..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PANGGUNG KEMATIAN

Matjenuh khairil

 

T. Hidayat 
PANGGUNG KEMATIAN 
ACINTAMEDIA 
penerbit buku silat bermutu 
PANGGUNG KEMATIAN 
oieh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tuti S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Panggung Kematian 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

"Hiaaat...!" 
Pekikan itu terdengar demikian keras, hingga 
terasa menulikan telinga. Sedang sosok yang me-
ngeluarkan suara, tengah melayang di udara, me-
nuju sosok lain yang berada di depannya. 
Bettt! Bettt! 
Serangkaian serangan yang dilancarkan sosok di 
atas itu memang hebat dan berbahaya sekali. 
Sehingga orang yang menjadi sasaran serangan itu 
kewalahan menghadapinya. 
Whuuut...! 
"Aaah...!" 
Sosok tinggi besar berwajah keras berseru kaget. 
Hampir saja kepalanya terkena tamparan lawan. 
Untunglah tubuhnya masih sempat menghindar, 
meskipun harus bergulingan ke samping. 
Kerumunan orang yang menyaksikan dari bawah 
panggung bersorak, menjagoi lelaki tegap berwajah 
tampan yang saat itu berada di atas angin. 
"Hayo! Habisi lawanmu, Kakang Somanggala...!" 
teriak seorang lelaki tinggi kurus, memberi sema-
ngat kepada sosok tegap berwajah tampan. 
"Hei, Ludingga! Jangan mau kalah! Kau harus 
memenangkan pertarungan ini...!" 
Penonton lain memberi semangat kepada lelaki 
tinggi besar berwajah keras yang menjadi lawan So-
manggala. Memang, kedua orang yang tengah ber-
laga di atas panggung itu mempunyai pendukung 
masing-masing, dan pendukung Somanggala jauh 
lebih banyak. 
Sementara, pertarungan di atas panggung masih 
berlangsung sengit Somanggala nampak bersemangat sekali ingin segera menundukkan lawan. Sera-
ngan-serangannya semakin lama semakin bertam-
bah cepat dan kuat. 
"Yeaaah...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga pu-
luh, Somanggala memekik keras, mengejutkan la-
wan. Bersamaan dengan itu tubuhnya menceiat ke 
udara sambil melancarkan serangan bertubi-tubi. 
Ludingga yang bertubuh tinggi besar dan ber-
wajah keras, nampaknya tidak bisa diharapkan un-
tuk dapat memenangkan pertarungan. Serangan la-
wan yang laksana air bah, tidak dapat dihindari-
nya. Sehingga.... 
Bukkk! Desss...! 
"Aaakh...!" 
Serangan gencar yang dilancarkan Somanggala 
tidak sia-sia. Dua pukulannya mendarat telak di tu-
buh lawan. Akibatnya Ludingga terjengkang ke be-
lakang, dan hampir terjatuh ke bawah panggung. 
Terdengar sorak-sorai penonton ketika tubuh 
Ludingga terjatuh akibat pukulan lawan. Pendu-
kung Somanggala berteriak-teriak ribut memberi 
semangat kepada jagoannya untuk segera meng-
habisi lawan. 
Tanpa diperingatkan pun, Somanggala akan 
menghabisi nyawa lawannya. Karena sudah menjadi 
peraturan penyelenggara pertarungan. Siapa saja 
yang ingin maju bertarung, berarti harus memper-
taruhkan nyawanya! 
Maka ketika melihat lawannya masih mampu 
bangkit, Somanggala tidak mau berpikir lagi. Saat 
itu juga tubuhnya melesat ke depan. Sepasang ta-
ngannya bergerak berputaran. Kemudian mendo-
rong sepasang telapak tangannya ke dada lawan, 
yang saat itu baru bangkit berdiri. 
Bresssh...!

"Aaa...!" 
Terdengar jerit kematian merobek angkasa saat 
sepasang telapak tangan Somanggala yang berisi 
tenaga penuh menghajar telak sasarannya. 
Tanpa ampun lagi, tubuh Ludingga terjungkal ke 
bawah panggung disertai semburan darah segar 
yang termuntah dari mulutnya. Tubuh besar itu 
berkelojotan sesaat bagai ayam disembelih. Bebe-
rapa saat kemudian diam tak bergerak. Tewas! 
"Hidup Somanggata...!" 
Terdengar pekik riuh dari bawah panggung me-
nyambut kemenangan Somanggala. Lelaki itu hanya 
tersenyum sambil membungkukkan tubuh ke empat 
penjuru. Butir-butir keringat yang berle-lehan di 
tubuh bagian atasnya yang telanjang tidak 
dipedulikan. Dan melangkah turun ke bawah pang-
gung dengan tenang. 
"Ini bagianmu, Somanggala...," ucap seorang 
lelaki pendek gemuk yang wajahnya berminyak. 
Tangannya terulur menyerahkan sebuah bungkusan 
kepada Somanggala, yang menerimanya dengan 
wajah cerah. 
'Terima kasih, Kakang Jarangka. Kutunggu kabar 
berikutnya...," ujar Somanggala seraya melangkah 
lebar meninggalkan panggung yang telah banyak 
menelan korban. 
Somanggala menyambar pakaiannya dari tangan 
seorang pendukungnya. Kemudian bergegas me-
ninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata 
penuh kekaguman dari para pendukungnya. Keme-
nangan lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun 
itu, membuat mereka ikut gembira. Karena hampir 
semua penonton mempertaruhkan hartanya dengan 
memilih salah satu dari kedua petarung. Dan 
kemenangan Somanggala, berarti kemenangan bagi 
orang-orang yang bertaruh atas nama lelaki itu.

Somanggala beranjak pergi tanpa mempedu-likan 
orang-orang yang masih sibuk membicarakan 
pertarungan tadi. Sedang mayat lelaki tinggi besar 
yang menjadi lawan Somanggala, telah dibawa ka-
wan-kawannya untuk dimakamkan. Keadaan di se-
kitar panggung pun mulai sepi, ketika satu persatu 
penonton meninggalkan tempat itu. Tinggallah 
panggung pertarungan berdiri angker, ditemani 
hembusan angin yang sesekali bertiup keras. 
*** 
Di bawah siraman matahari pagi yang menyentuh 
kulit, sesosok lelaki gemuk bergerak turun dari 
kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kemudian me-
langkah memasuki halaman sebuah rumah seder-
hana, dengan diiringi dua lelaki kekar berwajah 
kasar. Sekali pandang dapat diketahui, dua lelaki 
kekar itu adalah pengawal lelaki gemuk pendek yang 
tidak lain dari Ki Jarangka. 
Seorang lelaki tergesa-gesa menyambut keda-
tangan Ki Jarangka dengan senyum mengembang. 
Kelihatan sekali kalau ielaki itu sangat senang de-
ngan kedatangan tamunya. 
"Kau tampak sehat. Adi Somanggala...," tegur Ki 
Jarangka melihat tubuh tegap yang masih ber-
telanjang dada dan basah oleh keringat. 
"Hm.... Sebagai seorang juara, aku dituntut harus 
selalu menjaga kesehatan, kelincahan, dan keper-
kasaan. Jadi jangan heran jika sepagi ini Kakang 
melihat tubuhku sudah berpeluh. Aku baru saja 
menyelesaikan latihan...," sahut lelaki tegap yang ti-
dak lain dari Somanggala. Kemudian, dipersilakan-
nya Ki Jarangka masuk ke dalam rumah. 
"Kau pasti sudah bisa menebak maksud keda-
tanganku, Adi Somanggala," ujar Ki Jarangka ketika

keduanya telah duduk berhadapan. Sementara, 
kedua orang tukang pukulnya berdiri di kiri kanan-
nya. 
"Hm...." 
Somanggala bergumam perlahan dengan mata 
berbinar. P«muda itu paling suka pertarungan. Itu-
lah sebabnya, mengapa Somanggala menyertakan 
diri sebagai petarung. Keberuntungan masih meng-
ikuti langkahnya. Terbukti dari kemenangan-keme-
nangan yang telah belasan kali diperolehnya. 
Entah sudah berapa banyak nyawa yang terbang 
oleh sepasang tangannya. Satu-satunya yang men-
jadi saksi bisu bagi kemenangan-kemenangan So-
manggala hanya sebuah panggung yang dijuluki 
orang Panggung Kematian. Karena bagi siapa yang 
kalah, tidak ada pilihan lain kecuali kematian. Para 
peserta telah menerima peraturan itu sebelum ber-
tarung. Dan sejauh ini pertarungan yang diseleng-
garakan Ki Jarangka masih berjalan lancar tanpa 
hambatan. 
"Siapa lawanku kali ini, Kakang...?" tanya 
Somanggala yang memanggil lelaki pendek gemuk 
bermata sipit itu kakang. 
"Hm.... Kau mungkin sudah pernah mendengar 
namanya. Orang itu berasal dari daerah selatan. 
Keistimewaannya terletak pada kedua kakinya. Coba 
kau terka siapa orang itu...?" jawab Ki Jarangka 
berteka-teki. 
Somanggala kelihatan agak kaget mendengar 
penjelasan Ki Jarangka tentang ciri-ciri calon lawan-
nya. Wajah pemuda itu tampak bersungguh-sung-
guh ketika memberi jawaban atas pertanyaan Ki 
Jarangka, yang selalu mencarikan lawan untuknya. 
"Maksud Kakang Jarangka, orang yang akan 
menjadi lawanku kali ini Garbanaka alias si Tendangan Angin Topan...?" tegas Somanggala mena-
tap tajam wajah lelaki gemuk di depannya. 
"Tepat sekali, Adi Somanggala!" seru Ki Jarangka 
dengan senyum lebar. "Bagaimana...? Apakah kau 
menerima tantangannya? Bayaran yang akan kau 
terima jauh lebih besar dari pertarungan sebelum-
nya...." 
Ki Jarangka sengaja menyebutkan soal bayaran 
untuk menarik minat Somanggala, jagoan panggung 
yang belum terkalahkan. 
"Bukan soal bayaran yang membuatku berpikir, 
Kakang. Tapi.... Apakah Kakang tidak pernah men-
dengar siapa Garbanaka, dan bagaimana perangai-
nya? Itu yang menjadi pikiranku...," sahut Soma-
nggala yang kali ini tidak bersemangat menanggapi 
rencana pertarungan. Padahal biasanya kabar dari 
Ki Jarangka selalu disambut gembira. 
"Maksudmu, Adi...?" sergah Ki Jarangka memin-
ta ketegasan Somanggala. Seolah-olah tidak tahu 
maksud ucapan jagoan panggung itu. 
"Kakang.... Garbanaka adalah seorang berhati 
licik dan berangasan. Dia tidak akan segan-segan 
berbuat curang untuk memperoleh kemenangan. Itu 
yang membuatku belum bisa memutuskan untuk 
menghadapinya," jelas Somanggala yang rupanya 
pernah mendengar sepak terjang dan sifat calon la-
wannya. 
Ki Jarangka tidak segera menanggapi ucapan 
Somanggala. Lelaki pendek gemuk yang kelihatan 
licik dan selalu mendapatkan keuntungan besar da-
lam setiap penampilan Somanggala itu, terlihat 
mengangguk-angguk perlahan. Meskipun demikian 
terlihat kerutan pada keningnya. Pertanda tidak 
menyetujui penilaian Somanggala tentang Garbanaka.

"Dengan kata lain kau takut menghadapi Gar-
banaka, dan hendak melepaskan sebutan jagoan 
panggung...?" tanya Ki Jarangka memancing. Se-
pasang matanya yang memang sudah sipit, tampak 
semakin mengecil menatap wajah Somanggala. 
Somanggala agak kaget mendengar ucapan Ki 
Jarangka. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pe-
muda itu. Namun bayangan kemarahan itu sirna, 
sebelum sempat tertangkap Ki Jarangka. Rupanya 
Somanggala segera menyadari orang yang duduk di 
depannya itu tidak pantas menjadi tumpuan ke-
marahannya. Karena segala yang didapatnya selama 
ini bersumber dari Ki Jarangka. Akhirnya Soma-
nggala hanya bisa menghela napas panjang tanda 
kegundahan hatinya. 
"Bukan Garbanaka yang kupikirkan, Kang. Tapi 
orang di belakangnyalah yang membuatku berpikir 
dua kali untuk menghadapinya. Ki Gending 
Sendapa pasti tidak akan tinggal diam jika murid 
kesayangannya binasa di tanganku...." 
Dengan sangat terpaksa, Somanggala meng-
ungkapkan perasaan yang mengganjal di hatinya. 
"Ha ha ha...!" 
Ki Jarangka tertawa mendengar alasan Somang-
gala. Jelas kalau lelaki itu tidak sependapat dengan 
Somanggala. 
"Mengapa Kakang menertawakan aku.,.?" tegur 
Somanggala dengan kening berkerut 
"Bagaimana aku tidak geli, Somanggala. Bukan-
kah kau tahu peraturan pertarungan? Sebelum 
pertarungan berlangsung, kita sudah sepakat tidak 
ada dendam, meski apa pun yang terjadi di atas 
panggung. Sekarang aku bertanya padamu. Pernah-
kah selama ini ada pihak lawan-lawanmu terdahulu 
yang menuntut balas? Padahal kau telah banyak 
menewaskan orang, bukan? Coba kau jawab...?"

ujar Ki Jarangka menjelaskan alasannya mener-
tawakan kekhawatiran Somanggala. 
"Sampai saat ini memang belum ada yang men-
dendam kepadaku. Tapi... Siapa yang akan mampu 
menahan bila Ki Gending Sendapa mengamuk, 
seandainya Garbanaka tewas di tanganku?" bantah 
Somanggala lagi, masih belum bisa menerima 
penjelasan Ki Jarangka. 
"Hm.... Sepertinya kau demikian yakin bisa 
mengalahkan lawanmu, Adi Somanggala," kata Ki 
Jarangka dengan nada yang sedikit menghina. 
"Sehebat apa pun ilmu Tendangan Angin Topan' 
milik Garbanaka, aku masih bisa menanggulangi-
nya. Meski harus berjuang keras, aku yakin bisa 
menundukkannya...," jawab Somanggala sedikit 
menyombong karena merasa tersinggung dengan 
ucapan Ki Jarangka, yang menganggap dirinya tidak 
mampu menghadapi Garbanaka yang berjuluk 
Tendangan Angin Topan. 
"Sekarang begini saja. Kau bersedia memenuhi 
tantangan Garbanaka atau tidak? Aku minta jawa-
banmu sekarang juga! Kalau tidak, aku akan me-
nyerahkan gelar juaramu kepada Garbanaka, dan 
mencarikan lawan untuknya...!" ujar Ki Jarangka 
dengan nada tinggi. 
Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk 
itu bangkit dari kursinya dengan wajah tidak sedap. 
"Baiklah! Aku terima tantangannya...," jawab 
Somanggala lantang. 
Keputusan itu diambil bukran karena tidak rela 
melepaskan gelar yang disandangnya. Tapi karena 
tidak ingin dianggap seorang pengecut. Somanggala 
sadar siapa Ki Jarangka. Lelaki gemuk itu pasti 
akan menyebarluaskan berita penolakannya ber-
tarung dengan Garbanaka. Kalau sampai berita itu 
tersebar luas, celakalah dirinya. Dia pasti akan

menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang banyak. 
Somanggala lebih memilih mati daripada hidup 
terhina! 
"Bagus! Persiapkan dirimu baik-baik. Satu ming-
gu dari sekarang, pertarungan akan diselenggara-
kan di tempat biasa.... Sadarlah, kau telah menjadi 
milik orang banyak, hingga harus selalu memenuhi 
keinginan penggemarmu kalau tidak ingin hancur 
dan menjadi bahan ejekan mereka...," tandas Ki 
Jarangka, segera beranjak pergi setelah melempar-
kan sekantung uang ke pangkuan Somanggala. 
Sepeninggal Ki Jarangka, Somanggala termenung 
dengan wajah muram. Pemuda itu menyesali tin-
dakannya yang telanjur menceburkan diri ke dalam 
perangkap Ki Jarangka. Orang banyak hanya tahu 
dirinya seorang jagoan panggung, tapi tidak tahu 
kehidupan yang dijalaninya sangat berat. Sebenar-
nya Somanggala tak ubahnya seperti sapi perahan 
bagi Ki Jarangka. Meskipun tidak dapat dibantah, 
pekerjaan yang dijalaninya mendatangkan hasil 
cukup banyak bagi dirinya dan kedua orangtuanya, 
yang semula hidup miskin sebagai petani peng-
garap. 
Sekarang ayahnya tidak perlu lagi menggarap 
sawah orang lain. Uang hasil kemenangannya di-
belikan sawah yang cukup untuk menghidupi ke-
dua orangtuanya. Bahkan sekarang mereka mem-
punyai pekerja untuk membantu menggarap sawah. 
Di sisi lain, orang-orang di sekitarnya menaruh 
hormat kepada keluarga Somanggala. Semua itu 
bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Tapi dengan 
kerja keras mempertaruhkan nyawa di atas Pang-
gung Kematian! 
Merasa kepalanya agak pening, Somanggala 
melangkah ke luar untuk menyegarkan pikiran. 
Pemuda itu sadar pka ditolaknya permintaan Ki Jarangka, bukan hanya dirinya yang terhina dan ce-
laka. Tapi kedua orangtuanya pun akan menang-
gung akibatnya. Somanggala mengenal betul siapa 
Ki Jarangka sebenarnya. 
Dengan wajah tertunduk, Somanggala melang-
kah melintasi jalan besar yang membelah desa. Dan 
berbelok masuk perkebunan, menuju sebuah sungai 
yang berair jernih. Tapi baru saja pemuda itu akan 
duduk di atas sebuah batu, terdengar jeritan minta 
tolong seorang wanita! 
Somanggala berpaling ke kiri dan kanan mencari 
sumber teriakan tadi. Serentak tubuh tegapnya 
melesat ke timur, setelah memastikan dari mana 
arah jeritan berasal. 
Tidak sulit bagi Somanggala untuk menemukan 
sumber jeritan itu. Tidak berapa lama kemudian, 
sampailah di suatu tempat yang agak jauh dari 
desa. Sepasang mata pemuda itu berkilat ketika 
menyaksikan pemandangan di depannya. 
"Lepaskan gadis itu, Keparat..!" bentak So-
manggala kepada dua lelaki berwajah bengis yang 
tengah berusaha menyeret seorang gadis ke semak-
semak. Cepat tubuhnya berkelebat disertai tam-
paran. 
Whuuut...! 
Salah satu dari dua lelaki bengis itu bergerak ke 
depan menyambut serangan Somanggala. Tangan 
kanannya terangkat memapaki tamparan pemuda 
bertubuh tegap itu. 
Plak! 
"Aihhh...?!" 
Lelaki kekar dengan wajah terdapat bekas luka di 
pipinya, terpekik kaget. Tubuhnya hampir tercebur 
ke sungai akibat menangkis tamparan Somanggala. 
Untunglah lelaki kekar itu masih sempat menye-
lamatkan diri. Meskipun demikian, wajahnya

meringis sambil mengurut lengan kanannya yang 
terasa ngilu bukan main. Jelas hal itu menandakan 
kalau tenaganya kalah jauh dengan pemuda tegap 
yang baru datang. 
"Siapa kau, Bedebah! Mengapa mencampuri 
urusan kami...?!" bentak lelaki kekar itu yang sudah 
meloloskan goloknya, siap untuk menghadapi So-
manggala. 
"Hm.... Akulah yang seharusnya bertanya! Apa 
yang kalian kerjakan di wilayah Desa Jari Mulya ini? 
Dan siapa kalian...?" ujar Somanggala tak kalah 
gertak. Sepasang matanya berkilat tajam penuh 
amarah. 
"Ooo.... Kau ingin disebut pahlawan, heh?! Kau 
salah alamat, Kisanak. Nyawamu akan melayang 
sia-sia!" geram lelaki kekar itu sambil mengacung-
acungkan goloknya. 
Somanggala tidak mempedulikan ocehan laki-laki 
kekar itu. Tubuhnya berkelebat ke arah laki-laki 
yang satunya. Somanggala ingin membebaskan wa-
nita muda yang berada dalam cengkeraman mereka. 
Orang itu rupanya sadar akan bahaya yang 
mengancam. Terbukti, langsung mendorong pe-
rempuan muda itu, hingga jatuh terguling-guling. 
Kemudian senjatanya dicabut untuk memapaki 
serangan Somanggala. 
Bettt! Bettt...! 
Kilatan sinar putih berkelebat ketika laki-laki 
bercambang bauk itu mengibaskan goloknya ke kiri 
dan kanan secara bersilangan. Rupanya laki-laki itu 
sempat melihat kawannya terpental karena me-
nangkis tamparan Somanggala. Sehingga begitu se-
rangan Somanggala tiba, langsung senjatanya dike-
lebatkan untuk melindungi dirinya dari serangan lawan.

Somanggala pun tidak ingin kehilangan lengan. 
Serangannya ditarik pulang, sambil mendoyongkan 
tubuh ke belakang. Kemudian kaki kirinya bergerak 
menyodok perut lawan dengan kecepatan menga-
gumkan. 
Bukkk! 
Tanpa dapat dielakkan lagi, tendangan So-
manggala bersarang telak di tubuh lawan. Lelaki 
brewok itu terjungkal diiringi teriakan kesakitan. 
Dan Somanggala tidak lagi mempedulikan lawannya. 
Pemuda itu bergerak menyelamatkan perempuan 
muda yang tengah terbelalak ketakutan dengan air 
mata berlinang membasahi wajahnya. 
* * *
DUA


 
"Bangsat!" maki lelaki brewok seraya menyusut 
lelehan darah pada ujung bibir. 
Sepasang matanya merah karena marah Lalu 
bersama kawannya, bergerak mengepung Somang-
gala. 
"Kalian yang bangsat, tidak punya belas kasihan 
pada gadis ini! Karena itu, kalian harus diberi 
pelajaran...!" geram Somanggala tidak mau kalah 
gertak, dan langsung menyerang. 
"Haaat..!" 
Diiringi pekik menggetarkan jantung, tubuh 
Somanggala melesat ke depan. Sepasang tangannya 
menyambar ganas dengan pukulan-pukulan berba-
haya. 
Bettt! Bettt! 
Kedua lelaki berwajah bengis bergerak mundur 
saat merasakan terpaan angin pukulan Somanggala. 
Agaknya mereka sadar kalau serangan lawan sangat 
berbahaya, dan tidak mungkin dapat ditahan. 
"Mampus...!" 
Begitu dapat menghindarkan diri dari pukulan 
Somanggala, lelaki berwajah codet yang berada di 
kirinya, melancarkan serangan balasan dengan te-
basan golok. Tapi dengan manis Somanggala me-
mutar tubuh. Kemudian, mengirimkan tendangan 
kilat ke dada lawan. 
Bukkk! 
"Huakhhh...!" 
Tanpa ampun lagi, lelaki itu terbanting jatuh dan 
memuntahkan darah segar. Golok yang tergenggam 
di tangannya, terpental entah ke mana.

Tanpa mempedulikan korban tendangannya, 
Somanggala memutar tubuh dengan langkah ke 
samping, menghindari tebasan golok dari lawan 
yang lain. 
"Hiaaah...!" 
Dibarengi bentakan menggetarkan, pemuda itu 
bergerak maju setelah melihat pertahanan lawan 
kosong. 
Desis...! 
Hantaman sepasang telapak tangan Somanggala 
singgah tepat di tubuh lawan. Tanpa ampun lagi, 
orang itu langsung terjungkal muntah darah! 
"Jangan bunuh mereka...!" tiba-tiba terdengar 
seruan halus, saat Somanggala siap menamatkan 
riwayat lelaki brewok dengan sebuah pukulan ke 
kepala. 
Dengan wajah heran. Somanggala berpaling ke 
arah asal suara. Dilihatnya dara cantik berusia se-
kitar sembilan belas tahun, yang nyaris menjadi 
korban kebiadaban kedua orang itu tengah berdiri 
menatapnya. 
"Mengapa, Nisanak? Bukankah mereka hampir 
mencelakakanmu?" tanya Somanggala penasaran 
melihat gadis itu memintakan ampun orang yang 
hendak menodainya. 
"Mereka..., sudah tidak berdaya. Barangkali 
dengan tidak membunuhnya, mereka akan sadar. 
Dan tidak akan mengulanginya lagi...," jelas gadis 
itu dengan ragu-ragu. 
"Hm...." 
Somanggala bergumam dengan kening berkerut 
Meskipun kurang setuju, gerakannya tidak di-
lanjutkan. Kemudian, kepalan tangannya yang siap 
menghancurkan batok kepala ditarik pulang. 
Somanggala memendam debaran jantungnya 
ketika menerima senyum manis dara cantik itu.
Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah dua 
orang lawannya 
"Nasib kalian rupanya masih baik. Pergilah sebe-
lum aku berubah pikiran...," usir Somanggala yang 
dengan senang hati terpaksa melepaskan mereka. 
Tanpa banyak cakap lagi, kedua lelaki itu ber-
gegas pergi. Beberapa kali mereka menoleh ke-
belakang, seakan-akan tidak percaya ucapan pemu-
da yang melepasnya. 
"Hhh...." 
Setelah kedua lelaki itu lenyap dari pandangan, 
Somanggala menghela napas panjang. 
Dan pemuda itu tidak menoleh ketika terdengar 
suara langkah halus menghampiri. 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang. 
Entah apa jadinya aku, jika Kakang tidak cepat 
datang...," ujar gadis cantik itu dengan suara bening 
mendayu-dayu. 
Somanggala merasa bagai mendengar nyanyian di 
telinga, membuat hatinya sejuk. 
"Simpanlah ucapan terima kasihmu, Nisanak. 
Kalau aku boleh bertanya, mengapa kau berada di 
tempat sesepi ini seorang diri? Di mana tempat ting-
galmu...?" tanya Somanggala, heran melihat dara 
secantik itu berada di tempat yang jauh dari desa, 
dan seorang diri. 
"Rumahku tidak jauh dari sini. Marilah singgah 
sebentar, Kakang...," jawab dara cantik itu singkat. 
Tanpa menunggu jawaban Somanggala, gadis itu 
segera membalikkan tubuh meninggalkan tepian 
sungai. 
Setelah berpikir sejenak, Somanggala bergegas 
mengikuti langkah dara cantik yang telah mem-
buatnya gelisah itu Diam-diam sepasang matanya 
mencuri pandang sosok dara itu dari belakang. 
Untuk kesekian kalinya, darah pemuda gagah itu
berdesir. Sosok di depannya demikian padat dan 
menggairahkan, membuatnya harus membuang 
pandang matanya ke arah lain. Gadis ini terlalu 
menarik, bisiknya dalam hati. Mau tak mau Soma-
nggala harus mengakui kelebihan-kelebihan gadis di 
depannya. 
Dan Somanggala merasa waktu demikian singkat, 
ketika dara cantik itu menunjuk sebuah gubuk 
sederhana yang letaknya agak terpencil. 
"Itukah tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala 
tak bisa menahan keingintahuannya. 
"Yaaah, di gubuk itulah aku tinggal. Kedua orang 
tuaku telah meninggal. Kini aku seorang diri...,” sa-
hut gadis cantik itu sambil menundukkan wajahnya 
yang kelihatan menyimpan duka. 
"Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu sedih...." 
Somanggala merasa iba melihat kedukaan 
membayang di wajah gadis itu. Ingin rasanya me-
meluk dan menghiburnya dengan kata-kata lembut. 
Tapi Somanggala tidak berani. Mereka baru saja 
bertemu, dan nama gadis cantik itu pun belum dike-
tahuinya. 
"Silakan, Kakang...," ucap gadis itu, memper-
silakan Somanggala masuk. 
Untuk beberapa saat pemuda itu berdiri di 
ambang pintu, memperhatikan ruangan yang hanya 
diisi sebuah balai-balai bambu. Itu pun kelihatan 
sudah tua dan reot Somanggala duduk di balai-balai 
menanti gadis cantik yang telah masuk ke dalam. 
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu muncul 
kembali membawa dua buah gelas bambu di tangan 
kanannya. Dan menyerahkannya kepada Somang-
gala. 
"Hanya air teh dingin, Kakang. Aku takut kalau 
menghangatkan Kakang akan menunggu lama...," 
ujar gadis cantik itu dengan tatapan minta maaf.

"Tidak apa, ini sudah cukup," sahut Somanggala 
menyambut gelas bambu. 
Dada pemuda itu kembali berdebar ketika tanpa 
sengaja jemari tangan mereka bersentuhan. 
"Mmm.... Namaku Somanggala. Dan, biasa di-
panggil Soma...," lanjutnya memperkenalkan diri. 
"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri. 
Namaku Seruni," ujar gadis cantik itu setelah sadar 
kalau mereka belum berkenalan. 
"Seruni...," desah Somanggala mengulang nama 
itu, seolah ingin melekatkannya dalam hati. "Sebuah 
nama yang sangat indah dan serasi dengan pemilik-
nya...." 
"Ahhh...." 
Seruni mendesah dengan wajah tertunduk malu. 
Gadis itu merasa jengah dengan pujian Somanggala. 
"Ahhh..., hari sudah sore. Aku harus segera 
pulang, Seruni Lain kali aku akan singgah ke sini 
Tentu saja kalau kau tidak keberatan...," ujar 
Somanggala seraya melepaskan pandang ke luar 
jendela disertai desahan penuh sesal, karena sebe-
narnya ingin berdekatan lebih lama dengan gadis 
cantik itu. 
"Tentu saja aku tidak keberatan, Kakang. Ja-
ngan-jangan Kakang sendiri yang enggan datang 
kemari. Karena rumahku hanya gubuk tua yang 
reot..," kilah Seruni tersenyum manis, membuat 
Somanggala kembali harus membuang muka, tak 
tahan melihat senyum gadis cantik itu. 
"Hhh... Kalau saja aku tidak mengingat tata 
kesopanan, mungkin aku akan bermalam di sini, 
Seruni...," kata Somanggala terus-terang, seraya 
menatap wajah Seruni dengan sinar mata aneh. 
Seruni hanya tersipu menundukkan wajah. Seba-
gai seorang gadis yang cukup dewasa, dapat ditang-
kap arti tatapan mata Somanggala.

"Seruni..." 
Gadis cantik itu tersentak kaget ketika tahu-tahu 
Somanggala telah berdiri di depannya, dan meng-
genggam jemari tangannya. Wajahnya semakin me-
rah karena jengah. Meskipun demikian, genggaman 
tangan Somanggala tidak berusaha dilepaskannya. 
Sehingga pemuda itu semakin berani menyentuh 
wajah Seruni. 
"Apabila urusanku telah selesai, aku akan kem-
bali untuk membawamu tinggal di rumahku...," ujar 
Somanggala dengan suara agak parau terbawa 
perasaan. 
Seruni masih tidak bergerak ketika Somanggala 
melepaskan genggaman tangannya dan beranjak 
pergi. Gadis itu baru berani mengangkat wajah, saat 
bayangan pemuda tegap itu sudah jauh. Sekilas 
terlihat senyum aneh di bibir gadis cantik itu. 
*** 
Dua sosok tubuh bergerak memasuki sebuah 
kedai makan yang banyak didatangi pengunjung. 
Keduanya langsung mengambil tempat kosong. 
Meskipun letak meja itu agak ke sudut, namun cu-
kup leluasa untuk memperhatikan sekeliling ruang-
an kedai. Mereka duduk diam menanti hidangan 
yang telah dipesan. 
"Desa apakah ini. Paman? Nampaknya, pen-
duduknya cukup padat...," tanya pemuda tampan 
yang tubuhnya terbungkus jubah putih, pada pela-
yan kedai yang datang membawa pesanan mereka. 
"Wah...! Kalian rupanya pendatang dari jauh, ya? 
Desa ini bernama Jati Mulya. Penduduknya tidak 
terlalu padat Jika dalam beberapa hari ini kelihatan 
sangat ramai, karena akan ada pertarungan di atas 
Panggung Kematian. Peristiwa inilah yang membuat

Desa Jati Mulya ramai, dan banyak didatangi orang 
dari luar desa. Peristiwa ini juga membuat orang-
orang yang membuka usaha seperti kami, bisa 
mendapat keuntungan berlipat..," pelayan berusia 
separuh baya itu terkekeh ketika mengakhiri pen-
jelasannya. Sedangkan pemuda tampan berjubah 
putih itu hanya tersenyum. 
"Pertarungan di atas Panggung Kematian...? Apa 
itu. Paman? Kedengarannya aneh dan menyeram-
kan...," tanya pemuda tampan itu lagi. 
"Panggung Kematian itu sebenarnya hanya se-
butan untuk tempat pertarungan mati-matian. Se-
tiap kali ada pertarungan, korban pasti jatuh. Itulah 
sebabnya, arena adu ilmu kesaktian itu disebut 
Panggung Kematian," jelas pelayan kedai dengan 
wajah berseri. Karena merasa bangga bisa mem-
beritahukan peristiwa menarik itu kepada pengun-
jung kedainya. 
"Maksud Paman, orang-orang yang bertarung 
baru dinyatakan menang apabila dapat menewaskan 
lawan...?" tanya pemuda tampan itu menegasi. 
Sedang dara jelita di sebelahnya hanya mende-
ngarkan tanpa terlihat keinginan untuk menimpali 
pembicaraan itu. 
"Begitulah peraturan yang ditetapkan Ki Ja-
rangka, yang menjadi penyelenggara pertarungan," 
jawab pelayan kedai. 
"Lalu.... Apa yang dicari para petarung itu? 
Apakah mereka mendapatkan uang sebagai imbal-
annya...?" pemuda tampan itu kembali melanjutkan 
pertanyaannya dengan penuh keingintahuan. 
"Benar. Petarung yang memenangkan perke-
lahian, akan mendapat imbalan uang yang cukup 
besar. Itu pun sudah menjadi ketetapan pihak pe-
nyelenggara. Karena orang-orang yang menyaksikan 
pertarungan dikenakan biaya beberapa keping uang.

Nah, dari hasil pungutan itulah, sang Juara men-
dapatkan bayarannya...," jelas pelayan kedai yang 
rupanya penggemar pertarungan Panggung Kema-
tian. 
Pemuda tampan berjubah putih merasa cukup 
puas dengan keterangan yang diperolehnya. Kepala-
nya mengangguk sopan saat pelayan kedai minta 
diri untuk melayani pengunjung lain yang berda-
tangan. 
"Kelihatannya kau sangat tertarik dengan per-
tarungan Panggung Kematian, Kakang...?" tegur 
dara jelita berpakaian hijau di sebelah pemuda tam-
pan itu, sesaat setelah pelayan kedai meninggalkan 
mereka. 
"Kedengarannya cukup menarik. Kalau kau tidak 
keberatan, kita bermalam di desa ini. Dengan 
demikian, kita bisa menyaksikan peristiwa itu esok 
hari...," sahut pemuda tampan itu. 
"Untuk apa menyaksikan pertarungan itu, Ka-
kang. Mereka hanya orang-orang kasar yang memi-
liki sedikit kepandaian. Kemudian memanfaatkan-
nya untuk mencari uang dan ketenaran, agar dita-
kuti dan dihormati orang...," bantah dara jelita itu. 
Agaknya usul pemuda tampan berjubah putih itu 
kurang disetujuinya. 
"Jangan berprasangka buruk dulu, Kenanga. 
Siapa tahu mereka bukan orang-orang kasar seper-
ti yang kau sangka. Walaupun benar petarung-
petarung itu melakukannya untuk uang dan 
ketenaran, tapi yang jelas pertarungan itu berbeda 
dengan yang kita ketahui selama ini. Bisanya para 
petarung mencari kemenangan dan imbalan. Entah 
itu berupa julukan, keperkasaan, atau suatu jaba-
tan. Tapi mereka hanya sebatas memperoleh keme-
nangan, tanpa harus membunuh lawan. Sedangkan 
pertarungan Panggung Kematian harus membunuh

lawan, baru kemudian dinyatakan menang. Nah, 
bukankah ini sangat menarik untuk diketahui latar 
belakangnya...?" jelas pemuda tampan berjubah 
putih itu yang dapat dipastikan bernama Panji. 
Sebab, siapa lagi yang bersama Kenanga kalau 
bukan Panji, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar 
Naga Putih. 
"Terserah Kakang sajalah...," ujar Kenanga 
menyerah. "Menurutku, mereka orang-orang kasar 
yang tidak menghargai nyawa manusia. Hal seperti 
itu tidak perlu diselidiki, tapi harus diberantas! 
Sebab, bisa saja kawan atau kerabat pihak yang 
kalah dan terbunuh akan menuntut balas di Pang-
gung Kematian. Jadi lebih banyak mendatangkan 
akibat buruk, daripada kebaikan atau keuntung-
an...," bantah Kenanga. 
"Kita lihat saja besok. Apakah mereka orang-
orang kasar yang hanya mengandalkan sedikit 
kepandaian, atau orang-orang berkepandaian tinggi 
yang gila bertarung. Sebab, tidak sedikit tokoh-
tokoh seperti itu dalam dunia persilatan...," jelas 
Panji yang rupanya tetap ingin menyaksikan per-
tarungan di atas Panggung Kematian. 
Kenanga tidak membantah lagi. Gadis itu jadi 
penasaran ingin melihat kepandaian para petarung. 
Tanpa banyak cakap lagi, perhatiannya dialihkan 
pada hidangan di atas meja. Kemudian, menyan-
tapnya perlahan. 
"Kita harus segera mencari penginapan. Aku 
khawatir tidak mendapatkannya bila terlambat me-
mesan. Melihat banyaknya orang yang datang ke 
desa ini, bukan tidak mungkin penginapan penuh," 
kata Panji saat mereka menyusuri jalan utama Desa 
Jari Mulya.

Karena kedai makan tadi tidak menyediakan 
kamar untuk menginap, maka mereka harus men-
cari di tempat lain. 
Kekhawatiran Panji terbukti. Semua penginapan 
yang memang tidak banyak di Desa Jari Mulya, 
telah penuh. Sehingga, mereka tidak mendapat 
tempat untuk melewatkan malam. 
"Apa yang harus kita perbuat, Kakang...?" tanya 
Kenanga yang merasa putus asa setelah gagal 
mencari tempat menginap, walaupun mereka telah 
mengelilingi desa. 
"Kita datangi rumah penduduk. Siapa tahu di 
antara mereka ada yang bersedia menerima kita 
untuk bermalam," usul Panji yang rupanya tidak 
kehilangan akal mendapatkan tempat bermalam. 
Kenanga menurut saja ketika kekasihnya me-
langkah menuju rumah terdekat. Rupanya nasib 
mereka masih cukup baik. Penghuni rumah seder-
hana itu mengizinkan mereka menginap. Meskipun 
hanya dua balai-balai bambu yang sudah reot, tapi 
mereka menerima dengan gembira. 
"Hanya ini yang bisa Paman berikan untuk Tuan 
Muda berdua. Maklumlah, kami orang miskin...," 
sesal orang tua itu, meminta maaf tidak bisa me-
nyediakan tempat yang lebih baik bagi tamunya. 
"Tidak mengapa, Paman. Ini sudah lebih dari 
cukup. Diizinkan untuk menginap saja, sudah baik 
bagi kami...," sahut Panji tersenyum kepada lelaki 
tua berusia setengah baya itu. 
Setelah mempersilakan kedua tamunya untuk 
beristirahat, lelaki setengah baya itu pun bergegas 
menuju kamarnya. Karena Panji dan Kenanga bera-
da di ruang depan. 
"Kelihatannya pemilik rumah ini benar-benar 
miskin, Kakang...," bisik Kenanga.

Saat itu mereka telah membaringkan tubuh di 
balai-balai masing-masing, yang letaknya tidak ber-
jauhan. 
"Hm..., kita jauh lebih miskin daripada orang tua 
itu, Kenanga. Karena kita tidak mempunyai tempat 
tinggal. Sedangkan orang tua itu masih punya, 
meskipun hanya sebuah gubuk tua...," sahut Panji, 
membuat Kenanga mencibirkan bibir, bersungut-
sungut. 
Panji tersenyum melihat kekasihnya memaling-
kan wajah ke bilik tidak mau memandangnya lagi. 
"Kau ingin aku membangun rumah untuk kita 
berdua tinggal...?" tanya Panji, sekadar ingin meng-
goda kekasihnya. 
"Tidak tahu ah! Aku mau tidur...," sahut 
Kenanga, yang kemudian tidak berkata-kata lagi. 
Panji tahu Kenanga tidak mungkin bisa tidur 
dengan cepat. Tapi pemuda itu tidak menggang-
gunya lagi. Matanya kemudian dipejamkan dengan 
bibir masih mengulas senyum. 
* * *

TIGA

Pagi ini di sebuah lapangan rumput yang le-
taknya cakup jauh dari Desa Jati Mulya, tampak 
orang berkerumun mengelilingi sebuah panggung 
yang cukup luas. Tapi itu tidaklah mengherankan. 
Karena pada pagi itu akan berlangsung pertaru-
ngan antara Somanggala melawan Garbanaka. 
Somanggala yang telah berkali-kali memenang-
kan pertarungan di atas Panggung Kematian, kini 
harus berhadapan dengan seorang tokoh dari sela-
tan yang berjuluk Tendangan Angin Topan. Selain 
terkenal dengan kehebatan ilmu tendangannya, Gar-
banaka juga seorang yang licik dan selalu mem-
banggakan kepandaiannya. Tidak jarang Garbanaka 
bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan 
kesaktiannya. 
Sedang Somanggala yang dijuluki Jagoan Pang-
gung, adalah seorang pemuda sederhana yang se-
nantiasa selalu menjunjung tinggi kegagahan. Jika 
harus membunuh lawan-lawannya di atas pang-
gung, itu karena terikat peraturan, dan demi ke-
langsungan hidup keluarga. Sayang, Somanggala 
terlambat menyadari keterlibatannya. Sudah telan-
jur menceburkan diri, tidak ada istilah mundur 
kecuali sudah bosan hidup. 
Saat orang-orang yang berkerumun di bawah 
panggung telah semakin padat, muncullah seorang 
lelaki tinggi besar berwajah brewok. Langkahnya 
demikian mantap. Lelaki itu menaiki panggung 
dengan dada membusung. Sepasang matanya ber-
gerak ke kiri dan kanan disertai senyum mengejek, 
menandakan kesombongan hati. 
"Hidup Garbanaka...!"

Terdengar sorak-sorai dan teriakan di sana-sini, 
menyambut kemunculan lelaki kekar yang tidak lain 
Garbanaka atau lebih dikenal berjuluk Tendangan 
Angin Topan. Dan. orang-orang yang berteriak itu 
adalah pendukung Garbanaka. Beberapa di antara 
mereka bertaruh untuk kemenangan Tendangan 
Angin Topan. 
"Hidup Tendangan Angin Topan...!" 
Beberapa kelompok yang berada di kanan 
panggung, ikut bersorak menyambut Garbanaka. 
Membuat lelaki kekar berwajah brewok itu semakin 
congkak saja. Tangan kanannya melambai ke arah 
para pendukungnya. 
Tidak berapa lama kemudian, sosok yang di-
tunggu-tunggu muncul dengan segala kesederha-na-
annya. Sosok tegap berwajah tampan itu tak lain 
dari Somanggala. Beberapa pendukung pemuda itu 
tampak mengerutkan alis ketika melihat wajah 
Somanggala pucat. Tentu saja mereka heran. Sebab 
tidak biasanya Somanggala sepucat itu dalam 
menghadapi lawan-lawannya. Kenyataan itu me-
nimbulkan bermacam pertanyaan di hati para pen-
dukungnya. 
"Aneh...? Mengapa jagoan kita kelihatan gelisah 
dan pucat? Apakah dia gentar menghadapi Gar-
banaka...?" desis seorang lelaki tinggi kurus yang 
mengenakan pakaian cukup mewah. 
Melihat penampilannya, agaknya orang itu ber-
taruh cukup besar untuk kemenangan Somanggala. 
"Hm.... Mustahil Somanggala gentar menghadapi 
tokoh dari selatan itu. Bukankah dia sering ber-
tarung melawan orang-orang yang kepandaiannya 
hampir setingkat dengan Garbanaka? Mungkin 
Somanggala sedang sakit..," sahut lelaki gemuk 
berwajah kelimis, yang rupanya juga pendukung 
Somanggala.

Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak 
lepas dari wajah Somanggala. Nampak kekhawatiran 
membayang jelas di wajahnya. Bukan khawatir jika 
Somanggala mengalami cidera atau kalah. Tapi 
khawatir jika harta yang dipertaruhkannya untuk 
kemenangan pemuda itu hilang. 
"Ha ha ha...!" 
Garbanaka tergelak dengan sikap yang sangat 
jumawa. Lelaki itu menertawakan Somanggala yang 
kelihatan pucat dan tidak bersemangat. Bahkan di 
kening pemuda tegap berwajah tampan itu terlihat 
bintik-bintik keringat. Entah apa yang dirasakan 
Jagoan Panggung itu. 
Somanggala seperti tak peduli dengan tawa me-
ngejek calon lawannya. Pemuda itu terus melangkah 
ke kanan panggung. Dan berdiri tegak setelah 
membungkukkan tubuh ke empat penjuru untuk 
memberi penghormatan. 
Saat kedua petarung sudah siap di sudut masing-
masing, muncul seorang lelaki tinggi kurus, me-
langkah ke tengah panggung dengan senyum lebar. 
"Saudara-saudara sekalian. Sebentar lagi kita 
menyaksikan sebuah pertarungan yang sangat men-
debarkan. Di kanan saya Somanggala, si Jagoan 
Panggung. Sedang lawannya kali ini seorang tokoh 
dari selatan yaitu Garbanaka, alias Tendangan 
Angin Topan," ujar lelaki tinggi kurus memperke-
nalkan kedua petarung kepada penonton yang ber-
jubel. 
Ketika penonton berteriak-teriak agar perta-
rungan segera dilaksanakan, lelaki tinggi kurus se-
gera memerintahkan kepada Somanggala dan Gar-
banaka maju ke tengah panggung. 
"Kalian pasti sudah tahu peraturan pertarungan 
iri, bukan..,?" tanya lelaki tinggi kurus seraya menoleh kepada Somanggala dan Garbanaka berganti-
ganti. 
Kedua petarung menganggukkan kepala dengan 
gerakan pasti. Kemudian mundur beberapa tindak, 
ketika lelaki tinggi kurus itu memerintahkan untuk 
bersiap. 
"Hmhhh...!" 
Garbanaka menggeram sambil memasang kuda-
kuda kokoh dan kuat. Sepasang matanya men-
corong tajam dan tangannya terbuka, siap me-
lancarkan serangan. 
Somanggala kelihatan sepera orang kurang ber-
semangat. Meskipun butir-butir keringat di kening-
nya semakin banyak, namun pemuda itu tidak 
mempedulikannya. Melihat lawannya bersiap, So-
manggala menarik mundur kaki kanannya sambil 
merendahkan tubuh. Dan menggeser kaki kiri ke 
samping, dengan kedua tangan menekuk ke kanan. 
"Kakang, lelaki tegap yang bernama Somanggala 
itu rupanya tidak siap bertarung. Lihat saja wajah-
nya yang pucat dan berkeringat..." 
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang 
menyaksikan pertarungan di kanan panggung, ber-
bisik kepada pemuda tampan berjubah putih di se-
belahnya. Tampak jelas kalau dara jelita itu mence-
maskan keadaan Somanggala yang tidak siap ber-
tarung. 
"Benar. Aku pun agak mengkhawatirkannya. 
Tapi..., kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau perta-
rungan ini kuhentikan, penonton akan marah. Jadi 
kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Aku 
belum tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda 
yang bernama Somanggala itu. Jarak antara pang-
gung dengan kita cukup jauh," sahut pemuda 
tampan berjubah putih, yang tak lain dari Panji.
Memang jarak antara Panji dan Kenanga dengan 
Panggung Kematian, terpisah sekitar tiga tombak 
lebih. 
"Mungkin Somanggala gentar menghadapi lawan-
nya, Kakang...?" tanya Kenanga lagi, yang rupanya 
oelum bisa menghilangkan keheranan di hatinya. 
"Entahlah, Kenanga. Tapi menurutku bukan itu 
persoalannya. Sebagai petarung yang sudah bebe-
rapa kali mengalahkan lawan-lawannya, Somang-
gala tidak lagi mengenal kata takut. Mungkin hanya 
kurang sehat," jawab Panji. 
"Jika benar Somanggala tidak siap bertarung 
karena kesehatannya terganggu, apa tidak sebaik-
nya pertarungan itu ditunda dulu, Kakang...?" ujar 
Kenanga lagi, tidak setuju jika pertarungan tetap 
berlangsung. Padahal salah seorang petarung tidak 
siap bertarung. 
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Jika dugaanmu 
benar kalau Somanggala kurang sehat, aku akan 
berusaha menghentikan pertarungan. Sebaiknya ki-
ta lihat saja dulu...," sahut Panji akhirnya. 
Kenanga tampaknya puas dengan jawaban ke-
kasihnya. Terbukti pandangannya sudah beralih ke 
atas panggung, dan memperhatikan kedua petarung 
yang saling bergerak mendekati. 
"Haaat...!" 
Garbanaka rupanya ingin menyelesaikan per-
tarungan secepatnya. Serangan-serangannya me-
ngandung tenaga dan kecepatan yang menggetar-
kan. Agaknya lelaki itu ingin melumpuhkan lawan-
nya hanya dengan satu serangan. 
Bettt! Wuttt...! 
Kaki dan tangan Garbanaka bergerak cepat me-
nimbulkan desiran angin tajam, mengancam bagian-
bagian terlemah tubuh lawan. Somanggala kelihatan 
tidak berani menyambut serangan lawan secara

langsung. Terbukti pemuda tegap berwajah tampan 
itu menggeser langkahnya ke samping. Dan ketika 
serangan lawan luput dari sasaran, kaki kanannya 
digeser ke depan seraya mengirimkan sodokan jari-
jari tangan yang mengancam ulu hati dan iga 
Garbanaka. 
Wuttt...! 
Dua buah serangan balasan yang dilancarkan 
Somanggala memang cukup berbahaya, dan memi-
liki kecepatan yang mengagumkan. Tapi Garbanaka 
tidak berusaha menghindari serangan itu. Tubuh-
nya malah bergerak ke depan sambil menyilangkan 
kedua lengannya menangkis serangan lawan. Dan.... 
Dukkk! Plakkk! 
Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan 
yang dilindungi tenaga sakti saling berbenturan 
keras. Dan para pendukung Somanggala serentak 
terpekik kaget. Betapa tidak? Tampak jagoan mere-
ka terjajar mundur, hampir terpelanting ke bawah 
panggung. Untunglah pemuda itu dapat menye-
lamatkan diri dengan bergulingan ke samping, dan 
bangkit dengan kuda-kuda goyah. 
"Ha ha ha...! Mana kekuatanmu, Somanggala? 
Ayo tunjukkan padaku...!" 
Garbanaka tertawa terbahak-bahak melihat tu-
buh lawan hampir terpelanting ke bawah pang-
gung. Lelaki kekar bercambang bauk itu semakin 
sombong saja saat melihat wajah Somanggala ber-
tambah pucat. Garbanaka merasa kemenangan 
telah berada di depan mata. 
Somanggala rupanya tidak bergairah menanggapi 
ejekan lawan. Keadaan tubuhnya kelihatan semakin 
lemah. Dan tatapan matanya layu. Kenyataan itu 
membuat para pendukungnya khawatir. Beberapa di 
antara mereka berteriak-teriak memberi semangat 
kepada pemuda tegap berwajah tampan itu.

"Somanggala! Jangan kecewakan kami! Tunjuk-
kan kehebatanmu, lumpuhkan lawanmu seperti kau 
menjatuhkan lawan-lawanmu terdahulu...!" teriak 
seorang pendukung Somanggala. 
Orang itu agaknya mempertaruhkan banyak 
harta demi kemenangan Somanggala. Tidak heran 
jika ia lebih bersemangat memberi dorongan kepada 
jagoannya, yang kali ini sangat loyo dan tidak bisa 
diharapkan 
"Hm..,. Jelas sudah, Somanggala memang tidak 
siap bertarung. Kau lihat sendiri, Kakang. Rasanya 
mustahil jika hanya sekali berbenturan saja, 
pemuda itu sudah tidak berdaya. Kita harus segera 
bertindak, Kakang...." 
Kenanga yang melihat keadaan Somanggala 
semakin parah, tidak bisa menahan diri lagi. Kalau 
saja Panji tidak cepat mencegah, mungkin tubuh 
dara Jelita itu sudah melayang ke atas panggung. 
"Sabarlah, Kenanga. Kita tidak bisa turun-tangan 
begitu saja. Tunggulah sebentar lagi. Percayalah, 
aku tidak akan berdiam diri melihat ketidakadilan 
terjadi di depan mata...," ujar Panji ketika dara jelita 
itu memandangnya dengan tatapan penuh teguran. 
Untuk kesekian kalinya, Kenanga kembali me-
nuruti kata-kata kekasihnya. Meskipun rasa pena-
saran masih membayang di wajahnya, dara jelita itu 
tetap berdiri di tempatnya menunggu kejadian yang 
terjadi di atas Panggung Kematian. 
"Yeaaa...!" 
Garbanaka yang semakin bernafsu menghabisi 
lawan, menerjang maju sambil mengeluarkan ben-
takan nyaring menggelegar. Tubuh lelaki kekar itu 
melesat ke depan dengan sebuah pukulan keras 
yang menerbitkan deruan angin tajam. 
Serangan pertama masih dapat dielakkan So-
manggala dengan susah-payah. Tapi pada serangan

serangan berikutnya, tubuh pemuda tegap itu 
terpaksa harus menerima pukulan dan tendangan 
lawan. 
Bukkk! Desss...! 
"Huakhhh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Somanggala terpe-
lanting. Darah segar termuntah seiring dengan 
terbantingnya tubuh tegap itu ke lantai panggung. 
"Uhhh...!" 
Meskipun keadaan tubuhnya semakin bertambah 
lemah, Somanggala berusaha bangkit dan melanjut-
kan pertarungan. 
"Yeaaah...!" 
Baru saja Somanggala bergerak bangkit, Gar-
banaka sudah meluncur dengan sebuah tendangan 
berputar! 
Desss...! 
"Aaakh...!" 
Tendangan yang keras itu, membuat tubuh So-
manggala tersentak dan kembali terbanting di lantai 
panggung dengan suara berdebum. Darah segar 
kembali termuntah dari mulutnya. Kali ini So-
manggala tidak mampu bangkit berdiri. Pemuda itu 
merasa dadanya sesak akibat hantaman telapak 
kaki lawan. 
'Tamatlah riwayatmu, Somanggala...!" desis Gar-
banaka dengan sorot mata tajam menggambarkan 
nafsu membunuh yang berkobar dalam dadanya. 
Usai berkata demikian, tubuh lelaki brewok itu 
kembali meluncur. 
"Hiaaah...!" 
Agaknya Garbanaka ingin meremukkan kepala 
lawan dengan sekali pijak. Lelaki kekar berwajah 
brewok itu melesat ke udara. Kemudian meluncur 
turun dengan sepasang kaki siap dijejakkan kebatok kepala Somanggala, yang hanya bisa me-
nunggu datangnya maut dengan mata terpejam. 
Namun malaikat maut enggan mengambil nyawa 
pemuda tegap itu. Ketika sepasang telapak kaki 
Garbanaka meluncur turun dengan deras, sesosok 
bayangan putih berkelebat ke atas panggung, me-
nyambut serangan maut Garbanaka. 
Bresssh...! 
"Aihhh...?!" 
Garbanaka memekik kaget ketika melihat sosok 
bayangan putih menyambut serangannya. Benturan 
keras tak terelakkan lagi. Akibatnya tubuh Garba-
naka yang tinggi besar dan kekar, terlempar balik 
bagai membentur benda kenyal. 
Tapi lelaki kekar itu masih mampu menguasai 
keseimbangan tubuhnya. Dengan dua kali putaran 
di udara yang dibarengi bentakan nyaring, Garba-
naka meluncur turun di lantai panggung dengan 
kedua kaki lebih dahulu. Kenyataan itu menunjuk-
kan kalau ilmu meringankan tubuh Garbanaka 
tidak bisa dipandang ringan. 
"Bagus...!" 
Pujian itu datang dari sosok berjubah putih yang 
telah menyelamatkan nyawa Somanggala dari kema-
tian. Sosok sedang dengan sorot mata tajam itu 
berdiri tegak di dekat Somanggala yang masih belum 
menyadari nyawanya telah diselamatkan. 
Somanggala yang merasa heran serangan lawan 
belum menghantamnya, perlahan membuka mata. 
Sepasang matanya yang semula redup terbeliak 
heran melihat sosok berjubah putih berdiri membe-
lakangi. Sama sekali tidak disangka kalau sosok 
berjubah putih itu telah menyelamatkannya dari 
kematian. Selama ini tidak ada yang berani men-
campuri pertarungan di atas Panggung Kematian. 
Itulah sebabnya, Somanggala merasa heran saat

menyadari apa yang dilakukan sosok berjubah putih 
itu. 
Perbuatan sosok berjubah putih itu tidak hanya 
membangkitkan kemarahan Garbanaka, yang me-
rasa hampir mencapai kemenangan. Para penonton 
yang berkerumun di sekitar panggung pun berte-
riak-teriak mencela perbuatannya. Demikian juga Ki 
Jarangka yang menjadi ketua penyelenggara per-
tarungan maut itu. Kalau ada pihak pendukung So-
manggala yang diam-diam bersyukur atas kejadian 
itu, hanya beberapa gelintir saja. Suasana jadi ribut 
dengan teriakan-teriakan dan makian yang ditu-
jukan kepada sosok berjubah putih itu. 
"Hei, Bocah Goblok! Apa kau tidak tahu pera-
turan pertandingan?! Ayo, lekas turun! Biarkan Ten-
dangan Angin Topan menyelesaikan pertanding-
an...!" seru seorang penonton pendukung Garba-
naka. 
Orang itu marah karena perbuatan sosok ber-
jubah putih yang tidak lain Panji, membuat keme-
nangan yang hampir dapat diraihnya terbang. 
'Turun kau, Pemuda Tolol! Tidak seharusnya kau 
berada di atas panggung dan mencampuri per-
tarungan...!" teriak penonton lain, geram. 
Sementara, Ki Jarangka bergerak bangkit dari 
kursi. Namun langkahnya tertunda saat melihat 
Garbanaka maju menghampiri pemuda tampan 
berjubah putih itu dengan sorot mata berapi. Ru-
panya kemarahan lelaki kekar itu jauh lebih besar 
daripada penonton maupun penyelenggara per-
tarungan. 
Langkah Garbanaka berhenti beberapa tindak di 
hadapan sosok berjubah putih itu. Sepasang mata-
nya yang memerah saga, mencorong tajam, bagai 
hendak menelan bulat-bulat sosok di depannya. 
Sedangkan Panji tetap tenang, seperti tidak mempedulikan kemarahan si Tendangan Angin Topan 
itu. 
"Bocah! Kau pasti bukan penduduk daerah sini. 
Dan belum tahu peraturan pertandingan yang 
berlaku di atas panggung, bukan? Nah, ketahuilah. 
Pertarungan di atas panggung baru berakhir dan 
seorang petarung menang jika telah berhasil mene-
waskan lawan. Sekarang menyingkirlah dari sini, 
sebelum aku melemparmu ke bawah!" ujar Gar-
banaka, berbaik hati di hadapan orang banyak. 
Lelaki brewok itu tidak ingin langsung menghajar 
Pendekar Naga Putih, yang mungkin mempunyai 
kawan di antara para penonton. Agaknya, Gar-
banaka telah memperhitungkan kemungkinan-ke-
mungkinan yang merugikan jika langsung mengha-
jar Panji. " 
"Garbanaka," ujar Panji tenang, membuat 
Garbanaka mengerutkan kening. "Aku sudah tahu 
peraturan yang berlaku di atas panggung mi. Me-
nurutku pertarungan seperti ini tidak pantas dila-
kukan orang-orang gagah yang menjunjung tinggi 
keadilan. Aku percaya kau termasuk orang yang 
kumaksud. Alasan itu yang membuatku terpaksa 
mencampuri ketidakadilan ini. Apalagi aku melihat 
Somanggala tidak siap bertarung. Kau lihat sendiri, 
bukan? Apa kau tidak malu memperoleh keme-
nangan dari lawan yang tubuhnya tidak sehat? 
Somanggala sedang sakit, Garbanaka...," jelas Panji 
panjang lebar. 
Suaranya yang lantang dan jelas terdengar, 
membuat pendukung Somanggala menganggukkan 
kepala, membenarkan ucapan pemuda itu. Apalagi 
beberapa pendukung Somanggala yang sempat 
merasa heran melihat jagoan mereka naik ke atas 
panggung dengan wajah pucat dan tidak bersemangat.

"Pemuda itu benar! Somanggala memang sedang 
sakit, jadi wajar saja jika tidak bisa bertarung 
dengan baik. Pertarungan ini tidak sah...!" teriak 
seorang pendukung Somanggala, membenarkan 
ucapan Panji. 
Teriakan itu tidak sepenuhnya ingin membela 
Somanggala secara tulus, tapi karena takut uang-
nya lenyap. Itu bisa terjadi jika Somanggala tewas di 
tangan Garbanaka. Tapi setidaknya, teriakan itu 
mengundang simpati orang pada Somanggala. 
Panji mengetahui hal itu. Pemuda itu tersenyum 
tenang. Apa pun alasan pendukung Somanggala 
yang membenarkan ucapannya, tidak menjadi soal. 
Yang penting bisa menghentikan pertarungan dan 
menyelamatkan Somanggala dari kematian. 
"Bohong! Aku tidak percaya kalau Somanggala 
kurang sehat! la hanya berpura-pura membenarkan 
ucapanmu, takut uangnya lenyap karena kalah 
bertaruh! Pertandingan ini sah, dan akan kulanjut-
kan!" bentak Garbanaka dengan suara menggelegar. 
Lelaki kekar berjuluk Tendangan Angin Topan itu 
tidak mau menerima alasan yang dikemukakan 
Panji maupun pendukung Somanggala. Bahkan 
kelihatan sudah siap menghabisi nyawa Somanggala 
yang. terduduk di belakang Panji. Agaknya Garba-
naka tidak peduli jika pemuda tampan di depannya 
menghalangi niatnya. 
“Tahan amarahmu, Garbanaka! Kalau niatmu 
kau teruskan, aku terpaksa bertindak sedikit ka-
sar...!" cegah Panji seraya mengulurkan tangan, 
menghalangi niat Garbanaka. 
"Keparat! Rupanya kau minta dilenyapkan lebih 
dulu, Bocah Tolol!" geram Garbanaka tidak bisa 
dicegah lagi kehendaknya. 
Sadar Garbanaka harus dicegah dengan jalan 
kekerasan. Panji bergerak mundur beberapa langkah. Maksudnya hendak membawa Somanggala ke 
tepi panggung dihentikan, ketika matanya menang-
kap sesosok bayangan hijau bergerak ke atas 
panggung dan meluncur turun di dekatnya. 
"Biar aku yang mengurus Somanggala, Kakang. 
Kau berikan sedikit pelajaran kepada lelaki brewok 
itu, agar terbuka matanya dan tidak lagi meman-
dang dirinya orang yang paling pandai..," ujar sosok 
ramping terbungkus pakaian hijau, yang tidak lain 
Kenanga. Tanpa menunggu jawaban Panji, Kenanga 
langsung menyambar tubuh Somanggala, siap 
dibawa turun ke bawah panggung. 
Tapi penonton yang mendukung Garbanaka 
sudah telanjur marah. Melihat seorang gadis siap 
melarikan Somanggala, belasan orang yang berada 
di bawah panggung melempari dengan batu-batu. 
Tentu saja Kenanga yang mendapat serangan dari 
segala arah itu menjadi jengkel. Dengan sebelah 
tangan, dikibaskannya semua serangan. Dan kibas-
an lengan dara jelita itu dilakukan dengan tenaga 
sakti yang amat kuat. 
"Hiaaah,..!" 
Kibasan lengannya yang mempunyai kekuatan 
menggetarkan, berakibat fatal bagi penonton yang 
berada di sekitar panggung. Belasan orang yang 
berada di barisan depan berteriak kesakitan, ketika 
batu-batu itu berbalik menghantam tubuh dan ke-
pala mereka. Kejadian itu membuat suasana yang 
sudah ribut semakin bertambah kacau. Apalagi di 
antara korban lemparan batu ada yang jatuh 
pingsan. Tentu saja kerumunan penonton itu men-
jadi kacau-balau. 
Penonton yang.di antaranya tidak sedikit memi-
liki kepandaian, marah melihat kejadian itu. Me-
reka segera berloncatan ke atas panggung. Jelas,
mereka ingin mengeroyok Panji dan Kenanga yang 
dianggap telah membuat kerusuhan di tempat itu. 
* * *

EMPAT

Melihat belasan penonton yang memiliki ke-
pandaian silat berlompatan ke atas panggung, Panji 
segera menggeser tubuhnya mendekati Kenanga. 
"Cepat bawa pergi Somanggala dari tempat ini. 
Biar aku akan menahan mereka, agar tidak menge-
jarmu...," bisik Panji tanpa mengalihkan pandangan 
dari calon lawan-lawannya. 
"Mengapa kita harus melarikan diri seperti se-
orang pengecut, Kakang? Aku sanggup merobohkan 
mereka...," bantah Kenanga marah melihat orang-
orang yang menurutnya pantas dihajar. 
"Kenanga, keadaan Somanggala belum kita 
ketahui pasti. Bisa saja kita merobohkan mereka 
tanpa mengerahkan banyak tenaga. Tapi bagai-
mana, seandainya Somanggala keburu tewas saat 
kita bertarung? Lagi pula kita berada di pihak yang 
salah, selama persoalan ini belum jelas. Kita harus 
meninggalkan tempat ini secepatnya. Aku khawatir 
penonton lain yang jumlahnya ratusan mulai ter-
pengaruh dan beramai-ramai mengeroyok kita. 
Daripada orang-orang tidak bersalah menjadi kor-
ban, lebih baik kita pergi...," tegas Panji, berbisik. 
Kali ini ditatapnya Kenanga, seolah minta penger-
tian dara jelita itu agar mau bersabar dan melihat 
kenyataan. 
"Kalau begitu keinginanmu, baiklah, Kakang...," 
sahut Kenanga mengalah dan bersiap meninggal-
kan Panggung Kematian. 
"Cegah gadis itu...! Jangan biarkan membawa 
Somanggala...!" 
Garbanaka yang tidak ingin kehilangan lawan-
nya, segera berseru memerintahkan orang-orang di

bawah panggung agar mencegah kepergian Kena-
nga. 
Penonton yang kebanyakan pendukung Garba-
naka, segera mencabut senjata masing-masing un-
tuk menghalangi kepergian Kenanga. Maka, saat 
dara jelita itu menjejakkan kaki di bawah panggung, 
puluhan orang telah mengepungnya dengan senjata 
terhunus. 
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manis...? Apa masih 
kurang puas dengan satu lelaki, hingga ingin mem-
bawa Somanggala yang tegap dan gagah itu...?" ejek 
seorang lelaki bermuka hitam dengan perawakan 
tinggi tegap. 
Lelaki itu menghadang Kenanga sambil menye-
ringai menampakkan giginya yang kehitaman. 
Kenanga yang menangkap maksud kotor di balik 
ucapan laki-laki bermuka hitam, menggeram dengan 
wajah merah. Sepasang matanya berkilat meman-
carkan api kemarahan yang berkobar di dalam 
dadanya. Tanpa banyak bicara, tubuhnya melesat 
ke depan seraya melontarkan sebuah pukulan yang 
mengarah lambung lelaki itu. 
Whuttt..! 
Kepalan tangan Kenanga yang halus dan mungil 
meluncur cepat disertai sambaran angin menderu. 
Lelaki bermuka hitam yang semula memandang 
rendah gadis itu terkejut. Cepat dia melompat 
mundur, menjauhi serangan lawan. 
"Keroyok gadis binal itu...!" teriak lelaki bermuka 
hitam, memerintah temannya untuk menyerbu 
Kenanga. 
"Heaaa...!" 
"Haaat...!" 
Tanpa diperintah dua kali, puluhan lelaki dengan 
senjata terhunus langsung bergerak maju me-
ngeroyok Kenanga. Sehingga Kenanga yang semula

hendak mengejar lawan, terpaksa menarik pulang 
serangannya, dan langsung dikibaskan ke kiri sam-
bil membentak nyaring. 
"Hiaaah...!" 
Whusss! 
"Ahhh...?!" 
Delapan lelaki yang menerjang Kenanga dari 
sebelah kanan, terkejut bukan main. Tubuh mereka 
tertolak balik, akibat deruan angin keras yang 
berasal dari kibasan lengan dara jelita itu. 
 "Haiiit..!" 
Gerakan Kenanga tidak berhenti sampai di situ 
saja. Kibasan lengannya langsung disusul dengan 
lesatan tubuh ke arah lawan yang masih belum 
memperbaiki kedudukan. Dan melancarkan totok-
an kilat yang menimbulkan suara angin mencicit 
tajam. 
Terdengar pekik kesakitan susul-menyusul ketika 
jari-jari tangan mungil namun mengandung ke-
kuatan hebat itu mengenai sasaran. Delapan orang 
pengeroyok terjungkal pingsan. Kejadian yang tidak 
disangka-sangka para pengeroyoknya itu, membuat 
mereda gentar, dan bergerak mundur tanpa diperin-
tah. 
"Goblok! Mengapa kalian takut dengan gadis liar 
itu?! Hayo serbu..!" bentak lelaki bermuka hitam, 
jengkel melihat yang lainnya bergerak mundur. 
Begitu ucapannya selesai, lelaki bermuka hitam 
itu langsung melesat ke depan sambil memutar 
pedang di tangannya. 
"Heaaah...!" 
Bettt! Whuuut...! 
Kilatan sinar putih terpancar saat pedang di 
tangan lelaki bermuka hitam datang mengancam 
Kenanga. Melihat dari sambaran angin pedang yang 
terdengar cukup kuat, Kenanga sadar lelaki bermuka hitam itu berbeda dengan lawan-lawannya 
yang lain. Kenanga tidak mau bertindak ceroboh. 
Apalagi harus bertanggung jawab atas keselamatan 
Somanggala yang berada di bahu kirinya. Maka saat 
serangan pedang lawan datang, dara jelita itu 
menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek ke 
samping. Kemudian melontarkan tendangan kilat 
yang meluncur deras ke lambung lawan. 
Zebbb! 
Gerakan lelaki bermuka hitam itu cukup lincah 
juga. Meskipun tendangan Kenanga datang tak ter-
duga, orang itu masih sempat melempar tubuhnya 
ke samping dan bergulingan menjauh. Begitu me-
lenting bangkit, dia langsung membangun serangan 
kembali. 
Orang-orang yang tadi merasa gentar dengan 
sepak teriang dara jelita berpakaian serba hijau itu, 
mulai bergerak maju. Sebentar saja, Kenanga kem-
bali harus menghadapi para pengeroyoknya. 
*** 
Di atas panggung Panji pun harus menghadapi 
keroyokan banyak lawan. Sebenarnya, pemuda itu 
dapat merobohkan lawan dengan pukulan-pukul-
annya yang cepat dan kuat. Tapi karena tidak ingin 
melukai lawan, pemuda itu agak sibuk juga meng-
hadapi keroyokan Garbanaka dan kawan-kawannya. 
"Haiiit..!" 
Garbanaka yang sangat dendam kepada Panji, 
selalu mengirim serangan mautnya bertubi-tubi. 
Agaknya lelaki kekar berwajah brewok itu ingin 
menewaskan lawannya. Serangan-serangannya se-
lalu ditujukan ke jalan darah kematian di tubuh 
pemuda itu. 
Bettt...!

Lagi-lagi sebuah tusukan jari-jari tangan Gar-
banaka datang mengarah tenggorokan Panji. Sadar 
kalau lelaki brewok itu bukan orang baik-baik, 
Pendekar Naga Putih menjadi jengkel juga. Saat 
tusukan jari-jari tangan yang berisi tenaga dalam itu 
meluncur menuju sasaran, Panji memiringkan tu-
buh sedikit, kemudian membalas dengan sebuah 
tamparan ke dada lawan. 
Whuttt...! 
Tindakan Garbanaka rupanya cukup cepat. 
Buktinya dapat mengelakkan dorongan telapak ta-
ngan Pendekar Naga Putih dengan menarik mundur 
kaki depannya. Bahkan tubuh lelaki kekar itu 
langsung berputar mengirimkan sebuah tendangan 
kilat ke bawah pusar lawan. 
"Keji...!" desis Panji, mulai marah melihat sa-
saran-sasaran serangan Garbanaka. 
Cepat Pendekar Naga Putih mengulur tangannya 
dengan kuda-kuda serong, melindungi sasaran 
tendangan Garbanaka. Begitu serangan lawan da-
tang, Panji menekan lengannya ke bawah. 
Dukkk! 
"Akh...?!" 
Tanpa dapat dihindari lagi, lengan dan kaki me-
reka berbenturan keras. Garbanaka terpekik kesa-
kitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh 
terguling-guling. Ketika lelaki kekar itu bergerak 
bangkit, kelihatan langkahnya terpincang-pincang. 
Wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa sakit 
yang dirasakan. 
"Haaat...!" 
"Heaaa!" 
"Hm...." 
Panji yang mulai merasa jengkel dengan lawan-
lawannya segera menyilangkan kedua lengannya di

depan dada, saat para pengeroyoknya datang me-
nyerbu. Kemudian.... 
"Heaaah...!" 
Dibarengi bentakan menggelegar, tubuh Pende-
kar Naga Putih melesat di antara sambaran senjata 
lawan. Sambil mengelak, sepasang tangannya ber-
gantian melancarkan totokan yang sukar ditangkap 
mata. Akibatnya.... 
"Akh...?!" 
"Ahhh...?!" 
Satu persatu belasan orang pengeroyoknya 
bertumbangan, akibat totokan yang melumpuhkan 
tubuh mereka. Bahkan beberapa di antaranya lang-
sung tak sadarkan diri. Karena totokan pemuda itu 
demikian kuat menghantam tubuh mereka. 
"Gila...?!" 
Garbanaka yang menyaksikan kejadian itu, ter-
belalak heran. Meskipun disadarinya kalau pemuda 
tampan itu memiliki kepandaian yang jauh lebih 
tinggi darinya, tapi tidak diduganya sampai demi-
kian hebat Hingga mampu merobohkan lawan-
lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian cukup 
tinggi. Kalau tidak menyaksikan dengan mata 
kepala sendiri, mungkin Garbanaka tidak akan 
mempercayainya. Apalagi usia Panji masih muda. 
Sukar untuk dipercaya! 
Tidak berapa lama kemudian, belasan pengeroyok 
itu tidak tersisa lagi. Semuanya bergeletakan dalam 
keadaan lumpuh atau pingsan. Tinggal Garbanaka 
seorang yang kini telah melolos senjata, dan meng-
genggam erat-erat. 
"Hm.... Aku tidak punya permusuhan pribadi 
denganmu, Garbanaka. Sebaiknya menyingkirlah, 
biarkan aku pergi...," ancam Panji. 
Rupanya Pendekar Naga Putih masih enggan 
melukai Garbanaka. Panji menganggap lelaki kekar

berwajah brewok itu tidak mempunyai kesalahan 
terhadapnya. Jika benar Garbanaka seorang yang 
kejam dan licik. Panji tetap tidak mempunyai alasan 
kuat untuk menghukumnya. Itu sebabnya, mengapa 
Panji masih mencoba mencari jalan damai. 
"Semula di antara kita memang tidak ada per-
musuhan, Kisanak. Tapi setelah kau memperma-
lukanku di hadapan orang banyak, dan menghan-
curkan pertarungan yang hampir kumenangkan, 
maka di antara kita telah tertanam bibit-bibit per-
musuhan. Jadi jangan harap kau pergi dari tempat 
ini dengan nyawa melekat di badan...!" sahut Gar-
banaka semakin bertambah benci pada pemuda di 
depannya. 
Maka tanpa banyak bicara lagi, lelaki kekar itu 
segera melompat disertai kibasan pedangnya. 
"Hm..!" 
Panji bergumam melihat serangan pedang yang 
siap merencah tubuhnya. Kaki kanannya digeser ke 
samping sambil merendahkan kuda-kuda, ketika 
tebasan pedang Garbanaka meluncur hendak me-
nebas lehernya. 
Whuttt..! 
Begitu pedang lawan lewat satu jengkal di atas 
kepala. Panji mengulurkan lengan menyambar per-
gelangan lawan. Kecepatan geraknya sukar ditang-
kap mata, membuat Garbanaka tak sempat menge-
lak. Dan... 
Kreppp!Whuttt! 
“Desss...!" 
"Aaargh...!" 
Kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, 
hingga Garbanaka tidak tahu apa yang telah me-
nimpa dirinya. Tahu-tahu saja tubuhnya terlempar 
ke udara dengan dada sesak.

Setelah menangkap pergelangan tangan lawan, 
Panji langsung mengirimkan hantaman telapak ta-
ngannya ke dada Garbanaka. Tanpa mempedulikan 
keadaan lelaki kekar itu, Pendekar Naga Putih 
segera melompat turun dari atas panggung. Kemu-
dian, mengajak Kenanga segera pergi dari tempat 
itu. 
Kenanga yang melihat Panji tiba-tiba saja berada 
di dekatnya, langsung bergerak meninggalkan tem-
pat itu. Para pengeroyoknya yang tinggal beberapa 
belas orang, bergerak menyingkir dengan wajah 
gentar. Setelah lelaki bermuka hitam roboh di 
tangan Kenanga, tidak ada lagi yang berani mence-
gah kepergian mereka membawa Somanggala. Para 
pengeroyok itu hanya bisa memandang dengan hati 
penasaran dan gentar. 
Pariji dan Kenanga yang tidak lagi dihalangi, 
terus bergerak meninggalkan tempat itu. Arah yang 
mereka tuju bukan Desa Jati Mulya. Melainkan ke 
selatan desa yang merupakan daerah perbukitan. 
Garbanaka yang menyaksikan kepergian kedua 
orang itu, hanya bisa menatap penuh dendam sam-
bil mendekap dada. Jari-jari tangan kanannya di-
kepalkan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara 
berkerotokan yang cukup keras. 
'Tunggulah pembalasanku, Bocah Keparat! Ja-
ngan sangka tidak ada orang yang bisa mengalah-
kanmu...," geram Garbanaka yang berjanji dalam 
hati akan meminta bantuan gurunya. 
Tubuh lelaki kekar itu meluncur turun dari atas 
panggung, setelah bayangan Panji dan Kenanga 
lenyap dari pandangan. Dia hanya mendengus kasar 
kepada Ki Jarangka yang sejak tadi bersembunyi. 
"Bayaranmu belum bisa kuberikan, Garbanaka. 
Somanggala belum sepenuhnya kau kalahkan...," 
ujar Ki Jarangka yang rupanya mengerti arti tatapan Garbanaka, hingga dia langsung mengatakan-
nya. 
"Hm...." 
Garbanaka menggeram gusar. Tapi tidak berani 
berbuat apa-apa. Karena di kiri dan kanan Ki 
Jarangka ada empat orang tukang pukul lelaki 
gemuk itu. Sadar kalau keempat tukang pukul itu 
bukan orang sembarangan, Garbanaka pergi me-
ninggalkan tempat itu setelah berkata dengan nada 
mengancam. 
"Tunggulah kedatanganku untuk mengambil 
uang hasil kemenangan yang kuperoleh tadi...!" 
Ki Jarangka hanya tersenyum sinis. Lelaki gemuk 
itu agaknya tidak merasa gentar dengan ancaman 
Garbanaka. Dipandanginya punggung lelaki kekar 
yang berlalu dari hadapannya itu. Kemudian, 
mengajak keempat tukang pukulnya pergi dari 
tempat itu, setelah bayangan Garbanaka menjauh. 
Panggung Kematian berdiri kokoh dengan segala 
keangkerannya. Tidak peduli pada orang-orang yang 
pergi meninggalkan tempat itu satu persatu. Hingga 
tempat itu kembali sunyi, tanpa satu sosok manusia 
pun terlihat. Hanya hembusan angin yang bertiup 
keras dan pancaran matahari, menemani Panggung 
Kematian yang telah banyak meminta korban. 
* * *
LIMA

Panji dan Kenanga berlari mengerahkan ilmu 
meringankan tubuh, menuju daerah perbukitan. 
Untung daerah itu tidak terlalu gersang, cukup ba-
nyak pepohonan tumbuh di sana. Hingga mereka 
bisa mencari tempat berteduh dan terhindar dari 
sengatan matahari siang yang terasa menggigit kulit. 
"Kita beristirahat di sini saja, Kenanga. Aku ingin 
memeriksa keadaan Somanggala. Mudah-mudahan 
tidak mengalami luka dalam yang terlalu berat..," 
ujar Panji memperiambat larinya, lalu berhenti. 
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga memper-
lambat dan menghentikan larinya. Kemudian tubuh 
Somanggala yang sejak tadi dipondongnya diserah-
kan kepada kekasihnya. Panji langsung menyam-
butnya, dan merebahkan tubuh Somanggala di atas 
sebuah batu yang cukup besar dengan permukaan 
datar, sehingga tidak menyakitkan Somanggala. 
"Bagaimana, Kakang? Apa yang terjadi dengan-
nya...?" tanya Kenanga tidak sabar. 
Saat itu Panji masih memeriksa tubuh Somang-
gala. Dan melakukan totokan di beberapa tempat 
yang merupakan jalan darah. 
Tidak berapa lama kemudian, Panji mengangkat 
kepala disertai helaan napas berat. Sehingga 
Kenanga semakin penasaran ingin segera mendapat 
jawaban dari kekasihnya. 
"Hm.... Ada sejenis racun aneh di dalam tubuh-
nya. Tidak membunuh seketika, tapi melumpuhkan 
kekuatannya perlahan-lahan. Itulah sebabnya, me-
ngapa Somanggala kelihatan pucat dan tak ber-
semangat sewaktu bertarung dengan Garbanaka. 
Untung tubuhnya terlatih baik, sehingga masih

sanggup bertahan dan mampu menghadapi Gar-
banaka, meskipun hanya beberapa belas jurus. En-
tah apa yang terjadi sebelum hari pertarungan...?" 
jelas Panji, yang membuat Kenanga ikut menghela 
napas panjang mendengar keterangan kekasihnya. 
"Hm.... Mungkinkah Garbanaka berbuat curang 
kepada Somanggala, Kakang? Setelah melihat sepak 
terjangnya, agaknya Garbanaka termasuk orang 
yang menghalalkan segala cara untuk meraih ke-
inginannya. Mungkin saja Garbanaka telah mela-
kukan sesuatu, di luar pengetahuan Somanggala...," 
duga Kenanga, membuat Panji mengangguk-ang-
gukkan kepala. 
Pendekar Naga Putih mempunyai dugaan yang 
sama dengan Kenanga. Meskipun demikian. Panji 
tidak berani langsung memastikan dengan menuduh 
Garbanaka. Hanya menurut pikirannya, Garbanaka 
patut dicatat sebagai orang pertama yang harus 
dicurigai. 
"Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. 
Setelah Somanggala siuman dan kesehatannya pulih 
kembali, baru kita tanyakan hal itu kepadanya. Aku 
pun ingin tahu alasan pemuda itu mengikuti 
pertarungan maut Panggung Kematian. Menurutku, 
orang-orang gagah seperti Somanggala tidak akan 
sudi melakukan pertarungan itu. Lain halnya jika 
pertarungan itu memperebutkan kedudukan atau 
mencari ketua suatu perkumpulan. Tapi..., yang di-
lakukan Somanggala semata-mata karena bayaran, 
dan harus membunuh lawan. Benar-benar sukar 
dimengerti...," papar Panji. 
"Pasti ada alasan yang kuat, mengapa dia sampai 
melakukannya, Kakang," timpal Kenanga. 
Kenanga pun tidak setuju dengan peraturan per-
tandingan Panggung Kematian. Dan menurutnya,

Somanggala bukan termasuk orang yang gila harta 
dan kehormatan. Pasti ada alasan lain. 
"Ya, itu pasti. Hm.... Mudah-mudahan dia mau 
menceritakannya kepada kita...," desah Panji penuh 
harap. 
Rupanya Pendekar Naga Putih ragu kalau So-
manggala akan menceritakan persoalan yang diha-
dapinya kepada mereka berdua. Sikap pemuda itu 
tidak lepas dari pengawasan Kenanga, yang mena-
tap kekasihnya dengan heran. 
"Kelihatannya kau meragukan kejujuran So-
manggala, Kakang?" 
Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu dari bibir 
Kenanga. Rupanya rasa ingin tahunya lebih besar 
dari keheranannya. 
"Tidak. Aku bukan meragukan kejujuran So-
manggala, Kenanga. Tapi aku khawatir kalau dia 
tidak mau menceritakan persoalannya kepada kita. 
Melihat raut wajah dan pembawaannya, Somang-
gala orang yang tertutup dan lebih suka memendam 
persoalan di dalam hatinya. Kalau dugaanku benar, 
kita akan menemui kesulitan untuk mengetahui, ba-
gaimana racun aneh itu bisa mengeram di tubuh-
nya? Mesgapa orang pandai sepertinya sampai tidak 
mengetahui? Bukankah itu berarti yang meracuni 
Somanggala orang yang dekat dengannya, dan 
mungkin sangat dipercaya olehnya...," jawab Panji 
menjelaskan panjang lebar kekhawatirannya. 
Setelah mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga 
menjadi bingung. Kalau dugaan kekasihnya benar, 
mereka akan menemui kesulitan. Tidak mungkin 
mereka akan memaksa Somanggala menceritakan 
persoalan yang mungkin sangat pribadi sifatnya. 
"Hm.... Memang sulit juga, Kakang...," desah 
Kenanga. Pikirannya jadi buntu setelah mendengar 
penjelasan Panji
"Jangan putus asa, Kenanga. Apa yang kukata-
kan tadi baru dugaan, belum tentu benar. Untuk 
mengetahuinya secara pasti, nanti setelah Somang-
gala siuman dan kesehatannya pulih kembali," ujar 
Panji tersenyum melihat tingkah laku kekasihnya. 
Mendengar nasihat kekasihnya, Kenanga merasa 
sedikit lega. Dara jelita itu melemparkan pandang ke 
sekitar daerah itu yang banyak dipenuhi bebatuan. 
Untuk beberapa saat lamanya keduanya membisu, 
menunggu Somanggala siuman dan sembuh dari 
keracunan. 
Biasanya obat yang diberikan Panji sangat 
manjur untuk mengobati luka dalam. Racun yang 
mengeram di tubuh Somanggala telah dibakar habis 
oleh Panji dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti 
Panas Bumi'. 
*** 
"Ouhhh...." 
Sosok lelaki tegap berwajah tampan itu meng-
geliat sambil mengeluh perlahan. Kemudian ber-
gerak bangkit dari atas batu besar, tempat 
tubuhnya terbaring. 
"Tahan...! Jangan banyak bergerak dulu, So-
manggala. Sebaiknya tetap berbaring. Atur napas-
mu. Setelah merasa agak segar, cobalah menge-
rahkan tenaga dalam. Jika semua berjalan baik, 
baru kau boleh bangkit dan bersemadi, untuk me-
mulihkan tenagamu kembali...," ujar Panji. 
Pendekar Naga Putih menekan kedua bahu So-
manggala perlahan-lahan, agar jangan bangkit dulu 
sebelum mengikuti petunjuknya. 
"Siapa kau...? Dan..., di mana aku? Apa aku 
sudah mati, dan ini alam akhirat...?" tanya Soma-
nggala dengan wajah penuh tanda tanya.

Rupanya pemuda tegap berwajah tampan itu 
tidak ingat dengan kejadian yang telah menimpa-
nya beberapa saat lalu. 
'Tenanglah, Somanggala. Kau masih berada di 
dunia nyata. Sebaiknya ikuti saja petunjukku. 
Setelah itu, baru kita bicarakan semuanya," ujar 
Panji perlahan, namun terdengar jelas di telinga 
Somanggala. 
Somanggala tidak langsung mengikuti petunjuk 
Panji. Matanya menatap ke sekeliling, hingga pan-
dangannya bertumbukan dengan sosok Kenanga 
yang berada beberapa langkah di sampingnya. Sepa-
sang mata lelaki itu terbelalak sekejap. Sebelum 
bibirnya mengucapkan sesuatu. Kenanga telah ber-
kata lebih dulu. 
'Turutilah apa yang dikatakannya, Somanggala. 
Percayalah, kami tidak bermaksud mencelakakan-
mu. Kami hanya ingin menolongmu...," ucap Ke-
nanga seraya melangkah dua tindak menghampiri 
Somanggala. 
Pemuda tegap berwajah tampan itu semakin 
heran. Untuk sesaat lamanya, Somanggala terpaku 
dengan bermacam tanda tanya di benaknya. Dan 
baru mengikuti petunjuk yang diberikan Panji sete-
lah menatap kedua penolongnya bergantian. Kedua-
nya menganggukkan kepala, sebagai isyarat agar 
mengikuti petunjuk Panji. 
Panji dan Kenanga menghela napas lega melihat 
Somanggala kembali rebah dan memejamkan mata. 
Setelah Somanggala melakukan semua petunjuk 
pemuda itu, Panji dan Kenanga menjauh, menunggu 
Somanggala menyelesaikan pemulihan tenaganya. 
Tidak berapa lama kemudian, Somanggala selesai 
melakukan semua yang diperintahkan kepadanya. 
Pemuda itu bangkit perlahan-lahan. Wajahnya me-
nyeringai, merasakan gigitan rasa nyeri di beberapa

bagian tubuhnya, yang terkena pukulan Garbanaka 
saat bertarung di atas Panggung Kematian. Meski-
pun demikian, Panji dan Kenanga tidak berusaha 
mencegah pemuda itu bangkit dan duduk dengan 
sikap semadi. 
"Bersemadilah seperti yang biasa kau lakukan 
untuk memulihkan tenagamu...," ujar Panji saat So-
manggala menatapnya lekat-lekat. 
"Hm..., aku ingat sekarang. Rupanya kau sosok 
berjubah putih yang telah menyelamatkan aku. 
Katakan, mengapa kau menolongku...?" tanya So-
manggala, tidak sabar. 
"Hhh...." 
Panji menghela napas perlahan melihat rasa 
penasaran yang terpancar dari sepasang mata lelaki 
muda itu. Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Naga 
Putih kecuali menjelaskan alasan perbuatannya. 
"Jadi karena melihat keadaaanku yang tidak 
wajar saat bertanding, kalian turun tangan menye-
lamatkanku?" 
Somanggala ingin mempertegas penjelasan Panji. 
Rupanya pemuda itu tidak menyadari pada saat 
bertarung dirinya telah keracunan. 
"Begitulah, Somanggala. Sekarang bersemadilah. 
Tenagamu belum pulih seluruhnya...," sahut Panji 
kembali mengingatkan Somanggala untuk berse-
madi guna memulihkan tenaganya. 
Kali ini Somanggala tidak membantah ucapan 
Panji. Melihat wajah pasangan pendekar muda itu, 
dirinya mulai menaruh kepercayaan pada mereka. 
Mulailah Somanggala bersemadi guna memulihkan 
kekuatannya. 
* * *
"Terima kasih atas pertolongan kalian. Kese-
hatanku sudah pulih seperti semula. Sekarang aku 
harus kembali untuk menjenguk kedua orang 
tuaku. Maaf, kalau perbuatanku ini kalian anggap 
kurang sopan...," ujar Somanggala setelah menye-
lesaikan semadinya. 
Mendengar ucapan Somanggala. Panji dan Ke-
nanga saling bertukar pandang sejenak. Lalu ber-
paling ke arah Somanggala yang tengah bersiap 
kembali ke Desa Jati Mulya. 
"Somanggala...," panggil Panji. 
Pendekar Naga Putih tidak ingin pemuda itu pergi 
sebelum mengetahui persoalan yang dihadapi 
Somanggala. Terutama mengenai keracunan yang 
diderita pemuda itu. 
"Ada apa, Panji...?" tanya Somanggala menahan 
langkah. 
Somanggala memanggil pemuda tampan berjubah 
putih hanya dengan nama saja. Itu memang per-
mintaan Panji, setelah dia dan Kenanga memper-
kenalkan diri. 
"Hm.... Saat mengobati luka-lukamu, aku me-
nemukan sejenis racun pelumpuh tenaga menge-
ram di tubuhmu. Racun itu membuatmu lemah 
hingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh la-
wanmu. Kami ingin mengetahui, bagaimana racun 
itu bisa mengeram di dalam tubuhmu? Apa kau ti-
dak menyadarinya...?" tanya Panji. 
Somanggala tidak segera menjawab pertanyaan 
pemuda penolongnya. Otaknya berpikir, seperti 
hendak mencari jawabannya. 
"Hhh... Sayang aku tidak bisa mengingatnya 
dengan baik, Panji. Mungkin racun itu telah berada 
di tubuhku sejak aku lahir. Maaf, kalau jawabanku 
tidak memuaskan hatimu...," jawab Somanggala, 
membuat Panji menghela napas panjang.

"Somanggala...," panggil Kenanga tidak bisa 
menahan rasa penasaran di hatinya. "Racun itu 
tidak mungkin ada sejak kau lahir. Jika benar de-
mikian, kau sudah tewas sejak belum sempat me-
nikmati dunia lebih lama. Jawabanmu tidak masuk 
akal, Somanggala. Kalau kau tidak ingin persoalan-
mu diketahui, masih bisa kumaklumi. Tapi jangan 
bohongi kami...." 
Dara jelita mengucapkan kata-katanya dengan 
agak pedas. Jelas hatinya jengkel mendengar ja-
waban Somanggala, yang menurutnya terlalu meng-
ada-ada sehingga menimbulkan kesan bohong. 
"Maafkan aku, Kenanga. Bukan maksudku 
membohongi kalian yang telah mempertaruhkan 
nyawa untuk menyelamatkanku. Tapi aku memang 
tidak tahu. Aku hanya merasa lemas dan semakin 
lemas saat bertarung. Hanya itu yang kutahu. Me-
ngenai siapa yang meracuniku, aku tidak tahu. 
Maaf, aku harus segera pergi. Sekali lagi, terima 
kasih ata pertolongan kalian berdua...," jawab 
Somanggala dengan wajah penuh sesal. 
Usai berkata demikian, pemuda gagah itu mem-
balikkan tubuh dan bergerak meninggalkan tempat 
itu. 
Kenanga yang kejengkelannya belum lenyap, 
bermaksud mencegah kepergian Somanggala. Tapi 
langkahnya terhenti saat merasakan jemari tangan 
kekasihnya mencekal pergelangan tangannya. 
"Mengapa, Kakang...?" tegur Kenanga dengan 
kerung berkerut. 
Dara jelita itu merasa penasaran bercampur 
heran dengari perbuatan Panji yang mencegahnya 
menahan Somanggala. 
"Kenanga. Bukankah aku sudah menduganya 
sejak semula. Jadi percuma kau memaksanya 
untuk bercerieta. Sebaiknya kita biarkan saja, dan

mengikutinya diam-diam. Menurutku dia akan 
mencari orang yang telah meracuninya. Dengan 
begitu, kita tidak susah-susah mengetahi persoalan 
yang dihadapinya. Aku pun ingin mengetahui 
alasannya mempertaruhkan nyawa di Panggung 
Kematian...," jelas Panji, melenyapkan rasa pena-
saran di hati kekasihnya. 
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah 
dara jelita itu kembali cerah seperti semula. 
"Kakang...," panggil Kenanga perlahan, saat 
keduanya tengah melangkah meninggalkan daerah 
perbukitan. Kepalanya menoleh sekejap, kemudian 
menatap lurus ke depan. 
"Hm...." 
Panji hanya bergumam perlahan seraya menatap 
wajah kekasihnya yang tampak tengah memikirkan 
sesuatu. 
"Kalau benar Somanggala tidak ingin kita ketahui 
persoalannya, untuk apa kita ikut campur? Biarkan 
saja dia mengurusi persoalan itu sendiri. Dengan 
menyembunyikan persoalannya, bukankah sama 
artinya dengan menolak bantuan yang akan kita 
berikan? Dari menganggap dirinya paling hebat? 
Sudahlah, Kakang. Lupakan saja pemuda sombong 
itu. Kita tinggalkan Desa Jati Mulya dan melanjut-
kan perjalanan...," papar Kenanga menatap wajah 
kekasihnya iekat-lekat. Ucapannya jelas menggam-
barkan kejengkelan hatinya. 
Panji menarik napas panjang, dan menghem-
buskannya perlahan. Ucapan Kenanga membuatnya 
berpikir. Kalau Somanggala tidak ingin urusannya 
dicampuri, untuk apa mereka bersusah payah me-
nolongnya? 
"Kenanga...," ucap Panji setelah terdiam beberapa 
saat memikirkan pendapat dara jelita itu.


"Bagaimana, _Kakang...?" sergah Kenanga ingin 
segera mendengar pendapat kekasihnya. 
"Mungkin Somanggala mempunyai alasan ter-
sendiri, hingga tidak ingin ada orang lain mencam-
puri urusannya. Bisa saja karena dia tidak mau 
melihat kita celaka. Jadi menurutku, apa pun yang 
tengah dihadapi Somanggala, kita harus bisa meng-
ungkapkannya. Sebagai orang berilmu yang telah 
digembleng secara matang oleh guru-guru kita, 
ketabahan dan kesabaran merupakan hal penting. 
Jangankan menolak secara halus, walaupun dia 
mengusir dan memusuhi kita karena mencampuri 
urusannya, kita harus tetap sabar. Anggaplah se-
mua itu ujian bagi kita...," jelas Panji mengingatkan 
Kenanga mengenai siapa mereka berdua, dan apa 
tugas dan kewajiban mereka di dunia. 
Mendengar jawaban Panji, Kenanga terdiam. Dara 
jelita itu tidak segera menyetujui pendapat kekasih-
nya. Terlebih dulu, dipikirkannya kata-kata yang 
merupakan sebuah nasihat bagi dirinya. Setelah 
beberapa saat lamanya mereka membisu, Kenanga 
mengatakan pendapatnya. 
"Maafkan aku, Kakang. Kata-kata Kakang tadi 
membuatku sadar. Kita memang harus menahan 
sabar menghadapi hal-hal seperti itu. Baiklah, aku 
setuju membongkar rahasia diri Somanggala dan 
pertarungan di Panggung Kematian yang akan terus 
berlangsung meminta korban...," sahut Kenanga 
membuat Panji tersenyum. 
Pendekar Naga Putih kemudian melingkarkan 
tangannya ke bahu Kenanga. Dan keduanya ber-
jalan sambil bergandengan tangan menuju Desa Jati 
Mulya. 
* * *

ENAM

Somanggala melangkah tenang memasuki mulut 
Desa Jati Mulya. Beberapa orang desa yang 
kebetulan melihat kemunculannya, langsung me-
nyelinap masuk ke dalam rumah, dan cepat-cepat 
menutup pintu rapat-rapat. Seakan sosok pemuda 
tegap berwajah tampan itu mengidap penyakit 
menular yang sangat berbahaya. 
Kelakuan penduduk desa itu tentu saja membuat 
Somanggala heran. Dia merasa tidak pernah ber-
buat salah atau menyakiti mereka dengan mengan-
dalkan kepandaiannya. Kepala pemuda itu jadi 
dipenuhi berbagai pertanyaan yang berdesakan di 
dalam benaknya. 
"Aneh?! Apa sebenarnya yang sudah terjadi de-
nganku? Mengapa mereka ketakutan melihatku...?" 
desis Somanggala. 
Pemuda itu kian gelisah melihat jalan yang se-
mula cukup ramai, mendadak sepi. Langkahnya jadi 
ragu menyusuri jalan utama desa yang kini tampak 
lengang. 
Somanggala mencoba mengusir semua kegun-
dahan di hati. Tiba-tiba saja, perasaannya was-was 
saat teringat kedua orangtuanya. Berbagai dugaan 
muncul di kepalanya. Cepat-cepat tubuhnya melesat 
mengerahkan seluruh ilmu larinya ketika kece-
masan semakin keras melecut harinya. 
Bagai anak panah yang lepas dari busur, tubuh 
Somanggala meluncur membelah jalan desa. Dan 
jarinya berhenti mendadak saat tiba di halaman 
rumahnya. Hati pemuda itu berdebar tegang, ketika 
merasakan kesunyian aneh menyelimuti rumah

sederhana yang dibangun dengan cucuran darah-
nya. 
"Ayah...! Ibu...!" 
Sambil melesat ke dalam rumah, Somanggala 
berseru memanggil kedua orangtuanya. Hatinya 
semakin tidak karuan melihat ruang tengah sepi. 
Kecurigaannya semakin besar. Pada tengah hari 
menjelang sore seperti ini, ayahnya biasa duduk di 
ruang tengah sambil menghisap pipa tembakau. 
Tapi pemuda itu tidak mendapatkan ayahnya di 
tempat ini. Kenyataan itu membuat hati Somanggala 
semakin kalang-kabut 
Somanggala berlari ke kamar orangtuanya. Dan 
langsung berteriak seolah sudah mencium petaka 
yang menimpa keluarganya. Dan..., ketika kaki 
Somanggala menjejak kamar tidur mereka, mata 
pemuda itu terbelalak seperti hendak melompat ke 
luar! 
"Ahhh...?!" 
Somanggala menahan jeritan yang meluncur dari 
mulutnya. Kaki pemuda itu mendadak gemetar me-
nyaksikan pemandangan yang terpampang di depan 
mata. Napasnya memburu bagai kerbau liar yang 
mengamuk 
"Ayah..., Ibu.... Mengapa..., siapa yang mela-
kukan perbuatan biadab ini...?" desis Somanggala 
sambil melangkah dengan kaki gemetar, memasuki 
kamar. 
Pemuda tegap berwajah tampan itu jatuh ber-
telekan kedua lututnya, persis di bawah tubuh ke-
dua orangtuanya yang tewas dengan lidah terjulur 
dan mata mendelik ke luar. Ayah dan ibu Somang-
gala tewas seperti orang yang sengaja menggantung 
diri. 
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakan-
nya saat itu. Yang jelas, hatinya sangat terpukul

menyaksikan kematian orangtuanya dengan cara 
menyakitkan untuk dipandang. Untuk beberapa sa-
at lamanya, pemuda itu tidak mampu berkata-kata. 
Dia hanya bisa menatap mayat kedua orangtuanya 
dengan mata basah. 
Cukup lama Somanggala terdiam seperti patung 
batu. Setelah kesadarannya pulih, pemuda itu 
berdiri dan menurunkan mayat orang tuanya, lalu 
merebahkannya di atas pembaringan. Telapak ta-
ngannya disapukan ke wajah kedua orang yang 
sangat dicintainya. Somanggala tidak ingin kedua 
orangtuanya meninggal dunia dengan penasaran. 
Setelah mengangkat telapak tangannya, mata me-
reka dapat terpejam, sebagaimana layaknya orang 
meninggal secara damai. 
"Hm.... Kalau kedua orangtuaku terbunuh, pasti 
tetanggaku melihat siapa orang yang datang ke 
rumah ini...!" desis Somanggala dengan mata liar 
penuh dendam. 
Pemuda itu melesat ke luar, mendatangi rumah 
tetangga yang terpisah beberapa belas tombak dari 
rumahnya. 
Tapi yang ditemukan Somanggala makin mem-
buat hatinya penasaran. Tetangga terdekatnya ter-
nyata tidak berada di rumah. Ketika mendapati ru-
mah itu kosong, hampir saja dia mengamuk dan 
merobohkan rumah itu. Untung segera teringat 
bahwa tetangganya telah pergi dua hari yang lalu. 
Mereka sekeluarga menjenguk saudaranya yang 
tertimpa musibah di desa lain, yang letaknya cukup 
jauh dari Desa Jati Mulya. Ingatan itu membuat So-
manggala menunda kemarahan yang membakar 
dada. 
"Keparat! Buntu sudah jalanku! Entah bagaimana 
aku dapat menemukan orang yang telah memaksa 
orangtuaku menggantung diri!" geram Somanggala

sambil menghantamkan kepalannya pada sebatang 
pohon besar tempat tubuhnya bersandar. 
Dengan langkah gontai, Somanggala pulang ke 
rumahnya. Pemuda gagah itu duduk dengan wajah 
murung di depan mayat orangtuanya. Pikirannya 
dibiarkan menerawang ke masa silam, saat orang-
tua yang dicintainya masih hidup. Tanpa sadar, 
pikiran itu membawa Somanggala pada saat per-
tama kali mengikuti pertandingan Panggung Kema-
tian. Ingatan itu membuatnya tersentak bangkit 
bagai disengat kalajengking. 
"Ki Jarangka...! Yah, orang tua gendut yang 
tamak itu pasti tahu tentang kematian orangtuaku! 
Hm.... Aku harus minta penjelasan darinya...!" 
geram Somanggala seraya mengepalkan tangannya 
kuat-kuat dengan gigi gemeretuk menahan dendam. 
Sesaat kemudian tubuh pemuda itu melesat ke 
luar, menuju tempat kediaman Ki Jarangka yang 
letaknya di ujung Desa Jati Mulya. 
*** 
"Hei, mau ke mana kau...?!" 
Dua orang penjaga yang berada di gerbang depan 
membentak sambil melesat menghadapi jalan. Saat 
itu mereka melihat sesosok bayangan bergerak cepat 
memasuki pekarangan rumah besar yang kokoh dan 
dikelilingi tembok bata 
"Eh...?! Bukankah dia si Jagoan Panggung yang 
tadi pagi hampir tewas di tangan Garbanaka...?" se-
ru penjaga ketika sosok tegap itu berhenti beberapa 
langkah di depan keduanya. 
"Hai, benar...!" seru penjaga bertubuh tinggi 
kurus dengan mata menjorok ke dalam. 
Melihat senyum sinis yang selalu menghias 
wajahnya, lelaki tinggi kurus itu mempunyai sifat

tinggi hati, dan memandang rendah orang lain. Be-
gitu pun terhadap Somanggala. Senyum sinisnya 
tersungging, menyiratkan ejekan. Lelaki itu tidak 
merasa gentar pada Somanggala, meskipun pemuda 
itu telah banyak menewaskan lawan di panggung 
pertandingan. 
"Aku memang Somanggala. Kedatanganku kemari 
mencari Ki Jarangka! Tolong beri tahu kedatangan-
ku padanya...," ujar Somanggala seraya menatap 
wajah kedua penjaga dengan mata berapi. 
"Hm.... Setelah kejadian di panggung tadi pagi, 
tidak kusangka kau berani menemui Tuan Besar, 
apa kau tidak sadar kalau Tuan Besar menderita 
kerugian pada pertarungan tadi pagi? Manusia tidak 
tahu malu...!" maki penjaga tinggi kurus itu sambil 
menudingkan jarinya ke wajah Somanggala yang 
langsung memerah seperti kepiting rebus. 
"Banyak omong! Katakan di mana Tuan Besarmu 
sekarang? Atau !alian ingin merasakan kerasnya 
kepalanku...?!" bentak Somanggala tidak lagi menge-
nal kata sungkan dann gentar, meskipun harus 
menghadapi Ki Jarangka yang secara tidak langsung 
majikannya. 
"Kurang ajar! Berani kau mengancam kami! 
Rupanya kau harus diajar adat agar bisa bersikap 
lebih sopan di tempat ini...!" bentak lelaki tinggi 
kurus tidak mau kalah gertak. 
Begitu ucapannya selesai, kepalan tangannya 
segera dilontarkan ke kepala Somanggala. 
Wuttt! 
Somanggala hanya memiringkan kepala sedikit. 
Begitu serangan lawan lewat di samping telinga, pe-
muda itu mengirimkan tusukan jari-jari tangannya 
ke iga lawan. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu ter-
kejut, dan cepat merendahkan tubuh dengan meng-
geser kaki kanannya. Sayang Somanggala hanya

melakukan serangan pancingan. Sebelum lawan 
menyadarinya, mendadak pemuda itu menarik ta-
ngannya. Kemudian memutar tubuh disusul sebuah 
tebasan miring. 
Desss...! 
"Hugkh...!" 
Tubuh lelaki tinggi kurus yang banyak lagak itu 
tersungkur mencium tanah, ketika telapak tangan 
miring Somanggala menghajar belakang lehernya. 
Belum sempat lawannya bangkit, telapak kaki 
Somanggala telah menjejak punggung lawan yang 
langsung muntah darah dan pingsan seketika. 
"Huh! Kukira kepandaianmu sebesar mulutmu! 
Tak tahunya hanya gentong kosong...!" desis So-
manggala, kemudian berpaling pada penjaga yang 
lain. 
Sraaat! 
Sinar putih menyilaukan mata berkilau seiring 
dengan suara gemerincing senjata Rupanya penjaga 
bertubuh sedang dan berkumis lebat telah me-
loloskan pedangnya, ketika melihat rekannya dapat 
dirobohkan dengan mudah oleh Somanggala. 
"Lebih baik kau menyingkir! Aku tidak punya 
urusan denganmu! Katakan kepada Ki Jarangka, 
aku datang untuk membuat perhitungan dengan-
nya...!" bentak Somanggala seraya menatap tajam 
penjaga pintu gerbang itu. 
Penjaga berkumis lebat itu agaknya lebih takut 
pada majikannya daripada menghadapi Somanggala. 
Lelaki Itu menggeser langkahnya ke samping sambil 
mengkelebatkan pedang. Kemudian bersiul nyaring, 
sebagai isyarat kepada kawan-kawannya yang lain. 
"Setan! Rupanya kau sudah bosan hidup lebih 
lama di dunia...!" geram Somanggala jengkel melihat 
kebandelan penjaga itu.

Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu 
melesat ke depan dengan tamparan yang menim-
bulkan deruan angin tajam. 
Penjaga berkumis lebat tidak mau tinggal diam 
menanti serangan lawan. Pedangnya langsung ber-
gerak melingkar menyambut tamparan Somanggala. 
"Bagus...!" puji Somanggala ketika melihat cara 
penjaga itu menyambut tamparannya. Cepat ta-
ngannya ditarik pulang, disusul sebuah tendangan 
kilat secara berputar! 
Plakkk! 
Terdengar benturan cukup nyaring saat per-
gelangan kaki belakang Somanggala beradu dengan 
telapak tangan lawan. Penjaga berkumis lebat itu 
masih sempat menyusuli tangkisannya dengan 
tebasan pedang yang mengancam lambung So-
manggala. 
Lagi-lagi Somanggala memuji tindakan lawan 
yang cukup cekatan. Pemuda tegap itu melompat ke 
samping semakin mendekati lawan. Sehingga 
tebasan pedang lawan mengenai tempat kosong, dan 
gerakan pemuda itu membuat lawannya gugup. 
Kenyataan ini tidak disia-siakan Somanggala, yang 
segera menyarangkan pukulan telak ke iga lawan! 
Bukkkl 
"Huakkkh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh lawan langsung ter-
jungkal ke belakang. Cepat Somanggala bergerak 
mengejar untuk menyusuli serangan. Namun, pe-
muda itu segera menunda pukulannya saat mende-
ngar suara berdesingan yang datang mengancam 
tubuh. 
Singgg, singgg...! 
"Haiiit...!" 
Somanggala sekilas melihat datangnya empat 
batang benda berkilau. Pemuda itu langsung mem

bentak sambil menjejak tanah kuat-kuat. Saat itu 
juga tubuhnya melambung setinggi satu tombak le-
bih. Dengan sebuah putaran manis, sepasang ta-
ngannya bergerak menangkap dua di antara benda 
berkilau yang nyaris merenggut nyawanya. 
"Bedebah licik...!" maki Somanggala sambil 
melontarkan kembali benda berkilau yang ternyata 
pisau terbang. 
Suttt! Suttt! 
Dua bilah pisau terbang yang dikembalikan So-
manggala bergerak cepat, diiringi suara bercuitan 
yang menyakitkan telinga. Terdengar jerit kematian 
ketika dua senjata yang dikembalikan Somanggala, 
tepat menancap di dada dan tenggorokan dua orang 
lawan yang baru tiba di tempat itu. Tanpa ampun 
lagi, tubuh kedua orang malang itu ambruk dengan 
nyawa melayang. 
Somanggala belum bisa menarik napas lega. Pada 
saat itu, dua sosok tubuh berkelebat ke arahnya, 
disertai suara desingan yang berasal dari senjata-
senjata penyerangnya. 
"Yeaaah...!" 
Dengan sebuah bentakan nyaring, tubuh So-
manggala kembali berputar di udara. Namun an-
caman kedua mata pedang lawan masih menge-
jarnya. Somanggala kembali melompat ke belakang 
untuk menyelamatkan diri dari kematian. 
Srattt! 
Menyadari kedua lawan yang harus dihadapi 
bukan orang-orang sembarangan, Somanggala me-
loloskan pedang di pinggangnya. Kemudian memu-
tar di depan tubuhnya dengan kekuatan tenaga 
dalam yang menggetarkan! 
Whuttt.... Whuttt...!

Kilauan sinar putih berpendar diiringi suara 
mengaung tajam, pertanda kekuatan yang dikerah-
kan Somanggala tidak bisa dipandang remeh. 
"Hm.... Majulah kalian. Anjing-anjing Jarang-
ka...! Aku akan mengirim kalian ke neraka, untuk 
menebus nyawa kedua orangtuaku yang telah kalian 
bunuh...!" desis Somanggala dengan wajah gelap 
dan sepasang mata mencorong tajam. 
"Keparat! Setelah menjadi pecundang di tangan 
Garbanaka, rupanya otakmu jadi miring, Somang-
gala! Kalau begitu, biarlah kami yang akan menye-
lesaikan pekerjaan Garbanaka pagi tadi..," sahut 
seorang dari dua lawan Somanggala. 
"Haaat...!" 
Tanpa memberi kesempatan kepada Somanggala 
untuk mempersiapkan jurus-jurusnya, kedua orang 
itu menerjang maju dengan serangan-serangan 
hebat dan menimbulkan deruan angin tajam. 
"Hm...!" 
Somanggala menggeram melihat kehebatan sera-
ngan kedua orang lawannya. Pedang di tangannya 
bergerak ke kiri kanan dengan menyilang. Begitu 
serangan seorang lawannya datang, pemuda ber-
tubuh tegap itu mendoyongkan kaki kanannya 
dengan kuda-kuda serong. 
Syuuut...! 
Ujung pedang lawan meluncur deras lewat di sisi 
tubuh Somanggala. Saat itu juga, Somanggala 
mengirimkan sebuah tendangan kilat dengan ujung 
sepatunya, mengarah ulu hati lawan. Gerakan 
pemuda itu amat cepat dan kuat, membuat lawan 
agak gugup. 
"Setan...!" 
Lelaki bertubuh kekar yang sebelah matanya 
cacat, mengumpat jengkel sambil menarik mundur 
tubuhnya. Sayangnya tendangan Somanggala hanya

sebuah pancingan, untuk melihat apa yang dilaku-
kan lawan. Maka begitu melihat lawannya bergerak 
mundur, Somanggala menarik lututnya dan men-
jejakkan kakinya ke depan sambil mengibaskan 
pedangnya dengan gerakan mendatar. 
 Trahggg! 
Untunglah lawannya yang seorang lagi keburu 
datang menyelamatkan kawannya, dengan cara 
memapak pedang Somanggala. Kalau tidak, mung-
kin mata pedang pemuda tegap itu telah merobek 
perut lawan. Meskipun demikian, karena tenaga 
serangan yang digunakan Somanggala sangat kuat, 
maka lawan yang membenturkan pedangnya pun 
terhuyung ke belakang sejauh satu tombak. Sedang 
Somanggala terjajar dua langkah ke belakang. Ke-
nyataan Itu membuktikan kalau tenaga dalam So-
manggala masih berada di atas lawan-lawannya. 
"Hmhhh...!" 
Somanggala menggeram dengan wajah gusar. 
Pedang kembali berputar menimbulkan gulungan 
sinar putih yang mengaung-ngaung menulikan teli-
nga. 
"Haaat...!" 
Dengan sebuah teriakan menggeledek, tubuh 
Somanggala melesat ke depan laksana sambaran 
kilat. Pedang di tangannya masih berputaran tanpa 
terlihat bentuk aslinya. Serangan yang dilancarkan 
Somanggala sangat hebat dan mengejutkan hati 
lawan-lawannya. 
Namun kedua orang itu rupanya memiliki sebuah 
ilmu pedang gabungan. Dapat diketahui dari cara 
mereka bergerak, satu di depan dengan kedudukan 
rendah, dan yang lain berdiri tegak dengan mata 
pedang menuding langit. Kemudian mereka bergerak 
susul-menyusul menyambut datangnya serangan 
Somanggala.

"Yeaaat..!" 
Sebentar saja ketiga lelaki itu terlibat dalam 
pertarungan yang sengit dan mendebarkan! Terka-
dang teriakan-teriakan mereka diselingi suara ber-
dentingan dan pijaran bunga api yang menyilaukan 
mata. Sehingga, di arena pertarungan kelihatan 
seperti sedang terjadi pesta kembang api 
Somanggala sangat terkejut dan harus mengakui 
kehebatan ilmu pedang lawan. Berkali-kali pemuda 
tegap itu mencoba menerobos pertahanan lawan 
dengan serangan-serangan gencar. Tapi setiap kali 
itu pula pedangnya terpental balik, seperti meng-
hantam dinding baja yang kokoh dan kenyal. 
Kenyataan itu membuat hati Somanggala semakin 
penasaran. 
Dan kedua lawannya benar-benar tidak ingin 
memberi kesempatan Somanggala untuk berpikir. 
Setiap kali pemuda tegap itu mengendurkan se-
rangan, maka akan dihujani serangan gencar oleh 
pengeroyoknya. Sehingga Somanggala harus benar-
benar sigap menghadapi serangan-serangan lawan. 
"Haiiit...!" 
"Yeaaah...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat 
puluh tiga, mendadak kedua lawannya memekik 
susul-menyusul. Lalu, tubuh mereka mencelat ke 
depan. Satu menyerang dari atas, sedang yang 
satunya menyerang dengan cara bergulingan di 
tanah. Benar-benar sebuah serangan hebat dan 
sangat berbahaya! 
Dengan sekuat tenaga, Somanggala berusaha ke-
ras menghalau serangan lawan. Pedangnya diputar 
sedemikian rupa membentuk gulungan sinar yang 
menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi meskipun 
begitu, Somanggala tetap tak mampu melindungi 
diri dari sengatan ujung pedang lawan.

Whuuut... 
crasss... 
brettt...! 
"Aaakh...!" 
Somanggala memekik kesakitan saat pangkal 
lengan serta pahanya tersayat pedang lawan. Tubuh 
pemuda tegap itu terhuyung mundur. Darah segar 
langsung keluar dari lukanya. 
"Haaat...!" 
Kedua lawannya kembali menerjang ganas. 
Agaknya mereka ingin melenyapkan pemuda itu 
secepat mungkin. Maka meluncurlah kedua mata 
pedang yang membawa hawa maut, mengancam 
tubuh Somanggala! 
* * *

TUJUH

Menyadari dirinya terancam bahaya maut, So-
manggala mengerahkan seluruh sisa kekuatannya 
untuk menyelamatkan diri. Pedang di tangannya 
kembali mengaung dengan gerak melingkar-lingkar. 
Dan... 
Tranggg! Tranggg! 
"Uhhh...!" 
Meskipun dua kali Somanggala berhasil mema-
tahkan serangan pengeroyoknya, namun karena 
keadaannya lemah, benturan itu membuat tubuh-
nya terjajar limbung. Kedua lawannya yang terjajar 
mundur beberapa langkah, tidak menyia-nyiakan 
kesempatan emas itu. Secepat kilat keduanya me-
lesat seiring dengan babatan senjata mereka. 
"Aaah...!" 
Somanggala terpekik ngeri melihat dua batang 
pedang meluncur mengancam leher dan perutnya. 
Lengannya yang masih terasa ngilu akibat bentu-
ran tadi, membuat gerakan pedangnya bertambah 
lemah dan lamban. Kendati demikian Somanggala 
berusaha menyelamatkan nyawanya dari incaran 
pedang lawan-lawannya. 
Brettt! Crattt! 
"Aaa...!" 
Untuk kesekian kalinya Somanggala menjerit 
kesakitan. Tubuh tegap itu terjajar limbung. Darah 
kembali mengalir dari luka memanjang di dada dan 
perutnya. Rupanya pemuda itu masih sempat 
menghindar dari ancaman yang mematikan, mes-
kipun harus mendapat tambahan luka di tubuh-
nya.

"Hm...! Keparat ini ternyata benar-benar alot...!" 
geram lelaki bermata cacat. 
"Tapi kali ini tidak akan bisa menghindar lagi, 
Kakang Duwarsa...," sahut pengeroyok yang lain. 
Orang itu sama tinggi dan kekarnya dengan 
Duwarsa. Wajahnya pun terhias brewok lebat. 
Hanya kedua matanya masih sempurna, tidak 
seperti Duwarsa yang picak sebelah kanan, 
Somanggala berusaha berdiri tegak, dan menatap 
kedua pengeroyoknya dengan penuh kebencian. 
Meskipun keadaannya sangat lemah, dan berdiri 
pun tidak kokoh, tapi Somanggala tetap ingin me-
lakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. 
Saat itu kedua lawannya kembali menerjang 
maju. Somanggala hanya berdiri menunggu dengan 
pedang di tangan. Pemuda itu rupanya bertekad 
mengadu nyawa! Dan sebisa mungkin membawa 
salah satu lawannya, walaupun untuk itu dia harus 
tewas. Maka pada saat serangan lawan semakin de-
kat, Somanggala mengangkat pedangnya untuk 
menerjang, bukan menyambut tebasan pedang la-
wan. 
Kedua pengeroyok itu agaknya dapat membaca 
pikiran Somanggala. Kelihatan keduanya semakin 
mempercepat gerakan. Perbuatan itu membuat 
harapan Somanggala untuk mengadu nyawa dengan 
lawan, tidak mungkin terwujud. Sebab lawan 
merubah permainan yang kecepatannya tidak bisa 
diikuti mata Somanggala yang mulai kabur. Akibat-
nya.... 
"Yeaaah...!" 
"Heaaah...!" 
Seiring dengan bentakan-bentakan parau, kedua 
bilah pedang lawan meluncur datang. Kali ini 
Somanggala tidak mungkin dapat menghindar dari 
kematian!

Whuttt! Bettt! 
Saat kedua batang pedang siap merenggut nya-
wanya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih 
memapaki luncuran pedang. Sehingga.... 
Plak! Plak! 
"Akh...!" 
"Ughhh...!" 
Akibatnya benar-benar mengejutkan! Tubuh Du-
warsa dan kawannya terpental balik bagai tersapu 
badai hebat. Keduanya jatuh berguling-guling 
sejauh dua tombak lebih. Dan pedang mereka ter-
pental entah ke mana. 
"Bedebah...!" maki Duwarsa segera bergerak 
bangkit dengan wajah menyeringai. 
Lelaki bermata picak itu memijit-mijit lengan 
kanannya yang sakit bukan main. 
"Setan alas...!" umpat yang seorang lagi, juga 
mengalami hal yang serupa dengan Duwarsa. 
Sosok bayangan putih yang menyelamatkan 
Somanggala, tidak mempedulikan kedua orang itu. 
Dan membalikkan tubuhnya menghampiri Somang-
gala. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna 
putih salju. 
"Kau...?!" desis Somanggala setelah mengenal 
penolongnya. "Mengapa kau menolongku lagi...?" 
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling to-
long-menolong, Somanggala. Apalagi kau sedang 
dalam kesulitan. Jadi tidak ada salahnya aku me-
nolongmu...," sahut sosok berjubah putih yang tidak 
lain Panji, seraya memberikan obat luka dalam 
kepada Somanggala. 
"Benar yang dikatakan Kakang Panji, Somang-
gala. Meskipun kau tidak menyukai campur tangan 
kami, tapi sebagai orang gagah, kami berkewajiban 
menolong orang yang teraniaya."

Tiba-tiba terdengar suara lain, membuat Somang-
gala menoleh mencarinya. 
"Kenanga...?!" seru Somanggala ketika melihat 
sosok dara jelita berpakaian serba hijau tengah me-
langkah menghampiri mereka. 
"Dirimu dikelilingi banyak rahasia yang membuat 
kami penasaran, Somanggala. Itu sebabnya menga-
pa kami mengikutimu. Menurut kami, kau membu-
tuhkan pertolongan...," timpal Panji, dengan senyum 
penuh persahabatan. 
"Kalian tidak marah ketika aku menolak men-
ceritakan persoalan yang tengah kuhadapi...?" tanya 
Somanggala seolah tak percaya dalam dunia yang 
menurutnya sangat keras dan kejam, ternyata 
masih ada orang yang peduli dengan nasibnya. 
Sepanjang pengetahuannya, setiap pertolongan 
mempunyai pamrih tersembunyi. Tapi melihat keju-
juran pasangan pendekar muda itu, Somanggala 
yakin pertolongan yang diberikan kepadanya sangat 
tulus, tanpa maksud-maksud lain di belakangnya. 
Panji dan Kenanga menggeleng perlahan dengan 
bibir tersenyum. Sehingga hati pemuda tegap yang 
hidupnya selalu bergelimang kekerasan itu terharu. 
Tanpa banyak bicara lagi, diambilnya pil berwarna 
putih salju yang diulurkan Panji. Somanggala tahu 
obat pemuda tampan berjubah putih itu sangat 
manjur untuk menyembuhkan luka dalam yang 
dideritanya. Tanpa ragu-ragu lagi, obat itu langsung 
ditelannya. 
"Hm..,. Hendak pergi ke mana kalian, Pengacau-
pengacau Tengik?!" bentak Duwarsa segera meme-
rintahkan kawan-kawannya untuk mengepung. 
Panji yang memapah tubuh Somanggala, dan 
Kenanga yang berjalan di belakang mereka, ber-
henti. Pemuda tampan berjubah putih itu menatap

Duwarsa yang diduga pimpinan tukang pukul Ki 
Jarangka. 
"Kalau kau ingin menolongku, bawalah aku me-
nemui Ki Jarangka, pemilik rumah besar ini. Mereka 
telah membunuh kedua orangtuaku secara biadab," 
bisik Somanggala kepada Panji, saat teringat mak-
sud kedatangannya ke tempat itu. 
"Kau yakin kaiau Ki Jarangka yang telah mem-
bunuh kedua orangtuamu...?" tegas Panji, 
Pendekar Naga Putih tidak terkejut mendengar 
kematian orangtua Somanggala. Sejak semula dia 
sudah menduga kalau pemuda tegap berwajah tam-
pan itu tengah menghadapi kesulitan besar. 
"Aku yakin, Panji. Karena sejak aku terjun dalam 
pertarungan di Panggung Kematian, tidak ada pi-
lihan lain bagiku. Sudah telanjur kata Ki Jarangka. 
Aku harus terus bertarung jika tidak ingin melihat 
kedua orangtuaku celaka," jelas Somanggala mem-
buka persoalan yang selama ini disimpannya. 
"Lalu kau menyerah diperas Ki Jarangka,..?" 
tanya Panji belum bisa menerima penjelasan So-
manggala. 
Pendekar Naga Putih melihat pemuda itu me-
miliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga 
sulit dipercaya kalau orang seperti Somanggala ta-
kut pada ancaman. 
"Tidak ada pilihan lain, Panji. Ki Jarangka mem-
punyai jagoan-jagoan tangguh. Selain itu aku tidak 
ingin membuat kedua orangtuaku yang sepanjang 
hidupnya miskin, bertambah susah. Aku melihat 
sebuah harapan lain dengan cara mempertaruhkan 
nyawa di atas panggung. Dari sana aku bisa 
mendapatkan banyak uang untuk membahagiakan 
kedua orangtuaku. Itu sebabnya, mengapa aku 
mengikuti pertandingan-pertandingan yang dise-
lenggarakan Ki Jarangka...," jelas Somanggala dengan panjang lebar. Sehingga, Panji mulai me-
mahami persoalan yang sedang dihadapinya. 
"Hm.... Tapi meskipun demikian, kita tidak bisa 
melemparkan tuduhan kepada Ki Jarangka. Harus 
diselidiki dulu kebenarannya. Apa kau mempunyai 
saksi yang melihat kejadian itu...?" tanya Panji de-
ngan hati-hati. 
"Aku yakin orang-orang Ki Jarangka yang me-
lakukannya. Karena pertandingan pagi tadi telah 
membuatnya menderita kerugian yang tidak sedikit. 
Dan orang-orang tidak akan percaya lagi, bila Ki 
Jarangka melaksanakan pertandingan lain di pang-
gung. Dia menimpakan kesalahan itu kepadaku. Itu 
sebabnya kedua orangtuaku dibunuh, sebagai tanda 
ancamannya dahulu tidak main-main...," jawab 
Somanggala, membuat Panji mengangguk-angguk-
kan kepala. 
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan membawamu 
menemui Ki Jarangka," sahut Panji pasti. 
"Tapi.... Aku harap kau berhati-hati. Panji. Manu-
sia tamak itu sangat licik dan penuh tipu muslihat. 
Belum lagi dua tukang pukul lainnya yang lebih 
lihai dari kedua lawanku tadi...," ujar Somanggala. 
Pemuda itu agaknya belum yakin akan kepan-
daian Panji maupun Kenanga. Kecuali ilmu pengo-
batannya yang telah dirasakan sangat manjur. 
Kalau soal kepandaian, Somanggala masih meragu-
kannya. Apalagi usia Panji jauh lebih muda darinya. 
Panji hanya mengangguk perlahan seraya ter-
senyum. Pendekar Naga Putih menyadari kekha-
watiran Somanggala. Karena meskipun telah dua 
kali menolongnya, tapi Somanggala tidak melihat 
secara jelas. Panji maklum akan perasaan pemuda 
itu. 
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih 
membalikkan tubuhnya dan bergerak memasuki

bangunan induk setelah memberi isyarat pada Ke-
nanga. Dara jelita itu segera mengikuti tanpa ba-
nyak tanya lagi. Sebab Kenanga sempat mendengar 
pembicaraan Panji dan Somanggala. 
"Hei...?!" 
Duwarsa yang melihat ketiga orang itu berbalik 
dan memasuki bangunan, menjadi terkejut. Sambil 
berteriak, lelaki kekar bermata picak itu mengejar. 
Diambilnya sebatang pedang dari seorang kawan-
nya, kemudian melompat menghadang jalan masuk 
ketiga tamu tak diundang itu. 
*** 
Panji menghentikan langkahnya melihat Duwarsa 
dan kawan-kawannya bergerak mengepung. Sehing-
ga ketiga orang gagah itu berada dalam lingkaran 
kepungan belasan orang lawan. 
"Hm.... Katakan kepada majikanmu kami datang 
hendak menemuinya...!" perintah Panji kepada lelaki 
kekar bermata picak itu seraya menentang pandang 
Duwarsa yang melotot marah. 
"Tidak bisa! Majikan kami tidak berada di tempat! 
Lagi pula kau telah bertindak lancang mencampuri 
urusan ini, Bocah! Untuk itu kau patut diberi ha-
jaran seperti Somanggala!" sahut Duwarsa dengan 
wajah berang. 
Setelah berkata demikian, Duwarsa bergerak 
maju dari depan, diiringi empat tukang pukul lain-
nya. Kemudian, pedangnya disilangkan di depan 
dada, dengan sikap jumawa. 
"Julantara, jangan biarkan mereka lolos...!" lanjut 
Duwarsa kepada lelaki brewok kekar yang lain. 
Lelaki kekar berwajah brewok yang dipanggil 
Julantara, bergerak dari belakang bersama empat 
orang di kanan kirinya. Sedang yang lain bergerak

dari samping kiri dan kanan Panji. Para pengeroyok 
itu bergerak serentak, siap melumatkan tubuh 
ketiga pendekar itu. 
"Hm...." 
Panji bergumam perlahan melihat pengepungnya 
mulai bergerak. Pemuda itu menoleh ke arah 
Somanggala yang masih dipapahnya. 
"Kau sudah dapat memulihkan tenagamu, So-
manggala?" tanya Panji perlahan. 
"Jangan khawatir. Panji. Kalau hanya mengha-
dapi cecunguk-cecunguk itu selain Duwarsa dan Ju-
lantara, aku masih sanggup...," sahut Somanggala 
dan melepaskan lengannya dari bahu Panji. 
Kemudian pemuda tegap itu menarik napas 
panjang-panjang. Seolah dengan berbuat demikian, 
Somanggala berharap dapat mengembalikan keku-
atannya. 
Panji tersenyum melihat semangat Somanggala 
yang besar. Pemuda tampan itu menoleh ke arah 
Kenanga dan menganggukkan kepala sebagai tanda 
mengizinkan kekasihnya untuk bertindak. Kenanga 
tersenyum melihat anggukan kepala kekasihnya. 
Langsung saja dara jelita itu membalikkan tubuh 
menghadapi pengeroyok yang berada di kirinya. 
"Serbuuu...!" 
Duwarsa yang kelihatan tidak sabar lagi, segera 
memberikan perintah. Tubuhnya segera melompat 
menerjang Panji yang dianggap telah mengacaukan 
pekerjaannya yang hampir tuntas barusan. Ke-
marahan dan kebenciannya ditumpahkan melalui 
serangan-serangan pedang yang ganas dan ber-
bahaya. 
Empat tukang pukul di kiri dan kanan Duwarsa 
pun tidak tinggal diam. Mereka ikut menyertai lelaki 
kekar bermata picak itu untuk mencincang tubuh 
Panji.

Dan Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak, 
menanti datangnya serangan lima orang penge-
royoknya. Gerakan lawan baginya terlalu lamban. 
Hingga pemuda itu tidak perlu segera menghindar-
kan diri. Tubuhnya baru mengelak saat pedang di 
tangan Duwarsa tinggal setengah jengkal dari sasar-
an. 
Whuttt..! 
Tusukan pedang Duwarsa luput dari sasaran. 
Panji melompat ke samping kanan, menghindari dua 
batang pedang yang mengancam tubuhnya. Sepa-
sang tangannya dikembangkan untuk memapaki 
sambaran dua batang pedang lain yang menyambut 
tubuhnya. 
Plak! Plak! 
Tanpa ampun lagi, kedua tukang pukul itu lang-
sung terjengkang akibat kuatnya tangkisan Pen-
dekar Naga Putih. Dan sebelum mereka sempat 
mempersiapkan serangan selanjutnya. Panji sudah 
mengirimkan dua buah tamparan ke pelipis lawan. 
Tamparan yang dimaksudkan untuk memberi 
pelajaran kepada lawan-lawannya, membuat tubuh 
kedua tukang pukul itu terbanting pingsan! 
"Heaaah...!" 
Marah dan terkejut bukan main Duwarsa me-
nyaksikan kejadian itu. Sambil membentak marah 
tubuhnya melesat ke depan, disertai tebasan pedang 
mengarah ke batang leher Panji. Namun pemuda itu 
dapat menangkap gerakan Duwarsa, dan segera 
menggeser tubuhnya sambil memutar leher. 
Bettt! 
Sambaran pedang Duwarsa lewat setengah 
jengkal di atas kepala Pendekar Naga Putih. Tentu 
saja lelaki bermata picak itu menjadi geram. Cepat 
senjatanya diputar kembali, meluncur mengancam 
leher Panji untuk kedua kali.

"Bagus...!" seru Panji memuji kesigapan gerak 
lawan. 
Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih 
memutar tubuh. dan memapaki serangan lawan 
dengan tepisan telapak tangan. Dan sekaligus me-
nyertainya dengan bacokan sisi telapak tangan 
miring 
Plak! Desss...! 
"Akhhh...!" 
Bagaikan terkena hantaman palu, Duwarsa ter-
pental akibat bacokan telapak tangan Pendekar 
Naga Putih yang telak menghajar iga kanannya. 
Belum lagi Duwarsa sadar apa yang menimpa di-
rinya, Panji sudah mengirimkan sebuah tendangan 
kilat ke dada lelaki kekar itu. 
Bukkk! 
"Huakhhh...! 
Darah segar termuntah keluar seiring dengan 
terbantingnya tubuh Duwarsa ke tanah. Tendangan 
yang keras itu, membuat Duwarsa tidak ingat lagi 
keadaan di sekelilingnya. Karena pingsan saat itu 
juga. 
Melihat pimpinannya menggeletak pingsan, pe-
ngeroyok yang lain bergerak mundur dengan hati 
gentar. Kesempatan itu digunakan Panji untuk 
mengajak Somanggala dan Kenanga menerobos 
masuk ke dalam bangunan. Baik Somanggala mau-
pun Kenanga berhasil membuat gentar lawan-
lawannya dengan merobohkan banyak kawan me-
reka. Bahkan Kenanga dapat menewaskan Julan-
tara dengan sebatang pedang yang direbut dari 
seorang pengeroyok. Sehingga mereka dapat leluasa 
menerobos masuk ke dalam bangunan. 
Somanggala yang berada di depan, membawa 
Panji dan Kenanga menggeledah setiap tempat 
untuk mencari Ki Jarangka. Sebenarnya Somang

gala sudah curiga ketika tidak melihat Ki Jarangka 
muncul saat keributan terjadi. Bahkan kedua orang 
jagoan lain tidak kelihatan. Maka ketika tidak dapat 
menemukan Ki Jarangka di dalam bangunan, 
Somanggafa tidak kaget. Ketidakberadaan Ki Ja-
rangka membuat Somanggala semakin bertambah 
yakin kalau kedua orangtuanya dibunuh Ki Jarang-
ka dan begundal-begundalnya. 
Jengkel karena tidak menemukan orang yang 
dicarinya, Somanggala menarik seorang pelayan 
yang gemetar ketakutan di sudut ruang belakang. 
"Katakan, di mana majikanmu? Kalau kau ber-
bohong, kuparahkan batang lehermu...!" ancam 
Somanggala sambil mencengkeram leher pelayan itu 
dengan jari-jari tangannya yang kokoh bagai jepitan 
besi. 
"Tuan Besar..., sedang pergi. Aku tidak tahu ke 
mana...," jawab pelayan itu pucat ketakutan, 
bahkan sampai terkencing-kencing. 
"Keparat! Rupanya kau ingin mampus...!" geram 
Somanggala tidak mempercayai jawaban pelayan 
itu. Jari-jari tangannya siap meremas hancur tulang 
leher pelayan malang itu. 
'Tahan, Somanggala...!" seru Panji mencekal per-
gelangan tangan Somanggala dengan mengerahkan 
tenaga dalam. 
Akibatnya cekalan jari-jari tangan lelaki tegap 
berwajah tampan itu kendor. Urat-urat lengannya 
terasa lumpuh akibat cekalan tangan Panji. 
"Pelayan itu tidak berbohong. Sebaiknya kita 
selidiki ke mana perginya Ki Jarangka...," lanjut 
Panji mengajak Somanggala dan Kenanga mening-
galkan tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi kedua-
nya mengikuti langkah Panji. 
* * *

DELAPAN

Panji, Somanggala, dan Kenanga segera me-
ninggalkan tempat kediaman Ki Jarangka. Tak 
seorang pun dari tukang pukul di rumah besar itu 
berani menghalangi kepergian mereka. Rupanya 
para pengawal Ki Jarangka itu merasa gentar dan 
tidak ingin mencari penyakit 
Saat ketiganya hendak menyeberangi sungai, 
tiba-tiba Somanggala menghentikan langkah. Mem-
buat Kenanga maupun Panji merasa heran, dan 
menghentikan larinya. 
"Ada apa, Somanggala...?" tanya Panji melihat 
Somanggala seperti memikirkan sesuatu. 
"Aku baru ingat sekarang...!" seru pemuda tegap 
itu seperti baru terbangun dari mimpi. 
"Apa yang kau ingat...?" tanya Panji lagi. 
"Sehari sebelum pertandingan di atas panggung, 
aku menyelamatkan seorang gadis dari ancaman 
dua lelaki kasar. Kemudian aku mengantarkannya 
pulang, dan disuguhi teh dingin yang rasanya aneh 
tapi baunya menyegarkan," gumam pemuda itu, 
seolah berkata pada diri sendiri. 
"Hm.... Mungkin teh itu yang menyebabkan 
tenagamu lenyap perlahan-lahan, karena telah di-
campuri racun pelumpuh...," sergah Panji mencoba 
menduga ke mana arah pembicaraan Somanggala. 
"Kurang ajar! Pantas gadis itu berusaha men-
cegah ketika aku ingin menghabisi nyawa kedua 
orang kasar itu. Kemungkinan besar mereka kaki 
tangan Garbanaka yang sengaja memasang perang-
kap untukku. Sebab betapapun lihai Garbanaka, 
dalam keadaan biasa aku sanggup menundukkan-
nya. Keparat itu berbuat curang untuk memperoleh

kemenangan!" geram Somanggala, kemudian me-
lesat menyusuri tepian sungai. 
"Somanggala! Mau ke mana kau...?" seru Panji 
sambil bergerak mengejar pemuda itu. 
Kenanga tidak mau ketinggalan. Dara jelita itu 
mengerahkan ilmu lari cepatnya mengejar Panji dan 
Somanggala. Sebentar saja dia telah dapat mem-
perpendek jarak dan berlari di belakang kedua lelaki 
itu. 
"Rumah gadis yang kutolong itu tidak jauh dari 
sini...!" jawab Somanggala tanpa menghentikan 
larinya. Seruan itu merupakan jawaban pertanyaan 
Panji. 
Pada saat hampir tiba di tempat tujuan, men-
dadak Somanggala menghentikan larinya, dan me-
runduk bersembunyi di semak-semak. Panji dan 
Kenanga yang pendengarannya jauh lebih tajam, 
lebih dahulu mendengar tangisan yang membuat 
Somanggala bersembunyi. 
“Itu suara tangisan Seruni, gadis yang pernah 
kutolong...," bisik Somanggala dengan wajah heran. 
Di antara isak tangis itu terdengar bentakan dan 
makian kasar. Membuat ketiganya saling berpan-
dangan. 
"Suara yang besar dan berat itu mungkin milik 
Garbanaka...," ujar Panji yang pendengarannya lebih 
tajam dari Kenanga dan Somanggala. "Sepertinya 
dia sedang menyiksa gadis yang bernama Seruni 
itu...?" 
Tanpa menunggu persetujuan Somanggala, 
Pendekar Naga Putih segera berkelebat ke tempat 
asal suara. 
"Lepaskan aku...! Bukankah kau sudah berjanji 
tidak akan menggangguku lagi, bila aku melak-
sanakan perintahmu meracuni Somanggala...!"

Setelah mendengar ucapan gadis yang membuka 
rencana jahat itu. Panji langsung melayang ke 
tempat sosok Garbanaka berdiri tegak dengan ta-
ngan di pinggang. Di dekat kaki lelaki kekar itu, 
tampak seorang gadis cantik bersimpuh dengan 
wajah berurai air mata. 
"Seruni...!" 
Somanggala yang jatuh hati kepada dara cantik 
yang pernah ditolongnya, langsung berseru me-
manggil. Kebenciannya lenyap saat mendengar 
pengakuan gadis itu. Dan rasa cintanya bangkit 
kembali. 
Garbanaka yang sebelum mendengar seruan 
Somanggala telah menangkap desiran angin yang 
meluncur ke arahnya, langsung menoleh dan me-
ngirimkan pukulan jarak jauh. Samar-samar dia 
menangkap sosok bayangan putih meluncur ke 
arahnya. 
Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam. Pukulan 
jarak jauh Garbanaka disambutnya dengan kibasan 
lengan yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'. Akibatnya, dapat dibayangkan! 
Bresssh...! 
"Aaakh-!" 
Seiring dengan benturan itu, tubuh Garbanaka 
terlempar muntah darah! Kemudian terbanting di 
tanah dengan dada sesak. 
"Bangsat! Setan mana yang berani mati melukai 
muridku...!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan parau disusul ber-
kelebatnya sosok seorang kakek yang semula berada 
di kanan Garbanaka. Rupanya orang tua itu guru 
Garbanaka. 
Merasakan adanya sambaran angin yang sangat 
kuat, Panji tidak ingin bertindak ceroboh. Pemuda 
itu mendorong sepasang telapak tangannya menyambut serangan lawan. Pada saat itu kedua 
kakinya belum menyentuh tanah. 
Blarrr...! 
Terdengar benturan yang sangat hebat, membuat 
udara di sekitar tempat itu bergetar. Tubuh Panji 
terdorong ke belakang. Hal itu dikarenakan kedu-
dukannya memang sangat lemah. Sedangkan kakek 
kurus itu berjumpalitan, kemudian meluncur turun 
ke tanah dengan kuda-kuda goyah. Jelas, kakek itu 
pun terpengaruh benturan tadi. 
"Ki Gending Sendapa...?!" seru Somanggala yang 
rupanya mengenali orang tua kurus itu. 
Wajah pemuda tegap itu kelihatan cemas dan 
agak pucat Jelas, hatinya gentar melihat orang tua 
sakti itu. 
"Hm.... Rupanya gurumu takut menghadapiku, 
Somanggala. Sehingga menyuruhmu mengundang 
Pendekar Naga Putih dalam persoalan ini...," sahut 
Ki Gending Sendapa. 
Nada suara lelaki kurus itu demikian menghina 
Somanggala. Hebatnya dia dapat menebak dengan 
pasti, siapa pemuda berjubah putih di hadapannya. 
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Somanggala 
dengan mata membelalak lebar. 
Pemuda itu merasa dirinya benar-benar bodoh, 
tidak mengenali Pendekar Naga Putih. Padahal bela-
kangan ini dirinya cukup dekat dengan pemuda itu. 
"Begitulah orang-orang rimba persilatan memberi 
julukan kepadaku, Somanggala...," ujar Panji, mem-
perjelas ucapan Ki Gendirg Sendapa. 
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakan-
nya saat itu. Malu, gembira, dan entah apa lagi? 
Somanggala sendiri tidak bisa mengartikannya satu 
persatu. Yang jelas, hatinya gembira dapat bertemu 
bahkan mengenal Pendekar Naga Putih. Gurunya

sering menceritakan kegagahan dan kemuliaan 
pendekar muda itu. 
"Ke mana gurumu, Bocah? Apa sudah tidak 
mampu bertarung lagi...?" ejek Ki Gending Sendapa 
kepada Somanggala. 
"Hm.... Guruku tidak sepertimu, Ki Gending 
Sendapa. Beliau tidak ingin mencampuri urusan 
dunia karena merasa sudah tua. Sekarang beliau 
bertapa dan menyepi di tempat kediamannya. Tidak 
sepertimu yang masih mengumbar nafsu, tidak 
menyadari usia yang sudah terlalu tua dan bau 
tanah...," balas Somanggala, tidak lagi merasa 
gentar pada Ki Gending Sendapa. Karena di pihak-
nya ada Pendekar Naga Putih yarg diyakini akan 
mampu menundukkan tokoh tua yang sakti itu. 
"Bocah kurang ajar! Kau harus diberi pelajaran 
agar tidak kurang ajar kepada orang tua...!" 
Marah bukan main Ki Gending Sendapa, men-
dengar makian Somanggala. Secepat kilat tubuhnya 
melayang dengan tamparan maut yang menerbitkan 
angin bercicitan. 
Panji tentu saja tidak ingin Somanggala celaka. 
Cepat tubuhnya melesat menyambut tamparan Ki 
Gending Sendapa. Sadar kalau orang tua itu bukan 
tokoh sembarangan. Pendekar Naga Putih langsung 
menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya 
yang terkenal ampuh dan mukjizat. 
"Setan...!" 
Ki Gending Sendapa mengumpat jengkel. Seraya 
menarik pulang tamparannya dan ganti menerjang 
Panji dengan serangan-serangan maut. Sebentar 
saja kedua tokoh itu terlibat dalam pertarungan 
sengit. 
***

Melihat Pendekar Naga Putih bertarung dengan Ki 
Gending Sendapa, Somanggala bergegas mendekati 
Seruni yang tengah menatapnya dengan penuh 
penyesalan. 
"Berhenti...!" 
Langkah Somanggala tertahan mendengar benta-
kan itu. Cepat kepalanya berpaling ke arah dua 
lelaki kasar yang melompat menghadang jalannya. 
Somanggala mengenali kedua lelaki itu sebagai 
orang yang pernah menjebaknya bersama Seruni. 
Maka tanpa banyak cakap lagi, Somanggala meng-
hadapi kedua orang itu dengan sinar mata penuh 
dendam. 
"Somanggala, tahan...!" terdengar seruan merdu 
disusul berkelebatnya sesosok bayangan hijau. 
"Kenanga.... Mengapa kau mencegahku...?" tegur 
Somanggala tak mengerti akan tindakan gadis jelita 
itu. 
"Kau selamatkan Seruni. Biar aku yang meng-
hadapi kedua cecunguk itu...," ujar Kenanga seraya 
melangkah ke arah kedua lelaki kasar itu. 
"Baiklah,, Kenanga. Terima kasih...," sahut Soma-
nggala, gembira mendengar usul dara jelita itu. 
Tapi baru saja kakinya melangkah dan menarik 
bangkit tubuh Seruni, terdengar bentakan parau 
yang mengejutkan. 
"Jangan sentuh gadis itu, Somanggala! Seruni 
milikku...!" bentakan itu datangnya dari Garbanaka 
yang rupanya telah dapat memulihkan tenaganya. 
Lelaki kekar berwajah brewok itu berdiri tegak 
menatap Somanggala dengan mata mencorong ta-
jam. 
Melihat Garbanaka berdiri dengan sikap me-
nantang, Somanggala segera menyuruh Seruni me-
nyingkir. Kemudian kakinya melangkah maju bebe-
rapa tindak menghadapi Garbanaka.

"Hm.... Bagus, Garbanaka. Sekarang mari kita 
lanjutkan pertarungan di atas panggung yang ter-
tunda dulu...," tantang Somanggala tanpa rasa 
gentar sedikit pun. Karena kali ini merasa yakin 
dapat menundukkan lawan. 
"Hm...." 
Garbanaka tidak menjawab. Lelaki kekar itu 
menggeram sambil melolos pedang, siap bertarung 
mati-matian. 
"Sambut seranganku, Somanggala...!" teriak Gar-
banaka seraya melesat maju disertai putaran 
pedang yang mendatangkan angin menderu-deru. 
Somanggala yang telah siap dengan senjata ter-
hunus, langsung memapaki serangan lawan. Pe-
dangnya berkelebatan cepat membawa gumpalan 
sinar putih bergulung-gulung laksana angin topan. 
Sebentar saja keduanya terlibat dalam perkelahian 
sengit. 
"Heaaah...!" 
Garbanaka kelihatan sangat bernafsu untuk 
dapat segera merobohkan lawan. Serangan pe-
dangnya sangat ganas dan selalu mengarah pada 
bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawan. 
Meskipun demikian, Somanggala selalu dapat me-
matahkan serangan lawan. Bahkan mampu mem-
balas dengan tidak kalah ganasnya. 
"Yiaaat...!" 
Breeet...! 
"Akh!" 
Pada jurus keempat puluh, Somanggala berhasil 
menggoreskan ujung pedangnya ke pangkal lengan 
kiri lawan. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, 
namun cukup membuat gerakan Garbanaka ter-
ganggu. Sehingga mulai dapat didesak dengan 
serangan-serangan cepat Somanggala.

Di arena lain, Panji sedang berusaha mendesak 
lawan, Pendekar Naga Putih telah mengeluarkan 
'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Karena Ki Gending Sen-
dapa bukan lawan yang ringan bagi pemuda itu. 
"Haiiit..!" 
Ketika, pertarungan menginjak jurus kesembilan 
puluh dua, tiba-tiba Panji berseru nyaring sambil 
melancarkan serangkaian serangan yang cepat bagai 
sambaran kilat di angkasa. 
"Aihhh...!" 
Ki Gending Sendapa sempat dibuat gugup oleh 
kecepatan gerak lawan. Sehingga ketika hantaman 
telapak tangan Pendekar Naga Putih meluncur 
datang, lelaki tua itu tidak sempat menghindar. 
Bukkk! 
"Huakhh...." 
Darah segar termuntah keluar dari mulut Ki 
Gending Sendapa. Hantaman yang amat kuat itu 
membuat tubuhnya terlempar sejauh satu setengah 
tombak. Meskipun demikian, orang tua itu ternyata 
cukup lincah. Tubuhnya dapat meluncur turun de-
ngan selamat ke tanah. Sayangnya tokoh tua itu 
masih kalah cepat dengan Pendekar Naga Putih. 
Baru saja kakinya menjejak tanah, tubuhnya kem-
bali terlempar akibat hantaman sepasang telapak 
tangan Panji yang menyusuli serangannya. 
Bresssh...! 
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Gending Sendapa 
terlempar deras bagai daun kering tertiup angin. 
Dan terus meluncur merobohkan sebatang pohon 
besar. Lalu melorot jatuh, dan tidak mampu bangkit 
lagi. Bagian dalam dadanya hancur akibat pukulan 
Panji. 
Mengetahui lawannya telah tewas, Pendekar Naga 
Putih bergerak mendekati Kenanga yang sedang 
duduk di dekat Seruni. Rupanya dara jelita itu

sudah menyelesaikan pertarungannya. Tidak jauh 
darinya terlihat dua sosok tubuh menggeletak tewas. 
"Kakang, Seruni korban kejahatan Garbanaka. 
Gadis ini diculik oleh lelaki itu dengan janji akan 
dilepaskan bila Seruni mau mengikuti perintahnya 
meracuni Somanggala," jelas Kenanga ketika Panji 
duduk di dekat kedua gadis itu. 
"Hm.... Apa Somanggala sudah tahu...?" tanya 
Panji sambil menatap wajah Seruni lekat-lekat. 
Seolah pemuda itu ingin mencari kejujuran di mata 
Seruni. Sesaat kemudian Pendekar Naga Putih kem-
bali mengalihkan pandangannya, setelah melihat 
gadis itu seorang yang jujur. 
"Biar aku sendiri yang mengatakannya, Kakang 
Panji...," ucap Seruni dengan suara agak serak, 
karena terlalu banyak menangis. 
"Seruni juga mengatakan kalau pembunuh kedua 
orangtua Somanggala adalah Ki Jarangka. Sedang-
kan Ki Jarangka dan dua orang pengawalnya telah 
dilenyapkan Ki Gending Sendapa dan Garbanaka. 
Karena Garbanaka tidak senang karena tidak di-
bayar dalam pertandingannya melawan Somanggala 
di atas Panggung Kematian...," jelas Kenanga lagi 
yang rupanya telah banyak berbicara dengan Se-
runi. Sehingga, mengetahui persoalan yang selama 
ini menjadi rahasia mereka bertiga. 
"Syukurlah kalau segalanya telah terungkap...," 
ujar panji sambil memperhatikan jalannya pertaru-
ngan antara Somanggala melawan Garbanaka. 
"Nampaknya mereka memiliki kepandaian yang 
seimbang, Kakang..," kata Kenanga, ikut memper-
hatikan jalannya pertarungan. 
"Yahhh.... Kalaupun Somanggala lebih unggul, 
hanya sedikit. Seandainya Somanggala dapat me-
nang, mungkin akan menderita luka...," sahut Panji 
mencoba memberi penilaian.

Penilaian pemuda itu hampir dapat dipastikan 
kebenarannya. Karena secepat apa pun gerakan 
mereka, mata Panji yang telah terlatih baik dapat 
mengikuti setiap gerak Somanggala dan Garbanaka. 
Sementara di arena pertempuran, Somanggala 
sedang berusaha sekuat tenaga merobohkan lawan. 
Pedang di tangannya selalu mengincar bagian-ba-
gian mematikan di tubuh lawan. Tapi walaupun te-
lah terluka pada pangkal lengan kirinya, Garbanaka 
masih mampu melakukan serangan-serangan balas-
an yang tidak bisa dianggap remeh Somanggala. 
Akibatnya, pertempuran pun berlangsung seru dan 
mendebarkan. 
Somanggala yang hanya menang kecepatan dari 
lawannya, berusaha menggunakan kelebihan itu. 
Bahkan tidak jarang pemuda tegap itu merubah 
gerakannya secara mendadak, dengan tujuan me-
ngacaukan pikiran lawan. Taktik Somanggala ter-
nyata berhasil. Beberapa kali Garbanaka terpe-
ngaruh, dan melompat mundur memperbaiki kedu-
dukan. Kemudian kembali menerjang maju dengan 
sambaran dan tusukan pedang. 
"Haaat...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh 
puluh, Somanggala bertindak nekat. Pedangnya di-
putar sedemikian rupa, membentuk gulungan sinar 
yang membuat wujud senjata itu lenyap. Kemudian 
meluncur ke depan dengan serangkaian tusukan 
maut bertubi-tubi. 
"Haiitt..!" 
Garbanaka yang melihat kenekatan lawannya, 
berseru nyaring sambil memutar pedang untuk 
membentengi dirinya. Sehingga setiap kali ujung 
pedang lawan datang mengancam, selalu terpental 
balik terbentur pedangnya. Sayang Somanggala kali 
ini mengerahkan segenap tenaganya, dan terus

mencecar tanpa mengenal putus asa. Sehingga be-
berapa tusukan pedangnya dapat menerobos ben-
teng pertahanan Garbanaka. Akibatnya.... 
Cappp! Cappp! 
"Aaakh...!" 
Garbanaka menjerit kesakitan ketika ujung pe-
dang lawan menyentuh tubuhnya. Darah segar 
mengucur dari lubang-lubang di perut dan dadanya 
akibat tusukan pedang lawan. 
"Haiiit...!" 
Saat tubuh lawan terjajar mundur, mendadak 
Somanggala membentak keras sambil melompat, 
disertai ayunan pedang membabat leher lawan. 
Dan.... 
Crakkk...! 
Tanpa ampun lagi, putuslah batang leher Gar-
banaka terbabat pedang Somanggala! Tubuh tinggi 
kekar itu ambruk dengan kepala terpisah dari ba-
dan! Darah segar berceceran membasahi permukaan 
tanah lembab. 
Somanggala jatuh terduduk lemas di dekat mayat 
Garbanaka. Pemuda itu telah melakukan segalanya 
untuk memenangkan perkelahian itu. 
"Kakang...." 
Terdengar panggilan merdu yang membuat So-
manggala mengangkat kepala. Dada pemuda itu 
berdebar keras melihat Seruni datang mengham-
pirinya dengan mata basah. Dan Somanggala me-
rasa bermimpi ketika dara cantik itu tanpa malu-
malu memeluk tubuh tegap yang basah oleh keri-
ngat. 
"Maafkan aku, Kakang Somanggala...," desah 
Seruni yang langsung menangis di dada pemuda itu. 
Dengan jari-jari gemetar namun hati dipenuhi 
bunga-bunga kebahagiaan, Somanggala membeiai 
rambut gadis cantik itu. hatinya benar-benar gem

bira tak terlukiskan. Somanggala seolah bermimpi 
kejatuhan bulan ketika mendapati kenyataan dalam 
dekapannya ada tubuh Seruni, yang kecantikannya 
membuat jantung Somanggala melompat-lompat. 
Apalagi tubuh lembut dan hangat itu kini berada 
dalam dekapannya. Sukar sekali bagi Somanggala 
untuk mengungkapkan perasaannya saat itu. 
Melihat kedua insan itu saling berpelukan seolah 
lupa dengan sekelilingnya, Panji dan Kenanga ber-
gegas meninggalkan tempat itu. Menurut keduanya 
persoalan sudah selesai. Kalaupun Somanggala 
masih ingin mencari pembunuh kedua orangtua-
nya. Seruni dapat menjelaskan. Dan ketika melihat 
Somanggala dan Seruni saling jatuh cinta, pasangan 
pendekar muda itu tidak khawatir lagi dengan nasib 
Seruni. Karena Somanggala pasti akan mengantar-
kan gadis itu ke rumah orangtuanya. 




                              SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar