T. Hidayat
PANGGUNG KEMATIAN
ACINTAMEDIA
penerbit buku silat bermutu
PANGGUNG KEMATIAN
oieh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Panggung Kematian
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Hiaaat...!"
Pekikan itu terdengar demikian keras, hingga
terasa menulikan telinga. Sedang sosok yang me-
ngeluarkan suara, tengah melayang di udara, me-
nuju sosok lain yang berada di depannya.
Bettt! Bettt!
Serangkaian serangan yang dilancarkan sosok di
atas itu memang hebat dan berbahaya sekali.
Sehingga orang yang menjadi sasaran serangan itu
kewalahan menghadapinya.
Whuuut...!
"Aaah...!"
Sosok tinggi besar berwajah keras berseru kaget.
Hampir saja kepalanya terkena tamparan lawan.
Untunglah tubuhnya masih sempat menghindar,
meskipun harus bergulingan ke samping.
Kerumunan orang yang menyaksikan dari bawah
panggung bersorak, menjagoi lelaki tegap berwajah
tampan yang saat itu berada di atas angin.
"Hayo! Habisi lawanmu, Kakang Somanggala...!"
teriak seorang lelaki tinggi kurus, memberi sema-
ngat kepada sosok tegap berwajah tampan.
"Hei, Ludingga! Jangan mau kalah! Kau harus
memenangkan pertarungan ini...!"
Penonton lain memberi semangat kepada lelaki
tinggi besar berwajah keras yang menjadi lawan So-
manggala. Memang, kedua orang yang tengah ber-
laga di atas panggung itu mempunyai pendukung
masing-masing, dan pendukung Somanggala jauh
lebih banyak.
Sementara, pertarungan di atas panggung masih
berlangsung sengit Somanggala nampak bersemangat sekali ingin segera menundukkan lawan. Sera-
ngan-serangannya semakin lama semakin bertam-
bah cepat dan kuat.
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga pu-
luh, Somanggala memekik keras, mengejutkan la-
wan. Bersamaan dengan itu tubuhnya menceiat ke
udara sambil melancarkan serangan bertubi-tubi.
Ludingga yang bertubuh tinggi besar dan ber-
wajah keras, nampaknya tidak bisa diharapkan un-
tuk dapat memenangkan pertarungan. Serangan la-
wan yang laksana air bah, tidak dapat dihindari-
nya. Sehingga....
Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
Serangan gencar yang dilancarkan Somanggala
tidak sia-sia. Dua pukulannya mendarat telak di tu-
buh lawan. Akibatnya Ludingga terjengkang ke be-
lakang, dan hampir terjatuh ke bawah panggung.
Terdengar sorak-sorai penonton ketika tubuh
Ludingga terjatuh akibat pukulan lawan. Pendu-
kung Somanggala berteriak-teriak ribut memberi
semangat kepada jagoannya untuk segera meng-
habisi lawan.
Tanpa diperingatkan pun, Somanggala akan
menghabisi nyawa lawannya. Karena sudah menjadi
peraturan penyelenggara pertarungan. Siapa saja
yang ingin maju bertarung, berarti harus memper-
taruhkan nyawanya!
Maka ketika melihat lawannya masih mampu
bangkit, Somanggala tidak mau berpikir lagi. Saat
itu juga tubuhnya melesat ke depan. Sepasang ta-
ngannya bergerak berputaran. Kemudian mendo-
rong sepasang telapak tangannya ke dada lawan,
yang saat itu baru bangkit berdiri.
Bresssh...!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian merobek angkasa saat
sepasang telapak tangan Somanggala yang berisi
tenaga penuh menghajar telak sasarannya.
Tanpa ampun lagi, tubuh Ludingga terjungkal ke
bawah panggung disertai semburan darah segar
yang termuntah dari mulutnya. Tubuh besar itu
berkelojotan sesaat bagai ayam disembelih. Bebe-
rapa saat kemudian diam tak bergerak. Tewas!
"Hidup Somanggata...!"
Terdengar pekik riuh dari bawah panggung me-
nyambut kemenangan Somanggala. Lelaki itu hanya
tersenyum sambil membungkukkan tubuh ke empat
penjuru. Butir-butir keringat yang berle-lehan di
tubuh bagian atasnya yang telanjang tidak
dipedulikan. Dan melangkah turun ke bawah pang-
gung dengan tenang.
"Ini bagianmu, Somanggala...," ucap seorang
lelaki pendek gemuk yang wajahnya berminyak.
Tangannya terulur menyerahkan sebuah bungkusan
kepada Somanggala, yang menerimanya dengan
wajah cerah.
'Terima kasih, Kakang Jarangka. Kutunggu kabar
berikutnya...," ujar Somanggala seraya melangkah
lebar meninggalkan panggung yang telah banyak
menelan korban.
Somanggala menyambar pakaiannya dari tangan
seorang pendukungnya. Kemudian bergegas me-
ninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata
penuh kekaguman dari para pendukungnya. Keme-
nangan lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun
itu, membuat mereka ikut gembira. Karena hampir
semua penonton mempertaruhkan hartanya dengan
memilih salah satu dari kedua petarung. Dan
kemenangan Somanggala, berarti kemenangan bagi
orang-orang yang bertaruh atas nama lelaki itu.
Somanggala beranjak pergi tanpa mempedu-likan
orang-orang yang masih sibuk membicarakan
pertarungan tadi. Sedang mayat lelaki tinggi besar
yang menjadi lawan Somanggala, telah dibawa ka-
wan-kawannya untuk dimakamkan. Keadaan di se-
kitar panggung pun mulai sepi, ketika satu persatu
penonton meninggalkan tempat itu. Tinggallah
panggung pertarungan berdiri angker, ditemani
hembusan angin yang sesekali bertiup keras.
***
Di bawah siraman matahari pagi yang menyentuh
kulit, sesosok lelaki gemuk bergerak turun dari
kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kemudian me-
langkah memasuki halaman sebuah rumah seder-
hana, dengan diiringi dua lelaki kekar berwajah
kasar. Sekali pandang dapat diketahui, dua lelaki
kekar itu adalah pengawal lelaki gemuk pendek yang
tidak lain dari Ki Jarangka.
Seorang lelaki tergesa-gesa menyambut keda-
tangan Ki Jarangka dengan senyum mengembang.
Kelihatan sekali kalau ielaki itu sangat senang de-
ngan kedatangan tamunya.
"Kau tampak sehat. Adi Somanggala...," tegur Ki
Jarangka melihat tubuh tegap yang masih ber-
telanjang dada dan basah oleh keringat.
"Hm.... Sebagai seorang juara, aku dituntut harus
selalu menjaga kesehatan, kelincahan, dan keper-
kasaan. Jadi jangan heran jika sepagi ini Kakang
melihat tubuhku sudah berpeluh. Aku baru saja
menyelesaikan latihan...," sahut lelaki tegap yang ti-
dak lain dari Somanggala. Kemudian, dipersilakan-
nya Ki Jarangka masuk ke dalam rumah.
"Kau pasti sudah bisa menebak maksud keda-
tanganku, Adi Somanggala," ujar Ki Jarangka ketika
keduanya telah duduk berhadapan. Sementara,
kedua orang tukang pukulnya berdiri di kiri kanan-
nya.
"Hm...."
Somanggala bergumam perlahan dengan mata
berbinar. P«muda itu paling suka pertarungan. Itu-
lah sebabnya, mengapa Somanggala menyertakan
diri sebagai petarung. Keberuntungan masih meng-
ikuti langkahnya. Terbukti dari kemenangan-keme-
nangan yang telah belasan kali diperolehnya.
Entah sudah berapa banyak nyawa yang terbang
oleh sepasang tangannya. Satu-satunya yang men-
jadi saksi bisu bagi kemenangan-kemenangan So-
manggala hanya sebuah panggung yang dijuluki
orang Panggung Kematian. Karena bagi siapa yang
kalah, tidak ada pilihan lain kecuali kematian. Para
peserta telah menerima peraturan itu sebelum ber-
tarung. Dan sejauh ini pertarungan yang diseleng-
garakan Ki Jarangka masih berjalan lancar tanpa
hambatan.
"Siapa lawanku kali ini, Kakang...?" tanya
Somanggala yang memanggil lelaki pendek gemuk
bermata sipit itu kakang.
"Hm.... Kau mungkin sudah pernah mendengar
namanya. Orang itu berasal dari daerah selatan.
Keistimewaannya terletak pada kedua kakinya. Coba
kau terka siapa orang itu...?" jawab Ki Jarangka
berteka-teki.
Somanggala kelihatan agak kaget mendengar
penjelasan Ki Jarangka tentang ciri-ciri calon lawan-
nya. Wajah pemuda itu tampak bersungguh-sung-
guh ketika memberi jawaban atas pertanyaan Ki
Jarangka, yang selalu mencarikan lawan untuknya.
"Maksud Kakang Jarangka, orang yang akan
menjadi lawanku kali ini Garbanaka alias si Tendangan Angin Topan...?" tegas Somanggala mena-
tap tajam wajah lelaki gemuk di depannya.
"Tepat sekali, Adi Somanggala!" seru Ki Jarangka
dengan senyum lebar. "Bagaimana...? Apakah kau
menerima tantangannya? Bayaran yang akan kau
terima jauh lebih besar dari pertarungan sebelum-
nya...."
Ki Jarangka sengaja menyebutkan soal bayaran
untuk menarik minat Somanggala, jagoan panggung
yang belum terkalahkan.
"Bukan soal bayaran yang membuatku berpikir,
Kakang. Tapi.... Apakah Kakang tidak pernah men-
dengar siapa Garbanaka, dan bagaimana perangai-
nya? Itu yang menjadi pikiranku...," sahut Soma-
nggala yang kali ini tidak bersemangat menanggapi
rencana pertarungan. Padahal biasanya kabar dari
Ki Jarangka selalu disambut gembira.
"Maksudmu, Adi...?" sergah Ki Jarangka memin-
ta ketegasan Somanggala. Seolah-olah tidak tahu
maksud ucapan jagoan panggung itu.
"Kakang.... Garbanaka adalah seorang berhati
licik dan berangasan. Dia tidak akan segan-segan
berbuat curang untuk memperoleh kemenangan. Itu
yang membuatku belum bisa memutuskan untuk
menghadapinya," jelas Somanggala yang rupanya
pernah mendengar sepak terjang dan sifat calon la-
wannya.
Ki Jarangka tidak segera menanggapi ucapan
Somanggala. Lelaki pendek gemuk yang kelihatan
licik dan selalu mendapatkan keuntungan besar da-
lam setiap penampilan Somanggala itu, terlihat
mengangguk-angguk perlahan. Meskipun demikian
terlihat kerutan pada keningnya. Pertanda tidak
menyetujui penilaian Somanggala tentang Garbanaka.
"Dengan kata lain kau takut menghadapi Gar-
banaka, dan hendak melepaskan sebutan jagoan
panggung...?" tanya Ki Jarangka memancing. Se-
pasang matanya yang memang sudah sipit, tampak
semakin mengecil menatap wajah Somanggala.
Somanggala agak kaget mendengar ucapan Ki
Jarangka. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pe-
muda itu. Namun bayangan kemarahan itu sirna,
sebelum sempat tertangkap Ki Jarangka. Rupanya
Somanggala segera menyadari orang yang duduk di
depannya itu tidak pantas menjadi tumpuan ke-
marahannya. Karena segala yang didapatnya selama
ini bersumber dari Ki Jarangka. Akhirnya Soma-
nggala hanya bisa menghela napas panjang tanda
kegundahan hatinya.
"Bukan Garbanaka yang kupikirkan, Kang. Tapi
orang di belakangnyalah yang membuatku berpikir
dua kali untuk menghadapinya. Ki Gending
Sendapa pasti tidak akan tinggal diam jika murid
kesayangannya binasa di tanganku...."
Dengan sangat terpaksa, Somanggala meng-
ungkapkan perasaan yang mengganjal di hatinya.
"Ha ha ha...!"
Ki Jarangka tertawa mendengar alasan Somang-
gala. Jelas kalau lelaki itu tidak sependapat dengan
Somanggala.
"Mengapa Kakang menertawakan aku.,.?" tegur
Somanggala dengan kening berkerut
"Bagaimana aku tidak geli, Somanggala. Bukan-
kah kau tahu peraturan pertarungan? Sebelum
pertarungan berlangsung, kita sudah sepakat tidak
ada dendam, meski apa pun yang terjadi di atas
panggung. Sekarang aku bertanya padamu. Pernah-
kah selama ini ada pihak lawan-lawanmu terdahulu
yang menuntut balas? Padahal kau telah banyak
menewaskan orang, bukan? Coba kau jawab...?"
ujar Ki Jarangka menjelaskan alasannya mener-
tawakan kekhawatiran Somanggala.
"Sampai saat ini memang belum ada yang men-
dendam kepadaku. Tapi... Siapa yang akan mampu
menahan bila Ki Gending Sendapa mengamuk,
seandainya Garbanaka tewas di tanganku?" bantah
Somanggala lagi, masih belum bisa menerima
penjelasan Ki Jarangka.
"Hm.... Sepertinya kau demikian yakin bisa
mengalahkan lawanmu, Adi Somanggala," kata Ki
Jarangka dengan nada yang sedikit menghina.
"Sehebat apa pun ilmu Tendangan Angin Topan'
milik Garbanaka, aku masih bisa menanggulangi-
nya. Meski harus berjuang keras, aku yakin bisa
menundukkannya...," jawab Somanggala sedikit
menyombong karena merasa tersinggung dengan
ucapan Ki Jarangka, yang menganggap dirinya tidak
mampu menghadapi Garbanaka yang berjuluk
Tendangan Angin Topan.
"Sekarang begini saja. Kau bersedia memenuhi
tantangan Garbanaka atau tidak? Aku minta jawa-
banmu sekarang juga! Kalau tidak, aku akan me-
nyerahkan gelar juaramu kepada Garbanaka, dan
mencarikan lawan untuknya...!" ujar Ki Jarangka
dengan nada tinggi.
Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk
itu bangkit dari kursinya dengan wajah tidak sedap.
"Baiklah! Aku terima tantangannya...," jawab
Somanggala lantang.
Keputusan itu diambil bukran karena tidak rela
melepaskan gelar yang disandangnya. Tapi karena
tidak ingin dianggap seorang pengecut. Somanggala
sadar siapa Ki Jarangka. Lelaki gemuk itu pasti
akan menyebarluaskan berita penolakannya ber-
tarung dengan Garbanaka. Kalau sampai berita itu
tersebar luas, celakalah dirinya. Dia pasti akan
menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang banyak.
Somanggala lebih memilih mati daripada hidup
terhina!
"Bagus! Persiapkan dirimu baik-baik. Satu ming-
gu dari sekarang, pertarungan akan diselenggara-
kan di tempat biasa.... Sadarlah, kau telah menjadi
milik orang banyak, hingga harus selalu memenuhi
keinginan penggemarmu kalau tidak ingin hancur
dan menjadi bahan ejekan mereka...," tandas Ki
Jarangka, segera beranjak pergi setelah melempar-
kan sekantung uang ke pangkuan Somanggala.
Sepeninggal Ki Jarangka, Somanggala termenung
dengan wajah muram. Pemuda itu menyesali tin-
dakannya yang telanjur menceburkan diri ke dalam
perangkap Ki Jarangka. Orang banyak hanya tahu
dirinya seorang jagoan panggung, tapi tidak tahu
kehidupan yang dijalaninya sangat berat. Sebenar-
nya Somanggala tak ubahnya seperti sapi perahan
bagi Ki Jarangka. Meskipun tidak dapat dibantah,
pekerjaan yang dijalaninya mendatangkan hasil
cukup banyak bagi dirinya dan kedua orangtuanya,
yang semula hidup miskin sebagai petani peng-
garap.
Sekarang ayahnya tidak perlu lagi menggarap
sawah orang lain. Uang hasil kemenangannya di-
belikan sawah yang cukup untuk menghidupi ke-
dua orangtuanya. Bahkan sekarang mereka mem-
punyai pekerja untuk membantu menggarap sawah.
Di sisi lain, orang-orang di sekitarnya menaruh
hormat kepada keluarga Somanggala. Semua itu
bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Tapi dengan
kerja keras mempertaruhkan nyawa di atas Pang-
gung Kematian!
Merasa kepalanya agak pening, Somanggala
melangkah ke luar untuk menyegarkan pikiran.
Pemuda itu sadar pka ditolaknya permintaan Ki Jarangka, bukan hanya dirinya yang terhina dan ce-
laka. Tapi kedua orangtuanya pun akan menang-
gung akibatnya. Somanggala mengenal betul siapa
Ki Jarangka sebenarnya.
Dengan wajah tertunduk, Somanggala melang-
kah melintasi jalan besar yang membelah desa. Dan
berbelok masuk perkebunan, menuju sebuah sungai
yang berair jernih. Tapi baru saja pemuda itu akan
duduk di atas sebuah batu, terdengar jeritan minta
tolong seorang wanita!
Somanggala berpaling ke kiri dan kanan mencari
sumber teriakan tadi. Serentak tubuh tegapnya
melesat ke timur, setelah memastikan dari mana
arah jeritan berasal.
Tidak sulit bagi Somanggala untuk menemukan
sumber jeritan itu. Tidak berapa lama kemudian,
sampailah di suatu tempat yang agak jauh dari
desa. Sepasang mata pemuda itu berkilat ketika
menyaksikan pemandangan di depannya.
"Lepaskan gadis itu, Keparat..!" bentak So-
manggala kepada dua lelaki berwajah bengis yang
tengah berusaha menyeret seorang gadis ke semak-
semak. Cepat tubuhnya berkelebat disertai tam-
paran.
Whuuut...!
Salah satu dari dua lelaki bengis itu bergerak ke
depan menyambut serangan Somanggala. Tangan
kanannya terangkat memapaki tamparan pemuda
bertubuh tegap itu.
Plak!
"Aihhh...?!"
Lelaki kekar dengan wajah terdapat bekas luka di
pipinya, terpekik kaget. Tubuhnya hampir tercebur
ke sungai akibat menangkis tamparan Somanggala.
Untunglah lelaki kekar itu masih sempat menye-
lamatkan diri. Meskipun demikian, wajahnya
meringis sambil mengurut lengan kanannya yang
terasa ngilu bukan main. Jelas hal itu menandakan
kalau tenaganya kalah jauh dengan pemuda tegap
yang baru datang.
"Siapa kau, Bedebah! Mengapa mencampuri
urusan kami...?!" bentak lelaki kekar itu yang sudah
meloloskan goloknya, siap untuk menghadapi So-
manggala.
"Hm.... Akulah yang seharusnya bertanya! Apa
yang kalian kerjakan di wilayah Desa Jari Mulya ini?
Dan siapa kalian...?" ujar Somanggala tak kalah
gertak. Sepasang matanya berkilat tajam penuh
amarah.
"Ooo.... Kau ingin disebut pahlawan, heh?! Kau
salah alamat, Kisanak. Nyawamu akan melayang
sia-sia!" geram lelaki kekar itu sambil mengacung-
acungkan goloknya.
Somanggala tidak mempedulikan ocehan laki-laki
kekar itu. Tubuhnya berkelebat ke arah laki-laki
yang satunya. Somanggala ingin membebaskan wa-
nita muda yang berada dalam cengkeraman mereka.
Orang itu rupanya sadar akan bahaya yang
mengancam. Terbukti, langsung mendorong pe-
rempuan muda itu, hingga jatuh terguling-guling.
Kemudian senjatanya dicabut untuk memapaki
serangan Somanggala.
Bettt! Bettt...!
Kilatan sinar putih berkelebat ketika laki-laki
bercambang bauk itu mengibaskan goloknya ke kiri
dan kanan secara bersilangan. Rupanya laki-laki itu
sempat melihat kawannya terpental karena me-
nangkis tamparan Somanggala. Sehingga begitu se-
rangan Somanggala tiba, langsung senjatanya dike-
lebatkan untuk melindungi dirinya dari serangan lawan.
Somanggala pun tidak ingin kehilangan lengan.
Serangannya ditarik pulang, sambil mendoyongkan
tubuh ke belakang. Kemudian kaki kirinya bergerak
menyodok perut lawan dengan kecepatan menga-
gumkan.
Bukkk!
Tanpa dapat dielakkan lagi, tendangan So-
manggala bersarang telak di tubuh lawan. Lelaki
brewok itu terjungkal diiringi teriakan kesakitan.
Dan Somanggala tidak lagi mempedulikan lawannya.
Pemuda itu bergerak menyelamatkan perempuan
muda yang tengah terbelalak ketakutan dengan air
mata berlinang membasahi wajahnya.
* * *
DUA
"Bangsat!" maki lelaki brewok seraya menyusut
lelehan darah pada ujung bibir.
Sepasang matanya merah karena marah Lalu
bersama kawannya, bergerak mengepung Somang-
gala.
"Kalian yang bangsat, tidak punya belas kasihan
pada gadis ini! Karena itu, kalian harus diberi
pelajaran...!" geram Somanggala tidak mau kalah
gertak, dan langsung menyerang.
"Haaat..!"
Diiringi pekik menggetarkan jantung, tubuh
Somanggala melesat ke depan. Sepasang tangannya
menyambar ganas dengan pukulan-pukulan berba-
haya.
Bettt! Bettt!
Kedua lelaki berwajah bengis bergerak mundur
saat merasakan terpaan angin pukulan Somanggala.
Agaknya mereka sadar kalau serangan lawan sangat
berbahaya, dan tidak mungkin dapat ditahan.
"Mampus...!"
Begitu dapat menghindarkan diri dari pukulan
Somanggala, lelaki berwajah codet yang berada di
kirinya, melancarkan serangan balasan dengan te-
basan golok. Tapi dengan manis Somanggala me-
mutar tubuh. Kemudian, mengirimkan tendangan
kilat ke dada lawan.
Bukkk!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, lelaki itu terbanting jatuh dan
memuntahkan darah segar. Golok yang tergenggam
di tangannya, terpental entah ke mana.
Tanpa mempedulikan korban tendangannya,
Somanggala memutar tubuh dengan langkah ke
samping, menghindari tebasan golok dari lawan
yang lain.
"Hiaaah...!"
Dibarengi bentakan menggetarkan, pemuda itu
bergerak maju setelah melihat pertahanan lawan
kosong.
Desis...!
Hantaman sepasang telapak tangan Somanggala
singgah tepat di tubuh lawan. Tanpa ampun lagi,
orang itu langsung terjungkal muntah darah!
"Jangan bunuh mereka...!" tiba-tiba terdengar
seruan halus, saat Somanggala siap menamatkan
riwayat lelaki brewok dengan sebuah pukulan ke
kepala.
Dengan wajah heran. Somanggala berpaling ke
arah asal suara. Dilihatnya dara cantik berusia se-
kitar sembilan belas tahun, yang nyaris menjadi
korban kebiadaban kedua orang itu tengah berdiri
menatapnya.
"Mengapa, Nisanak? Bukankah mereka hampir
mencelakakanmu?" tanya Somanggala penasaran
melihat gadis itu memintakan ampun orang yang
hendak menodainya.
"Mereka..., sudah tidak berdaya. Barangkali
dengan tidak membunuhnya, mereka akan sadar.
Dan tidak akan mengulanginya lagi...," jelas gadis
itu dengan ragu-ragu.
"Hm...."
Somanggala bergumam dengan kening berkerut
Meskipun kurang setuju, gerakannya tidak di-
lanjutkan. Kemudian, kepalan tangannya yang siap
menghancurkan batok kepala ditarik pulang.
Somanggala memendam debaran jantungnya
ketika menerima senyum manis dara cantik itu.
Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah dua
orang lawannya
"Nasib kalian rupanya masih baik. Pergilah sebe-
lum aku berubah pikiran...," usir Somanggala yang
dengan senang hati terpaksa melepaskan mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua lelaki itu ber-
gegas pergi. Beberapa kali mereka menoleh ke-
belakang, seakan-akan tidak percaya ucapan pemu-
da yang melepasnya.
"Hhh...."
Setelah kedua lelaki itu lenyap dari pandangan,
Somanggala menghela napas panjang.
Dan pemuda itu tidak menoleh ketika terdengar
suara langkah halus menghampiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang.
Entah apa jadinya aku, jika Kakang tidak cepat
datang...," ujar gadis cantik itu dengan suara bening
mendayu-dayu.
Somanggala merasa bagai mendengar nyanyian di
telinga, membuat hatinya sejuk.
"Simpanlah ucapan terima kasihmu, Nisanak.
Kalau aku boleh bertanya, mengapa kau berada di
tempat sesepi ini seorang diri? Di mana tempat ting-
galmu...?" tanya Somanggala, heran melihat dara
secantik itu berada di tempat yang jauh dari desa,
dan seorang diri.
"Rumahku tidak jauh dari sini. Marilah singgah
sebentar, Kakang...," jawab dara cantik itu singkat.
Tanpa menunggu jawaban Somanggala, gadis itu
segera membalikkan tubuh meninggalkan tepian
sungai.
Setelah berpikir sejenak, Somanggala bergegas
mengikuti langkah dara cantik yang telah mem-
buatnya gelisah itu Diam-diam sepasang matanya
mencuri pandang sosok dara itu dari belakang.
Untuk kesekian kalinya, darah pemuda gagah itu
berdesir. Sosok di depannya demikian padat dan
menggairahkan, membuatnya harus membuang
pandang matanya ke arah lain. Gadis ini terlalu
menarik, bisiknya dalam hati. Mau tak mau Soma-
nggala harus mengakui kelebihan-kelebihan gadis di
depannya.
Dan Somanggala merasa waktu demikian singkat,
ketika dara cantik itu menunjuk sebuah gubuk
sederhana yang letaknya agak terpencil.
"Itukah tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala
tak bisa menahan keingintahuannya.
"Yaaah, di gubuk itulah aku tinggal. Kedua orang
tuaku telah meninggal. Kini aku seorang diri...,” sa-
hut gadis cantik itu sambil menundukkan wajahnya
yang kelihatan menyimpan duka.
"Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu sedih...."
Somanggala merasa iba melihat kedukaan
membayang di wajah gadis itu. Ingin rasanya me-
meluk dan menghiburnya dengan kata-kata lembut.
Tapi Somanggala tidak berani. Mereka baru saja
bertemu, dan nama gadis cantik itu pun belum dike-
tahuinya.
"Silakan, Kakang...," ucap gadis itu, memper-
silakan Somanggala masuk.
Untuk beberapa saat pemuda itu berdiri di
ambang pintu, memperhatikan ruangan yang hanya
diisi sebuah balai-balai bambu. Itu pun kelihatan
sudah tua dan reot Somanggala duduk di balai-balai
menanti gadis cantik yang telah masuk ke dalam.
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu muncul
kembali membawa dua buah gelas bambu di tangan
kanannya. Dan menyerahkannya kepada Somang-
gala.
"Hanya air teh dingin, Kakang. Aku takut kalau
menghangatkan Kakang akan menunggu lama...,"
ujar gadis cantik itu dengan tatapan minta maaf.
"Tidak apa, ini sudah cukup," sahut Somanggala
menyambut gelas bambu.
Dada pemuda itu kembali berdebar ketika tanpa
sengaja jemari tangan mereka bersentuhan.
"Mmm.... Namaku Somanggala. Dan, biasa di-
panggil Soma...," lanjutnya memperkenalkan diri.
"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri.
Namaku Seruni," ujar gadis cantik itu setelah sadar
kalau mereka belum berkenalan.
"Seruni...," desah Somanggala mengulang nama
itu, seolah ingin melekatkannya dalam hati. "Sebuah
nama yang sangat indah dan serasi dengan pemilik-
nya...."
"Ahhh...."
Seruni mendesah dengan wajah tertunduk malu.
Gadis itu merasa jengah dengan pujian Somanggala.
"Ahhh..., hari sudah sore. Aku harus segera
pulang, Seruni Lain kali aku akan singgah ke sini
Tentu saja kalau kau tidak keberatan...," ujar
Somanggala seraya melepaskan pandang ke luar
jendela disertai desahan penuh sesal, karena sebe-
narnya ingin berdekatan lebih lama dengan gadis
cantik itu.
"Tentu saja aku tidak keberatan, Kakang. Ja-
ngan-jangan Kakang sendiri yang enggan datang
kemari. Karena rumahku hanya gubuk tua yang
reot..," kilah Seruni tersenyum manis, membuat
Somanggala kembali harus membuang muka, tak
tahan melihat senyum gadis cantik itu.
"Hhh... Kalau saja aku tidak mengingat tata
kesopanan, mungkin aku akan bermalam di sini,
Seruni...," kata Somanggala terus-terang, seraya
menatap wajah Seruni dengan sinar mata aneh.
Seruni hanya tersipu menundukkan wajah. Seba-
gai seorang gadis yang cukup dewasa, dapat ditang-
kap arti tatapan mata Somanggala.
"Seruni..."
Gadis cantik itu tersentak kaget ketika tahu-tahu
Somanggala telah berdiri di depannya, dan meng-
genggam jemari tangannya. Wajahnya semakin me-
rah karena jengah. Meskipun demikian, genggaman
tangan Somanggala tidak berusaha dilepaskannya.
Sehingga pemuda itu semakin berani menyentuh
wajah Seruni.
"Apabila urusanku telah selesai, aku akan kem-
bali untuk membawamu tinggal di rumahku...," ujar
Somanggala dengan suara agak parau terbawa
perasaan.
Seruni masih tidak bergerak ketika Somanggala
melepaskan genggaman tangannya dan beranjak
pergi. Gadis itu baru berani mengangkat wajah, saat
bayangan pemuda tegap itu sudah jauh. Sekilas
terlihat senyum aneh di bibir gadis cantik itu.
***
Dua sosok tubuh bergerak memasuki sebuah
kedai makan yang banyak didatangi pengunjung.
Keduanya langsung mengambil tempat kosong.
Meskipun letak meja itu agak ke sudut, namun cu-
kup leluasa untuk memperhatikan sekeliling ruang-
an kedai. Mereka duduk diam menanti hidangan
yang telah dipesan.
"Desa apakah ini. Paman? Nampaknya, pen-
duduknya cukup padat...," tanya pemuda tampan
yang tubuhnya terbungkus jubah putih, pada pela-
yan kedai yang datang membawa pesanan mereka.
"Wah...! Kalian rupanya pendatang dari jauh, ya?
Desa ini bernama Jati Mulya. Penduduknya tidak
terlalu padat Jika dalam beberapa hari ini kelihatan
sangat ramai, karena akan ada pertarungan di atas
Panggung Kematian. Peristiwa inilah yang membuat
Desa Jati Mulya ramai, dan banyak didatangi orang
dari luar desa. Peristiwa ini juga membuat orang-
orang yang membuka usaha seperti kami, bisa
mendapat keuntungan berlipat..," pelayan berusia
separuh baya itu terkekeh ketika mengakhiri pen-
jelasannya. Sedangkan pemuda tampan berjubah
putih itu hanya tersenyum.
"Pertarungan di atas Panggung Kematian...? Apa
itu. Paman? Kedengarannya aneh dan menyeram-
kan...," tanya pemuda tampan itu lagi.
"Panggung Kematian itu sebenarnya hanya se-
butan untuk tempat pertarungan mati-matian. Se-
tiap kali ada pertarungan, korban pasti jatuh. Itulah
sebabnya, arena adu ilmu kesaktian itu disebut
Panggung Kematian," jelas pelayan kedai dengan
wajah berseri. Karena merasa bangga bisa mem-
beritahukan peristiwa menarik itu kepada pengun-
jung kedainya.
"Maksud Paman, orang-orang yang bertarung
baru dinyatakan menang apabila dapat menewaskan
lawan...?" tanya pemuda tampan itu menegasi.
Sedang dara jelita di sebelahnya hanya mende-
ngarkan tanpa terlihat keinginan untuk menimpali
pembicaraan itu.
"Begitulah peraturan yang ditetapkan Ki Ja-
rangka, yang menjadi penyelenggara pertarungan,"
jawab pelayan kedai.
"Lalu.... Apa yang dicari para petarung itu?
Apakah mereka mendapatkan uang sebagai imbal-
annya...?" pemuda tampan itu kembali melanjutkan
pertanyaannya dengan penuh keingintahuan.
"Benar. Petarung yang memenangkan perke-
lahian, akan mendapat imbalan uang yang cukup
besar. Itu pun sudah menjadi ketetapan pihak pe-
nyelenggara. Karena orang-orang yang menyaksikan
pertarungan dikenakan biaya beberapa keping uang.
Nah, dari hasil pungutan itulah, sang Juara men-
dapatkan bayarannya...," jelas pelayan kedai yang
rupanya penggemar pertarungan Panggung Kema-
tian.
Pemuda tampan berjubah putih merasa cukup
puas dengan keterangan yang diperolehnya. Kepala-
nya mengangguk sopan saat pelayan kedai minta
diri untuk melayani pengunjung lain yang berda-
tangan.
"Kelihatannya kau sangat tertarik dengan per-
tarungan Panggung Kematian, Kakang...?" tegur
dara jelita berpakaian hijau di sebelah pemuda tam-
pan itu, sesaat setelah pelayan kedai meninggalkan
mereka.
"Kedengarannya cukup menarik. Kalau kau tidak
keberatan, kita bermalam di desa ini. Dengan
demikian, kita bisa menyaksikan peristiwa itu esok
hari...," sahut pemuda tampan itu.
"Untuk apa menyaksikan pertarungan itu, Ka-
kang. Mereka hanya orang-orang kasar yang memi-
liki sedikit kepandaian. Kemudian memanfaatkan-
nya untuk mencari uang dan ketenaran, agar dita-
kuti dan dihormati orang...," bantah dara jelita itu.
Agaknya usul pemuda tampan berjubah putih itu
kurang disetujuinya.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Kenanga.
Siapa tahu mereka bukan orang-orang kasar seper-
ti yang kau sangka. Walaupun benar petarung-
petarung itu melakukannya untuk uang dan
ketenaran, tapi yang jelas pertarungan itu berbeda
dengan yang kita ketahui selama ini. Bisanya para
petarung mencari kemenangan dan imbalan. Entah
itu berupa julukan, keperkasaan, atau suatu jaba-
tan. Tapi mereka hanya sebatas memperoleh keme-
nangan, tanpa harus membunuh lawan. Sedangkan
pertarungan Panggung Kematian harus membunuh
lawan, baru kemudian dinyatakan menang. Nah,
bukankah ini sangat menarik untuk diketahui latar
belakangnya...?" jelas pemuda tampan berjubah
putih itu yang dapat dipastikan bernama Panji.
Sebab, siapa lagi yang bersama Kenanga kalau
bukan Panji, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar
Naga Putih.
"Terserah Kakang sajalah...," ujar Kenanga
menyerah. "Menurutku, mereka orang-orang kasar
yang tidak menghargai nyawa manusia. Hal seperti
itu tidak perlu diselidiki, tapi harus diberantas!
Sebab, bisa saja kawan atau kerabat pihak yang
kalah dan terbunuh akan menuntut balas di Pang-
gung Kematian. Jadi lebih banyak mendatangkan
akibat buruk, daripada kebaikan atau keuntung-
an...," bantah Kenanga.
"Kita lihat saja besok. Apakah mereka orang-
orang kasar yang hanya mengandalkan sedikit
kepandaian, atau orang-orang berkepandaian tinggi
yang gila bertarung. Sebab, tidak sedikit tokoh-
tokoh seperti itu dalam dunia persilatan...," jelas
Panji yang rupanya tetap ingin menyaksikan per-
tarungan di atas Panggung Kematian.
Kenanga tidak membantah lagi. Gadis itu jadi
penasaran ingin melihat kepandaian para petarung.
Tanpa banyak cakap lagi, perhatiannya dialihkan
pada hidangan di atas meja. Kemudian, menyan-
tapnya perlahan.
"Kita harus segera mencari penginapan. Aku
khawatir tidak mendapatkannya bila terlambat me-
mesan. Melihat banyaknya orang yang datang ke
desa ini, bukan tidak mungkin penginapan penuh,"
kata Panji saat mereka menyusuri jalan utama Desa
Jari Mulya.
Karena kedai makan tadi tidak menyediakan
kamar untuk menginap, maka mereka harus men-
cari di tempat lain.
Kekhawatiran Panji terbukti. Semua penginapan
yang memang tidak banyak di Desa Jari Mulya,
telah penuh. Sehingga, mereka tidak mendapat
tempat untuk melewatkan malam.
"Apa yang harus kita perbuat, Kakang...?" tanya
Kenanga yang merasa putus asa setelah gagal
mencari tempat menginap, walaupun mereka telah
mengelilingi desa.
"Kita datangi rumah penduduk. Siapa tahu di
antara mereka ada yang bersedia menerima kita
untuk bermalam," usul Panji yang rupanya tidak
kehilangan akal mendapatkan tempat bermalam.
Kenanga menurut saja ketika kekasihnya me-
langkah menuju rumah terdekat. Rupanya nasib
mereka masih cukup baik. Penghuni rumah seder-
hana itu mengizinkan mereka menginap. Meskipun
hanya dua balai-balai bambu yang sudah reot, tapi
mereka menerima dengan gembira.
"Hanya ini yang bisa Paman berikan untuk Tuan
Muda berdua. Maklumlah, kami orang miskin...,"
sesal orang tua itu, meminta maaf tidak bisa me-
nyediakan tempat yang lebih baik bagi tamunya.
"Tidak mengapa, Paman. Ini sudah lebih dari
cukup. Diizinkan untuk menginap saja, sudah baik
bagi kami...," sahut Panji tersenyum kepada lelaki
tua berusia setengah baya itu.
Setelah mempersilakan kedua tamunya untuk
beristirahat, lelaki setengah baya itu pun bergegas
menuju kamarnya. Karena Panji dan Kenanga bera-
da di ruang depan.
"Kelihatannya pemilik rumah ini benar-benar
miskin, Kakang...," bisik Kenanga.
Saat itu mereka telah membaringkan tubuh di
balai-balai masing-masing, yang letaknya tidak ber-
jauhan.
"Hm..., kita jauh lebih miskin daripada orang tua
itu, Kenanga. Karena kita tidak mempunyai tempat
tinggal. Sedangkan orang tua itu masih punya,
meskipun hanya sebuah gubuk tua...," sahut Panji,
membuat Kenanga mencibirkan bibir, bersungut-
sungut.
Panji tersenyum melihat kekasihnya memaling-
kan wajah ke bilik tidak mau memandangnya lagi.
"Kau ingin aku membangun rumah untuk kita
berdua tinggal...?" tanya Panji, sekadar ingin meng-
goda kekasihnya.
"Tidak tahu ah! Aku mau tidur...," sahut
Kenanga, yang kemudian tidak berkata-kata lagi.
Panji tahu Kenanga tidak mungkin bisa tidur
dengan cepat. Tapi pemuda itu tidak menggang-
gunya lagi. Matanya kemudian dipejamkan dengan
bibir masih mengulas senyum.
* * *
TIGA
Pagi ini di sebuah lapangan rumput yang le-
taknya cakup jauh dari Desa Jati Mulya, tampak
orang berkerumun mengelilingi sebuah panggung
yang cukup luas. Tapi itu tidaklah mengherankan.
Karena pada pagi itu akan berlangsung pertaru-
ngan antara Somanggala melawan Garbanaka.
Somanggala yang telah berkali-kali memenang-
kan pertarungan di atas Panggung Kematian, kini
harus berhadapan dengan seorang tokoh dari sela-
tan yang berjuluk Tendangan Angin Topan. Selain
terkenal dengan kehebatan ilmu tendangannya, Gar-
banaka juga seorang yang licik dan selalu mem-
banggakan kepandaiannya. Tidak jarang Garbanaka
bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan
kesaktiannya.
Sedang Somanggala yang dijuluki Jagoan Pang-
gung, adalah seorang pemuda sederhana yang se-
nantiasa selalu menjunjung tinggi kegagahan. Jika
harus membunuh lawan-lawannya di atas pang-
gung, itu karena terikat peraturan, dan demi ke-
langsungan hidup keluarga. Sayang, Somanggala
terlambat menyadari keterlibatannya. Sudah telan-
jur menceburkan diri, tidak ada istilah mundur
kecuali sudah bosan hidup.
Saat orang-orang yang berkerumun di bawah
panggung telah semakin padat, muncullah seorang
lelaki tinggi besar berwajah brewok. Langkahnya
demikian mantap. Lelaki itu menaiki panggung
dengan dada membusung. Sepasang matanya ber-
gerak ke kiri dan kanan disertai senyum mengejek,
menandakan kesombongan hati.
"Hidup Garbanaka...!"
Terdengar sorak-sorai dan teriakan di sana-sini,
menyambut kemunculan lelaki kekar yang tidak lain
Garbanaka atau lebih dikenal berjuluk Tendangan
Angin Topan. Dan. orang-orang yang berteriak itu
adalah pendukung Garbanaka. Beberapa di antara
mereka bertaruh untuk kemenangan Tendangan
Angin Topan.
"Hidup Tendangan Angin Topan...!"
Beberapa kelompok yang berada di kanan
panggung, ikut bersorak menyambut Garbanaka.
Membuat lelaki kekar berwajah brewok itu semakin
congkak saja. Tangan kanannya melambai ke arah
para pendukungnya.
Tidak berapa lama kemudian, sosok yang di-
tunggu-tunggu muncul dengan segala kesederha-na-
annya. Sosok tegap berwajah tampan itu tak lain
dari Somanggala. Beberapa pendukung pemuda itu
tampak mengerutkan alis ketika melihat wajah
Somanggala pucat. Tentu saja mereka heran. Sebab
tidak biasanya Somanggala sepucat itu dalam
menghadapi lawan-lawannya. Kenyataan itu me-
nimbulkan bermacam pertanyaan di hati para pen-
dukungnya.
"Aneh...? Mengapa jagoan kita kelihatan gelisah
dan pucat? Apakah dia gentar menghadapi Gar-
banaka...?" desis seorang lelaki tinggi kurus yang
mengenakan pakaian cukup mewah.
Melihat penampilannya, agaknya orang itu ber-
taruh cukup besar untuk kemenangan Somanggala.
"Hm.... Mustahil Somanggala gentar menghadapi
tokoh dari selatan itu. Bukankah dia sering ber-
tarung melawan orang-orang yang kepandaiannya
hampir setingkat dengan Garbanaka? Mungkin
Somanggala sedang sakit..," sahut lelaki gemuk
berwajah kelimis, yang rupanya juga pendukung
Somanggala.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak
lepas dari wajah Somanggala. Nampak kekhawatiran
membayang jelas di wajahnya. Bukan khawatir jika
Somanggala mengalami cidera atau kalah. Tapi
khawatir jika harta yang dipertaruhkannya untuk
kemenangan pemuda itu hilang.
"Ha ha ha...!"
Garbanaka tergelak dengan sikap yang sangat
jumawa. Lelaki itu menertawakan Somanggala yang
kelihatan pucat dan tidak bersemangat. Bahkan di
kening pemuda tegap berwajah tampan itu terlihat
bintik-bintik keringat. Entah apa yang dirasakan
Jagoan Panggung itu.
Somanggala seperti tak peduli dengan tawa me-
ngejek calon lawannya. Pemuda itu terus melangkah
ke kanan panggung. Dan berdiri tegak setelah
membungkukkan tubuh ke empat penjuru untuk
memberi penghormatan.
Saat kedua petarung sudah siap di sudut masing-
masing, muncul seorang lelaki tinggi kurus, me-
langkah ke tengah panggung dengan senyum lebar.
"Saudara-saudara sekalian. Sebentar lagi kita
menyaksikan sebuah pertarungan yang sangat men-
debarkan. Di kanan saya Somanggala, si Jagoan
Panggung. Sedang lawannya kali ini seorang tokoh
dari selatan yaitu Garbanaka, alias Tendangan
Angin Topan," ujar lelaki tinggi kurus memperke-
nalkan kedua petarung kepada penonton yang ber-
jubel.
Ketika penonton berteriak-teriak agar perta-
rungan segera dilaksanakan, lelaki tinggi kurus se-
gera memerintahkan kepada Somanggala dan Gar-
banaka maju ke tengah panggung.
"Kalian pasti sudah tahu peraturan pertarungan
iri, bukan..,?" tanya lelaki tinggi kurus seraya menoleh kepada Somanggala dan Garbanaka berganti-
ganti.
Kedua petarung menganggukkan kepala dengan
gerakan pasti. Kemudian mundur beberapa tindak,
ketika lelaki tinggi kurus itu memerintahkan untuk
bersiap.
"Hmhhh...!"
Garbanaka menggeram sambil memasang kuda-
kuda kokoh dan kuat. Sepasang matanya men-
corong tajam dan tangannya terbuka, siap me-
lancarkan serangan.
Somanggala kelihatan sepera orang kurang ber-
semangat. Meskipun butir-butir keringat di kening-
nya semakin banyak, namun pemuda itu tidak
mempedulikannya. Melihat lawannya bersiap, So-
manggala menarik mundur kaki kanannya sambil
merendahkan tubuh. Dan menggeser kaki kiri ke
samping, dengan kedua tangan menekuk ke kanan.
"Kakang, lelaki tegap yang bernama Somanggala
itu rupanya tidak siap bertarung. Lihat saja wajah-
nya yang pucat dan berkeringat..."
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang
menyaksikan pertarungan di kanan panggung, ber-
bisik kepada pemuda tampan berjubah putih di se-
belahnya. Tampak jelas kalau dara jelita itu mence-
maskan keadaan Somanggala yang tidak siap ber-
tarung.
"Benar. Aku pun agak mengkhawatirkannya.
Tapi..., kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau perta-
rungan ini kuhentikan, penonton akan marah. Jadi
kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Aku
belum tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda
yang bernama Somanggala itu. Jarak antara pang-
gung dengan kita cukup jauh," sahut pemuda
tampan berjubah putih, yang tak lain dari Panji.
Memang jarak antara Panji dan Kenanga dengan
Panggung Kematian, terpisah sekitar tiga tombak
lebih.
"Mungkin Somanggala gentar menghadapi lawan-
nya, Kakang...?" tanya Kenanga lagi, yang rupanya
oelum bisa menghilangkan keheranan di hatinya.
"Entahlah, Kenanga. Tapi menurutku bukan itu
persoalannya. Sebagai petarung yang sudah bebe-
rapa kali mengalahkan lawan-lawannya, Somang-
gala tidak lagi mengenal kata takut. Mungkin hanya
kurang sehat," jawab Panji.
"Jika benar Somanggala tidak siap bertarung
karena kesehatannya terganggu, apa tidak sebaik-
nya pertarungan itu ditunda dulu, Kakang...?" ujar
Kenanga lagi, tidak setuju jika pertarungan tetap
berlangsung. Padahal salah seorang petarung tidak
siap bertarung.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Jika dugaanmu
benar kalau Somanggala kurang sehat, aku akan
berusaha menghentikan pertarungan. Sebaiknya ki-
ta lihat saja dulu...," sahut Panji akhirnya.
Kenanga tampaknya puas dengan jawaban ke-
kasihnya. Terbukti pandangannya sudah beralih ke
atas panggung, dan memperhatikan kedua petarung
yang saling bergerak mendekati.
"Haaat...!"
Garbanaka rupanya ingin menyelesaikan per-
tarungan secepatnya. Serangan-serangannya me-
ngandung tenaga dan kecepatan yang menggetar-
kan. Agaknya lelaki itu ingin melumpuhkan lawan-
nya hanya dengan satu serangan.
Bettt! Wuttt...!
Kaki dan tangan Garbanaka bergerak cepat me-
nimbulkan desiran angin tajam, mengancam bagian-
bagian terlemah tubuh lawan. Somanggala kelihatan
tidak berani menyambut serangan lawan secara
langsung. Terbukti pemuda tegap berwajah tampan
itu menggeser langkahnya ke samping. Dan ketika
serangan lawan luput dari sasaran, kaki kanannya
digeser ke depan seraya mengirimkan sodokan jari-
jari tangan yang mengancam ulu hati dan iga
Garbanaka.
Wuttt...!
Dua buah serangan balasan yang dilancarkan
Somanggala memang cukup berbahaya, dan memi-
liki kecepatan yang mengagumkan. Tapi Garbanaka
tidak berusaha menghindari serangan itu. Tubuh-
nya malah bergerak ke depan sambil menyilangkan
kedua lengannya menangkis serangan lawan. Dan....
Dukkk! Plakkk!
Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan
yang dilindungi tenaga sakti saling berbenturan
keras. Dan para pendukung Somanggala serentak
terpekik kaget. Betapa tidak? Tampak jagoan mere-
ka terjajar mundur, hampir terpelanting ke bawah
panggung. Untunglah pemuda itu dapat menye-
lamatkan diri dengan bergulingan ke samping, dan
bangkit dengan kuda-kuda goyah.
"Ha ha ha...! Mana kekuatanmu, Somanggala?
Ayo tunjukkan padaku...!"
Garbanaka tertawa terbahak-bahak melihat tu-
buh lawan hampir terpelanting ke bawah pang-
gung. Lelaki kekar bercambang bauk itu semakin
sombong saja saat melihat wajah Somanggala ber-
tambah pucat. Garbanaka merasa kemenangan
telah berada di depan mata.
Somanggala rupanya tidak bergairah menanggapi
ejekan lawan. Keadaan tubuhnya kelihatan semakin
lemah. Dan tatapan matanya layu. Kenyataan itu
membuat para pendukungnya khawatir. Beberapa di
antara mereka berteriak-teriak memberi semangat
kepada pemuda tegap berwajah tampan itu.
"Somanggala! Jangan kecewakan kami! Tunjuk-
kan kehebatanmu, lumpuhkan lawanmu seperti kau
menjatuhkan lawan-lawanmu terdahulu...!" teriak
seorang pendukung Somanggala.
Orang itu agaknya mempertaruhkan banyak
harta demi kemenangan Somanggala. Tidak heran
jika ia lebih bersemangat memberi dorongan kepada
jagoannya, yang kali ini sangat loyo dan tidak bisa
diharapkan
"Hm..,. Jelas sudah, Somanggala memang tidak
siap bertarung. Kau lihat sendiri, Kakang. Rasanya
mustahil jika hanya sekali berbenturan saja,
pemuda itu sudah tidak berdaya. Kita harus segera
bertindak, Kakang...."
Kenanga yang melihat keadaan Somanggala
semakin parah, tidak bisa menahan diri lagi. Kalau
saja Panji tidak cepat mencegah, mungkin tubuh
dara Jelita itu sudah melayang ke atas panggung.
"Sabarlah, Kenanga. Kita tidak bisa turun-tangan
begitu saja. Tunggulah sebentar lagi. Percayalah,
aku tidak akan berdiam diri melihat ketidakadilan
terjadi di depan mata...," ujar Panji ketika dara jelita
itu memandangnya dengan tatapan penuh teguran.
Untuk kesekian kalinya, Kenanga kembali me-
nuruti kata-kata kekasihnya. Meskipun rasa pena-
saran masih membayang di wajahnya, dara jelita itu
tetap berdiri di tempatnya menunggu kejadian yang
terjadi di atas Panggung Kematian.
"Yeaaa...!"
Garbanaka yang semakin bernafsu menghabisi
lawan, menerjang maju sambil mengeluarkan ben-
takan nyaring menggelegar. Tubuh lelaki kekar itu
melesat ke depan dengan sebuah pukulan keras
yang menerbitkan deruan angin tajam.
Serangan pertama masih dapat dielakkan So-
manggala dengan susah-payah. Tapi pada serangan
serangan berikutnya, tubuh pemuda tegap itu
terpaksa harus menerima pukulan dan tendangan
lawan.
Bukkk! Desss...!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Somanggala terpe-
lanting. Darah segar termuntah seiring dengan
terbantingnya tubuh tegap itu ke lantai panggung.
"Uhhh...!"
Meskipun keadaan tubuhnya semakin bertambah
lemah, Somanggala berusaha bangkit dan melanjut-
kan pertarungan.
"Yeaaah...!"
Baru saja Somanggala bergerak bangkit, Gar-
banaka sudah meluncur dengan sebuah tendangan
berputar!
Desss...!
"Aaakh...!"
Tendangan yang keras itu, membuat tubuh So-
manggala tersentak dan kembali terbanting di lantai
panggung dengan suara berdebum. Darah segar
kembali termuntah dari mulutnya. Kali ini So-
manggala tidak mampu bangkit berdiri. Pemuda itu
merasa dadanya sesak akibat hantaman telapak
kaki lawan.
'Tamatlah riwayatmu, Somanggala...!" desis Gar-
banaka dengan sorot mata tajam menggambarkan
nafsu membunuh yang berkobar dalam dadanya.
Usai berkata demikian, tubuh lelaki brewok itu
kembali meluncur.
"Hiaaah...!"
Agaknya Garbanaka ingin meremukkan kepala
lawan dengan sekali pijak. Lelaki kekar berwajah
brewok itu melesat ke udara. Kemudian meluncur
turun dengan sepasang kaki siap dijejakkan kebatok kepala Somanggala, yang hanya bisa me-
nunggu datangnya maut dengan mata terpejam.
Namun malaikat maut enggan mengambil nyawa
pemuda tegap itu. Ketika sepasang telapak kaki
Garbanaka meluncur turun dengan deras, sesosok
bayangan putih berkelebat ke atas panggung, me-
nyambut serangan maut Garbanaka.
Bresssh...!
"Aihhh...?!"
Garbanaka memekik kaget ketika melihat sosok
bayangan putih menyambut serangannya. Benturan
keras tak terelakkan lagi. Akibatnya tubuh Garba-
naka yang tinggi besar dan kekar, terlempar balik
bagai membentur benda kenyal.
Tapi lelaki kekar itu masih mampu menguasai
keseimbangan tubuhnya. Dengan dua kali putaran
di udara yang dibarengi bentakan nyaring, Garba-
naka meluncur turun di lantai panggung dengan
kedua kaki lebih dahulu. Kenyataan itu menunjuk-
kan kalau ilmu meringankan tubuh Garbanaka
tidak bisa dipandang ringan.
"Bagus...!"
Pujian itu datang dari sosok berjubah putih yang
telah menyelamatkan nyawa Somanggala dari kema-
tian. Sosok sedang dengan sorot mata tajam itu
berdiri tegak di dekat Somanggala yang masih belum
menyadari nyawanya telah diselamatkan.
Somanggala yang merasa heran serangan lawan
belum menghantamnya, perlahan membuka mata.
Sepasang matanya yang semula redup terbeliak
heran melihat sosok berjubah putih berdiri membe-
lakangi. Sama sekali tidak disangka kalau sosok
berjubah putih itu telah menyelamatkannya dari
kematian. Selama ini tidak ada yang berani men-
campuri pertarungan di atas Panggung Kematian.
Itulah sebabnya, Somanggala merasa heran saat
menyadari apa yang dilakukan sosok berjubah putih
itu.
Perbuatan sosok berjubah putih itu tidak hanya
membangkitkan kemarahan Garbanaka, yang me-
rasa hampir mencapai kemenangan. Para penonton
yang berkerumun di sekitar panggung pun berte-
riak-teriak mencela perbuatannya. Demikian juga Ki
Jarangka yang menjadi ketua penyelenggara per-
tarungan maut itu. Kalau ada pihak pendukung So-
manggala yang diam-diam bersyukur atas kejadian
itu, hanya beberapa gelintir saja. Suasana jadi ribut
dengan teriakan-teriakan dan makian yang ditu-
jukan kepada sosok berjubah putih itu.
"Hei, Bocah Goblok! Apa kau tidak tahu pera-
turan pertandingan?! Ayo, lekas turun! Biarkan Ten-
dangan Angin Topan menyelesaikan pertanding-
an...!" seru seorang penonton pendukung Garba-
naka.
Orang itu marah karena perbuatan sosok ber-
jubah putih yang tidak lain Panji, membuat keme-
nangan yang hampir dapat diraihnya terbang.
'Turun kau, Pemuda Tolol! Tidak seharusnya kau
berada di atas panggung dan mencampuri per-
tarungan...!" teriak penonton lain, geram.
Sementara, Ki Jarangka bergerak bangkit dari
kursi. Namun langkahnya tertunda saat melihat
Garbanaka maju menghampiri pemuda tampan
berjubah putih itu dengan sorot mata berapi. Ru-
panya kemarahan lelaki kekar itu jauh lebih besar
daripada penonton maupun penyelenggara per-
tarungan.
Langkah Garbanaka berhenti beberapa tindak di
hadapan sosok berjubah putih itu. Sepasang mata-
nya yang memerah saga, mencorong tajam, bagai
hendak menelan bulat-bulat sosok di depannya.
Sedangkan Panji tetap tenang, seperti tidak mempedulikan kemarahan si Tendangan Angin Topan
itu.
"Bocah! Kau pasti bukan penduduk daerah sini.
Dan belum tahu peraturan pertandingan yang
berlaku di atas panggung, bukan? Nah, ketahuilah.
Pertarungan di atas panggung baru berakhir dan
seorang petarung menang jika telah berhasil mene-
waskan lawan. Sekarang menyingkirlah dari sini,
sebelum aku melemparmu ke bawah!" ujar Gar-
banaka, berbaik hati di hadapan orang banyak.
Lelaki brewok itu tidak ingin langsung menghajar
Pendekar Naga Putih, yang mungkin mempunyai
kawan di antara para penonton. Agaknya, Gar-
banaka telah memperhitungkan kemungkinan-ke-
mungkinan yang merugikan jika langsung mengha-
jar Panji. "
"Garbanaka," ujar Panji tenang, membuat
Garbanaka mengerutkan kening. "Aku sudah tahu
peraturan yang berlaku di atas panggung mi. Me-
nurutku pertarungan seperti ini tidak pantas dila-
kukan orang-orang gagah yang menjunjung tinggi
keadilan. Aku percaya kau termasuk orang yang
kumaksud. Alasan itu yang membuatku terpaksa
mencampuri ketidakadilan ini. Apalagi aku melihat
Somanggala tidak siap bertarung. Kau lihat sendiri,
bukan? Apa kau tidak malu memperoleh keme-
nangan dari lawan yang tubuhnya tidak sehat?
Somanggala sedang sakit, Garbanaka...," jelas Panji
panjang lebar.
Suaranya yang lantang dan jelas terdengar,
membuat pendukung Somanggala menganggukkan
kepala, membenarkan ucapan pemuda itu. Apalagi
beberapa pendukung Somanggala yang sempat
merasa heran melihat jagoan mereka naik ke atas
panggung dengan wajah pucat dan tidak bersemangat.
"Pemuda itu benar! Somanggala memang sedang
sakit, jadi wajar saja jika tidak bisa bertarung
dengan baik. Pertarungan ini tidak sah...!" teriak
seorang pendukung Somanggala, membenarkan
ucapan Panji.
Teriakan itu tidak sepenuhnya ingin membela
Somanggala secara tulus, tapi karena takut uang-
nya lenyap. Itu bisa terjadi jika Somanggala tewas di
tangan Garbanaka. Tapi setidaknya, teriakan itu
mengundang simpati orang pada Somanggala.
Panji mengetahui hal itu. Pemuda itu tersenyum
tenang. Apa pun alasan pendukung Somanggala
yang membenarkan ucapannya, tidak menjadi soal.
Yang penting bisa menghentikan pertarungan dan
menyelamatkan Somanggala dari kematian.
"Bohong! Aku tidak percaya kalau Somanggala
kurang sehat! la hanya berpura-pura membenarkan
ucapanmu, takut uangnya lenyap karena kalah
bertaruh! Pertandingan ini sah, dan akan kulanjut-
kan!" bentak Garbanaka dengan suara menggelegar.
Lelaki kekar berjuluk Tendangan Angin Topan itu
tidak mau menerima alasan yang dikemukakan
Panji maupun pendukung Somanggala. Bahkan
kelihatan sudah siap menghabisi nyawa Somanggala
yang. terduduk di belakang Panji. Agaknya Garba-
naka tidak peduli jika pemuda tampan di depannya
menghalangi niatnya.
“Tahan amarahmu, Garbanaka! Kalau niatmu
kau teruskan, aku terpaksa bertindak sedikit ka-
sar...!" cegah Panji seraya mengulurkan tangan,
menghalangi niat Garbanaka.
"Keparat! Rupanya kau minta dilenyapkan lebih
dulu, Bocah Tolol!" geram Garbanaka tidak bisa
dicegah lagi kehendaknya.
Sadar Garbanaka harus dicegah dengan jalan
kekerasan. Panji bergerak mundur beberapa langkah. Maksudnya hendak membawa Somanggala ke
tepi panggung dihentikan, ketika matanya menang-
kap sesosok bayangan hijau bergerak ke atas
panggung dan meluncur turun di dekatnya.
"Biar aku yang mengurus Somanggala, Kakang.
Kau berikan sedikit pelajaran kepada lelaki brewok
itu, agar terbuka matanya dan tidak lagi meman-
dang dirinya orang yang paling pandai..," ujar sosok
ramping terbungkus pakaian hijau, yang tidak lain
Kenanga. Tanpa menunggu jawaban Panji, Kenanga
langsung menyambar tubuh Somanggala, siap
dibawa turun ke bawah panggung.
Tapi penonton yang mendukung Garbanaka
sudah telanjur marah. Melihat seorang gadis siap
melarikan Somanggala, belasan orang yang berada
di bawah panggung melempari dengan batu-batu.
Tentu saja Kenanga yang mendapat serangan dari
segala arah itu menjadi jengkel. Dengan sebelah
tangan, dikibaskannya semua serangan. Dan kibas-
an lengan dara jelita itu dilakukan dengan tenaga
sakti yang amat kuat.
"Hiaaah,..!"
Kibasan lengannya yang mempunyai kekuatan
menggetarkan, berakibat fatal bagi penonton yang
berada di sekitar panggung. Belasan orang yang
berada di barisan depan berteriak kesakitan, ketika
batu-batu itu berbalik menghantam tubuh dan ke-
pala mereka. Kejadian itu membuat suasana yang
sudah ribut semakin bertambah kacau. Apalagi di
antara korban lemparan batu ada yang jatuh
pingsan. Tentu saja kerumunan penonton itu men-
jadi kacau-balau.
Penonton yang.di antaranya tidak sedikit memi-
liki kepandaian, marah melihat kejadian itu. Me-
reka segera berloncatan ke atas panggung. Jelas,
mereka ingin mengeroyok Panji dan Kenanga yang
dianggap telah membuat kerusuhan di tempat itu.
* * *
EMPAT
Melihat belasan penonton yang memiliki ke-
pandaian silat berlompatan ke atas panggung, Panji
segera menggeser tubuhnya mendekati Kenanga.
"Cepat bawa pergi Somanggala dari tempat ini.
Biar aku akan menahan mereka, agar tidak menge-
jarmu...," bisik Panji tanpa mengalihkan pandangan
dari calon lawan-lawannya.
"Mengapa kita harus melarikan diri seperti se-
orang pengecut, Kakang? Aku sanggup merobohkan
mereka...," bantah Kenanga marah melihat orang-
orang yang menurutnya pantas dihajar.
"Kenanga, keadaan Somanggala belum kita
ketahui pasti. Bisa saja kita merobohkan mereka
tanpa mengerahkan banyak tenaga. Tapi bagai-
mana, seandainya Somanggala keburu tewas saat
kita bertarung? Lagi pula kita berada di pihak yang
salah, selama persoalan ini belum jelas. Kita harus
meninggalkan tempat ini secepatnya. Aku khawatir
penonton lain yang jumlahnya ratusan mulai ter-
pengaruh dan beramai-ramai mengeroyok kita.
Daripada orang-orang tidak bersalah menjadi kor-
ban, lebih baik kita pergi...," tegas Panji, berbisik.
Kali ini ditatapnya Kenanga, seolah minta penger-
tian dara jelita itu agar mau bersabar dan melihat
kenyataan.
"Kalau begitu keinginanmu, baiklah, Kakang...,"
sahut Kenanga mengalah dan bersiap meninggal-
kan Panggung Kematian.
"Cegah gadis itu...! Jangan biarkan membawa
Somanggala...!"
Garbanaka yang tidak ingin kehilangan lawan-
nya, segera berseru memerintahkan orang-orang di
bawah panggung agar mencegah kepergian Kena-
nga.
Penonton yang kebanyakan pendukung Garba-
naka, segera mencabut senjata masing-masing un-
tuk menghalangi kepergian Kenanga. Maka, saat
dara jelita itu menjejakkan kaki di bawah panggung,
puluhan orang telah mengepungnya dengan senjata
terhunus.
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manis...? Apa masih
kurang puas dengan satu lelaki, hingga ingin mem-
bawa Somanggala yang tegap dan gagah itu...?" ejek
seorang lelaki bermuka hitam dengan perawakan
tinggi tegap.
Lelaki itu menghadang Kenanga sambil menye-
ringai menampakkan giginya yang kehitaman.
Kenanga yang menangkap maksud kotor di balik
ucapan laki-laki bermuka hitam, menggeram dengan
wajah merah. Sepasang matanya berkilat meman-
carkan api kemarahan yang berkobar di dalam
dadanya. Tanpa banyak bicara, tubuhnya melesat
ke depan seraya melontarkan sebuah pukulan yang
mengarah lambung lelaki itu.
Whuttt..!
Kepalan tangan Kenanga yang halus dan mungil
meluncur cepat disertai sambaran angin menderu.
Lelaki bermuka hitam yang semula memandang
rendah gadis itu terkejut. Cepat dia melompat
mundur, menjauhi serangan lawan.
"Keroyok gadis binal itu...!" teriak lelaki bermuka
hitam, memerintah temannya untuk menyerbu
Kenanga.
"Heaaa...!"
"Haaat...!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan lelaki dengan
senjata terhunus langsung bergerak maju me-
ngeroyok Kenanga. Sehingga Kenanga yang semula
hendak mengejar lawan, terpaksa menarik pulang
serangannya, dan langsung dikibaskan ke kiri sam-
bil membentak nyaring.
"Hiaaah...!"
Whusss!
"Ahhh...?!"
Delapan lelaki yang menerjang Kenanga dari
sebelah kanan, terkejut bukan main. Tubuh mereka
tertolak balik, akibat deruan angin keras yang
berasal dari kibasan lengan dara jelita itu.
"Haiiit..!"
Gerakan Kenanga tidak berhenti sampai di situ
saja. Kibasan lengannya langsung disusul dengan
lesatan tubuh ke arah lawan yang masih belum
memperbaiki kedudukan. Dan melancarkan totok-
an kilat yang menimbulkan suara angin mencicit
tajam.
Terdengar pekik kesakitan susul-menyusul ketika
jari-jari tangan mungil namun mengandung ke-
kuatan hebat itu mengenai sasaran. Delapan orang
pengeroyok terjungkal pingsan. Kejadian yang tidak
disangka-sangka para pengeroyoknya itu, membuat
mereda gentar, dan bergerak mundur tanpa diperin-
tah.
"Goblok! Mengapa kalian takut dengan gadis liar
itu?! Hayo serbu..!" bentak lelaki bermuka hitam,
jengkel melihat yang lainnya bergerak mundur.
Begitu ucapannya selesai, lelaki bermuka hitam
itu langsung melesat ke depan sambil memutar
pedang di tangannya.
"Heaaah...!"
Bettt! Whuuut...!
Kilatan sinar putih terpancar saat pedang di
tangan lelaki bermuka hitam datang mengancam
Kenanga. Melihat dari sambaran angin pedang yang
terdengar cukup kuat, Kenanga sadar lelaki bermuka hitam itu berbeda dengan lawan-lawannya
yang lain. Kenanga tidak mau bertindak ceroboh.
Apalagi harus bertanggung jawab atas keselamatan
Somanggala yang berada di bahu kirinya. Maka saat
serangan pedang lawan datang, dara jelita itu
menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek ke
samping. Kemudian melontarkan tendangan kilat
yang meluncur deras ke lambung lawan.
Zebbb!
Gerakan lelaki bermuka hitam itu cukup lincah
juga. Meskipun tendangan Kenanga datang tak ter-
duga, orang itu masih sempat melempar tubuhnya
ke samping dan bergulingan menjauh. Begitu me-
lenting bangkit, dia langsung membangun serangan
kembali.
Orang-orang yang tadi merasa gentar dengan
sepak teriang dara jelita berpakaian serba hijau itu,
mulai bergerak maju. Sebentar saja, Kenanga kem-
bali harus menghadapi para pengeroyoknya.
***
Di atas panggung Panji pun harus menghadapi
keroyokan banyak lawan. Sebenarnya, pemuda itu
dapat merobohkan lawan dengan pukulan-pukul-
annya yang cepat dan kuat. Tapi karena tidak ingin
melukai lawan, pemuda itu agak sibuk juga meng-
hadapi keroyokan Garbanaka dan kawan-kawannya.
"Haiiit..!"
Garbanaka yang sangat dendam kepada Panji,
selalu mengirim serangan mautnya bertubi-tubi.
Agaknya lelaki kekar berwajah brewok itu ingin
menewaskan lawannya. Serangan-serangannya se-
lalu ditujukan ke jalan darah kematian di tubuh
pemuda itu.
Bettt...!
Lagi-lagi sebuah tusukan jari-jari tangan Gar-
banaka datang mengarah tenggorokan Panji. Sadar
kalau lelaki brewok itu bukan orang baik-baik,
Pendekar Naga Putih menjadi jengkel juga. Saat
tusukan jari-jari tangan yang berisi tenaga dalam itu
meluncur menuju sasaran, Panji memiringkan tu-
buh sedikit, kemudian membalas dengan sebuah
tamparan ke dada lawan.
Whuttt...!
Tindakan Garbanaka rupanya cukup cepat.
Buktinya dapat mengelakkan dorongan telapak ta-
ngan Pendekar Naga Putih dengan menarik mundur
kaki depannya. Bahkan tubuh lelaki kekar itu
langsung berputar mengirimkan sebuah tendangan
kilat ke bawah pusar lawan.
"Keji...!" desis Panji, mulai marah melihat sa-
saran-sasaran serangan Garbanaka.
Cepat Pendekar Naga Putih mengulur tangannya
dengan kuda-kuda serong, melindungi sasaran
tendangan Garbanaka. Begitu serangan lawan da-
tang, Panji menekan lengannya ke bawah.
Dukkk!
"Akh...?!"
Tanpa dapat dihindari lagi, lengan dan kaki me-
reka berbenturan keras. Garbanaka terpekik kesa-
kitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh
terguling-guling. Ketika lelaki kekar itu bergerak
bangkit, kelihatan langkahnya terpincang-pincang.
Wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa sakit
yang dirasakan.
"Haaat...!"
"Heaaa!"
"Hm...."
Panji yang mulai merasa jengkel dengan lawan-
lawannya segera menyilangkan kedua lengannya di
depan dada, saat para pengeroyoknya datang me-
nyerbu. Kemudian....
"Heaaah...!"
Dibarengi bentakan menggelegar, tubuh Pende-
kar Naga Putih melesat di antara sambaran senjata
lawan. Sambil mengelak, sepasang tangannya ber-
gantian melancarkan totokan yang sukar ditangkap
mata. Akibatnya....
"Akh...?!"
"Ahhh...?!"
Satu persatu belasan orang pengeroyoknya
bertumbangan, akibat totokan yang melumpuhkan
tubuh mereka. Bahkan beberapa di antaranya lang-
sung tak sadarkan diri. Karena totokan pemuda itu
demikian kuat menghantam tubuh mereka.
"Gila...?!"
Garbanaka yang menyaksikan kejadian itu, ter-
belalak heran. Meskipun disadarinya kalau pemuda
tampan itu memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi darinya, tapi tidak diduganya sampai demi-
kian hebat Hingga mampu merobohkan lawan-
lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi. Kalau tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, mungkin Garbanaka tidak akan
mempercayainya. Apalagi usia Panji masih muda.
Sukar untuk dipercaya!
Tidak berapa lama kemudian, belasan pengeroyok
itu tidak tersisa lagi. Semuanya bergeletakan dalam
keadaan lumpuh atau pingsan. Tinggal Garbanaka
seorang yang kini telah melolos senjata, dan meng-
genggam erat-erat.
"Hm.... Aku tidak punya permusuhan pribadi
denganmu, Garbanaka. Sebaiknya menyingkirlah,
biarkan aku pergi...," ancam Panji.
Rupanya Pendekar Naga Putih masih enggan
melukai Garbanaka. Panji menganggap lelaki kekar
berwajah brewok itu tidak mempunyai kesalahan
terhadapnya. Jika benar Garbanaka seorang yang
kejam dan licik. Panji tetap tidak mempunyai alasan
kuat untuk menghukumnya. Itu sebabnya, mengapa
Panji masih mencoba mencari jalan damai.
"Semula di antara kita memang tidak ada per-
musuhan, Kisanak. Tapi setelah kau memperma-
lukanku di hadapan orang banyak, dan menghan-
curkan pertarungan yang hampir kumenangkan,
maka di antara kita telah tertanam bibit-bibit per-
musuhan. Jadi jangan harap kau pergi dari tempat
ini dengan nyawa melekat di badan...!" sahut Gar-
banaka semakin bertambah benci pada pemuda di
depannya.
Maka tanpa banyak bicara lagi, lelaki kekar itu
segera melompat disertai kibasan pedangnya.
"Hm..!"
Panji bergumam melihat serangan pedang yang
siap merencah tubuhnya. Kaki kanannya digeser ke
samping sambil merendahkan kuda-kuda, ketika
tebasan pedang Garbanaka meluncur hendak me-
nebas lehernya.
Whuttt..!
Begitu pedang lawan lewat satu jengkal di atas
kepala. Panji mengulurkan lengan menyambar per-
gelangan lawan. Kecepatan geraknya sukar ditang-
kap mata, membuat Garbanaka tak sempat menge-
lak. Dan...
Kreppp!Whuttt!
“Desss...!"
"Aaargh...!"
Kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata,
hingga Garbanaka tidak tahu apa yang telah me-
nimpa dirinya. Tahu-tahu saja tubuhnya terlempar
ke udara dengan dada sesak.
Setelah menangkap pergelangan tangan lawan,
Panji langsung mengirimkan hantaman telapak ta-
ngannya ke dada Garbanaka. Tanpa mempedulikan
keadaan lelaki kekar itu, Pendekar Naga Putih
segera melompat turun dari atas panggung. Kemu-
dian, mengajak Kenanga segera pergi dari tempat
itu.
Kenanga yang melihat Panji tiba-tiba saja berada
di dekatnya, langsung bergerak meninggalkan tem-
pat itu. Para pengeroyoknya yang tinggal beberapa
belas orang, bergerak menyingkir dengan wajah
gentar. Setelah lelaki bermuka hitam roboh di
tangan Kenanga, tidak ada lagi yang berani mence-
gah kepergian mereka membawa Somanggala. Para
pengeroyok itu hanya bisa memandang dengan hati
penasaran dan gentar.
Pariji dan Kenanga yang tidak lagi dihalangi,
terus bergerak meninggalkan tempat itu. Arah yang
mereka tuju bukan Desa Jati Mulya. Melainkan ke
selatan desa yang merupakan daerah perbukitan.
Garbanaka yang menyaksikan kepergian kedua
orang itu, hanya bisa menatap penuh dendam sam-
bil mendekap dada. Jari-jari tangan kanannya di-
kepalkan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara
berkerotokan yang cukup keras.
'Tunggulah pembalasanku, Bocah Keparat! Ja-
ngan sangka tidak ada orang yang bisa mengalah-
kanmu...," geram Garbanaka yang berjanji dalam
hati akan meminta bantuan gurunya.
Tubuh lelaki kekar itu meluncur turun dari atas
panggung, setelah bayangan Panji dan Kenanga
lenyap dari pandangan. Dia hanya mendengus kasar
kepada Ki Jarangka yang sejak tadi bersembunyi.
"Bayaranmu belum bisa kuberikan, Garbanaka.
Somanggala belum sepenuhnya kau kalahkan...,"
ujar Ki Jarangka yang rupanya mengerti arti tatapan Garbanaka, hingga dia langsung mengatakan-
nya.
"Hm...."
Garbanaka menggeram gusar. Tapi tidak berani
berbuat apa-apa. Karena di kiri dan kanan Ki
Jarangka ada empat orang tukang pukul lelaki
gemuk itu. Sadar kalau keempat tukang pukul itu
bukan orang sembarangan, Garbanaka pergi me-
ninggalkan tempat itu setelah berkata dengan nada
mengancam.
"Tunggulah kedatanganku untuk mengambil
uang hasil kemenangan yang kuperoleh tadi...!"
Ki Jarangka hanya tersenyum sinis. Lelaki gemuk
itu agaknya tidak merasa gentar dengan ancaman
Garbanaka. Dipandanginya punggung lelaki kekar
yang berlalu dari hadapannya itu. Kemudian,
mengajak keempat tukang pukulnya pergi dari
tempat itu, setelah bayangan Garbanaka menjauh.
Panggung Kematian berdiri kokoh dengan segala
keangkerannya. Tidak peduli pada orang-orang yang
pergi meninggalkan tempat itu satu persatu. Hingga
tempat itu kembali sunyi, tanpa satu sosok manusia
pun terlihat. Hanya hembusan angin yang bertiup
keras dan pancaran matahari, menemani Panggung
Kematian yang telah banyak meminta korban.
* * *
LIMA
Panji dan Kenanga berlari mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, menuju daerah perbukitan.
Untung daerah itu tidak terlalu gersang, cukup ba-
nyak pepohonan tumbuh di sana. Hingga mereka
bisa mencari tempat berteduh dan terhindar dari
sengatan matahari siang yang terasa menggigit kulit.
"Kita beristirahat di sini saja, Kenanga. Aku ingin
memeriksa keadaan Somanggala. Mudah-mudahan
tidak mengalami luka dalam yang terlalu berat..,"
ujar Panji memperiambat larinya, lalu berhenti.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga memper-
lambat dan menghentikan larinya. Kemudian tubuh
Somanggala yang sejak tadi dipondongnya diserah-
kan kepada kekasihnya. Panji langsung menyam-
butnya, dan merebahkan tubuh Somanggala di atas
sebuah batu yang cukup besar dengan permukaan
datar, sehingga tidak menyakitkan Somanggala.
"Bagaimana, Kakang? Apa yang terjadi dengan-
nya...?" tanya Kenanga tidak sabar.
Saat itu Panji masih memeriksa tubuh Somang-
gala. Dan melakukan totokan di beberapa tempat
yang merupakan jalan darah.
Tidak berapa lama kemudian, Panji mengangkat
kepala disertai helaan napas berat. Sehingga
Kenanga semakin penasaran ingin segera mendapat
jawaban dari kekasihnya.
"Hm.... Ada sejenis racun aneh di dalam tubuh-
nya. Tidak membunuh seketika, tapi melumpuhkan
kekuatannya perlahan-lahan. Itulah sebabnya, me-
ngapa Somanggala kelihatan pucat dan tak ber-
semangat sewaktu bertarung dengan Garbanaka.
Untung tubuhnya terlatih baik, sehingga masih
sanggup bertahan dan mampu menghadapi Gar-
banaka, meskipun hanya beberapa belas jurus. En-
tah apa yang terjadi sebelum hari pertarungan...?"
jelas Panji, yang membuat Kenanga ikut menghela
napas panjang mendengar keterangan kekasihnya.
"Hm.... Mungkinkah Garbanaka berbuat curang
kepada Somanggala, Kakang? Setelah melihat sepak
terjangnya, agaknya Garbanaka termasuk orang
yang menghalalkan segala cara untuk meraih ke-
inginannya. Mungkin saja Garbanaka telah mela-
kukan sesuatu, di luar pengetahuan Somanggala...,"
duga Kenanga, membuat Panji mengangguk-ang-
gukkan kepala.
Pendekar Naga Putih mempunyai dugaan yang
sama dengan Kenanga. Meskipun demikian. Panji
tidak berani langsung memastikan dengan menuduh
Garbanaka. Hanya menurut pikirannya, Garbanaka
patut dicatat sebagai orang pertama yang harus
dicurigai.
"Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Setelah Somanggala siuman dan kesehatannya pulih
kembali, baru kita tanyakan hal itu kepadanya. Aku
pun ingin tahu alasan pemuda itu mengikuti
pertarungan maut Panggung Kematian. Menurutku,
orang-orang gagah seperti Somanggala tidak akan
sudi melakukan pertarungan itu. Lain halnya jika
pertarungan itu memperebutkan kedudukan atau
mencari ketua suatu perkumpulan. Tapi..., yang di-
lakukan Somanggala semata-mata karena bayaran,
dan harus membunuh lawan. Benar-benar sukar
dimengerti...," papar Panji.
"Pasti ada alasan yang kuat, mengapa dia sampai
melakukannya, Kakang," timpal Kenanga.
Kenanga pun tidak setuju dengan peraturan per-
tandingan Panggung Kematian. Dan menurutnya,
Somanggala bukan termasuk orang yang gila harta
dan kehormatan. Pasti ada alasan lain.
"Ya, itu pasti. Hm.... Mudah-mudahan dia mau
menceritakannya kepada kita...," desah Panji penuh
harap.
Rupanya Pendekar Naga Putih ragu kalau So-
manggala akan menceritakan persoalan yang diha-
dapinya kepada mereka berdua. Sikap pemuda itu
tidak lepas dari pengawasan Kenanga, yang mena-
tap kekasihnya dengan heran.
"Kelihatannya kau meragukan kejujuran So-
manggala, Kakang?"
Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu dari bibir
Kenanga. Rupanya rasa ingin tahunya lebih besar
dari keheranannya.
"Tidak. Aku bukan meragukan kejujuran So-
manggala, Kenanga. Tapi aku khawatir kalau dia
tidak mau menceritakan persoalannya kepada kita.
Melihat raut wajah dan pembawaannya, Somang-
gala orang yang tertutup dan lebih suka memendam
persoalan di dalam hatinya. Kalau dugaanku benar,
kita akan menemui kesulitan untuk mengetahui, ba-
gaimana racun aneh itu bisa mengeram di tubuh-
nya? Mesgapa orang pandai sepertinya sampai tidak
mengetahui? Bukankah itu berarti yang meracuni
Somanggala orang yang dekat dengannya, dan
mungkin sangat dipercaya olehnya...," jawab Panji
menjelaskan panjang lebar kekhawatirannya.
Setelah mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga
menjadi bingung. Kalau dugaan kekasihnya benar,
mereka akan menemui kesulitan. Tidak mungkin
mereka akan memaksa Somanggala menceritakan
persoalan yang mungkin sangat pribadi sifatnya.
"Hm.... Memang sulit juga, Kakang...," desah
Kenanga. Pikirannya jadi buntu setelah mendengar
penjelasan Panji
"Jangan putus asa, Kenanga. Apa yang kukata-
kan tadi baru dugaan, belum tentu benar. Untuk
mengetahuinya secara pasti, nanti setelah Somang-
gala siuman dan kesehatannya pulih kembali," ujar
Panji tersenyum melihat tingkah laku kekasihnya.
Mendengar nasihat kekasihnya, Kenanga merasa
sedikit lega. Dara jelita itu melemparkan pandang ke
sekitar daerah itu yang banyak dipenuhi bebatuan.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya membisu,
menunggu Somanggala siuman dan sembuh dari
keracunan.
Biasanya obat yang diberikan Panji sangat
manjur untuk mengobati luka dalam. Racun yang
mengeram di tubuh Somanggala telah dibakar habis
oleh Panji dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi'.
***
"Ouhhh...."
Sosok lelaki tegap berwajah tampan itu meng-
geliat sambil mengeluh perlahan. Kemudian ber-
gerak bangkit dari atas batu besar, tempat
tubuhnya terbaring.
"Tahan...! Jangan banyak bergerak dulu, So-
manggala. Sebaiknya tetap berbaring. Atur napas-
mu. Setelah merasa agak segar, cobalah menge-
rahkan tenaga dalam. Jika semua berjalan baik,
baru kau boleh bangkit dan bersemadi, untuk me-
mulihkan tenagamu kembali...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menekan kedua bahu So-
manggala perlahan-lahan, agar jangan bangkit dulu
sebelum mengikuti petunjuknya.
"Siapa kau...? Dan..., di mana aku? Apa aku
sudah mati, dan ini alam akhirat...?" tanya Soma-
nggala dengan wajah penuh tanda tanya.
Rupanya pemuda tegap berwajah tampan itu
tidak ingat dengan kejadian yang telah menimpa-
nya beberapa saat lalu.
'Tenanglah, Somanggala. Kau masih berada di
dunia nyata. Sebaiknya ikuti saja petunjukku.
Setelah itu, baru kita bicarakan semuanya," ujar
Panji perlahan, namun terdengar jelas di telinga
Somanggala.
Somanggala tidak langsung mengikuti petunjuk
Panji. Matanya menatap ke sekeliling, hingga pan-
dangannya bertumbukan dengan sosok Kenanga
yang berada beberapa langkah di sampingnya. Sepa-
sang mata lelaki itu terbelalak sekejap. Sebelum
bibirnya mengucapkan sesuatu. Kenanga telah ber-
kata lebih dulu.
'Turutilah apa yang dikatakannya, Somanggala.
Percayalah, kami tidak bermaksud mencelakakan-
mu. Kami hanya ingin menolongmu...," ucap Ke-
nanga seraya melangkah dua tindak menghampiri
Somanggala.
Pemuda tegap berwajah tampan itu semakin
heran. Untuk sesaat lamanya, Somanggala terpaku
dengan bermacam tanda tanya di benaknya. Dan
baru mengikuti petunjuk yang diberikan Panji sete-
lah menatap kedua penolongnya bergantian. Kedua-
nya menganggukkan kepala, sebagai isyarat agar
mengikuti petunjuk Panji.
Panji dan Kenanga menghela napas lega melihat
Somanggala kembali rebah dan memejamkan mata.
Setelah Somanggala melakukan semua petunjuk
pemuda itu, Panji dan Kenanga menjauh, menunggu
Somanggala menyelesaikan pemulihan tenaganya.
Tidak berapa lama kemudian, Somanggala selesai
melakukan semua yang diperintahkan kepadanya.
Pemuda itu bangkit perlahan-lahan. Wajahnya me-
nyeringai, merasakan gigitan rasa nyeri di beberapa
bagian tubuhnya, yang terkena pukulan Garbanaka
saat bertarung di atas Panggung Kematian. Meski-
pun demikian, Panji dan Kenanga tidak berusaha
mencegah pemuda itu bangkit dan duduk dengan
sikap semadi.
"Bersemadilah seperti yang biasa kau lakukan
untuk memulihkan tenagamu...," ujar Panji saat So-
manggala menatapnya lekat-lekat.
"Hm..., aku ingat sekarang. Rupanya kau sosok
berjubah putih yang telah menyelamatkan aku.
Katakan, mengapa kau menolongku...?" tanya So-
manggala, tidak sabar.
"Hhh...."
Panji menghela napas perlahan melihat rasa
penasaran yang terpancar dari sepasang mata lelaki
muda itu. Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Naga
Putih kecuali menjelaskan alasan perbuatannya.
"Jadi karena melihat keadaaanku yang tidak
wajar saat bertanding, kalian turun tangan menye-
lamatkanku?"
Somanggala ingin mempertegas penjelasan Panji.
Rupanya pemuda itu tidak menyadari pada saat
bertarung dirinya telah keracunan.
"Begitulah, Somanggala. Sekarang bersemadilah.
Tenagamu belum pulih seluruhnya...," sahut Panji
kembali mengingatkan Somanggala untuk berse-
madi guna memulihkan tenaganya.
Kali ini Somanggala tidak membantah ucapan
Panji. Melihat wajah pasangan pendekar muda itu,
dirinya mulai menaruh kepercayaan pada mereka.
Mulailah Somanggala bersemadi guna memulihkan
kekuatannya.
* * *
"Terima kasih atas pertolongan kalian. Kese-
hatanku sudah pulih seperti semula. Sekarang aku
harus kembali untuk menjenguk kedua orang
tuaku. Maaf, kalau perbuatanku ini kalian anggap
kurang sopan...," ujar Somanggala setelah menye-
lesaikan semadinya.
Mendengar ucapan Somanggala. Panji dan Ke-
nanga saling bertukar pandang sejenak. Lalu ber-
paling ke arah Somanggala yang tengah bersiap
kembali ke Desa Jati Mulya.
"Somanggala...," panggil Panji.
Pendekar Naga Putih tidak ingin pemuda itu pergi
sebelum mengetahui persoalan yang dihadapi
Somanggala. Terutama mengenai keracunan yang
diderita pemuda itu.
"Ada apa, Panji...?" tanya Somanggala menahan
langkah.
Somanggala memanggil pemuda tampan berjubah
putih hanya dengan nama saja. Itu memang per-
mintaan Panji, setelah dia dan Kenanga memper-
kenalkan diri.
"Hm.... Saat mengobati luka-lukamu, aku me-
nemukan sejenis racun pelumpuh tenaga menge-
ram di tubuhmu. Racun itu membuatmu lemah
hingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh la-
wanmu. Kami ingin mengetahui, bagaimana racun
itu bisa mengeram di dalam tubuhmu? Apa kau ti-
dak menyadarinya...?" tanya Panji.
Somanggala tidak segera menjawab pertanyaan
pemuda penolongnya. Otaknya berpikir, seperti
hendak mencari jawabannya.
"Hhh... Sayang aku tidak bisa mengingatnya
dengan baik, Panji. Mungkin racun itu telah berada
di tubuhku sejak aku lahir. Maaf, kalau jawabanku
tidak memuaskan hatimu...," jawab Somanggala,
membuat Panji menghela napas panjang.
"Somanggala...," panggil Kenanga tidak bisa
menahan rasa penasaran di hatinya. "Racun itu
tidak mungkin ada sejak kau lahir. Jika benar de-
mikian, kau sudah tewas sejak belum sempat me-
nikmati dunia lebih lama. Jawabanmu tidak masuk
akal, Somanggala. Kalau kau tidak ingin persoalan-
mu diketahui, masih bisa kumaklumi. Tapi jangan
bohongi kami...."
Dara jelita mengucapkan kata-katanya dengan
agak pedas. Jelas hatinya jengkel mendengar ja-
waban Somanggala, yang menurutnya terlalu meng-
ada-ada sehingga menimbulkan kesan bohong.
"Maafkan aku, Kenanga. Bukan maksudku
membohongi kalian yang telah mempertaruhkan
nyawa untuk menyelamatkanku. Tapi aku memang
tidak tahu. Aku hanya merasa lemas dan semakin
lemas saat bertarung. Hanya itu yang kutahu. Me-
ngenai siapa yang meracuniku, aku tidak tahu.
Maaf, aku harus segera pergi. Sekali lagi, terima
kasih ata pertolongan kalian berdua...," jawab
Somanggala dengan wajah penuh sesal.
Usai berkata demikian, pemuda gagah itu mem-
balikkan tubuh dan bergerak meninggalkan tempat
itu.
Kenanga yang kejengkelannya belum lenyap,
bermaksud mencegah kepergian Somanggala. Tapi
langkahnya terhenti saat merasakan jemari tangan
kekasihnya mencekal pergelangan tangannya.
"Mengapa, Kakang...?" tegur Kenanga dengan
kerung berkerut.
Dara jelita itu merasa penasaran bercampur
heran dengari perbuatan Panji yang mencegahnya
menahan Somanggala.
"Kenanga. Bukankah aku sudah menduganya
sejak semula. Jadi percuma kau memaksanya
untuk bercerieta. Sebaiknya kita biarkan saja, dan
mengikutinya diam-diam. Menurutku dia akan
mencari orang yang telah meracuninya. Dengan
begitu, kita tidak susah-susah mengetahi persoalan
yang dihadapinya. Aku pun ingin mengetahui
alasannya mempertaruhkan nyawa di Panggung
Kematian...," jelas Panji, melenyapkan rasa pena-
saran di hati kekasihnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah
dara jelita itu kembali cerah seperti semula.
"Kakang...," panggil Kenanga perlahan, saat
keduanya tengah melangkah meninggalkan daerah
perbukitan. Kepalanya menoleh sekejap, kemudian
menatap lurus ke depan.
"Hm...."
Panji hanya bergumam perlahan seraya menatap
wajah kekasihnya yang tampak tengah memikirkan
sesuatu.
"Kalau benar Somanggala tidak ingin kita ketahui
persoalannya, untuk apa kita ikut campur? Biarkan
saja dia mengurusi persoalan itu sendiri. Dengan
menyembunyikan persoalannya, bukankah sama
artinya dengan menolak bantuan yang akan kita
berikan? Dari menganggap dirinya paling hebat?
Sudahlah, Kakang. Lupakan saja pemuda sombong
itu. Kita tinggalkan Desa Jati Mulya dan melanjut-
kan perjalanan...," papar Kenanga menatap wajah
kekasihnya iekat-lekat. Ucapannya jelas menggam-
barkan kejengkelan hatinya.
Panji menarik napas panjang, dan menghem-
buskannya perlahan. Ucapan Kenanga membuatnya
berpikir. Kalau Somanggala tidak ingin urusannya
dicampuri, untuk apa mereka bersusah payah me-
nolongnya?
"Kenanga...," ucap Panji setelah terdiam beberapa
saat memikirkan pendapat dara jelita itu.
"Bagaimana, _Kakang...?" sergah Kenanga ingin
segera mendengar pendapat kekasihnya.
"Mungkin Somanggala mempunyai alasan ter-
sendiri, hingga tidak ingin ada orang lain mencam-
puri urusannya. Bisa saja karena dia tidak mau
melihat kita celaka. Jadi menurutku, apa pun yang
tengah dihadapi Somanggala, kita harus bisa meng-
ungkapkannya. Sebagai orang berilmu yang telah
digembleng secara matang oleh guru-guru kita,
ketabahan dan kesabaran merupakan hal penting.
Jangankan menolak secara halus, walaupun dia
mengusir dan memusuhi kita karena mencampuri
urusannya, kita harus tetap sabar. Anggaplah se-
mua itu ujian bagi kita...," jelas Panji mengingatkan
Kenanga mengenai siapa mereka berdua, dan apa
tugas dan kewajiban mereka di dunia.
Mendengar jawaban Panji, Kenanga terdiam. Dara
jelita itu tidak segera menyetujui pendapat kekasih-
nya. Terlebih dulu, dipikirkannya kata-kata yang
merupakan sebuah nasihat bagi dirinya. Setelah
beberapa saat lamanya mereka membisu, Kenanga
mengatakan pendapatnya.
"Maafkan aku, Kakang. Kata-kata Kakang tadi
membuatku sadar. Kita memang harus menahan
sabar menghadapi hal-hal seperti itu. Baiklah, aku
setuju membongkar rahasia diri Somanggala dan
pertarungan di Panggung Kematian yang akan terus
berlangsung meminta korban...," sahut Kenanga
membuat Panji tersenyum.
Pendekar Naga Putih kemudian melingkarkan
tangannya ke bahu Kenanga. Dan keduanya ber-
jalan sambil bergandengan tangan menuju Desa Jati
Mulya.
* * *
ENAM
Somanggala melangkah tenang memasuki mulut
Desa Jati Mulya. Beberapa orang desa yang
kebetulan melihat kemunculannya, langsung me-
nyelinap masuk ke dalam rumah, dan cepat-cepat
menutup pintu rapat-rapat. Seakan sosok pemuda
tegap berwajah tampan itu mengidap penyakit
menular yang sangat berbahaya.
Kelakuan penduduk desa itu tentu saja membuat
Somanggala heran. Dia merasa tidak pernah ber-
buat salah atau menyakiti mereka dengan mengan-
dalkan kepandaiannya. Kepala pemuda itu jadi
dipenuhi berbagai pertanyaan yang berdesakan di
dalam benaknya.
"Aneh?! Apa sebenarnya yang sudah terjadi de-
nganku? Mengapa mereka ketakutan melihatku...?"
desis Somanggala.
Pemuda itu kian gelisah melihat jalan yang se-
mula cukup ramai, mendadak sepi. Langkahnya jadi
ragu menyusuri jalan utama desa yang kini tampak
lengang.
Somanggala mencoba mengusir semua kegun-
dahan di hati. Tiba-tiba saja, perasaannya was-was
saat teringat kedua orangtuanya. Berbagai dugaan
muncul di kepalanya. Cepat-cepat tubuhnya melesat
mengerahkan seluruh ilmu larinya ketika kece-
masan semakin keras melecut harinya.
Bagai anak panah yang lepas dari busur, tubuh
Somanggala meluncur membelah jalan desa. Dan
jarinya berhenti mendadak saat tiba di halaman
rumahnya. Hati pemuda itu berdebar tegang, ketika
merasakan kesunyian aneh menyelimuti rumah
sederhana yang dibangun dengan cucuran darah-
nya.
"Ayah...! Ibu...!"
Sambil melesat ke dalam rumah, Somanggala
berseru memanggil kedua orangtuanya. Hatinya
semakin tidak karuan melihat ruang tengah sepi.
Kecurigaannya semakin besar. Pada tengah hari
menjelang sore seperti ini, ayahnya biasa duduk di
ruang tengah sambil menghisap pipa tembakau.
Tapi pemuda itu tidak mendapatkan ayahnya di
tempat ini. Kenyataan itu membuat hati Somanggala
semakin kalang-kabut
Somanggala berlari ke kamar orangtuanya. Dan
langsung berteriak seolah sudah mencium petaka
yang menimpa keluarganya. Dan..., ketika kaki
Somanggala menjejak kamar tidur mereka, mata
pemuda itu terbelalak seperti hendak melompat ke
luar!
"Ahhh...?!"
Somanggala menahan jeritan yang meluncur dari
mulutnya. Kaki pemuda itu mendadak gemetar me-
nyaksikan pemandangan yang terpampang di depan
mata. Napasnya memburu bagai kerbau liar yang
mengamuk
"Ayah..., Ibu.... Mengapa..., siapa yang mela-
kukan perbuatan biadab ini...?" desis Somanggala
sambil melangkah dengan kaki gemetar, memasuki
kamar.
Pemuda tegap berwajah tampan itu jatuh ber-
telekan kedua lututnya, persis di bawah tubuh ke-
dua orangtuanya yang tewas dengan lidah terjulur
dan mata mendelik ke luar. Ayah dan ibu Somang-
gala tewas seperti orang yang sengaja menggantung
diri.
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakan-
nya saat itu. Yang jelas, hatinya sangat terpukul
menyaksikan kematian orangtuanya dengan cara
menyakitkan untuk dipandang. Untuk beberapa sa-
at lamanya, pemuda itu tidak mampu berkata-kata.
Dia hanya bisa menatap mayat kedua orangtuanya
dengan mata basah.
Cukup lama Somanggala terdiam seperti patung
batu. Setelah kesadarannya pulih, pemuda itu
berdiri dan menurunkan mayat orang tuanya, lalu
merebahkannya di atas pembaringan. Telapak ta-
ngannya disapukan ke wajah kedua orang yang
sangat dicintainya. Somanggala tidak ingin kedua
orangtuanya meninggal dunia dengan penasaran.
Setelah mengangkat telapak tangannya, mata me-
reka dapat terpejam, sebagaimana layaknya orang
meninggal secara damai.
"Hm.... Kalau kedua orangtuaku terbunuh, pasti
tetanggaku melihat siapa orang yang datang ke
rumah ini...!" desis Somanggala dengan mata liar
penuh dendam.
Pemuda itu melesat ke luar, mendatangi rumah
tetangga yang terpisah beberapa belas tombak dari
rumahnya.
Tapi yang ditemukan Somanggala makin mem-
buat hatinya penasaran. Tetangga terdekatnya ter-
nyata tidak berada di rumah. Ketika mendapati ru-
mah itu kosong, hampir saja dia mengamuk dan
merobohkan rumah itu. Untung segera teringat
bahwa tetangganya telah pergi dua hari yang lalu.
Mereka sekeluarga menjenguk saudaranya yang
tertimpa musibah di desa lain, yang letaknya cukup
jauh dari Desa Jati Mulya. Ingatan itu membuat So-
manggala menunda kemarahan yang membakar
dada.
"Keparat! Buntu sudah jalanku! Entah bagaimana
aku dapat menemukan orang yang telah memaksa
orangtuaku menggantung diri!" geram Somanggala
sambil menghantamkan kepalannya pada sebatang
pohon besar tempat tubuhnya bersandar.
Dengan langkah gontai, Somanggala pulang ke
rumahnya. Pemuda gagah itu duduk dengan wajah
murung di depan mayat orangtuanya. Pikirannya
dibiarkan menerawang ke masa silam, saat orang-
tua yang dicintainya masih hidup. Tanpa sadar,
pikiran itu membawa Somanggala pada saat per-
tama kali mengikuti pertandingan Panggung Kema-
tian. Ingatan itu membuatnya tersentak bangkit
bagai disengat kalajengking.
"Ki Jarangka...! Yah, orang tua gendut yang
tamak itu pasti tahu tentang kematian orangtuaku!
Hm.... Aku harus minta penjelasan darinya...!"
geram Somanggala seraya mengepalkan tangannya
kuat-kuat dengan gigi gemeretuk menahan dendam.
Sesaat kemudian tubuh pemuda itu melesat ke
luar, menuju tempat kediaman Ki Jarangka yang
letaknya di ujung Desa Jati Mulya.
***
"Hei, mau ke mana kau...?!"
Dua orang penjaga yang berada di gerbang depan
membentak sambil melesat menghadapi jalan. Saat
itu mereka melihat sesosok bayangan bergerak cepat
memasuki pekarangan rumah besar yang kokoh dan
dikelilingi tembok bata
"Eh...?! Bukankah dia si Jagoan Panggung yang
tadi pagi hampir tewas di tangan Garbanaka...?" se-
ru penjaga ketika sosok tegap itu berhenti beberapa
langkah di depan keduanya.
"Hai, benar...!" seru penjaga bertubuh tinggi
kurus dengan mata menjorok ke dalam.
Melihat senyum sinis yang selalu menghias
wajahnya, lelaki tinggi kurus itu mempunyai sifat
tinggi hati, dan memandang rendah orang lain. Be-
gitu pun terhadap Somanggala. Senyum sinisnya
tersungging, menyiratkan ejekan. Lelaki itu tidak
merasa gentar pada Somanggala, meskipun pemuda
itu telah banyak menewaskan lawan di panggung
pertandingan.
"Aku memang Somanggala. Kedatanganku kemari
mencari Ki Jarangka! Tolong beri tahu kedatangan-
ku padanya...," ujar Somanggala seraya menatap
wajah kedua penjaga dengan mata berapi.
"Hm.... Setelah kejadian di panggung tadi pagi,
tidak kusangka kau berani menemui Tuan Besar,
apa kau tidak sadar kalau Tuan Besar menderita
kerugian pada pertarungan tadi pagi? Manusia tidak
tahu malu...!" maki penjaga tinggi kurus itu sambil
menudingkan jarinya ke wajah Somanggala yang
langsung memerah seperti kepiting rebus.
"Banyak omong! Katakan di mana Tuan Besarmu
sekarang? Atau !alian ingin merasakan kerasnya
kepalanku...?!" bentak Somanggala tidak lagi menge-
nal kata sungkan dann gentar, meskipun harus
menghadapi Ki Jarangka yang secara tidak langsung
majikannya.
"Kurang ajar! Berani kau mengancam kami!
Rupanya kau harus diajar adat agar bisa bersikap
lebih sopan di tempat ini...!" bentak lelaki tinggi
kurus tidak mau kalah gertak.
Begitu ucapannya selesai, kepalan tangannya
segera dilontarkan ke kepala Somanggala.
Wuttt!
Somanggala hanya memiringkan kepala sedikit.
Begitu serangan lawan lewat di samping telinga, pe-
muda itu mengirimkan tusukan jari-jari tangannya
ke iga lawan. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu ter-
kejut, dan cepat merendahkan tubuh dengan meng-
geser kaki kanannya. Sayang Somanggala hanya
melakukan serangan pancingan. Sebelum lawan
menyadarinya, mendadak pemuda itu menarik ta-
ngannya. Kemudian memutar tubuh disusul sebuah
tebasan miring.
Desss...!
"Hugkh...!"
Tubuh lelaki tinggi kurus yang banyak lagak itu
tersungkur mencium tanah, ketika telapak tangan
miring Somanggala menghajar belakang lehernya.
Belum sempat lawannya bangkit, telapak kaki
Somanggala telah menjejak punggung lawan yang
langsung muntah darah dan pingsan seketika.
"Huh! Kukira kepandaianmu sebesar mulutmu!
Tak tahunya hanya gentong kosong...!" desis So-
manggala, kemudian berpaling pada penjaga yang
lain.
Sraaat!
Sinar putih menyilaukan mata berkilau seiring
dengan suara gemerincing senjata Rupanya penjaga
bertubuh sedang dan berkumis lebat telah me-
loloskan pedangnya, ketika melihat rekannya dapat
dirobohkan dengan mudah oleh Somanggala.
"Lebih baik kau menyingkir! Aku tidak punya
urusan denganmu! Katakan kepada Ki Jarangka,
aku datang untuk membuat perhitungan dengan-
nya...!" bentak Somanggala seraya menatap tajam
penjaga pintu gerbang itu.
Penjaga berkumis lebat itu agaknya lebih takut
pada majikannya daripada menghadapi Somanggala.
Lelaki Itu menggeser langkahnya ke samping sambil
mengkelebatkan pedang. Kemudian bersiul nyaring,
sebagai isyarat kepada kawan-kawannya yang lain.
"Setan! Rupanya kau sudah bosan hidup lebih
lama di dunia...!" geram Somanggala jengkel melihat
kebandelan penjaga itu.
Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu
melesat ke depan dengan tamparan yang menim-
bulkan deruan angin tajam.
Penjaga berkumis lebat tidak mau tinggal diam
menanti serangan lawan. Pedangnya langsung ber-
gerak melingkar menyambut tamparan Somanggala.
"Bagus...!" puji Somanggala ketika melihat cara
penjaga itu menyambut tamparannya. Cepat ta-
ngannya ditarik pulang, disusul sebuah tendangan
kilat secara berputar!
Plakkk!
Terdengar benturan cukup nyaring saat per-
gelangan kaki belakang Somanggala beradu dengan
telapak tangan lawan. Penjaga berkumis lebat itu
masih sempat menyusuli tangkisannya dengan
tebasan pedang yang mengancam lambung So-
manggala.
Lagi-lagi Somanggala memuji tindakan lawan
yang cukup cekatan. Pemuda tegap itu melompat ke
samping semakin mendekati lawan. Sehingga
tebasan pedang lawan mengenai tempat kosong, dan
gerakan pemuda itu membuat lawannya gugup.
Kenyataan ini tidak disia-siakan Somanggala, yang
segera menyarangkan pukulan telak ke iga lawan!
Bukkkl
"Huakkkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lawan langsung ter-
jungkal ke belakang. Cepat Somanggala bergerak
mengejar untuk menyusuli serangan. Namun, pe-
muda itu segera menunda pukulannya saat mende-
ngar suara berdesingan yang datang mengancam
tubuh.
Singgg, singgg...!
"Haiiit...!"
Somanggala sekilas melihat datangnya empat
batang benda berkilau. Pemuda itu langsung mem
bentak sambil menjejak tanah kuat-kuat. Saat itu
juga tubuhnya melambung setinggi satu tombak le-
bih. Dengan sebuah putaran manis, sepasang ta-
ngannya bergerak menangkap dua di antara benda
berkilau yang nyaris merenggut nyawanya.
"Bedebah licik...!" maki Somanggala sambil
melontarkan kembali benda berkilau yang ternyata
pisau terbang.
Suttt! Suttt!
Dua bilah pisau terbang yang dikembalikan So-
manggala bergerak cepat, diiringi suara bercuitan
yang menyakitkan telinga. Terdengar jerit kematian
ketika dua senjata yang dikembalikan Somanggala,
tepat menancap di dada dan tenggorokan dua orang
lawan yang baru tiba di tempat itu. Tanpa ampun
lagi, tubuh kedua orang malang itu ambruk dengan
nyawa melayang.
Somanggala belum bisa menarik napas lega. Pada
saat itu, dua sosok tubuh berkelebat ke arahnya,
disertai suara desingan yang berasal dari senjata-
senjata penyerangnya.
"Yeaaah...!"
Dengan sebuah bentakan nyaring, tubuh So-
manggala kembali berputar di udara. Namun an-
caman kedua mata pedang lawan masih menge-
jarnya. Somanggala kembali melompat ke belakang
untuk menyelamatkan diri dari kematian.
Srattt!
Menyadari kedua lawan yang harus dihadapi
bukan orang-orang sembarangan, Somanggala me-
loloskan pedang di pinggangnya. Kemudian memu-
tar di depan tubuhnya dengan kekuatan tenaga
dalam yang menggetarkan!
Whuttt.... Whuttt...!
Kilauan sinar putih berpendar diiringi suara
mengaung tajam, pertanda kekuatan yang dikerah-
kan Somanggala tidak bisa dipandang remeh.
"Hm.... Majulah kalian. Anjing-anjing Jarang-
ka...! Aku akan mengirim kalian ke neraka, untuk
menebus nyawa kedua orangtuaku yang telah kalian
bunuh...!" desis Somanggala dengan wajah gelap
dan sepasang mata mencorong tajam.
"Keparat! Setelah menjadi pecundang di tangan
Garbanaka, rupanya otakmu jadi miring, Somang-
gala! Kalau begitu, biarlah kami yang akan menye-
lesaikan pekerjaan Garbanaka pagi tadi..," sahut
seorang dari dua lawan Somanggala.
"Haaat...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada Somanggala
untuk mempersiapkan jurus-jurusnya, kedua orang
itu menerjang maju dengan serangan-serangan
hebat dan menimbulkan deruan angin tajam.
"Hm...!"
Somanggala menggeram melihat kehebatan sera-
ngan kedua orang lawannya. Pedang di tangannya
bergerak ke kiri kanan dengan menyilang. Begitu
serangan seorang lawannya datang, pemuda ber-
tubuh tegap itu mendoyongkan kaki kanannya
dengan kuda-kuda serong.
Syuuut...!
Ujung pedang lawan meluncur deras lewat di sisi
tubuh Somanggala. Saat itu juga, Somanggala
mengirimkan sebuah tendangan kilat dengan ujung
sepatunya, mengarah ulu hati lawan. Gerakan
pemuda itu amat cepat dan kuat, membuat lawan
agak gugup.
"Setan...!"
Lelaki bertubuh kekar yang sebelah matanya
cacat, mengumpat jengkel sambil menarik mundur
tubuhnya. Sayangnya tendangan Somanggala hanya
sebuah pancingan, untuk melihat apa yang dilaku-
kan lawan. Maka begitu melihat lawannya bergerak
mundur, Somanggala menarik lututnya dan men-
jejakkan kakinya ke depan sambil mengibaskan
pedangnya dengan gerakan mendatar.
Trahggg!
Untunglah lawannya yang seorang lagi keburu
datang menyelamatkan kawannya, dengan cara
memapak pedang Somanggala. Kalau tidak, mung-
kin mata pedang pemuda tegap itu telah merobek
perut lawan. Meskipun demikian, karena tenaga
serangan yang digunakan Somanggala sangat kuat,
maka lawan yang membenturkan pedangnya pun
terhuyung ke belakang sejauh satu tombak. Sedang
Somanggala terjajar dua langkah ke belakang. Ke-
nyataan Itu membuktikan kalau tenaga dalam So-
manggala masih berada di atas lawan-lawannya.
"Hmhhh...!"
Somanggala menggeram dengan wajah gusar.
Pedang kembali berputar menimbulkan gulungan
sinar putih yang mengaung-ngaung menulikan teli-
nga.
"Haaat...!"
Dengan sebuah teriakan menggeledek, tubuh
Somanggala melesat ke depan laksana sambaran
kilat. Pedang di tangannya masih berputaran tanpa
terlihat bentuk aslinya. Serangan yang dilancarkan
Somanggala sangat hebat dan mengejutkan hati
lawan-lawannya.
Namun kedua orang itu rupanya memiliki sebuah
ilmu pedang gabungan. Dapat diketahui dari cara
mereka bergerak, satu di depan dengan kedudukan
rendah, dan yang lain berdiri tegak dengan mata
pedang menuding langit. Kemudian mereka bergerak
susul-menyusul menyambut datangnya serangan
Somanggala.
"Yeaaat..!"
Sebentar saja ketiga lelaki itu terlibat dalam
pertarungan yang sengit dan mendebarkan! Terka-
dang teriakan-teriakan mereka diselingi suara ber-
dentingan dan pijaran bunga api yang menyilaukan
mata. Sehingga, di arena pertarungan kelihatan
seperti sedang terjadi pesta kembang api
Somanggala sangat terkejut dan harus mengakui
kehebatan ilmu pedang lawan. Berkali-kali pemuda
tegap itu mencoba menerobos pertahanan lawan
dengan serangan-serangan gencar. Tapi setiap kali
itu pula pedangnya terpental balik, seperti meng-
hantam dinding baja yang kokoh dan kenyal.
Kenyataan itu membuat hati Somanggala semakin
penasaran.
Dan kedua lawannya benar-benar tidak ingin
memberi kesempatan Somanggala untuk berpikir.
Setiap kali pemuda tegap itu mengendurkan se-
rangan, maka akan dihujani serangan gencar oleh
pengeroyoknya. Sehingga Somanggala harus benar-
benar sigap menghadapi serangan-serangan lawan.
"Haiiit...!"
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat
puluh tiga, mendadak kedua lawannya memekik
susul-menyusul. Lalu, tubuh mereka mencelat ke
depan. Satu menyerang dari atas, sedang yang
satunya menyerang dengan cara bergulingan di
tanah. Benar-benar sebuah serangan hebat dan
sangat berbahaya!
Dengan sekuat tenaga, Somanggala berusaha ke-
ras menghalau serangan lawan. Pedangnya diputar
sedemikian rupa membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi meskipun
begitu, Somanggala tetap tak mampu melindungi
diri dari sengatan ujung pedang lawan.
Whuuut...
crasss...
brettt...!
"Aaakh...!"
Somanggala memekik kesakitan saat pangkal
lengan serta pahanya tersayat pedang lawan. Tubuh
pemuda tegap itu terhuyung mundur. Darah segar
langsung keluar dari lukanya.
"Haaat...!"
Kedua lawannya kembali menerjang ganas.
Agaknya mereka ingin melenyapkan pemuda itu
secepat mungkin. Maka meluncurlah kedua mata
pedang yang membawa hawa maut, mengancam
tubuh Somanggala!
* * *
TUJUH
Menyadari dirinya terancam bahaya maut, So-
manggala mengerahkan seluruh sisa kekuatannya
untuk menyelamatkan diri. Pedang di tangannya
kembali mengaung dengan gerak melingkar-lingkar.
Dan...
Tranggg! Tranggg!
"Uhhh...!"
Meskipun dua kali Somanggala berhasil mema-
tahkan serangan pengeroyoknya, namun karena
keadaannya lemah, benturan itu membuat tubuh-
nya terjajar limbung. Kedua lawannya yang terjajar
mundur beberapa langkah, tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. Secepat kilat keduanya me-
lesat seiring dengan babatan senjata mereka.
"Aaah...!"
Somanggala terpekik ngeri melihat dua batang
pedang meluncur mengancam leher dan perutnya.
Lengannya yang masih terasa ngilu akibat bentu-
ran tadi, membuat gerakan pedangnya bertambah
lemah dan lamban. Kendati demikian Somanggala
berusaha menyelamatkan nyawanya dari incaran
pedang lawan-lawannya.
Brettt! Crattt!
"Aaa...!"
Untuk kesekian kalinya Somanggala menjerit
kesakitan. Tubuh tegap itu terjajar limbung. Darah
kembali mengalir dari luka memanjang di dada dan
perutnya. Rupanya pemuda itu masih sempat
menghindar dari ancaman yang mematikan, mes-
kipun harus mendapat tambahan luka di tubuh-
nya.
"Hm...! Keparat ini ternyata benar-benar alot...!"
geram lelaki bermata cacat.
"Tapi kali ini tidak akan bisa menghindar lagi,
Kakang Duwarsa...," sahut pengeroyok yang lain.
Orang itu sama tinggi dan kekarnya dengan
Duwarsa. Wajahnya pun terhias brewok lebat.
Hanya kedua matanya masih sempurna, tidak
seperti Duwarsa yang picak sebelah kanan,
Somanggala berusaha berdiri tegak, dan menatap
kedua pengeroyoknya dengan penuh kebencian.
Meskipun keadaannya sangat lemah, dan berdiri
pun tidak kokoh, tapi Somanggala tetap ingin me-
lakukan perlawanan sampai titik darah terakhir.
Saat itu kedua lawannya kembali menerjang
maju. Somanggala hanya berdiri menunggu dengan
pedang di tangan. Pemuda itu rupanya bertekad
mengadu nyawa! Dan sebisa mungkin membawa
salah satu lawannya, walaupun untuk itu dia harus
tewas. Maka pada saat serangan lawan semakin de-
kat, Somanggala mengangkat pedangnya untuk
menerjang, bukan menyambut tebasan pedang la-
wan.
Kedua pengeroyok itu agaknya dapat membaca
pikiran Somanggala. Kelihatan keduanya semakin
mempercepat gerakan. Perbuatan itu membuat
harapan Somanggala untuk mengadu nyawa dengan
lawan, tidak mungkin terwujud. Sebab lawan
merubah permainan yang kecepatannya tidak bisa
diikuti mata Somanggala yang mulai kabur. Akibat-
nya....
"Yeaaah...!"
"Heaaah...!"
Seiring dengan bentakan-bentakan parau, kedua
bilah pedang lawan meluncur datang. Kali ini
Somanggala tidak mungkin dapat menghindar dari
kematian!
Whuttt! Bettt!
Saat kedua batang pedang siap merenggut nya-
wanya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih
memapaki luncuran pedang. Sehingga....
Plak! Plak!
"Akh...!"
"Ughhh...!"
Akibatnya benar-benar mengejutkan! Tubuh Du-
warsa dan kawannya terpental balik bagai tersapu
badai hebat. Keduanya jatuh berguling-guling
sejauh dua tombak lebih. Dan pedang mereka ter-
pental entah ke mana.
"Bedebah...!" maki Duwarsa segera bergerak
bangkit dengan wajah menyeringai.
Lelaki bermata picak itu memijit-mijit lengan
kanannya yang sakit bukan main.
"Setan alas...!" umpat yang seorang lagi, juga
mengalami hal yang serupa dengan Duwarsa.
Sosok bayangan putih yang menyelamatkan
Somanggala, tidak mempedulikan kedua orang itu.
Dan membalikkan tubuhnya menghampiri Somang-
gala. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna
putih salju.
"Kau...?!" desis Somanggala setelah mengenal
penolongnya. "Mengapa kau menolongku lagi...?"
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling to-
long-menolong, Somanggala. Apalagi kau sedang
dalam kesulitan. Jadi tidak ada salahnya aku me-
nolongmu...," sahut sosok berjubah putih yang tidak
lain Panji, seraya memberikan obat luka dalam
kepada Somanggala.
"Benar yang dikatakan Kakang Panji, Somang-
gala. Meskipun kau tidak menyukai campur tangan
kami, tapi sebagai orang gagah, kami berkewajiban
menolong orang yang teraniaya."
Tiba-tiba terdengar suara lain, membuat Somang-
gala menoleh mencarinya.
"Kenanga...?!" seru Somanggala ketika melihat
sosok dara jelita berpakaian serba hijau tengah me-
langkah menghampiri mereka.
"Dirimu dikelilingi banyak rahasia yang membuat
kami penasaran, Somanggala. Itu sebabnya menga-
pa kami mengikutimu. Menurut kami, kau membu-
tuhkan pertolongan...," timpal Panji, dengan senyum
penuh persahabatan.
"Kalian tidak marah ketika aku menolak men-
ceritakan persoalan yang tengah kuhadapi...?" tanya
Somanggala seolah tak percaya dalam dunia yang
menurutnya sangat keras dan kejam, ternyata
masih ada orang yang peduli dengan nasibnya.
Sepanjang pengetahuannya, setiap pertolongan
mempunyai pamrih tersembunyi. Tapi melihat keju-
juran pasangan pendekar muda itu, Somanggala
yakin pertolongan yang diberikan kepadanya sangat
tulus, tanpa maksud-maksud lain di belakangnya.
Panji dan Kenanga menggeleng perlahan dengan
bibir tersenyum. Sehingga hati pemuda tegap yang
hidupnya selalu bergelimang kekerasan itu terharu.
Tanpa banyak bicara lagi, diambilnya pil berwarna
putih salju yang diulurkan Panji. Somanggala tahu
obat pemuda tampan berjubah putih itu sangat
manjur untuk menyembuhkan luka dalam yang
dideritanya. Tanpa ragu-ragu lagi, obat itu langsung
ditelannya.
"Hm..,. Hendak pergi ke mana kalian, Pengacau-
pengacau Tengik?!" bentak Duwarsa segera meme-
rintahkan kawan-kawannya untuk mengepung.
Panji yang memapah tubuh Somanggala, dan
Kenanga yang berjalan di belakang mereka, ber-
henti. Pemuda tampan berjubah putih itu menatap
Duwarsa yang diduga pimpinan tukang pukul Ki
Jarangka.
"Kalau kau ingin menolongku, bawalah aku me-
nemui Ki Jarangka, pemilik rumah besar ini. Mereka
telah membunuh kedua orangtuaku secara biadab,"
bisik Somanggala kepada Panji, saat teringat mak-
sud kedatangannya ke tempat itu.
"Kau yakin kaiau Ki Jarangka yang telah mem-
bunuh kedua orangtuamu...?" tegas Panji,
Pendekar Naga Putih tidak terkejut mendengar
kematian orangtua Somanggala. Sejak semula dia
sudah menduga kalau pemuda tegap berwajah tam-
pan itu tengah menghadapi kesulitan besar.
"Aku yakin, Panji. Karena sejak aku terjun dalam
pertarungan di Panggung Kematian, tidak ada pi-
lihan lain bagiku. Sudah telanjur kata Ki Jarangka.
Aku harus terus bertarung jika tidak ingin melihat
kedua orangtuaku celaka," jelas Somanggala mem-
buka persoalan yang selama ini disimpannya.
"Lalu kau menyerah diperas Ki Jarangka,..?"
tanya Panji belum bisa menerima penjelasan So-
manggala.
Pendekar Naga Putih melihat pemuda itu me-
miliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga
sulit dipercaya kalau orang seperti Somanggala ta-
kut pada ancaman.
"Tidak ada pilihan lain, Panji. Ki Jarangka mem-
punyai jagoan-jagoan tangguh. Selain itu aku tidak
ingin membuat kedua orangtuaku yang sepanjang
hidupnya miskin, bertambah susah. Aku melihat
sebuah harapan lain dengan cara mempertaruhkan
nyawa di atas panggung. Dari sana aku bisa
mendapatkan banyak uang untuk membahagiakan
kedua orangtuaku. Itu sebabnya, mengapa aku
mengikuti pertandingan-pertandingan yang dise-
lenggarakan Ki Jarangka...," jelas Somanggala dengan panjang lebar. Sehingga, Panji mulai me-
mahami persoalan yang sedang dihadapinya.
"Hm.... Tapi meskipun demikian, kita tidak bisa
melemparkan tuduhan kepada Ki Jarangka. Harus
diselidiki dulu kebenarannya. Apa kau mempunyai
saksi yang melihat kejadian itu...?" tanya Panji de-
ngan hati-hati.
"Aku yakin orang-orang Ki Jarangka yang me-
lakukannya. Karena pertandingan pagi tadi telah
membuatnya menderita kerugian yang tidak sedikit.
Dan orang-orang tidak akan percaya lagi, bila Ki
Jarangka melaksanakan pertandingan lain di pang-
gung. Dia menimpakan kesalahan itu kepadaku. Itu
sebabnya kedua orangtuaku dibunuh, sebagai tanda
ancamannya dahulu tidak main-main...," jawab
Somanggala, membuat Panji mengangguk-angguk-
kan kepala.
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan membawamu
menemui Ki Jarangka," sahut Panji pasti.
"Tapi.... Aku harap kau berhati-hati. Panji. Manu-
sia tamak itu sangat licik dan penuh tipu muslihat.
Belum lagi dua tukang pukul lainnya yang lebih
lihai dari kedua lawanku tadi...," ujar Somanggala.
Pemuda itu agaknya belum yakin akan kepan-
daian Panji maupun Kenanga. Kecuali ilmu pengo-
batannya yang telah dirasakan sangat manjur.
Kalau soal kepandaian, Somanggala masih meragu-
kannya. Apalagi usia Panji jauh lebih muda darinya.
Panji hanya mengangguk perlahan seraya ter-
senyum. Pendekar Naga Putih menyadari kekha-
watiran Somanggala. Karena meskipun telah dua
kali menolongnya, tapi Somanggala tidak melihat
secara jelas. Panji maklum akan perasaan pemuda
itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih
membalikkan tubuhnya dan bergerak memasuki
bangunan induk setelah memberi isyarat pada Ke-
nanga. Dara jelita itu segera mengikuti tanpa ba-
nyak tanya lagi. Sebab Kenanga sempat mendengar
pembicaraan Panji dan Somanggala.
"Hei...?!"
Duwarsa yang melihat ketiga orang itu berbalik
dan memasuki bangunan, menjadi terkejut. Sambil
berteriak, lelaki kekar bermata picak itu mengejar.
Diambilnya sebatang pedang dari seorang kawan-
nya, kemudian melompat menghadang jalan masuk
ketiga tamu tak diundang itu.
***
Panji menghentikan langkahnya melihat Duwarsa
dan kawan-kawannya bergerak mengepung. Sehing-
ga ketiga orang gagah itu berada dalam lingkaran
kepungan belasan orang lawan.
"Hm.... Katakan kepada majikanmu kami datang
hendak menemuinya...!" perintah Panji kepada lelaki
kekar bermata picak itu seraya menentang pandang
Duwarsa yang melotot marah.
"Tidak bisa! Majikan kami tidak berada di tempat!
Lagi pula kau telah bertindak lancang mencampuri
urusan ini, Bocah! Untuk itu kau patut diberi ha-
jaran seperti Somanggala!" sahut Duwarsa dengan
wajah berang.
Setelah berkata demikian, Duwarsa bergerak
maju dari depan, diiringi empat tukang pukul lain-
nya. Kemudian, pedangnya disilangkan di depan
dada, dengan sikap jumawa.
"Julantara, jangan biarkan mereka lolos...!" lanjut
Duwarsa kepada lelaki brewok kekar yang lain.
Lelaki kekar berwajah brewok yang dipanggil
Julantara, bergerak dari belakang bersama empat
orang di kanan kirinya. Sedang yang lain bergerak
dari samping kiri dan kanan Panji. Para pengeroyok
itu bergerak serentak, siap melumatkan tubuh
ketiga pendekar itu.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan melihat pengepungnya
mulai bergerak. Pemuda itu menoleh ke arah
Somanggala yang masih dipapahnya.
"Kau sudah dapat memulihkan tenagamu, So-
manggala?" tanya Panji perlahan.
"Jangan khawatir. Panji. Kalau hanya mengha-
dapi cecunguk-cecunguk itu selain Duwarsa dan Ju-
lantara, aku masih sanggup...," sahut Somanggala
dan melepaskan lengannya dari bahu Panji.
Kemudian pemuda tegap itu menarik napas
panjang-panjang. Seolah dengan berbuat demikian,
Somanggala berharap dapat mengembalikan keku-
atannya.
Panji tersenyum melihat semangat Somanggala
yang besar. Pemuda tampan itu menoleh ke arah
Kenanga dan menganggukkan kepala sebagai tanda
mengizinkan kekasihnya untuk bertindak. Kenanga
tersenyum melihat anggukan kepala kekasihnya.
Langsung saja dara jelita itu membalikkan tubuh
menghadapi pengeroyok yang berada di kirinya.
"Serbuuu...!"
Duwarsa yang kelihatan tidak sabar lagi, segera
memberikan perintah. Tubuhnya segera melompat
menerjang Panji yang dianggap telah mengacaukan
pekerjaannya yang hampir tuntas barusan. Ke-
marahan dan kebenciannya ditumpahkan melalui
serangan-serangan pedang yang ganas dan ber-
bahaya.
Empat tukang pukul di kiri dan kanan Duwarsa
pun tidak tinggal diam. Mereka ikut menyertai lelaki
kekar bermata picak itu untuk mencincang tubuh
Panji.
Dan Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak,
menanti datangnya serangan lima orang penge-
royoknya. Gerakan lawan baginya terlalu lamban.
Hingga pemuda itu tidak perlu segera menghindar-
kan diri. Tubuhnya baru mengelak saat pedang di
tangan Duwarsa tinggal setengah jengkal dari sasar-
an.
Whuttt..!
Tusukan pedang Duwarsa luput dari sasaran.
Panji melompat ke samping kanan, menghindari dua
batang pedang yang mengancam tubuhnya. Sepa-
sang tangannya dikembangkan untuk memapaki
sambaran dua batang pedang lain yang menyambut
tubuhnya.
Plak! Plak!
Tanpa ampun lagi, kedua tukang pukul itu lang-
sung terjengkang akibat kuatnya tangkisan Pen-
dekar Naga Putih. Dan sebelum mereka sempat
mempersiapkan serangan selanjutnya. Panji sudah
mengirimkan dua buah tamparan ke pelipis lawan.
Tamparan yang dimaksudkan untuk memberi
pelajaran kepada lawan-lawannya, membuat tubuh
kedua tukang pukul itu terbanting pingsan!
"Heaaah...!"
Marah dan terkejut bukan main Duwarsa me-
nyaksikan kejadian itu. Sambil membentak marah
tubuhnya melesat ke depan, disertai tebasan pedang
mengarah ke batang leher Panji. Namun pemuda itu
dapat menangkap gerakan Duwarsa, dan segera
menggeser tubuhnya sambil memutar leher.
Bettt!
Sambaran pedang Duwarsa lewat setengah
jengkal di atas kepala Pendekar Naga Putih. Tentu
saja lelaki bermata picak itu menjadi geram. Cepat
senjatanya diputar kembali, meluncur mengancam
leher Panji untuk kedua kali.
"Bagus...!" seru Panji memuji kesigapan gerak
lawan.
Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih
memutar tubuh. dan memapaki serangan lawan
dengan tepisan telapak tangan. Dan sekaligus me-
nyertainya dengan bacokan sisi telapak tangan
miring
Plak! Desss...!
"Akhhh...!"
Bagaikan terkena hantaman palu, Duwarsa ter-
pental akibat bacokan telapak tangan Pendekar
Naga Putih yang telak menghajar iga kanannya.
Belum lagi Duwarsa sadar apa yang menimpa di-
rinya, Panji sudah mengirimkan sebuah tendangan
kilat ke dada lelaki kekar itu.
Bukkk!
"Huakhhh...!
Darah segar termuntah keluar seiring dengan
terbantingnya tubuh Duwarsa ke tanah. Tendangan
yang keras itu, membuat Duwarsa tidak ingat lagi
keadaan di sekelilingnya. Karena pingsan saat itu
juga.
Melihat pimpinannya menggeletak pingsan, pe-
ngeroyok yang lain bergerak mundur dengan hati
gentar. Kesempatan itu digunakan Panji untuk
mengajak Somanggala dan Kenanga menerobos
masuk ke dalam bangunan. Baik Somanggala mau-
pun Kenanga berhasil membuat gentar lawan-
lawannya dengan merobohkan banyak kawan me-
reka. Bahkan Kenanga dapat menewaskan Julan-
tara dengan sebatang pedang yang direbut dari
seorang pengeroyok. Sehingga mereka dapat leluasa
menerobos masuk ke dalam bangunan.
Somanggala yang berada di depan, membawa
Panji dan Kenanga menggeledah setiap tempat
untuk mencari Ki Jarangka. Sebenarnya Somang
gala sudah curiga ketika tidak melihat Ki Jarangka
muncul saat keributan terjadi. Bahkan kedua orang
jagoan lain tidak kelihatan. Maka ketika tidak dapat
menemukan Ki Jarangka di dalam bangunan,
Somanggafa tidak kaget. Ketidakberadaan Ki Ja-
rangka membuat Somanggala semakin bertambah
yakin kalau kedua orangtuanya dibunuh Ki Jarang-
ka dan begundal-begundalnya.
Jengkel karena tidak menemukan orang yang
dicarinya, Somanggala menarik seorang pelayan
yang gemetar ketakutan di sudut ruang belakang.
"Katakan, di mana majikanmu? Kalau kau ber-
bohong, kuparahkan batang lehermu...!" ancam
Somanggala sambil mencengkeram leher pelayan itu
dengan jari-jari tangannya yang kokoh bagai jepitan
besi.
"Tuan Besar..., sedang pergi. Aku tidak tahu ke
mana...," jawab pelayan itu pucat ketakutan,
bahkan sampai terkencing-kencing.
"Keparat! Rupanya kau ingin mampus...!" geram
Somanggala tidak mempercayai jawaban pelayan
itu. Jari-jari tangannya siap meremas hancur tulang
leher pelayan malang itu.
'Tahan, Somanggala...!" seru Panji mencekal per-
gelangan tangan Somanggala dengan mengerahkan
tenaga dalam.
Akibatnya cekalan jari-jari tangan lelaki tegap
berwajah tampan itu kendor. Urat-urat lengannya
terasa lumpuh akibat cekalan tangan Panji.
"Pelayan itu tidak berbohong. Sebaiknya kita
selidiki ke mana perginya Ki Jarangka...," lanjut
Panji mengajak Somanggala dan Kenanga mening-
galkan tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi kedua-
nya mengikuti langkah Panji.
* * *
DELAPAN
Panji, Somanggala, dan Kenanga segera me-
ninggalkan tempat kediaman Ki Jarangka. Tak
seorang pun dari tukang pukul di rumah besar itu
berani menghalangi kepergian mereka. Rupanya
para pengawal Ki Jarangka itu merasa gentar dan
tidak ingin mencari penyakit
Saat ketiganya hendak menyeberangi sungai,
tiba-tiba Somanggala menghentikan langkah. Mem-
buat Kenanga maupun Panji merasa heran, dan
menghentikan larinya.
"Ada apa, Somanggala...?" tanya Panji melihat
Somanggala seperti memikirkan sesuatu.
"Aku baru ingat sekarang...!" seru pemuda tegap
itu seperti baru terbangun dari mimpi.
"Apa yang kau ingat...?" tanya Panji lagi.
"Sehari sebelum pertandingan di atas panggung,
aku menyelamatkan seorang gadis dari ancaman
dua lelaki kasar. Kemudian aku mengantarkannya
pulang, dan disuguhi teh dingin yang rasanya aneh
tapi baunya menyegarkan," gumam pemuda itu,
seolah berkata pada diri sendiri.
"Hm.... Mungkin teh itu yang menyebabkan
tenagamu lenyap perlahan-lahan, karena telah di-
campuri racun pelumpuh...," sergah Panji mencoba
menduga ke mana arah pembicaraan Somanggala.
"Kurang ajar! Pantas gadis itu berusaha men-
cegah ketika aku ingin menghabisi nyawa kedua
orang kasar itu. Kemungkinan besar mereka kaki
tangan Garbanaka yang sengaja memasang perang-
kap untukku. Sebab betapapun lihai Garbanaka,
dalam keadaan biasa aku sanggup menundukkan-
nya. Keparat itu berbuat curang untuk memperoleh
kemenangan!" geram Somanggala, kemudian me-
lesat menyusuri tepian sungai.
"Somanggala! Mau ke mana kau...?" seru Panji
sambil bergerak mengejar pemuda itu.
Kenanga tidak mau ketinggalan. Dara jelita itu
mengerahkan ilmu lari cepatnya mengejar Panji dan
Somanggala. Sebentar saja dia telah dapat mem-
perpendek jarak dan berlari di belakang kedua lelaki
itu.
"Rumah gadis yang kutolong itu tidak jauh dari
sini...!" jawab Somanggala tanpa menghentikan
larinya. Seruan itu merupakan jawaban pertanyaan
Panji.
Pada saat hampir tiba di tempat tujuan, men-
dadak Somanggala menghentikan larinya, dan me-
runduk bersembunyi di semak-semak. Panji dan
Kenanga yang pendengarannya jauh lebih tajam,
lebih dahulu mendengar tangisan yang membuat
Somanggala bersembunyi.
“Itu suara tangisan Seruni, gadis yang pernah
kutolong...," bisik Somanggala dengan wajah heran.
Di antara isak tangis itu terdengar bentakan dan
makian kasar. Membuat ketiganya saling berpan-
dangan.
"Suara yang besar dan berat itu mungkin milik
Garbanaka...," ujar Panji yang pendengarannya lebih
tajam dari Kenanga dan Somanggala. "Sepertinya
dia sedang menyiksa gadis yang bernama Seruni
itu...?"
Tanpa menunggu persetujuan Somanggala,
Pendekar Naga Putih segera berkelebat ke tempat
asal suara.
"Lepaskan aku...! Bukankah kau sudah berjanji
tidak akan menggangguku lagi, bila aku melak-
sanakan perintahmu meracuni Somanggala...!"
Setelah mendengar ucapan gadis yang membuka
rencana jahat itu. Panji langsung melayang ke
tempat sosok Garbanaka berdiri tegak dengan ta-
ngan di pinggang. Di dekat kaki lelaki kekar itu,
tampak seorang gadis cantik bersimpuh dengan
wajah berurai air mata.
"Seruni...!"
Somanggala yang jatuh hati kepada dara cantik
yang pernah ditolongnya, langsung berseru me-
manggil. Kebenciannya lenyap saat mendengar
pengakuan gadis itu. Dan rasa cintanya bangkit
kembali.
Garbanaka yang sebelum mendengar seruan
Somanggala telah menangkap desiran angin yang
meluncur ke arahnya, langsung menoleh dan me-
ngirimkan pukulan jarak jauh. Samar-samar dia
menangkap sosok bayangan putih meluncur ke
arahnya.
Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam. Pukulan
jarak jauh Garbanaka disambutnya dengan kibasan
lengan yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Akibatnya, dapat dibayangkan!
Bresssh...!
"Aaakh-!"
Seiring dengan benturan itu, tubuh Garbanaka
terlempar muntah darah! Kemudian terbanting di
tanah dengan dada sesak.
"Bangsat! Setan mana yang berani mati melukai
muridku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan parau disusul ber-
kelebatnya sosok seorang kakek yang semula berada
di kanan Garbanaka. Rupanya orang tua itu guru
Garbanaka.
Merasakan adanya sambaran angin yang sangat
kuat, Panji tidak ingin bertindak ceroboh. Pemuda
itu mendorong sepasang telapak tangannya menyambut serangan lawan. Pada saat itu kedua
kakinya belum menyentuh tanah.
Blarrr...!
Terdengar benturan yang sangat hebat, membuat
udara di sekitar tempat itu bergetar. Tubuh Panji
terdorong ke belakang. Hal itu dikarenakan kedu-
dukannya memang sangat lemah. Sedangkan kakek
kurus itu berjumpalitan, kemudian meluncur turun
ke tanah dengan kuda-kuda goyah. Jelas, kakek itu
pun terpengaruh benturan tadi.
"Ki Gending Sendapa...?!" seru Somanggala yang
rupanya mengenali orang tua kurus itu.
Wajah pemuda tegap itu kelihatan cemas dan
agak pucat Jelas, hatinya gentar melihat orang tua
sakti itu.
"Hm.... Rupanya gurumu takut menghadapiku,
Somanggala. Sehingga menyuruhmu mengundang
Pendekar Naga Putih dalam persoalan ini...," sahut
Ki Gending Sendapa.
Nada suara lelaki kurus itu demikian menghina
Somanggala. Hebatnya dia dapat menebak dengan
pasti, siapa pemuda berjubah putih di hadapannya.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Somanggala
dengan mata membelalak lebar.
Pemuda itu merasa dirinya benar-benar bodoh,
tidak mengenali Pendekar Naga Putih. Padahal bela-
kangan ini dirinya cukup dekat dengan pemuda itu.
"Begitulah orang-orang rimba persilatan memberi
julukan kepadaku, Somanggala...," ujar Panji, mem-
perjelas ucapan Ki Gendirg Sendapa.
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakan-
nya saat itu. Malu, gembira, dan entah apa lagi?
Somanggala sendiri tidak bisa mengartikannya satu
persatu. Yang jelas, hatinya gembira dapat bertemu
bahkan mengenal Pendekar Naga Putih. Gurunya
sering menceritakan kegagahan dan kemuliaan
pendekar muda itu.
"Ke mana gurumu, Bocah? Apa sudah tidak
mampu bertarung lagi...?" ejek Ki Gending Sendapa
kepada Somanggala.
"Hm.... Guruku tidak sepertimu, Ki Gending
Sendapa. Beliau tidak ingin mencampuri urusan
dunia karena merasa sudah tua. Sekarang beliau
bertapa dan menyepi di tempat kediamannya. Tidak
sepertimu yang masih mengumbar nafsu, tidak
menyadari usia yang sudah terlalu tua dan bau
tanah...," balas Somanggala, tidak lagi merasa
gentar pada Ki Gending Sendapa. Karena di pihak-
nya ada Pendekar Naga Putih yarg diyakini akan
mampu menundukkan tokoh tua yang sakti itu.
"Bocah kurang ajar! Kau harus diberi pelajaran
agar tidak kurang ajar kepada orang tua...!"
Marah bukan main Ki Gending Sendapa, men-
dengar makian Somanggala. Secepat kilat tubuhnya
melayang dengan tamparan maut yang menerbitkan
angin bercicitan.
Panji tentu saja tidak ingin Somanggala celaka.
Cepat tubuhnya melesat menyambut tamparan Ki
Gending Sendapa. Sadar kalau orang tua itu bukan
tokoh sembarangan. Pendekar Naga Putih langsung
menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya
yang terkenal ampuh dan mukjizat.
"Setan...!"
Ki Gending Sendapa mengumpat jengkel. Seraya
menarik pulang tamparannya dan ganti menerjang
Panji dengan serangan-serangan maut. Sebentar
saja kedua tokoh itu terlibat dalam pertarungan
sengit.
***
Melihat Pendekar Naga Putih bertarung dengan Ki
Gending Sendapa, Somanggala bergegas mendekati
Seruni yang tengah menatapnya dengan penuh
penyesalan.
"Berhenti...!"
Langkah Somanggala tertahan mendengar benta-
kan itu. Cepat kepalanya berpaling ke arah dua
lelaki kasar yang melompat menghadang jalannya.
Somanggala mengenali kedua lelaki itu sebagai
orang yang pernah menjebaknya bersama Seruni.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Somanggala meng-
hadapi kedua orang itu dengan sinar mata penuh
dendam.
"Somanggala, tahan...!" terdengar seruan merdu
disusul berkelebatnya sesosok bayangan hijau.
"Kenanga.... Mengapa kau mencegahku...?" tegur
Somanggala tak mengerti akan tindakan gadis jelita
itu.
"Kau selamatkan Seruni. Biar aku yang meng-
hadapi kedua cecunguk itu...," ujar Kenanga seraya
melangkah ke arah kedua lelaki kasar itu.
"Baiklah,, Kenanga. Terima kasih...," sahut Soma-
nggala, gembira mendengar usul dara jelita itu.
Tapi baru saja kakinya melangkah dan menarik
bangkit tubuh Seruni, terdengar bentakan parau
yang mengejutkan.
"Jangan sentuh gadis itu, Somanggala! Seruni
milikku...!" bentakan itu datangnya dari Garbanaka
yang rupanya telah dapat memulihkan tenaganya.
Lelaki kekar berwajah brewok itu berdiri tegak
menatap Somanggala dengan mata mencorong ta-
jam.
Melihat Garbanaka berdiri dengan sikap me-
nantang, Somanggala segera menyuruh Seruni me-
nyingkir. Kemudian kakinya melangkah maju bebe-
rapa tindak menghadapi Garbanaka.
"Hm.... Bagus, Garbanaka. Sekarang mari kita
lanjutkan pertarungan di atas panggung yang ter-
tunda dulu...," tantang Somanggala tanpa rasa
gentar sedikit pun. Karena kali ini merasa yakin
dapat menundukkan lawan.
"Hm...."
Garbanaka tidak menjawab. Lelaki kekar itu
menggeram sambil melolos pedang, siap bertarung
mati-matian.
"Sambut seranganku, Somanggala...!" teriak Gar-
banaka seraya melesat maju disertai putaran
pedang yang mendatangkan angin menderu-deru.
Somanggala yang telah siap dengan senjata ter-
hunus, langsung memapaki serangan lawan. Pe-
dangnya berkelebatan cepat membawa gumpalan
sinar putih bergulung-gulung laksana angin topan.
Sebentar saja keduanya terlibat dalam perkelahian
sengit.
"Heaaah...!"
Garbanaka kelihatan sangat bernafsu untuk
dapat segera merobohkan lawan. Serangan pe-
dangnya sangat ganas dan selalu mengarah pada
bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawan.
Meskipun demikian, Somanggala selalu dapat me-
matahkan serangan lawan. Bahkan mampu mem-
balas dengan tidak kalah ganasnya.
"Yiaaat...!"
Breeet...!
"Akh!"
Pada jurus keempat puluh, Somanggala berhasil
menggoreskan ujung pedangnya ke pangkal lengan
kiri lawan. Meskipun luka itu tidak terlalu parah,
namun cukup membuat gerakan Garbanaka ter-
ganggu. Sehingga mulai dapat didesak dengan
serangan-serangan cepat Somanggala.
Di arena lain, Panji sedang berusaha mendesak
lawan, Pendekar Naga Putih telah mengeluarkan
'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Karena Ki Gending Sen-
dapa bukan lawan yang ringan bagi pemuda itu.
"Haiiit..!"
Ketika, pertarungan menginjak jurus kesembilan
puluh dua, tiba-tiba Panji berseru nyaring sambil
melancarkan serangkaian serangan yang cepat bagai
sambaran kilat di angkasa.
"Aihhh...!"
Ki Gending Sendapa sempat dibuat gugup oleh
kecepatan gerak lawan. Sehingga ketika hantaman
telapak tangan Pendekar Naga Putih meluncur
datang, lelaki tua itu tidak sempat menghindar.
Bukkk!
"Huakhh...."
Darah segar termuntah keluar dari mulut Ki
Gending Sendapa. Hantaman yang amat kuat itu
membuat tubuhnya terlempar sejauh satu setengah
tombak. Meskipun demikian, orang tua itu ternyata
cukup lincah. Tubuhnya dapat meluncur turun de-
ngan selamat ke tanah. Sayangnya tokoh tua itu
masih kalah cepat dengan Pendekar Naga Putih.
Baru saja kakinya menjejak tanah, tubuhnya kem-
bali terlempar akibat hantaman sepasang telapak
tangan Panji yang menyusuli serangannya.
Bresssh...!
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Gending Sendapa
terlempar deras bagai daun kering tertiup angin.
Dan terus meluncur merobohkan sebatang pohon
besar. Lalu melorot jatuh, dan tidak mampu bangkit
lagi. Bagian dalam dadanya hancur akibat pukulan
Panji.
Mengetahui lawannya telah tewas, Pendekar Naga
Putih bergerak mendekati Kenanga yang sedang
duduk di dekat Seruni. Rupanya dara jelita itu
sudah menyelesaikan pertarungannya. Tidak jauh
darinya terlihat dua sosok tubuh menggeletak tewas.
"Kakang, Seruni korban kejahatan Garbanaka.
Gadis ini diculik oleh lelaki itu dengan janji akan
dilepaskan bila Seruni mau mengikuti perintahnya
meracuni Somanggala," jelas Kenanga ketika Panji
duduk di dekat kedua gadis itu.
"Hm.... Apa Somanggala sudah tahu...?" tanya
Panji sambil menatap wajah Seruni lekat-lekat.
Seolah pemuda itu ingin mencari kejujuran di mata
Seruni. Sesaat kemudian Pendekar Naga Putih kem-
bali mengalihkan pandangannya, setelah melihat
gadis itu seorang yang jujur.
"Biar aku sendiri yang mengatakannya, Kakang
Panji...," ucap Seruni dengan suara agak serak,
karena terlalu banyak menangis.
"Seruni juga mengatakan kalau pembunuh kedua
orangtua Somanggala adalah Ki Jarangka. Sedang-
kan Ki Jarangka dan dua orang pengawalnya telah
dilenyapkan Ki Gending Sendapa dan Garbanaka.
Karena Garbanaka tidak senang karena tidak di-
bayar dalam pertandingannya melawan Somanggala
di atas Panggung Kematian...," jelas Kenanga lagi
yang rupanya telah banyak berbicara dengan Se-
runi. Sehingga, mengetahui persoalan yang selama
ini menjadi rahasia mereka bertiga.
"Syukurlah kalau segalanya telah terungkap...,"
ujar panji sambil memperhatikan jalannya pertaru-
ngan antara Somanggala melawan Garbanaka.
"Nampaknya mereka memiliki kepandaian yang
seimbang, Kakang..," kata Kenanga, ikut memper-
hatikan jalannya pertarungan.
"Yahhh.... Kalaupun Somanggala lebih unggul,
hanya sedikit. Seandainya Somanggala dapat me-
nang, mungkin akan menderita luka...," sahut Panji
mencoba memberi penilaian.
Penilaian pemuda itu hampir dapat dipastikan
kebenarannya. Karena secepat apa pun gerakan
mereka, mata Panji yang telah terlatih baik dapat
mengikuti setiap gerak Somanggala dan Garbanaka.
Sementara di arena pertempuran, Somanggala
sedang berusaha sekuat tenaga merobohkan lawan.
Pedang di tangannya selalu mengincar bagian-ba-
gian mematikan di tubuh lawan. Tapi walaupun te-
lah terluka pada pangkal lengan kirinya, Garbanaka
masih mampu melakukan serangan-serangan balas-
an yang tidak bisa dianggap remeh Somanggala.
Akibatnya, pertempuran pun berlangsung seru dan
mendebarkan.
Somanggala yang hanya menang kecepatan dari
lawannya, berusaha menggunakan kelebihan itu.
Bahkan tidak jarang pemuda tegap itu merubah
gerakannya secara mendadak, dengan tujuan me-
ngacaukan pikiran lawan. Taktik Somanggala ter-
nyata berhasil. Beberapa kali Garbanaka terpe-
ngaruh, dan melompat mundur memperbaiki kedu-
dukan. Kemudian kembali menerjang maju dengan
sambaran dan tusukan pedang.
"Haaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh
puluh, Somanggala bertindak nekat. Pedangnya di-
putar sedemikian rupa, membentuk gulungan sinar
yang membuat wujud senjata itu lenyap. Kemudian
meluncur ke depan dengan serangkaian tusukan
maut bertubi-tubi.
"Haiitt..!"
Garbanaka yang melihat kenekatan lawannya,
berseru nyaring sambil memutar pedang untuk
membentengi dirinya. Sehingga setiap kali ujung
pedang lawan datang mengancam, selalu terpental
balik terbentur pedangnya. Sayang Somanggala kali
ini mengerahkan segenap tenaganya, dan terus
mencecar tanpa mengenal putus asa. Sehingga be-
berapa tusukan pedangnya dapat menerobos ben-
teng pertahanan Garbanaka. Akibatnya....
Cappp! Cappp!
"Aaakh...!"
Garbanaka menjerit kesakitan ketika ujung pe-
dang lawan menyentuh tubuhnya. Darah segar
mengucur dari lubang-lubang di perut dan dadanya
akibat tusukan pedang lawan.
"Haiiit...!"
Saat tubuh lawan terjajar mundur, mendadak
Somanggala membentak keras sambil melompat,
disertai ayunan pedang membabat leher lawan.
Dan....
Crakkk...!
Tanpa ampun lagi, putuslah batang leher Gar-
banaka terbabat pedang Somanggala! Tubuh tinggi
kekar itu ambruk dengan kepala terpisah dari ba-
dan! Darah segar berceceran membasahi permukaan
tanah lembab.
Somanggala jatuh terduduk lemas di dekat mayat
Garbanaka. Pemuda itu telah melakukan segalanya
untuk memenangkan perkelahian itu.
"Kakang...."
Terdengar panggilan merdu yang membuat So-
manggala mengangkat kepala. Dada pemuda itu
berdebar keras melihat Seruni datang mengham-
pirinya dengan mata basah. Dan Somanggala me-
rasa bermimpi ketika dara cantik itu tanpa malu-
malu memeluk tubuh tegap yang basah oleh keri-
ngat.
"Maafkan aku, Kakang Somanggala...," desah
Seruni yang langsung menangis di dada pemuda itu.
Dengan jari-jari gemetar namun hati dipenuhi
bunga-bunga kebahagiaan, Somanggala membeiai
rambut gadis cantik itu. hatinya benar-benar gem
bira tak terlukiskan. Somanggala seolah bermimpi
kejatuhan bulan ketika mendapati kenyataan dalam
dekapannya ada tubuh Seruni, yang kecantikannya
membuat jantung Somanggala melompat-lompat.
Apalagi tubuh lembut dan hangat itu kini berada
dalam dekapannya. Sukar sekali bagi Somanggala
untuk mengungkapkan perasaannya saat itu.
Melihat kedua insan itu saling berpelukan seolah
lupa dengan sekelilingnya, Panji dan Kenanga ber-
gegas meninggalkan tempat itu. Menurut keduanya
persoalan sudah selesai. Kalaupun Somanggala
masih ingin mencari pembunuh kedua orangtua-
nya. Seruni dapat menjelaskan. Dan ketika melihat
Somanggala dan Seruni saling jatuh cinta, pasangan
pendekar muda itu tidak khawatir lagi dengan nasib
Seruni. Karena Somanggala pasti akan mengantar-
kan gadis itu ke rumah orangtuanya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar