..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 19 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TUJUH SATRIA PERKASA

Matjenuh

TUJUH SATRIA PERKASA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putin 
dalam episode:. 
Tujuh Satria Perkasa 
128 hal. ; 12x18 cm

SATU

Sang Surya bergeser semakin jauh ke barat. Sinar-
nya telah memudar, pertanda sebentar lagi senja akan 
tiba. Waktu yang semestinya merupakan isyarat bagi 
manusia untuk beristirahat itu, ternyata malah dibi-
singkan oleh teriakan-teriakan membahana yang di-
tingkahi beradunya senjata tajam.
Suara-suara pertempuran Ini berasal dari sebelah 
timur di tepi Hutan Burangrang. Tampak sesosok tu-
buh sedang yang setengah wajahnya tertutup selembar 
kain hitam, tengah menghadapi keroyokan empat 
orang laki-laki bersenjata. Sosok bertubuh tegap men-
genakan pakaian kuning itu terlihat cukup tangguh 
dalam mengadakan perlawanan. Padahal di beberapa 
bagian tubuhnya tampak luka-luka bekas goresan dan 
tusukan senjata tajam.
Tidak jauh dari arena pertempuran, tampak dua 
buah kereta barang. Selain itu, juga terlihat adanya 
sosok-sosok tubuh bergeletak bersimbah darah. Dari 
warna pakaian yang melekat pada tubuh mayat-mayat 
itu, dapat diduga bahwa mereka merupakan pihak dari 
empat orang lelaki bersenjata yang tengah mengeroyok 
sosok bertutup wajah kain hitam. Jelas sudah kalau 
keenam orang mayat merupakan korban senjata di 
tangan sosok bertubuh sedang yang setengah wajah-
nya tertutup kain hitam.
"Perampok busuk, mampuslah...!" Sambil menge-
luarkan bentakan demikian, salah seorang pengeroyok 
melesat ke depan. Pedang di tangannya bergerak me-
nusuk disertai suara berdesing tajam. 
Whuuuttt...!
Mata pedang meluncur begitu cepat mengancam

lambung kanan itu, dapat dielakkan lawan dengan 
lompatan pendek ke samping kiri. Namun, begitu ke-
dua kaki orang yang setengah wajahnya tertutup kain 
hitam ini menginjak tanah, ujung pedang pengeroyok 
lainnya sudah menyambut dengan sebuah sambaran 
kilat ke punggungnya.
"Hyaaahhh...!"
Meskipun dalam kedudukan yang sulit, sosok ber-
tubuh sedang namun padat berisi ini, masih sempat 
mengibaskan pedangnya memapaki serangan. Terden-
gar suara benturan keras yang menimbulkan percikan 
bunga api. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa 
langkah. Namun sosok misterius yang sudah menderi-
ta banyak luka ini tampak lebih parah dari lawannya. 
Tubuhnya terhuyung sampai satu tombak lebih. Hal 
itu karena tenaganya telah banyak berkurang. Teruta-
ma sekali luka-lukanya yang terus meneteskan darah, 
membuat tubuhnya semakin melemah.
Breeettt!
"Aaakh...!"
Sebuah sambaran mata pedang menyambut da-
tangnya tubuh penuh luka yang tengah terhuyung itu. 
Terdengar jerit kesakitan yang disertai tubuh yang 
nyaris terpelanting jatuh. Sementara mata pedang 
lainnya datang mengancam ke arah tenggorokan. Siap 
membunuh sosok yang nyaris tak berdaya ini.
Namun lelaki yang setengah wajahnya tersembunyi 
di balik kain hitam masih sempat memutar pedang 
memapaki datangnya ancaman maut itu.
Bahkan dengan cerdik ia menggunakan benturan 
itu untuk melompat ke belakang. Dengan meminjam 
tenaga lawan, sosok tubuh penuh luka itu dapat mele-
paskan diri dari kepungan lawan. Dan terus melarikan 
diri ke dalam semak belukar hutan.

"Kejar, jangan biarkan bangsat itu lolos.,.!" salah 
satu dari keempat pengeroyoknya yang berkumis me-
lintang, berteriak memerintah. Tubuhnya langsung 
melesat melakukan pengejaran.
Tiga orang lainnya langsung berlari menyusul. Me-
reka menerobos semak belukar memasuki hutan. Na-
mun kelebatan pepohonan hutan membuat mereka 
kehilangan jejak buruannya. Dan terpaksa berhenti se-
telah tak juga menemukan lelaki berpakaian kuning 
tadi.
"Kita berpencar!" seru lelaki berkumis lebat yang 
menjadi pimpinan dari ketiga kawannya, "Bangsat itu 
sudah terluka parah, dan tidak mungkin dapat lari 
jauh. Untuk mencari jejaknya kita dapat meneliti re-
rumputan. Tetesan darah yang keluar dari luka-
lukanya akan memudahkan kita untuk menentukan 
ke arah mana keparat itu melarikan diri," lanjutnya
memberikan petunjuk. Ketiga kawannya sama men-
gangguk kepala. Kemudian mereka pun berpencar un-
tuk mencari jejak buruannya.
"Hei, Kawan-kawan, cepat kemari...!"
Tidak berapa lama kemudian, terdengar salah satu 
dari keempat lelaki berteriak memanggil kawan-
kawannya. Sedang orang yang berteriak nampak ten-
gah meneliti rimbunan semak, yang di satu bagian 
tampak dinodai warna merah. Darah.
Tiga lelaki lainnya berdatangan, lalu ikut meme-
riksa noda darah yang menetes di dedaunan. Noda da-
rah itu memang masih baru.
"Heh heh heh...! Sudah kuduga kalau kita akan 
dapat menemukannya. Ayo, kita kejar bangsat itu...!" 
ajak lelaki berkumis melintang dengan sepasang mata 
berkilat penuh ejekan. Seolah ia merasa pasti akan 
dapat menemukan dan membekuk buruannya.
Namun, jejak-jejak berdarah itu ternyata masih te-
rus mereka temukan sampai di luar hutan. Keempat-
nya mendengus jengkel dan sama-sama menghentikan 
langkah setelah beberapa tombak meninggalkan mulut 
hutan.
"Kita tidak bisa meneruskan pencarian. Sebab di 
sebelah depan sana merupakan wilayah peternakan 
Juragan Mahinta. Dia pasti tidak akan memperboleh-
kan kita melewati batas-batas wilayah peternakannya. 
Sebaiknya kita laporkan saja hal itu kepada majikan 
kita...," usul lelaki berkumis tebal melintang disertai 
helaan napas panjang. Kemudian membalikkan tubuh 
dan memasuki hutan, menelusuri jalan yang semula 
mereka lalui.
***
Hari menjelang pagi. Perlahan-lahan suasana mulai 
terang walau hembusan angin masih terasa dingin 
menusuk. Seiring dengan kemunculan sang Surya di 
kaki langit sebelah timur, terlihat kesibukan di sebuah 
tanah peternakan.
Dua orang lelaki muda tampak berjalan menuju 
kandang kuda di bagian belakang sebuah bangunan 
yang cukup besar. Kandang itu terlihat sangat luas 
dengan puluhan ekor kuda di dalamnya. Kedua orang 
lelaki muda ini adalah pekerja-pekerja Juragan Mahin-
ta, yang bertugas mengurus ternak kuda. Seperti bi-
asanya, mereka memberi makan kuda-kuda itu setiap 
pagi harinya.
Tanah peternakan yang dimiliki Juragan Mahinta 
terhitung sangat luas. Selain beternak kuda, dia memi-
liki ternak sapi yang jumlahnya lebih dari seratus ekor. 
Tanah peternakannya berada di sebuah padang rum

put yang luas, terletak di selatan Desa Sindang Laya. 
Namun masih berada di wilayah desa itu, meskipun 
hampir di perbatasan sebelah selatan.
"Semalam rasanya aku mendengar ternak-ternak 
kuda kita meringkik gelisah. Entah apa yang menye-
babkannya...," salah satu dari kedua laki-laki muda itu 
berkata kepada kawannya.
"Aku juga mendengarnya," tukas pemuda satunya 
menimpali, "Tapi aku enggan untuk memeriksanya. 
Udara semalam sangat dingin, selain itu selama kita 
bekerja di tempat ini, tak pernah ada gangguan apa-
apa. Jadi, menurutku tidak ada yang perlu kita khawa-
tirkan," lanjutnya sambil terus melangkah menuju 
kandang kuda.
"Hm..., kau benar, Saranggi. Itu sebabnya aku juga 
tidak mempunyai keinginan untuk memeriksanya," 
ujar pemuda yang pertama kali bicara, membenarkan 
ucapan Saranggi.
Namun, pembicaraan dan langkah keduanya ter-
henti tepat setengah tombak dari pintu kandang. Me-
reka saling bertukar pandang sesaat. Kemudian mem-
bungkuk memeriksa tanah di depan kandang itu. Ka-
rena di tanah itu terlihat bercak-bercak yang mencuri-
gakan.
Saranggi mengulurkan tangannya mengambil ta-
nah berdebu di depan itu. Lalu mendekatkan ke hi-
dungnya.
"Bau darah manusia...?!" desis Saranggi dengan 
kening berkerut. Dia segera bergerak bangkit sambil 
mencabut golok besar di pinggangnya, "Ada sesuatu 
yang tidak beres terjadi semalam. Sebaiknya kita pe-
riksa semua tempat ini, terutama kandang kuda. Ka-
rena binatang-binatang itu yang meringkik-ringkik ri-
but semalam."

Tanpa banyak cakap lagi, pemuda satunya lang-
sung menghunus golok. Kemudian keduanya membu-
ka pintu kandang perlahan-lahan. Dan.., keduanya 
melompat mundur beberapa tindak dengan wajah ter-
kejut. Beberapa langkah di depan mereka, tampak se-
sosok tubuh terbujur menelungkup. Sekujur tubuh 
sosok itu dipenuhi luka yang darahnya hampir men-
gering. Tentu saja kedua pemuda ini menjadi kaget 
bukan main.
"Hm... jadi ini yang membuat kuda-kuda kita men-
jadi gelisah...!" desis Saranggi yang masih merasa te-
gang melihat sosok berlumur darah di dalam kandang 
kuda. Wajah pemuda jangkung ini tampak agak pucat. 
Kelihatannya ia tidak terbiasa dengan pemandangan 
itu.
Lain halnya dengan pemuda satunya yang wajah-
nya dihiasi brewok halus. Ia cuma terkejut sesaat, ke-
mudian berganti dengan rasa penasaran. Bahkan 
otaknya bekerja cepat mengambil keputusan.
"Saranggi, kau pergilah dan laporkan kepada Jura-
gan Mahinta! Biar aku menunggu di sini! Kelihatannya 
orang ini belum mati. Aku masih melihat gerak perna-
fasannya. Menurutku orang ini sedang dalam keadaan 
sekarat. Kita harus cepat menolongnya," ujar pemuda 
brewok ini kepada Saranggi.
"Baik, aku akan melaporkan kepada juragan. Ber-
hati-hati dan jangan dulu kau bertindak sebelum kami 
datang," ujar Saranggi berpesan kepada kawannya se-
belum berlari meninggalkan tempat itu.
Letak kandang kuda dengan bangunan induk tem-
pat kediaman Juragan Mahinta memang agak jauh. 
Namun pemuda bernama Saranggi ini rupanya bukan 
pekerja sembarangan. Dari caranya berlari dapat dili-
hat kalau dalam hal kepandaian, tampaknya ia terbilang lihai. Karena tubuhnya dapat bergerak dengan 
ringan dan cepat. Tiba di depan tempat tinggal maji-
kannya, Saranggi langsung saja masuk untuk mela-
porkan apa yang dilihatnya.
Tidak berapa lama kemudian, tampak Saranggi me-
langkah ke luar diikuti seorang lelaki setengah baya. 
Dapat dipastikan kalau lelaki setengah baya yang ma-
sih tampak gagah inilah Juragan Mahinta. Lelaki den-
gan wajah terhias kumis dan jenggot yang sebagian 
sudah memutih ini, terlihat tetap tenang, kendati su-
dah mendengar laporan Saranggi.
Bukan cuma mereka berdua yang setengah berlari 
menuju ke kandang kuda. Empat orang lelaki mengi-
kuti di belakang Juragan Mahinta dan Saranggi. Mere-
ka sebaya dengan Saranggi, berusia rata-rata dua pu-
luh dua tahun. Dan memang cuma enam pemuda itu-
lah yang bekerja kepada Juragan Mahinta. Meskipun 
selain mereka masih terdapat pembantu-pembantu 
lain, namun mereka wanita setengah baya yang beker-
ja sebagai pelayan ataupun juru masak.
"Bagaimana keadaan orang itu, Sudana?" Tanya 
Juragan Mahinta kepada pemuda berwajah brewok, 
begitu tiba bersama pekerja lainnya.
"Belum kuperiksa, Ki. Tapi kelihatannya ia masih 
hidup...," jawab Sudana yang bergegas menyingkir, 
memberi jalan kepada majikannya.
Juragan Mahinta, yang memang meminta agar pa-
ra pekerja menyebutnya dengan panggilan Ki Mahinta, 
bergegas mendekat. Kemudian memeriksa bagian leher 
dan nadi sosok tubuh yang menelungkup dalam kea-
daan terluka itu.
"Hm... daya tahan tubuh orang ini terhitung sangat 
kuat. Meskipun luka yang dideritanya cukup parah, 
namun sampai sekarang dia masih bertahan hidup,"

ujar Juragan Mahinta, kemudian menoleh kepada para 
pekerjanya. "Bawalah ke barak. Siapa pun adanya 
orang ini, kita harus menolongnya. Walaupun mungkin 
ia bukan orang baik-baik," lanjut Juragan Mahinta 
memerintah. Ia menduga demikian karena melihat 
adanya kain hitam di leher sosok tubuh itu, yang 
mungkin dilepaskan untuk memudahkannya berna-
pas.
Wajah sosok tubuh yang tengah terluka itu selain 
masih muda juga berparas tampan, meski terlihat pu-
cat. Sudana segera membopong tubuh lelaki muda itu 
sesuai dengan perintah majikannya. Kemudian diba-
wanya ke barak, tempat tinggal para pekerja lainnya. 
Juragan Mahinta sendiri yang memberikan perawatan 
dan pengobatan kepada pemuda yang terluka itu.
***
"Sambil menyantap hidangan, tidak ada salahnya 
kalau kau memperkenalkan namamu kepada kami 
semua, Anak Muda," ucapan itu keluar dari mulut Ju-
ragan Mahinta, saat bersantap malam bersama para 
pekerjanya. Pertanyaan itu diajukan kepada pemuda 
yang selama beberapa hari ini dirawatnya dengan baik, 
sampai akhirnya tubuhnya cukup kuat dan dapat ber-
santap bersama-sama dengan Juragan Mahinta serta 
para pekerjanya.
Juragan Mahinta memang tidak dapat disamakan 
dengan juragan-juragan lain. Hatinya terlalu baik dan 
tidak ingin menjaga jarak dengan para pekerja. Dirinya 
selalu menyempatkan diri untuk makan malam ber-
sama dengan pekerja yang jumlahnya enam orang, dan 
rata-rata masih muda. Sudah tentu sikapnya yang se-
perti itu membuat para pekerja semakin menaruh
hormat dan segan kepada majikannya yang baik hati 
itu.
"Namaku Ekalana, Ki...," jawab pemuda itu sing-
kat. Kemudian kembali menundukkan wajahnya me-
nekuri meja. Sikapnya menimbulkan kesan dingin dan 
angkuh, membuat enam orang pekerja Juragan Mahin-
ta saling bertukar pandang mencibirkan bibir.
Juragan Mahinta sendiri cuma mengangguk tipis.
"Ekalana," lanjut Juragan Mahinta, "Aku tak ingin 
tahu tentang apa yang sudah kau alami, karena setiap 
orang berhak untuk menyimpan rahasia dirinya. Dan 
pertolonganku jangan kau anggap suatu hutang yang 
harus dibayar. Aku tidak mengharapkan apa pun da-
rimu. Kau boleh pergi kapan saja kau mau. Tapi aku 
pun tak keberatan jika kau ingin tetap tinggal di sini."
Ekalana mengangkat wajah dan menatap Juragan 
Mahinta untuk beberapa saat. Sorot matanya tetap 
dingin dan terkesan angkuh. Lalu mengalihkan pan-
dang dan menatapi enam orang lainnya satu persatu.
"Kalau diizinkan aku ingin tinggal dan bekerja di 
sini, Ki," ujar Ekalana sambil kembali menatap Jura-
gan Mahinta, menunggu jawaban atas keinginannya
itu. Ia sadar bahwa Juragan Mahinta adalah orang 
baik. Kebaikan itu membuat Ekalana berjanji pada di-
rinya sendiri untuk mengabdi kepadanya, dan akan 
meninggalkan segala perbuatannya yang lalu.
"Kau boleh tinggal bersama mereka...," jawab Jura-
gan Mahinta. Lelaki setengah baya itu kemudian bang-
kit dari kursinya, melangkah meninggalkan ruangan 
makan. Sebentar saja sosoknya sudah lenyap di balik 
pintu.
"He he he...! Beruntung kau bertemu dengan orang 
sebaik majikan kami, Ekalana," seorang pekerja ber-
nama Maladi membuka suara, “Tapi mengapa kau

memilih untuk tetap tinggal dan bekerja di sini? Bu-
kankah sebaiknya kau pergi meninggalkan tempat ini? 
Atau kau sengaja hendak menjadikan tempat ini untuk 
menyembunyikan diri?"
Ucapan Maladi terdengar begitu sinis, dan di-
lontarkan dengan nada menghina. Namun Ekalana ti-
dak menyahut. Ia melanjutkan makannya dengan te-
nang. Wajahnya tetap dingin dan angkuh. Bahkan me-
noleh pun tidak.
"Ha ha ha...! Rupanya ia tuli, Maladi. Mungkin juga 
lidahnya menjadi kelu setelah merasakan nikmatnya 
makanan yang ia santap. Atau jangan-jangan ia seo-
rang buronan yang baru saja membunuh orang," seo-
rang pekerja bertubuh gemuk menimpali, juga dengan
nada yang jelas-jelas menunjukkan perasaan tak su-
kanya terhadap Ekalana.
Ekalana tetap bungkam. Maladi semakin pena-
saran dibuatnya. Ia mendengus kasar.
"Hmh, benarkah kau telah membunuh orang?" 
Tanya Maladi tak percaya akan perkataan kawannya. 
Pertanyaan itu sengaja dilontarkan dengan nada agak 
tinggi, hingga Ekalana agak tersentak.
Ekalana mengangkat kepala dengan gerakan perla-
han. Sepasang matanya yang bersinar dingin, menatap 
wajah Maladi lekat-lekat.
"Aku memang baru saja membunuh orang," jawab-
nya dingin, membuat Maladi dan kawan-kawannya 
meneguk air liur dengan wajah berubah tegang.
"Apa yang menyebabkan kau melakukan hal itu?" 
kali ini Sudana yang bertanya. Sepertinya lelaki bre-
wok ini merasa tertarik ketika mendengar jawaban 
Ekalana.
"Karena ia telah berani menghina aku!'' jawab Eka-
lana dengan suara berdesis. Sepasang matanya tampak berkilat aneh saat berkata demikian.
Glek!
Maladi dan pekerja bertubuh gemuk sama-sama 
meneguk air liur. Wajah keduanya pun berubah agak 
pucat. Jelas mereka sangat terkejut dengan jawaban 
Ekalana. Dan percaya bahwa pemuda tampan berwa-
jah dingin itu tidak berdusta. Dengan agak gugup, ke-
dua orang ini menundukkan wajah mengalihkan per-
hatiannya pada hidangan di atas meja.
Ekalana kembali melanjutkan makannya. Sikapnya 
tetap tenang dan dingin. Seolah jawabannya barusan 
sama sekali tidak berarti apa-apa baginya.
Lain halnya bagi keenam orang pekerja Juragan 
Mahinta. Bagi mereka nyawa manusia sangatlah berar-
ti. Karena peternakan Juragan Mahinta yang termasuk 
dalam wilayah Desa Sindang Laya, tidak begitu jauh le-
taknya dari kotaraja. Yang berarti masih terjangkau 
oleh tangan-tangan hukum. Selain itu, mereka me-
mang bukan kaum rimba persilatan, meski-pun bukan 
orang-orang lemah. Itu sebabnya mengapa mereka me-
rasa terkejut mendengar pengakuan Ekalana.
***
DUA


Ekalana tidak kehilangan sikap angkuh dan wajah 
dinginnya, kendati telah beberapa hari bekerja di pe-
ternakan Juragan Mahinta. Dirinya lebih suka me-
nyendiri ketimbang berkumpul dengan pekerja lain. 
Meskipun demikian, Juragan Mahinta maupun rekan-
rekan kerjanya harus mengakui, bahwa Ekalana san-
gat rajin dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan. Tidak pernah terdengar keluhan yang keluar da-
ri mulutnya. Bahkan tidak jarang Ekalana terlihat ma-
sih sibuk mengurus kuda-kuda yang dipercayakan ke-
padanya, kendati hari telah mulai gelap, dan para pe-
kerja lain sudah pergi beristirahat. Ketekunan Ekalana 
mau tidak mau membuat rekan-rekan kerjanya merasa 
kagum. Juga telah menarik simpati Juragan Mahinta, 
majikannya.
Semenjak luka-lukanya sembuh dan tenaganya pu-
lih, setiap siang Ekalana selalu berlatih ilmu silat di 
dalam kandang tertutup. Hal itu dilakukan setelah tu-
gas untuk membersihkan kandang selesai dikerjakan. 
Rekan-rekan kerjanya sudah tahu apa yang dilakukan 
Ekalana di dalam kandang pada setiap siang. Ekalana 
sendiri sama sekali tidak peduli. Bah-kan sama sekali 
tidak menanggapi ejekan yang kerap kali dilontarkan 
mereka kepadanya.
Siang itu Ekalana tengah berlatih ilmu pedang. Ge-
rakannya terlihat semakin mantap dan terarah. Tam-
paknya ketekunan pemuda tampan berwajah dingin ini 
memang tidak percuma. Meskipun masih jauh dari 
sempurna, namun kemajuan yang didapatnya terhi-
tung cukup pesat Namun tiba-tiba.... 
Siut!
"Haits...!" 
Wut!
Trang! Trang!
Ekalana yang tengah memusatkan seluruh perha-
tiannya dalam memainkan pedang, memutar tubuh 
dengan kecepatan yang mengagumkan. Pedang di tan-
gannya berkelebat dua kali mematahkan serangan dua 
bilah pisau terbang yang meluncur mengancam tu-
buhnya. Terdengar suara berdentang nyaring, yang 
disusul dengan runtuhnya kedua bilah pisau terbang
itu.
"Hebat.., hebat...!" terdengar suara pujian disertai 
tepukan tangan yang cukup ramai. Kemudian muncul 
pemuda jangkung yang tak lain Saranggi. Di belakang-
nya tampak lima orang pekerja lain.
Ekalana sama sekali tidak merasa bangga dengan 
pujian rekan-rekan kerjanya itu. Segera dihentikan 
permainannya lalu berdiri dengan kaki terpentang, 
menatapi wajah mereka satu persatu. Wajah dan sinar 
matanya tetap dingin tanpa menggambarkan perasaan 
apapun. Mulutnya terkatup rapat tanpa kata.
"Ilmu pedangmu benar-benar membuat kami ka-
gum, Ekalana. Dari mana kau mempelajarinya?" Sa-
ranggi, pemuda bertubuh jangkung kembali membuka 
suara.
"Benar, Ekalana. Bolehkah kami ikut mempelaja-
rinya?" Sudana ikut menimpali.
"Dan tentu sangat ampuh bila digunakan untuk 
membantai tikus-tikus got! Hua ha ha...!" Maladi yang 
memang sejak semula tidak menyukai Ekalana, me-
nimpali dengan nada menghina.
Ucapan Maladi langsung disambut gelak tawa ke-
lima rekannya. Bahkan dua di antara mereka sampai 
mengeluarkan air mata saking tak sanggup menahan 
tawa. Maladi sendiri sampai terbungkuk-bungkuk. 
Dan suara tawanya paling keras di antara mereka.
Kali ini Ekalana benar-benar tersinggung. Wajah 
yang biasanya tanpa perasaan kini tampak mengelam, 
meski hanya sesaat. Hanya sinar matanya yang masih 
menunjukkan bahwa pemuda tampan ini merasa ter-
hina. Sedangkan wajahnya kembali seperti semula. 
Dingin tanpa perasaan apapun!
"Hm... apakah kalian tidak mempunyai pekerjaan 
lain kecuali mengganggu kesenanganku? Tidakkah kalian sadar kalau benda yang ada di tanganku ini san-
gat tajam dan membahayakan? Atau kalian ingin men-
coba sendiri ketajaman pedang ini?" ujar Ekalana 
mengingatkan. Sambil berkata demikian ia menimang-
nimang pedang di tangannya.
Saranggi yang merasa bahwa ucapan Ekalana lebih 
ditujukan kepadanya, sama sekali tidak kelihatan gen-
tar. Kakinya melangkah maju dengan sikap siap tem-
pur. Di kedua tangannya telah tergenggam dua bilah 
pisau terbang. Rupanya pemuda jangkung inilah yang 
menyerang Ekalana dengan pisau terbang. Itu sebab-
nya ia merasa bahwa tantangan Ekalana memang ditu-
jukan kepadanya.
"Rupanya kau merasa sudah menjadi jagoan, heh?! 
Apa pikir mu cuma kau saja yang bisa memegang dan 
memainkan pedang? Ayo, kita buktikan bahwa per-
mainan pedangmu memang cuma pantas digunakan 
untuk membantai tikus got!" ujar Saranggi dengan si-
kap menantang. Wajah pemuda jangkung ini tampak 
berang. Dirinya memang selalu mencari alasan agar 
bisa menghajar Ekalana. Saranggi tidak suka dengan 
sikap dingin dan angkuh pemuda tampan itu. Sudah 
beberapa kali ia memancing keributan. Namun baru 
kali ini Ekalana meladeninya. Suatu kesempatan yang 
sudah lama dinantikannya.
Ekalana menarik sudut bibirnya, membentuk se-
nyum mengejek. Sepasang matanya tampak bersinar-
sinar, seolah merasa gembira tantangannya mendapati 
sambutan. Pemuda tampan itu pun me-langkah maju 
dua tindak, hingga jarak keduanya hanya terpisah ku-
rang dari satu tombak.
Lima orang pekerja lainnya tidak berusaha men-
cegah. Mereka malah sengaja menjauh, agar arena 
perkelahian bertambah luas. Kemudian masing-masing

mencari tempat yang enak untuk menyaksikan perke-
lahian yang kelihatannya memang akan segera ber-
langsung itu.
Saranggi dan Ekalana sendiri sudah berdiri tegak 
saling tatap dengan kaki terpentang. Berbeda dengan 
Ekalana, yang terlihat tetap dingin dan angkuh, Sa-
ranggi tampak agak tegang. Hal itu disebabkan Sa-
ranggi memang hampir tidak pernah bertarung. Lain 
halnya dengan Ekalana, yang sebelum bekerja di pe-
ternakan Juragan Mahinta, telah banyak mengalami 
pertempuran. Dan menganggap perkelahian yang bak-
al dihadapinya hanyalah sekadar permainan anak-
anak.
Namun sebelum keduanya bergerak saling gebrak, 
tiba-tiba terdengar suara gemuruh derap kaki kuda di 
kejauhan. Sudana dan empat orang pekerja lainnya 
sudah berlompatan ke luar dari kandang. Karena tidak 
biasa peternakan itu didatangi orang luar, kelimanya 
tidak mempedulikan Saranggi dan Ekalana yang sudah
siap saling gebrak. Mereka bergegas untuk melihat 
siapa rombongan berkuda yang berkunjung ke peter-
nakan.
Saranggi sendiri kelihatan gelisah. Beberapa kali ia 
menoleh ke luar kandang. Sampai akhirnya mengambil 
keputusan untuk menunda persoalan itu, lalu me-
lompat ke luar tanpa berkata sepatah kata pun. Kare-
na rombongan penunggang kuda itu sudah mulai ter-
lihat sebagian.
Tidak demikian halnya dengan Ekalana. Pemuda 
tampan berwajah dingin ini malah menutup rapat pin-
tu kandang. Kemudian merunduk dan mengintai dari 
celah-celah pintu, yang memang dibuat tidak rapat.
Sementara itu, di luar kandang terlihat Juragan 
Mahinta berdiri tegak menyambut kedatangan rombongan orang berkuda yang datang ke tempatnya. Sa-
ranggi dan kawan-kawannya berdiri di kiri dan kanan 
Juragan Mahinta, siap melindungi majikan mereka ka-
lau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Hm... angin apa yang membawamu sampai ke 
tempat ini, Ki Baswara?" sapa Juragan Mahinta kepa-
da penunggang kuda terdepan, yang berhenti di hada-
pannya. Kemudian Juragan Mahinta mengangguk ke-
pada seorang lelaki lain, di sebelah kanan Juragan 
Baswara. "Selamat datang, Ki Windudarta!" lanjutnya 
menyapa lelaki gagah berusia lima puluh tahun, yang 
merupakan Kepala Desa Sindang Laya.
"Maaf, kalau kedatangan kami mengejutkanmu, Ki 
Mahinta. Aku sendiri tidak mempunyai kepentingan 
khusus kecuali menemani Ki Baswara. Beliau ingin 
menanyakan sesuatu kepadamu," jelas Ki Windudarta 
menerangkan kepada Juragan Mahinta setelah balas 
mengangguk.
"Ki Mahinta," ujar Juragan Baswara dengan sikap 
angkuh, dan tetap duduk di atas punggung kuda. "Se-
benarnya sudah lama aku menaruh curiga ter-hadap 
dirimu. Beberapa kali kiriman uang pembayaran dari 
langganan-langganan ku tak sampai ke tanganku. Ba-
ru beberapa hari yang lalu aku menerima laporan 
bahwa perampok yang selama ini menjarah uang kiri-
man itu, melarikan diri ke tempat ini! Orang-orangku 
tak berani melanggar batas wilayah kekuasaanmu. Me-
reka hanya melaporkan kepadaku bahwa perampok itu 
menghilang di daerah peternakan ini! Dan sekarang 
aku merasa yakin bahwa kaulah yang menjadi biang 
keladi dari semua perampok itu! Kau pasti merasa iri 
dengan usahaku lebih maju daripada usahamu!"
Wajah Juragan Mahinta memerah karena merasa 
kaget mendengar tuduhan Juragan Baswara. Saat itu

juga ia sudah dapat menebak siapa orang yang dimak-
sudkan Juragan Baswara, saingan dagangnya itu. Sia-
pa lagi pelaku perampok itu kalau bukan Ekalana. 
Dugaannya semakin kuat ketika tidak menemukan 
pemuda tampan itu di antara pekerja-pekerjanya.
Namun bukan berarti bahwa Juragan Mahinta 
akan sudi menyerahkan Ekalana kepada Juragan 
Baswara. Hal itu tidak akan dilakukan, karena ia tahu 
betul siapa sebenarnya Juragan Baswara. Seorang ju-
ragan licik, yang tidak segan-segan berlaku curang un-
tuk menyingkirkan saingan dagangnya. Selain itu, di-
rinya pun tahu bahwa Ki Windudarta berada di pihak 
Juragan Baswara, yang dengan hartanya telah mem-
buat Kepala Desa Sindang Laya tunduk dan selalu 
berpihak kepadanya.
Kecuali itu, Juragan Mahinta juga tahu bahwa Ju-
ragan Baswara merupakan seorang pemeras ter-hadap 
golongan lemah. Tak seorang pun yang berani menen-
tang kekuasaannya. Karena secara tidak langsung, Ju-
ragan Baswara merupakan penguasa Desa Sindang 
Laya. Memang semua kekejamannya tidak dilakukan 
secara terang-terangan. Kendati demikian, hal itu su-
dah bukan rahasia lagi. Hanya saja tidak pernah ada 
orang yang berani menentangnya.
Juragan Mahinta sendiri belum lama mendirikan 
peternakan di tempat itu. Dirinya merupakan penda-
tang dari daerah selatan. Keberadaannya di tempat itu 
bukan tanpa gangguan. Pada awalnya, seringkali ter-
jadi kebakaran ataupun pencurian ter-hadap binatang 
ternaknya. Namun sejauh itu hatinya tetap tabah 
menghadapi berbagai gangguan. Dengan bantuan 
enam pekerjanya yang terdiri dari orang-orang muda, 
akhirnya dia berhasil melewati masa-masa sulit. Bah-
kan lama-kelamaan dia dapat menebak siapa dalang

dari semua kejadian itu. Hal itu baru diketahui dari 
beberapa orang pelanggannya yang membatalkan pe-
sanan, dan menyeberang kepada Juragan Baswara.
Namun Juragan Mahinta tidak pernah patah se-
mangat. Dirinya terus berusaha dan mencari langga-
nan-langganan baru, serta menyediakan kuda-kuda pi-
lihan yang sehat dan kuat, ataupun sapi-sapi gemuk 
yang tidak berpenyakitan. Dan usahanya berjalan lan-
car, meskipun Juragan Baswara masih terus berusaha 
untuk menghancurkan.
Kali ini Juragan Baswara melemparkan fitnah ke-
padanya sebagai dalang dari perampokan atas kiriman 
uang juragan itu. Namun Juragan Mahinta nampak te-
tap tenang. Sebab tuduhan itu tidak mempunyai dasar
yang kuat. Dan ia percaya bahwa Ki Windudarta masih 
merasa segan kepadanya. Sehingga ia harus tetap te-
nang agar tidak mudah terpancing oleh tuduhan tak 
berdasar itu.
"Ki Baswara," ujar Juragan Mahinta setelah mena-
rik napas beberapa kali. "Tuduhanmu sama sekali ti-
dak berdasar. Aku sama sekali tidak tahu menahu soal 
perampokan yang kau katakan itu. Harap kau tarik 
kembali fitnah yang bisa jadi bumerang bagi dirimu."
"Hm..., kau masih hendak menyangkal?" tukas Ju-
ragan Baswara yang kemudian berpaling ke arah dela-
pan orang pengikutnya, "Kalian geledah seluruh tem-
pat ini!" perintahnya dengan suara lantang.
"Tunggu...!" seru Juragan Mahinta ketika melihat 
keenam orang pekerjanya sudah siap untuk mencegah 
perbuatan para pengikut Juragan Baswara. Kemudian 
berpaling ke arah Ki Windudarta. "Aku jelas keberatan 
dengan apa yang akan dilakukan Juragan Baswara. 
Harap kau mempertimbangkannya, Ki Windudarta."
Ki Windudarta menghela napas sesaat. Kemudian

berpaling menatap Juragan Baswara.
"Sebaiknya kita jangan terburu nafsu, Ki," ujar Ki 
Windudarta kepada Juragan Baswara, "Persoalan ini 
sama sekali belum jelas. Aku tidak ingin sampai terjadi 
pertumpahan darah hanya karena sesuatu yang belum 
tentu dilakukan Juragan Mahinta. Sebaiknya kita seli-
diki dulu kebenarannya. Dan kalau akhirnya ternyata 
Juragan Mahinta yang menjadi dalang dari semua pe-
rampokan itu, rasanya belum terlambat bagi kita un-
tuk bertindak."
"Hm...," Juragan Baswara menggeram tak puas, ta-
pi tidak bisa berkata apa-apa. Karena tuduhannya 
memang tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan kalaupun 
ia berkeras melakukan penggeledahan, sudah pasti 
pertumpahan darah akan terjadi. Memang ia tahu pi-
haknya pasti akan memperoleh kemenangan. Namun, 
ia tidak ingin namanya tercemar dan dikecam orang 
banyak. Maka, segera diputuskan untuk menerima sa-
ran Ki Windudarta, tentu saja hanya ucapan di mulut. 
Karena dalam kepalanya telah muncul sebuah rencana 
jahat!
"Baiklah. Kali ini aku masih bermurah hati. Tapi 
ingat! Apabila suatu hari nanti terbukti bahwa kau 
yang menjadi dalang dari perampokan itu, akan kau 
rasakan akibatnya!"
Setelah berkata demikian, Juragan Baswara men-
gajak para pengikutnya untuk meninggalkan tempat 
itu.
"Kuharap kau benar-benar bersih, Ki Mahinta...," 
ucap Ki Windudarta sebelum meninggalkan tempat itu. 
Baru kemudian memutar kudanya dan bergerak me-
nyusul rombongan Juragan Baswara.
"Lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing...!" pe-
rintah Juragan Mahinta kepada Saranggi dan kawan

kawannya, setelah rombongan Juragan Baswara se-
makin jauh dan lenyap dari pandangan. 
***
"Hendak ke mana kita, Ki? Mengapa hari ini kau 
memberikan pakaian-pakaian bagus untuk kami ke-
nakan?" Tanya Saranggi kepada majikannya ketika Ju-
ragan Mahinta memerintahkan para pekerjanya, ter-
masuk Ekalana untuk berpakaian rapi.
"Malam nanti ada pesta di Desa Sindang Laya. Ki 
Windudarta mengirimkan undangan kepadaku, dan
mengajak kalian semua untuk ikut menghadirinya," 
jawab Juragan Mahinta, yang saat itu sudah mengena-
kan pakaian indah dan terlihat masih baru.
"Pesta apa, Ki?" Sudana yang juga sudah menge-
nakan pakaian baru dan bagus, pemberian majikan-
nya, bertanya ingin tahu.
"Tahun ini hampir semua penduduk panennya 
berhasil. Sebagai tanda rasa kegembiraan, warga desa 
hendak mengadakan pesta semacam syukuran," jawab 
Juragan Mahinta menjelaskan, "Ayo, kita segera be-
rangkat!" lanjutnya setelah semua pekerja sudah siap 
untuk berangkat.
Saranggi dan kawan-kawannya tampak demikian 
gembira, kecuali Ekalana yang sama sekali tidak beru-
bah. Wajahnya tetap dingin dan angkuh. Kendati de-
mikian, ia tetap menyertai majikannya untuk mengha-
diri pesta yang diadakan oleh penduduk Desa Sindang 
Laya.
"Ki, apakah ini bukan suatu jebakan? Tindakkah 
sebaiknya satu atau dua orang dari kami tinggal untuk 
menjaga peternakan?" ujar Saranggi sebelum mereka 
berangkat dengan menunggang kuda. Pemuda jangkung ini mendekati majikannya yang duduk di dalam 
kereta kuda.
"Kau tidak perlu khawatir, Saranggi. Ki Windudarta 
sudah memberikan jaminan bahwa peternakan kita ti-
dak bakal ada yang mengganggu. Ia bertanggung jawab 
jika ada sesuatu yang terjadi pada tempat ini," jelas 
Juragan Mahinta menenangkan hati Saranggi.
Jawaban Juragan Mahinta sudah tentu membuat 
Saranggi tidak lagi merasa khawatir. Rombongan pun 
langsung berangkat seiring dengan cuaca yang mulai 
remang-remang. Setelah melewati Hutan Burangrang, 
yang memang tidak terlalu luas, rombongan Juragan 
Mahinta pun tiba di desa, tempat pesta dilangsungkan. 
Saat itu kegelapan telah menyelimuti permukaan bu-
mi. Ki Windudarta sendiri yang menyambut kedatan-
gan rombongan Juragan Mahinta.
Pesta baru saja dimulai. Seluruh warga desa ber-
kumpul di tempat itu dengan wajah berseri-seri. Meja-
meja panjang dengan bermacam-macam hidangan te-
lah tersedia di beberapa tempat. Siapa saja bebas me-
milih dan mengambil makanan yang diinginkan, tanpa 
harus dilayani. Para penduduk membentuk sebuah ke-
lompok dan meramaikan pesta dengan bermacam cara. 
Demikian pula dengan anak-anak, yang terlihat berla-
rian kian kemari. Tampaknya warga Desa Sindang 
Laya benar-benar menikmati keramaian pesta panen 
itu.
Juragan Mahinta melangkah perlahan di tengah 
keramaian pesta. Sesekali ia mengangguk dan ter-
senyum kepada warga desa yang menyapanya. Terka-
dang langkahnya terhenti beberapa saat untuk me-
nyaksikan pertunjukan salah satu kelompok yang di-
buat penduduk. Kemudian kembali melangkah perla-
han untuk menyaksikan pertunjukan lainnya.

Sementara itu, Saranggi dan kawan-kawannya ikut 
berbaur dengan penduduk. Ketujuh pekerja ini me-
mang diberi kebebasan oleh Juragan Mahinta untuk 
ikut larut dalam suasana pesta. Sehingga, mereka ti-
dak mau melewatkan kesempatan untuk menari ber-
sama gadis-gadis desa yang malam itu sengaja berhias 
secantik mungkin untuk menarik lawan jenisnya. Bu-
kan suatu hal yang aneh kalau arena pesta juga meru-
pakan ajang untuk mencari jodoh.
"Ekalana, mengapa dalam keramaian seperti ini 
kau masih saja lebih suka menyendiri? Bergembiralah, 
carilah pasangan untuk menari!" salah seorang pekerja 
Juragan Mahinta melangkah ke arah Ekalana yang 
tampak lebih suka duduk menyaksikan keramaian 
sambil sesekali meneguk tuak dengan tempat minum 
dari bambu.
Ekalana tersenyum tipis. Ditatapnya wajah pekerja 
yang ia kenal bernama Jirana. Usia mereka tidak ber-
selisih jauh. Selama bekerja di peternakan Juragan 
Mahinta, hanya Jirana inilah yang agak dekat dengan-
nya. Meskipun Ekalana tetap menjaga jarak dan tertu-
tup, Jirana tidak merasa tersinggung. Dan masih tetap 
suka menemani Ekalana.
"Kau pun sepertinya tidak mendapatkan pasangan 
untuk menari, Jirana?" tukas Ekalana.
Jirana memang tidak mendapat pasangan untuk 
menari. Pemuda yang berperawakan kekar ini tampak 
kebingungan. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. 
Namun yang dicarinya tak juga didapatkan. Tak seo-
rang gadis pun yang terlihat sendiri. Mereka sudah
mendapatkan pasangan masing-masing.
"Rupanya nasibku sedang sial hari ini...," desah Ji-
rana menghela napas panjang. Bam saja hendak men-
jatuhkan tubuhnya duduk di sebelah Ekalana, tiba

tiba matanya menangkap sosok gadis cantik yang ter-
lihat tidak ikut menari seperti lainnya. Kecantikan ga-
dis yang terlihat murung itu sempat menggetarkan hati 
Jirana. Membuat pemuda ini bagaikan terkena sihir. 
Menatap lurus tanpa berkedip.
Sikap Jirana tentu saja membuat kening Ekalana 
berkerut Karena sosok pemuda kekar itu berdiri tepat 
di depan hidungnya, seperti patung. Ekalana baru
mengerti ketika matanya mengikuti pandangan Jirana. 
Dan merasa maklum mengapa rekannya seperti orang 
yang terkena pengaruh sihir. Sosok gadis yang tengah 
dipandangi Jirana memang sangat cantik dan mempe-
sona. Sayangnya Ekalana menemukan sosok lain, yang 
berdiri di samping gadis cantik itu. Dan sosok itu ia 
kenal sebagai Juragan Baswara. Sekali pandang saja 
Ekalana sadar bahwa gadis cantik itu tentu milik Ju-
ragan Baswara, saingan majikannya.
"Gadis itu memang cantik..," desis Ekalana. Perka-
taan itu tentu saja ditujukan kepada rekannya. 
"Sayang ia mungkin milik Juragan Baswara. Tapi ka-
lau kau memintanya baik-baik untuk pasangan mena-
ri, kurasa Juragan Baswara akan memperbolehkan-
nya," lanjutnya memberi dorongan kepada Jirana.
'Tapi... aku tidak ingin membuat pesta ini kacau...," 
tukas Jirana meragu. Namun sepasang matanya jelas 
menunjukkan keinginan yang besar untuk mengikuti 
anjuran Ekalana.
"Kau tak perlu membuat kekacauan, Jirana. Kata-
kan saja kepada Juragan Baswara, bahwa kau cuma 
menginginkan gadis itu sebagai pasangan menari. Aku 
yakin jawabannya akan diserahkan kepada gadis itu. 
Karena Juragan Baswara pun tidak menghendaki keri-
butan di depan orang banyak" ujar Ekalana lagi mem-
beri harapan kepada kawannya.

Jirana berpikir sesaat Kemudian menganggukkan 
kepala dan mengayunkan langkah menghampiri tem-
pat gadis itu berada.
Kening Juragan Baswara langsung berkerut ketika 
melihat seorang pemuda kekar menghentikan langkah 
di depannya. Ia ingat pemuda itu merupakan salah 
seorang pekerja Juragan Mahinta. Namun ia tidak ber-
buat apa-apa, kecuali hanya memandang tajam dan 
ingin tahu apa tujuan Jirana mendatanginya.
Jirana yang menghentikan langkahnya tepat di de-
pan si gadis cantik, sama sekali tidak menoleh ke arah 
Juragan Baswara. Dan tanpa mempedulikan kebera-
daan Juragan Baswara, dia langsung saja meminta ke-
sediaan gadis cantik itu untuk menari bersamanya.
"Dik maukah kau menemaniku menari...?" Tanya 
Jirana menatap lekat-lekat wajah cantik di depannya.
Gadis cantik berwajah murung itu sudah merasa 
heran ketika melihat ada seorang pemuda menghampi-
rinya. Kini hatinya kaget mendengar permintaan yang 
sama sekali di luar dugaannya.
Permintaan Jirana membuat sepasang matanya 
yang semula redup tampak berbinar. Namun hanya 
sesaat, karena kembali sayu tak bergairah. Kemudian 
wajahnya berpaling ke arah Juragan Baswara. Tidak 
seperti apa yang dibayangkannya, Juragan Baswara 
ternyata mengangguk, memberi kesempatan untuk 
memenuhi permintaan Jirana. Karuan saja wajah can-
tik itu berseri-seri. Tanpa menunggu lagi, langsung 
disambutnya uluran tangan Jirana. Lalu mengikuti 
langkah pemuda kekar itu ke tempat yang agak la-
pang. Membaurkan diri bersama orang banyak yang 
tengah menari, diiringi tetabuhan gamelan yang riuh 
rendah.
Ekalana yang sejak tadi memperhatikan Jirana
mengulas senyum tipis. Hatinya ikut merasa gembira 
melihat Jirana telah berhasil mendapatkan pasangan 
menari. Ketika melihat Jirana menoleh dan melempar 
senyum ke arahnya, Ekalana mengangkat gelas bam-
bunya. Lalu meneguk tuak harum di dalamnya.
***
TIGA


Juragan Baswara mengalihkan perhatiannya dari 
Jirana dan gadis cantik yang berkebaya putih itu. Ka-
rena ia menangkap adanya sosok lain yang baginya 
jauh lebih menarik. Setelah mengerling kepada lelaki 
tinggi besar di samping kanannya dia memberikan 
isyarat dengan gerakan kepala.
Lelaki tinggi besar itu rupanya salah seorang tu-
kang pukul Juragan Baswara. Paham apa yang diin-
ginkan majikannya, ia bergegas melangkah men-dekati
sosok yang menjadi perhatian Juragan Baswara. Den-
gan sengaja lelaki tinggi besar membenturkan tubuh-
nya keras-keras. 
"Uhhh...?!"
Juragan Mahinta berseru tertahan. Tubuhnya ter-
huyung mundur, nyaris terjengkang. Untung ia masih 
sempat menyelamatkan diri, hingga tidak sampai terja-
tuh.
"Bangsat, apa matamu buta! Atau kau sengaja 
hendak mencari keributan?" lelaki tinggi besar ini 
membentak marah dan langsung melayangkan tin-
junya ke wajah Juragan Mahinta.
Tentu saja Juragan Mahinta menjadi kaget di-
buatnya. Merasa bersalah karena dalam melangkah

tadi ia tidak begitu memperhatikan orang di depan-
nya, Juragan Mahinta tidak mau meladeni. Sambaran 
kepalan tangan lelaki tinggi besar itu dielakkan dengan 
menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga pukulan
yang menimbulkan angin menderu itu lewat di depan
wajahnya.
"Maaf, aku terima salah...," ujar Juragan Mahinta 
meminta maaf atas kejadian itu. Dirinya sama sekali 
tidak menyangka kalau lelaki tinggi besar itu kaki tan-
gan Juragan Baswara, yang sengaja mencari perkara.
"Aku terima permintaan maafmu, Manusia Buta! 
Tapi sebelumnya kau harus menerima sebuah puku-
lanku!" tukas lelaki tinggi besar yang langsung me-
rangsek maju sambil melayangkan tinjunya dengan 
sekuat tenaga.
"Hei, tahaan..!"
Dan....
Plak!
Orang yang berseru mencegah langsung menye-
ruak, dan mengangkat lengan menangkis pukulan tu-
kang pukul Juragan Baswara. Sehingga, terdengar su-
ara dua batang lengan yang saling berbenturan.
"Kurang ajar! Rupanya kau ingin membela maji-
kanmu, heh?" bentak tukang pukul Juragan Baswara 
penuh kegeraman. Sepasang matanya melotot bagai 
hendak menelan lelaki berwajah brewok yang mengga-
galkan serangannya.
Namun lelaki brewok yang ternyata Sudana, sama 
sekali tidak merasa gentar. Dia berdiri tegak dengan 
kedua kaki terpentang, siap melindungi majikannya 
dengan taruhan nyawa! Sudana ingat lelaki tinggi be-
sar itu, pernah dilihatnya bersama Juragan Baswara, 
ketika mendatangi peternakan Juragan Mahinta. Itu 
sebabnya ia langsung meninggalkan gadis pasangan
menarinya ketika melihat majikannya tengah mengha-
dapi kesulitan.
"Hei, Kerbau Gila! Aku tahu siapa dirimu! Dan aku 
juga tahu kalau kau sengaja mencari perkara dengan 
majikanku. Tapi, meskipun tubuhmu sebesar kerbau 
bunting, aku, Sudana sama sekali tidak gentar! Nah, 
kalau kau memang belum puas, hayo, akulah lawan 
mu! Tapi kalau kau takut, menyingkirlah dan minta 
perlindungan dengan tuan besarmu sana!" ujar Suda-
na tanpa rasa takut sama sekali. Padahal ukuran tu-
buh tukang pukul Juragan Baswara hampir dua kali 
lipat besarnya. Bahkan tinggi tubuh Sudana hanya 
sampai sebatas bahunya. Tentu saja perkelahian yang 
tidak sebanding itu menarik perhatian orang banyak. 
Namun bukannya melerai, mereka malah membuat 
lingkaran hingga membentuk sebuah arena yang cu-
kup luas. Kemudian terdengar tepuk sorai warga desa, 
memberikan semangat kepada kedua orang yang siap 
saling bertarung.
Sudana tersenyum-senyum penuh kebanggaan, 
sambil melangkah mondar-mandir dengan dada di-
busungkan. Tarikan bibirnya membentuk senyum 
mengejek, yang membuat lawannya mendengus bagai-
kan banteng liar.
"Kupecahkan batok kepalamu, Bangsat...! 
Yeaattt..!"
Whuuuttt..!
Kepalan yang besar dan kekar bergerak me-
nyambar kepala Sudana. Namun, dengan sebuah ge-
rakan yang manis, pemuda brewok ini merunduk dis-
ertai geseran kaki kanannya ke depan. Tubuhnya lang-
sung menyeruak melalui ketiak lawan. Seketika itu pu-
la kepalan tangannya langsung bekerja dengan baik.
Buk!

"Hukh...!"
Tukang pukul Juragan Baswara melenguh ter-
tahan. Wajahnya menyeringai kesakitan karena lam-
bungnya tersengat kepalan Sudana. Dan ketika tu-
buhnya terhuyung mundur, Sudana melompat berpu-
tar, mengirimkan sebuah tendangan keras!
Lagi-lagi tubuh lelaki tinggi besar itu terjajar lim-
bung. Tendangan Sudana yang singgah di tengkuknya
membuat tukang pukul Juragan Baswara menjerit ke-
sakitan. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha mengim-
bangi tubuhnya agar tidak sampai jatuh. Kemudian 
menyergap Sudana dengan serangkaian pukulan yang 
membabi-buta, persis kerbau gila yang mengamuk.
Namun Sudana ternyata cukup lincah. Setiap se-
rangan pukulan lawan selalu dapat dihindarinya den-
gan baik. Bahkan satu dua pukulannya mendapatkan
sasaran yang tepat, membuat lawan semakin kalap. 
Hal itu justru membuat Sudana semakin bersemangat. 
Sampai akhirnya ia mendapatkan kesempatan baik 
untuk melompat dan melepaskan tamparan dengan 
kedua telapak tangannya ke kedua telinga lawan.
Plak!
Tubuh tukang pukul Juragan Baswara langsung 
oleng. Tamparan kedua telapak tangan Sudana terasa 
bagai hentakan palu godam di kepalanya, membuat 
tubuh raksasa ini langsung berdebam ambruk tak sa-
darkan diri.
Kemenangan Sudana yang di luar dugaan langsung 
disambut warga desa berteriak dengan bertepuk dan 
sorak-sorai. Bahkan Saranggi dan Maladi sudah me-
lompat ke tengah arena dan mengangkat tinggi-tinggi 
tubuh rekannya sambil berteriak-teriak gembira.
Demikian juga dengan orang-orang yang gila judi. 
Mereka tadi langsung saling bertaruh ketika melihat

ada dua orang yang sudah siap tarung. Dan yang ber-
taruh untuk kemenangan Sudana, melampiaskan ke-
gembiraannya dengan macam-macam cara. Bahkan 
beberapa orang petaruh yang menang, bergegas meng-
hampiri Sudana. Masing-masing dari mereka membe-
rikan sekantung uang kepada pemuda brewok itu. Ka-
rena peluang untuk menang bagi Sudana sangat tipis, 
ada beberapa orang yang berani bertarung satu band-
ing lima untuk kemenangan lawan Sudana. Kemenan-
gan yang cukup banyak, membuat mereka tak segan-
segan memberikan sekantung uang kepada pemuda 
itu, sebagai tanda kegembiraan.
"Saranggi, kumpulkan kawan-kawanmu!" perintah 
Juragan Mahinta kepada Saranggi, orang kepercayaan-
nya, "Kita kembali!" lanjutnya, lalu memutar tubuh 
meninggalkan balai desa, tempat diadakannya pesta 
itu.
Tanpa membantah, Saranggi segera mengajak ka-
wan-kawannya untuk kembali ke peternakan. Rom-
bongan Juragan Mahinta pun bergerak meninggalkan 
balai desa, diiringi pandang mata penuh dendam dari 
Juragan Baswara.
"Keparat itu harus segera dilenyapkan...!" desis Ju-
ragan Baswara penuh kebencian. Kemudian me-
lanjutkan dengan suara berbisik kepada empat orang 
tukang pukul yang berada di kiri dan kanannya.
Keempat orang tukang pukul itu sama-sama men-
ganggukkan kepala. Dua orang di antaranya bergerak 
meninggalkan balai desa. Sedangkan dua lagi mengi-
ringi langkah majikannya sambil menggotong tubuh 
kawannya, si lelaki tinggi besar yang belum sadarkan 
diri.
***

Brak!
Daun pintu rumah besar itu langsung jebol ter-
kena tendangan seorang lelaki gemuk berkumis lebat, 
yang kemudian langsung menerobos masuk dengan 
wajah beringas.
"Siapa... siapa kalian...?! Mau apa kalian...?!"
Dua orang perempuan berumur sekitar empat pu-
luh tahun, berpakaian seperti pelayan, tampak kebin-
gungan mengetahui kedatangan lelaki gemuk.
"Minggir kalian! Mana itu si Keparat Mahinta...?!" 
bentak lelaki gemuk berkumis lebat sambil mengi-
baskan kedua tangannya. Karuan saja kedua orang 
perempuan itu terlempar membentur dinding, dan 
langsung tak sadarkan diri. Sedangkan lelaki tinggi be-
sar itu terus berjalan. Di belakangnya tampak dua 
orang lelaki lain berwajah beringas.
Juragan Mahinta yang saat itu tengah berada di 
dalam kamarnya, bergegas menutup buku yang tengah 
dibacanya. Kemudian buru-buru keluar, setelah me-
nyimpan buku daftar pesanan yang tengah diteliti-nya. 
Suara ribut-ribut di luar kamar, membuatnya merasa 
perlu untuk memeriksa. Namun betapa terkejutnya ha-
ti lelaki setengah baya itu ketika melihat tiga orang le-
laki berwajah beringas tengah berjalan menghampi-
rinya.
"Siapa kalian? Apa maksud kalian membuat keri-
butan di rumahku?" tegur Juragan Mahinta, meskipun 
ia tahu dari tarikan wajah tamu tak di-undang itu, je-
las bermaksud tidak baik. Tubuhnya melompat ke 
samping kanan, mendekati rak senjata berada. Kemu-
dian menyambar sebatang golok besar yang terdapat di 
rak senjata.
"Siapa adanya kami kau tak perlu tahu, Mahinta! 
Yang jelas kami datang untuk membunuhmu! Bersiap

lah untuk melayat ke neraka!" tukas lelaki gemuk ber-
kumis lebat, yang langsung memerintah dengan gera-
kan tangan agar kedua rekannya menyebar.
"Kisanak. Di antara kita belum pernah berjumpa, 
apalagi bermusuhan. Kalau sekarang kau hendak 
membunuhku, tentu ada sebab-sebabnya. Dapatkah 
kau jelaskan sebab-sebab itu...?" ujar Juragan Mahin-
ta sambil berusaha mengenali salah satu dari ketiga 
tamunya. Terutama lelaki gemuk berkumis lebat, yang 
ia duga merupakan pimpinan dari dua orang lainnya.
"Huh, aku tak punya banyak waktu dengan segala 
macam keterangan, Mahinta! Sekarang terimalah ke-
matianmu...!" usai berkata demikian, lelaki gemuk 
berkumis lebat langsung menerjang maju dengan sen-
jata berupa sebuah clurit berwarna hitam.
Sedangkan dua lelaki yang mengapit Juragan Ma-
hinta tidak terlihat hendak membantu pimpinan-nya. 
Mereka hanya berjaga-jaga agar jangan sampai pemilik 
peternakan itu sempat melarikan diri. Meskipun demi-
kian, di tangan keduanya terlihat senjata yang serupa 
dengan apa yang digunakan pimpinan mereka.
***
Sementara itu, Saranggi yang tengah meng-
gembalakan sapi bersama tiga orang rekannya, tampak 
agak gelisah. Tidak seperti biasanya, hari ini dadanya 
selalu berdebar tanpa sebab. Dan ada suatu perasaan
aneh yang mendorongnya agar segera kembali ke pe-
ternakan.
"Maladi!" panggil Saranggi kepada Maladi, yang 
sama dengan dirinya, menunggang seekor kuda, bera-
da sekitar tiga tombak di sebelah kirinya.
Maladi menggerakkan kudanya menghampiri Saranggi
"Entah mengapa, hari ini hatiku selalu berdebar. 
Bagaimana kalau kita kembali saja ke peternakan? Ha-
tiku khawatir kalau-kalau ini merupakan suatu per-
tanda tidak baik," ujar Saranggi berterus terang kepa-
da rekannya.
"Aneh...?!" desis Maladi yang wajahnya mendadak 
cemas. "Hatiku pun merasa tak karuan. Sebaiknya 
kembali dulu ke peternakan agar hati kita merasa te-
nang. Mudah-mudahan ini cuma perasaan kita saja...."
Saranggi mengangguk. Kemudian berpaling ke arah 
Sudana, yang berada sekitar empat tombak di sebelah 
kanannya.
"Sudana, aku dan Maladi akan pulang sebentar! 
Kau dan Rapati tetaplah di sini! Sebentar kami akan 
kembali lagi ke sini...!" teriak Saranggi kepada Sudana, 
yang disambut dengan menganggukkan kepala, meski 
merasa heran.
Kemudian, tanpa membuang-buang waktu, Sa-
ranggi segera menggebah kudanya, yang langsung me-
lesat bagaikan dikejar setan. Di samping kirinya terli-
hat Maladi melakukan hal yang serupa. Kedua pemuda 
itu seperti berlomba untuk tiba di peternakan, yang 
berjarak cukup jauh dari padang rumput tempat me-
reka menggembalakan sapi-sapi majikan-nya.
Di tengah perjalanan, keduanya berjumpa dengan 
tiga pedati yang dikendarai Ekalana, Jirana, dan Sa-
bung Waluya. Ketiganya baru saja kembali dari me-
nyabit rumput untuk makanan kuda.
"Hei, hendak ke mana kalian? Mengapa memacu 
kuda seperti dikejar setan belang?" Jirana berteriak 
menegur Saranggi dan Maladi, yang melewati ketiga 
pedati berisi rumput itu tanpa menegur, Keduanya 
hanya menoleh sekilas.

Namun, baik Saranggi maupun Maladi sama sekali 
tidak menyahut. Mereka terus membedal binatang 
tunggangannya, meninggalkan ketiga pedati pembawa 
rumput.
Ekalana yang mengendarai pedati paling depan, 
mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh melihat sikap 
Saranggi dan Maladi yang dianggapnya tidak wajar. Se-
telah berpikir sesaat, ia langsung saja berseru kepada 
kedua orang kawannya di belakang.
"Jirana, Sabung Waluya, kita harus mengejar me-
reka! Mendadak saja perasaanku tidak enak melihat 
sikap mereka yang tidak seperti biasanya itu...!"
Tanpa menunggu jawaban, Ekalana mencambuk 
kuda penarik pedati berkali-kali. Membuat binatang 
itu terlonjak kaget, lalu segera berlari lebih cepat. Ka-
ruan saja pedati yang dibawa lari cepat itu berdetak 
dan melonjak-lonjak. Namun Ekalana sama sekali ti-
dak peduli. Pecut di tangannya masih meledak-ledak 
mencambuki badan kuda. Pemuda berwajah dingin ini
ternyata cukup ahli menjaga keseimbangan pedatinya. 
Dengan pengerahan tenaga dalam yang diatur sedemi-
kian rupa, pedati itu terus meluncur, kendati beberapa 
kali nyaris terbanting.
Berbeda dengan Jirana dan Sabung Waluya. Kedu-
anya tak mampu mengatur keseimbangan pedati. Ma-
ka, tanpa ampun lagi, pedati yang dikendarai Jirana 
ambruk, ketika rodanya melindas batu sebesar kepala 
manusia. Begitu pula pedati Sabung Waluya setelah 
rodanya menelusup ke lubang. Untung keduanya cu-
kup sigap, melempar tubuh dan bergulingan di tanah 
berumput kering pinggir jalan. Sehingga, mereka sela-
mat dari bahaya tertimpa pedati.
"Sial..!"
Jirana memaki kesal. Bergegas ia melompat bangun dan membersihkan debu serta rumput kering yang 
mengotori pakaiannya. Ketika melihat kuda penarik 
pedati berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, otak-
nya langsung bekerja cepat. Setelah memutus tali yang 
menghubungkan badan kuda dengan dua batang kayu 
gagang pedati, dia langsung me-lompat ke punggung 
kuda. Kemudian menggebahnya disertai bentakan 
nyaring.
"Heaaa...!"
Sabung Waluya, yang juga berhasil menye-
lamatkan diri, segera mengikuti perbuatan rekannya. 
Kemudian melarikan binatang tunggangannya secepat 
terbang. Meski tidak mengerti mengapa ia mesti ter-
buru-buru seperti itu, namun tetap saja dilakukannya.
***
Niat Saranggi untuk kembali ke peternakan, me-
mang bersamaan waktunya dengan kedatangan lelaki 
gemuk berkumis lebat, yang hendak melenyapkan Ju-
ragan Mahinta. Sewaktu Saranggi bersama Maladi 
hampir tiba di peternakan, tampak tubuh majikan me-
reka tengah diseret ke luar dari dalam rumah oleh dua 
orang lelaki kasar. Di beberapa bagian tubuh Juragan 
Mahinta tampak terdapat luka yang masih mengalir-
kan darah. Meskipun masih hidup, namun keadaan 
Juragan Mahinta sudah setengah mati.
Saranggi yang dari kejauhan sempat menyaksikan 
tubuh majikannya diseret dua orang lelaki, bergegas 
menarik tali kekang kudanya. Karena di depan rumah 
majikannya terdapat kurang lebih dua puluh orang 
penunggang kuda. Saranggi tentu saja tidak ingin ber-
laku nekat, yang sama artinya dengan bunuh diri. Pe-
muda jangkung ini melompat turun dari punggung

kuda, lalu bersembunyi di balik sebatang pohon, me-
nyaksikan apa yang bakal terjadi.
"Apa yang akan dilakukan orang-orang biadab itu 
terhadap majikan kita, Saranggi...?" Tanya Maladi ber-
bisik parau. Hatinya dilanda ketegangan hebat me-
nyaksikan Juragan Mahinta diseret-seret seperti bina-
tang. Seperti halnya Saranggi, Maladi pun tidak ingin 
bertindak bodoh dengan berlaku nekat menyelamatkan 
majikannya. Karena jumlah lawan sangat banyak. Se-
hingga, ia hanya bisa mengutuk menyaksikan perbua-
tan orang-orang tak dikenal itu.
"Entahlah, Maladi...," sahut Saranggi parau dan 
hampir menangis karena merasa tak berdaya untuk 
menolong majikannya.
Keduanya terdiam dengan wajah pucat bersimbah 
keringat dingin. Tiba-tiba Saranggi melompat menge-
jutkan Maladi, karena mendengar suara berderak-
derak dari belakangnya yang semakin jelas. Sadar 
bahwa itu suara roda pedati yang dikendarai salah 
seorang kawannya, Saranggi berlari menyambut untuk 
mencegah dan menghentikannya. Khawatir suara ribut 
itu bisa menarik perhatian para penunggang kuda 
yang berkumpul di depan rumah majikannya.
"Ekalana, berhenti...!" teriak Saranggi berdiri 
menghadang jalan seraya mengangkat kedua tangan-
nya tinggi-tinggi.
Ekalana, yang melihat Saranggi berdiri mengha-
dang di tengah jalan, segera menarik tali kekang ku-
danya. Karuan saja pedati itu terlonjak-lonjak dengan 
suara ribut. Sampai akhirnya berhenti tepat di depan 
Saranggi.
"Mengapa? Ada apa, Saranggi? Kau tampak seperti 
orang yang baru saja melihat setan?" tegur Ekalana se-
telah melompat turun dari atas pedati dan menghampiri Saranggi.
Saranggi tidak berkata apa-apa. Lidahnya terasa 
kelu untuk menceritakan apa yang disaksikannya. 
Tanpa menjawab pemuda jangkung ini memutar tu-
buhnya, dan mengisyaratkan agar Ekalana mengiku-
tinya. Namun, langkah keduanya tertunda oleh suara 
derap kaki kuda yang datang dari belakang mereka. 
Ketika melihat penunggang kuda ternyata Jirana. Sa-
ranggi menghentikannya dan mengisyaratkan agar Ji-
rana segera turun.
Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi Sabung 
Waluya menyusul datang. Melihat tiga orang kawannya 
berkumpul di tempat itu, Sabung Waluya langsung 
menghentikan kudanya dan melompat turun tanpa di-
perintah. Kemudian bergegas mengikuti langkah ka-
wan-kawannya tanpa sempat bertanya.
Saranggi mengajak ketiga orang kawannya untuk 
mengintai dari tempat yang tersembunyi. Saat itu me-
reka menyaksikan tubuh Juragan Mahinta diseret ke 
arah kandang kuda oleh dua orang lelaki. Tampak pu-
la seorang lelaki berpakaian hitam membawa segulung 
tali.
"Ini tidak bisa didiamkan! Kita harus menolong Ki 
Mahinta!" Ekalana yang merasa geram karena sadar 
apa yang akan dilakukan orang-orang itu terhadap 
majikannya, bergegas bangkit. Sepasang matanya ber-
kilat menakutkan. Dan ia sudah melompat ke luar dari
tempat persembunyian.
Saranggi dan yang lainnya terkejut bukan main 
melihat perbuatan Ekalana. Sadar bahwa apa yang 
Akan dilakukan Ekalana sangat berbahaya, Saranggi 
langsung melompat dan menerkam kedua kaki Ekala-
na. Sehingga, keduanya terjatuh bergulingan.
"Jangan bertindak bodoh, Ekalana! Jumlah mereka

terlalu banyak dan tak mungkin dapat kita lawan!" 
bentak Saranggi dengan suara ditekan rendah. la ma-
rah bukan main melihat tindakan Ekalana yang diang-
gapnya sebagai perbuatan bodoh.
"Saranggi!" tukas Ekalana yang tak kalah geram-
nya. Keduanya masih rebah di tanah. "Aku tak takut 
mati! Ki Mahinta sudah begitu baik kepadaku! Selama 
ini tak seorang pun yang peduli dengan diriku, karena 
aku anak haram! Aku lahir dari rahim seorang pelacur! 
Ibuku saja tidak peduli dengan diriku. Aku hidup dari 
satu pelacur ke pelacur lain. Sampai ketika aku beru-
sia dua belas tahun aku nekat pergi merantau. Ibuku
sendiri meninggal sewaktu rumah pelacur tempatnya 
bekerja terbakar habis. Sekarang ada orang yang begi-
tu baik kepadaku. Aku berhutang nyawa kepadanya. 
Sekarang saatnya aku untuk membalas budi kebaikan 
Ki Mahinta. Kalau kau takut, menyingkirlah! Biar aku 
sendiri yang menghadapi manusia-manusia keparat 
itu!"
"Otak kerbau! Kau pikir cuma kau saja yang tak 
takut mati?! Jangan sombong Ekalana! Aku pun rela 
mempertaruhkan nyawa demi keselamatan Ki Mahinta! 
Tapi, melihat jumlah mereka terlalu banyak, aku jadi 
berpikir lain...."
"Jangan berdalih, Saranggi!" sahut Ekalana tak sa-
bar, "Katakan saja terus terang bahwa kau takut mati, 
meski untuk membela orang yang sangat baik kepa-
damu! Jangan samakan aku denganmu, Saranggi! 
Nah, menyingkirlah, biar kubunuh bangsat-bangsat 
itu...!"
"Bodoh! Dungu!" Saranggi benar-benar merasa 
jengkel terhadap Ekalana yang keras kepala itu, "Pikir 
baik-baik, Manusia Sombong! Kalau kita semua maju 
dan tewas di tangan mereka, lalu siapa yang bakal

membalas sakit hati majikan kita, yang akan mereka 
gantung hidup-hidup itu?! Gunakan akal sehatmu, 
Ekalana! Bukan dengan amarah yang hanya akan 
membuat kita tidak bisa berpikir jernih!" tandas Sa-
ranggi, yang telah melepaskan kedua tangannya dari 
kaki Ekalana.
"Apa yang dikatakan Saranggi memang tidak salah, 
Ekalana," Jirana ikut menimpali. la sudah duduk di 
dekat kedua orang kawannya yang tengah bersitegang 
itu. "Sepertinya kita memang tak bisa berbuat apa-apa 
sekarang. Tapi bukan berarti aku akan tinggal diam 
dan melupakan semua ini begitu saja. Tidak! Mereka 
harus mendapat balasan yang setimpal!"
Ekalana menghembuskan nafasnya keras-keras. 
Pikirannya baru terbuka setelah mendengar ucapan 
Saranggi, yang diperkuat oleh Jirana. Kepalanya men-
gangguk tipis. Kemudian bangkit berdiri dan kembali 
ke tempat semula untuk menyaksikan kelanjutan na-
sib Juragan Mahinta.
Dan apa yang terjadi selanjutnya, membuat tubuh 
mereka menggigil menahan rasa marah yang mengge-
legak. Tubuh majikan mereka telah tergantung di pintu 
kandang kuda. Kelima pemuda ini sama menunduk-
kan kepala. Mereka tak sanggup menyaksikan Juragan 
Mahinta yang digantung dengan kepala di bawah, dan 
masih menerima cambukan pada tubuhnya.
"Celaka...!" tiba-tiba saja Saranggi berseru menge-
jutkan. Wajahnya tampak tegang, tertuju ke arah rom-
bongan dua puluh orang penunggang kuda, yang ten-
gah memandang ke arah tempat mereka bersembunyi. 
Terlihat salah seorang anggota rombongan menuding-
kan jari tangannya. Rupanya orang itu melihat kuda 
dan pedati mereka, lalu memberitahukan kawan-
kawannya.

"Cepat tinggalkan tempat ini...!" seru Saranggi, lalu 
bergegas menghampiri kudanya.
Perbuatan Saranggi dituruti Maladi, Jirana, dan 
Sabung Waluya. Sedangkan Ekalana tampak masih 
berdiri menyaksikan rombongan berkuda itu datang 
mendekat.
"Ekalana, jangan tolol kau...!" Saranggi berseru 
mengingatkan kawannya dengan hati jengkel.
"Tidak perlu cemas, Saranggi. Aku cuma ingin me-
lihat lebih dekat agar bisa mengenali siapa adanya 
manusia-manusia biadab itu. Pergilah kalian, aku 
akan menyusul...!" jawab Ekalana, tanpa mengalihkan 
perhatiannya dari rombongan orang berkuda itu.
Saranggi tidak berkata apa-apa lagi. Ia segera 
menggebah kudanya, diikuti Maladi, Sabung Waluya, 
dan Jirana. Mereka melarikan kuda menuju padang 
rumput tempat Sudana dan Rapati menunggu.
Tidak lama setelah Saranggi dan ketiga kawannya 
pergi, Ekalana menghampiri pedatinya. Kemudian me-
lepaskan pengikat kuda. Sekali lompat saja tubuh-nya 
melayang dan mendarat ringan di punggung kuda. 
Dengan cepat dipacu kudanya ke arah lain dengan 
arah yang diambil Saranggi dan ketiga kawannya. Eka-
lana sengaja berbuat demikian untuk mengecoh rom-
bongan penunggang kuda yang tidak jauh di bela-
kangnya. Ia sudah dapat melihat beberapa orang ter-
depan dari rombongan yang telah membunuh maji-
kannya. Segera dapat dikenali siapa dan dari mana 
pembunuh-pembunuh majikannya itu berasal. Sebagai 
orang yang punya pengalaman berpetualang di kalan-
gan persilatan, Ekalana mengenal berbagai tokoh silat 
dan golongan. Segera digebah kudanya meninggalkan
rombongan yang memburunya. Setelah merasa cukup 
jauh, baru ia memutar arah menuju tempat Saranggi
biasa menggembalakan sapi.
Rombongan penunggang kuda yang melakukan 
pengejaran terhadap Ekalana, terpaksa kembali ke pe-
ternakan. Karena mereka kehilangan jejak buruan-
nya.
"Hm..., tidak perlu dikhawatirkan. Paling-paling 
mereka cuma pekerja-pekerja tolol yang tak perlu dita-
kuti...," ujar lelaki gemuk berkumis lebat ketika salah 
seorang anggota rombongan melaporkan bahwa mere-
ka kehilangan jejak. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia se-
gera mengajak pengikut-pengikutnya untuk mening-
galkan tempat itu. Tak lupa mereka membawa barang-
barang berharga dari dalam rumah Juragan Mahinta.
***
EMPAT


"Bagaimana Ekalana, dapatkah kau mengenali me-
reka?"
Ekalana baru saja tiba di padang rumput tempat 
keenam kawan-kawannya berkumpul. Kedatangannya 
langsung disambut dengan pertanyaan Saranggi. Pe-
muda tampan berwajah dingin yang tetap tidak kehi-
langan sikap angkuhnya ini, dikerumuni kawan-
kawannya.
"Hhh..., sulit sekali untuk kupercaya...," desah 
Ekalana membuat keenam kawannya sama menge-
rutkan kening. Mereka tidak paham ke mana arah 
perkataan pemuda itu.
"Apa maksudmu, Ekalana...?!" Jirana bertanya he-
ran.
Ekalana kembali menghela napas panjang. Kemudian menatap wajah keenam rekannya satu persatu.
"Apakah di antara kalian ada yang pernah men-
dengar tentang sekelompok perampok yang menama-
kan dirinya Gerombolan Clurit Hitam...?" Tanya Ekala-
na yang sebelum menjawab pertanyaan Jirana, yang 
juga menjadi pertanyaan bagi lainnya.
"Hm... aku pernah mendengarnya," jawab Saranggi 
agak ragu, "Tapi itu sudah lama sekali...."
"Itulah yang membuat aku bingung," tukas Ekala-
na seraya menghembuskan napas berat.
"Maksudmu...?" Saranggi menatap Ekalana lekat-
lekat. Meskipun sudah dapat meraba, namun ia ingin 
kepastian dari rekannya itu.
"Ya. Orang-orang yang menyiksa dan membunuh 
majikan kita adalah Gerombolan Clurit Hitam!" jawab 
Ekalana tandas, “Yang membuat aku bingung, menga-
pa gerombolan itu tahu-tahu muncul setelah sekian 
tahun tidak terdengar sepak terjangnya? Bahkan ter-
betik kabar yang sampai ke telingaku bahwa gerombo-
lan itu telah lama bubar....?"
"Apa mereka sengaja menyamar agar tak dikena-
li...?" tukas Jirana menimpali!
'Tidak mungkin!" bantah Ekalana, "Sejak berusia 
tiga belas tahun aku telah mulai merantau. Dan aku 
pernah berjumpa dengan gerombolan itu beberapa 
kali, dalam usia tujuh belas tahun. Aku memang ge-
mar berpetualang dan mempelajari berbagai macam 
ilmu silat..," mendadak saja Ekalana menghentikan 
ucapannya. Wajahnya tiba-tiba termenung. Keningnya 
berkerut dalam seperti tengah berpikir keras, karena 
teringat sesuatu.
"Ada apa, Ekalana...?!" Tanya Saranggi dengan 
kening berkerut. Disentuhnya lengan Ekalana dengan 
maksud untuk menyadarkan, karena Ekalana termenung cukup lama. Hal itu membuat kawan-kawan-
nya tampak khawatir.
"Kalian... apakah kalian juga melihat lelaki gemuk 
berkumis lebat yang kemungkinan besar merupakan 
pimpinan mereka...?" Tanya Ekalana tiba-tiba, hingga
membuat kawan-kawannya agak kaget. Terutama Sa-
ranggi, yang berada paling dekat dengannya.
'Ya, aku memang melihatnya. Bahkan sempat 
memperhatikan beberapa lama," sahut lelaki jangkung 
itu.
"Aku juga melihatnya...," Jirana dan Maladi men-
jawab hampir bersamaan.
"Hm...," Ekalana hanya bergumam. Kemudian me-
langkah perlahan dengan kepala tertunduk. "Rasanya 
aku pernah bertemu dengan orang itu, jauh sebelum 
hari naas yang hampir membuat aku tewas... Ya! Aku 
ingat sekarang! Lelaki gemuk berkumis lebat itu kalau 
tidak salah bernama Jaro Labang. "
"Jaro Labang?!"
Saranggi dan kelima orang pemuda lainnya mengu-
lang nama itu dengan kening berkerut. Akan tetapi 
meskipun mereka memeras otak untuk mengingat ka-
pan dan di mana pernah mendengar nama itu, tetap 
saja buntu.
"Benar, tidak salah lagi!" ujar Ekalana sambil men-
gepalkan tinjunya erat-erat. "Hanya saja hal ini sangat 
membingungkan. Sebab, Jaro Labang adalah seorang 
ketua perkumpulan pengawal barang yang berdiri di 
bawah bendera Garuda Emas," lanjut Ekalana agak 
ragu, khawatir salah mengenali orang.
"Bagaimana kalau kita selidiki dulu orang yang 
bernama Jaro Labang itu?" Saranggi mengusulkan.
"Benar. Karena saat ini hanya orang itulah satu-
satunya petunjuk buat kita," Maladi menimpali.

Empat orang lainnya sama-sama mengangguk se-
tuju.
"Kalau begitu, kita harus mengatur siasat," Sudana 
yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, ikut men-
gajukan usul.
Ekalana, Saranggi, dan yang lainnya menyetujui.
"Bagaimana dengan ternak-ternak majikan kita?" 
Jirana mengingatkan peninggalan Juragan Mahinta 
yang tidak mungkin diabaikan begitu saja.
"Kita jual saja kepada Juragan Baswara," usul Sa-
ranggi.
Pada mulanya Ekalana kurang setuju dengan usul 
Saranggi, karena merasa tidak berhak atas benda ma-
jikannya itu. Namun karena yang lain pun mengusul-
kan begitu akhirnya pemuda itu menyetujui. Digirin-
glah sapi-sapi Juragan Mahinta yang berjumlah sekitar 
seratus ekor kembali ke peternakan.
***
Tiba di peternakan, Saranggi dan kawan-kawan-
nya merasa kaget. Di halaman depan rumah Juragan 
Mahinta telah berkumpul banyak orang. Lebih kaget 
lagi ketika mengetahui bahwa yang berkumpul di sana 
ternyata Juragan Baswara bersama belasan orang tu-
kang pukulnya. Tampak pula di antara mereka Kepala 
Desa Sindang Laya, Ki Windudarta.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini, Tuan Bas-
wara?" Tanya Saranggi yang sedikit banyak memang 
menaruh curiga terhadap saingan majikannya itu. Ke-
curigaannya semakin bertambah dengan kemunculan 
orang itu di tanah peternakan, tepat setelah kematian 
Juragan Mahinta. Seketika itu juga, terlintas di piki-
rannya bahwa Juragan Baswara diduga mempunyai

hubungan atas kejadian yang menimpa majikannya.
Ditatap secara demikian oleh Saranggi, Juragan 
Baswara terdengar menggeram gusar. Biasanya ia sela-
lu dihormati dan ditakuti orang. Selama ini, tak satu 
manusia pun di wilayah Desa Sindang Laya dan seki-
tarnya yang berani menentang pandang matanya. 
Bahkan Ki Windudarta, yang telah banyak dijejalinya 
dengan kepingan uang emas maupun barang-barang 
berharga. Tentu saja sikap Saranggi membuatnya naik 
darah.
"Hm..., kau menuduhku sebagai dalang pembunu-
han ini?" geram Juragan Baswara dengan mata melo-
tot. Kedua lengannya tampak menegang, siap meninju 
wajah menjengkelkan di hadapannya.
"Aku tak mengatakan demikian. Tapi kalau kau 
merasa demikian, itu bagus!" tukas Saranggi tetap me-
nentang pandang mata Juragan Baswara tanpa mera-
sa gentar sedikit pun.
"Kurang ajar! Berani benar kau berkata selancang 
itu kepadaku!" hardik Juragan Baswara yang sudah 
mengangkat tangannya hendak menghantam wajah 
Saranggi.
Saranggi mundur dua langkah. Otot-otot tubuhnya 
menegang, siap menghadapi orang yang memang san-
gat dibencinya itu.
Melihat ketegangan yang terjadi, Ekalana dan lima 
orang pemuda lain bergerak menyebar. Mereka siap 
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. 
Bahkan tangan kanan keenam pemuda itu sudah me-
raba gagang senjata masing-masing.
Pihak Juragan Baswara pun tak tinggal diam. Be-
lasan orang tukang pukulnya sudah bergerak maju, 
siap melindungi sang Majikan. Hal itu membuat kete-
gangan semakin memuncak. Namun, sebelum ketegangan pecah menjadi perkelahian, terdengar sebuah 
seruan keras. 
'Tahan...!"
Suara bentakan keras itu ternyata berasal dari mu-
lut Ki Windudarta. Kepala Desa Sindang Laya langsung 
menyeruak di antara kedua pihak yang sudah siap sal-
ing tempur.
"Saranggi, jaga sikapmu!" tegur Ki Windudarta ke-
pada Saranggi. Dianggapnya pemuda jangkung itulah 
yang lebih dulu memulai perkara. "Kami sama sekali 
tak tahu menahu tentang kejadian ini. Dan kami pun 
turut merasa prihatin dengan musibah yang menimpa 
majikan kalian. Kalaupun kami datang pada saat yang 
bertepatan dengan kejadian ini, itu bukan berarti bah-
wa Juragan Baswara ingin melihat hasil pekerjaannya 
seperti apa yang ada dalam pikiranmu. Beliau sengaja 
datang untuk meminta maaf atas peristiwa beberapa 
malam yang lalu, sewaktu pesta panen di balai desa," 
lanjut Ki Windudarta memberi penjelasan kepada Sa-
ranggi dan enam orang pekerja Juragan Mahinta lain-
nya.
"Baiklah, kami terima permintaan maafnya. Se-
karang harap Ki Windudarta membawa mereka me-
ninggalkan tempat ini. Aku dan kawan-kawan hendak 
mengurus mayat Ki Mahinta. Dan kami tak ingin di-
ganggu lebih lama lagi," ujar Saranggi.
Bagaimanapun, dirinya tetap menaruh hormat ke-
pada Kepala Desa Sindang Laya. Meskipun tahu bah-
wa Ki Windudarta berada di pihak Juragan Baswara. 
Namun, karena persoalannya belum jelas, Saranggi tak 
bisa berbuat apa-apa, kecuali suatu janji dalam ha-
tinya. Jika ternyata Juragan Baswara yang menjadi da-
lang kematian Juragan Mahinta, hatinya telah ber-
sumpah akan menuntut balas kepada Juragan Baswa

ra, juga Ki Windudarta.
Merasa maklum dengan apa yang dirasakan para 
pekerja Juragan Mahinta, Ki Windudarta memenuhi 
permintaan Saranggi. Setelah menyampaikan rasa du-
ka citanya, lelaki tua yang masih gagah ini segera 
mengajak Juragan Baswara. dan rombongan untuk 
meninggalkan tempat itu.
"Tuan Baswara, harap tunggu sebentar...!"
Saat rombongan bergerak, tiba-tiba Ekalana berse-
ru memanggil Juragan Baswara. Kemudian pemuda ini 
berlari mengejar dan menghampiri Juragan Baswara.
"Aku ingin menjual tempat ini beserta ternak-
ternak yang ada," ujar Ekalana setelah teringat akan 
kata sepakat yang telah dibuat bersama kawan-
kawannya.
"Hm.... Kau sungguh-sungguh?" Tanya Juragan 
Baswara menyembunyikan senyum liciknya.
Ekalana mengangguk pasti. Juragan Baswara me-
nyebutkan sejumlah uang untuk pembayaran. Meski 
tawaran yang diajukan lebih rendah dari semestinya, 
Ekalana tidak berkata apa-apa. Dirinya langsung me-
nyetujui.
"Boleh aku mengajukan permintaan, Tuan?" Tanya 
Ekalana setelah mereka mendapatkan kata sepakat.
"Silakan!"
"Sebagai pembayarannya, aku minta agar se-
perempatnya berupa uang. Sedang selebihnya emas 
murni," ujar Ekalana.
"Baik," meskipun agak heran, Juragan Baswara 
langsung menyetujui. "Datanglah besok ke rumahku!"
Juragan Baswara tersenyum. Kemudian bergerak 
bersama rombongan meninggalkan pekarangan Jura-
gan Mahinta diiringi pandang mata Ekalana dan ka-
wan-kawannya.

***
Pagi-pagi sekali, ketujuh pekerja Juragan Mahinta 
telah sibuk berkemas. Dua orang pembantu wanita 
yang selama ini bekerja mengurus rumah diberi bekal 
cukup banyak. Kemudian dipersilakan meninggalkan 
tempat untuk mencari kehidupan di tempat lain. Se-
dangkan mereka bertujuh, berangkat menuju tempat 
kediaman Juragan Baswara, dengan menunggang ku-
da.
Kedatangan Saranggi, Ekalana, Sudana, Rapati, 
Sabung Waluya, Maladi, dan Jirana, disambut ramah 
oleh Juragan Baswara. Keuntungan besar yang dipero-
leh, membuat wajah Juragan Baswara tak pernah ke-
hilangan senyum.
"Kalau boleh aku tahu, hendak pergi ke manakah 
kalian?" Tanya Juragan Baswara sewaktu Ekalana dan 
Saranggi menghitung uang pembayaran yang mereka 
terima.
"Kami hendak menemui Jaro Labang," Ekalana 
mendahului menjawab seraya mengangkat wajah dan 
menatap Juragan Baswara.
"Jaro Labang?" gumam Juragan Baswara yang se-
kejap kelihatan agak kaget. Namun, hal itu dapat ter-
tangkap mata Ekalana yang tajam. "Kalau tak salah, 
orang yang bernama Jaro Labang itu Ketua Per-
kumpulan Pengawal Barang Garuda Emas. Hendak ka-
lian kirim ke mana uang dan emas itu?"
"Jadi, Tuan Baswara mengenalnya?" kali ini Sa-
ranggi yang bertanya. Baik nada bicara maupun wa-
jahnya sama sekali tak menunjukkan perasaan curiga. 
Hingga, Juragan Baswara merasa lega.
'Tentu saja aku mengenalnya. Bahkan beberapa 
kali aku mempercayakan barang kiriman ku kepadanya," jawab Juragan Baswara tersenyum.
Saranggi dan Ekalana tidak berkata apa-apa lagi. 
Setelah menghitung uang pembayaran, mereka mohon 
diri kepada Juragan Baswara. Keduanya melompat ke 
atas punggung kuda, diikuti kawan-kawannya yang 
lain, kecuali Jirana. Pemuda bertubuh kekar itu tam-
pak masih berdiri di depan pintu sambil memandang 
ke dalam. Sepertinya ia tengah mencari-cari sesuatu.
"Jirana, ayo kita berangkat!' panggil Ekalana, me-
nyadarkan Jirana. Dia menduga Jirana tengah menca-
ri sosok gadis cantik berkebaya putih, pasangan mena-
rinya sewaktu di pesta panen. Ekalana sendiri tak me-
lihat gadis itu sewaktu berada di dalam rumah. Se-
hingga menduga bahwa Juragan Baswara mungkin 
sengaja menyembunyikannya.
Seperti orang linglung, Jirana menoleh ke arah ka-
wan-kawannya yang sudah siap berangkat. Kemudian
melangkah gontai menghampiri kudanya. Kemudian 
ketujuh orang pemuda itu sudah menggebah kuda 
masing-masing meninggalkan wilayah Desa Sindang 
Laya.
Hari hampir gelap saat ketujuh orang pemuda ini 
memasuki wilayah Desa Babakan. Mereka pun mem-
perlahan lari kuda, karena jalan utama desa agak ra-
mai oleh para petani yang kembali dari sawah.
"Kau yakin Jaro Labang tinggal di Desa Babakan 
ini, Ekalana?" Tanya Saranggi sekadar memastikan ka-
lau mereka tidak salah tujuan.
"Supaya kau lebih yakin, tanyalah kepada salah 
seorang petani itu," jawab Ekalana acuh tak acuh.
Meski agak jengkel dengan sikap Ekalana, Saranggi 
menuruti juga saran itu. Ia bertanya kepada salah seo-
rang petani yang berjalan di samping kudanya. Petani 
itu membenarkan. Bahkan memberikan petunjuk letak

tempat kediaman Jaro Labang, yang memang dikenal 
oleh semua warga desa.
Ekalana yang juga mendengar keterangan petani 
itu, segera mempercepat lari kudanya. Saranggi dan 
yang lainnya melakukan hal serupa. Ketika tiba pada 
sebuah pertigaan jalan, mereka berbelok ke kiri, mele-
wati pepohonan bambu. Sampai akhirnya mereka tiba 
di depan sebuah bangunan cukup besar, yang di de-
pannya terdapat papan nama bertuliskan nama Garu-
da Emas.
Dua orang anggota perkumpulan yang berada di 
pos jaga, langsung menyambut kedatangan mereka. 
Saranggi yang menjadi pemimpin rombongan segera 
mengutarakan maksud kedatangannya. Mereka dimin-
ta untuk menunggu sebentar, barulah Saranggi dan 
kawan-kawannya dipersilakan menemui pimpinan 
perkumpulan pengawal barang itu.
Seorang lelaki gemuk berkumis lebat, sudah duduk 
menunggu di sebuah ruangan yang cukup luas. Tam-
pak dua orang anggota Garuda Emas mengapit di ka-
nan dan kirinya. Pimpinan Perkumpulan Barang Ga-
ruda Emas itu bangkit dari duduknya ketika Saranggi 
dan kawan-kawannya melangkah masuk ke ruangan-
nya.
"Selamat datang, Sahabat!" sapa lelaki gemuk ber-
kumis lebat dengan ramah. Pemimpin Perkumpulan 
Barang Garuda Emas yang tak lain Jaro Labang, lang-
sung mempersilakan Saranggi dan kawan-kawannya 
agar mengambil tempat duduk "Apa yang bisa kami 
bantu?" lanjutnya sambil menatap bergantian pada Sa-
ranggi dan Ekalana yang duduk di hadapannya.
"Kami ingin menggunakan jasa Tuan untuk mengi-
rim sejumlah emas," ujar Saranggi setelah memperha-
tikan sosok Jaro Labang untuk sesaat.

'Tentunya kau kenal dengan seorang juragan yang 
bernama Mahinta, bukan?" sebelum Jaro Labang me-
nyanggupi permintaan Saranggi, Ekalana menukas. 
Dan ia sempat melihat kilatan kaget di mata Jaro La-
bang, meski untuk sesaat.
Saranggi semula agak kaget mendengar ucapan 
Ekalana, tapi tidak berkata apa-apa. Bahkan ikut me-
natap wajah Jaro Labang, seperti ingin melihat tang-
gapan lelaki gemuk itu.
"Asalkan tempat tinggalnya jelas, tentu kami tak 
akan mendapat kesulitan untuk mengantarkan kiri-
man Tuan-tuan," ujar Jaro Labang mengalihkan pan-
dang dari sepasang mata dingin Ekalana.
"Sejujurnya kami katakan bahwa kami merasa 
khawatir kalau barang kiriman ini tak sampai di tem-
pat tujuannya. Tapi, karena Perkumpulan Pengawal 
Barang Garuda Emas sudah terkenal, maka kami 
mencoba datang ke tempat ini," Ekalana kembali me-
lanjutkan sebelum Saranggi membuka suara.
"Jangan khawatir, Tuan-tuan! Selama ini per-
jalanan kami tak pernah menemui kegagalan. Per-
kumpulan Pengawal Barang Garuda Emas cukup ter-
kenal dan disegani para perampok. Kami menjamin ba-
rang kiriman Tuan-tuan akan sampai ke tempat tu-
juan pada waktu yang tepat," ujar Jaro Labang dengan 
penuh keyakinan.
"Bicara soal perampok aku ingin bertanya sedikit 
kepada Tuan," Ekalana kembali menyambung. Sepa-
sang matanya tetap tak lepas dari wajah lelaki gemuk 
di depannya.
"Silakan, Tuan!" tukas Jaro Labang sama sekali ti-
dak merasa curiga.
"Belakangan ini aku mendengar munculnya se-
gerombolan perampok yang mengganas. Kalau tak salah, mereka menamakan diri sebagai Gerombolan Clu-
rit Hitam. Menurut kabar mereka sangat ganas dan tak 
segan-segan membunuh. Bahkan kalau tak salah me-
reka juga merangkap sebagai pembunuh-pembunuh 
bayaran. Dan....
"Cukup!" hardik Jaro Labang menggebrak meja di 
depannya. Sehingga ucapan Ekalana terputus.
"Mengapa, Tuan...?" Tanya Ekalana pura-pura tak 
mengerti. Tenaga dalamnya sudah mengalir ke seluruh 
tubuh, siap menyambut apabila Jaro Labang menye-
rang tiba-tiba.
"Apa sebenarnya maksud kedatanganmu, Anak 
Muda? Dan untuk apa dongengan itu kau ceritakan 
kepadaku?" bentak Jaro Labang, mendengar penutu-
ran Ekalana menyinggung perasaan.
Melihat sikap Jaro Labang, Ekalana dan Saranggi 
bergegas bangkit dari duduknya. Keduanya bergerak 
mundur, khawatir kalau lelaki gemuk berkumis lebat 
itu akan menyerang mereka.
"Jaro Labang," ujar Ekalana semakin nekat dengan 
menyebut nama Pemimpin Perkumpulan Barang Ga-
ruda Emas itu. "Gerombolan Clurit Hitam telah disewa 
seorang juragan bernama Baswara dari Desa Sindang
Laya untuk membunuh seorang saingannya dalam 
berniaga..."
"Keparat.., tutup mulutmu...!" bentak Jaro Labang. 
Di hatinya mulai timbul dugaan kalau kedua orang 
pemuda itu mengetahui perbuatannya. Khawatir kalau 
kedua tamunya sampai membuka mulut di luar, yang 
berarti akan menghancurkan usahanya, maka Jaro 
Labang langsung melayang melompati meja. Tangan 
kanannya digerakkan menyambar ke kepala Ekalana. 
Bweeettt..!
Ekalana berkelit dengan lompatan ke samping kiri.

Terus mengegos saat kepalan kiri lawan datang me-
nyusul. Kegagalan itu membuat Jaro Labang semakin 
kalap, dan menyusulinya dengan tendangan berantai.
Ekalana terpaksa melompat jauh untuk menye-
lamatkan diri.
"Jaro Labang, kau telah membunuh majikan kami 
atas suruhan Juragan Baswara, bukan? Dan sekarang 
kami datang untuk menuntut balas!" Ekalana masih 
juga sempat membuka suara memperjelas tuduhan-
nya. Kalau semula ia hanya nekat memancing-
mancing, sekarang hatinya sudah yakin kalau pembu-
nuh Juragan Mahinta tak Iain Jaro Labang. Hanya 
yang belum dimengerti, bagaimana Pemimpin Perkum-
pulan Barang Garuda Emas dapat berkomplotan den-
gan Gerombolan Clurit Hitam, yang sudah lama lenyap 
bagai ditelan bumi.
"Bedebah! Kuhancurkan mulutmu...!" dengus Jaro 
Labang semakin kalap. Sambil melompat ke arah Eka-
lana, lelaki gemuk berkumis lebat ini memerintah para 
pengikutnya agar mengepung dan membunuh enam 
orang pemuda lainnya.
"Ekalana, kau gila! Apa kau menghendaki kita se-
mua mati di tempat ini?!" Saranggi yang sama sekali 
tidak menduga bakal terjadi demikian, berteriak-teriak 
memaki Ekalana. Perbuatan pemuda itu dianggapnya 
merupakan tindakan gila karena berani mengacau di 
sarang macan, yang bisa mengakibatkan mereka se-
mua terbunuh!
Namun baik Saranggi maupun lima orang pemuda 
lainnya, tidak sempat lagi membuka suara. Mereka 
sudah harus berjuang keras guna menyelamatkan diri 
dari ancaman senjata para anak buah Jaro Labang, 
yang menyerang mereka. Sebentar saja pertempuran 
kecil itu pun pecah!

Ekalana sendiri saat itu tengah berusaha mati-
matian mengimbangi serangan Jaro Labang. Serangan 
yang datang bertubi-tubi bagaikan air bah, membuat 
Ekalana terpaksa menguras seluruh tenaga dan ke-
pandaiannya untuk membendung serangan lawan. Un-
tung dia memiliki ilmu silat yang beragam. Se-hingga,
Jaro Labang sempat dibuat kebingungan ketika Ekala-
na memainkan sebuah jurus aneh, yang sengaja dicip-
takan dengan menggabungkan beberapa jurus silat da-
ri berbagai aliran. Bahkan lelaki gemuk ini sempat ter-
desak untuk beberapa jurus lamanya.
"Setan belang...!" Jaro Labang memaki karena gu-
sar. Dalam kegeramannya, ia nekat menubruk ke de-
pan sambil mendorongkan kedua tangannya dengan 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Whuuuttt..!
Dorongan sepasang tangan yang menimbulkan de-
ru angin keras, sempat menggoyahkan kuda-kuda 
Ekalana. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa lang-
kah. Karena dalam hal tenaga dalam pemuda ini masih 
kalah dua tingkat dari lawannya. Dan kesempatan itu 
dipergunakan Jaro Labang dengan sebaik-baiknya.
"Hih...!"
Buk!
Sebuah tendangan cepat dan kuat menerpa iga 
Ekalana. Tubuh pemuda itu terpental membentur 
dinding. Namun, pemuda yang angkuh dan keras hati 
ini sama sekali tidak mengeluh. Hanya saja tidak bisa 
buru-buru bangkit berdiri.
Melihat keadaan lawannya, Jaro Labang semakin 
bernafsu. Dia melompat dengan jari-jari tangan ter-
kembang, siap menyambar batok kepala Ekalana.
"Mampus kau, Bangsat! Heaaa...!" 
Mendadak, pada saat jemari kedua tangan Jaro Labang tinggal sejengkal dari sasarannya, Ekalana ti-
ba-tiba menyabetkan tangan kanannya yang telah 
menggenggam pedang.
Brettt...!
"Aaakh...!"
Pimpinan Perkumpulan Barang Garuda Emas itu 
menjerit kesakitan. Sambaran pedang Ekalana telah 
membuat garis memanjang pada bagian dadanya. Da-
rah segar mengucur deras dari luka yang cukup dalam 
itu.
Ekalana yang langsung menggulingkan tubuhnya 
setelah melukai dada lawan, melompat tinggi disertai 
teriakan nyaring. Digenggamnya pedang dengan kedua 
tangan dan dihujamkan ke punggung Jaro Labang, 
yang terjerunuk ke depan.
Jrab!
"Aaakh...!"
Pedang Ekalana langsung amblas ke tubuh Jaro 
Labang, hingga tembus. Terdengar jerit kematian me-
lengking tinggi. Dalam keadaan sempoyongan Pimpi-
nan Perkumpulan Barang Garuda Emas masih mengi-
baskan tangan kirinya, hingga mendarat telak di dada 
Ekalana. Tubuh pemuda itu terlempar deras. Sementa-
ra tubuh Jaro Labang ambruk ke lantai dan tewas se-
ketika.
"Gila! Babi gemuk itu benar-benar tangguh se-
kali...!" desis Ekalana seraya bergerak bangkit meng-
hampiri mayat Jaro Labang. Kemudian mencabut pe-
dangnya dari tubuh lawan yang sudah tak bernyawa
lagi.
***
Sementara itu, Saranggi dan lima orang kawannya

mati-matian mempertahankan nyawa dari keroyokan 
empat belas orang lawan. Saranggi sendiri menghadapi 
tiga orang pengeroyok Pemuda bertubuh jangkung ini 
ternyata cukup lincah. Bahkan ia sangat mahir me-
mainkan pisau pendek di kedua tangannya. Dari ca-
ranya menghadapi ketiga lawan dapat dilihat, bahwa 
Saranggi cukup berpengalaman dalam bertempur.
Tiga orang anggota Perkumpulan Pengawal Barang 
Garuda Emas pun cukup gesit. Mereka dapat bekerja 
sama dengan baik, menggempur Saranggi dari tiga ju-
rusan. Sehingga pemuda jangkung itu harus menge-
rahkan seluruh kemampuan, menghindari sambaran 
tiga bilah pedang yang berkelebat di sekitar tubuhnya.
"Yeaaattt..!"
Pada jurus kedua belas, Saranggi bertindak nekat, 
membobol kepungan lawan-lawannya. Dua sambaran 
pedang dari kiri dan kanan, dielakkannya dengan me-
nundukkan tubuh, hingga nyaris merapat ke lantai. 
Gerakan ini dibarengi dengan menusukkan pisaunya 
ke tubuh dua orang penyerang itu. Sehingga...
Crap! Blesss!
"Aaakh...!"
Kedua orang lawan yang tidak menduga tindakan 
lawan, seketika terpekik tewas. Lawan yang di sebelah 
kiri, tertusuk lambung kanannya. Sedangkan yang di 
sebelah kanan, ulu hatinya tertembus dalam. Darah 
pun mengucur membasahi tangan Saranggi. Keduanya 
ambruk menghembuskan napas terakhir.
Untuk dapat melakukan hal itu, Saranggi sendiri 
jatuh tertelungkup. Kedudukannya tentu saja sangat 
berbahaya. Sebab, saat itu sisa lawannya yang tinggal
seorang, membabatkan pedang ke punggung Saranggi.
Di sini Saranggi membuktikan kegesitan dan ke-
mahirannya dalam melempar pisau. Saat pedang lawan menyambar, dengan cepat tubuhnya bergulingan
menghindar. Bersamaan dengan itu dikibaskan kedua 
tangannya, melepaskan pisau yang masih berlumuran 
darah. Dan sebelum pedang lawan meng-hantam lan-
tai, dua bilah pisau terbang milik Saranggi telah me-
nancap di tenggorokan dan dada kirinya. Seketika ter-
dengar jerit kematian, keras menyayat Tubuh anak 
buah Jaro Labang yang telah berlumuran darah am-
bruk dan tewas seketika.
Saat itulah Ekalana datang dan mengulurkan tan-
gan menarik bangkit tubuh Saranggi yang masih rebah 
di lantai. Kemenangan yang diperoleh keduanya me-
mang hampir berbarengan. Hanya Ekalana lebih dulu 
beberapa saat, bahkan sempat menyaksikan Sa-ranggi 
bergulingan sambil melepaskan pisau terbang-nya.
"Pikiranmu benar-benar sempit, Ekalana!" umpat 
Saranggi yang masih merasa jengkel atas tindakan 
Ekalana. Karena perbuatan pemuda itu nyaris mem-
buatnya tewas. "Ayo, kita bantu yang lainnya dan terus 
pergi dari tempat celaka ini...!"
Ekalana tidak berkata apa-apa, hanya meng-
angguk menyetujui usul Saranggi. Bergegas keduanya 
memasuki arena untuk membantu Sudana, Maladi, 
Sabung Waluya, Jirana, dan Rapati. Kelima pemuda 
itu tampak sudah mandi keringat. Mereka juga men-
dapat luka, tergores pedang lawan. Kendati tak meng-
khawatirkan, cukup mengganggu gerakan mereka.
"Cepat tinggalkan tempat ini...!" perintah Saranggi 
sambil melepaskan pisau terbangnya ke arah lawan 
Sudana. Pisau itu meluncur cepat dan menghujam tu-
buh dua orang lawan.
Ekalana sendiri sudah mengamuk dengan pedang-
nya. Kendati keadaannya agak letih, sambaran pe-
dangnya masih tetap mengiriskan. Hal itu membuat

para pengikut Jaro Labang berlompatan mundur me-
nyelamatkan diri.
Sudana dan empat orang lainnya bergegas melesat 
ke luar dan langsung melompat ke punggung kuda. 
Disusul kemudian oleh Ekalana dan Saranggi. Pemuda 
jangkung itu masih sempat menghambat lawan yang 
mengejar dengan lemparan pisaunya. Baru kemudian
melompat dan menyusul rekan-rekannya. Hampir ber-
samaan, mereka membedal kuda, yang melesat bagai-
kan anak panah lepas dari busur.
***
LIMA


"Minggir...!"
Seorang pemuda tampan berjubah putih dan gadis 
jelita berpakaian serba hijau bergegas melompat ke te-
pi jalan. Di tikungan jalan, dekat tapal batas Desa Ba-
bakan, tiba-tiba muncul tujuh orang penunggang kuda 
yang berlari kencang bagaikan dikejar setan.
"Heran? Hari sudah gelap begini masih ada orang 
yang melarikan kuda secepat itu?" gumam dara jelita 
berpakaian serba hijau sambil memandang tujuh 
orang penunggang kuda yang semakin jauh dan akhir-
nya lenyap ditelan kegelapan.
Sedangkan pemuda tampan berjubah putih yang 
berada di tepi jalan berseberangan dengan gadis jelita 
itu, cuma menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa berka-
ta apa-apa, ia melangkah ke tempat gadis berpakaian 
serba hijau berdiri dan mengajaknya melanjutkan per-
jalanan. Keduanya memasuki Desa Babakan.
Pasangan muda-mudi itu semula hendak mencari

penginapan karena hari menjelang malam. Ketika me-
masuki Desa Babakan mereka kaget melihat belasan 
penduduk berlarian ke satu arah.
"Hm... tampaknya ada sesuatu yang baru saja ter-
jadi di desa ini. Mungkin ada kaitannya dengan tujuh 
penunggang kuda tadi," ujar pemuda tampan berjubah 
putih kepada dara jelita di sampingnya.
"Aku jadi penasaran. Mari kita ikuti mereka, Ka-
kang!" ajak dara jelita itu. Lalu keduanya. segera berla-
ri mengikuti arus penduduk yang berlarian ke satu 
arah.
Berbeda dengan ayunan langkah kaki penduduk 
desa yang terlihat berat dan bergemuruh. Langkah pa-
sangan muda ini tampak ringan, tanda bahwa mereka 
bukanlah orang-orang sembarangan. Bahkan dapat 
menyusul dalam waktu singkat, meski semula mereka 
berdua tertinggal lebih dari tiga puluh tombak.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan pen-
duduk tiba di depan sebuah bangunan yang cukup be-
sar, tempat kediaman Jaro Labang dan para pengikut-
nya. Bersama dengan penduduk, pasangan orang mu-
da-mudi tadi ikut memasuki rumah Pimpinan Per-
kumpulan Barang Garuda Emas. Mereka segera meli-
hat mayat-mayat yang darahnya terlihat masih segar.
"Hmm... kemungkinan besar mereka semua korban 
dari tujuh orang penunggang kuda yang nyaris menu-
bruk kita tadi...," bisik pemuda tampan berjubah putih 
kepada dara jelita yang berdiri di sebelahnya.
"Bukan kemungkinan lagi, Kakang. Aku rasa me-
mang merekalah pelakunya," sahut data jelita berpa-
kaian serba hijau berani memastikan, "Kalau tidak, 
untuk apa mereka melarikan kuda seperti setan dalam 
suasana malam seperti ini."
"Mereka pasti belum terlalu jauh dari desa ini. Sebaiknya kita coba mengejar mereka. Perbuatan seperti 
ini tidak bisa dibiarkan," lanjut pemuda tampan berju-
bah putih yang bergegas menyeruak kerumunan pen-
duduk.
Kawannya tak menjawab. Dara jelita berpakaian hi-
jau itu menyeruak ke luar mengikuti langkah pemuda 
tampan berjubah putih.
"Tidak perlu kalian mengejar pembunuh itu...!"
Mendadak terdengar sebuah suara tanpa terlihat 
pemiliknya. Pemuda berjubah putih itu menghentikan 
langkah karena terkejut. Suara yang mirip bisikan tapi 
jelas itu menyusup ke telinganya.
"Ada apa, Kakang?" Tanya dara jelita berpakaian 
serba hijau yang sudah berada di sampingnya. Gadis 
ini merasa heran melihat kawannya berhenti dan me-
mandang berkeliling seperti tengah mencari sesuatu.
"Ada orang pandai di sekitar tempat ini menasihati 
agar kita tak usah mengejar pembunuh-pembunuh 
itu," bisik pemuda tampan berjubah putih, menjawab 
pertanyaan gadis di sampingnya.
"Apa alasannya mencegah kita, Kakang?" Tanya 
dara jelita karena merasa penasaran.
Pemuda tampan berjubah putih hanya menggeleng 
lemah. Sedang matanya beredar menatapi satu persatu 
wajah penduduk. Seakan-akan hendak mencari siapa 
orang yang berbisik di telinganya tadi. Ketika tidak bi-
sa menemukan orang yang dicari, kakinya kembali 
bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Gadis di 
sampingnya ikut melangkah.
"Urungkan niatmu, Anak Muda!" suara tanpa wu-
jud itu kembali terngiang di telinga pemuda tampan 
berjubah putih yang tengah melanjutkan langkahnya.
"Hm...," pemuda tampan ini bergumam. Namun te-
rus mengayun langkahnya meninggalkan tempat kediaman Jaro Labang.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Dengan kepan-
daianmu yang tinggi aku percaya kalau kau akan da-
pat mengejar tujuh penunggang kuda itu. Jangan ka-
takan bahwa aku tidak berusaha mencegah pembunu-
han terhadap Jaro Labang! Aku sendiri datang terlam-
bat, hingga hanya sempat melihat sewaktu mereka ke-
luar dari dalam bangunan, dikejar orang-orang Jaro 
Labang," ujar suara itu lagi di telinga pemuda tampan 
berjubah putih, yang tetap melanjutkan langkahnya.
"Siapa kau? Tunjukkan rupa mu! Aku tak suka 
berbicara dengan seorang pengecut!"
Ketika tiba di sekitar pepohonan bambu yang sunyi 
dan sepi pemuda tampan berjubah putih menghenti-
kan langkah. Tanpa banyak tanya kawannya pun ber-
henti. Kemudian matanya turut memandangi ke seki-
tar tempat itu. Namun, gadis itu tidak menemukan so-
sok yang dimaksud kawannya.
"Saat ini aku belum bisa menunjukkan rupa ku, 
Pendekar Naga Putih. Satu hal yang perlu kau ketahui. 
Jaro Labang bukanlah orang baik-baik. Ia bekas Kepa-
la Gerombolan Clurit Hitam yang kemudian membu-
barkan pengikut-pengikutnya. Karena dia jatuh cinta 
kepada seorang gadis cantik yang membuatnya ingin 
hidup tenang dan bersih. Lalu ia mendirikan perkum-
pulan pengawal barang," suara tanpa wujud yang 
hanya terdengar di telinga pemuda tampan berjubah 
putih terhenti sesaat
Panji menunggu beberapa saat Pemuda tampan 
yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Pu-
tih tampak masih berusaha mencari-cari di mana pe-
milik suara tadi.
"Orang pandai ini menggunakan ilmu 'Memecah 
Suara', yang membuat tempat persembunyiannya sulit

diketahui...," bisik Panji kepada dara jelita di samping-
nya, yang sudah pasti Kenanga adanya. Panji dapat 
menduga demikian, karena suara yang mengusik telin-
ga bagai terdengar dari delapan penjuru angin, mem-
buatnya sulit menemukan tempat persembunyian si 
pemilik suara itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk. 
Kali ini bukan cuma Panji yang mendengar. Kenanga 
juga mendengarnya. Sepertinya pemilik suara itu sen-
gaja hendak menguji kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Boleh aku melanjutkan cerita ku?" Tanya suara 
tanpa wujud, yang kini dapat didengar pula oleh Ke-
nanga. Suara itu memang sulit dicari sumbernya. Ka-
rena gemanya membuat suara itu seolah-olah datang 
dari berbagai penjuru. Dalam hati Panji dan Kenanga 
pun mengakui kehebatan pemilik suara itu.
"Jaro Labang ternyata tidak benar-benar mundur 
dari dunia sesat. Dengan bersembunyi di balik keber-
sihan dan ketenaran nama Garuda Emas, diam-diam 
ia melakukan suatu pekerjaan dengan bayaran tinggi. 
Jelasnya ia adalah pembunuh bayaran yang terselu-
bung. Dan ini sama sekali tidak diketahui penduduk
Desa Babakan maupun anggota Garuda Emas. Terak-
hir, kudengar Jaro Labang membunuh seorang jura-
gan di Desa Sindang Laya. Untuk me-lakukan hal itu 
dia menghubungi anggota Gerombolan Clurit Hitam, 
yang menjadi perampok liar setelah sepeninggalnya. 
Dan pembunuh Jaro Labang tentu orang-orang yang 
hendak membalas kematian majikannya."
Sampai di sini suara tanpa wujud itu terhenti. Pan-
ji dan Kenanga saling bertukar pandang. Sekarang ke-
duanya baru mengerti mengapa pemilik suara itu men-
cegah niat mereka. Namun pasangan pendekar muda 
ini merasa penasaran untuk dapat melihat seperti apa
rupa pemilik suara itu. Beberapa saat mereka me-
nunggu suara yang terhenti.
Setelah ditunggu beberapa saat, suara itu ternyata 
tidak terdengar lagi. Panji cuma bisa menghela napas 
dengan hati penasaran. Sebab baru sekarang ia me-
nemukan orang yang berilmu seperti itu. Sampai-
sampai tempat persembunyian orang itu tidak dapat 
ditemukannya. Padahal ia merasa yakin kalau si pemi-
lik suara itu bersembunyi di sekitarnya.
"Orang itu sudah pergi rupanya...," desah Panji 
perlahan, "Sebaiknya kita segera cari penginapan," lan-
jutnya mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Pendekar Naga Putih dan Kenanga, 
tampak sesosok tubuh melayang turun dari atas po-
hon besar, sekitar empat tombak dari tempat Panji dan 
Kenanga berdiri. Sosok yang tangan kanannya tampak 
memegang sebatang tongkat itu melesat berlawanan
arah dengan yang diambil kedua pendekar muda. Se-
bentar saja sosok itu telah lenyap di kegelapan malam. 
Cuma suara tawa mengekeh yang tertinggal dan ber-
gaung di delapan penjuru.
***
"Celaka! Kita pasti akan susah karena kejadian ini!"
Pemuda jangkung yang tak lain Saranggi meng-
hentikan kudanya di tepi kali dekat sebuah kaki bu-
kit. Kemudian melompat turun dari punggung kuda 
dan menghempaskan tubuhnya yang lusuh dan agak 
pucat.
"Kau benar-benar ceroboh, Ekalana!" Sudana yang 
juga telah melompat turun dari punggung kudanya, 
ikut mencela. Keadaan pemuda ini tidak berbeda den-
gan Saranggi. Pakaiannya lusuh dan berwajah agak

pucat. Lelaki brewok itu melangkah gontai menuju 
pinggir kali, lalu berdiri sambil meremas-remas ram-
butnya. Tampak sekali betapa dirinya tengah dilanda 
kegelisahan dan ketakutan.
Bukan hanya Saranggi dan Sudana yang menya-
lahkan Ekalana atas apa yang telah mereka lakukan 
terhadap Jaro Labang. Empat orang pemuda lainnya 
pun menyatakan kejengkelannya. Bahkan Maladi dan 
Sabung Waluya mengungkapkan perasaan takut yang 
memang tampak jelas di wajahnya.
Namun Ekalana sendiri kelihatannya tetap tenang. 
Bahkan sepasang matanya tampak menggambarkan 
perasaan yang sangat puas karena dapat membunuh 
Jaro Labang. Meski untuk itu dirinya harus mengalami 
luka yang cukup parah. Terlebih setelah melarikan diri 
tanpa henti, sampai menjelang pagi.
"Kalian ini betul-betul cengeng dan tolol!" Ekalana 
balas memaki keenam kawannya. "Coba kalian pikir 
baik-baik! Apa kita bisa membalas kematian Ki Mahin-
ta kalau tak bertindak nekat seperti kemarin? Kalian 
ini memang otak udang semua! Seharusnya berterima 
kasih kepadaku, bukannya malah mencela!"
'Tapi perbuatanmu itu di luar rencana kita! Se-
hingga, kami semua hampir jadi bangkai gara-gara 
ulah mu yang sok pahlawan itu!" Sabung Waluya, yang 
pada dada dan punggungnya terdapat luka memar be-
kas pukulan dan tendangan para pengeroyok, menu-
kas dengan nada jengkel. Wajah pemuda ini masih pu-
cat dan tampak sangat letih.
"Huh, baru hampir, kan? Tapi hasilnya? Kita bisa 
membalas kematian Ki Mahinta! Dan nyatanya sampai 
saat ini kita masih bisa bernapas," bantahan Ekalana 
yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya, membuat 
Sabung Waluya tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Bagaimana kau begitu yakin kalau pembunuh ma-
jikan kita adalah Jaro Labang?" kali ini yang bertanya 
Rapati. Seorang pemuda berkulit hitam, yang kelihatan 
lebih banyak diam mendengarkan kawan-kawannya 
berbicara.
"Begitu berhadapan dengannya, aku langsung ya-
kin bahwa dialah lelaki yang memimpin Gerombolan
Clurit Hitam untuk menyiksa dan membunuh Ki Ma-
hinta. Maka sengaja ia ku pancing dengan ucapanku. 
Melihat betapa wajahnya berubah dan tak dapat me-
nahan kemarahannya, yakinlah aku bahwa pembu-
nuhnya pasti Jaro Labang. Kemungkinan besar ia me-
mang disewa Juragan Baswara."
Penjelasan Ekalana membuat Rapati mengangguk-
kan kepalanya. Diam-diam dirinya harus mengakui 
kecerdikan Ekalana.
"Hm...! Katakanlah tindakanmu itu memang benar, 
tapi seharusnya kau memberitahu sebelumnya. Se-
hingga, kami bisa bersiap-siap menghadapi segala ke-
mungkinan. Selain itu, kau telah menyimpang dari 
rencana. Sekarang semuanya berantakan! Dan kurasa 
kabar tentang kita akan tersebar bias. Juragan Baswa-
ra pasti tahu bahwa kitalah yang telah membunuh Ja-
ro Labang. Ini akan membuat dirinya khawatir kalau-
kalau kita pun akan datang untuk membunuhnya."
"Memang kita akan membunuhnya!" sergah Ekala-
na memotong ucapan Saranggi, membuat kalimat lela-
ki jangkung itu terhenti sesaat.
"Kau belum kenal siapa sebenarnya Juragan Bas-
ara, Ekalana!" hardik Saranggi geram. "Orang itu pasti 
akan menghubungi kawan-kawannya yang merupakan 
perwira-perwira kerajaan! Bisa saja dia memfitnah kita! 
Bahkan mungkin akan menyuruh orang mencari dan 
membunuh kita dengan bayaran tinggi! Nah, pikirkan

lah olehmu sendiri. Betapa akan sulitnya hari-hari kita 
selanjutnya," lanjut Saranggi tanpa menatap wajah 
Ekalana.
"Saranggi benar, Ekalana," tukas Sudana. Kurasa 
kita bakal menjadi buruan pemerintah dan pemburu-
pemburu hadiah! Tentang kelompok orang-orang yang 
terakhir kusebutkan ini, sudah banyak kudengar. Me-
reka umumnya orang-orang berkepandaian silat tinggi
dan dapat menggorok leher korbannya dengan mata 
terbuka!"
"Hhh... aku tak takut!" tandas Ekalana dengan se-
nyum sinis dan mata berkilat aneh.
"Kau benar-benar manusia celaka, Ekalana! Bisa 
gila jika terus berada bersamamu!" geram Sudana 
membanting kakinya ke tanah. Kemudian memutar 
tubuh, meninggalkan Ekalana.
"Biar bagaimanapun kita harus membunuh Jura-
gan Baswara agar arwah Ki Mahinta bisa tenang di 
alam sana," ujar Ekalana dengan penuh semangat dan 
mata berbinar.
'Tidak!" Saranggi membentak, "Bukan kita tapi 
kau, Ekalana...! Aku tak akan sudi mengikuti keingi-
nan gilamu itu!"
"Hm..., lalu apa keinginanmu sekarang, Saranggi?" 
sindir Ekalana dengan senyum mengejek, "Apa kau ki-
ra setelah Jaro Labang terbunuh Juragan Baswara 
akan diam saja? Tidak, Saranggi. Manusia jahat dan li-
cik itu akan terus mencari dan mengejar kita semua. 
Dia tak akan pernah bisa hidup tenang sebelum meli-
hat tubuh kita terbujur kaku di depan matanya!"
Sudana, Rapati, Jirana, Sabung Waluya, dan Ma-
ladi, hanya saling pandang satu sama lain. Kemudian 
melihat Saranggi dan Ekalana yang saling berhadapan 
dalam jarak dekat. Wajah Saranggi tampak merah padam. Sambil menekan gigi gerahamnya, menatap wa-
jah Ekalana dengan mata melotot. Hatinya benar-
benar merasa geram, tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Ekalana sendiri tetap dingin. Senyum mengejeknya
tetap tersungging menyakitkan. Pandangannya begitu 
tajam menentang tatapan Saranggi. Meski kelihatan 
tenang, pemuda itu sudah mempersiapkan tenaga da-
lamnya untuk menyambut apabila Saranggi menye-
rang.
"Huh...!"
Saranggi mendengus bagai kerbau liar. Kemudian 
bergerak mundur, membalikkan tubuhnya dan me-
langkah ke tepi kali. Seakan hendak melampiaskan ke-
jengkelannya, pemuda jangkung itu memukul-
mukulkan tangannya ke sebatang pohon, membuat 
pohon itu berderak. Tak dipedulikan meskipun kulit 
tangannya lecet dan berdarah.
"Hm..., seharusnya bukan pohon yang menjadi sa-
saran pukulan itu, tapi Juragan Baswara...," Ekalana 
tampaknya masih belum merasa puas. Ucapan itu di-
lontarkan dengan nada menghina, membuat ke-
marahan Saranggi kian meledak.
"Keparat, kau benar-benar tak memandang sebelah 
mata kepadaku, Ekalana!" geram Saranggi dengan wa-
jah beringas dan sepasang mata memerah saga, 
"Kau..., kau harus diberi pelajaran...!"
Usai berkata demikian, Saranggi menerjang Ekala-
na dengan lompatan panjang. Sepasang tangannya ter-
julur siap mencekik leher pemuda tampan yang ang-
kuh itu. Namun terkamannya hanya mengenai angin 
kosong, ketika tubuh Ekalana dengan cepat bergeser 
ke samping.
"Kau hendak melumat angin, heh?" tukas Ekalana 
tak melepaskan senyumnya yang mengejek.

"Bangsat, kubunuh kau...!"
Bagai harimau luka, Saranggi kembali menerkam 
Ekalana, kedua tangannya menyambar-nyambar den-
gan pukulan yang kuat, dan masih diselingi tendan-
gan-tendangan menderu. Namun, semua dapat dielak-
kan Ekalana dengan mudahnya. Bahkan pada jurus 
yang kelima, Ekalana mampu menyarangkan sebuah 
pukulan telak ke ulu hati Saranggi. Sehingga membuat 
pemuda jangkung itu terdorong mundur dengan tubuh 
terbungkuk.
"Berhenti...!"
Melihat perkelahian masih akan berlanjut, Sudana 
dan empat pemuda lainnya bergegas mencegah. Jirana 
dan Rapati menghalangi Ekalana. Sedangkan Sudana, 
Maladi, dan Sabung Waluya menahan Saranggi.
"Sebaiknya kita menghemat tenaga untuk meng-
hadapi ancaman yang mungkin akan terjadi terhadap 
kita...," ujar Sudana mengingatkan. "Saranggi, musuh-
mu bukanlah Ekalana! Ingat, nasib kita belum dapat 
diramalkan.... Janganlah kita saling bentrok...!"
"Seharusnya kau lebih bisa menjaga mulutmu, 
Ekalana," Jirana berkata kepada Ekalana, yang hanya 
tersenyum tipis. Pemuda tampan itu memutar tubuh 
lalu melangkah.
"Aku hendak membersihkan tubuh, biar pikiranku 
lebih segar," ujarnya dengan sikap seolah-olah tak 
pernah terjadi apa-apa dengan Saranggi.
"Kelihatannya ia agak sinting...," bisik Rapati kepa-
da Jirana. Keduanya menggeleng-geleng memandang 
kepergian Ekalana.
***
ENAM

Kematian Jaro Labang, Ketua Perkumpulan Pen-
gantar Barang Garuda Emas cepat tersebar luas. Hal 
ini tidak aneh, karena cukup banyak orang kaya yang 
menggunakan jasa Jaro Labang. Terutama sekali para 
pedagang besar, termasuk Juragan Baswara, orang 
terkaya dan paling berpengaruh di Desa Sindang Laya.
"Kurang ajar, ini pasti perbuatan Saranggi keparat 
dan kawan-kawannya itu!" geram Juragan Baswara 
yang kelihatan sangat marah demi mendengar berita 
kematian Jaro Labang. Lelaki setengah baya itu mon-
dar-mandir di ruang tengah rumah besarnya dengan 
wajah berang.
Di dalam ruangan itu sendiri tidak hanya ada Ju-
ragan Baswara seorang. Selain empat orang tukang 
pukul andalannya, juga terlihat Ki Windudarta, Kepala 
Desa Sindang Laya, yang berada di bawah pengaruh 
juragan kaya itu.
'Tapi, dengan alasan apa mereka melakukannya, 
Ki?" Tanya Ki Windudarta, yang kelihatannya belum 
percaya benar dengan tuduhan Juragan Baswara.
Juragan Baswara menghentikan langkahnya, lalu 
berpaling dan menatap Ki Windudarta lekat-lekat Ter-
dengar suara helaan nafasnya yang panjang dan berat.
"Karena..., Jaro Labang-lah yang telah membunuh 
Ki Mahinta! Aku yang menyuruhnya dengan imbalan 
besar!" jawab Juragan Baswara berterus terang.
Jawaban Juragan Baswara tentu saja sangat men-
gejutkan Ki Windudarta. Hingga lelaki tua yang masih 
gagah ini tersentak dengan wajah agak pucat!
"Mengapa...?" desis Ki Windudarta dengan kerong-
kongan terasa kering, membuat suaranya terdengar

serak.
"Karena dia bukan penduduk asli desa ini! Ki Ma-
hinta adalah pendatang dari daerah selatan, dan aku 
tidak menghendaki adanya peternakan lain di Desa 
Sindang Laya ini, kecuali aku! Nah, apakah kau me-
nyalahkan aku, Ki Lurah...?" ujar Juragan Baswara 
membuat Ki Windudarta diam seribu bahasa.
Kepala Desa Sindang Laya hanya bisa menunduk 
dan menyesali dirinya. Ia sama sekali tidak menyangka 
kalau Juragan Baswara akan bertindak sejauh itu. 
Namun, semuanya sudah kepalang basah. Sadar atau 
tidak, dirinya telah terlibat dalam urusan pembunuhan 
Juragan Mahinta. Apalagi sumbangan Juragan Baswa-
ra terhadap kemajuan desa dan keluarganya sudah 
bertumpuk-tumpuk. Ki Windudarta hanya bisa meng-
hela napas panjang.
Melihat Ki Windudarta tidak berkata apa-apa, Ju-
ragan Baswara mengalihkan perhatiannya, menatap 
dua orang tukang pukul andalannya.
"Pergilah kalian dan temui perwira-perwira kena-
lanku di kotaraja! Sampaikan kepada mereka, bahwa 
aku memerlukan bantuan dan menginginkan agar me-
reka datang ke desa ini! Laporkan kepada mereka, 
bahwa di wilayah barat ini telah muncul tujuh orang 
pemuda gila, yang merupakan pembunuh-pembunuh 
kejam. Mereka sangat berbahaya dan harus segera di-
lenyapkan. Minta juga kepada para perwira di kotaraja 
untuk menyebar orang-orangnya ke empat penjuru. 
Agar menutup setiap jalan ke luar yang biasanya dila-
lui orang!" Juragan Baswara memerintah-kan dua 
orang tukang pukulnya. Mereka pun segera berangkat 
untuk melaksanakan perintah majikannya.
"Saranggi dan kawan-kawannya tak mungkin be-
rani kembali ke desa ini, Ki," ujar Ki Windudarta setelah dua orang tukang pukul Juragan Baswara pergi.
"Meskipun begitu, aku harus tetap waspada. Dan 
kau, kerahkanlah orang-orangmu untuk memperketat 
penjagaan di desa ini! Karena cepat atau lambat me-
reka pasti akan mencariku untuk membalas dendam 
atas kematian Ki Mahinta. Terbunuhnya Jaro Labang 
membuatku yakin, bahwa mereka sudah mengetahui 
siapa dalang pembunuhan majikan mereka. Kau harus 
membantuku mengenyahkan mereka!" tandas Juragan 
Baswara, saat itu terlihat jelas betapa ia berkuasa 
memerintah kepala desanya.
"Baik," sahut Ki Windudarta lemah. Kemudian lela-
ki tua ini berpamitan untuk mempersiapkan orang-
orangnya.
"Golang..., Banu!" Juragan Baswara memanggil dua 
orang tukang pukul kepercayaannya yang masih bera-
da di ruangan itu. "Sebar berita ke luar bahwa Juragan 
Baswara menyediakan hadiah dalam jumlah yang san-
gat besar bagi siapa saja yang dapat membawa kepala 
Saranggi dan kawan-kawannya kepada-ku!"
"Baik, Tuan Besar," jawab Golang dan Banu seren-
tak.
"Ayo, pergi sekarang! Apa lagi yang kalian tunggu?"
hardik Juragan Baswara, yang membuat Golang dan 
Banu terbungkuk-bungkuk bergegas meninggalkan 
ruangan itu.
***
Jirana, pemuda bertubuh kekar, yang garis-garis 
wajahnya menampakkan kegagahan ini tampak geli-
sah. Sebentar-sebentar tubuhnya yang rebah di atas 
tanah berumput tebal itu bergerak bangkit, duduk 
termenung. Pandangannya menerawang jauh dan kosong. Helaan napas beratnya terdengar berkali-kali 
menunjukkan kegelisahan hatinya.
"Heh...," lagi-lagi Jirana menghela napas berat. 
Kemudian menoleh ke arah kawan-kawannya, yang 
tampak tengah terlelap keletihan di kiri dan kanannya. 
Sampai akhirnya ia bangkit berdiri karena tak sanggup 
menahan kegelisahan di dalam hatinya. Dan melang-
kah menghampiri kuda yang ditambatkan pada seba-
tang pohon.
"Hendak pergi ke mana kau, Jirana?"
Jirana baru saja melepaskan tambatan kuda. Ke-
tika siap melompat naik ke punggung kuda, hatinya 
tersentak kaget. Ia berpaling dan melihat Ekalana 
bangkit dari tidur dan menatapnya dengan tajam.
"Aku..., aku harus menemui Mayani...," jawab Jira-
na agak gugup. Butir-butir peluh tampak mulai meni-
tik di keningnya.
"Mayani...?! Nama yang aneh? Siapa Mayani itu, Ji-
rana? Apakah gadis yang pernah menari denganmu 
sewaktu di pesta panen?" Tanya Ekalana menegasi.
Jirana mengangguk semakin gugup dan gelisah.
"Kau tahu di mana gadis itu tinggal?" Tanya Ekala-
na lagi sambil melangkah menghampiri Jirana. 
"Kemungkinan besar di rumah perjudian milik Ju-
ragan Baswara," jawab Jirana setelah terdiam sesaat.
Dia teringat sewaktu bersama kawan-kawannya 
mendatangi tempat kediaman Juragan Baswara, tidak 
melihat sosok gadis yang telah membuatnya mabok 
kepayang.
"Sadarkah kau, bahwa dengan menemuinya sama 
saja dengan menghampiri kematian?"
'Tapi, aku harus bertemu dengannya! Aku harus 
membebaskannya dari cengkeraman Juragan Baswa-
ra!" setengah berteriak Jirana mengungkapkan keingi

nannya yang besar.
Jawaban Jirana membuat kening Ekalana berkerut 
Ia memang tidak tahu banyak tentang apa yang dira-
sakan dan dialami kawannya itu. Sehingga jawaban 
barusan membuatnya merasa heran.
Sementara itu, Saranggi, Sabung Waluya, Rapati, 
Sudana, dan Maladi tersentak bangun dari tidur. Per-
kataan Jirana yang agak keras tadi membuat mereka 
terganggu. Kelimanya merasa heran melihat Ekalana 
dan Jirana berdiri saling berhadapan, seperti tengah 
bertengkar. Bergegas kelimanya bangkit dan meng-
hampiri.
"Mayani adalah gadis keturunan Cina. Ia diambil 
secara paksa dari keluarganya oleh Juragan Baswara. 
Karena ayah Mayani tak sanggup membayar hutang-
hutangnya yang kian hari kian bertumpuk. Ayah 
Mayani tidak mampu membayar karena sudah hampir 
satu bulan jatuh sakit. Selama itu usaha ayahnya yang 
berdagang obat-obatan tidak berjalan. Tak seorang 
pun yang berani mencegah ketika Juragan Baswara 
membawa Mayani sebagai pembayaran atas hutang-
hutang ayahnya."
Penjelasan Jirana juga didengar oleh lima orang 
pemuda lainnya. Namun, tentu saja Saranggi dan em-
pat orang pemuda lainnya tidak mengerti jalan cerita 
Jirana. Mereka hanya bisa memandang Jirana dan 
Ekalana berganti-ganti.
"Kalau begitu, kita semua harus kembali ke Desa 
Sindang Laya!" ujar Ekalana. Tentu saja ucapan itu 
membuat kawan-kawannya terkejut Termasuk Jirana, 
yang sama sekali tidak menduga kalau Ekalana akan 
berkata demikian.
"Gila! Apa-apaan ini...?!" sahut Saranggi setengah 
berteriak.

Sudana, Rapati, Sabung Waluya, dan Maladi, se-
rentak memandang Ekalana dengan mata membelalak. 
Ucapan yang dikeluarkan Ekalana membuat mereka 
menduga kalau pemuda tampan itu telah miring otak-
nya. Kalau tidak mana mungkin mengajak mereka 
kembali ke Desa Sindang Laya, yang berarti mencari 
mati!
Ekalana tetap tenang dengan senyum tipisnya yang 
seperti selalu mengejek orang yang memandangnya. 
Sinar matanya tampak berkilat-kilat Wajah dan sikap-
nya sama sekali tak memperlihatkan rasa takut atau-
pun gelisah. Hal itu membuat kawan-kawannya mera-
sa yakin kalau Ekalana memang tidak waras.
"Kita telah bersama-sama membalaskan kematian 
Ki Mahinta," ujar Ekalana.
Kawan-kawannya tampak belum mengerti arah 
pembicaraan Ekalana. Namun pemuda itu sama se-
kali tak peduli dan melanjutkan perkataannya. "Tidak 
ada salahnya kalau sekarang kita bersama-sama pula 
untuk membantu Jirana. Dia hendak menolong Maya-
ni. Gadis yang dicintainya. Jirana bermaksud memba-
wanya pergi agar lepas dari cengkeraman Juragan 
Baswara."
Ekalana menghentikan ucapannya. Dengan sikap 
tetap dingin, ia memandangi wajah Saranggi dan em-
pat orang lainnya satu persatu.
'Tentu saja kita masuk ke desa pada saat hari ge-
lap. Aku yakin Juragan Baswara pasti tak akan pernah 
menduganya," lanjut Ekalana ketika melihat kawan-
kawannya terdiam. “Yang merasa takut mati, silakan 
tinggal di tempat ini.'"
Setelah berkata demikian, Ekalana melompat ke 
punggung kudanya. Kemudian memberikan isyarat 
kepada Jirana agar segera berangkat. Perlahan kedua

nya menjalankan kuda meninggalkan tempat itu, di-
iringi pandangan mata lima orang kawannya yang ke-
lihatan masih ragu-ragu.
"Aku ikut!" tiba-tiba Rapati berlari dan melompat 
ke punggung kudanya. Kemudian menyusul Ekalana 
dan Jirana.
Setelah Rapati, Sudana. Sabung Waluya, dan Ma-
ladi, satu persatu bergegas menyusul. Tinggallah Sa-
ranggi termangu seorang diri. Namun akhirnya terpak-
sa mengalah dan ikut bersama kawan-kawannya un-
tuk menentang maut!
Jarak yang mereka tempuh memang tidak dekat.
Namun semangat yang ditunjukkan Ekalana dari Jira-
na membuat Saranggi dan lima orang pemuda lainnya 
tak mau kalah. Terlebih mereka telah merasa senasib 
dan sependeritaan. Sehingga, perjalanan jarak jauh itu 
ditempuh.
Tentu saja ketujuh pemuda itu tak berani me-
lewati tempat-tempat yang biasa dilalui orang. Se-
hingga perjalanan pun lebih sulit dan berat. Terpaksa 
mereka harus beristirahat di hutan-hutan atau tempat 
terpencil pada waktu malam hari. Akibatnya setelah ti-
ga hari tiga malam mereka baru sampai di dekat wi-
layah Desa Sindang Laya. Ketujuh pemuda itu tiba te-
pat pada waktu hari mulai terselimut kegelapan.
Setelah melepaskan lelah beberapa waktu lamanya, 
ketika malam semakin larut, mereka pun mulai berge-
rak menyusup ke desa. Kuda mereka ditinggalkan di 
sebuah hutan kecil, sebelah timur desa. Kecuali Eka-
lana, yang lainnya merasakan dada mereka berdebar 
tegang dan napas agak memburu. Mereka berjalan 
mengendap-endap melalui tempat-tempat yang tidak 
terkena cahaya pelita ataupun obor. Tujuan Ekalana 
dan kawan-kawannya ke rumah judi milik Juragan

Baswara, yang merupakan tempat perjudian satu-
satunya di desa itu.
"Jirana, kau pergilah dan temui kekasihmu! Kami 
mengawasi dari sini," bisik Ekalana. Secara kebetulan, 
rumah yang mereka gunakan untuk bersembunyi ada-
lah rumah kosong. Membuat mereka merasa agak te-
nang.
Jirana mengangguk samar di kegelapan. Kemudian 
berlari terbungkuk-bungkuk menyeberangi jalan. Se-
bab, rumah kosong itu tepat berseberangan dengan 
rumah judi Juragan Baswara.
"Hati-hati...!" bisik Ekalana lagi berpesan.
Jirana tidak menyahut, hanya mengangkat se-
belah tangannya. Kemudian terus berlari mendekati 
rumah judi yang tampak sudah sepi, meski masih dite-
rangi lampu minyak di dalamnya. Jirana menyandar-
kan tubuh di dinding kayu untuk mengatur debaran 
jantungnya yang tak karuan. Telinganya ditempelkan 
ke dinding ketika samar-samar terdengar suara orang 
yang tengah berbicara di dalam ruangan bawah rumah 
itu.
"Hhh..., udara malam ini dingin sekali."
Terdengar satu suara parau berdesis. Jirana segera 
dapat mengenali bahwa suara itu milik Ki Windudarta. 
Adanya Kepala Desa Sindang Laya di dalam rumah itu, 
membuat Jirana semakin berhati-hati. Ia tahu betul 
kalau Ki Windudarta memiliki kepandaian dalam ilmu 
silat.
"Kalau kau ingin menghangatkan tubuh, 'selimut’
untukmu sudah aku sediakan, Windudarta. Silakan
bersenang-senang. Selimut ku sendiri sudah menung-
gu di atas...," ujar suara lain, yang tak lain Juragan 
Baswara. Jirana kenal benar suara saingan majikan-
nya itu Dan ia semakin tegang!

"Beruntung kau dapat menikmati kehangatan tu-
buh gadis cantik keturunan Cina itu. Aku benar-benar 
iri kepadamu, Ki."
Ucapan terakhir Ki Windudarta membuat dada Ji-
rana kembali berdebar. Ia tahu siapa gadis ke- turu-
nan Cina yang dimaksudkan. Bergegas Jirana men-
gendap-endap ke bagian belakang rumah, ketika men-
dengar kedua orang itu masih melanjutkan pembica-
raan.
Tiba di bagian belakang rumah, Jirana melihat ada 
jendela di kamar atas yang terbuka. Dengan memanjat 
sebatang pohon, yang kebetulan tumbuh dekat jendela 
kamar atas itu, Jirana menyelinap masuk.
Gadis cantik berkulit putih yang tengah rebah di 
pembaringan kaget melihat sesosok tubuh menyelinap 
masuk ke kamarnya. Namun Jirana bertindak cepat 
menutup mulut gadis cantik itu dengan tangannya.
"Sssttt...! Mayani, ini aku, Jirana...," bisik Jirana 
dengan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis cantik 
itu.
Mata Mayani yang semula membelalak ketakutan, 
tampak mulai tenang. Namun wajahnya jelas masih 
menggambarkan perasaan takut.
"Mengapa, Mayani? Kau..., takut kepadaku...?" 
Tanya Jirana dengan wajah berduka melihat betapa 
gadis yang dicintainya itu ternyata ketakutan, meski-
pun telah saling mengenal. Perasaan kecewa membuat 
telapak tangannya agak merenggang dari mulut Maya-
ni.
'Tuan Baswara bilang, kau dan kawan-kawanmu 
telah membunuh orang," ujar Mayani dengan suara 
berbisik. Jelas dirinya tak menghendaki kedatangan 
Jirana diketahui Juragan Baswara, yang diketahuinya 
berada di ruangan bawah rumah itu, "Menurutnya kau

dan kawan-kawanmu telah menjadi gila. Suka mem-
perkosa dan membunuh orang," lanjutnya dengan ma-
ta tak lepas dari wajah Jirana. Matanya yang agak sipit
terlihat menunjukkan rasa cinta meski samar. Jirana 
dapat merasakan hal itu.
"Semua itu tidak benar, Mayani. Kau tahu sendiri 
bahwa Juragan Baswara bukanlah orang baik-baik.
Manusia jahat itu memfitnah kami! Aku sedih sekali 
kalau kau pun menyangka aku orang jahat. Padahal 
aku begitu mencintaimu, Mayani...," bisik Jirana den-
gan suara bergetar terbawa perasaan cintanya yang 
dalam.
Jirana merasakan tubuh gadis itu bergetar. Kini 
tangannya sudah memegang kedua bahu Mayani.
"Mayani, marilah ikut bersamaku! Aku akan mem-
bawamu ke tempat yang tenang, jauh dari jangkauan 
tangan kotor Juragan Baswara. Aku berjanji akan 
membahagiakan mu...," ujar Jirana mendekatkan wa-
jahnya dan mengecup lembut kening Mayani dengan 
sepenuh perasaan kasih di hatinya.
"Aku kini sudah tak suci lagi, Jirana. Tubuhku su-
dah kotor. Aku..., aku tak ingin membuat kau kecewa 
kelak...," ujar Mayani dengan air mata membasahi pi-
pinya yang halus kemerahan.
"Aku tidak peduli, Mayani. Bagaimanapun aku te-
tap mencintaimu dan ingin hidup bersamamu," tukas 
Jirana. Hatinya merasa perih melihat air mata gadis 
yang dicintainya itu.
Tiba-tiba saja keduanya sama menoleh ke arah 
pintu kamar. Karena saat itu terdengar suara langkah 
kaki menaiki tangga, dan mendekati pintu kamar. Se-
ketika itu juga wajah Mayani berubah pucat!
"Pergilah, Jirana! Itu pasti langkah kaki Tuan Bas-
wara! Lupakan aku! Aku tak pantas untukmu...," bisik

Mayani semakin tegang. Takut kalau kedatangan Jira-
na sampai diketahui Juragan Baswara.
"Mayani...!" terdengar suara Juragan Baswara dis-
ertai suara ketukan pada daun pintu yang terkunci itu.
"Ikutlah bersamaku, Mayani...!" desis Jirana lagi 
dengan tatapan mata sayu, penuh permohonan.
Sementara ketukan pada daun pintu semakin ke-
ras. Mayani semakin tegang! Tetap ditolaknya keingi-
nan Jirana. Berkali-kali kepalanya menoleh ke arah 
pintu yang kali ini digedor kuat-kuat dari luar. Dan....
Brak!
Daun pintu kamar Mayani jebol ditendang Juragan 
Baswara yang merasa curiga. Telinganya menangkap 
suara ribut-ribut yang samar dari dalam kamar. Begitu 
tubuhnya melompat masuk, sepasang matanya lang-
sung menyapu seisi kamar. Namun, ia hanya men-
dapati tubuh Mayani yang masih rebah di atas pemba-
ringan.
"Katakan, apakah ada orang yang menemuimu ba-
rusan?" bentak Juragan Baswara dengan suara meng-
gelegar.
Mayani menggeleng lemah. Namun air matanya 
kembali berlinang membasahi pipi.
Juragan Baswara tidak percaya dengan jawaban 
Mayani. Matanya kembali menyapu sekeliling kamar. 
Ketika mendapati daun jendela yang terbuka, hatinya 
semakin curiga. Bergegas dia melangkah menghampiri 
jendela itu. Dan bukan main berangnya hati Juragan 
Baswara ketika melongokkan kepalanya ke bawah, ter-
lihat ada sesosok tubuh tengah berlari terburu-buru.
"Kurang ajar! Itu pasti pemuda laknat yang berna-
ma Jirana! Tidak ada lagi orang yang berani mendeka-
timu kecuali bangsat itu! Aku kenal betul bentuk tu-
buhnya!" geram Juragan Baswara, yang langsung saja

meneriaki tukang-tukang pukulnya. Kemudian ia ber-
gegas turun dari loteng itu.
"Goblok kalian semua! Mengapa sampai tak tahu 
ada orang menyusup ke dalam tempat ini! Ayo, kejar 
bangsat itu! Cari sampai dapat!"
Bagai kakek-kakek kebakaran jenggot, Juragan 
Baswara mencak-mencak mencaci-maki para tukang 
pukulnya. Ia menunjuk ke seberang jalan. Karena dari 
atas tadi ia sempat melihat arah lari Jirana.
Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul 
yang berjumlah belasan orang bergegas menyebar. Se-
tengahnya memburu ke rumah kosong yang di-tunjuk 
Juragan Baswara. Sebentar saja di sekitar tempat itu 
telah diterangi sinar-sinar obor.
Bukan cuma tukang-tukang pukul Juragan Baswa-
ra yang melakukan pengejaran. Belasan petugas kea-
manan Desa Sindang Laya pun berdatangan karena 
mendengar teriakan-teriakan Juragan Baswara. Bah-
kan Ki Windudarta sendiri sudah ke luar dari rumah 
judi. Sembari sibuk membetulkan pakaiannya, lelaki 
tua ini berlari ikut melakukan pencarian.
***
Ekalana merasa heran dan kaget melihat Jirana 
berlari cepat meninggalkan rumah judi seorang diri.
Terlebih ketika Jirana telah mendekat, terlihat wajah 
pemuda itu pucat dan terengah-engah. Kemudian ter-
dengar pula adanya suara orang berteriak-teriak Tahu-
lah Ekalana kalau Jirana telah tertangkap basah.
"Cepat, tinggalkan tempat ini...!" Ekalana segera 
mengajak kawan-kawannya untuk meninggalkan tem-
pat itu.
Saranggi, Sabung Waluya, Maladi, Sudana, dan

Rapati, langsung menuruti ajakan Ekalana. Mereka ju-
ga menangkap suara orang berteriak-teriak marah. 
Meski agak samar, mereka berlima sudah mencium 
adanya ancaman bahaya. Maka, langsung saja meng-
hambur meninggalkan tempat itu, berlari secepat 
mungkin. Beberapa saat kemudian Juragan Baswara 
sampai di rumah kosong tempat bersembunyi Ekalana 
dan kawan-kawannya. Namun yang dicari sudah tidak 
ada. Ketika dia mencari-cari serta memerintah tukang-
tukang pukulnya untuk mengejar Jirana, pemuda itu 
telah berlari jauh belasan tombak.
Namun ketujuh pemuda yang tengah berlari me-
nyelamatkan diri terkejut ketika mendengar suara ken-
tongan dipukul bertalu-talu. Mereka sama sekali tidak 
menyangka kalau kejadian itu akan menyebar sedemi-
kian cepat. Kenyataan itu membuat mereka menduga, 
bahwa Juragan Baswara memang sudah memper-
siapkan segala sesuatunya. Menjaga kemungkinan me-
reka bertujuh akan datang ke Desa Sindang Laya.
Otak Ekalana bekerja cepat mencari jalan keluar 
yang dirasa cukup aman. Segera dibelokkan langkah-
nya ke arah barat, melalui kebun-kebun penduduk.
Pemuda itu terus menerobos meski sadar, bahwa arah 
yang diambilnya cukup jauh dari tempat mereka me-
ninggalkan kuda. Namun, sebelum sempat menerobos
perkebunan, tiba-tiba muncul empat sosok tubuh 
menghadang dari samping kanan mereka. Salah satu 
dari keempat sosok yang ternyata petugas keamanan 
desa itu, membawa sebatang obor.
"Hei, berhenti...!" salah seorang dari empat keama-
nan Desa Sindang Laya membentak. Kemudian meng-
hambur bersama tiga orang kawannya hendak meng-
hadang jalan.
"Saranggi, kau ikut aku! Yang lain terus lari, kami
berdua akan menyusul...!" ujar Ekalana mengambil 
tindakan cepat. Tubuhnya langsung melesat menyam-
but kedatangan keempat orang itu dengan pedang di 
tangan.
Trang! Trang!
Bunga api berpijar ketika sambaran pedang Ekala-
na disambut dua batang golok dari dua orang lawan. 
Dalam benturan itu Ekalana berada dalam kedudukan 
yang lebih kuat, hingga kedua orang lawannya tergetar 
mundur. Tanpa membuang-buang waktu, Ekalana 
kembali melanjutkan serangannya. Dengan gerak me-
lingkar, pedangnya berkelebat mengancam tubuh dua 
orang keamanan desa itu.
Saranggi sendiri sudah mencabut dua bilah pisau 
terbang di pinggangnya. Kemudian dengan cepat dile-
paskannya membuat pisau-pisau terbang itu meluncur 
dengan suara berdesing tajam.
Sing! Sing!
Crap! Crap!
"Aaakh...!"
Terdengar lengkingan kematian merobek dinginnya 
udara malam. Tubuh dua orang keamanan desa itu 
seketika terjungkal mandi darah. Pisau-pisau terbang 
Saranggi tepat menancap di leher mereka.
Sesaat setelah pisau-pisau terbang Saranggi me-
renggut nyawa, pedang di tangan Ekalana pun mero-
bek perut dan menusuk dada lawan-lawannya. Darah 
segar menyembur membasahi tanah lembab berem-
bun. Dan tanpa menunggu lagi, Ekalana langsung me-
lesat bersama Saranggi meninggalkan keempat kor-
bannya. Sebab, saat itu mereka men-dengar adanya 
suara langkah kaki banyak orang mendatangi tempat 
itu. Dari kejauhan mereka melihat sinar-sinar obor 
yang semakin dekat.
Saranggi dan Ekalana sudah menerobos perkebu-
nan ketika belasan orang tukang pukul Juragan Bas-
wara dan delapan orang keamanan desa tiba di tempat 
pertempuran yang baru saja selesai. Mereka terkejut 
bukan main ketika melihat empat orang keamanan de-
sa telah terkapar tewas berlumuran darah.
"Berpencar, cari pembunuh-pembunuh keji itu 
sampai dapat..!" Ki Windudarta yang turut bersama 
rombongan, marah bukan main. Setelah memberi pe-
rintah demikian, kepala desa ini melesat menuju mulut 
desa bersama dua orang anak buahnya. Ia menduga 
para pembunuh melarikan diri melalui mulut desa.
Namun, sampai terdengar kokok ayam jantan me-
nyambut datangnya fajar, Saranggi dan kawan-
kawannya tetap tidak bisa ditemukan. Hal itu mem-
buat Juragan Baswara dan yang lainnya cuma bisa 
mengumpat dan menyumpah-nyumpah. Terlebih Ki 
Windudarta, hatinya merasa sangat terpukul dengan
kejadian itu. Ia merasa malu terhadap Juragan Baswa-
ra. Sebab, persiapan yang telah diaturnya sedemikian 
rupa, masih juga kecolongan.
Sementara itu, seiring dengan terdengarnya kokok 
ayam jantan bersahutan. Saranggi dan enam pemuda 
lainnya sudah tiba di hutan kecil, sebelah timur Desa 
Sindang Laya. Mereka langsung membedal kuda mela-
rikan diri ke arah selatan.
***
TUJUH


Siang itu langit tampak gelap. Awan hitam yang 
mengandung air semakin menebal, menghalangi sang Raja Siang. Angin bertiup keras membuat pepohonan 
berderak-derak bagai hendak tercabut dari dalam ta-
nah. Tak lama kemudian, butir-butir air pun me-netes 
jatuh ke bumi. Makin lama semakin deras, hingga hu-
jan lebat disertai angin ribut pun tercipta. Selain itu 
petir dan halilintar menggelegar, saling bersambung di 
angkasa. Alam seolah hendak menunjukkan kekua-
saannya kepada seluruh makhluk penghuni bumi.
Di tengah kelebatan hujan yang menggila itu, tam-
pak tujuh orang penunggang kuda bergerak memasuki 
mulut sebuah desa. Terus membelok ke sebuah kedai 
makan. Mereka bergegas masuk ke kedai setelah me-
nambatkan kuda mereka pada sebuah palang kayu di 
halaman depan kedai. Tubuh mereka yang basah 
kuyup tentu saja menarik perhatian beberapa orang 
pengunjung yang tengah menikmati teh hangat dan 
penganan. Dua di antara pengunjung mengerutkan 
kening dan memandang ketujuh penunggang kuda, 
yang terdiri dari orang-orang muda itu, dengan penuh 
selidik.
Ketujuh penunggang kuda yang tak lain Saranggi 
dan kawan-kawannya itu sama sekali tak mempeduli-
kan pandangan orang-orang di dalam ruangan. Mereka 
langsung mengambil tempat duduk dan memesan teh 
hangat serta penganan untuk mengusir rasa dingin.
"Hua ha ha...! Rupanya hari ini kita benar-benar 
sedang beruntung, Kawan-kawan! Tak disangka tidak 
diduga, tujuh lalat tolol datang mencari penggebuk! Ini 
patut kita rayakan!" tawa dan ucapan lantang itu be-
rasal dari seorang lelaki berkepala botak, yang wajah-
nya dihiasi brewok tebal. Kemudian ia memanggil pe-
layan kedai, minta disediakan seguci tuak.
Ucapan lantang itu tentu saja terdengar oleh Sa-
ranggi dan kawan-kawannya. Serentak mereka menolehkan wajah hendak melihat siapa pemilik suara itu. 
Semua terkejut ketika mendapati seraut wajah berin-
gas, yang juga tengah memandang ke arah mereka.
"Celaka...!" desis Saranggi, berbisik dengan suara 
gemetar dan wajah pucat. "Aku pernah melihat orang 
itu di tempat kediaman Juragan Baswara beberapa 
waktu lalu. Saat Ki Mahinta hendak beramah-tamah 
dengan Juragan Baswara, beliau membawaku serta. 
Dari Ki Mahinta aku tahu tentang orang itu. Namanya 
Togas. Seorang pemburu hadiah yang sangat kejam 
dan tak kenal ampun. Juga tak pernah gagal dalam 
menjalankan pekerjaannya...."
Penjelasan singkat Saranggi, membuat wajah ka-
wan-kawannya menjadi pucat dan tegang. Kecuali 
Ekalana, yang memang tidak pernah mengenal rasa 
takut. Wajah pemuda itu tetap beku tak menggambar-
kan perasaan apapun.
"Lalu... apakah orang bernama Togas itu mengeta-
hui tentang kita...?" Tanya Maladi dengan suara berbi-
sik. Suaranya terdengar gemetar menunjukkan pera-
saan hatinya yang dilanda kegentaran dan kecemasan.
"Mendengar ucapannya tadi, kurasa ia memang 
tengah memburu kita....," jawab Saranggi berbisik 
dengan suara semakin lirih, takut kalau sampai ter-
dengar oleh orang bernama Togas itu.
"Hm... kita bertujuh, sedangkan mereka bertiga, 
takut apa?" tiba-tiba Ekalana menyela tidak berbisik 
seperti yang dilakukan kawan-kawannya. Bahkan ke-
mudian bergerak bangkit dan melangkah menghampiri 
meja tempat Togas dan dua orang kawannya duduk.
"Gila! Mau apa pemuda sinting itu...?! Ulahnya se-
lalu saja membuat kita bisa mati ketakutan...!" desis 
Saranggi yang menjadi geram oleh ucapan dan ulah 
Ekalana. Namun ia tidak bisa berbuat lain kecuali duduk diam menunggu dengan hati berdebar tegang.
"Hai, Sahabat-sahabat yang gagah, bolehkah aku 
ikut bergabung dengan kalian? Tampaknya kalian be-
gitu gembira, membuat aku menjadi iri," ujar Ekalana 
yang menghentikan langkahnya beberapa tindak dari 
tempat duduk Togas. Meski ucapannya terdengar ra-
mah dan bersahabat, namun sepasang matanya tetap 
bersinar dingin.
"Si keparat...!" desis Maladi mengumpat Ekalana, 
"Ia benar-benar gegabah dan tak kenal penyakit..!"
Saranggi dan empat pemuda lainnya hanya bisa 
menghela napas yang terasa sesak. Tingkah Ekalana 
membuat mereka menahan debaran jantung yang tak 
karuan.
"Hmh!" dengus Togas seraya menatap sosok Ekala-
na penuh selidik. "Benar kau ingin ikut merayakan ke-
gembiraan kami?" lanjutnya tersenyum-senyum.
Tampaknya Togas bukan jenis orang yang terburu-
buru dalam melaksanakan pekerjaannya. Ia terlihat 
demikian tenang dan yakin terhadap dirinya. Mungkin 
ini merupakan salah satu kunci mengapa Togas tidak 
pernah gagal dalam melakukan pekerjaannya.
Namun, untuk kali ini rasanya Togas bertemu la-
wan seimbang. Sebab Ekalana pun seorang yang selalu 
tenang dan percaya penuh pada diri sendiri. Bahkan 
masih ditambah dengan sifatnya yang bagai tidak 
mengenal perasaan takut. Lebih-lebih dalam hal ke-
cerdikan, pemuda ini rasanya memang sukar dicari 
bandingannya. Kini dia pun tersenyum ketika ucapan-
nya mendapat sambutan.
"Benar, Sahabat yang gagah. Dan aku mengharap 
agar kalian selalu berhasil dalam segala hal," jawab 
Ekalana yang kelihatannya sudah menyimpan rencana 
di benaknya.

Togas tertawa terbahak-bahak, kemudian menyo-
dorkan gelas bambu yang sudah penuh dengan tuak. 
Ekalana segera mengulurkan tangan menerima tuak 
itu. Namun mendadak Togas menggeser lengan-nya 
saat Ekalana hendak mengambil gelas itu. Sehingga, 
jari-jari tangannya hanya menangkap angin. Seiring 
dengan itu, terdengar suara tawa Togas dan kawan-
kawannya. Seolah-olah merasa gembira telah dapat 
mempermainkan Ekalana.
Tiba-tiba melesat sebersit sinar dengan kecepatan 
tinggi, yang diiringi suara berdesing nyaring. 
Brettt..!
Suara tawa Togas dan kawan-kawannya terhenti 
seketika, dan berubah menjadi jeritan melengking yang 
mendirikan bulu roma. Tubuhnya terjungkal bersama 
kursi yang didudukinya, disertai semburan darah se-
gar dari luka menganga di lehernya.
"Hua ha ha...l"
Sekarang ganti Ekalana yang tertawa terbahak-
bahak. Suaranya membuat hati orang-orang yang 
mendengar merasa miris. Apalagi wajah Ekalana tetap 
dingin bagaikan topeng. Sehingga sosoknya benar-
benar membuat orang merasa ngeri.
"Bangsat..., kau telah membunuh saudara kami! 
Awas, kucincang tubuhmu sampai hancur!"
Salah satu dari dua orang kawan Togas berteriak 
bagai orang gila. Dia benar-benar terguncang melihat 
saudaranya menggelepar tewas di depan matanya.
Ekalana dengan pedang berlelehan darah di tangan 
kanannya, bergerak mundur empat langkah. Bibirnya 
tampak menyunggingkan senyum puas. Karena renca-
na yang ada dalam kepalanya telah terlaksana dengan 
baik. Dia memang sudah siap mencabut pedang saat 
disodori tuak. Togas harus menerima kematiannya, karena tak menyangka dan terlalu memandang remeh 
pemuda tampan yang memang hendak dipermainkan-
nya. Dan Togas harus membayar mahal sikap sombong 
dan cerobohnya itu.
"Yeaaattt...!"
Salah satu dari dua lelaki berpakaian serba hitam 
itu menerjang Ekalana. Pedang di tangannya menyam-
bar dengan kecepatan yang mengagumkan.
Ekalana mendengus mengejek. Kemudian melom-
pat mundur menghindari sambaran pedang lawan. Se-
belum lawan sempat mengubah gerakan, pedang Eka-
lana sudah berputar cepat hingga membentuk gulun-
gan sinar putih yang menimbulkan suara angin men-
deru-deru. Sambil melompat maju, ia berseru kepada 
kawan-kawannya.
"Ayo, kita habisi kedua orang ini...!"
Saranggi dan lima orang pemuda lainnya saling 
bertukar pandang sesaat. Meski agak kaget, mereka 
merasa gembira dengan tindakan Ekalana tadi, karena 
berhasil membunuh orang yang mereka takuti. Maka, 
tanpa ragu-ragu keenam pemuda ini berlompatan den-
gan senjata terhunus hendak membantu Ekalana.
Sementara itu, Ekalana tengah berusaha men-
desak kedua orang lawannya, Pengalaman bertempur 
yang banyak dialaminya, membuat gerakan pedangnya 
semakin mantap dan bertenaga. Sehingga, kendati ke-
dua orang lawannya cukup tangguh, tetap saja mereka 
kerepotan menghadapi gempuran Ekalana. Terlebih 
ilmu pedang yang digunakan Ekalana memang sangat 
aneh dan sukar ditebak gerakannya. Kedua orang ber-
pakaian hitam itu terpaksa bermain mundur sambil te-
rus memutar pedang melindungi tubuhnya.
Dalam keadaan seperti itu, Saranggi dan lima 
orang kawannya masuk ke arena perkelahian. Tentu
saja datangnya bantuan bagi Ekalana membuat kedua 
orang anak buah Togas semakin kalang kabut. Sampai 
akhirnya mereka harus menerima ajal di tangan Sa-
ranggi. Dengan gerak cepat dilepaskan dua pisau ter-
bangnya, dan tepat menancap di kening dan tenggoro-
kan kedua orang pemburu hadiah itu.
Begitu kedua orang lawan tewas, Ekalana dan ka-
wan-kawannya ini bergegas hendak meninggalkan ke-
dai. Dengan gerakan tangkas, berlompatan ke pung-
gung kuda masing-masing.
"Hei, berhenti...!"
Ekalana dan kawan-kawannya terkejut dan meno-
leh ke belakang. Betapa kagetnya hati mereka ketika 
melihat belasan orang berpakaian prajurit kerajaan, 
tengah berlarian mengejar. Cepat mereka membedal 
kuda, melesat cepat bagai anak panah lepas dari bu-
sur. Mereka terus mencambuki kuda masing-masing 
ketika mendengar suara teriakan yang memerintahkan 
untuk melakukan pengejaran terhadap mereka.
***
Lebih dari setengah hari Ekalana dan kawan-
kawannya melarikan diri tanpa henti. Menjelang sore, 
mereka melihat adanya sebuah candi tua yang tidak 
terawat. Setelah merasa yakin bahwa di dalam candi 
itu tidak ada orang, mereka bergegas menambatkan 
kuda di tempat yang tertutup pepohonan. Ketujuh pe-
muda itu bergegas masuk ke candi untuk beristirahat 
melewatkan malam.
"Kau benar-benar gila, Ekalana!" ujar Saranggi 
yang nada suaranya terdengar bersahabat, "Ulah mu
itu nyaris membuat kami semua mati berdiri. Tapi, se-
karang aku merasa bangga kepadamu. Kematian Togas

membuat hati kami sedikit lega," akunya berterus te-
rang.
"Hari-hari yang sulit, dan pengalaman-pengalaman 
selama kita menjadi orang pelarian, membuat kita se-
makin matang dan tangguh. Aku lihat kelihaian-mu 
melempar senjata sudah semakin cepat dan tepat. Pa-
dahal belum ada satu bulan kita menjadi orang pela-
rian," tukas Ekalana, yang secara terbuka juga memuji 
Saranggi. Membuat sepasang mata pemuda jangkung 
ini berbinar bangga.
"Tapi pengalaman kalian cuma sampai hari ini ba-
tas waktunya...!" tiba-tiba terdengar suara keras dan 
mengejutkan!
Ketujuh pemuda itu berlompatan bangkit Masing-
masing telah mencabut senjata, karena mereka sadar 
apa arti ucapan itu.
"Siapa kau?" Tanya Saranggi mendahului enam 
orang kawannya. Ditatapnya sosok lelaki berusia seki-
tar lima puluh tahun yang berdiri dengan kaki terpen-
tang, dua tombak di depan mereka.
"Hm... siapa aku tidak penting bagi kalian. Yang je-
las, Juragan Baswara menyediakan hadiah besar un-
tuk setiap kepala kalian. Terutama kepala salah seo-
rang di antara kalian, yang bernama Ekalana," ujar le-
laki bertubuh sedang itu, dengan suara berat dan pa-
rau.
Mendengar pengakuan orang itu sebagai pembu-
nuh bayaran, Saranggi dan kawan-kawannya bergerak 
merenggang. Lagi-lagi Ekalana menunjukkan ulahnya. 
Pemuda itu melangkah maju menghampiri pemburu 
hadiah itu.
"Sahabat, sebelum kau memenggal kepala kami 
semua, perkenalkanlah dirimu agar kami tidak mati 
penasaran!" pinta Ekalana kepada lelaki yang dari sorot matanya diduga memiliki kepandaian tinggi itu.
"Hm..., kau pasti yang bernama Ekalana," tukas le-
laki setengah baya itu. Kepalanya menggangguk-
angguk seperti dapat mengukur ketangguhan pemuda 
di depannya. "Aku lebih dikenal sebagai Tangan Setan. 
Karena aku dapat mengambil nyawa siapa saja yang 
aku kehendaki. Nah, kalian boleh bawa namaku seba-
gai bekal ke neraka."
Ekalana mengangguk. Sepasang matanya berkilat 
menyimpan kecerdikan.
"Namaku memang benar Ekalana. Tapi kau rupa-
nya belum mengenal julukanku...," ujar Ekalana me-
nyunggingkan senyum mengejek.
"Kau mempunyai julukan?" tukas Tangan Setan 
bernada menghina, "Coba sebutkan julukanmu, aku 
ingin dengar."
"Aku dijuluki orang sebagai.... Bapak Moyang Tan-
gan Segala Setan!"
Seketika meledaklah tawa Saranggi dan lima orang 
pemuda lainnya. Senang bukan main hati mereka 
mendengar Ekalana mempermainkan orang yang men-
gaku berjuluk Tangan Setan itu. Membuat wajah pem-
buru hadiah itu merah padam menahan amarah yang 
seketika meledak menyesakkan dadanya.
"Kurang ajar...! Sekarang aku tahu mengapa Jura-
gan Baswara berani membayar mahal kepalamu ke-
timbang kepala kawan-kawanmu! Hhh... aku sudah 
tak sabar untuk menukar kepalamu dengan beberapa 
kantung uang...," begitu ucapannya selesai, tahu-tahu 
saja sebilah pedang telah tergenggam di tangannya. 
Dan....
"Yeaaarh...!"
Whuuuttt...!
Senjata dalam genggaman Tangan Setan menderu
mengancam batang leher Ekalana. Pedang yang berge-
rak menusuk itu langsung berputar ketika sasaran-
nya melompat ke samping. Dan kembali menyambar 
dengan sasaran tidak berubah.
"Hait...!"
Trang!
Ekalana yang menangkis pedang lawan tampak 
terdorong mundur empat langkah. Sedangkan Tangan 
Setan cuma merasakan lengannya bergetar. Kuda-
kudanya tetap kokoh, tidak bergeser sedikit pun! Ke-
nyataan itu membuat Ekalana sadar kalau tenaga da-
lam lawan masih dua tingkat di atas tenaga dalamnya. 
Namun kenyataan itu sama sekali tidak membuat ha-
tinya gentar.
Saranggi, Sabung Waluya, Maladi, Jirana, Rapati, 
dan Sudana, terkejut melihat kekuatan tenaga dalam 
Tangan Setan. Sadar kalau Ekalana tidak bakal me-
nang dari lawannya, mereka segera berlompatan men-
gepung Tangan Setan. Kemudian menggempur tokoh 
itu bersama-sama.
Tangan Setan ternyata benar-benar tangguh! Ke-
royokan tujuh pemuda itu sama sekali tidak membuat 
dirinya terdesak. Bahkan setelah lewat dari sepuluh 
jurus, utusan Juragan Baswara itu mulai dapat men-
desak pengeroyoknya. Pedang di tangannya bergerak 
cepat kian kemari memburu sasaran. Ekalana dan ka-
wan-kawannya berusaha mati-matian untuk menghin-
dari ancaman mata pedang lawan. 
Crat!
"Aaakh...!
Sudana menjerit kesakitan dan tubuhnya ter-
pelanting jatuh tanpa dapat ditahan lagi. Ia bergulin-
gan di atas tanah sambil mengerang-erang, tak peduli 
pakaiannya dikotori tanah bercampur debu. Tangan

kirinya mencekal erat-erat pangkal lengan kanannya 
yang putus sebatas siku terbabat pedang Tangan Se-
tan.
"Sudana...!" Saranggi berteriak cemas. Tubuhnya 
menghambur ke arah Sudana yang masih bergulingan.
Rasa cemas melihat keadaan Sudana membuat Sa-
ranggi lupa terhadap Tangan Setan. Sehingga ia tidak 
sempat mengelak ketika pedang Tangan Setan me-
nyambar datang mengancam lehernya.
"Sarangi, awaaasss...!"
Ekalana berteriak memperingatkan Saranggi, sam-
bil melesat berusaha menyelamatkan nyawa kawan-
nya. 
Cragkh...! 
Brettt...' 
"Aaakh...!”
Hampir bersamaan dengan menggelindingnya ke-
pala Saranggi, terbabat pedang Tangan Setan,' Ekalana 
sempat membabatkan pedangnya. Tangan Setan men-
jerit kesakitan ketika lambungnya terbabat pedang 
Ekalana. Tubuh Saranggi ambruk berlumuran darah 
yang keluar dari lehernya. Demikian pula dengan tu-
buh Tangan Setan, terhuyung-huyung. Pakaiannya ba-
sah berlumuran darah.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Jirana, Sabung Waluya, Rapati, dan Maladi tak 
menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Ketika tubuh 
Tangan Setan limbung, mereka langsung menyambut 
dengan pedang masing-masing.
Crak!
Jrab!
"Aaakh...!"
Tangan Setan menjerit setinggi langit ketika empat

bilah pedang menusuk dan membabatnya. Tubuhnya 
terhuyung-huyung ke belakang membawa ceceran da-
rah yang mengalir dari tengkuk, lambung, dan pung-
gungnya. Kemudian ambruk dan menggelepar bagai 
ayam disembelih sebelum akhirnya tewas.
Ekalana, Rapati, Sabung Waluya, Jirana, dan Ma-
ladi berdiri tegak bagai patung memandang mayat 
Tangan Setan. Rintihan Sudana menyadarkan mereka 
dari keterpakuan. Bergegas kelimanya memutar tubuh.
Ekalana membalut lengan Sudana yang buntung 
itu dengan sobekan pakaiannya. Sedangkan empat 
pemuda lainnya mengurus mayat Saranggi, dan men-
guburkannya di halaman belakang candi.
Selesai memakamkan mayat Saranggi dan Tangan 
Setan, keenam pemuda itu merebahkan tubuh mereka 
yang letih di lantai candi. Sebentar saja mereka terle-
lap dalam dinginnya udara malam.
***
Sinar mata hari yang menerobos masuk melalui lu-
bang-lubang pada dinding candi, membangunkan Eka-
lana dan kawan-kawannya dari tidur. Keletihan yang 
masih tersisa, membuat mereka masih belum beranjak 
bangkit. Namun perasaan malas itu men-dadak lenyap 
ketika tiba-tiba samar-samar terdengar suara langkah 
kaki kuda mendekati tempat itu Mereka berlompatan 
bangkit, mengintip keluar dari lubang-lubang pada 
dinding candi.
Tidak berapa lama kemudian, tampaklah seorang 
penunggang kuda muncul dari arah timur candi. So-
sok yang duduk di punggung kuda semakin dekat, 
hingga jelas terlihat oleh mereka.
"Ki Suganta...?!" desis Sudana agak kaget ketika

mengenali penunggang kuda itu. "Mengapa ia bisa 
sampai ke tempat ini...?!"
"Siapa Ki Suganta itu..?" bisik Ekalana bertanya 
curiga. Dalam keadaan seperti sekarang ini dia me-
mang harus mencurigai siapa saja yang ditemui.
"Beliau sahabat baik mendiang majikan kita. Entah 
kepentingan apa yang membawanya sampai ke tempat 
ini...?" jawab Sudana. Hatinya merasa heran, meski-
pun tidak menaruh curiga terhadap orang yang di-
kenalnya sangat baik dan dekat dengan Juragan Ma-
hinta.
"Apa kau yakin orang itu bisa dipercaya?" Tanya 
Ekalana lagi, berbisik.
"Sepanjang pengetahuanku, Ki Suganta adalah 
orang baik. Dan rasanya aku bisa mempercayainya. 
Biar aku coba menemuinya," jawab Sudana. Meski ada 
sedikit keraguan terselip di hatinya, ia melangkah ke 
luar untuk mengetahui tanggapan Ki Suganta jika me-
lihatnya.
'Tuan Suganta...!" panggil Sudana begitu sampai di 
pintu candi. Mata pemuda brewok itu menatap Ki Su-
ganta.
"Sudana...?! Kaukah itu...?" sahut Ki Suganta kaget 
Dipandanginya wajah Sudana agak lama, barulah ia 
mengenali. Itu pun belum meyakinkan hatinya. Sebab, 
sosok Sudana jauh berbeda dengan sewaktu masih 
bekerja di peternakan. Wajahnya yang kotor agak pu-
cat, serta pakaian lusuh dan koyak-koyak, membuat 
Ki Suganta tidak begitu mengenalinya. Namun kemu-
dian bergerak menghampiri setelah Sudana mengang-
guk.
"Mana Saranggi dan kawan-kawanmu yang lain? 
Ah..., kalian tentunya sangat menderita...," ujar Ki Su-
ganta, yang oleh pekerja-pekerja Juragan Mahinta di

panggil dengan sebutan 'tuan'.
"Mengapa Tuan sampai berada di tempat ini? Kalau 
boleh saya tahu apa gerangan tujuan Tuan?" Sudana 
tidak menjawab pertanyaan Ki Suganta. Ia malah ber-
tanya dengan pandangan mata penuh selidik.
'Tidak aneh kalau aku pun sampai kau curigai, 
Sudana," Ki Suganta sama sekali tidak merasa ter-
singgung. Dirinya telah mengetahui apa yang menimpa 
ketujuh orang pekerja Juragan Mahinta. Sehingga 
memaklumi sikap Sudana.
"Kalian telah membuat Juragan Baswara marah 
besar. Beliau mengundang perwira-perwira kerajaan 
dan meminta agar mengerahkan prajurit untuk men-
cari kalian. Mereka kini tersebar hampir ke seluruh pe-
losok desa. Setiap celah yang mungkin dapat kalian 
gunakan untuk jalan keluar telah dijaga prajurit-
prajurit kerajaan. Bahkan para pemburu hadiah saling 
berlomba untuk menyerahkan kepala kalian ke hada-
pan Juragan Baswara. Orang itu telah menyebar berita 
tentang kalian dan menjanjikan hadiah besar bagi sia-
pa saja yang dapat membawa kepala kalian," Ki Sugan-
ta berhenti sebentar dan menarik napas pajang.
"Kami telah tahu semuanya, Tuan. Bahkan sudah 
bertemu dengan prajurit-prajurit kerajaan, serta bebe-
rapa orang pemburu hadiah. Di candi ini kami cuma 
sekadar melepaskan lelah. Dan akan segera melan-
jutkan perjalanan," ujar Sudana menanggapi pemberi-
tahuan Ki Suganta.
"Ke mana kalian hendak lari? Mereka sudah men-
gepung dari delapan penjuru. Rasanya tak mungkin 
kalian dapat keluar-dari negeri ini tanpa sepengeta-
huan mereka," ujar Ki Suganta memberikan gambaran 
terhadap keadaan yang harus dihadapi Sudana dan 
kawan-kawannya.

'Tuan sendiri hendak pergi ke mana? Bukankah 
tempat tinggal Tuan cukup jauh dari tempat ini?"
"Aku sengaja mencari kalian," jawab Ki Suganta 
berterus terang.
"Mencari kami? Untuk apa, Tuan?" desak Sudana 
mulai berdebar tegang. Perasaan itu tergambar jelas 
pada wajahnya.
"Sudana," ujar Ki Suganta seraya tersenyum. Dia 
memaklumi ketegangan yang tergambar di wajah pe-
muda itu. "Kau tahu sendiri, aku adalah sahabat baik 
majikanmu. Aku turut berduka cita atas kematian Ki 
Mahinta. Sehingga ketika mendengar bahwa kalian se-
karang diburu orang-orang suruhan Juragan Baswara 
untuk dibunuh, aku tak bisa tinggal diam. Aku ber-
maksud membantu kalian agar dapat lolos dari iblis 
berkedok manusia itu."
"Ahhh... terima kasih atas perhatian dan kebaikan 
Tuan Tapi, dengan cara bagaimana Tuan hendak me-
nolong kami?"
Sudana menatap tepat di kedua bola mata Ki Su-
ganta, seperti ingin mencari kebenaran ucapan itu.
Tempat tinggalku cukup besar. Maksudku hendak 
membawa kalian untuk bersembunyi di rumahku. 
Mudah-mudahan di sana kalian lebih aman dan terja-
min. Mereka pasti tidak akan menyangka kalau kalian 
berada di rumahku. Beberapa hari yang lalu, Juragan 
Baswara dan orang-orangnya pernah mendatangiku. 
Sebagai sahabat dekat majikan kalian tentu saja aku 
dicurigai. Meski aku bersumpah, Juragan Baswara te-
tap tidak percaya. Ia memerintahkan orang-orangnya 
untuk menggeledah rumahku yang dikiranya menyem-
bunyikan kalian. Baru kemudian minta maaf karena 
aku terbukti tidak terlibat," tanpa diminta Ki Suganta 
menceritakan apa yang telah dialaminya.

"Lalu mengapa sekarang Tuan ingin melibatkan di-
ri? Bukankah hal itu sangat berbahaya bagi Tuan se-
keluarga?" Tanya Sudana setelah mendengar pen-
jelasan Ki Suganta.
"Karena aku tahu siapa yang benar dan siapa yang 
salah. Selain itu, mereka tak mungkin mendatangi dan 
menggeledah rumahku untuk yang kedua kalinya. Tapi 
semua terserah kalian. Aku hanya ingin membantu, 
mengingat majikan kalian adalah sahabat baikku...."
Sudana tidak memberikan jawaban, hanya me-
minta agar Ki Suganta mau menunggu. Kemudian 
memutar tubuh dan masuk ke ruang candi menemui 
kawan-kawannya. Meski dalam hatinya merasa terta-
rik dengan tawaran Ki Suganta, dia tidak mau men-
gambil keputusan sendiri.
"Keputusannya kuserahkan kepada kalian, karena 
aku belum lama bekerja di peternakan. Lagi pula be-
lum mengenal siapa dan bagaimana sebenarnya orang 
yang bernama Ki Suganta itu. Aku tak ingin disalah-
kan jika ada apa-apa di belakang hari," ujar Ekalana 
ketika kawan-kawannya meminta pendapat darinya.
Sudana yang luka di tangan kanannya membeng-
kak dan membutuhkan perawatan, menyatakan kein-
ginannya. Empat pemuda lainnya menyatakan keingi-
nan yang sama, karena mereka sudah tak tahan kehi-
dupan yang selama ini mereka rasakan. Ekalana 
hanya mengangkat bahu, dan menyatakan akan ikut 
bersama mereka.
Siang itu juga rombongan bergerak meninggalkan 
candi. Ki Suganta membawa mereka melalui daerah-
daerah yang sepi dan hutan belantara yang jarang di-
lewati orang. Pada malam kedua, mereka pun mulai 
menginjak wilayah Desa Tilasan, tempat Ki Suganta 
dan keluarganya tinggal.

"Aku sudah menyelidiki penjagaan di desa ini, dan 
menemukan tempat-tempat yang bisa kita lewati den-
gan aman," ujar Ki Suganta. Dia membawa keenam 
pemuda itu melalui tempat-tempat yang menurutnya 
tidak terjaga pada waktu-waktu tertentu.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di bela-
kang sebuah bangunan besar, tempat tinggal Ki Su-
ganta, yang juga merupakan seorang juragan.
"Hati-hati!" bisik Ki Suganta. "Jangan sampai 
membangunkan keluargaku...!" lanjutnya mengin-
gatkan. Kemudian membawa Ekalana dan lima pemu-
da itu masuk melalui pintu belakang.
***
DELAPAN


'Tuan Suganta pasti sudah menyiapkan hidangan 
untuk kita," ujar Sudana yang sudah membersihkan 
tubuh dan lukanya. Da juga mengganti pakaian yang 
memang sudah tidak pantas untuk dikenakan. Kaki-
nya perlahan menuju ruang tengah diikuti Ekalana 
dan empat pemuda lainnya, yang juga sudah bersih 
dan rapi.
Di ruang tengah Sudana dan kawan-kawannya ti-
dak menemukan Ki Suganta. Mereka bergegas menuju 
ruang dapur, menduga tuan rumah pasti berada di 
tempat itu. Namun, di ruang itu pun batang hidung Ki 
Suganta tidak kelihatan!
"Hm... ayo kita menyebar dan periksa seluruh ka-
mar...!" ujar Ekalana karena mencium sesuatu yang 
mencurigakan. Ucapannya membuat lima orang ka-
wannya merasa tegang, maklum apa yang ada dalam

pikiran Ekalana.
Dengan hati berdebar tegang, Sudana, Ekalana, 
Sabung Waluya, Rapati, Jirana, serta Maladi, bergegas 
memeriksa seluruh kamar rumah itu. Betapa kaget 
dan berangnya hati keenam pemuda ketika mendapati 
rumah besar itu ternyata kosong! Dan sebelum mereka 
sempat berbuat sesuatu, terdengar suara ribut-ribut 
yang datangnya dari sekitar rumah. Mereka terkejut 
ketika mengintai keluar dan mendapati kenyataan 
bahwa sekeliling rumah telah terkepung puluhan 
orang!
“Bangsat! Kita telah tertipu!" Sudana menggeram 
dengan tubuh gemetar. Ia tidak tahu lagi apa yang di-
rasakannya saat itu. Kemarahan, ketegangan, ketaku-
tan, dan kebencian berkecamuk dalam dirinya. Bayan-
gan kematian muncul di depan matanya.
"Celaka kita kali ini...!" desis Jirana yang selebar 
wajahnya telah pucat dan tegang. Keringat dingin 
membasahi wajah dan tubuhnya.
Rapati, Sabung Waluya, dan Maladi tampak lebih 
parah. Mereka bergegas hendak ke luar melalui pintu 
belakang. Namun langkah mereka terhenti ketika 
mendengar suara bentakan keras.
"Bodoh, hendak ke mana kalian?" Tahu-tahu Eka-
lana telah berdiri tegak di hadapan ketiga orang pemu-
da yang hendak mencoba mencari jalan selamat itu.
"Kita bakal mati, Ekalana! Juragan Baswara dan 
orang-orangnya telah mengepung bangunan ini! Dan 
kami tak ingin menunggu kematian di tempat ini! Akan 
kami coba menerobos kepungan dan menyelamatkan 
diri!" ujar Maladi menentang pandang mata Ekalana. 
Sorot matanya menunjukkan bahwa ia bertekad me-
nerjang siapa saja yang coba menghalanginya.
"Kerbau tolol...!" desis Ekalana menghardik, "Dengar, kita harus tetap bersatu dan bertahan di dalam 
rumah ini! Akan kita babat habis siapa saja yang bera-
ni menerjang masuk! Kalau kalian nekat menerobos ke 
luar, mereka akan mengepung dan mencincang tubuh 
kalian. Lain halnya kalau kita bertahan di dalam. Me-
reka tak akan dapat menerobos sekaligus. Karena sia-
pa saja yang menerobos masuk lebih dulu, senjata kita 
akan mengantarnya ke neraka. Dengan begitu, mereka 
tidak akan berani bertindak gegabah. Dan kalaupun 
pada akhir-nya kita semua mati, paling tidak kita telah 
membunuh banyak lawan," lanjutnya menjelaskan sia-
satnya dalam menghadapi kepungan seperti itu
Kelima pemuda sama-sama menganggukkan ke-
pala membenarkan siasat Ekalana. Akhirnya semua 
mendengarkan rencana itu. Setelah menerima petun-
juk dari Ekalana, mereka menyiapkan segalanya. Ke-
mudian segera berpencar dan saling berpasangan men-
jaga pintu.
"Hei, Pembunuh-pembunuh Keji, Tukang Perkosa 
Wanita...!" terdengar suara Juragan Baswara yang di-
tujukan kepada Ekalana dan lima kawannya. "Malam 
ini juga kalian akan merasakan pembalasan atas sega-
la perbuatan kalian! Dan... heiii...?!"
Sing! Sing...!
Tiba-tiba terdengar suara berdesing, membuat Ju-
ragan Baswara terpekik kaget dan menghentikan uca-
pannya yang belum selesai. Tubuh lelaki setengah 
baya itu tersentak ke belakang ketika ditarik oleh dua 
orang tukang pukulnya.
Ternyata suara berdesing tajam itu berasal dari si-
nar-sinar putih berkilatan melesat dengan kecepatan
tinggi.
"Aaa...!"
Jeritan kematian terdengar memecah kesunyian
malam. Sinar-sinar putih yang ternyata berupa pisau-
pisau terbang itu, menancap di tubuh beberapa orang
pengepung yang mendampingi Juragan Baswara. Em-
pat orang seketika terjungkal tewas dengan tubuh 
mandi darah. Sedangkan Juragan Baswara dapat di 
selamatkan oleh dua orang tukang pukul keper-
cayaannya.
"Kurang ajar! Mereka benar-benar tak boleh diberi 
hati...!" Juragan Baswara menggeram murka. Kemu-
dian memberikan isyarat untuk menyerbu masuk.
***
"Serbuuu...!"
Dengan penuh semangat belasan pengepung berge-
rak menuju pintu depan, samping, dan belakang. Sen-
jata-senjata di tangan mereka yang berkilauan ditimpa 
sinar obor dan pelita, siap digunakan untuk merejam 
tubuh para buronan itu.
"Bunuuuhhh...!"
"Heyaaa...!"
Salah seorang penyerbu yang bertubuh jangkung, 
berseru keras sambil mengayunkan tendangan men-
dobrak pintu sebelah depan. Ekalana dan Jirana, yang 
berjaga-jaga di belakang pintu, langsung membuka 
pintu sebelum terkena tendangan keras lelaki jang-
kung itu. Kemudian keduanya cepat melancarkan se-
rangan dengan babatan dan tusukan senjata terhadap 
lawan yang menerobos ke dalam. Darah segar muncrat
ketika dua bilah pedang itu menancap di tubuh sasa-
rannya. Kedua tubuh, yang salah satunya adalah lelaki 
jangkung, terjengkang ke belakang menimpa kawan-
kawannya.
Byurrr...!

Ketika para penyerang sibuk menyingkirkan tubuh
dua orang kawan yang tewas menimpa mereka, Ekala-
na dan Jirana bergerak cepat menyiramkan cairan ke 
tubuh orang terdepan. Belum lagi orang-orang itu sa-
dar apa yang terjadi, Ekalana dan Jirana melemparkan 
obor yang telah mereka persiapkan. Karuan saja kee-
nam penyerbu menjerit-jerit ngeri. Hampir sekujur tu-
buh mereka terbakar!
Seketika keadaan kacau balau, karena keenam so-
sok tubuh yang terbakar berlarian kian kemari sambil 
tak hentinya menjerit-jerit. Hal itu tentu saja membuat 
kawan-kawannya berlarian menghindar. Ekalana dan 
Jirana tertawa terbahak-bahak dan kembali menutup 
daun pintu rapat-rapat.
Hal serupa juga dialami orang-orang yang hendak 
mendobrak pintu samping dan belakang. Sabung Wa-
luya, Maladi, Sudana, dan Rapati, sama-sama tertawa 
puas melihat sebagian orang yang hendak menerobos 
masuk, berlarian dengan tubuh terjilat api.
Kejadian itu membuat Juragan Baswara mencak-
mencak bagai kakek-kakek kebakaran jenggot.
"Bangsat-bangsat muda itu benar-benar gila...!" 
maki Juragan Baswara. Dirinya sama sekali tak me-
nyangka kalau pemuda-pemuda yang dibencinya itu 
sangat tangguh dan banyak akal. "Bakar seluruh ban-
gunan itu...!" serunya memberi perintah. Hal itu terpi-
kir setelah melihat apa yang dilakukan para buronan 
itu terhadap orang-orangnya.
Sesaat setelah perintah itu berkumandang, pulu-
han obor pun melayang ke hampir seluruh bagian 
bangunan. Hingga, sebentar saja lidah-lidah api mulai 
menjilati beberapa bagian bangunan.
"Keparat, perbuatan kita dicontohnya...!" Ekalana 
berdesis geram melihat apa yang dilakukan para pengepung. Pemuda itu sesaat terdiam, berpikir keras 
mencari jalan keluar. Karena ia tidak ingin mati ter-
panggang seperti ayam.
"Ekalana, kali ini kita benar-benar celaka...!" seru 
Maladi yang menjadi kalap dan berlari menghampiri 
Ekalana bersama Sudana.
Demikian pula halnya dengan Sabung Waluya dan 
Rapati. Kedua pemuda ini meninggalkan tempatnya 
untuk bergabung dengan kawan-kawannya guna men-
cari jalan untuk mengatasi api yang semakin berkobar.
"Hei, apa yang kau lakukan...?!"
Ekalana yang tengah termenung memeras otaknya, 
tersentak kaget ketika melihat Jirana membuka daun 
pintu. Semula hendak dicegahnya perbuatan Jirana. 
Namun segera diurungkan karena saat itu dilihatnya
sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih berlari 
menerobos ke dalam bangunan.
"Mayani...?!”
Jirana langsung menyambut sosok tubuh ramping 
yang ternyata Mayani. Gadis berpakaian putih yang 
semula berada di samping Juragan Baswara, nekat 
meninggalkan majikannya untuk menemui Jirana. Se-
bab ia tahu Jirana berada di dalam bangunan itu. 
Mayani, yang pada dasarnya membalas uluran cinta 
Jirana, mengambil keputusan nekat ketika menyadari 
betapa pemuda yang dicintainya tengah di ambang 
kematian.
Jirana memeluk erat-erat tubuh wanita yang dicin-
tainya itu. Wajah cantik Mayani dihujani ciuman ke-
rinduannya. Mayani sendiri tidak menghindar. Gadis 
itu menangis terisak dalam pelukan Jirana. Keputusan 
yang pernah diambilnya berubah, menyadari Jirana 
akan tewas terpanggang kobaran api yang kian meng-
gila, dan sudah memakan seperempat bagian bangunan itu.
***
"Jangan bertindak bodoh!"
Suara yang terdengar jelas di telinga itu, membuat 
gerakan Panji dan Kenanga terhenti. Suara yang masih 
merupakan misteri bagi keduanya kembali terdengar, 
mencegah apa yang hendak mereka lakukan. Namun, 
meski keduanya berusaha untuk menemukan sumber 
suara gaib itu, tetap saja tidak berhasil.
'Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih!”
Suara itu kembali terdengar ketika Pendekar Naga 
Putih dan Kenanga memutuskan untuk tidak peduli 
dengan suara misterius itu. Karena saat itu mereka 
merasa harus segera bertindak.
"Apa tidak kau lihat jumlah orang yang mengepung
rumah Juragan Suganta itu semakin bertambah ba-
nyak. Mereka adalah perwira-perwira kerajaan dengan 
sekitar lima puluh prajurit. Kalau kalian nekat bertin-
dak, selain belum tentu dapat membebaskan pemuda-
pemuda di dalam rumah itu kalian pun akan menjadi 
musuh kerajaan!"
Melihat kejadian aneh di Desa Tilasan itu Pendekar 
Naga Putih segera bertanya kepada salah seorang pen-
duduk yang tengah menyaksikan. Setelah men-dapat 
keterangan kejadian sebenarnya, Panji dan Kenanga 
memutuskan untuk segera bertindak menye-lamatkan 
pemuda-pemuda di dalam bangunan yang terbakar itu. 
Namun niat mereka tertunda karena adanya suara 
gaib yang pernah didengar ketika berada di Desa Ba-
bakan.
Sama seperti pertama, kali ini pun bisikan itu

kembali mencegah tindakan mereka. Yang membuat 
Panji heran sekaligus kagum, apa yang dikatakan to-
koh misterius itu ternyata tidak meleset Panji dan Ke-
nanga melihat adanya serombongan tentara kerajaan 
datang bergabung dengan para pengepung bangunan 
yang tengah terbakar itu. Sehingga, mau tidak mau 
Panji ataupun Kenanga, yang juga men-dengar bisikan 
itu menjadi sedikit bingung.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan? Apakah me-
nunggu sampai pemuda-pemuda di dalam bangunan 
itu terbakar hangus menjadi arang?" Tanya Panji yang 
nada suaranya menggambarkan ketidaksabaran. Kha-
watir kalau sampai terlambat bertindak, yang akan 
membuat ia menyesali dirinya kelak.
"Tunggu sebentar, dan jangan bertindak sebelum 
aku memberikan isyarat...," jawab suara bisikan miste-
rius itu bernada penuh tekanan agar Panji dan Kenan-
ga mematuhi pesannya.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga terpaksa me-
nunggu sambil menatapi bangunan yang kini sudah 
hampir setengahnya terbakar. Tentu saja pasangan 
pendekar muda ini menjadi cemas. Namun, baru saja 
mereka mengambil keputusan untuk bertindak. Di se-
belah timur desa itu, terlihat cahaya kemerahan mem-
bubung tinggi, disertai asap hitam yang bergulung-
gulung. Sehingga suasana malam yang semula pekat 
menjadi terang benderang.
"Kebakaran..., kebakaran...! Ada perampok men-
jarah desa dan membakar rumah-rumah penduduk...!"
Sesosok tubuh kecil tampak berlari ketakutan 
sambil berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk ke arah 
timur, tempat asal cahaya kemerahan itu.
Teriakan ketakutan orang itu tentu saja membuat 
Juragan Baswara dan para pengikutnya termasuk tentara-tentara kerajaan, sama-sama berpaling ke arah 
timur desa. Mereka kaget bukan main ketika melihat 
cahaya kemerahan disertai gulungan asap tebal mem-
bubung itu.
"Hei, cepat katakan, apa yang terjadi...?" salah seo-
rang perwira menangkap sosok kecil kurus itu dan ber-
tanya dengan suara keras.
"Kebakaran..., kebakaran....' Ada perampok men-
jarah desa dan membakar rumah-rumah penduduk...!" 
teriak sosok kecil kurus ini mengulang apa yang di-
serukannya tadi. Dan terus mengulang-ulang teriakan-
nya sambil meronta-ronta dari cekalan perwira kera-
jaan yang bertubuh gemuk dan gagah itu.
"Kakek sinting, kau jangan main-main...!" perwira 
itu menghardik, karena kakek itu terus saja berteriak-
teriak bagai orang hilang ingatan.
"Hei, kau, perwira berotak waras. Apa tak kau lihat 
cahaya api dan gulungan asap tebal itu...?" sosok kecil 
kurus yang ternyata seorang kakek itu balas meng-
hardik sambil cengar-cengir. Kemudian kembali berse-
ru mengulang perkataannya.
"Hei!" perwira gemuk itu memanggil dua orang re-
kannya. "Cepat bawa sebagian prajurit. Usir peram-
pok-perampok kurang ajar itu, dan padamkan api yang 
membakar rumah-rumah penduduk...!" perintah-nya 
seraya melepaskan cekalan pada lengan kakek kecil 
kurus itu, dan tidak mempedulikannya lagi.
"Aaa...!"
Entah mengapa tiba-tiba saja tubuh kakek kecil 
kurus menjerit-jerit dan berlari ke sana kemari. Seku-
jur tubuhnya telah terbakar. Arah larinya yang tidak 
menentu, menubruk ke sana kemari, membuat orang-
orang Juragan Baswara kalang kabut! Suasana menja-
di kacau balau! Kini sosok kakek kecil kurus itulah

yang menjadi pusat perhatian. Sedangkan Ekalana dan 
kawan-kawannya seperti terlupakan.
"Mungkin inilah waktu bagi kita untuk segera ber-
tindak...," ujar Panji kepada kekasihnya, karena tanda 
yang ditunggu tidak juga muncul. Apalagi mereka sa-
ma sekali tidak tahu bagaimana isyarat yang dimak-
sudkan pemilik suara misterius. Akhirnya Pendekar 
Naga Putih mengambil keputusan sendiri, setelah ha-
tinya menduga bahwa pemilik suara misterius adalah 
si kakek kurus. itu. Dugaannya semakin kuat saat me-
lihat si kakek kurus seperti sengaja mengacaukan per-
hatian para pengepung bangunan yang terbakar itu.
Dengan cepat Pendekar Naga Putih dan Kenanga 
melesat menuju bangunan yang terbakar dengan 
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Dua bayan-
gan putih dan hijau berkelebat menerobos kobaran 
api.
Saat itu, Ekalana dan kawan-kawannya sudah 
mengambil keputusan nekat untuk menyerbu ke luar. 
Karena hawa di dalam sudah sangat panas menyengat 
Ruangan dipenuhi asap, membuat mata mereka berair 
dan sulit untuk bernapas.
"Heaaa...!"
Whukkk!
"Hei, tunggu! Aku bukanlah musuh kalian! Keda-
tanganku justru hendak membantu kalian...!" teriak 
Panji sambil melompat ke samping menghindari teba-
san pedang Ekalana.
"Siapa kau? Bagaimana mungkin aku memper-
cayaimu...?" tukas Ekalana dengan suara keras di se-
la-sela gemeretak kayu terbakar. Hatinya tak mudah 
percaya kepada siapa saja, setelah tipu daya Ki Sugan-
ta.
"Siapa adanya aku tidak penting! Tapi kau harus

percaya bahwa aku benar-benar ingin membantu...!" 
sahut Panji yang telah berdiri berhadapan dengan Eka-
lana. "Ikuti aku....'" lanjutnya memutar tubuh dan ber-
gerak mendahului. 
"Hei...?!"
Belum sempat Pendekar Naga Putih membawa 
Ekalana dan kawan-kawannya ke luar dari pagar ban-
gunan, tiba-tiba terdengar bentakan keras. Ter-nyata 
Juragan Baswara telah berdiri menghadang seraya 
menunjuk wajah pemuda berjubah putih itu. Di bela-
kang Pendekar Naga Putih tampak Ekalana dan ka-
wan-kawannya berlari mengikuti.
"Kepung dan bunuh pemuda-pemuda laknat yang 
kejam itu...!" teriak Juragan Baswara memberi perin-
tah kepada orang-orangnya.
"Haiiittt...!"
Melihat belasan orang merangsek maju hendak 
menghalangi kepergiannya, pendekar Naga Putih lang-
sung melontarkan pukulan dan tendangannya. Seketi-
ka para penghadang itu berpentalan ke kiri dan kanan 
disertai jerit kesakitan.
"Jangan sembarangan membunuh...!" seru Panji 
mengingatkan Ekalana dan kawan-kawannya, yang 
tampak mengamuk dengan senjata di tangan. Keenam 
pemuda itu tampak ganas dan tak kenal ampun. Kare-
na mereka telah menyimpan dendam kesumat terha-
dap Juragan Baswara serta pengikut-pengikut-nya.
Ketika melihat Ekalana dan kawan-kawannya tidak 
mempedulikan teriakannya, Pendekar Naga Putih ter-
paksa harus bertindak lebih cepat. Setiap lawan yang 
datang menerjang, selalu didahuluinya dengan memu-
kul roboh, tanpa membuat lawan tewas. Dan terus 
membuka jalan untuk dapat meninggalkan tempat itu.
'Tangkap pemberontak-pemberontak itu...!" si perwira gemuk berseru ketika melihat Pendekar Naga Pu-
tih dapat membobol kepungan. Bahkan membawa 
Ekalana dan kawan-kawannya meninggalkan tempat 
itu.
"Hyaaattt...!"
Si perwira gemuk, langsung melompat hendak 
mencegah kepergian Panji. Pemuda berjubah putih itu 
sengaja dipilih sebagai sasaran, karena dikiranya di-
alah yang menjadi pimpinannya.
Namun, sebelum serangan perwira gemuk menge-
nai sasaran, tiba-tiba terdengar jeritan melengking 
tinggi. Disusul melayangnya sosok kakek kecil kurus, 
yang seperti dilemparkan orang. Dan luncuran tubuh 
kakek ini tepat memapas pukulan. Akibatnya, tubuh 
kakek kecil kurus terpental deras. Karena perwira ge-
muk sudah tidak sempat menarik serangannya. Tentu 
saja perwira gemuk itu terkejut dan menyesali apa 
yang baru saja dilakukannya, kendati tanpa senjata. 
"Eh?!"
Wajah yang semula menggambarkan rasa sesal itu, 
tiba-tiba saja berganti dengan keheranan, keterkeju-
tan, dan kengerian. Lengannya yang digunakan untuk 
memukul tak dapat ditarik lagi, tetap terjulur ke depan 
dan tidak bisa digerakkan. Demikian pula dengan ang-
gota tubuhnya yang lain. Tidak bisa digerakkan lagi. 
Kaku bagai patung batu!
Pendekar Naga Putih yang sempat melihat apa 
yang terjadi dengan sosok kakek kecil kurus itu juga 
merasa terkejut! Lebih terkejut ketika menyaksikan 
tubuh perwira gemuk itu masih tetap dalam kedudu-
kan memukul, tidak bisa bergerak lagi. Tahulah Panji 
kalau perwira itu telah terkena sebuah ilmu totokan 
yang jarang duanya di dunia persilatan!
"Kakang... mereka...."

Panggilan dan sentuhan tangan Kenanga membuat 
Panji menoleh. Dan ia menjadi kaget bukan main keti-
ka mengikuti arah pandangan kekasihnya. Enam pe-
muda yang berusaha diselamatkannya ternyata tengah 
bertempur sengit dikeroyok belasan orang. Satu di an-
tara pemuda itu dilihatnya tengah mendesak seorang 
lelaki tua berpakaian mewah, yang tak lain Juragan 
Baswara. Pemuda itu adalah Ekalana, yang bertekad 
membalaskan kematian majikannya. Meski-pun dua 
tukang pukul andalan musuh besarnya itu ikut men-
geroyok, Ekalana dapat mengatasinya dengan baik. 
"Hyaaattt..!"
Saat Juragan Baswara sudah benar-benar kelaba-
kan dalam kurungan sinar pedang lawan, pemuda itu 
berteriak keras seraya membabatkan pedangnya men-
datar.
Crak!
Babatan pedang yang dikerahkan dengan sekuat 
tenaga itu langsung memisahkan kepala Juragan Bas-
wara dari tubuhnya. Darah segar memancur, mengenai 
sebagian wajah Ekalana. Dan untuk per-buatannya 
itu, tubuh Ekalana pun tak luput dari sambaran pe-
dang salah seorang tukang pukul yang mengeroyok-
nya. Tubuh Ekalana melintir, nyaris terbanting kalau 
saja Pendekar Naga Putih tak sempat menangkapnya. 
Anehnya luka yang tidak terlalu dalam malah mem-
buat Ekalana tersenyum dingin penuh kepuasan. Ha-
tinya puas dapat membalaskan kematian majikannya.
"Heaaa...!"
Golang dan Banu, tukang pukul kepercayaan Ju-
ragan Baswara, kembali menerjang Ekalana dengan 
kemarahan dan dendam yang membuat dada mereka 
sesak. Sedangkan saat itu keadaan Ekalana sudah 
payah. Namun Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam

melihat Ekalana dalam ancaman maut.
Plak! Plak!
Dua kali tangannya mengibas, pedang di tangan 
Golang dan Banu terpental, diikuti tubuh pemiliknya. 
Kedua tukang pukul itu ternyata cukup tangguh. Me-
reka buru-buru melompat bangkit, dan kembali me-
nerjang meski dengan tangan kosong. Namun Panji se-
gera mendahului dengan memberikan masing-masing 
satu tamparan keras, yang membuat kedua tukang 
pukul roboh tak sadarkan diri.
***
Sabung Waluya, Maladi, dan Sudana yang sudah 
menghadapi Ki Windudarta dan anak buahnya, serta 
empat orang tukang pukul Juragan Baswara, meng-
amuk bagaikan banteng terluka. Kendati tubuh ketiga 
pemuda itu telah penuh luka, semangat mereka tetap 
menggebu-gebu menghadapi keroyokan Juragan Bas-
wara dan orang-orangnya. Namun pertarungan tidak 
seimbang, terutama karena ada Ki Windudarta. Se-
hingga akhirnya Sudana, Sabung Waluya, dan Maladi 
harus menerima kekalahan secara mengenas-kan. Ke-
tiganya tewas di ujung pedang Kepala Desa Sindang 
Laya.
"Sahabat yang gagah, kita harus pergi dari sini...," 
ujar Panji kepada Ekalana, yang terlihat sangat letih.
'Tidak! Semua ini belum selesai. Aku harus me-
nangkap manusia licik Suganta itu...!" tukas Ekalana 
membantah. Jarinya menuding sesosok lelaki yang 
berdiri, menyaksikan semua kejadian itu di dekat kuda 
salah seorang perwira kerajaan. Setelah berkata demi-
kian, pemuda itu langsung melesat ke arah Ki Sugan-
ta, yang wajahnya pucat dilanda ketakutan.

"Jangan biarkan Ekalana membunuh Ki Suganta, 
Pendekar Naga Putih. Selain hanya dia yang bisa 
membebaskan Ekalana dan kawan-kawannya dari 
berbagai tuduhan, kesalahan yang dilakukannya pun 
mempunyai alasan kuat. Tangkap Ki Suganta, suruh ia 
bicara di depan tentara-tentara kerajaan agar kalian 
semua terbebas dari buruan pemerintah."
Pendekar Naga Putih yang sudah percaya penuh 
terhadap suara misterius itu, langsung melesat dengan 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga, 
ia yang lebih dulu sampai di dekat Ki Suganta, sebe-
lum serangan pedang Ekalana menghajarnya.
"Maaf, Sahabat yang gagah...!" Pendekar Naga Pu-
tih mengibaskan lengannya membuat babatan pedang 
Ekalana menyeleweng.
"Di pihak mana sebenarnya kau berdiri, Sahabat?" 
Tanya Ekalana setelah memperbaiki kedudukan kuda-
kudanya. Kini dia berdiri berhadapan dengan Panji, 
yang sudah melumpuhkan Ki Suganta dengan totokan.
"Aku berdiri di pihak yang benar. Jangan menuruti 
nafsu, Sahabat yang gagah! Kurasa orang ini tidak ter-
lalu jahat. Karena ada yang membisikkan kepadaku, 
bahwa orang yang bernama Ki Suganta ini akan dapat 
membuat kehidupan kalian selanjutnya menjadi lebih 
tenang dan damai," jawab Panji sejujurnya. Pendekar 
muda ini tidak tahu-menahu masalah yang sebenar-
nya.
Ekalana yang juga tidak mengetahui banyak ten-
tang Ki Suganta, termenung sesaat. Kesempatan itu 
dipergunakan Panji menanyakan kesediaan Ki Suganta 
untuk menjelaskan segala yang terjadi.
"Hentikan pertempuran...!" seru Panji dengan men-
gerahkan tenaga dalam. Sehingga suaranya ter-dengar 
keras menggelegar, mengatasi suara teriakan orang

bertempur ataupun denting senjata beradu. Hal itu di-
lakukan setelah mendapat jawaban dari Ki Suganta.
Teriakan Pendekar Naga Putih membuat pertarun-
gan terhenti seketika. Kedua belah pihak berlompatan 
mundur. Jirana, Rapati, dan Kenanga segera berga-
bung bersama Panji dan Ekalana.
"Kalian pemberontak-pemberontak hina sebaiknya 
menyerahlah! Kalau tidak, kalian akan dihukum mati!"
Suara itu terdengar dari perwira gemuk yang rupa-
nya telah terbebas dari totokan, Dia berdiri dengan da-
da membusung menatap Pendekar Naga Putih dan 
yang lainnya dengan sinar mata tajam.
"Maaf, Tuan Perwira...!" Ki Suganta membuka mu-
lut ketika Pendekar Naga Putih menekan bahunya, 
yang merupakan isyarat baginya agar berbicara. "Se-
benarnya mereka ini bukanlah pemberontak. Mereka 
adalah pemuda-pemuda perkasa yang hendak menun-
tut balas atas kematian majikan mereka yang bernama 
Juragan Mahinta. Apa yang dikatakan Juragan Baswa-
ra kepada Tuan-tuan Perwira semua, sebenarnya ha-
nyala fitnah. Aku sendiri dipaksa menjebak pemuda-
pemuda perkasa ini. Karena anak istriku diculik oleh 
tukang-tukang pukul Juragan Baswara...."
"Dan yang membunuh Juragan Mahinta adalah 
Juragan Baswara, lewat tangan seorang pembunuh 
bayaran bernama Jaro Labang...!" tiba-tiba saja Ki 
Windudarta menambahkan penjelasan Ki Suganta. Ke-
pala Desa Sindang Laya itu merasa sudah bosan hidup 
di bawah tekanan Juragan Baswara. Sehingga nekat 
membeberkan apa yang diketahuinya. Hal ini dilaku-
kan karena merasa berdosa, dalam sepak terjang Ju-
ragan Baswara. Sebab, pada dasarnya Ki Windudarta 
bukanlah orang jahat.
"Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, Ki

Windudarta?" Tanya perwira gemuk itu.
"Ki Baswara sendiri yang mengatakannya kepada-
ku. Dia menyampaikan kepadaku sewaktu mendengar 
Jaro Labang terbunuh oleh tujuh pemuda, yang ter-
nyata pekerja-pekerja Juragan Mahinta. Lalu Ki Bas-
wara membuat laporan palsu kepada Tuan-tuan Perwi-
ra. Selain itu, juragan Baswara juga menjanjikan ha-
diah besar bagi siapa saja yang dapat membawa satu 
atau ketujuh kepala pemuda itu. Menurutnya mereka 
bakal datang kepadanya untuk menuntut balas," Ki 
Windudarta mengakhiri penjelasannya dengan helaan 
napas panjang. Seakan-akan merasa beban di dadanya 
telah banyak berkurang.
Perwira gemuk itu bergumam sambil manggut-
manggut. Kemudian diangkat kepalanya ketika men-
dengar suara derap kaki kuda dalam jumlah banyak. 
Rombongan berkuda itu ternyata orang-orangnya yang 
tadi dikirim untuk mengusir perampok dan mema-
damkan kebakaran di desa sebelah timur.
Namun apa yang dilaporkan perwira bawahannya 
membuat keningnya berkerut. Sebab tidak ditemukan 
tanda-tanda adanya perampok di sekitar Desa Tilasan. 
Dan api besar yang disertai gulungan asap, ternyata 
berasal dari tumpukan kayu yang seperti sengaja di-
bakar.
"Hm..., semua ini pasti perbuatan kakek sinting 
itu...," gumamnya pada diri sendiri. Dia teringat ulah 
kakek kecil kurus yang tadi telah membuat dirinya 
berdiri seperti patung untuk waktu yang cukup lama. 
Perwira gemuk pun yakin kalau kakek kecil kurus itu 
yang telah menotoknya. Juga yang membebaskannya.
"Jika demikian persoalannya, aku minta maaf. Aku 
merasa telah salah bertindak..," ujar perwira gemuk 
itu. Lalu segera melompat naik ke punggung kuda dan

membawa pasukannya untuk kembali ke kotaraja.
Tak berapa lama kemudian, Ki Windudarta juga 
minta diri. Sebelum pergi, Kepala Desa Sindang Laya 
meminta maaf kepada Ekalana, Jirana, Dan Rapati. 
Kemudian mengajak Ki Suganta untuk menjemput 
anak istrinya.
"Ke mana perginya Mayani...?" Jirana mengedar-
kan pandangan mencari kekasihnya yang terpisah da-
rinya sewaktu pertarungan.
Ekalana, Rapati, Panji, dan Kenanga ikut mencari-
cari dengan pandang matanya. Tiba-tiba saja terdengar 
suara tawa terkekeh yang datang dari atas sebuah ca-
bang pohon besar. Pada sebuah batang pohon ter-lihat 
Mayani duduk mencangkung di samping seorang ka-
kek kecil kurus yang memegang sebatang tongkat bu-
tut. Sambil tetap memperdengarkan kekehnya, kakek 
itu melayang turun membawa tubuh Mayani. Kemu-
dian menyerahkan kepada Jirana. Kedua insan yang 
dilanda rindu ini berpelukan erat. Seolah tak ingin ter-
pisah lagi.
"Sudah, sudah! Kalian membuat aku orang tua 
mengilar saja...," ujar kakek kecil kurus itu terkekeh 
dengan mulut setengah terbuka, memperlihatkan gigi-
giginya yang ompong.
"Kakek Peramal Sinting...?!" desis Panji yang me-
mang sejak melihatnya, terus menegasi dengan menge-
rahkan ingatan.
"Nah, sekarang kau sudah melihat rupa ku, Pen-
dekar Naga Putih," ujar kakek kecil kurus itu terse-
nyum seraya menggoyang-goyangkan kepalanya, "Ma-
tamu benar-benar jeli," selesai berkata demikian, Ka-
kek Peramal Sinting memutar tubuh dan melangkah 
pergi.
Pendekar Naga Putih dan yang lainnya sama-sama

membelalakkan mata ketika melihat cara berjalan Ka-
kek Peramal Sinting. Padahal mereka melihat jelas be-
tapa lelaki tua bertubuh kecil itu melangkah biasa. 
Namun, tubuhnya seperti melompat-lompat dan tahu-
tahu telah jauh dan kemudian lenyap dari pandangan.
"Luar biasa sekali kepandaian Kakek Peramal Sint-
ing! Tidak aneh kalau Eyang Tirta Yasa selalu memuji-
muji kesaktiannya. Hhh... pantas aku tak dapat me-
nemukan di mana dirinya berada ketika memberi pe-
tunjuk-petunjuk kepadaku...," gumam Panji seraya 
berdecak kagum menyaksikan ilmu meringankan tu-
buh yang dipergunakan Kakek Peramal Sinting.
"Pantas saja beliau mengetahui segalanya. Kiranya 
seorang peramal sakti...," desah Kenanga yang juga 
masih menatap ke arah lenyapnya sosok Kakek Pe-
ramal Sinting.
Sepeninggal tokoh aneh itu Pendekar Naga Putih 
mengapit lengan kekasihnya, kemudian berkelebat 
pergi. Kepergian Panji dan Kenanga sama sekali tidak 
diketahui Ekalana dan kawan-kawannya. Mereka baru 
sadar setelah sosok pasangan pendekar muda itu su-
dah lenyap dari pandangan.
"Jirana," ujar Ekalana, "Kuucapkan semoga kalian 
berdua hidup bahagia. Setelah semua ini selesai, kura-
sa sudah waktunya untuk melanjutkan pengem-
baraanku yang tertunda," setelah berpamitan, Ekalana 
melangkah pergi.
Hembusan angin dingin menjelang pagi, memper-
mainkan pakaian dan rambut Rapati, Jirana, dan 
Mayani, yang masih berdiri terpaku. Kokok ayam jan-
tan terdengar bersahutan menyambut fajar, tanda da-
tangnya hidup baru bagi mereka.





                              SELESAI
























































 

Share:

0 comments:

Posting Komentar