Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 10. Manusia Seribu Wajah
1
BADAI Kelabu segera menghentikan langkah
karena ia mendengar suara napas orang di
belakangnya dalam jarak antara dua belas langkah.
Badai Kelabu cepat palingkan wajah ke belakang.
Ternyata di sana tak ada satu orang pun. Hatinya pun
mulai curiga. Tapi Badai Kelabu kembali
melangkahkan kaki dengan tenang.
"Aku merasakan gerakannya bukan gerakan Suto
atau Dewa Racun!" ucap Badai Kelabu dalam hati.
"Pasti orang lain yang punya maksud tak beres
padaku. Hmmm... sebaiknya kudiamkan saja.
Kupancing dia supaya keluar dari
persembunyiannya!"
Badai Kelabu kembali langkahkan kaki dengan
tenang, dan ia mendengar suara napas di
belakangnya mulai mendekat kembali. Kejap berikut
ia buru-buru palingkan wajah ke belakang. Suara
napas orang itu lenyap bersama terhentinya langkah
Badai Kelabu. Mata perempuan berusia tiga puluh
tahunan itu memandang sekeliling dengan jeli. Tapi
tak terlihat wujud orang yang mengikutinya.
Sekali ini Badai Kelabu langkahkan kaki tanpa
berpaling sedikit pun. la biarkan suara napas yang
mengikutinya dari belakang. Kejap lain, Badai Kelabu
tersentak dan terhenti. Tubuhnya melengkung ke
depan sambil pegang perutnya, ia perdengarkan
suara erang lirih sebagai tanda kesakitan. Tubuhpun
oleng dan jatuh terkapar di tanah tak berumput.
Badai Kelabu tergolek di sana. Pakaiannya yang
hijau bertepian merah satin dibiarkan kotor, toh
memang sudah rusak akibat banyak luka yang
diderita waktu bertarung dengan Tapak Baja dan
Hantu Laut di Pulau Kidung (Baca serial Pendekar
Mabuk di dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").
Tubuh Badai Kelabu mengejang sebentar, lalu
tersentak dan melemas tak berkutik lagi.
Kejadian itu membuat sepasang mata terkesiap
dari suatu tempat yang tersembunyi. Cukup lama
sepasang mata itu menunggu gerakan Badai Kelabu,
namun yang ditunggu tak juga bergerak. Sepasang
mata itu memendam kuat-kuat rasa cemasnya.
Namun akhirnya tak mampu lagi sabar menunggu.
Sepasang mata itu cepat sentakkan kakinya dan
melesat keluar dari persembunyiannya.
Orang tersebut mengenakan pakaian kuning
sebatas dadanya yang sekal. Badannya terlihat elok
dalam busana ketat seperti itu. Pinggangnya tampak
ramping karena mengenakan celana ketat warna
kuning pula. Celana itu hanya sebatas betis. Bentuk
betisnya indah dan berkulit semulus kulit bayi.
Pakaiannya itu dirangkap pakaian jubah warna merah
jambu yang tak terkancingkan bagian depannya.
Pakaian jubah merah jambu itu dari bahan sutera
tipis hingga menampakkan bentuk pantatnya yang
sekal menggiurkan setiap lelaki.
Orang bersenjata trisula kembar di pinggang
kanan-kirinya itu punya wajah cantik jelita. Bertahi
lalat kecil di atas bibir kirinya, bangir hidungnya,
memiliki bola mata indah, lentik pula bulu matanya.
Rambutnya yang panjang, hitam bersih, dan lembut
tergerai selewat punggung, diikat dengan kain warna
biru muda. Di atas telinga kirinya tersemat sekuntum
bunga kamboja warna putih kekuning-kuningan.
Menambah manis paras wajahnya.
Jalannya melenggok saat ia mendekati Badai
Kelabu yang terkapar di jalanan. Tapi kejap berikut
orang itu tersentak kaget dan terlonjak ke belakang
ketika Badai Kelabu tiba-tiba membentak.
"Hiaaat...!" sambil kakinya menyambar ke samping,
dan tubuh pun berputar, tangan menyentak di tanah,
badan terangkat dan kini ia berdiri tegap di depan
orang berjubah merah jambu itu.
"Babi, monyet, kodok, kuda, kambing...!" orang
berjubah merah jambu itu memaki dengan
menyebutkan banyak binatang karena rasa kagetnya
tadi. Tangannya melambai-lambai gemulai setiap ia
bicara, bibirnya mencong sana-sini dengan genitnya.
la menyambung kata dengan suaranya yang besar
bernada perempuan manja.
"Dasar kura-kura kamu, ah! Kupikir kamu modar,
tak tahunya hanya pura-pura saja! Sial!" ia melengos
dengan mulut cemberut manja.
"Apa maksudmu mengikutiku, Tanjung Bagus?!"
sentak Badai Kelabu dengan satu tangan bertolak
pinggang.
"Pasti ada tujuannya!"
"Sebutkan tujuanmu!"
"Biasalah... mau paksa kamu serahkan peta itu!"
"Dari dulu kau merayuku untuk mendapatkan peta
itu, padahal sudah kubilang bahwa aku tak memiliki
peta tersebut!"
"Mana mungkin... mana mungkin...!" bibirnya maju
dan dicibir-cibirkan dengan genitnya. "Kamu sudah
pernah ke sana, pasti kamu simpan peta itu! Mana
mungkin kamu akan buang itu peta!"
Sambil berbicara begitu, Tanjung Bagus
melenggok-lenggok dan tangannya memainkan tepian
jubah merah jambunya. Badai Kelabu mendesis muak
dan berkata.
"Kau memang ingin cari perkara! Sekarang apa
maumu kalau kubilang aku tidak mempunyai peta
Itu?!"
"Kita bertarung! Mungkin kalau nyawamu sudah di
ubun-ubun baru kau mau mengaku dan menyerahkan
peta itu!"
"Tanjung Bagus, kalau itu maumu, kulayani
tantanganmu!"
Di balik semak, Dewa Racun dan Pendekar Mabuk
saling berbisik dengan suara sangat pelan.
"Cantik sekali orang berjubah merah jambu itu,"
bisik Suto. "Dia mirip seorang bidadari."
"Tap... tapi... sepertinya dia punya persoalan
dengan Badai Kelabu. Kita lihat saja urusan mereka
sampai di man... man... mana!"
"Baik. Kita lihat saja dari sini sambil menjagai
Badai Kelabu!"
Percakapan yang kasak-kusuk tak membuat kedua
orang yang saling berhadapan itu terganggu. Badai
Kelabu telah siap menerima serangan dari Tanjung
Bagus. Kedua kakinya merenggang kokoh, yang
kanan ditarik sedikit ke belakang dan merendah
keduanya. Tapi Tanjung Bagus masih melenggak-
lenggokkan badan sambil memegangi tepian
jubahnya.
"Tak sayangkah kamu dengan nyawamu itu, Badai
Kelabu? Daripada kamu korbankan nyawa buat
sembunyikan peta itu, lebih baik kau serahkan
padaku dan nyawamu tetap utuh, Badai Kelabu!""Peta itu ada di nyawaku!" jawab Badai Kelabu.
"Kalau kau mau ambil peta itu, ambil pula nyawaku!"
"Aduuuh, sayang sekali aku harus bertindak kasar
padamu, Badai Kelabu! Bersiaplah untuk mati,
Sayang...!" sambil Tanjung Bagus melenggokkan
badan dengan gemulai, mirip orang mau menari.
Tangannya diangkat merentang ke kiri-kanan, lalu
tangan itu meliuk pula ke arah depan dengan satu
kaki diangkat sebatas lutut, tangan yang kanan
ditarik ke belakang, yang kiri maju ke depan,
tubuhnya sedikit meliuk ke belakang, wajahnya agak
mendongak, tapi mata tetap tertuju ke depan.
Di balik semak, Dewa Racun berbisik kepada Suto,
"Men... men... menurutmu, dia mau bertarung atau
mau menari?"
"Memang begitulah jurus yang dimilikinya,
barangkali. Mirip orang menari. Lemah gemulai, tapi
seberapa besar tinggi ilmunya, kita masih belum bisa
pastikan!"
"Dia desak Bad... Bad... Badai Kelabu untuk minta
peta. Menurutmu pet... pet... pet...!"
"Pete?"
"Peta! Menurutmu peta apa yang diminta? Apakah
peta harta karun atau peta penyimpanan harta pus...
pus... pus...."
"Pus meong?!"
"Pusaka!" sentak Dewa Racun dalam suara bisik
yang jengkel.
Suto tersenyum menahan tawa dan ucapkan kata
pelan, "Kita belum jelas peta apa yang diinginkan
orang itu. Lihat saja, nanti kita juga akan tahu sendiri,
Dewa Racun!"
Orang kerdil itu diam, tak lagi ajukan tanya. Mata
orang kerdil terlempar pandang ke arah Badai Kelabu
yang sedang bergerak menunggu kesempatan
menyerang lawannya.
"Majulah, Setan! Tak segan-segan kuremukkan
batok kepalamu dengan kedua tanganku ini!"
"Hmm...!" Tanjung Bagus melenggokkan kepala
sambil mencibir genit dengan tangan masih bergerak-
gerak seperti orang menari. Katanya lagi.
"Jangan hanya bisa berkoar besar saja kau, Setan
sawah! Tunjukkan kebolehanmu! Kulawan jurusmu
dengan pukulan 'Daun Melambai'!"
Tanjung Bagus meliukkan badan dengan sangat
lentur, hingga dadanya membungkuk hampir
menyentuh tanah, kedua kakinya merentang lebar-
lebar, kedua tangan dan jemarinya meliuk ke sana-
sini sebagai upaya mengumpulkan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba Badai Kelabu setengah membungkuk
lepaskan pukulan 'Cakar Kucing' dengan kaki rapat
dan berjalan cepat mendekati lawan. Kedua
tangannya membentuk cakar kucing yang mencakar
bagian di depannya secaramberganti-ganti. Wut wut
wut wut...!
Plak plak plak plak...!
Blakkk...!
Pukulan Badai Kelabu yang menyerupai cakaran
kucing beruntun itu selalu bisa ditangkis oleh gerakan
cepat tangan Tanjung Bagus. Kemudian, keduanya
sama-sama memperoleh kesempatan untuk
menghantamkan telapak tangannya. Tanjung Bagus
berhasil menghentakkan telapak tangannya di bawah
pundak kanan lawan, dan Badai Kelabu berhasil
menghantam rahang Tanjung Bagus dengan telak
sekali.
Keduanya sama-sama terpental jatuh di tanah.
Tapi keduanya sama-sama cepat bangkitkan diri, dan
saling berdiri tegak siap menyerang kembali.
"Hmm...! Aku tahu dada kananmu memar!" kata
Tanjung Bagus. "Aku bisa lihat warna biru di dada
kananmu, walau tertutup kain bajumu!"
"Hmm...!" Badai Kelabu pun sunggingkan senyum
sinis. "Aku juga tahu gigi rahangmu yang belakang
patah! Keluarkanlah dari mulutmu, tak perlu kau
simpan, nanti tertelan!"
"Puih...!" Tanjung Bagus menggeram jengkel
setelah meludah, karena memang gigi gerahamnya
patah, dan bagian yang patah itu baru saja
diludahkan keluar. Sementara itu, Badai Kelabu
menggerakkan pundak kanannya, karena memang
pukulan Tanjung Bagus membekas biru di dada
kanannya dan terasa sakit bagai disengat
kalajengking. Gerakan pundak itu sebagai gerakan
penahan rasa sakit di dada kanan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama sentakkan kaki
dan melayang di udara. Tanjung Bagus melebarkan
kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan,
Badai Kelabu meletakkan telapak tangannya yang
kanan ke bawah ketiak dengan jari mengarah ke
bawah, sedangkan tangan kirinya maju ke depan siap
menangkis pukulan lawan.
Tubuh mereka saling berbenturan di udara.
Tangan kiri Badai Kelabu mengibaskan pukulan
tangan kanan Tanjung Bagus, tapi tangan kiri Tanjung
Bagus berhasil menghantam dada kanan Badai
Kelabu, dan tangan kanan Badai Kelabu masuk ke
tengah dada Tanjung Bagus.
Buhgg...! Behgg...!
Tubuh mereka saling dorong, sama-sama terpental
ke belakang. Lalu keduanya sama-sama
mendaratkan kaki di tanah dengan kaki merendah,
dan badan sama-sama sedikit melengkung ke depan.
Badai Kelabu tampak memucat, demikian pula
Tanjung Bagus. Keduanya sama-sama tak bicara
dalam tiga helaan napas. Tapi mata mereka saling
beradu pandang tanpa berkedip. Kejap berikut
terlihat ada darah keluar dari bibir Tanjung Bagus.
Meleleh melalui sudut bibir. Sesaat kemudian keluar
juga darah dari mulut Badai Kelabu, mengalir lewat
pertengahan mulutnya.
"Cuih...!" Badai Kelabu meludahkan darah ke
samping.
"Cuih...!" Tanjung Bagus pun meludahkan darah ke
depan.
Badai Kelabu menyapu bibirnya dengan lengan
baju, Tanjung Bagus menyapu bibirnya dengan kain
jubah. Beberapa saat setelah mereka sama-sama
diam mematung dan saling mengumpulkan tenaga
baru, Tanjung Bagus cepat serukan kata,
"Menyerahlah, Badai Kelabu! Serahkan peta itu
padaku sebelum kuputuskan untuk mengakhiri
riwayat hidupmu!"
"Jangan lagi bicara soal peta! Sudah kukatakan,
aku tak menyimpan peta itu! Tapi kalau kau berkeras
hati untuk mencabut nyawaku, mari kita tentukan
siapa yang lebih dulu tercabut nyawanya!"
"Manusia keras kepala!" geram Tanjung Bagus,
kemudian kedua tangannya cepat bergerak dari
samping kanan-kiri ke depan dan menyentak kuat.
Wuuttt...!
Pukulan tenaga dalam terlepas dari kedua tangan
yang saling berhimpit pergelangannya itu. Pukulan
tenaga dalam itu berwarna kuning dan berasap tipis.
Sasarannya tubuh Badai Kelabu.
Maka dengan cepat Badai Kelabu sentakkan kaki,
tubuhnya melayang ke atas melewati batas gerakan
sinar kuning tingginya. Dari atas Badai Kelabu
sentakkan dua jarinya dan meluncurlah sinar merah
ke arah Tanjung Bagus. Wuusss...!
Tanjung Bagus hanya miringkan badan ke samping
dalam sikap kedua kaki merapat, dan sinar merah
lewat di depannya, menghantam gugusan batu di
kejauhan sana. Blarr...! Gugusan batu itu pecah.
Sementara sinar kuning dari Tanjung Bagus
menghantam sebatang pohon berukuran satu
pelukan manusia dewasa. Pohon itu tumbang dalam
keadaan patah tak beraturan. Brukkk...!
Tetapi di luar dugaan, telapak kiri Badai Kelabu
bergerak cepat pada saat Tanjung Bagus berkelit ke
samping dengan merapatkan kaki tadi. Sebuah
pukulan tenaga dalam tanpa sinar melesat dan
menghantam pinggang Tanjung Bagus. Buhggg...!
Tubuh Tanjung Bagus tersentak naik dan oleng ke
samping, lalu jatuh berguling-guling bagai mendapat
dorongan angin besar. Sampai di bawah sebuah
pohon, Tanjung Bagus berdiri dengan satu lutut dan
ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Carilah peta itu ke neraka, Banci kurap! Hiaaat...!"
Badai Kelabu kembali melepaskan tenaga
dalamnya melalui dua jari yang disentakkan ke depan
dalam posisi tangan tengadah ke atas. Dari jari itu
kembali keluar sinar merah bagaikan lidi panjang.
Zraaaat...!
Tanjung Bagus dalam keadaan lemah dan tak bisa
bergerak cepat. Bahkan ketika ia mau bergerak
menghindar, lututnya terpeleset dan ia jatuh
bertumpu tangan di tanah. Saat itu, sinar merah telah
mendekat dan sangat dekat.
Tapi tiba-tiba, wesss...! Sesosok bayangan
berjubah hitam melesat dan mengangkat tubuh
Tanjung Bagus. Sinar merah itu akhirnya mengenai
batang pohon, dan pohon itu pun pecah. Blarrr...!
Sedangkan Tanjung Bagus tahu-tahu sudah berada di
gugusan tanah yang lebih tinggi letaknya dari tempat
Badai Kelabu berdiri.
Seorang nenek keriput sudah berdiri di samping
Tanjung Bagus. Orang berusia sekitar enam puluh
tahun itu mengenakan jubah hitam dengan pakaian
dalam dan celana berwarna putih kusam. Rambut
putihnya digulung kecil di tengah kepala, sisanya
dibiarkan terurai sebatas punggung. la menggenggam
tongkat berujung lengkung mirip tanda tanya. Tongkat
itu berwarna hitam yang ukurannya kurang dari satu
genggaman tangan. Mungkin hanya separo
genggaman.
Badai Kelabu mengenali nenek kurus itu,
karenanya dia segera menyapa dengan suara
lantang.
"Kau ingin membela muridmu juga, Nini Pasung
Jagat?!"
"Seorang Guru sudah selayaknya menyelamatkan
muridnya!" kata Nini Pasung Jagat dengan suara
tuanya yang kecil melengking itu.
"Jika kau ingin selamatkan muridmu, cepatlah
bawa pulang si Banci rapuh itu!"
"Hi hi hi hi...! Membawa pulang adalah hal yang
mudah, Badai Kelabu. Tapi kulihat dia belum
dapatkan peta itu darimu!"
"O, jadi kau yang suruh dia merebut peta dariku?"
"Aku membutuhkan peta sebagai penunjuk jalan
menuju gua itu, di mana terdapat Kolam Sabda Dewa!
Hi hihi...! Kurasa bukan hanya aku yang
membutuhkan Kolam Sabda Dewa, tapi murid
banciku ini juga membutuhkannya, untuk mengubah
nasibnya yang enggan menjadi laki-laki. Dia ingin
menjadi wanita sejati! Hi hi hi...!"
Kasak-kusuk di balik semak kembali terdengar,
yaitu bisikan Pendekar Mabuk dengan Dewa Racun.
"Rupanya perempuan cantik itu banci?! Dia
seorang lelaki?!"
"Kkaau... kau... tertipu, Suto! Kita berdua tertipu.
He he...!"
"Ssst...!" Pendekar Mabuk mengingatkan supaya
tawa Dewa Racun diredam agar suara mereka tidak
terdengar.
"Apakah kau pernah dengar Kolam Sabda Dewa,
Dewa Racun?"
"Belum pernah! Ak... ak... aku tak tahu apa
kehebatan Kolam Sabda Dewa itu!"
"Pasti kolam yang sangat penting dan punya nilai
tinggi. Jika tidak, tak mungkin Tanjung Bagus dan
gurunya mempertaruhkan nyawa untuk merebut peta
dari tangan Badai Kelabu!"
"Dan pas... pas... pas...!
"Pasar?!"
"Pasti! Dan pasti Badai Kelabu mengetahui apa
kehebatan kolam tersebut, Suto! Jadi, nanti kamu
tanyakan sendiri saja kepadanya!"
"Ya. Tapi aku tak sabar menunggu pertarungan
mereka yang tiada habisnya. Aku harus cepat
menemui gurunya Badai Kelabu untuk melakukan
pengobatan, lalu kita kembali ke Pulau Beliung
sebelum Hantu Laut mengamuk di sana dengan
Pusaka Tombak Maut di tangannya! Aku harus
membantu Badai Kelabu agar cepat selesai
urusannya...."
"Ssst...! Jang... jang... jang...."
"Jangkrik?!"
"Jangan! Maksudku... jang... jangan dulu bertindak.
Kita nanti jadi punya urusan dengan Nini Pasung
Jagat itu! Biarkan Badai Kelabu menyelesaikan
urusannya sendiri. Kalau memang dia terdesak,
bolehlah kita kasih ban... ban... ban...."
"Bantai?"
"Bantuan!" sentak Dewan Racun dengan gemas
dan bersuara lirih.
"Menurutku Nini Pasung Jagat itu tidak seimbang
jika melawan Badai Kelabu. Perempuan tua itu
berilmu tinggi. Dari gerakannya menyambut Tanjung
Bagus saja sudah terlihat dia berilmu tinggi. Badai
Kelabu bisa mati di tangannya. Aku harus segera
menolongnya!"
"Ya. Tapi lakukanlah secara sem... sem...
"Semut?"
"Sembunyi-sembunyi!" geram Dewa Racun dengan
kegagapannya sendiri. "Tap... tapi... lihatlah, di atas
pohon sana ada seseorang yang mengintai mereka!"
"O, ya! Aku melihatnya! Tapi... perempuan
berpakaian merah di atas pohon itu memihak siapa?
Badai Kelabu atau Tanjung Bagus?"
*
* *
2
NlNI Pasung Jagat segera turun dari tempat yang
tinggi itu. Gerakan turunnya bersalto satu kali.
Jubahnya berkelebat bagaikan hembusan angin
gelap. Ketika ia mendaratkan kakinya di tanah,
jubahnya masih bergerak melambai turun bagaikan
sayap seekor garuda. la berdiri dengan tegak, sambil
tetap berpegang pada tongkat melengkung setinggi telinganya.
Badai Kelabu pasang kuda-kuda dengan penuh
waspada. Tangan kanannya sudah terangkat di atas
kepala, telapak tangannya terbuka menghadap ke
depan, tangan kirinya sedikit terlipat di depan dada,
sebagai persiapan menangkis serangan mendadak
dari depan.
"Hi hi hi hi...," Nini Pasung Jagat tertawakan gaya
siaga dari lawannya. "Untuk apa kamu bersiap
menggunakan kuda-kuda seperti itu, Badai Kelabu?
Apakah kamu pikir kamu bisa mengalahkan diriku?
Apakah kamu pikir kamu bisa mematahkan
seranganku?"
"Majulah kalau kau ingin mencoba ilmuku, Nini
Pasung Jagat!"
"Hi hi hi hi...! Gurumu saja tunduk di depanku,
apalagi kamu yang masih kemarin sore, Badai
Kelabu!"
"Omong kosong! Guruku tak pernah berhadapan
denganmu! Kau selalu lari terbirit-birit jika melihat
guruku!" ketus Badai Kelabu.
"Kalau perlu, panggillah gurumu! Suruh dia
menghadapiku sekarang juga! Kutunggu dia di sini!"
"Cukup aku yang menghadapimu, Nenek peot!"
Nini Pasung Jagat menggeram, menahan amarah
dikatakan sebagai nenek peot. Tangannya
menggenggam tongkat dengan kuat-kuat. Giginya
yang sebagian ompong bagian depan itu
menggeletak.
Tiba-tiba rumput di bawah telapak kakinya itu
bergerak-gerak. Warnanya berubah jadi kuning
kecoklatan, lalu coklat tua dan akhirnya kering dalam
keadaan hitam. Asap mengepul dari telapak kaki Nini
Pasung Jagat, itu menandakan kemarahannya
terpendam kuat-kuat hingga tenaga dalamnya
tersalur lewat kaki dan membakar rumput yang
diinjaknya. Jika tenaga dalam itu disentakkan ke
depan untuk memukul Badai Kelabu, belum tentu
Badai Kelabu bisa mengatasinya. Kelihatannya
tenaga dalam itu muncul dari ilmu yang cukup tinggi.
Badai Kelabu sendiri sempat merasa gentar sedikit,
tapi cepat-cepat ia buang kegentaran hatinya.
"Badai Kelabu!" geram Nini Pasung Jagat. "Aku
merasa sayang jika harus melukai tubuhmu. Kau
perempuan yang cantik. Jadi, alangkah sayangnya
jika kecantikan itu harus kulukai. Ada baiknya kita
berdamai saja. Kutukar peta Kolam Sabda Dewa itu
dengan sekotak perhiasan masa mudaku dulu!"
"Aku tidak butuh perhiasan lagi! Aku sudah cukup
banyak mempunyai perhiasan, Nini!"
"Bagaimana jika kutukar peta itu dengan jurus
'Rembulan Berdarah'?! Jurus ini belum pernah
kuturunkan kepada murid siapa pun juga, karena
merupakan jurus andalan yang paling berbahaya! Kau
tak akan rugi menukar peta Kolam Sabda Dewa
dengan jurus 'Rembulan Berdarah'!"
"Aku tidak butuh jurus murahanmu itu, Nenek
Peot!"
"Laknat kau!" sentak Nini Pasung Jagat, hilang
sudah kesabarannya. Maka, dengan cepat ia
sentakkan kakinya, dan tubuhnya melayang terbang
ke arah Badai Kelabu. Tongkatnya dikibaskan bagai
ingin menggaet leher lawannya. Tapi Badai Kelabu
sudah siap menghindar atau menangkis. Karena ia
tahu tongkat itu bukan sembarang tongkat, maka
Badai Kelabu pun segera sentakkan kaki dan
melompat ke arah samping.
Wuusss...! Tongkat itu menebas tempat kosong.
Tapi angin tebasannya cukup besar, hingga tubuh
Badai Kelabu tersentak mundur tiga langkah dari
tempatnya berdiri.
Nini Pasung Jagat bergerak memutar seperti orang
mabuk. Cepat sekali gerakan tubuhnya memutar,
hingga jubahnya mengembang mekar mirip bunga
matahari. Tongkatnya direntangkan siap menyabet
apa saja yang didekatinya.
Badai Kelabu cemas akan dirinya yang terdesak di
antara dua pohon. Maka dengan cepat, Badai Kelabu
pijakkan kakinya di dua pohon yang bersebelahan itu.
Dengan berpijak pada pohon, ia bergerak naik
dengan cepat bersama kedua kaki tetap masing-
masing berpijak pada pohon yang berbeda. Sedikit
tinggi dari letak semula, Badai Kelabu cepat
sentakkan kedua kaki dan tubuhnya melayang
terbang di udara dengan berjungkir balik dua kali,
Wutt wuttt...!
Pada saat itu tongkat Nini Pasung Jagat
menyambar dua batang pohon pinus yang tadi
digunakan panjatan kaki Badai Kelabu. Begitu
tongkat itu mengenai batang pohon, terdengarlah
suara ledakan yang cukup keras dua kali.
Blarrr... blarrr...!
Bukan hanya Badai Kelabu yang tersentak kaget,
tapi Tanjung Bagus yang masih duduk dengan
bersimpuh itu pun terkejut sehingga latah bancinya
keluar.
"Eh, Ala... kuda, kucing, babi, kambing, marmut...!
Aduh, kaget aku! Jantungku mau copot rasanya!"
suaranya melenggok manja. la pun terbatuk-batuk
dan mengeluarkan darah lagi dari mulutnya. Darah itu
adalah darah akibat luka pukulan Badai Kelabu tadi.
Badai Kelabu benar-benar tak diberi kesempatan
menyerang oleh Nini Pasung Jagat. Setelah Badai
Kelabu melompat dan berguling untuk menghindari
rubuhnya dua pohon itu, Nini Pasung Jagat cepat
melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan
menggunakan telapak tangan kirinya yang berwarna
hitam separo itu. Wusss...!
"Modar kau, Bocah laknat!" teriak Nini Pasung
Jagat dengan murka.
Pukulan itu berubah-ubah wujudnya. Kadang
seperti gulungan asap hitam, kadang menyala merah
seperti bara. Sasarannya adalah kepala Badai
Kelabu. Gerakannya begitu cepat, bahkan mengikuti
ke mana pun perginya Badai Kelabu.
Perempuan muda itu kewalahan, berjumpalitan ke
sana-sini, tapi ia masih tetap dikejar oleh gumpalan
asap yang berubah-ubah bentuk itu. Kadang Badai
Kelabu menghindari dengan sentakan kaki yang
membuat tubuhnya melenting di udara. Tapi
gumpalan asap itu ikut melesat naik memburu tubuh
Badai Kelabu.
"Hi hi hi...! Tak akan bisa kau menghindari jurus
'Rembulan Berdarah', Bocah laknat! Itulah jurus yang
akan kuturunkan padamu, tapi kamu
menyepelekannya! Dan, ini satu lagi...! Hiaaat...!"
Wuussss....!
Kini dua gulungan asap hitam yang sering berubah
menjadi bara api mengejar Badai Kelabu. Gerakannya
begitu cepat, sehingga Badai Kelabu merunduk,
menggeliat ke samping, melompat dan bergerak apa
saja untuk menghindari serangan dua gulungan asap
tersebut. Bahkan sampai Badai Kelabu berguling-
guling di tanah, kedua gulungan asap itu masih terus
mengejarnya dari dua arah.
Kejap berikutnya Badai kelabu sentakkan kaki dan
melesat tinggi. Tapi dari arah bawah ia dikejar
gulungan asap pertama, dari arah belakang ia
dihampiri gulungan bara kedua. Badai Kelabu benar-
benar dalam bahaya. la sentakkan tangannya,
mengirimkan pukulan bertenaga dalam yang
memancarkan warna biru. Namun warna sinar biru itu
padam seketika begitu membentur gulungan asap.
Dan ia masih diburu oleh dua gulungan asap sebesar
kepala manusia dewasa.
Blarrr…! Blarrr...!
Tiba-tiba dua gulungan asap itu pecah dan
menimbulkan ledakan yang mengguncang bumi.
Pohon-pohon bergetar, daunnya berguguran. Tubuh
Badai Kelabu pun terhempas bagai dilemparkan oleh
tangan raksasa. Hampir saja ia membentur gugusan
batu jika tidak segera berkelit lalu berguling di
rerumputan.
Di atas tanah tinggi, Tanjung Bagus tersentak.
Duduknya sampai terlonjak ke atas dan ia memekik
latah.
"Kambing, kucing, kodok, jangkrik, babi ngepet...!
Suara apa itu tadi, ya...?!" ia menjadi tegang dan
ketakutan. Buru-buru ia menelungkupkan diri dengan
kepala sedikit tersumbul mencari tahu penyebab
suara ledakan yang menggelegar itu.
Sedangkan Nini Pasung Jagat terkesiap beberapa
saat lamanya, ia terbungkam mulutnya dan berhenti
bergerak bagaikan patung. Tapi matanya memandang
kepulan asap yang membubung tinggi akibat dua
ledakan jurus 'Rembulan Berdarah'nya itu Dalam
hatinya ia membatin,
"Keparat mana yang bisa meledakkan juru
'Rembulan Berdarah'-ku?! Baru sekarang kulihat ada
orang mematahkan jurus andalanku itu! Monyet
kering!' rutuknya tiada berkesudahan.
Badai Kelabu terengah-engah. Terlalu letih
tubuhnya bergerak menguras tenaga saat
menghindari maut tadi. la masih terkulai di bawah
pohon. Ia tak tahu, Nini Pasung Jagat telah bersiap
menghujamkan ujung tongkat yang tumpul itu, namun
tentunya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
cukup tinggi.
Sebelum nenek keriput dan kurus itu
menghujamkan tongkatnya, tiba-tiba sebuah sinar
hijau bening melesat ke arahnya. Wuttt..! Cepat-cepat
Nini Pasung Jagat hadangkan telapak tangan kirinya,
dan sinar hijau bening itu menghantam telapak
tangan kiri yang belang separo itu. Blabbb...! Letupan
teredam mempunyai sentakan tenaga cukup kuat.
Tubuh Nini Pasung Jagat terhempas ke belakang,
namun hanya terhuyung-huyung dan tak sempat
jatuh. la kembali bisa berdiri tegak, memandang ke
arah kiriman sinar hijau tadi. "Babi kurap! Kau ikut
campur juga rupanya?!" geram Nini Pasung Jagat
kepada perempuan yang baru saja turun dari pohon.
Perempuan muda berusia sebaya dengan Badai
Kelabu itu mengenakan rompi ketat tertutup
depannya berwarna merah tua, celananya hitam
bersabuk kuning kehitam-hitaman. la punya wajah
lonjong, berambut panjang dikepang satu, melilit di
lehernya. Ia mengenakan ikat kepala dari tali putih
halus, sepertinya terbuat dari benang-benang sutera,
ia menyandang pedang yang panjangnya setengah
depa, disematkan di punggung. Tali pedang yang
coklat itu melintang di dadanya yang sekal.
Perempuan itu adalah orang yang dilihat Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun tadi.
Melihat kemunculan perempuan berambut
kepang, Nini Pasung Jagat yang sudah mengenal
siapa perempuan itu menjadi membatin sendiri
dalam hatinya.
"Pukulan sinar hijaunya tidak seberapa. Tapi
sehebat itukah dia? Begitu tinggi ilmu yang dimiliki
jika benar dia yang telah menghancurkan jurus
'Rembulan Berdarah'-ku tadi?! Mungkinkah dia
mempunyai kekuatan yang begitu hebat hingga bisa
mematahkan jurusku? Tak disangka kalau dia
ternyata mampu menandingi jurus 'Rembulan
Berdarah', padahal belum lama ini Tanjung Bagus
pernah menghajarnya sampai hampir mati, walaupun
Tanjung Bagus sendiri juga hampir mati. Tapi, jika ia
punya ilmu tinggi yang bisa menghancurkan jurus
'Rembulan Berdarah'-ku tadi, mestinya ia dengan
mudah bisa membunuh Tanjung Bagus!"
Melihat kemunculan temannya, Badai Kelabu
merasa sedikit tenang. la cepat ucapkan kata,
"Terima kasih atas pertolonganmu, Melati Sewu!
Kalau gumpalan asap tadi tidak kau hancurkan,
matilah aku. Sudah habis tenagaku untuk
menghindarinya!"
"Bukan aku pelakunya," jawab Melati Sewu dengan
berbisik, lalu ia menolong Badai Kelabu untuk
bangkit. la kembali berbisik,
"Justru aku sedang mencari siapa orang yang bisa
menghancurkan jurus maut Nini Pasung Jagat itu?"
"Kalau begitu...," Badai Kelabu tidak melanjutkan
kata-katanya. la segera membatin, "Pasti Pendekar
Mabuk yang melakukannya! Hampir aku lupa kalau
aku membawa Suto dan Dewa Racun. Tapi, sebaiknya
biarlah mereka berada di tempatnya dulu.
Kubereskan dulu si tua peot ini dengan dibantu
kekuatan Melati Sewu!"
Segera terdengar kata-kata lepas dari Nini Pasung
Jagat,
"Melati Sewu! Kau datang ke pertarungan ini untuk
serahkan peta Kolam Sabda Dewa atau untuk
serahkan nyawa?!"
Tapi Melati Sewu berbisik kepada Badai Kelabu,
"Guru semakin parah! Apakah kau mendapatkan Batu
Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat? Aku hampir saja
menyusulmu ke pulau Beliung, tapi terhenti di sini
dan melihatmu bertarung dengan si tua edan itu!"
"Batu Galih Bumi tidak kudapatkan, Melati Sewu!
Tapi aku membawa seorang tabib muda yang ilmunya
cukup tinggi."
"Kalau begitu, cepat kita bawa dia ke
pesanggrahan biar Guru segera dapat tertolong!"
"Ya. Tapi bereskan dulu urusan ini, baru kita bawa
dia ke sana!"
Nini Pasung Jagat membentak dengan suara
keras, "Melati Sewu! Jawab pertanyaanku!"
Tapi Melati Sewu sengaja berbisik kepada Badai
Kelabu supaya kemarahan Nini Pasung Jagat
menyerang diri sendiri.
"Kau istirahatlah, biar aku yang maju! Tapi tetap
waspada!"
"Baik! Aku akan membantumu dari belakang!"
Merasa disepelekan, Nini Pasung Jagat cepat
sentakkan tangan kirinya dengan jari berbentuk
cakar. Wuttt...! Sebuah pukulan tanpa wujud
dilepaskan untuk menegur sikap kedua perempuan
itu yang dianggap meremehkan dirinya. Tetapi Melati
Sewu sudah siaga, Dengan cepat ia pun sentakkan
tangan kanan dan pukulan tanpa wujud itu saling
berbenturan di pertengahan jarak mereka.
Duhbb...! Wusss...!
Asap mengepul naik, lalu hilang terbawa angin.
"Keparat kau, Melati Sewu!" geram Nini Pasung
Jagat. "Jika kau memiliki peta itu, serahkan padaku!
Jika tidak, menyingkirlah biar tidak menjadi korban
sia-sia dalam pertarunganku ini!"
"Aku tak punya peta dan tak punya niat untuk
menyingkir!" kata Melati Sewu dengan lantang dan
berani.
"Kalau begitu, terpaksa aku menghancurkan
tubuhmu yang ramping keropos itu! Hiaaat...!"
Melati Sewu sentakkah tongkatnya. Nyala api biru
melesat bagai bola kecil yang menerjang cepat. Tapi
Melati Sewu tak kalah sigap. la kibaskan kepalanya
dan kepang rambut pun lepas berkelebat menyabet
bola biru itu. Tarr...!
Kepang itu melecut kuat, bola biru dihantamnya
dan hancur dalam kepulan asap biru. Kepang rambut
itu segera ditarik kembali dan bergerak melilit ke
leher lagi dalam satu sentakan kepala kecil. Wuttt...
slleb!
"Hiaaaat...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras
melayang melewati kepala Nini Pasung Jagat.
Rupanya Tanjung Bagus tak sabar melihat lagak
Melati Sewu yang beberapa waktu lalu hampir
merenggut nyawanya dalam satu pertarungan di tepi
pantai.
Tanjung Bagus telah mencabut dua trisulanya.
Satu dimainkan dalam keadaan berputar, satu lagi
cepat ditusukkan ke dada Melati Sewu. Tapi dengan
cekatan Melati Sewu miringkan badan sehingga
tusukan itu mengenai tempat kosong. Seketika itu
juga tangan Melati Sewu menghantam dalam gerakan
menyamping. Buhggg...!
Cukup kuat pukulan menyamping dari Melati
Sewu. Kena telak di bawah pundak kiri Tanjung
Bagus. Pukulan itu membuat Tanjung Bagus memekik
tertahan dengan langkah tersentak mundur dua
tindak. Tapi ia cepat tegakkan kepala dan kedua
trisulanya diadukan di atas kepala. Trangng...!
Perpaduan dua trisula itu menimbulkan loncatan api
biru yang segera menyambar Melati Sewu.
"Hiaaat...!"
Melati Sewu mencabut pedang sambil bersalto ke
belakang menghindari kilatan cahaya biru itu. Cahaya
tersebut mengenai tempat kosong. Hanya membakar
ilalang di belakang Melati Sewu. Sedangkan Melati
Sewu sendiri cepat sentakkan kakinya dan tubuhnya
melayang dengan pedang bergerigi di kedua sisinya
itu ditebaskan ke arah Tanjung Bagus. Cepat-cepat
Tanjung Bagus berlutut satu kaki sambil
menyilangkan trisulanya di atas kepala untuk
menahan tebasan pedang bergerigi. Trangng...!
Cahaya api memercik akibat perpaduan pedang
bergerigi dan trisula tersebut. Mereka sama-sama
tidak peduli. Mereka sama-sama jauhkan diri untuk
cari peluang menyerang yang lebih baik lagi.
Tapi pada saat Melati Sewu pijakkan kakinya ke
bumi, Nini Pasung Jagat kirimkan pukulan jurus
'Rembulan Berdarah' lagi ke arah Melati Sewu
Wusss...!
Gumpalan asap hitam melesat berganti-ganti
wujud. Badai Kelabu berseru dengan cemas.
"Awas! Dia gunakan pukulan itu lagi...!"
Melati Sewu cepat sentakkan kaki dan berjungkir
balik di udara. Gumpalan itu mengejarnya. Tapi tiba-
tiba meledak di pertengahan jarak. Blarrr...!
"E, ala... kadal, babi, kambing, kucing, singa,
semut...!" terlepas serapah latah dari mulut banci
Tanjung Bagus. Ledakan itu sangat mengagetkan dan
mengguncangkan bumi.
Melati Sewu terpental akibat hentakan daya ledak
tadi. la jatuh dengan kepala membentur tepian batu.
Kepala itu terluka dan lecet menimbulkan darah yang
mengalir perlahan di keningnya. Tapi ia cepat sigap
berdiri dan siap menghadapi serangan lawan.
Saat itulah muncul Pendekar Mabuk dengan
bumbung tuak yang ada di punggungnya. Hanya Dewa
Racun yang tahu, bahwa ledakan yang mematahkan
jurus 'Rembulan Berdarah' tadi adalah karena ulah
Pendekar Mabuk yang menggunakan jurus 'Jari
Guntur'. Satu sentilan mempunyai tenaga dahsyat
yang mampu memecahkan pukulan 'Rembulan
Berdarah' itu.
Melihat kemunculan Pendekar Mabuk berwajah
tampan itu, Tanjung Bagus jadi tertegun dengan mata
berbinar-binar. Nini Pasung Jagat terperangah heran,
demikian pula Melati Sewu. Mereka sama-sama
belum pernah bertemu pendekar setampan itu
dengan daya tarik yang luar biasa menggetarkan hati.
Melati Sewu mundur sampai mendekati Badai
Kelabu dan berbisik,
"Siapa dia?"
"Tabib muda yang kusebutkan tadi," bisik Badai
Kelabu.
"Luar biasa tampannya!"
"Lupakan hasratmu jika kau ingin memilikinya. Dia
pemuda yang dingin terhadap perempuan! Tak punya
minat bercinta sedikit pun!"
"Akan kucoba untuk melupakannya!" bisik Melati
Sewu dengan masih memegang pedang bergeriginya.
Mata Tanjung Bagus semakin berbinar-binar
kegirangan. Tak mau ia kedipkan mata barang
sekejap saja. Bahkan kini ia masukkan trisulanya dan
mendekati pendekar tampan itu sambil jalannya
melenggok-lenggok memancing daya tarik lawan
jenisnya.
"Tanjung Bagus!" sentak Nini Pasung Jagat.
"Jangan dekati dia!"
"Aduh, Nini... jahat amat! Aku cuma mau dekat ke
situ kok!" sambil Tanjung Bagus bergaya manja.
"Kurasa dia yang mematahkan jurus 'Rembulan
Berdarah'-ku! Berarti dia musuh kita, Tanjung Bagus!"
"Musuh ya tinggal musuh. Kalau cuma ingin dekat
tak apalah!"
"Mundur kau!" bentak Nini Pasung Jagat. Kali ini
diiringi mata membelalak galak.
Tanjung Bagus terpaksa mundur dengan wajah
kecewa, menggerutu dengan bibir mencong sana-sini.
"Uuh...! Payah! Dasar orang tua pikun! Tak bisa
bedakan mana musuh mana kekasih! Uuh...! Benci
aku, benci aku...!"
Nini Pasung Jagat melirik muridnya, sang murid tak
berani menggerutu lagi, tapi wajahnya tetap
cemberut. Kemudian Nini Pasung Jagat tatapkan
mata kepada Pendekar Mabuk dan ia mulai angkat
bicara dengan nada ketus tak bersahabat.
"Apa maksudmu mematahkan jurus Rembulan
Berdarah'-ku?!"
"Sekadar mengingatkan kau, bahwa jurus
berbahaya itu tak pantas kau pakai untuk menyerang
kedua perempuan itu!" jawab Suto Sinting, lalu ia
ambil bumbung tuak, dan menenggak seenaknya di
depan Nini Pasung Jagat. Beberapa teguk tuak cukup
sudah sebagai pembasah tenggorokannya.
"Kau telah campur tangan dalam urusanku!" Nini
Pasung Jagat mendekat dengan langkahnya yang
masih tegas. Lalu, ia sipitkan mata dan berkata
dalam geram,
"Sekali lagi kau ikut campur dalam urusanku, tak
segan aku merobek-robek wajah tampanmu!
Mengerti?!"
"Aku kurang mengerti," jawab Pendekar Mabuk
sambil tersenyum-senyum.
"Manusia bodoh!"
"Bagaimana kau bisa merobek wajahku kalau
menamparku saja tak bisa kena?!"
"Siapa bilang! Nih, rasakan...! Hiih...!"
Plakkk...! Keras sekali tamparan itu mendarat di
pipi Pendekar Mabuk. Hampir saja Badai Kelabu
sentakkan kaki untuk menyerang balas kepada Nini
Pasung Jagat. Tapi melihat Pendekar Mabuk hanya
tersenyum tenang, niat itu dibatalkan.
"Tamparanmu terlalu ringan, Nini! Mana bisa
menghancurkan wajahku?" kata Suto bagai
memancing kemarahan nenek tua itu.
"Kurang ajar! Kalau kau ingin yang lebih keras,
terimalah pukulan 'Elang Rakus' ini! Hihh...!"
Nini Pasung Jagat sodokkan tongkatnya dari
bawah ke atas. Dagu Suto terkena telak. Keras sekali
sodokannya. Wajah Pendekar Mabuk sempat
tersentak ke belakang. Desss...!
"Aauh...!"
Bukan Pendekar Mabuk yang memekik kesakitan,
tapi Tanjung Bagus yang ada di belakang Nini Pasung
Jagat. Badai Kelabu dan Melati Sewu memandang
heran melihat kepala Tanjung Bagus ikut tersentak ke
belakang. Mereka segera lupakan hal itu, karena
Tanjung Bagus punya kebiasaan latah. Tapi
seringainya menandakan seringai kesakitan yang
sungguh-sungguh. Aneh juga, jika gerakan itu hanya
karena latah, tak perlu Tanjung Bagus menyeringai
kesakitan, juga tak perlu mulutnya mengeluarkan
darah kental.
Pendekar Mabuk tetap tersenyum kalem
memandangi Nini Pasung Jagat. Yang dipandangi
heran juga dalam hatinya. Pendekar Mabuk segera
berkata,
"Mengapa tak kau gunakan pukulan 'Rembulan
Berdarah'?! Mungkin pukulan 'Rembulan Berdarah'
bisa membuatku bergeser dua tindak!"
"Manusia sombong! Untuk membuatmu bergeser
dua tindak, tak perlu menggunakan jurus 'Rembulan
Berdarah'. Cukup dengan menggunakan pukulan 'Iblis
Menjilat Karang', kau akan terlempar mundur lima
tombak lebih jauhnya!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pukulan
macam apa itu? 'Iblis Menjilat Karang', jelas itu
pukulan iblis kurang kerjaan!"
Merasa diremehkan, Nini Pasung Jagat segera
sentakkan tangan kirinya dengan gerakan cepat.
Pukulan yang menggunakan punggung pergelangan
tangan itu menghantam telak dada Pendekar Mabuk.
Buhkkk...!
"Heggh...!"
Tanjung Bagus tersentak dengan pekik tertahan
dan mata mendelik. Tubuhnya terlempar ke belakang
bagaikan terbang dan jatuh dalam jarak lima tombak
lebih, punggungnya membentur pohon besar. Blugg...!
Nini Pasung Jagat terkejut. Suto yang dipukul tapi
muridnya sendiri yang terlempar jauh dan mulutnya
mengeluarkan asap. Berarti pukulan 'Iblis Menjilat
Karang' diderita oleh Tanjung Bagus. Nini Pasung
Jagat tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah
menggunakan ilmu 'Alih Raga' dia yang dipukul, orang
lain yang merasakannya. Rasa sakit itu dialihkan
Pendekar Mabuk ke raga Tanjung Bagus, pada saat
Tanjung Bagus beradu pandang dengannya. Jika
bukan murid si Gila Tuak, tak mungkin Suto memiliki
ilmu sehebat itu.
Nini Pasung Jagat segera mundur dua tindak
sambil tetap pandangi Pendekar Mabuk dengan dahi
berkerut tajam.
"Jahanam kau! Ternyata kau memiliki ilmu 'Alih
Raga'! Setahuku hanya satu orang yang memiliki ilmu
'Alih Raga', yaitu si Gila Tuak dari tanah Jawa!"
"Aku muridnya! Pendekar Mabuk julukanku!"
"Muridnya...?! Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, tidak!
Aku tidak percaya! Tidak percaya...!" sambil Nini
Pasung Jagat menjauh dengan wajah tegang. la
hampiri Tanjung Bagus yang tak berdaya karena
pukulan 'Iblis Menjilat Karang' tadi, lalu ia panggul
banci genit itu, dan ia pun segera lari sambi!
meninggalkan seruan,
"Aku tak percaya! Aku tak percayaaaa...!"
Satu hal yang ada di dalam otak Suto Sinting
adalah sebuah pertanyaan, mengapa Nini Pasung
Jagat tidak percaya bahwa dia adalah murid si Gila
Tuak.
*
* *
3
MELATI Sewu pasang lagak judes di depan
Pendekar Mabuk. Hal itu ia lakukan supaya tak ada
yang tahu bahwa hatinya mengagumi ketampanan
Pendekar Mabuk. Juga ia tak ingin Badai Kelabu
mengetahui bahwa ia tertarik dengan Pendekar
Mabuk yang sering bersikap acuh tak acuh
kepadanya itu.
"Aku sangsi, apakah anak muda ini bisa
menyembuhkan penyakit Guru atau hanya
mempercepat kematian Guru!" katanya kepada Badai
Kelabu. Sengaja suaranya diperkeras supaya Suto
mendengarnya. Tapi Suto Sinting berlagak tidak
mendengar ucapan itu. Dengan seenaknya ia
menenggak tuak dari dalam bumbung bambunya,
setelah itu hembuskan napas lega dengan ringan.
"Apakah kau belum melihat kehebatannya yang
bisa mematahkan jurus maut Nini Pasung Jagat tadi?
Apakah kau masih belum menyadari bahwa dia
berilmu tinggi, hingga bisa mengalihkan rasa sakit ke
tubuh orang lain, seperti yang dialami Tanjung Bagus
tadi?"
"Hanya itu yang kulihat. Mungkin memang hanya
itu kehebatan yang ada padanya! Selebihnya ia tak
memiliki ilmu apa-apa!"
"Jangan bicara begitu! Kubawa dia kemari dengan
bertaruh nyawa, Melati Sewu! Kau sama saja
meremehkan usahaku dalam mencari kesembuhan
bagi Guru! Sepanjang perjalanan aku selalu terancam
bahaya. Jika tidak bersamanya, mungkin aku tak
akan sampai di pulau ini lagi, Melati Sewu!"
Akhirnya wanita berkepang panjang itu angkat
bahu. "Terserah apa katamu! Kalau memang kau
yakin dia bisa sembuhkan Guru, kita lihat saja nanti
seperti apa kehebatannya."
"Badai Kelabu!" panggil Suto dengan mata
memandang sekeliling. "Apa nama buah yang
warnanya merah itu?"
"O, itu buah Malagasi! Kalau kau lapar, jangan kau
makan buah itu, Suto. Sebab buah itu beracun
ganas!"
Pendekar Mabuk memandangi pohon mirip pohon
palem yang mempunyai buah warna merah segar
sebesar satu genggaman tangan. Ada banyak buah di
pohon itu, tapi menurut keterangan Badai Kelabu,
semua buah Malagasi mempunyai racun yang
mematikan.
"Seorang perampok yang tertangkap oleh guruku
dipaksa makan buah Malagasi. Baru tiga gigitan
perampok itu tubuhnya jadi membiru semua, dan
akhirnya ia mati tak lebih dari dua puluh hitungan
sejak ia makan buah Malagasi."
Suto mendekati pohon buah Malagasi itu, lalu
pangkal pergelangan tangannya menghentak pohon
tersebut. Dugg...! Cukup pelan sentakan itu, tapi
membuat satu buah jatuh ke bumi dan cepat
ditangkap oleh tangan Pendekar Mabuk. Tapp...!
"Pendekar Mabuk, apa yang ingin kau lakukan
dengan buah itu?!"
"Aku ingin mencoba memakannya. Tergiur hati ku
untuk mencicipi kesegaran buah ini!"
"Jangan! Sudah kubilang buah itu beracun ganas
yang mematikan! Kami sering menggunakannya
untuk merendam senjata tajam kami!"
Tapi Pendekar Mabuk nekat. Buah itu dicuci
dengan tuaknya. Sedikit tuak sudah cukup untuk
mencuci buah tersebut. Badai Kelabu kebingungan
mencegahnya. la hanya memandangi Suto, sama
halnya dengan Melati Sewu, juga hanya memandangi
Pendekar Mabuk, tapi Melati Sewu berbisik,
"Tabib bodoh begitu kau bawa kemari! Dia belum
bisa membedakan mana makanan yang beracun dan
yang tidak beracun! Mampuslah dia sebentar lagi...!"
"Suto...!" Badai Kelabu ingin mencegahnya, tapi
ragu-ragu. Dan Suto dengan santainya menggigit
buah Malagasi, lalu mengunyahnya dengan suara
krus, krus...! Tampak nikmat sekali.
"Hmm...! Enak sekali. Buah ini rasanya seperti
jambu sukun! Manis dan segar!" kata Pendekar
Mabuk sambil mengunyah buah Malagasi.
Dalam kecemasan yang mendebarkan jantung,
Badai Kelabu mendapat bisikan dari Melati Sewu,
"Hitunglah sampai dua puluh kali. Belum mencapai
hitungan kelima belas, dia akan jatuh ke tanah dan
mati terkapar seperti perampok yang dulu itu!"
Karena Badai Kelabu dicekam kecemasan yang
membingungkan, maka Melati Sewu sendiri yang
menghitung dengan suara pelan,
"Satu, dua, tiga, empat...."
Badai Kelabu bergegas mendekati Pendekar
Mabuk dan berkata, "Pendekar Mabuk, kumohon
buang buah itu! Jangan teruskan makan buah itu,
Pendekar Mabuk! Aku sudah cukup lama tinggal di
pulau ini, aku tahu mana buah yang bisa dimakan
dan yang tidak! Percayalah padaku, Pendekar Mabuk!
Badanmu akan menjadi biru dan kamu akan mati!"
"Nyatanya sudah lebih dari lima gigitan, badanku
tidak biru!"
Mata perempuan itu memandang dengan dahi
tetap berkerut menandakan kecemasannya yang
tinggi. Tubuh Suto diperhatikan. Tak satu pun bagian
tubuh Suto yang tampak membiru karena racun.
Sementara itu, Melati Sewu masih menghitung
dengan jantung berdebar-debar,
"Tiga belas, empat belas, lima belas, enam
belas...."
Pendekar Mabuk berkata kepada Badai Kelabu,
"Kalau temanmu itu kurang percaya dan
meremehkan kesanggupanku, sebaiknya kita
batalkan saja rencana kita untuk menyembuhkan
gurumu!"
"Tidak! Jangan begitu, Pendekar Mabuk! Jangan
hiraukan ucapan Melati Sewu tadi! Dia tidak tahu
siapa dirimu!"
"Mungkin sebentar lagi dia akan tahu!"
"Ya. Tapi, kumohon buanglah buah itu dan...
dan...!" ucapan Badai Kelabu terhenti setelah
menyadari Pendekar Mabuk hampir habis memakan
buah itu. Tapi tak kelihatan diserang racun berbahaya
yang mematikan. Bahkan samar-samar terdengar
suara Melati Sewu menghitung.
"Empat puluh empat, empat puluh lima, empat
puluh enam...!" Melati Sewu pun berhenti
menghitung. Lalu, ia membatin,
"Mestinya ia sudah mati seperti perampok tempo
hari. Tapi sampai hitungan keempat puluh enam dia
belum mati! Aneh?! Manusia apa dia itu sebenarnya?
Malagasi dimakannya begitu saja! Bahkan… oh,
bahkan sekarang ia sudah menghabiskan buah itu?!
Edan! Tak pernah ada orang bisa tetap hidup setelah
makan buah Malagasi! Hmmm... ya, ya. Aku tahu
sekarang. Dia sedang pamer ilmu kesaktiannya
karena mendengar ucapanku tadi meremehkan
dirinya! Ya, ya... aku akui dia memang berilmu tinggi!
Kalau bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa
tetap hidup setelah makan buah Malagasi!"
Sementara itu, Suto segera berdiri dengan
santainya, Badai Kelabu berbisik,
"Bagaimana kau bisa tetap hidup setelah
memakan habis buah beracun ganas itu?!"
"Sebelumnya kucuci dulu dengan tuakku!"
"O, pantaaas...!"
Pendekar Mabuk tersenyum menang, Badai
Kelabu tertawa geli sendiri.
Namun mendadak mereka dikejutkan dengan
suara pekik yang tertahan. Suara itu datangnya dari
Melati Sewu. Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu
cepat menghampiri ke balik gugusan batu tempat
Melati Sewu berada.
"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu dengan
suara kaget, karena pada saat itu ia melihat Melati
Sewu terbungkuk dengan satu kaki berlutut di tanah.
Mulutnya mengeluarkan darah kental. Di bagian
dadanya, tampak kulit dada yang hangus membekas
tangan dengan lima jari. Jelas ia terkena pukulan
tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Siapa yang menyerangmu, Melati Sewu?!
Siapa...?!" Badai Kelabu menjadi gusar. Serta-merta
ia mencabut pedangnya. Srett...! Ia melompat dengan
lincahnya, hinggap di gugusan batu bertanah itu.
Matanya memandang liar sekeliling tempat itu.
Pendekar Mabuk segera menolong tubuh Melati
Sewu yang lemas dan tersengal-sengal napasnya itu.
Tubuh tersebut dibaringkan. Tapi Melati Sewu masih
ingin berontak, tak mau dibaringkan. Matanya masih
bisa memandang dengan sayu. Ia berusaha bangkit
dan tak mau dibantu oleh tangan Pendekar Mabuk.
Cemas hati Suto saat itu, karena ia bisa menduga
apa yang terjadi setelah itu. Ia langkahkan kaki ke
belakang dua tindak. la biarkan Melati Sewu berdiri
dengan berpegangan pada gugusan batu yang
menjulang tinggi itu.
"Aku... tak butuh pertolonganmu!" katanya kepada
Suto, tapi Pendekar Mabuk tidak merasa tersinggung.
la hanya biarkan saja apa yang dilakukan Melati
Sewu. Darah kembali tersontak dari mulutnya.
Pendekar Mabuk hanya membatin, bahwa pukulan
itu pasti pukulan berilmu tinggi dan mempunyai kadar
racun yang cukup berbahaya.
"Diam di situ, Melati! Biar kucari penyerang
gelapmu!" seru Badai Kelabu, lalu cepat ia memeriksa
keadaan sekeliling dengan gerakan cepat dan lincah.
Tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat di
depan dada Melati Sewu. Perempuan yang matanya
makin sayu itu masih sempat mengibaskan tangan,
seakan ingin menepiskan tangan Pendekar Mabuk. la
pun masih sempat berkata,
"Tak perlu kau anggap lemah aku! Aku masih
mampu... membalas serangan lawanku...."
"Aku hanya menangkap anak panah yang tadi
hampir saja menembus dadamu!" kata Pendekar
Mabuk sambil menunjukkan anak panah yang sudah
tergenggam di tangannya itu. Rupanya lantaran ada
gerakan kilat dari anak panah yang mau menembus
dada Melati Sewu itulah, maka tadi Suto berkelebat
tangannya di depan dada perempuan itu, hanya
untuk menangkap gerakan anak panah tersebut.
Bahkan kali ini, ketika Suto Sinting memandang
sekeliling, datang lagi anak panah berbulu merah
bagian ekornya. Anak panah itu melesat dengan
cepat, hampir tak bisa terlihat. Tapi gerakan mata
Suto menangkap kelebatan benda kecil tersebut.
Cepat-cepat Suto melompat di depan Melati Sewu
yang sedang kerepotan mencabut pedangnya dari
punggung. Lompatan Pendekar Mabuk begitu cepat,
dan Melati Sewu tak mengerti apa yang dilakukan
Pendekar Mabuk dalam gerakan melompat begitu.
Tapi ia segera melihat ada anak panah lagi di tangan
Pendekar Mabuk yang sama pendek ukurannya
dengan anak panah pertama, kira-kira hanya
berukuran dua jengkal.
Brukk...! Tiba-tiba Melati Sewu jatuh bagaikan
cucian basah. Pucat sekali wajahnya. Lemas sekali
tubuhnya. Dan telapak tangannya pun terasa dingin
bagaikan es. Napasnya terhirup dengan tipis, hampir
tak terlihat gerakan dadanya dalam menghirup
napas.
Pendekar Mabuk buru-buru memaksa mulut Melati
Sewu agar terbuka. Pada waktu itu, Badai Kelabu
datang sehabis memeriksa sekeliling dan
mengatakan,
"Tak ada manusia di sekeliling sini!"
"Lupakan manusia itu! Bantu aku membuka mulut
temanmu ini, biar kupaksakan dia meneguk tuakku.
Lukanya sangat parah dan berbahaya!"
Badai Kelabu memaksa mulut Melati Sewu
terbuka. Pendekar Mabuk mengucurkan tuak dari
bumbungnya dengan perlahan-lahan. Beberapa teguk
tuak berhasil ditelan Melati Sewu. Setelah itu,
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung
tuaknya.
"Biarkan ia berbaring dulu!" kata Pendekar Mabuk
sambil melangkah dengan pelan, seakan sedang
memikirkan sesuatu. Badai Kelabu tak mengerti ada
anak panah yang terselip di tangan Pendekar Mabuk.
la tidak memperhatikan ke sana. la juga tidak tahu
bahwa Suto saat itu sedang gelisah dan sengaja
menjauhinya. Sampai di bawah sebuah pohon, Suto
berhenti. la berdiri dengan pundak dan lengan
bersandar di pohon itu. Tangannya mempermainkan
kedua anak panah tersebut.
Pendekar Mabuk berbicara pelan, "Dewa Racun
turunlah!"
Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Pendekar
Mabuk agak jengkel. Kaki kirinya menendang pelan
batang pohon yang disandarinya. Dugg...! Tiba-tiba
pohon itu berguncang, sesuatu jatuh dari atas Suto.
Grusakkk...! Brukk...!
Dewa Racun menyeringai memegangi
pinggangnya. la jatuh dalam keadaan terduduk.
Tulangnya terasa sakit membentur tanah keras. la
jatuh tepat di depan Pendekar Mabuk. Dan Pendekar
Mabuk hanya diam saja, tetap tenang sambil
memandang was-was ke arah gugusan batu tempat
Badai Kelabui merawat Melati Sewu.
Kedua anak panah yang berhasil ditangkap Suto
itu dilemparkan tepat jatuh di pangkuan Dewa Racun.
Orang kerdil berkepala botak di bagian tengahnya itu
segera mengambil anak panah itu setelah Pendekar
Mabuk berkata,
"Simpanlah anak panahmu itu! Jangan gunakan
lagi untuk menyerang teman sendiri!"
Dewa Racun berdiri di depan Pendekar Mabuk.
Karena ia kerdil, maka ia memandang Suto dengan
mendongak. Raut wajahnya menampakkan
kemarahan yang terpendam. Kemarahan itu agaknya
bukan kemarahan yang sekadar main-main. Karena,
Dewa Racun segera melangkah tinggalkan Suto
setelah Pendekar Mabuk bertanya,
"Mengapa kau lakukan hal itu kepada Melati
Sewu?!"
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun.
Pendekar Mabuk terpaksa bergegas menyusul
langkah Dewa Racun. Agaknya orang kerdil itu
melangkah ke tempat yang sepi dan agak jauh dari
tempat semula. Pendekar Mabuk terpaksa berseru
kepada Badai Kelabu,
"Badai! Tetaplah di situ bersama Melati Sewu! Aku
dan Dewa Racun akan periksa tempat di sana,
mencari penyerang gelap itu!"
"Hati-hati, Pendekar Mabuk!" balas Badai Kelabu
tanpa menaruh curiga kepada Dewa Racun.
Sebetulnya, sejak Suto melihat bekas hitam akibat
pukulan telapak tangan dari jarak jauh yang
tergambar di dada Melati Sewu, Pendekar Mabuk
sudah berani memastikan pastilah bekas hitam itu
adalah telapak tangan Dewa Racun. Ukuran telapak
tangan yang kecil membuat Suto yakin betul, bahwa
itu adalah telapak tangan Dewa Racun.
Tapi ia tak berani katakan kepada Badai Kelabu,
karena takut akan memancing kemarahan Badai
Kelabu, dan terjadi perselisihan antara Badai Kelabu
dengan Dewa Racun. Tentunya Dewa Racun
mempunyai alasan sendiri, mengapa ia melepaskan
pukulan berbahayanya kepada Melati Sewu. Hal
itulah yang ingin diketahui oleh Pendekar Mabuk,
sebelum ia membela di salah satu pihak. Sebab
setahu Pendekar Mabuk, Dewa Racun bukan orang
yang suka usil, menjajal ilmu orang lain dengan
serangan membahayakan.
Dewa Racun sendiri masih membungkam ketika ia
duduk di salah satu batu yang tingginya sebatas
pinggang Pendekar Mabuk. Wajah orang kerdil itu
antara duka dan marah. Sekalipun Suto mempunyai
ilmu lebih tinggi dari Dewa Racun, tapi ia tetap
menaruh hormat karena usianya jauh lebih muda
dibanding Dewa Racun yang saat itu sedang
menyimpan kegundahan.
Dengan hati-hati, setelah terdiam cukup lama
Pendekar Mabuk ajukan tanya kepada Dewa Racun.
"Persoalan apa yang membuatmu menyerang dia
sebenarnya?"
"Pribadi," jawab Dewa Racun.
"Bisa kau jelaskan?"
Dewa Racun tetap tidak memandang Pendekar
Mabuk. Matanya bagai menatap jauh dalam terai
wang tak pasti. Lalu, terdengar suaranya yang gagap
mengatakan,
"Dia... dia... ternyata orang yang kuu... kuyu...
kucari!"
"Kau punya dendam dengannya?"
"Ya," jawabnya pendek. Diam sebentar, lalu bicara
lagi,
"Ak... ak... aku pernah mempunyai seorang
kekasih. Nnnaam... naaam... namanya... namanya
Gayanti, dengan julukan Giwang Kencana! Tiga tahun
yang lalu, Gayanti diutus gur... gur... gurunya untuk
menyampaikan Air Tuk Sewu kepada seorang
begawan yang sedang menderita sakit berat. Tapi di
perjalanan dihadang oleh Melati Merah, yang
kemudian berhasil membunuh Gayanti, meminum Air
Tuk Sewu, dan mengubah nama menjadi Melati
Sewu. Padahal waktu itu, aku berada di belakang
Gayanti, mengawasi dari kejauhan. Tapi aku
terlambat datang. Ak... ak... aku baru datang saat
Gayanti mau menghembuskan napasnya yang
terakhir. Dan... dan... dan ia ceritakan siapa
pembunuhnya."
"Jangan-jangan bukan Melati Sewu yang itu yang
membunuh kekasihmu, Dewa Racun!"
"Pasti dia! Karena dia dan Gayanti dulu adalah
teman seperguruan. Aku sering melihat Gayanti
berjalan bersama dengan dia, tapi Gayanti selalu
melarangku menemui dia jika ada orang lain. Jadi,
Melati Merah sampai sekarang tak pernah tahu
bahwa aku adalah kekasih Gayanti. Tapi aku tahu
bahwa dia adalah pembunuh kekasihku!"
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut, seakan ikut
merasakan keguncangan hati Dewa Racun saat itu.
Lalu, Pendekar Mabuk ajukan tanya,
"Lalu, apa kelebihan Melati Sewu setelah
meminum Air Tuk Sewu itu, Dewa Racun?"
"Men... men... menurut kabar yang kudengar,
orang yang meminum Air Tuk Sewu akan mencapai
usia sampai seribu tahun, semasa ia tidak melakukan
suatu tindakan yang amat ter... ter... terlarang, yaitu
zinah! Tapi kalau dia pernah melakukan zinah, dia
kehilangan kekuatan khasiat dari Air Tuk Sewu. Kec...
kecuali ia lakukan dengan suami sendiri, itu tak
mengurangi khasiat Air Tuk Sewu!"
Pendekar Mabuk menarik napas setelah bungkam
beberapa saat, lalu ia ucapkan kata pelan,
"Mudah-mudahan Air Tuk Sewu sudah tidak
berguna lagi bagi hidup Melati Sewu!"
"Berr... berr... berguna atau tidak, aku tak mau
peduli. Tapi yang kutuntut adalah kematian Gayanti!"
"Maksudmu bagaimana, Dewa Racun?"
"Aku harus menuntut balas atas kematian itu
kepada Melati Sewu. Dan aku tidak mau ikut campur
membantu menyembuhkan gurunya!"
"Jangan begitu, Dewa Racun...."
"Tidak! Dendamku belum padam jika belum
berhasil membunuh orang yang membuatku merana
sampai sekarang ini!"
"Peristiwa itu sudah berlalu. Semuanya sudah
telanjur terjadi. Itu namanya suratan takdir, Dewa
Racun! Kita tak bisa tentukan takdir kematian di
tangan siapa atau sebab apa. Tak bisa! Satu contoh,
kalau ternyata kelak takdirku adalah harus mati di
tangan mu, aku tak bisa mengelak dari takdir itu!"
"Jik... jik... jika kematian Gayanti di tangan Melati
Sewu itu kau anggap takdir, maka kematian Melati
Sewu di tanganku juga sebaiknya kau anggap takdir!
Mengapa kau mau menghalangiku?!"
"Aku bukan menghalangimu, tapi aku hanya
mengingatkan kamu, bahwa dendam itu tidak
membawa perdamaian! Dendam itu lingkaran setan
yang akan terus-menerus menyita ketenangan hidup
kita. Jika orang masih berpatokan pada dendam dan
mau diperbudak oleh dendam, maka persoalan orang
itu tidak akan ada habisnya. Dendam yang sudah
terbalas akan menimbulkan dendam baru lagi bagi
pihak yang terbalas. Begitu seterusnya, hingga tak
ada lagi perdamaian dalam hidup kita, Dewa Racun!"
"Terserah apa kat... kat... katamu! Tapi aku tidak
mau ikut membantumu dalam menyembuhkan
gurunya Melati Sewu itu! Aku akan menyerangnya.
Kau ada di pihakku atau di pihaknya, Pendekar
Mabuk?"
*
* *
4
SAMPAI mereka tiba di pesanggrahan tempat
gurunya Badai Kelabu bersemayam, baik Melati Sewu
maupun Badai Kelabu tidak mengetahui bahwa
penyerang gelap yang telah memukul Melati Sewu itu
adalah Dewa Racun. Mereka sudah tidak
mempermasalahkan penyerang gelap dengan
pukulan maut yang hampir menewaskan Melati Sewu,
karena keadaan Melati Sewu telah sehat dan segar
kembali. Luka bakar yang membekas di dadanya itu
pun telah lenyap karena pengaruh tuak yang
diminumkan oleh Pendekar Mabuk.
Tetapi Dewa Racun masih mempermasalahkan
kematian Gayanti dan ia tetap mengincar Melati
Sewu. Andai Suto tidak membujuknya, Dewa Racun
tidak akan ikut sampai ke pesanggrahan itu.
Kerasnya dendam yang bagai membeku di darah
Dewa Racun bisa menjadi sedikit lunak setelah
Pendekar Mabuk berkata,
"Boleh kau lampiaskan dendammu pada Melati
Sewu setelah kita selesaikan tugas menyembuhkan
gurunya Badai Kelabu itu! Aku sudah terikat janji dan
tak mau ingkar. Apa pun yang terjadi aku harus tetap
sembuhkan gurunya Badai Kelabu. Setelah itu, kau
mau lampiaskan dendammu atau tidak, itu
urusanmu! Kau mau pakai saranku atau tidak, itu
hakmu! Tapi sebagai teman aku sudah ingatkan
kamu, jangan turuti kata hati yang menabur dendam
ke mana-mana! Jangan mau diperbudak oleh
dendam. Karena dendam tidak akan membawa kita
damai sampai pada anak-cucu kita kelak!"
Dendam yang telah membeku di darah Dewa
Racun lama-lama menjadi cair oleh kata-kata Suto.
Tetapi, Dewa Racun tetap berkata,
"Kuubb... kuubb... kubantu... kubantu kau
menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu. Tapi
jangan pak... pak... paksa aku untuk bersikap baik
kepada Melati Sewu! Bila perlu, jangan suruh aku
bic... bic... bicara dengannya!"
"Ya, itu terserah kamu! Kalau dia ajak kamu bicara,
soal kamu mau jawab atau tidak, itu terserah kamu!
Aku tak akan paksa kamu!"
Sepanjang perjalanan menuju pesanggrahan
memang terjadi sedikit ketegangan dan kekakuan.
Badai Kelabu mengajak Dewa Racun untuk bercanda,
tapi tak pernah ditanggapi seperti biasanya. Dewa
Racun lebih banyak diam ketimbang ikut bicara
bernada kelakar. Bahkan sesekali ia pandangi Melati
Sewu dengan hasrat besar ingin cepat menyerangnya
dengan jurus-jurus mautnya. Tapi ia selalu ingat
pesan dari Suto, sehingga hasrat itulah yang
membuatnya kaku dalam menanggapi sapaan Badai
Kelabu.
"Temanmu yang kecil itu agaknya mudah
tersinggung. Aku tak berani mengajaknya bicara,"
kata Melati Sewu kepada Pendekar Mabuk.
"Kalau begitu, tak perlu kau ajak bicara jika tak
penting. Dia memang sedang ada masalah dalam
hatinyal Dia punya kecemasan tersendiri yang kita tak
tahu kecemasan macam apa yang dimilikinya," kata
Pendekar Mabuk mengambil jalan tengah supaya
tidak terjadi keributan antara Melati Sewu dan Dewa
Racun.
Ketika mereka tiba di pesanggrahan, beberapa
rekan seperguruan Badai Kelabu menyambutnya
dengan wajah-wajah cerah penuh harap. Dewa Racun
sengaja duduk di bawah pohon, di luar gerbang
pesanggrahan. la tak mau ikut masuk, dengan alasan
ingin menikmati keindahan alam sekeliling tempat itu.
Sebab tempat itu ada di atas sebuah bukit yang tak
terlalu tinggi. Dari sana bisa memandang ke arah laut
yang membiru indah.
"Kau di luar dulu, aku mau masuk ke ruang
istirahat Guru dan melaporkan kedatanganmu," kata
Badai Kelabu. "Melati Sewu, tolong temani dulu
Pendekar Mabuk di pendapa!"
"Di mana pun aku sanggup," jawab Melati Sewu
yang sudah berbalik sikap, menjadi ramah dan baik
kepada Pendekar Mabuk sejak ia tertolong dari luka
parahnya.
Di pendapa, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya
kepada Melati Sewu,
"Siapa sebenarnya Nini Pasung Jagat itu?"
"Dia orang sesat!" jawab Melati Sewu. "Dulu dia
punya banyak murid, tapi semua muridnya lari
kepada kami, karena dia tak segan-segan
menjatuhkan hukuman mati kepada muridnya untuk
satu kesalahan kecil. Kini dia hanya punya satu
murid, yaitu Tanjung Bagus itu. Apakah kau punya
minat naksir Tanjung Bagus?"
Pendekar Mabuk tertawa dan memancingnya
dengan pertanyaan, "Kalau aku punya minat naksir
dia, apakah tak layak?"
"Sangat tak layak! Karena dia itu sebenarnya
lelaki. Dia seorang yang punya kelainan dalam
jiwanya. Dia merasa dirinya sebagai wanita, bukan
sebagai lelaki. Padahal dia punya nama asli Legowo!
Bukan Tanjung Bagus. Kalau kau naksir dia, kau akan
kecele."
Pendekar Mabuk kembali tertawa, walau
sebenarnya dia sudah tahu bahwa Tanjung Bagus itu
banci, dan dia tak punya minat apa-apa kepada
Tanjung Bagus. Dia hanya ingin menggiring
pembicaraan itu sampai pada masalah peta yang
diinginkan Nini Pasung Jagat itu.
"Kudengar Nini Pasung Jagat sangat
mengharapkan untuk mendapatkan peta dari Badai
Kelabu. Kalau tak salah dengar, peta itu adalah peta
Kolam Sabda Dewa."
"Ya. Mereka menyangka Badai Kelabu mempunyai
peta Kolam Sabda Dewa, karena memang hanya
Badai Kelabu yang pernah ke sana!"
"Apa yang dimaksud dengan Kolam Sabda Dewa
itu, Melati Sewu?"
"Kolam yang bisa mengubah nasib sesuai dengan
keinginan kita. Pada saat kita menyelam di dalam
kolam keramat itu, apa yang kita inginkan dalam hati
kita bisa terlaksana secara cepat dan gaib. Salah satu
contohnya adalah Badai Kelabu...."
"Badai Kelabu? Ada apa dengan dirinya?"
Pendekar Mabuk semakin penasaran.
"Badai Kelabu...," Melati Sewu melirik sekeliling
sebentar, setelah merasa aman, segera berbisik
kepada Pendekar Mabuk,
"Dulu, Badai Kelabu adalah gadis yang cacat
kakinya. Salah satu kakinya kecil dan pendek, hingga
jalannya pun terpincang-pincang dengan susah.
Wajah Badai Kelabu tidak secantik sekarang. Dulu
wajahnya sangat buruk. Bahkan gigi taringnya yang
kanan panjang, sampai melebihi bibir bawahnya.
Hidungnya pesek sekali, matanya besar, kulitnya
bersisik dan banyak borok gatal-gatal di sekujur
tubuhnya. Dulu dia lahir sebagai anak yang dikutuk
oleh neneknya sendiri. Rambutnya pun trondol
sebelah kiri. Lalu, ia dirawat oleh Guru. Dan suatu
saat, ia menemukan Kolam Sabda Dewa. la mandi
dan menyelam di dalam kolam itu. Ketika muncul dari
dalam air kolam, ia sudah berubah menjadi cantik
seperti sekarang, banyak pemuda yang naksir
kepadanya, banyak sesama wanita yang mau
berteman dengannya. Dulu, tak ada yang mau dekat
dengannya!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu,
dia menyimpan peta menuju Kolam Sabda Dewa?"
"Menurut pengakuannya padaku, dia tak pernah
membuat peta. Tapi dia masih ingat jalan menuju ke
sana. Aku tak pernah diberitahu tentang jalan itu
olehnya! la sangat merahasiakan tempat Kolam
Sabda Dewa itu!"
"Apakah menurutmu, Nini Pasung Jagat ingin
mengubah dirinya menjadi muda dan cantik dengan
mandi di kolam itu?"
"Jika bukan dengan maksud-maksud seperti itu,
maksud apa lagi yang ia punyai? Tentunya dia ingin
dirinya cantik, muda dan beberapa keinginan lainnya.
Tanjung Bagus pun pasti berkeinginan untuk menjadi
wanita sejati setelah ia bisa mandi di dalam Kolam
Sabda Dewa itu! Karenanya ia sangat bernafsu sekali
mendapatkan peta dari Badai Kelabu!" tutur Melati
Sewu dengan bersemangatnya, seakan ia merasa
bangga sekali jika bisa menjelaskan apa saja yang
belum diketahui oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memberi
kita umur panjang, jika di dalam hati kita meminta
umur panjang saat menyelam di kedalamannya?"
"Bisa! Bisa saja! Kita minta ingin jadi raja pun
mungkin pulang dari sana ada rakyat yang
mengangkat kita menjadi raja!"
"Apakah kita bisa minta usia sampai seribu tahun
lamanya?"
"Bisa! Itu sangat bisa!"
"Apakah menurutmu, Air Tuk Sewu berasal dari
sana?"
Terperanjat Melati Sewu mendengar Air Tuk Sewu
disebutkan Pendekar Mabuk. Jantungnya menjadi
berdebar-debar. Menurutnya, hanya dirinya dan bekas
gurunya yang sudah almarhum itulah yang
mengetahui adanya Air Tuk Sewu. Tapi sekarang
Pendekar Mabuk yang sejak tadi meneguk tuak
berulang kali itu mengetahui adanya air keramat
tersebut. Melati Sewu sempat bingung memberikan
jawabannya.
Pendekar Mabuk buru-buru berkata, "Apakah kau
tahu, bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan
Air Tuk Sewu?"
Melati Sewu belum bisa menjawab, tapi ia ganti
bertanya, "Dari mana kau tahu ada air keramat yang
bernama Air Tuk Sewu?"
"Dari seorang teman perempuanku yang bernama
Gayanti, atau si Giwang Kencana!"
"Oh...?!" wajah Melati Sewu jelas-jelas terkejut
tegang.
"Satu purnama yang lalu dia bicara padaku ingin
meminum Air Tuk Sewu."
"Satu purnama yang lalu?! Oh, tak mungkin!"
sanggah Melati Sewu dengan hati gusar. "Tak
mungkin kau bicara dengannya satu purnama yang
lalu!"
"Mengapa kau bilang tak mungkin?"
"Ka... ka... karena..., ah! Tak mungkin itu!" Melati
Sewu bingung menjelaskan. Pandangan matanya pun
kelihatan nanar dan paras wajahnya pucat. Pendekar
Mabuk tersenyum tipis, tapi dalam hatinya sudah
merasa lega, berarti memang Melati Sewu itulah yang
membunuh Gayanti. Dewa Racun tak salah duga.
Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin bicara lebih
panjang tentang kematian Gayanti dan tindakan keji
Melati Sewu. Tapi Badai Kelabu telah lebih dulu
menghampirinya dan berkata,
"Guru ingin bertemu denganmu! Ikutlah aku ke
kamarnya!"
Badai Kelabu menyerahkan kain putih yang sudah
terlipat rapi. Pendekar Mabuk heran memandangi
kain itu. Namun Badai Kelabu cepat-cepat
menjelaskan,
"Sebagai tutup hidung! Karena di dalam kamar bau
busuk amat menyengat hidung! Datangnya dari luka
di sekujur tubuh Guru!"
Pendekar Mabuk hanya menggenggam kain putih
menyerupai sapu tangan itu. Sebelum sampai di
kamar yang dimaksud, Suto menenggak tuaknya
beberapa teguk. Lalu, ia ikuti langkah Badai Kelabu
yang masuk di sebuah ruangan lebar. Di situ bau
busuk sudah tercium tajam. Tapi Suto tetap tenang.
Badai Kelabu sudah mulai tutupkan kain ke
hidungnya. la memberi isyarat pada Suto agar segera
menutup hidung, tapi Pendekar Mabuk hanya
tersenyum, sepertinya tak pernah merasakan bau
busuk yang memualkan perut itu.
Sebuah pintu kamar dibuka, Pendekar Mabuk dan
Badai Kelabu masuk. Tetap saja Pendekar Mabuk
tidak menutup hidungnya. la bisa bernapas dengan
lancar, tanpa merasa terganggu bau busuk yang lebih
tajam itu.
"Guru," kata Badai Kelabu. "Inilah tabib muda yang
saya katakan tadi! Dia bersedia menyembuhkan
Guru!"
"Hmmm... ya, suruh dia segera melakukan
pengobatan untukku!" ucap orang yang berbaring
dengan sekujur tubuh membusuk hitam. Hanya
bagian wajahnya yang masih kelihatan kecoklat-
coklatan.
Pendekar Mabuk tertegun bengong memandang
orang yang berbaring dalam keadaan amat menderita
itu. Orang itu bertubuh agak gemuk, usianya sekitar
enam puluh lima tahun. Matanya lebar, berkumis
lebat. Dari raut mukanya, Pendekar Mabuk bisa
menilai kebengisan dan keganasan orang itu semasa
mudanya. Bibirnya tebal, hidungnya agak besar.
Walau rambutnya sudah memutih, tapi Pendekar
Mabuk dapat membayangkan kalau rambut itu hitam
dan lebat.
Sebilah pedang bergagang hitam ada di dinding
dekat pembaringan itu. Pendekar Mabuk berdebar-
debar memandang pedang itu. Darahnya bagaikan
mendidih dan bergejolak tak tentu arah. Pendekar
Mabuk berusaha memendam kegusaran hatinya
dengan menelan napas beberapa kali. Tapi ia tak
mampu menghentikan tangannya yang gemetaran,
tak mampu menutup wajahnya yang menjadi pucat
pasi melihat guru Badai Kelabu yang terkapar tak
berdaya itu.
Wajah Guru tersebut diperhatikan terus oleh mata
Pendekar Mabuk, membuat dada Pendekar Mabuk
terasa mau pecah saat itu juga. Maka, segera ia
bergegas keluar dari kamar itu dengan terengah-
engah. Badai Kelabu merasa heran dan segera
menyusul Pendekar Mabuk ke luar kamar.
"Suto, ada apa? Apa yang kau tahu tentang
penyakit Guru?"
"Tidak apa-apa!" jawab Pendekar Mabuk sambil
menggeletukkan gigi. la melangkah pelan dengan
sorot pandangan mata menerawang tajam.
"Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk? Katakanlah!
Wajahmu begitu pucat! Tanganmu gemetaran! Ada
apa sebenarnya, Pendekar Mabuk?!"
*
* *
5
DEWA Racun masih termenung sendirian atas batu
besar. Pandangan matanya terlempar jauh di batas
cakrawala antara langit dengan permukaan air laut.
Dari tempatnya masih bisa dilihat samar-samar
gerakan air laut. Tetapi bukan air laut itu yang dilihat
oleh mata hati si kerdil berpakaian bulu putih itu.
Bukan air laut yang dibicarakan oleh batinnya,
melainkan dendam yang nyaris membakar habis
darahnya.
"Memang kadang kala dendam bisa merusak jiwa
sendiri, menyiksa perasaan dan merusak pikiran.
Dendam selalu menentang takdir, dan menentang
takdir adalah pekerjaan yang amat bodoh. Jika aku
masih memburu dendam, seakan aku tidak mau
menerima Keputusan dari Yang Maha Kuasa.
Padahal aku ini hanyalah manusia biasa yang semua
garis hidupnya sudah ditentukan dari atas."
Si kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu
menarik napasnya dalam-dalam, kemudian hatinya
kembali berkecamuk sendiri,
"Kematian Gayanti sesungguhnya merupakan
pernyataan dari Yang Maha Kuasa, bahwa bukan dia
jodohku dalam hidup selanjutnya. Toh tanpa melalui
pembunuhan yang dilakukan Melati Merah, jika
memang Gayanti bukan jodohku, tetap saja aku dan
dia akan berpisah. Bodoh amat aku ini jika masih
memburu dendam untuk menentang kodrat. Benar
pula apa kata Suto, tak ada damai dan ketenangan di
hati orang yang masih memburu dendam. Tanpa
sadar dendam itu telah merugikan hidup orang yang
mau diperbudaknya. Sebaiknya kulupakan saja
persoalan masa lalu itu. Biarlah pembalasan datang
sendiri dari Yang Maha Kuasa. Pembalasan itu milik
Dia, bukan milikku sendiri...."
Gemuruh di dalam hati Dewa Racun mulai mereda
setelah ia berpikir begitu. Napasnya kembali lapang,
tidak sesak seperti tadi. la bahkan bermaksud ingin
menyusul Suto ke dalam pesanggrahan.
Tetapi, sebelum Dewa Racun bergerak, ternyata
Pendekar Mabuk sudah muncul dari arah
belakangnya. Suto diam tanpa bicara, berdiri di
sampingnya, memandang ke arah lautan lepas
dengan wajah pucat berubah menjadi kemerah-
merahan. Napas Pendekar Mabuk terhela dengan
berat, sepertinya ada beban besar yang harus ditarik
dalam tiap helaan napasnya.
"Bagaimana? Sudah kau obati gurunya Badai
Kelabu itu?" Dewa Racun bertanya dengan suara
lancar, karena sudah terlalu lama membisu. Nada
bicaranya itu pun terdengar lebih ringan, lebih lepas
tanpa ada ganjalan apa pun. Tidak seperti dalam
perjalanan tadi.
Suto menarik napas panjang-panjang dan
menahannya di dada beberapa saat. la masih belum
mau memandang Dewa Racun yang berdiri di atas
batu itu, hingga tingginya mencapai sebatas pundak
Suto. Dewa Racun menatap wajah Pendekar Mabuk
itu baik-baik, lalu mata hatinya menemukan adanya
keganjilan yang dirasakan Suto. Dewa Racun tahu,
ada ganjalan yang tak bisa ditutupi oleh Suto. Wajah
merah itu jelas mencerminkan nafsu amarah yang
mati-matian ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Ad... ad... ada apa sebenarnya, Suto?" tanya Dewa
Racun dengan hati-hati. Pendekar Mabuk masih diam
dengan dahi sedikit berkerut tajam. la ajukan tanya
lagi,
"Apakah racun itu mengganas dan tak bisa kau
atasi? Atau... barangkali kau gagal menyembuhkan
guru Badai Kelabu itu? Hmm... apakah dia mati
karena pengobatanmu?"
Kini Pendekar Mabuk melemparkan pandang pada
Dewa Racun. Lama ia masih terbungkam. Sesuatu
yang ingin ia katakan tampak ragu dilepaskannya.
Dewa Racun mendesak,
"Bi... biiic... bicaralah, Suto!"
"Orang itu... orang itu parah," Pendekar Mabuk
mulai mau bicara.
"Par... par... parah sekali?"
"Ya. Sekujur tubuhnya telah membusuk. Tak
ubahnya seperti mayat yang sudah dikubur berhari-
hari tapi masih bernapas. Dalam waktu dua atau tiga
hari lagi, dia akan mati!"
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya saat Dewa
Racun berkata, "Pantas Badai Kelabu ingin sekali
merebut Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat.
Tapi... tapi., tapi apakah kau sudah mencoba
menawarkan racun itu memakai tuakmu?"
"Belum," jawab Pendekar Mabuk pelan dengan
satu kaki diangkat dan ditaruh di atas sebuah batu
setinggi lututnya. Suto sedikit membungkuk karena
lengan kirinya bertumpu di atas kaki yang ada di batu.
Tangan kanannya masih bertolak pinggang, dahinya
masih berkerut memikirkan sesuatu yang
membuatnya gundah gulana.
"Mengapa kau tidak mau menn... menn... mencoba
menggunakan tuak saktimu itu?" tanya Dewa Racun
sambil pandang wajah Suto.
"Aku tak bisa gunakan tuak saktiku."
"Cobalah dulu, Suto. Sebab aku sendiri merasa
tidak sanggup menawarkan racun macam itu. Hanya
Batu Galih Bumi yang bisa tawarkan racun itu, dan...
dan mungkin tuak saktimu!"
Pendekar Mabuk menarik napas, tangannya
menggenggam kuat. Makin galau pikirannya, makin
gundah hatinya, dan hal itu sangat diketahui oleh
Dewa Racun. Belum pernah Dewa Racun melihat
Pendekar Mabuk segundah itu selama ia ikut
bersama Suto.
Kejap berikut, setelah mereka sama-sama saling
bisu, Dewa Racun berkata penuh hati-hati,
"Suto, cobalah kau gunakan tuak saktimu untuk
sembuhkan orang itu! Cob... cob... cobalah, Suto!"
"Aku... tidak bisa!"
"Mengapa tidak bisa?"
"Dia musuhku!" jawab Pendekar Mabuk datar dan
dingin.
"Benarkah begitu, Suto?"
"Ya. Masih kuingat wajahnya dalam tiap tidurku!
Masih terbayang kekejiannya, saat dia membantai
keluargaku! Dia adalah Kombang Hitam, ketua Begal
Utara yang menghabisi nyawa keluargaku, dan yang
membuatku sebatang kara seperti saat ini! Dia yang
mengejar-ngejarku bersama Paman Dubang, sampai
akhirnya Paman Dubang, pengasuhku itu jatuh ke
jurang, dan aku lari terus dalam pengejarannya! Aku
masih ingat, dia adalah Kombang Hitam!"
Nada bicara Suto makin lama semakin meninggi.
Wajahnya pun kian lama kian memerah. Tangannya
menggenggam kuat-kuat, hingga dari genggaman
tangan itu mengepullah asap putih sebagai tanda
panasnya darah dendam yang sudah lama membeku.
Dewa Racun menjadi takut melihat Pendekar
Mabuk pancarkan mata menyala-nyala. Dewa Racun
bisa rasakan darah Suto yang kini mendidih karena
bertemu dengan orang yang membantai habis
keluarganya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Dewa Racun tahu,
betapa sulitnya menolong dan menyembuhkan
seseorang agar tetap hidup, sementara yang
disembuhkan itu adalah orang yang membantai habis
keluarganya. Sungguh hal itu adalah pekerjaan yang
teramat sulit menurut Dewa Racun. Menyembuhkan
orang yang seharusnya dibunuh, lebih sulit daripada
menghancurkan gunung dengan tangan kosong.
Sekarang bukan saja tangan yang berasap, tapi
kaki Suto pun mengeluarkan asap, kulit tubuhnya
semburat merah bercampur keringat dingin. Cahaya
matanya menjadi bening, tapi berwarna merah samar-
samar. Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi agak
banyak, lalu hempaskan napas sebagai pelega
kesesakan di dadanya.
Wuusss...!
Dewa Racun tersentak kaget. Hembusan napas
yang tak seberapa keras itu telah mendatangkan
badai kecil. Sekecil badai dari napas Suto, namun
mampu membuat beberapa batuan besar tumbang
dan berguling-guling tersapu terbang. Beberapa
pohon yang posisinya ada di depan Suto menjadi
meliuk-liuk hingga ujung-ujung pucuknya menyentuh
tanah. Bahkan banyak yang menjadi patah pada
bagian pertengahan batangnya. Krakkk...! Wuurrrr...!
Brakkk...!
Suara-suara seperti itu berbunyi saling bersahutan,
seakan bumi mau kiamat, langit akan runtuh dan
tanah menjadi retak. Keadaan alam yang mengerikan
itu membuat heboh beberapa penduduk di sekitar
tempat itu. Banyak yang memandang kagum dan
terheran-heran, tapi juga tak sedikit yang menjadi
panik karena ketakutan.
"Suto... tahan amarahmu...," bisik Dewa Racun,
sangat pelan sekali, karena ia sendiri takut kepada
amarah Suto.
Menyadari apa yang terjadi di depannya, Suto
terperanjat. la buru-buru menutup mulut dan
hidungnya, ia sendiri jadi ketakutan dan tegang.
Wajahnya terlihat penyesalan yang tak tertutupi lagi.
"Aku telah mengeluarkan napas Tuak Setan...,"
gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
"Redakan murkamu it... it... itu, Suto!
Redakanlah...!" bujuk Dewa Racun masih tak berani
menggunakan kata-kata tegas dan keras.
Pendekar Mabuk masih menutup mulut dan
hidungnya dengan sikap menyesal. la memandang ke
langit, ternyata mega-mega berkumpul menjadi satu
dan bergulung-gulung mengikuti arah angin badai.!
Suara gemuruh terdengar jelas. Suara gemuruh itu
adalah amukan ombak laut yang tampak dari
ketinggian tempat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
berada.
Dewa Racun berulang kali merinding dan bergidik.
Baru sekarang ia melihat hembusan napas Tuan
Setan yang ada dalam diri Suto. Padahal napas yang
keluar hanyalah napas kelegaan yang pelan seperti
layaknya orang menghembuskan napas setelah habis
minum. Tapi karena di dalam hati Pendekar Mabuk
memendam amarah yang begitu besar; maka satu
hembusan kecil pun sudah mendatangkan badai yang
cukup dahsyat, walau tidak sedahsyat kala ia
hembuskan kepada Nagadipa dan Putri Alam Baka
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal").
Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh Pendekar
Mabuk. Padahal seharusnya pusaka itu dilenyapkan.
Si Gila Tuak, guru Suto, mengkhawatirkan hal-hal
seperti ini. Karena siapa pun orangnya yang menelan
Tuak Setan, maka napasnya akan menghadirkan
badai yang sangat besar dan berbahaya sekali bagi
orang lain. Jika orang yang menelan Pusaka Tuak
Setan dalam keadaan marah, walau marah yang
tertahan, satu hembusan napas bisa menyalurkan
seluruh tenaga dalamnya dalam wujud hembusan
badai dahsyat, itulah sebabnya si Gila Tuak sendiri
tidak berani menelan Pusaka Tuak Setan, karena
merasa dirinya masih sering dihinggapi nafsu amarah,
dan takut amarahnya itu membawa korban tak
bersalah. Tetapi, Pusaka Tuak Setan itu tertelan oleh
Suto tanpa sengaja, sehingga mau tidak mau Suto
harus selalu mengendalikan nafsu amarahnya agar
napasnya tidak berubah menjadi badai yang
membawa korban tak bersalah. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Badai Kelabu menyusul Pendekar Mabuk sambil
memanggil-manggil dalam nada cemas. Itu
disebabkan karena Badai Kelabu melihat sendiri
datangnya angin badai yang tidak sewajarnya.
Perempuan itu takut Suto dan Dewa Racun
mengalami cedera akibat hembusan badai aneh
tersebut.
"Pendekar Mabuk, kenapa kalian ada di sini? Tidak
tahukah kalian bahwa baru saja ada badai besar yang
bisa menerbangkan rumah atau kapal?"
Suto berbisik kepada Dewa Racun, "Hadapilah dia,
aku tak bisa bicara padanya! Dendam lamaku
membakar seluruh darahku, Dewa Racun!"
"Jangan begitu! Bukankah... bukankah... bukankah
kau sendiri yang bilang agar diriku jangan mau
diperbudak oleh dendam?"
"Hadapilah dia dulu. Aku ingin tenangkan diri!"
desak Pendekar Mabuk dalam bisik. Mau tak mau
Dewa Racun menyongsong kedatangan Badai Kelabu.
Suto duduk di batu setinggi lututnya itu. Kedua
lengannya bertumpu pada paha. Matanya
memandang ke tanah dalam sikap merenung. Tiba-
tiba ia sadari, tanah di bawahnya menjadi cekung.
Setiap ia bernapas, pasir-pasir di tanah itu menyibak
ke sekitar kakinya, semakin lama semakin dalam
cekungan tanah tersebut. Suto buru-buru menutup
hidung dan mulutnya. Terasa panas telapak tangan
yang dipakai menutup hidung itu karena terkena
hembusan napas, tapi Suto menahan rasa panas itu
ketimbang! Badai Kelabu mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi di tempat itu.
"Jang... jang... jangan ganggu Suto dulu," kata
Dewa Racun. "Di... dia... dia sedang memikirkan cara
pengobatan untuk gurumu!"
"Tapi dia tidak apa-apa?"
"Tidak. Bbi... bii... biarkan dia bersamaku. Kami
perlu berembuk untuk melawan rraaa... raa... racun
yang menyerang gurumu."
Badai Kelabu tampakkan kecemasannya.
Sebentar-sebentar ia pandang Pendekar Mabuk
dalam kebimbangan. Dewa Racun segera bertanya
sambil menggandeng Badai Kelabu menjauhi
Pendekar Mabuk.
"Bbee... berapa usia gurumu itu?"
"Lebih dari enam puluh lima tahun. Mungkin tujuh
puluh, mungkin juga lebih. Apakah hal itu perlu kalian
ketahui?"
"Ya. Unn... unnn... untuk menakar obat yang harus
diberikan kepada gurumu, kami harus tahu usia
gurumu."
Padahal di dalam hati Dewa Racun bergumam,
"Lebih dari enam puluh lima tahun?! Berarti sesuai
dengan usianya pada saat ia mengejar-ngejar Suto
yang masih kecil."
Kemudian, Dewa Racun kembali ajukan tanya,
"Sssi... siapa... siapa nama gurumu sebenarnya?"
"Manusia Seribu Wajah," jawab Badai Kelabu.
Dewa Racun kerutkan dahi bernada heran. la
membatin, "Manusia Seribu Wajah? Kalau begitu,
Pendekar Mabuk salah duga!"
"Ben... benar namanya itu?" tanya Dewa Racun
menampakkan keraguan.
"Ya. Benar. Nama aslinya aku tak tahu. Tapi dia
dikenal dengan julukan Manusia Seribu Wajah.
Hmmm... dulu, dia memakai julukan Kombang Hitam,
tapi setelah ia mampu mengubah diri, ia memakai
julukan Manusia Seribu Wajah."
"Kombang Hitam...," gumam Dewa Racun di dalam
hatinya. "Kalau begitu, benarlah dugaan Suto, orang
itu adalah pembantai seluruh anggota keluarganya.
Hmmm... benar-benar Pendekar Mabuk dihadapkan
pada satu persoalan yang sangat rumit dan berat!"
"Apakah nama itu perlu?"
"lyy... iyy... iya," jawab Dewa Racun. "Un... untuk
membacakan mantera pengobatan, nama itu perlu
diketahui oleh aku dan Suto," Dewa Racun coba
untuk senyumkan bibirnya walau terasa kaku. Lalu, ia
ucapkan kata lagi,
"Ting... ting... tinggalkanlah kami. Nanti kami akan
datang sendiri ke sana. Jagailah gurumu!"
Bujukan itu berhasil. Badai Kelabu segera
tinggalkan Suto dan Dewa Racun. Cepat-cepat orang
kerdil itu mendekati Suto dan berkata dengan penuh
hati-hati,
"Dugaanmu benar. Tap... tap... tapi sikapmu sa.
lah."
Suto Sinting palingkan wajah, menatap orang
kerdil yang ada di depannya itu. Sebelum Suto ajukan
sanggahan ataupun bantahan, Dewa Racun sudah
lebih dulu ucapkan kata,
"Tak boleh kau berrr... berrr... bersikap begini! Dia
memang pembantai keluargamu, tapi tugasmu
adalah menolong sesama manusia, tanpa pandang
bulu! Bukankah kau mengajarku untuk mengakui
adanya takdir dalam kehidupan kiiit... kiit... kita?
Kematian Gayanti adalah takdir yang tak dapat
dihindari, tapi tidak perlu diburu dendamnya.
Barangkali, kemmm... kemmmnu.. Kematian
keluargamu juga takdir yang tak dapat dihindari dan
tidak perlu diburu dendamnya."
"Aku tahu. Tapi betapa sulitnya menghindari
dendam yang telah membeku di darah ini!"
"Sesulit itulah diriku saat harus menerima
saranmu. Tapi akk... akkk... aku ternyata bisa
mengikuti saranmu! Aku bisa meredakan dendamku
untuk tidak membunuh Melati Sewu. Ap... ap...
apakah kau sendiri tak bisa melakukan seperti apa
yang kulakukan?"
Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. la mengakui
kebenaran kata-kata Dewa Racun. Tadi ia banyak
bicara tentang dendam dan takdir, sekarang ia sendiri
yang harus menjalankan semua kata-katanya itu.
Suto bertekad untuk menjadi orang yang tidak hanya
bisa bicara namun juga bisa berbuat. Maka, ia pun
berusaha mati-matian menekan dendamnya agar
tidak mendidihkan darah lagi.
la membatin di dalam hatinya, "Hidup, jodoh, dan
kematian, adalah bagian dari kepastian yang sudah
digariskan oleh Dia. Aku tak ingin menjadi penentang
kekuasaanNya. Sesulit apa pun, aku harus bisa
belajar menerima garis kehidupanku ini! Kalau toh
aku berhasil membunuh Kombang Hitam lantaran
dendamku, mungkin Badai Kelabu atau orang di
pihaknya akan menyimpan dendam pula padaku.
Kalau aku berhasil dibunuh oleh mereka, mungkin
orang yang ada di pihakku juga menyimpan dendam
pembalasan kepada mereka. Begitu seterusnya, dan
tak tahu kapan harus berakhir. Bukankah manusia
hidup tidak hanya untuk memburu dendam dan
pembalasan? Tidak! Aku malu pada Dewa Racun.
Kalau Dewa Racun bisa meredam dendamnya,
mengapa aku tidak?! Aku juga harus bisa meredam
dendamku!"
Akhirnya Suto memutuskan diri untuk mengobati
Manusia Seribu Wajah, yang dulu dikenal dengan
julukan Kombang Hitam. Dewa Racun tampak senang
melihat Suto berhasil meredakan dendam dan
amarahnya, walau memakan waktu agak lama.
Bahkan Pendekar Mabuk sempat melakukan semadi
sebentar ketika hari menjelang petang. Semadi itu
dilakukan untuk meredakan hawa nafsunya dan
mengendalikan jiwanya.
Dua guci tuak disediakan untuk pengobatan
tersebut. Setiap tuak yang akan dipakai untuk
pengobatan selalu dimasukkan lebih dulu ke dalam
bumbung bambu yang selalu ada di punggung
Pendekar Mabuk itu. Cara pengobatannya pun tidak
hanya sekadar meminumkan tuak kepada Manusia
Seribu Wajah, tapi juga mengguyurkan ke sekujur
badannya. Tentang mengguyurkan tuak ke badan si
sakiti itu adalah saran dari Dewa Racun, yang diam-
diam, telah mempelajari cara kerja tuak Pendekar
Mabuk dalam setiap pengobatan.
Suto juga melakukan pengobatan dengan ilmu
'Sembur Husada'. Sekujur tubuh Manusia Seribu
Wajah itu disembur dengan tuak dari mulut Suto,
seperti yang dilakukan kepada Peramal Pikun. Hal ini
dimaksudkan Pendekar Mabuk selain supaya
penyembuhan cepat terjadi, juga supaya Manusia
Seribu Wajah yang dulu berjuluk Kombang Hitam itu
akan lupa pada diri Pendekar Mabuk. Karena
Pendekar Mabuk itu merasa dirinya tak perlu diingat-
ingat lagi oleh Kombang Hitam.
Malam dibiarkan lewat oleh mereka. Dan ketika
pagi menjelang, ternyata sekujur tubuh Manusia
Seribu Wajah sudah tidak lagi membusuk. Bahkan
secara mengagumkan sekali tubuh itu menjadi bersih
oleh luka, tanpa bekas dan menjadi seperti semula.
Kesehatan Manusia Seribu Wajah juga pulih, bahkan
terasa badannya lebih segar dari biasanya. Tentu saja
hal itu menggembirakan murid-muridnya, termasuk
Badai Kelabu dan Melati Sewu.
Manusia Seribu Wajah pun tampak gembira, ia
menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil
ucapkan kata, "Tak sia-sia kau membawa tabib muda
itu kemarii Dia lebih ampuh dari Batu Galih Bumi!"
"Tak ada tabib yang seampuh Suto, si murid sinting
Gila Tuak itu, Guru. Karenanya...."
"Tunggu!" potong Manusia Seribu Wajah. "Dia
bernama Suto? Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, aku
ingat! Aku ingat siapa dia kalau begitu! Aku ingat...!
Mana dia sekarang?!" sentaknya mulai geram.
*
* *
6
SUTO Sinting baru saja selesai memenuhi
bumbung tuaknya dengan tuak sisa penyembuhan
semalam. Dewa Racun juga sudah siapkan diri untuk
keberangkatan pulang ke Pulau Beliung untuk
mengambil Singo Bodong.
Tetapi ketika mereka berada di pelataran untuk
menemui Manusia Seribu Wajah, ia sudah dihadang
oleh Melati Sewu. Wajah perempuan Itu tampak
tegang ketika ia ucapkan kata,
"Cepatlah pergi ke pantai. Di sana sudah ada
perahu yang disiapkan untuk kalianl Pergilah
secepatnya!"
"Kami baru akan pamit kepada gurumu, Melati
Sewu," kata Pendekar Mabuk.
"Tidak perlu! Tidak perlu temui Guru lagi!"
Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling adu
pandang, lalu Pendekar Mabuk lontarkan tanya
kepada Melati Sewu,
"Mengapa kami tak diizinkan pamit kepada
gurumu?"
"Beliau sedang marah! Beliau tahu bahwa
namamu Suto dan murid dari si Gila Tuak, beliau jadi
berang! Pergilah cepat sebelum beliau
membunuhmu, Pendekar Mabuk!"
"Membunuhku?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi
sangat tajam. Dewa Racun hanya memandang dalam
kebingungan. Lalu, Pendekar Mabuk ucapkan kata
kepada Dewa Racun,
"'Sembur Husada' membuat seseorang lupa pada
diriku, tapi sembuh dari sakitnya."
"Ak... ak... aku tahu. Dulu aku lihat sendiri hal itu
terjadi pada Peramal Pikun. Tap... tapi mengapa
Kombang Hitam masih ingat tentang dirimu?"
"Berarti ilmunya cukup tinggi! Ingatannya sulit
dihapus dengan ilmu pengobatan 'Sembur Husada'!"
"Lekaslah pergi!" desak Melati Sewu. "Jangan
sampai Guru temukan dirimu, Pendekar Mabuki Nanti
dia membunuhmu!"
"Jang... jang... jangan layani dia, Pendekar Mabuk.
Sebaiknya kita memang harus cepat pergi!"
"Baiklah!" Suto Sinting segera bicara pada Melati
Sewu, "Sampaikan salam dan pamitku kepada Badai
Kelabu!"
"Ya. Akan kusampaikan!" jawab Melati Sewu bagai
tak sabar lagi menunggu kepergian Pendekar Mabuk.
Pesanggrahan itu tidak seberapa jauh dari pantai.
Banyak melewati jalanan menurun diselingi pohon-
pohon pinus yang bercampur dengan pohon jati dan
sebagainya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
menyusuri jalan itu tanpa banyak bicara. Mereka
harus cepat tiba di pantai dan segera meninggalkan
Pulau Hitam itu.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara memanggil dari
arah belakang.
"Sutooo...! Tunggu sebentar, Sutoooo...!"
Dewa Racun cepat palingkan pandang ke belakang
lalu berkata,
"Bad... bad... Badai Kelabu, Pendekar Mabuk!"
Mereka segera hentikan langkah. Badai Kelabu
berlari-lari menyusul Suto dengan wajah tegang.
Gerakannya lebih lincah dari biasanya. Ketika ia tiba
di depan Suto dan Dewa Racun, napasnya tidak
terengah-engah. Hanya wajahnya yang sedikit kaku,
mungkin karena diliputi ketegangan.
"Ada apa. Badai Kelabu?"
"Ada yang lupa, belum kusampaikan padamu,"
jawab Badai Kelabu.
"Tentang apa itu?" tanya Pendekar Mabuk berkerut
dahi.
"Tentang ini…!"
Plokkk...! Tiba-tiba tangan Badai Kelabu
menghantam kuat ke wajah Pendekar Mabuk. Cepat
sekali gerakan tangannya itu, hingga Suto tak sempat
menghindarinya. Pendekar Mabuk tersentak ke
belakang dua tindak.
Tentu saja Dewa Racun ikut terperanjat melihat
Badai Kelabu tiba-tiba menyerang. Bahkan menurut
Suto Sinting, pukulan Badai Kelabu bukan pukulan
tangan kosong, tapi dengan pengerahan tenaga
dalam yang cukup besar. Kalau Pendekar Mabuk
bukan orang berilmu tinggi, pasti pecah bibirnya dan
rontok giginya. Tapi karena Pendekar Mabut punya
ilmu yang tidak seharusnya diremehkan, maka
pukulan keras bertenaga dalam itu hanya membuat
merah dagunya saja.
Badai Kelabu cepat ambil sikap menyerang
kembali. Tapi Dewa Racun segera menengahi dengan
menghadangkan diri di antara Pendekar Mabuk dan
Badai Kelabu.
"Tahan...! Tah... tah... tahan dulu, Badai Kelabu...."
"Jangan ikut campur, Kerdil!" bentak Badai Kelabu,
lalu kakinya berkelebat menendang Dewa Racun.
Buhgg...! Wusss...!
Tubuh kecil Dewa Racun terlempar lima langkah
jauhnya. Badai Kelabu cepat putarkan badan dan
melayangkan tendangan kipas yang menyabet dada
Pendekar Mabuk. Dugg...! Pendekar Mabuk pun
mundur tersentak dua tindak.
Bukan karena Suto tak mau menangkis atau
mengelak, tapi ia ingin rasakan sebesar apa
tendangan Badai Kelabu. Ternyata cukup besar.
Pendekar Mabuk kerutkan dahi makin tajam.
Menurutnya, tendangan Badai Kelabu tak akan
sebesar itu. Kendati diiringi dengan pengerahan
tenaga dalamnya, tapi Pendekar Mabuk bisa
mengukur bahwa tendangan Badai Kelabu tak akan
sampai terasa di tulang belakang. Tapi kali ini,
Pendekar Mabuk merasakan tendangan itu bagai
ingin mematahkan tulang punggungnya walau yang
ditendang adalah dadanya.
Dewa Racun bangkit dan mau menyerang, tapi
dihalangi tangan Pendekar Mabuk. Pada saat itu,
Suto cepat berbisik,
"Ada yang tak beres pada dirinya!"
Dewa Racun cepat memandang Badai Kelabu
dengan dahi berkerut tajam. Dan tiba-tiba di kejauhan
sana dua manusia perempuan berlari mendekati
mereka. Suara kecil memanggil Suto. Dewa Racun
makin terkesiap matanya memandang Melati Sewu
sedang berlari bersama Badai Kelabu. Sedangkan
orang yang baru saja menendang Pendekar Mabuk itu
juga Badai Kelabu. Dewa Racun sempat dibuat
bingung beberapa kejap.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk melayangkan
tendangan sampingnya ke arah Badai Kelabu yang
ada di depannya. Tapi tendangan itu tertangkis
tangan lawan. Gerakan menangkisnya begitu cepat
dan mempunyai kekuatan cukup tinggi, hingga tulang
kaki Pendekar Mabuk merasa linu beradu tulang
tangan lawan.
Pendekar Mabuk cepat putarkan badan dengan
merendah dan badan membungkuk. Kakinya yang
kanan memanjang dalam putaran bawah dan
menyapu kaki lawan. Wusss...! Lawan melompat
menghindarinya dengan melancarkan tendangan
keras ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tapi Suto
sudah siaga, gerak pancingannya termakan lawan.
Pada saat kaki lawan menjejak wajahnya itulah Suto
segera menotokkan dua jari tangannya ke mata kaki
lawannya. Ttebb...!
Satu kali totokan bertenaga tinggi telah membuat
lawan mengerang panjang sambil tubuhnya
mengejang. Dan tiba-tiba sosok tubuh sebagai Badai
Kelabu itu berubah wujud menjadi sosok tubuh lelaki
berwajah angker, berambut putih dan berkumis putih,
badan sedikit gemuk dengan pakaian hitam berjubah
abu-abu, di punggungnya terselip sebuah pedang
bergagang hitam. Sosok itu tak lain adalah sosok si
Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah.
"Bangsat kau!" geram Manusia Seribu Wajah.
"Rupanya kau menguasai jurus 'Sekat Nadi' yang bisa
membuyarkan perubahan wujudku, hah?!"
Pendekar Mabuk yang sudah menarik diri setelah
wujud Kombang Hitam terlihat jelas itu, hanya
tersenyum tipis dengan tetap berdiri agak
menyamping. Matanya tajam menatap lawan tak
berkedip.
Terdengar suara Badai Kelabu yang asli berseru,
"Guru! Jangan teruskan, Guru! Saya mohon jangan
teruskan perselisihan ini!"
Kombang Hitam memandang kedua muridnya
yang baru saja tiba dengan mata garang
menyeramkan. Melati Sewu tak berani lebih dekat
lagi, sebab dia tahu jika gurunya sedang murka
begitu, apa saja yang ada di dekatnya bisa dijadikan
sasaran kemarahannya. Tapi Badai Kelabu yang
merasa bertanggung jawab atas kedatangan
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ke pulau itu,
memaksakan diri untuk mendekati gurunya dan
membujuk amarahnya.
"Guru, saya mohon dengan hormat, jangan sakiti
dia, Guru!"
Plokk...!
Tangan Kombang Hitam berkelebat mengibas ke
samping dan wajah Badai Kelabu yang menjadi
sasarannya. Tubuh perempuan itu terpental empat
langkah jauhnya dengan tulang pipi menjadi biru
legam. la jatuh tak jauh dari Melati Sewu, dan segera
ditolong untuk bangkit berdiri. Melati Sewu bisikkan
kata,
"Hati-hati, jangan terlalu dekat dengan Guru jika
beliau sedang begitu! Bisa mati kau!" '
Kombang Hitam yang sudah berusia cukup banyak
itu ternyata masih menyimpan semangat dendam
seperti dulu kala. Matanya memancarkan api
membunuh begitu jelas, sehingga napasnya pun
terlihat cukup deras hembusannya.
"Suto! Kau masih ingat siapa aku, hah?!" suaranya
pun tegas.
"Ya. Aku masih ingat! Kau yang membantai
keluargaku!" kata Suto tak kalah tegasnya.
"Bagus! Bagus kalau kau masih ingat, karena
hanya kau satu-satunya orang yang lolos dari
pembantaian itu! Matiku tak akan tenang jika
keluarga Wiseso yang tertinggal belum kubunuh!"
"Kombang Hitam! Sejak kulihat kau pertama dalam
keadaan sekarat di dalam kamarmu, aku sudah
mengenali siapa dirimu! Kalau aku mau lakukan,
mudah sekali membunuhmu dalam keadaan seperti
itu!"
"Itu menandakan kau anak yang bodoh!" sentak
Kombang Hitam.
"Terserah caramu menilai. Tapi yang jelas, aku tak
mau diperbudak oleh dendam masa lalu! Ku lupakan
masa lalu itu, dan kusembuhkan luka parahmu yang
hampir merenggut nyawamu! Tapi seperti inikah
pembalasanmu padaku, Kombang Hitam?"
"Ya!" jawab Kombang Hitam dengan menyentak
keras. "Kau pun seharusnya mati pada usia delapan
tahun! Tapi niatku membunuhmu terpaksa kutunda!
Kuberi kau kesempatan untuk hidup, menikmati
masa remajamu, menikmati masa dewasamu, dan
sekarang sudah waktunya kau menikmati masa
kematianmu, Sutol"
"Aku tidak bersedia melayani dendammu,
Kombang Hitam! Aku bukan budak nafsuku sendiri!
Selamat tinggal!"
Slappp...! Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki
dan pergi dengan begitu cepat bagaikan angin lewat.
Dewa Racun pun mengikutinya walau sedikit
tertinggal oleh Pendekar Mabuk.
"Jangan lari kau, Sutooo...!" teriak Kombang Hitam.
Ketika ia hendak mengejar Pendekar Mabuk,
Badai Kelabu cepat menyergap kedua kaki Kombang
Hitam.
"Guru! Jangan bunuh dia! Ingatlah, Guru…! Dia
telah menolong menyembuhkan luka parah yang
Guru derita! Dia telah menyelamatkan nyawa Guru!
Kumohon, jangan bunuh dia, Guru!" Badai Kelabu
menangis sambil memeluk kaki gurunya.
Manusia Seribu Wajah itu menggeram dengan
sangat marahnya. Maka, ia pun sentakkan kakinya ke
depan dan tubuh Badai Kelabu terlempar kembali
lebih jauh dari yang pertama. Tubuhnya membentur
batang pohon dan jatuh sambi! memekik tertahan.
Tanpa peduli tangis dan rintih muridnya, Manusia
Seribu Wajah cepat tinggalkan tempat dengan
gerakan seperti Suto. Tubuhnya lenyap begitu saja,
tak terlihat lagi bentuk dan wujudnya. Sedangkan
Badai Kelabu yang merasa sakit di bagian tulang
punggungnya segera dibantu oleh Melati Sewu untuk
berdiri.
"Melati Sewu, tolong... cegah tindakan Guru!
Kasihan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun! Kau tahu
sendiri, mereka telah menyelamatkan nyawa Guru!
Mereka bukan orang jahat! Mereka bersikap baik
kepada kita!"
"Iya, iya... aku tahu! Tapi bagaimana cara
mencegah tindakan Guru? Kita tak bisa menahan
amukan Guru! Melawan Guru sama saja melawan
liang kubur, Badai Kelabu!"
"Bagaimanapun caranya, lakukan saja! Jangan
sampai Pendekar Mabuk mati di tangan Guru! Oh,
aku jadi menyesal jika begini. Menyesal sekali
mengapa aku membawa Pendekar Mabuk untuk
menolong Guru kalau akhirnya nyawa penolong itu
terancam oleh murka Guru?!"
Melati Sewu mengerti perasaan Badai Kelabu.
Melati Sewu diam-diam juga mengecam tindakan
gurunya yang tidak tahu berterima kasih kepada
orang yang telah menolongnya. Seketika Melati Sewu
menjadi kurang suka dengan gurunya. Tapi semua itu
hanya bisa dipendamnya di dalam hati, tak berani
dilampiaskan dalam bentuk apa pun, karena Melati
Sewu tak ingin mati akibat murka sang Guru.
"Begini saja," kata Melati Sewu, "Kita ikuti terus
mereka, sambil kita menjaga Suto. Jika Suto dalam
keadaan terdesak dan Guru mau merenggut
nyawanya, kita ganggu serangan Guru dengan
membuat ulah yang menghambat gerakan Guru!"
"Baik," jawab Badai Kelabu sambil mengakhiri isak
tangisnya. "Kita susul mereka, Melati Sewu!"
Maka, kedua perempuan yang sudah memihak
Pendekar Mabuk secara tak langsung itu segera
melesat pergi. Kecepatannya masih belum sebanding
dengan kecepatan Pendekar Mabuk dan Manusia
Seribu Wajah.
Sampai di pantai, langkah Suto terhenti karena ia
melihat seseorang berdiri di depannya. Orang itu
mengenakan jubah kuning dengan pakaian dalamnya
berwarna hijau. Rambut dan jenggotnya putih,
menggenggam tongkat di tangan kanannya. Suto
Sinting sangat terkejut melihat orang itu berdiri
menghadangnya, karena orang itu adalah si Gila
Tuak, gurunya sendiri.
"Eyang Guru...?!" sapa Pendekar Mabuk sambil
sedikit membungkuk memberi hormat kepada
gurunya.
"Apa yang terjadi. Suto?" tanya si Gila Tuak dengan
dingin.
"Kombang Hitam masih menaruh dendam pada
saya dan ingin membunuh saya, Guru!"
"Menyingkirlah ke belakangku! Biar kuhadapi dia!"
Tapi, Guru...."
"Pergilah ke belakangku! Lekas!" sentak si Gila
Tuak.
Suto pun bergegas pergi ke belakang si Gila Tuak
yang tak disangka-sangka datang ke pulau itu. Ketika
Pendekar Mabuk berada di belakang si Gila Tuak,
hatinya merasa sedikit tak enak melihat si Gila Tuak
mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Seingat
Suto Sinting, gurunya tak pernah memakai gelang
akar bahar.
Kecurigaan itu terlambat. Tiba-tiba si Gila Tuak
sodokkan tongkatnya ke belakang dan tepat
mengenai ulu hati Pendekar Mabuk. Buhgg...!
"Huggh...?""
Pendekar Mabuk terbungkuk seketika. Sodokan
tongkat itu begitu kuat dan dialiri tenaga dalam yang
cukup besar. Mata Suto mendelik dan berkunang-
kunang. Napasnya bagai terhenti di pertengahan
dada.
Si Gila Tuak segera balikkan badan sambil kakinya
berkelebat naik dan menendang wajah Pendekar
Mabuk dengan kerasnya. Plokkk...! Wajah Pendekar
Mabuk tersentak ke samping, bersamaan dengan itu
tubuhnya terlempar oleng hingga jatuh di pasir pantai.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk kibaskan kepalanya
membuang pandangan yang berkunang-kunang itu.
Jari tangan bagian telunjuk kanan mulai mengeras,
lalu ia sentilkan telunjuk itu ke depan dalam keadaan
masih rebah miring di tanah. Sentilan jurus 'Jari
Guntur' itu tidak mempunyai wujud ataupun warna,
namun gelombang tenaga dalam yang dikeluarkan
cukup tinggi. Sentilan itu diarahkan di mata kaki si
Gila Tuak.
Dubb...!
Mata kaki itu tepat terkena sentilan 'Jari Guntur'.!
Si Gila Tuak meraung keras sambil mengangkat
kakinya yang tersentil itu. la berjingkat-jingkat dengan
satu kaki, dan pada saat itu wujud si Gila Tuak pun
pudar, berganti ujud Manusia Seribu Wajah alias
Kombang Hitam.
"Baru sekarang aku menghadapi lawan setangguh
ini!" gumam Pendekar Mabuk di dalam hati, dan
demikian pula gumam Kombang Hitam di batinnya.
Keduanya saling berhadapan siap menyerang lagi.
Tapi dalam hati Suto selalu berusaha agar tidak
melakukan penyerangan. la tidak ingin membunuh
karena dendamnya yang telah membeku selama dua
puluh tahun itu. la hanya ingin menghindari dan
memberi pelajaran kepada orang berilmu tinggi yang
tak tahu balas budi itu.
"Bocah sinting! Semakin lama kau membuatku
semakin bernafsu untuk melenyapkan nyawamu,
tahu?!"
"Kombang Hitam! Kuasailah amarahmu.
Kendalikan nafsumu! Untuk apa kita saling
membunuh jika persoalan itu sudah lama berlalu!"
"Tutup bacotmu, Bocah dungu!" sentak Kombang
Hitam. "Sebelum kulenyapkan sisa keturunan Ronggo
Wiseso, tak akan tenang arwahku bersemayam di
alam baka nanti!"
"Kau benar-benar telah diperbudak oleh dendam,
Kombang Hitam! Kau selalu memaksaku untuk
membunuhmu! Padahal hal itu tak perlu terjadi.
Kurang puaskah kau telah membantai semua
keluargaku?!"
"Belum semuanya! Masih ada yang tersisa, yaitu
kau!" sentak Kombang Hitam sambil tangannya
dihentakkan ke depan dengan jari telunjuk mengeras.
Dari ujung jari itu keluar sinar merah berkelok-kelok
bagai lidah petir. Wuttt...!
Gerakan sinar yang cepat itu menghantam tubuh
Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu Pendekar
Mabuk cepat ambil bumbung tuaknya dan dipakai
untuk menghadang kilatan sinar merah itu. Tubb...!
Sinar itu membentur bumbung tuak dan memantul
balik menjadi lebih besar serta lebih cepat. Wussss...!
Crasss...!
"Aaahg...!" Kombang Hitam terpekik dengan mata
mendelik. Karena ia tak menduga sama sekali bahwa
sinar merah dari jarinya itu akan memantul balik
dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Kombang
Hitam tak punya kesempatan mengelak karena
jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya antara lima
langkah. Akibatnya, sinar merah itu mengenai ujung
pundak kirinya. Pundak kirinya itu menjadi bolong dari
bagian depan di atas dada sampai ke belakang, di
sudut punggung.
"Jahanam kaaauu...!" geram Kombang Hitam
segera mencabut pedangnya. Srett...! Lalu, ia
melompat bagaikan harimau terbang dengan pedang
siap ditebaskan dari atas ke bawah.
Pendekar Mabuk berdiri agak merendah. Tabung
tuaknya dipegang dengan dua tangan dan
dihadangkan melintang ke atas kepala. Pedang itu
pun ditebaskan sekuat tenaga dan berbenturan
dengan bumbung bambu tempat menyimpan tuak itu.
Trasss...! Nyala api merah memercik ke mana-
mana akibat benturan pedang baja dengan bumbung
bambu itu. Dan yang membuat Kombang Hitam
makin mengganas adalah setelah ia melihat bahwa
ternyata pedangnya itu patah menjadi beberapa
bagian, tinggal bagian kecil yang menancap di bagian
gagangnya.
"Bangsat kau! Pedang pusakaku kau buat begini,
hiiaaaat...!"
Begggh...! Kombang Hitam berhasil menendang
lengan Suto. Tendangan keras dan bertenaga dalam
itu membuat Pendekar Mabuk terlempar ke samping
dalam jarak tiga langkah. la menjadi limbung dan
bergerak oleng bagaikan orang mabuk parah.
Tubuhnya meliuk ke kiri dan ke kanan dengan kepala
ikut terayun lemas.
Melihat lawannya sempoyongan, Kombang Hitam
tak mau gunakan kesempatan secara sia-sia. Dengan
cepat ia sentakkan kedua tangannya yang beradu
rapat pada pangkal pergelangan tangan itu. Sentakan
kedua tangan ke depan membuat cahaya biru
melesat. Padahal jaraknya dengan Suto Sinting hanya
antara empat sampai lima langkah. Tentu saja cahaya
biru itu dengan cepat tiba di tempat Pendekar Mabuk.
Tetapi, Pendekar Mabuk yang disangkanya
sempoyongan karena lemah itu, sebenarnya
menyiapkan diri untuk menghadapi serangan
berikutnya. Jurus mabuknya memang sering menipu
lawan, sehingga pada saat cahaya biru itu
menghantamnya, Suto sudah siap menangkis dengan
bumbung tuaknya.
Behgg...! Woosss...!
Cahaya biru itu membalik arah dan menjadi lebih
besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap
dan terpaku di tempat. Akibatnya sinar biru dari
pukulan mautnya itu menghantam telak dadanya.
Blarrr...!
Tubuh Kombang Hitam tidak tersentak sedikit pun.
Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi
hitam bagai habis disambar petir. Matanya merah,
mengucurkan darah, ia masih sempat menggeram
benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah
kehitaman.
Pada saat Badai Kelabu dan Melati Sewu tiba di
tempat, Kombang Hitam rubuh ke tanah tak
bernyawa lagi.
"Guruuu...!" teriak Badai Kelabu sambil berlari-lari.
Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah
pohon sejak tadi. Tapi ia siap melancarkan serangan
jika Badai Kelabu atau Melati Sewu diam-diam
melepaskan pukulan kepada Pendekar Mabuk.
*
* *
7
KALAU saja ada pilihan lain, Pendekar Mabuk akan
memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia
sudah berusaha tidak menyerang, tapi toh akhirnya
Kombang Hitam itu mati pula di tangannya. Itulah
suratan takdir!
Sambil mendayung perahunya yang mati karena
tak ada angin, Suto masih merenungi kematian
Kombang Hitam. Peristiwa itu telah mengingatkan
dirinya bahwa dendam tak perlu diburu, bahwa
pembalasan akan tiba sendiri pada saatnya.
Sekalipun ia sudah mengelak dari dendam, sekalipun
ia sudah berusaha agar tidak membalas kematian
keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang
Hitam, tapi di pihak lawan justru serahkan nyawa
sebagai penebus dan pembalasan atas pembantaian
itu.
"Tak kusangka kematian Kombang Hitam akhirnya
ada di tanganku juga, walau secara tidak sengaja,"
pikir Suto. Lalu, terbayang wajah bapaknya yang
dihajar habis oleh anak buah Kombang Hitam,
terbayang pula wajah ibunya yang dengan penuh
kasih sayang sering menciumi kepalanya.
Terbayang pula wajah kakaknya, yang sering
mengatakan Suto sebagai anak bandel. Terbayang
pula wajah pembantunya, yang sering merasa jengkel
karena ulah kenakalan Suto. Pembantu itu pun mati
terpenggal kepalanya oleh anak buah Kombang
Hitam. Suto pun terbayang wajah Paman Dubang
yang dengan setia mengasuhnya, bahkan waktu
peristiwa itu terjadi, Suto sedang diajar naik kuda
oleh Paman Dubang. Terngiang di telinga Suto jerit
kematian Paman Dubang yang terperosok jatuh ke
jurang dalam pengejaran Kombang Hitam,
Hati Suto tergores pedih, namun ditahannya
dengan cara menarik napas dalam-dalam,
"Aku sudah membalaskan kematian kalian, walau
sebenarnya aku tidak menghendaki adanya
pembalasan," kata Pendekar Mabuk di dalam hatinya
yang seolah-olah bicara kepada roh para korban.
"Namun pembalasan itu akhirnya datang juga, dari
Yang Maha Kuasa, melalui perantara tanganku
sendiri! Semoga kalian tenang di alam kelanggengan
sana. Semoga Bapak dan Ibu bangga melihat
anaknya menjadi seperti saat ini. Sehebat apa pun
aku sekarang ini, tak akan mungkin bisa menjadi
begini jika tanpa kalian; pengasuhku, perawatku,
pembimbingku, semasa aku masih bocah kecil!"
Glegar...!
Kilat menyambar di langit. Mendung mulai
menutupi mentari. Air laut bergelombang, makin lama
terasa semakin meninggi ayunannya. Dewa Racun
yang berada di haluan segera berseru,
"Akan tur... tur... turun hujan, Suto!"
"Ya! Cepatlah masuk ke barak, biar aku yang
kemudikan perahu ini!" balas Suto Sinting dengan
suara keras.
Angin menderu kencang. Hujan mulai turun rintik-
rintik. Sebentar lagi tak akan ada sisa cahaya
matahari karena senja semakin menua. Sekarang
pun alam sudah menjadi gelap, langit bagai diselimuti
kain hitam raksasa. CIap… claaap...! Glegaaar...!
Guntur bersahutan di langit, seakan mengancam
sebuah perahu berlayar tunggal yang sedang
terombang-ambing dipermainkan ombak samudera.
Kadang perahu meninggi, kadang jatuh terhempas
menjadi rendah. Kadang meliuk ke kiri, kadang
meliuk ke kanan. Hujan mengguyurnya semakin kuat
dan deras. Tapi Suto tatap berada di haluan dan
Dewa Racun tak mau tinggal diam di dalam barak
beratap rendah Itu.
"Suto» tul.. tu... tul.. tutup layar supaya badai tidak
melemparkan perahu ini!"
"Ya! Tutuplah!"
Hanya berdua mereka di atas perahu dalam
perjalanan menuju Pulau Badung. Rencananya,
mereka hanya ingin mengambil Singo Bodong sambil
memeriksa apakah Hantu Laut sudah sampai di sana
atau belum. Tetapi, keduanya kini berada di tengah
amukan badai laut. Dewa Racun menduga perahu
akan pecah seperti saat mereka tinggalkan tanah
Jawa beberapa waktu yang lalu.
Tatapi rupanya perahu yang mereka gunakan kali
ini lebih kokoh dan lebih tegar. Tamparan ombak dan
hembusan badai bisa ditahannya. Sayang sekali tak
ada cukup minyak di dalam perahu itu, sehingga
perjalanan malam menjadi gelap gulita. Hanya ada
sedikit minyak untuk menyalakan pelita kecil sebagai
penerang barak dan sering dibawa ke sana-sini bila
hujan mereda.
Tapi hujan datang silih berganti. Kadang terang
kadang deras. Akibatnya, Suto dan Dewa Racun
membiarkan perahunya terapung-apung di atas
lautan bergelombang. Mereka cukup lelah menguras
air yang masuk ke perahu yang tadi hampir
menenggelamkan mereka. Keduanya tertidur di
dalam barak, dan bangun di pagi hari dalam cuaca
tak seburuk tadi malam.
Cuaca pagi itu sangat cerah. Matahari bersinar
dengan terang sekali. Langit putih bersih tanpa setitik
mendung pun di sana. Tetapi Dewa Racun segera
kerutkan dahi melihat sebuah pulau kecil berbentuk
seperti garpu dua mata. Perahu itu terseret ombak
sampai ke relung perairan di tengah pulau kecil itu.
"Sssuu... suuu… Suto!" panggil Dewa Racun yang
ada di luar barak. "Per... perahu kita kandasl"
Suto bergegas bangun dan keluar dari barak. la
memeriksa bagian lambung kapal, ternyata keadaan
perahu sedang terjepit di kedua tonjolan batu karang.
Lambung kapal robek sedikit, namun tak sampai
membuatnya bocor.
"Perahu kita hanya robek Sedikit bagian
lambungnya!" kata Suto. "Aku akan turun melihat batu
karang itu!"
"Tap... tap... tapi mengapa perahu kita miring dan...
dan... banyak air di buritan!"
Suto terkesiap, cepat memeriksa bagian buritan. la
terbengong, ternyata perahu bocor besar di bagian
buritan. Suto menarik napas beberapa saat, lalu
berkata,
"Kita harus menambal perahu ini, Dewa Racun!"
"Kit... kita... kita tidak punya per... per... per...."
"Perawan?!"
"Peralatan!" sentak Dewa Racun. "Kita tidak punya
peralatan untuk menambal perahu, sedangkan Pulau
Beliung masih cukup jauh. Kita bel... bel... bel...,"
"Beling?!"
"Belum! Kita belum melewati gunung karang yang
runcing seperti waktu kita berangkat tempo hari.
Ber... ber... ber...."
"Beranak?!"
"Berarti! Berarti kita masih jauh dari Pulau
Beliung!"
"Kalau begitu, kita temui penduduk pulau ini dan
minta bantuannya. Kita pinjam peralatan untuk
menambal perahu ini!"
Pulau kecil itu memang penuh dikelilingi oleh
karang. Pantainya sangat dangkal. Semestinya
perahu tak bisa masuk ke celah di tengah pulau
berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf U
itu. Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang,
sehingga perahu bisa masuk ke relung itu, ketika air
laut surut, perahu dalam keadaan terjepit dua
gugusan karang yang tersumbul sedikit di permukaan
air laut. Mau tak mau Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak
diketahui namanya oleh mereka itu.
Tetapi Suto menjadi sangsi setelah menyadari
pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau
burung, tapi tak ada suara kehidupan manusia di
dalam kerimbunan hutan di bagian tengahnya. Bekas
sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan
pun tak ada.
"Pulau ini kosong," kata Suto. "Tak berpenghuni
kecuali burung dan binatang lainnya."
"Jad... jad... jadi kita terdampar di pulau kosong?"
"Mestinya begitu!"
"Wah, lila... laa... lalu kita mau minta bantuan
kepada siapa? Kita mau pinjam peralatan buat
tambal perahu kepada siapa?''
"Kepada burung," jawab Pendekar Mabuk sambil
tertawa pendek. "Tapi coba kita periksa bagian pantai
sebelah sana!"
Keduanya melangkahkan kaki melalui semak
belukar. Tapi tiba-tiba tubuh Suto bagaikan tersedot
bumi. Bruuussss...!
"Sut... Sut... Sutoooo...!" teriak Dewa Racun dengan
suara gagapnya. Wajah kerdil itu menjadi tegang. la
sangka ada seseorang yang menarik kaki Suto dari
dalam sebuah lubang. Capat-cepat Dewa Racun
memandang sekeliling sambil pegang busur dan anak
panahnya. Gerakannya cepat dan penuh selidik. Anak
panah siap dilepaskan kapan saja terlihat ada yang
mencurigakan.
"Dewa Racuuun...!"
Terdengar suara Suto Sinting dari kedalaman
lubang. Dewa Racun segera memeriksa lubang
tempat terperosoknya Suto Sinting. Ternyata lubang
itu adalah sumur tua yang sudah tidak terpakai lagi.
Sumur itu tertutup oleh tanaman liar hingga tak
terlihat lubangnya. Sumur itu sudah tidak berair lagi.
Tapi masih tampak lembab dindingnya, mungkin
karena hujan semalaman.
"Sutooo...! Baag... baaag... bagaimana
keadaanmu?!"
"Cepatlah turun! Di sini ada ruangan lebar!"
Dewa Racun tak tanggung-tanggung lagi, ia segera
ceburkan diri ke dalam sumur tua itu. Wuuus...! Prass,
bruuk...! la Jatuh di gundukan tanah berpasir.
Anehnya tanah itu kering bagai tak pernah terkena
curahan air hujan dari atas lubang sumur tersebut.
"Dewa Racun kita..."
"Ssst...!" Dewa Racun kasih isyarat agar Pendekar
Mabuk diam sebentar. la cepat pejamkan mata dan
letakkan telunjuknya di pelipis kanan-kiri. la sedang
sadap suara percakapan. Tapi beberapa saat
kemudian la lepaskan telunjuk itu.
"Sep... sepertinya ada orang di atas sana!"
"Kau dengar percakapan di atas sana?"
"Tid... tid... tid...."
"Tidur?"
"Tidak! Tidak ada percakapan. Hmmm... mungkin
hanya perasaanku saja! Sepertinya tadi kita tidak
menemukan gerakan manusia sedikit pun. Lupakan
soal perasaanku ini! Sek... sek... sekarang kita ada di
mana ini, Suto?"
"Di dasar sumur!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi
lihatlah, ada lorong seperti kamar di sebelah sana.
Atapnya cukup tinggi!"
"Ad... ada cahaya hijau juga. Mung... mungkinkah
ada orang yang menyalakan lampu warna hijau di
dalam kamar itu?"
"Mari kita periksa ke sana!"
Suto Sinting melangkahkan kaki lebih dulu. Ruang
yang diibaratkan seperti kamar itu ternyata sebuah
lorong panjang. Cahaya hijau semakin terang di ujung
sana. Lorong itu makin lama makin lebar. Dindingnya
berlumut, dan lumut itu mengeluarkan sinar hijau
bagai mengandung fosfor. Cahaya hijau itu semakin
ke dalam semakin luas dan membuat ruangan lebar
tersebut dipenuhi oleh cahaya hijau.
"Tem... tem... tempat apa ini, Pendekar Mabuk?"
"Kalau kutahu sudah kukatakan padamu sejak
tadi," jawab Suto Sinting. "Justru aku sedang berpikir,
tempat apa ini? Kelihatannya tempat ini belum
pernah dijamah manusia. Lumut-lumut yang
memancarkan cahaya hijau itu belum ada yang
menyentuhnya, keadaannya masih tumbuh secara
alami. Tonjolan-tonjolan batu di dinding itu
menampakkan bahwa ruangan ini terjadi secara
alam, bukan buatan manusia! Hmmm... tapi lorong ini
cukup panjang rupanya!"
"Kit... kit... kita ikuti saja sampai di mana ujung
lorong ini!"
Mereka melangkahkan kaki tidak dengan terburu-
buru. Selain merasa kagum melihat tanaman lumut
bercahaya, mereka juga menikmati keindahan lekuk-
lekuk langit lorong yang mirip lukisan alam. Ada yang
bergelembung bagai bisul besar mau pecah, ada yang
lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dan
berbuku-buku. Semakin mereka melangkah jauh di
kedalaman semakin mereka menemukan banyak
keindahan.
Di sela tanaman lumut yang menyala itu, terdapat
bebatuan yang berwarna-warni. Ada yang
menggerombol berbentuk bulat-bulat berwarna
kuning terang, ada yang dalam bentuk satu
bongkahan besar berwarna merah bening, bahkan
ada yang berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak
berwarna coklat tua yang bening, dapat memantulkan
sinar hijau dari tanaman lumut itu.
"Ap... ap... apakah ini surga, Pendekar Mabuk?"
"Entahlah! Aku tak bisa bicara apa pun rasanya.
Begitu indah pemandangan di dalam gua panjang ini.
Aku merasa berada di dalam sebuah istana yang tak
pernah ada di permukaan bumi mana pun juga.
Lihat...!" Suto menunjuk ke satu arah. "Batuan itu
berdiri seperti pilar penyanggah langit-langit gua, tapi
jelas bukan buatan tangan manusia! Pasti terjadi
secara alami!"
Dewa Racun terkagum-kagum melihat batuan
bening yang besarnya satu pelukan anak kecil, berdiri
bagai menopang langit-langit goa. Bentuknya tak
beraturan, tapi warna merah lembayung begitu cerah
dan indah. Sangat menakjubkan. Dewa Racun
mendekatinya pelan-pelan dengan mulut
terperangah.
Tapi ketika ia mau memegang, tiba-tiba tangannya
buru-buru ditarik mundur. la terkejut dengan mata
terbelalak lebar. Suto heran melihat Dewa Racun
terkejut, lalu ajukan tanya,
"Ada apa? Kenapa kau tak jadi memegangnya?"
"Batu ini mempunyai racun yang berbahaya. Jang...
jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!"
"Dari mana kau tahu?"
"Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak
tanganku baru mau menyentuh sudah terasa gatal!"
"Hmmm...," Suto menggumam sambil manggut-
manggut. "Jelas sudah!"
"Ap... apanya yang jelas...?!"
Suto belum menjawab. Matanya tertarik pada
batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol
di lorong depan. la segera dekati batuan itu, Dewa
Racun mengikutinya. Dewa Racun cepat bicara,
"lt... itu... itu batu mirah delima! Woow, bann...
ban... banyak sekali?!" Dewa Racun mendului
mendekat. Memandang lebih jelas. Ketika tangannya
mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali
seperti tadi. Wuuut...!
"Bat... bat... bat...."
"Batuk?"
"Batu ini! Batu ini juga beracun. Jangan
menyentuhnya!"
"Semakin jelas," gumam Pendekar Mabuk.
"Apanya yaaang... yaaang.. jelas?!" tanya Dewa
Racun makin penasaran dengan maksud Suto.
"Semua keindahan ini hanya boleh dinikmati
dengan mata. Boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang.
Boleh dinikmati tapi tak boleh dimiliki!"
Mengapa beg... beg... begitu?"
"Ajaran dari alam kehidupan," jawab Suto. "Di
sekeliling kita banyak hal yang menarik dan memikat
hati, tapi tidak semuanya bisa kita miliki. Terutama
jika bukan milik sendiri, kita tidak bisa mengambil
barang itu! Agaknya gua ini punya ajaran kehidupan
sendiri yang punya makna besar bagi manusia,
bahwa apa yang sering kita anggap indah menawan
hati, belum tentu menguntungkan bagi kehidupan
kita. Barangkali gua ini mengajarkan kita agar jangan
mudah tergiur oleh keindahan dan kemegahan. Gua
ini juga mengajarkan pada manusia agar selalu
waspada, bahwa di balik keindahan dan kemegahan
terdapat maut yang tersimpan!"
Dewa Racun angguk-anggukkan kepala dan
tambahkan kata, "Mung... mung... mungkin kita juga
bisa belajar dari gua ini, yaitu belajar mengendalikan
nafsu pribadi agar tidak gegabah dalam bertindak.
Buktinya, kalau... kalau... kalau kita gegabah dan
mengambil salah satu batu yang indah di sini, maka
kita akan mati direnggut racunnya yang berbahaya
itu!"
"Ya. Benar pendapatmu, Dewa Racun!"
Mereka melangkah semakin ke dalam. Mereka
tidak merasakan letih sedikit pun. Mereka tidak
sadarkan diri, bahwa mereka telah cukup lama
berada di dalam gua keindahan itu dan melangkah
sudah cukup jauh pula. Yang ada dalam hati mereka
adalah ketenangan batin, kegembiraan dan
kedamaian.
Ruangan yang lebarnya lebih dari sepuluh tombak
itu mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni
dan memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar
itu seperti sesuatu yang kental menetes dari atas dan
mengeras. Letak dan bentuknya tidak beraturan. Ada
yang berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai,
ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata
tombak raksasa, semuanya mengandung seni
keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di
permukaan bumi.
"Seee... semua pilar itu ber... ber... beracun!
Jangan sampai tubuh kita tersentuh sedikit pun!"
Dewa Racun mengingatkan.
Pilar-pilar itu semakin banyak, jaraknya semakin
sempit. Langkah mereka semakin hati-hati. Dan pada
satu sisi tertentu, Pendekar Mabuk hentikan langkah
sambil berkata,
"Dewa Racun...! Aku mendengar suara gemercik air
di depan sana!"
"Aaa... air... air?!" Dewa Racun pejamkan mata dan
tempelkan telunjuk di pelipis, lalu berkata lagi, "Ya,
ad... ad... ada air di depan sana. Air yang tertampung
dalam satu tempat!"
"Jangan-jangan... Kolam Sabda Dewa?!" Pendekar
Mabuk berkata dengan tegang.
*
* *
8
LANGKAH demi langkah mereka susuri gua aneh
yang penuh dengan keindahan itu, sampai pada satu
langkah yang memaksa mereka harus berhenti. Dewa
Racun yang berjalan paling depan yang pertama kali
menghentikan langkahnya, sehingga Suto Sinting pun
turut berhenti dan tertegun sebentar di situ.
Pilar-pilar indah sudah tak ada. Tapi lumut yang
memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya
letaknya tidak lagi di dinding kanan kiri gua,
melainkan di langit-langit gua tersebut. Lumut-lumut
berdaun panjang itu menggantung bagai lampu-
lampu hias yang memancarkan sinar hijau indah.
"Sut... Sut... Suto, haruskah kita tetap terus
melangkah?"
"Pertimbangkan dulu sebelum melangkah," jawab
Pendekar Mabuk.
Jelas Dewa Racun bimbang melanjutkan
langkahnya, karena lantai gua bagian depan mereka
bukan lagi dari tanah atau bebatuan biasa, melainkan
dari kaca yang jernih dan bening sekali. Karena
bening dan jernihnya, lumut-lumut di atas pun
terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan
memancarkan cahaya hijau bening yang sangat
terang. Sedangkan pada dinding kanan kiri gua,
masih terdapat aneka bebatuan yang punya warna-
warna cerah dan berkilap.
"Meng... meng... mengapa lantainya jernih sekali,
Suto? Begitu jernihnya hingga sep... sep... seperti air
yang bening. Ak... aku takut menginjaknya!" kata
Dewa Racun.
"Gua ini benar-benar penuh arti kehidupan," kata
Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi
bebatuan yang ada di dinding lorong berikut. "Lantai
ini jernih, merupakan peringatan bagi kita untuk
memperhitungkan setiap langkah yang akan kita lalui,
memperhitungkan setiap tindakan yang akan kita
lakukan. Jika kita berhati bersih, bening, dan
berpikiran jernih, maka setiap langkah kita pasti
membawa kemenangan tersendiri."
"La... lalu... lalu mengapa lumut-lumut itu sekarang
tumbuh di atas kita?" tanya Dewa Racun.
"Hmmm...," Suto diam sejenak, kemudian berkata,
"Lumut itu menerangi kita, Dewa Racun. Dalam
falsafah hidup, kiranya kita tak boleh selalu merasa
rendah diri dan minder. Sekalipun kita nilainya hanya
seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang bagi
sesama, hendaknya terang kita tetap menjadi
penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke
dalam lubang. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu
kita, hendaknya kita bagikan kepada mereka yang
membutuhkannya."
"See... se... sesuatu yang rendah belum pasti harus
di bawah. Ada sisi lain yang kita bisa ambil dari yang
paling rendah itu, se... se... sehingga bisa kita angkat
menjadi sejajar atau lebih tinggi dari diri kita.
Barangkali begitulah makna lain dari lumut-lumut
yang memberi penerangan langkah kita di langit-
langit gua ini!"
"Benar pendapat mu, Dewa Racun. Dan
menurutku, kita tetap saja melangkah selama kita
mempunyai hati bersih dan pikiran sebening lantai
kaca ini!"
Maka, Dewa Racun pun mengawali langkahnya.
Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal
yang membuat mereka heran, tak ada bekas telapak
kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap menjadi
lantai yang bersih, jernih, dan bening. Tapi hal yang
membuat mereka lebih heran lagi adalah adanya
bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu.
Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli
mereka, seperti jika mereka berdiri di depan cermin
biasanya, melainkan membentuk bayangan hitam,
seperti bayangan mereka jika terkena sinar matahari.
Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus
dengan telapak kaki mereka, namun sedikit tertinggal
di belakang mereka, sepertinya mereka mendapat
sinar dari arah depan.
"Pendekar Mabuk, ken... ken... kenapa bayangan
kita di cermin berbentuk hitam dan mengikuti kita?"
Setelah diam berpikir beberapa kejap, Suto pun
menjawab dengan suaranya yang tenang.
"Bayangan hitam...? Sesuatu yang hitam biasanya
simbol dari kejelekan atau keburukan. Ini pun
merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa
kemana pun kita pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat
buruk yang ada pada diri kita. Sifat buruk itu
membayangi kita senantiasa. Tergantung dari diri kita
sendiri, apakah kita mau memakai sisi buruk itu atau
meninggalkannya? Tetapi pada awalnya, kebaikan
pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti
keburukan yang merupakan hal-hal yang bersifat
rencana untuk berbuat licik, rencana untuk berbuat
tamak, rencana untuk mementingkan diri sendiri dan
sebagainya. Lantai cermin berbayangan hitam ini
merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu
ingat dan waspada, bahwa keburukan atau kejelekan
selalu membayang-bayangi hidup kita. Jangan sampai
kita lengah dan terkuasai oleh bayangan hitam diri
kita sendiri!"
Dewa Racun melepaskan tawa pelan. "Luuu...
luar... luar biasa cerdasnya otakmu, Suto! Tak rugi
berteman denganmu walau sampai berusia seribu
tahun lagi!"
Pendekar Mabuk pun membalas tawa dengan hati
terasa sangat bahagia. Kemudian ia melanjutkan
langkah yang membuat Dewa Racun segera
mengikuti dari belakang. Pandangan mata Suto
Sinting berseri-seri memperhatikan bebatuan indah
yang beraneka ragam bentuk dan warnanya.
Suara gemercik air semakin jelas. Pendekar
Mabuk ingin cepat sampai ke sumber suara gemercik
air itu. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti karena suatu
hal.
Dua orang perempuan berwajah cantik sekali
datang dari arah depan Suto dan Dewa Racun. Dua
orang perempuan yang masih muda itu sama-sama
mengenakan pakaian semacam jubah putih dari
bahan kain sutera lembut Rambut mereka lurus
panjang, yang satu sebatas pinggang, satu lagi
sebatas punggung. Rambut itu begitu lembut dan
hitam sehingga ketika dipakai berjalan gerakan
rambut tampak gemulai sekali.
"Sssi... si... Siapa mereka itu?" bisik Dewa Racun
sambil menyentak lembut tangan Pendekar Mabuk.
"Entahlah, kita tanyakan saja siapa mereka!" Baru
saja Suto ingin mendekati langkah mereka, tapi
ternyata mereka sengaja berjalan mendekati
Pendekar Mabuk. Senyum mereka mengembang
dengan sangat indahnya. Begitu menawan hati
sehingga Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-
sama merasakan kebahagiaan yang tak dimengerti
apa artinya.
Satu dari perempuan cantik berhidung mancung
itu membawa gulungan kain merah, seperti angkin
atau kemben. Yang tidak membawa gulungan kain
segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya
yang lembut dan enak didengar,
"Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi...."
Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun. Dewa Racun adalah orang
Puri Gerbang Surgawi, dan ia merasa bukan di dalam
gua itu letak Puri Gerbang Surgawi, melainkan di
Pulau Serindu. Justru kedatangannya menemui Suto
karena Dewa Racun diutus penguasa Puri Gerbang
Surgawi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang mempunyai
nama asli Dyah Sariningrum, untuk membawa
Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi. Tapi
mengapa sekarang perempuan bergaun putih itu
mengatakan: "Selamat datang di Puri Gerbang
Surgawi?"
Sementara Suto dan Dewa Racun saling
terbengong kebingungan, perempuan pembawa kain
gulungan itu menebarkan kainnya. Warna merah
beludru dibentang ke arah jalan selanjutnya.
Gulungan itu kecil, tapi ketika tangan berjari lentik itu
menyentakkan gulungan tersebut, kain merah
beludru menebar panjang dan berjalan sendiri
mengikuti arah jalan berlantai kaca itu.
"Silakan berjalan di atas kain merah ini, jangan
keluar dari atas kain merah," kata perempuan yang
tadi membawa gulungan kain.
Perempuan yang satunya berkata, "Silakan
melangkah Tuan-tuan Pendekar, Gusti Ratu sudah
menanti kedatangan Tuan-tuan Pendekar."
Pendekar Mabuk mengawali langkahnya di atas
bentangan kain merah, Dewa Racun ada di
belakangnya. Dua perempuan itu mengawal di kanan-
kiri mereka, tidak menginjak kain merah bludru. Rasa
penasaran membuat Pendekar Mabuk
memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan
kepada perempuan di sebelah kanannya,
"Siapa kalian sebenarnya?"
"Namaku Sang Wengi, dan yang di sebelah kirimu
itu bernama Sang Ramu."
"Namaku..."
"Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila
Tuak," sahut Sang Ramu dengan cepat. "Dan
temanmu adalah Dewa Racun, yang punya nama asli
Gatra Laksana?!"
"Dari mana kalian tahu namaku dan nama
temanku itu?"
"Gusti Ratu yang memberitahukannya."
"Gusti Ratu siapa?"
"Gusti Ratu Kartika Wangi," jawab Sang Ramu.
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama
hentikan langkah karena kaget dan merasa bingung.
Dewa Racun segera berkata,
"Apa... apa... apakah sekarang penguasa Puri
Gerbang Surgawi sudah diganti?"
Sang Wengi yang menjawab, "Belum. Sebaiknya,
mari kita melangkah lagi. Gusti Ratu jangan sampai
menunggu terlalu lama."
Mereka kembali melangkah dengan diliputi
keheranan yang tiada kunjung reda. Ingin sekali Suto
menanyakan mengapa nama Ratu Puri Gerbang
Surgawi bukan bernama Dyah Sariningrum? Tapi
lidahnya terasa kelu, pikirannya bercampur aduk,
sehingga yang terlontar pelan dari mulutnya hanyalah
sebuah kalimat,
"Tak kusangka di gua indah ini ada penghuninya."
Sang Wengi segera berkata, "Hanya orang-orang
yang bisa mengartikan makna keindahan di dalam
gua ini yang bisa melihat kami."
Suto memperlambat langkah dan menatap wajah
Sang Wengi. Perempuan yang dipandangnya itu
mengatakan,
"Selama ini baru kalian berdua yang bisa
mengartikan apa makna keindahan di dalam gua ini.
Baru kalian berdua yang bisa menjabarkan falsafah
kehidupan yang terpajang sepanjang lorong goa ini.
Dan baru kalian berdua orang yang berhasil
berperang melawan musuh yang paling berat."
"Musuh...? Siapa maksudmu?"
"Nafsu diri sendiri!" jawab Sang Wengi dengan
senyum bijak yang menawan hati. "Kalian berdua
yang telah memenangkan pertarungan dendam di
dalam batin dan jiwa kalian masing-masing."
"Pertarungan dendam?!" Suto menggumam sambil
tetap melangkah. "O, ya. Aku mengerti maksudmu.
Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil
menahan diri agar tidak melampiaskan dendam
kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah
membunuh musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia
telah mati di tanganku."
"Dia telah mati oleh dendamnya sendiri, bukan
oleh tanganmu. Jika dia bisa berperang melawan
dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan
menyerang kamu, dan kekuatannya tidak membalik
mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus
begitu."
"Dari mana kau tahu kalau Kombang Hitam mati
hangus?"
"Kami melihat semua kehidupan yang kami
perlukan dari sini!" jawab Sang Ramu dengan wajah
ceria.
Sang Wengi menyambung kata, "Bagi orang-orang
yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak
mempunyai keindahan sama sekali. Mereka tidak
akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."
Dewa Racun ingin bertanya tentang Puri Gerbang
Surgawi, tetapi mulutnya sudah telanjur terperangah
melihat lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar
yang sangat indah dan megah. Pilar-pilarnya terbuat
dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut dan
sebagainya. Lantainya bagai bentangan kaca lebar
dan luas yang sangat bening dan jernih. Dindingnya
terbuat dari lempengan-lempengan batu putih yang
memancarkan cahaya terang, serupa betul dengan
lempengan intan berukuran lebar dua tombak dan
panjangnya mencapai lima tombak tiap lempengnya.
Itulah sebabnya istana tersebut berpendar-pendar
cahaya menyilaukan, tapi setelah beberapa saat ada
dalam cahaya itu, mata sudah terbiasa memandang
tanpa rasa silau.
Kain merah yang tadi digulirkan itu ternyata sangat
panjang. Kain tersebut sampai ke tengah balairung
istana yang berlangit-langit tinggi dan mempunyai
delapan pilar besar itu. Kain tersebut pecah menjadi
dua bagian, ke kiri dan ke kanan, seolah-olah terpisah
begitu sampai di depan singgasana berlapiskan
batuan putih intan itu.
Orang-orang berwajah cantik seperti Sang Ramu
dan Sang Wengi berdiri menyambut kedatangan Suto
Sinting dan Dewa Racun. Senyum mereka ramah
sekali, sehingga Suto Sinting dan Dewa Racun
merasa damai dan bahagia yang tak bisa dilukiskan.
Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun berdiri terpisah. Suto ke
kanan, Dewa Racun ke kiri. Mereka naik di atas lantai
bundar yang ada di depan singgasana. Tinggi lantai
itu kurang dari setengah jengkal, tapi merupakan
tempat khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang
menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk,
lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun naik ke atas lantai
itu, kain merah sebagai alas berjalan mereka tadi
hilang lenyap begitu saja. Wuuut...!
Muncul pula perempuan-perempuan cantik yang
punya tinggi sama rata dengan pakaian serba kuning
gading. Mereka muncul dari satu pintu yang ada di
lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana yang
bundar itu. Mata Suto dan Dewa Racun memandangi
bagian atas. Rupanya istana itu mempunyai tiga
lantai. Lantai bawah tempat Suto Sinting dan
perempuan berpakaian putih berada, lantai kedua
tempat perempuan-perempuan berpakaian kuning
gading berjajar mengelilingi dengan rapi. Lantai
atasnya lagi, muncul serombongan perempuan
berambut cepak berikat kepala seperti makhota
emas kecil dan menyandang pedang merah di
punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang.
Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis
warna merah, mengenakan tutup dada merah juga,
dan dilapisi rompi panjang sebatas perut berwarna
merah pula. Sepertinya mereka adalah prajurit-
prajurit istana pilihan. Mereka berjajar dengan rapi
seperti yang lainnya.
Terdengar suara bergaung menggema seperti
genta bertalu, Wuung...! Gema itu panjang, tapi tidak
membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan suara
itu, muncul seorang berpakaian serba ungu, termasuk
jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambutnya
disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun
tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan
intan, giwangnya tak terlalu besar tapi jelas terbuat
dari berlian. Perempuan itu cantik, masih muda,
wajahnya oval, atau lonjong, bibirnya ranum indah,
hidungnya mancung, kulitnya putih.
Semua orang dari lantai bawah sampai lantai atas
menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut.
Melihat semuanya begitu, Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun pun ikut-ikutan menunduk dengan satu kaki
berlutut, yaitu kaki kanan, tangan kanan
menggenggam ditempelkan lantai.
"Damai dan sejahtera buat kalian!" terdengar
perempuan yang berdiri di depan singgasana itu
berkata memberi salam. Lalu, mereka kembali
bersikap biasa. Suto dan Dewa Racun pun berdiri lagi.
Rupanya perempuan berpakaian ungu itulah yang
disebut Gusti Ratu Kartika Wangi. Buktinya ia duduk
di dampar kencana berhias batuan intan berlian, lalu
dengan senyum anggunnya ia menyapa Suto Sinting.
"Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi, Suto
Sinting!"
Suto diam saja, tak tahu harus membalas dengan
kata apa. la hanya menundukkan kepala sekejap
tanda menghormat.
"Selamat datang pula Dewa Racun, abdi pilihan,
Duta Terpuji!"
Dewa Racun bingung dikatakan Duta Terpuji. Lebih
bingung lagi ketika ia melihat semua orang yang
mengelilinginya bertepuk tangan menyambut kata:
Duta Terpuji.
"Apa maksudnya, Gusti Ratu? I" tanya Dewa Racun
dengan bahasa yang lancar, tanpa tergagap-gagap.
"Gelar itu untukmu, Dewa Racun! Kau adalah
utusan yang setia menemani Pendekar Mabuk,
membantu tiap ada kesulitan, mengarahkan pandang
pikirannya, dan menenteramkan hatinya jika sedang
gundah. Maka kuanugerahkan kepadamu sebuah
gelar kehormatan: Duta Terpuji!"
"Mohon ampun sebelumnya, Gusti Ratu," kata
Dewa Racun. "Siapa yang mengutus saya sebagai
utusan menjemput Suto Sinting ini sebenarnya, Gusti
Ratu?"
"Aku," jawab Ratu Kartika Wangi. "Aku yang
mengutus kamu melalui mulut putriku, yaitu Dyah
Sariningrum, yang bergelar Gusti Mahkota Sejati,
berkuasa di Pulau Serindu, di Puri Gerbang Surgawi
Nyata!"
Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, "Oooo...
jadi Gusti Ratu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Dyah
Sariningrum dan Betari Ayu. Jadi ternyata ada dua
Puri Gerbang Surgawi, yang nyata dan yang tidak
nyata!"
Tiba-tiba Ratu Kartika Wangi berkata kepada Suto,
"Benar apa kata batinmu, Suto Sinting! Ada Puri
Gerbang Surgawi yang nyata dan yang tidak nyata!"
Terkejut sekali Pendekar Mabuk mendengar
ucapan Ratu. Ternyata kata batinnya bisa didengar
oleh sang Ratu. Tak berani Pendekar Mabuk
membatin hal yang bukan-bukan.
Ratu berkata lagi, "Aku adalah calon ibu
mertuamu, Suto Sinting. Karenanya aku ingin
bertemu denganmu dan memberimu tanda sebagai
orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan
saja, di mana saja kau berada. Aku mengenal jiwamu
yang polos, tegas, berani, dan bijaksana. Aku tahu,
kau sudah siapkan Kitab Wedar Kesuma di
punggungmu untuk mas kawin melamar putriku; Dyah
Sariningrum. Tapi ketahuilah, Suto... karena ke mana-
mana kau selalu membawa kitab itu, maka semua
ilmu dan jurus yang pernah kau pakai telah tertulis
dengan sendirinya di dalam kitab itu!"
Pendekar Mabuk terkejut, tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Sang Ratu pun berkata lagi,
"Aku juga tahu kau menyimpan kasih sayang
kepada putri sulungku, yaitu Betari Ayu. Dia sangat
sayang kepadamu. Tapi dia lebih rela jika kau
mencurahkan segala cinta dan kesetiaanmu kepada
adiknya; yaitu Dyah Sariningrum. Aku melihat
ketulusan hatimu dalam mencintai anakku, Suto. Aku
terkesan dengan keperwiraanmu dan
kependekaranmu. Sebab itu, pejamkan matamu
sebentar, Suto. Juga kau, Dewa Racun, pejamkan
matamu sebentar. Aku ingin memberimu tanda
merah di tengah kening!"
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pejamkan
mata. Lalu, telunjuk Ratu Kartika Wangi diacungkan.
Claap...! Keluar sinar merah jambu dari ujung telunjuk
itu, masuk ke kening Pendekar Mabuk. Demikian juga
dilakukan kepada Dewa Racun. Kini kedua kening itu
telah bertanda merah bulat sebesar biji jagung. Rasa
dingin ketika sinar itu menerpa dahi.
"Buka mata kalian," perintah sang Ratu. "Suto,
angkat telapak tanganmu yang kanan dan hadapkan
kemari!"
Pendekar Mabuk membuka telapak tangannya dan
dihadapkan kepada Ratu Kartika Wangi. Lalu, jari
tengah Ratu Kartika Wangi menunjuk, dan claap...!
Sinar biru melesat dan menancap di telapak tangan
kanan Suto. Sinar biru itu membentuk tato kecil di
tengah telapak tangan Pendekar Mabuk. Tato itu
bergambar pedang kecil yang ujung gagangnya
terdapat bintang segi lima.
Ratu Kartika Wangit berkata kepada Suto, "Nah,
Suto Sinting... tato di tangan kananmu itu adalah
lambang bahwa mulai hari ini, sebagai calon
menantuku yang berhasil memadamkan dendamnya
sendiri dengan kebajikan, maka aku mengangkatmu
sebagai Manggala Yudha Kinasih yang akan menjadi
panglima terdepan dari seluruh jajaran prajurit dan
rakyat Puri Gerbang Surgawi...!"
Prok prok prok...! Mereka bertepuk tangan. Tepuk
tangan itu hilang dan mereka segera memberi hormat
seperti hormat yang dilakukan kepada sang Ratu
Kartika Wangi. Pendekar Mabuk sendiri masih
bingung dan tak tahu harus berbuat apa. la hanya
memandangi orang-orang yang memberi hormat
kepadanya, termasuk Dewa Racun sendiri, dan lama
sekali mereka tidak kembali dalam posisi semula.
Maka, Suto pun segera ucapkan kata menirukan
ucapan Ratu Kartika Wangi tadi,
"Damai dan sejahtera buat kalian...!"
Mereka baru berhenti menghormat, kembali ke
posisi semula. Ratu Kartika Wangi tertawa pelan dari
tempat duduknya.
"Itu ucapan khusus dariku, Pendekar Mabuk. Kau
harus bikin ucapan salam kepada mereka dengan
bahasamu sendiri."
"Maaf, Ibu Ratu, saya belum tahu!"
"Pikirkanlah nanti saja. Yang jelas, kau dan Dewa
Racun sudah menjadi warga Puri Gerbang Surgawi di
bawah kekuasaanku. Jika kau ingin pergi dari sini,
hapuslah keningmu dengan tangan kanan, maka kau
akan berada di alam kasatmata. Demikian juga dari
alam kasatmata ingin masuk kemari, hapuslah
keningmu dengan tangan kanan. Tapi jika ingin
melihat alam kasatmata di tempat lain, untuk
menembus alam siluman atau alam gaib lainnya,
untuk melihat sesuatu yang tak bisa dilihat mata
telanjang, hapuslah keningmu dengan tangan kiri.
Untuk menghilangkannya juga dengan menghapus
kening memakai tangan kiri. Hal yang sama bisa
dilakukan pula oleh Dewa Racun!"
Dewa Racun membungkuk penuh rasa hormat dan
berterima kasih, Suto mengikutinya. Karena
dianggapnya, Dewa Racun lebih banyak tahu tentang
adat bersikap di lingkungan Puri Gerbang Surgawi.
"Tanda warna merah di kening kalian tidak akan
bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali oleh orang-orang
berilmu sangat tinggi, seperti gurumu; si Gila Tuak itu,
Pendekar Mabuk. Dan juga orang-orang kita sendiri
yang bisa melihat tanda merah di kening kalian
berdua."
Dewa Racun membungkuk lagi. Hanya sedikit
gerakannya, dan Pendekar Mabuk mengikuti pula.
Agaknya Ratu Kartika Wangi semakin senang hatinya
melihat sikap hormat Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun.
"Untukmu, Suto..., tanda tato di telapak tangan
kananmu itu memang bergambar pedang kecil
dengan bintang, karena itu simbol dari jabatan dan
kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih; artinya
Panglima Perang yang siap mati demi membela
kebenaran di mana pun juga adanya! Tapi dengan
menyentakkan tenaga dalam yang kau salurkan lewat
telapak tanganmu dalam keadaan terbuka miring,
kau akan bisa melepaskan pisau-pisau gaib yang
jumlahnya bisa ratusan, dan juga bintang-bintang
sebagai senjata rahasia yang jumlahnya juga bisa kau
atur dari napasmu yang tertahan. Jika kau lepas
napasmu maka pisau atau bintang yang keluar dari
telapak tanganmu itu akan berhenti dengan
sendirinya. Adapun untuk jenisnya yang keluar dari
tanganmu itu; apakah pisau atau bintang, tergantung
sentakan napasmu yang pertama. Jika pelan, akan
keluar bintang, jika sentakan napasmu berat akan
keluar pisau. Gerakan kedua benda tersebut tidak
bisa dilihat dan dihindari, kecuali oleh orang-orang
berilmu tinggi. Jurus Itu kunamakan jurus 'Tapak
Manggala', untuk pisaunya, dan untuk bintangnya
adalah jurus 'Tapak Yudha'! Pergunakan dalam
keadaan terpaksa dan sangat berbahaya!"
Pendekar Mabuk membungkukkan badan lalu
berkata, "Terima kasih atas semuanya ini, Ibu Ratu.
Saya tidak keberatan mengemban tugas sebagai
Manggala Yudha Kinasih, yang bertugas membela
kebenaran."
"Aku senang dan terkesan pada kesucian budimu,
juga ketulusan jiwa Dewa Racun dalam menjalankan
tugas sebagai utusan! Untukmu, Dewa Racun, aku
mempunyai hadiah khusus yang mudah-mudahan
kau mau menerimanya!"
Trak trak...! Ratu menjentikkan jari tengah dan
telunjuknya. Lalu dari salah satu barisan perempuan
berpakaian putih itu muncul satu orang yang sudah
tidak asing lagi bagi Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun.
Sang Ramu mendekati Ratu Kartika Wangi,
memberi hormat sebentar lalu berdiri dengan wajah
menunduk. Sang Ratu berkata,
"Dewa Racun, perjalananmu dari Pulau Serindu
dan sampai ke Pulau Hitam selalu diikuti oleh Sang
Ramu ini. Dia tahu kau menyimpan dendam kepada
Melati Sewu akibat kematian Gayanti. Tapi kau bisa
kalahkan dendammu dengan hati yang tulus dan
ikhlas. Sang Ramu sangat berkesan kepadamu dan ia
tertarik untuk menjadi istrimu. Maukah kau menerima
cintanya, Dewa Racun?!"
"Haah...?!" Dewa Racun terbengong kebingungan.
Matanya memandang Pendekar Mabuk bagai minta
pertimbangan. Suatu kerlingan mata dengan senyum
menggoda. Lalu, Dewa Racun berkata kepada Ratu
Kartika Wangi, "Terlalu cantik buat saya, Gusti Ratu.
Kalau ada yang agak jelek sedikit tak apalah...!"
Ratu Kartika Wangi tertawa, demikian pula semua
orang dalam ruang istana yang megah itu tertawa
geli. Sang Ramu pun tertawa tapi tertahan dan
tundukkan kepala. Dewa Racun berkata pelan ke
pada Pendekar Mabuk, "Bodoh amat aku ini kalau
menolaknya...!"
Pendekar Mabuk semakin geli mendengar ucapan
itu.
*
* *
9
SEPERTI Ratu Kartika Wangi, jika ingin keluar dari
alam kehidupannya, cukup dengan mengusap dahi
dengan tangan kanan. Maka Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun pun melakukannya. Begitu mereka
mengusap dahi memakai telapak tangan kanan,
kemewahan istana itu lenyap dalam sekejap. Yang
ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas,
dan air. Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman
hijau menyala.
Tapi suara air semakin jelas didengar oleh mereka.
Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun
melangkah menyusuri lorong tersebut. Semakin
mendekati tempat terang, semakin jelas suara
gemericik air. Langkah Suto dan Dewa Racun
bertambah cepat.
Tiba di sebuah tikungan lorong, langkah Dewa
Racun terhenti. Pendekar Mabuk ikut-ikut berhenti.
Dewa Racun memberi isyarat dengan tangan agar
Pendekar Mabuk merundukkan kepala. Pendekar
Mabuk mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu
yang diintai Dewa Racun dari balik tikungan lorong.
Pendekar Mabuk ikut mengintainya.
"Oh, rupanya gemercik air itu berasal dari kolam
itu!" bisik Suto. Dan Dewa Racun menjawab dengan
suara yang kembali gagap,
"Koo... ko... ko... Kolam Sabda Dewa!"
"Hah...?l Kelihatannya... ya, kelihatannya memang
Kolam Sabda Dewa. Rupanya letak istana Puri
Gerbang Surgawi tak jauh dari Kolam Sabda
Dewa...?!'
Dugaan mereka memang benar. Kolam itu
berbentuk lingkaran yang berair jernih. Ada pancuran
di tengahnya. Pancuran itu berupa curah air dari atas,
tapi tak diketahui sumbernya. Sebab di bagian atas
air yang mengucur ke bawah, terdapat langit-langit
gua yang kering. Sepertinya air itu tidak tercurah dari
atap gua melainkan dari udara bebas tanpa
hambatan benda apa pun.
Sorot matahari masuk dari dua celah yang menjadi
dinding gua retak, dan pintu masuk gua. Keadaan itu
menjadi terang karena sorot matahari. Mulut gua
atau pintu masuk gua terletak sedikit miring ke atas,
dan jalannya becek. Tapi sekeliling kolam yang
bertepian batu-batu bongkahan tanpa tersusun rapi
itu, keadaannya kering tanpa percikan air sedikit pun.
Bahkan tanah itu berkesan tandus dan berdebu.
Di tengah kolam bergaris tengah tiga tombak itu
ada bunga teratai. Hanya satu bunga teratai yang ada
di situ, berwarna ungu. Warna ungu mengingatkan
pakaian Ratu Kartika Wangi, sehingga Pendekar
Mabuk berpendapat,
"Jangan-jangan kolam ini adalah pemandian Gusti
Ratu Kartika Wangi?! Sebab, kalau dihubungkan
dengan langkah kita yang belum mencapai lima puluh
langkah tadi, sepertinya kolam ini berada di belakang
istana, sebagai tempat pemandian Gusti Ratu!"
"Dugaanku pun mengatakan begitu. Tap... tap...
tapi kalau se...."
"Ssst...!" Pendekar Mabuk cepat menepis ucapan
Dewa Racun dan ia berkelebat pergi dari situ,
bersembunyi di balik bongkah batu besar.
"Ad... ad... ada apa?" bisik Dewa Racun. Suto tidak
menjawab hanya menuding ke arah pintu masuk gua.
Dewa Racun pun memandang ke arah sana, dan
matanya segera terkesiap.
Badai Kelabu datang bersama Melati Sewu.
Kedatangan mereka bukan hanya berdua, melainkan
bersama mayat guru mereka, yaitu Kombang Hitam,
alias Manusia Seribu Wajah. Mereka bergotongan
membawa mayat Kombang Hitam yang telah hangus
itu. Sampai di tepi kolam, di tanah yang kering, mayat
yang dibawa memakai usungan bambu itu diletakkan.
Badai Kelabu dan Melati Sewu sama-sama
hempaskan napas dan menghapus keringat di dahi
mereka.
"Kuharap Kolam Sabda Dewa bisa juga dipakai
menghidupkan Guru!" kata Badai Kelabu.
"Aku sangat berharap begitu! Aku lebih baik ikut
mati jika Guru tidak bisa hidup kembali!" kata Melati
Sewu.
"Buatku, Guru adalah bapakku sendiri! Dia yang
menolong aku dari hinaan banyak orang. Cuma dia
yang mau mendekatiku dan memberi makan ketika
aku masih menjadi gadis yang cacat dan jelek rupa!"
"Ya, aku ingat itu!" jawab Melati Sewu.
Dewa Racun berbisik, "Mer... mer... mereka sama-
sama inginkan Guru mereka hidup. Badai Kelabu
punya alasan yang masuk akal, tapi Melati Sewu tidak
memberikan alasan mengapa dia mau ik... ik.. ikut
mati jika gurunya tidak hidup kembali?"
"Entahlah. Yang jelas mereka mau coba-coba
menentang kodrat dengan membawa mayat gurunya
ke kolam itu!"
Dalam hati Suto Sinting pun membatin, "Jika kolam
itu adalah tempat pemandian Gusti Ratu Kartika
Wangi, maka masuknya mayat Kombang Hitam ke
dalam kolam berarti suatu pencemaran air kolam.
Gusti Ratu Kartika Wangi sama saja mandi dengan air
yang dipakai untuk memandikan sesosok mayat. Ini
harus kucegah!"
Maka, tanpa bicara apa-apa kepada Dewa Racun,
Pendekar Mabuk pun segera muncul dari
persembunyian. Waktu itu, Badai Kelabu dan Melati
Sewu ingin menceburkan mayat Kombang Hitam.
Suto cepat berseru,
"Tahan...!"
Badai Kelabu dan Melati Sewu terkejut sekali.
Lebih terkejut lagi setelah ia tahu bahwa Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun ada di situ.
"Suto...?! Oh, bagaimana mungkin kau bisa sampai
di Kolam Sabda Dewa ini?! Kau tahu dari mana jalan
menuju kemari, Suto?!"
"Secara kebetulan saja aku terperosok! Ternyata
lorong sebelah sana itu tembusnya ke sini!"
"Kkka... kalian mau menceburkan mayat ini?"
tanya Dewa Racun.
"Ya!" jawab Melati Sewu. "Sebab kau telah
membunuh guru kami!" Sikap Melati Sewu
bermusuhan kepada Suto. Bahkan semakin jelas
permusuhannya karena ia segera mencabut pedang
dari punggung.
Sreet...! Pedang bergerigi itu terlepas dari
sarungnya.
"Melati Sewu, apa yang ingin kau lakukan?!" Badai
Kelabu mencegah langkah Melati Sewu.
"Aku harus membalas kematian Guru!" katanya
dengan ketus.
"Jangan! Jangan menyerang dia, Melati Sewu!"
Badai Kelabu mencoba menahan, tapi tangannya
dikibaskan oleh Melati Sewu. Tersentak Badai Kelabu
dan jatuh dalam jarak dua tindak dari tempatnya.
"Hutang nyawa balas nyawa, Pendekar Mabuk!"
geram Melati Sewu.
Suto cepat menahan dengan kata-kata, "Melati
Sewu, dia mati karena dendamnya sendiri. Aku tidak
menyerangnya. Kau tahu aku telah mengalah dan
melarikan diri, tapi dia masih memburuku!"
"Tapi karena kesaktianmu itu maka Guru menjadi
tewas!"
Melati Sewu bergerak mendekati Pendekar Mabuk.
Dewa Racun mau bertindak, tapi Pendekar Mabuk
memberi isyarat dengan tangannya agar tak perlu
bertindak. Suto sendiri hanya diam saja, sekalipun
jarak Melati Sewu dengan dirinya sudah tinggal tiga
langkah. Pedang sudah diangkat dan siap ditebaskan.
"Ingat, Melati Sewu...!" seru Badai Kelabu. "Aku
hanya setuju jika Guru dihidupkan kembali, tapi tidak
setuju jika kau membalas kematian Guru.
Bagaimanapun juga, Guru yang salah dalam hal ini!"
"Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh,
Badai Kelabu!"
"Cobalah!" teriak Badai Kelabu. "Jangan kau
menyerang Pendekar Mabuk, tapi seranglah aku!
Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut
kematian Guru!"
"Jangan membuat permusuhan denganku, Badai
Kelabu!"
"Aku tidak membuat permusuhan denganmu! Aku
cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Suto!"
"Dan tak perlu menentang kodrat dengan
menghidupkan Guru kalian!" sambung Suto menyahut
kata.
"Guru harus hidup!" teriak Melati Sewu. "Guru
harus hidup lagi! Dan kau harus kubunuh, Sutooo...!"
sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki,
melompat dengan pedang mengarah ke dada
Pendekar Mabuk. Tetapi mendadak gerakannya
berubah arah.
Heeegh...! Badai Kelabu melepaskan pukulan jarak
jauhnya, tepat mengenai pinggang Melati Sewu.
Pukulan itu begitu berat dan keras, sehingga Melati
Sewu tersentak dan oleng ke samping, Suto sendiri
cepat melompat menghindari tebasan pedang
bergerigi.
Wuut...!
Bruuk...! Melati Sewu jatuh telentang. Badai
Kelabu segera lompatkan tubuh dan hendak
menjejakkan kakinya ke dada Melati Sewu. Tapi
tubuh itu segera tersentak dan mental. Rupanya Suto
berkelebat cepat menyambut tubuh Badai Kelabu;
membawanya ke tepi dinding,
"Kenapa kau larang aku menghajarnya?! Dia mau
membunuhmu!" sentak Badai Kelabu kepada
Pendekar Mabuk dengan hati dongkol sekali.
"Kalian satu perguruan. Tak baik saling
bermusuhan!"
"Tapi dia menuntut kematian Guru, Suto! Dia
inginkan nyawamu juga!" Badai Kelabu semakin keras
bicaranya.
Tanpa setahu Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu,
Melati Sewu telah bangkit dan segera menerjang
dengan pedangnya.
"Mampuslah kalian berdua Hiaaat...!"
Dewa Racun segera melompat dengan sentakkan
kaki pelan tapi menghasilkan gerakan cepat. Wuut...!
Plaaak...! Kakinya menendang pergelangan tangan
Melati Sewu. Setelah itu, Dewa Racun segera
melompat menjauhinya. Pedang di tangan Melati
Sewu telah terpental ke seberang kolam. Gerakannya
terlihat oleh Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu.
Pedang itu terbang melayang dan menembus
curahan air di tengah kolam. Tiba-tiba, claap...!
Pedang itu lenyap tak berbekas sedikit pun.
"Jahanam kau!" geram Melati Sewu kepada Dewa
Racun begitu tahu pedangnya lenyap secara gaib. la
segera melompat menyerang Dewa Racun bagai
singa betina yang buas. Wuus...!
Dewa Racun tak mau menghadapi serangan itu. la
melompat menjauhi. Melati Sewu mendarat di tempat
yang kosong. la menggeram dengan mata
memandang tajam kepada Dewa Racun. Napasnya
terengah-engah dibakar amarah karena pedangnya
hilang.
la segera bergegas mengangkat mayat Kombang
Hitam untuk diceburkan ke dalam kolam tersebut.
Tapi secara ajaib air kolam menjadi surut. Gemercik
air yang tercurah dari atas tanpa tahu di mana letak
sumbernya itu menjadi padam. Kolam cepat menjadi
kering kerontang tanpa setetes air pun kecuali tanah
berlubang besar yang dalamnya antara satu ukuran
tombak. Tanpa air, tanpa kelembaban. Hanya ada
bebatuan dan kerak lumut kering di bagian dasarnya.
Hai itu membuat Melati Sewu menjadi semakin
marah.
"Tidak! Tidaaaaak...! Guru harus hidup! Guru harus
dimandikan ke dalam Kolam Sabda Dewa ini! Oh,
mana airnya...? Mana airnya?!"
Dewa Racun diam saja di seberang sana,
memandangi Melati Sewu yang menangis terisak-
isak. Suasana menjadi sepi beberapa kejap, hanya
tangis Melati Sewu yang terdengar di dalam gua itu.
"Mengapa dia sampai begitu menderitanya
terhadap kematian Guru?" pikir Badai Kelabu.
"Apakah... apakah Guru itu adalah ayahnya?"
Heningnya suasana membuat Melati Sewu segera
sadar dari tangisnya. la telah kehilangan pedang,
kehilangan gurunya dan kehilangan sebentuk
harapan dari Kolam Sabda Dewa itu. Sepertinya ada
sesuatu yang selama ini dipendamnya di dalam hati
dan tak ada tempat untuk mencurahkannya.
Sekarang inilah saatnya mencurahkan isi hatinya itu,
dengan membakar kebenciannya kepada Suto, dan
membulatkan tekadnya untuk membunuh Suto.
"Biadab kau, Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku
atau kubunuh kau dengan seluruh ilmuku!"
Badai Kelabu mencoba menenangkan amukan
Melati Sewu dengan berkata,
"Melati Sewu..., kenapa kau masih belum mau
menyadari kesalahan Guru kita itu?! Akuilah bahwa
beliau memang terlalu mengumbar nafsu dan
dendamnya. Jangan salahkan Pendekar Mabuk!"
"Aku tidak bicara padamu murid murtad! Aku
bicara pada Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku!
Cepaaat...!'
Dengan tenang Pendekar Mabuk menanggapinya.
"Kenapa kau berkeras hati agar gurumu tetap hidup,
Melati Sewu? Ada apa di balik niatmu? Katakanlah
alasanmu, kalau jelas alasanmu, aku akan berusaha
sebisakul Katakan alasanmu, Melati Sewu!"
"Karena aku tak mau anakku nanti lahir sebagai
anak tanpa Ayah!"
"Ooh...?I" Badai Kelabu tersentak kaget, bahkan
sempat terpekik. Matanya mendelik mulutnya
ternganga. "Ja... jadi... kau...?!"
"Iya! Aku hamil, gurulah yang menanam benih ini di
dalam kandunganku! Aku tak mau anakku lahir tanpa
Ayahl Guru harus hidup, supaya... supaya... anakku
lahir dengan memiliki Ayah...!" Melati Sewu menangis
terisak-isak. Badai Kelabu ingin mendekat, tapi ia
justru terkena tendangan Melati Sewu. Untung hanya
lengannya saja.
"Guruuu...!" Melati Sewu segera menangisi
Kombang Hitam. Memeluk mayat yang telah hangus
itu. "Kita akan mandi di kolam keramat ini bersama-
sama, Gurul Kita akan mandi bersama supaya bisa
hidup bersama, Guru...!"
"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu ketika
melihat Melati Sewu mengangkat mayat gurunya, lalu
menceburkan diri ke dalam kolam yang menurut
penglihatannya masih berair jernih itu. Bluuss...!
"Ooh...?!" pekik Badai Kelabu.
"Dia hilang! Dia... dia... dia dan mayat Guru hilang,
Suto!"
Tertegun Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
melihat kegaiban dari Kolam Sabda Dewa. Kolam itu
kering, tapi ketika tubuh Melati Sewu dan mayat
Kombang Hitam masuk ke dalamnya, mereka lenyap
tak berbekas. Pendekar Mabuk hanya bisa berkata,
"Mungkin mereka ditelan oleh suratan takdir yang
tak bisa ditentang siapa pun!"
Badai Kelabu menangis dalam pelukan Pendekar
Mabuk, dan Pendekar Mabuk memberinya
ketenangan dalam pelukan seorang sahabat.
SELESAI
Ikuti kelanjutan kisah ini!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode:
TUMBAL TANPA KEPALA