..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE GEROMBOLAN SETAN MERAH

Matjenuh

Hampir setiap malam terjadi pembunuhan di 
Desa Palasari, korban selalu tewas dengan tanda 
tiga buah jari yang melubangi kening !
Bagaimanakah sikap Kepala Desa Palasari, Ki 
Kaligandii ketika mengetahui pelaku pembunuhan 
di desanya adalah Gerombolan Setan Merah ?. 
Gerombolan kaum sesat yang memiliki ilmu-ilmu 
hitam mengerikan! Bahkan sanggup 
membangkitkan mayat dari dalam kuburnya! 
Mampukah Pendekar Naga Putih mengatasi tokoh-
tokoh puncak Gerombolan Setan Merah yang 
sangat sakti dan mengerikan itu?
---ooo0dMyrna0ooo---
SATU


Matahari sudah jauh bergeser ke barat Sinarnya 
kian redup, berganti dengan semburat cahaya 
merah. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun 
menyelimuti permukaan bumi. Seiring dengan itu, 
terdengar nyanyian binatang-binatang malam yang 
saling bersahutan. Malam telah jatuh.
Langit dihiasi bulan sabit Sinarnya yang redup 
tak mampu menembus kegelapan malam yang 
semakin pekat Terlebih di daerah pekuburan yang 
terletak jauh di luar Desa Palasari. Pantulan cahaya 
samar sang Dewi Malam, jatuh di beberapa batu 
nisan. Dan, membentuk gambaran-gambaran 
seram yang membuat bulu kuduk meremang. 
Ditambah lagi adanya kepulan asap tipis laksana 
lapisan kabut Daerah pekuburan itu tampak

semakin menyeramkan.
"Hhh.... Malam ini tidak seperti biasanya. Dingin 
sekali...," desah seorang penjaga pekuburan sambil 
menaikkan kain sarungnya hingga ke leher. 
Kemudian melipat kedua tangannya. Seolah 
dengan sikapnya itu kebenaran ucapannya ingin 
diperlihatkan.
Lelaki berselimut kain sarung itu melangkah 
perlahan keluar dari pos jaganya. Menilik 
wajahnya, usianya kira-kira Bma puluh tahun. 
Bertubuh kurus dan agak bungkuk. Langkahnya 
tertatih-tatih mendekati sosok lain yang tengah 
berjongkok di dekat perapian.
"Kurang ajar...! Udara dingin malam ini 
membuat kayu jadi lembab dan sulit terbakar...," 
lelaki yang tengah sibuk membuat api unggun 
mengomel panjang pendek. Rupanya, merasa 
jengkel apinya tak juga mau membesar.
"Heh heh heh.... Kau mengomel pada siapa, Adi 
Lajang...?" tegur lelaki kurus itu sambil berjongkok 
di dekat kawannya. Hatinya merasa geli melihat 
kelakuan kawannya yang mengomel sendirian.
"Ah. Kau rupanya, Kakang Jasman!" seru lelaki 
beralis tebal agak terkejut mendengar teguran itu. 
"Mengapa tidak tidur? Biar aku saja yang berjaga-
jaga sampai lewat tengah malam nanti...."
Setelab berkata begitu, tatapan lelaki beralis 
tebal yang ternyata bernama Lajang itu kembali 
beralih pada api unggun yang menyala kecil. Lalu 
sibuk mengatur kayu bakar di atas jilatan api.
"Hhh.... Udara dingin begini masa bisa tidur,

Adi...," sungut Ki Jasman, ikut sibuk membantu 
kawannya memperbesar api. Selain untuk 
menghangatkan tubuh, api itu pun digunakan 
sebagai pengusir nyamuk.
"Ya. Udara malam ini memang tidak seperti 
biasanya. Kalau tidak ingat akan tugas, aku lebih 
suka pulang dan tidur sepuas-puasnya...," timpal 
Lajang. Rupanya, dia pun merasakan dinginnya 
udara malam itu. "Malam apa ini, Kakang...?"
Kata-kata itu diucapkan Lajang sambil tetap 
sibuk mengurus api unggun di depannya. 
Sepertinya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi 
saja.
Tapi pertanyaan itu sempat membuat kening Ki 
Jasman berkerut agak dalam. Bahkan, sepasang 
matanya mengitari daerah pekuburan di depannya.
Sebentar kemudian, wajahnya terlihat menegang.
"Hm.... Kalau tidak salah, malam Jumat Kliwon, 
Adi Lajang," sahutnya dengan suara agak kering.
"Kalau malam Jumat Kliwon memangnya 
kenapa, Kakang...?" tanya Lajang yang tidak 
membedakan soal nama-nama malam. Lelaki 
beralis tebal itu tetap acuh dan tidak 
mempedulikan ketegangan kawannya.
"Tidak apa-apa, Adi," sahut Ki Jasman, berusaha 
menyembunyikan ketegangan hatinya. Mungkin 
merasa malu bila Lajang yang usianya lebih muda 
darinya itu sampai mengetahui perasaannya saat 
itu.
Sementara itu, api sudah mulai membesar. 
Rupanya, usaha Lajang tidak sia-sia. Mereka mulai

merasakan kehangatan yang menyerap ke dalam 
tubuh. Lajang menoleh dan tersenyum pada 
kawannya. Tapi sebentar kemudian senyumnya 
pudar. '
"Kau seperti tengah memikirkan sesuatu, Ka-
kang...?" tanya Lajang, seolah dapat membaca 
keanehan pada wajah lelaki setengah baya di 
sampingnya, yang juga tengah bangkit berdiri.
Ki Jasman sedikit tersentak mendengar 
pertanyaan Lajang. Dihelanya napas panjang. 
Kakinya melangkah lalu duduk di bangku kayu, 
yang ada di depan pos jaga. Tampaknya lelaki 
setengah baya itu berusaha menghindar dan 
menyembunyikan perasaannya.
"Ada apa, Kakang...?" Lajang menjadi 
penasaran. Dan, berusaha mendesak kawannya 
agar memberikan jawaban
Ki Jasman kembali menghela napas panjang dan 
mengedarkan pandangannya ke daerah peku-
buran. Sepertinya, orang tua itu tengah mencari 
jawaban yang tepat
"Kau ingat peristiwa beberapa minggu yang 
lalu..?" Ki Jasman balik bertanya sambil menatap 
wajah Lajang yang mengerutkan kening.
"Maksud, Kakang...?" Lajang agaknya belum 
mengerti arah pertanyaan Ki Jasman. Ditatapnya 
wajah orang tua itu lekat-lekat
"Ah.... Masa kau lupa dengan kejadian 
pembongkaran makam pada beberapa minggu 
lalu...?"
Ki Jasman mencoba mengingatkan Lajang akan

peristiwa itu.
"Hm.„. Ya, aku ingat!" sahut Lajang setelah 
berpikir sesaat "Lalu...?"
"Ah...! Bebal sekali otakmu, Lajang!" umpat Ki 
Jasman jengkel. Perasaan itu terpancar pada 
sepasang mata tuanya. "Kau ingat! Kejadiannya 
pada malam seperti ini...!"
"Ooo.... Jadi itu yang mengganggu pikiran 
Kakang...?" Lajang membulatkan mulutnya begitu 
ingat apa yang dikatakan Ki Jasman. Sehingga, 
orang tua itu kelihatan bertambah kesal.
”Peristiwa itu sungguh tidak mengganggu 
pikiranmu?" tegur Ki Jasman. Kelihatan sekali kalau 
lelaki tua itu tidak puas dengan jawaban Lajang.
"Mula-mula memang agak sedikit mengganggu. 
Tapi, untuk apa kita memikirkannya? Lagi pula, 
kejadian itu sudah cukup lama terjadi...," tukas 
Lajang.
"Bodoh kau!" rutuk Ki Jasman seraya menampar 
kepala Lajang perlahan karena kejengkelannya 
yang memuncak "Aku khawatir peristiwa itu akan 
terulang lagi malam ini...!"
Lajang yang hampir terjatuh dari bangku 
tertegun sesaat Semula hatinya agak penasaran 
dengan perbuatan Ki Jasman. Tapi begitu 
mendengar kekhawatiran orang tua itu, Lajang jadi 
berpikir.
"Jadi itu yang mengganggu pikiranmu...?" 
Lajang meminta ketegasan Ki Jasman.
"Kau kira apa yang terpikir dalam kepalaku 
selain soal keamanan tempat ini, hah?!" tukas Ki

Jasman setengah membentak.
Lajang terkekeh perlahan. Lelaki beralis tebal itu 
tidak tersinggung dibentak Ki Jasman. Malah 
kelihatan geli sendiri melihat ringkah orang tua itu
"Auuung...!"
"Hei...?!"
Ki Jasman terlonjak bangkit dari duduknya 
mendengar raungan anjing malam itu. Wajahnya 
terlihat agak pucat!
"Anjing sialan...!" rutuk Ki Jasman menyumpah-
nyumpah. "Jantungku hampir copot dibuatnya...!"
"Kau kelihatan sangat tegang, Ki..," tegur Lajang 
dengan pandangan menyelidik, karena dirinya 
sendiri tidak terkejut dengan lolongan anjing 
malam itu. Menurutnya, suara itu tidak aneh. 
Karena memang sering terdengar pada saat-saat 
seperti itu.
Srekkk! Srekkk!
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki 
menginjak dedaunan kering. Wajah Ki Jasman 
semakin pucat! Dengan sigap, golok di 
pinggangnya langsung dicabut
Srat!
"Kau dengar suara itu, Lajang..?" bisik Ki 
Jasman. Goloknya digenggam erat-erat
Lajang tidak mengeluarkan suara. Dia hanya 
menganggukkan kepala. Sedangkan tangannya 
sudah meraba gagang golok. Meskipun senjata itu 
belum keluar dari sarungnya, tapi Lajang telah 
mempersiapkan segalanya.
"Sepertinya dari belakang pos jaga kita...," bisik

Ki Jasman tegang. "Jangan-jangan kawanan 
pencuri yang hendak membongkar makam baru...."
Sesaat keduanya saling bertukar pandang. 
Kemudian, sama-sama mengangguk dan berpencar 
ke kiri dan kanan dengan senjata tergenggam di 
tangan kanan. Sedangkan tangan kiri mereka 
memegang kayu bakar menyala sebagai 
penerangan.
"Anjing keparat..!"
Lagi-lagi Ki Jasman mengutuk. Ternyata hanya 
seekor serigala. Rupanya, binatang itulah yang 
menimbulkan suara langkah lembut di atas 
dedaunan kering. Karena kejengkelan yang 
memuncak, kayu bakar yang berada di tangannya 
segera disodorkan ke arah serigala itu. Maka, 
binatang buas itu pun langsung mengambil langkah 
seriba
"He he he...!"
Lajang terkekeh melihat wajah Ki Jasman yang 
kemerahan. Tingkah kawannya itu tampak semakin 
janggal dan lucu. Lajang sendiri tidak begitu heran 
melihat binatang-binatang itu berkeliaran di 
pekuburan. Pemandangan itu bukan sesuatu yang 
bani bagi mereka berdua. Terasa aneh bila orang 
tua itu terlihat sangat tegang.
"Jangan mengejekku, Lajang!" bentak Ki Jasman 
jengkel karena ditertawakan kawannya. "Kalau 
tubuhmu sudah dirobek-robek taringnya, baru kau 
tahu rasa...!"
Sambil bersungut-sungut, Ki Jasman bergegas 
meninggalkan tempat itu. Sementara, Lajang masih

terkekeh sambil memegangi perutnya.
"Aaa...?!"
Tiba-tiba terdengar lolong kematian yang 
panjang dan mendirikan bulu kuduk. Lajang yang 
saat itu masih berada di belakang pos jaga terkejut 
setengah mati, karena mengenali suara jeritan itu.
"Kakang...!" desis Lajang segera menghambur 
ke depan pos jaga. Tapi....
"Ahhh...?!"
Lajang terbelalak pucat melihat pemandangan 
yang terbentang di 
depan matanya. 
Tanpa sadar kakinya 
melangkah mundur. 
Butir-butir keringat 
dingin membasahi 
wajahnya.
"Ki Jasman...?!"
Lelaki beralis tebal 
itu merintih parau. 
Betapa tidak? Begitu 
tiba di depan pos 
jaga, dilihatnya tubuh 
Ki Jasman telah tergeletak tanpa nyawa. Darah 
segar memancur keluar dari batang lehernya. 
Sedangkan kepala orang tua itu entah ke mana.
"Ahhh...?!" Lajang terbelalak pucat melihat 
tubuh Ki Jasman tergeletak tanpa nyawa.
"Kakang..?!" Lelaki beralis tebal itu merintih 
parau. Betapa tidak? Pemandangan di hadapannya 
sangat mengerikan! Darah segar memancur keluar

dari batang leher Ki Jasman. Sedangkan kepala 
orang tua itu entah berada di mana!
Lajang menarik napas berulang-ulang untuk 
menenteramkan perasaannya yang terguncang. 
Sebagai penjaga pemakaman umum, lelaki itu 
sudah terbiasa melihat segala macam bentuk 
mayat Karena keberaniannyalah ia diterima dan 
dipercaya penduduk Desa Palasari untuk menjaga 
keamanan makam warga desa itu.
Tapi, pemandangan kali ini terasa lain. Darah 
segar yang terus memancur keluar dari batang 
leher Ki Jasman, dan kepala yang lenyap entah ke 
mana, membuat tubuh Lajang menggigil hebat 
Bahkan hampir jatuh pingsan. Untung ia masih 
sanggup berdiri dalam kesadaran utuh!
Setelah terdiam cukup lama dan berhasil 
menenangkan hatinya, Lajang bergerak mendekat 
Dicarinya kepala Ki Jasman yang terpental entah ke 
mana. Kayu bernyala di tangan kirinya bergerak 
kian kemari. Sedangkan di tangan kanannya 
tergenggam golok telanjang. "Ahhh...?!"
Lajang terlonjak ke belakang ketika menemukan 
kepala Ki Jasman tergantung tepat di depannya. 
Sepasang mata kepala itu menatap wajah Lajang. 
Hingga hati lelaki itu berdebar keras. Darah yang 
masih menetes dari batang leher itu membuat 
kepala Ki Jasman terlihat demikian menakutkan.
Keheranan besar melanda hati Lajang. Kepala 
itu tergantung setinggi wajahnya, tanpa ada 
sesuatu pun yang menyangga. Membuat Lajang 
penasaran untuk memeriksanya. Didekatkannya

kayu bernyala di tangannya. Dan.... 
"Aaa...?!"
Lagi-lagi Lajang memekik kaget ketika 
menemukan jari-jari tangan kekar mencengkeram 
rambut Ki Jasman. Tangan itulah yang membuat 
kepala lelaki tua itu tergantung di udara. Ketika 
Lajang menyusuri jari-jari tangan itu, kembali 
kakinya melangkah mundur. Di sebelah kanan 
kepala Ki Jas-, man berdiri sesosok tubuh tinggi 
kurus dengan wajah menyeramkan.
"Sssi... siapa... kau...?" desis Lajang segera 
menjauh dengan golok menyilang di depan dada. 
Lelaki itu berusaha bersikap tenang dengan 
menekan segala rasa takut dan ngeri yang 
mendera hatinya.
Tapi sosok tubuh yang tingginya melebihi 
ukuran manusia biasa itu, melangkah maju 
menenteng kepala Ki Jasman. Langkahnya 
perlahan dengan tangan kiri terulur ke depan. 
Kuku-kuku jarinya panjang melengkung, 
menambah sosoknya semakin terlihat 
menyeramkan. Belum lagi wajahnya yang putih 
seperti dicat Benar-benar sosok yang sanggup 
membuat orang penakut pingsan seketika!
---ooo0myr0ooo---
"Berhenti...!"
Dengan sisa-sisa keberaniannya, Lajang 
membentak. Goloknya dikibaskan untuk menghalau 
sosok itu agar menjauh dari dirinya.

"Hmhhh...."
Bukannya berhenti, sosok itu malah 
mempercepat langkahnya. Bahkan, mengeluarkan 
geraman parau yang membuat hati Lajang 
bergetar. Sehingga kedua kakinya sukar 
digerakkan.
"Haaat..!"
Untuk melenyapkan rasa tegang dan ngeri di 
hatinya, Lajang memekik kuat-kuat. Kemudian, 
melemparkan kayu bernyala di tangannya. Dan 
terus melompat sambil mengibaskan goloknya ke 
arah sosok jangkung itu.
Bettt!
"Hei...?!"
Terkejut bukan main hati Lajang ketika 
sambaran goloknya mengenai angin kosong. 
Sedangkan sosok jangkung di depannya telah 
lenyap entah ke mana.
"Iblisss...!" desis Lajang yang mulai lenyap 
keberaniannya.
Lajang bergegas membalikkan tubuh ketika 
mendengar dengus napas berat di belakangnya. 
Sayang, gerakannya terlambat! Pada saat itu 
terdengar sambaran angin keras. Dan....
Brettil
"Aaa...!"
Terdengar raung kematian yang membelah
keheningan malam. Bersamaan dengan itu, tubuh 
Lajang terlempar ke tanah dan tewas dengan luka 
di leher. Saat berikutnya, kepala lelaki itu direnggut 
secara paksa dari tubuhnya.


Darah segar menyembur keluar membasahi 
tanah merah yang kering. Dalam waktu singkat, 
dua penjaga makam itu tewas secara mengerikan. 
Keheningan malam adalah saksi bisu peristiwa itu
Angin dingin bertiup semakin keras membawa 
butir-butir air yang berjatuhan ke bumi. Rembulan 
dan bintang-bintang telah lenyap tertutup awan 
hitam pekat Gerimis pun turun perlahan 
membasahi bumi.
"He he he...!"
Sosok jangkung berwajah putih tanpa 
mengenakan pakaian atas itu, terkekeh parau. 
Dengan menenteng dua kepala di kanan dan 
kirinya, sosok itu bergerak melewati makam-
makam yang berjejer. Meskipun tanah yang 
dipijaknya telah basah oleh tetesan air hujan, tapi 
tidak meninggalkan jejak sedikit pun saat sosok 
jangkung itu melangkah.
Rintik hujan bertambah deras saat sosok 
jangkung itu semakin jauh memasuki daerah 
pekuburan. Sosok itu tidak mempedulikan air hujan 
yang membasahi sekujur tubuhnya. Langkahnya 
tetap tenang dan tidak terlihat tergesa-gesa.
Cukup lama sosok jangkung itu melangkah di 
sisi makam yang berjejer di kiri dan kanannya. 
Semak perdu banyak tumbuh di atas makam-
makam tak terurus. Mungkin karena letaknya 
terlalu jauh dari pintu gerbang, maka sanak 
keluarganya enggan mengurus. Sehingga dibiarkan 
telantar begitu saja.
Saat hampir mencapai ujung pemakaman, sosok

jangkung itu tiba-tiba meloncat ke dalam sebuah 
liang lahat yang menganga lebar. Kemudian lenyap 
bersama suara gemuruh yang ditimbulkannya.
"Hieh heh heh...!"
Suara parau yang menyakitkan telinga 
berkumandang memenuhi pelosok daerah pe 
kuburan itu. Semakin lama kian mengecil hingga 
lenyap sama sekali.
Bersamaan dengan lenyapnya tawa parau yang 
menyeramkan itu, rintik hujan pun berhenti. 
Rembulan kembali muncul, ditemani bintang-
bintang yang berkedip jenaka. Suasana pekuburan 
kembali hening dan sunyi. Hembusan angin 
sesekali bertiup keras.
---ooo0myr0ooo---
DUA


Hari masih pagi Matahari baru saja muncul 
dengan sinarnya yang redup. Tiupan angin pun 
masih terasa dingin menyentuh kulit Kicauan 
burung yang terdengar sesekali, membuat suasana 
pagi itu terasa cerah.
Dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki 
mulut Desa Palasari. Mendadak kening mereka 
berkerut dengan wajah menggambarkan 
keheranan. Sejenak keduanya saling pandang, 
kemudian kembali menatap penduduk desa yang 
terlihat berduyun-duyun menuju ke satu arah.
"Ada apa ya, Kakang? Melihat wajah-wajah
mereka, sepertinya ada suatu peristiwa mengerikan 
yang baru saja terjadi...," ujar dara jelita 
berpakaian serba hitam. Matanya memperhatikan 
penduduk Desa Palasari yang hampir semua 
menyiratkan ketegangan di wajahnya.
Pemuda tampan berpakaian serba putih, yang 
berjalan di sebelah kanan dara jelita itu 
menggeleng perlahan. Pemuda itu tengah 
memandang orang-orang yang berduyun-duyun 
menuju utara desa.
"Entahlah. Aku belum bisa menduganya. Tapi 
melihat wajah-wajah mereka, rasanya memang ada 
suatu peristiwa yang menghebohkan," sahut 
pemuda berjubah putih itu setelah terdiam 
beberapa saat.
"Mungkin ada perampok yang mengganas di 
desa ini semalam. Lalu ada keluarga yang menjadi 
korban...," duga dara jelita itu seraya berpaling dan 
menatap pemuda tampan di sebelahnya. Seolah 
hendak meminta tanggapan atas dugaannya.
"Hm.... Mungkin dugaanmu benar...," jawab 
pemuda itu tanpa berpikir lagi. Kemudian langkah 
kakinya dipercepat untuk menyusul rombongan 
orang-orang itu.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang...?!" seru 
dara jelita itu, bergegas mengikuti langkah 
kawannya.
"Aku hendak bertanya pada salah seorang dari 
mereka...," jawab pemuda tampan berjubah putih, 
tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.
Dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak

berkata apa-apa lagi. Langkahnya dipercepat untuk 
menjajari langkah pemuda tampan yang tidak lain 
Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga 
Putih.
"Paman, boleh aku bertanya sedikit..?" sapa 
Panji, setelah dapat menyusul langkah seorang 
lelaki berusia empat puluh tahun, yang wajahnya 
kecoklatan.
Lelaki itu tidak berusaha menghentikan 
langkahnya. Bahkan, semakin dipercepat seraya 
menatap pemuda tampan berjubah putih dengan 
sinar mata tajam menyelidik. Ada kilatan curiga di 
mata petani itu.
"Kau siapa, Kisanak? Dari mana asalmu...?"
Lelaki berwajah kecoklatan itu malah 
melemparkan pertanyaan kepada Panji. Nada 
suaranya memperlihatkan kecurigaan yang nyata.
Tapi Pendekar Naga Putih tidak memperlihatkan 
sikap tersinggung. Bahkan senyumnya 
mengembang. Seolah ingin mengatakan bahwa 
kecurigaan petani itu tidak beralasan.
Berbeda dengan dara jelita berpakaian serba 
hijau yang tak lain Kenanga. Sepasang matanya 
yang bulat dan jernih berkilat sejenak. Dan, 
kembali biasa saat melihat gelengan pemuda 
berjubah putih itu. Tampaknya, Kenanga tidak 
ingin membantah isyarat kekasihnya, hingga
memilih diam.
"Kami berdua adalah pengembara yang tidak 
mempunyai tempat tinggal. Kebetulan pagi ini tiba 
di Desa Palasari. Melihat para penduduk berduyun

duyun menuju utara desa, kami jadi tertarik dan 
ingin menanyakannya pada Paman. Kami akan 
sangat berterima kasih bila Paman mau 
memberitahukannya...," sahut Panji dengan halus 
dan sopan.
Kecurigaan petani itu tampak agak berkurang. 
Sikap dan cara berbicara pemuda itu agaknya telah 
menimbulkan rasa suka di hatinya.
"Hm„.. Sebetulnya aku pun belum tahu jelas, 
Kisanak. Tapi, kalau memang ingin mengetahui, 
lebih baik kau ikut dengan rombongan ini...," jawab 
petani itu agak malu.
"Huh! Kalau tidak tahu, mengapa mencurigai 
orang segala...?!" omel Kenanga jengkel. Untung 
ucapan itu agak pelan, sehingga tidak tertangkap 
jelas oleh petani itu.
Mendengar jawaban petani berwajah keco-
klatan itu, Panji dan Kenanga yang mengaku 
sebagai pengembara, tidak berbicara lagi. Mereka 
segera mengikuti rombongan orang desa.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu 
tiba di depan sebuah rumah sederhana yang 
dipenuhi orang. Rasanya, sangat sulit untuk 
melihat isi rumah. Pagar halaman depannya pun 
tidak dapat dilihat lagi Orang yang memadati 
tempat itu terlalu banyak.
Merasa penasaran. Panji dan Kenanga 
menyeruak kerumunan orang itu. Aneh, penduduk 
yang berkerumun tidak menghalangi perbuatan 
mereka. Entah pengaruh apa yang dimiliki 
pasangan muda ini. Dengan mudah mereka

bergerak maju sampai pagar halaman depan 
rumah itu
"Siapa mereka...? Mengapa begitu mudah 
menyeruak kerumunan orang banyak...?"
Petani berwajah kecoklatan merasa heran 
karena sewaktu berusaha menyeruak seperti 
pasangan muda itu, tubuhnya terombang-ambing 
ke kiri dan kanan. Bahkan terjepit padatnya orang-
orang yang berada di tempat itu. Sehingga, ia 
kembali bergerak ke luar. Itu pun dilakukan dengan 
susah-payah sampai wajahnya berkeringat. 
Padahal kalau melihat bentuk tubuhnya yang tegap 
dan biasa bekerja keras, dia jauh lebih kuat dari 
dara jelita berpakaian hgau. Tapi, kenyataannya 
lain. Petani itu pun menggeleng tak habis mengerti.
Sementara itu, Panji dan Kenanga telah berada 
di barisan depan. Mereka dapat melihat dengan 
jelas pemandangan yang terbentang di depan 
matanya. Benda seukuran tubuh manusia itu 
ditutupi selembar tikar dari kaki hingga kepala. 
Tapi, Panji tahu benda itu adalah sesosok mayat Di 
halaman depan rumah sedernaha itu masih 
terdapat tiga lainnya, yang ukurannya berbeda-
beda.
"Rupanya keluarga ini terbunuh semalam, 
Kakang..," gumam Kenanga yang berdiri di sebelah 
kekasihnya.
"Aku rasa juga demikian. Kemungkinan besar 
perampok yang melakukannya. Tapi aku heran. 
Mengapa tidak keluarga kaya yang menjadi sasaran 
mereka? Keluarga sederhana seperti ini tentu tidak

memiliki banyak harta. Untuk hidup pun mereka 
harus bekerja keras membanting tulang...," tukas 
Panji, membantah dugaannya sendiri. Memang sulit 
dipercaya bila keluarga yang sangat sederhana itu
didatangi perampok. Padahal, keluarga-keluarga 
kaya di Desa Palasari tidak sedikit jumlahnya.
"Kalian pasti bukan orang desa ini...," ujar 
seorang lelaki kurus berusia lima puluh tahun yang 
berdiri di sebelah Kenanga. Tampaknya dia 
mendengarkan percakapan pasangan muda itu. 
Kemudian gagal menahan diri untuk tidak ikut 
campur.
"Memang bukan, Paman. Kami berdua kebetulan 
singgah di desa ini Tapi penduduk yang 
berbondong-bondong menuju tempat ini, 
mengundang rasa ingin tahu kami. Hingga, 
sampailah kami di tempat ini...," sahut Panji seraya 
tersenyum ramah kepada lelaki kurus itu.
"Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga 
ini, Paman? Rasanya tidak mungkin mereka 
terbunuh oleh perampok...," tanya Kenanga. 
Kesempatan itu segera dimanfaatkan dara jelita itu 
untuk mencari keterangan mengenai peristiwa ini.
"Mari ikut aku..," bisik lelaki separuh baya, 
segera menyeruak kerumunan orang. Kemudian, 
melangkah meninggalkan tempat itu
Pasangan muda itu jadi penasaran. Tanpa 
banyak cakap lagi, keduanya bergerak keluar dari 
kerumunan penduduk dan mengikuti langkah lelaki 
kurus itu.
"Jangan terlalu dekat! Kalian harus berpura-pura

tidak sedang mengikuti aku! Itu bisa berbahaya...," 
bisik lelaki separuh baya bertubuh kurus itu. 
Langkahnya dipercepat, sehingga pasangan muda 
itu tertinggal hampir satu tombak.
Bisikan lelaki kurus itu menimbulkan rasa heran 
keduanya. Tapi, mereka tidak membantah dan 
segera memperlambat langkahnya. Mereka terpisah 
empat tombak jauhnya. Banyaknya penduduk yang 
lalu-lalang, membuat mereka tidak begitu 
diperhatikan orang. .
"Hm.... Peristiwa ini semakin bertambah aneh 
saja, Kakang...," bisik Kenanga.
"Ya. Rupanya, ada suatu misteri yang 
menyelimuti desa ini. Lelaki tua itu kelihatannya 
tahu banyak. Mudah-mudahan kita bisa 
memperoleh keterangan darinya...," sahut Panji, 
berbisik. Mereka menjaga pembicaraan agar tidak 
sampai terdengar orang lain, seperti pesan orang 
tua bertubuh kurus itu.
Lelaki tua bertubuh kurus terus bergerak 
meninggalkan Desa Palasari. Dan, terus melangkah 
tanpa menoleh. Setelah cukup jauh meninggalkan 
mulut desa, lelaki kurus itu tidak menunjukkan 
tanda-tanda akan menghentikan langkahnya.
Sedangkan pasangan muda yang mengikutinya, 
mulai mengerutkan kening. Mereka heran melihat 
orang tua itu belum juga mau berhenti. Agaknya, 
dia sengaja menjauhi Desa Palasari untuk 
membicarakan peristiwa tadi.
"Hendak dibawa ke mana kita, Kakang...? Apa 
ini tidak mencurigakan...?" bisik Kenanga yang

mulai tidak sabar. Setelah cukup jauh berjalan, 
orang tua itu masih terus saja melangkah.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Mungkin yang akan 
dibicarakannya memang sangat penting dan 
rahasia. Sehingga, memilih tempat yang aman dan 
tidak diketahui orang...," sahut Panji tenang, tanpa 
rasa curiga sedikit pun.
Tidak berapa lama kemudian, mereka 
menyeberangi sebuah sungai yang cukup deras. 
Lelaki separuh baya bertubuh kurus itu telah 
berada 65 seberang, dan tengah duduk di sebuah 
batu di tepi sungai.
"Berjalanlah ke sebelah kiri kira-kira enam 
tombak Di sana kalian akan menemukan sebuah 
jembatan dari batang pohon kelapa...!" seru lelaki 
tua itu.
Tanpa banyak bicara lacp, Panji dan Kenanga 
segera mengikuti petunjuk yang diberikan lelaki tua 
itu. Benar saja. Sekitar enam tombak dari tempat 
semula, terdapat sebuah jembatan dari batang 
pohon kelapa. Keduanya bergegas menyeberang.
Lelaki tua bertubuh kurus memandangi cara 
pasangan muda itu menyeberang. Meskipun tidak 
terlalu cepat namun mereka tidak mengalamai 
kesulitan. Bahkan, kelihatan seperti tengah berjalan 
di atas tanah datar saja.
"Hm.... Sudah kuduga. Pasangan muda itu pasti 
merupakan kaum rimba persilatan. Dari cara 
mereka menyeberang, kelihatan ilmu meringankan 
tubuhnya sudah cukup tinggi...," gumam lelaki 
kurus itu. Ada sinar kekaguman di matanya melihat

cara pasangan muda itu menyeberang.
"Bagaimana, Orang Tua? Apakah tempat ini 
sudah cukup aman dari orang-orang yang kau 
khawatirkan...?" tanya Panji langsung, begitu tiba 
di depan orang tua itu.
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sabar, Kisa-
nak...?" senyum tipis di bibir lelaki tua itu terukir. 
Dia bergerak bangkit menyambut kedatangan 
pasangan muda itu.
"Bukan aku tidak sabar, Orang Tua. Tapi aku 
merasa heran. Semula aku menganggap persoalan 
yang menimpa penduduk Desa Palasari merupakan 
hal sepele. Tapi melihat kau sangat berhati-hati 
membicarakannya, aku mulai berpikir lain. Mungkin 
apa yang akan kau ceritakan pada kami sangat 
berbahaya," tukas Panji tenang.
"Hm.... Apa sebenarnya yang ingin kalian 
ketahui...?" tanya lelaki tua itu yang kembali duduk 
di atas sebuah batu. Sikapnya seperti orang yang 
tidak tahu maksud pasangan muda itu. "Hm...."
Kenanga kelihatan sangat tersinggung karena 
merasa dipermainkan. Ingin rasanya menempeleng 
pipi lelaki tua itu. Tapi niatnya terpaksa dibatalkan
karena Panji keburu mencegahnya. Dan 
mengambil aHh persoalan.
'Terlebih dulu, silakan perkenalkan nama 
kalian...," ujar lelaki kurus itu saat melihat Panji 
hendak berbicara.
"Baiklah...," ucap pemuda tampan itu masih 
tetap tenang dan sabar. "Namaku Panji. Sedangkan 
gadis ini tunanganku. Namanya Kenanga."

"Hm.... Panji dan Kenanga. Nama yang bagus 
dan gagah," puji lelaki kurus itu perlahan. 
Kemudian, menoleh dan mengulurkan telapak 
tangannya ke arah Panji.
"Apa ini..?" tanya Panji meminta ketegasan atas 
sikap orang tua itu.
"Kalian hendak mencari keterangan dariku, 
bukan?" tegas lelaki tua itu Keningnya berkerut 
saat mendengar pertanyaan Panji yang 
dianggapnya pertanyaan bodoh.
"Hm.... Maksudmu kau ingin meminta imbalan 
atas jawaban-jawaban yang akan kau berikan 
kepada kami...?" tanpa Panji menegasi.
"Tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di atas 
dunia ini, Anak Muda. Kau memerlukan keterangan, 
aku memerlukan uang. Adil, bukan?" jelas lelaki 
kurus itu sambil memperlihatkan senyum liciknya.
Ucapan orang tua itu membuat Panji tertegun. 
Setelah bersusah-payah mengikuti langkahnya, 
ternyata mereka hanya dipermainkan. Pemuda itu 
menghela napas panjang menahan kejengkelan 
hatinya.
Tapi tidak dengan Kenanga. Begitu mendengar 
ucapan lelaki kurus itu, dia langsung saja bangkit 
Dan tahu-tahu, tangan kanannya telah 
mencengkeram leher baju lelaki tua itu.
"Kurang ajar! Kau pikir siapa kami sehingga bisa 
kau permainkan seperti ini?!" geram dara jelita itu 
Tubuh kurus itu kemudian dilemparkan ke tanah 
berumput
"Hei...?!"

Kaget bukan main lelaki tua bertubuh kurus itu. 
Sungguh tak disangkanya kalau gadis jelita yang 
kelihatan lemah lembut itu, ternyata mampu 
melemparkan tubuhnya. Padahal dia sendiri bukan 
orang lemah. Meski tak terlalu lihai, tapi soal ilmu 
silat sedikit-sedikit dikuasainya. Kemarahannya pun 
bangkit Tampaknya, dia belum yakin kalau gadis 
jelita itu yang telah melemparkannya barusan.
"Hm.... Jangan kira aku dapat kau paksa. Gadis 
Liar! Aku Ki Sola, pantang dihina orang! Apalagi 
oleh seorang gadis!" geram lelaki tua bertubuh 
kurus itu seraya memperlihatkan jurusnya. Siap 
untuk menyerang Kenanga.
Melihat gelagat yang tak menyenangkan itu, 
Panji segera menengahi. Pemuda itu berpaling ke 
arah kekasihnya, dan membujuk dara jelita itu agar 
menahan kemarahannya.
"Ki Sola," ujar Panji setelah dapat membujuk 
kekasihnya. "Kami akan membayar jika keterangan 
yang kau berikan benar. Tapi ingat! Kalau ternyata 
keteranganmu bohong, aku akan memberikan 
pelajaran padamu...."
Ancaman pemuda itu membuat hati Ki Sola 
bergetar. Apalagi, sinar mata pemuda itu demikian 
tajam. Hingga dadanya berdebar keras.
"Baik..., baik...," sahut lelaki tua itu mendadak 
gugup.
"Nah, duduklah. Lalu jelaskan kepada kami apa-
apa yang kau ketahui...," ujar Panji.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sola melangkah dan 
duduk di sebelah pemuda tampan berjubah putih

itu.
---ooo0myr0ooo---
"Sebenarnya peristiwa itu bukan baru kali ini 
terjadi. Sudah ada empat keluarga yang menjadi 
korban, sebelum yang kalian saksikan tadi. Mereka 
bukan perampok, karena tak satu pun harta yang 
diambil dari rumah korban. Yang lebih aneh adalah 
cara korban-korban itu menemui ajalnya. Pada 
bagian dahi mereka terdapat tanda tiga jari, yang 
langsung menembus batok kepala!"
Ki Sola menghentikan ceritanya, seperti hendak 
melihat tanggapan Panji dan Kenanga. Tapi, kedua 
erang muda itu tidak memperlihatkan sikap kaget 
atau ngeri Ki Sola menjadi heran.
"Apakah keteranganmu hanya sekian...?" tanya 
Panji. Setelah menunggu beberapa saat, orang tua 
itu belum juga melanjutkan ceritanya.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui, Panji...?" tanya 
Ki Sola yang rupanya sudah kehabisan cerita.
"Mengenai pembunuh itu. Apa sudah ada orang 
yang pernah memergokinya?" tanya Panji seraya 
menatap wajah orang tua itu lekat-lekat
"Aku sendiri belum pernah bertemu atau 
melihatnya...," sahut Ki Sola seraya mengalihkan 
pandang ke tempat lain. Lelaki tua itu merasa ngeri 
menentang pandang mata Panji yang demikian 
tajam bagaikan mengiris-iris jantung.
"Bagaimana dengan orang lain? Dan, apakah 
pembunuhan itu hanya terjadi pada malam hari 
saja?" desak Panji. Pemuda itu mulai dapat

menebak, Ki Sola hanya mendengar dari orang lain 
dan tidak mengetahui secara pasti kejadian yang 
sebenarnya.
"Menurutku, belum ada orang yang memergoki 
pembunuh itu. Sedangkan kejadiannya memang 
selalu malam hari. Itu pun tidak setiap malam...," 
jelas Ki Sola tak berani mengangkat wajah. 
Rupanya, ia telah salah menilai orang. Semula ia 
hendak memeras pasangan muda itu dengan 
keterangan-keterangan palsu. Kini keadaan 
berbalik, dirinya yang tunduk dan takluk kepada 
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Tidak adakah orang-orang yang patut 
dicurigai di desa itu...?" tanya Panji, berusaha 
memancing pendapat Ki Sola mengenai pelaku 
pembunuhan.
"Rasanya tidak. Kalaupun ada, kepala desa kami 
pasti telah menyelidikinya dengan cermat Tapi, 
sampai saat ini belum nampak tanda-tanda siapa 
pembunuh keji itu...."
"Terima kasih, Ki Sola. Keteranganmu rasanya 
sudah cukup. Nah! Terimalah hadiahmu...," ujar 
Panji sambil memberikan lima keping uang ke-
pada lelaki tua itu, yang langsung menerimanya 
dengan wajah cerah.
"Terima kasih...," ucap Ki Sola. Kemudian 
menyimpan uang itu ke dalam kantung di 
pinggangnya.
"Kami pergi dulu...," pamit Panji segera 
mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
Kali ini Panji tidak menggunakan jempatan

batang pohon kelapa untuk menyeberangi sungai. 
Tubuhnya langsung melayang di atas air. Pada saat 
meluncur turun, kakinya menotol permukaan air 
hingga kembali melayang. Kemudian menjejakkan 
kakinya di seberang sungai.
Lain lagi yang dilakukan Kenanga. Dara jelita itu 
membawa dua batang ranting. Tubuhnya 
melompat ke tengah sungai Pada saat meluncur 
turun, kayu di tangannya dilemparkan dan 
digunakan gadis itu sebagai landasan berpijak. 
Tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau itu 
kembali melayang dan menjejakkan kakinya di 
dekat Panji.
"Gila...?! Setankah mereka...? Atau seorang 
dewa dan dewi...?!" desis Ki Sola sangat kaget 
menyaksikan perbuatan pasangan muda itu 
Mulutnya menganga lebar. Dan, matanya terbelalak 
bagai melihat hantu di siang hari.
Panji serta Kenanga memang sengaja 
menunjukkan kehebatan ilmu meringankan 
tubuhnya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi 
pelajaran pada Ki Sola, agar lain kati tidak 
meremehkan orang yang baru dikenalnya.
Tanpa mempedulikan keheranan lelaki kurus itu,
mereka meninggalkan tepi sungai. Sebentar 
kemudian, tubuh keduanya lenyap dari pandangan 
Ki Sola.
"Aaa...!"
Mendengar jerit kematian Ki Sola, Panji dan 
Kenanga menahan langkah. Mereka tampak sangat 
terkejut Sungguh tak pernah disangka kalau di

tempat itu ada orang jahat yang tengah mengincar 
Ki Sola.
"Hm.„. Jangan-jangan ini permainan saja, 
Kakang," ujar Kenanga ragu.
"Kita lihat saja dulu. Jika benar ini hanya 
permainan Ki Sola, tidak ada sulitnya meninggalkan 
lelaki tua itu," bantah Panji yang merasa berat 
meninggalkan Ki Sola setelah mendengar jerit 
kema-tian lelaki tua itu.
Kenanga terpaksa mengalah. Mereka segera 
kembali ke tempat Ki Sola. Dan, yang mereka 
temukan benar-benar sesuatu yang mengejutkan. 
Tubuh Ki Sola terbujur tewas dengan dahi 
berlubang.
"Kurang ajar! Pembunuh itu rupanya telah 
mengetahui kedatangan kita...," desis Panji setelah 
melihat cara kematian Ki Sola yang sama dengan 
korban-korban pembunuhan di Desa Palasari.
"Kita kejar saja, Kakang...," usul Kenanga 
sangat penasaran melihat pembunuh keji itu
"Percuma. Pembunuh itu pasti telah lari jauh. 
Sebaiknya kita kembali ke desa," ajak Panji. 
Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun 
menyusul. Sebentar saja, tubuh pasangan 
pendekar muda itu segera lenyap ditelan rimbunan 
pohon.
---ooo0myr0ooo

TIGA

Rombongan penduduk Desa Palasari yang 
berjumlah cukup besar, bergerak melintasi jalan 
utama desa. Paling depan tampak seorang lelaki 
gagah berusia sekitar lima puluh tahun Wajahnya 
agak pucat dengan sepasang mata merah, 
pertanda kurang tidur. Lelaki itu jadi terlihat lebih 
tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Dia adalah 
Ki Kaligandi, Kepala Desa Palasari.
Lelaki tua bertubuh gagah itu dikawal oleh dua 
orang lelaki berbadan tegap. Yang seorang 
berkumis lebat, sedangkan yang satu berhidung 
besar. Keduanya tampak gagah, meskipun wajah 
mereka kelihatan agak pucat
Di belakang ketiga lelaki Sesepuh Desa Palasari 
itu terlihat empat buah keranda yang dipikul enam 
belas orang. Mereka sedang menuju pekuburan 
tempat pemakaman sanak keluarganya.
Saat itu matahari sudah naik agak tinggi. 
Sinarnya yang kuning keemasan menerobos 
dedaunan dan menerangi tanah di bawahnya. 
Untung udara tidak terlalu panas. Sehingga, 
mereka tidak epat lelah menempuh perjalanan 
yang cukup sulit itu. Menjelang setengah 
perjalanan, para pemikul keranda diganti. Hal itu 
memungkinkan, karena jumlah mereka sekitar lima 
puluh orang, dan kebanyakan laki-laki. Yang 
wanitanya bisa dihitung dengan jari tangan.
Saat matahari sudah semakin tinggi, rombongan 
itu pun tiba di daerah pekuburan. Hembusan angin

terasa agak keras. Tempat itu memang merupakan 
tanah lapang yang sangat luas. Itu salah satu 
penyebab, mengapa daerah itu dibuat untuk tanah 
pemakaman.
"Hm.... Ke mana Lajang dan Ki Jasman...?" 
gumam Ki Kaligandi heran ketika melihat kedua 
penjaga pemakaman tidak muncul menyambut 
mereka. "Bukankah mereka yang bertugas 
menjagai tanah pemakaman ini..?"
"Benar, Ki," sahut lelaki berhidung besar yang
berdiri di sebelah kiri Ki Kaligandi. "Mungkin 
mereka masih tertidur dalam pos...."
"Hm.... Coba kalian lihat. Apa benar mereka
masih tertidur sesiang ini...?" perintah Ki Kaligandi 
kepada dua pembantu utamanya. Kepala desa itu! 
merasa ada sesuatu yang meresahkan hatinya.
"Baik, Ki!" sahut mereka seraya melangkahi 
pergi.
Ki Kaligandi menghentikan rombongan. Dan, 
menyuruh mereka beristirahat sejenak sambil 
menunggu kedua pembantu utama kepala desa itu.
Saat Ki Kaligandi baru saja duduk di bawah
sebatang pohon rindang, tiba-tiba terdengar 
teriakan kaget. Cepat lelaki itu bangkit dan 
memandang heran dua orang pembantu utamanya 
yanag berlarian menghampirinya.
"Ada apa...? Apa yang terjadi...?!" tegur Ki 
Kaligandi. Keningnya berkerut melihat wajah kedua 
orang pembantunya sangat pucat
Kedua lelaki tegap itu tidak bisa menjawab 
pertanyaan kepala desanya. Napas mereka sedang


memburu, sehingga sulit memberikan jawaban.
"Ada apa, Bagola?" tanya Ki Kaligandi setengah 
membentak. Lelaki itu sudah tidak sabar ingin 
segera mengetahui apa yang dilihat kedua 
pembantunya.
Bagola, lelaki tegap berhidung besar terpaksa 
mengangkat kepala. Tampak jelas dia terkejut 
mendengar bentakan kepala desanya.
"Lajang..., dan Ki Jasman..., telah tewas dengan 
leher putus! Kepala mereka..., hilang entah ke 
mana...," lapor Bagola dengan napas memburu. 
Kendati demikian, ucapan itu tertangkap jelas oleh 
Ki Kaligandi
"Apa kalian tidak salah lihat..?" Ki Kaligandi 
mencoba menegasi. Mungkin saja kedua pembantu 
utamanya itu salah melihat karena terlalu terburu-
buru.
"Kami yakin, Ki...," tegas Bagola tanpa keraguan 
sedikit pun. Bahkan, berani menentang pandang 
mata lelaki tua itu untuk meyakinkannya.
"Hm.... Ayo ikut aku...!" ajak Ki Kaligandi 
melihat mayat-mayat yang telah mereka temukan.
Kepala Desa Palasari itu tampaknya belum yakin 
dengan laporan kedua pembantunya. Ki Kaligandi 
melangkah perlahan dengan jari-jari siap di hulu 
pedang, siap menghadapi segala kemungkinan 
yang terjadi.
"Itu mayat mereka, Ki...!" seru Bagola. Jari 
telunjuknya diarahkan pada dua sosok mayat yang 
terbujur kaku tanpa kepala. Mayat Lajang dan Ki 
Jasman, yang bertugas menjaga tanah pekuburan.

"Iblis keji...!" geram Ki Kaligandi ketika melihat 
dua anak buahnya yang tewas tanpa kepala. 
Kelihatan sekali orang tua itu sangat terguncang. 
Peristiwa yang satu belum terungkap, kini jatuh 
korban lagi yang keadaannya jauh lebih 
mengerikan dari mayat-mayat yang mereka bawa. 
Penemuan dua mayat itu membuat kepalanya 
semakin pening.
Mendadak terdengar teriakan-teriakan ketakutan 
dan suara dentang senjata. Ki Kaligandi dan kedua 
orang pembantunya tersentak kaget
"Kurang ajar! Siapa lagi yang membuat 
kekacauan itu?!" geram Ki Kaligandi marah bukan 
main. Cepat tubuhnya melayang dengan pedang 
terhunus. Dan, langsung menceburkan diri dalam 
kancah pertempuran.
Bagola dan lelaki tegap berkumis lebat tidak 
mau ketinggalan. Keduanya segera menghunus 
senjata dan membantu kawan-kawannya 
menggempur lawan.
Ki Kaligandi dan kedua pembantunya kelihatan 
sangat terkejut Orang yang menyerang rombongan 
mereka berdandan sangat aneh. Warna wajah-
wajah mereka berbeda-beda. Mereka jelas bukan 
perampok-perampok biasa.
"Aaa...!"
Dua orang anggota rombongan tersungkur 
tewas dengan tubuh bermandikan darah. Terkena 
sambaran senjata lawan yang berupa golok besar 
bergerigi. Keadaan jadi semakin kacau. Warga desa 
yang tidak memiliki kepandaian silat, berlarian kian

kemari sambil berteriak-teriak ketakutan
"Bagola, Dinta! Lindungi para penduduk itu!" 
teriak Ki Kaligandi yang tengah menghadapi dua 
orang berwajah merah.
Bettt, bettt!
Kesempatan itu segera digunakan lawan untuk 
menerjang maju. Untunglah Kepala Desa Palasari 
itu cukup tangguh dan gesit Sehingga berhasil lolos 
dari sambaran golok lawan. "Yeaaah...!"
Ki Kaligandi yang terkejut melihat kelihaian wan 
memekik keras, sambil melancarkan serangkaian 
serangan maut yang berdesing tajam.
Namun, kedua lawannya yang berwajah merah 
memang benar-benar tangguh. Serangkaian 
serangan yang dilancarkan Ki Kaligandi dapat 
mereka hadapi dengan baik. Bahkan, mampu 
melepaskan serangan balasan yang sangat cepat 
dan berbahaya.
"Kurang ajar! Orang-orang gila dari mana 
mereka ini? Mengapa memusuhi warga desaku...?" 
desis Ki Kaligandi seraya memutar senjatanya 
untuk melindungi tubuh dari hujan serangan lawan.
Pertempuran tampak semakin hebat, saat Ki 
Kaligandi mengerahkan seluruh kemampuannya. 
Lelaki tua itu ingin segera merobohkan lawan. 
Karena masih banyak orang yang harus 
diselamatkan dari keganasan gerombolan aneh itu.
Sementara itu, Bagola dan Dinta menemui 
lawan yang seimbang! Sehingga, tidak mempunyai 
kesempatan membantu kawan-kawannya. Mereka 
sendiri pun harus mempertahankan nyawanya

dengan sekuat tenaga.
Di saat warga Desa Palasari sudah tidak 
mempunyai harapan lagi, tiba-tiba melayang dua 
sosok bayangan putih dan hijau. Kedua sosok itu 
langsung menerjunkan diri ke dalam kancah 
pertarungan. "Hiaaat..!"
Sosok tubuh langsing terbungkus pakaian serba 
hijau, langsung mengibaskan pedang bersinar putih 
keperakan yang memancarkan hawa dingin. Sekali 
bergerak, pedang di tangannya menewaskan 
seorang lawan dengan usus terburai!
Lain lagi dengan sosok bertubuh sedang yang 
terbungkus jubah putih. Sosok yang ternyata 
seorang pemuda tampan itu membagi-bagi pukulan 
dan tendangannya ke arah empat orang lawan 
yang berada di dekatnya. Hebat dan benar-benar 
mengagumkan sepak terjangnya. Dalam waktu 
singkat, keempat pengeroyoknya dapat dirobohkan 
hanya dengan tangan kosong.
Melihat ada bala bantuan, Ki Kaligandi dan 
kedua pembantunya jadi tambah bersemangat 
Sehingga, kepala desa itu dapat merobohkan 
seorang lawan dengan sabetan pedangnya.
Keadaan pun berbalik secara mengejutkan. 
Gerombolan orang-orang aneh berwajah merah 
menjadi terdesak. Jumlah mereka berkurang 
separuh setelah munculnya dua sosok tubuh 
berkepandaian hebat itu Salah seorang anggota 
gerombolan segera berteriak memerintahkan 
kawan-kawannya mundur. Jumlah mereka yang 
tinggal sepuluh orang, bergerak mundur sambil

melindungi tubuh dengan golok besarnya.
"Heaaat..!"
Pemuda tampan berjubah putih rupanya tidak 
ingin membiarkan gerombolan itu melarikan diri. 
Dengan sebuah lesatan panjang, pemuda itu 
mengejar lawan-lawannya. Kaki dan tangannya 
bergerak cepat menerbitkan hawa dingin menusuk 
tulang Lawan-lawannya pun menjadi semakin 
gentar.
Plakkk! Bukkk!
Dua orang gerombolan berwajah merah 
tersungkur mencium tanah. Mereka tewas dengan 
kepala retak, serta dada remuk oleh tendangan dan 
tamparan keras pemuda tampan itu.
"Hiaaat..!"
Tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi. Disusul 
munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus 
pakaian merah. Wajahnya ditutupi cadar merah, 
seperti halnya gerombolan liar itu. Begitu tiba, 
serangkaian serangan kilat dilancarkan ke arah 
pemuda tampan berjubah putih, yang telah 
memporak-po-randakan gerombolan liar itu.
Bak! Plak!
Terdengar benturan keras yang menulikan 
telinga sebanyak dua kali. Tubuh ramping 
terbungkus pakaian serba merah tersentak ke 
belakang. Namun dengan sebuah putaran yang 
indah, tubuhnya melambung ke udara dan 
meluncur turun.
Pemuda tampan berjubah putih terlihat 
mengerutkan kening dengan wajah heran. Pemuda

itu mencium bau asap pendupaan. Dugaannya, bau 
itu berasal dari sosok tubuh ramping berpakaian 
serba merah, yang barusan memapak! 
serangannya.
Sosok ramping berpakaian serba merah, yang 
sebagian wajahnya tertutup cadar dengan warna 
sama, menatap sosok pemuda tampan berjubah 
putih penuh selidik. Kemudian, berbalik dan 
memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk 
segera pergi dari tempat itu. Agaknya, sosok 
ramping berpakaian serba merah merupakan 
pimpinan gerombolan liar itu. "Berhenti...!"
Melihat gerombolan berwajah merah hendak 
melarikan diri, pemuda berjubah putih melesat 
melakukan pengejaran. Tubuhnya melayang bagai 
seekor burung besar. Sosok berpakaian merah 
yang dari bentuk tubuhnya adalah seorang wanita, 
bergegas mempersiapkan jurusnya untuk 
mencegah.
"Biarkan mereka pergi...!" desis wanita itu 
seraya melepaskan sebuah pukulan lurus ke depan 
menyambut datangnya tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji, 
membentak perlahan. Tangan kirinya dikibaskan ke 
samping dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan'.
Namun, wanita berpakaian serba merah itu
rupanya cukup gesit Merasa kekuatannya di bawah 
lawan, maka arah pukulannya segera diubah. Kali 
ini dengan bacokan sisi telapak tangan yang

mengincar iga lawan.
Dukkk!
Gerakan tangan Pendekar Naga Putih ternyata 
tidak kalah cepat dengan pembahan gerak wanita 
itu. Bacokan sisi telapak tangan lawan dapat dipa-
paki dengan lengan kirinya. Benturan pun tak 
dapat dihindari lagi! "Aaah...!"
Wanita berpakaian serba merah itu mengeluh 
tertahan. Tubuhnya terdorong mundur beberapa 
langkah. Tenaga dalamnya memang kalah kuat
oleh lawan.
Srattt..!
Mendadak wanita berpakaian serba merah itu 
mencabut sebatang pedang yang berbentuk 
melengkung. Sinar kemerahan berpendar 
menyebarkan bau harum memabukkan. Jelas, 
senjata itu telah dilumuri racun mematikan!
"Nisanak! Siapa kau sebenarnya? Mengapa 
memusuhi penduduk Desa Palasari...?" tanya Panji 
yang bergerak mundur setelah mengetahui senjata 
lawan mengandung racun ganas. Pemuda itu 
menatap tajam, seolah hendak menembus cadar 
merah yang menutup sebagian wajah lawannya.
"Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku dan 
tujuanku, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya, 
tinggalkan desa ini. Lanjutkan perjalananmu tanpa 
harus mengganggu kami...!" tukas wanita bercadar 
merah seraya menentang pandang mata Panji 
dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, terlihat ada 
kilatan aneh pada sepasang mata yang 
sekelilingnya dilingkari garis hitam. Persis mata

mayat
"Hm.... Pancaran mata wanita berpakaian serba 
merah itu mengandung kekuatan sihir...," gumam 
Panji.
Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan 
batinnya, agar tidak terpengaruh ilmu sihir lawan 
yang disalurkan melalui pandang mata. Untung 
tenaga dalamnya lebih tinggi dari wanita bercadar 
merah. Kalau tidak sudah pasti dirinya akan 
terkena pengaruh sihir lawan.
Wanita berpakaian merah sedikit terkejut ketika 
merasakan betapa kuat pengaruh yang terpancar 
dari sepasang mata pemuda tampan itu. Sadarlah 
ia bahwa Pendekar Naga Putih tidak termakan 
tatapan sihirnya.
"Hmhhh...,"
Kesadaran itu membuat wanita bercadar merah 
ini geram. Pedang di tangannya bergerak 
menyilang menimbulkan suara mengaung tajam. 
Dan....
"Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh wanita 
bercadar merah melesat ke depan dengan 
sambaran sinar merah yang berasal dari badan 
pedang-
Bettt..!
Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya 
tiga langkah. Kemudian menggeser ke samping, 
menghindari serangan susulan lawan. Pemuda itu 
menahan napas saat ujung pedang lawan lewat di 
depan tubuhnya. Hawa beracun yang keluar dari

badan pedang itu bisa membuat kepalanya pe-
ning.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Panji melepaskan 
pukulan ke samping yang mengarah iga lawan. 
Bukkk! 
"Ukhhh...!"
Wanita bercadar merah tidak sempat 
menghindar. Hantaman pada iganya membuat 
tubuhnya terhuyung ke belakang. Jelas, pukulan 
keras itu telah membuat dadanya sesak.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Tunggulah 
pembalasanku...!" desis wanita bercadar merah itu.
Setelah berkata demikian, tangannya dipukulkan 
ke bawah tubuhnya. Dan.... 
Bsss...!
Seketika itu juga, asap berwarna merah muncul 
menutupi sekujur tubuhnya.
"Celaka! Asap beracun! Cepat menyingkir...!”
teriak Panji pada Ki Kaligandi dan yang lainnya! 
Pemuda itu sendiri melepaskan pukulan jarak jauh 
dengan kedua tangannya. Maksudnya hendak 
mengusir asap beracun itu.
Whusss...!
Seketika itu juga, asap merah yang berbau 
harum itu buyar oleh pukulan jarak jauh Pendekar 
Naga Putih. Namun, sosok wanita berpakaian serba 
merah itu telah lenyap tanpa bekas.
"Kenanga! Lindungi mereka! Aku akan mencoba 
mengejar orang-orang itu...!" seru Panji.
Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya,

Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah 
tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan. 
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, tubuhnya 
mele-laksana terbang. Kedua kakinya tidak 
menjejak mi Sekilas pandang, pemuda tampan 
berjubah putih itu seperti tengah melayang di atas 
tanah.
Tapi, sosok wanita bercadar merah maupun 
gerombolan liar itu, tidak dapat ditemukan. Mereka 
lenyap ditelan bumi. 
"Hm.... Tidak mungkin mereka hilang begitu 
saja? Menurutku mereka pasti belum lari jauh...," 
gumam Panji seraya menghentikan larinya sesaat, 
dan berdiri tegak memperhatikan sekelilingnya 
yang semakin rapat ditumbuhi pepohonan. 
Kemudian, melesat mengelilingi sekitar daerah itu. 
Tapi, orang-orang yang dicarinya tidak nampak 
batang hidungnya, akhimya, Panji memutuskan 
kembali ke rombongan Ki Kaligandi.
"Bagaimana, Kakang...?" Kenanga langsung 
nenyambut kedatangan kekasihnya dengan 
pertanyaan.
Panji menggeleng lemah. Gadis jelita itu segera
tahu arti gelengan itu. Kemudian, mereka 
melangkah mendekati Ki Kaligandi dan rombongan
yang sudah berkumpul kembali.
---ooo0myr0ooo---
EMPAT


"Siapa orang-orang aneh itu, Ki...?" tanya Panji 
begitu ia dan Kenanga tiba di hadapan Ki Kaligandi,

yang menyongsong kedatangan pasangan 
pendekar muda itu dengan sikap hormat
"Aku tidak tahu pasti, Anak Muda. Tapi, aku 
akan menceritakan sesuatu yang mungkin ada 
hubungannya dengan gerombolan orang- orang 
seram itu Sebelum itu, sebaiknya kita kuburkan 
dulu mayat-mayat ini...," ujar Ki Kaligandi
Panji langsung menyetujui usul Kepala Desa 
Palasari itu. Pasangan pendekar muda itu 
membantu mengobati penduduk yang terluka. Dan, 
mengantar Ki Kaligandi serta rombongannya ke 
pekuburan.
"Mari singgah ke tempat tinggalku, Panji...."
Ki Kaligandi mengajak Panji dan Kenanga, 
setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat
ttu Rupanya, mereka telah saling mengenalkan diri. 
Panji merasa lebih enak jika di antara mereka 
saling menyebut nama. Ucapan itu menurutnya 
terdengar lebih akrab.
"Baiklah, Ki. Kami merasa tertarik dengan 
kejadian yang menimpa Desa Palasari. Mudah-
mudahan kami dapat membantu meringankan 
beban di pundakmu..." sahut Panji menerima 
ajakan Kepala Desa Palasari karena ingin 
membongkar misteri pembunuhan di desa itu.
Tanpa banyak cakap lagi, rombongan itu pun 
bergerak meninggalkan tanah pekuburan yang 
kembali lengang Mereka tiba di Desa Palasari saat 
hari menjelang senja.
Ki Kaligandi langsung membawa Panji dan 
Kenanga ke tempat tinggalnya. Lelaki tua itu

memang sangat mengharapkan bantuan pasangan 
muda itu, yang diduganya pendekar penegak 
keadilan. Ia merasa yakin Panji dan Kenanga dapat 
membantunya menyelesaikan masalah ini. Apalagi, 
ia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri 
kehebatan pasangan pendekar muda itu.
"Beberapa belas tahun yang lalu, semasa 
ayahku menjabat Kepala Desa Palasari, peristiwa 
ini pernah terjadi Kemudian mereka lenyap begitu 
saja, setelah menimbulkan korban yang tidak 
sedikit termasuk ayahku. Kabarnya, kejahatan 
Gerombolan Setan Merah itu telah berpindah ke 
desa lain. Lalu, aku mengajak penduduk untuk 
membangun desa yang telah hancur ini Tapi siapa 
sangka sekarang mereka muncul kembali, dan 
menyebarkan bencana di desa ini. Rasanya aku 
sudah tidak sanggup lagi menanggulangi mereka. 
Kalau tadi kalian tidak cepat muncul, mungkin kami 
semua sudah tidak bernyawa lagi...," jelas Ki 
Kaligandi Saat itu mereka bertiga sedang duduk di 
ruang tengah kediaman kepala desa itu.
"Apakah tidak ada orang-orang gagah yang 
mengetahui dan mengulurkan tangan untuk 
membasmi Gerombolan Setan Merah?" tanya 
Kenanga.
'Tentu saja ada. Tapi, Gerombolan Setan Merah 
sangat kuat Selain itu, jumlah mereka tidak sedikit, 
dan rata-rata berkepandaian tinggi. Kita mem-. 
butuhkan banyak orang gagah untuk 
menghancurkan mereka...," sahut Ki Kaligandi
"Hm..„ Kira-kira apa tujuan mereka, Ki...?" tanya

Panji. Pemuda itu menduga ada tujuan 
tersembunyi dari gerombolan itu Kalau tidak, mana 
mungkin mereka melakukan kejahatan yang keji 
seperti itu.
"Aku sendiri tidak tahu jelas, Panji. Tapi, ayahku 
pernah bercerita bahwa Gerombolan Setan Merah 
merupakan penganut ilmu hitam yang mengerikan. 
Apa yang mereka lakukan selama ini adalah untuk 
memperdalam ilmu-ilmu yang mereka miliki. 
Bahkan, kabarnya mereka sanggup membangkitkan 
mayat-mayat dari dalam kubur...," jelas Ki 
Kaligandi yang terlihat agak ngeri sewaktu 
mengatakannya.
Tapi, tidak bagi Panji dan Kenanga. Sebagai 
pendekar-pendekar perantau, mereka tidak merasa 
aneh lagi dengan ilmu-ilmu golongan sesat 
Sehingga, ucapan Ki Kaligandi tidak membuat 
mereka terkejut Sebaliknya, Kepala Desa Palasari 
yang merasa heran melihat ketenangan dua 
tamunya.
"Kalian tidak terkejut mendengar ilmu-ilmu 
mengerikan Gerombolan Setan Merah...?" tanya Ki 
Kafigandi yang rupanya tidak bisa 
menyembunyikan keheranannya.
"Sebagai pengembara, kami telah sering 
mendengar ilmu-ilmu kaum sesat yang memang 
mengerikan. Jadi, ini bukan sesuatu yang baru bagi 
kami..," sahut Kenanga mewakili kekasihnya 
menjawab pertanyaan Kepala Desa Palasari.
Ki Kaligandi mengangguk-angguk mendengar 
jawaban itu. Melihat kepandaian pasangan

pendekar muda itu, Ki Kaligandi tidak 
menyangsikannya lagi. Tapi, lelaki tua itu tidak 
berani menanyakan julukan pasangan pendekar 
muda itu. Disimpannya dalam kepala untuk 
menunggu waktu yang tepat. Ia ragu jika 
menanyakannya saat itu. Panji dan Kenanga tidak 
akan memberikan jawaban yang memuaskan. 
Kepala desa itu tahu sifat orang-orang gagah yang 
berbudi tinggi. Mereka tidak suka menggembar-
gemborkan nama besarnya.
"Hm.... Apa kalian mempunyai rencana untuk 
memberantas mereka...?" tanya Ki Kaligandi 
setelah beberapa saat suasana hening.
"Untuk sementara ini rasanya kami belum 
mempunyai rencana apa-apa, Ki. Bagaimana 
denganmu? Apakah kau mempunyai gagasan?" 
tanya Panji balik bertanya.
"Entahlah, Panji. Rasanya aku sudah kehabisan 
cara untuk memberantas mereka...," sahut Ki 
Kaligandi dengan suara lemah. Terdengar helaan 
napas beratnya.
"Jangan putus asa, Ki. Biar bagaimanapun, 
kebathilan tidak akan abadi di muka bumi ini. 
Selalu saja ada orang yang akan meruntuhkan 
kejayaan mereka...," hibur Panji melihat lelaki tua 
itu kehi-ngan semangat untuk memberantas 
Gerombolan Setan Merah, yang membuat warga 
desa itu selalu dibayangi ketakutan.
"Yahhh.... Mudah-mudahan kalian berdualah 
orang yang akan meruntuhkan kejayaan 
Gerombolan Setan Merah...," desah Ki Kaligandi

disertai hembusan napas panjang.
"Kami pun berharap demikian, Ki. Dengan 
bekerja sama, mudah-mudahan kita dapat 
melenyapkan keganasan Gerombolan Setan 
Merah," sahut Panji tanpa sikap takabur sedikit 
pun.
"Kami berdua akan membantu sekuat tenaga” 
sambung Kenanga yang kelihatan sangat 
bersemangat untuk menghancurkan Gerombolan 
Setan Merah.
"Hhh.... Rasanya malam sudah semakin larut 
baiknya kalian beristirahat Tempat untuk kalian dah 
kusediakan...."
Setelah beberapa saat terdiam, Ki Kaligandi 
mempersilakan Panji dan Kenanga untuk 
beristirahat melepas lelah.
"Sebentar, Ki...," cegah Panji membuat Ki 
Kaligandi menahan gerakannya. Dan, menoleh ke 
arah pemuda tampan berjubah putih itu.
"Ada yang ingin kau tanyakan, Panji...?" tanya j 
orang tua itu kembali duduk dan menatap wajah 
tampan di depannya.
"Pada waktu kami tiba di desa ini, ada seorang 
lelaki tua bernama Ki Sola. Apakah Aki 
mengenalnya...?" tanya Panji ketika teringat lelaki 
tua yang memberi sedikit keterangan kepada 
mereka dengan imbalan uang.
"Hm.... Apa manusia pemalas yang licik itu 
mengganggu kalian?"
Dalam suara Ki Kaligandi tersirat kegeraman 
yang berusaha disembunyikan. Tapi, Panji dan

Kenanga menangkap nada kegeraman itu.
"Tidak. Bahkan, dia telah memberi beberapa 
keterangan tentang peristiwa yang terjadi di desa 
ini...," sahut Panji yang tentu tidak ingin 
mengadukan perbuatan Ki Sola.
"Lelaki tua itu tentu meminta imbalan atas 
jasanya yang tidak seberapa itu, bukan? Kalian 
tidak perlu segan-segan menceritakannya padaku. 
Aki sudah hafal dengan sifat Ki Sola. Mungkin saat 
in dia tengah mabuk-mabukan di kedai minum...,'
tukas Ki Kaligandi yang rupanya telah mengenal 
baik Ki Sola.
"Maksudnya memang demikian, Ki. Tapi, aku 
memberikannya dengan sukarela. Sayang dia 
keburu tewas sebelum sempat menikmati 
uangnya...," jelas Panji.
Wajah Ki Kaligandi agak berubah. Kelihatan 
sekali orang tua itu cukup terkejut mendengar 
kematian Ki Sola. Tapi, berusaha 
menyembunyikannya dari pandangan pasangan 
pendekar muda itu. Tapi, Panji tidak bisa dikelabui. 
Meskipun hanya sekilas, kekagetan sinar mata 
lelaki tua itu dapat ditangkapnya.
"Kau tidak ingin mengetahui, bagaimana dan 
mengapa Ki Sola tewas?" tanya Panji menegasi. 
Pemuda itu ingin mengetahui bagaimana 
tanggapan Ki Kaligandi atas kematian Ki Sola.
"Sebenarnya aku memang tidak suka 
dengannya. Tapi, apa kira-kira yang menyebabkan 
kemasannya...?" akhirnya Ki Kaligandi ingin 
mengetahui juga, meski kelihatan tidak sepenuh

hati.
"Cara kematian Ki Sola sama dengan korban-
korban pembunuhan di desa ini...," sahut Panji 
yang membuat wajah Ki Kaligandi kali ini agak 
pucat
"Maksudmu..., keningnya berlubang oleh tiga 
kuah jari...?!" tanya Ki Kaligandi menegasi. Lelaki 
itu menjadi tertarik mendengar cara kematian Ki
Sola.
"Tepat!" jawab Panji cepat
Panji kemudian menceritakan awal mula 
kejadian itu. Sehingga, Ki Kaligandi kelihatan agak 
termenung setelah mendengar penuturan Panji.
"Hm.... Benar-benar lihai pembunuh itu. 
Menurutku, dia pasti salah seorang pentolan 
Gerombolan Setan Merah. Kalau tidak, mana 
mungkin pembunuh itu tidak terkejar olehmu...," 
ujar Ki Kaligandi.
"Tidak seluruhnya betul, Ki. Kelihaian pembunuh 
itu memang harus kuakui. Satu hal yang 
membuatku masih belum mengerti. Setiap anggota 
Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu lari cepat 
atau sejenis ilmu melenyapkan diri yang sangat 
hebat Sewaktu aku mengejar Gerombolan Setan
Merah yang menyerang rombonganmu, aku 
kehilangan jejak. Padahal, aku telah berusaha 
dengan seluruh kemampuanku. Nyatanya aku tidak 
berhasil menyusul mereka. Bahkan, jejaknya pun 
tidak kutemukan. Entah ilmu apa yang mereka 
pergunakan....," jelas Panji yang rupanya masih 
memikirkan kejadian siang tadi. Dan, sampai saat

ini belum juga menemukan jawabannya.
"Itulah yang membuatku putus asa, Panji 
Mereka dapat lolos dari kejaran kita, meskipun di 
tempat terbuka. Aku pun pernah mengalaminya 
saat terjadi pembunuhan beberapa hari yang lalu. 
Buruanku lenyap tanpa jejak. Padahal, saat itu 
mereka tengah berlari di sebuah lapangan rumput 
luas. Bisa kau bayangkan, betapa penasaran 
hariku...."
Ki Kaligandi rupanya pernah mengalami hal 
serupa. Hanya saja tidak terlalu dipikirkannya. 
Lelaki tua itu tahu Gerombolan Setan Merah 
memang memiliki ilmu yang tinggi dan mengerikan. 
Mungkin itu sebabnya mengapa gerombolan itu 
mendapat julukan setan. Mereka memang dapat 
menghilang seperti setan!
"Aku akan menyelidiki masalah ini...," gumam 
Panji yang merasa penasaran terhadap gerombolan 
itu.
"Jangan terburu nafsu, Panji. Aku khawatir kau 
akan celaka."
Ki Kaligandi berusaha mengingatkan Panji. 
Kekhawatiran orang tua itu tulus dan benar-benar 
keluar dari hati yang bersih. Sehingga, Panji 
terharu mendengarnya.
'Terima kasih, Ki. Aku akan mengingat pesanmu 
baik-baik," ucap Panji seraya tersenyum.
Setelah memberi tahu kamar untuk Panji dan 
Kenanga, lelaki tua itu meninggalkan ruang tengah. 
Panji mengatakan malam ini akan meronda desa. 
Ki Kaligandi tidak bisa mencegah niat pemuda itu,

sebab akan sia-sia saja. Dengan menghela napas 
panjang, ditinggalkannya pasangan pendekar muda 
itu.
''Beristirahatlah, Kenanga. Nanti aku menyusul.
Malam ini aku ingin meronda desa. Siapa tahu 
mereka muncul untuk mencari korban...," ujar 
Panji, setelah tubuh Ki Kaligandi lenyap di balik 
pintu kamarnya.
"Biar aku menemanimu, Kakang. Rasanya aku 
belum mengantuk...," bantah Kenanga yang ingin 
menemani kekasihnya meronda desa malam itu.
"Hm.... Bukan aku tidak mempercayai 
kemampuanmu, Kenanga. Tapi, biarlah malam ini 
aku meronda sendiri. Besok baru kita lakukan 
bersama-sama. Bagaimana?"
"Kalau memang itu kemauan Kakang. Baiklah. 
Hati-hati. Musuh yang kita hadapi belum jelas...," 
pesan Kenanga dan bergegas memasuki kamar 
yang telah disediakan Ki Kaligandi.
Setelah tubuh Kenanga tidak terlihat lagi, Panji 
bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah 
keluar. Kegelapan malam langsung menyambut 
pandang mata Panji.
"Hendak ke mana, Tuan Pendekar...?" sapa
seorang penjaga, ketika melihat tamu kepala 
desanya melangkah ke halaman depan, tempat 
lelaki tegap itu berjaga bersama seorang 
kawannya.
"Hm.... Malam ini tampaknya cuaca sangat baik. 
Aku ingin berjalan-jalan sebentar sambil menikmati 
keindahan malam...," sahut Panji membalas

anggukan penjaga itu. Kemudian melanjutkan 
langkahnya menyusuri jalan utama desa. Setelah 
agak jauh dari kediaman Ki Kaligandi, tubuh 
pemuda itu langsung melesat dengan kecepatan 
tinggi. Kemudian melayang naik ke atas atap 
rumah penduduk, dan berlompatan dari satu atap 
ke atap lainnya.
Setibanya di batas desa, Panji menghentikan 
larinya. Pemuda itu berdiri di atas sebuah dataran 
yang agak tinggi. Dari tempat itu dipandangnya 
arah selatan Desa Palasari yang merupakan daerah 
pekuburan. Panji mencurigai daerah pekuburan itu.
Kecurigaan Panji bukan tidak beralasan. Pikiran 
itu timbul ketika teringat bau harum asap dupa 
yang berasal dari tubuh wanita bercadar merah. 
Bau itu mengingatkannya pada kematian. Dan, 
kematian membuat pikirannya melayang ke tanah 
pekuburan. Tapi, kecurigaan itu belum mempunyai 
bukti yang kuat Apalagi, Gerombolan Setan Merah 
melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan 
arah kuburan. Panji menemui jalan buntu.
Setelah puas memandang, Panji segera 
membalikkan tubuh. Kali ini dia berlari agak lambat 
menuju desa. Beberapa kali langkahnya berhenti di 
atas atap rumah penduduk dan memperhatikan 
sekeliling. Dan, kembali bergerak setelah 
memastikan tidak ada sesuatu yang dicurigai
"Hm.... Agaknya malam ini pembunuh itu tidak 
menunjukkan aksinya. Kalau memang ingin 
mencari korban, waktu tengah malam seperti ini 
sungguh tepat sekail Atau mungkin memang tidak


akan muncul, menunggu keadaan menjadi 
tenang...," gumam Panji seraya bergerak turun dari 
atap, dan melangkah perlahan menyusuri jalan 
utama desa yang lengang dan sunyi.
Tapi baru saja Panji ingin kembali ke tempat 
kediaman Ki Kaligandi, tiba-tiba telinganya 
menangkap sebuah jeritan panjang yang merobek 
kesunyian malam.
"itu jeritan orang yang melihat sesuatu yang 
sangat mengerikan...!" desis Panji.
Dan tanpa membuang waktu lagi, Pendekar 
Naga Putih langsung melesat ke arah suara jeritan 
itu. Bagaikan seberkas sinar putih yang melayang 
di atas tanah, tubuhnya meluncur pesat, 
mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kali ini, 
Pendekar Naga Putih tidak ingin kehilangan jejak 
pembunuh, yang diduganya tengah beraksi di salah 
satu rumah penduduk.
Ketika tiba di tempat itu, Panji melihat empat 
orang keamanan desa tengah bertarung dengan 
seorang lelaki kurus. Tubuhnya segera melayang 
ke tengah arena. Di tempat itu tampak dua sosok 
mayat keamanan desa terkapar berlumuran darah. 
Korban di pihak keamanan desa telah jatuh!
"Haiiit..!"
Panji memekik nyaring sambil melontarkan 
pukulan jarak jauh, ketika melihat seorang 
keamanan desa terancam maut' Pendekar Naga 
Putih berusaha menyelamatkan orang itu dengan 
melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lelaki 
bertubuh kurus.

Buggg!
"Aaarghhh...!"
Sosok bertubuh kurus memekik parau 
mendirikan bulu roma. Tubuhnya terpelanting ke 
kanan sejauh satu tombak, terkena pukulan Panji 
yang menghantam punggungnya. Keamanan desa 
itu pun selamat dari kematian.
'Panji..?!" seru para keamanan desa yang 
merasa lega melihat kemunculan pemuda itu 
Mereka telah mengetahui ketangguhan pemuda 
tampan berjubah pitih itu, sewaktu membantu 
mereka menghadapi Gerombolan Setan Merah.
"Apa yang telah dilakukannya...?" tanya Panji 
setelah membalas penghormatan keempat orang
keamanan desa itu.
"Orang itu belum melakukan sesuatu. Kami 
memergokinya saat ia hendak memasuki rumah 
itu...," sahut salah seorang keamanan desa seraya 
menunjuk sebuah rumah yang terletak empat 
tombak dari arena pertempuran.
"Hm...," Panji bergumam mendengar jawaban
itu.
Meskipun belum membunuh calon korbannya, 
namun lelaki kurus itu telah menewaskan dua 
orang keamanan desa. Itu sudah merupakan 
kejahatan yang tidak bisa diampuni.
"Hati-hati, Panji. Orang itu sangat kuat.
Beberapa bacokan kami ditepiskan dengan lengan 
telanjang...," kata seorang keamanan desa, 
mengingatkan pemuda tampan perjubah putih itu
"Maksudmu orang itu kebal terhadap senjata

tajam...?" tanya Panji menegasi.
"Kurasa begitu..," sahut lelaki bertubuh gemuk 
itu, terlihat agak ragu
"Heaaahk...!"
Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar 
teriakan parau lelaki bertubuh kurus. Cepat Panji 
berbalik menghadapi orang yang diduganya 
sebagai pelaku pembunuhan di desa itu.
"Hm.... Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, 
Manusia Jahat..!" desis Panji seraya bergerak maju 
dengan langkah menyilang. Pendekar Naga Putih 
agak berhati-hati menghalangi sosok bertubuh 
kurus. Pukulan jarak jauh yang dilancarkannya tadi, 
seperti tidak dirasakan lawan. Itu hanya 
mempunyai satu arti. Lawannya bukan tokoh 
sembarangan.
Lelaki bertubuh kurus seperti tak peduli dengan 
ucapan Panji. Dengan langkah berat, kakinya 
bergerak maju Sepasang tangannya terentang ke 
kiri dan kanan, seperti hendak mencekik leher 
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Majulah! Aku ingin lihat sampai di mana 
kekebalan tubuhmu...," ujar Panji, berusaha 
menegasi wajah lelaki kurus itu. Sayang, ia tidak 
dapat melihat dengan jelas. Lelaki kurus itu berdiri 
di bawah pohon lebat Sehingga, sosoknya tidak 
terkena sinar bulan yang redup.
---ooo0myr0ooo

LIMA


"Eaaakhhh...!"
Sosok bertubuh kurus membuka serangan 
dengan gerak yang kaku. Meski demikian, 
sambaran anginnya terasa sangat kuat Panji agak 
kaget juga. Selain lambat, ilmu silat lawan pun 
terlihat aneh dan tidak lumrah. Bahkan, tanpa 
pertahanan sedikit pun.
Bettt..!
Cengkeraman tangan kanan lelaki kurus itu 
meluncur ke arah kepala Panji. Dari angin pukulan 
yang ditumbulkannya, rasanya sambaran itu 
mampu menghancurkan sebongkah batu karang. 
Serangan itu sangat berbahaya.
"Haiiit..!"
Gerakan itu terlampau lambat bagi Panji. 
Tangan kirinya segera diangkat untuk memapaki 
dan mengukur kekuatan lawan. Sehingga....
Dukkk!
Panji tersentak ketika merasakan lengan yang 
dingin dan keras seperti besi. Untung ia tidak 
gegabah dan mengerahkan hampir separuh tenaga 
dalamnya. Kalau tidak, kuda-kudanya pasti akan 
tergempur.
"Heaaah...!"
Tangkisan itu masih disusul Panji dengan 
sebuah hantaman telapak tangan kanannya ke 
tubuh lawan.
Buggg!
Tanpa ampun lagi, tubuh kurus itu terjengkang 
ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Kendati

demikian, tidak sedikit pun terdengar keluhan dari 
mulut lawan. Bahkan begitu jatuh, lelaki kurus itu 
langsung bergerak bangkit Seolah pukulan telapak 
tangan Panji tidak berarti apa-apa baginya.
"Hebat..!" desis Panji kagum melihat lawan 
kembali siap bertarung. "Lelaki kurus ini memang 
memiliki ilmu kebal yang cukup tinggi. Untuk 
melumpuhkannya aku harus menggunakan tenaga 
yang lebih kuat..."
Panji mengerahkan hampir seluruh tenaga 
dalamnya. Sepasang tangannya berputaran di 
depan dada, hingga menerbitkan angin dingin 
menusuk tulang yang memenuhi arena 
pertarungan.
Lelaki kurus itu tampaknya mulai sadar akan 
ketangguhan Pendekar Naga Putih. Gerakannya 
segera diubah. Kali ini langkahnya agak cepat, 
meskipun masih tetap kaku Demikian pula dengan 
sepasang lengannya. Dengan tetap membentuk 
cakar, jari-jari tangan lelaki kurus itu digerakkan 
susul-menyusul dengan kecepatan yang cukup 
tinggi.
Bettt, bettt! .___
Panji berkelit ke kiri dan kanan dengan 
menggunakan kelincahan tubuhnya. Sehingga, 
serangan lawan selalu mengenai tempat kosong. 
Kemudian melontarkan serangan balasan dengan 
tenaga tinggi. Pertahanan lawan yang sangat 
lemah, membuat dua pukulan Panji telak bersarang 
di tubuh lelaki kurus itu.
"Hahhh?!"

Panji ternganga melihat tubuh lawan kembali 
bangkit Pukulan yang dilancarkannya tadi tidak 
dirasakan lawan. Padahal, pukulan itu sanggup 
membuat tokoh persilatan tangguh mengalami luka 
dalam yang parah. Tapi, lelaki kurus itu ternyata 
tidak merasakannya. Bahkan mengeluh pun tidak. 
Panji menjadi heran bukan main!
"Gila! Terbuat dari apa tubuh lelaki kurus itu?! 
Apa aku mesti menggunakan seluruh kekuatanku 
untuk merobohkannya?" desis Panji tak percaya 
dengan apa yang dialaminya. Jika tenaga dalamnya 
dikerahkan sepenuhnya, itu berarti lawan 
merupakan gembong tokoh sesat yang setingkat 
dengan seorang datuk persilatan. Padahal kalau 
melihat gerakannya, lelaki kurus itu tak lebih dari 
seorang yang baru beberapa bulan berlatih ilmu 
silat Hanya kekuatan tubuhnya saja yang luar 
biasa. Dan, hampir tidak mungkin! Karena setiap 
jago silat yang telah mahir, pasti akan memiliki 
kekuatan tenaga dalam yang seimbang dengan 
ilmunya. Sedangkan lelaki kurus itu hanya memiliki 
kekuatan tubuh yang sulit dimengerti.
Melihat lawan kembali bergerak maju, Pendekar 
Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Rasa penasaran 
membuatnya ingin mengetahui sampai di mana 
kekuatan tubuh lelaki kurus itu. Pendekar Naga 
Putih memutuskan untuk menggunakan seluruh 
tenaga dalamnya dalam melancarkan serangan 
selanjutnya.
Kali ini Panji tidak perlu berkelit lagi Serangan

wan yang berupa tepukan kedua belah tangan, 
memaksa pemuda itu mengangkat kedua 
tangannya ke atas kepala untuk melindungi telinga. 
Titik lemah yang mematikan itulah yang menjadi 
sasaran serangan lawan.
Plak! Plakkk!
Sekejap sepasang lengan lawan tergantung di 
udara terkena tangkisan Panji Tanpa menunggu 
lagi, Pendekar Naga Putih langsung memutar 
kedua tangannya dan dihantamkan ke dada lawan 
yang terbuka dengan sepenuh tenaga
Bresssh...!"
Sungguh hebat pukulan yang dilakukan 
Pendekar Naga Putih. Tubuh lawan terlempar deras 
sejauh tiga tombak. Dan terus terguling-guling di 
atas tanah. Rasanya, kali ini tidak mungkin tubuh 
kurus itu dapat bangkit lagi. Masih untung kalau 
tubuhnya tidak remuk oleh hantaman dahsyat itu.
"Ibliiss...?!" Panji mendesis dengan sepasang 
mata terbelalak. Lawan yang menurutnya sudah 
pasti tewas, ternyata mampu bangkit berdiri. Dan 
melangkah maju dengan gerak lambat mendekati 
Pendekar Naga Putih, yang terpaku bagai tengah 
bermimpi.
"Panji, awasss...!" teriak seorang keamanan 
desa yang melihat pemuda berjubah putih itu 
hanya berdiri mematung.
Meskipun Panji tampak seperti orang yang 
kehilangan kesadaran, tapi pemuda itu tahu kalau 
lawan tengah mendekatinya. Pemuda itu bergerak 
mundur. Hidungnya mencium bau busuk yang

datangnya dari arah lawan. Bau itu demikian 
menusuk hingga perutnya terasa mual.
Melihat Panji bergerak mundur, keempat 
keamanan Desa Palasari segera melangkah maju 
untuk membantunya. Seorang di antaranya 
memegang obor untuk menerangi jalan. Dan....
"Ki Sola...?!" desis Panji ketika melihat sosok 
lelaki kurus itu terkena cahaya obor.
Pendekar Naga Putih tersentak kaget karena 
mengetahui kalau Ki Sola telah tewas, la 
menyaksikan mayat lelaki tua itu dengan mata 
kepala sendiri. Bagaimana mungkin kini lelaki tua 
itu berdiri di hadapannya dan siap mencekiknya?! 
Panji benar-benar tak percaya dengan 
penglihatannya.
Pemuda itu mulai berpikir lain ketika melihat 
tubuh bagian depan Ki Sola berlubang. Jelas, 
lubang itu adalah akibat pukulannya tadi. Tapi, 
yang keluar dari luka itu bukan darah. Melainkan 
cairan kuning yang menyebarkan bau busuk. 
Sadarlah Panji kalau lawan yang dihadapinya 
sesosok mayat' Mayat Ki Sola!
"Cepat kalian menyingkir. Yang kita hadapi 
bukan manusia biasa. Lelaki kurus itu sesosok 
mayat yang telah dibangkitkan tokoh sesat 
berwatak keji!" ujar Panji memperingatkan 
keempat keamanan desa agar menyingkir jauh-
jauh. Karena ia belum menemukan cara untuk 
melumpuhkan mayat Ki Sola.
Sementara itu, mayat ki Sola dengan perlahan 
terus bergerak maju. Sepasang tangannya

terentang. Siap melumatkan siapa saja yang 
mendekatinya. Panji memutuskan mundur dan 
mencari cara untuk melumpuhkan mayat hidup itu.
Keempat keamanan Desa Palasari menggigil 
ketakutan, setelah mengetahui yang dihadapinya 
sesosok mayat hidup. Hati mereka menjadi kecut 
membayangkan tadi sempat bertarung dengan 
mayat itu. Keberanian mereka langsung terbang. 
Melihat mayat Ki Sola, jelas sangat sukar 
ditundukkan. Panji yang kepandaiannya telah 
mereka ketahui saja tidak sanggup merobohkan 
mayat lelaki kurus itu. Apalagi mereka yang 
memiliki ilmu silat tidak
"Bagaimana ini..., Panji..? Kalau mayat Ki Sola 
sampai memasuki rumah penduduk, pasti akan 
terjadi kegemparan...," ujar salah seorang 
keamanan desa dengan suara kering dan susah 
sekali diucapkan
'Tenanglah. Aku akan memancing mayat lelaki 
tua itu menjauhi desa. Mudah-mudahan ia dapat 
kukelabui...," jawab Panji kembali bergerak 
mendekati mayat Ki Sola. Kemudian, melancarkan 
pukulan dengan bacokan sisi telapak tangan ke 
leher mayat itu.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, mayat bertubuh kurus itu 
terpelanting ke tanah. Dan, segera bangkit 
mengejar Pendekar Naga Putih. Melihat 
pancingannya berhasil, Panji bergerak mundur dan 
menjauhi tempat itu.
"Ayo! Seranglah aku, Makhluk Keparat..!"

tantang Panji sambil terus bergerak mundur, 
membawa mayat Ki Sola keluar dari Desa Palasari.
Melihat pemuda itu terus bergerak mundur, 
mayat Ki Sola berhenti sejenak Kemudian berbalik 
pergi Tentu saja kelakuan mayat itu membuat 
Pendekar Naga Putih gemas!
"Kurang ajar! Rupanya pengendali mayat itu 
tahu perbuatanku! Hm.... Mestikah aku 
menggunakan tenaga gabungan untuk 
menghancurkannya...?" gumam Panji geram ketika 
melihat pancingannya gagal. Pendekar Naga Putih 
mulai mencari jalan lain. Jika mayat hidup itu 
dibiarkan, penduduk Desa Palasari akan gempar!
Melihat tidak ada jala lain, Panji segera 
menghimpun dua kekuatan tenaga ampuh yang 
dimilikinya. Lalu, digabungkannya untuk 
menghancurkan mayat Ki Sola. Kali ini Panji 
merasa yakin usahanya akan berhasil. Jangankan 
sesosok mayat, tubuh manusia hidup pun akan 
lebur bila terkena hantaman tenaga gabungan itu
Beberapa saat kemudian, terlihat sinar putih 
keperakan menyelimuti tubuh bagian kiri Pendekar 
Naga Putih. Sedangkan tubuh bagian kanan 
diselimuti lapisan sinar kuning keemasan yang 
menerbitkan hawa panas menggigit Itulah 
gabungan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan 
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang tidak ada 
tandingannya di atas jagat'
"Haaat..!"
Dibarengi pekik mengguntur, tubuh Pendekar 
Naga Putih melambung ke udara dan berputaran

melewati kepala mayat itu. Kemudian, meluncur 
turun tepat beberapa langkah di hadapan mayat Ki 
Sola. Dan....
Whusss...!
Angin dingin dan panas berhembus keras, saat 
Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan! 
Blarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat laksana 
mengguncang jagat Tanpa ampun lagi, sosok 
mayat Ki Sola hancur menjadi serpihan yang tidak 
mungkin dapat hidup lagi.
Panji menghela napas panjang. Kali ini ia benar-
benar yakin. Mayat Ki Sola tidak mungkin dapat 
bangkit kembali.
Keempat keamanan desa yang tadi terjengkang 
oleh getaran pukulan Panji, bergegas bangkit 
mendekati pemuda tampan berjubah putih itu. 
Mereka benar-benar takjub dengan kepandaian 
pemuda itu. Menyaksikan kedahsyatan pukulan 
Panji, mereka semakin yakin kalau pemuda itu 
adalah dewa penolong yang akan menyelamatkan 
penduduk Desa Palasari dari malapetaka 
mengerikan.
"Hm.... Kurasa malam ini tidak akan ada 
kekacauan lagi. Sebaiknya kalian urus mayat 
kawan-kawan kalian. Setelah itu bertugaslah 
seperti biasa. Aku akan kembali ke rumah Ki 
Kaligandi...," ujar Panji yang merasa yakin kalau 
malam itu Gerombolan Setan Merah tidak akan 
membuat ulah. Menurutnya, tokoh yang

mengendalikan mayat Ki Sola hanya sekadar 
menguji kepandaiannya saja. Setelah 
melumpuhkan mayat hidup itu, kemungkinan besar 
Gerombolan Setan Merah akan lebih berhati-hati.
Setelah keempat keamanan desa itu pergi, Panji 
bergerak meninggalkan tempat itu. Sosoknya 
melesat menerobos kegelapan malam. Sinar bulan 
sabit yang menggantung di langit pekat tampak 
mulai cerah. Ditemani bintang-bintang yang 
bertaburan dengan kerli kerlipnya yang indah. 
Malam sudah mendekati fajar.
---ooo0myr0ooo---
"Panji, benarkah semalam kau berhadapan 
dengan mayat Ki Sola yang tewas kemarin...?" Ki 
Kaligandi langsung melontarkan pertanyaan itu 
Saat itu mereka selesai sarapan dan tengah duduk 
di taman belakang rumah Ki Kaligandi. Rupanya, 
lelaki tua itu telah mendapat laporan dari para 
peronda semalam.
"Benar, Ki. Bahkan, aku nyaris dibuat tak 
berdaya oleh mayat itu. Kelihatannya, pimpinan 
Gerombolan Setan Merah mulai turun tangan. 
Mereka pasti sudah mengetahui kehadiranku di 
desa ini...," sahut Panji tanpa merasa perlu untuk 
menceritakan bagaimana caranya menundukkan 
mayat itu Panji tidak ingin membanggakan 
perbuatannya kepada orang lain.
"Hm.... Ternyata 'Ilmu Membangkitkan Mayat' 
itu benar-benar ada. Bukan sekadar dongeng

belaka. Padahal selama ayahku masih hidup, 
kejadian ini belum pernah terjadi. Kalau sekarang 
pimpinan Gerombolan Setan Merah menggunakan 
ilmu yang sangat mengerikan itu, pasti ada sesuatu 
yang dikhawatirkannya...," gumam Ki Kaligandi 
seraya menatap Panji dengan penuh selidik.
Panji tidak menanggapi ucapan orang tua itu, 
yang telah diketahui maksudnya. Dilihatnya orang 
tua itu berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di 
belakang. Jelas, lelaki tua itu tengah berpikir keras.
"Panji...."
Tiba-tiba Ki Kaligandi menghentikan 
perbuatannya. Dan, menatap pemuda tampan 
berjubah putih itu dengan sinar mata tajam.
"Boleh aku tahu, siapa kau sebenarnya...?"
Akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut 
Ki Kaligandi. Rupanya, orang tua itu tidak sanggup 
menahan rasa penasaran di hatinya.
"Apa maksudmu, Ki...?" Panji balik bertanya 
seperti orang bodoh.
"Melihat 'Ilmu Membangkitkan Mayat' telah 
mereka pergunakan, aku menduga kalau pimpinan 
gerombolan itu merasa khawatir terhadapmu. 
Mungkinkah kau...," Ki Kaligandi menggantung 
kalimatnya. Sehingga, Panji tidak tega melihat 
lelaki tua itu kebingungan.
"Benar, Ki...," jawab Panji yang sepertinya 
sudah bisa membaca jalan pikiran orang tua itu. 
Hingga langsung membenarkan dugaan Ki 
Kaligandi
"Jadi.., kau..., Pendekar Naga Putih yang

menggemparkan itu...?!" seru Ki Kaligandi hampir 
berteriak. Jelas, lelaki tua itu tidak pernah 
menyangka kalau Panji adalah Pendekar Naga 
Putih.
Panji mengangguk seraya tersenyum lebar. 
Kemudian bangkit dari duduknya dan menghadapi 
Ki Kaligandi yang masih terbelalak. Seolah belum 
mempercayai penglihatannya saat itu.
"Ahhh...."
Lagi-lagi orang tua itu berdesah panjang. 
Matanya tak lepas menatap sosok Pendekar Naga 
Putih. Sampai beberapa saat lamanya, lelaki tua itu 
belum sanggup mengeluarkan suara, kecuali 
desahan saja.
"Ki Kaligandi! Apakah aku kalah menarik dengan 
pemuda di hadapanmu itu...?"
Menyaksikan tingkah Kepala Desa Palasari itu, 
Kenanga tidak dapat menahan mulutnya untuk 
menggoda. Sehingga, Ki Kaligandi tersadar dari 
perbuatannya. Lelaki tua itu sedikit tersipu 
mendengar teguran Kenanga.
"Maaf, Kenanga. Aku terlalu gembira. Tidak 
pernah kusangka kalau Panji adalah Pendekar Naga 
Putih yang namanya menjulang tinggi. Aku tidak 
menyalahkan kaum rimba persilatan golongan putih 
yang demikian memuja nama besarnya...," ujar Ki 
Kaligandi membela diri, membuat Panji dan 
Kenanga tersenyum lebar.
'Tolong hentikan pujianmu yang setinggi langit 
itu, Ki aku khawatir kepala ini akan menjadi besar. 
Tentu akan sulit sekali membawanya berjalan...,"

gurau Panji, membuat Ki Kaligandi kembali tersipu 
malu
"Ahhh.... Kau benar-benar seorang pendekar 
sejati, Panji Sungguh patut dijadikan contoh tokoh-
tokoh tua lainnya...," ucap Ki Kaligandi kembali 
kelepasan bicara. Karena, kata-katanya masih tetap 
memuji pemuda itu.
"Wah.... Baru saja kuingatkan, sudah mulai 
lagi...," tukas Panji.
"Maaf..., maaf...," ujar Ki Kaligandi menyadari 
ucapannya. Lelaki tua itu masih belum terbebas 
dari rasa gembiranya, setelah mengetahui siapa 
sebenarnya pemuda tampan berjubah putih yang 
menjadi tamunya itu.
"Ingat, Ki. Musuh kita masih tetap berkeliaran. 
Tanpa kita ketahui di mana sarang mereka. Setelah 
kejadian semalam, tindakan mereka mungkin akan 
semakin ganas. Untuk itu kita harus siap 
menghadapi bila sewaktu-waktu mereka muncul 
tanpa diduga...," ujar Panji mengingatkan bahaya 
yang masih mengintai mereka. 
"Hhh..."
Ki Kaligandi menghela napas panjang berulang-
ulang. Ingatan tentang Gerombolan Setan Merah, 
membuat lelaki tua itu kembali teringat akan 
bencana yang mengincar penduduk desanya. 
Kendati demikian, wajahnya tidak lagi terlihat 
murung. Tidak seperti waktu belum mengetahui 
siapa pemuda berjubah putih itu sebenarnya.
Panji merasa lega melihat perubahan pada diri 
lelaki tua itu. Sekarang terlihat gambaran semangat

di wajah orang tua itu. Ki Kaligandi jelas 
menggantungkan harapan pada dirinya. Dan itu 
merupakan sebuah tanggung jawab besar yang 
harus dipikul Panji.
"Kalau demikian, kita harus menyusun rencana 
untuk menghadapi Gerombolan Setan Merah," ujar 
Ki Kaligandi setelah terdiam beberapa saat 
lamanya. "Untuk itu aku mempercayakannya 
padamu, Panji Aku yakin kau jauh lebih 
berpengalaman daku. Tentu dalam 
pengembaraanmu telah banyak ditemukan 
berbagai macam bentuk kejahatan, dan ilmu-ilmu 
sesat yang tinggi. Aku sendiri merasa tak berdaya 
menghadapi ilmu-ilmu mengerikan Gerombolan 
Setan Merah. Kuharap kau tidak segan-segan 
memberi petunjuk padaku...."
"Hm.... Meskipun aku tidak membantah 
perkataanmu, tapi biar bagaimanapun kaulah yang 
lebih tahu daerah ini. Aku pun mengharapkan 
petunjuk darimu. tempat mana yang kira-kira 
pantas untuk dijadikan markas Gerombolan Setan 
Merah. Pilihlah tempat-tempat yang menurutmu 
angker dan hampir tidak pernah dilalui orang," ujar 
Panji yang tidak ingin menyeiepelekan orang tua 
itu. Selain itu, ia ingin Ki Kaligandi merasa ikut 
menanamkan jasa bila mereka berhasil 
memberantas Gerombolan Setan Merah.
Mendengar ucapan Panji, Ki Kaligandi tampak 
berpikir keras. Ucapan pemuda itu harus diakui 
kebenarannya. Maka, ia tidak membantah sedikit 
pun. Karena sudah pasti dirinya lebih mengetahui

daerah di sekitar Desa Palasari.
"Hm... Rasanya sulit sekali aku menduganya, 
Panji Sepanjang pengetahuanku, tidak ada tempat 
di sekitar Desa Palasari yang dianggap angker dan 
jarang dilalui orang. Apakah tidak sebaiknya kita 
menunggu kedatangan mereka. Lalu, lata tangkap 
salah seorang anggota gerombolan itu hidup-hidup. 
Dengan begitu, kita bisa mengorek keterangan 
mengenai markas mereka...," usul Ki Kaligandi, 
setelah terdiam beberapa saat untuk mencari 
tempat-tempat angker yang dikatakan Panji.
"Hm.... Itu pun kurasa cukup baik. Jika demikian 
kita harus benar-benar siap untuk menyambut 
kedatangan mereka. Tolong kau kumpulkan semua 
keamanan desa dan beri pengarahan. Pagi ini juga 
aku akan mencoba mencari tempat persembunyian 
mereka," tukas Panji menerima baik usul Ki 
Kabgandi. Wajah orang tua itu kelihatan semakin 
cerah. Rupanya, ia merasa bangga usulnya 
ditanggapi pemuda perkasa itu.
"Aku ikut, Kakang...," Kenanga langsung 
bergerak bangkit mendengar kekasihnya akan pergi 
menyelidiki.
Panji tidak berusaha mencegah. Pemuda itu 
segera berpamitan pada Ki Kaligandi. Kemudian, 
bersama Kenanga bergerak meninggalkan 
kediaman Kepala Desa Palasari
Ki Kaligandi mengiringi kepergian pasangan 
pendekar muda itu dengan tatapan mata. Hati 
kecilnya berdoa agar mereka dapat menemukan 
tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.

ooo0myr0ooo---
ENAM


Di bawah siraman sinar matahari pagi yang 
hangat, Panji dan Kenanga menyusuri jalan utama 
Desa Palasari. Orang-orang desa yang telah 
mendengar kehebatan Panji, mengangguk hormat 
saat berpapasan. Rupanya, peristiwa semalam 
telah menyebar cepat Sehingga pasangan 
pendekar muda itu menjadi agak risih dengan 
sambutan penduduk, yang terkesan sangat 
berlebihan.
"Hm.... Rupanya, keempat peronda itu telah 
menceritakan kehebatanmu pada seluruh 
penduduk desa ini. Sambutan mereka sangat jauh 
berbeda dengan sebelumnya...," bisik Kenanga 
pada kekasihnya. Terselip rasa bangga di hati dara 
jelita itu Sebagai manusia biasa, wajar bila ada 
perasaan ingin dihormati. Dan, Kenanga 
merasakannya saat itu.
"Meskipun begitu, jangan membuat kita menjadi 
takabur. Perasaan seperti itu harus kita buang 
jauh-jauh. Kalau tidak akan semakin berkembang,
dan membuat kita lupa diri. Ingat itu, Kenanga...," 
sahut Panji, mengingatkan dara jelita itu agar tidak 
melupakan wejangan guru mereka.
”Terima kasih telah mengingatkan aku, Kakang. 
Saat ini aku hampir terpengaruh...," aku Kenanga 
terus-terang.
Panji tersenyum. Ucapan itu membuktikan

kekasihnya memiliki batin yang cukup kuat Dan, ia 
semakin percaya kalau Kenanga tidak akan
terpengaruh dan menjadi takabur.
Keduanya terdiam ketika telah melewati batas 
Desa Palasari. Jalan yang mereka lewati jarang 
dilalui penduduk desa. Mereka pun menggunakan 
ilmu lari cepat. Berlari di dalam desa akan 
mengundang perhatian orang. Itu sebabnya, 
mereka berjalan saat menyusuri jalan utama Desa 
Palasari.
"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya 
Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita 
itu dapat mengimbangi Panji yang tidak 
mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya.
"Hm.... Bagaimana menurutmu bila kita 
menyelidiki tanah pekuburan? Aku mencurigai 
tempat itu sebagai markas Gerombolan Setan 
Merah...," sahut Panji meminta pendapat 
kekasihnya.
Kenanga tidak segera menjawab. Dara jelita itu 
tengah membayangkan daerah pekuburan yang 
kemarin didatanginya. Keningnya berkerut 
mempertimbangkan usul Panji.
"Aku tidak melihat sebuah bangunan pun di 
daerah pekuburan itu, Kakang. Apa alasanmu 
mencurigai pekuburan itu sebagai tempat 
persembunyian mereka...?" tanya Kenanga yang 
agak heran mendengar kekasihnya mencurigai 
daerah pekuburan sebagai markas Gerombolan 
Setan Merah. Ia sendiri tidak pernah berpikir 
seperti itu.

Panji menceritakan saat ia bertarung dengan 
wanita bercadar merah. Bau asap pedupaan yang 
keluar dari tubuh wanita bercadar merah itu yang 
menjadi dasar alasan mencurigai pekuburan sunyi 
itu, sebagai markas Gerombolan Setan Merah.
"Alasan itu tidak tepat, Kakang. Tidak mungkin 
gerombolan menakutkan itu bermarkas di daerah 
pekuburan. Bau asap dupa yang kau katakan 
berasal dari tubuh wanita bercadar merah, bukan 
merupakan bukti bahwa ia tinggal di pekuburan...," 
bantah Kenanga. Dara jelita tidak sependapat 
dengan Panji.
"Hm.... Meskipun itu baru berupa dugaan, tapi 
jangan lupa, gerombolan itu dapat menghilang 
seperti setan. Bahkan menurut Ki Kaligandi,
pimpinan Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu 
mengerikan yang bisa membangkitkan mayat-
mayat dari dalam kubur. Mungkin saja mereka 
senang berkawan dengan mayat-mayat..," tukas 
Panji yang kelihatannya tetap mencurigai tanah 
pekuburan sebagai tempat persembunyian 
Gerombolan Setan Merah.
"Kalau begitu, ayo kita periksa daerah 
pemakaman itu..," sahut Kenanga ingin 
membuktikan dugaan kekasihnya. Meskipun belum 
yakin sepenuhnya, dara jelita itu tampak mulai 
terpengaruh dugaan Panji.
Melihat kekasihnya telah melesat lebih dulu, 
Panji segera mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk 
mengejar dara jelita itu. Sebentar saja, keduanya 
sudah merupakan bayang-bayang samar.

Untuk mencapai tempat itu, pasangan pendekar 
muda ini tidak membutuhkan waktu lama. 
Keduanya segera tiba di pintu gerbang pekuburan 
yang sunyi dan lengang Suara-suara binatang 
menyambut kedatangan mereka.
Tanpa ragu-ragu, keduanya bergerak memasuki 
daerah pekuburan. Dengan tatapan tajam, mereka 
melangkah perlahan seraya memperhatikan 
sekeliling. Ada perasaan aneh yang menyelimuti 
hati pasangan pendekar muda itu, saat memasuki 
daerah pekuburan semakin jauh.
"Hm.... Tempat ini sangat menyeramkan, 
Kakang Ada hawa aneh yang membuatku merasa 
ngeri. Padahal, sebelumnya perasaan ini tidak 
pernah muncul. Meski aku tahu tempat yang 
kudatangi sangat menyeramkan...," desis Kenanga.
"Aku juga merasakannya. Tapi, aku tidak tahu 
apa yang membuat rasa ngeri ini muncul tanpa 
terkendali? Tempat ini memang sangat pantas 
untuk dijadikan sarang penjahat Terutama 
Gerombolan Setan Merah, yang sangat menyukai 
hal-hal menyeramkan. Itu dapat dilihat dari 
julukan, cara berdandan dan ilmu-ilmu yang 
mereka miliki Sayang, di sini tidak terdapat sebuah 
bangunan pun...," ujar Panji. Mereka terus 
melangkah menyusuri jalan yang tidak terlalu lebar. 
Yang terdapat di antara makam-makam yang 
berjajar di kiri dan kanan mereka.
Setelah semakin jauh memasuki daerah 
pekuburan, tiba-tiba Panji menyentuh lengan 
kekasihnya. Kenanga agak tersentak. Hati dara

jelita itu rupanya tengah diliputi ketegangan.
Sentuhan Panji yang perlahan itu telah 
membuatnya kaget
"Kau mengejutkanku, Kakang...," cetus 
Kenanga. Tubuhnya terasa agak lemas karena rasa 
kaget yang menyentak hatinya.
"Aku mendengar suara orang bertempur. 
Mungkin tidak jauh dari tempat ini...," ucap Pa 
tidak menanggapi keterkejutan kekasihnya. 
Pendengarannya dipertajam agar dapat 
menangkap lebih jelas.
"Dari mana kira-kira suara pertempuran itu, 
Kakang...?" tanya Kenanga, karena Panji kelihatan 
bersungguh-sungguh, hingga membuatnya tertarik 
untuk mengetahuinya.
"Mari ikut aku...," ajak Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih melangkah ke 
kanan, melompati makam-makam yang berjajar 
malang-melintang tak beraturan. Kenanga segera 
mengikuti langkah kekasihnya.
Langkah Panji semakin cepat Karena suara 
pertempuran yang semula samar, kini semakin 
bertambah jelas. Sampai akhirnya pemuda itu 
berlari cepat menuju utara pekuburan.
Kenanga terus mengikuti di belakang panji. 
Tubuhnya berloncatan melewati gundukan tanah 
pekuburan Hingga meninggalkan tempat yang 
menyeramkan itu, dan melewati daerah yang 
ditumbuhi pohon-pohon besar.
Tidak berapa lama kemudian, pasangan 
pendekar itu pun tiba di tempat pertempuran Panji


tampak agak kecewa ketika tidak menemukan 
seorang pun anggota Gerombolan Setan Merah, 
dari belasan orang yang tengah bertarung. Kendati 
demikian, pemuda itu tetap melanjutkan 
langkahnya mendekati arena pertempuran. Sudah 
menjadi tugasnya untuk membela orang-orang 
lemah dan teraniaya.
Plakkkl Plakkkl
Begitu memasuki arena pertempuran, Panji 
langsung memapaki sambaran sepasang pedang 
yang mengancam nyawa seorang lelaki tua berusia 
sekitar lima puluh lima tahun. Sehingga lelaki 
brewok yang memegang sepasang pedang itu 
terjajar mundur beberapa langkah.
"Kurang ajar...!" geram lelaki brewok itu seraya 
menatap pemuda berjubah putih di depannya. Ada 
kilatan nafsu membunuh pada sepasang matanya.
Panji yang memutuskan untuk membantu lelaki 
tua itu, merasa tidak salah pilih. Melihat ada kereta 
kuda di tempat itu, Panji yakin kalau lelaki tua itu 
tengah menghadapi perampok.
"Hm.... Dalam suasana kacau seperti ini 
memang tidak aneh bila ada orang berhati culas 
yang memanfaatkan keadaan. Orang-orang seperti 
kalian sudah semestinya diberi pelajaran agar lain 
kali tidak mengulangi lagi," ujar Panji balas 
menatap lelaki brewok yang diduganya pimpinan 
belasan orang kasar itu. Mereka berkumpul untuk 
menghadapi Panji dan Kenanga.
"Benar, Kenanga. Orang-orang seperti mereka 
pantas untuk dibunuh. Perbuatan mereka

meresahkan orang banyak...," timpal lelaki tua 
yang diam-diam merasa bersyukur. Jika pemuda 
berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba 
hijau itu tidak segera muncul, mungkin nyawanya 
sudah melayang ke alam baka.
"Ha ha ha...!"
Lelaki itu tertawa tergelak-gelak. Sedikit pun 
tidak merasa gentar dengan Panji la merasa tidak 
mungkin kalah melawan pemuda itu. Jika tadi 
sempat terjajar mundur, itu karena kedudukannya 
kurang menguntungkan, dan tidak tahu ada 
serangan mendadak.
"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir. Aku akan 
mencoba sampai di mana kehebatan lelaki 
bermulut besar itu. Apakah sudah sebanding 
dengan sesumbarnya...?" desis Panji segera 
mendekati lawan yang sudah siap melumpatkan 
tubuhnya.
Kenanga mengajak yang lain untuk menyaksikan 
perkelahian dari tempat yang agak jauh. Dara jelita 
itu menyerahkan persoalan ini kepada Panji.
"Heaaat..!"
Belum lagi sampai, lelaki brewok itu sudah 
bergerak sambil mengibaskan senjatanya dengan 
kecepatan cukup tinggi. Meski terlihat lambat bagi 
orang seperti Panji. Tanpa kesulitan sedikit pun, 
pemuda itu dapat mengatasi serangan lawan 
dengan baik. Bahkan, melontarkan serangan 
balasan dengan kecepatan mengejutkan. Pukulan 
pertama Panji berhasil dielakkan lawan Tapi, 
luncuran kepalan kanannya telak bersarang di

tubuh lawan.
Buggg!
"Hukhhh...!"
Karuan saja tubuh lelaki brewok itu tersentak ke 
belakang. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya 
terbanting di tanah berumput Kendati tubuhnya 
terasa nyeri, namun ia berusaha bangkit sambil 
menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor. 
Lelehan darah tampak pada ujung bibirnya. 
Agaknya, bagian dalam tubuh lelaki brewok itu 
terguncang oleh pukulan telak Panji.
Saat itu, Panji tengah menghadapi enam belas 
orang perampok yang mengeroyoknya. Namun, itu 
tidak membuatnya kewalahan. Hanya dengan 
tangan kosong, para perampok itu dibuatnya 
kalang-kabut Tubuh mereka berjatuhan susul-
menyusul terkena tamparan dan tendangan 
pemuda perkasa itu. Dalam waktu singkat keenam 
belas perampok itu bertumbangan sambil 
mengaduh kesakitan. 
"Bocah keparat..!"
Marah bukan main lelaki brewok itu ketika 
melihat semua pengikutnya dibuat tak berdaya 
dalam waktu singkat Kejadian itu bukan 
membuatnya menjadi gentar. Malah menerjang 
maju dengan kalap!
"Yeaaat..!"
Sepasang pedang di tangan lelaki brewok itu 
berkelebatan menerbitkan desingan tajam. Panji 
berkelit dengan langkah bersilangan. Kemudian, 
membalas serangan lawan dengan tendangan

keras.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu 
terjungkal keras. Terdengar suara berdebuk 
nyaring ketika tubuhnya menimpa tanah. Kali ini, 
lelaki brewok itu tidak segera bangkit Tendangan 
Panji, membuatnya sulit bernapas.
"Hm.... Sebaiknya segera pergi dari tempat ini 
Tinggalkan pekerjaan buruk yang selama ini kalian 
lakukan! Jika aku melihat kalian masih belum 
mengubah cara hidup selama ini, aku akan datang 
dan mencabut nyawa kalian semua...!" ancam 
Panji. Ucapan itu sama sekali tidak diduga lelaki 
brewok yang menjadi kepala kawanan perampok.
Belum yakin akan pendengarannya barusan, 
lelaki brewok itu menatap Panji. Menunggu ucapan 
selanjutnya dari pemuda tampan berjubah putih 
yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sehingga, ia 
dan belasan orang kawannya tak berdaya hanya 
dalam beberapa gebrakan saja.
"Hm.... Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat pergi 
dari sini sebelum aku berubah pikiran, dan 
melenyapkan nyawa kalian sekarang juga!" bentak 
Panji, membuat kawanan perampok itu pucat
Tanpa membuang waktu lagi, lelaki brewok itu 
bergegas bangkit dan mengajak kawan-kawannya 
pergi dari tempat itu. Panji memandang kepergian 
perampok itu, sampai bayangan mereka lenyap 
dari pandangan matanya.
"Mengapa kau lepaskan mereka, Kisanak? 
Tidakkah sebaiknya kau memberi hukuman berat

agar mereka tidak lagi mengulangi perbuatannya?" 
tanya lelaki tua bertubuh sedang. Wajahnya terhias 
kumis tipis. Lelaki tua itu kurang begitu setuju 
dengan tindakan penolongnya.
"Hm.... Mudah-mudahan mereka sadar akan 
perbuatan jahatnya selama ini. Ancaman itu sudah 
cukup membuat mereka berpikir dua kali bila endak 
melakukan kejahatan lagi..," sahut Panji yakin 
kalau kawanan perampok itu tidak akan 
mengulangi perbuatannya lagi
Lelaki berkumis tipis menghela napas panjang. 
Kendati ada perasaan khawatir kalau kawanan 
perampok itu tidak juga mau sadar. Namun ia ikut 
berdoa agar mereka benar-benar insyaf dan 
meninggalkan jalan sesat
'Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. 
Kami berhutang budi kepadamu. Entah dengan 
cara bagaimana kami bisa membalasnya...," ujar 
lelaki tua itu setelah terdiam beberapa saat
"Jangan terlalu dipikirkan, Paman. Rasanya 
setiap orang akan melakukan hal itu. Jadi, lupakan 
saja apa yang telah kulakukan...," tukas Panji 
Kemudian berbaHk dan melangkah ke arah kereta 
kuda. Di dekat kereta kuda itu berdiri berjajar 
enam orang lelaki, kawan lelaki tua berkumis tipis 
itu.
"Kami mengawal majikan yang hendak ke kota 
kadipaten. Juragan kami, Ki Banara, hendak 
mengungsi. Karena menurut kabar Gerombolan 
Setan Merah kembali mengganas dan mencari 
korban...," jelas lelaki berkumis tipis tanpa diminta.

"Rupanya, kau cukup banyak tahu tentang 
gerombolan itu, Paman...?" tanya Panji, mencoba 
menyelidiki sampai seberapa jauh lelaki berkumis 
tipis itu mengetahui tentang Gerombolan Setan 
Merah.
"Tidak seperti yang kau duga, Kisanak. Aku dan 
kawan-kawanku bukan penduduk asli daerah ini. 
Kami datang dari selatan dua tahun yang lalu. 
Tentang Gerombolan Setan Merah, memang telah 
tersebar hampir ke seluruh desa di wilayah ini. 
Untuk itu, aku mohon maaf...," sahut lelaki tua 
berkumis tipis itu dengan wajah agak menyesal. 
Karena tidak dapat membantu penolongnya.
'Tidak mengapa, Paman. Silakan lanjurkan 
perjalanan Mudah-mudahan tidak ada gangguan 
lagi di jalan," ujar Panji.
'Terima kasih, Anak Muda. Aku sekeluarga tidak 
akan melupakan budi baikmu," ujar seorang lelaki 
berwajah bulat dengan kumis dan jenggot tercukur 
rapi.
Lelaki itu menjulurkan kepalanya dari dalam 
kereta ketika lewat di dekat Panji dan Kenanga. 
Wajah yang terkesan ramah dan baik hati itu 
membuat Panji tidak menyesal telah mengulurkan 
tangan memberi pertolongan. Menurutnya, lelaki 
yang bernama Juragan Banara itu merupakan 
seorang hartawan yang baik hati dan suka 
menolong.
"Selamat jalan, Ki Banara...," ujar Panji seraya 
melambaikan tangan pada lelaki berwajah bulat itu.
Panji dan Kenanga mengawasi rombongan kecil

itu yang bergerak semakin jauh. Mereka 
membayanginya dari jarak beberapa belas tombak. 
Khawatir akan muncul gangguan lain yang mungkin 
saja datang dari Gerombolan Setan Merah. 
Keduanya baru merasa lega setelah rombongan 
semakin jauh meninggalkan tempat itu.
"Kurasa Gerombolan Setan Merah tidak akan 
muncul di tempat ini, Kakang..," ucap Kenanga 
saat rombongan Juragan Banara sudah hilang dari 
pandangan mereka.
"Mengapa kau menduga demikian...?" tanya 
Panji menatap wajah kekasihnya yang juga tengah 
memandang ke arahnya.
"Menurutku, setiap langkah kita selalu diawasi 
oleh mereka. Peristiwa semalam pasti dimaksudkan
untuk memancing tindakan kita. Bukankah mereka 
sudah mengetahui siapa Kakang?" jawab Kenanga 
memberikan alasan yang cukup masuk akal. 
Sehingga, Panji dapat menerimanya.
"Hm.... Kalau benar demikian, berarti tempati 
persembunyian mereka tidak jauh dari daerah 
ini...?" gumam Panji setelah mendengar alasan 
kekasihnya. "Sungguh lihai sekali Gerombolan 
Setan Merah itu. Hingga dapat memata-matai 
tanpa kita ketahui di mana mereka 
bersembunyi...."
Pendekar Naga Putih kemudian mengedarkan 
pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. 
Seolah hendak mencari di mana orang-orang yang 
saat iri mungkin tengah memperhatikannya.
"Bagaimana kalau kita kembali ke desa, Kakang?

Kita tunggu saja kedatangan mereka. Seperi yang 
dikatakan Ki Kaligandi tadi pagi..," usul Kenanga.
"Hm.... Gerombolan Setan Merah benar-benar 
membuat hatiku penasaran. Rasanya aku ingin 
segera berhadapan dengan pemimpin gerombolan 
sesat itu...!" dengus Panji jengkel. Karena tidak 
tahu di mana lawan berada. Sedangkan lawan tahu 
keadaan mereka, dan dapat memata-matai dengan 
leluasa segala tindak-tanduk mereka berdua.
"Aku yakin, suatu saat kita dapat menemukan 
tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah. 
Aku pun penasaran ingin merasakan kehebatan 
ilmu pemimpinnya, yang menurut sangat tinggi dan 
banyak ragamnya, terutama ilmu hitam yang 
mengerikan itu...," timpal Kenanga. Tapi seperti 
juga kekasihnya, Kenanga tidak bisa berbuat apa-
apa. Gerombolan Setan Merah masih merupakan 
misteri yang harus mereka pecahkan bersama.
"Ayo kita kembali ke desa. Siapa tahu Ki 
Kaligandi tengah menunggu kabar dari kita...."
Panji mengajak kekasihnya kembali ke Desa 
Palasari. Setelah mereka gagal menemukan tempat 
persembunyian Gerombolan Setan Merah. Tapi, 
kegagalan itu tidak membuat Panji dan Kenanga 
putus asa. Mereka malah semakin penasaran. Dan, 
akan tetap meneruskan penyelidikan sampai dapat 
menemukan gerombolan yang sangat lihai itu.
Matahari sudah tinggi saat pasangan pendekar 
muda itu bergerak menuju Desa Palasari. Saat 
lewat di dekat daerah pekuburan, keduanya 
berhenti beberapa saat dan memperhatikan tempat
yang menyeramkan itu. Mereka merasa yakin kalau 
di daerah pekuburan itu ada sesuatu yang aneh. 
Hanya mereka tidak tahu pasti, apa yang 
menyebabkan pekuburan itu menyebarkan hawa 
menyeramkan di hati mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga 
bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka sepakat 
untuk menyelidiki hawa aneh yang menimbulkan 
kengerian itu.
---ooo0myr0ooo---
TUJUH


Langit di atas Desa Palasari sudah tampak 
kelam. Rembulan bersembunyi di balik gumpalan 
awan. Bintang-bintang pun tak lagi menampakkan 
kerlipnya. Pepohonan berderak ribut dipermainkan 
hembusan angin dingin yang bertiup keras. 
Suasana menyeramkan itu ditingkahi rintik-rintik air 
hujan yang luruh membasahi bumi.
"Malam yang mengerikan...!" desis Ki Kaligandi 
perlahan.
Lelaki tua itu berdiri tegak di sisi pendopo 
dengan kedua tangan terlipat di depan dada. 
Suasana menyeramkan malam itu membuat 
hatinya gelisah. Sepertinya, dia merasa akan terjadi 
suatu peristiwa mengerikan di Desa Palasari. Dan, 
akan kelihatan tidak ingin menyaksikan kejadian 
itu.
"Ya. Tampaknya suasana malam ini pertanda 
tidak baik. Dalam keadaan seperti ini, iblis akan
bergentayangan mencari mangsa. Dongeng itu 
rasanya sangat tepat dalam cuaca malam seperti 
sekarang ini...."
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba 
hijau yang berwajah jelita, menimpali ucapan Ki 
Kaligandi Seperti juga lelaki tua itu, Kenanga 
tengah menyaksikan suasana malam menyeramkan 
itu.
Di sebelah dara jelita itu, tampak Panji berdiri 
tegak sambil melipat kedua tangannya di depan 
dada. Pemuda tampan berjubah putih itu pun 
tengah menyaksikan malam mengerikan di atas 
Desa Palasari.
"Kemungkinan besar Gerombolan Setan Me rah 
akan datang berkunjung malam ini. Firasatku 
mengatakan mereka akan datang dalam jumlah 
yang cukup besar. Tapi dengan rencana yang telah 
kita susun bersama, aku yakin iblis-iblis haus darah 
itu dapat kita halau," ujar Panji penuh keyakinan
"Aku pun berharap demikian, Panji...," gumam 
Ki Kaligandi yang keyakinannya semakin tebal
Pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu 
selalu membangkitkan semangat dan keyakinan 
dirinya yang semula telah pudar. Meski hanya 
melalui ucapan yang tidak ditujukan langsung 
kepadanya, tapi semua itu telah menggugah 
semangatnya. Sehingga Ki Kaligandi semakin 
kagum dan hormat pada pemuda tampan berjubah 
putih itu.
"Ki," panggil Kenanga tiba-tiba. "Apakah Bagola 
dan Dinta sudah siap di tempatnya?"

"Semua sudah siap, Kenanga. Kita tinggal 
menunggu gerakan Gerombolan Setan Merah...,'
jawab Ki Kaligandi tanpa mengalihkan pandang 
matanya dari langit kelam di atas Desa Palasari.
"Hm.... Sebaiknya kita segera berangkat Saat ini 
sudah hampir tengah malam. Kalau perkiraanku 
tidak meleset, sebentar lagi iblis-iblis haus darah itu 
akan muncul!..," ujar Panji mengingatkan Kenanga 
dan Ki Kaligandi dengan rencana yang telah 
mereka atur penuh perhitungan.
Ketika Panji bergerak meninggalkan pendopo, Ki 
Kaligandi dan Kenanga beranjak mengikutinya. 
Sosok mereka lenyap di balik pintu rumah yang 
terbuat dari kayu tebal. Rumah Kepala Desa 
Palasari kembali sunyi tanpa sesosok manusia pun 
yang tampak. Bahkan, dua orang keamanan desa 
yang biasanya berjaga di halaman depan tidak 
terlihat Mungkin itu sebagian rencana yang telah 
diatur Panji bersama tetua-tetua desa.
Malam semakin larut Suasana menyeramkan 
masih menyelimuti Desa Palasari. Bahkan, 
hembusan angin terasa semakin bertambah keras. 
Pepohonan jadi makin berderak ribut, bagai hendak 
tumbang. Malam itu suasana Desa Palasari 
sungguh sangat mencekam penghuninya.
Saat waktu lewat tengah malam, terdengar 
suara ringkik melengking mirip lenguhan kuda. 
disusul suara tapaknya yang tidak wajar. Hanya 
sesekali dan terdengar demikian nyaring hingga 
menggema di sudut-sudut desa. Lebih tepat kalau 
dikatakan ketukan yang disengaja. Suasana

semakin bertambah seram.
Kendati demikian, penduduk desa maupun para 
keamanan desa tidak terlihat Jalan utama desa 
tetap sunyi dan lengang. Tak satu makhluk pun 
yang melintasinya. Hanya bayang pelita yang 
terlihat bergoyang-goyang di depan rumah-rumah 
penduduk. Angin mempermainkannya, 
menampakkan sosok-sosok memanjang di jalan 
desa itu.
"Kik kik kik...!"
Suara ringkik yang mirip lenguhan kuda kembali 
terdengar. Menggema, menggetarkan udara 
malam. Kemudian, terdengar suara langkah orang 
banyak yang sengaja diseret untuk menambah 
seram suasana. Tak berapa lama kemudian, sosok-
sosok hitam yang seluruh wajahnya dicat merah, 
bergerak bagai setan-setan kelaparan yang 
bergentayangan mencari mangsa. Mereka 
mendatangi beberapa rumah penduduk.
"Aiiieee...!"
Disertai pekik ramai yang parau, sosok-sosok 
hitam itu mendobrak pintu-pintu rumah penduduk 
yang berada di bibir desa sebelah selatan. Tapi 
beberapa saat kemudian, sosok-sosok hitam itu 
berloncatan keluar sambil mengumpat kotor!
"Keparat' Ke mana perginya para penduduk 
desa...?.' Apakah mereka telah mengungsi...?.'" 
geram salah satu dari sosok-sosok hitam itu, yang 
bertubuh tinggi kurus.
Selain wajahnya dicat merah, dada telanjang 
lelaki kurus itu pun dihiasi warna serupa. Rupanya,

lelaki itu merupakan pemimpin dua puluh orang 
anggota Gerombolan Setan Merah, yang sudah 
memasuki Desa Palasari.
"Tidak mungkin itu mereka lakukan. Kami tidak 
pernah melihat ada rombongan pengungsi lewat 
dalam beberapa hari ini. Mereka pasti masih berada 
di dalam desa...," timpal sosok lainnya yang tidak 
percaya penduduk Desa Palasari telah pergi 
mengungsi.
"Kau yakin...?" tukas sosok tinggi kurus, seraya 
menatap wajah kawannya.
"Yakin! Aku telah mengamatinya dengan 
cermat..!" sahut lelaki itu yang juga bertubuh 
kurus. Hanya ia lebih pendek dari pemimpinnya. 
Pertanyaan itu langsung dijawab dengan cepat, 
tanpa keraguan sedikit pun.
"Hmhhh...!"
Lelaki tinggi kurus itu mendengus sambil 
memberi isyarat kepada dua puluh orang 
pengikutnya agar terus bergerak ke dalam desa.
Puluhan sosok tubuh yang ternyata Gerombolan 
Setan Merah itu bergerak maju dengan 
mengendap-endap. Hingga suara langkah kaki 
mereka tidak terdengar. Gerombolan manusia 
sesaat itu merasa curiga, setelah mengetahui 
beberapa rumah penduduk yang mereka geledah 
ternyata kosong. Mereka menduga semua itu 
sudah dipersiapkan para Tetua Desa Palasari.
Saat puluhan sosok tubuh itu bergerak bagai 
setan-setan penasaran, tiba-tiba dari atap rumah 
penduduk di kedua sisi jalan menyembul beberapa

sosok tubuh. Di tangan mereka terlihat busur dan 
anak panah yang siap dilontarkan. Satu lagi 
rencana yang diatur Pendekar Naga Putih dan para 
Tetua Desa Palasari.
Zinggg, zinggg, zinggg...!
Seiring dengan isyarat gerakan tangan salah 
seorang pemanah-pemanah gelap itu, terdengar 
suara berdesingan membeset udara malam yang 
dingin Dan...
"Aaa...!"
"Aaakh...?!"
Terdengar pekik kesakitan disusul robohnya 
beberapa orang anggota Gerombolan Setan Merah. 
Anak panah itu menewaskan korban-korbannya
seketika.
"Kurang ajar...!"
Lelaki tinggi kurus pimpinan rombongan 
Gerombolan Setan Merah menggeram marah. Ia 
sendiri tak luput dari incaran anak panah. Tapi, 
semua dapat diruntuhkan dengan kibasan 
tangannya. Sehingga, tak satu anak panah pun 
yang menyentuh tubuhnya.
Sadar kalau rombongannya terjebak, lelaki 
tinggi kurus itu segera memerintah kawan-
kawannya untuk mundur. Beberapa saat kemudian, 
Gerombolan Setan Merah yang berkurang hampir 
sepanahnya itu bergerak mundur, dan lenyap 
ditelan kegelapan malam.
---ooo0myr0ooo

"Hm.... Semua ini pasti ulah Pendekar Naga 
Putih! Sudah kuduga ia akan membantu penduduk 
Desa Palasari untuk menghadapi kita...," desis 
lelaki bertubuh sangat tinggi, melebihi ukuran 
manusia biasa.
Wajah dan dada lelaki itu dipenuhi warna 
merah. Lelaki itu adalah pemimpin Gerombolan 
Setan Merah. Laporan salah seorang anak buahnya 
membuat lelaki berwajah seram itu marah bukan 
main. Kepalanya menoleh ke kanan, ke arah sosok 
yang sama tinggi dengannya. Bedanya, sosok itu 
tidak mencat merah wajahnya. Melainkan putih 
seperti kapur. Sehingga, perbedaan keduanya 
tampak demikian nyata.
"Setan Muka Putih...," panggil lelaki berwajah 
merah yang wajahnya hampir tersembunyi oleh 
rambut yang meriap. Suaranya sember seperti 
ember bocor dipukul. Tatapan matanya sangat 
tajam dan berpengaruh. Sosok pemimpin 
Gerombolan Setan Merah dapat membuat seorang 
bocah mati mendadak bila melihatnya.
"Hmh...."
Lelaki yang sama tingginya dengan pemimpin 
Gerombolan Setan Merah bergumam serak. 
Sosoknya yang tigak kalah mengerikan dengan 
sang Pemimpin berbalik, dan menatap wajah lelaki 
di hadapannya lekat-lekat Sikapnya tidak 
menunjukkan bahwa ia tengah berhadapan dengan 
seorang pemimpin. Tapi, lelaki berwajah merah 
tidak kelihatan marah. Di antara mereka memang 
tidak terikat peraturan seperti umumnya.

"Kita harus memberi pelajaran kepada penduduk 
desa ini yang telah berani kurang ajar melawan
kita...!" geram pemimpin Gerombolan Setan Merah 
itu penuh dendam. Tampaknya, ia benar-benar 
marah dengan kejadian itu.
Lelaki jangkung bermuka putih 
memperdengarkan geraman, la mengerti apa yang 
diinginkan pemimpinnya yang berwajah mirip 
dengannya. Mereka adalah saudara seperguruan 
yang merupakan tokoh sesat tersembunyi, dan 
jarang menampakkan diri di dunia persilatan. 
Sehingga nama kedua tokoh mengiriskan itu jarang 
dikenal, kecuali oleh tokoh-tokoh angkatan tua.
Seperti juga Setan Muka Merah, usia Setan 
Muka Putih pun sukar ditebak. Wajah mereka 
terlindung deh cat tebal. Dari kerutan wajah yang 
hampir tidak terlihat dapat diperkirakan usia 
mereka sekitar lima puluh tahun lebih.
Setelah mendapat perintah Setan Muka Merah, 
kakak seperguruannya, Setan Muka Putih duduk 
bersila di bawah sebatang pohon. Matanya 
terpejam rapat dengan kedua tangan terlipat di 
depan dada. Entah apa yang akan dilakukan tokoh 
menyeramkan itu. Hanya orang-orang Gerombolan 
Setan Merah saja yang mengetahuinya.
---ooo0myr0ooo---
Apa yang dilakukan Setan Muka Putih kini dapat 
ditebak. Sosok-sosok anggota gerombolan yang 
tewas bergerak bangkit Setan Muka Putih telah

mempergunakan 'Ilmu Pembangkit Mayatnya yang 
mengerikan.
Setelah tahu di mana lawan-lawannya 
bersembunyi, mayat-mayat anggota Gerombolan 
Setan Merah yang berjumlah delapan orang 
bergerak menghampiri dua buah rumah di kiri dan 
kanannya. Apa yang mereka lakukan sangat sukar 
dipercaya!
Dua belas orang penduduk yang bersembunyi di 
atas atap kedua rumah itu terkejut bukan main. 
Mereka merasa ada getaran pada rumah yang 
digunakan untuk bersembunyi.
Kraaakkkh...!
"Hei...?! Ada apa ini...?!"
Pekik ketakutan mereka mulai terdengar. 
Getaran yang hampir merobohkan rumah itu 
membuat mereka .berloncatan turun. Semua 
berlompatan ke tanah tanpa busur dan anak 
panah.
"Hmrrr...!"
"Aaah...?!"
Wajah dua belas penduduk desa itu sangat 
pucat Melihat tubuh-tubuh berlumuran darah 
dengan anak panah yang masih tertancap di 
tubuhnya, bergerak maju hendak mencekik 
mereka. Mayat-mayat hidup itulah yang telah 
mematahkan riang-riang penyangga rumah. Entah 
dari mana mereka memperoleh kekuatan yang 
demikian besar itu. Sehingga, mampu merobohkan 
rumah dengan tangan kosong.
"Bukankah..., bukankah mereka tadi telah

menjadi korban anak panah kita...?.'" desis seorang 
penduduk dengan susah-payah. Orang itu 
mengenali anak panah yang tertancap di tubuh 
mayat Gerombolan Setan Merah.
"Celaka! Mayat-mayat hidup...?!" pekik yang 
lainnya dengan kedua kaki gemetar dan sukar 
digerakkan. Bahkan, karena takutnya sampai 
terkencing-kencing!
"Cepat beri tanda pada Pendekar Naga Putih...!" 
salah seorang yang masih mampu mengua--sai diri, 
segera mengingatkan kawan-kawannya akan 
nasihat Panji agar memberi tanda bila mereka 
menghadapi bahaya.
Tapi, tak satu pun yang sanggup melakukannya. 
Lelaki tegap yang memberi perintah segera 
mengeluarkan sebatang bambu sepanjang ibu jari 
tangan. Kemudian dilekatkannya ke bibir. 
"Suiiit..!"
Terdengar lengkingan panjang menerobos 
kegelapan malam hingga menyelinap ke sudut-
sudut desa. Tapi, suara lengkingan itu berhenti di 
tengah jalan. Karena leher lelaki yang meniupnya 
dicekik sepasang tengan sekuat jepitan baja!
"Hekhhh...?!"
Lidah lelaki tegap itu terjulur ketika sesosok 
mayat hidup mengangkat tubuhnya tinggi tinggi. 
Napasnya putus setelah tulang lehernya patah 
diremas mayat hidup itu. Dan, tubuhnya melorot ke 
tanah bagai sehelai kain basah.
"Ibliiisss...!" desis kawan-kawan lelaki tegap itu. 
Meski dengan tangan gemetar, mereka mencoba

meloloskan senjata dari pinggang dan 
menghunusnya.
"Haaat..!"
Dengan memberanikan diri, para penduduk 
bergerak maju sambil membabatkan senjatanya. 
Tapi...
Crakkk!
Bacokan itu telak mengenal tubuh mayat hidup. 
Tapi meskipun darah mengalir dari tubuhnya, 
mayat hidup itu tetap berdiri tegak. Seolah luka itu 
tidak membuatnya tewas untuk kedua kali.
"Aaakh...!"
Tubuh yang tegak terpaku dengan sepasang 
mata terbelalak, tiba-tiba terangkat ke atas. 
Sepasang lengan yang kuat telah mencekik batang 
lehernya.
Ngekkk!
Lelaki sial itu menggelepar sekarat Tubuhnya 
dibanting ke tanah dengan kuat Hingga tulang-
tulangnya remuk seketika. Seorang kawan lelaki 
sial itu bernasib sama. Kepala orang itu remuk oleh 
pukulan mayat hidup.
"Aaah...?!"
Mereka yang masih tersisa bergerak mundur 
dengan wajah pucat seperti lawan-lawannya. 
Keringat sebesar biji jagung meluncur turun 
membasahi wajahnya. Jelas, mereka tengah 
dilanda ketakutan hebat
"Haiiit..!"
Pada saat mereka hampir mati ketakutan, 
terdengar lengkingan tinggi yang menulikan

telinga.] Sesosok bayangan putih meluncur cepat 
laksana! sambaran kilat Dan meluncur turun di 
depan delapan sosok mayat hidup.
Whusss...!
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok 
pemuda tampan berjubah putih itu langsung 
mendorongkan sepasang telapak tangannya, yang 
mengeluarkan sinar putih keperakan dan sinar 
kuning keemasan sekaligus. Hingga.... 
Blarrr!
Ledakan keras terdengar ketika pukulan jarak 
jauh yang maha dahsyat itu menerpa dua tubuh 
mayat hidup. Tanpa ampun lagi, rubuh mayat 
hidup itu langsung hancur menjadi serpihan kecil.
"Hm.... Sekarang aku tahu bagaimana caranya 
melumpuhkan mayat-mayat hidup ini...! 
Sepantasnya manusia pengecut yang bersembunyi 
di balik tubuh mayat-mayat hidup inilah yang harus 
kuhadapi Karena permainan anak-anaknya sudah 
tidak berguna lagi..!" ujar pemuda tampan 
berjubah putih yang bukan lain dari Panji.
Pendekar Naga Putih memang sengaja 
menantang orang yang menggerakkan mayat-
mayat hidup itu. Menurut dugaannya, tokoh yang 
bersembunyi di balik tubuh mayat-mayat hidup itu 
tidak berada jauh dari tempat itu.
Teriakan lantang Pendekar Naga Putih bergema 
terbawa hembusan angin malam. Hingga 
tertangkap telinga Setan Muka Merah dan Setan 
Muka Putih. Teriakan itu dikeluarkan Panji dengan 
kekuatan tenaga dalam tinggi.

Panji berdiri tegak menanti munculnya tokoh 
yang dimaksud Tapi, tantangannya belum 
mendapat sambutan. Enam mayat hidup itu masih 
tetap bergerak mendekatinya, membentuk 
kepungan. Kali ini, mayat-mayat hidup itu bergerak 
agak cepat dengan memperlihatkan jurus-jurus 
silat Kemudian, menerjang Panji secara bersamaan. 
"Haaat..!"
Panji memekik nyaring. Tubuhnya bergerak ke 
kiri dan kanan sambil melepaskan pukulan tenaga 
gabungan yang maha dahsyat Ledakan-ledakan 
keras terdengar susul-menyusul bersama 
hancurnya keenam mayat hidup itu. Meskipun 
tenaganya cukup banyak terkuras, namun Panji
merasa puas. Mayat-mayat hidup itu dapat 
ditanggulanginya dengan baik. Kini pemuda 
tampan itu berdiri tegak menanti orang yang 
menggerakkan mayat-mayat itu.
---ooo0myr0ooo---
DELAPAN


Brolll! 
"Aaah...?!"
Panji tersentak mundur ketika mendadak saja 
tanah tempatnya berdiri terangkat naik. Jebol 
bersamaan dengan munculnya tangan-tangan 
kurus berkuku runcing Bahkan bukan hanya di 
tempatnya semula berdiri. Tapi, di sekeliling 
pemuda itu telah bermunculan tubuh-tubuh kotor 
tanpa wajah. Kepala mereka hanya berupa

tengkorak!
"Gila...?! Ilmu apa lagi yang digunakan iblis-iblis 
itu...?!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat tergetar hatinya 
menyaksikan sosok-sosok mayat yang mungkin 
telah lama terkubur 
dalam tanah. Kalau 
tidak mengalaminya 
sendiri, pemuda itu 
tidak akan percaya 
dengan kejadian 
itu. Beberapa 
penduduk yang 
selamat berkat 
pertolongan Panji, 
langsung pingsan. 
Pemandangan itu 
terlalu mengerikan 
bagi mereka.
Panji sendiri berusaha mengerahkan kekuatan 
batinnya untuk menekan kengerian yang menjalari 
hatinya. Tengkorak hidup yang pakaiannya telah 
hancur di sana-sini sangat banyak jumlahnya. 
Pendekar Naga Putih tidak mungkin menggunakan 
tenaga gabungannya terus-menerus. Karena hal itu 
akan membuatnya mari lemas kehabisan tenaga.
Otak pemuda perkasa itu cepat berputar 
mencari cara menghadapi lawan-lawan mengerikan 
itu. Panji segera mengambil keputusan kilat 
Tengkorak-tengkorak hidup itu sudah bergerak 
maju dari segala arah. Siap merejam tubuhnya

hidup-hidup!
"Hmh...," Panji bergumam lirih. Lalu, 
membentak perlahan memanggil keluar Pedang 
Naga Langit Sebentar kemudian, di genggaman 
pemuda itu telah muncul sebatang pedang bersinar 
kuning keemasan yang memancarkan hawa panas 
menyengat
Whukkk.... Whukkk!
Terdengar dengungan bagai ratusan lebah 
marah, saat Panji memutar pedang keramat itu di 
atas kepalanya. Sinar kuning keemasan berhawa 
panas menyebar, memaksa tengkorak-tengkorak 
hidup itu menghentikan langkah. Makhluk-makhluk 
mengerikan itu ragu untuk bergerak maju
"Hm.... Ayo majulah, Ibtts-iblis Neraka...!" 
tantang Panji sambil melintangkan pedang 
keramatnya di depan dada. Siap menghadapi 
keroyokan puluhan tengkorak-tengkorak hidup.
Tubuh tengkorak-tengkorak hidup itu tampak 
bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Kelihatan 
jelas kalau makhluk-makhluk mengerikan itu 
merasa bimbang, dan hendak membantah perintah 
orang yang menggerakkannya. Tapi beberapa saat 
kemudian, tengkorak-tengkorak hidup itu kembali 
bergerak maju. Rupanya, mereka tidak sanggup 
membantah perintah orang yang menguasainya. 
"Heaaat..!"
Melihat lawan-lawannya bergerak mendekat, 
Pendekar Naga Putih tidak mau menunggu. 
Tubuhnya langsung melesat ke depan disertai 
kelebatan pedang keramatnya yang berhawa

panas.
Plasss... plasss...!
Panji menahan seruan herannya ketika melihat 
dua sosok tengkorak hidup langsung lenyap 
menjadi gumpalan asap, ketika tersentuh ujung 
senjatanya. Asap putih tebal itu meluruk ke tanah, 
kemudian lenyap terserap bumi.
Melihat kenyataan itu Pendekar Naga Putih 
menjadi lega. Pedang Naga Langit kembali 
menunjukkan keampuhannya. Sebenarnya, bukan 
hanya karena keampuhan pedang itu lawan-
lawannya dapat dilumpuhkan. Tenaga dalamnya 
pun ikut berperan di sana. Tanpa memiliki tenaga 
dalam yang tinggi, Pedang Naga Langit tidak akan 
banyak gunanya. Hanya jika berada dalam tangan 
seorang berhati bersih dan memiliki kepandaian 
tinggi sajalah pedang keramat itu akan 
menunjukkan keampuhannya.
"Haiiit..!"
Dengan semangat berlipat ganda, Pendekar 
Naga Putih kembali melesat ke arah makhluk-
makhluk mengerikan itu. Pedang di tangannya 
berkelebatan membentuk gulungan sinar berhawa 
panas menyengat Dalam waktu singkat hampir 
separuh lebih tengkorak-tengkorak hidup itu 
kembali ke asalnya di dalam bumi. 
Bettt.. bettt!
Untuk kesekian kafinya pedang keramat itu 
membabat tubuh yang terdiri dari tulang-belulang. 
Berkat keteguhan dan ketangguhannya, Panji 
berhasil melenyapkan tengkorak-tengkorak hidup

itu kembali ke asalnya.
"Hhh...," Panji menghela napas panjang seraya 
menyusut peluh yang membasahi kening.
Meskipun pertempuran itu tidak berlangsung 
lama, namun membuat agak lelah. Panji telah 
banyak menggunakan tenaga dalamnya untuk 
melenyapkan lawan-lawannya.
"Hm.... Sebelum iblis itu membuat ulah lagi, 
sebaiknya ia dipaksa keluar dari 
persembunyiannya...," desis Panji segera 
mengangkat pedang keramatnya di atas kepala.
"Haaah!"
Dengan sebuah pekik mengguntur, Panji 
melepaskan Pedang Naga Langit dari 
genggamannya. Pendekar Naga Putih hendak 
memaksa keluar lawannya dengan menggunakan 
pedang keramat itu.
Whukkk..!
Ajaib sekali! Setelah lepas dari tangannya, 
Pedang Naga Langit berputaran menimbulkan 
deruan angin tajam. Seolah telah menemukan apa 
yang dicarinya, senjata keramat itu berhenti 
sesaat! dalam keadaan mengapung di udara. 
Kemudian meluncur cepat laksana kilatan sinar 
yang jatuh ke bumi.
"Panji...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat Panji 
menoleh ke belakang. Dilihatnya Kenanga, Ki 
Kaligandi, Bagola, dan Dinta tengah berlari ke 
arahnya. Di belakang mereka terdapat belasan 
orang keamanan desa, ditambah dua puluh lebih

penduduk desa.
"Mengapa kalian melanggar rencana yang telah 
disepakati bersama...?" tegur Panji kaget melihat 
mereka meninggalkan tempat persembunyiannya.
Menurutnya, tindakan mereka sangat berbahaya.
"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa menahan mereka 
yang mengkhawatirkan keselamatanmu...," jelas
Kenanga.
Pemuda itu hanya bisa menghela napas] 
panjang. Semua memang sudah telanjur.
"Yeaaat..!"
Mendadak dari depan dan kiri-kanan mereka! 
bermunculan orang-orang Gerombolan Setan 
Merah. Mereka rupanya telah berada di sekitar 
tempat itu sejak tadi, dan tengah menunggu 
kesempatan baik.
"Celaka! Mundur...!" seru Panji melihat 
Gerombolan Setan Merah datang menyerbu dengan 
senjata di tangan. Khawatir akan keselamatan 
penduduk desa, Pendekar Naga Putih langsung me-
ngempos semangatnya, mengerahkan seluruh 
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
"Heaaah.„!"
Tanpa membuang waktu lagi, Panji 
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke 
depan. 
Blarrr...!
Akibatnya sangat hebat! Belasan anggota 
Gerombolan Setan Merah beterbangan bagai 
dilanda badai salju dahsyat! Tidak sedikit dari 
mereka yang langsung tewas dengan kulit

kebiruan.
Amukan Pendekar Naga Putih sungguh 
menggiriskan. Pukulan-pukulan mautnya terus 
terlontar dan menewaskan lawan. Rasa khawatir 
akan nasib penduduk Desa Palasari, membuatnya 
terpaksa membantai lawan-lawannya. Memang 
hanya itu pilihan satu-satunya yang dimiliki 
Pendekar Naga Putih.
Meski bagaimanapun hebatnya amukan Panji, 
karena jumlah lawan terlampau banyak dan rata-
rata berkepandaian tinggi, beberapa di antaranya 
berhasil menerobos masuk dan menyerang 
rombongan Ki Kaligandi.
"Haiiit..!"
Melihat beberapa anggota Gerombolan Setan 
Merah berhasil melewati Panji, Kenanga langsung 
menyambutnya dengan sambaran Pedang Sinar 
Rembulan.
Crasss! Crasss!
"Auhhh...!"
Dua orang lawan yang nekat menjerit parau. 
Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan 
darah. Tewas tanpa ampun.
"Ayo. Majulah, Ibfis-iblis Keparat..!" tantang 
Kenanga seraya memutar senjatanya, membentuk 
gulungan sinar putih keperakan berhawa dingin. 
Beberapa orang lawan kembali jadi korban ujung 
pedang dara jelita itu.
Demikian pula Ki Kaligandi, Bagola, dan Dinta. 
Ketiga tetua desa itu, menyabetkan pedangnya 
menyambut kedatangan lawan. Pertempuran pun
tidak bisa dielakkan lagi.
"Aaakh...!"
Korban di pihak warga Desa Palasari mulai 
berjatuhan. Satu persatu mereka mulai roboh 
bermandikan darah. Mereka memang bukan lawan 
anggota Gerombolan Setan Merah.
"Mundur...!"
Melihat para penduduk mulai berjatuhan, 
Pendekar Naga Putih segera memerintahkan untuk 
menjauh. Tubuh pemuda itu melesat ke arah 
orang-orang desa yang tengah mati-matian 
mempertahankan nyawa dari incaran pedang 
lawan.
"Heaaah...!" 
Buggg! 
Desss!
Tiga orang anggota Gerombolan Setan Merah 
terguling dengan dada remuk. Pukulan dan 
tendangan Panji membuat mereka tewas seketika. 
Tanpa banyak membuang waktu, Panji mengambil 
sebatang pedang dari korban pukulannya. 
Kemudian mengamuk bagai naga murka.
Penduduk Desa Palasari mulai dapat bernapas 
lega setelah Pendekar Naga Putih ikut bertarung di 
tempat itu. Pedang rampasannya bergerak 
membabat lawan, yang bertumbangan bagai 
rumput-rumput kering Sehingga jalan untuk 
mundur terbuka lebar.
"Ki Kaligandi! Bawa mereka mundur...!" seru 
Panji pada orang tua itu, yang tengah sibuk 
menghadapi dua orang lawannya.

Panji segera melesat dan membabat habis lawan 
Ki Kaligandi, Bagola, serta Dinta. Kemudian, 
menyuruh tetua-tetua Desa Palasari itu untuk 
segera mundur menjauhi tempat itu.
Menyadari keadaan mereka memang sangat 
berbahaya, Ki Kaligandi segera mematuhi perintah 
Pendekar Naga Putih. Kepala Desa Palasari itu 
membawa warga desanya bergerak mundur, 
meninggalkan arena pertempuran
Tinggallah Panji dan Kenanga yang menghadang 
lawan-lawannya dengan pedang di tangan
Amukan sepasang pendekar muda itu membuat 
lawan-lawannya gentar dan bergerak mundur. 
Karena siapa saja mendekat, nyawanya pasti akan 
jalan-jalan ke akhirat 
Cwittt! Cwittt!
Panji dan Kenanga memutar pedangnya dengan 
gerakan menyilang. Kemudian berhenti di depan 
dada ketika melihat lawan-lawannya tidak berani 
maju.
"Haiiit..!"
Baru saja pasangan pendekar muda itu menarik 
napas lega, terdengar sebuah lengkingan halus. 
Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh 
ramping terbungkus pakaian serba merah. 
Wajahnya pun tertutup cadar yang juga berwarna 
merah. Wanita yang merupakan murid Setan Muka 
Merah itu sebelumnya sempat bertarung dengan 
Panji. Saat itu ia dan anggota Gerombolan Setan 
Merah menyerang rombongan Ki Kaligandi di 
daerah pekuburan Desa Palasari.

Melihat wanita bercadar merah, Kenanga 
langsung bergerak maju. Pedang di tangannya 
berputar dengan serangan cepat dan kuat 
Sehingga, wanita bercadar merah segera menarik 
tubuhnya ke belakang, kemudian membalas 
serangan Kenanga dengan tidak kalah ganasnya. 
Sebentar saja, kedua wanita itu telah bertempur 
sengit
Melihat kekasihnya bertarung dengan wanita 
bercadar merah, Panji menggeser langkahnya 
menjauhi arena. Pemuda itu merasa yakin kalau 
Kenanga akan sanggup menghadapi wanita 
bercadar merah itu. Pendekar Naga Putih 
menunggu kemunculan tokoh-tokoh puncak 
Gerombolan Setan Merah, yang tengah dipaksa 
keluar oleh Pedang Naga Langit
---000omyro000---
Panji yang tengah berdiri menanti kemunculan 
gembong Gerombolan Setan Merah, 
menengadahkan kepala. Pemuda berjubah putih itu 
mendengar suara desingan senjata yang ditingkahi 
makian parau.
"Pedang celaka...!"
Tidak berapa lama kemudian, tampak dua sosok 
tubuh yang tingginya tidak lumrah, berlarian sambil 
sesekali menoleh ke belakang. Kedua orang aneh 
itu adalah Setan Muka Merah dan Setan Muka 
Putih!
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' di tubuh Pendekar

Naga Putih langsung menyebar ketika melihat 
kemunculan dua tokoh aneh itu. Sekali lihat saja 
Panji dapat menebak kalau mereka pimpinan 
Gerombolan Setan Merah. Di belakang kedua orang 
bertubuh jangkung itu terlihat Pedang Naga Langit 
melayang-layang di udara.
Zinggg...!
Pedang keramat itu tiba-tiba meluncur pesat 
mendahului Setan Muka Merah dan Setan Muka 
Putih. Kemudian, melekat erat di telapak tangan 
majikannya, yang sudah terangkat di atas kepala.
"Hm.... Akhirnya kalian muncul juga, Iblis-iblis 
Pengecut...'" sambut Panji seraya menggenggam 
erat pedang keramatnya. Pemuda itu telah siap 
bertarung dengan dua orang gembong Gerombolan 
Setan Merah.
"Keparat' Ilmu apa yang kau gunakan, Pendekar 
Naga Putih? Rupanya, kau pun memiliki ilmu 
sihir...," ujar Setan Muka Putih yang langsung 
mengenali pemuda tampan berjubah putih itu.
"Aku tidak memiliki ilmu sihir seperti yang kau 
maksudkan, Orang Muka Putih. Meskipun demikian, 
jangan kira aku tidak mampu melakukan perbuatan 
aneh seperti ilmu-ilmu yang kalian miliki," sahut 
Panji sambil meneliti wajah dan sosok dua orang 
tokoh sesat itu.
"Hm.... Jangan takabur, Pendekar Naga Putih! 
Meskipun ilmu yang kau gunakan sempat 
mengejutkan kami, tapi jangan harap dapat 
mengalahkan kami...."
Kali ini Setan Muka Merah yang menyahuti

dengan suara sembemya. Sepasang matanya yang 
mengandung kekuatan sihir menyorot tajam. 
Sepertinya, tokoh sesat itu hendak melumpuhkan 
lawan dengan pandang matanya.
"Hm...," Panji menggumam perlahan. Disadari 
kalau dirinya tidak akan sanggup bertahan dari 
tatapan mata lawan yang mengandung kekuatan 
sihir tingkat tinggi itu. Diangkatnya Pedang Naga 
Langit di depan mata.
"Aaah...?!"
Setan Muka Merah memekik kaget Tubuhnya 
terjajar mundur beberapa langkah. Sepasang 
matanya tampak dipejamkan. Saat Panji 
mengangkat senjatanya, terpancar sinar kurang 
keemasan yang langsung membentur kekuatan 
sihir Setan Muka Merah. Sehingga, sepasang mata 
tokoh sesat itu terasa sakit
Setan Muka Putih juga kelihatan kaget dengan 
kejadian itu. Timbul keinginannya untuk merebut 
pedang keramat itu dari tangan Pendekar Naga
Putih. Maka, Setan Muka Putih segera melesat ke 
arah Panji dengan cengkeraman-cengkeraman 
mautnya!
"Heaaah...!"
Bettt! Bettt!
Sambaran jari-jari tangan Setan Muka Putih 
bergerak susul-menyusul mengancam tubuh 
Pendekar Naga Putih. Dari suara sambaran angin
yang bercicitan, dapat ditebak besarnya tenaga 
dalam yang dipergunakan lawan.
Melihat betapa hebat dan berbahaya serangan

lawan, Panji berloncatan mundur menghindar. 
Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan dengan 
lincah. Sehingga, setiap sambaran jari-jari tangan 
Setan Muka Putih mengenai tempat kosong. Setiap 
kali jari-jari tangannya tiba, tubuh lawan telah 
berpindah ke tempat lain.
"Keparat..!" desis Setan Muka Putih penasaran 
setelah serangan-serangannya selalu gagal. Bahkan 
beberapa tusukan pedang lawan nyaris membuat 
tubuhnya terluka. Untung ia masih bisa 
menghindari serangan balasan Pendekar Naga 
Putih.
"Haaat..!"
Ketika pertarungan Panji dan Setan Muka Putih 
berlangsung sengit Setan Muka Merah yang telah 
mampu menguasai diri, melayang ke tengah arena. 
Sosok itu hendak mengeroyok Pendekar Naga 
Putih. Rupanya, pimpinan Gerombolan Setan Merah 
itu sadar, kepandaian Pendekar Naga Putih tidak 
bisa diremehkan.
Terjunnya Setan Muka Merah membantu 
saudara seperguruannya, membuat Panji 
bertambah repot Dalam jurus-jurus awal, Panji 
lebih banyak menghindar daripada memberikan 
serangan balasan. Pemuda itu agaknya hendak 
melihaat sampai di mana kehebatan kedua tokoh 
sesat itu.
"Haiit..!"
Saat perkelahian menginjak jurus keseratus dua 
puluh, tiba-tiba Pendekar Naga Putih mengeluarkan
'Pekikan Naga Marah'. Tubuh pemuda itu

bergerak lebih cepat dari semula. Kali ini Panji 
menggunakan jurus-jurus pedang pamungkas 
untuk menundukkan kedua lawannya. 
Wuttt.. bettt...!
Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga 
Putih meliuk-liuk bagai seekor naga emas 
mengamuk. Desingan tajam yang disertai pancaran 
sinar kuning keemasan mengaung tajam, laksana 
gemuruh air terjun. Suasana di sekitar arena 
pertempuran maut itu bagai tengah dilanda badai 
topan dahsyat!
Bukan main terkejutnya hati Setan Muka Merah 
dan Setan Muka Putih ketika menyaksikan 
kedahsyatan ilmu lawan. Keduanya segera 
berloncatan mundur, dan mempersiapkan jurus 
baru untuk mengimbangi kehebatan jurus 
Pendekar Naga Putih.
'"Ilmu Mayat Gila'...!" desis Setan Muka Merah 
memberi isyarat kepada saudaranya untuk 
menggunakan jurus yang menyeramkan itu
"Heaaah...!"
Setan Muka Putih segera memainkan 'Jurus 
Mayat Gila'. Tubuh jangkung itu meliuk dengan 
gerakan aneh dan patah-patah. Meski demikian, 
sambaran angin yang ditimbulkannya terdengar 
ber-ciutan. 'Jurus Mayat Gila' membutuhkah 
pengerahan tenaga yang tidak sedikit
"Aaat..!"
"Kaaak...!"
Dibarengi pekikan nyaring yang menulikan 
telinga, tubuh Setan Muka Merah dan Setan Muka

Putih bergerak ke depan dengan langkah-langkah 
kaku, bagai sesosok mayat Kedua pasang lengan 
mereka membentuk gerakan-gerakan melipat dan 
membuka. Kehebatan jurus itu ada pada sambaran 
angin yang amat kuat Hingga benda-benda di 
sekitarnya beterbangan bagai dilanda angin topan.
"Heaaat..!"
Melihat lawan telah menabah gerakannya dan 
menggunakan jurus baru yang aneh dan 
mengerikan, Panji segera melambung ke udara. 
Dari atas, tubuhnya meluncur turun dengan 
kecepatan yang sulit ditangkap mata. Apalagi sinar 
putih keperakan dan snar kuning keemasan 
berpendaran, hingga lawan sukar untuk melihat 
sosok pemuda itu. Itulah 'Jurus Naga Sakti Melunak 
ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus 
ampuh dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'. 
Dan....
Breeet! Breeet!
"Aaargh...!"
"Aaa...!"
Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih 
meraung keras saat mata pedang Pendekar Naga 
Putih merobek bagian tengah tubuh mereka. Kedua 
sosok jangkung itu terlempar dan terbanting ke 
tanah. Darah segar mengucur deras dari luka 
memanjang di tubuh Setan Muka Putih dan Setan 
Muka Merah. Setelah meregang sesaat, tubuh 
kedua tokoh sesat yang mengerikan itu diam tak 
bergerak lagi. 
Mati.

Setelah menamatkan riwayat Setan Muka Merah 
dan Setan Muka Putih, Panji berbalik menghadapi 
anggota Gerombolan Setan Merah. Puluhan lelaki 
kurus bermuka merah itu bergerak mundur dengan 
sinar mata gentar. Sedangkan Kenanga yang baru 
saja membereskan wanita bercadar merah, 
langsung bergabung dengan kekasihnya, 
menghadapi gerombolan yang baru saja kehilangan 
pemimpinnya.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar...."
Ketika beberapa anggota gerombolan berlutut 
kepada Pendekar Naga Putih, yang lain segera 
mengikuti.
"Hm.... Hari ini aku masih mengampuni nyawa 
kalian. Tapi, kalian harus berjanji akan mengubah 
cara hidup kalian selama ini. Jika aku mendengar di 
antara kalian ada yang menyeleweng, aku akan 
datang untuk mencabut nyawa kalian semua!" ujar 
Panji dengan suara lantang.
Anggota Gerombolan Setan Merah segera 
menyatakan kesediaannya untuk berjanji Dan 
setelah itu, mereka kemudian bersujud dan 
menyatakan terima kasih.
"Sekarang pergilah dari tempat ini. Cari 
kehidupan yang lebih baik, tanpa harus berbuat 
jahat..," ujar Panji lagi.
Panji berdiri tegak di samping Kenanga, 
memandangi anggota Gerombolan Setan Merah 
yang meninggalkan tempat itu dengan 
berpencaran. Setelah sosok-sosok kurus itu lenyap, 
keduanya meninggalkan tempat itu untuk menemui

Ki Kaligandi dan warga desanya yang berkumpul di 
balai desa.
Malam sudah menjelang pagi. Kokok ayam 
jantan terdengar menyambut datangnya fajar. Pagi 
itu merupakan hari baru bagi penduduk Desa 
Palasari. Mulai pagi hari itu desa mereka kembali tenteram dan damai.





                               SELESAI

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar