PUTRA HARIMAU
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Putra Harimau
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Malam baru saja berganti pagi. Cahaya kuning keemasan
berpendar menghangatkan bumi. Angin sejuk bersilir lembut
mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan di wilayah Hutan
Welang, sebuah hutan liar yang terletak di sebetah Barat
Kadipaten Danau Bulus.
Pagi itu, empat sosok lelaki tegap berpakaian pemburu
tampak bergerak menerobos semak belukar. Pemandangan
seperti itu tidaKiah aneh. Sebab, musim panas seperti itu
memang saat yang tepat untuk mencari binatang-binatang
buruan. Apalagi, Hutan Welang adalah daerah yang paling
banyak dihuni binatang buas, yang tentunya sangat disenangi
para pemburu.
"Menjelang siang nanti, kita pasti sudah tiba di lembah. Saat
sinar matahari sedang terik-teriknya, banyak binatang yang
berteduh. Hanya saja, harus hati-hati, jangan sampai
kedatangan kita tertangkap oleh penciuman mereka yang
tajam," lelaki terdepan mengingatkan ketiga kawannya.
Tubuh lelaki yang berbicara itu tinggi tegap dan kokoh,
sangat cocok bagi seorang pemburu. Belum lagi, bulu-bulu
lebat menghiasi sebagian wajahnya. Maka semakin angkerlah
penampilan lelaki itu.
Orang kedua, bertubuh sedikit lebih pendek. Wajahnya
persegi empat, dengan sepasang mata kecil menjorok ke
dalam. Namun, penampilan orang kedua ini tidak kalah
angkernya dengan sosok pertama. Dilihat dari gerak
langkahnya, lelaki itui tentu bukan orang sembarangan. Seperti
juga orang pertama, dia tampaknya memiliki kepandaian silat
Lelaki ketiga dan keempat berperawakan lebih kurus.
Meskipun begitu, gerak-gerik keduanya tampak sigap. Jelas
bahwa keempat orang pemburu itu tidak dapat disamakan
dengan pemburu-pemburu lainnya.
"Apa tidak sebaiknya kita mulai saja dari sini, Kakang?
Sepertinya di sekitar sini pun banyak terdapat binatang
buruan," kata lelaki kedua sambil memperlambat langkah dan
menggerakkan tangan kanannya, menyibak pohon yang
menghalangi.
"Aku rasa pendapat Gantar ada benarnya, Kakang. Untuk
apa jauh-jauh ke lembah, kalau di sekitar sini saja kita sudah
bisa mendapatkan binatang buruan?" timpal orang ketiga yang
bertubuh agak kurus, yang jelas sangat setuju dengan usul
rekannya yang dipanggil Gantar itu.
"Memang, di sini banyak binatang buruan. Tapi untuk
mendapatkannya sangat sulit. Kita harus bersusah-payah dulu
menerobos semak belukar dan rawa-rawa. Lain halnya di
lembah sana. Mereka berteduh saling berkelompok. Lagi pula
binatangnya gemuk-gemuk," ungkap lelaki tinggi tegap yang
tampaknya pemimpin dari kelompok kecil pemburu itu.
Ketiga orang pemburu lainnya mengangguk-anggukkan
kepala dengan wajah berseri-seri. Mata ketiga orang itu
berbinar membayangkan binatang buruan yang gemuk-gemuk.
"Wah, kita bisa membawa hasil buruan yang hebat kali ini.
Dari mana Kakang tahu? Apakah Kakang sudah pernah ke
sana?" tanya Gantar penasaran.
"Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan serombongan
besar pemburu. Mereka mendapatkan banyak binatang buruan.
Nah, dari merekalah aku mendapatkan keterangan tentang
lembah di sebelah Barat hutan ini. Oh ya, sebelum berpisah,
pemimpin rombongan itu berpesan pula agar aku menjauhi
lembah itu. Katanya, meskipun di sana banyak binatang
buruan, bahayanya tidak sedikit. Tidak kurang dari delapan
orang di antara mereka tewas diterkam binatang buas. Juga,
enam orang dari mereka mengalami luka yang cukup parah,"
kata lelaki tinggi gagah itu.
"Kalau lembah itu banyak dihuni binatang buas, mengapa
kau berniat hendak ke sana, Kakang?" tanya Gantar lagi
dengan wajah agak heran.
"Ha ha ha..., apa kau merasa takut, Adi Gantar? Rombongan
yang kutemui itu bukanlah orang-orang terlatih seperti kita.
Mereka sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Jadi wajar
saja kalau mereka menjadi sasaran empuk binatang-binatang
buas itu. Lain halnya dengan kita. Dengan kepandaian yang kita
miliki, apa susahnya membela diri dari terkaman binatang
binatang buas itu?" sahut lelaki tinggi gagah itu lagi sambil
tertawa.
Gantar dan dua orang lainnya ikut tertawa dan mengangguk-
angguk tanda mengerti. Alasan yang dikemukakan pimpinan
mereka memang tidak salah. Sebagai orang-orang yang
memiliki kepandaian silat, tentu saja mereka tidak perlu takut
menghadapi binatang buas.
Keempat pemburu itu memang bukanlah orang
sembarangan. Mereka adalah murid-murid Perguruan Jari Besi,
sebuah perguruan yang sangat terkenal di kawasan Kadipaten
Danau Bulus. Bahkan, Adipati Danau Bulus sendiri sangat
menaruh hormat kepada ketua perguruan itu.
Ada pun lelaki gagah yang memimpin tiga orang temannya
dalam perburuan itu adalah tokoh tingkat tiga di Perguruan Jari
Besi. Namanya Maharya. Sedangkan tiga orang lainnya
merupakan tokoh tingkat empat, atau satu tingkat di bawah Ki
Maharya.
Tingkatan-tingkatan itu tidak didapatkan dengan mudah.
Banyak ujian berat yang harus mereka hadapi, sebelum Ki
Bonggala, Guru Besar Perguruan Jari Besi, mengukuhkan
mereka dalam tingkatan yang telah ditentukan.
Ki Bonggala sendiri bukanlah tokoh sembarangan. Lelaki
gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu sangat dikenal di
kalangan rimba persilatan. Pada masa mudanya, Ki Bonggala
banyak menghadapi pertarungan maut. Tidak sedikit tokoh
sesat yang tewas di tangannya. Sehingga, ia mendapat julukan
Pendekar Tangan Sakti. Setelah lelah berpetualang, sebuah
perguruan pun didirikan oleh pendekar gagah itu. Dan
dilatihnya murid-murid untuk meneruskan ilmu-ilmu yang
dimilikinya.
Sementara itu, keempat pemburu terus menerobos semak
belukar menuju lembah sebelah Barat Hutan Welang. Baru saja
mereka memasuki sebuah tempat yang agak lapang, tiba-tiba
terdengar suara tawa yang mengejutkan.
"Hua ha ha...!"
Cepat-cepat keempat pemburu itu melompat mundur dalam
keadaan siaga. Urat-urat tubuh mereka tampak menegang,
karena tenaga dalam mereka telah bergerak, siap menghadapi
segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Ki Maharya, lelaki tinggi tegap berusia empat puluh tahun
itu, mengedarkan pandangannya ber keliling. Sebagai
pemimpin kelompok kecil itu, tentu saja ia merasa paling
bertanggung jawab atas keselamatan mereka.
"Siapa kau? Tunjukkan dirimu...?" seru Ki Maharya sambil
mengerahkan tenaga dalam, sehingga suaranya menggema
sampai beberapa tombak jauhnya.
Ki Maharya dan adik-adik seperguruannya tidak perlu
menunggu lama. Baru saja gema teriakan Ki Maharya lenyap,
tampak sesosok tubuh gemuk dengan wajah bercambang lebat,
melangkah ringan menghampiri mereka.
"Hua ha ha...! Benar-benar gagah murid-murid Pendekar
Tangan Sakti! Mengagumkan..., mengagumkan...!"
Lelaki gemuk bercambang lebat itu berdecak-decak sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Ucapan yang keluar dari
mulutnya memang bernada pujian, tapi jelas ada kesan ejekan
pada sepasang mata dan wajahnya.
"Maaf, Sahabat! Benar, kami adalah murid-murid Ki
Bonggala. Tapi sayangnya kami begitu bodoh, tidak mengenali
siapa adanya sahabat yang gagah ini..," kata Ki Maharya sambil
membungkukkan badannya dengan sikap hormat
Ketiga adik seperguruan Ki Maharya juga menunjukkan sikap
hormat kepada lelaki bercambang lebat itu. Ki Bonggala
memang telah mengajarkan murid-muridnya untuk tidak
bersikap sombong, terlebih-lebih kepada orang yang sama
sekali belum dikenal.
"Hua ha ha.... Bagus..., bagus...! Rupanya Pendekar Tangan
Sakti telah berhasil mendidik murid-muridnya dengan baik.
Benar-benar membuat aku terharu...," kata lelaki gemuk itu lagi
dengan nada yang tidak enak.
"Maaf, kalau boleh kami yang bodoh ini ingin tahu, siapakah
adanya sahabat yang gagah ini? Dan, ada keperluan apakah
menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Maharya dengan sikap
yang mulai berubah.
Sorot mata Ki Maharya tidak lagi menyiratkan rasa hormat.
Jelas, dia mulai tidak suka dengan sikap sombong lelaki gemuk
itu.
"Hua ha ha.... Baik, kalau kalian benar-benar ingin
mengenalku. Orang menyebutku si Elang Hitam. Guru kalian, Ki
Bonggala, pasti telah mengenalku dengan baik. Dan, aku ada di
sini, jelas untuk membunuh kalian! Tapi, aku akan berbaik hati
dengan menyisakan salah satu dari kalian untuk menyampaikan
pesanku kepada Ki Bonggala. Bagaimana? Kalian pasti setuju
dengan usulku ini."
Ucapan yang dikeluarkan lelaki bercambang lebat itu
kelihatan enteng sekali, seolah-olah nyawa manusia sama sekali
tidak berharga baginya. Tentu saja hal ini membuat Ki Maharya
dan kawan-kawannya geram.
"Dengar, Orang Hutan!" ujar Gantar yang tidak dapat
menahan kemarahannya, sambil melangkah maju dan
menudingkan telunjuk ke wajah lelaki bercambang lebat itu.
"Siapa pun kau. Elang Hitam, Elang Belang, atau Elang Burik
sekalipun, kami murid-murid Ki Bonggala tidak takut mengha-
dapimu! Kehadiranmu di tempat ini jelas menunjukkan sifat
pengecut! Sebab, kalau kau seorang pemberani, tentunya kau
akan langsung datang mencari guru. Bukan menghadang kami
di tempat ini."
Ucapan Gantar jelas semata-mata dimaksudkan untuk
menghina dan menggertak lawan. Gertakan itu diharapkannya
dapat mengurungkan niat si Elang Hitam. Bagaimanapun,
tujuan mereka ke hutan ini adalah untuk berburu, bukan
berkelahi. Cerdik juga tampaknya lelaki bertubuh gempal itu.
"Perbuatanku boleh saja kau anggap pengecut, tapi ini
adalah siasat cerdik. Dengan membunuh tiga orang dari kalian,
aku telah membuat Ki Bonggala penasaran dan sakit hati. Nah,
bukankah itu namanya cerdik?" sahut si Elang Hitam yang
sekali tidak tampak terpengaruh dimaki sebagai pengecut itu.
"Kalau begitu, mengapa harus banyak bacot lagi? Lakukan
saja niatmu. Kami siap membuktikan, apakah kepandaianmu
juga sehebat ucapanmu!" bentak Ki Maharya sambil mencabut
pedang di pinggangnya.
Gantar dan dua temannya pun berjaga-jaga dengan senjata
masing-masing. Keempat murid Ki Bonggala itu tampak siap
menghadapi Elang Hitam.
"Bagus..., bagus..., itu baru namanya lelaki gagah.... Hua ha
ha...."
Tawa Elang Hitam terdengar berkepanjangan. Dia kemudian
melangkah maju menghampiri keempat lawannya. Dan sebagai
murid pendekar yang terlatih baik, tentu saja keempat
lawannya itu tidak memerlukan perintah pemimpinnya. Mereka
segera menyebar dan mengurung Elang Hitam yang terus saja
tertawa-tawa itu. Tampaknya Elang Hitam tidak ingin
mendahului pengeroyoknya, ia hanya berdiri tegak di tengah
arena dengan sikap sombong.
"Heaaat...!"
Ki Maharya yang berada di sebelah kanan Elang Hitam
berseru nyaring membuka serangan. Pedang lelaki tinggi gagah
itu berkelebatan, menimbulkan pendaran sinar yang
menyilaukan. Gerakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu
menunjukkan bahwa Ki Maharya tidak memandang rendah
lawannya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Gantar dan kawan-
kawannya pun berseru nyaring, sambil melesat dengan putaran
senjatanya. Sebentar saja suasana hutan yang sunyi itu pun
berubah bising oleh suara senjata yang mengaung-ngaung
tajam.
"Hmh...!"
Elang Hitam hanya mendengus kasar meliha gerakan para
pengeroyoknya. Dengan gerakan yang jauh lebih ringan dan
mantap, tubuhnya ditarik ke belakang saat tebasan pedang Ki
Maharya tiba. Kemudian badannya berputar ke kiri menghindar
sambaran pedang di tangan Gantar. Sedangkan dua serangan
lainnya dielakkan dengan melenting ke atas. Dan, langsung
dikirimkan hantaman dua buah telapak tangannya ke arah
punggung dua orang murid Perguruan Jari Besi.
Wukkk! Wukkk!
"Aihhh...!?"
Kedua orang murid itu terkejut bukan main. Serangan
balasan yang cepat dan tak terduga itu membuat mereka harus
menggulingkan tubuh dan menjauhi Elang Hitam.
Untunglah saat itu Ki Maharya telah melesat dengan babatan
senjatanya. Sehingga, Elang Hitam yang berniat mengejar dua
orang lawannya itu terpaksa menarik kembali kedua tangannya.
Dan, tubuhnya diputar dengan kekuatan pinggang.
Bettt...!
Tebasan pedang Ki Maharya berdesing tajam di atas kepala
Elang Hitam. Kalau saja gerakan Ki Maharya lebih cepat sedikit,
dapat dipastikan leher lelaki gemuk bercambang lebat itu akan
putus. Apa boleh buat, gerakan Elang Hitam masih jauh lebih
cepat dari sambaran pedang Ki Maharya. Serangan lelaki gagah
itu pun hanya menyambar angin kosong. Kemudian....
"Makan olehmu!" teriak Elang Hitam, disertai lontaran kaki
kanan dalam gerak menyamping, yang langsung mengancam
pelipis Ki Maharya.
Plak!
"Aaakh...!"
Ki Maharya mengeluh pendek. Meskipun berhasil menangkis
tendangan lawan dengan tangan kirinya, tubuh lelaki gagah itu
tak urung terhuyung dengan wajah menyeringai. Dia tampak
kesakitan memegangi tangan kirinya yang tadi terbentur kaki
lawan dengan keras.
Elang Hitam tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas itu. Cepat-cepat tubuhnya melesat dengan cengkeraman-
cengkeraman sepasang cakarnya yang bergerak dari bawah ke
atas mengancam dada dan lambung Ki Maharya.
"Yeaaat...!"
Namun, pada saat yang gawat itu, Gantar datang dengan
sambaran senjatanya. Tindakan lelaki bertubuh gempal itu
memang tepat sekali. Kalau tidak, Ki Maharya pasti akan
tersambar cakar lawan yang keras bagai besi itu.
Hebatnya Elang Hitam tidak kehilangan akal. Dengan
putaran tangan yang cepat, gerakannya berubah mengancam
Gantar. Dengan sebuah liukan tubuh yang mengejutkan,
sepasang cakar itu bergerak susul-menyusul mengincar tubuh
Ganta. Dan....
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Gantar memekik kesakitan ketika cakar tangan Elang Hitam
merobek lambung dan lehernya. Darah segar langsung
mengalir. Cakar sekeras besi itu merenggut kulit berikut daging
di tubuh Gantar. Dan selagi tubuh lelaki gempal itu terhuyung-
huyung, menyusullah sebuah gedoran keras menghajar
dadanya.
Blakkk!
"Aaargh...!"
Terdengar jerit melengking tinggi. Tubuh Gantar terpental
sejauh satu setengah tombak dan langsung melanggar
sebatang pohon di belakangnya. Tanpa ampun, tubuh itu
melorot jatuh dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir
darah segar. Gantar tewas seketika itu juga.
"Adi Gantar...!"
Ki Maharya berteriak kalap melihat adegan itu. Dengan
kemarahan yang meluap-luap, lelaki gagah itu segera
menerjang lawannya dengan tebasan pedangnya yang
bergulung-gulung.
Bettt! Bettt..!
"Hiaaah...!"
Elang Hitam membentak nyaring disertai lentingan tubuh ke
udara. Terjangan Ki Maharya dihindarinya dengan mudah. Dan
setelah berputar beberapa kali, lelaki gemuk itu kemudian
mendarat di belakang dua orang adik seperguruan Ki Maharya
lainnya.
Kreppp! Kreppp!
Cepat bagai kilat, cengkeraman Elang Hitam langsung
mencekal leher kedua orang itu. Salah satu dari keduanya
dilemparkan dengan sentakan tenaga dalam, sedangkan yang
seorang lagi langsung diremas hancur tulang lehernya.
"Iblisss...!"
Makin kalap Ki Maharya menyaksikan kejadian yang
menimpa adik-adik seperguruannya. Suaranya kini terdengar
lebih berupa bisikan ketimbang desis kemarahan. Berbagai
perasaan berkecamuk di dalam hatinya.
"Hua ha ha.... Ambillah tubuh busuk ini. Aku tidak
membutuhkannya...," teriak Elang Hitam sambil melemparkan
mayat lawan yang tulang lehernya telah diremas hancur itu.
Ki Maharya tertegun sejenak melihat mayat adik
seperguruannya melayang cepat ke arahnya. Segera
diputuskannya untuk menghindar. Malang Elang Hitam rupanya
telah memperhitungkan gerakan lelaki gagah itu.
Tepat pada saat tubuh Ki Maharya bergerak k kiri, Elang
Hitam melesat bagai kilat dengan cengkeraman mautnya.
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Ki Maharya memekik kesakitan! Tubuh tinggi tegap itu
terdorong sejauh satu tombak ke belakang. Belum lagi disadari
keadaannya, sebuah tendangan kilat telah menerpa dada
kirinya tanpa ampun.
Desss...!
"Hugkh...!"
Darah segar menyemprot dari mulut Ki Maharya. Tubuhnya
pun terlempar deras.
Bruggg!
Lelaki gagah murid Ki Bonggala itu meregang menahan sakit.
Dan, sebelum bergerak mencoba bangkit, telapak kaki lawan
langsung menjejak perut Ki Maharya.
Tanpa ampun, satu nyawa lepas lagi di tangan Elang Hitam
yang memiliki kekejaman luar biasa itu. Sekarang tinggal satu
orang murid Ki Bonggala yang masih hidup. Ia masih terduduk
kesakitan dengan noda darah memenuhi pakaiannya.
"Serahkan surat ini kepada gurumu...," ujar Elang Hitam
seraya melemparkan gulungan surat kepada murid bertubuh
kurus yang sengaja tidak dibunuhnya itu.
Setelah berkata demikian. Elang Hitam langsung melesat dan
lenyap di kelebatan pohon.
DUA
Ki Bonggala,
Kutunggu kau di lembah sebelah Barat Hutan Welang.
Kematian saudara seperguruanku harus kau bayar mahal!
Elang Hitam
"Hhh...."
Lelaki gagah dengan sorot mata penuh perbawa kuat itu
menarik napasnya dalam-dalam, kemudian dihembuskannya
kuat-kuat. Diremasnya hingga hancur kulit kayu yang baru saja
selesai dibacanya. Terdengar tarikan napas panjang saat ia
bangkit dari kursi.
"Jadi Ki Maharya dan dua orang temanmu yang lain telah
tewas di tangan Elang Hitam?" ujar lelaki gagah berusia sekitar
lima puluh tahun itu. Nada suaranya terdengar berat dan
dalam, sehingga menambah kewibawaannya.
Lelaki gagah itu lak lain adalah Ki Bonggala, yang dikenal
dengan julukan Pendekar Tangan Sakti. Pagi itu dia kedatangan
salah seorang muridnya. Murid bertubuh kurus itu melaporkan
segala kejadian yang dialami bersama kawan-kawannya ketika
berburu. Disampaikannya pula surat dari kulit kayu, yang
dikirimkan oleh Elang Hitam.
"Benar, Guru. Bukan maksudku untuk mencari selamat
sendiri. Tapi lelaki gemuk yang mengaku berjuluk Elang Hitam
itu memang berkata bahwa ia akan melepaskan salah seorang
dari kami untuk menyampaikan pesannya," sahut lelaki kurus
yang bersimpuh beberapa langkah di depan Ki Bonggala.
Pakaian lelaki kurus itu dipenuhi noda darah. Bahkan, pada
sudut bibir masih tersisa bekas-bekas darah.
"Hm..., bukan salahmu, Girja. Aku pun tidak
menyalahkanmu. Jangan kau siksa dirimu dengan rasa bersalah
itu hanya akan membuat jiwamu tertekan," jelas Pendekar
Tangan Sakti.
"Baik, Guru. Terima kasih...," ujar lelaki yang dipanggil Girja
itu dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap wajah
Pendekar Tangan Sakti.
"Hm..., kau beristirahatlah. Obati luka-lukamu...," ujar Ki
Bonggala sambil kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi.
Untuk kesekian kalinya, terdengar helaan napas panjang
yang berat. Sekilas tampak sinar kedukaan membayang di
wajah ki Bonggala.
Girja pun beranjak meninggalkan ruang pertemuan itu. Di
hadapan Ki Bonggala kini bersimpuh tiga murid utama
Perguruan Jari Besi yang turut mendengarkan pembicaraan
antara guru dan murid tadi.
"Guru...," kata salah seorang dari ketiga murid utama itu
sambil menatap wajah gurunya.
"Hm...."
Murid utama yang usianya hanya lebih muda lima tahun
dibanding gurunya itu terlihat merapatkan telapak tangannya
ketika mendengar gumaman Ki Bonggala. Tersirat gambaran
keengganan pada wajah murid utama itu. Untuk beberapa saat
dia terbungkam, seoalah olah tengah mencari kata-kata yang
tepat untuk disampaikan pada saat seperti itu. Suasana hening
sejenak.
"Ada apa, Lunggara? Kenapa kau malah diam? Kalau ada
sesuatu yang ingin kau tanyakan, tanyakanlah...," ujar Ki
Bonggala, menutup keheningan itu.
"Kalau boleh, kami murid-muridmu yang bodoh ini ingin
mengetahui, ada apakah sebenarnya, Guru. Andai saja kami
bisa meringankan persoalan yang sedang Guru hadapi, kami
siap membantu semampu kami, Guru...."
Akhirnya Lunggara mengutarakan juga apa yang menjadi
beban pikirannya. Lelaki berwajah bulat telur dengan jenggot
lebat menghias dagunya itu merasa ikut bertanggung jawab
atas persoalan yang mengganggu pikiran gurunya.
"Sebelum aku menjelaskan persoalan ini kepada kalian
bertiga, ada baiknya kalian mengetahui sedikit masa laluku,"
desah Ki Bonggala sambil menatap wajah ketiga orang murid
utamanya dengan sorot mata tajam.
Lelaki gagah itu ingin tahu, adakah gambaran keberatan
pada wajah-wajah muridnya. Lega hati Ki Bonggala ketika tidak
menemukan apa yang dikhawatirkannya itu.
"Kami siap mendengarkan, Guru...."
Lunggara dan dua murid utama lainnya segera menyahuti
dengan suara mantap. Ketiga orang murid itu sangat ingin
membantu memecahkan persoalan yang saat ini menjadi beban
gurunya.
"Dua puluh tahun yang silam, saat aku pindah dari kotaraja
ke tempat terpencil ini, ada suatu keajaiban yang tidak bisa
kulupakan seumur hidup. Saat itu aku telah menikah dan
mempunyai seorang putra yang belum lama lahir dari rahim
istriku. Rupanya, bibit-bibit permusuhan yang semasa muda
kutanamkan secara tidak langsung terhadap tokoh-tokoh
golongan hitam telah menjadi bencana bagi keluargaku.
Seorang tokoh sesat berjuluk Telapak Tangan Setan
menghadang perjalananku, ia bersekongkol dengan tokoh-
tokoh sesat lainnya yang pernah kukalahkan semasa aku masih
berpetualang di rimba persilatan. Sayang, meskipun aku
berhasil membinasakan mereka, istri dan anakku lenyap saat
keributan terjadi. Berbulan-bulan aku menjelajahi seluruh
wilayah Gunung Kendal dan Hutan Bajang. Tapi, pencarianku
sia-sia. Istri dan putraku bagaikan lenyap ditelan bumi. Karena
putus asa, kuputuskan untuk menetap di Desa Welang ini dan
mengambil murid-murid untuk menemaniku"
Ki Bonggala menarik napas panjang sambil tengadah
menatap langit melalui jendela yang terbuka. Tampak lelaki
gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya, ia terhanyut dalam
kesedihan mengenang masa lalunya.
Mendengar penuturan gurunya, ketiga murid utama itu
menundukkan kepala dalam-dalam. Mereka pun ikut merasakan
kesedihan yang dialami gurunya semasa mereka belum menjadi
murid lelaki gagah itu.
"Maaf, Guru...," ujar salah seorang dari ketiga murid utama
itu.
Murid yang rambutnya digelung ke atas dan berusia sekitar
tiga puluh tahun itu tampaknya ingin bertanya kepada Ki
Bonggala. Ia kelihatan belum mengerti sepenuhnya kaitan
antara cerita lelaki gagah itu dan surat yang baru diterima tadi.
"Hm..., ketahuilah, Samija... Orang yang mengirimkan surat
kepadaku, yaitu si Elang Hitam, adalah salah satu tokoh sesat
yang kepandaiannya sangat tinggi. Tingkat kepandaiannya
hampir dapat disejajarkan dengan datuk-datuk sesat pada
masa sekarang. Dan, Elang Hitam merupakan kakak
seperguruan dari Telapak Tangan Setan. Rupanya ia telah lama
mendendam kepadaku, yang telah membunuh adik
seperguruannya. Sehingga, ia mengirimkan surat tantangan
kepadaku," jawab Ki Bonggala menjelaskan hubungan ceritanya
dengan surat kulit kayu yang telah diremas hancur tadi.
"Lalu, apa yang akan Guru lakukan? Apakah Guru menerima
tantangan itu?" tanya Lunggara yang tampak khawatir akan
keselamatan gurunya.
"Hm..., apa kau kira gurumu ini seorang pengecut,
Lunggara? Tentu saja tantangan itu akan kuterima. Jangankan
hanya seorang Elang Hitam, berpuluh orang sepertinya pun,
kalau memang harus dihadapi, tidak akan membuatku mundur
meski selangkah...," sahut Ki Bonggala sambil mengepalkan
telapak tangannya kuat-kuat, hingga terdengar suara
berkerotokan.
"Lalu, apa yang dapat kami bantu, Guru...?" tanya murid
yang dipanggil Samija, dengan wajah agak bingung.
"Tentu saja aku mengharapkan bantuan kalian bertiga. Tapi
aku ragu, apakah kalian sanggup...," desah Ki Bonggala sambil
menatap wajah ketiga orang murid utamanya itu lekat-lekat.
Ada bayang kecerdikan pada sorot mata lelaki gagah ini.
Tampaknya Ki Bonggala memancing tanggapan ketiga lelaki di
hadapannya itu.
"Tentu saja kami sanggup, Guru. Bahkan nyawa pun siap
kami korbankan jika perlu...," jawab Lunggara dengan lantang
dan gagah.
Sorot mata lelaki berusia empat puluh lima tahun itu
memancarkan semangat. Tampaknya kesetiaan Lunggara
memang tidak diragukan lagi.
"Bagaimana dengan yang lain? Tugas yang kuberikan kepada
kalian ini tidak mudah, meskipun juga tidak terlalu sukar. Tapi
yang jelas tugas ini sangat memerlukan keberanian yang
besar...."
Kembali terdengar ucapan Ki Bonggala bernada meragukan
kesanggupan murid-murid utamanya. Sehingga, ketiga orang
murid utama itu kelihatan berusaha menunjukkan perasaan dan
kesetiaan mereka dengan penuh semangat.
"Kami siap, Guru. Seberat apa pun tugas yang Guru berikan,
kami akan berusaha menjalankan sebaik-baiknya!" jawab
Samija dengan sorot mata berapi-api.
"Baiklah. Aku harus pergi. Dan, harus ada orang yang
menggantikanku menjaga dan mengawasi perguruan ini selama
aku pergi. Karena kalian telah berjanji akan membantuku
sebaik-baiknya, kuserahkan tugas ini kepada kalian bertiga...,"
kata Ki Bonggala sambil tersenyum tipis.
Lelaki gagah itu tampak senang dapat menjebak murid-
murid utamanya itu. Hal ini dilakukan karena ia tidak ingin
melibatkan orang lain lagi dalam persoalan dendam
mendendam yang tak ada habis-habisnya itu.
"Ahhh...?!"
Tentu saja ucapan Ki Bonggala membuat Lunggara dan
kedua orang saudara seperguruannya terkejut. Mereka yang
semula sudah membayangkan akan menemani Pendekar
Tangan Sakti menghadapi Elang Hitam itu tidak menyangka
akan mendapat tugas yang sama sekali di luar perkiraan. Tapi,
karena janji telah terucap, tugas itu tidak dapat ditolak lagi.
"Tugas ini bukan tidak berarti apa-apa, Murid-muridku.
Bahkan tugas yang kuserahkan kepada kalian ini jauh lebih
berat ketimbang kalian ikut berhadapan dengan Elang Hitam.
Tapi, aku yakin kalian akan dapat melaksanakan tugas ini
dengan baik dan dapat saling bantu satu sama lain," ujar Ki
Bonggala melanjutkan ucapannya ketika melihat kekecewaan
tergambar jelas di wajah ketiga orang murid utamanya itu.
"Baiklah, Guru. Kami berjanji akan melaksanakan tugas ini
sebaik-baiknya. Semoga kami tidak mengecewakan harapan
Guru...," ucap Lunggara sambil merapatkan kedua telapak
tangannya dan menghormat, yang diikuti pula oleh dua oran
murid utama lainnya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Apabila ada murid yang
bertanya, katakanlah bahwa aku tengah bersemadi dan tidak
boleh diganggu. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi,
Murid-muridku..."
Setelah berpesan demikian, tubuh Ki Bonggala melesat dan
langsung lenyap di balik tembok samping bangunan utama
Perguruan Jari Besi.
"Selamat jalan, Guru..," desis ketiga murid utama itu sambil
bersujud menghadap ke arah lenyapnya tubuh Ki Bonggala.
***
Sosok tubuh tinggi gagah melesat menerobos semak belukar
Hutan Welang. Gerakannya demikian ringan dan gesit. Jalan-
jalan yang biasanya sangat sulit dilalui orang lain sama sekali
tidak menjadi halangan bagi sosok gagah itu. Sehingga dalam
waktu yang tidak terlalu lama, telah dimasukinya Hutan Welang
sebelah Barat.
Saat tiba di sebuah dataran yang agak tinggi, sosok tegap itu
menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam
merayapi lembah yang kini terbentang di hadapannya
Tanpa peduli sengatan terik matahari dan hembusan angin
panas, lelaki gagah itu bergerak turun memasuki lembah.
"Hiaaah...!"
Begitu hampir tiba di dasar lembah, lelaki gagah itu berseru
perlahan. Seketika itu juga, tubuhnya melenting dan berputar
beberapa kali, lalu dipijakkan kakinya di atas tanah berumput
segar.
Setelah memperhatikan suasana lembah sesaat, kakinya pun
melangkah perlahan. Puluhan ekor binatang yang tengah
berteduh dari sengatan matahari langsung berlarian menyebar.
Kehadiran lelaki gagah ini tampaknya telah mengganggu
ketenangan binatang-binatang itu.
"Grauuung...!"
Terdengar raungan marah belasan ekor binatang buas yang
merasa terganggu oleh kehadiran lelaki gagah itu. Beberapa di
antaranya bergerak meninggalkan tempat itu. Sedangkan lima
ekor singa jantan mengaum dan menghampiri sosok lelaki
gagah itu dengan menunjukkan taring-taringnya yang runcing.
"Hm.... Pantas Elang Hitam memilih tempat ini sebagai arena
pertarungan. Rupanya ia hendak menggunakan binatang-
binatang buas ini untuk mempelajari gerakan-gerakanku.
Benar-benar licik iblis itu...," gumam lelaki gagah yang tak lain
dari Ki Bonggala itu, dengan nada agak jengkel.
Sadar bahwa mungkin lawan telah memperhatikannya, KI
Konggala berjaga-jaga dengan pedang tergenggam erat di
tangan kanan.
Sring...!
Secercah sinar putih berkeredep ketika pedang Ki Bonggala
keluar dari sarungnya. Desingannya yang tajam membuat lima
ekor singa jantan tadi bergerak mundur sambil meraung keras.
"Kau lihat dan pelajarilah gerakanku, Elang Hitam. Kau pikir
aku orang bodoh yang bisa kau kelabui begitu saja...," gumam
Ki Bonggala yang sengaja menggunakan senjatanya untuk
menghadapi lima ekor singa jantan itu.
Ki Bonggala tentu tidak mau dibodohi lawannya. Dengan
menggunakan senjata, ia bisa menyembunyikan ilmu silat yang
dikuasainya. Sehingga, ia tidak perlu khawatir biarpun
gerakannya diperhatikan oleh lawannya, yang diyakininya
tengah bersembunyi tidak jauh dari tempat itu.
"Grauugh...!"
Cwiiit… cwiiit...!
Ki Bonggala mengibaskan pedangnya bersilangan saat kelima
ekor singa jantan itu bergerak mendekatinya. Binatang-
binatang buas itu pun kembali bergerak mundur sambil
menunjukkan taringnya. Jelas, mereka gentar melihat desingan
tajam yang ditimbulkan pedang Ki Bonggala.
Rupanya selain gentar, binatang-binatang buas itu juga
merasa penasaran. Dua di antaranya melompat cepat dengan
terkaman maut, disertai numan keras bagai hendak
meruntuhkan dinding lembah.
"Hm..."
Pendekar Tangan Sakti hanya bergumam pelan. Tubuhnya
dilesatkan ke samping kiri dengan kibasan pedangnya yang
cepat dan hampir tak dapat dilihat.
Brettt! Brettt!
"Auuurgh...!"
Dua ekor singa jantan itu meraung kesakitan saat pedang Ki
Bonggala melukai bagian tubuh singa-singa itu. Belum lagi dua
ekor singa jantan itu membalikkan tubuh. Pendekar Tangan
Sakti telah melesat dengan tendangan kilat.
Buggg! Desss...!
Binatang-binatang itu meraung kesakitan. Tubuh keduanya
terpental hingga satu tombak jauhnya, kemudian terus berlari
masuk ke hutan sambil mengaum lirih. Kedua binatang buas itu
tampak gentar melihat kehebatan calon korbannya.
Cepat bagai kilat, Ki Bonggala membalikkan tubuhnya
menghadapi tiga ekor singa jantan lainnya. Tapi, binatang-
binatang itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan
menyerang. Ketiganya malah bergerak mundur sambil
menunjukkar taringnya yang runcing, lalu berbalik dan melarika
diri ke dalam hutan.
Ki Ronggala tersenyum melihat tingkah binatang binatang
buas itu. Pandangannya diedarkan ke sekeliling lembah, seolah-
olah mencari tempat persembunyian Elang Hitam.
"Elang Hitam, ini aku sudah datang! Apakal kau masih tetap
hendak menyembunyikan dirimu...?" seru Ki Bonggala nyaring
dengan pengerahan tenaga saktinya, sehingga gemanya
berpantulan di dinding tebing.
Agak lama Ki Bonggala menanti jawaban. Dan setelah
kesabarannya hampir habis, tampak sesosok bayangan
berkelebat dari sebelah kirinya dengar tawa berkepanjangan.
"Hua ha ha...!"
Dengan sikap yang tetap tenang, Ki Bonggak menggeser
kakinya beberapa langkah ke samping kanan. Disarungkan
kembali senjatanya, kemudian diselipkannya di pinggang
kanan. Tampaknya lelaki gagah itu ingin menghadapi lawannya
dengrn tangan kosong. Memang, keistimewaan ilmu silatnya
terletak pada tangan kosong. Itulah sebabnya mengapa Ki
Bonggala dijuluki sebagai Pendekar Tangan Sakti.
"Pantas saja adik seperguruanku sampai tewas di tanganmu,
Ki Bonggala. Ternyata kau benar-benar gagah. Kau patut
menjadi seorang pendekar yang disegani...," puji lelaki gemuk
bercambang lebat itu.
Sambil berkata demikian, kakinya melangkah mengitari Ki
Bonggala. Sikapnya terlihat sombong, seolah-olah ia yakin akan
dapat mengalahkan Pendekar Tangan Sakti yang terkenal itu.
"Kau mengundangku untuk menuntut balas kematian
saudara seperguruanmu, ataukah hanya untuk berbicara...?
Kalau kau mengundangku hanya untuk meladeni
pembicaraanmu yang tak berguna itu, sebaiknya aku pergi
saja...," sahut Ki Bonggala sambil menunjukkan sikap bersiap-
siap meninggalkan lembah itu.
Elang Hitam tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ki
Bonggala. Sebentar kemudian, ditatapnya sosok lelaki gagah
itu, bagai sedang menilai suatu benda yang ingin dibelinya. Hal
itu tentunya sengaja dilakukan Elang Hitam untuk memancing
kemarahan lawan. Apabila pancingannya berhasil, akan lebih
mudah bagi Elang Hitam untuk menundukkan lawannya. Sebab,
bila seseorang menyerang atau bertempur dalam keadaan
marah, biasanya kewaspadaannya akan berkurang.
Namun, pancingan tokoh sesat itu tidak berhasil. Ki Bonggala
tetap saja tenang. Laki-laki gagah itu sadar betul lawan sengaja
memancing kemarahannya.
TIGA
Sikap tidak peduli Ki Bonggala membuat wajah Elang Hitam
berubah gelap. Sorot matanya berkilat tajam menggambarkan
kejengkelan hatinya. Tampaknya tokoh sesat itu termakan
pancingannya sendiri.
"Apakah bicaramu sudah selesai, Elang Hitam...?" ujar Ki
Bonggala seraya tersenyum tipis.
Tokoh itu kemudian melipat kedua tangannya di depan dada.
Tentu saja sikap Pendekar Tangan Sakti itu membuat Elang
Hitam semakin bertambah jengkel.
"Sudah! Dan sekarang bersiaplah! Akan kucabut nyawamu!"
Sambil membentak marah, Elang Hitam melompat dengan
disertai sambaran cakarnya yang menderu-deru.
Wettt... Wettt...!
"Haiiit...!"
Rupanya sikap tidak peduli Ki Bonggala bukan berarti ia tidak
waspada. Begitu cakar elang lawan akan menyambar tubuhnya,
lelaki gagah itu bertindak sigap dengan melakukan lompatan
pendek ke belakang. Saat berikutnya, Ki Bonggala melontarkan
sebuah tendangan lurus dengan kecepata kilat.
Zebbb!
Tendangan lurus yang mengancam perut Elang Hitam
ternyata mengenai angin kosong. Lelaki gemuk bercambang
lebat itu telah menarik tubuhnya mundur sebanyak dua tindak.
Ki Bonggala sendiri ternyata telah menduga gerakan
lawannya. Lelaki gagah yang terkenal berjuluk Pendekar
Tangan Sakti itu masih melanjutkan serangannya dengan
serangkaian tendangan yang berputar-putar dan menimbulkan
angin menderu-deru. Elang Hitam pun kelabakan menghindari
tendangan yang laksana kitiran itu.
"Heaaat...!"
Saat Elang Hitam tengah kerepotan menghindari serangkaian
tendangan maut itu, tiba-tiba saja Ki Bonggala menghentikan
serangan kakinya secara mendadak. Disertai lengkingan
nyaring yang mengejutkan, tiba-tiba tubuh lelaki gagah itu
melejit ke udara. Dan, tangan kanannya lalu terlontar dengan
cepat melakukan tebasan. Serangan ini benar-benar berbahaya.
Sadar kalau serangan kilat itu sangat sulit dielakkan, Elang
Hitam terpaksa menyambut dengan mengulurkan tangan
kirinya dalam keadaan agak bengkok, ia bermaksud
menyambut tebasan sisi telapak tangan lawan dengan lengan
tangannya.
Plak...!
Terdengar suara benturan keras. Dua buah lengan yang
dialiri tenaga dalam kuat itu berbenturan, di udara. Seruan-
seruan tertahan terdengar dari mulut kedua tokoh yang saling
menggebrak itu. Keduanya sama-sama terkejut merasakan
kekuatan tenaga sakti lawannya.
Ki Bonggala yang terpental balik segera melakukan beberapa
kali putaran di udara sebelum menjejak tanah. Sedangkan
lawannya yang tergempur serangannya pun segera memutar
kaki depan setengah lingkaran, dan langsung kembali me-
masang kuda-kuda.
"Benar-benar mengagumkan! Aku gembira menemui
tandingan yang lihai sepertimu, Pendekar Tangan Sakti...,"
desis Elang Hitam dengan napas terengah-engah.
"Hm.... Kau pun hebat. Elang Hitam. Sayang kepandaian
sehebat itu kau gunakan untuk kejahatan...," ucap Ki Bonggala,
dengan napas yang juga agak memburu.
Elang Hitam kini tidak lagi bersuara. Tokoh sesat itu
bergerak dengan langkah-langkah pendek. Kedua tangannya
yang membentuk cakar elang, dikibas-kibaskan dengan keras.
Tidak salah lagi, dalam penyerangan kali ini, Elang Hitam
bersiap-siap mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Semua itu
terbukti dari suara kibasan tangannya yan menderu tajam.
Pendekar Tangan Sakti tampaknya cukup menyadari
kekuatan tenaga dalam lawannya. Terbukti tokoh itu langsung
merendahkan tubuhnya dengan kedudukan bagai orang
menunggang kuda. Sepasang tangannya dengan telapak
tangan terbuka, berputaran menyambar-nyambar dan
menimbulkan deru angin yang kuat. Kakinya bergerak dalan
bentuk kuda-kuda yang kokoh bagaikan batu karang. Ki
Bonggala tampak siap mengimbangi permainan lawannya.
"Yeaaah...!"
Dibarengi bentakan nyaring yang memekakkan telinga, Elang
Hitam mulai menerjang dengan jurus-jurus cakar elangnya.
Tubuhnya bergerak ringan bagaikan seekor burung elang yang
beterbangan mengincar mangsa. Sepasang tangannya yang
bagai cakar elang menyambar-nyambar dengan ganas.
Ki Bonggala tetap mengimbangi permainan keras lawan
dengan ilmu-ilmu tangan kosongnya yang sangat terkenal
dalam rimba persilatan. Gerakan tangannya yang selalu
berubah bentuk benar-benar membuat lawannya kebingungan.
Pertarungan pun semakin bertambah seru. Kedua tokoh itu
saling menerjang dengan ilmu andalan masing-masing.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pada jurus-jurus awal,
tampak Ki Bonggala masih sanggup mengimbangi, bahkan
membalas serangan lawannya. Tapi, ketika pertarungan
meningkat hingga jurus keempat puluh lima, tampak Elang
Hitam masih lebih tinggi kepandaiannya daripada Ki Bonggala.
Kini, tokoh sesat itu menggempur lawannya habis-habisan.
Sehingga, Ki Bonggala kini tampak dalam keadaan terdesak
hebat.
Wuttt..!
"Ahhh...!?"
Sebuah tamparan cakar lawan nyaris merobek wajah Ki
Bonggala. Untunglah tokoh sakti itu masih sempat memiringkan
kepalanya. Sehingga jemari sekeras baja itu lewat setengah
jengkal di samping wajahnya.
Tapi, Ki Bonggala belum bisa menarik napas lega. Sebab,
tangan kiri lawan langsung menyusul dengan tajam. Kali ini
cengkeraman maut itu bergerak dari bawah ke atas. Hendak
merobek perut Pendekar Tangan Sakti.
Karena tidak ada waktu lagi untuk menghindar, Ki Bonggala
nekat mengangkat tangan kanannya dan menekan ke bawah
sambil menarik kaki kanannya ke belakang.
Dukkk!
"Uuuhhh...!"
Ki Bonggala mengeluh pendek. Tangkisannya ternyata
membuat tubuhnya terpental sejauh satu tombak ke belakang.
Kali ini nyata bahwa tenaga dalam lawannya masih jauh lebih
kuat daripada tenaga dalamnya. Dan sebelum tokoh sakti itu
sempat memasang kembali kuda-kudanya, sebua tendangan
keras telak menghajar bagian kiri dadanya.
Buggg!
"Hugkh...!"
Tak ayal lagi, tubuh lelaki gagah itu pun terjungkal deras ke
belakang, lalu terbanting ke atas tanah. Semburan darah segar
langsung membasahi tanah berumput. Meskipun demikian, Ki
Bonggala masih bisa mencelat bangkit. Dia kembali siap
menghadapi lawannya.
Elang Hitam hanya tertawa melihat kekuatan lawannya. Dan
tiba-tiba tubuh lelaki bercambang lebat itu melenting ke atas
dan berputar bagai kitiran.
Plakkk! Brettt...!
Tubuh Ki Bonggala melintir akibat tamparan keras pada
wajahnya. Lelaki tegap itu terbanting ke atas tanah untuk
kedua kalinya. Dan, sebelum sempat bergerak bangkit. Elang
Hitam melesat dengan cengkeraman mautnya.
"Yeaaat...!"
Ki Bonggala yang sudah tidak mampu lagi berkelit itu hanya
memandang terbelalak. Lelaki gagah itu sama sekali tidak
berkedip menunggu maut yang siap menjemputnya.
"Haiiit...!"
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring membeset udara. Sesosok bayangan tinggi kurus
melesat memotong serangan Elang Hitam. Akibatnya....
Plakkk! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Hebat dan cepat sekali gerakan tangan sosok tinggi kurus
itu. Bukan saja serangan Elang Hitam dapat ditangkisnya. Tapi,
dua hantamannya pun bersarang telak di dada dan lambung
tokoh sesat itu. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu terjengkang
dan mulutnya memuntahkan darah segar.
Bruggg!
Tanpa ampun lagi, tubuh Elang Hitam terbanting keras di
atas tanah berumput. Namun meskipun kedua kakinya agak
goyah, lelaki gemuk bercambang lebat itu masih dapat
bergerak bangkit dengan sigapnya.
"Setan keparat...!" maki Elang Hitam dengi sorot mata yang
memancarkan kemarahan yang amat sangat.
Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri tegak
menghadapi Elang Hitam. Tatapan matanya yang terlindung di
balik alis tebal putih berjuntai itu jelas menandakan bahwa
lelaki itu telah berusia lanjut. Usianya tampak lebih dari tujuh
puluh tahun. Kulit wajahnya pun telah dipenuhi keriput.
"Guru...!?" Ki Bonggala berseru lirih, agak tertahan.
Lelaki gagah yang tengah terluka itu agak terkejut ketika
mengenali siapa sesungguhnya sosok tinggi kurus itu.
"Dewa Langit..!?" desis Elang Hitam yang juga terkejut.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki gemuk itu pun melesat pergi
meninggalkan lawannya. Jelas, hatinya gentar terhadap laki-laki
tua yang disebut dengan julukan Dewa Langit itu.
"Tunggulah pembalasanku, Ki Bonggala, Dewa Langit...!"
Suara Elang Hitam terdengar dari kejauhan. Sosok
bayangannya sendiri sudah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan hutan.
Perginya Elang Hitam menandakan kecerdikan otaknya.
Sebab, laki-laki tua tinggi kurus yang disebut sebagai Dewa
Langit itu bukan tandingannya. Guru Ki Bonggala itu adalah
seorang tokoh sakti yang sangat terkenal dalam dunia
persilatan. Entah bagaimana tokoh sakti yang telah meng-
asingkan diri itu tiba-tiba muncul menyelamatkan muridnya
pada saat yang tepat.
"Guru..., syukurlah kedatanganmu sangat tepat. Terlambat
sedikit saja, rasanya Guru hanya akan mendapatkan mayatku di
tempat ini...," ucap Ki Bonggala setelah luka dalamnya diobati
Dewa Langit.
"Hm.... Sesungguhnya aku memang ingin mengunjungimu,
dan lewat lembah inilah jalan terdekat ke tempatmu. Kau
tentunya sudah mempunyai keturunan yang dapat mewarisi
ilmu-ilmuku. Aku sudah sangat tua, Bonggala. Meskipun kau
telah mewarisi ilmu-ilmuku, ada beberapa ilmu yang tidak
cocok denganmu karena bakat silatmu tidak begitu bagus. Jadi,
kedatanganku ini adalah untuk mendidik putramu. Tentunya dia
sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan kita. Aku
tinggal menambah dan mematangkannya saja," jelas Dewa
Langit.
"Hhh..."
Kening Dewa Langit berkerut melihat wajah murung dan
helaan napas berat muridnya. Ditatapnya wajah lelaki gagah itu
penuh selidik.
"Ada apa, Bonggala...? Kau tidak suka putramu menjadi
muridku?" tanya Dewa Langit tanpa melepaskan pandangan
matanya dari wajah Ki Bonggala.
"Bukan begitu, Guru.... Tapi, istri dan putraku telah lenyap
dua puluh tahun yang lalu. Tampaknya mereka telah tewas. Itu
kutekankan dalam hati, agar kesedihan tidak selalu datang
apabila aku teringat pada mereka...," jawab Ki Bonggala
dengan wajah gelap.
"Ahhh..., jadi kedatanganku sia-sia saja. Maafkan aku,
Bonggala. Aku sama sekali tidak tahu akan hal itu...," desah
Dewa Langit yang merasa ikut prihatin dengan nasib muridnya
Itu. Bayangan kekecewaan tergambar jelas pada raut wajah
keriput itu.
"Akulah yang seharusnya minta maaf. Guru. Aku tidak
pernah mengunjungimu setelah meninggalkan perguruan.
Bahkan ketika aku menikah, justru Gurulah yang
mengunjungiku. Aaah..., aku memang murid yang tidak tahu
balas budi...," ujar Ki Bonggala memaki dirinya sendiri.
"Sudahlah, Bonggala. Tidak ada gunanya kita saling
menyalahkan. Biarlah, meskipun putramu telah tiada, aku
tinggal di tempatmu untuk beberapa waktu. Sudah jauh sekali
aku berjalan, tidak ada salahnya aku mampir di tempatmu,
bukan? Itu pun kalau kau tidak keberatan...," ujar Dewa Langit
sambil tersenyum tipis.
"Ah, Guru membuatku malu saja. Tentu saja aku merasa
gembira apabila Guru mau tinggal bersamaku...," sahut Ki
Bonggala dengan mata berbinar-binar.
"Yahhh..., siapa tahu saja ada di antara murid-muridmu yang
memiliki bakat baik. Eh..., kau tentu mempunyai murid,
bukan?" tanya Dewa Langit.
"Muridku cukup banyak, Guru. Sayang, tidak ada seorang
pun yang berbakat baik. Jangankan untuk mewarisi ilmu-ilmu
tinggi dari guru. Ilmu-ilmuku saja tidak dapat mereka warisi
dengan baik. Aku benar-benar menyesal, Guru...," desah Ki
Donggala.
Wajah Pendekar Tangan Sakti tampak murung, ia menyesali
dirinya sendiri karena tak dapat membantu gurunya mencari
murid yang memiliki bakat baik. Memang, untuk mendapatkan
murid seperti yang diinginkan tokoh itu sulit sekali.
"Sudahlah, mari kita ke tempat tinggalmu...," tukas Dewa
Langit memutuskan pembicaraan mereka.
Kedua pendekar berlainan usia itu kemudian segera
melangkahkan kakinya, meninggalkan Lembah Hutan Welang.
EMPAT
Di wilayah Timur Kadipaten Danau Bulus terdapat hutan
bernama Jembalang. Bagi penduduk desa di sekitarnya, Hutan
Jembalang dikenal sebagai hutan keramat. Hutan lebat yang
angker itu banyak dihuni binatang-binatang buas pada umum-
nya. Sehingga, penduduk desa sekitar hutan itu menganggap
binatang-binatang itu sebagai dewa ataupun pelindung mereka.
Nama dan keangkeran Hutan Jembalang tidak hanya dikenal
oleh penduduk setempat. Tidak sedikit tokoh persilatan yang
juga menganggap hutan itu sebagai tempat keramat. Meskipun
demikian, bukan berarti tidak ada orang yang berani
mendatangi atau mencoba menjelajahinya. Beberapa tokoh
persilatan yang merasa penasaran pernah mencoba menjelajahi
hutan itu. Tapi, sejak tokoh-tokoh itu pergi, tak ada seorang
pun yang kembali. Sehingga, Hutan Jembalang semakin dita-
kuti.
Maka tidak seorang pun yang akan percaya apabila
menyaksikan keanehan yang terlihat di dalam Hutan Jembalang
pada pagi itu. Sesosok
bayangan tubuh manusia tampak berlarian dengan cepatnya.
Dan, yang lebih mengherankan lagi, seekor harimau besar ikut
berlari di belakang sosok manusia itu.
Cukup lama kedua sosok makhluk itu saling berkejaran.
Setelah tiba di sebuah tepian sungai, barulah keduanya
menghentikan langkah mereka.
Sosok bayangan manusja itu terlihat memiliki bentuk tubuh
yang tinggi dan kokoh. Guratan-guratan otot tubuhnya jelas
membayangkan kekuatan yang hebat. Belum lagi, bentuk raut
wajahnya yang keras dan kokoh. Sungguh sebuah sosok ma-
nusia yang melambangkan kejantanan dan keperkasaan.
Sayangnya, manusia yang tampak masih muda itu memiliki
sepasang mata liar, persis seperti mata binatang buas.
Sehingga, sosoknya yang tampan terlihat angker dan
menakutkan.
"Grrrng,..!"
Setelah menatapi riak air sungai yang jernih itu sejenak,
sosok yang jelas-jelas menandakan manusia rimba itu meraung
lirih. Kepalanya berputar menoleh ke belakang. Di situ seekor
harimau duduk memandangnya. Harimau muda yang besar itu
pun meraung menunjukkan taringnya yang runcing.
Sosok manusia rimba berusia sekitar dua puluh tahun itu
tampak mengulas senyum. Kemudian, ia melepaskan celana
pendek dari kulit harimau yang dikenakannya. Lalu, diterjunkan
dirinya ke dalam air sungai. Rupanya raungan tadi sebagai
isyarat bahwa ia akan mandi.
Selama lelaki muda itu bermain di dalam sungai, harimau
besar itu hanya duduk memandanginya. Sesekali terdengar
raungannya ketika pemuda itu menyiraminya dengan air
sungai. Sedangkan pemuda itu tertawa gembira melihat
sahabatnya jengkel.
Belum lagi pemuda itu merasa puas bermain-main di dalam
air, tiba-tiba terdengar raungan keras bagai hendak
menggetarkan seluruh isi hutan. Jelas suara itu merupakan
raung kesakitan seekor harimau.
"Grauuung...!"
Lelaki muda itu pun meraung, menjawab raungan keras yang
didengarnya. Cepat bagai kilat tubuhnya langsung melesat naik
ke tepi sungai. Setelah mengenakan celana kulit harimaunya,
bergegas pemuda itu mengajak sahabatnya, si harima besar,
berlari menuju sumber suara kesakitan tadi.
Tidak lama kemudian, tibalah pemuda dan harimau besar itu
di sebuah tempat yang agak terbuka. Terdengar erangan keras
dari kedua makhluk berlainan wujud itu. Keduanya tampak
marah menyaksikan pemandangan di depan mereka.
Belasan bangkai harimau bergeletakan saling tindih. Dan
beberapa langkah di depan bangkai-bangkai harimau itu,
tampak belasan ekor harimau lain tengah mengeroyok seorang
lelaki bertubuh gemuk pendek. Meskipun dikeroyok belasan
ekor harimau besar, lelaki yang berusia sekitar enam puluh
tahun itu sama sekali tidak kelihatan gentar. Bahkan lelaki itu
memperdengarkan suara kekehnya.
"Grauuurgh...!"
Empat ekor harimau besar yang muda dan kuat meraung
sambil melompat. Cakar-cakar yang runcing dan terlihat kokoh
siap merejam tubuh lelaki gemuk pendek itu.
"He he he...! Hari ini nasib kalian pasti sedang sial. Aku, Iblis
Penakluk Harimau, akan menunjukkan pada orang-orang
bahwa Hutan Jembalang tidak lagi pantas ditakuti...," kata
lelaki gemuk itu sambil merendahkan tubuhnya dan
mengangkat kedua telapak tangannya ke atas.
Buggg! Desss!
Hebat dan tepat sekali
perhitungan lelaki gemuk
pendek itu. Hantaman
sepasang telapak tangannya
telak menghunjam tubuh dua
ekor harimau yang menerjang
dari kiri dan kanannya. Se-
hingga, kedua binatang buas
itu meraung dan terlempar
sejauh satu setengah tombak.
Tidak seorang pun akan
percaya menyaksikan
keanehan di Hutan
Jembalang pagi itu. Sesosok
tubuh manusia tampak
berlarian dengan cepat, diikuti seekor harimau besar yang
berlari di belakangnya. Cukup lama kedua sosok makhluk itu
saling berkejaran, sampai akhirnya tiba di tepi sungai.
Gerakannya ternyata belum selesai, ia masih melanjutkan
dengan lentingan ke udara dan putaran tubuh beberapa kali ke
belakang. Sehingga, tubuh gemuk itu melampaui seekor
harimau yang menerjang dari belakang.
Dengan ringannya, tubuh gemuk pendek itu secara tak
terduga mendarat di atas punggung harimau. Tangan kanannya
bergerak melakukan tamparan keras ke arah kepala harimau
yang berhasil ditungganginya.
Prakkk!
Darah segar langsung muncrat begitu telapak tangan lelaki
itu menghantam pecah kepala harimau yang ditungganginya.
Kemudian, dengan kaki kanannya, ditendangnya perut harimau
yang menyerang dari depan saat harimau itu masih berada di
udara.
Desss!
"Grauuung...!"
Harimau jantan itu menggerang kesakitan. Tubuhnya yang
besar langsung terlempar hingga membentur sebatang pohon
besar. Sambil menggeram marah dan menunjukkan taringnya,
harimau jantan itu kembali bangkit dan melangkah. Tapi
harimau besar itu agak ragu karena gentar menghadapi
mangsanya kali ini.
Lelaki gemuk yang mengaku berjuluk Iblis Penakluk Harimau
itu tiba-tiba tersentak kaget. Baru saja ia melompat turun dari
atas punggung harimau yang terbanting ke tanah, terdengar
raungan keras yang agak aneh.
"Hei...!"
Iblis Penakluk Harimau hampir tidak mempercayai
pandangannya. Untuk beberapa saat lamanya, lelaki gemuk itu
hanya berdiri terpaku menatap sosok manusia bertubuh kokoh
yang matanya menyala penuh kebencian.
Ketika melihat sosok pemuda tampan bertubuh kokoh yang
memancarkan kekuatan hebat itu melangkah maju, Iblis
Penakluk Harimau bergerak mundur. Memang, langkah pemuda
penghuni rimba itu tidak menunjukkan tanda-tanda hendak me-
nyerang. Dan lelaki gemuk itu sendiri bergerak mundur karena
ingin mengetahui, apa yang akan diperbuat pemuda itu.
Untuk kedua kalinya. Iblis Penakluk Harimau dibuat terheran-
heran. Pemuda bertubuh kokoh itu tampak menjatuhkan dirinya
dan memeluk erat salah satu bangkai harimau. Sesekali
terdengar raungannya bernada pilu. Pemuda itu tengah mena-
ngisi seekor harimau betina yang besar dan jelas berusia tua.
"Aneh, mengapa pemuda itu menangis...? Apakah harimau
betina yang paling besar itu peliharaannya...? Ataukah memang
harimau-harimau yang kubunuh itu peliharaannya?" gumam
Iblis Penakluk Harimau dengan berbagai pertanyaan
memusingkan kepalanya.
Tidak lama kemudian, pemuda bertubuh kokoh itu bangkit
dengan gerakan perlahan. Sepasang matanya mencorong tajam
menatap wajah Iblis Penakluk Harimau. Dari mulutnya
terdengar erangan marah yang sambung-menyambung.
"Anak muda, siapakah kau? Apakah kau majikan hutan ini
dan pemilik harimau-harimau yang kubunuh itu...?" tanya Iblis
Penakluk Harimau sambil merayapi sosok tubuh kekar berotot
di depannya itu.
Ada kilatan kekaguman yang tidak berusaha disembunyikan
oleh lelaki gemuk itu. Jelas memang sosok pemuda itu
mendatangkan kekaguman yang tidak bisa dipungkirinya.
Tapi, pemuda itu sama sekali tidak menjawab. Ia
menggeleng-gelengkan kepala sambil menggeram marah. Iblis
Penakluk Harimau pun heran melihat tingkah pemuda itu.
"Hei, Anak Muda! Apakah kau tuli. Atau kau bisu...?" bentak
Iblis Penakluk Harimau jengkel seraya melangkah maju
menentang pandang pemuda itu dengan tidak kalah tajamnya.
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya.
Tampaknya dia tidak kuat melawan tatap mata Iblis Penakluk
Harimau yang tajam mencorong itu.
Ketika untuk kesekian kalinya pemuda itu kembali
menelengkan kepalanya dengan sikap bingung, sadarlah Iblis
Penakluk Harimau bahwa pemuda itu tidak bisa berbicara
sebagaimana layaknya manusia.
"Aneh.... Mungkinkah pemuda ini tinggal sejak kecil di dalam
hutan? Apakah harimau betina itu yang merawatnya? Lalu, dari
mana sebenarnya asal pemuda ini? Apa mungkin ia diculik dari
desa oleh harimau-harimau itu...?"
Iblis Penakluk Harimau bertanya-tanya dalam hati. Peristiwa
aneh memang sudah sering terjadi dalam kalangan persilatan,
namun apa yang disaksikannya saat ini benar-benar sukar
diterimanya.
Sementara itu, pemuda tampan bertubuh kokoh itu mulai
melangkah ke depan. Seekor harimau muda yang memiliki
bentuk tubuh lebih besar daripada harimau-harimau lainnya
tampak mengikuti langkah pemuda itu sambil menunjukkan ta-
ring-taringnya dengan sikap mengancam. Sembilan ekor
harimau lainnya yang masih hidup ikut mengiring dari
belakang. Pemandangan ini jelas menandakan bahwa pemuda
itu adalah pemimpin harimau-harimau yang mengeroyok Iblis
Penakluk Harimau.
"Hm,.., tidak salah lagi, pemuda ini anak didik induk harimau
yang tadi kubunuh. Bahkan, tampaknya ia sangat disegani
harimau-harimau lainnya. Harimau-harimau itu tentu
menganggap pemuda ini sebagai pemimpinnya, benar-benar
menakjubkan...," desis Iblis Penakluk Harimau sambil berdecak
kagum.
Iblis Penakluk Harimau bergerak ke samping saat rombongan
harimau yang dipimpin pemuda tampan itu semakin mendekat
ke arahnya. Pikiran yang melintas di benaknya membuat lelaki
gemuk itu tersenyum licik. Ia ingin melihat, pemuda itu
memiliki ilmu silat atau hanya sekadar terlatih oleh keganasan
alam hutan.
"Hm...., majulah kau, Putra Harimau. Aku ingin melihat,
apakah indukmu telah mendidikmu dengan baik...," tantang
Iblis Penakluk Harimau sambil menatap tajam pemuda yang
kini sudah menghentikan langkahnya itu.
Pemuda itu tampak merunduk, seperti siap menerkam Iblis
Penakluk Harimau. Sedangkan harimau-harimau di belakangnya
bergerak menyebar. Lelaki gemuk itu dikepung dari segala
arah.
"Grrrhhh...!"
Pemuda bertubuh kokoh itu tampak menggeram lirih sambil
menatap Iblis Penakluk Harimau dengan sorot mata yang
tajam. Tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari
kesempatan baik untuk menerjang lawan.
***
"Grauuung...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras yang nyaring, pemuda itu
melesat sambil merentangkan tangannya yang telah
membentuk cakar harimau. Gerakannya ternyata jauh lebih
gesit daripada harimau biasa. Sehingga, Iblis Penakluk Harimau
sempat terbelalak kagum menyaksikannya.
Namun betapapun cepatnya, terkaman pemuda itu tidak
mengenai sasaran. Iblis Penakluk Harimau telah bergerak ke
samping kanan sambil menepiskan cengkeraman tangan kiri
pemuda itu.
Plakkk!
"Aaargh...!"
Terdengar pemuda itu meraung kesakitan ketika tepisan
tangan Iblis Penakluk Harimau mengenai lengan kirinya.
Meskipun demikian, tubuh pemuda itu tidak sampai terbanting
di tanah. Sebab, dengan sebuah gerakan ringan, tubuh pemuda
itu telah melenting dan jatuh dengan kedua tangan terlebih
dahulu. Dia lalu melejit bangkit sambil meraung marah.
Saat itu juga harimau jantan muda yang bertubuh besar dan
kuat melesat untuk menerkam Iblis Penakluk Harimau. Tapi,
lelaki gemuk itu sama kali tidak gugup. Dengan sebuah geseran
yang indah, tangan kanannya bergerak dari samping menghajar
tubuh harimau muda itu.
Desss...!
Harimau muda itu meraung keras. Tubuhnya terlempar
hingga melanggar sebatang pohon besar. Beberapa saat
lamanya, harimau muda itu hanya mendekam sambil mengaum
lirih, ia tampak menderita akibat perbuatan Iblis Penakluk
Harimau.
Keganasan Iblis Penakluk Harimau tidak sampai di situ saja.
Setelah menghajar harimau muda yang menerjangnya tadi,
tubuh lelaki gemuk bergerak cepat ke depan. Tiga ekor harimau
yan tengah siap menerkam, langsung berkelojotan dengan
kepala pecah dihajar keras olehnya. Kemudian, dibagi-bagikan
tamparan mautnya ke arah harimau-harimau lainnya. Sehingga,
dalam beberapa gebrakan saja, habislah harimau yang
mengeroyoknya, kecuali harimau muda yang masih mendekam
kesakitan dan pemuda tampan itu.
"He he he.... Rasanya sayang kalau aku membunuhmu,
Putra Harimau. Lebih baik kau kutangkap dan kulatih untuk
mewarisi semua ilmuku. Kelak kau pasti akan menggemparkan
rimba persilatan...," gumam lelaki gemuk itu sambil melangkah
maju menghampiri kedua lawannya yang kini telah siap kembali
memasang kuda-kuda itu.
Baru saja kedua belah pihak siap untuk saling menggempur,
tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring. Masing-masing
pun menahan gerakannya.
"Tunggu...!"
Bentakan nyaring itu disusul berkelebatnya sesosok gemuk
yang wajahnya bercambang lebat. Lelaki itu melangkah ke arah
Iblis Penakluk Harimau.
"Elang Hitam...? Mau apa kau datang ke tempat ini...?" tegur
Iblis Penakluk Harimau.
Lelaki pendek gemuk itu tampak terganggu dengan
kedatangan lelaki bercambang lebat yang tidak lain dari Elang
Hitam itu.
"Hm..., Iblis Penakluk Harimau, apakah kau tidak melihat
kalung yang tergantung di leher pemuda hutan itu...?
Perhatikanlah baik-baik. Kau pasti akan terkejut setelah
mengetahuinya," ujar Elang Hitam, agak pelan.
Iblis Penakluk Harimau berkerut keningnya. Meskipun
demikian, ia menoleh juga ke arah Putra Harimau itu.
Diperhatikannya kalung yang tergantung di leher pemuda itu.
"Hm...," gumam Iblis Penakluk Harimau dengan rona wajah
berubah. Tampaknya ia mengenali permata kalung berbentuk
pipih yang terbuat dari perak itu.
"Kau pasti kenal, siapa pemilik kalung berlambang telapak
tangan itu, bukan? Nah, turutilah rencanaku...," ujar Elang
Hitam dengan tatapan tajam.
"Hm..., kalau begitu, kau pasti sudah sejak tadi berada di
tempat ini. Aku kira, tidak mungkin kau sudi menginjakkan kaki
di Hutan Jembalang ini tanpa suatu maksud tertentu. Nah,
jelaskanlah rencanamu itu padaku...," pinta Iblis Penakluk
Harimau dengan wajah sungguh-sungguh.
"Aku memang sedang mencarimu. Dari seorang muridmu,
aku mendapat keterangan bahwa kau hendak mendatangi
Hutan Jembalang ini karena tertarik dengan keangkerannya.
Itulah sebabnya aku datang ke hutan ini. Aku mengharapkan
bantuanmu untuk suatu urusan yang pasti kau sukai. Tentang
urusan itu sendiri, nantilah aku jelaskan. Yang penting
sekarang, kau jangan membunuh pemuda itu Sebaiknya kita
tawan saja. Dia bisa dipergunakan untuk melawan musuh
kita...," jelas Elang Hitam dengan senyum tipis penuh rencana
licik.
"Hm..., pemuda itu tentu memiliki perasaan yang tajam,
sebagaimana binatang buas lainnya. Sebaiknya kita mengatur
siasat, agar ia mau mengikutimu dan membantumu
menghadapi musuh-musuh kita...," usul Iblis Penakluk Harimau
yang tampak memiliki otak lebih cerdik dibanding kawannya.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana menjadi hening.
Kedua tokoh sesat itu saling berbisik mengatur rencana.
Setelah mendapatkan kata sepakat, barulah keduanya menatap
ke arah si pemuda dan harimau muda itu.
Elang Hitam bergerak merenggang, menjauhi rekannya.
Sedangkan Iblis Penakluk Harimau melangkah maju
menghadapi kedua lawannya.
"Grrrh...!"
Kedua makhluk berlainan wujud yang berkawan sejak kecil
itu menggeram marah. Keduanya berpencar, siap menghadapi
gebrakan Iblis Penakluk Harimau.
"Yeaaah..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh lelaki gemuk
pendek itu melesat menerjang lawannya. Pertarungan pun
kembali berlangsung sengit.
Iblis Penakluk Harimau bergerak cepat dengan lontaran
pukulan-pukulannya. Sehingga, kedua lawannya jatuh bangun
dan semakin terdesak hebat.
Bukkk!
Untuk kesekian kalinya, sebuah pukulan keras menghajar
tubuh harimau muda itu dengan telak. Tanpa ampun lagi,
tubuh harimau jantan yang besar itu pun terlempar deras, lalu
terbanting hingga menimbulkan suara berdebuk nyaring.
"Hreeeaaagh...!"
Si pemuda tampan meraung murka. Cepat bagai kilat,
tubuhnya melesat menolong binatang yang menjadi sahabatnya
itu. Sebab, saat itu Iblis Penakluk Harimau telah siap
melepaskan tamparannya untuk menghabisi nyawa harimau
muda itu.
"Hmh...," gumam Iblis Penakluk Harimau perlahan, seraya
mengubah tamparannya menjadi sebuah tebasan yang
mengancam lambung lawan.
Whuttt!
Tebasan sisi telapak tangan Iblis Penakluk Harimau menderu
mengincar lambung pemuda itu. Namun, sebuah bayangan lain
datang sambil mengayunkan tangannya menyambut tebasan
telapak tangan Iblis Penakluk Harimau itu. Dan....
Plakkk!
Iblis Penakluk Harimau dan sosok bayangan yang
menyambut pukulannya itu sama-sama terlempar ke belakang.
Jelas bahwa kekuatan tenaga dalam keduanya berimbang.
"Keparat...!" hardik Iblis Penakluk Harimau. "Mengapa kau
ikut campur urusanku, Elang Hitam?"
"Sebaiknya kau pergilah dari Hutan Jembalang ini, Iblis
Penakluk Harimau. Kalau tidak, terpaksa aku akan menamatkan
riwayatmu," ujar sosok bayangan yang menolong pemuda itu.
Namun jelas, pertengkaran keduanya hanyalah sebuah
sandiwara untuk menarik simpati Putra Harimau.
"Bangsat..!"
Sambil menghardik kasar, Iblis Penakluk Harimau melompat
disertai tamparan keras yang mengancam kepala lawan.
"Hmh...."
Elang Hitam mendengus. Tubuhnya direndahkan sambil
melontarkan hantaman telapak tangan ke arah tubuh lawan.
Dan....
Bukkk!
"Akh...!"
Hantaman telapak tangan yang dilontarkan Elang Hitam telak
mengenai sasaran. Sehingga, tubuh lawannya terlempar
mundur hingga satu tombak jauhnya.
"Pergilah...!" bentak Elang Hitam dengan sorot mata tajam,
namun tampak sebelah matanya mengerdip memberi isyarat.
Iblis Penakluk Harimau menggeram perlahan. Tubuhnya
segera melesat meninggalkan tempat itu. Namun, sempat
dilontarkannya sebilah pisau kecil ke arah harimau muda yang
berada di samping Putra Harimau.
Siuuut.., cappp...!
Harimau muda yang tidak sempat menghindar itu meraung
keras. Pisau kecil itu telah menancap di antara kedua matanya.
Darah segar pun mengalir. Harimau besar itu menggelepar di
atas tanah.
Elang Hitam bergegas menghambur ke tubuh harimau itu.
Sebelum Putra Harimau sempat menyadarinya, Iblis Penakluk
Harimau telah mendorong gagang pisau kecil yang masih
tampak di kepala harimau itu hingga melesak semakin dalam.
Jelas, kematian harimau muda itu ingin dipercepatnya.
"Hm..., sayang aku tidak berhasil menyelamatkannya.
Sahabat," desah Elang Hitam, berpura-pura menyesal.
Putra Harimau hanya menatap bingung, tidak mengerti,
mengapa lelaki tinggi gemuk bercambang lebat itu
menolongnya. Pemuda itu hanya menggereng lirih, mirip
sebuah tangisan seorang anak yang ditinggalkan sahabat
bermainnya.
Elang Hitam mengelus rambut pemuda itu dengan lembut.
Tampak lelaki gemuk berhati licik itu hendak menanamkan
kesan baik pada pemuda itu.
"Sudahlah. Lebih baik kita kuburkan saja kawan-kawanmu
yang telah tewas itu...," ujar Elang Hitam.
Tanpa banyak cakap lagi, Elang Hitam segera membuat
lubang untuk menguburkan mayat-mayat harimau yang
berserakan itu. Sedangkan Putra Harimau hanya menatap
bingung.
LIMA
Elang Hitam memandang sosok tegap berambut panjang
yang tengah bersimpuh di kuburan harimau- harimau itu.
Sesekali terdengar raungan lirih keluar dari kerongkongan
pemuda itu. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah dilanda
kesedihan yang dalam.
Namun, setelah menanti sekian lama, pemuda itu tidak juga
bergerak bangkit Elang Hitam menjadi tidak sabar.
Dilangkahkan kakinya mendekati pemuda itu. Ditepuknya bahu
pemuda itu perlahan sambil menghibur.
"Sudahlah, Anak Muda. Tidak baik membenamkan diri dalam
kesedihan yang berlarut-larut. Sebaiknya segera kita tinggalkan
tempat ini. Kau bersedia ikut bersamaku, bukan...?" tanya
Elang Hitam dengan kata-kata manis.
Pemuda putra harimau yang semenjak kecil hidup di dalam
hutan itu sejenak terpaku. Dipandanginya wajah Elang Hitam
dengan raut bingung. Jelas ia tidak mengerti ucapan-ucapan
yang dikeluarkan Elang Hitam.
Elang Hitam terpaksa menggunakan gerakan tangan untuk
berbicara kepada pemuda itu. Tapi, ajakan lelaki bercambang
lebat tampaknya tidak diterima si pemuda. Terlihat ia
menggeram-geram tidak senang.
"Hm...," gumam Elang Hitam sambil berpikir keras.
Sebenarnya bisa saja Elang Hitam memaksa, tapi pemuda itu
kemungkinan tidak akan menurut nantinya. Itulah yang
membuat Elang Hitam harus menelan kedongkolan hatinya,
dengan mencoba terus bersikap baik kepada pemuda itu.
Kemudian Elang Hitam pun terpaksa mengikuti kemauan
pemuda itu. Lelaki gemuk itu sama sekali tidak membantah
ketika si Putra Harimau mengajaknya tinggal di dalam hutan.
"Hm..., biarlah untuk beberapa hari ini aku menuruti
kemauannya. Kelak bila sudah menaruh kepercayaan kepadaku
ia tentu tidak akan sulit lagi diatur," gumam Elang Hitam sambil
mengikuti langkah pemuda itu.
Beberapa hari lamanya, Elang Hitam mengikuti kemauan
pemuda itu. Bahkan lelaki gemuk bercambang lebat itu mulai
mengajarkan bicara sedikit demi sedikit. Sehingga, meskipun
agak sulit, pemuda itu mulai dapat berbicara.
"Wa-na-ra...."
Pada hari ketiga, Elang Hitam mulai memberikan nama
kepada pemuda itu. Diucapkannya nama itu sambil menunjuk
ke arah si Putra Harimau.
"Wa nara...," ucap pemuda itu tersendat-sendat meniru
sambil menunjuk-nunjuk dadanya sendiri.
"Bagus.... Mulai sekarang kau harus ingat baik-baik, namamu
adalah Wanara. Namamu Wa-nara...."
Elang Hitam bukan main gembiranya melihat putra harimau
itu sudah makin mengerti akan ucapan-ucapannya.
"Na-ma-ku... Wa-na-ra...," ulang pemuda itu seraya terkekeh
gembira.
Jelas sekali kalau pemuda itu pun tidak kalah gembiranya
dapat berkata-kata seperti manusia pada umumnya. Dan
setelah beberapa hari tinggal ditemani Elang Hitam, pemuda itu
mulai mengerti siapa sebenarnya dirinya, ia pun telah
memahami perbedaan antara manusia dan binatang.
Elang Hitam bukan hanya mengajarkan Wanara untuk
berbicara. Tokoh sesat itu juga mengajarkan dasar-dasar ilmu
silat. Kegembiraan lelaki bercambang lebat itu kian menjadi-
jadi. Sebab, Wanara bukan hanya cerdik, tapi juga memiliki
bakat yang sangat besar dalam ilmu silat. Bahkan gerakan
tubuhnya hampir menyamai Elang Hitam. Hal ini tidak terlalu
aneh. Wanara yang semenjak kecil hidup di dalam hutan dan
dididik oleh seekor induk harimau itu tentu saja memiliki
kegesitan dan kekuatan seperti halnya seekor harimau. Dalam
waktu beberapa hari saja, kepandaian pemuda bertubuh kuat
itu telah maju pesat.
Pada pagi hari yang kesepuluh. Elang Hitam menatap penuh
kagum ke arah Wanara yang tengah berlatih ilmu silat.
Kelincahan pukulannya tampak sudah sedemikian mantap.
Sehingga, lelaki gemuk itu tersenyum-senyum penuh kepuasan.
Elang Hitam pun menjadi gatal-gatal tangannya.
"Wanara! Sambut seranganku...!" seru lelaki gemuk itu
sambil meluruk ke arah Wanara.
"Hiaaahhh...!"
Whuuut!
Cengkeraman Elang Hitam meluruk cepat mengancam kedua
lambung Wanara. Serangkum angin berkesiutan menyertai
datangnya cengkeraman hebat itu. Jelas tenaga yang
dikerahkan Elang Hitam cukup kuat dan bisa membahayakan
lawan.
"Heeearkhhh...!"
Wanara berseru keras. Dilambungkan tubuhnya ke depan
dan terus diputarnya dengan kepala di bawah. Sepasang
tangannya dengan telapak terbuka bergerak cepat siap
menghajar kedua telinga Elang Hitam.
"Bagus...!" ujar Elang Hitam melihat tindakan cepat Wanara.
Sambil melontarkan pujian, lelaki gemuk itu merendahkan
kuda-kudanya. Kemudian dia melejit balik dengan sebuah
tendangan keras mengarah perut Wanara.
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
Tendangan kilat yang tak terduga itu berhasil ditepiskan
Wanara, meskipun untuk itu ia harus menderita rasa nyeri pada
telapak tangannya. Tubuhnya melejit kembali ke udara dengan
menggunakan tenaga benturan itu, lalu meluruk turun dengan
kaki di atas tanah.
"Yeaaattt..!"
Elang Hitam sepertinya tidak mau memberikan kesempatan
bagi Wanara untuk menarik napas lega. Dengan disertai
teriakan nyaring, tokoh sesat itu kembali meluncur menerjang
Wanara. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar elang
bergerai cepat susul-menyusul, mengarah bagian-bagian ter-
lemah di tubuh pemuda itu.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Haittt..!"
Dengan loncatan-loncatan ringan, Wanara bergerak ke arah
kiri dan kanan menghindari sambaran cakar Elang Hitam!
Gerakan pemuda itu sangat gesit, sehingga Elang Hitam
sempat kebingungan mengejar sasarannya.
Setelah melewati dua puluh lima jurus, Elang Hitam semakin
menambah kekuatan dan kecepatan serangan-serangannya.
Tentu saja gempuran-gempuran hebat itu membuat Wanara
terdesak hebat. Hingga, pada jurus yang ketiga puluh, pemuda
itu tidak sanggup lagi bertahan. Akibatnya, sebuah pukulan
telapak tangan Elang Hitam telak menghajar tubuhnya.
Bukkk!
"Aaakhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Wanara terlempar deras
dan terbanting ke atas tanah berumput. Meskipun pemuda itu
dapat bangkit lagi dengan sigapnya, dari raut wajahnya
tergambar bahwa ia cukup merasakan kerasnya pukulan lawan.
Cairan merah tampak membasahi sudut kiri bibirnya.
"Cukup, Wanara...!"
Elang Hitam berseru mencegah ketika dilihatnya Wanara
masih hendak melanjutkan pertarungan. Lelaki bercambang
lebat itu melangkah ke arah pemuda tampan itu dengan
senyum lebar yang menandakan kepuasan hatinya.
"Gu-ru... hebat se-ka-li...," puji Wanara dengan suara
terpatah-patah, tapi terdengar jelas dan bisa dimengerti oleh
Elang Hitam.
"Kau pun hebat, Wanara. Kemajuan yang kau peroleh pesat
sekali. Kalau saja ada orang yang mendidikmu lebih pandai dari
aku, mungkin saat ini aku sudah tidak mampu lagi berhadapan
denganmu," ujar Elang Hitam dengan wajah berseri.
Kemajuan yang diperoleh pemuda itu tentu saja
mendatangkan keuntungan yang menggembirakan bagi Elang
Hitam. Sebab, pemuda itu jelas dapat menjadi seorang
pembantu yang sangat baik baginya. Jika ditekankan bahwa ia
adalah orang satu-satunya yang terbaik bagi Wanara,
kemungkinan pemuda itu untuk berkhianat sangat kecil.
"Be-tul-kah... itu..., Gu-ru...," tegas Wanara, seolah-olah
belum percaya akan kemampuan yang kini dimilikinya.
"Tentu saja betul. Apa aku pernah berbohong padamu...?"
kata Elang Hitam. "Sekarang sudah saatnya kita keluar dari
Hutan Jembalang ini. Kau masih ingat bukan, cerita yang
pernah kusampaikan padamu beberapa hari lalu...?"
"Ten-tang... mu-suh be-sar Gu-ru...," sahut Wanara setelah
mengingat beberapa saat lamanya.
"Benar. Untuk itulah kita harus keluar dari hutan ini. Selain
itu, aku pun ingin meminta bantuan dari beberapa rekan
segolongan. Sebab, selain kejam, musuhku itu memiliki ilmu
tinggi, ia juga mempunyai seorang pembantu yang sangat he-
bat..."
Elang Hitam mulai menanamkan bibit kebencian di hati
Wanara terhadap musuhnya. Sehingga, pemuda polos itu
menjadi geram terhadap orang yang dianggapnya jahat itu.
Sedangkan Elang Hitam dirasakannya sangat baik terhadapnya.
"Kalau begitu, ayolah ki-ta ca-ri orang ja-hat itu, Gu-ru...,"
sahut Wanara dengan tatapan mata berkilat yang
menggambarkan kebencian terhadap musuh besar gurunya itu.
"Ayolah. Tapi sebelumnya kita harus mencari seorang guru
yang pandai untuk menambah ilmu-ilmu yang telah kau miliki,"
ujar Elang Hitam seraya mengajak Wanara meninggalkan Hutan
Jembalang.
***
Rambahan sinar matahari pagi semakin meluas ke seluruh
permukaan bumi. Kehangatannya menjalar menguapkan
lapisan embun di pucuk-pucuk dedaunan. Semilir angin pagi
yang lembut terasa bagai elusan tangan gadis jelita yang
menimbulkan kesegaran dan kenikmatan.
Saat itu, dua sosok tubuh tampak bergerak perlahan
melewati batas Desa Babakan. Nama desa itu tertulis pada
tiang batu setinggi bahu yang terpancang di pinggir jalan.
Angin pagi yang lembut sesekali menyibakkan rambut kedua
sosok itu. Namun, keduanya sama sekali tidak peduli. Mereka
terus saja melangkah lambat menyusuri jalan lebar memasuki
Desa Babakan.
Tidak lama kemudian, tibalah keduanya di mulut desa.
Beberapa penduduk desa yang berpapasan dengan mereka
melemparkan pandang penuh kekaguman terhadap sosok
ramping yang berpakaian serba hijau. Sosok ramping itu adalah
orang yang sangat jelita dan mempesona. Beberapa lelaki
muda melemparkan pandangan penuh iri kepada pemuda
berjubah putih yang berjalan bersamanya.
Pemuda dan gadis itu tetap tidak peduli. Keduanya terus
melangkah menyusuri jalan utama Desa Babakan. Mereka baru
berhenti saat melihat sebuah kedai makan yang agak sepi.
"Kita singgah sebentar di kedai ini, Kakang...," kata gadis
jelita berpakaian serba hijau itu. Suaranya demikian bening dan
memikat.
Sosok pemuda berjubah putih yang tampan itu hanya
mengangguk seraya tersenyum. Kemudian keduanya bergerak
memasuki kedai makan di tepi jalan utama desa itu.
Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya, pemuda
tampan berjubah putih itu melambaikan tangan kepada
seorang lelaki setengah baya yang berpakaian pelayan. Segera
saja pelayan itu bergerak menghampiri.
Tapi baru beberapa langkah pelayan itu melangkahkan
kakinya, mendadak sebuah lengan kekar berbulu lebat
menghalangi jalannya. Lelaki setengah baya itu pun
menghentikan langkahnya dan menatap si empunya lengan
dengan tatapan takut-takut.
"Kembalilah. Biar aku saja yang melayani keperluan dua
orang asing itu...."
Terdengar suara berat dan parau dari si empunya lengan
kekar berbulu itu. Wajahnya yang bercambang lebat dengan
sepasang mata yang lebar tampak menakutkan sekali.
Sehingga, tanpa membantah lagi pelayan itu bergerak mundur.
"Baik., baik.., Tuan...," ujar pelayan itu terbata-bata.
Pada wajah tua si pelayan terbayang kecemasan yang tidak
bisa disembunyikan. Tampaknya lelaki kekar menyeramkan itu
sudah dikenalnya.
Lelaki kekar bercambang lebat dengan mata besar itu
menghampiri meja pemuda berjubah putih, seraya memilin-
milin kumisnya yang lebat. Sedangkan matanya tak pernah
lepas dari raut wajah jelita gadis di samping pemuda itu.
"Hm , kalian tentu bukan orang Desa Babakan ini. Dari mana
asal kalian dan ada keperluan apa singgah di desa kami ini...?"
tanya lelaki bercambang bauk itu sambil menaikkan kakinya ke
atas kursi. Sikapnya jelas menggambarkan kesombongan.
Pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum sabar.
Disentuhnya lengan gadis jelita di sampingnya ketika dilihatnya
si gadis hendak bangkit. Kemudian ditatapnya wajah bengis di
depannya setelah gadis jelita itu menuruti isyaratnya.
"Kami memang bukan warga Desa Babakan ini, Kisanak.
Kami hanyalah dua orang pengembara yang kehausan dan
hendak melepaskan lelah di desa ini. Maafkanlah apabila
kedatangan kami tidak berkenan di hati Kisanak..," ujar
pemuda tampan berjubah putih itu dengan nada halus dan
sabar.
Senyum si pemuda tampak mengiringi setiap kalimat yang
terlontar dari mulutnya. Jelas semua itu menandakan bahwa ia
sama sekali tidak menginginkan keributan.
"Hm..., sayang sekali gadis jelita seperti Nisanak ini tidak
diberikan kehidupan yang layak. Nisanak, daripada kau
mengikuti pemuda gembel ini, apakah tidak sebaiknya kau
menjadi istriku? Ikutlah bersamaku. Kau akan kuberikan rumah
yang megah dan kehidupan yang jauh lebih ketimbang yang
diberikan pemuda ini kepadamu. Ayolah...," kata lelaki
bercambang lebat itu sambil mengulurkan tangannya hendak
mencekal lengan halus gadis jelita yang berpakaian serba hijau
itu.
Namun, sebelum pemuda berjubah putih itu sempat
mencegah, tiba-tiba gadis cantik berpakaian serba hijau itu
menggerakkan tangannya dengan kecepatan kilat. Akibatnya....
Plakkk!
"Aaughhh...!"
Lelaki bercambang lebat itu menjerit keras tanpa dapat
dicegah lagi, tubuhnya langsung terjengkang hingga menimpa
meja di belakangnya. Tanpa ampun lagi, meja itu pun berderak
patah karena tak sanggup menahan berat tubuh lelaki kasar
itu.
"Kurang ajar...!"
Lelaki berwajah bengis itu memaki kalang-kabut dan
menyumpah-nyumpah kotor. Dihapusnya cairan merah yang
membasahi sudut bibirnya. Pada bagian kiri wajah orang itu
tampak tergambar lalas bekas jari-jari tangan mungil yang
membentuk guratan-guratan merah. Lelaki bercambang lebat
itu telah terkena tamparan keras yang entah kapan datangnya.
"Sabar, Kisanak..," bujuk pemuda berjubah putih itu seraya
bangkit, mencoba menghindari keributan.
Tapi, ucapan pemuda tampan ini dianggap sebagai suatu
penghinaan oleh lelaki bengis itu. Ia menduga, pemuda itulah
yang telah menamparnya. Segera saja diayunkan lengannya
yang besar dan berhulu itu ke wajah si pemuda tampan.
Whuuut!
Untunglah pemuda tampan berjubah putih itu telah lebih
dulu menundukkan kepalanya. Sehingga, selamatlah ia dari
ancaman jari-jari tang yang besar dan kasar itu.
"Bedebah...!"
Elakan pemuda itu ibarat minyak yang disiramkan ke api
yang berkobar. Dengan kemarahan memuncak, lelaki
bercambang bauk itu kembali menerjang. Kali ini bukan hanya
tamparan yang digunakan. Tendangan dan pukulan pun
bergerak susul-menyusul mengincar wajah dan tubuh pemuda
itu.
Meskipun demikian, pemuda berjubah putih itu sama sekali
tidak gugup. Dengan gerakan tubuh yang indah, setiap pukulan
dan tendangan lawan dapat dihindarinya. Sehingga, beberapa
meja dan kursi pun patah berantakan terkena terjangan lelaki
bengis itu. Suasana kedai menjadi hiruk-pikuk.
Sadar bahwa jika tingkah lelaki bengis itu dibiarkan berlarut-
larut, kedai makan ini bisa hancur berantakan. Pemuda
berjubah putih itu segera melesat keluar. Gerakannya itu diikuti
pula oleh gadis jelita berbaju hijau.
"Keparat! Hendak lari ke mana kau. Pengecut..!" teriak lelaki
bercambang lebat itu sambil bergegas menyusul kedua orang
lawannya keluar kedai.
Empat pengunjung lain yang tampaknya kawan dari lelaki
bengis itu ikut pula melompat keluar dari kedai dengan senjata
terhunus. Mereka bermaksud mengeroyok kedua pendatang
baru itu.
ENAM
Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian
serba hijau itu berdiri tegak di samping halaman kedai. Dugaan
lelaki bangis bercambang lebat itu ternyata salah. Terbukti,
kedua orang pendatang itu sama sekali tidak melarikan diri.
"Hm..., pantas kalian berdua demikian sombong. Rupanya
kalian memiliki kepandaian juga...," geram lelaki berwajah
bengis itu sambil mencabut pedang dari pinggangnya.
Sikap lelaki gemuk itu jelas bukanlah sekedar gertakan.
Sehingga, pemuda berjubah putih itu sempat berkerut
keningnya.
"Kisanak, persoalan diantara kita hanya sepele. Mengapa
harus dibesar-besarkan? Kalau memang kau menganggap kami
berdua salah, baiklah aku mohon maaf, dan harap
kesalahpahaman ini tidak dilanjutkan...," bujuk pemuda tampan
berjubah putih itu dengan halus. Jelas, keributan sama sekali
tidak diinginkannya.
"Sudahlah, Kakang. Percuma kau membujuk mereka. Orang-
orang sombong seperti itu harus diberi pelajaran, biar lain kali
tidak lagi bertindak kurang ajar...," selak gadis jelita di samping
pemuda tampan itu. Kakinya yang mungil dan ramping sudah
melangkah, siap meladeni telaki bercambang lebat dan kawan-
kawannya itu.
"Benar apa yang dikatakan gadis jelita itu, Pemuda
Pengecut. Tapi, kalau kau memang ingin minta ampun, ayo,
bersujudlah, minta ampun dari ku!" kata lelaki bercambang
lebat itu dengan sombong.
"Nah, kau dengar sendiri, bukan? Kakang mau mengikuti
kemauan orang kasar itu?" sindir gadis jelita itu dengan wajah
yang berubah gelap, setelah mendengar permintaan yang
melewati batas itu.
"Ayo kepung mereka! Bunuh pemuda itu! Gadis jelita ini biar
menjadi bagianku...!" perintah lelaki bercambang lebat itu
kepada kawan-kawannya.
Keempat lelaki yang telah menghunus senjata itu pun
langsung mengepung.
"Yeaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu, keempat lelaki kasar itu
segera melesat dengan tebasan senjatanya. Mereka tampak
sungguh-sungguh. Hal itu pun sudah diketahui oleh pemuda
tampan berjubah putih itu. Segera tubuhnya digeser untuk
menghindari sebuah sambaran senjata yang mengancam
lambung kanannya.
"Hm...."
Sambil bergumam, pemuda tampan itu melesat ke belakang
sejauh dua tombak. Para pengeroyoknya menjadi kaget melihat
kecepatan gerak itu.
"Kisanak. Sebaiknya sudahi saja permain konyol ini sebelum
kalian menyesal...," kata pemuda itu untuk kesekian kalinya.
Ucapannya kali ini bernada mengancam.
"Tidak perlu banyak bacot! Hadapi senjata kami...!"
Orang-orang kasar itu sama sekali tidak peduli. Mereka
kembali menerjang dengan sambaran senjata yang berkeredep
menyilaukan mata.
Kali ini wajah keempat lelaki kasar itu terlihat berseri. Sebab,
pemuda tampan itu sama sekali tidak menunjukkan usaha
untuk menghindar sambaran senjata-senjata mereka. Keempat
orang itu menduga, si pemuda telah menjadi kaku tubuhnya
karena rasa takut. Empat bilah senjata pun meluruk deras.
Pemuda itu terlihat pasrah Tapi…
Wuttt! Trakkk! Trakkk!
"Augkh...!"
"Akh...!"
Apa yang terjadi kemudian benar-benar tidak pernah terbetik
dalam pikiran keempat lelaki kasar itu. Saat mata pedang
mereka menghantam tubuh yang terselimut lapisan kabut
bersinar putih keperakan itu terdengar suara berpatahan yang
disusul runtuhnya senjata mereka ke tanah dalam keadaan
terbelah. Tubuh keempatnya kemudian terpental ke belakang
bagai dilempar tangan-tangan raksasa. Keempat lelaki kasar itu
pun menjerit keras.
Demikian pula halnya yang dialami lelaki bercambang lebat
itu. Lelaki yang begitu bernafsu melawan gadis jelita
berpakaian serba hijau itu harus menerima kenyataan yang
tidak pernah dibayangkannya. Dalam sepuluh jurus saja,
tubuhnya terpental akibat tendangan keras yang telak
menghajar dadanya. Darah segar pun menghambur dari mulut
dan jatuh membasahi tanah merah.
"Ugh..."
Lelaki kekar bercambang lebat itu mengeluh kesakitan. Dia
berusaha bangkit, tapi tendangan keras yang diterimanya bagai
meremukkan tulang-tulang dadanya. Sehingga, untuk kesekian
kalinya lelaki itu terjatuh dan kini tidak mampu berdiri lagi.
Empat lelaki kasar lainnya beringsut menghampiri lelaki
bercambang lebat yang menjadi pemimpinnya itu.
Pemuda tampan berjubah putih dan gadis berpakaian serba
hijau itu melangkah lambat menghampiri lawan-lawannya yang
sudah tidak berdaya. Kelima orang lelaki kasar itu pun
bertambah takut.
"Ampun kami, Tuan Pendekar.... Jangan bunuh kami...,"
ratap kelima lelaki kasar itu sambil menyembah-nyembah.
"Hm..., pergilah kalian sebelum pikiranku berubah...," kata
gadis jelita itu dengan nada yang datar dan dingin. Rasa kesal
sesungguhnya belum lenyap di hati si gadis jika teringat
kekurangajaran lelaki bercambang lebat itu. Sikap sabar
pemuda tampan itulah yang membuatnya tidak berani
menyakiti lawan-lawannya lebih jauh.
Tanpa banyak cakap lagi, kelima orang itu bergerak bangkit,
kemudian tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
"Hm..., ada-ada saja.... Lenyap sudah selera makanku.
Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan kita, Kakang. Rupanya
penduduk di sini tidak ramah kalau menyambut orang asing."
Gadis jelita itu melangkah menuju perbatasan desa sebelah
Barat. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih itu tidak
berkata apa-apa. Ia mengayunkan langkahnya mengikuti gadis
itu.
***
"Tuan Pendekar..., tunggu...!"
Gadis jelita dan pemuda tampan berjubah putih itu menahan
langkah ketika terdengar ada yang memanggil dari belakang.
Kening keduanya berkerut. Tampak seorang lelaki setengah
baya tengah berlari mengejar mereka.
"Tu... an Pendekar..., jangan pergi...," ujar lelaki setengah
baya itu dengan suara terputus-putus. Dengus napasnya yang
memburu membuatnya tidak bisa berkata dengan baik.
"Tenanglah, Paman. Mari duduk;ah...," sapa pemuda tampan
berjubah putih itu.
Ketiganya kemudian duduk di sebuah batu besar.
"Nah, sekarang ceritakanlah, apa yang ingin Paman
sampaikan kepada kami. Mungkin kami bisa memberikan
bantuan...," tanya gadis jelita berpakaian hijau itu dengan
lembut. Seulas senyum manis tersungging di bibirnya,
membentuk dua lesung pipit yang makin membuatnya
memikat.
"Aku melihat saat Tuan berdua bertarung melawan lima
orang lelaki kasar dan jahat itu. Ketahuilah, Tuan Pendekar!
Mereka sama sekali bukan warga Desa Babakan. Mereka adalah
perampok-perampok yang menguasai desa. Sedangkan
pemimpin mereka hanya datang setiap tiga bulan sekali, untuk
mengambil upeti dan perempuan-perempuan muda di desa
kami. Hal ini sudah berlangsung hampir tiga tahun. Melihat
Tuan berdua dapat mengalahkan kelima perampok itu tanpa
kesulitan, langsung saja aku mengejar dan memohon
bantuan...," kata lelaki setengah baya itu. Ditatapnya wajah
kedua pendekar muda itu berganti-ganti. Ada sinar kecemasan
dalam mata tua itu, tampaknya dia takut kalau pasangan
pendekar itu akan menolak permintaannya.
"Hm..., mengapa kepala desamu tidak mengusir mereka...?"
tanya dara jelita berpakaian serba hijau itu sambil lalu.
"Itulah celakanya. Kepala desa kami, yang semula sangat
memperhatikan penduduk, kini malah membantu para
perampok itu untuk mengumpulkan segala sesuatu yang
mereka perlukan. Tapi hal itu bisa dimaklumi. Sebab, rumah
kepala desa itu sendiri dijaga ketat oleh beberapa perampok.
Sehingga, apabila sang Kepala Desa berbuat macam-macam,
keluarganya pasti akan dibantai habis. Mungkin itulah
alasannya mengapa Ki Danggala tidak berani mengambil
tindakan," jelas lelaki setengah baya itu.
Pasangan pendekar muda itu hanya mengangguk-angguk
mendengar keterangan lelaki setengah baya itu. Sehingga lagi-
lagi lelaki itu cemas takut permintaannya ditolak.
"Bagaimana, Tuan Pendekar...? Apakah Tuan Pendekar
bersedia menolong penduduk Desa Babakan yang telah lama
menderita ini...?" tanyanya sambil menatap wajah pasangan
pendekar muda itu berganti-ganti.
"Mengapa tidak, Paman. Sekarang juga, marilah kita
berangkat ke rumah Ki Danggala...," sahut pemuda berjubah
putih itu sambil tersenyum.
"Jadi..., Tuan berdua bersedia...?" tanya lelaki setengah baya
itu, meragukan pendengarannya sendiri.
"Hm..., apakah selama ini ada orang yang menolak ketika
Paman meminta bantuan...?" selidik pemuda berjubah putih itu.
"Hampir semua orang gagah yang kutemui menolak untuk
menolong kami. Penolakan itu dikatakan setelah aku memberi
tahu siapa pemimpin gerombolan perampok itu..,. Mungkin...,
mungkin Tuan berdua pun akan menolak apabila aku me-
nyebutkan nama tokoh mengerikan itu...," kata lelaki tua itu,
cemas.
"Paman..., siapa pun adanya orang yang menguasai Desa
Babakan, kami berdua sama sekali tidak merasa gentar. Dan,
keputusan kami untuk membantu pun tidak berubah, meski
Raja Neraka sekalipun yang harus kami lawan...," tegas gadis
jelita berpakaian serba hijau itu. Ucapan ini tentu saja membuat
wajah lelaki itu kembali cerah.
"Tokoh sesat itu berjuluk Jari Pencabut Nyawa. Menurut
keterangan orang-orang gagah yang menolak membantu kami,
tokoh itu sangat tinggi kepandaiannya. Dan..., hanya satu
orang yang mungkin bisa menaklukkan tokoh sesat itu.
Sayangnya aku tidak tahu di mana pendekar besar itu berada.
Tapi, melihat bagaimana Tuan berdua menjatuhkan perampok-
perampok tadi, rasanya kalian berdua pun memiliki kesaktian
yang tinggi...," ujar lelaki setengah baya itu.
Wajah lelaki tua itu tampak keheranan. Sebab, raut wajah
pasangan pendekar itu dilihatnya sama sekali tidak berubah,
meskipun telah disebutkannya tadi julukan seram yang banyak
disegani tokoh-tokoh persilatan itu. Lelaki tua itu pun
mengambil kesimpulan, pasangan pendekar muda itu pasti
belum pernah mengenal keganasan Jari Pencabut Nyawa.
"Hm..., Paman tahu, siapa satu-satunya orang yang bisa
menaklukkan tokoh sesat itu...?" tanya si gadis jelita.
Gadis ini tampaknya penasaran mendengar cerita lelaki tua
itu bahwa hanya ada satu orang yang mampu mengalahkan si
Jari Pencabut Nyawa. Sebab, hal ini berarti bahwa dia dan
pemuda itu tidak akan sanggup menghadapi tokoh sesat itu.
"Hm..., kalau tidak salah, orang-orang gagah memberikan
julukan Pendekar Naga Putih kepada tokoh pendekar yang
sangat dikagumi itu. Apakah, Nisanak pernah mendengarnya?"
Lelaki setengah baya itu malah balik bertanya. Namun,
bukan main herannya ketika menyaksikan dara cantik itu malah
tertawa terpingkal-pingkal mendengar julukan Pendekar Naga
Putih.
"Hi hi hi.... Kalau cuma seorang Pendekar Naga Putih, untuk
apa Paman harus bersusah-payah mencarinya. Tahukan Paman
kalau pendekar terkenal itu telah bertekuk lutut kepadaku?
Hm..., kalau saja ia tahu aku berada di tempat ini, tentu ia akan
lari terbirit-birit menyambutku...."
Dara jelita itu menyombongkan dirinya sambil melirik
pemuda berjubah putih di sampingnya. Sedangkan telaki
setengah baya itu membelalak pucat. Sebab, apa yang kali ini
didengarnya bertentangan dengan keterangan orang-orang
gagah selama ini.
"Benarkah itu, Nisanak...?" tanya lelaki setengah baya itu
dengan wajah ketololan. Tampaknya ia belum bisa menerima
perkataan dara cantik itu.
"Tentu saja benar. Paman. Untuk apa aku harus berbohong.
Kalau kau masih tidak percaya, tanyakan saja pada kawanku
ini...," sahut dara jelita itu sambil melirik ke arah pemuda
berjubah putih di sebelahnya.
"Benarkah perkataan Nisanak ini, Tuan Pendekar...?" tanya
lelaki setengah baya itu yang tampak masih tidak percaya.
"Benar, Paman. Maka sebaiknya kita segera menuju ke
rumah Ki Danggala. Percayalah! Jari Pencabut Nyawa tidak
akan berkutik menghadapi kawanku ini...," ucap pemuda
tampan berjubah putih itu sambil tersenyum.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?"
Lelaki setengah baya itu bukan main gembiranya. Sebab,
orang yang kali ini dimintai bantuannya ternyata jauh lebih
hebat daripada Pendekar Naga Putih yang selama ini diagung-
agungkan itu. Tentu saja hal ini sama sekati tidak pernah
dibayangkannya.
***
"Inilah kediaman kepala desa kami, Tuan Pendekar. Biasanya
halaman depannya selalu dijaga dua orang anggota perampok.
Aneh, mengapa kali ini tampak sepi...?" desis lelaki setengah
itu.
"Hm..., mungkin mereka mengira desa benar-benar telah
tunduk di bawah kekuasaan mereka. Mereka mungkin berpikir,
tidak ada lagi yang berani berbuat macam-macam. Sehingga,
mereka tidak begitu ketat lagi melakukan pengawasan...,"
sahut pemuda berjubah putih itu sambil mengedarkan
pandangan berkeliling.
Tanpa banyak cakap lagi, pemuda berjubah putih itu segera
memasuki halaman rumah besar itu, kemudian terus bergerak
ke arah pintu ruang depan yang tampak tertutup rapat.
"Ki Danggala...! Kami sahabatmu datang berkunjung!
Keluarlah, sambut kedatangan kami...!" teriak pemuda itu
seraya mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya
mengaung memenuhi setiap penjuru rumah.
Tidak lama kemudian, muncul empat telaki bertampang
kasar dari balik pintu. Setelah menatap ke arah pemuda
tampan itu sejenak, keempatnya menuruni tangga.
"Hm..., siapa kau, Anak Muda? Ada keperluan apa kau ingin
bertemu dengan Ki Danggala?" tegur lelaki gemuk yang
dadanya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Di tangan kanannya
tampak sebuah gada yang dipenuhi duri-duri runcing.
"Aku Panji, sahabat lama Ki Danggala. Secara kebetulan aku
singgah di desa ini. Jadi, sekalian saja aku mengunjunginya.
Apakah kau salah seorang pengawalnya?" tanya si pemuda
tampan, berpura-pura bodoh.
Saat itu juga, gadis berbaju hijau dan lelaki setengah baya
sudah menghilang ke dalam bangunan.
"Ki Danggala tidak berada di tempat, ia sudah lama pergi.
Harap kau kembali saja lain kali..., tukas lelaki gemuk yang
menggenggam gada itu.
"Hm..., kalau begitu, biarlah kutunggu saja sini...," ucap
pemuda tampan bernama Panji sambil melangkah menuju
ruang depan. Tentu tindakannya ini membuat keempat lelaki
kasar marah.
"Tunggu...!"
Bentakan menggelegar keluar dari mulut lelaki gemuk
bersenjata gada itu. Sedangkan kawannya sudah bergerak
mengepung.
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Hajar saja pemuda
kurang ajar itu, Bungkarasa! Kalau dibiarkan, dia bisa
bertingkah!" kata salah seeorang dari ketiga lelaki kasar itu
dengan nada bengis.
"Hei, mengapa kau berkata demikian kasar terhadap sahabat
majikanmu? Apakah kau tidak takut kalau aku nanti
mengadukannya kepada Ki Danggala?" tegur Panji berpura-
pura menakut-nakuti.
"Bedebah! Siapa takut kepada tua bangka Danggala itu! Kau,
pemuda kurang ajar, rasakan kerasnya kepalanku ini...!" geram
lelaki tinggi berwajah pucat seperti mayat. Lelaki itu siap
melontarkan pukulannya.
"Tunggu...!" cegah Panji sambil mengulurkan lengannya
dengan telapak terbuka. Maksudnya tentu saja untuk
mencegah lawannya menerjang.
"Hm..., kalau kau takut, pergilah. Kami tidak punya waktu
mengurusi pemuda ingusan sepertimu...!" hardik lelaki kurus
pucat itu dengan mata melotot. Tampak ia merasa jengkel
terhadap Panji.
"Hm..., baiklah...."
Panji melemparkan senyumnya kepada keempat orang kasar
itu. Kemudian dia bergerak malas-malasan menuju pintu keluar.
TUJUH
Bungkarasa dan ketiga orang kawannya tertegun sejenak.
Mereka sama-sama mengerutkan kening melihat pemuda itu
melangkah malas-malasan menuju pintu keluar. Merasa
dipermainkan, kemarahan Bungkarasa dan kawan-kawannya
bangkit seketika.
"Setan! Apa sebenarnya yang diinginkan muda sinting ini...!"
Salah seorang yang bertubuh kurus dan bermuka pucat
menggeram jengkel. Jelas ia merasa tidak suka dengan sikap
pemuda itu. Begitu ucapannya selesai, lelaki kurus itu langsung
melesat dengan sisi telapak tangan mengancam leher Panji.
Whuuut!
Tampaknya serangan yang dilancarkan lelaki kurus bermuka
pucat itu bukan sekadar peringatan. Terbukti sambaran angin
pukulannya demikian tajam. Lelaki kurus itu rupanya ingin
cepat menghajar Panji dengan pukulan mautnya.
Namun, apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Dengan
gerakan yang cepat dan sulit ditangkap, tiba-tiba pemuda
berjubah putih itu berbalik. Tubuhnya digeser ke samping.
Berbarengan dengan gerakan itu, tangan kanannya diayunkan
dengan kecepatan kilat. Dan....
Bukkk!
"Uuugh...!"
Darah segar menyembur dari mulut lelaki kurus itu, begitu
hantaman lengan kanan lawan telak mendarat di perutnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu langsung terlempar
deras ke belakang.
"Adi Gurinta...!" seru Bungkarasa dengan wajah tegang.
Cepat-cepat tubuhnya melesat ke depan dan mengulurkan
kedua tangannya untuk menangkap tubuh kawannya yang
bernama Gurinta itu.
Bukan main marahnya hati Bungkarasa. Sebab, Gurinta telah
jatuh pingsan akibat pukulan yang dideritanya. Jelas, pukulan
pemuda berjubah putih itu sangat hebat.
Tapi, rasa terkejut dan kemarahan yang bercampur menjadi
satu di hati Bungkarasa dan juga kedua orang lelaki kasar
lainnya, serentak berubah menjadi rasa gentar. Sebab, sosok
pemuda tampan yang semula hendak mereka jadikan sasaran
kemarahan itu ternyata telah terlapisi kabut bersinar putih
keperakan. Ketiganya pun langsung bergerak mundur dengan
hati kecut.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Bungkarasa dan dua orang kawannya melangkah mundur.
Setelah mengetahui siapa sesungguhnya pemuda berjubah
putih itu, rasa takut di hari mereka tidak bisa disembunyikan
lagi.
"Bagaimana ini, Kakang...?" tanya salah seorang lelaki kasar
itu kepada Bungkarasa. Wajah kasar itu telah berubah menjadi
pucat. Bahkan, nada suaranya menjadi kering. Sehingga,
pertannyaan yang keluar dari mulutnya lebih mirip bisikan.
"Terpaksa kita harus memanggil kawan-kawan yang lain...,"
sahut Bungkarasa dengan suara parau karena hatinya pun
tengah dilanda ketegangan.
"Suuuiiit..!"
Tanpa banyak cakap, Bungkarasa langsung mengeluarkan
suitan nyaring yang berkepanjangan.
Suitan panjang itu rupanya panggilan bagi kawanan
perampok lainnya. Terbukti, dalam waktu yang tidak terlalu
lama, terdengarlah suara berderap riuh. Lalu, muncul kawanan
perampok yang segera mengurung Pendekar Naga Putih.
"Hm...."
Panji bergumam tak jelas. Kini sadarlah pemuda itu,
mengapa Desa Babakan bisa jatuh ke tangan perampok.
Melihat jumlah mereka yang puluhan itu, Panji pun maklum
apabila penduduk desa itu tidak berkutik.
"Serbuuu..! Bunuh pemuda itu...!"
Bungkarasa langsung memberi perintah. Dan, puluhan lelaki
bertampang kasar pun segera melunak ke arah Pendekar Naga
Putih disertai teriakan-teriakan ribut.
"Heaaah...!"
Pendekar Naga Putih menanti hingga para pengeroyoknya
datang mendekat. Begitu jarak di antara mereka tinggal
setengah tombak, pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan
nyaring yang mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'nya.
Akibatnya sangat hebat. Belasan anggota perampok
terdepan langsung menjerit ngeri. Sambaran hawa dingin bagai
badai salju membuat mereka berpentalan ke segala arah.
"Gila...!?"
Bungkarasa memaki kalap. Hati lelaki gemuk itu semakin
gentar. Dalam satu gebrakan saja belasan anak buahnya telah
dibuat porak-poranda oleh pendekar muda itu.
Dua orang lelaki kasar yang berada di kiri-kanan Bungkarasa
sudah bergerak hendak meninggalkan tempat itu. Keberanian
mereka langsung lenyap melihat sepak terjang pemuda tampan
yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Tampaknya kedua
orang itu mengambil keputusan untuk mencari selamat sendiri.
"Hendak ke mana kalian...?"
Bungkarasa, yang melihat kedua kawannya hendak
melarikan diri, segera saja menegur. Tapi tegurannya sama
sekali tidak dipedulikan. Malah Bungkarasa sendiri bergegas
mengikuti kedua orang kawannya itu untuk melarikan diri.
"Hm..., hendak lari ke mana kalian, Pengecut-pengecut
Busuk...?!" bentak Panji.
Wajah Bungkarasa dan kedua perampok lainnya tentu saja
menjadi pucat. Belum lagi mereka sempat berpikir, tiba-tiba
sesosok bayangan putih telah berkelebat melewati kepala
mereka dan langsung berdiri menghadang jalan ketiga
perampok itu.
Lenyaplah keberanian dan kekejaman ketiga perampok yang
selama ini bertindak kasar dan tidak mengenal ampun itu.
Serentak mereka melompat mundur dengan wajah pucat dan
tubuh gemetar.
Bungkarasa menoleh ke belakang. Hati lelaki kasar itu
semakin ciut melihat tubuh anak buahnya telah bergeletakan
tak berdaya. Jelas semua itu akibat ulah Pendekar Naga Putih
yang kini berdiri menghadang dan mengancamnya.
"Bangsat keparat! Siapa yang berani mengacau di tempat
ini...?!"
Pada saat Bungkarasa dan dua orang perampok itu tidak
tahu harus berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar seman nyaring
yang membuat wajah ketiganya rampak berseri. Jelas,
Bungkarasa dan kedua kawannya mengenal baik seruan itu.
Wajah Bungkarasa dan dua orang kawannya semakin cerah.
Ketiganya menarik napas lega ketika melihat sesosok tubuh
tinggi besar berkepala botak. Bahkan, kehadiran sosok itu
masih disusul dengan tiga sosok lainnya.
"Pendekar Naga Putih...!? Benarkah kau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih...?" tegur sosok bertubuh hitam kekar itu.
"Benar, akulah Pendekar Naga Putih. Dan kau gembong
perampok yang berjuluk Jari Pencabut Nyawa itu, bukan?" ujar
Panji balik bertanya.
"Ketua, pemuda ini telah menghajar orang-orang kita.
Sebaiknya dibunuh saja pemuda keparat ini...," seru
Bungkarasa, yang merasa lega melihat kehadiran pemimpin
besarnya.
"Hm...."
Lelaki kasar berkepala botak yang berjuluk Jari Pencabut
Nyawa itu hanya bergumam tak jelas. Sekilas terlihat ada sinar
kegentaran pada matanya. Namun, semua itu berusaha
disembunyikannya dengan memasang wajah keras.
Seorang lelaki gemuk bercambang lebat, salah satu dari tiga
sosok tubuh yang datang bersama Jari Pencabut Nyawa,
bergerak menghampirinya. Kemudian lelaki gemuk itu berdiri di
sampingnya, dan berbisik dengan lirih.
"Tinggalkan saja pemuda itu. Kita masih mempunyai
masalah yang lebih penting. Kelak, setelah masalah penting itu
selesai, baru kita kembali ke desa ini, dan kita obrak-abrik
seluruh tempat di desa ini...," bisik lelaki gemuk bercambang
lebat yan tak lain dari Elang Hitam.
Dua sosok lainnya ternyata adalah Iblis Penakluk Harimau
dan Wanara. Rupanya ketiga orang itu telah mendatangi Jari
Pencabut Nyawa untuk diajak bergabung dengan mereka.
"Tapi, apakah tidak sebaiknya kita habisi pemuda ini dulu,
baru kemudian kita menghajar musuh besar kita...," bantah Jari
Pencabut Nyawa.
"Jangan bodoh, Jari Pencabut Nyawa! Pemuda ini belum
tentu mampu kita tundukkan. Sedangkan musuh besar kita
sudah pasti dapat kita taklukkan. Kalau kau bersikeras hendak
menghajar pemuda ini terlebih dahulu, bisa hilang kesempatan
kita untuk menghajar musuh besar yang telah membuat kita
tersiksa dendam itu," balas Elang Hitam.
Setelah berpikir sejenak, Jari Pencabut Nyawa pun
mengangguk-angguk setuju.
"Hm..., kali ini aku tidak mempunyai waktu mengurusimu.
Pendekar Naga Putih. Biarlah lain kali aku akan mencarimu...,"
seru Jari Pencabut Nyawa, sambil beranjak mengikuti Elang
Hitam dan dua orang kawannya. Diajaknya pula Bungkarasa
dan dua orang temannya.
Panji berdiri tegak mengawasi kepergian gembong perampok
dan kawannya itu. Pemuda itu tidak berusaha mengejar. Sebab,
niatnya memang bukan mencari musuh, melainkan
membebaskan penduduk Desa Babakan dari tekanan para
perampok. Dan itu sudah dilakukannya.
"Kau biarkan mereka pergi begitu saja, Kakang...?"
Tiba-tiba saja gadis jelita yang tak lain dari Kenanga muncul
dan menegur pemuda itu dengan kening berkerut. Gadis itu
tampaknya tidak rela membiarkan gembong perampok itu
pergi.
"Hm..., tugas kita bukan untuk membunuh atau mencari
musuh, Kenanga. Kewajiban kita untuk membebaskan warga
Desa Babakan sudah terlaksana. Jadi, untuk apa mengejar
lawan yang sudah jelas-jelas tidak ingin bertarung...?" sahut
Panji tersenyum melihat wajah kekasihnya.
"Jadi..., Tuan adalah Pendekar Naga Putih...?" tanya lelaki
setengah baya yang meminta pertolongan Panji dan Kenanga
tadi sambil membelalakkan mata.
Suasana menjadi ramai ketika Ki Danggala beserta anggota
keluarganya muncul. Kepala desa berumur empat puluh tahun
lebih itu menjabat tangan Panji erat-erat sambil berkali-kali
mengucapkan terima kasih. Sehingga, pemuda itu risih.
"Tidak perlu dibesar-besarkan, Paman. Semua ini sudah
menjadi kewajiban kita. Jadi, apa yang saya lakukan ini
memang telah menjadi tugas kita semua...," ujar Panji.
Ki Danggala terharu mendengar ucapan yang menandakan
keluhuran budi itu. Kemudian ia memerintahkan para
pembantunya untuk menguburkan mereka yang tewas.
Sedangkan para perampok yang selamat dilepaskan setelah
diberi peringatan agar tidak melakukan kejahatan lagi.
Saat kesibukan itu terjadi, Panji segera mengajak Kenanga
untuk menyelinap secara diam-diam meninggalkan tempat itu.
Tinggallah Ki Danggala dan penduduk Desa Babakan yang
kebingungan ketika mereka tidak menjumpai lagi Pendekar
Naga Putih, yang telah menyelamatkan desa itu dari tekanan
para perampok.
"Hm..., pendekar berbudi luhur seperti itulah yang diperlukan
di dunia ini...," desah Ki Danggala.
"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya dara jelita
berpakaian serba hijau itu saat telah jauh meninggalkan Desa
Babakan.
"Aku merasa curiga dengan Jari Pencabut Nyawa dan kawan-
kawannya itu. Mereka pergi karena harus menyelesaikan suatu
urusan yang tampaknya jauh lebih penting ketimbang
meladeniku. Entah apa yang hendak mereka lakukan. Kenanga.
Yang jelas, pasti mereka hendak melakukan suatu
kejahatan...," sahut pemuda berjubah putih yang tidak lain dari
Panji.
"Lalu, Kakang ingin mengikuti mereka...?" tanya Kenanga
lagi.
"Ya. Sebab aku yakin ada kejahatan besar yang tengah
mereka rencanakan...," jawab Panji sambil mengedarkan
pandangan berkeliling.
"Tapi..., ke mana kita harus mencari mereka, Kakang...?"
"Entahlah. Yang pasti mereka bergerak menuju ke arah
Barat"
"Kalau begitu, kita harus bergerak cepat, Kakang," sambut
Kenanga seraya bersiap mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Panji tersenyum melihat semangat kekasihnya. Pemuda itu
segera menyambar lengan dara jelita itu sebelum sempat
melesat ke depan. Tentu saja perbuatan pemuda itu membuat
langkah Kenanga tertahan.
"Ada apa lagi, Kakang...?"
"Sabarlah. Dugaanku belum pasti benar. Siapa tahu mereka
mengambil arah lain. Untuk itu harus teliti dan jangan terburu-
buru...."
"Kalau begitu, apa yang akan Kakang lakukan untuk mencari
jejak mereka..?"
Pendekar Naga Putih termenung sejenak. Cukup sulit
baginya menentukan arah yang harus mereka tempuh.
Akhirnya, karena tidak menemukan jalan lain, diputuskannya
untuk menjelajahi daerah sebelah Barat.
Tanpa banyak cakap, Kenanga pun mengikuti langkah
kekasihnya. Kedua pendekar muda itu bergerak mengerahkan
ilmu lari cepat mereka menuju arah Barat.
Hari bergerak merambat sore. Sepasang pendekar muda itu
terus saja berlari, seolah-olah hendak berpacu dengan waktu.
Tapi, karena tempat yang mereka tuju memang sangat jauh,
akhirnya Panji dan Kenanga harus melewatkan malam di dalam
sebuah hutan.
"Mengapa kita tidak terus saja dan mencari perkampungan
untuk melewatkan malam, Kakang?" tanya Kenanga ketika
Panji mengajaknya beristirahat di hutan.
"Hm..., aku khawatir di depan sana tidak ada
perkampungan. Lagi pula, selain perjalanan di malam hari
dapat menghambat gerakan kita, siapa tahu Jari Pencabut
Nyawa dan kawan-kawannya telah tahu bahwa kita mengejar
mereka. Jika demikian, kesulitan kita tentu semakin bertambah.
Bisa saja mereka memasang jebakan untuk menewaskan
kita..," sahut Panji, yang memang selalu berhati-hati dalam
mengambil tindakan.
"Kakang takut..?" desak Kenanga dengan kening berkerut.
"Hm..., kau ini aneh, Kenanga. Ketahuilah, sikap hati-hati
jauh lebih baik. Kecerobohan hanya akan mendatangkan
kerugian bagi kita. Jangan salah mengerti, Kenanga. Perkataan
takut dan hati-hati itu jauh sekali bedanya...," jelas Panji
tersenyum sambil membelai rambut gadis jelita itu.
Kenanga tidak banyak bertanya lagi. Dara jelita itu
menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Pendekar Naga Putih. Panji
mengecup lembut rambut kekasihnya. Ada rasa kasihan terselip
di hatinya melihat dara sejelita Kenanga harus menjalani
kehidupan sebagai seorang pengembara. Namun, pikiran itu
dibuangnya jauh-jauh ketika teringat bahwa gadis itu sama
sekali tidak pernah mengeluh tentang apa yang selama ini
mereka jalani.
Malam kian larut. Hembusan angin terasa semakin dingin
menggigit kulit. Panji sama sekalih tidak bergerak. Pemuda itu
membiarkan saja Kenanga terlena dalam pelukannya.
***
Sengatan sinar matahari pagi menerobos melalui dedaunan.
Kedua pendekar itu tersentak bangkit dari mimpinya. Setelah
membersihkan tubuh di sebuah sumber air yang mereka temui,
pasangan pendekar itu pun kembali bergerak melanjutkan
perjalanan.
Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian
tinggi, tentu saja tidak sulit bagi Panji dan Kenanga untuk
mempercepat perjalanan. Dengan ilmu lari yang mereka miliki,
tidak berapa lama kemudian tibalah mereka di daerah Barat.
"Hm..., kalau tidak salah, kita telah cukup jauh memasuki
wilayah Barat. Entah di mana kita bisa menemukan Jari
Pencabut Nyawa dan kawan-kawannya...," desah Panji saat
menyusuri daerah perbukitan.
Matahari saat itu sudah semakin tinggi. Sengatan sinarnya
terasa panas menyengat kulit. Namun, pasangan pendekar itu
tetap melanjutkan perjalanan.
"Sebaiknya kira mengambil jalan lewat hutan itu saja,
Kakang. Rasanya aku tidak kuat dalam cuaca sepanas ini," ucap
Kenanga, yang wajahnya bersimbah peluh.
Panji hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian
keduanya bergerak memasuki hutan lebat. Terdengar helaan
napas lega dara jelita itu ketika dirasakannya udara segar di
dalam hutan yang mereka lalui. Sengatan sinar matahari tidak
lagi terasa. Karena, rimbun dedaunan pohon-pohon besar di
dalam hutan itu melindungi mereka dari teriknya matahari.
Ketika keduanya semakin jauh merambah hutan, tiba-tiba
Panji menahan langkahnya sambil mencekal lengan kekasihnya.
Diletakkannya cepat-cepat jari telunjuknya di bibir saat
Kenanga hendak bersuara.
Dengan langkah yang lebih hati-hati dan tanpa menimbulkan
suara, pasangan pendekar muda itu kembali bergerak lambat-
lambat Panji semakin mempertajam indera pendengarannya.
Karena, sempat didengarnya sesuatu yang mencurigakan.
"Kakang, lihat..?!" seru Kenanga tiba-tiba sambil menutupi
mulutnya. Gadis itu sangat terkejut melihat pemandangan yang
terpampang di depan matanya.
Panji pun sempat terkejut menyaksikan pemandangan yang
ditunjuk kekasihnya. Di depan mereka, kira-kira berjarak tiga
tombak, tampak empat ekor harimau tengah berebutan
menyantap tubuh yang tak berdaya.
Tanpa banyak pikir, Panji segera melangkah maju dan
mengibaskan tangannya, mengusir harimau-harimau kelaparan
itu. Dua di antaranya meraung marah dan langsung melesat ke
arah Panji. Namun, pemuda itu sama sekali tidak gentar. Cepat-
cepat tubuhnya bergerak maju di antara kedua binatang buas
itu, lalu kedua tangannya mengibas ke kiri dan ke kanan.
Buggg! Desss...!
Tanpa ampun lagi, kedua binatang itu meraung kesakitan,
dan terlempar sejauh dua tombak. Sang raja hutan itu langsung
bangkit melarikan diri dengan langkah tertatih-tatih. Jelas,
mereka merasa gentar terhadap pemuda berjubah putih itu.
Dua binatang buas lainnya yang semula mendekam di dekat
mayat langsung berlari masuk ke dalam hutan begitu Panji
mendekat. Sehingga, pemuda itu dapat leluasa meneliti sosok
yang sulit dikenali lagi itu.
"Hm..., dilihat dan tulang-tulangnya, jelas orang ini berusia
lebih dari enam puluh tahun., Selain itu, ia bukan orang
sembarangan. Tulang-tulangnya demikian kokoh. Semasa hidup
ia pasti memiliki ilmu tenaga dalam yang cukup tinggi. Entah
siapa yang telah membunuhnya...?" desah Panji setelah
meneliti sosok mayat tinggi kurus itu.
Kenanga hanya terdiam tanpa berkeinginan menanggapi
ucapan kekasihnya. Dara jelita itu baru mengerutkan keningnya
saat Panji menemukan tali-tali kokoh yang melibat kedua
lengan dan kaki laki-laki tua itu. Bahkan, beberapa senjata
rahasia tampak terbenam di dalam daging mayat itu.
"Benar-benar keji orang yang melakukan pembunuhan
terhadap orang setua ini. Aku mencium adanya racun
pelumpuh syaraf yang tampak terhisap orang ini. Mungkin
racun-racun itulah yang membuatnya tidak berdaya. Jelas
orang ini telah terperangkap dalam jebakan licik," ujar Panji
yang tampak marah terhadap kelicikan si pembunuh.
"Siapa kira-kira pembunuh itu, Kakang...?" tanya Kenanga
yang menjadi penasaran.
"Hm..., sepanjang pengetahuanku, tokoh sesat yang memiliki
racun pelumpuh syaraf hanyalah Jari Pencabut Nyawa. Jadi,
kemungkinan besar rombongan yang tengah kita kejar itulah
yang melakukan pembunuhan keji ini," jelas Panji.
"Lalu, apakah Kakang tidak bisa mengenali siapa adanya
mayat ini...?" tanya Kenanga lagi, sambil mencoba mengenali
wajah mayat yang telah rusak oleh kuku-kuku harimau itu.
"Entahlah. Wajahnya sangat sulit dikenali. Yang jelas, orang
ini pasti tokoh besar dalam rimba persilatan..." jawab Panji
dengan wajah kecewa, karena tidak dapat mengenali mayat itu
dengan baik.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang...?"
"Hm..., orang tua ini ada kemungkinan dipancing untuk
masuk ke dalam hutan. Kemudian ia dijebak secara licik.
Kejadiannya pasti malam tadi. Dan itu berarti tempat tinggalnya
tidak jauh dari daerah ini. Sebaiknya kita melakukan gerak
cepat untuk melihat-lihat sekitar daerah ini. Siapa tahu dengan
begitu kita dapat menemukan Jari Pencabut Nyawa dan kawan-
kawannya. Ayolah...."
Panji kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Tanpa
banyak cakap, Kenanga pun langsung mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, menyusul Panji.
DELAPAN
Matahari siang sudah tepat berada di atas kepala. Saat itu
serombongan orang yang dipimpin lelaki gemuk bercambang
lebat tiba di depan sebuah pintu gerbang perguruan. Tanpa
banyak cakap, lelaki gemuk itu langsung mendorongkan-se-
pasang telapak tangannya ke depan.
"Hiaaah...!"
Brakkk...!
Pintu gerbang Perguruan Jari Besi yang terbuat dari kayu
tebal itu langsung jebol terkena pukulan jarak jauh yang
dilontarkan Elang Hitam.
Tentu saja suara hiruk-pikuk itu membuat murid-murid
Perguruan Jari Besi menghambur dengan senjata terhunus.
Namun, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tujuh
sosok tubuh telah menerobos masuk dan langsung melontarkan
pukulan-pukulan maut.
Terdengar jerit kematian susul-menyusul seiring dengan
robohnya murid Perguruan Jari Besi dalam keadaan tewas.
Tentu saja peristiwa ini membuat gempar seisi perguruan.
"Ki Bonggala! Keluarlah kau...! Aku, Elang Hitam datang
untuk membuat perhitungan!" teriak lelaki gemuk bercambang
lebat itu menantang. Suaranya yang dikirimkan dengan
pengerahan tenaga dalam itu mengaung memenuhi seluruh
bangunan Perguruan Jari Besi.
Elang Hitam tidak perlu menunggu terlalu. Beberapa saat
setelah gema suaranya lenyap, empat sosok tubuh tegap
melesat keluar dari dalam bangunan. Mereka tidak lain dari Ki
Bonggala beserta tiga orang murid utamanya.
Bukan main marahnya Ki Bonggala melihat pemandangan
yang terpampang di depan matanya. Puluhan orang muridnya
telah bergeletakan dengan tubuh bermandikan darah. Mendidih
darah tokoh itu menyaksikan kekejaman tamu-tamu tak diun-
dang itu.
"Hua ha ha..! Hari ini adalah hari kematianmu, Bonggala.
Kau boleh berteriak sampai serak memanggil gurumu. Kakek
renta yang berjuluk Dewa Langit itu telah kami jebak ke dalam
Hutan Welang semalam. Jadi, kau tidak mempunyai kekuatan
lagi sekarang. Hua ha ha...."
Tawa Elang Hitam terdengar berkepanjangan. Tokoh sesat
berhati licik itu benar-benar merasa puas melihat wajah pucat
lawannya.
"Iblis keji...!" maki Ki Bonggala yang tentu merasa terkejut
mendengar keterangan Elang Hitam.
Semalam, sesungguhnya Ki Bonggala memang sempat
mendengar adanya suara-suara mencurigakan. Tapi, karena
gurunya berpesan agar ia tetap tinggal, sementara orang tua
itu yang mengejar, terpaksa Ki Bonggala menyerahkan
persoalan itu ke tangan gurunya. Siapa sangka orang-orang
yang menyelinap semalam itu adalah Elang Hitam dan kawan-
kawannya. Kini Ki Bonggala baru mengerti, mengapa gurunya
tidak kembali lagi sejak semalam. Kiranya Elang Hitam telah
menjebak gurunya.
Lunggara, murid tertua Perguruan Jari Besi, segera
melompat ke arah Elang Hitam. Menyusul kemudian Samija dan
seorang murid utama lainnya. Ki Bonggala sendiri tidak sempat
mencegah. Karena, pikiran orang tua itu tengah disibukkan oleh
kematian gurunya.
"Hua ha ha...!" Elang Hitam tertawa makin keras melihat
majunya tiga orang murid utama Ki Bonggala. Lelaki gemuk itu
sama sekali tidak peduli. Sebab, Iblis Penakluk Harimau dan
tiga orang pembantu Jari Pencabut Nyawa telah menyambut
serangan ketiga murid itu. Sedangkan ia sendiri telah siap
mencabut nyawa Pendekar Tangan Sakti.
"Diakah musuh besarmu, Guru...?" tanya pemuda berambut
panjang dan bertubuh kekar yang berdiri di samping Elang
Hitam. Pemuda yang menatap wajah Ki Bonggala dengan tak
berkedip itu tak lain dari Wanara, si Putra Harimau.
Sementara itu, Jari Pencabut Nyawa hanya berdiri tegak
dengan sorot mata penuh kebencian. Jelas, tokoh sesat itu pun
menaruh dendam terhadap Ki Bonggala. Karena, tokoh yang
berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu pernah mengobrak-abrik
gerombolannya pada waktu yang silam.
"Ayo, kita tangkap dia. Pendekar sombong itu tidak boleh
mati tanpa disiksa. Harus kita siksa dia sebelum dibunuh!"
teriak Elang Hitam. Kemudian lelaki gemuk itu langsung
melesat menerjang dengan cakar elangnya.
Ki Bonggala, yang sadar bahwa keadaannya benar-benar
terancam, segera mengeluarkan ilmu andalannya untuk
menghadapi keroyokan Elang Hitam, Jari Pencabut Nyawa, dan
pemuda berambut panjang itu.
"Heaaat..!"
Whutttl Whuuut!
Elang Hitam langsung mengulurkan cakar-cakar mautnya
mengancam tubuh lawan. Demikian pula halnya dengan Jari
Pencabut Nyawa. Tokoh sesat berkepala botak itu mengirimkan
serangan-serangan mautnya yang menimbulkan deruan angin
tajam.
Sedangkan Wanara sejenak mengerutkan keningnya tanda
tak senang. Pemuda yang jujur itu sebenarnya merasa tidak
suka mengeroyok seorang lawan. Tapi, karena gurunya
memerintah, pemuda itu tidak bisa berdiam diri saja. Maka, ia
pun ikut mengeroyok Ki Bonggala.
Keroyokan tiga orang lawan yang memiliki kepandaian tinggi
itu tentu saja membuat ki Bonggala kerepotan. Jangankan
menghadapi keroyokan, melawan salah satu dari mereka pun ia
harus mengerahkan segenap kepandaiannya. Sebab, baik Elang
Hitam maupun Jari Pencabut Nyawa memiliki kepandaian yang
hampir setingkat dengannya. Apalagi kini ada pula pemuda
gesit bertubuh kokoh itu. Ki Bonggala harus mati-matian
mempertahankan dirinya.
"Khreaaakh...!"
Pada suatu kesempatan, Wanara yang menggempur Ki
Bonggala dari sebelah kiri, berseru nyaring. Pemuda bertubuh
kokoh itu melontarkan cengkeraman ke arah lawannya.
Meskipun dalam keadaan terdesak hebat, Ki Bonggala
menunjukkan kebolehannya. Dua buah cengkeraman yang
mengancam perut dan lambungnya dapat dihindarinya dengan
menggeser tubuh ke samping. Namun, sepasang mara orang
tua itu membelalak saat melihat mata kalung yang tergantung
di leher Wanara. Meskipun keterkejutan Ki Bonggala hanya
sekejap, jelas hal iIni sangat merugikan baginya. Akibatnya,
sebuah cakar Wanara berhasil merobek bahu kirinya.
Brettt!
"Akh...!"
Ki Bonggala menjerit kesakitan. Tubuh orang tua itu melintir
mengikuti arah sambaran cakaran Wanara. Hal itu memang
sengaja dilakukannya. Sebab dengan demikian, Ki Bonggala
dapat menghindari cengkeraman selanjutnya yang masih ber-
susulan.
Dengan sebuah lompatan panjang, Pendekar Tangan Sakti
bergerak menjauhi lawan-lawannya, kemudian berdiri tegak
menatap mata kalung di dada Wanara. Tampaknya ia sangat
tertarik dengan kalung yang tergantung di leher pemuda itu.
"Sahabat muda, dari manakah kau mendapatkan kalung
bergambar telapak tangan itu...? Tolong katakan padaku...,"
tanya Ki Bonggala
Pertanyaan itu tentu saja membuat gerakan Wanara terhenti
seketika. Perlahan kepalanya tertunduk menatap kalung yang
tergantung di lehernya.
"Aku tidak tahu. Kalung ini telah ada sejak aku kecil...,"
jawab Wanara jujur. Pemuda polos itu menjadi heran ketika
melihat wajah Ki Bonggala tampak pucat mendengar
jawabannya. Sayang Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa
tidak memberikan banyak kesempatan lagi kepada Pendekar
Tangan Sakti. Kedua tokoh sesat itu kembali menerjang
lawannya dengan serangan-serangan maut.
Ki Bonggala yang tengah terhanyut pikirannya oleh jawaban
polos Wanara tak sempat menghindar. Akibatnya, dua pukulan
lawan telak bersarang di dadanya.
Bukkk! Desss!
"Uuugh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Bonggala terjengkang deras
sejauh satu setengah tombak, kemudian ia jatuh bergulingan
sambil memuntahkan darah segar. Pendekar Tangan Sakti
terlihat menderita luka dalam yang cukup parah akibat
hantaman pada tubuhnya itu.
"Lumpuhkan bangsat itu...!" seru Elang Hitam kepada Jari
Pencabut Nyawa yang jaraknya lebih dekat dengan Ki
Bonggala. Lelaki gemuk bercambang lebat itu sendiri sudah
melompat dengan beberapa totokan mautnya.
Jari Pencabut Nyawa pun tidak mau membuang-buang
waktu. Tanpa diperintah pun sebenarnya ia memang hendak
melumpuhkan Ki Bonggala secepatnya. Ucapan Elang Hitam
membuatnya bergerak semakin cepat untuk melumpuhkan
Pendekar Tangan Sakti yang makin terdesak itu.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tubuh lelaki kekar berkepala botak
itu melesat cepat melancar totokan pada bagian-bagian
terlemah di tubuh lawannya yang tengah berusaha bangkit itu.
"Yeaaat...!"
Mendadak, pada saat yang gawat, terdengar teriakan
nyaring yang mengguntur. Berbarengan dengan suara yang
sangat keras itu, sesosok bayangan putih berkelebat bagai
kilatan cahaya. Dan, langsung disambutnya serangan Jari
Pencabut Nyawa dan Elang Hitam tadi. Akibatnya....
Plakkk! Tasss! Bukkk!
"Uuuhhh...!?"
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan oleh terjangan sosok
bayangan putih bersinar keperakan itu. Bukan saja serangan
kedua tokoh sesat itu dapat digagalkan. Telapak tangannya pun
sempat mendarat di tubuh Elang Hitam. Hingga tanpa ampun
lagi, tubuh lelaki gemuk itu terjungkal mencium tanah. Tapi,
karena hantaman telapak tangan itu tidak terlalu keras, luka
yang ditimbulkannya pun tidak terlalu parah. Elang Hitam masih
bisa bangkit dengan
cepat sambil mengusap
lelehan darah di sudut
bib
ki gemuk itu terjungkal mencium tanah!
irnya.
Hebat sekali akibat
yang ditimbulkan oleh
terjangan bayangan putih
bersinar keperakan itu.
Bukan saja serangan
kedua tokoh sesat itu
dapat digagalkan.
Telapak tangannya pun
sempat mendarat di
tubuh Elang Hitam,
hingga tubuh lela
Kehadiran sosok bayangan yang terselimut kabut putih
keperakan itu ternyata berbarengan dengan munculnya sesosok
tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau. Dan, sosok
tubuh ramping itu langsung menceburkan diri ke dalam kancah
pertempuran lain, tempat di mana Lunggara tengah berjuang
keras menyelamatkan nyawa. Di situ dua orang adik
seperguruan Lunggara telah menggeletak mandi darah.
Kehadiran sosok tubuh terbungkus pakaian serba hijau itu
benar-benar sangat berarti bagi Lunggara. Ia dapat mengatur
napasnya sambil menyaksikan sosok ramping itu menggempur
lawan-lawannya.
Sementara itu, Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa tengah
berdiri menatap sosok bersinar putih keperakan yang telah
menyelamatkan Ki Bonggala. Kedua tokoh sesat itu tentu saja
terkejut bukan main saat mengenali siapa penolong lawannya
itu.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa berseru dengan wajah
tegang. Sedangkan Wanara hanya memandang bingung,
karena ia memang tidak pernah mengenal julukan Pendekar
Naga Putih.
Lain lagi halnya dengan Ki Bonggala. Lelaki gagah yang
dikenal berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu bergumam dengan
wajah cerah. Sebab, tuan penolongnya dikenalnya sebagai
seorang pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia
persilatan pada masa ini. Tentu saja kenyataan itu membuat Ki
Bonggala dapat bernapas lega. Bergegas lelaki gagah itu
menghampiri penolongnya itu.
"Pendekar Naga Putih, kau tak ubahnya bagaikan malaikat
yang turun dari langit. Kedatanganmu sangat tepat dan
memang kubutuhkan...," ucap Ki Bonggala sambil
membungkukkan tubuhnya, memberi hormat kepada pemuda
tampan yang tak lain dari Panji itu.
Panji pun cepat membalas hormat orang tua itu. Namun,
keduanya tidak dapat melanjutkan pembicaraan. Karena, saat
itu Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa telah melesat
menerjang Pendekar Naga Putih. Tampaknya kedua tokoh sesat
itu sengaja mengambil kesempatan selagi Panji dan Ki
Bonggala sedang berbicara.
Namun, niat licik kedua tokoh sesat itu tidak membawa hasil
seperti yang diharapkan. Sebagai seorang pendekar yang telah
berpengalaman, tentu saja Panji tidak lagi memerlukan
persiapan dalam menghadapi setiap gempuran lawan. Dengan
sebuah langkah panjang ke samping, serangan kedua lawan itu
pun dapat dihindarinya. Bahkan, sempat juga dilontarkannya
serangkaian serangan balasan yang sangat mengejutkan.
"Hiaaah...!"
Elang Hitam yang menjadi sasaran serangan balasan Panji
berusaha menghindar sebisa-bisanya. Lelaki bercambang lebat
itu tunggang-langgang, kerepotan menghadapi gempuran
Pendekar Naga Pulih yang bagai gelombang lautan itu. Pada
saat yang berbahaya itu, Jari Pencabut Nyawa menye-
lamatkannya dengan jalan menebarkan bubuk beracun ke arah
Pendekar Naga Putih.
"Hm...."
Panji menggeram gusar melihat kekejian Jari Pencabut
Nyawa. Kegusaran pemuda itu berubah menjadi kemarahan
manakala ia teringat akan mayat seorang kakek di Hutan
Welang. Sebab, bubuk yang digunakan untuk menyerang
dirinya memiliki bau harum yang sama dengan yang tercium
olehnya pada mayat itu.
"Heaaah...!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Pendekar Naga Putih
mengibaskan lengannya ke kiri dan ke kanan. Sehingga, racun
pelumpuh syaraf itu pun bertebaran musnah terbawa angin
berhawa dingin yang keluar dari tangan pemuda itu. Kemudian,
dengan sebuah lompatan kilat, pemuda itu berbalik
menggempur Jari Pencabut Nyawa.
Serangan yang dilancarkan Panji kali ini benar-benar hebat.
Tubuh pemuda itu meliuk-liuk turun-naik bagaikan seekor naga
yang tengah bermain di angkasa. Sepasang cakarnya
menyambar susul-menyusul bagaikan tidak berkesudahan.
Sehingga, dalam jurus yang kelima puluh, Jari Pencabut Nyawa
tidak sanggup lagi membendung serangan-serangan Pendekar
Naga Putih. Akibatnya, sebuah sambaran cakar naga Panji
merobek bahu kanan lelaki kekar berkepala botak itu.
Whuttt! Brettt!
"Akh...!"
Tokoh sesat gembong perampok itu menjerit kesakitan.
Bahkan, tubuhnya yang kekar sempat melintir akibat kuatnya
tenaga sambaran cakar lawannya itu. Belum lagi sempat
disadari keadaannya, sebuah tendangan keras telah membuat
tubuhnya terjungkal dan jatuh berdebuk di atas tanah.
Elang Hitam tentu saja terkejut bukan main. Cepat-cepat
tokoh bertubuh gemuk itu melesat dengan cakar elangnya yang
sambar-menyambar. Tapi kali ini Panji tidak berniat main-main
lagi. Dengan gerakan-gerakan tubuh yang manis, pemuda itu
terus menghindari setangan berantai lawannya. Kemudian,
begitu melihat pertahanan lawan terbuka, langsung saja
dikirimkannya dua buah hantaman telapak tangannya ke dada
lawan.
Desss...!
"Aaargh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Elang Hitam terlempar keras
bagaikan selembar daun kering, lalu meluncur membentur
dinding kayu tebal di belakangnya. Kemalangan rupanya masih
terus membuntuti Elang Hitam. Saat terbentur pada kayu tebal
yang langsung patah itu, tubuh lelaki gemuk itu kembali
terjatuh tepat di atas patahan kayu bulat yang meruncing.
Karuan saja darah segar menyembur seiring jerit kematian
Elang Hitam yang tubuhnya telah terpaku potongan kayu itu.
Elang Hitam tewas secara menyedihkan.
"Pendekar Naga Putih, tahan...!"
Panji yang saat itu tengah siap bertempur melawan Wanara,
si Putra Harimau, menahan gerakannya. Seruan Ki Bonggala
membuat Pendekar Naga Putih melompat mundur, lalu menarik
kembali serangannya terhadap pemuda bertubuh kokoh itu.
"Ada apa, Paman...?" tanya Panji sambil mengerutkan
keningnya melihat tingkah laku aneh Ki Bonggala. Tanpa
menjawab pertanyaannya, orang tua itu melangkah ke arah
Wanara.
"Anak muda, perlihatkanlah kalungmu. Lihatlah, aku pun
memiliki kalung yang serupa dengan milikmu. Dan, kalung yang
kau kenakan itu adalah kalung milik putraku yang kulekatkan di
lehenya ketika bayi...," kata Ki Bonggala dengan suara
bergetar, berusaha menahan keharuan hatinya.
Wanara tentu saja bingung melihat kalung milik Ki Bonggala
benar-benar serupa dengan miliknya.
"Apa artinya ini, Orang Tua...?" tanya Wanara, sambil
menatap wajah Ki Bonggala dengan pandangan bodoh.
"Kalau memang kalung yang kau kenakan itu bukan
pemberian orang lain, berarti kau adalah putraku, Anak
Muda...," ujar Ki Bonggala yang menjadi tegang, sambil
meneliti raut wajah Wanara.
"Aku..., putramu...? Lalu, di manakah Ibuku...?" tanya
Wanara, yang tampak mulai mengerti.
"Akulah yang seharusnya bertanya demikian, Anakku. Tapi
mungkin ibumu telah tewas sewaktu membawamu lari dari
kejaran penjahat-penjahat keji yang memburu keluarga kita...,"
jelas Ki Bonggala. Tanpa sadar sepasang mata tuanya menjadi
basah karena rasa haru dan gembira bercampur-baur dalam
hati.
"Ayah...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Wanara segera menghambur dan
memeluk tubuh Ki Bonggala erat-erat. Pertemuan yang tak
disangka-sangka itu tentu saja membuat keduanya langsung
terhanyut dalam luapan rasa gembira.
Kesempatan itu rupanya tidak disia-siakan oleh Jari Pencabut
Nyawa. Tokoh sesat yang sejak tadi hanya berdiri bingung
menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu langsung
mengirimkan serangan maut, saat Ki Bonggala dan Wanara
lengah.
"Hiaaat...!"
Kedua orang ayah beranak itu baru tersadar ketika terdengar
teriakan nyaring yang mengejutkan. Untunglah Panji bertindak
cepat. Dengan lentingan manis, tubuh pemuda tampan itu
berputar beberapa kali di udara, lalu didaratkan dua telapak
tangannya di tubuh Jari Pencabut Nyawa.
Desss..!
"Huaaagkh...!"
Hantaman telak telapak tangan Panji membuat tubuh kekar
berkepala botak itu terhempas bagai selembar daun kering
tertiup angin. Jari Pencabut Nyawa terbanting keras di tanah
disertai semburan darah segar dari mulutnya. Setelah
berkelojotan sesaat dengan tubuh menggigil kedinginan, tokoh
sesat itu pun diam tak berkutik lagi, tewas akibat pukulan keras
yang dilandasi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Ki Bonggala dan Wanara menghela napas lega. Untuk kedua
kalinya orang tua itu harus berterima kasih kepada Panji yang
telah menyelamatkan nyawanya dan juga nyawa putra yang
baru dijumpainya setelah lenyap selama dua puluh tahun itu.
"Kakang...," Kenanga, yang ternyata telah berhasil pula
menundukkan Iblis Penakluk Harimau dan murid-murid Jari
Pencabut Nyawa, segera bergabung dengan Panji.
"Ah..., kalian berdua telah berjasa besar terhadapku. Entah
bagaimana aku bisa membalasnya...," desah Ki Bonggala sambil
menatap pasangan pendekar itu dengan penuh kagum. Hati
orang tua itu benar-benar bangga. Sebab, kaum persilatan
golongan putih ternyata telah memiliki seorang tokoh muda
yang berkepandaian tinggi dan berbudi luhur.
"Tidak perlu dipikirkan, Paman. Semua itu memang
merupakan kewajiban kita. Siapa tahu kelak. Pamanlah yang
menyelamatkan nyawa kami berdua. Dan, karena persoalan di
sini telah selesai, maaf kalau kami terpaksa harus pamit untuk
melanjutkan perjalanan."
Baru saja ucapan itu selesai. Panji telah berkelebat bersama
Kenanga meninggalkan tempat itu. Sekejap saja, bayangan
kedua pendekar muda itu telah lenyap di balik pagar kayu bulat
yang mengelilingi Perguruan Jari Besi. Kini tinggallah Ki
Bonggala dan Wanara yang hanya bisa menggelengkan kepala,
karena tidak sempat mencegah kepergian kedua pendekar itu.
"Orang-orang berbudi luhur seperti itulah yang patut
dijadikan contoh, Anakku...," desah Ki Bonggala seraya
menatap wajah putranya. Ada sinar kebanggaan dalam tatapan
orang tua itu. Sosok putranya begitu gagah di matanya.
Wanara hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis.
Pemuda itu masih merasa seperti bermimpi dapat bertemu
dengan keluarganya, meskipun hanya ayahnya yang masih ada.
Ki Bonggala mengajak putranya dan sisa-sisa murid
perguruannya untuk membersihkan halaman Perguruan Jari
Besi. Angin sore bersilir lembut menjanjikan ketenangan dan
kedamaian bagi perguruan itu di kemudian hari.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar