..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR MABUK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR MABUK. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE MANUSIA SERIBU WAJAH

 

MANUSIA SERIBU WAJAH

Serial : Pendekar Mabuk

Judul : 10. Manusia Seribu Wajah

 

 


BADAI Kelabu segera menghentikan langkah 

karena ia mendengar suara napas orang di 

belakangnya dalam jarak antara dua belas langkah.

Badai Kelabu cepat palingkan wajah ke belakang. 

Ternyata di sana tak ada satu orang pun. Hatinya pun 

mulai curiga. Tapi Badai Kelabu kembali 

melangkahkan kaki dengan tenang.

"Aku merasakan gerakannya bukan gerakan Suto 

atau Dewa Racun!" ucap Badai Kelabu dalam hati. 

"Pasti orang lain yang punya maksud tak beres 

padaku. Hmmm... sebaiknya kudiamkan saja. 

Kupancing dia supaya keluar dari 

persembunyiannya!"

Badai Kelabu kembali langkahkan kaki dengan 

tenang, dan ia mendengar suara napas di 

belakangnya mulai mendekat kembali. Kejap berikut 

ia buru-buru palingkan wajah ke belakang. Suara 

napas orang itu lenyap bersama terhentinya langkah 

Badai Kelabu. Mata perempuan berusia tiga puluh 

tahunan itu memandang sekeliling dengan jeli. Tapi 

tak terlihat wujud orang yang mengikutinya.

Sekali ini Badai Kelabu langkahkan kaki tanpa 

berpaling sedikit pun. la biarkan suara napas yang 

mengikutinya dari belakang. Kejap lain, Badai Kelabu 

tersentak dan terhenti. Tubuhnya melengkung ke 

depan sambil pegang perutnya, ia perdengarkan

suara erang lirih sebagai tanda kesakitan. Tubuhpun 

oleng dan jatuh terkapar di tanah tak berumput.

Badai Kelabu tergolek di sana. Pakaiannya yang

hijau bertepian merah satin dibiarkan kotor, toh 

memang sudah rusak akibat banyak luka yang 

diderita waktu bertarung dengan Tapak Baja dan 

Hantu Laut di Pulau Kidung (Baca serial Pendekar 

Mabuk di dalam episode: "Pusaka Tombak Maut"). 

Tubuh Badai Kelabu mengejang sebentar, lalu 

tersentak dan melemas tak berkutik lagi.

Kejadian itu membuat sepasang mata terkesiap

dari suatu tempat yang tersembunyi. Cukup lama 

sepasang mata itu menunggu gerakan Badai Kelabu, 

namun yang ditunggu tak juga bergerak. Sepasang

mata itu memendam kuat-kuat rasa cemasnya. 

Namun akhirnya tak mampu lagi sabar menunggu. 

Sepasang mata itu cepat sentakkan kakinya dan 

melesat keluar dari persembunyiannya.

Orang tersebut mengenakan pakaian kuning 

sebatas dadanya yang sekal. Badannya terlihat elok 

dalam busana ketat seperti itu. Pinggangnya tampak

ramping karena mengenakan celana ketat warna 

kuning pula. Celana itu hanya sebatas betis. Bentuk 

betisnya indah dan berkulit semulus kulit bayi. 

Pakaiannya itu dirangkap pakaian jubah warna merah 

jambu yang tak terkancingkan bagian depannya. 

Pakaian jubah merah jambu itu dari bahan sutera 

tipis hingga menampakkan bentuk pantatnya yang 

sekal menggiurkan setiap lelaki.

Orang bersenjata trisula kembar di pinggang 

kanan-kirinya itu punya wajah cantik jelita. Bertahi 

lalat kecil di atas bibir kirinya, bangir hidungnya, 

memiliki bola mata indah, lentik pula bulu matanya. 

Rambutnya yang panjang, hitam bersih, dan lembut

tergerai selewat punggung, diikat dengan kain warna 

biru muda. Di atas telinga kirinya tersemat sekuntum 

bunga kamboja warna putih kekuning-kuningan. 

Menambah manis paras wajahnya.

Jalannya melenggok saat ia mendekati Badai 

Kelabu yang terkapar di jalanan. Tapi kejap berikut 

orang itu tersentak kaget dan terlonjak ke belakang 

ketika Badai Kelabu tiba-tiba membentak.

"Hiaaat...!" sambil kakinya menyambar ke samping, 

dan tubuh pun berputar, tangan menyentak di tanah, 

badan terangkat dan kini ia berdiri tegap di depan 

orang berjubah merah jambu itu.

"Babi, monyet, kodok, kuda, kambing...!" orang 

berjubah merah jambu itu memaki dengan 

menyebutkan banyak binatang karena rasa kagetnya 

tadi. Tangannya melambai-lambai gemulai setiap ia 

bicara, bibirnya mencong sana-sini dengan genitnya.

la menyambung kata dengan suaranya yang besar 

bernada perempuan manja.

"Dasar kura-kura kamu, ah! Kupikir kamu modar, 

tak tahunya hanya pura-pura saja! Sial!" ia melengos 

dengan mulut cemberut manja.

"Apa maksudmu mengikutiku, Tanjung Bagus?!" 

sentak Badai Kelabu dengan satu tangan bertolak 

pinggang.

"Pasti ada tujuannya!"

"Sebutkan tujuanmu!"

"Biasalah... mau paksa kamu serahkan peta itu!"

"Dari dulu kau merayuku untuk mendapatkan peta

itu, padahal sudah kubilang bahwa aku tak memiliki

peta tersebut!"

"Mana mungkin... mana mungkin...!" bibirnya maju 

dan dicibir-cibirkan dengan genitnya. "Kamu sudah

pernah ke sana, pasti kamu simpan peta itu! Mana

mungkin kamu akan buang itu peta!"

Sambil berbicara begitu, Tanjung Bagus 

melenggok-lenggok dan tangannya memainkan tepian 

jubah merah jambunya. Badai Kelabu mendesis muak 

dan berkata.

"Kau memang ingin cari perkara! Sekarang apa

maumu kalau kubilang aku tidak mempunyai peta 

Itu?!"

"Kita bertarung! Mungkin kalau nyawamu sudah di 

ubun-ubun baru kau mau mengaku dan menyerahkan 

peta itu!"

"Tanjung Bagus, kalau itu maumu, kulayani 

tantanganmu!"

Di balik semak, Dewa Racun dan Pendekar Mabuk 

saling berbisik dengan suara sangat pelan.

"Cantik sekali orang berjubah merah jambu itu," 

bisik Suto. "Dia mirip seorang bidadari."

"Tap... tapi... sepertinya dia punya persoalan 

dengan Badai Kelabu. Kita lihat saja urusan mereka 

sampai di man... man... mana!"

"Baik. Kita lihat saja dari sini sambil menjagai 

Badai Kelabu!"

Percakapan yang kasak-kusuk tak membuat kedua 

orang yang saling berhadapan itu terganggu. Badai 

Kelabu telah siap menerima serangan dari Tanjung 

Bagus. Kedua kakinya merenggang kokoh, yang 

kanan ditarik sedikit ke belakang dan merendah 

keduanya. Tapi Tanjung Bagus masih melenggak-

lenggokkan badan sambil memegangi tepian 

jubahnya.

"Tak sayangkah kamu dengan nyawamu itu, Badai 

Kelabu? Daripada kamu korbankan nyawa buat 

sembunyikan peta itu, lebih baik kau serahkan 

padaku dan nyawamu tetap utuh, Badai Kelabu!""Peta itu ada di nyawaku!" jawab Badai Kelabu. 

"Kalau kau mau ambil peta itu, ambil pula nyawaku!"

"Aduuuh, sayang sekali aku harus bertindak kasar 

padamu, Badai Kelabu! Bersiaplah untuk mati, 

Sayang...!" sambil Tanjung Bagus melenggokkan 

badan dengan gemulai, mirip orang mau menari. 

Tangannya diangkat merentang ke kiri-kanan, lalu 

tangan itu meliuk pula ke arah depan dengan satu 

kaki diangkat sebatas lutut, tangan yang kanan 

ditarik ke belakang, yang kiri maju ke depan, 

tubuhnya sedikit meliuk ke belakang, wajahnya agak 

mendongak, tapi mata tetap tertuju ke depan.

Di balik semak, Dewa Racun berbisik kepada Suto, 

"Men... men... menurutmu, dia mau bertarung atau 

mau menari?"

"Memang begitulah jurus yang dimilikinya, 

barangkali. Mirip orang menari. Lemah gemulai, tapi 

seberapa besar tinggi ilmunya, kita masih belum bisa 

pastikan!"

"Dia desak Bad... Bad... Badai Kelabu untuk minta 

peta. Menurutmu pet... pet... pet...!" 

"Pete?"

"Peta! Menurutmu peta apa yang diminta? Apakah 

peta harta karun atau peta penyimpanan harta pus... 

pus... pus...."

"Pus meong?!"

"Pusaka!" sentak Dewa Racun dalam suara bisik 

yang jengkel.

Suto tersenyum menahan tawa dan ucapkan kata 

pelan, "Kita belum jelas peta apa yang diinginkan 

orang itu. Lihat saja, nanti kita juga akan tahu sendiri, 

Dewa Racun!"

Orang kerdil itu diam, tak lagi ajukan tanya. Mata 

orang kerdil terlempar pandang ke arah Badai Kelabu

yang sedang bergerak menunggu kesempatan 

menyerang lawannya.

"Majulah, Setan! Tak segan-segan kuremukkan 

batok kepalamu dengan kedua tanganku ini!"

"Hmm...!" Tanjung Bagus melenggokkan kepala 

sambil mencibir genit dengan tangan masih bergerak-

gerak seperti orang menari. Katanya lagi.

"Jangan hanya bisa berkoar besar saja kau, Setan 

sawah! Tunjukkan kebolehanmu! Kulawan jurusmu 

dengan pukulan 'Daun Melambai'!"

Tanjung Bagus meliukkan badan dengan sangat 

lentur, hingga dadanya membungkuk hampir 

menyentuh tanah, kedua kakinya merentang lebar-

lebar, kedua tangan dan jemarinya meliuk ke sana-

sini sebagai upaya mengumpulkan tenaga dalamnya.

Tiba-tiba Badai Kelabu setengah membungkuk 

lepaskan pukulan 'Cakar Kucing' dengan kaki rapat 

dan berjalan cepat mendekati lawan. Kedua 

tangannya membentuk cakar kucing yang mencakar 

bagian di depannya secaramberganti-ganti. Wut wut 

wut wut...!

Plak plak plak plak...!

Blakkk...!

Pukulan Badai Kelabu yang menyerupai cakaran 

kucing beruntun itu selalu bisa ditangkis oleh gerakan 

cepat tangan Tanjung Bagus. Kemudian, keduanya 

sama-sama memperoleh kesempatan untuk 

menghantamkan telapak tangannya. Tanjung Bagus 

berhasil menghentakkan telapak tangannya di bawah 

pundak kanan lawan, dan Badai Kelabu berhasil 

menghantam rahang Tanjung Bagus dengan telak 

sekali.

Keduanya sama-sama terpental jatuh di tanah. 

Tapi keduanya sama-sama cepat bangkitkan diri, dan

saling berdiri tegak siap menyerang kembali.

"Hmm...! Aku tahu dada kananmu memar!" kata 

Tanjung Bagus. "Aku bisa lihat warna biru di dada 

kananmu, walau tertutup kain bajumu!"

"Hmm...!" Badai Kelabu pun sunggingkan senyum 

sinis. "Aku juga tahu gigi rahangmu yang belakang 

patah! Keluarkanlah dari mulutmu, tak perlu kau 

simpan, nanti tertelan!"

"Puih...!" Tanjung Bagus menggeram jengkel 

setelah meludah, karena memang gigi gerahamnya 

patah, dan bagian yang patah itu baru saja 

diludahkan keluar. Sementara itu, Badai Kelabu 

menggerakkan pundak kanannya, karena memang 

pukulan Tanjung Bagus membekas biru di dada 

kanannya dan terasa sakit bagai disengat 

kalajengking. Gerakan pundak itu sebagai gerakan 

penahan rasa sakit di dada kanan.

Tiba-tiba keduanya sama-sama sentakkan kaki 

dan melayang di udara. Tanjung Bagus melebarkan 

kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan, 

Badai Kelabu meletakkan telapak tangannya yang 

kanan ke bawah ketiak dengan jari mengarah ke 

bawah, sedangkan tangan kirinya maju ke depan siap 

menangkis pukulan lawan.

Tubuh mereka saling berbenturan di udara. 

Tangan kiri Badai Kelabu mengibaskan pukulan 

tangan kanan Tanjung Bagus, tapi tangan kiri Tanjung 

Bagus berhasil menghantam dada kanan Badai 

Kelabu, dan tangan kanan Badai Kelabu masuk ke 

tengah dada Tanjung Bagus.

Buhgg...! Behgg...!

Tubuh mereka saling dorong, sama-sama terpental 

ke belakang. Lalu keduanya sama-sama 

mendaratkan kaki di tanah dengan kaki merendah,

dan badan sama-sama sedikit melengkung ke depan.

Badai Kelabu tampak memucat, demikian pula 

Tanjung Bagus. Keduanya sama-sama tak bicara 

dalam tiga helaan napas. Tapi mata mereka saling 

beradu pandang tanpa berkedip. Kejap berikut 

terlihat ada darah keluar dari bibir Tanjung Bagus. 

Meleleh melalui sudut bibir. Sesaat kemudian keluar 

juga darah dari mulut Badai Kelabu, mengalir lewat 

pertengahan mulutnya.

"Cuih...!" Badai Kelabu meludahkan darah ke 

samping.

"Cuih...!" Tanjung Bagus pun meludahkan darah ke 

depan. 

Badai Kelabu menyapu bibirnya dengan lengan 

baju, Tanjung Bagus menyapu bibirnya dengan kain 

jubah. Beberapa saat setelah mereka sama-sama 

diam mematung dan saling mengumpulkan tenaga 

baru, Tanjung Bagus cepat serukan kata,

"Menyerahlah, Badai Kelabu! Serahkan peta itu 

padaku sebelum kuputuskan untuk mengakhiri 

riwayat hidupmu!"

"Jangan lagi bicara soal peta! Sudah kukatakan, 

aku tak menyimpan peta itu! Tapi kalau kau berkeras 

hati untuk mencabut nyawaku, mari kita tentukan 

siapa yang lebih dulu tercabut nyawanya!"

"Manusia keras kepala!" geram Tanjung Bagus, 

kemudian kedua tangannya cepat bergerak dari 

samping kanan-kiri ke depan dan menyentak kuat. 

Wuuttt...!

Pukulan tenaga dalam terlepas dari kedua tangan 

yang saling berhimpit pergelangannya itu. Pukulan 

tenaga dalam itu berwarna kuning dan berasap tipis. 

Sasarannya tubuh Badai Kelabu.

Maka dengan cepat Badai Kelabu sentakkan kaki,

tubuhnya melayang ke atas melewati batas gerakan 

sinar kuning tingginya. Dari atas Badai Kelabu 

sentakkan dua jarinya dan meluncurlah sinar merah

ke arah Tanjung Bagus. Wuusss...!

Tanjung Bagus hanya miringkan badan ke samping 

dalam sikap kedua kaki merapat, dan sinar merah 

lewat di depannya, menghantam gugusan batu di 

kejauhan sana. Blarr...! Gugusan batu itu pecah.

Sementara sinar kuning dari Tanjung Bagus 

menghantam sebatang pohon berukuran satu 

pelukan manusia dewasa. Pohon itu tumbang dalam 

keadaan patah tak beraturan. Brukkk...!

Tetapi di luar dugaan, telapak kiri Badai Kelabu 

bergerak cepat pada saat Tanjung Bagus berkelit ke 

samping dengan merapatkan kaki tadi. Sebuah 

pukulan tenaga dalam tanpa sinar melesat dan 

menghantam pinggang Tanjung Bagus. Buhggg...!

Tubuh Tanjung Bagus tersentak naik dan oleng ke 

samping, lalu jatuh berguling-guling bagai mendapat 

dorongan angin besar. Sampai di bawah sebuah 

pohon, Tanjung Bagus berdiri dengan satu lutut dan 

ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Carilah peta itu ke neraka, Banci kurap! Hiaaat...!"

Badai Kelabu kembali melepaskan tenaga 

dalamnya melalui dua jari yang disentakkan ke depan 

dalam posisi tangan tengadah ke atas. Dari jari itu 

kembali keluar sinar merah bagaikan lidi panjang. 

Zraaaat...!

Tanjung Bagus dalam keadaan lemah dan tak bisa 

bergerak cepat. Bahkan ketika ia mau bergerak 

menghindar, lututnya terpeleset dan ia jatuh 

bertumpu tangan di tanah. Saat itu, sinar merah telah 

mendekat dan sangat dekat.

Tapi tiba-tiba, wesss...! Sesosok bayangan

berjubah hitam melesat dan mengangkat tubuh 

Tanjung Bagus. Sinar merah itu akhirnya mengenai 

batang pohon, dan pohon itu pun pecah. Blarrr...! 

Sedangkan Tanjung Bagus tahu-tahu sudah berada di 

gugusan tanah yang lebih tinggi letaknya dari tempat 

Badai Kelabu berdiri.

Seorang nenek keriput sudah berdiri di samping 

Tanjung Bagus. Orang berusia sekitar enam puluh 

tahun itu mengenakan jubah hitam dengan pakaian 

dalam dan celana berwarna putih kusam. Rambut 

putihnya digulung kecil di tengah kepala, sisanya 

dibiarkan terurai sebatas punggung. la menggenggam 

tongkat berujung lengkung mirip tanda tanya. Tongkat 

itu berwarna hitam yang ukurannya kurang dari satu 

genggaman tangan. Mungkin hanya separo 

genggaman.

Badai Kelabu mengenali nenek kurus itu, 

karenanya dia segera menyapa dengan suara 

lantang.

"Kau ingin membela muridmu juga, Nini Pasung 

Jagat?!"

"Seorang Guru sudah selayaknya menyelamatkan 

muridnya!" kata Nini Pasung Jagat dengan suara 

tuanya yang kecil melengking itu.

"Jika kau ingin selamatkan muridmu, cepatlah 

bawa pulang si Banci rapuh itu!"

"Hi hi hi hi...! Membawa pulang adalah hal yang 

mudah, Badai Kelabu. Tapi kulihat dia belum 

dapatkan peta itu darimu!"

"O, jadi kau yang suruh dia merebut peta dariku?"

"Aku membutuhkan peta sebagai penunjuk jalan 

menuju gua itu, di mana terdapat Kolam Sabda Dewa! 

Hi hihi...! Kurasa bukan hanya aku yang 

membutuhkan Kolam Sabda Dewa, tapi murid

banciku ini juga membutuhkannya, untuk mengubah 

nasibnya yang enggan menjadi laki-laki. Dia ingin 

menjadi wanita sejati! Hi hi hi...!"

Kasak-kusuk di balik semak kembali terdengar, 

yaitu bisikan Pendekar Mabuk dengan Dewa Racun.

"Rupanya perempuan cantik itu banci?! Dia 

seorang lelaki?!"

"Kkaau... kau... tertipu, Suto! Kita berdua tertipu. 

He he...!"

"Ssst...!" Pendekar Mabuk mengingatkan supaya 

tawa Dewa Racun diredam agar suara mereka tidak 

terdengar.

"Apakah kau pernah dengar Kolam Sabda Dewa, 

Dewa Racun?"

"Belum pernah! Ak... ak... aku tak tahu apa 

kehebatan Kolam Sabda Dewa itu!"

"Pasti kolam yang sangat penting dan punya nilai 

tinggi. Jika tidak, tak mungkin Tanjung Bagus dan 

gurunya mempertaruhkan nyawa untuk merebut peta 

dari tangan Badai Kelabu!"

"Dan pas... pas... pas...!

"Pasar?!"

"Pasti! Dan pasti Badai Kelabu mengetahui apa 

kehebatan kolam tersebut, Suto! Jadi, nanti kamu 

tanyakan sendiri saja kepadanya!"

"Ya. Tapi aku tak sabar menunggu pertarungan 

mereka yang tiada habisnya. Aku harus cepat 

menemui gurunya Badai Kelabu untuk melakukan 

pengobatan, lalu kita kembali ke Pulau Beliung 

sebelum Hantu Laut mengamuk di sana dengan 

Pusaka Tombak Maut di tangannya! Aku harus 

membantu Badai Kelabu agar cepat selesai 

urusannya...."

"Ssst...! Jang... jang... jang...."

"Jangkrik?!"

"Jangan! Maksudku... jang... jangan dulu bertindak. 

Kita nanti jadi punya urusan dengan Nini Pasung 

Jagat itu! Biarkan Badai Kelabu menyelesaikan 

urusannya sendiri. Kalau memang dia terdesak, 

bolehlah kita kasih ban... ban... ban...."

"Bantai?"

"Bantuan!" sentak Dewan Racun dengan gemas 

dan bersuara lirih.

"Menurutku Nini Pasung Jagat itu tidak seimbang 

jika melawan Badai Kelabu. Perempuan tua itu 

berilmu tinggi. Dari gerakannya menyambut Tanjung 

Bagus saja sudah terlihat dia berilmu tinggi. Badai 

Kelabu bisa mati di tangannya. Aku harus segera 

menolongnya!"

"Ya. Tapi lakukanlah secara sem... sem...

"Semut?"

"Sembunyi-sembunyi!" geram Dewa Racun dengan 

kegagapannya sendiri. "Tap... tapi... lihatlah, di atas 

pohon sana ada seseorang yang mengintai mereka!"

"O, ya! Aku melihatnya! Tapi... perempuan 

berpakaian merah di atas pohon itu memihak siapa? 

Badai Kelabu atau Tanjung Bagus?"

*

* *

 

2

 

NlNI Pasung Jagat segera turun dari tempat yang 

tinggi itu. Gerakan turunnya bersalto satu kali. 

Jubahnya berkelebat bagaikan hembusan angin 

gelap. Ketika ia mendaratkan kakinya di tanah, 

jubahnya masih bergerak melambai turun bagaikan 

sayap seekor garuda. la berdiri dengan tegak, sambil 

tetap berpegang pada tongkat melengkung setinggi telinganya.

Badai Kelabu pasang kuda-kuda dengan penuh 

waspada. Tangan kanannya sudah terangkat di atas 

kepala, telapak tangannya terbuka menghadap ke 

depan, tangan kirinya sedikit terlipat di depan dada, 

sebagai persiapan menangkis serangan mendadak 

dari depan.

"Hi hi hi hi...," Nini Pasung Jagat tertawakan gaya 

siaga dari lawannya. "Untuk apa kamu bersiap 

menggunakan kuda-kuda seperti itu, Badai Kelabu? 

Apakah kamu pikir kamu bisa mengalahkan diriku? 

Apakah kamu pikir kamu bisa mematahkan 

seranganku?"

"Majulah kalau kau ingin mencoba ilmuku, Nini 

Pasung Jagat!"

"Hi hi hi hi...! Gurumu saja tunduk di depanku, 

apalagi kamu yang masih kemarin sore, Badai 

Kelabu!"

"Omong kosong! Guruku tak pernah berhadapan 

denganmu! Kau selalu lari terbirit-birit jika melihat 

guruku!" ketus Badai Kelabu.

"Kalau perlu, panggillah gurumu! Suruh dia 

menghadapiku sekarang juga! Kutunggu dia di sini!"

"Cukup aku yang menghadapimu, Nenek peot!"

Nini Pasung Jagat menggeram, menahan amarah 

dikatakan sebagai nenek peot. Tangannya 

menggenggam tongkat dengan kuat-kuat. Giginya 

yang sebagian ompong bagian depan itu 

menggeletak.

Tiba-tiba rumput di bawah telapak kakinya itu 

bergerak-gerak. Warnanya berubah jadi kuning 

kecoklatan, lalu coklat tua dan akhirnya kering dalam 

keadaan hitam. Asap mengepul dari telapak kaki Nini 

Pasung Jagat, itu menandakan kemarahannya

terpendam kuat-kuat hingga tenaga dalamnya 

tersalur lewat kaki dan membakar rumput yang 

diinjaknya. Jika tenaga dalam itu disentakkan ke 

depan untuk memukul Badai Kelabu, belum tentu 

Badai Kelabu bisa mengatasinya. Kelihatannya 

tenaga dalam itu muncul dari ilmu yang cukup tinggi. 

Badai Kelabu sendiri sempat merasa gentar sedikit, 

tapi cepat-cepat ia buang kegentaran hatinya.

"Badai Kelabu!" geram Nini Pasung Jagat. "Aku 

merasa sayang jika harus melukai tubuhmu. Kau 

perempuan yang cantik. Jadi, alangkah sayangnya 

jika kecantikan itu harus kulukai. Ada baiknya kita 

berdamai saja. Kutukar peta Kolam Sabda Dewa itu 

dengan sekotak perhiasan masa mudaku dulu!"

"Aku tidak butuh perhiasan lagi! Aku sudah cukup 

banyak mempunyai perhiasan, Nini!"

"Bagaimana jika kutukar peta itu dengan jurus 

'Rembulan Berdarah'?! Jurus ini belum pernah 

kuturunkan kepada murid siapa pun juga, karena 

merupakan jurus andalan yang paling berbahaya! Kau 

tak akan rugi menukar peta Kolam Sabda Dewa 

dengan jurus 'Rembulan Berdarah'!"

"Aku tidak butuh jurus murahanmu itu, Nenek 

Peot!"

"Laknat kau!" sentak Nini Pasung Jagat, hilang 

sudah kesabarannya. Maka, dengan cepat ia 

sentakkan kakinya, dan tubuhnya melayang terbang 

ke arah Badai Kelabu. Tongkatnya dikibaskan bagai 

ingin menggaet leher lawannya. Tapi Badai Kelabu 

sudah siap menghindar atau menangkis. Karena ia 

tahu tongkat itu bukan sembarang tongkat, maka 

Badai Kelabu pun segera sentakkan kaki dan 

melompat ke arah samping.

Wuusss...! Tongkat itu menebas tempat kosong.

Tapi angin tebasannya cukup besar, hingga tubuh 

Badai Kelabu tersentak mundur tiga langkah dari 

tempatnya berdiri.

Nini Pasung Jagat bergerak memutar seperti orang 

mabuk. Cepat sekali gerakan tubuhnya memutar, 

hingga jubahnya mengembang mekar mirip bunga 

matahari. Tongkatnya direntangkan siap menyabet 

apa saja yang didekatinya.

Badai Kelabu cemas akan dirinya yang terdesak di 

antara dua pohon. Maka dengan cepat, Badai Kelabu 

pijakkan kakinya di dua pohon yang bersebelahan itu. 

Dengan berpijak pada pohon, ia bergerak naik 

dengan cepat bersama kedua kaki tetap masing-

masing berpijak pada pohon yang berbeda. Sedikit 

tinggi dari letak semula, Badai Kelabu cepat 

sentakkan kedua kaki dan tubuhnya melayang 

terbang di udara dengan berjungkir balik dua kali, 

Wutt wuttt...!

Pada saat itu tongkat Nini Pasung Jagat 

menyambar dua batang pohon pinus yang tadi 

digunakan panjatan kaki Badai Kelabu. Begitu 

tongkat itu mengenai batang pohon, terdengarlah 

suara ledakan yang cukup keras dua kali.

Blarrr... blarrr...!

Bukan hanya Badai Kelabu yang tersentak kaget, 

tapi Tanjung Bagus yang masih duduk dengan 

bersimpuh itu pun terkejut sehingga latah bancinya 

keluar.

"Eh, Ala... kuda, kucing, babi, kambing, marmut...! 

Aduh, kaget aku! Jantungku mau copot rasanya!" 

suaranya melenggok manja. la pun terbatuk-batuk 

dan mengeluarkan darah lagi dari mulutnya. Darah itu 

adalah darah akibat luka pukulan Badai Kelabu tadi.

Badai Kelabu benar-benar tak diberi kesempatan

menyerang oleh Nini Pasung Jagat. Setelah Badai 

Kelabu melompat dan berguling untuk menghindari

rubuhnya dua pohon itu, Nini Pasung Jagat cepat

melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan 

menggunakan telapak tangan kirinya yang berwarna 

hitam separo itu. Wusss...!

"Modar kau, Bocah laknat!" teriak Nini Pasung

Jagat dengan murka.

Pukulan itu berubah-ubah wujudnya. Kadang 

seperti gulungan asap hitam, kadang menyala merah 

seperti bara. Sasarannya adalah kepala Badai 

Kelabu. Gerakannya begitu cepat, bahkan mengikuti 

ke mana pun perginya Badai Kelabu.

Perempuan muda itu kewalahan, berjumpalitan ke 

sana-sini, tapi ia masih tetap dikejar oleh gumpalan 

asap yang berubah-ubah bentuk itu. Kadang Badai 

Kelabu menghindari dengan sentakan kaki yang 

membuat tubuhnya melenting di udara. Tapi 

gumpalan asap itu ikut melesat naik memburu tubuh 

Badai Kelabu.

"Hi hi hi...! Tak akan bisa kau menghindari jurus 

'Rembulan Berdarah', Bocah laknat! Itulah jurus yang 

akan kuturunkan padamu, tapi kamu 

menyepelekannya! Dan, ini satu lagi...! Hiaaat...!"

Wuussss....!

Kini dua gulungan asap hitam yang sering berubah 

menjadi bara api mengejar Badai Kelabu. Gerakannya 

begitu cepat, sehingga Badai Kelabu merunduk, 

menggeliat ke samping, melompat dan bergerak apa 

saja untuk menghindari serangan dua gulungan asap 

tersebut. Bahkan sampai Badai Kelabu berguling-

guling di tanah, kedua gulungan asap itu masih terus 

mengejarnya dari dua arah.

Kejap berikutnya Badai kelabu sentakkan kaki dan

melesat tinggi. Tapi dari arah bawah ia dikejar 

gulungan asap pertama, dari arah belakang ia 

dihampiri gulungan bara kedua. Badai Kelabu benar-

benar dalam bahaya. la sentakkan tangannya, 

mengirimkan pukulan bertenaga dalam yang 

memancarkan warna biru. Namun warna sinar biru itu 

padam seketika begitu membentur gulungan asap.

Dan ia masih diburu oleh dua gulungan asap sebesar 

kepala manusia dewasa. 

Blarrr…! Blarrr...!

Tiba-tiba dua gulungan asap itu pecah dan 

menimbulkan ledakan yang mengguncang bumi. 

Pohon-pohon bergetar, daunnya berguguran. Tubuh 

Badai Kelabu pun terhempas bagai dilemparkan oleh 

tangan raksasa. Hampir saja ia membentur gugusan 

batu jika tidak segera berkelit lalu berguling di 

rerumputan.

Di atas tanah tinggi, Tanjung Bagus tersentak. 

Duduknya sampai terlonjak ke atas dan ia memekik 

latah.

"Kambing, kucing, kodok, jangkrik, babi ngepet...!

Suara apa itu tadi, ya...?!" ia menjadi tegang dan 

ketakutan. Buru-buru ia menelungkupkan diri dengan 

kepala sedikit tersumbul mencari tahu penyebab 

suara ledakan yang menggelegar itu.

Sedangkan Nini Pasung Jagat terkesiap beberapa 

saat lamanya, ia terbungkam mulutnya dan berhenti 

bergerak bagaikan patung. Tapi matanya memandang 

kepulan asap yang membubung tinggi akibat dua 

ledakan jurus 'Rembulan Berdarah'nya itu Dalam 

hatinya ia membatin,

"Keparat mana yang bisa meledakkan juru 

'Rembulan Berdarah'-ku?! Baru sekarang kulihat ada 

orang mematahkan jurus andalanku itu! Monyet

kering!' rutuknya tiada berkesudahan.

Badai Kelabu terengah-engah. Terlalu letih 

tubuhnya bergerak menguras tenaga saat 

menghindari maut tadi. la masih terkulai di bawah 

pohon. Ia tak tahu, Nini Pasung Jagat telah bersiap 

menghujamkan ujung tongkat yang tumpul itu, namun 

tentunya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang 

cukup tinggi.

Sebelum nenek keriput dan kurus itu 

menghujamkan tongkatnya, tiba-tiba sebuah sinar 

hijau bening melesat ke arahnya. Wuttt..! Cepat-cepat 

Nini Pasung Jagat hadangkan telapak tangan kirinya, 

dan sinar hijau bening itu menghantam telapak 

tangan kiri yang belang separo itu. Blabbb...! Letupan 

teredam mempunyai sentakan tenaga cukup kuat.

Tubuh Nini Pasung Jagat terhempas ke belakang, 

namun hanya terhuyung-huyung dan tak sempat 

jatuh. la kembali bisa berdiri tegak, memandang ke 

arah kiriman sinar hijau tadi. "Babi kurap! Kau ikut 

campur juga rupanya?!" geram Nini Pasung Jagat 

kepada perempuan yang baru saja turun dari pohon.

Perempuan muda berusia sebaya dengan Badai 

Kelabu itu mengenakan rompi ketat tertutup 

depannya berwarna merah tua, celananya hitam 

bersabuk kuning kehitam-hitaman. la punya wajah 

lonjong, berambut panjang dikepang satu, melilit di 

lehernya. Ia mengenakan ikat kepala dari tali putih 

halus, sepertinya terbuat dari benang-benang sutera, 

ia menyandang pedang yang panjangnya setengah 

depa, disematkan di punggung. Tali pedang yang 

coklat itu melintang di dadanya yang sekal. 

Perempuan itu adalah orang yang dilihat Pendekar 

Mabuk dan Dewa Racun tadi. 

Melihat kemunculan perempuan berambut

kepang, Nini Pasung Jagat yang sudah mengenal 

siapa perempuan itu menjadi membatin sendiri 

dalam hatinya.

"Pukulan sinar hijaunya tidak seberapa. Tapi 

sehebat itukah dia? Begitu tinggi ilmu yang dimiliki 

jika benar dia yang telah menghancurkan jurus 

'Rembulan Berdarah'-ku tadi?! Mungkinkah dia 

mempunyai kekuatan yang begitu hebat hingga bisa 

mematahkan jurusku? Tak disangka kalau dia 

ternyata mampu menandingi jurus 'Rembulan 

Berdarah', padahal belum lama ini Tanjung Bagus 

pernah menghajarnya sampai hampir mati, walaupun 

Tanjung Bagus sendiri juga hampir mati. Tapi, jika ia 

punya ilmu tinggi yang bisa menghancurkan jurus 

'Rembulan Berdarah'-ku tadi, mestinya ia dengan 

mudah bisa membunuh Tanjung Bagus!"

Melihat kemunculan temannya, Badai Kelabu 

merasa sedikit tenang. la cepat ucapkan kata,

"Terima kasih atas pertolonganmu, Melati Sewu! 

Kalau gumpalan asap tadi tidak kau hancurkan, 

matilah aku. Sudah habis tenagaku untuk 

menghindarinya!"

"Bukan aku pelakunya," jawab Melati Sewu dengan 

berbisik, lalu ia menolong Badai Kelabu untuk 

bangkit. la kembali berbisik,

"Justru aku sedang mencari siapa orang yang bisa 

menghancurkan jurus maut Nini Pasung Jagat itu?"

"Kalau begitu...," Badai Kelabu tidak melanjutkan 

kata-katanya. la segera membatin, "Pasti Pendekar 

Mabuk yang melakukannya! Hampir aku lupa kalau 

aku membawa Suto dan Dewa Racun. Tapi, sebaiknya 

biarlah mereka berada di tempatnya dulu. 

Kubereskan dulu si tua peot ini dengan dibantu 

kekuatan Melati Sewu!"

Segera terdengar kata-kata lepas dari Nini Pasung 

Jagat,

"Melati Sewu! Kau datang ke pertarungan ini untuk 

serahkan peta Kolam Sabda Dewa atau untuk 

serahkan nyawa?!"

Tapi Melati Sewu berbisik kepada Badai Kelabu, 

"Guru semakin parah! Apakah kau mendapatkan Batu 

Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat? Aku hampir saja 

menyusulmu ke pulau Beliung, tapi terhenti di sini 

dan melihatmu bertarung dengan si tua edan itu!"

"Batu Galih Bumi tidak kudapatkan, Melati Sewu! 

Tapi aku membawa seorang tabib muda yang ilmunya 

cukup tinggi."

"Kalau begitu, cepat kita bawa dia ke 

pesanggrahan biar Guru segera dapat tertolong!"

"Ya. Tapi bereskan dulu urusan ini, baru kita bawa 

dia ke sana!"

Nini Pasung Jagat membentak dengan suara 

keras, "Melati Sewu! Jawab pertanyaanku!"

Tapi Melati Sewu sengaja berbisik kepada Badai 

Kelabu supaya kemarahan Nini Pasung Jagat 

menyerang diri sendiri.

"Kau istirahatlah, biar aku yang maju! Tapi tetap 

waspada!"

"Baik! Aku akan membantumu dari belakang!"

Merasa disepelekan, Nini Pasung Jagat cepat 

sentakkan tangan kirinya dengan jari berbentuk

cakar. Wuttt...! Sebuah pukulan tanpa wujud 

dilepaskan untuk menegur sikap kedua perempuan 

itu yang dianggap meremehkan dirinya. Tetapi Melati 

Sewu sudah siaga, Dengan cepat ia pun sentakkan 

tangan kanan dan pukulan tanpa wujud itu saling 

berbenturan di pertengahan jarak mereka.

Duhbb...! Wusss...!

Asap mengepul naik, lalu hilang terbawa angin.

"Keparat kau, Melati Sewu!" geram Nini Pasung 

Jagat. "Jika kau memiliki peta itu, serahkan padaku! 

Jika tidak, menyingkirlah biar tidak menjadi korban 

sia-sia dalam pertarunganku ini!" 

"Aku tak punya peta dan tak punya niat untuk 

menyingkir!" kata Melati Sewu dengan lantang dan

berani.

"Kalau begitu, terpaksa aku menghancurkan 

tubuhmu yang ramping keropos itu! Hiaaat...!"

Melati Sewu sentakkah tongkatnya. Nyala api biru 

melesat bagai bola kecil yang menerjang cepat. Tapi 

Melati Sewu tak kalah sigap. la kibaskan kepalanya 

dan kepang rambut pun lepas berkelebat menyabet 

bola biru itu. Tarr...!

Kepang itu melecut kuat, bola biru dihantamnya 

dan hancur dalam kepulan asap biru. Kepang rambut 

itu segera ditarik kembali dan bergerak melilit ke 

leher lagi dalam satu sentakan kepala kecil. Wuttt... 

slleb!

"Hiaaaat...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras 

melayang melewati kepala Nini Pasung Jagat. 

Rupanya Tanjung Bagus tak sabar melihat lagak 

Melati Sewu yang beberapa waktu lalu hampir 

merenggut nyawanya dalam satu pertarungan di tepi 

pantai.

Tanjung Bagus telah mencabut dua trisulanya. 

Satu dimainkan dalam keadaan berputar, satu lagi 

cepat ditusukkan ke dada Melati Sewu. Tapi dengan 

cekatan Melati Sewu miringkan badan sehingga 

tusukan itu mengenai tempat kosong. Seketika itu 

juga tangan Melati Sewu menghantam dalam gerakan 

menyamping. Buhggg...!

Cukup kuat pukulan menyamping dari Melati

Sewu. Kena telak di bawah pundak kiri Tanjung 

Bagus. Pukulan itu membuat Tanjung Bagus memekik 

tertahan dengan langkah tersentak mundur dua 

tindak. Tapi ia cepat tegakkan kepala dan kedua 

trisulanya diadukan di atas kepala. Trangng...! 

Perpaduan dua trisula itu menimbulkan loncatan api 

biru yang segera menyambar Melati Sewu.

"Hiaaat...!"

Melati Sewu mencabut pedang sambil bersalto ke 

belakang menghindari kilatan cahaya biru itu. Cahaya 

tersebut mengenai tempat kosong. Hanya membakar 

ilalang di belakang Melati Sewu. Sedangkan Melati 

Sewu sendiri cepat sentakkan kakinya dan tubuhnya 

melayang dengan pedang bergerigi di kedua sisinya 

itu ditebaskan ke arah Tanjung Bagus. Cepat-cepat 

Tanjung Bagus berlutut satu kaki sambil 

menyilangkan trisulanya di atas kepala untuk 

menahan tebasan pedang bergerigi. Trangng...!

Cahaya api memercik akibat perpaduan pedang 

bergerigi dan trisula tersebut. Mereka sama-sama

tidak peduli. Mereka sama-sama jauhkan diri untuk 

cari peluang menyerang yang lebih baik lagi.

Tapi pada saat Melati Sewu pijakkan kakinya ke 

bumi, Nini Pasung Jagat kirimkan pukulan jurus

'Rembulan Berdarah' lagi ke arah Melati Sewu 

Wusss...!

Gumpalan asap hitam melesat berganti-ganti

wujud. Badai Kelabu berseru dengan cemas.

"Awas! Dia gunakan pukulan itu lagi...!"

Melati Sewu cepat sentakkan kaki dan berjungkir 

balik di udara. Gumpalan itu mengejarnya. Tapi tiba-

tiba meledak di pertengahan jarak. Blarrr...!

"E, ala... kadal, babi, kambing, kucing, singa, 

semut...!" terlepas serapah latah dari mulut banci

Tanjung Bagus. Ledakan itu sangat mengagetkan dan

mengguncangkan bumi.

Melati Sewu terpental akibat hentakan daya ledak 

tadi. la jatuh dengan kepala membentur tepian batu. 

Kepala itu terluka dan lecet menimbulkan darah yang 

mengalir perlahan di keningnya. Tapi ia cepat sigap 

berdiri dan siap menghadapi serangan lawan.

Saat itulah muncul Pendekar Mabuk dengan

bumbung tuak yang ada di punggungnya. Hanya Dewa 

Racun yang tahu, bahwa ledakan yang mematahkan 

jurus 'Rembulan Berdarah' tadi adalah karena ulah 

Pendekar Mabuk yang menggunakan jurus 'Jari

Guntur'. Satu sentilan mempunyai tenaga dahsyat

yang mampu memecahkan pukulan 'Rembulan 

Berdarah' itu.

Melihat kemunculan Pendekar Mabuk berwajah 

tampan itu, Tanjung Bagus jadi tertegun dengan mata 

berbinar-binar. Nini Pasung Jagat terperangah heran, 

demikian pula Melati Sewu. Mereka sama-sama 

belum pernah bertemu pendekar setampan itu 

dengan daya tarik yang luar biasa menggetarkan hati.

Melati Sewu mundur sampai mendekati Badai 

Kelabu dan berbisik,

"Siapa dia?"

"Tabib muda yang kusebutkan tadi," bisik Badai 

Kelabu.

"Luar biasa tampannya!"

"Lupakan hasratmu jika kau ingin memilikinya. Dia 

pemuda yang dingin terhadap perempuan! Tak punya 

minat bercinta sedikit pun!"

"Akan kucoba untuk melupakannya!" bisik Melati 

Sewu dengan masih memegang pedang bergeriginya.

Mata Tanjung Bagus semakin berbinar-binar 

kegirangan. Tak mau ia kedipkan mata barang

sekejap saja. Bahkan kini ia masukkan trisulanya dan 

mendekati pendekar tampan itu sambil jalannya 

melenggok-lenggok memancing daya tarik lawan 

jenisnya.

"Tanjung Bagus!" sentak Nini Pasung Jagat. 

"Jangan dekati dia!"

"Aduh, Nini... jahat amat! Aku cuma mau dekat ke 

situ kok!" sambil Tanjung Bagus bergaya manja.

"Kurasa dia yang mematahkan jurus 'Rembulan 

Berdarah'-ku! Berarti dia musuh kita, Tanjung Bagus!"

"Musuh ya tinggal musuh. Kalau cuma ingin dekat 

tak apalah!"

"Mundur kau!" bentak Nini Pasung Jagat. Kali ini

diiringi mata membelalak galak.

Tanjung Bagus terpaksa mundur dengan wajah

kecewa, menggerutu dengan bibir mencong sana-sini.

"Uuh...! Payah! Dasar orang tua pikun! Tak bisa 

bedakan mana musuh mana kekasih! Uuh...! Benci

aku, benci aku...!"

Nini Pasung Jagat melirik muridnya, sang murid tak 

berani menggerutu lagi, tapi wajahnya tetap 

cemberut. Kemudian Nini Pasung Jagat tatapkan 

mata kepada Pendekar Mabuk dan ia mulai angkat 

bicara dengan nada ketus tak bersahabat.

"Apa maksudmu mematahkan jurus Rembulan

Berdarah'-ku?!"

"Sekadar mengingatkan kau, bahwa jurus 

berbahaya itu tak pantas kau pakai untuk menyerang

kedua perempuan itu!" jawab Suto Sinting, lalu ia

ambil bumbung tuak, dan menenggak seenaknya di

depan Nini Pasung Jagat. Beberapa teguk tuak cukup 

sudah sebagai pembasah tenggorokannya.

"Kau telah campur tangan dalam urusanku!" Nini

Pasung Jagat mendekat dengan langkahnya yang

masih tegas. Lalu, ia sipitkan mata dan berkata 

dalam geram,

"Sekali lagi kau ikut campur dalam urusanku, tak

segan aku merobek-robek wajah tampanmu! 

Mengerti?!"

"Aku kurang mengerti," jawab Pendekar Mabuk

sambil tersenyum-senyum.

"Manusia bodoh!"

"Bagaimana kau bisa merobek wajahku kalau 

menamparku saja tak bisa kena?!"

"Siapa bilang! Nih, rasakan...! Hiih...!"

Plakkk...! Keras sekali tamparan itu mendarat di 

pipi Pendekar Mabuk. Hampir saja Badai Kelabu

sentakkan kaki untuk menyerang balas kepada Nini 

Pasung Jagat. Tapi melihat Pendekar Mabuk hanya 

tersenyum tenang, niat itu dibatalkan.

"Tamparanmu terlalu ringan, Nini! Mana bisa 

menghancurkan wajahku?" kata Suto bagai 

memancing kemarahan nenek tua itu.

"Kurang ajar! Kalau kau ingin yang lebih keras, 

terimalah pukulan 'Elang Rakus' ini! Hihh...!"

Nini Pasung Jagat sodokkan tongkatnya dari 

bawah ke atas. Dagu Suto terkena telak. Keras sekali 

sodokannya. Wajah Pendekar Mabuk sempat 

tersentak ke belakang. Desss...!

"Aauh...!"

Bukan Pendekar Mabuk yang memekik kesakitan, 

tapi Tanjung Bagus yang ada di belakang Nini Pasung 

Jagat. Badai Kelabu dan Melati Sewu memandang 

heran melihat kepala Tanjung Bagus ikut tersentak ke 

belakang. Mereka segera lupakan hal itu, karena 

Tanjung Bagus punya kebiasaan latah. Tapi 

seringainya menandakan seringai kesakitan yang 

sungguh-sungguh. Aneh juga, jika gerakan itu hanya

karena latah, tak perlu Tanjung Bagus menyeringai 

kesakitan, juga tak perlu mulutnya mengeluarkan 

darah kental.

Pendekar Mabuk tetap tersenyum kalem 

memandangi Nini Pasung Jagat. Yang dipandangi 

heran juga dalam hatinya. Pendekar Mabuk segera 

berkata,

"Mengapa tak kau gunakan pukulan 'Rembulan 

Berdarah'?! Mungkin pukulan 'Rembulan Berdarah' 

bisa membuatku bergeser dua tindak!"

"Manusia sombong! Untuk membuatmu bergeser 

dua tindak, tak perlu menggunakan jurus 'Rembulan 

Berdarah'. Cukup dengan menggunakan pukulan 'Iblis 

Menjilat Karang', kau akan terlempar mundur lima 

tombak lebih jauhnya!"

Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pukulan 

macam apa itu? 'Iblis Menjilat Karang', jelas itu 

pukulan iblis kurang kerjaan!"

Merasa diremehkan, Nini Pasung Jagat segera

sentakkan tangan kirinya dengan gerakan cepat. 

Pukulan yang menggunakan punggung pergelangan 

tangan itu menghantam telak dada Pendekar Mabuk.

Buhkkk...! 

"Heggh...!"

Tanjung Bagus tersentak dengan pekik tertahan 

dan mata mendelik. Tubuhnya terlempar ke belakang 

bagaikan terbang dan jatuh dalam jarak lima tombak 

lebih, punggungnya membentur pohon besar. Blugg...!

Nini Pasung Jagat terkejut. Suto yang dipukul tapi 

muridnya sendiri yang terlempar jauh dan mulutnya 

mengeluarkan asap. Berarti pukulan 'Iblis Menjilat 

Karang' diderita oleh Tanjung Bagus. Nini Pasung 

Jagat tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah 

menggunakan ilmu 'Alih Raga' dia yang dipukul, orang

lain yang merasakannya. Rasa sakit itu dialihkan 

Pendekar Mabuk ke raga Tanjung Bagus, pada saat 

Tanjung Bagus beradu pandang dengannya. Jika 

bukan murid si Gila Tuak, tak mungkin Suto memiliki 

ilmu sehebat itu.

Nini Pasung Jagat segera mundur dua tindak 

sambil tetap pandangi Pendekar Mabuk dengan dahi 

berkerut tajam.

"Jahanam kau! Ternyata kau memiliki ilmu 'Alih 

Raga'! Setahuku hanya satu orang yang memiliki ilmu 

'Alih Raga', yaitu si Gila Tuak dari tanah Jawa!"

"Aku muridnya! Pendekar Mabuk julukanku!"

"Muridnya...?! Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, tidak! 

Aku tidak percaya! Tidak percaya...!" sambil Nini 

Pasung Jagat menjauh dengan wajah tegang. la 

hampiri Tanjung Bagus yang tak berdaya karena 

pukulan 'Iblis Menjilat Karang' tadi, lalu ia panggul 

banci genit itu, dan ia pun segera lari sambi! 

meninggalkan seruan,

"Aku tak percaya! Aku tak percayaaaa...!"

Satu hal yang ada di dalam otak Suto Sinting 

adalah sebuah pertanyaan, mengapa Nini Pasung 

Jagat tidak percaya bahwa dia adalah murid si Gila 

Tuak.

*

* *


MELATI Sewu pasang lagak judes di depan 

Pendekar Mabuk. Hal itu ia lakukan supaya tak ada 

yang tahu bahwa hatinya mengagumi ketampanan 

Pendekar Mabuk. Juga ia tak ingin Badai Kelabu 

mengetahui bahwa ia tertarik dengan Pendekar

Mabuk yang sering bersikap acuh tak acuh 

kepadanya itu.

"Aku sangsi, apakah anak muda ini bisa 

menyembuhkan penyakit Guru atau hanya 

mempercepat kematian Guru!" katanya kepada Badai 

Kelabu. Sengaja suaranya diperkeras supaya Suto 

mendengarnya. Tapi Suto Sinting berlagak tidak 

mendengar ucapan itu. Dengan seenaknya ia 

menenggak tuak dari dalam bumbung bambunya, 

setelah itu hembuskan napas lega dengan ringan.

"Apakah kau belum melihat kehebatannya yang 

bisa mematahkan jurus maut Nini Pasung Jagat tadi? 

Apakah kau masih belum menyadari bahwa dia 

berilmu tinggi, hingga bisa mengalihkan rasa sakit ke 

tubuh orang lain, seperti yang dialami Tanjung Bagus 

tadi?"

"Hanya itu yang kulihat. Mungkin memang hanya 

itu kehebatan yang ada padanya! Selebihnya ia tak 

memiliki ilmu apa-apa!"

"Jangan bicara begitu! Kubawa dia kemari dengan 

bertaruh nyawa, Melati Sewu! Kau sama saja 

meremehkan usahaku dalam mencari kesembuhan 

bagi Guru! Sepanjang perjalanan aku selalu terancam 

bahaya. Jika tidak bersamanya, mungkin aku tak 

akan sampai di pulau ini lagi, Melati Sewu!"

Akhirnya wanita berkepang panjang itu angkat 

bahu. "Terserah apa katamu! Kalau memang kau 

yakin dia bisa sembuhkan Guru, kita lihat saja nanti 

seperti apa kehebatannya."

"Badai Kelabu!" panggil Suto dengan mata 

memandang sekeliling. "Apa nama buah yang 

warnanya merah itu?"

"O, itu buah Malagasi! Kalau kau lapar, jangan kau 

makan buah itu, Suto. Sebab buah itu beracun

ganas!"

Pendekar Mabuk memandangi pohon mirip pohon 

palem yang mempunyai buah warna merah segar 

sebesar satu genggaman tangan. Ada banyak buah di 

pohon itu, tapi menurut keterangan Badai Kelabu, 

semua buah Malagasi mempunyai racun yang 

mematikan.

"Seorang perampok yang tertangkap oleh guruku 

dipaksa makan buah Malagasi. Baru tiga gigitan 

perampok itu tubuhnya jadi membiru semua, dan 

akhirnya ia mati tak lebih dari dua puluh hitungan 

sejak ia makan buah Malagasi."

Suto mendekati pohon buah Malagasi itu, lalu 

pangkal pergelangan tangannya menghentak pohon 

tersebut. Dugg...! Cukup pelan sentakan itu, tapi 

membuat satu buah jatuh ke bumi dan cepat 

ditangkap oleh tangan Pendekar Mabuk. Tapp...!

"Pendekar Mabuk, apa yang ingin kau lakukan

dengan buah itu?!"

"Aku ingin mencoba memakannya. Tergiur hati ku 

untuk mencicipi kesegaran buah ini!"

"Jangan! Sudah kubilang buah itu beracun ganas 

yang mematikan! Kami sering menggunakannya

untuk merendam senjata tajam kami!"

Tapi Pendekar Mabuk nekat. Buah itu dicuci 

dengan tuaknya. Sedikit tuak sudah cukup untuk 

mencuci buah tersebut. Badai Kelabu kebingungan 

mencegahnya. la hanya memandangi Suto, sama 

halnya dengan Melati Sewu, juga hanya memandangi 

Pendekar Mabuk, tapi Melati Sewu berbisik,

"Tabib bodoh begitu kau bawa kemari! Dia belum 

bisa membedakan mana makanan yang beracun dan 

yang tidak beracun! Mampuslah dia sebentar lagi...!"

"Suto...!" Badai Kelabu ingin mencegahnya, tapi

ragu-ragu. Dan Suto dengan santainya menggigit 

buah Malagasi, lalu mengunyahnya dengan suara

krus, krus...! Tampak nikmat sekali.

"Hmm...! Enak sekali. Buah ini rasanya seperti

jambu sukun! Manis dan segar!" kata Pendekar 

Mabuk sambil mengunyah buah Malagasi.

Dalam kecemasan yang mendebarkan jantung,

Badai Kelabu mendapat bisikan dari Melati Sewu,

"Hitunglah sampai dua puluh kali. Belum mencapai 

hitungan kelima belas, dia akan jatuh ke tanah dan 

mati terkapar seperti perampok yang dulu itu!"

Karena Badai Kelabu dicekam kecemasan yang 

membingungkan, maka Melati Sewu sendiri yang 

menghitung dengan suara pelan,

"Satu, dua, tiga, empat...."

Badai Kelabu bergegas mendekati Pendekar 

Mabuk dan berkata, "Pendekar Mabuk, kumohon 

buang buah itu! Jangan teruskan makan buah itu, 

Pendekar Mabuk! Aku sudah cukup lama tinggal di 

pulau ini, aku tahu mana buah yang bisa dimakan 

dan yang tidak! Percayalah padaku, Pendekar Mabuk! 

Badanmu akan menjadi biru dan kamu akan mati!"

"Nyatanya sudah lebih dari lima gigitan, badanku 

tidak biru!"

Mata perempuan itu memandang dengan dahi 

tetap berkerut menandakan kecemasannya yang 

tinggi. Tubuh Suto diperhatikan. Tak satu pun bagian 

tubuh Suto yang tampak membiru karena racun. 

Sementara itu, Melati Sewu masih menghitung 

dengan jantung berdebar-debar,

"Tiga belas, empat belas, lima belas, enam 

belas...."

Pendekar Mabuk berkata kepada Badai Kelabu, 

"Kalau temanmu itu kurang percaya dan

meremehkan kesanggupanku, sebaiknya kita 

batalkan saja rencana kita untuk menyembuhkan 

gurumu!"

"Tidak! Jangan begitu, Pendekar Mabuk! Jangan 

hiraukan ucapan Melati Sewu tadi! Dia tidak tahu 

siapa dirimu!"

"Mungkin sebentar lagi dia akan tahu!"

"Ya. Tapi, kumohon buanglah buah itu dan...

dan...!" ucapan Badai Kelabu terhenti setelah 

menyadari Pendekar Mabuk hampir habis memakan 

buah itu. Tapi tak kelihatan diserang racun berbahaya 

yang mematikan. Bahkan samar-samar terdengar 

suara Melati Sewu menghitung.

"Empat puluh empat, empat puluh lima, empat 

puluh enam...!" Melati Sewu pun berhenti 

menghitung. Lalu, ia membatin,

"Mestinya ia sudah mati seperti perampok tempo 

hari. Tapi sampai hitungan keempat puluh enam dia 

belum mati! Aneh?! Manusia apa dia itu sebenarnya? 

Malagasi dimakannya begitu saja! Bahkan… oh, 

bahkan sekarang ia sudah menghabiskan buah itu?! 

Edan! Tak pernah ada orang bisa tetap hidup setelah 

makan buah Malagasi! Hmmm... ya, ya. Aku tahu 

sekarang. Dia sedang pamer ilmu kesaktiannya 

karena mendengar ucapanku tadi meremehkan 

dirinya! Ya, ya... aku akui dia memang berilmu tinggi! 

Kalau bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa 

tetap hidup setelah makan buah Malagasi!"

Sementara itu, Suto segera berdiri dengan 

santainya, Badai Kelabu berbisik,

"Bagaimana kau bisa tetap hidup setelah 

memakan habis buah beracun ganas itu?!"

"Sebelumnya kucuci dulu dengan tuakku!" 

"O, pantaaas...!"

Pendekar Mabuk tersenyum menang, Badai 

Kelabu tertawa geli sendiri.

Namun mendadak mereka dikejutkan dengan

suara pekik yang tertahan. Suara itu datangnya dari 

Melati Sewu. Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu 

cepat menghampiri ke balik gugusan batu tempat 

Melati Sewu berada.

"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu dengan 

suara kaget, karena pada saat itu ia melihat Melati 

Sewu terbungkuk dengan satu kaki berlutut di tanah. 

Mulutnya mengeluarkan darah kental. Di bagian 

dadanya, tampak kulit dada yang hangus membekas 

tangan dengan lima jari. Jelas ia terkena pukulan 

tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Siapa yang menyerangmu, Melati Sewu?! 

Siapa...?!" Badai Kelabu menjadi gusar. Serta-merta 

ia mencabut pedangnya. Srett...! Ia melompat dengan 

lincahnya, hinggap di gugusan batu bertanah itu. 

Matanya memandang liar sekeliling tempat itu.

Pendekar Mabuk segera menolong tubuh Melati 

Sewu yang lemas dan tersengal-sengal napasnya itu. 

Tubuh tersebut dibaringkan. Tapi Melati Sewu masih 

ingin berontak, tak mau dibaringkan. Matanya masih 

bisa memandang dengan sayu. Ia berusaha bangkit 

dan tak mau dibantu oleh tangan Pendekar Mabuk.

Cemas hati Suto saat itu, karena ia bisa menduga

apa yang terjadi setelah itu. Ia langkahkan kaki ke 

belakang dua tindak. la biarkan Melati Sewu berdiri 

dengan berpegangan pada gugusan batu yang 

menjulang tinggi itu. 

"Aku... tak butuh pertolonganmu!" katanya kepada 

Suto, tapi Pendekar Mabuk tidak merasa tersinggung. 

la hanya biarkan saja apa yang dilakukan Melati 

Sewu. Darah kembali tersontak dari mulutnya.

Pendekar Mabuk hanya membatin, bahwa pukulan 

itu pasti pukulan berilmu tinggi dan mempunyai kadar 

racun yang cukup berbahaya.

"Diam di situ, Melati! Biar kucari penyerang 

gelapmu!" seru Badai Kelabu, lalu cepat ia memeriksa 

keadaan sekeliling dengan gerakan cepat dan lincah.

Tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat di

depan dada Melati Sewu. Perempuan yang matanya 

makin sayu itu masih sempat mengibaskan tangan, 

seakan ingin menepiskan tangan Pendekar Mabuk. la 

pun masih sempat berkata,

"Tak perlu kau anggap lemah aku! Aku masih 

mampu... membalas serangan lawanku...."

"Aku hanya menangkap anak panah yang tadi 

hampir saja menembus dadamu!" kata Pendekar 

Mabuk sambil menunjukkan anak panah yang sudah 

tergenggam di tangannya itu. Rupanya lantaran ada

gerakan kilat dari anak panah yang mau menembus 

dada Melati Sewu itulah, maka tadi Suto berkelebat 

tangannya di depan dada perempuan itu, hanya 

untuk menangkap gerakan anak panah tersebut.

Bahkan kali ini, ketika Suto Sinting memandang 

sekeliling, datang lagi anak panah berbulu merah 

bagian ekornya. Anak panah itu melesat dengan 

cepat, hampir tak bisa terlihat. Tapi gerakan mata 

Suto menangkap kelebatan benda kecil tersebut. 

Cepat-cepat Suto melompat di depan Melati Sewu 

yang sedang kerepotan mencabut pedangnya dari 

punggung. Lompatan Pendekar Mabuk begitu cepat, 

dan Melati Sewu tak mengerti apa yang dilakukan 

Pendekar Mabuk dalam gerakan melompat begitu. 

Tapi ia segera melihat ada anak panah lagi di tangan 

Pendekar Mabuk yang sama pendek ukurannya 

dengan anak panah pertama, kira-kira hanya

berukuran dua jengkal.

Brukk...! Tiba-tiba Melati Sewu jatuh bagaikan 

cucian basah. Pucat sekali wajahnya. Lemas sekali 

tubuhnya. Dan telapak tangannya pun terasa dingin 

bagaikan es. Napasnya terhirup dengan tipis, hampir 

tak terlihat gerakan dadanya dalam menghirup 

napas. 

Pendekar Mabuk buru-buru memaksa mulut Melati 

Sewu agar terbuka. Pada waktu itu, Badai Kelabu 

datang sehabis memeriksa sekeliling dan 

mengatakan,

"Tak ada manusia di sekeliling sini!"

"Lupakan manusia itu! Bantu aku membuka mulut 

temanmu ini, biar kupaksakan dia meneguk tuakku. 

Lukanya sangat parah dan berbahaya!"

Badai Kelabu memaksa mulut Melati Sewu 

terbuka. Pendekar Mabuk mengucurkan tuak dari 

bumbungnya dengan perlahan-lahan. Beberapa teguk 

tuak berhasil ditelan Melati Sewu. Setelah itu, 

Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung 

tuaknya.

"Biarkan ia berbaring dulu!" kata Pendekar Mabuk 

sambil melangkah dengan pelan, seakan sedang 

memikirkan sesuatu. Badai Kelabu tak mengerti ada 

anak panah yang terselip di tangan Pendekar Mabuk.

la tidak memperhatikan ke sana. la juga tidak tahu 

bahwa Suto saat itu sedang gelisah dan sengaja 

menjauhinya. Sampai di bawah sebuah pohon, Suto 

berhenti. la berdiri dengan pundak dan lengan 

bersandar di pohon itu. Tangannya mempermainkan 

kedua anak panah tersebut.

Pendekar Mabuk berbicara pelan, "Dewa Racun

turunlah!"

Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Pendekar

Mabuk agak jengkel. Kaki kirinya menendang pelan 

batang pohon yang disandarinya. Dugg...! Tiba-tiba 

pohon itu berguncang, sesuatu jatuh dari atas Suto. 

Grusakkk...! Brukk...!

Dewa Racun menyeringai memegangi 

pinggangnya. la jatuh dalam keadaan terduduk. 

Tulangnya terasa sakit membentur tanah keras. la 

jatuh tepat di depan Pendekar Mabuk. Dan Pendekar 

Mabuk hanya diam saja, tetap tenang sambil 

memandang was-was ke arah gugusan batu tempat 

Badai Kelabui merawat Melati Sewu.

Kedua anak panah yang berhasil ditangkap Suto 

itu dilemparkan tepat jatuh di pangkuan Dewa Racun. 

Orang kerdil berkepala botak di bagian tengahnya itu 

segera mengambil anak panah itu setelah Pendekar 

Mabuk berkata,

"Simpanlah anak panahmu itu! Jangan gunakan 

lagi untuk menyerang teman sendiri!"

Dewa Racun berdiri di depan Pendekar Mabuk. 

Karena ia kerdil, maka ia memandang Suto dengan 

mendongak. Raut wajahnya menampakkan 

kemarahan yang terpendam. Kemarahan itu agaknya 

bukan kemarahan yang sekadar main-main. Karena, 

Dewa Racun segera melangkah tinggalkan Suto 

setelah Pendekar Mabuk bertanya,

"Mengapa kau lakukan hal itu kepada Melati 

Sewu?!"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun. 

Pendekar Mabuk terpaksa bergegas menyusul

langkah Dewa Racun. Agaknya orang kerdil itu 

melangkah ke tempat yang sepi dan agak jauh dari 

tempat semula. Pendekar Mabuk terpaksa berseru 

kepada Badai Kelabu,

"Badai! Tetaplah di situ bersama Melati Sewu! Aku

dan Dewa Racun akan periksa tempat di sana, 

mencari penyerang gelap itu!"

"Hati-hati, Pendekar Mabuk!" balas Badai Kelabu 

tanpa menaruh curiga kepada Dewa Racun.

Sebetulnya, sejak Suto melihat bekas hitam akibat 

pukulan telapak tangan dari jarak jauh yang 

tergambar di dada Melati Sewu, Pendekar Mabuk 

sudah berani memastikan pastilah bekas hitam itu 

adalah telapak tangan Dewa Racun. Ukuran telapak 

tangan yang kecil membuat Suto yakin betul, bahwa 

itu adalah telapak tangan Dewa Racun.

Tapi ia tak berani katakan kepada Badai Kelabu, 

karena takut akan memancing kemarahan Badai 

Kelabu, dan terjadi perselisihan antara Badai Kelabu 

dengan Dewa Racun. Tentunya Dewa Racun 

mempunyai alasan sendiri, mengapa ia melepaskan 

pukulan berbahayanya kepada Melati Sewu. Hal 

itulah yang ingin diketahui oleh Pendekar Mabuk, 

sebelum ia membela di salah satu pihak. Sebab 

setahu Pendekar Mabuk, Dewa Racun bukan orang 

yang suka usil, menjajal ilmu orang lain dengan 

serangan membahayakan.

Dewa Racun sendiri masih membungkam ketika ia 

duduk di salah satu batu yang tingginya sebatas 

pinggang Pendekar Mabuk. Wajah orang kerdil itu 

antara duka dan marah. Sekalipun Suto mempunyai 

ilmu lebih tinggi dari Dewa Racun, tapi ia tetap 

menaruh hormat karena usianya jauh lebih muda 

dibanding Dewa Racun yang saat itu sedang 

menyimpan kegundahan.

Dengan hati-hati, setelah terdiam cukup lama 

Pendekar Mabuk ajukan tanya kepada Dewa Racun.

"Persoalan apa yang membuatmu menyerang dia 

sebenarnya?"

"Pribadi," jawab Dewa Racun.

"Bisa kau jelaskan?"

Dewa Racun tetap tidak memandang Pendekar 

Mabuk. Matanya bagai menatap jauh dalam terai 

wang tak pasti. Lalu, terdengar suaranya yang gagap

mengatakan,

"Dia... dia... ternyata orang yang kuu... kuyu... 

kucari!"

"Kau punya dendam dengannya?" 

"Ya," jawabnya pendek. Diam sebentar, lalu bicara 

lagi,

"Ak... ak... aku pernah mempunyai seorang 

kekasih. Nnnaam... naaam... namanya... namanya 

Gayanti, dengan julukan Giwang Kencana! Tiga tahun

yang lalu, Gayanti diutus gur... gur... gurunya untuk 

menyampaikan Air Tuk Sewu kepada seorang 

begawan yang sedang menderita sakit berat. Tapi di 

perjalanan dihadang oleh Melati Merah, yang 

kemudian berhasil membunuh Gayanti, meminum Air 

Tuk Sewu, dan mengubah nama menjadi Melati 

Sewu. Padahal waktu itu, aku berada di belakang 

Gayanti, mengawasi dari kejauhan. Tapi aku 

terlambat datang. Ak... ak... aku baru datang saat 

Gayanti mau menghembuskan napasnya yang 

terakhir. Dan... dan... dan ia ceritakan siapa 

pembunuhnya."

"Jangan-jangan bukan Melati Sewu yang itu yang 

membunuh kekasihmu, Dewa Racun!"

"Pasti dia! Karena dia dan Gayanti dulu adalah 

teman seperguruan. Aku sering melihat Gayanti 

berjalan bersama dengan dia, tapi Gayanti selalu 

melarangku menemui dia jika ada orang lain. Jadi, 

Melati Merah sampai sekarang tak pernah tahu 

bahwa aku adalah kekasih Gayanti. Tapi aku tahu

bahwa dia adalah pembunuh kekasihku!"

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut, seakan ikut 

merasakan keguncangan hati Dewa Racun saat itu. 

Lalu, Pendekar Mabuk ajukan tanya,

"Lalu, apa kelebihan Melati Sewu setelah 

meminum Air Tuk Sewu itu, Dewa Racun?"

"Men... men... menurut kabar yang kudengar, 

orang yang meminum Air Tuk Sewu akan mencapai 

usia sampai seribu tahun, semasa ia tidak melakukan 

suatu tindakan yang amat ter... ter... terlarang, yaitu 

zinah! Tapi kalau dia pernah melakukan zinah, dia 

kehilangan kekuatan khasiat dari Air Tuk Sewu. Kec... 

kecuali ia lakukan dengan suami sendiri, itu tak 

mengurangi khasiat Air Tuk Sewu!"

Pendekar Mabuk menarik napas setelah bungkam 

beberapa saat, lalu ia ucapkan kata pelan,

"Mudah-mudahan Air Tuk Sewu sudah tidak 

berguna lagi bagi hidup Melati Sewu!"

"Berr... berr... berguna atau tidak, aku tak mau

peduli. Tapi yang kutuntut adalah kematian Gayanti!"

"Maksudmu bagaimana, Dewa Racun?"

"Aku harus menuntut balas atas kematian itu 

kepada Melati Sewu. Dan aku tidak mau ikut campur 

membantu menyembuhkan gurunya!"

"Jangan begitu, Dewa Racun...."

"Tidak! Dendamku belum padam jika belum 

berhasil membunuh orang yang membuatku merana 

sampai sekarang ini!"

"Peristiwa itu sudah berlalu. Semuanya sudah 

telanjur terjadi. Itu namanya suratan takdir, Dewa 

Racun! Kita tak bisa tentukan takdir kematian di 

tangan siapa atau sebab apa. Tak bisa! Satu contoh, 

kalau ternyata kelak takdirku adalah harus mati di 

tangan mu, aku tak bisa mengelak dari takdir itu!"

"Jik... jik... jika kematian Gayanti di tangan Melati 

Sewu itu kau anggap takdir, maka kematian Melati 

Sewu di tanganku juga sebaiknya kau anggap takdir! 

Mengapa kau mau menghalangiku?!"

"Aku bukan menghalangimu, tapi aku hanya 

mengingatkan kamu, bahwa dendam itu tidak 

membawa perdamaian! Dendam itu lingkaran setan 

yang akan terus-menerus menyita ketenangan hidup 

kita. Jika orang masih berpatokan pada dendam dan 

mau diperbudak oleh dendam, maka persoalan orang 

itu tidak akan ada habisnya. Dendam yang sudah 

terbalas akan menimbulkan dendam baru lagi bagi 

pihak yang terbalas. Begitu seterusnya, hingga tak 

ada lagi perdamaian dalam hidup kita, Dewa Racun!"

"Terserah apa kat... kat... katamu! Tapi aku tidak 

mau ikut membantumu dalam menyembuhkan 

gurunya Melati Sewu itu! Aku akan menyerangnya. 

Kau ada di pihakku atau di pihaknya, Pendekar 

Mabuk?"

*

* *

4

 

SAMPAI mereka tiba di pesanggrahan tempat 

gurunya Badai Kelabu bersemayam, baik Melati Sewu 

maupun Badai Kelabu tidak mengetahui bahwa 

penyerang gelap yang telah memukul Melati Sewu itu 

adalah Dewa Racun. Mereka sudah tidak 

mempermasalahkan penyerang gelap dengan 

pukulan maut yang hampir menewaskan Melati Sewu, 

karena keadaan Melati Sewu telah sehat dan segar 

kembali. Luka bakar yang membekas di dadanya itu

pun telah lenyap karena pengaruh tuak yang 

diminumkan oleh Pendekar Mabuk.

Tetapi Dewa Racun masih mempermasalahkan 

kematian Gayanti dan ia tetap mengincar Melati 

Sewu. Andai Suto tidak membujuknya, Dewa Racun 

tidak akan ikut sampai ke pesanggrahan itu. 

Kerasnya dendam yang bagai membeku di darah 

Dewa Racun bisa menjadi sedikit lunak setelah 

Pendekar Mabuk berkata,

"Boleh kau lampiaskan dendammu pada Melati 

Sewu setelah kita selesaikan tugas menyembuhkan 

gurunya Badai Kelabu itu! Aku sudah terikat janji dan

tak mau ingkar. Apa pun yang terjadi aku harus tetap

sembuhkan gurunya Badai Kelabu. Setelah itu, kau

mau lampiaskan dendammu atau tidak, itu 

urusanmu! Kau mau pakai saranku atau tidak, itu 

hakmu! Tapi sebagai teman aku sudah ingatkan 

kamu, jangan turuti kata hati yang menabur dendam 

ke mana-mana! Jangan mau diperbudak oleh 

dendam. Karena dendam tidak akan membawa kita 

damai sampai pada anak-cucu kita kelak!"

Dendam yang telah membeku di darah Dewa 

Racun lama-lama menjadi cair oleh kata-kata Suto. 

Tetapi, Dewa Racun tetap berkata,

"Kuubb... kuubb... kubantu... kubantu kau 

menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu. Tapi 

jangan pak... pak... paksa aku untuk bersikap baik 

kepada Melati Sewu! Bila perlu, jangan suruh aku 

bic... bic... bicara dengannya!"

"Ya, itu terserah kamu! Kalau dia ajak kamu bicara, 

soal kamu mau jawab atau tidak, itu terserah kamu! 

Aku tak akan paksa kamu!"

Sepanjang perjalanan menuju pesanggrahan 

memang terjadi sedikit ketegangan dan kekakuan.

Badai Kelabu mengajak Dewa Racun untuk bercanda, 

tapi tak pernah ditanggapi seperti biasanya. Dewa 

Racun lebih banyak diam ketimbang ikut bicara 

bernada kelakar. Bahkan sesekali ia pandangi Melati 

Sewu dengan hasrat besar ingin cepat menyerangnya 

dengan jurus-jurus mautnya. Tapi ia selalu ingat 

pesan dari Suto, sehingga hasrat itulah yang 

membuatnya kaku dalam menanggapi sapaan Badai 

Kelabu.

"Temanmu yang kecil itu agaknya mudah 

tersinggung. Aku tak berani mengajaknya bicara," 

kata Melati Sewu kepada Pendekar Mabuk.

"Kalau begitu, tak perlu kau ajak bicara jika tak

penting. Dia memang sedang ada masalah dalam

hatinyal Dia punya kecemasan tersendiri yang kita tak 

tahu kecemasan macam apa yang dimilikinya," kata 

Pendekar Mabuk mengambil jalan tengah supaya 

tidak terjadi keributan antara Melati Sewu dan Dewa 

Racun.

Ketika mereka tiba di pesanggrahan, beberapa 

rekan seperguruan Badai Kelabu menyambutnya 

dengan wajah-wajah cerah penuh harap. Dewa Racun 

sengaja duduk di bawah pohon, di luar gerbang 

pesanggrahan. la tak mau ikut masuk, dengan alasan 

ingin menikmati keindahan alam sekeliling tempat itu. 

Sebab tempat itu ada di atas sebuah bukit yang tak 

terlalu tinggi. Dari sana bisa memandang ke arah laut 

yang membiru indah.

"Kau di luar dulu, aku mau masuk ke ruang 

istirahat Guru dan melaporkan kedatanganmu," kata 

Badai Kelabu. "Melati Sewu, tolong temani dulu 

Pendekar Mabuk di pendapa!"

"Di mana pun aku sanggup," jawab Melati Sewu 

yang sudah berbalik sikap, menjadi ramah dan baik

kepada Pendekar Mabuk sejak ia tertolong dari luka

parahnya.

Di pendapa, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya 

kepada Melati Sewu,

"Siapa sebenarnya Nini Pasung Jagat itu?"

"Dia orang sesat!" jawab Melati Sewu. "Dulu dia

punya banyak murid, tapi semua muridnya lari 

kepada kami, karena dia tak segan-segan 

menjatuhkan hukuman mati kepada muridnya untuk 

satu kesalahan kecil. Kini dia hanya punya satu 

murid, yaitu Tanjung Bagus itu. Apakah kau punya 

minat naksir Tanjung Bagus?"

Pendekar Mabuk tertawa dan memancingnya 

dengan pertanyaan, "Kalau aku punya minat naksir 

dia, apakah tak layak?"

"Sangat tak layak! Karena dia itu sebenarnya 

lelaki. Dia seorang yang punya kelainan dalam 

jiwanya. Dia merasa dirinya sebagai wanita, bukan 

sebagai lelaki. Padahal dia punya nama asli Legowo!

Bukan Tanjung Bagus. Kalau kau naksir dia, kau akan 

kecele."

Pendekar Mabuk kembali tertawa, walau 

sebenarnya dia sudah tahu bahwa Tanjung Bagus itu 

banci, dan dia tak punya minat apa-apa kepada 

Tanjung Bagus. Dia hanya ingin menggiring 

pembicaraan itu sampai pada masalah peta yang 

diinginkan Nini Pasung Jagat itu.

"Kudengar Nini Pasung Jagat sangat

mengharapkan untuk mendapatkan peta dari Badai 

Kelabu. Kalau tak salah dengar, peta itu adalah peta 

Kolam Sabda Dewa."

"Ya. Mereka menyangka Badai Kelabu mempunyai 

peta Kolam Sabda Dewa, karena memang hanya 

Badai Kelabu yang pernah ke sana!"

"Apa yang dimaksud dengan Kolam Sabda Dewa 

itu, Melati Sewu?"

"Kolam yang bisa mengubah nasib sesuai dengan 

keinginan kita. Pada saat kita menyelam di dalam 

kolam keramat itu, apa yang kita inginkan dalam hati 

kita bisa terlaksana secara cepat dan gaib. Salah satu 

contohnya adalah Badai Kelabu...."

"Badai Kelabu? Ada apa dengan dirinya?" 

Pendekar Mabuk semakin penasaran.

"Badai Kelabu...," Melati Sewu melirik sekeliling 

sebentar, setelah merasa aman, segera berbisik 

kepada Pendekar Mabuk,

"Dulu, Badai Kelabu adalah gadis yang cacat 

kakinya. Salah satu kakinya kecil dan pendek, hingga 

jalannya pun terpincang-pincang dengan susah. 

Wajah Badai Kelabu tidak secantik sekarang. Dulu 

wajahnya sangat buruk. Bahkan gigi taringnya yang 

kanan panjang, sampai melebihi bibir bawahnya. 

Hidungnya pesek sekali, matanya besar, kulitnya 

bersisik dan banyak borok gatal-gatal di sekujur 

tubuhnya. Dulu dia lahir sebagai anak yang dikutuk 

oleh neneknya sendiri. Rambutnya pun trondol 

sebelah kiri. Lalu, ia dirawat oleh Guru. Dan suatu 

saat, ia menemukan Kolam Sabda Dewa. la mandi 

dan menyelam di dalam kolam itu. Ketika muncul dari 

dalam air kolam, ia sudah berubah menjadi cantik 

seperti sekarang, banyak pemuda yang naksir 

kepadanya, banyak sesama wanita yang mau 

berteman dengannya. Dulu, tak ada yang mau dekat 

dengannya!"

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu, 

dia menyimpan peta menuju Kolam Sabda Dewa?"

"Menurut pengakuannya padaku, dia tak pernah 

membuat peta. Tapi dia masih ingat jalan menuju ke

sana. Aku tak pernah diberitahu tentang jalan itu

olehnya! la sangat merahasiakan tempat Kolam 

Sabda Dewa itu!"

"Apakah menurutmu, Nini Pasung Jagat ingin 

mengubah dirinya menjadi muda dan cantik dengan 

mandi di kolam itu?"

"Jika bukan dengan maksud-maksud seperti itu, 

maksud apa lagi yang ia punyai? Tentunya dia ingin 

dirinya cantik, muda dan beberapa keinginan lainnya. 

Tanjung Bagus pun pasti berkeinginan untuk menjadi 

wanita sejati setelah ia bisa mandi di dalam Kolam 

Sabda Dewa itu! Karenanya ia sangat bernafsu sekali 

mendapatkan peta dari Badai Kelabu!" tutur Melati 

Sewu dengan bersemangatnya, seakan ia merasa 

bangga sekali jika bisa menjelaskan apa saja yang 

belum diketahui oleh Pendekar Mabuk.

"Apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memberi 

kita umur panjang, jika di dalam hati kita meminta 

umur panjang saat menyelam di kedalamannya?"

"Bisa! Bisa saja! Kita minta ingin jadi raja pun 

mungkin pulang dari sana ada rakyat yang 

mengangkat kita menjadi raja!"

"Apakah kita bisa minta usia sampai seribu tahun 

lamanya?"

"Bisa! Itu sangat bisa!"

"Apakah menurutmu, Air Tuk Sewu berasal dari 

sana?"

Terperanjat Melati Sewu mendengar Air Tuk Sewu 

disebutkan Pendekar Mabuk. Jantungnya menjadi 

berdebar-debar. Menurutnya, hanya dirinya dan bekas 

gurunya yang sudah almarhum itulah yang

mengetahui adanya Air Tuk Sewu. Tapi sekarang 

Pendekar Mabuk yang sejak tadi meneguk tuak 

berulang kali itu mengetahui adanya air keramat

tersebut. Melati Sewu sempat bingung memberikan 

jawabannya.

Pendekar Mabuk buru-buru berkata, "Apakah kau 

tahu, bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan 

Air Tuk Sewu?"

Melati Sewu belum bisa menjawab, tapi ia ganti 

bertanya, "Dari mana kau tahu ada air keramat yang 

bernama Air Tuk Sewu?"

"Dari seorang teman perempuanku yang bernama 

Gayanti, atau si Giwang Kencana!"

"Oh...?!" wajah Melati Sewu jelas-jelas terkejut 

tegang.

"Satu purnama yang lalu dia bicara padaku ingin 

meminum Air Tuk Sewu."

"Satu purnama yang lalu?! Oh, tak mungkin!" 

sanggah Melati Sewu dengan hati gusar. "Tak 

mungkin kau bicara dengannya satu purnama yang 

lalu!"

"Mengapa kau bilang tak mungkin?"

"Ka... ka... karena..., ah! Tak mungkin itu!" Melati 

Sewu bingung menjelaskan. Pandangan matanya pun 

kelihatan nanar dan paras wajahnya pucat. Pendekar 

Mabuk tersenyum tipis, tapi dalam hatinya sudah 

merasa lega, berarti memang Melati Sewu itulah yang 

membunuh Gayanti. Dewa Racun tak salah duga.

Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin bicara lebih 

panjang tentang kematian Gayanti dan tindakan keji

Melati Sewu. Tapi Badai Kelabu telah lebih dulu 

menghampirinya dan berkata,

"Guru ingin bertemu denganmu! Ikutlah aku ke 

kamarnya!"

Badai Kelabu menyerahkan kain putih yang sudah 

terlipat rapi. Pendekar Mabuk heran memandangi 

kain itu. Namun Badai Kelabu cepat-cepat

menjelaskan,

"Sebagai tutup hidung! Karena di dalam kamar bau 

busuk amat menyengat hidung! Datangnya dari luka 

di sekujur tubuh Guru!"

Pendekar Mabuk hanya menggenggam kain putih 

menyerupai sapu tangan itu. Sebelum sampai di 

kamar yang dimaksud, Suto menenggak tuaknya 

beberapa teguk. Lalu, ia ikuti langkah Badai Kelabu 

yang masuk di sebuah ruangan lebar. Di situ bau 

busuk sudah tercium tajam. Tapi Suto tetap tenang. 

Badai Kelabu sudah mulai tutupkan kain ke 

hidungnya. la memberi isyarat pada Suto agar segera 

menutup hidung, tapi Pendekar Mabuk hanya 

tersenyum, sepertinya tak pernah merasakan bau 

busuk yang memualkan perut itu.

Sebuah pintu kamar dibuka, Pendekar Mabuk dan 

Badai Kelabu masuk. Tetap saja Pendekar Mabuk 

tidak menutup hidungnya. la bisa bernapas dengan 

lancar, tanpa merasa terganggu bau busuk yang lebih 

tajam itu.

"Guru," kata Badai Kelabu. "Inilah tabib muda yang 

saya katakan tadi! Dia bersedia menyembuhkan 

Guru!"

"Hmmm... ya, suruh dia segera melakukan 

pengobatan untukku!" ucap orang yang berbaring 

dengan sekujur tubuh membusuk hitam. Hanya 

bagian wajahnya yang masih kelihatan kecoklat-

coklatan.

Pendekar Mabuk tertegun bengong memandang 

orang yang berbaring dalam keadaan amat menderita 

itu. Orang itu bertubuh agak gemuk, usianya sekitar 

enam puluh lima tahun. Matanya lebar, berkumis 

lebat. Dari raut mukanya, Pendekar Mabuk bisa 

menilai kebengisan dan keganasan orang itu semasa

mudanya. Bibirnya tebal, hidungnya agak besar. 

Walau rambutnya sudah memutih, tapi Pendekar 

Mabuk dapat membayangkan kalau rambut itu hitam 

dan lebat.

Sebilah pedang bergagang hitam ada di dinding 

dekat pembaringan itu. Pendekar Mabuk berdebar-

debar memandang pedang itu. Darahnya bagaikan 

mendidih dan bergejolak tak tentu arah. Pendekar 

Mabuk berusaha memendam kegusaran hatinya 

dengan menelan napas beberapa kali. Tapi ia tak 

mampu menghentikan tangannya yang gemetaran, 

tak mampu menutup wajahnya yang menjadi pucat 

pasi melihat guru Badai Kelabu yang terkapar tak 

berdaya itu.

Wajah Guru tersebut diperhatikan terus oleh mata 

Pendekar Mabuk, membuat dada Pendekar Mabuk 

terasa mau pecah saat itu juga. Maka, segera ia 

bergegas keluar dari kamar itu dengan terengah-

engah. Badai Kelabu merasa heran dan segera 

menyusul Pendekar Mabuk ke luar kamar.

"Suto, ada apa? Apa yang kau tahu tentang 

penyakit Guru?"

"Tidak apa-apa!" jawab Pendekar Mabuk sambil 

menggeletukkan gigi. la melangkah pelan dengan 

sorot pandangan mata menerawang tajam.

"Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk? Katakanlah! 

Wajahmu begitu pucat! Tanganmu gemetaran! Ada 

apa sebenarnya, Pendekar Mabuk?!"

*

* *

5

 

DEWA Racun masih termenung sendirian atas batu 

besar. Pandangan matanya terlempar jauh di batas

cakrawala antara langit dengan permukaan air laut. 

Dari tempatnya masih bisa dilihat samar-samar 

gerakan air laut. Tetapi bukan air laut itu yang dilihat 

oleh mata hati si kerdil berpakaian bulu putih itu. 

Bukan air laut yang dibicarakan oleh batinnya, 

melainkan dendam yang nyaris membakar habis 

darahnya.

"Memang kadang kala dendam bisa merusak jiwa 

sendiri, menyiksa perasaan dan merusak pikiran.

Dendam selalu menentang takdir, dan menentang 

takdir adalah pekerjaan yang amat bodoh. Jika aku 

masih memburu dendam, seakan aku tidak mau 

menerima Keputusan dari Yang Maha Kuasa. 

Padahal aku ini hanyalah manusia biasa yang semua 

garis hidupnya sudah ditentukan dari atas."

Si kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu

menarik napasnya dalam-dalam, kemudian hatinya

kembali berkecamuk sendiri,

"Kematian Gayanti sesungguhnya merupakan

pernyataan dari Yang Maha Kuasa, bahwa bukan dia 

jodohku dalam hidup selanjutnya. Toh tanpa melalui

pembunuhan yang dilakukan Melati Merah, jika 

memang Gayanti bukan jodohku, tetap saja aku dan 

dia akan berpisah. Bodoh amat aku ini jika masih 

memburu dendam untuk menentang kodrat. Benar 

pula apa kata Suto, tak ada damai dan ketenangan di 

hati orang yang masih memburu dendam. Tanpa 

sadar dendam itu telah merugikan hidup orang yang 

mau diperbudaknya. Sebaiknya kulupakan saja 

persoalan masa lalu itu. Biarlah pembalasan datang 

sendiri dari Yang Maha Kuasa. Pembalasan itu milik 

Dia, bukan milikku sendiri...."

Gemuruh di dalam hati Dewa Racun mulai mereda 

setelah ia berpikir begitu. Napasnya kembali lapang,

tidak sesak seperti tadi. la bahkan bermaksud ingin 

menyusul Suto ke dalam pesanggrahan.

Tetapi, sebelum Dewa Racun bergerak, ternyata 

Pendekar Mabuk sudah muncul dari arah 

belakangnya. Suto diam tanpa bicara, berdiri di 

sampingnya, memandang ke arah lautan lepas 

dengan wajah pucat berubah menjadi kemerah-

merahan. Napas Pendekar Mabuk terhela dengan 

berat, sepertinya ada beban besar yang harus ditarik

dalam tiap helaan napasnya.

"Bagaimana? Sudah kau obati gurunya Badai 

Kelabu itu?" Dewa Racun bertanya dengan suara 

lancar, karena sudah terlalu lama membisu. Nada 

bicaranya itu pun terdengar lebih ringan, lebih lepas 

tanpa ada ganjalan apa pun. Tidak seperti dalam 

perjalanan tadi.

Suto menarik napas panjang-panjang dan 

menahannya di dada beberapa saat. la masih belum 

mau memandang Dewa Racun yang berdiri di atas 

batu itu, hingga tingginya mencapai sebatas pundak

Suto. Dewa Racun menatap wajah Pendekar Mabuk 

itu baik-baik, lalu mata hatinya menemukan adanya 

keganjilan yang dirasakan Suto. Dewa Racun tahu, 

ada ganjalan yang tak bisa ditutupi oleh Suto. Wajah 

merah itu jelas mencerminkan nafsu amarah yang 

mati-matian ditahan oleh Pendekar Mabuk.

"Ad... ad... ada apa sebenarnya, Suto?" tanya Dewa 

Racun dengan hati-hati. Pendekar Mabuk masih diam 

dengan dahi sedikit berkerut tajam. la ajukan tanya 

lagi,

"Apakah racun itu mengganas dan tak bisa kau 

atasi? Atau... barangkali kau gagal menyembuhkan 

guru Badai Kelabu itu? Hmm... apakah dia mati 

karena pengobatanmu?"

Kini Pendekar Mabuk melemparkan pandang pada 

Dewa Racun. Lama ia masih terbungkam. Sesuatu 

yang ingin ia katakan tampak ragu dilepaskannya. 

Dewa Racun mendesak, 

"Bi... biiic... bicaralah, Suto!" 

"Orang itu... orang itu parah," Pendekar Mabuk 

mulai mau bicara.

"Par... par... parah sekali?" 

"Ya. Sekujur tubuhnya telah membusuk. Tak 

ubahnya seperti mayat yang sudah dikubur berhari-

hari tapi masih bernapas. Dalam waktu dua atau tiga 

hari lagi, dia akan mati!"

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya saat Dewa 

Racun berkata, "Pantas Badai Kelabu ingin sekali 

merebut Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat. 

Tapi... tapi., tapi apakah kau sudah mencoba 

menawarkan racun itu memakai tuakmu?"

"Belum," jawab Pendekar Mabuk pelan dengan 

satu kaki diangkat dan ditaruh di atas sebuah batu 

setinggi lututnya. Suto sedikit membungkuk karena 

lengan kirinya bertumpu di atas kaki yang ada di batu. 

Tangan kanannya masih bertolak pinggang, dahinya 

masih berkerut memikirkan sesuatu yang 

membuatnya gundah gulana.

"Mengapa kau tidak mau menn... menn... mencoba 

menggunakan tuak saktimu itu?" tanya Dewa Racun 

sambil pandang wajah Suto.

"Aku tak bisa gunakan tuak saktiku."

"Cobalah dulu, Suto. Sebab aku sendiri merasa 

tidak sanggup menawarkan racun macam itu. Hanya 

Batu Galih Bumi yang bisa tawarkan racun itu, dan... 

dan mungkin tuak saktimu!"

Pendekar Mabuk menarik napas, tangannya 

menggenggam kuat. Makin galau pikirannya, makin

gundah hatinya, dan hal itu sangat diketahui oleh 

Dewa Racun. Belum pernah Dewa Racun melihat 

Pendekar Mabuk segundah itu selama ia ikut 

bersama Suto.

Kejap berikut, setelah mereka sama-sama saling 

bisu, Dewa Racun berkata penuh hati-hati,

"Suto, cobalah kau gunakan tuak saktimu untuk 

sembuhkan orang itu! Cob... cob... cobalah, Suto!"

"Aku... tidak bisa!" 

"Mengapa tidak bisa?"

"Dia musuhku!" jawab Pendekar Mabuk datar dan 

dingin.

"Benarkah begitu, Suto?"

"Ya. Masih kuingat wajahnya dalam tiap tidurku! 

Masih terbayang kekejiannya, saat dia membantai 

keluargaku! Dia adalah Kombang Hitam, ketua Begal 

Utara yang menghabisi nyawa keluargaku, dan yang 

membuatku sebatang kara seperti saat ini! Dia yang 

mengejar-ngejarku bersama Paman Dubang, sampai 

akhirnya Paman Dubang, pengasuhku itu jatuh ke 

jurang, dan aku lari terus dalam pengejarannya! Aku 

masih ingat, dia adalah Kombang Hitam!"

Nada bicara Suto makin lama semakin meninggi. 

Wajahnya pun kian lama kian memerah. Tangannya 

menggenggam kuat-kuat, hingga dari genggaman 

tangan itu mengepullah asap putih sebagai tanda 

panasnya darah dendam yang sudah lama membeku.

Dewa Racun menjadi takut melihat Pendekar

Mabuk pancarkan mata menyala-nyala. Dewa Racun 

bisa rasakan darah Suto yang kini mendidih karena 

bertemu dengan orang yang membantai habis 

keluarganya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Dewa Racun tahu, 

betapa sulitnya menolong dan menyembuhkan

seseorang agar tetap hidup, sementara yang 

disembuhkan itu adalah orang yang membantai habis 

keluarganya. Sungguh hal itu adalah pekerjaan yang 

teramat sulit menurut Dewa Racun. Menyembuhkan

orang yang seharusnya dibunuh, lebih sulit daripada

menghancurkan gunung dengan tangan kosong.

Sekarang bukan saja tangan yang berasap, tapi 

kaki Suto pun mengeluarkan asap, kulit tubuhnya 

semburat merah bercampur keringat dingin. Cahaya 

matanya menjadi bening, tapi berwarna merah samar-

samar. Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi agak 

banyak, lalu hempaskan napas sebagai pelega 

kesesakan di dadanya.

Wuusss...! 

Dewa Racun tersentak kaget. Hembusan napas 

yang tak seberapa keras itu telah mendatangkan 

badai kecil. Sekecil badai dari napas Suto, namun 

mampu membuat beberapa batuan besar tumbang 

dan berguling-guling tersapu terbang. Beberapa 

pohon yang posisinya ada di depan Suto menjadi 

meliuk-liuk hingga ujung-ujung pucuknya menyentuh 

tanah. Bahkan banyak yang menjadi patah pada 

bagian pertengahan batangnya. Krakkk...! Wuurrrr...! 

Brakkk...!

Suara-suara seperti itu berbunyi saling bersahutan, 

seakan bumi mau kiamat, langit akan runtuh dan 

tanah menjadi retak. Keadaan alam yang mengerikan 

itu membuat heboh beberapa penduduk di sekitar 

tempat itu. Banyak yang memandang kagum dan 

terheran-heran, tapi juga tak sedikit yang menjadi 

panik karena ketakutan.

"Suto... tahan amarahmu...," bisik Dewa Racun, 

sangat pelan sekali, karena ia sendiri takut kepada 

amarah Suto.

Menyadari apa yang terjadi di depannya, Suto 

terperanjat. la buru-buru menutup mulut dan 

hidungnya, ia sendiri jadi ketakutan dan tegang. 

Wajahnya terlihat penyesalan yang tak tertutupi lagi.

"Aku telah mengeluarkan napas Tuak Setan...," 

gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.

"Redakan murkamu it... it... itu, Suto! 

Redakanlah...!" bujuk Dewa Racun masih tak berani 

menggunakan kata-kata tegas dan keras.

Pendekar Mabuk masih menutup mulut dan 

hidungnya dengan sikap menyesal. la memandang ke 

langit, ternyata mega-mega berkumpul menjadi satu 

dan bergulung-gulung mengikuti arah angin badai.! 

Suara gemuruh terdengar jelas. Suara gemuruh itu 

adalah amukan ombak laut yang tampak dari 

ketinggian tempat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun 

berada.

Dewa Racun berulang kali merinding dan bergidik. 

Baru sekarang ia melihat hembusan napas Tuan 

Setan yang ada dalam diri Suto. Padahal napas yang 

keluar hanyalah napas kelegaan yang pelan seperti 

layaknya orang menghembuskan napas setelah habis 

minum. Tapi karena di dalam hati Pendekar Mabuk 

memendam amarah yang begitu besar; maka satu 

hembusan kecil pun sudah mendatangkan badai yang 

cukup dahsyat, walau tidak sedahsyat kala ia 

hembuskan kepada Nagadipa dan Putri Alam Baka 

(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: 

"Pertarungan di Bukit Jagal").

Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh Pendekar 

Mabuk. Padahal seharusnya pusaka itu dilenyapkan. 

Si Gila Tuak, guru Suto, mengkhawatirkan hal-hal 

seperti ini. Karena siapa pun orangnya yang menelan 

Tuak Setan, maka napasnya akan menghadirkan

badai yang sangat besar dan berbahaya sekali bagi 

orang lain. Jika orang yang menelan Pusaka Tuak 

Setan dalam keadaan marah, walau marah yang 

tertahan, satu hembusan napas bisa menyalurkan 

seluruh tenaga dalamnya dalam wujud hembusan 

badai dahsyat, itulah sebabnya si Gila Tuak sendiri 

tidak berani menelan Pusaka Tuak Setan, karena 

merasa dirinya masih sering dihinggapi nafsu amarah, 

dan takut amarahnya itu membawa korban tak 

bersalah. Tetapi, Pusaka Tuak Setan itu tertelan oleh 

Suto tanpa sengaja, sehingga mau tidak mau Suto 

harus selalu mengendalikan nafsu amarahnya agar 

napasnya tidak berubah menjadi badai yang 

membawa korban tak bersalah. (Baca serial Pendekar 

Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").

Badai Kelabu menyusul Pendekar Mabuk sambil

memanggil-manggil dalam nada cemas. Itu 

disebabkan karena Badai Kelabu melihat sendiri 

datangnya angin badai yang tidak sewajarnya. 

Perempuan itu takut Suto dan Dewa Racun 

mengalami cedera akibat hembusan badai aneh 

tersebut.

"Pendekar Mabuk, kenapa kalian ada di sini? Tidak 

tahukah kalian bahwa baru saja ada badai besar yang 

bisa menerbangkan rumah atau kapal?"

Suto berbisik kepada Dewa Racun, "Hadapilah dia, 

aku tak bisa bicara padanya! Dendam lamaku 

membakar seluruh darahku, Dewa Racun!"

"Jangan begitu! Bukankah... bukankah... bukankah 

kau sendiri yang bilang agar diriku jangan mau 

diperbudak oleh dendam?"

"Hadapilah dia dulu. Aku ingin tenangkan diri!" 

desak Pendekar Mabuk dalam bisik. Mau tak mau 

Dewa Racun menyongsong kedatangan Badai Kelabu.

Suto duduk di batu setinggi lututnya itu. Kedua 

lengannya bertumpu pada paha. Matanya 

memandang ke tanah dalam sikap merenung. Tiba-

tiba ia sadari, tanah di bawahnya menjadi cekung. 

Setiap ia bernapas, pasir-pasir di tanah itu menyibak 

ke sekitar kakinya, semakin lama semakin dalam 

cekungan tanah tersebut. Suto buru-buru menutup 

hidung dan mulutnya. Terasa panas telapak tangan 

yang dipakai menutup hidung itu karena terkena 

hembusan napas, tapi Suto menahan rasa panas itu 

ketimbang! Badai Kelabu mengetahui apa yang 

sebenarnya terjadi di tempat itu.

"Jang... jang... jangan ganggu Suto dulu," kata 

Dewa Racun. "Di... dia... dia sedang memikirkan cara 

pengobatan untuk gurumu!"

"Tapi dia tidak apa-apa?"

"Tidak. Bbi... bii... biarkan dia bersamaku. Kami 

perlu berembuk untuk melawan rraaa... raa... racun 

yang menyerang gurumu."

Badai Kelabu tampakkan kecemasannya. 

Sebentar-sebentar ia pandang Pendekar Mabuk 

dalam kebimbangan. Dewa Racun segera bertanya 

sambil menggandeng Badai Kelabu menjauhi 

Pendekar Mabuk.

"Bbee... berapa usia gurumu itu?"

"Lebih dari enam puluh lima tahun. Mungkin tujuh 

puluh, mungkin juga lebih. Apakah hal itu perlu kalian 

ketahui?"

"Ya. Unn... unnn... untuk menakar obat yang harus 

diberikan kepada gurumu, kami harus tahu usia 

gurumu."

Padahal di dalam hati Dewa Racun bergumam, 

"Lebih dari enam puluh lima tahun?! Berarti sesuai 

dengan usianya pada saat ia mengejar-ngejar Suto

yang masih kecil."

Kemudian, Dewa Racun kembali ajukan tanya, 

"Sssi... siapa... siapa nama gurumu sebenarnya?"

"Manusia Seribu Wajah," jawab Badai Kelabu.

Dewa Racun kerutkan dahi bernada heran. la 

membatin, "Manusia Seribu Wajah? Kalau begitu, 

Pendekar Mabuk salah duga!"

"Ben... benar namanya itu?" tanya Dewa Racun 

menampakkan keraguan.

"Ya. Benar. Nama aslinya aku tak tahu. Tapi dia 

dikenal dengan julukan Manusia Seribu Wajah. 

Hmmm... dulu, dia memakai julukan Kombang Hitam, 

tapi setelah ia mampu mengubah diri, ia memakai 

julukan Manusia Seribu Wajah."

"Kombang Hitam...," gumam Dewa Racun di dalam 

hatinya. "Kalau begitu, benarlah dugaan Suto, orang 

itu adalah pembantai seluruh anggota keluarganya. 

Hmmm... benar-benar Pendekar Mabuk dihadapkan 

pada satu persoalan yang sangat rumit dan berat!"

"Apakah nama itu perlu?"

"lyy... iyy... iya," jawab Dewa Racun. "Un... untuk 

membacakan mantera pengobatan, nama itu perlu 

diketahui oleh aku dan Suto," Dewa Racun coba 

untuk senyumkan bibirnya walau terasa kaku. Lalu, ia 

ucapkan kata lagi,

"Ting... ting... tinggalkanlah kami. Nanti kami akan 

datang sendiri ke sana. Jagailah gurumu!"

Bujukan itu berhasil. Badai Kelabu segera 

tinggalkan Suto dan Dewa Racun. Cepat-cepat orang 

kerdil itu mendekati Suto dan berkata dengan penuh

hati-hati,

"Dugaanmu benar. Tap... tap... tapi sikapmu sa. 

lah."

Suto Sinting palingkan wajah, menatap orang

kerdil yang ada di depannya itu. Sebelum Suto ajukan 

sanggahan ataupun bantahan, Dewa Racun sudah 

lebih dulu ucapkan kata,

"Tak boleh kau berrr... berrr... bersikap begini! Dia 

memang pembantai keluargamu, tapi tugasmu 

adalah menolong sesama manusia, tanpa pandang 

bulu! Bukankah kau mengajarku untuk mengakui 

adanya takdir dalam kehidupan kiiit... kiit... kita? 

Kematian Gayanti adalah takdir yang tak dapat 

dihindari, tapi tidak perlu diburu dendamnya. 

Barangkali, kemmm... kemmmnu.. Kematian 

keluargamu juga takdir yang tak dapat dihindari dan 

tidak perlu diburu dendamnya."

"Aku tahu. Tapi betapa sulitnya menghindari 

dendam yang telah membeku di darah ini!"

"Sesulit itulah diriku saat harus menerima 

saranmu. Tapi akk... akkk... aku ternyata bisa 

mengikuti saranmu! Aku bisa meredakan dendamku 

untuk tidak membunuh Melati Sewu. Ap... ap... 

apakah kau sendiri tak bisa melakukan seperti apa 

yang kulakukan?" 

Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. la mengakui 

kebenaran kata-kata Dewa Racun. Tadi ia banyak

bicara tentang dendam dan takdir, sekarang ia sendiri 

yang harus menjalankan semua kata-katanya itu. 

Suto bertekad untuk menjadi orang yang tidak hanya 

bisa bicara namun juga bisa berbuat. Maka, ia pun 

berusaha mati-matian menekan dendamnya agar 

tidak mendidihkan darah lagi.

la membatin di dalam hatinya, "Hidup, jodoh, dan 

kematian, adalah bagian dari kepastian yang sudah 

digariskan oleh Dia. Aku tak ingin menjadi penentang 

kekuasaanNya. Sesulit apa pun, aku harus bisa 

belajar menerima garis kehidupanku ini! Kalau toh

aku berhasil membunuh Kombang Hitam lantaran 

dendamku, mungkin Badai Kelabu atau orang di 

pihaknya akan menyimpan dendam pula padaku. 

Kalau aku berhasil dibunuh oleh mereka, mungkin 

orang yang ada di pihakku juga menyimpan dendam 

pembalasan kepada mereka. Begitu seterusnya, dan 

tak tahu kapan harus berakhir. Bukankah manusia 

hidup tidak hanya untuk memburu dendam dan 

pembalasan? Tidak! Aku malu pada Dewa Racun. 

Kalau Dewa Racun bisa meredam dendamnya, 

mengapa aku tidak?! Aku juga harus bisa meredam 

dendamku!"

Akhirnya Suto memutuskan diri untuk mengobati 

Manusia Seribu Wajah, yang dulu dikenal dengan 

julukan Kombang Hitam. Dewa Racun tampak senang 

melihat Suto berhasil meredakan dendam dan 

amarahnya, walau memakan waktu agak lama. 

Bahkan Pendekar Mabuk sempat melakukan semadi 

sebentar ketika hari menjelang petang. Semadi itu 

dilakukan untuk meredakan hawa nafsunya dan 

mengendalikan jiwanya.

Dua guci tuak disediakan untuk pengobatan 

tersebut. Setiap tuak yang akan dipakai untuk 

pengobatan selalu dimasukkan lebih dulu ke dalam 

bumbung bambu yang selalu ada di punggung 

Pendekar Mabuk itu. Cara pengobatannya pun tidak 

hanya sekadar meminumkan tuak kepada Manusia 

Seribu Wajah, tapi juga mengguyurkan ke sekujur 

badannya. Tentang mengguyurkan tuak ke badan si 

sakiti itu adalah saran dari Dewa Racun, yang diam-

diam, telah mempelajari cara kerja tuak Pendekar 

Mabuk dalam setiap pengobatan.

Suto juga melakukan pengobatan dengan ilmu 

'Sembur Husada'. Sekujur tubuh Manusia Seribu

Wajah itu disembur dengan tuak dari mulut Suto, 

seperti yang dilakukan kepada Peramal Pikun. Hal ini 

dimaksudkan Pendekar Mabuk selain supaya 

penyembuhan cepat terjadi, juga supaya Manusia 

Seribu Wajah yang dulu berjuluk Kombang Hitam itu 

akan lupa pada diri Pendekar Mabuk. Karena 

Pendekar Mabuk itu merasa dirinya tak perlu diingat-

ingat lagi oleh Kombang Hitam.

Malam dibiarkan lewat oleh mereka. Dan ketika 

pagi menjelang, ternyata sekujur tubuh Manusia 

Seribu Wajah sudah tidak lagi membusuk. Bahkan 

secara mengagumkan sekali tubuh itu menjadi bersih 

oleh luka, tanpa bekas dan menjadi seperti semula. 

Kesehatan Manusia Seribu Wajah juga pulih, bahkan 

terasa badannya lebih segar dari biasanya. Tentu saja 

hal itu menggembirakan murid-muridnya, termasuk 

Badai Kelabu dan Melati Sewu.

Manusia Seribu Wajah pun tampak gembira, ia

menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil 

ucapkan kata, "Tak sia-sia kau membawa tabib muda 

itu kemarii Dia lebih ampuh dari Batu Galih Bumi!"

"Tak ada tabib yang seampuh Suto, si murid sinting 

Gila Tuak itu, Guru. Karenanya...."

"Tunggu!" potong Manusia Seribu Wajah. "Dia 

bernama Suto? Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, aku 

ingat! Aku ingat siapa dia kalau begitu! Aku ingat...! 

Mana dia sekarang?!" sentaknya mulai geram.

*

* *


SUTO Sinting baru saja selesai memenuhi 

bumbung tuaknya dengan tuak sisa penyembuhan 

semalam. Dewa Racun juga sudah siapkan diri untuk

keberangkatan pulang ke Pulau Beliung untuk 

mengambil Singo Bodong.

Tetapi ketika mereka berada di pelataran untuk 

menemui Manusia Seribu Wajah, ia sudah dihadang 

oleh Melati Sewu. Wajah perempuan Itu tampak 

tegang ketika ia ucapkan kata,

"Cepatlah pergi ke pantai. Di sana sudah ada 

perahu yang disiapkan untuk kalianl Pergilah 

secepatnya!"

"Kami baru akan pamit kepada gurumu, Melati 

Sewu," kata Pendekar Mabuk.

"Tidak perlu! Tidak perlu temui Guru lagi!"

Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling adu 

pandang, lalu Pendekar Mabuk lontarkan tanya 

kepada Melati Sewu,

"Mengapa kami tak diizinkan pamit kepada 

gurumu?"

"Beliau sedang marah! Beliau tahu bahwa 

namamu Suto dan murid dari si Gila Tuak, beliau jadi 

berang! Pergilah cepat sebelum beliau 

membunuhmu, Pendekar Mabuk!"

"Membunuhku?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi 

sangat tajam. Dewa Racun hanya memandang dalam 

kebingungan. Lalu, Pendekar Mabuk ucapkan kata 

kepada Dewa Racun,

"'Sembur Husada' membuat seseorang lupa pada 

diriku, tapi sembuh dari sakitnya."

"Ak... ak... aku tahu. Dulu aku lihat sendiri hal itu 

terjadi pada Peramal Pikun. Tap... tapi mengapa 

Kombang Hitam masih ingat tentang dirimu?"

"Berarti ilmunya cukup tinggi! Ingatannya sulit 

dihapus dengan ilmu pengobatan 'Sembur Husada'!"

"Lekaslah pergi!" desak Melati Sewu. "Jangan 

sampai Guru temukan dirimu, Pendekar Mabuki Nanti

dia membunuhmu!"

"Jang... jang... jangan layani dia, Pendekar Mabuk. 

Sebaiknya kita memang harus cepat pergi!"

"Baiklah!" Suto Sinting segera bicara pada Melati 

Sewu, "Sampaikan salam dan pamitku kepada Badai 

Kelabu!"

"Ya. Akan kusampaikan!" jawab Melati Sewu bagai 

tak sabar lagi menunggu kepergian Pendekar Mabuk.

Pesanggrahan itu tidak seberapa jauh dari pantai. 

Banyak melewati jalanan menurun diselingi pohon-

pohon pinus yang bercampur dengan pohon jati dan 

sebagainya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun 

menyusuri jalan itu tanpa banyak bicara. Mereka 

harus cepat tiba di pantai dan segera meninggalkan 

Pulau Hitam itu.

Tetapi, tiba-tiba terdengar suara memanggil dari 

arah belakang.

"Sutooo...! Tunggu sebentar, Sutoooo...!" 

Dewa Racun cepat palingkan pandang ke belakang 

lalu berkata,

"Bad... bad... Badai Kelabu, Pendekar Mabuk!"

Mereka segera hentikan langkah. Badai Kelabu 

berlari-lari menyusul Suto dengan wajah tegang. 

Gerakannya lebih lincah dari biasanya. Ketika ia tiba 

di depan Suto dan Dewa Racun, napasnya tidak 

terengah-engah. Hanya wajahnya yang sedikit kaku, 

mungkin karena diliputi ketegangan. 

"Ada apa. Badai Kelabu?" 

"Ada yang lupa, belum kusampaikan padamu," 

jawab Badai Kelabu.

"Tentang apa itu?" tanya Pendekar Mabuk berkerut 

dahi.

"Tentang ini…!"

Plokkk...! Tiba-tiba tangan Badai Kelabu

menghantam kuat ke wajah Pendekar Mabuk. Cepat 

sekali gerakan tangannya itu, hingga Suto tak sempat 

menghindarinya. Pendekar Mabuk tersentak ke 

belakang dua tindak.

Tentu saja Dewa Racun ikut terperanjat melihat 

Badai Kelabu tiba-tiba menyerang. Bahkan menurut 

Suto Sinting, pukulan Badai Kelabu bukan pukulan 

tangan kosong, tapi dengan pengerahan tenaga 

dalam yang cukup besar. Kalau Pendekar Mabuk 

bukan orang berilmu tinggi, pasti pecah bibirnya dan 

rontok giginya. Tapi karena Pendekar Mabut punya 

ilmu yang tidak seharusnya diremehkan, maka 

pukulan keras bertenaga dalam itu hanya membuat 

merah dagunya saja.

Badai Kelabu cepat ambil sikap menyerang 

kembali. Tapi Dewa Racun segera menengahi dengan 

menghadangkan diri di antara Pendekar Mabuk dan 

Badai Kelabu.

"Tahan...! Tah... tah... tahan dulu, Badai Kelabu...."

"Jangan ikut campur, Kerdil!" bentak Badai Kelabu, 

lalu kakinya berkelebat menendang Dewa Racun.

Buhgg...! Wusss...!

Tubuh kecil Dewa Racun terlempar lima langkah 

jauhnya. Badai Kelabu cepat putarkan badan dan 

melayangkan tendangan kipas yang menyabet dada 

Pendekar Mabuk. Dugg...! Pendekar Mabuk pun 

mundur tersentak dua tindak.

Bukan karena Suto tak mau menangkis atau 

mengelak, tapi ia ingin rasakan sebesar apa 

tendangan Badai Kelabu. Ternyata cukup besar. 

Pendekar Mabuk kerutkan dahi makin tajam. 

Menurutnya, tendangan Badai Kelabu tak akan 

sebesar itu. Kendati diiringi dengan pengerahan 

tenaga dalamnya, tapi Pendekar Mabuk bisa

mengukur bahwa tendangan Badai Kelabu tak akan 

sampai terasa di tulang belakang. Tapi kali ini, 

Pendekar Mabuk merasakan tendangan itu bagai 

ingin mematahkan tulang punggungnya walau yang 

ditendang adalah dadanya.

Dewa Racun bangkit dan mau menyerang, tapi 

dihalangi tangan Pendekar Mabuk. Pada saat itu, 

Suto cepat berbisik,

"Ada yang tak beres pada dirinya!"

Dewa Racun cepat memandang Badai Kelabu

dengan dahi berkerut tajam. Dan tiba-tiba di kejauhan 

sana dua manusia perempuan berlari mendekati 

mereka. Suara kecil memanggil Suto. Dewa Racun 

makin terkesiap matanya memandang Melati Sewu 

sedang berlari bersama Badai Kelabu. Sedangkan 

orang yang baru saja menendang Pendekar Mabuk itu 

juga Badai Kelabu. Dewa Racun sempat dibuat

bingung beberapa kejap.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk melayangkan 

tendangan sampingnya ke arah Badai Kelabu yang 

ada di depannya. Tapi tendangan itu tertangkis 

tangan lawan. Gerakan menangkisnya begitu cepat 

dan mempunyai kekuatan cukup tinggi, hingga tulang 

kaki Pendekar Mabuk merasa linu beradu tulang 

tangan lawan.

Pendekar Mabuk cepat putarkan badan dengan 

merendah dan badan membungkuk. Kakinya yang 

kanan memanjang dalam putaran bawah dan 

menyapu kaki lawan. Wusss...! Lawan melompat 

menghindarinya dengan melancarkan tendangan 

keras ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tapi Suto 

sudah siaga, gerak pancingannya termakan lawan. 

Pada saat kaki lawan menjejak wajahnya itulah Suto 

segera menotokkan dua jari tangannya ke mata kaki

lawannya. Ttebb...!

Satu kali totokan bertenaga tinggi telah membuat 

lawan mengerang panjang sambil tubuhnya 

mengejang. Dan tiba-tiba sosok tubuh sebagai Badai 

Kelabu itu berubah wujud menjadi sosok tubuh lelaki 

berwajah angker, berambut putih dan berkumis putih, 

badan sedikit gemuk dengan pakaian hitam berjubah 

abu-abu, di punggungnya terselip sebuah pedang 

bergagang hitam. Sosok itu tak lain adalah sosok si 

Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah.

"Bangsat kau!" geram Manusia Seribu Wajah. 

"Rupanya kau menguasai jurus 'Sekat Nadi' yang bisa 

membuyarkan perubahan wujudku, hah?!"

Pendekar Mabuk yang sudah menarik diri setelah 

wujud Kombang Hitam terlihat jelas itu, hanya 

tersenyum tipis dengan tetap berdiri agak 

menyamping. Matanya tajam menatap lawan tak 

berkedip.

Terdengar suara Badai Kelabu yang asli berseru, 

"Guru! Jangan teruskan, Guru! Saya mohon jangan 

teruskan perselisihan ini!"

Kombang Hitam memandang kedua muridnya 

yang baru saja tiba dengan mata garang 

menyeramkan. Melati Sewu tak berani lebih dekat 

lagi, sebab dia tahu jika gurunya sedang murka 

begitu, apa saja yang ada di dekatnya bisa dijadikan 

sasaran kemarahannya. Tapi Badai Kelabu yang 

merasa bertanggung jawab atas kedatangan 

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ke pulau itu, 

memaksakan diri untuk mendekati gurunya dan 

membujuk amarahnya.

"Guru, saya mohon dengan hormat, jangan sakiti 

dia, Guru!" 

Plokk...!

Tangan Kombang Hitam berkelebat mengibas ke 

samping dan wajah Badai Kelabu yang menjadi 

sasarannya. Tubuh perempuan itu terpental empat 

langkah jauhnya dengan tulang pipi menjadi biru 

legam. la jatuh tak jauh dari Melati Sewu, dan segera

ditolong untuk bangkit berdiri. Melati Sewu bisikkan 

kata,

"Hati-hati, jangan terlalu dekat dengan Guru jika 

beliau sedang begitu! Bisa mati kau!" '

Kombang Hitam yang sudah berusia cukup banyak 

itu ternyata masih menyimpan semangat dendam 

seperti dulu kala. Matanya memancarkan api 

membunuh begitu jelas, sehingga napasnya pun 

terlihat cukup deras hembusannya.

"Suto! Kau masih ingat siapa aku, hah?!" suaranya 

pun tegas. 

"Ya. Aku masih ingat! Kau yang membantai 

keluargaku!" kata Suto tak kalah tegasnya.

"Bagus! Bagus kalau kau masih ingat, karena 

hanya kau satu-satunya orang yang lolos dari 

pembantaian itu! Matiku tak akan tenang jika 

keluarga Wiseso yang tertinggal belum kubunuh!"

"Kombang Hitam! Sejak kulihat kau pertama dalam 

keadaan sekarat di dalam kamarmu, aku sudah 

mengenali siapa dirimu! Kalau aku mau lakukan, 

mudah sekali membunuhmu dalam keadaan seperti

itu!"

"Itu menandakan kau anak yang bodoh!" sentak 

Kombang Hitam.

"Terserah caramu menilai. Tapi yang jelas, aku tak 

mau diperbudak oleh dendam masa lalu! Ku lupakan 

masa lalu itu, dan kusembuhkan luka parahmu yang 

hampir merenggut nyawamu! Tapi seperti inikah 

pembalasanmu padaku, Kombang Hitam?"

"Ya!" jawab Kombang Hitam dengan menyentak 

keras. "Kau pun seharusnya mati pada usia delapan 

tahun! Tapi niatku membunuhmu terpaksa kutunda! 

Kuberi kau kesempatan untuk hidup, menikmati 

masa remajamu, menikmati masa dewasamu, dan 

sekarang sudah waktunya kau menikmati masa 

kematianmu, Sutol"

"Aku tidak bersedia melayani dendammu, 

Kombang Hitam! Aku bukan budak nafsuku sendiri! 

Selamat tinggal!"

Slappp...! Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki 

dan pergi dengan begitu cepat bagaikan angin lewat. 

Dewa Racun pun mengikutinya walau sedikit 

tertinggal oleh Pendekar Mabuk.

"Jangan lari kau, Sutooo...!" teriak Kombang Hitam.

Ketika ia hendak mengejar Pendekar Mabuk, 

Badai Kelabu cepat menyergap kedua kaki Kombang 

Hitam.

"Guru! Jangan bunuh dia! Ingatlah, Guru…! Dia 

telah menolong menyembuhkan luka parah yang 

Guru derita! Dia telah menyelamatkan nyawa Guru! 

Kumohon, jangan bunuh dia, Guru!" Badai Kelabu 

menangis sambil memeluk kaki gurunya.

Manusia Seribu Wajah itu menggeram dengan 

sangat marahnya. Maka, ia pun sentakkan kakinya ke 

depan dan tubuh Badai Kelabu terlempar kembali 

lebih jauh dari yang pertama. Tubuhnya membentur 

batang pohon dan jatuh sambi! memekik tertahan.

Tanpa peduli tangis dan rintih muridnya, Manusia 

Seribu Wajah cepat tinggalkan tempat dengan

gerakan seperti Suto. Tubuhnya lenyap begitu saja, 

tak terlihat lagi bentuk dan wujudnya. Sedangkan

Badai Kelabu yang merasa sakit di bagian tulang 

punggungnya segera dibantu oleh Melati Sewu untuk

berdiri.

"Melati Sewu, tolong... cegah tindakan Guru! 

Kasihan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun! Kau tahu 

sendiri, mereka telah menyelamatkan nyawa Guru! 

Mereka bukan orang jahat! Mereka bersikap baik 

kepada kita!"

"Iya, iya... aku tahu! Tapi bagaimana cara 

mencegah tindakan Guru? Kita tak bisa menahan 

amukan Guru! Melawan Guru sama saja melawan 

liang kubur, Badai Kelabu!"

"Bagaimanapun caranya, lakukan saja! Jangan 

sampai Pendekar Mabuk mati di tangan Guru! Oh, 

aku jadi menyesal jika begini. Menyesal sekali 

mengapa aku membawa Pendekar Mabuk untuk 

menolong Guru kalau akhirnya nyawa penolong itu 

terancam oleh murka Guru?!" 

Melati Sewu mengerti perasaan Badai Kelabu. 

Melati Sewu diam-diam juga mengecam tindakan 

gurunya yang tidak tahu berterima kasih kepada 

orang yang telah menolongnya. Seketika Melati Sewu 

menjadi kurang suka dengan gurunya. Tapi semua itu 

hanya bisa dipendamnya di dalam hati, tak berani 

dilampiaskan dalam bentuk apa pun, karena Melati 

Sewu tak ingin mati akibat murka sang Guru.

"Begini saja," kata Melati Sewu, "Kita ikuti terus 

mereka, sambil kita menjaga Suto. Jika Suto dalam 

keadaan terdesak dan Guru mau merenggut 

nyawanya, kita ganggu serangan Guru dengan 

membuat ulah yang menghambat gerakan Guru!"

"Baik," jawab Badai Kelabu sambil mengakhiri isak 

tangisnya. "Kita susul mereka, Melati Sewu!"

Maka, kedua perempuan yang sudah memihak 

Pendekar Mabuk secara tak langsung itu segera 

melesat pergi. Kecepatannya masih belum sebanding

dengan kecepatan Pendekar Mabuk dan Manusia 

Seribu Wajah.

Sampai di pantai, langkah Suto terhenti karena ia 

melihat seseorang berdiri di depannya. Orang itu 

mengenakan jubah kuning dengan pakaian dalamnya 

berwarna hijau. Rambut dan jenggotnya putih, 

menggenggam tongkat di tangan kanannya. Suto 

Sinting sangat terkejut melihat orang itu berdiri 

menghadangnya, karena orang itu adalah si Gila 

Tuak, gurunya sendiri.

"Eyang Guru...?!" sapa Pendekar Mabuk sambil

sedikit membungkuk memberi hormat kepada 

gurunya. 

"Apa yang terjadi. Suto?" tanya si Gila Tuak dengan 

dingin.

"Kombang Hitam masih menaruh dendam pada 

saya dan ingin membunuh saya, Guru!"

"Menyingkirlah ke belakangku! Biar kuhadapi dia!"

Tapi, Guru...."

"Pergilah ke belakangku! Lekas!" sentak si Gila 

Tuak.

Suto pun bergegas pergi ke belakang si Gila Tuak 

yang tak disangka-sangka datang ke pulau itu. Ketika 

Pendekar Mabuk berada di belakang si Gila Tuak, 

hatinya merasa sedikit tak enak melihat si Gila Tuak 

mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Seingat 

Suto Sinting, gurunya tak pernah memakai gelang 

akar bahar.

Kecurigaan itu terlambat. Tiba-tiba si Gila Tuak

sodokkan tongkatnya ke belakang dan tepat 

mengenai ulu hati Pendekar Mabuk. Buhgg...!

"Huggh...?""

Pendekar Mabuk terbungkuk seketika. Sodokan 

tongkat itu begitu kuat dan dialiri tenaga dalam yang

cukup besar. Mata Suto mendelik dan berkunang-

kunang. Napasnya bagai terhenti di pertengahan 

dada.

Si Gila Tuak segera balikkan badan sambil kakinya 

berkelebat naik dan menendang wajah Pendekar 

Mabuk dengan kerasnya. Plokkk...! Wajah Pendekar 

Mabuk tersentak ke samping, bersamaan dengan itu 

tubuhnya terlempar oleng hingga jatuh di pasir pantai.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk kibaskan kepalanya 

membuang pandangan yang berkunang-kunang itu. 

Jari tangan bagian telunjuk kanan mulai mengeras, 

lalu ia sentilkan telunjuk itu ke depan dalam keadaan 

masih rebah miring di tanah. Sentilan jurus 'Jari 

Guntur' itu tidak mempunyai wujud ataupun warna, 

namun gelombang tenaga dalam yang dikeluarkan 

cukup tinggi. Sentilan itu diarahkan di mata kaki si 

Gila Tuak.

Dubb...!

Mata kaki itu tepat terkena sentilan 'Jari Guntur'.! 

Si Gila Tuak meraung keras sambil mengangkat 

kakinya yang tersentil itu. la berjingkat-jingkat dengan

satu kaki, dan pada saat itu wujud si Gila Tuak pun 

pudar, berganti ujud Manusia Seribu Wajah alias 

Kombang Hitam.

"Baru sekarang aku menghadapi lawan setangguh 

ini!" gumam Pendekar Mabuk di dalam hati, dan 

demikian pula gumam Kombang Hitam di batinnya.

Keduanya saling berhadapan siap menyerang lagi. 

Tapi dalam hati Suto selalu berusaha agar tidak 

melakukan penyerangan. la tidak ingin membunuh 

karena dendamnya yang telah membeku selama dua 

puluh tahun itu. la hanya ingin menghindari dan 

memberi pelajaran kepada orang berilmu tinggi yang 

tak tahu balas budi itu.

"Bocah sinting! Semakin lama kau membuatku 

semakin bernafsu untuk melenyapkan nyawamu, 

tahu?!"

"Kombang Hitam! Kuasailah amarahmu. 

Kendalikan nafsumu! Untuk apa kita saling 

membunuh jika persoalan itu sudah lama berlalu!"

"Tutup bacotmu, Bocah dungu!" sentak Kombang 

Hitam. "Sebelum kulenyapkan sisa keturunan Ronggo

Wiseso, tak akan tenang arwahku bersemayam di 

alam baka nanti!"

"Kau benar-benar telah diperbudak oleh dendam, 

Kombang Hitam! Kau selalu memaksaku untuk 

membunuhmu! Padahal hal itu tak perlu terjadi. 

Kurang puaskah kau telah membantai semua 

keluargaku?!"

"Belum semuanya! Masih ada yang tersisa, yaitu 

kau!" sentak Kombang Hitam sambil tangannya 

dihentakkan ke depan dengan jari telunjuk mengeras.

Dari ujung jari itu keluar sinar merah berkelok-kelok 

bagai lidah petir. Wuttt...!

Gerakan sinar yang cepat itu menghantam tubuh 

Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu Pendekar 

Mabuk cepat ambil bumbung tuaknya dan dipakai 

untuk menghadang kilatan sinar merah itu. Tubb...! 

Sinar itu membentur bumbung tuak dan memantul 

balik menjadi lebih besar serta lebih cepat. Wussss...!

Crasss...!

"Aaahg...!" Kombang Hitam terpekik dengan mata 

mendelik. Karena ia tak menduga sama sekali bahwa 

sinar merah dari jarinya itu akan memantul balik 

dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Kombang 

Hitam tak punya kesempatan mengelak karena 

jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya antara lima 

langkah. Akibatnya, sinar merah itu mengenai ujung

pundak kirinya. Pundak kirinya itu menjadi bolong dari 

bagian depan di atas dada sampai ke belakang, di 

sudut punggung.

"Jahanam kaaauu...!" geram Kombang Hitam 

segera mencabut pedangnya. Srett...! Lalu, ia 

melompat bagaikan harimau terbang dengan pedang 

siap ditebaskan dari atas ke bawah.

Pendekar Mabuk berdiri agak merendah. Tabung 

tuaknya dipegang dengan dua tangan dan 

dihadangkan melintang ke atas kepala. Pedang itu 

pun ditebaskan sekuat tenaga dan berbenturan 

dengan bumbung bambu tempat menyimpan tuak itu.

Trasss...! Nyala api merah memercik ke mana-

mana akibat benturan pedang baja dengan bumbung 

bambu itu. Dan yang membuat Kombang Hitam 

makin mengganas adalah setelah ia melihat bahwa 

ternyata pedangnya itu patah menjadi beberapa 

bagian, tinggal bagian kecil yang menancap di bagian 

gagangnya.

"Bangsat kau! Pedang pusakaku kau buat begini, 

hiiaaaat...!"

Begggh...! Kombang Hitam berhasil menendang 

lengan Suto. Tendangan keras dan bertenaga dalam 

itu membuat Pendekar Mabuk terlempar ke samping 

dalam jarak tiga langkah. la menjadi limbung dan 

bergerak oleng bagaikan orang mabuk parah. 

Tubuhnya meliuk ke kiri dan ke kanan dengan kepala 

ikut terayun lemas.

Melihat lawannya sempoyongan, Kombang Hitam 

tak mau gunakan kesempatan secara sia-sia. Dengan 

cepat ia sentakkan kedua tangannya yang beradu 

rapat pada pangkal pergelangan tangan itu. Sentakan 

kedua tangan ke depan membuat cahaya biru 

melesat. Padahal jaraknya dengan Suto Sinting hanya

antara empat sampai lima langkah. Tentu saja cahaya 

biru itu dengan cepat tiba di tempat Pendekar Mabuk.

Tetapi, Pendekar Mabuk yang disangkanya 

sempoyongan karena lemah itu, sebenarnya 

menyiapkan diri untuk menghadapi serangan 

berikutnya. Jurus mabuknya memang sering menipu 

lawan, sehingga pada saat cahaya biru itu 

menghantamnya, Suto sudah siap menangkis dengan 

bumbung tuaknya.

Behgg...! Woosss...!

Cahaya biru itu membalik arah dan menjadi lebih 

besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap 

dan terpaku di tempat. Akibatnya sinar biru dari 

pukulan mautnya itu menghantam telak dadanya. 

Blarrr...!

Tubuh Kombang Hitam tidak tersentak sedikit pun. 

Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi 

hitam bagai habis disambar petir. Matanya merah, 

mengucurkan darah, ia masih sempat menggeram 

benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah 

kehitaman.

Pada saat Badai Kelabu dan Melati Sewu tiba di 

tempat, Kombang Hitam rubuh ke tanah tak 

bernyawa lagi.

"Guruuu...!" teriak Badai Kelabu sambil berlari-lari.

Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah 

pohon sejak tadi. Tapi ia siap melancarkan serangan 

jika Badai Kelabu atau Melati Sewu diam-diam 

melepaskan pukulan kepada Pendekar Mabuk.

*

* *

7

 

KALAU saja ada pilihan lain, Pendekar Mabuk akan 

memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia 

sudah berusaha tidak menyerang, tapi toh akhirnya 

Kombang Hitam itu mati pula di tangannya. Itulah 

suratan takdir!

Sambil mendayung perahunya yang mati karena 

tak ada angin, Suto masih merenungi kematian 

Kombang Hitam. Peristiwa itu telah mengingatkan 

dirinya bahwa dendam tak perlu diburu, bahwa 

pembalasan akan tiba sendiri pada saatnya. 

Sekalipun ia sudah mengelak dari dendam, sekalipun 

ia sudah berusaha agar tidak membalas kematian 

keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang 

Hitam, tapi di pihak lawan justru serahkan nyawa 

sebagai penebus dan pembalasan atas pembantaian 

itu.

"Tak kusangka kematian Kombang Hitam akhirnya 

ada di tanganku juga, walau secara tidak sengaja," 

pikir Suto. Lalu, terbayang wajah bapaknya yang 

dihajar habis oleh anak buah Kombang Hitam, 

terbayang pula wajah ibunya yang dengan penuh 

kasih sayang sering menciumi kepalanya.

Terbayang pula wajah kakaknya, yang sering 

mengatakan Suto sebagai anak bandel. Terbayang 

pula wajah pembantunya, yang sering merasa jengkel 

karena ulah kenakalan Suto. Pembantu itu pun mati 

terpenggal kepalanya oleh anak buah Kombang 

Hitam. Suto pun terbayang wajah Paman Dubang 

yang dengan setia mengasuhnya, bahkan waktu 

peristiwa itu terjadi, Suto sedang diajar naik kuda 

oleh Paman Dubang. Terngiang di telinga Suto jerit 

kematian Paman Dubang yang terperosok jatuh ke 

jurang dalam pengejaran Kombang Hitam,

Hati Suto tergores pedih, namun ditahannya 

dengan cara menarik napas dalam-dalam,

"Aku sudah membalaskan kematian kalian, walau 

sebenarnya aku tidak menghendaki adanya 

pembalasan," kata Pendekar Mabuk di dalam hatinya 

yang seolah-olah bicara kepada roh para korban. 

"Namun pembalasan itu akhirnya datang juga, dari 

Yang Maha Kuasa, melalui perantara tanganku

sendiri! Semoga kalian tenang di alam kelanggengan 

sana. Semoga Bapak dan Ibu bangga melihat 

anaknya menjadi seperti saat ini. Sehebat apa pun 

aku sekarang ini, tak akan mungkin bisa menjadi 

begini jika tanpa kalian; pengasuhku, perawatku, 

pembimbingku, semasa aku masih bocah kecil!"

Glegar...!

Kilat menyambar di langit. Mendung mulai 

menutupi mentari. Air laut bergelombang, makin lama 

terasa semakin meninggi ayunannya. Dewa Racun 

yang berada di haluan segera berseru,

"Akan tur... tur... turun hujan, Suto!"

"Ya! Cepatlah masuk ke barak, biar aku yang 

kemudikan perahu ini!" balas Suto Sinting dengan 

suara keras. 

Angin menderu kencang. Hujan mulai turun rintik-

rintik. Sebentar lagi tak akan ada sisa cahaya 

matahari karena senja semakin menua. Sekarang 

pun alam sudah menjadi gelap, langit bagai diselimuti

kain hitam raksasa. CIap… claaap...! Glegaaar...!

Guntur bersahutan di langit, seakan mengancam 

sebuah perahu berlayar tunggal yang sedang 

terombang-ambing dipermainkan ombak samudera. 

Kadang perahu meninggi, kadang jatuh terhempas 

menjadi rendah. Kadang meliuk ke kiri, kadang 

meliuk ke kanan. Hujan mengguyurnya semakin kuat

dan deras. Tapi Suto tatap berada di haluan dan 

Dewa Racun tak mau tinggal diam di dalam barak 

beratap rendah Itu.

"Suto» tul.. tu... tul.. tutup layar supaya badai tidak 

melemparkan perahu ini!" 

"Ya! Tutuplah!"

Hanya berdua mereka di atas perahu dalam 

perjalanan menuju Pulau Badung. Rencananya, 

mereka hanya ingin mengambil Singo Bodong sambil 

memeriksa apakah Hantu Laut sudah sampai di sana 

atau belum. Tetapi, keduanya kini berada di tengah 

amukan badai laut. Dewa Racun menduga perahu 

akan pecah seperti saat mereka tinggalkan tanah 

Jawa beberapa waktu yang lalu.

Tatapi rupanya perahu yang mereka gunakan kali 

ini lebih kokoh dan lebih tegar. Tamparan ombak dan 

hembusan badai bisa ditahannya. Sayang sekali tak 

ada cukup minyak di dalam perahu itu, sehingga 

perjalanan malam menjadi gelap gulita. Hanya ada 

sedikit minyak untuk menyalakan pelita kecil sebagai 

penerang barak dan sering dibawa ke sana-sini bila 

hujan mereda.

Tapi hujan datang silih berganti. Kadang terang 

kadang deras. Akibatnya, Suto dan Dewa Racun 

membiarkan perahunya terapung-apung di atas 

lautan bergelombang. Mereka cukup lelah menguras 

air yang masuk ke perahu yang tadi hampir

menenggelamkan mereka. Keduanya tertidur di 

dalam barak, dan bangun di pagi hari dalam cuaca

tak seburuk tadi malam. 

Cuaca pagi itu sangat cerah. Matahari bersinar 

dengan terang sekali. Langit putih bersih tanpa setitik 

mendung pun di sana. Tetapi Dewa Racun segera 

kerutkan dahi melihat sebuah pulau kecil berbentuk

seperti garpu dua mata. Perahu itu terseret ombak 

sampai ke relung perairan di tengah pulau kecil itu.

"Sssuu... suuu… Suto!" panggil Dewa Racun yang 

ada di luar barak. "Per... perahu kita kandasl"

Suto bergegas bangun dan keluar dari barak. la 

memeriksa bagian lambung kapal, ternyata keadaan 

perahu sedang terjepit di kedua tonjolan batu karang. 

Lambung kapal robek sedikit, namun tak sampai 

membuatnya bocor.

"Perahu kita hanya robek Sedikit bagian

lambungnya!" kata Suto. "Aku akan turun melihat batu 

karang itu!"

"Tap... tap... tapi mengapa perahu kita miring dan... 

dan... banyak air di buritan!"

Suto terkesiap, cepat memeriksa bagian buritan. la 

terbengong, ternyata perahu bocor besar di bagian 

buritan. Suto menarik napas beberapa saat, lalu

berkata,

"Kita harus menambal perahu ini, Dewa Racun!"

"Kit... kita... kita tidak punya per... per... per...."

"Perawan?!"

"Peralatan!" sentak Dewa Racun. "Kita tidak punya 

peralatan untuk menambal perahu, sedangkan Pulau 

Beliung masih cukup jauh. Kita bel... bel... bel...,"

"Beling?!" 

"Belum! Kita belum melewati gunung karang yang 

runcing seperti waktu kita berangkat tempo hari. 

Ber... ber... ber...."

"Beranak?!"

"Berarti! Berarti kita masih jauh dari Pulau 

Beliung!"

"Kalau begitu, kita temui penduduk pulau ini dan 

minta bantuannya. Kita pinjam peralatan untuk 

menambal perahu ini!"

Pulau kecil itu memang penuh dikelilingi oleh 

karang. Pantainya sangat dangkal. Semestinya 

perahu tak bisa masuk ke celah di tengah pulau 

berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf U 

itu. Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang, 

sehingga perahu bisa masuk ke relung itu, ketika air 

laut surut, perahu dalam keadaan terjepit dua 

gugusan karang yang tersumbul sedikit di permukaan 

air laut. Mau tak mau Pendekar Mabuk dan Dewa 

Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak 

diketahui namanya oleh mereka itu.

Tetapi Suto menjadi sangsi setelah menyadari

pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau 

burung, tapi tak ada suara kehidupan manusia di 

dalam kerimbunan hutan di bagian tengahnya. Bekas 

sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan 

pun tak ada.

"Pulau ini kosong," kata Suto. "Tak berpenghuni 

kecuali burung dan binatang lainnya."

"Jad... jad... jadi kita terdampar di pulau kosong?"

"Mestinya begitu!"

"Wah, lila... laa... lalu kita mau minta bantuan 

kepada siapa? Kita mau pinjam peralatan buat 

tambal perahu kepada siapa?''

"Kepada burung," jawab Pendekar Mabuk sambil 

tertawa pendek. "Tapi coba kita periksa bagian pantai 

sebelah sana!"

Keduanya melangkahkan kaki melalui semak 

belukar. Tapi tiba-tiba tubuh Suto bagaikan tersedot 

bumi. Bruuussss...!

"Sut... Sut... Sutoooo...!" teriak Dewa Racun dengan 

suara gagapnya. Wajah kerdil itu menjadi tegang. la 

sangka ada seseorang yang menarik kaki Suto dari 

dalam sebuah lubang. Capat-cepat Dewa Racun

memandang sekeliling sambil pegang busur dan anak 

panahnya. Gerakannya cepat dan penuh selidik. Anak 

panah siap dilepaskan kapan saja terlihat ada yang 

mencurigakan.

"Dewa Racuuun...!"

Terdengar suara Suto Sinting dari kedalaman 

lubang. Dewa Racun segera memeriksa lubang 

tempat terperosoknya Suto Sinting. Ternyata lubang 

itu adalah sumur tua yang sudah tidak terpakai lagi. 

Sumur itu tertutup oleh tanaman liar hingga tak 

terlihat lubangnya. Sumur itu sudah tidak berair lagi. 

Tapi masih tampak lembab dindingnya, mungkin 

karena hujan semalaman.

"Sutooo...! Baag... baaag... bagaimana 

keadaanmu?!"

"Cepatlah turun! Di sini ada ruangan lebar!"

Dewa Racun tak tanggung-tanggung lagi, ia segera 

ceburkan diri ke dalam sumur tua itu. Wuuus...! Prass, 

bruuk...! la Jatuh di gundukan tanah berpasir. 

Anehnya tanah itu kering bagai tak pernah terkena 

curahan air hujan dari atas lubang sumur tersebut.

"Dewa Racun kita..."

"Ssst...!" Dewa Racun kasih isyarat agar Pendekar 

Mabuk diam sebentar. la cepat pejamkan mata dan 

letakkan telunjuknya di pelipis kanan-kiri. la sedang 

sadap suara percakapan. Tapi beberapa saat 

kemudian la lepaskan telunjuk itu.

"Sep... sepertinya ada orang di atas sana!"

"Kau dengar percakapan di atas sana?"

"Tid... tid... tid...."

"Tidur?"

"Tidak! Tidak ada percakapan. Hmmm... mungkin 

hanya perasaanku saja! Sepertinya tadi kita tidak 

menemukan gerakan manusia sedikit pun. Lupakan

soal perasaanku ini! Sek... sek... sekarang kita ada di 

mana ini, Suto?"

"Di dasar sumur!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi 

lihatlah, ada lorong seperti kamar di sebelah sana.

Atapnya cukup tinggi!"

"Ad... ada cahaya hijau juga. Mung... mungkinkah 

ada orang yang menyalakan lampu warna hijau di 

dalam kamar itu?"

"Mari kita periksa ke sana!"

Suto Sinting melangkahkan kaki lebih dulu. Ruang 

yang diibaratkan seperti kamar itu ternyata sebuah 

lorong panjang. Cahaya hijau semakin terang di ujung 

sana. Lorong itu makin lama makin lebar. Dindingnya 

berlumut, dan lumut itu mengeluarkan sinar hijau 

bagai mengandung fosfor. Cahaya hijau itu semakin 

ke dalam semakin luas dan membuat ruangan lebar 

tersebut dipenuhi oleh cahaya hijau.

"Tem... tem... tempat apa ini, Pendekar Mabuk?"

"Kalau kutahu sudah kukatakan padamu sejak 

tadi," jawab Suto Sinting. "Justru aku sedang berpikir, 

tempat apa ini? Kelihatannya tempat ini belum 

pernah dijamah manusia. Lumut-lumut yang 

memancarkan cahaya hijau itu belum ada yang 

menyentuhnya, keadaannya masih tumbuh secara 

alami. Tonjolan-tonjolan batu di dinding itu 

menampakkan bahwa ruangan ini terjadi secara 

alam, bukan buatan manusia! Hmmm... tapi lorong ini 

cukup panjang rupanya!"

"Kit... kit... kita ikuti saja sampai di mana ujung

lorong ini!"

Mereka melangkahkan kaki tidak dengan terburu-

buru. Selain merasa kagum melihat tanaman lumut 

bercahaya, mereka juga menikmati keindahan lekuk-

lekuk langit lorong yang mirip lukisan alam. Ada yang

bergelembung bagai bisul besar mau pecah, ada yang 

lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dan 

berbuku-buku. Semakin mereka melangkah jauh di 

kedalaman semakin mereka menemukan banyak 

keindahan.

Di sela tanaman lumut yang menyala itu, terdapat 

bebatuan yang berwarna-warni. Ada yang 

menggerombol berbentuk bulat-bulat berwarna 

kuning terang, ada yang dalam bentuk satu 

bongkahan besar berwarna merah bening, bahkan 

ada yang berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak 

berwarna coklat tua yang bening, dapat memantulkan 

sinar hijau dari tanaman lumut itu.

"Ap... ap... apakah ini surga, Pendekar Mabuk?"

"Entahlah! Aku tak bisa bicara apa pun rasanya. 

Begitu indah pemandangan di dalam gua panjang ini. 

Aku merasa berada di dalam sebuah istana yang tak 

pernah ada di permukaan bumi mana pun juga. 

Lihat...!" Suto menunjuk ke satu arah. "Batuan itu 

berdiri seperti pilar penyanggah langit-langit gua, tapi 

jelas bukan buatan tangan manusia! Pasti terjadi 

secara alami!"

Dewa Racun terkagum-kagum melihat batuan 

bening yang besarnya satu pelukan anak kecil, berdiri 

bagai menopang langit-langit goa. Bentuknya tak 

beraturan, tapi warna merah lembayung begitu cerah 

dan indah. Sangat menakjubkan. Dewa Racun 

mendekatinya pelan-pelan dengan mulut 

terperangah.

Tapi ketika ia mau memegang, tiba-tiba tangannya 

buru-buru ditarik mundur. la terkejut dengan mata 

terbelalak lebar. Suto heran melihat Dewa Racun

terkejut, lalu ajukan tanya,

"Ada apa? Kenapa kau tak jadi memegangnya?"

"Batu ini mempunyai racun yang berbahaya. Jang... 

jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!" 

"Dari mana kau tahu?"

"Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak 

tanganku baru mau menyentuh sudah terasa gatal!"

"Hmmm...," Suto menggumam sambil manggut-

manggut. "Jelas sudah!"

"Ap... apanya yang jelas...?!"

Suto belum menjawab. Matanya tertarik pada

batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol 

di lorong depan. la segera dekati batuan itu, Dewa 

Racun mengikutinya. Dewa Racun cepat bicara,

"lt... itu... itu batu mirah delima! Woow, bann... 

ban... banyak sekali?!" Dewa Racun mendului 

mendekat. Memandang lebih jelas. Ketika tangannya 

mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali 

seperti tadi. Wuuut...!

"Bat... bat... bat...."

"Batuk?"

"Batu ini! Batu ini juga beracun. Jangan 

menyentuhnya!"

"Semakin jelas," gumam Pendekar Mabuk.

"Apanya yaaang... yaaang.. jelas?!" tanya Dewa 

Racun makin penasaran dengan maksud Suto.

"Semua keindahan ini hanya boleh dinikmati 

dengan mata. Boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang. 

Boleh dinikmati tapi tak boleh dimiliki!"

Mengapa beg... beg... begitu?"

"Ajaran dari alam kehidupan," jawab Suto. "Di 

sekeliling kita banyak hal yang menarik dan memikat 

hati, tapi tidak semuanya bisa kita miliki. Terutama 

jika bukan milik sendiri, kita tidak bisa mengambil 

barang itu! Agaknya gua ini punya ajaran kehidupan 

sendiri yang punya makna besar bagi manusia,

bahwa apa yang sering kita anggap indah menawan 

hati, belum tentu menguntungkan bagi kehidupan 

kita. Barangkali gua ini mengajarkan kita agar jangan 

mudah tergiur oleh keindahan dan kemegahan. Gua 

ini juga mengajarkan pada manusia agar selalu 

waspada, bahwa di balik keindahan dan kemegahan 

terdapat maut yang tersimpan!"

Dewa Racun angguk-anggukkan kepala dan 

tambahkan kata, "Mung... mung... mungkin kita juga 

bisa belajar dari gua ini, yaitu belajar mengendalikan 

nafsu pribadi agar tidak gegabah dalam bertindak. 

Buktinya, kalau... kalau... kalau kita gegabah dan 

mengambil salah satu batu yang indah di sini, maka 

kita akan mati direnggut racunnya yang berbahaya 

itu!"

"Ya. Benar pendapatmu, Dewa Racun!"

Mereka melangkah semakin ke dalam. Mereka 

tidak merasakan letih sedikit pun. Mereka tidak 

sadarkan diri, bahwa mereka telah cukup lama 

berada di dalam gua keindahan itu dan melangkah 

sudah cukup jauh pula. Yang ada dalam hati mereka 

adalah ketenangan batin, kegembiraan dan 

kedamaian.

Ruangan yang lebarnya lebih dari sepuluh tombak 

itu mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni 

dan memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar 

itu seperti sesuatu yang kental menetes dari atas dan 

mengeras. Letak dan bentuknya tidak beraturan. Ada 

yang berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai, 

ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata 

tombak raksasa, semuanya mengandung seni 

keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di 

permukaan bumi.

"Seee... semua pilar itu ber... ber... beracun!

Jangan sampai tubuh kita tersentuh sedikit pun!" 

Dewa Racun mengingatkan.

Pilar-pilar itu semakin banyak, jaraknya semakin 

sempit. Langkah mereka semakin hati-hati. Dan pada 

satu sisi tertentu, Pendekar Mabuk hentikan langkah 

sambil berkata,

"Dewa Racun...! Aku mendengar suara gemercik air 

di depan sana!"

"Aaa... air... air?!" Dewa Racun pejamkan mata dan 

tempelkan telunjuk di pelipis, lalu berkata lagi, "Ya, 

ad... ad... ada air di depan sana. Air yang tertampung 

dalam satu tempat!" 

"Jangan-jangan... Kolam Sabda Dewa?!" Pendekar 

Mabuk berkata dengan tegang.

*

* *

8

 

LANGKAH demi langkah mereka susuri gua aneh 

yang penuh dengan keindahan itu, sampai pada satu 

langkah yang memaksa mereka harus berhenti. Dewa 

Racun yang berjalan paling depan yang pertama kali 

menghentikan langkahnya, sehingga Suto Sinting pun 

turut berhenti dan tertegun sebentar di situ.

Pilar-pilar indah sudah tak ada. Tapi lumut yang 

memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya 

letaknya tidak lagi di dinding kanan kiri gua, 

melainkan di langit-langit gua tersebut. Lumut-lumut 

berdaun panjang itu menggantung bagai lampu-

lampu hias yang memancarkan sinar hijau indah.

"Sut... Sut... Suto, haruskah kita tetap terus 

melangkah?"

"Pertimbangkan dulu sebelum melangkah," jawab 

Pendekar Mabuk.

Jelas Dewa Racun bimbang melanjutkan 

langkahnya, karena lantai gua bagian depan mereka 

bukan lagi dari tanah atau bebatuan biasa, melainkan 

dari kaca yang jernih dan bening sekali. Karena 

bening dan jernihnya, lumut-lumut di atas pun 

terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan 

memancarkan cahaya hijau bening yang sangat 

terang. Sedangkan pada dinding kanan kiri gua, 

masih terdapat aneka bebatuan yang punya warna-

warna cerah dan berkilap.

"Meng... meng... mengapa lantainya jernih sekali, 

Suto? Begitu jernihnya hingga sep... sep... seperti air 

yang bening. Ak... aku takut menginjaknya!" kata 

Dewa Racun.

"Gua ini benar-benar penuh arti kehidupan," kata

Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi 

bebatuan yang ada di dinding lorong berikut. "Lantai 

ini jernih, merupakan peringatan bagi kita untuk 

memperhitungkan setiap langkah yang akan kita lalui, 

memperhitungkan setiap tindakan yang akan kita 

lakukan. Jika kita berhati bersih, bening, dan 

berpikiran jernih, maka setiap langkah kita pasti 

membawa kemenangan tersendiri."

"La... lalu... lalu mengapa lumut-lumut itu sekarang 

tumbuh di atas kita?" tanya Dewa Racun.

"Hmmm...," Suto diam sejenak, kemudian berkata, 

"Lumut itu menerangi kita, Dewa Racun. Dalam 

falsafah hidup, kiranya kita tak boleh selalu merasa 

rendah diri dan minder. Sekalipun kita nilainya hanya 

seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang bagi 

sesama, hendaknya terang kita tetap menjadi 

penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke 

dalam lubang. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu 

kita, hendaknya kita bagikan kepada mereka yang

membutuhkannya."

"See... se... sesuatu yang rendah belum pasti harus 

di bawah. Ada sisi lain yang kita bisa ambil dari yang 

paling rendah itu, se... se... sehingga bisa kita angkat 

menjadi sejajar atau lebih tinggi dari diri kita.

Barangkali begitulah makna lain dari lumut-lumut 

yang memberi penerangan langkah kita di langit-

langit gua ini!"

"Benar pendapat mu, Dewa Racun. Dan 

menurutku, kita tetap saja melangkah selama kita 

mempunyai hati bersih dan pikiran sebening lantai 

kaca ini!"

Maka, Dewa Racun pun mengawali langkahnya. 

Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal 

yang membuat mereka heran, tak ada bekas telapak 

kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap menjadi 

lantai yang bersih, jernih, dan bening. Tapi hal yang 

membuat mereka lebih heran lagi adalah adanya 

bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu. 

Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli 

mereka, seperti jika mereka berdiri di depan cermin 

biasanya, melainkan membentuk bayangan hitam, 

seperti bayangan mereka jika terkena sinar matahari. 

Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus 

dengan telapak kaki mereka, namun sedikit tertinggal 

di belakang mereka, sepertinya mereka mendapat 

sinar dari arah depan.

"Pendekar Mabuk, ken... ken... kenapa bayangan 

kita di cermin berbentuk hitam dan mengikuti kita?"

Setelah diam berpikir beberapa kejap, Suto pun 

menjawab dengan suaranya yang tenang.

"Bayangan hitam...? Sesuatu yang hitam biasanya 

simbol dari kejelekan atau keburukan. Ini pun 

merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa

kemana pun kita pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat 

buruk yang ada pada diri kita. Sifat buruk itu 

membayangi kita senantiasa. Tergantung dari diri kita 

sendiri, apakah kita mau memakai sisi buruk itu atau 

meninggalkannya? Tetapi pada awalnya, kebaikan 

pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti 

keburukan yang merupakan hal-hal yang bersifat 

rencana untuk berbuat licik, rencana untuk berbuat 

tamak, rencana untuk mementingkan diri sendiri dan 

sebagainya. Lantai cermin berbayangan hitam ini 

merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu 

ingat dan waspada, bahwa keburukan atau kejelekan 

selalu membayang-bayangi hidup kita. Jangan sampai 

kita lengah dan terkuasai oleh bayangan hitam diri 

kita sendiri!"

Dewa Racun melepaskan tawa pelan. "Luuu... 

luar... luar biasa cerdasnya otakmu, Suto! Tak rugi 

berteman denganmu walau sampai berusia seribu

tahun lagi!"

Pendekar Mabuk pun membalas tawa dengan hati 

terasa sangat bahagia. Kemudian ia melanjutkan 

langkah yang membuat Dewa Racun segera 

mengikuti dari belakang. Pandangan mata Suto 

Sinting berseri-seri memperhatikan bebatuan indah 

yang beraneka ragam bentuk dan warnanya.

Suara gemercik air semakin jelas. Pendekar 

Mabuk ingin cepat sampai ke sumber suara gemercik 

air itu. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti karena suatu 

hal.

Dua orang perempuan berwajah cantik sekali 

datang dari arah depan Suto dan Dewa Racun. Dua 

orang perempuan yang masih muda itu sama-sama

mengenakan pakaian semacam jubah putih dari 

bahan kain sutera lembut Rambut mereka lurus

panjang, yang satu sebatas pinggang, satu lagi 

sebatas punggung. Rambut itu begitu lembut dan 

hitam sehingga ketika dipakai berjalan gerakan 

rambut tampak gemulai sekali.

"Sssi... si... Siapa mereka itu?" bisik Dewa Racun 

sambil menyentak lembut tangan Pendekar Mabuk.

"Entahlah, kita tanyakan saja siapa mereka!" Baru 

saja Suto ingin mendekati langkah mereka, tapi 

ternyata mereka sengaja berjalan mendekati 

Pendekar Mabuk. Senyum mereka mengembang 

dengan sangat indahnya. Begitu menawan hati 

sehingga Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-

sama merasakan kebahagiaan yang tak dimengerti 

apa artinya.

Satu dari perempuan cantik berhidung mancung 

itu membawa gulungan kain merah, seperti angkin 

atau kemben. Yang tidak membawa gulungan kain 

segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya 

yang lembut dan enak didengar,

"Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi...."

Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Pendekar 

Mabuk dan Dewa Racun. Dewa Racun adalah orang 

Puri Gerbang Surgawi, dan ia merasa bukan di dalam 

gua itu letak Puri Gerbang Surgawi, melainkan di 

Pulau Serindu. Justru kedatangannya menemui Suto 

karena Dewa Racun diutus penguasa Puri Gerbang 

Surgawi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang mempunyai 

nama asli Dyah Sariningrum, untuk membawa 

Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi. Tapi

mengapa sekarang perempuan bergaun putih itu 

mengatakan: "Selamat datang di Puri Gerbang 

Surgawi?"

Sementara Suto dan Dewa Racun saling 

terbengong kebingungan, perempuan pembawa kain

gulungan itu menebarkan kainnya. Warna merah 

beludru dibentang ke arah jalan selanjutnya. 

Gulungan itu kecil, tapi ketika tangan berjari lentik itu 

menyentakkan gulungan tersebut, kain merah 

beludru menebar panjang dan berjalan sendiri 

mengikuti arah jalan berlantai kaca itu.

"Silakan berjalan di atas kain merah ini, jangan 

keluar dari atas kain merah," kata perempuan yang 

tadi membawa gulungan kain.

Perempuan yang satunya berkata, "Silakan 

melangkah Tuan-tuan Pendekar, Gusti Ratu sudah 

menanti kedatangan Tuan-tuan Pendekar."

Pendekar Mabuk mengawali langkahnya di atas 

bentangan kain merah, Dewa Racun ada di 

belakangnya. Dua perempuan itu mengawal di kanan-

kiri mereka, tidak menginjak kain merah bludru. Rasa 

penasaran membuat Pendekar Mabuk 

memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan 

kepada perempuan di sebelah kanannya,

"Siapa kalian sebenarnya?"

"Namaku Sang Wengi, dan yang di sebelah kirimu 

itu bernama Sang Ramu."

"Namaku..."

"Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila 

Tuak," sahut Sang Ramu dengan cepat. "Dan 

temanmu adalah Dewa Racun, yang punya nama asli 

Gatra Laksana?!"

"Dari mana kalian tahu namaku dan nama 

temanku itu?"

"Gusti Ratu yang memberitahukannya." 

"Gusti Ratu siapa?" 

"Gusti Ratu Kartika Wangi," jawab Sang Ramu. 

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama 

hentikan langkah karena kaget dan merasa bingung.

Dewa Racun segera berkata,

"Apa... apa... apakah sekarang penguasa Puri 

Gerbang Surgawi sudah diganti?"

Sang Wengi yang menjawab, "Belum. Sebaiknya, 

mari kita melangkah lagi. Gusti Ratu jangan sampai 

menunggu terlalu lama."

Mereka kembali melangkah dengan diliputi 

keheranan yang tiada kunjung reda. Ingin sekali Suto 

menanyakan mengapa nama Ratu Puri Gerbang 

Surgawi bukan bernama Dyah Sariningrum? Tapi 

lidahnya terasa kelu, pikirannya bercampur aduk, 

sehingga yang terlontar pelan dari mulutnya hanyalah 

sebuah kalimat,

"Tak kusangka di gua indah ini ada penghuninya."

Sang Wengi segera berkata, "Hanya orang-orang 

yang bisa mengartikan makna keindahan di dalam 

gua ini yang bisa melihat kami."

Suto memperlambat langkah dan menatap wajah 

Sang Wengi. Perempuan yang dipandangnya itu 

mengatakan,

"Selama ini baru kalian berdua yang bisa 

mengartikan apa makna keindahan di dalam gua ini. 

Baru kalian berdua yang bisa menjabarkan falsafah 

kehidupan yang terpajang sepanjang lorong goa ini. 

Dan baru kalian berdua orang yang berhasil 

berperang melawan musuh yang paling berat."

"Musuh...? Siapa maksudmu?"

"Nafsu diri sendiri!" jawab Sang Wengi dengan 

senyum bijak yang menawan hati. "Kalian berdua

yang telah memenangkan pertarungan dendam di 

dalam batin dan jiwa kalian masing-masing."

"Pertarungan dendam?!" Suto menggumam sambil 

tetap melangkah. "O, ya. Aku mengerti maksudmu. 

Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil

menahan diri agar tidak melampiaskan dendam 

kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah 

membunuh musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia 

telah mati di tanganku."

"Dia telah mati oleh dendamnya sendiri, bukan 

oleh tanganmu. Jika dia bisa berperang melawan 

dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan 

menyerang kamu, dan kekuatannya tidak membalik 

mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus 

begitu."

"Dari mana kau tahu kalau Kombang Hitam mati 

hangus?"

"Kami melihat semua kehidupan yang kami 

perlukan dari sini!" jawab Sang Ramu dengan wajah 

ceria.

Sang Wengi menyambung kata, "Bagi orang-orang 

yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak 

mempunyai keindahan sama sekali. Mereka tidak

akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."

Dewa Racun ingin bertanya tentang Puri Gerbang 

Surgawi, tetapi mulutnya sudah telanjur terperangah 

melihat lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar 

yang sangat indah dan megah. Pilar-pilarnya terbuat 

dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut dan 

sebagainya. Lantainya bagai bentangan kaca lebar 

dan luas yang sangat bening dan jernih. Dindingnya 

terbuat dari lempengan-lempengan batu putih yang 

memancarkan cahaya terang, serupa betul dengan 

lempengan intan berukuran lebar dua tombak dan 

panjangnya mencapai lima tombak tiap lempengnya. 

Itulah sebabnya istana tersebut berpendar-pendar 

cahaya menyilaukan, tapi setelah beberapa saat ada 

dalam cahaya itu, mata sudah terbiasa memandang 

tanpa rasa silau.

Kain merah yang tadi digulirkan itu ternyata sangat 

panjang. Kain tersebut sampai ke tengah balairung 

istana yang berlangit-langit tinggi dan mempunyai 

delapan pilar besar itu. Kain tersebut pecah menjadi 

dua bagian, ke kiri dan ke kanan, seolah-olah terpisah 

begitu sampai di depan singgasana berlapiskan 

batuan putih intan itu.

Orang-orang berwajah cantik seperti Sang Ramu 

dan Sang Wengi berdiri menyambut kedatangan Suto 

Sinting dan Dewa Racun. Senyum mereka ramah

sekali, sehingga Suto Sinting dan Dewa Racun 

merasa damai dan bahagia yang tak bisa dilukiskan.

Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Pendekar 

Mabuk dan Dewa Racun berdiri terpisah. Suto ke 

kanan, Dewa Racun ke kiri. Mereka naik di atas lantai

bundar yang ada di depan singgasana. Tinggi lantai 

itu kurang dari setengah jengkal, tapi merupakan 

tempat khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang 

menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk, 

lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika 

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun naik ke atas lantai 

itu, kain merah sebagai alas berjalan mereka tadi 

hilang lenyap begitu saja. Wuuut...!

Muncul pula perempuan-perempuan cantik yang 

punya tinggi sama rata dengan pakaian serba kuning 

gading. Mereka muncul dari satu pintu yang ada di 

lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana yang 

bundar itu. Mata Suto dan Dewa Racun memandangi 

bagian atas. Rupanya istana itu mempunyai tiga 

lantai. Lantai bawah tempat Suto Sinting dan 

perempuan berpakaian putih berada, lantai kedua 

tempat perempuan-perempuan berpakaian kuning 

gading berjajar mengelilingi dengan rapi. Lantai 

atasnya lagi, muncul serombongan perempuan

berambut cepak berikat kepala seperti makhota 

emas kecil dan menyandang pedang merah di 

punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang. 

Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis 

warna merah, mengenakan tutup dada merah juga, 

dan dilapisi rompi panjang sebatas perut berwarna 

merah pula. Sepertinya mereka adalah prajurit-

prajurit istana pilihan. Mereka berjajar dengan rapi 

seperti yang lainnya.

Terdengar suara bergaung menggema seperti 

genta bertalu, Wuung...! Gema itu panjang, tapi tidak 

membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan suara 

itu, muncul seorang berpakaian serba ungu, termasuk 

jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambutnya 

disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun 

tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan 

intan, giwangnya tak terlalu besar tapi jelas terbuat 

dari berlian. Perempuan itu cantik, masih muda, 

wajahnya oval, atau lonjong, bibirnya ranum indah, 

hidungnya mancung, kulitnya putih.

Semua orang dari lantai bawah sampai lantai atas 

menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. 

Melihat semuanya begitu, Pendekar Mabuk dan Dewa 

Racun pun ikut-ikutan menunduk dengan satu kaki 

berlutut, yaitu kaki kanan, tangan kanan 

menggenggam ditempelkan lantai.

"Damai dan sejahtera buat kalian!" terdengar 

perempuan yang berdiri di depan singgasana itu 

berkata memberi salam. Lalu, mereka kembali 

bersikap biasa. Suto dan Dewa Racun pun berdiri lagi.

Rupanya perempuan berpakaian ungu itulah yang 

disebut Gusti Ratu Kartika Wangi. Buktinya ia duduk 

di dampar kencana berhias batuan intan berlian, lalu 

dengan senyum anggunnya ia menyapa Suto Sinting.

"Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi, Suto 

Sinting!"

Suto diam saja, tak tahu harus membalas dengan 

kata apa. la hanya menundukkan kepala sekejap 

tanda menghormat.

"Selamat datang pula Dewa Racun, abdi pilihan, 

Duta Terpuji!"

Dewa Racun bingung dikatakan Duta Terpuji. Lebih 

bingung lagi ketika ia melihat semua orang yang 

mengelilinginya bertepuk tangan menyambut kata: 

Duta Terpuji.

"Apa maksudnya, Gusti Ratu? I" tanya Dewa Racun 

dengan bahasa yang lancar, tanpa tergagap-gagap.

"Gelar itu untukmu, Dewa Racun! Kau adalah 

utusan yang setia menemani Pendekar Mabuk, 

membantu tiap ada kesulitan, mengarahkan pandang 

pikirannya, dan menenteramkan hatinya jika sedang 

gundah. Maka kuanugerahkan kepadamu sebuah 

gelar kehormatan: Duta Terpuji!"

"Mohon ampun sebelumnya, Gusti Ratu," kata 

Dewa Racun. "Siapa yang mengutus saya sebagai 

utusan menjemput Suto Sinting ini sebenarnya, Gusti 

Ratu?"

"Aku," jawab Ratu Kartika Wangi. "Aku yang 

mengutus kamu melalui mulut putriku, yaitu Dyah 

Sariningrum, yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, 

berkuasa di Pulau Serindu, di Puri Gerbang Surgawi 

Nyata!"

Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, "Oooo... 

jadi Gusti Ratu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Dyah 

Sariningrum dan Betari Ayu. Jadi ternyata ada dua 

Puri Gerbang Surgawi, yang nyata dan yang tidak 

nyata!"

Tiba-tiba Ratu Kartika Wangi berkata kepada Suto,

"Benar apa kata batinmu, Suto Sinting! Ada Puri 

Gerbang Surgawi yang nyata dan yang tidak nyata!"

Terkejut sekali Pendekar Mabuk mendengar 

ucapan Ratu. Ternyata kata batinnya bisa didengar

oleh sang Ratu. Tak berani Pendekar Mabuk 

membatin hal yang bukan-bukan.

Ratu berkata lagi, "Aku adalah calon ibu 

mertuamu, Suto Sinting. Karenanya aku ingin 

bertemu denganmu dan memberimu tanda sebagai 

orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan 

saja, di mana saja kau berada. Aku mengenal jiwamu 

yang polos, tegas, berani, dan bijaksana. Aku tahu, 

kau sudah siapkan Kitab Wedar Kesuma di 

punggungmu untuk mas kawin melamar putriku; Dyah 

Sariningrum. Tapi ketahuilah, Suto... karena ke mana-

mana kau selalu membawa kitab itu, maka semua 

ilmu dan jurus yang pernah kau pakai telah tertulis 

dengan sendirinya di dalam kitab itu!"

Pendekar Mabuk terkejut, tapi tak bisa berbuat 

apa-apa. Sang Ratu pun berkata lagi,

"Aku juga tahu kau menyimpan kasih sayang 

kepada putri sulungku, yaitu Betari Ayu. Dia sangat 

sayang kepadamu. Tapi dia lebih rela jika kau 

mencurahkan segala cinta dan kesetiaanmu kepada 

adiknya; yaitu Dyah Sariningrum. Aku melihat 

ketulusan hatimu dalam mencintai anakku, Suto. Aku 

terkesan dengan keperwiraanmu dan 

kependekaranmu. Sebab itu, pejamkan matamu 

sebentar, Suto. Juga kau, Dewa Racun, pejamkan 

matamu sebentar. Aku ingin memberimu tanda 

merah di tengah kening!"

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pejamkan 

mata. Lalu, telunjuk Ratu Kartika Wangi diacungkan. 

Claap...! Keluar sinar merah jambu dari ujung telunjuk

itu, masuk ke kening Pendekar Mabuk. Demikian juga 

dilakukan kepada Dewa Racun. Kini kedua kening itu 

telah bertanda merah bulat sebesar biji jagung. Rasa 

dingin ketika sinar itu menerpa dahi.

"Buka mata kalian," perintah sang Ratu. "Suto, 

angkat telapak tanganmu yang kanan dan hadapkan

kemari!"

Pendekar Mabuk membuka telapak tangannya dan 

dihadapkan kepada Ratu Kartika Wangi. Lalu, jari 

tengah Ratu Kartika Wangi menunjuk, dan claap...! 

Sinar biru melesat dan menancap di telapak tangan 

kanan Suto. Sinar biru itu membentuk tato kecil di 

tengah telapak tangan Pendekar Mabuk. Tato itu 

bergambar pedang kecil yang ujung gagangnya 

terdapat bintang segi lima.

Ratu Kartika Wangit berkata kepada Suto, "Nah, 

Suto Sinting... tato di tangan kananmu itu adalah 

lambang bahwa mulai hari ini, sebagai calon 

menantuku yang berhasil memadamkan dendamnya 

sendiri dengan kebajikan, maka aku mengangkatmu 

sebagai Manggala Yudha Kinasih yang akan menjadi 

panglima terdepan dari seluruh jajaran prajurit dan 

rakyat Puri Gerbang Surgawi...!"

Prok prok prok...! Mereka bertepuk tangan. Tepuk 

tangan itu hilang dan mereka segera memberi hormat 

seperti hormat yang dilakukan kepada sang Ratu 

Kartika Wangi. Pendekar Mabuk sendiri masih 

bingung dan tak tahu harus berbuat apa. la hanya 

memandangi orang-orang yang memberi hormat 

kepadanya, termasuk Dewa Racun sendiri, dan lama 

sekali mereka tidak kembali dalam posisi semula.

Maka, Suto pun segera ucapkan kata menirukan 

ucapan Ratu Kartika Wangi tadi,

"Damai dan sejahtera buat kalian...!"

Mereka baru berhenti menghormat, kembali ke 

posisi semula. Ratu Kartika Wangi tertawa pelan dari 

tempat duduknya.

"Itu ucapan khusus dariku, Pendekar Mabuk. Kau 

harus bikin ucapan salam kepada mereka dengan 

bahasamu sendiri."

"Maaf, Ibu Ratu, saya belum tahu!" 

"Pikirkanlah nanti saja. Yang jelas, kau dan Dewa 

Racun sudah menjadi warga Puri Gerbang Surgawi di 

bawah kekuasaanku. Jika kau ingin pergi dari sini, 

hapuslah keningmu dengan tangan kanan, maka kau 

akan berada di alam kasatmata. Demikian juga dari 

alam kasatmata ingin masuk kemari, hapuslah 

keningmu dengan tangan kanan. Tapi jika ingin 

melihat alam kasatmata di tempat lain, untuk 

menembus alam siluman atau alam gaib lainnya, 

untuk melihat sesuatu yang tak bisa dilihat mata 

telanjang, hapuslah keningmu dengan tangan kiri. 

Untuk menghilangkannya juga dengan menghapus 

kening memakai tangan kiri. Hal yang sama bisa 

dilakukan pula oleh Dewa Racun!" 

Dewa Racun membungkuk penuh rasa hormat dan 

berterima kasih, Suto mengikutinya. Karena 

dianggapnya, Dewa Racun lebih banyak tahu tentang 

adat bersikap di lingkungan Puri Gerbang Surgawi.

"Tanda warna merah di kening kalian tidak akan 

bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali oleh orang-orang 

berilmu sangat tinggi, seperti gurumu; si Gila Tuak itu, 

Pendekar Mabuk. Dan juga orang-orang kita sendiri 

yang bisa melihat tanda merah di kening kalian

berdua."

Dewa Racun membungkuk lagi. Hanya sedikit 

gerakannya, dan Pendekar Mabuk mengikuti pula. 

Agaknya Ratu Kartika Wangi semakin senang hatinya

melihat sikap hormat Pendekar Mabuk dan Dewa 

Racun.

"Untukmu, Suto..., tanda tato di telapak tangan 

kananmu itu memang bergambar pedang kecil 

dengan bintang, karena itu simbol dari jabatan dan 

kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih; artinya 

Panglima Perang yang siap mati demi membela 

kebenaran di mana pun juga adanya! Tapi dengan 

menyentakkan tenaga dalam yang kau salurkan lewat 

telapak tanganmu dalam keadaan terbuka miring, 

kau akan bisa melepaskan pisau-pisau gaib yang 

jumlahnya bisa ratusan, dan juga bintang-bintang 

sebagai senjata rahasia yang jumlahnya juga bisa kau 

atur dari napasmu yang tertahan. Jika kau lepas 

napasmu maka pisau atau bintang yang keluar dari 

telapak tanganmu itu akan berhenti dengan 

sendirinya. Adapun untuk jenisnya yang keluar dari 

tanganmu itu; apakah pisau atau bintang, tergantung 

sentakan napasmu yang pertama. Jika pelan, akan 

keluar bintang, jika sentakan napasmu berat akan 

keluar pisau. Gerakan kedua benda tersebut tidak 

bisa dilihat dan dihindari, kecuali oleh orang-orang 

berilmu tinggi. Jurus Itu kunamakan jurus 'Tapak 

Manggala', untuk pisaunya, dan untuk bintangnya 

adalah jurus 'Tapak Yudha'! Pergunakan dalam 

keadaan terpaksa dan sangat berbahaya!"

Pendekar Mabuk membungkukkan badan lalu

berkata, "Terima kasih atas semuanya ini, Ibu Ratu. 

Saya tidak keberatan mengemban tugas sebagai 

Manggala Yudha Kinasih, yang bertugas membela 

kebenaran." 

"Aku senang dan terkesan pada kesucian budimu, 

juga ketulusan jiwa Dewa Racun dalam menjalankan 

tugas sebagai utusan! Untukmu, Dewa Racun, aku

mempunyai hadiah khusus yang mudah-mudahan 

kau mau menerimanya!"

Trak trak...! Ratu menjentikkan jari tengah dan 

telunjuknya. Lalu dari salah satu barisan perempuan 

berpakaian putih itu muncul satu orang yang sudah 

tidak asing lagi bagi Pendekar Mabuk dan Dewa 

Racun.

Sang Ramu mendekati Ratu Kartika Wangi, 

memberi hormat sebentar lalu berdiri dengan wajah 

menunduk. Sang Ratu berkata,

"Dewa Racun, perjalananmu dari Pulau Serindu 

dan sampai ke Pulau Hitam selalu diikuti oleh Sang 

Ramu ini. Dia tahu kau menyimpan dendam kepada 

Melati Sewu akibat kematian Gayanti. Tapi kau bisa 

kalahkan dendammu dengan hati yang tulus dan 

ikhlas. Sang Ramu sangat berkesan kepadamu dan ia 

tertarik untuk menjadi istrimu. Maukah kau menerima 

cintanya, Dewa Racun?!"

"Haah...?!" Dewa Racun terbengong kebingungan. 

Matanya memandang Pendekar Mabuk bagai minta 

pertimbangan. Suatu kerlingan mata dengan senyum 

menggoda. Lalu, Dewa Racun berkata kepada Ratu 

Kartika Wangi, "Terlalu cantik buat saya, Gusti Ratu. 

Kalau ada yang agak jelek sedikit tak apalah...!"

Ratu Kartika Wangi tertawa, demikian pula semua 

orang dalam ruang istana yang megah itu tertawa 

geli. Sang Ramu pun tertawa tapi tertahan dan 

tundukkan kepala. Dewa Racun berkata pelan ke 

pada Pendekar Mabuk, "Bodoh amat aku ini kalau 

menolaknya...!"

Pendekar Mabuk semakin geli mendengar ucapan 

itu.

*

* *


SEPERTI Ratu Kartika Wangi, jika ingin keluar dari 

alam kehidupannya, cukup dengan mengusap dahi 

dengan tangan kanan. Maka Pendekar Mabuk dan 

Dewa Racun pun melakukannya. Begitu mereka 

mengusap dahi memakai telapak tangan kanan, 

kemewahan istana itu lenyap dalam sekejap. Yang 

ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas, 

dan air. Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman 

hijau menyala.

Tapi suara air semakin jelas didengar oleh mereka. 

Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun 

melangkah menyusuri lorong tersebut. Semakin 

mendekati tempat terang, semakin jelas suara 

gemericik air. Langkah Suto dan Dewa Racun 

bertambah cepat.

Tiba di sebuah tikungan lorong, langkah Dewa 

Racun terhenti. Pendekar Mabuk ikut-ikut berhenti. 

Dewa Racun memberi isyarat dengan tangan agar 

Pendekar Mabuk merundukkan kepala. Pendekar 

Mabuk mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu 

yang diintai Dewa Racun dari balik tikungan lorong. 

Pendekar Mabuk ikut mengintainya.

"Oh, rupanya gemercik air itu berasal dari kolam 

itu!" bisik Suto. Dan Dewa Racun menjawab dengan 

suara yang kembali gagap,

"Koo... ko... ko... Kolam Sabda Dewa!"

"Hah...?l Kelihatannya... ya, kelihatannya memang 

Kolam Sabda Dewa. Rupanya letak istana Puri 

Gerbang Surgawi tak jauh dari Kolam Sabda 

Dewa...?!'

Dugaan mereka memang benar. Kolam itu 

berbentuk lingkaran yang berair jernih. Ada pancuran 

di tengahnya. Pancuran itu berupa curah air dari atas,

tapi tak diketahui sumbernya. Sebab di bagian atas 

air yang mengucur ke bawah, terdapat langit-langit 

gua yang kering. Sepertinya air itu tidak tercurah dari 

atap gua melainkan dari udara bebas tanpa 

hambatan benda apa pun.

Sorot matahari masuk dari dua celah yang menjadi 

dinding gua retak, dan pintu masuk gua. Keadaan itu 

menjadi terang karena sorot matahari. Mulut gua 

atau pintu masuk gua terletak sedikit miring ke atas, 

dan jalannya becek. Tapi sekeliling kolam yang 

bertepian batu-batu bongkahan tanpa tersusun rapi 

itu, keadaannya kering tanpa percikan air sedikit pun. 

Bahkan tanah itu berkesan tandus dan berdebu. 

Di tengah kolam bergaris tengah tiga tombak itu 

ada bunga teratai. Hanya satu bunga teratai yang ada 

di situ, berwarna ungu. Warna ungu mengingatkan 

pakaian Ratu Kartika Wangi, sehingga Pendekar 

Mabuk berpendapat,

"Jangan-jangan kolam ini adalah pemandian Gusti 

Ratu Kartika Wangi?! Sebab, kalau dihubungkan 

dengan langkah kita yang belum mencapai lima puluh 

langkah tadi, sepertinya kolam ini berada di belakang 

istana, sebagai tempat pemandian Gusti Ratu!"

"Dugaanku pun mengatakan begitu. Tap... tap... 

tapi kalau se...."

"Ssst...!" Pendekar Mabuk cepat menepis ucapan 

Dewa Racun dan ia berkelebat pergi dari situ, 

bersembunyi di balik bongkah batu besar.

"Ad... ad... ada apa?" bisik Dewa Racun. Suto tidak 

menjawab hanya menuding ke arah pintu masuk gua. 

Dewa Racun pun memandang ke arah sana, dan 

matanya segera terkesiap.

Badai Kelabu datang bersama Melati Sewu. 

Kedatangan mereka bukan hanya berdua, melainkan

bersama mayat guru mereka, yaitu Kombang Hitam, 

alias Manusia Seribu Wajah. Mereka bergotongan 

membawa mayat Kombang Hitam yang telah hangus 

itu. Sampai di tepi kolam, di tanah yang kering, mayat 

yang dibawa memakai usungan bambu itu diletakkan. 

Badai Kelabu dan Melati Sewu sama-sama 

hempaskan napas dan menghapus keringat di dahi 

mereka.

"Kuharap Kolam Sabda Dewa bisa juga dipakai 

menghidupkan Guru!" kata Badai Kelabu.

"Aku sangat berharap begitu! Aku lebih baik ikut 

mati jika Guru tidak bisa hidup kembali!" kata Melati 

Sewu.

"Buatku, Guru adalah bapakku sendiri! Dia yang 

menolong aku dari hinaan banyak orang. Cuma dia 

yang mau mendekatiku dan memberi makan ketika 

aku masih menjadi gadis yang cacat dan jelek rupa!"

"Ya, aku ingat itu!" jawab Melati Sewu.

Dewa Racun berbisik, "Mer... mer... mereka sama-

sama inginkan Guru mereka hidup. Badai Kelabu 

punya alasan yang masuk akal, tapi Melati Sewu tidak 

memberikan alasan mengapa dia mau ik... ik.. ikut 

mati jika gurunya tidak hidup kembali?"

"Entahlah. Yang jelas mereka mau coba-coba 

menentang kodrat dengan membawa mayat gurunya 

ke kolam itu!"

Dalam hati Suto Sinting pun membatin, "Jika kolam 

itu adalah tempat pemandian Gusti Ratu Kartika 

Wangi, maka masuknya mayat Kombang Hitam ke 

dalam kolam berarti suatu pencemaran air kolam. 

Gusti Ratu Kartika Wangi sama saja mandi dengan air 

yang dipakai untuk memandikan sesosok mayat. Ini 

harus kucegah!"

Maka, tanpa bicara apa-apa kepada Dewa Racun,

Pendekar Mabuk pun segera muncul dari 

persembunyian. Waktu itu, Badai Kelabu dan Melati 

Sewu ingin menceburkan mayat Kombang Hitam. 

Suto cepat berseru,

"Tahan...!"

Badai Kelabu dan Melati Sewu terkejut sekali. 

Lebih terkejut lagi setelah ia tahu bahwa Pendekar 

Mabuk dan Dewa Racun ada di situ.

"Suto...?! Oh, bagaimana mungkin kau bisa sampai 

di Kolam Sabda Dewa ini?! Kau tahu dari mana jalan 

menuju kemari, Suto?!"

"Secara kebetulan saja aku terperosok! Ternyata 

lorong sebelah sana itu tembusnya ke sini!"

"Kkka... kalian mau menceburkan mayat ini?" 

tanya Dewa Racun.

"Ya!" jawab Melati Sewu. "Sebab kau telah 

membunuh guru kami!" Sikap Melati Sewu 

bermusuhan kepada Suto. Bahkan semakin jelas 

permusuhannya karena ia segera mencabut pedang 

dari punggung.

Sreet...! Pedang bergerigi itu terlepas dari 

sarungnya.

"Melati Sewu, apa yang ingin kau lakukan?!" Badai 

Kelabu mencegah langkah Melati Sewu.

"Aku harus membalas kematian Guru!" katanya 

dengan ketus.

"Jangan! Jangan menyerang dia, Melati Sewu!" 

Badai Kelabu mencoba menahan, tapi tangannya 

dikibaskan oleh Melati Sewu. Tersentak Badai Kelabu 

dan jatuh dalam jarak dua tindak dari tempatnya.

"Hutang nyawa balas nyawa, Pendekar Mabuk!" 

geram Melati Sewu.

Suto cepat menahan dengan kata-kata, "Melati 

Sewu, dia mati karena dendamnya sendiri. Aku tidak

menyerangnya. Kau tahu aku telah mengalah dan 

melarikan diri, tapi dia masih memburuku!"

"Tapi karena kesaktianmu itu maka Guru menjadi 

tewas!"

Melati Sewu bergerak mendekati Pendekar Mabuk. 

Dewa Racun mau bertindak, tapi Pendekar Mabuk 

memberi isyarat dengan tangannya agar tak perlu 

bertindak. Suto sendiri hanya diam saja, sekalipun 

jarak Melati Sewu dengan dirinya sudah tinggal tiga 

langkah. Pedang sudah diangkat dan siap ditebaskan.

"Ingat, Melati Sewu...!" seru Badai Kelabu. "Aku 

hanya setuju jika Guru dihidupkan kembali, tapi tidak 

setuju jika kau membalas kematian Guru. 

Bagaimanapun juga, Guru yang salah dalam hal ini!"

"Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh, 

Badai Kelabu!"

"Cobalah!" teriak Badai Kelabu. "Jangan kau 

menyerang Pendekar Mabuk, tapi seranglah aku! 

Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut 

kematian Guru!"

"Jangan membuat permusuhan denganku, Badai 

Kelabu!"

"Aku tidak membuat permusuhan denganmu! Aku 

cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Suto!"

"Dan tak perlu menentang kodrat dengan 

menghidupkan Guru kalian!" sambung Suto menyahut 

kata.

"Guru harus hidup!" teriak Melati Sewu. "Guru 

harus hidup lagi! Dan kau harus kubunuh, Sutooo...!" 

sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki, 

melompat dengan pedang mengarah ke dada 

Pendekar Mabuk. Tetapi mendadak gerakannya 

berubah arah.

Heeegh...! Badai Kelabu melepaskan pukulan jarak

jauhnya, tepat mengenai pinggang Melati Sewu. 

Pukulan itu begitu berat dan keras, sehingga Melati 

Sewu tersentak dan oleng ke samping, Suto sendiri 

cepat melompat menghindari tebasan pedang 

bergerigi.

Wuut...!

Bruuk...! Melati Sewu jatuh telentang. Badai 

Kelabu segera lompatkan tubuh dan hendak 

menjejakkan kakinya ke dada Melati Sewu. Tapi 

tubuh itu segera tersentak dan mental. Rupanya Suto 

berkelebat cepat menyambut tubuh Badai Kelabu; 

membawanya ke tepi dinding,

"Kenapa kau larang aku menghajarnya?! Dia mau 

membunuhmu!" sentak Badai Kelabu kepada

Pendekar Mabuk dengan hati dongkol sekali.

"Kalian satu perguruan. Tak baik saling 

bermusuhan!"

"Tapi dia menuntut kematian Guru, Suto! Dia 

inginkan nyawamu juga!" Badai Kelabu semakin keras 

bicaranya.

Tanpa setahu Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu, 

Melati Sewu telah bangkit dan segera menerjang 

dengan pedangnya.

"Mampuslah kalian berdua Hiaaat...!"

Dewa Racun segera melompat dengan sentakkan 

kaki pelan tapi menghasilkan gerakan cepat. Wuut...! 

Plaaak...! Kakinya menendang pergelangan tangan 

Melati Sewu. Setelah itu, Dewa Racun segera 

melompat menjauhinya. Pedang di tangan Melati 

Sewu telah terpental ke seberang kolam. Gerakannya 

terlihat oleh Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu. 

Pedang itu terbang melayang dan menembus 

curahan air di tengah kolam. Tiba-tiba, claap...! 

Pedang itu lenyap tak berbekas sedikit pun.

"Jahanam kau!" geram Melati Sewu kepada Dewa 

Racun begitu tahu pedangnya lenyap secara gaib. la 

segera melompat menyerang Dewa Racun bagai 

singa betina yang buas. Wuus...!

Dewa Racun tak mau menghadapi serangan itu. la 

melompat menjauhi. Melati Sewu mendarat di tempat 

yang kosong. la menggeram dengan mata 

memandang tajam kepada Dewa Racun. Napasnya 

terengah-engah dibakar amarah karena pedangnya 

hilang.

la segera bergegas mengangkat mayat Kombang 

Hitam untuk diceburkan ke dalam kolam tersebut. 

Tapi secara ajaib air kolam menjadi surut. Gemercik 

air yang tercurah dari atas tanpa tahu di mana letak 

sumbernya itu menjadi padam. Kolam cepat menjadi 

kering kerontang tanpa setetes air pun kecuali tanah 

berlubang besar yang dalamnya antara satu ukuran 

tombak. Tanpa air, tanpa kelembaban. Hanya ada 

bebatuan dan kerak lumut kering di bagian dasarnya. 

Hai itu membuat Melati Sewu menjadi semakin 

marah.

"Tidak! Tidaaaaak...! Guru harus hidup! Guru harus 

dimandikan ke dalam Kolam Sabda Dewa ini! Oh, 

mana airnya...? Mana airnya?!"

Dewa Racun diam saja di seberang sana, 

memandangi Melati Sewu yang menangis terisak-

isak. Suasana menjadi sepi beberapa kejap, hanya 

tangis Melati Sewu yang terdengar di dalam gua itu.

"Mengapa dia sampai begitu menderitanya 

terhadap kematian Guru?" pikir Badai Kelabu. 

"Apakah... apakah Guru itu adalah ayahnya?"

Heningnya suasana membuat Melati Sewu segera 

sadar dari tangisnya. la telah kehilangan pedang, 

kehilangan gurunya dan kehilangan sebentuk

harapan dari Kolam Sabda Dewa itu. Sepertinya ada 

sesuatu yang selama ini dipendamnya di dalam hati 

dan tak ada tempat untuk mencurahkannya. 

Sekarang inilah saatnya mencurahkan isi hatinya itu, 

dengan membakar kebenciannya kepada Suto, dan 

membulatkan tekadnya untuk membunuh Suto.

"Biadab kau, Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku 

atau kubunuh kau dengan seluruh ilmuku!"

Badai Kelabu mencoba menenangkan amukan 

Melati Sewu dengan berkata,

"Melati Sewu..., kenapa kau masih belum mau 

menyadari kesalahan Guru kita itu?! Akuilah bahwa 

beliau memang terlalu mengumbar nafsu dan 

dendamnya. Jangan salahkan Pendekar Mabuk!"

"Aku tidak bicara padamu murid murtad! Aku 

bicara pada Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku! 

Cepaaat...!'

Dengan tenang Pendekar Mabuk menanggapinya. 

"Kenapa kau berkeras hati agar gurumu tetap hidup, 

Melati Sewu? Ada apa di balik niatmu? Katakanlah 

alasanmu, kalau jelas alasanmu, aku akan berusaha 

sebisakul Katakan alasanmu, Melati Sewu!"

"Karena aku tak mau anakku nanti lahir sebagai 

anak tanpa Ayah!"

"Ooh...?I" Badai Kelabu tersentak kaget, bahkan 

sempat terpekik. Matanya mendelik mulutnya 

ternganga. "Ja... jadi... kau...?!"

"Iya! Aku hamil, gurulah yang menanam benih ini di 

dalam kandunganku! Aku tak mau anakku lahir tanpa 

Ayahl Guru harus hidup, supaya... supaya... anakku 

lahir dengan memiliki Ayah...!" Melati Sewu menangis 

terisak-isak. Badai Kelabu ingin mendekat, tapi ia 

justru terkena tendangan Melati Sewu. Untung hanya 

lengannya saja.

"Guruuu...!" Melati Sewu segera menangisi 

Kombang Hitam. Memeluk mayat yang telah hangus 

itu. "Kita akan mandi di kolam keramat ini bersama-

sama, Gurul Kita akan mandi bersama supaya bisa 

hidup bersama, Guru...!"

"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu ketika 

melihat Melati Sewu mengangkat mayat gurunya, lalu

menceburkan diri ke dalam kolam yang menurut 

penglihatannya masih berair jernih itu. Bluuss...!

"Ooh...?!" pekik Badai Kelabu.

"Dia hilang! Dia... dia... dia dan mayat Guru hilang, 

Suto!"

Tertegun Pendekar Mabuk dan Dewa Racun 

melihat kegaiban dari Kolam Sabda Dewa. Kolam itu 

kering, tapi ketika tubuh Melati Sewu dan mayat 

Kombang Hitam masuk ke dalamnya, mereka lenyap 

tak berbekas. Pendekar Mabuk hanya bisa berkata,

"Mungkin mereka ditelan oleh suratan takdir yang 

tak bisa ditentang siapa pun!"

Badai Kelabu menangis dalam pelukan Pendekar 

Mabuk, dan Pendekar Mabuk memberinya 

ketenangan dalam pelukan seorang sahabat.


                          SELESAI


Ikuti kelanjutan kisah ini!!!

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting

dalam episode:

TUMBAL TANPA KEPALA


Share: