..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 20 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE BAYANG BAYANG MAUT

matjenuh khairil

 

BAYANG BAYANG MAUT
CINTAMEDIA
penerbit buku silat bermutu
BAYANG-BAYANG MAUT
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Bayang-Bayang Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Seorang lelaki gagah melangkah tegap di bawah cahaya
matahari siang yang terik. Sayang wajah yang sebenarnya
gagah dan memiliki perbawa ini tampak muram dan agak
pucat. Sinar matanya pun tampak sayu dan kosong. Tidak
terlihat cahaya kehidupan sedikit pun, baik pada raut wajah
maupun sinar matanya. Semua itu jelas merupakan betapa
hatinya tengah menanggung beban batin yang sangat berat.
Tak lama kemudian, setelah melewati mulut sebuah desa,
langkah kosong tanpa perasaan itu, terhenti di depan sebuah
kedai. Tanpa memperhatikan sekelilingnya, lelaki gagah itu
melangkah masuk. Sambil menghembuskan napas berat,
dihempaskan pantatnya di atas sebuah kursi. Namun ketika ia
menoleh bermaksud memanggil pelayan kedai, tiba-tiba
keningnya berkerut. Sebuah pemandangan yang tidak
menyenangkan sempat membuat mata redupnya berkilat.
Terdengar suara dengusan keluar dari hidungnya.
Brrakk!
Sambil mendengus, tiba-tiba lelaki gagah ini, menggebrak
meja di depannya. Meja kayu itu hancur berantakan dengan
memperdengarkan suara berderak keras. Karuan saja
perbuatan itu membuat para pengunjung tertuju kepadanya.
Dua orang lelaki bertampang kasar yang tadi tertawa-
tawa sambil menghujani ciuman ke wajah dan tubuh
perempuan muda, tersentak kaget. Keduanya memandang
lelaki gagah itu dengan sorot mata mengandung kemarahan.
Mata mereka bentrok dengan sepasang mata berkilat milik
lelaki gagah itu. Rupanya perbuatan kedua orang lelaki
bertampang kasar itulah yang telah membangkitkan
kemarahannya

Beberapa saat lamanya tiga pasang mata saling tentang,
membuat para pengunjung kedai lain buru-buru menyingkir.
Tampaknya mereka tidak ingin terbawa-bawa. Bahkan
beberapa di antara pengunjung, ada yang langsung
meninggalkan kedai. Namun semua itu tidak dipedulikan, baik
oleh kedua lelaki bertampang kasar maupun si Lelaki Gagah.
"Hm...!" Salah seorang dari kedua lelaki bertampang kasar
terdengar menggeram. Lalu, melangkah lebar menghampiri
lelaki gagah itu dengan membusungkan dada. Sorot matanya
tajam menikam, menyiratkan kemarahan yang siap
ditumpahkan.
"Tuan sebaiknya menyingkir, jangan cari penyakit...!"
Salah seorang pengunjung berbisik memperingatkan lelaki
gagah itu, ketika berlalu di sampingnya untuk meninggalkan
kedai.
Namun, nasihat itu sama sekali tidak digubris. Malah
lelaki gagah itu sudah mengayun langkah, sengaja
menyongsong kedatangan calon lawannya. Dalam sesaat saja,
keduanya telah berdiri berhadapan.
"Aku paling tidak suka melihat laki-laki memaksakan
kehendaknya kepada perempuan!" Tajam dan pedas sekali
kata-kata lelaki gagah itu sambil tetap menatap lelaki
bertampang kasar di depannya.
"Hmh, lancang sekali mulutmu! Perempuan-perempuan
itu sendiri tidak menolak perbuatan kami. Bahkan mereka
merasa senang dengan perlakuan kami. Nah, kalau mereka saja
tidak ribut, mengapa kau yang tak ada sangkut-pautnya
kalang-kabut seperti nenek-nenek kehilangan sirih? Atau kau
merasa iri dan ingin ikut menikmati tubuh-tubuh molek
berkulit halus itu?" ujar lelaki bertampang kasar dengan bibir
menyunggingkan senyum penuh ejekan.
"Kalau mereka suka dengan perlakuan kalian, tentu akan
lain persoalannya. Tapi karena mereka tidak suka dengan
perlakuan kalian yang tidak sopan itu, maka aku tidak bisa
berpangku tangan saja. Air mata perempuan-perempuan

malang yang tak berdaya itulah, yang membuat aku tergerak
untuk menolong. Entah mengapa kalian begitu bebas berbuat
di tempat umum seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti."
Lelaki gagah ini menggeleng-gelengkan kepalanya,
menyesali para pengunjung kedai yang seperti tidak mau tahu
dengan perbuatan kedua orang lelaki bertampang kasar itu.
"Coba kau lihat!" lanjut lelaki gagah itu sambil
menggerakkan kepalanya ke arah dua orang perempuan yang
wajahnya tampak basah oleh air mata. "Tidakkah kau
merasakan bahwa hati mereka sesungguhnya menjerit pilu,
mengharap belas kasihan dari kalian? Apa mata dan hati kalian
telah buta?"
"Pandai sekali kau bicara! Hendak kulihat apakah kau pun
memiliki kepandaian sehebat suaramu itu!" Begitu kata-
katanya selesai diucapkan, lelaki bertampang kasar itu
langsung melancarkan sebuah tamparan keras ke kepala si
Lelaki Gagah.
Whuuut!
Tamparan itu luput, karena sasarannya telah lenyap dari
hadapan. Lelaki bertampang kasar ini kebingungan mencari-
cari sosok lawannya, yang tahu-tahu lenyap seperti setan.
Tengah ia mencari-cari sosok lawannya, tiba-tiba dirasakan
bahunya disentuh orang dari belakang. Tanpa banyak cakap
lagi, langsung saja ia berbalik lalu melepaskan tamparan dan
pukulan berturut-turut.
Plak! Plak!
Dengan sigapnya lelaki gagah, yang memang telah berada
di belakang lawan, mengangkat lengannya dua kali
menyambut serangan itu. Namun, dia kaget bukan main ketika
merasakan lengannya bergetar, meskipun tangkisan itu telah
membuat tubuh lawan terjajar beberapa langkah. Kenyataan itu
sekaligus membuatnya sadar bahwa lawan yang dihadapi
ternyata memiliki tenaga dalam sangat kuat.
Akan tetapi lelaki gagah itu tidak sempat berpikir terlalu
lama, karena lawannya sudah menerjang dengan ganas.

Bahkan kali ini dengan menggunakan senjata. Dari suara
sambaran anginnya menunjukkan bahwa tenaga yang
dikerahkan lawan benar-benar tidak bisa dipandang remeh.
Bergegas lelaki gagah ini berlompatan menghindari sambaran
senjata lawan. Kemudian, karena merasa terdesak, akhirnya ia
menjebol dinding kayu dan terus berjumpalitan keluar.
"Jangan lari kau, Pengecut...!" seru laki kasar berkumis
tebal, yang segera melesat mengejar lawannya ke luar kedai. Di
belakang tampak kawannya pun menyusul.
"Aku, Kanuraga, pantang lari dari pertempuran!" sahut
lelaki gagah yang sudah berdiri tegak menanti kedatangan
lawannya di luar kedai. Di tangan kanannya telah tergenggam
sebilah pedang.
"Bagus!" ejek si Kumis Tebal yang mendarat ringan di
hadapan Kanuraga. Lalu, memberikan isyarat kepada
kawannya yang juga telah mendarat di sebelahnya, untuk
segera mengepung lelaki gagah bernama Kanuraga. Tanpa
banyak cakap lagi, kedua lelaki kasar ini langsung saja
menggempur Kanuraga dengan serangan-serangan yang kuat
dan ganas.
Semakin kaget dan heran hati Kanuraga ketika mendapat
kenyataan bahwa kedua lawannya ternyata sangat tangguh.
Untuk menghadapi keroyokan mereka, Kanuraga dipaksa
bekerja keras, dengan mengerahkan ilmu-ilmu andalannya.
Namun, itu pun ternyata tidak terlalu banyak menolong. Sebab,
kedua orang lawannya masih terus sanggup mematahkan
setiap serangannya. Bahkan setelah mendesak selama lima
jurus, Kanuraga terpaksa harus mengendurkan gempuran-
gempurannya. Karena jurus pertahanan kedua orang lawannya
itu ternyata sangat tangguh dan sulit untuk ditembus dengan
pedangnya. Kanuraga tentu saja tidak ingin kehabisan tenaga,
hingga akhirnya dapat dirobohkan lawan dengan mudah. Dia
segera mengubah cara bertempurnya. Sekarang tampak lebih
banyak menggunakan kelincahannya untuk menghadapi
lawan-lawan tangguh itu. Tubuhnya meloncat dan terus

mengelak untuk kemudian mengirim serangan balasan dengan
cepat dan tak terduga.
Setelah merubah cara bertempur, barulah Kanuraga
menemukan kelemahan kedua orang lawannya. Kelincahan
mereka ternyata tidak sehebat tenaganya. Menyadari
kenyataan itu, Kanuraga terus saja menggunakan kelebihan itu.
Dengan lesatan-lesatan tubuh yang bagi kedua lawannya
terlihat sangat cepat dan membuat kepala mereka pening itu,
Kanuraga terus melakukan desakan sehingga tampak dirinya
mulai berada di atas angin. Kenyataan itu membuat dirinya
semakin bersemangat. Gempuran-gempuran yang dilancarkan
semakin cepat dan gencar. Hal itu membuat kedua orang
lawannya tak sanggup lagi untuk membangun serangan.
Mereka dibuat sibuk untuk melindungi diri dari ancaman
senjata Kanuraga, yang seolah datang dari setiap penjuru.
Bret! Bret!
Pada jurus yang keempat puluh tiga, pedang di tangan
Kanuraga sempat merobek tubuh salah seorang lawannya.
Terdengar suara jerit kematian yang melengking tinggi ke
angkasa. Disusul dengan terlemparnya tubuh salah seorang
lawan dari arena, disertai percikan darah.
Dengan semangat yang semakin meluap, Kanuraga
membentak keras. Tubuhnya melesat ke samping, menghindari
tusukan pedang lawan, yang langsung dibalasnya dengan
sebuah tebasan kilat
Crakhh!
Lawan terakhir Kanuraga meraung keras. Darah segar
tertumpah membasahi tanah, sewaktu tubuh dengan luka
menganga pada lambungnya itu terbanting roboh. Lelaki kasar
berkumis lebat itu menggelepar bagai ayam disembelih. Lalu
meregang dan tewas!
Kanuraga berdiri tegak memandang mayat dua orang
lawannya. Meski terasa agak telah dan keringat masih
membanjir membasahi wajah dan tubuh, hatinya merasa puas.
Karena berhasil melenyapkan kedua orang itu.

Namun kelegaan yang baru beberapa saat dirasakannya
itu, mendadak berubah menjadi tanda tanya besar. Sesaat
Kanuraga tertegun dengan wajah penuh keheranan. Kanuraga
menjadi tidak mengerti ketika ia memutar tubuh, dilihatnya
kedai yang disinggahinya telah ditutup. Pemilik kedai itu
tengah sibuk mengemasi semua barang-barang dan
memasukkannya ke sebuah pedati, yang telah siap di samping
kedai.
Kanuraga semakin tertegun di tempatnya, ketika
menyadari bahwa kedai itu bukan cuma ditutup untuk
sementara waktu saja, tapi untuk seterusnya. Ia baru
menyadari hal itu ketika pedati mulai bergerak, membawa
semua barang-barang dan juga pemiliknya sekeluarga,
termasuk seorang pelayannya.
"Tertawalah sepuasmu, Pembawa Celaka!" damprat
pemilik kedai sewaktu lewat di dekat Kanuraga, yang segera
menyingkir memberi jalan. "Dan silakan kau tunggu datangnya
malaikat maut yang akan segera mencabut nyawamu!"
Sumpah-serapah pemilik kedai itu membuat kening
Kanuraga berkerut semakin dalam. Berbagai pertanyaan dan
ketidakmengertian, membuat Kanuraga tidak tahu harus
bagaimana menanggapinya. Terlebih ketika ia melihat betapa
para penduduk yang tadi menonton perkelahian, tampak
berlari tergesa-gesa menuju rumah masing-masing.
"Gila, ada apa ini sebenarnya...!?" desis Kanuraga yang
akhirnya menjadi jengkel ketika menyadari bahwa para
penduduk desa itu ternyata hendak pergi mengungsi. Mereka
berbondong-bondong lewat di hadapannya sambil mendengus,
menyumpah-nyumpah, mengutuk tindakannya. Sampai
akhirnya Kanuraga tak bisa lagi menahan diri. Dengan wajah
bengis, disambarnya salah seorang penduduk yang lewat.
"Jelaskan kepadaku, apa yang sudah terjadi di desa ini?
Mengapa mendadak kalian semua hendak pergi mengungsi?
Apa kematian dua orang bangsat itu penyebabnya?" Saking
marahnya, Kanuraga menghardik sambil mencengkeram

lengan orang itu kuat-kuat, hingga menjerit kesakitan. Sadar
kalau cekatannya terlalu kuat, Kanuraga mengendurkannya
sambil mendengus kasar.
"Aku... aku tidak tahu, Tuan.... Yang Jelas, dua orang yang
Tuan bunuh itu sangat berbahaya dan jahat. Begitu... yang
dikatakan kepala desa kami kepada semua penduduk...," jelas
orang itu terbata-bata dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Ngeri hatinya menyaksikan wajah bengis Kanuraga.
Lagi-lagi Kanuraga mendengus. Dia tahu orang itu
berkata jujur, maka dilepaskan cekatannya. Lalu didorongnya
tubuh lelaki setengah tua itu hingga terjerunuk dan terguling
ke tanah. Namun Kanuraga tidak peduli, karena saat itu
perhatiannya sudah tercurah kepada seorang lelaki setengah
baya, yang tengah melangkah tergesa-gesa mendatanginya.
"Biarkanlah mereka pergi mencari selamat, Tuan! Mereka
tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa," ujar lelaki setengah
baya itu ketika sudah berhadapan dengan Kanuraga.
"Kau siapakah, Orang Tua?" tegur Kanuraga yang sudah
tak bisa bersikap ramah lagi. Ditatapnya sosok lelaki setengah
baya itu dengan sorot mata tajam. "Dan apakah ucapanmu juga
berarti sebuah tuduhan untuk diriku, menganggapku bersalah
karena telah membunuh kedua orang bajingan pengganggu
wanita itu?"
"Tindakan Tuan tentu saja sudah sangat benar," jawab
lelaki setengah baya itu, setelah menggeleng perlahan.
Terdengar helaan napasnya yang berat dan berkepanjangan,
sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Tapi..., kalau saja Tuan
tahu siapa sebenarnya kedua orang bajingan tengik itu, kurasa
Tuan akan berpikir seribu kali sebelum bertindak."
"Jelaskan maksudmu. Orang Tua? Atau jangan-jangan
justru kaulah yang menjadi biang keladinya...!" geram
Kanuraga yang jadi menaruh curiga ketika mendengar ucapan
lelaki setengah baya, yang ternyata kepala desa itu. "Sebaiknya
kau tidak berteka-teki kepadaku, Orang Tua!" lanjut Kanuraga
sinis dan menyiratkan ancaman.

"Sebentar lagi, desa ini pasti akan dibumihanguskan. Dan
penyebabnya adalah kematian dua orang bajingan yang kau
bunuh itu, Tuan," ujar lelaki setengah baya itu setelah
menghela napas beberapa saat lamanya "Dan kalau kau ingin
tahu, sesungguhnya mereka adalah anggota-anggota dari
sebuah perkumpulan yang sangat ditakuti oleh setiap tokoh
persilatan di seluruh penjuru negeri, bahkan mungkin di
seluruh daratan ini."
Kanuraga tertegun beberapa saat ketika mendengar
penjelasan lelaki setengah baya itu. Keningnya berkerut tajam,
mengingat-ingat perkumpulan apa yang mempunyai pengaruh
sedemikian besar, hingga para anggotanya begitu tangguh dan
ditakuti. Bahkan mereka bebas melakukan apa saja tanpa ada
yang berani mencegahnya.
"Orang Tua," ujar Kanuraga setelah terdiam beberapa saat
lamanya. "Aku cukup banyak mengetahui perkumpulan-
perkumpulan yang ada di kalangan persilatan. Dan, setahuku,
perkumpulan seperti yang kau sebutkan itu, tidak atau belum
pernah kudengar. Kecuali...," Kanuraga menghentikan
ucapannya. Wajahnya tiba-tiba berubah tegang. Sorot matanya
memancarkan keraguan dan kegelisahan.
Lelaki setengah baya itu tidak menjawab dengan kata-
kata. Dengan sebuah tarikan napas panjang dan berat, ia
mengangguk perlahan. Senyum getir dan penuh sesal tampak
menghias wajah pucatnya.
"Tidak mungkin!" Kanuraga membantah dengan suara
keras. Kali ini ia terlihat benar-benar tegang dan gelisah.
Bahkan wajah tegangnya sudah berubah pucat. Sepasang
matanya bergerak-gerak liar, khawatir dengan apa yang ada
dalam pikirannya. "Perkumpulan itu... perkumpulan itu telah
lama lenyap, sudah belasan tahun! Dan..., aku... aku tidak
pernah mendengarnya lagi...," desisnya dengan suara yang
bergetar dan lemah.
"Itulah sebabnya mengapa selama ini kami tidak berani
mencegah tindakan dua orang bajingan itu, Tuan," ujar Kepala

Desa itu, memastikan dugaan Kanuraga itu. "Dan mulai
sekarang, kuharap Tuan berhati-hati. Karena, dengan tewasnya
dua orang bajingan itu, nyawa Tuan akan selalu dibayang-
bayangi maut..."
Setelah berkata demikian, lelaki setengah baya itu
memutar tubuhnya, meninggalkan Kanuraga yang terpaku
dengan tubuh gemetar dan wajah pucat. Seperti orang yang
kehilangan kesadarannya, Kanuraga masih terus berdiri
mematung, sementara seluruh penduduk telah semakin jauh
meninggalkannya.
Entah sudah terapa lama Kanuraga berdiri mematung di
tempat itu, sampai akhirnya tersadar, dan mendapati dirinya
terkurung dalam kesunyian dan keheningan. Helaan napasnya
yang panjang dan berat terdengar saat Kanuraga mengedarkan
pandangannya, mendapati jalan utama desa yang lengang.
Rumah-rumah tampak sepi ditinggalkan penghuninya.
Perlahan pemuda gagah itu mengangkat kedua tangan
menghapus peluh yang membasahi sekujur wajahnya.
"Ya, Tuhan...," keluh Kanuraga perlahan dengan suara
bergetar lirih. "Benarkah perkumpulan yang mengerikan dan
sangat ditakuti itu kini telah muncul kembali..?"
Teringat akan hal itu, Kanuraga mengayun langkahnya
perlahan, menghampiri mayat kedua lawannya yang masih
tergeletak di depan kedai, ia pernah mendengar tentang ciri-ciri
dari anggota perkumpulan yang pada belasan tahun lalu
menjadi momok bagi kaum rimba persilatan. Maka, untuk
memastikan bahwa keduanya memang anggota perkumpulan
yang diduganya, Kanuraga mengoyak pakaian pada bagian
dada salah satu mayat itu. Dan..., pucatlah wajah Kanuraga
seketika! Sebuah rajahan bergambar kepala tengkorak, terlihat
nyata pada dada sebelah kiri mayat itu. Tangannya yang masih
memegang mayat pakaian itu, disentakkan cepat-cepat. Seolah
yang baru dipegangnya bukan lagi kain, melainkan bara api
panas, membuat sekujur tubuhnya seketika menjadi gemetar

dilanda rasa takut yang hebat! Peluh sebesar biji-biji kedelai,
bersembulan membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya.
"Tengkorak Hitam...!" Suara Kanuraga terdengar kering,
berupa bisikan lirih yang nyaris tak terdengar. Dadanya terasa
bergelombang cepat, laksana ombak lautan. Deru napasnya
demikian boros, mengalir cepat, dan sulit untuk dikuasainya.
Bayangan kematian yang mengerikan, yang bakal didapatnya,
menari-nari di depan mata.
Seperti disengat kalajengking, Kanuraga tersentak bangkit
Sepasang matanya bergerak liar mengawasi sekitar. Dan,
meskipun yang didapatinya cuma sebuah kesunyian yang mati,
tapi, justru hal itu membuatnya semakin takut dan gelisah.
Sedikit suara gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin,
sudah cukup membuat Kanuraga terlompat sambil menghunus
senjatanya. Bayangan-bayangan maut kembali menari-nari di
depan matanya. Gambaran-gambaran serta kabar tentang
kebengisan dan keganasan Perkumpulan Tengkorak Hitam
yang pernah didengar dari gurunya maupun dari tokoh-tokoh
persilatan, membuat rasa takut yang melandanya semakin
memuncak!
Dengan sepasang mata liar, dan wajah pucat, serta
keringat yang bagai tak pernah henti mengalir, Kanuraga
bergerak mundur. Pedangnya digenggam erat-erat, khawatir
akan terlepas. Dengan langkah satu-satu, dan sepasang mata
tak berhenti bergerak menyapu sekitar, Kanuraga terus
mundur. Kemudian lari sekencang-kencangnya meninggalkan
desa itu.
* * *

DUA

Kanuraga terus berlari bagaikan orang kesetanan. Ia sudah
tidak peduli, berapa lama dan berapa jauh, waktu dan jarak
yang telah ditempuhnya. Bayangan tentang keganasan,
kebuasan, dan kekejaman Perkumpulan Tengkorak Hitam, tak
pernah lekang dari benaknya. Semua itu sudah banyak
didengarnya, baik dari orang-orang awam, maupun tokoh-
tokoh tingkat tinggi dunia persilatan. Dari gurunya sendiri ia
pernah mendengar penuturan tentang perkumpulan sesat itu.
Bahkan dirinya dipesan agar jangan sekali-kali membuat
masalah dengan orang-orang perkumpulan itu.
"Mereka mempunyai cara-cara tersendiri untuk
membantai musuh atau orang-orang yang menentangnya.
Cara-cara mereka sangat mengerikan. Itu sebabnya, mengapa
perkumpulan itu sangat ditakuti. Bukan saja oleh orang-orang
awam. Bahkan tokoh-tokoh terkenal yang memiliki kepandaian
tinggi pun lebih memilih untuk menghindar daripada harus
berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak Hitam!"
Wejangan gurunya itu kembali terngiang di telinga
Kanuraga. Kata-kata itulah yang dulu membuat hatinya sangat
penasaran.
"Mengapa tidak ada orang yang berani menentang
mereka, Guru? Sebagai orang-orang yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran, kita harus menentang dan menumpas
mereka. Lalu, apa gunanya kita mempelajari ilmu silat kalau
bukan untuk menentang kejahatan dan membela orang-orang
lemah yang tertindas?" Waktu itu Kanuraga tak dapat menahan
rasa penasarannya. Semua itu langsung diutarakan kepada
gurunya. Karena apa yang dikatakan gurunya itu sangat
bertentangan dengan pelajaran-pelajaran tentang kependekaran
dan kegagahan yang ia terima.

"Kanuraga." Gurunya menghela napas berat dan panjang,
sewaktu Kanuraga membantahnya. "Kegagahan, kejujuran,
keadilan, dan kebenaran memang menjadi pegangan utama
bagi setiap tokoh golongan putih seperti kita. Tapi, kita adalah
manusia biasa, yang tentu saja memiliki banyak kekurangan,
Muridku Kita mesti tahu kapan pegangan itu harus
dilaksanakan, dan kapan bisa ditinggalkan! Perkumpulan
Tengkorak Hitam sangatlah kuat. Mereka dikepalai tokoh-
tokoh mengerikan yang perangai serta kepandaiannya melebihi
iblis-iblis neraka! Menentang mereka, sama saja dengan orang
gila yang membenturkan kepalanya ke batu cadas!"
"Jadi, Guru takut menghadapi mereka...?!" tanya Kanuraga
yang masih belum bisa menerima ucapan gurunya. Hatinya
penasaran dan tak bisa mengerti terhadap sikap sang Guru
Padahal gurunya bukanlah tokoh sembarangan. Dalam
kalangan persilatan, tokoh yang sejajar dengan gurunya dapat
dihitung dengan jari! Tentu saja Kanuraga merasa penasaran
bukan main, sewaktu merasakan adanya nada kegentaran serta
kengerian dalam suara maupun sorot mata orang tua yang
telah mendidiknya itu.
Pertanyaan Kanuraga lagi-lagi membuat gurunya menarik
napas berat. Lalu, mengisahkan pengalamannya, yang pada
belasan tahun silam bertekad untuk menumpas Perkumpulan
Tengkorak Hitam. Bersama lima orang sahabatnya yang rata-
rata berkepandaian tinggi, kakek itu mendatangi markas
Perkumpulan Tengkorak Hitam dan mengajukan tantangan
kepada tokoh-tokohnya.
"Kau tahu, apa yang selanjutnya kami alami, Muridku?"
tanya kakek itu menghentikan ceritanya sejenak. Kanuraga
menggeleng tanpa kata. "Kami semua dapat dirobohkan hanya
dalam lima jurus! Bayangkan, lima jurus! Kami semua ditawan
dan disiksa sampai setengah mati!" lanjut kakek itu dengan
suara parau dan bergetar. Ingatan tentang kejadian itu,
membuat hatinya terlihat agak guncang. Kakek itu
menundukkan wajah dalam-dalam. Terdengar tarikan

napasnya yang berusaha menenteramkan perasaannya.
Sehingga, Kanuraga ikut terseret demi melihat kedukaan di
wajah gurunya.
"Kelima orang sahabatku tewas setelah melalui berbagai
siksaan yang sebelumnya tidak pernah terbayang dalam
pikiranku!" Masih dengan suara bergetar dan parau, kakek itu
melanjutkan ceritanya.
"Tapi, rupanya Tuhan belum menghendaki kematianku.
Saat dalam keadaan antara sadar dan tidak, lapat-lapat aku
mendengar adanya suara terompet dan tambur yang
bersahutan, disusul dengan teriakan-teriakan dan beradunya
senjata. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar,
kudapati diriku berada di atas sebuah pembaringan, di dalam
sebuah kamar yang bagus dan bersih. Kemudian kuketahui
tempat itu milik sahabatku, yang menjabat sebagai panglima
kerajaan. Darinya aku mendapat keterangan bahwa markas
Perkumpulan Tengkorak Hitam telah dihancurkan oleh tentara
kerajaan. Sayangnya cukup banyak yang berhasil me-
nyelamatkan diri, termasuk tokoh-tokoh utamanya. Aku
mengucap syukur, meskipun sadar bahwa suatu saat kelak
mereka pasti akan muncul kembali."
Kanuraga mengerutkan keningnya dengan wajah heran
ketika gurunya menghentikan ceritanya. Orang tua itu lalu
menyuruhnya mengambil sebuah peti kayu dari dalam gubuk.
Meskipun tak mengerti, Kanuraga segera melaksanakan
perintah gurunya. Lalu, diletakkannya peti kayu itu di hadapan
sang Guru.
"Lihatlah, Kanuraga...!" ucap gurunya, memperlihatkan
dua tulang belulang kaki manusia sebatas lutut "Ini adalah
kakiku. Kulit dan dagingnya hancur akibat direndam dalam
timah panas! Ini baru salah satunya," jelas kakek itu. Kemudian
ia membuka kulit binatang yang digunakan untuk menutup
mata kanannya.
Kanuraga menahan pekiknya ketika melihat mata kanan
gurunya, ternyata cuma berupa rongga hitam yang mengerikan

"Masih ada lagi, Kanuraga...."
"Aaah...!" Kanuraga tak bisa lagi menahan jeritannya.
Tubuhnya terasa lemas bagaikan tidak bertulang. Matanya
terbelalak menatap sekujur tubuh gurunya, yang dipenuhi
bekas-bekas luka yang mengerikan.
"Mereka merejam tubuhku dengan besi yang membara,"
jelas kakek itu sambil memandangi bekas luka yang tak pernah
hilang, menampakkan bilur-bilur bertonjolan, dan bersilangan
tak beraturan.
"Tabib-tabib istanalah yang telah merawat dan mengobati
semua luka-lukaku. Mereka terpaksa memotong kedua kakiku
yang separuhnya cuma tinggal tulang belulang saja. Setelah
sembuh, aku pun berpamit kepada sahabatku Memilih tempat
terpencil ini untuk menjalani sisa-sisa hidupku. Nah, itulah
sebabnya, mengapa aku menasihatimu agar berhati-hati dan
jangan sampai berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak
Hitam!"
Kanuraga terpaksa menghentikan larinya. Napasnya
tersengal-sengal. Dadanya terasa sesak dan panas. Sekujur
wajah dan tubuhnya telah basah oleh peluh yang menganak-
sungai. Pemuda gagah itu terduduk lemas dengan bertelekan
kedua lututnya. Menyapu wajahnya dengan kedua tangan
gemetar.
"Aku tidak sengaja melakukannya, Guru...," rintih
Kanuraga sambil merebahkan tubuhnya, tengkurap di atas
rerumputan. Kanuraga merasa lelah. Lelah lahir-batin. Sampai
akhirnya, tanpa sadar ia pun tertidur.
* * *

"Aaah...!"
Bagai tersengat kalajengking,
Kanuraga melompat ke belakang. Sepasang
matanya terbelalak lebar. Keringat dingin
merembes keluar, membasahi selebar
wajahnya. Ia berdiri gemetar, memandang
tiga benda bulat di depannya. Benda itu
adalah... tiga buah tengkorak kepala manusia
berwarna hitam!
Cahaya matahari pagi, yang menerobos dedaunan pohon,
membangunkan Kanuraga dari tidurnya. Sekujur tubuhnya
terasa pegal dan nyeri sewaktu ia menggeliat hendak bangkit.
Pakaiannya terkoyak di beberapa tempat, yang juga
menampakkan luka di kulit dan dagingnya. Goresan-goresan
ranting pohon sewaktu ia menerobos semak-belukar itu,
membangkitkan kesadaran Kanuraga tentang apa yang telah di
alaminya. Seketika itu juga, Kanuraga terlompat bangkit, tak
peduli dengan rasa sakit pada sekujur tubuhnya Dengan
senjata di tangan, Kanuraga mengawasi sekitar tempat itu.
"Aaah...!"
Bagai tersengat kalajengking, Kanuraga melompat ke
belakang. Wajahnya pucat pasi! Sepasang matanya terbelalak
lebar, seperti hendak terlompat dari rongganya. Keringat
dingin merembes keluar, membasahi selebar wajahnya. Ia
berdiri gemetar, memandang tiga buah benda bulat di
depannya. Benda itu adalah... tiga buah tengkorak kepala
manusia berwarna hitam!
Tanpa pikir panjang lagi, Kanuraga langsung
membalikkan tubuh, lari sekencang-kencangnya meninggalkan
tempat itu. Rasa lelah dan sakit pada sekujur tubuhnya tak lagi
terasa. Yang ada dalam pikirannya adalah lari secepat-cepatnya
dan sejauh-jauhnya dari tempat itu. Apalagi dari belakangnya

lapat-lapat terdengar suara gelak tawa yang mendirikan bulu
roma! Kanuraga semakin kalap dan mempercepat larinya. Tak
peduli meski napasnya terasa hampir putus!.
"Aaa...!"
Kanuraga memekik kaget ketika kaki kanannya terasa
menginjak benda lunak, yang membuat tubuhnya seketika
tersentak, terbang meluncur di udara. Kejadian itu terlalu
mendadak dan sama sekali tak terduga. Sehingga, Kanuraga
tak sempat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dia terbanting
jatuh ke dalam semak-semak di tepi jalan.
"Kadal busuk! Sapi bunting! Monyet buta!" Makian itu
meluncur dari mulut seorang kakek, yang seperti telah
menghafalnya dengan baik. Seraya bergegas bangkit sambil
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang disertai serangkaian
sumpah-serapahnya bagai tak berkesudahan. Sejenak sepasang
matanya menyapu ke sekitar itu. Laki diayunkan langkahnya
mendatangi Kanuraga, yang saat itu baru saja ke luar dari
dalam semak-semak.
Melihat ada seorang kakek cebol melangkah ke arahnya,
Kanuraga langsung saja menghunus senjata. Dan, dengan
menggertakkan giginya, dia bergerak maju menyambut
kedatangan kakek cebol itu.
"Hm..., rupanya tua bangka cebol inilah yang menakut-
nakuti aku! Awas, akan kuhajar dia sampai menyembah-
nyembah minta ampun...!" geram Kanuraga dalam hati sambil
terus melangkah maju.
"Jadi kau yang tadi menginjakku, ya? Apa matamu sudah
buta, tidak melihat ada orang sedang tidur? Atau kau memang
sengaja ingin membunuhku?" Tanpa menghentikan
langkahnya, kakek cebol itu memaki sambil menunjuk-nunjuk
wajah Kanuraga dengan ujung tongkatnya, yang diangkat
tinggi-tinggi. Sebab, tubuh kakek ini cuma setinggi pinggang
Kanuraga.
"Hmh, kau tidak perlu bersandiwara lagi, Tua Bangka
Cebol!" dengus Kanuraga setelah menghentikan langkahnya

dalam jarak satu tombak dari kakek cebol yang masih saja
bergerak mendekatinya.
"Kalau saja aku tahu bahwa cuma tua bangka sepertimu
yang mereka utus untuk menyiksa dan membunuhku, tentu
aku tidak perlu lari-lari seperti kemarin!"
"Kadal busuk! Kurang ajar kau, Muda Bangka! Sudah
menginjak tubuh orang seenak perut, eh, malah menuduhku
yang bukan-bukan! Kau memang perlu diberi pelajaran!"
Bukkk!
Kanuraga menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental akibat
hantaman tongkat kakek cebol itu, yang tahu-tahu saja sudah
mendarat di tubuhnya Kaget bukan kepalang hati Kanuraga
karena tidak melihat kapan kakek cebol itu menggerakkan
tongkatnya Selain itu, jarak mereka pun masih terpisah satu
tombak. Benar-benar tidak bisa ia mengerti, bagaimana kakek
cebol itu dapat memukulnya.
"Perkumpulan Tengkorak Hitam dikepalai tokoh-tokoh
mengerikan yang perangai serta kepandaiannya melebihi iblis-
iblis neraka!"
Perkataan gurunya kembali terngiang di telinga Kanuraga,
membuat wajahnya pucat pasi! Gambaran-gambaran
kekejaman serta keganasan orang-orang Perkumpulan
Tengkorak Hitam, kembali bermain-main di benaknya.
Sehingga, keberanian yang baru diperolehnya lenyap, berganti
dengan rasa takut yang hebat. Terlebih ketika teringat
perbuatan kakek cebol itu, yang entah dengan cara bagaimana
telah memukul tubuhnya
"Ilmu setan...!" desis Kanuraga dengan suara bergetar
perlahan.
"Apa?!" Kakek cebol itu melotot marah. "Kau bilang aku
setan? Dasar anak ingusan kurang ajar! Rupanya kau masih
juga belum kapok, hah?"
Bukkk!
Lagi-lagi tubuh Kanuraga terpelanting, kena hantaman
tongkat kakek cebol itu. Kali ini bahkan jauh lebih keras,

membuat Kanuraga merasa pinggangnya bagaikan patah!
Sambil merintih kesakitan ia menggeliat bangkit dan memijat-
mijat pinggangnya yang terasa panas dan sakit bukan main.
"Heh heh heh...! Itu baru permulaan, Muda Bangka!"
Kakek cebol itu terkekeh memperlihatkan mulutnya yang
sudah tak bergigi. Lalu, kembali mengayun langkah
menghampiri Kanuraga sambil memanggul tongkatnya di atas
bahu.
Kali ini Kanuraga benar-benar takut bukan kepalang. Dan,
puncak dari rasa takut itu membuat dirinya bertindak nekat.
Karena ia sadar, melawan atau tidak, pada akhirnya kakek
cebol itu pasti akan membunuhnya juga. Dan, daripada mati
setelah mengalami siksaan-siksaan yang mengerikan, Kanuraga
memilih mati dalam bertarung semampunya.
"Majulah kau, Iblis Tengkorak Hitam! Tongkat bututmu
itu tidak akan bisa membunuhku sampai kapan pun! Justru
tubuhmulah yang akan kucincang sampai hancur dengan
pedangku ini!" Kanuraga berteriak-teriak keras seperti orang
gila. Ia sengaja memancing agar kakek cebol itu marah dan
langsung membunuhnya dengan sekali pukul.
"Sapi bunting! Kadal tengik! Kau benar-benar gendeng,
Bocah! Tadi kau maki aku sebagai setan, lalu sekarang
tengkorak! Dan entah makian apa lagi di kepalamu yang
kudisan itu? Tapi, jangan harap aku akan membunuhmu! Aku
akan menyiksamu sampai kau menjerit-jerit minta ampun! He
he heh... ya, aku, Iblis Tengkorak Hitam akan memberimu
pelajaran, agar lain kali lebih bisa menghargai dan tahu
bagaimana harus bersikap terhadap orang tua!"
Berdebar dada Kanuraga demi mendengar ucapan kakek
cebol itu. Diam-diam ia mengeluh, karena tantangannya tadi
ternyata tidak berhasil memancing kemarahan kakek cebol itu,
yang malah sepertinya telah dapat mengetahui jalan
pikirannya.
"Iblisss...! Haaat..!"

Deraan rasa ngeri membuat Kanuraga putus asa dan
nekat. Maka, diterjangnya kakek cebol itu dengan pedang di
tangannya. Karena, ia tidak bisa berpikir lagi untuk memilih
jurus-jurus andalannya. Yang ada dalam pikirannya saat itu
hanyalah menerjang dengan membabi buta dan ganas agar
kakek cebol itu lupa diri, lalu memukulnya hingga tewas.
Plak! Plak!
Dug!
Namun, sambil terkekeh memperlihatkan mulutnya yang
tanpa gigi, si Kakek Cebol menggerakkan tongkat secara
sembarangan. Meskipun demikian, serangan pedang Kanuraga
dapat dipatahkannya dengan baik. Bahkan sempat pula
menghadiahi satu hantaman keras di pangkal lengan kanan
Kanuraga, membuat pedang di tangan lelaki gagah itu
terpental lepas dari genggaman. Sedang tubuh Kanuraga
sendiri terlempar, lalu jatuh terguling-guling sejauh dua
tombak lebih.
Kanuraga menyeringai menahan sakit. Hantaman tongkat
kakek cebol itu telah membuat lengan kanannya lumpuh tak
bisa digerakkan lagi. Bergegas ia merangkak bangkit. Sepasang
matanya mendadak meliar ketika ia melihat kakek cebol itu
masih tertawa-tawa dengan kepala menengadah. Jarak di
antara mereka cukup jauh, kurang lebih tiga tombak. Maka,
tanpa pikir panjang, Kanuraga langsung memutar tubuhnya,
lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.
"Heh heh heh.... Husya... husya...! Pegang! Pegang!" Kakek
cebol itu tidak berusaha mengejar. Bahkan tertawa dan
berteriak-teriak menakut-nakuti Kanuraga, yang lintang-
pukang tanpa memikirkan arah.
* * *
Kanuraga menghempaskan tubuh lelahnya ke tanah,
bersandar pada sebuah batu besar di kaki sebuah bukit. Hal itu
dilakukannya setelah berlari cukup jauh, dan merasa yakin

kalau kakek cebol tidak mengejarnya. Di depan dan kiri-
kanannya terhampar padang rumput yang cukup luas. Dan,
sejauh mata memandang tak tampak sepotong pun manusia.
Kenyataan itu membuat hatinya sedikit lega. Dipejamkan
matanya sesaat disertai tarikan napas panjang guna
memperlambat detak jantungnya.
"Tidak ada jalan lain. Aku harus meminta pertolongan
dari sahabat-sahabatku. Mudah-mudahan mereka bersedia
membantuku...," desah Kanuraga yang merasa putus asa dan
tak tahu lagi harus bagaimana untuk menghindari orang-orang
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Semula terlintas juga pikiran untuk menemui sang Guru
guna menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu.
Namun niat itu terpaksa diurungkan, mengingat keadaan
gurunya yang selain cacat, juga sudah terlalu tua. Tidak!
Bantah Kanuraga. Ia tidak akan melibatkan gurunya dalam
masalah ini. Gurunya sudah cukup menderita akibat
perlakuan-perlakuan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Kanuraga tidak ingin keadaan gurunya menjadi lebih
parah lagi. Apalagi dirinya saat itu selalu dihantui rasa takut
terhadap tokoh-tokoh perkumpulan itu. Baru kakek cebol itu
saja, ia sudah dibuat tidak berdaya. Padahal menurut
pikirannya, kakek cebol itu pasti tidak sendirian. Kanuraga
yakin akan hal itu. Karena suara gelak tawa yang lapat-lapat
didengarnya, sewaktu melarikan diri dari tiga buah tengkorak
kepala manusia yang merupakan peringatan pertama untuknya
tadi, paling sedikit keluar dari mulut tiga orang. Dan, ia yakin
pendengarannya masih cukup baik.
Tiba-tiba perutnya berkeruyuk keras, dan terasa sakit
seperti diremas-remas. Karena sejak kemarin pagi ia memang
belum makan apa-apa.
"Dasar perut tidak tahu diri!" Kanuraga memaki jengkel
sambil menekan perutnya Tapi, rasa lapar itu justru semakin
kuat, membuatnya merasa tersiksa. Kanuraga kembali
mengutuk. Lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan
tangannya. "Nah, kau makanlah batu ini!" desisnya sambil
menyelipkan batu itu ke dalam lipatan sabuknya di bagian
depan. Rasa lapar itu baru agak sedikit berkurang setelah
perutnya diganjal dengan batu.
Beberapa saat kemudian, Kanuraga bergerak bangkit
sambil tetap mengawasi sekitar untuk mengenali daerah itu.
Lalu memutar tubuh memperhatikan bukit yang berdiri
menjulang di belakangnya. Diamatinya bukit itu sampai
beberapa saat lamanya
"Hra..., kalau tidak salah, ini Bukit Tinjil...," gumam
Kanuraga, yang kemudian kembali memutar tubuhnya,
melemparkan pandangan ke arah selatan. "Seingatku ada
beberapa orang sahabatku yang tinggalnya tak jauh dari bulat
ini," lanjutnya sambil mengangguk-anggukkan kepala beberapa
kali. Setelah memastikan arah yang bakal ditempuh, Kanuraga
memperhatikan sekelilingnya sejenak dengan wajah cemas.
Rasa lega membayang di wajahnya ketika tak terlihat adanya
tanda-tanda yang mencurigakan.
Sesaat kemudian, Kanuraga melesat meninggalkan tempat
itu. Dia berlari dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Sepanjang perjalanan, berkali-kali ia berpaling ke belakang
dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau para tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam akan membayanginya. Agak
heran juga Kanuraga ketika tidak ada perasaan takut dan was-
was yang mengganggunya saat itu. Padahal perasaan itu terus
menghantuinya sejak ia meninggalkan mayat dua orang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam yang dibunuhnya kemarin.
"Mungkinkah mereka telah kehilangan jejakku? Mengapa
sekarang aku tidak merasakan keberadaan mereka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu bergema di hatinya sambil terus
berlari. Kanuraga semakin jauh meninggalkan Bukit Tinjil,
yang masih tetap berdiri diam tak peduli dengan apa yang
dialami anak manusia itu.
* * *

TIGA

Kanuraga berdiri termangu di depan sebuah bangunan
besar dan kokoh, yang dikelilingi tembok batu setinggi satu
tombak. Hatinya merasa ragu untuk memasuki bangunan itu.
Meskipun dia tahu pasti rumah besar itu dihuni sepasang
suami istri yang merupakan sahabat-sahabatnya. Keraguan
terus menggayut di hatinya, karena beberapa tempat yang
didatangi semua menolak kehadirannya. Jangankan untuk
minta pertolongan, melihat kedatangannya saja sudah
membuat sahabat-sahabatnya itu hampir mati ketakutan.
Bahkan mereka langsung berkemas untuk meninggalkan
rumahnya. Sedang yang memiliki perguruan, langsung
membubarkan murid-murid, menutup rumah perguruannya,
lalu pergi mengungsi. Sikap sahabat-sahabatnya itu, membuat
Kanuraga sangat terpukul. Dirinya sekarang merasa tak
ubahnya dengan wabah penyakit, yang membuat semua
sahabat menjauhinya, takut tertular. Itulah sebabnya, mengapa
kali ini Kanuraga merasa ragu untuk masuk menemui suami
istri sahabatnya itu. Padahal ini merupakan tempat terakhir
yang , didatanginya di daerah itu.
"Haruskah aku mengusik ketenangan dan kebahagiaan
mereka..?" gumam Kanuraga sambil menghela napas berat,
seolah hendak membuang semua tekanan yang menghimpit
batinnya. Mata sayunya memandangi pintu gerbang yang
masih tertutup rapat itu. Cukup lama ia berdiri seperti patung.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Sampai
akhirnya ia mengambil sebuah keputusan.
Dengan langkah gontai, Kanuraga menghampiri pintu
gerbang. Setelah berdiri termangu beberapa saat dia mengetuk
pintu itu. Berkali-kali diketuknya, lalu berdiri menunggu.
Setelah cukup lama menunggu tapi tak juga ada tanda-tanda
pintu gerbang itu akan dibuka, Kanuraga kembali mengetuk.

Kali ini jauh lebih keras, membuat pintu gerbang itu bergoyang
dan berderit terbuka. Rupanya pintu itu memang tidak
terkunci. Kendati agak ragu, didorongnya pintu itu perlahan.
Namun baru saja terbuka separuh, sesosok tubuh melayang
dari atas, menuju ke arahnya. Secepat kilat Kanuraga
menghantamkan telapak tangannya ke sosok tubuh itu.
Dieg!
Sosok tubuh itu terpental deras akibat pukulan telak
Kanuraga. Namun bukan main kaget hati lelaki gagah itu
ketika orang yang dipukul itu kembali melayang ke arahnya,
padahal belum sampai jatuh te tanah. Bergegas Kanuraga
menarik mundur tubuh ke belakang dengan tangan sudah
dikepal kuat-kuat, siap melancarkan pukulan maut.
"Eh?!"
Kanuraga tersentak kaget. Wajahnya tampak tegang
dengan kening berkerut. Sesuatu yang hangat dan basah terasa
di telapak tangannya sewaktu ia mengepal Dan..., betapa
terkejutnya Kanuraga ketika ia membuka telapak tangan,
tampak cairan merah di selebar telapak tangannya. Darah!
Masih dengan kepala dipenuhi berbagai pertanyaan,
Kanuraga menoleh ke arah tubuh yang tengah melayang itu.
Dan, baru ia sadar ketika sosok tubuh itu terayun-ayun dengan
seutas tali yang melibat lehernya, dan diikatkan ke kayu palang
di atas pintu gerbang. Kanuraga menahan tubuh itu hingga
terhenti.
"Orang ini belum lama tewas. Entah siapa yang telah
sedemikian kejam menggantung mayatnya seperti ini?" gumam
Kanuraga ketika melihat adanya tetesan darah berjatuhan ke
tanah mengalir dari luka tusukan senjata tajam di dada orang
itu. Dari luka itulah darah di telapak tangan Kanuraga berasal.
Dan, Kanuraga baru dapat mengira-ngira bahwa mayat itu
sengaja digunakan untuk menyambut kedatangannya. Pemuda
itu mengetahuinya setelah memeriksa tali pengikat leher mayat
yang dihubungkan ke pintu gerbang. Mayat itu akan jatuh dan
menimpa siapa saja yang hendak masuk lewat pintu gerbang.

"Mungkinkah mereka yang melakukannya...?" Kanuraga
teringat akan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Dugaan itu membuat wajahnya memucat. Dia cepat bergerak
masuk karena teringat akan suami-istri sahabatnya. Hatinya
semakin gelisah ketika di pekarangan sebelah dalam bangunan
itu, didapatinya enam sosok lainnya bergeletakan telah menjadi
mayat!
"Prajayasa...!" sambil berteriak-teriak memanggil nama
sahabatnya, Kanuraga melompat masuk ke dalam bangunan.
Langkahnya mendadak terhenti di sebuah ruangan. Sepasang
matanya terbelalak lebar, menyaksikan pemandangan yang
membuat ia terpaku dengan tubuh gemetar.
"Ya, Tuhan...!"
Dengan langkah berat dan gontai, Kanuraga menghampiri
dua sosok mayat yang terkapar di lantai, bersimbah darah yang
masih basah.
"Akukah yang menjadi penyebab semua ini...?" desis
Kanuraga sambil bersimpuh memeriksa mayat Prajayasa dan
istrinya. Sepasang suami-istri itu tewas dengan kepala pecah.
Kanuraga menarik napas panjang dengan kedua mata
terpejam. Kepalanya menggeleng perlahan seperti hendak
membantah dugaannya sendiri.
Beberapa saat kemudian, Kanuraga bergerak bangkit
dengan sekujur tubuh terasa lemas. Ketika berdiri,
pandangannya membentur coretan-coretan di dinding yang
ditulis dengan darah.
Malaikat maut akan selalu membayangimu!
Kau akan segera menyusul mereka!
Di bagian bawah dua baris kalimat itu tertera lambang
Perkumpulan Tengkorak Hitam. Keringat dingin kembali
membanjir keluar, membasahi wajah dan tubuh Kanuraga.
Terdengar keluhan penyesalannya, karena merasa dialah yang
menyebabkan kematian sepasang suami-istri sahabatnya.

"Mengapa tidak aku saja yang kalian bunuuuh...! Hei,
Iblis-Iblis Tengkorak Hitam! Tangkaplah aku, mereka tidak
tahu apa-apa! Akulah musuh kalian! Hayo, tunjukkanlah
wajah-wajah iblis kalian...!"
Kanuraga berteriak-teriak kesetanan, seperti orang gila.
Menantang, memaki, dan menyumpah-nyumpah dengan suara
yang semakin parau, karena teriakan itu dikeluarkan dengan
sekuat tenaga. Sampai akhirnya ia terduduk lemas, lalu
menangis tanpa suara ataupun air mata. Dengan kedua telapak
tangan dia mengusap wajah sambil menyibakkan rambutnya
yang panjang. Tubuhnya berguncang-guncang menahan
luapan berbagai perasaan yang menyiksa. Marah, sedih,
dendam, ngeri, dan juga rasa takut yang tak terkira.
"Hm...!"
Bagai mendengar ledakan halilintar, Kanuraga terjingkat
kaget, sampai terpelanting jatuh! Matanya membelalak lebar,
memandang tiga sosok rubuh yang tahu-tahu telah berada di
ruangan itu.
"Siapa kalian...? Apa yang kalian cari di tempat ini..?"
Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut
Kanuraga. Kemunculan ketiga sosok tubuh yang begitu tiba-
tiba, tanpa diketahui kapan dan dari mana datangnya itu,
membuatnya gugup. Otaknya serasa beku dan tidak bisa diajak
berpikir.
"Bukankah kau yang menyuruh kami datang?" Salah satu
dari ketiga sosok tubuh itu menyahuti sambil menatap
Kanuraga dengan sorot mata bengis. Suaranya berat dan
dalam, bergema memenuhi ruangan itu
"Kalian... kalian...!"
"Benar!" Sosok kedua langsung memotong. Suaranya tidak
berbeda dengan yang pertama. Sorot matanya yang dingin,
membuat tubuh Kanuraga seketika menggigil.
"Rupanya kau sudah tidak sabar untuk menerima
ganjaran atas perbuatanmu yang telah menewaskan dua orang
anggota kami itu!" Sosok ketiga menimpali. Suaranya tenang

dan datar, tanpa tekanan sama sekali Bibirnya
menyunggingkan senyuman yang aneh.
Namun, justru sikap sosok ketiga itulah yang membuat
Kanuraga merasa ngeri. Karena, semakin tenang dan dingin
sikap yang ditunjukkan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam, semakin ganas dan kejam tindakannya. Itu merupakan
ciri mereka, yang didengar Kanuraga dari gurunya
"Haaa..!"
Cengkaraman rasa ngeri dan takut yang kian memuncak,
membuat Kanuraga menjadi kalap. Bagai orang gila,
diterjangnya ketiga sosok tubuh itu dengan nekat. Pedang di
tangannya berkelebatan ke sana kemari tak beraturan.
Pengaruh menggiriskan yang ditimbulkan ketiga sosok itu,
membuat Kanuraga tidak bisa berpikir dengan baik. Sehingga
meskipun ia menyerang dengan sekuat tenaga, gerakannya
sangat kacau dan tak tentu arah.
Wrettt!
Blukkk!
Dengan kecepatan luar biasa sosok ketiga bergerak
menyelinap di antara kelebatan pedang Kanuraga. Lalu
mengirimkan sebuah hantaman telak, yang membuat Kanuraga
terlempar deras membentur dinding tembok di belakangnya.
Meskipun dadanya dirasakan sesak dan tulang-tulang
tubuhnya seperti remuk, Kanuraga berusaha bangkit. Akan
tetapi sebelum ia sempat berdiri tegak, tahu-tahu saja jemari
tangan lawan telah mencengkeram kedua pergelangan kakinya.
Kanuraga berteriak-teriak sewaktu merasa tubuhnya terangkat
dan diputar seperti baling-baling. Lalu terhempas kembali ke
dinding
Kanuraga mengerang dengan menyeringai menahan sakit
Pandangannya terasa berputar sewaktu ia mencoba untuk
bangkit dan berdiri. Digelengkan kepalanya beberapa kali guna
memperbaiki pandangannya. Samar-samar, dilihatnya ketiga
tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam telah berdiri berjajar di
hadapannya

'Terimalah ganjaran pertama kami...!"
Belum lagi gema suara tenang dan datar itu lenyap,
Kanuraga merasa sekujur tubuhnya mendadak lemas. Totokan
kilat yang dilancarkan tokoh ketiga itu, membuat tubuhnya
melorot ke lantai. Kanuraga menjerit ketika jari-jari tangan
sekuat japitan baja itu mencengkram pergelangan kakinya.
Lalu, dengan menggunakan jari-jari tangan kanannya, lelaki
berwajah dingin itu mencabut kuku-kuku jari kaki kanan
Kanuraga. Karuan saja pemuda gagah itu meraung dan
melolong setinggi langit. Air matanya mengucur deras
merasakan penderitaan yang seumur hidup tidak pernah
terbayangkan itu.
Setelah melepaskan totokannya, tokoh ketiga itu bergegas
bangkit. Terdengar tawa iblis mereka, yang tampaknya sangat
puas melihat tubuh Kanuraga bergulingan dan berkelojotan
bagai ayam disembelih. Darah segar mengalir dari jari-jari kaki
kanannya.
Tiba-tiba ketiga tokoh iblis itu menghentikan gelak
tawanya. Mereka bertukar pandang sesaat, lalu serentak
berpaling ke arah pintu. Telinga mereka mendadak menangkap
adanya suara langkah kaki mendatangi ruangan itu.
Tidak lama kemudian, yang dinanti pun datang. Seorang
pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian
serba hijau menyeruak masuk ke ruangan itu. Sepasang orang
muda itu tampak terkejut demi menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Mereka menyapu sekeliling ruangan sampai
akhirnya terhenti ketika membentur tiga sosok tubuh yang
berdiri tegak dengan wajah bengis dan sorot mata dingin.
"Pergilah, jangan campuri urusan kami...!" Salah satu dari
ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam memperingatkan.
Sejenak pasangan muda itu tampak meragu. Keduanya
bertukar pandang sebentar, lalu kembali berpaling menatap
wajah-wajah bengis itu
"Kami datang karena mendengar suara jeritan orang yang
kesakitan." Pemuda tampan berjubah putih berkata sambil

memandang Kanuraga, yang tengah duduk bersandar pada
dinding sambil memijat-mijat kaki kanannya.
"Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Dan mengapa kalian
sampai berlaku sedemikian kejam membunuhi penghuni
ruangan ini? Kesalahan apa yang telah mereka perbuat?"
"Anak Muda," ujar tokoh kedua. Suaranya dalam dan
berat. "Apakah kau masih sayang dengan nyawamu, juga
bidadari jelitamu itu?"
"Bagaimana dengan kalian...?" Pemuda tampan berjubah
putih itu balik bertanya, karena merasa pertanyaannya sendiri
tidak mereka pedulikan. Selain itu, tampaknya dia sudah dapat
membaca gelagat Dia merasa yakin bahwa ketiga lelaki, yang
usianya ditaksir rata-rata empat puluh tahunan itu, bukanlah
orang baik-baik Maka pemuda berambut panjang yang ternyata
Panji itu tak segan-segan untuk mengambil sikap.
"Kau mencari penyakit, Anak Muda!" tukas tokoh ketiga
datar sambil mengayun langkahnya menghampiri Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung melayangkan
sebuah tamparan ke mulut Panji.
Plak!
Tokoh ketiga itu tak bisa menyembunyikan kekagetannya,
sewaktu tangkisan Panji membuatnya terjajar tiga langkah!
Kenyataan itu membuat wajahnya tampak memerah. Sorot
matanya yang dingin berubah berkilat, menandakan kalau
kemarahannya mulai terbangkit. Lalu, dengan sebuah bentakan
keras, tubuhnya kembali melesat dengan serangan-serangan
yang ganas dan mematikan! Namun, serangan itu sama sekali
tidak membawa hasil. Panji yang menggunakan kelincahan
tubuhnya, selalu dapat menghindar dan mematahkan dengan
tangisan. Bahkan setelah lewat dari lima jurus, Panji mulai
melepaskan serangan-serangan balasannya.
"Hei...!?"
Lelaki berwajah dingin itu terpekik ketika merasakan
sambaran angin dingin yang sangat kuat mengiringi serangan
balasan Panji. Cepat ia melompat mundur dengan wajah
berubah tegang.
"Anak Muda, kaukah yang berjuluk Pendekar Naga
Putih?" tanyanya sambil meneliti sosok Panji.
"Benar," jawab Panji singkat dan tanpa tekanan.
"Hm..., kau telah melibatkan dirimu dalam sebuah
persoalan besar, Pendekar Naga Putih!" Lelaki berwajah dingin
itu mendengus. Lalu memberikan isyarat dengan gerakan
tangan kepada kedua kawannya, yang langsung saja
berlompatan maju.
Melihat ketiga orang berpakaian serba hitam itu
bermaksud mengeroyok Panji, Kenanga langsung melompat
maju dan berdiri di samping kekasihnya
"Hm...!" Lagi-lagi si Lelaki berwajah dingin mendengus.
Tampaknya ia agak ragu ketika melihat Kenanga ikut maju.
Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, seolah hendak
minta pendapat masing-masing.
"Kami akan memberi waktu kepadamu untuk berpikir,
Pendekar Naga Putih. Satu hal yang perlu kau ingat, bahwa
mulai saat ini kau telah berurusan dengan orang-orang
Tengkorak Hitam!" Setelah berkata demikian, lelaki berwajah
dingin itu berkelebat pergi diikuti kedua lawannya.
"Hei, tunggu...!"
Panji melompat untuk mencegah kepergian ketiga orang
itu. Namun terpaksa dibatalkan niatnya dan kembali melompat
mundur. Sebab, salah seorang dari ketiga tokoh Perkumpulan
Tengkorak Hitam itu telah melemparkan sebuah benda yang
menimbulkan gumpalan asap tebal berwarna putih. Dan, ketika
gumpalan asap putih itu pudar, ketiga orang itu telah lenyap
dari situ.
"Perkumpulan Tengkorak Hitam...?!"
Pendekar Naga Putih termenung sambil bergumam
mengulang nama perkumpulan sesat itu. Lalu, menoleh kepada
Kenanga, karena ia belum pemah mendengar tentang nama
perkumpulan itu. Namun Kenanga cuma mengangkat bahu.

"Eh, ke mana perginya lelaki yang tadi bersandar di
dinding itu...?" Ketika pandangannya membentur dinding di
depannya, Kenanga baru teringat dengan pemuda yang tadi
dilihatnya duduk bersandar di dinding
"Hm..., mungkin ia telah pergi sewaktu aku berkelahi...,"
duga Panji yang jadi tak begitu peduli dengan Kanuraga,
karena tadi masih sibuk memikirkan Perkumpulan Tengkorak
Hitam.
Dugaan Panji memang tidak keliru. Ketika melihat
perhatian ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam
terpusat kepada pasangan muda yang menerobos masuk ke
dalam ruangan itu, Kanuraga menyeret tubuhnya sedikit demi
sedikit. Dan, sewaktu pertarungan antara Panji dengan salah
seorang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam berlangsung,
Kanuraga bergegas menyelinap keluar dari ruangan itu. Tak
seorang pun yang menyadarinya. Karena saat itu perhatian
Kenanga maupun dua orang tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam lainnya tengah terpusat ke arena perkelahian.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya
Kenanga, menyadarkan Panji dari lamunannya.
Setelah terdiam sesaat, Panji mengajak Kenanga untuk
segera mengurus mayat-mayat yang berada di tempat itu.
Kemudian mengutarakan keinginannya untuk menyelidiki
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
* * *
Pendekar Naga Putih dan Kenanga sama menahan
langkah ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri
menghadang perjalanan mereka. Saat itu mereka tengah
melintasi sebuah hutan. Merasa curiga melihat sikap sosok
tubuh yang berdiri membelakangi mereka itu, keduanya
menjadi waspada. Lalu, dengan langkah perlahan keduanya
bergerak maju.

"Kalau kalian bermaksud untuk menyelidiki Perkumpulan
Tengkorak Hitam, sebaiknya batalkan saja niat itu!"
Terdengar suara bernada aneh dan sengau. Panji dan
Kenanga sama-sama menunda langkah, lalu saling bertukar
pandang sejenak. Mata keduanya terus menatap sosok tubuh
yang membelakangi mereka.
"Mengapa?" tanya Panji penasaran.
"Jangan banyak tanya! Turuti saja perintahku! Atau kalian
akan menyesal seumur hidup!"
Kali ini sosok berperawakan tinggi besar, yang
menggenggam sebuah tombak bulan sabit itu terdengar aneh
dan sengau. Rupanya orang itu mengenakan sebuah topeng
berwarna merah darah. Topeng itu mengingatkan Panji akan
cerita-cerita rakyat tentang wajah-wajah raksasa, bengis dan
menyeramkan. "Jika kami menolak...."
Baru saja ucapan Panji selesai, tahu-tahu sosok tubuh yang
mengenakan topeng raksasa itu menerjangnya dengan cepat
dan ganas.
Whuuuk...!
Panji menggeser langkahnya dan membungkuk
menghindari sambaran tongkat bulan sabit itu. Terus
berlompatan ke belakang karena serangan itu masih terus
berkelanjutan. Agak kewalahan juga Panji menghindari
serangan cepat dan ganas itu. Sepertinya tidak memberikan
kesempatan baginya untuk membalas.
Bug!
Pada jurus ketiga, ketika baru saja Panji melompat ke
samping menghindari tusukan tembak bulan sabit itu, sebuah
tendangan kilat singgah di punggungnya. Tubuh Panji
terlempar jatuh bergulingan di tanah berumput.
"Haiiit...!"
Ketika lelaki bertopeng raksasa itu hendak menyusuli
serangannya, Kenanga membentak keras sambil melompat dan
membabatkan pedangnya. Lelaki itu bergegas mengangkat
tombak bulan sabitnya, menapaki sambaran pedang Kenanga.

Trang!
Kaget bukan kepalang hati Kenanga ketika tangkisan itu
membuat tubuhnya terpental balik. Jemari tangannya terasa
sakit bukan main, seperti patah dan nyaris tak kuat
mempertahankan pedangnya.
Lelaki bertopeng raksasa tampak ragu untuk melanjutkan
serangannya, la berdiri termangu dengan kepala terangguk-
angguk.
"Ini sebagai peringatan pertama!" desisnya sebelum
berkelebat pergi meninggalkan tempat itu Sebentar saja
sosoknya telah lenyap ditelan kelebatan pohon.
Tak berapa lama setelah kepergian lelaki bertopeng
raksasa itu, Panji dan Kenanga mendengar suara orang
bernyanyi yang diselingi ketukan di tanah. Sejenak keduanya
saling berpandangan.
* * *

EMPAT

"Kakek Peramal Sinting...!?"
Panji dan Kenanga sama mengucapkan nama julukan itu.
Meskipun saat itu keduanya belum melihat, tapi dari suara dan
ketukan pada tanah, mereka sudah dapat menebak, siapa
adanya orang itu.
"Kakek Peramal Sintingkah yang menyebabkan orang itu
pergi...?" gumam Panji teringat akan tokoh bertopeng raksasa
yang tiba-tiba saja memutuskan untuk pergi.
"Rasanya memang demikian, Kakang," sahut Kenanga
yang mempunyai pikiran serupa dengan kekasihnya.
Pikiran Panji dan Kenanga memang tidak meleset. Tak
berapa lama kemudian, muncullah seorang kakek cebol
menghampiri mereka sambil terkekeh-kekeh, memperlihatkan
giginya yang nyaris tak bergigi lagi. Melihat kakek cebol itu,
Panji dan Kenanga bergegas menyambutnya.
"Hm..., rasanya aku seperti mencium adanya bau salah
satu tokoh puncak Perkumpulan Tengkorak Hitam? Benarkah
ia baru saja berlalu dari sini? Apakah kalian bentrok dengan
perkumpulan itu? Bagaimana hal itu sampai bisa terjadi?"
Panji dan Kenanga tak bisa menahan senyumnya ketika
mendengar serentetan pertanyaan Kakek Peramal Sinting.
Secara singkat, Panji menjelaskan pengalamannya, juga niatnya
untuk menyelidiki perkumpulan sesat itu, sampai berjumpa
dengan seorang lelaki bertopeng merah dan
memperingatkannya dengan keras.
"Mungkin karena mendengar nyanyian Kakek, maka ia
buru-buru pergi meninggalkan kami. Tampaknya lelaki
bertopeng raksasa itu merasa gentar terhadap Kakek," ujar
Panji mengakhiri ceritanya.
"Bukan... bukan. Kalian salah menduga kalau begitu."
Kakek Peramal Sinting menggoyang-goyangkan telapak

tangannya sambil menggelengkan kepala. "Dugaanmu
menunjukkan bahwa kalian sama sekali belum mengenal apa
itu Perkumpulan Tengkorak Hitam dan bagaimana sifat yang
dimiliki tokoh-tokohnya!"
Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah
heran. Karena mereka merasakan adanya nada segan dalam
kata-kata Kakek Peramal Sinting. Seolah kakek itu merasa
gentar terhadap Perkumpulan Tengkorak Hitam.
"Kelihatannya Kakek merasa segan berurusan dengan
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu, benarkah dugaan kami?!"
Kenanga tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Haihhh... kalian tidak tahu... kalian tidak tahu...!"' Kakek
Peramal Sinting mengibaskan tangannya disertai helaan napas
berat. Lalu melangkah dan menghempaskan pantatnya, duduk
di atas rumput di bawah sebatang pohon berdaun lebat.
"Apa maksud Kakek? Tolong jelaskan kepada kami!
Karena kami memang sama sekali belum mengetahui tentang
perkumpulan itu?" desak Panji yang segera mengikuti Kakek
Peramal Sinting dan duduk di sebelahnya.
Kenanga, yang juga merasa penasaran dengan sikap kakek
cebol itu, ikut duduk di sebelah kanannya. Diam-diam dada
pasangan pendekar muda itu jadi berdebar juga. Meskipun
belum mengetahui secara jelas, tapi mereka maklum akan
ketinggian ilmu Kakek Peramal Sinting. Bahkan Panji sendiri
merasa ragu akan dapat menandingi kepandaian kakek cebol
itu. Dan, kalau sekarang Kakek Peramal Sinting sampai
menunjukkan rasa segannya terhadap Perkumpulan Tengkorak
Hitam, sukar mereka membayangkan, seperti apa hebatnya
kesaktian tokoh-tokoh perkumpulan itu?
"Sebenarnya aku malu untuk menceritakan hal ini kepada
kalian," desah Kakek Peramal Sinting sambil menghela napas
berat.
"Tapi, agar kalian tidak merasa penasaran, baiklah akan
kuceritakan peristiwa memalukan yang terjadi sekitar tiga
puluh lima tahun silam itu..."

Pendekar Naga Putih dan Kenanga kembali saling
bertukar pandang sejenak. Lalu mendengarkan dengan penuh
perhatian sewaktu Kakek Peramal Sinting memulai kisahnya.
"Waktu itu aku berusia sekitar empat puluh tahun," Kakek
Peramal Sinting membuka lembaran masa mudanya, yang
selama ini menjadi rahasia baginya.
"Pada masa itu ada sepasang suami istri golongan sesat
yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Mereka kuanggap
kurang waras, karena memiliki sifat sangat kejam dan jahat!
Mereka gemar melakukan kejahatan, meski tanpa alasan yang
jelas. Bahkan tidak jarang mereka menyiksa dan membunuh
walau tanpa alasan sedikit pun! Tindakan mereka yang tidak
berperikemanusiaan itu, tentu saja mengundang kemarahan
tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, dengan kepandaiannya
yang luar biasa, sepasang suami istri itu dapat merobohkan
setiap penentangnya, yang kemudian disiksa sampai tewas.
Dan sepasang suami istri gila itu semakin merajalela dengan
segala kekejaman dan kebuasannya."
Dengan sabar, Panji dan Kenanga menunggu kelanjutan
kisah Kakek Peramal Sinting, yang tengah menarik napas
beberapa kali.
"Pendekar Naga Putih." Tiba-tiba Kakek Peramal Sinting
menoleh kepada Panji "Kau tentunya kenal dengan Raja Obat,
bukan?"
Meskipun tidak mengerti apa hubungannya pertanyaan
itu dengan cerita yang baru sebagian didengarnya, Panji
mengangguk juga.
"Sudah kuduga...," desah Kakek Peramal Sinting sambil
mengangguk-angguk melepaskan pandangannya menerawang
jauh tanpa batas. Mulutnya tampak mengulas senyum tipis.
"Sudah puluhan tahun aku tidak pernah berjumpa dengannya.
Tapi...," ucapannya terhenti sejenak. Lalu, dipejamkan matanya
dengan kepala tertunduk "Mungkin tidak lama lagi aku akan
berjumpa dengannya...."
"Dengan Eyang Raja Obat...?" tanya Panji menyela.

Kakek Peramal Sinting tersenyum sambil menganggukkan
kepala beberapa kali. Kelihatannya ia sangat gembira
membayangkan akan berjumpa dengan sahabat lamanya itu.
Melihat sikap dan ucapannya, Panji segera dapat menduga
kalau antara Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat terdapat
jalinan persahabatan yang erat di masa lalu.
"Heh heh heh..., dasar pikun, mengapa aku jadi melantur
begini. Sampai di mana ceritaku tadi...?" Kakek Peramal Sinting
tersentak, seperti baru teringat bahwa ia tadi sedang bercerita.
"Kemenangan demi kemenangan telah membuat sepasang
suami istri itu semakin buas dan sombong. Bahkan lalu
mendatangi partai-partai besar dan menghancurkannya. Tapi,
semua itu sepertinya belum membuat mereka puas. Keduanya
ingin mendapat pengakuan sebagai raja diraja bagi seluruh
kaum rimba persilatan. Untuk itu, mereka bermaksud
mengadakan pertemuan dengan mengundang seluruh tokoh
persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam. Meng-
ancam kepada tokoh atau partai yang tidak bersedia hadir.
Tentu saja niat sepasang suami istri gila itu membuat tokoh-
tokoh golongan putih menjadi resah. Dalam pertemuan itu,
juga diadakan panggung terbuka. Siapa saja yang merasa tidak
setuju boleh naik ke panggung untuk bertarung dengan
sepasang suami istri itu. Cukup banyak yang tampil ke atas
panggung meskipun mereka akhirnya roboh dan tewas di
tangan sepasang suami istri durjana itu."
Kakek Peramal Sinting menghela napas sesaat. Ingatan
tentang peristiwa itu membuat wajahnya tampak berselimut
mendung. Kelihatan sekali kalau peristiwa lama itu menggurat
dalam di hatinya.
"Aku datang terlambat, tepat pada saat sepasang suami
istri itu baru akan mengumumkan diri mereka sebagai
penguasa rimba persilatan." Sepasang mata Kakek Peramal
Sinting tampak mencorong tajam ketika ceritanya sampai pada
bagian itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang sebelum
kembali melanjutkan.

"Tapi..., aku hanya sanggup bertahan tidak lebih dari tiga
puluh jurus! Demikian pula dengan Raja Obat, yang rupanya
baru saja tiba di tempat itu, setelah aku dapat dirobohkan dan
dipermalukan di hadapan orang banyak. Celakanya sepasang
suami istri gila itu tidak membunuh kami berdua. Kami berdua
ditendang dari atas panggung, diusir seperti anjing geladak!
Lalu, dengan liciknya, sepasang suami istri itu berkata dengan
lantang, bahwa kami berdua tidak boleh lagi mengganggu
mereka dan menunjukkan diri di kalangan persilatan.
Dikatakannya pula bahwa hal itu telah diucapkan setelah tidak
ada lagi tokoh yang naik ke atas panggung. Karena aku dan
Raja Obat datang belakangan, kami pun tak tahu-menahu
dengan persyaratan itu. Dan, janji itu pula yang membuat kami
tidak muncul sewaktu Perkumpulan Tengkorak Hitam
mengganas pada belasan tahun silam. Karena yang mengepalai
perkumpulan sesat itu adalah sepasang suami istri yang dulu
pernah mengalahkan kami. Aku dan Raja Obat hanya bisa
berharap suatu saat akan ada orang lain yang dapat menumpas
dan menghentikan kejahatan mereka."
"Apakah Perkumpulan Tengkorak Hitam yang sekarang
masih juga dikepalai mereka, Kek?" tanya Panji setelah terdiam
agak lama, dan Kakek Peramal Sinting tidak lagi melanjutkan
ceritanya.
"Kemungkinan besar memang begitu. Karena menurut
kabar yang kudengar, sebagian besar tokoh-tokoh utama
Perkumpulan Tengkorak Hitam, berhasil meloloskan diri
sewaktu markasnya digempur tentara kerajaan pada belasan
tahun silam. Itulah ganjaran bagi manusia yang tak pernah
merasa puas dengan apa yang telah dicapainya. Mereka
hendak memberontak terhadap penguasa yang sah. Sayang
gerakan mereka keburu tercium oleh pihak kerajaan, yang
segera mengirimkan ribuan balatentaranya. Akibatnya,
Perkumpulan Tengkorak Hitam hancur. Tokoh-tokoh yang
berhasil menyelamatkan diri, seolah lenyap bagai ditelan bumi.
Tak ada kabar lagi tentang mereka. Tapi, meskipun begitu, aku
merasa yakin kalau suatu saat mereka akan bangkit kembali.
Dan, ramalanku tidak meleset. Sekarang mereka bangkit
kembali untuk menyusun kekuatan."
"Tapi, peristiwa pahit yang membuat malu Kakek itu,
sudah lama sekali terjadinya. Kalau pada belasan tahun lalu
saat Perkumpulan Tengkorak Hitam muncul, aku bisa maklum
jika Kakek masih merasa terikat dengan janji licik sepasang
suami istri itu. Tapi sekarang, setelah tiga puluh lima tahun
berlalu, rasanya tidak ada lagi alasan bagi Kakek untuk terus
memegang teguh janji yang menurut penilaianku tidak sah itu!"
"Mengapa kau bisa berkata begitu, Kenanga? Ucapan
sepasang suami istri itu didengar oleh seluruh kaum rimba
persilatan yang hadir. Dan, meskipun aku dan Raja Obat tidak
mendengarnya, tapi persyaratan itu memang telah sah!" bantah
Kakek Peramal Sinting sambil menoleh kepada Kenanga.
"Tapi mengapa mereka tidak mengatakannya kepada
Kakek ataupun Eyang Raja Obat, sewaktu kalian berdua
muncul dan naik ke atas panggung menantang mereka?"
Kenanga mengingatkan Kakek Peramal Sinting terhadap
kelicikan sepasang suami istri jahat itu.
Kali ini Kakek Peramal Sinting tidak bisa membantah.
Terdengar helaan napasnya yang panjang dan berat. Karena
apa yang dikatakan Kenanga, memang terasa kebenarannya.
"Itulah liciknya mereka...." Hanya itu yang bisa dikatakan
Kakek Peramal Sinting.
"Nah, bukankah hal itu merupakan alasan yang sangat
kuat! Mereka telah menggunakan siasat busuk untuk mengikat
Kakek dan Eyang Raja Obat. Lalu, mengapa siasat tidak kita
lawan dengan siasat? Bisa saja Kakek berdalih bahwa sejak
menerima kekalahan itu, Kakek telah berjanji pada diri sendiri
untuk tidak memperdalam ilmu, dan kelak kembali
mengajukan tantangan kepada mereka. Dan, sekarang saat itu
telah tiba!" desak Kenanga, yang tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk membangkitkan semangat Kakek Peramal

Sinting, la melihat bahwa kakek cebol itu sudah agak termakan
oleh perkataannya tadi.
"Ah, benar... benar sekali...! Kau sungguh cerdik sekali,
Kenanga! Haiii..., mengapa sejak dulu hal itu tak pernah
terpikirkan olehku...?" Kakek Peramal Sinting langsung saja
melompat bangkit dan menari-nari sambil tertawa terkekeh-
kekeh. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tampaknya
ucapan Kenanga sanggup membangkitkan semangatnya yang
telah lama pudar.
Namun, kegembiraan Kakek Peramal Sinting cuma
berlangsung beberapa saat saja. Tak berapa lama kemudian,
kakek itu menghentikan tariannya. Lalu kembali
menghempaskan tubuhnya di tanah berumput. Wajahnya
kembali muram, membuat Kenanga dan Panji saling bertukar
pandang keheranan.
"Mengapa, Kek?" Panji menghampiri Kakek Peramal
Sinting. Lalu duduk di dekatnya.
"Aku sudah terlalu tua, Pendekar Naga Putih," keluh
Kakek Peramal Sinting, "Aku khawatir tulang-tulangku sudah
tidak kuat untuk menghadapi mereka. "
"Kek." Kenanga ikut duduk di sebelah Kakek Peramal
Sinting. "Kakek memang sudah sangat tua. Gigi pun sudah
hampir tak punya. Tapi, apakah Kakek tidak ingin berbuat
kebaikan sebelum nyawa Kakek meninggalkan badan? Apakah
di dalam kubur nanti Kakek dapat tenang sementara manusia-
manusia jahat itu masih berkeliaran?"
"Hei, siapa yang bicara soal kematian? Apa kau memang
ingin aku cepat-cepat mati, hah? Seenaknya saja kalau bicara!"
Ucapan Kenanga malah membuat kakek cebol itu mengomel.
Dengan wajah masam, Kakek Peramal Sinting bergerak
bangkit. Dipandangnya wajah Kenanga dan Panji berganti-
ganti. Lalu melangkah tanpa mempedulikan pasangan
pendekar muda itu yang memandang heran.
"Kau mau ke mana, Kek...?!" Panji tak dapat menahan
keinginannya untuk bertanya.

"Ya ke depan, apa kau pernah lihat orang yang jalan ke
belakang?" sahut Kakek Peramal Sinting sekenanya tanpa
menolehkan kepala.
"Maksudku, bagaimana dengan Perkumpulan Tengkorak
Hitam? Apakah Kakek benar-benar ingin lepas tangan, dan
membiarkan mereka semakin merajalela?" tanya Panji yang
tersenyum kecut demi mendengar jawaban Kakek Peramal
Sinting tadi.
"Menggempur mereka secara langsung sama saja dengan
menggali kuburan sendiri. Sudah, jangan banyak tanya lagi!
Ayo, kalian ikut aku! Kita pikirkan cara yang paling baik untuk
menghadapi mereka," jawab Kakek Peramal Sinting, tetap tidak
menoleh dan terus mengayun langkahnya.
"Tunggu dulu, Kek!" Kenanga berseru mencegah. Sekali
berkelebat, dara jelita itu telah berdiri menghadang jalan Kakek
Peramal Sinting.
"Apa lagi?" Kakek Peramal Sinting mengerutkan
keningnya.
"Apa Kakek tidak ingat dengan cerita kami tadi?"
Kenanga balik bertanya.
"Aku ingat," sahut Kakek Peramal Sinting setelah berpikir
sesaat.
"Menurut cerita Kakek tadi, Perkumpulan Tengkorak
Hitam tidak akan membiarkan musuh-musuhnya lolos, bukan?
Nah, lalu bagaimana dengan lelaki yang kami ceritakan itu?
Karena ia berhasil meloloskan diri selagi pertempuran antara
Kakang Panji dengan salah seorang tokoh mereka...,"
"Hm... aku pun pernah berjumpa dengan seorang lelaki
gagah yang menganggapku sebagi salah seorang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu...!" Kakek Peramal Sinting
memotong ucapan Kenanga, ketika mendadak teringat dengan
peristiwa yang dialaminya. Lalu mengisahkan secara singkat
tentang pertemuannya dengan orang yang tak lain Kanuraga.
"Kasihan sekali orang itu, ia begitu ketakutan...," kenangnya
sambil menggeleng perlahan.


"Itu yang kumaksudkan, Kek," tukas Kenanga. "Mereka,
orang yang Kakek temui, dan yang kami temui, pasti sangat
membutuhkan pertolongan. Apa tidak sebaiknya kita cari dan
tolong mereka? Baru setelah itu kita pikirkan bagaimana cara
untuk menumpas Perkumpulan Tengkorak Hitam itu."
"Aku setuju dengan pendapat Kenanga, Kek!" Panji
langsung saja mendukung kekasihnya.
"Hm...,.baiklah. Tapi, kita harus melakukannya dengan
sembunyi-sembunyi."
"Mengapa, Kek?!" Kenanga merasa heran, ia kurang
setuju. Menurutnya, sikap seperti itu hanya pantas dilakukan
oleh orang-orang pengecut.
"Karena tidak semua persoalan dapat diatasi dengan ilmu
silat. Kadang otak pun harus kita gunakan! Ingat itu! Ayo, kita
cari dan tolong orang-orang malang itu!"
Dengan diikuti Kenanga dan Panji, Kakek Peramal Sinting
melangkah meninggalkan tempat itu. Baik Kakek Peramal
Sinting, Panji, maupun Kenanga, sama sekali tidak menduga
kalau orang yang mereka maksud adalah satu. Kanuraga!
* * *

LIMA

Kanuraga berlari terpincang-pincang karena jemari kaki
kanannya yang mulai membusuk, dirasakan sakit bukan
kepalang. Kalau semula rasa takutnya terhadap Perkumpulan
Tengkorak Hitam cuma karena cerita gurunya dan kabar yang
didengarnya selama dalam pengembaraan, kini semua itu telah
terbukti dan dirasakannya sendiri. Sedangkan siksa yang
dirasakannya itu baru tahap peringatan saja. Entah bagaimana
siksaan yang bakal dialami selanjutnya. Tentu akan lebih
mengerikan lagi. Bergidik hati lelaki gagah itu jika teringat
akan kekejaman perlakuan yang diterima gurunya. Ngeri
hatinya jika membayangkan hal itu akan menimpa dirinya.
Rasa takut yang terus membayangi dirinya, membuat
Kanuraga seperti tidak mengenal lelah, la tidak peduli lagi
dengan keadaan tubuhnya yang tak ubahnya dengan seorang
jembel itu. Yang terpenting baginya saat itu adalah menghindar
sejauh-jauhnya dari jangkauan orang-orang Perkumpulan
Tengkorak Hitam. Dan berusaha mencari bantuan dari teman-
teman segolongan. Rasa putus asa mulai merambati hatinya
ketika tak satu pun tokoh yang mau menolongnya. Bahkan
beberapa di antara tokoh yang didatangi dan diminta
pertolongan, justru mengusir dan menuduhnya sebagai
pembawa bencana. Hal itu memang tidak bisa dipungkiri,
karena pada beberapa desa yang disinggahinya, selalu saja ada
korban, sebelum ia sampai. Dan, begitu ia memasuki desa, para
penduduk mengusirnya seperu anjing kudisan. Bahkan ada
yang mengeroyok dan hendak membunuhnya. Pengalaman-
pengalaman pahit itu membuat dirinya merasa semakin
terpojok. Tak seorang pun yang bersedia menerima
kehadirannya lagi Kanuraga tahu siapa lagi penyebab semua
itu kalau bukan orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam!

"Benar-benar keji sekali iblis-iblis Tengkorak Hitam itu
Mereka tidak segan-segan membunuhi orang hanya untuk
memfitnahku. Mereka benar-benar hendak menyiksaku lahir-
batin. Dan, mereka memang telah berhasil melakukannya," ujar
Kanuraga berbicara seorang diri sambil melangkah terseok-
seok. Luka di kakinya memang belum sembuh betul. Karena
tidak terawat dengan baik.
Setelah merasa tidak ada lagi tempat baginya untuk
berlindung, Kanuraga mengayun langkahnya menuju kotaraja.
Ketika tiba di kota dan melihat prajurit-prajurit kerajaan,
sebuah pikiran gila tiba-tiba melintas dalam benak Kanuraga.
"Yah, satu-satunya tempat yang paling baik dan aman
bagiku hanyalah di dalam penjara!"
Berpikir demikian, Kanuraga segera saja mencari perkara,
la sengaja membuat keributan, yang membuat beberapa orang
prajurit berdatangan hendak menangkapnya. Melihat ada enam
orang prajurit mengepungnya, Kanuraga pun mengamuk. Dan,
karena ia memang ingin tinggal di dalam penjara selama
mungkin, maka salah satu dari enam prajurit itu dipukulnya
hingga tewas. Kejadian itu membuat para prajurit lainnya
berdatangan. Namun Kanuraga tidak melakukan perlawanan
lagi. la menyerah dan dijebloskan ke dalam rumah tahanan,
yang terletak di sebelah selatan kota raja.
Meskipun di dalam rumah tahanan ia harus berkumpul
dengan orang-orang kasar bertampang bengis, yang
kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh sesat, Kanuraga sama
sekali tidak merasa gentar. Karena kepandaiannya yang tinggi,
dengan mudah ia dapat merobohkan setiap narapidana yang
hendak mencelakainya. Sampai akhirnya tak satu pun dari
mereka yang berani bertingkah terhadap dirinya. Dalam
beberapa hari saja, namanya telah dikenal oleh hampir seluruh
penghuni penjara. Kehidupan di dalam rumah tahanan
dirasakannya jauh lebih baik ketimbang di luar. Bahkan
Kanuraga merasa dirinya tak ubahnya seorang raja kecil. Segala
keperluannya dilayani oleh teman-teman sekamar yang telah

ditaklukkannya, la mendapat tempat tidur yang lebih baik dan
jatah makanan lebih banyak Karena, teman-teman sekamarnya
tidak ada yang berani membantah apabila Kanuraga
memintanya
"Kanuraga, kau diminta untuk segera menghadap kepala
penjara!" Seorang penjaga membuka pintu kamar tempat
Kanuraga ditahan.
"Ada apa beliau memanggilku?" tanya Kanuraga agak
heran sambil melangkah ke luar.
"Simpan saja pertanyaanmu untuk beliau!" sahut penjaga
itu dengan nada galak.
Setelah menutup pintu kamar tahanan, penjaga itu segera
membawa Kanuraga, melewati lorong yang berbelok-belok dan
pintu yang berlapis-lapis.
"Duduk!" perintah seorang lelaki bertubuh gendut yang
separuh kepalanya botak, setelah penjaga yang membawa
Kanuraga meninggalkan ruangan itu.
Kanuraga tidak mempedulikan suara dingin dan sikap
angkuh kepala penjara itu. Dengan tangannya yang masih
terbelenggu ditariknya kursi di depan meja kepala penjara.
"Mulai hari ini kau telah dibebaskan, Kanuraga," ujar
Kepala Penjara setelah Kanuraga duduk menghadapinya.
Narapidana lain tentu akan menyambut gembira berita
itu, tapi Kanuraga justru sangat terkejut Ia terlompat bangkit
dari duduknya. Wajahnya menjadi pucat!
"Mengapa, Tuan?!" Bukankah aku telah melakukan suatu
kesalahan yang cukup besar? Sedangkan hukuman yang
kujalani belum sampai satu bulan? Apa aku tidak salah dengar?
Atau mungkin Tuan yang keliru?" Kanuraga meminta agar
kepala penjara itu memeriksa catatannya kembali.
"Kau yang bernama Kanuraga, bukan?" tanya Kepala
Penjara sambil tersenyum misterius.
"Betul, Tuan." Kanuraga mengangguk.
"Dan kau ditahan karena membunuh seorang prajurit,
bukan?"

Kanuraga kembali mengangguk.
"Tapi, mengapa aku sudah dibebaskan? Begitu ringankah
hukuman bagi seorang pembunuh abdi kerajaan?" Kanuraga
masih juga merasa tidak puas.
"Kau ini benar-benar aneh, Kanuraga. Narapidana lain
tentu tidak akan banyak tanya lagi, walaupun seandainya itu
sebuah kekeliruan. Tapi, kau malah sebaliknya. Apa kau
memang bermaksud untuk tinggal di dalam penjara seumur
hidup?" tanya kepala penjara sambil menatap wajah Kanuraga.
"Tentu saja tidak, Tuan. Tapi...."
"Aaah..., sudahlah!" potong kepala penjara sambil
menepiskan tangannya. "Sebaiknya kau segera berkemas untuk
meninggalkan tempat ini."
"Tidak! Aku tidak mau!" sentak Kanuraga dengan nada
tinggi sambil menggebrak meja di depannya. "Kau pasti telah
keliru!" ditudingnya wajah kepala penjara sambil menatap
dengan sorot mata bengis.
"Orang gila! Rupanya kau lebih suka kutendang keluar
seperti anjing buduk!" kepala penjara menghardik, tangannya
terulur hendak merenggut leher baju Kanuraga untuk
dilemparnya keluar.
Sambil mendengus, Kanuraga menarik tubuhnya ke
belakang sedikit. Lalu melepaskan sebuah tamparan ke arah
pelipis kepala penjara itu. Namun lelaki bertubuh gendut itu
ternyata cukup gesit. Tangannya yang gagal menjambret leher
baju langsung ditekuk menangkis tamparan Kanuraga.
Dukkk!
Si Kepala Penjara terpekik kaget. Tubuhnya terdorong dan
menabrak kursi, lalu jatuh terjengkang berikut kursinya.
Tamparan itu memang sangat kuat. Karena saking marahnya,
Kanuraga tadi mengerahkan seluruh tenaganya.
"Bangsat! Rupanya kau memang orang gila yang sengaja
mau mencari mati!" Kepala penjara itu bangkit sambil
menyumpah-nyumpah, dan memaki Kanuraga yang memang
tidak melanjutkan serangannya. Karena sebenarnya cuma

sekadar ingin menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang
lemah yang bisa dipermainkan.
"Aku minta penjelasan!" desis Kanuraga penuh tuntutan
dan ancaman. "Katakan, mengapa kau hendak membebaskan
aku? Apa yang mendorongmu hendak melakukan hal itu?"
"Persetan dengan pertanyaanmu, Orang Gila!"
Pertanyaan Kanuraga tidak dilayani. Malah kepala penjara
itu mendorong meja di depannya kuat-kuat. Lalu
menyusulinya dengan sebuah tendangan yang dilakukan
sambil melompat.
Dugh!
Tubuh Kanuraga terjengkang sampai ke dinding.
Serangan licik itu tak dapat dielakkan hingga bersarang telak
ke arah dadanya. Kanuraga bersandar sesaat di dinding sambil
mengatur jalan napasnya yang terasa sesak. Namun
kesempatan untuk itu hanya ada sekejap mata. Si Kepala
Penjara sudah melanjutkan serangannya dengan tebasan sisi
telapak tangan miring, mengancam leher. Kanuraga segera
melempar tubuhnya bergulingan di lantai. Dan, sewaktu kepala
penjara itu kembali menyusuli serangannya, Kanuraga
melenting dan berputar sambil melepaskan tendangan dengan
kaki kirinya.
Tendangan telak itu membuat tubuh kepala penjara
terpelanting jatuh, mencium lantai Dan sebelum lelaki
berbadan gemuk itu sempat bangkit, Kanuraga, yang baru
mendaratkan kakinya di lantai, kembali mengirimkan
tendangannya. Kepala penjara menjerit keras. Tubuhnya
terangkat dari lantai, terpental berputar, dan membentur
dinding
Kanuraga sudah siap untuk menghabisi nyawa lawannya.
Namun, gerakannya tertunda ketika para penjaga yang
mendengar keributan itu sudah berdatangan, menerobos
masuk. Kanuraga melompat mundur menghindari ujung
tombak empat orang penjaga yang begitu masuk langsung

menyerangnya. Sedang para penjaga yang lain bergegas
menolong pimpinannya dan membawa pergi dari ruangan itu
"Keparat! Rupanya kau hendak memberontak, hah!
Dengan melukai pimpinan kami, berarti hukumanmu akan
semakin berat! Bukan mustahil kalau kau akan dihukum
gantung!" Seorang lelaki berkumis lebat dan bertubuh tinggi
besar yang mengenakan pakaian perwira, menghardik
Kanuraga. Perwira itu terlihat sangat geram ketika
menyaksikan pimpinannya digotong dalam keadaan terluka
parah. Segera saja ia menyeruak maju menghadapi Kanuraga,
yang berdiri dengan kedua kaki terpentang.
Kanuraga memperhatikan perwira yang kini telah berdiri
di hadapannya itu. Meneliti sosoknya sesaat, lalu dengan
kepala tegak, ditentangnya pandang mata perwira itu.
"Silakan tangkap aku, Tuan Perwira! Aku tidak akan
melawan," ujar Kanuraga tersenyum tipis sambil menyodorkan
kedua lengannya yang masih dibelenggu.
Perwira itu tampak meragu sesaat. Namun ketika
dilihatnya sorot kesungguhan pada mata Kanuraga,
diperintahkannya dua orang penjaga untuk maju. Sementara ia
sendiri sudah bersiap-siap untuk menyerang apabila Kanuraga
melakukan perlawanan. Ketegangan di wajahnya langsung
sirna begitu ia melihat Kanuraga pasrah dan menyerah.
"Bawa bedebah itu ke ruangan tempat para pembunuh!"
perintah perwira itu kepada dua orang penjaga yarig segera
melaksanakannya.
Dengan dikawal selusin prajurit, Kanuraga dibawa
menuju ruangan tempat para pembunuh disekap. Kanuraga
sendiri tidak memusingkan hal itu Di mana pun ia
ditempatkan, asal masih berada di lingkungan penjara, baginya
sama saja. Karena penjara adalah satu-satunya tempat yang
dianggap aman dan tidak dapat dijangkau orang-orang
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Namun keliru besar kalau Kanuraga mempunyai pikiran
demikian. Karena, orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam

tidak akan melepaskan musuhnya begitu saja. Sekalipun
musuh itu berada dalam lingkungan istana dan dalam
pengawalan ketat, mereka akan tetap berusaha dengan
berbagai cara. Mereka tidak akan pernah berhenti sebelum
berhasil membunuh musuhnya, yang sebelumnya mereka siksa
dengan cara-cara yang sangat kejam!
* * *
Cringgg!
Lelaki yang tengah terlelap di atas pembaringannya itu
terlonjak bangkit. Dengan sigap ia melompat dan menyambar
pedangnya yang tergeletak di atas meja dekat pembaringannya.
Namun tak ditemukan adanya orang lain di dalam kamar itu,
kecuali sebuah kantung uang yang tergeletak di atas lantai.
Kantung itulah yang telah membuyarkan impiannya.
"Tunjukkan rupamu sebelum aku kehilangan kesabaran!"
bentak lelaki kekar itu yang tentu saja tidak percaya kalau
kantung uang itu jatuh begitu saja dari langit-langit kamarnya.
Suaranya ditekan agar tidak terlalu keras. Karena ia tidak ingin
membuat orang lain terbangun dari tidurnya.
Belum lagi lelaki kekar itu menutup mulutnya, tiga sosok
bayangan berkelebat masuk melalui jendela. Dan, tahu-tahu di
hadapannya telah berdiri tiga sosok tubuh yang mengenakan
pakaian serba hitam. Bagaimana mungkin daun jendela yang
telah dikuncinya sebelum tidur itu dapat dibuka orang tanpa
sepengetahuannya,
"Siapa kalian? Dan ada keperluan apa datang menemuiku
malam-malam begini?" tegur lelaki kekar itu setelah
menepiskan keheranannya.
"Kami orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam...."
Salah satu dari ketiga sosok berpakaian serba hitam itu
menyahuti. Suaranya dingin dan datar tanpa tekanan.

"Perkumpulan... Tengkorak... Hitam...!?" desis lelaki kekar
itu, yang menjadi pucat seketika. Sepasang matanya
membelalak lebar menyorotkan kegentaran dan kengerian.
Lelaki kekar itu sebenarnya bukanlah seorang pengecut.
Dia seorang perwira yang cukup disegani dan memiliki
kepandaian tinggi. Dan, selama mengabdi kepada kerajaan,
sudah seringkali ia bergelut dengan maut, tanpa rasa gentar
sedikit pun. Akan tetapi untuk nama yang satu itu, dirinya tak
dapat menahan rasa takut dan ngeri yang seketika timbul dan
menguasai hatinya. Nama itu sudah sangat dikenalnya. Baik
kekejaman, kebuasan, maupun kesaktian tokoh-tokohnya. Pada
belasan tahun silam, ia ikut ambil bagian sewaktu pihak
kerajaan menyerang markas perkumpulan itu. Dan, ia tahu
kalau tokoh-tokoh puncak Perkumpulan Tengkorak Hitam
banyak yang meloloskah diri. Kini, tahu-tahu tiga orang tokoh
perkumpulan sesat itu telah berada di dalam kamarnya, dan
berdiri di hadapannya dengan menampakkan wajah yang
bengis. Apalagi keinginan mereka kalau bukan hendak
menuntut balas!
Ketika pikiran itu melintas tubuhnya menjadi gemetar dan
mandi keringat. Kedua kakinya terasa berat, sulit untuk
digerakkan. Bayangan-bayangan siksa mengerikan yang dulu
pemah didengarnya, menari-nari dalam benaknya, membuat
rasa takut kian hebat mencengkeram dirinya.
"Kami datang bukan untuk mencabut nyawamu, Tuan
Perwira," ujar sosok pertama, yang wajahnya agak pucat
dengan kedua tulang pipi menonjol Suaranya tanpa tekanan,
dingin, dan datar.
"Kami menginginkan agar salah seorang tawanan yang
bernama Kanuraga engkau bebaskan. Orang itu adalah musuh
kami." Sosok kedua menimpali. Suaranya berat dan bernada
bengis, menunjukkan bahwa dirinya seorang yang bersifat
kasar dan pemberang.
"Kau harus bisa mengeluarkannya dari tempat ini! Jangan
berlaku gegabah seperti rekanmu kemarin. Kepala penjara tolol

itu terlalu sombong dan meremehkan Kanuraga. Kami sudah
memperingatkannya. Tapi, si Kerbau Tolol itu cuma bisa
manggut-manggut Kau sebagai pengganti kepala penjara tolol
itu, harus melanjutkan tugasnya! Besok Kanuraga harus sudah
meninggalkan rumah tahanan ini!" lanjut sosok ketiga, yang
berusia paling tua. Tubuhnya agak bongkok. Kendati demikian,
sosok ketiga ini tampak memiliki perbawa yang amat kuat,
membuat sosoknya jauh lebih mengerikan ketimbang kedua
orang kawannya.
"Ttt... tapi... bagaimana caranya...?" tanya perwira, yang
ternyata telah ditunjuk sebagai kepala penjara menggantikan
rekannya. Meskipun hatinya telah lebih tenang, namun ia
masih saja merasa gugup.
Ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu terlihat
agak jengkel. Mereka sama mendengus kasar, membuat kepala
penjara yang baru itu tersurut mundur. Ketiga tokoh
perkumpulan sesat yang mengerikan itu, tidak mempedulikan.
Mereka saling bertukar pandang beberapa saat lamanya.
"Buatlah agar Kanuraga tidak tenang tinggal di tempat ini!
Suruh tawanan-tawanan lain mengganggunya! Ingat, pilih
tawanan-tawanan yang kira-kira cukup tangguh! Mereka pasti
akan menurut apabila kau janjikan kebebasan untuk mereka.
Nah, kukira petunjuk itu sudah cukup. Terserah kau
bagaimana mengembangkannya," ujar tokoh yang bertubuh
bongkok.
"Ingat, kami tidak suka dengan kegagalan!" Tokoh kedua
menekankan, kemudian melangkah pergi, setelah mengambil
kantung uang yang tadi mereka gunakan untuk
membangunkan kepala penjara itu.
Perwira bertubuh kekar itu masih saja mengangguk-
angguk, kendati ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam
sudah melesat melalui jendela yang terbuka. Kesadarannya
baru bangkit ketika terpaan angin malam yang masuk melalui
jendela, membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah

menutup rapat daun jendela dan menguncinya, ia pun kembali
merebahkan tubuh yang tiba-tiba saja terasa lelah sekali.
* * *
Duk!
Kanuraga terhuyung, nyaris jatuh mencium lantai kalau
saja ia tidak buru-buru menguasai keseimbangan tubuhnya.
Terdengar gelak tawa belasan orang tawanan yang membuat
ruang makan penjara itu menjadi riuh seketika. Kanuraga
memutar tubuhnya, mencari-cari orang yang tengah menjegal
kakinya dari belakang. Dengan sorot mata tajam, dipandangi
satu persatu para tahanan yang mondar-mandir di tempat itu.
Bibir Kanuraga menyunggingkan senyum tipis, sewaktu ia
sempat menangkap gerakan sudut mata salah seorang tawanan
yang tengah antri mengambil jatah makan.
Dengan kedua kaki terpentang, Kanuraga berdiri tegak
menunggu orang yang dicurigainya itu lewat. Ketika orang itu
meninggalkan antrian sambil membawa makanan dan hendak
melewatinya, Kanuraga memalangkan lengan, mencegah orang
itu lewat. Tanpa banyak cakap lagi, langsung dirampasnya
makanan yang dibawa orang itu. Demikian cepat gerakan
Kanuraga, sehingga orang itu sampai tak tahu kalau
makanannya telah diambil Kanuraga. Sedang Kanuraga sudah
melangkah menuju meja kosong. Demikian tenang sikapnya,
seolah ia tak pernah berbuat apa-apa.
Orang itu baru tersadar ketika Kanuraga sudah beberapa
langkah meninggalkannya. Untuk beberapa saat, dia tampak
kebingungan, tak tahu ke mana perginya makanan yang
dibawanya tadi. Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah
ketololan sambil mengusap-usap kepalanya yang gundul
pelontos, mencari-cari jatah makannya yang mendadak lenyap
tanpa diketahuinya. Ketika ia tengah kebingungan, salah satu
dari dua belas orang tawanan, yang tadi menertawakan
Kanuraga, memberikan isyarat dengan gerakan kepalanya.
Karuan saja lelaki gundul itu menjadi berang.
"Hei, kembalikan makananku...!" teriaknya sambil berlari
mengejar Kanuraga. Kemudian langsung melepaskan sebuah
tamparan ke kepala Kanuraga, yang kelihatannya tidak tahu
akan ancaman bahaya itu, dan masih terus melangkah mencari
meja kosong.
Namun, sebelum tamparan itu mengenai kepalanya,
Kanuraga membalikkan tubuh dengan gerakan yang sangat
cepat. Dia terus menubruk dan membenturkan kepalanya ke
kepala lelaki gundul pelontos itu.
Jdug!
Lelaki gundul itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental,
dan jatuh berdebuk ke lantai. Keningnya tampak memar dan
membiru membuahkan benjolan sebesat telur ayam. Lelaki
gundul itu bergegas bangkit. Mulutnya tak henti-hentinya
mengerang sambil tangannya sibuk mengelus-elus telur ayam
di keningnya.
"Keparat kau. Manusia Rakus! Sudah merampas jatah
makanku, malah berani memukulku! Hmhh..., rupanya kau
suda bosan hidup, hingga berani mencari perkara dengan
Jarangka! Awas, kuremukkan tulang-tulang tubuhmu!" Lelaki
gundul yang kepalanya kini terhias telur ayam itu mencak-
mencak seperti hendak menelan bulat-bulat tubuh Kanuraga.
"Siapa yang merampas makanmu, Kerangka?" sahut
Kanuraga sengaja merobah nama lelaki gundul itu. Karena
tubuh lelaki itu memang sangat kurus. Sehingga, Kanuraga
menyebutnya sebagai kerangka.
Jarangka menggereng dengan sepasang mata memerah.
Giginya bergemeretak menahan amarah yang meledak-ledak.
Namun ketika ia hendak menyerang, Kanuraga mencegahnya.
"Tunggu, Kerangka!" seru Kanuraga sambil mengulurkan
tangannya. "Tubuhmu sudah sedemikian kurus, cuma tinggal
tulang dan kentut begitu. Sebaiknya cepat kau jilati jatah

makanmu yang berceceran di lantai itu, biar kau cepat gemuk!"
lanjutnya sambil menunjuk makanan yang berceceran di lantai.
"Setan Keparaaat...!" Jarangka tidak bisa menahan ledakan
amarahnya lebih lama lagi Sambil melontarkan sumpah
serapah, ia menerjang Kanuraga dengan serangkaian pukulan
yang mendatangkan angin menderu.
"Aiii, ternyata kau bisa juga memukul, Kerangka!?"
meskipun mulut Kanuraga masih tetap mengeluarkan ejekan,
diam-diam hatinya kaget juga. Sama sekali tidak disangkanya
kalau tubuh kurus itu ternyata menyimpan tenaga dalam yang
kuat. Dengan cepat Kanuraga berlompatan menghindari hujan
pukulan itu.
Selama lima jurus, Kanuraga masih belum membalas
serangan lawannya. Tubuhnya masih berlompatan menghindar
sambil sesekali menangkis, bila sudah tidak sempat lagi
mengelak. Dan, setiap tangkisannya membuat tubuh Jarangka
terdorong mundur. Hal itu menunjukkan bahwa tenaga dalam
Kanuraga masih jauh lebih kuat daripada lawannya.
"Haaa...!"
Memasuki jurus keenam, mendadak Kanuraga
membentak keras, membuat Jarangka terlompat mundur
saking kagetnya. Sedangkan Kanuraga sudah mengirimkan
tendangan kilat ke dada lelaki tinggi kurus itu. Namun dengan
tangkas Jarangka membungkuk sambil berputar menyabetkan
kakinya, menyapu kaki kiri lawan. Kanuraga cuma
mendengus. Dan sebelum kakinya terbabat sapuan lawan, kaki
kanannya yang gagal menendang itu langsung menekuk ke
bawah. Dengan ujung tumitnya, digedornya punggung
Jarangka.
Dugk!
"Huakkh...!"
Gedoran itu membuat Jarangka muntah darah, dan
terjerembab di tempat itu juga. Langsung pingsan seketika!
Hampir semua tawanan yang berdiri mengelilingi arena
pertarungan itu, bertepuk tangan menyambut kemenangan
Kanuraga. Kecuali, sebelas orang kawan Jarangka, bahkan
kesebelas orang itu langsung berlompatan mengurung
Kanuraga. Wajah mereka tampak demikian bengis, seolah
hendak mencabik-cabik tubuh Kanuraga.
Kanuraga cuma mengeluarkan suara mendengus. Sambil
tersenyum mengejek, dirayapinya wajah-wajah tawanan yang
tadi telah menertawakannya. Otaknya langsung saja bisa
menebak kalau perbuatan Jarangka yang menjegalnya tadi,
tampaknya memang telah direncanakan bersama sebelas orang
itu. Namun Kanuraga tidak menjadi gentar. Walaupun dari
cara kesebelas orang itu bergerak, ia dapat menilai kalau
mereka rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah.
* * *

ENAM

"Hiaaat..!"
Dua orang yang berada di depan Kanuraga mulai
menerjang. Satu menyerang bagian atas tubuhnya, sedang yang
lain mengancam dari sebelah bawah. Sempat kaget juga hati
Kanuraga ketika melihat cara menyerang yang tampaknya
telah terlatih dengan baik itu. Akan tetapi sebagai seorang
tokoh yang telah memiliki banyak pengalaman, sepintas saja ia
telah dapat melihat titik kelemahan dari serangan itu. Dan,
ketika serangan itu tiba, Kanuraga langsung melompat sambil
melepaskan tendangan berputar untuk mematahkan serangan
yang mengancam kepalanya.
Plak! Duk!
Tubuh lawan terpental balik. Kanuraga sendiri sudah
meluncur turun dengan kepala di bawah. Kedua tangannya
berputar cepat memapaki pukulan dan tendangan lawan.
Seiring dengan suara benturan keras, tubuh Kanuraga kembali
melenting ke udara dengan meminjam tenaga lawannya. Di
udara, Kanuraga berjumpalitan sebelum meluncur turun tepat
kira-kira setengah tombak di belakang lawan yang juga sudah
berbalik dan menyambutnya dengan dorongan kedua telapak
tangan. Kanuraga berkelit dengan langkah berputar, dan tiba di
samping lawannya. Lalu, digedornya iga dan lambung lawan,
yang kontan terpental memuntahkan darah segar. Dua buah
pukulan yang kuat bukan main itu, membuat nyawa lawannya
melayang seketika.
Terdengar teriakan-teriakan marah para pengepungnya
yang segera berlompatan mengeroyok Kanuraga. Namun,
meskipun menghadapi keroyokan sepuluh orang lawan
tangguh, Kanuraga tidak tampak gugup. Tubuhnya bergerak
lincah menghindari setiap ancaman serangan yang datang.
Bahkan ketika Kanuraga mulai melepaskan serangan-serangan

balasannya, justru para pengeroyoknya yang menjadi
kelabakan. Setiap kali mereka menangkis pukulan ataupun
tendangan Kanuraga, selalu terdorong mundur dengan lengan
terasa nyeri. Dan, dalam waktu kurang dari lima belas jurus,
dua orang pengeroyok terpelanting roboh, terkena hantaman
Kanuraga.
"Heaaah...!"
Blakkk!
Satu korban lagi jatuh. Keprukan sepasang telapak tangan
Kanuraga membuat lawannya jatuh terjerembab seperti orang
mabuk. Dari kedua lubang telinganya mengalir darah segar.
Orang itu menggelepar sesaat sebelum akhirnya tewas.
Amukan Kanuraga membuat para penjaga yang ikut
berdiri menonton, saling bertukar pandang satu sama lain. Di
sudut lain, tampak kepala penjara ikut menyaksikan
perkelahian yang memang telah diaturnya itu. Setelah
memperhatikan pertarungan yang masih berlanjut, perwira ini
langsung saja bisa menilai bahwa Kanuraga memang benar-
benar berbahaya. Maka, segera saja ia memberikan isyarat
kepada para penjaganya untuk menghentikan perkelahian itu.
"Hentikan perkelahian...!"
Kanuraga menahan gerakannya. Begitu juga dengan
pengeroyoknya yang tinggal tujuh orang. Empat lainnya sudah
bergeletakan di lantai. Dua tewas, sedang dua lainnya telah
terkapar pingsan.
"Kanuraga!" terdengar suara bentakan menggelegar,
membuat semua orang menoleh.
Kanuraga memutar tubuhnya menghadapi perwira tinggi
kekar, yang tengah melangkah mendekatinya.
"Rupanya kau suka sekali membuat keonaran, Kanuraga!
Untuk kali ini, rasanya kau tidak bisa diberi ampun lagi. Tiga
nyawa telah kau hilangkan. Kau semakin buas dan ganas,
Kanuraga. Sebaiknya kau dibuang ke pulau. Di sanalah tempat
bagi penjahat-penjahat besar sepertimu!" ujar perwira kepala
penjara itu yang menghentikan langkahnya kira-kira setengah

tombak dari tempat Kanuraga berdiri. Empat penjaga siaga di
kiri-kanannya, siap melindungi pimpinannya jika Kanuraga
mengamuk.
"Keributan ini bukan salahku, Tuan." Kanuraga mencoba
membantah. "Merekalah yang sengaja mencari perkara.
Terpaksalah aku hanya berusaha membela diri. Jadi, kalaupun
ada yang terbunuh, itu salah mereka sendiri, Tuan."
"Kau tidak perlu berdalih, Kanuraga. Dan, aku ti dak ingin
berdebat dengan manusia rendah sepertimu!" tegas perwira
kepala penjara itu dengan nada menyakitkan. Lalu memberi
perintah kepada belasan orang penjaga untuk menangkap
Kanuraga.
"Gunakan jaring...!" teriaknya memberi petunjuk.
Menghadapi keroyokan para pengawal itu, Kanuraga
benar-benar dibuat kewalahan. Ia mengamuk bagaikan
kerasukan setan! Pedang yang dirampasnya dari salah seorang
penjaga, digerakkan sedemikian rupa, membuat para
pengeroyoknya menjadi gentar. Saat dilihatnya kepungan
mulai merenggang, Kanuraga menerjang dengan seluruh
kekuatannya. Terus melesat pergi setelah melukai empat orang
penjaga.
Kanuraga sama sekali tidak merasa curiga ketika melihat
pintu-pintu pada setiap lorong yang dilaluinya tampak terbuka
lebar. Ia terus berlari secepat-cepatnya meninggalkan kotaraja,
melintasi hutan-hutan lebat tanpa mengenal lelah, kendati
dirasakan napasnya sudah hampir putus. Bayang-bayang maut
yang menari-nari di dalam benaknya, membuat Kanuraga tak
peduli dengan rasa lapar dan haus yang menyiksanya. Bahkan
ia tidak lagi memperhatikan ketika malam mulai jatuh,
membungkus bumi dengan kegelapan. Kanuraga baru berhenti
berlari, setelah merasa tenaganya terkuras habis. Tubuhnya
terkulai lemas seperti pingsan di tengah sebuah hutan lebat.
* * *

Ketika siuman Kanuraga menemukan dirinya berada di
tengah sebuah hutan lebat. Kanuraga menggoyang-goyangkan
kepalanya yang masih terasa pening. Setelah mengucak-ngucak
mata diedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Inikah pulau tempat pembuangan penjahat-penjahat
besar seperti apa yang dikatakan perwira kepala penjara itu...?!"
gumam Kanuraga seperti orang mengigau. Lalu, mengayun
langkahnya perlahan. Namun dia tidak perlu berpikir lebih
lama lagi, karena pertanyaan itu segera menemukan
jawabnya....
"Hua ha ha...!"
Sebuah suara tawa yag mengejutkan membuat Kanuraga
terlompat saking kagetnya. Diedarkan pandangannya mencari-
cari pemilik suara tawa itu. Wajah Kanuraga mulai menegang.
Dadanya berdebar keras. Di benaknya terbayang wajah-wajah
bengis para tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Entah
mengapa, Kanuraga sendiri tidak mengerti. Bayangan itu
muncul begitu saja tanpa terpikir lebih dulu.
"Kita bertemu lagi, Kanuraga...!"
Kanuraga cepat memutar tubuhnya ke arah asal teguran
itu. Dan... kini wajahnya benar-benar pucat bagai mayat!
Gambaran siksa mengerikan langsung menari-nari di
benaknya. Langkah kakinya tersurut mundur, gemetar, seperti
sangat berat sekali, dan sukar untuk digerakkan. Karena,
pemilik suara itu seorang lelaki bongkok berpakaian serba
hitam. Salah saru dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam yang mengejarnya!
Rasa- ngeri dan takut yang menyiksa, membuat Kanuraga
memutar tubuhnya, berusaha melarikan diri dari tempat itu.
Namun, usaha itu sia-sia! Dari arah depannya, muncul tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam lainnya. Tokoh itu melangkah
disertai sorot mata bengisnya, membuat Kanuraga semakin
ketakutan. Terlebih ketika sosok ketiga menyusul muncul dari
sebelah kanannya. Bergerak maju dengan langkah sengaja
dilambatkan, membuat Kanuraga merasakan lemas di sekujur

tubuhnya. Seolah tiap ayunan langkah tokoh-tokoh mengerikan
itu, membuat tulang-tulang tubuhnya dilolosi. Hingga,
akhirnya lelaki bertubuh gagah itu jatuh terduduk lemas di
tanah.
Ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam
memperdengarkan tawa iblisnya yang mendirikan bulu roma.
Kini langkah mereka terhenti tepat di dekat Kanuraga, yang
sekujur tubuh dan wajahnya telah dibanjiri keringat.
"Ampunkan aku...! Aku... aku tidak tahu kalau yang
kubunuh itu adalah anggota partai kalian..." Kanuraga.
merintih mengiba.
Entah mengapa, ia sendiri tidak mengerti. Mengapa nama
perkumpulan itu demikian besar perbawanya. Bahkan
penampilan tokoh-tokohnya membawa kesan mengerikan dan
mempunyai pengaruh yang sangat hebat Hingga seorang lelaki
gagah berkepandaian tinggi yang sebelumnya tidak mengenal
takut, kini meratap minta belas kasihan. Memang sukar sekali
untuk dapat dipercaya. Jangankan orang lain. Kanuraga sendiri
tak mengerti dengan apa yang dirasakannya. Yang jelas,
jangankan berhadapan dengan tokoh-tokoh perkumpulan sesat
itu, baru mendengar atau membayangkannya saja, jantung
Kanuraga sudah berdebar terselimut rasa takut dan ngeri.
"Kanuraga," ujar tokoh bertubuh bongkok, tanpa
mempedulikan rintihan Kanuraga. Suaranya dingin dan datar,
tanpa tekanan, membuat bulu kuduk Kanuraga meremang.
"Kau perlu tahu. Sebelum musuh kami menggeletak tanpa
nyawa, kami, orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam tak
akan melepaskannya."
"Sekali kau menanam bibit permusuhan, maka selama
hidup maut akan selalu membayangimu!" tegas orang kedua
yang baik wajah maupun suaranya memancarkan kebengisan
dan kekejaman.
"Dan sudah saatnya kami memberimu ganjaran lagi!"
sambung tokoh lainnya yang kemudian mengulur tangannya
mencengkeram leher pakaian sebelah belakang Kanuraga.

Gerakannya terlihat perlahan sewaktu ia menyentakkan
tangan. Namun, akibatnya tubuh Kanuraga tersentak
melambung ke udara.
Kanuraga berteriak kaget dan ketakutan. Namun, karena
ilmu silat yang dimilikinya telah mendarah daging, maka
begitu tubuhnya melayang, tanpa diperintah oleh otaknya, dia
langsung berputar tiga kali. Sayangnya, ketika meluncur turun
kedua kaki yang masih gemetar tak sanggup menahan berat
tubuhnya. Dan, untuk kedua kalinya, Kanuraga kembali
melorot jatuh.
"Bangun, Kanuraga!" Tokoh bertubuh bongkok
memerintah, tetap dengan suara datar tanpa tekanan. Sekali
bergerak, tahu-tahu tokoh itu telah berdiri di depan Kanuraga.
Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, kira-kira sekitar
dua tombak.
Kanuraga hanya bisa menelan ludah mendengar perintah
itu. Merasa sudah tidak mempunyai daya lagi, Kanuraga pun
pasrah. Sekujur tubuhnya dirasakan sangat lemas. Seolah
tenaganya benar-benar sudah lenyap dari dalam tubuh.
Kanuraga cuma bisa membelalakkan mata kaget, ketika tokoh
bertubuh bongkok itu menyentakkan tubuhnya, memaksanya
berdiri.
"Bunuhlah aku... bunuhlah...!"
Tokoh bertubuh bongkok itu hanya tertawa dingin.
Hatinya sama sekali tidak tergerak, meskipun wajah dan
rintihan Kanuraga menggambarkan rasa putus asa dan
permohonan.
"Tidak, Kanuraga! Pesta belum dimulai. Kami tidak akan
membunuhmu sekarang. Tapi, justru akan memberikan sebuah
tanda mata yang tidak akan kau lupakan seumur hidup.
Karena tanda mata kami tidak akan bisa hilang, dan akan
terbawa sampai ke liang kuburmu."
Begitu ucapannya selesai, tokoh bertubuh bongkok itu
menggerakkan dua jari tangannya mencolok mata kanan
Kanuraga.

Crokkk!
Kanuraga menjerit setinggi langit. Tubuhnya gemetar
hebat. Keringat sebesar biji-biji kedelai kembali merembes
keluar, membasahi sekujur wajah dan tubuhnya. Anehnya,
pemuda bertubuh gagah itu bagaikan telah terpengaruh oleh
kekuatan aneh dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Sedikit pun tak ada usaha untuk menghindar atau
menangkis upaya penyiksaan yang dilakukan tokoh bengis itu.
Darah segar mengalir turun dan membasahi lengan tokoh
bertubuh bongkok yang jari-jari tangannya masih terbenam di
mata Kanuraga. Jari-jari tangan itu bergerak-gerak hendak
mengorek keluar biji mata Kanuraga. Perbuatan itu dilakukan
dengan tenang dan perlahan, membuat Kanuraga melolong-
lolong, merasakan deraan rasa sakit yang hebat luar biasa.
"Aaa...!"
Kanuraga meraung parau ketika biji matanya dicabut
keluar. Tubuhnya yang dilepaskan, terhuyung limbung.
Mulutnya masih terus melolong-lolong sambil menekan mata
kanan yang telah buta dengan telapak tangannya. Hingga,
darah yang merembes keluar membasahi lengan dan
pakaiannya. Dalam cengkeraman rasa sakit yang lebih hebat
daripada kematian itu, tiba-tiba terlintas bayangan istrinya
yang telah tiada. Kematian perempuan yang sangat dicintainya
itu, membuat jiwanya sempat tergoncang, hingga hidupnya
terasa hampa dan tidak berarti lagi. Peristiwa itu terjadi tiga
tahun yang lalu, saat desa tempat mereka menetap dilanda
wabah penyakit menular. Sejak itulah Kanuraga menjadi dingin
dan selalu muram. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk
pergi mengembara guna melupakan kedukaannya
Kini, saat siksa itu mendera dirinya, bayangan istrinya
seolah muncul dan melambaikan tangan kepadanya. Dilihat
wajah sang Istri sangat pucat, meski dengan sorot mata penuh
cinta kasih. Hingga tanpa sadar, Kanuraga menggapaikan
tangannya, sementara mulutnya masih tak henti melolong.

Tiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam kembali
memperdengarkan suara tawa iblisnya. Penderitaan yang
dirasakan Kanuraga tampaknya merupakan suatu yang
menggembirakan bagi mereka. Memang begitulah sifat-sifat
yang dimiliki kaum golongan sesat. Jika lawan menderita,
semakin puaslah hari mereka. Sayang Kanuraga tidak
mengetahui akan hal itu. Andai saja Kanuraga tahu, ia pasti
akan berusaha untuk bersikap tabah dan tidak merasa gentar,
kendati harus menjalani siksaan sehebat apa pun. Sikap seperti
itu sudah pasti akan membuat tokoh-tokoh Perkumpulan
Tengkorak Hitam merasa tidak puas dan marah. Dan, akhirnya
mereka akan langsung membunuh Kanuraga.
Namun, tiba-tiba saja tawa ketiga tokoh kejam itu lenyap
seketika. Gambaran kepuasan yang semula terpancar jelas di
wajah mereka, mendadak berganti dengan keheranan. Karena,
Kanuraga yang semula melolong-lolong sambil menekap
sebelah matanya itu, mendadak terhenti. Rintihannya lenyap.
Telapak tangannya kini diturunkan perlahan-lahan. Tubuhnya
tampak menegang sesaat. Lalu, mata di wajah pucat itu
menatap kosong ke depan. Kakinya melangkali kaku
menghampiri ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam,
yang hanya terdiam heran melihat sikap Kanuraga yang seperti
mayat hidup itu.
"Apa... apa yang terjadi dengan dirinya...?!" Tokoh tertua
yang bertubuh bongkok bertanya gagap. Wajahnya tampak
menegang. Dadanya berdebar. Rasa ngeri mulai menyelimuti
hatinya.
"Mungkin... ia... ia kerasukan setan...!" desis tokoh yang
kedua tulang pipinya menonjol. Tak beda dengan rekannya,
hati tokoh ini pun merasa ngeri melihat keadaan Kanuraga.
"Hentikan semua omong kosong dan pikiran gila itu!"
Tokoh yang lainnya menghardik jengkel, la memang
mengalami perasaan serupa dengan kedua lawannya. Namun
perasaan itu dibantahnya kuat-kuat. "Menurutku, ia pasti

sudah putus asa, dan minta agar kita segera membunuhnya,"
lanjutnya berusaha meyakinkan kedua orang kawannya.
Sebenarnya, apa yang dirasakan ketiga orang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu tidaklah mengherankan.
Sebab pada dasarnya setiap manusia mempunyai perasaan
takut, tanpa terkecuali. Demikian pula halnya dengan ketiga
orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam yang bengis dan
kejam itu. Mereka pun memiliki perasaan takut, yang
terselubung di balik kekejamannya. Mereka takut dan tunduk
terhadap perintah pimpinan-pimpinannya ataupun terhadap
ketuanya. Dan, meskipun tidak terlalu kuat, namun perasaan
takut itu kini muncul demi melihat sikap dan tingkah Kanuraga
yang tiba-tiba aneh dan menyeramkan.
Sementara itu, Kanuraga terus melangkah kaku
menghampiri ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Sorot wajah dan tingkah Kanuraga yang janggal itu,
membuat mereka merasa seram dan agak gentar. Dan, selagi
salah seorang dari ketiga tokoh itu berusaha meyakinkan
kawannya untuk tidak merasa takut, tiba-tiba saja tubuh
Kanuraga mencelat ke depan. Masih dengan gerakan yang
kaku, sepasang tangannya mengibas ke kiri dan ke kanan
dengan kuat
Tokoh pemberang berwajah penuh brewok yang menjadi
sasaran serangan Kanuraga, terkejut bukan kepalang. Dari
kibasan kedua lengan itu menyambar serangkum angin yang
sangat kuat. Namun, demi untuk meyakinkan kedua
kawannya, bahwa Kanuraga tidak kerasukan setan, maka
serangan itu langsung disambut dengan dorongan kedua
tangannya.
Breshhh...!
Apa yang terjadi dari benturan kedua tangan
mengandung tenaga dalam itu sempat membuat kedua tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam terkejut bukan kepalang.
Tubuh tokoh berwajah brewok itu terpental diiringi jeritan
panjang tanda kengerian hatinya. Dorongan tangannya

dirasakan bagai membentur sebuah dinding karet yang sangat
kuat, membuat tenaga dorongannya membalik dan memukul
dirinya. Sehingga, ketika tokoh itu terbanting jauh, darah segar
langsung termuntah dari mulutnya.
Sedangkan dua orang tokoh lainnya, tampak ternganga
takjub ketika melihat tubuh Kanuraga yang saat itu masih
mengambang di udara. Tubuh itu seperti tergantung oleh
sesuatu yang tak tampak. Bergoyang-goyang bagaikan
selembar benda ringan yang dipermainkan angin. Ketika kedua
tokoh itu terpaku bagai tak mempercayai penglihatannya, tiba-
tiba tubuh Kanuraga meluncur turun ke arah mereka. Tak
terdengar teriakan sedikit pun dari mulut Kanuraga, meski ia
meluncur turun sambil melancarkan serangan maut
Seolah Kanuraga memang merupakan sosok mayat hidup
yang baru saja bangkit dari kubur untuk melampiaskan
dendam yang belum terbalaskan. "Iblis...!"
Kedua orang tokoh yang sangat ditakuti lawan dan
dijuluki iblis itu malah memaki Kanuraga sebagai iblis. Hati
mereka merasa ngeri melihat kejadian yang sangat mustahil itu.
Sehingga, keduanya baru sadar akan ancaman bahaya itu,
sewaktu serangan Kanuraga sudah tinggal sejengkal lagi dari
tubuh mereka.
Bukkk!
Plakkk!
Pukulan dan tamparan keras itu langsung singgah di
tubuh sasarannya. Demikian kuatnya tenaga pukulan dan
tamparan itu, hingga tubuh kedua orang tokoh Perkumpulan
Tengkorak Hitam terpental seraya memuntahkan darah segar.
Tubuh mereka jatuh bergulingan sampai hampir tiga tombak
jauhnya. Namun, keduanya buru-buru bergerak bangkit,
karena penasaran dan tak percaya dengan apa yang telah
mereka alami.
"Ini benar-benar gila...!" Tokoh yang kedua tulang pipinya
menonjol, mengutuk dengan suara terputus-putus. Kemudian
kembali terbatuk dan muntah darah.

"Dia pasti telah dibantu oleh iblis-iblis penghuni hutan
ini...!" timpal tokoh tertua sambil mengatur napas guna
meredakan guncangan di dalam dadanya, yang terkena
gedoran telapak tangan Kanuraga.
Kanuraga, yang baru meluncur turun, langsung
menjejakkan kakinya ke tanah. Kemudian kembari melambung
ke udara. Setelah berjungkir-balik beberapa kali, tubuhnya
yang tepat berada di atas kedua tokoh itu, langsung meluncur
turun dengan cepat. Kedua kakinya terpentang lebar, siap
meremukkan tubuh kedua orang tokoh itu.
Lengking kematian yang panjang, bergema, dan menyayat
hati saat kedua telapak kaki Kanuraga menjejak tubuh kedua
orang tokoh itu. Terdengar suara berderak keras seperti tulang-
tulang tubuh yang berpatahan. Kedua orang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam yang mengerikan itu
menggelepar sebelum menghembuskan napas penghabisan.
"Keparat...! Akan kucincang tubuhmu, Bedebah...!" Tokoh
berwajah brewok menggeram ketika menyaksikan kematian
kawan-kawannya. Dengan senjata di tangan, ia menyiapkan
untuk menggempur Kanuraga, yang saat itu tengah berdiri
kaku menatap lawannya dengan sinar mata kosong.
Namun, sebelum tokoh itu menerjang Kanuraga, tiba-tiba
terdengar suara tawa terkekeh-kekeh yang menggema
memenuhi sekitar tempat itu.
"Heh heh heh...! Rupanya manusia kejam sepertimu masih
juga bisa memaki orang lain! Jangan dikira cuma kalian saja
yang bisa membunuh orang! Orang lain pun sanggup
melakukan hal serupa. Nah, sekarang terimalah kematianmu
dengan gembira...!"
"Bedebah...!" maki tokoh berwajah brewok sambil
menghentikan gerakannya. Lalu memutar tubuh hendak
mencari pemilik suara tanpa wujud itu. Namun yang
dilihatnya cuma dedaunan pohon bergemerisik dipermainkan
angin.

"Hei, Iblis-Iblis Penunggu Hutan! Tunjukkan rupamu!"
Karena jengkel tak bisa menemukan si Pemilik Suara tanpa
wujud, tokoh brewok itu berteriak menantang-nantang seperti
orang gila.
"Hei, Brewok Jelek! Tidak usah sesumbar seperti itu!
Hadapi saja orang yang baru saja kalian siksa itu...!" Kembali
suara tanpa wujud itu terdengar, diakhiri suara tawa mengekeh
berkepanjangan, membuat tokoh berwajah brewok itu kian
terbakar api kemarahan. Tubuhnya kembali berputar
menghadapi Kanuraga. Ditekannya rasa ngeri ketika melihat
raut wajah berlumur darah dan sorot mata yang tinggal sebelah
itu. Hatinya sempat bergidik menyaksikan mata kanan
Kanuraga yang cuma berupa rongga meneteskan darah itu.
Lalu ia mendengus keras-keras seperti hendak mengusir rasa
gentar dan ngeri yang membuat dadanya berdebar.
Wrett!
Sambil berteriak keras, tokoh berwajah brewok itu
menerjang Kanuraga dengan sambaran pedangnya. Namun
bukan main kaget hatinya sewaktu pedang itu kembari
terpental balik. Padahal Kanuraga sama sekali belum bergerak.
Dan pedangnya pun belum sempat menyentuh sasaran.
Hatinya semakin penasaran bukan main. Lalu kembali
membabat tubuh Kanuraga berkali-kali. Tapi, serangannya
bukan saja tidak berhasil, bahkan tubuhnya tiba-tiba terpental
deras tanpa diketahui penyebabnya.
"Iblis busuk, tunjukkan rupamu...!" Dalam kekalapan dan
hati mulai dicekam rasa ngeri, tokoh brewok itu berteriak dan
mengutuk sejadi-jadinya. Baru saja ucapannya selesai, tahu-
tahu saja ia merasakan tubuhnya mendadak kaku. Dia
berusaha mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
melepaskan diri dari belenggu yang tak tampak itu. Tapi sia-
sia! Semakin keras ia berusaha memberontak, semakin keras
pula kekuatan tenaga aneh yang mengunci dirinya. Merasakan
hal yang tak masuk di akal itu, tokoh brewok tak bisa lagi
menahan perasaan ngeri dan takut yang seketika

mencengkeram hatinya. Apalagi ketika melihat Kanuraga
melangkah kaku ke arahnya. Bukan main takut dan ngerinya
hati tokoh berwajah brewok itu.
"Nah, sekarang kau rasakanlah, bagaimana perasaan
korban-korbanmu yang telah kau siksa sebelum kau bunuh
itu...!"
Suara tanpa wujud itu kembali menggema. Kali ini tokoh
berwajah brewok itu tidak bisa menjawab lagi. Rasa ngeri dan
takut, yang selama ini dirasakan korban-korbannya, kini benar-
benar dialaminya. Tokoh brewok itu merasa takut bukan main.
Padahal biasanya ia justru menertawakan korban-korbannya
yang ketakutan dan merintih-rintih minta ampun.
Sementara itu, Kanuraga yang sudah semakin dekat,
menghentikan langkahnya dalam jarak kurang dari
sejangkauan tangan. Tanpa peduli betapa tokoh brewok itu
berteriak merintih dan mengiba, tangan Kanuraga dengan jari-
jari terbuka langsung menusuk dada lawan. Darah segar
berhamburan diiringi jeritan panjang yang menggiriskan hati.
Ketika Kanuraga mencabut tangannya yang terbenam hingga
mencapai pergelangan, tokoh berwajah brewok itu langsung
melorot jatuh. Tubuhnya menggelepar dengan mata terbelalak.
Sebentar kemudian, tokoh itu pun tewas dengan mata tetap
membelalak lebar.
* * *

TUJUH

Setelah selesai menghabisi ketiga orang lawannya, tiba-
tiba saja tubuh Kanuraga melorot jatuh terduduk. Kanuraga
heran bukan main ketika merasakan kekuatan gaib yang
membantunya lenyap begitu saja. Tubuhnya kembali terasa
lemas tak bertenaga. Meskipun demikian, Kanuraga merasa
sangat bersyukur. Karena, dengan bantuan tenaga aneh yang
tidak diketahui dari mana datangnya itu, ia telah dapat
membunuh ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam.
Ingatan tentang siksa yang dilakukan ketiga orang itu,
membuat Kanuraga baru sadar dan kembali merasakan sakit
pada mata kanannya yang kini telah bolong. Lelaki muda
bertubuh gagah itu mengeluh sambil meraba mata kanannya,
yang terasa ngilu dan nyeri ketika hembusan angin
menerpanya.
"Heh heh heh...! Sebaiknya matamu itu segera diobati...."
Suara yang mengejutkan dan terdengar dekat di samping
telinganya itu, membuat Kanuraga terjingkat saking kagetnya.
Kanuraga segera memutar tubuhnya.
"Aaah...!"
Kanuraga menjerit tertahan. Tubuhnya mencelat ke
belakang sampai satu tombak lebih! Wajahnya berubah pucat
seperti kertas, ketika melihat sosok seorang kakek cebol, yang
entah kapan datangnya, tahu-tahu sudah berada di samping
Kanuraga.
"Jangan takut! Aku bukan orang Perkumpulan Tengkorak
Hitam." Kakek cebol yang tak lain Kakek Peramal Sinting,
berusaha menenangkan Kanuraga.
"Behar, Sahabat. Malah Kakek Peramal Sinting inilah yang
tadi menolongmu

Kanuraga berpaling kepada pemilik suara itu. Dan, baru ia
sadar kalau kakek cebol itu tidak datang sendirian. Ditatapnya
sosok pemuda tampan berpakaian serba putih itu. Lalu, melirik
ke sosok seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Melihat
sepasang orang muda itu, Kanuraga langsung mengenalinya.
Karena mereka pernah dia lihat sewaktu menolongnya di
tempat kediaman Prajayasa. Pasangan orang muda yang
datang bersama Kakek Peramal Sinting memang Pendekar
Naga Putih dan Kenanga.
"Mengapa..., mengapa kalian menolongku...?!" tanya
Kanuraga, yang membuat Kakek Peramal Sinting tertawa
mengekeh. Bagi orang lain pertanyaan itu memang terdengar
aneh dan tolol. Namun tidak bagi Kanuraga. Karena
belakangan ini dirinya telah mengalami berbagai peristiwa
hebat, yang membuat jiwa tergoncang dan nyaris gila.
Penduduk beberapa desa mengusir dan menuduh dirinya
sebagai pembunuh bahkan ada yang mengeroyok hendak
membunuh. Sahabat-sahabatnya tidak bersedia membantu, dan
malah menganggap dirinya sebagai pembawa malapetaka.
Semua peristiwa itulah, yang membuat Kanuraga belum bisa
menerima kebenaran ucapan Pendekar Naga Putih.
"Mengapa kami menolongmu?" Kakek Peramal Sinting
mengulangi petanyaan itu sambil terkekeh. "Tentu saja karena
kau membutuhkan pertolongan," lanjutnya sambil menoleh
kepada Panji dan Kenanga. Kepalanya terangguk-angguk,
seperti hendak meminta dukungan pasangan pendekar muda
itu Dan, kakek cebol itu terkekeh puas ketika Kenanga dan
Panji buru-buru mengangguk.
"Tapi...."
"Haihhh, sudahlah...!" Kakek Peramal Sinting menepiskan
lengannya di udara. "Wajahmu sudah banyak menceritakan
tentang apa saja yang telah kau alami. Aku sudah tahu... aku
sudah tahu...," lanjutnya. Kakek Peramal Sinting memang tidak
berkata dusta. Karena hanya dengan melihat raut wajah
seseorang, kakek cebol ini sudah bisa menebak apa yang

terpikir dan peristiwa apa saja yang tertanam dalam pikiran
orang itu.
"Kau lupa kalau yang menolongmu berjuluk Kakek
Peramal Sinting?" ujar Panji mengingatkan Kanuraga.
"Peramal Sinting...!?" desis Kanuraga sambil menatap
sosok kakek cebol itu dengan mata terbelalak lebar. Tadi ia
memang tidak begitu memperhatikan, sewaktu Panji menyebut
julukan kakek itu.
"Haiii..., untuk apa menggembar-gemborkan nama
julukan kosong itu, Pendekar Naga Putih?" Kakek Peramal
Sinting kembali menepiskan lengannya di udara. Dan, ia
memang sengaja hendak membalas, karena ia tahu bahwa
julukan Panji sangat terkenal dan merasa yakin kalau Kanuraga
pernah mendengarnya.
"Kau... benarkah kau... Pendekar Naga Putih...?!"
"Hei, kau tidak percaya denganku?" Kakek Peramal
Sinting agak jengkel ketika mendengar Kanuraga masih minta
penegasan dari Panji.
"Benar, Sahabat. Aku memang dijuluki sebagai Pendekar
Naga Putih," ujar Panji sambil tersenyum dan mengangguk
kepada Kanuraga, yang masih terbengong-bengong.
Nampaknya Kanuraga tak menyangka kalau di tempat itu ia
akan berjumpa dengan tokoh-tokoh yang nama besarnya telah
terkenal di kalangan persilatan. Terutama Pendekar Naga
Putih, yang didengarnya telah banyak menaklukkan tokoh-
tokoh sakti golongan hitam. Nama Kakek Peramal Sinting
sendiri didengar dari,cerita gurunya. Sedangkan mengenai
sepak tenang kakek cebol itu, Kanuraga belum pernah
mendengarnya. Hal itu tidak aneh, karena Kakek Peramal
Sinting boleh dibilang hampir tidak pernah muncul di kalangan
persilatan. Kalaupun pernah, itu cuma sekelebatan saja.
Hingga, kecuali tokoh-tokoh tua, jarang ada yang mengenal
nama Kakek Peramal Sinting
"Sudah... sudah, kalau mau berbicara nanti saja! Sekarang
yang paling penting harus segera mengobati matamu." Ucapan

Kakek Peramal Sinting membuat Kanuraga menelan kembali
kata-kata yang siap terlontar dari mulutnya. Teringat akan luka
pada mata kanannya, Kanuraga kembali meringis sambil
menutupnya dengan telapak tangan, menghindari terpaan
angin yang masuk ke rongga mata itu.
Kanuraga tidak menolak ketika Kakek Peramal Sinting
menyeret lengannya dan mendudukkannya di atas rerumputan
di bawah sebatang pohon. Panji dan Kenanga ikut duduk tak
jauh dari kedua orang itu. Dan, ketika Kakek Peramal Sinting
memintanya untuk segera mengobati luka Kanuraga, tanpa
banyak cakap lagi Panji segera melakukannya.
* * *
Di tengah sebuah belantara yang ditumbuhi pohon-pohon
raksasa, berdiri sebuah bangunan besar yang kokoh mirip
sebuah benteng. Di kiri-kanan bangunan besar itu, terdapat
sepuluh buah rumah berbentuk sederhana. Meskipun cuma
terbuat dari kayu, rumah-rumah itu tampak kokoh dan kuat
Rumah-rumah sederhana itu adalah tempat tinggal anggota-
anggota Perkumpulan Tengkorak Hitam. Sedangkan bangunan
besar yang meskipun sudah tua namun terlihat masih sangat
kokoh itu, ditempati pimpinan-pimpinan perkumpulan itu.
Saat itu, di dalam sebuah ruangan cukup luas yang
biasanya menjadi tempat pertemuan, teriihat seorang lelaki
yang mengenakan topeng tengkorak berwarna hitam, duduk di
atas kursi berkaki gading. Sorot mata di balik topeng tengkorak
itu tajam menggiriskan, dan tertuju kepada sosok yang tengah
berdiri di depannya. Sosok tinggi itu mengenakan topeng
wajah raksasa bengis berwarna merah.
Di sebelah kiri lelaki bertopeng tengkorak hitam, duduk
sosok lain, yang juga mengenakan topeng serupa. Bedanya,
sosok tubuh ini berperawakan ramping. Rambutnya yang
panjang tampak mengkilap seperti diminyaki. Sosok kedua itu
jelas seorang perempuan yang sudah cukup umur. Karena

dialah istri dari Raja Tengkorak Hitam, yang usianya telah
mencapai sekitar enam puluh lima tahun. Seperti halnya Raja
Tengkorak Hitam, perempuan itu pun tampak tengah menatap
lurus ke depan dengan sinar mata yang tidak kalah tajam
dengan suaminya.
"Hm..., apakah kau tidak salah, Topeng Merah?"
Terdengar suara Raja Tengkorak Hitam meminta kepastian dari
lelaki yang berjuluk Topeng Merah itu. Nada suaranya
demikian halus dan lembut. Sama sekali tidak mencerminkan
watak licik dan kejam. Bahkan kedengarannya seperti orang
tua yahg berhati bijaksana. Namun, justru di balik tutur
katanya yang lembut itulah tersembunyi watak jahat dan
kejam.
"Aku bukan cuma melihatnya, Ketua. Tapi, juga
mendengar Pendekar Naga Putih menyebut namanya." Topeng
Merah memberi kepastian dengan suara mantap.
"Hm..., kalau si Cebol itu sudah berani menampakkan
dirinya lagi, berarti ada kemungkinan tokoh-tokoh tua lainnya
pun akan bermunculan pula...," gumam Raja Tengkorak Hitam
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Untuk apa kau merisaukan semua itu, Suamiku? Kalau
memang Peramal Sinting ataupun Raja Obat berani muncul
lagi, kita beresi saja mereka. Habis perkara!" Istri Raja
Tengkorak Hitam, yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam,
menyahuti dengan nada dingin dan sombong.
"Hm..., dengarlah, Istriku! Aku sama sekali tidak khawatir
meskipun umpamanya, kedua kunyuk itu mendatangi markas
kita dan mengajukan tantangan kepada kita. Aku hanya tidak
ingin kalau kedua kunyuk itu menyatukan golongan putih
untuk menggempur kita. Bukannya aku takut. Tapi, alangkah
baiknya kalau kita mengadakan pencegahan lebih cepat.
Sehingga, apabila pertemuan dengan seluruh golongan hitam
yang kita rencanakan terjadi, tidak akan ada gangguan."
"Hm..., rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera
menghajar Peramal Sinting itu...!" desis perempuan tua itu

ketika ucapan suaminya selesai. Tangannya dikepalkan hingga
memperdengarkan suara buku-buku jarinya yang
berkerotokan.
"Istriku," suara Raja Tengkorak Hitam tetap tidak berubah.
Sabar dan lembut. "Rencana yang kita susun sangat
memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Dan, aku
tidak ingin gagal lagi, seperti yang pernah terjadi pada belasan
tahun lalu. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu, kita harus
selalu hati-hati dalam melakukan tindakan. Anggota-anggota
kita, sengaja kusebar di berbagai desa. Kuperintahkan mereka
untuk menaklukkan penduduk-penduduk desa. Terserah
bagaimana cara mereka melakukannya. Yang jelas, mereka
harus membuat penduduk takut dan menurut kepada mereka.
Dengan begitu, apabila kita bergerak nanti, maka kita telah
memiliki pasukan dalam jumlah yang besar. Dan, setelah
semuanya siap, baru kita menggempur kotaraja. Lalu, kita
berdua akan menguasai negeri ini."
"Lalu kapan kau akan mengadakan pertemuan dengan
seluruh tokoh-tokoh golongan hitam di negeri ini?" tanya
istrinya setelah mengangguk-angguk membenarkan ucapan itu.
"Tidak lama lagi, " jawab Raja Tengkorak Hitam mantap.
"Tapi, kita harus membereskan Peramal Sinting dan Pendekar
Naga Putih lebih dulu."
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak Hitam
mengedarkan pandangannya, menyapu empat orang yang
duduk di kiri kanan Topeng Merah. Keempat orang itu juga
mengenakan topeng yang berbeda-beda pada wajahnya.
"Topeng Merah, dan kalian berempat, carilah si Peramal
Sinting itu. Tangkap dan seret ke tempat ini!" perintah Raja
Tengkorak Hitam.
"Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih, Ketua?" tanya
Topeng Merah mengingatkan ketuanya.
"Ringkus dan juga seret ke tempat ini! Aku ingin melihat
seperti apa rupa pendekar muda yang kabarnya memiliki ilmu-
ilmu mukjizat itu!"
"Baik, Ketua!" sahut Topeng Merah. Kemudian minta diri
bersama keempat orang rekannya, yang juga merupakan
tokoh-tokoh utama perkumpulan itu.
* * *
"Haiii..., kalau benar mereka telah muncul kembali, berarti
negeri ini tengah berada dalam ancaman bahaya. Dan itu
berarti alamat tulang-tulang tuaku yang rapuh harus bekerja
keras. Hm.., akankah aku mampu mengatasi keganasan
mereka...?"
Kakek itu berjalan sambil tak henti-hentinya berbicara
seorang diri. Kepalanya menggeleng-geleng disertai helaan
napas berat sesekali. Tampaknya hati kakek itu sedang dilanda
kerisauan.
Namun, kemuraman dan kegelisahan hati kakek itu, sama
sekali tidak bisa menyembunyikan kesegaran wajahnya. Kedua
belah sisi pipinya tampak kemerahan, menandakan kalau
kakek itu orang yang selalu menjaga dan memperhatikan
kesehatannya. Sehingga, meskipun telah berusia lebih dari
tujuh puluh tahun, tubuhnya masih terlihat sehat dan segar.
Sepasang mata yang sudah agak pudar wama hitamnya itu,
tampak menyorotkan sinar lembut dan penuh kasih. Gambaran
seorang yang bijaksana dan penyabar.
Sebenarnya, kakek berjubah putih itu bukanlah orang
sembarangan. Bagi tokoh-tokoh tua nama besar itu tetap
terngiang, kendati ia jarang sekali menampakkan dirinya di
dunia ramal. Hidupnya selalu diwarnai pengembaraan. Meski
sudah banyak memberi pertolongan pada setiap tempat yang
disinggahi, namun ia tidak pernah menyebutkan nama
maupun julukan dan selalu lenyap sebelum orang-orang yang
ditolongnya sempat mengucapkan terima kasih. Sehingga,
orang-orang yang pernah mendapat pertolongannya, menyebut
kakek itu sebagai orang tua budiman, yang menolong tanpa
pamrih.

Bagi tokoh-tokoh persilatan tingkat menengah ke bawah,
terutama tokoh-tokoh muda, nama kakek itu sama sekati tidak
dikenal. Kecuali orang-orang yang mendapat didikan tokoh-
tokoh sakti. Nama besar kakek itu pasti akan disebut-sebut
dalam setiap memberikan wejangan. Meskipun begitu, sedikit
sekali murid tokoh-tokoh sakti berkesempatan jumpa dengan
kakek yang selalu memilih tempat-tempat sunyi dalam
melakukan pengembaraan. Dan, kalau sekarang kakek itu
menampakkan dirinya, sudah pasti ada sesuatu peristiwa hebat
yang telah menarik langkahnya untuk mengetahui keadaan
secara lebih jelas. Kakek inilah yang berjuluk Raja Obat
Setelah melewati hutan lebat, kini Raja Obat melenggang
ringan, melintasi jalan lebar dan berbatu. Namun baru saja
berjalan kira-kira tiga tombak, mendadak Raja Obat menunda
langkahnya sesaat Keningnya berkerut seperti merasakan
sesuatu yang membuat hatinya agak gelisah. Belum lagi kakek
itu sempat memikirkan keanehan yang dirasakannya, tiba-tiba
muncul gumpalan asap tebal berwarna putih, menghalangi
pandangannya. Berbagai pengalaman yang telah ditemuinya,
membuat Raja Obat dapat menduga akan adanya ancaman
bahaya. Bergegas kakek itu melompat mundur sambil tetap
mengawasi gumpalan asap di depannya.
"Hua ha ha..!"
Bersamaan dengan lenyapnya gumpalan asap tebal itu,
terdengarlah suara gelak tawa yang sangat keras. Raja Obat
mengerahkan tenaga dalam guna melindungi telinga dan
dadanya yang berdebar keras. Suara gelak tawa itu
mengandung serangan tenaga dalam yang hebat!
Dua sosok tubuh yang muncul bersamaan dengan
lenyapnya gumpalan asap tebal itu, segera menghentikan gelak
tawa mereka. Karena mereka melihat kakek yang diserangnya
sama sekali tidak bergeming. Bahkan kini tengah tersenyum
sambil menatap mereka dengan sinar mata yang tetap lembut.

"Aihhh..., kalian ini membuat aku si Orang Tua merasa
terkejut dan hampir jatuh pingsan," tegur Raja Obat sambil
memperdengarkan tawanya yang lembut.
"Apakah kalian berdua tukang-tukang sulap yang hendak
menakut-nakuti aku? Topeng-topeng yang kalian kenakan
memang cukup menyeramkan dan bisa membuat anak-anak
lari ketakutan. Sayang, aku sudah terlalu tua dan tidak kuat
berlari-lari. Selain itu, aku pun bukan lagi anak kecil. Jadi, maaf
saja kalau aku telah membuat kalian kecewa."
"Heh heh heh...!" Salah satu dari kedua sosok yang
mengenakan topeng berbentuk kepala tikus, lengkap dengan
moncong dan taringnya, memperdengarkan suara tawa lirih.
Sorot mata di balik topeng itu tampak menyorot tajam,
merayapi wajah Raja Obat. Lalu terdengar suaranya yang mirip
dengan suara cericit seekor tikus. "Di hadapan kami, kau tidak
perlu bersandiwara, Raja Obat! Kami tahu siapa dirimu. Dan,
kami datang untuk menjemputmu!"
"Menjemputku?!" tanya Raja Obat tetap dengan tersenyum
lembut. "Ke mana? Dan apa perlunya?"
"Kau tidak perlu banyak tanya! Suka atau tidak, kami
akan tetap membawamu!" Sosok kedua, yang mengenakan
topeng kepala kerbau menukas tajam. Suaranya besar dan
sengau, hampir tak beda dengan lenguh seekor kerbau.
"Wah...! Sebenarnya kalian berdua ini binatang ataukah
manusia? Mengapa suara kalian mirip sekali dengan binatang-
binatang yang topengnya kalian kenakan itu? Dan, mengapa
kalian hendak memaksakan kehendak kepada orang tua
sepertiku...? Tidakkah kalian bisa bersikap sedikit lebih sopan
dan hormat? Karena, tanpa dipaksa pun sebenarnya aku tentu
akan suka mengikuti ajakan kalian. Tapi..., karena kalian sudah
menunjukkan sikap kasar dan tidak sopan, jadi maaf saja. Aku
tidak bisa diperintah orang kasar! Lebih-lebih oleh manusia
setengah hewan seperti kalian. Ya..., lain kali sajalah," ujar Raja
Obat tanpa mempedulikan betapa mata kedua orang aneh itu
menyorot tajam, menyiratkan ancaman maut

"Tidak ada lain kali, Raja Obat!" Sosok yang mengenakan
topeng kepala tikus membentak bengis.
"Benar! Dan, mau atau tidak, kami akan tetap
membawamu!" lanjut sosok bertopeng kepala kerbau dengan
suara lenguhan yang tidak kalah bengisnya. Baru saja ia selesai
berucap, tubuhnya langsung melesat ke arah Raja Obat dengan
kecepatan yang sulit diikuti mata. Tahu-tahu, tangan kanannya
sudah terjulur melancarkan totokan di tiga jalan darah pada
tubuh Raja Obat.
Raja Obat memiringkan tubuhnya sewaktu jari-jari tangan
yang memperdengarkan suara bercericitan, datang
mengancamnya. Dan, ketika tangan kiri lawan menyusuli
dengan sebuah tamparan keras ke arah pelipisnya, Raja Obat
segera mengangkat tangannya memapaki.
Dukkk!
Kakek berjubah putih itu terpekik saking kagetnya.
Tangkisan itu telah membuat kuda-kudanya tergempur.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang Sedangkan
saat itu, lawannya sudah kembali menerjang disertai
serangkaian pukulan dan tendangan yang keras dan sangat
cepat. Raja Obat terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan
dirinya.
"Haiiit..!"
Setelah lewat dari tiga jurus lawannya menyerang, Raja
Obat membentak sambil melenting ke udara. Dari atas kedua
telapak tangan bergerak cepat sekali menyambar kepala lawan.
Namun, belum sempat serangannya sampai sasaran, telinga
Raja Obat mendengar suara berdesing tajam. Tampak empat
cahaya putih yang mengancam jalan darah di tubuhnya.
Terpaksa lelaki tua berjubah putih itu mengurungkan
serangannya. Kedua tangannya berputar menyambar keempat
cahaya putih itu.
Tap! Tap! Tap!
Keempat cahaya putih itu berhasil ditangkapnya. Raja
Obat berjungkir balik beberapa kali dan mendarat di tempat

yang aman. Diam-diam hatinya mengeluh demi merasakan
kehebatan kedua orang manusia bertopeng itu. Karena, empat
cahaya putih yang ternyata senjata rahasia berupa taring-taring
tikus itu, sempat membuat telapak tangannya bergetar sewaktu
menangkap. Hal itu menandakan bahwa si Penyerang memiliki
tenaga dalam yang benar-benar kuat.
Kedua manusia bertopeng itu tampaknya tak ingin
memberi kesempatan kepada Raja Obat untuk berpikir lebih
lama. Mereka langsung menerjang bersamaan. Keduanya saling
menyerang dan melindungi dengan kompak. Raja Obat
kembali terkejut karena jurus-jurus yang kali ini digunakan
kedua lawan mengingatkannya akan sepasang suami istri jahat,
yang pernah mengalahkannya pada puluhan tahun silam.
"Celaka! Kalau begitu mereka pastilah tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam! Rupanya kabar angin yang
sampai ke telingaku itu benar...," desis Raja Obat yang segera
menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya.
Kemudian menyiapkan jurus-jurusnya. Lalu kakek itu pun
mulai melancarkan serangan balasan.
"Heaaa...!"
Raja Obat membentak sambil melompat berputar. Dari
atas, tangan kanannya mengibas mengancam leher sosok
bertopeng kepala kerbau yang berjuluk Siluman Kerbau. Begitu
serangan pertamanya luput, tangan kirinya menyusul dengan
sebuah tusukan kilat.
Jrabbb!
Tusukan telak Raja Obat membuat Siluman Kerbau
mengeluh. Tubuhnya terpental mundur. Namun Raja Obat
sendiri tidak luput dari bahaya. Bersamaan dengan tusukan
tadi, serangan Siluman Tikus mengenai tubuhnya. Meskipun
Raja Obat sudah memiringkan tubuh untuk menghindar, tetap
saja tamparan itu sempat mendarat pada sasaran. Tidak terlalu
telak memang, tapi cukup membuat tubuh tua itu terhuyung.
Sementara Siluman Tikus sendiri sudah melesat mengejar
dengan serangkaian pukulan dahsyatnya.

Plak! Plak! Plak!
Kendati dalam kedudukan yang tidak menguntungkan
seperti itu, Raja Obat masih sempat juga mematahkan tiga buah
pukulan yang tertuju ke dada, kening dan lambungnya.
Tangkisan itu membuat tubuhnya mencelat ke belakang. Hal
itu memang disengaja oleh Raja Obat yang meminjam tenaga
pukulan lawan untuk mengambil jarak. Kemudian, Raja Obat
langsung menyiapkan ilmu 'Memindahkan Tenaga Sakti'.
Sebuah ilmu aneh dan dahsyat yang jarang sekali
digunakannya.
Saat itu, Siluman Kerbau sudah menerjang maju dengan
sebuah pukulan dahsyat yang mengarah dada. Ketika pukulan
itu hampir mengenai dadanya, Raja Obat menarik tubuh
mengikuti arus pukulan itu. Gerakan Raja Obat demikian
lemah. Seolah sebelum pukulan itu mendarat pada sasaran,
tubuhnya telah terdorong oleh sambaran anginnya. Namun,
pada saat Siluman Kerbau hampir bergelak melihat
serangannya berhasil, tiba-tiba saja tubuh Raja Obat menyentak
ke depan dengan kekuatan dua kali lipat lebih besar.
Breshhh...!
Siluman Kerbau menjerit keras setinggi langit. Dorongan
kedua tangan Raja Obat yang bertenaga dahsyat itu, membuat
tubuhnya terpental deras, melayang di udara laksana layang-
layang putus. Kemudian terbanting dengan keras dan tewas
seketika! Hantaman itu ternyata telah meremukkan bagian
dalam tubuhnya.
Kejadian yang sebelumnya tak pernah terbayangkan itu,
membuat Siluman Tikus terpaku bagai patung. Ia benar-benar
tidak mengerti, apa yang telah terjadi terhadap kawannya itu.
Padahal tadi ia melihat dengan jelas betapa pukulan kawannya
mengenai dada Raja Obat Heran bukan main hatinya ketika
melihat Raja Obat seperti tidak merasakan serangan Siluman
Kerbau. Bahkan masih dapat membalas dan membuat
kawannya tewas!

"Tua Bangka! Ilmu siluman apa yang telah kau gunakan
untuk membunuh kawanku?!" geram Siluman Tikus penasaran.
"Heh heh heh...! Sungguh lucu sekali! Manusia siluman
menuduh orang lain menggunakan ilmu siluman! Dunia benar-
benar sudah terbalik!" sahut Raja Obat sambil tertawa
mengejek.
"Keparat sombong! Kau kira aku takut dengan ilmu
siluman itu! Nah, sambutlah seranganku!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, Siluman Tikus sudah
menerjang Raja Obat dengan serangkaian serangan maut. Raja
Obat mengelak ke kiri dan ke kanan sambil menunggu saat
yang tepat untuk mempergunakan ilmu mukjizatnya. Dan, ia
tidak perlu menunggu terlalu lama. Siluman Tikus yang tengah
dilanda kemarahan itu tampaknya benar-benar kalap.
Serangan-serangannya terus berkelanjutan bagaikan
gelombang laut.
Whuuut...!
Dalam kemarahannya, Siluman Tikus telah melupakan
perintah pimpinannya, yang tidak memperbolehkan
membunuh Raja Obat. Sehingga, tamparan itu dilakukan
dengan sepenuh tenaga. Siluman Tikus seperti tak peduli lagi,
meskipun pukulan itu dapat menewaskan lawan.
Namun, untuk membunuh Raja Obat bukanlah suatu
pekenaan yang mudah. Ketika tamparan maut itu datang, Raja
Obat kembali menggunakan ilmu dahsyatnya. Tubuhnya
bergeser mengikuti arus tenaga tamparan itu. Begitu tamparan
Siluman Tikus hampir mengenai kepalanya, Raja Obat
langsung mendahului dengan tamparan tangan kanan ke
kepala lawan.
Prakkk!
Siluman Tikus terpelanting dan langsung tewas dengan
kepala pecah!
"Haihhh..., semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku...!"
desah Raja Obat sambil menggeleng disertai helaan napas

panjang. Setelah memandangi mayat lawan-lawannya sejenak,
Raja Obat mengayun langkah melanjutkan perjalanannya.
* * *

DELAPAN

"Heh heh heh...! Wajahmu masih kelihatan segar saja,
Tukang Obat...!"
Raja Obat menghentikan langkahnya. Setelah
mengerutkan kening sebentar, meledaklah suara tawanya yang
terdengar penuh kegembiraan. Meskipun suara itu belum
menampakkan rupa pemiliknya, tapi Raja Obat langsung bisa
menebak.
"Selama hidup, hanya satu manusia yang menyebutku
sebagai Tukang Obat! Siapa lagi kalau bukan si Kerdil Sinting
tukang ramal murahan!"
Terdengar suara tawa terkekeh-kekeh panjang. Kemudian
tampak berkelebat sesosok bayangan. Raja Obat tertawa
terbahak-bahak ketika sosok bayangan bertubuh cebol itu
berdiri di hadapannya. Sambil tetap tertawa-tawa, disergapnya
sosok kakek cebol yang tak lain Kakek Peramal Sinting.
Keduanya berpelukan erat sambil tertawa-tawa.
Saat itu, tiga sosok bayangan lainnya muncul. Mereka
adalah Panji, Kenanga, dan Kanuraga, yang memang datang
bersama Kakek Peramal Sinting.
"Eyang...!" Panji langsung bersimpuh di hadapan Raja
Obat, ketika kedua orang kakek itu sudah melepaskan
pelukannya masing-masing.
"Heh heh heh... kau baik-baik saja, Cucuku?" sapa Raja
Obat sambil mengelus rambut kepala Pendekar Naga Putih dan
juga Kenanga, yang sudah ikut bersimpuh di hadapan kakek
berilmu tinggi itu.
Pendekar Naga Putih tidak bisa menjawab dengan kata-
kata. Hatinya diliputi rasa haru dapat berjumpa lagi dengan
Raja Obat, yang telah membimbingnya dalam hal ilmu
pengobatan. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban atas

pertanyaan kakek itu. Raja Obat pun mengangguk-angguk
dengan wajah puas.
"Hei, Tukang Obat!" Kakek Peramal Sinting yang paling
tidak suka dengan suasana penuh keharuan seperti itu, berkata
lantang. "Melihat dari garis-garis wajahmu, tampaknya kau
baru saja mengalami sebuah pertarungan hebat. Bisa kubaca
sisa-sisa kemenangan di wajah tuamu itu!"
"Dasar kerdil tukang ramal!" umpat Raja Obat sambil
tersenyum. "Makin tua ramalanmu makin hebat saja," pujinya
yang sekaligus membenarkan tebakan Kakek Peramal Sinting.
Lalu, Raja Obat pun menceritakannya secara singkat.
"Wah, kalau begitu, tampaknya sepasang suami istri gila
itu sudah mulai bergerak," ujar Kakek Peramal Sinting setelah
mendengar penuturan Raja Obat
"Kami pun tadi pagi baru saja menyelesaikan sebuah
pertempuran yang benar-benar sangat melelahkan. Tiga orang
pimpinan Perkumpulan Tengkorak Hitam menghadang
perjalanan kami dan memaksa untuk ikut bersama mereka.
Untunglah ada Pendekar Naga Putih bersamaku. Sehingga,
mereka dapat kami kirim ke neraka. Kalau tidak, aku pasti
sudah diseret oleh Topeng Merah dan dua orang kawannya itu.
Haihhh..., rupanya Tuhan belum menghendaki kematianku...,"
desahnya diakhir cerita.
"Kalau begitu, kita harus segera mencari markas mereka!"
Raja Obat mengusulkan.
"Hm..., tapi terlalu berbahaya. Kita harus mengatur siasat
sebelum bertindak. Karena pasangan suami istri gila itu pasti
mempunyai anggota yang cukup banyak," ujar Kakek Peramal
Sinting sambil membelai-belai jenggotnya.
"Ya. Dan kemungkinan besar Perkumpulan Tengkorak
Hitam akan melakukan pemberontakan lagi, seperti yang
pernah kudengar pada belasan tahun silam," timpal Raja Obat
sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan kening
berkerut.

"Ah, aku ada akal!" sentak Kakek Peramal Sinting sambil
menjentikkan jarinya. Lalu, menatap Pendekar Naga Putih.
"Kalian bertiga kuberi tugas untuk pergi ke kotaraja. Minta
untuk menghadap Senapati Jalatunda. Laporkan bahwa
Perkumpulan Tengkorak Hitam tengah menyusun kekuatan
untuk melakukan pemberontakan! Kau sudah kuberitahu letak
markas perkumpulan itu, bukan?" tanyanya kepada Panji.
Pendekar Naga Putih mengangguk pasti, la masih ingat
letak markas Perkumpulan Tengkorak Hitam, yang didapat
Kakek Peramal Sinting hanya dengan membawa raut wajah
Topeng Merah, yang telah tewas di tangannya.
"Nah, pergilah! Sampaikan salamku kepada Senapati
Jalatunda! Beliau pasti akan menerima kalian dengan baik. Aku
dan Tukang Obat ini akan menunggu di sana," lanjut Kakek
Peramal Sinting sambil mengibaskan tangannya, menyuruh
mereka bergegas.
"Tapi..., bagaimana denganku, Kek? Aku pernah di..."
"Aaah..., sudah... sudah!" potong Kakek Peramal Sinting.
"Aku sudah tahu apa saja yang telah kau lakukan di kotaraja,
Kanuraga. Tapi percayalah, mereka sudah melupakanmu,"
lanjutnya ketika melihat Kanuraga kebingungan.
Ucapan Kakek Peramal Sinting membuat Kanuraga
merasa lega. la percaya pada ucapan kakek cebol itu. Tanpa
banyak cakap lagi, ia pun segera mengikuti Pendekar Naga
Putih dan Kenanga untuk melaksanakan perintah Kakek
Peramal Sinting.
* * *
Agak-Jieran juga hati Senapati Jalatunda ketika mendapat
laporan bahwa seorang pemuda yang mengaku sebagai
Pendekar Naga Putih, minta untuk dapat menghadapnya.
Meskipun belum pernah bertemu langsung, namun nama itu
sudah sering didengarnya. Dan, yang lebih membuat hatinya
penasaran, prajurit yang melapor kepadanya, mengatakan

bahwa Pendekar Naga Putih hendak menyampaikan sebuah
berita sangat penting, menyangkut keamanan negeri. Maka,
Senapati Jalatunda segera memerintahkan agar membawa
pendekar muda itu kepadanya.
Dengan dikawal dua orang prajurit, Pendekar Naga Putih,
Kenanga, dan Kanuraga dibawa menghadap Senapati
Jalatunda. Untuk beberapa saat lamanya, panglima bertubuh
tinggi besar dan gagah itu, mengawasi ketiga tamunya.
"Katakanlah, berita penting apa yang hendak kau
sampaikan kepadaku, Pendekar Naga Putih?" pinta Senapati
Jalatunda sambil tetap duduk di kursinya.
Setelah kembali menghaturkan sembah, segera saja Panji
menyampaikan perintah Kakek Peramal Sinting. Wajah
Senapati Jalatunda agak berubah ketika mendengar disebutnya
nama itu. Sikapnya pun jadi lebih ramah, tidak lagi kaku
seperti tadi. Tampaknya panglima gagah itu memang telah
mengenal baik dan menaruh hormat kepada Kakek Peramal
Sinting Dan cerita Panji pun disimaknya dengan sungguh-
sungguh.
"Hm..., kalau saja kau tidak mengatakan bahwa kalian
diperintah oleh Kakek Peramal Sinting, rasanya aku belum
tentu mempercayai ceritamu, Pendekar Naga Putih," ujar
Senapati Jalatunda setelah Panji menyelesaikan ceritanya. Lalu,
panglima gagah itu segera memerintahkan perwira-perwira
bawahannya untuk menyiapkan sejumlah pasukan.
Panji menekan kedongkolan hatinya. Tidak dihiraukannya
ucapan Senapati Jalatunda yang terdengar agak kasar itu.
Ditekannya telapak tangan Kenanga yang bersimpuh di
sampingnya. Karena sewaktu ia melirik, dilihatnya wajah gadis
itu agak memerah.
Persiapan yang dilakukan Senapati Jalatunda tidak
memakan waktu lama. Diam-diam Panji merasa kagum juga
melihat kesigapan dan kegesitan abdi-abdi kerajaan itu.
Senapati Jalatunda sendiri sudah siap dengan pakaian perang
dan pedang kebesarannya.

"Mari, kita segera berangkat...!" ajak Senapati Jalatunda
kepada Panji, Kenanga, dan Kanuraga. "Kuda untuk kalian
telah disiapkan," lanjutnya lagi sambil melangkah.
Pendekar Naga Putih, Kenanga, dan Kanuraga
mengangguk. Lalu berjalan mengikuti panglima gagah itu.
Bersama dengan Senapati Jalatunda yang membawa seribu
orang pasukannya, mereka pun berangkat meninggalkan
kotaraja, menuju ke utara.
* * *
"Kapan kita bergerak, Tukang Ramal? Apa harus
menunggu hari menjadi gelap?" Raja Obat berpaling menatap
Kakek Peramal Sinting yang berada di sebelahnya. Saat itu hari
sudah sore. Mereka berdua bersembunyi di atas sebatang
pohon, yang berada di luar pagar bangunan markas
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Kakek Peramal Sinting tidak segera menjawab. Dia hanya
menarik napas panjang sambil menengadahkan kepalanya
menatap langit, yang mulai redup. Dipandanginya awan-awan
yang berarak Seolah ia hendak mencari jawabannya di atas
sana.
"Hm..., pasukan yang dipimpin Senapati Jalatunda sudah
bergerak. Menurut perhitunganku, mereka akan tiba pada saat
menjelang tengah malam nanti," jawabnya meramalkan. Seolah
ia benar-benar menemukan jawabannya dari awan-awan yang
berarak itu.
Raja Obat mengangguk-anggukkan kepalanya, ia percaya
akan kepandaian sahabatnya dalam hal meramalkan sesuatu.
Lalu keduanya diam sambil kembali mengawasi markas
perkumpulan sesat itu.
Malam sudah merangkak perlahan. Bulan yang
menggantung di langit kelam, tidak bundar. Cahaya temaram
terpendar menghias cakrawala.

"Hei, Tukang Obat! Apa kau tertidur?" tegur Kakek
Peramal Sinting memecah keheningan. "Sudah waktunya kita
bergerak Pasukan Senapati Jalatunda akan segera tiba. Ayo,
kita kacaukan penghuni bangunan itu!"
Sejak tadi Raja Obat memang memejamkan matanya.
Namun ia tidak tidur. Maka, ketika Kakek Peramal Sinting
mengajaknya untuk mulai bergerak, langsung saja Raja Obat
meluncur turun mengikuti sahabatnya. Mereka berdua
melompati pagar lalu memasuki bangunan besar itu. Keduanya
mencabut obor-obor yang tertancap di dinding. Lalu
melemparkannya ke atap-atap rumah, yang berada di kiri
kanan bangunan utama. Karuan saja perbuatan kedua orang
kakek itu membuat seluruh penghuni bangunan terkejut dan
kalang kabut. Di saat mereka tengah sibuk memadamkan api
yang semakin berkobar, Peramal Sinting dan Raja Obat sudah
melesat menuju bangunan utama. Berbarengan dengan
lenyapnya kedua orang kakek sakti itu ke dalam bangunan,
terdengar suara terompet dan genderang perang, disusul sorak
sorai dari pasukan yang dipimpin Senapati Jalatunda. Begitu
tiba, pasukan kerajaan itu langsung mendobrak pintu gerbang,
lalu menyerbu masuk dengan senjata di tangan
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu. Kobaran api yang belum
padam terpaksa mereka tinggalkan untuk menyambut serbuan
tentara kerajaan. Sebentar saja perang telah berkobar. Para
penghuni bangunan yang berjumlah sekitar seratus lima puluh
orang itu, melakukan perlawanan sengit. Dan korban di kedua
belah pihak pun mulai berjatuhan.
Pendekar Naga Putih segera meninggalkan medan
pertempuran dan melesat menuju bangunan utama.
Ditinggalkannya Kenanga dan Kanuraga yang tengah
bertarung, membantu pasukan pemerintah untuk menumpas
tokoh-tokoh perkumpulan sesat itu. Panji merasa pasti bahwa
pimpinan Perkumpulan Tengkorak Hitam tinggal di dalam

bangunan utama. Dirinya juga menduga kalau Kakek Peramal
Sinting dan Raja Obat telah berada di sana.
* * *
Setelah membuat kekacauan, Kakek Peramal Sinting dan
Raja Obat berlari menuju bangunan utama. Lalu melesat naik
dan bersembunyi di atas wuwungan, menghindari tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam yang berlarian keluar dari
dalam gedung. Setelah keadaan dirasa aman, kedua kakek itu
pun melayang turun dan bergegas menyelinap ke dalam.
Empat orang penjaga bagian dalam bangunan, langsung
berteriak dan berlari menyerbu, ketika melihat dua orang kakek
menyelinap masuk. Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting tidak
mau membuang-buang waktu lagi. Keduanya langsung
menyambut serangan keempat penjaga itu. Namun, untuk
merobohkan keempat orang penjaga itu ternyata tidak
semudah apa yang dibayangkan Raja Obat dan Kakek Peramal
Sinting. Keempat orang penjaga itu ternyata sangat tangguh.
Sehingga, setelah bertempur selama kurang lebih sepuluh
jurus, barulah mereka dapat dirobohkan. Kedua kakek itu terus
bergerak untuk mencari sepasang suami istri Tengkorak Hitam,
yang menjadi musuh utama mereka.
"Hm..., sudah kuduga bahwa kalianlah yang telah
membuat kekacauan di tempat kediamanku ini...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah teguran halus, yang membuat
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting menahan langkah dan
menoleh ke tempat asal suara. Agak kaget juga hati mereka
ketika melihat dua sosok tubuh yang sama-sama mengenakan
topeng tengkorak.
"Sepasang Tengkorak Hitam...!"
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting sama berdesis.
Meskipun telah memantapkan hati untuk menjumpai sepasang
suami istri itu, tak urung hati mereka berdebar juga. Dan itu tak
dapat mereka tahan! Padahal di kalangan persilatan kedua
orang tokoh itu merupakan manusia-manusia sakti yang
kepandaiannya nyaris tak tertandingi Namun berhadapan
dengan Sepasang Tengkorak Hitam, musuh lama mereka yang
pernah membuat keduanya menjadi pecundang, hingga harus
selalu menghindari keramaian, tetap saja hati kedua kakek
sakti itu bergetar. Apalagi karena mereka menyadari bahwa
kepandaian Sepasang Tengkorak Hitam tidak dapat disamakan
dengan di masa lalu. Terbukti, baik Raja Obat maupun Kakek
Peramal Sinting tak mengetahui kapan sepasang suami istri itu
datang. Padahal pendengaran mereka sudah sangat tinggi
bahkan jarang ada duanya. Dari sini saja sudah dapat mereka
duga kalau Sepasang Tengkorak Hitam telah mendapatkan
kemajuan yang sangat pesat.
"Hm..., sudah kuduga bahwa
kalianlah yang telah membuat kekacauan
di tempat kediamanku ini...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah teguran
halus, yang membuat Raja Obat dan
Kakek Peramal Sinting menahan langkah
dan menoleh ke tempat asal suara. Agak
kaget juga hati mereka ketika melihat dua
sosok tubuh yang sama-sama mengenakan
topeng tengkorak.
"Selamat bertemu lagi, Raja Obat, Peramal Sinting!
Sungguh gembira hatiku melihat kalian masih sehat dan
berumur panjang," sapa Raja Tengkorak Hitam dengan nada
halus, bagaikan menyapa seorang sahabat lamanya.
"Suamiku," Ratu Tengkorak Hitam menegur suaminya.
"Untuk apa membuang-buang waktu lagi! Sebaiknya kita
segera ke ruang latihan. Aku sudah tidak sabar untuk
menghajar mereka sampai mampus!"

"Heh heh heh...!" Kakek Peramal Sinting yang sudah dapat
menguasai debaran dalam dadanya, tertawa mengekeh. "Mati
hidup urusan Tuhan. Kita tidak berhak menentukannya. Tapi,
rasanya Tuhan belum hendak mencabut nyawaku ataupun
sahabatku si Tukang Obat ini. Sedangkan pada wajah kalian
yang tersembunyi di balik topeng tengkorak itu, aku bisa
melihat adanya warna-warna kematian. Dan, kalian memang
pantas untuk segera dikuburkan. Bukankah kalian sangat suka
dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian?
Contohnya, selamanya kalian suka sekali mengenakan topeng
tengkorak manusia, bukan?"
"Ha ha ha...! Aku tidak ingin berdebat, Peramal Sinting!
Terlalu memusingkan. Lebih baik kita turuti saran istriku. Nah,
marilah kita ke ruangan tempat kami berlatih...!" ajak Raja
Tengkorak Hitam, yang kemudian memutar tubuh dan diikuti
istrinya, menuju ruangan berlatih silat. Ringan saja
kelihatannya langkah sepasang suami istri itu. Namun,
sekelebatan saja sosoknya telah lenyap dari hadapan Raja Obat
dan Kakek Peramal Sinting.
Kakek Peramal Sinting hanya tertawa terkekeh.
Kemudian, bersama Raja Obat, mereka mengikuti Sepasang
Tengkorak Hitam. Tiba di ruangan yang dimaksud, sepasang
suami istri sesat itu telah berdiri menunggu kedatangan
mereka. Melihat sikap Sepasang Tengkorak Hitam, Raja Obat
dan Kakek Peramal Sinting langsung saja menyiapkan
jurusnya.
"Mari kita mulai...!"
Baru saja seruan halus itu selesai diucapkannya, tahu-tahu
tubuh Raja Tengkorak Hitam sudah menerjang Raja Obat dan
Kakek Peramal Sinting! Gerakan tokoh menggiriskan itu
demikian hebat, seolah pandai menghilang. Sebelum Raja Obat
maupun Kakek Peramal Sinting menyadarinya, tahu-tahu
sepasang lengan berbentuk cakar, telah mengancam tubuh
keduanya.

Meskipun agak terkejut, kedua orang kakek itu sama
sekali tidak gugup. Keduanya cepat mengangkat tangan
menyambut datangnya serangan yang kelihatannya ringan dan
tak bertenaga itu.
Dukkk! Plakkk!
Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat sama menahan
jeritnya, ketika merasakan betapa dahsyat tenaga yang
terkandung di dalam serangan itu. Lengan yang mereka
gunakan untuk menangkis terasa sakit bukan main. Seolah
benturan itu telah mematahkan tulang lengan mereka. Bahkan
tubuh keduanya sampai terpental sejauh satu tombak lebih!
"Edan...!" umpat Kakek Peramal Sinting yang segera
menyedot napas dalam-dalam guna menenteramkan
guncangan pada bagian dalam dadanya. "Tidak kusangka
kalau tenga dalamnya sampai sedemikian tinggi!"
Raja Obat cuma bergumam tak jelas. Ia tidak menimpali
ucapan sahabatnya. Karena saat itu ia sudah menyiapkan ilmu
andalannya yang sangat ampuh. 'Ilmu Memindahkan Tenaga
Sakti'.
Diiringi teriakan-teriakan keras Sepasang Tengkorak
Hitam menerjang bersamaan. Gerakan keduanya demikian
cepat hingga nyaris tak terlihat oleh mata lawan-lawannya.
Meskipun demikian, dari sambaran angin pukulan mereka,
kedua kakek itu dapat mengira-ngira tibanya serangan
Sepasang Tengkorak Hitam.
"Heahhh!"
Raja Obat membentak halus sambil melompat menyilang,
memotong di depan Kakek Peramal Sinting. Sehingga, ia
langsung berhadapan dengan serangan Raja Tengkorak Hitam.
Saat cengkeraman yang disertai gelombang angin dahsyat dari
Raja Tengkorak Hitam hampir menyambar kepalanya, Raja
Obat bergegas menarik miring kepalanya. Kemudian, dengan
meminjam tenaga serangan lawan, Raja Obat mendahului
cengkeraman itu dengan sebuah tamparan ke pelipis lawannya.
Namun, bukan main kagetnya hati Raja Obat ketika di
tengah jalan, tenaga serangannya yang semula berlipat ganda
itu, tiba-tiba dirasakan lenyap. Karena Raja Tengkorak Hitam
dengan cepat menarik pulang cengkeramannya. Sebagai
gantinya, tangan kirinya bergerak cepat menggedor dada Raja
Obat, yang masih terkejut itu.
Blakkk!
Bagai sebuah layang-layang putus, tubuh kakek berjubah
putih terlempar melayang deras di udara, disertai muntahan
darah segar dari mulutnya. Tubuh Raja Obat terhempas
membentur dinding. Lalu melorot jatuh ke lantai. Kenyataan
itu membuat Raja Obat sadar bahwa lawan telah mengetahui
kunci kelemahan ilmunya. Bahkan tampaknya sangat paham
dengan keistimewaan ilmu dahsyatnya itu. Tahulah Raja Obat
bahwa penggunaan 'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti', tak bisa
berbuat banyak bagi lawannya. Malah justru bisa
membahayakan dirinya sendiri.
Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan dengan
nasib naasnya Raja Obat, Kakek Peramal Sinting tampak tengah
berjuang keras menghadapi Ratu Tengkorak Hitam. Tongkat di
tangannya melancarkan serangan maut berkali-kali Namun,
yang berhasil dipukulnya cuma bayangan lawan. Setiap kali
tongkatnya menyambar, tubuh lawannya sudah berkelebat
lebih dulu. Sehingga, serangan Kakek Peramal Sinting sia-sia
saja. Bahkan kakek cebol itulah yang menjadi kelabakan ketika
Ratu Tengkorak Hitam membalasnya dengan serangan gencar
dan mengandung hawa maut Setiap kali serangan wanita itu
datang, selalu saja disertai dengan tebaran asap tipis, yang
membuat pandangan Kakek Peramal Sinting terganggu.
"Yeaaah...!"
Merasa penasaran karena tak mampu melepaskan diri dari
belenggu lingkaran serangan lawan, Kakek Peramal Sinting
membentak, nekat memapaki cengkeraman tangan kanan
lawan yang mengancam dadanya.
Krakkk!

Tongkat Kakek Peramal Sinting langsung patah ketika
membentur lengan Ratu Tengkorak Hitam. Sebelum sempat
menyadarinya, tiba-tiba kakek cebol itu merasakan suatu
sentakan kuat pada dadanya, membuat tubuhnya terpental
deras. Kendati demikian, Kakek Peramal Sinting tidak sampai
terbanting jatuh. Ia masih sempat menjatuhkan rubuh
bergulingan di lantai, lalu bergegas bangkit walaupun dadanya
dirasakan panas dan sesak. Di sela bibirnya tampak darah segar
mengalir turun perlahan. Hal itu menandakan bahwa pukulan
lawan telah menimbulkan luka dalam di tubuhnya.
"Habislah kau sekarang, Tukang Ramal..!" desis penuh
kebengisan dari mulut Ratu Tengkorak Hitam, langsung
dibarengi dengan lesatan tubuhnya. Sepasang tangannya
membentuk cengkeraman, siap meremukkan batok kepala
lawan.
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat disertai teriakan mengguntur. Lalu, memapaki
serangan Ratu Tengkorak Hitam, dengan dorongan kedua
tangannya yang diirirgi hawa panas dan dingin!
Bresssh...!
Atap bangunan berderak ketika benturan dahsyat itu
terjadi, bahkan dinding-dindingnya bergetar laksana akan
roboh. Sosok bayangan putih itu sendiri terpental deras,
melayang dan terhempas ke dinding. Sedang Ratu Tengkorak
Hitam cuma terdorong mundur beberapa langkah.
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting terkejut bukan
main! Terlebih ketika mereka melihat bahwa sosok bayangan
itu ternyata Pendekar Naga Putih. Kedua kakek itu cepat
bergerak memburunya.
"Aku... aku tidak apa-apa," ujar Panji menenangkan kedua
orang kakek itu. "Bagaimana dengan kalian..?"
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting buru-buru
mengangguk sambil menarik bangkit tubuh Pendekar Naga
Putih. Kesempatan itu digunakan Raja Obat, yang segera
membisikkan suatu rencana kepada Pendekar Naga Putih dan

Kakek Peramal Sinting. Kedua orang itu tampak mengangguk
setuju. Lalu, ketiganya berdiri berjajar sambil berpegangan
tangan satu sama lain.
"Hei, apa yang hendak kalian lakukan?! Apakah kalian
hendak main ular-ularan...?" seru Raja Tengkorak Hitam.
Matanya membelalak keheranan ketika melihat sikap aneh
yang ditunjukkan ketiga orang lawannya itu.
"Mungkin mereka sudah gila karena merasa tak bakal
menang, Suamiku...," sahut Ratu Tengkorak Hitam, yang juga
tak mengerti mengapa ketiga orang itu bersikap demikian
aneh.
Namun, baik Raja Obat, Kakek Peramal Sinting maupun
Pendekar Naga Putih, tidak menyahuti. Malah mereka semakin
bertingkah aneh, mengayun langkah bersamaan seperti tengah
memperagakan sebuah tarian sambil tertawa-tawa. Ketiganya
benar-benar seperti orang yang kehilangan akal sehat. Kaki
mereka terus bergerak maju mendekati Sepasang Tengkorak
Hitam yang menjadi panas hatinya karena merasa jengkel.
Raja Tengkorak Hitam dan istrinya saling bertukar
pandang sesaat, lalu sama menganggukkan kepala. Kemudian,
dengan disertai teriakan mengguntur yang membuat atap
rumah berderak bagai hendak runtuh, sepasang suami istri itu
menerjang bersamaan.
Serangan Sepasang Tengkorak Hitam datang dari kiri-
kanan. Namun pada waktu serangan itu hampir tiba, Raja Obat
melakukan sebuah gerakan yang aneh dan tidak masuk akal.
Karena Raja Obat yang berada di tengah-tengah, diapit
Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting, tiba-tiba
melangkah maju seperti sengaja menyongsong datangnya
maut. Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting
mengikuti gerakan Raja Obat. Mereka bergerak maju dengan
gerakan meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Lalu, tiba-tiba Raja
Obat bergerak mundur. Kedua orang di kiri-kanannya pun
mengikuti gerakan kakek itu. Kemudian, kedua tangan Raja
Obat yang bergenggaman dengan tangan Pendekar Naga Putih

dan Kakek Peramal Sinting, memukul ke depan, mendahului
serangan dari kiri-kanannya itu.
Bukkk! Desss!
Sepasang Tengkorak Hitam kaget bukan kepalang. Dari
kedua pukulan Raja Obat, menyambar gelombang angin
pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Karena serangan itu,
selain merupakan kekuatan gabungan dari Raja Obat, Pendekar
Naga Putih, dan Kakek Peramal Sinting, masih ditambah lagi
dengan kekuatan tenaga serangan mereka berdua. Akibatnya
tentu saja sangat hebat dan mengerikan! Tubuh Sepasang
Tengkorak Hitam tersentak dan melayang deras di udara.
Semburan darah segar yang termuntah dari mulut mereka
berceceran membasahi lantai. Terdengar suara berderak keras
ketika tubuh sepasang suami istri itu membentur dinding
dengan kerasnya. Darah segar memercik, membasahi dinding
dan lantai, bersamaan dengan melorotnya tubuh Sepasang
Tengkorak Hitam. Keduanya tewas dengan mata mendelik.
Benturan keras pada dinding telah meremukkan tulang-tulang
tubuh mereka.
"Haihhh..., untung kau mendapatkan akal yang sangat
baik, Tukang Obat! Kalau tidak, mungkin tubuh kita bertigalah
yang akan remuk," ujar Kakek Peramal Sinting sambil
menghempaskan napas lega.
"Yah, untunglah Pendekar Naga Putih datang pada waktu
yang tepat Kalau saja cuma kita berdua yang melakukannya,
pasti tidak akan berhasil. Malah mungkin kita berdua yang
tewas di tangan Sepasang Tengkorarak Hitam itu. Tenaga
dalam mereka luar biasa kuatnya, hingga, ketika aku
menggunakan 'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti', Raja
Tengkorak Hitam dapat mematahkannya. Ketika melihat Panji,
aku langsung mendapat pikiran untuk mencoba menggunakan
ilmu itu lagi. Karena aku tahu bahwa tenaga dalam Panji tidak
kalah dengan tenaga dalam kita. Dan, jika tenaga kita bertiga
digabungkan, kupikir mereka pasti tidak akan dapat
mematahkan keampuhan ilmuku lagi. Dan, nyatanya terbukti!"

tutur Raja Obat dengan wajah penuh kelegaan. "Sudahlah!
Yang penting Sepasang Tengkorak Hitam telah dapat kita
tumpas. Sekarang, mari kita lihat perkelahian di luar. Mungkin
sudah usai juga. Karena aku tidak mendengar adanya suara-
suara orang bertempur?"
Namun, sebelum ketiga orang tokoh itu melangkah ke
luar, tiba-tiba Kenanga dan Kanuraga muncul. Di belakang
mereka terlihat Senapati Jalatunda dan beberapa orang perwira
bawahannya. Kenanga dan Kanuraga merasa lega melihat
ketiga orang tokoh itu masih selamat, kendati tampak wajah
mereka sedikit pucat
"Kalian semua harus ikut kami ke istana!" Tiba-tiba
terdengar suara Senapati Jalatunda yang keras dan galak.
"Eh, ada apa lagi?! Apa salah kami?" tanya Panji yang
menjadi heran melihat sikap tak bersahabat dari panglima
gagah itu.
Kenanga, Raja Obat, dan Kanuraga saling bertukar
pandang dengan wajah tak puas. Mereka benar-benar
penasaran dan mulai menaruh curiga dengan Senapati
Jalatunda.
Senapati Jalatunda menatap wajah di hadapannya satu
persatu dengan sorot mata tajam dan tanpa senyum sedikit
pun. Lalu, terdengar kata-katanya, lantang.
"Aku akan menghadap Gusti Prabu, agar memberi
hukuman kepada kalian semua!"
"Hukuman?!" Panji, Kenanga, Raja Obat, dan Kanuraga
nyaris tak dapat menahan kemarahannya.
"Benar!" tandas Senapati Jalatunda.
"Hukuman apa...?"
"Hukuman untuk menghadiri jamuan makan yang akan
diadakan di istana!"
Senapati Jalatunda tertawa bergelak sampai tubuhnya
berguncang. Demikian pula dengan Kakek Peramal Sinting.
Malah suara tawanya lebih keras dari panglima gagah itu. Sejak
tadi, Kakek Peramal Sinting memang diam saja. Karena ia

sudah tahu pikiran Senapati Jalatunda, yang sengaja hendak
menggoda.
Akhirnya, Pendekar Naga Putih, Raja Obat, Kenanga, dan
Kanuraga, ikut tertawa. Begitu pula para perwira yang berada
di belakang Senapati Jalatunda. Sehingga di ruangan itu
terdengar riuh gelak tawa mereka.




                          S E L E S A I

Share:

0 comments:

Posting Komentar