..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 11 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE RAHASIA PEDANG NAGA LANGIT

matjenuh


RAHASIA 
PEDANG NAGA LANGIT
(Lanjutan : Malaikat Gerbang Neraka)
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Rahasia Pedang Naga Langit
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

"Bakar...! Ayo, musnahkan seluruh isi desa 
ini...!"
Salah seorang dari tiga wanita cantik yang berada 
di atas punggung kuda tampak berteriak-teriak membe-
ri perintah. Wajahnya yang cantik nampak berseri me-
nyaksikan pemandangan di depannya. Sepasang ma-
tanya yang indah, menyiratkan kekejaman yang men-
gerikan.
Sedangkan puluhan orang laki-laki berwajah ben-
gis yang juga menunggang kuda, berlarian menyerbu ru-
mah-rumah penduduk Desa Batu Apung. Beberapa di 
antaranya memegang obor menyala di tangan.
"Heaaa….!"
Sambil berteriak-teriak, gerombolan laki-laki berwa-
jah bengis itu melemparkan obor-obor ke atap rumah 
penduduk. Dalam sekejap saja, api pun berkobar melalap 
beberapa rumah.
"Tolong...! Tolooong...!"
Para penghuni rumah berlarian keluar sambil berte-
riak-teriak ketakutan. Namun begitu melewati pintu ru-
mah, gerombolan penunggang kuda berwajah bengis itu 
langsung menyambut dengan senjata.
"Mampus kau...!" bentak salah seorang gerombolan 
itu sambil mengibaskan golok panjangnya.
Brettt... brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika mata golok 
laki-laki kasar itu merobek tubuh beberapa orang pen-
duduk yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun lagi, tubuh 
orang-orang malang itu ambruk bermandikan darah se-
gar.
Malam yang seharusnya hening, kini menjadi ramai

oleh teriakan-teriakan menyayat penduduk Desa Batu 
Apung. Mereka berlarian ke sana kemari tak tentu arah. 
Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semua-
nya berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tak ada 
lagi harta yang sempat dibawa. Jangankan harta. 
Nyawa pun seperti tak luput dari incaran para peram-
pok itu.
Kekejaman yang dilakukan gerombolan itu tentu
saja semakin membuat para penduduk Desa Batu
Apung semakin kalang-kabut. Sadarlah mereka kalau 
orang-orang itu adalah gerombolan perampok kejam 
dan tak kenal ampun.
"Biadab...! Kalian lebih patut menjadi penghuni ne-
raka! Di sanalah tempat kalian bersama segala macam 
iblis dan dedemit!" maki seorang laki-laki setengah 
baya yang wajahnya ditumbuhi brewok. Dengan kemara-
han meluap-luap, golok di tangannya diayunkan.
Namun, kemarahan laki-laki brewok itu malah se-
makin membuat para perampok tertawa puas. Seorang 
di antaranya bergegas menyambut ayunan golok yang 
mengarah ke tubuhnya.
Tranggg...!
Terdengar benturan nyaring ketika dua batang 
senjata bertemu. Namun, laki-laki berwajah brewok itu 
rupanya berkepandaian juga. Begitu goloknya terben-
tur, secepat itu pula arah sambarannya diputar menggu-
nakan tenaga benturan tadi.
Wuttt! Brettt!
"Aaakh...!"
Sambaran golok yang tak terduga itu membuat si pe-
rampok menjerit ngeri. Karena, mata golok laki-laki bre-
wok itu telah merobek kulit tubuhnya. Maka tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuhnya ambruk dalam keadaan tewas!
"Bangsat! Rupanya kau cukup berisi. Pantas saja 
berani bertingkah!" bentak salah seorang perampok 
lainnya.
Dia sempat terkejut melihat tubuh kawannya tewas

akibat sambaran pedang laki-laki brewok itu. Maka 
dengan wajah geram, empat orang rekannya diisya-
ratkan untuk mengeroyok laki-laki brewok itu. Dalam 
sekejap saja, laki-laki brewok itu sudah terkurung oleh 
lima orang gerombolan perampok.
"Majulah kalian, Manusia-Manusia Biadab! Aku, 
Galung tidak ,akan menyerah begitu saja!" tantang 
laki-laki brewok yang mengaku bernama Galung, tanpa 
rasa gentar sedikit pun.
Wuttt... wuttt...!
Galung memutar-mutar golok untuk melindungi tu-
buhnya. Sadar kalau tidak mungkin bisa meloloskan di-
ri dari kematian, maka tekadnya pun semakin bulat. Be-
berapa orang dari para perampok itu harus dibunuh un-
tuk menebus nyawanya.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh kelima orang pe-
rampok itu berloncatan menyerbu Galung. Senjata mere-
ka langsung saja meluncur, mengancam lima bagian tu-
buh laki-laki gemuk brewok itu.
Namun tekad membaja yang tertanam di hati Ga-
lung sudah demikian kuat. Sehingga, tidak ada lagi rasa 
takut di dalam dirinya. Maka begitu lima batang senjata 
meluruk deras ke arahnya, laki-laki brewok itu menggeser 
tubuh sebisa mungkin untuk menghindari sambaran 
senjata lawan.
Sayang, kepandaian yang dimiliki kelima orang pe-
rampok itu cukup lumayan. Apalagi kali ini dengan cara 
keroyokan. Maka, tentu saja Galung menjadi kerepotan. 
Sehingga, dalam beberapa jurus saja tubuh laki-laki
brewok itu sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata 
pengeroyoknva.
Brettt.... Crattt!
"Aaargh.,.!"

Ketika pertarungan memasuki jurus yang kese- puluh, Galung tidak mampu menghindar lagi dari te- basan dua batang pedang lawan. Tanpa dapat dicegah 
lagi, tubuhnya pun terjungkal dan roboh mandi darah. Se-
telah berkelojotan sesaat, leher laki-laki brewok itu pun 
terkulai. Tewas!
Namun, kelima orang perampok itu sepertinya
sangat mendendam kepada Galung. Meskipun laki-laki 
brewok itu telah tewas, tubuhnya masih juga dicincang 
dengan bengis! Benar-benar keji kelakuan kelima 
orang perampok itu. Jelas, hati mereka benar-benar 
telah mati dan tanpa perasaan.
Sementara itu, tiga orang wanita cantik yang jelas 
merupakan pimpinan para perampok, kembali ber-
teriak memberi perintah.
"Ayo, cepat...! Kita harus segera meninggalkan 
desa ini! Angkut semua barang berharga yang mereka 
miliki!" teriak salah seorang dari ketiga wanita cantik 
itu dengan suara nyaring dan lantang.
Puluhan laki-laki berwajah bengis yang masing-
masing sudah menggondol buntalan berisi harta ram-
pokan itu bergegas melompat ke atas punggung kuda. 
Namun sebelum sempat meninggalkan Desa Batu 
Apung, terdengar bentakan yang disusul berloncatan 
nya beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan 
mereka.
"Mau lari ke mana kalian, Manusia-manusia Bia-
dab?! Huh! Jangan harap dapat pergi begitu saja dari 
desa ini!" ancam seorang laki-laki tinggi kurus, namun 
memiliki sikap gagah dan jantan.
Sedangkan di belakang laki-laki tinggi kurus itu, 
tampak belasan sosok tubuh bersenjata terhunus.
"Samilaga! Jangan biarkan mereka meninggalkan 
desa kita seenak perutnya!"
Terdengar seruan keras yang diiringi suara derap 
kaki kuda. Tak lama kemudian, tampak seorang laki-
laki berusia sekitar lima puluh lima tahun di atas 
punggung kuda. Dia bergerak cepat mendatangi tempat

itu. Melihat sikapnya yang berwibawa, jelas kalau laki-
laki separuh baya itu merupakan orang terpandang di 
Desa Batu Apung.
Sementara laki-laki tinggi kurus yang dipanggil 
Samilaga itu menolehkan kepala ke arah asal seruan 
nyaring tadi. Wajahnya tampak berseri begitu mengenali 
orang yang datang menunggang kuda hitam itu.
"Ki Wanareja...!" seru Samilaga dengan nada 
gembira.
Bergegas disambutnya kedatangan lelaki penung-
gang kuda hitam yang ternyata bernama Ki Wanareja, 
penuh rasa hormat. Melihat dari sikap yang ditunjuk-
kan Samilaga, jelas kalau Ki Wanareja merupakan ata-
sannya.
Sikap hormat yang ditunjukkan Samilaga tentu 
saja tidak berlebihan. Memang, Ki Wanareja adalah Ke-
pala Desa Batu Apung. Sedangkan ia sendiri sebagai 
kepala keamanan.
Kedatangan Ki Wanareja tentu saja membuat hati
Samilaga bertambah lega Sebab, kepala desa itu telah 
beberapa hari pergi menghadap Adipati Blambang ko-
ta kadipaten. Sehingga, kehadirannya memang sangat 
tepat pada saat yang diperlukan.
Namun bukan hanya Samilaga saja yang merasa 
lega. Bahkan belasan orang berseragam hitam yang 
merupakan anggota keamanan Desa Batu Apung 
bertambah keberaniannya. Maka rasa kegentaran terha-
dap banyaknya anggota perampok, seketika lenyap.
Tapi ketiga wanita cantik yang memimpin gerombo-
lan perampok itu ternyata tidak merasa khawatir. Malah 
salah seorang yang memakai pakaian serba kuning mem-
perdengarkan tawanya yang merdu dan nyaring.
"Ha ha ha...! Untunglah kau cepat datang, Wanareja. 
Jadi kami tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Bagai-
mana kabar Adipati Tunggul Wulung? Bukankah kau ba

ru saja menghadap adipati tolol itu?" kata wanita cantik 
itu, bernada mengejek. Melihat dari cara berbicaranya, jelas 
wanita itu telah cukup mengenal Kepala Desa Batu 
Apung.
"Hm.... Kiranya Tiga Dewi Pulau Setan yang da-
tang berkunjung ke desaku ini. Apa yang telah 
membuat kalian sampai jauh-jauh ke sini? Atau kalian 
sudah tidak kerasan lagi tinggal di tempat yang me-
nyeramkan itu?" sahut Ki Wanareja. Suaranya tetap te-
nang, dan tanpa hawa amarah.
"Hik hik hik.... Bagus kau masih mengenali kami, 
Wanareja. Dan kuharap, kau pun tidak terlalu pelit 
memberikan hartamu sebelum kami meninggalkan de-
sa kotor ini," timpal wanita cantik yang mengenakan pa-
kaian ungu.
Dia memiliki lesung pipit, sehingga tampak sema-
kin menambah kemanisannya ketika tersenyum. Sayang,
sinar mata yang dimilikinya tampak demikian sayu.
Sepertinya mengandung undangan bercinta. Sehing-
ga sekali pandang saja, orang sudah dapat menilai 
kalau dia bukanlah wanita baik-baik.
"Hm.... Tentu saja aku suka memberikannya kepada 
kalian. Hanya saja, aku ragu. Apakah kalian akan sang-
gup melangkahi mayatku dulu?" sahut Ki Wanareja 
sambil menyunggingkan senyum tenang.
Tentu saja ucapan yang lebih tepat sebuah tan-
tangan, membuat wajah ketiga wanita cantik itu 
menjadi merah. Dengan sinar mata bengis, wanita 
yang mengenakan pakaian serba kuning, mengibaskan 
lengan kanannya ke depan.
"Anak-anak! Habisi orang-orang itu. Biar kakek 
peot yang sombong ini menjadi bagianku," perintah 
wanita cantik berpakaian serba kuning dengan suara 
nyaring.
Setelah memberi perintah, tubuh ramping itu pun

melayang turun. Kemudian, dia hinggap sejauh satu 
tombak di hadapan Ki Wanareja. Gerakannya indah, se-
hingga membuat Ki Wanareja terpukau.
"Bagus...!" puji Ki Wanareja.
Mau tidak mau, dia menjadi terkejut juga melihat 
kehebatan ilmu meringankan tubuh calon lawannya. 
Meskipun telah lama mendengar kalau ilmu meringankan 
tubuh Tiga Dewi Pulau Setan cukup tinggi, namun ia
sama sekali tidak menduga akan sehebat itu. Tentu sa-
ja kenyataan ini membuatnya harus mengambil sikap le-
bih berhati- hati dalam menghadapi gadis-gadis cantik 
yang terlihat lemah-lembut itu.
"Jangan cuma bengong seperti ayam sakit begitu,
Wanareja. Lebih baik bersiap-siaplah. Agar kematianmu 
bisa terasa lebih nikmat," ujar wanita cantik itu dengan 
suara bengis.
Namun, meskipun ucapan gadis berpakaian kuning 
itu terdengar ketus, tapi bibirnya yang segar tampak 
mengembangkan senyum manis.
Namun tidak demikian halnya Ki Wanareja. la 
yang telah cukup mengenal banyak tokoh rimba 
persilatan, tentu saja tidak merasa aneh atas sikap 
wanita cantik itu. Memang tidak salah apa yang telah di-
dengarnya. Justru pada saat kemarahan tokoh cantik Pu-
lau Setan itu semakin memuncak, maka akan semakin 
murahlah senyumnya diobral.
Namun demikian, di balik senyuman yang semakin 
manis itu, ternyata tersembunyi kekejaman yang me-
ngerikan!. Sehingga, bagi para tokoh persilatan yang te-
lah mengenal perangainya akan semakin ciut nyalinya.
Melihat senyum dara berpakaian serba kuning se-
makin bertambah manis, hati Ki Wanareja seketika berge-
tar tenang. Cepat ia melompat turun dari punggung ku-
danya. Memang, selain memiliki kepandaian ilmu me

ringankan tubuh yang tinggi, kepandaian Tiga Dewi Pulau 
Setan dalam permainan senjata beracun pun sudah 
sangat terkenal. Tentu saja ingatan itu membuatnya 
semakin berhati-hati.
Dan apa yang diduga Ki Wanareja ternyata cukup be-
ralasan. Tepat pada saat tubuhnya di udara, dara 
cantik berpakaian serba kuning tampak mengibaskan 
tangan ke arahnya.
Wuttt...!
Serangkum angin lembut mengiringi luncuran pulu-
han jarum beracun. Sasarannya, Ki Wanareja.
Untungnya lelaki setengah baya itu cepat mencapai 
tanah, dan langsung bersalto beberapa kali di udara. 
Sehingga, jarum-jarum beracun yang mematikan itu 
pun tidak sampai menghunjam tubuhnya. Hanya sa-
ja, kudanya harus rela jadi korban sasaran senjata ra-
hasia itu.
"Gila! Wanita cantik itu benar-benar tidak berjantung!" 
desis Ki Wanareja sambil mengusap peluh dingin yang 
membasahi keningnya. Ngeri juga hatinya menyaksikan 
kuda tunggangannya kontan menggelepar tewas dalam 
keadaan tubuh hangus bagai terbakar.
"Hik hik hik.... Kau terkejut, Tua Bangka Peot?" ejek 
wanita cantik itu, sambil tertawa bagai iblis. Seper-
tinya, kematian kuda itu hanya merupakan lelucon 
yang menggelitik perutnya.
"Jangan keburu sombong dulu, Iblis Betina! Kelak kau 
akan merasakan tajamnya sepasang golokku ini!" sahut Ki 
Wanareja tanpa memperlihatkan kegentaran.
"Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan se-
pasang golok bututmu itu?" tantang dara cantik ber-
pakaian serba kuning itu, sinis.
Usai berkata demikian, tubuhnya yang ramping itu 
berkelebat menerjang Kepala Desa Batu Apung.

"Haittt ..!"
Ki Wanareja tentu saja tidak ingin tubuhnya di-
jadikan sasaran pukulan bertangan keji. Maka pada saat 
lengan halus itu hendak mencengkeram lehernya, Ki 
Wanareja bergerak menggeser ke samping. Gerakan itu 
masih diiringi tebasan golok di tangan kanannya.
Wuuut...!
Sambaran yang dilancarkan Ki Wanareja ternyata
cukup cepat. Bahkan meskipun tebasan pertamanya 
dapat digagalkan lawan, lelaki setengah baya itu masih 
dapat menyusuli dengan serangan berikutnya.
"Heaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Ki Wanareja 
berkelebat disertai sambaran sepasang goloknya. Cepat 
dan mantap sekali gerakannya. Sehingga mau tidak 
mau, dara berbaju kuning yang menjadi lawannya ber-
gerak mundur.
Meskipun serangan-serangannya telah membuat 
lawan terdesak, namun Ki Wanareja tidak mau terpancing 
amarahnya. Tebasan-tebasan yang dilakukannya pun, 
tetap terarah tepat. Bahkan terkadang masih ditam-
bah dengan tendangan-tendangan kilat yang menda-
dak.
"Yeaaat..!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh, 
dara berpakaian serba kuning itu menjadi penasaran! 
Sambil berteriak melengking, tubuhnya berkelebat ce-
pat dan menyelinap di antara sambaran golok lawan. 
Sedangkan sepasang tangannya meluncur cepat den-
gan cengkeraman-cengkeraman yang menebarkan 
bau amis.
Wuuut.... Wuuut...!
Bukan main terperanjatnya hati Ki Wanareja 
melihat serangan yang menimbulkan hawa beracun

itu. Cepat tubuhnya dilempar hingga satu tombak ke 
belakang.
Whusss...!
"Akhhh...!"
Sayang lemparan tubuh yang dilakukan Ki Wana-
reja masih kalah cepat dengan gerakan lawan. Se-
hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya siap men-
jadi sasaran pukulan lawan.
Bukkk...!
Ki Wanareja menjerit ketika tubuhnya terbanting 
ambruk di atas tanah. Pukulan dara berpakaian kuning 
itu tepat menghantam dadanya. Darah kental berwar-
na kehitaman, tampak mengalir dan mulutnya. Wajah-
nya pun perlahan-lahan berubah kehijauan.
"Hekhhh.... Hekhhh...."
Dan sungguh aneh akibat pukulan itu.
Bagaikan orang gila, Ki Wanareja mencekik lehernya 
sendiri. Pengaruh racun yang memasuki tubuhnya, terasa 
bagai hawa panas tertelan olehnya. Sehingga, kerongkon-
gannya terasa kering kerontang.
Samilaga yang saat itu juga tengah bertarung de-
ngan para anggota perampok, cepat menoleh. Namun, 
wajahnya kontan memucat. Bergegas lelaki kurus itu 
melompat ke arah kepala desanya yang seperti tengah 
bertarung dengan diri sendiri.
"Ki...! Kau..., kau...."
Samilaga tidak sanggup melanjutkan ucapannya. 
Bahkan dia langsung melompat mundur begitu melihat 
keadaan Ki Wanareja yang mengerikan itu.
Meskipun dalam keadaan sekarat seperti itu, ter-
nyata Ki Wanareja masih sempat mendengar teriakan 
Samilaga. Maka, kepalanya pun berpaling cepat ke 
samping.
Samilaga yang menjadi tangan kanan Ki Wanareja,

kembali melompat mundur melihat tatapan mata kepala 
desa itu. Memang, sepasang mata Ki Wanareja berubah 
menjadi liar. Bahkan otaknya tak lagi menunjukkan ke-
warasan. Jelas, orang nomor satu di Desa Batu Apung 
itu telah menjadi gila, karena rasa sakit dan penderi-
taan yang menimpa.
"Hik hik hik.... Hayo lumatkan dia! Hancurkan sa-
ja tubuhnya!"
Dara berpakaian serba kuning yang merupakan 
salah seorang dan Tiga Dewi Pulau Setan, berteriak 
memerintah kepada Ki Wanareja untuk menerkam Sa-
milaga. Tentu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus itu 
terkejut.
Dengan penuh amarah, Samilaga menolehkan 
kepala ke arah dara berbaju kuning itu. Sepasang ma-
tanya tampak menyiratkan luka yang menerbitkan 
dendam.
"Iblis keji! Kau benar-benar bukan manusia! Kau se-
pantasnya tidak hidup di dunia ini. Tempat yang cocok 
buat orang sepertimu hanyalah neraka!" maki 
Samilaga dengan sorot mata penuh dendam.
Dan tanpa basa-basi lagi, tubuh lelaki tinggi kurus 
itu pun langsung melesat disertai tebasan goloknya.
Wuuut...!
Sambaran golok di tangan Samilaga, sama sekali ti-
dak membuat dara berpakaian kuning itu kewalahan. 
Dengan gerakan yang sangat meremehkan, dia bergeser 
ke kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.
Zebbb.... Desss...!
Tendangan dara berpakaian kuning yang tak 
terduga itu telak menghajar lambung Samilaga. Maka, tu-
buh tinggi kurus itu pun langsung terpental deras di-
iringi jerit kesakitannya.

Sebenarnya, kalau Samilaga tidak terlalu termakan 
amarahnya, belum tentu dapat begitu mudah dijatuh-
kan lawan. Sayang, kemarahan telah membuatnya 
mata gelap. Sehingga, tendangan kilat itu tidak bisa 
dihindarinya lagi. Memang, yang terpikir saat itu 
hanyalah membunuh, dan mencincang tubuh lawan 
secepatnya. Tentu saja hal itu membuat kewaspadaan-
nya hilang. Sehingga, kerugianlah yang harus diterima.
Dara cantik berpakaian serba kuning itu ternyata ti-
dak membiarkan Samilaga begitu saja. Dengan bibir me-
nyunggingkan senyum manis, dara cantik itu melang-
kahkan kakinya mendekati tubuh lawan yang hendak 
bergerak bangkit.
"Hik hik hik...! Kau boleh menyusulnya kalau 
memang suka...," ujar dara berpakaian kuning itu, dis-
ertai kerdipan matanya.
Kemudian, tangannya bergerak. Maka seketika 
bertebaran semacam bulu-bulu ke seluruh tubuh Samila-
ga.
Kejadian yang menimpa Samilaga setelah tubuhnya 
terserang bulu-bulu halus, memang mengerikan sekali. 
Bagaikan orang gila, lelaki tinggi kurus itu mulai mendesis-
desis sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepa-
sang matanya membelalak. Seluruh kulit muka dan 
tubuhnya, merah bagai terpanggang api.
"Uhhh.... Uhhh.... Uhhh...."
Makin lama, suara mendesis yang keluar dari 
mulut Samilaga semakin cepat dan keras. Kemudian, ia 
mulai menggaruk satu bagian tubuhnya. Setelah itu ber-
pindah ke lain tempat. Begitu seterusnya, seluruh tubuh 
dan wajahnya kebagian.
Perbuatan Samilaga semakin menggila. Meskipun se-
kujur kulit wajah dan tubuhnya telah terkelupas, na

mun ia tetap saja menggaruk kuat-kuat. Sehingga, darah 
segar pun mulai mengalir dari luka-luka yang ditimbul-
kan akibat garukan itu.
"Hik hik hik...! Kau lucu sekali, Lelaki Gagah. Ting-
kahmu tak jauh berbeda dengan monyet Sayang, wajahmu 
jauh lebih jelek dari monyet," ejek dara berpakaian 
serba kuning itu sambil memperdengarkan tawa iblisnya.
Setelah kedua orang tokoh Desa Batu Apung itu meng-
gelepar tewas, barulah rombongan perampok itu bergerak 
meninggalkan desa. Tak seorang pun dari para pengawal
kepala desa, ataupun penduduk yang dibiarkan hidup. Se-
luruhnya tewas dibantai para pengikut Tiga Dewi Pulau 
Setan.
Desa Batu Apung yang semula tenang dan penuh 
kedamaian, kini terlihat lengang dan sunyi. Sedang di ja-
lan-jalan utama, hanyalah ceceran darah dan sosok- so-
sok mayat bergelimpangan tumpang-tindih.
Rumah-rumah penduduk yang semula berjajar ra-
pi, kini tinggal puing-puing hitam. Semua yang ada di
Desa Batu Apung lenyap dalam sekejap, akibat kega-
nasan gerombolan perampok yang dikepalai Tiga Dewi 
Pulau Setan.
***
DUA


"Kurang ajar...!"
Brakkk!
Bentakan keras yang disusul suara berderak itu, 
membuat beberapa orang yang duduk langsung me-
nundukkan kepala dengan wajah memucat. Mereka 
seakan-akan tak berani menatap wajah laki-laki seten

gah baya yang tengah menahan amarah bergejolak.
"Mereka benar-benar telah menginjak mukaku! Ini su-
dah keterlaluan, dan tidak boleh didiamkan! Kalau hari 
ini mereka sudah berani menjarah dan memusnahkan 
Desa Batu Apung, bukan tidak mungkin kalau esok 
atau lusa akan berani menginjak Kota Kadipaten. Dan 
kalau hal itu benar-benar terjadi, hancur sudah kewi-
bawaan Kadipaten Blambang."
Kembali suara penuh kemarahan dari lelaki pendek 
gemuk berkepala botak itu, menggelegar di ruang perte-
muan itu. Dia adalah Adipati Blambang. Namanya, Ja-
la Tungga.
"Ampun Gusti Adipati.... Hamba kira, hal ini hanya 
merupakan pancingan saja. Sengaja desa yang letaknya 
paling dekat dengan kadipaten ini dimusnahkan. Dan 
apabila kita mengirimkan pasukan untuk membasmi 
mereka, hamba rasa akan sia-sia saja, Paduka 
Gusti. Bahkan bukan tidak mungkin pada saat pra-
jurit kita dalam perjalanan menuju Desa Batu Apung, 
gerombolan perampok itu akan menyerbu kadipaten. 
Nah, bukankah hal itu akan lebih berbahaya lagi, Gus-
ti?" sergah salah seorang perwira.
Dia berusia lima puluh tahun. Pakaiannya tampak di-
hiasi beberapa tanda jasa. Tampaknya, pengabdiannya pa-
da Kadipaten Blambang telah cukup lama. Dan kini, kem-
bali dia duduk di tempatnya semula.
"Mengapa kau menduga demikian, Pragala? Apakah 
kau pikir mereka akan dapat merebut kadipaten ini 
hanya dengan lima puluh orang? Huh! Jangankan baru
lima puluh orang perampok, lima ratus orang prajurit ter-
latih pun belum tentu sanggup merebut Kota Kadipaten ini 
dan tanganku. Mengerti kau, Pragala?" sahut Adipati Jala 
Tungga. Jelas kalau ia merasa sangat keberatan atas usul 
yang diajukan perwira bernama Pragala itu.

"Maaf, Gusti Adipati. Dugaan hamba ini tentu saja di-
dasari alasan kuat. Pertama, selama ini tidak pernah ada 
desa-desa terdekat yang mendapatkan gangguan perampok. 
Jangankan desa terdekat. Yang letaknya agak jauh dan 
kadipaten pun, tidak pernah ada gangguan. Jadi ka-
lau sekarang ini ada gerombolan perampok gila yang be-
rani mengacau desa paling dekat dengan Kadipaten 
Blambang ini, jelas kalau mereka memang mempunyai niat 
lain yang tersembunyi. Begitulah apa yang menjadi du-
gaan hamba, Gusti," jelas Pragala yang rupanya memiliki 
pandangan tertentu sehubungan peristiwa yang me-
nimpa Desa Batu Apung.
"Tapi sepengetahuanku, yang menjadi kepala para pe-
rampok itu adalah tiga orang tokoh sesat yang men-
giriskan. Menurut apa yang pernah kudengar, mereka 
adalah murid seorang nenek tua berwatak cabul yang 
menjadi penguasa Bukit Setan. Itulah sebabnya, menga-
pa ketiga orang muridnya yang cantik-cantik itu dijulu-
ki sebagai Tiga Dewi Pulau Setan. Meskipun sangat can-
tik layaknya dewi kahyangan, namun kekejaman mereka 
justru melebihi kekejaman iblis neraka. Jadi menurut 
pendapat hamba, ya wajar saja. Tokoh-tokoh sesat ber-
kepandaian tinggi seperti mereka tentu saja tidak 
merasa takut meski untuk mengacau Kota Kadipaten 
sekalipun..!" timpal seorang laki-laki lain yang juga 
berpakaian seorang perwira. Dan pendapat yang di-
kemukakannya, jelas sangat bertolak belakang den-
gan pendapat Pragala.
"Nah! Bagaimana pendapatmu, Pragala...? Apa 
yang diucapkan Lukanji itu, jelas lebih tepat. Dan kalau 
kita tetap diam diri saja, bukan tidak mungkin esok 
mereka akan datang mengacau Kota Kadipaten Blambang 
ini. Sudahlah, sebaiknya, sekarang seratus orang prajurit 
pilihan harus dikumpulkan. Basmi gerombolan perampok kurang ajar itu sampai tuntas. Dan, ingat! Kau ku-
larang kembali sebelum para perampok laknat itu ber-
hasil ditumpas. Masih keberatan, Pragala...?" ujar Adi-
pati Jala Tungga sambil menatap wajah Pragala lekat-
lekat.
"Tentu saja tidak, Gusti Adipati. Segala titah Gusti, akan 
hamba jalankan sebaik-baiknya," sahut perwira berusia 
sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah tenang. 
"Kapan kami harus berangkat, Gusti...?"
"Secepatnya. Usai persiapan, langsung bawa pasu-
kanmu ke Desa Batu Apung. Kuharap, kau dapat men-
jalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya, Pragala," 
sahut Adipati Jala Tungga dengan suara berwibawa.
"Hamba, Gusti Adipati...."
Setelah memberi hormat, Pragala pun beranjak ke-
luar dari ruang pertemuan itu. Langkahnya terlihat lebar 
dan mantap. Jelas, lelaki bertubuh tegap itu merupa-
kan seorang ahli silat yang cukup tangguh.
"Hamba ragu kalau dia akan dapat menjalankan tu-
gas berat ini, Gusti…! Kata perwira berusia 
empat puluh tahun yang tadi dipanggil Lukanji. Mimik 
wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka kepada 
Pragala.
"Hm.... Apakah kau merasa lebih mampu mengem-
ban tugas ini?" sahut Adipati Jala Tungga. Nadanya seperti 
memperingatkan akan ucapan bawahannya itu.
Tentu saja Lukanji yang usulnya didengar Adipati Blam-
bang tadi menjadi terkejut. Semula karena usulnya di-
perhatikan, perwira itu merasa lebih disukai ketim-
bang Pragala. Buktinya, nyata sekali kalau Adipati Jala
Tungga membelanya tadi. Tapi, dugaannya ternyata me-
leset. Meskipun ucapan Pragala tadi tidak disukai sang 
Adipati, namun ternyata masih lebih dipercaya daripa

da Lukanji. Dan terus terang, perwira muda itu memang 
kurang begitu suka terhadap Pragala.
"Bagaimana, Lukanji? Apakah kau merasa lebih 
mampu daripada Pragala?" tanya Adipati Jala Tungga lagi 
ketika melihat perwira itu hanya memandanginya.
"Bukan begitu maksud hamba, Gusti Adipati. Hanya 
saja, Kakang Pragala terlihat sudah cukup berumur. 
Jadi, rasanya tugas yang diberikan kepadanya mung-
kin terlalu berat, Gusti," meski agak gugup, Lukanji 
tetap memberikan jawaban. Sedang sepasang matanya 
tampak gelisah mencari jalan keluar.
"Hm.... Jadi kau bermaksud hendak mengganti-
kannya? Begitu?" desak sang Adipati lagi. Hingga wa-
jah Lukanji tampak semakin gelisah.
"Maaf, Gusti. Sama sekali hamba tidak bermaksud 
demikian. Hamba hanya..., hanya.... Ah, lebih baik 
hamba pamit dulu, Gusti. Hamba masih mempunyai 
pekerjaan yang belum diselesaikan."
Dan tanpa menunggu jawaban dari junjungannya, 
perwira yang mempunyai kemauan tinggi itu pun ber-
gegas meninggalkan ruangan pertemuan tanpa menoleh
lagi.
Adipati Jala Tungga hanya tersenyum melihat ke-
lakuan perwira muda yang baru beberapa bulan men-
jadi pembantunya. Meskipun sang Adipati sendiri 
sudah mengetahui wataknya, namun tidak terlihat 
adanya sifat-sifat jelek yang ditunjukkan Lukanji. .Jadi ti-
dak ada alasan untuk memecat pembantunya yang 
memiliki kepandaian cukup tinggi dan bisa diandalkan.
Tiga orang pengawal rahasia Adipati Jala Tungga 
yang ikut hadir dalam pertemuan itu, tersenyum geli. 
Mereka memang diperbolehkan mengikuti pertemuan 
itu, namun tidak diperbolehkan mengutarakan penda-
pat. Ketiga orang pengawal rahasia itu bukan meru

pakan tentara kadipaten, namun keberadaannya sa-
ngat disegani baik oleh prajurit tingkat rendah, sampai 
perwira kadipaten sendiri. Memang, mereka meru-
pakan pengawal rahasia yang bertugas melindungi 
keselamatan Adipati Jala Tungga. Itulah yang menye-
babkan ketiga orang itu berada di ruang pertemuan.
Dan ketika sang Adipati sendiri mulai beranjak 
meninggalkan ruang pertemuan itu, maka ketiga orang 
pengawal rahasia itu pun bergegas mengikuti junjung-
annya.
***
Pragala, perwira tertua di Kadipaten Blambang itu 
membawa seratus orang prajurit pilihannya menuju 
Desa Batu Apung. Meskipun hal itu tidak terlalu dis-
etujuinya, namun perintah junjungannya tetap dituruti. 
Biar bagaimanapun dia harus mengabdikan diri pada 
Kadipaten Blambang.
Sebenarnya, Pragala bukanlah orang asing dalam 
dunia persilatan. Sebagai murid sebuah perguruan 
yang cukup besar dan cukup terkenal dalam rimba 
persilatan, maka ia pun telah banyak mengenal tokoh 
rimba persilatan. Hanya saja, nama Tiga Dewi Pulau Se-
tan memang belum pernah didengarnya. Dan itu me-
mang wajar, karena ketiga orang tokoh sesat yang kabar-
nya cantik bagai seorang dewi itu jarang sekali muncul di
dunia ramai. Mereka lebih suka menyembunyikan diri di 
pulau kediaman mereka. Maka kalau sampai keluar dan 
melakukan perampokan, tentu ada sesuatu yang menye-
babkannya.
"Hm.... Aneh-aneh saja orang-orang rimba persilatan 
itu. Kalau memang benar mereka berwajah cantik bagai seo-
rang dewi, mengapa harus merampok? Rasanya kalau me

reka muncul di Kota Kadipaten, bukan tidak mungkin bisa 
mendapatkan jodoh seorang putra adipati. Bukankah itu 
lebih baik ketimbang menjadi perampok hina?" Batin 
Pragala tak habis mengerti akan ulah ketiga tokoh aneh 
yang dikabarkan sangat cantik itu.
Sementara, rombongan yang dibawa Pragala sudah 
mulai memasuki perbatasan Desa Batu Apung. Perwira 
setengah baya itu memerintahkan dengan isyarat tan-
gan agar pasukan di belakangnya memperlambat langkah.
Pragala menjalankan kudanya perlahan memeriksa 
sekeliling tempat itu. Sedang pasukan di belakang-
nya berhenti dan menunggu isyarat lagi. Sementara 
dua orang perwira lain yang masing-masing berusia tiga 
puluh tahun dan tiga puluh lima tahun, bergerak men-
dampingi Pragala.
Dengan naluri peka, Pragala seperti bisa merasa-
kan kalau daerah di sekitar tempat itu sama sekali tidak 
mengandung ancaman bahaya. Meski di sekeliling me-
reka rapat ditumbuhi semak-semak, namun semua itu 
sama sekali tidak menimbulkan rasa tegang di hati Pra-
gala.
Tak lama setelah itu, Pragala mengibaskan lengan ka-
nannya ke depan sebagai isyarat untuk maju. Sedang-
kan ia sendiri, terus melangkahkan kudanya perlahan di 
depan.
Kening perwira setengah baya itu baru berkerut keti-
ka mereka hampir tiba di mulut Desa Batu Apung.
Sepasang lengan Pragala memberi isyarat kepada para 
prajuritnya untuk menyebar dan mengurung mulut de-
sa itu. Kemudian, setelah pasukan terpecah menjadi tiga 
kelompok, mereka pun mulai bergerak hati-hati mema-
suki desa.
"Aaaa…..!"
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang memecah kete-
gangan para prajurit Kadipaten Blambang itu. Cepat ba

gai kilat, mereka berlompatan ke arah asal jeritan tadi.
Namun, apa yang disaksikan oleh para prajurit itu be-
nar-benar membuat keberanian seketika lenyap! Di depan 
mereka, tampak lima orang prajurit berkelojotan sekarat Se-
kujur tubuh mereka berwarna kehijauan, dan dari mu-
lut keluar lendir yang berbau busuk.
"Gila! Hati-hati! Desa ini telah dipenuhi racun ja-
hat! Ayo, cepat keluar...!"
Pragala yang segera saja dapat membaca apa yang te-
lah menimpa lima prajuritnya, cepat mengambil sikap. 
Diperintahkannya para prajurit yang lain untuk segera ke-
luar dari dalam desa.
Dan rasanya, Pragala tidak perlu mengulang perin-
tahnya. Memang tanpa diperintah sekalipun, para pra-
jurit yang sudah dicekam rasa ngeri itu pasti akan lari lin-
tang-pukang meninggalkan desa itu.
Dalam waktu singkat saja, puluhan orang prajurit Ka-
dipaten Blambang telah keluar dari Desa Batu Apung. 
Dan kini mereka hanya berdiri menanti perintah perwira 
mereka.
"Bagaimana ini, Kakang? Apa yang harus kita perbuat?" 
tanya salah seorang perwira kepada Pragala yang meru-
pakan pimpinan rombongan.
"Kita ambil jalan memutar melalui hutan di depan 
itu...," sahut Pragala sambil melepaskan pandangannya 
ke sebuah mulut hutan yang terpisah beberapa belas 
tombak dari tempat mereka berdiri.
"Bukankah hal itu akan lebih berbahaya, Kakang. Apa-
lagi, kita sama sekali belum tahu keadaan hutan itu," sa-
lah seorang perwira bawahan Pragala, mencoba memberi 
pandangannya.
Jelas kalau ia sudah terpengaruh oleh kejadian 
yang baru saja menimpa lima orang prajuritnya. Sehingga 
kedua orang perwira itu bersikap lebih berhati-hati dalam 
mengambil langkah berikutnya.

"Hm.... Kurasa jalan itu akan lebih baik daripada ha-
rus melewati desa yang seluruhnya mungkin telah terce-
mar racun keji itu. Nah, menurutmu jalan mana yang le-
bih baik, Adi?" tanya Pragala meminta pendapat kedua 
orang pembantunya, meskipun sebenarnya ia tidak 
memberi pilihan pada kedua orang perwira itu.
"Yah.... Rasanya memang tidak ada pilihan lagi un-
tuk kita, Kakang. Dan satu-satunya jalan, memang hutan 
di depan itulah yang harus kita tembus," sahut salah seo-
rang perwira pembantu Pragala yang memiliki tahi lalat be-
sar di pipi sebelah Kirinya. Dia bernama Jatalu.
"Hm.... Bagaimana, Jaladra? Apakah punya jalan ke-
luar yang lebih baik?" tanya Pragala kepada perwira yang 
bernama Jaladra.
"Tidak, Kakang. Memang itulah satu-satunya jalan ter-
dekat yang kita miliki saat ini," sahut Jaladra cepat.
"Kumpulkan mereka. Kita harus keluar dari dalam hu-
tan itu saat hari belum gelap. Ayo kita berangkat," perintah 
Pragala yang segera melompat naik ke punggung kuda, 
dan menggebahnya perlahan-lahan.
Rombongan prajurit Kadipaten Blambang itu pun kem-
bali bergerak. Kali ini mereka harus melewati hutan le-
bat, namun tidak terlalu besar. Sehingga, dapat dilalui tan-
pa harus bermalam di dalamnya.
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika rom-
bongan yang di bawah pimpinan Pragala hampir melewati 
hutan lebat itu. Mereka terus bergerak tanpa mengenal le-
lah.
***
Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba di

luar hutan. Namun baru saja rombongan terakhir keluar 
dari dalam hutan, terdengar teriakan ngeri yang disusul ber-
tumbangannya beberapa orang prajurit
Jaladra, perwira bertubuh kekar itu, bergegas meng-
hampiri enam sosok anak buahnya yang diam tak berge-
rak.
"Gila! Mereka tewas semua, Kakang. Entah apa yang 
menyebabkannya?" lapor Jaladra ketika melihat Pragala 
sudah berdiri di sebelahnya.
"Hm.... Mereka tergigit semut merah yang mengan-
dung racun api. Kau lihat saja kulit tubuh mereka yang 
melepuh bagaikan terbakar itu," sahut Pragala yang se-
gera mengedarkan pandangan ke tanah tempatnya berpi-
jak.
"Ahhh...! Mundur...!"
Pragala yang melihat barisan semut merah yang be-
sarnya dua kali semut biasa, bergerak cepat merayap 
menuju ke arah rombongan.
"Hik hik hik...! Ayo, Manis. Nikmatilah makan soremu 
untuk hari ini."
Tiba-tiba terdengar suara merdu yang entah dari mana datangnya. Dan tahu-tahu saja, seorang dara cantik bagaikan seorang dewi telah duduk mencang- kung di atas sebatang ranting pohon yang cukup tinggi. "Keparat! Dasar kau iblis betina keji! Turunlah ka-
lau memang ingin membunuh kami. Mengapa harus ber-
sembunyi dan mengandalkan binatang beracun sebagai pelindungmu?!" tantang Pragala yang menjadi marah 
sekali ketika melihat gadis cantik itu di atas cabang pohon.
"Hik hik hik.... Jangan takabur, Perwira Peot Lihat-
lah dirimu, apa yang kau andalkan untuk menghadapiku? 
Pasukanmu, bukan? Lalu, apa bedamu dengan aku yang 
hanya mengandalkan beberapa ratus ekor semut sebagai 
pelindung. Apakah itu salah?" balas wanita cantik beru-
sia sekitar tiga puluh tahun itu.
Wanita itu mengenakan pakaian berwarna ungu. Itu

lah sebabnya, dia berjuluk Dewi Baju Ungu. Rambutnya 
yang tebal dan gemuk, tampak diikat sehelai selendang 
yang juga berwarna ungu. Benar-benar seorang wanita 
yang sangat cantik dan menarik!
"Bangsat! Anak-anak, hujani iblis wanita itu dengan 
anak panah. Cepat..!" teriak Pragala memerintah sambil 
menudingkan tangan kanannya ke tempat wanita itu du-
duk.
Namun, sebelum para prajurit Pragala sempat me-
nyiapkan anak panah dan busurnya, tiba-tiba terdengar 
suara mendengung laksana ribuan lebah mengamuk.
"Aaa…!"
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan-jeritan kematian yang merobek ke-
tenangan suasana sore itu. Kemudian, disusul berjatu-
hannya puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang da-
lam keadaan tewas.
Ternyata sebelum para prajurit Kadipaten Blambang 
sempat melepaskan anak panah, mereka telah dihujani 
puluhan batang anak panah dari empat penjuru. Dan se-
belum yang lain sempat menyadari keadaan itu, tiba-tiba 
puluhan sosok tubuh berlompatan dari balik semak-
semak di sekeliling mereka.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan parau dan jerit kematian pun su-
sul menyusul ketika pertarungan besar-besaran itu tidak 
bisa dihindari lagi.
Puluhan orang kasar yang ternyata memang ge-
rombolan perampok di bawah pimpinan Tiga Dewi Pulau 
Setan, terus mendesak prajurit kadipaten tanpa membe-
ri peluang sedikit pun. Sehingga dalam waktu yang tidak 
terlalu lama, tentara Kadipaten Blambang sudah lebih da-
ri separuhnya yang tewas.

Jaladra dan Jatalu tengah berjuang mati-matian un-
tuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman senjata para 
pengeroyok
"Haiiit...!"
Sambil berseru nyaring, Jaladra melompat Setinggi bahu 
dan langsung mengibaskan goloknya sekuat tenaga.
Bettt...!
Brettt! Brettt!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang pengepung 
yang berada di sebelah kanannya terjungkal mandi da-
rah. Namun, sebelum Jaladra sempat memperbaiki kea-
daannya, sebuah bacokan keras telah membuat tubuhnya 
terhuyung dengan luka menganga di punggung.
"Aaakh...!"
Jaladra meraung merasakan sakit luar biasa pada 
punggungnya. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, 
tahu-tahu saja sebuah benda halus telah menjerat leher-
nya.
"Haaat ..!"
Terdengar sebuah bentakan nyaring yang dibarengi 
terangkatnya tubuh Jaladra. Tentu saja kenyataan ini 
membuat perwira itu semakin bertambah pucat. Saat itu 
juga langsung dapat ditebak ketika keharuman yang 
menebar dari selendang hijau yang melilit batang le-
hernya tercium. Dia adalah salah seorang dari Tiga 
Dewi Pulau Setan, yang berjuluk Dewi Baju Hijau.
Tampak Dewi Baju Hijau yang berusia dua puluh tujuh 
tahun dan memiliki paras memikat itu tengah tertawa-
tawa. Tangannya sibuk mempermainkan selendang hijau 
yang ujungnya melilit di leher Jaladra.
"Hait ..!"
Tiba-tiba sambil memperdengarkan teriakan nyaring, 
Dewi Baju Hijau melecutkan selendang hijaunya ke ba-
wah. Dan tentu saja gerakan selendang gadis itu membuat 
tubuh Jaladra meluncur deras ke atas tanah! Dan....
Prakkk!

Darah segar berhamburan ketika kepala Jaladra
terjatuh menimpa sebuah batu cadas cukup besar. Tanpa 
ampun lagi, laki-laki pendek kekar itu pun menghem-
buskan napasnya yang terakhir dengan keadaan menge-
naskan.
Sedangkan Pragala yang merasa sangat dendam ter-
hadap Dewi Baju Ungu sudah pula bertarung sengit Na-
mun, bukan main terkejutnya hati perwira setengah baya 
itu ketika mendapat kenyataan kalau kepandaiannya ma-
sih berada di bawah dara jelita itu. Tentu saja kenyataan 
pahit itu menimbulkan kecemasan dalam hatinya.
"Sahabat, kami datang menolong...!"
Terdengar seruan nyaring yang disusul berkelebatnya 
belasan sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba 
putih. Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung saja 
menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran.
"Heaaat...!"
Salah seorang dari mereka yang dari teriakan dan ge-
rakannya jelas adalah seorang wanita, mengamuk hebat! 
Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, enam 
orang anggota perampok Tiga Dewi Pulau Setan telah da-
pat dirobohkannya.
Tentu saja kenyataan itu membuat Pragala menarik 
napas lega. Bayangkan saja! la yang merasa sudah tidak
mempunyai harapan hidup lagi, tiba-tiba saja datang 
belasan sosok jubah berpakaian serba putih yang 
langsung menerjunkan diri dalam pertempuran.
Sedangkan ia sendiri sudah dibantu seorang berpakaian 
putih yang wajahnya ditumbuhi brewok.
Gerakan golok besar di tangan laki-laki brewok itu ter-
nyata sanggup membendung serangan Dewi Baju Ungu. 
Maka, selamatlah nyawa Pragala dari kematian.
Tengah para perampok itu terdesak hebat, terdengar 
suara siulan melengking panjang dan menggetarkan.

Sehingga pertempuran yang tengah berlangsung sengit 
itu terhenti sejenak.
Siulan melengking itu, rupanya merupakan isyarat bagi 
para perampok. Mendengar suara itu, Dewi Baju Hijau dan 
Dewi Baju Ungu serentak memberi isyarat kembali den-
gan nada yang sama. Saat itu juga keduanya mening-
galkan arena pertempuran, diikuti para anggotanya.
Pragala dan orang-orang berpakaian serba putih ter-
sentak kaget Ternyata sebelum meninggalkan arena per-
tarungan, Dewi Baju Ungu sempat melepaskan Semut Ra-
cun Api yang tadi telah dimasukkannya ke dalam bum-
bung bambu.
Untunglah baik Pragala maupun laki-laki brewok 
yang menolongnya sempat melompat mundur. Se-
hingga, keduanya yang memang berada paling dekat 
dengan Dewi Baju Ungu dapat menyelamatkan dirt dari 
binatang-binatang beracun itu.
Beberapa orang prajurit yang tak sempat menghindarkan 
diri, langsung menggelepar tewas dengan kulit tubuh mele-
puh. Tentu saja hal itu membuat yang lain menjadi kalang-
kabut!
"Ayo, cepat tinggalkan tempat celaka ini...!" seru bre-
wok, cepat mengambil tindakan tepat Kemudian, tu-
buhnya langsung melesat mendahului yang lain.
Mendengar seruan itu, Pragala pun tersadar dari keter-
pakuannya. Cepat diperintahkannya para prajurit untuk 
segera menjauhi tempat itu.
Tanpa diperintah dua kali, sisa para prajurit Kadipa-
ten Blambang bergegas mengikuti pemimpinnya. Se-
bentar saja, tempat itu pun menjadi sunyi. Yang ting-
gal hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sang tum-
pang tindih. Sementara, bau amis yang disertai bau 
anyir darah, menyebar memenuhi tempat itu.

***

TIGA

Seorang pemuda tampan mengenakan jubah ber-
warna putih, tengah melangkah diiringi hembusan 
angin pagi. Jubah panjangnya, berkibar dipermainkan 
angin. Rambutnya yang jatuh di bahu, bergoyang 
mengikuti ayunan kakinya.
Menilik gerak-gerik maupun ayunan langkahnya 
yang ringan dan mantap, jelas kalau pemuda tampan 
itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya yang ta-
jam, menyiratkan perbawa dan kekuatan hebat. Apa-
lagi jika orang melihat gagang pedang yang menyembul 
di balik bahunya. Jelas sudah kalau pemuda tampan itu 
memang seorang tokoh rimba persilatan.
Melihat ciri-ciri maupun Pedang Naga Langit yang ter-
sampir di punggung, sudah dapat ditebak kalau pe-
muda itu pasti Panji yang lebih dikenal Pendekar Naga 
Putih.
Ketika tiba pada sebuah tepi sungai, Panji meng-
hentikan langkahnya sejenak. Pandangannya segera 
beredar ke sekeliling tempat itu. Pendekar Naga Putih te-
ringat akan tugas yang diberikan Raja Obat, sehingga ter-
paksa harus berpisah, setelah berhasil meloloskan diri 
dari tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka. 
Memang, Raja Obat menginginkan Panji agar menyelidiki
tokoh yang mengiriskan itu. Dan tugas itu telah disang-
gupinya.
Raja Obat sendiri akan menghubungi tokoh-tokoh go-
longan putih lain, karena kehadiran tokoh sesat itu jelas 
merupakan ancaman bagi golongan putih. Dan Raja 
Obat berniat mengadakan pertemuan sehubungan

dengan munculnya Malaikat Gerbang Neraka (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang pertemuan Pendekar Naga Pu-
tih dan Raja Obat, silakan mengikuti episode "Malaikat 
Gerbang Neraka").
"Hm.... Apa sebenarnya yang tengah direncanakan 
para tokoh golongan sesat itu? Rasanya tidak mung-
kin kalau hanya sekadar menguasai dunia persilatan sa-
ja. Aku harus mencari keterangan tentang rencana me-
reka yang sebenarnya," gumam Panji menanamkan tekad 
dalam hati.
Setelah mengambil keputusan demikian, Pendekar Na-
ga Putih pun mengayun langkahnya. Sungai lebar yang 
membentang di depan, sama sekali tidak menghalangi ge-
raknya. Dengan bertumpu pada permukaan batu-batu 
yang menyembul di permukaan air, pemuda itu menyebe-
rangi aliran sungai tanpa kesulitan.
Bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-
main di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih berloncatan 
menuju seberang sungai. Dalam beberapa kejapan mata sa-
ja, tubuhnya sudah tiba di seberang sana.
Tanpa terburu-buru, pendekar muda itu melanjutkan 
perjalanannya menyusuri dataran berumput tebal. Panji 
mengerutkan keningnya ketika tiba pada sebuah jalan le-
bar. Tampak orang berbondong-bondong tengah menuju 
ke arahnya.
Kalau saja Panji tidak melihat raut wajah mereka yang 
ketakutan dan juga buntalan-buntalan besar di bahu me-
reka, tentu tidak akan mengambil peduli. Namun karena 
tingkah laku mereka demikian menarik perhatian, tentu saja 
pemuda itu pun menjadi ingin mengetahuinya.
Ketika rombongan orang yang mirip pengungsi itu lewat 
di sampingnya, Panji bergegas merendengi salah seorang di 
antara mereka.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku tahu? Hendak ke manakah
tujuan kalian sebenarnya? Dan mengapa terlihat begitu ter-
buru-buru?" tanya Panji sambil mengiringi langkah kaki 
salah seorang dan mereka yang berusia sekitar lima puluh 
tahun lebih.
"Kau sendiri, hendak menuju ke manakah, Anak Mu-
da?" tanya laki-laki itu balik bertanya.
Orang itu menatap wajah dan sekujur tubuh Pendekar 
Naga Putih. Keningnya terlihat berkerut ketika sepasang 
matanya tertumbuk pada gagang pedang di punggung pe-
muda itu. Jelas, sepasang mata itu menyiratkan rasa ti-
dak suka melihat gagang pedang yang tersembul di balik 
bahu pemuda itu.
"Maaf, Paman. Kebetulan aku hendak menuju ke arah 
yang kalian tinggalkan. Jadi, aku ingin mengetahui 
apa yang tengah terjadi di desa depan sana?" sahut 
Panji sambil menuding ke belakang.
"Hm.... Kalau ingin mendapat celaka, pergilah ke sa-
na. Di depan sana, bukan sebuah desa seperti yang kau 
kira. Tapi, sebuah kota kadipaten. Dan tempat itu sekarang 
telah menjadi neraka! Empat orang laki-laki berwatak se-
perti iblis, telah mengamuk dan menguasai Kadipaten 
Blambang. Tak lama setelah seluruh kota dikuasai, da-
tang serombongan orang berkuda yang mungkin meru-
pakan pengikutnya. Dan ternyata rombongan orang itu 
lebih jahat lagi. Mereka merampok dan mengganggu 
anak gadis serta istri orang. Siapa saja yang melawan, 
dibunuh tanpa ampun. Itulah sebabnya, mengapa kami 
para penduduk kadipaten hendak mengungsi dan men-
cari tempat lain yang lebih aman," jelas laki-laki seten-
gah baya itu tanpa menghentikan langkah sedikit pun.
"Apakah Paman tidak bisa mengenali, siapa adanya 
orang-orang itu? Dan ke mana perginya penguasa Kadipa-
ten Blambang? Bukankah Gusti Adipati memiliki banyak 
prajurit tangguh? Mengapa mereka tidak melakukan per

lawanan?" tanya Panji lagi merasa belum puas atas ke-
terangan orang itu.
"Hm.... Apakah kau tidak tahu, hampir sebagian pra-
jurit pilihan telah dikerahkan untuk menumpas ge-
rombolan perampok yang mengacau Desa Batu 
Apung. Nah, tak lama setelah kepergian para prajurit yang 
dipimpin perwira Pragala, datanglah keempat manusia 
iblis itu. Mereka mengamuk dan membunuhi seluruh pra-
jurit yang mencoba melawan. Bahkan tiga orang jagoan 
kadipaten pun, kabarnya tak mampu membendung amukan 
mereka. Sampai-sampai Gusti Adipati sendiri harus tun-
duk di bawah kekuasaan keempat orang itu," tutur laki-
laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu menghentikan ceritanya 
sejenak. Di matanya, tampak memancar sinar ketakutan. 
Rupanya, peristiwa di Kadipaten Blambang sangat memu-
kul batinnya. Betapa tidak? Anak gadisnya telah diperko-
sa anggota perampok, lalu dibunuh!
"Karena tidak ada lagi yang dapat diharapkan un-
tuk melindungi keselamatan kami, maka para penduduk 
yang masih selamat bergegas meninggalkan kota kadipa-
ten. Kalau boleh kunasihatkan, Anak Muda! Jika masih 
menyayangi nyawamu, sebaiknya tinggalkanlah tempat 
ini. Urungkan saja niatmu untuk melihat tempat yang kini 
telah menjadi sarang manusia iblis itu," lanjut lelaki se-
tengah baya itu sambil menasihati Panji. Kemudian dia 
bergegas menyusul rombongannya.
Setelah merasa kalau keterangan yang didapat cu-
kup lengkap, Panji pun menghentikan langkahnya. Di-
biarkannya lelaki setengah baya itu melangkah terburu-
buru menyusul kawan-kawannya yang lain.
"Hm.... Orang-orang yang menguasai Kadipaten 
Blambang sudah hampir pasti para pengikut Malaikat Ger-
bang Neraka. Tahulah aku sekarang, mereka pasti bukan

hanya sekadar ingin menguasai kadipaten itu. Tapi, 
mungkin saja tengah merencanakan sesuatu yang lebih 
besar lagi," gumam Panji sambil melangkah menyusuri ja-
lan lebar yang berhubungan langsung dengan Kota 
Kadipaten Blambang. "Aku harus menyelidikinya."
Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh 
Panji pun segera berkelebat cepat menuju Kota Kadipa-
ten Blambang. Pemuda itu sengaja mengambil jalan mela-
lui hutan kecil agar tidak berpapasan dengan para pen-
gungsi ataupun gerombolan pengacau. Masalahnya, 
bukan tidak mungkin kalau para pengacau itu akan 
mengadakan pembersihan di sekitar daerah ini.
Pendekar Naga Putih menyelinap di balik semak-
semak ketika tiba di gerbang sebelah Barat. Tampak 
beberapa belas orang tengah berjaga-jaga di sana.
Panji memutar otaknya untuk mencari jalan agar 
dapat memasuki kota kadipaten tanpa harus menga-
lami kesulitan. Karena tidak juga menemukan jalan 
masuk, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk me-
nyelidiki kota pada waktu malam. Hanya kegelapan 
malamlah yang diharapkan dapat membantunya.
***
Saat itu, kegelapan sudah menyelimuti permukaan 
Kota Kadipaten Blambang. Tampak sesosok bayangan 
putih melesat melewati tempat-tempat sunyi dan gelap. 
Melihat dari sikapnya, jelas kalau kedatangannya tidak
ingin diketahui orang.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang telah menca-
pai titik kesempurnaan, sosok bayangan putih itu 
bergerak cepat di atas rumah-rumah penduduk. Kare-
na gerakannya sangat cepat dan hanya merupakan ke-
lebatan bayangan, maka tak seorang pun yang merasa

tertarik. Apalagi ia selalu bergerak di tempat-tempat yang 
terlindung kegelapan. Maka sosok tubuh itu tidak sam-
pai terlihat dari bawah.
Tak lama kemudian, sosok bayangan putih itu terlihat 
menghentikan gerakannya. Tubuhnya direndahkan un-
tuk mengamati sebuah bangunan megah yang jelas me-
rupakan tempat kediaman Adipati Jala Tungga.
Dengan mengandalkan pancaran cahaya obor 
yang terpancang di depan bangunan megah itu, 
matanya melihat belasan sosok tubuh tengah hilir-
mudik berjaga-jaga di depan gerbang.
Sosok bayangan putih itu kemudian melayang tu-
run ketika beberapa orang penjaga tampak meninggalkan 
tempat itu untuk berkeliling. Maka kesempatan itu pun 
dipergunakannya untuk membungkam seorang penjaga 
yang kebetulan memisahkan diri dari kawan-kawannya. 
Tanpa mengalami kesulitan, dibekuknya penjaga yang 
tengah merapat ke semak-semak itu.
"Cepat katakan, siapa saja yang saat ini mendiami 
bangunan besar itu! Jawab kalau tidak ingin melayat 
ke akhirat!" ancam bayangan putih yang ternyata 
Pendekar Naga Putih, setelah menyeret orang itu ke 
semak-semak yang letaknya cukup jauh dari pintu ger-
bang.
Wajah orang itu pucat seperti mayat ketika melihat so-
sok tubuh bersinar putih keperakan menyergapnya. Kalau 
saja Pendekar Naga Putih tidak menyangganya, pastilah tu-
buh orang itu sudah melorot jatuh. Memang, kedua lutut 
orang itu terasa lemas bagaikan tak bertulang.
"Cepat jawab! Atau kau memang telah rindu dengan 
api neraka!" desis Panji ketika orang itu belum juga bisa 
menjawab pertanyaannya.
"Oh..., eh...! Datuk... Panglima Sesat, Memedi Ka-
rang Api..., Raja Iblis Baju Merah, dan.... Kuntilanak Bukit

Mandau.... Mereka... itulah yang berada dalam gedung," ja-
wab lelaki itu dengan suara terpatah-patah.
"Hm.... Apakah orang yang berjuluk Malaikat Gerbang 
Neraka ada bersama mereka?" tanya Panji lagi.
"Tidak.... Pemimpin Agung kami belum datang," sahut 
orang itu lagi dengan suara semakin lemah.
"Bagaimana dengan Tengkorak Hutan Jati dan Ga-
ruda Mata Satu? Apakah keduanya tidak berada di tempat 
ini?"
"Ya, mereka juga di dalam gedung….”
"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah di sini," 
ucap Panji, langsung melancarkan totokan pelumpuh.
Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu pun melorot jatuh 
dalam keadaan pingsan. Setelah menyembunyikan sosok 
tubuh itu di semak yang tersembunyi, tubuh Panji pun se-
gera melesat menuju tembok samping bangunan megah 
itu.
Yakin kalau dirinya tidak terlihat oleh seorang pun, Panji 
segera menjejak tanah. Saat itu juga tubuhnya langsung 
melambung melewati tembok setinggi dua tombak. Begi-
tu kakinya mendarat di halaman samping gedung, pemuda 
itu kembali melesat melewati taman yang terletak di 
samping gedung itu.
Malang! Baru saja pemuda itu hendak menyelinap di 
balik sebatang pohon, sesosok tubuh memergoki nya!
"Hei, berhenti...!" seru sosok tinggi kurus yang 
langsung melesat mengejar Panji.
"Celaka...! Bukankah orang itu yang berjuluk 
Tengkorak Hutan Jati…!Hm.... Aku harus se-
gera membungkamnya," gumam Panji yang merasa ter-
kejut ketika dapat mengenali orang itu.
Panji merapatkan tubuhnya dengan batang pohon 
sambil menanti kedatangan Tengkorak Hutan Jati. 
Dan begitu sosok tubuh tinggi kurus itu semakin men

dekati tempatnya, tubuh pemuda itu langsung melesat 
dan melancarkan serangan maut!
Bettt...!
"Aaakh...!"
Tengkorak Hutan Jati berseru kaget melihat da-
tangnya serangan dahsyat itu. Cepat tubuhnya digeser ke-
samping sambil mengirim serangan balasan dengan jurus 
'Cakar Penghancur Tulang'nya.
Namun, yang kali ini dihadapi adalah Pendekar Naga 
Putih, yang tidak bisa disamakan dengan lawan-lawannya 
terdahulu. Apalagi, saat itu Panji mengirimkan serangan 
yang tidak kepalang tanggung. Memang pemuda itu sadar 
kalau harus segera membungkam lawannya. Kalau ti-
dak, maka kedudukannya akan sangat berbahaya. Maka, 
begitu serangan pertamanya berhasil dihindari lawan, 
Panji langsung menyusul dengan hantaman telapak tan-
gan yang meluncur deras mengancam dada, Sedangkan 
tendangan yang mengarah ke lambungnya, sama sekali 
tidak dipedulikan. Tapi, tentu saja Panji telah menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk melindungi lambung 
yang menjadi incaran serangan lawan.
Bukkk!
Wuttt!
Desss...!
Tendangan Tengkorak Hutan Jati yang telak 
menghajar lambung Panji, malah membuat orang itu men-
jerit kesakitan. Dan sebelum lawan terbebas dari rasa 
terkejutnya, telapak tangan pemuda itu telah mengha-
jar dada kiri lawan.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu 
pun terjengkang ke belakang. Darah segar langsung 
menyembur dari mulutnya. Tokoh sesat yang terkenal ke-
jam dan jarang menemukan tandingan itu, terpaksa harus
merelakan tubuhnya terbanting keras ke tanah.

Bruggg!
"Hukkk...!"
Terdengar keluhan pendek yang keluar dari mulut tokoh 
sesat bertubuh tinggi kurus itu. Namun, meskipun ping-
gang dan dadanya terasa sakit, Tengkorak Hutan Jati
mencoba memaksa diri untuk bangkit berdiri.
Pendekar Naga Putih yang memang tidak ingin 
memberi kesempatan kepada lawannya, kembali meluncur 
dengan disertai hantaman kepalannya.
Bettt!
Plakkk!
"Ahhh !?"
Panji memekik tertahan ketika kepalannya yang ten-
gah meluncur ke dada lawan itu, tiba-tiba membentur se-
buah lengan lain yang mengandung kekuatan hebat. Se-
hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda itu 
pun terjajar mundur sejauh setengah tombak lebih. Tentu 
saja kenyataan itu membuat hati Pendekar Naga Pulih ber-
getar!
"Hm.... Kiranya sang pendekar besar yang coba-coba 
mengacau tempat ini. Apakah yang kau cari di tempat ini, 
Pendekar Naga Putih?" tegur sosok tinggi kurus.
Orang itu mengenakan jubah berwarna hitam. Se-
pasang mata yang tersembunyi di balik kerudung yang 
juga berwarna hitam itu, tampak memancarkan sinar ke-
merahan yang menggetarkan hati Pendekar Naga Putih.
"Malaikat Gerbang Neraka...!" desis Panji terkejut melihat 
kemunculan tokoh sesat berkepandaian tinggi itu.
Dan ketika pemuda itu mengedarkan pandangan, ha-
tinya semakin tercekat! Betapa tidak? Ternyata di tem-
pat itu telah pula berdiri beberapa sosok tu-
buh lainnya. Dua di antara mereka dikenali sebagai Datuk 
Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Sedangkan dua

orang yang sama sekali belum pernah dilihatnya, namun 
sudah dapat ditebak. Siapa lagi kedua orang itu kalau 
bukan Datuk Selatan dan Datuk Utara. Tentu saja kenya-
taan itu membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar te-
gang! Jangankan dirinya yang hanya memiliki dua tangan 
dan kaki. Andaikata saat itu memiliki delapan tangan dan 
delapan kaki pun, rasanya tidak mungkin dapat melo-
loskan diri dari tempat itu.
"He he he.... ini namanya ular mencari peng-
gebuk. Siapa sangka tokoh muda yang terkenal ini 
akan mencari kita," kata salah seorang dari mereka yang 
bertubuh pendek gemuk dan berjenggot lebat.
Panji segera saja dapat menebak, siapa laki-laki se-
tengah baya yang bertubuh cebol dan berjubah merah itu. 
Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Baju Merah? Dialah yang 
merupakan penguasa golongan sesat di wilayah Selatan.
"Hik hik hik.... Pemimpin Agung, bolehkah aku me-
wakilimu untuk memberi pelajaran kepada bocah kurang 
ajar ini? Rasanya tanganku sudah gatal sekali hendak 
memecahkan kepalanya yang sombong itu," kata seorang 
nenek.
Dia berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tubuhnya 
yang bungkuk udang itu tampak seperti seekor burung ban-
gau yang berdiri di atas permukaan air. Sebatang tongkat 
hitam, tampak tergenggam di tangan kanannya. 
"Hm.... Silahkan, Nyai. Tapi, ingat. Pemuda ini ti-
dak boleh sampai tewas. Kau tahu, aku mempunyai se-
buah rencana yang bagus untuknya," sambut Malaikat 
Gerbang Neraka yang segera melangkah mundur.
"Hati-hati, Nyai. Kabarnya pendekar muda itu telah 
mampu meloloskan diri dari keroyokan dua orang kawan kita 
ini. Benarkah begitu?" kata Raja Iblis Jubah Merah sambil 
mengerling penuh ejekan ke arah Datuk Panglima Sesat dan 
Memedi Karang Api. Jelas, ucapannya itu sengaja untuk

menyindir kedua orang rekannya.
"Hm.... Tidak perlu aku berbantah denganmu, Ma-
nusia Cebol! Kalau memang merasa mampu, uruslah pe-
muda itu!" sahut Datuk Panglima Sesat dengan wajah me-
merah.
Mungkin bila ketua mereka tidak berada di tempat itu, 
Datuk Panglima Sesat sudah menerjang lelaki cebol 
yang melontarkan penghinaan kepadanya.
Lain halnya Memedi Karang Api. Mendengar ejekan 
itu, ia hanya terkekeh pelan. Sedikit pun hatinya tidak me-
rasa tersinggung oleh ucapan Raja Iblis Baju Merah. Seba-
liknya, ia malah mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih.
"He he he.... Pemuda itu memang lihai sekali. Ka-
lau saja aku berhadapan sendiri dengannya, mungkin 
akan sulit sekali mencapai kemenangan. Entah bila kau be-
rani menghadapinya seorang diri," aku Memedi karang Api 
dengan nada perlahan.
"Hm.... Meskipun harus menghadapinya seorang 
mengapa harus takut? Akan kubuktikan kalau pemuda 
yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu dapat kulumpuh-
kan tidak lebih dari lima puluh jurus. Lewat dari keten-
tuan itu, anggaplah kalau aku telah kalah olehnya. Ba-
gaimana? Apakah kalian berani bertaruh?" tantang Raja Ib-
lis Baju Merah, sombong.
"Sudahlah. Sekarang bukan waktunya bertengkar. Aku 
tidak mau tahu! Yang penting, kalian uruslah pemuda itu. 
Lumpuhkan dan bawa menghadap kepadaku di dalam 
markas."
Malaikat Gerbang Neraka yang tidak ingin mendengar 
perselisihan itu bergegas menengahi. Memang, kalau ti-
dak, keempat datuk itu bisa bertarung satu sama lain. 
Kemudian tokoh sesat maha sakti itu melangkah mema-
suki bangunan besar itu.
Untuk beberapa saat lamanya, keempat orang datuk sesat itu hanya dapat saling berpandangan. Jelas, 
kalau mereka tidak membantah perkataan tokoh mengi-
riskan itu.
Sepeninggal Malaikat Gerbang Neraka, keempat datuk 
sesat itu segera mengepung Pendekar Naga Putih. Untuk 
sejenak, mereka hanya berdiri mematung sambil menatap 
pemuda berjubah Putih yang telah menggenggam Pedang 
Naga Langit di tangan kanan. Jelas kalau Panji sudah ber-
siap menghadapi keroyokan empat orang datuk sesat itu.
***
EMPAT


"He he he.... Kalian lihat, apa yang berada di tan-
gan pemuda sombong itu? Bukankah itu Pedang Naga 
Langit yang telah lenyap pada beberapa puluh tahun yang 
lalu? Entah bagaimana bisa berada di tangan pemuda 
itu?" ujar Raja Iblis Baju Merah yang menatap pedang di 
tangan Panji penuh minat
"Hei, benar! Pedang itu memang Pusaka Naga Lan-
git! Hm.... Kalau begitu, pemuda ini memang bukan 
orang sembarangan. Buktinya, hanya orang-orang pili-
hanlah yang mampu memiliki pusaka keramat itu. Wah! 
Pemimpin Agung tentu akan gembira sekali apabila pusaka 
keramat itu kuhadiahkan kepadanya," seru Kuntilanak 
Bukit Mandau, ratu sesat di wilayah Utara.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap. Lebih baik sege-
ra kita tangkap pemuda itu saja. Mengenai pusaka keramat 
itu, biarlah Pemimpin Agung yang menentukan," ujar Da-
tuk Panglima Sesat yang kekesalannya masih belum hi-
lang.
Mendengar ucapan itu, Raja Iblis Baju Merah segera

saja melompat ke arah Panji. Kedua tangannya berputa-
ran cepat hingga menimbulkan angin keras laksana topan.
Bettt...!
Sambaran tangan kanan tokoh sesat bertubuh cebol 
itu ternyata sangat hebat. Serangkum angin keras berhem-
bus membuat jubah Pendekar Naga Putih berkibar ke-
ras.
Panji yang menyadari kalau harus bekerja keras un-
tuk menghadapi keempat datuk sesat itu, bergegas meng-
geser tubuhnya ke samping kanan. Berbarengan gerakan 
itu, Pedang Naga Langitnya dikibaskan dengan kecepatan 
kilat.
Wuttt...!
Seketika berhembus hawa dingin yang menusuk tu-
lang, disertai kilatan sinar keemasan yang berkeredep menyi-
laukan mata.
Hebat dan berbahaya sekali sambaran pedang di tan-
gan Pendekar Naga Putih. Sehingga, datuk sesat wilayah 
Selatan yang semula memandang rendah pemuda itu 
menjadi terkejut karenanya. Maka tubuhnya cepat dimiring-
kan sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan terbuka, men-
gancam leher Panji.
Belum lagi Pendekar Naga Putih sempat menghindari 
serangan itu, Datuk Panglima Sesat melompat disertai 
tebasan tangan miringnya. Serangan tokoh Timur itu 
benar-benar hebat dan sangat cepat. Sehingga, pendekar 
muda itu cukup sibuk menghadapi dua buah serangan 
berbahaya yang menggencet dan dua arah.
Namun, Panji bukanlah pendekar hijau yang baru tu-
run gunung. Pengalaman telah banyak mengajarkannya 
untuk tetap tenang meski dalam keadaan bagaimanapun 
sulitnya. Maka dalam menghadapi serangan kedua orang 
datuk sesat itu, cepat tubuhnya berguling. Pedangnya lang-
sung disabetkan, membabat kaki Raja Iblis Baju Merah 
yang berada di depannya.


Syuuut...!
Datuk sesat bertubuh cebol itu kembali terkejut me-
lihat kegesitan lawannya. Maka serangannya yang kandas 
itu cepat ditarik pulang. Kemudian, ia melompat ke bela-
kang untuk menghindari sambaran pedang yang mengan-
cam kaki kanannya.
Meskipun serangannya gagal, namun Pendekar Na-
ga Putih terus menggulingkan tubuhnya menjauhi tempat 
itu. Setelah merasa cukup jauh, tubuhnya melenting 
bangkit disertai gerakan pedangnya yang bergulung me-
nyelimuti tubuhnya.
"Heaaat...!"
Pada saat tubuh pemuda itu melenting bangkit, 
Kuntilanak Bukit Mandau bergerak cepat melancarkan seran-
gan kilat ke arah Pendekar Naga Putih. Tongkat hitam di tangan-
nya berputaran hingga lenyap menjadi gulungan sinar hitam yang 
menimbulkan angin menderu-deru.
Trang...!
Terdengar ledakan keras ketika gulungan sinar hi-
tam dan sinar kuning keemasan saling berbenturan di 
udara. Bunga api memercik ketika kedua senjata yang 
sama-sama digerakkan tenaga sakti luar biasa saling ber-
benturan.
“Ahhh…!”
Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tubuh-
nya yang tinggi kurus itu terjajar mundur hingga satu 
tombak lebih. Tentu saja kenyataan itu membuatnya terke-
jut.
"Gila! Pemuda itu ternyata memiliki tenaga dalam yang 
sangat tinggi! Untunglah aku telah berjaga-jaga sebelum-
nya. Kalau tidak, mungkin bisa terluka akibat benturan 
yang keras tadi," maki Kuntilanak Bukit Mandau, dalam 
hati.
Sedangkan Panji sendiri juga mengalami hal yang se-
rupa. Meskipun kuda-kudanya hanya tergempur sejauh ti

ga langkah, namun kenyataan itu telah membuatnya ter-
kejut.
"Hm.... Untuk menghadapi nenek itu saja, aku ha-
rus membutuhkan waktu yang cukup lama. Lalu, ba-
gaimana pula aku dapat lolos dari kepungan empat orang 
datuk sesat ini? Hm.... Apa pun yang terjadi, aku harus
mempertahankan diri mati-matian," gumam Panji dalam 
hati.
Pendekar Naga Putih merasa tidak mempunyai kesem-
patan lagi untuk keluar dari tempat itu dengan selamat. 
Maka, seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
yang dimilikinya segera dihimpun.
Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih ke-
perakan yang menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu 
tampak semakin melebar. Hal itu menandakan kalau Pan-
ji telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya untuk 
menghadapi keroyokan itu.
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan dahsyat yang bagaikan hen-
dak merobohkan bangunan besar itu, tubuh Panji melesat 
cepat ke arah Kuntilanak Bukit Mandau.
Wukkk... wukkk...!
Pedang Naga Langit di tangan pemuda itu berputa-
ran menciptakan gelombang angin puting-beliung yang 
mengerikan. Sinar keemasan bergulung-gulung turun-
naik bagaikan seekor naga murka.
Kuntilanak Bukit Mandau terkejut bukan kepalang meli-
hat dahsyatnya serangan yang dilancarkan pemuda itu. 
Cepat tongkat hitam di tangannya diputar. Sekejap sa-
ja, terciptalah sinar hitam yang bergulung- gulung. Sehing-
ga, suasana di sekitar arena pertarungan semakin hiruk-
pikuk.
Tiga orang datuk sesat lainnya pun tidak tinggal di-
am. Serentak mereka bergerak dari tiga jurusan untuk 
meringkus Pendekar Naga Putih.
"Haiiit...!"
Teriakan nyaring itu dibarengi melesatnya Kuntilanak 
Bukit Mandau disertai putaran tongkat hitamnya.
Panji yang saat itu juga tengah melompat disertai
ayunan pedangnya, tentu saja tidak ingin terjebak se-
rangan lawan. Diperkirakan, kalau ia nekat membentur 
tongkat hitam datuk Utara itu, jelas akan menderita ke-
rugian yang tidak kecil. Maka, tubuhnya digeser un-
tuk mengelakkan serangan tongkat hitam itu. Sambil 
melompat, pemuda itu mengibaskan pedang di tangan-
nya ke arah Memedi Karang Api yang saat itu tengah me-
lancarkan serangan dari sebelah kiri. 
Wuttt...!
Babatan pedang pemuda itu hanya mengenai an-
gin kosong. Sementara lawannya yang mengelak dengan 
mendoyongkan tubuh ke belakang, langsung mengirimkan 
sebuah tendangan kilat yang mengancam dadanya.
Dan pada saat yang bersamaan, serangan Datuk Pan-
glima Sesat, serta Raja Iblis Baju Merah telah datang dari 
dua arah. Sehingga, keadaan Pendekar Naga Putih benar-
benar terjepit dan berbahaya.
Namun meskipun ketiga serangan itu sama cepat dan 
berbahayanya, Panji tetap mencoba bersikap tenang. 
Tendangan kilat Memedi Karang Api ditepis dengan te-
lapak tangan kirinya.
Plakkk!
Tepisan Panji yang dikerahkan lewat tenaga dalam sepe-
nuhnya, membuat tendangan lawannya melenceng ke 
depan. Akibatnya, tubuh Memedi Karang Api terjajar mun-
dur sejauh delapan langkah.
Bersamaan dengan tepisan tangan Pendekar Naga Pu-
tih, hantaman telapak tangan Datuk Panglima Sesat telah 
menghajar bahu kanan Panji yang memegang pedang. 
Akibatnya, Pedang Naga Langit terlepas dari genggaman

nya. Dan selagi tubuh pemuda itu terhuyung, sebuah 
pukulan yang berisikan tenaga dalam amat kuat kemba-
li datang menerpa dadanya.
Blakkk!
Desss!
"Hugkh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh Pendekar Na-
ga Putih terlempar keras hingga dua tombak jauhnya. 
Darah segar kontan terlompat dari mulutnya.
"Huagkh….!"
Darah segar kembali termuntah dari mulut pemuda 
itu. Sambil menyeringai menahankan rasa sakit pada da-
da dan bahunya, pendekar muda itu berusaha bangkit 
berdiri.
"Hhh...."
Panji bangkit sambil mendorongkan telapak ta-
ngannya secara berbarengan ke depan, disertai hem-
busan napasnya. Wajah pemuda itu terlihat pucat dengan 
noda-noda darah yang mengotori pakaiannya.
Sadar kalau luka dalam yang dideritanya cukup pa-
rah, cepat Pendekar Naga Putih menelan pil berwarna putih 
yang diambil dari dalam buntalan pakaiannya. Rasa sakit 
akibat pukulan kedua orang datuk sesat itu membuatnya 
terlupa kalau Pedang Naga Langit tidak lagi berada dalam 
genggaman. Panji baru sadar ketika mendengar suara tawa 
serak dari salah seorang lawannya.
"Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Dengan ter-
lepasnya pedang ini dari tanganmu, kau tak ubahnya 
seekor harimau yang kehilangan taringnya!"
Terdengar tawa berderai dari Datuk Panglima Sesat. 
Tokoh bertubuh raksasa itu tertawa-tawa sambil mengelus 
pedang bersinar keemasan yang berada dalam geng-
gamannya.
Tentu saja hal itu membuat Panji terkejut Namun, untuk dapat merebut kembali senjata dari tangan datuk sesat 
itu, rasanya sangat mustahil. Dan Pendekar Naga Putih pun 
sadar akan hal itu, namun tetap saja bersikap tenang. Dan 
berusaha meloloskan diri dengan menggunakan ilmu tan-
gan kosongnya.
Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan kedua 
tangannya di depan dada. Pancaran matanya tampak 
tajam dan menggetarkan. Lapisan kabut yang bersinar pu-
tih keperakan pun, kembali membungkus seluruh tubuh-
nya. Melihat lapisan kabut yang agak tipis, jelas kalau 
tenaga dalam pemuda itu masih terhambat luka da-
lamnya.
"Hm.... Aku harus bisa meloloskan diri dari tempat ini. 
Biarlah pedang itu akan kucari kelak," kata batin Panji, 
menanamkan tekadnya kuat-kuat.
Kemudian Pendekar Naga Putih menggeser kaki ka-
nannya ke belakang. Sedangkan kedua. tangannya dengan 
telapak terbuka terangkat di atas kepala. Ujung jari-jarinya 
yang bersentuhan itu tampak bergetar karena tenaga 
sakti yang tersalur di dalamnya.
"Haaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda 
itu melesat bagai kilat menerjang Memedi Karang Api 
yang berada di sebelah kirinya.
Wuttt.... Wuttt...!
Hebat dan cepat sekali serangan yang dilancarkan pen-
dekar muda itu. Sepasang tangannya yang membentuk 
cakar naga, saling susul-menyusul disertai sambaran 
angin dingin yang menusuk tulang. Melihat gerakannya, je-
las kalau itulah jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bu-
mi’. Ini merupakan salah satu jurus pamungkas dari 
rangkaian ilmu 'Naga Sakti' warisan Malaikat Petir.
Memedi Karang Api yang melihat tubuh pemuda itu 
meluruk cepat ke arahnya, sempat merasa terkejut! Sejenak

ia hanya termangu melihat sepasang tangan lawan yang 
berputaran membentuk bulatan-bulatan besar kecil. Dan 
dalam bulatan-bulatan yang membingungkan itu, terka-
dang menyembul cakar-cakar maut yang siap merejam 
hancur tubuhnya.
"Yeaaat..!"
Pada saat serangan pemuda itu hampir tiba, Me-
medi Karang Api berteriak mengguntur. Tubuhnya yang ku-
rus itu melesat dengan kecepatan menggetarkan. Sepa-
sang tangannya berkelebat cepat diiringi arus gelombang 
angin yang amat kuat Jelas kalau ia bermaksud hendak 
memapak serangan lawan menggunakan jurus andalan 
yang dimilikinya, yakni 'Sepasang Kepalan Penggoncang
Jagat'. Sebuah ilmu tangan kosong yang luar biasa hebat, 
dan telah membuat nama kakek itu semakin disegani kawan 
dan ditakuti lawannya.
Sebagai tokoh-tokoh sesat yang telah bergelar da-
tuk, ternyata mereka masih tetap saja memiliki hati culas. 
Walaupun tahu kalau saat itu keadaan Pendekar Naga Pu-
tih sudah cukup parah, namun mereka tetap saja me-
lompat dan melakukan serangan susul-menyusul. Pa-
dahal, saat itu belum tentu Pendekar Naga Putih dapat 
menang dari gempuran Memedi Karang Api. Apalagi, 
keadaannya memang sangat lemah.
Pendekar Naga Putih yang telanjur melancarkan se-
rangan, tentu saja merasa terkejut melihat keadaan berba-
haya itu. Namun karena tidak mempunyai kesempatan 
untuk menarik pulang serangan lagi, maka ia pun nekat 
mengadu kekuatan dengan Memedi Karang Api.
Sementara itu Memedi Karang Api yang belum menge-
tahui keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam 
Bumi', tentu saja tidak sadar kalau saat itu tengah teran-
cam bahaya. Maka tanpa rasa curiga sedikit pun, kakek 
itu menyambut serangan Pendekar Naga Putih dengan

seluruh kekuatannya.
Whusss….!
Bukan main terperanjatnya hati Memedi Karang Api. 
Pada saat tangan mereka hampir berbenturan, secara 
mendadak sepasang cakar Panji berputar setengah lingka-
ran. Langsung dihantamnya sepasang lengan Memedi Ka-
rang Api dari samping. Berbarengan dengan itu, telapak 
tangan kanannya bergerak turun menghantam lambung 
kiri datuk dari Barat itu.
Dukkk!
Blakkk..!
"Hugkh...!"
Hantaman telak telapak tangan Panji, membuat tubuh 
tinggi kurus itu tersentak ke belakang bagaikan layang-
layang putus! Darah segar kontan termuntah dari mulut 
kakek itu.
Sedangkan tubuh Panji sendiri, terjajar mundur aki-
bat menangkis serangan Memedi Karang Api. Saat itu pu-
la, hantaman Raja Iblis Baju Merah, telak menghajar iga 
Pendekar Naga Putih.
Desss...!
Ugkh...!"
Tubuh Panji langsung tersentak akibat hantaman 
dahsyat itu. Darah segar tampak mengalir dari sudut bi-
birnya yang pucat Belum lagi pemuda itu sempat menghen-
tikan tubuhnya yang terhuyung, sebuah hantaman tong-
kat hitam di tangan Kuntilanak Bukit Mandau kembali 
menghajar punggungnya.
Bukkk!
"Huagkh...!"
Darah segar kembali termuntah dari mulut Pendekar 
Naga Putih. Tubuhnya yang tengah terhuyung ke bela-
kang tersentak ke depan. Sebelum tubuh pemuda itu 
sempat mencium tanah, Datuk Panglima Sesat menda

ratkan kakinya beberapa langkah di hadapan pemuda itu. 
Datuk sesat bertubuh raksasa itu langsung mendorongkan 
sepasang telapak tangannya ke arah dada Panji.
Blaggg...!
"Hegkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh pendekar muda yang 
perkasa itu terhempas ke belakang. Kembali cairan me-
rah termuntah keluar dari mulutnya. 
Bruggg!
Tubuh pemuda itu terbanting ke atas tanah dalam 
keadaan pingsan. Wajah pemuda itu pucat bagaikan 
mayat. Dari sela-sela bibirnya yang juga telah memucat,
darah segar mengalir tak henti-hentinya.
Datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin itu 
melangkah mendekati tubuh Pendekar Naga Putih. Dari
pancaran mata mereka, jelas memancarkan kekaguman 
yang sangat dalam.
"Gila! Daya tahan tubuh pemuda ini benar-benar luar 
biasa sekali. Rasanya aku tidak sanggup menghada-
pinya seorang diri. Hm.... Baru kali ini aku menemukan 
seorang pendekar muda yang benar-benar tangguh!" puji 
Memedi Karang Api yang wajahnya masih agak pucat
Dari seringai wajahnya, jelas kalau kakek itu masih me-
rasakan akibat hantaman telapak tangan Panji tadi. Namun 
hatinya cukup kagum dengan kedigdayaan Pendekar 
Naga Putih.
"Ya! Kalau saja orang lain yang menerima hantaman 
kita tadi, rasanya pasti akan tewas tanpa ampun lagi. Se-
dangkan anak muda ini hanya pingsan saja. Benar-
benar seorang pemuda mengagumkan. Kalau saja aku 
memiliki seorang murid seperti dia, betapa akan bang-
ganya hatiku. Sayang, sampai saat in aku belum me-
nemukan murid yang cocok," ucap Kuntilanak Bukit 
Mandau seraya menghela napas dalam-dalam. Wajahnya


pun menyiratkan kesedihan.
"Benar-benar beruntung sekali Malaikat Petir itu. la 
telah mendapatkan seorang penerus yang sangat berba-
kat," Raja Iblis Baju Merah ikut menimpali. Jelas sekali ada 
pancaran rasa iri di wajahnya.
"Ah, sudahlah. Lebih baik bawa saja pemuda ini ke-
pada Pemimpin Agung. Terserah apa yang akan beliau 
perbuat dengan anak muda ini? Kalau diserahkan kepa-
daku, sudah pasti akan kulenyapkan. Biar bagaimanapun, 
ia hanya jadi penghalang bagi rencana kita," selak Datuk 
Panglima Sesat yang rupanya tidak menyetujui semua 
ucapan rekan-rekannya. Nadanya pun terdengar kesal.
Ketiga orang datuk lainnya serentak menoleh ke 
arah Datuk Panglima Sesat. Ucapan tokoh bertubuh rak-
sasa itu rupanya telah membuat mereka tersadar. Me-
mang, pemuda yang tengah tergeletak pingsan itu sangat 
berbahaya untuk dibiarkan tetap hidup.
Tanpa berkata sepatah pun, Datuk Panglima Sesat sege-
ra mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih dan memba-
wanya memasuki bangunan besar itu. Sedangkan ketiga
datuk lainnya bergegas mengikuti.
***
LIMA


"Uhhh...."
Pendekar Naga Putih mengeluh pendek, pertanda mu-
lai tersadar dari pingsannya. Sepasang matanya men-
gerjap-ngerjap untuk memulihkan penglihatannya yang te-
rasa berputar dan gelap.
"Hm.... Di mana aku...?" gumam pemuda tampan itu 
mencoba bergerak bangkit dari duduknya.

Namun, betapa terkejut hati Pendekar Naga Putih ke-
tika merasakan sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan. 
Jangankan untuk menggerakkan kaki tangannya, untuk 
menggerakkan lehernya pun tidak mampu.
"Sudah matikah aku...?" gumam Panji menyeringai 
merasakan dadanya panas dan nyeri.
Seolah-olah di dalam dada Pendekar Naga Putih ter-
dapat ratusan jarum yang menusuki dari dalam. Namun 
yang membuatnya lebih terkejut adalah, keadaan tubuh-
nya yang seperti tidak dapat lagi digerakkan. Sehingga, ia
hanya dapat terkapar lemah tanpa daya.
"Hhh.... Entah racun apa yang dijejalkan ke dalam tu-
buhku, sehingga seluruh uratku menjadi lumpuh," desah 
pemuda itu seraya menghembuskan napas berat "Se-
pertinya, inilah akhir petualanganku...."
Pendekar Naga Putih merasa kecewa merasakan kea-
daannya yang tak ubahnya seperti kakek-kakek jompo. 
Tapi yang membuat hatinya lebih terpukul adalah, mengapa 
justru pada saat dunia tengah dilanda bahaya besar, di-
rinya tidak berdaya. Tentu saja pemuda itu tidak sadar ka-
lau kelumpuhan yang diderita adalah akibat pukulan-
pukulan dahsyat dari empat datuk sesat yang menge-
royoknya.
Ketika mendengar langkah kaki tengah mendekati tem-
patnya, Panji memejamkan mata. Seolah-olah, ia hendak 
mengetahui, apa yang akan dilakukan orang-orang itu 
apabila dirinya masih dalam keadaan pingsan.
Suara derit daun pintu terdengar ribut, diiringi lang-
kah kaki beberapa orang yang memasuki tempat Panji dis-
ekap. Dari suara langkah itu, Pendekar Naga Putih dapat 
menebak kalau mereka terdiri dari lima orang.
"Hm.... Pasti mereka Malaikat Gerbang Neraka dan 
keempat orang datuk sesat itu," Batin Panji menduga-duga. 
"Entah apa yang mereka inginkan dariku? Mengapa mereka

tidak langsung membunuhku saja?"
"Yang Mulia, tidakkah sebaiknya pemuda ini diha-
bisi saja riwayatnya? Kami khawatir, kalau ia sembuh, je-
las merupakan penghalang nomor satu bagi rencana kita," 
usul Datuk Panglima Sesat Sepertinya, Datuk Wilayah ti-
mur itu benar-benar membenci Pendekar Naga Putih.
"Benar, Yang Mulia. Lebih baik pendekar muda ini 
dibunuh saja, karena berbahaya sekali," timpal Raja Iblis
Baju Merah.
Malaikat Gerbang Neraka hanya tersenyum dingin 
mendengar usul kedua orang pembantunya. Sepasang 
matanya yang bersinar kemerahan tetap tertuju ke 
tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri yang mendengar usul kedua orang 
datuk sesat itu menanti dengan hati tegang. Di-
tunggunya jawaban yang akan keluar dari mulut orang 
tinggi kurus yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia.
"Tidak Aku masih membutuhkan tenaganya. Dia 
akan kuperalat untuk mengacaukan Kerajaan Mula-
warta. Dengan kepandaian dan kekuatan yang akan kuli-
patgandakan, Pendekar Naga Putih pasti dapat mem-
buat kerajaan itu kalang-kabut. Dengan demikian, tentu 
si keparat Pungga Lawa akan beralih perhatiannya, dan 
akan mengerahkan pasukan untuk membasmi tokoh-
tokoh golongan putih. Nah, bukankah dengan demi-
kian pekerjaan kita bisa lebih ringan? Sekali pukul saja, 
kita bisa menghancurkan dua kekuatan. Aku yakin, 
para tokoh golongan putih yang biasanya membantu 
kerajaan, akan menarik diri. Bahkan mungkin bisa sal-
ing hantam dengan tentara Kerajaan Mulawarta. Pada 
saat kekacauan itu terjadi, barulah kita bergerak 
menggempur istana. Sebenarnya, dengan kesaktian 
yang kuperoleh dari pertapa-pertapa sakti selama da-
lam pelarianku, bisa saja aku mengacaukan istana. Ta

pi, setelah kupertimbangkan kembali, rasanya akan le-
bih baik lagi kalau kita menggunakan orang lain yang 
berkemampuan tinggi. Begitu aku melihat pemuda ini, 
langsung saja pilihanku jatuh kepadanya," jelas Malaikat 
Gerbang Neraka panjang lebar.
Keempat orang datuk sesat itu sama-sama men-
ganggukkan kepala mendengar keterangan Pemimpin 
Agungnya. Dan kini mereka kembali memuji kecerdikan 
tokoh sesat maha sakti itu.
"Kami benar-benar mengaku bodoh, Yang Mulia. 
Sama sekali tidak terpikir di otak kami akan rencana 
yang sangat baik itu," kata Datuk Panglima Sesat, baru
terbuka pikirannya setelah mendengar penjelasan pim-
pinannya.
Panji sendiri yang mendengar rencana gila itu 
merasa terkejut bukan main! Memang, apabila rencana 
itu dapat terlaksana, tidak bisa dibayangkan, apa yang 
akan menimpa para tokoh golongan putih! Maka, sudah 
pasti mereka menjadi gempar atas kejadian itu. Sehing-
ga, akan sulit bagi para tokoh itu untuk mengadakan per-
temuan. Bisa-bisa, mereka dituduh sebagai pemberon-
tak yang hendak menggulingkan kekuasaan Raja Agung 
Pungga Lawa.
"Ini tidak boleh terjadi!" desis hati Pendekar Naga Pu-
tih yang menjadi cemas apabila rencana Malaikat Ger-
bang Neraka dapat terbukti.
"Uhhh...!"
Pendekar Naga Putih berpura-pura mengeluh 
pendek, agar para tokoh sesat itu menyangkanya 
baru tersadar. Suasana ruangan yang cukup gelap, 
membantu siasatnya itu.
"Hm.... Pemuda itu mulai tersadar dari pingsannya," 
gumam Raja Iblis Baju Merah yang melangkah mundur, 
siap menghadapi kemungkinan bila pemuda itu menga

muk
"Hm.... Tidak usah kalian khawatir. Saat ini Pendekar 
Naga Putih tak ubahnya seorang kakek jompo. Luka-luka 
dalam yang diderita, membuatnya tidak lagi segarang du-
lu," jelas Malaikat Gerbang Neraka seraya. tersenyum sinis.
"Hei? Benarkah demikian, Yang Mulia...?" tanya Raja 
Iblis Baju Merah belum percaya sepenuhnya akan ucapan 
pemimpinnya itu. Dipandanginya wajah Pendekar Naga 
Putih dalam-dalam seperti menyelidik.
Demikian pula dengan datuk sesat lainnya. Mereka me-
natap pemuda yang tengah terbaring penuh selidik. Hati 
mereka baru percaya ketika melihat pemuda itu hanya 
terbaring tanpa berusaha bangkit. Hanya sepasang ma-
tanya saja yang menandakan kalau masih hidup. Se-
dangkan wajahnya sudah demikian pucat seperti mayat.
"Orang seperti dia, tidak akan kusekap di tempat ini 
kalau memang keadaannya masih sehat seperti biasa. 
Karena aku tahu ia sudah tidak berdaya. Maka, sen-
gaja ia kusekap di kamar ini," jelas Malaikat Gerbang Ne-
raka.
"Kalau begitu, kapan Yang Mulia akan mengirim pe-
muda ini untuk mengacau Kerajaan Mulawarta?" tanya 
Datuk Panglima Sesat sambil tetap memandangi Panji.
"Secepatnya, jika ramuan yang kubuat telah se-
lesai. Kalian sabarlah. Untuk bisa terlaksananya ren-
cana kita ini, harus dengan perhitungan masak. Yang 
pasti, aku tidak ingin mengalami kegagalan," tandas Ma-
laikat Gerbang Neraka.
Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang mengi-
riskan itu pun melangkah keluar dari kamar tahanan Panji. 
Dan tanpa banyak cakap lagi, keempat orang datuk se-
sat itu pun segera menyusul pemimpinnya. Sehingga, 
kamar tahanan itu pun kembali gelap, karena pintunya 
kembali tertutup rapat.


***
Sepeninggal lima orang tokoh sesat itu, Panji 
termenung memikirkan jalan keluar atas persoalan 
yang kini tengah dihadapinya. Beberapa kali dicobanya 
untuk mengerahkan tenaga dalam. Namun, yang dida-
pat hanyalah rasa sakit yang menusuk dada. Bahkan cai-
ran merah pun kembali mengalir dari sudut bibirnya. Panji 
mengeluh, merasakan sakit dan kenyerian yang menu-
suk-nusuk dadanya. Sadar kalau hal itu hanya akan 
mendatangkan siksaan pada dirinya, maka ia pun tidak 
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya lagi.
"Hm.... Nampaknya memang tidak ada harapan lagi 
untuk hidup bagiku," desah Pendekar Naga Putih, pasrah.
Sadar kalau tak mungkin dapat meloloskan diri dari ke-
kuatan Malaikat Gerbang Neraka, Pendekar Naga Putih 
mencoba menyusuri pertualangannya selama ini. Terbayan-
glah semua peristiwa-peristiwa yang pernah dialami. Seulas 
senyum manis tampak terhias di bibirnya ketika pemuda itu 
teringat akan perjumpaan pertama dengan kekasihnya, Ke-
nanga.
"Kenanga.... Aku tidak tahu, di mana sekarang kau 
berada? Semoga saja kau masih dalam perlindungan Tu-
han," desah Panji lirih.
Ada rasa nyeri yang menggigit hati pemuda itu ketika 
teringat kekasihnya. Sedikit rasa sesal menyelinap, men-
gingat betapa ia tidak mungkin dapat berjumpa lagi den-
gan dara jelita itu. Memang, apabila Malaikat Gerbang Ne-
raka sudah menjejalkan ramuan yang dikatakannya, bukan 
tidak mungkin dirinya akan tewas setelah mengacau Kera-
jaan Mulawarta. Dan memang untuk itulah, dirinya dipera-
lat tokoh sesat mengiriskan itu. Pendekar Naga Putih di-
tugaskan mengacau, dan berakhir dengan kematian.

Peristiwa demi peristiwa yang pernah dialami, satu-
persatu terlintas dalam benak pemuda tampan itu. Lintasan 
pengalaman yang berputar dalam benaknya terhenti ketika 
teringat akan seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Iblis 
dari Utara. Dan akibat pertarungannya dengan tokoh sakti 
itu, dirinya telah terluka parah (Baca serial Pendekar Naga 
Putih dalam episode "Raja Iblis dari Utara").
"Pedang Pusaka Naga Langit...!" desah Panji ter-
sentak dari lamunannya “ Yah hanya senjata kera-
mat itulah yang akan menyembuhkanku dari luka-
luka yang kini ku derita. Tapi….pusaka itu pasti te-
lah terjatuh ke tangan Malaikat Gerbang Neraka. 
Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku 
bisa merebutnya kembali. Sedangkan dalam kea-
daan biasa pun, aku masih ragu untuk dapat me-
nandinginya”? Pendekar Naga Putih kembali dilanda 
kekecewaan, mendapati kenyataan seperti itu. Na-
mun Panji kembali tersentak ketika teringat akan 
peristiwa yang membawanya mendapatkan pusaka 
keramat itu.
"Ya! Ke mana gerangan naga raksasa yang kutun-
dukkan di Gunung Kembaran itu? Mengapa kini tidak 
pernah muncul lagi? Benarkah Pedang Pusaka Naga Lan-
git itu jelmaan dari naga raksasa yang telah kukalahkan? 
Hm.... Kalau memang demikian, bukan mustahil senjata 
keramat itu dapat lenyap dari pandangan. Mungkinkah 
senjata itu dapat berubah lagi menjadi seekor naga raksa-
sa?" berbagai dugaan melintas dalam benak Pendekar Na-
ga Putih. Lupa sudah ia akan luka-lukanya ketika teringat 
peristiwa ajaib yang dialaminya.
Sambil mengingat-ingat peristiwa itu, Panji pun
mengkajinya dengan teliti (Untuk mengetahui lebih jelas 
tentang peristiwa didapatkannya Pedang Pusaka Naga 
Langit, bacalah serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Bunga Abadi di Gunung Kembaran").
"Hm.... Kalau pedang itu memang benar hasil jel-
maan naga raksasa yang kutemukan di Gunung Kem-
baran, bukan mustahil kalau sewaktu-waktu dapat berubah 
menjadi seekor naga raksasa kembali. Dan kini, hanya 
satu yang menjadi persoalan. Bagaimana caranya untuk 
dapat mewujudkan pedang itu menjadi seekor naga. Dan 
kalau itu terjadi, pastilah naga raksasa itu akan tahu, sia-
pa orang yang menjadi majikannya!"
Batin pendekar muda itu terus mencari rahasia 
yang tersimpan dalam senjata keramat miliknya. Dan 
keyakinannya demikian bulat kalau pedang keramat itu 
pasti akan diperolehnya apabila rahasia yang menye-
limutinya dapat dipecahkan.
Tanpa mengenal putus asa, Pendekar Naga Putih 
memusatkan pikirannya. Otaknya membayangkan naga 
raksasa yang pernah ditundukkannya itu. Sehingga, sema-
kin lama pemuda itu semakin tenggelam dalam alam pi-
kirannya yang paling dalam.
Dengan mata terpejam rapat, Panji mencari bentuk 
naga raksasa jelmaan Pedang Naga Langit. Hingga akhir-
nya, ia berhasil menemukan bentuk binatang menge-
rikan yang semakin lama kian jelas.
Kekuatan pemusatan pikiran pendekar muda itu ten-
tu saja tidak bisa disamakan dengan orang-orang semba-
rangan. Kekuatan batin yang memang telah sedemi-
kian kokoh, membuatnya tidak terlalu sulit menemu-
kan bentuk binatang raksasa itu.
Panji yang tengah terlelap dalam pengerahan kekua-
tan tenaga batin, secara tidak sadar telah melatih suatu il-
mu dahsyat yang hanya ada dalam dongeng!
Dan dengan ilmu itu pulalah, batinnya dapat disatukan 
dengan naga raksasa yang dibentuknya. Sehingga tan-
pa disadari, pemuda itu telah dapat menggunakan kekuatan bawah sadarnya untuk menghubungi binatang men-
gerikan itu.
***
Selama dua hari dua malam Pendekar Naga Putih 
tenggelam dalam alam pemusatan pikirannya. Dan ki-
ni, tiba-tiba terasa serangkum hawa hangat yang me-
rasuk ke dalam tubuhnya. Sadar kalau hawa mukjizat itu 
berasal dari sebuah benda hangat di tangannya, kedua ma-
ta Panji terbuka perlahan-lahan. Dan apa yang dilihat-
nya, benar-benar membuat pemuda itu hampir-hampir 
terlonjak.
"Pedang Naga Langit..!?" seru Pendekar Naga Putih 
hampir terpekik keras. Untunglah keadaan tubuhnya
saat ini demikian lemah. Sehingga, seruan itu tak ubah-
nya sebuah desahan panjang.
Ingin rasanya pemuda itu berteriak kuat-kuat ke-
tika pedang keramat miliknya telah bertengger di atas 
kedua lengannya yang terlipat di depan dada. Kenya-
taan yang dihadapinya, membuat Panji hampir melompat-
lompat sebagai luapan kegembiraannya.
"Hm.... Dari mana pedang ini dapat masuk...? Se-
dangkan di dalam ruangan ini sama sekali tidak ter-
dapat sebuah celah?" desah hati pemuda itu.
Seketika pandangannya beredar ke sekeliling. Ke-
ningnya berkerut dalam ketika tidak melihat adanya lubang 
di dalam ruang tahanannya. Tentu saja hal itu membuat 
pikirannya kembali menerawang, mencari jawaban.
Dengan tatapan tajam, dipandanginya Pedang Na-
ga Langit yang saat itu masih berada di atas kedua lengan-
nya.
"Hm.... Kalau dalam dua hari ini pikiranku dipusatkan 
untuk menghadirkanmu, kini akan kucoba memusatkan 
pikiran agar kau dapat berdiri dan mengelilingiku," gumam

batin Panji sambil memejamkan matanya rapat-rapat
Tak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih kem-
bali tenggelam dalam pemusatan tenaga batinnya. Dengan 
menyatukan alam bawah sadar, Panji mencoba menga-
dakan hubungan batin dengan pedang keramat itu. Lalu 
dengan kekuatan batin agar pedang yang berada di atas 
lengannya bergerak dan mengelilinginya.
Tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan dengan mu-
dah. Bahkan Pendekar Naga Putih pun harus mengu-
langi keinginannya berkali-kali. Baru setelah beberapa 
waktu lamanya, Pedang Naga Langit di atas lengan Panji 
mulai bergerak dan berdiri tegak lurus. Kemudian secara 
perlahan-lahan, pusaka keramat itu bergerak naik ke uda-
ra. Masih dengan gerakan perlahan, senjata itu bergerak di 
sekeliling tubuh Pendekar Naga Putih.
Ketika terasa ada hawa yang semakin hangat 
mengelilingi tubuhnya, Panji pun membuka kedua ma-
tanya perlahan, sambil terus mengucapkan perintahnya 
dalam hati. Sepasang mata yang semula redup, terbelalak 
lebar ketika menyaksikan pemandangan di depan ma-
tanya.
"Hm.... Kini kau turunlah, dan kembali ke tempat se-
mula di atas kedua lenganku," desah batin Pendekar Naga 
Putih kembali memberikan perintah.
Ajaib! Tanpa menunggu lama, pedang keramat yang 
tengah mengitari tubuh pemuda itu tiba-tiba saja terhenti 
Kemudian dengan gerakan tidak cepat, pedang itu pun 
kembali terbujur di atas kedua lengan Panji.
"Sekarang, aku memintamu untuk lenyap dari pandan-
gan. Dan kalau memang kau memasuki kamar ini tanpa 
wujud, pasti juga bisa merasuk ke dalam tubuhku," ujar 
batin Panji yang terus mengulang perintahnya agar senja-
ta keramat itu dapat merasuk ke dalam tubuhnya. Ka-
rena hanya dengan cara itulah, luka-luka yang diderita 
dapat diobatinya.
Kembali Panji harus memejamkan kedua matanya.

Memang untuk mewujudkan permintaan, ia harus dalam 
keadaan kosong sama sekali. Hanya pikiran dan tenaga ba-
tinnya saja yang terpusat secara keseluruhan dengan senja-
ta keramat yang ternyata memiliki rahasia tak terjang-
kau akal sehat.
Hati Pendekar Naga Putih berdebar ketika merasa-
kan suatu hawa hangat yang amat kuat merasuk dan 
bergolak dalam tubuhnya. Kian lama, hawa hangat 
yang amat kuat itu semakin menyebar ke seluruh tu-
buhnya. Sehingga, mau tidak mau, Panji harus memu-
satkan pikiran sepenuhnya. Hal itu dilakukan untuk men-
gatur peredaran hawa hangat yang mungkin saja bisa 
membahayakan tubuhnya.
Makin lama, apa yang dirasakan Panji semakin 
membuat hatinya berdebar tegang. Betapa tidak? Ter-
nyata apa yang kini dialaminya benar-benar tidak pernah 
terlintas dalam benak. Sehingga, harapannya untuk dapat 
terbebas dari tempat celaka itu terbayang nyata.
Cukup lama hal yang menimpa Pendekar Naga Pu-
tih berlangsung. Hawa hangat yang semula kian me-
manas, perlahan berubah kembali menjadi hangat. Dan 
apa yang dirasakan Panji, benar-benar membuatnya ham-
pir tidak percaya.
"Ah...! Kini tidak ada lagi rasa sakit dalam tubuhku!" 
seru Panji bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan 
mainan kesukaannya.
Bagaikan orang linglung, pemuda itu mencoba mengge-
rak-gerakkan tangan dan kakinya. Senyum di wajah pemuda 
itu pun kian melebar ketika lengan maupun kakinya te-
lah dapat digerakkan kembali.
"Hm...."
Sambil bergumam lirih, Panji bergegas bangkit dari tidur-
nya. Sepasang matanya tampak bersinar kian tajam ba-
gaikan seekor naga di kegelapan. Dan ketika mencoba men

gerahkan tenaga sakti yang dimilikinya, ternyata 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan'nya telah dapat dikerahkan kembali. 
Tentu saja hal itu membuatnya semakin gembira.
Setelah semua kesehatannya pulih kembali, Panji 
termenung memikirkan pedang yang kini telah menyatu 
dalam dirinya. Apa yang harus dilakukan untuk dapat 
menggunakan kekuatan tenaga inti Pedang Naga Lan-
gitnya? Ingin ia menggabungkan inti tenaga Pedang Naga 
Langit yang mengandung hawa panas itu dengan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya. Dan un-
tuk itu, ia harus mencari cara untuk menggabungkan kedua 
tenaga sakti yang memiliki sifat berlawanan itu.
Panji berjalan hilir mudik di dalam ruangan yang sem-
pit itu. Otaknya terus berputar mencari pemecahan dari ma-
salah yang dihadapinya. Karena belum juga menemu-
kan jawaban, maka tubuhnya dihempaskan di atas je-
rami kering yang merupakan satu-satunya alas di dalam
ruangan itu.
Cukup lama Pendekar Naga Putih termenung memikir-
kan cara untuk menggabungkan kedua tenaga sakti itu. Hingga 
akhirnya, diputuskanlah untuk bersemadi dan mengerahkan 
kekuatan batin yang baru saja didapatkan tanpa sadar.
"Ah! Bodoh sekali aku ini!" maki Panji sambil me-
nampar perlahan kepalanya. Mengapa aku tidak menco-
banya seperti menyatukan Pedang Naga Langit ke dalam 
tubuhku? Bukankah percobaan-percobaan yang kulakukan 
tadi telah membawa hasil yang sangat baik."
Berpikir demikian, pemuda itu pun bergegas bangkit 
dari duduknya. Kemudian Panji mencoba memusatkan pi-
kirannya untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' pada lengan kanannya. Lalu, disalurkannya ke 
seluruh tubuh sebelah kanan.
Ajaib! Sesaat kemudian, terciptalah lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan yang hanya menyelimuti separuh

tubuhnya di bagian kanan. Bukan main gembiranya hati 
Panji ketika melihat keberhasilan percobaan nya. Lalu, 
kembali matanya dipejamkan dan pikirannya dipusatkan 
untuk membangkitkan kekuatan 'Tenaga Inti Panas Bumi'
yang berasal dari kekuatan Pedang Naga Langitnya.
Sayang sebelum percobaannya memperoleh hasil se-
perti yang diinginkan, terdengar langkah kaki beberapa 
orang yang mendatangi tempat itu. Sehingga, Panji ber-
gegas melompat ke atas tumpukan jerami dan kembali me-
rebahkan tubuh seperti orang terluka.
Suara derit pintu yang terbuka, membuat hati Pen-
dekar Naga Putih berdebar tegang! Karena langkah kaki 
orang yang tengah mendekatinya pastilah Malaikat Gerbang 
Neraka dan dua orang datuk sesat. Memang, yang terden-
gar di telinga pemuda itu hanyalah langkah kaki tiga 
orang.
"Aku tidak habis pikir, mengapa pendekar muda seperti 
pemuda itu tidak dibinasakan saja? Bukankah kepandaian 
pemuda itu sangat tinggi. Bahkan kudengar pemuda itu 
adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Nah, 
bukankah ia sangat berbahaya?" tanya salah seorang 
dari ketiga sosok tubuh yang tengah mendekati Panji.
"Ah! Apakah kau merasa lebih pintar dan Ketua Agung 
kita? Kalau beliau tidak membunuh pendekar muda ini, 
mungkin beliau mempunyai maksud lain yang tentu saja 
orang seperti kita tidak boleh mengetahuinya. Sudahlah! 
Tidak perlu banyak cakap. Kita turuti saja perintah Ketua 
Agung, untuk membawa pendekar ini kepadanya," sa-
hut salah seorang dari ketiga laki-laki itu yang memiliki
tubuh kekar berotot.
Panji yang mendengar suara mereka, tentu saja men-
jadi lega. Ternyata ketiga orang yang datang itu hanyalah 
para pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Jadi tidak ada, 
yang perlu dicemaskan dari ketiga orang begundal rendahan itu. Dan ketika ketiga orang itu telah berada di sisi 
tubuhnya, Panji tetap diam sambil menunggu kesempatan 
baik.
Pada saat ketiga orang itu membungkuk hendak 
mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih, mendadak tu-
buh pemuda itu bangkit dengan kecepatan kilat dan lang-
sung melancarkan totokan yang tidak mungkin dapat di-
hindari lagi.
Tukkk! Tukkk! Tukkk!
Tanpa sempat menjerit lagi, tubuh ketiga 
orang laki-laki kasar itu pun ambruk ke atas tanah. Keja-
dian yang hanya sekejap mata tadi tentu saja tidak menim-
bulkan suara mencurigakan.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga itu, Panji pun 
bergegas menyelinap keluar kamar tempatnya ditahan. 
Tubuhnya terus melesat mencari jalan keluar dari dalam 
bangunan itu. Pemuda itu terpaksa merobohkan dua 
orang penjaga yang melintas di depan tempat persem-
bunyiannya. Karena tidak sempat bertanya kepada ketiga 
orang yang dirobohkannya tadi, maka bergegas diseretnya 
salah seorang dari keduanya untuk mengorek keterangan.
Pendekar Naga Putih bergegas melesat ke lorong ka-
nan, setelah mendapatkan petunjuk dari orang yang kemu-
dian dibungkamnya. Ketika tiba pada sebuah lorong 
yang bersimpang empat, diambilnya jalan sebelah kiri. 
Memang, ia berniat meloloskan diri melalui belakang ge-
dung kadipaten itu.
"Hei! Siapa kau...?!" teriak salah seorang dari em-
pat penjaga yang memergoki Panji.
Namun sebelum keempat orang itu bertindak lebih 
jauh, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat ke 
arah mereka. Sepasang tangan pemuda itu bergerak cepat 
melancarkan totokan kilat kearah empat orang penjaga 
yang terlongong bagai orang kehilangan akal.

Dengan sekali gebrak saja, tubuh keempat penjaga yang 
bernasib sial itu langsung bertumbangan lumpuh. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih kem-
bali berkelebat bagai kilat menuju pintu keluar yang 
hanya beberapa langkah di depannya. Dia terus melesat 
ke arah taman belakang, untuk kemudian melompati 
tembok setinggi dua tombak.
Begitu tiba di luar tembok bangunan gedung Ka-
dipaten Blambang, Panji terus melesat meninggalkan 
kadipaten itu. Tujuannya adalah Perguruan Pedang Pe-
rak yang telah ditetapkan Raja Obat sebagai tempat perte-
muan para tokoh golongan putih.
***
"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi!?" bentak 
laki-laki kurus yang mengenakan jubah berwarna hitam. 
Sepasang matanya menyorotkan api kemarahan kepada 
sembilan orang pengikutnya yang berdiri gemetar.
Wajah sembilan orang laki-laki kasar itu tampak pu-
cat dengan bintik-bintik keringat sebesar biji jagung yang 
berlelehan turun. Jelas kalau mereka tengah dilanda 
rasa takut yang luar biasa.
"Huh! Gentong-gentong nasi tak berguna!" bentak la-
ki-laki tinggi kurus yang tak lain Malaikat Gerbang Neraka, 
kasar.
Setelah berkata demikian, tangan kanannya mengi-
bas bagaikan mengusir seekor lalat yang menggang-
gunya. Namun, akibat yang ditimbulkan mengerikan 
sekali. Tubuh kesembilan orang kasar itu terjungkal 
akibat sambaran hawa panas menyengat Tanpa ampun lagi, 
mereka menggelepar tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Lemparkan mayat mereka ke hutan! Ingat! Ini merupakan 
peringatan bagi kalian yang lalai dalam menjalankan tugas!"

ancam Malaikat Gerbang Neraka dengan kemarahan yang 
menggelegak.
"Baik, Yang Mulia...," sahut beberapa orang laki--
laki yang segera maju dan membawa kesembilan 
mayat yang berbau sangit itu.
"Bagaimana, Yang Mulia? Setelah Pendekar Naga Pu-
tih berhasil meloloskan diri, tentu rencana kita akan gag-
al. Apa langkah kita selanjutnya?" tanya seorang laki-
laki tinggi besar berpakaian seorang panglima kera-
jaan. Siapa lagi kalau bukan Datuk Panglima Sesat
"Rencana kita terpaksa harus dipercepat. Siapkan 
pasukan sekarang juga. Kita langsung berangkat meng-
gempur Kerajaan Mulawarta. Hm.... Apakah Tiga Dewi Pu-
lau Setan telah tiba di tempat ini?" tanya Malaikat Ger-
bang Neraka kemudian.
"Belum, Yang Mulia. Kabarnya siang ini mereka 
akan tiba," sahut seorang laki-laki tinggi kurus yang 
hampir tidak berdaging. Orang itu tak lain adalah 
Tengkorak Hutan Jati.
Belum lagi Malaikat Gerbang Neraka sempat men-
gucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar seruan merdu 
yang nyaring.
"Kami telah tiba, Yang Mulia. Dan kami siap men-
jalankan perintah," tegas seorang di antara tiga wanita 
cantik yang melenggang memasuki ruang pertemuan 
itu.
Mereka tak lain adalah Tiga Dewi Pulau Setan, 
yang rupanya juga telah menjadi pengikut Malaikat 
Gerbang Neraka. Ketiga wanita cantik inilah yang di-
tugaskan untuk memancing pasukan Kadipaten Blam-
bang dengan jalan melakukan kekacauan di Desa Batu 
Apung.
"Hm.... Kalau begitu, siapkan semua pasukan. 
Sekarang juga kita berangkat untuk menggempur 
Kerajaan Mulawarta," ujar Malaikat Gerbang Neraka 
yang segera bangkit dari kursinya.
"Baik, Yang Mulia...," sahut semua orang yang .
hadir sambil membungkuk hormat. Kemudian, mereka ber-
gegas melangkah keluar untuk menyiapkan pasukan.
***
ENAM


Pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna 
putih itu melesat cepat menuju Selatan. Gerakannya 
yang ringan dan cepat menandakan kalau ia memiliki il-
mu lari cepat yang hampir mencapai titik kesempurnaan.
Hari memang sudah mulai gelap. Sehingga pemuda 
tampan itu harus menghentikan larinya ketika telah cukup 
jauh memasuki hutan. Memang sulit untuk melaku-
kan perjalanan dalam suasana gelap. Maka, dicarinya 
tempat yang agak terbuka untuk melewatkan malam. Di si-
tu, ditemuinya pula sebuah aliran sungai yang bergeme-
ricik menerpa bebatuan. Hal ini membangkitkan pemuda 
itu untuk membersihkan tubuhnya.
Selesai membersihkan tubuh, pemuda itu tampak 
berdiri tegak dengan mata terpejam. Melihat dari ciri-
ciri dan bentuk wajahnya yang bersih dan tampan, jelas ka-
lau pemuda itu adalah Panji atau yang terkenal dengan ju-
lukan Pendekar Naga Putih!
Terlihat jelas Pendekar Naga Putih tengah memusatkan 
pikiran untuk mengerahkan tenaga sakti dalam dirinya. 
Sesaat kemudian, nampaklah lapisan kabut berwarna 
putih keperakan yang menyelimuti sebagian tubuh sebelah 
kanannya. Hal itu menandakan kalau Panji telah berha-
sil mengatur aliran 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang 
memang telah lama ditekuninya.
Tak lama setelah itu, pada bagian tubuh sebelah kirinya tampaklah lapisan sinar keemasan yang masih sa-
mar-samar. Meskipun demikian, jelas kalau Pendekar 
Naga Putih mulai menunjukkan hasil usahanya dalam 
menggabungkan kedua tenaga sakti yang berlainan unsur 
itu.
"Ah! Rupanya aku telah berhasil menggabungkan ke-
dua unsur tenaga sakti yang berlainan sifat ini. Wa-
laupun belum begitu sempurna, namun telah cukup memu-
askan. Sekarang aku harus lebih tekun melatihnya agar 
penggabungan kedua inti tenaga sakti ini sempurna," 
desah Panji. Nadanya jelas menggambarkan kegembi-
raan.
Sambil tetap memusatkan alam pikirannya, Panji 
mengalihkan pandangan pada sebongkah batu sebesar pe-
rut kerbau bunting di sebelah kanannya. Dengan penuh 
keyakinan, ditatapnya batu itu lekat-lekat.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji mendorong-
kan tangan kanannya ke depan dengan jari-jari terbuka.
Whusss...!
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, 
berhembus dari telapak tangan pemuda itu.
Blarrr...!
Terdengar ledakan menggelegar ketika angin puku-
lan pendekar muda itu telak menghajar batu besar yang 
berjarak sejauh dua tombak lebih. Dan apa yang terjadi, 
benar-benar membuat Panji menjadi puas.
Bongkahan-bongkahan batu sebesar kepalan tangan 
itu seketika beterbangan ke udara. Sehingga, Panji 
menatapinya dengan senyum kepuasan. Memang, apa 
yang diinginkannya ternyata berhasil dengan baik.
Dan untuk yang kedua kalinya, Pendekar Naga Pu-
tih kembali mengayunkan tangan kirinya ke arah seba-
tang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Jarak

antara keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak.
Whesss...!
Hembusan angin hangat meluncur deras dari te-
lapak tangan kiri pemuda itu, langsung menggempur ba-
tang pohon yang berada satu setengah tombak berada di 
depannya.
Brakkk...!
Angin pukulan berhawa panas yang keluar dari te-
lapak tangan kiri Panji, telak menghajar batang po-
hon itu. Akibatnya, timbullah suara berderak ribut. Po-
hon besar itu bergetar hebat bagaikan diguncang tena-
ga raksasa yang tak tampak.
Setelah menghembuskan napas panjang, Pendekar 
Naga Putih mengayun langkahnya menghampiri pohon be-
sar yang masih berdiri tegak itu. Hanya beberapa 
daunnya saja yang rontok berguguran ke tanah. Se-
dangkan batang pohon itu sendiri masih berdiri kokoh.
"Hm.... Pohon ini masih tetap berdiri kokoh se-
perti semula. Hanya saja, pada bagian yang terkena han-
taman angin pukulanku tampak lunak. Itu pun hanya 
sebagian saja. Tapi meskipun demikian, aku tetap harus
bersyukur dengan apa yang telah kudapatkan. Dan aku ti-
dak boleh patah semangat untuk menyempurnakan ilmu 
dahsyat ini," gumam Panji sambil kembali melangkah 
mundur ke tempatnya semula.
Pendekar Naga Putih kembali berdiri tegak dalam jarak 
yang tidak berubah. Sepasang matanya kini tidak lagi terpe-
jam. Sambil mengerahkan dan memusatkan pikirannya, 
pemuda itu kembali memancing keluar 'Tenaga Inti Pa-
nas Bumi' yang berasal dari Pedang Naga Langit.
Sepertinya, untuk menyempurnakan ilmu yang baru
saja diyakininya itu tidaklah terlalu sulit. Buktinya, Panji ti-
dak perlu bersusah-payah menghimpun kekuatan 
'Tenaga Inti Panas Bumi'nya. la hanya tinggal mengelua

rkan tenaga yang memang kini telah berada di dalam tu-
buhnya. Dan hal itu tidak memerlukan waktu panjang.
"Hiaaah...!"
Kembali Pendekar Naga Putih membentak nyaring yang 
dibarengi dorongan telapak tangan kiri ke arah pohon be-
sar itu. Selarik sinar keemasan melesat dari telapak tan-
gan pemuda perkasa itu.
Whesss...!
Darrr...!
Terdengar ledakan keras yang terasa bagaikan hen-
dak mengguncangkan hutan. Suara itu masih juga disusul 
tumbangnya pohon besar yang terkena hantaman puku-
lan jarak jauh Panji. Suara hiruk-pikuk itu bagi Pendekar 
Naga Putih bagaikan nyanyian merdu merasuk telinganya.
Cepat tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke arah 
tumbangnya pohon besar itu. Senyum di wajahnya 
tampak melebar ketika melihat adanya tanda hitam pa-
da batang pohon yang terkena hantaman angin puku-
lannya tadi. Tentu saja Panji gembira, karena hal itu me-
nandakan kalau 'Tenaga Inti Panas Bumi’ yang berada 
dalam tubuhnya telah mulai terpancing.
"Hm.... Sepertinya aku tinggal membiasakannya sa-
ja Tapi, entah bagaimana apabila Pedang Naga Langit 
ini ku keluarkan? Apakah tenaga sakti ini masih berada 
dalam tubuhku?" tanya Panji dalam hati. Bingung ju-
ga hatinya ketika memikirkan hal itu.
Mendapat pikiran demikian, Panji penasaran ingin 
mengetahuinya. Setelah duduk dalam sikap semadi, pe-
muda itu mulai memusatkan pikiran untuk mengerahkan 
tenaga batinnya.
"Sekarang tampakkanlah wujudmu, Pedang Naga Lan-
git..," ujar batin Panji berbisik lirih, namun mengandung 
getaran tenaga batin yang amat kuat.
Hebat sekali kemajuan yang telah diperoleh pemu-
da ini. Hanya dalam beberapa hari saja, kekuatan batin

nya telah meningkat demikian pesat.
Tak berapa lama setelah berulang-ulang ucapan itu 
dikeluarkan, Panji mulai merasakan getaran aneh yang 
mengandung hawa hangat dalam tubuhnya. Gelom-
bang tenaga aneh itu mula-mula menyebar di sekujur 
tubuhnya, kemudian bergerak naik dan berkumpul di 
belahan dadanya. Ada rasa nyeri yang menggigit dalam 
dadanya ketika gelombang tenaga sakti telah berkumpul, 
tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
Perlahan Pendekar Naga Putih membuka matanya. 
Dan kini di hadapannya, dalam jarak sekitar satu tombak 
lebih, terlihat pedang keramat itu tergantung tegak lurus 
di udara.
Namun apa yang dirasakan pada sekujur tubuhnya, 
membuat pemuda itu merasa sedikit kecewa. Betapa 
tidak? Tubuhnya kini terasa lemas! Seolah-olah, sebagian 
tenaganya ikut lenyap bersama keluarnya pedang kera-
mat itu dari dalam tubuhnya. Dan ketika tenaga panas 
dalam tubuhnya coba dikerahkan, ternyata kosong. Hanya 
satu kesimpulan yang didapat 'Tenaga Inti Panas Bumi'
tercipta karena adanya Pedang Naga Langit dalam tubuh-
nya. Dengan lenyapnya senjata itu, berarti lenyap pula te-
naga berhawa panas dari dalam tubuhnya. Dan kesimpulan 
itu telah membuat kekecewaan dalam hatinya lenyap.
Sejenak dipandanginya Pedang Naga Langit yang ber-
diri tegak lurus itu. Perlahan, Panji kembali memejamkan 
matanya rapat-rapat. Kembali kekuatan batinnya dikerah-
kan dengan maksud hendak merubah wujud pedang ke-
ramat itu.
"Jika dugaanku benar, kalau kau adalah pedang 
jelmaan naga raksasa yang kutemui di Gunung Kembaran, 
tentu kau dapat berubah ke wujud aslimu dengan ban-
tuan kekuatan batinku. Sekarang, dengan seluruh kekua-
tan batin yang ada pada diriku, kuminta tunjukkan wujud

aslimu itu...," desis batin Panji terus mengulangi ucapan-
nya sambil memejamkan mata rapat-rapat.
Dari butir-butir keringat yang menitik di wajah, jelas 
kalau Panji tengah mengerahkan kekuatan batin sepenuh-
nya. Dan hal itu tentu saja sangat membutuhkan tenaga
yang banyak.
Setelah agak lama Panji mengerahkan kekuatan ba-
tinnya, hingga seluruh pakaiannya telah basah ber-
simbah peluh, terdengar ledakan keras namun terdengar 
cukup aneh.
Tasss...!
Ledakan nyaring yang disertai gumpalan asap tebal, 
bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Tak lama sete-
lah asap tebal itu kian menipis, terlihatlah bentuk seekor 
naga raksasa yang memekik-mekik menggetarkan seluruh 
isi hutan itu.
"Kreaaakkkh...!"
Hembusan angin menderu dan bergulung-gulung ke-
tika binatang jelmaan Pedang Naga Langit memekik-
mekik ribut. Pepohonan berderak-derak ribut bagaikan 
hendak roboh. Daun-daunnya berguguran mengotori 
permukaan bumi. Dalam sekejap saja, tempat itu te-
lah dipenuhi ranting dan daun-daun pohon yang ber-
jatuhan ke atas tanah.
Panji yang semula tengah bersemadi, serentak 
bangkit berdiri. Dan pemandangan yang terbentang di de-
pan matanya, benar-benar membuatnya berdebar keras.
"Naga Langit...," desis Panji penuh takjub. Apa yang 
terbentang di depan matanya membuat pemuda itu ham-
pir tidak mempercayainya.
Naga raksasa itu memekik-mekik ribut ketika Panji me-
nyebutnya. Dan ketika pemuda itu mengulur ta-
ngannya, kepala naga raksasa itu merendah untuk 
kemudian rata dengan tanah. Sehingga, Pendekar Na-
ga Putih dapat mengelusnya dengan gerakan agak ragu

ragu. Baru setelah naga itu terlihat tidak menunjukkan 
perlawanan, Panji pun semakin bertambah berani.
Puas membelai binatang langka yang ternyata bu-
kan bayangan semu itu, bergegas Panji melompat mun-
dur. Dengan menggunakan kuda-kuda menunggang ku-
da, Pendekar Naga Putih kembali mengerahkan kekuatan 
batinnya. Hanya saja, kali ini tidak lagi memejamkan ma-
tanya.
"Hm.... Kembalilah kau menjadi pedang...."
Terdengar suara mendesis yang keluar dari bibir pe-
muda itu. Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak hanya seka-
dar mengerahkan kekuatan batin tanpa suara. Sua-
ranya terdengar jelas, dan mengandung kekuatan meng-
getarkan hati.
Setelah Pendekar Naga Putih mengulangi ucapan nya 
sebanyak tiga kali, terdengarlah ledakan keras yang 
disusul gumpalan asap tebal bergulung-gulung. Dan 
gumpalan asap tebal yang bergulung-gulung menyeli-
muti binatang raksasa itu, meluncur sebatang pedang 
yang langsung melekat di tangan Pendekar Naga Putih.
Kalau saja saat itu ada orang yang menyaksikan, ten-
tu pemuda itu akan disangka seorang ahli sihir. Hanya 
bedanya, Panji tidak menciptakannya berdasarkan 
khayalan. Tetapi, pemuda itu hanya mewujudkan apa 
yang sebenarnya telah ada. Itulah sebabnya, mengapa 
ia bisa demikian mudah memperolehnya dalam waktu 
singkat Padahal untuk memperoleh kekuatan sihir, 
orang harus melatihnya bertahun-tahun. Itu pun ma-
sih harus dibantu berbagai persyaratan yang tidak rin-
gan.
"Hm.... Ternyata penderitaan yang kuterima dari empat 
orang datuk sesat itu, membawa hikmah luar biasa. Kalau 
saja aku tidak mengalami penderitaan itu, rasanya tidak 
mungkin rahasia Pedang Naga Langit dapat terungkap,"
gumam Pendekar Naga Putih sambil merebahkan tubuh 
beralaskan rerumputan tebal.
Sebentar saja, terdengar suara napas Pendekar Naga 
Putih yang halus. Tampaknya pemuda perkasa itu telah 
terlelap dalam buaian mimpi.
***
TUJUH


"Pendekar Naga Putih...!" seru dua orang penjaga pintu 
gerbang Perguruan Pedang Perak, dengan wajah berseri. 
Mereka langsung melangkah menyambut kedatangan seo-
rang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih itu.
Pemuda yang tak lain Panji itu bergegas mempercepat 
langkahnya. Pada jubahnya tidak lagi terdapat noda da-
rah. Memang, pemuda itu telah mengganti jubahnya se-
lama dalam perjalanan. Itu dilakukan agar tidak menim-
bulkan pertanyaan macam-macam dari para tokoh rimba 
persilatan yang berkumpul di tempat itu.
"Apakah Eyang Raja Obat telah berada di tempat ini...?" 
tanya Panji kepada salah seorang penjaga yang memiliki jeng-
got tercukur rapi. Memang, orang itulah yang telah ada di 
dekatnya lebih dahulu.
"Ya! Beliau dan yang lainnya sudah cukup lama me-
nunggumu. Mari kami antarkan...," sahut laki-laki itu ra-
mah.
Tanpa banyak cakap lagi, orang itu pun membalik-
kan tubuh. Kemudian, mereka melangkah menuju ke 
dalam bangunan gedung perguruan itu bersama-sama.
"Kakang...!"
Seruan merdu yang jelas mewakili kegembiraan 
dan kelegaan hati pemiliknya terdengar merasuk telinga Pendekar Naga Putih.
"Kenanga...!" panggil Panji begitu melihat sesosok 
tubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau 
berlari menghampirinya. Wajah gadis jelita itu terlihat me-
mancarkan kebahagiaan yang dalam.
Tanpa rasa canggung lagi, Kenanga langsung 
menghambur ke dalam pelukan kekasihnya. Kerin-
duan dan kegelisahan yang selama ini mengganggu 
hatinya, lenyap seketika begitu berada dalam pelukan 
pendekar muda yang sangat dicintainya.
"Kakang..., ke mana saja? Aku sudah cemas sekali 
menantimu di sini. Apalagi ketika kudengar dari Eyang 
Raja Obat kalau kau pergi menyelidiki tokoh sesat 
yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu. Wah! 
Bukan main gelisahnya hatiku. Hampir saja aku 
menyusulmu ketika pada hari yang dijanjikan untuk 
datang ke tempat ini, ternyata kau belum juga kembali. 
Mengapa begitu lama...?" kata Kenanga. Nadanya pe-
nuh kemanjaan. Jelas terlihat pada pancaran mata 
indah itu bias-bias kerinduan yang dalam.
Panji tersenyum mendengar ucapan kekasihnya 
yang meluncur bagaikan tak ingin berhenti itu. Dibe-
lainya rambut gadis jelita itu penuh kasih sayang. 
Bahagia rasa hatinya mendengar pertanyaan dan perha-
tian yang begitu terbuka dari kekasihnya. Dan gadis je-
lita itu sama sekali tidak merasa rikuh walaupun ada 
orang lain di dekat mereka.
"Kenanga.... Kau tidak sadar banyak orang di si-
ni?" Panji mengingatkan.
Wajah Kenanga langsung bersemu merah Baru
disadari kalau di sekitarnya banyak orang.
"Kalau saja tidak sampai tertangkap mereka, 
mungkin beberapa hari yang lalu aku telah berada di 
tempat ini. Ayolah kita temui tokoh-tokoh yang lain

nya. Kelak aku akan menceritakan sebuah pengala-
man yang paling mengesankan dalam hidupku," Pan-
ji mengalihkan pembicaraan.
Namun, Pendekar Naga Putih tetap menatap wajah 
kekasihnya dengan kerinduan yang dalam. Lega ha-
tinya ketika melihat dara pujaannya ternyata telah be-
rada di tempat ini dalam keadaan selamat.
"Aku mengerti, Kakang. Ayolah kita temui Eyang Raja 
Obat dan yang lainnya. Saat ini mereka tengah ber-
kumpul di ruang utama Perguruan Pedang Perak ini," 
sahut Kenanga. Segera tangan kekasihnya ditarik dan 
dibawanya pergi.
***
"Ah..., Panji. Syukurlah kau selamat. Kami sangat 
mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana? Apakah kau mempu-
nyai berita yang akan kau sampaikan kepada kami...?" sam-
but seorang laki-laki gemuk.
Dia berwajah bulat bagai bulan purnama. Kumis 
dan jenggotnya tampak tercukur rapi. Sehingga wajah
yang sebenarnya sudah cukup berumur itu terlihat jauh 
lebih muda. Dia tak lain adalah Jagaraksa atau yang le-
bih dikenal berjuluk Pendekar Pedang Perak. Dialah yang 
menjadi tuan rumah dalam pertemuan para tokoh persila-
tan golongan putih itu.
"Maaf atas keterlambatanku.... Tapi dengan keter-
lambatanku ini, rasanya aku lebih beruntung. Sebab, 
secara tidak sengaja aku telah mendengar rencana 
besar orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka 
itu," jelas Pendekar Naga Putih yang segera mengambil 
kursi di sebelah Raja Obat. Kenanga juga mengambil 
tempat di dekat kekasihnya.
Dengan suara lantang dan jelas, Panji segera

menceritakan pengalamannya. Tentu saja ada bebe-
rapa bagian yang sengaja disembunyikan. Menurutnya, 
hal itu adalah rahasia yang tidak perlu diketahui orang 
lain. Juga mengenai luka-lukanya yang tidak dipa-
parkan. la hanya menceritakan tentang pengeroyokan 
empat orang datuk sesat yang berhasil menawannya.
"Hehhh.... Syukurlah kau dapat menyelamatkan di-
ri, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, mungkin sam-
pai saat ini kami belum dapat meraba, apa sebenarnya 
yang diinginkan tokoh sesat maha sakti itu? Hm.... 
Siapa sebenarnya tokoh itu?" ucap Jagaraksa.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Memang 
tokoh sesat berjuluk Malaikat Gerbang Neraka masih 
terselimut teka-teki. Belum ada yang tahu, dari mana 
asal-usul tokoh itu.
"Setelah mengetahui rencana mereka, sebaiknya 
kita segera bergerak. Sebab, bukan tidak mungkin 
kalau Malaikat Gerbang Neraka dan para begundalnya te-
lah lebih dahulu bergerak. Tentu mereka akan 
mempercepat penyerbuan, begitu mengetahui kau 
telah berhasil meloloskan diri, Saudara Panji. Ba-
gaimana pendapat yang lain?" sambung Jagaraksa 
mengakhiri, sambil mengedarkan pandangan kepada 
para tokoh yang berkumpul di ruangan itu.
"Benar. Kita harus segera bergerak. Aku yakin, 
saat ini pun gerombolan Malaikat Gerbang Neraka 
past telah bergerak menuju Istana Kerajaan Mulawarta," 
sahut seorang laki-laki setengah baya.
Dia memiliki bentuk wajah yang gagah dan me-
narik. Kumisnya yang tipis tampak teratur rapi. Tokoh 
ini tak lain adalah Pendekar Laut Selatan, yang 
ternyata juga ikut hadir dalam pertemuan itu.
Di sebelah kiri Pendekar Laut Selatan, tampak 
duduk murid utamanya yang berjuluk Nelayan Pulau

Kambang. Tokoh berusia empat puluh tahun itu 
merupakan orang kedua di perguruan mereka. Kepan-
daiannya bahkan hampir tidak berselisih dengan Pen-
dekar Laut Selatan sendiri. Meskipun jarang muncul da-
lam dunia persilatan, namun namanya telah cukup di-
kenal dan disegani.
Bagaimana dengan Raja Obat? Apakah mempu-
nyai pendapat lain...?" tanya Pendekar Pedang Perak 
yang didampingi adik seperguruannya yang berjuluk 
si Pedang Malaikat.
"Hm.... Rasanya keputusan itu sudah tepat sekali. 
Kalau memang semua sudah setuju, lebih baik kita mem-
persiapkan pemberangkatan. Apalagi, jarak yang akan kita 
tempuh bisa memakan waktu sampai tiga hari. Sedang-
kan gerombolan Malaikat Gerbang Neraka akan tiba lebih 
dulu daripada kita," sambung Raja Obat dengan suara te-
nang tanpa terburu-buru.
"Baiklah. Kalau begitu, kita tutup saja pertemuan ini. 
Silakan masing-masing menyiapkan pengikutnya. Kita 
langsung bergerak pagi ini juga," ujar Pendekar Pedang Pe-
rak yang segera bangkit dari duduknya.
Para tokoh yang lain pun, bergegas meninggalkan 
ruang utama perguruan itu. Sehingga, sebentar saja 
ruangan itu kembali sunyi.
Sedangkan Panji, Kenanga dan Raja Obat pamit le-
bih dulu untuk menyelidiki keadaan.
***
Diiringi hembusan angin pagi yang bersilir lembut, 
Panji, Kenanga dan Raja Obat melesat cepat menuju 
arah Barat. Berbekal ilmu lari cepat yang telah mencapai 
tingkat tinggi, membuat perjalanan mereka menjadi 
lebih cepat.
Hingga ketika matahari mulai naik tinggi, mereka, telah jauh meninggalkan Perguruan Pedang
Perak saat ketiganya hendak memasuki hutan, tiba-tiba 
terdengar bentakan yang diiringi berloncatannya belasan 
sosok tubuh yang langsung mengurung ketiga orang sakti 
itu.
"Berhenti...!"
Teriakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu, 
tentu saja membuat langkah Panji, Kenanga, dan Raja 
Obat terhenti seketika. Mereka menatap ke arah belasan 
sosok tubuh berpakaian serba putih yang telah menge-
pung.
"Siapa kalian...?! Dan apa keperluan kalian memasuki
daerah hutan ini?!" bentak salah seorang.
Orang itu pada bagian lengannya terdapat garis hi-
tam. Sepertinya, garis hitam pada bagian pangkal lengan 
sebagai tanda kalau ia merupakan pimpinan belasan 
orang itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya menge-
darkan pandangan penuh selidik kepada belasan 
orang yang mengepungnya. Setelah memastikan kalau me-
reka bukanlah orang jahat, barulah Pendekar Naga Putih 
melangkah maju beberapa tindak mendekati laki-laki ga-
gah yang merupakan pimpinan belasan orang itu.
"Sahabat Aku berjuluk Pendekar Naga Putih. Se-
dangkan kedua orang rekanku ini adalah Kenanga dan 
Raja Obat Kalau boleh bertanya, siapakah kalian? Dan apa
maksud kalian menghadang perjalanan kami?" Panji ba-
lik bertanya setelah menjawab pertanyaan laki-laki ga-
gah itu.
"Hm.... Keadaan pada masa sekarang ini sedang 
tidak aman. Mengapa kalian sebagai pendekar masih 
saja berkeliaran? Tidakkah sebaiknya kalian 
ikut mengamankan suasana?" ujar orang itu bernada
menegur. Sedangkan pertanyaan Panji sama sekali tidak

dijawabnya.
Kenanga yang merasa kesal melihat lagak orang itu 
langsung saja melangkah maju. Telinga gadis jelita itu 
sempat memerah mendengar teguran yang terasa menying-
gung harga dirinya.
"Hm.... Rupanya kalian adalah pendekar-pendekar 
pembela kebenaran. Tahukah kalian, bahaya apa yang 
saat ini tengah mengancam Kerajaan Mulawarta?! Orang lain 
tengah sibuk memikirkan cara untuk menghalau pembe-
rontak-pemberontak itu, mengapa kalian masih sibuk men-
gatur orang lain?! Apakah kalian tidak mendengar tentang 
munculnya seorang tokoh sesat yang berjuluk Malaikat 
Gerbang Neraka? Dan apakah kalian tahu kalau saat ini 
tokoh itu bersama dengan bala tentaranya tengah berge-
rak menuju Kerajaan Mulawarta?" dengus Kenanga. Se-
hingga, laki-laki gagah itu sempat terkejut dibuatnya.
Belum lagi laki-laki berpakaian serba putih dan ber-
cambang bauk lebat itu sempat menjawab ucapan Kenan-
ga, mendadak terdengar suara lantang.
"Hm.... Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Ni sa-
nak? Kalau memang benar demikian, mereka tentu harus
berhadapan lebih dahulu dengan prajurit-prajurit Kadipaten 
Blambang. Sebab kadipaten itu merupakan jalan satu-
satunya ke Kerajaan Mulawarta."
Ucapan itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang me-
nunggang seekor kuda. Di belakangnya tampak mengir-
ing belasan orang berpakaian prajurit. Sedangkan orang 
itu sendiri mengenakan pakaian seorang perwira.
"Apa yang dikatakan kawanku ini sama sekali tidak 
salah. Mereka telah menyapu habis seluruh kekuatan 
Kadipaten Blambang. Setelah itu, barulah mereka berang-
kat untuk menyerbu Istana Mulawarta. Demikianlah yang 
kudengar dari hasil penyelidikanku," sahut Panji yang segera 
menyahuti pertanyaan laki-laki gagah berpakaian perwira

itu.
"Betulkah kau menyaksikannya sendiri, Anak Muda? 
Ataukah kau hanya mendengar berita dari orang lain?" 
tanya perwira yang tak lain dari Pragala itu. Tentu saja 
ia menjadi terkejut mendengar keterangan Panji.
"Benar, Paman Perwira. Sayang aku tidak mempunyai 
waktu untuk menceritakannya. Apalagi, saat ini kami bertiga 
tengah terburu-buru untuk segera tiba di Istana Kerajaan 
Mulawarta. Kami harus melihat keadaan terlebih dahulu 
sebelum kawan kami yang lain tiba di sana. Maka, biar-
kanlah kami meneruskan perjalanan, karena kami tidak 
ingin terlambat," jelas Panji.
Tentu saja berita yang didengarnya itu membuat Pra-
gala terpaku bagaikan patung. Memang, melihat wajah 
tampan itu, ia yakin kalau apa yang dikatakan pemuda di 
depannya adalah benar.
"Sahabat, tunggu...!" seru Pragala mencegah Panji 
dan yang lainnya meninggalkan tempat itu.
"Maaf, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ka-
lau memang kalian ingin membantu, tunggulah keda-
tangan rombongan kawan kami yang juga akan melewati 
hutan ini!" ujar Panji tanpa menghentikan larinya.
Hingga akhirnya bayangan ketiga orang itu sema-
kin menjauh dan menghilang dalam kelebatan pepoho-
nan hutan.
"Hm.... Saudara Lodana. Sebaiknya siapkan pasukan 
kita. Aku yakin apa yang diucapkan pemuda itu benar 
adanya. Sebaiknya, kita tunggu saja kawan anak muda itu, 
dan bergabung dengan mereka," usul Pragala kepada laki-
laki bercambang bauk yang hanya mengangguk.
Lodana yang juga menyetujui usul Pragala, segera men-
gumpulkan orang-orangnya untuk bergabung dengan pa-
sukan Pendekar Pedang Perak dan tokoh-tokoh persila-
tan yang menurut Panji akan melewati tempat itu.

Ternyata penantian Pragala dan Lodana tidak terla-
lu lama. Buktinya, setelah orang-orangnya lengkap berkum-
pul, terdengarlah derap kaki kuda bergemuruh. Dari kepu-
lan debu yang membumbung tinggi ke angkasa, jelas itu 
adalah rombongan orang berkuda yang tengah menuju ke 
arah mereka. Dan tentu dalam jumlah yang sangat be-
sar.
Dan apa yang diduga Pragala maupun Lodana ter-
nyata tidak meleset. Kini tampaklah rombongan orang 
berkuda yang tidak kurang dari seribu orang banyaknya. 
Heran juga hati Pragala melihat jumlah yang sangat be-
sar itu. Bergegas mereka menyambut dan menggabung-
kan diri dengan rombongan yang hendak menuju Istana 
Kerajaan Mulawarta.
Pendekar Pedang Perak yang telah cukup mengenal 
Lodana, tentu saja menerima mereka untuk bergabung. 
Maka rombongan yang semakin membengkak jumlahnya 
itu pun terus bergerak maju menerobos hutan lebat.
***
DELAPAN


"Ternyata dugaan Ki Jagaraksa tidak meleset! Ma-
laikat Gerbang Neraka dan pasukannya benar-benar te-
lah memasuki Ibu Kota Mulawarta. Seperti setan saja 
gerakan mereka," kata pemuda berjubah putih yang tak 
lain dari Panji, saat telah tiba di perbatasan Ibu Kota 
Mulawarta bersama Kenanga dan Raja Obat.
"Hm.... Kalau melihat bercak-bercak darah serta be-
kas-bekas pertempuran yang terjadi di perbatasan ini, ra-
sanya mereka belum lama tiba," duga dara jelita berpa-
kaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga adanya.
Gadis jelita itu tampak membungkuk memeriksa be-
lasan mayat prajurit penjaga perbatasan yang bergeleta-
kan tumpang tindih. Tampaknya di tempat itu belum la-
ma terjadi pertempuran.
"Bagaimana ini, Eyang? Apakah kita langsung me-
nuju istana, atau menunggu tibanya kawan-kawan kita 
yang lain?" tanya Panji meminta pendapat Raja Obat.
Biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih harus 
menghormati orang tua itu untuk meminta petunjuknya. 
Walaupun telah tahu tentang apa yang harus diper-
buatnya, namun tetap saja Panji meminta pendapat 
orang tua itu.
"Sebaiknya, kita langsung saja menuju istana. Wa-
laupun kita cuma bertiga, namun tidak perlu takut. Dan 
lagi, kita hanya akan menghadapi gembong-gembong 
pemberontak itu. Sedangkan mengenai pasukan Malaikat 
Gerbang Neraka, mungkin saat ini tengah bertempur me-
lawan para prajurit kerajaan. Jadi, tidak hanya sekadar 
menghadapi tokoh-tokoh sesat itu untuk melindungi 
Gusti Prabu Pungga Lawa," sahut Raja Obat yang sege-
ra melangkah meninggalkan perbatasan Ibu Kota Mu-
lawarta.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji dan Kenanga ber-
gegas mengikuti kakek sakti itu.
Tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan den-
gan para pengungsi yang tengah dibantai serombongan 
laki-laki kasar yang mirip gerombolan perampok. Tanpa 
banyak tanya lagi, mereka bergegas menerjang ge-
rombolan laki-laki kasar yang diduga sebagai pengikut 
Malaikat Gerbang Neraka.
"Bedebah! Biarkan mereka pergi...!" bentak Panji yang 
langsung saja melompat disertai kibasan tangannya.
Bettt...!
Sekali tangan Panji mengibas, belasan orang la-
ki-laki kasar itu langsung bertumbangan tanpa bangkit 
kembali. Mereka langsung bergeletakan pingsan dengan 
darah mengalir dari sudut bibir.
Kenanga dan Raja Obat pun tidak mau ketinggalan.
Mereka segera mengamuk membagi-bagi pukulan dan ten-
dangan yang mengandung kekuatan hebat Sehingga da-
lam beberapa gebrak saja, puluhan orang laki-laki kasar 
itu sudah bergeletakan tanpa daya.
"Ayo, kita segera menuju istana...!" ujar Raja Obat sete-
lah gerombolan itu tak tersisa satu pun juga.
Setelah yakin kalau para pengungsi itu tidak lagi ter-
ganggu para pasukan Malaikat Gerbang Neraka, Panji 
dan Kenanga bergegas mengikuti Raja Obat.
Karena mereka mengerahkan ilmu lari cepatnya, ma-
ka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tiba di de-
pan gerbang Istana Kerajaan Mulawarta. Sepanjang jalan 
yang terlihat hanyalah ratusan mayat dari kedua belah 
pihak yang saling tumpang tindih tak karuan. Sehing-
ga, mau tak mau ketiga orang tokoh sakti itu menjadi 
sedih melihatnya.
Panji, Kenanga, dan Raja Obat terus melesat me-
lewati pertempuran-pertempuran yang masih berkobar 
sengit. Memang, tujuan mereka hanyalah untuk mencari 
gembong-gembong golongan sesat yang sudah pasti san-
gat berbahaya bagi prajurit-prajurit kerajaan itu.
"Lihat! Bukankah itu Datuk Panglima Sesat!" seru Ke-
nanga.
Gadis itu langsung menunjuk seorang laki-laki ber-
tubuh raksasa yang tengah mengamuk dikeroyok prajurit 
kerajaan dan sebelas orang perwira yang mengepungnya.
Namun, sepak terjang datuk sesat itu luar biasa

sekali! Puluhan mayat prajurit tampak berserakan di seki-
tarnya. Siapa lagi yang berbuat kejam seperti itu kalau 
bukan Datuk Panglima Sesat? Bahkan di antara puluhan 
mayat itu terdapat mayat enam orang perwira yang ru-
panya juga telah tewas di tangan datuk iblis itu.
Melihat keadaan para prajurit yang kacau-balau aki-
bat amukan tokoh sesat mengiriskan itu, maka Raja 
Obat segera saja melesat untuk menahan keganasan da-
tuk sesat itu.
"Kenanga! Bantulah para perwira yang tengah berta-
rung dengan Kuntilanak Bukit Mandau itu. Nampaknya, 
mereka memang memerlukan bantuan!" seru Raja Obat 
sambil menudingkan jari telunjuk ke arah sebelah kanan.
Tanpa diperintah dua kali, gadis jelita itu bergegas me-
layang ke arah yang ditunjuk Raja Obat Memang, di 
tempat itu tampak seorang nenek tinggi kurus tengah 
mengamuk dengan sebatang tongkat hitamnya. Begitu Ke-
nanga ikut terjun ke dalam kancah pertempuran, barulah 
para perwira yang mengeroyok nenek iblis dapat menarik 
napas lega. Dan ternyata Kenanga mampu mengurangi 
amukan datuk sesat wilayah Utara itu.
Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang re-
kannya telah menemukan lawan masing-masing, berge-
gas terus masuk ke dalam lingkungan istana. Dua orang da-
tuk lain yang terlihat tengah bertarung seru melawan pa-
ra perwira yang sedikitnya berjumlah lima belas orang, ti-
dak dipedulikannya. Kelihatannya para perwira itu cukup 
mampu menahan amukan datuk-datuk sesat itu sampai 
tibanya Pendekar Pedang Perak dan Pendekar Laut Sela-
tan. Maka, Pendekar Naga Putih pun meneruskan 
langkahnya untuk mencari Malaikat Gerbang Neraka. 
Dan menurut dugaannya, mungkin tokoh sesat itu telah 
berada di dalam bangunan istana.
"Hm.... Tampaknya Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu pun dapat mereka atasi," gumam Panji ke-
tika melihat kedua orang tokoh sesat itu tengah sibuk 
menghadapi para perwira dan prajurit Kerajaan Mulawarta.
Ketika Panji menoleh ke arah lain, keningnya 
tampak berkerut melihat tiga orang wanita cantik ten-
gah bertempur sengit melawan puluhan orang laki-laki
di dekat pintu utama Istana Kerajaan Mulawarta.
Hati pendekar muda itu terkejut bukan main me-
lihat amukan dahsyat ketiga orang wanita cantik itu. 
Bukan ilmu silat mereka yang membuat Pendekar Naga Pu-
tih terkejut . Tapi, keadaan mayat para prajurit itulah yang 
membuat Panji terpaksa menahan langkahnya.
"Racun keji…!"desis Panji geram.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pe-
muda itu segera melesat ke arah pertempuran yang mene-
barkan hawa maut berbau busuk itu.
"Haiiit ..!"
Sambil berseru nyaring, Pendekar Naga Putih mengi-
baskan kedua tangannya ke arah ketiga orang wanita 
cantik yang menggunakan racun jahat itu.
Wusss...!
Serangkum angin berhawa dingin dan panas, 
langsung menerpa ke arah ketiga orang wanita itu 
dengan amat kuatnya. Tentu saja hal itu membuat Tiga 
Dewi Pulau Setan menjadi terkejut bukan kepalang.
"Hei…!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari ketiga orang wa-
nita cantik itu. Serentak mereka berlompatan mundur 
menghindari sambaran angin pukulan yang berlainan si-
fat itu.
Sayang gerakan yang dilakukan mereka masih ka-
lah cepat dibanding gerakan Panji. Sehingga tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuh ketiga orang wanita cantik it ter-
pantul deras ke belakang.
Desss.... Desss.... Desss...!

Ketiga orang wanita cantik penghuni Pulau Setan itu 
terjungkal terbanting keras di atas tanah. Darah segar 
Yang mengalir di sudut bibir, menandakan kalau ketiga 
orang wanita cantik itu telah menderita luka dalam yang 
cukup parah!
Rupanya kesempatan yang sangat baik itu, tidak dis-
ia-siakan begitu saja oleh para prajurit Kerajaan Mulawar-
ta yang tersisa. Langsung saja mereka berlompatan ke arah 
tiga sosok tubuh yang tengah berusaha bangkit itu. 
Dan....
Brettt....Crakk… Crasss...!
"Wuaaa...!"
"Aaargh...!"
Jeritan-jeritan kematian terdengar saling susul me-
nyusul ketika belasan orang prajurit kerajaan itu menu-
sukkan dan membabatkan senjatanya ke tubuh Tiga De-
wi Pulau Setan. Darah segar pun berhamburan membasahi 
permukaan bumi yang semakin lembab oleh darah-
darah manusia.
Namun ketiga orang wanita cantik itu pun rupanya ti-
dak mau mati secara sia-sia. Buktinya mereka membalas 
dengan sambaran senjata di tangan. Sehingga, enam 
orang prajurit yang paling dekat, langsung jatuh tersung-
kur mencium tanah dengan tubuh berlumuran darah. Se-
telah itu, baru Tiga Dewi Pulau Setan menghembuskan 
napasnya yang terakhir.
"Benar-benar berbahaya...," gumam Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian langsung melesat ke 
dalam bangunan istana, setelah melihat ketiga orang 
wanita cantik itu benar-benar sudah berakhir hidupnya.
Saat tiba di ruang utama istana, Panji terkejut bu-
kan main. Tampak tokoh sakti yang dicarinya tengah 
mengamuk hebat. Dia dikeroyok oleh belasan orang 
perwira dan dua orang Senapati Kerajaan Mulawarta.

Amukan tokoh tinggi kurus yang wajahnya selalu ter-
sembunyi di balik kerudung hitam itu benar-benar mengi-
riskan. Puluhan mayat prajurit dan perwira, tampak 
bergeletakan di bawah kakinya. Sungguh sebuah pe-
mandangan yang sangat mengerikan dan mengiriskan seka-
li.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, Malaikat Gerbang Nera-
ka melesat sambil mengibaskan kedua tangannya ke kiri
dan kanan. Gerakan tokoh sesat maha sakti itu benar-
benar membuat orang tewas seketika.
Dua orang senapati yang masing-masing berusia lima 
puluh dan tiga puluh tujuh tahun, tampak berbuat nekat. 
Mereka langsung menyambut kibasan tangan tokoh men-
giriskan itu.
"Haaat ..!"
Sambil berseru keras, kedua orang senapati itu 
langsung saja melompat sambil mendorongkan tangannya 
untuk menyambut pukulan maut yang menimbulkan 
deru angin panas. Dan....
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Ledakan dahsyat yang terasa bagaikan hendak mero-
bohkan istana terdengar, ketika pukulan Malaikat Gerbang 
Neraka dan kedua orang senapati itu berbenturan keras.
Kedua senapati andalan Kerajaan Mulawarta itu lang-
sung terpental balik akibat benturan yang maha dahsyat! 
Tubuh mereka langsung terbanting jatuh ke atas lantai.
"Uhhh...!"
Benturan dahsyat tadi rupanya telah membuat 
dada keduanya terguncang. Hal itu jelas terlihat dari gera-
kan mereka pada saat hendak berusaha bangkit berdiri. 
Mereka kembali terjatuh sambil menekap dada yang terasa 
bagaikan tertusuk ribuan jarum halus. Dari cairan merah

yang tampak mengalir di sela-sela bibir, dapat dipastikan 
kalau kedua orang itu telah mengalami luka dalam cukup 
parah.
Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka sendiri sama se-
kali tidak mengalami luka berarti. Benturan keras tadi 
hanya membuat kuda-kudanya tergempur beberapa 
langkah ke belakang. Tentu saja kenyataan itu mau tak 
mau membuat Pendekar Naga Putih yang sempat me-
nyaksikannya menggeleng takjub.
"Orang ini benar-benar sudah seperti bukan manu-
sia lagi! Kepandaiannya hebat dan mengiriskan sekali.
Hm.... Kalau saja aku belum menemukan rahasia 
yang tersimpan dalam Pedang Naga Langit, rasanya 
mustahil dapat menandingi tokoh sesat yang satu ini. Se-
karang pun, aku masih ragu untuk dapat menandinginya," 
desah Pendekar Naga Putih yang benar-benar kagum den-
gan kesaktian tokoh sesat penuh teka-teki itu.
Namun, Panji tidak sempat berpikir lama. Karena saat 
itu, belasan orang perwira yang mengeroyok tokoh sakti itu 
bertumbangan satu persatu bagaikan laron mendekati api. 
Tentu saja jeritan kematian yang susul-menyusul itu 
membuat Pendekar Naga Putih harus segera turun tan-
gan mencegahnya. Dan sebagai taruhannya, adalah nya-
wa!
"Malaikat Gerbang Neraka! Kali ini kau harus benar-
benar kuhentikan...!" seru Panji sambil melompat mema-
pak hantaman telapak tangan kanan tokoh itu yang ten-
gah meluncur deras mengancam empat orang penge-
royok di depannya.
Tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu 
sempat tersentak mendengar seruan yang diketahuinya 
mengandung kekuatan dahsyat. Dan ketika matanya meli-
rik, tampak kegusaran terpancar pada sepasang matanya. 
Jelas kalau tokoh mengiriskan itu tengah mengenali orang
yang mengeluarkan seruan lantang tadi.
"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya.
Malaikat Gerbang Neraka tampak terperangah meli-
hat kedatangan pemuda sakti itu. Memang, sampai saat itu 
pun ia masih belum bisa mengerti, bagaimana cara pe-
muda itu dapat meloloskan diri dari tahanannya padahal, 
ia tahu betul kalau keadaan pemuda itu sangat parah dan 
kemungkinan untuk sembuh hampir mustahil. Itulah yang 
menyebabkan hatinya terkejut melihat kemunculan Panji. 
Apalagi, keadaan pemuda itu tampak segar bugar.
Malaikat Gerbang Neraka yang melihat datangnya seran-
gan pemuda itu, segera menyelewengkan hantaman telapak 
tangannya. Perhatiannya segera dialihkan ke arah Pendekar Naga 
Putih yang saat itutengahmeluruk ke arahnya.
Panji yang sadar akan kedahsyatan ilmu lawannya, tentu
saja tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Lang-
sung dikerahkannya seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' yang dimiliki untuk menahan gempu-
ran dahsyat itu.
Wusss...!
Wukkk...!
Blarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan benturan dua gelom-
bang tenaga raksasa yang saling bertemu di udara. Ruang 
utama Istana Kerajaan Mulawarta bagaikan diguncang 
gempa yang sangat hebat Sehingga, tembok-tembok 
yang mengelilingi ruangan itu sampai bergetar bagai-
kan hendak roboh. Bahkan pada bagian atap ruangan 
itu sempat rontok karenanya.
Belasan orang perwira kerajaan yang sempat 
menyaksikan benturan dahsyat itu, terlempar ke kiri
dan kanan bagaikan dilanda angin topan dahsyat 
Dengan perasaan ngeri mencekam, para perwira itu 
serentak menyeret langkahnya menjauhi pertarungan


mengerikan itu.
Akibat yang diderita Panji pun cukup parah. 
Benturan dahsyat itu telah membuat tubuhnya terlem-
par deras, dan langsung menjebol dinding ruangan 
yang berada dua tombak di belakangnya. Untunglah la-
pisan kabut putih keperakan masih menyelimuti tu-
buhnya, sehingga tulang-tulangnya tidak sampai pa-
tah.
"Hm…"
Pendekar Naga Putih menggeram gusar. Sepasang 
matanya menyorot tajam bagaikan mata seekor naga 
murka. Dengan gerakan perlahan, pemuda itu menyi-
langkan kedua tangan di depan dada. Kemudian masih den-
gan gerakan perlahan dan mengandung getaran kuat, ke-
dua lengan pemuda itu bergerak naik melampaui kepa-
lanya.
Tak lama kemudian, terlihatlah dua buah sinar 
yang membungkus tubuh pemuda berjubah putih itu. Mas-
ing-masing adalah sinar putih keperakan, dan sinar kuning 
keemasan. Kedua sinar itu menyelimuti tubuh Panji secara 
terpisah. Sehingga pemandangan aneh itu, sempat 
membuat Malaikat Gerbang Neraka mengerutkan kening-
nya.
"Gila! ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda setan 
itu...? Hm, apa yang membuat tubuhnya sampai dapat 
mengeluarkan dua buah sinar aneh secara bersamaan?" 
gumam tokoh sesat itu yang merasa terkejut karenanya.
Sebagai seorang yang telah banyak mengetahui ilmu 
langka dunia persilatan, tokoh sakti itu sadar kalau orang 
yang telah mampu mengerahkan kedua unsur tenaga ber-
lainan sifat secara bersamaan, sudah pasti memiliki ke-
kuatan luar biasa sekali. Melihat pemuda itu dapat
menggabungkan dua tenaga berlainan sifat secara sem-
purna, tentu saja Malaikat Gerbang Neraka menjadi gentar

hatinya. Padahal, diketahuinya betul kalau pada beberapa 
hari yang lalu, lawannya sama sekali tidak menggunakan 
perpaduan tenaga itu. Dan diyakininya pula kalau pada 
waktu menahannya, Pendekar Naga Putih sama sekali 
belum memiliki kekuatan seperti itu. Malaikat Gerbang 
Neraka benar-benar menjadi tidak mengerti dengan kea-
nehan pendekar muda itu.
"Hm.... Kalau memang bukan seorang pengecut, ma-
rilah pertarungan kita dilanjutkan di tempat yang lebih 
leluasa, Malaikat Gerbang Neraka. Tapi kalau kau ta-
kut, tentu aku tidak akan memaksa," tantang Pendekar 
Naga Putih sengaja memanasi.
"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih! Apa dikira den-
gan kepandaianmu kau sudah patut bersombong di de-
panku? Huh! Jangan mimpi, Bocah Setan! Hari ini juga, 
nama besarmu akan kuhapus dari dunia persilatan," desis 
Malaikat Gerbang Neraka, mengandung kegeraman yang 
dalam.
Seketika tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat 
ke arah samping istana yang memiliki halaman cukup 
luas. Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka pun bergegas 
mengejar.
Baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah, 
Malaikat Gerbang Neraka sudah langsung melancarkan 
serangan dahsyat. Pukulannya yang menimbulkan deru 
angin mencicit tajam, datang bertubi-tubi bagai tidak in-
gin memberi kesempatan kepada pemuda itu.
Bettt..! Wuttt...!
Rentetan pukulan Malaikat Gerbang Neraka yang hebat 
bukan kepalang, tentu saja tidak bisa dipandang ringan. 
Apalagi dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam ting-
gi. Tentu saja kedahsyatannya sangatlah mengerikan.
Panji pun bukan tidak tahu akan kedahsyatan seran-
gan itu. Cepat tubuhnya bergeser dengan lompatan ke

samping. Langsung dilancarkannya serangan balasan 
dengan tusukan jari-jari tangan kanan.
Syuuut..!
Tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih meluncur 
pesat mengancam lambung lawan. Serangkum angin din-
gin yang menusuk tulang mencicit tajam mengiringi tu-
sukan jari tangan pemuda itu.
Malaikat Gerbang Neraka yang merasa sangat ya-
kin akan kekuatan dahsyat tenaganya, langsung saja men-
gibaskan lengan kiri untuk memapak serangan Pendekar 
Naga Putih.
Namun, Panji tentu saja tidak ingin bertindak ce-
roboh. Disadari kalau kekuatan yang dimiliki lawannya 
masih berada di sebelah atasnya. Maka tentu saja ia ti-
dak sudi mengadu tenaga dengan lawannya. Ditarik-
nya tusukan jari tangan yang meluncur mengancam lam-
bung lawan. Secepat tangan kanannya ditarik pulang, tu-
buhnya bergerak menekuk doyong ke belakang sambil me-
lancarkan tendangan kilat yang melesat ke arah perut Ma-
laikat Gerbang Neraka.
Tass….!
Hebat dan cepat bukan main gerakan tokoh tinggi ku-
rus itu. Dalam keadaan cukup berbahaya itu ternyata 
masih sempat memutar kibasan tangannya yang memben-
tuk setengah lingkaran hingga sempat memapak tendan-
gan Panji.
Benturan dua gelombang tenaga raksasa itu tentu 
saja akibatnya hebat sekali. Tubuh Pendekar Naga Putih 
melintir akibat tangkisan keras lawannya. Tapi walaupun 
demikian, keseimbangan tubuhnya masih sempat diatur 
dan kuda-kudanya dapat diperbaiki dalam keadaan siaga 
penuh.
"Heaaat... !"
Malaikat Gerbang Neraka yang sempat bergetar

mundur sampai empat langkah akibat benturan itu, kem-
bali melesat disertai pekikannya yang menggetarkan jan-
tung.
Para prajurit yang tengah bertempur dengan gerombo-
lan pengikut tokoh sesat itu kontan terjungkal Memang, 
mereka bertempur tidak jauh dari pertempuran antara Panji 
melawan Malaikat Gerbang Neraka. Dari mulut, telinga, dan 
hidung mereka mengalir darah segar. Rupanya teriakan 
dahsyat Malaikat Gerbang Neraka telah menewaskan me-
reka. Dari kejadian itu saja dapat dilihat, betapa menge-
rikannya kekuatan yang dimiliki tokoh sesat itu.
Pendekar Naga Putih yang melihat sepasang tela-
pak tangan lawan tengah meluncur mengancam dadanya, 
cepat menyilangkan sepasang tangannya. Juga langsung 
tenaga batinnya dipusatkan untuk menggabungkan dua ke-
kuatan yang berada dalam tubuhnya.
Whusss...!
Dorongan sepasang tangan yang berkekuatan dahsyat 
itu lewat di samping tubuh Panji yang melompat ke samp-
ing. Namun, apa yang selanjutnya dilakukan tokoh sesat 
itu benar-benar membuat Panji tersentak Ternyata sepa-
sang telapak tangan yang lewat di samping tubuhnya itu 
tiba-tiba berputar cepat, dan langsung mengancam lam-
bung kirinya.
Buggg...!
"Akhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Naga Putih 
langsung terpental bagaikan sehelai daun kering! Darah se-
gar terlompat keluar dari mulutnya. Namun sebelum tu-
buhnya jatuh mencium tanah, pemuda itu masih sempat 
berjumpalitan dan mendaratkan kakinya. Hanya saja, 
kuda-kudanya sedikit goyah!
"Gila! Tokoh sesat satu ini memang benar-benar luar 
biasa! Nampaknya akan sulit sekali untuk dapat menga-
lahkannya," gumam Pendekar Naga Putih sambil menyusut cairan merah dengan lengan bajunya.
"Haaat...!"
Bagaikan orang kesetanan, Malaikat Gerbang Neraka 
kembali meluncur dengan serangan-serangan mematikan. 
Jelas kalau tokoh sesat itu memang sangat menginginkan 
kematian Pendekar Naga Putih.
Kali ini Malaikat Gerbang Neraka jelas salah perhitun-
gan. Semula, dikiranya Panji telah mengalami luka dalam 
akibat pukulannya. Tapi ternyata dugaannya meleset! 
Memang, dengan telah bersatunya Pedang Naga Langit 
ke dalam tubuh Pendekar Naga Putih, tentu saja setiap 
pukulan yang menimbulkan luka telah langsung terha-
pus oleh inti kekuatan pedang keramat itu. Hal inilah 
yang tidak diketahui Malaikat Gerbang Neraka.
Pendekar Naga Putih sendiri semula merasa heran keti-
ka tidak merasakan akibat hantaman Malaikat Gerbang 
Neraka tadi. Sepertinya, pukulan tadi tidak berbekas da-
lam tubuhnya. Namun ketika teringat Pedang Naga 
Langit yang telah menyatu ke dalam tubuhnya, maka 
pemuda itu pun tersenyum lega.
Serangan Malaikat Gerbang Neraka yang telah kem-
bali mengancam, sama sekali tidak membuat Panji gugup. 
Dengan menyatukan kekuatan batinnya, pemuda itu 
berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan. Dan 
pada saat sepasang tangan tokoh tinggi kurus itu me-
luncur mengancam tubuhnya, Panji pun merendahkan tu-
buhnya sambil memantek kedua kakinya di atas tanah.
"Heaaattt...!"
Disertai 'Pekikan Naga Marah', Pendekar Naga Putih 
mendorongkan sepasang tangannya ke depan. Serang-
kum angin pukulan yang mengandung hawa dingin dan 
panas, terlontar dari sepasang telapak tangan pemuda itu.
Whusss...!
Bresssh...!
Terdengar ledakan dahsyat ketika kedua pasang telapak tangan yang mengandung kekuatan raksasa saling 
berbenturan di udara! Tubuh kedua tokoh sakti itu terpen-
tal balik bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan
angin.
Derrr...!
Tubuh Malaikat Gerbang Neraka yang selama ini be-
lum pernah terkalahkan, meluncur menghantam seba-
tang pohon besar yang berada di belakangnya. Dengan 
memperdengarkan suara berderak ribut, pohon besar itu 
langsung tumbang, karena bagian tengahnya terlanggar 
tubuh tinggi kurus itu.
Demikian pula halnya Pendekar Naga Putih. Tubuh 
Pendekar Naga Putih yang tengah melun-
cur ke arah dinding samping bangunan istana, ter-
hempas keras hingga dinding itu pun jebol.
Pendekar Naga Putih yang merasakan sekujur tu-
buhnya bagaikan remuk, cepat menyatukan pikiran. Dia 
duduk bersila sambil memejamkan mata, tanpa peduli 
dengan keadaan sekitarnya. Gempuran dahsyat yang te-
lah mengakibatkan luka dalam, membuatnya berusaha 
untuk membangkitkan kekuatan tenaga batinnya. Me-
mang disadari betul kalau lukanya hanya dapat disem-
buhkan oleh 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang berasal 
dari Pedang Pusaka Naga Langit.
Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka ternyata te-
tap terkulai lemah tak berdaya. Dari sudut bibir tokoh tinggi 
kurus itu mengalir darah segar. Jelas, tokoh sakti itu pun 
telah mengalami luka dalam yang tidak ringan. Bahkan aki-
batnya, kesaktiannya kini telah punah! Dia seperti kakek-
kakek jompo saja layaknya.
Melihat hal ini, dua orang senapati dan beberapa orang 
perwira tinggi Kerajaan Mulawarta cepat mengamankan to-
koh iblis itu. Mereka membawanya ke dalam bangunan 
istana, untuk meminta keputusan Prabu Pungga Lawa.
Sementara, pertempuran yang berlangsung antara pasukan Kerajaan Mulawarta melawan pasukan pemberon-
tak sudah pula selesai. Para prajurit kerajaan yang di-
bantu tokoh-tokoh persilatan golongan putih telah ber-
hasil menghentikan perlawanan para pemberontak.
Yang tinggal hanyalah ribuan sosok mayat saling tum-
pang-tindih yang menebarkan bau anyir darah.
***
Pendekar Naga Putih yang baru saja menyelesai-
kan semadinya, menjadi heran ketika di sekelilingnya 
telah berkumpul tokoh persilatan. Sehingga, pemuda itu 
sempat menjadi rikuh karenanya.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang...?" tanya Kenanga 
yang saat itu juga tengah menunggu kekasihnya. Wajah 
jelita bagai bidadari itu tampak penuh kecemasan.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga. Kesehatanku sudah pu-
lih seperti semula," sahut Panji sambil mengedarkan pan-
dangan, seolah-olah mencari sesuatu.
"Malaikat Gerbang Neraka telah dapat kau lum-
puhkan, Panji. Dan kini telah diamankan pihak istana. 
Menurut Gusti Prabu Pungga Lawa pada saat kami da-
tang menghadap, tokoh sesat yang maha sakti itu ter-
nyata seorang pangeran yang pada beberapa waktu lalu 
pernah memberontak. Ternyata nama asli Malaikat Ger-
bang Neraka adalah Pangeran Dwipa Karna. Dulu, dia ber-
hasil meloloskan diri dari kejaran pihak kerajaan. Rupanya 
kali ini kembali mencoba melakukan pemberontakan un-
tuk merebut kekuasaan dari tangan Gusti Prabu dengan 
bantuan para datuk sesat. Sayang rencananya kali ini pun 
harus gagal. Dan untuk kali ini, ia tidak akan bisa melari-
kan diri lagi dari hukuman mati. Besok sebelum matahari 
terbit, tokoh itu akan dihukum penggal. Demikian titah 
Gusti Prabu Pungga Lawa," jelas laki-laki gemuk berwajah

bulat, dengan kumis dan jenggot yang tercukur rapi.
Orang itu tak lain adalah Ki Jagaraksa atau yang le-
bih dikenal sebagai Pendekar Pedang Perak. Rupanya to-
koh ini pun ikut menunggui Panji yang tengah bersemadi.
"Bagaimana para datuk sesat itu? Apakah mereka tewas, 
atau dapat ditawan?" tanya Panji, bernada ingin tahu. Se-
bab, ia memang tidak mengetahui akan hal itu.
"Mereka berhasil meloloskan diri dengan meninggalkan 
pasukannya. Rupanya setelah melihat keadaan pasukan 
mereka terdesak, dan tidak mempunyai harapan untuk 
menang, mereka langsung pergi menyelamatkan diri
masing-masing. Kecuali Tengkorak Hutan Jati dan Garu-
da Mata Satu. Mereka bersama pasukannya tewas digilas 
prajurit kerajaan dibantu murid-murid kami," jelas laki-
laki setengah baya yang memiliki wajah menarik. 
Orang itu tak lain adalah Pendekar Laut Selatan. Dia 
datang bersama seluruh muridnya untuk membantu Kera-
jaan Mulawarta dalam menghadapi gerombolan pemberontak.
"Hhh.... Syukurlah kedatangan kalian tidak ter-
lambat," desah Panji menarik napas lega.
Namun, kening Pendekar Naga Putih kembali ber-
kerut ketika tidak melihat Raja Obat di tempat itu.
"Setelah melihat semua keadaan di sini telah 
aman, Raja Obat berpamit untuk meneruskan pengemba-
raannya. Maaf! Kami tidak bisa menahannya sampai kau 
menyelesaikan semadimu, Panji. Dan beliau meminta 
maaf karena tidak bisa berpamit kepadamu," jelas Pen-
dekar Pedang Perak yang rupanya dapat menebak isi hati 
pemuda perkasa itu.
"Ah! Kalau begitu, aku pun harus segera pamit ke-
pada kalian. Sampaikan salam hormat dan maafku kepada 
Gusti Prabu Pungga Lawa. Ayo, Kenanga...," pamit Panji, 
segera mengajak kekasihnya meninggalkan Istana Kera-
jaan Mulawarta.
"Baik, Kakang...," sahut Kenanga. Gadis itu juga segera 
berpamit kepada semua tokoh persilatan yang berada di 
tempat itu.
"Pendekar Naga Putih...! Bagaimana kami harus men-
gatakan kalau Gusti Prabu Pungga Lawa menanyakan 
tentang dirimu?" seru Pendekar Pedang Perak yang tak 
kuasa mencegah kepergian kedua orang pendekar mu-
da itu.
"Sampaikan salam hormat dan maafku, Paman!" teriak 
Panji.
Pendekar Naga Putih memang sudah semakin
jauh meninggalkan tempat itu. Sehingga, para tokoh per-
silatan itu hanya dapat menatap hingga tubuh kedua 
orang pendekar muda itu lenyap ditelan keremangan senja.



                          SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar