnya terbanting keras ke tanah.
Bruggg!
"Hukkk...!"
Terdengar keluhan pendek yang keluar dari mulut tokoh
sesat bertubuh tinggi kurus itu. Namun, meskipun ping-
gang dan dadanya terasa sakit, Tengkorak Hutan Jati
mencoba memaksa diri untuk bangkit berdiri.
Pendekar Naga Putih yang memang tidak ingin
memberi kesempatan kepada lawannya, kembali meluncur
dengan disertai hantaman kepalannya.
Bettt!
Plakkk!
"Ahhh !?"
Panji memekik tertahan ketika kepalannya yang ten-
gah meluncur ke dada lawan itu, tiba-tiba membentur se-
buah lengan lain yang mengandung kekuatan hebat. Se-
hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda itu
pun terjajar mundur sejauh setengah tombak lebih. Tentu
saja kenyataan itu membuat hati Pendekar Naga Pulih ber-
getar!
"Hm.... Kiranya sang pendekar besar yang coba-coba
mengacau tempat ini. Apakah yang kau cari di tempat ini,
Pendekar Naga Putih?" tegur sosok tinggi kurus.
Orang itu mengenakan jubah berwarna hitam. Se-
pasang mata yang tersembunyi di balik kerudung yang
juga berwarna hitam itu, tampak memancarkan sinar ke-
merahan yang menggetarkan hati Pendekar Naga Putih.
"Malaikat Gerbang Neraka...!" desis Panji terkejut melihat
kemunculan tokoh sesat berkepandaian tinggi itu.
Dan ketika pemuda itu mengedarkan pandangan, ha-
tinya semakin tercekat! Betapa tidak? Ternyata di tem-
pat itu telah pula berdiri beberapa sosok tu-
buh lainnya. Dua di antara mereka dikenali sebagai Datuk
Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Sedangkan dua
orang yang sama sekali belum pernah dilihatnya, namun
sudah dapat ditebak. Siapa lagi kedua orang itu kalau
bukan Datuk Selatan dan Datuk Utara. Tentu saja kenya-
taan itu membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar te-
gang! Jangankan dirinya yang hanya memiliki dua tangan
dan kaki. Andaikata saat itu memiliki delapan tangan dan
delapan kaki pun, rasanya tidak mungkin dapat melo-
loskan diri dari tempat itu.
"He he he.... ini namanya ular mencari peng-
gebuk. Siapa sangka tokoh muda yang terkenal ini
akan mencari kita," kata salah seorang dari mereka yang
bertubuh pendek gemuk dan berjenggot lebat.
Panji segera saja dapat menebak, siapa laki-laki se-
tengah baya yang bertubuh cebol dan berjubah merah itu.
Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Baju Merah? Dialah yang
merupakan penguasa golongan sesat di wilayah Selatan.
"Hik hik hik.... Pemimpin Agung, bolehkah aku me-
wakilimu untuk memberi pelajaran kepada bocah kurang
ajar ini? Rasanya tanganku sudah gatal sekali hendak
memecahkan kepalanya yang sombong itu," kata seorang
nenek.
Dia berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tubuhnya
yang bungkuk udang itu tampak seperti seekor burung ban-
gau yang berdiri di atas permukaan air. Sebatang tongkat
hitam, tampak tergenggam di tangan kanannya.
"Hm.... Silahkan, Nyai. Tapi, ingat. Pemuda ini ti-
dak boleh sampai tewas. Kau tahu, aku mempunyai se-
buah rencana yang bagus untuknya," sambut Malaikat
Gerbang Neraka yang segera melangkah mundur.
"Hati-hati, Nyai. Kabarnya pendekar muda itu telah
mampu meloloskan diri dari keroyokan dua orang kawan kita
ini. Benarkah begitu?" kata Raja Iblis Jubah Merah sambil
mengerling penuh ejekan ke arah Datuk Panglima Sesat dan
Memedi Karang Api. Jelas, ucapannya itu sengaja untuk
menyindir kedua orang rekannya.
"Hm.... Tidak perlu aku berbantah denganmu, Ma-
nusia Cebol! Kalau memang merasa mampu, uruslah pe-
muda itu!" sahut Datuk Panglima Sesat dengan wajah me-
merah.
Mungkin bila ketua mereka tidak berada di tempat itu,
Datuk Panglima Sesat sudah menerjang lelaki cebol
yang melontarkan penghinaan kepadanya.
Lain halnya Memedi Karang Api. Mendengar ejekan
itu, ia hanya terkekeh pelan. Sedikit pun hatinya tidak me-
rasa tersinggung oleh ucapan Raja Iblis Baju Merah. Seba-
liknya, ia malah mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih.
"He he he.... Pemuda itu memang lihai sekali. Ka-
lau saja aku berhadapan sendiri dengannya, mungkin
akan sulit sekali mencapai kemenangan. Entah bila kau be-
rani menghadapinya seorang diri," aku Memedi karang Api
dengan nada perlahan.
"Hm.... Meskipun harus menghadapinya seorang
mengapa harus takut? Akan kubuktikan kalau pemuda
yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu dapat kulumpuh-
kan tidak lebih dari lima puluh jurus. Lewat dari keten-
tuan itu, anggaplah kalau aku telah kalah olehnya. Ba-
gaimana? Apakah kalian berani bertaruh?" tantang Raja Ib-
lis Baju Merah, sombong.
"Sudahlah. Sekarang bukan waktunya bertengkar. Aku
tidak mau tahu! Yang penting, kalian uruslah pemuda itu.
Lumpuhkan dan bawa menghadap kepadaku di dalam
markas."
Malaikat Gerbang Neraka yang tidak ingin mendengar
perselisihan itu bergegas menengahi. Memang, kalau ti-
dak, keempat datuk itu bisa bertarung satu sama lain.
Kemudian tokoh sesat maha sakti itu melangkah mema-
suki bangunan besar itu.
Untuk beberapa saat lamanya, keempat orang datuk sesat itu hanya dapat saling berpandangan. Jelas,
kalau mereka tidak membantah perkataan tokoh mengi-
riskan itu.
Sepeninggal Malaikat Gerbang Neraka, keempat datuk
sesat itu segera mengepung Pendekar Naga Putih. Untuk
sejenak, mereka hanya berdiri mematung sambil menatap
pemuda berjubah Putih yang telah menggenggam Pedang
Naga Langit di tangan kanan. Jelas kalau Panji sudah ber-
siap menghadapi keroyokan empat orang datuk sesat itu.
***
EMPAT
"He he he.... Kalian lihat, apa yang berada di tan-
gan pemuda sombong itu? Bukankah itu Pedang Naga
Langit yang telah lenyap pada beberapa puluh tahun yang
lalu? Entah bagaimana bisa berada di tangan pemuda
itu?" ujar Raja Iblis Baju Merah yang menatap pedang di
tangan Panji penuh minat
"Hei, benar! Pedang itu memang Pusaka Naga Lan-
git! Hm.... Kalau begitu, pemuda ini memang bukan
orang sembarangan. Buktinya, hanya orang-orang pili-
hanlah yang mampu memiliki pusaka keramat itu. Wah!
Pemimpin Agung tentu akan gembira sekali apabila pusaka
keramat itu kuhadiahkan kepadanya," seru Kuntilanak
Bukit Mandau, ratu sesat di wilayah Utara.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap. Lebih baik sege-
ra kita tangkap pemuda itu saja. Mengenai pusaka keramat
itu, biarlah Pemimpin Agung yang menentukan," ujar Da-
tuk Panglima Sesat yang kekesalannya masih belum hi-
lang.
Mendengar ucapan itu, Raja Iblis Baju Merah segera
saja melompat ke arah Panji. Kedua tangannya berputa-
ran cepat hingga menimbulkan angin keras laksana topan.
Bettt...!
Sambaran tangan kanan tokoh sesat bertubuh cebol
itu ternyata sangat hebat. Serangkum angin keras berhem-
bus membuat jubah Pendekar Naga Putih berkibar ke-
ras.
Panji yang menyadari kalau harus bekerja keras un-
tuk menghadapi keempat datuk sesat itu, bergegas meng-
geser tubuhnya ke samping kanan. Berbarengan gerakan
itu, Pedang Naga Langitnya dikibaskan dengan kecepatan
kilat.
Wuttt...!
Seketika berhembus hawa dingin yang menusuk tu-
lang, disertai kilatan sinar keemasan yang berkeredep menyi-
laukan mata.
Hebat dan berbahaya sekali sambaran pedang di tan-
gan Pendekar Naga Putih. Sehingga, datuk sesat wilayah
Selatan yang semula memandang rendah pemuda itu
menjadi terkejut karenanya. Maka tubuhnya cepat dimiring-
kan sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan terbuka, men-
gancam leher Panji.
Belum lagi Pendekar Naga Putih sempat menghindari
serangan itu, Datuk Panglima Sesat melompat disertai
tebasan tangan miringnya. Serangan tokoh Timur itu
benar-benar hebat dan sangat cepat. Sehingga, pendekar
muda itu cukup sibuk menghadapi dua buah serangan
berbahaya yang menggencet dan dua arah.
Namun, Panji bukanlah pendekar hijau yang baru tu-
run gunung. Pengalaman telah banyak mengajarkannya
untuk tetap tenang meski dalam keadaan bagaimanapun
sulitnya. Maka dalam menghadapi serangan kedua orang
datuk sesat itu, cepat tubuhnya berguling. Pedangnya lang-
sung disabetkan, membabat kaki Raja Iblis Baju Merah
yang berada di depannya.
Syuuut...!
Datuk sesat bertubuh cebol itu kembali terkejut me-
lihat kegesitan lawannya. Maka serangannya yang kandas
itu cepat ditarik pulang. Kemudian, ia melompat ke bela-
kang untuk menghindari sambaran pedang yang mengan-
cam kaki kanannya.
Meskipun serangannya gagal, namun Pendekar Na-
ga Putih terus menggulingkan tubuhnya menjauhi tempat
itu. Setelah merasa cukup jauh, tubuhnya melenting
bangkit disertai gerakan pedangnya yang bergulung me-
nyelimuti tubuhnya.
"Heaaat...!"
Pada saat tubuh pemuda itu melenting bangkit,
Kuntilanak Bukit Mandau bergerak cepat melancarkan seran-
gan kilat ke arah Pendekar Naga Putih. Tongkat hitam di tangan-
nya berputaran hingga lenyap menjadi gulungan sinar hitam yang
menimbulkan angin menderu-deru.
Trang...!
Terdengar ledakan keras ketika gulungan sinar hi-
tam dan sinar kuning keemasan saling berbenturan di
udara. Bunga api memercik ketika kedua senjata yang
sama-sama digerakkan tenaga sakti luar biasa saling ber-
benturan.
“Ahhh…!”
Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tubuh-
nya yang tinggi kurus itu terjajar mundur hingga satu
tombak lebih. Tentu saja kenyataan itu membuatnya terke-
jut.
"Gila! Pemuda itu ternyata memiliki tenaga dalam yang
sangat tinggi! Untunglah aku telah berjaga-jaga sebelum-
nya. Kalau tidak, mungkin bisa terluka akibat benturan
yang keras tadi," maki Kuntilanak Bukit Mandau, dalam
hati.
Sedangkan Panji sendiri juga mengalami hal yang se-
rupa. Meskipun kuda-kudanya hanya tergempur sejauh ti
ga langkah, namun kenyataan itu telah membuatnya ter-
kejut.
"Hm.... Untuk menghadapi nenek itu saja, aku ha-
rus membutuhkan waktu yang cukup lama. Lalu, ba-
gaimana pula aku dapat lolos dari kepungan empat orang
datuk sesat ini? Hm.... Apa pun yang terjadi, aku harus
mempertahankan diri mati-matian," gumam Panji dalam
hati.
Pendekar Naga Putih merasa tidak mempunyai kesem-
patan lagi untuk keluar dari tempat itu dengan selamat.
Maka, seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang dimilikinya segera dihimpun.
Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih ke-
perakan yang menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu
tampak semakin melebar. Hal itu menandakan kalau Pan-
ji telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya untuk
menghadapi keroyokan itu.
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan dahsyat yang bagaikan hen-
dak merobohkan bangunan besar itu, tubuh Panji melesat
cepat ke arah Kuntilanak Bukit Mandau.
Wukkk... wukkk...!
Pedang Naga Langit di tangan pemuda itu berputa-
ran menciptakan gelombang angin puting-beliung yang
mengerikan. Sinar keemasan bergulung-gulung turun-
naik bagaikan seekor naga murka.
Kuntilanak Bukit Mandau terkejut bukan kepalang meli-
hat dahsyatnya serangan yang dilancarkan pemuda itu.
Cepat tongkat hitam di tangannya diputar. Sekejap sa-
ja, terciptalah sinar hitam yang bergulung- gulung. Sehing-
ga, suasana di sekitar arena pertarungan semakin hiruk-
pikuk.
Tiga orang datuk sesat lainnya pun tidak tinggal di-
am. Serentak mereka bergerak dari tiga jurusan untuk
meringkus Pendekar Naga Putih.
"Haiiit...!"
Teriakan nyaring itu dibarengi melesatnya Kuntilanak
Bukit Mandau disertai putaran tongkat hitamnya.
Panji yang saat itu juga tengah melompat disertai
ayunan pedangnya, tentu saja tidak ingin terjebak se-
rangan lawan. Diperkirakan, kalau ia nekat membentur
tongkat hitam datuk Utara itu, jelas akan menderita ke-
rugian yang tidak kecil. Maka, tubuhnya digeser un-
tuk mengelakkan serangan tongkat hitam itu. Sambil
melompat, pemuda itu mengibaskan pedang di tangan-
nya ke arah Memedi Karang Api yang saat itu tengah me-
lancarkan serangan dari sebelah kiri.
Wuttt...!
Babatan pedang pemuda itu hanya mengenai an-
gin kosong. Sementara lawannya yang mengelak dengan
mendoyongkan tubuh ke belakang, langsung mengirimkan
sebuah tendangan kilat yang mengancam dadanya.
Dan pada saat yang bersamaan, serangan Datuk Pan-
glima Sesat, serta Raja Iblis Baju Merah telah datang dari
dua arah. Sehingga, keadaan Pendekar Naga Putih benar-
benar terjepit dan berbahaya.
Namun meskipun ketiga serangan itu sama cepat dan
berbahayanya, Panji tetap mencoba bersikap tenang.
Tendangan kilat Memedi Karang Api ditepis dengan te-
lapak tangan kirinya.
Plakkk!
Tepisan Panji yang dikerahkan lewat tenaga dalam sepe-
nuhnya, membuat tendangan lawannya melenceng ke
depan. Akibatnya, tubuh Memedi Karang Api terjajar mun-
dur sejauh delapan langkah.
Bersamaan dengan tepisan tangan Pendekar Naga Pu-
tih, hantaman telapak tangan Datuk Panglima Sesat telah
menghajar bahu kanan Panji yang memegang pedang.
Akibatnya, Pedang Naga Langit terlepas dari genggaman
nya. Dan selagi tubuh pemuda itu terhuyung, sebuah
pukulan yang berisikan tenaga dalam amat kuat kemba-
li datang menerpa dadanya.
Blakkk!
Desss!
"Hugkh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh Pendekar Na-
ga Putih terlempar keras hingga dua tombak jauhnya.
Darah segar kontan terlompat dari mulutnya.
"Huagkh….!"
Darah segar kembali termuntah dari mulut pemuda
itu. Sambil menyeringai menahankan rasa sakit pada da-
da dan bahunya, pendekar muda itu berusaha bangkit
berdiri.
"Hhh...."
Panji bangkit sambil mendorongkan telapak ta-
ngannya secara berbarengan ke depan, disertai hem-
busan napasnya. Wajah pemuda itu terlihat pucat dengan
noda-noda darah yang mengotori pakaiannya.
Sadar kalau luka dalam yang dideritanya cukup pa-
rah, cepat Pendekar Naga Putih menelan pil berwarna putih
yang diambil dari dalam buntalan pakaiannya. Rasa sakit
akibat pukulan kedua orang datuk sesat itu membuatnya
terlupa kalau Pedang Naga Langit tidak lagi berada dalam
genggaman. Panji baru sadar ketika mendengar suara tawa
serak dari salah seorang lawannya.
"Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Dengan ter-
lepasnya pedang ini dari tanganmu, kau tak ubahnya
seekor harimau yang kehilangan taringnya!"
Terdengar tawa berderai dari Datuk Panglima Sesat.
Tokoh bertubuh raksasa itu tertawa-tawa sambil mengelus
pedang bersinar keemasan yang berada dalam geng-
gamannya.
Tentu saja hal itu membuat Panji terkejut Namun, untuk dapat merebut kembali senjata dari tangan datuk sesat
itu, rasanya sangat mustahil. Dan Pendekar Naga Putih pun
sadar akan hal itu, namun tetap saja bersikap tenang. Dan
berusaha meloloskan diri dengan menggunakan ilmu tan-
gan kosongnya.
Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan kedua
tangannya di depan dada. Pancaran matanya tampak
tajam dan menggetarkan. Lapisan kabut yang bersinar pu-
tih keperakan pun, kembali membungkus seluruh tubuh-
nya. Melihat lapisan kabut yang agak tipis, jelas kalau
tenaga dalam pemuda itu masih terhambat luka da-
lamnya.
"Hm.... Aku harus bisa meloloskan diri dari tempat ini.
Biarlah pedang itu akan kucari kelak," kata batin Panji,
menanamkan tekadnya kuat-kuat.
Kemudian Pendekar Naga Putih menggeser kaki ka-
nannya ke belakang. Sedangkan kedua. tangannya dengan
telapak terbuka terangkat di atas kepala. Ujung jari-jarinya
yang bersentuhan itu tampak bergetar karena tenaga
sakti yang tersalur di dalamnya.
"Haaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda
itu melesat bagai kilat menerjang Memedi Karang Api
yang berada di sebelah kirinya.
Wuttt.... Wuttt...!
Hebat dan cepat sekali serangan yang dilancarkan pen-
dekar muda itu. Sepasang tangannya yang membentuk
cakar naga, saling susul-menyusul disertai sambaran
angin dingin yang menusuk tulang. Melihat gerakannya, je-
las kalau itulah jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bu-
mi’. Ini merupakan salah satu jurus pamungkas dari
rangkaian ilmu 'Naga Sakti' warisan Malaikat Petir.
Memedi Karang Api yang melihat tubuh pemuda itu
meluruk cepat ke arahnya, sempat merasa terkejut! Sejenak
ia hanya termangu melihat sepasang tangan lawan yang
berputaran membentuk bulatan-bulatan besar kecil. Dan
dalam bulatan-bulatan yang membingungkan itu, terka-
dang menyembul cakar-cakar maut yang siap merejam
hancur tubuhnya.
"Yeaaat..!"
Pada saat serangan pemuda itu hampir tiba, Me-
medi Karang Api berteriak mengguntur. Tubuhnya yang ku-
rus itu melesat dengan kecepatan menggetarkan. Sepa-
sang tangannya berkelebat cepat diiringi arus gelombang
angin yang amat kuat Jelas kalau ia bermaksud hendak
memapak serangan lawan menggunakan jurus andalan
yang dimilikinya, yakni 'Sepasang Kepalan Penggoncang
Jagat'. Sebuah ilmu tangan kosong yang luar biasa hebat,
dan telah membuat nama kakek itu semakin disegani kawan
dan ditakuti lawannya.
Sebagai tokoh-tokoh sesat yang telah bergelar da-
tuk, ternyata mereka masih tetap saja memiliki hati culas.
Walaupun tahu kalau saat itu keadaan Pendekar Naga Pu-
tih sudah cukup parah, namun mereka tetap saja me-
lompat dan melakukan serangan susul-menyusul. Pa-
dahal, saat itu belum tentu Pendekar Naga Putih dapat
menang dari gempuran Memedi Karang Api. Apalagi,
keadaannya memang sangat lemah.
Pendekar Naga Putih yang telanjur melancarkan se-
rangan, tentu saja merasa terkejut melihat keadaan berba-
haya itu. Namun karena tidak mempunyai kesempatan
untuk menarik pulang serangan lagi, maka ia pun nekat
mengadu kekuatan dengan Memedi Karang Api.
Sementara itu Memedi Karang Api yang belum menge-
tahui keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam
Bumi', tentu saja tidak sadar kalau saat itu tengah teran-
cam bahaya. Maka tanpa rasa curiga sedikit pun, kakek
itu menyambut serangan Pendekar Naga Putih dengan
seluruh kekuatannya.
Whusss….!
Bukan main terperanjatnya hati Memedi Karang Api.
Pada saat tangan mereka hampir berbenturan, secara
mendadak sepasang cakar Panji berputar setengah lingka-
ran. Langsung dihantamnya sepasang lengan Memedi Ka-
rang Api dari samping. Berbarengan dengan itu, telapak
tangan kanannya bergerak turun menghantam lambung
kiri datuk dari Barat itu.
Dukkk!
Blakkk..!
"Hugkh...!"
Hantaman telak telapak tangan Panji, membuat tubuh
tinggi kurus itu tersentak ke belakang bagaikan layang-
layang putus! Darah segar kontan termuntah dari mulut
kakek itu.
Sedangkan tubuh Panji sendiri, terjajar mundur aki-
bat menangkis serangan Memedi Karang Api. Saat itu pu-
la, hantaman Raja Iblis Baju Merah, telak menghajar iga
Pendekar Naga Putih.
Desss...!
Ugkh...!"
Tubuh Panji langsung tersentak akibat hantaman
dahsyat itu. Darah segar tampak mengalir dari sudut bi-
birnya yang pucat Belum lagi pemuda itu sempat menghen-
tikan tubuhnya yang terhuyung, sebuah hantaman tong-
kat hitam di tangan Kuntilanak Bukit Mandau kembali
menghajar punggungnya.
Bukkk!
"Huagkh...!"
Darah segar kembali termuntah dari mulut Pendekar
Naga Putih. Tubuhnya yang tengah terhuyung ke bela-
kang tersentak ke depan. Sebelum tubuh pemuda itu
sempat mencium tanah, Datuk Panglima Sesat menda
ratkan kakinya beberapa langkah di hadapan pemuda itu.
Datuk sesat bertubuh raksasa itu langsung mendorongkan
sepasang telapak tangannya ke arah dada Panji.
Blaggg...!
"Hegkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh pendekar muda yang
perkasa itu terhempas ke belakang. Kembali cairan me-
rah termuntah keluar dari mulutnya.
Bruggg!
Tubuh pemuda itu terbanting ke atas tanah dalam
keadaan pingsan. Wajah pemuda itu pucat bagaikan
mayat. Dari sela-sela bibirnya yang juga telah memucat,
darah segar mengalir tak henti-hentinya.
Datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin itu
melangkah mendekati tubuh Pendekar Naga Putih. Dari
pancaran mata mereka, jelas memancarkan kekaguman
yang sangat dalam.
"Gila! Daya tahan tubuh pemuda ini benar-benar luar
biasa sekali. Rasanya aku tidak sanggup menghada-
pinya seorang diri. Hm.... Baru kali ini aku menemukan
seorang pendekar muda yang benar-benar tangguh!" puji
Memedi Karang Api yang wajahnya masih agak pucat
Dari seringai wajahnya, jelas kalau kakek itu masih me-
rasakan akibat hantaman telapak tangan Panji tadi. Namun
hatinya cukup kagum dengan kedigdayaan Pendekar
Naga Putih.
"Ya! Kalau saja orang lain yang menerima hantaman
kita tadi, rasanya pasti akan tewas tanpa ampun lagi. Se-
dangkan anak muda ini hanya pingsan saja. Benar-
benar seorang pemuda mengagumkan. Kalau saja aku
memiliki seorang murid seperti dia, betapa akan bang-
ganya hatiku. Sayang, sampai saat in aku belum me-
nemukan murid yang cocok," ucap Kuntilanak Bukit
Mandau seraya menghela napas dalam-dalam. Wajahnya
pun menyiratkan kesedihan.
"Benar-benar beruntung sekali Malaikat Petir itu. la
telah mendapatkan seorang penerus yang sangat berba-
kat," Raja Iblis Baju Merah ikut menimpali. Jelas sekali ada
pancaran rasa iri di wajahnya.
"Ah, sudahlah. Lebih baik bawa saja pemuda ini ke-
pada Pemimpin Agung. Terserah apa yang akan beliau
perbuat dengan anak muda ini? Kalau diserahkan kepa-
daku, sudah pasti akan kulenyapkan. Biar bagaimanapun,
ia hanya jadi penghalang bagi rencana kita," selak Datuk
Panglima Sesat yang rupanya tidak menyetujui semua
ucapan rekan-rekannya. Nadanya pun terdengar kesal.
Ketiga orang datuk lainnya serentak menoleh ke
arah Datuk Panglima Sesat. Ucapan tokoh bertubuh rak-
sasa itu rupanya telah membuat mereka tersadar. Me-
mang, pemuda yang tengah tergeletak pingsan itu sangat
berbahaya untuk dibiarkan tetap hidup.
Tanpa berkata sepatah pun, Datuk Panglima Sesat sege-
ra mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih dan memba-
wanya memasuki bangunan besar itu. Sedangkan ketiga
datuk lainnya bergegas mengikuti.
***
LIMA
"Uhhh...."
Pendekar Naga Putih mengeluh pendek, pertanda mu-
lai tersadar dari pingsannya. Sepasang matanya men-
gerjap-ngerjap untuk memulihkan penglihatannya yang te-
rasa berputar dan gelap.
"Hm.... Di mana aku...?" gumam pemuda tampan itu
mencoba bergerak bangkit dari duduknya.
Namun, betapa terkejut hati Pendekar Naga Putih ke-
tika merasakan sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan.
Jangankan untuk menggerakkan kaki tangannya, untuk
menggerakkan lehernya pun tidak mampu.
"Sudah matikah aku...?" gumam Panji menyeringai
merasakan dadanya panas dan nyeri.
Seolah-olah di dalam dada Pendekar Naga Putih ter-
dapat ratusan jarum yang menusuki dari dalam. Namun
yang membuatnya lebih terkejut adalah, keadaan tubuh-
nya yang seperti tidak dapat lagi digerakkan. Sehingga, ia
hanya dapat terkapar lemah tanpa daya.
"Hhh.... Entah racun apa yang dijejalkan ke dalam tu-
buhku, sehingga seluruh uratku menjadi lumpuh," desah
pemuda itu seraya menghembuskan napas berat "Se-
pertinya, inilah akhir petualanganku...."
Pendekar Naga Putih merasa kecewa merasakan kea-
daannya yang tak ubahnya seperti kakek-kakek jompo.
Tapi yang membuat hatinya lebih terpukul adalah, mengapa
justru pada saat dunia tengah dilanda bahaya besar, di-
rinya tidak berdaya. Tentu saja pemuda itu tidak sadar ka-
lau kelumpuhan yang diderita adalah akibat pukulan-
pukulan dahsyat dari empat datuk sesat yang menge-
royoknya.
Ketika mendengar langkah kaki tengah mendekati tem-
patnya, Panji memejamkan mata. Seolah-olah, ia hendak
mengetahui, apa yang akan dilakukan orang-orang itu
apabila dirinya masih dalam keadaan pingsan.
Suara derit daun pintu terdengar ribut, diiringi lang-
kah kaki beberapa orang yang memasuki tempat Panji dis-
ekap. Dari suara langkah itu, Pendekar Naga Putih dapat
menebak kalau mereka terdiri dari lima orang.
"Hm.... Pasti mereka Malaikat Gerbang Neraka dan
keempat orang datuk sesat itu," Batin Panji menduga-duga.
"Entah apa yang mereka inginkan dariku? Mengapa mereka
tidak langsung membunuhku saja?"
"Yang Mulia, tidakkah sebaiknya pemuda ini diha-
bisi saja riwayatnya? Kami khawatir, kalau ia sembuh, je-
las merupakan penghalang nomor satu bagi rencana kita,"
usul Datuk Panglima Sesat Sepertinya, Datuk Wilayah ti-
mur itu benar-benar membenci Pendekar Naga Putih.
"Benar, Yang Mulia. Lebih baik pendekar muda ini
dibunuh saja, karena berbahaya sekali," timpal Raja Iblis
Baju Merah.
Malaikat Gerbang Neraka hanya tersenyum dingin
mendengar usul kedua orang pembantunya. Sepasang
matanya yang bersinar kemerahan tetap tertuju ke
tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri yang mendengar usul kedua orang
datuk sesat itu menanti dengan hati tegang. Di-
tunggunya jawaban yang akan keluar dari mulut orang
tinggi kurus yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia.
"Tidak Aku masih membutuhkan tenaganya. Dia
akan kuperalat untuk mengacaukan Kerajaan Mula-
warta. Dengan kepandaian dan kekuatan yang akan kuli-
patgandakan, Pendekar Naga Putih pasti dapat mem-
buat kerajaan itu kalang-kabut. Dengan demikian, tentu
si keparat Pungga Lawa akan beralih perhatiannya, dan
akan mengerahkan pasukan untuk membasmi tokoh-
tokoh golongan putih. Nah, bukankah dengan demi-
kian pekerjaan kita bisa lebih ringan? Sekali pukul saja,
kita bisa menghancurkan dua kekuatan. Aku yakin,
para tokoh golongan putih yang biasanya membantu
kerajaan, akan menarik diri. Bahkan mungkin bisa sal-
ing hantam dengan tentara Kerajaan Mulawarta. Pada
saat kekacauan itu terjadi, barulah kita bergerak
menggempur istana. Sebenarnya, dengan kesaktian
yang kuperoleh dari pertapa-pertapa sakti selama da-
lam pelarianku, bisa saja aku mengacaukan istana. Ta
pi, setelah kupertimbangkan kembali, rasanya akan le-
bih baik lagi kalau kita menggunakan orang lain yang
berkemampuan tinggi. Begitu aku melihat pemuda ini,
langsung saja pilihanku jatuh kepadanya," jelas Malaikat
Gerbang Neraka panjang lebar.
Keempat orang datuk sesat itu sama-sama men-
ganggukkan kepala mendengar keterangan Pemimpin
Agungnya. Dan kini mereka kembali memuji kecerdikan
tokoh sesat maha sakti itu.
"Kami benar-benar mengaku bodoh, Yang Mulia.
Sama sekali tidak terpikir di otak kami akan rencana
yang sangat baik itu," kata Datuk Panglima Sesat, baru
terbuka pikirannya setelah mendengar penjelasan pim-
pinannya.
Panji sendiri yang mendengar rencana gila itu
merasa terkejut bukan main! Memang, apabila rencana
itu dapat terlaksana, tidak bisa dibayangkan, apa yang
akan menimpa para tokoh golongan putih! Maka, sudah
pasti mereka menjadi gempar atas kejadian itu. Sehing-
ga, akan sulit bagi para tokoh itu untuk mengadakan per-
temuan. Bisa-bisa, mereka dituduh sebagai pemberon-
tak yang hendak menggulingkan kekuasaan Raja Agung
Pungga Lawa.
"Ini tidak boleh terjadi!" desis hati Pendekar Naga Pu-
tih yang menjadi cemas apabila rencana Malaikat Ger-
bang Neraka dapat terbukti.
"Uhhh...!"
Pendekar Naga Putih berpura-pura mengeluh
pendek, agar para tokoh sesat itu menyangkanya
baru tersadar. Suasana ruangan yang cukup gelap,
membantu siasatnya itu.
"Hm.... Pemuda itu mulai tersadar dari pingsannya,"
gumam Raja Iblis Baju Merah yang melangkah mundur,
siap menghadapi kemungkinan bila pemuda itu menga
muk
"Hm.... Tidak usah kalian khawatir. Saat ini Pendekar
Naga Putih tak ubahnya seorang kakek jompo. Luka-luka
dalam yang diderita, membuatnya tidak lagi segarang du-
lu," jelas Malaikat Gerbang Neraka seraya. tersenyum sinis.
"Hei? Benarkah demikian, Yang Mulia...?" tanya Raja
Iblis Baju Merah belum percaya sepenuhnya akan ucapan
pemimpinnya itu. Dipandanginya wajah Pendekar Naga
Putih dalam-dalam seperti menyelidik.
Demikian pula dengan datuk sesat lainnya. Mereka me-
natap pemuda yang tengah terbaring penuh selidik. Hati
mereka baru percaya ketika melihat pemuda itu hanya
terbaring tanpa berusaha bangkit. Hanya sepasang ma-
tanya saja yang menandakan kalau masih hidup. Se-
dangkan wajahnya sudah demikian pucat seperti mayat.
"Orang seperti dia, tidak akan kusekap di tempat ini
kalau memang keadaannya masih sehat seperti biasa.
Karena aku tahu ia sudah tidak berdaya. Maka, sen-
gaja ia kusekap di kamar ini," jelas Malaikat Gerbang Ne-
raka.
"Kalau begitu, kapan Yang Mulia akan mengirim pe-
muda ini untuk mengacau Kerajaan Mulawarta?" tanya
Datuk Panglima Sesat sambil tetap memandangi Panji.
"Secepatnya, jika ramuan yang kubuat telah se-
lesai. Kalian sabarlah. Untuk bisa terlaksananya ren-
cana kita ini, harus dengan perhitungan masak. Yang
pasti, aku tidak ingin mengalami kegagalan," tandas Ma-
laikat Gerbang Neraka.
Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang mengi-
riskan itu pun melangkah keluar dari kamar tahanan Panji.
Dan tanpa banyak cakap lagi, keempat orang datuk se-
sat itu pun segera menyusul pemimpinnya. Sehingga,
kamar tahanan itu pun kembali gelap, karena pintunya
kembali tertutup rapat.
***
Sepeninggal lima orang tokoh sesat itu, Panji
termenung memikirkan jalan keluar atas persoalan
yang kini tengah dihadapinya. Beberapa kali dicobanya
untuk mengerahkan tenaga dalam. Namun, yang dida-
pat hanyalah rasa sakit yang menusuk dada. Bahkan cai-
ran merah pun kembali mengalir dari sudut bibirnya. Panji
mengeluh, merasakan sakit dan kenyerian yang menu-
suk-nusuk dadanya. Sadar kalau hal itu hanya akan
mendatangkan siksaan pada dirinya, maka ia pun tidak
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya lagi.
"Hm.... Nampaknya memang tidak ada harapan lagi
untuk hidup bagiku," desah Pendekar Naga Putih, pasrah.
Sadar kalau tak mungkin dapat meloloskan diri dari ke-
kuatan Malaikat Gerbang Neraka, Pendekar Naga Putih
mencoba menyusuri pertualangannya selama ini. Terbayan-
glah semua peristiwa-peristiwa yang pernah dialami. Seulas
senyum manis tampak terhias di bibirnya ketika pemuda itu
teringat akan perjumpaan pertama dengan kekasihnya, Ke-
nanga.
"Kenanga.... Aku tidak tahu, di mana sekarang kau
berada? Semoga saja kau masih dalam perlindungan Tu-
han," desah Panji lirih.
Ada rasa nyeri yang menggigit hati pemuda itu ketika
teringat kekasihnya. Sedikit rasa sesal menyelinap, men-
gingat betapa ia tidak mungkin dapat berjumpa lagi den-
gan dara jelita itu. Memang, apabila Malaikat Gerbang Ne-
raka sudah menjejalkan ramuan yang dikatakannya, bukan
tidak mungkin dirinya akan tewas setelah mengacau Kera-
jaan Mulawarta. Dan memang untuk itulah, dirinya dipera-
lat tokoh sesat mengiriskan itu. Pendekar Naga Putih di-
tugaskan mengacau, dan berakhir dengan kematian.
Peristiwa demi peristiwa yang pernah dialami, satu-
persatu terlintas dalam benak pemuda tampan itu. Lintasan
pengalaman yang berputar dalam benaknya terhenti ketika
teringat akan seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Iblis
dari Utara. Dan akibat pertarungannya dengan tokoh sakti
itu, dirinya telah terluka parah (Baca serial Pendekar Naga
Putih dalam episode "Raja Iblis dari Utara").
"Pedang Pusaka Naga Langit...!" desah Panji ter-
sentak dari lamunannya “ Yah hanya senjata kera-
mat itulah yang akan menyembuhkanku dari luka-
luka yang kini ku derita. Tapi….pusaka itu pasti te-
lah terjatuh ke tangan Malaikat Gerbang Neraka.
Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku
bisa merebutnya kembali. Sedangkan dalam kea-
daan biasa pun, aku masih ragu untuk dapat me-
nandinginya”? Pendekar Naga Putih kembali dilanda
kekecewaan, mendapati kenyataan seperti itu. Na-
mun Panji kembali tersentak ketika teringat akan
peristiwa yang membawanya mendapatkan pusaka
keramat itu.
"Ya! Ke mana gerangan naga raksasa yang kutun-
dukkan di Gunung Kembaran itu? Mengapa kini tidak
pernah muncul lagi? Benarkah Pedang Pusaka Naga Lan-
git itu jelmaan dari naga raksasa yang telah kukalahkan?
Hm.... Kalau memang demikian, bukan mustahil senjata
keramat itu dapat lenyap dari pandangan. Mungkinkah
senjata itu dapat berubah lagi menjadi seekor naga raksa-
sa?" berbagai dugaan melintas dalam benak Pendekar Na-
ga Putih. Lupa sudah ia akan luka-lukanya ketika teringat
peristiwa ajaib yang dialaminya.
Sambil mengingat-ingat peristiwa itu, Panji pun
mengkajinya dengan teliti (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang peristiwa didapatkannya Pedang Pusaka Naga
Langit, bacalah serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Bunga Abadi di Gunung Kembaran").
"Hm.... Kalau pedang itu memang benar hasil jel-
maan naga raksasa yang kutemukan di Gunung Kem-
baran, bukan mustahil kalau sewaktu-waktu dapat berubah
menjadi seekor naga raksasa kembali. Dan kini, hanya
satu yang menjadi persoalan. Bagaimana caranya untuk
dapat mewujudkan pedang itu menjadi seekor naga. Dan
kalau itu terjadi, pastilah naga raksasa itu akan tahu, sia-
pa orang yang menjadi majikannya!"
Batin pendekar muda itu terus mencari rahasia
yang tersimpan dalam senjata keramat miliknya. Dan
keyakinannya demikian bulat kalau pedang keramat itu
pasti akan diperolehnya apabila rahasia yang menye-
limutinya dapat dipecahkan.
Tanpa mengenal putus asa, Pendekar Naga Putih
memusatkan pikirannya. Otaknya membayangkan naga
raksasa yang pernah ditundukkannya itu. Sehingga, sema-
kin lama pemuda itu semakin tenggelam dalam alam pi-
kirannya yang paling dalam.
Dengan mata terpejam rapat, Panji mencari bentuk
naga raksasa jelmaan Pedang Naga Langit. Hingga akhir-
nya, ia berhasil menemukan bentuk binatang menge-
rikan yang semakin lama kian jelas.
Kekuatan pemusatan pikiran pendekar muda itu ten-
tu saja tidak bisa disamakan dengan orang-orang semba-
rangan. Kekuatan batin yang memang telah sedemi-
kian kokoh, membuatnya tidak terlalu sulit menemu-
kan bentuk binatang raksasa itu.
Panji yang tengah terlelap dalam pengerahan kekua-
tan tenaga batin, secara tidak sadar telah melatih suatu il-
mu dahsyat yang hanya ada dalam dongeng!
Dan dengan ilmu itu pulalah, batinnya dapat disatukan
dengan naga raksasa yang dibentuknya. Sehingga tan-
pa disadari, pemuda itu telah dapat menggunakan kekuatan bawah sadarnya untuk menghubungi binatang men-
gerikan itu.
***
Selama dua hari dua malam Pendekar Naga Putih
tenggelam dalam alam pemusatan pikirannya. Dan ki-
ni, tiba-tiba terasa serangkum hawa hangat yang me-
rasuk ke dalam tubuhnya. Sadar kalau hawa mukjizat itu
berasal dari sebuah benda hangat di tangannya, kedua ma-
ta Panji terbuka perlahan-lahan. Dan apa yang dilihat-
nya, benar-benar membuat pemuda itu hampir-hampir
terlonjak.
"Pedang Naga Langit..!?" seru Pendekar Naga Putih
hampir terpekik keras. Untunglah keadaan tubuhnya
saat ini demikian lemah. Sehingga, seruan itu tak ubah-
nya sebuah desahan panjang.
Ingin rasanya pemuda itu berteriak kuat-kuat ke-
tika pedang keramat miliknya telah bertengger di atas
kedua lengannya yang terlipat di depan dada. Kenya-
taan yang dihadapinya, membuat Panji hampir melompat-
lompat sebagai luapan kegembiraannya.
"Hm.... Dari mana pedang ini dapat masuk...? Se-
dangkan di dalam ruangan ini sama sekali tidak ter-
dapat sebuah celah?" desah hati pemuda itu.
Seketika pandangannya beredar ke sekeliling. Ke-
ningnya berkerut dalam ketika tidak melihat adanya lubang
di dalam ruang tahanannya. Tentu saja hal itu membuat
pikirannya kembali menerawang, mencari jawaban.
Dengan tatapan tajam, dipandanginya Pedang Na-
ga Langit yang saat itu masih berada di atas kedua lengan-
nya.
"Hm.... Kalau dalam dua hari ini pikiranku dipusatkan
untuk menghadirkanmu, kini akan kucoba memusatkan
pikiran agar kau dapat berdiri dan mengelilingiku," gumam
batin Panji sambil memejamkan matanya rapat-rapat
Tak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih kem-
bali tenggelam dalam pemusatan tenaga batinnya. Dengan
menyatukan alam bawah sadar, Panji mencoba menga-
dakan hubungan batin dengan pedang keramat itu. Lalu
dengan kekuatan batin agar pedang yang berada di atas
lengannya bergerak dan mengelilinginya.
Tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan dengan mu-
dah. Bahkan Pendekar Naga Putih pun harus mengu-
langi keinginannya berkali-kali. Baru setelah beberapa
waktu lamanya, Pedang Naga Langit di atas lengan Panji
mulai bergerak dan berdiri tegak lurus. Kemudian secara
perlahan-lahan, pusaka keramat itu bergerak naik ke uda-
ra. Masih dengan gerakan perlahan, senjata itu bergerak di
sekeliling tubuh Pendekar Naga Putih.
Ketika terasa ada hawa yang semakin hangat
mengelilingi tubuhnya, Panji pun membuka kedua ma-
tanya perlahan, sambil terus mengucapkan perintahnya
dalam hati. Sepasang mata yang semula redup, terbelalak
lebar ketika menyaksikan pemandangan di depan ma-
tanya.
"Hm.... Kini kau turunlah, dan kembali ke tempat se-
mula di atas kedua lenganku," desah batin Pendekar Naga
Putih kembali memberikan perintah.
Ajaib! Tanpa menunggu lama, pedang keramat yang
tengah mengitari tubuh pemuda itu tiba-tiba saja terhenti
Kemudian dengan gerakan tidak cepat, pedang itu pun
kembali terbujur di atas kedua lengan Panji.
"Sekarang, aku memintamu untuk lenyap dari pandan-
gan. Dan kalau memang kau memasuki kamar ini tanpa
wujud, pasti juga bisa merasuk ke dalam tubuhku," ujar
batin Panji yang terus mengulang perintahnya agar senja-
ta keramat itu dapat merasuk ke dalam tubuhnya. Ka-
rena hanya dengan cara itulah, luka-luka yang diderita
dapat diobatinya.
Kembali Panji harus memejamkan kedua matanya.
Memang untuk mewujudkan permintaan, ia harus dalam
keadaan kosong sama sekali. Hanya pikiran dan tenaga ba-
tinnya saja yang terpusat secara keseluruhan dengan senja-
ta keramat yang ternyata memiliki rahasia tak terjang-
kau akal sehat.
Hati Pendekar Naga Putih berdebar ketika merasa-
kan suatu hawa hangat yang amat kuat merasuk dan
bergolak dalam tubuhnya. Kian lama, hawa hangat
yang amat kuat itu semakin menyebar ke seluruh tu-
buhnya. Sehingga, mau tidak mau, Panji harus memu-
satkan pikiran sepenuhnya. Hal itu dilakukan untuk men-
gatur peredaran hawa hangat yang mungkin saja bisa
membahayakan tubuhnya.
Makin lama, apa yang dirasakan Panji semakin
membuat hatinya berdebar tegang. Betapa tidak? Ter-
nyata apa yang kini dialaminya benar-benar tidak pernah
terlintas dalam benak. Sehingga, harapannya untuk dapat
terbebas dari tempat celaka itu terbayang nyata.
Cukup lama hal yang menimpa Pendekar Naga Pu-
tih berlangsung. Hawa hangat yang semula kian me-
manas, perlahan berubah kembali menjadi hangat. Dan
apa yang dirasakan Panji, benar-benar membuatnya ham-
pir tidak percaya.
"Ah...! Kini tidak ada lagi rasa sakit dalam tubuhku!"
seru Panji bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan
mainan kesukaannya.
Bagaikan orang linglung, pemuda itu mencoba mengge-
rak-gerakkan tangan dan kakinya. Senyum di wajah pemuda
itu pun kian melebar ketika lengan maupun kakinya te-
lah dapat digerakkan kembali.
"Hm...."
Sambil bergumam lirih, Panji bergegas bangkit dari tidur-
nya. Sepasang matanya tampak bersinar kian tajam ba-
gaikan seekor naga di kegelapan. Dan ketika mencoba men
gerahkan tenaga sakti yang dimilikinya, ternyata 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'nya telah dapat dikerahkan kembali.
Tentu saja hal itu membuatnya semakin gembira.
Setelah semua kesehatannya pulih kembali, Panji
termenung memikirkan pedang yang kini telah menyatu
dalam dirinya. Apa yang harus dilakukan untuk dapat
menggunakan kekuatan tenaga inti Pedang Naga Lan-
gitnya? Ingin ia menggabungkan inti tenaga Pedang Naga
Langit yang mengandung hawa panas itu dengan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya. Dan un-
tuk itu, ia harus mencari cara untuk menggabungkan kedua
tenaga sakti yang memiliki sifat berlawanan itu.
Panji berjalan hilir mudik di dalam ruangan yang sem-
pit itu. Otaknya terus berputar mencari pemecahan dari ma-
salah yang dihadapinya. Karena belum juga menemu-
kan jawaban, maka tubuhnya dihempaskan di atas je-
rami kering yang merupakan satu-satunya alas di dalam
ruangan itu.
Cukup lama Pendekar Naga Putih termenung memikir-
kan cara untuk menggabungkan kedua tenaga sakti itu. Hingga
akhirnya, diputuskanlah untuk bersemadi dan mengerahkan
kekuatan batin yang baru saja didapatkan tanpa sadar.
"Ah! Bodoh sekali aku ini!" maki Panji sambil me-
nampar perlahan kepalanya. Mengapa aku tidak menco-
banya seperti menyatukan Pedang Naga Langit ke dalam
tubuhku? Bukankah percobaan-percobaan yang kulakukan
tadi telah membawa hasil yang sangat baik."
Berpikir demikian, pemuda itu pun bergegas bangkit
dari duduknya. Kemudian Panji mencoba memusatkan pi-
kirannya untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' pada lengan kanannya. Lalu, disalurkannya ke
seluruh tubuh sebelah kanan.
Ajaib! Sesaat kemudian, terciptalah lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan yang hanya menyelimuti separuh
tubuhnya di bagian kanan. Bukan main gembiranya hati
Panji ketika melihat keberhasilan percobaan nya. Lalu,
kembali matanya dipejamkan dan pikirannya dipusatkan
untuk membangkitkan kekuatan 'Tenaga Inti Panas Bumi'
yang berasal dari kekuatan Pedang Naga Langitnya.
Sayang sebelum percobaannya memperoleh hasil se-
perti yang diinginkan, terdengar langkah kaki beberapa
orang yang mendatangi tempat itu. Sehingga, Panji ber-
gegas melompat ke atas tumpukan jerami dan kembali me-
rebahkan tubuh seperti orang terluka.
Suara derit pintu yang terbuka, membuat hati Pen-
dekar Naga Putih berdebar tegang! Karena langkah kaki
orang yang tengah mendekatinya pastilah Malaikat Gerbang
Neraka dan dua orang datuk sesat. Memang, yang terden-
gar di telinga pemuda itu hanyalah langkah kaki tiga
orang.
"Aku tidak habis pikir, mengapa pendekar muda seperti
pemuda itu tidak dibinasakan saja? Bukankah kepandaian
pemuda itu sangat tinggi. Bahkan kudengar pemuda itu
adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Nah,
bukankah ia sangat berbahaya?" tanya salah seorang
dari ketiga sosok tubuh yang tengah mendekati Panji.
"Ah! Apakah kau merasa lebih pintar dan Ketua Agung
kita? Kalau beliau tidak membunuh pendekar muda ini,
mungkin beliau mempunyai maksud lain yang tentu saja
orang seperti kita tidak boleh mengetahuinya. Sudahlah!
Tidak perlu banyak cakap. Kita turuti saja perintah Ketua
Agung, untuk membawa pendekar ini kepadanya," sa-
hut salah seorang dari ketiga laki-laki itu yang memiliki
tubuh kekar berotot.
Panji yang mendengar suara mereka, tentu saja men-
jadi lega. Ternyata ketiga orang yang datang itu hanyalah
para pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Jadi tidak ada,
yang perlu dicemaskan dari ketiga orang begundal rendahan itu. Dan ketika ketiga orang itu telah berada di sisi
tubuhnya, Panji tetap diam sambil menunggu kesempatan
baik.
Pada saat ketiga orang itu membungkuk hendak
mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih, mendadak tu-
buh pemuda itu bangkit dengan kecepatan kilat dan lang-
sung melancarkan totokan yang tidak mungkin dapat di-
hindari lagi.
Tukkk! Tukkk! Tukkk!
Tanpa sempat menjerit lagi, tubuh ketiga
orang laki-laki kasar itu pun ambruk ke atas tanah. Keja-
dian yang hanya sekejap mata tadi tentu saja tidak menim-
bulkan suara mencurigakan.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga itu, Panji pun
bergegas menyelinap keluar kamar tempatnya ditahan.
Tubuhnya terus melesat mencari jalan keluar dari dalam
bangunan itu. Pemuda itu terpaksa merobohkan dua
orang penjaga yang melintas di depan tempat persem-
bunyiannya. Karena tidak sempat bertanya kepada ketiga
orang yang dirobohkannya tadi, maka bergegas diseretnya
salah seorang dari keduanya untuk mengorek keterangan.
Pendekar Naga Putih bergegas melesat ke lorong ka-
nan, setelah mendapatkan petunjuk dari orang yang kemu-
dian dibungkamnya. Ketika tiba pada sebuah lorong
yang bersimpang empat, diambilnya jalan sebelah kiri.
Memang, ia berniat meloloskan diri melalui belakang ge-
dung kadipaten itu.
"Hei! Siapa kau...?!" teriak salah seorang dari em-
pat penjaga yang memergoki Panji.
Namun sebelum keempat orang itu bertindak lebih
jauh, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat ke
arah mereka. Sepasang tangan pemuda itu bergerak cepat
melancarkan totokan kilat kearah empat orang penjaga
yang terlongong bagai orang kehilangan akal.
Dengan sekali gebrak saja, tubuh keempat penjaga yang
bernasib sial itu langsung bertumbangan lumpuh. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih kem-
bali berkelebat bagai kilat menuju pintu keluar yang
hanya beberapa langkah di depannya. Dia terus melesat
ke arah taman belakang, untuk kemudian melompati
tembok setinggi dua tombak.
Begitu tiba di luar tembok bangunan gedung Ka-
dipaten Blambang, Panji terus melesat meninggalkan
kadipaten itu. Tujuannya adalah Perguruan Pedang Pe-
rak yang telah ditetapkan Raja Obat sebagai tempat perte-
muan para tokoh golongan putih.
***
"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi!?" bentak
laki-laki kurus yang mengenakan jubah berwarna hitam.
Sepasang matanya menyorotkan api kemarahan kepada
sembilan orang pengikutnya yang berdiri gemetar.
Wajah sembilan orang laki-laki kasar itu tampak pu-
cat dengan bintik-bintik keringat sebesar biji jagung yang
berlelehan turun. Jelas kalau mereka tengah dilanda
rasa takut yang luar biasa.
"Huh! Gentong-gentong nasi tak berguna!" bentak la-
ki-laki tinggi kurus yang tak lain Malaikat Gerbang Neraka,
kasar.
Setelah berkata demikian, tangan kanannya mengi-
bas bagaikan mengusir seekor lalat yang menggang-
gunya. Namun, akibat yang ditimbulkan mengerikan
sekali. Tubuh kesembilan orang kasar itu terjungkal
akibat sambaran hawa panas menyengat Tanpa ampun lagi,
mereka menggelepar tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Lemparkan mayat mereka ke hutan! Ingat! Ini merupakan
peringatan bagi kalian yang lalai dalam menjalankan tugas!"
ancam Malaikat Gerbang Neraka dengan kemarahan yang
menggelegak.
"Baik, Yang Mulia...," sahut beberapa orang laki--
laki yang segera maju dan membawa kesembilan
mayat yang berbau sangit itu.
"Bagaimana, Yang Mulia? Setelah Pendekar Naga Pu-
tih berhasil meloloskan diri, tentu rencana kita akan gag-
al. Apa langkah kita selanjutnya?" tanya seorang laki-
laki tinggi besar berpakaian seorang panglima kera-
jaan. Siapa lagi kalau bukan Datuk Panglima Sesat
"Rencana kita terpaksa harus dipercepat. Siapkan
pasukan sekarang juga. Kita langsung berangkat meng-
gempur Kerajaan Mulawarta. Hm.... Apakah Tiga Dewi Pu-
lau Setan telah tiba di tempat ini?" tanya Malaikat Ger-
bang Neraka kemudian.
"Belum, Yang Mulia. Kabarnya siang ini mereka
akan tiba," sahut seorang laki-laki tinggi kurus yang
hampir tidak berdaging. Orang itu tak lain adalah
Tengkorak Hutan Jati.
Belum lagi Malaikat Gerbang Neraka sempat men-
gucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar seruan merdu
yang nyaring.
"Kami telah tiba, Yang Mulia. Dan kami siap men-
jalankan perintah," tegas seorang di antara tiga wanita
cantik yang melenggang memasuki ruang pertemuan
itu.
Mereka tak lain adalah Tiga Dewi Pulau Setan,
yang rupanya juga telah menjadi pengikut Malaikat
Gerbang Neraka. Ketiga wanita cantik inilah yang di-
tugaskan untuk memancing pasukan Kadipaten Blam-
bang dengan jalan melakukan kekacauan di Desa Batu
Apung.
"Hm.... Kalau begitu, siapkan semua pasukan.
Sekarang juga kita berangkat untuk menggempur
Kerajaan Mulawarta," ujar Malaikat Gerbang Neraka
yang segera bangkit dari kursinya.
"Baik, Yang Mulia...," sahut semua orang yang .
hadir sambil membungkuk hormat. Kemudian, mereka ber-
gegas melangkah keluar untuk menyiapkan pasukan.
***
ENAM
Pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna
putih itu melesat cepat menuju Selatan. Gerakannya
yang ringan dan cepat menandakan kalau ia memiliki il-
mu lari cepat yang hampir mencapai titik kesempurnaan.
Hari memang sudah mulai gelap. Sehingga pemuda
tampan itu harus menghentikan larinya ketika telah cukup
jauh memasuki hutan. Memang sulit untuk melaku-
kan perjalanan dalam suasana gelap. Maka, dicarinya
tempat yang agak terbuka untuk melewatkan malam. Di si-
tu, ditemuinya pula sebuah aliran sungai yang bergeme-
ricik menerpa bebatuan. Hal ini membangkitkan pemuda
itu untuk membersihkan tubuhnya.
Selesai membersihkan tubuh, pemuda itu tampak
berdiri tegak dengan mata terpejam. Melihat dari ciri-
ciri dan bentuk wajahnya yang bersih dan tampan, jelas ka-
lau pemuda itu adalah Panji atau yang terkenal dengan ju-
lukan Pendekar Naga Putih!
Terlihat jelas Pendekar Naga Putih tengah memusatkan
pikiran untuk mengerahkan tenaga sakti dalam dirinya.
Sesaat kemudian, nampaklah lapisan kabut berwarna
putih keperakan yang menyelimuti sebagian tubuh sebelah
kanannya. Hal itu menandakan kalau Panji telah berha-
sil mengatur aliran 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang
memang telah lama ditekuninya.
Tak lama setelah itu, pada bagian tubuh sebelah kirinya tampaklah lapisan sinar keemasan yang masih sa-
mar-samar. Meskipun demikian, jelas kalau Pendekar
Naga Putih mulai menunjukkan hasil usahanya dalam
menggabungkan kedua tenaga sakti yang berlainan unsur
itu.
"Ah! Rupanya aku telah berhasil menggabungkan ke-
dua unsur tenaga sakti yang berlainan sifat ini. Wa-
laupun belum begitu sempurna, namun telah cukup memu-
askan. Sekarang aku harus lebih tekun melatihnya agar
penggabungan kedua inti tenaga sakti ini sempurna,"
desah Panji. Nadanya jelas menggambarkan kegembi-
raan.
Sambil tetap memusatkan alam pikirannya, Panji
mengalihkan pandangan pada sebongkah batu sebesar pe-
rut kerbau bunting di sebelah kanannya. Dengan penuh
keyakinan, ditatapnya batu itu lekat-lekat.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji mendorong-
kan tangan kanannya ke depan dengan jari-jari terbuka.
Whusss...!
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang,
berhembus dari telapak tangan pemuda itu.
Blarrr...!
Terdengar ledakan menggelegar ketika angin puku-
lan pendekar muda itu telak menghajar batu besar yang
berjarak sejauh dua tombak lebih. Dan apa yang terjadi,
benar-benar membuat Panji menjadi puas.
Bongkahan-bongkahan batu sebesar kepalan tangan
itu seketika beterbangan ke udara. Sehingga, Panji
menatapinya dengan senyum kepuasan. Memang, apa
yang diinginkannya ternyata berhasil dengan baik.
Dan untuk yang kedua kalinya, Pendekar Naga Pu-
tih kembali mengayunkan tangan kirinya ke arah seba-
tang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Jarak
antara keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak.
Whesss...!
Hembusan angin hangat meluncur deras dari te-
lapak tangan kiri pemuda itu, langsung menggempur ba-
tang pohon yang berada satu setengah tombak berada di
depannya.
Brakkk...!
Angin pukulan berhawa panas yang keluar dari te-
lapak tangan kiri Panji, telak menghajar batang po-
hon itu. Akibatnya, timbullah suara berderak ribut. Po-
hon besar itu bergetar hebat bagaikan diguncang tena-
ga raksasa yang tak tampak.
Setelah menghembuskan napas panjang, Pendekar
Naga Putih mengayun langkahnya menghampiri pohon be-
sar yang masih berdiri tegak itu. Hanya beberapa
daunnya saja yang rontok berguguran ke tanah. Se-
dangkan batang pohon itu sendiri masih berdiri kokoh.
"Hm.... Pohon ini masih tetap berdiri kokoh se-
perti semula. Hanya saja, pada bagian yang terkena han-
taman angin pukulanku tampak lunak. Itu pun hanya
sebagian saja. Tapi meskipun demikian, aku tetap harus
bersyukur dengan apa yang telah kudapatkan. Dan aku ti-
dak boleh patah semangat untuk menyempurnakan ilmu
dahsyat ini," gumam Panji sambil kembali melangkah
mundur ke tempatnya semula.
Pendekar Naga Putih kembali berdiri tegak dalam jarak
yang tidak berubah. Sepasang matanya kini tidak lagi terpe-
jam. Sambil mengerahkan dan memusatkan pikirannya,
pemuda itu kembali memancing keluar 'Tenaga Inti Pa-
nas Bumi' yang berasal dari Pedang Naga Langit.
Sepertinya, untuk menyempurnakan ilmu yang baru
saja diyakininya itu tidaklah terlalu sulit. Buktinya, Panji ti-
dak perlu bersusah-payah menghimpun kekuatan
'Tenaga Inti Panas Bumi'nya. la hanya tinggal mengelua
rkan tenaga yang memang kini telah berada di dalam tu-
buhnya. Dan hal itu tidak memerlukan waktu panjang.
"Hiaaah...!"
Kembali Pendekar Naga Putih membentak nyaring yang
dibarengi dorongan telapak tangan kiri ke arah pohon be-
sar itu. Selarik sinar keemasan melesat dari telapak tan-
gan pemuda perkasa itu.
Whesss...!
Darrr...!
Terdengar ledakan keras yang terasa bagaikan hen-
dak mengguncangkan hutan. Suara itu masih juga disusul
tumbangnya pohon besar yang terkena hantaman puku-
lan jarak jauh Panji. Suara hiruk-pikuk itu bagi Pendekar
Naga Putih bagaikan nyanyian merdu merasuk telinganya.
Cepat tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke arah
tumbangnya pohon besar itu. Senyum di wajahnya
tampak melebar ketika melihat adanya tanda hitam pa-
da batang pohon yang terkena hantaman angin puku-
lannya tadi. Tentu saja Panji gembira, karena hal itu me-
nandakan kalau 'Tenaga Inti Panas Bumi’ yang berada
dalam tubuhnya telah mulai terpancing.
"Hm.... Sepertinya aku tinggal membiasakannya sa-
ja Tapi, entah bagaimana apabila Pedang Naga Langit
ini ku keluarkan? Apakah tenaga sakti ini masih berada
dalam tubuhku?" tanya Panji dalam hati. Bingung ju-
ga hatinya ketika memikirkan hal itu.
Mendapat pikiran demikian, Panji penasaran ingin
mengetahuinya. Setelah duduk dalam sikap semadi, pe-
muda itu mulai memusatkan pikiran untuk mengerahkan
tenaga batinnya.
"Sekarang tampakkanlah wujudmu, Pedang Naga Lan-
git..," ujar batin Panji berbisik lirih, namun mengandung
getaran tenaga batin yang amat kuat.
Hebat sekali kemajuan yang telah diperoleh pemu-
da ini. Hanya dalam beberapa hari saja, kekuatan batin
nya telah meningkat demikian pesat.
Tak berapa lama setelah berulang-ulang ucapan itu
dikeluarkan, Panji mulai merasakan getaran aneh yang
mengandung hawa hangat dalam tubuhnya. Gelom-
bang tenaga aneh itu mula-mula menyebar di sekujur
tubuhnya, kemudian bergerak naik dan berkumpul di
belahan dadanya. Ada rasa nyeri yang menggigit dalam
dadanya ketika gelombang tenaga sakti telah berkumpul,
tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
Perlahan Pendekar Naga Putih membuka matanya.
Dan kini di hadapannya, dalam jarak sekitar satu tombak
lebih, terlihat pedang keramat itu tergantung tegak lurus
di udara.
Namun apa yang dirasakan pada sekujur tubuhnya,
membuat pemuda itu merasa sedikit kecewa. Betapa
tidak? Tubuhnya kini terasa lemas! Seolah-olah, sebagian
tenaganya ikut lenyap bersama keluarnya pedang kera-
mat itu dari dalam tubuhnya. Dan ketika tenaga panas
dalam tubuhnya coba dikerahkan, ternyata kosong. Hanya
satu kesimpulan yang didapat 'Tenaga Inti Panas Bumi'
tercipta karena adanya Pedang Naga Langit dalam tubuh-
nya. Dengan lenyapnya senjata itu, berarti lenyap pula te-
naga berhawa panas dari dalam tubuhnya. Dan kesimpulan
itu telah membuat kekecewaan dalam hatinya lenyap.
Sejenak dipandanginya Pedang Naga Langit yang ber-
diri tegak lurus itu. Perlahan, Panji kembali memejamkan
matanya rapat-rapat. Kembali kekuatan batinnya dikerah-
kan dengan maksud hendak merubah wujud pedang ke-
ramat itu.
"Jika dugaanku benar, kalau kau adalah pedang
jelmaan naga raksasa yang kutemui di Gunung Kembaran,
tentu kau dapat berubah ke wujud aslimu dengan ban-
tuan kekuatan batinku. Sekarang, dengan seluruh kekua-
tan batin yang ada pada diriku, kuminta tunjukkan wujud
aslimu itu...," desis batin Panji terus mengulangi ucapan-
nya sambil memejamkan mata rapat-rapat.
Dari butir-butir keringat yang menitik di wajah, jelas
kalau Panji tengah mengerahkan kekuatan batin sepenuh-
nya. Dan hal itu tentu saja sangat membutuhkan tenaga
yang banyak.
Setelah agak lama Panji mengerahkan kekuatan ba-
tinnya, hingga seluruh pakaiannya telah basah ber-
simbah peluh, terdengar ledakan keras namun terdengar
cukup aneh.
Tasss...!
Ledakan nyaring yang disertai gumpalan asap tebal,
bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Tak lama sete-
lah asap tebal itu kian menipis, terlihatlah bentuk seekor
naga raksasa yang memekik-mekik menggetarkan seluruh
isi hutan itu.
"Kreaaakkkh...!"
Hembusan angin menderu dan bergulung-gulung ke-
tika binatang jelmaan Pedang Naga Langit memekik-
mekik ribut. Pepohonan berderak-derak ribut bagaikan
hendak roboh. Daun-daunnya berguguran mengotori
permukaan bumi. Dalam sekejap saja, tempat itu te-
lah dipenuhi ranting dan daun-daun pohon yang ber-
jatuhan ke atas tanah.
Panji yang semula tengah bersemadi, serentak
bangkit berdiri. Dan pemandangan yang terbentang di de-
pan matanya, benar-benar membuatnya berdebar keras.
"Naga Langit...," desis Panji penuh takjub. Apa yang
terbentang di depan matanya membuat pemuda itu ham-
pir tidak mempercayainya.
Naga raksasa itu memekik-mekik ribut ketika Panji me-
nyebutnya. Dan ketika pemuda itu mengulur ta-
ngannya, kepala naga raksasa itu merendah untuk
kemudian rata dengan tanah. Sehingga, Pendekar Na-
ga Putih dapat mengelusnya dengan gerakan agak ragu
ragu. Baru setelah naga itu terlihat tidak menunjukkan
perlawanan, Panji pun semakin bertambah berani.
Puas membelai binatang langka yang ternyata bu-
kan bayangan semu itu, bergegas Panji melompat mun-
dur. Dengan menggunakan kuda-kuda menunggang ku-
da, Pendekar Naga Putih kembali mengerahkan kekuatan
batinnya. Hanya saja, kali ini tidak lagi memejamkan ma-
tanya.
"Hm.... Kembalilah kau menjadi pedang...."
Terdengar suara mendesis yang keluar dari bibir pe-
muda itu. Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak hanya seka-
dar mengerahkan kekuatan batin tanpa suara. Sua-
ranya terdengar jelas, dan mengandung kekuatan meng-
getarkan hati.
Setelah Pendekar Naga Putih mengulangi ucapan nya
sebanyak tiga kali, terdengarlah ledakan keras yang
disusul gumpalan asap tebal bergulung-gulung. Dan
gumpalan asap tebal yang bergulung-gulung menyeli-
muti binatang raksasa itu, meluncur sebatang pedang
yang langsung melekat di tangan Pendekar Naga Putih.
Kalau saja saat itu ada orang yang menyaksikan, ten-
tu pemuda itu akan disangka seorang ahli sihir. Hanya
bedanya, Panji tidak menciptakannya berdasarkan
khayalan. Tetapi, pemuda itu hanya mewujudkan apa
yang sebenarnya telah ada. Itulah sebabnya, mengapa
ia bisa demikian mudah memperolehnya dalam waktu
singkat Padahal untuk memperoleh kekuatan sihir,
orang harus melatihnya bertahun-tahun. Itu pun ma-
sih harus dibantu berbagai persyaratan yang tidak rin-
gan.
"Hm.... Ternyata penderitaan yang kuterima dari empat
orang datuk sesat itu, membawa hikmah luar biasa. Kalau
saja aku tidak mengalami penderitaan itu, rasanya tidak
mungkin rahasia Pedang Naga Langit dapat terungkap,"
gumam Pendekar Naga Putih sambil merebahkan tubuh
beralaskan rerumputan tebal.
Sebentar saja, terdengar suara napas Pendekar Naga
Putih yang halus. Tampaknya pemuda perkasa itu telah
terlelap dalam buaian mimpi.
***
TUJUH
"Pendekar Naga Putih...!" seru dua orang penjaga pintu
gerbang Perguruan Pedang Perak, dengan wajah berseri.
Mereka langsung melangkah menyambut kedatangan seo-
rang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih itu.
Pemuda yang tak lain Panji itu bergegas mempercepat
langkahnya. Pada jubahnya tidak lagi terdapat noda da-
rah. Memang, pemuda itu telah mengganti jubahnya se-
lama dalam perjalanan. Itu dilakukan agar tidak menim-
bulkan pertanyaan macam-macam dari para tokoh rimba
persilatan yang berkumpul di tempat itu.
"Apakah Eyang Raja Obat telah berada di tempat ini...?"
tanya Panji kepada salah seorang penjaga yang memiliki jeng-
got tercukur rapi. Memang, orang itulah yang telah ada di
dekatnya lebih dahulu.
"Ya! Beliau dan yang lainnya sudah cukup lama me-
nunggumu. Mari kami antarkan...," sahut laki-laki itu ra-
mah.
Tanpa banyak cakap lagi, orang itu pun membalik-
kan tubuh. Kemudian, mereka melangkah menuju ke
dalam bangunan gedung perguruan itu bersama-sama.
"Kakang...!"
Seruan merdu yang jelas mewakili kegembiraan
dan kelegaan hati pemiliknya terdengar merasuk telinga Pendekar Naga Putih.
"Kenanga...!" panggil Panji begitu melihat sesosok
tubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau
berlari menghampirinya. Wajah gadis jelita itu terlihat me-
mancarkan kebahagiaan yang dalam.
Tanpa rasa canggung lagi, Kenanga langsung
menghambur ke dalam pelukan kekasihnya. Kerin-
duan dan kegelisahan yang selama ini mengganggu
hatinya, lenyap seketika begitu berada dalam pelukan
pendekar muda yang sangat dicintainya.
"Kakang..., ke mana saja? Aku sudah cemas sekali
menantimu di sini. Apalagi ketika kudengar dari Eyang
Raja Obat kalau kau pergi menyelidiki tokoh sesat
yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu. Wah!
Bukan main gelisahnya hatiku. Hampir saja aku
menyusulmu ketika pada hari yang dijanjikan untuk
datang ke tempat ini, ternyata kau belum juga kembali.
Mengapa begitu lama...?" kata Kenanga. Nadanya pe-
nuh kemanjaan. Jelas terlihat pada pancaran mata
indah itu bias-bias kerinduan yang dalam.
Panji tersenyum mendengar ucapan kekasihnya
yang meluncur bagaikan tak ingin berhenti itu. Dibe-
lainya rambut gadis jelita itu penuh kasih sayang.
Bahagia rasa hatinya mendengar pertanyaan dan perha-
tian yang begitu terbuka dari kekasihnya. Dan gadis je-
lita itu sama sekali tidak merasa rikuh walaupun ada
orang lain di dekat mereka.
"Kenanga.... Kau tidak sadar banyak orang di si-
ni?" Panji mengingatkan.
Wajah Kenanga langsung bersemu merah Baru
disadari kalau di sekitarnya banyak orang.
"Kalau saja tidak sampai tertangkap mereka,
mungkin beberapa hari yang lalu aku telah berada di
tempat ini. Ayolah kita temui tokoh-tokoh yang lain
nya. Kelak aku akan menceritakan sebuah pengala-
man yang paling mengesankan dalam hidupku," Pan-
ji mengalihkan pembicaraan.
Namun, Pendekar Naga Putih tetap menatap wajah
kekasihnya dengan kerinduan yang dalam. Lega ha-
tinya ketika melihat dara pujaannya ternyata telah be-
rada di tempat ini dalam keadaan selamat.
"Aku mengerti, Kakang. Ayolah kita temui Eyang Raja
Obat dan yang lainnya. Saat ini mereka tengah ber-
kumpul di ruang utama Perguruan Pedang Perak ini,"
sahut Kenanga. Segera tangan kekasihnya ditarik dan
dibawanya pergi.
***
"Ah..., Panji. Syukurlah kau selamat. Kami sangat
mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana? Apakah kau mempu-
nyai berita yang akan kau sampaikan kepada kami...?" sam-
but seorang laki-laki gemuk.
Dia berwajah bulat bagai bulan purnama. Kumis
dan jenggotnya tampak tercukur rapi. Sehingga wajah
yang sebenarnya sudah cukup berumur itu terlihat jauh
lebih muda. Dia tak lain adalah Jagaraksa atau yang le-
bih dikenal berjuluk Pendekar Pedang Perak. Dialah yang
menjadi tuan rumah dalam pertemuan para tokoh persila-
tan golongan putih itu.
"Maaf atas keterlambatanku.... Tapi dengan keter-
lambatanku ini, rasanya aku lebih beruntung. Sebab,
secara tidak sengaja aku telah mendengar rencana
besar orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka
itu," jelas Pendekar Naga Putih yang segera mengambil
kursi di sebelah Raja Obat. Kenanga juga mengambil
tempat di dekat kekasihnya.
Dengan suara lantang dan jelas, Panji segera
menceritakan pengalamannya. Tentu saja ada bebe-
rapa bagian yang sengaja disembunyikan. Menurutnya,
hal itu adalah rahasia yang tidak perlu diketahui orang
lain. Juga mengenai luka-lukanya yang tidak dipa-
parkan. la hanya menceritakan tentang pengeroyokan
empat orang datuk sesat yang berhasil menawannya.
"Hehhh.... Syukurlah kau dapat menyelamatkan di-
ri, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, mungkin sam-
pai saat ini kami belum dapat meraba, apa sebenarnya
yang diinginkan tokoh sesat maha sakti itu? Hm....
Siapa sebenarnya tokoh itu?" ucap Jagaraksa.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Memang
tokoh sesat berjuluk Malaikat Gerbang Neraka masih
terselimut teka-teki. Belum ada yang tahu, dari mana
asal-usul tokoh itu.
"Setelah mengetahui rencana mereka, sebaiknya
kita segera bergerak. Sebab, bukan tidak mungkin
kalau Malaikat Gerbang Neraka dan para begundalnya te-
lah lebih dahulu bergerak. Tentu mereka akan
mempercepat penyerbuan, begitu mengetahui kau
telah berhasil meloloskan diri, Saudara Panji. Ba-
gaimana pendapat yang lain?" sambung Jagaraksa
mengakhiri, sambil mengedarkan pandangan kepada
para tokoh yang berkumpul di ruangan itu.
"Benar. Kita harus segera bergerak. Aku yakin,
saat ini pun gerombolan Malaikat Gerbang Neraka
past telah bergerak menuju Istana Kerajaan Mulawarta,"
sahut seorang laki-laki setengah baya.
Dia memiliki bentuk wajah yang gagah dan me-
narik. Kumisnya yang tipis tampak teratur rapi. Tokoh
ini tak lain adalah Pendekar Laut Selatan, yang
ternyata juga ikut hadir dalam pertemuan itu.
Di sebelah kiri Pendekar Laut Selatan, tampak
duduk murid utamanya yang berjuluk Nelayan Pulau
Kambang. Tokoh berusia empat puluh tahun itu
merupakan orang kedua di perguruan mereka. Kepan-
daiannya bahkan hampir tidak berselisih dengan Pen-
dekar Laut Selatan sendiri. Meskipun jarang muncul da-
lam dunia persilatan, namun namanya telah cukup di-
kenal dan disegani.
Bagaimana dengan Raja Obat? Apakah mempu-
nyai pendapat lain...?" tanya Pendekar Pedang Perak
yang didampingi adik seperguruannya yang berjuluk
si Pedang Malaikat.
"Hm.... Rasanya keputusan itu sudah tepat sekali.
Kalau memang semua sudah setuju, lebih baik kita mem-
persiapkan pemberangkatan. Apalagi, jarak yang akan kita
tempuh bisa memakan waktu sampai tiga hari. Sedang-
kan gerombolan Malaikat Gerbang Neraka akan tiba lebih
dulu daripada kita," sambung Raja Obat dengan suara te-
nang tanpa terburu-buru.
"Baiklah. Kalau begitu, kita tutup saja pertemuan ini.
Silakan masing-masing menyiapkan pengikutnya. Kita
langsung bergerak pagi ini juga," ujar Pendekar Pedang Pe-
rak yang segera bangkit dari duduknya.
Para tokoh yang lain pun, bergegas meninggalkan
ruang utama perguruan itu. Sehingga, sebentar saja
ruangan itu kembali sunyi.
Sedangkan Panji, Kenanga dan Raja Obat pamit le-
bih dulu untuk menyelidiki keadaan.
***
Diiringi hembusan angin pagi yang bersilir lembut,
Panji, Kenanga dan Raja Obat melesat cepat menuju
arah Barat. Berbekal ilmu lari cepat yang telah mencapai
tingkat tinggi, membuat perjalanan mereka menjadi
lebih cepat.
Hingga ketika matahari mulai naik tinggi, mereka, telah jauh meninggalkan Perguruan Pedang
Perak saat ketiganya hendak memasuki hutan, tiba-tiba
terdengar bentakan yang diiringi berloncatannya belasan
sosok tubuh yang langsung mengurung ketiga orang sakti
itu.
"Berhenti...!"
Teriakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu,
tentu saja membuat langkah Panji, Kenanga, dan Raja
Obat terhenti seketika. Mereka menatap ke arah belasan
sosok tubuh berpakaian serba putih yang telah menge-
pung.
"Siapa kalian...?! Dan apa keperluan kalian memasuki
daerah hutan ini?!" bentak salah seorang.
Orang itu pada bagian lengannya terdapat garis hi-
tam. Sepertinya, garis hitam pada bagian pangkal lengan
sebagai tanda kalau ia merupakan pimpinan belasan
orang itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya menge-
darkan pandangan penuh selidik kepada belasan
orang yang mengepungnya. Setelah memastikan kalau me-
reka bukanlah orang jahat, barulah Pendekar Naga Putih
melangkah maju beberapa tindak mendekati laki-laki ga-
gah yang merupakan pimpinan belasan orang itu.
"Sahabat Aku berjuluk Pendekar Naga Putih. Se-
dangkan kedua orang rekanku ini adalah Kenanga dan
Raja Obat Kalau boleh bertanya, siapakah kalian? Dan apa
maksud kalian menghadang perjalanan kami?" Panji ba-
lik bertanya setelah menjawab pertanyaan laki-laki ga-
gah itu.
"Hm.... Keadaan pada masa sekarang ini sedang
tidak aman. Mengapa kalian sebagai pendekar masih
saja berkeliaran? Tidakkah sebaiknya kalian
ikut mengamankan suasana?" ujar orang itu bernada
menegur. Sedangkan pertanyaan Panji sama sekali tidak
dijawabnya.
Kenanga yang merasa kesal melihat lagak orang itu
langsung saja melangkah maju. Telinga gadis jelita itu
sempat memerah mendengar teguran yang terasa menying-
gung harga dirinya.
"Hm.... Rupanya kalian adalah pendekar-pendekar
pembela kebenaran. Tahukah kalian, bahaya apa yang
saat ini tengah mengancam Kerajaan Mulawarta?! Orang lain
tengah sibuk memikirkan cara untuk menghalau pembe-
rontak-pemberontak itu, mengapa kalian masih sibuk men-
gatur orang lain?! Apakah kalian tidak mendengar tentang
munculnya seorang tokoh sesat yang berjuluk Malaikat
Gerbang Neraka? Dan apakah kalian tahu kalau saat ini
tokoh itu bersama dengan bala tentaranya tengah berge-
rak menuju Kerajaan Mulawarta?" dengus Kenanga. Se-
hingga, laki-laki gagah itu sempat terkejut dibuatnya.
Belum lagi laki-laki berpakaian serba putih dan ber-
cambang bauk lebat itu sempat menjawab ucapan Kenan-
ga, mendadak terdengar suara lantang.
"Hm.... Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Ni sa-
nak? Kalau memang benar demikian, mereka tentu harus
berhadapan lebih dahulu dengan prajurit-prajurit Kadipaten
Blambang. Sebab kadipaten itu merupakan jalan satu-
satunya ke Kerajaan Mulawarta."
Ucapan itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang me-
nunggang seekor kuda. Di belakangnya tampak mengir-
ing belasan orang berpakaian prajurit. Sedangkan orang
itu sendiri mengenakan pakaian seorang perwira.
"Apa yang dikatakan kawanku ini sama sekali tidak
salah. Mereka telah menyapu habis seluruh kekuatan
Kadipaten Blambang. Setelah itu, barulah mereka berang-
kat untuk menyerbu Istana Mulawarta. Demikianlah yang
kudengar dari hasil penyelidikanku," sahut Panji yang segera
menyahuti pertanyaan laki-laki gagah berpakaian perwira
itu.
"Betulkah kau menyaksikannya sendiri, Anak Muda?
Ataukah kau hanya mendengar berita dari orang lain?"
tanya perwira yang tak lain dari Pragala itu. Tentu saja
ia menjadi terkejut mendengar keterangan Panji.
"Benar, Paman Perwira. Sayang aku tidak mempunyai
waktu untuk menceritakannya. Apalagi, saat ini kami bertiga
tengah terburu-buru untuk segera tiba di Istana Kerajaan
Mulawarta. Kami harus melihat keadaan terlebih dahulu
sebelum kawan kami yang lain tiba di sana. Maka, biar-
kanlah kami meneruskan perjalanan, karena kami tidak
ingin terlambat," jelas Panji.
Tentu saja berita yang didengarnya itu membuat Pra-
gala terpaku bagaikan patung. Memang, melihat wajah
tampan itu, ia yakin kalau apa yang dikatakan pemuda di
depannya adalah benar.
"Sahabat, tunggu...!" seru Pragala mencegah Panji
dan yang lainnya meninggalkan tempat itu.
"Maaf, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ka-
lau memang kalian ingin membantu, tunggulah keda-
tangan rombongan kawan kami yang juga akan melewati
hutan ini!" ujar Panji tanpa menghentikan larinya.
Hingga akhirnya bayangan ketiga orang itu sema-
kin menjauh dan menghilang dalam kelebatan pepoho-
nan hutan.
"Hm.... Saudara Lodana. Sebaiknya siapkan pasukan
kita. Aku yakin apa yang diucapkan pemuda itu benar
adanya. Sebaiknya, kita tunggu saja kawan anak muda itu,
dan bergabung dengan mereka," usul Pragala kepada laki-
laki bercambang bauk yang hanya mengangguk.
Lodana yang juga menyetujui usul Pragala, segera men-
gumpulkan orang-orangnya untuk bergabung dengan pa-
sukan Pendekar Pedang Perak dan tokoh-tokoh persila-
tan yang menurut Panji akan melewati tempat itu.
Ternyata penantian Pragala dan Lodana tidak terla-
lu lama. Buktinya, setelah orang-orangnya lengkap berkum-
pul, terdengarlah derap kaki kuda bergemuruh. Dari kepu-
lan debu yang membumbung tinggi ke angkasa, jelas itu
adalah rombongan orang berkuda yang tengah menuju ke
arah mereka. Dan tentu dalam jumlah yang sangat be-
sar.
Dan apa yang diduga Pragala maupun Lodana ter-
nyata tidak meleset. Kini tampaklah rombongan orang
berkuda yang tidak kurang dari seribu orang banyaknya.
Heran juga hati Pragala melihat jumlah yang sangat be-
sar itu. Bergegas mereka menyambut dan menggabung-
kan diri dengan rombongan yang hendak menuju Istana
Kerajaan Mulawarta.
Pendekar Pedang Perak yang telah cukup mengenal
Lodana, tentu saja menerima mereka untuk bergabung.
Maka rombongan yang semakin membengkak jumlahnya
itu pun terus bergerak maju menerobos hutan lebat.
***
DELAPAN
"Ternyata dugaan Ki Jagaraksa tidak meleset! Ma-
laikat Gerbang Neraka dan pasukannya benar-benar te-
lah memasuki Ibu Kota Mulawarta. Seperti setan saja
gerakan mereka," kata pemuda berjubah putih yang tak
lain dari Panji, saat telah tiba di perbatasan Ibu Kota
Mulawarta bersama Kenanga dan Raja Obat.
"Hm.... Kalau melihat bercak-bercak darah serta be-
kas-bekas pertempuran yang terjadi di perbatasan ini, ra-
sanya mereka belum lama tiba," duga dara jelita berpa-
kaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga adanya.
Gadis jelita itu tampak membungkuk memeriksa be-
lasan mayat prajurit penjaga perbatasan yang bergeleta-
kan tumpang tindih. Tampaknya di tempat itu belum la-
ma terjadi pertempuran.
"Bagaimana ini, Eyang? Apakah kita langsung me-
nuju istana, atau menunggu tibanya kawan-kawan kita
yang lain?" tanya Panji meminta pendapat Raja Obat.
Biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih harus
menghormati orang tua itu untuk meminta petunjuknya.
Walaupun telah tahu tentang apa yang harus diper-
buatnya, namun tetap saja Panji meminta pendapat
orang tua itu.
"Sebaiknya, kita langsung saja menuju istana. Wa-
laupun kita cuma bertiga, namun tidak perlu takut. Dan
lagi, kita hanya akan menghadapi gembong-gembong
pemberontak itu. Sedangkan mengenai pasukan Malaikat
Gerbang Neraka, mungkin saat ini tengah bertempur me-
lawan para prajurit kerajaan. Jadi, tidak hanya sekadar
menghadapi tokoh-tokoh sesat itu untuk melindungi
Gusti Prabu Pungga Lawa," sahut Raja Obat yang sege-
ra melangkah meninggalkan perbatasan Ibu Kota Mu-
lawarta.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji dan Kenanga ber-
gegas mengikuti kakek sakti itu.
Tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan den-
gan para pengungsi yang tengah dibantai serombongan
laki-laki kasar yang mirip gerombolan perampok. Tanpa
banyak tanya lagi, mereka bergegas menerjang ge-
rombolan laki-laki kasar yang diduga sebagai pengikut
Malaikat Gerbang Neraka.
"Bedebah! Biarkan mereka pergi...!" bentak Panji yang
langsung saja melompat disertai kibasan tangannya.
Bettt...!
Sekali tangan Panji mengibas, belasan orang la-
ki-laki kasar itu langsung bertumbangan tanpa bangkit
kembali. Mereka langsung bergeletakan pingsan dengan
darah mengalir dari sudut bibir.
Kenanga dan Raja Obat pun tidak mau ketinggalan.
Mereka segera mengamuk membagi-bagi pukulan dan ten-
dangan yang mengandung kekuatan hebat Sehingga da-
lam beberapa gebrak saja, puluhan orang laki-laki kasar
itu sudah bergeletakan tanpa daya.
"Ayo, kita segera menuju istana...!" ujar Raja Obat sete-
lah gerombolan itu tak tersisa satu pun juga.
Setelah yakin kalau para pengungsi itu tidak lagi ter-
ganggu para pasukan Malaikat Gerbang Neraka, Panji
dan Kenanga bergegas mengikuti Raja Obat.
Karena mereka mengerahkan ilmu lari cepatnya, ma-
ka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tiba di de-
pan gerbang Istana Kerajaan Mulawarta. Sepanjang jalan
yang terlihat hanyalah ratusan mayat dari kedua belah
pihak yang saling tumpang tindih tak karuan. Sehing-
ga, mau tak mau ketiga orang tokoh sakti itu menjadi
sedih melihatnya.
Panji, Kenanga, dan Raja Obat terus melesat me-
lewati pertempuran-pertempuran yang masih berkobar
sengit. Memang, tujuan mereka hanyalah untuk mencari
gembong-gembong golongan sesat yang sudah pasti san-
gat berbahaya bagi prajurit-prajurit kerajaan itu.
"Lihat! Bukankah itu Datuk Panglima Sesat!" seru Ke-
nanga.
Gadis itu langsung menunjuk seorang laki-laki ber-
tubuh raksasa yang tengah mengamuk dikeroyok prajurit
kerajaan dan sebelas orang perwira yang mengepungnya.
Namun, sepak terjang datuk sesat itu luar biasa
sekali! Puluhan mayat prajurit tampak berserakan di seki-
tarnya. Siapa lagi yang berbuat kejam seperti itu kalau
bukan Datuk Panglima Sesat? Bahkan di antara puluhan
mayat itu terdapat mayat enam orang perwira yang ru-
panya juga telah tewas di tangan datuk iblis itu.
Melihat keadaan para prajurit yang kacau-balau aki-
bat amukan tokoh sesat mengiriskan itu, maka Raja
Obat segera saja melesat untuk menahan keganasan da-
tuk sesat itu.
"Kenanga! Bantulah para perwira yang tengah berta-
rung dengan Kuntilanak Bukit Mandau itu. Nampaknya,
mereka memang memerlukan bantuan!" seru Raja Obat
sambil menudingkan jari telunjuk ke arah sebelah kanan.
Tanpa diperintah dua kali, gadis jelita itu bergegas me-
layang ke arah yang ditunjuk Raja Obat Memang, di
tempat itu tampak seorang nenek tinggi kurus tengah
mengamuk dengan sebatang tongkat hitamnya. Begitu Ke-
nanga ikut terjun ke dalam kancah pertempuran, barulah
para perwira yang mengeroyok nenek iblis dapat menarik
napas lega. Dan ternyata Kenanga mampu mengurangi
amukan datuk sesat wilayah Utara itu.
Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang re-
kannya telah menemukan lawan masing-masing, berge-
gas terus masuk ke dalam lingkungan istana. Dua orang da-
tuk lain yang terlihat tengah bertarung seru melawan pa-
ra perwira yang sedikitnya berjumlah lima belas orang, ti-
dak dipedulikannya. Kelihatannya para perwira itu cukup
mampu menahan amukan datuk-datuk sesat itu sampai
tibanya Pendekar Pedang Perak dan Pendekar Laut Sela-
tan. Maka, Pendekar Naga Putih pun meneruskan
langkahnya untuk mencari Malaikat Gerbang Neraka.
Dan menurut dugaannya, mungkin tokoh sesat itu telah
berada di dalam bangunan istana.
"Hm.... Tampaknya Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu pun dapat mereka atasi," gumam Panji ke-
tika melihat kedua orang tokoh sesat itu tengah sibuk
menghadapi para perwira dan prajurit Kerajaan Mulawarta.
Ketika Panji menoleh ke arah lain, keningnya
tampak berkerut melihat tiga orang wanita cantik ten-
gah bertempur sengit melawan puluhan orang laki-laki
di dekat pintu utama Istana Kerajaan Mulawarta.
Hati pendekar muda itu terkejut bukan main me-
lihat amukan dahsyat ketiga orang wanita cantik itu.
Bukan ilmu silat mereka yang membuat Pendekar Naga Pu-
tih terkejut . Tapi, keadaan mayat para prajurit itulah yang
membuat Panji terpaksa menahan langkahnya.
"Racun keji…!"desis Panji geram.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pe-
muda itu segera melesat ke arah pertempuran yang mene-
barkan hawa maut berbau busuk itu.
"Haiiit ..!"
Sambil berseru nyaring, Pendekar Naga Putih mengi-
baskan kedua tangannya ke arah ketiga orang wanita
cantik yang menggunakan racun jahat itu.
Wusss...!
Serangkum angin berhawa dingin dan panas,
langsung menerpa ke arah ketiga orang wanita itu
dengan amat kuatnya. Tentu saja hal itu membuat Tiga
Dewi Pulau Setan menjadi terkejut bukan kepalang.
"Hei…!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari ketiga orang wa-
nita cantik itu. Serentak mereka berlompatan mundur
menghindari sambaran angin pukulan yang berlainan si-
fat itu.
Sayang gerakan yang dilakukan mereka masih ka-
lah cepat dibanding gerakan Panji. Sehingga tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh ketiga orang wanita cantik it ter-
pantul deras ke belakang.
Desss.... Desss.... Desss...!
Ketiga orang wanita cantik penghuni Pulau Setan itu
terjungkal terbanting keras di atas tanah. Darah segar
Yang mengalir di sudut bibir, menandakan kalau ketiga
orang wanita cantik itu telah menderita luka dalam yang
cukup parah!
Rupanya kesempatan yang sangat baik itu, tidak dis-
ia-siakan begitu saja oleh para prajurit Kerajaan Mulawar-
ta yang tersisa. Langsung saja mereka berlompatan ke arah
tiga sosok tubuh yang tengah berusaha bangkit itu.
Dan....
Brettt....Crakk… Crasss...!
"Wuaaa...!"
"Aaargh...!"
Jeritan-jeritan kematian terdengar saling susul me-
nyusul ketika belasan orang prajurit kerajaan itu menu-
sukkan dan membabatkan senjatanya ke tubuh Tiga De-
wi Pulau Setan. Darah segar pun berhamburan membasahi
permukaan bumi yang semakin lembab oleh darah-
darah manusia.
Namun ketiga orang wanita cantik itu pun rupanya ti-
dak mau mati secara sia-sia. Buktinya mereka membalas
dengan sambaran senjata di tangan. Sehingga, enam
orang prajurit yang paling dekat, langsung jatuh tersung-
kur mencium tanah dengan tubuh berlumuran darah. Se-
telah itu, baru Tiga Dewi Pulau Setan menghembuskan
napasnya yang terakhir.
"Benar-benar berbahaya...," gumam Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian langsung melesat ke
dalam bangunan istana, setelah melihat ketiga orang
wanita cantik itu benar-benar sudah berakhir hidupnya.
Saat tiba di ruang utama istana, Panji terkejut bu-
kan main. Tampak tokoh sakti yang dicarinya tengah
mengamuk hebat. Dia dikeroyok oleh belasan orang
perwira dan dua orang Senapati Kerajaan Mulawarta.
Amukan tokoh tinggi kurus yang wajahnya selalu ter-
sembunyi di balik kerudung hitam itu benar-benar mengi-
riskan. Puluhan mayat prajurit dan perwira, tampak
bergeletakan di bawah kakinya. Sungguh sebuah pe-
mandangan yang sangat mengerikan dan mengiriskan seka-
li.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, Malaikat Gerbang Nera-
ka melesat sambil mengibaskan kedua tangannya ke kiri
dan kanan. Gerakan tokoh sesat maha sakti itu benar-
benar membuat orang tewas seketika.
Dua orang senapati yang masing-masing berusia lima
puluh dan tiga puluh tujuh tahun, tampak berbuat nekat.
Mereka langsung menyambut kibasan tangan tokoh men-
giriskan itu.
"Haaat ..!"
Sambil berseru keras, kedua orang senapati itu
langsung saja melompat sambil mendorongkan tangannya
untuk menyambut pukulan maut yang menimbulkan
deru angin panas. Dan....
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Ledakan dahsyat yang terasa bagaikan hendak mero-
bohkan istana terdengar, ketika pukulan Malaikat Gerbang
Neraka dan kedua orang senapati itu berbenturan keras.
Kedua senapati andalan Kerajaan Mulawarta itu lang-
sung terpental balik akibat benturan yang maha dahsyat!
Tubuh mereka langsung terbanting jatuh ke atas lantai.
"Uhhh...!"
Benturan dahsyat tadi rupanya telah membuat
dada keduanya terguncang. Hal itu jelas terlihat dari gera-
kan mereka pada saat hendak berusaha bangkit berdiri.
Mereka kembali terjatuh sambil menekap dada yang terasa
bagaikan tertusuk ribuan jarum halus. Dari cairan merah
yang tampak mengalir di sela-sela bibir, dapat dipastikan
kalau kedua orang itu telah mengalami luka dalam cukup
parah.
Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka sendiri sama se-
kali tidak mengalami luka berarti. Benturan keras tadi
hanya membuat kuda-kudanya tergempur beberapa
langkah ke belakang. Tentu saja kenyataan itu mau tak
mau membuat Pendekar Naga Putih yang sempat me-
nyaksikannya menggeleng takjub.
"Orang ini benar-benar sudah seperti bukan manu-
sia lagi! Kepandaiannya hebat dan mengiriskan sekali.
Hm.... Kalau saja aku belum menemukan rahasia
yang tersimpan dalam Pedang Naga Langit, rasanya
mustahil dapat menandingi tokoh sesat yang satu ini. Se-
karang pun, aku masih ragu untuk dapat menandinginya,"
desah Pendekar Naga Putih yang benar-benar kagum den-
gan kesaktian tokoh sesat penuh teka-teki itu.
Namun, Panji tidak sempat berpikir lama. Karena saat
itu, belasan orang perwira yang mengeroyok tokoh sakti itu
bertumbangan satu persatu bagaikan laron mendekati api.
Tentu saja jeritan kematian yang susul-menyusul itu
membuat Pendekar Naga Putih harus segera turun tan-
gan mencegahnya. Dan sebagai taruhannya, adalah nya-
wa!
"Malaikat Gerbang Neraka! Kali ini kau harus benar-
benar kuhentikan...!" seru Panji sambil melompat mema-
pak hantaman telapak tangan kanan tokoh itu yang ten-
gah meluncur deras mengancam empat orang penge-
royok di depannya.
Tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu
sempat tersentak mendengar seruan yang diketahuinya
mengandung kekuatan dahsyat. Dan ketika matanya meli-
rik, tampak kegusaran terpancar pada sepasang matanya.
Jelas kalau tokoh mengiriskan itu tengah mengenali orang
yang mengeluarkan seruan lantang tadi.
"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya.
Malaikat Gerbang Neraka tampak terperangah meli-
hat kedatangan pemuda sakti itu. Memang, sampai saat itu
pun ia masih belum bisa mengerti, bagaimana cara pe-
muda itu dapat meloloskan diri dari tahanannya padahal,
ia tahu betul kalau keadaan pemuda itu sangat parah dan
kemungkinan untuk sembuh hampir mustahil. Itulah yang
menyebabkan hatinya terkejut melihat kemunculan Panji.
Apalagi, keadaan pemuda itu tampak segar bugar.
Malaikat Gerbang Neraka yang melihat datangnya seran-
gan pemuda itu, segera menyelewengkan hantaman telapak
tangannya. Perhatiannya segera dialihkan ke arah Pendekar Naga
Putih yang saat itutengahmeluruk ke arahnya.
Panji yang sadar akan kedahsyatan ilmu lawannya, tentu
saja tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Lang-
sung dikerahkannya seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang dimiliki untuk menahan gempu-
ran dahsyat itu.
Wusss...!
Wukkk...!
Blarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan benturan dua gelom-
bang tenaga raksasa yang saling bertemu di udara. Ruang
utama Istana Kerajaan Mulawarta bagaikan diguncang
gempa yang sangat hebat Sehingga, tembok-tembok
yang mengelilingi ruangan itu sampai bergetar bagai-
kan hendak roboh. Bahkan pada bagian atap ruangan
itu sempat rontok karenanya.
Belasan orang perwira kerajaan yang sempat
menyaksikan benturan dahsyat itu, terlempar ke kiri
dan kanan bagaikan dilanda angin topan dahsyat
Dengan perasaan ngeri mencekam, para perwira itu
serentak menyeret langkahnya menjauhi pertarungan
mengerikan itu.
Akibat yang diderita Panji pun cukup parah.
Benturan dahsyat itu telah membuat tubuhnya terlem-
par deras, dan langsung menjebol dinding ruangan
yang berada dua tombak di belakangnya. Untunglah la-
pisan kabut putih keperakan masih menyelimuti tu-
buhnya, sehingga tulang-tulangnya tidak sampai pa-
tah.
"Hm…"
Pendekar Naga Putih menggeram gusar. Sepasang
matanya menyorot tajam bagaikan mata seekor naga
murka. Dengan gerakan perlahan, pemuda itu menyi-
langkan kedua tangan di depan dada. Kemudian masih den-
gan gerakan perlahan dan mengandung getaran kuat, ke-
dua lengan pemuda itu bergerak naik melampaui kepa-
lanya.
Tak lama kemudian, terlihatlah dua buah sinar
yang membungkus tubuh pemuda berjubah putih itu. Mas-
ing-masing adalah sinar putih keperakan, dan sinar kuning
keemasan. Kedua sinar itu menyelimuti tubuh Panji secara
terpisah. Sehingga pemandangan aneh itu, sempat
membuat Malaikat Gerbang Neraka mengerutkan kening-
nya.
"Gila! ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda setan
itu...? Hm, apa yang membuat tubuhnya sampai dapat
mengeluarkan dua buah sinar aneh secara bersamaan?"
gumam tokoh sesat itu yang merasa terkejut karenanya.
Sebagai seorang yang telah banyak mengetahui ilmu
langka dunia persilatan, tokoh sakti itu sadar kalau orang
yang telah mampu mengerahkan kedua unsur tenaga ber-
lainan sifat secara bersamaan, sudah pasti memiliki ke-
kuatan luar biasa sekali. Melihat pemuda itu dapat
menggabungkan dua tenaga berlainan sifat secara sem-
purna, tentu saja Malaikat Gerbang Neraka menjadi gentar
hatinya. Padahal, diketahuinya betul kalau pada beberapa
hari yang lalu, lawannya sama sekali tidak menggunakan
perpaduan tenaga itu. Dan diyakininya pula kalau pada
waktu menahannya, Pendekar Naga Putih sama sekali
belum memiliki kekuatan seperti itu. Malaikat Gerbang
Neraka benar-benar menjadi tidak mengerti dengan kea-
nehan pendekar muda itu.
"Hm.... Kalau memang bukan seorang pengecut, ma-
rilah pertarungan kita dilanjutkan di tempat yang lebih
leluasa, Malaikat Gerbang Neraka. Tapi kalau kau ta-
kut, tentu aku tidak akan memaksa," tantang Pendekar
Naga Putih sengaja memanasi.
"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih! Apa dikira den-
gan kepandaianmu kau sudah patut bersombong di de-
panku? Huh! Jangan mimpi, Bocah Setan! Hari ini juga,
nama besarmu akan kuhapus dari dunia persilatan," desis
Malaikat Gerbang Neraka, mengandung kegeraman yang
dalam.
Seketika tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat
ke arah samping istana yang memiliki halaman cukup
luas. Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka pun bergegas
mengejar.
Baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah,
Malaikat Gerbang Neraka sudah langsung melancarkan
serangan dahsyat. Pukulannya yang menimbulkan deru
angin mencicit tajam, datang bertubi-tubi bagai tidak in-
gin memberi kesempatan kepada pemuda itu.
Bettt..! Wuttt...!
Rentetan pukulan Malaikat Gerbang Neraka yang hebat
bukan kepalang, tentu saja tidak bisa dipandang ringan.
Apalagi dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam ting-
gi. Tentu saja kedahsyatannya sangatlah mengerikan.
Panji pun bukan tidak tahu akan kedahsyatan seran-
gan itu. Cepat tubuhnya bergeser dengan lompatan ke
samping. Langsung dilancarkannya serangan balasan
dengan tusukan jari-jari tangan kanan.
Syuuut..!
Tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih meluncur
pesat mengancam lambung lawan. Serangkum angin din-
gin yang menusuk tulang mencicit tajam mengiringi tu-
sukan jari tangan pemuda itu.
Malaikat Gerbang Neraka yang merasa sangat ya-
kin akan kekuatan dahsyat tenaganya, langsung saja men-
gibaskan lengan kiri untuk memapak serangan Pendekar
Naga Putih.
Namun, Panji tentu saja tidak ingin bertindak ce-
roboh. Disadari kalau kekuatan yang dimiliki lawannya
masih berada di sebelah atasnya. Maka tentu saja ia ti-
dak sudi mengadu tenaga dengan lawannya. Ditarik-
nya tusukan jari tangan yang meluncur mengancam lam-
bung lawan. Secepat tangan kanannya ditarik pulang, tu-
buhnya bergerak menekuk doyong ke belakang sambil me-
lancarkan tendangan kilat yang melesat ke arah perut Ma-
laikat Gerbang Neraka.
Tass….!
Hebat dan cepat bukan main gerakan tokoh tinggi ku-
rus itu. Dalam keadaan cukup berbahaya itu ternyata
masih sempat memutar kibasan tangannya yang memben-
tuk setengah lingkaran hingga sempat memapak tendan-
gan Panji.
Benturan dua gelombang tenaga raksasa itu tentu
saja akibatnya hebat sekali. Tubuh Pendekar Naga Putih
melintir akibat tangkisan keras lawannya. Tapi walaupun
demikian, keseimbangan tubuhnya masih sempat diatur
dan kuda-kudanya dapat diperbaiki dalam keadaan siaga
penuh.
"Heaaat... !"
Malaikat Gerbang Neraka yang sempat bergetar
mundur sampai empat langkah akibat benturan itu, kem-
bali melesat disertai pekikannya yang menggetarkan jan-
tung.
Para prajurit yang tengah bertempur dengan gerombo-
lan pengikut tokoh sesat itu kontan terjungkal Memang,
mereka bertempur tidak jauh dari pertempuran antara Panji
melawan Malaikat Gerbang Neraka. Dari mulut, telinga, dan
hidung mereka mengalir darah segar. Rupanya teriakan
dahsyat Malaikat Gerbang Neraka telah menewaskan me-
reka. Dari kejadian itu saja dapat dilihat, betapa menge-
rikannya kekuatan yang dimiliki tokoh sesat itu.
Pendekar Naga Putih yang melihat sepasang tela-
pak tangan lawan tengah meluncur mengancam dadanya,
cepat menyilangkan sepasang tangannya. Juga langsung
tenaga batinnya dipusatkan untuk menggabungkan dua ke-
kuatan yang berada dalam tubuhnya.
Whusss...!
Dorongan sepasang tangan yang berkekuatan dahsyat
itu lewat di samping tubuh Panji yang melompat ke samp-
ing. Namun, apa yang selanjutnya dilakukan tokoh sesat
itu benar-benar membuat Panji tersentak Ternyata sepa-
sang telapak tangan yang lewat di samping tubuhnya itu
tiba-tiba berputar cepat, dan langsung mengancam lam-
bung kirinya.
Buggg...!
"Akhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Naga Putih
langsung terpental bagaikan sehelai daun kering! Darah se-
gar terlompat keluar dari mulutnya. Namun sebelum tu-
buhnya jatuh mencium tanah, pemuda itu masih sempat
berjumpalitan dan mendaratkan kakinya. Hanya saja,
kuda-kudanya sedikit goyah!
"Gila! Tokoh sesat satu ini memang benar-benar luar
biasa! Nampaknya akan sulit sekali untuk dapat menga-
lahkannya," gumam Pendekar Naga Putih sambil menyusut cairan merah dengan lengan bajunya.
"Haaat...!"
Bagaikan orang kesetanan, Malaikat Gerbang Neraka
kembali meluncur dengan serangan-serangan mematikan.
Jelas kalau tokoh sesat itu memang sangat menginginkan
kematian Pendekar Naga Putih.
Kali ini Malaikat Gerbang Neraka jelas salah perhitun-
gan. Semula, dikiranya Panji telah mengalami luka dalam
akibat pukulannya. Tapi ternyata dugaannya meleset!
Memang, dengan telah bersatunya Pedang Naga Langit
ke dalam tubuh Pendekar Naga Putih, tentu saja setiap
pukulan yang menimbulkan luka telah langsung terha-
pus oleh inti kekuatan pedang keramat itu. Hal inilah
yang tidak diketahui Malaikat Gerbang Neraka.
Pendekar Naga Putih sendiri semula merasa heran keti-
ka tidak merasakan akibat hantaman Malaikat Gerbang
Neraka tadi. Sepertinya, pukulan tadi tidak berbekas da-
lam tubuhnya. Namun ketika teringat Pedang Naga
Langit yang telah menyatu ke dalam tubuhnya, maka
pemuda itu pun tersenyum lega.
Serangan Malaikat Gerbang Neraka yang telah kem-
bali mengancam, sama sekali tidak membuat Panji gugup.
Dengan menyatukan kekuatan batinnya, pemuda itu
berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan. Dan
pada saat sepasang tangan tokoh tinggi kurus itu me-
luncur mengancam tubuhnya, Panji pun merendahkan tu-
buhnya sambil memantek kedua kakinya di atas tanah.
"Heaaattt...!"
Disertai 'Pekikan Naga Marah', Pendekar Naga Putih
mendorongkan sepasang tangannya ke depan. Serang-
kum angin pukulan yang mengandung hawa dingin dan
panas, terlontar dari sepasang telapak tangan pemuda itu.
Whusss...!
Bresssh...!
Terdengar ledakan dahsyat ketika kedua pasang telapak tangan yang mengandung kekuatan raksasa saling
berbenturan di udara! Tubuh kedua tokoh sakti itu terpen-
tal balik bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan
angin.
Derrr...!
Tubuh Malaikat Gerbang Neraka yang selama ini be-
lum pernah terkalahkan, meluncur menghantam seba-
tang pohon besar yang berada di belakangnya. Dengan
memperdengarkan suara berderak ribut, pohon besar itu
langsung tumbang, karena bagian tengahnya terlanggar
tubuh tinggi kurus itu.
Demikian pula halnya Pendekar Naga Putih. Tubuh
Pendekar Naga Putih yang tengah melun-
cur ke arah dinding samping bangunan istana, ter-
hempas keras hingga dinding itu pun jebol.
Pendekar Naga Putih yang merasakan sekujur tu-
buhnya bagaikan remuk, cepat menyatukan pikiran. Dia
duduk bersila sambil memejamkan mata, tanpa peduli
dengan keadaan sekitarnya. Gempuran dahsyat yang te-
lah mengakibatkan luka dalam, membuatnya berusaha
untuk membangkitkan kekuatan tenaga batinnya. Me-
mang disadari betul kalau lukanya hanya dapat disem-
buhkan oleh 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang berasal
dari Pedang Pusaka Naga Langit.
Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka ternyata te-
tap terkulai lemah tak berdaya. Dari sudut bibir tokoh tinggi
kurus itu mengalir darah segar. Jelas, tokoh sakti itu pun
telah mengalami luka dalam yang tidak ringan. Bahkan aki-
batnya, kesaktiannya kini telah punah! Dia seperti kakek-
kakek jompo saja layaknya.
Melihat hal ini, dua orang senapati dan beberapa orang
perwira tinggi Kerajaan Mulawarta cepat mengamankan to-
koh iblis itu. Mereka membawanya ke dalam bangunan
istana, untuk meminta keputusan Prabu Pungga Lawa.
Sementara, pertempuran yang berlangsung antara pasukan Kerajaan Mulawarta melawan pasukan pemberon-
tak sudah pula selesai. Para prajurit kerajaan yang di-
bantu tokoh-tokoh persilatan golongan putih telah ber-
hasil menghentikan perlawanan para pemberontak.
Yang tinggal hanyalah ribuan sosok mayat saling tum-
pang-tindih yang menebarkan bau anyir darah.
***
Pendekar Naga Putih yang baru saja menyelesai-
kan semadinya, menjadi heran ketika di sekelilingnya
telah berkumpul tokoh persilatan. Sehingga, pemuda itu
sempat menjadi rikuh karenanya.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang...?" tanya Kenanga
yang saat itu juga tengah menunggu kekasihnya. Wajah
jelita bagai bidadari itu tampak penuh kecemasan.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga. Kesehatanku sudah pu-
lih seperti semula," sahut Panji sambil mengedarkan pan-
dangan, seolah-olah mencari sesuatu.
"Malaikat Gerbang Neraka telah dapat kau lum-
puhkan, Panji. Dan kini telah diamankan pihak istana.
Menurut Gusti Prabu Pungga Lawa pada saat kami da-
tang menghadap, tokoh sesat yang maha sakti itu ter-
nyata seorang pangeran yang pada beberapa waktu lalu
pernah memberontak. Ternyata nama asli Malaikat Ger-
bang Neraka adalah Pangeran Dwipa Karna. Dulu, dia ber-
hasil meloloskan diri dari kejaran pihak kerajaan. Rupanya
kali ini kembali mencoba melakukan pemberontakan un-
tuk merebut kekuasaan dari tangan Gusti Prabu dengan
bantuan para datuk sesat. Sayang rencananya kali ini pun
harus gagal. Dan untuk kali ini, ia tidak akan bisa melari-
kan diri lagi dari hukuman mati. Besok sebelum matahari
terbit, tokoh itu akan dihukum penggal. Demikian titah
Gusti Prabu Pungga Lawa," jelas laki-laki gemuk berwajah
bulat, dengan kumis dan jenggot yang tercukur rapi.
Orang itu tak lain adalah Ki Jagaraksa atau yang le-
bih dikenal sebagai Pendekar Pedang Perak. Rupanya to-
koh ini pun ikut menunggui Panji yang tengah bersemadi.
"Bagaimana para datuk sesat itu? Apakah mereka tewas,
atau dapat ditawan?" tanya Panji, bernada ingin tahu. Se-
bab, ia memang tidak mengetahui akan hal itu.
"Mereka berhasil meloloskan diri dengan meninggalkan
pasukannya. Rupanya setelah melihat keadaan pasukan
mereka terdesak, dan tidak mempunyai harapan untuk
menang, mereka langsung pergi menyelamatkan diri
masing-masing. Kecuali Tengkorak Hutan Jati dan Garu-
da Mata Satu. Mereka bersama pasukannya tewas digilas
prajurit kerajaan dibantu murid-murid kami," jelas laki-
laki setengah baya yang memiliki wajah menarik.
Orang itu tak lain adalah Pendekar Laut Selatan. Dia
datang bersama seluruh muridnya untuk membantu Kera-
jaan Mulawarta dalam menghadapi gerombolan pemberontak.
"Hhh.... Syukurlah kedatangan kalian tidak ter-
lambat," desah Panji menarik napas lega.
Namun, kening Pendekar Naga Putih kembali ber-
kerut ketika tidak melihat Raja Obat di tempat itu.
"Setelah melihat semua keadaan di sini telah
aman, Raja Obat berpamit untuk meneruskan pengemba-
raannya. Maaf! Kami tidak bisa menahannya sampai kau
menyelesaikan semadimu, Panji. Dan beliau meminta
maaf karena tidak bisa berpamit kepadamu," jelas Pen-
dekar Pedang Perak yang rupanya dapat menebak isi hati
pemuda perkasa itu.
"Ah! Kalau begitu, aku pun harus segera pamit ke-
pada kalian. Sampaikan salam hormat dan maafku kepada
Gusti Prabu Pungga Lawa. Ayo, Kenanga...," pamit Panji,
segera mengajak kekasihnya meninggalkan Istana Kera-
jaan Mulawarta.
"Baik, Kakang...," sahut Kenanga. Gadis itu juga segera
berpamit kepada semua tokoh persilatan yang berada di
tempat itu.
"Pendekar Naga Putih...! Bagaimana kami harus men-
gatakan kalau Gusti Prabu Pungga Lawa menanyakan
tentang dirimu?" seru Pendekar Pedang Perak yang tak
kuasa mencegah kepergian kedua orang pendekar mu-
da itu.
"Sampaikan salam hormat dan maafku, Paman!" teriak
Panji.
Pendekar Naga Putih memang sudah semakin
jauh meninggalkan tempat itu. Sehingga, para tokoh per-
silatan itu hanya dapat menatap hingga tubuh kedua
orang pendekar muda itu lenyap ditelan keremangan senja.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar