SATU
Panji berdiri tegak menatap Bukit Gua Harimau yang
berdiri kokoh dan angker di hadapannya. Pohon-
pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun
bertebaran di segala penjuru bagai raksasa penjaga
hutan. Keadaan itu memang sudah sewajarnya
karena Bukit Gua Harimau terletak di Hutan Randu
Apus, sebuah hutan angker yang hampir tidak pernah
didatangi manusia.
"Hm... bukit ini tampaknya tidak banyak meng-
alami perubahan selama kutinggalkan. Hanya be-
berapa jenis tumbuhan liar saja yang semakin
menutupinya," gumam Panji seraya melangkahkan
kakinya merayapi lereng bukit, tempat di mana
gurunya yang dijuluki Malaikat Petir menggembleng
dirinya dulu.
Matahari semakin tinggi ketika pemuda berjubah
putih itu mulai mendaki lereng bukit. Wajahnya yang
tampan tampak berseri-seri membayangkan kalau
sebentar lagi akan bertemu dengan gurunya. Panji
semakin mempercepat langkahnya ketika mem-
bayangkan wajah Eyang Tirta Yasa yang sudah pasti
akan gembira melihat kedatangannya.
Tak lama kemudian sampailah Panji alias
Pendekar Naga Putih di tanah datar yang cukup luas.
Sebuah pondok sederhana berdiri kokoh beberapa
belas tombak di depannya.
"Eyang...," panggil pemuda berbaju putih itu sambil
mendorong pintu pondok yang ternyata tidak terkunci.
Panji bergegas masuk ketika tidak mendengar
sahutan dari dalam.
"Eh, ke mana perginya Eyang?" gumam Panji
tatkala tidak mendapati gurunya di dalam pondok.
Bergegas Pendekar Naga Putih berlari ke arah
sungai yang terletak tidak jauh di belakang pondok.
Panji semakin heran ketika di sungai itu pun tidak
juga menemukan Eyang Tirta Yasa. Kening pemuda
itu berkerut dalam. Nalurinya membisikkan ada
sesuatu yang terjadi dengan gurunya. Namun
berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk
yang ada dalam benaknya.
"Ah, siapa tahu Eyang sedang bersemadi di tempat
biasa," pikir Panji seraya bergegas menuju tempat
Eyang Tirta Yasa biasa bersemadi. Jantung pemuda
berjubah putih itu berdebar keras ketika melihat
tempat berlatihnya dulu telah porak-poranda.
Berbagai macam dugaan mulai bergayut di kepala
pemuda itu. Nalurinya membaui sesuatu yang tidak
wajar telah menimpa diri orang yang selama ini telah
banyak berjasa kepadanya.
"Hm.... Belum lama di tempat ini tampaknya telah
menjadi ajang pertarungan yang sangat hebat!
Mungkinkah Eyang telah bertempur dengan
seseorang? Kalau memang benar, siapa gerangan
orang yang berani mati datang ke tempat ini? Lalu di
mana sekarang beliau berada?" berbagai pertanyaan
memenuhi benak Panji. Namun, semua pertanyaan
itu tak satu pun dapat dijawab. Kecemasan dan
kekhawatiran mulai membuat hatinya resah.
Pemuda berjubah putih itu melangkahkan kakinya
meneliti bekas-bekas pertarungan. Sepasang mata
Pendekar Naga Putih tertegun ketika mendapati
tanda hitam di bagian tengah sebatang pohon yang
tumbang. Di tempat lain ternyata dia pun menemukan
tanda yang sama pada beberapa batang pohon yang
tumbang. Panji mulai dapat memastikan kalau yang
telah bertarung di tempat ini memang gurunya.
"Hm... pohon-pohon ini pasti tumbang akibat
pukulan 'Telapak Tangan Petir' Eyang yang nyasar!
Lalu siapa orang yang jadi lawannya?" tanya pemuda
itu pada dirinya sendiri. Namun sampai sekian jauh
menyelidik, tak satu pun yang dapat dijadikan
pegangan untuk mengetahui siapa yang telah ber-
tarung dengan Eyang Tirta Yasa.
Murid tunggal Malaikat Petir itu terpaksa menunda
penyelidikan ketika hari mulai gelap. Lalu diputuskan
untuk melanjutkan penyelidikan keesokan harinya.
Panji berjanji dalam hati tidak akan berhenti
menyelidiki sebelum menemukan gurunya dalam
keadaan hidup atau mati!
***
"Eyang...!" panggil pemuda tampan berjubah putih
sambil menatap sesosok tubuh kurus yang berdiri
tegak di tengah lapisan kabut putih tipis.
Pemuda yang tidak lain adalah Panji menajamkan
matanya menerobos lapisan kabut yang menghalangi
pandangan. Perlahan pemuda itu bangkit dan meng-
hampiri orang tua yang tidak lain adalah gurunya.
Meskipun wajahnya tampak pucat dan sangat
letih, namun Eyang Tirta Yasa atau Malaikat Petir
tetap tersenyum lembut. Sepasang matanya menatap
wajah murid tunggalnya penuh kerinduan.
"Eyang...," sapa Panji sambil mendekati laki-laki
tua yang selama ini banyak membimbingnya.
Kedua kaki pemuda berjubah putih itu melangkah
semakin cepat ketika melihat kedua lengan gurunya
mengembang seolah-olah menyambut kedatangan-
nya. Tapi Panji tidak sempat berpikir kalau setelah
sekian jauh kakinya melangkah, jarak antara dirinya
dan sang Guru tidak pernah berubah. Padahal semula
jarak antara mereka tidak lebih dari empat tombak.
Tiba-tiba tubuh Eyang Tirta Yasa terdorong mundur
bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan semakin
Panji mempercepat langkahnya, tubuh Malaikat Petir
terdorong semakin jauh.
"Eyang...!"
Panji berteriak-teriak memanggil sambil mengulur-
kan kedua tangannya untuk menggapai lengan Eyang
Tirta Yasa. Namun, bayangan tubuh Eyang Tirta Yasa
semakin menjauh. Dan, kemudian lenyap sama sekali
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun!
"Eyang...!"
Panji berteriak-teriak putus asa. Kedua tangannya
terus terulur menggapai-gapai. Tapi tiba-tiba tubuhnya
tersentak dengan napas memburu. Seluruh pakaian
yang dikenakannya basah oleh peluh yang menganak
sungai.
"Oh... rupanya aku bermimpi," desah pemuda itu
sambil menarik napas lega. "Apakah ini merupakan
sebuah pertanda buruk? Atau hanya karena aku
terlalu mengkhawatirkan keselamatan Eyang?"
Panji duduk termenung di balai-balai tempat
tidurnya semalam. Benaknya masih dibayang-bayangi
mimpi buruk yang mengerikan. Berbagai dugaan
berkecamuk dalam kepala pemuda itu. Kehadiran
Eyang Tirta Yasa dalam mimpinya telah membuat
hatinya semakin resah.
Pendekar Naga Putih bergegas melompat dari atas
pembaringan ketika sinar matahari menerobos
masuk nelalui celah-celah jendela. Cepat dia
berkemas untuk melanjutkan pencarian gurunya.
Bekas-bekas pertempuran yang ditemukan
kemarin diteliti. Setelah beberapa saat meneliti, tiba-
tiba sepasang matanya menemukan tetesan darah
yang telah mengering. Bergegas Panji menyusuri
tetesan darah yang berceceran di atas tanah
berumput.
"Hm... ceceran darah ini berakhir tepat di bibir
jurang. Mungkinkah ada orang terjatuh atau dilempar
ke dalam jurang? Aku harus menemukan sendiri
jawaban pertanyaanku ini!" Berpikir demikian, Panji
pun bergegas mencari jalan setapak untuk menuruni
jurang yang cukup curam.
Pemuda berjubah putih itu mengencangkan sabuk
yang melingkar di pinggangnya ketika mencium bau
busuk menyengat dari bawah jurang. Hampir saja
seluruh isi perutnya tumpah kalau saja tidak cepat
mengerahkan tenaga dalam untuk menekan rasa
mual yang amat kuat. Perlahan-lahan murid tunggal
Malaikat Petir melangkahkan kakinya mencari
sumber yang menyebabkan bau busuk.
"Eyang...," desah Panji lirih ketika menemukan
sesosok tubuh kurus tergeletak di semak-semak. Dari
potongan tubuh dan pakaiannya, sudah dapat diduga
kalau sosok mayat ini pastilah gurunya.
Pendekar Naga Putih menghembuskan napasnya
kuat-kuat guna membangkitkan tenaga liar yang
mengeram di dalam tubuhnya. Seketika angin dingin
berhembus kuat mengusir bau busuk yang
menyengat hidung. Kemudian perlahan-lahan kedua
telapak tangannya didorongkan ke arah mayat yang
tergolek di semak-semak.
Wusss!
Angin dingin yang menggigit sampai ke tulang
sumsum berhembus keras ketika Pendekar Naga
Putih mendorong telapak tangan. Seketika semak-
semak yang berada di sekitar mayat itu beterbangan
bagai tercabut tangan-tangan tak tampak. Beberapa
saat kemudian, semak-semak itu pun habis tersapu
bersih sehingga mayat Eyang Tirta Yasa yang ter-
selubung kabut bersinar putih keperakan terlihat
jelas.
Panji bergegas menghampiri mayat Eyang Tirta
Yasa dengan hati berdebar keras. Dadanya terasa
sesak ketika mendapati mayat gurunya dalam
keadaan menyedihkan. Hampir-hampir dia tidak
dapat mempercayai kenyataan di hadapannya.
Maka....
"Yeaaat..!" Panji kembali menghentakkan tenaga
sakti hingga keadaan di sekelilingnya menjadi dingin
sekali! Pemuda itu benar-benar terpukul dengan
kematian orang yang telah membimbingnya sejak
kecil. Orang yang telah memberinya berbagai ilmu
kesaktian, hingga dirinya disegani kawan maupun
lawan.
"Huhhh...!" pemuda berjubah putih itu menarik
napas perlahan-lahan, dan menghembuskannya
kembali untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya.
Bau busuk yang semula menyengat itu pun lenyap
seketika karena diredam hawa sakti yang telah
menyelimuti sekujur mayat gurunya. Tanpa rasa jijik,
ditelitinya seluruh tubuh Malaikat Petir. Mendadak
kening pemuda itu berkerut ketika melihat tanda
merah berbentuk telapak tangan tergambar jelas di
dada mayat Eyang Tirta Yasa.
"Hm... akan kucari orang yang memiliki ilmu
pukulan bergambar telapak tangan ini," janji Panji
sambil menggeram marah. Sepasang matanya
tampak berkilat-kilat ketika mengucapkan kata-kata
itu.
Seusai mengubur jenazah gurunya, Pendekar Naga
Putih segera berlutut di atas gundukan tanah merah.
"Eyang, aku berjanji akan mencari pembunuhmu.
Hidupku tidak akan tenteram sebelum menemukan
manusia kejam yang telah membunuhmu. Aku mohon
pamit, Eyang," bisik Panji lirih.
Selesai mengucapkan janji di sisi makam gurunya,
Panji kembali ke pondok. Pemuda yang tengah
berkabung itu berniat tinggal semalam lagi di Bukit
Gua Harimau.
***
Hari menjelang sore ketika terdengar teriakan
nyaring di sekitar Bukit Gua Harimau. Teriakan yang
berat dan nyaring itu memantul dan bergema
memenuhi puncak bukit hingga ke lembah-lembah di
sekitarnya.
"Hei, Malaikat Petir! Aku datang memenuhi
janjiku!"
Panji yang baru saja selesai membersihkan tubuh
menjadi terkejut mendengar teriakan yang didorong
kekuatan tenaga dalam dahsyat. Kening murid
Malaikat Petir berkerut dalam ketika mendengar
nama gurunya disebut-sebut. Bergegas pemuda itu
keluar pondok untuk melihat orang yang berteriak.
Beberapa tombak di depan pondok, tampak
seorang kakek bertubuh kecil kurus dan berwajah
kekanak-kanakan tengah berdiri dengan kaki
mengangkang. Senyum jenaka selalu menghiasi
wajahnya, seolah-olah tidak pernah mengalami
kesedihan
Di sebelah kiri kakek jenaka, berdiri seorang gadis
cantik berpakaian biru muda. Dan seperti halnya si
kakek, gadis itu juga selalu memperlihatkan senyum
manis yang membuat wajahnya semakin enak
dipandang. Rambutnya yang hitam dan lebat diikat
dengan pita biru muda pada bagian atasnya. Benar-
benar seorang gadis yang sangat menarik!
"Kakek siapa? Dan apa maksud kedatangan
Kakek kemari!" tanya Panji halus dan sopan
meskipun masih dalam keadaan berduka.
"Di mana si Tua Bangka Tirta Yasa? Suruh dia
keluar!" seru kakek jenaka sambil tertawa terkekeh-
kekeh. Pertanyaan Panji sama sekali tidak dihiraukan-
nya.
Seketika darah muda Panji mendidih begitu
mendengar sebutan kasar dan bernada tidak meng-
hormat gurunya. Wajah murid tunggal Eyang Tirta
Yasa itu merah padam menahan emosi yang hampir
meluap. Namun tidak percuma Eyang Tirta Yasa
menggemblengnya selama sepuluh tahun. Meskipun
amarahnya telah meluap, namun kesadaran dan
sikap yang di tunjukkan Panji benar-benar patut
dipuji. Amarah yang menyesakkan dadanya berusaha
ditekan dengan menarik napas panjang berulang-
ulang.
"Kalau Kakek bersedia memperkenalkan nama
dan mengatakan keperluan Kakek, baru akan ku-
panggilkan Eyang Tirta Yasa," sahut Panji tegas.
Suaranya tetap tenang dan sopan.
"He he he... siapakah kau, Anak Muda? Apa
keperluanmu berada di kediaman Malaikat Petir ini?"
kakek jenaka kembali melemparkan pertanyaan
tanpa mempedulikan perasaan pemuda berjubah
putih. Sepertinya memang sengaja berbuat demikian
untuk memancing amarah Panji.
"Hm... Orang Tua. Sebagai tuan rumah, seharusnya
akulah yang bertanya lebih dulu. Dan itu sudah
menjadi aturan yang tidak tertulis," ujar Panji yang
emosinya sudah bangkit sehingga merubah
panggilannya kepada tamu tak diundang itu.
"Kurang ajar! Biar kutampar mulutnya yang
lancang itu, Eyang," selak gadis berpita biru muda
yang sejak tadi hanya diam saja. Setelah berkata
demikian, tubuh gadis yang berada di samping kakek
jenaka langsung melesat ke arah Panji. Gerakannya
cepat sekali hingga yang terlihat hanya bayangan biru
muda saja.
Wut! Wut...!
"Hm...!"
Dua pukulan gadis itu berhasil dielakkan Panji
hanya dengan menggeser tubuhnya ke samping kiri.
Ketika gadis cantik itu menyusuli pukulannya dengan
tendangan kilat, Panji yang masih sungkan membalas
segera melempar tubuhnya beberapa tombak ke
belakang.
"Tahan seranganmu, Nisanak! Kita tidak punya
alasan untuk bertarung," ujar Panji mencoba
mengingatkan gadis cantik berbaju biru muda.
"Hm.... Kau telah bersikap kurang ajar kepada
guruku. Dan itu sudah cukup kujadikan alasan untuk
menampar mulutmu yang tidak mengenal sopan,"
sahut gadis cantik dengan ketus. Anehnya, meskipun
kelihatan marah, tapi bibirnya tetap menyunggingkan
senyum manis. Tentu saja sikap gadis itu membuat
Panji terheran-heran.
"Kalau aku tidak salah duga, gadis ini pasti murid
si kakek. Entah dari mana mereka berasal. Sikap
mereka sangat aneh dan tidak wajar. Dan apa pula
keperluan mereka mencari guruku," kata Panji dalam
hati, tak habis mengerti melihat sikap aneh kedua
orang itu.
"He he he.... Tunggu dulu, Ayuning. Sepertinya aku
mengenal gerakan pemuda sok jago ini," cegah kakek
jenaka ketika gadis itu bersiap-siap hendak
menyerang.
Entah kapan bergeraknya, tahu-tahu saja kakek
kecil kurus telah berada di samping gadis cantik yang
tadi dipanggil Ayuning. Dari sini saja sudah dapat
ditebak kalau kepandaian orang tua aneh ini tidak
bisa dibuat main-main.
Kakek kecil kurus meneliti tubuh Panji dari atas ke
bawah bagaikan sedang menaksir-naksir. Kemudian
seenaknya mengitari tubuh pemuda itu sambil tak
henti-hentinya tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak Muda, lihat serangan!"
Tiba-tiba saja tubuh kakek jenaka yang tengah
mengitari Panji sudah melompat seraya melepaskan
serangan beruntun. Angin tajam berkesiutan
menandakan kuatnya tenaga dalam yang terkandung
dalam serangan si kakek.
Meskipun Panji sudah bersiap-siaga sejak semula,
namun sempat terkejut melihat kecepatan yang
diperlihatkan tamu tak diundang itu. Sungguh tidak
disangka kalau orang tua aneh itu dapat bergerak
sedemikian cepat, hingga membuatnya kalang-kabut
menghindar.
"Hiaaat..!"
Plak! Plak!
"Aih...!"
Serangan kakek kecil kurus yang bagai angin
topan membuat Panji tak punya pilihan lain selain
menangkis. Posisi kuda-kudanya sudah tidak
memungkinkan lagi menghindari serangan yang
demikian cepat.
"Gila! Tidak mungkin!" teriak kakek itu dengan
wajah keheranan. Seketika wajah yang biasanya ber-
hiaskan senyum jenaka berubah tegang. Si kakek
benar-benar tidak habis mengerti ketika tubuhnya
terjajar mundur akibat dua tangkisan Pendekar Naga
Putih. Bahkan lengannya pun sempat tergetar akibat
pertemuan tenaga dalam tadi.
Demikian pula halnya dengan Panji yang sejak
semula memang sudah menduga kalau lawan
memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi sama sekali
tidak disangkanya kalau tenaga dalam si kakek
sampai sekuat itu. Padahal tangkisannya sudah dialiri
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang di saat itu mulai
bergolak liar. Untunglah setelah mengalami beberapa
kali pertempuran, pemuda itu sedikit demi sedikit
sudah mulai dapat mengendalikan tenaga liar yang
mengeram dalam tubuhnya hingga dapat mengukur
pengeluaran tenaganya.
"Anak Muda. Kalau menilik gerakanmu, kau
pastilah murid Tua Bangka Tirta Yasa. Tapi apakah
kau juga belajar dari orang lain?" tanya kakek itu
penasaran ketika mendapat kenyataan betapa kuat-
nya tenaga dalam yang dimiliki Panji. Dan sebagai
seorang ahli silat yang berpengalaman, dia pun sadar
kalau tenaga dalam sehebat itu tidak mungkin dapat
dimiliki orang seusia Panji. Tenaga dalam yang
dimiliki pemuda itu sepatutnya sudah terhimpun
setelah bersemadi selama ratusan tahun. Jadi,
jangankan pemuda seperti Panji, sedangkan kakek
itu sendiri yang sudah berumur delapan puluh tahun
belum tentu dapat memiliki tenaga dalam sekuat itu
meskipun rajin berlatih siang malam. Tenaga dalam
yang dimiliki pemuda ini rasanya hanya ada dalam
dongeng saja.
"Benar! Aku adalah murid Eyang Tirta Yasa. Dan
aku tidak pernah berguru kepada orang lain selain
kepada beliau. Mengapa kau bertanya demikian,
Orang Tua?" Panji balas bertanya karena merasa
heran pada pertanyaan yang diajukan tamunya.
Pemuda itu tidak habis mengerti maksud si kakek
bertanya demikian. Apa pula yang telah
menyebabkannya? tanya Panji dalam hati.
"Hm... apakah yang mengajarmu menghimpun
hawa murni si tua bangka itu juga?" kembali kakek itu
menegaskan pertanyaannya karena belum merasa
puas dengan jawaban Panji.
"Orang Tua! Berhentilah menyebut guruku dengan
sebutan tua bangka! Kata-kata itu bisa menyebabkan
kau mendapat kesulitan!" bentak Panji dengan
teriakan mengguntur karena benar-benar marah
sekali mendengar gurunya berkali-kali disebut tua
bangka. Tubuh pemuda itu bergetar menahan hawa
amarah yang sudah hampir mencapai ubun-ubun.
Kakek kecil kurus rupanya tidak tega juga melihat
wajah pemuda di hadapannya agak kemerahan
menahan kemarahan. Tapi tiba-tiba tangannya
bergerak mencegah muridnya yang sudah ingin
merangsek lagi ketika pemuda itu membentak
gurunya. Sesaat gadis berpakaian biru muda itu
sempat hampir terjatuh mendengar bentakan Panji
yang bagaikan ledakan petir di telinganya.
"Hm... ketahuilah, Anak Muda. Aku adalah sahahat
lama gurumu. Dan panggilan itu memang sudah
menjadi kebiasaan kami sejak muda. Sebutan tua
bangka kuberikan karena dia selalu saja
menasihatiku setiap kali aku melakukan perbuatan
yang menurut pendapatnya tidak benar. Apakah
gurumu tidak pernah bercerita tentang sahabat-
sahabatnya, Anak Muda?" ujar kakek itu serius
karena melihat perubahan sikap yang tidak wajar
pada diri pemuda berbaju putih di hadapannya.
Mendengar keterangan yang diberikan kakek kecil
kurus, kening Panji berkerut dalam. Pemuda itu
berusaha mengingat-ingat cerita Eyang Tirta Yasa
mengenai sahabat-sahabatnya. Ditelitinya penam-
pilan kakek itu sambil mengingat ciri-ciri sahabat-
sahabat gurunya yang pernah diceritakan kepadanya.
"Apakah... apakah Eyang yang berjuluk Dewa
Tanpa Bayangan?" tanya Panji memastikan
dugaannya. Wajah pemuda itu tampak agak tegang
karena kalau kakek ini memang benar sahabat lama
gurunya, maka kemungkinan besar pasti tahu siapa-
siapa saja musuh gurunya. Terutama seorang tokoh
yang memiliki ilmu pukulan telapak tangan.
"He he he... bagus kalau kau sudah dapat
mengingatnya, Anak Muda. Nah, sekarang cepat
panggilkan gurumu. Apakah dia sudah jadi seorang
pengecut yang tidak berani memenuhi janjinya?" ujar
kakek kecil kurus yang ternyata adalah seorang tokoh
tua sahabat lama Eyang Tirta Yasa.
"Kalau Eyang tidak keberatan, bolehkan aku tahu
maksud Eyang mencari guruku?" tanya Panji yang
masih juga ingin mengetahui maksud kedatangan
kakek itu.
"Huh, pemuda ini ceriwis sekali, Eyang. Rasanya
dia lebih pantas menjadi perempuan daripada laki-
laki," tiba-tiba gadis cantik dan manis yang bernama
Ayuning menyelak tak senang.
Wajah Panji merah padam mendengar kata-kata
gadis itu. Ditatapnya wajah Ayuning dengan gemas.
Namun, yang ditatap malah membalas dengan mata
membelalak, seolah-olah menantang. Karuan saja
Panji terpaksa mengalah.
"Lebih baik kita masuk ke dalam dulu, Eyang," ajak
murid tunggal Malaikat Petir sambil melangkah
mendahului guru dan murid itu.
***
DUA
"Itulah sebabnya mengapa aku mencurigai ke-
datangan Eyang berdua," ujar Panji menutup
ceritanya. Wajahnya kembali diliputi kedukaan yang
mendalam ketika teringat kematian gurunya.
Kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Tanpa
Bayangan terkejut mendengar cerita Panji. Seketika
juga senyum jenaka yang biasanya selalu menghias
wajahnya lenyap. Kelihatan sekali kalau kakek itu
merasa sangat terpukul mendengar kematian Eyang
Tirta Yasa.
"Hhh... kedatanganku kemari sia-sia saja. Apakah
kau tidak menemukan ciri-ciri ilmu si pembunuh?"
tanya Dewa Tanpa Bayangan penuh sesal ketika
mengingat kematian sahabat kentalnya.
"Aku memang telah menemukan ciri-ciri ilmu
pembunuh Eyang Tirta Yasa. Tapi sayangnya aku
tidak tahu siapa tokoh persilatan yang punya ilmu
pukulan telapak tangan seperti yang terdapat pada
jenazah Eyang Tirtayasa. Kurasa banyak sekali tokoh
persilatan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu,"
jawab Panji sambil menerangkan jenis ilmu pukulan
yang telah merenggut nyawa gurunya.
"Hm... ya. Ilmu pukulan sejenis itu memang banyak
sekali dimiliki tokoh persilatan. Tapi sepengetahuan-
ku, sulit sekali mencari tokoh persilatan yang mampu
menandingi kesaktian Tirta Yasa. Apalagi membunuh-
nya dengan ilmu pukulan pasaran seperti itu.
Menurutku, bukan tidak mungkin kalau pembunuh itu
sengaja hendak menyamarkan ilmunya. Atau
mungkin juga ilmu kepandaian orang itu memang di
atas kepandaian gurumu. Dan pada saat dia sudah
terluka berat, barulah pembunuh itu melontarkan
pukulan yang bergambar telapak tangan. Mungkin itu
dilakukannya hanya untuk menyamarkan saja," ujar
Dewa Tanpa Bayangan memberikan beberapa
penjelasan agar Panji tidak sembarangan melacak
pembunuh gurunya itu.
Mendengar keterangan yang diberikan sahabat
gurunya, pemuda yang tengah berkabung itu ter-
menung sejenak memikirkan latar belakang
pembunuhan yang misterius itu.
"Apakah Kakang Panji tidak menemukan tanda-
tanda lain pada mayat Eyang Tirta Yasa?" tanya
Ayuning menimpali. Rupanya rasa simpati di hati
gadis itu timbul juga mendengar malapetaka yang
tengah menimpa murid sahabat gurunya. Gadis yang
sebenarnya lemah lembut itu sudah melupakan
kejadian yang tidak menyenangkan di antara mereka
beberapa saat sebelumnya.
"Tidak, Adik Ayuning. Hanya tanda telapak tangan
merah itulah yang kutemukan pada jenazah guru,"
jawab Panji yang juga telah melupakan pertengkaran
di antara mereka.
"Panji. Sebenarnya kedatanganku kemari bukan
tidak mempunyai tujuan. Lima belas tahun lalu kami
sama-sama berjanji mengadakan pertemuan di sini.
Dan waktu yang telah kami tentukan jatuh pada hari
ini. Tapi, mengingat musibah ini, maka aku akan
menunda sampai kau menemukan pembunuh
gurumu. Aku tidak akan menjanjikan apa-apa kepada-
mu. Tapi percayalah, kami akan berusaha mem-
bantumu mencari pembunuh Tirta Yasa. Apabila aku
sudah menemukannya, kau akan kuberitahukan,"
hibur Dewa Tanpa Bayangan sambil tersenyum.
"Tapi, Eyang belum mengatakan keperluan Eyang
mencari guru," desak Panji menuntut jawaban.
"Kami hanya ingin menjajal ilmu-ilmu yang kami
sempurnakan selama lima belas tahun ini. Tapi
sayang, gurumu telah pergi lebih dulu," sahut Dewa
Tanpa Bayangan datar. Gairahnya telah hilang karena
kematian sahabat kentalnya itu. "Kalau begitu, aku
pergi dulu."
Setelah berkata demikian, sahabat kental Malaikat
Petir itu bangkit dan melangkah keluar pondok.
"Nanti dulu, Eyang. Di mana Eyang akan
menemuiku kalau Eyang ternyata lebih dulu
menemukan pembunuh itu?" tanya Panji sambil
mengikuti langkah kakek itu.
"Eh, dasar sudah pikun! Mengapa aku sampai
lupa," seru kakek itu sambil menempelkan tangannya
di dahi. "Hm... begini saja. Kalau ternyata aku yang
lebih dulu menemukan jejak pembunuh gurumu, aku
akan menunggumu di tempat ini pada hari ketujuh
bulan lima nanti. Bagaimana?"
"Hm... berarti masih tiga bulan dari sekarang.
Baiklah, Eyang. Tepat pada waktu yang ditentukan,
aku akan datang kemari," jawab Panji yang segera
menyetujui usul kakek.
"Ayo, Ayuning, kita berangkat!" setelah berkata
demikian, kakek kecil kurus itu sudah melesat
meninggalkan pondok.
"Selamat tinggal, Kakang Panji. Mudah-mudahan
kita dapat berjumpa lagi," pamit Ayuning sambil
meIambaikan tangannya ke arah Panji.
"Selamat jalan, Adik Ayuning," balas pemuda
berjubah putih yang juga melambaikan tangannya
kepada Ayuning. "Seorang gadis yang lincah dan
mudah sekali membuat orang tertawa dan marah."
Tidak lama setelah kepergian Dewa Tanpa
Bayangan dan muridnya, pemuda yang baru ditinggal
mati gurunya itu berkemas-kemas mencari pembunuh
Eyang Tirta Yasa. Angin bukit berhembus lembut
mengiringi langkah Pendekar Naga Putih menuruni
Bukit Gua Harimau.
***
Belasan pasang mata menatap penuh selidik
ketika Panji dengan tenang memasuki pintu sebuah
kedai makan. Tatapan belasan pasang mata itu sama
sekali tidak dipedulikan. Pemuda itu melangkah
dengan mantap menuju sebuah meja kosong yang
terletak dekat jendela sambil menggerakkan
tangannya memanggil pelayan. Panji menyebutkan
nama beberapa macam makanan yang kemudian
segera dihidangkan. Dan tanpa banyak cakap lagi
pemuda itu pun segera menyantap pesanannya tanpa
mempedulikan beberapa pasang mata yang masih
terus menatapnya. Tampaknya pemuda yang tengah
mencari jejak pembunuh gurunya ini memang betul-
betul menikmati makanannya.
Dua orang laki-laki yang duduk di sudut berbisik-
bisik sambil sesekali melirik ke arah Panji. Salah
seorang di antara mereka yang berwajah seperti tikus
tampak agak terkejut melihat kedatangan Panji.
Sepasang matanya yang menjelajah ke seluruh tubuh
pemuda itu semakin membelalak ketika melihat
pedang lentur yang melingkari pinggang pemuda itu.
"Hm...," sambil bergumam perlahan, si muka tikus
melangkah ke tempat Panji yang tengah menikmati
makanannya. Begitu tiba di hadapan pemuda itu,
muka tikus mengangkat kaki kirinya ke atas kursi.
"Kisanak! Apakah kau tidak tahu peraturan yang
berlaku di desa ini?" tanya si muka tikus memasang
tampang galak. Gagang senjatanya sengaja
ditonjolkan untuk menciutkan nyali Pendekar Naga
Putih.
Panji yang sadar kalau orang itu memang sengaja
hendak mencari perkara, mencoba menahan diri agar
tidak menimbulkan keributan di dalam kedai. Segera
kepalanya diangkat dengan wajah berpura-pura
keheranan.
"Maaf, aku sama sekali tidak tahu peraturan di
sini. Aku hanya kebetulan lewat dan hanya ingin
melepaskan letih barang sejenak. Apakah aku telah
menyalahi peraturan, Paman?" sahut Panji mencoba
mengikuti kemauan laki-laki bermuka tikus.
Brak!
"Bangsat! Berani kau berbicara sambil menatap
wajahku! Apa kau tidak kenal siapa yang tengah
berbicara denganmu, heh?!" bentak si muka tikus
geram. Meja di hadapan Panji pecah berantakan
akibat tamparan tangan laki-laki kasar yang tengah
murka itu. Rupanya laki-laki galak ini memang sudah
terbiasa ditakuti penduduk setempat. Sehingga tidak
mengherankan kalau menjadi sangat marah ketika
Panji berbicara sambil menatap tanpa rasa takut.
Sekilas terlihat wajah Pendekar Naga Putih
memucat. Bukan karena takut kepada si muka tikus,
melainkan khawatir tidak mampu menahan gejolak
tenaga liar yang mengendap dalam tubuhnya. Hal
inilah yang membuat wajahnya menjadi pucat.
Si muka tikus yang tidak mengetahui apa yang
tengah dipikirkan pemuda itu semakin berlagak.
Begitu melihat Panji menunduk diam, maka tingkah
yang diperlihatkannya semakin menjadi-jadi.
Beberapa pengunjung yang tidak ingin terlibat
keributan, cepat-cepat meninggalkan kedai. Mereka
yang telah mengenal siapa si muka tikus hanya dapat
memandang iba pada pemuda tampan yang terlihat
lemah dan sopan.
"Ketahuilah, Kisanak. Kalau kau membawa senjata
ke Desa Kertasari, berarti kau telah melanggar
peraturan! Dan sebagai hukumannya, kau harus
menyerahkan pedangmu kepadaku!" desak si muka
tikus galak. Laki-laki galak ini sengaja berkata
demikian, karena tahu kalau senjata adalah nyawa
kedua bagi kaum persilatan. Dan apabila seseorang
meminta senjatanya, berarti sebuah penghinaan yang
sudah melampaui batas! Rupanya si muka tikus
memang sengaja hendak memancing kemarahan
pemuda itu. Sehingga punya alasan untuk
menghajarnya.
Panji yang mengetahui apa yang ada dalam otak
biang onar di Desa Kertasari ini dengan tenang
melepas Pedang Sinar Rembulan yang melilit
pinggangnya. Setelah menyodorkan pedang kepada si
muka tikus, pemuda itu pun meninggalkan kedai
setelah membayar makanannya.
Tinggallah si muka tikus dan kawan-kawannya
termangu bagai orang kehilangan akal. Mereka
benar-benar tak habis mengerti mengapa pemuda itu
menyerahkan pedangnya dengan sukarela. Padahal
pedang itu adalah sebuah pedang pusaka yang jarang
ada duanya dalam dunia persilatan. Beberapa saat
lamanya mereka hanya melongo melihat kepergian
Pendekar Naga Putih dengan kening berkerut.
Si muka tikus baru tersadar ketika bayangan
pemuda berjubah putih lenyap di balik pintu kedai.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya
langsung melesat mengejar diikuti kawan-kawannya.
"Kisanak, tunggu...!" si muka tikus berteriak sambil
melambaikan tangannya begitu melihat Panji tengah
melangkah tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu pada dirinya.
Pemuda yang tengah berduka itu menghentikan
langkahnya ketika mendengar panggilan si muka
tikus. Kening Panji berkerut ketika menoleh ke
belakang, matanya tertumbuk pada si muka tikus dan
kawannya sedang berlari menyusulnya. Sekilas
terlihat sepasang matanya berkilat tajam tanda tak
senang.
"Ada apa lagi, Kisanak?" tanya Panji begitu si muka
tikus dan kawannya sudah berada dua tombak di
hadapannya. Dari ucapannya yang sudah berubah,
jelas sekali kalau pemuda itu bangkit emosinya.
"Ucapanku tadi belum lengkap. Hukuman atas
pelanggaran yang kau lakukan bukan hanya harus
menyerahkan senjatamu saja. Selain itu kau harus
cepat-cepat meninggalkan desa ini," ujar si muka
tikus yang rupanya masih belum puas
mempermainkan Pendekar Naga Putih.
Gigi Panji bergemeletuk mendengar permintaan
yang benar-benar telah melampui batas. Tadinya dia
memang sengaja mengalah dengan menyerahkan
pedang meskipun harga dirinya telah terhina. Tapi di
balik itu Panji sudah dapat menduga kalau si muka
tikus dan kawannya memang sengaja hendak
mempermainkan dirinya. Dugaan pemuda itu ternyata
tidak meleset!
"Hm... jadi begitu!" tegas Pendekar Naga Putih
sambil menatap tajam wajah si muka tikus yang
tersentak kaget melihat sinar mata mencorong yang
menggetarkan jantungnya. "Kalau boleh kutahu, siapa
yang membuat peraturan keji ini?"
Suara Panji yang dingin dan berwibawa yang
membuat hati si muka tikus kecut.
"Eh... oh... peraturan itu... peraturan itu...," si muka
tikus yang tak sanggup meneruskan kata-katanya
tiba-tiba menggigil seperti orang terserang demam!
Wajahnya yang semula angker dan galak mendadak
pucat pasi.
"Hm... siapa yang membuat peraturan sekeji itu?
Jawab...?!" geram Panji semakin menggetarkan
sehingga membuat si muka tikus tak mampu lagi
untuk menahan bobot tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuh
laki-laki berangasan itu melorot bagai karung basah.
Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih telah
membuat keberaniannya terbang entah ke mana.
Karena si muka tikus tidak juga mampu menjawab
pertanyaannya, Panji pun tidak lagi mendesak.
Segera diraihnya pedang yang berada di genggaman
orang itu. Setelah melilitkan kembali Pedang Sinar
Rembulan ke pinggangnya, Pendekar Naga Putih
meninggalkan si muka tikus dan kawan-kawannya
yang terpaku bagai patung. Beberapa penduduk yang
menyaksikan kejadian itu hanya dapat memandang
bingung. Mereka pun tidak mengerti mengapa laki-
laki bermuka tikus terjatuh. Padahal pemuda itu
sama sekali tidak terlihat menggerakkan tangan.
Aneh, pikir mereka menggeleng-gelengkan kepala tak
habis mengerti.
Kejadian yang tidak masuk akal itu ternyata tak
lepas dari pengamatan seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun. Keningnya agak berkerut
ketika menyaksikan peristiwa itu.
"Gila! Entah ilmu apa yang dimiliki pemuda itu!
Apakah dia memiliki ilmu sihir? Kalau tidak, mengapa
dapat membuat lawan tak berdaya hanya dengan
memandangnya saja? Benar-benar seorang pemuda
hebat dan berbahaya. Aku harus berhati-hati
menyelidikinya. Siapa tahu dia musuh?" gumam laki-
laki berperawakan tinggi sedang itu.
Kalau dilihat dari penampilannya, pastilah laki-laki
itu tidak asing dalam dunia persilatan. Tapi melihat
pinggangnya yang tak bersenjata, maka orang pun
akan ragu. Barangkali memang itulah yang diinginkan
laki-laki itu.
Sementara itu, Panji meneruskan langkahnya
memasuki desa tanpa mempedulikan keadaan di
sekelilingnya. Murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu sama
sekali tidak mempedulikan sorot mata penduduk
yang memperhatikan dirinya dengan perasaan takut
bercampur kagum. Entah apa yang ada dalam kepala
mereka masing-masing. Hanya merekalah yang tahu.
Belum lagi Panji melangkah jauh, tiba-tiba
terdengar jeritan dari sebuah rumah beberapa
tombak di sampingnya. Sebagai pendatang yang
belum mengetahui keadaan Desa Kertasari, tentu
saja pemuda itu tidak terlalu menaruh perhatian pada
jeritan tadi. Pendekar Naga Putih hanya berhenti
sejenak sambil melirik ke arah rumah itu, seolah-olah
ingin memastikan apa yang tengah terjadi di dalam
sana.
Panji tidak jadi meneruskan langkahnya ketika
melihat tiga laki-laki berwajah seram bersenjata
pedang tengah berdiri di muka pintu. Tak lama
kemudian, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki
berusia sekitar dua puluh delapan tahun sambil
menyeret seorang wanita yang wajahnya bersimbah
air mata. Rupanya jeritan wanita itulah yang tadi
didengar Pendekar Naga Putih.
"Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" bentak
laki-laki itu sambil menyeret wanita itu keluar. "Apa
kau lebih suka kalau seluruh keluargamu digantung,
heh? Sudah bagus Ki Kalari masih mau
membebaskan seluruh hutang-hutang ayahmu asal
kau bersedia bekerja di rumahnya."
Wanita malang itu hanya bisa menangis tanpa
mampu melakukan perlawanan. Wajahnya yang
babak belur, menandakan kalau dirinya habis disiksa
sebelum diseret keluar oleh laki-laki itu.
Sebagai seorang pendekar yang selalu menjunjung
tinggi keadilan, tentu saja hati Panji tergerak untuk
mengetahui duduk persoalan lebih jauh. Tanpa ragu-
ragu lagi kakinya dilangkahkan mendekati rumah itu.
Tapi baru saja beberapa tindak kakinya melangkah,
tiba-tiba laki-laki bercaping yang sejak tadi menguntit
Panji mendekati.
"Jangan pedulikan mereka kalau kau tidak ingin
mendapat kesulitan!" bisik laki-laki bercaping
memperingatkan Panji. Setelah memberi peringatan,
orang itu terus berlalu. Sepertinya laki-laki bercaping
memang telah mengetahui duduk persoalan yang
tengah dihadapi keluarga malang itu. Tapi, entah apa
yang menyebabkan dia tidak mau mencampuri
urusan.
Pendekar Naga Putih yang tidak sempat membalas
peringatan orang bercaping, segera mengerahkan
ilmu 'Mengirim Suara Jarak Jauh'. Beberapa saat
kemudian, bibirnya terlihat berkomat-kamit
mengucapkan sesuatu.
"Maafkan aku, Kisanak. Aku tidak bisa menutup
mata melihat kekejaman berlangsung di depan
mataku. Sekali lagi maafkan aku. Aku terpaksa tidak
menuruti nasihatmu."
Orang bercaping terkejut ketika menerima kiriman
suara yang demikian jelas di telinganya. Tapi laki-laki
misterius itu tahu kalau Panji lah yang telah
mengucapkan kata-kata itu.
Orang bercaping hanya dapat menghela napas
ketika melihat tubuh Panji sudah melesat ke rumah
keluarga malang itu. Sesaat kemudian, pemuda itu
sudah berdiri beberapa langkah di depan empat lelaki
berwajah seram.
"Lepaskan gadis itu!" seru Panji tanpa basa-basi
dan sudah merasa yakin kalau kejadian itu bukan
sekadar kesalahpahaman.
Empat laki-laki kasar itu terkejut melihat ada
seorang pemuda yang berani mencegah tindakan
mereka. Beberapa saat lamanya keempat orang itu
hanya berdiri termangu.
"Hm... siapakah kau, Kisanak? Mengapa
mencampuri urusan kami?" tanya laki-laki yang masih
menyeret tubuh wanita malang heran. Bukankah
selama ini tidak ada seorang pun yang berani
mencegah perbuatan mereka? pikir laki-laki itu.
"Lepaskan gadis itu kataku!" ancam Panji lagi
tanpa mempedulikan pertanyaan orang itu.
"Bangsat! Rupanya kau memang sengaja cari
mampus, Kisanak!" bentak salah seorang dari tiga
laki-laki yang berada di muka pintu. Laki-laki itu
sangat berang melihat sikap keras kepala yang
diperlihatkan Pendekar Naga Putih. Tanpa berkata
apa-apa lagi, orang itu segera mencabut senjata dan
langsung ditusukkan ke tubuh Panji. Wuttt!
"Hm...."
Panji hanya bergumam pelan melihat serangan itu.
Begitu ujung pedang hampir menyentuh kulitnya, kaki
kanannya segera digeser ke samping hingga tusukan
pedang hanya mengenai tempat kosong. Begitu
melihat serangannya luput, laki-laki itu menjadi
semakin marah. Cepat senjatanya diputar seraya
kembali mempersiapkan serangan susulan bertubi-
tubi. Namun tetap saja tak satu pun serangannya
dapat menyentuh tubuh pemuda itu.
"Hm... kalian jangan paksa aku bertindak kasar!"
ancam Panji dingin. Sepasang matanya mencorong
tajam menggetarkan jantung.
"Keparat! Beri pemuda itu pelajaran agar lebih
sopan apabila bertemu denganku lagi!" bentak laki-
laki yang menyeret tubuh wanita malang gusar.
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang sejak
tadi hanya menonton pertarungan langsung
mencabut pedang. Serentak keduanya membantu
kawannya yang hampir kehabisan napas karena
serangannya tidak juga mengenai sasaran.
"Sesalilah dirimu yang berani berurusan dengan
Tuan Muda Patala, Kisanak! Perbuatanmu sudah
cukup jadi alasan untuk mengirim dirimu ke neraka!"
pekik salah seorang pengeroyok seraya menyabetkan
senjatanya. Dari desing pedangnya, dapat ditebak
kalau tenaga dalam orang ini jauh lebih kuat daripada
penyerang pertama. Meskipun begitu, kepandaiannya
masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan
kepandaian Panji.
Dua orang lainnya juga mengayunkan senjata
dengan cepat dan ganas. Ketiga laki-laki berwajah
seram itu tampaknya memang benar-benar bernafsu
menghabisi nyawa Pendekar Naga Putih. Sehingga
tak mengherankan kalau serangan-serangan yang
mereka lancarkan pun tidak main-main.
Pada jurus keempat, tiga batang pedang meluruk
berbarengan ke arah Panji. Namun pemuda itu
sepertinya tidak melihat dan tetap berdiri tegak
seolah-olah pasrah menerima ajal! Trak! Trak!
"Aaa...!"
***
TIGA
Terdengar suara berdesing nyaring ketika tiga batang
pedang menghantam tubuh Panji. Aneh! Bukan tubuh
pemuda itu yang terluka, melainkan tubuh tiga
pengeroyok itulah yang terpental diiringi jerit
kesakitan. Sedangkan pedang mereka berpentalan
dari genggaman entah ke mana.
"Ilmu iblis...!" teriak penyerang pertama sambil
berusaha merangkak bangun meski dengan susah
payah. Dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah.
"Pemuda setan...!" seru yang lainnya bersamaan
seraya berusaha bangkit. Sesekali terdengar suara
mengaduh dari mulut mereka.
Dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, ketiga
laki-laki yang menjadi tukang pukul orang bernama
Patala buru-buru mundur menjauhi pemuda itu. Jelas
sekali kalau ketiga orang itu merasa gentar meng-
hadapi Pendekar Naga Putih.
"Keparat sombong! Jangan dulu kau membusung-
kan dada hanya karena mengalahkan tiga pembantu-
ku! Kau boleh merasa bangga setelah merasakan
kepalanku ini, Bangsat!" bentak Patala marah. Panji
langsung diterjangnya dengan kepalan-kepalannya
yang menimbulkan rangkuman angin berhawa panas.
Wusss! Wusss!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan
menghindari pukulan yang mengandung hawa panas.
Diam-diam pemuda itu terkejut melihat kepandaian
laki-laki yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya.
Sama sekali tidak disangkanya kalau orang itu
memiliki kepandaian cukup tinggi dan juga pukulan-
pukulan yang mematikan.
Memasuki jurus kelima, Panji mengangkat tangan
kanannya sambil mengerahkan sebagian tenaga
dalam saat pukulan Patala menderu datang! Dan
celakanya tenaga yang diperkirakan hanya sebagian
itu ternyata telah melebihi takaran. Maka akibatnya....
Plak!
"Uhhh...!"
Terdengar letupan kecil yang disertai kepulan asap
tipis ketika sepasang tangan kekar bertemu di udara.
Tubuh Patala terjajar mundur sejauh delapan tombak
diiringi jeritan kaget. Wajahnya masih pucat ketika
berusaha memperbaiki posisi kuda-kudanya. Seketika
dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah.
Rupanya pertemuan tenaga dalam itu telah meng-
guncangkan isi dadanya. Setelah berdiri kembali,
mata Patala memandang berkeliling.
Beberapa orang penduduk yang tertarik melihat
pertarungan mulai berdatangan.
"Lari...!" seru Patala seraya membalikkan tubuhnya
dan langsung melesat meninggalkan tempat itu.
Melihat majikannya telah melarikan diri, ketiga
tukang pukul itu pun bergegas mengambil langkah
seribu. Beberapa penduduk melempari mereka
dengan batu-batu kecil sehingga membuat ketiganya
lari pontang-panting.
Setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari
pandangan, Pendekar Naga Putih bergegas meng-
hampiri wanita muda yang masih terduduk lemas.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya Panji seraya
mengulurkan tangan untuk menolong wanita itu
bangkit.
"Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Tapi
ketahuilah, pertolongan Kisanak justru semakin
menyulitkan kami. Karena setelah kepergian Kisanak,
Tuan Muda Patala pasti datang lagi dengan
membawa lebih banyak tukang pukul. Dan sudah
pasti nasib keluarga kami akan lebih buruk lagi.
Selain aku yang akan mereka bawa, mereka pun
akan membunuh seluruh keluargaku," ujar wanita
muda itu panjang lebar. Seolah-olah lebih suka
menerima perlakuan orang-orang itu daripada
ditolong Panji.
"Siapakah dia, Nisanak?" tanya Panji mencoba
mencari tahu tentang pemuda yang bernama Patala.
Namun, alangkah herannya hati pemuda itu karena
wanita muda yang diajak bicara baik-baik itu sama
sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita itu
malah melangkah masuk ke dalam rumah dan tidak
lagi mempedulikan penolongnya.
"Mengapa Nisanak tidak menjawab pertanyaan-
ku?" tanya Panji penasaran dan tanpa sadar ikut
melangkah masuk ke dalam rumah.
Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun
dan seorang wanita berumur lima puluhan, bangkit
dari balai-balai bambu berlapis selembar tikar usang.
Kedua orang tua itu bergerak mencegah pemuda
yang hendak mengejar putrinya.
"Pergilah, Kisanak. Tinggalkan desa ini secepatnya.
Kehadiranmu di sini hanya akan membuat kami
semakin susah. Mereka pasti akan melakukan
tindakan yang lebih kejam terhadap keluarga kami
sebagai pelampiasan dendam atas perbuatanmu,"
ujar laki-laki tua sambil menggerakkan tangan meng-
usir Panji. Entah apa yang mendorong mereka lebih
suka ditinggalkan daripada ditolong!
Pendekar Naga Putih tertegun mendengar ucapan
keluarga yang baru saja ditolongnya. Selama ber-
petualang, baru kali ini dia menemui peristiwa seperti
ini. Tiba-tiba Panji teringat ucapan orang bercaping
yang tadi berusaha memperingatkannya. Samar-
samar pemuda itu dapat meraba kesulitan macam
apa yang dimaksud orang bercaping.
"Tapi, Paman, apakah tindakanku salah?" akhirnya
keluar juga perkataan yang mewakili perasaan Panji.
Sikap yang ditunjukkan oleh keluarga yang ditolong-
nya itu masih belum dimengertinya.
"Tidak, Kisanak. Tindakanmu sama sekali bukan
kesalahan. Tapi, apalah artinya pertolongan Kisanak
tadi jika dibandingkan dengan penderitaan yang akan
kami alami setelah kepergian Kisanak nanti.
Beberapa waktu yang lalu juga ada dua pendekar
yang menolong salah satu keluarga di desa ini.
Pertolongan kedua pendekar itu memang berhasil
membebaskan keluarga itu dari ancaman maut. Tapi
itu hanya berlangsung sementara. Setelah kedua
pendekar meninggalkan desa, keluarga itu disiksa
habis-habisan hingga semuanya tewas secara
menyedihkan. Rasanya musibah yang sama akan
menimpa keluarga kami," ujar orang tua itu
menerangkan sebab-sebab yang membuat mereka
semakin ketakutan setelah ditolong pemuda berjubah
putih.
Setelah mendengar keterangan orang tua itu,
barulah Pendekar Naga Putih tahu penyebab keluarga
malang itu malah semakin ketakutan menerima
pertolongannya.
"Kalau begitu, aku akan tetap tinggal di desa ini
sampai orang-orang itu jera dan tidak berani lagi
mengganggu penduduk," tegas Panji menenangkan
kecemasan di hati orang tua itu.
"Hhh... tidak ada gunanya, Kisanak. Kau tidak tahu
siapa mereka. Daripada kau mati sia-sia, lebih baik
cepat tinggalkan desa ini. Tak usah pikirkan keadaan
kami. Kami sudah terbiasa dengan segala macam
penderitaan," orang tua itu tetap bersikeras meng-
hendaki kepergian penolongnya. Menurut anggapan-
nya, mana mungkin pemuda ini mampu menghadapi
anak buah Patala yang jumlahnya besar dan terdapat
orang-orang sakti di antaranya.
"Biarlah, Paman. Aku tidak takut menghadapi
kematian selama tidak menyeleweng dari jalan
kebenaran," tegas Panji mantap sambil mengatupkan
rahangnya kuat-kuat
"Hhh... segala usahamu akan sia-sia, Kisanak,
akan sia-sia...," desah orang tua itu karena tidak
berhasil menyuruh Panji meninggalkan Desa Ker-
tasari. Tanpa berkata apa-apa lagi, suami istri berusia
lanjut itu melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Tinggallah Pendekar Naga Putih termenung
memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya.
Perlahan-lahan kakinya dilangkahkan keluar dari
rumah. Dalam hatinya, pemuda itu bersumpah untuk
membuat penduduk desa ini hidup tenang sebagai-
mana desa-desa lainnya.
***
Di dalam rumah besar yang menjadi kediaman
Kepala Desa Kertasari, tampak Patala berjalan
mondar-mandir sambil melipat tangannya ke
belakang. Sesekali tangannya diremas-remas penuh
kegeraman. Rupanya orang ini masih penasaran
karena perbuatannya digagalkan Panji.
"Huh! Takkan puas hatiku sebelum mencincang
tubuh pemuda keparat itu!" geram Patala sambil
meninju telapak tangannya kuat-kuat.
"Apa kau tidak tahu siapa dia dan dari mana
asalnya?" tanya laki-laki tua yang duduk men-
cangkung di atas kursi. Di wajah laki-laki tua itu
terlihat garis-garis penderitaan hingga membuatnya
nampak jauh lebih tua dari usia sesungguhnya.
Sepertinya orang tua itu tengah mengalami tekanan
batin yang sangat berat.
"Ah, sayang sekali aku tidak sempat bertanya. Saat
itu aku benar-benar terkejut melihat ada orang yang
berani menentangku. Tapi rasa-rasanya aku belum
pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Menurut
dugaanku dia pasti bukan penduduk desa ini," sahut
Patala menanggapi ucapan orang tua itu. Meskipun
kata-katanya tidak terdengar kasar, namun menilik
cara berbicaranya, Patala seolah-olah tidak menaruh
hormat sama sekali kepada orang lawan bicaranya.
"Hm... kalau pemuda itu hanya pengembara yang
kebetulah lewat, biarkan saja. Beberapa hari lagi
pasti dia sudah meninggalkan desa," ujar orang tua
itu datar.
"Tidak bisa, Ki. Perbuatannya yang telah mem-
permainkanku di depan mata penduduk harus
kubalas! Dan itu harus!" tegas Patala yang rupanya
tidak bisa melupakan kekalahannya terhadap Panji.
"Lalu, apa rencanamu sekarang? Dan bagaimana
cara kau membalasnya? Sedangkan menurut
penuturanmu, kepandaian pemuda berpakaian putih
itu sangat tinggi," kembali orang tua itu mencoba
mengingatkan Patala.
"Hm... malam ini aku akan menyatroni rumah itu.
Akan kubawa beberapa orang yang kepandaiannya
dapat diandalkan. Siapa tahu pemuda keparat itu
masih ada di sana."
Setelah berkata demikian, Patala buru-buru keluar
dari ruangan itu. Tinggallah si orang tua termenung
menatap langit-langit ruangan.
***
Malam belum larut Bintang-bintang yang ber-
taburan di langit tampak berkedip-kedip menghiasi
sang malam. Angin dingin berhembus perlahan
diiringi suara nyanyian binatang malam yang saling
bersahutan. Di tengah semaraknya nyanyian binatang
malam, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
Derap kaki belasan ekor kuda terus bergema menuju
sebelah Timur Desa Kertasari.
Penunggang kuda yang berada paling depan tidak
lain adalah Patala. Lari kudanya sengaja diperlambat
agar tidak terlalu menimbulkan suara berisik.
Nampaknya Patala benar-benar ingin membuktikan
ucapannya untuk menyatroni rumah di mana tadi pagi
Panji mempecundanginya.
Tak lama kemudian, Patala menghentikan lari
kuda yang diikuti belasan anak buahnya. Patala dan
belasan tukang pukul bergegas melompat dari
punggung kuda. Setelah menambatkan kuda pada
sebatang pohon, orang-orang itu segera mengendap-
endap mendekati rumah yang dituju. Patala men-
jentikkan jemari tangan sebagai isyarat kepada dua
tukang pukul agar maju mendekat.
"Benar juga apa yang dikatakan Ki Kalari. Pemuda
keparat itu rupanya telah meninggalkan desa.
Sekarang kalian berputar dan masuk dari jalan
belakang. Kalian harus berhasil menculik gadis itu
untukku. Awas jangan sampai gagal! Kalau sampai
gagal, kepala kalian jadi gantinya, mengerti?!"
perintah Patala berbisik pelan.
"Baik, Tuan Muda," sahut kedua tukang pukul
mengangguk seraya bergegas menjalankan perintah
tuan mudanya. Tak lama kemudian kedua orang tadi
sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Namun sebelum kedua orang itu melangkah lebih
jauh, tiba-tiba dari atas batang pohon melayang
sesosok bayangan putih. Sesaat kemudian, bayangan
putih itu telah menghadang di depan mereka.
"Hm.... Hendak mencuri apakah dua ekor tikus
busuk mengendap-endap di tengah malam buta
seperti ini?" tanya sosok bayangan putih yang tidak
lain adalah Panji dengan nada mengejek.
Ternyata Panji belum pergi meninggalkan desa
seperti yang dugaan Patala. Rupanya Pendekar Naga
Putih sengaja bersembunyi di atas pohon menanti
kedatangan Patala yang menurut firasatnya masih
menyimpan rasa penasaran. Dan dugaannya ternyata
tidak meleset!
"Keparat! Siapa kau? Apa maksudmu menghadang
kami?" tanya salah seorang dari kedua tukang pukul
seraya mencabut senjata.
"Siapa aku, itu bukan urusanmu! Sebaliknya
akulah yang harus bertanya kepada kalian. Apa
maksud kalian mengendap-endap mendekati rumah
orang di malam buta seperti ini?" ujar Panji tak kalah
gertak. Meskipun sudah dapat menebak maksud
kedatangan kedua orang itu, namun untuk me-
mastikan dugaannya, pemuda itu ingin mendengar
sendiri dari mulut mereka.
"Bangsat! Mampuslah!" bentak salah seorang
tukang pukul sambil menyabetkan golok membelah
tubuh murid tunggal Eyang Tirta Yasa.
"Hm... aku tidak butuh senjatamu! Aku hanya
butuh jawaban!" seru Panji sambil menggeser tubuh
menghindari bacokan. Dan tanpa disangka-sangka
tangan Pendekar Naga Putih menotok pergelangan
tangan lawan yang memegang golok.
Tukkk!
"Aaah...!"
Tukang pukul itu menjerit kesakitan! Tubuhnya
bergetar hebat bagai terkena demam. Tapi sebelum
sempat menyadari keadaannya, tahu-tahu sebuah
tamparan yang cukup kuat singgah di kepalanya.
Seketika itu juga tubuhnya menggelepar pingsan dan
tidak tahu lagi kejadian selanjutnya.
Pada saat tangan Panji bergerak menampar,
kawannya yang seorang lagi mengayunkan golok ke
leher. Pemuda itu segera menggeser kakinya ke
belakang. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
berputar sambil mengayunkan kaki menghantam
tengkuk pembokongnya. Panji yang tahu kalau kedua
orang itu hanyalah orang-orang suruhan, sengaja
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Di
benaknya sama sekali tidak ada niatan untuk
membunuh mereka. Cukuplah hanya memberi sedikit
pelajaran agar mereka jera, pikir Panji.
Ternyata gerakan orang yang satu ini cukup gesit.
Pada saat kaki Panji terayun mengancam leher,
tukang pukul Patala ini cepat merendahkan kuda-
kuda hingga tendangan itu lewat sejengkal di atas
kepalanya. Sambil merendahkan tubuh, senjatanya
ditusukkan ke arah lambung Pendekar Naga Putih.
Namun, Panji yang sudah dapat membaca arah
serangan itu, cepat menekuk kakinya dan meng-
gencet senjata lawan ke atas permukaan tanah.
Begitu kaki kirinya menjejakkan tanah, secepat itu
pula kaki kanan menyepak wajah tukang pukul
Patala.
Plak!
"Uuuh...!"
Orang itu mengeluh tertahan ketika telapak kaki
Panji mencium pelipisnya. Tubuhnya terjajar mundur
jauh enam langkah. Tapi belum lagi sempat mem-
perbaiki posisi kuda-kudanya, tahu-tahu sebuah
tamparan hinggap di kepala. Seketika itu juga tubuh
anak buah Patala melintir seperti sebuah gasing.
Seketika pandangannya terasa gelap hingga tidak
tahu apa-apa lagi. Orang itu jatuh pingsan akibat
tamparan Panji yang cukup keras!
Setelah merobohkan kedua tukang pukul Patala,
tubuh Panji kembali melenting ke atas pohon. Bagai-
kan bayangan hantu, pemuda berjubah putih itu
berkelebat dari satu pohon ke pohon yang lain.
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai di tempat
Patala anak buahnya menunggu.
"Ha ha ha...!" Panji tertawa bergelak sambil
mengerahkan tenaga dalam. Suaranya bergema di
sekitar daerah itu hingga tak ubahnya seperti tawa
iblis yang datang dari alam kegelapan. Pemuda itu
berdiri dengan kaki terpentang di atas sebatang
dahan yang agak tinggi. Jubahnya yang putih ber-
kibaran tertiup angjn hingga pemandangan itu lebih
dari cukup untuk membuat seorang penakut lari
terbirit-birit.
"Sssi... apaaa... kau...?" teriak Patala gemetar
dengan suara terputus-putus. Walau bagaimanapun
pemandangan itu benar-benar menggetarkan hati
siapa saja yang melihatnya.
"Ha ha ha...! Aku adalah iblis yang ditugaskan
mencabut nyawamu, Manusia Bejat!" seru Panji,
suaranya dibuat sebesar mungkin sehingga mampu
mendirikan bulu roma orang yang mendengar.
Beberapa tukang pukul Patala terbelalak pucat!
Mereka benar-benar menyangka kalau sosok serba
putih itu adalah iblis yang ditugaskan mencabut
nyawa mereka. Seketika keringat dingin mulai
membasahi pakaian mereka.
Namun tidak demikian halnya dengan Patala yang
terlalu cerdik untuk dikibuli. Meskipun dengan
perasaan agak gentar, Patala terus meneliti sosok
yang berdiri di atas sebatang dahan. Samar-samar,
mulai dapat diduganya sosok di atas pohon itu.
"Keparat! Rupanya kau pemuda usilan! Turun kau,
Bangsat! Jangan beraninya hanya menakut-nakuti
orang secara pengecut!" maki Patala merasa diper-
mainkan oleh musuh yang amat dibencinya.
Beberapa orang yang tadi sempat terkecoh, ikut
marah. Serentak mereka mencabut senjata masing-
masing. Wajah yang semula pucat, mendadak merah
padam karena marah bercampur malu.
Ketika Panji melayang dari atas pohon, Patala dan
para tukang pukulnya langsung mengurung. Tanpa
banyak cakap lagi, mereka segera menyerang dengan
senjata terhunus! Seketika belasan senjata
berkelebatan di bawah siraman sinar sang rembulan.
Tapi Panji mampu bergerak cepat dan mengelak
setiap sambaran senjata yang berdesingan di sekitar
tubuhnya.
"Hiaaat!"
Disertai bentakan keras, Pendekar Naga Putih
melambung ke udara seraya mengembangkan kedua
tangannya mengancam kepala dua tukang pukul
terdekat.
Plak! Plak!
Tanpa bersuara lagi, anak buah Patala terpental ke
depan ketika tamparan tangan pemuda berbaju putih
menghantam belakang kepala mereka. Kedua orang
itu langsung tergeletak tewas! Dengan hidung,
telinga, dan mulut mengalirkan darah segar! Rupanya
tenaga liar yang mengendap di dalam tubuh Panji
kembali bergejolak. Padahal tadinya dia hanya
berniat menjatuhkan lawan saja, namun tenaga liar
dalam dirinya membobol keluar hingga menewaskan
dua anak buah Patala sekaligus.
"Bangsat! Mampuslah kau!" teriak salah seorang
tukang pukul lain sambil melompat dan menusukkan
pedang ke dada pemuda berbaju putih. Tubuh Panji
yang saat itu masih mengapung di udara, rasanya
sulit sekali untuk menghindar.
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah pendekar
kemarin sore. Berbagai macam pengalaman yang
telah didapat setelah menghadapi berpuluh-puluh
pertarungan tidak membuatnya gugup. Cepat kedua
tangannya bergerak menghimpit senjata lawan. Dan
dengan memanfaatkan tenaga dorong pedang lawan,
tubuh Panji berputar ke atas. Tak pelak lagi sepasang
telapak kakinya mampir di kepala tukang pukul
Patala.
Desss!
"Ughk...!"
Tanpa ampun lagi tubuh lawan terbanting ke
tanah. Setelah meregang nyawa sesaat, akhirnya
diam tak bergerak-gerak lagi. Rupanya orang itu
tewas akibat tengkorak kepalanya retak!
Begitu Panji menjejakkan kedua kakinya di tanah,
dua tukang pukul lain sudah datang menyerbu dari
dua arah. Segera Pendekar Naga Putih merendahkan
kuda-kuda sambil menjulurkan telapak tangan ke
dada dua penyerang.
Buk! Buk...!
"Hughk...!"
***
EMPAT
Hantaman telapak tangan Panji tepat mengenai dada
kedua penyerang. Tubuh keduanya terpental balik
disertai semburan darah segar dari mulut. Setelah
menabrak sebatang pohon, keduanya melorot dan
terkulai pingsan!
Patala dan sembilan anak buahnya tersentak
mundur. Kegentaran mulai membayangi di wajah
mereka begitu melihat lima orang kawannya telah
menggeletak tak berdaya hanya dalam beberapa
jurus saja. Padahal kepandaian orang-orang itu tidak
bisa dikatakan rendah. Mereka rata-rata adalah
pembantu-pembantu utama Patala. Tapi ketika
berhadapan dengan pemuda berpakaian putih itu,
mereka tak ubahnya sekumpulan laron menyerbu api.
"Hei! Mengapa kalian diam saja! Apakah kepala
kalian ingin dipenggal! Ayo, serbu!" Patala berteriak-
teriak bagaikan nenek-nenek yang kehabisan sirih.
Kemarahannya dilampiaskan kepada pengikutnya
yang tengah termangu ragu.
Biar bagaimanapun gentarnya, namun orang-orang
itu lebih takut kepada majikannya. Dan tanpa
diperintah dua kali, sembilan orang tukang pukul
Patala itu bergerak maju dan menerjang Panji dengan
senjata terhunus. Tapi karena hatinya telah diliputi
rasa gentar, maka serangan-serangan mereka pun
tidak lagi seganas sebelumnya. Kadang-kadang pada
saat mengayunkan senjata, mereka langsung
melompat mundur ketika melihat Panji menggerak-
kan tangannya. Padahal serangan mereka belum
sampai.
Panji yang tahu kalau lawan-lawannya telah di-
cengkeram kegentaran, segera memanfaatkan
kesempatan. Suatu saat kedua kakinya dibanting ke
tanah sambil berteriak nyaring.
"Hiaaa...!"
Bentakan pancingan Pendekar Naga Putih ternyata
tidak sia-sia. Para pengeroyok lari tunggang-langgang.
Tinggallah Panji tertawa terpingkal-pingkal melihat
Patala dan anak buahnya berlarian jatuh bangun.
Sampai-sampai perutnya terasa sakit melihat tingkah
mereka yang seperti dikejar setan.
"Ha ha ha... dasar tikus-tikus pengecut! Rupanya
kalian hanya berani kepada orang-orang lemah saja.
Sekalinya bertemu lawan yang lebih kuat, kalian lari
terbirit-birit!" seru Panji sambil terus tertawa terbahak-
bahak.
Tiba-tiba, Pendekar Naga Putih teringat pada
pemuda yang menjadi majikan orang-orang itu.
"Kurang ajar! Ke mana perginya pemuda bejat itu?"
gumam Panji geram. Sesaat kemudian, pemuda itu
sudah bertengger di atas dahan dan terus ber-
ompatan di antara pepohonan sambil mengedarkan
pandangan. Namun orang yang dicarinya sudah tak
tampak batang hidungnya lagi. "Hm... rupanya dia
sudah melarikan diri selagi anak buahnya menge-
royokku."
Karena tidak berhasil menemukan orang yang
dicarinya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu.
Angin malam berhembus menyebarkan hawa dingin
yang menusuk tubuh. Sementara sang rembulan
masih tersenyum dengan pancaran sinarnya yang
kuning keemasan.
***
Keesokan paginya, penduduk Desa Kertasari
menjadi gempar! Mereka menemukan tiga sosok
tubuh yang telah menjadi mayat Sedangkan empat
orang lainnya tergeletak pingsan dengan luka-luka
yang cukup berat.
Penduduk desa yang semula hendak mengerjakan
tugas sehari-hari segera masuk kembali ke dalam
rumah. Mereka mengunci pintu dan jendela rapat-
rapat tatkala mengenali orang-orang itu sebagai anak
buah Patala yang biasa mengawal kepala desa.
Warga Desa Kertasari sadar kalau kejadian itu akan
berakibat buruk bagi keselamatan mereka.
Ketika matahari sudah mulai naik, tampak
serombongan orang berkuda mendatangi tempat itu.
Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enam
puluhan yang wajahnya terlihat jauh lebih tua dari
usia sesungguhnya. Orang tua itu adalah Ki Kalari,
Kepala Desa Kertasari.
Begitu rombongan berkuda tiba di tempat anak
buah Patala tergeletak, tanpa banyak cakap lagi
orang tua itu melompat dari punggung tunggangan-
nya. Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati
sosok-sosok yang bergeletakan.
Tujuh orang yang menyertai Ki Kalari, ikut
melompat dari punggung kuda masing-masing.
Mereka ikut menyertai kepala desanya mendekati
sosok-sosok yang bergeletakan.
"Kuburkan mayat-mayat itu di tempat ini. Dan
bawa yang masih hidup ke balai desa. Aku berangkat
duluan dan menunggu di sana," ujar Ki Kalari sambil
melangkah meninggalkan para pembantunya.
"Baik, Ki," sahut salah seorang pengawal Ki Kalari
mengangguk.
Kepala Desa Kertasari itu bergegas melompat ke
punggung kuda. Wajahnya teriihat kelam karena
menyimpan rasa penasaran yang hebat. Tanpa
menoleh lagi, kudanya segera digebah meninggalkan
tempat itu.
Sepeninggal Ki Kalari, tujuh orang pengawal
bergegas menjalankan perintah kepala desanya.
Selesai mengubur mayat-mayat teman mereka, ke-
tujuh pengawal bergegas meninggalkan tempat itu
sambil membawa enam orang yang mengalami luka
dalam yang cukup berat
Tak lama kemudian, ketujuh orang itu tiba di balai
desa di mana Ki Kalari dan Patala telah menanti
kedatangan mereka.
Patala berlari menyongsong kedatangan ketujuh
orang itu. Tangannya bergerak cepat memeriksa
tubuh empat anak buahnya yang dirobohkan Panji
semalam. Setelah beberapa saat memeriksa, Patala
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik
napas lega.
"Hm... keadaan mereka tidak terlalu meng-
khawatirkan. Beri mereka minum ramuan-ramuan
yang telah kusediakan. Aku jamin mereka segera
pulih dalam dua hari," ujar Patala sambil bertolak
pinggang.
"Sudah kunasihatkan agar kau jangan dulu
bertindak. Nah, sekarang kau lihat sendiri akibatnya?
Pemuda itu pasti pendekar pengembara yang berilmu
tinggi. Kalau sudah begini, pasti dia tidak akan
meninggalkan Desa Kertasari sebelum tahu apa
sebenarnya yang terjadi di sini? Menurut dugaanku,
tidak lama lagi pasti dia akan menyatroni rumahku,"
ujar Ki Kalari bersungut-sungut
"Hm... hari ini aku memang mengaku kalah. Tapi
lihat nanti! Akan kubuat dia berlutut minta ampun
sambil menciumi ujung kakiku! Tunggu saja kau
pemuda keparat!" ujar Patala sambil mengepal
tinjunya. Sepasang matanya memancarkan api
dendam yang membara.
Ki Kalari hanya tercenung menatap cakrawala biru.
Ucapan Patala yang berapi-api karena terbakar
dendam sama sekali tidak ditanggapinya.
Patala menjentikkan jemarinya ketika melihat
ketujuh pembantunya melangkah keluar dari balai
desa. Mereka bergegas menghampiri Patala begitu
melihat isyarat majikan mudanya.
"Jaga tempat ini baik-baik! Kalau pemuda keparat
itu datang mencari Ki Kalari, katakan dia tidak ada
tempat. Ingat jangan bertindak sendiri-sendiri! Dan
selama aku pergi, kalian tidak boleh membuat
keributan, mengerti!" ujar Patala kepada ketujuh
orang pembantunya yang hanya mengangguk patuh.
"Dan kau, Ki. Kau tidak kuizinkan keluar selama
aku tidak ada. Sekali kau langgar perintahku, kau
akan tahu sendiri akibatnya!" ancam Patala galak.
Dan anehnya, Ki Kalari pun tidak berani membantah
ucapan anak muda itu. Entah apa yang menjadi
penyebabnya.
Patala menghentakkan tali kekang kudanya
meninggalkan Balai Desa Kertasari. Baru beberapa
puluh tombak kudanya dipacu, tiba-tiba lari binatang
tunggangannya dihentikan ketika melihat dua orang
laki-laki menghampiri dari arah yang berlawanan.
"Tuan Muda...," sapa orang bermuka tikus dan
kawannya berbarengan.
"Hm... dari mana saja kalian?" tegur Patala ketus
dan bernada mengancam, sehingga membuat wajah
kedua orang itu menjadi pucat.
"Kami... kami...."
"Ah, sudahlah! Sekarang kembalilah kalian ke
tempat Ki Kalari. Awasi segala tingkah laku orang
penyakitan itu. Laporkan padaku kalau dia
memperlihatkan tingkah yang mencurigakan!" ujar
Patala yang rupanya terburu-buru, hingga tidak
sempat lagi menanyakan dari mana saja mereka
pergi beberapa hari belakangan ini.
"Baik, baik!" sahut keduanya cepat sambil menarik
napas lega, seolah-olah saat itu mereka-baru saja
bebas dari sebuah keputusan hukuman mati. Setelah
berpesan demikian, Patala pun kembali menghela
kudanya menuju perbatasan Desa Kertasari. Pemuda
itu terus memacu kudanya bagai sedang dikejar
setan.
"Hhh... syukurlah dia terburu-buru. Kalau tidak, aku
tidak bisa menjamin saat ini kepala kita masih ada di
tempatnya," desah si muka tikus sambil meng-
hembuskan napas kuat-kuat. Sedangkan kawannya
hanya mengangguk lega.
Tidak lama kemudian, kedua orang itu pun
kembali meneruskan langkahnya. Kali ini mereka
menuju kediaman Ki Kalari, untuk menjalankan
perintah Patala yang dipanggil dengan sebutan tuan
muda.
***
Bagaikan orang kesetanan, Patala terus memacu
kuda melewati perbatasan desa. Dan setibanya di
luar lesa, kudanya dibelokkan menuju ke arah Timur
Desa Kertasari.
Tanpa sepengetahuan Patala, ada sesosok
bayangan putih berkelebat membayanginya. Gerakan
bayangan putih yang tidak lain adalah Panji, demikian
cepat dan ringan hingga tidak menimbulkan suara
sedikit pun. Tubuh pemuda berjubah putih itu terus
berkelebatan di antara batang-batang pohon.
Kadang-kadang melambung ke batang pohon dan di
lain saat sudah berlompatan dari satu dahan ke
dahan yang lain.
Panji menghentikan larinya dan mendekam di atas
dahan pohon berdaun lebat saat Patala mulai
memasoki daerah perbukitan. Dan setelah menye-
berangi sungai kecil, dilihatnya Patala memasuki
mulut sebuah hutan.
Panji menunda niatnya untuk membuntuti Patala
ketika beberapa tombak di belakang pohon
tempatnya bersembunyi, terlihat seorang lelaki yang
bagian kepalanya tertutup caping lebar tengah
membungkuk. Mendadak keningnya berkerut ketika
melihat beberapa sosok tubuh bergelimpangan di
sekitar orang bercaping.
"Eh, diakah yang telah membunuh orang-orang itu?
Atau dia hanya menemukan saja?" gumam Panji
bertanya pada dirinya sendiri. "Hm... aku harus hati-
hati menghadapi orang bercaping itu. Karena aku
belum tahu secara pasti di pihak mana sebenarnya
orang misterius itu."
Pendekar muda itu segera turun dari pohon dan
bergegas menghampiri orang bercaping yang tampak
nya tengah memeriksa mayat-mayat itu.
Panji yang ingin menegur orang bercaping
mendadak mengurungkan niatnya ketika melihat
dada mayat mayat itu terdapat tanda telapak tangan
berwarna merah. Saat itu juga ingatannya terbayang
pada mayat gurunya yang juga punya tanda seperti
itu.
"Hm... mau lari ke mana kau, Pembunuh Biadab?
Kali ini kau tidak akan lepas dari tanganku! Lihat
serangan...!" bentak Panji seraya melancarkan
serangan-serangan berbahaya.
Si orang bercaping terkejut mendengar bentakan
yang datang dari belakangnya. Cepat dia melompat
dan melakukan beberapa kali salto ke samping guna
menghindari serangan anak muda yang tengah kalap
itu.
"Sabar dulu, Kisanak. Tidakkah sebaiknya kau
dengar keteranganku lebih dahulu?" seru orang
bercaping mencoba menyabarkan Panji.
"Hm... kau rupanya," ujar Panji begitu mengenali
orang bercaping yang pernah memperingatkannya
sewaktu hendak mencegah Patala. "Tak perlu banyak
cakap lagi. Sekarang lebih baik kau sambut
seranganku! Hiaaat..!"
Seketika itu juga, Pendekar Naga Putih meluruk
sambil melancarkan beberapa kali serangan berturut-
turut. Sambaran angin pukulan yang dilancarkan
Panji berkesiutan mengancam tubuh orang misterius
itu.
"Hei... hei! Nanti dulu, Kisanak! Apa salahku?"
teriak orang bercaping sambil melompat menghindar.
Gerakannya terlihat cukup lincah dan gesit, hingga
beberapa pukulan Panji berhasil dihindari.
"Tidak perlu banyak bacot! Keluarkan seluruh ilmu
kepandaianmu kalau tak ingin mati sia-sia!" bentak
Panji geram. Kedua tangannya kembali melontarkan
serangan yang membuat orang itu semakin
kelabakan.
Sadar kalau membiarkan dirinya terus-menerus
diserang akan mendapatkan celaka, maka orang
bercaping terpaksa melancarkan serangan balasan.
Sepasang tangannya bergerak cepat melancarkan
pukulan-pukulan yang tidak kalah berbahaya.
Sepasang tangannya yang membentuk kepalan
meluncur bergantian dan menimbulkan sambaran
angin yang cukup kuat.
Melihat lawannya mulai melancarkan serangan
balasan, Pendekar Naga Putih semakin memperhebat
serangan. Kedua tangannya diputar-putar hingga
menimbulkan sambaran angin dingin yang kuat.
Namun sampai sejauh itu Panji sama sekali belum
memperlihatkan tanda-tanda akan mengeluarkan
ilmu andalannya. Si orang bercaping masih dapat
mengimbangi.
Wut! Wut.!
"Uts...!"
Dua kali serangan yang dilontarkan Pendekar Naga
Putih mengenai tempat kosong ketika orang
bercaping menggeser tubuhnya dengan kedua kaki
direndahkan. Begitu dua kali serangan itu luput,
mendadak orang bercaping berputar sambil
melakukan sapuan secara tak terduga.
Wukkk!
Panji mengangkat kaki depan hingga sapuan orang
misterius itu hanya mengenai rumput kering. Secepat
pemuda itu mengangkat kaki, secepat itu pula
menjatuhkan tubuh sambil menjulurkan kaki
kanannya menghantam perut lawan. Dan.... Bukkk!
"Aaakh...!"
Orang bercaping yang tak sempat lagi menghindar,
bergulingan sejauh tiga tombak ke belakang. Wajah di
balik caping itu terlihat meringis, menahan rasa mual
akibat terhantam tendangan yang cukup keras.
Setelah berhasil menendang perut lawan,
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu
lawannya bangkit Aneh, padalah saat itu terbuka
kesempatan untuk melumpuhkan lawan, tapi Panji
sama sekali tidak mempergunakannya.
Melihat lawan tidak menyusuli serangan, si orang
bercaping tertegun sejenak. Dia merasa heran sekali
mengapa Panji tak mempergunakan kesempatan
selagi dirinya terjatuh. Padahal menurut per-
hitungannya pemuda berjubah putih itu pasti akan
dapat melumpuhkannya saat itu juga. Tapi mengapa
tidak dilakukannya? pikir si orang bercaping heran.
"Apa sebenarnya keinginanmu, Kisanak? Bukan-
kah kau dapat melumpuhkanku kalau kau memang
menghendaki? Tapi mengapa kau tidak memper-
gunakan kesempatan ini? Apa sebenarnya yang kau
inginkan dariku?" tanya orang bercaping meng-
ungkapkan rasa penasaran.
"Karena kau belum mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaianmu. Nah, sekarang keluarkanlah seluruh
ilmumu agar kau tak mati penasaran!" sahut Panji
yang rupanya tengah menunggu lawannya mengeluar-
kan ilmu pukulan yang dapat menimbulkan tanda
telapak tangan berwarna merah. Itulah yang
menyebabkan mengapa Panji tidak melancarkan
serangan pada saat si orang bercaping terjatuh.
"Hm... ilmu apa lagi yang harus kukeluarkan untuk
menandingimu, Kisanak? Seluruh kepandaianku
telah kukerahkan untuk menahan gempuranmu
selama tiga puluh jurus tadi," jawab orang bercaping
sambil menyeringai menahan rasa nyeri yang men-
dera perutnya.
"Kau belum mempergunakan ilmu yang kau pakai
membunuh mereka bukan? Nah, kalau kau tidak
ingin celaka, cepat keluarkan ilmu yang kau per-
gunakan untuk membunuh mereka," ujar Panji yang
sudah bersiap kembali melancarkan serangan yang
lebih hebat
"Percayalah, Kisanak. Aku bukanlah pembunuh
orang-orang itu. Dan aku pun sama sekali tidak
memiliki ilmu seperti yang kau sangka. Kau boleh
percaya omonganku atau tidak, terserah!" ujar orang
bercaping tegas.
"Hm... kalau bukan kau yang membunuh mereka,
lalu siapa? Dan apa hubunganmu dengan mereka?"
tanya Panji lagi yang masih belum yakin kalau orang
bercaping bukan salah seorang pengikut Patala.
"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan orang-
orang yang terbunuh ini. Aku tidak sengaja
menemukan mayat-mayat ini karena hanya kebetulan
lewat, seperti juga kau. Aku bisa saja menuduhmu
sebagai orang yang telah membunuh mereka," jawab
orang bercaping yang kini malah berbalik
melontarkan tuduhan. "
"Eh!" Panji tersentak kaget mendengar tuduhannya
diputarbalikkan. Sungguh sama sekali tidak disangka-
nya kalau orang itu malah berbalik menuduh.
Beberapa saat lamanya pemuda berjubah putih ini
hanya termenung tanpa mampu mengeluarkan
sepatah kata pun.
"Nah, sekarang apa alasanmu membantah
tuduhanku? Bisa saja kau yang membunuh mereka,
lalu ketika melihat aku datang, kau segera sembunyi.
Dan untuk menimbulkan kesan aku yang membunuh
mereka, kau berpura-pura baru datang untuk
melontarkan tuduhan secara pengecut," ujar orang
bercaping lagi semakin memojokkan.
"Hm...," Panji hanya bergumam sambil
mengerutkan kening ketika mendengar ucapan orang
bercaping yang cukup masuk akal. Mereka berdua
bisa saja saling tuduh karena tidak ada seorang saksi
pun yang melihat kejadian itu. Ucapan orang
bercaping membuat pemuda itu menyadari
kekeliruannya. Tapi dia masih belum percaya
sepenuhnya, karena sama sekali belum mengetahui
siapa orang itu sebenarnya.
"Bagaimana, Kisanak? Benarkah kau yang
membunuh mereka?" orang bercaping kembali
menegaskan.
"Tidak. Seandainya aku yang membunuh mereka,
aku tidak akan sepengecut itu melemparkan tuduhan
kepada orang lain," jawab Panji tegas. Seolah-olah
ingin mengatakan kalau dirinya bukan seorang
pengecut seperti yang dituduhkan si orang bercaping.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak?
Apa keperluanmu di tempat ini?" meskipun nada
suara si orang bercaping masih menimbulkan kesan
menyelidik, namun sikapnya sama sekali tidak
menunjukkan permusuhan.
"Namaku Panji. Orang-orang persilatan memberiku
julukan Pendekar Naga Putih. Aku memberitahukan
hal ini bukan karena menyombongkan julukan kosong
itu. Tetapi agar kau dapat mempertimbangkan
tuduhanmu," ujar Panji, karena tidak ingin terjadi
kesalahpahaman di antara mereka lagi.
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang bercaping
membelalakkan matanya lebar-lebar, seolah-olah
ingin meyakini kalau pemuda di hadapannya adalah
pendekar muda yang tersohor itu. "Ah, maafkan
sikapku yang kurang hormat tadi, Saudara Pendekar.
Tentu saja tuduhanku tidak berlaku bagi Pendekar
Naga Putih. Aku sudah sering mendengar nama
besarmu selama ini, kau pendekar muda yang selalu
menentang segala tindak kejahatan," ujar si orang
bercaping segera membuka caping bambu yang
selama ini menyembunyikan wajahnya.
"Hm... ucapanmu terlalu berlebihan, Kisanak.
Sudahlah, jangan terlalu memujiku. Bisa-bisa
kepalaku menjadi besar nanti," sahut Panji yang
menjadi risih mendengar orang bercaping memuji
dirinya. "Nah, ternyata wajahmu tidak buruk.
Mengapa kau selalu menyembunyikannya? "
"Maafkan aku, Saudara Pendekar. Kedatanganmu
benar-benar membuat harapanku yang semula
hampir musnah bangkit kembali. Marilah kita cari
tempat yang lebih baik. Akan kuceritakan duduk
persoalannya," tukas orang bercaping sambil mencari
tempat yang lebih enak untuk bercakap-cakap.
***
LIMA
"Namaku Kuntara. Anak Ki Kalari yang menjadi
Kepala Desa Kertasari," orang bercaping memulai
ceritanya. "Lima belas tahun lalu, ayah mengirimku ke
salah satu perguruan untuk mendalami ilmu silat.
Setelah dinyatakan lulus, aku pun berniat kembali ke
desa kelahiranku. Tapi, keadaan di desaku ternyata
telah jauh berubah. Banyak kejanggalan-kejanggalan
yang kutemui. Aku jadi ragu kalau orang yang kini
memimpin desa itu masih ayahku," Kuntara berhenti
sebentar untuk menekan emosinya. Ditariknya napas
panjang berulang-ulang guna menenteramkan
hatinya.
"Apakah kau tidak bertanya pada salah seorang
penduduk?" tanya Panji melihat Kuntara meng-
hentikan ceritanya.
"Itulah kenyataan pahit yang sempat membuatku
terguncang. Sejak kecil ayah selalu menekankan agar
aku selalu berlaku adil dan menentang segala tindak
kejahatan. Sampai-sampai ayah menitipkan aku ke
sebuah perguruan untuk mewujudkan keinginannya.
Dapat kau bayangkan betapa malunya aku, Saudara
Panji. Begitu menginjakkan kaki di desa ini, ternyata
semua penduduk mengutuk ayahku karena per-
buatannya yang kejam dan tidak berprikemanusiaan,"
ujar Kuntara serak seraya menyapu wajahnya seolah-
olah ingin menghilangkan segala bayangan buruk
tentang ayahnya.
"Apakah kau tidak berusaha menyelidiki penyebab
ayahmu berbuat demikian?" tanya Panji ikut merasa
prihatin dengan keadaan yang dialami pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Yahhh..., aku memang telah menyelidikinya. Aku
terpaksa menyembunyikan wajahku agar tidak mudah
dikenali oleh pembantu-pembantu ayahku. Dan pada
suatu malam, aku berhasil menyelinap masuk dan
menemuinya," tutur Kuntara meneruskan ceritanya.
"Lalu bagaimana sikap ayahmu? Apakah dia
mengenalimu?" Panji menyelak tak sabar.
"Tentu saja dia mengenaliku. Nah, dari situlah baru
kuketahui kalau semua kejadian yang menimpa
penduduk bukan kemauannya sendiri. Ternyata ayah
dijadikan boneka yang dikendalikan oleh seseorang.
Dan itu sudah berlangsung kurang lebih lima tahun!
Hhh.... Aku merasa berdosa sekali telah menuduhnya
kejam."
"Apakah ada alasan yang menyebabkan ayahmu
menuruti segala perintah yang bertentangan dengan
hati nuraninya? Apakah dia tidak menjelaskan
kepadamu?"
"Tentu saja ayah menceritakan segalanya
kepadaku, Saudara Panji. Namun ayahku tidak dapat
berbuat apa-apa untuk menghentikan segala
kekejaman dan kebiadaban Patala, anak kepala
rampok yang menguasai ayahku. Belakangan baru
diketahui kalau yang menekan ayah adalah kepala
perampok yang menguasai beberapa desa di wilayah
ini. Ayah terpaksa menurut karena orang-orang jahat
itu menyandera ibu dan adik perempuanku. Itulah
sebabnya ayahku mendiamkan saja segala perbuatan
Patala dan para pembantunya," tutur Kuntara sambil
mengepalkan tinjunya erat-erat. Sepasang bola
matanya berkilat menahan kemarahan.
"Apakah kau pernah mencoba membebaskan ibu
dan adikmu? Atau mencoba mencegah perbuatan
Patala?" tanya Panji kini mulai mengerti duduk
persoalan yang menimpa penduduk Desa Kertasari.
"Tidak mungkin, Saudara Panji! Ibu dan adikku
ditahan di tempat kediaman kepala rampok itu. Lagi
pula di sana terdapat lebih dari seratus anggota
perampok yang rata-rata memiliki ilmu cukup hebat.
Kalau aku nekat membebaskan ibu dan adikku, itu
sama artinya dengan bunuh diri?"
"Lalu, apa rencanamu sekarang? Aku siap
membantumu!" ujar Panji yang membuat semangat
Kuntara bangkit seketika.
"Ah! Dengan adanya bantuanmu, persoalannya
tentu akan menjadi lain. Sekarang aku baru yakin
kalau usaha kami akan berhasil!" seru putra Kepala
Desa Kertasari begitu yakin pada kemampuan
Pendekar Naga Putih yang namanya telah meng-
guncangkan dunia persilatan.
"Kami?" tanya Panji heran ketika mendengar
Kuntara menyebut kata-kata 'kami'.
"Ya! Aku, paman guruku, dan beberapa saudara
seperguruanku," tukas Kuntara yang rupanya telah
meminta bantuan saudara-saudara seperguruannya.
"Apakah kau sudah menghubungi mereka?"
"Sudah lama aku menghubungi mereka. Dan kini
mereka sudah berada di Desa Kertasari menunggu
saat yang tepat untuk bertindak," jawab Kuntara yang
membuat Pendekar Naga Putih sedikit terkejut
karena tidak menyangka pemuda itu telah menyusun
rencana.
"Hm..., Kuntara, apakah kau tidak mengenali salah
satu mayat-mayat itu?" tanya Panji sambil menunjuk
ke arah tujuh sosok mayat.
"Entahlah, aku tak tahu siapa mereka. Hanya
dapat kupastikan kalau mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan golongan lurus. Aku pernah melihat salah
seorang di antara mereka datang ke perguruanku dan
berbicara kepada guru," sahut Kuntara menerangkan.
"Kau tahu pembunuh mereka?"
"Tidak, Saudara Panji. Tapi menurutku, kemung-
kinan besar mereka dibunuh kawanan perampok.
Karena tempat kediaman para perampok itu tidak
begitu jauh dari tempat ini. Bolehkah aku tahu,
mengapa kau begitu ingin mengetahui pembunuh
mereka, Saudara Panji?" akhirnya Kuntara tak dapat
menahan rasa ingin tahunya melihat Pendekar Naga
Putih begitu penasaran dengan pembunuh itu.
"Ah, tidak. Aku hanya ingin tahu saja," sahut Panji
mengelak, karena tidak ingin melibatkan orang lain
dalam persoalannya. "Sebelum bertemu denganmu,
aku sempat mengikuti Patala yang sedang menuju ke
dalam hutan. Menurutmu, apakah yang tengah
dikerjakan olehnya?" tanya Panji mengalihkan
pembicaraan.
"Mungkin dia akan mengadu kepada ayahnya. Eh,
apakah Patala tahu kalau kau Pendekar Naga Putih?"
tanya Kuntara begitu teringat pada anak kepala
perampok itu.
"Hm... kurasa tidak. Memangnya kenapa?" sahut
Panji setelah berpikir sejenak.
"Ah, tidak apa-apa. Tapi yang jelas, kita akan
bertambah sulit untuk bergerak kalau dia tahu siapa
sebenarnya pemuda yang berani menentangnya. Dia
pasti mengerahkan para perampok dan orang-orang
golongan sesat untuk membunuhmu," jawab Kuntara
seraya menarik napas dalam-dalam.
"Kuntara, apakah Patala selalu tinggal di rumah
ayahmu?" tanya Panji yang rupanya ingin tahu lebih
banyak tentang orang yang bemama Patala.
"Tidak tentu. Kadang-kadang kalau sudah bosan di
desaku, maka dia pindah ke desa lain yang masih di
bawah kekuasaan ayahnya. Biasanya setiap dua atau
tiga bulan dia pindah ke desa lain untuk mencari
gadis-gadis cantik yang akan dijadikan pemuas nafsu
binatangnya," tutur Kuntara geram ketika teringat
kebiadaban Patala.
"Kalau begitu, kau sudah tahu kediaman kepala
perampok yang menyekap ibu dan adikmu? Dapatkah
kau mengantarku ke sana?" pinta Panji sekaligus
ingin membuktikan kebenaran cerita Kuntara. Biar
bagaimanapun, cerita pemuda itu masih belum
diyakini sepenuhnya.
"Tentu, sudah lama aku tahu persembunyian para
perampok itu. Seperti yang kukatakan tadi, untuk
dapat masuk ke sana merupakan suatu hal yang
mustahil bagiku. Tapi lain halnya bila kau yang
menyelinap ke sana. Aku yakin kau pasti bisa, karena
kepandaianmu berpuluh-puluh kali kepandaianku,"
puji Kuntara yang menurut Panji terlalu berlebihan.
"Ah, sudahlah. Ayo, antarkan aku!" ajak Panji tak
ingin membuang-buang waktu lagi.
"Baiklah, ayo!" ujar Kuntara lebih dulu
meninggalkan tempat itu.
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin menonjolkan
kepandaiannya, hanya berusaha mengimbangi lari
pemuda itu tanpa berniat mengungguli. Sekilas Panji
tahu kalau Kuntara sengaja mempercepat larinya
untuk menguji.
***
Senja mulai merebah ketika kedua pemuda itu
memasuki kawasan hutan kecil yang menurut
Kuntara adalah kediaman para perampok. Setelah
beberapa lama berlari, akhirnya mereka bersembunyi
di balik batu besar yang banyak berserakan di tempat
itu.
"Itulah sarang mereka, Saudara Panji," ujar
Kuntara sambil menunjuk ke sebuah tempat hampir
mirip lembah yang dikelilingi dinding-dinding cadas
tinggi.
"Hm...," gumam Panji. Kedua anak muda itu
berada di tempat agak tinggi hingga dapat melihat
jelas sebuah lembah yang cukup luas berbentuk
seperti danau. Di tengah lembah terlihat sebuah
perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah kecil
berderet mengitari bangunan besar dan megah.
"Mungkin bangunan paling besar itulah kediaman
kepala perampok. Hebat! Orang itu tak ubahnya raja
kecil yang berkuasa di sini. Lihatlah! Gedung
kediamannya tak kalah megah dengan milik seorang
adipati," ujar Panji terheran-heran.
"Tidak aneh, Saudara Panji. Setiap musim panen
mereka selalu mendatangi desa-desa yang berada di
bawah kekuasaannya untuk merampas hasil panen.
Dan para petani hanya diberikan sisanya yang tidak
seberapa banyak," tutur Kuntara.
"Hm... pantas kalau mereka begitu makmur,"
gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepala-
nya.
"Ssst...!" bisik Panji menempelkan jari telunjuk ke
bibirnya. Kemudian tubuhnya langsung melayang ke
atas sebatang pohon tidak jauh dari tempat mereka
bersembunyi.
Kuntara yang langsung mengerti isyarat rekannya,
ikut pula melompat ke atas sebatang pohon di
sebelah Panji. Meskipun belum mendengar sesuatu
yang mencurigakan, namun Kuntara percaya kalau
Pendekar Naga Putih pasti telah lebih dulu men-
dengarnya.
Benar juga! Tidak lama setelah keduanya me-
lompat ke atas pohon, serombongan orang berkuda
melintas di bawah mereka. Rombongan itu berjumlah
sekitar tiga puluh orang. Wajah mereka rata-rata
terlihat kasar, namun seragam yang mereka kenakan
nampak mewah dan terawat baik.
Kening Panji berkerut melihat di antara rombongan
itu terdapat belasan wanita yang berwajah pucat dan
basah oleh air mata. Pakaian mereka seperti yang
biasa dikenakan gadis-gadis desa. Sekilas, sudah
dapat diduga kalau wanita-wanita itu hasil culikan.
Dan yang lebih membuat kening Pendekar Naga
Putih semakin berkerut dalam adalah ketika melihat
seorang gadis berpakaian biru muda di antara
mereka. Gadis cantik berambut panjang itu terkantuk-
kantuk di atas punggung kuda dengan kedua tangan
terikat ke belakang.
"Ayuning...!?" desis Panji terkejut bercampur heran.
Jantung pemuda itu berdebar seketika karena sedikit
banyak telah tahu tingkat kepandaian Ayuning.
Apabila gadis gagah itu dapat mereka tawan, sudah
barang tentu tingkat kepandaian orang-orang itu tidak
bisa dibuat main-main.
Melihat Ayuning ditawan bersama gadis-gadis
lainnya, tentu saja Panji tidak mau tinggal diam.
Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, pemuda
berjubah putih itu melayang dari atas pohon disertai
bentakan lantang.
"Berhenti!"
Rombongan berkuda tersentak kaget mendengar
bentakan dahsyat yang disertai pengerahan tenaga
dalam. Seketika binatang-binatang tunggangan panik
seketika dan sulit dijinakkan. Alhasil, rombongan
berkuda itu menjadi kacau-balau tak terkendali.
"Hieeeh...!"
"Shaaa... ck ck ck...!"
Para penunggang kuda kewalahan menjinakkan
kuda-kuda mereka yang semakin binal. Bahkan tidak
sedikit di antara mereka jatuh terinjak-injak kaki
kuda.
Di tengah suasana kacau itu, tiba-tiba Panji
melesat cepat menyambar Ayuning yang berada di
atas punggung kuda. Gerakannya hampir tak tampak
oleh mata orang awam.
"Bangsat! Ada orang melarikan tawanan kita!
Cepat kejar!" teriak salah seorang anggota
rombongan yang sempat melihat sesosok bayangan
putih menyambar gadis tawanannya. Seketika kuda-
nya digebah cepat mengejar Panji.
Setelah berhasil membawa Ayuning ke tempat
aman, Pendekar Naga Putih cepat melepaskan ikatan
gadis itu. Tapi tiba-tiba ingatan Panji terlintas pada
Kuntara. Mungkin saja Kuntara ikut melompat dari
atas pohon pada saat dirinya membebaskan Ayuning,
Hal itulah yang dikhawatirkan Panji.
"Kakang Panji...," desah gadis berbaju biru muda
ketika mulai dapat mengenali penolongnya. "Ah,
untunglah Kakang menolongku. Kalau tidak, entah
apa yang akan terjadi pada diriku. Terima kasih,
Kakang."
"Ayuning, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat
ini! Aku harus segera menolong kawanku. Siapa tahu
dia mengalami kesulitan!" desak Panji sambil
bergerak meninggalkan gadis itu.
Baru beberapa langkah meninggalkan Ayuning,
pemuda itu telah dikepung belasan ekor kuda
bersama anggota perampok di atasnya. Rupanya
mereka berhasil menemukan orang yang melarikan
tawanannya.
"Itu dia! Mau lari ke mana kau, Bangsat..! Hei! Kau
sudah bosan hidup? Atau mau cari mampus di tangan
gerombolan Setan Kepalan Besi!" bentak salah
seorang anggota perampok galak.
Setelah berkata demikian, orang itu melompat dari
punggung kudanya. Gerakannya kelihatan gesit,
pertanda kalau kepandaian orang itu tidak bisa
dipandang rendah.
Setelah perampok pertama turun, yang Iain pun
segera menyusul dan langsung membuat lingkaran
mengepung Panji dan Ayuning. Kini kedua pendekar
muda itu terkurung di tengah-tengah kepungan.
"Ha ha ha...! Sesalilah dirimu yang sok usilan,
Kisanak! Hiaaat..!" disertai teriakan nyaring, orang itu
melompat maju sambil mengayunkan pedang ke
tubuh Panji. Teriakan itu juga merupakan isyarat bagi
yang Iain untuk segera menyerang. Setelah melihat
kawannya sudah bergerak menyerang, perampok lain
berlompatan susul-menyusul ke arah Panji dan
Ayuning.
"Kakang Panji, hati-hati dengan bubuk beracun
yang akan mereka gunakan nanti!" teriak Ayuning
mengingatkan Panji di tengah hujan senjata belasan
pengeroyok.
Wut! Wut..!
Panji menggeser kakinya ke samping sambil
merendahkan kuda-kuda menghindari bacokan
pedang dua perampok. Gerakannya disusul dengan
tendangan kilat ke dada salah seorang lawan.
Namun orang itu cukup cerdik dan gesit.
Senjatanya langsung diputar untuk membabat kaki
yang mengancam dadanya. Cepat Pendekar Naga
Putih menarik kakinya kembali hingga bacokan itu
pun luput untuk kedua kalinya. Bagaikan sebuah
pegas, kaki Panji secepat kilat menendang dagu
orang itu. Tendangan kuat dan dilakukan secara
mendadak membuat lawan kelabakan. Tanpa dapat
dicegah lagi tendangan itu telak mengenai sasaran.
Desss!
"Aaakh...!"
Seketika itu juga perampok terbanting keras ke
tanah ketika dagunya terhajar secara telak!
Terdengar bunyi tulang patah diiringi jerit kesakitan
menyayat. Perampok bernasib sial itu mengerang
sambil menutup wajahnya. Seketika darah kental
mengalir dari mulutnya karena tulang rahangnya
patah.
Selagi perampok itu sibuk mengurusi lukanya, saat
itu Pendekar Naga Putih sudah sibuk menghindari
serangan empat pengeroyok lainnya. Serangan yang
dilancarkan empat perampok itu demikian gencar,
seolah-olah tak ingin memberi kesempatan untuk
membalas.
Sadar kalau lawan-lawannya adalah anggota
perampok yang sering mengganggu penduduk desa-
desa di sekitar wilayah itu, Panji bertindak kepalang
tanggung. Dan begitu memasuki jurus ke tujuh, tiba-
tiba Pendekar Naga Putih merubah gerakannya.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Panji melenting ke
udara menghindari serangan beruntun tiga
perampok. Dan selagi masih berada di udara, kedua
kaki pemuda berjubah putih itu meluncur ke belakang
melakukan dua tendangan ke arah dua pengeroyok
sekaligus! Dan...
Bukkk! Desss!
Tanpa bersuara lagi, dua perampok terjerembab
mencium tanah ketika tendangan itu tepat
menghantam punggung mereka. Tubuh mereka
langsung ambruk bersimbah darah. Tewas seketika!
"Keparat! Kubunuh kau!" lawan yang kini tinggal
seorang berteriak-teriak marah dan melangkah maju
sambil mengayunkan pedang kalang-kabut.
Pada saat pedang lawan membabat ke arah leher,
Panji merendahkan kuda-kuda sambil meliukkan
kepala. Ketika mata pedang lawan berdesing di atas
kepala, tahu-tahu tangan kanannya menangkap
pergelangan tangan lawan. Lalu tubuh orang itu
ditekuk dan langsung disambut dengan gerakan
lututnya.
Terdengar jeritan tertahan ketika lutut Panji
menghajar dada lawan. Darah segar langsung
menyemprot seketika itu juga. Sejenak tubuh
perampok itu menggelepar di tanah sebelum diam
untuk selama-lamanya. Tewas dengan tulang dada
remuk!
Belum lagi Panji sempat menarik napas lega, tiba-
tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi tempat
itu. Tak lama kemudian, kawanan perampok yang
ketinggalan dalam pengejaran telah tiba.
"Bangsat!" seorang laki-laki brewok berwajah
bengis membentak ketika melihat tiga kawannya
menggeletak tewas.
"Bunuh pemuda itu!" perintah si brewok kepada
belasan anak buahnya yang langsung melompat dari
punggung kuda.
Tanpa banyak cakap lagi, belasan kawanan
rampok yang baru tiba serentak menyerbu Panji.
Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar
mengincar tubuh pemuda berbaju putih itu.
Pertarungan pun kembali berlangsung seru.
Di tempat lain, Ayuning juga tengah bertarung
sengit melawan tujuh kawanan perampok. Meskipun
para perampok terus mencecar gadis cantik itu
dengan serangan bertubi-tubi, namun sampai sejauh
itu tak satu pun senjata mereka yang dapat
menyentuh tubuh Ayuning. Malah dua kawan mereka
telah tergeletak akibat tamparan gadis berpakaian
biru muda itu.
Sebagai murid tunggal tokoh sakti seperti Dewa
Tanpa Bayangan, sudah dapat dipastikan kalau
kepandaian Ayuning tidak bisa disamakan dengan
tokoh-tokoh kebanyakan. Tentu saja sebagai murid
tunggal, Ayuning telah dibekali ilmu-ilmu silat tinggi.
Maka tidak mengherankan kalau gadis itu kelihatan
tenang menghadapi keroyokan kawanan perampok
meskipun tidak bersenjata! Hanya dengan tangan
kosong.
"Haiiit..!"
Tiba-tiba, Ayuning berteriak nyaring sambil
melompat ke udara dengan kedua tangan
terkembang. Dengan gerakan berputar, tangan gadis
itu melakukan dua kali tamparan yang cepat dan tak
terduga. Tentu saja serangan mendadak itu membuat
pengeroyok yang menjadi sasarannya kelabakan.
Dan....
***
ENAM
Plak! Plak!
"Hughk...!"
Dua di antara para pengeroyok melintir ketika
telapak tangan Ayuning menghantam pelipis mereka.
Seketika itu juga keduanya melihat alam di
sekelilingnya menjadi gelap hingga tidak tahu lagi apa
yang terjadi selanjutnya. Kedua orang itu telah
tergeletak pingsan!
Kawanan perampok yang mengeroyok Ayuning kini
tinggal lima orang. Seketika para penggeroyok
bergerak mundur melihat gadis itu kembali meroboh-
kan dua kawan mereka. Beberapa saat lamanya,
kelima orang itu hanya berdiri terpaku menatap
pendekar wanita yang cantik jelita itu.
Sebelum kedua belah pihak saling bergerak, tiba-
tiba berkelebat sesosok bayangan putih mendekati
Ayuning. Dengan gerakan yang indah, bayangan putih
itu mendaratkan kedua kakinya tepat di sisi gadis
berpakaian biru muda itu.
"Kakang Panji...!" seru Ayuning gembira ketika
melihat Panji tidak kurang suatu apa pun.
"Ayuning, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini,
sebelum kawan-kawan mereka datang membantu,"
bisik Panji perlahan.
"Mengapa, Kakang? Apakah kau takut?" tegur
gadis cantik itu dengan kening berkerut. Ayuning
tampaknya tidak begitu suka melarikan diri dari
kancah pertarungan.
"Bukan begitu, Ayuning. Kalau bantuan mereka
tiba, maka akan lebih sulit bagi kita meloloskan diri.
Selain jumlah mereka banyak, tidak sedikit di
antaranya adalah tokoh-tokoh digdaya," jawab Panji
mencoba memberikan pengertian kepada gadis itu.
"Tapi... tapi... bagaimana dengan gadis-gadis desa
yang akan mereka jadikan pemuas nafsu, Kakang?
Apakah kau tega membiarkan mereka terancam
bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian?!"
bantah Ayuning sambil memalingkan kepalanya ke
arah belasan gadis desa yang berkumpul di dekat
sebatang pohon dan dijaga ketat tiga perampok.
Mendengar bantahan Ayuning, Panji menjadi
gelagapan. Tentu saja tidak akan dibiarkannya gadis-
gadis desa itu jatuh ke tangan para perampok. Tapi
pada saat ini posisinya benar-benar dalam keadaan
sulit. Kalau sampai bantuan para perampok keburu
tiba, maka rencana yang telah disepakati bersama
Kuntara bisa berantakan.
"Baiklah! Mari kita habisi dulu para perampok ini.
Setelah itu, baru kita tinggalkan tempat ini bersama
gadis-gadis tawanan itu," sahut Panji mantap. Setelah
berkata demikian, tubuhnya kembali melompat ke
tengah lawan-lawannya.
Lima belas perampok tergetar mundur melihat
lapisan kabut bersinar putih keperakan mengelilingi
sekujur tubuh Panji. Seketika tubuh mereka menggigil
akibat pengaruh hawa dingin menusuk tulang yang
mulai memenuhi sekitar daerah itu.
Panji yang tidak ingin hawa dingin dari tubuhnya
mempengaruhi yang lain, segera memancing lawan
menjauhi tempat Ayuning dan para gadis tawanan
berada. Tapi dia tertegun sejenak ketika mendengar
derap kaki kuda yang makin lama makin dekat
menuju ke tempat mereka.
"Hm.... Aku harus cepat bertindak sebelum
terlambat," kata Panji dalam hati. Indra pen-
dengarannya menangkap jelas derap kaki kuda
rombongan bantuan yang sebentar lagi segera tiba
dalam jumlah besar.
"Heaaat..!"
Seketika itu juga Pendekar Naga Putih meluruk ke
arah pengeroyok yang masih ragu untuk menyerang.
Sepasang tangannya diputar-putar sehingga
menimbulkan desir angin yang luar biasa dinginnya.
Meskipun agak tersendat, Panji dapat mengatur
tenaga liar yang mengendap dalam tubuhnya.
Wusss!
Desss! Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua kawanan perampok terguling dihantam
pukulan maut Kedua orang yang tidak sempat
mengelak itu, tewas seketika dengan tubuh membiru.
Para perampok lain mundur ketakutan. Mereka
sama sekali tidak menyangka dua kawan mereka
tewas dalam segebrakan saja. Padahal sebelumnya
pemuda itu membutuhkan paling tidak lima jurus
untuk menjatuhkan salah seorang di antara mereka.
Kejadian ini segera menyadarkan orang-orang itu
kalau sejak tadi Panji tidak bersungguh-sungguh
menghadapi mereka.
"Keparat! Rupanya pemuda itu bukan orang
sembarangan. Hati-hatilah kawan-kawan! Kali ini kita
harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menangkapnya," seru salah seorang pengeroyok yang
sepertinya pimpinan mereka.
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin membuang-
buang waktu lagi segera melesat ke arah para gadis
desa ditawan. Pemuda itu meluncur cepat bagai anak
panah lepas dari busurnya, dan langsung menerjang
tiga perampok yang menjaga gadis-gadis culikan itu.
Melihat tubuh Panji tiba-tiba meluncur ke arah
mereka, ketiga perampok segera mengayunkan
senjata untuk menghalau. Serentak ketiganya mem-
bacok dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam.
"Hiaaa...!"
Trak! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tiga perampok menjerit ngeri ketika senjata
mereka menghantam tubuh Panji. Seketika itu juga
ketiganya terlempar keras bagai disentakkan tenaga
raksasa yang tak tampak. Sementara ketiga senjata
mereka berpatahan ketika menyentuh tubuh Panji.
Ketiga perampok meregang menahan sakit dan
rasa dingin yang merasuk sampai ke tulang. Sesaat
kemudian, tubuh mereka pun mengejang dan tewas
dengan kulit membiru.
Itulah kelebihan Pendekar Naga Putih. Tenaga
sakti yang mengendap dalam tubuhnya bergejolak
setiap saat dan menjadi penangkal bila diserang dari
luar. Semakin kuat tenaga lawan yang menyentuh
tubuh Panji, maka semakin kuat pula daya tolak yang
diterima si penyerang.
Bersamaan kehadiran Panji di tempat para gadis
desa, tahu-tahu melayang sesosok tubuh dari atas
pohon dan mendarat di dekat kerumunan gadis desa.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun orang itu
langsung membuka tali pengikat yang membelenggu
mereka.
"Kuntara...," seru Panji begitu mengenali orang
yang baru datang. "Kuntara, bawa gadis-gadis
tawanan ini pergi! Biar aku yang akan mencegah para
perampok itu!" ucap Panji lagi yang hanya dijawab
anggukan oleh Kuntara. Setelah berkata demikian,
murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu melesat ke arah
Ayuning yang tengah dikeroyok.
"Ayuning! Cepat kau menyingkir! Lindungi Kuntara
membawa gadis-gadis desa meninggalkan tempat
ini!" seru Panji begitu menjejakkan kakinya di dekat
Ayuning.
"Tapi, bagaimana denganmu, Kakang?" tanya
gadis berpakaian biru muda mengkhawatirkan
keselamatan Panji.
"Aku akan menahan orang-orang yang akan
mengejar kalian! Cepatlah! Jangan membantah!" seru
Panji tegas karena tidak ingin mendengar bantahan
gadis yang keras kepala itu.
Belum lagi Ayuning sempat meninggalkan pemuda
itu, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh yang
disertai dengan munculnya para perampok lain.
Rupanya salah orang anggota perampok sempat
melaporkan kejadian yang mereka alami.
Kawanan perampok yang berjumlah lebih dari lima
puluh orang bergegas melompat dari punggung kuda
dan mengepung tempat itu. Sepertiga dari mereka
membawa busur dan anak panah.
Terlambat bagi Panji dan Ayuning untuk
meninggalkan tempat itu. Tapi untunglah Kuntara
telah lebih dulu meninggalkan arena pertempuran
bersama para gadis desa yang diselamatkannya.
"Ayuning, dengar kata-kataku dan jangan kau
bantah!" bisik Panji kepada gadis itu. "Aku akan
menerobos kepungan di sebelah kiri. Dan pada saat
itu, kau harus pergi dari sini, mengerti!?"
"Baiklah, Kakang," jawab Ayuning mengalah.
"Hm... bersiaplah!" bisik Panji sambil menarik
napas dalam-dalam. Sesaat kemudian, tubuh
Pendekar Naga Putih meluncur ke arah para
pengepung yang berada di sebelah kirinya.
"Heaaat..!"
Hawa dingin berhembus keras ketika sepasang
telapak tangan Panji didorongkan ke depan. Dan...
Wusss! Blarrr!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan
sepasang tangan Panji. Tanah dan rerumputan
hamburan ketika pukulan itu menghantam bumi.
Beberapa pengepung yang tidak sempat menghindar
terlempar keras. Tewas seketika dengan tubuh
membeku.
Pada saat kepungan kawanan perampok
berantakan, Pendekar Naga Putih segera menarik
tangan Ayuning untuk meloloskan diri. Setelah tubuh
murid Dewa Tanpa Bayangan melesat ke depan,
pemuda itu segera membalikkan tubuhnya untuk
berjaga-jaga dari bokongan lawan.
"Hujani panah...!" teriak salah seorang pimpinan
perampok yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah
pucat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru pimpinan perampok
satunya lagi terkejut Laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun itu terbelalak melihat lapisan kabut sinar
putih keperakan menyelimuti seluruh tubuh Panji.
"Pendekar Naga Putih!?" ulang pimpinan perampok
yang berwajah pucat dengan rasa terkejut bercampur
heran.
Mendengar aba-aba si muka pucat, barisan panah
segera bersiap-siap melepaskan anak panah. Sesaat
kemudian terdengar suara berdesing ketika puluhan
batang anak panah meluncur deras ke arah Panji.
Pendekar Naga Putih yang memang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan, bergegas memutar
kedua tangannya. Sesaat kemudian, angin dingin
laksana badai berputar menderu-deru. Batu-batu kecil
dan ranting-ranting kering beterbangan di sekitar
tempat itu.
Wrrr! Wrrr...!
Puluhan batang anak panah beterbangan ke
segala arah. Tak satu pun dari puluhan batang anak
panah menyentuh tubuh Panji. Bahkan ada yang
berbalik menghujani kawanan perampok sendiri.
Cappp! Cappp!
"Aaa...!"
Tiba-tiba delapan kawanan perampok menjerit pilu
ketika anak-anak panah berbalik menembus tubuh
mereka sendiri. Kawanan perampok itu terjungkal,
tewas seketika!
"Gila!" seru beberapa kawanan perampok terkejut.
"Ilmu setan...!" seru yang lain gentar.
"Jangan takut! Kepung pemuda iblis itu!" si
pemimpin yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah
pucat berteriak memberi semangat kepada anak
buahnya.
Belasan perampok kembali berlompatan maju ke
depan. Di tangan mereka tergenggam pisau-pisau
terbang yang siap dilemparkan!
"Hiaaa...!"
Dibarengi teriakan nyaring sebagai isyarat, salah
seorang dari mereka segera melompat sambil
mengibaskan tangan. Kemudian disusul oleh yang
lain turut-turut
Singgg! Singgg...!
Puluhan batang pisau terbang sepanjang telapak
tangan berdesingan mengancam Pendekar Naga
Putih!
Panji yang belum sempat menarik napas lega,
kembali menggerakkan tangan dan menariknya ke
sisi pinggang. Dan disertai bentakan keras, kedua
telapak tangannya didorong untuk menangkis
puluhan pisau, terbang yang meluncur cepat ke
arahnya.
Wusss!
Belasan pisau terbang yang dilepaskan tiga orang
pertama berhasil dipukul runtuh. Namun sebelum
pemuda itu sempat melancarkan pukulan balasan,
belasan pisau terbang lain sudah berada di depan
muka.
Plak! Plak...!
Trak! Trak...!
Pisau terbang yang mengancam wajah berhasil
dirontokkan dengan tepisan kedua tangannya.
Sementara belasan pisau lain jatuh berpatahan
ketika menyentuh tubuh Panji yang dikelilingi lapisan
kabut bersinar putih keperakan. Beberapa pisau ada
yang berhasil ditangkap, langsung dilempar kembali
ke perampok dengan kecepatan menggiriskan!
Empat kawanan perampok yang tadi melepaskan
pisau terbang langsung terjungkal dan tewas seketika
dengan leher tertancap pisau mereka sendiri. Tentu
saja kejadian itu semakin membuat kawanan
perampok yang lainnya gentar!
Melihat anak buahnya menjadi gentar, empat
orang pimpinan perampok segera melompat maju
dan langsung mengurung Panji.
"Huh! Rupanya kau makin sombong sehingga
berani mencampuri urusan kami, Pendekar Naga
Putih!" bentak pemimpin pertama yang berusia
sekitar lima puluh tahun, geram. Tiba-tiba tangan
orang itu berkelebat, mencabut sepasang trisula yang
terbuat dari baja putih.
"Hm... membasmi kejahatan adalah urusanku,
Kisanak. Itu memang sudah menjadi tugasku sebagai
pendekar penegak keadilan!" sahut Panji tenang.
"Keparat sombong! Mampuslah!" bentak pemimpin
yang satunya lagi. Orang itu langsung melesat sambil
menebaskan golok bergerigi yang berdesing tajam.
Ketika golok bergerigi lawan hampir menembus
tubuh Pendekar Naga Putih, kedua kakinya segera
tarik mundur. Begitu senjata perampok lewat, tangan
kanannya berkelebat mencengkeram leher lawan.
Namun, Panji terpaksa cepat menarik tangannya
karena ada saat yang bersamaan, dari arah samping
kiri telah menyambar pedang salah seorang kawanan
perampok.
"Haiiit."
Pendekar Naga Putih berteriak nyaring sambil
melompat ke belakang. Dan ketika kembali ke tanah,
telapak tangannya langsung didorongkan ke depan.
Seketika serangkum angin berhawa dingin
berhembus keras menyertai pukulan jarak jauh itu.
Blarrr!
"Iiih...!"
Untunglah kedua penyerang itu sempat meng-
hindar dari pukulan maut tersebut. Kalau tidak, tubuh
mereka pasti remuk akibat kedahsyatan pukulan
yang dilancarkan Panji. Setelah melepas pukulan,
Panji yang mendapat kesempatan meloloskan diri,
langsung meninggalkan tempat itu. Pemuda berjubah
putih sengaja berlari ke arah berlawanan dengan
jalan yang diambil Ayuning dan Kuntara. Dengan jalan
itu berharap Kuntara dan Ayuning dapat melepaskan
dari kejaran para perampok.
"Kejar...!" teriak keempat pimpinan perampok
kepada anak buahnya seraya melompat ke punggung
kuda dan langsung melakukan pengejaran.
Senja yang mulai remang-remang sangat meng-
untungkan Panji. Pendekar Naga Putih dengan
mudah dapat menghindari kejaran para perampok
dengan mengerahkan ilmu lari cepat
***
Setelah lolos dari kejaran kawanan perampok,
Panji segera mengambil jalan pintas menuju Desa
Kertasari. Tubuh pemuda itu melesat cepat bagai tak
menginjak tanah. Dia sengaja mengerahkan ilmu lari
cepat agar dapat menyusul Ayuning dan Kuntara.
Setibanya di mulut desa, kening Panji agak berkerut
melihat api obor terang-benderang menyambut
kedatangannya.
"Hei! Itu Kakang Panji...!" seru sebuah suara merdu
yang berasal dari mulut gadis cantik berpakaian biru
muda. Gadis itu tidak lain adalah Ayuning.
"Benar! Itu Saudara Panji!" seru Kuntara yang ber-
jalan di sisi gadis cantik itu.
"Kuntara..., Ayuning...! Syukurlah kalian selamat!"
seru Panji sambil mengayunkan langkah menghampiri
kedua sahabatnya. Wajah mereka berseri-seri karena
semua telah selamat.
"Mari ikut bersama kami, Saudara Panji," ajak
Kuntara sambil menyerahkan seekor kuda kepada
Panji. Setelah berkata demikian, putra Kepala Desa
Kertasari segera melompat ke punggung kuda yang
telah tersedia di tempat itu.
"Eh, mau ke mana kita, Kuntara...? Ayuning...?"
tanya Panji yang masih belum mengerti maksud
pemuda itu. Namun akhirnya pendekar perkasa itu
terpaksa melompat juga ke atas punggung kuda
ketika melihat Kuntara dan Ayuning hanya tersenyum
sambil menggebah kuda mereka.
"Hendak ke mana kita?" tanya Panji lagi yang tak
dapat menahan keheranannya.
"Ke balai desa!" jawab Kuntara singkat. Tanpa
berkata apa-apa lagi, Kuntara bergegas mempercepat
lari kuda hingga mendahului kedua kawannya.
Panji dan Ayuning pun ikut menggebah kuda
mereka hingga dapat menyusul Kuntara. Meskipun
sebenarnya merasa heran atas sikap kedua
sahabatnya, tapi pemuda berjubah putih tidak
bertanya karena keduanya seolah-olah sengaja
menyembunyikan sesuatu.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di depan balai
desa. Ketiganya terus memasuki halaman balai desa
yang dijaga dua laki-laki gagah.
Kuntara mengangguk kepada kedua penjaga yang
menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Sepertinya putra Kepala Desa Kertasari ini memang
sudah mengenal kedua orang itu.
"Eh, ke mana perginya begundal-begundal Patala?"
pikir Panji heran ketika tidak melihat seorang pun
perampok berseragam hitam yang tempo hari pernah
mengeroyoknya di balai desa. Pendekar Naga Putih
memperhatikan dua laki-laki gagah yang tadi
berteguran dengan Kuntara. Dua penjaga berseragam
baju putih dan celana hitam kembali mengangguk
ramah. Di dada mereka tertera lambang burung elang
membentangkan sayap.
"Siapa penjaga itu, Kuntara? Sepertinya mereka
bukan orang-orang Patala?!" tanya Panji kepada
Kuntara setelah keduanya turun dari kuda dan masuk
balai desa.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku yang
pernah kuceritakan kepadamu," jawab Kuntara
seraya tersenyum.
Sebelum pemuda berjubah putih sempat bertanya
lebih jauh, dari ruang dalam balai desa muncul Ki
Kalari didampingi laki-laki gagah berusia sekitar
empat puluh tahun. Keduanya bergegas menyambut
kedatangan Panji, Ayuning, dan Kuntara.
"Selamat datang, Pendekar Naga Putih! Mari
silakan masuk!" sambut Ki Kalari dan laki-laki gagah
itu berbarengan sambil memberi jalan kepada ketiga
orang itu.
Meskipun masih diliputi rasa heran, Pendekar
Naga Putih membalas juga senyum ramah kedua
orang itu sambil terus memasuki ruang dalam balai
desa. Pikiran Panji masih dipenuhi berbagai macan
pertanyaan.
***
TUJUH
"Demikianlah, Panji. Ketika aku dan Ayuning tiba di
desa, ternyata segalanya telah dibereskan paman
guru, dan saudara-saudara seperguruanku," Kuntara
mengakhiri ceritanya sekaligus menjawab semua
pertanyaan yang ada dalam benak pemuda berjubah
putih.
"O, jadi selagi Patala belum kembali, semua
pengikutnya telah habis kalian basmi?" desah
Pendekar Naga Putih seolah berkata kepada dirinya
sendiri.
"Ya! Karena aku tahu kalau anak keparat itu tidak
akan kembali dalam waktu singkat. Paling tidak dia
menginap dua atau tiga hari di tempat kediaman
Setan Kepalan Besi, ayah kandungnya," ujar Ki
Sentanu, paman guru Kuntara menerangkan.
"Hm... bagaimana Ki Sentanu dapat mengenaliku?
Padahal seingatku kita belum pernah bertemu," ucap
Panji yang tak dapat menyembunyikan rasa pe-
nasaran karena Ki Sentanu telah tahu kalau dirinya
adalah Pendekar Naga Putih.
"Ha ha ha... memang benar kita belum pernah
bertemu sebelumnya. Tapi bukan berarti aku belum
pernah melihatmu! Ingatkah kau dengan orang
bermuka tikus yang meminta pedangmu tempo hari?
Nah, di situlah aku melihat bagaimana kau dapat
merobohkan si muka tikus. Saat itu aku memang
belum dapat mengenai siapa dirimu. Tapi pada saat
engkau melingkarkan pedangmu di pinggang, aku
segera sadar kalau kau adalah Pendekar Naga Putih
yang selama ini telah mengguncangkan dunia
persilatan," jelas Ki Sentanu menghilangkan rasa
penasaran di hati Panji.
"Lalu bagaimana dengan ibu dan adikmu,
Kuntara? Bagaimana kalau kepala perampok itu tahu
Desa Kertasari telah kembali ke tangan Ki Kalari?"
tanya Panji. Tapi mendadak ucapan pemuda ini mem-
buat orang-orang yang berkumpul di tempat itu
menunduk cemas. "Ah, maafkan pertanyaanku tadi.
Aku tidak bermaksud membuat kalian sedih. Tapi
kupikir tidak ada salahnya kalau mulai dari sekarang
kita sudah memikirkan keselamatan mereka."
"Ah, tidak apa-apa, Saudara Panji. Justru hal ini lah
yang ingin kami bicarakan denganmu," sahut Ki Kalari
mulai angkat bicara.
"Maksud Aki?" tanya Pendekar Naga Putih yang
belum mengerti maksud pembicaraan Kepala Desa
Kertasari itu.
"Begini, Saudara Panji. Sebelum Patala kembali ke
desa ini, kami bermaksud meminta kesediaanmu
menolong istri dan anak perempuanku yang ditahan
di perkampungan para perampok. Tentu saja kalau
kau tidak keberatan," ujar Ki Kalari sambil menatap
wajah pemuda berjubah putih.
Panji menatap wajah orang tua itu sejenak.
Permintaan Ki Kalari tidak langsung dijawab. Pemuda
itu tidak bisa memutuskan langsung begitu saja
mengingat tugas yang dibebankan kepadanya kali ini
tidaklah mudah.
"Baiklah, Ki. Akan kucoba. Tapi kuminta kesediaan
Kuntara dan Ayuning untuk membantuku," akhirnya
Panji bersedia menerima tugas membebaskan istri
dan anak Kepala Desa Kertasari.
"Aku siap!" sahut Kuntara mantap, tanpa keraguan
sedikit pun.
"Aku juga bersedia!" Ayuning pun cepat menimpali.
"Baiklah! Kalau begitu kita harus sudah berangkat
sebelum fajar!" ujar Panji memutuskan kesepakatan
itu.
"Yah, kalau memang begitu, silakan kalian ber-
istirahat agar besok sudah segar kembali," ucap Ki
Kalari yang segera bangkit dari kursinya.
"Baiklah, kami permisi dulu!" sahut Panji mewakili
Ayuning dan Kuntara yang sudah terlebih dahulu
melangkah keluar dari balai desa.
"Ayuning, ke mana gurumu? Mengapa kau tidak
bersama beliau?" tanya Panji kepada Ayuning dalam
perjalanan menuju kediaman Ki Kalari.
"Guruku menyerahkan tugas itu kepadaku.
Sedangkan beliau sendiri terus pulang ke per-
tapaannya," kata Ayuning.
"Lalu, apakah kau sudah menemukan jejak
gerombolan Patala," tanya Panji lagi.
"Belum! Kakang sudah menemukannya?" Ayuning
balik bertanya.
"Juga belum."
Kuntara yang tahu kalau Panji dan Ayuning telah
saling mengenal sebelumnya tak ingin mencampuri
urusan kedua sahabatnya.
"Selamat beristirahat, Saudara Panji, Ayuning...,"
ujar Kuntara ketika tiba di kediaman kepala desa.
Kuntara yang telah menunjukkan kamar untuk kedua
sahabatnya, bergegas meninggalkan mereka dan
masuk kamarnya sendiri.
"Selamat malam...," jawab Panji dan Ayuning
berbarengan. Kemudian, keduanya pun berpisah
memasuki kamar masing-masing.
Sang malam terus merayap ditingkahi suara
nyanyian binatang malam yang semarak.
***
Malam hampir berganti pagi ketika terdengar
kokok ayam jantan bersahut-sahutan menyambut
daangnya sang fajar. Di bawah keremangan fajar,
tampak tiga orang memacu kuda keluar dari Desa
Kertasari. Mereka adalah Panji, Kuntara, dan Ayuning
yang akan menunaikan tugas untuk menyelamatkan
keluarga Ki Kalari dari cengkeraman kawanan
perampok di bawah pimpinan Setan Kepalan Besi.
Ketiga muda-mudi itu terus memacu kudanya
menerobos udara yang masih dingin. Angin bersilir
lembut seolah-olah ingin mengiringi kepergian tiga
pendekar muda menunaikan tugasnya.
Tidak lama kemudian, mereka mulai memasuki
wilayah hutan kecil tempat perkampungan perampok.
"Kuntara, kau tunggulah di sini! Aku dan Ayuning
akan mencoba menyelinap ke dalam sarang
perampok. Ingat! Jangan sekali-kali kau tinggalkan
tempat ini sebelum aku dan Ayuning membawa ibu
dan adikmu," pesan Panji setibanya di atas bukit
dekat perkampungan perampok. Mereka sengaja
memilih tempat yang agak tersembunyi dan jauh dari
pengawasan perampok.
"Baiklah, Saudara Panji. Apa pun yang terjadi aku
akan menunggumu di sini! Hati-hatilah kalian!" jawab
Kuntara sambil melompat dari punggung kudanya,
menambatkan tali kekang binatang tunggangannya
pada sebatang pohon. Begitu pula Panji dan Ayuning.
Setelah menambatkan kudanya di pohon, keduanya
menyelinap masuk ke perkampungan perampok.
Kuntara mengawasi kepergian dua orang
sahabatnya yang rela menghadapi maut demi
keluarganya. Padahal dua orang itu baru dua hari
dikenalnya. Tapi mereka cepat sekali akrab, seperti
telah saling mengenal bertahun-tahun.
"Ah, mereka benar-benar sahabat terbaik yang
pernah kukenal. Mereka rela mempertaruhkan nyawa
untuk kepentingan orang lain. Hm... keduanya benar-
benar pendekar sejati yang selalu membela
kebenaran tanpa pamrih. Sungguh bahagia aku dapat
menjadi sahabat orang-orang berjiwa pendekar
seperti mereka," gumam Kuntara yang merasa sangat
beruntung dapat berkenalan dengan Panji dan
Ayuning.
Sebentar saja, kedua pendekar muda itu telah
lenyap dari pandangan Kuntara. Mereka bergerak
cepat, menyelinap di antara bebatuan dan pe-
pohonan. Tak lama kemudian akhirnya keduanya tiba
di dekat perkampungan perampok.
Panji memberi isyarat menunjuk rumah besar dan
paling megah di antara rumah-rumah lain yang
diduganya sebagai tempat tinggal kepala perampok.
Tubuh pemuda itu pun melayang ke atas atap salah
satu rumah perampok yang terletak agak ke pinggir.
Sedangkan Ayuning mengikuti dari belakang tanpa
banyak cakap. Wajah gadis berpakaian biru muda itu
teriihat tegang karena sadar kalau kini mereka telah
memasuki sarang harimau. Sekali saja membuat
kesalahan, bukan tidak mustahil nyawa mereka akan
melayang.
Setelah menyusuri beberapa buah rumah, akhirnya
mereka tiba di bagian belakang bangunan yang paling
besar dan megah. Kedua pendekar muda itu
melompati tembok setinggi empat meter dan
melayang turun di taman belakang. Setelah menjejak
tanah, keduanya bergegas menyelinap di antara
pepohonan yang tumbuh di taman itu.
"Kau tunggu di sini sebentar, Ayuning. Aku akan
menyergap salah seorang penjaga untuk mencari
keterangan," bisik Panji ke telinga Ayuning. Selesai
berkata demikian, Pendekar Naga Putih bergegas
mendekati dua penjaga yang tampak terkantuk-
kantuk.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Panji
berhasil melumpuhkan kedua penjaga yang tak
sempat berteriak. Salah seorang penjaga yang
berhasil dilumpuhkan, diseret ke tempat Ayuning
menunggu, sedangkan penjaga yang pingsan
disembunyikan di semak-semak.
"Kalau kau masih ingin hidup, cepat katakan di
mana tempat istri dan anak Kepala Desa Kertasari
ditahan!" ancam Panji setelah membebaskan totokan
pada penjaga itu.
Dengan terbata-bata, penjaga itu akhirnya
memberi tahu tempat tahanan keluarga Ki Kalari.
Selesai memberi keterangan, tangan Panji kembali
bergerak cepat menotok lumpuh orang itu. Tindakan
selanjutnya, Panji dan Ayuning melesat menuju
tempat tawanan yang ditunjukkan penjaga tadi.
Keduanya terus menyelinap, memeriksa ruang demi
ruang sampai akhirnya terpaksa berhenti sejenak
ketika mendengar suara para penjaga yang tengah
asyik bermain kartu. Panji memberi isyarat kepada
Ayuning menyergap keempat penjaga. Sesaat
kemudian mereka melesat berbarengan. Dan....
Desss! Desss!
"Hughk...!"
"Heghk...!"
Dalam sekejap tubuh empat penjaga langsung
rebah tidak berkutik lagi. Cepat Pendekar Naga Putih
menyambar kunci yang tergantung di dinding ruang
jaga. Lalu dibukanya salah satu kamar tahanan di
mana istri dan anak gadis Ki Kalari mendekam.
Kedua pendekar muda itu terus bergerak keluar
membawa wanita setengah baya dan gadis remaja
berusia sekitar lima belas tahun.
"Hei, siapa itu?" tiba-tiba muncul penjaga malam
yang saat itu memasuki ruang tahanan.
Sejenak Panji terkejut mendengar teguran itu. Tapi
tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berjubah
putih itu langsung mencelat dan melontarkan dua
serangan mematikan sekaligus.
Bukkk! Desss!
"Aaargh...!"
Kedua penjaga menjerit ngeri ketika telapak
tangan Panji hinggap di leher mereka berbarengan.
Keduanya langsung roboh bersimbah darah segar
yang keluar dari mulut mereka. Keduanya tewas
dengan tulang leher patah!
Sebelum tewas, keduanya sempat mengeluarkan
teriakan yang didengar empat penjaga lain yang saat
itu sedang melintas di depan ruang tahanan.
"Eh, seperti teriakan orang kesakitan?" ucap salah
seorang dari empat orang penjaga.
"Man kita periksa!" ajak yang satunya lagi seraya
melangkah cepat menuju pintu ruang tahanan.
Namun begitu tangannya menyentuh daun pintu,
mendadak pintu terbuka dan ada sebuah tangan kuat
yang langsung menarik penjaga itu ke dalam.
"Hei! Siapa itu?" seru salah seorang penjaga yang
temannya ditarik ke dalam. "Cepat bunyikan
kentongan tanda bahaya!"
Saat itu Panji dan Ayuning berusaha menerobos
keluar sambil membawa kabur dua orang wanita yang
berhasil mereka bebaskan. Tangan pemuda berjubah
putih itu langsung bergerak melepaskan tamparan
maut ke arah penjaga yang tadi berteriak.
Plak!
"Aaakh...!"
Penjaga itu kontan terpelanting tewas. Tengkorak
kepalanya retak akibat tamparan tangan Panji yang
sudah dialiri tenaga dalam. Sedangkan dua penjaga
lain sempat berlari untuk memukul kentongan tanda
bahaya.
Tidak lama kemudian, di perkampungan perampok
terdengar suara kentongan bersahut-sahutan hingga
membuat suasana dinihari yang hening menjadi
gaduh.
Panji dan Ayuning segera melompati pagar tembok
tempat mereka masuk tadi bersama dua orang
bawaannya. Sesaat kemudian, tubuh keduanya telah
mendarat empuk di luar gedung besar tempat
kediaman kepala perampok.
Baru saja beberapa langkah mereka berlari, di
depan mereka telah menghadang puluhan anggota
perampok.
"Ayuning! Selamatkan dua orang ini! Aku akan
mencerai-beraikan kawanan perampok. Dan selagi
aku membuat keributan, cepat kau bawa mereka ke
tempat Kuntara menunggu! Dan langsung ke desa!
Jangan pikirkan aku!" seru Panji kepada Ayuning yang
hanya dapat menganggukkan kepala dengan wajah
pucat!
"Heaaat..!"
Disertai pekikan nyaring, Pendekar Naga Putih
langsung menggebrak barisan para perampok yang
menghadang. Angin dingin yang menusuk tulang
segera menebar dari tubuh pemuda itu. Seketika
selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti
sekujur tubuhnya.
Blarrr!
Belasan perampok yang mencoba mengurung
berpentalan dihantam pukulan keras Panji. Seketika
debu mengepul tinggi hingga pandangan di sekitar
tempat itu menjadi terhalang.
"Ayuning, lari...!" teriak Panji sambil mem-
persiapkan pukulan susulan. Di saat ketegangan
memuncak dalam diri Pendekar Naga Putih, men-
dadak tenaga sakti inti gerhana bulan bergolak
dahsyat menembus aliran darah di sekujur tubuh
Panji.
Lapisan kabut bersinar putih keperakan kian
melebar, hampir setengah tombak dari tubuh pemuda
perkasa itu. Angin dingin pun semakin kuat menderu-
deru di sekitar tempat itu.
Bersamaan dengan kepulan debu yang meng-
halangi penglihatan, tubuh Ayuning berkelebat cepat
meninggalkan para perampok. Meskipun membawa
dua orang di bahunya pendekar cantik itu sama sekali
tidak merasa terganggu gerakannya.
Murid tunggal Dewa Tanpa Bayangan itu benar-
benar memiliki ilmu lari cepat yang sangat tinggi.
Seperti ilmu yang dimiliki gurunya yang terkenal
karena kecepatan geraknya, maka gadis itu pun
mewarisi ilmu lari cepat yang luar biasa. Jangankan
para perampok, Panji pun rasanya sulit untuk
menandingi kecepatan lari Ayuning kalau dalam
keadaan biasa.
Pada saat Ayuning bersama dua orang bawaannya
melesat meninggalkan arena pertarungan, Pendekar
Naga Putih kembali melontarkan pukulan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' yang menggiriskan!
Wusss!
Blarrr!
Kembali belasan perampok berpentalan tewas
seketika dengan tubuh membiru. Seluruh permukaan
kulit mereka dirasuki hawa dingin yang mampu
memecahkan seluruh pembuluh darah.
"Mundur...! Jauhi pemuda berilmu setan itu!" teriak
salah seorang pimpinan gerombolan yang terkejut
melihat kedahsyatan tenaga dalam pemuda berjubah
putih.
Kawanan para perampok berlompatan mundur
dengan wajah pucat dan gigi-gigi bergemeletukan
menahan hawa dingin yang menyebar di sekitar
tempat itu.
Sesaat kemudian, puluhan perampok lain mulai
berdatangan. Panji yang belum merasa yakin kalau
Ayuning belum terlalu jauh berlari, tidak segera
meninggalkan tempat itu. Pemuda perkasa itu
bertekad untuk menghalau kawanan para perampok
sampai benar-benar yakin kalau Ayuning dan Kuntara
telah selamat.
"Gila! Perbuatan siapa ini!" bentak seorang laki-laki
tinggi besar setibanya di tempat pertarungan.
Sepasang bola matanya yang besar dan menakutkan
membelalak, seolah-olah tak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
"Pemuda gila itulah yang telah membunuh mereka,
Ketua!" lapor salah seorang pimpinan perampok yang
bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat.
"Mengapa kalian mundur! Bunuh pemuda itu!"
perintah ketua perampok yang berjuluk Setan
Kepalan Besi murka. Wajahnya yang hitam tampak
semakin gelap menahan kemarahan yang
menggelegak.
Saat Panji benar-benar dalam bahaya, mendadak
tenaga liar yang mengendap di dalam tubuhnya
bergolak semakin dahsyat. Perlahan-lahan
kesadarannya mulai hilang, sehingga dia tidak dapat
lagi membedakan mana kawan dan mana lawan.
Kalau saja saat itu Ayuning masih berada di dekatnya,
bukan tidak mungkin Panji akan menyerangnya.
"Yeaaat..!"
Empat orang pimpinan perampok berteriak-teriak
sambil mengayunkan senjata menyerbu Pendekar
Naga Putih. Senjata-senjata mereka berdesingan
hingga menimbulkan angin berkesiutan yang
memekakkan telinga. Pertanda kalau kepandaian
mereka memang tinggi dan tidak bisa dibuat main-
main.
Panji yang sudah berubah seperti binatang terluka,
mengamuk membabi buta! Pemuda berjubah putih
itu tidak peduli lagi siapa yang diserangnya. Setiap
perampok datang menyerang, disikat tanpa ampun!
Yang dipikirkan saat itu hanyalah bagaimana
mengeluarkan tenaga liar yang bergolak dahsyat
sebanyak-banyaknya. Maka tidak mengherankan
kalau pukulan yang dilontarkannya selalu berakibat
maut bagi lawan-lawannya.
"Kreaaa...!"
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan jeritan parau
yang mengerikan! Bumi di sekitar ajang pertarungan
bergetar hebat bagai diguncang gempa! Saat itu juga
kedua tangannya didorong ke segala arah hingga
menimbulkan suara mencicit tajam membeset udara
pagi. Hembusan angin dingin menderu keras setiap
kali tangannya didorongkan.
Belasan perampok bergulingan seketika men-
dengar raungan Pendekar Naga Putih itu. Dari telinga,
mulut, dan hidung mereka mengalir darah segar!
Belasan orang itu tewas karena tak sanggup
menahan raungan yang luar biasa dahsyatnya!
Bahkan beberapa orang yang tingkat kepandaiannya
cukup tinggi pun mengeluh sambil mendekap dada
mereka yang terguncang hebat.
Yang lebih mengerikan lagi adalah nasib yang
dialami empat orang pimpinan perampok yang pada
saat itu menyerang Panji. Tatkala tubuh mereka
melesat di udara, mendadak keempatnya tersentak
balik bagai dilempar sebuah kekuatan raksasa yang
tak tampak.
Desss! Desss! Desss!
"Aaargh...!"
Empat pimpinan perampok itu meraung sekuat-
kuatnya merasakan tubuh mereka bagai dicerai-
beraikan binatang buas. Seketika darah membanjir di
sekitar tempat pertarungan. Tak dapat disangkal lagi,
keempat pimpinan perampok tewas seketika dengan
tubuh hampir tidak berbentuk lagi!
Pertarungan kejam itu makin menggemparkan
kawanan perampok. Puluhan perampok termasuk
ketuanya, bergegas melompat mundur dengan wajah
pucat bagai tak dialiri darah. Nyali mereka hampir
melayang menyaksikan kekuatan Pendekar Naga
Putih yang hanya dapat mereka dengar dalam
dongeng. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, mereka mungkin tidak akan percaya.
"Gila! Mustahil! Pemuda iblis!" teriak Setan
Kepalan Besi tak mempercayai apa yang disaksikan-
nya. Hatinya benar-benar merasa gentar dan terkejut.
Hati kecil Setan Kepalan Besi sebenarnya gentar
bukan kepalang. Namun sebagai seorang ketua yang
disegani dan ditakuti, akhirnya diberanikan juga
mengeluarkan senjata andalannya. Senjata ber
bentuk rantai baja dengan bola berduri pada
ujungnya itu diputar-putar di atas kepala hingga
menimbulkan angin keras yang menderu tajam.
Saat itu Panji berada dalam keadaan yang sangat
mengerikan. Wajahnya seperti bukan wajah manusia
lagi. Sepasang matanya menyipit karena seluruh
wajahnya mengembang bagai sebuah balon udara.
Rupanya 'Inti Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang
mengendap dalam tubuh pemuda itu bergejolak
kembali. Tapi di saat dirinya benar-benar berada
dalam kesulitan seperti itu, kehadiran tenaga liar
justru sangat menguntungkan.
''Heaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, Setan Kepalan Besi
melontarkan senjata mautnya ke arah Panji. Kepala
pemuda itu pastilah remuk apabila terhantaman bola
berduri yang dimainkan dengan pengerahan tenaga
dalam dahsyat.
Panji yang saat itu hanya mengandalkan nalurinya
saja, mengangkat tangan kanan memapak senjata
lawan. Meskipun gerakan tangannya terlihat sem-
barangan, tapi sambaran angin yang ditimbulkan
sangat menggiriskan!
Planggg!
"Aaah...!"
Terdengar suara berdentang nyaring ketika telapak
tangan Pendekar Naga Putih menampar bola berduri
yang mengancam kepalanya. Bagaikan ditolakkan
sebuah tenaga yang dahsyat, bola berduri berbalik
mengancam majikannya sendiri. Serangan balik yang
tiba-tiba itu membuat Setan Kepalan Besi menjerit
tertahan.
Bummm!
Debu mengepul tinggi ketika bola baja berduri
jatuh berdebum di tanah. Untunglah Setan Kepalan
Besi sempat menghindar. Kalau tidak, mungkin saat
itu tubuhnya sudah hancur tak berbentuk lagi.
Ketua perampok itu mengusap keringat dingin
yang membasahi keningnya.
"Gila! Bagaimana cara melumpuhkan pemuda yang
memiliki kepandaian tak terukur ini? Hampir tidak
mungkin rasanya kalau di kolong jagat ini ada tenaga
dalam yang demikian hebat! Entah dari mana
pemuda ini berasal?" gumam Setan Kepalan Besi tak
habis mengerti.
"Yeaaat...!"
Bagaikan harimau lapar, tubuh Pendekar Naga
Putih meluncur disertai teriakan yang menggetarkan
seluruh kawasan hutan. Kedua tangannya didorong
bergantian ke arah perampok-perampok yang sudah
ciut nyalinya.
Blarrr...! Glarrr...!
"Aaa...!"
Kembali belasan kawanan perampok yang tak
sempat menghindar, berpentalan tewas disikat
pukulan Panji. Darah pun semakin membanjir, mem-
basahi arena pertempuran.
Sadar kalau pemuda itu tak mungkin dapat
dilawan, Setan Kepalan Besi segera mengambil
langkah seribu. Tanpa malu-malu lagi ketua rampok
yang terkenal kejam itu kabur meninggalkan arena
pertempuran. Belum jauh kaki kepala rampok berlari,
tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat ke
arahnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba tengkuknya diceng-
keram bayangan putih yang tidak lain adalah
Pendekar Naga Putih.
"Ampun...! Ampunkan saya...! Jangan bunuh
saya...!" rintih Setan Kepalan Besi tak ubahnya seperti
seorang anak kecil. Ketua perampok yang tadinya
sangat ditakuti itu kini menangis menggerung-gerung
dalam cengkeraman seorang pemuda seusia
anaknya.
Panji yang saat itu sudah tak berbeda dengan
binatang buas, sama sekali tidak mempedulikan
rengekan Setan Kepalan Besi. Jari-jari tangannya
makin lama makin mencengkeram keras. Dan....
Krekkk!
"Hekh...!"
Terdengar bunyi tulang berpatahan disertai suara
mengorok mirip ayam disembelih. Sesaat tubuh Setan
Kepalan Besi menggelepar-gelepar! Tak lama
kemudian, kepala rampok itu pun diam tak bergerak-
gerak lagi. Tewas!
Melihat ketua mereka telah tewas, kawanan
perampok yang hanya tersisa beberapa puluh orang
itu pun langsung lari terbirit-birit tak tentu arah.
Sementara itu Panji masih terus melepaskan
pukulan-pukulan maut. Angin pukulannya yang maha
dahsyat menyambar-nyambar ke segala arah. Tidak
sedikit pepohonan dan beberapa rumah di sekitarnya
yang ambruk akibat terhantam pukulan nyasar.
Setelah puas mengumbar tenaganya, Pendekar
Naga Putih berlari tertatih-tatih karena lelah yang
amat sangat mulai mendera tubuhnya.
Di kala itu cahaya kemerahan mulai tampak di kaki
langit sebelah Timur. Pagi mulai menampak,
menggantikan sang malam yang harus menjalankan
tugasnya di belahan bumi lain.
***
DELAPAN
"Kakang Panji...!"
"Saudara Panji...!"
Ayuning dan Kuntara berlari menyambut Panji
dengan wajah cemas. Keduanya sangat terkejut
melihat Panji melangkah tertatih-tatih menuju Desa
Kertasari. Sekujur tubuh pemuda itu kotor oleh
bercak-bercak darah yang hampir mengering.
Serentak kedua muda-muda itu menyambar tubuh
Panji yang hampir ambruk. Ayuning hampir menitik-
kan air mata karena mengira darah yang mengotori
seluruh tubuh Panji adalah luka-lukanya sendiri.
Akhirnya gadis berpakaian biru muda itu menghela
napas lega ketika tahu kalau sahabatnya tidak
terluka. Ternyata darah yang melekat di baju
Pendekar Naga Putih adalah darah musuh.
Demikian pula Kuntara. Hatinya diliputi keharuan
yang amat dalam. Betapa tidak? Panji adalah sahabat
yang belum lama dikenalnya. Dan pemuda itu rela
mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain
walaupun bukan sanak ataupun keluarganya sendiri.
Hampir saja putra Kepala Desa Kertasari tak dapat
menahan keharuan hatinya melihat pemuda itu
datang dalam keadaan yang amat mengerikan. Hati
Kuntara baru agak tenang ketika tahu kalau darah
yang membasahi seluruh pakaian dan wajah
sahabatnya ternyata bukan berasal dari lukanya.
Tubuh pemuda itu sama sekali tidak terluka. Diam-
diam kekaguman di hati Kuntara semakin menebal
melihat keperkasaan sahabatnya.
"Kakang...!" Ayuning berseru kaget ketika
menyambar tubuh Panji yang langsung terkulai
pingsan!
"Saudara Panji...!" Kuntara pun berteriak cemas
ketika memegang lengan sahabatnya yang langsung
terkulai tak sadarkan diri.
"Hm... benar-benar pemuda luar biasa! Rupanya
dia telah berjuang keras menyelamatkan dirinya dari
kawanan perampok. Untunglah dia tidak apa-apa!
Hanya saja tubuhnya terlalu lelah," ujar paman guru
Kuntara yang sudah berada di dekat mereka. Tentu
saja saja ucapan orang tua itu membuat hati Kuntara
dan Ayuning menjadi lega.
Mendengar ucapan Ki Sentanu, Kuntara bergegas
membawa sahabatnya ke rumah penduduk terdekat.
Lalu dibaringkannya Panji di atas balai-balai bambu.
Hati-hati sekali Kuntara merebahkan tubuh sahabat-
nya di atas pembaringan. Seolah-olah takut kalau
penyelamat desanya itu terjaga apabila tidak berhati-
hati meletakkannya.
Tanpa diperintah, Ayuning bergegas menyediakan
air hangat untuk Panji. Tak lama kemudian, gadis
cantik itu sudah kembali membawa air hangat dalam
baskom dan sehelai kain putih bersih. Dengan penuh
kesabaran, dibersihkannya seluruh darah kering yang
melekat di seluruh tubuh pemuda itu.
"Berapa lama kira-kira dia dalam keadaan pingsan
seperti itu, Paman Guru?" tanya Kuntara kepada Ki
Sentanu setelah meninggalkan sahabatnya yang
tengah diurus Ayuning. Saat itu Kuntara dan paman
gurunya sedang duduk di atas balai-balai bambu di
luar rumah.
"Entahlah? Mungkin bisa sampai setengah hari
atau bahkan lebih. Tapi kau tidak perlu khawatir,
Kuntara. Pendekar Naga Putih memiliki daya tahan
tubuh yang kuat dan terlatih baik," sahut paman
gurunya dengan wajah berseri.
"Syukurlah. Tadinya aku sangat khawatir ketika
tubuhnya terkulai begitu kusentuh. Rupanya Saudara
Panji telah mengalami suatu kejadian yang hebat!
Tapi, aku tidak dapat membayangkan bagaimana dia
dapat menyelamatkan diri dari kepungan kawanan
perampok yang amat banyak jumlahnya," desah
Kuntara yang rupanya masih belum mengerti bagai-
mana sahabatnya dapat meloloskan diri dari
kepungan para perampok yang terkenal ganas dan
ber-jumlah banyak.
"Nanti saja kau tanyakan padanya," ujar paman
gurunya tersenyum. "Kuntara, kau dapat belajar
banyak dari pemuda perkasa itu. Cobalah meminta
beberapa petunjuk setelah dia siuman nanti. Jangan
kau ragu-ragu! Siapa tahu Pendekar Naga Putih itu
bersedia memberikan petunjuk padamu. Kurasa hal
itu akan sangat berguna bagi kemajuan ilmumu."
"Nanti akan kucoba, Paman Guru. Ah, sebaiknya
aku melaporkan hal ini dulu kepada ayah," ujar
Kuntara bergegas bangkit dari duduknya. Setelah
berpamitan kepada paman gurunya, Kuntara segera
menuju kediaman Kepala Desa Kertasari.
***
Hari telah mulai gelap ketika Panji mulai membuka
matanya. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya
karena cahaya pelita yang terasa menyilaukan.
Samar-samar dilihatnya seraut wajah cantik tengah
duduk di sisi pembaringan.
"Adik Kenanga... kaukah itu...?" desah Panji sambil
mengulurkan tangan kanan berniat menyentuh wajah
gadis itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Ayuning hanya
terpaku mendengar ucapan Pendekar Naga Putih.
Namun, kejadian itu hanya berlangsung sesaat.
Karena sekejap kemudian, wajah gadis itu sudah
kembali seperti biasa. Lalu tangannya diulurkan
menyambut tangan pemuda yang hendak mengusap
wajahnya.
"Ah, Kakang, rupanya kau masih mengigau? Lihat
baik-baik, apakah kau masih mengenaliku?" tanya
Ayuning lembut sambil menggenggam jemari tangan
pemuda yang dikaguminya.
"Ayuning!" seru Panji kaget ketika pandangannya
sudah semakin jelas. Mendadak tubuhnya tersentak
bagai disengat kalajengking sambil menarik
tangannya dari genggaman Ayuning.
Tentu saja gerakan Panji yang tiba-tiba membuat
Ayuning terkejut. Gadis cantik itu cepat meloncat
beberapa langkah hingga tubuhnya hampir merapat
pada dinding bilik kamar.
"Huh! Kau membuatu terkejut, Kakang!" ucap
gadis itu setelah menyadari kalau pemuda itu hanya
mengalami rasa keterkejutan saja.
"Ah, maafkan... maafkan aku, Ayuning. Aku tidak
bermaksud mengejutkanmu. Maafkan aku...," jawab
Panji terbata-bata.
"Tidak apa-apa, Kakang. Kau tadi menyebut nama
seorang gadis. Kalau tidak salah namanya… mmm...
Kenanga. Boleh aku tahu siapa dia, Kang?
Kekasihmukah?" tanya gadis itu tanpa malu-malu.
Memang sudah menjadi sifat gadis itulah yang selalu
terbuka dalam membicarakan segala sesuatu tanpa
tedeng aling-aling.
"Di mana, Kuntara...?" tanya Panji seraya berusaha
bangkit dari pembaringan karena kesehatannya
dirasakan telah pulih seperti semula. Sesaat tangan
dan kakinya digerak-gerakkan seolah-olah ingin
melemaskan urat-urat tubuhnya yang kaku akibat
tertidur hampir setengah harian lebih.
"Entahlah? Mungkin dia berada di luar," jawab
gadis itu datar. Ayuning yang menyadari kalau
pemuda ini tidak ingin rahasianya diketahui orang
lain, tidak berusaha mendesak. Dan gadis ini pun
tahu kalau itu bukan urusannya.
"Mari kita menemuinya, Kang!" ajak Ayuning sambil
melangkah keluar mendahului Panji.
"Ah, Saudara Panji, kau sudah sehat?" sapa
Kuntara sambil bangkit dari duduknya, ketika melihat
kedatangan sahabatnya yang diiringi Ayuning.
"Terima kasih!" jawab Panji tersenyum.
"Mmm... bagaimana kalau sekarang kita meng-
hadap ayahku? Kau tidak keberatan bukan?" ajak
Kuntara setelah berbasa-basi sejenak.
"Baiklah, ayo!" sahut pemuda berjubah putih
sambil memandang Ayuning. "Ayo, Ayuning."
Beberapa saat kemudian, ketiga pendekar muda
itu terlihat menuju rumah kepala desa dengan
menunggang kuda.
Dalam waktu singkat, ketiganya tiba di depan
kediaman Ki Kalari. Namun belum lagi memasuki
halaman rumah kepala desa, tiba-tiba terdengar
suara tawa menggelegar yang disusul dengan ber-
kelebatnya dua sosok tubuh ke arah ketiga pendekar
muda itu.
Panji, Kuntara, dan Ayuning terkejut mendengar
tawa yang mengandung tenaga dalam yang amat
kuat. Bahkan Kuntara sampai terjatuh dari punggung
kudanya. Memang hanya pemuda itulah yang tenaga
dalamnya paling rendah di antara mereka bertiga.
Melihat Kuntara terjatuh, cepat Panji melompat
dari punggung kudanya. Gerakan pemuda itu pun
diikuti Ayuning yang segera melompat dari punggung
tunggangannya.
"Hm! Siapa di antara kalian yang bernama
Pendekar Naga Putih?" tanya seorang laki-laki tinggi
yang hampir tidak terlihat daging di tubuhnya. Wajah
pucat dan kaku itu mirip wajah mayat hingga
penampilannya amat menyeramkan.
"Tidak usah banyak tanya lagi, Kakek Guru! Aku
yakin pemuda itulah yang telah membunuh ayah!"
ujar seorang laki-laki muda yang datang bersama
kakek itu seraya menunjuk ke arah Panji. Pemuda itu
tidak lain adalah Patala. Dan pada waktu Pendekar
Naga Putih tengah menyelamatkan ibu dan adik
Kuntara, Patala tidak berada di perkampungan. Putra
kepala perampok itu tengah mengunjungi kakek
gurunya untuk meminta ilmu silat yang lebih tinggi
dengan maksud mengalahkan Panji.
"Hm..., Anak Muda! Benarkah kau yang telah
membunuh Setan Kepalan Besi?" tanya kakek itu lagi
karena masih belum percaya kalau muridnya bisa
dikalahkan oleh pemuda yang terlihat halus dan
sopan itu.
"Entalah, Kakek Tua? Aku tidak tahu?" jawab Panji
sungguh-sungguh. Karena memang sesungguhnya
tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya saat
dikeroyok oleh hampir dua ratus anggota perampok.
Hal itu disebabkan kesadarannya sudah tidak bekerja
lagi ketika tenaga liar mulai menguasai pikirannya.
"Keparat kau pemuda usilan! Semua anak buah
ayahku mengatakan kalau pembunuh ayahku adalah
pemuda berjubah putih yang dijuluki Pendekar Naga
Putih! Hm.... Rupanya kau seorang pengecut sehingga
tidak berani mengakui perbuatanmu!" ejek Patala.
"Hm... dengar Anak Muda! Aku benar-benar tidak
mengetahui apakah telah membunuh Setan Kepalan
Besi ataupun setan-setan lainnya! Yang membunuh
orang-orang di perkampungan perampok itu memang
akulah orangnya! Aku tidak menyangkal!" sahut Panji
dingin. Meskipun hatinya terbakar ketika dimaki
pengecut, namun pemuda itu masih dapat menahan
diri.
"Nah, itu baru namanya pendekar!" sahut Patala
masih penuh ejekan. "Ayo, Kakek Guru, tunggu apa
lagi? Bunuh saja pemuda keparat itu!"
"Hm... meskipun aku belum percaya, tapi
bersiaplah Anak Muda! Kau tidak akan rugi bila tewas
di tangan Iblis Sembilan Nyawa!" ujar kakek itu parau.
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu terulur
menjambret leher baju Panji.
"Ayuning, Kuntara, mundurlah! Kelihatannya kakek
ini bukan orang sembarangan. Biar kucoba me-
nahannya," seru Pendekar Naga Putih sambil
mengibaskan tangan sebagai isyarat agar kedua
orang sahabatnya menjauhi tempat itu.
Kuntara yang menyadari kalau keluarganya masih
berada dalam bahaya, segera menyingkir. Pemuda itu
segera berlari menuju ke dalam bersama Ayuning.
Dan begitu sampai di ruang depan dilihatnya
beberapa penjaga tergolek tak bernyawa. Mata kedua
muda-mudi itu meneliti mayat-mayat yang tergeletak
di lantai, tapi yang mereka cari tidak terlihat.
Kuntara yang hatinya semakin bergolak, segera
memburu ke ruang tengah. Di sanalah baru terlihat
ibu, adik, dan ayahnya yang terikat pada kursi-kursi.
Seketika hati Kuntara menjadi lega melihat keadaan
keluarganya selamat. Dia pun segera membebaskan
ikatan yang membelenggu tubuh keluarganya.
Patala rupanya tidak menyadari kalau Kuntara dan
Ayuning masuk ke dalam rumah. Pemuda berperangai
kasar itu terpesona menyaksikan kehebatan
Pendekar Naga Putih menghadapi serangan-serangan
yang dilontarkan kakek gurunya yang berjuluk Iblis
Sembilan Nyawa.
Wuttt!
Cengkeraman tangan Iblis Sembilan Nyawa luput
ketika Panji menggeser kedua kakinya ke belakang.
Namun, pemuda berjubah putih itu sempat terkejut
melihat tangan kakek itu berputar dan tahu-tahu
kembali mengincar leher bajunya.
Panji kembali menggeser tubuhnya lebih menjauh.
Tapi anehnya, tangan laki-laki kurus itu masih tetap
mengejar, hingga membuat pemuda itu semakin
terkejut dan penasaran. Bagaimana tidak? Tangan itu
selalu mengejar ke mana saja dia menghindar.
Akhirnya Panji yang sudah kehabisan akal terpaksa
menggerakkan tangan kanannya untuk menangkis
cengkeraman itu.
Plak!
"Eh!?"
Terdengar suara benturan keras ketika kedua
tangan yang terisi tenaga sakti itu saling bertemu di
udara. Tangan Iblis Sembilan Nyawa langsung mem-
balik disertai jeritan keheranan.
"Gila! Mustahil tenaga dalam bocah ini demikian
tingginya?" gumam kakek renta itu hampir tak
percaya dengan apa yang dirasakannya. Padahal
selama ini setiap tokoh yang pernah berhadapan
dengannya akan jatuh terguling setiap kali beradu
tenaga. Maka wajar lah kalau kakek itu menjadi
heran ketika merasakan lengannya kesemutan akibat
benturan tadi.
"He he he... bersiaplah, Anak Muda! Kali ini aku
akan lebih bersungguh-sungguh!" ucap Iblis Sembilan
Nyawa memperingatkan Panji. Setelah berkata
demikian, tubuh kakek tua itu langsung mencelat ke
atas sambil mengirimkan serangan-serangan yang
ganas dan mematikan.
Werrr! Werrr!
Desiran angin tajam berkesiutan mengiringi setiap
sambaran kedua tangan kakek itu. Debu-debu dan
batu kerikil beterbangan tersambar angin pukulan
Iblis Sembilan Nyawa yang benar-benar menggiriskan.
Dan....
Desss!
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu telapak
tangan guru Setan Kepalan Besi itu telah mengenai
dada Panji. Tapi akibatnya tidak seperti yang diharap-
kan. Bukan tubuh Panji yang terpental, malah tubuh
orang tua itulah yang jungkir balik beberapa tombak
ke belakang akibat daya tolak tenaga liar yang
mengeram dalam tubuhnya. Memang, setiap kali
terkena pukulan, dengan sendirinya tenaga liar akan
menyebar melindungi tubuhnya.
"Keparat! Ilmu macam apa yang digunakan
pemuda setan itu!" teriak Iblis Sembilan Nyawa
memaki-maki. Dari bibirnya meleleh cairan berwarna
merah! Rupanya kakek itu mengalami luka dalam
akibat pukulannya yang terpental balik (Untuk
mengetahui dari mana Panji memperoleh tenaga liar
yang mengeram dalam tubuhnya, silakan baca serial
Pendekar Naga Putih dalam episode "Raja Iblis dari
Utara").
Panji pun tak kalah terkejut ketika melihat kakek
guru Patala tidak tewas akibat pukulan yang terpental
balik itu. Diam-diam Pendekar Naga Putih mengakui
kehebatan Iblis Sembilan Nyawa.
"Eh!" sepasang mata pemuda berjubah putih
seketika membelalak ketika melihat sinar kemerahan
berpendar dari telapak tangan si kakek. Sekilas
terbayang kembali mayat Eyang Tirta Yasa yang pada
bagian dadanya terdapat tanda telapak tangan
berwarna merah. Jantungnya berdebar keras ketika
teringat pada tanda telapak tangan berwarna merah
pada mayat gurunya.
"Kakek iblis! Kaukah yang telah membunuh
Malaikat Petir beberapa bulan yang lalu?" tanya Panji
dengan wajah yang mulai tegang karena kemung-
kinan besar saat ini dirinya sedang berhadapan
dengan pembunuh Eyang Tirta Yasa.
"Mengapa? Apa hubunganmu dengan Malaikat
Petir?" kakek itu malah balik bertanya. Diam-diam
hatinya merasa terkejut mendengar pertanyaan yang
tidak pernah diduganya.
"Jawab pertanyaanku! Kaukah yang membunuh
Malaikat Petir!" teriak Panji yang sudah mulai
dikuasai kemarahan. Meskipun wajahnya terlihat
pucat, namun sinar matanya mencorong tajam bagai-
an hendak menelan tubuh Iblis Sembilan Nyawa.
"Gila! Pemuda ini benar-benar seperti iblis!" desis
kakek itu yang tanpa sadar melangkah mundur
melihat tatapan Pendekar Naga Putih. Iblis Sembilan
Nyawa sudah dapat menduga kalau pemuda di
hadapannya adalah murid Malaikat Petir. "Ya!
Memang aku pembunuhnya! Aku dan gurumu
merupakan musuh bebuyutan. Sudah puluhan tahun
aku menyembunyikan diri dan terus memperdalam
ilmu kesaktian untuk membalas kematian kakak
seperguruanku yang tewas di tangan Malaikat Petir.
Aku belum dapat hidup tenang sebelum tua bangka
sombong itu tewas di tanganku. Dan kini dendamku
sudah terlunasi. Ha ha ha...!"
"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak Panji sambil
meraung murka. Sesaat kemudian pemuda itu me-
layang ke arah kakek kurus itu dengan kedua tangan
terkembang. Begitu mendekati lawan, sepasang
tangan Pendekar Naga Putih bergerak susul-
menyusul mencecar titik kelemahan lawan.
Wusss! Wuttt!
"Aiiih...!"
Iblis Sembilan Nyawa berteriak kaget ketika
merasakan sambaran hawa dingin yang dapat
membekukan urat-urat tubuhnya, keluar dari
sepasang tangan Panji. Meskipun berhasil meng-
hindar, namun tak urung tubuh renta itu
sempoyongan bagai terombang-ambing angin topan
yang sangat kuat. Karuan saja Iblis Sembilan Nyawa
semakin terkejut dan heran.
"Keparat! Rasakan pembalasanku!" bentak kakek
guru Patala sambil menerjang Panji dengan
hantaman telapak tangan yang mengeluarkan cahaya
kemerahan.
Bresss!
"Aaa...!"
Hantaman telapak tangan Iblis Sembilan Nyawa
tepat mengenai dada Panji. Namun kembali kakek itu
terpental balik bagai dilempar kekuatan raksasa yang
tak tampak. Tubuh si kakek terbanting keras di atas
rerumputan kering diiringi semburan darah segar dari
mulutnya.
"Huagk....!"
Kembali kakek itu memuntahkan darah segar
setelah terbatuk-batuk Rupanya luka dalam yang
dialami kali ini jauh lebih parah, karena tenaga dalam
yang tadi dipergunakannya jauh lebih besar dari
pukulan sebelumnya.
Diam-diam Pendekar Naga Putih semakin terkejut
melihat daya tahan tubuh yang dimiliki kakek renta
itu.
"Heaaa...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji
melompat sambil mendorongkan sepasang telapak
tangannya ke arah Iblis Sembilan Nyawa yang sudah
kembali bersiap. Sambaran angin dingin yang keluar
dari telapak tangan pemuda itu menimbulkan suara
mencicit tajam.
Iblis Sembilan Nyawa yang masih merasa
penasaran segera memutar kedua tangannya di
depan dada sehingga menciptakan sebuah dinding
pertahanan yang tak tampak. Begitu sepasang tangan
Pendekar Naga Putih hampir mencapainya, tiba-tiba
kakek guru Patala membentak keras sambil
mendorongkan sepasang telapak tangannya
menyambut pukulan Panji. Maka....
Blarrr!
"Wuaaa...!"
Hebat sekali akibat pertemuan tenaga dalam yang
dahsyat itu! Bumi di sekitar tempat itu bagaikan
diguncang gempa! Beberapa buah bangunan
berderak roboh akibat guncangan yang cukup kuat
itu!
Sedangkan tubuh kakek yang berjuluk Iblis
Sembilan Nyawa meluncur deras bagaikan daun
kering yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu
menabrak sebatang pohon hingga tumbang! Daya
luncur tubuh Iblis Sembilan Nyawa baru terhenti
ketika membentur tembok depan balai desa hingga
runtuh!
Sesaat tubuh renta itu bergerak-gerak lemah. Tak
lama kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tewas
dengan tulang-tulang berpatahan akibat hantaman
dan benturan-benturan keras yang dialaminya.
"Eyang...! Hari ini telah kubalas sakit hatimu!
Semoga arwahmu tenang di alam baka," bisik Panji
sambil menengadahkan kepalanya ke cakrawala.
Patala yang melihat kejadian itu hampir tak
percaya kalau kakek gurunya tewas di tangan
pemuda yang sangat dibencinya. Begitu terbayang
wajah-wajah korban kekejamannya, pemuda itu pun
segera berlari menyelamatkan diri.
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar
gerakan yang ditimbulkan Patala. Saat itu juga,
pemuda berjubah putih itu mengejar Patala yang
sudah kehilangan keberaniannya.
Kreppp!
"Aaakh...!"
Patala tak mampu berbuat apa-apa lagi ketika
tangan Pendekar Naga Putih yang mengandung hawa
dingin telah mencengkeram lehernya. Patala bert-
eriak-teriak ketakutan ketika merasakan jari-jari
tangan yang mencengkeramnya semakin mengeras.
"Kakang Panji, tahan...!" tiba-tiba terdengar
teriakan merdu yang terlontar dari dalam rumah Ki
Kalari. Suara merdu itu tak lain adalah suara Ayuning
yang tahu-tahu telah melompat keluar untuk men-
cegah Panji yang sudah siap mematahkan batang
leher Patala. "Kakang, jangan bunuh dia! Serahkan
laki-laki busuk itu kepada Kuntara. Biar dia dan
ayahnya yang akan mengadili pemuda bejat itu."
Ayuning menyentuh lembut lengan Panji, setelah
berada di sampingnya. Sesaat Panji tertegun men-
dengar ucapan gadis itu. Sinar matanya mulai
meredup dan perlahan-lahan cengkeramannya mulai
merenggang hingga akhirnya terlepas sama sekali.
"Terima kasih, Kakang," jawab Ayuning sambil
menyerahkan Patala kepada Kuntara dan Ki Kalari
yang berdiri di belakangnya.
Pendekar Naga Putih yang kesadarannya sudah
hampir pulih, mulai dapat mengenali orang-orang di
sekelilingnya. Dipandanginya orang-orang itu lekat-
lekat seolah-olah berusaha untuk melekatkan wajah
mereka dalam ingatannya.
"Kuntara, Ayuning, dan Ki Kalari, maafkan aku. Aku
tidak bisa menemani kalian lebih lama. Selamat
tinggal!" setelah mengucapkan kata-kata itu, tubuh
Panji langsung melesat dan menyelinap di antara
rumah-rumah penduduk. Dalam sekejap tubuhnya
telah menghilang dari pandangan.
"Kalau begitu, aku pun juga harus cepat-cepat
pergi, Kuntara. Selamat tinggal...!" ujar Ayuning yang
segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Selamat jalan, sahabat-sahabatku...!" desah
Kuntara menahan keharuan yang menyesak dadanya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar