..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 21 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PERANTAUAN KE TANAH INDIA

matjenuh

 

PERANTAUAN KE TANAH INDIA 
oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekat Naga Putih 
dalam episode: Perantauan ke Tanah India

128 hal ; 12 x 18 cm 


SATU


Dua sosok bayangan bergerak mengendap-endap menerobos keremangan malam. 
Yang dituju adalah bagian belakang sebuah bangunan besar berbentuk istana. Mereka 
terus bergerak mendekati sebuah gerumbulan semak-semak. 
"Kise waha (siapa di situ)?" 
Tiba-tiba terdengar sebuah suara bertanya dari dalam gerumbulan semak-semak, 
membuat sosok bayangan itu serentak menahan langkah. Sebentar mereka saling bertukar 
pandang. 
"Basera (keluarga)!" jawab salah satu sosok bayangan dengan nada agak ditekan. 
Jawaban itu sepertinya adalah kata sandi, yang digunakan untuk mengetahui apakah 
yang datang kawan atau lawan. 
Suasana hening sejenak. Sesaat kemudian, dari dalam gerumbul semak 
berloncatan empat sosok bayangan dan langsung menyambut kedatangan dua sosok itu. 
"Me sat (ikut aku)! Batsa (raja) memang sudah menunggu-nunggu kedatangan kalian," 
kata salah satu dari empat penyambut. Nadanya terdengar ramah. 
Dua pendatang itu sama-sama mengeluarkan gumaman tak jelas, namun nadanya 
terkesan meremehkan. 
Sementara empat orang penyambut buru-buru menyisi, saat dua pendatang itu 
melangkah menuju gerumbutan semak. Kemudian, barulah mereka mengiringi dengan 
menjaga jarak. Dan mereka semua terus menerobos gerumbulan semak dan menghilang di 
dalamnya. 
Di balik gerumbulan semak, ternyata berupa sebuah gua kecil yang tersembunyi. 
Dan gua itu sebenarnya adalah terowongan rahasia yang menuju ke dalam salah satu 
bangunan istana. Jarang ada yang tahu jalan rahasia itu, kecuali orang-orang tertentu dan 
merupakan kepercayaan raja. 
"Tuan-tuan silakan menunggu di ruangan ini. Me (aku) akan melaporkan kedatangan 
Tuan-tuan kepada Batsa," ujar lelaki berwajah galak, yang mengantarkan dua orang tamu 
ini ketika mereka telah tiba di salah satu ruangan dalam istana. 
Dua tamu itu tidak menjawab, dan hanya mengangguk tipis dengan sikap angkuh. 
Tapi lelaki berwajah galak, yang merupakan orang kepercayaan raja, tidak ambil peduli. 
Tubuhnya sudah berputar meninggalkan tempat ini. 
*** 
Lelaki bertampang galak ini kini sudah kembali bersama dua lelaki tua yang 
mengapit seorang lelaki berusia empat puluh tahun dengan kumis dan jenggot tercukur 
rapi. Raut wajah dan sorot matanya menunjukkan perbawa kuat. Sehingga membuat 
orang akan enggan untuk lama-lama menatapnya. Hal itu tidak heran karena lelaki 
setengah baya ini adalah Raja Godwana, sang penguasa Kerajaan Mahadur. 
"Aha! Nameste (ucapan salam ketika bertemu) Raj Badur, Raj Sagar!" sambut Raja 
Godwana seraya mengembangkan kedua lengan sambil tersenyum lebar. "Bagaimana?" 
Raja Godwana memandang wajah dua tamu yang ternyata Raj Badur dan Raj 
Sagar, dua tokoh sesat dari India Selatan. Merekalah yang telah berhasil menipu Pendekar 
Naga Putih dengan menyamar sebagai pendeta, hingga memperoleh Sepasang Intan Biru, 
dan membawanya pulang ke negeri India (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: 
Sepasang Intan Biru). 
"Hamba berdua sudah berhasil memperolehnya, Paduka," jawab Raj Badur, 
mewakili. 
"Kahe... kahe (bagus)! Cepat berikan padaku!" 
Raja Godwana semakin berseri wajahnya. Tangannya diulurkan untuk menerima 
Sepasang Intan Biru. 
"Tapi..., bagaimana dengan hadiah yang Paduka janjikan untuk kami berdua?" 
tanya Raj Badur terdengar ragu-ragu. Wajahnya membayangkan kekhawatiran yang tidak 
bisa disembunyikan.

Begitu juga Raj Sagar. Apalagi mereka menyadari kalau saat ini berada di dalam 
kandang macan. Dan dikhawatirkan, jika Sepasang Intan Biru sudah berada di tangan 
Raja Godwana, keselamatan mereka tidak akan terjamin. 
"Ha ha ha...!" 
Keraguan serta kecemasan Raj Badur dan Raj Sagar membuat Raja Godwana 
terbahak. 
"Bukan sifatku untuk mengingkari janji yang pernah kuucapkan, Raj Badur dan 
Raj Sagar! Hadiah pasti akan kalian terima. Apalagi, kalian berdua memang pantas 
dijadikan Guru Negara. Kecemasan kalian sama sekali tidak beralasan. Nah! Sekarang, 
serahkan Sepasang Intan Biru itu kepadaku." 
"Lalu..., kapan pengangkatan kami berdua akan diumumkan, Paduka?" tanya Raj 
Badur masih juga menaruh curiga. Sementara Sepasang Intan Biru belum diserahkan. 
"Yang pasti tidak bisa malam ini, Raj Badur," sahut Raja Godwana, dengan senyum 
mulai samar. Rupanya sikap Raj Badur telah membuatnya agak gusar. "Tapi besok 
upacara pengangkatan kalian akan segera kupersiapkan." 
"Kalau begitu, malam ini kami menginap?" tanya Raj Badur, meminta ketegasan. 
"Tentu saja," tukas Raja Godwana. Aku sudah menyiapkan bandh (kamar) untuk 
kalian berdua." 
Raj Badur menoleh kepada Raj Sagar, kemudian kembali kepada Raja Godwana 
seraya memasukkan tangannya ke balik pakaian. 
Baik Raj Badur maupun Raj Sagar saat itu sudah tidak mengenakan pakaian 
pertapa lagi. Keduanya telah melepaskan penyamaran, setelah kembali ke Tanah India. 
Raja Godwana sampai terbeliak, sewaktu Raj Badur menyerahkan Sepasang Intan 
Biru ke atas dua telapak tangannya. Kemilau cahaya biru yang indah gemerlap, benar-
benar membuatnya ternganga takjub. Demikian pula tiga orang kepercayaannya. Sehingga, 
sampai beberapa saat mereka tidak mampu berkata apa-apa. Demikian menakjubkan 
pesona Sepasang Intan Biru, sehingga membuat mereka seperti terkena pengaruh sihir 
saja. 
*** 
Raj Badur dan Raj Sagar yang berada di dalam kamar bersisian, sama-sama tidak 
bisa memicingkan mata. Kenyamanan tempat tidur yang indah dan harum berlapis sutera 
halus, ternyata tidak dapat dinikmati. Berkali-kali keduanya bergulir ke kiri-kanan, 
sesekali ditingkahi desah napas gelisah. Sepertinya, mereka sudah tidak sabar menunggu 
hari esok. 
Tengah termenung resah sambil menatap langit-langit kamar, tiba-tiba saja telinga 
Raj Badur mendenngar sesuatu yang mencurigakan. Bergegas, ditiupnya penerangan di 
dalam kamar. Maka seketika ruangan menjadi gelap. Lalu dengan hati-hati dan tanpa 
menimbulkan suara, ia bergerak turun dari atas pembaringan, setelah menyusun bantal 
dan diselimuti hingga menyerupai orang tidur lelap. Sedang, ia sendiri sudah berjingkat 
mendekati jendela. 
Tapi alangkah terkejutnya hati Raj Badur, merasakan adanya suara mendesis 
halus, yang disusul bau harum memabukkan. Saat itu juga, sadarlah Raj Badur bahwa 
ada orang sengaja meniupkan asap beracun ke dalam kamarnya. 
"Keparat busuk...!" dengus Raj Badur, menggeram gusar. 
Tanpa, berpikir dua kali, lelaki ini menerjang pintu jendela kamar hingga pecah 
berantakan. Tubuhnya langsung melesat keluar, menjatuhkan diri dan bergulingan di atas 
tanah. Namun, belum lagi sempat melompat bangkit, dari kiri-kanannya terdengar suara 
mendesing senjata tajam ke arahnya. Tentu saja Raj Badur semakin terkejut dan gusar 
bukan kepalang. 
"Bangsat tengik!" maki Raj Badur kalang-kabut. 
Secepat sambaran kilat, tubuh Raj Badur melesat ke udara. Gerakan itu masih 
dibarengi kembangan dua lengannya ke kiri dan kanan, disertai bentakan kemarahannya. 
Empat sosok-bayangan yang membokong Raj Badur dari kiri-kanan terdengar sama 
mengeluarkan pekikan kaget. Kibasan kedua lengan Raj Badur ternyata berisi tenaga 
dalam tinggi. Sehingga, empat batang senjata yang digunakan untuk menyerang, terasa 
seperti tertahan dinding kokoh! Bahkan kemudian menyentakkan lengan mereka ke 
belakang. Akibatnya tubuh mereka nyaris terpelanting mencium tanah.

Tapi keempat penyokong itu ternyata terlatih dengan baik. Bahkan dapat menahan 
dorongan tenaga kibasan lengan Raj Badur, sehingga dengan cepat mereka kembali 
mempersiapkan serangan berikut. 
Rupanya, bukan Raj Badur saja yang mengalami kejadian itu. Raj Sagar pun tidak 
luput dari ancaman maut. Tidak berapa jauh dari arena pertarungan, Raj Sagar tampak 
tengah dikeroyok empat orang lawan. Yang rata-rata berkepandaian tinggi. 
Setelah belasan jurus bertarung, Raj Sagar mulai terdesak hebat. Bahkan beberapa 
jurus berikutnya, salah satu pengeroyok berhasil menyarangkan senjata menusuk mata 
kanan Raj Sagar. 
Crap! 
"Aaa...!" 
Raj Sagar meraung setinggi langit, namun masih sempat membarengi dengan 
sebuah pukulan maut. 
Des! 
Pukulan maut Raj Sagar berhasil menggedor dada orang yang menyerangnya 
hingga terpelanting deras. 
Raj Sagar kini terhuyung sambil menekap mata kanannya yang mengucurkan 
darah. Sementara orang yang melukainya menggeloso tewas dengan dada hangus. 
Rupanya dalam kemarahannya, Raj Sagar telah mengeluarkan 'Ilmu Tapak Api' yang 
dahsyat dan mengerikan. Hanya sekali pukul saja, dapat membuat nyawa lawan melayang 
ke akhirat. 
"Raj Sagar, lari...!" 
Teriakan Raj Badur terdengar, selagi Raj Saga menyiapkan jurus-jurus mautnya. 
Kalau saja Raj Badur tidak terlihat sudah terluka kehilangan lengan kirinya belum tentu 
Raj Sagar mau mendengarkan teriakan rekannya. Maka setelah melepaskan pukulan jarak 
jauh yang menerbitkan hawa panas membakar, tubuh Raj Sagar segera melesat mengikuti 
Raj Badur. 
Sedangkan Raj Badur sendiri sudah meninggalkani lawan-lawannya, setelah 
melemparkan segenggam daun pohon, yang dijadikan sebagai senjata-senjata rahasia 
mematikan. Bahkan seorang lawan telah terpelanting tewas dengan tiga helai daun 
menancap di keningnya. 
"Kejar...!" teriak salah seorang pengeroyok. "Jangan biarkan pemberontak-
pemberontak busuk itu sampai meloloskan diri!" 
Tapi Raj Badur dan Raj Sagar sudah tidak mempedulikan lawan-lawannya lagi. 
Mereka terus berlompatan melalui atap-atap bangunan. 
Ketika berlarian di atas pagar yang mengelilingi bangunan istana dan melihat riak 
air di bawahnya, tanpa pikir panjang lagi Raj Badur dan Raj Sagar segera melompat. 
Istana Kerajaan Mahadur memang terletak di dekat tepi Sungai Jumna. Ke dalam 
sungai itulah kedua tokoh sesat ini terjun dalam upayanya meloloskan diri dari kejaran. 
Mereka khawatir kalau Raja Godwana keburu mengerahkan prajurit-prajurit untuk 
mengeliling seluruh penjuru istana. Untungnya Raja Godwana terlalu memandang remeh 
Raj Badur dan Raj Sagar. Sehingga hanya mengerahkan beberapa jago-jago andalan saja 
untuk melumpuhkan mereka. 
*** 
Dua sosok tubuh tampak tengah bergerak mendaki salah satu lereng Pegunungan 
Windiya. Pegunungan panjang yang membujur dari barat ke timur, memisahkan India 
Utara dan selatan. Lereng gunung ini sebenarnya sangat sukar didaki. Tapi dua sosok 
tubuh itu tampaknya merupakan pengecualian. Meskipun dengan langkah tidak tetap, 
namun mereka dapat menempuh perjalanan yang sukar itu. Sampai akhirnya, mereka 
sampai di sebuah lembah. 
"Hm.... Besar sekali nyali kalian masih juga berani datang menemuiku?" 
Begitu dua sosok itu berada di depan sebuah gubuk kecil yang reot, terdengar 
teguran yang suaranya seperti kaleng dipukul. 
Dua sosok yang ternyata Raj Badur dan Raj Sagar langsung saja menjatuhkan diri, 
berlutut di atas tanah menghadap ke arah pintu gubuk. Padahal saat itu jarak mereka 
dengan gubuk masih terpisah sekitar enam tombak. Tapi, suara seperti kaleng dipukul tadi 
terdengar jelas, seolah orangnya berada di dekat mereka. Jelas, betapa dahsyatnya

kekuatan tenaga dalam si pemilik suara. Wujudnya belum nampak, namun suaranya 
sudah terdengar. 
"Ampuni kami jika memang telah membuat dosa yang tidak disengaja, Guru. Jika 
Guru berkenan, jelaskanlah kepada kami. Agar kami tahu, kesalahan apa yang telah kami 
lakukan hingga membuat Guru murka," ucap Raj Badur dengan suara terengah. 
Wajah lelaki ini tampak pucat sekali. Karena di samping merasa takut mendengar 
kemarahan dalam suara gurunya, ia pun dalam keadaan terluka. Sebelah tangannya telah 
hilang akibat ditipu mentah-mentah oleh Raja Godwana. 
Di sebelah kiri Raj Badur, tampak Raj Sagar yang berlutut dengan sebelah tangan 
menekap mata kanan. Dari celah-celah jari tangannya tampak darah mengalir bercampur 
nanah. Bisa diperkirakan kalau luka pada mata kanan Raj Sagar nampaknya malah 
bertambah parah. 
Begitu juga lengan kiri Raj Badur. Bekas luka di tangannya tampak membengkak 
dan dikerumuni lalat, karena sudah mengeluarkan bau busuk yang memualkan perut. 
Luka itu tidak kering tapi basah dan mengandung nanah. Dan melihat dari raut wajah 
mereka, tampak jelas kalau luka itu membuat Raj Badur dan Raj Sagar sangat menderita. 
Dua tokoh sesat dari India Selatan ini masih herlutut dengan kepala tertunduk, 
ketika terdengar derit daun pintu yang dibuka. Mereka masih juga belum berani 
mengangkat kepala, saat penghuni gubuk keluar dan melangkah. 
"Jadi, kalian tidak tahu?" 
Dalam pertanyaan penghuni gubuk yang ternyata seorang nenek kurus, bongkok, 
dan berwajah buruk, terkandung nada ancaman. Sehingga, tubuh Raj Badur dan Raj 
Sagar menjadi gemetar. 
"Nehi malum (tidak tahu), Guru..." 
Raj Badur dan Raj Sagar sama-sama menggeleng seraya menjunjung telapak 
tangan masing-masing, yang dirangkapkan di atas kepala. 
"Hi hi hi...!" 
Nenek bongkok berwajah buruk itu memperdengarkan tawa sember dan 
menyakitkan gendang telinga, membuat Raj Badur dan Raj Sagar semakin ketakutan. 
Bahkan sekujur tubuh mereka telah dibanjiri keringat dingin. 
Rasa takut yang dialami Raj Badur dan Raj Sagar memang tidak mengherankan, 
sebab nenek bongkok berwajah buruk yang menjadi guru mereka itu adalah salah satu 
tokoh sesat berwatak aneh dan berdarah dingin. Nama besar dan kekejamannya sudah 
sangat terkenal di seluruh India Selatan. Dengan julukan Ratu Iblis Tangan Darah, ia 
merupakan momok paling menakutkan bagi seluruh tokoh silat di kawasan India Selatan. 
Untungnya Ratu Iblis Tangan Darah lebih banyak bertapa di tempat tinggalnya, sehingga 
kaum rimba persilatan di kawasan India Selatan, khususnya kaum golongan putih, merasa 
agak lega. Meskipun begitu, tetap saja terkadang ada rasa cemas. Karena Ratu Iblis 
Tangan Darah bisa saja muncul sewaktu-waktu. Dan setiap kemunculannya, sudah pasti 
tangannya akan berlumur darah. 
Selain itu, Ratu Iblis Tangan Darah ternyata seorang tokoh berwatak sangat ganjil. 
Tangan kejinya tidak akan segan-segan diturunkan terhadap siapa saja tidak peduli kawan 
atau lawan. Bahkan, terhadap murid-muridnya sekalipun! 
Raj Badur dan Raj Sagar kenal betul watak gurunya. Itu sebabnya, mengapa 
mereka sangat ketakutan begitu mendengar nada kemarahan dalam suara Ratu Iblis 
Tangan Darah. 
"Khuda kasam (sumpah demi Tuhan), Guru," kata Raj Badur dan Raj Sagar sambil 
membentur-benturkan keningnya ke tanah. 
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam hal ini Raj Badur! Kau tidak pantas 
menyebut-nyebut nama-Nya, tahu!" hardik Ratu Iblis Tangan Darah, membuat Raj Badur 
dan Raj Sagar sampai terjingkat. 
"Mera tujhe (maafkan aku), Guru...." 
Raj Badur menyembah-nyembah dengan tubuh menggigil. Sementara Raj Sagar 
semakin menundukkan kepala dalam-dalam, hingga nyaris menyentuh tanah. 
"Acca (baik)," kata Ratu Iblis Tangan Darah sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
"Hatse kaho (sekarang katakan)! Mana Sepasang Intan Biru yang kudengar telah jatuh ke 
tangan kalian itu?" 
"Batsa telah mengambilnya dari kami dengan cara sangat licik, Guru," tukas Raj 
Badur tanpa berani mengangkat kepala.

"Semula Batsa berjanji hendak memberi kami kedudukan sebagai Guru Negara, 
apabila dapat membawa Sepasang Intan Biru itu. Tapi nyatanya, Batsa ingkar. Malah kami 
berdua hendak dibunuh demi meenjaga rahasia keberadaan Sepasang Intan Biru di 
tangannya. Untung, kami berhasil menyelamatkan diri," tambah Raj Sagar buru-buru 
ketika Raj Badur terdiam. 
"Hih hih hih...!" 
Ratu Iblis Tangan Darah malah terkekeh-kekeh dengan kepala menengadah. Saat 
itu, matahari sudah naik semakin tinggi. Sinarnya memancar garang, seolah hendak 
menghanguskan seluruh penghuni bumi. 
"Kalian benar-benar anari (bodoh) dan memalukan!" Ratu Iblis Tangan Darah 
mengakhiri tawanya dengan kata-kata penuh ejekan. 
"Sebagai Guru kalian, aku merasa malu! Bagaimana mungkin murid-murid Ratu 
Iblis Tangan Darah sampai bisa ditipu orang mentah-mentah, sekalipun orang itu adalah 
Batsa!." dengus wanita berwajah buruk itu. 
"Itulah sebabnya, mengapa kami berani datang menemui Guru," timpal Raj Badur 
merasa mendapat angin. 
"Dengan menipu kami, itu sama artinya Batsa tidak memandang muka Guru," 
tambah Raj Sagar sengaja nama gurunya dilibatkan agar mau membalaskan sakit hatinya 
terhadap raja. 
"Bagus kalau kalian mengerti." 
Wajah buruk Ratu Iblis Tangan Darah menyunggingkan senyum dingin. 
"Nah, hatse (sekarang) kuperintahkan kepada kalian berdua untuk mengambil 
kembali Sepasang Intan Biru itu di tangan Batsa! " lanjut Ratu Iblis Tangan Darah, 
membuat paras Raj Badur dan Raj Sagar seketika menjadi pucat pasi! 
"Tapi, Guru...,'' elak Raj Badur terputus. Wajahnya yang pucat diangkat. 
Raj Sagar juga ikut mendongak. Mereka sama-sama memandang wajah Ratu Iblis 
Tangan Darah dengan sorot mata penuh pertanyaan. 
"Turut perintahku, atau kupecahkan kepala kalian sekarang juga!" tukas wanita 
berwajah buruk ini masih dengan bibir menyunggingkan senyum dingin. 
Raj Badur dan Raj Sagar buru-buru menundukkan kepala kembali. Dari sorot mata 
wanita itu, mereka maklum kalau perintah barusan sudah tidak bisa ditawar lagi. Tidak 
ada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengangguk meski dengan hati penuh penasaran. 
"Enyahlah sebelum pikiranku berubah!" 
Ratu Iblis Tangan Darah mengibaskan pergelangan tangannya perlahan. Tapi, 
akibatnya bagi Raj Badui dan Raj Sagar sungguh mengejutkan. Tubuh mereka kontan 
terangkat naik walau masih dalam sikap bersujud. Bahkan mereka langsung terlempar 
deras, jatuh bergulingan sejauh hampir tiga tombak! 
Sungguh sukar dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga dalam Ratu Iblis Tangan 
Darah. Baru menggerakkan pergelangan tangan perlahan saja, sudah sedemikian hebat 
akibatnya. 
Meskipun telah diperlakukan demikian, begitu dapat menguasai diri masing-
masing, Raj Badur dan Raj Sagar kembali berlutut. Sementara, Ratu Iblis Tangan Darah 
sudah bergerak menuju gubuknya. Baru setelah nenek bongkok itu lenyap di balik pintu, 
Raj Badur dan Raj Sagar bergegas meninggalkan tempat ini. 
"Haruskan kita menuruti perintah gila itu, Raj Badur?" tanya Raj Sagar ketika telah 
tiba di kaki gunung. 
"Apakah kau sudah bosan hidup, Raj Sagar?" Raj Badur malah balik bertanya. Tapi 
kata-kata itu jelas menunjukkan bagaimana sikap Raj Badur. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika Guru sampai mendengar bahwa 
kita tidak mematuhi perintahnya, beliau pasti akan mencari-cari kita, Raj Badur," ungkap 
Raj Sagar. 
"Kita sembunyi saja di markas pasukan Ardhana. Mudah-mudahan beliau 
memaklumi kegagalan usaha kita," kata Raj Badur seraya meringis menahan rasa sakit 
pada lengan kiri. Bekas luka bacok yang membuat lengannya putus sebatas siku, tampak 
kembali meneteskan darah bercampur nanah. Demikian pula Raj Sagar. Rongga mata 
kanannya yang menggembung kembali mengeluarkan darah bercampur nanah, 
menimbulkan bau busuk.

DUA


"Aya mubarak (selamat datang) di Tanah India, Pendekar Naga Putih," 
 Di Bandar Teluk Benggala, seorang gadis berlari, menyambut seorang pemuda 
berpakaian serba putih yang dipanggil Pendekar Naga Putih. 
"Nameste... nameste, "lanjut gadis itu, seraya membungkuk dengan sikap sungguh-
sungguh dan bibir tersenyum. 
Demikian sungguh-sungguh gadis ini berlagak, seperti sedang menyambut seorang 
sahabat yang berkunjung ke negerinya. Sehingga mau tidak mau pemuda tampan yang 
memang Pendekar Naga Putih itu tersenyum geli melihat sikapnya. 
Dan kesungguhan gadis ini membuat Panji buru-buru menyembunyikan 
senyumnya, kemudian membungkuk. Dibalasnya penyambutan itu. 
"Nameste..., nameste, Nagina," kata Panji seraya memasang senyum seperti 
lagaknya seorang pelancong sungguhan. "Kalau tidak salah, bukankah saat ini me berada 
di Bandar Teluk Benggala?" 
Panji mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil mengangguk-angguk. Seolah ia 
tengah mengagumi sekitar tempat itu. 
Mendengar Pendekar Naga Putih menggunakan kata-kata yang diajarkannya 
selama dalam perjalanan, mau tidak mau gadis yang ternyata Nagina menjadi geli. Karena, 
logat pemuda ini terdengar kaku dan lucu. Apalagi, Panji seolah-olah telah mengetahui 
nama tempat itu. Padahal, Naginalah yang memberitahukan, sewaktu kapal hendak 
berlabuh di dermaga. Maka, meledaklah tawa gadis itu tanpa dapat ditahan lagi. 
Bahkan, Badundy, pembantu setia Nagina yang menyertai mereka juga terbahak 
sambil memegangi perut. 
Pendekar Naga Putih sendiri hanya tersenyum kecut, tapi akhirnya tawanya pun 
meledak, malah paling keras, menindih suara tawa Nagina dan Badundy. Maka kini ganti 
gadis itu dan pembantunya yang keheranan dan saling bertukar pandang satu sama lain. 
"Mengapa kau ikut-ikutan tertawa, Panji?" tanya Nagina, ingin tahu apa yang 
membuat Pendekar Naga Putih tertawa sedemikian keras. 
"Eh! Jadi, di negeri ini orang asing tidak boleh tertawa?" Pendekar Naga Putih 
malah balik bertanya dengan raut wajah lucu. "Atau..., cara tertawaku salah?" 
"Tidak... tidak," kata Nagina menggeleng sambil menahan senyumnya. "Dan cara 
tertawamu juga tidak salah. Cara tertawa di Tanah India maupun di Tanah Jawa sama 
saja." 
"Ah! Kalau cara tertawaku sudah betul, aku mau melanjutkannya lagi... " 
"Cukup..., cukup," cegah Nagina buru-buru sewaktu melihat Pendekar Naga Putih 
siap melanjutkan tawanya. "Bisa-bisa kita dikira palki diwana (orang gila)," 
Buru-buru gadis ini menyeret Pendekar Naga Putih untuk segera meninggalkan 
bandar itu. Karena sikap mereka telah mengundang perhatian orang-orang di sekitar 
bandar. 
"Ye kaha agee ham (ke mana kita akan pergi)?" tanya Panji dengan terpatah-patah, 
membuat Nagina kembali tersenyum geli. 
"Prem Nagar" jawab Nagina asal jadi seraya menahan senyum. 
"Tempat macam apa itu?" tanya Panji lagi dengan kening berkerut. Sementara 
Nagina cuma menoleh sekilas dan tersenyum tanpa menghentikan langkahnya. 
"Prem Nagar itu artinya Desa Cinta. Dan itu hanya bisa-bisanya Nona Nagina saja," 
Badundy yang menjelaskan, sambil memandang Pendekar Naga Putih dengan senyum 
menggoda. 
"Hussy...!" hardik Nagina pada Badundy yang buru-buru menutup mulut dengan 
telapak tangan, walau kikiknya masih terdengar. Badundy tidak bisa menahan geli hatinya 
melihat wajah Pendekar Naga Putih aaak kemerahan. 
"Sonie (tunggu)...!" 
Tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan, membuat kegembiraan Nagina, Pendekar 
Naga Putih, dan Badundy terganggu. Ternyata, empat lelaki bertampang bengis telah 
menghadang di hadapan mereka. Salah seorang yang sepertinya mengepalai rombongan 
kecil ini, bertindak maju. 
"Tum kise (siapa kau)?"

Nagina mengerutkan kening, menunjukkan ketidaksenangannya. Ia pun melangkah 
maju, menghadapi lelaki bertubuh pendek bulat berperut buncit. 
"Meranam (namaku) Pathar," jawab lelaki pendek bulat itu sambil memilin kumis 
lebatnya. Sementara kedua bola matanya turun-naik merayapi wajah dan tubuh Nagina 
dengan sangat kurang ajar. Sehingga, sempat membuat paras gadis itu memerah, marah, 
dan jengah. 
"Me, Sheru," kata orang yang bertubuh kekar dan kokoh sambil melangkah maju. 
Nama Sheru yang berarti macan, memang sesuai dengan tubuhnya. Sepasang 
mata, bentuk hidung, dan cambangnya pun agak mendekati sorot wajah seekor macan. 
Tanpa terasa Badundy sampai bergetar hatinya. Buru-buru dirinya disembunyikan 
di belakang Pendekar Naga Putih. 
"Me, Kaalja," sambung orang yang bertubuh seperti beruang, ikut memperkenalkan 
diri. 
Seperti halnya Sheru, orang ini pun bertubuh tinggi besar dengan cambang bauk. 
Kedua tangan, dada, dan bagian tengah perutnya ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. 
Melihat dari perawakannya yang cuma mengenakan rompi, sudah terkesan kalau tenaga 
yang dimilikinya sangat besar. 
"Sekarang giliranku," serobot orang yang memiliki sorot mata buas dan beringas 
sambil menepuk dadanya yang tipis. 
Berbeda dengan tiga lainnya, orang ini bertubuh tinggi kurus dengan punggung 
agak melengkung ke depan seperti udang. 
"Meranam Jackal," kata orang ini memperkenalkan diri. Nama itu berarti serigala, 
dan memang sangat cocok dengan sorot matanya yang menyembunyikan kelicikan. 
Ditambah perawakannya yang seperti serigala lapar. 
"Ooo.... Jadi, kalian rupanya yang disebut-sebut sebagai Algojo Empat Serangkai, 
yang menguasai hampir sepertiga bagian India Selatan ini?" tanya Nagina sambil 
mengangguk-anggukkan kepala, sementara bibirnya yang menggiurkan menyunggingkan 
senyum mengejek. 
Nagina yang berjuluk Putri Ular ini memang sudah pernah mendengar nama besar 
empat orang tokoh sesat itu, meski baru kali ini berhadapan. Tak seorang pun yang tahu 
asal-usul Algojo Empat Serangkai yang telah mencengangkan dunia persilatan di Tanah 
India. Dalam waktu kurang dari setahun, mereka telah merobohkan jago-jago silat 
kawakan di sepertiga bagian wilayah India Selatan. Sehingga, membuat nama mereka 
langsung naik ke permukaan.Tapi semua itu sama sekali tidak membuat Nagina menjadi 
gentar. Terlebih, bagi Pendekar Naga Putih yang sama sekali buta terhadap tokoh-tokoh 
silat di negeri itu. 
"Sangat betul tebakanmu, Nona Cantik," sahut Pathar yang sosoknya sangat jauh 
dari kesan seram. Malah, justru menimbulkan kesan lucu. Ia tersenyum-senyum penuh 
kebanggaan. Sepasang bola matanya masih belum berhenti bergerak turun-naik. 
Sepertinya gerak bola mata itu merupakan ciri khususnya. Tapi, meskipun raut wajah, 
perawakan, dan sikapnya terkesan lucu, namun sesungguhnya Pathar inilah yang justru 
jauh lebih kejam dan lebih berbahaya. Salah satu bukti nyata adalah kedudukannya 
sebagai pimpinan dari tiga rekannya ini. 
Dan sebagai orang-orang yang berpengalaman, baik Nagina maupun Pendekar Naga 
Putih memang lebih menaruh perhatian terhadap Pathar. Naluri mereka mengatakan, 
kemungkinan besar Pathar-lah yang paling berbahaya, kendati tidak meremehkan tiga 
orang lainnya. 
Dan sikap permusuhan yang ditunjukkan Algojo Empat Serangkai, membuat 
Nagina maupun Pendekar Naga Putih bersikap waspada. Terlebih Panji, yang telah 
memiliki cukup pengalaman terhadap ketangguhan tokoh-tokoh silat Negeri India. 
*** 
"Lalu, apa mau kalian menghadang kami?" tanding Nagina bertolak-pinggang 
seraya menentang pandang mata Pathar. 
"Hm... Kalau sudah tahu siapa kami, semestinya kau juga sudah tahu maksud 
tujuan kami," kali ini Sheru yang menjawab, langsung bergerak maju mendampingi Pathar.

"Siapa yang mengharuskan begitu?" tanya Nagina ambil mengangkat dagunya. 
Seolah hendak ditunjukkan kalau nama besar Algojo Empat Serangkai sama sekali tidak 
membuatnya gentar. 
"Ini daerah kekuasaan kami. Dan kami berhak berbuat apa saja. Terlebih dengan 
adanya Pardesi (orang asing) yang datang bersama kalian itu," sahut Sheru, seraya 
menggerakkan sudut matanya ke arah Pendekar Naga Pulih. "Jika ingin lewat, kalian 
harus membayar upeti kepada kami. Bagi Pardesi, besarnya tiga kali lipat!" 
"Hm.... Mengapa tidak terus-terang saja kalau kailan sebenarnya perampok-
perampok yang bertindak dengan menggunakan kepandaian, tanpa segala macam alasan 
tai kucing seperti yang kalian pergunakan. Jelasnya, aku tidak sudi memberi sepeser pun 
kepada kailan!" tegas Putri Ular, merasa geram ketika mendengar besarnya jumlah upeti 
yang diminta Pathar dan kawan-kawannya. 
Jawaban Nagina rupanya sama sekali tidak diduga Algojo Empat Serangkai. Mereka 
kelihatan kaget heran. Kalau orang berani melawan karena belum mengenal, itu masih 
bisa diterima. Tapi kalau sudah mengenal dan masih berani melawan, itu merupakan 
kejadian baru! Sehingga untuk sesaat, Algojo Empat serangkai saling bertukar pandang. 
"Karena telah berani menentang peraturan yang telah kami buat, maka kau harus 
membayar tiga kali lipat!. Itu pun masih belum cukup. Karena, masih harus ditambah 
dirimu. Kau harus melayani kami selama satu bulan! Tapi, layananmu harus membuat 
kami puas. Jika tidak, waktunya akan diperpanjang!" tandas Jackal, yang sejak tadi diam 
saja. Kata-katanya malah jauh lebih tajam dan tidak sopan. Sehingga, membuat selebar 
wajah Nagina merah terbakar amarah. 
"Baik! Sekarang juga aku akan melayani kalian!" sambut Nagina, tersenyum dingin. 
"Kau yang pertama, Jackal. Nah! Sambutlah layananku dengan hangat." 
Baru saja mulutnya selesai bicara, tahu-tahu Nagina menghentakkan telapak 
tangannya. Seketika terdengar suara menderu, siap menghajar mulut Jackal. 
Tapi Jackal terlalu memandang remeh. Ia teramat yakin dengan kecepatan 
geraknya. Ilmu meringankan tubuhnya memang paling unggul ketimbang ketiga 
kawannya. Namun sayang, kali ini Jackal terlalu ceroboh. 
Dan Jackal baru merasa kaget, sewaktu merasakan betapa berbahayanya tenaga 
dalam yang terkandung pada telapak tangan mungil dan halus itu. Karena meskipun 
serangan itu belum tiba, namun sambaran anginnya sudah membuat wajahnya pedih. Kini 
baru disadari kalau serangan telapak tangan halus dan mungil itu sangatlah berbahaya! 
Jika tidak buru-buru dielakkan, dikhawatirkan tamparan itu akan merontokkan giginya. 
Maka bergegas tubuhnya ditarik ke belakang. 
Sementara, Nagina malah mendengus dingin. Ia sudah dapat membaca gerakan 
lawan. Maka sebelum tamparannya tiba pada sasaran, kaki kanannya sudah mencuat naik 
menuju dada kiri Jackal. Dan.... 
Desss! 
"Aaah...!" 
Kendati masih sempat memiringkan tubuhnya sedikit, namun tetap saja tendangan 
itu mengenai tulang iga Jackal. Karuan saja tubuhnya melintir bagai kitiran disertai 
keluhan tertahan merasakan tulang iganya seperti patah. 
"Bagaimana layananku, Jackal? Sangat memuaskan, bukan?" ejek Nagina, tertawa 
lirih. 
Jackal merasakan selebar wajahnya panas. Hampir tidak dipercaya kalau dirinya 
bisa kecolongan hanya dalam segebrakan saja. Oleh seorang wanita muda lagi! Tentu saja 
ia merasa malu dan marah! 
Sementara, Nagina berdiri menatap sambil bertolak pinggang. 
"Ular betina keparat...!" dengus Jackal laksana serigala lapar. Sorot matanya 
mencorong, semakin tajam berkilat-kilat. 
"Aha! Rupanya kau sudah tahu namaku." 
Makian Jackal malah membuat Nagina tersenyum. Namanya memang bisa 
diartikan Putri Ular atau Betina. 
"Kya (apa)?" seru Jackal dengan kening berkerut, Gerakannya cepat ditunda. 
"Maksudmu..., kau... nama mu Nagina?" 
"Itu memang namaku," sahut Nagina tersenyuM dingin. "Kyo (kenapa)? Heran?" 
"Apakah kakekmu bernama Garmanu?"

Pertanyaan itu diajukan Pathar. Rupanya, ia juga merasa tertarik dan ingin 
mengetahuinya. 
"Tepat sekali!" jawab Nagina cepat. 
Sikap Algojo Empat Serangkai yang sepertinya sudah mengenal atau mendengar 
nama kakeknya, membuat Nagina menjawab tanpa ragu-ragu. Ia penasaran dan ingin 
tahu, apa kira-kira yang akan dilakukan Algojo Empat Serangkai setelah mengetahui kalau 
dirinya cucu Garmanu. 
Dan yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Nagina melenggak kaget. 
Bagaimana tidak? Algojo Empat Serangkai yang semula bersikap garang, mendadak saja 
langsung menjatuhkan diri berlutut ketika mengetahui siapa nama kakeknya. 
"Kami pernah berhutang budi kepada kakekmu, Nona Nagina," jelas Pathar. "Harap 
kau suka memaafkan Kami benar-benar tidak tahu. Dan kami menyesal telah membuatmu 
marah." 
Nagina mengangguk-angguk. Kemarahannya perlahan-lahan lenyap, kendati masih 
nampak sisa-sisa rasa penasaran dan tidak puas pada sorot matanya. 
"Kami mengaku salah, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini 
lagi," tambah Pathar yang rupanya sadar makna tatapan mata Nagina. "Dan mulai saat ini, 
kami menyerahkan diri kami sebagai budak-budak Nona." 
"Tidak perlu sampai seperti itu, Pathar," ujar Nagina, menarik napas lega. "Dengan 
janji untuk merubah jalan hidup kalian saja, aku sudah merasa gembira..." 
"Tapi kami sudah bersumpah, Nona Nagina. Dan karena Garmanu sudah tidak ada, 
maka kepada keturunannyalah kami akan mengabdikan diri. Nona adalah keturunan Tuan 
Garmanu. Harap, Nona Nagina tidak membuat kami mengingkari sumpah yang sudah 
terlanjur terucap," ungkap Pathar sambil meminta kesediaan Nagina untuk menerima 
mereka berempat menjadi pembantunya. 
Melihat kesungguhan Pathar dan kawan-kawannya, Nagina merasa tidak tega 
membuat kecewa. 
"Baiklah," desah Nagina, mengalah. "Tapi kalian tetap merupakan orang-orang 
bebas. Dan kalian boleh pergi kapan saja kalian suka." 
"Sukriya (terima kasih), Nona Nagina. Sukriya..." 
Pathar, Sheru, Kaalja, dan Jackal sama-sama menganggukkan kepala berulang-
ulang. Wajah mereka tampak menggambarkan kelegaan dan kegembiraan yang sangat. 
Sehingga Nagina sempat terharu menyaksikannya. 
"Mulai hari ini kami akan menyertai ke mana Nona pergi!" 
Algojo Empat Serangkai sama-sama mengucapkan janji setia. Mereka mengangguk 
beberapa kali dengan kedua tangan dirangkapkan dan dijunjung di atas kepala. 
"Terserah kalian," kata si Putri Ular, menyadari kalau penolakannya cuma buang-
buang tenaga saja. Maka tanpa berkata apa-apa lagi, diajaknya Pendekar Naga Putih dan 
Badundy untuk melanjutkan perjalanan. 
Saat Nagina, Pendekar Naga Putih, dan Badundy bergerak meninggalkan tempat 
ini, Pathar dan kawan-kawannya bergegas mengikuti di belakang. 
*** 
"Heh heh heh...! Algojo Empat Serangkai memang pemain-pemain sandiwara yang 
mengagumkan! Tampaknya, rencana kita berjalan sesuai rencana, Darmandu!" 
Perkataan itu diucapkan seorang kakek tinggi kurus bermata cekung dan 
berhidung besar. Jubahnya panjang berwarna merah. Paras mukanya bergerinjul seperti 
jalanan berbatu. Raut wajahnya terkesan membayangkan watak licik dan bengis. 
Di sebelah kiri tampak seorang kakek lain yang dipanggil Darmandu. Dia juga 
bertubuh kurus. Malah sangat kurus, sehingga tulang-tulang pipinya menonjol nyata. Dan 
ia juga mengenakan jubah panjang berwarna merah darah. 
"Memang tidak percuma mereka mendapat kepercayaan untuk tugas-tugas seperti 
itu, Arkham," timpal Darmandu bernada memuji. "Sekarang tinggal tugas kita berdua yang 
harus melengkapi sandiwara Algojo Empat Serangkai." 
"Itu bukan soal sulit" tukas kakek yang dipanggil Arkham. Kepalanya berpaling 
disertai senyum tipis, yang membuat sorot licik pada wajahnya semakin tampak nyata.

Usai berkata demikian, Arkham memberikan isyarat dengan gerakan kepalanya. 
Kemudian, mereka bergerak keluar dari kerumunan pedagang, sewaktu sosok Nagina dan 
rombongan telah berada jauh dan terlihat samar.

TIGA

Langkah Raj Badur dan Raj Sagar yang menggilas dedaunan kering, membuat 
burung-burung di atas pohon-pohon terkejut dan beterbangan. Mereka sendiri tidak 
peduli, dan terus mengayun langkah menerobos semak-belukar Hutan Kakaala. Sebuah 
belantara yang ditumbuhi pepohonan rapat, hingga bagian dalamnya nyaris tidak 
tertembus sinar matahari. Sehingga membuat suasana di dalam hutan agak gelap dan 
menebarkan udara lembab. 
Kakaala dalam bahasa setempat berarti hitam. Nama itu diberikan orang, karena 
suasana di dalam hutan, yang dalam cuaca bagaimanapun, tetap saja agak gelap. Kendati 
demikian, tampaknya Raj Badur dan Raj Sagar sudah terbiasa. Mereka terus saja 
menerobos masuk tanpa merasa khawatir oleh kemungkinan adanya bahaya. 
Tidak berapa lama kemudian, setelah melalui jalanan sukar, Raj Badur dan Raj 
Sagar tiba di sebuah tempat yang sekitarnya dikelilingi pagar kayu bulat. Di dalam pagar, 
terdapat belasan rumah-rumah kayu. Tempat itulah yang dituju Raj Badur dan Raj Sagar. 
Tapi untuk dapat tiba di tempat yang mirip sebuah perkampungan kecil itu pun, 
tidaklah mudah. Selain letaknya di dataran agak tinggi, dan terlebih dulu harus 
menyeberangi sebatang anak sungai, di kedua sudut pagar kayu bulat itu pada bagian 
atasnya terdapat pos-pos penjagaan. Tak heran kalau orang-orang yang mendatangi 
tempat itu akan selalu diketahui penjaga. 
Sementara Raj Badur dan Raj Sagar memang tidak bermaksud datang dengan 
sembunyi-sembunyi. Dalam jarak puluhan tombak saja, kedatangan mereka berdua sudah 
terlihat para penjaga yang bertugas di kedua pos itu. Karena di sekililing pagar luar, 
sejarak kira-kira tiga puluh tombak, sengaja dijadikan daerah terbuka, tanpa pepohonan 
atau pun semak-belukar. Kecuali, rerumputan setinggi mata kaki. 
"Cepat laporkan kepada Maharaj!" ujar salah seorang penjaga di pos kanan kepada 
kawannya. "Katakan bahwa Tuan Raj Badur dan Raj Sagar sudah kembali!" Sementara 
penjaga yang diperintah beranjak, sook kedua pendatang itu sudah semakin dekat dan 
jelas. 
Dua penjaga yang membukakan pintu gerbang sempat tertegun dengan wajah 
membayangkan rasa jijik dan ngeri. Bau busuk memualkan yang keluar dari luka Raj 
Badur dan Raj Sagar, membuat mereka terpaksa menahan napas. Karena, untuk menutup 
hidung jelas tidak berani, khawatir Raj Badur dan Raj Sagar tersinggung. Dan akibatnya, 
bisa membuat mereka berdua celaka. 
Tapi meskipun begitu, tetap saja Raj Badur dan Raj Sagar dapat tahu dari sikap 
mereka. Dan kalau saja penjaga yang melapor kepada orang yang disebut Maharaj tidak 
segera datang, bukan mustahil nyawa kedua orang penjaga gerbang itu akan dicabut Raj 
Sagar yang berwatak berangasan dan mudah tersinggung. 
"Maharaj dan Maharani telah menunggu kedatangan Tuan berdua di ruangan 
utama," jelas penjaga yang baru datang menyambut Raj Badur dan Raj Sagar. 
Raj Badur mengangguk tipis. Sedangkan Raj Sagar mendengus, seraya 
melemparkan lirikan tajam kepada dua penjaga gerbang yang buru-buru menundukkan 
wajah yang merah. Apalagi, sampai saat itu mereka masih menahan napas. 
Mereka baru berani melepaskan napas setelah Raj Badur dan Raj Sagar 
meninggalkan tempat itu, menuju ruangan utama. Di sana, Maharaj dan Maharani telah 
menunggu kedatangan mereka. 
*** 
Di ruangan utama seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan perut buncit 
terbungkus pakaian merah, memandang Raj Badur dan Raj Sagar dengan matanya yang 
setajam elang. Kelihatan sekali perasaan kecewa dan ketidaksenangan hatinya pada raut 
wajahnya. Lelaki inilah yang disebut Maharaj, yang berarti Dewa. Sedang nama sebenarnya 
adalah Ardhana. 
Sementara sosok wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun, tetap duduk di 
kursinya dengan wajah dan sorot mata dingin. Sikap wanita menggiurkan yang dipanggil 
Maharani atau Dewi itu, sama sekali tidak mengurangi kecantikan dan pesonanya. Malah 
sikapnya menimbulkan kesan perbawa yang menggetarkan hati.

Raj Badur dan Raj Sagar tadi sudah menuturkan apa yang telah menimpa mereka 
berdua. Dan berita itu telah membuat penasaran Maharaj dan Maharani. 
"Kyo, Raj Badur, Raj Sagar?" Maharaj menatap Raj Badur dan Raj Sagar bergantian. 
Dalam ucapan Maharaj sama sekali tidak menunjukkan kemarahan hatinya. Namun 
meskipun begitu, nada suaranya terkandung perbawa yang membuat hati siapa saja akan 
merasa bergetar. 
"Kahahe vada (mana janjimu) yang pernah kalian ucapkan?" lanjut Maharaj. 
"Ampun dan maafkan kegagalan kami, Maharaj, Maharani." 
Raj Badur dan Raj Sagar merangkapkan dua telapak tangan di atas kepala dengan 
wajah menunduk. 
"Semua benar-benar di luar dugaan. Dan sampai saat ini pun kami berdua masih 
belum mengerti, alasan apa yang membuat Batsa hendak membunuh kami," sambung Raj 
Badur yang dari nadanya jelas bermaksud membela diri. 
"Kami bukan hendak membela diri atau mencari-cari alasan, Maharaj, Maharani," 
dukung Raj Sagar. "Luka-luka yang kami derita, merupakan bukti dari kebenaran cerita 
kami itu." 
Mereka berdua segera memperlihatkan luka menjijikkan, membuat Maharaj dan 
Maharani menunjuk rasa ngeri. 
"Hm... Lalu, mengapa kalian berani datang tempat ini untuk menemui kami? 
Padahal, kalian telah gagal menjalankan tugas," desak Maharani, yang sejak tadi cuma 
diam mendengarkan. Nada suaranya mencurigai Raj Badur dan Raj Sagar. 
"Maharani...." 
Raj Badur mengangkat kepala dengan kedua tangan tetap ditangkapkan di atas 
kepala. Ketidaksenangan hatinya terpancar jelas pada sorot matanya. Ia jelas tidak suka 
dengan nada suara yang mengandung curiga itu. 
"Selama ini telah banyak bukti yang menunjuk kesetiaan kami. Pengabdian dan 
kesetiaan kami terhadap gerakan, tidak perlu diragukan lagi...." sambung Raj Badur. 
"Tapi kedatangan kalian ke tempat ini, bukan tidak mungkin merupakan awal dari 
bencana!" tukas Maharani dingin menggetarkan. "Aku khawatir kalian telah dikuntit 
musuh tanpa disadari. Dan itu sangat berbahaya! Begawat (pemberontakan) yang telah kami 
susun selama bertahun-tahun, bisa hancur akibat kecerobohan kalian. Sebab bisa saja 
perbuatan Batsa dilakukan karena telah menaruh curiga terhadap kalian berdua. Sehingga 
rencana kami untuk menyusupkan kalian ke dalam istana jadi hancur berantakan. Jangan 
lupa, Batsa mempunyai mata dan telinga di mana-mana." 
"Jika benar demikian, berarti ada orang dalam ynng membocorkan rahasia kami 
berdua," kilah Raj Badur, masih juga tidak mau disalahkan. 
"Itu tidak mungkin!" tukas Maharaj seraya menggeleng pelan. "Sebab cuma kita 
berempat dan Khar Najad yang tahu rencana penyusupan kalian." 
"Mungkin Batsa khawatir, kalau keberadaan Sepasang Intan Biru di tangannya 
sampai diketahui orang banyak. Kekhawatiran itulah yang membuat Batsa bermaksud 
menyingkirkan kalian." 
Seorang lelaki tua bermata putih yang sejak tadi berdiri di samping Maharaj, 
mengemukakan dugaannya. Dialah Khar Najad, yang merupakan penasihat dan juga Guru 
Maharaj dan Maharani. 
"Atau..., mungkin juga karena kutuk yang melekat pada Sepasang Intan Biru itu," 
sambung Khar Najad setelah termenung sesaat. 
"Kutuk yang melekat pada Sepasang Intan Biru?" 
Raj Badur dan Raj Sagar mengulang kata-kata terakhir Khar Najad disertai seruan 
kaget. 
"Kami sengaja tidak memberitahukan hal ini kepada kalian," timpal Maharaj datar. 
Tapi Raj Badur dan Raj Sagar tidak memperhatikan ucapan Maharaj. Saat itu, 
mereka menatap Khar Najad dengan sorot mata menuntut penjelasan. 
"Pada Sepasang Intan Biru melekat satu kutukan yang mengerikan," jelas Khar 
Najad, yang tinggi tubuhnya separuh ukuran manusia biasa. "Siapa saja yang memiliki 
atau pun bermaksud hendak menguasai Sepasang Intan Biru, termasuk yang hanya 
memegangnya untuk beberapa waktu tertentu, menurut hikayat yang kutahu akan 
menemui kematian yang tidak disangka-sangka. Dan nampaknya, kalian berdua telah 
terkena kutuk itu."

Raj Badur dan Raj Sagar sama melengak dengan raut wajah pucat Keduanya saling 
bertukar-pandang. Pada sorot mata masing-masing terlihat kegelisahan dan ketakutan. 
Apalagi sewaktu menyeberang ke Tanah Jawa, mereka mendengar dan menyaksikan 
Sepasang Intan Biru telah merenggut banyak nyawa. Teringat akan hal itu, semakin 
gelisah dan ngerilah hati Raj Badur dan Raj Sagar. Terlebih setelah merasakan adanya 
keanehan pada luka di tubuh mereka, yang bukannya sembuh tapi malah bertambah 
parah dan sangat menyiksa. 
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Khar Najad? Bisakah..., bisakah kutuk itu 
dibuang dari diri kami?" tanya Raj Badur dengan suara terdengar memelas. Perbawa 
kegarangan, dan ketangguhannya seketika itu juga lenyap dari dirinya. Yang ada hanyalah 
ketakutan dan kengerian. 
"Ada satu jalan," kata Khar Najad setelah terdiam cukup lama. Sementara, wajah 
dan tubuh Raj Badur serta Raj Sagar sudah dibasahi keringat dingin. 
"Katakan pada kami, Khar Najad!" Raj Badur dan Haj Sagar setengah berseru. 
"Bagaimana cara membuang kutuk itu?" 
"Tapi sangat sulit dan berbahaya...." Khar Najad yang saat itu memejamkan 
matanya, menggeleng perlahan. Raut wajahnya tampak menegang. 
"Katakanlah, Khar Najad. Betapa pun sulit dan besar bahaya itu, kami akan 
berusaha. Tolong katakan, apa yang harus kami perbuat?" desah Raj Sagar semakin tak 
sabar. Khar Najad dianggap terlalu bertele-tele. 
"Kalian harus mendapatkan Cermin Ajaib!" 
"Cermin Ajaib?!" 
Raj Badur dan Raj Sagar saling bertukar pandang tak mengerti. Sebab, mereka 
belum pernah mendengar tentang benda itu. 
"Memang sangat sedikit orang yang tahu tentang benda itu. Karena, merupakan 
Pusaka Negeri Siluman…" 
"Pusaka Negeri Siluman?!" sela Raj Badur dan Raj Sagar dengan seruan heran. 
"Benar. Cermin Ajaib hanya bisa ditemukan di Negeri Siluman. Bukan julukan, tapi 
benar-benar Negeri Siluman! Dan untuk bisa mendapatkannya, bahayanya sangat besar. 
Karena kalian harus masuk ke alam siluman!" jelas Khar Najad, yang sampai saat itu 
masih tetap memejamkan kedua matanya. 
Mendengar keterangan itu, sekujur tubuh Raj Badur dan Raj Sagar menjadi lemas. 
Jelas hal itu tidak mungkin dapat mereka lakukan. 
"Aku akan memberikan petunjuk, yang akan membawa kalian masuk ke dalam 
alam siluman..., " kata Khar Najad seraya membuka kedua matanya perlahan. 
Raj Badur dan Raj Sagar mengangkat kepala, menatap wajah Khar Najad penuh 
tuntutan. Terpancar sedikit harapan dalam sorot mata keduanya. Dengan wajah penuh 
harap dan dada berdebar tegang, mereka segera mengikuti mantera-mantera yang 
dibacakan Khar Najad. Dan mereka harus bisa menghapal, tanpa boleh menulisnya. 
"Nah! Sekarang aku akan mengantarkan kalian ke tempat Negeri Siluman yang 
memiliki Cermin Ajaib itu. Setetah mendapatkannya, bawalah benda itu kepadaku. Dan 
dengan bantuan Cermain Ajaib, aku akan membuang kutuk yang melekat pada diri 
kalian," jelas Khar Najad memberi petunjuk. 
*** 
Di bawah cuaca yang masih remang-remang, serombongan kecil penunggang kuda 
bergerak menyusuri Sungai Indus. Pada salah satu lembah yang terdapat air terjun, 
rombongan yang terdiri dari tiga orang penunggang kuda itu menghentikan perjalanan. 
Dua di antaranya, mendahului melompat turun dari atas punggung kuda. Baru kemudian 
penunggang kuda terakhir. 
Salah satu dari mereka yang dari sikapnya kelihatan sangat menaruh hormat pada 
penunggang kuda yang baru turun, bergegas menambatkan tiga ekor kuda itu pada 
batang-batang pohon di tempat yang cukup tersembunyi. Kemudian, kembali ditemuinya 
kedua penunggang kuda lainnya. 
"Mahendharata," penunggang kuda yang terakhir turun menoleh kepada orang di 
sebelah kanannya. 
"Hamba, Paduka."

Orang yang dipanggil Mahendharata membungkukkan tubuh sambil merangkapkan 
kedua tangan di depan wajah. 
"Pergilah lebih dulu. Periksa keadaan di sekitar air terjun itu," ujar orang yang 
dipanggil 'paduka'. Ia ternyata Raja Godwana. 
Orang bernama Mahendharata langsung bergegas menjalankan perintah itu. 
Raja Godwana sendiri dan seorang pengawal kepercayaannya yang bernama Rajmid 
Singh berjalan lambat-lambat, sementara Mahendharata melakukan pemeriksaan di 
sekitar air terjun. 
Ketika Mahendharata memberi isyarat bahwa keadaan di sekitar tempat itu aman, 
Raja Godwana dan Rajmid Singh mempercepat langkahnya. Mereka kini menyeberangi 
sungai, menggunakan permukaan batu-batu yang bersembulan diatas permukaan air, 
sebagai pijakan. Dan sebentar kemudian, mereka lenyap di balik air terjun, yang rupanya 
terdapat sebuah mulut gua. 
Sepasang tiang yang bagian atasnya berupa patung kepala berbentuk menyeramkan 
dengan sepasang taring mencuat di kedua sisi mulutnya, merupakan pintu gerbang masuk 
ke Kerajaan Siluman. Kerajaan itulah yang dituju Raja Godwana bersama Mahendharata 
dan Rajmid Singh, yang merupakan pengawal-pengawal pribadi penguasa Kerajaan 
Mahadur. 
Gaung tawa ramai yang mendirikan bulu roma langsung menyambut kedatangan 
Raja Godwana, Mahendharata, dan Rajmid Singh. Meskipun mereka sepenuhnya sadar 
akan tempat yang didatangi, tak urung suara-suara tawa itu membuat bulu tengkuk 
memang. Dan mereka tak kuasa menahan gigilan pada tubuh-masing-masing, sewaktu 
udara dingin menusuk tulang sumsum. Malah gigi Raja Godwana sendiri sampai 
bergemeletuk. Dan mereka tidak melanjutkan langkah sewaktu terpaan hawa dingin 
semakin kuat. 
"Hawa dingin ini merupakan pertanda kalau Putra Cande Galia akan segera 
menyambut kedatangan kita," bisik Raja Godwana berbisik kepada dua pengawalnya 
dengan pandangan tertuju lurus ke depan, di mana kegelapan seolah membutakan mata. 
Mahendharata dan Rajmid Singh tidak berkata apa-apa. Karena saat itu, hati 
mereka merasa tegang bukan main. Dan mereka cuma bisa mengangguk tipis sebagai 
tanda telah mendengar bisikan itu. 
Beberapa saat setelah Raja Godwana selesai berbisik, pada kepekatan di depan 
mereka, tiba-tiba muncul sebentuk sinar putih menyilaukan mata. Raja Godwana, 
Mahendharata, dan Rajmid Singh terpaksa harus memalangkan lengan untuk melindungi 
mata masing-masing. 
"Selamat datang Paduka Yang Mulai Raja Godwana..." 
Suara bening merdu dan mendayu-dayu laksana nyanyian itu, membuat Raja 
Godwana, Mahendharata, dan Rajmid Singh sama-sama menurunkan lengan masing-
masing. 
Mahendharata dan Rajmid Singh sampai terbeliak dengan mulut ternganga, 
menyaksikan apa yang terlihat di depan mata. Saking kagum dan terpesona, dua pengawal 
pribadi Raja Godwana itu sampai bisu mendadak. Darah mereka mengalir cepat, sulit 
dikuasai. 
Ternyata sosok yang berdiri berjarak kurang dari satu tombak di depan telah 
membuat kegairahan kelakian mereka bergolak laksana ombak di lautan. Padahal, usia 
Mahendharata dan Rajmid Singh sudah mencapai enam puluh lima tahun! 
Memang sosok yang berdiri di hadapan mereka sanggup meluluhkan hati setiap 
lelaki bagaimanapun kuatnya. Sosok wanita yang disebut Raja Godwana sebagai Cande 
Galia itu luar biasa. Kulitnya yang putih dan bening, tampak seperti bersinar. Belum lagi 
bentuk tubuhnya yang molek, terbungkus sutera tipis berwarna putih yang tembus 
pandang. Sehingga, Cande Galia seolah berdiri tanpa pakaian. Tidak mengherankan kalau 
pemandangan itu sampai membuat lutut Mahendharata dan Rajmid Singh terasa lemas 
dan gemetar. 
"Dinda Cande Galia," sebut Raja Godwana dengan suara seperti bisikan parau. 
Seperti halnya Mahendharata dan Rajmin Singh, Raja Godwana pun mengalami 
perasaan serupa. Malah saking tak sabar, dengan napas tersengal Raja Godwana 
mengayun langkah menghampiri Putri Cande Galia. Kedua tangannya dikembangkan, siap 
memeluk tubuh molek yang menggiurkan itu.

"Tunggu dulu, Kanda Godwana...!" cegah Putri Cande Galia seraya mengangkat 
tangan kanan dengan telapak terbuka. 
Raja Godwana terpaksa harus menahan gejolak api birahi yang seolah telah 
membakar hangus sekujur tubuhnya. Sebenarnya Penguasa Kerajaan Mahadur itu bukan 
tidak berusaha untuk maju. Tapi karena gerakan tangan Putri Cande Galia, membuat 
langkahnya tidak bisa maju dan juga tidak bisa mundur. Tubuhnya seolah telah dikunci 
gerakan tangan wanita cantik itu. 
"Apakah Kanda sudah membawa benda yang merupakan syarat utama untuk dapat 
mempersunting diriku?" tanya Putri Cande Galia sambil mengembangkan senyum 
mautnya. Dan itu cukup membuat Raja Goddwana, Mahendharata, dan Rajmin Singh 
tersengal-senggal dengan dada terasa sesak! 
"Aku bawa, Dinda! Aku bawa...!" jawab Raja Godwana susah-payah dan napas 
tersengal. Kemudian kepalanya menoleh kepada Mahendharata. "Kemarikan Sepasang 
Intan Biru itu!" 
Tapi baik Mahendharata maupun Rajmid Singh seperti tidak mendengar perintah 
junjungannya. Rupanya, pesona Putri Cande Galla telah merampas hati dan pikiran, 
sehingga sampai-sampai telinga mereka mendadak tuli. 
"Mahendharata!" hardik Raja Gpdwana saking jengkel karena Mahendharata tidak 
mendengar perintahnya. 
"Oh! Eh, apa..., apa.... Oh! Ampunkan hamba, Paduka," ucap Mahendharata 
gelagapan dengan wajah ketololan. 
"Berikan Sepasang Intan Biru itu kepadaku, Guoblok!" bentak Raja Godwana 
dengan sorot mata menunjukkan kemurkaan. 
Karuan saja Mahendharata gemetar ketakutan. Buru-buru Sepasang Intan Biru 
dikeluarkan dan diberikannya kepada junjungannya.


EMPAT


Setelah Sepasang Intan Biru berada di tangan, terburu-buru Raja Godwana 
menghampiri Putri Cande Galia. 
Wanita cantik ini memang merupakan Putri Raja Siluman, yang bersemayam di 
balik air terjun. Tempat itu terletak di salah satu lembah sebelah tenggara Sungai Indus. 
Raja Godwana berkenalan dengan Putri Cande Galia sewaktu tengah berburu 
beberapa waktu lalu. Seekor kijang betina yang muda dan cantik telah membuatnya 
tertarik dan memburunya. Namun ternyata kijang muda yang gesit itu seperti sengaja 
mempermainkan, sehingga membuatnya semakin bernafsu dan mengejar. Tanpa disadari 
tindakannya telah membuatnya meninggalkan rombongan. Teriakan para pengawal yang 
memperingatkannya tidak dipedulikan. Sehingga, para pengawal kehilangan jejaknya. 
Saat kijang itu kembali berhenti karena telah tersudut, Raja Godwana buru-buru 
menarik tali busur. Tapi belum lagi anak panah dijepretkan, tiba-tiba saja sosok kijang 
betina itu berubah menjadi asap. Ketika asap lenyap, tampaklah seorang putri yang sangat 
cantik, hingga membuat Raja Godwana ternganga takjub. 
"Ghazab (luar biasa)...!" desis Raja Godwana dengan busur masih terentang. "Tum 
kise?" 
Raja Godwana menurunkan busur dan menggosok-gosokkan matanya beberapa 
kali. Namun sosok wanita cantik itu masih tetap tersenyum memandangnya. 
"Me, Putri Cande Galia," sahut wanita cantik, yang tubuhnya membayang nyata di 
balik sutera tipis berwarna putih itu. Sementara senyumnya tetap dipamerkan, membuat 
lutut Raja Godwana goyah. 
"Putri Bunga Rembulan...? Nama yang indah sekali dan sangat sesuai dengan 
orangnya," kata Raja Godwana dalam bisikan lirih. Namun bisikan itu tetap terdengar jelas 
oleh Putri Cande Galia, yang memang berarti bunga rembulan. "Tapi..., mengapa..., 
mengapa kau... kau...." 
"Menjelma dari seekor kijang? Begitukah yang Paduka maksudkan?" kata Putri 
Cande Galia seakan ingin menegasi, tanpa melenyapkan senyumnya yang merontokkan 
jantung laki-laki. "Paduka tidak perlu heran. Karena, aku adalah Putri Raja Siluman. Letak 
istanaku tidak jauh dari hutan ini. Marilah Paduka singgah. Sebentar lagi, hari gelap. 
Sangat berbahaya berada seorang diri di dalam hutan ini, saat hari gelap." 
Tentu saja Raja Godwana langsung menerima tawaran yang memang 
diharapkannya. Apalagi hatinya memang sudah tertarik dan langsung bertekuk-lutut, 
sementara mulutnya siap mengumbar kata cinta. Padahal, usia Raja Godwana sudah tidak 
mudalagi. Empat puluh tahun. Tapi, kecantikan dan senyum Putri Cande Galia telah 
membuat dirinya merasa masih muda. Tanpa banyak cakap lagi, segera saja diikutinya 
Putri Cande Galia. 
Lenyapnya Raja Godwana, tentu saja membuat para pengawal kelabakan. Meski 
hari telah menjadi gelap, mereka masih terus berusaha mencari. Tapi hasilnya tetap nihil. 
Sampai pada keesokan harinya mereka yang nyaris putus asa, menemukan Raja Godwana 
tengah membersihkan diri di sungai sambil bersenandung riang. Meskipun heran, namun 
para pengawal merasa gembira melihat junjungannya selamat. 
Raja Godwana sendiri tidak menceritakan pengalamannya, kecuali kepada dua 
orang pengawal setianya. Mahendharata dan Rajmid Singh. 
Mahendharata dan Rajmid Singh pula yang mencarikan orang untuk mencari 
Sepasang Intan Biru. Karena menurut Raja Godwana, Putri Cande Gali hanya mau 
menerima lamaran apabila dibawakan Sepasang Intan Biru. 
Maka setelah berhasil memperoleh Sepasang Intan Biru, dengan ditemani 
Mahendharata dan Rajmid Singh, Raja Godwana segera menemui Putri Cande Galia 
kembali. 
*** 
"Aku sudah memberi apa yang menjadi permintaanmu, Dinda Cande Galia. Dan 
aku sudah tidak sabar untuk segera memboyongmu ke istana," ujar Raja Godwana, setelah 
menyerahkan Sepasang Intan Biru kepada Putri Cande Galia.

"Kanda Paduka Raja Godwana," Putri Cande Galia tersenyum dengan sepasang 
mata berbinar. "Aku punn sudah tidak sabar menjadi permaisurimu, Kanda. Tapi Kanda 
tahu sendiri, aku belum siap untuk itu. Memang benar, aku berbeda dengan ayahku 
maupun rakyat kami. Aku setengah manusia dan setengah siluman, karena ibuku bangsa 
manusia. Tapi pengaruh siluman lebih kuat menguasai diriku. Sehingga, seperti halnya 
ayahku maupun rakyat kami, aku pun tidak tahan cahaya matahari. Sampai hatikah 
Kanda Paduka melihat tubuhku meleleh musnah oleh sengatan matahari?" 
"Tentu saja tidak, Dinda," sahut Raja Godwana, menggelengkan kepalanya. 
"Maka bersabarlah. Kanda Paduka," ujar Putri Cande Galia. "Karena sebentar lagi, 
aku akan bisa menjadi manusia utuh setelah bertapa dalam rendaman air Sepasang Intan 
Biru selama tujuh hari tujuh malam. Nah, sekarang harap Kanda Paduka kembali saja ke 
istana. Pada hari kedelapan, pagi-pagi Kanda Paduka silakan menjemputku. Karena, hari 
itu tapa yang kujalani telah sempurna. Dan, tidak ada halangan lagi bagi Kanda untuk 
memboyongku ke istana." 
"Aaah...! Mengapa sampai selama itu, Dinda Cande Galia?" keluh Raja Godwana, 
tak sabar. "Tidak bisakah waktunya dipersingkat?" 
"Tidak bisa, Kanda Paduka," Putri Cande Galia tersenyum sambil menggeleng 
lemah. "Bersabarlah Kanda. Datanglah pada waktu yang telah kujanjikan." 
"Jika memang harus demikian, baiklah, Dinda." 
Akhirnya Raja Godwana mengalah, meski wajahnya kelihatan sangat kecewa. Lalu 
setelah berpamitan, diajaknya pengawal-pengawal setianya untuk meninggalkan Kerajaan 
Siluman ini. 
*** 
Sehari setelah kepergian Raja Godwana dan dua orang pengawalnya, Kerajaan 
Siluman yang terletak di sebelah tenggara lembah Sungai Indus kembali didatangi tiga 
orang lelaki. Mereka tak lain Khar Najad, Raj Badur, dan Raj Sagar. 
Khar Najad menghentikan langkah di dekat air terjun diikuti Raj Badur dan Raj 
Sagar. Keduanya tidak berusaha mengusik sewaktu melihat Khar Najad sudah 
memejamkan kedua mata dengan berdiri tegak. Raj Badur dan Raj Sagar tahu kalau kakek 
sakti ini tengah mengerahkan kekuatan batin untuk mengetahui letak yang pasti Kerajaan 
Siluman. 
Khar Najad memang bukan sembarang kakek. Meskipun tubuhnya pendek kurus, 
dengan usia telah mencapai sembilan puluh tahun lebih, tapi tak terlihat lemah. Malah 
semakin tangguh dan sukar dicari tandingan. Tertebih dalam hal ilmu batin. Khar Najad 
terbilang merupakan dedengkotnya ilmu sihir di Daratan India Selatan. Begitu pula dalam 
hal kepandaian silat. Tak heran kalau ia yang mendapat julukan Mata Elang Iblis, 
merupakan seorang ahli silat kawakan. Karena, sejak muda kegemarannya ilmu silat dan 
ilmu sihir. 
Semua kepandaian Khar Najad bukan cuma diperoleh dari satu guru saja. Semasa 
masih muda, laki-laki ini tidak pernah merasa puas dengan kepandaiannya. Maka ia 
mengembara dan berguru kepada tokoh-tokoh sakti yang ditemui. Dalam usahanya untuk 
menambah ilmu, bahkan tidak segan-segan ia merendahkan diri, dengan menjadi pelayan 
beberapa tokoh sakti yang dijumpai. 
Khar Najad pandai membawa diri. Rajin bekerja dan bertutur sopan. Semua itu 
dijalani penuh kesabaran. Dari pengalaman-pengalamannya berhadapan dengan tokoh-
tokoh sakti, ia dapat membedakan mana tokoh yang bisa dimintai petunjuk tanpa perlu 
bersusah payah, dan mana yang memerlukan kesabaran. 
Dan kesabaran serta ketabahan hatinya, membuahkan hasil yang diharapkan. 
Sampai akhirnya setelah ilmunya semakin maju pesat, Khar Najad hanya mau berguru 
kepada tokoh yang sanggup mengalahkan kesaktiannya. Perbuatannya yang belakangan 
itu, membuat banyak tokoh yang ditantang tewas di tangannya. Tapi meskipun begitu, ia 
tetap saja tidak pernah merasa puas. Dan dalam usianya yang telah sangat tua pun, 
kepandaiannya masih tetap hendak menambah. Akibatnya, korban semakin banyak jatuh. 
Dan, julukan Mata Elang Iblis bergaung semakin santer. Bahkan menjadi momok nomor 
satu, khususnya bagi tokoh-tokoh di daerah bagian India Selatan. 
"Hm...."

Suara gumaman, membuat Raj Badur dan Ral Sagar sama-sama memandang 
kakek kerdil itu. Napas Khar Najad kelihatan agak sedikit memburu. Ada sedikit keringat 
yang menyembul di keningnya. Ada gambaran kelelahan yang samar pada raut wajahnya. 
"Istana Siluman tepat berada di balik air terjun itu. Hawa di balik air terjun itu 
sangat kuat," jelas Khal Najad, menjawab tatapan Raj Badur dan Raj Sagar. "Di balik air 
terjun itu, ada sebuah mulut gua yang merupakan pintu gerbang menuju Kerajaan 
Siluman. Sekarang, kalian bersembunyilah. Aku akan mengusili siluman-siluman itu, agar 
keluar meninggalkan tempatnya. Dan kalian baru bisa masuk, setelah mereka ke luar. 
Bersiaplah. Dan, tunggu isyarat dariku. Ingat! Tujuan kalian hanya mengambil Cermin 
Ajaib! Apa pun yang akan kalian temukan di dalam, jangan terkecoh. Kecuali Cermin 
Ajaib, lupakan semua yang dijumpai di dalam sana. Jika melanggar pesanku, kalian tidak 
akan bisa keluar lagi dari tempat itu. Camkan pesanku baik-baik!" 
Raj Badur dan Raj Sagar mengangguk, lalu bergegas menyembunyikan diri di 
tempat yang ditunjuk Khar Najad. Dari kejauhan, mereka menunggu isyarat Khar Najad 
yang sudah duduk bersila dengan mata terpejam rapat. 
Dan beberapa saat kemudian, tubuh Khar Najad tampak bergerak ke kiri-kanan. 
Mula-mula perlahan, namun semakin lama bertambah cepat. Bahkan sampai terlompat-
lompat hingga bergeser dari tempat duduknya semula. Sementara selebar wajahnya mulai 
dibasahi butir-butir keringat. 
Kendati tidak tahu secara pasti, namun Raj Badur dan Raj Sagar maklum kalau 
saat itu Khar Najad tengah melakukan pertarungan batin dengan penghuni Kerajaan 
Siluman di balik air terjun itu. 
*** 
Apa yang dilakukan Khar Najad, membuat rakyat Kerajaan Siluman yang berada di 
balik air terjun menjadi kelabakan. Serangan gaib ini membuat mereka merasa kepanasan. 
Keadaan ini membuat suasana di dalam Kerajaan Siluman menjadi kalang-kabut, sukar 
dikendalikan. Masing-masing berebutan untuk keluar dari tempat itu, karena merasa tidak 
tahan dengan hawa yang dirasakan semakin menggila. Sebagian berlari ke bagian 
belakang, menggunakan pintu gerbang darurat. Sementara sebagian lainnya menuju air 
terjun, yang merupakan pintu gerbang utama Kerajaan Siluman. 
Putri Cande Galia sendiri yang semula tengah bersemadi di dalam kamar khusus, 
merasa terkejut dengan perubahan udara yang tiba-tiba menjadi panas. Meskipun bagi 
dirinya pengaruh serangan hawa panas itu tidak terlalu menyiksa, namun kekacauan yang 
terjadi membuatnya terpaksa menghentikan semadi. Kemudian bergegas ia keluar untuk 
melihat keadaan rakyatnya. 
"Kurang ajar...!" desis Putri Cande Galia geram ketika melihat keadaan rakyatnya 
yang sudah sangat sulit dikendalikan. "Pasti ada yang tidak beres! Heran! Siapa yang 
berani mati mengganggu ketenteraman negeriku?" 
Putri Cande Galia maklum, hawa panas itu bukan sewajarnya. Naluri silumannya 
bisa merasakan, bahwa hawa panas itu berasal dari mantera-mantera sakti yang sanggup 
melumpuhkan kekuatan Bangsa Siluman. Maka kekuatan silumannya segera digunakan 
untuk melenyapkan diri. Sebentar saja tubuhnya telah lenyap, berganti menjadi gulungan 
asap tebal berwarna merah muda, menebarkan bau harum bunga-bunga. Kemudian, tahu-
tahu muncul di hadapan Khar Najad yang tentu saja langsung merasakan kehadiran Putri 
Cande Galia di dekatnya. 
Sementara, di tempat persembunyian, mata Raj Badur dan Raj Sagar sampai 
terbelalak lebar-lebar sewaktu melihat adanya asap harum berwarna merah muda yang 
tahu-tahu muncul di hadapan Khar Najad. Dan mereka semakin terbeliak, sewaktu 
menyaksikan gumpalan asap itu lenyap, berganti sesosok tubuh molek terbungkus sutera 
tipis berwarna putih, yang diyakini pasti memiliki paras cantik. 
"Hei, Kakek Tua bangsa manusia! Mengapa kau mengusik ketenteraman negeriku? 
Bukankah kami tidak pernah mengusik-usik bangsamu?" tegur Putri Cande Galia begitu 
sosoknya sudah sangat jelas. Padahal, suasana malam itu cuma diterangi cahaya bulan 
separuh. Namun itu sudah cukup menerangi wajah cantik menggiurkan Putri Cande Galia. 
"Hm... aku memaksamu keluar hanya ingin melihat, seperti apa cantiknya putri 
Raja Siluman? Bukankah menurut dongeng secantik-cantiknya wanita bangsa manusia, 
sejelek-jeleknya putri bangsa siluman? Tapi yang kulihat cuma satu. Mana putri-putri

siluman lainnya?" sahut Khar Najad yang sudah membuka kedua mata. Dipandangnya 
sosok Putri Cande Galia penuh perhatian. Sementara tongkatnya diangkat tinggi-tinggi dan 
diputarnya membentuk sebuah lingkaran. 
Putri Cande Galia yang tidak tahu makna gerakan tongkat Khar Najad, mengira itu 
merupakan sebuah serangan. Maka, buru-buru langkahnya digeser dengan sikap 
waspada, siap memberi perlawanan. Padahal gerakan Khar Najad merupakan isyarat bagi 
Raj Badur dan Raj Sagar untuk segera memasuki Kerajaan Siluman. Karena dengan 
menggunakan mata batinnya, kakek kerdil ini bisa melihat kalau Kerajaan Siluman yang 
terdapat di balik air terjun itu telah ditinggalkan penghuninya. 
Tapi Putri Cande Galia, yang membaui adanya manusia lain di sekitar tempat itu 
merasakan adanya gerakan di belakangnya. Sayang sebelum tubuhnya sempat berputar 
Khar Najad berseru. Bahkan langsung melancarkan serangan dengan mulut berkemak-
kemik merapal mantera. 
"Jahat sekali kau, Kakek bangsa manusia...!" dengus Putri Cande Galia gusar. 
Untung dalam diri wanita cantik itu ada unsur manusia. Sehingga, mantera yang 
digunakan Khar Najad tidak terlalu berpengaruh terhadapnya. Dan ini membuat kakek 
kerdil itu sempat merasa heran, ia sama sekali tidak tahu kalau wanita cantik yang 
dihadapinya adalah setengah manusia dan setengah siluman. 
"Hm.... Rupanya kau memiliki penangkal mantera-manteraku, Putri Siluman!" desis 
Khar Najad seraya mempersiapkan mantera-mantera yang lebih ampuh lagi. 
"Percuma kau hambur-hamburkan mantera tengikmu, Kakek Bangsa Manusia," 
leceh Putri Cande Galia tersenyum mengejek, membuat Khar Najad kembali melengak 
kaget. 
Kakek sakti itu hampir tidak percaya dengan apa yang disaksikannya, karena tahu 
betul kalau mantera-mantera yang dirapalnya akan sanggup menghanguskan siluman 
setangguh apa pun! Namun nyatanya terhadap Putri Cande Galia tidak berarti apa-apa! 
Hanya sekujur tubuh wanita siluman itu saja yang dibaluri warna merah. Sosoknya sendiri 
sama sekali tidak lebur, seperti apa yang dibayangkan Khar Najad. Malah, kakek kerdil itu 
terpaksa harus menghindarkan diri dari serangan balasan yang dilancarkan Putri Cande 
Galia. 
Whuuusss! 
Serangan berupa larikan cahaya kemerahan yang dihembuskan dari mulut Putri 
Cande Galia menghanguskan sebatang pohon yang berada satu setengah tombak di 
belakang Khar Najad. Sedangkan kakek itu sudah berkelebat ke samping, lalu kembali 
tegak sambil memikirkan serangan berikut. 
Putri Cande Galia memang sengaja tidak mau membuka rahasia dirinya yang 
setengah manusia. Sebab dimaklumi kalau kakek bangsa manusia yang dihadapinya 
adalah seorang lawan yang sangat tangguh dan berbahaya. 
*** 
Sementara itu, Raj Badur dan Raj Sagar yang telah masuk ke dalam alam siluman 
bergegas berpencar menggeledah seluruh ruangan dan kamar-kamar istana untuk mencari 
Cermin Ajaib. Tapi, benda keramat ynng menurut Khar Najad tidak mudah untuk 
diperoleh, ternyata juga tidak mudah ditemukan. 
"Keparat! Di mana Cermin Ajaib itu disembunyikan!" umpat Raj Sagar mengumpat, 
menumpahkan kejengkelan hatinya sewaktu bergabung kembali dengan Raj Badur yang 
juga belum menemukan Cermin Ajaib itu. 
"Ya! Aku sudah tidak tahan berada lama-lama di alam siluman, yang menyeramkan 
ini. Sejak memasuki tempat ini, bulu tengkukku terus-menerus berdiri. Hawa dan 
suasananya benar-benar membuatku bergidik," ungkap Raj Badur mengutarakan apa yang 
dirasakannya. 
Dan lelaki ini semakin tak sabar untuk segera menemukan Cermin Ajaib, yang ciri-
cirinya telah ditunjukkan Khar Najad. Tapi dari sekian banyak cermin dalam istana ini, tak 
satu pun yang sama dengan apa yang digambarkan Khar Najad. 
"Jangan-jangan benda itu memang hanya ada di alam dongeng saja, Raj Badur," 
duga Raj Sagar, mengungkapkan pikiran yang saat itu melintas di benaknya. 
"Tidak mungkin, Raj Sagar!" sanggah Raj Badur, menggeleng kuat-kuat. "Kau tahu 
sendiri kalau dalam alam siluman banyak tersimpan teka-teki yang mustahil bagi

manusia. Kecuali itu, kalau memang Cermin Ajaib tidak benar-benar ada, mana mungkin 
Khar Najad mau bersusah-payah membantu kita?" 
"Benar juga, ya," Raj Sagar menganggukkan kepala berulang-ulang. Sementara 
kerutan di keningnya semakin nyata. "Tapi kita harus hati-hati, Raj Badur. Siapa tahu 
setelah Cermin Ajaib itu diperoleh, Khar Najad malah akan membunuh kita. Ingat 
pengalaman di istana Raja Godwana!" 
"Aku pun tidak percaya terhadap manusia itu, Raj Sagar," ungkap Raj Badur, juga 
mengutarakan perasaannya yang tidak berbeda. "Tapi apa daya kita? Kalaupun Cermin 
Ajaib didapatkan dan kita bawa lari, bagaimana cara menggunakannya? Jelasnya, tidak 
ada jalan lain bagi kita, kecuali bersikap hati-hati agar tidak lagi dicurangi orang." 
Raj Sagar juga maklum. Tidak ada jalan lain bagi mereka berdua, kecuali menuruti 
segala apa yang dikatakan dan diperintahkan Khar Najad. Karena tanpa bantuan kakek 
kerdil itu memperoleh Cermin Ajaib pun tidak akan ada gunanya bagi mereka. 
"Ayo, kita cari lagi, Raj Sagar!" 
Raj Sagar tersentak dari lamunan. Setelah mengangguk, mereka kembali berpisah. 
Mereka langsung memeriksa ruangan-ruangan dan kamar-kamar lain dengan lebih teliti.

LIMA


Setelah benar-benar sadar kalau mantera-mantera yang digunakan tidak 
berpengaruh bagi Putri Cande Galia, Khar Najad mulai merubah cara bertarungnya! Kini 
dicobanya untuk menyerang dengan menggabungkan mantera ilmu sihir dengan ilmu silat. 
Akibatnya Putri Cande Galia menjadi terkejut bukan kepalang. Serangan mantera 
sihir yang disatukan dengan ilmu silat, benar-benar membuat hatinya bergetar. 
Mantera itu telah membuat Putri Cande Galia kehilangan separuh tenaganya. Dan 
dalam keadaan demikian, Khar Najad langsung menyusuli dengan serangan-serangan 
mengandung kekuatan dahsyat. Sehingga, beberapa kali Putri Cande Galia nyaris menjadi 
sasaran serangan maut. 
"Jahanam keparat kau, Kakek Bangsa Manusia...!" rutuk Putri Cande Galia dengan 
napas tersenggal, karena dipaksa berlompatan menyelamatkan diri. "Kaulah yang 
memulai. Dan kau harus membayar mahal kelancanganmu!" 
Sehabis berkata demikian, mendadak saja tubuh wanita cantik ini lenyap dari 
pandangan, berubah menjadi gumpalan asap berwarna merah muda, yang kemudian sirna 
tanpa bekas! 
"Ha ha ha...!" 
Tapi, perbuatan itu justru malah membuat Khar Najad tertawa berkakakan. 
Demikian takabur nada suara tawa Khar Najad. Kelihatannya, apa yang dilakukan 
Putri Cande Galia bukan suatu hal yang mengejutkan. Malah, dianggapnya sebagai 
permainan anak-anak! 
"Bagus...!" seru Khar Najad lantang dengan sikap ombong. "Seharusnya memang 
begitulah yang kau lakukan, Perempuan Siluman! Dengan begitu, akan sangat mudah 
bagiku untuk memusnahkanmu!" 
Usai berkata demikian, kakek kerdil ini segera merangkapkan dua telapak tangan 
di depan dada, yang kemudian diputar ke kiri-kanan dalam bentuk lingkaran-lingkaran 
kecil. Semakin lama lingkaran yang dibuat semakin besar. Gerakan itu dibarengi gosokan 
telapak tangan yang dirangkapkan. Dan beberapa saat kemudian, terlihatlah kepulan asap 
tipis yang keluar dari dua telapak tangan yang digosok-gosokkannya. 
Mula-mula asap tipis itu bergerak-gerak melingkari telapak tangan Khar Najad, 
namun kemudian terus melebar. Ujung dari asap tipis yang seolah merupakan tali gaib, 
bergerak melenggak-lenggok seperti tengah mencari sasaran. Hingga satu ketika, ujung 
asap tipis itu bergerak melingkari sesuatu. Dan... 
"Aaa...!" 
Terdengar jeritan Putri Cande Galia, ketika lingkaran asap tipis itu mengecil, tak 
ubahnya seekor ular yang melilit tubuh dan hendak meremukkan tulang-tulang tubuh 
korbannya. 
"Ha ha ha...!" 
Jeritan Putri Cande Galia disambut tawa berkakakan Khar Najad. Tubuh wanita 
cantik itu sendiri kini sudah tampak kembali, namun dalam keadaan sekujur tubuh 
terbelenggu dalam lingkaran asap. 
"Aaa...!" 
Putri Cande Galia melolong kesakitan. Sosoknya kini mulai disamari cahaya 
semerah bara yang berkedip-kedip. Dan hal itu merupakan ancaman bahaya besar 
baginya. Karena, cahaya semerah bara itu adalah akibat dari tali gaib yang melingkari 
tubuhnya, dan tengah menyedot kekuatan dalam dirinya. 
"Perlu bantuan, Putri Cande Galia?" 
Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba Putri Candi Galia mendengar satu suara yang 
ditujukan kepadanya. Bukan cuma wanita cantik itu yang menoleh, Khar Najad pun 
secepat kilat memutar kepala. Seketika matanya memandang ke tempat asal suara. Ada 
gambaran keterkejutan dan juga penasaran pada raut wajahnya. 
"Kaukah itu, Ratu Iblis Tangan Darah?!" tanya Khar Najad, memandang sesosok 
bayangan berperwakan kurus yang terlindung di bawah bayangan pohon. 
"Putri Cande Galia," panggil sosok berperawakan kurus itu, sama sekali tidak 
mempedulikan pertanyaan Khar Najad. "Sekali lagi aku bertanya. Apakah kau memerlukan 
bantuan?"

Suara itu pelan saja. Namun hebatnya, sanggup menindih lolongan Putri Cande 
Galia. Sehingga, suaranya terdengar sangat jelas. 
"Untuk apa kau bertanya, Bangsa Manusia! Kalau memang bermaksud ingin 
menolong, lakukanlah. Jika tidak, pergilah dari tempat ini. Karena, aku lebih baik musnah 
daripada mengemis kepadamu!" sahut Putri Cande Galia dengan susah-payah dan napas 
tersengal. 
Wanita cantik ini sudah merasa putus asa, karena telah salah mengambil langkah. 
Sebab, kalau saja tadi tidak khilaf menggunakan kekuatan silumannya, belum tentu Khar 
Najad akan dapat melumpuhkannya semudah itu. Sayang, datangnya kesadaran itu 
terlambat. 
"Tentu saja kau tidak perlu mengemis kepadaku, Putri Cande Galia," kata sosok 
berperawakan kurus itu terkekeh sember. "Cukup dengan memberi imbalan sebagai 
balasan dari pertolongan yang akan kuberikan. " 
"Apa yang kau kehendaki dariku?" tukas Putri Cande Galia, setengah menjerit. 
"Pinjamkanlah Cermin Ajaib kepadaku barang beberapa waktu. Setelah selesai, 
benda itu akan kukembalikan lagi kepadamu. Bagaimana? Apakah kau setuju?" usul 
sosok berperawakan kurus itu, kembali terkekeh sember. 
"Mengapa kau begitu yakin kalau aku memiliki Cermin Ajaib?" 
Putri Cande Galia berpaling, untuk dapat melihat sosok yang menawarkan 
pertolongan kepadanya. Sementara, cahaya memerah bara yang menyelimuti sekujur 
tubuhnya tampak sudah mulai pudar warnanya. Itu merupakan tanda kalau kekuatan 
Putri Cande Galia sudah berkurang jauh. Dan apabila cahaya itu sudah berubah putih, 
tandanya akhir dari keberadaannya akan segera terjadi. Tali gaib Khar Najad akan 
memusnahkan dirinya. 
"Dua orang muridku, Raj Badur dan Raj Sagar membawa Sepasang Intan Biru 
kepada Batsa, demi memperoleh jabatan sebagai Guru Negara. Dari wajah kedua muridku 
itulah, aku membaca semua yang akan terjadi. Dan itu ada kaitannya dengan murid-
muridku. Melalui wajah mereka pula, aku bisa melihat apa yang bakal dilakukan Batsa
dengan Sepasang Intan Biru. Ternyata, benda-benda keramat itu hendak diberikan 
kepadamu, agar kau bersedia menjadi istrinya. Lalu, mata batinku melihat Batsa datang 
menemuimu. Saat melihat wajahmu, ada satu bayangan yang benar-benar membuatku 
hampir tidak mempercayainya. Dan bayangan itu adalah Cermin Ajaib! Sebuah benda yang 
semula kusangka hanya ada dalam dongeng saja. Itulah sebabnya, mengapa aku bisa 
berada di tempat ini. Aku hanya hendak meminjamnya saja. Karena indera keenamku 
mengatakan, Cermin Ajaib tidak akan bisa dimiliki bangsa manusia. Cermin Ajaib akan 
lenyap dengan sendirinya tepat pada waktu malam bulan purnama," jelas sosok 
berperawakan kurus, yang tak lain Ratu Iblis Tangan Darah, tokoh tua berwajah buruk. 
"Rupanya kau cukup tahu banyak mengenai Cermin Ajaib itu. Tapi perlu kau tahu, 
lenyapnya Cermin Ajaib bukan berarti kembali kepadaku. Setelah lenyap, benda itu bisa 
jatuh ke mana saja. Siapa yang berjodoh, akan menemukannya. Kendati, hanya dapat 
memiliki selama satu purnama. Setelah itu, Cermin Ajaib akan kembali lenyap. Hanya 
apabila ditemukan bangsa siluman sajalah, yang akan terus bisa memiliki, " jelas Putri 
Cande Galia, merasa kepalang sudah diketahui. 
"Tapi aku hanya memerlukannya untuk beberapa hari saja," tukas Ratu Iblis 
Tangan Darah. "Sebelum purnama datang, aku akan mengembalikan benda itu kepadamu, 
Putri Cande Galia." 
"Setttan!" 
Percakapan Putri Cande Galia dan Ratu Iblis Tangan Darah terhenti oleh umpatan 
Khar Najad, yang merasa terhina karena telah disepelekan. Dan kemarahannya itu 
ditumpahkan kepada Putri Cande Galia dengan menambah kekuatan lilitan tali gaib. 
"Aaa...!" 
Begitu lilitan makin mengecil, Putri Cande Galia melolong tinggi. Sedangkan Ratu 
Iblis Tangan Darah malah tertawa sember. Baginya perbuatan Khar Najad malah justru 
menguntungkan. 
"Bagaimana, Putri Cande Galia?" desak Ratu Iblis Tangan Darah mendesak, tak 
sabar. 
"Baiklah," jawab Putri Cande Galia dalam jeritan. Ia benar-benar sudah tidak tahan 
lagi dengan siksaan itu. Sehingga dengan terpaksa tawaran Ratu Iblis Tangan Darah 
diterima.

"Tidak akan semudah itu, Ratu Iblis...!" 
Khar Najad menggereng. Dan saat itu juga telapak tangannya dibuka dan langsung 
didorongkan ke arah Ratu Iblis Tangan Darah, yang kemudian di tarik kembali dalam 
bentuk lingkaran. 
Wiiirrr...! 
"Hih, hih hih...!" 
Ratu Iblis Tangan Darah mendongakkan kepala meremehkan serangan Khar Najad 
yang berupa angin berputaran laksana angin puting beliung. 
Sementara angin berputar itu terus bergerak mendekati Ratu Iblis Tangan Darah, 
dengan menggilas masuk apa saja yang dilalui. Jangankan rerumputan atau batu-batu 
kerikil. Pepohonan besar saja tampak doyong, tersedot putaran. Padahal pohon-pohon itu 
berada dalam jarak sekitar dua tombak. Dapat dibayangkan, apa jadinya jika tubuh Ratu 
Iblis Tangan Darah yang jadi korbannya. 
*** 
Ratu Iblis Tangan Darah rupanya memang benar-benar menganggap serangan Khar 
Najad hanya sebagai permainan anak-anak. Usai memperdengarkan tawa sembernya, 
mulutnya membuka lebar-lebar seperti orang menguap. Dan, terjadilah satu pemandangan 
yang sangat luar biasa! Mata Khar Najad sendiri sampai terbelalak saking takjub melihat 
cara lawannya mengatasi serangannya. 
Betapa tidak? Angin puting beliung serangan Khar Najad yang tengah bergerak 
mendekati sasaran, sedikit demi sedikit tersedot masuk ke dalam mulut Ratu Iblis Tangan 
Darah! Dalam waktu singkat saja, angin puting beliung itu lenyap masuk ke dalam perut 
perempuan berwajah buruk ini yang tampak membuncit bagaikan tengah mengandung 
sembilan bulan! 
Belum lagi Khar Najad tersadar dari keterpakuannya, tiba-tiba saja mulut Ratu Iblis 
Tangan Darah yang tadi ditutup setelah menyedot habis angin puting beliung, kini kembali 
terbuka. Langsung ditiupkannya angin dalam perut ke arah Khar Najad! Rupanya ia 
hendak mengembalikan angin puting beliung yang baru saja ditelannya. 
Whusss...! 
Suara menderu ribut mengembalikan kesadaran Kitar Najad. Melihat serangan 
yang dikembalikan kepadanya, cepat Khar Najad memalangkan lengan kanan di depan 
dada dengan telapak menghadap ke bawah. Sementara, tangan kirinya dipalangkan di 
depan perut dengan telapak menghadap ke atas. Lalu kedua lengannya digerakkan 
perlahan, membentuk putaran. Dan hebatnya, setiap putaran kedua lengannya membuat 
angin puting beliung ciptaannya yang dikembalikan Ratu Iblis Tangan Darah, dapat 
tersedot mengikuti gerakan kedua lengannya. Dan akhirnya angin puting beliung itu 
kembali lenyap tanpa bekas! 
Usai menyedot habis angin puting beliung ciptaannya, Khar Najad langsung 
menjatuhkan tubuh di tanah dalam keadaan bersila. Setelah bertepuk tangan sekali di 
atas kepala, dan dilanjutkan dengan menepuk kedua dadanya, Khar Najad 
menghantamkan kedua telapak tangan ke tanah di kiri dan kanan tubuhnya. 
Kening Ratu Iblis Tangan Darah berkerut dan mendadak.... 
"Aaah...!" 
Perempuan berwajah buruk itu terpekik, karena tanah yang dipijaknya tiba-tiba 
amblas seperti longsor menciptakan sebuah lubang. Sementara di sekitar tepi lubang, 
tanahnya langsung berguguran. 
Ratu Iblis Tangan Darah tentu saja tidak sudi dirinya terkubur hidup-hidup. Maka 
sambil mengeluarkan lengkingan panjang, kedua kakinya menendang dinding lubang. Dan 
dengan sekali menggenjot saja, tubuhnya langsung melambung tinggi ke udara. 
Tapi, selagi tubuh perempuan itu melakukan putaran, Khar Najad cepat 
mengulurkan kedua lengannya. Kemudian jari-jari tangannya meregam, seolah tengah 
mencekal sesuatu yang langsung disentakkan ke bawah. 
Sebagai akibatnya, tubuh Ratu Iblis Tangan Darah yang tengah berada di udara 
tiba-tiba saja terbetot ke bawah, dan terbanting jatuh menimbulkan suara berdebuk keras. 
Brukkk!

Tapi, lagi-lagi Ratu Iblis Tangan Darah menunjukkan ketangguhannya. Begitu 
terjatuh, tubuhnya langsung melambung kembali ke udara. Seolah tubuhnya dari 
gumpalan karet yang kenyal. 
Khar Najad kembali dibuat penasaran. Apalagi tubuh Ratu Iblis Tangan Darah yang 
melambung bagai bola karet itu langsung menggelundung menerjangnya yang didahului 
sambaran angin panas. Kakek kerdil itu berusaha menghalau dengan melontarkan 
pukulan jarak jauh. Tapi serangannya ternyata sama sekali tidak berarti. Bahkan angin 
pukulannya malah terpecah, diterobos gelundungan tubuh Ratu Iblis Tangan Darah! 
Sementara tubuh perempuan berwajah buruk itu terus meluncur tanpa dapat dicegah lagi! 
Hingga.... 
Desss...! 
"Aakh...!" 
Demikian cepat luncuran itu datang, hingga Khar Najad terhumbalang dan jatuh 
terguling-guling di atas tanah disertai keluhan tertahan. Dan ketika baru saja melompat 
bangkit, tubuh Ratu Iblis Tangan Darah yang menggelinding di atas permukaan tanah 
laksana sebuah bola, kembali datang. Sehingga.... 
Desss.... 
"Aakh...." 
"Hih hih hih...!" Ratu Iblis Tangan Darah tertawa sember, menyaksikan Khar Najad 
terduduk lemas dan muntah darah setelah terpental deras. "Sebaiknya kau segera bersiap-
siap melayat ke akhirat, Khar Najad!" 
Perempuan itu segera menyiapkan pukulan terakhir, yang akan memisahkan roh 
dengan raga Khar Najad. 
Khar Najad sendiri sadar akan luka dalam yang diderita. Dua kali hantaman telak 
Ratu Iblis Tanga Darah, telah membuat beberapa bagian dalam tubuhnya rusak berat. 
Kalaupun dapat menyembuhkannya akan memakan waktu lama. Bahkan akan 
menjadikannya cacat seumur hidup. Luka itu, selain akan membuat kedua kakinya 
lumpuh, juga bisa mengakibatkan kebutaan pada kedua matanya. Lebih parah lagi 
sebagian besar tenaga dalamnya akan hilang. Karena pusat penyimpanan tenaga dalamnya 
juga terluka. 
Sadar akan keadaan itu Khar Najad hanya bisa pasrah, menunggu kematian yang 
bakal menjemputnya. Kakek kerdil ini merasa lebih suka mati ketimbang hidup hanya 
menjadi bahan ejekan orang. 
*** 
"Raj Badur, cepat ke sini...!" 
Teriakan Raj Sagar membuat Raj Badur yang tengah mengobrak-abrik sebuah 
kamar, menghentikan gerakannya. Lalu tanpa membuang waktu lagi, langsung saja 
ditinggalkannya kamar itu, dan segera menemui Raj Sagar. 
"Lihat...!" 
Begitu melihat Raj Badur muncul di ambang pintu ruangan, Raj Sagar langsung 
saja menudingkan jari telunjuknya ke satu arah. 
Sambil masih berdiri tegak di ambang pintu, Raj Badur mengarahkan pandangan 
mengikuti jari telunjuk Raj Sagar. Dan sepasang matanya langsung terbeliak, menyaksikan 
sebuah benda bersinar-sinar yang tergantung di salah satu dinding di dalam ruangan ini. 
"Benda itukah yang dinamakan Cermin Ajaib?" tanya Raj Badur dalam desisan 
lirih, nyaris tak terdengar. Ia sendiri sempat heran mendengar suaranya kering. Karena 
selain ketegangan, ada perasaan ngeri yang tiba-tiba saja menyeruak dalam hatinya. 
"Pasti, Raj Badur! Pasti!" Raj Sagar mengangguk beberapa kali. 
Sama seperti Raj Badur, suara Raj Sagar pun terdengar kering dan berupa desisan. 
Malah pada raut wajah dan sorot matanya, ada gambaran ngeri dan penasaran. 
"Mengapa kau tidak lekas-lekas mengambilnya, Raj Sagar?" tanya Raj Badur seraya 
mengalihkan perhatian dari cermin yang dirasakan telah mendatangkan perasaan tak 
menentu dalam hati. 
"Tidak semudah yang kau bayangkan, Raj Badur," Raj Sagar menggeleng lemah 
sambil mendesis berat. "Aku sudah mencobanya. Tapi sewaktu hendak menjangkau, tiba-
tiba saja seperti ada satu kekuatan daya tolak. Akibatnya, aku terlempar tanpa dapat ku 
cegah lagi."

"Maksudmu, Cermin Ajaib itu yang melemparkanmu?" tanya Raj Badur, seolah 
tidak mempercayai cerita Raj Sagar. 
"Memang sukar dipercaya," kata Raj Sagar, tidak menyalahkan Raj Badur. Ia 
maklum, Raj Badur tidak mempercayai ceritanya. "Sebaiknya cobalah sendiri." 
Raj Badur menarik napas panjang, lalu segera melangkah mendekati dinding 
tempat benda itu tergantung. 
Benda yang memang sebuah cermin itu sendiri tidak seberapa besar, berbentuk 
bulat telur. Panjangnya kira-kira satu setengah jengkal. Dan lebarnya tak lebih dari satu 
jengkal. Seluruh tepiannya tertutup bingkai dari ukiran kayu cendana berwarna coklat 
kehitaman. 
Ketika sudah berada kira-kira setengah tombak dari cermin itu, Raj Badur 
menghentikan langkah, tubuhnya berputar, memandang Raj Sagar. Tatapannya seolah 
mengatakan bahwa ia tidak mengalami keanehan apa-apa. Tapi, tentu saja ia tidak 
mengatakan apa yang dirasakan, saat semakin dekat dengan benda itu. Rasa ngeri 
mendadak menyergapnya tanpa sebab. Bulu tengkuknya terus-menerus berdiri. Sementara 
debaran dalam dadanya kian cepat. Semua itu berusaha ditekan dan tidak dikatakannya 
kepada Raj Sagar. Karena, ia masih belum bisa menerima kalau semua itu akibat 
pengaruh cermin yang tergantung di dinding ruangan. 
"Ambillah cermin itu, Raj Badur!" 
Dalam suara Raj Sagar tersirat sedikit kejengkelan. Ia sudah siap mentertawakan. 
Malah, diam-diam Raj Sigar mengharapkan Raj Badur agar memperoleh kejadian yang 
jauh lebih parah daripada apa yang telah menimpa dirinya. 
Raj Badur menoleh sekilas dengan bibir mengulas senyum tipis. Lalu, perlahan 
tangan kanannya terulur untuk menjangkau cermin yang tergantung setinggi dagunya. 
Meskipun saat mengulurkan tangan ketegangan terasa kian memuncak, namun 
perbuatannya tetap dilanjutkan. 
Raj Sagar sudah melebarkan mulutnya. Tawanya siap meledak. Kata-kata ejekan 
sudah dipersiapkan untuk membalas sikap Raj Badur terhadapnya. Tapi, mulut yang 
sudah terbuka lebar itu mendadak mengerut kembali. Ejekan yang sudah berada di ujung 
lidah terpaksa harus ditelan lagi. Karena tanpa kesulitan sedikit pun, Raj Badur ternyata 
dapat mengambil cermin itu!


ENAM


"Gila! Bagaimana bisa begitu?! Mengapa kekuatan daya tolak itu tidak muncul dan 
melemparkan Raj Badur?! Aneh?!" gumam Raj Sagar. Ia termenung dengan berbagai 
pertanyaan memenuhi kepala. 
Sementara, Raj Badur sudah melangkah ke arah Raj Sagar dengan mulut 
menyunggingkan senyum kemenangan. 
"Terus-terang, cermin ini memang agak aneh lain daripada yang lain. Tapi bukan 
berarti cermin ini bisa melemparkan orang," kata Raj Badur sambil menimang-nimang 
cermin di tangannya. 
Sengaja Raj Badur tidak menceritakan kalau waktu mengulurkan tangan untuk 
mengambil cermin, terlebih dahulu membaca mantera pengusir siluman yang diajarkan 
Khar Najad. Dan ia merasa sangat yakin, mantera itu dapat melindungi selama berada 
Negeri Siluman. 
Dengan senyum masih belum meninggalkan wajah, Raj Badur mengangkat cermin 
ke depan wajahnya. Diperhatikannya wajahnya yang berada di dalam cermin. Puas 
memandangi garis-garis wajahnya, bibirnya tersenyum sendiri. Dan kini, cermin itu 
kembali diturunkan. Dan... 
"Aaakh...!" 
Tiba-tiba Raj Sagar terpekik. Sepasang matanya terbeliak lebar. Wajahnya pucat-
pasi, bagai tak dialiri darah! Ia cepat melompat mundur, dengan sikapnya jelas-jelas 
menunjukkan betapa tengah dilanda ketakutan hebat! 
"Raj Sagar! Kau..., kau kenapa?" 
Raj Badur jadi ikut-ikutan gugup. Cepat kepalanya menoleh ke belakang, mengira 
ada sesuatu yang telah membuat Raj Sagar sampai sedemikian ketakutan. Tapi, di 
belakangnya tidak ada apa-apa, kecuali dinding ruangan. Tentu saja Raj Badur menjadi 
heran bukan main. 
Tapi bukannya menjawab, ketika Raj Badur kembali hendak mendekat, lagi-lagi Raj 
Sagar melompat mundur. Malah kepalanya digeleng-gelengkan dengan wajah penuh 
kengerian. 
"Raj Sagar! Ada apa denganmu?" hardik Raj Badur keras, saking jengkel melihat 
sikap Raj Sagar. Lalu ia melompat ke depan. 
Raj Badur merasa jantungnya nyaris copot ketika 'Raj Sagar malah berteriak-teriak 
kalang-kabut sambil melompat jauh hingga membentur dinding di belakangnya. Lalu 
bagaikan kerasukan setan, Raj Sagar melompat ke pintu, terus berlari terbirit-birit sambil 
berteriak-teriak ketakutan. 
"Raj Sagar...! Tunggu...!" teriak Raj Badur sambil berlari mengejar. 
Ketika melihat Raj Badur mengejarnya, Raj Sagar malah semakin kalap berlari. 
Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, seolah takut kalau-kalau Rj Badur dapat 
mengejarnya. Akibatnya, tubuhnya pontang-panting membentur dinding lorong. 
Permukaan dinding lorong yang bergerinjul dan tajam, membuat pangkal lengan dan 
bahunya mengucurkan darah. Tapi semua itu seperti tidak dirasakan. 
Raj Sagar terus saja berlari keluar. Ketika melewati pintu gerbang utama Kerajaan 
Siluman dan melihat air terjun, langsung saja ia melompat. Diterobosnya curahan air yang 
deras itu. Akibatnya, Raj Sagar terjatuh ke dalam air sungai. Tubuhnya langsung timbul 
tenggelam dipermainkan curahan air terjun yang jatuh tepat menghantam dirinya. 
"Raj Sagaaar...!" 
Suara teriakan Raj Badur yang memanggil, membuat Raj Sagar semakin bertambah 
kalap! Demikian hebat rasa takut yang menderanya, sehingga dengan sejadi-jadinya ia 
berusaha berenang untuk mencapai tepian sungai. 
Dengan wajah yang tak ubahnya mayat, Raj Sagar bergegas naik ke darat. Sebentar 
ia terduduk lemas dan terbatuk-batuk hebat, karena cukup banyak air yang tersedak 
masuk ke dalam mulut dan hidungnya. Tapi meskipun tubuhnya terasa sangat lelah dan 
napas masih tersengal-sengal, begitu kembali terdengar teriakan Raj Badur, Raj Sagar 
melompat secepat kilat dan terbirit-birit melarikan diri. 
***

Suara langkah berlari Raj Sagar yang ditingkahi dengus napas seperti kuda pacu, 
membuat Putri Cande Galia, Ratu Iblis Tangan Darah, dan Khar Najad, sama-sama 
menolehkan kepala. Ketiganya sama terheran-heran menyaksikan cara berlari Raj Sagar, 
yang seperti orang dikejar setan. 
"Raj Sagar...?!" 
Ketika mengenali siapa orang yang berlari sedemikian kalapnya, keheranan Ratu 
Iblis Tangan Darah semakin bertambah. Rasa heran dan penasaran membuatnya jadi lupa 
dengan niat semula, yang sudah siap menghabisi Khar Najad. 
Dan tanpa mempedulikan lawannya yang sudah pasrah menerima kematian itu, 
Ratu Iblis Tangan Darah segera menjejakkan kakinya. Seketika itu juga, laksana sambaran 
kilat, tubuhnya melayang. Sekali menggerakkan tangan saja, leher baju bagian belakang 
Raj Sagar sudah tercengkeram. Dan Ratu Iblis Tangan Darah benar-benar tidak mengerti 
ketika Raj Sagar berteriak ketakutan. 
"Tolooong...!" 
"Murid keparat! Memalukan...!" maki Ratu Iblis Tangan Darah marah bukan main! 
Maka seiring makiannya, dibantingnya tubuh Raj Sagar. 
Brak...! 
"Aaakh...!" 
Raj Sagar memekik kesakitan. Dan tanpa menoleh sedikit pun ia langsung 
melompat bangkit, lalu kembali lari terbirit-birit. Dan itu membuat kemarahan Ratu Iblis 
Tangan Darah kian bertambah. 
"Keparat! Berhenti kau, Raj Sagar!" hardik Ratu Iblis Tangan Darah. 
Tapi bukannya berhenti, Raj Sagar malah berlari semakin kalap. Ratu Iblis Tangan 
Darah menggereng lalu melesat cepat mengejar. Dalam jarak kurang lebih satu tombak, 
tangan kanannya terulur ke depan dengan jari-jari terbuka. Seketika terdengar suara 
mencicit tajam yang disusul ambruknya tubuh Raj Sagar. 
Rintihan Raj Sagar yang minta-minta ampun terhenti ketika tubuhnya diangkat 
Ratu Iblis Tangan Darah, tepat berhadap-hadapan muka. Raj Sagar tertegun sesaat. 
Diperhatikannya wajah di depannya dengan perasaan heran. 
"Gu..., Guru...," desis Raj Sagar, ragu-ragu. 
"Memangnya kau kira aku siapa, hah?! Kau kira aku setan, Murid Keparat!" 
Ratu Iblis Tangan Darah menggerakkan tangan menampar wajah muridnya 
beberapa kali, tak memperdulikan darah yang mengalir dari bibir Raj Sagar yang pecah. 
Dan perbuatannya baru dihentikan setelah Raj Sagar merintih minta ampun sambil 
menyebut namanya. Artinya, Raj Sagar sudah mendapatkan kesadarannya kembali. 
"Raj Badur, Guru. Raj Badur...," kata Raj Sagar dengan napas terengah-engah. 
"Kenapa Raj Badur? Apa yang sudah terjadi dengannya, Raj Sagar? Ayo cepat 
jawab!" 
"Raj Badur..., Raj Badur... cermin, Guru. Cermin..., cermin setan...." 
"Keparat! Kau benar-benar memalukan, Raj Sagar! Sikapmu benar-benar tidak 
pantas menjadi murid Ratu Iblis Tangan Darah!" dengus Ratu Iblis Tangan Darah seraya 
mengangkat tangannya, siap memberi tambahan tamparan di wajah Raj Sagar. Tapi 
gerakan tangannya terhenti di tengah udara, ketika terdengar suara teriakan yang sudah 
dikenalnya betul. Raj Badur! 
"Raj Sagaaar..., tunggu aku...!" 
Ratu Iblis Tangan Darah menoleh. Tampak Raj Badur tengah berlari menuju ke 
tempatnya berada. Semula, perempuan berwajah buruk itu bermaksud untuk menunggu 
di tempatnya. Tapi niatnya segera berubah ketika melihat dari arah sebelah kanan Raj 
Badur, tampak Khar Najad berlari tertatih-tatih. 
Sambil setengah menyeret tubuh Raj Sagar, Ratu Iblis Tangan Darah segera 
menuju ke tempat Raj Badur dan Khar Najad. 
"Raj Badur!" panggil Khar Najad sambil mengulapkan tangan ke arah Raj Badur. 
Sementara Raj Badur segera menoleh dan menghentikan langkah, sewaktu 
mengenali siapa orang yang memanggilnya. 
Raj Badur sudah siap melontarkan pertanyaan mengenai cermin di tangannya. 
Tapi, pertanyaan batal diajukan, karena Khar Najad yang begitu tiba didekatnya langsung 
terpekik dan melangkah mundur.

Raj Badur menjadi heran dan juga penasaran. Terlebih sewaktu melihat betapa 
pucatnya wajah Khar Najad. Dan, betapa dalamnya sorot mata kakek sakti itu yang 
menggambarkan rasa takut dan ngeri. 
"Ada apa, Khar Najad? Mengapa kau seperti orang ketakutan?" Raj Badur tidak bisa 
menahan penasarannya. 
"Kau..., kau..., sssi... ap... pa...?" 
Bukannya menjawab, Raj Badur malah termenung. Ia benar-benar tidak habis 
pikir, mengapa Khar Najad tokoh yang kesaktiannya amat dikaguminya itu kini tampak 
sangat ketakutan terhadapnya. Malah sangat gugup. Dan, kata-katanya tidak begitu jelas. 
Parau dan kering. Pelan seperti orang mendesah dalam ketegangan. 
"Apa sebenarnya yang sudah terjadi pada diriku? Tadi, Raj Sagar yang lari terbirit-
birit ketakutan. Sekarang, malah Khar Najad? Aneh?" gumam Raj Badur, benar-benar 
bingung dengan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya. 
Dan kesempatan itu dipergunakan Khar Najad untuk menjauhi Raj Badur dengan 
sangat hati-hati. Seolah-olah ia sedang berjalan di hadapan seekor harimau kelaparan 
yang sedang tidur, khawatir kalau-kalau suara langkahnya membuat harimau terbangun 
dan menerkamnya. 
"Hei!" 
Mendadak, jantung Khar Najad nyaris copot. Ketika sedang tegang-tegangnya, tahu-
tahu terdengar sebuah seruan mengejutkan. Padahal, seruan itu bukan berasal dari Raj 
Badur. Juga, bukan ditujukan kepadanya. Seruan itu memang milik Putri Cande Galia 
yang ditujukan kepada Raj Badur. Dan putri Kerajaan Siluman itu sudah berdiri di 
hadapan Raj Badur sambil melirik cermin yang digenggam Raj Badur erat-erat. 
"Berikan cermin itu kepadaku," pinta Putri Cande Galia tanpa basa-basi lagi. 
"Cermin itu milikku. Sebaiknya, kembalikan sebelum aku mengambil keputusan untuk 
mencabut nyawamu." 
Tapi, Raj Badur malah menghela napas sambil menggeleng. Raj Sagar takut 
padanya, Khar Najad pun demikian. Tapi, mengapa wanita cantik ini tidak? Demikian pikir 
Raj Badur seraya menatap wajah Putri Cande Galia yang cantik menggiurkan itu. Semakin 
ditatap, semakin berdesirlah darahnya. Tedebih, saat melihat tubuh membayang di balik 
pakaian sutera pulih yang tipis dan tembus pandang itu. Kelakian Raj Badur merasa 
seperti ditantang. Hingga, ia tidak malu-malu lagi meneguk air liurnya. 
"Kau tidak takut melihatku, Putri Siluman?" tanya Raj Badur dengan mulut 
tersenyum. Sementara matanya melahap wajah dan sekujur tubuh Putri Cande Galia 
dengan rakusnya. 
"Takut kepadamu?" kata Putri Cande Galia dengan tarikan bibir membentuk 
ejekan. "Kau tahu siapa aku, Raj Badur?" 
"Tidak perlu kau jelaskan pun, aku sudah tahu kalau kau adalah putri bangsa 
siluman," sahut Raj Badur masih tetap tersenyum, meski tahu kalau Putri Cande Galia 
mengejeknya. 
"Nah! Mengapa harus bertanya lagi?" tukas Putri Cande Galia. "Sebagai bangsa 
siluman, tentu saja aku tidak takut terhadap segala macam setan, jin, peri, mambang, 
ataupun iblis. Mereka sama denganku." 
"Hm.... Dengan kata lain, kau menganggap aku ini setan? Begitu maksudmu, 
bukan?" desis Raj Badur mulai tersinggung. 
Tentu saja Raj Badur tidak sudi disamakan dengan bangsa siluman. Tapi, Putri 
Cande Galia malah tertawa oleh perkataannya itu. Sehingga, Raj Badur menjadi 
penasaran. Seketika cermin itu diangkatnya. Diperhatikannya seluruh wajahnya. Tidak 
ada yang berubah, dan tidak ada yang aneh pada wajahnya. 
Tapi, tidak demikian yang dilihat Putri Cande Galia, Khar Najad, maupun Ratu Iblis 
Tangan Darah yang tiba di dekat Raj Badur. Sementara, Raj Sagar yang telah dibebaskan 
dari pengaruh totokan dan tidak mampu melawan kehendak gurunya, terpaksa ikut 
memandang wajah Raj Badur. Kali ini, ia tidak terlihat takut. Karena selain ada gurunya di 
sampingnya, juga masih ditambah Khar Najad dan Putri Cande Galia. 
Raj Badur sendiri sama sekali tidak tahu, bagaimana sebenarnya rupanya saat itu. 
Padahal sesungguhnya, wajahnya telah berubah menyeramkan. Sepasang matanya yang 
semula lebar, tampak bulat berwarna kebiruan seperti mata singa. Hidungnya pun lebih 
mendekati hidung singa, yang batangnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna kecoklatan. 
Kedua alis matanya tebal, juga berwarna coklat, yang di bagian ujungnya bercabang dua.

Demikian pula mulutnya. Giginya telah ditumbuhi sepasang taring yang tajam berkilat-
kilat. Semua itu masih ditambah warna dan bentuk rambutnya, yang menyerupai rambut 
singa jantan! 
Seperti itulah raut wajah Raj Badur sekarang. Dan perubahan yang tidak 
diketahuinya, terjadi setelah bercermin, sewaktu masih berada di Negeri Siluman. Wajah 
seperti itulah yang disaksikan Raj Sagar, hingga membuatnya ketakutan dan lari terbirit-
birit. 
Raj Sagar sendiri sebenarnya bukanlah seorang laki-laki penakut. Dan kalau pun 
berjumpa makhluk berwajah seram pada saat tengah malam, belum tentu merasa takut. 
Apalagi, sampai lari terbirit-birit. Tapi karena yang memiliki wajah seseram itu adalah Raj 
Badur, yang berubah di hadapannya secara tiba-tiba dan sangat mengejutkan, Raj Sagar 
tak mampu lagi menguasai perasaan takut yang muncul begitu saja. Terlebih, saat itu ia 
baru saja mengalami kejadian aneh yang menimbulkan perasaan ngeri. Juga masih 
ditambah perbawa Cermin Ajaib yang bisa menimbulkan rasa takut dan ngeri bagi siapa 
saja yang melihatnya. 
"Raj Badur! Apa yang sudah terjadi denganmu?" tanya Ratu Iblis Tangan Darah. 
Dan meskipun telah berusaha membuat suaranya setenang mungkin, tetap saja terdengar 
nada kegentaran dalam suaranya. 
"Apa yang sudah terjadi denganku?!" ulang Raj Badur sambil tersenyum. Sama 
sekali tidak disadari kalau senyumnya lebih mirip seringai seekor singa jantan yang buas 
dan tengah kelaparan. "Tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi denganku, Guru. 
Malah aku sangat beruntung, karena berhasil menemukan cermin ini, yang kurasa Cermin 
Ajaib!" 
"Cermin itu milik bangsaku, Raj Badur!" selak Putri Cande Galia menggeram gusar. 
"Kembalikan cermin itu kepadaku. Atau, kau akan kubunuh karena telah berani mencuri 
Cermin Ajaib itu!" 
"Kau lupa perjanjian kita, Putri Cande Galia," tukas Ratu Iblis Tangan Darah 
mengingatkan Putri Cane Galia. "Kau sudah kutolong. Berarti, Cermin Ajaib itu telah 
menjadi milikku, kendati hanya untuk beberapa hari. Jadi, biarkanlah cermin itu tetap 
berada di tangan muridku. Kelak setelah urusanku selesai, aku akan mengembalikannya 
kepadamu." 
"Tidak, Ratu Iblis Tangan Darah!" tandas Putri Cande Galia, langsung menoleh ke 
sebelah kanannya. "Karena Cermin Ajaib telah dicuri, dan pencurinya adalah muridmu, 
maka perjanjian kita tidak berlaku lagi! Lain halnya jika pencuri Cermin Ajaib bukan orang 
yang menjadi muridmu!" 
"Hmh! Enak saja kau bicara!" dengus Ratu Iblis Tangan Darah, penuh kegeraman. 
"Bagiku, janji itu tetap berlaku. Dan karena kau telah berani ingkar, maka jika niatku 
semula hanya meminjam saja, sekarang malah aku hendak memilikinya. Dan setelah 
kugunakan untuk merubah diriku menjadi muda dan cantik, sebelum lenyap, Cermin 
Ajaib itu akan kujual kepada siapa saja yang berani menawar dengan harga tinggi. 
Mungkin juga, akan kutawarkan kepada raja-raja di seluruh Daratan India ini. Dengan 
begitu, aku bisa melanjutkan hidup yang penuh gelimang kesenangan dan kemewahan!" 
"Jangan mimpi kau, Ratu Iblis!" sergah Putri Cande Galia, tetap pada pendiriannya. 
"Cermin Ajaib itu tetap tidak akan kuberikan kepadamu!" 
Setelah berkata demikian, Putri Cande Galia langsung bergerak. Tangannya terulur 
untuk merebut Cermin Ajaib dari tangan Raj Badur. 
Tapi tentu saja Ratu Iblis Tangan Darah tidak membiarkan begitu saja perbuatan 
Putri Cande Galia. Saat itu juga tangannya meluncur ke depan, untuk mencengkeram 
pergelangan tangan Putri Cande Galia. Dan begitu cengkeramannya dapat dielakkan, ia 
sudah menyusulinya dua kali tamparan yang mengancam kepala dan lambung Putri 
Cande Galia. Kelihatannya perlahan saja, dan sama sekali tidak berbahaya. 
Namun, Putri Cande Galia yang sadar kalau tamparan perlahan itu akan bisa 
menghancurkan bagian dalam kepala maupun lambungnya, segera saja melompat ke 
belakang. Berbarengan dengan itu, mulutnya meniup. 
Whusss...! 
Seketika seberkas cahaya merah meluncur ke arah Ratu Iblis Tangan Darah. Tapi 
serangan itu tidak mengenai sasaran, karena perempuan berwajah buruk itu telah 
melompat ke kanan. Akibatnya, rerumputan tempat Ratu Iblis Tangan Darah tadi berpijak,

langsung dilalap lidah-lidah api. Sedangkan Ratu Iblis Tangan Darah sendiri telah berdiri 
tegak, siap melanjutkan pertarungan. 
Sementara itu, Raj Badur yang segera bergerak menjauhi arena pertarungan, harus 
menghadapi Khar Najad yang hendak merebut Cermin Ajaib di tangannya. Bergegas 
tubuhnya melompat ke belakang. Begitu menyadari kalau kepandaian Khar Najad berada 
beberapa tingkat di atas kepandaiannya, timbul kekhawatiran di hati Raj Badur. Ia takut, 
Cermin Ajaib akan dapat direbut orang. Maka, kepalanya segera menoleh ke arah Raj 
Sagar dengan sorot mata minta bantuan. 
Semula, Raj Sagar agak meragu. Tapi ketika meihat sikap Raj Badur masih tetap 
seperti yang selama ini dikenalnya, maka tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya melesat untuk 
memberi bantuan. Mereka berdua sama sekali tidak tahu kalau saat itu Khar Najad sudah 
menderita luka dalam yang parah!

TUJUH


"Keadaan bagian India Selatan pada masa sekarang memang sangat menyedihkan," 
tutur Pathar, orang tertua dari Algojo Empat Serangkai. Wajahnya tampak menunjukkan 
rasa penasaran di hatinya. 
Saat itu, Pathar bersama tiga orang rekannya tengah menempuh perjalanan 
bersama Pendekar Naga Putih, Nagina, dan Badundy. Dan mereka baru saja melewati 
sebuah desa yang kehidupan penduduknya sangat menyedihkan. 
Pendekar Naga Putih, Nagina, dan Badundy, sama-sama menganggukkan kepala. 
Penderitaan penduduk desa yang disaksikan memang telah menimbulkan perasaan iba 
dan penasaran. Dan keadaan itu bukan hanya di satu desa saja, tapi juga beberapa desa 
lain yang dilalui selama perjalanan. 
"Mengapa sampai bisa terjadi demikian, Pathar?" tanya Panji. Sejak pertama kali 
melihat, Pendekar Naga Putih memang sudah menyimpan bermacam pertanyaan di 
kepalanya. Tapi semua pertanyaannya masih disimpan, karena selama perjalanan baru 
sekarang Pathar mengungkapkan perasaannya. Maka kesempatan itu segera dipergunakan 
untuk mengetahui lebih jelas. 
"Maaf, kalau selama perjalanan kami terpaksa menutup mulut, Pendekar Naga 
Putih," ucap Pathar sambil menoleh ke arah Pendekar Naga Putih sekilas. "Itu dikarenakan 
kami tidak ingin melibatkan dirimu dalam persoalan yang tengah berkecamuk di negeri ini. 
Kami tidak mau membuat dirimu, yang baru pertama kali ini datang ke Tanah India, 
memperoleh kesan buruk terhadap negeri kami. Khususnya, kepada kami berempat yang 
baru saja kau kenal. Karena bisa saja kau akan berpikiran bahwa kami hendak 
menghasutmu." 
"Aku memaklumi perasaanmu, Pathar," sahut Pendekar Naga Putih. 
"Kau adalah orang asing di Tanah India ini, Pendekar Naga Putih. Dan kami ingin 
memberi kesan baik tentang negeri ini. Selain agat kerasan, juga jika kembali ke Tanah 
Jawa, maka cerita-cerita menyenangkanlah yang akan kau bawa dari negeri ini," timpal 
Jackal. 
"Kalau begitu, jangan sungkan-sungkan lagi. Jelaskanlah kepada kami tentang 
semua apa yang kalian ketahui. Jangan buat kami penasaran. Tanah di desa-desa yang 
telah kita lewati, kulihat sangat subur. Nah! Mengapa justru penduduknya malah hidup 
serba kekurangan?" desak Nagina, tak tahan untuk tidak mencampurinya. Memang, 
pembicaraan mengenai kesengsaraan rakyat sangat menarik di hatinya. 
Pathar menoleh kepada Nagina, lalu berpaling memandangi tiga orang rekannya 
satu persatu. Ketika melihat ketiga rekannya sama-sama mengangguk, Pathar terlebih 
dahulu menarik napas dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan Nagina. 
"Semua ini adalah akibat dari kekejaman Batsa, yang sewenang-wenang 
memerintah negeri ini," tutur Pathar memulai ceritanya. "Benar, tanah-tanah di negeri ini 
banyak yang tandus dan kering. Tapi, beberapa desa yang kita lalui tadi, kebetulan 
memiliki tanah subur. Dan setiap kali musim panen tiba, hasil yang diperoleh penduduk 
cukup berlimpah. Kalau pun mereka hidup serba kekurangan, itu dikarenakan banyak 
pajak yang harus dibayar kepada Raja Godwana dan antek-anteknya. Rakyat tidak bisa 
berbuat apa-apa, kecuali pasrah dengan nasib buruk yang diperoleh. Apalagi, setiap 
pembangkang akan dijatuhi hukuman pancung!" 
"Kejam sekali...!" gumam Pendekar Naga Putih dalam desisan bernada geram. 
"Biadab tak berperikemanusiaan!" rutuk Nagina sambil mengepalkan tinjunya 
dengan wajah merah terbakar api kemarahan. 
"Yah..., hanya sebatas makian dan sumpah-serapah seperti itulah yang bisa 
dilakukan rakyat kecil," kata Pathar dengan hempasan napas berat. Seolah dengan begitu, 
ia hendak melepaskan, beban berat yang menghimpit dadanya. 
"Apakah selama ini tidak ada tokoh-tokoh atau pun partai-partai perguruan yang 
bertindak untuk menentang kesewenang-wenangan Batsa?" Nagina memandang Pathar. 
Dan Pathar tampak menyeringai sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya 
tidak gatal. 
Pendekar Naga Putih yang juga memiliki pertanyaan serupa, ikut memandang 
Pathar. Panji merasa lega mendengar pertanyaan yang dilontarkan Nagina. Memang, ia 
sendiri masih enggan untuk melontarkan pertanyaan seperti itu, karena menyadari kalau

dirinya orang asing. Sedangkan pertanyaan itu, lebih kurangnya sama artinya 
menyinggung tokoh-tokoh persilatan negeri itu. Padahal, ia sendiri masih buta tentang 
tokoh-tokoh atau pun partai-partai perguruan di Tanah India. 
"Hhh.... Apalah artinya kesaktian satu dua orang tokoh, jika harus melawan sekian 
banyak tentara kerajaan, Nona Nagina," jawab Pathar, disertai helaan napas dari wajah 
sedih. "Perbuatan itu jelas sia-sia karena mereka dapat ditumpas dengan mudah oleh 
pasukan-pasukan Raja Godwana." 
"Apakah tidak ada tokoh yang mencoba membentuk satu wadah untuk menampung 
mereka yang menentang kelaliman Raja Godwana?" tanya Pendekat Naga Putih sambil 
menatap wajah Pathar yang kelihatan agak kaget. 
Pathar buru-buru menurunkan pandangan matanya, yang untuk sesaat saling 
menatap dengan Pendekar Naga Putih. Dan baru saja ia membuka mulut… 
"Hei, lihat...!" Nagina meluruskan jari telunjuknya ke arah kanan. Tampak asap 
hitam tebal yang bergulung-gulung naik ke angkasa di kejauhan. "Mungkin di sebelah 
sana ada perkampungan penduduk. Dan tampaknya asap itu berasal dari api yang 
berkobar-kobar. " 
"Mungkin kebakaran," duga Pendekar Naga Putih seraya memperhatikan gumpalan 
asap hitam tebal yang bergulung-gulung. "Sebaiknya segera saja kita lihat. Siapa tahu ada 
orang yang tengah tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan." 
Panji mengedarkan pandangan, menatap semua yang berada di tempat itu 
bergantian. Dan ketika melihat mereka sama-sama mengangguk setuju, tanpa menunggu 
lagi Pendekar Naga Putih langsung saja melesat mendahului yang lainnya. 
Nagina bergegas menambah kecepatan larinya, hingga bisa menjajari langkah 
Pendekar Naga Putih. Sekitar dua tombak di belakang mereka, tampak Alr gojo Empat 
Serangkai. Sedangkan Badundy, yang memiliki kepandaian terendah tertinggal jauh di 
belakang. Padahal, larinya sudah sekuat tenaga. Bahkan napasnya sudah hampir putus! 
Ketika semakin dekat dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung, Pendekar 
Naga Putih dan yang lain sama-sama terkejut, saat mendengar adanya jerit kesakitan yang 
ditingkahi bentakan-bentakan ramai. Merasa kalau bukan hanya kebakaran saja yang 
sedang terjadi, bergegas mereka saling berlomba untuk tiba lebih dahulu di tempat 
kejadian. 
*** 
Kedatangan Pendekar Naga Putih dan yang lain ternyata tertambat! Ketika mereka 
memasuki mulut desa, yang didapati cuma berupa kepulan debu tebal di kejauhan yang 
ditingkahi gemuruh derap kaki kuda. 
"Jangan kejar!" cegah Pendekar Naga Putih, ketika melihat Nagina hendak mengejar 
gerombolan berkuda itu. 
Nagina terpaksa menahan langkahnya. Kepalanya langsung menoleh dan 
memandang Pendekar Naga Putih dengan kening berkerut. 
"Kekuatan mereka belum kita ketahui secara pasti Nagina," jelas Pendekar Naga 
Putih memberi alasan "Sebaiknya kita menolong penduduk yang menjadi korban 
keganasan gerombolan berkuda itu. Kita cari keterangan dari para penduduk. Siapa tahu 
saja, ada di antara mereka yang mengenali gerombolan berkuda itu. Dengan begitu, kita 
bisa menyelidiki dan mencari markas mereka." 
"Menurut keterangan beberapa orang penduduk yang terluka, gerombolan itu 
adalah pasukan tentara Raja Godwana," lapor Pathar kepada Pendekar Naga Putih dan 
Nagina. 
Panji dan Nagina mengangguk, karena juga memperoleh keterangan serupa dari 
penduduk yang ditanyai. 
"Rupanya Raja Godwana tidak sabar menunggu musim panen tiba. Pasukan 
tentara kerajaan itu datang dan merampas harta seluruh penduduk desa. Memang hanya 
sebagian yang diambil. Beberapa orang penduduk yang mencoba untuk mempertahankan, 
langsung dianiaya. Tiga orang terbunuh. Sedang belasan lainnya mengalami luka-luka 
cukup parah," lapor Sheru, salah satu tokoh Algojo Empat Serangkai. 
Sementara Pendekar Naga Putih dan Nagina bergegas memberi pertolongan dengan 
memberikan pengobatan kepada yang terluka. 
***

Selesai memberi pertolongan seperlunya, Pendekar Naga Putih dan kawan-
kawannya segera melanjutkan perjalanan. Dan Panji menolak usul Pathar untuk mengejar 
pasukan tentara kerajaan itu. 
"Terlalu berbahaya, Pathar," Pendekar Naga Putih menggeleng. "Bukannya aku 
takut. Tapi seperti apa yang kau katakan, apalah artinya kekuatan dan kesaktian jika 
harus menghadapi ribuan tentara kerajaan. Itu sama artinya mencari mati. Sia-sia." 
"Kalau begitu, bagaimana jika kita bergabung saja dengan tokoh-tokoh yang 
menamakan diri sebagai Pasukan Pembela Rakyat?" usul Jackal. Itu pun disampaikan 
dengan agak ragu-ragu, seolah khawatir ditolak Pendekar Naga Putih. 
"Itu aku lebih setuju," sahut Pendekar Naga Putih. "Tapi, apakah kalian tahu pasti 
kalau kelompok itu memang bertujuan membela kepentingan rakyat kecil? Jangan-jangan, 
hanya namanya saja Pasukan Pembela Rakyat. Tapi, pada dasarnya mereka terdiri dari 
orang-orang yang hendak mencari keuntungan diri sendiri." 
"Kami mempercayai kemuliaan perjuangan kelompok Pasukan Pembela Rakyat itu, 
Pendekar Naga Putih," tandas Pathar memberi jaminan. Dan ini membuat kening Pendekar 
Naga Putih berkerut memandang Pathar penuh selidik. 
"Sebenarnya ada sesuatu yang selama ini terpaksa kami sembunyikan," tambah 
Sheru ketika melihat Pa thar tampak gugup oleh tatapan mata Pendekar Naga Putih. 
"Sesungguhnya, kami berempat adalah anggota dari Pasukan Pembela Rakyat," aku 
Kaalja, tokoh ketiga dari Algojo Empat Serangkai. Selama perjalanan ia hampir tidak 
pernah berbicara. 
Pendekar Naga Putih dan Nagina saling berpandang dengan wajah agak berubah. 
Lain halnya Badundy yang tampak tenang-tenang saja. Seolah, merasa kalau pengakuan 
Pathar dan kawan-kawannya sama sekali tidak ada artinya. 
Pathar, Sheru, dan Jackal sama mengangguk ketika Pendekar Naga Putih dan 
Nagina memandang mereka. Wajah Algojo Empat Serangkai tampak agak menegang, 
menunggu jawaban yang bakal diucapkan Pendekar Naga Putih maupun Nagina. Dan 
ketika melihat Pendekar Naga Putih dan Nagina tersenyum, barulah Pathar dan kawan-
kawannya menghela napas lega. 
"Baiklah, kami...." 
Tiba-tiba jawaban yang akan disampaikan Pendekar Naga Putih terhenti. Dengan 
kening berkerut, kepalanya ditelengkan. 
"Aku mendengar ada suara orang bertempur. Kemungkinan sumbernya dari arah 
selatan," lanjut Pendekar Naga Putih. 
"Sangat samar sekali. Kadang terdengar, kadang tidak," timpal Nagina, terlihat 
tengah mengerahkan indera pendengarannya. "Mungkin agak jauh sumbernya, dan 
dipermainkan angin." 
Pathar, Sheru, Kaalja, dan Jackal saling bertukar pandang. Mereka seperti agak 
bingung, ketika Pendekar Naga Putih dan Nagina mengajak untuk memastikan suara-
suara orang bertempur itu. 
"Sebaiknya kita lupakan saja dulu suara-suara yang belum pasti itu," usul Pathar. 
"Dalam keadaan negeri seperti sekarang ini, sebaiknya kita harus lebih meningkatkan 
kewaspadaan. Siapa tahu, suara itu berupa jebakan." 
"Aku pun agak curiga," dukung Sheru. Begitu juga, Kaalja dan Jackal. Sayangnya, 
Pendekar Naga Putih dan Nagina tidak sependapat. 
"Aku tetap ingin memastikan suara-suara orang bertempur itu. Siapa tahu, ada 
orang yang sedang membutuhkan pertolongan kita," tegas Pendekar Naga Putih seraya 
berpaling kepada Nagina. 
Dan gadis itu tampak menganggukkan kepala. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, 
Pendekar Naga Putih memberi isyarat dengan gerakan kepala, agar Nagina, Algojo Empat 
Serangkai, dan Badundy mengikutinya. 
Pendekar Naga Putih, Nagina, dan Badundy sudah berlari menuju ke selatan. 
Sedangkan Pathar dan rekan-rekannya terdengar menghela napas, dan akhirnya terpaksa 
mengikuti. 
*** 
Pertarungan yang melibatkan lima lelaki berlangsung sengit. Pihak pertama terdiri 
dari tiga orang lelaki yang masing-masing bersenjatakan golok besar yang pada bagian

ujungnya bercagak dua. Namun kendati yang dihadapi hanya dua orang kakek berjubah 
merah dengan tangan kosong, tapi justru mereka bertigalah yang tampak di bawah angin. 
Memang dua orang kakek berjubah merah itu ternyata memiliki kepandaian 
tangguh. Tak heran, walau pun tiga lelaki bersenjata golok besar itu menyerang sekuat 
tenaga, tetap saja tidak mampu mendesak. Malah kedua orang kakek berjubah merah itu 
kelihatan tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi ketiga lawannya. Dan ini 
membuat tiga lelaki bersenjata gol besar itu semakin penasaran. 
"Heh heh heh..., Tiga Golok Cagak! Rasanya sudah cukup kesempatan buat kalian 
untuk membunuh kami, "ejek kakek yang tubuhnya lebih tinggi daripada kawannya. 
Sambil berkata, tubuh kakek meliuk-liuk, menghindari sabetan golok salah seorang 
rekannya yang bertubuh seperti cecak kering. 
"Biar aku yang menyelesaikannya, Darmandu," lanjut kakek itu kemudian. 
Kakek yang dipanggil Darmandu hanya tertawa terkekeh-kekeh, kemudian 
melompat mundur. Seolah ia hendak memberi kesempatan kepada kawannya untuk 
menyelesaikan pertarungan itu sendirian. 
Sementara tiga orang lelaki yang dijuluki Tiga Golok Cagak sama-sama menggeram 
gusar, karena merasa diremehkan. Mereka membentak bersamaan. Dan seketika tubuh 
mereka melesat dengan babatan golok masing-masing. 
Namun, kakek tinggi kurus yang wajahnya bergerinjul itu hanya terkekeh 
mengejek. Ia berdiri tegak, menunggu datangnya tiga serangan golok besar yang 
mengancamnya. Malah kedua lengannya dilipat di depan dada. Sikap itu jelas sangat 
sombong dan membahayakan diri sendiri. 
Memang, kesombongan kakek berwajah buruk itu rupanya bukan tanpa alasan. 
Tiga batang golok besar yang menyambar disertai kilatan sinar menggidikkan, langsung 
disambut dengan tangan telanjang! Gerakan tangannya jauh lebih cepat daripada 
sambaran tiga batang golok itu. 
"Heaaat...!" 
Tap! Tap! Tap! 
Dalam sekejap mata saja, tiga batang golok besar telah berpindah ke dalam 
genggaman tangan kakek itu. Dan selagi ketiga lawannya terperangah kaget, pergelangan 
tangannya diputar. Seketika itu juga, ketiga batang golok itu berdesing ke arah majikan 
masing-masing! 
"Heh?!" 
Tiga Golok Cagak sama terpekik dengan wajah pucat! Perbuatan kakek ini sama 
sekali tidak diduga. Sehingga, Tiga Golok Cagak tidak mempunyai kesempatan lagi untuk 
menyelamatkan diri. Namun... 
Trang! Trang! Trang! 
*** 
Terdengar suara berdentingan nyaring. Tiga batang golok yang tengah meluncur 
langsung terpental ketika membentur benda asing. Rupanya benda asing berupa kerikil itu 
dilemparkan Pendekar Naga Putih dan Nagina yang tiba lebih dulu di tempat terjadinya 
pertempuran. Begitu mereka datang, senjata Tiga Golok Cagak yang dirampas kakek jubah 
merah telah meluncur. Lalu dengan kecepatan mengagumkan Panji dan Nagina melempar 
kerikil untuk menyelamatkan Tiga Golok Cagak. 
"Aku kenal tiga orang lelaki gagah itu, Panji!" seru Nagina. 
Kakek jubah merah itu menoleh dengan wajah membayangkan kekagetan. Apalagi 
saat melihat kemunculan Pendekar Naga Putih dan Nagina yang begitu tiba-tiba. 
Sementara itu Tiga Golok Cagak masih berdiri terpaku. Mereka seakan belum sadar 
bahwa telah diselamatkan orang, kendati tiga bilah golok yang mengancam telah 
berpentalan runtuh ke tanah. 
"Kau..., kau.... Bukankah kau Nagina, cucu dari Kakek Garmanu?!" sapa orang 
tertua dari Tiga Golok Cagak baru tersadar ketika Nagina sudah berada di hadapan 
mereka. 
"Rupanya Paman Govinda masih ingat juga kepadaku," sambut Nagina tertawa 
senang. "Apa yang terjadi, Paman? Siapa dua orang kakek jubah merah itu? Mengapa 
kalian sampai bertarung?"

"Mereka adalah manusia-manusia busuk yang kerjanya hanya menyengsarakan 
orang-orang tak berdosa dengan dalih perjuangan suci. Padahal mereka tak lebih dari 
perampok-perampok hina!" jawab Govinda, sambil menuding dua orang kakek berjubah 
merah yang tampak kebingungan. "Mereka adalah kawan-kawan dari Algojo Empat 
Serangkai!" 
"Maksud Paman, mereka adalah anggota Pasukan Pembela Rakyat?" tanya Nagina, 
langsung teringat cerita Pathar tentang sebuah kelompok yang hendak menggulingkan 
pemerintahan Raja Godwana. 
"Benar, Nagina," sahut Govinda mengangguk tegas. "Kesengsaraan rakyat di desa-
desa yang kalian lihat adalah akibat perbuatan dua kakek iblis itu. Mereka memang telah 
mengatur siasat bersama Algojo Empat Serangkai, untuk menjerat kalian berdua. Mereka 
bermaksud menarik kalian, untuk membantu perjuangan yang hendak memberontak 
terhadap Kerajaan Mahadur. Untuk dapat mempengaruhi kalian berdua, mereka sengaja 
memfitnah Raja Godwana. Setiap desa yang hendak kalian lewati, sudah lebih dulu 
didatangi dua kakek iblis itu. Mereka mengacau dan merampas harta penduduk, lalu 
mengancam agar apabila ada orang yang bertanya, harus menjawab bahwa semua itu 
perbuatan tentara Raja Godwana. Jika tidak, dua kakek iblis itu akan datang kembali 
untuk membantai seluruh penduduk serta membakar hangus desa mereka." 
Panji dan Nagina cukup terkejut mendengarnya karena selama ini hampir 
terhanyut oleh Algojo Empal Serangkai. 
"Kami bertiga telah lama memata-matai perbuatan mereka sambil berusaha 
mencari kesempatan untuk memberitahukan kepada kalian. Tapi untuk mendekati kalian 
berdua, sangat sulit. Karena Algojo Empat Serangkai tidak pernah terpisah dari kalian. 
Dan sebelum kesempatan itu didapat, dua kakek iblis ini telah memergoki kami. 
Pertempuran pun tak bisa dielakkan lagi. Untunglah kalian datang tepat pada waktunya 
Jika tidak, nama Tiga Golok Cagak akan terhapus dan rimba persilatan." lanjut Govinda 
setelah menarik napas panjang-panjang. 
"Pasukan Pembela Rakyat itu sendiri sebenarnya adalah kebohongan belaka. Di 
bawah pimpinan Raja Godwana, kehidupan rakyat negeri ini sudah cukup baik. Justru 
pemberontak-pemberontak itulah sebenarnya yang menjadi pengacau. Mereka hendak 
merebut kerajaan, demi kepentingan pribadi," tambah salah seorang adik seperguruan 
Govinda. 
Pendekar Naga Putih dan Nagina tidak merasa ragu-ragu lagi. Apalagi orang-orang 
yang memberikan keterangan telah dikenal baik oleh Nagina. Karena, Tiga Golok Cagak 
memang sahabat-sahabat kakeknya.

DELAPAN


Wajah Algojo Empat Serangkai yang baru tiba di tempat itu langsung berubah. 
Bukan hanya karena melihat adanya dua orang kakek jubah merah yang merupakan 
kawan-kawan mereka. Tapi, juga karena menyaksikan Pendekar Naga Putih dan Nagina 
berkumpul bersama orang-orang yang dikenal sebagai Tiga Golok Cagak. Menyaksikan 
tatapan Pendekar Naga Putih dan Nagina, dalam menyambut kedatangan mereka, Pathar 
dan kawan-kawannya sadar kalau rahasia sudah terbongkar! 
Merasa tidak mungkin lagi berbantah, maka Pathar dan rekan-rekannya segera 
bergabung dengan dua kakek berjubah merah yang bernama Darmandu dan Arkham. 
Bahkan mereka sudah siap bertarung, karena sadar kalau Pendekar Naga Putih, Nagina, 
dan Tiga Golok Cagak tidak akan sudi membiarkan mereka pergi dari tempat itu. 
"Aku benar-benar kagum dengan sandiwara yang kalian mainkan, Algojo Empat 
Serangkai. Sayang, di saat kalian nyaris berhasil memperdayai kami, Tuhan telah 
mengirimkan Tiga Golok Cagak. Perbuatan kalian terhadap kami memang masih bisa 
dimaafkan. Tapi, karena untuk mencapai maksud itu kalian telah tega menyengsarakan 
penduduk-penduduk desa yang tidak berdosa, maka kami tidak bisa memaafkan. Apalagi, 
kalian adalah pemberontak-pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintahan sah. 
Sulit sekali bagi kami untuk memberi maaf kepada kalian. Lain soal, jika kalian mau 
menyerah untuk kami serahkan kepada Raja Godwana. Terserah Batsa, hukuman apa 
yang pantas diberikan untuk orang-orang seperti kalian," desis Pendekar Naga Putih yang 
berdiri tegak di hadapan Pathar dan kawan-kawannya, sejarak satu setengah tombak. 
Darmandu dan Arkham tertawa berkakakan mendengar ucapan Pendekar Naga 
Putih. Dengan sombong mereka melangkah ke depan menghadapi Pendekar Naga Putih. 
"Mulutmu besar sekali, Pardesi," ejek Darmandu. "Coba kulihat, apakah 
kemampuanmu sudah sebanding mulutmu." 
Dan begitu ucapannya selesai, Darmandu langsung mengulurkan cengkeraman 
jari-jari tangan kanan ke tenggorokan Pendekar Naga Putih. Gerakannya cepat bukan 
main. Bahkan masih disertai suara mendesis, tanda betapa sangat berbahaya 
serangannya. 
Tapi, kelitan Pendekar Naga Putih ternyata masih lebih cepat. Bahkan begitu 
mengelak, dengan menggunakan kuda-kuda rendah, Panji langsung mengirimkan 
serangan balasan berupa tusukan jari-jari tangan yang meluncur deras ke arah lambung 
Darmandu. 
"Jangan main keroyok!" seru Nagina ketika Arkham hendak membantu Darmandu. 
Putri Ular ini langsung mengirimkan kepalan-kepalan mungilnya, membuat 
Arkham bergegas melompat ke samping. Dan dengan tidak kalah cepat dan ganasnya, ia 
langsung membalas serangan Nagina. Dan sebentar saja, keduanya segera terlibat dalam 
sebuah perkelahian sengit. 
Sementara itu, begitu Pendekar Naga Putih dan Nagina sudah bertarung 
menghadapi Darmandu dan Arkham, Tiga Golok Cagak langsung saja berlompatan 
menerjang Algojo Empat Serangkai. Pertarungan pun semakin bertambah ramai. Masing-
masing sibuk mengerahkan segenap kemampuan. 
"Wah! Sudah ramai rupanya," desah Badundy yang tiba di tempat itu paling akhir, 
ia jadi ikut-ikutan sibuk. Tapi kalau yang lain sibuk bertarung, Badundy ini justru sibuk 
menonton. 
Setelah bertarung selama puluhan jurus Darmandu baru mengakui ketangguhan 
Pendekar Naga Putih meski cuma dalam hati. Bermacam jurus-jurus andalan telah 
digunakan untuk merobohkan, namun justru malah membuatnya penasaran. Ternyata, 
Pendekar Tanah Jawa itu bukan saja sanggup mematahkan setiap serangan, tapi juga 
mampu balas menyerang. 
Dan kini justru Darmandu yang mulai kelabakan. Karena tebaran hawa dingin yang 
keluar dari tubuh pemuda berpakaian putih itu telah mempengaruhi gerakannya. 
Akibatnya, Darmandu pun terdesak hebat. Pertahanannya kian lemah. Sementara, 
serangan Pendekar Naga Putih malah justru semakin gencar. Akibatnya belasan jurus 
kemudian, Darmandu tak dapat lagi mempertahankan dirinya. 
Buk! Des! 
"Aakh...!"

Kepalan dan gedoran telapak tangan Pendekar Naga Putih pada iga dan lambung, 
membuat Darmandu terhumbalang muntah darah disertai pekik kesakitan. Tapi, 
Darmandu tidak sudi ditangkap dan diserahkan kepada Raja Godwana. Maka tanpa 
mempedulikan luka dalam yang diderita, ia kembali melompat dan menerjang ganas. 
Tapi, Pendekar Naga Putih bergerak lebih cepat. Dengan sebuah teriakan panjang, 
tubuhnya melambung ke udara. Lalu dari atas, dua telapak tangannya cepat menghantam 
dua telinga Darmandu. 
Prak! 
"Aaa...!" 
Kontan Darmandu meraung dan menggelosor di tanah. Setelah meregang nyawa, 
kakek itu tewas dengan mulut, hidung, dan telinga mengalirkan darah. 
Sesaat setelah Darmandu tewas, terdengar raung kesakitan yang disusul 
terlemparnya tubuh Arkham. Kakek bertubuh kurus itu keadaannya lebih parah lagi. 
Gedoran dua telapak tangan Nagina yang dilandasi 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', 
langsung membuatnya tewas dalam keadaan tubuh hangus! Hal itu menunjukkan betapa 
dahsyatnya tenaga mukjizat milik Nagina. 
Sementara itu, pertarungan antara Algojo Empat Serangkai melawan Tiga Golok 
Cagak tampak masih berlangsung sengit. Nagina dan Pendekar Naga Putih yang 
menyaksikan pertarungan, merasa tidak perlu turun-tangan. Sebagai ahli-ahli silat 
berpengalaman, mereka dapat menilai bahwa pada akhirnya Tiga Golok Cagak akan dapat 
mengakhiri perlawanan Algojo Empat Serangkai. 
Apa yang diduga Pendekar Naga Putih dan Nagina mulai terbukti. Belasan jurus 
kemudian.... 
"Aaa...!" 
Jackal, orang terakhir dari Algojo Empat Serangkai menjerit ngeri. Tubuhnya 
kontan terlempar dari kancah pertarungan dengan bersimbah darah, ia tewas dengan 
kepala nyaris terbelah. Pada keningnya terdapat bekas bacokan golok yang cukup dalam. 
Beberapa jurus kemudian, Sheru menyusul. Orang kedua dari Algojo Empat 
Serangkai itu menggelepar tewas dengan isi perut terburai. 
Tinggallah Pathar dan Kaalja yang masih bertahan. Itu pun tidak memakan waktu 
lama. Sepuluh jurus setelah kematian Sheru, Kaalja menyusul. Sementara Pathar pun 
tidak sanggup bertahan lebih lama. Orang pertama dari Algojo Empat Serangkai itu tewas 
paling akhir. Sepasang matanya mendelik, seolah masih belum rela meninggalkan dunia. 
*** 
Dalam perjalanan, Pendekar Naga Putih mengutarakan maksud kedatangan ke 
Tanah India, ketika Govinda dan dua rekannya bertanya. 
"Raj Badur dan Raj Sagar juga termasuk di antara pimpinan Pasukan Pembela 
Rakyat," jelas Govinda, yang merupakan tokoh kawakan dan berpengalaman. "Jika kau 
mempunyai kepentingan dengan mereka, mari kita datangi saja markas Pasukan Pembela 
Rakyat, yang dipimpin Ardhana itu" 
"Apa hal itu tidak membahayakan diri kalian?" tanya Pendekar Naga Putih. 
"Selama ini kami memang menyelidiki gerakan mereka. Tapi, baru tadi kami 
bentrok dengan orang-orang Pasukan Pembela Rakyat. Jelasnya, perbuatan kami belum 
diketahui. Jadi, kau tidak perlu khawatir, Pendekar Naga Putih. Kita semua bisa berpura-
pura datang untuk bergabung," jelas Govinda. Dan ini membuat Pendekar Naga Putih 
merasa lega. Tidak ada alasan lagi baginya untuk menolak usul Govinda. 
Tanpa terasa mereka telah tiba di Hutan Kakaala, markas Pasukan Pembela 
Rakyat. 
Hutan Kakaala atau juga disebut Hutan Hitam, membuat Pendekar Naga Putih dan 
kawan-kawannya terkejut. Karena hampir di mulut hutan, tampak selusin tentara 
kerajaan yang seperti tengah berjaga-jaga. 
"Apakah mereka anggota Pasukan Pembela Rakyat yang menyamar sebagai tentara 
kerajaan, Paman Govinda?" Pendekar Naga Putih memandang Govinda. 
Sedangkan tokoh tertua dari Tiga Golok Cagak itu sendiri tampak tengah berpikir. 
"Kurasa tidak," jawab Govinda seraya menggeleng pelan, agak meragu. "Mungkin 
ada sesuatu terjadi. Sebaiknya, kita tanyakan saja kepada pimpinan mereka."

Pendekar Naga Putih dan yang lain sama-sama mengangguk setuju. Lalu, mereka 
pun bergerak menghampiri tentara-tentara kerajaan yang berjaga-jaga di mulut Hutan 
Hitam. 
"Berhenti!" seru salah seorang kepala pasukan dengan suara lantang. "Siapa 
kalian?! Dan, dari mana hendak ke mana?" 
Sorot mata laki-laki itu menyelidik sambil memberi isyarat kepada pasukannya 
untuk mengepung. 
"Kami adalah sahabat-sahabat Tuan Mahendharata dan Rajmid Khan. Kebetulan 
kami lewat di dekat hutan ini. Kalau boleh kami bertanya, apakah yang sudah terjadi di 
tempat ini, Tuan Perwira? Karena sepanjang pengetahuan kami, di dalam Hutan Kakaala 
ini terdapat markas gerombolan penentang kerajaan yang dipimpin tokoh berjuluk Maharaj
dan Maharani?" Govinda langsung saja memperkenalkan diri, sekaligus mengajukan 
pertanyaan. 
Perwira pasukan itu merasa kaget mendengar ucapan Govinda. Dan itu 
membuatnya malah bertambah curiga. Dengan sikap waspada, diperhatikannya wajah 
keenam orang itu satu persatu. Seolah, tengah menilai apakah wajah keenam orang itu 
mencerminkan watak jahat atau tidak. 
"Percayalah, Tuan Perwira. Kami adalah sahabat-sahabat Mahendharata dan 
Rajmid Khan yang merupakan pengawal-pengawal pribadi Batsa. Dan kami berjuluk Tiga 
Golok Cagak." 
Karena tidak ingin mendapatkan kesulitan, Govinda mencoba memperkenalkan 
julukannya. Dengan harapan, perwira itu pernah mendengarnya. Dan apa yang 
diharapkan ternyata menjadi kenyataan. 
"Aaah! Kalau begitu, kalian benar-benar bukan anggota gerombolan pemberontak 
itu!" seru kepala pasukan itu dengan wajah menunjukkan kelegaan hatinya. "Tuan 
Mahendharata dan Rajmid Khan memang pernah menyebut-nyebut nama kalian. Tapi 
kalau boleh tahu, apa keperluan kalian datang ke tempat ini?" 
"Govinda! Kaukah itu, Sahabat?" 
Belum lagi Govinda menjawab, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang kemudian 
disusul berkelebatnya dua sosok bayangan. Begitu mengenali siapa dua orang yang baru 
datang, wajah Govinda langsung berseri. 
"Mahendharata, Rajmid Khan," seru Govinda seraya menjabat tangan kedua jago 
istana kepercayaan Raja Godwana itu. "Senang sekali bisa bertemu kalian berdua 
kembali." 
Govinda lalu memperkenalkan Pendekar Naga Putih, Nagina, serta Badundy kepada 
Mahendharata dan Rajmid Khan. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi, langsung saja 
diutarakannya maksud kedatangan ke tempat ini. 
"Kami memang telah menggulung gerombolan pemberontak yang menyebut diri 
sebagai Pasukan Pembela Rakyat itu. Dua pemimpinnya, Maharaj dan Maharani sudah 
tertangkap. Tapi, masih banyak pimpinan mereka yang masih berkeliaran." 
Kemudian Mahendharata menyebutkan sejumlah nama. 
"Sedangkan Raj Badur dan Raj Sagar, menurut keterangan yang berhasil kami 
peroleh dari Maharaj, mereka berdua dibawa Khar Najad ke salah satu Lembah Sungai 
Indus, yang terdapat air terjun. Tempat itu terletak di sebelah tenggara," jelas 
Mahendharata. 
"Terima kasih atas keteranganmu, Mahendharata," ucap Govinda, tersenyum lebar. 
"Mengenai pimpinan-pimpinan Pasukan Pembela Rakyat yang kau anggap masih 
berkeliaran seperti Darmandu, Arkham, dan Algojo Empat Serangkai, rasanya tidak perlu 
dicari lagi. Sebab, mereka semua telah kami tanam di dalam tanah." 
"Ah! Kau benar-benar mengagumkan, Govinda!" puji Mahendharata setengah 
berseru gembira. "Jasamu terhadap kerajaan perlu mendapat perhatian Batsa." 
Govinda tertawa sambil menggoyang-goyangkan telapak tangan, tanda tidak 
mengharapkan imbalan apa pun. Lalu wajahnya berpaling memandang Pendekar Naga 
Putih dan Nagina. 
"Kami bertiga harus segera mencari Raj Badur dan Raj Sagar ke Lembah Sungai 
Indus," ujar Pendekar Naga Putih, maklum makna tatapan Govinda. 
"Karena tidak ingin menyusahkanmu, maka biarkanlah kami tidak ikut serta," kata 
Govinda, tersenyum kepada Pendekar Naga Putih. Kemudian dimintanya Mahendharata 
memberi petunjuk agar bisa lebih mudah menemukan tempat air terjun itu.

Setelah merasa cukup mendapatkan keterangan dan petunjuk, Pendekar Naga 
Putih dan Nagina segera berpamit. Bersama Badundy, yang tidak pernah ketinggalan nona 
majikannya, mereka pun bergerak meninggalkan Hutan Kakaala. 
*** 
Suara pertarungan yang tengah berlangsung, tidak jauh dari letak air terjun. Dan 
ini memudahkan Pendekar Naga Putih dan Nagina mencarinya. Mereka tiba tepat pada 
saat Khar Najad, yang dikeroyok Raj Badur dan Raj Sagar tengah jatuh bangun dihajar 
kedua orang itu. 
Raj Badur kini bukan hanya wajahnya saja yang mirip seekor singa. Malah pada 
jari-jari tangannya juga telah tumbuh kuku-kuku panjang dan runcing, ia meraung keras, 
mengejar Khar Najad yang jatuh terguling-guling. Dua tangannya bergerak susul-menyusul 
dengan cabikan liar. Dan.... 
Brettt! Bret! 
"Aaa...!" 
Khar Najad yang sudah tidak berdaya meraung setinggi langit ketika tubuhnya 
tercabik-cabik tangan runcing Raj Badur. Darah muncrat dari beberapa bagian tubuhnya 
yang terkoyak. Penderitaannya pun segera berakhir. Cakaran kuku runcing pada 
tenggorokannya, membuat nyawanya seketika melayang. 
Pendekar Naga Putih dan Nagina tidak keburu mencegah perbuatan Raj Badur. 
Mereka baru tiba di hadapan Raj Badur, setelah Khar Najad tewas. 
Raj Badur yang meskipun wajahnya telah jauh berubah itu, tampak melengak kaget 
ketika mengenali bahwa yang datang Pendekar Naga Putih. Hampir tidak dipercaya kalau 
Pendekar Naga Putih bisa sampai ke Tanah India. 
Sementara Raj Sagar pun tidak kalah kagetnya. Apalagi ketika melihat Nagina, yang 
dikenalnya sebagai cucu dari Garmanu, seorang tokoh ahli pengobatan yang nama 
besarnya dikenal hampir seluruh tokoh persilatan baik di India Utara maupun Selatan. 
"Kami hendak mengambil Sepasang Intan Biru yang kau curi itu, Raj Badur, Raj 
Sagar," tanpa basa-basi lagi, Pendekar Naga Putih langsung menuntut Raj Badur dan Raj 
Sagar. 
"Kedua benda itu sudah tidak ada pada kami, Pendekar Naga Putih!" kata Raj 
Badur setengah menghardik. "Kami sudah menyerahkannya kepada Raja Godwana." 
"Aku tidak mau dibohongi untuk kedua kalinya, Raj Badur," tegas Pendekar Naga 
Putih, menatap Raj Badur dengan sorot mata mengancam. 
"Raj Badur benar, Pendekar Naga Putih," timpal Raj Sagar. "Dan Raja Godwana 
telah memberi hadiah seperti ini" 
Raj Sagar segera memperlihatkan mata kanannya yang bengkak dan bernanah. 
"Dan aku memperoleh ini!" Raj Badur mengangkat tangan kirinya yang buntung. 
Luka bekas bacokan itu tampak bengkak bernanah dan menjijikkan. 
Menyaksikan luka itu, mau tidak mau Pendekar Naga Putih dan Nagina membuang 
muka ke arah lain. Mereka tak bisa membuang rasa jijik. Apalagi luka bernanah itu 
mengeluarkan bau busuk yang memualkan perut! 
"Pada Sepasang Intan Biru melekat satu kutuk yang mengerikan. Dan sepertinya, 
kalian telah terkena kutuk itu," kata Nagina, seolah merasa bersyukur melihat Raj Badur 
dan Raj Sagar telah mendapatkan ganjaran atas kejahatannya. 
"Tapi keterangan mereka belum tentu benar, Nagina. Ingat! Mereka adalah 
manusia-manusia licik yang menghalalkan segala cara demi kepentingan sendiri," tegas 
Pendekar Naga Putih, mengingatkan Nagina. 
"Aku tidak peduli kalian percaya atau tidak!" hardik Raj Badur gusar. "Dan aku pun 
tidak takut menghadapimu, Pendekar Naga Putih!" 
"Takut atau tidak, itu urusan kalian," tukas Pendekar Naga Putih tidak mau kalah 
gertak. "Dan perlu diketahui, aku tetap akan merebut Sepasang Intan Biru dari tangan 
kalian!" 
Seketika Raj Badur dan Raj Sagar sama-sama melompat mundur, bersiap 
menghadapi Pendekar Naga Putih dan Nagina. 
Sementara itu, Ratu Iblis Tangan Darah yang tengah bertarung melawan Putri 
Cande Galia, menyempatkan diri untuk melirik ke tempat murid-muridnya berada. 
Perselisihan yang didengarnya tadi meskipun kata-katanya tidak jelas tertangkap, namun

membuat serangan-serangannya terhenti. Lalu sekali menjejakkan kaki saja, tubuhnya 
langsung melesat ke tempat Raj Badur dan Raj Sagar berada. 
Perbuatan Ratu Iblis Tangan Darah membuat terkejut Putri Cande Galia. Khawatir 
kalau Ratu Iblis Tangan Darah merebut Cermin Ajaib di tangan Raj Badur, maka tanpa 
membuang waktu lagi segera tubuhnya melesat ke arah Raj Badur, dengan maksud 
hendak merebut Cermin Ajaib. 
"Kembalikan Cermin Ajaibku, Pencuri Laknat!" seru Putri Cande Galia semasih 
tubuhnya melayang di udara. Sementara tangan kanannya diulurkan untuk merebut 
Cermin Ajaib. 
"Siluman betina tak tahu adat!" bentak Ratu Iblis Tangan Darah jengkel. Tangannya 
cepat dikibaskan ke samping, langsung memapak uluran tangan Putri Cande Galia. 
Plakkk! 
Putri Cande Galia terpental balik dengan sekujur lengan terasa sakit dan ngilu. 
Demikian cepat Ratu Iblis Tangan Darah menggerakkan tangan, memapak uluran 
tangannya. Sehingga benturan keras itu tidak sempat dihindarinya. 
Tapi, Putri Cande Galia merasa sangat bersyukur, karena sebelum dirinya 
dirobohkan, Ratu Iblis Tangan Darah sudah meninggalkan arena pertarungan. Dan mau 
tidak mau, Putri Cande Galia merasa sangat berterima kasih kepada dua pendatang yang 
tengah berdebat dengan Raj Badur dan Raj Sagar. 
*** 
"Siapa kalian? Ada urusan apa dengan muridku?" tegur Ratu Iblis Tangan Darah 
pada Pendekar Naga Putih dan Nagina dengan sorot mata penuh selidik. 
Saat memandang wajah Pendekar Naga Putih, Ratu Iblis Tangan Darah berhenti 
agak lama. Wajah pemuda yang jauh berbeda dengan penduduk negeri ini, membuatnya 
maklum. Jelas, pemuda tampan itu dari negeri asing. 
"Kami hendak mengambil Sepasang Intan Biru dari mereka," jelas Pendekar Naga 
Putih langsung tanpa basa-basi. 
Ratu Iblis Tangan Darah kelihatan terkejut. Begitu juga Putri Cande Galia. Malah, 
putri bangsa siluman itu sampai menarik kepala ke belakang saking kagetnya. Karena 
benda yang dicari pemuda tampan itu, ada padanya. Dan ia tidak bisa menahan rasa 
penasarannya. 
"Untuk apa kau mencari Sepasang Intan Biru?" tanya Putri Cande Galia, 
memandang Pendekar Naga Putih. 
"Kami harus segera membawa kembali benda keramat itu!" Nagina yang menjawab. 
"Sebab, selama Sepasang Intan Biru belum dikembalikan ke tempat semula, yaitu pada 
kening patung Rama dan Shinta, rakyat negeriku yang berada di bagian India Utara, akan 
terus menderita. Baik itu berupa wabah penyakit menular, maupun bencana-bencana 
alam. Itulah sebabnya, mengapa kami berkeras untuk memperoleh kembali Sepasang 
Intan Biru, walau harus mempertaruhkan nyawa!" 
Mendengar keterangan Nagina, Putri Cande Galia tampak termenung. Ia sendiri 
sangat memerlukan Sepasang Intan Biru untuk merubah dirinya menjadi manusia utuh. 
Semua itu akan diperoleh apabila mandi dalam air rendaman Sepasang Intan Biru selama 
tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Kemudian, berkaca pada Cerman Ajaib untuk 
mengabadikan kecantikan dan kemudaannya. Tapi setelah mendengar ucapan Nagina, 
Putri Cande Galia menjadi bimbang. Benar, ia separuh siluman. Tapi, ia bukanlah 
golongan siluman jahat. Dan penderitaan rakyat negeri Nagina, membuatnya tersentuh. 
"Sepasang Intan Biru ada padaku," kata Putri Cande Galia akhirnya, 
mengesampingkan kepentingan diri. "Raja Godwana memberikannya kepadaku, sebagai 
dari lamaran yang diajukannya kepadaku. Tapi karena kalian lebih memerlukannya, 
Biarlah Sepasang Intan Biru ini kukembalikan kepada kalian." 
Kemudian, wanita cantik ini mengambil Sepasang Intan Biru dari balik pakaiannya 
dan diserahkan kepada Nagina. 
Tapi sebelum Sepasang Intan Biru sempat diambil Nagina, Ratu Iblis Tangan Darah 
yang sudah merasa tertarik untuk memilikinya, bergerak cepat untuk merebut benda itu. 
"Awas...!" 
Pendekar Naga Putih yang sejak tadi memperhatikan raut wajah dan sikap Ratu 
Iblis Tangan Darah berteriak memperingatkan. Sambil berseru demikian, langsung

didorongnya tubuh Nagina dan Putri Cande Galia. Sehingga, dua orang wanita muda dan 
cantik itu sama terhuyung mundur beberapa langkah. Namun tindakan Pendekar Naga 
Putih telah menggagalkan perbuatan Ratu Iblis Tangan Darah! 
Ratu Iblis Tangan Darah menggeram gusar. Demikian besar hasratnya untuk dapat 
memiliki Sepasang Intan Biru. Sehingga begitu gagal, langsung dikejarnya Putri Cande 
Galia. 
"Cegah Nenek Buruk itu, Pendekar Naga Putih...!" seru Nagina terkejut. 
Tapi tanpa diperingatkan Nagina pun, Pendekar Naga Putih memang sudah 
bermaksud mencegah, sebab memang tidak ingin kehilangan Sepasang Intan Biru itu lagi. 
Tentu saja perbuatan Pendekar Naga Putih membuat Ratu Iblis Tangan Darah 
menjadi marah bukan main. Begitu melihat pemuda itu menghadangnya, langsung 
serangan-serangan maut yang mematikan dilontarkannya. 
Meskipun sudah menduga kalau nenek itu bukanlah orang sembarangan, namun 
tetap saja Pendekar Naga Putih dibuat terkejut. Dan kenyataan yang dilihat dan 
dirasakannya memang jauh lebih dahsyat daripada apa yang diperkirakan. Akibatnya 
serangan Ratu Iblis Tangan Darah yang sangat menggiriskan, membuat Pendekar Naga 
Putih kewalahan menghadapinya. 
Dan kalau saja Putri Cande Galia tidak datang membantu, Pendekar Naga Putih 
maklum kalau dirinya mungkin akan mendapat cidera. Bantuan wanita cantik ini 
melegakan hatinya. Dan mereka berdua ternyata dapat bekerja sama dengan baik dalam 
menghadapi Ratu Iblis Tangan Darah. Maka pertarungan berjalan seru dan tampak 
berimbang. 
Semula, Nagina hendak ikut terjun ke kancah pertarungan. Namun suara langkah 
kaki Raj Badur dan Raj Sagar yang secara licik hendak melarikan diri, membuatnya sadar 
kalau telah mendapatkan bagian. Dan dengan sekali lompatan saja, gadis itu telah berdiri 
menghadang di hadapan Raj Badur dan Raj Sagar. 
Raj Badur dan Raj Sagar maklum kalau Nagina tidak mungkin akan melepaskan 
begitu saja. Maka tanpa banyak cakap lagi, mereka langsung menerjang Nagina dengan 
hebat. 
"Bagus! Memang begitulah seharusnya, karena aku tidak akan melepaskan kalian 
begitu saja. Arwah dua orang pendeta sahabat kakekku, tidak akan bisa tenang selama 
kalian masih berkeliaran menebar kejahatan di atas muka bumi ini!" ujar Nagina, langsung 
mempersiapkan jurus-jurus untuk menghadapi keroyokan Raj Badur dan Raj Sagar yang 
tampak telah nekat. 
Raj Badur dan Raj Sagar maklum akan kesaktian Nagina. Maka mereka berusaha 
keras untuk memenangkan pertarungan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan. 
Tapi, meskipun serangan-serangan mereka sangat ganas dan gencar, Nagina tetap 
dapat mengatasinya. Malah serangan-serangan balasannya, yang menggunakan 'Tenaga 
Sakti Inti Panas Bumi', membuat Raj Badur dan Raj Sagar seolah bertarung di tengah-
tengah kobaran api. 
Hawa panas yang keluar dari setiap sambaran tangan Nagina, membuat Raj Badur 
dan Raj Sagar tidak dapat memusatkan pikirannya dengan baik. Apalagi, tubuh mereka 
yang terasa seperti berada di atas tungku api, sudah basah kuyup oleh keringat. Dan itu 
sangat mengganggu, membuat mereka tidak bisa memainkan jurus-jurusnya dengan baik. 
Akibatnya, lewat dua puluh jurus kemudian, mereka pun terdesak hebat. 
"Hyaaat...!" 
Disertai bentakan-bentakan keras, Nagina terus mendesak Raj Badur dan Raj 
Sagar. Serangan-serangannya yang susul-menyusul laksana ombak di lautan, membuat 
Raj Badur dan Raj Sagar semakin kewalahan dan tidak memiliki kesempatan balas 
menyerang. Sampai akhirnya.... 
Desss...! 
"Aaa...!" 
Raj Sagar yang mendapat bagian pertanda kontan terpental disertai raungan keras. 
Hantaman telapak tangan Nagina yang disertai tenaga berhawa panas, membuat bagian 
dadanya hangus seketika. Dan nyawanya sudah putus sebelum tubuhnya terbanting di 
tanah. 
Kematian Raj Sagar membuat Raj Badur kalap! Dengan nekat, diterjangnya Nagina 
secara membabi-buta. Tapi hal itu justru merupakan kesalahan besar.

Serangan-serangan yang dilakukan tanpa perhitungan, dengan mudah dapat 
dielakkan Nagina. Dan terbuka lebarnya pertahanan Raj Badur, membuat Nagina mudah 
sekali mengakhiri pertarungan itu. Sebuah tebasan sisi telapak tangan miring yang 
dilancarkan Nagina, telak bersarang di leher Raj Badur. 
Diegh! 
"Aakh...!" 
Terdengar suara bunyi berderak tulang leher yang patah. Dan, Raj Badur pun 
kontan terbanting, tewas menyusul Raj Sagar. 
*** 
Di arena lain, Ratu Iblis Tangan Darah yang menghadapi gempuran Pendekar Naga 
Putih dan Putri Cande Galia, tampak mulai kewalahan. Putri Cande Galia menyerang 
menggunakan ilmu-ilmu negeri siluman yang bagi akal manusia sangat sulit dijabarkan. 
Karena tidak jarang, serangannya menggunakan lidah yang dapat memanjang keras seperti 
besi, dan panas seperti bara api. Dan itu sangat merepotkan Ratu Iblis Tangan Darah. 
Sedangkan Pendekar Naga Putih sudah menggunakan Pedang Naga Langit, yang 
sambaran anginnya mengandung hawa panas menyengat disertai suara bergemuruh, 
laksana deru angin topan. Jurus-jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang bagi Ratu Iblis Tangan 
Darah sangat asing, membuatnya tak mampu balas menyerang. Sehingga setelah 
pertarungan memasuki jurus yang kedelapan puluh tujuh, Ratu Iblis Tangan Darah hanya 
bisa bertarung mundur. Memang, Pendekar Naga Putih dan Putri Cande Galia telah 
menutup setiap langkahnya. 
Ratu Iblis Tangan Darah menyadari ancaman bahaya yang terus mengincarnya. 
Dan wajah buruknya kini mulai memperlihatkan kegelisahan hatinya. Malah, rasa gentar, 
mulai menjalari hatinya, ketika beberapa kali tusukan dan babatan Pedang Naga Langit 
sempat menggores bagian-bagian tubuhnya. Kenyataan ini membuat Ratu Iblis Tangan 
Darah maklum, kalau pada akhirnya akan dapat dikalahkan dua orang lawannya. 
Bayangan kematian tiba-tiba melintasi benaknya. 
"Hiaaattt...!" 
Dalam keadaan dihinggapi rasa putus asa, Ratu Iblis Tangan Darah tiba-tiba 
mengeluarkan lengkingan panjang yang merobek kekelaman malam. 
Pendekar Naga Putih dan Putri Cande Galia menjadi kaget, lalu melompat mundur. 
Mereka langsung menyiapkan seluruh kekuatan, karena menduga Ratu Iblis Tangan Darah 
akan mengamuk habis-habisan. Tapi mereka menjadi kaget, karena ketika melompat 
mundur Ratu Iblis Tangan Darah ternyata tidak menyerang. Sebaliknya, ia malah memutar 
tubuh dan melesat secepat-cepatnya pergi dari arena pertempuran. Dan kegelapan malam 
membantu Ratu Iblis Tangan Darah lolos. 
"Tidak perlu dikejar...!" 
Pendekar Naga Putih dan Putri Cande Galia menunda gerakannya, ketika menoleh 
dan melihat Nagina tengah melangkah menghampiri. Di tangan kanan gadis itu tampak 
tergenggam Cermin Ajaib yang semula diincar Ratu Iblis Tangan Darah untuk memperoleh 
kemudaan dan kecantikan. Nagina menyerahkan Cermin Ajaib kepada pemiliknya, Putri 
Cande Galia. 
"Sepasang Intan Biru ini kukembalikan kepadamu. Semoga rakyat negerimu 
kembali mendapatkan ketenangan dan kedamaian," ujar Putri Cande Galia sambil 
menyerahkan Sepasang Intan Biru kepada Nagina, setelah mendapatkan kembali Cermin 
Ajaibnya. 
"Hanya aku yang tidak mendapat apa-apa...." 
Putri Cande Galia dan Nagina memutar kepala, memandang Pendekar Naga Putih. 
Kemudian mereka saling bertukar pandang sesaat, lalu sama-sama tersenyum. 
"Apa kau sanggup memondong aku dan Nagina? " 
"Haaah...?!" 
Pendekar Naga Putih melongo seperti kerbau bego. Putri Cande Galia dan Nagina 
tertawa geli melihatnya. Tapi, tawa mereka segera terhenti ketika melihat Pendekar Naga 
Putih datang menghampiri dengan kedua lengan terkembang! 
"Sangguuup...!" teriak Pendekar Naga Putih, siap menerkam dua wanita cantik 
bertubuh molek itu.

Nagina dan Putri Cande Galia langsung lari terbirit-birit dikejar-kejar Pendekar 
Naga Putih! 



                     SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar