Hampir setiap malam terjadi pembunuhan di
Desa Palasari, korban selalu tewas dengan tanda
tiga buah jari yang melubangi kening !
Bagaimanakah sikap Kepala Desa Palasari, Ki
Kaligandii ketika mengetahui pelaku pembunuhan
di desanya adalah Gerombolan Setan Merah ?.
Gerombolan kaum sesat yang memiliki ilmu-ilmu
hitam mengerikan! Bahkan sanggup
membangkitkan mayat dari dalam kuburnya!
Mampukah Pendekar Naga Putih mengatasi tokoh-
tokoh puncak Gerombolan Setan Merah yang
sangat sakti dan mengerikan itu?
---ooo0dMyrna0ooo---
SATU
Matahari sudah jauh bergeser ke barat Sinarnya
kian redup, berganti dengan semburat cahaya
merah. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun
menyelimuti permukaan bumi. Seiring dengan itu,
terdengar nyanyian binatang-binatang malam yang
saling bersahutan. Malam telah jatuh.
Langit dihiasi bulan sabit Sinarnya yang redup
tak mampu menembus kegelapan malam yang
semakin pekat Terlebih di daerah pekuburan yang
terletak jauh di luar Desa Palasari. Pantulan cahaya
samar sang Dewi Malam, jatuh di beberapa batu
nisan. Dan, membentuk gambaran-gambaran
seram yang membuat bulu kuduk meremang.
Ditambah lagi adanya kepulan asap tipis laksana
lapisan kabut Daerah pekuburan itu tampak
semakin menyeramkan.
"Hhh.... Malam ini tidak seperti biasanya. Dingin
sekali...," desah seorang penjaga pekuburan sambil
menaikkan kain sarungnya hingga ke leher.
Kemudian melipat kedua tangannya. Seolah
dengan sikapnya itu kebenaran ucapannya ingin
diperlihatkan.
Lelaki berselimut kain sarung itu melangkah
perlahan keluar dari pos jaganya. Menilik
wajahnya, usianya kira-kira Bma puluh tahun.
Bertubuh kurus dan agak bungkuk. Langkahnya
tertatih-tatih mendekati sosok lain yang tengah
berjongkok di dekat perapian.
"Kurang ajar...! Udara dingin malam ini
membuat kayu jadi lembab dan sulit terbakar...,"
lelaki yang tengah sibuk membuat api unggun
mengomel panjang pendek. Rupanya, merasa
jengkel apinya tak juga mau membesar.
"Heh heh heh.... Kau mengomel pada siapa, Adi
Lajang...?" tegur lelaki kurus itu sambil berjongkok
di dekat kawannya. Hatinya merasa geli melihat
kelakuan kawannya yang mengomel sendirian.
"Ah. Kau rupanya, Kakang Jasman!" seru lelaki
beralis tebal agak terkejut mendengar teguran itu.
"Mengapa tidak tidur? Biar aku saja yang berjaga-
jaga sampai lewat tengah malam nanti...."
Setelab berkata begitu, tatapan lelaki beralis
tebal yang ternyata bernama Lajang itu kembali
beralih pada api unggun yang menyala kecil. Lalu
sibuk mengatur kayu bakar di atas jilatan api.
"Hhh.... Udara dingin begini masa bisa tidur,
Adi...," sungut Ki Jasman, ikut sibuk membantu
kawannya memperbesar api. Selain untuk
menghangatkan tubuh, api itu pun digunakan
sebagai pengusir nyamuk.
"Ya. Udara malam ini memang tidak seperti
biasanya. Kalau tidak ingat akan tugas, aku lebih
suka pulang dan tidur sepuas-puasnya...," timpal
Lajang. Rupanya, dia pun merasakan dinginnya
udara malam itu. "Malam apa ini, Kakang...?"
Kata-kata itu diucapkan Lajang sambil tetap
sibuk mengurus api unggun di depannya.
Sepertinya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi
saja.
Tapi pertanyaan itu sempat membuat kening Ki
Jasman berkerut agak dalam. Bahkan, sepasang
matanya mengitari daerah pekuburan di depannya.
Sebentar kemudian, wajahnya terlihat menegang.
"Hm.... Kalau tidak salah, malam Jumat Kliwon,
Adi Lajang," sahutnya dengan suara agak kering.
"Kalau malam Jumat Kliwon memangnya
kenapa, Kakang...?" tanya Lajang yang tidak
membedakan soal nama-nama malam. Lelaki
beralis tebal itu tetap acuh dan tidak
mempedulikan ketegangan kawannya.
"Tidak apa-apa, Adi," sahut Ki Jasman, berusaha
menyembunyikan ketegangan hatinya. Mungkin
merasa malu bila Lajang yang usianya lebih muda
darinya itu sampai mengetahui perasaannya saat
itu.
Sementara itu, api sudah mulai membesar.
Rupanya, usaha Lajang tidak sia-sia. Mereka mulai
merasakan kehangatan yang menyerap ke dalam
tubuh. Lajang menoleh dan tersenyum pada
kawannya. Tapi sebentar kemudian senyumnya
pudar. '
"Kau seperti tengah memikirkan sesuatu, Ka-
kang...?" tanya Lajang, seolah dapat membaca
keanehan pada wajah lelaki setengah baya di
sampingnya, yang juga tengah bangkit berdiri.
Ki Jasman sedikit tersentak mendengar
pertanyaan Lajang. Dihelanya napas panjang.
Kakinya melangkah lalu duduk di bangku kayu,
yang ada di depan pos jaga. Tampaknya lelaki
setengah baya itu berusaha menghindar dan
menyembunyikan perasaannya.
"Ada apa, Kakang...?" Lajang menjadi
penasaran. Dan, berusaha mendesak kawannya
agar memberikan jawaban
Ki Jasman kembali menghela napas panjang dan
mengedarkan pandangannya ke daerah peku-
buran. Sepertinya, orang tua itu tengah mencari
jawaban yang tepat
"Kau ingat peristiwa beberapa minggu yang
lalu..?" Ki Jasman balik bertanya sambil menatap
wajah Lajang yang mengerutkan kening.
"Maksud, Kakang...?" Lajang agaknya belum
mengerti arah pertanyaan Ki Jasman. Ditatapnya
wajah orang tua itu lekat-lekat
"Ah.... Masa kau lupa dengan kejadian
pembongkaran makam pada beberapa minggu
lalu...?"
Ki Jasman mencoba mengingatkan Lajang akan
peristiwa itu.
"Hm.„. Ya, aku ingat!" sahut Lajang setelah
berpikir sesaat "Lalu...?"
"Ah...! Bebal sekali otakmu, Lajang!" umpat Ki
Jasman jengkel. Perasaan itu terpancar pada
sepasang mata tuanya. "Kau ingat! Kejadiannya
pada malam seperti ini...!"
"Ooo.... Jadi itu yang mengganggu pikiran
Kakang...?" Lajang membulatkan mulutnya begitu
ingat apa yang dikatakan Ki Jasman. Sehingga,
orang tua itu kelihatan bertambah kesal.
”Peristiwa itu sungguh tidak mengganggu
pikiranmu?" tegur Ki Jasman. Kelihatan sekali kalau
lelaki tua itu tidak puas dengan jawaban Lajang.
"Mula-mula memang agak sedikit mengganggu.
Tapi, untuk apa kita memikirkannya? Lagi pula,
kejadian itu sudah cukup lama terjadi...," tukas
Lajang.
"Bodoh kau!" rutuk Ki Jasman seraya menampar
kepala Lajang perlahan karena kejengkelannya
yang memuncak "Aku khawatir peristiwa itu akan
terulang lagi malam ini...!"
Lajang yang hampir terjatuh dari bangku
tertegun sesaat Semula hatinya agak penasaran
dengan perbuatan Ki Jasman. Tapi begitu
mendengar kekhawatiran orang tua itu, Lajang jadi
berpikir.
"Jadi itu yang mengganggu pikiranmu...?"
Lajang meminta ketegasan Ki Jasman.
"Kau kira apa yang terpikir dalam kepalaku
selain soal keamanan tempat ini, hah?!" tukas Ki
Jasman setengah membentak.
Lajang terkekeh perlahan. Lelaki beralis tebal itu
tidak tersinggung dibentak Ki Jasman. Malah
kelihatan geli sendiri melihat ringkah orang tua itu
"Auuung...!"
"Hei...?!"
Ki Jasman terlonjak bangkit dari duduknya
mendengar raungan anjing malam itu. Wajahnya
terlihat agak pucat!
"Anjing sialan...!" rutuk Ki Jasman menyumpah-
nyumpah. "Jantungku hampir copot dibuatnya...!"
"Kau kelihatan sangat tegang, Ki..," tegur Lajang
dengan pandangan menyelidik, karena dirinya
sendiri tidak terkejut dengan lolongan anjing
malam itu. Menurutnya, suara itu tidak aneh.
Karena memang sering terdengar pada saat-saat
seperti itu.
Srekkk! Srekkk!
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki
menginjak dedaunan kering. Wajah Ki Jasman
semakin pucat! Dengan sigap, golok di
pinggangnya langsung dicabut
Srat!
"Kau dengar suara itu, Lajang..?" bisik Ki
Jasman. Goloknya digenggam erat-erat
Lajang tidak mengeluarkan suara. Dia hanya
menganggukkan kepala. Sedangkan tangannya
sudah meraba gagang golok. Meskipun senjata itu
belum keluar dari sarungnya, tapi Lajang telah
mempersiapkan segalanya.
"Sepertinya dari belakang pos jaga kita...," bisik
Ki Jasman tegang. "Jangan-jangan kawanan
pencuri yang hendak membongkar makam baru...."
Sesaat keduanya saling bertukar pandang.
Kemudian, sama-sama mengangguk dan berpencar
ke kiri dan kanan dengan senjata tergenggam di
tangan kanan. Sedangkan tangan kiri mereka
memegang kayu bakar menyala sebagai
penerangan.
"Anjing keparat..!"
Lagi-lagi Ki Jasman mengutuk. Ternyata hanya
seekor serigala. Rupanya, binatang itulah yang
menimbulkan suara langkah lembut di atas
dedaunan kering. Karena kejengkelan yang
memuncak, kayu bakar yang berada di tangannya
segera disodorkan ke arah serigala itu. Maka,
binatang buas itu pun langsung mengambil langkah
seriba
"He he he...!"
Lajang terkekeh melihat wajah Ki Jasman yang
kemerahan. Tingkah kawannya itu tampak semakin
janggal dan lucu. Lajang sendiri tidak begitu heran
melihat binatang-binatang itu berkeliaran di
pekuburan. Pemandangan itu bukan sesuatu yang
bani bagi mereka berdua. Terasa aneh bila orang
tua itu terlihat sangat tegang.
"Jangan mengejekku, Lajang!" bentak Ki Jasman
jengkel karena ditertawakan kawannya. "Kalau
tubuhmu sudah dirobek-robek taringnya, baru kau
tahu rasa...!"
Sambil bersungut-sungut, Ki Jasman bergegas
meninggalkan tempat itu. Sementara, Lajang masih
terkekeh sambil memegangi perutnya.
"Aaa...?!"
Tiba-tiba terdengar lolong kematian yang
panjang dan mendirikan bulu kuduk. Lajang yang
saat itu masih berada di belakang pos jaga terkejut
setengah mati, karena mengenali suara jeritan itu.
"Kakang...!" desis Lajang segera menghambur
ke depan pos jaga. Tapi....
"Ahhh...?!"
Lajang terbelalak pucat melihat pemandangan
yang terbentang di
depan matanya.
Tanpa sadar kakinya
melangkah mundur.
Butir-butir keringat
dingin membasahi
wajahnya.
"Ki Jasman...?!"
Lelaki beralis tebal
itu merintih parau.
Betapa tidak? Begitu
tiba di depan pos
jaga, dilihatnya tubuh
Ki Jasman telah tergeletak tanpa nyawa. Darah
segar memancur keluar dari batang lehernya.
Sedangkan kepala orang tua itu entah ke mana.
"Ahhh...?!" Lajang terbelalak pucat melihat
tubuh Ki Jasman tergeletak tanpa nyawa.
"Kakang..?!" Lelaki beralis tebal itu merintih
parau. Betapa tidak? Pemandangan di hadapannya
sangat mengerikan! Darah segar memancur keluar
dari batang leher Ki Jasman. Sedangkan kepala
orang tua itu entah berada di mana!
Lajang menarik napas berulang-ulang untuk
menenteramkan perasaannya yang terguncang.
Sebagai penjaga pemakaman umum, lelaki itu
sudah terbiasa melihat segala macam bentuk
mayat Karena keberaniannyalah ia diterima dan
dipercaya penduduk Desa Palasari untuk menjaga
keamanan makam warga desa itu.
Tapi, pemandangan kali ini terasa lain. Darah
segar yang terus memancur keluar dari batang
leher Ki Jasman, dan kepala yang lenyap entah ke
mana, membuat tubuh Lajang menggigil hebat
Bahkan hampir jatuh pingsan. Untung ia masih
sanggup berdiri dalam kesadaran utuh!
Setelah terdiam cukup lama dan berhasil
menenangkan hatinya, Lajang bergerak mendekat
Dicarinya kepala Ki Jasman yang terpental entah ke
mana. Kayu bernyala di tangan kirinya bergerak
kian kemari. Sedangkan di tangan kanannya
tergenggam golok telanjang. "Ahhh...?!"
Lajang terlonjak ke belakang ketika menemukan
kepala Ki Jasman tergantung tepat di depannya.
Sepasang mata kepala itu menatap wajah Lajang.
Hingga hati lelaki itu berdebar keras. Darah yang
masih menetes dari batang leher itu membuat
kepala Ki Jasman terlihat demikian menakutkan.
Keheranan besar melanda hati Lajang. Kepala
itu tergantung setinggi wajahnya, tanpa ada
sesuatu pun yang menyangga. Membuat Lajang
penasaran untuk memeriksanya. Didekatkannya
kayu bernyala di tangannya. Dan....
"Aaa...?!"
Lagi-lagi Lajang memekik kaget ketika
menemukan jari-jari tangan kekar mencengkeram
rambut Ki Jasman. Tangan itulah yang membuat
kepala lelaki tua itu tergantung di udara. Ketika
Lajang menyusuri jari-jari tangan itu, kembali
kakinya melangkah mundur. Di sebelah kanan
kepala Ki Jas-, man berdiri sesosok tubuh tinggi
kurus dengan wajah menyeramkan.
"Sssi... siapa... kau...?" desis Lajang segera
menjauh dengan golok menyilang di depan dada.
Lelaki itu berusaha bersikap tenang dengan
menekan segala rasa takut dan ngeri yang
mendera hatinya.
Tapi sosok tubuh yang tingginya melebihi
ukuran manusia biasa itu, melangkah maju
menenteng kepala Ki Jasman. Langkahnya
perlahan dengan tangan kiri terulur ke depan.
Kuku-kuku jarinya panjang melengkung,
menambah sosoknya semakin terlihat
menyeramkan. Belum lagi wajahnya yang putih
seperti dicat Benar-benar sosok yang sanggup
membuat orang penakut pingsan seketika!
---ooo0myr0ooo---
"Berhenti...!"
Dengan sisa-sisa keberaniannya, Lajang
membentak. Goloknya dikibaskan untuk menghalau
sosok itu agar menjauh dari dirinya.
"Hmhhh...."
Bukannya berhenti, sosok itu malah
mempercepat langkahnya. Bahkan, mengeluarkan
geraman parau yang membuat hati Lajang
bergetar. Sehingga kedua kakinya sukar
digerakkan.
"Haaat..!"
Untuk melenyapkan rasa tegang dan ngeri di
hatinya, Lajang memekik kuat-kuat. Kemudian,
melemparkan kayu bernyala di tangannya. Dan
terus melompat sambil mengibaskan goloknya ke
arah sosok jangkung itu.
Bettt!
"Hei...?!"
Terkejut bukan main hati Lajang ketika
sambaran goloknya mengenai angin kosong.
Sedangkan sosok jangkung di depannya telah
lenyap entah ke mana.
"Iblisss...!" desis Lajang yang mulai lenyap
keberaniannya.
Lajang bergegas membalikkan tubuh ketika
mendengar dengus napas berat di belakangnya.
Sayang, gerakannya terlambat! Pada saat itu
terdengar sambaran angin keras. Dan....
Brettil
"Aaa...!"
Terdengar raung kematian yang membelah
keheningan malam. Bersamaan dengan itu, tubuh
Lajang terlempar ke tanah dan tewas dengan luka
di leher. Saat berikutnya, kepala lelaki itu direnggut
secara paksa dari tubuhnya.
Darah segar menyembur keluar membasahi
tanah merah yang kering. Dalam waktu singkat,
dua penjaga makam itu tewas secara mengerikan.
Keheningan malam adalah saksi bisu peristiwa itu
Angin dingin bertiup semakin keras membawa
butir-butir air yang berjatuhan ke bumi. Rembulan
dan bintang-bintang telah lenyap tertutup awan
hitam pekat Gerimis pun turun perlahan
membasahi bumi.
"He he he...!"
Sosok jangkung berwajah putih tanpa
mengenakan pakaian atas itu, terkekeh parau.
Dengan menenteng dua kepala di kanan dan
kirinya, sosok itu bergerak melewati makam-
makam yang berjejer. Meskipun tanah yang
dipijaknya telah basah oleh tetesan air hujan, tapi
tidak meninggalkan jejak sedikit pun saat sosok
jangkung itu melangkah.
Rintik hujan bertambah deras saat sosok
jangkung itu semakin jauh memasuki daerah
pekuburan. Sosok itu tidak mempedulikan air hujan
yang membasahi sekujur tubuhnya. Langkahnya
tetap tenang dan tidak terlihat tergesa-gesa.
Cukup lama sosok jangkung itu melangkah di
sisi makam yang berjejer di kiri dan kanannya.
Semak perdu banyak tumbuh di atas makam-
makam tak terurus. Mungkin karena letaknya
terlalu jauh dari pintu gerbang, maka sanak
keluarganya enggan mengurus. Sehingga dibiarkan
telantar begitu saja.
Saat hampir mencapai ujung pemakaman, sosok
jangkung itu tiba-tiba meloncat ke dalam sebuah
liang lahat yang menganga lebar. Kemudian lenyap
bersama suara gemuruh yang ditimbulkannya.
"Hieh heh heh...!"
Suara parau yang menyakitkan telinga
berkumandang memenuhi pelosok daerah pe
kuburan itu. Semakin lama kian mengecil hingga
lenyap sama sekali.
Bersamaan dengan lenyapnya tawa parau yang
menyeramkan itu, rintik hujan pun berhenti.
Rembulan kembali muncul, ditemani bintang-
bintang yang berkedip jenaka. Suasana pekuburan
kembali hening dan sunyi. Hembusan angin
sesekali bertiup keras.
---ooo0myr0ooo---
DUA
Hari masih pagi Matahari baru saja muncul
dengan sinarnya yang redup. Tiupan angin pun
masih terasa dingin menyentuh kulit Kicauan
burung yang terdengar sesekali, membuat suasana
pagi itu terasa cerah.
Dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki
mulut Desa Palasari. Mendadak kening mereka
berkerut dengan wajah menggambarkan
keheranan. Sejenak keduanya saling pandang,
kemudian kembali menatap penduduk desa yang
terlihat berduyun-duyun menuju ke satu arah.
"Ada apa ya, Kakang? Melihat wajah-wajah
mereka, sepertinya ada suatu peristiwa mengerikan
yang baru saja terjadi...," ujar dara jelita
berpakaian serba hitam. Matanya memperhatikan
penduduk Desa Palasari yang hampir semua
menyiratkan ketegangan di wajahnya.
Pemuda tampan berpakaian serba putih, yang
berjalan di sebelah kanan dara jelita itu
menggeleng perlahan. Pemuda itu tengah
memandang orang-orang yang berduyun-duyun
menuju utara desa.
"Entahlah. Aku belum bisa menduganya. Tapi
melihat wajah-wajah mereka, rasanya memang ada
suatu peristiwa yang menghebohkan," sahut
pemuda berjubah putih itu setelah terdiam
beberapa saat.
"Mungkin ada perampok yang mengganas di
desa ini semalam. Lalu ada keluarga yang menjadi
korban...," duga dara jelita itu seraya berpaling dan
menatap pemuda tampan di sebelahnya. Seolah
hendak meminta tanggapan atas dugaannya.
"Hm.... Mungkin dugaanmu benar...," jawab
pemuda itu tanpa berpikir lagi. Kemudian langkah
kakinya dipercepat untuk menyusul rombongan
orang-orang itu.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang...?!" seru
dara jelita itu, bergegas mengikuti langkah
kawannya.
"Aku hendak bertanya pada salah seorang dari
mereka...," jawab pemuda tampan berjubah putih,
tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.
Dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak
berkata apa-apa lagi. Langkahnya dipercepat untuk
menjajari langkah pemuda tampan yang tidak lain
Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga
Putih.
"Paman, boleh aku bertanya sedikit..?" sapa
Panji, setelah dapat menyusul langkah seorang
lelaki berusia empat puluh tahun, yang wajahnya
kecoklatan.
Lelaki itu tidak berusaha menghentikan
langkahnya. Bahkan, semakin dipercepat seraya
menatap pemuda tampan berjubah putih dengan
sinar mata tajam menyelidik. Ada kilatan curiga di
mata petani itu.
"Kau siapa, Kisanak? Dari mana asalmu...?"
Lelaki berwajah kecoklatan itu malah
melemparkan pertanyaan kepada Panji. Nada
suaranya memperlihatkan kecurigaan yang nyata.
Tapi Pendekar Naga Putih tidak memperlihatkan
sikap tersinggung. Bahkan senyumnya
mengembang. Seolah ingin mengatakan bahwa
kecurigaan petani itu tidak beralasan.
Berbeda dengan dara jelita berpakaian serba
hijau yang tak lain Kenanga. Sepasang matanya
yang bulat dan jernih berkilat sejenak. Dan,
kembali biasa saat melihat gelengan pemuda
berjubah putih itu. Tampaknya, Kenanga tidak
ingin membantah isyarat kekasihnya, hingga
memilih diam.
"Kami berdua adalah pengembara yang tidak
mempunyai tempat tinggal. Kebetulan pagi ini tiba
di Desa Palasari. Melihat para penduduk berduyun
duyun menuju utara desa, kami jadi tertarik dan
ingin menanyakannya pada Paman. Kami akan
sangat berterima kasih bila Paman mau
memberitahukannya...," sahut Panji dengan halus
dan sopan.
Kecurigaan petani itu tampak agak berkurang.
Sikap dan cara berbicara pemuda itu agaknya telah
menimbulkan rasa suka di hatinya.
"Hm„.. Sebetulnya aku pun belum tahu jelas,
Kisanak. Tapi, kalau memang ingin mengetahui,
lebih baik kau ikut dengan rombongan ini...," jawab
petani itu agak malu.
"Huh! Kalau tidak tahu, mengapa mencurigai
orang segala...?!" omel Kenanga jengkel. Untung
ucapan itu agak pelan, sehingga tidak tertangkap
jelas oleh petani itu.
Mendengar jawaban petani berwajah keco-
klatan itu, Panji dan Kenanga yang mengaku
sebagai pengembara, tidak berbicara lagi. Mereka
segera mengikuti rombongan orang desa.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu
tiba di depan sebuah rumah sederhana yang
dipenuhi orang. Rasanya, sangat sulit untuk
melihat isi rumah. Pagar halaman depannya pun
tidak dapat dilihat lagi Orang yang memadati
tempat itu terlalu banyak.
Merasa penasaran. Panji dan Kenanga
menyeruak kerumunan orang itu. Aneh, penduduk
yang berkerumun tidak menghalangi perbuatan
mereka. Entah pengaruh apa yang dimiliki
pasangan muda ini. Dengan mudah mereka
bergerak maju sampai pagar halaman depan
rumah itu
"Siapa mereka...? Mengapa begitu mudah
menyeruak kerumunan orang banyak...?"
Petani berwajah kecoklatan merasa heran
karena sewaktu berusaha menyeruak seperti
pasangan muda itu, tubuhnya terombang-ambing
ke kiri dan kanan. Bahkan terjepit padatnya orang-
orang yang berada di tempat itu. Sehingga, ia
kembali bergerak ke luar. Itu pun dilakukan dengan
susah-payah sampai wajahnya berkeringat.
Padahal kalau melihat bentuk tubuhnya yang tegap
dan biasa bekerja keras, dia jauh lebih kuat dari
dara jelita berpakaian hgau. Tapi, kenyataannya
lain. Petani itu pun menggeleng tak habis mengerti.
Sementara itu, Panji dan Kenanga telah berada
di barisan depan. Mereka dapat melihat dengan
jelas pemandangan yang terbentang di depan
matanya. Benda seukuran tubuh manusia itu
ditutupi selembar tikar dari kaki hingga kepala.
Tapi, Panji tahu benda itu adalah sesosok mayat Di
halaman depan rumah sedernaha itu masih
terdapat tiga lainnya, yang ukurannya berbeda-
beda.
"Rupanya keluarga ini terbunuh semalam,
Kakang..," gumam Kenanga yang berdiri di sebelah
kekasihnya.
"Aku rasa juga demikian. Kemungkinan besar
perampok yang melakukannya. Tapi aku heran.
Mengapa tidak keluarga kaya yang menjadi sasaran
mereka? Keluarga sederhana seperti ini tentu tidak
memiliki banyak harta. Untuk hidup pun mereka
harus bekerja keras membanting tulang...," tukas
Panji, membantah dugaannya sendiri. Memang sulit
dipercaya bila keluarga yang sangat sederhana itu
didatangi perampok. Padahal, keluarga-keluarga
kaya di Desa Palasari tidak sedikit jumlahnya.
"Kalian pasti bukan orang desa ini...," ujar
seorang lelaki kurus berusia lima puluh tahun yang
berdiri di sebelah Kenanga. Tampaknya dia
mendengarkan percakapan pasangan muda itu.
Kemudian gagal menahan diri untuk tidak ikut
campur.
"Memang bukan, Paman. Kami berdua kebetulan
singgah di desa ini Tapi penduduk yang
berbondong-bondong menuju tempat ini,
mengundang rasa ingin tahu kami. Hingga,
sampailah kami di tempat ini...," sahut Panji seraya
tersenyum ramah kepada lelaki kurus itu.
"Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga
ini, Paman? Rasanya tidak mungkin mereka
terbunuh oleh perampok...," tanya Kenanga.
Kesempatan itu segera dimanfaatkan dara jelita itu
untuk mencari keterangan mengenai peristiwa ini.
"Mari ikut aku..," bisik lelaki separuh baya,
segera menyeruak kerumunan orang. Kemudian,
melangkah meninggalkan tempat itu
Pasangan muda itu jadi penasaran. Tanpa
banyak cakap lagi, keduanya bergerak keluar dari
kerumunan penduduk dan mengikuti langkah lelaki
kurus itu.
"Jangan terlalu dekat! Kalian harus berpura-pura
tidak sedang mengikuti aku! Itu bisa berbahaya...,"
bisik lelaki separuh baya bertubuh kurus itu.
Langkahnya dipercepat, sehingga pasangan muda
itu tertinggal hampir satu tombak.
Bisikan lelaki kurus itu menimbulkan rasa heran
keduanya. Tapi, mereka tidak membantah dan
segera memperlambat langkahnya. Mereka terpisah
empat tombak jauhnya. Banyaknya penduduk yang
lalu-lalang, membuat mereka tidak begitu
diperhatikan orang. .
"Hm.... Peristiwa ini semakin bertambah aneh
saja, Kakang...," bisik Kenanga.
"Ya. Rupanya, ada suatu misteri yang
menyelimuti desa ini. Lelaki tua itu kelihatannya
tahu banyak. Mudah-mudahan kita bisa
memperoleh keterangan darinya...," sahut Panji,
berbisik. Mereka menjaga pembicaraan agar tidak
sampai terdengar orang lain, seperti pesan orang
tua bertubuh kurus itu.
Lelaki tua bertubuh kurus terus bergerak
meninggalkan Desa Palasari. Dan, terus melangkah
tanpa menoleh. Setelah cukup jauh meninggalkan
mulut desa, lelaki kurus itu tidak menunjukkan
tanda-tanda akan menghentikan langkahnya.
Sedangkan pasangan muda yang mengikutinya,
mulai mengerutkan kening. Mereka heran melihat
orang tua itu belum juga mau berhenti. Agaknya,
dia sengaja menjauhi Desa Palasari untuk
membicarakan peristiwa tadi.
"Hendak dibawa ke mana kita, Kakang...? Apa
ini tidak mencurigakan...?" bisik Kenanga yang
mulai tidak sabar. Setelah cukup jauh berjalan,
orang tua itu masih terus saja melangkah.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Mungkin yang akan
dibicarakannya memang sangat penting dan
rahasia. Sehingga, memilih tempat yang aman dan
tidak diketahui orang...," sahut Panji tenang, tanpa
rasa curiga sedikit pun.
Tidak berapa lama kemudian, mereka
menyeberangi sebuah sungai yang cukup deras.
Lelaki separuh baya bertubuh kurus itu telah
berada 65 seberang, dan tengah duduk di sebuah
batu di tepi sungai.
"Berjalanlah ke sebelah kiri kira-kira enam
tombak Di sana kalian akan menemukan sebuah
jembatan dari batang pohon kelapa...!" seru lelaki
tua itu.
Tanpa banyak bicara lacp, Panji dan Kenanga
segera mengikuti petunjuk yang diberikan lelaki tua
itu. Benar saja. Sekitar enam tombak dari tempat
semula, terdapat sebuah jembatan dari batang
pohon kelapa. Keduanya bergegas menyeberang.
Lelaki tua bertubuh kurus memandangi cara
pasangan muda itu menyeberang. Meskipun tidak
terlalu cepat namun mereka tidak mengalamai
kesulitan. Bahkan, kelihatan seperti tengah berjalan
di atas tanah datar saja.
"Hm.... Sudah kuduga. Pasangan muda itu pasti
merupakan kaum rimba persilatan. Dari cara
mereka menyeberang, kelihatan ilmu meringankan
tubuhnya sudah cukup tinggi...," gumam lelaki
kurus itu. Ada sinar kekaguman di matanya melihat
cara pasangan muda itu menyeberang.
"Bagaimana, Orang Tua? Apakah tempat ini
sudah cukup aman dari orang-orang yang kau
khawatirkan...?" tanya Panji langsung, begitu tiba
di depan orang tua itu.
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sabar, Kisa-
nak...?" senyum tipis di bibir lelaki tua itu terukir.
Dia bergerak bangkit menyambut kedatangan
pasangan muda itu.
"Bukan aku tidak sabar, Orang Tua. Tapi aku
merasa heran. Semula aku menganggap persoalan
yang menimpa penduduk Desa Palasari merupakan
hal sepele. Tapi melihat kau sangat berhati-hati
membicarakannya, aku mulai berpikir lain. Mungkin
apa yang akan kau ceritakan pada kami sangat
berbahaya," tukas Panji tenang.
"Hm.... Apa sebenarnya yang ingin kalian
ketahui...?" tanya lelaki tua itu yang kembali duduk
di atas sebuah batu. Sikapnya seperti orang yang
tidak tahu maksud pasangan muda itu. "Hm...."
Kenanga kelihatan sangat tersinggung karena
merasa dipermainkan. Ingin rasanya menempeleng
pipi lelaki tua itu. Tapi niatnya terpaksa dibatalkan
karena Panji keburu mencegahnya. Dan
mengambil aHh persoalan.
'Terlebih dulu, silakan perkenalkan nama
kalian...," ujar lelaki kurus itu saat melihat Panji
hendak berbicara.
"Baiklah...," ucap pemuda tampan itu masih
tetap tenang dan sabar. "Namaku Panji. Sedangkan
gadis ini tunanganku. Namanya Kenanga."
"Hm.... Panji dan Kenanga. Nama yang bagus
dan gagah," puji lelaki kurus itu perlahan.
Kemudian, menoleh dan mengulurkan telapak
tangannya ke arah Panji.
"Apa ini..?" tanya Panji meminta ketegasan atas
sikap orang tua itu.
"Kalian hendak mencari keterangan dariku,
bukan?" tegas lelaki tua itu Keningnya berkerut
saat mendengar pertanyaan Panji yang
dianggapnya pertanyaan bodoh.
"Hm.... Maksudmu kau ingin meminta imbalan
atas jawaban-jawaban yang akan kau berikan
kepada kami...?" tanpa Panji menegasi.
"Tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di atas
dunia ini, Anak Muda. Kau memerlukan keterangan,
aku memerlukan uang. Adil, bukan?" jelas lelaki
kurus itu sambil memperlihatkan senyum liciknya.
Ucapan orang tua itu membuat Panji tertegun.
Setelah bersusah-payah mengikuti langkahnya,
ternyata mereka hanya dipermainkan. Pemuda itu
menghela napas panjang menahan kejengkelan
hatinya.
Tapi tidak dengan Kenanga. Begitu mendengar
ucapan lelaki kurus itu, dia langsung saja bangkit
Dan tahu-tahu, tangan kanannya telah
mencengkeram leher baju lelaki tua itu.
"Kurang ajar! Kau pikir siapa kami sehingga bisa
kau permainkan seperti ini?!" geram dara jelita itu
Tubuh kurus itu kemudian dilemparkan ke tanah
berumput
"Hei...?!"
Kaget bukan main lelaki tua bertubuh kurus itu.
Sungguh tak disangkanya kalau gadis jelita yang
kelihatan lemah lembut itu, ternyata mampu
melemparkan tubuhnya. Padahal dia sendiri bukan
orang lemah. Meski tak terlalu lihai, tapi soal ilmu
silat sedikit-sedikit dikuasainya. Kemarahannya pun
bangkit Tampaknya, dia belum yakin kalau gadis
jelita itu yang telah melemparkannya barusan.
"Hm.... Jangan kira aku dapat kau paksa. Gadis
Liar! Aku Ki Sola, pantang dihina orang! Apalagi
oleh seorang gadis!" geram lelaki tua bertubuh
kurus itu seraya memperlihatkan jurusnya. Siap
untuk menyerang Kenanga.
Melihat gelagat yang tak menyenangkan itu,
Panji segera menengahi. Pemuda itu berpaling ke
arah kekasihnya, dan membujuk dara jelita itu agar
menahan kemarahannya.
"Ki Sola," ujar Panji setelah dapat membujuk
kekasihnya. "Kami akan membayar jika keterangan
yang kau berikan benar. Tapi ingat! Kalau ternyata
keteranganmu bohong, aku akan memberikan
pelajaran padamu...."
Ancaman pemuda itu membuat hati Ki Sola
bergetar. Apalagi, sinar mata pemuda itu demikian
tajam. Hingga dadanya berdebar keras.
"Baik..., baik...," sahut lelaki tua itu mendadak
gugup.
"Nah, duduklah. Lalu jelaskan kepada kami apa-
apa yang kau ketahui...," ujar Panji.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sola melangkah dan
duduk di sebelah pemuda tampan berjubah putih
itu.
---ooo0myr0ooo---
"Sebenarnya peristiwa itu bukan baru kali ini
terjadi. Sudah ada empat keluarga yang menjadi
korban, sebelum yang kalian saksikan tadi. Mereka
bukan perampok, karena tak satu pun harta yang
diambil dari rumah korban. Yang lebih aneh adalah
cara korban-korban itu menemui ajalnya. Pada
bagian dahi mereka terdapat tanda tiga jari, yang
langsung menembus batok kepala!"
Ki Sola menghentikan ceritanya, seperti hendak
melihat tanggapan Panji dan Kenanga. Tapi, kedua
erang muda itu tidak memperlihatkan sikap kaget
atau ngeri Ki Sola menjadi heran.
"Apakah keteranganmu hanya sekian...?" tanya
Panji. Setelah menunggu beberapa saat, orang tua
itu belum juga melanjutkan ceritanya.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui, Panji...?" tanya
Ki Sola yang rupanya sudah kehabisan cerita.
"Mengenai pembunuh itu. Apa sudah ada orang
yang pernah memergokinya?" tanya Panji seraya
menatap wajah orang tua itu lekat-lekat
"Aku sendiri belum pernah bertemu atau
melihatnya...," sahut Ki Sola seraya mengalihkan
pandang ke tempat lain. Lelaki tua itu merasa ngeri
menentang pandang mata Panji yang demikian
tajam bagaikan mengiris-iris jantung.
"Bagaimana dengan orang lain? Dan, apakah
pembunuhan itu hanya terjadi pada malam hari
saja?" desak Panji. Pemuda itu mulai dapat
menebak, Ki Sola hanya mendengar dari orang lain
dan tidak mengetahui secara pasti kejadian yang
sebenarnya.
"Menurutku, belum ada orang yang memergoki
pembunuh itu. Sedangkan kejadiannya memang
selalu malam hari. Itu pun tidak setiap malam...,"
jelas Ki Sola tak berani mengangkat wajah.
Rupanya, ia telah salah menilai orang. Semula ia
hendak memeras pasangan muda itu dengan
keterangan-keterangan palsu. Kini keadaan
berbalik, dirinya yang tunduk dan takluk kepada
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Tidak adakah orang-orang yang patut
dicurigai di desa itu...?" tanya Panji, berusaha
memancing pendapat Ki Sola mengenai pelaku
pembunuhan.
"Rasanya tidak. Kalaupun ada, kepala desa kami
pasti telah menyelidikinya dengan cermat Tapi,
sampai saat ini belum nampak tanda-tanda siapa
pembunuh keji itu...."
"Terima kasih, Ki Sola. Keteranganmu rasanya
sudah cukup. Nah! Terimalah hadiahmu...," ujar
Panji sambil memberikan lima keping uang ke-
pada lelaki tua itu, yang langsung menerimanya
dengan wajah cerah.
"Terima kasih...," ucap Ki Sola. Kemudian
menyimpan uang itu ke dalam kantung di
pinggangnya.
"Kami pergi dulu...," pamit Panji segera
mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
Kali ini Panji tidak menggunakan jempatan
batang pohon kelapa untuk menyeberangi sungai.
Tubuhnya langsung melayang di atas air. Pada saat
meluncur turun, kakinya menotol permukaan air
hingga kembali melayang. Kemudian menjejakkan
kakinya di seberang sungai.
Lain lagi yang dilakukan Kenanga. Dara jelita itu
membawa dua batang ranting. Tubuhnya
melompat ke tengah sungai Pada saat meluncur
turun, kayu di tangannya dilemparkan dan
digunakan gadis itu sebagai landasan berpijak.
Tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau itu
kembali melayang dan menjejakkan kakinya di
dekat Panji.
"Gila...?! Setankah mereka...? Atau seorang
dewa dan dewi...?!" desis Ki Sola sangat kaget
menyaksikan perbuatan pasangan muda itu
Mulutnya menganga lebar. Dan, matanya terbelalak
bagai melihat hantu di siang hari.
Panji serta Kenanga memang sengaja
menunjukkan kehebatan ilmu meringankan
tubuhnya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi
pelajaran pada Ki Sola, agar lain kati tidak
meremehkan orang yang baru dikenalnya.
Tanpa mempedulikan keheranan lelaki kurus itu,
mereka meninggalkan tepi sungai. Sebentar
kemudian, tubuh keduanya lenyap dari pandangan
Ki Sola.
"Aaa...!"
Mendengar jerit kematian Ki Sola, Panji dan
Kenanga menahan langkah. Mereka tampak sangat
terkejut Sungguh tak pernah disangka kalau di
tempat itu ada orang jahat yang tengah mengincar
Ki Sola.
"Hm.„. Jangan-jangan ini permainan saja,
Kakang," ujar Kenanga ragu.
"Kita lihat saja dulu. Jika benar ini hanya
permainan Ki Sola, tidak ada sulitnya meninggalkan
lelaki tua itu," bantah Panji yang merasa berat
meninggalkan Ki Sola setelah mendengar jerit
kema-tian lelaki tua itu.
Kenanga terpaksa mengalah. Mereka segera
kembali ke tempat Ki Sola. Dan, yang mereka
temukan benar-benar sesuatu yang mengejutkan.
Tubuh Ki Sola terbujur tewas dengan dahi
berlubang.
"Kurang ajar! Pembunuh itu rupanya telah
mengetahui kedatangan kita...," desis Panji setelah
melihat cara kematian Ki Sola yang sama dengan
korban-korban pembunuhan di Desa Palasari.
"Kita kejar saja, Kakang...," usul Kenanga
sangat penasaran melihat pembunuh keji itu
"Percuma. Pembunuh itu pasti telah lari jauh.
Sebaiknya kita kembali ke desa," ajak Panji.
Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun
menyusul. Sebentar saja, tubuh pasangan
pendekar muda itu segera lenyap ditelan rimbunan
pohon.
---ooo0myr0ooo
TIGA
Rombongan penduduk Desa Palasari yang
berjumlah cukup besar, bergerak melintasi jalan
utama desa. Paling depan tampak seorang lelaki
gagah berusia sekitar lima puluh tahun Wajahnya
agak pucat dengan sepasang mata merah,
pertanda kurang tidur. Lelaki itu jadi terlihat lebih
tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Dia adalah
Ki Kaligandi, Kepala Desa Palasari.
Lelaki tua bertubuh gagah itu dikawal oleh dua
orang lelaki berbadan tegap. Yang seorang
berkumis lebat, sedangkan yang satu berhidung
besar. Keduanya tampak gagah, meskipun wajah
mereka kelihatan agak pucat
Di belakang ketiga lelaki Sesepuh Desa Palasari
itu terlihat empat buah keranda yang dipikul enam
belas orang. Mereka sedang menuju pekuburan
tempat pemakaman sanak keluarganya.
Saat itu matahari sudah naik agak tinggi.
Sinarnya yang kuning keemasan menerobos
dedaunan dan menerangi tanah di bawahnya.
Untung udara tidak terlalu panas. Sehingga,
mereka tidak epat lelah menempuh perjalanan
yang cukup sulit itu. Menjelang setengah
perjalanan, para pemikul keranda diganti. Hal itu
memungkinkan, karena jumlah mereka sekitar lima
puluh orang, dan kebanyakan laki-laki. Yang
wanitanya bisa dihitung dengan jari tangan.
Saat matahari sudah semakin tinggi, rombongan
itu pun tiba di daerah pekuburan. Hembusan angin
terasa agak keras. Tempat itu memang merupakan
tanah lapang yang sangat luas. Itu salah satu
penyebab, mengapa daerah itu dibuat untuk tanah
pemakaman.
"Hm.... Ke mana Lajang dan Ki Jasman...?"
gumam Ki Kaligandi heran ketika melihat kedua
penjaga pemakaman tidak muncul menyambut
mereka. "Bukankah mereka yang bertugas
menjagai tanah pemakaman ini..?"
"Benar, Ki," sahut lelaki berhidung besar yang
berdiri di sebelah kiri Ki Kaligandi. "Mungkin
mereka masih tertidur dalam pos...."
"Hm.... Coba kalian lihat. Apa benar mereka
masih tertidur sesiang ini...?" perintah Ki Kaligandi
kepada dua pembantu utamanya. Kepala desa itu!
merasa ada sesuatu yang meresahkan hatinya.
"Baik, Ki!" sahut mereka seraya melangkahi
pergi.
Ki Kaligandi menghentikan rombongan. Dan,
menyuruh mereka beristirahat sejenak sambil
menunggu kedua pembantu utama kepala desa itu.
Saat Ki Kaligandi baru saja duduk di bawah
sebatang pohon rindang, tiba-tiba terdengar
teriakan kaget. Cepat lelaki itu bangkit dan
memandang heran dua orang pembantu utamanya
yanag berlarian menghampirinya.
"Ada apa...? Apa yang terjadi...?!" tegur Ki
Kaligandi. Keningnya berkerut melihat wajah kedua
orang pembantunya sangat pucat
Kedua lelaki tegap itu tidak bisa menjawab
pertanyaan kepala desanya. Napas mereka sedang
memburu, sehingga sulit memberikan jawaban.
"Ada apa, Bagola?" tanya Ki Kaligandi setengah
membentak. Lelaki itu sudah tidak sabar ingin
segera mengetahui apa yang dilihat kedua
pembantunya.
Bagola, lelaki tegap berhidung besar terpaksa
mengangkat kepala. Tampak jelas dia terkejut
mendengar bentakan kepala desanya.
"Lajang..., dan Ki Jasman..., telah tewas dengan
leher putus! Kepala mereka..., hilang entah ke
mana...," lapor Bagola dengan napas memburu.
Kendati demikian, ucapan itu tertangkap jelas oleh
Ki Kaligandi
"Apa kalian tidak salah lihat..?" Ki Kaligandi
mencoba menegasi. Mungkin saja kedua pembantu
utamanya itu salah melihat karena terlalu terburu-
buru.
"Kami yakin, Ki...," tegas Bagola tanpa keraguan
sedikit pun. Bahkan, berani menentang pandang
mata lelaki tua itu untuk meyakinkannya.
"Hm.... Ayo ikut aku...!" ajak Ki Kaligandi
melihat mayat-mayat yang telah mereka temukan.
Kepala Desa Palasari itu tampaknya belum yakin
dengan laporan kedua pembantunya. Ki Kaligandi
melangkah perlahan dengan jari-jari siap di hulu
pedang, siap menghadapi segala kemungkinan
yang terjadi.
"Itu mayat mereka, Ki...!" seru Bagola. Jari
telunjuknya diarahkan pada dua sosok mayat yang
terbujur kaku tanpa kepala. Mayat Lajang dan Ki
Jasman, yang bertugas menjaga tanah pekuburan.
"Iblis keji...!" geram Ki Kaligandi ketika melihat
dua anak buahnya yang tewas tanpa kepala.
Kelihatan sekali orang tua itu sangat terguncang.
Peristiwa yang satu belum terungkap, kini jatuh
korban lagi yang keadaannya jauh lebih
mengerikan dari mayat-mayat yang mereka bawa.
Penemuan dua mayat itu membuat kepalanya
semakin pening.
Mendadak terdengar teriakan-teriakan ketakutan
dan suara dentang senjata. Ki Kaligandi dan kedua
orang pembantunya tersentak kaget
"Kurang ajar! Siapa lagi yang membuat
kekacauan itu?!" geram Ki Kaligandi marah bukan
main. Cepat tubuhnya melayang dengan pedang
terhunus. Dan, langsung menceburkan diri dalam
kancah pertempuran.
Bagola dan lelaki tegap berkumis lebat tidak
mau ketinggalan. Keduanya segera menghunus
senjata dan membantu kawan-kawannya
menggempur lawan.
Ki Kaligandi dan kedua pembantunya kelihatan
sangat terkejut Orang yang menyerang rombongan
mereka berdandan sangat aneh. Warna wajah-
wajah mereka berbeda-beda. Mereka jelas bukan
perampok-perampok biasa.
"Aaa...!"
Dua orang anggota rombongan tersungkur
tewas dengan tubuh bermandikan darah. Terkena
sambaran senjata lawan yang berupa golok besar
bergerigi. Keadaan jadi semakin kacau. Warga desa
yang tidak memiliki kepandaian silat, berlarian kian
kemari sambil berteriak-teriak ketakutan
"Bagola, Dinta! Lindungi para penduduk itu!"
teriak Ki Kaligandi yang tengah menghadapi dua
orang berwajah merah.
Bettt, bettt!
Kesempatan itu segera digunakan lawan untuk
menerjang maju. Untunglah Kepala Desa Palasari
itu cukup tangguh dan gesit Sehingga berhasil lolos
dari sambaran golok lawan. "Yeaaah...!"
Ki Kaligandi yang terkejut melihat kelihaian wan
memekik keras, sambil melancarkan serangkaian
serangan maut yang berdesing tajam.
Namun, kedua lawannya yang berwajah merah
memang benar-benar tangguh. Serangkaian
serangan yang dilancarkan Ki Kaligandi dapat
mereka hadapi dengan baik. Bahkan, mampu
melepaskan serangan balasan yang sangat cepat
dan berbahaya.
"Kurang ajar! Orang-orang gila dari mana
mereka ini? Mengapa memusuhi warga desaku...?"
desis Ki Kaligandi seraya memutar senjatanya
untuk melindungi tubuh dari hujan serangan lawan.
Pertempuran tampak semakin hebat, saat Ki
Kaligandi mengerahkan seluruh kemampuannya.
Lelaki tua itu ingin segera merobohkan lawan.
Karena masih banyak orang yang harus
diselamatkan dari keganasan gerombolan aneh itu.
Sementara itu, Bagola dan Dinta menemui
lawan yang seimbang! Sehingga, tidak mempunyai
kesempatan membantu kawan-kawannya. Mereka
sendiri pun harus mempertahankan nyawanya
dengan sekuat tenaga.
Di saat warga Desa Palasari sudah tidak
mempunyai harapan lagi, tiba-tiba melayang dua
sosok bayangan putih dan hijau. Kedua sosok itu
langsung menerjunkan diri ke dalam kancah
pertarungan. "Hiaaat..!"
Sosok tubuh langsing terbungkus pakaian serba
hijau, langsung mengibaskan pedang bersinar putih
keperakan yang memancarkan hawa dingin. Sekali
bergerak, pedang di tangannya menewaskan
seorang lawan dengan usus terburai!
Lain lagi dengan sosok bertubuh sedang yang
terbungkus jubah putih. Sosok yang ternyata
seorang pemuda tampan itu membagi-bagi pukulan
dan tendangannya ke arah empat orang lawan
yang berada di dekatnya. Hebat dan benar-benar
mengagumkan sepak terjangnya. Dalam waktu
singkat, keempat pengeroyoknya dapat dirobohkan
hanya dengan tangan kosong.
Melihat ada bala bantuan, Ki Kaligandi dan
kedua pembantunya jadi tambah bersemangat
Sehingga, kepala desa itu dapat merobohkan
seorang lawan dengan sabetan pedangnya.
Keadaan pun berbalik secara mengejutkan.
Gerombolan orang-orang aneh berwajah merah
menjadi terdesak. Jumlah mereka berkurang
separuh setelah munculnya dua sosok tubuh
berkepandaian hebat itu Salah seorang anggota
gerombolan segera berteriak memerintahkan
kawan-kawannya mundur. Jumlah mereka yang
tinggal sepuluh orang, bergerak mundur sambil
melindungi tubuh dengan golok besarnya.
"Heaaat..!"
Pemuda tampan berjubah putih rupanya tidak
ingin membiarkan gerombolan itu melarikan diri.
Dengan sebuah lesatan panjang, pemuda itu
mengejar lawan-lawannya. Kaki dan tangannya
bergerak cepat menerbitkan hawa dingin menusuk
tulang Lawan-lawannya pun menjadi semakin
gentar.
Plakkk! Bukkk!
Dua orang gerombolan berwajah merah
tersungkur mencium tanah. Mereka tewas dengan
kepala retak, serta dada remuk oleh tendangan dan
tamparan keras pemuda tampan itu.
"Hiaaat..!"
Tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi. Disusul
munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus
pakaian merah. Wajahnya ditutupi cadar merah,
seperti halnya gerombolan liar itu. Begitu tiba,
serangkaian serangan kilat dilancarkan ke arah
pemuda tampan berjubah putih, yang telah
memporak-po-randakan gerombolan liar itu.
Bak! Plak!
Terdengar benturan keras yang menulikan
telinga sebanyak dua kali. Tubuh ramping
terbungkus pakaian serba merah tersentak ke
belakang. Namun dengan sebuah putaran yang
indah, tubuhnya melambung ke udara dan
meluncur turun.
Pemuda tampan berjubah putih terlihat
mengerutkan kening dengan wajah heran. Pemuda
itu mencium bau asap pendupaan. Dugaannya, bau
itu berasal dari sosok tubuh ramping berpakaian
serba merah, yang barusan memapak!
serangannya.
Sosok ramping berpakaian serba merah, yang
sebagian wajahnya tertutup cadar dengan warna
sama, menatap sosok pemuda tampan berjubah
putih penuh selidik. Kemudian, berbalik dan
memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk
segera pergi dari tempat itu. Agaknya, sosok
ramping berpakaian serba merah merupakan
pimpinan gerombolan liar itu. "Berhenti...!"
Melihat gerombolan berwajah merah hendak
melarikan diri, pemuda berjubah putih melesat
melakukan pengejaran. Tubuhnya melayang bagai
seekor burung besar. Sosok berpakaian merah
yang dari bentuk tubuhnya adalah seorang wanita,
bergegas mempersiapkan jurusnya untuk
mencegah.
"Biarkan mereka pergi...!" desis wanita itu
seraya melepaskan sebuah pukulan lurus ke depan
menyambut datangnya tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji,
membentak perlahan. Tangan kirinya dikibaskan ke
samping dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'.
Namun, wanita berpakaian serba merah itu
rupanya cukup gesit Merasa kekuatannya di bawah
lawan, maka arah pukulannya segera diubah. Kali
ini dengan bacokan sisi telapak tangan yang
mengincar iga lawan.
Dukkk!
Gerakan tangan Pendekar Naga Putih ternyata
tidak kalah cepat dengan pembahan gerak wanita
itu. Bacokan sisi telapak tangan lawan dapat dipa-
paki dengan lengan kirinya. Benturan pun tak
dapat dihindari lagi! "Aaah...!"
Wanita berpakaian serba merah itu mengeluh
tertahan. Tubuhnya terdorong mundur beberapa
langkah. Tenaga dalamnya memang kalah kuat
oleh lawan.
Srattt..!
Mendadak wanita berpakaian serba merah itu
mencabut sebatang pedang yang berbentuk
melengkung. Sinar kemerahan berpendar
menyebarkan bau harum memabukkan. Jelas,
senjata itu telah dilumuri racun mematikan!
"Nisanak! Siapa kau sebenarnya? Mengapa
memusuhi penduduk Desa Palasari...?" tanya Panji
yang bergerak mundur setelah mengetahui senjata
lawan mengandung racun ganas. Pemuda itu
menatap tajam, seolah hendak menembus cadar
merah yang menutup sebagian wajah lawannya.
"Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku dan
tujuanku, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya,
tinggalkan desa ini. Lanjutkan perjalananmu tanpa
harus mengganggu kami...!" tukas wanita bercadar
merah seraya menentang pandang mata Panji
dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, terlihat ada
kilatan aneh pada sepasang mata yang
sekelilingnya dilingkari garis hitam. Persis mata
mayat
"Hm.... Pancaran mata wanita berpakaian serba
merah itu mengandung kekuatan sihir...," gumam
Panji.
Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan
batinnya, agar tidak terpengaruh ilmu sihir lawan
yang disalurkan melalui pandang mata. Untung
tenaga dalamnya lebih tinggi dari wanita bercadar
merah. Kalau tidak sudah pasti dirinya akan
terkena pengaruh sihir lawan.
Wanita berpakaian merah sedikit terkejut ketika
merasakan betapa kuat pengaruh yang terpancar
dari sepasang mata pemuda tampan itu. Sadarlah
ia bahwa Pendekar Naga Putih tidak termakan
tatapan sihirnya.
"Hmhhh...,"
Kesadaran itu membuat wanita bercadar merah
ini geram. Pedang di tangannya bergerak
menyilang menimbulkan suara mengaung tajam.
Dan....
"Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh wanita
bercadar merah melesat ke depan dengan
sambaran sinar merah yang berasal dari badan
pedang-
Bettt..!
Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya
tiga langkah. Kemudian menggeser ke samping,
menghindari serangan susulan lawan. Pemuda itu
menahan napas saat ujung pedang lawan lewat di
depan tubuhnya. Hawa beracun yang keluar dari
badan pedang itu bisa membuat kepalanya pe-
ning.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Panji melepaskan
pukulan ke samping yang mengarah iga lawan.
Bukkk!
"Ukhhh...!"
Wanita bercadar merah tidak sempat
menghindar. Hantaman pada iganya membuat
tubuhnya terhuyung ke belakang. Jelas, pukulan
keras itu telah membuat dadanya sesak.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Tunggulah
pembalasanku...!" desis wanita bercadar merah itu.
Setelah berkata demikian, tangannya dipukulkan
ke bawah tubuhnya. Dan....
Bsss...!
Seketika itu juga, asap berwarna merah muncul
menutupi sekujur tubuhnya.
"Celaka! Asap beracun! Cepat menyingkir...!”
teriak Panji pada Ki Kaligandi dan yang lainnya!
Pemuda itu sendiri melepaskan pukulan jarak jauh
dengan kedua tangannya. Maksudnya hendak
mengusir asap beracun itu.
Whusss...!
Seketika itu juga, asap merah yang berbau
harum itu buyar oleh pukulan jarak jauh Pendekar
Naga Putih. Namun, sosok wanita berpakaian serba
merah itu telah lenyap tanpa bekas.
"Kenanga! Lindungi mereka! Aku akan mencoba
mengejar orang-orang itu...!" seru Panji.
Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya,
Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah
tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, tubuhnya
mele-laksana terbang. Kedua kakinya tidak
menjejak mi Sekilas pandang, pemuda tampan
berjubah putih itu seperti tengah melayang di atas
tanah.
Tapi, sosok wanita bercadar merah maupun
gerombolan liar itu, tidak dapat ditemukan. Mereka
lenyap ditelan bumi.
"Hm.... Tidak mungkin mereka hilang begitu
saja? Menurutku mereka pasti belum lari jauh...,"
gumam Panji seraya menghentikan larinya sesaat,
dan berdiri tegak memperhatikan sekelilingnya
yang semakin rapat ditumbuhi pepohonan.
Kemudian, melesat mengelilingi sekitar daerah itu.
Tapi, orang-orang yang dicarinya tidak nampak
batang hidungnya, akhimya, Panji memutuskan
kembali ke rombongan Ki Kaligandi.
"Bagaimana, Kakang...?" Kenanga langsung
nenyambut kedatangan kekasihnya dengan
pertanyaan.
Panji menggeleng lemah. Gadis jelita itu segera
tahu arti gelengan itu. Kemudian, mereka
melangkah mendekati Ki Kaligandi dan rombongan
yang sudah berkumpul kembali.
---ooo0myr0ooo---
EMPAT
"Siapa orang-orang aneh itu, Ki...?" tanya Panji
begitu ia dan Kenanga tiba di hadapan Ki Kaligandi,
yang menyongsong kedatangan pasangan
pendekar muda itu dengan sikap hormat
"Aku tidak tahu pasti, Anak Muda. Tapi, aku
akan menceritakan sesuatu yang mungkin ada
hubungannya dengan gerombolan orang- orang
seram itu Sebelum itu, sebaiknya kita kuburkan
dulu mayat-mayat ini...," ujar Ki Kaligandi
Panji langsung menyetujui usul Kepala Desa
Palasari itu. Pasangan pendekar muda itu
membantu mengobati penduduk yang terluka. Dan,
mengantar Ki Kaligandi serta rombongannya ke
pekuburan.
"Mari singgah ke tempat tinggalku, Panji...."
Ki Kaligandi mengajak Panji dan Kenanga,
setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat
ttu Rupanya, mereka telah saling mengenalkan diri.
Panji merasa lebih enak jika di antara mereka
saling menyebut nama. Ucapan itu menurutnya
terdengar lebih akrab.
"Baiklah, Ki. Kami merasa tertarik dengan
kejadian yang menimpa Desa Palasari. Mudah-
mudahan kami dapat membantu meringankan
beban di pundakmu..." sahut Panji menerima
ajakan Kepala Desa Palasari karena ingin
membongkar misteri pembunuhan di desa itu.
Tanpa banyak cakap lagi, rombongan itu pun
bergerak meninggalkan tanah pekuburan yang
kembali lengang Mereka tiba di Desa Palasari saat
hari menjelang senja.
Ki Kaligandi langsung membawa Panji dan
Kenanga ke tempat tinggalnya. Lelaki tua itu
memang sangat mengharapkan bantuan pasangan
muda itu, yang diduganya pendekar penegak
keadilan. Ia merasa yakin Panji dan Kenanga dapat
membantunya menyelesaikan masalah ini. Apalagi,
ia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kehebatan pasangan pendekar muda itu.
"Beberapa belas tahun yang lalu, semasa
ayahku menjabat Kepala Desa Palasari, peristiwa
ini pernah terjadi Kemudian mereka lenyap begitu
saja, setelah menimbulkan korban yang tidak
sedikit termasuk ayahku. Kabarnya, kejahatan
Gerombolan Setan Merah itu telah berpindah ke
desa lain. Lalu, aku mengajak penduduk untuk
membangun desa yang telah hancur ini Tapi siapa
sangka sekarang mereka muncul kembali, dan
menyebarkan bencana di desa ini. Rasanya aku
sudah tidak sanggup lagi menanggulangi mereka.
Kalau tadi kalian tidak cepat muncul, mungkin kami
semua sudah tidak bernyawa lagi...," jelas Ki
Kaligandi Saat itu mereka bertiga sedang duduk di
ruang tengah kediaman kepala desa itu.
"Apakah tidak ada orang-orang gagah yang
mengetahui dan mengulurkan tangan untuk
membasmi Gerombolan Setan Merah?" tanya
Kenanga.
'Tentu saja ada. Tapi, Gerombolan Setan Merah
sangat kuat Selain itu, jumlah mereka tidak sedikit,
dan rata-rata berkepandaian tinggi. Kita mem-.
butuhkan banyak orang gagah untuk
menghancurkan mereka...," sahut Ki Kaligandi
"Hm..„ Kira-kira apa tujuan mereka, Ki...?" tanya
Panji. Pemuda itu menduga ada tujuan
tersembunyi dari gerombolan itu Kalau tidak, mana
mungkin mereka melakukan kejahatan yang keji
seperti itu.
"Aku sendiri tidak tahu jelas, Panji. Tapi, ayahku
pernah bercerita bahwa Gerombolan Setan Merah
merupakan penganut ilmu hitam yang mengerikan.
Apa yang mereka lakukan selama ini adalah untuk
memperdalam ilmu-ilmu yang mereka miliki.
Bahkan, kabarnya mereka sanggup membangkitkan
mayat-mayat dari dalam kubur...," jelas Ki
Kaligandi yang terlihat agak ngeri sewaktu
mengatakannya.
Tapi, tidak bagi Panji dan Kenanga. Sebagai
pendekar-pendekar perantau, mereka tidak merasa
aneh lagi dengan ilmu-ilmu golongan sesat
Sehingga, ucapan Ki Kaligandi tidak membuat
mereka terkejut Sebaliknya, Kepala Desa Palasari
yang merasa heran melihat ketenangan dua
tamunya.
"Kalian tidak terkejut mendengar ilmu-ilmu
mengerikan Gerombolan Setan Merah...?" tanya Ki
Kafigandi yang rupanya tidak bisa
menyembunyikan keheranannya.
"Sebagai pengembara, kami telah sering
mendengar ilmu-ilmu kaum sesat yang memang
mengerikan. Jadi, ini bukan sesuatu yang baru bagi
kami..," sahut Kenanga mewakili kekasihnya
menjawab pertanyaan Kepala Desa Palasari.
Ki Kaligandi mengangguk-angguk mendengar
jawaban itu. Melihat kepandaian pasangan
pendekar muda itu, Ki Kaligandi tidak
menyangsikannya lagi. Tapi, lelaki tua itu tidak
berani menanyakan julukan pasangan pendekar
muda itu. Disimpannya dalam kepala untuk
menunggu waktu yang tepat. Ia ragu jika
menanyakannya saat itu. Panji dan Kenanga tidak
akan memberikan jawaban yang memuaskan.
Kepala desa itu tahu sifat orang-orang gagah yang
berbudi tinggi. Mereka tidak suka menggembar-
gemborkan nama besarnya.
"Hm.... Apa kalian mempunyai rencana untuk
memberantas mereka...?" tanya Ki Kaligandi
setelah beberapa saat suasana hening.
"Untuk sementara ini rasanya kami belum
mempunyai rencana apa-apa, Ki. Bagaimana
denganmu? Apakah kau mempunyai gagasan?"
tanya Panji balik bertanya.
"Entahlah, Panji. Rasanya aku sudah kehabisan
cara untuk memberantas mereka...," sahut Ki
Kaligandi dengan suara lemah. Terdengar helaan
napas beratnya.
"Jangan putus asa, Ki. Biar bagaimanapun,
kebathilan tidak akan abadi di muka bumi ini.
Selalu saja ada orang yang akan meruntuhkan
kejayaan mereka...," hibur Panji melihat lelaki tua
itu kehi-ngan semangat untuk memberantas
Gerombolan Setan Merah, yang membuat warga
desa itu selalu dibayangi ketakutan.
"Yahhh.... Mudah-mudahan kalian berdualah
orang yang akan meruntuhkan kejayaan
Gerombolan Setan Merah...," desah Ki Kaligandi
disertai hembusan napas panjang.
"Kami pun berharap demikian, Ki. Dengan
bekerja sama, mudah-mudahan kita dapat
melenyapkan keganasan Gerombolan Setan
Merah," sahut Panji tanpa sikap takabur sedikit
pun.
"Kami berdua akan membantu sekuat tenaga”
sambung Kenanga yang kelihatan sangat
bersemangat untuk menghancurkan Gerombolan
Setan Merah.
"Hhh.... Rasanya malam sudah semakin larut
baiknya kalian beristirahat Tempat untuk kalian dah
kusediakan...."
Setelah beberapa saat terdiam, Ki Kaligandi
mempersilakan Panji dan Kenanga untuk
beristirahat melepas lelah.
"Sebentar, Ki...," cegah Panji membuat Ki
Kaligandi menahan gerakannya. Dan, menoleh ke
arah pemuda tampan berjubah putih itu.
"Ada yang ingin kau tanyakan, Panji...?" tanya j
orang tua itu kembali duduk dan menatap wajah
tampan di depannya.
"Pada waktu kami tiba di desa ini, ada seorang
lelaki tua bernama Ki Sola. Apakah Aki
mengenalnya...?" tanya Panji ketika teringat lelaki
tua yang memberi sedikit keterangan kepada
mereka dengan imbalan uang.
"Hm.... Apa manusia pemalas yang licik itu
mengganggu kalian?"
Dalam suara Ki Kaligandi tersirat kegeraman
yang berusaha disembunyikan. Tapi, Panji dan
Kenanga menangkap nada kegeraman itu.
"Tidak. Bahkan, dia telah memberi beberapa
keterangan tentang peristiwa yang terjadi di desa
ini...," sahut Panji yang tentu tidak ingin
mengadukan perbuatan Ki Sola.
"Lelaki tua itu tentu meminta imbalan atas
jasanya yang tidak seberapa itu, bukan? Kalian
tidak perlu segan-segan menceritakannya padaku.
Aki sudah hafal dengan sifat Ki Sola. Mungkin saat
in dia tengah mabuk-mabukan di kedai minum...,'
tukas Ki Kaligandi yang rupanya telah mengenal
baik Ki Sola.
"Maksudnya memang demikian, Ki. Tapi, aku
memberikannya dengan sukarela. Sayang dia
keburu tewas sebelum sempat menikmati
uangnya...," jelas Panji.
Wajah Ki Kaligandi agak berubah. Kelihatan
sekali orang tua itu cukup terkejut mendengar
kematian Ki Sola. Tapi, berusaha
menyembunyikannya dari pandangan pasangan
pendekar muda itu. Tapi, Panji tidak bisa dikelabui.
Meskipun hanya sekilas, kekagetan sinar mata
lelaki tua itu dapat ditangkapnya.
"Kau tidak ingin mengetahui, bagaimana dan
mengapa Ki Sola tewas?" tanya Panji menegasi.
Pemuda itu ingin mengetahui bagaimana
tanggapan Ki Kaligandi atas kematian Ki Sola.
"Sebenarnya aku memang tidak suka
dengannya. Tapi, apa kira-kira yang menyebabkan
kemasannya...?" akhirnya Ki Kaligandi ingin
mengetahui juga, meski kelihatan tidak sepenuh
hati.
"Cara kematian Ki Sola sama dengan korban-
korban pembunuhan di desa ini...," sahut Panji
yang membuat wajah Ki Kaligandi kali ini agak
pucat
"Maksudmu..., keningnya berlubang oleh tiga
kuah jari...?!" tanya Ki Kaligandi menegasi. Lelaki
itu menjadi tertarik mendengar cara kematian Ki
Sola.
"Tepat!" jawab Panji cepat
Panji kemudian menceritakan awal mula
kejadian itu. Sehingga, Ki Kaligandi kelihatan agak
termenung setelah mendengar penuturan Panji.
"Hm.... Benar-benar lihai pembunuh itu.
Menurutku, dia pasti salah seorang pentolan
Gerombolan Setan Merah. Kalau tidak, mana
mungkin pembunuh itu tidak terkejar olehmu...,"
ujar Ki Kaligandi.
"Tidak seluruhnya betul, Ki. Kelihaian pembunuh
itu memang harus kuakui. Satu hal yang
membuatku masih belum mengerti. Setiap anggota
Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu lari cepat
atau sejenis ilmu melenyapkan diri yang sangat
hebat Sewaktu aku mengejar Gerombolan Setan
Merah yang menyerang rombonganmu, aku
kehilangan jejak. Padahal, aku telah berusaha
dengan seluruh kemampuanku. Nyatanya aku tidak
berhasil menyusul mereka. Bahkan, jejaknya pun
tidak kutemukan. Entah ilmu apa yang mereka
pergunakan....," jelas Panji yang rupanya masih
memikirkan kejadian siang tadi. Dan, sampai saat
ini belum juga menemukan jawabannya.
"Itulah yang membuatku putus asa, Panji
Mereka dapat lolos dari kejaran kita, meskipun di
tempat terbuka. Aku pun pernah mengalaminya
saat terjadi pembunuhan beberapa hari yang lalu.
Buruanku lenyap tanpa jejak. Padahal, saat itu
mereka tengah berlari di sebuah lapangan rumput
luas. Bisa kau bayangkan, betapa penasaran
hariku...."
Ki Kaligandi rupanya pernah mengalami hal
serupa. Hanya saja tidak terlalu dipikirkannya.
Lelaki tua itu tahu Gerombolan Setan Merah
memang memiliki ilmu yang tinggi dan mengerikan.
Mungkin itu sebabnya mengapa gerombolan itu
mendapat julukan setan. Mereka memang dapat
menghilang seperti setan!
"Aku akan menyelidiki masalah ini...," gumam
Panji yang merasa penasaran terhadap gerombolan
itu.
"Jangan terburu nafsu, Panji. Aku khawatir kau
akan celaka."
Ki Kaligandi berusaha mengingatkan Panji.
Kekhawatiran orang tua itu tulus dan benar-benar
keluar dari hati yang bersih. Sehingga, Panji
terharu mendengarnya.
'Terima kasih, Ki. Aku akan mengingat pesanmu
baik-baik," ucap Panji seraya tersenyum.
Setelah memberi tahu kamar untuk Panji dan
Kenanga, lelaki tua itu meninggalkan ruang tengah.
Panji mengatakan malam ini akan meronda desa.
Ki Kaligandi tidak bisa mencegah niat pemuda itu,
sebab akan sia-sia saja. Dengan menghela napas
panjang, ditinggalkannya pasangan pendekar muda
itu.
''Beristirahatlah, Kenanga. Nanti aku menyusul.
Malam ini aku ingin meronda desa. Siapa tahu
mereka muncul untuk mencari korban...," ujar
Panji, setelah tubuh Ki Kaligandi lenyap di balik
pintu kamarnya.
"Biar aku menemanimu, Kakang. Rasanya aku
belum mengantuk...," bantah Kenanga yang ingin
menemani kekasihnya meronda desa malam itu.
"Hm.... Bukan aku tidak mempercayai
kemampuanmu, Kenanga. Tapi, biarlah malam ini
aku meronda sendiri. Besok baru kita lakukan
bersama-sama. Bagaimana?"
"Kalau memang itu kemauan Kakang. Baiklah.
Hati-hati. Musuh yang kita hadapi belum jelas...,"
pesan Kenanga dan bergegas memasuki kamar
yang telah disediakan Ki Kaligandi.
Setelah tubuh Kenanga tidak terlihat lagi, Panji
bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah
keluar. Kegelapan malam langsung menyambut
pandang mata Panji.
"Hendak ke mana, Tuan Pendekar...?" sapa
seorang penjaga, ketika melihat tamu kepala
desanya melangkah ke halaman depan, tempat
lelaki tegap itu berjaga bersama seorang
kawannya.
"Hm.... Malam ini tampaknya cuaca sangat baik.
Aku ingin berjalan-jalan sebentar sambil menikmati
keindahan malam...," sahut Panji membalas
anggukan penjaga itu. Kemudian melanjutkan
langkahnya menyusuri jalan utama desa. Setelah
agak jauh dari kediaman Ki Kaligandi, tubuh
pemuda itu langsung melesat dengan kecepatan
tinggi. Kemudian melayang naik ke atas atap
rumah penduduk, dan berlompatan dari satu atap
ke atap lainnya.
Setibanya di batas desa, Panji menghentikan
larinya. Pemuda itu berdiri di atas sebuah dataran
yang agak tinggi. Dari tempat itu dipandangnya
arah selatan Desa Palasari yang merupakan daerah
pekuburan. Panji mencurigai daerah pekuburan itu.
Kecurigaan Panji bukan tidak beralasan. Pikiran
itu timbul ketika teringat bau harum asap dupa
yang berasal dari tubuh wanita bercadar merah.
Bau itu mengingatkannya pada kematian. Dan,
kematian membuat pikirannya melayang ke tanah
pekuburan. Tapi, kecurigaan itu belum mempunyai
bukti yang kuat Apalagi, Gerombolan Setan Merah
melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan
arah kuburan. Panji menemui jalan buntu.
Setelah puas memandang, Panji segera
membalikkan tubuh. Kali ini dia berlari agak lambat
menuju desa. Beberapa kali langkahnya berhenti di
atas atap rumah penduduk dan memperhatikan
sekeliling. Dan, kembali bergerak setelah
memastikan tidak ada sesuatu yang dicurigai
"Hm.... Agaknya malam ini pembunuh itu tidak
menunjukkan aksinya. Kalau memang ingin
mencari korban, waktu tengah malam seperti ini
sungguh tepat sekail Atau mungkin memang tidak
akan muncul, menunggu keadaan menjadi
tenang...," gumam Panji seraya bergerak turun dari
atap, dan melangkah perlahan menyusuri jalan
utama desa yang lengang dan sunyi.
Tapi baru saja Panji ingin kembali ke tempat
kediaman Ki Kaligandi, tiba-tiba telinganya
menangkap sebuah jeritan panjang yang merobek
kesunyian malam.
"itu jeritan orang yang melihat sesuatu yang
sangat mengerikan...!" desis Panji.
Dan tanpa membuang waktu lagi, Pendekar
Naga Putih langsung melesat ke arah suara jeritan
itu. Bagaikan seberkas sinar putih yang melayang
di atas tanah, tubuhnya meluncur pesat,
mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kali ini,
Pendekar Naga Putih tidak ingin kehilangan jejak
pembunuh, yang diduganya tengah beraksi di salah
satu rumah penduduk.
Ketika tiba di tempat itu, Panji melihat empat
orang keamanan desa tengah bertarung dengan
seorang lelaki kurus. Tubuhnya segera melayang
ke tengah arena. Di tempat itu tampak dua sosok
mayat keamanan desa terkapar berlumuran darah.
Korban di pihak keamanan desa telah jatuh!
"Haiiit..!"
Panji memekik nyaring sambil melontarkan
pukulan jarak jauh, ketika melihat seorang
keamanan desa terancam maut' Pendekar Naga
Putih berusaha menyelamatkan orang itu dengan
melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lelaki
bertubuh kurus.
Buggg!
"Aaarghhh...!"
Sosok bertubuh kurus memekik parau
mendirikan bulu roma. Tubuhnya terpelanting ke
kanan sejauh satu tombak, terkena pukulan Panji
yang menghantam punggungnya. Keamanan desa
itu pun selamat dari kematian.
'Panji..?!" seru para keamanan desa yang
merasa lega melihat kemunculan pemuda itu
Mereka telah mengetahui ketangguhan pemuda
tampan berjubah pitih itu, sewaktu membantu
mereka menghadapi Gerombolan Setan Merah.
"Apa yang telah dilakukannya...?" tanya Panji
setelah membalas penghormatan keempat orang
keamanan desa itu.
"Orang itu belum melakukan sesuatu. Kami
memergokinya saat ia hendak memasuki rumah
itu...," sahut salah seorang keamanan desa seraya
menunjuk sebuah rumah yang terletak empat
tombak dari arena pertempuran.
"Hm...," Panji bergumam mendengar jawaban
itu.
Meskipun belum membunuh calon korbannya,
namun lelaki kurus itu telah menewaskan dua
orang keamanan desa. Itu sudah merupakan
kejahatan yang tidak bisa diampuni.
"Hati-hati, Panji. Orang itu sangat kuat.
Beberapa bacokan kami ditepiskan dengan lengan
telanjang...," kata seorang keamanan desa,
mengingatkan pemuda tampan perjubah putih itu
"Maksudmu orang itu kebal terhadap senjata
tajam...?" tanya Panji menegasi.
"Kurasa begitu..," sahut lelaki bertubuh gemuk
itu, terlihat agak ragu
"Heaaahk...!"
Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar
teriakan parau lelaki bertubuh kurus. Cepat Panji
berbalik menghadapi orang yang diduganya
sebagai pelaku pembunuhan di desa itu.
"Hm.... Kali ini aku tidak akan melepaskanmu,
Manusia Jahat..!" desis Panji seraya bergerak maju
dengan langkah menyilang. Pendekar Naga Putih
agak berhati-hati menghalangi sosok bertubuh
kurus. Pukulan jarak jauh yang dilancarkannya tadi,
seperti tidak dirasakan lawan. Itu hanya
mempunyai satu arti. Lawannya bukan tokoh
sembarangan.
Lelaki bertubuh kurus seperti tak peduli dengan
ucapan Panji. Dengan langkah berat, kakinya
bergerak maju Sepasang tangannya terentang ke
kiri dan kanan, seperti hendak mencekik leher
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Majulah! Aku ingin lihat sampai di mana
kekebalan tubuhmu...," ujar Panji, berusaha
menegasi wajah lelaki kurus itu. Sayang, ia tidak
dapat melihat dengan jelas. Lelaki kurus itu berdiri
di bawah pohon lebat Sehingga, sosoknya tidak
terkena sinar bulan yang redup.
---ooo0myr0ooo
LIMA
"Eaaakhhh...!"
Sosok bertubuh kurus membuka serangan
dengan gerak yang kaku. Meski demikian,
sambaran anginnya terasa sangat kuat Panji agak
kaget juga. Selain lambat, ilmu silat lawan pun
terlihat aneh dan tidak lumrah. Bahkan, tanpa
pertahanan sedikit pun.
Bettt..!
Cengkeraman tangan kanan lelaki kurus itu
meluncur ke arah kepala Panji. Dari angin pukulan
yang ditumbulkannya, rasanya sambaran itu
mampu menghancurkan sebongkah batu karang.
Serangan itu sangat berbahaya.
"Haiiit..!"
Gerakan itu terlampau lambat bagi Panji.
Tangan kirinya segera diangkat untuk memapaki
dan mengukur kekuatan lawan. Sehingga....
Dukkk!
Panji tersentak ketika merasakan lengan yang
dingin dan keras seperti besi. Untung ia tidak
gegabah dan mengerahkan hampir separuh tenaga
dalamnya. Kalau tidak, kuda-kudanya pasti akan
tergempur.
"Heaaah...!"
Tangkisan itu masih disusul Panji dengan
sebuah hantaman telapak tangan kanannya ke
tubuh lawan.
Buggg!
Tanpa ampun lagi, tubuh kurus itu terjengkang
ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Kendati
demikian, tidak sedikit pun terdengar keluhan dari
mulut lawan. Bahkan begitu jatuh, lelaki kurus itu
langsung bergerak bangkit Seolah pukulan telapak
tangan Panji tidak berarti apa-apa baginya.
"Hebat..!" desis Panji kagum melihat lawan
kembali siap bertarung. "Lelaki kurus ini memang
memiliki ilmu kebal yang cukup tinggi. Untuk
melumpuhkannya aku harus menggunakan tenaga
yang lebih kuat..."
Panji mengerahkan hampir seluruh tenaga
dalamnya. Sepasang tangannya berputaran di
depan dada, hingga menerbitkan angin dingin
menusuk tulang yang memenuhi arena
pertarungan.
Lelaki kurus itu tampaknya mulai sadar akan
ketangguhan Pendekar Naga Putih. Gerakannya
segera diubah. Kali ini langkahnya agak cepat,
meskipun masih tetap kaku Demikian pula dengan
sepasang lengannya. Dengan tetap membentuk
cakar, jari-jari tangan lelaki kurus itu digerakkan
susul-menyusul dengan kecepatan yang cukup
tinggi.
Bettt, bettt! .___
Panji berkelit ke kiri dan kanan dengan
menggunakan kelincahan tubuhnya. Sehingga,
serangan lawan selalu mengenai tempat kosong.
Kemudian melontarkan serangan balasan dengan
tenaga tinggi. Pertahanan lawan yang sangat
lemah, membuat dua pukulan Panji telak bersarang
di tubuh lelaki kurus itu.
"Hahhh?!"
Panji ternganga melihat tubuh lawan kembali
bangkit Pukulan yang dilancarkannya tadi tidak
dirasakan lawan. Padahal, pukulan itu sanggup
membuat tokoh persilatan tangguh mengalami luka
dalam yang parah. Tapi, lelaki kurus itu ternyata
tidak merasakannya. Bahkan mengeluh pun tidak.
Panji menjadi heran bukan main!
"Gila! Terbuat dari apa tubuh lelaki kurus itu?!
Apa aku mesti menggunakan seluruh kekuatanku
untuk merobohkannya?" desis Panji tak percaya
dengan apa yang dialaminya. Jika tenaga dalamnya
dikerahkan sepenuhnya, itu berarti lawan
merupakan gembong tokoh sesat yang setingkat
dengan seorang datuk persilatan. Padahal kalau
melihat gerakannya, lelaki kurus itu tak lebih dari
seorang yang baru beberapa bulan berlatih ilmu
silat Hanya kekuatan tubuhnya saja yang luar
biasa. Dan, hampir tidak mungkin! Karena setiap
jago silat yang telah mahir, pasti akan memiliki
kekuatan tenaga dalam yang seimbang dengan
ilmunya. Sedangkan lelaki kurus itu hanya memiliki
kekuatan tubuh yang sulit dimengerti.
Melihat lawan kembali bergerak maju, Pendekar
Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Rasa penasaran
membuatnya ingin mengetahui sampai di mana
kekuatan tubuh lelaki kurus itu. Pendekar Naga
Putih memutuskan untuk menggunakan seluruh
tenaga dalamnya dalam melancarkan serangan
selanjutnya.
Kali ini Panji tidak perlu berkelit lagi Serangan
wan yang berupa tepukan kedua belah tangan,
memaksa pemuda itu mengangkat kedua
tangannya ke atas kepala untuk melindungi telinga.
Titik lemah yang mematikan itulah yang menjadi
sasaran serangan lawan.
Plak! Plakkk!
Sekejap sepasang lengan lawan tergantung di
udara terkena tangkisan Panji Tanpa menunggu
lagi, Pendekar Naga Putih langsung memutar
kedua tangannya dan dihantamkan ke dada lawan
yang terbuka dengan sepenuh tenaga
Bresssh...!"
Sungguh hebat pukulan yang dilakukan
Pendekar Naga Putih. Tubuh lawan terlempar deras
sejauh tiga tombak. Dan terus terguling-guling di
atas tanah. Rasanya, kali ini tidak mungkin tubuh
kurus itu dapat bangkit lagi. Masih untung kalau
tubuhnya tidak remuk oleh hantaman dahsyat itu.
"Ibliiss...?!" Panji mendesis dengan sepasang
mata terbelalak. Lawan yang menurutnya sudah
pasti tewas, ternyata mampu bangkit berdiri. Dan
melangkah maju dengan gerak lambat mendekati
Pendekar Naga Putih, yang terpaku bagai tengah
bermimpi.
"Panji, awasss...!" teriak seorang keamanan
desa yang melihat pemuda berjubah putih itu
hanya berdiri mematung.
Meskipun Panji tampak seperti orang yang
kehilangan kesadaran, tapi pemuda itu tahu kalau
lawan tengah mendekatinya. Pemuda itu bergerak
mundur. Hidungnya mencium bau busuk yang
datangnya dari arah lawan. Bau itu demikian
menusuk hingga perutnya terasa mual.
Melihat Panji bergerak mundur, keempat
keamanan Desa Palasari segera melangkah maju
untuk membantunya. Seorang di antaranya
memegang obor untuk menerangi jalan. Dan....
"Ki Sola...?!" desis Panji ketika melihat sosok
lelaki kurus itu terkena cahaya obor.
Pendekar Naga Putih tersentak kaget karena
mengetahui kalau Ki Sola telah tewas, la
menyaksikan mayat lelaki tua itu dengan mata
kepala sendiri. Bagaimana mungkin kini lelaki tua
itu berdiri di hadapannya dan siap mencekiknya?!
Panji benar-benar tak percaya dengan
penglihatannya.
Pemuda itu mulai berpikir lain ketika melihat
tubuh bagian depan Ki Sola berlubang. Jelas,
lubang itu adalah akibat pukulannya tadi. Tapi,
yang keluar dari luka itu bukan darah. Melainkan
cairan kuning yang menyebarkan bau busuk.
Sadarlah Panji kalau lawan yang dihadapinya
sesosok mayat' Mayat Ki Sola!
"Cepat kalian menyingkir. Yang kita hadapi
bukan manusia biasa. Lelaki kurus itu sesosok
mayat yang telah dibangkitkan tokoh sesat
berwatak keji!" ujar Panji memperingatkan
keempat keamanan desa agar menyingkir jauh-
jauh. Karena ia belum menemukan cara untuk
melumpuhkan mayat Ki Sola.
Sementara itu, mayat ki Sola dengan perlahan
terus bergerak maju. Sepasang tangannya
terentang. Siap melumatkan siapa saja yang
mendekatinya. Panji memutuskan mundur dan
mencari cara untuk melumpuhkan mayat hidup itu.
Keempat keamanan Desa Palasari menggigil
ketakutan, setelah mengetahui yang dihadapinya
sesosok mayat hidup. Hati mereka menjadi kecut
membayangkan tadi sempat bertarung dengan
mayat itu. Keberanian mereka langsung terbang.
Melihat mayat Ki Sola, jelas sangat sukar
ditundukkan. Panji yang kepandaiannya telah
mereka ketahui saja tidak sanggup merobohkan
mayat lelaki kurus itu. Apalagi mereka yang
memiliki ilmu silat tidak
"Bagaimana ini..., Panji..? Kalau mayat Ki Sola
sampai memasuki rumah penduduk, pasti akan
terjadi kegemparan...," ujar salah seorang
keamanan desa dengan suara kering dan susah
sekali diucapkan
'Tenanglah. Aku akan memancing mayat lelaki
tua itu menjauhi desa. Mudah-mudahan ia dapat
kukelabui...," jawab Panji kembali bergerak
mendekati mayat Ki Sola. Kemudian, melancarkan
pukulan dengan bacokan sisi telapak tangan ke
leher mayat itu.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, mayat bertubuh kurus itu
terpelanting ke tanah. Dan, segera bangkit
mengejar Pendekar Naga Putih. Melihat
pancingannya berhasil, Panji bergerak mundur dan
menjauhi tempat itu.
"Ayo! Seranglah aku, Makhluk Keparat..!"
tantang Panji sambil terus bergerak mundur,
membawa mayat Ki Sola keluar dari Desa Palasari.
Melihat pemuda itu terus bergerak mundur,
mayat Ki Sola berhenti sejenak Kemudian berbalik
pergi Tentu saja kelakuan mayat itu membuat
Pendekar Naga Putih gemas!
"Kurang ajar! Rupanya pengendali mayat itu
tahu perbuatanku! Hm.... Mestikah aku
menggunakan tenaga gabungan untuk
menghancurkannya...?" gumam Panji geram ketika
melihat pancingannya gagal. Pendekar Naga Putih
mulai mencari jalan lain. Jika mayat hidup itu
dibiarkan, penduduk Desa Palasari akan gempar!
Melihat tidak ada jala lain, Panji segera
menghimpun dua kekuatan tenaga ampuh yang
dimilikinya. Lalu, digabungkannya untuk
menghancurkan mayat Ki Sola. Kali ini Panji
merasa yakin usahanya akan berhasil. Jangankan
sesosok mayat, tubuh manusia hidup pun akan
lebur bila terkena hantaman tenaga gabungan itu
Beberapa saat kemudian, terlihat sinar putih
keperakan menyelimuti tubuh bagian kiri Pendekar
Naga Putih. Sedangkan tubuh bagian kanan
diselimuti lapisan sinar kuning keemasan yang
menerbitkan hawa panas menggigit Itulah
gabungan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang tidak ada
tandingannya di atas jagat'
"Haaat..!"
Dibarengi pekik mengguntur, tubuh Pendekar
Naga Putih melambung ke udara dan berputaran
melewati kepala mayat itu. Kemudian, meluncur
turun tepat beberapa langkah di hadapan mayat Ki
Sola. Dan....
Whusss...!
Angin dingin dan panas berhembus keras, saat
Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan!
Blarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat laksana
mengguncang jagat Tanpa ampun lagi, sosok
mayat Ki Sola hancur menjadi serpihan yang tidak
mungkin dapat hidup lagi.
Panji menghela napas panjang. Kali ini ia benar-
benar yakin. Mayat Ki Sola tidak mungkin dapat
bangkit kembali.
Keempat keamanan desa yang tadi terjengkang
oleh getaran pukulan Panji, bergegas bangkit
mendekati pemuda tampan berjubah putih itu.
Mereka benar-benar takjub dengan kepandaian
pemuda itu. Menyaksikan kedahsyatan pukulan
Panji, mereka semakin yakin kalau pemuda itu
adalah dewa penolong yang akan menyelamatkan
penduduk Desa Palasari dari malapetaka
mengerikan.
"Hm.... Kurasa malam ini tidak akan ada
kekacauan lagi. Sebaiknya kalian urus mayat
kawan-kawan kalian. Setelah itu bertugaslah
seperti biasa. Aku akan kembali ke rumah Ki
Kaligandi...," ujar Panji yang merasa yakin kalau
malam itu Gerombolan Setan Merah tidak akan
membuat ulah. Menurutnya, tokoh yang
mengendalikan mayat Ki Sola hanya sekadar
menguji kepandaiannya saja. Setelah
melumpuhkan mayat hidup itu, kemungkinan besar
Gerombolan Setan Merah akan lebih berhati-hati.
Setelah keempat keamanan desa itu pergi, Panji
bergerak meninggalkan tempat itu. Sosoknya
melesat menerobos kegelapan malam. Sinar bulan
sabit yang menggantung di langit pekat tampak
mulai cerah. Ditemani bintang-bintang yang
bertaburan dengan kerli kerlipnya yang indah.
Malam sudah mendekati fajar.
---ooo0myr0ooo---
"Panji, benarkah semalam kau berhadapan
dengan mayat Ki Sola yang tewas kemarin...?" Ki
Kaligandi langsung melontarkan pertanyaan itu
Saat itu mereka selesai sarapan dan tengah duduk
di taman belakang rumah Ki Kaligandi. Rupanya,
lelaki tua itu telah mendapat laporan dari para
peronda semalam.
"Benar, Ki. Bahkan, aku nyaris dibuat tak
berdaya oleh mayat itu. Kelihatannya, pimpinan
Gerombolan Setan Merah mulai turun tangan.
Mereka pasti sudah mengetahui kehadiranku di
desa ini...," sahut Panji tanpa merasa perlu untuk
menceritakan bagaimana caranya menundukkan
mayat itu Panji tidak ingin membanggakan
perbuatannya kepada orang lain.
"Hm.... Ternyata 'Ilmu Membangkitkan Mayat'
itu benar-benar ada. Bukan sekadar dongeng
belaka. Padahal selama ayahku masih hidup,
kejadian ini belum pernah terjadi. Kalau sekarang
pimpinan Gerombolan Setan Merah menggunakan
ilmu yang sangat mengerikan itu, pasti ada sesuatu
yang dikhawatirkannya...," gumam Ki Kaligandi
seraya menatap Panji dengan penuh selidik.
Panji tidak menanggapi ucapan orang tua itu,
yang telah diketahui maksudnya. Dilihatnya orang
tua itu berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di
belakang. Jelas, lelaki tua itu tengah berpikir keras.
"Panji...."
Tiba-tiba Ki Kaligandi menghentikan
perbuatannya. Dan, menatap pemuda tampan
berjubah putih itu dengan sinar mata tajam.
"Boleh aku tahu, siapa kau sebenarnya...?"
Akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut
Ki Kaligandi. Rupanya, orang tua itu tidak sanggup
menahan rasa penasaran di hatinya.
"Apa maksudmu, Ki...?" Panji balik bertanya
seperti orang bodoh.
"Melihat 'Ilmu Membangkitkan Mayat' telah
mereka pergunakan, aku menduga kalau pimpinan
gerombolan itu merasa khawatir terhadapmu.
Mungkinkah kau...," Ki Kaligandi menggantung
kalimatnya. Sehingga, Panji tidak tega melihat
lelaki tua itu kebingungan.
"Benar, Ki...," jawab Panji yang sepertinya
sudah bisa membaca jalan pikiran orang tua itu.
Hingga langsung membenarkan dugaan Ki
Kaligandi
"Jadi.., kau..., Pendekar Naga Putih yang
menggemparkan itu...?!" seru Ki Kaligandi hampir
berteriak. Jelas, lelaki tua itu tidak pernah
menyangka kalau Panji adalah Pendekar Naga
Putih.
Panji mengangguk seraya tersenyum lebar.
Kemudian bangkit dari duduknya dan menghadapi
Ki Kaligandi yang masih terbelalak. Seolah belum
mempercayai penglihatannya saat itu.
"Ahhh...."
Lagi-lagi orang tua itu berdesah panjang.
Matanya tak lepas menatap sosok Pendekar Naga
Putih. Sampai beberapa saat lamanya, lelaki tua itu
belum sanggup mengeluarkan suara, kecuali
desahan saja.
"Ki Kaligandi! Apakah aku kalah menarik dengan
pemuda di hadapanmu itu...?"
Menyaksikan tingkah Kepala Desa Palasari itu,
Kenanga tidak dapat menahan mulutnya untuk
menggoda. Sehingga, Ki Kaligandi tersadar dari
perbuatannya. Lelaki tua itu sedikit tersipu
mendengar teguran Kenanga.
"Maaf, Kenanga. Aku terlalu gembira. Tidak
pernah kusangka kalau Panji adalah Pendekar Naga
Putih yang namanya menjulang tinggi. Aku tidak
menyalahkan kaum rimba persilatan golongan putih
yang demikian memuja nama besarnya...," ujar Ki
Kaligandi membela diri, membuat Panji dan
Kenanga tersenyum lebar.
'Tolong hentikan pujianmu yang setinggi langit
itu, Ki aku khawatir kepala ini akan menjadi besar.
Tentu akan sulit sekali membawanya berjalan...,"
gurau Panji, membuat Ki Kaligandi kembali tersipu
malu
"Ahhh.... Kau benar-benar seorang pendekar
sejati, Panji Sungguh patut dijadikan contoh tokoh-
tokoh tua lainnya...," ucap Ki Kaligandi kembali
kelepasan bicara. Karena, kata-katanya masih tetap
memuji pemuda itu.
"Wah.... Baru saja kuingatkan, sudah mulai
lagi...," tukas Panji.
"Maaf..., maaf...," ujar Ki Kaligandi menyadari
ucapannya. Lelaki tua itu masih belum terbebas
dari rasa gembiranya, setelah mengetahui siapa
sebenarnya pemuda tampan berjubah putih yang
menjadi tamunya itu.
"Ingat, Ki. Musuh kita masih tetap berkeliaran.
Tanpa kita ketahui di mana sarang mereka. Setelah
kejadian semalam, tindakan mereka mungkin akan
semakin ganas. Untuk itu kita harus siap
menghadapi bila sewaktu-waktu mereka muncul
tanpa diduga...," ujar Panji mengingatkan bahaya
yang masih mengintai mereka.
"Hhh..."
Ki Kaligandi menghela napas panjang berulang-
ulang. Ingatan tentang Gerombolan Setan Merah,
membuat lelaki tua itu kembali teringat akan
bencana yang mengincar penduduk desanya.
Kendati demikian, wajahnya tidak lagi terlihat
murung. Tidak seperti waktu belum mengetahui
siapa pemuda berjubah putih itu sebenarnya.
Panji merasa lega melihat perubahan pada diri
lelaki tua itu. Sekarang terlihat gambaran semangat
di wajah orang tua itu. Ki Kaligandi jelas
menggantungkan harapan pada dirinya. Dan itu
merupakan sebuah tanggung jawab besar yang
harus dipikul Panji.
"Kalau demikian, kita harus menyusun rencana
untuk menghadapi Gerombolan Setan Merah," ujar
Ki Kaligandi setelah terdiam beberapa saat
lamanya. "Untuk itu aku mempercayakannya
padamu, Panji Aku yakin kau jauh lebih
berpengalaman daku. Tentu dalam
pengembaraanmu telah banyak ditemukan
berbagai macam bentuk kejahatan, dan ilmu-ilmu
sesat yang tinggi. Aku sendiri merasa tak berdaya
menghadapi ilmu-ilmu mengerikan Gerombolan
Setan Merah. Kuharap kau tidak segan-segan
memberi petunjuk padaku...."
"Hm.... Meskipun aku tidak membantah
perkataanmu, tapi biar bagaimanapun kaulah yang
lebih tahu daerah ini. Aku pun mengharapkan
petunjuk darimu. tempat mana yang kira-kira
pantas untuk dijadikan markas Gerombolan Setan
Merah. Pilihlah tempat-tempat yang menurutmu
angker dan hampir tidak pernah dilalui orang," ujar
Panji yang tidak ingin menyeiepelekan orang tua
itu. Selain itu, ia ingin Ki Kaligandi merasa ikut
menanamkan jasa bila mereka berhasil
memberantas Gerombolan Setan Merah.
Mendengar ucapan Panji, Ki Kaligandi tampak
berpikir keras. Ucapan pemuda itu harus diakui
kebenarannya. Maka, ia tidak membantah sedikit
pun. Karena sudah pasti dirinya lebih mengetahui
daerah di sekitar Desa Palasari.
"Hm... Rasanya sulit sekali aku menduganya,
Panji Sepanjang pengetahuanku, tidak ada tempat
di sekitar Desa Palasari yang dianggap angker dan
jarang dilalui orang. Apakah tidak sebaiknya kita
menunggu kedatangan mereka. Lalu, lata tangkap
salah seorang anggota gerombolan itu hidup-hidup.
Dengan begitu, kita bisa mengorek keterangan
mengenai markas mereka...," usul Ki Kaligandi,
setelah terdiam beberapa saat untuk mencari
tempat-tempat angker yang dikatakan Panji.
"Hm.... Itu pun kurasa cukup baik. Jika demikian
kita harus benar-benar siap untuk menyambut
kedatangan mereka. Tolong kau kumpulkan semua
keamanan desa dan beri pengarahan. Pagi ini juga
aku akan mencoba mencari tempat persembunyian
mereka," tukas Panji menerima baik usul Ki
Kabgandi. Wajah orang tua itu kelihatan semakin
cerah. Rupanya, ia merasa bangga usulnya
ditanggapi pemuda perkasa itu.
"Aku ikut, Kakang...," Kenanga langsung
bergerak bangkit mendengar kekasihnya akan pergi
menyelidiki.
Panji tidak berusaha mencegah. Pemuda itu
segera berpamitan pada Ki Kaligandi. Kemudian,
bersama Kenanga bergerak meninggalkan
kediaman Kepala Desa Palasari
Ki Kaligandi mengiringi kepergian pasangan
pendekar muda itu dengan tatapan mata. Hati
kecilnya berdoa agar mereka dapat menemukan
tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.
ooo0myr0ooo---
ENAM
Di bawah siraman sinar matahari pagi yang
hangat, Panji dan Kenanga menyusuri jalan utama
Desa Palasari. Orang-orang desa yang telah
mendengar kehebatan Panji, mengangguk hormat
saat berpapasan. Rupanya, peristiwa semalam
telah menyebar cepat Sehingga pasangan
pendekar muda itu menjadi agak risih dengan
sambutan penduduk, yang terkesan sangat
berlebihan.
"Hm.... Rupanya, keempat peronda itu telah
menceritakan kehebatanmu pada seluruh
penduduk desa ini. Sambutan mereka sangat jauh
berbeda dengan sebelumnya...," bisik Kenanga
pada kekasihnya. Terselip rasa bangga di hati dara
jelita itu Sebagai manusia biasa, wajar bila ada
perasaan ingin dihormati. Dan, Kenanga
merasakannya saat itu.
"Meskipun begitu, jangan membuat kita menjadi
takabur. Perasaan seperti itu harus kita buang
jauh-jauh. Kalau tidak akan semakin berkembang,
dan membuat kita lupa diri. Ingat itu, Kenanga...,"
sahut Panji, mengingatkan dara jelita itu agar tidak
melupakan wejangan guru mereka.
”Terima kasih telah mengingatkan aku, Kakang.
Saat ini aku hampir terpengaruh...," aku Kenanga
terus-terang.
Panji tersenyum. Ucapan itu membuktikan
kekasihnya memiliki batin yang cukup kuat Dan, ia
semakin percaya kalau Kenanga tidak akan
terpengaruh dan menjadi takabur.
Keduanya terdiam ketika telah melewati batas
Desa Palasari. Jalan yang mereka lewati jarang
dilalui penduduk desa. Mereka pun menggunakan
ilmu lari cepat. Berlari di dalam desa akan
mengundang perhatian orang. Itu sebabnya,
mereka berjalan saat menyusuri jalan utama Desa
Palasari.
"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya
Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita
itu dapat mengimbangi Panji yang tidak
mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya.
"Hm.... Bagaimana menurutmu bila kita
menyelidiki tanah pekuburan? Aku mencurigai
tempat itu sebagai markas Gerombolan Setan
Merah...," sahut Panji meminta pendapat
kekasihnya.
Kenanga tidak segera menjawab. Dara jelita itu
tengah membayangkan daerah pekuburan yang
kemarin didatanginya. Keningnya berkerut
mempertimbangkan usul Panji.
"Aku tidak melihat sebuah bangunan pun di
daerah pekuburan itu, Kakang. Apa alasanmu
mencurigai pekuburan itu sebagai tempat
persembunyian mereka...?" tanya Kenanga yang
agak heran mendengar kekasihnya mencurigai
daerah pekuburan sebagai markas Gerombolan
Setan Merah. Ia sendiri tidak pernah berpikir
seperti itu.
Panji menceritakan saat ia bertarung dengan
wanita bercadar merah. Bau asap pedupaan yang
keluar dari tubuh wanita bercadar merah itu yang
menjadi dasar alasan mencurigai pekuburan sunyi
itu, sebagai markas Gerombolan Setan Merah.
"Alasan itu tidak tepat, Kakang. Tidak mungkin
gerombolan menakutkan itu bermarkas di daerah
pekuburan. Bau asap dupa yang kau katakan
berasal dari tubuh wanita bercadar merah, bukan
merupakan bukti bahwa ia tinggal di pekuburan...,"
bantah Kenanga. Dara jelita tidak sependapat
dengan Panji.
"Hm.... Meskipun itu baru berupa dugaan, tapi
jangan lupa, gerombolan itu dapat menghilang
seperti setan. Bahkan menurut Ki Kaligandi,
pimpinan Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu
mengerikan yang bisa membangkitkan mayat-
mayat dari dalam kubur. Mungkin saja mereka
senang berkawan dengan mayat-mayat..," tukas
Panji yang kelihatannya tetap mencurigai tanah
pekuburan sebagai tempat persembunyian
Gerombolan Setan Merah.
"Kalau begitu, ayo kita periksa daerah
pemakaman itu..," sahut Kenanga ingin
membuktikan dugaan kekasihnya. Meskipun belum
yakin sepenuhnya, dara jelita itu tampak mulai
terpengaruh dugaan Panji.
Melihat kekasihnya telah melesat lebih dulu,
Panji segera mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk
mengejar dara jelita itu. Sebentar saja, keduanya
sudah merupakan bayang-bayang samar.
Untuk mencapai tempat itu, pasangan pendekar
muda ini tidak membutuhkan waktu lama.
Keduanya segera tiba di pintu gerbang pekuburan
yang sunyi dan lengang Suara-suara binatang
menyambut kedatangan mereka.
Tanpa ragu-ragu, keduanya bergerak memasuki
daerah pekuburan. Dengan tatapan tajam, mereka
melangkah perlahan seraya memperhatikan
sekeliling. Ada perasaan aneh yang menyelimuti
hati pasangan pendekar muda itu, saat memasuki
daerah pekuburan semakin jauh.
"Hm.... Tempat ini sangat menyeramkan,
Kakang Ada hawa aneh yang membuatku merasa
ngeri. Padahal, sebelumnya perasaan ini tidak
pernah muncul. Meski aku tahu tempat yang
kudatangi sangat menyeramkan...," desis Kenanga.
"Aku juga merasakannya. Tapi, aku tidak tahu
apa yang membuat rasa ngeri ini muncul tanpa
terkendali? Tempat ini memang sangat pantas
untuk dijadikan sarang penjahat Terutama
Gerombolan Setan Merah, yang sangat menyukai
hal-hal menyeramkan. Itu dapat dilihat dari
julukan, cara berdandan dan ilmu-ilmu yang
mereka miliki Sayang, di sini tidak terdapat sebuah
bangunan pun...," ujar Panji. Mereka terus
melangkah menyusuri jalan yang tidak terlalu lebar.
Yang terdapat di antara makam-makam yang
berjajar di kiri dan kanan mereka.
Setelah semakin jauh memasuki daerah
pekuburan, tiba-tiba Panji menyentuh lengan
kekasihnya. Kenanga agak tersentak. Hati dara
jelita itu rupanya tengah diliputi ketegangan.
Sentuhan Panji yang perlahan itu telah
membuatnya kaget
"Kau mengejutkanku, Kakang...," cetus
Kenanga. Tubuhnya terasa agak lemas karena rasa
kaget yang menyentak hatinya.
"Aku mendengar suara orang bertempur.
Mungkin tidak jauh dari tempat ini...," ucap Pa
tidak menanggapi keterkejutan kekasihnya.
Pendengarannya dipertajam agar dapat
menangkap lebih jelas.
"Dari mana kira-kira suara pertempuran itu,
Kakang...?" tanya Kenanga, karena Panji kelihatan
bersungguh-sungguh, hingga membuatnya tertarik
untuk mengetahuinya.
"Mari ikut aku...," ajak Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih melangkah ke
kanan, melompati makam-makam yang berjajar
malang-melintang tak beraturan. Kenanga segera
mengikuti langkah kekasihnya.
Langkah Panji semakin cepat Karena suara
pertempuran yang semula samar, kini semakin
bertambah jelas. Sampai akhirnya pemuda itu
berlari cepat menuju utara pekuburan.
Kenanga terus mengikuti di belakang panji.
Tubuhnya berloncatan melewati gundukan tanah
pekuburan Hingga meninggalkan tempat yang
menyeramkan itu, dan melewati daerah yang
ditumbuhi pohon-pohon besar.
Tidak berapa lama kemudian, pasangan
pendekar itu pun tiba di tempat pertempuran Panji
tampak agak kecewa ketika tidak menemukan
seorang pun anggota Gerombolan Setan Merah,
dari belasan orang yang tengah bertarung. Kendati
demikian, pemuda itu tetap melanjutkan
langkahnya mendekati arena pertempuran. Sudah
menjadi tugasnya untuk membela orang-orang
lemah dan teraniaya.
Plakkkl Plakkkl
Begitu memasuki arena pertempuran, Panji
langsung memapaki sambaran sepasang pedang
yang mengancam nyawa seorang lelaki tua berusia
sekitar lima puluh lima tahun. Sehingga lelaki
brewok yang memegang sepasang pedang itu
terjajar mundur beberapa langkah.
"Kurang ajar...!" geram lelaki brewok itu seraya
menatap pemuda berjubah putih di depannya. Ada
kilatan nafsu membunuh pada sepasang matanya.
Panji yang memutuskan untuk membantu lelaki
tua itu, merasa tidak salah pilih. Melihat ada kereta
kuda di tempat itu, Panji yakin kalau lelaki tua itu
tengah menghadapi perampok.
"Hm.... Dalam suasana kacau seperti ini
memang tidak aneh bila ada orang berhati culas
yang memanfaatkan keadaan. Orang-orang seperti
kalian sudah semestinya diberi pelajaran agar lain
kali tidak mengulangi lagi," ujar Panji balas
menatap lelaki brewok yang diduganya pimpinan
belasan orang kasar itu. Mereka berkumpul untuk
menghadapi Panji dan Kenanga.
"Benar, Kenanga. Orang-orang seperti mereka
pantas untuk dibunuh. Perbuatan mereka
meresahkan orang banyak...," timpal lelaki tua
yang diam-diam merasa bersyukur. Jika pemuda
berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba
hijau itu tidak segera muncul, mungkin nyawanya
sudah melayang ke alam baka.
"Ha ha ha...!"
Lelaki itu tertawa tergelak-gelak. Sedikit pun
tidak merasa gentar dengan Panji la merasa tidak
mungkin kalah melawan pemuda itu. Jika tadi
sempat terjajar mundur, itu karena kedudukannya
kurang menguntungkan, dan tidak tahu ada
serangan mendadak.
"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir. Aku akan
mencoba sampai di mana kehebatan lelaki
bermulut besar itu. Apakah sudah sebanding
dengan sesumbarnya...?" desis Panji segera
mendekati lawan yang sudah siap melumpatkan
tubuhnya.
Kenanga mengajak yang lain untuk menyaksikan
perkelahian dari tempat yang agak jauh. Dara jelita
itu menyerahkan persoalan ini kepada Panji.
"Heaaat..!"
Belum lagi sampai, lelaki brewok itu sudah
bergerak sambil mengibaskan senjatanya dengan
kecepatan cukup tinggi. Meski terlihat lambat bagi
orang seperti Panji. Tanpa kesulitan sedikit pun,
pemuda itu dapat mengatasi serangan lawan
dengan baik. Bahkan, melontarkan serangan
balasan dengan kecepatan mengejutkan. Pukulan
pertama Panji berhasil dielakkan lawan Tapi,
luncuran kepalan kanannya telak bersarang di
tubuh lawan.
Buggg!
"Hukhhh...!"
Karuan saja tubuh lelaki brewok itu tersentak ke
belakang. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya
terbanting di tanah berumput Kendati tubuhnya
terasa nyeri, namun ia berusaha bangkit sambil
menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
Lelehan darah tampak pada ujung bibirnya.
Agaknya, bagian dalam tubuh lelaki brewok itu
terguncang oleh pukulan telak Panji.
Saat itu, Panji tengah menghadapi enam belas
orang perampok yang mengeroyoknya. Namun, itu
tidak membuatnya kewalahan. Hanya dengan
tangan kosong, para perampok itu dibuatnya
kalang-kabut Tubuh mereka berjatuhan susul-
menyusul terkena tamparan dan tendangan
pemuda perkasa itu. Dalam waktu singkat keenam
belas perampok itu bertumbangan sambil
mengaduh kesakitan.
"Bocah keparat..!"
Marah bukan main lelaki brewok itu ketika
melihat semua pengikutnya dibuat tak berdaya
dalam waktu singkat Kejadian itu bukan
membuatnya menjadi gentar. Malah menerjang
maju dengan kalap!
"Yeaaat..!"
Sepasang pedang di tangan lelaki brewok itu
berkelebatan menerbitkan desingan tajam. Panji
berkelit dengan langkah bersilangan. Kemudian,
membalas serangan lawan dengan tendangan
keras.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu
terjungkal keras. Terdengar suara berdebuk
nyaring ketika tubuhnya menimpa tanah. Kali ini,
lelaki brewok itu tidak segera bangkit Tendangan
Panji, membuatnya sulit bernapas.
"Hm.... Sebaiknya segera pergi dari tempat ini
Tinggalkan pekerjaan buruk yang selama ini kalian
lakukan! Jika aku melihat kalian masih belum
mengubah cara hidup selama ini, aku akan datang
dan mencabut nyawa kalian semua...!" ancam
Panji. Ucapan itu sama sekali tidak diduga lelaki
brewok yang menjadi kepala kawanan perampok.
Belum yakin akan pendengarannya barusan,
lelaki brewok itu menatap Panji. Menunggu ucapan
selanjutnya dari pemuda tampan berjubah putih
yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sehingga, ia
dan belasan orang kawannya tak berdaya hanya
dalam beberapa gebrakan saja.
"Hm.... Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat pergi
dari sini sebelum aku berubah pikiran, dan
melenyapkan nyawa kalian sekarang juga!" bentak
Panji, membuat kawanan perampok itu pucat
Tanpa membuang waktu lagi, lelaki brewok itu
bergegas bangkit dan mengajak kawan-kawannya
pergi dari tempat itu. Panji memandang kepergian
perampok itu, sampai bayangan mereka lenyap
dari pandangan matanya.
"Mengapa kau lepaskan mereka, Kisanak?
Tidakkah sebaiknya kau memberi hukuman berat
agar mereka tidak lagi mengulangi perbuatannya?"
tanya lelaki tua bertubuh sedang. Wajahnya terhias
kumis tipis. Lelaki tua itu kurang begitu setuju
dengan tindakan penolongnya.
"Hm.... Mudah-mudahan mereka sadar akan
perbuatan jahatnya selama ini. Ancaman itu sudah
cukup membuat mereka berpikir dua kali bila endak
melakukan kejahatan lagi..," sahut Panji yakin
kalau kawanan perampok itu tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi
Lelaki berkumis tipis menghela napas panjang.
Kendati ada perasaan khawatir kalau kawanan
perampok itu tidak juga mau sadar. Namun ia ikut
berdoa agar mereka benar-benar insyaf dan
meninggalkan jalan sesat
'Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak.
Kami berhutang budi kepadamu. Entah dengan
cara bagaimana kami bisa membalasnya...," ujar
lelaki tua itu setelah terdiam beberapa saat
"Jangan terlalu dipikirkan, Paman. Rasanya
setiap orang akan melakukan hal itu. Jadi, lupakan
saja apa yang telah kulakukan...," tukas Panji
Kemudian berbaHk dan melangkah ke arah kereta
kuda. Di dekat kereta kuda itu berdiri berjajar
enam orang lelaki, kawan lelaki tua berkumis tipis
itu.
"Kami mengawal majikan yang hendak ke kota
kadipaten. Juragan kami, Ki Banara, hendak
mengungsi. Karena menurut kabar Gerombolan
Setan Merah kembali mengganas dan mencari
korban...," jelas lelaki berkumis tipis tanpa diminta.
"Rupanya, kau cukup banyak tahu tentang
gerombolan itu, Paman...?" tanya Panji, mencoba
menyelidiki sampai seberapa jauh lelaki berkumis
tipis itu mengetahui tentang Gerombolan Setan
Merah.
"Tidak seperti yang kau duga, Kisanak. Aku dan
kawan-kawanku bukan penduduk asli daerah ini.
Kami datang dari selatan dua tahun yang lalu.
Tentang Gerombolan Setan Merah, memang telah
tersebar hampir ke seluruh desa di wilayah ini.
Untuk itu, aku mohon maaf...," sahut lelaki tua
berkumis tipis itu dengan wajah agak menyesal.
Karena tidak dapat membantu penolongnya.
'Tidak mengapa, Paman. Silakan lanjurkan
perjalanan Mudah-mudahan tidak ada gangguan
lagi di jalan," ujar Panji.
'Terima kasih, Anak Muda. Aku sekeluarga tidak
akan melupakan budi baikmu," ujar seorang lelaki
berwajah bulat dengan kumis dan jenggot tercukur
rapi.
Lelaki itu menjulurkan kepalanya dari dalam
kereta ketika lewat di dekat Panji dan Kenanga.
Wajah yang terkesan ramah dan baik hati itu
membuat Panji tidak menyesal telah mengulurkan
tangan memberi pertolongan. Menurutnya, lelaki
yang bernama Juragan Banara itu merupakan
seorang hartawan yang baik hati dan suka
menolong.
"Selamat jalan, Ki Banara...," ujar Panji seraya
melambaikan tangan pada lelaki berwajah bulat itu.
Panji dan Kenanga mengawasi rombongan kecil
itu yang bergerak semakin jauh. Mereka
membayanginya dari jarak beberapa belas tombak.
Khawatir akan muncul gangguan lain yang mungkin
saja datang dari Gerombolan Setan Merah.
Keduanya baru merasa lega setelah rombongan
semakin jauh meninggalkan tempat itu.
"Kurasa Gerombolan Setan Merah tidak akan
muncul di tempat ini, Kakang..," ucap Kenanga
saat rombongan Juragan Banara sudah hilang dari
pandangan mereka.
"Mengapa kau menduga demikian...?" tanya
Panji menatap wajah kekasihnya yang juga tengah
memandang ke arahnya.
"Menurutku, setiap langkah kita selalu diawasi
oleh mereka. Peristiwa semalam pasti dimaksudkan
untuk memancing tindakan kita. Bukankah mereka
sudah mengetahui siapa Kakang?" jawab Kenanga
memberikan alasan yang cukup masuk akal.
Sehingga, Panji dapat menerimanya.
"Hm.... Kalau benar demikian, berarti tempati
persembunyian mereka tidak jauh dari daerah
ini...?" gumam Panji setelah mendengar alasan
kekasihnya. "Sungguh lihai sekali Gerombolan
Setan Merah itu. Hingga dapat memata-matai
tanpa kita ketahui di mana mereka
bersembunyi...."
Pendekar Naga Putih kemudian mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling tempat itu.
Seolah hendak mencari di mana orang-orang yang
saat iri mungkin tengah memperhatikannya.
"Bagaimana kalau kita kembali ke desa, Kakang?
Kita tunggu saja kedatangan mereka. Seperi yang
dikatakan Ki Kaligandi tadi pagi..," usul Kenanga.
"Hm.... Gerombolan Setan Merah benar-benar
membuat hatiku penasaran. Rasanya aku ingin
segera berhadapan dengan pemimpin gerombolan
sesat itu...!" dengus Panji jengkel. Karena tidak
tahu di mana lawan berada. Sedangkan lawan tahu
keadaan mereka, dan dapat memata-matai dengan
leluasa segala tindak-tanduk mereka berdua.
"Aku yakin, suatu saat kita dapat menemukan
tempat persembunyian Gerombolan Setan Merah.
Aku pun penasaran ingin merasakan kehebatan
ilmu pemimpinnya, yang menurut sangat tinggi dan
banyak ragamnya, terutama ilmu hitam yang
mengerikan itu...," timpal Kenanga. Tapi seperti
juga kekasihnya, Kenanga tidak bisa berbuat apa-
apa. Gerombolan Setan Merah masih merupakan
misteri yang harus mereka pecahkan bersama.
"Ayo kita kembali ke desa. Siapa tahu Ki
Kaligandi tengah menunggu kabar dari kita...."
Panji mengajak kekasihnya kembali ke Desa
Palasari. Setelah mereka gagal menemukan tempat
persembunyian Gerombolan Setan Merah. Tapi,
kegagalan itu tidak membuat Panji dan Kenanga
putus asa. Mereka malah semakin penasaran. Dan,
akan tetap meneruskan penyelidikan sampai dapat
menemukan gerombolan yang sangat lihai itu.
Matahari sudah tinggi saat pasangan pendekar
muda itu bergerak menuju Desa Palasari. Saat
lewat di dekat daerah pekuburan, keduanya
berhenti beberapa saat dan memperhatikan tempat
yang menyeramkan itu. Mereka merasa yakin kalau
di daerah pekuburan itu ada sesuatu yang aneh.
Hanya mereka tidak tahu pasti, apa yang
menyebabkan pekuburan itu menyebarkan hawa
menyeramkan di hati mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga
bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka sepakat
untuk menyelidiki hawa aneh yang menimbulkan
kengerian itu.
---ooo0myr0ooo---
TUJUH
Langit di atas Desa Palasari sudah tampak
kelam. Rembulan bersembunyi di balik gumpalan
awan. Bintang-bintang pun tak lagi menampakkan
kerlipnya. Pepohonan berderak ribut dipermainkan
hembusan angin dingin yang bertiup keras.
Suasana menyeramkan itu ditingkahi rintik-rintik air
hujan yang luruh membasahi bumi.
"Malam yang mengerikan...!" desis Ki Kaligandi
perlahan.
Lelaki tua itu berdiri tegak di sisi pendopo
dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Suasana menyeramkan malam itu membuat
hatinya gelisah. Sepertinya, dia merasa akan terjadi
suatu peristiwa mengerikan di Desa Palasari. Dan,
akan kelihatan tidak ingin menyaksikan kejadian
itu.
"Ya. Tampaknya suasana malam ini pertanda
tidak baik. Dalam keadaan seperti ini, iblis akan
bergentayangan mencari mangsa. Dongeng itu
rasanya sangat tepat dalam cuaca malam seperti
sekarang ini...."
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba
hijau yang berwajah jelita, menimpali ucapan Ki
Kaligandi Seperti juga lelaki tua itu, Kenanga
tengah menyaksikan suasana malam menyeramkan
itu.
Di sebelah dara jelita itu, tampak Panji berdiri
tegak sambil melipat kedua tangannya di depan
dada. Pemuda tampan berjubah putih itu pun
tengah menyaksikan malam mengerikan di atas
Desa Palasari.
"Kemungkinan besar Gerombolan Setan Me rah
akan datang berkunjung malam ini. Firasatku
mengatakan mereka akan datang dalam jumlah
yang cukup besar. Tapi dengan rencana yang telah
kita susun bersama, aku yakin iblis-iblis haus darah
itu dapat kita halau," ujar Panji penuh keyakinan
"Aku pun berharap demikian, Panji...," gumam
Ki Kaligandi yang keyakinannya semakin tebal
Pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu
selalu membangkitkan semangat dan keyakinan
dirinya yang semula telah pudar. Meski hanya
melalui ucapan yang tidak ditujukan langsung
kepadanya, tapi semua itu telah menggugah
semangatnya. Sehingga Ki Kaligandi semakin
kagum dan hormat pada pemuda tampan berjubah
putih itu.
"Ki," panggil Kenanga tiba-tiba. "Apakah Bagola
dan Dinta sudah siap di tempatnya?"
"Semua sudah siap, Kenanga. Kita tinggal
menunggu gerakan Gerombolan Setan Merah...,'
jawab Ki Kaligandi tanpa mengalihkan pandang
matanya dari langit kelam di atas Desa Palasari.
"Hm.... Sebaiknya kita segera berangkat Saat ini
sudah hampir tengah malam. Kalau perkiraanku
tidak meleset, sebentar lagi iblis-iblis haus darah itu
akan muncul!..," ujar Panji mengingatkan Kenanga
dan Ki Kaligandi dengan rencana yang telah
mereka atur penuh perhitungan.
Ketika Panji bergerak meninggalkan pendopo, Ki
Kaligandi dan Kenanga beranjak mengikutinya.
Sosok mereka lenyap di balik pintu rumah yang
terbuat dari kayu tebal. Rumah Kepala Desa
Palasari kembali sunyi tanpa sesosok manusia pun
yang tampak. Bahkan, dua orang keamanan desa
yang biasanya berjaga di halaman depan tidak
terlihat Mungkin itu sebagian rencana yang telah
diatur Panji bersama tetua-tetua desa.
Malam semakin larut Suasana menyeramkan
masih menyelimuti Desa Palasari. Bahkan,
hembusan angin terasa semakin bertambah keras.
Pepohonan jadi makin berderak ribut, bagai hendak
tumbang. Malam itu suasana Desa Palasari
sungguh sangat mencekam penghuninya.
Saat waktu lewat tengah malam, terdengar
suara ringkik melengking mirip lenguhan kuda.
disusul suara tapaknya yang tidak wajar. Hanya
sesekali dan terdengar demikian nyaring hingga
menggema di sudut-sudut desa. Lebih tepat kalau
dikatakan ketukan yang disengaja. Suasana
semakin bertambah seram.
Kendati demikian, penduduk desa maupun para
keamanan desa tidak terlihat Jalan utama desa
tetap sunyi dan lengang. Tak satu makhluk pun
yang melintasinya. Hanya bayang pelita yang
terlihat bergoyang-goyang di depan rumah-rumah
penduduk. Angin mempermainkannya,
menampakkan sosok-sosok memanjang di jalan
desa itu.
"Kik kik kik...!"
Suara ringkik yang mirip lenguhan kuda kembali
terdengar. Menggema, menggetarkan udara
malam. Kemudian, terdengar suara langkah orang
banyak yang sengaja diseret untuk menambah
seram suasana. Tak berapa lama kemudian, sosok-
sosok hitam yang seluruh wajahnya dicat merah,
bergerak bagai setan-setan kelaparan yang
bergentayangan mencari mangsa. Mereka
mendatangi beberapa rumah penduduk.
"Aiiieee...!"
Disertai pekik ramai yang parau, sosok-sosok
hitam itu mendobrak pintu-pintu rumah penduduk
yang berada di bibir desa sebelah selatan. Tapi
beberapa saat kemudian, sosok-sosok hitam itu
berloncatan keluar sambil mengumpat kotor!
"Keparat' Ke mana perginya para penduduk
desa...?.' Apakah mereka telah mengungsi...?.'"
geram salah satu dari sosok-sosok hitam itu, yang
bertubuh tinggi kurus.
Selain wajahnya dicat merah, dada telanjang
lelaki kurus itu pun dihiasi warna serupa. Rupanya,
lelaki itu merupakan pemimpin dua puluh orang
anggota Gerombolan Setan Merah, yang sudah
memasuki Desa Palasari.
"Tidak mungkin itu mereka lakukan. Kami tidak
pernah melihat ada rombongan pengungsi lewat
dalam beberapa hari ini. Mereka pasti masih berada
di dalam desa...," timpal sosok lainnya yang tidak
percaya penduduk Desa Palasari telah pergi
mengungsi.
"Kau yakin...?" tukas sosok tinggi kurus, seraya
menatap wajah kawannya.
"Yakin! Aku telah mengamatinya dengan
cermat..!" sahut lelaki itu yang juga bertubuh
kurus. Hanya ia lebih pendek dari pemimpinnya.
Pertanyaan itu langsung dijawab dengan cepat,
tanpa keraguan sedikit pun.
"Hmhhh...!"
Lelaki tinggi kurus itu mendengus sambil
memberi isyarat kepada dua puluh orang
pengikutnya agar terus bergerak ke dalam desa.
Puluhan sosok tubuh yang ternyata Gerombolan
Setan Merah itu bergerak maju dengan
mengendap-endap. Hingga suara langkah kaki
mereka tidak terdengar. Gerombolan manusia
sesaat itu merasa curiga, setelah mengetahui
beberapa rumah penduduk yang mereka geledah
ternyata kosong. Mereka menduga semua itu
sudah dipersiapkan para Tetua Desa Palasari.
Saat puluhan sosok tubuh itu bergerak bagai
setan-setan penasaran, tiba-tiba dari atap rumah
penduduk di kedua sisi jalan menyembul beberapa
sosok tubuh. Di tangan mereka terlihat busur dan
anak panah yang siap dilontarkan. Satu lagi
rencana yang diatur Pendekar Naga Putih dan para
Tetua Desa Palasari.
Zinggg, zinggg, zinggg...!
Seiring dengan isyarat gerakan tangan salah
seorang pemanah-pemanah gelap itu, terdengar
suara berdesingan membeset udara malam yang
dingin Dan...
"Aaa...!"
"Aaakh...?!"
Terdengar pekik kesakitan disusul robohnya
beberapa orang anggota Gerombolan Setan Merah.
Anak panah itu menewaskan korban-korbannya
seketika.
"Kurang ajar...!"
Lelaki tinggi kurus pimpinan rombongan
Gerombolan Setan Merah menggeram marah. Ia
sendiri tak luput dari incaran anak panah. Tapi,
semua dapat diruntuhkan dengan kibasan
tangannya. Sehingga, tak satu anak panah pun
yang menyentuh tubuhnya.
Sadar kalau rombongannya terjebak, lelaki
tinggi kurus itu segera memerintah kawan-
kawannya untuk mundur. Beberapa saat kemudian,
Gerombolan Setan Merah yang berkurang hampir
sepanahnya itu bergerak mundur, dan lenyap
ditelan kegelapan malam.
---ooo0myr0ooo
"Hm.... Semua ini pasti ulah Pendekar Naga
Putih! Sudah kuduga ia akan membantu penduduk
Desa Palasari untuk menghadapi kita...," desis
lelaki bertubuh sangat tinggi, melebihi ukuran
manusia biasa.
Wajah dan dada lelaki itu dipenuhi warna
merah. Lelaki itu adalah pemimpin Gerombolan
Setan Merah. Laporan salah seorang anak buahnya
membuat lelaki berwajah seram itu marah bukan
main. Kepalanya menoleh ke kanan, ke arah sosok
yang sama tinggi dengannya. Bedanya, sosok itu
tidak mencat merah wajahnya. Melainkan putih
seperti kapur. Sehingga, perbedaan keduanya
tampak demikian nyata.
"Setan Muka Putih...," panggil lelaki berwajah
merah yang wajahnya hampir tersembunyi oleh
rambut yang meriap. Suaranya sember seperti
ember bocor dipukul. Tatapan matanya sangat
tajam dan berpengaruh. Sosok pemimpin
Gerombolan Setan Merah dapat membuat seorang
bocah mati mendadak bila melihatnya.
"Hmh...."
Lelaki yang sama tingginya dengan pemimpin
Gerombolan Setan Merah bergumam serak.
Sosoknya yang tigak kalah mengerikan dengan
sang Pemimpin berbalik, dan menatap wajah lelaki
di hadapannya lekat-lekat Sikapnya tidak
menunjukkan bahwa ia tengah berhadapan dengan
seorang pemimpin. Tapi, lelaki berwajah merah
tidak kelihatan marah. Di antara mereka memang
tidak terikat peraturan seperti umumnya.
"Kita harus memberi pelajaran kepada penduduk
desa ini yang telah berani kurang ajar melawan
kita...!" geram pemimpin Gerombolan Setan Merah
itu penuh dendam. Tampaknya, ia benar-benar
marah dengan kejadian itu.
Lelaki jangkung bermuka putih
memperdengarkan geraman, la mengerti apa yang
diinginkan pemimpinnya yang berwajah mirip
dengannya. Mereka adalah saudara seperguruan
yang merupakan tokoh sesat tersembunyi, dan
jarang menampakkan diri di dunia persilatan.
Sehingga nama kedua tokoh mengiriskan itu jarang
dikenal, kecuali oleh tokoh-tokoh angkatan tua.
Seperti juga Setan Muka Merah, usia Setan
Muka Putih pun sukar ditebak. Wajah mereka
terlindung deh cat tebal. Dari kerutan wajah yang
hampir tidak terlihat dapat diperkirakan usia
mereka sekitar lima puluh tahun lebih.
Setelah mendapat perintah Setan Muka Merah,
kakak seperguruannya, Setan Muka Putih duduk
bersila di bawah sebatang pohon. Matanya
terpejam rapat dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. Entah apa yang akan dilakukan tokoh
menyeramkan itu. Hanya orang-orang Gerombolan
Setan Merah saja yang mengetahuinya.
---ooo0myr0ooo---
Apa yang dilakukan Setan Muka Putih kini dapat
ditebak. Sosok-sosok anggota gerombolan yang
tewas bergerak bangkit Setan Muka Putih telah
mempergunakan 'Ilmu Pembangkit Mayatnya yang
mengerikan.
Setelah tahu di mana lawan-lawannya
bersembunyi, mayat-mayat anggota Gerombolan
Setan Merah yang berjumlah delapan orang
bergerak menghampiri dua buah rumah di kiri dan
kanannya. Apa yang mereka lakukan sangat sukar
dipercaya!
Dua belas orang penduduk yang bersembunyi di
atas atap kedua rumah itu terkejut bukan main.
Mereka merasa ada getaran pada rumah yang
digunakan untuk bersembunyi.
Kraaakkkh...!
"Hei...?! Ada apa ini...?!"
Pekik ketakutan mereka mulai terdengar.
Getaran yang hampir merobohkan rumah itu
membuat mereka .berloncatan turun. Semua
berlompatan ke tanah tanpa busur dan anak
panah.
"Hmrrr...!"
"Aaah...?!"
Wajah dua belas penduduk desa itu sangat
pucat Melihat tubuh-tubuh berlumuran darah
dengan anak panah yang masih tertancap di
tubuhnya, bergerak maju hendak mencekik
mereka. Mayat-mayat hidup itulah yang telah
mematahkan riang-riang penyangga rumah. Entah
dari mana mereka memperoleh kekuatan yang
demikian besar itu. Sehingga, mampu merobohkan
rumah dengan tangan kosong.
"Bukankah..., bukankah mereka tadi telah
menjadi korban anak panah kita...?.'" desis seorang
penduduk dengan susah-payah. Orang itu
mengenali anak panah yang tertancap di tubuh
mayat Gerombolan Setan Merah.
"Celaka! Mayat-mayat hidup...?!" pekik yang
lainnya dengan kedua kaki gemetar dan sukar
digerakkan. Bahkan, karena takutnya sampai
terkencing-kencing!
"Cepat beri tanda pada Pendekar Naga Putih...!"
salah seorang yang masih mampu mengua--sai diri,
segera mengingatkan kawan-kawannya akan
nasihat Panji agar memberi tanda bila mereka
menghadapi bahaya.
Tapi, tak satu pun yang sanggup melakukannya.
Lelaki tegap yang memberi perintah segera
mengeluarkan sebatang bambu sepanjang ibu jari
tangan. Kemudian dilekatkannya ke bibir.
"Suiiit..!"
Terdengar lengkingan panjang menerobos
kegelapan malam hingga menyelinap ke sudut-
sudut desa. Tapi, suara lengkingan itu berhenti di
tengah jalan. Karena leher lelaki yang meniupnya
dicekik sepasang tengan sekuat jepitan baja!
"Hekhhh...?!"
Lidah lelaki tegap itu terjulur ketika sesosok
mayat hidup mengangkat tubuhnya tinggi tinggi.
Napasnya putus setelah tulang lehernya patah
diremas mayat hidup itu. Dan, tubuhnya melorot ke
tanah bagai sehelai kain basah.
"Ibliiisss...!" desis kawan-kawan lelaki tegap itu.
Meski dengan tangan gemetar, mereka mencoba
meloloskan senjata dari pinggang dan
menghunusnya.
"Haaat..!"
Dengan memberanikan diri, para penduduk
bergerak maju sambil membabatkan senjatanya.
Tapi...
Crakkk!
Bacokan itu telak mengenal tubuh mayat hidup.
Tapi meskipun darah mengalir dari tubuhnya,
mayat hidup itu tetap berdiri tegak. Seolah luka itu
tidak membuatnya tewas untuk kedua kali.
"Aaakh...!"
Tubuh yang tegak terpaku dengan sepasang
mata terbelalak, tiba-tiba terangkat ke atas.
Sepasang lengan yang kuat telah mencekik batang
lehernya.
Ngekkk!
Lelaki sial itu menggelepar sekarat Tubuhnya
dibanting ke tanah dengan kuat Hingga tulang-
tulangnya remuk seketika. Seorang kawan lelaki
sial itu bernasib sama. Kepala orang itu remuk oleh
pukulan mayat hidup.
"Aaah...?!"
Mereka yang masih tersisa bergerak mundur
dengan wajah pucat seperti lawan-lawannya.
Keringat sebesar biji jagung meluncur turun
membasahi wajahnya. Jelas, mereka tengah
dilanda ketakutan hebat
"Haiiit..!"
Pada saat mereka hampir mati ketakutan,
terdengar lengkingan tinggi yang menulikan
telinga.] Sesosok bayangan putih meluncur cepat
laksana! sambaran kilat Dan meluncur turun di
depan delapan sosok mayat hidup.
Whusss...!
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok
pemuda tampan berjubah putih itu langsung
mendorongkan sepasang telapak tangannya, yang
mengeluarkan sinar putih keperakan dan sinar
kuning keemasan sekaligus. Hingga....
Blarrr!
Ledakan keras terdengar ketika pukulan jarak
jauh yang maha dahsyat itu menerpa dua tubuh
mayat hidup. Tanpa ampun lagi, rubuh mayat
hidup itu langsung hancur menjadi serpihan kecil.
"Hm.... Sekarang aku tahu bagaimana caranya
melumpuhkan mayat-mayat hidup ini...!
Sepantasnya manusia pengecut yang bersembunyi
di balik tubuh mayat-mayat hidup inilah yang harus
kuhadapi Karena permainan anak-anaknya sudah
tidak berguna lagi..!" ujar pemuda tampan
berjubah putih yang bukan lain dari Panji.
Pendekar Naga Putih memang sengaja
menantang orang yang menggerakkan mayat-
mayat hidup itu. Menurut dugaannya, tokoh yang
bersembunyi di balik tubuh mayat-mayat hidup itu
tidak berada jauh dari tempat itu.
Teriakan lantang Pendekar Naga Putih bergema
terbawa hembusan angin malam. Hingga
tertangkap telinga Setan Muka Merah dan Setan
Muka Putih. Teriakan itu dikeluarkan Panji dengan
kekuatan tenaga dalam tinggi.
Panji berdiri tegak menanti munculnya tokoh
yang dimaksud Tapi, tantangannya belum
mendapat sambutan. Enam mayat hidup itu masih
tetap bergerak mendekatinya, membentuk
kepungan. Kali ini, mayat-mayat hidup itu bergerak
agak cepat dengan memperlihatkan jurus-jurus
silat Kemudian, menerjang Panji secara bersamaan.
"Haaat..!"
Panji memekik nyaring. Tubuhnya bergerak ke
kiri dan kanan sambil melepaskan pukulan tenaga
gabungan yang maha dahsyat Ledakan-ledakan
keras terdengar susul-menyusul bersama
hancurnya keenam mayat hidup itu. Meskipun
tenaganya cukup banyak terkuras, namun Panji
merasa puas. Mayat-mayat hidup itu dapat
ditanggulanginya dengan baik. Kini pemuda
tampan itu berdiri tegak menanti orang yang
menggerakkan mayat-mayat itu.
---ooo0myr0ooo---
DELAPAN
Brolll!
"Aaah...?!"
Panji tersentak mundur ketika mendadak saja
tanah tempatnya berdiri terangkat naik. Jebol
bersamaan dengan munculnya tangan-tangan
kurus berkuku runcing Bahkan bukan hanya di
tempatnya semula berdiri. Tapi, di sekeliling
pemuda itu telah bermunculan tubuh-tubuh kotor
tanpa wajah. Kepala mereka hanya berupa
tengkorak!
"Gila...?! Ilmu apa lagi yang digunakan iblis-iblis
itu...?!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat tergetar hatinya
menyaksikan sosok-sosok mayat yang mungkin
telah lama terkubur
dalam tanah. Kalau
tidak mengalaminya
sendiri, pemuda itu
tidak akan percaya
dengan kejadian
itu. Beberapa
penduduk yang
selamat berkat
pertolongan Panji,
langsung pingsan.
Pemandangan itu
terlalu mengerikan
bagi mereka.
Panji sendiri berusaha mengerahkan kekuatan
batinnya untuk menekan kengerian yang menjalari
hatinya. Tengkorak hidup yang pakaiannya telah
hancur di sana-sini sangat banyak jumlahnya.
Pendekar Naga Putih tidak mungkin menggunakan
tenaga gabungannya terus-menerus. Karena hal itu
akan membuatnya mari lemas kehabisan tenaga.
Otak pemuda perkasa itu cepat berputar
mencari cara menghadapi lawan-lawan mengerikan
itu. Panji segera mengambil keputusan kilat
Tengkorak-tengkorak hidup itu sudah bergerak
maju dari segala arah. Siap merejam tubuhnya
hidup-hidup!
"Hmh...," Panji bergumam lirih. Lalu,
membentak perlahan memanggil keluar Pedang
Naga Langit Sebentar kemudian, di genggaman
pemuda itu telah muncul sebatang pedang bersinar
kuning keemasan yang memancarkan hawa panas
menyengat
Whukkk.... Whukkk!
Terdengar dengungan bagai ratusan lebah
marah, saat Panji memutar pedang keramat itu di
atas kepalanya. Sinar kuning keemasan berhawa
panas menyebar, memaksa tengkorak-tengkorak
hidup itu menghentikan langkah. Makhluk-makhluk
mengerikan itu ragu untuk bergerak maju
"Hm.... Ayo majulah, Ibtts-iblis Neraka...!"
tantang Panji sambil melintangkan pedang
keramatnya di depan dada. Siap menghadapi
keroyokan puluhan tengkorak-tengkorak hidup.
Tubuh tengkorak-tengkorak hidup itu tampak
bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Kelihatan
jelas kalau makhluk-makhluk mengerikan itu
merasa bimbang, dan hendak membantah perintah
orang yang menggerakkannya. Tapi beberapa saat
kemudian, tengkorak-tengkorak hidup itu kembali
bergerak maju. Rupanya, mereka tidak sanggup
membantah perintah orang yang menguasainya.
"Heaaat..!"
Melihat lawan-lawannya bergerak mendekat,
Pendekar Naga Putih tidak mau menunggu.
Tubuhnya langsung melesat ke depan disertai
kelebatan pedang keramatnya yang berhawa
panas.
Plasss... plasss...!
Panji menahan seruan herannya ketika melihat
dua sosok tengkorak hidup langsung lenyap
menjadi gumpalan asap, ketika tersentuh ujung
senjatanya. Asap putih tebal itu meluruk ke tanah,
kemudian lenyap terserap bumi.
Melihat kenyataan itu Pendekar Naga Putih
menjadi lega. Pedang Naga Langit kembali
menunjukkan keampuhannya. Sebenarnya, bukan
hanya karena keampuhan pedang itu lawan-
lawannya dapat dilumpuhkan. Tenaga dalamnya
pun ikut berperan di sana. Tanpa memiliki tenaga
dalam yang tinggi, Pedang Naga Langit tidak akan
banyak gunanya. Hanya jika berada dalam tangan
seorang berhati bersih dan memiliki kepandaian
tinggi sajalah pedang keramat itu akan
menunjukkan keampuhannya.
"Haiiit..!"
Dengan semangat berlipat ganda, Pendekar
Naga Putih kembali melesat ke arah makhluk-
makhluk mengerikan itu. Pedang di tangannya
berkelebatan membentuk gulungan sinar berhawa
panas menyengat Dalam waktu singkat hampir
separuh lebih tengkorak-tengkorak hidup itu
kembali ke asalnya di dalam bumi.
Bettt.. bettt!
Untuk kesekian kafinya pedang keramat itu
membabat tubuh yang terdiri dari tulang-belulang.
Berkat keteguhan dan ketangguhannya, Panji
berhasil melenyapkan tengkorak-tengkorak hidup
itu kembali ke asalnya.
"Hhh...," Panji menghela napas panjang seraya
menyusut peluh yang membasahi kening.
Meskipun pertempuran itu tidak berlangsung
lama, namun membuat agak lelah. Panji telah
banyak menggunakan tenaga dalamnya untuk
melenyapkan lawan-lawannya.
"Hm.... Sebelum iblis itu membuat ulah lagi,
sebaiknya ia dipaksa keluar dari
persembunyiannya...," desis Panji segera
mengangkat pedang keramatnya di atas kepala.
"Haaah!"
Dengan sebuah pekik mengguntur, Panji
melepaskan Pedang Naga Langit dari
genggamannya. Pendekar Naga Putih hendak
memaksa keluar lawannya dengan menggunakan
pedang keramat itu.
Whukkk..!
Ajaib sekali! Setelah lepas dari tangannya,
Pedang Naga Langit berputaran menimbulkan
deruan angin tajam. Seolah telah menemukan apa
yang dicarinya, senjata keramat itu berhenti
sesaat! dalam keadaan mengapung di udara.
Kemudian meluncur cepat laksana kilatan sinar
yang jatuh ke bumi.
"Panji...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat Panji
menoleh ke belakang. Dilihatnya Kenanga, Ki
Kaligandi, Bagola, dan Dinta tengah berlari ke
arahnya. Di belakang mereka terdapat belasan
orang keamanan desa, ditambah dua puluh lebih
penduduk desa.
"Mengapa kalian melanggar rencana yang telah
disepakati bersama...?" tegur Panji kaget melihat
mereka meninggalkan tempat persembunyiannya.
Menurutnya, tindakan mereka sangat berbahaya.
"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa menahan mereka
yang mengkhawatirkan keselamatanmu...," jelas
Kenanga.
Pemuda itu hanya bisa menghela napas]
panjang. Semua memang sudah telanjur.
"Yeaaat..!"
Mendadak dari depan dan kiri-kanan mereka!
bermunculan orang-orang Gerombolan Setan
Merah. Mereka rupanya telah berada di sekitar
tempat itu sejak tadi, dan tengah menunggu
kesempatan baik.
"Celaka! Mundur...!" seru Panji melihat
Gerombolan Setan Merah datang menyerbu dengan
senjata di tangan. Khawatir akan keselamatan
penduduk desa, Pendekar Naga Putih langsung me-
ngempos semangatnya, mengerahkan seluruh
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
"Heaaah.„!"
Tanpa membuang waktu lagi, Panji
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke
depan.
Blarrr...!
Akibatnya sangat hebat! Belasan anggota
Gerombolan Setan Merah beterbangan bagai
dilanda badai salju dahsyat! Tidak sedikit dari
mereka yang langsung tewas dengan kulit
kebiruan.
Amukan Pendekar Naga Putih sungguh
menggiriskan. Pukulan-pukulan mautnya terus
terlontar dan menewaskan lawan. Rasa khawatir
akan nasib penduduk Desa Palasari, membuatnya
terpaksa membantai lawan-lawannya. Memang
hanya itu pilihan satu-satunya yang dimiliki
Pendekar Naga Putih.
Meski bagaimanapun hebatnya amukan Panji,
karena jumlah lawan terlampau banyak dan rata-
rata berkepandaian tinggi, beberapa di antaranya
berhasil menerobos masuk dan menyerang
rombongan Ki Kaligandi.
"Haiiit..!"
Melihat beberapa anggota Gerombolan Setan
Merah berhasil melewati Panji, Kenanga langsung
menyambutnya dengan sambaran Pedang Sinar
Rembulan.
Crasss! Crasss!
"Auhhh...!"
Dua orang lawan yang nekat menjerit parau.
Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan
darah. Tewas tanpa ampun.
"Ayo. Majulah, Ibfis-iblis Keparat..!" tantang
Kenanga seraya memutar senjatanya, membentuk
gulungan sinar putih keperakan berhawa dingin.
Beberapa orang lawan kembali jadi korban ujung
pedang dara jelita itu.
Demikian pula Ki Kaligandi, Bagola, dan Dinta.
Ketiga tetua desa itu, menyabetkan pedangnya
menyambut kedatangan lawan. Pertempuran pun
tidak bisa dielakkan lagi.
"Aaakh...!"
Korban di pihak warga Desa Palasari mulai
berjatuhan. Satu persatu mereka mulai roboh
bermandikan darah. Mereka memang bukan lawan
anggota Gerombolan Setan Merah.
"Mundur...!"
Melihat para penduduk mulai berjatuhan,
Pendekar Naga Putih segera memerintahkan untuk
menjauh. Tubuh pemuda itu melesat ke arah
orang-orang desa yang tengah mati-matian
mempertahankan nyawa dari incaran pedang
lawan.
"Heaaah...!"
Buggg!
Desss!
Tiga orang anggota Gerombolan Setan Merah
terguling dengan dada remuk. Pukulan dan
tendangan Panji membuat mereka tewas seketika.
Tanpa banyak membuang waktu, Panji mengambil
sebatang pedang dari korban pukulannya.
Kemudian mengamuk bagai naga murka.
Penduduk Desa Palasari mulai dapat bernapas
lega setelah Pendekar Naga Putih ikut bertarung di
tempat itu. Pedang rampasannya bergerak
membabat lawan, yang bertumbangan bagai
rumput-rumput kering Sehingga jalan untuk
mundur terbuka lebar.
"Ki Kaligandi! Bawa mereka mundur...!" seru
Panji pada orang tua itu, yang tengah sibuk
menghadapi dua orang lawannya.
Panji segera melesat dan membabat habis lawan
Ki Kaligandi, Bagola, serta Dinta. Kemudian,
menyuruh tetua-tetua Desa Palasari itu untuk
segera mundur menjauhi tempat itu.
Menyadari keadaan mereka memang sangat
berbahaya, Ki Kaligandi segera mematuhi perintah
Pendekar Naga Putih. Kepala Desa Palasari itu
membawa warga desanya bergerak mundur,
meninggalkan arena pertempuran
Tinggallah Panji dan Kenanga yang menghadang
lawan-lawannya dengan pedang di tangan
Amukan sepasang pendekar muda itu membuat
lawan-lawannya gentar dan bergerak mundur.
Karena siapa saja mendekat, nyawanya pasti akan
jalan-jalan ke akhirat
Cwittt! Cwittt!
Panji dan Kenanga memutar pedangnya dengan
gerakan menyilang. Kemudian berhenti di depan
dada ketika melihat lawan-lawannya tidak berani
maju.
"Haiiit..!"
Baru saja pasangan pendekar muda itu menarik
napas lega, terdengar sebuah lengkingan halus.
Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh
ramping terbungkus pakaian serba merah.
Wajahnya pun tertutup cadar yang juga berwarna
merah. Wanita yang merupakan murid Setan Muka
Merah itu sebelumnya sempat bertarung dengan
Panji. Saat itu ia dan anggota Gerombolan Setan
Merah menyerang rombongan Ki Kaligandi di
daerah pekuburan Desa Palasari.
Melihat wanita bercadar merah, Kenanga
langsung bergerak maju. Pedang di tangannya
berputar dengan serangan cepat dan kuat
Sehingga, wanita bercadar merah segera menarik
tubuhnya ke belakang, kemudian membalas
serangan Kenanga dengan tidak kalah ganasnya.
Sebentar saja, kedua wanita itu telah bertempur
sengit
Melihat kekasihnya bertarung dengan wanita
bercadar merah, Panji menggeser langkahnya
menjauhi arena. Pemuda itu merasa yakin kalau
Kenanga akan sanggup menghadapi wanita
bercadar merah itu. Pendekar Naga Putih
menunggu kemunculan tokoh-tokoh puncak
Gerombolan Setan Merah, yang tengah dipaksa
keluar oleh Pedang Naga Langit
---000omyro000---
Panji yang tengah berdiri menanti kemunculan
gembong Gerombolan Setan Merah,
menengadahkan kepala. Pemuda berjubah putih itu
mendengar suara desingan senjata yang ditingkahi
makian parau.
"Pedang celaka...!"
Tidak berapa lama kemudian, tampak dua sosok
tubuh yang tingginya tidak lumrah, berlarian sambil
sesekali menoleh ke belakang. Kedua orang aneh
itu adalah Setan Muka Merah dan Setan Muka
Putih!
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' di tubuh Pendekar
Naga Putih langsung menyebar ketika melihat
kemunculan dua tokoh aneh itu. Sekali lihat saja
Panji dapat menebak kalau mereka pimpinan
Gerombolan Setan Merah. Di belakang kedua orang
bertubuh jangkung itu terlihat Pedang Naga Langit
melayang-layang di udara.
Zinggg...!
Pedang keramat itu tiba-tiba meluncur pesat
mendahului Setan Muka Merah dan Setan Muka
Putih. Kemudian, melekat erat di telapak tangan
majikannya, yang sudah terangkat di atas kepala.
"Hm.... Akhirnya kalian muncul juga, Iblis-iblis
Pengecut...'" sambut Panji seraya menggenggam
erat pedang keramatnya. Pemuda itu telah siap
bertarung dengan dua orang gembong Gerombolan
Setan Merah.
"Keparat' Ilmu apa yang kau gunakan, Pendekar
Naga Putih? Rupanya, kau pun memiliki ilmu
sihir...," ujar Setan Muka Putih yang langsung
mengenali pemuda tampan berjubah putih itu.
"Aku tidak memiliki ilmu sihir seperti yang kau
maksudkan, Orang Muka Putih. Meskipun demikian,
jangan kira aku tidak mampu melakukan perbuatan
aneh seperti ilmu-ilmu yang kalian miliki," sahut
Panji sambil meneliti wajah dan sosok dua orang
tokoh sesat itu.
"Hm.... Jangan takabur, Pendekar Naga Putih!
Meskipun ilmu yang kau gunakan sempat
mengejutkan kami, tapi jangan harap dapat
mengalahkan kami...."
Kali ini Setan Muka Merah yang menyahuti
dengan suara sembemya. Sepasang matanya yang
mengandung kekuatan sihir menyorot tajam.
Sepertinya, tokoh sesat itu hendak melumpuhkan
lawan dengan pandang matanya.
"Hm...," Panji menggumam perlahan. Disadari
kalau dirinya tidak akan sanggup bertahan dari
tatapan mata lawan yang mengandung kekuatan
sihir tingkat tinggi itu. Diangkatnya Pedang Naga
Langit di depan mata.
"Aaah...?!"
Setan Muka Merah memekik kaget Tubuhnya
terjajar mundur beberapa langkah. Sepasang
matanya tampak dipejamkan. Saat Panji
mengangkat senjatanya, terpancar sinar kurang
keemasan yang langsung membentur kekuatan
sihir Setan Muka Merah. Sehingga, sepasang mata
tokoh sesat itu terasa sakit
Setan Muka Putih juga kelihatan kaget dengan
kejadian itu. Timbul keinginannya untuk merebut
pedang keramat itu dari tangan Pendekar Naga
Putih. Maka, Setan Muka Putih segera melesat ke
arah Panji dengan cengkeraman-cengkeraman
mautnya!
"Heaaah...!"
Bettt! Bettt!
Sambaran jari-jari tangan Setan Muka Putih
bergerak susul-menyusul mengancam tubuh
Pendekar Naga Putih. Dari suara sambaran angin
yang bercicitan, dapat ditebak besarnya tenaga
dalam yang dipergunakan lawan.
Melihat betapa hebat dan berbahaya serangan
lawan, Panji berloncatan mundur menghindar.
Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan dengan
lincah. Sehingga, setiap sambaran jari-jari tangan
Setan Muka Putih mengenai tempat kosong. Setiap
kali jari-jari tangannya tiba, tubuh lawan telah
berpindah ke tempat lain.
"Keparat..!" desis Setan Muka Putih penasaran
setelah serangan-serangannya selalu gagal. Bahkan
beberapa tusukan pedang lawan nyaris membuat
tubuhnya terluka. Untung ia masih bisa
menghindari serangan balasan Pendekar Naga
Putih.
"Haaat..!"
Ketika pertarungan Panji dan Setan Muka Putih
berlangsung sengit Setan Muka Merah yang telah
mampu menguasai diri, melayang ke tengah arena.
Sosok itu hendak mengeroyok Pendekar Naga
Putih. Rupanya, pimpinan Gerombolan Setan Merah
itu sadar, kepandaian Pendekar Naga Putih tidak
bisa diremehkan.
Terjunnya Setan Muka Merah membantu
saudara seperguruannya, membuat Panji
bertambah repot Dalam jurus-jurus awal, Panji
lebih banyak menghindar daripada memberikan
serangan balasan. Pemuda itu agaknya hendak
melihaat sampai di mana kehebatan kedua tokoh
sesat itu.
"Haiit..!"
Saat perkelahian menginjak jurus keseratus dua
puluh, tiba-tiba Pendekar Naga Putih mengeluarkan
'Pekikan Naga Marah'. Tubuh pemuda itu
bergerak lebih cepat dari semula. Kali ini Panji
menggunakan jurus-jurus pedang pamungkas
untuk menundukkan kedua lawannya.
Wuttt.. bettt...!
Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga
Putih meliuk-liuk bagai seekor naga emas
mengamuk. Desingan tajam yang disertai pancaran
sinar kuning keemasan mengaung tajam, laksana
gemuruh air terjun. Suasana di sekitar arena
pertempuran maut itu bagai tengah dilanda badai
topan dahsyat!
Bukan main terkejutnya hati Setan Muka Merah
dan Setan Muka Putih ketika menyaksikan
kedahsyatan ilmu lawan. Keduanya segera
berloncatan mundur, dan mempersiapkan jurus
baru untuk mengimbangi kehebatan jurus
Pendekar Naga Putih.
'"Ilmu Mayat Gila'...!" desis Setan Muka Merah
memberi isyarat kepada saudaranya untuk
menggunakan jurus yang menyeramkan itu
"Heaaah...!"
Setan Muka Putih segera memainkan 'Jurus
Mayat Gila'. Tubuh jangkung itu meliuk dengan
gerakan aneh dan patah-patah. Meski demikian,
sambaran angin yang ditimbulkannya terdengar
ber-ciutan. 'Jurus Mayat Gila' membutuhkah
pengerahan tenaga yang tidak sedikit
"Aaat..!"
"Kaaak...!"
Dibarengi pekikan nyaring yang menulikan
telinga, tubuh Setan Muka Merah dan Setan Muka
Putih bergerak ke depan dengan langkah-langkah
kaku, bagai sesosok mayat Kedua pasang lengan
mereka membentuk gerakan-gerakan melipat dan
membuka. Kehebatan jurus itu ada pada sambaran
angin yang amat kuat Hingga benda-benda di
sekitarnya beterbangan bagai dilanda angin topan.
"Heaaat..!"
Melihat lawan telah menabah gerakannya dan
menggunakan jurus baru yang aneh dan
mengerikan, Panji segera melambung ke udara.
Dari atas, tubuhnya meluncur turun dengan
kecepatan yang sulit ditangkap mata. Apalagi sinar
putih keperakan dan snar kuning keemasan
berpendaran, hingga lawan sukar untuk melihat
sosok pemuda itu. Itulah 'Jurus Naga Sakti Melunak
ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus
ampuh dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Dan....
Breeet! Breeet!
"Aaargh...!"
"Aaa...!"
Setan Muka Merah dan Setan Muka Putih
meraung keras saat mata pedang Pendekar Naga
Putih merobek bagian tengah tubuh mereka. Kedua
sosok jangkung itu terlempar dan terbanting ke
tanah. Darah segar mengucur deras dari luka
memanjang di tubuh Setan Muka Putih dan Setan
Muka Merah. Setelah meregang sesaat, tubuh
kedua tokoh sesat yang mengerikan itu diam tak
bergerak lagi.
Mati.
Setelah menamatkan riwayat Setan Muka Merah
dan Setan Muka Putih, Panji berbalik menghadapi
anggota Gerombolan Setan Merah. Puluhan lelaki
kurus bermuka merah itu bergerak mundur dengan
sinar mata gentar. Sedangkan Kenanga yang baru
saja membereskan wanita bercadar merah,
langsung bergabung dengan kekasihnya,
menghadapi gerombolan yang baru saja kehilangan
pemimpinnya.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar...."
Ketika beberapa anggota gerombolan berlutut
kepada Pendekar Naga Putih, yang lain segera
mengikuti.
"Hm.... Hari ini aku masih mengampuni nyawa
kalian. Tapi, kalian harus berjanji akan mengubah
cara hidup kalian selama ini. Jika aku mendengar di
antara kalian ada yang menyeleweng, aku akan
datang untuk mencabut nyawa kalian semua!" ujar
Panji dengan suara lantang.
Anggota Gerombolan Setan Merah segera
menyatakan kesediaannya untuk berjanji Dan
setelah itu, mereka kemudian bersujud dan
menyatakan terima kasih.
"Sekarang pergilah dari tempat ini. Cari
kehidupan yang lebih baik, tanpa harus berbuat
jahat..," ujar Panji lagi.
Panji berdiri tegak di samping Kenanga,
memandangi anggota Gerombolan Setan Merah
yang meninggalkan tempat itu dengan
berpencaran. Setelah sosok-sosok kurus itu lenyap,
keduanya meninggalkan tempat itu untuk menemui
Ki Kaligandi dan warga desanya yang berkumpul di
balai desa.
Malam sudah menjelang pagi. Kokok ayam
jantan terdengar menyambut datangnya fajar. Pagi
itu merupakan hari baru bagi penduduk Desa
Palasari. Mulai pagi hari itu desa mereka kembali tenteram dan damai.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar