..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 20 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE UTUSAN DARI NERAKA

matjenuh khairil

 

UTUSAN DARI NERAKA 
oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tuti S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Utusan dari Neraka 
128 hal : 12 x 18 cm

SATU

Hutan yang terdapat di lereng sebelah utara Gunung Merbuk memang tidak terlalu 
luas. Rapatnya semak belukar yang meranggas liar serta pohon-pohon tua yang tumbuh 
menjulang tinggi dan nyaris tak terlihat pucuknya membuat hutan kecil itu cukup 
menyeramkan. Terlebih binatang-binatang buas banyak berkeliaran bagai penjaga-penjaga 
hutan. Hutan itu hampir tidak pernah didatangi manusia. Kalaupun ada, mereka pasti 
tidak akan pernah kembali lagi. Hutan kecil itu dianggap keramat dan sebagai tempat 
bertahtanya bangsa siluman. 
Rupanya tidak semua orang mempunyai anggapan demikian. Pagi hari itu, saat 
sekitar lereng Gunung Merbuk masih terselimuti kabut, tampak sesosok tubuh bergerak 
menuju hutan kecil di lereng sebelah utara, ia menunggang seekor kuda berbulu hitam 
pekat. 
"Hyeeehh...!" 
Setelah menyeberangi sebuah sungai, tiba-tiba kuda berbulu hitam yang 
ditunggangi lelaki itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. 
"Hei! Tenang Hitam, tenang...!" Penunggang kuda itu berseru menenangkan 
binatang tunggangannya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu. Tapi, usahanya tidak 
berhasil. Binatang itu malah bergerak semakin liar, melompat-lompat sambil meringkik 
keras. 
"Binatang celaka!" Penunggang kuda memaki jengkel. Lalu, dengan gerakan yang 
ringan dan indah tubuhnya melenting ke udara, berputaran beberapa kali sebelum 
mendarat di tanah. Gerakan yang menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. 
Tubuhnya melayang seringan kapas dan tidak menimbulkan suara ketika mendarat. 
"Hm…" 
Penunggang kuda yang berusia lima puluh lima tahun itu memperdengarkan 
geraman gusar. Sepasang matanya berkilat menatap seekor ular sanca sebesar paha orang 
dewasa. Ular itu merayap di tanah. Mengertilah lelaki itu mengapa binatang 
tunggangannya demikian kalap. 
"Rupanya ada orang yang ingin bermain-main dengan Algojo Cakar Siluman...!" 
Lelaki itu menggeram dengan menyebutkan julukannya. Pandangannya diedarkan ke 
sekeliling tempat itu. Kemudian, beralih ke arah makhluk mengerikan yang tengah melata 
di tanah. Seiring dengan dengusan kasar mengejek sebelah tangannya melakukan gerakan 
menebas. 
Tas! Tas! Tas! 
Hebat bukan main gerakan tokoh yang mengaku berjuluk Argojo Cakar Siluman. 
Sewaktu tangannya bergerak tiga sinar putih berkilau membentuk telapak tangan yang 
sama, lalu menyambar tubuh ular sanca hingga terputus menjadi tiga bagian. 
"Ha ha ha...!" 
Tiba-tiba terdengar gelak tawa. Gemanya bergaung ke seluruh penjuru. Angin keras 
berhembus membuat lapisan kabut tipis yang menyelimuti tempat itu sirna beterbangan. 
Perbuatan yang hanya bisa dilakukan seorang tokoh yang memiliki tenaga dalam luar 
biasa. Suara tawanya saja sanggup membuat lawan menggeloso tewas! 
Algojo Cakar Siluman mendengus keras, ia mengerahkan tenaga dalam untuk 
melindungi telinga dan bagian dalam tubuhnya yang bergetar. 
"Kurang ajar...!" Algojo Cakar Siluman mendesis gusar. Kepalanya ditengadahkan 
menatap langit. Sebentar kemudian, terdengar lengkingan panjang meluncur dari 
kerongkongannya. 
Apa yang dilakukan Algojo Cakar Siluman tidak kalah dahsyatnya dengan 
pengaruh gelak tawa tanpa wujud itu. Lengkingan panjang membuat pepohonan di sekitar 
tempat itu bergetar keras! Dedaunan pohon berguguran. Burung-burung yang terbang di 
udara terkejut dan mendadak tak bisa terbang, seolah tertahan suatu kekuatan tak 
tampak. Burung-burung itu kemudian meluncur jatuh dalam keadaan mati! 
Binatang tunggangan Algojo Cakar Siluman meringkik keras dan melompat-lompat 
liar. Tapi, itu cuma berlangsung beberapa saat. Kuda hitam itu kemudian roboh tak 
bernyawa. Lengkingan panjang dan suara tawa yang saling tindih itu membuat jantungnya 
pecah.

Adu kekuatan tenaga dalam itu kian lama kian memuncak. Malah, pemilik suara 
tawa melayang turun dari pohon tempatnya bersembunyi, ia berdiri dalam jarak tiga 
tombak di depan Algojo Cakar Siluman. Wajahnya merah bagai terbakar. Semakin 
memuncaknya kekuatan lengkingan lawan memaksa sosok itu membuat gerakan-gerakan 
dengan kedua tangannya. Gerakan yang dilakukannya sangat lambat namun harus 
mengerahkan tenaga yang kuat. 
Algojo Cakar Siluman terkejut merasakan serangan lawan membuat kekuatannya 
terdesak. Bergegas ia mengempos semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 
dalamnya. Lalu, sambil mendorongkan kedua tangan ke depan dengan gerak perlahan, 
kekuatan lengkingan yang keluar dari kerongkongannya terdengar semakin berlipat ganda. 
Asap tipis mengepul dari ubun-ubun. Algojo Cakar Siluman telah mengerahkan tenaga 
dalam hingga ke puncaknya. 
Hal serupa juga terjadi pada diri lawannya. Kenyataan itu membuat keduanya 
sadar sekarang yang mereka lakukan bukan main-main lagi. 
Mereka sudah merasa telanjur. Masing-masing tidak ingin menarik kekuatannya. 
Hal itu berarti kematian bagi siapa saja yang menarik pulang serangannya. Selain 
kekuatannya sendiri akan membalik juga ditambah dengan kekuatan lawan. 
"Hua ha ha...! Siapa sangka kehadiranku mendapat suguhan tontonan yang sangat 
menarik...!" 
Di tengah sengitnya pertempuran tenaga dalam itu terdengar tawa keras yang 
memekakkan telinga. Belum lagi gema tawa itu lenyap tahu-tahu telah berdiri sesosok 
tubuh seorang kakek tinggi kurus, ia melangkah lebar mendekati arena pertarungan. 
Pendatang baru itu jelas bukan orang sembarangan. Seperti orang yang menonton 
pertandingan, kakek tinggi kurus duduk bersila tidak jauh dari arena. Sepasang matanya 
berbinar menunjukkan kegembiraan. Tapi beberapa saat kemuudian keningnya tampak 
berkerut. Kekhawatiran membayang pada sorot matanya sewaktu melihat Algojo Cakar 
Siluman terdesak. Wajah Algojo Cakar Siluman semakin memucat dan dibanjiri keringat. 
Ia kepayahan membendung serangan lawan. 
Kakek tinggi kurus kelihatan berpikir keras. Matanya menatap bergantian wajah 
dua orang yang tengah bertarung. Tatapannya berhenti agak lama pada wajah lawan Algojo 
Cakar Siluman. Kakek tinggi kurus tahu betul siapa lawan Algojo Cakar Siluman, ia adalah 
Telapak Lidah Halilintar, seorang tokoh golongan putih. Sedangkan Algojo Cakar Siluman 
tokoh yang segolongan dengannya. Maka, setelah mempertimbangkan untung ruginya, 
kakek tinggi kurus mengambil keputusan untuk membantu Algojo Cakar Siluman. 
Dengan sekali lompat saja, kakek tinggi kurus sudah berada di belakang Algojo 
Cakar Siluman. Sebentar ia mengempos semangatnya. Kemudian kedua telapak tangannya 
dilekatkan ke punggung Algojo Cakar Siluman. 
"Haiiitt..!" 
Bersamaan dengan melekatnya kedua telapak tangan kakek tinggi kurus, lawan 
Algojo Cakar Siluman membentak nyaring. Tubuhnya dilempar ke samping sambil menarik 
pulang serangannya. Sehingga, ketika bantuan tenaga bagi Algojo Cakar Siluman bekerja, 
ia sudah lebih dulu menyelamatkan diri. Akibatnya, gabungan tenaga dua tokoh sesat itu 
menghantam pohon besar yang kemudian berderak dan langsung tumbang. 
"Sungguh berbahaya...!" desis Telapak Lidah Halilintar sambil menyusut keringat 
dingin di keningnya, ia mengatur pernapasannya untuk mempersiapkan diri menghadapi 
keroyokan tokoh-tokoh sesat itu. 
*** 
Bagi kalangan persilatan nama Algojo Cakar Siluman bukanlah nama yang asing. 
Julukan itu sudah sangat terkenal dan menggetarkan hati setiap tokoh di wilayah timur. 
Terutama tokoh-tokoh golongan putih. Algojo Cakar Siluman merupakan datuk kaum 
golongan hitam yang menguasai wilayah timur. Kepandaiannya sangat tinggi Boleh 
dibilang selama ini tak tertandingi. Andalannya adalah Ilmu 'Cakar Siluman' yang 
membuat namanya terkenal dan ditakuti lawan. Ilmu yang dimiliki datuk sesat wilayah 
timur itu memang sangat sesuai dengan namanya. Apabila Algojo Cakar Siluman 
menggunakan ilmu andalannya dapat dikatakan mustahil lawan akan bisa selamat. 
Sepasang lengan yang memiliki jari-jari sekuat baja itu dengan sekali bergerak saja 
bisa membuat nyawa lawan yang sangat lihai putus seketika. Gerakan yang dilakukannya

nyaris tidak terlihat. Seolah kedua lengannya menjadi puluhan banyaknya yang terlontar 
dalam bentuk cakar. Meski tokoh itu baru dua tahun belakangan ini muncul. Algojo Cakar 
Siluman langsung menguasai wilayah timur dan diakui sebagai datuk golongan hitam di 
wilayah itu. 
Setan Ular Tertawa pun bukanlah tokoh sembarangan. Selain memiliki Ilmu 'Setan 
Tertawa' yang dapat membunuh musuh hanya dengan memperdengarkan suara tawanya, 
tokoh ini pun dikenal sebagai pawang segala jenis ular berbisa. Setan Ular Tertawa adalah 
bangsa pendatang yang berasal dari daratan Hindustan. Tokoh ini seorang petualang yang 
sangat gemar dengan ilmu silat. 
Dalam waktu singkat saja nama Setan Ular Tertawa yang diperkenalkannya 
langsung melambung tinggi. Tokoh-tokoh terkenal di wilayah barat habis dibabatnya. 
Tidak peduli baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Tokoh berusia hampir 
tujuh puluh tahun ini memiliki satu sifat yang membuat lawan-lawannya bergidik ngeri 
dan mencercanya sebagai manusia paling kejam. Setiap lawan yang dikalahkannya akan 
dijadikan umpan ular-ular berbisa peliharaannya. Kekejaman itu membuat namanya kian 
menggetarkan. Terutama bagi mereka yang tinggal di daerah barat dan separo daerah 
utara, ia diakui sebagai dedengkot tokoh sesat nomor satu di wilayah itu. 
"Apa sebenarnya maksud kalian datang ke tempat ini?" terdengar pertanyaan 
Telapak Lidah Halilintar. 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa saling bertukar pandang sesaat 
setelah meneliti sosok kakek kurus itu. 
"Hm.... Kau pasti tokoh yang berjuluk Telapak Lidah Halilintar...," ucapan itu 
keluar dari mulut Algojo Cakar Siluman. 
"Dasar manusia bego!" Kakek kurus itu mengumpat kasar, meski raut wajahnya 
tidak menunjukkan kemarahan. "Terus terang kukatakan dugaanmu itu tidak meleset 
alias betul, Algojo Cakar Siluman!" lanjutnya menegasi, masih dengan nada kasar dan 
tajam. 
Algojo Cakar Siluman tidak kelihatan tersinggung, ia sudah cukup mengenal nama 
dan watak tokoh berjuluk Telapak Lidah Halilintar yang memiliki kebiasaan mengumpat 
dan memaki. Tak peduli berhadapan dengan siapa, Telapak Lidah Halilintar selalu 
menyertai ucapannya dengan makian. Dan, Algojo Cakar Siluman serta Setan Ular Tertawa 
nampaknya sudah sangat maklum. 
"Sekarang biar aku yang bicara...." Tiba-tiba, sebelum Algojo Cakar Siluman 
membuka mulutnya, Setan Ular Tertawa sudah keburu menyela. "Nah, Telapak Lidah 
Halilintar, kau pasanglah telingamu baik-baik! Kedatangan kami ke tempat ini adalah 
untuk memastikan kebenaran tentang adanya seorang bocah yang disebut-sebut sebagai 
Utusan Dari Neraka." 
Telapak Lidah Halilintar kembali mengumpat. Lalu, kepalanya didongakkan. 
Terdengarlah tawa mengekehnya yang berkepanjangan. 
"Tidak mengherankan kalau berita itu sampai juga ke telinga babi-babi busuk 
seperti kalian...," ujar Telapak Lidah Halilintar di antara kekehnya. Nampaknya, kakek 
kurus ini maklum akan ketajaman pendengaran tokoh-tokoh kaum rimba persilatan, yang 
memang tak pernah ketinggalan terhadap segala sesuatu yang terjadi. "Tapi, kutegaskan di 
sini bahwa berita itu tidak benar. Dan kalaupun benar, apa yang hendak kalian perbuat? 
Ingin menumpasnya, atau cuma ingin sekadar mengetahui kebenarannya?" 
"Jangan main-main denganku, Telapak Lidah Halilintar! Aku bisa saja langsung 
membunuhmu tanpa perlu meminta kepastian darimu!" Setan Ular Tertawa menggeram 
gusar, ia tidak senang mendapat perlakuan demikian dari Telapak Lidah Halilintar yang 
seolah memandang remeh kepadanya. 
"Siapa yang sudi main-main denganmu, Ular Buntung!" Tanpa rasa gentar sedikit 
pun Telapak Lidah Halilintar balas membentak. "Katakan saja berita itu benar! Lalu, apa 
maumu sekarang?" 
"Cuma itu tujuanku jauh-jauh datang ke tempat ini. Sekarang aku hendak melihat 
sendiri buktinya. Seperti apa sebenarnya rupa dan bentuk Utusan Dari Neraka itu? 
Apakah ia seseram setan neraka, atau cuma berupa bocah manusia biasa...?" sambil 
berkata demikian, Setan Ular Tertawa memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat 
itu. 
"Tahan langkahmu. Ular Buntung...!"

Begitu seruannya terdengar, tubuh Telapak Lidah Halilintar melayang dengan 
kecepatan luar biasa. Setan Ular Tertawa dan Algojo Cakar Siluman hanya melihat 
berkelebatnya sesosok bayangan. Tahu-tahu Telapak Lidah Halilintar sudah berdiri 
menghadang jalan. 
"Mengapa kau menghalangiku, Telapak Lidah Halilintar? Menyingkirlah, sebelum 
aku lupa kalau yang menghadangku cuma seorang kakek peot yang sudah bau tanah...!" 
Setan Ular Tertawa mengancam dengan sorot mata berkilat. 
"Aku tidak ingin ada orang tolol merusak rencana dan jerih payahku! Dengar 
nasihatku baik-baik, Setan Ular Tertawa. Dan kau juga, Algojo Cakar Siluman!" ujar 
Telapak Lidah Halilintar menatap kedua tokoh sesat itu bergantian. "Sebaiknya kalian 
segera angkat kaki dari tempat ini. Jangan teruskan niat kalian yang kelak hanya akan 
membuat bencana bagi seluruh isi muka bumi ini...!" 
"Kau menyuruh kami mengangkat kaki?" Algojo Cakar Siluman menukas dengan 
kepala ditelengkan. Seolah ia hendak menegaskan ucapan Telapak Lidah Halilintar. 
Meski dengan kening berkerut. Telapak Lidah Halilintar mengangguk juga. 
"Satu atau kedua-duanya...?" Algojo Cakar Siluman melanjutkan pertanyaannya. 
"Maksudmu...?!" 
"Kau menyuruh kami mengangkat kaki, bukan?" Algojo Cakar Siluman mengulang 
pertanyaannya. 
"Betul!" Telapak Lidah Halilintar mengangguk cepat. 
"Nah, sekarang aku tanya lagi. Satu kaki atau kedua-duanya?" Algojo Cakar 
Siluman tersenyum mengejek. 
"Babi buntung!" Sadar dirinya telah ditipu mentah-mentah, Telapak Lidah Halilintar 
memaki gusar. "Kau berani mempermainkan aku, Algojo Cakar Siluman! Kau benar-benar 
manusia tolol yang tidak tahu diuntung. Diberi peringatan malah berbalik mengejek. 
Sekarang terserah apa mau kalian. Yang jelas, aku akan tetap menghalangi dan 
menentang niat kalian itu!" 
"Hm...." Sambil mengusap-usap dagunya, Setan Ular Tertawa bergumam dengan 
senyum penuh ejekan. "Aku tahu sekarang!" lanjutnya dengan suara menghina. "Rupanya 
kau hendak mengangkangi Utusan Dari Neraka itu sendirian...!" 
"Itu bukan hal yang aneh, Setan Ular Tertawa...," Algojo Cakar Siluman 
menyambung dengan nada yang tidak kalah menyakitkan. "Sebagai seorang pangeran 
pelarian yang selama puluhan tahun hidup terlunta-lunta karena negerinya kalah perang, 
tentu sampai saat ini ia masih mengharapkan akan dapat duduk di atas singgasana 
berlapis emas. Adanya Utusan Dari Neraka itu hendak dijadikan jalan untuk mewujudkan 
cita-cita gilanya. Ha ha ha...!" 
"Diam!" 
Telapak Lidah Halilintar membentak keras. Selebar parasnya merah padam. 
Tubuhnya gemetar menahan gejolak amarah yang bagai hendak meledakkan dada. Ucapan 
Algojo Cakar Siluman jelas sangat mengena. Telapak Lidah Halilintar memang seorang 
pangeran yang terpaksa melarikan diri sewaktu negerinya kalah. 
Bertahun-tahun ia harus menyembunyikan diri di hutan-hutan lebat dan 
pegunungan yang jarang didatangi manusia. Selama dalam pelariannya ia terus berlatih 
silat, selain untuk menjaga diri dari sergapan tentara musuh apabila kepergok juga untuk 
menghadapi keganasan hidup yang dijalaninya. Dalam pelariannya tidak jarang ia 
menghadapi ancaman binatang buas yang kelaparan. 
Pengejaran terhadap Telapak Lidah Halilintar yang pada waktu itu bernama 
Pangeran Danutirto akhirnya terhenti. Pihak musuh mulai melupakannya setelah dalam 
pengejaran tak lagi menemukan jejak Pangeran Danutirto. Ia kemudian dianggap telah 
tewas. Padahal, Pangeran Danutirto yang melarikan diri ke dalam hutan lebat di lereng 
sebelah utara Gunung Merbuk masih hidup. Pangeran Danutirto sendiri tidak tahu kalau 
pengejaran terhadap dirinya telah lama dihentikan. Ia menetap di dalam hutan itu dan 
melatih diri dengan tekun selama puluhan tahun. Karena keinginannya untuk dapat 
merebut kembali tahta kerajaan ayahnya masih menghantui pikirannya. 
Keinginan itu pula yang membuatnya keluar dari tempat persembunyian setelah 
lebih tiga puluh tahun menyembunyikan diri. Tapi, keinginan itu padam dengan sendirinya 
ketika melihat rakyat hidup dalam ketenteraman dan kedamaian dalam pemerintahan 
tangan penjajah. Akhirnya, Pangeran Danutirto membaktikan ilmunya untuk kebaikan 
orang banyak. Hingga, ia dikenal dengan julukan Telapak Lidah Halilintar.

Saat namanya semakin besar dan dikenal orang, Telapak Lidah Halilintar 
mendengar tentang munculnya seorang bocah yang mendapat julukan Utusan Dari 
Neraka, karena perbuatannya yang sangat kejam dan mendirikan bulu roma. Ia pun 
bertekad untuk menghentikan bocah Utusan Dari Neraka itu.

DUA


"Eh, kenapa kau jadi marah-marah seperti itu, Telapak Lidah Halilintar?" Setan 
Ular Tertawa merasa senang melihat kakek kurus itu mencak-mencak. "Apa itu berarti 
kata-kata Algojo Cakar Siluman benar...?" lanjutnya, ia sengaja hendak membalas sikap 
Telapak Lidah Halilintar yang sempat memancing kedongkolan hatinya. 
"Ular buntung keparat! Kau benar-benar membuat kesabaranku habis...!" 
Telapak Lidah Halilintar melompat ke depan. Sepasang tangannya bergerak 
membacok dan menusuk dengan kecepatan kilat! 
Bed! Syuttt! 
Dua serangan maut yang mengarah jalan darah kematian itu dielakkan Setan Ular 
Tertawa dengan menarik mundur tubuhnya dua langkah. Lalu, dengan tidak kalah cepat 
dan ganasnya, Setan Ular Tertawa melontarkan serangan balasan dengan dua ekor ular 
sendok yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah melibat kedua pergelangan 
tangannya.
Kedua ekor ular sendok itu mematuk-matuk ganas, membuat Telapak Lidah 
Halilintar terpaksa berlompatan menghindar. Ia tahu betul racun ular sendok sangatlah 
berbahaya dan mematikan. Maka, untuk mengimbangi serangan lawan jurus 'Telapak 
Lidah Halilintar' yang menjadi andalannya pun langsung digunakan. Setan Ular Tertawa 
terpaksa harus mengerahkan ilmu-ilmu andalannya pula. 
Menyaksikan Setan Ular Tertawa dan Telapak Lidah Halilintar sudah terlibat dalam 
perkelahian sengit, Algojo Cakar Siluman tersenyum mengejek. Kesempatan itu segera 
dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Mula-mula ia menggeser langkahnya perlahan 
menjauhi arena perkelahian. Kemudian, dengan liciknya ia pun melesat meninggalkan 
tempat itu. 
Tapi, kedua tokoh yang sedang bertarung rupanya sempat menangkap bayangan 
Algojo Cakar Siluman. Meskipun tanpa kata, keduanya ternyata memiliki pikiran yang 
sama. 
Begitu bayangan Algojo Cakar Siluman berkelebat pergi, keduanya langsung 
menahan serangan dan berlompatan mundur. Lalu, melesat dengan kecepatan tinggi 
mengejar Algojo Cakar Siluman. 
"Jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini, Algojo Cakar Siluman...!" Setan 
Ular Tertawa terseru keras sambil melontarkan pukulan mautnya, sementara tubuhnya 
melayang di udara. Kedua ekor ular sendok yang semula melibat kedua pergelangan 
tangannya sudah lenyap. 
"Siluman licik! Sebaiknya kau segera minggat ke neraka...!" Telapak Lidah Halilintar 
mengumpat. Seperti halnya Setan Ular Tertawa, dengan tubuh melayang di udara ia 
melontarkan pukulan 'Telapak lidah Halilintar'. 
Perbuatan kedua orang itu tentu saja sangat mengejutkan Algojo Cakar Siluman. 
Sungguh tak disangkanya kedua orang yang tadi bertarung mati-matian kini berbalik 
mengejar dan mengeroyoknya. Karuan saja ia jadi kelabakan dan pontang-panting 
menyelamatkan diri dari pukulan maut kedua tokoh itu, dengan melompat tubuhnya ke 
samping dan terus bergulingan di tanah. Untung Algojo Cakar Siluman bertindak cepat. 
Kalau tidak, niscaya ia sudah tewas oleh kedua pukulan maut itu. 
Setelah dapat menyelamatkan diri, Algojo Cakar Siluman langsung melenting 
bangkit. Dengan sigapnya ia berdiri tegak sambil memasang kuda-kuda siap tempur. Tapi, 
justru saat itu baik Setan Ular Tertawa maupun Telapak Lidah Halilintar tidak 
melanjutkan serangannya. Untuk beberapa saat ketiganya berdiri tegak di tempat masing-
masing dan saling berpandangan satu sama lain. 
"Setan Ular Tertawa." Setelah beberapa saat dicekam keheningan, Algojo Cakar 
Siluman membuka suara. "Kita adalah orang segolongan yang menguasai daerah timur 
dan barat. Untuk itu aku menawarkan kerja sama kepadamu. Kita habisi kakek peot ini. 
Setelah itu, baru kita sama-sama mencari goa tempat Utusan Dari Neraka itu berada...," 
lanjutnya mengajukan usul licik. Tentu saja karena pertimbangan untung rugi untuk 
kepentingan dirinya sendiri.

Telapak Lidah Halilintar melompat cepat ke depan. Sepasang tangannya bergerak 
membacok dan menusuk dengan kecepatan kilat! 
Bed! Syuttt! 
Dua serangan maut yang mengarah jalan darah kematian itu dielakkan Setan Ular 
Tertawa dengan menarik mundur tubuhnya dua langkah.

Setan Ular Tertawa kelihatan ragu. Keningnya berkerut memikirkan usul Algojo 
Cakar Siluman. Tapi, ia tidak memerlukan banyak waktu. Usul itu dianggapnya cukup 
baik. Ia melihat sisi baik bagi keuntungan dirinya. 
"Baiklah," jawab Setan Ular Tertawa mantap. "Aku suka dengan usulmu, Algojo 
Cakar Siluman...!" Kemudian, tanpa menunggu lagi, langsung diterjangnya Telapak Lidah 
Halilintar dengan serangkaian serangan maut! 
Telapak Lidah Halilintar tidak terlalu kaget dengan sikap licik kedua datuk 
golongan hitam itu. Ketika Setan Ular Tertawa menyerangnya, ia segera menghindar dan 
balas menyerang dengan Ilmu 'Telapak Lidah Halilintar". Untuk pertarungan kali ini 
Telapak Lidah Halilintar benar-benar harus menguras seluruh kemampuannya. 
Pengeroyoknya adalah datuk-datuk sesat yang selain memiliki kepandaian tinggi juga 
berwatak licik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang 
diinginkannya. 
Kepandaian Telapak Lidah Halilintar sendiri sudah sangat tinggi. Selama ini belum 
pernah menemui tandingan. Tapi menghadapi keroyokan dua datuk sesat itu, yang 
masing-masing memiliki kepandaian tidak berselisih jauh dengannya, membuat kakek itu 
agak repot. 
Lewat dari tiga puluh jurus, Telapak Lidah Halilintar mulai merasakan tekanan-
tekanan berat dari kedua orang lawannya, ia terdesak dan hanya bisa bermain mundur. 
Untuk balas menyerang, kakek kurus itu tidak lagi mempunyai peluang. Kedua 
pengeroyoknya selalu lebih dulu menutup setiap celah yang memungkinkannya untuk 
balas menyerang. Telapak Lidah Halilintar semakin mati langkah, sementara ruang 
geraknya semakin dipersempit. 
Duk! 
Plakk! 
Telapak Lidah Halilintar yang baru saja menghindar dari sergapan Setan Ular 
Tertawa terpaksa menangkis ketika serangan Algojo Cakar Siluman datang. Kedudukannya 
yang kurang menguntungkan membuat kuda-kudanya tergempur. Tubuhnya terjajar 
limbung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan kedua lawannya 
untuk menerjang! 
"Hyaaahh...!" 
Algojo Cakar Siluman membentak sambil melompat maju. Sepasang tangannya 
bergerak cepat. Bayangan cakarnya yang berubah banyak terlontar mengarah empat jalan 
darah besar di tubuh Telapak Lidah Halilintar. 
"Yeaaattt...!" 
Setan Ular Tertawa tidak mau ketinggalan. Tubuhnya meluncur deras seraya 
mengibaskan kedua lengannya bergantian. Dua buah benda hitam panjang meluncur 
cepat menuju jantung dan leher Telapak Lidah Halilintar. 
Desss! Crabbb! Crabbb! 
"Aaa...!" 
Telapak Lidah Halilintar tak mampu lagi menyelamatkan diri. Terdengar 
raungannya yang panjang mendirikan bulu roma. Dua bayangan cakar Algojo Cakar 
Siluman merobek lambung dan dada kanannya. Sementara, dua ekor ular hitam yang 
dilontarkan Setan Ular Tertawa lenyap ke dalam dada kiri dan tenggorokannya, membuat 
lubang sebesar jari kelingking mengalirkan darah hitam pekat! 
Tanpa ampun lagi, tubuh Telapak Lidah Halilintar, tokoh ternama yang sebenarnya 
juga seorang ahli sihir terlempar roboh bermandikan darah. Telapak Lidah Halilintar tidak 
mendapatkan kesempatan untuk menggunakan ilmu sihirnya. Setan Ular Tertawa dan 
Algojo Cakar Siluman sudah mengetahui rahasia kelemahan ilmu sihir. 
Mereka selalu menghindari bentrokan pandangan dengan Telapak Lidah Halilintar. 
Sehingga, ia tidak mendapatkan peluang untuk mengerahkan ilmu sihirnya melalui 
pandangan mata. Melalui cara itu ia dapat mempengaruhi penglihatan dan pikiran lawan. 
Tapi, kesempatan itu tidak pernah didapat. Sampai akhirnya ia harus mati penasaran di 
tangan kedua datuk sesat itu. 
Setelah menewaskan Telapak Lidah Halilintar, kedua datuk sesat itu saling 
bertukar pandang sejenak. Ada kilatan curiga pada sorot mata mereka. Keduanya sadar 
akan kelicikan dan kecurangan masing-masing. 
"Sebaiknya persekutuan ini terus kita lanjutkan, Algojo Cakar Siluman...." Setan 
Ular Tertawa lebih dulu membuka suara, memecah keheningan yang menegangkan di

antara mereka. "Dengan bersatu segala halangan akan lebih mudah kita singkirkan. Dan, 
apa yang kita inginkan akan segera terwujud!" lanjutnya sambil mengepalkan tinju dengan 
penuh semangat. 
"Aku setuju...!" Algojo Cakar Siluman menyambut baik usul kawannya. Dengan 
tersenyum dikepalkannya tinjunya erat-erat. Mereka saling berjabat tangan. Kemudian, 
melangkah pergi tanpa mempedulikan mayat Telapak Lidah Halilintar. 
*** 
"Hh... Panas bukan main udara hari ini," keluh salah satu dari tiga orang lelaki 
gagah itu. Sambil berkata demikian, ia mengusap wajah brewoknya yang berpeluh. 
"Sebaiknya di depan sana kita beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Aku 
mendengar suara gemericik air mengalir. Kurasa di sana ada aliran sungai. " Lelaki kedua 
menimpali. Kulit wajahnya yang putih tampak kemerahan terpanggang matahari. Sosok 
lelaki kedua ini sangat gagah. Tubuhnya tinggi tegap dengan dada bidang. Sosoknya masih 
kelihatan sangat menarik meski dalam usia yang telah mencapai empat puluh tahun. 
Sedangkan lelaki ketiga tidak berkata apa-apa. Ia juga merasakan hal yang sama 
dengan kedua kawannya. Sikapnya tampak lebih tenang. Usianya sedikit lebih muda dari 
kedua kawannya. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah terhias kumis tipis. Dari sorot 
matanya yang tajam, jelas menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi. 
Ketiga lelaki gagah itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah 
tokoh-tokoh persilatan yang cukup ternama dan mendapat julukan Tiga Harimau Dari 
Timur. Mereka memang berasal dari Jawa Timur. Tepatnya Lembah Sungai Brantas. 
Sebagaimana kabar yang tersebar di kalangan persilatan, ketiga tokoh ini pun merasa 
berkewajiban untuk menghentikan keganasan Utusan Dari Neraka yang menggemparkan 
itu. 
Tiga Harimau Dari Timur baru saja bergerak menuruni dinding sungai ketika 
mereka dikejutkan oleh suara makian. Ketiga tokoh itu langsung menoleh dengan sikap 
waspada. Tapi, ketiganya kemudian melengos. Yang mengeluarkan lengkingan itu ternyata 
seorang nenek yang tengah membuang hajat. Saat ketiganya menoleh tadi, mereka melihat 
nenek itu tengah sibuk menutupi auratnya yang sudah keriput. 
"Hih hih hih...!" 
Anehnya, begitu Tiga Harimau Dari Timur berpaling, nenek itu malah tertawa 
cekikikan memperlihatkan mulutnya yang tak bergigi lagi. 
"Enak ya, kalian bisa menyaksikan tontonan cuma-cuma," ujar nenek itu. 
Sepertinya ia memiliki otak kurang beres. Biarpun sudah tua aku masih perawan ting-ting, 
tahu. Perbuatan kalian telah membuat mukaku tercoreng aib. Selama ini baru kalian 
bertiga yang menyaksikan keindahan tubuhku. Untuk itu, mata kalian harus kucongkel 
keluar!" 
"Nenek sinting...!" Harimau Pertama yang berwajah brewok mengumpat jengkel. 
Pemandangan tadi bukan mendatangkan keuntungan, malah rugi besar. "Aku lebih suka 
melihat pantat kuda daripada tubuh peotmu!" Tentu saja sumpah serapah itu dilontarkan 
dengan suara pelan. Tapi, Harimau Pertama menjadi kaget. Nenek sinting itu ternyata 
mendengar umpatannya. 
"Hik hik hik...! Sebenarnya aku suka melihat lelaki yang mempunyai brewok 
sepertimu. Tapi, mulutmu yang telah berani menghina keindahan! Tubuhku harus kubuat 
mengok!" ujar nenek sinting itu, yang telah selesai membereskan pakaiannya. Dengan 
gerakan yang ringan tubuhnya melayang mengejar Tiga Harimau Dari Timur yang sudah 
naik ke daratan. 
Whuttt...! 
Belum lagi kakinya menginjak tanah, tangan nenek itu sudah menderu ke arah 
mulut Harimau Pertama. Tentu saja Harimau Pertama tidak sudi mulutnya dibuat mengok. 
Cepat ia menarik tubuhnya dua langkah ke belakang. Tapi, alangkah kaget hatinya ketika 
melihat tamparan itu masih juga mengejarnya. 
Dukkk! 
Tangkisan lengan kanannya malah membuat tubuh Harimau Pertama terhuyung 
limbung. Sedangkan telapak tangan nenek sinting terus bergerak mengincar mulutnya. 
"Aaah...!"

Saking kagetnya, Harimau Pertama memekik. Beruntung, Harimau Kedua dan 
Harimau Ketiga datang memberikan bantuan. Nenek sinting itu terpaksa harus merubah 
gerakannya. Sasarannya kini beralih pada Harimau Kedua dan Harimau Ketiga. 
Tapi, Harimau Kedua dan Harimau Ketiga yang saat itu sudah mengenakan senjata 
berupa sarung tangan kuku harimau segera memapaki untuk mencengkeram telapak 
tangan nenek sinting! 
Weettt! Weettt! 
Cengkeraman Harimau Kedua dan Harimau Ketiga kehilangan sasaran. Telapak 
tangan nenek sinting tahu-tahu telah berputar cepat sekali. Dan, meluncur datang 
mengancam pelipis Harimau Kedua. 
Plakkk! 
Harimau Kedua tak sempat menghindar. Tamparan keras itu membuat tubuhnya 
terpelanting dan tercebur ke dalam sungai. Tepalak tangan nenek sinting terus berputar 
dan kini mengancam dada Harimau Ketiga. 
Dukkk! 
Harimau Ketiga memalangkan lengannya sehingga lengan mereka berbenturan. 
Akibatnya, tubuh Harimau Ketiga terpelanting dan nyaris mengalami nasib yang sama 
seperti Harimau Kedua. Untung ia keburu melempar tubuhnya ke samping dan terus 
bergulingan. 
"Nenek gila! Terima balasanku...!" 
Harimau Pertama yang menyaksikan kehebatan nenek sinting kini tidak ragu-ragu 
lagi untuk mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya melompat dengan gaya harimau 
menerkam mangsa. Sepasang tangannya yang telah mengenakan sarung tangan cakar 
harimau terjulur ke muka. Siap mencabik-cabik tubuh keriput nenek gila. 
Serangan Harimau Pertama memang cukup berbahaya. Tapi, dengan lincahnya 
semua serangan itu dapat dihindari nenek gila. Malah, ketika Harimau Ketiga ikut 
mengeroyok maju, nenek gila tetap tidak merasa kewalahan. Lewat belasan jurus 
kemudian, serangan-serangan balasannya justru membuat kedua lawannya kalang kabut. 
Serangan nenek itu datang bertubi-tubi dengan kecepatan tinggi. Hingga, kedua lawannya 
berjumpalitan menyelamatkan diri. 
Desss...! 
Harimau Pertama mengalami nasib sial. Sebuah tendangan sisi telapak kaki 
mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, ia terjengkang di tanah. Menyusul 
kemudian Harimau Ketiga yang terpental uleh gedoran telapak tangan nenek gila. Tokoh 
muda itu jatuh terduduk dengan wajah pucat. 
"Hih hih hih...! Kiranya kepandaian Tiga Harimau Dari Timur cuma begitu saja. 
Kecill!...!" Nenek lila mengejek sambil menjentikkan ujung kuku kelingkingnya. "Dari pada 
dengan kepandaian seperti ini kalian nekat hendak mencari Utusan Dari Neraka, lebih 
baik kalian bertiga menjadi suamiku saja. Biarpun wajah kalian jelek-jelek, tapi aku terima 
sebagai suamiku." 
"Gila...!" Harimau Pertama memaki pelan, ia belum gila untuk menerima 
permintaan sinting itu. Harimau Pertama bergerak bangkit. Bekas tendangan nenek itu 
terasa sakit bukan main. 
Tiga Harimau Dari Timur bergabung kembali. Wajah ketiganya tampak agak pucat. 
Mereka sadar nenek itu bukanlah tandingan mereka. Bukan mustahil nenek itu dapat 
memaksakan kehendaknya. Dan, memang sesungguhnyalah nenek sinting itu bukan 
tandingan mereka. Dia berjuluk Putri Perayu, karena sifatnya yang genit dan suka merayu 
kaum lelaki. Nenek ini memiliki kepandaian yang tinggi. 
"Aku akan menghadiahkan obat kuat kepada kalian. Jadi, tidak perlu takut kalah 
kuat denganku." Seperti sangat yakin kalau Tiga Harimau Dari Timur bersedia menerima 
tawarannya, Putri Perayu segera mengeluarkan kantung obat dari balik pakaiannya. Tiga 
butir pil berwarna merah yang besarnya tak lebih dari ujung jari kelingking disodorkan ke 
hadapan Tiga Harimau Dari Timur. 
"Telanlah sendiri olehmu, Nenek Gila!" Harimau Pertama memaki sambil 
menepiskan pil. Tapi, lanya dengan memutar telapak tangan tamparan Harimau Pertama 
luput. 
"Kalau begitu, kalian akan kupaksa untuk menelan pil-pil ini. Dalam waktu singkat 
kalian boleh lihat pengaruhnya. Jangankan perempuan cantik, yang wajahnya buruk dan 
tubuhnya gudikan pun akan kalian sikat Hih hih hih...!"

Tiga Harimau Dari Timur terbelalak mendengar kedahsyatan pengaruh pil-pil 
berwarna merah itu. Membayangkan apa yang digambarkan Putri Perayu, mereka merasa 
ngeri dan jijik. Ketiganya segera berlompatan menjauh. 
"Nah, aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk menerima tawaranku. 
Kalau tidak..." Putri Perayu kembali membuka telapak tangannya, menunjukkan pil-pil 
merah yang bagi Tiga Harimau Dari Timur kini terlihat sangat menakutkan. 
Tiga Harimau Dari Timur terus bergerak mundur dengan wajah pucat. Keringat 
dingin mengalir membasahi wajah dan tubuh mereka. Sementara Putri Perayu terus 
melangkah maju sambil tertawa-tawa. 
"Memaksakan kehendak kepada orang lain adalah sikap yang tidak terpuji...." 
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang pemuda 
tampan berjubah putih. Dengan langkah lebar, pemuda yang tidak lain Panji menghadang 
langkah nenek gila. Putri Perayu, menyeringai memamerkan mulutnya yang tidak bergigi. 
Mungkin maksudnya hendak tersenyum manis. Tapi, yang terlihat justru seringai yang 
menggelikan. 
Kemunculan pemuda tampan berjubah putih membuat Tiga Harimau Dari Timur 
memutar tubuhnya. Mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Dan, langsung 
pulang kampung! Rupanya, ancaman pil-pil merah telah melenyapkan keberanian mereka. 
"Hm.... Kau harus menggantikan Tiga Harimau Dari Timur yang melarikan diri, 
Bocah Bagus!" Putri Perayu berkata dengan sorot mata mengancam. Tapi, meskipun 
wajahnya dibuat seseram mungkin, bagi Panji malah kelihatan lucu. 
"Kecuali...," Nenek sinting itu tampak ragu dan tampak malu-malu melanjutkan 
ucapannya. Terdengar tawa mengekeh yang disertai kerdipan mata. Menurut Panji, persis 
orang cacingan. Tapi Putri Perayu tidak peduli dengan apa yang ada dalam pikiran Panji. 
Tubuhnya bergoyang ke kiri kanan sambil meremas-remas ujung pakaiannya. Kemudian, 
digigit-gigitnya dengan mulutnya yang tak bergigi. Sikap nenek itu persis seorang gadis 
pingitan yang tengah berhadapan dengan pemuda idamannya. 
"Kecuali apa, Nek..?" Panji yang memang tidak mengetahui duduk perkaranya 
dengan jelas, bertanya ramah. Hatinya mendadak berdebar aneh ketika menyaksikan 
tingkah nenek sinting. Satu pikiran yang membuat hatinya bergidik tiba-tiba melintas di 
benaknya. Segera diusirnya pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat. 
"Kecuali..., jika kau bersedia menjadi... suamiku...." Akhirnya Putri Perayu 
menjawab sambil tersipu. Wajahnya ditundukkan. Ekor matanya mengerling genit ke arah 
Panji. 
"Hahhh...?!" 
Kalau saja saat itu petir meledak di dekat telinganya, rasanya Panji tidak akan 
sekaget sekarang. Jawaban nenek sinting benar-benar membuat dirinya berjingkrak kaget. 
"Gila...!" Panji mengumpat dalam hati. "Nenek ini ternyata bukan orang waras. 
Mana mungkin ia sampai mempunyai pikiran gila seperti itu? Edan!" 
"Kaget ya, Bocah Bagus?" Nenek sinting berkata dengan wajah tanpa dosa. "Aku 
yakin kau tidak akan menyesal. Sampai saat ini aku masih perawan. Kau boleh 
membuktikannya kalau tidak percaya...." 
Lagi-iagi Panji menggeleng. Dihelanya napas kuat-kuat. Panji menatap wajah nenek 
sinting itu lekat-lekat. 
"Maaf, Nek," ucapnya sambil menahan kejengkelan. "Aku sudah mempunyai calon 
istri. Jadi, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Dan aku tidak punya waktu lagi 
untuk meladenimu...," usai berkata, Panji segera meninggalkan tempat itu. Nenek ini 
ternyata orang gila. Gila kawin! 
"Hik hik hik..!" 
Panji yang sudah siap hendak melesat pergi segera menahan ayunan langkahnya. 
Suara tawa lain tiba-tiba terdengar. Suara tawa perempuan. Panji segera menduga pemilik 
suara tawa itu pasti telah mendengar semua pembicaraannya dengan Putri Perayu. Belum 
lagi gema tawa mengikik itu lenyap dari balik sebatang pohon, kira-kira tiga tombak di 
sebelah kanannya, muncullah sesosok tubuh perempuan. Dari bentuk wajahnya 
kelihatannya seorang perempuan muda. Ia melangkah dengan sikap menggoda. 
Tatapannya tertuju kepada Panji. 
"Ayo, Nek, mengapa kau tidak segera mencium pengantin lelakimu? Peluk dan 
ciumlah dengan penuh kasih sayang. Aku percaya dia sudah bersedia untuk menjadi 
suamimu..." Perempuan yang berjalan melenggang itu berkata sambil menahan rasa geli.
"Eh, jadi dia sudah bersedia?!" Putri Perayu berkata sambil membelalakkan mata. 
Wajahnya tampak berseri-seri. Ditatapnya perempuan yang kini sudah berdiri di dekatnya. 
Lalu menatap Panji dengan sorot mata berbinar. Dengan langkah dibuat-buat meniru 
langkah perempuan yang baru tiba, nenek sinting mendekati Panji dengan kedua tangan 
terulur. 
"Gila...! Siapa perempuan usil yang sama gilanya itu...?!" geram Panji, 
menumpahkan kejengkelannya kepada perempuan yang baru tiba dan memanas-manasi 
Putri Perayu. Tanpa menunggu lagi, Panji melesat pergi meninggalkan tempat itu. 
"Kejar, Nek. Cepat kejar...!" Perempuan berpakaian merah muda yang usianya 
sekitar delapan belas tahun itu berseru sambil menahan tawa. "Pengantin lelakimu hendak 
mengajakmu bermain kejar-kejaran. Ayo, lekas tangkap...!" tambahnya. Kali ini diakhiri 
dengan melepas tawa berderai. 
"Kurang ajar betul perempuan itu!" Panji mengumpat-umpat ketika dilihatnya 
nenek sinting melesat mengejarnya. Alangkah terkejutnya Panji ketika dengan beberapa 
kali lompatan saja tubuh Putri Perayu melambung melampaui kepalanya dan mendarat 
menghadang jalan. 
"Wah, Nek, rupanya mempelai lelakimu hendak menguji kepandaian. Hayo lawan, 
Nek! Kalau kau berhasil mengalahkannya, baru dia bersedia kau boyong...!" Lagi-lagi 
perempuan usil berpakaian merah muda berseru, ia bertepuk tangan keras-keras memberi 
semangat Nenek sinting itu tentu saja menjadi kegirangan. 
"Bagus kalau begitu!" Putri Perayu semakin berseri wajahnya. "Hadapilah 
seranganku, Suamiku...." Nenek sinting kemudian menerjang Panji dengan pukulan lurus 
ke dada. Tangan lainnya dengan telapak terbuka siap menyusul dengan tebasan miring. 
Bedd! 
Panji yang menghindar dengan melompat pendek ke samping terkejut merasakan 
betapa hebat tenaga pukulan yang terkandung dalam serangan itu. Cepat ia menggeser 
tubuhnya waktu tangan kiri nenek sinting membacok dengan diiringi suara bercicitan. 
Whuttt...! 
Ketika Panji masih juga dapat menghindari serangan kedua, Putri Perayu 
membentak nyaring. Dengan kedua tangan ia melancarkan totokan ke arah jalan darah di 
bagian atas dada Panji. 
Kali ini sangat sulit bagi Panji untuk menghindar. Kecepatan gerak nenek sinting 
benar-benar di luar dugaan. Tahu-tahu, totokan jari-jari tangannya sudah tiba dekat. 
Plak! Plak! 
Semakin kaget Panji sewaktu merasakan lengannya bergetar ketika menangkis 
lengan berkulit keriput itu. Sedangkan serangan nenek sinting terus meluncur dengan 
totokannya. 
"Hyaaah...!" 
Seraya membentak keras, Panji melempar tubuhnya dan berputaran di udara. 
Sengaja ia mengerahkan kecepatan geraknya, khawatir akan kalah cepat dengan nenek 
sinting. Apa yang dikhawatirkannya memang tidak berlebihan. Begitu kakinya menginjak 
tanah, serangan Putri Perayu kembali datang memburu. Merasa penasaran, Panji kembali 
membentak. Kali ini ia tidak melambung ke udara, malah sebaliknya, ia menjatuhkan 
tubuhnya dengan kuda-kuda rendah dan berputar melingkar. Kaki kanannya terjulur 
lurus ke depan menyapu kuda-kuda nenek sinting. 
Desss! 
Yang dilakukan Panji rupanya di luar perhitungan Putri Perayu. Sapuan kaki Panji 
telak menghajar kuda-kudanya. Nenek itu memekik kaget sewaktu kakinya kena jegal. 
Tubuhnya melambung dengan kedua kaki terangkat ke atas. Beruntung Putri Perayu 
memiliki kepandaian tinggi. Meski keadaannya sangat sulit, ia masih dapat melakukan 
gerak berputar. Nenek sinting itu dapat menyelamatkan diri secara mengagumkan! Ia 
menjatuhkan diri ke tanah dengan kedua tangan lebih dulu. Dan, terus bergulingan untuk 
kemudian melenting bangkit. 
"Awaass...!" 
Putri Perayu membentak nyaring. Kedua tangannya melontarkan pukulan 
bergantian. Serangkum angin keras menderu mengiringi datangnya pukulan. Setelah lewat 
belasan jurus tampaknya nenek sinting itu mulai melupakan tujuannya semula. Serangan-
serangan yang dilancarkannya bukan lagi sekadar untuk menguji. Serangan itu sangat

berbahaya dan bisa mengakibatkan luka dalam yang parah. Nampaknya, hawa bertempur 
mulai dirasakan Putri Perayu sebagai pertarungan hidup dan mati! 
"Celaka...!" Perempuan muda berpakaian merah muda yang berwajah manis 
berseru kaget. Ia tidak menduga nenek sinting memiliki kepandaian vnng sedemikian 
hebat. Kalau semula ia hanya hendak menggoda, kini menjadi khawatir akan keselamatan 
pemuda berjubah putih. Ketika melihat Panji kewalahan, perempuan itu berseru keras 
sambil melayang ke tengah arena. 
Melihat perempuan yang memanas-manasi Putri Perayu ikut terjun ke arena, Panji 
semakin bertambah jengkel. Ia menduga perempuan itu hendak membantu nenek sinting 
untuk menangkapnya. Maka, bergegas Panji melompat jauh ke belakang untuk 
mempersiapkan diri menghadapi keroyokan kedua perempuan itu. 
Tapi, dugaan Panji ternyata keliru. Terjunnya perempuan berpakaian merah muda 
ke arena bukanlah untuk membantu nenek sinting, melainkan hendak menyelamatkan 
Panji dari serangan maut lawannya. 
Duk! Plak! Bukkk! 
Hebat dan cepat sekali gerakan Putri Perayu. Dua kali serangannya ditangkis 
perempuan muda itu, yang langsung tergetar mundur sambil meringis kesakitan. 
Sedangkan nenek sinting sudah mengirimkan hantaman kilat dengan telapak tangan 
tebuka. Pukulan itu telak menghajar perut perempuan muda. Ia terpelanting ke tanah, 
meski dapat langsung bangkit dan menyiapkan jurus-jurusnya. Pada sudut bibir 
perempuan itu terlihat cairan merah. Pukulan nenek sinting telah melukai bagian dalam 
tubuhnya. 
*** 
"Minggir kau, Kuntilanak Genit! Jangan ambil suamiku...!" Putri Perayu itu 
berteriak-teriak. Kembali ia mengirimkan pukulan-pukulan dan tamparan yang 
mendatangkan deruan angin keras. 
Perempuan berpakaian merah muda kelihatan kaget dan agak gugup melihat 
datangnya serangan. Kendati demikian, ia masih dapat menyelamatkan diri dengan susah 
payah. Tubuhnya terhuyung mundur tidak bisa mengatur kuda-kudanya karena serangan 
beruntun yang dilancarkan Putri Perayu. 
"Nona, menyingkirlah...!" 
Panji yang melihat perempuan muda itu, jelas-jelas hendak membelanya, segera 
berseru ketika Putri Perayu melanjutkan serangan mautnya. Cepat bagai kilat, tubuhnya 
melesat dan disambutnya serangan nenek itu dengan kibasan kedua lengan. Panji 
membentuk perisai sinar putih berhawa dingin yang menusuk tulang. Tenaga mukjizat 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang ketangguhannya telah terkenal di kalangan persilatan. 
Kembali dua pasang lengan beradu memperdengarkan suara keras. Kali ini karena 
Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya, benturan itu menyebabkan 
tubuhnya dan Putri Perayu terpental balik. Tubuh Panji terlempar lebih jauh dari 
lawannya, bahkan nyaris terpelanting. Itu menandakan tenaga dalamnya masih berada di 
bawah nenek sinting. Benar-benar sebuah kenyataan yang mengejutkan Panji! 
"Tuan...!" 
Perempuan berpakaian merah muda bergegas menghampiri Panji yang baru saja 
memperbaiki kuda-kudanya. Panji menoleh dan tersenyum ketika melihat kekhawatiran di 
wajah perempuan itu. 
"Maafkan aku, Tuan. Sungguh tak kusangka nenek sinting itu memiliki kepandaian 
yang sangat tinggi," ucap perempuan itu dengan nada sesal. "Sebaiknya kita menghindar 
saja. Tidak ada gunanya meladeni manusia sinting seperu nenek itu...," lanjutnya 
mengusulkan. 
Panji tersenyum menerima pernyataan maaf. Kemudian, menganggukkan kepala 
menyetujui usul itu. Ia sendiri enggan memperpanjang urusan dengan Putri Perayu. 
"Kau pergilah lebih dulu, Nona. Aku akan mencoba menahannya. Ilmu lari cepatnya 
sungguh luar biasa. Aku sudah merasakannya tadi," ujar Panji perlahan, namun 
mengandung ketegasan yang tidak ingin dibantah. 
Perempuan itu berusaha tersenyum. Meski yang dilihat Panji adalah seringai ngeri. 
Tahulah Panji kalau perempuan itu telah menderita luka dalam. Sekilas dipandanginya 
sosok perempuan yang berlari meninggalkan arena pertempuran.

Putri Perayu sepertinya tidak peduli dengan perempuan berpakaian merah muda 
yang melesai pergi, ia cuma mengerutkan kening sesaat. Lalu perhatiannya kembali 
terpusat kepada Panji. Nenek sinting itu sudah mempersiapkan jurusnya untuk 
melanjutkan perkelahian. 
Panji mengempos semangatnya dan mengerahkan tenaga gabungan. Sebentar 
kemudian, di sekeliling tubuhnya muncul cahaya putih keperakan, dan sinar kuning 
keemasan yang membelah tubuhnya. 
"Hei...!" 
Putri Perayu berseru kaget melihat dua sinar mukjizat yang melapisi tubuh Panji. 
Tapi, dengan cepat ia kembali memperoleh kesadarannya. Ia bersiap menerjang Panji. 
Namun, Panji telah mendahuluinya dengan mendorongkan kedua telapak tangan. 
Whusss...! 
Sinar kuning keemasan dan cahaya putih keperakan yang menyilaukan mata 
melesat dari kedua telapak tangan Panji. Putri Perayu segera menunda gerakannya begitu 
merasakan hembusan hawa panas dan dingin yang berasal dari dua rangkum sinar itu. 
Buummm...! 
Terdengar suara ledakan membahana, membuat tanah tempat Putri Perayu 
berpijak berhamburan disertai kepulan debu tebal. Sebagian dedaunan pohon yang berada 
di sekitar nenek sinting berguguran ke tanah. Sementara sebagian lagi layu bagai terbakar. 
Bahkan, ada yang diselimuti butiran-butiran salju. Kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' yang dimiliki Panji tampaknya telah mengalami kemajuan. 
Putri Perayu sendiri sudah keburu menjejak tanah sewaktu menyadari kedahsyatan 
pukulan Panji. Ketika pukulan dahsyat itu membongkar tanah tempatnya berpijak, tubuh 
nenek sinting sudah melambung ke udara berjumpalitan lima kali ke belakang. Dan, saat 
mendarat di tanah suasana di depannya terlihat gelap sehingga ia tidak bisa melihat sosok 
Panji, yang begitu melepaskan pukulan langsung melesat pergi meninggalkan tempat itu. 
Pukulan itu memang dimaksudkan Panji hanya untuk mengelabui Putri Perayu. 
*** 
"Hh.... Untunglah kita dapat melepaskan di dari nenek sinting itu, Panji." 
Panji menoleh sambil menghembuskan napas lega. Saat itu mereka sudah berlari 
hampir setengah hari untuk menghindari kejaran Putri Perayu. Selama dalam perjalanan 
keduanya sudah saling memperkenalkan diri. Mereka melakukan perjalanan sama karena 
kebetulan arah yang mereka tuju sama. Panji tidak merasa keberatan melakukan 
perjalanan dengan gadis itu. Panji menceritakan awal pertemuannya dengan nenek itu. 
Sedangkan Karina, perempuan berpakaian merah muda, cuma mengetahui sewaktu nenek 
sinting meminta Panji untuk menjadi suaminya. 
"Kemunculannya jelas bukan tanpa sebab. Pasti ada sesuatu yang membawa 
langkahnya ke daerah ini...," ujar Panji. "Kau sendiri bagaimana tahu-tahu bisa muncul di 
tempat itu, Karina...?" 
"Kurasa alasan kita tidak berbeda, Panji. Seperti juga alasan tokoh-tokoh persilatan 
yang saat ini banyak bermunculan. Kabar tentang munculnya seorang tokoh yang dijuluki 
Utusan Dari Neraka demikian menghebohkan. Hingga, Guru menugaskan aku untuk 
menyelidiki kebenarannya. Ketika melihat kau berselisih dengan nenek sinting itu, aku 
sebetulnya sedang dalam penyelidikan," ujar Karina sejujurnya. 
"Artinya, sampai saat ini kau belum mendapatkan petunjuk tentang benar tidaknya 
berita itu?" tegas Panji menyimpulkan penuturan Karina. 
"Begitulah..," Karina mengangkat bahunya disertai helaan napas berat. 
"Lalu, penjelasan gurumu tentang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka itu 
bagaimana? Apakah dia laki-laki atau perempuan? Tua atau muda?" 
Karina tertawa lirih mendengar pertanyaan Panji yang beruntun. 
"Sejak tadi selalu aku yang menjawab," Karina seperti keberatan menjawab 
pertanyaan-pertanyaan itu. "Bagaimana kalau mengenai hal itu kau saja yang 
menjawabnya, Panji. Menurutku, orang yang memiliki kepandaian sepertimu pastilah tahu 
lebih banyak ketimbang perempuan bodoh seperti aku...." 
Ucapan Karina membuat Panji mengulum senyum. Beberapa saat keduanya 
dicekam keheningan. Panji tidak segera memenuhi permintaan Karina. Sampai akhirnya

Karina bergerak menghadang di depan Panji. Sepasang mata bulat dan bening itu 
menghujam tepat di bola mata Panji, penuh tuntutan! 
"Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui...," Panji menghela napas, mengalah. 
"Dari keterangan yang kuperoleh dan setelah menyaksikan korban-korban keganasan 
tokoh Utusan Dari Neraka, dapat diperkirakan tokoh itu seorang bocah. Entah kekuatan 
apa yang dimiliki hingga mampu melakukan pembunuhan dengan sangat kejinya. 
Korbannya kebanyakan ibu-ibu muda yang tengah menyusui. Meski kabarnya belum ada 
seorang pun yang pernah melihat rupa Utusan Dari Neraka, tapi aku merasa yakin tokoh 
itu seorang bocah. Kemungkinan ia diperalat seorang ahli sihir yang bertujuan hendak 
mengacaukan dunia persilatan, di samping tentu saja mempunyai maksud-maksud 
tertentu," jelas Panji panjang lebar. 
Karina mengangguk-angguk merasa sependapat dengan Panji, ia sendiri pernah 
menyaksikan korban-korban keganasan Utusan Dari Neraka. Korbannya rata-rata 
perempuan. Mereka ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Karina tidak bisa 
memastikan apakah mereka perempuan muda atau nenek-nenek. Korban tewas dengan 
seluruh kulit tubuh mengeriput dan hitam seperti hangus terbakar. 
Penjelasan Panji membuat pikiran Karina terbuka. Ia baru menyadari perbedaan 
antara orang yang mati terbakar dengan korban Utusan Dari Neraka. Orang yang tewas 
terbakar kulit tubuhnya pasti melepuh dan kemerahan. Jika lebih hebat lagi akan gosong 
dan kering. Tidak seperti korban-korban Utusan Dari Neraka. Kulit tubuhnya mengeriput 
seolah seluruh darah dan sari kehidupan di dalam tubuh korban terhisap habis! Padahal, 
menurut penglihatan tokoh-tokoh ahli tak ada sedikit pun luka. Itu yang menimbulkan 
pertanyaan dan masih merupakan misteri yang belum terpecahkan.

EMPAT

Di lereng sebelah utara Gunung Merbuk, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular 
Tertawa duduk bersila menghadap sebuah mulut goa yang tingginya kira-kira setengah 
tombak dari atas permukaan tanah. Dua pasang mata datuk sesat itu menatap tajam ke 
arah mulut goa. Mereka duduk diam di atas sebuah batu besar, hingga tempat mereka 
sejajar tingginya dengan letak mulut goa. 
Sesekali dari dalam goa terdengar geraman-geraman marah yang mirip suara 
binatang buas. Orang yang bernyali kecil tentu sudah jatuh pingsan mendengar suara 
yang mendirikan bulu roma dan menggetarkan jantung itu. Suara parau itu seolah datang 
dari alam lain. 
Kalau orang lain mungkin akan lari terbirit-birit ketakutan, tapi bagi dua datuk 
sesat seperti Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa geraman-geraman itu justru 
membuat wajah mereka berseri. Untuk pemilik suara itulah mereka datang ke Gunung 
Merbuk. Suara Utusan Dari Neraka! 
"Hm.... Sudah dua belas hari kita duduk menunggu di sini, Setan Ular Tertawa. 
Namun, pagar gaib yang dibuat Telapak Lidah Halilintar pada mulut goa belum juga 
menunjukkan tanda-tanda akan sirna. Entah berapa lama lagi kita harus menunggu...," 
ucapan yang diawali dengan helaan napas panjang itu keluar dari mulut Algojo Cakar 
Siluman. 
Tidak terdengar sahutan dari Setan Ular Tertawa, ia menanggapi keluhan rekannya 
dengan kening berkerut. Mereka memang telah dua belas hari lamanya berada di tempat 
itu. Hampir pada setiap malam mereka melihat sesosok makhluk hitam legam merangkak 
ke mulut goa. Tapi, selalu saja berhenti di mulut goa. Kemudian menggeram-geram dan 
menghilang masuk ke dalam. Setiap kali makhluk itu hendak mencoba keluar, tiba-tiba 
muncul cahaya putih yang membentuk pagar. Sosok makhluk itu meraung kesakitan dan 
akhirnya kembali lenyap ke dalam goa. Selalu pemandangan itu yang disaksikan Algojo 
Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. 
Apa yang disaksikan pada setiap malam itu membuat Algojo Cakar Siluman dan 
Setan Ular Tertawa mau tidak mau harus mempercayai kebenaran selentingan kabar itu. 
Sebelumnya mereka memang belum bisa mempercayai tersiarnya kabar tentang apa yang 
telah dilakukan Telapak Lidah Halilintar terhadap Utusan Dari Neraka. 
Telapak Lidah Halilintar setelah mendengar pembunuhan-pembunuhan keji dan 
mengerikan yang dilakukan seorang tokoh yang dijuluki Utusan Dari Neraka segera 
melakukan penyelidikan. Ia tokoh golongan putih yang selain memiliki kepandaian silat 
tinggi juga mempunyai kekuatan ilmu sihir. Itu sebabnya, begitu mendengar kalau Utusan 
Dari Neraka menggunakan ilmu gaib dalam menghabisi korban-korbannya, Telapak Lidah 
Halilintar segera mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mencari petunjuk. Usahanya 
tidak sia-sia. Ia berhasil memergoki Utusan Dari Neraka sewaktu tengah menghabisi 
korbannya. 
Bukan kepalang terkejutnya Telapak Lidah Halilintar ketika menyaksikan dengan 
mata kepala sendiri bahwa tokoh yang karena kekejamannya hingga dijuluki Utusan Dari 
Neraka ternyata seorang bocah berusia tiga tahun! Bocah itu membunuh seperti bukan 
karena hendak membunuh, tapi karena kehausan. Rasa haus itu membuat setiap ibu 
muda yang tengah dalam masa menyusui dijadikan korbannya. 
Bocah Utusan Dari Neraka akan mengisap habis air susu berikut darah sang ibu 
muda yang malang. Anehnya, setiap korbannya tidak pernah menjerit-jerit Mereka terkena 
pengaruh aneh yang memancar dari sepasang mata Utusan Dari Neraka, tubuh korban 
baru dilepaskan setelah tidak ada lagi air susu bercampur darah. Korban ditinggalkan 
dalam keadaan sekujur kulit tubuh mengering. Karena, cairan di seluruh tubuhnya telah 
diisap habis oleh Utusan Dari Neraka! 
Saat memergoki bocah yang bertubuh hitam legam dan berkilat-kilat itu. Telapak 
Lidah Halilintar mengerahkan ilmu andalannya untuk memusnahkan bocah itu. Namun, 
kekuatan pukulan Ilmu 'Telapak Halilintar' malah berbalik dan nyaris mencelakai dirinya. 
Akhirnya, Telapak Lidah Halilintar mengerahkan seluruh ilmu sihirnya untuk 
menaklukkan Utusan Dari Neraka. Merasakan kekuatan gaib pada diri bocah itu melemah 
akibat rasa hausnya, Telapak Lidah Halilintar segera membelenggu dengan menggunakan

mantera-mantera sihir. Lalu, dibawanya pergi ke tempat kediamannya selama ini, di lereng 
sebelah utara Gunung Merbuk. 
Dengan perbuatannya itu bukan berarti Telapak Lidah Halilintar telah berhasil 
mengalahkan Utusan Dari Neraka. Kekuatan belenggu mantera sihirnya hanya mampu 
bertahan sampai empat puluh hari. Lewat dari batas itu, Telapak Lidah Halilintar tidak 
tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Bocah Utusán Dari Neraka seolah tidak bisa 
dimusnahkan. Tubuh hitam legam bocah itu bukan saja mampu mengembalikan setiap 
serangan yang mengancamnya, bahkan mampu menyerang tenaga pukulan yang 
bagaimanapun kerasnya. 
Apa yag akan terjadi setelah empat puluh hari berikutnya benar-benar membuat 
Telapak Lidah Halilintar dilanda kecemasan. Yang bisa dilakukannya cuma menunggu 
datangnya hari keempat puluh satu, setelah memenjarakan Utusan Dari Neraka di sebuah 
goa yang telah diberikan mantera pada mulut goa. Selama empat puluh hari empat puluh 
malam Utusan Dari Neraka tidak akan bisa keluar dari dalam goa itu. 
Telapak Lidah Halilintar bukannya tidak tahu perbuatannya telah tercium tokoh-
tokoh persilatan. Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan terutama kaum 
golongan hitam, terpaksa dibunuhnya. Mereka hendak merebut bocah pembawa bencana 
itu dari tangannya. Tapi, ketika dua orang de dengkot golongan sesat yang tidak lain Algojo 
Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa datang untuk mengambil bocah itu, Telapak Lidah 
Halilintar terpaksa harus merelakan nyawanya. 
Kesaktian kedua datuk sesat itu tak sanggup ditandingi. Telapak Lidah Halilintar 
tewas dengan membawa rasa penasaran karena belum menemukan cara untuk 
memusnahkan Urusan Dari Neraka. 
Malah, bocah itu jatuh ke tangan manusia-manusia kejam yang sudah pasti akan 
memperalatnya untuk kepentingan pribadi. 
*** 
"Ada orang datang...!" 
Tiba-tiba Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa berlompatan bangkit 
berdiri. Alangkah kaget kedua datuk kaum sesat itu melihat kemunculan seorang kakek 
jangkung yang mengenakan jubah lebar berwarna hijau dan pakaian dalam putih. 
"Sssi... apa kau...?" Pengaruh yang memancar dari wajah dan sorot mata lembut 
kakek jangkung ternyata mampu membuat seorang datuk sesat seperti Algojo Cakar 
Siluman mendadak gugup. Algojo Cakar Siluman sendiri terkejut dan hampir tidak 
mengenali suaranya. Tapi, perbawa yang memancar dari kakek jangkung benar-benar tak 
mampu dibantahnya! 
Hal serupa juga dialami Setan Ular Tertawa. Tokoh itu mendadak merasakan 
lidahnya kelu dan sukar diajak bicara, ia hanya menatap dengan sepasang mata 
terbelalak. 
"Assalamu'alaikum, wahai sahabat-sahabatku …," Demikian lembut serta diiringi 
senyum salam itu diucapkan kakek jangkung. Ia mengangkat sebelah tangannya memberi 
hormat. 
Tapi, Algojo Cakar Siluman maupun Setan Ular Tertawa yang masih belum hilang 
rasa gugupnya cuma bisa mengangguk-angguk persis orang-orangan sawah. Baru setelah 
agak lama, dan berusaha keras mengatasi kegugupannya, kedua datuk yang ditakuti 
tokoh-tokoh persilatan itu memperoleh ketenangan kembali. Tapi meskipun begitu mereka 
tetap tak dapat melenyapkan rasa segan dan hormatnya kepada kakek jangkung. 
"Ada kepentingan apa kau datang ke tempat ini...?" Algojo Cakar Siluman bertanya 
dengan suara diberat-beratkan agar terdengar menyeramkan. Ketika bertanya ia tidak 
berani memandang wajah kakek jangkung berlama-lama. Algojo Cakar Siluman sendiri 
tidak mengerti apa penyebabnya. 
"Aku datang dari tempat yang jauh dengan membawa itikad baik, Sahabatku." 
Lembut dan tetap dihiasi senyum penuh kesabaran jawaban kakek jangkung. 
"Itikad baik seperti apa yang kau maksudkan itu...?" Setan Ular Tertawa mendesak 
ketika kakek jangkung tidak menyebutkan secara rinci keperluannya. Seperti halnya Algojo 
Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa pun tidak berani memandang wajah kakek itu terlalu 
lama. Setelah bertanya ia buru-buru menunduk, tak kuat menentang sorot mata dan 
wajah yang memancarkan pengaruh luar biasa itu.
"Sebenarnya aku seorang penyebar agama. Tapi, karena keangkaramurkaan tengah 
merajalela mengancam keselamatan umat manusia, aku merasa berkewajiban untuk ikut 
mencegahnya. Jelasnya, kedatanganku kemari adalah untuk membawa bocah yang 
disebut-sebut sebagai Utusan Dari Neraka. Dari kabar terakhir yang kudengar, Utusan 
Dari Neraka berada di sekitar kaki Gunung Merbuk ini," jelas kakek jangkung yang 
mengenakan sorban di kepalanya. Ia berhenti sebentar memandang Algojo Cakar Siluman 
dan Setan Ular Tertawa berganti-ganti. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya. 
"Dari yang kuketahui melalui mimpi, bocah itu terlahir dengan membawa kutuk 
berupa kekuatan jahat yang luar biasa. Kekuatan jahat itu telah membunuh ibunya di saat 
melahirkannya ke dunia. Bocah itu mengisap habis seluruh darah di tubuh ibunya. 
Kemudian, membunuh dukun yang menolong kelahiran dengan memakan jantungnya. 
Ayahnya yang melihat perbuatan putranya bermaksud hendak membunuhnya. Tapi, lelaki 
malang yang seharusnya berbahagia itu juga tewas tercabik-cabik bagai diamuk binatang 
buas." Kakek jangkung melanjutkan penjelasannya, karena Algojo Cakar Siluman dan 
Setan Ular Tertawa masih membisu dengan pertanyaan yang mengganggu kepalanya. 
Tentang siapa sebenarnya kakek jangkung yang memiliki perbawa luar biasa itu. 
"Maaf," ujar Algojo Cakar Siluman setelah kakek jangkung tidak berbicara lagi. 
"Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa...." 
"Ya. Karena kami lebih dulu tiba di tepat ini dan telah menunggu selama dua belas 
hari." Setan Ular Tertawa menyambung. "Lebih jelasnya, kami berdualah yang lebih berhak 
atas diri Utusan Dari Neraka itu. Harap kau suka pergi dari tempat ini. Lanjutkan tugasmu 
menyebarkan agama. Mengenai bocah itu, biar kami berdua yang mengurusnya...." 
Kakek jangkung berjubah panjang dan longgar itu tetap tersenyum sabar, meski 
perkataan Setan Ular Tertawa jelas-jelas menolak itikad baiknya. 
"Sebenarnya aku mempunyai firasat bahwa campur tanganku tidak akan 
menyelesaikan persoalan. Telah ditakdirkan akan ada orang lain yang kelak mengurus dan 
menyelesaikan persoalan ini. Tapi sebagai manusia biasa, dengan tidak 
mengenyampingkan ketentuan dari Yang Maha Kuasa, tidak ada salahnya aku berusaha. 
Persoalan takdir itu merupakan rahasia Allah. Tak satu makhluk pun yang dapat 
mengetahuinya secara pasti. Itu sebabnya aku masih hendak berusaha. Karena takdir ada 
yang bisa kita rubah dan ada yang tidak bisa," ujar kakek jangkung, membuat Algojo 
Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa kembali saling bertukar pandang. Penjelasan kakek 
itu terlalu rumit dan mereka agak sulit menangkap maknanya. 
"Terserahlah apa katamu. Yang jelas, siapa pun yang hendak mengambil bocah itu 
akan kami tentang!" Akhirnya Algojo Cakar Siluman berkata tegas dan tandas. 
Masih dengan mulut tersenyum kakek jangkung menghela napas panjang beberapa 
kali. Sesaat dipandanginya langit sore yang masih cerah, seolah hendak mencari petunjuk 
apa yang harus dilakukannya. 
"Haruskah setiap persoalan diselesaikan dengan perkelahian. Mengapa manusia 
tidak berupaya mencari jalan damai yang jauh lebih baik...?" Kakek jangkung itu 
bergumam lirih. Tapi, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mendengar jelas 
ucapan itu. 
"Dunia ini adalah belantara liar. Siapa kuat dialah yang menang!" lantang dan 
keras kata-kata yang diucapkan Setan Ular Tertawa, di dalamnya tersembunyi tantangan. 
Kakek jangkung menggeleng dengan senyum duka. Langkahnya terayun menuju 
mulut goa. 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa bergegas menghadang dari dua arah. 
Ketika mereka mencoba memperingatkan dan kakek jangkung tetap melanjutkan 
langkahnya, Algojo Cakar Siluman mengeluarkan bentakan nyaring. Tubuhnya mencelat 
dengan lontaran pukulan yang menderu hebat. 
Debb! 
"Aakh...?!" 
Algojo Cakar Siluman memekik kaget. Pukulannya membentur suatu kekuatan 
yang tak tampak, yang membuat tenaga pukulannya membalik. Tubuh Algojo Cakar 
Siluman terlempar hingga hampir dua tombak jauhnya. Tapi, sebagai seorang datuk rimba 
persilatan Algojo Cakar Siluman segera dapat menguasai diri. Dengan lentingan berputar 
tubuhnya mendarat ringan di tanah. Tampak jelas betapa wajah datuk sesat itu 
menggambarkan rasa penasaran dan kaget. Wajah tokoh itu agak pucat!

Setan Ular Tertawa juga kaget melihat tubuh kawannya yang menyerang justru 
terpental balik. Tapi, pandangannya yang tajam sebagai seorang ahli silat sempat melihat 
tubuh Algojo Cakar Siluman tertahan sebentar sebelum terlempar, seolah ada kekuatan 
tak tampak yang melindungi kakek jangkung. Rasa penasarannya yang jauh lebih besar 
membuat Setan Ular Tertawa tidak menjadi gentar. Sambil mengeluarkan gelak tawa 
bergema, ia melontarkan dua buah pukulan sekaligus. Sasarannya adalah batok kepala 
dan lambung kakek jangkung. 
Serangan maut Setan Ular Tertawa sedikit pun tidak membuat langkah kakek 
jangkung tertahan. Ia terus bergerak maju tanpa menoleh, seakan tidak tahu akan 
datangnya ancaman bahaya itu. 
Seperti halnya Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa pun mengalami nasib 
yang sama. Saat kedua pukulannya tinggal setengah tombak lagi dari tubuh kakek 
jangkung tiba-tiba Setan Ular Tertawa memekik keras. Tenaga pukulannya seperti 
membentur suatu dinding yang sangat kuat. Tubuhnya tertahan untuk sesaat. Kemudian, 
bertolak balik seperti yang dialami Algojo Cakar Siluman. 
"Gila...!" Setan Ular Tertawa mengumpat dengan napas memburu, setelah berhasil 
mematahkan daya tolak dengan berputaran beberapa kali di udara. "Siapa sebenarnya 
kakek jangkung itu? Rasanya aku belum pernah menyaksikan kepandaian luar biasa 
seperti ini. Hanya orang-orang yang telah meyakini ilmu tenaga dalam secara sempurna 
yang dapat mcnciptakan benteng pelindung di sekeliling tubuhnya. Tapi anehnya, 
mengapa benteng pelindung itu dapat membuat pukulan kita berbalik?! Padahal, aku telah 
mengerahkan tiga perempat tenaga dalamku. Ini benar-benar tidak masuk di akal!" 
Rasa penasaran Setan Ular Tertawa tidak ditanggapi Algojo Cakar Siluman. Saat itu 
ia tengah sibuk memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Tidak aneh memang kalau 
keduanya merasa sangat penasaran dan menganggap semua itu tidak masuk akal. Mereka 
tokoh-tokoh puncak rimba persilatan. Dan, orang-orang yang memiliki kepandaian sejajar 
dengan mereka bisa dihitung dengan jari! Tapi, menghadapi kakek jangkung yang tak 
dikenal itu ternyata mereka tak berdaya. Wajar kalau Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular 
Tertawa tidak habis mengerti dibuatnya. 
Seolah telah mendapat kata sepakat, Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa 
saling bertukar pandang. Saat itu juga keduanya mengambil keputusan untuk menyerang 
bersama-sama dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki. 
Algojo Cakar Siluman menggeram keras. Asap tipis mengepul dari ubun-ubun 
kepalanya. Tanda Algojo Cakar Siluman telah mengerahkan tenaga dalam hingga ke 
puncaknya. Sepasang tangannya diputar sedemikian rupa membuat gerakan-gerakan yang 
menimbulkan gelombang angin ribut. Datuk sesat itu hendak menggunakan Ilmu 'Cakar 
Setan' yang keampuhannya sangat ditakuti lawan. 
Sementara, Setan Ular Tertawa mengumandangkan gelak tawanya yang 
membahana. Gelombang angin berputaran laksana angin puyuh, membuat pepohonan di 
sekitar tempat itu berderak-derak bagai hendak runtuh. Bebatuan kecil beterbangan. Di 
kedua lengan Setan Ular Tertawa terlihat empat ekor ular sendok mendesis-desis ganas, 
siap mengirim kakek jangkung ke neraka. 
Kali ini kakek jangkung menoleh. Rona kedukaan semakin nyata terbayang di 
wajahnya. Sepasang matanya memandang sayu, menyesali keputusan kedua datuk sesat 
itu. Bibirnya menggerimit perlahan. Tangan kanannya yang memegang tasbih tampak 
bergetar sesaat. Jari-jari tangan kakek itu tak berhenti menghitung biji-biji tasbih. 
"Hyaaattt...!" 
Dengan bentakan mengguntur Algojo Cakar Siluman menerjang maju. Dari putaran 
sepasang lengannya berkelebatan puluhan bayang-bayang cakar siluman yang mengarah 
jalan-jalan darah kematian di tubuh kakek jangkung. Bukan main dahsyat dan 
mengerikannya serangan datuk sesat itu. Selama malang-melintang di rimba persilatan 
baru kali ini ia mengerahkan seluruh kedahsyatan ilmunya. 
Bersamaan dengan bentakan Algojo Cakar Siluman, gelak tawa Setan Ular Tertawa 
menyerang kakek jangkung. Itu pun masih dibarengi dengan luncuran empat ekor ular 
sendok di kedua lengannya. Keempat makhluk melata itu meluncur dengan kecepatan 
kilat. Meliuk-liuk di udara mencari sasaran pada kedua mata, jantung dan tenggorokan 
kakek jangkung. Serangan Setan Ular Tertawa tidak kalah dahsyatnya. Bahkan, lebih 
mengerikan dari se angan Algojo Cakar Siluman.

Tapi, kakek jangkung itu tidak memperlihatkan sikap gentar. Bibirnya terus 
menggerimit, sementara tangan kanannya bergetar semakin keras. Serangan yang 
mengarah kedua telinga dan bagian dalam dadanya yang berasal dari gema gelak tawa 
Setan Ular Tertawa kelihatannya tidak berpengaruh apa-apa. Ketika serangan-serangan 
kedua datuk sesat itu tiba semakin dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanan kakek jangkung 
menggenggam tasbihnya erat-erat. Kemudian, tangan yang memegang tasbih itu mengibas 
ke depan dengan kecepatan luar biasa! 
Whusss...! 
Seiring dengan kibasan tasbihnya cahaya putih tercipta dan langsung membentur 
cakar-cakar Siluman yang mengancamnya. Terdengar ledakan keras berturut-turut 
disertai percikan cahaya terang yang menyilaukan mata. Cakar-cakar siluman Algojo 
Cakar Siluman lenyap dengan meninggalkan kepulan asap tipis. Algojo Cakar Siluman 
sendiri meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar terguling-guling disertai muntahan darah 
dari mulutnya. Kemudian, ia terkapar lemas dengan napas satu-satu. Sedangkan cahaya 
putih yang melebar dan mengeluarkan hawa panas langsung memanggang hangus empat 
ekor ular sendok yang tengah meluncur ke tempat bagian tubuh kakek jangkung. Cahaya 
itu terus menghantam tubuh Setan Ular Tertawa, yang saking cepatnya tak sempat lagi 
dielakkan. 
Setan Ular Tertawa menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar bagai selembar daun kering 
yang dihempaskan angin. Ia jatuh berdebuk dan terguling-guling tiga tombak lebih! Begitu 
tubuhnya terhenti, Setan Ular Tertawa memuntahkan darah kental. Keadaannya jauh lebih 
parah dari Algojo Cakar Siluman. Bagian depan tubuh Setan Ular Tertawa ditandai jalur 
hitam yang menebarkan bau sangit. Kulit dan daging pada bagian itu terbakar hangus oleh 
kilatan cahaya putih yang berasal dari kibasan tasbih kakek jangkung. Luka yang sangat 
parah itu membuat Setan Ular Tertawa terbujur sekarat dengan wajah pucat. Kecil sekali 
kemungkinan datuk sesat itu akan dapat selamat dari kematian. 
Kakek jangkung menghela napas melihat keadaan kedua lawannya. Dengan 
langkah lebar dihampirinya Setan Ular Tertawa lebih dulu. Tanpa berkata sepatah pun 
telapak tangannya ditempelkan ke bagian kulit yang hangus, sebelumnya ia mengangkat 
kedua tangannya ke atas dengan bibir menggerimit. Beberapa saat kemudian, asap tipis 
mengepul seiring dengan mengecilnya luka bakar di tubuh Setan Ular Tertawa. Sampai 
akhirnya lenyap sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikit pun! 
Setan Ular Tertawa hampir tak mempercayai penglihatannya. Bukan main 
takjubnya datuk sesat itu menyaksikan suatu kepandaian yang luar biasa. Kenyataan yang 
baginya serasa mimpi itu membuatnya sadar kalau kakek jangkung seorang tokoh luar 
biasa. Menurutnya, mungkin tidak ada duanya di atas muka bumi. 
"Kakek jangkung itu pasti bukan manusia biasa...!" desis Setan Ular Tertawa lirih 
ketika kakek jangkung melangkah lebar menghampiri Algojo Cakar Siuman. Ada sorot iri 
pada sepasang mata Setan Ular Tertawa, selain juga perasaan dendam. Kepandaian kakek 
jangkung jelas sangat jauh berada di atasnya. 
"Hm.... Dikiranya aku akan berterima kasih dengan pertolongannya ini. Huh! 
Dialah yang menyebabkan aku terluka. Sudah sepantasnya kalau dia pula yang 
menyembuhkan...!" gumam Setan Ular Tertawa. Tentu saja hanya diucapkan di dalam hati. 
Ia kemudian bergerak duduk untuk memulihkan tenaganya! 
Seperti halnya Setan Ular Tertawa, Algojo Cakar Siluman pun mendapat 
pertolongan dari kakek jangkung. Rasa nyeri yang diakibatkan luka di dalam tubuhnya 
lenyap setelah beberapa saat telapak tangan kakek jangkung melekat di atas dadanya. 
Tapi, tak sepatah ucapan terima kasih pun diucapkan Algojo Cakar Siluman, walau ia 
merasa takjub dengan kepandaian kakek jangkung dan lega karena luka dalamnya telah 
sembuh. Tanpa mempedulikan kakek jangkung, Algojo Cakar Siluman duduk bersemadi 
untuk memulihkan tenaganya.

LIMA

"Hua ha ha...! Sungguh suatu pertunjukan yang hebat dan mengharukan sekali...! 
Hua ha ha...!" 
Kakek jangkung yang sudah melangkah menuju mulut goa terpaksa menunda 
gerakannya. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling tempat itu. Wajah kakek 
jangkung tetap terlihat tenang dengan senyum kesabaran. Tapi, sorot matanya jelas 
membayangkan keterkejutan. Suara tanpa wujud itu menimbulkan angin keras yang 
berputaran, membuat pepohonan berderak keras. Suara itu seolah datang dari segala 
penjuru. Sehingga sulit diketahui sumbernya. 
"Kaget mendengar suaraku, Kyai Sanca Wilang?!" 
Suara itu berubah menjadi lengkingan tinggi yang menusuk-nusuk telinga. Kakek 
jangkung kembali memutar kepalanya. Kekagetan sekilas membayang pada sorot matanya. 
Pemilik suara itu mengenal namanya dengan baik! 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang tengah memulihkan tenaganya 
sampai berjingkrak bangkit dari semadinya dan terbanting jatuh berdebuk dengan keras. 
Demikian dahsyat pengaruh suara tanpa wujud itu. Betul kekuatan mereka memang 
belum pulih seluruhnya, tapi sewaktu suara tanpa wujud terdengar mereka telah dapat 
memulihkan tiga perempat bagian dari tenaga dalamnya. Dapat dibayangkan bukan main 
terkejutnya Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang untuk kedua kali 
mengalami kejadian tak terduga. 
"Celaka...!" Algojo Cakar Siluman berdesah dengan wajah pucat. "Kemunculan 
Utusan Dari Neraka ternyata telah mengundang kedatangan manusia-manusia sakti. 
Kalau saja tidak mengalami sendiri, aku tidak akan pernah percaya di atas muka bumi ini 
ternyata masih banyak tokoh-tokoh yang kepandaiannya sangat jauh di atas kita...!" 
Setan Ular Tertawa yang jatuh berdekatan dengan Algojo Cakar Siluman masih 
tampak pucat wajahnya. Ia tidak habis mengerti dengan kejadian-kejadian luar biasa yang 
dialaminya. Akalnya masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Sukar baginya 
untuk percaya bahwa dirinya yang telah diakui sebagai datuk golongan sesat di hampir 
dua wilayah ternyata dapat dikalahkan dengan mudah oleh kakek jangkung yang tak 
dikenal. Malah, kini muncul lagi tokoh baru yang juga memiliki kepandaian luar biasa. 
Kenyataan-kenyataan yang tak pernah terbayangkan itu benar-benar membuat 
Setan Ular Tertawa sangat terpukul. Dalam mimpi pun rasanya Setan Ular Tertawa tak 
pernah membayangkan kepandaiannya yang tinggi ternyata tak berarti apa-apa. 
"Dunia sudah gila. Dunia sudah edan...!" karena belum bisa menerima kenyataan 
pahit itu, Setan Ular Tertawa mengumpat sambil menggeleng berkali-kali. 
"Kenyataan ini memang sangat menyakitkan bagi kita, Setan Ular Tertawa." Algojo 
Cakar Siluman menanggapi keluhan kawannya. "Tapi, sebaiknya kita tunggu saja 
perkembangan selanjutnya. Firasatku mengatakan pemilik suara yang belum 
menampakkan diri itu adalah lawan kakek jangkung yang bernama Kyai Sanca Wilang. 
Kita saksikan saja. Kemudian, kita ambil apa yang kira-kira bisa mendatangkan 
keuntungan buat kita...," lanjutnya, bukan cuma untuk menghibur hati Setan Ular 
Tertawa, tapi juga dirinya sendiri. 
Setan Ular Tertawa hanya menjawab dengan anggukkan kepala perlahan. Sorot 
matanya jelas memancarkan harapan agar tokoh yang baru terdengar suaranya itu 
merupakan lawan Kyai Sanca Wilang. 
Kyai Sanca Wilang yang mendengar pemilik suara itu telah mengenalnya dengan 
baik kini menujukan pandangannya pada satu arah. 
"Hm.... Rasanya aku dapat menduga siapa dirimu, Sahabat...!" Kyai Sanca Wilang 
berkata halus. Namun, terdengar lantang dan bergema hingga ke seluruh pelosok tempat 
itu. 
Sesaat kemudian, ucapan Kyai Sanca Wilang disambut oleh suara daun-daun 
pohon yang seperti diterjang suatu benda. Suara berkerosokan itu berpindah-pindah dari 
satu pohon ke pohon lain di seputar tempat itu. Akhirnya, dengan disertai suara mengaung 
meluncurlah sesosok tubuh yang bergerak berputaran bagai seekor burung. 
Sosok yang memiliki perawakan sama dengan Kyai Sanca Wilang, jangkung dan 
kurus, menjejakkan kaki di tanah dengan memperdengarkan suara keras. Sosok itu seperti 
sengaja hendak menunjukkan kekuatannya. Meski tubuhnya jangkung dan kurus,

sewaktu kakinya menjejak tanah sekitar tempat itu berguncang keras laksana digoyang 
gempa. Perbuatan itu jelas menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat! 
"Sudah kuduga kaulah pemilik suara itu, Sahabat Biang Segala Jahat..." Kyai 
Sanca Wilang menyapa sosok yang berperawakan sama dengan dirinya. Bedanya, sosok 
yang berjuluk Biang Segala Jahat itu mengenakan jubah panjang hitam. Lapisan sebelah 
dalamnya berwarna merah darah. Tokoh luar biasa itu hanya tertawa ketika julukannya 
disebut. 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa menahan pekik kagetnya mendengar 
Kyai Sanca Wilang menyebut julukan Biang Segala Jahat. Julukan itu pernah mereka 
dengar dan menganggap keberadaan tokoh itu cuma ada di dalam dongeng. Bagi tokoh-
tokoh golongan hitam tingkat tinggi, nama Biang Segala Jahat dijadikan sebagai lambang 
kekejaman dan kejahatan. Nama Biang Segala Jahat hanya terdengar dari mulut ke mulut 
tanpa seorang pun yang pernah bertemu atau melihatnya. Tidak heran kalau Algojo Cakar 
Siluman dan Setan Ular Tertawa demikian terkejut. 
"Firasatmu ternyata benar, Algojo Cakar Siluman...!" Setan Ular Tertawa berkata 
lirih dan bergetar oleh perasaan gembira. "Tokoh yang menjadi lambang dan pegangan 
golongan kita itu akan mendatangkan keuntungan buat seluruh golongan sesat!" 
"Benar-benar sebuah pengalaman yang luar biasa...!" Algojo Cakar Siluman 
berdesah sambil tak hentinya menggeleng takjub. Kalau kekalahannya tadi sempat 
membuatnya terpukul, kini ia merasa gembira dan ingin melihat apa yang dapat dilakukan 
Kyai Sanca Wilang terhadap Biang Segala Jahat. 
Sosok jangkung agak kurus yang mengenakan jubah hitam pekat itu memang 
cocok sekali kalau dijuluki Biang Segala Jahat. Seluruh anggota wajahnya memancarkan 
pengaruh jahat yang membuat orang bergidik. Sepasang matanya tajam berkilat 
menyorotkan warna merah. Dalam sekejap mata itu tercermin watak penuh kelicikan, 
kebengisan, dan kekejaman tiada tara. Begitu juga dengan alis matanya yang hitam tebal 
dan bercabang pada ujungnya. Hidungnya yang melengkung tajam dan tarikan bibirnya 
benar-benar melambangkan segala nafsu angkara murka. Usianya memang sudah tidak 
muda lagi. Kira-kira enam puluh lima tahun. Padahal sesungguhnya usia tokoh berjuluk 
Biang Segala Jahat itu telah mencapai seratus dua puluh lima tahun. Kalaupun sosoknya 
terlihat separo lebih muda dari usia sebenarnya, itu karena ramuan-ramuan obat 
ciptaannya. Juga karena 'Air Keabadian' tempatnya merendam tubuh. 
Mengenai Kyai Sanca Wilang, boleh dibilang tidak ada orang yang tahu berapa 
usianya. Rupa dan namanya pun hampir tidak dikenal tokoh-tokoh persilatan. Itu karena 
Kyai Sanca Wilang hampir tidak pernah melibatkan diri dalam dunia persilatan. Ia seorang 
penyebar agama yang selalu melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman yang 
boleh dikatakan terpisah jauh dari keramaian dan sulit didatangi. Hanya sedikit sekali 
tokoh persilatan yang mengenal Kyai Sanca Wilang. Tokoh-tokoh yang sedikitnya berusia 
di atas sembilan puluh tahun, termasuk Biang Segala Jahat. 
"Sungguh suatu pertemuan yang sangat menggembirakan. Bukan begitu, Kyai?" 
Ramah dan lembut suara Biang Segala Jahat Sangat berbeda dengan kebanyakan 
tokoh-tokoh jahat. Tapi, justru di balik keramahan dan kelembutan itu tersembunyi watak 
jahat yang luar biasa. "Seingatku, wajahmu tetap tidak, berubah seperti kita pertama kali 
bertemu pada puluhan tahun silam," lanjutnya sambil tersenyum. Tapi, anehnya dalam 
senyuman itu orang yang melihatnya dapat merasakan bayangan kekejaman yang 
mengerikan. Itu salah satu keanehan yang sulit diterima akal. 
Kyai Sanca Wilang mengangguk-angguk dengan bibir tetap tersenyum. Bayangan 
ketegangan sudah lenyap dari matanya sejak Biang Segala Jahat menampakkan diri. 
Sikapnya tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Seolah ia tengah 
berhadapan dengan seorang sahabat baik yang telah lama tak berjumpa. 
"Kau pun kelihatan tetap awet muda, Biang Segala Jahat. Aku merasa gembira bisa 
berjumpa lagi denganmu. Ini adalah takdir dari Allah, Biang Segala Jahat...," ujar Kyai 
Sanca Wilang menyahuti. 
"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak ingat siapa aku, Kyai. Di hadapanku jangan 
sekali-kali Kyai menyebut takdir. Apalagi nama sesembahanmu. Itu pantangan bagiku, 
Kyai. Anehnya, kau selalu lupa dengan hal itu" Meski ucapan itu jelas menunjukkan 
ketidaksenangan hatinya, tapi raut wajah Biang Segala Jahat tidak berubah. Itu bukan 
sesuatu yang aneh. Sebagai biangnya segala bentuk kejahatan, Biang Segala Jahat tentu 
saja dapat menguasai perasaan dan sikapnya.

"Kau pun rupanya lupa siapa aku, Biang Segala Jahat. Aku seorang penyebar 
agama yang tentu saja tidak bisa terlepas dari semua itu." Kyai Sanca Wilang menukas 
tanpa meninggalkan senyumnya. 
"Yah..., sudahlah...!" Biang Segala Jahat menepiskan telapak tangannya di udara. 
"Sekarang kita telah bertemu. Dan, kita sama-sama tahu untuk kepentingan apa berada di 
tempat ini. Kau mempunyai usul, Kyai...?" 
Mendengar Biang Segala Jahat telah menyinggung ke pokok persoalan, Kyai Sanca 
Wilang tidak segera memberikan jawaban, ia membisu beberapa saat. 
"Hm.... Untuk memperebutkan Utusan Dari Neraka itu...," ujar Kyai Sanca Wilang 
kemudian. "Kupikir sebaiknya kita mengadakan pertandingan melalui sebuah permainan. 
Kurasa itu lebih baik. Tentu kau masih ingat dengan perjumpaan kita dulu. Kau terpaksa 
harus pergi setelah dapat kukalahkan dalam permainan catur yang memakan waktu dua 
hari dua malam. Bagaimana? Kau setuju? Atau kau takut kalah lagi denganku?" tantang 
Kyai Sanca Wilang. 
Biang Segala Jahat tertawa sambil mengangguk-angguk. Ia tidak segera menerima 
usul Kyai Sanca Wilang. Mungkin karena takut mengulang kekalahannya di waktu silam. 
"Kita cari permainan lain yang lebih menarik dan lebih mengutamakan kepandaian 
daripada pikiran. Tapi, usulmu itu boleh juga. Anggaplah permainan catur itu merupakan 
bagian pertama. Kau setuju, Kyai?" 
"Sesukamulah, Biang Segala Jahat... " Kyai Sanca Wilang menyerahkan keputusan 
kepada Biang Segala Jahat. 
"Kalau begitu, mari kita mulai permainan yang pertama.... " 
Usai berkata demikian, Biang Segala Jahat tahu-tahu lenyap. Sebentar kemudian ia 
sudah kembali dengan membawa ranting pohon yang panjang dan besarnya sama dengan 
lengan orang dewasa. Kyai Sanca Wilang sudah duduk bersila di atas tanah. Dengan 
menggunakan kedua telapak tangannya, Kyai Sanca Wilang mengebut-ngebutkan tanah. 
Gerakan Kyai Sanca Wilang demikian cepat dan tak tertangkap oleh mata. Tahu-tahu saja 
tanah di depannya telah rata dan halus, membentuk kotak-kotak dengan dua warna, 
persis papan catur. 
Biang Segala Jahat dengan tanpa menggunakan benda tajam, hanya dengan kedua 
tangannya, bekerja cepat membawa biji-biji catur dari ranting pohon. Kedua tangannya 
bergerak dengan kecepatan luar biasa, memapas dan membentuk potongan ranting 
menjadi biji-biji catur yang berupa bulatan seperti kepingan uang. Untuk membedakan 
warna biji-biji catur, Biang Segala Jahat cukup menggenggam separo dari jumlah biji 
catur, yang begitu dilepaskan telah berubah hitam dengan masih mengepulkan asap tipis. 
Hebat dan cepat sekali pekerjaan itu dilakukannya. Dalam waktu singkat biji-biji catur 
telah siap. 
"Aku memilih warna hitam, Kyai. Karena dulu pun kau lebih menyukai warna 
putih, bukan?" ujar Biang Segala Jahat, yang tanpa membuang-buang waktu lagi segera 
mengatur buah-buah caturnya. 
Perbuatan kedua tokoh sakti itu tentu saja mengundang keheranan Algojo Cakar 
Siluman dan Setan Ular Tertawa. Meski agak kecewa karena kedua kakek itu tidak 
bertarung seperti harapan mereka, namun keduanya merasa tertarik dan bergegas 
mendekat untuk menyaksikan jalannya pertandingan. 
*** 
Mulanya Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa mengira permainan akan 
berlangsung seperti yang mereka ketahui. Tapi, setelah pertandingan dimulai barulah 
kedua datuk sesat itu terkejut. Permainan kedua manusia sakti itu benar-benar tidak 
lumrah. Mereka tidak menjalankan buah-buah catur seperti umumnya, melainkan saling 
berebutan untuk segera menghabisi buah catur lawan. Kecepatan gerak, penggunaan 
tenaga dalam, dan kejelian mata jelas sangat diperlukan. 
Kemenangan ditentukan bagi mereka yang lebih dulu menghabisi buah catur lawan 
dengan tanpa merubah letak duduk, Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat duduk 
bersila berseberangan. Sementara dua pasang mata mereka saling tantang. 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa kaget bukan main ketika kepala 
mereka mendadak pening sewaktu mengerling ke arah raut wajah kedua tokoh sakti itu. 
Kenyataan ini membuat keduanya sadar kalau Kyai Sanca Wilang dan Biang Segala Jahat

telah mengerahkan kekuatan sihir dalam permainan itu. Kelengahan sedikit saja bisa 
mengakibatkan luka dalam. Menyadari hal itu, berdebarlah hati Algojo Cakar Siluman dan 
Setan Ular Tertawa. Mereka terpaksa bergerak mundur dan menyaksikan permainan dari 
tempat yang agak jauh. Lama-kelamaan pertarungan kedua tokoh sakti itu bisa berakibat 
buruk buat mereka. 
Dalam hal kecepatan dan ketepatan gerak, Kyai Sanca Wilang masih lebih unggul 
dari Biang Segala Jahat. Setelah agak lama permainan berlangsung, Kyai Sanca Wilang 
berhasil mencuri tiga buah biji catur lawan dengan gerak tipu. 
"Bagus sekali gerak tipumu, Kyai..." Biang Segala Jahat memuji seraya 
menghentikan gerakannya. Sepasang matanya tidak berpindah dari wajah Kyai Sanca 
Wilang, yang tersenyum-senyum meletakkan tiga buah biji catur curian di hadapannya. 
Saat itu Kyai Sanca Wilang kelihatan agak lengah. Namun, sewaktu Biang Segala 
Jahat mengulurkan kedua tangan dengan cepat untuk mencuri buah-buah caturnya, 
kakek jangkung itu dapat menggagalkannya. Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti 
mata, Biang Segala Jahat meliukkan tangan kanannya yang tertangkis lengan lawan. 
Sekali sambar saja, dua buah biji catur telah berada dalam genggaman. 
"Hua ha ha...!" Biang Segala Jahat memperdengarkan tawa bergelak seraya 
memperlihatkan dua buah biji catur curiannya di depan wajah Kyai Sanca Wilang. Tapi, 
alangkah kagetnya ia ketika Kyai Sanca Wilang membuka telapak tangannya. Terlihat dua 
buah biji catur berwarna hitam. Rupanya pada saat yang hampir bersamaan Kyai Sanca 
Wilang berhasil mencuri buah catur lawan. 
"Kita sama-sama mendapat dua biji catur, Biang Segala Jahat...," Kyai Sanca 
Wilang berkata dengan tersenyum. 
"Kau curang, Kyai...!" Biang Segala Jahat menggeram gusar, ia mengumpat karena 
tidak melihat kapan Kyai Sanca Wilang bergerak mengambil buah caturnya. 
"Curang bagaimana, Biang Segala Jahat?" tukas Kyai Sanca Wilang masih tetap 
tersenyum. "Buah catur ini kuambil dari hadapanmu, bagaimana bisa dibilang curang?" 
Biang Segala Jahat tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang bergerak-
gerak liar merayapi biji-biji catur di depannya. Kemudian, dengan kecepatan kilat Biang 
Segala Jahat mengulurkan tangan kanan. Tapi bukan biji catur yang ditujunya, melainkan 
dua biji mata Kyai Sanca Wilang. Dua jari tangan Biang Segala Jahat memperdengarkan 
suara mencicit sewaktu meluncur membelah udara. 
Kecurangan lawan tidak membuat Kyai Sanca Wilang menjadi kaget, ia tahu betul 
siapa lawan yang dihadapinya. Seorang tokoh yang terkenal paling licik dan paling jahat. 
Sewaktu-waktu ia bisa saja tidak mempedulikan aturan permainan yang telah disepakati 
sebelumnya. Dengan tenang Kyai Sanca Wilang menunggu jari-jari maut itu tiba dekat. Ia 
sudah bisa menebak perbuatan Biang Segala Jahat cuma tipuan belaka. 
Apa yang diperkirakan Kyai Sanca Wilang ternyata tidak meleset. Biang Segala 
Jahat yang melihat Kyai Sanca Wilang belum juga menggerakkan tangan, mendadak 
mengulurkan tangan kirinya menyambar biji-biji catur lawan. Tapi, alangkah heran 
hatinya melihat Kyai Sanca Wilang masih tenang-tenang saja. Kekecewaan tampak jelas 
pada wajah dan sorot mata Biang Segala Jahat. Ternyata lawan sama sekali tidak peduli. 
"Hahhh...!" 
Sambil membentak tertahan, Biang Segala Jahat merubah gerakannya. Tangan 
kanan yang semula menusuk ke arah kedua mata, meliuk turun. Sebaliknya, tangan kiri 
yang hendak menyambar biji-biji catur lawan bergerak melesat ke arah mata Kyai Sanca 
Wilang! Rupanya, itulah yang menjadi penyebab mengapa Kyai Sanca Wilang belum juga 
bergerak. 
Plak! Dukk! 
Tubuh kedua tokoh sakti yang tengah duduk bersila itu bergetar sewaktu kedua 
pasang lengan mereka berbenturan. Kendati demikian, benturan itu tidak membuat tubuh 
keduanya bergeser. Padahal benturan yang terjadi cukup keras. Hal seperti itu bukan 
sesuatu yang mudah untuk dilakukan tokoh lain. Agaknya, selain mengerahkan tenaga 
pada kedua lengan, mereka juga mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh masing-
masing bagai tertanam dan melekat pada bumi. 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa tak bisa menyembunyikan rasa 
takjubnya menyaksikan kejadian itu. Mereka menggeleng dan berdecak berkali-kali. Apa 
yang mereka saksikan benar-benar menunjukkan kesaktian yang sukar diukur! Lain

halnya kalau kedua tokoh sakti itu memiliki perbedaan tingkat kepandaian. Tapi, mereka 
justru seimbang.

ENAM

Permainan catur yang tidak sewajarnya itu terus berlanjut. Segala kelicikan dan 
tipu muslihat telah dilakukan Biang Segala Jahat. Tapi, ia tetap ketinggalan oleh Kyai 
Sanca Wilang dalam mengumpulkan biji-biji catur. Sampai akhirnya, setelah semalaman 
suntuk, permainan pun berakhir. Kemenangan berada di pihak Kyai Sanca Wilang dan 
biji-biji caturnya masih tersisa hampir separo. Sedangkan biji-biji catur Biang Segala Jahat 
telah licin tandas! 
"Kau menang, Kyai..," ucap Biang Segala Jahat terdengar getir. Tampaknya ia 
kecewa. "Sekarang kita meningkat pada permainan berikutnya. Karena permainan pertama 
kau yang memilih, maka pada permainan kedua ini akulah yang memilih," lanjutnya 
menyembunyikan kelicikan. 
"Silakan... silakan...." Hanya itu yang diucapkan Kyai Sanca Wilang seraya 
mengangguk-anggukkan kepala. Ia bergerak mengikuti langkah Biang Segala Jahat, yang 
di tangan kanannya telah tergenggam dua batang ranting kecil sepanjang satu setengah 
jengkal. Besarnya tak lebih dari jari kelingking. 
Biang Segala Jahat menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon besar yang 
pucuknya nyaris tak terlihat, ia menengadahkan kepala merayapi batang pohon besar itu. 
"Kau lihat daun pada ranting itu, Kyai?" Biang Segala Jahat meluruskan jari 
telunjuknya pada selembar daun yang terpisah dari daun-daun lain. Ia melekat pada 
ranting sebesar lengan. Tingginya kira-kira sepuluh tombak dari atas tanah. "Itulah 
pilihanku, Kyai. Sedangkan untukmu... Nah, daun yang sedikit berada di atas daun 
pilihanku.'' 
Kyai Sanca Wilang tersenyum mendengar kata sedikit lebih tinggi yang diucapkan 
Biang Segala Jahat. Karena sesungguhnya, daun yang dipilihkan untuknya berada lima 
sampai enam tombak di atas daun pilihan Biang Segala Jahat. Daun itu lebih kecil dan 
batang tempat daun itu melekat pun jauh lebih besar. Bagi mata orang awam daun yang 
ditunjuk Biang Segala Jahat nyaris tak terlihat. Tapi, bagi mata kedua tokoh sakti itu 
kelihatan sangat jelas. Mereka mengerahkan tenaga dalam pada kedua matanya untuk 
melihat daun-daun itu. 
"Hm... Lalu, bagaimana peraturan permainannya, Biang Segala Jahat?" tanya Kyai 
Sanca Wilang. Ia tidak membantah meski jelas-jelas dicurangi Biang Segala Jahat. 
"Dengan menggunakan potongan ranting kecil ini." Biang Segala Jthat 
memperlihatkan dua potong ranting telapak tangannya. Lalu, diberikannya potongan 
ranting yang lebih kecil kepada Kyai Sanca Wilang. "Kira berdua harus dapat mengambil 
daun itu tanpa membuat cacat ranting tempat daun melekat. Tentu kau paham 
maksudku, bukan? Kalau kau takut kalah, silakan pilih daun yang lebih muda untuk 
dijadikan sasaran. Kau pasti takut sasaranmu meleset. Dan, tidak bisa memenangkan 
permainan ini dariku. Perlu kau ingat, dalam permainan ini akulah yang berhak 
mengaturnya!" Dengan licik Biang Segala Jahat sengaja mengulang-ulang kata takut dalam 
perkataannya. Ia pun menekankan tentang haknya untuk mengatur permainan. 
"Mulailah, Biang Segala Jahat" Meskipun sadar dirinya dicurangi mentah-mentah, 
Kyai Sanca Wilang tetap tersenyum. Sejak semula ia sudah telanjur terjebak kata-kata 
Biang Segala Jahat. Kyai Sanca Wilang tidak bisa mundur lagi. "Tentunya kau hendak 
memulai lebih dulu, bukan?" lanjutnya mendahului, ia tidak ingin membuang-buang 
waktu dan kembali terjebak dalam kelicikan Biang Segala Jahat. 
Biang Segala Jahat tertawa bergelak. Sesaat kepalanya mengadah dengan sorot 
mata mencorong tajam. Kemudian, ranting di tangan kanannya dilontarkan dengan 
menggunakan tenaga dalam. 
Potongan ranting meluncur dan menyambar tepat di batang daun tanpa merobek 
daun itu. Demikian hebat pengaturan tenaga dalam Biang Segala Jahat, hingga dapat 
mencopot daun utuh berikut batangnya. Potongan ranting kemudian meluncur turun dan 
disambut dengan telapak tangan Biang Segala Jahat. 
"Sekarang giliranmu, Kyai...," ujar Biang Segala Jahat setelah memperdengarkan 
tawa. 
Kyai Sanca Wilang segera melemparkan potongan ranting di tangannya. Potongan 
ranting itu lebih kecil daripada yang digunakan Biang Segala Jahat. Berarti, Kyai Sanca

Wilang harus menggunakan lebih banyak tenaga dalam agar potongan ranting tidak 
melenceng oleh hembusan angin sore yang berhembus keras. 
Tapi, Biang Segala Jahat telah mempersiapkan segalanya untuk memperoleh 
kemenangan. Diam-diam mengerahkan tenaga dalam hingga hambusan angin semakin 
keras. Potongan ranting yang dilontarkan Kyai Sanca Wilang pun bergoyang-goyang hingga 
bergeser dari sasaran. Tentu saja Kyai Sanca Wilang tahu itu adalah perbuatan Biang 
Segala Jahat. 
"Hm.... Kau curang, Biang Segala Jahat..," ucapan itu biasa saja. Namun, jelas 
terkandung ejekan bagi Biang Segala Jahat. 
"Mengapa kau berkata begitu, Kyai? Bukankah dalam permainan ini aku tidak 
mengatakan kita harus bermain jujur? Itu artinya, aku atau kau boleh saja mencegah jika 
memang mau...." Dengan licik Biang Segala Jahat mengelakkan tuduhan Kyai Sanca 
Wilang, yang tentu saja tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apa yang dikatakan Biang Segala 
Jahat memang tidak salah. 
Setelah memberikan alasan atas perbuatannya, Biang Segala Jahat malah 
menambah tenaganya. Potongan ranting yang dilemparkan Kyai Sanca Wilang bukan lagi 
bergoyang-goyang dan melenceng jauh dari sasaran, malah tertahan dan terkatung-katung 
di udara. 
Perbuatan licik Biang Segala Jahat membuat Kyai Sanca Wilang mendengus. 
Kekuatannya dilipatgandakan, sehingga potongan ranting kembali bergerak naik mencari 
sasaran. Tapi, baru tiga jengkal potongan ranting kembali tertahan, bahkan bergerak 
turun satu jengkal lebih. 
"Hmm..." Lagi-lagi Kyai Sanca Wilang mendengus. Lalu, telapak tangan kanannya 
bergerak naik dengan mengerahkan tenaga dalam yang kian berlipat. 
"Hehh...!" Biang Segala Jahat menghembuskan napas keras-keras. Seperti halnya 
Kyai Sanca Wilang, Biang Segala Jahat pun segera mendorongkan telapak tangan 
kanannya ke arah potongan ranting. Benda yang dijadikan sasaran adu tenaga dalam itu 
bergetar keras. Tak bisa naik dan tak bisa turun. 
Krassh...! 
Karena dua kekuatan itu demikian kuat menghimpit, akhirnya potongan ranting 
tak kuat bertahan lebih lama. Dengan memperdengarkan suara yang cukup keras 
potongan ranting itu meledak, pecah menjadi serbuk kayu yang akhirnya sirna terbawa 
angin. 
"Kau kalah, Kyai...," Biang Segala Jahat tergelak melihat potongan ranting hancur. 
"Hm.... Bagaimana dengan permainan selanjutnya? Kita masih seimbang, bukan? 
Tentu harus ada permainan ketiga untuk menentukan siapa di antara kita yang berhak 
atas diri Utusan Dari Neraka...," ujar Kyai Sanca Wilang seraya menghela napas panjang. 
Ditahannya kejengkelan yang mulai meliputi hatinya. 
Biang Segala Jahat tidak segera menjawab, ia berpikir keras mencari bentuk 
permainan ketiga. Sekaligus memikirkan cara untuk mengalahkan Kyai Sanca Wilang. 
"Usul mengadakan permainan ini datangnya darimu, Kyai." Tiba-tiba Biang Segala 
Jahat berkata dengan wajah penuh tipu muslihat. "Kau juga yang menghendaki adanya 
permainan ketiga sebagai penentuan. Artinya..., dalam permainan ketiga nanti aku jugalah 
yang berhak menentukan bentuk dan aturannya...." 
"Tidak bisa, Biang Segala Jahat!" Kali ini Kyai Sanca Wilang menolak keras. 
"Mengapa tidak? Sebagai seorang yang berhati bersih seharusnya kau berlaku adil, 
Kyai!" Biang Segala Jahat bersikeras dengan mengungkit-ungkit siapa Kyai Sanca Wilang 
dan bagaimana seharusnya bersikap. 
"Apa maksudmu, Biang Segala Jahat...?" Kening Kyai Sanca Wilang terkejut ketika 
dirinya dituduh telah berlaku tidak adil. 
"Hm...." Biang Segala Jahat tersenyum licik "Hitunglah, Kyai, sudah berapa 
permintaan yang kau ajukan sejak kita berhadapan? Jauh lebih banyak dariku, bukan? 
Bagaimana kau bisa dibilang berlaku adil kalau permintaanmu selalu kuturuti sedang 
permintaanku selalu saja kau bantah." 
"Sudahlah, Biang Segala Jahat!" Kyai Sanca Wilang mengangkat tangan kanannya. 
"Aku tidak ingin berbantahan lagi denganmu, dan tidak mau menjadi korban kelicikan 
serta kecuranganmu. Aku yakin dalam permainan ketiga nanti pun kau akan berlaku 
curang demi memperoleh kemenangan... "

"Hm.... Lalu, apa maumu, Kyai?" Biang Segala Jahat malah menantang dengan 
sorot mata merahnya yang memperlihatkan kebengisan. "Pihakku lebih kuat, Kyai. Kau 
lihatlah kedua cecunguk itu...," lanjutnya menunjuk ke arah Algojo Cakar Siluman dan 
Setan Ular Tertawa yang tengah menyaksikan pertengkaran kedua tokoh sakti itu. 
Seolah terpengaruh gerakan jari Biang Segala Jahat yang menunjuk ke 
belakangnya, Kyai Sanca Wilang menoleh. Tapi, alangkah kaget ia ketika saat itu juga 
terdengar sambaran angin menderu tajam dari depan. Sadarlah Kyai Sanca Wilang bahwa 
dirinya kembali terjebak kelicikan Biang Segala Jahat. Dia menggunakan kesempatan 
untuk menyerang selagi dirinya menoleh. 
"Licik..!" sambil mendesis jengkel, Kyai Sanca Wilang segera memecah kekuatan 
tenaga dalam yang dikerahkannya. Sebagian disalurkan ke kedua tangan yang langsung 
dikibaskan menyilang sewaktu berbalik, sedang sebagian lagi digunakan untuk melindungi 
tubuhnya. 
Prasssh...! 
Meskipun hanya memiliki sedikit waktu, Kyai Sanca Wilang dapat berpikir dengan 
cepat. Dari kibasan tangannya yang menyilang, membersit cahaya putih yang melebar dan 
langsung memapaki pukulan maut Biang Segala Jahat. Terdengarlah benturan keras. 
Kakek sakti itu tergempur kuda-kudanya. Tubuhnya terdorong dalam kedudukan semula. 
Hanya telapak kakinya saja yang terseret dan menimbulkan guratan dalam ditanah. 
Guratan memanjang pada tanah itu mengepulkan asap tipis. Agaknya, Kyai Sanca Wilang 
telah mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan kuda-kudanya. 
"Hei...?!" 
Tiba-tiba, sebelum pertarungan kedua tokoh luar biasa itu berlanjut, terdengar 
seruan kaget yang berasal dari Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa. Kedua datuk 
sesat itu memandang ke satu arah dengan mata terbelalak. 
Seruan kaget itu membuat Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang memalingkan 
wajah. Menyaksikan sikap Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa yang 
menggambarkan kekagetan dan ketegangan, kedua tokoh luar biasa itu segera memutar 
kepalanya. Dan.... Biang Segala Jahat serta Kyai Sanca Wilang menahan seruannya. 
Yang mereka lihat adalah sosok seorang bocah berkepala gundul dengan kulit 
tubuh hitam legam. 
Kaki-kaki mungilnya melangkah tertatih meninggalkan mulut goa. Rupanya, hari 
itu adalah hari keempat puluh satu. Batas terakhir bagi pintu gaib yang dibuat Telapak 
Lidah Halilintar. Bocah Utusan Dari Neraka telah terbebas dari kungkungan pintu gaib 
yang selama empat puluh hari membuatnya terkurung di dalam goa. 
*** 
Bocah berkepala gundul dan berkulit hitam legam yang hanya mengenakan cawat 
itu memang cukup pantas dijuluki sebagai Utusan Dari Neraka. Sosoknya sanggup untuk 
menggetarkan hati setiap orang yang memandangnya. Sepasang matanya bulat dan 
mengeluarkan sinar mencorong tajam. Bocah itu mempunyai alis mata yang hitam tebal 
dan bercabang tiga pada ujungnya. Giginya lengkap seperti gigi orang dewasa. Raut 
wajahnya memancarkan perbawa aneh serta menggidikkan bagi siapa saja yang 
melihatnya. 
"Utusan Dari Neraka...?" Menyaksikan keseluruhan sosok bocah itu, Biang Segala 
Jahat berdesis perlahan. Wajahnya menampakkan keheranan, tapi juga kegembiraan. 
Biang Segala Jahat jelas sangat puas dapat menyaksikan bocah yang menggemparkan itu 
dengan mata kepala sendiri. 
Ucapan Biang Segala Jahat tampaknya terdengar oleh bocah yang berjuluk Utusan 
Dari Neraka. Bocah itu seperti mengerti. Dia memalingkan wajahnya menatap Biang Segala 
Jahat dengan sorot matanya yang tajam dan memancarkan pengaruh iblis. 
Biang Segala Jahat adalah seorang tokoh sakti luar biasa, ia sangat ditakuti dan 
dipuja-puja kaum golongan hitam. Namanya dianggap keramat. Tidak ada tokoh kaum 
golongan hitam yang berani membicarakannya. Ada anggapan bahwa apabila nama Biang 
Segala Jahat disebut, maka saat itu juga sosoknya akan muncul di hadapan orang-orang 
yang membicarakannya. Tentu saja anggapan itu cuma dongeng belaka. Tapi, raja dari 
segala raja tokoh sesat itu ternyata tergetar hatinya sewaktu ditatap sedemikian rupa oleh 
Utusan Dari Neraka.

"Luar biasa...!" Meskipun saat itu terselip perasaan ngeri dan segan yang aneh, 
Biang Segala Jahat masih sempat mengeluarkan pujian. "Jangan-jangan bocah itu titisan 
dari Penguasa Alam Kegelapan...!" 
Kyai Sanca Wilang mengangguk-anggukkan kepala sambil mempermainkan 
jenggotnya yang menjuntai di dada. Keningnya berkerut dalam. Keresahan membayang di 
wajahnya. Seperti halnya Biang Segala Jahat, hati Kyai Sanca Wilang pun sempat tergetar 
oleh sorot mata dan raut wajah Utusan Dari Neraka. 
Sekarang, setelah ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sosok bocah yang 
menggemparkan itu, sadarlah Kyai Sanca Wilang kalau bocah itu memang memiliki 
kekuatan jahat yang luar biasa. Kekuatan batinnya merasakan hal itu. Ia pun maklum 
kalau bocah itu merupakan ancaman bagi keselamatan orang banyak. Menurutnya, bukan 
mustahil kemunculan Utusan Dari Neraka akan membuat golongan hitam berjaya di atas 
muka bumi ini. 
Dengan langkah tertatih Utusan Dari Neraka bergerak menuju tempat Biang Segala 
Jahat berdiri. Biang Segala Jahat sendiri tidak menunggu bocah itu sampai mendekat. Ia 
sudah bergerak menyambut. Tapi, sebelum keduanya bertemu, tiba-tiba Kyai Sanca Wilang 
membentak! 
"Jangan dekati bocah itu, Biang Segala Jahat! Menyingkirlah! Aku hendak melihat 
sampai di mana kekuatan jahat yang bersemayam di dalam tubuhnya...!" berkata 
demikian, Kyai Sanca Wilang mengangkat telapak tangannya ke atas. Mulutnya berkemak-
kemik membaca sesuatu yang tak jelas terdengar. Lalu, seiring dengan bentakan telapak 
tangannya dihantamkan ke arah Utusan Dari Neraka. 
"Sirnalah kau, hai kekuatan jahat..!" 
Whusss...! 
Sebentuk sinar bulat berwarna putih yang menyilaukan mata melesat dari telapak 
tangan Kyai Sanca Wilang. Udara panas menyebar sewaktu bola putih itu meluncur 
dengan suara menderu. Tapi, sebelum sinar putih mengenai tubuh bocah yang berjuluk 
Utusan Dari Neraka, Biang Segala Jahat tiba-tiba memutar tubuh. Diiringi pekik 
mengguntur, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Tubuh Biang Segala Jahat 
tampak menggeletar, tanda ia tengah mengerahkan seluruh kekuatannya. Sesaat 
kemudian, Biang Segala Jahat mendorongkan kedua telapak tangan. Meluncurlah dua bola 
api berwarna merah menyala yang menyambut bulatan sinar putih! 
Duarrr...! 
Suara ledakan laksana gelegar selaksa guntur terdengar. Tanah di sekitar tempat 
itu berguncang keras. Batu-batu beterbangan. Beberapa batang pohdn besar berderak 
tumbang. Saat itu seakan Gunung Merbuk tengah meletus menumpahkan laharnya. 
Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa sampai terpelanting jatuh, meski 
mereka telah berusaha mempertahankan kuda-kudanya. Sementara Kyai Sanca Wilang 
dan Biang Segala Jahat terpental ke belakang. Keduanya segera melenting bangkit dengan 
wajah agak pucat dan napas sesak. Anehnya, Utusan Dari Neraka seperti tidak merasakan 
apa-apa. Bocah itu tetap berdiri di atas kedua kakinya. Sehingga, Biang Segala Jahat 
maupun Kyai Sanca Wilang memandang takjub kepada bocah itu. 
"Lawanlah manusia tua sok suci itu, Biang Segala Jahat...!" 
Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang menoleh ke kanan kiri mencari pemilik 
suara besar, parau, dan menggetar itu. Tapi, mereka tak menemukan orang lain di tempat 
itu kecuali Utusan Dari Neraka. Sedangkan Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa 
tengah sibuk mengurus dirinya. Baik Biang Segala Jahat maupun Kyai Sanca Wilang 
merasa sangat yakin suara itu bukan berasal dari kedua datuk sesat itu. 
"Apa lagi yang kau tunggu. Biang Segala Jahat? Lawan dan bunuh manusia sok 
suci itu...!" 
Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang tertegun dengan wajah berubah tegang. 
Suara itu berasal dari Utusan Dari Neraka! Sungguh suatu hal yang sangat tidak masuk 
akal. Mana mungkin seorang bocah sekecil itu sudah bisa berbicara lancar. Apalagi 
suaranya aneh dan mengerikan. Selain itu, bocah itu seolah menganggap dirinya lebih 
tinggi dari Biang Segala Jahat. Kalau tidak, mana mungkin bocah itu berani memerintah 
Biang Segala Jahat!


TUJUH

"Lakukan perintahku, Biang Segala Jahat! Lawan dan habisi manusia sok suci 
itu...!" 
Biang Segala Jahat dan Kyai Sanca Wilang masih tertegun dan belum bisa 
menerima kenyataan itu ketika Utusan Dari Neraka kembali mengulang perintahnya. 
Perintah itu disertai dengan gerakan tangannya yang menunjuk Biang Segala Jahat. 
Gerakan menunjuk Utusan Dari Neraka ternyata bukan sembarangan. Dari ujung 
jari telunjuknya membersit sinar merah terang yang langsung lenyap masuk ke dalam 
tubuh Biang Segala Jahat. Sesaat tubuh kakek itu berguncang keras seolah dirasuki 
kekuatan dahsyat! 
"Aaarkhh...!" 
Begitu guncangan tubuh terhenti, Biang Segala Jahat meraung. Ia merasakan 
kekuatannya tiba-tiba berlipat ganda. Kekuatan aneh itu menjalar ke seluruh jalan 
darahnya. Dan, menggelora di dalam tubuhnya bagai gelombang air lautan. 
Kyai Sanca Wilang mengerutkan kening melihat sinar yang keluar dari ujung jari 
telunjuk Utusan Dari Neraka. Dan, menyaksikan keadaan Biang Segala Jahat, Kyai Sanca 
Wilang pun sadar Utusan Dari Neraka telah memberikan tambahan kekuatan kepada 
Biang Segala Jahat yang diperintahkan untuk melenyapkan dirinya. Kyai Sanca Wilang 
bergegas melangkah mundur untuk mempersiapkan diri. 
Sementara itu, keanehan terjadi pada diri Biang Segala Jahat. Tubuh tokoh itu 
kembali berguncang dan bergetar. Seiring dengan raungan panjang yang mendirikan bulu 
roma, wujud Biang Segala Jahat perlahan-lahan berubah. Mula-mula dari tengah 
keningnya menyembul suatu benda runcing berupa tanduk yang melengkung ke atas. 
Kemudian pada sekujur tubuhnya, kecuali wajah, bulu-bulu lebat tumbuh dengan cepat 
Pada bagian belakang tubuhnya tumbuh ekor yang memanjang dengan bagian ujung 
berbentuk mata tombak. Dua buah gigi sampingnya memanjang runcing membentuk dua 
buah taring. 
"Astagfirullah...!" Kyai Sanca Wilang mengucapkan kalimat permohonan ampun 
kepada Allah, pencipta seluruh makhluk. Disapunya wajah dengan kedua telapak tangan. 
Perubahan yang terjadi pada diri Biang Segala Jahat hampir tidak bisa diterima akal 
sehatnya. Tapi, sebagai seorang yang memiliki ilmu agama, Kyai Sanca Wilang sadar segala 
sesuatu bisa saja terjadi atas kekuasaan Allah. 
Apa yang disaksikannya itu disadari sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa. 
"Earrrkhhh...!" 
Dengan raungan panjang yang parau, Biang Segala Jahat yang telah berubah 
menjadi makhluk menyeramkan menerjang Kyai Sanca Wilang. Jari-jari tangannya yang 
panjang dan runcing bagai kuku harimau menyambar datang dengan kecepatan dan 
kekuatan menggetarkan. Cepat Kyai Sanca Wilang melompat mundur. Lalu, dengan 
tasbihnya yang digunakan sebagai senjata, Kyai Sanca Wilang balas menyerang. Dalam 
waktu singkat pertempuran sengit pun terjadi. 
Makhluk jelmaan Biang Segala Jahat itu ternyata jauh lebih kuat dan tangguh dari 
aslinya. Itu dirasakan benar oleh Kyai Sanca Wilang, yang meskipun belum pernah 
bertarung secara terbuka dengan Biang Segala Jahat, namun sudah dapat mengukur 
kesaktiannya. Kyai Sanca Wilang mulai kewalahan menghadapi makhluk jelmaan Biang 
Segala Jahat setelah bertarung lebih tiga puluh jurus. Makhluk itu memiliki kekebalan 
tubuh yang luar biasa. Hantaman tasbihnya bajai tak berarti apa-apa. Tapi, Kyai Sanca 
Wilang tidak putus asa. Ia mulai memilih bagian-bagian tubuh lawan yang merupakan titik 
terlemah di tubuh manusia. Kyai Sanca Wilang menganggap tubuh makhluk itu tidak 
berbeda dengan manusia. Apalagi, pada dasarnya makhluk itu berasal dari seorang 
manusia biasa. 
Desss! 
Makluk mengerikan itu memekik dan terpental terkena hantaman tasbih Kyai 
Sanca Wilang yang mengenai saiah satu jalan darah besar di tubuhnya. Tapi, Kyai Sanca 
Wilang menjadi kecewa ketika melihat pukulannya tak bisa melumpuhkan. Makhluk itu 
kembali menerjangnya dengan lebih ganas. 
Kreppp!

Suatu ketika, jari-jari yang kuat dan berkuku runcing itu berhasil mencengkeram 
kedua bahu Kyai Sanca Wilang. Kakek sakti itu meringis merasakan kuatnya cengkeraman 
jari-jari lawan. Sebelum ia dapat melepaskan cengkeraman itu tubuhnya telah diangkat 
dan dilemparkan kuat-kuat. 
Meskipun kedua tulang bahunya serasa remuk, Kyai Sanca Wilang masih sanggup 
menyelamatkan diri agar tidak terbanting jatuh. Dengan berputaran beberapa kali di udara 
untuk mematahkan daya lempar, Kyai Sanca Wilang berhasil mendarat di tanah dengan 
selamat. 
Makhluk jelmaan Biang Segala Jahat kembali menerjang disertai raungannya yang 
bagai hendak membelah langit Kyai Sanca Wilang berusaha menghindari serangan-
serangan makhluk itu dengan loncatan-loncatan ringan. Ia belum bisa membalas karena 
rasa nyeri di kedua bahunya membuat lengannya tidak bisa digerakkan. Keadaan itu 
membuat dirinya didesak habis-habisan. Ketika kedua tangan masih bebas bergerak saja 
ia sudah kewalahan, apalagi dalam keadaan kedua tangan tergantung lumpuh seperti itu. 
Semakin kelabakanlah Kyai Sanca Wilang dibuatnya. 
Beggg! 
Kepalan yang besar dan kuat itu akhirnya tak sempat dielakkan dan telak 
menggedor dada kanannya. Kyai Sanca Wilang terjungkal muntah darah. Sedang makhluk 
jelmaan Biang Segala Jahat sudah menerkamnya dengan cakar yang siap merobek-robek 
tubuhnya. Kyai Sanca Wilang masih mempunyai kesadaran. Dia segera melempar 
tubuhnya bergulingan di tanah. Sehingga, terkaman makhluk itu luput! 
Ketika terkamannya hanya mengenai tanah, makhluk mengerikan itu bergegas 
mencelat bangkit. Dikejarnya Kyai Sanca Wilang yang saat itu sudah bangkit berdiri dan 
tengah terhuyung limbung. Makhluk itu meluncur lurus bagai sebatang tombak. Kedua 
cakarnya berada di depan, siap merobek-robek tubuh Kyai Sanca Wilang. 
Mendadak, sebelum sepasang cakar makhluk itu mengenai sasaran, terdengar 
lengkingan panjang yang disertai melayangnya sesosok bayangan. Sosok itu menerjang 
makhluk jelmaan Biang Segala Jahat. Terdengar sambaran angin mengaung-ngaung 
mengiringi datangnya serangan sosok bayangan. 
Derrr...! 
Dua kekuatan raksasa berbenturan. Tubuh makhluk jadi-jadian tertahan dan 
tertolak balik. Sementara sosok bayangan terpental dengan disertai suara jerit tertahan. 
Dengan dua kali lentingan tinggi di udara sosok bayangan itu mendaratkan kakinya di 
belakang Kyai Sanca Wilang. 
Sosok yang menyelamatkan Kyai Sanca Wilang ternyata seorang kakek. Kalau 
dilihat dari raut wajah serta bentuk tubuhnya yang bongkok, usianya pasti sudah sangat 
tua. Kakek bongkok yang rambut, kumis, dan jenggotnya berwarna putih suram dan 
panjang menjuntai ke dada terbatuk beberapa kali. Ada darah yang terlompat keluar 
sewaktu ia terbatuk. Benturan tadi tampaknya telah mengakibatkan guncangan yang 
cukup keras di bagian dalam tubuhnya. 
"Sahabat, kau terluka...!" Kyai Sanca Wilang yang saat itu merasakan kedua 
tangannya sudah bisa digerakkan lagi bergegas menghampiri sahabat lamanya, Ki 
Bongkok Guno. 
"Uuh.... Makhluk apa itu? Dari mana dia datang? Kekuatannya luar biasa sekali...." 
Ki Bongkok Guno berkata dengan terengah-engah. Tatapannya tertuju ke arah makhluk 
jelmaan Biang Segala Jahat yang sudah siap hendak kembali menerjang. 
"Makhluk itu jelmaan dari seorang tokoh yang berjuluk Biang Segala Jahat," jelas 
Kyai Sanca Wilang. "Utusan Dari Neraka itulah yang telah merubahnya." 
"Biang Segala Jahat..." Kakek bongkok berkata lirih dengan kening berkerut "Jadi, 
tokoh itu benar-benar nyata...?" lanjutnya, bertanya setengah tak percaya. Rupanya, Ki 
Bongkok Guno termasuk salah satu tokoh yang pernah mendengar nama Biang Segala 
Jahat, dan menganggapnya sebagai dongeng. Sepanjang pengetahuannya nama Biang 
Segala Jahat merupakan lambang kekuatan golongan hitam. 
"Biang Segala Jahat memang benar-benar nyata," tegas Kyai Sanca Wilang. 
"Berbahaya sekali...!" Ki Bongkok Guno mendesah seraya menggelengkan kepala. 
"Jika Biang Segala Jahat yang selama ini dianggap sebagai tokoh dalam dongeng sudah 
menampakkan diri, kiamat rasanya telah berada di ambang pintu. Kemunculan Utusan 
Dari Neraka saja sudah membuat dunia ini serasa hancur. Haih... celaka... celaka...."

"Yah.... Kemunculan kekuatan-kekuatan jahat itu memang bisa diartikan sebagai 
kiamat Dalam arti bencana besar bagi seluruh umat manusia di belahan bumi ini. 
Firasatku mengatakan, kekuatan-kekuatan jahat itu akan segera menguasai dunia. Entah 
untuk berapa lama. Yang jelas, segala bentuk keangkaramurkaan tidak akan pernah 
kekal," ujar Kyai Sanca Wilang. Kemudian, bergegas dibawanya Ki Bongkok Guno 
menjauh. Saat itu makhluk jelmaan Biang Segala Jahat tengah memperdengarkan 
raungan panjang yang menggetarkan. 
"Kau dengar raungan itu, Karina...?" 
Panji dan Karina yang baru saja menyeberangi aliran sungai di bawah kaki Gunung 
Merbuk menengadahkan kepala mencari-cari sumber raungan. 
Jantung Karina berdebar keras. Ia hanya bisa mengangguk dengan wajah agak 
memucat. Gadis itu terkejut mendengar raungan panjang yang mendirikan bulu roma. 
Merasa yakin ada sesuatu yang tengah terjadi di salah satu lereng gunung, 
bergegas Panji meraih pergelangan tangan Karina dan dibawanya berlari menuju sumber 
suara raungan. Panji dapat dengan mudah menemukan tempat itu karena suara raungan 
terus berlanjut Dan mereka tidak di hutan kecil tempat pertarungan dahsyat antara 
makhluk jelmaan Biang Segala Jahat melawan Kyai Sanca Wilang yang dibantu kakek 
bongkok. 
Panji terkejut bukan main menyaksikan sosok makhluk mengerikan yang 
menurutnya cuma ada dalam khayalan. Bahkan, Karina sampai terpekik dengan wajah 
pucat pasi. Tubuh gadis cantik itu gemetar dan tanpa sadar memeluk Panji. 
"Tenanglah, Karina...," Panji menepuk-nepuk punggung gadis itu. "Makhluk itu 
pasti permainan seorang ahli sihir...," lanjutnya, meskipun sesungguhnya dia sendiri tidak 
yakin dengan dugaannya. Karena melihat kelihaian kedua kakek yang tengah bertarung 
dengan makhluk mengerikan itu, Panji tahu mereka tokoh-tokoh berkepandaian tinggi 
yang tidak mungkin bisa termakan permainan sihir. Kesaktian kedua kakek itu berada 
jauh di atas kepandaiannya. 
Sementara itu, kemunculan Panji dan Karina tidak terlepas dari sepasang mata 
tajam Utusan Dari Neraka. Bocah yang bukan bocah biasa itu segera dapat menyimpulkan 
kalau kedua orang yang baru datang adalah lawan-lawan yang harus dilenyapkan. Ia 
menggeram lirih. Lalu, kepalanya ditolehkan menatap Algojo Cakar Siluman dan Setan 
Ular Tertawa yang tidak tahu harus berbuat apa. Nyali kedua datuk yang biasanya 
bermulut besar itu sudah ciut sejak tadi. 
"Hei...!" 
Bagai disentakkan satu kekuatan yang tak tampak, kepala Algojo Cakar Siluman 
dan Setan Ular Tertawa menoleh cepat ke arah Utusan Dari Neraka. Kedua datuk sesat itu 
merasakan jantung mereka seperti diremas-remas sewaktu ditatap sorot mata tajam bocah 
aneh itu. Tubuh mereka gemetar tak kuasa melawan perbawa luar biasa yang memancar 
dari wajah dan sorot matanya. 
"Algojo Cakar Siluman dan kau Setan Ular Tertawa!" Utusan Dari Neraka 
melanjutkan ucapannya. "Bunuh kedua orang yang baru datang itu...!" 
Begitu perintah selesai diucapkan tiba-tiba Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular 
Tertawa merasakan kekuatan mereka pulih kembali. Entah merasa diri mereka masih 
berguna atau karena pengaruh perintah Utusan Dari Neraka. Kedua datuk sesat itu tidak 
mau ambil pusing. Tanpa membantah lagi, Algojo Cakar Siluman serta Setan Ular Tertawa 
berloncatan menghampiri Panji dan Karina. 
"Heh heh heh...! Kalian berdua bersiaplah untuk segera menghadap raja neraka...!" 
Algojo Cakar Siluman yang sudah memperoleh kembali watak dan kebiasaannya berkata 
sesumbar kepada Panji dan Karina. 
"Ya. Kami ditugaskan Utusan Dari Neraka untuk melenyapkan kalian berdua...!" 
Setan Ular Tertawa menambahkan. Ucapan tokoh yang berasal dari tanah India ini 
terdengar agak aneh. Semula maksud kedatangannya ke tempat ini adalah untuk 
mendapatkan Utusan Dari Neraka yang kelak akan digunakan untuk kepentingan dirinya 
sendiri. Sungguh tidak pernah terpikir olehnya kalau yang terjadi justru kebalikannya. 
Bukan ia menjadi majikan Utusan Dari Neraka, malah dialah yang dijadikan budak bocah 
itu. 
Kedatangan kedua tokoh rolongan sesat itu membuat Panji waspada. Ditariknya 
Karina ke belakang tubuhnya untuk melindungi gadis itu. Kemudian, dengan sorot mata 
tajam dihadapinya kedua calon lawannya.

"Siapa kalian? Dan, mengapa tanpa sebab hendak membunuh kami?" tanya Panji 
seraya meneliti sosok kedua tokoh itu. 
"Hm... Kau dengarlah baik-baik agar tidak mati penasaran! Aku adalah Algojo 
Cakar Siluman!" ujarnya seraya menepuk dada keras-keras. "Sedangkan kawanku ini 
Setan Ular Tertawa. Cukup jelas?" 
"Hm.... Pantas...," Panji mengangguk-angguk. "Rupanya kalian dedengkot manusia-
manusia sesat..!" 
"Algojo Cakar Siluman, Setan Ular Tertawa, apakah kalian menunggu aku 
mencabut nyawa kalian!" 
Suara Utusan Dari Neraka membuat kesombongan kedua datuk itu lenyap 
seketika. Ancaman yang mereka tahu bukan sekadar gertakan kosong itu membuat 
keduanya tak lagi banyak tingkah. Mereka segera menyiapkan jurus untuk menggempur 
Panji. 
Mendengar suara parau dan dirasakannya mengandung pengaruh aneh, Panji 
segera menoleh. Sukar sekali baginya menerima kenyataan itu. Seorang bocah kecil dapat 
berbicara dengan tegas, bahkan memerintah! Suara yang dikeluarkan pun menurutnya 
lebih pantas diucapkan seorang kakek. Nadanya parau dan berat. 
"Utusan Dari Neraka...!" Tiba-tiba pikiran itu terlintas di kepala Panji. Wajahnya 
seketika menegang. Panji merasa yakin akan dugaannya itu. Ciri-ciri bocah itu cocok 
dengan keterangan yang diperolehnya. Wajah dan sorot mata bocah itu pun memiliki 
pengaruh aneh yang luar biasa, membuat debaran dalam dadanya berdetak lebih cepat. 
Panji cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada dua datuk sesat di hadapannya, ia 
merasa tak sanggup menatap bocah itu lama-lama. 
"Hyaaatt...!" 
Algojo Cakar Siluman segera menerjang Panji karena takut akan ancaman Utusan 
Dari Neraka. Seolah hendak menunjukkan jasa, Algojo Cakar Siluman dalam gebrakan 
pertama langsung menggunakan jurus andalannya. Dia memang ingin melaksanakan 
tugas itu secepat mungkin untuk mendapatkan pujian Utusan Dari Neraka. 
Setan Ular Tertawa tentu saja tidak mau ketinggalan. Dia segera membarengi 
tindakan kawannya. Tapi, ular-ular sendoknya tampaknya telah habis. Dalam menyerang 
Panji, Setan Ular Tertawa hanya menggunakan kedua tangan. 
Panji sadar siapa kedua lawannya itu. Maka, setelah menyuruh Karma agar 
menyingkir, dihadapinya serangan kedua datuk sesat itu dengan Ilmu 'Silat Naga Sakti'. 
Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak dengan kecepatan yang sulit 
ditangkap mata. Hawa dingin berhembus keras mengiringi setiap lontaran serangannya. 
Hawa dingin dan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang melapisi tubuh Panji 
membuat mata Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa terbuka. Lawannya ternyata 
Pendekar Naga Putih! Mereka kenal betul dengan ciri-ciri itu. 
"Keparat! Kiranya kau pendekar muda yang sombong itu. Pantas kau berani 
berlagak di hadapan kami…!" sambil melontarkan serangan, Algojo Cakar Siluman berkata 
gusar. Dan karena telah mengetahui siapa pemuda berjubah putih itu, serangannya pun 
segera dilipatgandakan, baik kecepatan maupun kekuatannya. Hal serupa juga dilakukan 
Setan Ular Tertawa. 
Tapi, Panji tidak menjadi gugup. Dengan tenang dihadapinya gempuran-gempuran 
kedua datuk sesat itu. Tentu saja untuk dapat mengimbangi kekuatan lawan, ia harus 
mengerahkan seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kalau tidak, akan sukar baginya 
melayani permainan kedua datuk sesat itu.

Dengan tenang Pendekar Naga Putih menghadapi gempuran gempuran kedua datuk 
sesat itu. Tentu saja untuk dapat mengimbangi kekuatan Algojo Cakar Siluman dan Setan 
Ular Tertawa, ia harus mengerahkan seluruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kalau 
tidak, akan sukar baginya melayani permainan kedua datuk sesat itu!


DELAPAN

Kesaktian Algojo Cakar Siluman dan Setan Ular Tertawa ternyata di luar perkiraan 
Panji. Terlebih puluhan bayangan cakar yang dilontarkan Algojo Cakar Siluman benar-
benar tak ubahnya dengan cakar siluman. Lewat empat puluh jurus Panji mulai terdesak. 
Bret! Bret! 
Karina yang menyaksikan perkelahian itu dari balik sebatang pohon menahan 
jeritnya ketika melihat tubuh Panji terpelanting. Pemuda itu terkena sambaran dua 
bayangan cakar lawan yang tak sempat dihindarinya lagi. 
"Tamat riwayatmu, Pendekar Naga Putih...!" 
Setan Ular Tertawa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Panji 
terpelanting, ia segera menerkam dengan dua bacokan sisi telapak tangannya. Tapi, Panji 
masih sempat menggulingkan tubuh. Bacokan maut Setan Ular Tertawa menghantam 
tanah. Sedang Panji sudah melenting ke udara dan membentak keras. Tahu-tahu sebentuk 
sinar terang berwarna kuning keemasan berpendar di genggaman tangan kanannya. Itulah 
Pedang Pusaka Naga Langit! 
"Heaaatt...!" 
Brettt...! 
Tubuh Setan Ular Tertawa tersentak ketika larikan sinar kuning keemasan 
menyambar iganya. Darah menyembur membasahi tanah seiring dengan jerit kematian 
Setan Ular Tertawa. Kibasan pedang Panji merobek dada Setan Ular Tertawa yang 
sekaligus mematahkan tiga tulang iganya. Setan Ular Tertawa terbanting dengan tubuh 
berlumuran darah. Datuk sesat itu tewas seketika tanpa sempat mengetahui apa 
penyebabnya. 
Kematian Setan Ular Tertawa membuat Algojo Cakar Siluman tertegun tak percaya. 
Kenyataan yang membentang di depan matanya tak bisa dibantah iagi. Setan Ular Tertawa 
jelas terkapar tanpa nyawa. Dengan kemarahan yang meluap Algojo Cakar Siluman pun 
menerjang Panji dengan hebatnya. 
Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan menghindari sambaran bayangan cakar-
cakar siluman sambil sesekali menebaskan pedangnya. Sepuluh jurus kemudian Algojo 
Cakar Siluman mulai kewalahan menghadapi kilatan-kilatan sinar terang yang 
menyilaukan mata. Hingga akhirnya, ia terdesak dan dipaksa bermain mundur. 
"Yeaaatt…!" 
Pada jurus ketiga belas Panji membentak nyaring seraya melambung tinggi di 
udara. Kemudian meluncur turun dengan pedang berputar membentuk gulungan sinar 
terang Algojo Cakar Siluman memekik tertahan dan memalangkan lengannya untuk 
melindungi mata. Itulah kesalahan besarnya! 
Cras! Bret! Bret! 
Pedang Naga Langit kembali menghirup darah korbannya. 'Jurus Naga Sakti 
Meluruk ke Dalam Bumi' memang salah satu jurus terampuh yang sulit untuk dihindari 
lawan. Demikian pula yang dialami Algojo Cakar Siluman. Tubuhnya pontang-panting 
tersambar mata pedang yang tajam luar biasa. Darah menyembur keluar dari luka-luka 
yang membawanya pada kematian. Algojo Cakar Siluman roboh bermandi darah, ia 
melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya itu. 
"Panji, syukurlah kau selamat..." 
Karina tahu-tahu saja sudah berada di belakang Panji dan memeluknya. Panji 
terpaksa menggigit bibir kuat-kuat. Pelukan Karina demikian erat, membuat luka bekas 
cakaran di iga dan lambungnya bertambah nyeri. 
Tapi kegembiraan Karina dan kelegaan Panji lenyap seketika begitu keduanya 
mendengar suara parau berpengaruh yang diucapkan Urusan Dari Neraka. 
"Tak satu makhluk pun yang akan selamat dari cengkeramanku...!" 
Panji dan Karina bergegas mundur. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu 
Utusan Dari Neraka telah berada di hadapan mereka. Panji segera bergerak maju untuk 
melindungi Karina sambil melintangkan Pedang Naga Langit di depan dada. 
"Khak khak khak...!" 
Mulut Utusan Dari Neraka terbuka. Tenggorokannya bergerak-gerak mengeluarkan 
suara tawa ganjil yang membuat bulu kuduk Karina dan Panji berdiri. Suara tawa itu

memang sangat menyeramkan dan hanya pantas datang dari setan-setan penghuni 
neraka. 
"Bagiku pedang itu seperti barang rongsokan..!" ejek Utusan Dari Neraka. Matanya 
tetap menyorot tajam. Sedikit pun tidak kelihatan silau oleh pancaran sinar keemasan dari 
badan Pedang Naga Langit "Kalau kau tidak percaya, buktikanlah! Pilih bagian tubuhku 
yang menurutmu paling empuk!" tantangnya sambil berkacak pinggang. 
Sempat tergetar juga hati Panji melihat sikap Utusan Dari Neraka. Padahal, pedang 
pusaka itu merupakan senjata ampuh yang dapat menolak segala jenis racun dan ilmu 
gaib. Tapi tampaknya terhadap Utusan Dari Neraka, Pedang Naga Langit kalah pengaruh. 
Panji tidak hendak mencoba keampuhan pedangnya ke tubuh bocah itu. Biar 
bagaimanapun Panji tidak sampai hati membacok tubuh seorang bocah kecil. 
"Hm.... Rupanya kau merasa enggan untuk membacok tubuhku," ujar Utusan Dari 
Neraka ketika melihat Panji belum juga bergerak." Sebaiknya, kau lihat wujud asliku...." 
Baru saja ucapan Utusan Dari Neraka selesai, tubuh kecil berkulit hitam legam itu 
berubah dengan cepat. Bulu-bulu lebat bermunculan melapisi sekujur tubuhnya. Sebuah 
tanduk runcing tumbuh di tengah kening. Kuku-kuku jari tangannya memanjang cepat 
dan melengkung seperti kuku harimau. Kedua telapak kakinya membulat membentuk 
tapak kaki kuda. Makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka itu pun memiliki ekor. Sosoknya 
sama persis dengan makhluk jelmaan Biang Segala Jahat! 
"Aaah...!" 
Panji dan Karina menahan pekikan dan terjajar mundur. Kedua kaki Karina terasa 
lemas. Hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Sedang Panji merasakan dadanya 
berdebar kencang, ia tak bisa menahan perasaan ngeri yang seketika melanda. Terlebih, 
sosok makhluk yang sepantasnya tinggal di neraka itu berdiri di hadapannya dalam jarak 
kurang dari satu tombak. 
Sikap Panji dan Karina membuat makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka kehilangan 
kesabaran. Bocah itu menggeram lirih namun menggetarkan. Tampak dua buah taring 
yang tajam berkilat. 
"Berikan pedang itu...!" ujar makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka parau seraya 
mengulurkan cakar hendak merampas Pedang Naga Langit. Tapi, makhluk tu buru-buru 
menarik pulang cakarnya ketika seberkas sinar menyambar datang mengancam cakarnya. 
"Jangan bialkan pedang itu dileburnya, Paman...!" 
Suara bening seorang bocah yang masih cadel membuat Panji dan Karina menoleh 
cepat. Sementara, makhluk jelmaan Urusan Dari Neraka mengeluarkan rintihan panjang 
seolah menunjukkan hati yang dilanda kegelisahan. 
"Resi Baranca! Aryoguno...!" Panji berseru girang melihat kemunculan Resi Baranca 
yang menuntun seorang bocah kecil seusia Utusan Dari Neraka. Bocah itu memang 
Aryoguno, putra seorang pendekar, yang pernah menggegerkan kawasan Jawa Timur dan 
disebut-sebut sebagai Bocah Titisan Dewa. (Untuk mengetahui perkenalan Panji dengan 
Resi Baranca dan Aryoguno, dapat ditemui dalam episode: "Bocah Titisan Dewa"). 
"Jangan kaget, Pendekar Naga Putih." Resi Baranca berkata dengan tersenyum. 
"Aku sengaja membawa Aryoguno kemari. Berita tentang keganasan Utusan Dari Neraka 
juga telah menggemparkan wilayah Jawa Timur. Dari petunjuk yang kuperoleh melalui 
semadi, hanya Aryogunolah yang dapat menghentikan Utusan Dari Neraka. Sayang, ia 
belum bisa menggunakan kekuatan mukjizatnya tanpa petunjuk," jelas Resi Baranca. 
Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa dirinyalah yang akan menjadi 
petunjuk bagi Aryoguno si Bocah Titisan Dewa. 
"Lalu, bagaimana cara kita menghadapi Utusan Dari Neraka...?" Panji agak bingung 
dan merasa khawatir Aryoguno akan celaka di tangan Utusan Dari Neraka. 
"Kau hadapilah Utusan Dari Neraka itu, Pendekar Naga Putih. Aku dan Aryoguno 
akan membantumu...," jawab Resi Baranca. Resi itu menganggukkan kepala ketika melihat 
Panji masih ragu-ragu. Pemuda itu kemudian memutar tubuhnya menghadapi Utusan Dari 
Neraka. 
"Selang dia dengan dengan pedangmu, Paman...!" Dengan petunjuk Resi Baranca, 
Aryoguno berseru sambil menunjuk belakang tubuh Panji. 
Seberkas sinar kebiruan membersit dari ujung jari telunjuk Aryoguno. Sinar itu 
langsung lenyap begitu mengenai tubuh Panji. 
Agak tersentak Panji sewaktu sinar kebiruan itu lenyap ke dalam tubuhnya. Ada 
suatu getaran aneh yang menyebar ke seluruh jalan darah. Hawa aneh itu mendatangkan

perasaan sejuk di hati. Tubuh Panji mendadak ringan dan pengaruh iblis yang memancar 
dari wajah serta sorot mata makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka tak lagi 
mempengaruhinya. 
"Alahkan tenaga itu ke pedangmu, Paman...!" Kembali Aryoguno berseru. 
Untuk melakukan hal itu tentu saja tidak sulit. Petunjuk itu segera diikutinya. 
Sinar Pedang Naga Langit yang pemula kuning keemasan kini terlapisi sinar kebiruan. 
"Arrkhhh...!" 
Utusan Dari Neraka memekik keras. Diterjangnya Panji dengan cakar-cakar 
mautnya. Tapi, Panji sudah bergegas mengelak dengan menarik kakinya dua langkah ke 
belakang. Lalu, pedangnya dibabatkan ke depan mengancam tubuh Utusan Dari Neraka, 
yang dirasakan Panji kecepatan maupun kekuatannya agak menurun. 
Ia mulai dapat melihat titik-titik kelemahan Utusan Dari Neraka. Panji 
menggerakkan pedangnya mengincar kelemahan-kelemahan lawan. Ia tidak sadar kalau 
Aryoguno sudah tidak lagi memberi petunjuk. Bocah Titisan Dewa itu tengah duduk bersila 
di samping Resi Baranca. Tidak nampak tanda-tanda kehidupan pada tubuh bocah itu. 
Jasad halusnya telah merasuk ke dalam tubuh Panji. Itulah sebabnya mengapa Panji tiba-
tiba memiliki pikiran bagaimana cara menghadapi Utusan Dari Neraka. 
Utusan Dari Neraka terdengar memekik-mekik sambil berlompatan menghindari 
sambaran sinar kuning dan biru yang keluar dari ujung pedang Pendekar Naga Putih. 
Panji tidak tahu kalau hal itu bisa terjadi berkat adanya jasad halus Bocah Titisan Dewa di 
dalam tubuhnya. Malah, ketika makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka melenyapkan diri 
dari pandangan, dengan mata batinnya Panji dapat mengetahui di mana bocah itu berada. 
Sinar-sinar kilat berwarna kuning dan biru yang menyambar keluar dari ujung 
pedangnya meluncur ke tempat bocah itu. 
"Keparaaatt..!" Utusan Dari Neraka kembali menampakkan wujudnya. Ia 
melontarkan makian yang ditujukan kepada Aryoguno. Ilmu menghilangnya ternyata tak 
banyak membantu. Dengan kemarahan yang meluap-luap, bocah itu menggeram dan 
melancarkan serangan dengan sinar-sinar merah terang yang keluar dari kedua ujung jari 
telunjuknya. 
Seperti tahu bagaimana cara menghadapi serangan itu, Pendekar Naga Putih pun 
dengan menggunakan jari telunjuk kirinya menyambut serangan lawan. Setiap kali Panji 
menggerakkan jari telunjuknya, seberkas sinar kebiruan membersit dan membentur sinar 
merah terang yang meluncur ke arahnya. Dan setiap kali kedua sinar itu berbenturan 
tubuh Utusan Dari Neraka terpelanting. 
Itu terjadi bukan karena kekuatan Bocah Titisan Dewa lebih kuat. Karena 
menggunakan raga Panjilah maka Bocah Titisan Dewa menjadi lebih unggul dari Utusan 
Dari Neraka. Pendekar Naga Putih sendiri sudah memiliki dasar tenaga dalam yang tinggi. 
Bocah Titisan Dewa menyalurkan kekuatan mukjizatnya yang digabungkan dengan 
kekuatan dasar Panji. Sehingga Utusan Dari Neraka tak ubahnya dikeroyok oleh Panji dan 
Bocah Titisan Dewa. 
"Haiiitt...!" 
Setelah berpuluh-puluh kali benturan terjadi dan untuk kesekian kalinya tubuh 
makhluk jelmaan Utusan Dari Neraka terpelanting, Panji membentak seraya menusukkan 
pedang dan menudingkan jari telunjuknya. Sinar kebiruan yang keluar dari jari telunjuk 
tangan kiri Panji meluncur cepat. Bersamaan dengan itu, kilatan sinar kuning dan biru 
menyambar keluar dari ujung pedangnya. 
Bummm...! 
"Aarkhhh...!" 
Utusan Dari Neraka meraung setinggi langit ketika tubuhnya yang baru saja 
bangkit terhantam dua sinar yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Terdengar suara 
ledakan keras yang disusul dengan membubungnya asap tebal menelan tubuh Utusan 
Dari Neraka. Seiring dengan itu terciumlah bau sangit daging terbakar. Ketika asap tebal 
sirna tertiup angin, tampaklah onggokan sisa-sisa tubuh Utusan Dari Neraka yang telah 
terbakar. 
Musnahnya Utusan Dari Neraka membuat Panji tiba-tiba merasakan sekujur 
tubuhnya sangat lemas. Ada sesuatu yang dirasakan keluar dari dalam tubuhnya. Panji 
tidak tahu kalau saat itu jasad halus Bocah Titisan Dewa keluar dan kembali ke jasad 
aslinya.

Sementara itu, di arena pertarungan makhluk jelmaan Biang Segala Jahat yang 
menghadapi keroyokan Kyai Sanca Wilang, Ki Bongkok Guno dan satu sosok tubuh lain 
yang ternyata Putri Perayu terjadi sesuatu yang mengejutkan! 
Bersamaan dengan musnahnya Utusan Dari Neraka, makhluk jelmaan Biang 
Segala Jahat meraung keras dan melonjak-lonjak tanpa sebab. Menyaksikan tingkah 
makhluk mengerikan itu, ketiga lawannya berloncatan mundur. Beberapa saat kemudian, 
di bawah tatapan enam pasang mata sosok makhluk itu perlahan lenyap dan kembali ke 
wujud aslinya. Wujud Biang Segala Jahat! 
"Hi hi hi...!" Putri Perayu tertawa mengekeh sambil mempermainkan rambutnya 
ketika melihat wujud makhluk itu berubah menjadi manusia. 
"Hm.... Pastilah Utusan Dari Neraka telah musnah." Kyai Sanca Wilang segera bisa 
menebak mengapa wujud Biang Segala Jahat kembali ke bentuk aslinya. "Siapa pun yang 
berhasil melenyapkannya, tanpa disadarinya ia telah menyelamatkan orang banyak." 
Ki Bongkok Guno cuma mengangguk-anggukkan kepala, ia tampak sangat lelah 
setelah bertarung sekian lama menghadapi makhluk jelmaan Biang Segala Jahat. 
Sementara, Biang Segala Jahat yang telah sadar kembali dan mendapati tiga sosok 
tubuh tengah menatapnya tampak sangat terkejut. Tapi, perasaan itu cuma sekilas 
terlihat. Dengan cepat ia dapat menguasainya. Sambil tergelak Biang Segala Jahat 
menengadahkan kepala. Dan, selagi ketiga tokoh yang berdiri di hadapannya saling 
bertukar pandang, Biang Segala Jahat melesat dengan mengerahkan seluruh 
kecepatannya, ia melompat masuk ke dalam gerombolan semak yang tumbuh rapat. 
Kyai Sanca Wilang hanya bisa menghela napas, ia tidak mengira Biang Segala Jahat 
akan melarikan diri. Sebelum sempat mengejar tokoh paling licik itu telah lolos. Setelah 
agak lama menatap gerombolan semak tempat lenyapnya Biang Segala Jahat, Kyai Sanca 
Wilang memutar tubuh. Bersama Ki Bongkok Guno dan Putri Perayu, mereka menghampiri 
Panji dan yang lainnya. Ketika melihat Aryoguno dan memperhatikannya beberapa saat, 
tahulah Kyai Sanca Wilang bahwa musnahnya Utusan Dari Neraka pasti ada kaitannya 
dengan bocah itu. 
"Hai.... Suamiku ada di sini rupanya...!" Tiba-tiba Putri Perayu berseru ketika 
melihat Panji. "Mari, suamiku, peluklah aku erat-erat. Aku rindu sekali hangatnya 
pelukanmu...!" Nenek itu berlari ke arah Panji dengan kedua tangan dikembangkan. 
Panji tentu saja kaget bukan main. Tanpa pamit lagi kepada yang bannya, dia 
segera lari ketakutan. 
"Kanda, tunggu Dindaaa...!" Putri Perayu berseru dan lari mengejar Panji yang 
tunggang-langgang. Terpaksa Panji harus mengerahkan seluruh kepandaian lari cepatnya 
agar tidak terkejar nenek sinting itu. 
Peristiwa itu membuat orang-orang yang tinggal tertegun bingung, kecuali Karina. 
Gadis cantik itu geli bukan main melihat Panji lari terbirit-birit dikejar Putri Perayu. 






                             SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar