..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MENCARI JEJAK PEMBUNUH

Mencari Jejak Pembunuh

SATU

Panji berdiri tegak menatap Bukit Gua Harimau yang 
berdiri kokoh dan angker di hadapannya. Pohon-
pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun 
bertebaran di segala penjuru bagai raksasa penjaga 
hutan. Keadaan itu memang sudah sewajarnya 
karena Bukit Gua Harimau terletak di Hutan Randu 
Apus, sebuah hutan angker yang hampir tidak pernah 
didatangi manusia. 
"Hm... bukit ini tampaknya tidak banyak meng-
alami perubahan selama kutinggalkan. Hanya be-
berapa jenis tumbuhan liar saja yang semakin 
menutupinya," gumam Panji seraya melangkahkan 
kakinya merayapi lereng bukit, tempat di mana 
gurunya yang dijuluki Malaikat Petir menggembleng 
dirinya dulu. 
Matahari semakin tinggi ketika pemuda berjubah 
putih itu mulai mendaki lereng bukit. Wajahnya yang 
tampan tampak berseri-seri membayangkan kalau 
sebentar lagi akan bertemu dengan gurunya. Panji 
semakin mempercepat langkahnya ketika mem-
bayangkan wajah Eyang Tirta Yasa yang sudah pasti 
akan gembira melihat kedatangannya. 
Tak lama kemudian sampailah Panji alias 
Pendekar Naga Putih di tanah datar yang cukup luas. 
Sebuah pondok sederhana berdiri kokoh beberapa 
belas tombak di depannya. 
"Eyang...," panggil pemuda berbaju putih itu sambil 
mendorong pintu pondok yang ternyata tidak terkunci. 
Panji bergegas masuk ketika tidak mendengar


sahutan dari dalam. 
"Eh, ke mana perginya Eyang?" gumam Panji 
tatkala tidak mendapati gurunya di dalam pondok. 
Bergegas Pendekar Naga Putih berlari ke arah 
sungai yang terletak tidak jauh di belakang pondok. 
Panji semakin heran ketika di sungai itu pun tidak 
juga menemukan Eyang Tirta Yasa. Kening pemuda 
itu berkerut dalam. Nalurinya membisikkan ada 
sesuatu yang terjadi dengan gurunya. Namun 
berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk 
yang ada dalam benaknya. 
"Ah, siapa tahu Eyang sedang bersemadi di tempat 
biasa," pikir Panji seraya bergegas menuju tempat 
Eyang Tirta Yasa biasa bersemadi. Jantung pemuda 
berjubah putih itu berdebar keras ketika melihat 
tempat berlatihnya dulu telah porak-poranda. 
Berbagai macam dugaan mulai bergayut di kepala 
pemuda itu. Nalurinya membaui sesuatu yang tidak 
wajar telah menimpa diri orang yang selama ini telah 
banyak berjasa kepadanya. 
"Hm.... Belum lama di tempat ini tampaknya telah 
menjadi ajang pertarungan yang sangat hebat! 
Mungkinkah Eyang telah bertempur dengan 
seseorang? Kalau memang benar, siapa gerangan 
orang yang berani mati datang ke tempat ini? Lalu di 
mana sekarang beliau berada?" berbagai pertanyaan 
memenuhi benak Panji. Namun, semua pertanyaan 
itu tak satu pun dapat dijawab. Kecemasan dan 
kekhawatiran mulai membuat hatinya resah. 
Pemuda berjubah putih itu melangkahkan kakinya 
meneliti bekas-bekas pertarungan. Sepasang mata 
Pendekar Naga Putih tertegun ketika mendapati 
tanda hitam di bagian tengah sebatang pohon yang 
tumbang. Di tempat lain ternyata dia pun menemukan

tanda yang sama pada beberapa batang pohon yang 
tumbang. Panji mulai dapat memastikan kalau yang 
telah bertarung di tempat ini memang gurunya. 
"Hm... pohon-pohon ini pasti tumbang akibat 
pukulan 'Telapak Tangan Petir' Eyang yang nyasar! 
Lalu siapa orang yang jadi lawannya?" tanya pemuda 
itu pada dirinya sendiri. Namun sampai sekian jauh 
menyelidik, tak satu pun yang dapat dijadikan 
pegangan untuk mengetahui siapa yang telah ber-
tarung dengan Eyang Tirta Yasa. 
Murid tunggal Malaikat Petir itu terpaksa menunda 
penyelidikan ketika hari mulai gelap. Lalu diputuskan 
untuk melanjutkan penyelidikan keesokan harinya. 
Panji berjanji dalam hati tidak akan berhenti 
menyelidiki sebelum menemukan gurunya dalam 
keadaan hidup atau mati! 
*** 
"Eyang...!" panggil pemuda tampan berjubah putih 
sambil menatap sesosok tubuh kurus yang berdiri 
tegak di tengah lapisan kabut putih tipis. 
Pemuda yang tidak lain adalah Panji menajamkan 
matanya menerobos lapisan kabut yang menghalangi 
pandangan. Perlahan pemuda itu bangkit dan meng-
hampiri orang tua yang tidak lain adalah gurunya. 
Meskipun wajahnya tampak pucat dan sangat 
letih, namun Eyang Tirta Yasa atau Malaikat Petir 
tetap tersenyum lembut. Sepasang matanya menatap 
wajah murid tunggalnya penuh kerinduan. 
"Eyang...," sapa Panji sambil mendekati laki-laki 
tua yang selama ini banyak membimbingnya. 
Kedua kaki pemuda berjubah putih itu melangkah 
semakin cepat ketika melihat kedua lengan gurunya

mengembang seolah-olah menyambut kedatangan-
nya. Tapi Panji tidak sempat berpikir kalau setelah 
sekian jauh kakinya melangkah, jarak antara dirinya 
dan sang Guru tidak pernah berubah. Padahal semula 
jarak antara mereka tidak lebih dari empat tombak. 
Tiba-tiba tubuh Eyang Tirta Yasa terdorong mundur 
bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan semakin 
Panji mempercepat langkahnya, tubuh Malaikat Petir 
terdorong semakin jauh. 
"Eyang...!" 
Panji berteriak-teriak memanggil sambil mengulur-
kan kedua tangannya untuk menggapai lengan Eyang 
Tirta Yasa. Namun, bayangan tubuh Eyang Tirta Yasa 
semakin menjauh. Dan, kemudian lenyap sama sekali 
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun! 
"Eyang...!" 
Panji berteriak-teriak putus asa. Kedua tangannya 
terus terulur menggapai-gapai. Tapi tiba-tiba tubuhnya 
tersentak dengan napas memburu. Seluruh pakaian 
yang dikenakannya basah oleh peluh yang menganak 
sungai. 
"Oh... rupanya aku bermimpi," desah pemuda itu 
sambil menarik napas lega. "Apakah ini merupakan 
sebuah pertanda buruk? Atau hanya karena aku 
terlalu mengkhawatirkan keselamatan Eyang?" 
Panji duduk termenung di balai-balai tempat 
tidurnya semalam. Benaknya masih dibayang-bayangi 
mimpi buruk yang mengerikan. Berbagai dugaan 
berkecamuk dalam kepala pemuda itu. Kehadiran 
Eyang Tirta Yasa dalam mimpinya telah membuat 
hatinya semakin resah. 
Pendekar Naga Putih bergegas melompat dari atas 
pembaringan ketika sinar matahari menerobos 
masuk nelalui celah-celah jendela. Cepat dia

berkemas untuk melanjutkan pencarian gurunya. 
Bekas-bekas pertempuran yang ditemukan 
kemarin diteliti. Setelah beberapa saat meneliti, tiba-
tiba sepasang matanya menemukan tetesan darah 
yang telah mengering. Bergegas Panji menyusuri 
tetesan darah yang berceceran di atas tanah 
berumput. 
"Hm... ceceran darah ini berakhir tepat di bibir 
jurang. Mungkinkah ada orang terjatuh atau dilempar 
ke dalam jurang? Aku harus menemukan sendiri 
jawaban pertanyaanku ini!" Berpikir demikian, Panji 
pun bergegas mencari jalan setapak untuk menuruni 
jurang yang cukup curam. 
Pemuda berjubah putih itu mengencangkan sabuk 
yang melingkar di pinggangnya ketika mencium bau 
busuk menyengat dari bawah jurang. Hampir saja 
seluruh isi perutnya tumpah kalau saja tidak cepat 
mengerahkan tenaga dalam untuk menekan rasa 
mual yang amat kuat. Perlahan-lahan murid tunggal 
Malaikat Petir melangkahkan kakinya mencari 
sumber yang menyebabkan bau busuk. 
"Eyang...," desah Panji lirih ketika menemukan 
sesosok tubuh kurus tergeletak di semak-semak. Dari 
potongan tubuh dan pakaiannya, sudah dapat diduga 
kalau sosok mayat ini pastilah gurunya. 
Pendekar Naga Putih menghembuskan napasnya 
kuat-kuat guna membangkitkan tenaga liar yang 
mengeram di dalam tubuhnya. Seketika angin dingin 
berhembus kuat mengusir bau busuk yang 
menyengat hidung. Kemudian perlahan-lahan kedua 
telapak tangannya didorongkan ke arah mayat yang 
tergolek di semak-semak. 
Wusss! 
Angin dingin yang menggigit sampai ke tulang

sumsum berhembus keras ketika Pendekar Naga 
Putih mendorong telapak tangan. Seketika semak-
semak yang berada di sekitar mayat itu beterbangan 
bagai tercabut tangan-tangan tak tampak. Beberapa 
saat kemudian, semak-semak itu pun habis tersapu 
bersih sehingga mayat Eyang Tirta Yasa yang ter-
selubung kabut bersinar putih keperakan terlihat 
jelas. 
Panji bergegas menghampiri mayat Eyang Tirta 
Yasa dengan hati berdebar keras. Dadanya terasa 
sesak ketika mendapati mayat gurunya dalam 
keadaan menyedihkan. Hampir-hampir dia tidak 
dapat mempercayai kenyataan di hadapannya. 
Maka.... 
"Yeaaat..!" Panji kembali menghentakkan tenaga 
sakti hingga keadaan di sekelilingnya menjadi dingin 
sekali! Pemuda itu benar-benar terpukul dengan 
kematian orang yang telah membimbingnya sejak 
kecil. Orang yang telah memberinya berbagai ilmu 
kesaktian, hingga dirinya disegani kawan maupun 
lawan. 
"Huhhh...!" pemuda berjubah putih itu menarik 
napas perlahan-lahan, dan menghembuskannya 
kembali untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. 
Bau busuk yang semula menyengat itu pun lenyap 
seketika karena diredam hawa sakti yang telah 
menyelimuti sekujur mayat gurunya. Tanpa rasa jijik, 
ditelitinya seluruh tubuh Malaikat Petir. Mendadak 
kening pemuda itu berkerut ketika melihat tanda 
merah berbentuk telapak tangan tergambar jelas di 
dada mayat Eyang Tirta Yasa. 
"Hm... akan kucari orang yang memiliki ilmu 
pukulan bergambar telapak tangan ini," janji Panji 
sambil menggeram marah. Sepasang matanya

tampak berkilat-kilat ketika mengucapkan kata-kata 
itu. 
Seusai mengubur jenazah gurunya, Pendekar Naga 
Putih segera berlutut di atas gundukan tanah merah. 
"Eyang, aku berjanji akan mencari pembunuhmu. 
Hidupku tidak akan tenteram sebelum menemukan 
manusia kejam yang telah membunuhmu. Aku mohon 
pamit, Eyang," bisik Panji lirih. 
Selesai mengucapkan janji di sisi makam gurunya, 
Panji kembali ke pondok. Pemuda yang tengah 
berkabung itu berniat tinggal semalam lagi di Bukit 
Gua Harimau. 
*** 
Hari menjelang sore ketika terdengar teriakan 
nyaring di sekitar Bukit Gua Harimau. Teriakan yang 
berat dan nyaring itu memantul dan bergema 
memenuhi puncak bukit hingga ke lembah-lembah di 
sekitarnya. 
"Hei, Malaikat Petir! Aku datang memenuhi 
janjiku!" 
Panji yang baru saja selesai membersihkan tubuh 
menjadi terkejut mendengar teriakan yang didorong 
kekuatan tenaga dalam dahsyat. Kening murid 
Malaikat Petir berkerut dalam ketika mendengar 
nama gurunya disebut-sebut. Bergegas pemuda itu 
keluar pondok untuk melihat orang yang berteriak. 
Beberapa tombak di depan pondok, tampak 
seorang kakek bertubuh kecil kurus dan berwajah 
kekanak-kanakan tengah berdiri dengan kaki 
mengangkang. Senyum jenaka selalu menghiasi 
wajahnya, seolah-olah tidak pernah mengalami 
kesedihan

Di sebelah kiri kakek jenaka, berdiri seorang gadis 
cantik berpakaian biru muda. Dan seperti halnya si 
kakek, gadis itu juga selalu memperlihatkan senyum 
manis yang membuat wajahnya semakin enak 
dipandang. Rambutnya yang hitam dan lebat diikat 
dengan pita biru muda pada bagian atasnya. Benar-
benar seorang gadis yang sangat menarik! 
"Kakek siapa? Dan apa maksud kedatangan 
Kakek kemari!" tanya Panji halus dan sopan 
meskipun masih dalam keadaan berduka. 
"Di mana si Tua Bangka Tirta Yasa? Suruh dia 
keluar!" seru kakek jenaka sambil tertawa terkekeh-
kekeh. Pertanyaan Panji sama sekali tidak dihiraukan-
nya. 
Seketika darah muda Panji mendidih begitu 
mendengar sebutan kasar dan bernada tidak meng-
hormat gurunya. Wajah murid tunggal Eyang Tirta 
Yasa itu merah padam menahan emosi yang hampir 
meluap. Namun tidak percuma Eyang Tirta Yasa 
menggemblengnya selama sepuluh tahun. Meskipun 
amarahnya telah meluap, namun kesadaran dan 
sikap yang di tunjukkan Panji benar-benar patut 
dipuji. Amarah yang menyesakkan dadanya berusaha 
ditekan dengan menarik napas panjang berulang-
ulang. 
"Kalau Kakek bersedia memperkenalkan nama 
dan mengatakan keperluan Kakek, baru akan ku-
panggilkan Eyang Tirta Yasa," sahut Panji tegas. 
Suaranya tetap tenang dan sopan. 
"He he he... siapakah kau, Anak Muda? Apa 
keperluanmu berada di kediaman Malaikat Petir ini?" 
kakek jenaka kembali melemparkan pertanyaan 
tanpa mempedulikan perasaan pemuda berjubah 
putih. Sepertinya memang sengaja berbuat demikian

untuk memancing amarah Panji. 
"Hm... Orang Tua. Sebagai tuan rumah, seharusnya 
akulah yang bertanya lebih dulu. Dan itu sudah 
menjadi aturan yang tidak tertulis," ujar Panji yang 
emosinya sudah bangkit sehingga merubah 
panggilannya kepada tamu tak diundang itu. 
"Kurang ajar! Biar kutampar mulutnya yang 
lancang itu, Eyang," selak gadis berpita biru muda 
yang sejak tadi hanya diam saja. Setelah berkata 
demikian, tubuh gadis yang berada di samping kakek 
jenaka langsung melesat ke arah Panji. Gerakannya 
cepat sekali hingga yang terlihat hanya bayangan biru 
muda saja. 
Wut! Wut...! 
"Hm...!" 
Dua pukulan gadis itu berhasil dielakkan Panji 
hanya dengan menggeser tubuhnya ke samping kiri. 
Ketika gadis cantik itu menyusuli pukulannya dengan 
tendangan kilat, Panji yang masih sungkan membalas 
segera melempar tubuhnya beberapa tombak ke 
belakang. 
"Tahan seranganmu, Nisanak! Kita tidak punya 
alasan untuk bertarung," ujar Panji mencoba 
mengingatkan gadis cantik berbaju biru muda. 
"Hm.... Kau telah bersikap kurang ajar kepada 
guruku. Dan itu sudah cukup kujadikan alasan untuk 
menampar mulutmu yang tidak mengenal sopan," 
sahut gadis cantik dengan ketus. Anehnya, meskipun 
kelihatan marah, tapi bibirnya tetap menyunggingkan 
senyum manis. Tentu saja sikap gadis itu membuat 
Panji terheran-heran. 
"Kalau aku tidak salah duga, gadis ini pasti murid 
si kakek. Entah dari mana mereka berasal. Sikap 
mereka sangat aneh dan tidak wajar. Dan apa pula

keperluan mereka mencari guruku," kata Panji dalam 
hati, tak habis mengerti melihat sikap aneh kedua 
orang itu. 
"He he he.... Tunggu dulu, Ayuning. Sepertinya aku 
mengenal gerakan pemuda sok jago ini," cegah kakek 
jenaka ketika gadis itu bersiap-siap hendak 
menyerang. 
Entah kapan bergeraknya, tahu-tahu saja kakek 
kecil kurus telah berada di samping gadis cantik yang 
tadi dipanggil Ayuning. Dari sini saja sudah dapat 
ditebak kalau kepandaian orang tua aneh ini tidak 
bisa dibuat main-main. 
Kakek kecil kurus meneliti tubuh Panji dari atas ke 
bawah bagaikan sedang menaksir-naksir. Kemudian 
seenaknya mengitari tubuh pemuda itu sambil tak 
henti-hentinya tertawa terkekeh-kekeh. 
"Anak Muda, lihat serangan!" 
Tiba-tiba saja tubuh kakek jenaka yang tengah 
mengitari Panji sudah melompat seraya melepaskan 
serangan beruntun. Angin tajam berkesiutan 
menandakan kuatnya tenaga dalam yang terkandung 
dalam serangan si kakek. 
Meskipun Panji sudah bersiap-siaga sejak semula, 
namun sempat terkejut melihat kecepatan yang 
diperlihatkan tamu tak diundang itu. Sungguh tidak 
disangka kalau orang tua aneh itu dapat bergerak 
sedemikian cepat, hingga membuatnya kalang-kabut 
menghindar. 
"Hiaaat..!" 
Plak! Plak! 
"Aih...!" 
Serangan kakek kecil kurus yang bagai angin 
topan membuat Panji tak punya pilihan lain selain 
menangkis. Posisi kuda-kudanya sudah tidak


memungkinkan lagi menghindari serangan yang 
demikian cepat. 
"Gila! Tidak mungkin!" teriak kakek itu dengan 
wajah keheranan. Seketika wajah yang biasanya ber-
hiaskan senyum jenaka berubah tegang. Si kakek 
benar-benar tidak habis mengerti ketika tubuhnya 
terjajar mundur akibat dua tangkisan Pendekar Naga 
Putih. Bahkan lengannya pun sempat tergetar akibat 
pertemuan tenaga dalam tadi. 
Demikian pula halnya dengan Panji yang sejak 
semula memang sudah menduga kalau lawan 
memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi sama sekali 
tidak disangkanya kalau tenaga dalam si kakek 
sampai sekuat itu. Padahal tangkisannya sudah dialiri 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang di saat itu mulai 
bergolak liar. Untunglah setelah mengalami beberapa 
kali pertempuran, pemuda itu sedikit demi sedikit 
sudah mulai dapat mengendalikan tenaga liar yang 
mengeram dalam tubuhnya hingga dapat mengukur 
pengeluaran tenaganya. 
"Anak Muda. Kalau menilik gerakanmu, kau 
pastilah murid Tua Bangka Tirta Yasa. Tapi apakah 
kau juga belajar dari orang lain?" tanya kakek itu 
penasaran ketika mendapat kenyataan betapa kuat-
nya tenaga dalam yang dimiliki Panji. Dan sebagai 
seorang ahli silat yang berpengalaman, dia pun sadar 
kalau tenaga dalam sehebat itu tidak mungkin dapat 
dimiliki orang seusia Panji. Tenaga dalam yang 
dimiliki pemuda itu sepatutnya sudah terhimpun 
setelah bersemadi selama ratusan tahun. Jadi, 
jangankan pemuda seperti Panji, sedangkan kakek 
itu sendiri yang sudah berumur delapan puluh tahun 
belum tentu dapat memiliki tenaga dalam sekuat itu 
meskipun rajin berlatih siang malam. Tenaga dalam

yang dimiliki pemuda ini rasanya hanya ada dalam 
dongeng saja. 
"Benar! Aku adalah murid Eyang Tirta Yasa. Dan 
aku tidak pernah berguru kepada orang lain selain 
kepada beliau. Mengapa kau bertanya demikian, 
Orang Tua?" Panji balas bertanya karena merasa 
heran pada pertanyaan yang diajukan tamunya. 
Pemuda itu tidak habis mengerti maksud si kakek 
bertanya demikian. Apa pula yang telah 
menyebabkannya? tanya Panji dalam hati. 
"Hm... apakah yang mengajarmu menghimpun 
hawa murni si tua bangka itu juga?" kembali kakek itu 
menegaskan pertanyaannya karena belum merasa 
puas dengan jawaban Panji. 
"Orang Tua! Berhentilah menyebut guruku dengan 
sebutan tua bangka! Kata-kata itu bisa menyebabkan 
kau mendapat kesulitan!" bentak Panji dengan 
teriakan mengguntur karena benar-benar marah 
sekali mendengar gurunya berkali-kali disebut tua 
bangka. Tubuh pemuda itu bergetar menahan hawa 
amarah yang sudah hampir mencapai ubun-ubun. 
Kakek kecil kurus rupanya tidak tega juga melihat 
wajah pemuda di hadapannya agak kemerahan 
menahan kemarahan. Tapi tiba-tiba tangannya 
bergerak mencegah muridnya yang sudah ingin 
merangsek lagi ketika pemuda itu membentak 
gurunya. Sesaat gadis berpakaian biru muda itu 
sempat hampir terjatuh mendengar bentakan Panji 
yang bagaikan ledakan petir di telinganya. 
"Hm... ketahuilah, Anak Muda. Aku adalah sahahat 
lama gurumu. Dan panggilan itu memang sudah 
menjadi kebiasaan kami sejak muda. Sebutan tua 
bangka kuberikan karena dia selalu saja 
menasihatiku setiap kali aku melakukan perbuatan

yang menurut pendapatnya tidak benar. Apakah 
gurumu tidak pernah bercerita tentang sahabat-
sahabatnya, Anak Muda?" ujar kakek itu serius 
karena melihat perubahan sikap yang tidak wajar 
pada diri pemuda berbaju putih di hadapannya. 
Mendengar keterangan yang diberikan kakek kecil 
kurus, kening Panji berkerut dalam. Pemuda itu 
berusaha mengingat-ingat cerita Eyang Tirta Yasa 
mengenai sahabat-sahabatnya. Ditelitinya penam-
pilan kakek itu sambil mengingat ciri-ciri sahabat-
sahabat gurunya yang pernah diceritakan kepadanya. 
"Apakah... apakah Eyang yang berjuluk Dewa 
Tanpa Bayangan?" tanya Panji memastikan 
dugaannya. Wajah pemuda itu tampak agak tegang 
karena kalau kakek ini memang benar sahabat lama 
gurunya, maka kemungkinan besar pasti tahu siapa-
siapa saja musuh gurunya. Terutama seorang tokoh 
yang memiliki ilmu pukulan telapak tangan. 
"He he he... bagus kalau kau sudah dapat 
mengingatnya, Anak Muda. Nah, sekarang cepat 
panggilkan gurumu. Apakah dia sudah jadi seorang 
pengecut yang tidak berani memenuhi janjinya?" ujar 
kakek kecil kurus yang ternyata adalah seorang tokoh 
tua sahabat lama Eyang Tirta Yasa. 
"Kalau Eyang tidak keberatan, bolehkan aku tahu 
maksud Eyang mencari guruku?" tanya Panji yang 
masih juga ingin mengetahui maksud kedatangan 
kakek itu. 
"Huh, pemuda ini ceriwis sekali, Eyang. Rasanya 
dia lebih pantas menjadi perempuan daripada laki-
laki," tiba-tiba gadis cantik dan manis yang bernama 
Ayuning menyelak tak senang. 
Wajah Panji merah padam mendengar kata-kata 
gadis itu. Ditatapnya wajah Ayuning dengan gemas.

Namun, yang ditatap malah membalas dengan mata 
membelalak, seolah-olah menantang. Karuan saja 
Panji terpaksa mengalah. 
"Lebih baik kita masuk ke dalam dulu, Eyang," ajak 
murid tunggal Malaikat Petir sambil melangkah 
mendahului guru dan murid itu. 
***

DUA

"Itulah sebabnya mengapa aku mencurigai ke-
datangan Eyang berdua," ujar Panji menutup 
ceritanya. Wajahnya kembali diliputi kedukaan yang 
mendalam ketika teringat kematian gurunya. 
Kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Tanpa 
Bayangan terkejut mendengar cerita Panji. Seketika 
juga senyum jenaka yang biasanya selalu menghias 
wajahnya lenyap. Kelihatan sekali kalau kakek itu 
merasa sangat terpukul mendengar kematian Eyang 
Tirta Yasa. 
"Hhh... kedatanganku kemari sia-sia saja. Apakah 
kau tidak menemukan ciri-ciri ilmu si pembunuh?" 
tanya Dewa Tanpa Bayangan penuh sesal ketika 
mengingat kematian sahabat kentalnya. 
"Aku memang telah menemukan ciri-ciri ilmu 
pembunuh Eyang Tirta Yasa. Tapi sayangnya aku 
tidak tahu siapa tokoh persilatan yang punya ilmu 
pukulan telapak tangan seperti yang terdapat pada 
jenazah Eyang Tirtayasa. Kurasa banyak sekali tokoh 
persilatan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu," 
jawab Panji sambil menerangkan jenis ilmu pukulan 
yang telah merenggut nyawa gurunya. 
"Hm... ya. Ilmu pukulan sejenis itu memang banyak 
sekali dimiliki tokoh persilatan. Tapi sepengetahuan-
ku, sulit sekali mencari tokoh persilatan yang mampu 
menandingi kesaktian Tirta Yasa. Apalagi membunuh-
nya dengan ilmu pukulan pasaran seperti itu. 
Menurutku, bukan tidak mungkin kalau pembunuh itu 
sengaja hendak menyamarkan ilmunya. Atau

mungkin juga ilmu kepandaian orang itu memang di 
atas kepandaian gurumu. Dan pada saat dia sudah 
terluka berat, barulah pembunuh itu melontarkan 
pukulan yang bergambar telapak tangan. Mungkin itu 
dilakukannya hanya untuk menyamarkan saja," ujar 
Dewa Tanpa Bayangan memberikan beberapa 
penjelasan agar Panji tidak sembarangan melacak 
pembunuh gurunya itu. 
Mendengar keterangan yang diberikan sahabat 
gurunya, pemuda yang tengah berkabung itu ter-
menung sejenak memikirkan latar belakang 
pembunuhan yang misterius itu. 
"Apakah Kakang Panji tidak menemukan tanda-
tanda lain pada mayat Eyang Tirta Yasa?" tanya 
Ayuning menimpali. Rupanya rasa simpati di hati 
gadis itu timbul juga mendengar malapetaka yang 
tengah menimpa murid sahabat gurunya. Gadis yang 
sebenarnya lemah lembut itu sudah melupakan 
kejadian yang tidak menyenangkan di antara mereka 
beberapa saat sebelumnya. 
"Tidak, Adik Ayuning. Hanya tanda telapak tangan 
merah itulah yang kutemukan pada jenazah guru," 
jawab Panji yang juga telah melupakan pertengkaran 
di antara mereka. 
"Panji. Sebenarnya kedatanganku kemari bukan 
tidak mempunyai tujuan. Lima belas tahun lalu kami 
sama-sama berjanji mengadakan pertemuan di sini. 
Dan waktu yang telah kami tentukan jatuh pada hari 
ini. Tapi, mengingat musibah ini, maka aku akan 
menunda sampai kau menemukan pembunuh 
gurumu. Aku tidak akan menjanjikan apa-apa kepada-
mu. Tapi percayalah, kami akan berusaha mem-
bantumu mencari pembunuh Tirta Yasa. Apabila aku 
sudah menemukannya, kau akan kuberitahukan,"

hibur Dewa Tanpa Bayangan sambil tersenyum. 
"Tapi, Eyang belum mengatakan keperluan Eyang 
mencari guru," desak Panji menuntut jawaban. 
"Kami hanya ingin menjajal ilmu-ilmu yang kami 
sempurnakan selama lima belas tahun ini. Tapi 
sayang, gurumu telah pergi lebih dulu," sahut Dewa 
Tanpa Bayangan datar. Gairahnya telah hilang karena 
kematian sahabat kentalnya itu. "Kalau begitu, aku 
pergi dulu." 
Setelah berkata demikian, sahabat kental Malaikat 
Petir itu bangkit dan melangkah keluar pondok. 
"Nanti dulu, Eyang. Di mana Eyang akan 
menemuiku kalau Eyang ternyata lebih dulu 
menemukan pembunuh itu?" tanya Panji sambil 
mengikuti langkah kakek itu. 
"Eh, dasar sudah pikun! Mengapa aku sampai 
lupa," seru kakek itu sambil menempelkan tangannya 
di dahi. "Hm... begini saja. Kalau ternyata aku yang 
lebih dulu menemukan jejak pembunuh gurumu, aku 
akan menunggumu di tempat ini pada hari ketujuh 
bulan lima nanti. Bagaimana?" 
"Hm... berarti masih tiga bulan dari sekarang. 
Baiklah, Eyang. Tepat pada waktu yang ditentukan, 
aku akan datang kemari," jawab Panji yang segera 
menyetujui usul kakek. 
"Ayo, Ayuning, kita berangkat!" setelah berkata 
demikian, kakek kecil kurus itu sudah melesat 
meninggalkan pondok. 
"Selamat tinggal, Kakang Panji. Mudah-mudahan 
kita dapat berjumpa lagi," pamit Ayuning sambil 
meIambaikan tangannya ke arah Panji. 
"Selamat jalan, Adik Ayuning," balas pemuda 
berjubah putih yang juga melambaikan tangannya 
kepada Ayuning. "Seorang gadis yang lincah dan

mudah sekali membuat orang tertawa dan marah." 
Tidak lama setelah kepergian Dewa Tanpa 
Bayangan dan muridnya, pemuda yang baru ditinggal 
mati gurunya itu berkemas-kemas mencari pembunuh 
Eyang Tirta Yasa. Angin bukit berhembus lembut 
mengiringi langkah Pendekar Naga Putih menuruni 
Bukit Gua Harimau. 
*** 
Belasan pasang mata menatap penuh selidik 
ketika Panji dengan tenang memasuki pintu sebuah 
kedai makan. Tatapan belasan pasang mata itu sama 
sekali tidak dipedulikan. Pemuda itu melangkah 
dengan mantap menuju sebuah meja kosong yang 
terletak dekat jendela sambil menggerakkan 
tangannya memanggil pelayan. Panji menyebutkan 
nama beberapa macam makanan yang kemudian 
segera dihidangkan. Dan tanpa banyak cakap lagi 
pemuda itu pun segera menyantap pesanannya tanpa 
mempedulikan beberapa pasang mata yang masih 
terus menatapnya. Tampaknya pemuda yang tengah 
mencari jejak pembunuh gurunya ini memang betul-
betul menikmati makanannya. 
Dua orang laki-laki yang duduk di sudut berbisik-
bisik sambil sesekali melirik ke arah Panji. Salah 
seorang di antara mereka yang berwajah seperti tikus 
tampak agak terkejut melihat kedatangan Panji. 
Sepasang matanya yang menjelajah ke seluruh tubuh 
pemuda itu semakin membelalak ketika melihat 
pedang lentur yang melingkari pinggang pemuda itu. 
"Hm...," sambil bergumam perlahan, si muka tikus 
melangkah ke tempat Panji yang tengah menikmati 
makanannya. Begitu tiba di hadapan pemuda itu,
muka tikus mengangkat kaki kirinya ke atas kursi. 
"Kisanak! Apakah kau tidak tahu peraturan yang 
berlaku di desa ini?" tanya si muka tikus memasang 
tampang galak. Gagang senjatanya sengaja 
ditonjolkan untuk menciutkan nyali Pendekar Naga 
Putih. 
Panji yang sadar kalau orang itu memang sengaja 
hendak mencari perkara, mencoba menahan diri agar 
tidak menimbulkan keributan di dalam kedai. Segera 
kepalanya diangkat dengan wajah berpura-pura 
keheranan. 
"Maaf, aku sama sekali tidak tahu peraturan di 
sini. Aku hanya kebetulan lewat dan hanya ingin 
melepaskan letih barang sejenak. Apakah aku telah 
menyalahi peraturan, Paman?" sahut Panji mencoba 
mengikuti kemauan laki-laki bermuka tikus. 
Brak! 
"Bangsat! Berani kau berbicara sambil menatap 
wajahku! Apa kau tidak kenal siapa yang tengah 
berbicara denganmu, heh?!" bentak si muka tikus 
geram. Meja di hadapan Panji pecah berantakan 
akibat tamparan tangan laki-laki kasar yang tengah 
murka itu. Rupanya laki-laki galak ini memang sudah 
terbiasa ditakuti penduduk setempat. Sehingga tidak 
mengherankan kalau menjadi sangat marah ketika 
Panji berbicara sambil menatap tanpa rasa takut. 
Sekilas terlihat wajah Pendekar Naga Putih 
memucat. Bukan karena takut kepada si muka tikus, 
melainkan khawatir tidak mampu menahan gejolak 
tenaga liar yang mengendap dalam tubuhnya. Hal 
inilah yang membuat wajahnya menjadi pucat. 
Si muka tikus yang tidak mengetahui apa yang 
tengah dipikirkan pemuda itu semakin berlagak. 
Begitu melihat Panji menunduk diam, maka tingkah

yang diperlihatkannya semakin menjadi-jadi. 
Beberapa pengunjung yang tidak ingin terlibat 
keributan, cepat-cepat meninggalkan kedai. Mereka 
yang telah mengenal siapa si muka tikus hanya dapat 
memandang iba pada pemuda tampan yang terlihat 
lemah dan sopan. 
"Ketahuilah, Kisanak. Kalau kau membawa senjata 
ke Desa Kertasari, berarti kau telah melanggar 
peraturan! Dan sebagai hukumannya, kau harus 
menyerahkan pedangmu kepadaku!" desak si muka 
tikus galak. Laki-laki galak ini sengaja berkata 
demikian, karena tahu kalau senjata adalah nyawa 
kedua bagi kaum persilatan. Dan apabila seseorang 
meminta senjatanya, berarti sebuah penghinaan yang 
sudah melampaui batas! Rupanya si muka tikus 
memang sengaja hendak memancing kemarahan 
pemuda itu. Sehingga punya alasan untuk 
menghajarnya. 
Panji yang mengetahui apa yang ada dalam otak 
biang onar di Desa Kertasari ini dengan tenang 
melepas Pedang Sinar Rembulan yang melilit 
pinggangnya. Setelah menyodorkan pedang kepada si 
muka tikus, pemuda itu pun meninggalkan kedai 
setelah membayar makanannya. 
Tinggallah si muka tikus dan kawan-kawannya 
termangu bagai orang kehilangan akal. Mereka 
benar-benar tak habis mengerti mengapa pemuda itu 
menyerahkan pedangnya dengan sukarela. Padahal 
pedang itu adalah sebuah pedang pusaka yang jarang 
ada duanya dalam dunia persilatan. Beberapa saat 
lamanya mereka hanya melongo melihat kepergian 
Pendekar Naga Putih dengan kening berkerut. 
Si muka tikus baru tersadar ketika bayangan 
pemuda berjubah putih lenyap di balik pintu kedai.

Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya 
langsung melesat mengejar diikuti kawan-kawannya. 
"Kisanak, tunggu...!" si muka tikus berteriak sambil 
melambaikan tangannya begitu melihat Panji tengah 
melangkah tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi 
sesuatu pada dirinya. 
Pemuda yang tengah berduka itu menghentikan 
langkahnya ketika mendengar panggilan si muka 
tikus. Kening Panji berkerut ketika menoleh ke 
belakang, matanya tertumbuk pada si muka tikus dan 
kawannya sedang berlari menyusulnya. Sekilas 
terlihat sepasang matanya berkilat tajam tanda tak 
senang. 
"Ada apa lagi, Kisanak?" tanya Panji begitu si muka 
tikus dan kawannya sudah berada dua tombak di 
hadapannya. Dari ucapannya yang sudah berubah, 
jelas sekali kalau pemuda itu bangkit emosinya. 
"Ucapanku tadi belum lengkap. Hukuman atas 
pelanggaran yang kau lakukan bukan hanya harus 
menyerahkan senjatamu saja. Selain itu kau harus 
cepat-cepat meninggalkan desa ini," ujar si muka 
tikus yang rupanya masih belum puas 
mempermainkan Pendekar Naga Putih. 
Gigi Panji bergemeletuk mendengar permintaan 
yang benar-benar telah melampui batas. Tadinya dia 
memang sengaja mengalah dengan menyerahkan 
pedang meskipun harga dirinya telah terhina. Tapi di 
balik itu Panji sudah dapat menduga kalau si muka 
tikus dan kawannya memang sengaja hendak 
mempermainkan dirinya. Dugaan pemuda itu ternyata 
tidak meleset! 
"Hm... jadi begitu!" tegas Pendekar Naga Putih 
sambil menatap tajam wajah si muka tikus yang 
tersentak kaget melihat sinar mata mencorong yang

menggetarkan jantungnya. "Kalau boleh kutahu, siapa 
yang membuat peraturan keji ini?" 
Suara Panji yang dingin dan berwibawa yang 
membuat hati si muka tikus kecut. 
"Eh... oh... peraturan itu... peraturan itu...," si muka 
tikus yang tak sanggup meneruskan kata-katanya 
tiba-tiba menggigil seperti orang terserang demam! 
Wajahnya yang semula angker dan galak mendadak 
pucat pasi. 
"Hm... siapa yang membuat peraturan sekeji itu? 
Jawab...?!" geram Panji semakin menggetarkan 
sehingga membuat si muka tikus tak mampu lagi 
untuk menahan bobot tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuh 
laki-laki berangasan itu melorot bagai karung basah. 
Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih telah 
membuat keberaniannya terbang entah ke mana. 
Karena si muka tikus tidak juga mampu menjawab 
pertanyaannya, Panji pun tidak lagi mendesak. 
Segera diraihnya pedang yang berada di genggaman 
orang itu. Setelah melilitkan kembali Pedang Sinar 
Rembulan ke pinggangnya, Pendekar Naga Putih 
meninggalkan si muka tikus dan kawan-kawannya 
yang terpaku bagai patung. Beberapa penduduk yang 
menyaksikan kejadian itu hanya dapat memandang 
bingung. Mereka pun tidak mengerti mengapa laki-
laki bermuka tikus terjatuh. Padahal pemuda itu 
sama sekali tidak terlihat menggerakkan tangan. 
Aneh, pikir mereka menggeleng-gelengkan kepala tak 
habis mengerti. 
Kejadian yang tidak masuk akal itu ternyata tak 
lepas dari pengamatan seorang laki-laki berusia 
sekitar empat puluh tahun. Keningnya agak berkerut 
ketika menyaksikan peristiwa itu. 
"Gila! Entah ilmu apa yang dimiliki pemuda itu!

Apakah dia memiliki ilmu sihir? Kalau tidak, mengapa 
dapat membuat lawan tak berdaya hanya dengan 
memandangnya saja? Benar-benar seorang pemuda 
hebat dan berbahaya. Aku harus berhati-hati 
menyelidikinya. Siapa tahu dia musuh?" gumam laki-
laki berperawakan tinggi sedang itu. 
Kalau dilihat dari penampilannya, pastilah laki-laki 
itu tidak asing dalam dunia persilatan. Tapi melihat 
pinggangnya yang tak bersenjata, maka orang pun 
akan ragu. Barangkali memang itulah yang diinginkan 
laki-laki itu. 
Sementara itu, Panji meneruskan langkahnya 
memasuki desa tanpa mempedulikan keadaan di 
sekelilingnya. Murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu sama 
sekali tidak mempedulikan sorot mata penduduk 
yang memperhatikan dirinya dengan perasaan takut 
bercampur kagum. Entah apa yang ada dalam kepala 
mereka masing-masing. Hanya merekalah yang tahu. 
Belum lagi Panji melangkah jauh, tiba-tiba 
terdengar jeritan dari sebuah rumah beberapa 
tombak di sampingnya. Sebagai pendatang yang 
belum mengetahui keadaan Desa Kertasari, tentu 
saja pemuda itu tidak terlalu menaruh perhatian pada 
jeritan tadi. Pendekar Naga Putih hanya berhenti 
sejenak sambil melirik ke arah rumah itu, seolah-olah 
ingin memastikan apa yang tengah terjadi di dalam 
sana. 
Panji tidak jadi meneruskan langkahnya ketika 
melihat tiga laki-laki berwajah seram bersenjata 
pedang tengah berdiri di muka pintu. Tak lama 
kemudian, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki 
berusia sekitar dua puluh delapan tahun sambil 
menyeret seorang wanita yang wajahnya bersimbah 
air mata. Rupanya jeritan wanita itulah yang tadi

didengar Pendekar Naga Putih. 
"Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" bentak 
laki-laki itu sambil menyeret wanita itu keluar. "Apa 
kau lebih suka kalau seluruh keluargamu digantung, 
heh? Sudah bagus Ki Kalari masih mau 
membebaskan seluruh hutang-hutang ayahmu asal 
kau bersedia bekerja di rumahnya." 
Wanita malang itu hanya bisa menangis tanpa 
mampu melakukan perlawanan. Wajahnya yang 
babak belur, menandakan kalau dirinya habis disiksa 
sebelum diseret keluar oleh laki-laki itu. 
Sebagai seorang pendekar yang selalu menjunjung 
tinggi keadilan, tentu saja hati Panji tergerak untuk 
mengetahui duduk persoalan lebih jauh. Tanpa ragu-
ragu lagi kakinya dilangkahkan mendekati rumah itu. 
Tapi baru saja beberapa tindak kakinya melangkah, 
tiba-tiba laki-laki bercaping yang sejak tadi menguntit 
Panji mendekati. 
"Jangan pedulikan mereka kalau kau tidak ingin 
mendapat kesulitan!" bisik laki-laki bercaping 
memperingatkan Panji. Setelah memberi peringatan, 
orang itu terus berlalu. Sepertinya laki-laki bercaping 
memang telah mengetahui duduk persoalan yang 
tengah dihadapi keluarga malang itu. Tapi, entah apa 
yang menyebabkan dia tidak mau mencampuri 
urusan. 
Pendekar Naga Putih yang tidak sempat membalas 
peringatan orang bercaping, segera mengerahkan 
ilmu 'Mengirim Suara Jarak Jauh'. Beberapa saat 
kemudian, bibirnya terlihat berkomat-kamit 
mengucapkan sesuatu. 
"Maafkan aku, Kisanak. Aku tidak bisa menutup 
mata melihat kekejaman berlangsung di depan 
mataku. Sekali lagi maafkan aku. Aku terpaksa tidak

menuruti nasihatmu." 
Orang bercaping terkejut ketika menerima kiriman 
suara yang demikian jelas di telinganya. Tapi laki-laki 
misterius itu tahu kalau Panji lah yang telah 
mengucapkan kata-kata itu. 
Orang bercaping hanya dapat menghela napas 
ketika melihat tubuh Panji sudah melesat ke rumah 
keluarga malang itu. Sesaat kemudian, pemuda itu 
sudah berdiri beberapa langkah di depan empat lelaki 
berwajah seram. 
"Lepaskan gadis itu!" seru Panji tanpa basa-basi 
dan sudah merasa yakin kalau kejadian itu bukan 
sekadar kesalahpahaman. 
Empat laki-laki kasar itu terkejut melihat ada 
seorang pemuda yang berani mencegah tindakan 
mereka. Beberapa saat lamanya keempat orang itu 
hanya berdiri termangu. 
"Hm... siapakah kau, Kisanak? Mengapa 
mencampuri urusan kami?" tanya laki-laki yang masih 
menyeret tubuh wanita malang heran. Bukankah 
selama ini tidak ada seorang pun yang berani 
mencegah perbuatan mereka? pikir laki-laki itu. 
"Lepaskan gadis itu kataku!" ancam Panji lagi 
tanpa mempedulikan pertanyaan orang itu. 
"Bangsat! Rupanya kau memang sengaja cari 
mampus, Kisanak!" bentak salah seorang dari tiga 
laki-laki yang berada di muka pintu. Laki-laki itu 
sangat berang melihat sikap keras kepala yang 
diperlihatkan Pendekar Naga Putih. Tanpa berkata 
apa-apa lagi, orang itu segera mencabut senjata dan 
langsung ditusukkan ke tubuh Panji. Wuttt! 
"Hm...." 
Panji hanya bergumam pelan melihat serangan itu. 
Begitu ujung pedang hampir menyentuh kulitnya, kaki

kanannya segera digeser ke samping hingga tusukan 
pedang hanya mengenai tempat kosong. Begitu 
melihat serangannya luput, laki-laki itu menjadi 
semakin marah. Cepat senjatanya diputar seraya 
kembali mempersiapkan serangan susulan bertubi-
tubi. Namun tetap saja tak satu pun serangannya 
dapat menyentuh tubuh pemuda itu. 
"Hm... kalian jangan paksa aku bertindak kasar!" 
ancam Panji dingin. Sepasang matanya mencorong 
tajam menggetarkan jantung. 
"Keparat! Beri pemuda itu pelajaran agar lebih 
sopan apabila bertemu denganku lagi!" bentak laki-
laki yang menyeret tubuh wanita malang gusar. 
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang sejak 
tadi hanya menonton pertarungan langsung 
mencabut pedang. Serentak keduanya membantu 
kawannya yang hampir kehabisan napas karena 
serangannya tidak juga mengenai sasaran. 
"Sesalilah dirimu yang berani berurusan dengan 
Tuan Muda Patala, Kisanak! Perbuatanmu sudah 
cukup jadi alasan untuk mengirim dirimu ke neraka!" 
pekik salah seorang pengeroyok seraya menyabetkan 
senjatanya. Dari desing pedangnya, dapat ditebak 
kalau tenaga dalam orang ini jauh lebih kuat daripada 
penyerang pertama. Meskipun begitu, kepandaiannya 
masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan 
kepandaian Panji. 
Dua orang lainnya juga mengayunkan senjata 
dengan cepat dan ganas. Ketiga laki-laki berwajah 
seram itu tampaknya memang benar-benar bernafsu 
menghabisi nyawa Pendekar Naga Putih. Sehingga 
tak mengherankan kalau serangan-serangan yang 
mereka lancarkan pun tidak main-main. 
Pada jurus keempat, tiga batang pedang meluruk
berbarengan ke arah Panji. Namun pemuda itu 
sepertinya tidak melihat dan tetap berdiri tegak 
seolah-olah pasrah menerima ajal! Trak! Trak! 
"Aaa...!" 
***

TIGA

Terdengar suara berdesing nyaring ketika tiga batang 
pedang menghantam tubuh Panji. Aneh! Bukan tubuh 
pemuda itu yang terluka, melainkan tubuh tiga 
pengeroyok itulah yang terpental diiringi jerit 
kesakitan. Sedangkan pedang mereka berpentalan 
dari genggaman entah ke mana. 
"Ilmu iblis...!" teriak penyerang pertama sambil 
berusaha merangkak bangun meski dengan susah 
payah. Dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah. 
"Pemuda setan...!" seru yang lainnya bersamaan 
seraya berusaha bangkit. Sesekali terdengar suara 
mengaduh dari mulut mereka. 
Dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, ketiga 
laki-laki yang menjadi tukang pukul orang bernama 
Patala buru-buru mundur menjauhi pemuda itu. Jelas 
sekali kalau ketiga orang itu merasa gentar meng-
hadapi Pendekar Naga Putih. 
"Keparat sombong! Jangan dulu kau membusung-
kan dada hanya karena mengalahkan tiga pembantu-
ku! Kau boleh merasa bangga setelah merasakan 
kepalanku ini, Bangsat!" bentak Patala marah. Panji 
langsung diterjangnya dengan kepalan-kepalannya 
yang menimbulkan rangkuman angin berhawa panas. 
Wusss! Wusss! 
Panji menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan 
menghindari pukulan yang mengandung hawa panas. 
Diam-diam pemuda itu terkejut melihat kepandaian 
laki-laki yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya. 
Sama sekali tidak disangkanya kalau orang itu

memiliki kepandaian cukup tinggi dan juga pukulan-
pukulan yang mematikan. 
Memasuki jurus kelima, Panji mengangkat tangan 
kanannya sambil mengerahkan sebagian tenaga 
dalam saat pukulan Patala menderu datang! Dan 
celakanya tenaga yang diperkirakan hanya sebagian 
itu ternyata telah melebihi takaran. Maka akibatnya.... 
Plak! 
"Uhhh...!" 
Terdengar letupan kecil yang disertai kepulan asap 
tipis ketika sepasang tangan kekar bertemu di udara. 
Tubuh Patala terjajar mundur sejauh delapan tombak 
diiringi jeritan kaget. Wajahnya masih pucat ketika 
berusaha memperbaiki posisi kuda-kudanya. Seketika 
dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah. 
Rupanya pertemuan tenaga dalam itu telah meng-
guncangkan isi dadanya. Setelah berdiri kembali, 
mata Patala memandang berkeliling. 
Beberapa orang penduduk yang tertarik melihat 
pertarungan mulai berdatangan. 
"Lari...!" seru Patala seraya membalikkan tubuhnya 
dan langsung melesat meninggalkan tempat itu. 
Melihat majikannya telah melarikan diri, ketiga 
tukang pukul itu pun bergegas mengambil langkah 
seribu. Beberapa penduduk melempari mereka 
dengan batu-batu kecil sehingga membuat ketiganya 
lari pontang-panting. 
Setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari 
pandangan, Pendekar Naga Putih bergegas meng-
hampiri wanita muda yang masih terduduk lemas. 
"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya Panji seraya 
mengulurkan tangan untuk menolong wanita itu 
bangkit. 
"Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Tapi

ketahuilah, pertolongan Kisanak justru semakin 
menyulitkan kami. Karena setelah kepergian Kisanak, 
Tuan Muda Patala pasti datang lagi dengan 
membawa lebih banyak tukang pukul. Dan sudah 
pasti nasib keluarga kami akan lebih buruk lagi. 
Selain aku yang akan mereka bawa, mereka pun 
akan membunuh seluruh keluargaku," ujar wanita 
muda itu panjang lebar. Seolah-olah lebih suka 
menerima perlakuan orang-orang itu daripada 
ditolong Panji. 
"Siapakah dia, Nisanak?" tanya Panji mencoba 
mencari tahu tentang pemuda yang bernama Patala. 
Namun, alangkah herannya hati pemuda itu karena 
wanita muda yang diajak bicara baik-baik itu sama 
sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita itu 
malah melangkah masuk ke dalam rumah dan tidak 
lagi mempedulikan penolongnya. 
"Mengapa Nisanak tidak menjawab pertanyaan-
ku?" tanya Panji penasaran dan tanpa sadar ikut 
melangkah masuk ke dalam rumah. 
Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun 
dan seorang wanita berumur lima puluhan, bangkit 
dari balai-balai bambu berlapis selembar tikar usang. 
Kedua orang tua itu bergerak mencegah pemuda 
yang hendak mengejar putrinya. 
"Pergilah, Kisanak. Tinggalkan desa ini secepatnya. 
Kehadiranmu di sini hanya akan membuat kami 
semakin susah. Mereka pasti akan melakukan 
tindakan yang lebih kejam terhadap keluarga kami 
sebagai pelampiasan dendam atas perbuatanmu," 
ujar laki-laki tua sambil menggerakkan tangan meng-
usir Panji. Entah apa yang mendorong mereka lebih 
suka ditinggalkan daripada ditolong! 
Pendekar Naga Putih tertegun mendengar ucapan

keluarga yang baru saja ditolongnya. Selama ber-
petualang, baru kali ini dia menemui peristiwa seperti 
ini. Tiba-tiba Panji teringat ucapan orang bercaping 
yang tadi berusaha memperingatkannya. Samar-
samar pemuda itu dapat meraba kesulitan macam 
apa yang dimaksud orang bercaping. 
"Tapi, Paman, apakah tindakanku salah?" akhirnya 
keluar juga perkataan yang mewakili perasaan Panji. 
Sikap yang ditunjukkan oleh keluarga yang ditolong-
nya itu masih belum dimengertinya. 
"Tidak, Kisanak. Tindakanmu sama sekali bukan 
kesalahan. Tapi, apalah artinya pertolongan Kisanak 
tadi jika dibandingkan dengan penderitaan yang akan 
kami alami setelah kepergian Kisanak nanti. 
Beberapa waktu yang lalu juga ada dua pendekar 
yang menolong salah satu keluarga di desa ini. 
Pertolongan kedua pendekar itu memang berhasil 
membebaskan keluarga itu dari ancaman maut. Tapi 
itu hanya berlangsung sementara. Setelah kedua 
pendekar meninggalkan desa, keluarga itu disiksa 
habis-habisan hingga semuanya tewas secara 
menyedihkan. Rasanya musibah yang sama akan 
menimpa keluarga kami," ujar orang tua itu 
menerangkan sebab-sebab yang membuat mereka 
semakin ketakutan setelah ditolong pemuda berjubah 
putih. 
Setelah mendengar keterangan orang tua itu, 
barulah Pendekar Naga Putih tahu penyebab keluarga 
malang itu malah semakin ketakutan menerima 
pertolongannya. 
"Kalau begitu, aku akan tetap tinggal di desa ini 
sampai orang-orang itu jera dan tidak berani lagi 
mengganggu penduduk," tegas Panji menenangkan 
kecemasan di hati orang tua itu.

"Hhh... tidak ada gunanya, Kisanak. Kau tidak tahu 
siapa mereka. Daripada kau mati sia-sia, lebih baik 
cepat tinggalkan desa ini. Tak usah pikirkan keadaan 
kami. Kami sudah terbiasa dengan segala macam 
penderitaan," orang tua itu tetap bersikeras meng-
hendaki kepergian penolongnya. Menurut anggapan-
nya, mana mungkin pemuda ini mampu menghadapi 
anak buah Patala yang jumlahnya besar dan terdapat 
orang-orang sakti di antaranya. 
"Biarlah, Paman. Aku tidak takut menghadapi 
kematian selama tidak menyeleweng dari jalan 
kebenaran," tegas Panji mantap sambil mengatupkan 
rahangnya kuat-kuat 
"Hhh... segala usahamu akan sia-sia, Kisanak, 
akan sia-sia...," desah orang tua itu karena tidak 
berhasil menyuruh Panji meninggalkan Desa Ker-
tasari. Tanpa berkata apa-apa lagi, suami istri berusia 
lanjut itu melangkah masuk ke dalam kamarnya. 
Tinggallah Pendekar Naga Putih termenung 
memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya. 
Perlahan-lahan kakinya dilangkahkan keluar dari 
rumah. Dalam hatinya, pemuda itu bersumpah untuk 
membuat penduduk desa ini hidup tenang sebagai-
mana desa-desa lainnya. 
*** 
Di dalam rumah besar yang menjadi kediaman 
Kepala Desa Kertasari, tampak Patala berjalan 
mondar-mandir sambil melipat tangannya ke 
belakang. Sesekali tangannya diremas-remas penuh 
kegeraman. Rupanya orang ini masih penasaran 
karena perbuatannya digagalkan Panji. 
"Huh! Takkan puas hatiku sebelum mencincang

tubuh pemuda keparat itu!" geram Patala sambil 
meninju telapak tangannya kuat-kuat. 
"Apa kau tidak tahu siapa dia dan dari mana 
asalnya?" tanya laki-laki tua yang duduk men-
cangkung di atas kursi. Di wajah laki-laki tua itu 
terlihat garis-garis penderitaan hingga membuatnya 
nampak jauh lebih tua dari usia sesungguhnya. 
Sepertinya orang tua itu tengah mengalami tekanan 
batin yang sangat berat. 
"Ah, sayang sekali aku tidak sempat bertanya. Saat 
itu aku benar-benar terkejut melihat ada orang yang 
berani menentangku. Tapi rasa-rasanya aku belum 
pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Menurut 
dugaanku dia pasti bukan penduduk desa ini," sahut 
Patala menanggapi ucapan orang tua itu. Meskipun 
kata-katanya tidak terdengar kasar, namun menilik 
cara berbicaranya, Patala seolah-olah tidak menaruh 
hormat sama sekali kepada orang lawan bicaranya. 
"Hm... kalau pemuda itu hanya pengembara yang 
kebetulah lewat, biarkan saja. Beberapa hari lagi 
pasti dia sudah meninggalkan desa," ujar orang tua 
itu datar. 
"Tidak bisa, Ki. Perbuatannya yang telah mem-
permainkanku di depan mata penduduk harus 
kubalas! Dan itu harus!" tegas Patala yang rupanya 
tidak bisa melupakan kekalahannya terhadap Panji. 
"Lalu, apa rencanamu sekarang? Dan bagaimana 
cara kau membalasnya? Sedangkan menurut 
penuturanmu, kepandaian pemuda berpakaian putih 
itu sangat tinggi," kembali orang tua itu mencoba 
mengingatkan Patala. 
"Hm... malam ini aku akan menyatroni rumah itu. 
Akan kubawa beberapa orang yang kepandaiannya 
dapat diandalkan. Siapa tahu pemuda keparat itu

masih ada di sana." 
Setelah berkata demikian, Patala buru-buru keluar 
dari ruangan itu. Tinggallah si orang tua termenung 
menatap langit-langit ruangan. 
*** 
Malam belum larut Bintang-bintang yang ber-
taburan di langit tampak berkedip-kedip menghiasi 
sang malam. Angin dingin berhembus perlahan 
diiringi suara nyanyian binatang malam yang saling 
bersahutan. Di tengah semaraknya nyanyian binatang 
malam, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda. 
Derap kaki belasan ekor kuda terus bergema menuju 
sebelah Timur Desa Kertasari. 
Penunggang kuda yang berada paling depan tidak 
lain adalah Patala. Lari kudanya sengaja diperlambat 
agar tidak terlalu menimbulkan suara berisik. 
Nampaknya Patala benar-benar ingin membuktikan 
ucapannya untuk menyatroni rumah di mana tadi pagi 
Panji mempecundanginya. 
Tak lama kemudian, Patala menghentikan lari 
kuda yang diikuti belasan anak buahnya. Patala dan 
belasan tukang pukul bergegas melompat dari 
punggung kuda. Setelah menambatkan kuda pada 
sebatang pohon, orang-orang itu segera mengendap-
endap mendekati rumah yang dituju. Patala men-
jentikkan jemari tangan sebagai isyarat kepada dua 
tukang pukul agar maju mendekat. 
"Benar juga apa yang dikatakan Ki Kalari. Pemuda 
keparat itu rupanya telah meninggalkan desa. 
Sekarang kalian berputar dan masuk dari jalan 
belakang. Kalian harus berhasil menculik gadis itu 
untukku. Awas jangan sampai gagal! Kalau sampai

gagal, kepala kalian jadi gantinya, mengerti?!" 
perintah Patala berbisik pelan. 
"Baik, Tuan Muda," sahut kedua tukang pukul 
mengangguk seraya bergegas menjalankan perintah 
tuan mudanya. Tak lama kemudian kedua orang tadi 
sudah lenyap ditelan kegelapan malam. 
Namun sebelum kedua orang itu melangkah lebih 
jauh, tiba-tiba dari atas batang pohon melayang 
sesosok bayangan putih. Sesaat kemudian, bayangan 
putih itu telah menghadang di depan mereka. 
"Hm.... Hendak mencuri apakah dua ekor tikus 
busuk mengendap-endap di tengah malam buta 
seperti ini?" tanya sosok bayangan putih yang tidak 
lain adalah Panji dengan nada mengejek. 
Ternyata Panji belum pergi meninggalkan desa 
seperti yang dugaan Patala. Rupanya Pendekar Naga 
Putih sengaja bersembunyi di atas pohon menanti 
kedatangan Patala yang menurut firasatnya masih 
menyimpan rasa penasaran. Dan dugaannya ternyata 
tidak meleset! 
"Keparat! Siapa kau? Apa maksudmu menghadang 
kami?" tanya salah seorang dari kedua tukang pukul 
seraya mencabut senjata. 
"Siapa aku, itu bukan urusanmu! Sebaliknya 
akulah yang harus bertanya kepada kalian. Apa 
maksud kalian mengendap-endap mendekati rumah 
orang di malam buta seperti ini?" ujar Panji tak kalah 
gertak. Meskipun sudah dapat menebak maksud 
kedatangan kedua orang itu, namun untuk me-
mastikan dugaannya, pemuda itu ingin mendengar 
sendiri dari mulut mereka. 
"Bangsat! Mampuslah!" bentak salah seorang 
tukang pukul sambil menyabetkan golok membelah 
tubuh murid tunggal Eyang Tirta Yasa.

"Hm... aku tidak butuh senjatamu! Aku hanya 
butuh jawaban!" seru Panji sambil menggeser tubuh 
menghindari bacokan. Dan tanpa disangka-sangka 
tangan Pendekar Naga Putih menotok pergelangan 
tangan lawan yang memegang golok. 
Tukkk! 
"Aaah...!" 
Tukang pukul itu menjerit kesakitan! Tubuhnya 
bergetar hebat bagai terkena demam. Tapi sebelum 
sempat menyadari keadaannya, tahu-tahu sebuah 
tamparan yang cukup kuat singgah di kepalanya. 
Seketika itu juga tubuhnya menggelepar pingsan dan 
tidak tahu lagi kejadian selanjutnya. 
Pada saat tangan Panji bergerak menampar, 
kawannya yang seorang lagi mengayunkan golok ke 
leher. Pemuda itu segera menggeser kakinya ke 
belakang. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah 
berputar sambil mengayunkan kaki menghantam 
tengkuk pembokongnya. Panji yang tahu kalau kedua 
orang itu hanyalah orang-orang suruhan, sengaja 
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Di 
benaknya sama sekali tidak ada niatan untuk 
membunuh mereka. Cukuplah hanya memberi sedikit 
pelajaran agar mereka jera, pikir Panji. 
Ternyata gerakan orang yang satu ini cukup gesit. 
Pada saat kaki Panji terayun mengancam leher, 
tukang pukul Patala ini cepat merendahkan kuda-
kuda hingga tendangan itu lewat sejengkal di atas 
kepalanya. Sambil merendahkan tubuh, senjatanya 
ditusukkan ke arah lambung Pendekar Naga Putih. 
Namun, Panji yang sudah dapat membaca arah 
serangan itu, cepat menekuk kakinya dan meng-
gencet senjata lawan ke atas permukaan tanah. 
Begitu kaki kirinya menjejakkan tanah, secepat itu

pula kaki kanan menyepak wajah tukang pukul 
Patala. 
Plak! 
"Uuuh...!" 
Orang itu mengeluh tertahan ketika telapak kaki 
Panji mencium pelipisnya. Tubuhnya terjajar mundur 
jauh enam langkah. Tapi belum lagi sempat mem-
perbaiki posisi kuda-kudanya, tahu-tahu sebuah 
tamparan hinggap di kepala. Seketika itu juga tubuh 
anak buah Patala melintir seperti sebuah gasing. 
Seketika pandangannya terasa gelap hingga tidak 
tahu apa-apa lagi. Orang itu jatuh pingsan akibat 
tamparan Panji yang cukup keras! 
Setelah merobohkan kedua tukang pukul Patala, 
tubuh Panji kembali melenting ke atas pohon. Bagai-
kan bayangan hantu, pemuda berjubah putih itu 
berkelebat dari satu pohon ke pohon yang lain. 
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai di tempat 
Patala anak buahnya menunggu. 
"Ha ha ha...!" Panji tertawa bergelak sambil 
mengerahkan tenaga dalam. Suaranya bergema di 
sekitar daerah itu hingga tak ubahnya seperti tawa 
iblis yang datang dari alam kegelapan. Pemuda itu 
berdiri dengan kaki terpentang di atas sebatang 
dahan yang agak tinggi. Jubahnya yang putih ber-
kibaran tertiup angjn hingga pemandangan itu lebih 
dari cukup untuk membuat seorang penakut lari 
terbirit-birit. 
"Sssi... apaaa... kau...?" teriak Patala gemetar 
dengan suara terputus-putus. Walau bagaimanapun 
pemandangan itu benar-benar menggetarkan hati 
siapa saja yang melihatnya. 
"Ha ha ha...! Aku adalah iblis yang ditugaskan 
mencabut nyawamu, Manusia Bejat!" seru Panji,

suaranya dibuat sebesar mungkin sehingga mampu 
mendirikan bulu roma orang yang mendengar. 
Beberapa tukang pukul Patala terbelalak pucat! 
Mereka benar-benar menyangka kalau sosok serba 
putih itu adalah iblis yang ditugaskan mencabut 
nyawa mereka. Seketika keringat dingin mulai 
membasahi pakaian mereka. 
Namun tidak demikian halnya dengan Patala yang 
terlalu cerdik untuk dikibuli. Meskipun dengan 
perasaan agak gentar, Patala terus meneliti sosok 
yang berdiri di atas sebatang dahan. Samar-samar, 
mulai dapat diduganya sosok di atas pohon itu. 
"Keparat! Rupanya kau pemuda usilan! Turun kau, 
Bangsat! Jangan beraninya hanya menakut-nakuti 
orang secara pengecut!" maki Patala merasa diper-
mainkan oleh musuh yang amat dibencinya. 
Beberapa orang yang tadi sempat terkecoh, ikut 
marah. Serentak mereka mencabut senjata masing-
masing. Wajah yang semula pucat, mendadak merah 
padam karena marah bercampur malu. 
Ketika Panji melayang dari atas pohon, Patala dan 
para tukang pukulnya langsung mengurung. Tanpa 
banyak cakap lagi, mereka segera menyerang dengan 
senjata terhunus! Seketika belasan senjata 
berkelebatan di bawah siraman sinar sang rembulan. 
Tapi Panji mampu bergerak cepat dan mengelak 
setiap sambaran senjata yang berdesingan di sekitar 
tubuhnya. 
"Hiaaat!" 
Disertai bentakan keras, Pendekar Naga Putih 
melambung ke udara seraya mengembangkan kedua 
tangannya mengancam kepala dua tukang pukul 
terdekat. 
Plak! Plak!
Tanpa bersuara lagi, anak buah Patala terpental ke 
depan ketika tamparan tangan pemuda berbaju putih 
menghantam belakang kepala mereka. Kedua orang 
itu langsung tergeletak tewas! Dengan hidung, 
telinga, dan mulut mengalirkan darah segar! Rupanya 
tenaga liar yang mengendap di dalam tubuh Panji 
kembali bergejolak. Padahal tadinya dia hanya 
berniat menjatuhkan lawan saja, namun tenaga liar 
dalam dirinya membobol keluar hingga menewaskan 
dua anak buah Patala sekaligus. 
"Bangsat! Mampuslah kau!" teriak salah seorang 
tukang pukul lain sambil melompat dan menusukkan 
pedang ke dada pemuda berbaju putih. Tubuh Panji 
yang saat itu masih mengapung di udara, rasanya 
sulit sekali untuk menghindar. 
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah pendekar 
kemarin sore. Berbagai macam pengalaman yang 
telah didapat setelah menghadapi berpuluh-puluh 
pertarungan tidak membuatnya gugup. Cepat kedua 
tangannya bergerak menghimpit senjata lawan. Dan 
dengan memanfaatkan tenaga dorong pedang lawan, 
tubuh Panji berputar ke atas. Tak pelak lagi sepasang 
telapak kakinya mampir di kepala tukang pukul 
Patala. 
Desss! 
"Ughk...!" 
Tanpa ampun lagi tubuh lawan terbanting ke 
tanah. Setelah meregang nyawa sesaat, akhirnya 
diam tak bergerak-gerak lagi. Rupanya orang itu 
tewas akibat tengkorak kepalanya retak! 
Begitu Panji menjejakkan kedua kakinya di tanah, 
dua tukang pukul lain sudah datang menyerbu dari 
dua arah. Segera Pendekar Naga Putih merendahkan 
kuda-kuda sambil menjulurkan telapak tangan ke
dada dua penyerang. 
Buk! Buk...! 
"Hughk...!" 
***
EMPAT

Hantaman telapak tangan Panji tepat mengenai dada 
kedua penyerang. Tubuh keduanya terpental balik 
disertai semburan darah segar dari mulut. Setelah 
menabrak sebatang pohon, keduanya melorot dan 
terkulai pingsan! 
Patala dan sembilan anak buahnya tersentak 
mundur. Kegentaran mulai membayangi di wajah 
mereka begitu melihat lima orang kawannya telah 
menggeletak tak berdaya hanya dalam beberapa 
jurus saja. Padahal kepandaian orang-orang itu tidak 
bisa dikatakan rendah. Mereka rata-rata adalah 
pembantu-pembantu utama Patala. Tapi ketika 
berhadapan dengan pemuda berpakaian putih itu, 
mereka tak ubahnya sekumpulan laron menyerbu api. 
"Hei! Mengapa kalian diam saja! Apakah kepala 
kalian ingin dipenggal! Ayo, serbu!" Patala berteriak-
teriak bagaikan nenek-nenek yang kehabisan sirih. 
Kemarahannya dilampiaskan kepada pengikutnya 
yang tengah termangu ragu. 
Biar bagaimanapun gentarnya, namun orang-orang 
itu lebih takut kepada majikannya. Dan tanpa 
diperintah dua kali, sembilan orang tukang pukul 
Patala itu bergerak maju dan menerjang Panji dengan 
senjata terhunus. Tapi karena hatinya telah diliputi 
rasa gentar, maka serangan-serangan mereka pun 
tidak lagi seganas sebelumnya. Kadang-kadang pada 
saat mengayunkan senjata, mereka langsung 
melompat mundur ketika melihat Panji menggerak-
kan tangannya. Padahal serangan mereka belum

sampai. 
Panji yang tahu kalau lawan-lawannya telah di-
cengkeram kegentaran, segera memanfaatkan 
kesempatan. Suatu saat kedua kakinya dibanting ke 
tanah sambil berteriak nyaring. 
"Hiaaa...!" 
Bentakan pancingan Pendekar Naga Putih ternyata 
tidak sia-sia. Para pengeroyok lari tunggang-langgang. 
Tinggallah Panji tertawa terpingkal-pingkal melihat 
Patala dan anak buahnya berlarian jatuh bangun. 
Sampai-sampai perutnya terasa sakit melihat tingkah 
mereka yang seperti dikejar setan. 
"Ha ha ha... dasar tikus-tikus pengecut! Rupanya 
kalian hanya berani kepada orang-orang lemah saja. 
Sekalinya bertemu lawan yang lebih kuat, kalian lari 
terbirit-birit!" seru Panji sambil terus tertawa terbahak-
bahak. 
Tiba-tiba, Pendekar Naga Putih teringat pada 
pemuda yang menjadi majikan orang-orang itu. 
"Kurang ajar! Ke mana perginya pemuda bejat itu?" 
gumam Panji geram. Sesaat kemudian, pemuda itu 
sudah bertengger di atas dahan dan terus ber-
ompatan di antara pepohonan sambil mengedarkan 
pandangan. Namun orang yang dicarinya sudah tak 
tampak batang hidungnya lagi. "Hm... rupanya dia 
sudah melarikan diri selagi anak buahnya menge-
royokku." 
Karena tidak berhasil menemukan orang yang 
dicarinya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu. 
Angin malam berhembus menyebarkan hawa dingin 
yang menusuk tubuh. Sementara sang rembulan 
masih tersenyum dengan pancaran sinarnya yang 
kuning keemasan. 
***

Keesokan paginya, penduduk Desa Kertasari 
menjadi gempar! Mereka menemukan tiga sosok 
tubuh yang telah menjadi mayat Sedangkan empat 
orang lainnya tergeletak pingsan dengan luka-luka 
yang cukup berat. 
Penduduk desa yang semula hendak mengerjakan 
tugas sehari-hari segera masuk kembali ke dalam 
rumah. Mereka mengunci pintu dan jendela rapat-
rapat tatkala mengenali orang-orang itu sebagai anak 
buah Patala yang biasa mengawal kepala desa. 
Warga Desa Kertasari sadar kalau kejadian itu akan 
berakibat buruk bagi keselamatan mereka. 
Ketika matahari sudah mulai naik, tampak 
serombongan orang berkuda mendatangi tempat itu. 
Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enam 
puluhan yang wajahnya terlihat jauh lebih tua dari 
usia sesungguhnya. Orang tua itu adalah Ki Kalari, 
Kepala Desa Kertasari. 
Begitu rombongan berkuda tiba di tempat anak 
buah Patala tergeletak, tanpa banyak cakap lagi 
orang tua itu melompat dari punggung tunggangan-
nya. Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati 
sosok-sosok yang bergeletakan. 
Tujuh orang yang menyertai Ki Kalari, ikut 
melompat dari punggung kuda masing-masing. 
Mereka ikut menyertai kepala desanya mendekati 
sosok-sosok yang bergeletakan. 
"Kuburkan mayat-mayat itu di tempat ini. Dan 
bawa yang masih hidup ke balai desa. Aku berangkat 
duluan dan menunggu di sana," ujar Ki Kalari sambil 
melangkah meninggalkan para pembantunya. 
"Baik, Ki," sahut salah seorang pengawal Ki Kalari 
mengangguk. 
Kepala Desa Kertasari itu bergegas melompat ke

punggung kuda. Wajahnya teriihat kelam karena 
menyimpan rasa penasaran yang hebat. Tanpa 
menoleh lagi, kudanya segera digebah meninggalkan 
tempat itu. 
Sepeninggal Ki Kalari, tujuh orang pengawal 
bergegas menjalankan perintah kepala desanya. 
Selesai mengubur mayat-mayat teman mereka, ke-
tujuh pengawal bergegas meninggalkan tempat itu 
sambil membawa enam orang yang mengalami luka 
dalam yang cukup berat 
Tak lama kemudian, ketujuh orang itu tiba di balai 
desa di mana Ki Kalari dan Patala telah menanti 
kedatangan mereka. 
Patala berlari menyongsong kedatangan ketujuh 
orang itu. Tangannya bergerak cepat memeriksa 
tubuh empat anak buahnya yang dirobohkan Panji 
semalam. Setelah beberapa saat memeriksa, Patala 
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik 
napas lega. 
"Hm... keadaan mereka tidak terlalu meng-
khawatirkan. Beri mereka minum ramuan-ramuan 
yang telah kusediakan. Aku jamin mereka segera 
pulih dalam dua hari," ujar Patala sambil bertolak 
pinggang. 
"Sudah kunasihatkan agar kau jangan dulu 
bertindak. Nah, sekarang kau lihat sendiri akibatnya? 
Pemuda itu pasti pendekar pengembara yang berilmu 
tinggi. Kalau sudah begini, pasti dia tidak akan 
meninggalkan Desa Kertasari sebelum tahu apa 
sebenarnya yang terjadi di sini? Menurut dugaanku, 
tidak lama lagi pasti dia akan menyatroni rumahku," 
ujar Ki Kalari bersungut-sungut 
"Hm... hari ini aku memang mengaku kalah. Tapi 
lihat nanti! Akan kubuat dia berlutut minta ampun

sambil menciumi ujung kakiku! Tunggu saja kau 
pemuda keparat!" ujar Patala sambil mengepal 
tinjunya. Sepasang matanya memancarkan api 
dendam yang membara. 
Ki Kalari hanya tercenung menatap cakrawala biru. 
Ucapan Patala yang berapi-api karena terbakar 
dendam sama sekali tidak ditanggapinya. 
Patala menjentikkan jemarinya ketika melihat 
ketujuh pembantunya melangkah keluar dari balai 
desa. Mereka bergegas menghampiri Patala begitu 
melihat isyarat majikan mudanya. 
"Jaga tempat ini baik-baik! Kalau pemuda keparat 
itu datang mencari Ki Kalari, katakan dia tidak ada 
tempat. Ingat jangan bertindak sendiri-sendiri! Dan 
selama aku pergi, kalian tidak boleh membuat 
keributan, mengerti!" ujar Patala kepada ketujuh 
orang pembantunya yang hanya mengangguk patuh. 
"Dan kau, Ki. Kau tidak kuizinkan keluar selama 
aku tidak ada. Sekali kau langgar perintahku, kau 
akan tahu sendiri akibatnya!" ancam Patala galak. 
Dan anehnya, Ki Kalari pun tidak berani membantah 
ucapan anak muda itu. Entah apa yang menjadi 
penyebabnya. 
Patala menghentakkan tali kekang kudanya 
meninggalkan Balai Desa Kertasari. Baru beberapa 
puluh tombak kudanya dipacu, tiba-tiba lari binatang 
tunggangannya dihentikan ketika melihat dua orang 
laki-laki menghampiri dari arah yang berlawanan. 
"Tuan Muda...," sapa orang bermuka tikus dan 
kawannya berbarengan. 
"Hm... dari mana saja kalian?" tegur Patala ketus 
dan bernada mengancam, sehingga membuat wajah 
kedua orang itu menjadi pucat. 
"Kami... kami...."

"Ah, sudahlah! Sekarang kembalilah kalian ke 
tempat Ki Kalari. Awasi segala tingkah laku orang 
penyakitan itu. Laporkan padaku kalau dia 
memperlihatkan tingkah yang mencurigakan!" ujar 
Patala yang rupanya terburu-buru, hingga tidak 
sempat lagi menanyakan dari mana saja mereka 
pergi beberapa hari belakangan ini. 
"Baik, baik!" sahut keduanya cepat sambil menarik 
napas lega, seolah-olah saat itu mereka-baru saja 
bebas dari sebuah keputusan hukuman mati. Setelah 
berpesan demikian, Patala pun kembali menghela 
kudanya menuju perbatasan Desa Kertasari. Pemuda 
itu terus memacu kudanya bagai sedang dikejar 
setan. 
"Hhh... syukurlah dia terburu-buru. Kalau tidak, aku 
tidak bisa menjamin saat ini kepala kita masih ada di 
tempatnya," desah si muka tikus sambil meng-
hembuskan napas kuat-kuat. Sedangkan kawannya 
hanya mengangguk lega. 
Tidak lama kemudian, kedua orang itu pun 
kembali meneruskan langkahnya. Kali ini mereka 
menuju kediaman Ki Kalari, untuk menjalankan 
perintah Patala yang dipanggil dengan sebutan tuan 
muda. 
*** 
Bagaikan orang kesetanan, Patala terus memacu 
kuda melewati perbatasan desa. Dan setibanya di 
luar lesa, kudanya dibelokkan menuju ke arah Timur 
Desa Kertasari. 
Tanpa sepengetahuan Patala, ada sesosok 
bayangan putih berkelebat membayanginya. Gerakan 
bayangan putih yang tidak lain adalah Panji, demikian 
cepat dan ringan hingga tidak menimbulkan suara

sedikit pun. Tubuh pemuda berjubah putih itu terus 
berkelebatan di antara batang-batang pohon. 
Kadang-kadang melambung ke batang pohon dan di 
lain saat sudah berlompatan dari satu dahan ke 
dahan yang lain. 
Panji menghentikan larinya dan mendekam di atas 
dahan pohon berdaun lebat saat Patala mulai 
memasoki daerah perbukitan. Dan setelah menye-
berangi sungai kecil, dilihatnya Patala memasuki 
mulut sebuah hutan. 
Panji menunda niatnya untuk membuntuti Patala 
ketika beberapa tombak di belakang pohon 
tempatnya bersembunyi, terlihat seorang lelaki yang 
bagian kepalanya tertutup caping lebar tengah 
membungkuk. Mendadak keningnya berkerut ketika 
melihat beberapa sosok tubuh bergelimpangan di 
sekitar orang bercaping. 
"Eh, diakah yang telah membunuh orang-orang itu? 
Atau dia hanya menemukan saja?" gumam Panji 
bertanya pada dirinya sendiri. "Hm... aku harus hati-
hati menghadapi orang bercaping itu. Karena aku 
belum tahu secara pasti di pihak mana sebenarnya 
orang misterius itu." 
Pendekar muda itu segera turun dari pohon dan 
bergegas menghampiri orang bercaping yang tampak 
nya tengah memeriksa mayat-mayat itu. 
Panji yang ingin menegur orang bercaping 
mendadak mengurungkan niatnya ketika melihat 
dada mayat mayat itu terdapat tanda telapak tangan 
berwarna merah. Saat itu juga ingatannya terbayang 
pada mayat gurunya yang juga punya tanda seperti 
itu. 
"Hm... mau lari ke mana kau, Pembunuh Biadab? 
Kali ini kau tidak akan lepas dari tanganku! Lihat

serangan...!" bentak Panji seraya melancarkan 
serangan-serangan berbahaya. 
Si orang bercaping terkejut mendengar bentakan 
yang datang dari belakangnya. Cepat dia melompat 
dan melakukan beberapa kali salto ke samping guna 
menghindari serangan anak muda yang tengah kalap 
itu. 
"Sabar dulu, Kisanak. Tidakkah sebaiknya kau 
dengar keteranganku lebih dahulu?" seru orang 
bercaping mencoba menyabarkan Panji. 
"Hm... kau rupanya," ujar Panji begitu mengenali 
orang bercaping yang pernah memperingatkannya 
sewaktu hendak mencegah Patala. "Tak perlu banyak 
cakap lagi. Sekarang lebih baik kau sambut 
seranganku! Hiaaat..!" 
Seketika itu juga, Pendekar Naga Putih meluruk 
sambil melancarkan beberapa kali serangan berturut-
turut. Sambaran angin pukulan yang dilancarkan 
Panji berkesiutan mengancam tubuh orang misterius 
itu. 
"Hei... hei! Nanti dulu, Kisanak! Apa salahku?" 
teriak orang bercaping sambil melompat menghindar. 
Gerakannya terlihat cukup lincah dan gesit, hingga 
beberapa pukulan Panji berhasil dihindari. 
"Tidak perlu banyak bacot! Keluarkan seluruh ilmu 
kepandaianmu kalau tak ingin mati sia-sia!" bentak 
Panji geram. Kedua tangannya kembali melontarkan 
serangan yang membuat orang itu semakin 
kelabakan. 
Sadar kalau membiarkan dirinya terus-menerus 
diserang akan mendapatkan celaka, maka orang 
bercaping terpaksa melancarkan serangan balasan. 
Sepasang tangannya bergerak cepat melancarkan 
pukulan-pukulan yang tidak kalah berbahaya.

Sepasang tangannya yang membentuk kepalan 
meluncur bergantian dan menimbulkan sambaran 
angin yang cukup kuat. 
Melihat lawannya mulai melancarkan serangan 
balasan, Pendekar Naga Putih semakin memperhebat 
serangan. Kedua tangannya diputar-putar hingga 
menimbulkan sambaran angin dingin yang kuat. 
Namun sampai sejauh itu Panji sama sekali belum 
memperlihatkan tanda-tanda akan mengeluarkan 
ilmu andalannya. Si orang bercaping masih dapat 
mengimbangi. 
Wut! Wut.! 
"Uts...!" 
Dua kali serangan yang dilontarkan Pendekar Naga 
Putih mengenai tempat kosong ketika orang 
bercaping menggeser tubuhnya dengan kedua kaki 
direndahkan. Begitu dua kali serangan itu luput, 
mendadak orang bercaping berputar sambil 
melakukan sapuan secara tak terduga. 
Wukkk! 
Panji mengangkat kaki depan hingga sapuan orang 
misterius itu hanya mengenai rumput kering. Secepat 
pemuda itu mengangkat kaki, secepat itu pula 
menjatuhkan tubuh sambil menjulurkan kaki 
kanannya menghantam perut lawan. Dan.... Bukkk! 
 "Aaakh...!" 
Orang bercaping yang tak sempat lagi menghindar, 
bergulingan sejauh tiga tombak ke belakang. Wajah di 
balik caping itu terlihat meringis, menahan rasa mual 
akibat terhantam tendangan yang cukup keras. 
Setelah berhasil menendang perut lawan, 
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu 
lawannya bangkit Aneh, padalah saat itu terbuka 
kesempatan untuk melumpuhkan lawan, tapi Panji

sama sekali tidak mempergunakannya. 
Melihat lawan tidak menyusuli serangan, si orang 
bercaping tertegun sejenak. Dia merasa heran sekali 
mengapa Panji tak mempergunakan kesempatan 
selagi dirinya terjatuh. Padahal menurut per-
hitungannya pemuda berjubah putih itu pasti akan 
dapat melumpuhkannya saat itu juga. Tapi mengapa 
tidak dilakukannya? pikir si orang bercaping heran. 
"Apa sebenarnya keinginanmu, Kisanak? Bukan-
kah kau dapat melumpuhkanku kalau kau memang 
menghendaki? Tapi mengapa kau tidak memper-
gunakan kesempatan ini? Apa sebenarnya yang kau 
inginkan dariku?" tanya orang bercaping meng-
ungkapkan rasa penasaran. 
"Karena kau belum mengeluarkan seluruh ilmu 
kepandaianmu. Nah, sekarang keluarkanlah seluruh 
ilmumu agar kau tak mati penasaran!" sahut Panji 
yang rupanya tengah menunggu lawannya mengeluar-
kan ilmu pukulan yang dapat menimbulkan tanda 
telapak tangan berwarna merah. Itulah yang 
menyebabkan mengapa Panji tidak melancarkan 
serangan pada saat si orang bercaping terjatuh. 
"Hm... ilmu apa lagi yang harus kukeluarkan untuk 
menandingimu, Kisanak? Seluruh kepandaianku 
telah kukerahkan untuk menahan gempuranmu 
selama tiga puluh jurus tadi," jawab orang bercaping 
sambil menyeringai menahan rasa nyeri yang men-
dera perutnya. 
"Kau belum mempergunakan ilmu yang kau pakai 
membunuh mereka bukan? Nah, kalau kau tidak 
ingin celaka, cepat keluarkan ilmu yang kau per-
gunakan untuk membunuh mereka," ujar Panji yang 
sudah bersiap kembali melancarkan serangan yang 
lebih hebat

"Percayalah, Kisanak. Aku bukanlah pembunuh 
orang-orang itu. Dan aku pun sama sekali tidak 
memiliki ilmu seperti yang kau sangka. Kau boleh 
percaya omonganku atau tidak, terserah!" ujar orang 
bercaping tegas. 
"Hm... kalau bukan kau yang membunuh mereka, 
lalu siapa? Dan apa hubunganmu dengan mereka?" 
tanya Panji lagi yang masih belum yakin kalau orang 
bercaping bukan salah seorang pengikut Patala. 
"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan orang-
orang yang terbunuh ini. Aku tidak sengaja 
menemukan mayat-mayat ini karena hanya kebetulan 
lewat, seperti juga kau. Aku bisa saja menuduhmu 
sebagai orang yang telah membunuh mereka," jawab 
orang bercaping yang kini malah berbalik 
melontarkan tuduhan. " 
"Eh!" Panji tersentak kaget mendengar tuduhannya 
diputarbalikkan. Sungguh sama sekali tidak disangka-
nya kalau orang itu malah berbalik menuduh. 
Beberapa saat lamanya pemuda berjubah putih ini 
hanya termenung tanpa mampu mengeluarkan 
sepatah kata pun. 
"Nah, sekarang apa alasanmu membantah 
tuduhanku? Bisa saja kau yang membunuh mereka, 
lalu ketika melihat aku datang, kau segera sembunyi. 
Dan untuk menimbulkan kesan aku yang membunuh 
mereka, kau berpura-pura baru datang untuk 
melontarkan tuduhan secara pengecut," ujar orang 
bercaping lagi semakin memojokkan. 
"Hm...," Panji hanya bergumam sambil 
mengerutkan kening ketika mendengar ucapan orang 
bercaping yang cukup masuk akal. Mereka berdua 
bisa saja saling tuduh karena tidak ada seorang saksi 
pun yang melihat kejadian itu. Ucapan orang

bercaping membuat pemuda itu menyadari 
kekeliruannya. Tapi dia masih belum percaya 
sepenuhnya, karena sama sekali belum mengetahui 
siapa orang itu sebenarnya. 
"Bagaimana, Kisanak? Benarkah kau yang 
membunuh mereka?" orang bercaping kembali 
menegaskan. 
"Tidak. Seandainya aku yang membunuh mereka, 
aku tidak akan sepengecut itu melemparkan tuduhan 
kepada orang lain," jawab Panji tegas. Seolah-olah 
ingin mengatakan kalau dirinya bukan seorang 
pengecut seperti yang dituduhkan si orang bercaping. 
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak? 
Apa keperluanmu di tempat ini?" meskipun nada 
suara si orang bercaping masih menimbulkan kesan 
menyelidik, namun sikapnya sama sekali tidak 
menunjukkan permusuhan. 
"Namaku Panji. Orang-orang persilatan memberiku 
julukan Pendekar Naga Putih. Aku memberitahukan 
hal ini bukan karena menyombongkan julukan kosong 
itu. Tetapi agar kau dapat mempertimbangkan 
tuduhanmu," ujar Panji, karena tidak ingin terjadi 
kesalahpahaman di antara mereka lagi. 
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang bercaping 
membelalakkan matanya lebar-lebar, seolah-olah 
ingin meyakini kalau pemuda di hadapannya adalah 
pendekar muda yang tersohor itu. "Ah, maafkan 
sikapku yang kurang hormat tadi, Saudara Pendekar. 
Tentu saja tuduhanku tidak berlaku bagi Pendekar 
Naga Putih. Aku sudah sering mendengar nama 
besarmu selama ini, kau pendekar muda yang selalu 
menentang segala tindak kejahatan," ujar si orang 
bercaping segera membuka caping bambu yang 
selama ini menyembunyikan wajahnya.

"Hm... ucapanmu terlalu berlebihan, Kisanak. 
Sudahlah, jangan terlalu memujiku. Bisa-bisa 
kepalaku menjadi besar nanti," sahut Panji yang 
menjadi risih mendengar orang bercaping memuji 
dirinya. "Nah, ternyata wajahmu tidak buruk. 
Mengapa kau selalu menyembunyikannya? " 
"Maafkan aku, Saudara Pendekar. Kedatanganmu 
benar-benar membuat harapanku yang semula 
hampir musnah bangkit kembali. Marilah kita cari 
tempat yang lebih baik. Akan kuceritakan duduk 
persoalannya," tukas orang bercaping sambil mencari 
tempat yang lebih enak untuk bercakap-cakap. 
***

LIMA

"Namaku Kuntara. Anak Ki Kalari yang menjadi 
Kepala Desa Kertasari," orang bercaping memulai 
ceritanya. "Lima belas tahun lalu, ayah mengirimku ke 
salah satu perguruan untuk mendalami ilmu silat. 
Setelah dinyatakan lulus, aku pun berniat kembali ke 
desa kelahiranku. Tapi, keadaan di desaku ternyata 
telah jauh berubah. Banyak kejanggalan-kejanggalan 
yang kutemui. Aku jadi ragu kalau orang yang kini 
memimpin desa itu masih ayahku," Kuntara berhenti 
sebentar untuk menekan emosinya. Ditariknya napas 
panjang berulang-ulang guna menenteramkan 
hatinya. 
"Apakah kau tidak bertanya pada salah seorang 
penduduk?" tanya Panji melihat Kuntara meng-
hentikan ceritanya. 
"Itulah kenyataan pahit yang sempat membuatku 
terguncang. Sejak kecil ayah selalu menekankan agar 
aku selalu berlaku adil dan menentang segala tindak 
kejahatan. Sampai-sampai ayah menitipkan aku ke 
sebuah perguruan untuk mewujudkan keinginannya. 
Dapat kau bayangkan betapa malunya aku, Saudara 
Panji. Begitu menginjakkan kaki di desa ini, ternyata 
semua penduduk mengutuk ayahku karena per-
buatannya yang kejam dan tidak berprikemanusiaan," 
ujar Kuntara serak seraya menyapu wajahnya seolah-
olah ingin menghilangkan segala bayangan buruk 
tentang ayahnya. 
"Apakah kau tidak berusaha menyelidiki penyebab 
ayahmu berbuat demikian?" tanya Panji ikut merasa

prihatin dengan keadaan yang dialami pemuda 
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. 
"Yahhh..., aku memang telah menyelidikinya. Aku 
terpaksa menyembunyikan wajahku agar tidak mudah 
dikenali oleh pembantu-pembantu ayahku. Dan pada 
suatu malam, aku berhasil menyelinap masuk dan 
menemuinya," tutur Kuntara meneruskan ceritanya. 
"Lalu bagaimana sikap ayahmu? Apakah dia 
mengenalimu?" Panji menyelak tak sabar. 
"Tentu saja dia mengenaliku. Nah, dari situlah baru 
kuketahui kalau semua kejadian yang menimpa 
penduduk bukan kemauannya sendiri. Ternyata ayah 
dijadikan boneka yang dikendalikan oleh seseorang. 
Dan itu sudah berlangsung kurang lebih lima tahun! 
Hhh.... Aku merasa berdosa sekali telah menuduhnya 
kejam." 
"Apakah ada alasan yang menyebabkan ayahmu 
menuruti segala perintah yang bertentangan dengan 
hati nuraninya? Apakah dia tidak menjelaskan 
kepadamu?" 
"Tentu saja ayah menceritakan segalanya 
kepadaku, Saudara Panji. Namun ayahku tidak dapat 
berbuat apa-apa untuk menghentikan segala 
kekejaman dan kebiadaban Patala, anak kepala 
rampok yang menguasai ayahku. Belakangan baru 
diketahui kalau yang menekan ayah adalah kepala 
perampok yang menguasai beberapa desa di wilayah 
ini. Ayah terpaksa menurut karena orang-orang jahat 
itu menyandera ibu dan adik perempuanku. Itulah 
sebabnya ayahku mendiamkan saja segala perbuatan 
Patala dan para pembantunya," tutur Kuntara sambil 
mengepalkan tinjunya erat-erat. Sepasang bola 
matanya berkilat menahan kemarahan. 
"Apakah kau pernah mencoba membebaskan ibu

dan adikmu? Atau mencoba mencegah perbuatan 
Patala?" tanya Panji kini mulai mengerti duduk 
persoalan yang menimpa penduduk Desa Kertasari. 
"Tidak mungkin, Saudara Panji! Ibu dan adikku 
ditahan di tempat kediaman kepala rampok itu. Lagi 
pula di sana terdapat lebih dari seratus anggota 
perampok yang rata-rata memiliki ilmu cukup hebat. 
Kalau aku nekat membebaskan ibu dan adikku, itu 
sama artinya dengan bunuh diri?" 
"Lalu, apa rencanamu sekarang? Aku siap 
membantumu!" ujar Panji yang membuat semangat 
Kuntara bangkit seketika. 
"Ah! Dengan adanya bantuanmu, persoalannya 
tentu akan menjadi lain. Sekarang aku baru yakin 
kalau usaha kami akan berhasil!" seru putra Kepala 
Desa Kertasari begitu yakin pada kemampuan 
Pendekar Naga Putih yang namanya telah meng-
guncangkan dunia persilatan. 
"Kami?" tanya Panji heran ketika mendengar 
Kuntara menyebut kata-kata 'kami'. 
"Ya! Aku, paman guruku, dan beberapa saudara 
seperguruanku," tukas Kuntara yang rupanya telah 
meminta bantuan saudara-saudara seperguruannya. 
"Apakah kau sudah menghubungi mereka?" 
"Sudah lama aku menghubungi mereka. Dan kini 
mereka sudah berada di Desa Kertasari menunggu 
saat yang tepat untuk bertindak," jawab Kuntara yang 
membuat Pendekar Naga Putih sedikit terkejut 
karena tidak menyangka pemuda itu telah menyusun 
rencana. 
"Hm..., Kuntara, apakah kau tidak mengenali salah 
satu mayat-mayat itu?" tanya Panji sambil menunjuk 
ke arah tujuh sosok mayat. 
"Entahlah, aku tak tahu siapa mereka. Hanya

dapat kupastikan kalau mereka adalah tokoh-tokoh 
persilatan golongan lurus. Aku pernah melihat salah 
seorang di antara mereka datang ke perguruanku dan 
berbicara kepada guru," sahut Kuntara menerangkan. 
"Kau tahu pembunuh mereka?" 
"Tidak, Saudara Panji. Tapi menurutku, kemung-
kinan besar mereka dibunuh kawanan perampok. 
Karena tempat kediaman para perampok itu tidak 
begitu jauh dari tempat ini. Bolehkah aku tahu, 
mengapa kau begitu ingin mengetahui pembunuh 
mereka, Saudara Panji?" akhirnya Kuntara tak dapat 
menahan rasa ingin tahunya melihat Pendekar Naga 
Putih begitu penasaran dengan pembunuh itu. 
"Ah, tidak. Aku hanya ingin tahu saja," sahut Panji 
mengelak, karena tidak ingin melibatkan orang lain 
dalam persoalannya. "Sebelum bertemu denganmu, 
aku sempat mengikuti Patala yang sedang menuju ke 
dalam hutan. Menurutmu, apakah yang tengah 
dikerjakan olehnya?" tanya Panji mengalihkan 
pembicaraan. 
"Mungkin dia akan mengadu kepada ayahnya. Eh, 
apakah Patala tahu kalau kau Pendekar Naga Putih?" 
tanya Kuntara begitu teringat pada anak kepala 
perampok itu. 
"Hm... kurasa tidak. Memangnya kenapa?" sahut 
Panji setelah berpikir sejenak. 
"Ah, tidak apa-apa. Tapi yang jelas, kita akan 
bertambah sulit untuk bergerak kalau dia tahu siapa 
sebenarnya pemuda yang berani menentangnya. Dia 
pasti mengerahkan para perampok dan orang-orang 
golongan sesat untuk membunuhmu," jawab Kuntara 
seraya menarik napas dalam-dalam. 
"Kuntara, apakah Patala selalu tinggal di rumah 
ayahmu?" tanya Panji yang rupanya ingin tahu lebih

banyak tentang orang yang bemama Patala. 
"Tidak tentu. Kadang-kadang kalau sudah bosan di 
desaku, maka dia pindah ke desa lain yang masih di 
bawah kekuasaan ayahnya. Biasanya setiap dua atau 
tiga bulan dia pindah ke desa lain untuk mencari 
gadis-gadis cantik yang akan dijadikan pemuas nafsu 
binatangnya," tutur Kuntara geram ketika teringat 
kebiadaban Patala. 
"Kalau begitu, kau sudah tahu kediaman kepala 
perampok yang menyekap ibu dan adikmu? Dapatkah 
kau mengantarku ke sana?" pinta Panji sekaligus 
ingin membuktikan kebenaran cerita Kuntara. Biar 
bagaimanapun, cerita pemuda itu masih belum 
diyakini sepenuhnya. 
"Tentu, sudah lama aku tahu persembunyian para 
perampok itu. Seperti yang kukatakan tadi, untuk 
dapat masuk ke sana merupakan suatu hal yang 
mustahil bagiku. Tapi lain halnya bila kau yang 
menyelinap ke sana. Aku yakin kau pasti bisa, karena 
kepandaianmu berpuluh-puluh kali kepandaianku," 
puji Kuntara yang menurut Panji terlalu berlebihan. 
"Ah, sudahlah. Ayo, antarkan aku!" ajak Panji tak 
ingin membuang-buang waktu lagi. 
"Baiklah, ayo!" ujar Kuntara lebih dulu 
meninggalkan tempat itu. 
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin menonjolkan 
kepandaiannya, hanya berusaha mengimbangi lari 
pemuda itu tanpa berniat mengungguli. Sekilas Panji 
tahu kalau Kuntara sengaja mempercepat larinya 
untuk menguji. 
***

Senja mulai merebah ketika kedua pemuda itu 
memasuki kawasan hutan kecil yang menurut 
Kuntara adalah kediaman para perampok. Setelah 
beberapa lama berlari, akhirnya mereka bersembunyi 
di balik batu besar yang banyak berserakan di tempat 
itu. 
"Itulah sarang mereka, Saudara Panji," ujar 
Kuntara sambil menunjuk ke sebuah tempat hampir 
mirip lembah yang dikelilingi dinding-dinding cadas 
tinggi. 
"Hm...," gumam Panji. Kedua anak muda itu 
berada di tempat agak tinggi hingga dapat melihat 
jelas sebuah lembah yang cukup luas berbentuk 
seperti danau. Di tengah lembah terlihat sebuah 
perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah kecil 
berderet mengitari bangunan besar dan megah. 
"Mungkin bangunan paling besar itulah kediaman 
kepala perampok. Hebat! Orang itu tak ubahnya raja 
kecil yang berkuasa di sini. Lihatlah! Gedung 
kediamannya tak kalah megah dengan milik seorang 
adipati," ujar Panji terheran-heran. 
"Tidak aneh, Saudara Panji. Setiap musim panen 
mereka selalu mendatangi desa-desa yang berada di 
bawah kekuasaannya untuk merampas hasil panen. 
Dan para petani hanya diberikan sisanya yang tidak 
seberapa banyak," tutur Kuntara. 
"Hm... pantas kalau mereka begitu makmur," 
gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepala-
nya. 
"Ssst...!" bisik Panji menempelkan jari telunjuk ke 
bibirnya. Kemudian tubuhnya langsung melayang ke 
atas sebatang pohon tidak jauh dari tempat mereka 
bersembunyi. 
Kuntara yang langsung mengerti isyarat rekannya,

ikut pula melompat ke atas sebatang pohon di 
sebelah Panji. Meskipun belum mendengar sesuatu 
yang mencurigakan, namun Kuntara percaya kalau 
Pendekar Naga Putih pasti telah lebih dulu men-
dengarnya. 
Benar juga! Tidak lama setelah keduanya me-
lompat ke atas pohon, serombongan orang berkuda 
melintas di bawah mereka. Rombongan itu berjumlah 
sekitar tiga puluh orang. Wajah mereka rata-rata 
terlihat kasar, namun seragam yang mereka kenakan 
nampak mewah dan terawat baik. 
Kening Panji berkerut melihat di antara rombongan 
itu terdapat belasan wanita yang berwajah pucat dan 
basah oleh air mata. Pakaian mereka seperti yang 
biasa dikenakan gadis-gadis desa. Sekilas, sudah 
dapat diduga kalau wanita-wanita itu hasil culikan. 
Dan yang lebih membuat kening Pendekar Naga 
Putih semakin berkerut dalam adalah ketika melihat 
seorang gadis berpakaian biru muda di antara 
mereka. Gadis cantik berambut panjang itu terkantuk-
kantuk di atas punggung kuda dengan kedua tangan 
terikat ke belakang. 
"Ayuning...!?" desis Panji terkejut bercampur heran. 
Jantung pemuda itu berdebar seketika karena sedikit 
banyak telah tahu tingkat kepandaian Ayuning. 
Apabila gadis gagah itu dapat mereka tawan, sudah 
barang tentu tingkat kepandaian orang-orang itu tidak 
bisa dibuat main-main. 
Melihat Ayuning ditawan bersama gadis-gadis 
lainnya, tentu saja Panji tidak mau tinggal diam. 
Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, pemuda 
berjubah putih itu melayang dari atas pohon disertai 
bentakan lantang. 
"Berhenti!"

Rombongan berkuda tersentak kaget mendengar 
bentakan dahsyat yang disertai pengerahan tenaga 
dalam. Seketika binatang-binatang tunggangan panik 
seketika dan sulit dijinakkan. Alhasil, rombongan 
berkuda itu menjadi kacau-balau tak terkendali. 
"Hieeeh...!" 
"Shaaa... ck ck ck...!" 
Para penunggang kuda kewalahan menjinakkan 
kuda-kuda mereka yang semakin binal. Bahkan tidak 
sedikit di antara mereka jatuh terinjak-injak kaki 
kuda. 
Di tengah suasana kacau itu, tiba-tiba Panji 
melesat cepat menyambar Ayuning yang berada di 
atas punggung kuda. Gerakannya hampir tak tampak 
oleh mata orang awam. 
"Bangsat! Ada orang melarikan tawanan kita! 
Cepat kejar!" teriak salah seorang anggota 
rombongan yang sempat melihat sesosok bayangan 
putih menyambar gadis tawanannya. Seketika kuda-
nya digebah cepat mengejar Panji. 
Setelah berhasil membawa Ayuning ke tempat 
aman, Pendekar Naga Putih cepat melepaskan ikatan 
gadis itu. Tapi tiba-tiba ingatan Panji terlintas pada 
Kuntara. Mungkin saja Kuntara ikut melompat dari 
atas pohon pada saat dirinya membebaskan Ayuning, 
Hal itulah yang dikhawatirkan Panji. 
"Kakang Panji...," desah gadis berbaju biru muda 
ketika mulai dapat mengenali penolongnya. "Ah, 
untunglah Kakang menolongku. Kalau tidak, entah 
apa yang akan terjadi pada diriku. Terima kasih, 
Kakang." 
"Ayuning, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat 
ini! Aku harus segera menolong kawanku. Siapa tahu 
dia mengalami kesulitan!" desak Panji sambil

bergerak meninggalkan gadis itu. 
Baru beberapa langkah meninggalkan Ayuning, 
pemuda itu telah dikepung belasan ekor kuda 
bersama anggota perampok di atasnya. Rupanya 
mereka berhasil menemukan orang yang melarikan 
tawanannya. 
"Itu dia! Mau lari ke mana kau, Bangsat..! Hei! Kau 
sudah bosan hidup? Atau mau cari mampus di tangan 
gerombolan Setan Kepalan Besi!" bentak salah 
seorang anggota perampok galak. 
Setelah berkata demikian, orang itu melompat dari 
punggung kudanya. Gerakannya kelihatan gesit, 
pertanda kalau kepandaian orang itu tidak bisa 
dipandang rendah. 
Setelah perampok pertama turun, yang Iain pun 
segera menyusul dan langsung membuat lingkaran 
mengepung Panji dan Ayuning. Kini kedua pendekar 
muda itu terkurung di tengah-tengah kepungan. 
"Ha ha ha...! Sesalilah dirimu yang sok usilan, 
Kisanak! Hiaaat..!" disertai teriakan nyaring, orang itu 
melompat maju sambil mengayunkan pedang ke 
tubuh Panji. Teriakan itu juga merupakan isyarat bagi 
yang Iain untuk segera menyerang. Setelah melihat 
kawannya sudah bergerak menyerang, perampok lain 
berlompatan susul-menyusul ke arah Panji dan 
Ayuning. 
"Kakang Panji, hati-hati dengan bubuk beracun 
yang akan mereka gunakan nanti!" teriak Ayuning 
mengingatkan Panji di tengah hujan senjata belasan 
pengeroyok. 
Wut! Wut..! 
Panji menggeser kakinya ke samping sambil 
merendahkan kuda-kuda menghindari bacokan 
pedang dua perampok. Gerakannya disusul dengan

tendangan kilat ke dada salah seorang lawan. 
Namun orang itu cukup cerdik dan gesit. 
Senjatanya langsung diputar untuk membabat kaki 
yang mengancam dadanya. Cepat Pendekar Naga 
Putih menarik kakinya kembali hingga bacokan itu 
pun luput untuk kedua kalinya. Bagaikan sebuah 
pegas, kaki Panji secepat kilat menendang dagu 
orang itu. Tendangan kuat dan dilakukan secara 
mendadak membuat lawan kelabakan. Tanpa dapat 
dicegah lagi tendangan itu telak mengenai sasaran. 
Desss! 
"Aaakh...!" 
Seketika itu juga perampok terbanting keras ke 
tanah ketika dagunya terhajar secara telak! 
Terdengar bunyi tulang patah diiringi jerit kesakitan 
menyayat. Perampok bernasib sial itu mengerang 
sambil menutup wajahnya. Seketika darah kental 
mengalir dari mulutnya karena tulang rahangnya 
patah. 
Selagi perampok itu sibuk mengurusi lukanya, saat 
itu Pendekar Naga Putih sudah sibuk menghindari 
serangan empat pengeroyok lainnya. Serangan yang 
dilancarkan empat perampok itu demikian gencar, 
seolah-olah tak ingin memberi kesempatan untuk 
membalas. 
Sadar kalau lawan-lawannya adalah anggota 
perampok yang sering mengganggu penduduk desa-
desa di sekitar wilayah itu, Panji bertindak kepalang 
tanggung. Dan begitu memasuki jurus ke tujuh, tiba-
tiba Pendekar Naga Putih merubah gerakannya. 
"Heaaat..!" 
Wuk! Wuk! Wuk...! 
"Hm...!" 
Sambil mendengus kasar, Panji melenting ke

udara menghindari serangan beruntun tiga 
perampok. Dan selagi masih berada di udara, kedua 
kaki pemuda berjubah putih itu meluncur ke belakang 
melakukan dua tendangan ke arah dua pengeroyok 
sekaligus! Dan... 
Bukkk! Desss! 
Tanpa bersuara lagi, dua perampok terjerembab 
mencium tanah ketika tendangan itu tepat 
menghantam punggung mereka. Tubuh mereka 
langsung ambruk bersimbah darah. Tewas seketika! 
"Keparat! Kubunuh kau!" lawan yang kini tinggal 
seorang berteriak-teriak marah dan melangkah maju 
sambil mengayunkan pedang kalang-kabut. 
Pada saat pedang lawan membabat ke arah leher, 
Panji merendahkan kuda-kuda sambil meliukkan 
kepala. Ketika mata pedang lawan berdesing di atas 
kepala, tahu-tahu tangan kanannya menangkap 
pergelangan tangan lawan. Lalu tubuh orang itu 
ditekuk dan langsung disambut dengan gerakan 
lututnya. 
Terdengar jeritan tertahan ketika lutut Panji 
menghajar dada lawan. Darah segar langsung 
menyemprot seketika itu juga. Sejenak tubuh 
perampok itu menggelepar di tanah sebelum diam 
untuk selama-lamanya. Tewas dengan tulang dada 
remuk! 
Belum lagi Panji sempat menarik napas lega, tiba-
tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi tempat 
itu. Tak lama kemudian, kawanan perampok yang 
ketinggalan dalam pengejaran telah tiba. 
"Bangsat!" seorang laki-laki brewok berwajah 
bengis membentak ketika melihat tiga kawannya 
menggeletak tewas. 
"Bunuh pemuda itu!" perintah si brewok kepada

belasan anak buahnya yang langsung melompat dari 
punggung kuda. 
Tanpa banyak cakap lagi, belasan kawanan 
rampok yang baru tiba serentak menyerbu Panji. 
Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar 
mengincar tubuh pemuda berbaju putih itu. 
Pertarungan pun kembali berlangsung seru. 
Di tempat lain, Ayuning juga tengah bertarung 
sengit melawan tujuh kawanan perampok. Meskipun 
para perampok terus mencecar gadis cantik itu 
dengan serangan bertubi-tubi, namun sampai sejauh 
itu tak satu pun senjata mereka yang dapat 
menyentuh tubuh Ayuning. Malah dua kawan mereka 
telah tergeletak akibat tamparan gadis berpakaian 
biru muda itu. 
Sebagai murid tunggal tokoh sakti seperti Dewa 
Tanpa Bayangan, sudah dapat dipastikan kalau 
kepandaian Ayuning tidak bisa disamakan dengan 
tokoh-tokoh kebanyakan. Tentu saja sebagai murid 
tunggal, Ayuning telah dibekali ilmu-ilmu silat tinggi. 
Maka tidak mengherankan kalau gadis itu kelihatan 
tenang menghadapi keroyokan kawanan perampok 
meskipun tidak bersenjata! Hanya dengan tangan 
kosong. 
"Haiiit..!" 
Tiba-tiba, Ayuning berteriak nyaring sambil 
melompat ke udara dengan kedua tangan 
terkembang. Dengan gerakan berputar, tangan gadis 
itu melakukan dua kali tamparan yang cepat dan tak 
terduga. Tentu saja serangan mendadak itu membuat 
pengeroyok yang menjadi sasarannya kelabakan. 
Dan.... 
***
ENAM

Plak! Plak! 
"Hughk...!" 
Dua di antara para pengeroyok melintir ketika 
telapak tangan Ayuning menghantam pelipis mereka. 
Seketika itu juga keduanya melihat alam di 
sekelilingnya menjadi gelap hingga tidak tahu lagi apa 
yang terjadi selanjutnya. Kedua orang itu telah 
tergeletak pingsan! 
Kawanan perampok yang mengeroyok Ayuning kini 
tinggal lima orang. Seketika para penggeroyok 
bergerak mundur melihat gadis itu kembali meroboh-
kan dua kawan mereka. Beberapa saat lamanya, 
kelima orang itu hanya berdiri terpaku menatap 
pendekar wanita yang cantik jelita itu. 
Sebelum kedua belah pihak saling bergerak, tiba-
tiba berkelebat sesosok bayangan putih mendekati 
Ayuning. Dengan gerakan yang indah, bayangan putih 
itu mendaratkan kedua kakinya tepat di sisi gadis 
berpakaian biru muda itu. 
"Kakang Panji...!" seru Ayuning gembira ketika 
melihat Panji tidak kurang suatu apa pun. 
"Ayuning, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, 
sebelum kawan-kawan mereka datang membantu," 
bisik Panji perlahan. 
"Mengapa, Kakang? Apakah kau takut?" tegur 
gadis cantik itu dengan kening berkerut. Ayuning 
tampaknya tidak begitu suka melarikan diri dari 
kancah pertarungan. 
"Bukan begitu, Ayuning. Kalau bantuan mereka

tiba, maka akan lebih sulit bagi kita meloloskan diri. 
Selain jumlah mereka banyak, tidak sedikit di 
antaranya adalah tokoh-tokoh digdaya," jawab Panji 
mencoba memberikan pengertian kepada gadis itu. 
"Tapi... tapi... bagaimana dengan gadis-gadis desa 
yang akan mereka jadikan pemuas nafsu, Kakang? 
Apakah kau tega membiarkan mereka terancam 
bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian?!" 
bantah Ayuning sambil memalingkan kepalanya ke 
arah belasan gadis desa yang berkumpul di dekat 
sebatang pohon dan dijaga ketat tiga perampok. 
Mendengar bantahan Ayuning, Panji menjadi 
gelagapan. Tentu saja tidak akan dibiarkannya gadis-
gadis desa itu jatuh ke tangan para perampok. Tapi 
pada saat ini posisinya benar-benar dalam keadaan 
sulit. Kalau sampai bantuan para perampok keburu 
tiba, maka rencana yang telah disepakati bersama 
Kuntara bisa berantakan. 
"Baiklah! Mari kita habisi dulu para perampok ini. 
Setelah itu, baru kita tinggalkan tempat ini bersama 
gadis-gadis tawanan itu," sahut Panji mantap. Setelah 
berkata demikian, tubuhnya kembali melompat ke 
tengah lawan-lawannya. 
Lima belas perampok tergetar mundur melihat 
lapisan kabut bersinar putih keperakan mengelilingi 
sekujur tubuh Panji. Seketika tubuh mereka menggigil 
akibat pengaruh hawa dingin menusuk tulang yang 
mulai memenuhi sekitar daerah itu. 
Panji yang tidak ingin hawa dingin dari tubuhnya 
mempengaruhi yang lain, segera memancing lawan 
menjauhi tempat Ayuning dan para gadis tawanan 
berada. Tapi dia tertegun sejenak ketika mendengar 
derap kaki kuda yang makin lama makin dekat 
menuju ke tempat mereka.

"Hm.... Aku harus cepat bertindak sebelum 
terlambat," kata Panji dalam hati. Indra pen-
dengarannya menangkap jelas derap kaki kuda 
rombongan bantuan yang sebentar lagi segera tiba 
dalam jumlah besar. 
"Heaaat..!" 
Seketika itu juga Pendekar Naga Putih meluruk ke 
arah pengeroyok yang masih ragu untuk menyerang. 
Sepasang tangannya diputar-putar sehingga 
menimbulkan desir angin yang luar biasa dinginnya. 
Meskipun agak tersendat, Panji dapat mengatur 
tenaga liar yang mengendap dalam tubuhnya. 
Wusss! 
Desss! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Dua kawanan perampok terguling dihantam 
pukulan maut Kedua orang yang tidak sempat 
mengelak itu, tewas seketika dengan tubuh membiru. 
Para perampok lain mundur ketakutan. Mereka 
sama sekali tidak menyangka dua kawan mereka 
tewas dalam segebrakan saja. Padahal sebelumnya 
pemuda itu membutuhkan paling tidak lima jurus 
untuk menjatuhkan salah seorang di antara mereka. 
Kejadian ini segera menyadarkan orang-orang itu 
kalau sejak tadi Panji tidak bersungguh-sungguh 
menghadapi mereka. 
"Keparat! Rupanya pemuda itu bukan orang 
sembarangan. Hati-hatilah kawan-kawan! Kali ini kita 
harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk 
menangkapnya," seru salah seorang pengeroyok yang 
sepertinya pimpinan mereka. 
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin membuang-
buang waktu lagi segera melesat ke arah para gadis 
desa ditawan. Pemuda itu meluncur cepat bagai anak


panah lepas dari busurnya, dan langsung menerjang 
tiga perampok yang menjaga gadis-gadis culikan itu. 
Melihat tubuh Panji tiba-tiba meluncur ke arah 
mereka, ketiga perampok segera mengayunkan 
senjata untuk menghalau. Serentak ketiganya mem-
bacok dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 
dalam. 
"Hiaaa...!" 
Trak! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Tiga perampok menjerit ngeri ketika senjata 
mereka menghantam tubuh Panji. Seketika itu juga 
ketiganya terlempar keras bagai disentakkan tenaga 
raksasa yang tak tampak. Sementara ketiga senjata 
mereka berpatahan ketika menyentuh tubuh Panji. 
Ketiga perampok meregang menahan sakit dan 
rasa dingin yang merasuk sampai ke tulang. Sesaat 
kemudian, tubuh mereka pun mengejang dan tewas 
dengan kulit membiru. 
Itulah kelebihan Pendekar Naga Putih. Tenaga 
sakti yang mengendap dalam tubuhnya bergejolak 
setiap saat dan menjadi penangkal bila diserang dari 
luar. Semakin kuat tenaga lawan yang menyentuh 
tubuh Panji, maka semakin kuat pula daya tolak yang 
diterima si penyerang. 
Bersamaan kehadiran Panji di tempat para gadis 
desa, tahu-tahu melayang sesosok tubuh dari atas 
pohon dan mendarat di dekat kerumunan gadis desa. 
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun orang itu 
langsung membuka tali pengikat yang membelenggu 
mereka. 
"Kuntara...," seru Panji begitu mengenali orang 
yang baru datang. "Kuntara, bawa gadis-gadis 
tawanan ini pergi! Biar aku yang akan mencegah para

perampok itu!" ucap Panji lagi yang hanya dijawab 
anggukan oleh Kuntara. Setelah berkata demikian, 
murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu melesat ke arah 
Ayuning yang tengah dikeroyok. 
"Ayuning! Cepat kau menyingkir! Lindungi Kuntara 
membawa gadis-gadis desa meninggalkan tempat 
ini!" seru Panji begitu menjejakkan kakinya di dekat 
Ayuning. 
"Tapi, bagaimana denganmu, Kakang?" tanya 
gadis berpakaian biru muda mengkhawatirkan 
keselamatan Panji. 
"Aku akan menahan orang-orang yang akan 
mengejar kalian! Cepatlah! Jangan membantah!" seru 
Panji tegas karena tidak ingin mendengar bantahan 
gadis yang keras kepala itu. 
Belum lagi Ayuning sempat meninggalkan pemuda 
itu, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh yang 
disertai dengan munculnya para perampok lain. 
Rupanya salah orang anggota perampok sempat 
melaporkan kejadian yang mereka alami. 
Kawanan perampok yang berjumlah lebih dari lima 
puluh orang bergegas melompat dari punggung kuda 
dan mengepung tempat itu. Sepertiga dari mereka 
membawa busur dan anak panah. 
Terlambat bagi Panji dan Ayuning untuk 
meninggalkan tempat itu. Tapi untunglah Kuntara 
telah lebih dulu meninggalkan arena pertempuran 
bersama para gadis desa yang diselamatkannya. 
"Ayuning, dengar kata-kataku dan jangan kau 
bantah!" bisik Panji kepada gadis itu. "Aku akan 
menerobos kepungan di sebelah kiri. Dan pada saat 
itu, kau harus pergi dari sini, mengerti!?" 
"Baiklah, Kakang," jawab Ayuning mengalah. 
"Hm... bersiaplah!" bisik Panji sambil menarik

napas dalam-dalam. Sesaat kemudian, tubuh 
Pendekar Naga Putih meluncur ke arah para 
pengepung yang berada di sebelah kirinya. 
"Heaaat..!" 
Hawa dingin berhembus keras ketika sepasang 
telapak tangan Panji didorongkan ke depan. Dan... 
Wusss! Blarrr! 
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan 
sepasang tangan Panji. Tanah dan rerumputan 
hamburan ketika pukulan itu menghantam bumi. 
Beberapa pengepung yang tidak sempat menghindar 
terlempar keras. Tewas seketika dengan tubuh 
membeku. 
Pada saat kepungan kawanan perampok 
berantakan, Pendekar Naga Putih segera menarik 
tangan Ayuning untuk meloloskan diri. Setelah tubuh 
murid Dewa Tanpa Bayangan melesat ke depan, 
pemuda itu segera membalikkan tubuhnya untuk 
berjaga-jaga dari bokongan lawan. 
"Hujani panah...!" teriak salah seorang pimpinan 
perampok yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah 
pucat. 
"Pendekar Naga Putih...!" seru pimpinan perampok 
satunya lagi terkejut Laki-laki berusia sekitar lima 
puluh tahun itu terbelalak melihat lapisan kabut sinar 
putih keperakan menyelimuti seluruh tubuh Panji. 
"Pendekar Naga Putih!?" ulang pimpinan perampok 
yang berwajah pucat dengan rasa terkejut bercampur 
heran. 
Mendengar aba-aba si muka pucat, barisan panah 
segera bersiap-siap melepaskan anak panah. Sesaat 
kemudian terdengar suara berdesing ketika puluhan 
batang anak panah meluncur deras ke arah Panji. 
Pendekar Naga Putih yang memang sudah siap

menghadapi segala kemungkinan, bergegas memutar 
kedua tangannya. Sesaat kemudian, angin dingin 
laksana badai berputar menderu-deru. Batu-batu kecil 
dan ranting-ranting kering beterbangan di sekitar 
tempat itu. 
Wrrr! Wrrr...! 
Puluhan batang anak panah beterbangan ke 
segala arah. Tak satu pun dari puluhan batang anak 
panah menyentuh tubuh Panji. Bahkan ada yang 
berbalik menghujani kawanan perampok sendiri. 
Cappp! Cappp! 
"Aaa...!" 
Tiba-tiba delapan kawanan perampok menjerit pilu 
ketika anak-anak panah berbalik menembus tubuh 
mereka sendiri. Kawanan perampok itu terjungkal, 
tewas seketika! 
"Gila!" seru beberapa kawanan perampok terkejut. 
"Ilmu setan...!" seru yang lain gentar. 
"Jangan takut! Kepung pemuda iblis itu!" si 
pemimpin yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah 
pucat berteriak memberi semangat kepada anak 
buahnya. 
Belasan perampok kembali berlompatan maju ke 
depan. Di tangan mereka tergenggam pisau-pisau 
terbang yang siap dilemparkan! 
"Hiaaa...!" 
Dibarengi teriakan nyaring sebagai isyarat, salah 
seorang dari mereka segera melompat sambil 
mengibaskan tangan. Kemudian disusul oleh yang 
lain turut-turut 
Singgg! Singgg...! 
Puluhan batang pisau terbang sepanjang telapak 
tangan berdesingan mengancam Pendekar Naga 
Putih!

Panji yang belum sempat menarik napas lega, 
kembali menggerakkan tangan dan menariknya ke 
sisi pinggang. Dan disertai bentakan keras, kedua 
telapak tangannya didorong untuk menangkis 
puluhan pisau, terbang yang meluncur cepat ke 
arahnya. 
Wusss! 
Belasan pisau terbang yang dilepaskan tiga orang 
pertama berhasil dipukul runtuh. Namun sebelum 
pemuda itu sempat melancarkan pukulan balasan, 
belasan pisau terbang lain sudah berada di depan 
muka. 
Plak! Plak...! 
Trak! Trak...! 
Pisau terbang yang mengancam wajah berhasil 
dirontokkan dengan tepisan kedua tangannya. 
Sementara belasan pisau lain jatuh berpatahan 
ketika menyentuh tubuh Panji yang dikelilingi lapisan 
kabut bersinar putih keperakan. Beberapa pisau ada 
yang berhasil ditangkap, langsung dilempar kembali 
ke perampok dengan kecepatan menggiriskan! 
Empat kawanan perampok yang tadi melepaskan 
pisau terbang langsung terjungkal dan tewas seketika 
dengan leher tertancap pisau mereka sendiri. Tentu 
saja kejadian itu semakin membuat kawanan 
perampok yang lainnya gentar! 
Melihat anak buahnya menjadi gentar, empat 
orang pimpinan perampok segera melompat maju 
dan langsung mengurung Panji. 
"Huh! Rupanya kau makin sombong sehingga 
berani mencampuri urusan kami, Pendekar Naga 
Putih!" bentak pemimpin pertama yang berusia 
sekitar lima puluh tahun, geram. Tiba-tiba tangan 
orang itu berkelebat, mencabut sepasang trisula yang

terbuat dari baja putih. 
"Hm... membasmi kejahatan adalah urusanku, 
Kisanak. Itu memang sudah menjadi tugasku sebagai 
pendekar penegak keadilan!" sahut Panji tenang. 
"Keparat sombong! Mampuslah!" bentak pemimpin 
yang satunya lagi. Orang itu langsung melesat sambil 
menebaskan golok bergerigi yang berdesing tajam. 
Ketika golok bergerigi lawan hampir menembus 
tubuh Pendekar Naga Putih, kedua kakinya segera 
tarik mundur. Begitu senjata perampok lewat, tangan 
kanannya berkelebat mencengkeram leher lawan. 
Namun, Panji terpaksa cepat menarik tangannya 
karena ada saat yang bersamaan, dari arah samping 
kiri telah menyambar pedang salah seorang kawanan 
perampok. 
"Haiiit." 
Pendekar Naga Putih berteriak nyaring sambil 
melompat ke belakang. Dan ketika kembali ke tanah, 
telapak tangannya langsung didorongkan ke depan. 
Seketika serangkum angin berhawa dingin 
berhembus keras menyertai pukulan jarak jauh itu. 
Blarrr! 
"Iiih...!" 
Untunglah kedua penyerang itu sempat meng-
hindar dari pukulan maut tersebut. Kalau tidak, tubuh 
mereka pasti remuk akibat kedahsyatan pukulan 
yang dilancarkan Panji. Setelah melepas pukulan, 
Panji yang mendapat kesempatan meloloskan diri, 
langsung meninggalkan tempat itu. Pemuda berjubah 
putih sengaja berlari ke arah berlawanan dengan 
jalan yang diambil Ayuning dan Kuntara. Dengan jalan 
itu berharap Kuntara dan Ayuning dapat melepaskan 
dari kejaran para perampok. 
"Kejar...!" teriak keempat pimpinan perampok

kepada anak buahnya seraya melompat ke punggung 
kuda dan langsung melakukan pengejaran. 
Senja yang mulai remang-remang sangat meng-
untungkan Panji. Pendekar Naga Putih dengan 
mudah dapat menghindari kejaran para perampok 
dengan mengerahkan ilmu lari cepat 
*** 
Setelah lolos dari kejaran kawanan perampok, 
Panji segera mengambil jalan pintas menuju Desa 
Kertasari. Tubuh pemuda itu melesat cepat bagai tak 
menginjak tanah. Dia sengaja mengerahkan ilmu lari 
cepat agar dapat menyusul Ayuning dan Kuntara. 
Setibanya di mulut desa, kening Panji agak berkerut 
melihat api obor terang-benderang menyambut 
kedatangannya. 
"Hei! Itu Kakang Panji...!" seru sebuah suara merdu 
yang berasal dari mulut gadis cantik berpakaian biru 
muda. Gadis itu tidak lain adalah Ayuning. 
"Benar! Itu Saudara Panji!" seru Kuntara yang ber-
jalan di sisi gadis cantik itu. 
"Kuntara..., Ayuning...! Syukurlah kalian selamat!" 
seru Panji sambil mengayunkan langkah menghampiri 
kedua sahabatnya. Wajah mereka berseri-seri karena 
semua telah selamat. 
"Mari ikut bersama kami, Saudara Panji," ajak 
Kuntara sambil menyerahkan seekor kuda kepada 
Panji. Setelah berkata demikian, putra Kepala Desa 
Kertasari segera melompat ke punggung kuda yang 
telah tersedia di tempat itu. 
"Eh, mau ke mana kita, Kuntara...? Ayuning...?" 
tanya Panji yang masih belum mengerti maksud 
pemuda itu. Namun akhirnya pendekar perkasa itu

terpaksa melompat juga ke atas punggung kuda 
ketika melihat Kuntara dan Ayuning hanya tersenyum 
sambil menggebah kuda mereka. 
"Hendak ke mana kita?" tanya Panji lagi yang tak 
dapat menahan keheranannya. 
"Ke balai desa!" jawab Kuntara singkat. Tanpa 
berkata apa-apa lagi, Kuntara bergegas mempercepat 
lari kuda hingga mendahului kedua kawannya. 
Panji dan Ayuning pun ikut menggebah kuda 
mereka hingga dapat menyusul Kuntara. Meskipun 
sebenarnya merasa heran atas sikap kedua 
sahabatnya, tapi pemuda berjubah putih tidak 
bertanya karena keduanya seolah-olah sengaja 
menyembunyikan sesuatu. 
Tidak lama kemudian, mereka tiba di depan balai 
desa. Ketiganya terus memasuki halaman balai desa 
yang dijaga dua laki-laki gagah. 
Kuntara mengangguk kepada kedua penjaga yang 
menyambut kedatangan mereka dengan ramah. 
Sepertinya putra Kepala Desa Kertasari ini memang 
sudah mengenal kedua orang itu. 
"Eh, ke mana perginya begundal-begundal Patala?" 
pikir Panji heran ketika tidak melihat seorang pun 
perampok berseragam hitam yang tempo hari pernah 
mengeroyoknya di balai desa. Pendekar Naga Putih 
memperhatikan dua laki-laki gagah yang tadi 
berteguran dengan Kuntara. Dua penjaga berseragam 
baju putih dan celana hitam kembali mengangguk 
ramah. Di dada mereka tertera lambang burung elang 
membentangkan sayap. 
"Siapa penjaga itu, Kuntara? Sepertinya mereka 
bukan orang-orang Patala?!" tanya Panji kepada 
Kuntara setelah keduanya turun dari kuda dan masuk 
balai desa.


"Mereka saudara-saudara seperguruanku yang 
pernah kuceritakan kepadamu," jawab Kuntara 
seraya tersenyum. 
Sebelum pemuda berjubah putih sempat bertanya 
lebih jauh, dari ruang dalam balai desa muncul Ki 
Kalari didampingi laki-laki gagah berusia sekitar 
empat puluh tahun. Keduanya bergegas menyambut 
kedatangan Panji, Ayuning, dan Kuntara. 
"Selamat datang, Pendekar Naga Putih! Mari 
silakan masuk!" sambut Ki Kalari dan laki-laki gagah 
itu berbarengan sambil memberi jalan kepada ketiga 
orang itu. 
Meskipun masih diliputi rasa heran, Pendekar 
Naga Putih membalas juga senyum ramah kedua 
orang itu sambil terus memasuki ruang dalam balai 
desa. Pikiran Panji masih dipenuhi berbagai macan 
pertanyaan. 
***

TUJUH

"Demikianlah, Panji. Ketika aku dan Ayuning tiba di 
desa, ternyata segalanya telah dibereskan paman 
guru, dan saudara-saudara seperguruanku," Kuntara 
mengakhiri ceritanya sekaligus menjawab semua 
pertanyaan yang ada dalam benak pemuda berjubah 
putih. 
"O, jadi selagi Patala belum kembali, semua 
pengikutnya telah habis kalian basmi?" desah 
Pendekar Naga Putih seolah berkata kepada dirinya 
sendiri. 
"Ya! Karena aku tahu kalau anak keparat itu tidak 
akan kembali dalam waktu singkat. Paling tidak dia 
menginap dua atau tiga hari di tempat kediaman 
Setan Kepalan Besi, ayah kandungnya," ujar Ki 
Sentanu, paman guru Kuntara menerangkan. 
"Hm... bagaimana Ki Sentanu dapat mengenaliku? 
Padahal seingatku kita belum pernah bertemu," ucap 
Panji yang tak dapat menyembunyikan rasa pe-
nasaran karena Ki Sentanu telah tahu kalau dirinya 
adalah Pendekar Naga Putih. 
"Ha ha ha... memang benar kita belum pernah 
bertemu sebelumnya. Tapi bukan berarti aku belum 
pernah melihatmu! Ingatkah kau dengan orang 
bermuka tikus yang meminta pedangmu tempo hari? 
Nah, di situlah aku melihat bagaimana kau dapat 
merobohkan si muka tikus. Saat itu aku memang 
belum dapat mengenai siapa dirimu. Tapi pada saat 
engkau melingkarkan pedangmu di pinggang, aku 
segera sadar kalau kau adalah Pendekar Naga Putih 
yang selama ini telah mengguncangkan dunia

persilatan," jelas Ki Sentanu menghilangkan rasa 
penasaran di hati Panji. 
"Lalu bagaimana dengan ibu dan adikmu, 
Kuntara? Bagaimana kalau kepala perampok itu tahu 
Desa Kertasari telah kembali ke tangan Ki Kalari?" 
tanya Panji. Tapi mendadak ucapan pemuda ini mem-
buat orang-orang yang berkumpul di tempat itu 
menunduk cemas. "Ah, maafkan pertanyaanku tadi. 
Aku tidak bermaksud membuat kalian sedih. Tapi 
kupikir tidak ada salahnya kalau mulai dari sekarang 
kita sudah memikirkan keselamatan mereka." 
"Ah, tidak apa-apa, Saudara Panji. Justru hal ini lah 
yang ingin kami bicarakan denganmu," sahut Ki Kalari 
mulai angkat bicara. 
"Maksud Aki?" tanya Pendekar Naga Putih yang 
belum mengerti maksud pembicaraan Kepala Desa 
Kertasari itu. 
"Begini, Saudara Panji. Sebelum Patala kembali ke 
desa ini, kami bermaksud meminta kesediaanmu 
menolong istri dan anak perempuanku yang ditahan 
di perkampungan para perampok. Tentu saja kalau 
kau tidak keberatan," ujar Ki Kalari sambil menatap 
wajah pemuda berjubah putih. 
Panji menatap wajah orang tua itu sejenak. 
Permintaan Ki Kalari tidak langsung dijawab. Pemuda 
itu tidak bisa memutuskan langsung begitu saja 
mengingat tugas yang dibebankan kepadanya kali ini 
tidaklah mudah. 
"Baiklah, Ki. Akan kucoba. Tapi kuminta kesediaan 
Kuntara dan Ayuning untuk membantuku," akhirnya 
Panji bersedia menerima tugas membebaskan istri 
dan anak Kepala Desa Kertasari. 
"Aku siap!" sahut Kuntara mantap, tanpa keraguan 
sedikit pun.

"Aku juga bersedia!" Ayuning pun cepat menimpali. 
"Baiklah! Kalau begitu kita harus sudah berangkat 
sebelum fajar!" ujar Panji memutuskan kesepakatan 
itu. 
"Yah, kalau memang begitu, silakan kalian ber-
istirahat agar besok sudah segar kembali," ucap Ki 
Kalari yang segera bangkit dari kursinya. 
"Baiklah, kami permisi dulu!" sahut Panji mewakili 
Ayuning dan Kuntara yang sudah terlebih dahulu 
melangkah keluar dari balai desa. 
"Ayuning, ke mana gurumu? Mengapa kau tidak 
bersama beliau?" tanya Panji kepada Ayuning dalam 
perjalanan menuju kediaman Ki Kalari. 
"Guruku menyerahkan tugas itu kepadaku. 
Sedangkan beliau sendiri terus pulang ke per-
tapaannya," kata Ayuning. 
"Lalu, apakah kau sudah menemukan jejak 
gerombolan Patala," tanya Panji lagi. 
"Belum! Kakang sudah menemukannya?" Ayuning 
balik bertanya. 
"Juga belum." 
Kuntara yang tahu kalau Panji dan Ayuning telah 
saling mengenal sebelumnya tak ingin mencampuri 
urusan kedua sahabatnya. 
"Selamat beristirahat, Saudara Panji, Ayuning...," 
ujar Kuntara ketika tiba di kediaman kepala desa. 
Kuntara yang telah menunjukkan kamar untuk kedua 
sahabatnya, bergegas meninggalkan mereka dan 
masuk kamarnya sendiri. 
"Selamat malam...," jawab Panji dan Ayuning 
berbarengan. Kemudian, keduanya pun berpisah 
memasuki kamar masing-masing. 
Sang malam terus merayap ditingkahi suara 
nyanyian binatang malam yang semarak.

*** 
Malam hampir berganti pagi ketika terdengar 
kokok ayam jantan bersahut-sahutan menyambut 
daangnya sang fajar. Di bawah keremangan fajar, 
tampak tiga orang memacu kuda keluar dari Desa 
Kertasari. Mereka adalah Panji, Kuntara, dan Ayuning 
yang akan menunaikan tugas untuk menyelamatkan 
keluarga Ki Kalari dari cengkeraman kawanan 
perampok di bawah pimpinan Setan Kepalan Besi. 
Ketiga muda-mudi itu terus memacu kudanya 
menerobos udara yang masih dingin. Angin bersilir 
lembut seolah-olah ingin mengiringi kepergian tiga 
pendekar muda menunaikan tugasnya. 
Tidak lama kemudian, mereka mulai memasuki 
wilayah hutan kecil tempat perkampungan perampok. 
"Kuntara, kau tunggulah di sini! Aku dan Ayuning 
akan mencoba menyelinap ke dalam sarang 
perampok. Ingat! Jangan sekali-kali kau tinggalkan 
tempat ini sebelum aku dan Ayuning membawa ibu 
dan adikmu," pesan Panji setibanya di atas bukit 
dekat perkampungan perampok. Mereka sengaja 
memilih tempat yang agak tersembunyi dan jauh dari 
pengawasan perampok. 
"Baiklah, Saudara Panji. Apa pun yang terjadi aku 
akan menunggumu di sini! Hati-hatilah kalian!" jawab 
Kuntara sambil melompat dari punggung kudanya, 
menambatkan tali kekang binatang tunggangannya 
pada sebatang pohon. Begitu pula Panji dan Ayuning. 
Setelah menambatkan kudanya di pohon, keduanya 
menyelinap masuk ke perkampungan perampok. 
Kuntara mengawasi kepergian dua orang 
sahabatnya yang rela menghadapi maut demi 
keluarganya. Padahal dua orang itu baru dua hari

dikenalnya. Tapi mereka cepat sekali akrab, seperti 
telah saling mengenal bertahun-tahun. 
"Ah, mereka benar-benar sahabat terbaik yang 
pernah kukenal. Mereka rela mempertaruhkan nyawa 
untuk kepentingan orang lain. Hm... keduanya benar-
benar pendekar sejati yang selalu membela 
kebenaran tanpa pamrih. Sungguh bahagia aku dapat 
menjadi sahabat orang-orang berjiwa pendekar 
seperti mereka," gumam Kuntara yang merasa sangat 
beruntung dapat berkenalan dengan Panji dan 
Ayuning. 
Sebentar saja, kedua pendekar muda itu telah 
lenyap dari pandangan Kuntara. Mereka bergerak 
cepat, menyelinap di antara bebatuan dan pe-
pohonan. Tak lama kemudian akhirnya keduanya tiba 
di dekat perkampungan perampok. 
Panji memberi isyarat menunjuk rumah besar dan 
paling megah di antara rumah-rumah lain yang 
diduganya sebagai tempat tinggal kepala perampok. 
Tubuh pemuda itu pun melayang ke atas atap salah 
satu rumah perampok yang terletak agak ke pinggir. 
Sedangkan Ayuning mengikuti dari belakang tanpa 
banyak cakap. Wajah gadis berpakaian biru muda itu 
teriihat tegang karena sadar kalau kini mereka telah 
memasuki sarang harimau. Sekali saja membuat 
kesalahan, bukan tidak mustahil nyawa mereka akan 
melayang. 
Setelah menyusuri beberapa buah rumah, akhirnya 
mereka tiba di bagian belakang bangunan yang paling 
besar dan megah. Kedua pendekar muda itu 
melompati tembok setinggi empat meter dan 
melayang turun di taman belakang. Setelah menjejak 
tanah, keduanya bergegas menyelinap di antara 
pepohonan yang tumbuh di taman itu.

"Kau tunggu di sini sebentar, Ayuning. Aku akan 
menyergap salah seorang penjaga untuk mencari 
keterangan," bisik Panji ke telinga Ayuning. Selesai 
berkata demikian, Pendekar Naga Putih bergegas 
mendekati dua penjaga yang tampak terkantuk-
kantuk. 
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Panji 
berhasil melumpuhkan kedua penjaga yang tak 
sempat berteriak. Salah seorang penjaga yang 
berhasil dilumpuhkan, diseret ke tempat Ayuning 
menunggu, sedangkan penjaga yang pingsan 
disembunyikan di semak-semak. 
"Kalau kau masih ingin hidup, cepat katakan di 
mana tempat istri dan anak Kepala Desa Kertasari 
ditahan!" ancam Panji setelah membebaskan totokan 
pada penjaga itu. 
Dengan terbata-bata, penjaga itu akhirnya 
memberi tahu tempat tahanan keluarga Ki Kalari. 
Selesai memberi keterangan, tangan Panji kembali 
bergerak cepat menotok lumpuh orang itu. Tindakan 
selanjutnya, Panji dan Ayuning melesat menuju 
tempat tawanan yang ditunjukkan penjaga tadi. 
Keduanya terus menyelinap, memeriksa ruang demi 
ruang sampai akhirnya terpaksa berhenti sejenak 
ketika mendengar suara para penjaga yang tengah 
asyik bermain kartu. Panji memberi isyarat kepada 
Ayuning menyergap keempat penjaga. Sesaat 
kemudian mereka melesat berbarengan. Dan.... 
Desss! Desss! 
"Hughk...!" 
"Heghk...!" 
Dalam sekejap tubuh empat penjaga langsung 
rebah tidak berkutik lagi. Cepat Pendekar Naga Putih 
menyambar kunci yang tergantung di dinding ruang

jaga. Lalu dibukanya salah satu kamar tahanan di 
mana istri dan anak gadis Ki Kalari mendekam. 
Kedua pendekar muda itu terus bergerak keluar 
membawa wanita setengah baya dan gadis remaja 
berusia sekitar lima belas tahun. 
"Hei, siapa itu?" tiba-tiba muncul penjaga malam 
yang saat itu memasuki ruang tahanan. 
Sejenak Panji terkejut mendengar teguran itu. Tapi 
tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berjubah 
putih itu langsung mencelat dan melontarkan dua 
serangan mematikan sekaligus. 
Bukkk! Desss! 
"Aaargh...!" 
Kedua penjaga menjerit ngeri ketika telapak 
tangan Panji hinggap di leher mereka berbarengan. 
Keduanya langsung roboh bersimbah darah segar 
yang keluar dari mulut mereka. Keduanya tewas 
dengan tulang leher patah! 
Sebelum tewas, keduanya sempat mengeluarkan 
teriakan yang didengar empat penjaga lain yang saat 
itu sedang melintas di depan ruang tahanan. 
"Eh, seperti teriakan orang kesakitan?" ucap salah 
seorang dari empat orang penjaga. 
"Man kita periksa!" ajak yang satunya lagi seraya 
melangkah cepat menuju pintu ruang tahanan. 
Namun begitu tangannya menyentuh daun pintu, 
mendadak pintu terbuka dan ada sebuah tangan kuat 
yang langsung menarik penjaga itu ke dalam. 
"Hei! Siapa itu?" seru salah seorang penjaga yang 
temannya ditarik ke dalam. "Cepat bunyikan 
kentongan tanda bahaya!" 
Saat itu Panji dan Ayuning berusaha menerobos 
keluar sambil membawa kabur dua orang wanita yang 
berhasil mereka bebaskan. Tangan pemuda berjubah

putih itu langsung bergerak melepaskan tamparan 
maut ke arah penjaga yang tadi berteriak. 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Penjaga itu kontan terpelanting tewas. Tengkorak 
kepalanya retak akibat tamparan tangan Panji yang 
sudah dialiri tenaga dalam. Sedangkan dua penjaga 
lain sempat berlari untuk memukul kentongan tanda 
bahaya. 
Tidak lama kemudian, di perkampungan perampok 
terdengar suara kentongan bersahut-sahutan hingga 
membuat suasana dinihari yang hening menjadi 
gaduh. 
Panji dan Ayuning segera melompati pagar tembok 
tempat mereka masuk tadi bersama dua orang 
bawaannya. Sesaat kemudian, tubuh keduanya telah 
mendarat empuk di luar gedung besar tempat 
kediaman kepala perampok. 
Baru saja beberapa langkah mereka berlari, di 
depan mereka telah menghadang puluhan anggota 
perampok. 
"Ayuning! Selamatkan dua orang ini! Aku akan 
mencerai-beraikan kawanan perampok. Dan selagi 
aku membuat keributan, cepat kau bawa mereka ke 
tempat Kuntara menunggu! Dan langsung ke desa! 
Jangan pikirkan aku!" seru Panji kepada Ayuning yang 
hanya dapat menganggukkan kepala dengan wajah 
pucat! 
"Heaaat..!" 
Disertai pekikan nyaring, Pendekar Naga Putih 
langsung menggebrak barisan para perampok yang 
menghadang. Angin dingin yang menusuk tulang 
segera menebar dari tubuh pemuda itu. Seketika 
selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti

sekujur tubuhnya. 
Blarrr! 
Belasan perampok yang mencoba mengurung 
berpentalan dihantam pukulan keras Panji. Seketika 
debu mengepul tinggi hingga pandangan di sekitar 
tempat itu menjadi terhalang. 
"Ayuning, lari...!" teriak Panji sambil mem-
persiapkan pukulan susulan. Di saat ketegangan 
memuncak dalam diri Pendekar Naga Putih, men-
dadak tenaga sakti inti gerhana bulan bergolak 
dahsyat menembus aliran darah di sekujur tubuh 
Panji. 
Lapisan kabut bersinar putih keperakan kian 
melebar, hampir setengah tombak dari tubuh pemuda 
perkasa itu. Angin dingin pun semakin kuat menderu-
deru di sekitar tempat itu. 
Bersamaan dengan kepulan debu yang meng-
halangi penglihatan, tubuh Ayuning berkelebat cepat 
meninggalkan para perampok. Meskipun membawa 
dua orang di bahunya pendekar cantik itu sama sekali 
tidak merasa terganggu gerakannya. 
Murid tunggal Dewa Tanpa Bayangan itu benar-
benar memiliki ilmu lari cepat yang sangat tinggi. 
Seperti ilmu yang dimiliki gurunya yang terkenal 
karena kecepatan geraknya, maka gadis itu pun 
mewarisi ilmu lari cepat yang luar biasa. Jangankan 
para perampok, Panji pun rasanya sulit untuk 
menandingi kecepatan lari Ayuning kalau dalam 
keadaan biasa. 
Pada saat Ayuning bersama dua orang bawaannya 
melesat meninggalkan arena pertarungan, Pendekar 
Naga Putih kembali melontarkan pukulan 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan' yang menggiriskan! 
Wusss!

Blarrr! 
Kembali belasan perampok berpentalan tewas 
seketika dengan tubuh membiru. Seluruh permukaan 
kulit mereka dirasuki hawa dingin yang mampu 
memecahkan seluruh pembuluh darah. 
"Mundur...! Jauhi pemuda berilmu setan itu!" teriak 
salah seorang pimpinan gerombolan yang terkejut 
melihat kedahsyatan tenaga dalam pemuda berjubah 
putih. 
Kawanan para perampok berlompatan mundur 
dengan wajah pucat dan gigi-gigi bergemeletukan 
menahan hawa dingin yang menyebar di sekitar 
tempat itu. 
Sesaat kemudian, puluhan perampok lain mulai 
berdatangan. Panji yang belum merasa yakin kalau 
Ayuning belum terlalu jauh berlari, tidak segera 
meninggalkan tempat itu. Pemuda perkasa itu 
bertekad untuk menghalau kawanan para perampok 
sampai benar-benar yakin kalau Ayuning dan Kuntara 
telah selamat. 
"Gila! Perbuatan siapa ini!" bentak seorang laki-laki 
tinggi besar setibanya di tempat pertarungan. 
Sepasang bola matanya yang besar dan menakutkan 
membelalak, seolah-olah tak percaya dengan apa 
yang dilihatnya. 
"Pemuda gila itulah yang telah membunuh mereka, 
Ketua!" lapor salah seorang pimpinan perampok yang 
bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat. 
"Mengapa kalian mundur! Bunuh pemuda itu!" 
perintah ketua perampok yang berjuluk Setan 
Kepalan Besi murka. Wajahnya yang hitam tampak 
semakin gelap menahan kemarahan yang 
menggelegak. 
Saat Panji benar-benar dalam bahaya, mendadak

tenaga liar yang mengendap di dalam tubuhnya 
bergolak semakin dahsyat. Perlahan-lahan 
kesadarannya mulai hilang, sehingga dia tidak dapat 
lagi membedakan mana kawan dan mana lawan. 
Kalau saja saat itu Ayuning masih berada di dekatnya, 
bukan tidak mungkin Panji akan menyerangnya. 
"Yeaaat..!" 
Empat orang pimpinan perampok berteriak-teriak 
sambil mengayunkan senjata menyerbu Pendekar 
Naga Putih. Senjata-senjata mereka berdesingan 
hingga menimbulkan angin berkesiutan yang 
memekakkan telinga. Pertanda kalau kepandaian 
mereka memang tinggi dan tidak bisa dibuat main-
main. 
Panji yang sudah berubah seperti binatang terluka, 
mengamuk membabi buta! Pemuda berjubah putih 
itu tidak peduli lagi siapa yang diserangnya. Setiap 
perampok datang menyerang, disikat tanpa ampun! 
Yang dipikirkan saat itu hanyalah bagaimana 
mengeluarkan tenaga liar yang bergolak dahsyat 
sebanyak-banyaknya. Maka tidak mengherankan 
kalau pukulan yang dilontarkannya selalu berakibat 
maut bagi lawan-lawannya. 
"Kreaaa...!" 
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan jeritan parau 
yang mengerikan! Bumi di sekitar ajang pertarungan 
bergetar hebat bagai diguncang gempa! Saat itu juga 
kedua tangannya didorong ke segala arah hingga 
menimbulkan suara mencicit tajam membeset udara 
pagi. Hembusan angin dingin menderu keras setiap 
kali tangannya didorongkan. 
Belasan perampok bergulingan seketika men-
dengar raungan Pendekar Naga Putih itu. Dari telinga, 
mulut, dan hidung mereka mengalir darah segar!

Belasan orang itu tewas karena tak sanggup 
menahan raungan yang luar biasa dahsyatnya! 
Bahkan beberapa orang yang tingkat kepandaiannya 
cukup tinggi pun mengeluh sambil mendekap dada 
mereka yang terguncang hebat. 
Yang lebih mengerikan lagi adalah nasib yang 
dialami empat orang pimpinan perampok yang pada 
saat itu menyerang Panji. Tatkala tubuh mereka 
melesat di udara, mendadak keempatnya tersentak 
balik bagai dilempar sebuah kekuatan raksasa yang 
tak tampak. 
Desss! Desss! Desss! 
"Aaargh...!" 
Empat pimpinan perampok itu meraung sekuat-
kuatnya merasakan tubuh mereka bagai dicerai-
beraikan binatang buas. Seketika darah membanjir di 
sekitar tempat pertarungan. Tak dapat disangkal lagi, 
keempat pimpinan perampok tewas seketika dengan 
tubuh hampir tidak berbentuk lagi! 
Pertarungan kejam itu makin menggemparkan 
kawanan perampok. Puluhan perampok termasuk 
ketuanya, bergegas melompat mundur dengan wajah 
pucat bagai tak dialiri darah. Nyali mereka hampir 
melayang menyaksikan kekuatan Pendekar Naga 
Putih yang hanya dapat mereka dengar dalam 
dongeng. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata 
kepala sendiri, mereka mungkin tidak akan percaya. 
"Gila! Mustahil! Pemuda iblis!" teriak Setan 
Kepalan Besi tak mempercayai apa yang disaksikan-
nya. Hatinya benar-benar merasa gentar dan terkejut. 
Hati kecil Setan Kepalan Besi sebenarnya gentar 
bukan kepalang. Namun sebagai seorang ketua yang 
disegani dan ditakuti, akhirnya diberanikan juga 
mengeluarkan senjata andalannya. Senjata ber

bentuk rantai baja dengan bola berduri pada 
ujungnya itu diputar-putar di atas kepala hingga 
menimbulkan angin keras yang menderu tajam. 
Saat itu Panji berada dalam keadaan yang sangat 
mengerikan. Wajahnya seperti bukan wajah manusia 
lagi. Sepasang matanya menyipit karena seluruh 
wajahnya mengembang bagai sebuah balon udara. 
Rupanya 'Inti Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang 
mengendap dalam tubuh pemuda itu bergejolak 
kembali. Tapi di saat dirinya benar-benar berada 
dalam kesulitan seperti itu, kehadiran tenaga liar 
justru sangat menguntungkan. 
''Heaaat..!" 
Dibarengi teriakan nyaring, Setan Kepalan Besi 
melontarkan senjata mautnya ke arah Panji. Kepala 
pemuda itu pastilah remuk apabila terhantaman bola 
berduri yang dimainkan dengan pengerahan tenaga 
dalam dahsyat. 
Panji yang saat itu hanya mengandalkan nalurinya 
saja, mengangkat tangan kanan memapak senjata 
lawan. Meskipun gerakan tangannya terlihat sem-
barangan, tapi sambaran angin yang ditimbulkan 
sangat menggiriskan! 
Planggg! 
"Aaah...!" 
Terdengar suara berdentang nyaring ketika telapak 
tangan Pendekar Naga Putih menampar bola berduri 
yang mengancam kepalanya. Bagaikan ditolakkan 
sebuah tenaga yang dahsyat, bola berduri berbalik 
mengancam majikannya sendiri. Serangan balik yang 
tiba-tiba itu membuat Setan Kepalan Besi menjerit 
tertahan. 
Bummm! 
Debu mengepul tinggi ketika bola baja berduri

jatuh berdebum di tanah. Untunglah Setan Kepalan 
Besi sempat menghindar. Kalau tidak, mungkin saat 
itu tubuhnya sudah hancur tak berbentuk lagi. 
Ketua perampok itu mengusap keringat dingin 
yang membasahi keningnya. 
"Gila! Bagaimana cara melumpuhkan pemuda yang 
memiliki kepandaian tak terukur ini? Hampir tidak 
mungkin rasanya kalau di kolong jagat ini ada tenaga 
dalam yang demikian hebat! Entah dari mana 
pemuda ini berasal?" gumam Setan Kepalan Besi tak 
habis mengerti. 
"Yeaaat...!" 
Bagaikan harimau lapar, tubuh Pendekar Naga 
Putih meluncur disertai teriakan yang menggetarkan 
seluruh kawasan hutan. Kedua tangannya didorong 
bergantian ke arah perampok-perampok yang sudah 
ciut nyalinya. 
Blarrr...! Glarrr...! 
"Aaa...!" 
Kembali belasan kawanan perampok yang tak 
sempat menghindar, berpentalan tewas disikat 
pukulan Panji. Darah pun semakin membanjir, mem-
basahi arena pertempuran. 
Sadar kalau pemuda itu tak mungkin dapat 
dilawan, Setan Kepalan Besi segera mengambil 
langkah seribu. Tanpa malu-malu lagi ketua rampok 
yang terkenal kejam itu kabur meninggalkan arena 
pertempuran. Belum jauh kaki kepala rampok berlari, 
tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat ke 
arahnya. 
Sesaat kemudian, tiba-tiba tengkuknya diceng-
keram bayangan putih yang tidak lain adalah 
Pendekar Naga Putih. 
"Ampun...! Ampunkan saya...! Jangan bunuh

saya...!" rintih Setan Kepalan Besi tak ubahnya seperti 
seorang anak kecil. Ketua perampok yang tadinya 
sangat ditakuti itu kini menangis menggerung-gerung 
dalam cengkeraman seorang pemuda seusia 
anaknya. 
Panji yang saat itu sudah tak berbeda dengan 
binatang buas, sama sekali tidak mempedulikan 
rengekan Setan Kepalan Besi. Jari-jari tangannya 
makin lama makin mencengkeram keras. Dan.... 
Krekkk! 
"Hekh...!" 
Terdengar bunyi tulang berpatahan disertai suara 
mengorok mirip ayam disembelih. Sesaat tubuh Setan 
Kepalan Besi menggelepar-gelepar! Tak lama 
kemudian, kepala rampok itu pun diam tak bergerak-
gerak lagi. Tewas! 
Melihat ketua mereka telah tewas, kawanan 
perampok yang hanya tersisa beberapa puluh orang 
itu pun langsung lari terbirit-birit tak tentu arah. 
Sementara itu Panji masih terus melepaskan 
pukulan-pukulan maut. Angin pukulannya yang maha 
dahsyat menyambar-nyambar ke segala arah. Tidak 
sedikit pepohonan dan beberapa rumah di sekitarnya 
yang ambruk akibat terhantam pukulan nyasar. 
Setelah puas mengumbar tenaganya, Pendekar 
Naga Putih berlari tertatih-tatih karena lelah yang 
amat sangat mulai mendera tubuhnya. 
Di kala itu cahaya kemerahan mulai tampak di kaki 
langit sebelah Timur. Pagi mulai menampak, 
menggantikan sang malam yang harus menjalankan 
tugasnya di belahan bumi lain. 
***

DELAPAN

"Kakang Panji...!" 
"Saudara Panji...!" 
Ayuning dan Kuntara berlari menyambut Panji 
dengan wajah cemas. Keduanya sangat terkejut 
melihat Panji melangkah tertatih-tatih menuju Desa 
Kertasari. Sekujur tubuh pemuda itu kotor oleh 
bercak-bercak darah yang hampir mengering. 
Serentak kedua muda-muda itu menyambar tubuh 
Panji yang hampir ambruk. Ayuning hampir menitik-
kan air mata karena mengira darah yang mengotori 
seluruh tubuh Panji adalah luka-lukanya sendiri. 
Akhirnya gadis berpakaian biru muda itu menghela 
napas lega ketika tahu kalau sahabatnya tidak 
terluka. Ternyata darah yang melekat di baju 
Pendekar Naga Putih adalah darah musuh. 
Demikian pula Kuntara. Hatinya diliputi keharuan 
yang amat dalam. Betapa tidak? Panji adalah sahabat 
yang belum lama dikenalnya. Dan pemuda itu rela 
mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain 
walaupun bukan sanak ataupun keluarganya sendiri. 
Hampir saja putra Kepala Desa Kertasari tak dapat 
menahan keharuan hatinya melihat pemuda itu 
datang dalam keadaan yang amat mengerikan. Hati 
Kuntara baru agak tenang ketika tahu kalau darah 
yang membasahi seluruh pakaian dan wajah 
sahabatnya ternyata bukan berasal dari lukanya. 
Tubuh pemuda itu sama sekali tidak terluka. Diam-
diam kekaguman di hati Kuntara semakin menebal 
melihat keperkasaan sahabatnya.

"Kakang...!" Ayuning berseru kaget ketika 
menyambar tubuh Panji yang langsung terkulai 
pingsan! 
"Saudara Panji...!" Kuntara pun berteriak cemas 
ketika memegang lengan sahabatnya yang langsung 
terkulai tak sadarkan diri. 
"Hm... benar-benar pemuda luar biasa! Rupanya 
dia telah berjuang keras menyelamatkan dirinya dari 
kawanan perampok. Untunglah dia tidak apa-apa! 
Hanya saja tubuhnya terlalu lelah," ujar paman guru 
Kuntara yang sudah berada di dekat mereka. Tentu 
saja saja ucapan orang tua itu membuat hati Kuntara 
dan Ayuning menjadi lega. 
Mendengar ucapan Ki Sentanu, Kuntara bergegas 
membawa sahabatnya ke rumah penduduk terdekat. 
Lalu dibaringkannya Panji di atas balai-balai bambu. 
Hati-hati sekali Kuntara merebahkan tubuh sahabat-
nya di atas pembaringan. Seolah-olah takut kalau 
penyelamat desanya itu terjaga apabila tidak berhati-
hati meletakkannya. 
Tanpa diperintah, Ayuning bergegas menyediakan 
air hangat untuk Panji. Tak lama kemudian, gadis 
cantik itu sudah kembali membawa air hangat dalam 
baskom dan sehelai kain putih bersih. Dengan penuh 
kesabaran, dibersihkannya seluruh darah kering yang 
melekat di seluruh tubuh pemuda itu. 
"Berapa lama kira-kira dia dalam keadaan pingsan 
seperti itu, Paman Guru?" tanya Kuntara kepada Ki 
Sentanu setelah meninggalkan sahabatnya yang 
tengah diurus Ayuning. Saat itu Kuntara dan paman 
gurunya sedang duduk di atas balai-balai bambu di 
luar rumah. 
"Entahlah? Mungkin bisa sampai setengah hari 
atau bahkan lebih. Tapi kau tidak perlu khawatir,

Kuntara. Pendekar Naga Putih memiliki daya tahan 
tubuh yang kuat dan terlatih baik," sahut paman 
gurunya dengan wajah berseri. 
"Syukurlah. Tadinya aku sangat khawatir ketika 
tubuhnya terkulai begitu kusentuh. Rupanya Saudara 
Panji telah mengalami suatu kejadian yang hebat! 
Tapi, aku tidak dapat membayangkan bagaimana dia 
dapat menyelamatkan diri dari kepungan kawanan 
perampok yang amat banyak jumlahnya," desah 
Kuntara yang rupanya masih belum mengerti bagai-
mana sahabatnya dapat meloloskan diri dari 
kepungan para perampok yang terkenal ganas dan 
ber-jumlah banyak. 
"Nanti saja kau tanyakan padanya," ujar paman 
gurunya tersenyum. "Kuntara, kau dapat belajar 
banyak dari pemuda perkasa itu. Cobalah meminta 
beberapa petunjuk setelah dia siuman nanti. Jangan 
kau ragu-ragu! Siapa tahu Pendekar Naga Putih itu 
bersedia memberikan petunjuk padamu. Kurasa hal 
itu akan sangat berguna bagi kemajuan ilmumu." 
"Nanti akan kucoba, Paman Guru. Ah, sebaiknya 
aku melaporkan hal ini dulu kepada ayah," ujar 
Kuntara bergegas bangkit dari duduknya. Setelah 
berpamitan kepada paman gurunya, Kuntara segera 
menuju kediaman Kepala Desa Kertasari. 
*** 
Hari telah mulai gelap ketika Panji mulai membuka 
matanya. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya 
karena cahaya pelita yang terasa menyilaukan. 
Samar-samar dilihatnya seraut wajah cantik tengah 
duduk di sisi pembaringan. 
"Adik Kenanga... kaukah itu...?" desah Panji sambil

mengulurkan tangan kanan berniat menyentuh wajah 
gadis itu. 
Untuk beberapa saat lamanya, Ayuning hanya 
terpaku mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. 
Namun, kejadian itu hanya berlangsung sesaat. 
Karena sekejap kemudian, wajah gadis itu sudah 
kembali seperti biasa. Lalu tangannya diulurkan 
menyambut tangan pemuda yang hendak mengusap 
wajahnya. 
"Ah, Kakang, rupanya kau masih mengigau? Lihat 
baik-baik, apakah kau masih mengenaliku?" tanya 
Ayuning lembut sambil menggenggam jemari tangan 
pemuda yang dikaguminya. 
"Ayuning!" seru Panji kaget ketika pandangannya 
sudah semakin jelas. Mendadak tubuhnya tersentak 
bagai disengat kalajengking sambil menarik 
tangannya dari genggaman Ayuning. 
Tentu saja gerakan Panji yang tiba-tiba membuat 
Ayuning terkejut. Gadis cantik itu cepat meloncat 
beberapa langkah hingga tubuhnya hampir merapat 
pada dinding bilik kamar. 
"Huh! Kau membuatu terkejut, Kakang!" ucap 
gadis itu setelah menyadari kalau pemuda itu hanya 
mengalami rasa keterkejutan saja. 
"Ah, maafkan... maafkan aku, Ayuning. Aku tidak 
bermaksud mengejutkanmu. Maafkan aku...," jawab 
Panji terbata-bata. 
"Tidak apa-apa, Kakang. Kau tadi menyebut nama 
seorang gadis. Kalau tidak salah namanya… mmm... 
Kenanga. Boleh aku tahu siapa dia, Kang? 
Kekasihmukah?" tanya gadis itu tanpa malu-malu. 
Memang sudah menjadi sifat gadis itulah yang selalu 
terbuka dalam membicarakan segala sesuatu tanpa 
tedeng aling-aling.

"Di mana, Kuntara...?" tanya Panji seraya berusaha 
bangkit dari pembaringan karena kesehatannya 
dirasakan telah pulih seperti semula. Sesaat tangan 
dan kakinya digerak-gerakkan seolah-olah ingin 
melemaskan urat-urat tubuhnya yang kaku akibat 
tertidur hampir setengah harian lebih. 
"Entahlah? Mungkin dia berada di luar," jawab 
gadis itu datar. Ayuning yang menyadari kalau 
pemuda ini tidak ingin rahasianya diketahui orang 
lain, tidak berusaha mendesak. Dan gadis ini pun 
tahu kalau itu bukan urusannya. 
"Mari kita menemuinya, Kang!" ajak Ayuning sambil 
melangkah keluar mendahului Panji. 
"Ah, Saudara Panji, kau sudah sehat?" sapa 
Kuntara sambil bangkit dari duduknya, ketika melihat 
kedatangan sahabatnya yang diiringi Ayuning. 
"Terima kasih!" jawab Panji tersenyum. 
"Mmm... bagaimana kalau sekarang kita meng-
hadap ayahku? Kau tidak keberatan bukan?" ajak 
Kuntara setelah berbasa-basi sejenak. 
"Baiklah, ayo!" sahut pemuda berjubah putih 
sambil memandang Ayuning. "Ayo, Ayuning." 
Beberapa saat kemudian, ketiga pendekar muda 
itu terlihat menuju rumah kepala desa dengan 
menunggang kuda. 
Dalam waktu singkat, ketiganya tiba di depan 
kediaman Ki Kalari. Namun belum lagi memasuki 
halaman rumah kepala desa, tiba-tiba terdengar 
suara tawa menggelegar yang disusul dengan ber-
kelebatnya dua sosok tubuh ke arah ketiga pendekar 
muda itu. 
Panji, Kuntara, dan Ayuning terkejut mendengar 
tawa yang mengandung tenaga dalam yang amat 
kuat. Bahkan Kuntara sampai terjatuh dari punggung

kudanya. Memang hanya pemuda itulah yang tenaga 
dalamnya paling rendah di antara mereka bertiga. 
Melihat Kuntara terjatuh, cepat Panji melompat 
dari punggung kudanya. Gerakan pemuda itu pun 
diikuti Ayuning yang segera melompat dari punggung 
tunggangannya. 
"Hm! Siapa di antara kalian yang bernama 
Pendekar Naga Putih?" tanya seorang laki-laki tinggi 
yang hampir tidak terlihat daging di tubuhnya. Wajah 
pucat dan kaku itu mirip wajah mayat hingga 
penampilannya amat menyeramkan. 
"Tidak usah banyak tanya lagi, Kakek Guru! Aku 
yakin pemuda itulah yang telah membunuh ayah!" 
ujar seorang laki-laki muda yang datang bersama 
kakek itu seraya menunjuk ke arah Panji. Pemuda itu 
tidak lain adalah Patala. Dan pada waktu Pendekar 
Naga Putih tengah menyelamatkan ibu dan adik 
Kuntara, Patala tidak berada di perkampungan. Putra 
kepala perampok itu tengah mengunjungi kakek 
gurunya untuk meminta ilmu silat yang lebih tinggi 
dengan maksud mengalahkan Panji. 
"Hm..., Anak Muda! Benarkah kau yang telah 
membunuh Setan Kepalan Besi?" tanya kakek itu lagi 
karena masih belum percaya kalau muridnya bisa 
dikalahkan oleh pemuda yang terlihat halus dan 
sopan itu. 
"Entalah, Kakek Tua? Aku tidak tahu?" jawab Panji 
sungguh-sungguh. Karena memang sesungguhnya 
tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya saat 
dikeroyok oleh hampir dua ratus anggota perampok. 
Hal itu disebabkan kesadarannya sudah tidak bekerja 
lagi ketika tenaga liar mulai menguasai pikirannya. 
"Keparat kau pemuda usilan! Semua anak buah 
ayahku mengatakan kalau pembunuh ayahku adalah

pemuda berjubah putih yang dijuluki Pendekar Naga 
Putih! Hm.... Rupanya kau seorang pengecut sehingga 
tidak berani mengakui perbuatanmu!" ejek Patala. 
"Hm... dengar Anak Muda! Aku benar-benar tidak 
mengetahui apakah telah membunuh Setan Kepalan 
Besi ataupun setan-setan lainnya! Yang membunuh 
orang-orang di perkampungan perampok itu memang 
akulah orangnya! Aku tidak menyangkal!" sahut Panji 
dingin. Meskipun hatinya terbakar ketika dimaki 
pengecut, namun pemuda itu masih dapat menahan 
diri. 
"Nah, itu baru namanya pendekar!" sahut Patala 
masih penuh ejekan. "Ayo, Kakek Guru, tunggu apa 
lagi? Bunuh saja pemuda keparat itu!" 
"Hm... meskipun aku belum percaya, tapi 
bersiaplah Anak Muda! Kau tidak akan rugi bila tewas 
di tangan Iblis Sembilan Nyawa!" ujar kakek itu parau. 
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu terulur 
menjambret leher baju Panji. 
"Ayuning, Kuntara, mundurlah! Kelihatannya kakek 
ini bukan orang sembarangan. Biar kucoba me-
nahannya," seru Pendekar Naga Putih sambil 
mengibaskan tangan sebagai isyarat agar kedua 
orang sahabatnya menjauhi tempat itu. 
Kuntara yang menyadari kalau keluarganya masih 
berada dalam bahaya, segera menyingkir. Pemuda itu 
segera berlari menuju ke dalam bersama Ayuning. 
Dan begitu sampai di ruang depan dilihatnya 
beberapa penjaga tergolek tak bernyawa. Mata kedua 
muda-mudi itu meneliti mayat-mayat yang tergeletak 
di lantai, tapi yang mereka cari tidak terlihat. 
Kuntara yang hatinya semakin bergolak, segera 
memburu ke ruang tengah. Di sanalah baru terlihat 
ibu, adik, dan ayahnya yang terikat pada kursi-kursi.

Seketika hati Kuntara menjadi lega melihat keadaan 
keluarganya selamat. Dia pun segera membebaskan 
ikatan yang membelenggu tubuh keluarganya. 
Patala rupanya tidak menyadari kalau Kuntara dan 
Ayuning masuk ke dalam rumah. Pemuda berperangai 
kasar itu terpesona menyaksikan kehebatan 
Pendekar Naga Putih menghadapi serangan-serangan 
yang dilontarkan kakek gurunya yang berjuluk Iblis 
Sembilan Nyawa. 
Wuttt! 
Cengkeraman tangan Iblis Sembilan Nyawa luput 
ketika Panji menggeser kedua kakinya ke belakang. 
Namun, pemuda berjubah putih itu sempat terkejut 
melihat tangan kakek itu berputar dan tahu-tahu 
kembali mengincar leher bajunya. 
Panji kembali menggeser tubuhnya lebih menjauh. 
Tapi anehnya, tangan laki-laki kurus itu masih tetap 
mengejar, hingga membuat pemuda itu semakin 
terkejut dan penasaran. Bagaimana tidak? Tangan itu 
selalu mengejar ke mana saja dia menghindar. 
Akhirnya Panji yang sudah kehabisan akal terpaksa 
menggerakkan tangan kanannya untuk menangkis 
cengkeraman itu. 
Plak! 
"Eh!?" 
Terdengar suara benturan keras ketika kedua 
tangan yang terisi tenaga sakti itu saling bertemu di 
udara. Tangan Iblis Sembilan Nyawa langsung mem-
balik disertai jeritan keheranan. 
"Gila! Mustahil tenaga dalam bocah ini demikian 
tingginya?" gumam kakek renta itu hampir tak 
percaya dengan apa yang dirasakannya. Padahal 
selama ini setiap tokoh yang pernah berhadapan 
dengannya akan jatuh terguling setiap kali beradu

tenaga. Maka wajar lah kalau kakek itu menjadi 
heran ketika merasakan lengannya kesemutan akibat 
benturan tadi. 
"He he he... bersiaplah, Anak Muda! Kali ini aku 
akan lebih bersungguh-sungguh!" ucap Iblis Sembilan 
Nyawa memperingatkan Panji. Setelah berkata 
demikian, tubuh kakek tua itu langsung mencelat ke 
atas sambil mengirimkan serangan-serangan yang 
ganas dan mematikan. 
Werrr! Werrr! 
Desiran angin tajam berkesiutan mengiringi setiap 
sambaran kedua tangan kakek itu. Debu-debu dan 
batu kerikil beterbangan tersambar angin pukulan 
Iblis Sembilan Nyawa yang benar-benar menggiriskan. 
Dan.... 
Desss! 
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu telapak 
tangan guru Setan Kepalan Besi itu telah mengenai 
dada Panji. Tapi akibatnya tidak seperti yang diharap-
kan. Bukan tubuh Panji yang terpental, malah tubuh 
orang tua itulah yang jungkir balik beberapa tombak 
ke belakang akibat daya tolak tenaga liar yang 
mengeram dalam tubuhnya. Memang, setiap kali 
terkena pukulan, dengan sendirinya tenaga liar akan 
menyebar melindungi tubuhnya. 
"Keparat! Ilmu macam apa yang digunakan 
pemuda setan itu!" teriak Iblis Sembilan Nyawa 
memaki-maki. Dari bibirnya meleleh cairan berwarna 
merah! Rupanya kakek itu mengalami luka dalam 
akibat pukulannya yang terpental balik (Untuk 
mengetahui dari mana Panji memperoleh tenaga liar 
yang mengeram dalam tubuhnya, silakan baca serial 
Pendekar Naga Putih dalam episode "Raja Iblis dari 
Utara").

Panji pun tak kalah terkejut ketika melihat kakek 
guru Patala tidak tewas akibat pukulan yang terpental 
balik itu. Diam-diam Pendekar Naga Putih mengakui 
kehebatan Iblis Sembilan Nyawa. 
"Eh!" sepasang mata pemuda berjubah putih 
seketika membelalak ketika melihat sinar kemerahan 
berpendar dari telapak tangan si kakek. Sekilas 
terbayang kembali mayat Eyang Tirta Yasa yang pada 
bagian dadanya terdapat tanda telapak tangan 
berwarna merah. Jantungnya berdebar keras ketika 
teringat pada tanda telapak tangan berwarna merah 
pada mayat gurunya. 
"Kakek iblis! Kaukah yang telah membunuh 
Malaikat Petir beberapa bulan yang lalu?" tanya Panji 
dengan wajah yang mulai tegang karena kemung-
kinan besar saat ini dirinya sedang berhadapan 
dengan pembunuh Eyang Tirta Yasa. 
"Mengapa? Apa hubunganmu dengan Malaikat 
Petir?" kakek itu malah balik bertanya. Diam-diam 
hatinya merasa terkejut mendengar pertanyaan yang 
tidak pernah diduganya. 
"Jawab pertanyaanku! Kaukah yang membunuh 
Malaikat Petir!" teriak Panji yang sudah mulai 
dikuasai kemarahan. Meskipun wajahnya terlihat 
pucat, namun sinar matanya mencorong tajam bagai-
an hendak menelan tubuh Iblis Sembilan Nyawa. 
"Gila! Pemuda ini benar-benar seperti iblis!" desis 
kakek itu yang tanpa sadar melangkah mundur 
melihat tatapan Pendekar Naga Putih. Iblis Sembilan 
Nyawa sudah dapat menduga kalau pemuda di 
hadapannya adalah murid Malaikat Petir. "Ya! 
Memang aku pembunuhnya! Aku dan gurumu 
merupakan musuh bebuyutan. Sudah puluhan tahun 
aku menyembunyikan diri dan terus memperdalam

ilmu kesaktian untuk membalas kematian kakak 
seperguruanku yang tewas di tangan Malaikat Petir. 
Aku belum dapat hidup tenang sebelum tua bangka 
sombong itu tewas di tanganku. Dan kini dendamku 
sudah terlunasi. Ha ha ha...!" 
"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak Panji sambil 
meraung murka. Sesaat kemudian pemuda itu me-
layang ke arah kakek kurus itu dengan kedua tangan 
terkembang. Begitu mendekati lawan, sepasang 
tangan Pendekar Naga Putih bergerak susul-
menyusul mencecar titik kelemahan lawan. 
Wusss! Wuttt! 
"Aiiih...!" 
Iblis Sembilan Nyawa berteriak kaget ketika 
merasakan sambaran hawa dingin yang dapat 
membekukan urat-urat tubuhnya, keluar dari 
sepasang tangan Panji. Meskipun berhasil meng-
hindar, namun tak urung tubuh renta itu 
sempoyongan bagai terombang-ambing angin topan 
yang sangat kuat. Karuan saja Iblis Sembilan Nyawa 
semakin terkejut dan heran. 
"Keparat! Rasakan pembalasanku!" bentak kakek 
guru Patala sambil menerjang Panji dengan 
hantaman telapak tangan yang mengeluarkan cahaya 
kemerahan. 
Bresss! 
"Aaa...!" 
Hantaman telapak tangan Iblis Sembilan Nyawa 
tepat mengenai dada Panji. Namun kembali kakek itu 
terpental balik bagai dilempar kekuatan raksasa yang 
tak tampak. Tubuh si kakek terbanting keras di atas 
rerumputan kering diiringi semburan darah segar dari 
mulutnya. 
"Huagk....!"

Kembali kakek itu memuntahkan darah segar 
setelah terbatuk-batuk Rupanya luka dalam yang 
dialami kali ini jauh lebih parah, karena tenaga dalam 
yang tadi dipergunakannya jauh lebih besar dari 
pukulan sebelumnya. 
Diam-diam Pendekar Naga Putih semakin terkejut 
melihat daya tahan tubuh yang dimiliki kakek renta 
itu. 
"Heaaa...!" 
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji 
melompat sambil mendorongkan sepasang telapak 
tangannya ke arah Iblis Sembilan Nyawa yang sudah 
kembali bersiap. Sambaran angin dingin yang keluar 
dari telapak tangan pemuda itu menimbulkan suara 
mencicit tajam. 
Iblis Sembilan Nyawa yang masih merasa 
penasaran segera memutar kedua tangannya di 
depan dada sehingga menciptakan sebuah dinding 
pertahanan yang tak tampak. Begitu sepasang tangan 
Pendekar Naga Putih hampir mencapainya, tiba-tiba 
kakek guru Patala membentak keras sambil 
mendorongkan sepasang telapak tangannya 
menyambut pukulan Panji. Maka.... 
Blarrr! 
"Wuaaa...!" 
Hebat sekali akibat pertemuan tenaga dalam yang 
dahsyat itu! Bumi di sekitar tempat itu bagaikan 
diguncang gempa! Beberapa buah bangunan 
berderak roboh akibat guncangan yang cukup kuat 
itu! 
Sedangkan tubuh kakek yang berjuluk Iblis 
Sembilan Nyawa meluncur deras bagaikan daun 
kering yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu 
menabrak sebatang pohon hingga tumbang! Daya

luncur tubuh Iblis Sembilan Nyawa baru terhenti 
ketika membentur tembok depan balai desa hingga 
runtuh! 
Sesaat tubuh renta itu bergerak-gerak lemah. Tak 
lama kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tewas 
dengan tulang-tulang berpatahan akibat hantaman 
dan benturan-benturan keras yang dialaminya. 
"Eyang...! Hari ini telah kubalas sakit hatimu! 
Semoga arwahmu tenang di alam baka," bisik Panji 
sambil menengadahkan kepalanya ke cakrawala. 
Patala yang melihat kejadian itu hampir tak 
percaya kalau kakek gurunya tewas di tangan 
pemuda yang sangat dibencinya. Begitu terbayang 
wajah-wajah korban kekejamannya, pemuda itu pun 
segera berlari menyelamatkan diri. 
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar 
gerakan yang ditimbulkan Patala. Saat itu juga, 
pemuda berjubah putih itu mengejar Patala yang 
sudah kehilangan keberaniannya. 
Kreppp! 
"Aaakh...!" 
Patala tak mampu berbuat apa-apa lagi ketika 
tangan Pendekar Naga Putih yang mengandung hawa 
dingin telah mencengkeram lehernya. Patala bert-
eriak-teriak ketakutan ketika merasakan jari-jari 
tangan yang mencengkeramnya semakin mengeras. 
"Kakang Panji, tahan...!" tiba-tiba terdengar 
teriakan merdu yang terlontar dari dalam rumah Ki 
Kalari. Suara merdu itu tak lain adalah suara Ayuning 
yang tahu-tahu telah melompat keluar untuk men-
cegah Panji yang sudah siap mematahkan batang 
leher Patala. "Kakang, jangan bunuh dia! Serahkan 
laki-laki busuk itu kepada Kuntara. Biar dia dan 
ayahnya yang akan mengadili pemuda bejat itu."

Ayuning menyentuh lembut lengan Panji, setelah 
berada di sampingnya. Sesaat Panji tertegun men-
dengar ucapan gadis itu. Sinar matanya mulai 
meredup dan perlahan-lahan cengkeramannya mulai 
merenggang hingga akhirnya terlepas sama sekali. 
"Terima kasih, Kakang," jawab Ayuning sambil 
menyerahkan Patala kepada Kuntara dan Ki Kalari 
yang berdiri di belakangnya. 
Pendekar Naga Putih yang kesadarannya sudah 
hampir pulih, mulai dapat mengenali orang-orang di 
sekelilingnya. Dipandanginya orang-orang itu lekat-
lekat seolah-olah berusaha untuk melekatkan wajah 
mereka dalam ingatannya. 
"Kuntara, Ayuning, dan Ki Kalari, maafkan aku. Aku 
tidak bisa menemani kalian lebih lama. Selamat 
tinggal!" setelah mengucapkan kata-kata itu, tubuh 
Panji langsung melesat dan menyelinap di antara 
rumah-rumah penduduk. Dalam sekejap tubuhnya 
telah menghilang dari pandangan. 
"Kalau begitu, aku pun juga harus cepat-cepat 
pergi, Kuntara. Selamat tinggal...!" ujar Ayuning yang 
segera melesat meninggalkan tempat itu. 
"Selamat jalan, sahabat-sahabatku...!" desah 
Kuntara menahan keharuan yang menyesak dadanya. 


                             SELESAI 


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar