..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PUTRA HARIMAU

matjenuh

 

PUTRA HARIMAU 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Suhardi 
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau 
memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari 
penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Putra Harimau 
128 hal. ; 12 x 18 cm 

SATU


Malam baru saja berganti pagi. Cahaya kuning keemasan 
berpendar menghangatkan bumi. Angin sejuk bersilir lembut 
mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan di wilayah Hutan 
Welang, sebuah hutan liar yang terletak di sebetah Barat 
Kadipaten Danau Bulus. 
Pagi itu, empat sosok lelaki tegap berpakaian pemburu 
tampak bergerak menerobos semak belukar. Pemandangan 
seperti itu tidaKiah aneh. Sebab, musim panas seperti itu 
memang saat yang tepat untuk mencari binatang-binatang 
buruan. Apalagi, Hutan Welang adalah daerah yang paling

banyak dihuni binatang buas, yang tentunya sangat disenangi 
para pemburu. 
"Menjelang siang nanti, kita pasti sudah tiba di lembah. Saat 
sinar matahari sedang terik-teriknya, banyak binatang yang 
berteduh. Hanya saja, harus hati-hati, jangan sampai 
kedatangan kita tertangkap oleh penciuman mereka yang 
tajam," lelaki terdepan mengingatkan ketiga kawannya. 
Tubuh lelaki yang berbicara itu tinggi tegap dan kokoh, 
sangat cocok bagi seorang pemburu. Belum lagi, bulu-bulu 
lebat menghiasi sebagian wajahnya. Maka semakin angkerlah 
penampilan lelaki itu. 
Orang kedua, bertubuh sedikit lebih pendek. Wajahnya 
persegi empat, dengan sepasang mata kecil menjorok ke 
dalam. Namun, penampilan orang kedua ini tidak kalah 
angkernya dengan sosok pertama. Dilihat dari gerak 
langkahnya, lelaki itui tentu bukan orang sembarangan. Seperti 
juga orang pertama, dia tampaknya memiliki kepandaian silat 
Lelaki ketiga dan keempat berperawakan lebih kurus. 
Meskipun begitu, gerak-gerik keduanya tampak sigap. Jelas 
bahwa keempat orang pemburu itu tidak dapat disamakan 
dengan pemburu-pemburu lainnya. 
"Apa tidak sebaiknya kita mulai saja dari sini, Kakang? 
Sepertinya di sekitar sini pun banyak terdapat binatang 
buruan," kata lelaki kedua sambil memperlambat langkah dan 
menggerakkan tangan kanannya, menyibak pohon yang 
menghalangi. 
"Aku rasa pendapat Gantar ada benarnya, Kakang. Untuk 
apa jauh-jauh ke lembah, kalau di sekitar sini saja kita sudah 
bisa mendapatkan binatang buruan?" timpal orang ketiga yang 
bertubuh agak kurus, yang jelas sangat setuju dengan usul 
rekannya yang dipanggil Gantar itu.

"Memang, di sini banyak binatang buruan. Tapi untuk 
mendapatkannya sangat sulit. Kita harus bersusah-payah dulu 
menerobos semak belukar dan rawa-rawa. Lain halnya di 
lembah sana. Mereka berteduh saling berkelompok. Lagi pula 
binatangnya gemuk-gemuk," ungkap lelaki tinggi tegap yang 
tampaknya pemimpin dari kelompok kecil pemburu itu. 
Ketiga orang pemburu lainnya mengangguk-anggukkan 
kepala dengan wajah berseri-seri. Mata ketiga orang itu 
berbinar membayangkan binatang buruan yang gemuk-gemuk. 
"Wah, kita bisa membawa hasil buruan yang hebat kali ini. 
Dari mana Kakang tahu? Apakah Kakang sudah pernah ke 
sana?" tanya Gantar penasaran. 
"Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan serombongan 
besar pemburu. Mereka mendapatkan banyak binatang buruan. 
Nah, dari merekalah aku mendapatkan keterangan tentang 
lembah di sebelah Barat hutan ini. Oh ya, sebelum berpisah, 
pemimpin rombongan itu berpesan pula agar aku menjauhi 
lembah itu. Katanya, meskipun di sana banyak binatang 
buruan, bahayanya tidak sedikit. Tidak kurang dari delapan 
orang di antara mereka tewas diterkam binatang buas. Juga, 
enam orang dari mereka mengalami luka yang cukup parah," 
kata lelaki tinggi gagah itu. 
"Kalau lembah itu banyak dihuni binatang buas, mengapa 
kau berniat hendak ke sana, Kakang?" tanya Gantar lagi 
dengan wajah agak heran. 
"Ha ha ha..., apa kau merasa takut, Adi Gantar? Rombongan 
yang kutemui itu bukanlah orang-orang terlatih seperti kita. 
Mereka sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Jadi wajar 
saja kalau mereka menjadi sasaran empuk binatang-binatang 
buas itu. Lain halnya dengan kita. Dengan kepandaian yang kita 
miliki, apa susahnya membela diri dari terkaman binatang

binatang buas itu?" sahut lelaki tinggi gagah itu lagi sambil 
tertawa. 
Gantar dan dua orang lainnya ikut tertawa dan mengangguk-
angguk tanda mengerti. Alasan yang dikemukakan pimpinan 
mereka memang tidak salah. Sebagai orang-orang yang 
memiliki kepandaian silat, tentu saja mereka tidak perlu takut 
menghadapi binatang buas. 
Keempat pemburu itu memang bukanlah orang 
sembarangan. Mereka adalah murid-murid Perguruan Jari Besi, 
sebuah perguruan yang sangat terkenal di kawasan Kadipaten 
Danau Bulus. Bahkan, Adipati Danau Bulus sendiri sangat 
menaruh hormat kepada ketua perguruan itu. 
Ada pun lelaki gagah yang memimpin tiga orang temannya 
dalam perburuan itu adalah tokoh tingkat tiga di Perguruan Jari 
Besi. Namanya Maharya. Sedangkan tiga orang lainnya 
merupakan tokoh tingkat empat, atau satu tingkat di bawah Ki 
Maharya. 
Tingkatan-tingkatan itu tidak didapatkan dengan mudah. 
Banyak ujian berat yang harus mereka hadapi, sebelum Ki 
Bonggala, Guru Besar Perguruan Jari Besi, mengukuhkan 
mereka dalam tingkatan yang telah ditentukan. 
Ki Bonggala sendiri bukanlah tokoh sembarangan. Lelaki 
gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu sangat dikenal di 
kalangan rimba persilatan. Pada masa mudanya, Ki Bonggala 
banyak menghadapi pertarungan maut. Tidak sedikit tokoh 
sesat yang tewas di tangannya. Sehingga, ia mendapat julukan 
Pendekar Tangan Sakti. Setelah lelah berpetualang, sebuah 
perguruan pun didirikan oleh pendekar gagah itu. Dan 
dilatihnya murid-murid untuk meneruskan ilmu-ilmu yang 
dimilikinya.

Sementara itu, keempat pemburu terus menerobos semak 
belukar menuju lembah sebelah Barat Hutan Welang. Baru saja 
mereka memasuki sebuah tempat yang agak lapang, tiba-tiba 
terdengar suara tawa yang mengejutkan. 
"Hua ha ha...!" 
Cepat-cepat keempat pemburu itu melompat mundur dalam 
keadaan siaga. Urat-urat tubuh mereka tampak menegang, 
karena tenaga dalam mereka telah bergerak, siap menghadapi 
segala kemungkinan yang bakal terjadi. 
Ki Maharya, lelaki tinggi tegap berusia empat puluh tahun 
itu, mengedarkan pandangannya ber keliling. Sebagai 
pemimpin kelompok kecil itu, tentu saja ia merasa paling 
bertanggung jawab atas keselamatan mereka. 
"Siapa kau? Tunjukkan dirimu...?" seru Ki Maharya sambil 
mengerahkan tenaga dalam, sehingga suaranya menggema 
sampai beberapa tombak jauhnya. 
Ki Maharya dan adik-adik seperguruannya tidak perlu 
menunggu lama. Baru saja gema teriakan Ki Maharya lenyap, 
tampak sesosok tubuh gemuk dengan wajah bercambang lebat, 
melangkah ringan menghampiri mereka. 
"Hua ha ha...! Benar-benar gagah murid-murid Pendekar 
Tangan Sakti! Mengagumkan..., mengagumkan...!" 
Lelaki gemuk bercambang lebat itu berdecak-decak sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. Ucapan yang keluar dari 
mulutnya memang bernada pujian, tapi jelas ada kesan ejekan 
pada sepasang mata dan wajahnya. 
"Maaf, Sahabat! Benar, kami adalah murid-murid Ki 
Bonggala. Tapi sayangnya kami begitu bodoh, tidak mengenali 
siapa adanya sahabat yang gagah ini..," kata Ki Maharya sambil 
membungkukkan badannya dengan sikap hormat


Ketiga adik seperguruan Ki Maharya juga menunjukkan sikap 
hormat kepada lelaki bercambang lebat itu. Ki Bonggala 
memang telah mengajarkan murid-muridnya untuk tidak 
bersikap sombong, terlebih-lebih kepada orang yang sama 
sekali belum dikenal. 
"Hua ha ha.... Bagus..., bagus...! Rupanya Pendekar Tangan 
Sakti telah berhasil mendidik murid-muridnya dengan baik. 
Benar-benar membuat aku terharu...," kata lelaki gemuk itu lagi 
dengan nada yang tidak enak. 
"Maaf, kalau boleh kami yang bodoh ini ingin tahu, siapakah 
adanya sahabat yang gagah ini? Dan, ada keperluan apakah 
menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Maharya dengan sikap 
yang mulai berubah. 
Sorot mata Ki Maharya tidak lagi menyiratkan rasa hormat. 
Jelas, dia mulai tidak suka dengan sikap sombong lelaki gemuk 
itu. 
"Hua ha ha.... Baik, kalau kalian benar-benar ingin 
mengenalku. Orang menyebutku si Elang Hitam. Guru kalian, Ki 
Bonggala, pasti telah mengenalku dengan baik. Dan, aku ada di 
sini, jelas untuk membunuh kalian! Tapi, aku akan berbaik hati 
dengan menyisakan salah satu dari kalian untuk menyampaikan 
pesanku kepada Ki Bonggala. Bagaimana? Kalian pasti setuju 
dengan usulku ini." 
Ucapan yang dikeluarkan lelaki bercambang lebat itu 
kelihatan enteng sekali, seolah-olah nyawa manusia sama sekali 
tidak berharga baginya. Tentu saja hal ini membuat Ki Maharya 
dan kawan-kawannya geram. 
"Dengar, Orang Hutan!" ujar Gantar yang tidak dapat 
menahan kemarahannya, sambil melangkah maju dan 
menudingkan telunjuk ke wajah lelaki bercambang lebat itu. 
"Siapa pun kau. Elang Hitam, Elang Belang, atau Elang Burik

sekalipun, kami murid-murid Ki Bonggala tidak takut mengha-
dapimu! Kehadiranmu di tempat ini jelas menunjukkan sifat 
pengecut! Sebab, kalau kau seorang pemberani, tentunya kau 
akan langsung datang mencari guru. Bukan menghadang kami 
di tempat ini." 
Ucapan Gantar jelas semata-mata dimaksudkan untuk 
menghina dan menggertak lawan. Gertakan itu diharapkannya 
dapat mengurungkan niat si Elang Hitam. Bagaimanapun, 
tujuan mereka ke hutan ini adalah untuk berburu, bukan 
berkelahi. Cerdik juga tampaknya lelaki bertubuh gempal itu. 
"Perbuatanku boleh saja kau anggap pengecut, tapi ini 
adalah siasat cerdik. Dengan membunuh tiga orang dari kalian, 
aku telah membuat Ki Bonggala penasaran dan sakit hati. Nah, 
bukankah itu namanya cerdik?" sahut si Elang Hitam yang 
sekali tidak tampak terpengaruh dimaki sebagai pengecut itu. 
"Kalau begitu, mengapa harus banyak bacot lagi? Lakukan 
saja niatmu. Kami siap membuktikan, apakah kepandaianmu 
juga sehebat ucapanmu!" bentak Ki Maharya sambil mencabut 
pedang di pinggangnya. 
Gantar dan dua temannya pun berjaga-jaga dengan senjata 
masing-masing. Keempat murid Ki Bonggala itu tampak siap 
menghadapi Elang Hitam. 
"Bagus..., bagus..., itu baru namanya lelaki gagah.... Hua ha 
ha...." 
Tawa Elang Hitam terdengar berkepanjangan. Dia kemudian 
melangkah maju menghampiri keempat lawannya. Dan sebagai 
murid pendekar yang terlatih baik, tentu saja keempat 
lawannya itu tidak memerlukan perintah pemimpinnya. Mereka 
segera menyebar dan mengurung Elang Hitam yang terus saja 
tertawa-tawa itu. Tampaknya Elang Hitam tidak ingin

mendahului pengeroyoknya, ia hanya berdiri tegak di tengah 
arena dengan sikap sombong. 
"Heaaat...!" 
Ki Maharya yang berada di sebelah kanan Elang Hitam 
berseru nyaring membuka serangan. Pedang lelaki tinggi gagah 
itu berkelebatan, menimbulkan pendaran sinar yang 
menyilaukan. Gerakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu 
menunjukkan bahwa Ki Maharya tidak memandang rendah 
lawannya. 
Pada saat yang hampir bersamaan, Gantar dan kawan-
kawannya pun berseru nyaring, sambil melesat dengan putaran 
senjatanya. Sebentar saja suasana hutan yang sunyi itu pun 
berubah bising oleh suara senjata yang mengaung-ngaung 
tajam. 
"Hmh...!" 
Elang Hitam hanya mendengus kasar meliha gerakan para 
pengeroyoknya. Dengan gerakan yang jauh lebih ringan dan 
mantap, tubuhnya ditarik ke belakang saat tebasan pedang Ki 
Maharya tiba. Kemudian badannya berputar ke kiri menghindar 
sambaran pedang di tangan Gantar. Sedangkan dua serangan 
lainnya dielakkan dengan melenting ke atas. Dan, langsung 
dikirimkan hantaman dua buah telapak tangannya ke arah 
punggung dua orang murid Perguruan Jari Besi. 
Wukkk! Wukkk! 
"Aihhh...!?" 
Kedua orang murid itu terkejut bukan main. Serangan 
balasan yang cepat dan tak terduga itu membuat mereka harus 
menggulingkan tubuh dan menjauhi Elang Hitam.

Untunglah saat itu Ki Maharya telah melesat dengan babatan 
senjatanya. Sehingga, Elang Hitam yang berniat mengejar dua 
orang lawannya itu terpaksa menarik kembali kedua tangannya. 
Dan, tubuhnya diputar dengan kekuatan pinggang. 
Bettt...! 
Tebasan pedang Ki Maharya berdesing tajam di atas kepala 
Elang Hitam. Kalau saja gerakan Ki Maharya lebih cepat sedikit, 
dapat dipastikan leher lelaki gemuk bercambang lebat itu akan 
putus. Apa boleh buat, gerakan Elang Hitam masih jauh lebih 
cepat dari sambaran pedang Ki Maharya. Serangan lelaki gagah 
itu pun hanya menyambar angin kosong. Kemudian.... 
"Makan olehmu!" teriak Elang Hitam, disertai lontaran kaki 
kanan dalam gerak menyamping, yang langsung mengancam 
pelipis Ki Maharya. 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Ki Maharya mengeluh pendek. Meskipun berhasil menangkis 
tendangan lawan dengan tangan kirinya, tubuh lelaki gagah itu 
tak urung terhuyung dengan wajah menyeringai. Dia tampak 
kesakitan memegangi tangan kirinya yang tadi terbentur kaki 
lawan dengan keras. 
Elang Hitam tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan 
emas itu. Cepat-cepat tubuhnya melesat dengan cengkeraman-
cengkeraman sepasang cakarnya yang bergerak dari bawah ke 
atas mengancam dada dan lambung Ki Maharya. 
"Yeaaat...!" 
Namun, pada saat yang gawat itu, Gantar datang dengan 
sambaran senjatanya. Tindakan lelaki bertubuh gempal itu

memang tepat sekali. Kalau tidak, Ki Maharya pasti akan 
tersambar cakar lawan yang keras bagai besi itu. 
Hebatnya Elang Hitam tidak kehilangan akal. Dengan 
putaran tangan yang cepat, gerakannya berubah mengancam 
Gantar. Dengan sebuah liukan tubuh yang mengejutkan, 
sepasang cakar itu bergerak susul-menyusul mengincar tubuh 
Ganta. Dan.... 
Brettt! Brettt! 
"Aaakh...!" 
Gantar memekik kesakitan ketika cakar tangan Elang Hitam 
merobek lambung dan lehernya. Darah segar langsung 
mengalir. Cakar sekeras besi itu merenggut kulit berikut daging 
di tubuh Gantar. Dan selagi tubuh lelaki gempal itu terhuyung-
huyung, menyusullah sebuah gedoran keras menghajar 
dadanya. 
Blakkk! 
"Aaargh...!" 
Terdengar jerit melengking tinggi. Tubuh Gantar terpental 
sejauh satu setengah tombak dan langsung melanggar 
sebatang pohon di belakangnya. Tanpa ampun, tubuh itu 
melorot jatuh dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir 
darah segar. Gantar tewas seketika itu juga. 
"Adi Gantar...!" 
Ki Maharya berteriak kalap melihat adegan itu. Dengan 
kemarahan yang meluap-luap, lelaki gagah itu segera 
menerjang lawannya dengan tebasan pedangnya yang 
bergulung-gulung. 
Bettt! Bettt..! 
"Hiaaah...!"

Elang Hitam membentak nyaring disertai lentingan tubuh ke 
udara. Terjangan Ki Maharya dihindarinya dengan mudah. Dan 
setelah berputar beberapa kali, lelaki gemuk itu kemudian 
mendarat di belakang dua orang adik seperguruan Ki Maharya 
lainnya. 
Kreppp! Kreppp! 
Cepat bagai kilat, cengkeraman Elang Hitam langsung 
mencekal leher kedua orang itu. Salah satu dari keduanya 
dilemparkan dengan sentakan tenaga dalam, sedangkan yang 
seorang lagi langsung diremas hancur tulang lehernya. 
"Iblisss...!" 
Makin kalap Ki Maharya menyaksikan kejadian yang 
menimpa adik-adik seperguruannya. Suaranya kini terdengar 
lebih berupa bisikan ketimbang desis kemarahan. Berbagai 
perasaan berkecamuk di dalam hatinya. 
"Hua ha ha.... Ambillah tubuh busuk ini. Aku tidak 
membutuhkannya...," teriak Elang Hitam sambil melemparkan 
mayat lawan yang tulang lehernya telah diremas hancur itu. 
Ki Maharya tertegun sejenak melihat mayat adik 
seperguruannya melayang cepat ke arahnya. Segera 
diputuskannya untuk menghindar. Malang Elang Hitam rupanya 
telah memperhitungkan gerakan lelaki gagah itu. 
Tepat pada saat tubuh Ki Maharya bergerak k kiri, Elang 
Hitam melesat bagai kilat dengan cengkeraman mautnya. 
Brettt! Brettt! 
"Aaakh...!" 
Ki Maharya memekik kesakitan! Tubuh tinggi tegap itu 
terdorong sejauh satu tombak ke belakang. Belum lagi disadari

keadaannya, sebuah tendangan kilat telah menerpa dada 
kirinya tanpa ampun. 
Desss...! 
"Hugkh...!" 
Darah segar menyemprot dari mulut Ki Maharya. Tubuhnya 
pun terlempar deras. 
Bruggg! 
Lelaki gagah murid Ki Bonggala itu meregang menahan sakit. 
Dan, sebelum bergerak mencoba bangkit, telapak kaki lawan 
langsung menjejak perut Ki Maharya. 
Tanpa ampun, satu nyawa lepas lagi di tangan Elang Hitam 
yang memiliki kekejaman luar biasa itu. Sekarang tinggal satu 
orang murid Ki Bonggala yang masih hidup. Ia masih terduduk 
kesakitan dengan noda darah memenuhi pakaiannya. 
"Serahkan surat ini kepada gurumu...," ujar Elang Hitam 
seraya melemparkan gulungan surat kepada murid bertubuh 
kurus yang sengaja tidak dibunuhnya itu. 
Setelah berkata demikian. Elang Hitam langsung melesat dan 
lenyap di kelebatan pohon. 


DUA


Ki Bonggala, 
Kutunggu kau di lembah sebelah Barat Hutan Welang. 
Kematian saudara seperguruanku harus kau bayar mahal!

Elang Hitam 
"Hhh...." 
Lelaki gagah dengan sorot mata penuh perbawa kuat itu 
menarik napasnya dalam-dalam, kemudian dihembuskannya 
kuat-kuat. Diremasnya hingga hancur kulit kayu yang baru saja 
selesai dibacanya. Terdengar tarikan napas panjang saat ia 
bangkit dari kursi. 
"Jadi Ki Maharya dan dua orang temanmu yang lain telah 
tewas di tangan Elang Hitam?" ujar lelaki gagah berusia sekitar 
lima puluh tahun itu. Nada suaranya terdengar berat dan 
dalam, sehingga menambah kewibawaannya. 
Lelaki gagah itu lak lain adalah Ki Bonggala, yang dikenal 
dengan julukan Pendekar Tangan Sakti. Pagi itu dia kedatangan 
salah seorang muridnya. Murid bertubuh kurus itu melaporkan 
segala kejadian yang dialami bersama kawan-kawannya ketika 
berburu. Disampaikannya pula surat dari kulit kayu, yang 
dikirimkan oleh Elang Hitam. 
"Benar, Guru. Bukan maksudku untuk mencari selamat 
sendiri. Tapi lelaki gemuk yang mengaku berjuluk Elang Hitam 
itu memang berkata bahwa ia akan melepaskan salah seorang 
dari kami untuk menyampaikan pesannya," sahut lelaki kurus 
yang bersimpuh beberapa langkah di depan Ki Bonggala. 
Pakaian lelaki kurus itu dipenuhi noda darah. Bahkan, pada 
sudut bibir masih tersisa bekas-bekas darah. 
"Hm..., bukan salahmu, Girja. Aku pun tidak 
menyalahkanmu. Jangan kau siksa dirimu dengan rasa bersalah 
itu hanya akan membuat jiwamu tertekan," jelas Pendekar 
Tangan Sakti.

"Baik, Guru. Terima kasih...," ujar lelaki yang dipanggil Girja 
itu dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap wajah 
Pendekar Tangan Sakti. 
"Hm..., kau beristirahatlah. Obati luka-lukamu...," ujar Ki 
Bonggala sambil kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi. 
Untuk kesekian kalinya, terdengar helaan napas panjang 
yang berat. Sekilas tampak sinar kedukaan membayang di 
wajah ki Bonggala. 
Girja pun beranjak meninggalkan ruang pertemuan itu. Di 
hadapan Ki Bonggala kini bersimpuh tiga murid utama 
Perguruan Jari Besi yang turut mendengarkan pembicaraan 
antara guru dan murid tadi. 
"Guru...," kata salah seorang dari ketiga murid utama itu 
sambil menatap wajah gurunya. 
"Hm...." 
Murid utama yang usianya hanya lebih muda lima tahun 
dibanding gurunya itu terlihat merapatkan telapak tangannya 
ketika mendengar gumaman Ki Bonggala. Tersirat gambaran 
keengganan pada wajah murid utama itu. Untuk beberapa saat 
dia terbungkam, seoalah olah tengah mencari kata-kata yang 
tepat untuk disampaikan pada saat seperti itu. Suasana hening 
sejenak. 
"Ada apa, Lunggara? Kenapa kau malah diam? Kalau ada 
sesuatu yang ingin kau tanyakan, tanyakanlah...," ujar Ki 
Bonggala, menutup keheningan itu. 
"Kalau boleh, kami murid-muridmu yang bodoh ini ingin 
mengetahui, ada apakah sebenarnya, Guru. Andai saja kami 
bisa meringankan persoalan yang sedang Guru hadapi, kami 
siap membantu semampu kami, Guru...."


Akhirnya Lunggara mengutarakan juga apa yang menjadi 
beban pikirannya. Lelaki berwajah bulat telur dengan jenggot 
lebat menghias dagunya itu merasa ikut bertanggung jawab 
atas persoalan yang mengganggu pikiran gurunya. 
"Sebelum aku menjelaskan persoalan ini kepada kalian 
bertiga, ada baiknya kalian mengetahui sedikit masa laluku," 
desah Ki Bonggala sambil menatap wajah ketiga orang murid 
utamanya dengan sorot mata tajam. 
Lelaki gagah itu ingin tahu, adakah gambaran keberatan 
pada wajah-wajah muridnya. Lega hati Ki Bonggala ketika tidak 
menemukan apa yang dikhawatirkannya itu. 
"Kami siap mendengarkan, Guru...." 
Lunggara dan dua murid utama lainnya segera menyahuti 
dengan suara mantap. Ketiga orang murid itu sangat ingin 
membantu memecahkan persoalan yang saat ini menjadi beban 
gurunya. 
"Dua puluh tahun yang silam, saat aku pindah dari kotaraja 
ke tempat terpencil ini, ada suatu keajaiban yang tidak bisa 
kulupakan seumur hidup. Saat itu aku telah menikah dan 
mempunyai seorang putra yang belum lama lahir dari rahim 
istriku. Rupanya, bibit-bibit permusuhan yang semasa muda 
kutanamkan secara tidak langsung terhadap tokoh-tokoh 
golongan hitam telah menjadi bencana bagi keluargaku. 
Seorang tokoh sesat berjuluk Telapak Tangan Setan 
menghadang perjalananku, ia bersekongkol dengan tokoh-
tokoh sesat lainnya yang pernah kukalahkan semasa aku masih 
berpetualang di rimba persilatan. Sayang, meskipun aku 
berhasil membinasakan mereka, istri dan anakku lenyap saat 
keributan terjadi. Berbulan-bulan aku menjelajahi seluruh 
wilayah Gunung Kendal dan Hutan Bajang. Tapi, pencarianku 
sia-sia. Istri dan putraku bagaikan lenyap ditelan bumi. Karena

putus asa, kuputuskan untuk menetap di Desa Welang ini dan 
mengambil murid-murid untuk menemaniku" 
Ki Bonggala menarik napas panjang sambil tengadah 
menatap langit melalui jendela yang terbuka. Tampak lelaki 
gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya, ia terhanyut dalam 
kesedihan mengenang masa lalunya. 
Mendengar penuturan gurunya, ketiga murid utama itu 
menundukkan kepala dalam-dalam. Mereka pun ikut merasakan 
kesedihan yang dialami gurunya semasa mereka belum menjadi 
murid lelaki gagah itu. 
"Maaf, Guru...," ujar salah seorang dari ketiga murid utama 
itu. 
Murid yang rambutnya digelung ke atas dan berusia sekitar 
tiga puluh tahun itu tampaknya ingin bertanya kepada Ki 
Bonggala. Ia kelihatan belum mengerti sepenuhnya kaitan 
antara cerita lelaki gagah itu dan surat yang baru diterima tadi. 
"Hm..., ketahuilah, Samija... Orang yang mengirimkan surat 
kepadaku, yaitu si Elang Hitam, adalah salah satu tokoh sesat 
yang kepandaiannya sangat tinggi. Tingkat kepandaiannya 
hampir dapat disejajarkan dengan datuk-datuk sesat pada 
masa sekarang. Dan, Elang Hitam merupakan kakak 
seperguruan dari Telapak Tangan Setan. Rupanya ia telah lama 
mendendam kepadaku, yang telah membunuh adik 
seperguruannya. Sehingga, ia mengirimkan surat tantangan 
kepadaku," jawab Ki Bonggala menjelaskan hubungan ceritanya 
dengan surat kulit kayu yang telah diremas hancur tadi. 
"Lalu, apa yang akan Guru lakukan? Apakah Guru menerima 
tantangan itu?" tanya Lunggara yang tampak khawatir akan 
keselamatan gurunya.


"Hm..., apa kau kira gurumu ini seorang pengecut, 
Lunggara? Tentu saja tantangan itu akan kuterima. Jangankan 
hanya seorang Elang Hitam, berpuluh orang sepertinya pun, 
kalau memang harus dihadapi, tidak akan membuatku mundur 
meski selangkah...," sahut Ki Bonggala sambil mengepalkan 
telapak tangannya kuat-kuat, hingga terdengar suara 
berkerotokan. 
"Lalu, apa yang dapat kami bantu, Guru...?" tanya murid 
yang dipanggil Samija, dengan wajah agak bingung. 
"Tentu saja aku mengharapkan bantuan kalian bertiga. Tapi 
aku ragu, apakah kalian sanggup...," desah Ki Bonggala sambil 
menatap wajah ketiga orang murid utamanya itu lekat-lekat. 
Ada bayang kecerdikan pada sorot mata lelaki gagah ini. 
Tampaknya Ki Bonggala memancing tanggapan ketiga lelaki di 
hadapannya itu. 
"Tentu saja kami sanggup, Guru. Bahkan nyawa pun siap 
kami korbankan jika perlu...," jawab Lunggara dengan lantang 
dan gagah. 
Sorot mata lelaki berusia empat puluh lima tahun itu 
memancarkan semangat. Tampaknya kesetiaan Lunggara 
memang tidak diragukan lagi. 
"Bagaimana dengan yang lain? Tugas yang kuberikan kepada 
kalian ini tidak mudah, meskipun juga tidak terlalu sukar. Tapi 
yang jelas tugas ini sangat memerlukan keberanian yang 
besar...." 
Kembali terdengar ucapan Ki Bonggala bernada meragukan 
kesanggupan murid-murid utamanya. Sehingga, ketiga orang 
murid utama itu kelihatan berusaha menunjukkan perasaan dan 
kesetiaan mereka dengan penuh semangat.

"Kami siap, Guru. Seberat apa pun tugas yang Guru berikan, 
kami akan berusaha menjalankan sebaik-baiknya!" jawab 
Samija dengan sorot mata berapi-api. 
"Baiklah. Aku harus pergi. Dan, harus ada orang yang 
menggantikanku menjaga dan mengawasi perguruan ini selama 
aku pergi. Karena kalian telah berjanji akan membantuku 
sebaik-baiknya, kuserahkan tugas ini kepada kalian bertiga...," 
kata Ki Bonggala sambil tersenyum tipis. 
Lelaki gagah itu tampak senang dapat menjebak murid-
murid utamanya itu. Hal ini dilakukan karena ia tidak ingin 
melibatkan orang lain lagi dalam persoalan dendam 
mendendam yang tak ada habis-habisnya itu. 
"Ahhh...?!" 
Tentu saja ucapan Ki Bonggala membuat Lunggara dan 
kedua orang saudara seperguruannya terkejut. Mereka yang 
semula sudah membayangkan akan menemani Pendekar 
Tangan Sakti menghadapi Elang Hitam itu tidak menyangka 
akan mendapat tugas yang sama sekali di luar perkiraan. Tapi, 
karena janji telah terucap, tugas itu tidak dapat ditolak lagi. 
"Tugas ini bukan tidak berarti apa-apa, Murid-muridku. 
Bahkan tugas yang kuserahkan kepada kalian ini jauh lebih 
berat ketimbang kalian ikut berhadapan dengan Elang Hitam. 
Tapi, aku yakin kalian akan dapat melaksanakan tugas ini 
dengan baik dan dapat saling bantu satu sama lain," ujar Ki 
Bonggala melanjutkan ucapannya ketika melihat kekecewaan 
tergambar jelas di wajah ketiga orang murid utamanya itu. 
"Baiklah, Guru. Kami berjanji akan melaksanakan tugas ini 
sebaik-baiknya. Semoga kami tidak mengecewakan harapan 
Guru...," ucap Lunggara sambil merapatkan kedua telapak 
tangannya dan menghormat, yang diikuti pula oleh dua oran 
murid utama lainnya.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Apabila ada murid yang 
bertanya, katakanlah bahwa aku tengah bersemadi dan tidak 
boleh diganggu. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi, 
Murid-muridku..." 
Setelah berpesan demikian, tubuh Ki Bonggala melesat dan 
langsung lenyap di balik tembok samping bangunan utama 
Perguruan Jari Besi. 
"Selamat jalan, Guru..," desis ketiga murid utama itu sambil 
bersujud menghadap ke arah lenyapnya tubuh Ki Bonggala. 
*** 
Sosok tubuh tinggi gagah melesat menerobos semak belukar 
Hutan Welang. Gerakannya demikian ringan dan gesit. Jalan-
jalan yang biasanya sangat sulit dilalui orang lain sama sekali 
tidak menjadi halangan bagi sosok gagah itu. Sehingga dalam 
waktu yang tidak terlalu lama, telah dimasukinya Hutan Welang 
sebelah Barat. 
Saat tiba di sebuah dataran yang agak tinggi, sosok tegap itu 
menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam 
merayapi lembah yang kini terbentang di hadapannya 
Tanpa peduli sengatan terik matahari dan hembusan angin 
panas, lelaki gagah itu bergerak turun memasuki lembah. 
"Hiaaah...!" 
Begitu hampir tiba di dasar lembah, lelaki gagah itu berseru 
perlahan. Seketika itu juga, tubuhnya melenting dan berputar 
beberapa kali, lalu dipijakkan kakinya di atas tanah berumput 
segar.

Setelah memperhatikan suasana lembah sesaat, kakinya pun 
melangkah perlahan. Puluhan ekor binatang yang tengah 
berteduh dari sengatan matahari langsung berlarian menyebar. 
Kehadiran lelaki gagah ini tampaknya telah mengganggu 
ketenangan binatang-binatang itu. 
"Grauuung...!" 
Terdengar raungan marah belasan ekor binatang buas yang 
merasa terganggu oleh kehadiran lelaki gagah itu. Beberapa di 
antaranya bergerak meninggalkan tempat itu. Sedangkan lima 
ekor singa jantan mengaum dan menghampiri sosok lelaki 
gagah itu dengan menunjukkan taring-taringnya yang runcing. 
"Hm.... Pantas Elang Hitam memilih tempat ini sebagai arena 
pertarungan. Rupanya ia hendak menggunakan binatang-
binatang buas ini untuk mempelajari gerakan-gerakanku. 
Benar-benar licik iblis itu...," gumam lelaki gagah yang tak lain 
dari Ki Bonggala itu, dengan nada agak jengkel. 
Sadar bahwa mungkin lawan telah memperhatikannya, KI 
Konggala berjaga-jaga dengan pedang tergenggam erat di 
tangan kanan. 
Sring...! 
Secercah sinar putih berkeredep ketika pedang Ki Bonggala 
keluar dari sarungnya. Desingannya yang tajam membuat lima 
ekor singa jantan tadi bergerak mundur sambil meraung keras. 
"Kau lihat dan pelajarilah gerakanku, Elang Hitam. Kau pikir 
aku orang bodoh yang bisa kau kelabui begitu saja...," gumam 
Ki Bonggala yang sengaja menggunakan senjatanya untuk 
menghadapi lima ekor singa jantan itu. 
Ki Bonggala tentu tidak mau dibodohi lawannya. Dengan 
menggunakan senjata, ia bisa menyembunyikan ilmu silat yang 
dikuasainya. Sehingga, ia tidak perlu khawatir biarpun

gerakannya diperhatikan oleh lawannya, yang diyakininya 
tengah bersembunyi tidak jauh dari tempat itu. 
"Grauugh...!" 
Cwiiit… cwiiit...! 
Ki Bonggala mengibaskan pedangnya bersilangan saat kelima 
ekor singa jantan itu bergerak mendekatinya. Binatang-
binatang buas itu pun kembali bergerak mundur sambil 
menunjukkan taringnya. Jelas, mereka gentar melihat desingan 
tajam yang ditimbulkan pedang Ki Bonggala. 
Rupanya selain gentar, binatang-binatang buas itu juga 
merasa penasaran. Dua di antaranya melompat cepat dengan 
terkaman maut, disertai numan keras bagai hendak 
meruntuhkan dinding lembah. 
"Hm..." 
Pendekar Tangan Sakti hanya bergumam pelan. Tubuhnya 
dilesatkan ke samping kiri dengan kibasan pedangnya yang 
cepat dan hampir tak dapat dilihat. 
Brettt! Brettt! 
"Auuurgh...!" 
Dua ekor singa jantan itu meraung kesakitan saat pedang Ki 
Bonggala melukai bagian tubuh singa-singa itu. Belum lagi dua 
ekor singa jantan itu membalikkan tubuh. Pendekar Tangan 
Sakti telah melesat dengan tendangan kilat. 
Buggg! Desss...! 
Binatang-binatang itu meraung kesakitan. Tubuh keduanya 
terpental hingga satu tombak jauhnya, kemudian terus berlari 
masuk ke hutan sambil mengaum lirih. Kedua binatang buas itu 
tampak gentar melihat kehebatan calon korbannya.

Cepat bagai kilat, Ki Bonggala membalikkan tubuhnya 
menghadapi tiga ekor singa jantan lainnya. Tapi, binatang-
binatang itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan 
menyerang. Ketiganya malah bergerak mundur sambil 
menunjukkar taringnya yang runcing, lalu berbalik dan melarika 
diri ke dalam hutan. 
Ki Ronggala tersenyum melihat tingkah binatang binatang 
buas itu. Pandangannya diedarkan ke sekeliling lembah, seolah-
olah mencari tempat persembunyian Elang Hitam. 
"Elang Hitam, ini aku sudah datang! Apakal kau masih tetap 
hendak menyembunyikan dirimu...?" seru Ki Bonggala nyaring 
dengan pengerahan tenaga saktinya, sehingga gemanya 
berpantulan di dinding tebing. 
Agak lama Ki Bonggala menanti jawaban. Dan setelah 
kesabarannya hampir habis, tampak sesosok bayangan 
berkelebat dari sebelah kirinya dengar tawa berkepanjangan. 
"Hua ha ha...!" 
Dengan sikap yang tetap tenang, Ki Bonggak menggeser 
kakinya beberapa langkah ke samping kanan. Disarungkan 
kembali senjatanya, kemudian diselipkannya di pinggang 
kanan. Tampaknya lelaki gagah itu ingin menghadapi lawannya 
dengrn tangan kosong. Memang, keistimewaan ilmu silatnya 
terletak pada tangan kosong. Itulah sebabnya mengapa Ki 
Bonggala dijuluki sebagai Pendekar Tangan Sakti. 
"Pantas saja adik seperguruanku sampai tewas di tanganmu, 
Ki Bonggala. Ternyata kau benar-benar gagah. Kau patut 
menjadi seorang pendekar yang disegani...," puji lelaki gemuk 
bercambang lebat itu.

Sambil berkata demikian, kakinya melangkah mengitari Ki 
Bonggala. Sikapnya terlihat sombong, seolah-olah ia yakin akan 
dapat mengalahkan Pendekar Tangan Sakti yang terkenal itu. 
"Kau mengundangku untuk menuntut balas kematian 
saudara seperguruanmu, ataukah hanya untuk berbicara...? 
Kalau kau mengundangku hanya untuk meladeni 
pembicaraanmu yang tak berguna itu, sebaiknya aku pergi 
saja...," sahut Ki Bonggala sambil menunjukkan sikap bersiap-
siap meninggalkan lembah itu. 
Elang Hitam tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ki 
Bonggala. Sebentar kemudian, ditatapnya sosok lelaki gagah 
itu, bagai sedang menilai suatu benda yang ingin dibelinya. Hal 
itu tentunya sengaja dilakukan Elang Hitam untuk memancing 
kemarahan lawan. Apabila pancingannya berhasil, akan lebih 
mudah bagi Elang Hitam untuk menundukkan lawannya. Sebab, 
bila seseorang menyerang atau bertempur dalam keadaan 
marah, biasanya kewaspadaannya akan berkurang. 
Namun, pancingan tokoh sesat itu tidak berhasil. Ki Bonggala 
tetap saja tenang. Laki-laki gagah itu sadar betul lawan sengaja 
memancing kemarahannya. 


TIGA


Sikap tidak peduli Ki Bonggala membuat wajah Elang Hitam 
berubah gelap. Sorot matanya berkilat tajam menggambarkan 
kejengkelan hatinya. Tampaknya tokoh sesat itu termakan 
pancingannya sendiri.

"Apakah bicaramu sudah selesai, Elang Hitam...?" ujar Ki 
Bonggala seraya tersenyum tipis. 
Tokoh itu kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. 
Tentu saja sikap Pendekar Tangan Sakti itu membuat Elang 
Hitam semakin bertambah jengkel. 
"Sudah! Dan sekarang bersiaplah! Akan kucabut nyawamu!" 
Sambil membentak marah, Elang Hitam melompat dengan 
disertai sambaran cakarnya yang menderu-deru. 
Wettt... Wettt...! 
"Haiiit...!" 
Rupanya sikap tidak peduli Ki Bonggala bukan berarti ia tidak 
waspada. Begitu cakar elang lawan akan menyambar tubuhnya, 
lelaki gagah itu bertindak sigap dengan melakukan lompatan 
pendek ke belakang. Saat berikutnya, Ki Bonggala melontarkan 
sebuah tendangan lurus dengan kecepata kilat. 
Zebbb! 
Tendangan lurus yang mengancam perut Elang Hitam 
ternyata mengenai angin kosong. Lelaki gemuk bercambang 
lebat itu telah menarik tubuhnya mundur sebanyak dua tindak. 
Ki Bonggala sendiri ternyata telah menduga gerakan 
lawannya. Lelaki gagah yang terkenal berjuluk Pendekar 
Tangan Sakti itu masih melanjutkan serangannya dengan 
serangkaian tendangan yang berputar-putar dan menimbulkan 
angin menderu-deru. Elang Hitam pun kelabakan menghindari 
tendangan yang laksana kitiran itu. 
"Heaaat...!" 
Saat Elang Hitam tengah kerepotan menghindari serangkaian 
tendangan maut itu, tiba-tiba saja Ki Bonggala menghentikan 
serangan kakinya secara mendadak. Disertai lengkingan

nyaring yang mengejutkan, tiba-tiba tubuh lelaki gagah itu 
melejit ke udara. Dan, tangan kanannya lalu terlontar dengan 
cepat melakukan tebasan. Serangan ini benar-benar berbahaya. 
Sadar kalau serangan kilat itu sangat sulit dielakkan, Elang 
Hitam terpaksa menyambut dengan mengulurkan tangan 
kirinya dalam keadaan agak bengkok, ia bermaksud 
menyambut tebasan sisi telapak tangan lawan dengan lengan 
tangannya. 
Plak...! 
Terdengar suara benturan keras. Dua buah lengan yang 
dialiri tenaga dalam kuat itu berbenturan, di udara. Seruan-
seruan tertahan terdengar dari mulut kedua tokoh yang saling 
menggebrak itu. Keduanya sama-sama terkejut merasakan 
kekuatan tenaga sakti lawannya. 
Ki Bonggala yang terpental balik segera melakukan beberapa 
kali putaran di udara sebelum menjejak tanah. Sedangkan 
lawannya yang tergempur serangannya pun segera memutar 
kaki depan setengah lingkaran, dan langsung kembali me-
masang kuda-kuda. 
"Benar-benar mengagumkan! Aku gembira menemui 
tandingan yang lihai sepertimu, Pendekar Tangan Sakti...," 
desis Elang Hitam dengan napas terengah-engah. 
"Hm.... Kau pun hebat. Elang Hitam. Sayang kepandaian 
sehebat itu kau gunakan untuk kejahatan...," ucap Ki Bonggala, 
dengan napas yang juga agak memburu. 
Elang Hitam kini tidak lagi bersuara. Tokoh sesat itu 
bergerak dengan langkah-langkah pendek. Kedua tangannya 
yang membentuk cakar elang, dikibas-kibaskan dengan keras. 
Tidak salah lagi, dalam penyerangan kali ini, Elang Hitam

bersiap-siap mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Semua itu 
terbukti dari suara kibasan tangannya yan menderu tajam. 
Pendekar Tangan Sakti tampaknya cukup menyadari 
kekuatan tenaga dalam lawannya. Terbukti tokoh itu langsung 
merendahkan tubuhnya dengan kedudukan bagai orang 
menunggang kuda. Sepasang tangannya dengan telapak 
tangan terbuka, berputaran menyambar-nyambar dan 
menimbulkan deru angin yang kuat. Kakinya bergerak dalan 
bentuk kuda-kuda yang kokoh bagaikan batu karang. Ki 
Bonggala tampak siap mengimbangi permainan lawannya. 
"Yeaaah...!" 
Dibarengi bentakan nyaring yang memekakkan telinga, Elang 
Hitam mulai menerjang dengan jurus-jurus cakar elangnya. 
Tubuhnya bergerak ringan bagaikan seekor burung elang yang 
beterbangan mengincar mangsa. Sepasang tangannya yang 
bagai cakar elang menyambar-nyambar dengan ganas. 
Ki Bonggala tetap mengimbangi permainan keras lawan 
dengan ilmu-ilmu tangan kosongnya yang sangat terkenal 
dalam rimba persilatan. Gerakan tangannya yang selalu 
berubah bentuk benar-benar membuat lawannya kebingungan. 
Pertarungan pun semakin bertambah seru. Kedua tokoh itu 
saling menerjang dengan ilmu andalan masing-masing. 
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pada jurus-jurus awal, 
tampak Ki Bonggala masih sanggup mengimbangi, bahkan 
membalas serangan lawannya. Tapi, ketika pertarungan 
meningkat hingga jurus keempat puluh lima, tampak Elang 
Hitam masih lebih tinggi kepandaiannya daripada Ki Bonggala. 
Kini, tokoh sesat itu menggempur lawannya habis-habisan. 
Sehingga, Ki Bonggala kini tampak dalam keadaan terdesak 
hebat. 
Wuttt..!

"Ahhh...!?" 
Sebuah tamparan cakar lawan nyaris merobek wajah Ki 
Bonggala. Untunglah tokoh sakti itu masih sempat memiringkan 
kepalanya. Sehingga jemari sekeras baja itu lewat setengah 
jengkal di samping wajahnya. 
Tapi, Ki Bonggala belum bisa menarik napas lega. Sebab, 
tangan kiri lawan langsung menyusul dengan tajam. Kali ini 
cengkeraman maut itu bergerak dari bawah ke atas. Hendak 
merobek perut Pendekar Tangan Sakti. 
Karena tidak ada waktu lagi untuk menghindar, Ki Bonggala 
nekat mengangkat tangan kanannya dan menekan ke bawah 
sambil menarik kaki kanannya ke belakang. 
Dukkk! 
"Uuuhhh...!" 
Ki Bonggala mengeluh pendek. Tangkisannya ternyata 
membuat tubuhnya terpental sejauh satu tombak ke belakang. 
Kali ini nyata bahwa tenaga dalam lawannya masih jauh lebih 
kuat daripada tenaga dalamnya. Dan sebelum tokoh sakti itu 
sempat memasang kembali kuda-kudanya, sebua tendangan 
keras telak menghajar bagian kiri dadanya. 
Buggg! 
"Hugkh...!" 
Tak ayal lagi, tubuh lelaki gagah itu pun terjungkal deras ke 
belakang, lalu terbanting ke atas tanah. Semburan darah segar 
langsung membasahi tanah berumput. Meskipun demikian, Ki 
Bonggala masih bisa mencelat bangkit. Dia kembali siap 
menghadapi lawannya.

Elang Hitam hanya tertawa melihat kekuatan lawannya. Dan 
tiba-tiba tubuh lelaki bercambang lebat itu melenting ke atas 
dan berputar bagai kitiran. 
Plakkk! Brettt...! 
Tubuh Ki Bonggala melintir akibat tamparan keras pada 
wajahnya. Lelaki tegap itu terbanting ke atas tanah untuk 
kedua kalinya. Dan, sebelum sempat bergerak bangkit. Elang 
Hitam melesat dengan cengkeraman mautnya. 
"Yeaaat...!" 
Ki Bonggala yang sudah tidak mampu lagi berkelit itu hanya 
memandang terbelalak. Lelaki gagah itu sama sekali tidak 
berkedip menunggu maut yang siap menjemputnya. 
"Haiiit...!" 
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan 
nyaring membeset udara. Sesosok bayangan tinggi kurus 
melesat memotong serangan Elang Hitam. Akibatnya.... 
Plakkk! Bukkk! Desss! 
"Aaakh...!" 
Hebat dan cepat sekali gerakan tangan sosok tinggi kurus 
itu. Bukan saja serangan Elang Hitam dapat ditangkisnya. Tapi, 
dua hantamannya pun bersarang telak di dada dan lambung 
tokoh sesat itu. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu terjengkang 
dan mulutnya memuntahkan darah segar. 
Bruggg! 
Tanpa ampun lagi, tubuh Elang Hitam terbanting keras di 
atas tanah berumput. Namun meskipun kedua kakinya agak 
goyah, lelaki gemuk bercambang lebat itu masih dapat 
bergerak bangkit dengan sigapnya.

"Setan keparat...!" maki Elang Hitam dengi sorot mata yang 
memancarkan kemarahan yang amat sangat. 
Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri tegak 
menghadapi Elang Hitam. Tatapan matanya yang terlindung di 
balik alis tebal putih berjuntai itu jelas menandakan bahwa 
lelaki itu telah berusia lanjut. Usianya tampak lebih dari tujuh 
puluh tahun. Kulit wajahnya pun telah dipenuhi keriput. 
"Guru...!?" Ki Bonggala berseru lirih, agak tertahan. 
Lelaki gagah yang tengah terluka itu agak terkejut ketika 
mengenali siapa sesungguhnya sosok tinggi kurus itu. 
"Dewa Langit..!?" desis Elang Hitam yang juga terkejut. 
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki gemuk itu pun melesat pergi 
meninggalkan lawannya. Jelas, hatinya gentar terhadap laki-laki 
tua yang disebut dengan julukan Dewa Langit itu. 
"Tunggulah pembalasanku, Ki Bonggala, Dewa Langit...!" 
Suara Elang Hitam terdengar dari kejauhan. Sosok 
bayangannya sendiri sudah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan 
kerimbunan pepohonan hutan. 
Perginya Elang Hitam menandakan kecerdikan otaknya. 
Sebab, laki-laki tua tinggi kurus yang disebut sebagai Dewa 
Langit itu bukan tandingannya. Guru Ki Bonggala itu adalah 
seorang tokoh sakti yang sangat terkenal dalam dunia 
persilatan. Entah bagaimana tokoh sakti yang telah meng-
asingkan diri itu tiba-tiba muncul menyelamatkan muridnya 
pada saat yang tepat. 
"Guru..., syukurlah kedatanganmu sangat tepat. Terlambat 
sedikit saja, rasanya Guru hanya akan mendapatkan mayatku di 
tempat ini...," ucap Ki Bonggala setelah luka dalamnya diobati 
Dewa Langit.

"Hm.... Sesungguhnya aku memang ingin mengunjungimu, 
dan lewat lembah inilah jalan terdekat ke tempatmu. Kau 
tentunya sudah mempunyai keturunan yang dapat mewarisi 
ilmu-ilmuku. Aku sudah sangat tua, Bonggala. Meskipun kau 
telah mewarisi ilmu-ilmuku, ada beberapa ilmu yang tidak 
cocok denganmu karena bakat silatmu tidak begitu bagus. Jadi, 
kedatanganku ini adalah untuk mendidik putramu. Tentunya dia 
sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan kita. Aku 
tinggal menambah dan mematangkannya saja," jelas Dewa 
Langit. 
"Hhh..." 
Kening Dewa Langit berkerut melihat wajah murung dan 
helaan napas berat muridnya. Ditatapnya wajah lelaki gagah itu 
penuh selidik. 
"Ada apa, Bonggala...? Kau tidak suka putramu menjadi 
muridku?" tanya Dewa Langit tanpa melepaskan pandangan 
matanya dari wajah Ki Bonggala. 
"Bukan begitu, Guru.... Tapi, istri dan putraku telah lenyap 
dua puluh tahun yang lalu. Tampaknya mereka telah tewas. Itu 
kutekankan dalam hati, agar kesedihan tidak selalu datang 
apabila aku teringat pada mereka...," jawab Ki Bonggala 
dengan wajah gelap. 
"Ahhh..., jadi kedatanganku sia-sia saja. Maafkan aku, 
Bonggala. Aku sama sekali tidak tahu akan hal itu...," desah 
Dewa Langit yang merasa ikut prihatin dengan nasib muridnya 
Itu. Bayangan kekecewaan tergambar jelas pada raut wajah 
keriput itu. 
"Akulah yang seharusnya minta maaf. Guru. Aku tidak 
pernah mengunjungimu setelah meninggalkan perguruan. 
Bahkan ketika aku menikah, justru Gurulah yang

mengunjungiku. Aaah..., aku memang murid yang tidak tahu 
balas budi...," ujar Ki Bonggala memaki dirinya sendiri. 
"Sudahlah, Bonggala. Tidak ada gunanya kita saling 
menyalahkan. Biarlah, meskipun putramu telah tiada, aku 
tinggal di tempatmu untuk beberapa waktu. Sudah jauh sekali 
aku berjalan, tidak ada salahnya aku mampir di tempatmu, 
bukan? Itu pun kalau kau tidak keberatan...," ujar Dewa Langit 
sambil tersenyum tipis. 
"Ah, Guru membuatku malu saja. Tentu saja aku merasa 
gembira apabila Guru mau tinggal bersamaku...," sahut Ki 
Bonggala dengan mata berbinar-binar. 
"Yahhh..., siapa tahu saja ada di antara murid-muridmu yang 
memiliki bakat baik. Eh..., kau tentu mempunyai murid, 
bukan?" tanya Dewa Langit. 
"Muridku cukup banyak, Guru. Sayang, tidak ada seorang 
pun yang berbakat baik. Jangankan untuk mewarisi ilmu-ilmu 
tinggi dari guru. Ilmu-ilmuku saja tidak dapat mereka warisi 
dengan baik. Aku benar-benar menyesal, Guru...," desah Ki 
Donggala. 
Wajah Pendekar Tangan Sakti tampak murung, ia menyesali 
dirinya sendiri karena tak dapat membantu gurunya mencari 
murid yang memiliki bakat baik. Memang, untuk mendapatkan 
murid seperti yang diinginkan tokoh itu sulit sekali. 
"Sudahlah, mari kita ke tempat tinggalmu...," tukas Dewa 
Langit memutuskan pembicaraan mereka. 
Kedua pendekar berlainan usia itu kemudian segera 
melangkahkan kakinya, meninggalkan Lembah Hutan Welang.

EMPAT


Di wilayah Timur Kadipaten Danau Bulus terdapat hutan 
bernama Jembalang. Bagi penduduk desa di sekitarnya, Hutan 
Jembalang dikenal sebagai hutan keramat. Hutan lebat yang 
angker itu banyak dihuni binatang-binatang buas pada umum-
nya. Sehingga, penduduk desa sekitar hutan itu menganggap 
binatang-binatang itu sebagai dewa ataupun pelindung mereka. 
Nama dan keangkeran Hutan Jembalang tidak hanya dikenal 
oleh penduduk setempat. Tidak sedikit tokoh persilatan yang 
juga menganggap hutan itu sebagai tempat keramat. Meskipun 
demikian, bukan berarti tidak ada orang yang berani 
mendatangi atau mencoba menjelajahinya. Beberapa tokoh 
persilatan yang merasa penasaran pernah mencoba menjelajahi 
hutan itu. Tapi, sejak tokoh-tokoh itu pergi, tak ada seorang 
pun yang kembali. Sehingga, Hutan Jembalang semakin dita-
kuti. 
Maka tidak seorang pun yang akan percaya apabila 
menyaksikan keanehan yang terlihat di dalam Hutan Jembalang 
pada pagi itu. Sesosok 
bayangan tubuh manusia tampak berlarian dengan cepatnya. 
Dan, yang lebih mengherankan lagi, seekor harimau besar ikut 
berlari di belakang sosok manusia itu. 
Cukup lama kedua sosok makhluk itu saling berkejaran. 
Setelah tiba di sebuah tepian sungai, barulah keduanya 
menghentikan langkah mereka.

Sosok bayangan manusja itu terlihat memiliki bentuk tubuh 
yang tinggi dan kokoh. Guratan-guratan otot tubuhnya jelas 
membayangkan kekuatan yang hebat. Belum lagi, bentuk raut 
wajahnya yang keras dan kokoh. Sungguh sebuah sosok ma-
nusia yang melambangkan kejantanan dan keperkasaan. 
Sayangnya, manusia yang tampak masih muda itu memiliki 
sepasang mata liar, persis seperti mata binatang buas. 
Sehingga, sosoknya yang tampan terlihat angker dan 
menakutkan. 
"Grrrng,..!" 
Setelah menatapi riak air sungai yang jernih itu sejenak, 
sosok yang jelas-jelas menandakan manusia rimba itu meraung 
lirih. Kepalanya berputar menoleh ke belakang. Di situ seekor 
harimau duduk memandangnya. Harimau muda yang besar itu 
pun meraung menunjukkan taringnya yang runcing. 
Sosok manusia rimba berusia sekitar dua puluh tahun itu 
tampak mengulas senyum. Kemudian, ia melepaskan celana 
pendek dari kulit harimau yang dikenakannya. Lalu, diterjunkan 
dirinya ke dalam air sungai. Rupanya raungan tadi sebagai 
isyarat bahwa ia akan mandi. 
Selama lelaki muda itu bermain di dalam sungai, harimau 
besar itu hanya duduk memandanginya. Sesekali terdengar 
raungannya ketika pemuda itu menyiraminya dengan air 
sungai. Sedangkan pemuda itu tertawa gembira melihat 
sahabatnya jengkel. 
Belum lagi pemuda itu merasa puas bermain-main di dalam 
air, tiba-tiba terdengar raungan keras bagai hendak 
menggetarkan seluruh isi hutan. Jelas suara itu merupakan 
raung kesakitan seekor harimau. 
"Grauuung...!"

Lelaki muda itu pun meraung, menjawab raungan keras yang 
didengarnya. Cepat bagai kilat tubuhnya langsung melesat naik 
ke tepi sungai. Setelah mengenakan celana kulit harimaunya, 
bergegas pemuda itu mengajak sahabatnya, si harima besar, 
berlari menuju sumber suara kesakitan tadi. 
Tidak lama kemudian, tibalah pemuda dan harimau besar itu 
di sebuah tempat yang agak terbuka. Terdengar erangan keras 
dari kedua makhluk berlainan wujud itu. Keduanya tampak 
marah menyaksikan pemandangan di depan mereka. 
Belasan bangkai harimau bergeletakan saling tindih. Dan 
beberapa langkah di depan bangkai-bangkai harimau itu, 
tampak belasan ekor harimau lain tengah mengeroyok seorang 
lelaki bertubuh gemuk pendek. Meskipun dikeroyok belasan 
ekor harimau besar, lelaki yang berusia sekitar enam puluh 
tahun itu sama sekali tidak kelihatan gentar. Bahkan lelaki itu 
memperdengarkan suara kekehnya. 
"Grauuurgh...!" 
Empat ekor harimau besar yang muda dan kuat meraung 
sambil melompat. Cakar-cakar yang runcing dan terlihat kokoh 
siap merejam tubuh lelaki gemuk pendek itu. 
"He he he...! Hari ini nasib kalian pasti sedang sial. Aku, Iblis 
Penakluk Harimau, akan menunjukkan pada orang-orang 
bahwa Hutan Jembalang tidak lagi pantas ditakuti...," kata 
lelaki gemuk itu sambil merendahkan tubuhnya dan 
mengangkat kedua telapak tangannya ke atas.


Buggg! Desss! 
Hebat dan tepat sekali 
perhitungan lelaki gemuk 
pendek itu. Hantaman 
sepasang telapak tangannya 
telak menghunjam tubuh dua 
ekor harimau yang menerjang 
dari kiri dan kanannya. Se-
hingga, kedua binatang buas 
itu meraung dan terlempar 
sejauh satu setengah tombak. 
Tidak seorang pun akan 
percaya menyaksikan 
keanehan di Hutan 
Jembalang pagi itu. Sesosok 
tubuh manusia tampak 
berlarian dengan cepat, diikuti seekor harimau besar yang 
berlari di belakangnya. Cukup lama kedua sosok makhluk itu 
saling berkejaran, sampai akhirnya tiba di tepi sungai. 
Gerakannya ternyata belum selesai, ia masih melanjutkan 
dengan lentingan ke udara dan putaran tubuh beberapa kali ke 
belakang. Sehingga, tubuh gemuk itu melampaui seekor 
harimau yang menerjang dari belakang. 
Dengan ringannya, tubuh gemuk pendek itu secara tak 
terduga mendarat di atas punggung harimau. Tangan kanannya 
bergerak melakukan tamparan keras ke arah kepala harimau 
yang berhasil ditungganginya. 
Prakkk! 
Darah segar langsung muncrat begitu telapak tangan lelaki 
itu menghantam pecah kepala harimau yang ditungganginya. 
Kemudian, dengan kaki kanannya, ditendangnya perut harimau

yang menyerang dari depan saat harimau itu masih berada di 
udara. 
Desss! 
"Grauuung...!" 
Harimau jantan itu menggerang kesakitan. Tubuhnya yang 
besar langsung terlempar hingga membentur sebatang pohon 
besar. Sambil menggeram marah dan menunjukkan taringnya, 
harimau jantan itu kembali bangkit dan melangkah. Tapi 
harimau besar itu agak ragu karena gentar menghadapi 
mangsanya kali ini. 
Lelaki gemuk yang mengaku berjuluk Iblis Penakluk Harimau 
itu tiba-tiba tersentak kaget. Baru saja ia melompat turun dari 
atas punggung harimau yang terbanting ke tanah, terdengar 
raungan keras yang agak aneh. 
"Hei...!" 
Iblis Penakluk Harimau hampir tidak mempercayai 
pandangannya. Untuk beberapa saat lamanya, lelaki gemuk itu 
hanya berdiri terpaku menatap sosok manusia bertubuh kokoh 
yang matanya menyala penuh kebencian. 
Ketika melihat sosok pemuda tampan bertubuh kokoh yang 
memancarkan kekuatan hebat itu melangkah maju, Iblis 
Penakluk Harimau bergerak mundur. Memang, langkah pemuda 
penghuni rimba itu tidak menunjukkan tanda-tanda hendak me-
nyerang. Dan lelaki gemuk itu sendiri bergerak mundur karena 
ingin mengetahui, apa yang akan diperbuat pemuda itu. 
Untuk kedua kalinya. Iblis Penakluk Harimau dibuat terheran-
heran. Pemuda bertubuh kokoh itu tampak menjatuhkan dirinya 
dan memeluk erat salah satu bangkai harimau. Sesekali 
terdengar raungannya bernada pilu. Pemuda itu tengah mena-
ngisi seekor harimau betina yang besar dan jelas berusia tua.

"Aneh, mengapa pemuda itu menangis...? Apakah harimau 
betina yang paling besar itu peliharaannya...? Ataukah memang 
harimau-harimau yang kubunuh itu peliharaannya?" gumam 
Iblis Penakluk Harimau dengan berbagai pertanyaan 
memusingkan kepalanya. 
Tidak lama kemudian, pemuda bertubuh kokoh itu bangkit 
dengan gerakan perlahan. Sepasang matanya mencorong tajam 
menatap wajah Iblis Penakluk Harimau. Dari mulutnya 
terdengar erangan marah yang sambung-menyambung. 
"Anak muda, siapakah kau? Apakah kau majikan hutan ini 
dan pemilik harimau-harimau yang kubunuh itu...?" tanya Iblis 
Penakluk Harimau sambil merayapi sosok tubuh kekar berotot 
di depannya itu. 
Ada kilatan kekaguman yang tidak berusaha disembunyikan 
oleh lelaki gemuk itu. Jelas memang sosok pemuda itu 
mendatangkan kekaguman yang tidak bisa dipungkirinya. 
Tapi, pemuda itu sama sekali tidak menjawab. Ia 
menggeleng-gelengkan kepala sambil menggeram marah. Iblis 
Penakluk Harimau pun heran melihat tingkah pemuda itu. 
"Hei, Anak Muda! Apakah kau tuli. Atau kau bisu...?" bentak 
Iblis Penakluk Harimau jengkel seraya melangkah maju 
menentang pandang pemuda itu dengan tidak kalah tajamnya. 
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. 
Tampaknya dia tidak kuat melawan tatap mata Iblis Penakluk 
Harimau yang tajam mencorong itu. 
Ketika untuk kesekian kalinya pemuda itu kembali 
menelengkan kepalanya dengan sikap bingung, sadarlah Iblis 
Penakluk Harimau bahwa pemuda itu tidak bisa berbicara 
sebagaimana layaknya manusia.

"Aneh.... Mungkinkah pemuda ini tinggal sejak kecil di dalam 
hutan? Apakah harimau betina itu yang merawatnya? Lalu, dari 
mana sebenarnya asal pemuda ini? Apa mungkin ia diculik dari 
desa oleh harimau-harimau itu...?" 
Iblis Penakluk Harimau bertanya-tanya dalam hati. Peristiwa 
aneh memang sudah sering terjadi dalam kalangan persilatan, 
namun apa yang disaksikannya saat ini benar-benar sukar 
diterimanya. 
Sementara itu, pemuda tampan bertubuh kokoh itu mulai 
melangkah ke depan. Seekor harimau muda yang memiliki 
bentuk tubuh lebih besar daripada harimau-harimau lainnya 
tampak mengikuti langkah pemuda itu sambil menunjukkan ta-
ring-taringnya dengan sikap mengancam. Sembilan ekor 
harimau lainnya yang masih hidup ikut mengiring dari 
belakang. Pemandangan ini jelas menandakan bahwa pemuda 
itu adalah pemimpin harimau-harimau yang mengeroyok Iblis 
Penakluk Harimau. 
"Hm,.., tidak salah lagi, pemuda ini anak didik induk harimau 
yang tadi kubunuh. Bahkan, tampaknya ia sangat disegani 
harimau-harimau lainnya. Harimau-harimau itu tentu 
menganggap pemuda ini sebagai pemimpinnya, benar-benar 
menakjubkan...," desis Iblis Penakluk Harimau sambil berdecak 
kagum. 
Iblis Penakluk Harimau bergerak ke samping saat rombongan 
harimau yang dipimpin pemuda tampan itu semakin mendekat 
ke arahnya. Pikiran yang melintas di benaknya membuat lelaki 
gemuk itu tersenyum licik. Ia ingin melihat, pemuda itu 
memiliki ilmu silat atau hanya sekadar terlatih oleh keganasan 
alam hutan. 
"Hm...., majulah kau, Putra Harimau. Aku ingin melihat, 
apakah indukmu telah mendidikmu dengan baik...," tantang

Iblis Penakluk Harimau sambil menatap tajam pemuda yang 
kini sudah menghentikan langkahnya itu. 
Pemuda itu tampak merunduk, seperti siap menerkam Iblis 
Penakluk Harimau. Sedangkan harimau-harimau di belakangnya 
bergerak menyebar. Lelaki gemuk itu dikepung dari segala 
arah. 
"Grrrhhh...!" 
Pemuda bertubuh kokoh itu tampak menggeram lirih sambil 
menatap Iblis Penakluk Harimau dengan sorot mata yang 
tajam. Tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari 
kesempatan baik untuk menerjang lawan. 
*** 
"Grauuung...!" 
Dibarengi sebuah bentakan keras yang nyaring, pemuda itu 
melesat sambil merentangkan tangannya yang telah 
membentuk cakar harimau. Gerakannya ternyata jauh lebih 
gesit daripada harimau biasa. Sehingga, Iblis Penakluk Harimau 
sempat terbelalak kagum menyaksikannya. 
Namun betapapun cepatnya, terkaman pemuda itu tidak 
mengenai sasaran. Iblis Penakluk Harimau telah bergerak ke 
samping kanan sambil menepiskan cengkeraman tangan kiri 
pemuda itu. 
Plakkk! 
"Aaargh...!" 
Terdengar pemuda itu meraung kesakitan ketika tepisan 
tangan Iblis Penakluk Harimau mengenai lengan kirinya. 
Meskipun demikian, tubuh pemuda itu tidak sampai terbanting 
di tanah. Sebab, dengan sebuah gerakan ringan, tubuh pemuda

itu telah melenting dan jatuh dengan kedua tangan terlebih 
dahulu. Dia lalu melejit bangkit sambil meraung marah. 
Saat itu juga harimau jantan muda yang bertubuh besar dan 
kuat melesat untuk menerkam Iblis Penakluk Harimau. Tapi, 
lelaki gemuk itu sama kali tidak gugup. Dengan sebuah geseran 
yang indah, tangan kanannya bergerak dari samping menghajar 
tubuh harimau muda itu. 
Desss...! 
Harimau muda itu meraung keras. Tubuhnya terlempar 
hingga melanggar sebatang pohon besar. Beberapa saat 
lamanya, harimau muda itu hanya mendekam sambil mengaum 
lirih, ia tampak menderita akibat perbuatan Iblis Penakluk 
Harimau. 
Keganasan Iblis Penakluk Harimau tidak sampai di situ saja. 
Setelah menghajar harimau muda yang menerjangnya tadi, 
tubuh lelaki gemuk bergerak cepat ke depan. Tiga ekor harimau 
yan tengah siap menerkam, langsung berkelojotan dengan 
kepala pecah dihajar keras olehnya. Kemudian, dibagi-bagikan 
tamparan mautnya ke arah harimau-harimau lainnya. Sehingga, 
dalam beberapa gebrakan saja, habislah harimau yang 
mengeroyoknya, kecuali harimau muda yang masih mendekam 
kesakitan dan pemuda tampan itu. 
"He he he.... Rasanya sayang kalau aku membunuhmu, 
Putra Harimau. Lebih baik kau kutangkap dan kulatih untuk 
mewarisi semua ilmuku. Kelak kau pasti akan menggemparkan 
rimba persilatan...," gumam lelaki gemuk itu sambil melangkah 
maju menghampiri kedua lawannya yang kini telah siap kembali 
memasang kuda-kuda itu. 
Baru saja kedua belah pihak siap untuk saling menggempur, 
tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring. Masing-masing 
pun menahan gerakannya.

"Tunggu...!" 
Bentakan nyaring itu disusul berkelebatnya sesosok gemuk 
yang wajahnya bercambang lebat. Lelaki itu melangkah ke arah 
Iblis Penakluk Harimau. 
"Elang Hitam...? Mau apa kau datang ke tempat ini...?" tegur 
Iblis Penakluk Harimau. 
Lelaki pendek gemuk itu tampak terganggu dengan 
kedatangan lelaki bercambang lebat yang tidak lain dari Elang 
Hitam itu. 
"Hm..., Iblis Penakluk Harimau, apakah kau tidak melihat 
kalung yang tergantung di leher pemuda hutan itu...? 
Perhatikanlah baik-baik. Kau pasti akan terkejut setelah 
mengetahuinya," ujar Elang Hitam, agak pelan. 
Iblis Penakluk Harimau berkerut keningnya. Meskipun 
demikian, ia menoleh juga ke arah Putra Harimau itu. 
Diperhatikannya kalung yang tergantung di leher pemuda itu. 
"Hm...," gumam Iblis Penakluk Harimau dengan rona wajah 
berubah. Tampaknya ia mengenali permata kalung berbentuk 
pipih yang terbuat dari perak itu. 
"Kau pasti kenal, siapa pemilik kalung berlambang telapak 
tangan itu, bukan? Nah, turutilah rencanaku...," ujar Elang 
Hitam dengan tatapan tajam. 
"Hm..., kalau begitu, kau pasti sudah sejak tadi berada di 
tempat ini. Aku kira, tidak mungkin kau sudi menginjakkan kaki 
di Hutan Jembalang ini tanpa suatu maksud tertentu. Nah, 
jelaskanlah rencanamu itu padaku...," pinta Iblis Penakluk 
Harimau dengan wajah sungguh-sungguh. 
"Aku memang sedang mencarimu. Dari seorang muridmu, 
aku mendapat keterangan bahwa kau hendak mendatangi

Hutan Jembalang ini karena tertarik dengan keangkerannya. 
Itulah sebabnya aku datang ke hutan ini. Aku mengharapkan 
bantuanmu untuk suatu urusan yang pasti kau sukai. Tentang 
urusan itu sendiri, nantilah aku jelaskan. Yang penting 
sekarang, kau jangan membunuh pemuda itu Sebaiknya kita 
tawan saja. Dia bisa dipergunakan untuk melawan musuh 
kita...," jelas Elang Hitam dengan senyum tipis penuh rencana 
licik. 
"Hm..., pemuda itu tentu memiliki perasaan yang tajam, 
sebagaimana binatang buas lainnya. Sebaiknya kita mengatur 
siasat, agar ia mau mengikutimu dan membantumu 
menghadapi musuh-musuh kita...," usul Iblis Penakluk Harimau 
yang tampak memiliki otak lebih cerdik dibanding kawannya. 
Untuk beberapa saat lamanya, suasana menjadi hening. 
Kedua tokoh sesat itu saling berbisik mengatur rencana. 
Setelah mendapatkan kata sepakat, barulah keduanya menatap 
ke arah si pemuda dan harimau muda itu. 
Elang Hitam bergerak merenggang, menjauhi rekannya. 
Sedangkan Iblis Penakluk Harimau melangkah maju 
menghadapi kedua lawannya. 
"Grrrh...!" 
Kedua makhluk berlainan wujud yang berkawan sejak kecil 
itu menggeram marah. Keduanya berpencar, siap menghadapi 
gebrakan Iblis Penakluk Harimau. 
"Yeaaah..!" 
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh lelaki gemuk 
pendek itu melesat menerjang lawannya. Pertarungan pun 
kembali berlangsung sengit.

Iblis Penakluk Harimau bergerak cepat dengan lontaran 
pukulan-pukulannya. Sehingga, kedua lawannya jatuh bangun 
dan semakin terdesak hebat. 
Bukkk! 
Untuk kesekian kalinya, sebuah pukulan keras menghajar 
tubuh harimau muda itu dengan telak. Tanpa ampun lagi, 
tubuh harimau jantan yang besar itu pun terlempar deras, lalu 
terbanting hingga menimbulkan suara berdebuk nyaring. 
"Hreeeaaagh...!" 
Si pemuda tampan meraung murka. Cepat bagai kilat, 
tubuhnya melesat menolong binatang yang menjadi sahabatnya 
itu. Sebab, saat itu Iblis Penakluk Harimau telah siap 
melepaskan tamparannya untuk menghabisi nyawa harimau 
muda itu. 
"Hmh...," gumam Iblis Penakluk Harimau perlahan, seraya 
mengubah tamparannya menjadi sebuah tebasan yang 
mengancam lambung lawan. 
Whuttt! 
Tebasan sisi telapak tangan Iblis Penakluk Harimau menderu 
mengincar lambung pemuda itu. Namun, sebuah bayangan lain 
datang sambil mengayunkan tangannya menyambut tebasan 
telapak tangan Iblis Penakluk Harimau itu. Dan.... 
Plakkk! 
Iblis Penakluk Harimau dan sosok bayangan yang 
menyambut pukulannya itu sama-sama terlempar ke belakang. 
Jelas bahwa kekuatan tenaga dalam keduanya berimbang. 
"Keparat...!" hardik Iblis Penakluk Harimau. "Mengapa kau 
ikut campur urusanku, Elang Hitam?"

"Sebaiknya kau pergilah dari Hutan Jembalang ini, Iblis 
Penakluk Harimau. Kalau tidak, terpaksa aku akan menamatkan 
riwayatmu," ujar sosok bayangan yang menolong pemuda itu. 
Namun jelas, pertengkaran keduanya hanyalah sebuah 
sandiwara untuk menarik simpati Putra Harimau. 
"Bangsat..!" 
Sambil menghardik kasar, Iblis Penakluk Harimau melompat 
disertai tamparan keras yang mengancam kepala lawan. 
"Hmh...." 
Elang Hitam mendengus. Tubuhnya direndahkan sambil 
melontarkan hantaman telapak tangan ke arah tubuh lawan. 
Dan.... 
Bukkk! 
"Akh...!" 
Hantaman telapak tangan yang dilontarkan Elang Hitam telak 
mengenai sasaran. Sehingga, tubuh lawannya terlempar 
mundur hingga satu tombak jauhnya. 
"Pergilah...!" bentak Elang Hitam dengan sorot mata tajam, 
namun tampak sebelah matanya mengerdip memberi isyarat. 
Iblis Penakluk Harimau menggeram perlahan. Tubuhnya 
segera melesat meninggalkan tempat itu. Namun, sempat 
dilontarkannya sebilah pisau kecil ke arah harimau muda yang 
berada di samping Putra Harimau. 
Siuuut.., cappp...! 
Harimau muda yang tidak sempat menghindar itu meraung 
keras. Pisau kecil itu telah menancap di antara kedua matanya. 
Darah segar pun mengalir. Harimau besar itu menggelepar di 
atas tanah.

Elang Hitam bergegas menghambur ke tubuh harimau itu. 
Sebelum Putra Harimau sempat menyadarinya, Iblis Penakluk 
Harimau telah mendorong gagang pisau kecil yang masih 
tampak di kepala harimau itu hingga melesak semakin dalam. 
Jelas, kematian harimau muda itu ingin dipercepatnya. 
"Hm..., sayang aku tidak berhasil menyelamatkannya. 
Sahabat," desah Elang Hitam, berpura-pura menyesal. 
Putra Harimau hanya menatap bingung, tidak mengerti, 
mengapa lelaki tinggi gemuk bercambang lebat itu 
menolongnya. Pemuda itu hanya menggereng lirih, mirip 
sebuah tangisan seorang anak yang ditinggalkan sahabat 
bermainnya. 
Elang Hitam mengelus rambut pemuda itu dengan lembut. 
Tampak lelaki gemuk berhati licik itu hendak menanamkan 
kesan baik pada pemuda itu. 
"Sudahlah. Lebih baik kita kuburkan saja kawan-kawanmu 
yang telah tewas itu...," ujar Elang Hitam. 
Tanpa banyak cakap lagi, Elang Hitam segera membuat 
lubang untuk menguburkan mayat-mayat harimau yang 
berserakan itu. Sedangkan Putra Harimau hanya menatap 
bingung. 

LIMA


Elang Hitam memandang sosok tegap berambut panjang 
yang tengah bersimpuh di kuburan harimau- harimau itu. 
Sesekali terdengar raungan lirih keluar dari kerongkongan

pemuda itu. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah dilanda 
kesedihan yang dalam. 
Namun, setelah menanti sekian lama, pemuda itu tidak juga 
bergerak bangkit Elang Hitam menjadi tidak sabar. 
Dilangkahkan kakinya mendekati pemuda itu. Ditepuknya bahu 
pemuda itu perlahan sambil menghibur. 
"Sudahlah, Anak Muda. Tidak baik membenamkan diri dalam 
kesedihan yang berlarut-larut. Sebaiknya segera kita tinggalkan 
tempat ini. Kau bersedia ikut bersamaku, bukan...?" tanya 
Elang Hitam dengan kata-kata manis. 
Pemuda putra harimau yang semenjak kecil hidup di dalam 
hutan itu sejenak terpaku. Dipandanginya wajah Elang Hitam 
dengan raut bingung. Jelas ia tidak mengerti ucapan-ucapan 
yang dikeluarkan Elang Hitam. 
Elang Hitam terpaksa menggunakan gerakan tangan untuk 
berbicara kepada pemuda itu. Tapi, ajakan lelaki bercambang 
lebat tampaknya tidak diterima si pemuda. Terlihat ia 
menggeram-geram tidak senang. 
"Hm...," gumam Elang Hitam sambil berpikir keras. 
Sebenarnya bisa saja Elang Hitam memaksa, tapi pemuda itu 
kemungkinan tidak akan menurut nantinya. Itulah yang 
membuat Elang Hitam harus menelan kedongkolan hatinya, 
dengan mencoba terus bersikap baik kepada pemuda itu. 
Kemudian Elang Hitam pun terpaksa mengikuti kemauan 
pemuda itu. Lelaki gemuk itu sama sekali tidak membantah 
ketika si Putra Harimau mengajaknya tinggal di dalam hutan. 
"Hm..., biarlah untuk beberapa hari ini aku menuruti 
kemauannya. Kelak bila sudah menaruh kepercayaan kepadaku 
ia tentu tidak akan sulit lagi diatur," gumam Elang Hitam sambil 
mengikuti langkah pemuda itu.

Beberapa hari lamanya, Elang Hitam mengikuti kemauan 
pemuda itu. Bahkan lelaki gemuk bercambang lebat itu mulai 
mengajarkan bicara sedikit demi sedikit. Sehingga, meskipun 
agak sulit, pemuda itu mulai dapat berbicara. 
"Wa-na-ra...." 
Pada hari ketiga, Elang Hitam mulai memberikan nama 
kepada pemuda itu. Diucapkannya nama itu sambil menunjuk 
ke arah si Putra Harimau. 
"Wa nara...," ucap pemuda itu tersendat-sendat meniru 
sambil menunjuk-nunjuk dadanya sendiri. 
"Bagus.... Mulai sekarang kau harus ingat baik-baik, namamu 
adalah Wanara. Namamu Wa-nara...." 
Elang Hitam bukan main gembiranya melihat putra harimau 
itu sudah makin mengerti akan ucapan-ucapannya. 
"Na-ma-ku... Wa-na-ra...," ulang pemuda itu seraya terkekeh 
gembira. 
Jelas sekali kalau pemuda itu pun tidak kalah gembiranya 
dapat berkata-kata seperti manusia pada umumnya. Dan 
setelah beberapa hari tinggal ditemani Elang Hitam, pemuda itu 
mulai mengerti siapa sebenarnya dirinya, ia pun telah 
memahami perbedaan antara manusia dan binatang. 
Elang Hitam bukan hanya mengajarkan Wanara untuk 
berbicara. Tokoh sesat itu juga mengajarkan dasar-dasar ilmu 
silat. Kegembiraan lelaki bercambang lebat itu kian menjadi-
jadi. Sebab, Wanara bukan hanya cerdik, tapi juga memiliki 
bakat yang sangat besar dalam ilmu silat. Bahkan gerakan 
tubuhnya hampir menyamai Elang Hitam. Hal ini tidak terlalu 
aneh. Wanara yang semenjak kecil hidup di dalam hutan dan 
dididik oleh seekor induk harimau itu tentu saja memiliki 
kegesitan dan kekuatan seperti halnya seekor harimau. Dalam


waktu beberapa hari saja, kepandaian pemuda bertubuh kuat 
itu telah maju pesat. 
Pada pagi hari yang kesepuluh. Elang Hitam menatap penuh 
kagum ke arah Wanara yang tengah berlatih ilmu silat. 
Kelincahan pukulannya tampak sudah sedemikian mantap. 
Sehingga, lelaki gemuk itu tersenyum-senyum penuh kepuasan. 
Elang Hitam pun menjadi gatal-gatal tangannya. 
"Wanara! Sambut seranganku...!" seru lelaki gemuk itu 
sambil meluruk ke arah Wanara. 
"Hiaaahhh...!" 
Whuuut! 
Cengkeraman Elang Hitam meluruk cepat mengancam kedua 
lambung Wanara. Serangkum angin berkesiutan menyertai 
datangnya cengkeraman hebat itu. Jelas tenaga yang 
dikerahkan Elang Hitam cukup kuat dan bisa membahayakan 
lawan. 
"Heeearkhhh...!" 
Wanara berseru keras. Dilambungkan tubuhnya ke depan 
dan terus diputarnya dengan kepala di bawah. Sepasang 
tangannya dengan telapak terbuka bergerak cepat siap 
menghajar kedua telinga Elang Hitam. 
"Bagus...!" ujar Elang Hitam melihat tindakan cepat Wanara. 
Sambil melontarkan pujian, lelaki gemuk itu merendahkan 
kuda-kudanya. Kemudian dia melejit balik dengan sebuah 
tendangan keras mengarah perut Wanara. 
Plakkk! Plakkk! 
"Uhhh...!"

Tendangan kilat yang tak terduga itu berhasil ditepiskan 
Wanara, meskipun untuk itu ia harus menderita rasa nyeri pada 
telapak tangannya. Tubuhnya melejit kembali ke udara dengan 
menggunakan tenaga benturan itu, lalu meluruk turun dengan 
kaki di atas tanah. 
"Yeaaattt..!" 
Elang Hitam sepertinya tidak mau memberikan kesempatan 
bagi Wanara untuk menarik napas lega. Dengan disertai 
teriakan nyaring, tokoh sesat itu kembali meluncur menerjang 
Wanara. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar elang 
bergerai cepat susul-menyusul, mengarah bagian-bagian ter-
lemah di tubuh pemuda itu. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
"Haittt..!" 
Dengan loncatan-loncatan ringan, Wanara bergerak ke arah 
kiri dan kanan menghindari sambaran cakar Elang Hitam! 
Gerakan pemuda itu sangat gesit, sehingga Elang Hitam 
sempat kebingungan mengejar sasarannya. 
Setelah melewati dua puluh lima jurus, Elang Hitam semakin 
menambah kekuatan dan kecepatan serangan-serangannya. 
Tentu saja gempuran-gempuran hebat itu membuat Wanara 
terdesak hebat. Hingga, pada jurus yang ketiga puluh, pemuda 
itu tidak sanggup lagi bertahan. Akibatnya, sebuah pukulan 
telapak tangan Elang Hitam telak menghajar tubuhnya. 
Bukkk! 
"Aaakhhh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Wanara terlempar deras 
dan terbanting ke atas tanah berumput. Meskipun pemuda itu 
dapat bangkit lagi dengan sigapnya, dari raut wajahnya

tergambar bahwa ia cukup merasakan kerasnya pukulan lawan. 
Cairan merah tampak membasahi sudut kiri bibirnya. 
"Cukup, Wanara...!" 
Elang Hitam berseru mencegah ketika dilihatnya Wanara 
masih hendak melanjutkan pertarungan. Lelaki bercambang 
lebat itu melangkah ke arah pemuda tampan itu dengan 
senyum lebar yang menandakan kepuasan hatinya. 
"Gu-ru... hebat se-ka-li...," puji Wanara dengan suara 
terpatah-patah, tapi terdengar jelas dan bisa dimengerti oleh 
Elang Hitam. 
"Kau pun hebat, Wanara. Kemajuan yang kau peroleh pesat 
sekali. Kalau saja ada orang yang mendidikmu lebih pandai dari 
aku, mungkin saat ini aku sudah tidak mampu lagi berhadapan 
denganmu," ujar Elang Hitam dengan wajah berseri. 
Kemajuan yang diperoleh pemuda itu tentu saja 
mendatangkan keuntungan yang menggembirakan bagi Elang 
Hitam. Sebab, pemuda itu jelas dapat menjadi seorang 
pembantu yang sangat baik baginya. Jika ditekankan bahwa ia 
adalah orang satu-satunya yang terbaik bagi Wanara, 
kemungkinan pemuda itu untuk berkhianat sangat kecil. 
"Be-tul-kah... itu..., Gu-ru...," tegas Wanara, seolah-olah 
belum percaya akan kemampuan yang kini dimilikinya. 
"Tentu saja betul. Apa aku pernah berbohong padamu...?" 
kata Elang Hitam. "Sekarang sudah saatnya kita keluar dari 
Hutan Jembalang ini. Kau masih ingat bukan, cerita yang 
pernah kusampaikan padamu beberapa hari lalu...?" 
"Ten-tang... mu-suh be-sar Gu-ru...," sahut Wanara setelah 
mengingat beberapa saat lamanya.

"Benar. Untuk itulah kita harus keluar dari hutan ini. Selain 
itu, aku pun ingin meminta bantuan dari beberapa rekan 
segolongan. Sebab, selain kejam, musuhku itu memiliki ilmu 
tinggi, ia juga mempunyai seorang pembantu yang sangat he-
bat..." 
Elang Hitam mulai menanamkan bibit kebencian di hati 
Wanara terhadap musuhnya. Sehingga, pemuda polos itu 
menjadi geram terhadap orang yang dianggapnya jahat itu. 
Sedangkan Elang Hitam dirasakannya sangat baik terhadapnya. 
"Kalau begitu, ayolah ki-ta ca-ri orang ja-hat itu, Gu-ru...," 
sahut Wanara dengan tatapan mata berkilat yang 
menggambarkan kebencian terhadap musuh besar gurunya itu. 
"Ayolah. Tapi sebelumnya kita harus mencari seorang guru 
yang pandai untuk menambah ilmu-ilmu yang telah kau miliki," 
ujar Elang Hitam seraya mengajak Wanara meninggalkan Hutan 
Jembalang. 
*** 
Rambahan sinar matahari pagi semakin meluas ke seluruh 
permukaan bumi. Kehangatannya menjalar menguapkan 
lapisan embun di pucuk-pucuk dedaunan. Semilir angin pagi 
yang lembut terasa bagai elusan tangan gadis jelita yang 
menimbulkan kesegaran dan kenikmatan. 
Saat itu, dua sosok tubuh tampak bergerak perlahan 
melewati batas Desa Babakan. Nama desa itu tertulis pada 
tiang batu setinggi bahu yang terpancang di pinggir jalan. 
Angin pagi yang lembut sesekali menyibakkan rambut kedua 
sosok itu. Namun, keduanya sama sekali tidak peduli. Mereka

terus saja melangkah lambat menyusuri jalan lebar memasuki 
Desa Babakan. 
Tidak lama kemudian, tibalah keduanya di mulut desa. 
Beberapa penduduk desa yang berpapasan dengan mereka 
melemparkan pandang penuh kekaguman terhadap sosok 
ramping yang berpakaian serba hijau. Sosok ramping itu adalah 
orang yang sangat jelita dan mempesona. Beberapa lelaki 
muda melemparkan pandangan penuh iri kepada pemuda 
berjubah putih yang berjalan bersamanya. 
Pemuda dan gadis itu tetap tidak peduli. Keduanya terus 
melangkah menyusuri jalan utama Desa Babakan. Mereka baru 
berhenti saat melihat sebuah kedai makan yang agak sepi. 
"Kita singgah sebentar di kedai ini, Kakang...," kata gadis 
jelita berpakaian serba hijau itu. Suaranya demikian bening dan 
memikat. 
Sosok pemuda berjubah putih yang tampan itu hanya 
mengangguk seraya tersenyum. Kemudian keduanya bergerak 
memasuki kedai makan di tepi jalan utama desa itu. 
Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya, pemuda 
tampan berjubah putih itu melambaikan tangan kepada 
seorang lelaki setengah baya yang berpakaian pelayan. Segera 
saja pelayan itu bergerak menghampiri. 
Tapi baru beberapa langkah pelayan itu melangkahkan 
kakinya, mendadak sebuah lengan kekar berbulu lebat 
menghalangi jalannya. Lelaki setengah baya itu pun 
menghentikan langkahnya dan menatap si empunya lengan 
dengan tatapan takut-takut. 
"Kembalilah. Biar aku saja yang melayani keperluan dua 
orang asing itu...."

Terdengar suara berat dan parau dari si empunya lengan 
kekar berbulu itu. Wajahnya yang bercambang lebat dengan 
sepasang mata yang lebar tampak menakutkan sekali. 
Sehingga, tanpa membantah lagi pelayan itu bergerak mundur. 
"Baik., baik.., Tuan...," ujar pelayan itu terbata-bata. 
Pada wajah tua si pelayan terbayang kecemasan yang tidak 
bisa disembunyikan. Tampaknya lelaki kekar menyeramkan itu 
sudah dikenalnya. 
Lelaki kekar bercambang lebat dengan mata besar itu 
menghampiri meja pemuda berjubah putih, seraya memilin-
milin kumisnya yang lebat. Sedangkan matanya tak pernah 
lepas dari raut wajah jelita gadis di samping pemuda itu. 
"Hm , kalian tentu bukan orang Desa Babakan ini. Dari mana 
asal kalian dan ada keperluan apa singgah di desa kami ini...?" 
tanya lelaki bercambang bauk itu sambil menaikkan kakinya ke 
atas kursi. Sikapnya jelas menggambarkan kesombongan. 
Pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum sabar. 
Disentuhnya lengan gadis jelita di sampingnya ketika dilihatnya 
si gadis hendak bangkit. Kemudian ditatapnya wajah bengis di 
depannya setelah gadis jelita itu menuruti isyaratnya. 
"Kami memang bukan warga Desa Babakan ini, Kisanak. 
Kami hanyalah dua orang pengembara yang kehausan dan 
hendak melepaskan lelah di desa ini. Maafkanlah apabila 
kedatangan kami tidak berkenan di hati Kisanak..," ujar 
pemuda tampan berjubah putih itu dengan nada halus dan 
sabar. 
Senyum si pemuda tampak mengiringi setiap kalimat yang 
terlontar dari mulutnya. Jelas semua itu menandakan bahwa ia 
sama sekali tidak menginginkan keributan.

"Hm..., sayang sekali gadis jelita seperti Nisanak ini tidak 
diberikan kehidupan yang layak. Nisanak, daripada kau 
mengikuti pemuda gembel ini, apakah tidak sebaiknya kau 
menjadi istriku? Ikutlah bersamaku. Kau akan kuberikan rumah 
yang megah dan kehidupan yang jauh lebih ketimbang yang 
diberikan pemuda ini kepadamu. Ayolah...," kata lelaki 
bercambang lebat itu sambil mengulurkan tangannya hendak 
mencekal lengan halus gadis jelita yang berpakaian serba hijau 
itu. 
Namun, sebelum pemuda berjubah putih itu sempat 
mencegah, tiba-tiba gadis cantik berpakaian serba hijau itu 
menggerakkan tangannya dengan kecepatan kilat. Akibatnya.... 
Plakkk! 
"Aaughhh...!" 
Lelaki bercambang lebat itu menjerit keras tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuhnya langsung terjengkang hingga menimpa 
meja di belakangnya. Tanpa ampun lagi, meja itu pun berderak 
patah karena tak sanggup menahan berat tubuh lelaki kasar 
itu. 
"Kurang ajar...!" 
Lelaki berwajah bengis itu memaki kalang-kabut dan 
menyumpah-nyumpah kotor. Dihapusnya cairan merah yang 
membasahi sudut bibirnya. Pada bagian kiri wajah orang itu 
tampak tergambar lalas bekas jari-jari tangan mungil yang 
membentuk guratan-guratan merah. Lelaki bercambang lebat 
itu telah terkena tamparan keras yang entah kapan datangnya. 
"Sabar, Kisanak..," bujuk pemuda berjubah putih itu seraya 
bangkit, mencoba menghindari keributan. 
Tapi, ucapan pemuda tampan ini dianggap sebagai suatu 
penghinaan oleh lelaki bengis itu. Ia menduga, pemuda itulah

yang telah menamparnya. Segera saja diayunkan lengannya 
yang besar dan berhulu itu ke wajah si pemuda tampan. 
Whuuut! 
Untunglah pemuda tampan berjubah putih itu telah lebih 
dulu menundukkan kepalanya. Sehingga, selamatlah ia dari 
ancaman jari-jari tang yang besar dan kasar itu. 
"Bedebah...!" 
Elakan pemuda itu ibarat minyak yang disiramkan ke api 
yang berkobar. Dengan kemarahan memuncak, lelaki 
bercambang bauk itu kembali menerjang. Kali ini bukan hanya 
tamparan yang digunakan. Tendangan dan pukulan pun 
bergerak susul-menyusul mengincar wajah dan tubuh pemuda 
itu. 
Meskipun demikian, pemuda berjubah putih itu sama sekali 
tidak gugup. Dengan gerakan tubuh yang indah, setiap pukulan 
dan tendangan lawan dapat dihindarinya. Sehingga, beberapa 
meja dan kursi pun patah berantakan terkena terjangan lelaki 
bengis itu. Suasana kedai menjadi hiruk-pikuk. 
Sadar bahwa jika tingkah lelaki bengis itu dibiarkan berlarut-
larut, kedai makan ini bisa hancur berantakan. Pemuda 
berjubah putih itu segera melesat keluar. Gerakannya itu diikuti 
pula oleh gadis jelita berbaju hijau. 
"Keparat! Hendak lari ke mana kau. Pengecut..!" teriak lelaki 
bercambang lebat itu sambil bergegas menyusul kedua orang 
lawannya keluar kedai. 
Empat pengunjung lain yang tampaknya kawan dari lelaki 
bengis itu ikut pula melompat keluar dari kedai dengan senjata 
terhunus. Mereka bermaksud mengeroyok kedua pendatang 
baru itu.

ENAM


Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian 
serba hijau itu berdiri tegak di samping halaman kedai. Dugaan 
lelaki bangis bercambang lebat itu ternyata salah. Terbukti, 
kedua orang pendatang itu sama sekali tidak melarikan diri. 
"Hm..., pantas kalian berdua demikian sombong. Rupanya 
kalian memiliki kepandaian juga...," geram lelaki berwajah 
bengis itu sambil mencabut pedang dari pinggangnya. 
Sikap lelaki gemuk itu jelas bukanlah sekedar gertakan. 
Sehingga, pemuda berjubah putih itu sempat berkerut 
keningnya. 
"Kisanak, persoalan diantara kita hanya sepele. Mengapa 
harus dibesar-besarkan? Kalau memang kau menganggap kami 
berdua salah, baiklah aku mohon maaf, dan harap 
kesalahpahaman ini tidak dilanjutkan...," bujuk pemuda tampan 
berjubah putih itu dengan halus. Jelas, keributan sama sekali 
tidak diinginkannya. 
"Sudahlah, Kakang. Percuma kau membujuk mereka. Orang-
orang sombong seperti itu harus diberi pelajaran, biar lain kali 
tidak lagi bertindak kurang ajar...," selak gadis jelita di samping 
pemuda tampan itu. Kakinya yang mungil dan ramping sudah 
melangkah, siap meladeni telaki bercambang lebat dan kawan-
kawannya itu. 
"Benar apa yang dikatakan gadis jelita itu, Pemuda 
Pengecut. Tapi, kalau kau memang ingin minta ampun, ayo, 
bersujudlah, minta ampun dari ku!" kata lelaki bercambang 
lebat itu dengan sombong.

"Nah, kau dengar sendiri, bukan? Kakang mau mengikuti 
kemauan orang kasar itu?" sindir gadis jelita itu dengan wajah 
yang berubah gelap, setelah mendengar permintaan yang 
melewati batas itu. 
"Ayo kepung mereka! Bunuh pemuda itu! Gadis jelita ini biar 
menjadi bagianku...!" perintah lelaki bercambang lebat itu 
kepada kawan-kawannya. 
Keempat lelaki yang telah menghunus senjata itu pun 
langsung mengepung. 
"Yeaaat..!" 
Tanpa membuang-buang waktu, keempat lelaki kasar itu 
segera melesat dengan tebasan senjatanya. Mereka tampak 
sungguh-sungguh. Hal itu pun sudah diketahui oleh pemuda 
tampan berjubah putih itu. Segera tubuhnya digeser untuk 
menghindari sebuah sambaran senjata yang mengancam 
lambung kanannya. 
"Hm...." 
Sambil bergumam, pemuda tampan itu melesat ke belakang 
sejauh dua tombak. Para pengeroyoknya menjadi kaget melihat 
kecepatan gerak itu. 
"Kisanak. Sebaiknya sudahi saja permain konyol ini sebelum 
kalian menyesal...," kata pemuda itu untuk kesekian kalinya. 
Ucapannya kali ini bernada mengancam. 
"Tidak perlu banyak bacot! Hadapi senjata kami...!" 
Orang-orang kasar itu sama sekali tidak peduli. Mereka 
kembali menerjang dengan sambaran senjata yang berkeredep 
menyilaukan mata. 
Kali ini wajah keempat lelaki kasar itu terlihat berseri. Sebab, 
pemuda tampan itu sama sekali tidak menunjukkan usaha
untuk menghindar sambaran senjata-senjata mereka. Keempat 
orang itu menduga, si pemuda telah menjadi kaku tubuhnya 
karena rasa takut. Empat bilah senjata pun meluruk deras. 
Pemuda itu terlihat pasrah Tapi… 
Wuttt! Trakkk! Trakkk! 
"Augkh...!" 
"Akh...!" 
Apa yang terjadi kemudian benar-benar tidak pernah terbetik 
dalam pikiran keempat lelaki kasar itu. Saat mata pedang 
mereka menghantam tubuh yang terselimut lapisan kabut 
bersinar putih keperakan itu terdengar suara berpatahan yang 
disusul runtuhnya senjata mereka ke tanah dalam keadaan 
terbelah. Tubuh keempatnya kemudian terpental ke belakang 
bagai dilempar tangan-tangan raksasa. Keempat lelaki kasar itu 
pun menjerit keras. 
Demikian pula halnya yang dialami lelaki bercambang lebat 
itu. Lelaki yang begitu bernafsu melawan gadis jelita 
berpakaian serba hijau itu harus menerima kenyataan yang 
tidak pernah dibayangkannya. Dalam sepuluh jurus saja, 
tubuhnya terpental akibat tendangan keras yang telak 
menghajar dadanya. Darah segar pun menghambur dari mulut 
dan jatuh membasahi tanah merah. 
"Ugh..." 
Lelaki kekar bercambang lebat itu mengeluh kesakitan. Dia 
berusaha bangkit, tapi tendangan keras yang diterimanya bagai 
meremukkan tulang-tulang dadanya. Sehingga, untuk kesekian 
kalinya lelaki itu terjatuh dan kini tidak mampu berdiri lagi. 
Empat lelaki kasar lainnya beringsut menghampiri lelaki 
bercambang lebat yang menjadi pemimpinnya itu.

Pemuda tampan berjubah putih dan gadis berpakaian serba 
hijau itu melangkah lambat menghampiri lawan-lawannya yang 
sudah tidak berdaya. Kelima orang lelaki kasar itu pun 
bertambah takut. 
"Ampun kami, Tuan Pendekar.... Jangan bunuh kami...," 
ratap kelima lelaki kasar itu sambil menyembah-nyembah. 
"Hm..., pergilah kalian sebelum pikiranku berubah...," kata 
gadis jelita itu dengan nada yang datar dan dingin. Rasa kesal 
sesungguhnya belum lenyap di hati si gadis jika teringat 
kekurangajaran lelaki bercambang lebat itu. Sikap sabar 
pemuda tampan itulah yang membuatnya tidak berani 
menyakiti lawan-lawannya lebih jauh. 
Tanpa banyak cakap lagi, kelima orang itu bergerak bangkit, 
kemudian tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. 
"Hm..., ada-ada saja.... Lenyap sudah selera makanku. 
Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan kita, Kakang. Rupanya 
penduduk di sini tidak ramah kalau menyambut orang asing." 
Gadis jelita itu melangkah menuju perbatasan desa sebelah 
Barat. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih itu tidak 
berkata apa-apa. Ia mengayunkan langkahnya mengikuti gadis 
itu. 
*** 
"Tuan Pendekar..., tunggu...!" 
Gadis jelita dan pemuda tampan berjubah putih itu menahan 
langkah ketika terdengar ada yang memanggil dari belakang. 
Kening keduanya berkerut. Tampak seorang lelaki setengah 
baya tengah berlari mengejar mereka.

"Tu... an Pendekar..., jangan pergi...," ujar lelaki setengah 
baya itu dengan suara terputus-putus. Dengus napasnya yang 
memburu membuatnya tidak bisa berkata dengan baik. 
"Tenanglah, Paman. Mari duduk;ah...," sapa pemuda tampan 
berjubah putih itu. 
Ketiganya kemudian duduk di sebuah batu besar. 
"Nah, sekarang ceritakanlah, apa yang ingin Paman 
sampaikan kepada kami. Mungkin kami bisa memberikan 
bantuan...," tanya gadis jelita berpakaian hijau itu dengan 
lembut. Seulas senyum manis tersungging di bibirnya, 
membentuk dua lesung pipit yang makin membuatnya 
memikat. 
"Aku melihat saat Tuan berdua bertarung melawan lima 
orang lelaki kasar dan jahat itu. Ketahuilah, Tuan Pendekar! 
Mereka sama sekali bukan warga Desa Babakan. Mereka adalah 
perampok-perampok yang menguasai desa. Sedangkan 
pemimpin mereka hanya datang setiap tiga bulan sekali, untuk 
mengambil upeti dan perempuan-perempuan muda di desa 
kami. Hal ini sudah berlangsung hampir tiga tahun. Melihat 
Tuan berdua dapat mengalahkan kelima perampok itu tanpa 
kesulitan, langsung saja aku mengejar dan memohon 
bantuan...," kata lelaki setengah baya itu. Ditatapnya wajah 
kedua pendekar muda itu berganti-ganti. Ada sinar kecemasan 
dalam mata tua itu, tampaknya dia takut kalau pasangan 
pendekar itu akan menolak permintaannya. 
"Hm..., mengapa kepala desamu tidak mengusir mereka...?" 
tanya dara jelita berpakaian serba hijau itu sambil lalu. 
"Itulah celakanya. Kepala desa kami, yang semula sangat 
memperhatikan penduduk, kini malah membantu para 
perampok itu untuk mengumpulkan segala sesuatu yang 
mereka perlukan. Tapi hal itu bisa dimaklumi. Sebab, rumah

kepala desa itu sendiri dijaga ketat oleh beberapa perampok. 
Sehingga, apabila sang Kepala Desa berbuat macam-macam, 
keluarganya pasti akan dibantai habis. Mungkin itulah 
alasannya mengapa Ki Danggala tidak berani mengambil 
tindakan," jelas lelaki setengah baya itu. 
Pasangan pendekar muda itu hanya mengangguk-angguk 
mendengar keterangan lelaki setengah baya itu. Sehingga lagi-
lagi lelaki itu cemas takut permintaannya ditolak. 
"Bagaimana, Tuan Pendekar...? Apakah Tuan Pendekar 
bersedia menolong penduduk Desa Babakan yang telah lama 
menderita ini...?" tanyanya sambil menatap wajah pasangan 
pendekar muda itu berganti-ganti. 
"Mengapa tidak, Paman. Sekarang juga, marilah kita 
berangkat ke rumah Ki Danggala...," sahut pemuda berjubah 
putih itu sambil tersenyum. 
"Jadi..., Tuan berdua bersedia...?" tanya lelaki setengah baya 
itu, meragukan pendengarannya sendiri. 
"Hm..., apakah selama ini ada orang yang menolak ketika 
Paman meminta bantuan...?" selidik pemuda berjubah putih itu. 
"Hampir semua orang gagah yang kutemui menolak untuk 
menolong kami. Penolakan itu dikatakan setelah aku memberi 
tahu siapa pemimpin gerombolan perampok itu..,. Mungkin..., 
mungkin Tuan berdua pun akan menolak apabila aku me-
nyebutkan nama tokoh mengerikan itu...," kata lelaki tua itu, 
cemas. 
"Paman..., siapa pun adanya orang yang menguasai Desa 
Babakan, kami berdua sama sekali tidak merasa gentar. Dan, 
keputusan kami untuk membantu pun tidak berubah, meski 
Raja Neraka sekalipun yang harus kami lawan...," tegas gadis

jelita berpakaian serba hijau itu. Ucapan ini tentu saja membuat 
wajah lelaki itu kembali cerah. 
"Tokoh sesat itu berjuluk Jari Pencabut Nyawa. Menurut 
keterangan orang-orang gagah yang menolak membantu kami, 
tokoh itu sangat tinggi kepandaiannya. Dan..., hanya satu 
orang yang mungkin bisa menaklukkan tokoh sesat itu. 
Sayangnya aku tidak tahu di mana pendekar besar itu berada. 
Tapi, melihat bagaimana Tuan berdua menjatuhkan perampok-
perampok tadi, rasanya kalian berdua pun memiliki kesaktian 
yang tinggi...," ujar lelaki setengah baya itu. 
Wajah lelaki tua itu tampak keheranan. Sebab, raut wajah 
pasangan pendekar itu dilihatnya sama sekali tidak berubah, 
meskipun telah disebutkannya tadi julukan seram yang banyak 
disegani tokoh-tokoh persilatan itu. Lelaki tua itu pun 
mengambil kesimpulan, pasangan pendekar muda itu pasti 
belum pernah mengenal keganasan Jari Pencabut Nyawa. 
"Hm..., Paman tahu, siapa satu-satunya orang yang bisa 
menaklukkan tokoh sesat itu...?" tanya si gadis jelita. 
Gadis ini tampaknya penasaran mendengar cerita lelaki tua 
itu bahwa hanya ada satu orang yang mampu mengalahkan si 
Jari Pencabut Nyawa. Sebab, hal ini berarti bahwa dia dan 
pemuda itu tidak akan sanggup menghadapi tokoh sesat itu. 
"Hm..., kalau tidak salah, orang-orang gagah memberikan 
julukan Pendekar Naga Putih kepada tokoh pendekar yang 
sangat dikagumi itu. Apakah, Nisanak pernah mendengarnya?" 
Lelaki setengah baya itu malah balik bertanya. Namun, 
bukan main herannya ketika menyaksikan dara cantik itu malah 
tertawa terpingkal-pingkal mendengar julukan Pendekar Naga 
Putih.

"Hi hi hi.... Kalau cuma seorang Pendekar Naga Putih, untuk 
apa Paman harus bersusah-payah mencarinya. Tahukan Paman 
kalau pendekar terkenal itu telah bertekuk lutut kepadaku? 
Hm..., kalau saja ia tahu aku berada di tempat ini, tentu ia akan 
lari terbirit-birit menyambutku...." 
Dara jelita itu menyombongkan dirinya sambil melirik 
pemuda berjubah putih di sampingnya. Sedangkan telaki 
setengah baya itu membelalak pucat. Sebab, apa yang kali ini 
didengarnya bertentangan dengan keterangan orang-orang 
gagah selama ini. 
"Benarkah itu, Nisanak...?" tanya lelaki setengah baya itu 
dengan wajah ketololan. Tampaknya ia belum bisa menerima 
perkataan dara cantik itu. 
"Tentu saja benar. Paman. Untuk apa aku harus berbohong. 
Kalau kau masih tidak percaya, tanyakan saja pada kawanku 
ini...," sahut dara jelita itu sambil melirik ke arah pemuda 
berjubah putih di sebelahnya. 
"Benarkah perkataan Nisanak ini, Tuan Pendekar...?" tanya 
lelaki setengah baya itu yang tampak masih tidak percaya. 
"Benar, Paman. Maka sebaiknya kita segera menuju ke 
rumah Ki Danggala. Percayalah! Jari Pencabut Nyawa tidak 
akan berkutik menghadapi kawanku ini...," ucap pemuda 
tampan berjubah putih itu sambil tersenyum. 
"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?" 
Lelaki setengah baya itu bukan main gembiranya. Sebab, 
orang yang kali ini dimintai bantuannya ternyata jauh lebih 
hebat daripada Pendekar Naga Putih yang selama ini diagung-
agungkan itu. Tentu saja hal ini sama sekati tidak pernah 
dibayangkannya.

*** 
"Inilah kediaman kepala desa kami, Tuan Pendekar. Biasanya 
halaman depannya selalu dijaga dua orang anggota perampok. 
Aneh, mengapa kali ini tampak sepi...?" desis lelaki setengah 
itu. 
"Hm..., mungkin mereka mengira desa benar-benar telah 
tunduk di bawah kekuasaan mereka. Mereka mungkin berpikir, 
tidak ada lagi yang berani berbuat macam-macam. Sehingga, 
mereka tidak begitu ketat lagi melakukan pengawasan...," 
sahut pemuda berjubah putih itu sambil mengedarkan 
pandangan berkeliling. 
Tanpa banyak cakap lagi, pemuda berjubah putih itu segera 
memasuki halaman rumah besar itu, kemudian terus bergerak 
ke arah pintu ruang depan yang tampak tertutup rapat. 
"Ki Danggala...! Kami sahabatmu datang berkunjung! 
Keluarlah, sambut kedatangan kami...!" teriak pemuda itu 
seraya mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya 
mengaung memenuhi setiap penjuru rumah. 
Tidak lama kemudian, muncul empat telaki bertampang 
kasar dari balik pintu. Setelah menatap ke arah pemuda 
tampan itu sejenak, keempatnya menuruni tangga. 
"Hm..., siapa kau, Anak Muda? Ada keperluan apa kau ingin 
bertemu dengan Ki Danggala?" tegur lelaki gemuk yang 
dadanya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Di tangan kanannya 
tampak sebuah gada yang dipenuhi duri-duri runcing. 
"Aku Panji, sahabat lama Ki Danggala. Secara kebetulan aku 
singgah di desa ini. Jadi, sekalian saja aku mengunjunginya. 
Apakah kau salah seorang pengawalnya?" tanya si pemuda 
tampan, berpura-pura bodoh.

Saat itu juga, gadis berbaju hijau dan lelaki setengah baya 
sudah menghilang ke dalam bangunan. 
"Ki Danggala tidak berada di tempat, ia sudah lama pergi. 
Harap kau kembali saja lain kali..., tukas lelaki gemuk yang 
menggenggam gada itu. 
"Hm..., kalau begitu, biarlah kutunggu saja sini...," ucap 
pemuda tampan bernama Panji sambil melangkah menuju 
ruang depan. Tentu tindakannya ini membuat keempat lelaki 
kasar marah. 
"Tunggu...!" 
Bentakan menggelegar keluar dari mulut lelaki gemuk 
bersenjata gada itu. Sedangkan kawannya sudah bergerak 
mengepung. 
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Hajar saja pemuda 
kurang ajar itu, Bungkarasa! Kalau dibiarkan, dia bisa 
bertingkah!" kata salah seeorang dari ketiga lelaki kasar itu 
dengan nada bengis. 
"Hei, mengapa kau berkata demikian kasar terhadap sahabat 
majikanmu? Apakah kau tidak takut kalau aku nanti 
mengadukannya kepada Ki Danggala?" tegur Panji berpura-
pura menakut-nakuti. 
"Bedebah! Siapa takut kepada tua bangka Danggala itu! Kau, 
pemuda kurang ajar, rasakan kerasnya kepalanku ini...!" geram 
lelaki tinggi berwajah pucat seperti mayat. Lelaki itu siap 
melontarkan pukulannya. 
"Tunggu...!" cegah Panji sambil mengulurkan lengannya 
dengan telapak terbuka. Maksudnya tentu saja untuk 
mencegah lawannya menerjang.

"Hm..., kalau kau takut, pergilah. Kami tidak punya waktu 
mengurusi pemuda ingusan sepertimu...!" hardik lelaki kurus 
pucat itu dengan mata melotot. Tampak ia merasa jengkel 
terhadap Panji. 
"Hm..., baiklah...." 
Panji melemparkan senyumnya kepada keempat orang kasar 
itu. Kemudian dia bergerak malas-malasan menuju pintu keluar. 


TUJUH


Bungkarasa dan ketiga orang kawannya tertegun sejenak. 
Mereka sama-sama mengerutkan kening melihat pemuda itu 
melangkah malas-malasan menuju pintu keluar. Merasa 
dipermainkan, kemarahan Bungkarasa dan kawan-kawannya 
bangkit seketika. 
"Setan! Apa sebenarnya yang diinginkan muda sinting ini...!" 
Salah seorang yang bertubuh kurus dan bermuka pucat 
menggeram jengkel. Jelas ia merasa tidak suka dengan sikap 
pemuda itu. Begitu ucapannya selesai, lelaki kurus itu langsung 
melesat dengan sisi telapak tangan mengancam leher Panji. 
Whuuut! 
Tampaknya serangan yang dilancarkan lelaki kurus bermuka 
pucat itu bukan sekadar peringatan. Terbukti sambaran angin 
pukulannya demikian tajam. Lelaki kurus itu rupanya ingin 
cepat menghajar Panji dengan pukulan mautnya. 
Namun, apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Dengan 
gerakan yang cepat dan sulit ditangkap, tiba-tiba pemuda

berjubah putih itu berbalik. Tubuhnya digeser ke samping. 
Berbarengan dengan gerakan itu, tangan kanannya diayunkan 
dengan kecepatan kilat. Dan.... 
Bukkk! 
"Uuugh...!" 
Darah segar menyembur dari mulut lelaki kurus itu, begitu 
hantaman lengan kanan lawan telak mendarat di perutnya. 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu langsung terlempar 
deras ke belakang. 
"Adi Gurinta...!" seru Bungkarasa dengan wajah tegang. 
Cepat-cepat tubuhnya melesat ke depan dan mengulurkan 
kedua tangannya untuk menangkap tubuh kawannya yang 
bernama Gurinta itu. 
Bukan main marahnya hati Bungkarasa. Sebab, Gurinta telah 
jatuh pingsan akibat pukulan yang dideritanya. Jelas, pukulan 
pemuda berjubah putih itu sangat hebat. 
Tapi, rasa terkejut dan kemarahan yang bercampur menjadi 
satu di hati Bungkarasa dan juga kedua orang lelaki kasar 
lainnya, serentak berubah menjadi rasa gentar. Sebab, sosok 
pemuda tampan yang semula hendak mereka jadikan sasaran 
kemarahan itu ternyata telah terlapisi kabut bersinar putih 
keperakan. Ketiganya pun langsung bergerak mundur dengan 
hati kecut. 
"Pendekar Naga Putih...!?" 
Bungkarasa dan dua orang kawannya melangkah mundur. 
Setelah mengetahui siapa sesungguhnya pemuda berjubah 
putih itu, rasa takut di hari mereka tidak bisa disembunyikan 
lagi.

"Bagaimana ini, Kakang...?" tanya salah seorang lelaki kasar 
itu kepada Bungkarasa. Wajah kasar itu telah berubah menjadi 
pucat. Bahkan, nada suaranya menjadi kering. Sehingga, 
pertannyaan yang keluar dari mulutnya lebih mirip bisikan. 
"Terpaksa kita harus memanggil kawan-kawan yang lain...," 
sahut Bungkarasa dengan suara parau karena hatinya pun 
tengah dilanda ketegangan. 
"Suuuiiit..!" 
Tanpa banyak cakap, Bungkarasa langsung mengeluarkan 
suitan nyaring yang berkepanjangan. 
Suitan panjang itu rupanya panggilan bagi kawanan 
perampok lainnya. Terbukti, dalam waktu yang tidak terlalu 
lama, terdengarlah suara berderap riuh. Lalu, muncul kawanan 
perampok yang segera mengurung Pendekar Naga Putih. 
"Hm...." 
Panji bergumam tak jelas. Kini sadarlah pemuda itu, 
mengapa Desa Babakan bisa jatuh ke tangan perampok. 
Melihat jumlah mereka yang puluhan itu, Panji pun maklum 
apabila penduduk desa itu tidak berkutik. 
"Serbuuu..! Bunuh pemuda itu...!" 
Bungkarasa langsung memberi perintah. Dan, puluhan lelaki 
bertampang kasar pun segera melunak ke arah Pendekar Naga 
Putih disertai teriakan-teriakan ribut. 
"Heaaah...!" 
Pendekar Naga Putih menanti hingga para pengeroyoknya 
datang mendekat. Begitu jarak di antara mereka tinggal 
setengah tombak, pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan 
nyaring yang mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke

kiri-kanan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'nya. 
Akibatnya sangat hebat. Belasan anggota perampok 
terdepan langsung menjerit ngeri. Sambaran hawa dingin bagai 
badai salju membuat mereka berpentalan ke segala arah. 
"Gila...!?" 
Bungkarasa memaki kalap. Hati lelaki gemuk itu semakin 
gentar. Dalam satu gebrakan saja belasan anak buahnya telah 
dibuat porak-poranda oleh pendekar muda itu. 
Dua orang lelaki kasar yang berada di kiri-kanan Bungkarasa 
sudah bergerak hendak meninggalkan tempat itu. Keberanian 
mereka langsung lenyap melihat sepak terjang pemuda tampan 
yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Tampaknya kedua 
orang itu mengambil keputusan untuk mencari selamat sendiri. 
"Hendak ke mana kalian...?" 
Bungkarasa, yang melihat kedua kawannya hendak 
melarikan diri, segera saja menegur. Tapi tegurannya sama 
sekali tidak dipedulikan. Malah Bungkarasa sendiri bergegas 
mengikuti kedua orang kawannya itu untuk melarikan diri. 
"Hm..., hendak lari ke mana kalian, Pengecut-pengecut 
Busuk...?!" bentak Panji. 
Wajah Bungkarasa dan kedua perampok lainnya tentu saja 
menjadi pucat. Belum lagi mereka sempat berpikir, tiba-tiba 
sesosok bayangan putih telah berkelebat melewati kepala 
mereka dan langsung berdiri menghadang jalan ketiga 
perampok itu. 
Lenyaplah keberanian dan kekejaman ketiga perampok yang 
selama ini bertindak kasar dan tidak mengenal ampun itu.


Serentak mereka melompat mundur dengan wajah pucat dan 
tubuh gemetar. 
Bungkarasa menoleh ke belakang. Hati lelaki kasar itu 
semakin ciut melihat tubuh anak buahnya telah bergeletakan 
tak berdaya. Jelas semua itu akibat ulah Pendekar Naga Putih 
yang kini berdiri menghadang dan mengancamnya. 
"Bangsat keparat! Siapa yang berani mengacau di tempat 
ini...?!" 
Pada saat Bungkarasa dan dua orang perampok itu tidak 
tahu harus berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar seman nyaring 
yang membuat wajah ketiganya rampak berseri. Jelas, 
Bungkarasa dan kedua kawannya mengenal baik seruan itu. 
Wajah Bungkarasa dan dua orang kawannya semakin cerah. 
Ketiganya menarik napas lega ketika melihat sesosok tubuh 
tinggi besar berkepala botak. Bahkan, kehadiran sosok itu 
masih disusul dengan tiga sosok lainnya. 
"Pendekar Naga Putih...!? Benarkah kau yang berjuluk 
Pendekar Naga Putih...?" tegur sosok bertubuh hitam kekar itu. 
"Benar, akulah Pendekar Naga Putih. Dan kau gembong 
perampok yang berjuluk Jari Pencabut Nyawa itu, bukan?" ujar 
Panji balik bertanya. 
"Ketua, pemuda ini telah menghajar orang-orang kita. 
Sebaiknya dibunuh saja pemuda keparat ini...," seru 
Bungkarasa, yang merasa lega melihat kehadiran pemimpin 
besarnya. 
"Hm...." 
Lelaki kasar berkepala botak yang berjuluk Jari Pencabut 
Nyawa itu hanya bergumam tak jelas. Sekilas terlihat ada sinar

kegentaran pada matanya. Namun, semua itu berusaha 
disembunyikannya dengan memasang wajah keras. 
Seorang lelaki gemuk bercambang lebat, salah satu dari tiga 
sosok tubuh yang datang bersama Jari Pencabut Nyawa, 
bergerak menghampirinya. Kemudian lelaki gemuk itu berdiri di 
sampingnya, dan berbisik dengan lirih. 
"Tinggalkan saja pemuda itu. Kita masih mempunyai 
masalah yang lebih penting. Kelak, setelah masalah penting itu 
selesai, baru kita kembali ke desa ini, dan kita obrak-abrik 
seluruh tempat di desa ini...," bisik lelaki gemuk bercambang 
lebat yan tak lain dari Elang Hitam. 
Dua sosok lainnya ternyata adalah Iblis Penakluk Harimau 
dan Wanara. Rupanya ketiga orang itu telah mendatangi Jari 
Pencabut Nyawa untuk diajak bergabung dengan mereka. 
"Tapi, apakah tidak sebaiknya kita habisi pemuda ini dulu, 
baru kemudian kita menghajar musuh besar kita...," bantah Jari 
Pencabut Nyawa. 
"Jangan bodoh, Jari Pencabut Nyawa! Pemuda ini belum 
tentu mampu kita tundukkan. Sedangkan musuh besar kita 
sudah pasti dapat kita taklukkan. Kalau kau bersikeras hendak 
menghajar pemuda ini terlebih dahulu, bisa hilang kesempatan 
kita untuk menghajar musuh besar yang telah membuat kita 
tersiksa dendam itu," balas Elang Hitam. 
Setelah berpikir sejenak, Jari Pencabut Nyawa pun 
mengangguk-angguk setuju. 
"Hm..., kali ini aku tidak mempunyai waktu mengurusimu. 
Pendekar Naga Putih. Biarlah lain kali aku akan mencarimu...," 
seru Jari Pencabut Nyawa, sambil beranjak mengikuti Elang 
Hitam dan dua orang kawannya. Diajaknya pula Bungkarasa 
dan dua orang temannya.

Panji berdiri tegak mengawasi kepergian gembong perampok 
dan kawannya itu. Pemuda itu tidak berusaha mengejar. Sebab, 
niatnya memang bukan mencari musuh, melainkan 
membebaskan penduduk Desa Babakan dari tekanan para 
perampok. Dan itu sudah dilakukannya. 
"Kau biarkan mereka pergi begitu saja, Kakang...?" 
Tiba-tiba saja gadis jelita yang tak lain dari Kenanga muncul 
dan menegur pemuda itu dengan kening berkerut. Gadis itu 
tampaknya tidak rela membiarkan gembong perampok itu 
pergi. 
"Hm..., tugas kita bukan untuk membunuh atau mencari 
musuh, Kenanga. Kewajiban kita untuk membebaskan warga 
Desa Babakan sudah terlaksana. Jadi, untuk apa mengejar 
lawan yang sudah jelas-jelas tidak ingin bertarung...?" sahut 
Panji tersenyum melihat wajah kekasihnya. 
"Jadi..., Tuan adalah Pendekar Naga Putih...?" tanya lelaki 
setengah baya yang meminta pertolongan Panji dan Kenanga 
tadi sambil membelalakkan mata. 
Suasana menjadi ramai ketika Ki Danggala beserta anggota 
keluarganya muncul. Kepala desa berumur empat puluh tahun 
lebih itu menjabat tangan Panji erat-erat sambil berkali-kali 
mengucapkan terima kasih. Sehingga, pemuda itu risih. 
"Tidak perlu dibesar-besarkan, Paman. Semua ini sudah 
menjadi kewajiban kita. Jadi, apa yang saya lakukan ini 
memang telah menjadi tugas kita semua...," ujar Panji. 
Ki Danggala terharu mendengar ucapan yang menandakan 
keluhuran budi itu. Kemudian ia memerintahkan para 
pembantunya untuk menguburkan mereka yang tewas. 
Sedangkan para perampok yang selamat dilepaskan setelah 
diberi peringatan agar tidak melakukan kejahatan lagi.

Saat kesibukan itu terjadi, Panji segera mengajak Kenanga 
untuk menyelinap secara diam-diam meninggalkan tempat itu. 
Tinggallah Ki Danggala dan penduduk Desa Babakan yang 
kebingungan ketika mereka tidak menjumpai lagi Pendekar 
Naga Putih, yang telah menyelamatkan desa itu dari tekanan 
para perampok. 
"Hm..., pendekar berbudi luhur seperti itulah yang diperlukan 
di dunia ini...," desah Ki Danggala. 
"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya dara jelita 
berpakaian serba hijau itu saat telah jauh meninggalkan Desa 
Babakan. 
"Aku merasa curiga dengan Jari Pencabut Nyawa dan kawan-
kawannya itu. Mereka pergi karena harus menyelesaikan suatu 
urusan yang tampaknya jauh lebih penting ketimbang 
meladeniku. Entah apa yang hendak mereka lakukan. Kenanga. 
Yang jelas, pasti mereka hendak melakukan suatu 
kejahatan...," sahut pemuda berjubah putih yang tidak lain dari 
Panji. 
"Lalu, Kakang ingin mengikuti mereka...?" tanya Kenanga 
lagi. 
"Ya. Sebab aku yakin ada kejahatan besar yang tengah 
mereka rencanakan...," jawab Panji sambil mengedarkan 
pandangan berkeliling. 
"Tapi..., ke mana kita harus mencari mereka, Kakang...?" 
"Entahlah. Yang pasti mereka bergerak menuju ke arah 
Barat" 
"Kalau begitu, kita harus bergerak cepat, Kakang," sambut 
Kenanga seraya bersiap mengerahkan ilmu lari cepatnya.

Panji tersenyum melihat semangat kekasihnya. Pemuda itu 
segera menyambar lengan dara jelita itu sebelum sempat 
melesat ke depan. Tentu saja perbuatan pemuda itu membuat 
langkah Kenanga tertahan. 
"Ada apa lagi, Kakang...?" 
"Sabarlah. Dugaanku belum pasti benar. Siapa tahu mereka 
mengambil arah lain. Untuk itu harus teliti dan jangan terburu-
buru...." 
"Kalau begitu, apa yang akan Kakang lakukan untuk mencari 
jejak mereka..?" 
Pendekar Naga Putih termenung sejenak. Cukup sulit 
baginya menentukan arah yang harus mereka tempuh. 
Akhirnya, karena tidak menemukan jalan lain, diputuskannya 
untuk menjelajahi daerah sebelah Barat. 
Tanpa banyak cakap, Kenanga pun mengikuti langkah 
kekasihnya. Kedua pendekar muda itu bergerak mengerahkan 
ilmu lari cepat mereka menuju arah Barat. 
Hari bergerak merambat sore. Sepasang pendekar muda itu 
terus saja berlari, seolah-olah hendak berpacu dengan waktu. 
Tapi, karena tempat yang mereka tuju memang sangat jauh, 
akhirnya Panji dan Kenanga harus melewatkan malam di dalam 
sebuah hutan. 
"Mengapa kita tidak terus saja dan mencari perkampungan 
untuk melewatkan malam, Kakang?" tanya Kenanga ketika 
Panji mengajaknya beristirahat di hutan. 
"Hm..., aku khawatir di depan sana tidak ada 
perkampungan. Lagi pula, selain perjalanan di malam hari 
dapat menghambat gerakan kita, siapa tahu Jari Pencabut 
Nyawa dan kawan-kawannya telah tahu bahwa kita mengejar 
mereka. Jika demikian, kesulitan kita tentu semakin bertambah.

Bisa saja mereka memasang jebakan untuk menewaskan 
kita..," sahut Panji, yang memang selalu berhati-hati dalam 
mengambil tindakan. 
"Kakang takut..?" desak Kenanga dengan kening berkerut. 
"Hm..., kau ini aneh, Kenanga. Ketahuilah, sikap hati-hati 
jauh lebih baik. Kecerobohan hanya akan mendatangkan 
kerugian bagi kita. Jangan salah mengerti, Kenanga. Perkataan 
takut dan hati-hati itu jauh sekali bedanya...," jelas Panji 
tersenyum sambil membelai rambut gadis jelita itu. 
Kenanga tidak banyak bertanya lagi. Dara jelita itu 
menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Pendekar Naga Putih. Panji 
mengecup lembut rambut kekasihnya. Ada rasa kasihan terselip 
di hatinya melihat dara sejelita Kenanga harus menjalani 
kehidupan sebagai seorang pengembara. Namun, pikiran itu 
dibuangnya jauh-jauh ketika teringat bahwa gadis itu sama 
sekali tidak pernah mengeluh tentang apa yang selama ini 
mereka jalani. 
Malam kian larut. Hembusan angin terasa semakin dingin 
menggigit kulit. Panji sama sekalih tidak bergerak. Pemuda itu 
membiarkan saja Kenanga terlena dalam pelukannya. 
*** 
Sengatan sinar matahari pagi menerobos melalui dedaunan. 
Kedua pendekar itu tersentak bangkit dari mimpinya. Setelah 
membersihkan tubuh di sebuah sumber air yang mereka temui, 
pasangan pendekar itu pun kembali bergerak melanjutkan 
perjalanan. 
Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian 
tinggi, tentu saja tidak sulit bagi Panji dan Kenanga untuk

mempercepat perjalanan. Dengan ilmu lari yang mereka miliki, 
tidak berapa lama kemudian tibalah mereka di daerah Barat. 
"Hm..., kalau tidak salah, kita telah cukup jauh memasuki 
wilayah Barat. Entah di mana kita bisa menemukan Jari 
Pencabut Nyawa dan kawan-kawannya...," desah Panji saat 
menyusuri daerah perbukitan. 
Matahari saat itu sudah semakin tinggi. Sengatan sinarnya 
terasa panas menyengat kulit. Namun, pasangan pendekar itu 
tetap melanjutkan perjalanan. 
"Sebaiknya kira mengambil jalan lewat hutan itu saja, 
Kakang. Rasanya aku tidak kuat dalam cuaca sepanas ini," ucap 
Kenanga, yang wajahnya bersimbah peluh. 
Panji hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian 
keduanya bergerak memasuki hutan lebat. Terdengar helaan 
napas lega dara jelita itu ketika dirasakannya udara segar di 
dalam hutan yang mereka lalui. Sengatan sinar matahari tidak 
lagi terasa. Karena, rimbun dedaunan pohon-pohon besar di 
dalam hutan itu melindungi mereka dari teriknya matahari. 
Ketika keduanya semakin jauh merambah hutan, tiba-tiba 
Panji menahan langkahnya sambil mencekal lengan kekasihnya. 
Diletakkannya cepat-cepat jari telunjuknya di bibir saat 
Kenanga hendak bersuara. 
Dengan langkah yang lebih hati-hati dan tanpa menimbulkan 
suara, pasangan pendekar muda itu kembali bergerak lambat-
lambat Panji semakin mempertajam indera pendengarannya. 
Karena, sempat didengarnya sesuatu yang mencurigakan. 
"Kakang, lihat..?!" seru Kenanga tiba-tiba sambil menutupi 
mulutnya. Gadis itu sangat terkejut melihat pemandangan yang 
terpampang di depan matanya.

Panji pun sempat terkejut menyaksikan pemandangan yang 
ditunjuk kekasihnya. Di depan mereka, kira-kira berjarak tiga 
tombak, tampak empat ekor harimau tengah berebutan 
menyantap tubuh yang tak berdaya. 
Tanpa banyak pikir, Panji segera melangkah maju dan 
mengibaskan tangannya, mengusir harimau-harimau kelaparan 
itu. Dua di antaranya meraung marah dan langsung melesat ke 
arah Panji. Namun, pemuda itu sama sekali tidak gentar. Cepat-
cepat tubuhnya bergerak maju di antara kedua binatang buas 
itu, lalu kedua tangannya mengibas ke kiri dan ke kanan. 
Buggg! Desss...! 
Tanpa ampun lagi, kedua binatang itu meraung kesakitan, 
dan terlempar sejauh dua tombak. Sang raja hutan itu langsung 
bangkit melarikan diri dengan langkah tertatih-tatih. Jelas, 
mereka merasa gentar terhadap pemuda berjubah putih itu. 
Dua binatang buas lainnya yang semula mendekam di dekat 
mayat langsung berlari masuk ke dalam hutan begitu Panji 
mendekat. Sehingga, pemuda itu dapat leluasa meneliti sosok 
yang sulit dikenali lagi itu. 
"Hm..., dilihat dan tulang-tulangnya, jelas orang ini berusia 
lebih dari enam puluh tahun., Selain itu, ia bukan orang 
sembarangan. Tulang-tulangnya demikian kokoh. Semasa hidup 
ia pasti memiliki ilmu tenaga dalam yang cukup tinggi. Entah 
siapa yang telah membunuhnya...?" desah Panji setelah 
meneliti sosok mayat tinggi kurus itu. 
Kenanga hanya terdiam tanpa berkeinginan menanggapi 
ucapan kekasihnya. Dara jelita itu baru mengerutkan keningnya 
saat Panji menemukan tali-tali kokoh yang melibat kedua 
lengan dan kaki laki-laki tua itu. Bahkan, beberapa senjata 
rahasia tampak terbenam di dalam daging mayat itu.

"Benar-benar keji orang yang melakukan pembunuhan 
terhadap orang setua ini. Aku mencium adanya racun 
pelumpuh syaraf yang tampak terhisap orang ini. Mungkin 
racun-racun itulah yang membuatnya tidak berdaya. Jelas 
orang ini telah terperangkap dalam jebakan licik," ujar Panji 
yang tampak marah terhadap kelicikan si pembunuh. 
"Siapa kira-kira pembunuh itu, Kakang...?" tanya Kenanga 
yang menjadi penasaran. 
"Hm..., sepanjang pengetahuanku, tokoh sesat yang memiliki 
racun pelumpuh syaraf hanyalah Jari Pencabut Nyawa. Jadi, 
kemungkinan besar rombongan yang tengah kita kejar itulah 
yang melakukan pembunuhan keji ini," jelas Panji. 
"Lalu, apakah Kakang tidak bisa mengenali siapa adanya 
mayat ini...?" tanya Kenanga lagi, sambil mencoba mengenali 
wajah mayat yang telah rusak oleh kuku-kuku harimau itu. 
"Entahlah. Wajahnya sangat sulit dikenali. Yang jelas, orang 
ini pasti tokoh besar dalam rimba persilatan..." jawab Panji 
dengan wajah kecewa, karena tidak dapat mengenali mayat itu 
dengan baik. 
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang...?" 
"Hm..., orang tua ini ada kemungkinan dipancing untuk 
masuk ke dalam hutan. Kemudian ia dijebak secara licik. 
Kejadiannya pasti malam tadi. Dan itu berarti tempat tinggalnya 
tidak jauh dari daerah ini. Sebaiknya kita melakukan gerak 
cepat untuk melihat-lihat sekitar daerah ini. Siapa tahu dengan 
begitu kita dapat menemukan Jari Pencabut Nyawa dan kawan-
kawannya. Ayolah...." 
Panji kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Tanpa 
banyak cakap, Kenanga pun langsung mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya, menyusul Panji.

DELAPAN

Matahari siang sudah tepat berada di atas kepala. Saat itu 
serombongan orang yang dipimpin lelaki gemuk bercambang 
lebat tiba di depan sebuah pintu gerbang perguruan. Tanpa 
banyak cakap, lelaki gemuk itu langsung mendorongkan-se-
pasang telapak tangannya ke depan. 
"Hiaaah...!" 
Brakkk...! 
Pintu gerbang Perguruan Jari Besi yang terbuat dari kayu 
tebal itu langsung jebol terkena pukulan jarak jauh yang 
dilontarkan Elang Hitam. 
Tentu saja suara hiruk-pikuk itu membuat murid-murid 
Perguruan Jari Besi menghambur dengan senjata terhunus. 
Namun, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tujuh 
sosok tubuh telah menerobos masuk dan langsung melontarkan 
pukulan-pukulan maut. 
Terdengar jerit kematian susul-menyusul seiring dengan 
robohnya murid Perguruan Jari Besi dalam keadaan tewas. 
Tentu saja peristiwa ini membuat gempar seisi perguruan. 
"Ki Bonggala! Keluarlah kau...! Aku, Elang Hitam datang 
untuk membuat perhitungan!" teriak lelaki gemuk bercambang 
lebat itu menantang. Suaranya yang dikirimkan dengan 
pengerahan tenaga dalam itu mengaung memenuhi seluruh 
bangunan Perguruan Jari Besi. 
Elang Hitam tidak perlu menunggu terlalu. Beberapa saat 
setelah gema suaranya lenyap, empat sosok tubuh tegap

melesat keluar dari dalam bangunan. Mereka tidak lain dari Ki 
Bonggala beserta tiga orang murid utamanya. 
Bukan main marahnya Ki Bonggala melihat pemandangan 
yang terpampang di depan matanya. Puluhan orang muridnya 
telah bergeletakan dengan tubuh bermandikan darah. Mendidih 
darah tokoh itu menyaksikan kekejaman tamu-tamu tak diun-
dang itu. 
"Hua ha ha..! Hari ini adalah hari kematianmu, Bonggala. 
Kau boleh berteriak sampai serak memanggil gurumu. Kakek 
renta yang berjuluk Dewa Langit itu telah kami jebak ke dalam 
Hutan Welang semalam. Jadi, kau tidak mempunyai kekuatan 
lagi sekarang. Hua ha ha...." 
Tawa Elang Hitam terdengar berkepanjangan. Tokoh sesat 
berhati licik itu benar-benar merasa puas melihat wajah pucat 
lawannya. 
"Iblis keji...!" maki Ki Bonggala yang tentu merasa terkejut 
mendengar keterangan Elang Hitam. 
Semalam, sesungguhnya Ki Bonggala memang sempat 
mendengar adanya suara-suara mencurigakan. Tapi, karena 
gurunya berpesan agar ia tetap tinggal, sementara orang tua 
itu yang mengejar, terpaksa Ki Bonggala menyerahkan 
persoalan itu ke tangan gurunya. Siapa sangka orang-orang 
yang menyelinap semalam itu adalah Elang Hitam dan kawan-
kawannya. Kini Ki Bonggala baru mengerti, mengapa gurunya 
tidak kembali lagi sejak semalam. Kiranya Elang Hitam telah 
menjebak gurunya. 
Lunggara, murid tertua Perguruan Jari Besi, segera 
melompat ke arah Elang Hitam. Menyusul kemudian Samija dan 
seorang murid utama lainnya. Ki Bonggala sendiri tidak sempat 
mencegah. Karena, pikiran orang tua itu tengah disibukkan oleh 
kematian gurunya.

"Hua ha ha...!" Elang Hitam tertawa makin keras melihat 
majunya tiga orang murid utama Ki Bonggala. Lelaki gemuk itu 
sama sekali tidak peduli. Sebab, Iblis Penakluk Harimau dan 
tiga orang pembantu Jari Pencabut Nyawa telah menyambut 
serangan ketiga murid itu. Sedangkan ia sendiri telah siap 
mencabut nyawa Pendekar Tangan Sakti. 
"Diakah musuh besarmu, Guru...?" tanya pemuda berambut 
panjang dan bertubuh kekar yang berdiri di samping Elang 
Hitam. Pemuda yang menatap wajah Ki Bonggala dengan tak 
berkedip itu tak lain dari Wanara, si Putra Harimau. 
Sementara itu, Jari Pencabut Nyawa hanya berdiri tegak 
dengan sorot mata penuh kebencian. Jelas, tokoh sesat itu pun 
menaruh dendam terhadap Ki Bonggala. Karena, tokoh yang 
berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu pernah mengobrak-abrik 
gerombolannya pada waktu yang silam. 
"Ayo, kita tangkap dia. Pendekar sombong itu tidak boleh 
mati tanpa disiksa. Harus kita siksa dia sebelum dibunuh!" 
teriak Elang Hitam. Kemudian lelaki gemuk itu langsung 
melesat menerjang dengan cakar elangnya. 
Ki Bonggala, yang sadar bahwa keadaannya benar-benar 
terancam, segera mengeluarkan ilmu andalannya untuk 
menghadapi keroyokan Elang Hitam, Jari Pencabut Nyawa, dan 
pemuda berambut panjang itu. 
"Heaaat..!" 
Whutttl Whuuut! 
Elang Hitam langsung mengulurkan cakar-cakar mautnya 
mengancam tubuh lawan. Demikian pula halnya dengan Jari 
Pencabut Nyawa. Tokoh sesat berkepala botak itu mengirimkan 
serangan-serangan mautnya yang menimbulkan deruan angin 
tajam.

Sedangkan Wanara sejenak mengerutkan keningnya tanda 
tak senang. Pemuda yang jujur itu sebenarnya merasa tidak 
suka mengeroyok seorang lawan. Tapi, karena gurunya 
memerintah, pemuda itu tidak bisa berdiam diri saja. Maka, ia 
pun ikut mengeroyok Ki Bonggala. 
Keroyokan tiga orang lawan yang memiliki kepandaian tinggi 
itu tentu saja membuat ki Bonggala kerepotan. Jangankan 
menghadapi keroyokan, melawan salah satu dari mereka pun ia 
harus mengerahkan segenap kepandaiannya. Sebab, baik Elang 
Hitam maupun Jari Pencabut Nyawa memiliki kepandaian yang 
hampir setingkat dengannya. Apalagi kini ada pula pemuda 
gesit bertubuh kokoh itu. Ki Bonggala harus mati-matian 
mempertahankan dirinya. 
"Khreaaakh...!" 
Pada suatu kesempatan, Wanara yang menggempur Ki 
Bonggala dari sebelah kiri, berseru nyaring. Pemuda bertubuh 
kokoh itu melontarkan cengkeraman ke arah lawannya. 
Meskipun dalam keadaan terdesak hebat, Ki Bonggala 
menunjukkan kebolehannya. Dua buah cengkeraman yang 
mengancam perut dan lambungnya dapat dihindarinya dengan 
menggeser tubuh ke samping. Namun, sepasang mara orang 
tua itu membelalak saat melihat mata kalung yang tergantung 
di leher Wanara. Meskipun keterkejutan Ki Bonggala hanya 
sekejap, jelas hal iIni sangat merugikan baginya. Akibatnya, 
sebuah cakar Wanara berhasil merobek bahu kirinya. 
Brettt! 
"Akh...!" 
Ki Bonggala menjerit kesakitan. Tubuh orang tua itu melintir 
mengikuti arah sambaran cakaran Wanara. Hal itu memang 
sengaja dilakukannya. Sebab dengan demikian, Ki Bonggala

dapat menghindari cengkeraman selanjutnya yang masih ber-
susulan. 
Dengan sebuah lompatan panjang, Pendekar Tangan Sakti 
bergerak menjauhi lawan-lawannya, kemudian berdiri tegak 
menatap mata kalung di dada Wanara. Tampaknya ia sangat 
tertarik dengan kalung yang tergantung di leher pemuda itu. 
"Sahabat muda, dari manakah kau mendapatkan kalung 
bergambar telapak tangan itu...? Tolong katakan padaku...," 
tanya Ki Bonggala 
Pertanyaan itu tentu saja membuat gerakan Wanara terhenti 
seketika. Perlahan kepalanya tertunduk menatap kalung yang 
tergantung di lehernya. 
"Aku tidak tahu. Kalung ini telah ada sejak aku kecil...," 
jawab Wanara jujur. Pemuda polos itu menjadi heran ketika 
melihat wajah Ki Bonggala tampak pucat mendengar 
jawabannya. Sayang Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa 
tidak memberikan banyak kesempatan lagi kepada Pendekar 
Tangan Sakti. Kedua tokoh sesat itu kembali menerjang 
lawannya dengan serangan-serangan maut. 
Ki Bonggala yang tengah terhanyut pikirannya oleh jawaban 
polos Wanara tak sempat menghindar. Akibatnya, dua pukulan 
lawan telak bersarang di dadanya. 
Bukkk! Desss! 
"Uuugh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Bonggala terjengkang deras 
sejauh satu setengah tombak, kemudian ia jatuh bergulingan 
sambil memuntahkan darah segar. Pendekar Tangan Sakti 
terlihat menderita luka dalam yang cukup parah akibat 
hantaman pada tubuhnya itu.

"Lumpuhkan bangsat itu...!" seru Elang Hitam kepada Jari 
Pencabut Nyawa yang jaraknya lebih dekat dengan Ki 
Bonggala. Lelaki gemuk bercambang lebat itu sendiri sudah 
melompat dengan beberapa totokan mautnya. 
Jari Pencabut Nyawa pun tidak mau membuang-buang 
waktu. Tanpa diperintah pun sebenarnya ia memang hendak 
melumpuhkan Ki Bonggala secepatnya. Ucapan Elang Hitam 
membuatnya bergerak semakin cepat untuk melumpuhkan 
Pendekar Tangan Sakti yang makin terdesak itu. 
"Hiaaat..!" 
Dibarengi teriakan keras, tubuh lelaki kekar berkepala botak 
itu melesat cepat melancar totokan pada bagian-bagian 
terlemah di tubuh lawannya yang tengah berusaha bangkit itu. 
"Yeaaat...!" 
Mendadak, pada saat yang gawat, terdengar teriakan 
nyaring yang mengguntur. Berbarengan dengan suara yang 
sangat keras itu, sesosok bayangan putih berkelebat bagai 
kilatan cahaya. Dan, langsung disambutnya serangan Jari 
Pencabut Nyawa dan Elang Hitam tadi. Akibatnya.... 
Plakkk! Tasss! Bukkk! 
"Uuuhhh...!?" 
"Aaakh...!" 
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan oleh terjangan sosok 
bayangan putih bersinar keperakan itu. Bukan saja serangan 
kedua tokoh sesat itu dapat digagalkan. Telapak tangannya pun 
sempat mendarat di tubuh Elang Hitam. Hingga tanpa ampun 
lagi, tubuh lelaki gemuk itu terjungkal mencium tanah. Tapi, 
karena hantaman telapak tangan itu tidak terlalu keras, luka 
yang ditimbulkannya pun tidak terlalu parah. Elang Hitam masih

bisa bangkit dengan 
cepat sambil mengusap 
lelehan darah di sudut 
bib
ki gemuk itu terjungkal mencium tanah! 
irnya. 
Hebat sekali akibat 
yang ditimbulkan oleh 
terjangan bayangan putih 
bersinar keperakan itu. 
Bukan saja serangan 
kedua tokoh sesat itu 
dapat digagalkan. 
Telapak tangannya pun 
sempat mendarat di 
tubuh Elang Hitam, 
hingga tubuh lela
Kehadiran sosok bayangan yang terselimut kabut putih 
keperakan itu ternyata berbarengan dengan munculnya sesosok 
tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau. Dan, sosok 
tubuh ramping itu langsung menceburkan diri ke dalam kancah 
pertempuran lain, tempat di mana Lunggara tengah berjuang 
keras menyelamatkan nyawa. Di situ dua orang adik 
seperguruan Lunggara telah menggeletak mandi darah. 
Kehadiran sosok tubuh terbungkus pakaian serba hijau itu 
benar-benar sangat berarti bagi Lunggara. Ia dapat mengatur 
napasnya sambil menyaksikan sosok ramping itu menggempur 
lawan-lawannya. 
Sementara itu, Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa tengah 
berdiri menatap sosok bersinar putih keperakan yang telah 
menyelamatkan Ki Bonggala. Kedua tokoh sesat itu tentu saja 
terkejut bukan main saat mengenali siapa penolong lawannya 
itu. 
"Pendekar Naga Putih...!?"

Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa berseru dengan wajah 
tegang. Sedangkan Wanara hanya memandang bingung, 
karena ia memang tidak pernah mengenal julukan Pendekar 
Naga Putih. 
Lain lagi halnya dengan Ki Bonggala. Lelaki gagah yang 
dikenal berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu bergumam dengan 
wajah cerah. Sebab, tuan penolongnya dikenalnya sebagai 
seorang pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia 
persilatan pada masa ini. Tentu saja kenyataan itu membuat Ki 
Bonggala dapat bernapas lega. Bergegas lelaki gagah itu 
menghampiri penolongnya itu. 
"Pendekar Naga Putih, kau tak ubahnya bagaikan malaikat 
yang turun dari langit. Kedatanganmu sangat tepat dan 
memang kubutuhkan...," ucap Ki Bonggala sambil 
membungkukkan tubuhnya, memberi hormat kepada pemuda 
tampan yang tak lain dari Panji itu. 
Panji pun cepat membalas hormat orang tua itu. Namun, 
keduanya tidak dapat melanjutkan pembicaraan. Karena, saat 
itu Elang Hitam dan Jari Pencabut Nyawa telah melesat 
menerjang Pendekar Naga Putih. Tampaknya kedua tokoh sesat 
itu sengaja mengambil kesempatan selagi Panji dan Ki 
Bonggala sedang berbicara. 
Namun, niat licik kedua tokoh sesat itu tidak membawa hasil 
seperti yang diharapkan. Sebagai seorang pendekar yang telah 
berpengalaman, tentu saja Panji tidak lagi memerlukan 
persiapan dalam menghadapi setiap gempuran lawan. Dengan 
sebuah langkah panjang ke samping, serangan kedua lawan itu 
pun dapat dihindarinya. Bahkan, sempat juga dilontarkannya 
serangkaian serangan balasan yang sangat mengejutkan. 
"Hiaaah...!"

Elang Hitam yang menjadi sasaran serangan balasan Panji 
berusaha menghindar sebisa-bisanya. Lelaki bercambang lebat 
itu tunggang-langgang, kerepotan menghadapi gempuran 
Pendekar Naga Pulih yang bagai gelombang lautan itu. Pada 
saat yang berbahaya itu, Jari Pencabut Nyawa menye-
lamatkannya dengan jalan menebarkan bubuk beracun ke arah 
Pendekar Naga Putih. 
"Hm...." 
Panji menggeram gusar melihat kekejian Jari Pencabut 
Nyawa. Kegusaran pemuda itu berubah menjadi kemarahan 
manakala ia teringat akan mayat seorang kakek di Hutan 
Welang. Sebab, bubuk yang digunakan untuk menyerang 
dirinya memiliki bau harum yang sama dengan yang tercium 
olehnya pada mayat itu. 
"Heaaah...!" 
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Pendekar Naga Putih 
mengibaskan lengannya ke kiri dan ke kanan. Sehingga, racun 
pelumpuh syaraf itu pun bertebaran musnah terbawa angin 
berhawa dingin yang keluar dari tangan pemuda itu. Kemudian, 
dengan sebuah lompatan kilat, pemuda itu berbalik 
menggempur Jari Pencabut Nyawa. 
Serangan yang dilancarkan Panji kali ini benar-benar hebat. 
Tubuh pemuda itu meliuk-liuk turun-naik bagaikan seekor naga 
yang tengah bermain di angkasa. Sepasang cakarnya 
menyambar susul-menyusul bagaikan tidak berkesudahan. 
Sehingga, dalam jurus yang kelima puluh, Jari Pencabut Nyawa 
tidak sanggup lagi membendung serangan-serangan Pendekar 
Naga Putih. Akibatnya, sebuah sambaran cakar naga Panji 
merobek bahu kanan lelaki kekar berkepala botak itu. 
Whuttt! Brettt!

"Akh...!" 
Tokoh sesat gembong perampok itu menjerit kesakitan. 
Bahkan, tubuhnya yang kekar sempat melintir akibat kuatnya 
tenaga sambaran cakar lawannya itu. Belum lagi sempat 
disadari keadaannya, sebuah tendangan keras telah membuat 
tubuhnya terjungkal dan jatuh berdebuk di atas tanah. 
Elang Hitam tentu saja terkejut bukan main. Cepat-cepat 
tokoh bertubuh gemuk itu melesat dengan cakar elangnya yang 
sambar-menyambar. Tapi kali ini Panji tidak berniat main-main 
lagi. Dengan gerakan-gerakan tubuh yang manis, pemuda itu 
terus menghindari setangan berantai lawannya. Kemudian, 
begitu melihat pertahanan lawan terbuka, langsung saja 
dikirimkannya dua buah hantaman telapak tangannya ke dada 
lawan. 
Desss...! 
"Aaargh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Elang Hitam terlempar keras 
bagaikan selembar daun kering, lalu meluncur membentur 
dinding kayu tebal di belakangnya. Kemalangan rupanya masih 
terus membuntuti Elang Hitam. Saat terbentur pada kayu tebal 
yang langsung patah itu, tubuh lelaki gemuk itu kembali 
terjatuh tepat di atas patahan kayu bulat yang meruncing. 
Karuan saja darah segar menyembur seiring jerit kematian 
Elang Hitam yang tubuhnya telah terpaku potongan kayu itu. 
Elang Hitam tewas secara menyedihkan. 
"Pendekar Naga Putih, tahan...!" 
Panji yang saat itu tengah siap bertempur melawan Wanara, 
si Putra Harimau, menahan gerakannya. Seruan Ki Bonggala 
membuat Pendekar Naga Putih melompat mundur, lalu menarik 
kembali serangannya terhadap pemuda bertubuh kokoh itu.

"Ada apa, Paman...?" tanya Panji sambil mengerutkan 
keningnya melihat tingkah laku aneh Ki Bonggala. Tanpa 
menjawab pertanyaannya, orang tua itu melangkah ke arah 
Wanara. 
"Anak muda, perlihatkanlah kalungmu. Lihatlah, aku pun 
memiliki kalung yang serupa dengan milikmu. Dan, kalung yang 
kau kenakan itu adalah kalung milik putraku yang kulekatkan di 
lehenya ketika bayi...," kata Ki Bonggala dengan suara 
bergetar, berusaha menahan keharuan hatinya. 
Wanara tentu saja bingung melihat kalung milik Ki Bonggala 
benar-benar serupa dengan miliknya. 
"Apa artinya ini, Orang Tua...?" tanya Wanara, sambil 
menatap wajah Ki Bonggala dengan pandangan bodoh. 
"Kalau memang kalung yang kau kenakan itu bukan 
pemberian orang lain, berarti kau adalah putraku, Anak 
Muda...," ujar Ki Bonggala yang menjadi tegang, sambil 
meneliti raut wajah Wanara. 
"Aku..., putramu...? Lalu, di manakah Ibuku...?" tanya 
Wanara, yang tampak mulai mengerti. 
"Akulah yang seharusnya bertanya demikian, Anakku. Tapi 
mungkin ibumu telah tewas sewaktu membawamu lari dari 
kejaran penjahat-penjahat keji yang memburu keluarga kita...," 
jelas Ki Bonggala. Tanpa sadar sepasang mata tuanya menjadi 
basah karena rasa haru dan gembira bercampur-baur dalam 
hati. 
"Ayah...!" 
Tanpa ragu-ragu lagi, Wanara segera menghambur dan 
memeluk tubuh Ki Bonggala erat-erat. Pertemuan yang tak 
disangka-sangka itu tentu saja membuat keduanya langsung 
terhanyut dalam luapan rasa gembira.

Kesempatan itu rupanya tidak disia-siakan oleh Jari Pencabut 
Nyawa. Tokoh sesat yang sejak tadi hanya berdiri bingung 
menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu langsung 
mengirimkan serangan maut, saat Ki Bonggala dan Wanara 
lengah. 
"Hiaaat...!" 
Kedua orang ayah beranak itu baru tersadar ketika terdengar 
teriakan nyaring yang mengejutkan. Untunglah Panji bertindak 
cepat. Dengan lentingan manis, tubuh pemuda tampan itu 
berputar beberapa kali di udara, lalu didaratkan dua telapak 
tangannya di tubuh Jari Pencabut Nyawa. 
Desss..! 
"Huaaagkh...!" 
Hantaman telak telapak tangan Panji membuat tubuh kekar 
berkepala botak itu terhempas bagai selembar daun kering 
tertiup angin. Jari Pencabut Nyawa terbanting keras di tanah 
disertai semburan darah segar dari mulutnya. Setelah 
berkelojotan sesaat dengan tubuh menggigil kedinginan, tokoh 
sesat itu pun diam tak berkutik lagi, tewas akibat pukulan keras 
yang dilandasi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. 
Ki Bonggala dan Wanara menghela napas lega. Untuk kedua 
kalinya orang tua itu harus berterima kasih kepada Panji yang 
telah menyelamatkan nyawanya dan juga nyawa putra yang 
baru dijumpainya setelah lenyap selama dua puluh tahun itu. 
"Kakang...," Kenanga, yang ternyata telah berhasil pula 
menundukkan Iblis Penakluk Harimau dan murid-murid Jari 
Pencabut Nyawa, segera bergabung dengan Panji. 
"Ah..., kalian berdua telah berjasa besar terhadapku. Entah 
bagaimana aku bisa membalasnya...," desah Ki Bonggala sambil 
menatap pasangan pendekar itu dengan penuh kagum. Hati

orang tua itu benar-benar bangga. Sebab, kaum persilatan 
golongan putih ternyata telah memiliki seorang tokoh muda 
yang berkepandaian tinggi dan berbudi luhur. 
"Tidak perlu dipikirkan, Paman. Semua itu memang 
merupakan kewajiban kita. Siapa tahu kelak. Pamanlah yang 
menyelamatkan nyawa kami berdua. Dan, karena persoalan di 
sini telah selesai, maaf kalau kami terpaksa harus pamit untuk 
melanjutkan perjalanan." 
Baru saja ucapan itu selesai. Panji telah berkelebat bersama 
Kenanga meninggalkan tempat itu. Sekejap saja, bayangan 
kedua pendekar muda itu telah lenyap di balik pagar kayu bulat 
yang mengelilingi Perguruan Jari Besi. Kini tinggallah Ki 
Bonggala dan Wanara yang hanya bisa menggelengkan kepala, 
karena tidak sempat mencegah kepergian kedua pendekar itu. 
"Orang-orang berbudi luhur seperti itulah yang patut 
dijadikan contoh, Anakku...," desah Ki Bonggala seraya 
menatap wajah putranya. Ada sinar kebanggaan dalam tatapan 
orang tua itu. Sosok putranya begitu gagah di matanya. 
Wanara hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis. 
Pemuda itu masih merasa seperti bermimpi dapat bertemu 
dengan keluarganya, meskipun hanya ayahnya yang masih ada. 
Ki Bonggala mengajak putranya dan sisa-sisa murid 
perguruannya untuk membersihkan halaman Perguruan Jari 
Besi. Angin sore bersilir lembut menjanjikan ketenangan dan 
kedamaian bagi perguruan itu di kemudian hari.

                         SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar