..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 08 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENGHUNI RIMBA GERANTANG

Penghuni Rimba Gerantang

 

PENGHUNI RIMBA GERANTANG

Oleh T. Hidayat

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Puji S.

Gambar sampul oleh Pro's

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

T. Hidayat

Serial Pendekar Naga Putih

dalam episode:

Penghuni Rmba Gerantang

128 hal. ; 12 x 18 cm



SATU


Di bawah siraman cahaya sinar rembulan, tampak

sebuah iring-iringan bergerak keluar dari mulut sebuah

desa. Beberapa orang di antaranya tampak mengusung

tiga buah tandu yang dihias secantik mungkin. Lapat-

lapat tercium harum bunga-bungaan menyertai langkah

kaki mereka.

Seorang lelaki setengah baya yang memimpin iring-

iringan itu tampak berjalan didepan, diapit dua orang

berseragam hitam. Wajah laki-laki setengah baya itu

tampak pucat dan tak bergairah. Garis-garis yang

seharusnya belum waktunya menghias wajah telah

membuatnya tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya.

Seolah dia mengalami tekanan batin yang ber-

kepanjangan.

Dua orang yang mengenakan seragam hitam di kiri

kanannya pun demikian. Mata mereka menatap kosong

ke depan, dengan bibir terkatup rapat tanpa mengeluarkan

sepatah kata pun. Padahal perjalanan itu sudah cukup

jauh dan melelahkan.

Setelah cukup lama menempuh perjalanan yang

cukup berat karena harus melewati jalan berkelok dan

mendaki, rombongan itu tiba di mulut sebuah hutan.

Hembusan angin dingin dan lolongan anjing hutan

seolah-olah menyambut kedatangan mereka.

'Turunkan tandu-tandu, dan taruh dekat pohon besar

itu!" perintah laki-laki setengah baya sambil menolehkan

kepala ke arah anak buahnya yang menggotong tandu


tandu itu. Suara laki-laki setengah baya itu terdengar

berat dan parau.

"Baik, Ki!" sahut seorang pengusung tandu terdepan.

Kedua belas laki-laki yang mengusung tiga buah

tandu bergerak mengikuti arah yang ditunjukkan

pemimpinnya. Setelah meletakkan tandu-tandu, mereka

bergegas kembali ke arah rombongan. Wajah mereka

yang dipenuhi keringat itu tampak membayangkan

kengerian yang mendalam. Entah apa yang telah mereka

alami sebelumnya.

"Ki., mestikah kita diamkan kejadian ini berlarut-

larut?" bisik salah seorang berseragam hitam yang berada

di sebelah kirinya. Suaranya terdengar lirih dan takut-

takut.

"Jaga mulutmu, Dumpa! Sadarkah kau, apa yang kau

ucapkan itu? Kau akan...," belum lagi selesai ucapan laki-

laki setengah baya itu, orang yang dipanggil dengan nama

Dumpa menjerit ngeri.

Tubuh orang itu ambruk dan berkelojotan meregang

nyawa. Kedua tangannya mencekik leher seolah-olah

Dumpa sedang membunuh dirinya sendiri. Wajahnya

langsung berubah kehijauan dan dari pori-pori kulit

mukanya tampak keluar bintik-bintik darah yang semakin

lama semakin membanjiri seluruh permukaan wajahnya.

"Dumpa! Dumpa! Kenapa...? Apa... ohhh...!" seorang

laki-laki berseragam hitam lainnya berteriak-teriak tanpa

tahu harus berbuat apa.

"Ragas! Jangan sentuh, kalau kau masih ingin hidup!"

bentak laki-laki setengah baya itu sambil menarik tubuh

orang berseragam hitam yang dipanggil dengan nama

Ragas.


Tangan Ragas yang sudah hampir menyentuh tubuh

kawannya tertarik ke belakang. Laki-laki itu menahan

haru sambil menutupi wajahnya. Ragas rupanya merasa

sangat terpukul melihat kematian kawannya yang sangat

mengerikan itu.

"Ki! Berbuatlah sesuatu, jangan hanya diam saja!

Lebih baik mati terhormat daripada harus tersiksa dan

terhina seperti ini! Hei, kau Penghuni Rimba Gerantang!

Tunjukkan ujudmu, iblis! Aku hari ini akan mengadu

nyawa denganmu!" Ragas berteriak bagai orang

kesetanan dan menantang-nantang sambil meng-

acungkan goloknya ke arah Rimba Gerantang. Sepertinya

keselamatan dirinya sudah tidak diperlukan lagi.

"Auuunggg...!" suara teriakan Ragas yang bergema

dan menyelusup ke dalam rimba disambut lolongan

anjing hutan yang bersahut-sahutan sehingga membuat

anggota rombongan itu menggigil ketakutan.

Puluhan orang desa yang tergabung dalam

rombongan itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut

mencium tanah berumput. Kepala mereka mengangguk-

angguk sambil mengucapkan kata-kata permohonan

ampun berulang-ulang.

"Ampunkan, kami... ampunkan, kami...!" Laki-laki

setengah baya yang mengepalai rombongan menjadi

terkejut melihat perubahan yang mendadak itu. Beberapa

saat lamanya ia hanya dapat memandang bingung tanpa

tahu harus berbuat apa.

"Hei, orang-orang tolol! Mengapa harus meminta

ampun kepada iblis itu? Mengapa kalian begitu pengecut?

Mana keberanian kalian? Ayo bangkit! Kita lawan iblis


itu bersama-sama!" Ragas memaki-maki anggota

rombongannya yang bersujud ketakutan itu.

"Hentikan ucapanmu, Kakang Ragas! Engkau akan

dikutuk Penghuni Rimba Gerantang! Sadarlah, Kakang

Ragas!" sergah salah seorang dari anggota rombongan itu

mencoba memperingatkan Ragas.

"Penghuni Rimba Gerantang! Maafkan orang-

orangku. Maafkan dan ampuni Ragas. la tidak sadar

dengan apa yang diucapkannya. Terimalah persmbahan

ini, dan kami mohon diri!" Tiba-tiba laki-laki setengah

baya yang sejak tadi hanya berdiam diri berseru lantang

sambil menghadap ke hutan. Suaranya bergema karena

diucapkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup

tinggi.

Sejenak suasana jadi hening, seperti menunggu

jawaban Penghuni Rimba Gerantang.

"Mari kita kembali!" Perintah laki-laki setengah baya

itu kepada seluruh anggotanya. Sambil berkata demikian

ditariknya tangan Ragas, lalu dibawa pergi.

“Tidak! Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini!

Aku ingin melihat wujud iblis itu, dan akan mengadu

nyawa dengannya!" Tolak Ragas sambil menyentakkan

tangannya hingga terlepas dari pegangan laki-laki

setengah baya itu Dia melarikan diri ke dalam hutan.

"Kembali, kataku!"

'Tidak! Kalau Ki Rambing ingin pulang, pulanglah!

Aku akan tetap di sini menanti kedatangan iblis keparat

itu!"

"Keras kepala!" Laki-laki setengah baya bernama Ki

Rambing itu mengumpat gusar. Tiba-tiba tubuhnya

mencelat ke arah Ragas sambil melancarkan totokan.



"Hah!?"

Ragas yang sudah seperti kerasukan setan itu malah

menggerakkan goloknya menyambut serangan Ki

Rambing. Laki-laki setengah baya itu menarik pulang

serangan dan membarenginya dengan sebuah tendangan

kilat ke paha Ragas yang menjadi terkejut setengah mati.

Bergegas dilempar tubuhnya ke belakang untuk

menghindari tendangan Ki Rambing.

Sambil bergulingan, laki-laki berseragam hitam itu

mengobat-abitkan goloknya. Sedangkan Ki Rambing

terpaksa harus menahan serangan itu agar tubuhnya tidak

menjadi sasaran golok.

"Ragas, dengar kataku! Kau hanya akan mengantar

nyawa percuma! Lebih baik kita kembali. Biar Ki Jatar

yang akan mengurus persoalan ini. Ayolah," Ki Rambing

masih juga berusaha menenangkan Ragas. Jiwa laki-laki

berseragam hitam itu menjadi guncang akibat kematian

saudara seperguruannya yang bernama Dumpa.

"Tidak, Ki! Jangan paksa aku. Lebih baik mati di

tangan iblis itu daripada ditertawakan arwah Kakang

Dumpa di alam sana!" sahut Ragas tetap keras kepala

setelah menghentikan serangannya.

"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi

keputusanmu. Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk

membantumu," ujar Ki Rambing tertunduk lesu. Sambil

terus berkata, laki-laki setengah baya itu melangkah

mendekati Ragas yang menjadi lengah mendengar

ucapannya.

Ki Rambing sadar sepenuhnya kalau kepandaian

mereka tidak berselisih jauh. Dan kalau pemuda itu diajak

secara paksa akan memakan banyak waktu dan tenaga.


Hingga akhirnya, harus berpura-pura menyerah kepada

kemauan pemuda itu. Karena dalam keadaan terguncang

seperti itu, Ragas akan menjadi lengah apabila diajak

bicara baik-baik.

Namun, sebelum kaki Ki Rambing sempat mendekati

tubuh Ragas, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan

mendarat dekat Ragas berdiri. Sedangkan Ki Rambing

dan Ragas melompat mundur. Seluruh urat-urat di tubuh

mereka menegang siap menghadapi segala kemungkinan

yang bakal terjadi.

"Ki Jatar...!"

Keduanya berseru berbarengan ketika mengenali

sosok yang baru datang itu. Ketegangan yang

menyelimuti hati mereka segera saja lenyap, lalu sama-

sama membungkuk hormat kepada orang yang baru

datang itu.

"Hm.... Mengapa kalian masih berada di tempat ini?

Apakah hendak bunuh diri?" Tegur orang yang dipanggil

Ki Jatar itu tak senang. Kedua matanya memandang

berganti-ganti ke arah kedua orang itu, begitu tajam

menusuk.

Setelah hening sesaat, Ki Rambing mengangkat

kepalanya menatap sosok tubuh tinggi kurus di

hadapannya. Laki-laki setengah baya itu menarik napas

terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Ki Jatar

yang menjadi penguasa di Desa Muara Bening tempat

mereka tinggal.

"Maafkan aku, Ki. Kejadian ini benar-benar diluar

dugaanku," jawab Ki Rambing sambil menundukkan

kepala tak sanggup menatap mata kepala desanya yang

bagaikan mata elang itu.



"Benar begitu, Ragas?" Tanya Ki Jatar yang kini

menatap wajah laki-laki muda yang berseragam hitam itu.

"Lalu apa maksudmu dengan senjata itu? Apakah ingin

menjadi pahlawan? Sarungkan golok itu!" Perintah Ki

Jatar tegas tanpa ingin dibantah.

'Tapi, Ki..! Kakang Dumpa telah dibunuh iblis itu.

Dan aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus mengadu

nyawa dengan Penghuni Rimba Gerantang itu," jawab

Ragas masih tetap pada pendiriannya. Tekadnya sudah

benar-benar tak bisa dihalangi siapa pun, meski orang itu

adalah kepala desanya sendiri.

"Kau tidak mendengar kata-kataku, Ragas?! Kau

berani membantahnya?!" Bentak Ki Jatar jengkel. Wajah

Kepala Desa Muara Bening itu memerah karena Ragas

membantah perintahnya. "Sarungkan golokmu, atau kau

ingin mengalami nasib seperti Dumpa?"

"Oooh...," Ragas mengeluh pendek. Tubuhnya yang

tegap itu melorot jatuh ke atas tanah berumput yang

mulai basah oleh butiran embun. Ia menekap wajah

dengan kedua tangannya. Sedangkan goloknya terjatuh di

atas tanah.

Wajah Ki Jatar yang semula mengeras karena

kemarahan pelahan melembut. Dengan langkah gontai

dihampiri pembantunya itu. Ditepuknya bahu Ragas

lembut seolah-olah dengan berbuat begitu dapat memberi

kekuatan kepadanya untuk menghadapi masalah itu.

"Maafkan aku, Ragas. Tidak seharusnya aku bersikap

kasar seperti tadi. Aku mengerti perasaanmu. Sekarang

marilah kita pukang," ajak Ki Jatar sambil mengangkat

bangkit tubuh orang itu. Tergambar perasaan sedih dan

kesal yang mendalam pada wajahnya.


'Tapi... tapi, Ki...."

"Sudahlah...," sahut Ki Jatar menghibur.

Ki Jatar membungkuk, memungut golok yang terlepas

dari tangan Ragas dan memberikan kepada pembantunya.

Ragas segera menerima, laki menyarungkan goloknya tak

bersemangat. Lalu, dibimbingnya laki-laki berseragam

hitam itu meninggalkan tepi hutan.

Ki Rambing menarik napas lega ketika melihat

kejadian itu. Kemudian, dia bergegas meninggalkan

tempat itu mengikuti kepala desa yang berjalan sambil

membimbing Ragas.

Rimba Gerantang kembali dicekam kesunyian dan

penuh misteri...

* * *

Beberapa saat setelah kepergian ketiga orang pemuda

Desa Muara Bening itu, nampak belasan sosok yang

mengenakan seragam serba hitam berlompatan ke arah

pohon besar di mulut hutan. Dengan langkah ringan dan

tanpa menimbulkan suara sedikit pun, belasan sosok

tubuh itu mulai mendekati tiga buah tandu yang

ditinggalkan penduduk.

"Hati-hati...!" Bisik seorang laki-laki yang berada

paling depan sambil menggerakkan tangan, menahan

langkah kawan-kawannya yang berada di belakang.

Belasan orang itu terdiam sejenak Bulu kuduk mereka

berdiri tegak ketika hembusan angin dingin dan lolongan

anjing hutan seolah-olah menyambut langkah kaki

mereka.


"Aneh! Mengapa hatiku tiba-tiba merasa tidak e-

nak?" Bisik salah seorang. Suaranya terdengar bergetar.

Entah karena hembusan angin dingin atau perasaan takut.

"Ya! Aku pun merasakannya," sahut kawannya yang

juga ikut merasakan keanehan itu.

Sedang sang pemimpin yang berada paling depan,

mengedarkan pandangnya ke sekitar tempat itu.

Wajahnya terlihat menegang dan penuh kewaspadaan

seolah-olah tengah mencium sesuatu yang mencurigakan.

Setelah beberapa saat menanti dan merasa

kecurigaannya tak beralasan, kembali dilangkahkan

kakinya yang kemudian diikuti belasan pengikutnya.

Ketika jarak antara tandu-tandu itu dan dirinya hanya

tinggal sekitar dua tombak lagi, tiba-tiba angin dingin

berhembus keras, sehingga pakaian dan rambut belasan

orang itu berkibar dibuatnya.

Wrrr!

Demikian dinginnya hembusan angin keras itu

sampai-sampai beberapa orang di antaranya menggigil

kedinginan.

"Kurang ajar! Siapa yang berani main gila di hadapan

Iblis Baju Hitam? Ayo, tunjukkan batang hidungmu!"

pemimpin gerombolan yang berjuluk Iblis Baju Hitam itu

berteriak gusar karena merasa dipermainkan.

Namun, tiada satu suara pun yang menjawab

tantangannya kecuali gemerisik dedaunan yang

dipermainkan angin. Sesaat kemudian, suasana pun

menjadi tenang kembali.

"Hm!" sambil mendengus kasar Iblis Baju Hitam

kembali melangkah mendekati tiga buah tandu itu. "Buka


tirai penutup tandu itu. Cepat!" perintah Iblis Baju Hitam

tegas.

Dua orang pengikutnya bergegas membuka tirai

penutup tandu yang terdekat. Tangan keduanya gemetar

ketika menyentuh tirai itu. Jelas, mereka masih

terpengaruh keanehan-keanehan yang dialami tadi.

Tiba-tiba kedua orang itu segera menarik tangannya

yang memegang tirai ketika merasakan sesuatu yang

dingin menyelusup melalui telapak tangan.

"Ah?!"

Kedua orang itu berteriak kaget bercampur heran

ketika mendapati sebuah bintik merah pada telapak

tangan masing-masing. Wajah mereka terlihat menegang

karena merasakan sesuatu berhawa dingin bergolak

dalam tubuh. Sesaat kemudian wajah keduanya berubah

pucat dan menggigil kedinginan hebat! Kemudian mereka

jatuh dan berkelojotan di atas rumput dalam keadaan

sekarat. Dan kini keduanya pun tewas setelah terlebih

dahulu mengeluarkan buih-buih berwarna putih dan

berbau busuk dari mulut.

"Ihhh...!"

Iblis Baju Hitam dan para pengikutnya tersentak

mundur. Di wajah mereka terbayang kengerian yang

dalam ketika menyaksikan kematian kedua orang kawan

mereka dalam keadaan yang mengerikan itu.

"Bangsat! Manusia pengecut! Keluar kau, menusia

curang! Jangan hanya berani menyerang secara licik!"

teriak Iblis Baju Hitam yang begitu gusar melihat

kematian dua orang pengikutnya itu. Ia berteriak-teriak

menantang sambil mencabut senjatanya. Suaranya

bergema jauh karena didorong tenaga dalam tinggi.


Belasan orang pengikut Iblis Baju Hitam telah pula

mencabut senjata masing-masing, dan bersiap

menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Selama beberapa saat seluruh laki-laki berpakaian

hitam itu dicekam ketegangan yang sangat menyiksai

hari. Baru saja Iblis Baju Hitam hendak bersuara! tiba-

tiba...

"Ha ha ha...!" terdengar tawa berkepanjangan yang

dibarengi berkelebatnya dua sosok bayangan putih. Tahu-

tahu saja, dua tubuh telah berdiri tegak di dalam jarak dua

tombak di hadapan Iblis Baju Hitam.

Hati Iblis Baju Hitam berdebar ketika melihat wajah

kedua orang berjubah putih itu. Wajah mereka hanya

tampak bagian depannya saja. Sedang kepalanya tertutup

kerudung yang juga berwarna putih. Dan yang membuat

hati iblis itu berdebar, adalah wajah kedua orang itu yang

tak ubahnya seperti tengkorak!

"Siapa kalian...?!" bentak Iblis Baju Hitam sambil

menyilangkan senjatanya di depan dada. Biar

bagaimanapun, keadaan dua orang berjubah putih itu

sempat menggetarkan hatinya.

"Siapa pun kami, bukan urusanmu, Iblis Baju Hitam.

Tapi perbuatanmu yang ingin mencuri tiga buah tandu

itu, patut diberi hukuman," tegas salah satu dari dua

orang berjubah putih itu dingin dan bernada maut.

"Huh! Siapa pun kau adanya, jangan harap dapat

menakut-nakutiku! Topeng tengkorakmu itu hanya untuk

menakut-nakuti anak kecil, tahu?! Dan jangan sangka

Iblis Baju Hitam akan mudah ditundukkan! Nah,

majulah!" tantang Iblis Baju Hitam yang rupanya dapat

segera mengetahui kalau dua orang itu mengenakan


topeng. Keberaniannya pun kembali muncul ketika

mengetahui keadaan dua orang itu. Sambil tertawa

mengejek, Iblis Baju Hitam menggerakkan senjatanya

siap menghadapai pertarungan.

Kedua orang berjubah putih itu cukup terkejut

mendengar ucapan Iblis Baju Hitam. Diam-diam mereka

mengakui ketajaman mata lawannya yang dapat

menembus keremangan malam. Dari situ saja sudah dapat

diduga kalau kepandaian pemimpin perkumpulan Iblis

Baju Hitam memang tidak bisa dipandang rendah.

Demikian pula para pengikut Iblis Baju Hitam.

Mendengar ucapan pemimpinnya serentak mereka maju

tanpa rasa takut lagi.

"Anak-anak, serang...!"

Begitu mendengar perintah pemimpinnya, belasan

orang anggota Iblis Baju Hitam itu serentak melompat

maju. Mereka langsung menerjang kedua orang berjubah

putih dengan senjata di tangan.

Kedua orang berjubah putih itu mendengus mengejek.

Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, keduanya

melesat bagai terbang ke arah belasan orang itu.

Terdengar teriakan ngeri yang susul-menyusul, maka

empat orang pengikut Iblis Baju Hitam terjungkal mandi

darah! Kawan-kawannya serentak berlompatan mundur

disertai wajah pucat. Bukan main marahnya Iblis Baju

Hitam melihat dalam segebrakan saja empat orang anak

buahnya tewas di tangan dua orang berjubah putih itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera

melesat ke arena pertempuran dan langsung menyabetkan

senjatanya.

Singgg!


Suara golok panjang di tangan Iblis Baju Hitam

berdesing tajam pertanda kalau senjata itu digerakkan

tenaga dalam tinggi.

Salah seorang lawan yang menjadi sasaran senjata

Iblis Baju Hitam melompat mundur menghindar serangan

itu. Namun belum lagi kedua kakinya sempat menginjak

tanah, tahu-tahu golok panjang Iblis Baju Hitam kembali

mengancam batang lehernya. Menyadari kalau untuk

menghindar sudah terlambat, tangannya segera diangkat

untuk menangkis pergelangan lawan.

Dukkk!

Orang berjubah putih itu terjajar mundur sejauh

delapan langkah karena posisinya memang lebih lemah

dari lawannya. Sekejap terlintas sinar berhawa maut

menyambar dari sepasang matanya.

Sementara itu setelah melakukan salto dua kali di

udara, Iblis Baju Hitam mendaratkan kakinya di atas

tanah berumput yang mulai berembun itu. Tangan

kanannya terasa nyeri akibat tangkisan lawan. Terpaksa

dia harus mengakui kehebatan tenaga dalam lawan yang

wajahnya tersembunyi di balik topeng tengkorak itu.

"Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa mencampuri

urusanku?" Tanya Iblis Baju Hitam penasaran.

Bagaimana tidak menjadi penasaran? Ia yang telah

malang melintang di daerah itu, sama sekali belum

pernah bertemu kedua orang berjubah putih yang kini

menjadi lawannya. Sama sekali tidak dapat diterka, siapa

gerangan kedua orang berjubah putih itu.

"Hm... mencampuri urusanmu! Tahukah kau,

siapakah yang berhak atas tandu-tandu itu?"


"Aku tidak peduli siapa pemilik tiga tandu itu. Dan

aku pun tidak peduli apakah kau mau memperkenalkan

namamu atau tidak!" bentak Iblis Baju Hitam marah.

"Kau memang tidak tahu diri, Iblis Baju Hitam.

Hingga sampai sedemikian beraninya ingin mengambil

milik penghuni Rimba Gerantang."

"Penghuni Rimba Gerantang...?" gumam Iblis Baju

Hitam heran." Hm... Jadi yang disebut-sebut pengawal

kepala desa ini benar adanya. Keparat! Rupanya tanpa

setahuku, di daerah ini telah kedatangan orang asing dan

mencoba menyebarkan pengaruhnya di wilayah

kekuasaanku! Kalau begitu kaliankah yang dijuluki

Penghuni Rimba Gerantang itu?! Bagus! Marilah kita

tentukan, siapa di antara kita yang akan menjadi penguasa

wilayah ini!"

"Kau salah, Iblis Baju Hitam. Kami berdua hanyalah

pembantu-pembantu yang ditugaskan untuk mengambil

tandu-tandu itu. Dan kami berdua dijuluki orang

Sepasang Mambang Lembah Maut," sahut salah seorang

memperkenalkan diri.

Mendengar siapa adanya kedua orang berjubah putih

itu saja sudah membuat Iblis Baju Hitam cukup terkejut,

karena nama itu cukup terkenal di kalangan dunia

persilatan. Namun karena mereka memang jarang muncul

di dunia ramai, maka para tokoh persilatan pun hampir

tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tapi kini tahu-

tahu saja mereka muncul dan mengaku sebagai pembantu

Penghuni Rimba Gerantang. Entah, sampai di mana

kesaktian yang dimiliki sampai-sampai Sepasang

Mambang Lembah Maut begitu merendahkan dirinya

untuk menjadi pembantu tokoh itu. Iblis Baju Hitam

benar-benar tak habis mengerti dibuatnya.

* * *

DUA


Pertarungan yang berlangsung antara para anggota

Iblis Baju Hitam melawan salah satu dari dua orang

berjubah putih semakin terlihat sengit. Para pengikut Iblis

Baju Hitam itu berusaha melawan dengan sekuat tenaga.

Mereka yang hanya tersisa tujuh orang itu tampak sudah

tidak kuat untuk bertahan lebih lama, akibat gempuran

yang dilancarkan lawan.

Iblis Baju Hitam menolehkan kepalanya ketika untuk

kesekian kalinya mendengar jeritan kematian

pengikutnya. Dua orang berseragam hitam itu terjungkal

dengan kepala pecah. Merasa tak tega melihat para

pengikutnya dibantai secara demikian, Iblis Baju Hitam

cepat melesat membantu para pengikutnya yang tinggal

lima orang itu.

"Heaaattt...!" ditandai teriakan keras, Iblis Baju Hitam

langsung melancarkan serangan ke arah orang berjubah

putih yang tengah bertarung melawan para pengikutnya.

Namun sebelum maksudnya tercapai, sebuah bayangan

putih lain melesat memotong serangannya. Akibatnya

Iblis Baju Hitam terpaksa membatalkan niatnya dan

bergegas menyambut serangan itu.

Sedetik kemudian keduanya kembali terlibat

pertarungan sengit. Orang berjubah putih itu rupanya

sudah memulai mengeluarkan ilmu-ilmu andalan, setelah

membaca kepandaian lawan. Tapi Iblis Baju Hitam

bukanlah orang lemah yang mudah ditaklukkan begitu

saja. Dalam kalangan perampok, Iblis Baju Hitam


termasuk rajanya perampok. Sehingga, kepandaiannya

pun tidak bisa dibuat main-main.

Memang, Iblis Baju Hitam sendiri sudah pula

mendengar nama besar Sepasang Mambang Lembah

Maut. Sepasang manusia kembar yang selalu

menyembunyikan dirinya di balik topeng tengkorak itu

bukan tokoh lemah. Banyak tokoh persilatan baik dari

golongan putih maupun golongan hitam enggan mencari

permusuhan dengannya. Karena selain berkepandaian

tinggi, Sepasang Mambang Lembah Maut tidak pernah

meninggalkan lawan dalam keadaan hidup.

Kini, keduanya betul-betul menemui lawan yang

seimbang! Meskipun segenap kemampuan telah

dikerahkan, tetap saja keadaan mereka tidak berubah!

Puluhan jurus telah berlalu, namun belum ada yang

terdesak. Iblis Baju Hitam semakin kalap ketika lagi-lagi

terdengar jerit kematian para mengikutnya yang tengah

bertarung melawan salah seorang dari Sepasang

Mambang Lembah Maut. Sambil berteriak keras, ia

melompat mundur.

"Hmh!"

Iblis Baju Hitam menggeram seraya mempersiapkan

Ilmu pamungkas, 'Menghalau Barisan Seratus Golok'.

Sebuah ilmu yang mengandalkan kekuatan dan

kecepatan. Kedua tangannya bersilangan dan membentuk

lingkaran-lingkaran yang sukar ditembus. Cepat sekali

gerakan kedua tangannya sehingga membuat lawan

menjadi kerepotan.

Dan kini Sepasang Mambang Lembah Maut yang

bernama Jonggala, terdesak hebat! Hingga pada jurus


yang kelima puluh tiga, dia tidak sempat lagi

menghindari dari sergapan lawan.

Bukkk!

"Ahhhkkk...!" tubuh Jonggala terpental akibat

hantaman Iblis Baju Hitam yang telak mengenai

lambung. Darah segar muncrat dari mulutnya karena

hantaman itu begitu keras. Dan sebelum posisinya sempat

diperbaiki, lawannya sudah kembali menyerang.

Dengan gerakan sebisanya, Jonggala melempar

tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan

lawan. Tubuhnya terus bergulingan karena sepasang

tangan Iblis Baju Hitam tidak ingin melepaskan

kesempatan begitu saja. Keadaan orang tertua dari

Sepasang Mambang Lembah Maut itu benar-benar bagai

telur di ujung tanduk.

Jonggali yang merupakan adik Jonggala menjadi

terkejut setengah mati, walaupun masih bertempur

dengan pengikut Iblis Baju Hitam. Matanya sempat

melihat kejadian yang dialami kakaknya itu. Hampir-

hampir ia tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tapi

Jonggali tidak bisa berpikir lebih lama lagi karena

keadaan kakaknya benar-benar dalam bahaya! Tanpa

membuang-buang waktu lagi ia pun segera melesat untuk

membantu. Tapi sebelumnya ia telah menghabisi nyawa

anak buah Iblis Baju Hitam yang masih ada. Ia pun

segera melesat untuk membantu.

Tubuh Jonggali melayang ke arah Iblis Baju Hitam

yang tengah mendesak lawannya. Kedua tangannya

terjulur kedepan, disertai hembusan angin keras pertanda

bahwa seluruh tenaganya tengah dikerahkan.



Merasakan sambaran angin kuat yang berhembus ke

arahnya, Iblis Baju Hitam menunda serangan dan ber-

gegas menyambut serangan Jonggali. Kedua tangannya

didorong ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam

sepenuhnya.

Desss!"

"Aaahhh...!"

Iblis Baju Hitam dan Jonggali berteriak melengking

ketika dua pasang lengan yang mengandung tenaga dalam

tinggi itu saling berbenturan di udara. Tubuh mereka

terlontar ke belakang bagai disentakkan tangan-tangan

raksasa. Mereka sama-sama terbanting di atas tanah

berumput hingga menimbulkan bunyi berdebuk keras!

Keduanya kini berusaha bangkit sambil berusaha

menghilangkan rasa sesak di dada akibat benturan itu,

lewat penyaluran hawa murni. Cairan merah yang

mengalir dari sela-sela bibir mereka masing-masing

segera dihapus.

"Hhh... hhh.... Hebat kau, Iblis Baju Hitam. Pantas

saja Kakang Jonggala sampai terdesak. Ternyata nama

besarmu memang bukan sekadar nama kosong belakang,"

puji Jonggali tulus, walau dengan napas terengah-engah.

"Kau.... Kaupun hebat, Kisanak. Tak percuma nama

kalian menjadi momok, bagi orang-orang persilatan,"

Iblis Baju Hitam juga memuji sambil berusaha mengatur

jalan napasnya.

"He he he.... Bersiaplah untuk melawat ke neraka

Iblis Baju Hitam!" tiba-tiba Jonggala yang keadaannya

sudah pulih telah bersiap melancarkan pukulan maut ke

arah Iblis Baju Hitam.


Terdengar suara bergemelutuk dari lengan Jonggala

yang rupanya benar-benar ingin membuktikan ucapan-

nya. Serangkum angin dingin bertiup menandai

kesungguhan Jonggala.

Tentu saja Iblis Baju Hitam tidak sudi menyerahkan

nyawanya begitu saja. Cepat-cepat dikempos

semangatnya untuk mengumpulkan tenaga dalam dan

bersiap menyambut serangan Jonggala.

Tapi sebelum keduanya sempat saling bertumbukan,

mendadak berhembus angin keras yang membuat mereka

terpental balik. Dan tahu-tahu saja di tengah-tengah

mereka telah berdiri sesosok tubuh yang juga berjubah

putih.

Sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri angker sambil

menatap mereka dengan sinar mata tajam menusuk. Di

tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berkepala

tengkorak yang juga berwarna putih.

'Tongkat Maut Delapan Bayangan....'" Sepasang

Mambang Lembah Maut berseru sambil membungkukkan

tubuh dalam-dalam. Kelihatan sekali kalau dua orang

bersaudara itu merasa takut kepada orang yang baru

datang itu.

'Tongkat Maut Delapan Bayangan...!" gumam Iblis

Baju Hitam terkejut "Gila! Bagaimana mungkin tokoh itu

bisa berada di tempat ini? Apa sebenarnya yang terjadi di

tempat ini? Siapa pula yang disebut sebagai Penghuni

Rimbang Gerantang itu? Mungkinkah tokoh sakti yang

telah lama menyembunyikan diri itu kini muncul dan

menjadi Penghuni Rimbang Gerantang?"

"Hm.... Sepasang Mambang, kalian pulanglah lebih

dahulu dan bawa persembahan itu kepada ketua. Biar aku


yang akan mengurusi perampok baju hitam ini," dingin

dan tegas suara yang keluar dari mulut orang tua yang

berjuluk Tongkat Maut Delapan Bayangan itu. Dari kata-

katanya, jelas kalau ia mem-punyai kedudukan yang lebih

tinggi dari Sepasang Mambang Lembah Maut itu.

"Baik! Kami permisi," jawab Jonggala dan Janggali

sambil membungkukkan badan bersikap hormat. Setelah

berkata demikian, Jonggala mengeluarkan siulan panjang

yang bergema dan menyelusup ke dalam Rimba

Gerantang.

Tidak lama kemudian, terdengar siulan lain yang

semakin lama semakin dekat, disusul berloncatannya

beberapa sosok bayangan putih dari balik semak dan

pepohonan.

"Angkat tandu-tandu itu!" Perintah Jonggala kepada

dua belas orang berjubah putih yang langsung mematuhi

perintahnya.

Sepasang Mambang Lembah Maut melangkah

meninggalkan tepi hutan. Sedangkan kedua belas orang

pengikutnya itu berjalan di belakangnya sambil

menggotong tiga buah tandu itu.

Meskipun anak buahnya telah dibantai habis, namun

Iblis Baju Hitam sama sekali tidak gentar. Dipandanginya

orang yang berjuluk Tongkat Maut Delapan Bayangan itu

lekat-lekat, seolah ingin menunjukkan ketidaktakutannya

terhadap orang sakti itu.

"Huh! Jangan kau pikir aku akan menjadi silau oleh

nama besarmu, Tongkat Maut! Aku tidak akan pernah

tunduk di bawah perintah siapa pun, seperti apa yang kau

lakukan itu!" tegas Iblis Baju Hitam dengan suara

lantang.


"Hm.... Tahukah kau, Iblis Baju Hitam!

Kedatanganku kemari atas perintah sang ketua untuk

menjemputmu agar kau bergabung bersama kami. Tapi

walau ketua menghendakimu, apakah kau pikir aku akan

berpangku tangan saja melihat kekurangajaranmu itu?"

jelas Tongkat Maut Delapan Bayangan bernada

mengancam.

"Apapun alasanmu, aku tidak akan pernah tunduk

sebelum mengetahui seperti apa orang yang kau anggap

sebagai ketua itu!"

"Jangan keras kepala, Iblis Baju Hitam! Apakah kau

kira, kau dapat lolos dari tanganku! Huh! Jangan harap,

perampok tengik!" suara Tongkat Maut semakin bergetar

karena hawa marah yang semakin memuncak. Sepasang

matanya semakin mencorong tajam kalau saja tidak ingat

akan pesan ketua, mungkin nyawa Iblis Baju Hitam sudah

sejak tadi meninggalkan raga.

'Tidak usah banyak bicara! Tangkaplah aku kalau

memang mampu, Tongkat Maut Delapan Bayangan!'

tantang Iblis Baju Hitam sambil menyilangkan goloknya

di depan dada. Sadar kalau kepandaian lawan sangat

tinggi, Iblis Baju Hitam segera menyiapkan ilmu

pamungkasnya. 'Menghalau Barisan Seratus Golok '.

"Ha ha ha.... Ilmu silat pasaran macam itu akan kau

gunakan untuk menghadapiku, Iblis Baju Hitam?

Lihatlah! Aku akan menundukkanmu tidak lebih dari

sepuluh jurus!" ejek Tongkat Maut Delapan Bayangan.

"Bangsat! Terimalah ini, hiaaattt...!"

Dengan kemarahan yang menggelegak, Iblis Baju

Hitam melompat ke arah Tongkat Maut Delapan

Bayangan. Golok panjangnya diputar sedemikian rupa


sehingga membentuk segunduk sinar yang membungkus

tubuhnya. Dan dari gundukan sinar itu, sesekali mencuat

ujung-ujung golok yang mengancam tubuh lawan.

Tongkat Maut Delapan Bayangan sama sekali tidak

menunjukkan sikap terkejut atas serangan lawan. Sambil

tertawa, ditancapkan tongkat itu langsung amblas sampai

seperempatnya. Kemudian, Tongkat Maut menggerakkan

kedua tangannya bersilang di depan dada. Seketika

serangkum angin berhawa dingin menebar dari tubuhnya.

Dan pada saat serangan Iblis Baju Hitam meluncur,

Tongkat Maut hanya memiringkan tubuhnya ke kiri

dengan kedua tangan masih tetap bersilang didepan dada.

Gundukan sinar golok Iblis. Baju Hitam ternyata tak

mampu menipu mata lawannya. Karena setiap kali ujung

goloknya mencuat, Tongkat Maut Delapan Bayangan

selalu saja dapat mengelaknya. Dan hal itu benar-benar

diluar dugaan Iblis Baju Hitam.

Melihat serangannya selalu dapat dielakkan lawan,

Iblis Baju Hitam semakin kalap saat melancarkan

serangan. Tanpa terasa pertarungan itu telah melewati

delapan jurus, tapi ujung golok Iblis Baju Hitam belum

sempat menyentuh tubuh lawannya sedikit pun.

"Ha ha ha... ingat! Hanya tinggal dua jurus lagi Iblis

Baju Hitam. Apakah kau masih belum ingin menyerah?!"

Tongkat Maut Delapan Bayangan tertawa mengejek

mengingatkan lawannya.

"Huh! Jangan hanya pandai mengelak saja, Tongkat

butut! Ayo, balas seranganku kalau kau mampu," teriak

Iblis Baju Hitam sambil terus mempergencar serangan.

"Sembilan! Ha ha ha.... Tinggal satu jurus lagi, Iblis

Baju Hitam!"


"Bangsat!"

Pada jurus yang kesepuluh, Tongkat Maut Delapan

Bayangan berteriak sambil melempar tubuh ke belakang.

Kedua tangannya mendorong ke depan. Serangkum angin

dingin memapak serangan Iblis Baju Hitam.

Bresss!

"Aaaahhh...!"

Iblis Baju Hitam berseru tertahan ketika tubuhnya

yang gemuk itu terlempar akibat pukulan tenaga dalam

yang dilontarkan lawan. Tapi, tidak percuma ia

mengepalai para perampok di wilayah itu. Dengan

gerakan manis, tubuhnya berputar di udara untuk

kemudian mendarat empuk di tanah berumput. Meski

agak sedikit goyah, namun sama sekali tidak menga-lami

luka dalam berarti.

"Bagus...!" Tongkat Maut Delapan Bayangan ter-

paksa mengeluarkan pujian. Karena apa yang dilakukan

lawan benar-benar mengagumkan hatinya.

"Jangan takabur dulu, Tongkat Maut. Aku belum

kalah!" tegas Iblis Baju Hitam sambil bersiap

melanjutkan pertarungan.

"Baik! Nah, coba kau sambut seranganku ini!"

Setelah berkata demikian, tubuh Tongkat Maut

Delapan Bayangan melayang bagai seekor burung besar.

Kedua tangannya terkembang siap menerkam tubuh

lawan.

Sementara itu Iblis Baju Hitam menebaskan goloknya

ke arah lengan yang mencengkeram ubun-ubunnya.

Tongkat Maut cepat-cepat menarik pulang kedua

tangannya, laki mengirimkan tendangan ke dada lawan.

Plakkk! Desss!


Tubuh raja perampok itu terlempar bergulingan, la

memang berhasil menepak tendangan kaki kiri lawannya.

Namun tidak disangka kalau kaki kanan lawan tahu-tahu

telah hinggap di dadanya. Seketika darah segar

menyembur dari mulutnya karena tendangan itu demikian

cepat dan kuat, sehingga mengguncangkan isi dadanya.

Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu

telapak tangan lawan menghantam pipinya.

Demikian kuatnya tamparan Tongkat Maut Delapan

Bayangan menghantam, sehingga Iblis Baju Hitam

langsung terpelanting pingsan, setelah mengeluarkan

keluhan pendek dari kerongkongannya.

"Hmh!"

Tongkat Maut Delapan Bayangan mendengus pendek,

seraya menggerakkan kakinya mencongkel tubuh yang

tergolek lemah itu. Setelah mengambil tongkat berkepala

tengkoraknya, Tongkat Maut Delapan Bayangan

bergegas meninggalkan tepi hutan sambil membawa

tubuh Iblis Baju Hitam di bahu.

Beberapa saat kemudian, suasana pun kembali hening

dan sunyi. Hanya suara binatang-binatang malam yang

terdengar bersahut-sahutan. Rimba Gerantang tetap

mencekam menyimpan seribu misteri...!

* * *

Ki Jatar duduk termenung di kursi mendengarkan

penuturan Ragas. Kepala Desa Muara Bening itu

mengangguk-anggukkan kepalanya seolah dapat

menyelami perasaan pembantunya itu.


"Biar bagaimanapun, aku harus menuntut balas atas

kematian kakak seperguruanku, Ki!" Ragas menutup

keterangannya sambil mengepalkan tinjunya. Wajahnya

terlihat mengeras, seolah-olah keputusan yang diambil-

nya itu sudah tidak dapat ditawar lagi.

"Aku mengerti perasaanmu, Ragas. Tapi dengan

kepandaian yang kau miliki itu, sama saja mengantarkan

nyawa sia-sia. Ketahuilah, Ragas. Orang yang kita hadapi

ini bukan orang sembarangan. Entah itu iblis atau

manusia, kita belum mengetahui pasti. Karena, ia dapat

muncul tiba-tiba dan kemudian lenyap tanpa

meninggalkan bekas sedikit pun!" sergah Ki Jatar sambil

menasehati pembantunya.

"Aku tidak takut, Ki. Meskipun yang akan kuhadapi

itu iblis peminum darah sekalipun!" jawab Ragas

membandel.

Mendengar jawaban pembantunya, wajah Kepala

Desa Muara Bening itu memerah sekejap. Orang tua itu

menghela napas berulang-ulang untuk menenangkan

hatinya yang berdebar. Pelahan-lahan Ki Jatar bangkit

dari kursi, lalu melangkah menghampiri jendela.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Jatar

tanpa melepaskan pandangannya dari luar jendela.

Suaranya terdengar berat dan mengandung kesedihan.

"Aku akan meminta bantuan guruku untuk menumpas

Penghuni Rimbang Gerantang itu!"

"Maksudmu, Resi Bagawa...?" Tanya Ki Jatar lagi.

Namun, sebelum Ragas menjawab pertanyaan itu, tiba-

tiba seorang laki-laki melangkah tergopoh-gopoh masuk

ke dalam ruangan itu.

"Ada apa...?" tegur Ki Jatar dingin.


"Anu... anu, Ki. Ki Dewana ingin meninggalkan

desa...," jawab orang itu terbata-bata.

"Maksudmu dia ingin mengungsi?"

"Iya! Betul, Ki...."

"Hm... di mana sekarang?" kelihatan sekali kalau Ki

Jatar merasa gusar dengan adanya kejadian itu.

"Di perbatasan desa, Ki. Sedang ditahan Ki

Rambing!"

"Mari kita ke sana! Raga, ikut aku!" perintah Ki Jatar.

Meskipun langkahnya terlihat tak bersemangat,

namun Ragas tetap mematuhi perintah kepala desa itu.

Jelas sekali kalau dia mulai merasa tidak suka kepada Ki

Jatar sejak kematian kakak seperguruannya Itu.

Dan kini ketiga orang itu melarikan kudanya menuju

batas desa bagaikan dikejar setan. Debu mengepul tinggi

ketika tiga ekor kuda itu melintasi jalan berdebu. Tidak

beberapa lama kemudian, mereka pun tiba di perbatasan

desa.

"Berhenti!"

Suara bentakan Ki Jatar membahana, memisahkan

orang-orang yang tengah bertempur sengit itu. Mereka

pun segera melompat mundur ketika mengenali orang

yang baru datang itu.

Ki Jatar melompat turun dari atas kudanya, kemudian

melangkahkan kakinya ke arah sebuah kereta kuda yang

berada di tepi jalan. Kepalanya digerakkan sebagai

isyarat agar keempat orang yang mengawal kereta kuda

menyingkir dari tempat itu.

Empat orang tukang pukul Saudagar Dewana itu

sejenak ragu-ragu. Mereka berpaling sejenak ke arah laki-

laki brewok yang berada di dalam kereta kuda. Begitu si


brewok menganggukkan kepalanya, keempat orang itu

segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Ki Jatar

yang segera meneruskan langkah mendekati kereta.

* * *

TIGA


Ki Dewana, saudagar kaya yang tinggal di Desa

Muara Bening itu segera keluar dari dalam kereta.

Wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka

melihat kedatangan Ki Jatar.

"Ki Jatar! Apa maksudmu menyuruh orang-orangmu

untuk menghalangi kepergianku?!" Tanya Ki Dewana

langsung menegur Ki Jatar, yaitu kepala desanya keras.

Jelas sekali kalau sikapnya sudah tidak lagi menghormati

kepala desa itu. Padahal, keduanya sudah lama mengenal

baik.

Ki Jatar tertegun mendengar perkataan Ki Dewana.

Untuk beberapa saat lamanya pertanyaan itu tidak dapat

dijawab karena hatinya terlalu terkejut akan perubahan

sikap Ki Dewana. Pelahan ditarik napas panjang sambil

melepaskan pandangannya menatap cakrawala biru.

"Dewana! Seharusnya akulah yang bertanya

kepadamu. Mengapa kau berniat meninggalkan desa ini?

Apakah kau tidak mendengar kalau para pengungsi yang

telah lebih dulu pergi, telah ditemukan tewas di tengah

perjalanan? Apakah kau memang berniat hendak bunuh

diri?" Tanya Ki Jatar bertubi-tubi. Suaranya terdengar

pelan dan tak bersemangat.

"Bagiku hal ini lebih baik daripada menunggu giliran

anakku yang akan kau bawa untuk persembahan

Penghuni Rimba Gerantang itu! Sedangkan, kau tidak

pernah berbuat apa-apa untuk mencari selamat!" sahut Ki


Dewana tegas hingga membuat wajah Ki Jatar semakin

terlihat sedih dan kecewa.

Ki Jatar melemparkan pandangan ke dalam kereta

yang di situ terdapat istri dan anak gadis Ki Dewana.

Kedua orang wanita itu pun rupanya sedang menatapnya.

Dari sinar mata mereka, tergambar permohonan yang

mengharapkan pengertiannya. Hati orang tua itu tersentuh

melihat sinar mata bening gadis berusia enam belas tahun

yang cantik dan manis itu. Tanpa berkata apa-apa, Ki

Jatar membalikkan tubuhnya meninggalkan Ki Dewana

yang tersenyum penuh kemenangan.

"Biarkan mereka lewat!" perintah Ki Jatar kepada

penjaga perbatasan tanpa menolehkan kepalanya lagi.

Setelah berkata demikian, Ki Jatar melompat ke atas

punggung kudanya dan meninggalkan tempat itu.

Kelihatan sekali kalau hatinya merasa terpukul atas

kejadian itu. Karena sebagai kepala desa, ia sudah

dianggap tidak mampu untuk melindungi warganya.

Ragas dan Ki Rambing ikut pula melompat ke atas

pelana kuda masing-masing. Kemudian mereka bergegas

menyusul Ki Jatar setelah terlebih dahulu berpesan

kepada yang lain untuk tetap tinggal menjaga perbatasan

desa.

"Ki, apakah tidak sebaiknya kita mengirim utusan lagi

untuk menghadap adipati? Siapa tahu kali ini bernasib

mujur," usul Ragas ketika mereka sudah berjalan

berdampingan.

Ki Jatar menolehkan kepalanya sejenak kepada Ragas

yang berada di sebelah kirinya. Kerangnya berkerut

seolah-olah sedang mempertimbangkan usul yang

dikemukakan pembantunya itu. Beberapa saat kemudian,


dialihkan tatapannya ke arah Ki Rambing yang berada di

sebelah kanannya. Lalu, kembali menatap ke depan.

"Hhh.... Sudah dua kali utusan dikirim untuk

menghadap adipati, tapi kedua-duanya kembali dalam

keadaan sudah menjadi mayat. Entah, apakah ada lagi

orang yang bersedia diutus untuk melakukan tugas yang

berbahaya ini?" desah Ki Jatar seolah-olah berkata

kepada diri sendiri.

"Aku bersedia melakukan tugas itu, Ki," jawab Ragas

tanpa ragu-ragu lagi. Sedikit pun tidak nampak

kekhawatiran pada wajah pemuda berusia sekitar dua

puluh lima tahun itu.

Ki Jatar dan Ki Rambing kelihatan cukup terkejut

mendengar kata-kata Ragas itu. Keduanya saling

berpandangan sejenak. Bagaikan diperintah, mereka

sama-sama menoleh ke arah Ragas berbarengan.

"Sudah dipikirkan, apa yang kau ucapkan itu, Ragas?

Apakah kau sadar bahwa dengan menerima tugas itu

berarti harus mempertaruhkan nyawamu? Pikirkanlah

sekali lagi, dan pergunakanlah akal sehatmu!" ujar Ki

Jatar memberi nasehat.

"Sudah,. Ki. Dan aku rela mengorbankan nyawa demi

ketentraman desa ini," sahut Ragas mantap.

"Baiklah, kalau memang itu sudah menjadi

keputusanmu," kata Ki Jatar. Dan tanpa berkata apa-apa

lagi, orang tua itu segera menghentakkan kudanya

mendahului kedua pembantunya.

Sementara, Ki Rambing dan Ragas, bergegas pula

meng-hentakkan kudanya hingga menimbulkan kepulan

debu yang cukup pekat. Kini ketiga orang itu memacu

kudanya menuju rumah kediaman kepala desa.


Tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah

rumah besar yang terletak dekat balai desa. Ki Jatar

bergegas menambatkan kudanya dan langsung memasuki

rumah besar tempat kediamannya.

"Ragas, kau berangkatlah esok pagi! Dan hari ini aku

tidak ingin diganggu persoalan apa pun!" tegas Ki Jatar.

Setelah berkata demikian ia pun langsung memasuki

kamar semadi.

* * *

Matahari semakin naik tinggi. Sinarnya yang

berwarna kuning keemasan itu memancar terik, hingga

terasa menyengat kulit. Dan dalam siraman sinar

matahari itu, tampak sebuah kereta kuda yang dikawal

empat orang berkuda melintas menyusuri jalan berbatu.

Suara roda kereta berderak-derak karena jalar yang dilalui

itu benar-benar sukar.

"Laksa, mengapa kita tidak mengambil jalan lain

saja?" Terdengar teguran serak yang berasal dari dalam

kereta.

Orang yang dipanggil Laksa itu bergegas

menghampiri kereta. Ia adalah seorang laki-laki berusia

sekitar empat puluh tahun. Wajahnya kemerahan dengan

bintik-bintik keringat yang menghias dahi dan pelipis.

Sikapnya terlihat tenang sebagaimana sikap seorang yang

penuh percaya diri.

"Hanya jalan inilah yang paling dekat, Tuan. Sedang

jalan lain memakan waktu berhari-hari untuk sampai ke

tempat tujuan, Tuan," jawab Laksa ketika sudah berada di

samping jendela kereta.


"Berapa lama lagi akan sampai?" Tanya orang itu lagi

sambil menjulurkan kepalanya melalui jendela kereta.

Sejenak sepasang mata saudagar yang tak lain dari Ki

Dewana itu merayapi sekitarnya.

"Kalau tidak ada halangan, paling tidak esok malam

sudah sampai di tempat tujuan, Tuan," jawab Laksa lagi.

"Apa maksudmu dengan halangan itu, Laksa?" Ki

Dewana mengerutkan keningnya tak senang mendengar

keterangan tukang pukulnya itu. Tampak kekhawatiran

terbayang di wajahnya yang bulat itu.

"Ah! Maaf, Tuan. Maksudku, apabila kereta ini tidak

mengalami kerusakan atau paling tidak seperti Itulah,"

sahut Laksa cepat. “Permisi, Tuan. Aku akan memeriksa

jalan didepan."

Setelah berkata demikian, Laksa yang menjadi kepala

centeng Ki Dewana itu bergegas menghentak tali kekang

kuda meninggalkan kereta.

Laksa melarikan kudanya hingga beberapa ratus

tombak didepan. Sepasang matanya berputar merayapi

sekitar tempat itu. Jalan didepan nampak lebih rata

meskipun masih banyak terdapat batu cadas berserakan.

Kepalanya menoleh ketika mendengar suara kaki kuda

mendatangi dari arah belakang.

"Ada apa, Gardi? Kau nampak gelisah?" tegur Laksa

ketika penunggang kuda yang tak lain adalah kawannya

itu datang mendekat.

"Entahlah, Kakang. Rasanya perasaanku tidak enak

sekali hari ini. Hm... Apakah di daerah ini pernah terjadi

perampokan?" entah kenapa, tiba-tiba saja orang yang

dipanggil Gardi itu bertanya demikian kepada Laksa.


Pertanyaan kawannya itu tidak langsung dijawab

Laksa, la hanya menatap wajah Gardi penuh selidik,

solah-olah ingin mencari apa yang telah menyebabkan

kawannya berpikir demikian. Sejurus kemudian,

dialihkannya pandangannya disertai tarikan napas berat.

"Hm.... Sepanjang pengetahuanku, jalan ini termasuk

yang paling aman di antara jalan-jalan lain. Karena, jalan

ini hampir tidak pernah dilalui pedagang atau pun

saudagar yang hendak bepergian. Itulah sebabnya,

mengapa aku lebih suka melewati jalan ini daripada jalan

yang lain. Jadi, rasanya pemikiranmu itu tidak beralasan,"

tegas Laksa menjawab pertanyaan kawannya. Meskipun

sebenarnya agak terpengaruhi ucapan Gardi, namun ia

berusaha menyembunyikannya.

Baru saja Laksa menyelesaikan kata-katanya, tiba-

tiba terdengar lengkingan yang mirip siulan. Suara itu

kemudian disusul siulan-siulan lain sehingga suasana

yang semula sunyi itu menjadi ramai.

"Suara apa itu, Kang?" Tanya Gardi yang tertihat

semakin gelisah ketika mendengar siulan yang bersahut-

sahutan itu.

"Ah! Mungkin hanya suara binatang hutan saja. Ayo

kita kembali!" sergah Laksa yang segera memacu

kudanya ke arah kereta majikan mereka.

"Laksa! Kau dengar suara tadi?" Tanya Ki Dewana

sambil menjulurkan kepala ketika pengawalnya itu sudah

berada di samping kereta.

"Hanya suara burung-burung hutan, Tuan."

"Hhh...," Ki Dewana menarik napas lega sambil

menyenderkan kepalanya ke bantalan tempat duduk

kereta itu. Laki-laki gemuk brewok itu memejamkan


matanya, seolah-olah ingin menghilangkan pikiran-

pikiran buruk yang memenuhi benaknya.

"Kakang, lihat! Apa itu yang menghalangi jalan?!"

tiba-tiba Gardi berseru keras sambil menunjuk sebuah

benda yang melintang menghalangi jalan kira-kira dua

ratus tombak di depan

"Biar kulihat!" sahut Laksa langsung menggeprak

kudanya mendekati benda itu. "Heran, mengapa aku tadi

tidak melihatnya?" pikir Laksa ketika mendekati benda

melintang yang ternyata adalah sebuah pohon roboh yang

menghalangi jalan.

Kepala centeng Ki Dewana itu bergegas melompat

turun dari atas punggung kuda, dan berdiri menanti yang

lain. Laksa meneliti keadaan sekitar, kalau-kalau dapat

menemukan penyebab robohnya pohon besar itu. Hatinya

menjadi curiga ketika tidak melihat adanya sebuah pohon

pun yang roboh. Pohon yang berjajar di tepi jalan itu

masih berbaris utuh dan tidak ada satu pun yang

tumbang.

"Aneh! Kalau begitu, dari mana datangnya pohon

besar ini?" gumam Laksa tak habis mengerti. Wajahnya

mendadak menegang merasakan keanehan itu. Diam-

diam tangannya bergerak meraba gagang pedang yang

tersembul dari batik bajunya. Nalurinya mengatakan

kalau ada bahaya mengancam sedang mengintainya.

Gardi yang telah sampai di tempat itu segera

membantu Laksa menyingkirkan batang pohon yang

menghalangi jalan. Sementara dua orang lainnya berjaga-

jaga dengan senjata terhunus. Namun sampai batang

pohon itu disingkirkan ke tepi jalan, tidak ada satu pun

kejadian yang seperti mereka pikirkan.


Kini kereta itu kembali melaju menapaki jalan yang

mulai rata dan berkelok-kelok. Sampai sejauh itu, mereka

tetap aman tanpa mengalami satu gangguan pun. Untuk

sementara rombongan kecil itu dapat menarik napas lega.

Baru sesaat merasa tenang, mendadak terdengar suara

mendesing tajam yang menuju arah mereka.

Cappp!

Suara berdesing yang ternyata ditimbulkan sebatang

tombak itu dielakkan Laksa. Senjata itu tidak mengenai

sasaran, dan menancap pada sebatang pohon yang berada

di sebelah kiri. Belum lagi mereka dapat berbuat sesuatu,

tiba-tiba kuda-kuda mereka tersungkur akibat tertancap

anak panah pada batang leher. Maka empat ekor kuda

yang ditunggangi centeng-centeng Ki Dewana, langsung

mati.

Sementara empat centeng yang kudanya tersungkur

langsung melesat, dan melakukan salto di udara. Dan

mereka mendaratkan kaki di atas jalan berbatu itu tanpa

mengalami cidera sedikit pun, dan langsung menghunus

senjata masing-masing. Gerakan mereka terlihat sigap

dan terlatih baik sebagaimana layaknya orang-orang yang

memiliki kepandaian.

Diiringi siulan-siulan nyaring, enam sosok tubuh

berlompatan keluar dari balik semak-semak di tepi jalan.

Mereka yang rata-rata mengenakan baju dan celana

berwarna putih itu berdiri tegak dalam jarak tiga tombak

di hadapan Laksa dan kawan-kawannya.

"Ha ha ha...! Rupanya kalian ingin coba-coba

melarikan diri! Kalian keliru kalau berpikir dapat

menghindar dari kekuasaan Penghuni Rimba Gerantang!"

tiba-tiba terdengar suara tawa yang berkepanjangan.


Dan tahu-tahu dari arah belakang kereta berjalan

menghampiri seorang laki-laki gemuk dan agak pendek

yang mengenakan pakaian serba hitam. Orang itu tak lain

adalah Iblis Baju Hitam yang rupanya sudah menjadi kaki

tangan Penghuni Rimba Gerantang.

"Ragapati! Apa maksudmu menghadang perjalanan

kami?" tegur Laksa yang rupanya sudah mengenal Iblis

Baju Hitam itu.

"Ha ha ha.... Jangan berlagak bodoh, Laksa!

Bukankah kau sedang mengungsikan seorang dara cantik

yang akan jadi persembahan bagi Penghuni Rimba

Gerantang?" Iblis Baju Hitam yang ternyata bernama

Ragapati itu tertawa mengejek. Sementara, kakinya terus

melangkah mendekati kereta tempat Ki Dewana dan

keluarganya berada.

"Bangsat! Tidak semudah itu untuk dapat meng-

ganggu majikan kami, Iblis Baju Hitam. Langkahi dulu

mayatku!" bentak Laksa sambil melompat menghadang

langkah Ragapati yang hendak mendekati kereta. Dan

tanpa banyak cakap lagi langsung digerakkan senjatanya

seraya menerjang Iblis Baju Hitam yang hanya tertawa

penuh ejekan.

"Anak-anak! Rampas gadis anak saudagar itu, dan

bawa menghadap ketua!" perintah Ragapati kepada enam

orang berseragam putih yang segera melompa mematuhi

perintah.

"Jangan terburu nafsu, Kisanak!" tegas Gardi.

Pemuda itu bersama tiga orang lainnya serentak meng

hadang. Tanpa basa-basi lagi ketiga orang centeng Ki

Dewana itu segera menerjang enam orang berjubah putih

yang mencoba mengganggu majikannya itu.



Sesaat kemudian, mereka pun segera terlibat dalam

pertarungan berat sebelah. Enam orang berseragam putih

itu ternyata rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup

tinggi. Dalam beberapa jurus saja tiga orang centeng Ki

Dewana itu terdesak hebat! Sehingga mereka harus

mengerahkan seluruh kemampuan untuk dapat meng-

imbangi permainan lawan.

Dua orang berseragam putih bergegas meninggalkan

tiga orang centeng yang tengah bertarung melawan empat

orang lainnya. Kedua orang itu melompat ke arah kereta.

Sang kusir yang mencoba menyelamatkan majikannya,

terpaksa harus rela melepaskan nyawa akibat tebasan

golok salah seorang berpakaian putih itu. Kusir yang

gagah itu terguling roboh bermandikan darah.

Salah seorang berseragam putih itu bergegas menarik

pintu kereta. Ki Dewana yang menyadari adanya bahaya,

mencoba menyelamatkan putrinya yang diseret keluar

oleh salah seorang dari mereka. Namun, saudagar itu

benar-benar tak berdaya karena sama sekali tidak

mengerti ilmu silat itu. Sekali orang berseragam putih itu

menggerakkan senjatanya, tubuh Ki Dewana langsung

terguling mandi darah. Di punggung saudagar itu terdapat

luka memanjang akibat tebasan pedang lawan.

"Ayah...! Oh... tolooonggg...! Lepaskan aku! Kalian

manusia-manusia biadab! Lepaskan! Paman Laksa,

tolooonggg...!" Putri Ki Dewana itu berteriak-teriak dan

meronta-ronta dalam pondongan orang itu.

Laksa menggigit bibirnya melihat kejadian itu.

Masalahnya, dia sendiri tengah berusaha mati-matian

menyelamatkan diri dari ancaman tangan maut Iblis Baju

Hitam yang memang memiliki kepandaian tinggi.


Beberapa bagian tubuhnya tampak terluka dan

mengeluarkan darah akibat jari-jari tangan lawan.

Dua orang berseragam putih yang memondong gadis

itu terus melarikan diri ke dalam hutan. Teriakan-teriakan

gadis itu kian melemah karena rasa takut dan ngeri

memenuhi hatinya.

"Ah, gadis itu cantik sekali. Sayang sekali ketua

sangat membutuhkannya. Kalau tidak... hm...," ujar salah

seorang dari mereka yang rupanya merasa tergiur melihat

kecantikan gadis itu.

"Jangan berpikir yang bukan-bukan, kalau kau masih

menyayangi kepalamu!" bentak kawannya yang membuat

orang itu terdiam seketika.

Belum lagi jauh memasuki hutan, tiba-tiba keduanya

menghentikan langkah. Di hadapan mereka tampak

berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah

dan celana putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan

tergerai lepas. Tampak sehelai kain yang juga berwarna

putih menghias kepalanya. Wajahnya terlihat tenang.

Sebuah senyuman ramah menghias wajahnya. Siapa lagi

pemuda itu kalau bukan Panji yang berjuluk Pendekar

Naga Putih.

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu hanya

berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Mereka terkejut ketika melihat pakaian pemuda itu yang

mirip dengan pakaian para pemimpinnya. Kedua orang

itu menjadi ragu-ragu karena merasa khawatir kalau-

kalau pemuda itu adalah salah seorang pemimpin mereka.

Memang, selama ini mereka jarang sekali bertemu para

pemimpinnya. Bahkan juga tidak mengenal semuanya.


"Siapa... siapa kau, Kisanak...?" Tanya salah seorang

dari mereka takut-takut. Kelihatan sekali kalau dua orang

itu begitu hormat kepada Panji.

Pendekar Naga Putih berpikir cepat. Ketika melihat

keraguan yang tergambar pada wajah kedua orang itu, ia

segera dapat menerka kalau kedua orang itu pastilah

anggota suatu perkumpulan yang selalu mengenakan

pakaian serba putih. Dan pastilah mereka, hanya anggota

biasa yang tidak begitu mengenal para pimpinannya.

Mendapat pemikiran demikian, Panji segera merubah

sikap dan wajahnya. Sejurus kemudian, wajahnya yang

semula selalu tersenyum ramah itu mendadak dingin, den

senyumnya seketika lenyap.

"Hm... Kalian tidak mengenali aku?" ujar Panji

dengan suara serak dan mengandung ancaman. Sepasang

matanya mencorong tajam menyiratkan hawa kematian.

"Maafkan kami, Tuan Muda...? Kami memang bodoh

tidak tapit mengenali Tuan Muda!" ucap kedua orang

berpakaian serba putih itu langsung menjatuhkan dirinya

dan berkutut di hadapan Panji setelah terlebih dulu

meletakkan tubuh gadis itu ke atas tanah berumput.

Mereka memang sudah mengetahui kalau para

pimpinan mereka rata-rata kejam dan tak kenal ampun.

Tentu saja mereka khawatir kalau sosok berjubah putih

itu adalah salah seorang pimpinan mereka yang selalu

menurunkan tangan kejam. Maka mereka langsung

berlutut dan meminta maaf.

"Tinggalkan gadis itu, dan teruskan pekerjaan kalian!

Cepat..!" sentak Panji menggelegar sehingga membuat

kedua orang itu lari terbirit-birit meninggalkan tawanan-

nya.


Sepeninggal kedua orang itu, Panji tersenyum geli.

Sungguh tidak diduga sama-sekali kalau dua orang ber-

seragam putih itu demikian mudah dibohongi. Dengan

wajah masih tersenyum, pemuda itu membungkuk

memeriksa tubuh gadis itu. Hatinya menjadi lega ketika

mendapati gads itu hanya pingsan dan tidak mengalami

luka sedikit pun.

"Uuuhhh...."

Gadis itu merintih lirih setelah Panji mengurut bagian

belakang lehernya yang disertai sedikit pengerahan

tenaga dalam. Pelahan-lahan matanya terbuka. Dan ketika

pandangannya tertumbuk pada seorang pemuda yang

tengah berjongkok di sisinya, dia bergegas bangkit.

Wajahnya kembali pucat dibayangi rasa takut.

"Oooh, tidak..! Jangan...!" Gadis itu melangkah

mundur sambil berteriak-teriak lemah. Air matanya

mengalir membasahi pipi yang halus itu.

"Jangan takut, Nini. Aku tidak akan menyakitimu.

Ceritakanlah apa yang terjadi denganmu? Aku

menemukanmu tengah tergeletak pingsan di sini. Dan

kalau aku bermaksud jahat, mengapa harus menunggumu

sadar?" ujar Panji memberi alasan disertai senyum ramah.

Putri Ki Dewana itu tertegun sejenak ketika

mendengar keterangan pemuda tampan di hadapannya.

Ditatapnya wajah Panji seolah ingin menemukan

jawabannya di wajah itu. Keraguan mulai sirna di wajah

gadis itu ketika melihat bahwa wajah pemuda itu sama

sekali tidak menggambarkan watak jahat.

'Tapi, mengapa kau ada di sini? Apalagi pakaianmu

sama dengan pakaian mereka!" sahut gadis itu gagap.

Biar bagaimanapun ia masih belum percaya akan


keterangan pemuda di depannya. Siapa tahu pemuda itu

tengah bersiasat.

"Hm... baiklah! Sebenarnya begini...." Panji lalu

menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Lalu, ke mana perginya ke dua orang itu?"

"Entahlah? Aku hanya menyuruh mereka untuk

meneruskan pekerjaannya."

"Kalau benar ceritamu, kau harus cepat menolong

ayahku!" seru gadis itu tersenyum di antara tangis dan

kecemasan hatinya karena mendengar cerita Panji yang

lucu dalam menolongnya tadi.

* * *


EMPAT


Pendekar Naga Putih dan putri Ki Dewana bergegas

keluar dari dalam hutan. Panji diam saja ketika tangannya

ditarik, lalu diajak berlari oleh gadis itu. Diam-diam

hatinya merasa suka kepada gadis yang periang dan

mudah bersahabat itu Namun dibalik itu semua tetap saja

hatinya terpukul atas musibah yang dialami ayahnya.

Sementara itu, suara-suara orang bertempur kian jelas

terdengar. Denting senjata ditingkahi suara teriakan-

teriakan dan bentakan yang membahana, membuat gadis

itu semakin mempercepat larinya. Namun di antara suara-

suara itu, terdengar suara rintihan, yang cukup menyayat.

"Oooh...! Tolooonggg... lepaskan aku binatang!"

Perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun

tengah berteriak-teriak dalam pelukan seorang berpakaian

putih yang menciumi penuh nafsu. Sebagian baju wanita

itu sudah sobek di sana-sini, sehingga menampakkan

kulitnya yang putih mulus.

"Ibu...! Kakang Panji, tolong ibuku!" Teriak gadis itu

yang rupanya sudah saling berkenalan dengan Pendekar

Naga Putih. Putri Ki Dewana benar-benar kalut melihat

ibunya tak berdaya dibawah cengkeraman laki-laki penuh

nafsu iblis itu.

'Tenanglah, Adik Ratna. Diamlah di sini! Dan jangan

pergi dari tempat ini, sampai aku kembali!" Tegas Panji

tenang. Sesat kemudian, gadis yang ternyata bernama

Ratna ini hanya melihat sesosok bayangan putih yang

berkelebat dari sampingnya. Gadis itu terkejut, namun


senakin kagum kepada pemuda penolongnya itu.

Pendekar Naga Putih melesat cepat ke arah orang yang

tengah liar menjelajahi tubuh wanita itu.

"Aaahhh...!

Entah bagaimana, laki-laki yang tengah menindih istri

Ki Dewana itu seketika melambung dan terbanting keras

di atas tanah berbatu. Orang itu langsung diam tak

bergerak karena lehernya patah akibat cengkeraman

tangan Panji yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Kejadian itu berlangsung hanya sekejap mata saja,

sehingga laki-laki yang berseragam putih yang tidak jauh

dari situ menjadi kebingungan. Ternyata tahu-tahu di

dekat wanita yang hendak digagahi berdiri seorang

pemuda tampan, nengenakan jubah putih.

"Menepilah Nianak. Biar kuhadapi manusia-manusia

buas ini,” ujar Panji sambil menatap orang di depannya

lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam menimbul-

kan perbawa yang menggetarkan hati.

"Sssiaaapaa... Kau...?" Tanya orang itu gemetar

karena telah melihat kedahsyatan cengkeraman pemuda

berjubah putih. Apalagi saat itu Pendekar Naga Putih

menatap tajam, begitu menusuk. Orang itu pun juga

terkejut melihat pakaian pemuda itu yang mirip pakaian

para pemimpin mereka.

"ru... Siapa aku, bukan urusanmu. Sekarang bersiap-

lah melawat ke neraka!" ucap Pendekar Naga Putih

dingin.

Setelah berkata demikian, tangan pemuda itu terulur

mengancam tenggorokan lawan. Gerakannya terlihat

lambat dan asal jadi saja. Namun tidak demikian yang

dirasakan lawannya. Uluran tangan Panji yang mengarah


ke leher orang itu masih tetap mengancam meskipun

pedangnya telah beberapa kali menebas. Setiap kali

menebas, setiap kali itu pula lengan Pendekar Naga Putih

berputar mengelak, untuk kemudian meluncur kembali

mengancam leher. Hingga akhirnya, orang itu pasrah

ketika jari-jari tangan Panji mencengkeram lehernya.

Terdengar sebuah keluhan pendek ketika jari-jari

Pendekar Naga Putih meremas leher lawannya. Maka

orang itu pun tewas seketika karena tulang lehernya

patah!

"Bangsat! Rupanya kau yang mengelabui kami, Anak

Muda! Siapa kau sebenarnya?! Dan di mana gadis itu

ctiambunyikan?" Bentak salah seorang laki-laki

berpakaian putih yang tadi berjumpa Panji pada saat

orang itu tengah melarikan putri Ki Dewana.

"Tidak perlu banyak bicara! Majulah kalau memang

berani!" tantang Panji tersenyum tenang.

"Kurang ajar! Kau sengaja mencari mampus,

Kisanak! Nah, mampuslah! Hiaaatt...!"

Dibarengi teriakan keras, oraig itu segera menerjang

Panji yang diikuti tiga orang larinya. Rupanya ketiga

orang centeng Ki Dewana telah tewas saat membela

majikannya. Dan kini keempat orang itu bergerak

mengeroyok Panji.

Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan di antara

sambaran senjata lawan-lawan yang berdesingan di

sekitar tubuhnya. Pemuda itu tak ubahnya seekor naga

putih yang sedang bermain-main di angkasa. Tubuhnya

kadang-kadang merendah menghindari serangan lawan,

dan dilain saat melambung melampaui kepala lawan-

lawannya. Sehingga hampir sepuluh jurus berlalu, tak


satu pun senjata lawan yang berhasil menyentuh

tubuhnya.

Tentu saja hal itu membuat enpat orang lawannya

semakin marah dan penasaran. Dan mereka pun semakin

mempercepat serangan-serangan.

Pada jurus kesepuluh, Panji berniat menyudahi

permainannya. Ketika dua buah jedang lawan membacok

dari atas ke bawah, tuluhnya cepat-cepat mengegos, lalu

melangkah ke kiri. Setelah itu, dijejakkan kedua kakinya

ke tanah hingga tubuhnya seketika melambung dengan

posisi kaki di atas. Dan sebelum kedua orang lawannya

sadar akan apa yang terjadi, tahu-tahu saja punggung

mereka bagai dihantam sebuah palu godam yang besar

dan berat!

Bukkk! Desss!

"Huakkk..!"

Kedua orang itu tersungkur sambil memuntahkan

darah segar akibat hantaman tangan Panji. Mereka

berkelojotan sesaat, kemudian diam tak berkutik Mereka

mati dengan tulang punggung remuk.

Dua orang berseragam putih lainnya melompat

mundur ketika melihat kawan-kawan mereka telah tewas

akibat pukulan pemuda itu. Wajah keduanya memucat

karena tidak menyangka kalau pemuda yang dikeroyok

itu ternyata memiliki kepandaian tinggi.

Meskipun kegentaran telah menyelimuti hati, namun

mereka sudah bersiap menyerang kembali. Sambil

berteriak parau, keduanya segera menerjang Pendekar

Naga Putih. Bergegas pemuda itu menggerakkan

tubuhnya menyelinap di antara dua batang pedang yang

hendak menebas. Dan pada saat tubuhnya di antara kedua


lawannya, Panji mengembangkan kedua tangan dengan

siku tertekuk yang telah mendarat di lambung lawan-

lawannya.

Bukkk! Bukkk!

"Hukkk...!"

Dua orang berseragam putih itu terhuyung ke depan

sambil meringis menahan sakit pada lambung. Cairan

merah mengalir dari celah-celah bibirnya. Dan selagi

mereka terhuyung-huyung, tubuh Panji berputar setengah

lingkaran melepaskan sebuah tendangan terbang yang

sekaligus menghantam rahang lawan.

Seketika, dua orang berseragam putih yang naas itu

terjungkal akibat tendangan maut yang dilepaskan

Pendekar Naga Putih. Mereka meraung menahan sakit

yang luar biasa karena tulang rahang telah remuk. Sesaat

kemudian mereka sudah diam tak bergerak, pingsan!

Bruggg!

Tiba-tiba sesosok tubuh tegap melayang dan hampir

menimpa tubuh Panji kalau saja tidak segera dihindari-

nya. Orang itu merintih menahan sakit, karena tubuhnya

telah dipenuhi tetesan darah di sana-sini. Meskipun

demikian, ia masih tetap berusaha untuk bangkit.

Ternyata dia adalah Laksa, kepala centeng Ki Dewana

yang bertarung melawan Ragapati atau Iblis Baju Hitam.

Rupanya meskipun mengetahui kalau kepandaian

Iblis Baju Hitam tidak mungkin dapat tertandingi, namun

Laksa berusaha mati-matian menyelamatkan nyawa

majikannya sekeluarga. Walaupun akhirnya dia hanya

menjadi bulan-bulanan Iblis Baju Hitam, kepala centeng

itu tidak peduli. Memang, Iblis Baju Hitam paling suka

menyiksa lawan sebelum akhirnya terbunuh. Itulah


sebabnya, mengapa sampai sejauh itu Laksa sampai saat

ini masih saja belum dibunuh Iblis Baju Hitam itu.

Panji bergegas membungkuk dan menekan pundak

Laksa agar tidak segera bangkit. Dari jari-jari tangannya

keluar hawa murni yang membuat luka-luka yang diderita

Laksa tidak terlalu menyiksa.

"Telanlah pil ini, dan beristirahatlah Paman. Biar aku

yang akan menghadapi orang itu," kata Panji sambil

menyerahkan sebutir pil yang berwarna putih bagaikan

kapur. Setelah berkata demikian Panji memalingkan

kepalanya, menatap tajam Iblis Baju Hitam.

"Hati-hatilah, Kisanak Iblis Baju Hitam memiliki

kepandaian tinggi!" sahut Laksa memperingatkan.

"Terima kasih, Paman. Mudah-mudahan dapat ku-

atasi," jawab pemuda itu merendah. Kemudian, pemuda

itu melangkah kakinya menghampiri Ragapati yang

tengah memandang dalam jarak sekitar empat tombak

"Siapa kau, Anak Muda?! Menyingkirlah sebelum

aku kehilangan kesabaranku!" bentak Iblis Baju Hitam

meremehkan keberadaan Panji.

"Aku adalah orang yang paling tidak suka melihat

kejahatan berlangsung didepan mataku. Maka,

kusarankan agar secepatnya meninggalkan tempat ini

sebelum segalanya menjadi terlanjur," ujar Panji tak

kalah gertak.

"Setan! Rupanya kau sengaja ingin mencari penyakit,

Anak Muda!" malu Ragapati geram. Sungguh tidak

disangka kalau anak muda itu sedemikian berani

membalikkan kata-katanya.


"Hm.... Siapa yang ingin mencari penyakit? Kau atau

aku, orang Tua?" Balas Panji tersenyum membangkitkan

kemarahan Ragapati.

"Heh! Tahukah kau, sekarang ini berhadapan dengan

siapa?" Tanya Iblis Baju Hitam memancing. Sementara

dadanya sudah terasa panas bagaikan terbakar karena

menahan amarah.

"Ha ha ha...! Siapa yang tidak kenal Iblis Baju Hitam

yang namanya tersohor di kolong langit sebagai penjahat

kelas rendah?!"

"Setan belang!" Bentak Ragapati murka. Kalau saja

pemuda itu belum mengenal namanya, itu masih bisa

dimaklumi. Tapi pemuda itu bukan saja telah mengenal,

bahkan begitu berani memaki sebagai penjahat rendah.

Dapat dibayangkan betapa murkanya Iblis Baju Hitam.

"Kurobek mulut lancangmu itu, Anak Muda!" Setelah

berkata demikian tubuh Ragapati melesat dengan sebuah

serangan berbahaya.

Wuttt!

Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kuda, maka

serangan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu

langsung membalas dengan sebuah tamparan menuju

kepala lawannya. Iblis Baju Hitam menarik kepala ke

belakang sehingga tamparan Panji menyambar tempat

kosong. Namun sayang Iblis Baju Hitam terlalu

memandang rendah pemuda itu. Maka ketika Panji

menyusuli dengan sebuah tendangan, akibatnya....

Bukkk!

Meskipun tendangan yang dilakukan Panji tidak

terlalu keras, tapi cukup membuat tubuh Ragapati terjajar


sejauh enam langkah. Iblis Baju Hitam meringis sambil

mengusap lambungnya yang terasa nyeri.

"Huh! Pantas saja kau berani bersikap kurang ajar

padaku. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian!"

Geram Iblis Baju Hitam menahan sakit. Hatinya merasa

penasaran sekali karena dalam segebrakan saja telah

kecolongan. Dan itu benar-benar diluar dugaannya sama

sekali.

"Hm...," gumam Panji pelan. Ia memang sudah tidak

bernapsu untuk melayani ucapan lawan.

"Jangan merasa takabur dulu, Anak Muda! Aku

belum bersungguh-sungguh tadi. Nah, sekarang bersiap-

lah!" ancam Ragapati tegas. Setelah berkata demikian,

dipersiapkan ilmu andalan yang sangat dibanggakannya.

Ilmu 'Menghalau Barisan Seratus Golok ' itu.

Iblis Baju Hitam cepat menggerakkan golok panjang-

nya secara bersilangan hingga menimbulkan kilatan sinar

putih. Kala kirinya ditarik ke belakang sambil meng-

acungkan golok di atas kepala. Disertai sebuah teriakan

parau, tubuhnya meluncur cepat melancarkan serangan

bertubi-tubi.

Panji melebarkan senyum ketika melihat lawannya

ternyata memiliki ilmu yang cukup bermutu. Memang

diakui kalau ilmu itu cukup berbahaya. Hanya saja, ilmu

itu tidak dilatih sempurna hingga masih terlalu banyak

kelemahan pada pertahanannya.

Meski gerakan Iblis Baju Hitam sangat cepat, tapi

masih kelihatan lambat di mata pemuda itu. Kedua

matanya yang memang sangat tajam itu mudah

menemukan beberapa kelemahan pada gerakan lawan.


Itulah sebabnya, mengapa serangan Ragapati yang

bertubi-tubi itu mudah sekali dielakan.

"Hm.... Sayang, gerakanmu masih terlalu lambat dan

belum terlatih secara sempurna, Iblis Baju Hitam!" Jelas

Panji sejujurnya tanpa bermaksud menghina. Sedangkan

tubuhnya terus bergerak menghindari sebuah tebasan

yang mengancam lambung, dan langsung melancarkan

tamparan kilat ke bahu lawan.

Desss!

"Uuuhhh...!" Tubuh Iblis Baju Hitam melintir ketika

tamparan tangan itu mendarat di bahunya. Untuk

beberapa saat, tangan kanannya itu sempat lumpuh dan

tergantung lemas. Pada saat itu juga tubuh Panji sudah

melesat disertai tamparan ke pelipis.

Prakkk!

"Aaahhhkkk...!"

Iblis Baju Hitam tak sempat lagi mengelakkan

tamparan maut itu. Ia memekik tertahan, dan terguling

roboh. Ragapati atau Iblis Baju Hitam tewas seketika

karena kepalanya pecah akibat tamparan yang

mengandung tenaga dalam tinggi. Seketika darah

menggenangi tanah berbatuan itu.

Setelah memastikan kalau lawannya benar-benar

tewas, Panji bergegas melangkah ke arah kereta berkuda.

Disana, Ki Dewana yang telah terluka parah dan tengah

berkumpul menanti bersama istri, anak dan pembantunya.

Wajah keempat orang itu mulai bersinar cerah ketika

melihat pemuda itu berhasil membunub iblis Baju Hitam

yang terkenal sadis dan kejam itu.

“Terima kasih, Kakang Panji. Tidak dapat kubayang-

kan, apa yang akan terjadi pada diriku apabila Kakang


tidak datang menolong. Mungkin saat ini aku sudah

berada dalam cengkeraman Penghuni Rimba Gerantang

itu. Hiii...! Betapa mengerikan!" Ucap Ratna yang segera

menyambut hangat kedatangan Pendekar Naga Putih.

Gadis itu tidak malu-malu lagi menggandeng tangan

Panji, dan menuntun ke arah kedua orang tuanya.

Ki Dewana dan istrinya hanya dapat menggeleng-

gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Sikap manja

gadis itu benar-benar membuat suasana di antara mereka

menjadi kecanggungan. Diam-diam timbul niat di hati

saudagar kaya itu untuk menjodohkan anak gadisnya

dengan pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.

"Ayah! Ini Kakang Panji yang menolong kita.

Kepandaiannya tinggi sekali, Ayah! Pantas saja orang-

orang jahat itu tidak ada yang mampu melawannya,"

lapor gadis itu kepada Ki Dewana yang hendak bangkit

menyambut pemuda itu.

"Beristirahatlah dulu, Paman Luka di punggung

Paman masih mengeluarkan darah. Kalau Paman tidak

keberatan, akan kucoba untuk mengobati luka itu," ujar

Panji yang segera mencegah Ki Dewana agar tetap duduk

di tempatnya.

"Ah, terima kasih. Silakan, Nak Panji...."

Bergegas Panji mengeluarkan sebungkus obat bubuk

berwarna kuning dari dalam buntalan pakaian. Sigap

sekali Pendekar Naga Putih mengobati Ki Dewana dan

Laksa. Keduanya merasakan ada hawa dingin yang

menyelusup ketika bubuk berwarna kuning itu ditaburkan

Panji di atas luka-luka yang diderita. Beberapa saat

kemudian mereka tidak lagi merasakan nyeri pada luka


itu. Tentu saja keduanya menjadi gembira, dan semakin

bertambah kagum terhadap pemuda itu.

"Wah! Obat lukamu mujarab sekali, Panji. Rupanya

selain memiliki kepandaian silat, kau juga ahli dalam

pengobatan! Bukan main...," seru Laksa kagum.

"Wah, wah, wah...! Sudah, Paman. Sudah! Bisa-bisa

kepalaku nanti menjadi besar mendengar pujian yang

berlebihan itu. Oh, ya. Apakah Ki Dewana ingin

meneruskan perjalanan?" Tanya Panji mengalihkan

percakapan, la tidak lagi memanggil saudagar itu dengan

sebutan Paman, ketika Ratna telah memperkenalkan

nama orang tuanya itu.

"Tentu saja akan tetap meneruskan perjalanan, Nak

Panji. Karena biar bagaimanapun, aku harus menyelamat-

kan Ratna dari jangkauan Penghuni Rimba Gerantang

yang biadab itu!" sahut Ki Dewana.

"Jadi, Ki Dewana sengaja mengungsi?" Tanya Panji

ingin meminta penegasan.

"Ya! Karena di Desa Muara Bening tempat kami

tinggal, telah dikuasai pengaruh iblis. Dan pada setiap

bulan purnama, penduduk desa harus mempersembahkan

tiga orang perawan suci kepada Penghuni Rimba

Gerantang. Maka aku terpaksa mengungsi untuk me-

nyelamatkan anakku dari kebiadabannya. Tapi rupanya

iblis itu telah mengetahui, sehingga mengirimkan para

pembantunya untuk merampas anakku dan membunuhku.

Untunglah kedatanganmu tepat pada saatnya, Nak Panji.

Dan kini, kami sekeluarga dapat kau selamatkan. Aku

tidak tahu dengan apa harus membalas kebaikanmu ini,"

ungkap Ki Dewana menceritakan asal mulanya

pertempuran tadi.


"Hm.... Jadi, mereka bukan sekadar perampok biasa,"

gumam Panji tak jelas. "Seperti apakah kira-kira orang

yang disebut Penghuni Rimba Gerantang itu, Ki?"

"Entahlah, Nak Panji. Tidak ada seorang pun yang

pernah bertemu atau melihat Penghuni Rimba Gerantang?

Entah berwujud manusia atukah Iblis."

"Jadi, Penghuni Rimba Gerantang tidak pernah

menampakkan diri? Dan yang melaksanakan segala

kejahatan selama ini hanya para pengikutnya saja? Begitu

maksud Ki Dewana?" Tanya Panji lagi semakin merasa

penasaran.

"Begitulah kenyataannya!" Jawab Ki Dewana sambil

menghela napas.

"Apakah Kepala Desa Muara Bening tidak berusaha

melakukan perlawanan?" Tanya pemuda itu yang rupanya

semakin tertarik akan cerita tentang Penghuni Rimba

Gerantang yang penuh misteri itu.

“Tentu kami para penduduk desa telah berusaha

mencegah hal itu. Tapi jangankan berhadapan dengan

Penghuni Rimba Gerantang, baru menghadapi para

pembantunya saja sudah meminta korban banyak. Hingga

akhirnya, penduduk dan kepala desa menyetujui

mempersembahkan tiga orang perawan yang masih suci

pada tiap-tiap bulan purnama. Sesekali saja membantah,

maka Desa Muara Bening akan dimusnahkan iblis itu."

“Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Kalau begitu,

aku permisi dulu karena hendak melanjutkan perjalanan,"

pamit Panji. Sebentar kemudian Pendekar Naga Putih

sudah melangkahkan kakinya tanpa menunggu jawaban

mereka.


Ki Dewana dan Laksa bergegas bangkit untuk

mencegah kepergian pemuda tampan yang sederhana

namun memiliki kepandaian tinggi itu. Belum lagi

keduanya membuka suara, tiba-tiba Ratna berlari

mengejar pemuda penolongnya itu. Gadis itu memang

sudah terlanjur menyukai, sehingga merasa berat untuk

ditinggalkan pemuda yang sangat dikaguminya.

Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar suara

langkah kaki yang lembut di belakangnya. Seketika

pemuda itu menahan langkahnya.

"Kakang.. tunggu...!" Teriak gadis itu sambil berlari

mengejar Pendekar Naga Putih. Sedang yang lain hanya

memperhatikan dari kejauhan.

Ki Dewana sama sekali tidak berusaha untuk men-

cegah putrinya. Karena sudah terlanjur suka akan sikap

dan kerendahan hati pemuda itu. Laki-laki brewok itu

seperti tidak merasa keberatan kalau putrinya akan jatuh

cinta kepada pendekar muda itu.

"Ada apa, Ratna?" Tanya Panji lembut. Sikap dan

pandangannya seperti seorang kakak yang memaklumi

sikap manja adiknya.

"Kakang, mengapa begitu terburu-buru? Ke mana

Kakang hendak pergi?" Tanya gadis cantik itu sendu,

seraya kedua tangannya memegang lengan Panji erat-erat.

Seakan-akan gadis itu ingin menunjukkan bahwa hatinya

merasa berat untuk berpisah.

"Entahlah, Ratna. Aku tidak mempunyai tujuan

pasti," jawab Panji menutup keinginan yang sebenarnya.

Dia sudah bermaksud akan singgah di Desa Muara

Bening untuk menyingkap misteri Penghuni Rimba


Gerantang. Memang peristiwa di desa itu telah

menggugah jiwa kependekarannya.

Gadis itu termenung sejenak mendengar jawaban

Panji. Sesaat kemudian kepalanya kembali tegak, lalu

menatap pemuda itu lekat-lekat.

"Kakang...," panggil Ratna setengah berbisik.

"Hm...."

"Bolehkah bertanya sesuatu?"

"Tentu saja boleh," jawab Panji mencoba menebak ke

mana arah tujuan perkataan gadis itu.

"Apakah kakang tidak kasihan padaku?" Ringan

sekali gadis itu bertanya sehingga membuat Panji menjadi

bingung sejenak

“Tentu saja, Ratna."

"Kalau begitu, aku ingin agar kau mengantarkan kami

ke tempat tujuan. Siapa tahu, di tengah jalan nanti aku

diculik orang jahat!" Pinta gadis itu, sambil menunduk-

kan kepala menyembunyikan wajahnya yang merah

merona.

"Ha ha ha.... Tentu saja aku bersedia, Ratna. Aku juga

tak tega jika gadis secantik dirimu hanya untuk

persembahan Penghuni Rimba Gerantang. Bisa ubanan

aku." Gurau Panji sambil melangkah ke arah kereta.

Tidak lama kemudian, mereka berangkat meninggalkan

tempat itu.

* * *


LIMA


Hari masih sangat pagi, dan matahari pun belum lagi

muncul. Kegelapan masih menyelimuti bumi. Hanya

suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan

menandai kedatangan sang pagi.

Sementara angin pagi bersilir lembut menebarkan

udara dingin menyejukkan, membuat tubuh terasa segar

setelah beristirahat panjang. Pintu-pintu rumah penduduk

Desa Muara Bening tampak satu persatu mulai terbuka.

Tampak satu dua orang penduduk mulai keluar untuk

menyegarkan tubuh.

Ketika di sebelah Timur cahaya mulai tampak

kemerahan, seorang penunggang kuda menghela

tunggangannya keluar dari mulut Desa Muara Bening

Binatang itu melesat menerobos suasana remang-remang

yang menjelang terang.

Dari cara melarikan kudanya, jelas kalau ia begitu

tergesa-gesa, seolah-olah tengah berpacu dengan waktu.

Entah apa yang dikejarnya sepagi itu.

"Hiya...!"

Orang itu berteriak sambil menghentakkan tali

kekang agar kuda itu berlari lebih cepat lagi. Padahal

binatang itu telah mendengus-dengus kelelahan.

Sepertinya binatang itu, terpaksa melaju semakin cepat.

Setelah cukup jauh meninggalkan mulut desa, orang

itu mulai memperlambat lari kudanya. Memang jalan

yang dilalui tidak lagi semulus tadi. Rupanya ia tidak


ingin menanggung resiko kalau kaki kudanya akan

mengalami cidera.

Orang itu adalah seorang pemuda yang berusia sekitar

dua puluh lima tahun. Wajahnya terlihat gagah dan cukup

simpatik. Di pinggangnya nampak tersembul sebuah

gagang golok. Pakaian yang serba hitam membuatnya

semakin gagah.

Pemuda itu tak lain Ragas yang menjadi pembantu

utama Ki Jatar. Hari itu ia mendapat tugas untuk

melaporkan kejadian yang menimpa penduduk Desa

Muara Bening ke kadipaten, dengan harapan sang adipati

mengirimkan pasukan untuk memberantas para perusuh

itu.

Ragas menarik tali kekang kuda ketika sampai di

petigaan jalan. Diedarkan pandangannya, meneliti kedua

jalan yang dapat membawanya ke tempat tujuan.

"Hm… Lebih baik aku mengujungi Guru lebih dahulu

untuk mengabarkan kematian Kakang Dumpa. Dan kalau

bisa, sekaligus meminta bantuan beliau untuk menumpas

Penghuni Rimba Gerantang dan para pengikutnya itu,"

gumam Ragas dalam hati. Segera dibelokkan kudanya ke

arah kiri. Kedua jalan itu kini tidak jadi dilalui. Karena

menurut hematnya, melalui jalan hutan akan lebih aman.

Pemuda pembantu Kepala Desa Muara Bening itu

bergegas memacu kudanya menerobos semak belukar.

Tujuannya sekarang adalah kediaman gurunya, tempat

dia dulu dididik ilmu silat yaitu di Gunung Bulangkang.

Belum begitu jauh Ragas menempuh perjalanan

melalui hutan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok

tubuh berjubah putih yang berdiri tegak menghadang

perjalanannya. Cepat-cepat Ragas menarik tali kekang


kudanya untuk berbalik menuju kedatangannya semula.

Pemuda itu menjadi tegang ketika beberapa tombak di

depannya berdiri sosok tubuh serupa. Ditolehkan kepala-

nya ke belakang Tampak orang tadi menghadangnya

berjalan mendatangi. Begitu pula yang dilakukan orang

yang di hadapannya. Kedua penghadang itu mengenakan

pakaian serupa.

"Celaka! Utusan Penghuni Rimba Gerantang..!" bisik

Ragas gentar, dan seketika itu juga wajahnya memucat.

Cepat diputar kudanya ke arah samping untuk meng-

hindari diri dari kedua orang berjubah putih itu.

Namun Ragas kalah cepat! Dua orang berjubah putih

itu melenting, lalu beberapa kali bersalto di udara. Kaki

mereka mendarat beberapa langkah di hadapan kuda

Ragas. Mereka adalah Sepasang Mambang Lembah

Maut.

"Ha ha ha.... Ingin lari ke mana kau keparat!" Ejek

salah seorang dari mereka bengis.

"Kita permainkan dulu tikus ini, Kakang. Setelah itu

baru dibunuh," umpat Sepasang Mambang Lembah Maut

yang bernama Jonggali.

Mendengar ejekan dua orang bertopeng tengkorak itu,

hati Ragas menjadi panas. Namun, ia bukan orang bodoh

yang hanya mau menurut napsunya saja. Dicarinya jalan

untuk menyelamatkan diri. Sebab biar bagaimanapun,

kedua orang itu tak akan dapat ditandingi. Menghadapi

salah seorang dari mereka saja, pemuda itu tidak mungkin

menang. Apalagi keduanya. Bahkan malah jadi bulan-

bulanan mereka.

"Hiya...!"


Tiba-tiba Ragas mengeluarkan bentakan keras dan

sekaligus menggeprak tubuh kudanya. Binatang itu

menjadi terkejut, lalu menjadi liar dengan melompat ke

depan. Maka kedua orang bertopeng tengkorak itu mau

tidak mau harus menghindar agar tidak tersepak kaki

kuda.

Belum lagi jauh binatang itu berlari, mendadak

binatang itu meringkik keras, lalu roboh terguling.

Rupanya salah seorang dari Sepasang Mambang Lembah

Maut itu telah melemparkan sebuah batu kerikil dan

langsung mengenai kaki depan kuda yang ditunggangi

Ragas. Maka cepat-cepat pemuda itu melentingkan

tubuhnya agar tidak ikut terbanting, lalu mendarat empuk

sejauh empat tombak dari kudanya.

"Hm.... Jangan harap lolos dari tanganku, tikus

busuk!" Bentak Jonggala orang tertua dari Sepasang

Mambang Lembah Maut itu.

Setelah berkata demikian, tubuh Jonggala meluncur

ke arah Ragas dan langsung melontarkan sebuah pukulan

yang menimbulkan desing angin tajam.

Ragas yang mengetahui kalau serangan itu amat

berbahaya, segera melempar tubuhnya bergulingan. Maka

ia terhindar dari serangan maut itu. Tapi dugaanya

ternyata keliru. Ternyata baru saja bisa bangkit berdiri,

tahu-tahu saja sebuah tendangan menghantam dadanya.

Bukkk!

"Ouggghhh...!"

Tubuh Ragas terpental disertai darah segar yang

menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terguling-guling

sejauh tiga tombak. Sambil menekap dada yang terasa


remuk, Ragas berusaha bangkit dan mencabut golok yang

terselip di pinggang.

"Majulah kalian, masing-masing iblis! Aku tidak akan

menyerah begitu saja! Phuihhh...!" Teriak Ragas sambil

menyemburkan air ludahnya bercampur darah. Rupanya

pemuda itu siap menantang maut!

Pemuda itu cepat menahan gejolak amarah yang

menggelora di dadanya. Ia teringat akan pesan gurunya

agar berusaha bersikap tenang dalam menghadapi

pertempuran Karena, kemarahan hanya akan membuat-

nya lengah dan mudah dikuasai lawan.

"Ha ha ha...! Lucu sekali! Seekor cacing ingin

bertingkah seperti naga! Kau memang patut mendapat

siksaan sebelum kubunuh!" Ujar Jonggala sambil

memperdengarkan tawa iblisnya. Begitu ucapannya

selesai, tubuhnya melesat melancarkan serangan berikut.

Sadar kalau dua lawannya memiliki kepandaian lebih

tinggi, Ragas mengelebatkan senjata untuk membuat

pertahanan. Sinar goloknya bergulung-gulung menye-

limuti tubuhnya sehingga menyulitkan lawan untuk

melontarkan pukulan.

Tapi kepandaian orang tertua dari Sepasang Mam-

bang Lembah Maut itu memang jauh di atas Ragas.

Maka, ketika pertarungan memasuki jurus kelima,

pertahanan pemuda itu pun mulai jebol. Sebuah hantaman

sisi telapak tangan miring lawan telak menghantam

iganya. Dan selagi tubuh pemuda itu terjajar, kembali

tangan kiri Jonggala menggedor perut.

Desss!

"Huakkk..!"


Tubuh Ragas seketika terlempar keras. Darah segar

kembali menyembur dari mulutnya. Pemuda itu

mengeluarkan rintihan lirih sambil berusaha bangkit.

Selagi matanya mencari-cari senjatanya yang terlem¬par

entah ke mana, dua buah tamparan pada wajah kembali

membuatnya terguling-guling. Ragas merasakan bumi

yang dipijaknya bergoyang. Kepalanya bagaikan tertimpa

palu godam. Darah pun mengalir dari bibirnya yang telah

pecah. Kedua pipinya membengkak, dan beberapa buah

giginya tanggal akibat tamparan keras itu.

Sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Jonggala

dan Jonggali melangkah menghampiri tubuh lawan.

Sedang Ragas hanya dapat menanti apa yang akan

dilakukan kedua orang itu terhadap dirinya. Seperti

harinya memang sudah pasrah.

Tapi sebelum melangkah lebih dekat, tiba-tiba

Sepasang Mambang Lembah Maut melompat mundur.

Dan selagi tubuh berada di udara, sepasang lengan

mereka melakukan dorongan untuk mengusir getaran

gelombang tenaga dalam yang tak tampak.

Jonggala dan Jonggali mengerutkan keningnya ketika

tahu-tahu saja sosok tubuh jangkung telah berdiri dan

tengah memeriksa tubuh Ragas. Rambutnya yang sudah

memutih digulung ke atas. Pakaian yang dikenakan

hanyalah berupa kain putih yang dilibat-libatkan ke

seluruh tubuh. Melihat cara dandanan orang bertubuh

jangkung itu, pasti dia seorang pertapa.

"Guru...!" Panggil Ragas di antara rintihannya. Ber-

bagai perasaan berkecamuk di hati pemuda itu ketika

melihat kedatangan gurunya yang langsung menolong-

nya.


"Tenanglah, muridku. Telanlah obat ini setelah itu,

aturlah pernapasan agar tenagamu cepat menjadi pulih,"

ujar orang tua itu lembut sambil menyerahkan sebutir pil

kepada muridnya. Setelah memeriksa bahwa keadaan

Ragas tidak terlalu mengkhawatirkan, orang tua yang

bernama Resi Bagawa itu membalikkan tubuhnya.

"Hm.... Apa yang telah diperbuat muridku hingga

kalian begitu tega menyiksanya?" Tanya Resi Bagawa

masih tetap bernada lembut. Sepasang mata tuanya

menatap tajam, seolah-olah mencoba mengenali kedua

orang itu. "Ah...! Kalau mataku tak salah lihat, bukankah

kalian yang berjuluk Sepasang Mambang Lembah Maut?

Aneh, apa yang dilakukan muridku hingga kalian rela

meninggalkan Lembah Maut?"

"Tidak perlau banyak cakap, Orang Tua! Kau pikir

aku akan gentar dengan nama Resi Bagawa yang berjuluk

Cambuk Hujan dan Badai?! Huh! Jangan harap, kakek

peot!" Tegas Jonggala takabur. "Nah, bersiaplah untuk

kukiram ke neraka! Hiaaattt....'"

"Hebat'" puji Resi Bagawa, tulus. Segera kakek itu

menggerakkan tubuhnya secara sembarangan tapi

membuat lawan memukul tempat kosong. Tubuh orang

tua sakti itu mencelat ke udara ketika Jonggali ikut pula

mengeroyok. Resi bagawa mendaratkan kakinya di tanah

berumput, dan terpisah cukup jauh dari lawannya. Dan

tahu-tahu saja, tangan kanannya memegang sebuah

cambuk berwarna putih.

Sementara Sepasang Mambang Lembah Maut telah

pula mencabut senjata masing-masing, yaitu sepasang

golok berbentuk bulan sabit. Sepasang senjata Jonggala

dan Jonggali itu berbahaya sekali, karena dapat


digunakan tak ubahnya sebuah bumerang. Apalagi yang

menggunakan adalah tokoh sakti seperti mereka. Tentu

saja senjata itu semakin berbahaya!

"Bersiaplah, Cambuk Hujan dan Badai! Hari ini

senjata kebanggaanmu tidak akan banyak menolong!"

Ejek Jonggali meremehkan lawan.

"Hiahhh...!" Sambil membentak keras, dua saudara

kembar itu meluncur disertai ayunan sepasang golok

bulan sabitnya.

Wunggg! Wunggg!

Dua pasang senjata di tangan Jonggala dan Jonggali

mengaung merobek udara pagi yang mulai terasa hangat.

Cahaya sinar matahari yang jatuh menimpa senjata-

senjata itu menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan

mata.

Resi Bagawa bertindak cepat memutar cambuknya,

sehingga menimbulkan angin menderu yang membawa

udara dingin. Terkadang ujung cambuk itu meledak

memekakkan telinga. Tapi anehnya, ledakan cambuk itu

bukan menimbulkan percikan bunga api, melainkan

menimbulkan titik-titik air. Dan bila mengenai kulit

lawan, titik-titik air itu akan terasa perih. Mungkin itu

yang menyebabkan Resi Bagawa dijuluki Cambuk Hujan

dan Badai oleh kaum persilatan.

Wunggg! Wunggg!

"Hm…!" Gumam kakek itu, tak jelas.

Resi Bagawa menggeser tubuhnya menghindari dua

buah serangan Jonggala. Belum lagi sempat membalas,

senjata di tangan Jonggali sudah mengancam perut dan

lehernya. Resi Bagawa menghindar ke belakang


dibarengi ayunan camtuk menuju ke pelipis orang

termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut.

"Iiihhh...!"

Jonggali cepat menarik tubuhnya sambil memiringkan

kepala, maka ujung cambuk itu hanya mengenai tempat

kosong. Kemudian dilempar tubuhnya ke atas, dan

melambung di udara. Segera dilepaskannya dua senjata

yang langsung berputar ke arah lawannya. Kedua senjata

itu berputar bagaikan bumerang, sehingga menimbulkan

suara mengaung yang membuyarkan daya perhatian

lawan.

Resi Bagawa cukup terkejut melihat kehebatan

sepasang senjata lawannya itu. Cepat tubuhnya berguling

menyelamatkan diri dari ancaman sepasang senjata itu.

Pada saat hendak bangkit, terdengar suara mengaung dari

sebelah kiri. Segera Resi Bagawa memutar tubuhnya

serendah mungkin, lalu sekaligus melakukan tangkisan

dengan tangan kirinya.

Plakkk!

"Aaahhh...!" Pekik Jonggala tertahan ketika tangkisan

Resi Bagawa menghantam sikunya.

Tubuh Jonggala terjajar mundur karena kuda-kudanya

telah tergempur. Dirasakan tangannya lumpuh untuk

beberapa saat lamanya. Diam-diam harus diakui kalau

kepandaian orang tua itu memang tidak bisa dibuat main-

main. Dialirkan hawa murni ke lengan yang terasa

lumpuh itu, dan sesaat kemudian kembali diterjangnya

Resi Bagawa yang tengah bertarung sengit melawan

adiknya.

Pertarungan kembali berlanjut. Semakin lama

semakin seru dan menegangkan! Sebenarnya secara


perorangan, Sepasang Mambang Lembah Maut itu tidak

akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus dalam

menghadapi gempuran Resi Bagawa. Tapi karena

keduanya maju secara bersama-sama dengan serangan

yang kompak dan rapi, maka cukup sibuk juga Resi

Bagawa dibuatnya.

Berkali-kali orang tua itu nyaris termakan senjata dua

orang lawannya yang berbentuk aneh itu. Maka Resi

Bagawa harus lebih berhati-hati dan memperhitungkan

gerakannya secara cermat. Kalau tidak, bukan mustahil

tubuhnya akan terkoyak senjata lawan yang berbentuk

bulan sabit itu.

Pada jurus yang kedua puluh dua, Jonggala dan

Jonggali melempar tubuh ke belakang secara ber-

barengan. Dan sebelum mendarat di tanah, mereka

melontarkan empat buah golok bulan sabit itu bersamaan.

Suatu cara bertempur yang sangat licik!

"Hm...," Resi Bagawa hanya bergumam ketika

melihat gerakan lawan-lawannya.

Ketika senjata-sejata itu tiba di dekatnya, Resi

Bagawa segera menjejakkan kakinya. Tubuh orang tua itu

melambung ke atas menghindari dua buah senjata yang

lewat di bawah kakinya. Sedang, dua senjata lain nyaris

melukai bahu dan lambungnya kalau saja tidak cepat

dimiringkan tubuhnya. Tapi begitu keempat senjata itu

tidak menemui sasaran, senjata-senjata itu langsung

berbalik tanpa berkurang sedikit pun kece¬patannya.

Crasss! Brettt!

"Aifihhh...!" Resi Bagawa berseru kaget!

Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah di antara senjata

itu merobek baju dan betisnya ketika berbalik. Kakek


berjuluk Cambuk Hujan dan Badai terhuyung beberapa

langkah. Sementara dari luka di kaki kirinya telah

mengalir darah segar. Untunglah, luka itu tidak begitu

dalam dan tidak terlalu mengkhawatirkan. Ce¬pat-cepat

tangannya melakukan totokkan di beberapa jalan aliran

darah di kakinya untuk mencegah aliran darah.

"Hm.... Sungguh berbahaya!" Desah Resi Bagawa

sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Begitu rasa nyeri dilukanya lenyap, kakek itu

menyedot udara sebanyak-banyaknya. Lalu cambuknya

diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara

menderu dan mendebarkan arena pertarungan itu.

Sepasang Mambang Lembah Maut langsung terkejut

ketika tiba-tiba saja bertiup angin keras yang membawa

hawa dingin. Sama-samar dirasakan ada titik-titik air

yang menimpa tubuh mereka.

"Jurus Cambuk Hujan dan Badai...!" Seru Sepasang

Mambang Lembah Maut takjub.

Menyadari kalau lawannya telah mengeluarkan jurus-

jurus andalannya pada tingkat yang lebih tinggi, Jonggala

dan Jonggali segera bersiap menghadapinya. Bergegas

keduanya mengeluarkan ilmu andalan pada tingkat

terakhir, yaitu jurus 'Golok Terbang Merenggut Sukma '.

Dalam jurus ini Sepasang Mambang Lembah Maut

mencampurinya dengan unsur tenaga gaib. Sehingga,

keempat golok terbang mereka terkadang bagaikan benda

hidup dan dapat bergerak sendiri. Hanya saja, tenaga

dalam yang dipergunakan sangat banyak dan melelahkan.

Maka mau tak mau mereka harus menggunakannya

karena sadar kalau kepandaian Resi Bagawa sangat tinggi

dan berbahaya.


"Hahhh!"

Sepasang Mambang Lembah Maut membentak keras

bagai hendak menggetarkan jagad. Keduanya segera

menjatuhkan diri duduk bersila berdampingan Mereka

berpegangan tangan kanan dan kiri satu sama lain,

sedangkan tangan yang satu terulur ke depan dengan jari-

jari terbuka. Sepasang Mambang Lembah Maut

memejamkan mata menyatukan tenaga dan pikiran untuk

menggerakkan senjata.

Resi Bagawa cukup terkejut ketika dua pasang senjata

yang diletakkan didepan mereka, tiba-tiba saja mulai

bergerak naik bagaikan bernyawa. Kemudian, dua pasang

senjata itu berputar cepat dan meluncur ke arah Resi

Bagawa. Kakek sakti itu sampai ternganga takjub

dibuatnya!

Sadar kalau dirinya terancam bahaya, segera

digerakkan cambuk putih di tangannya. Kali ini Resi

Bagawa harus mengerahkan hampir seluruh tenaganya.

Werrr! Werrr!

Hebat sekali akibat yang ditimbulkan putaran cambuk

itu. Angin dingin bertiup keras hingga membuat beberapa

batang pohon terdekat tercabut. Dan dengan demikian

dua pasang golok bulan sabit yang tengah meluncur ke

arahnya tertahan, untuk kemudian terpental balik.

Sepasang Mambang Lembah Maut semakin

memperkuat daya serang melalui senjata mereka. Namun

setiap kali golok bulan sabit itu menyerang, selalu

berbalik! Memang dinding badai yang diciptakan Resi

Bagawa benar-benar sukar ditembus. Peluh mulai

mengalir deras membasahi pakaian Jonggala dan

Jonggali. Wajah mereka memerah bagai udang rebus.


Nampaknya, mereka benar-benar harus mencurahkan

seluruh kemampuan dalam pertarungan itu.

Empat batang golok bulan sabit itu kembali meluncur

dengan kekuatan berlipat ganda. Kali ini senjata-senjata

itu tidak sampai terpental balik, tapi mengambang di

udara berusaha menerobos dinding badai yang kuat itu.

Rupanya Jonggala dan Jonggali telah mengerahkan

seluruh kemampuannya. Demikian juga Resi Bagawa.

Ragas yang menyaksikan pertarungan dari tempat

tersembunyi, sampai ternganga kagum dibuatnya. Tidak

disangka kalau kepandaian Sepasang Mambang Lembah

Maut itu mampu mengimbangi gurunya. Kalau saja tidak

disaksikannya sendiri, tentu ia tidak akan percaya.

"Heaaahhh!?"

Ctarrr! Jterrr!

"Uuuggghhh...!"

Pada saat yang tepat Resi Bagawa membentak

nyaring sambil melecutkan cambuknya. Maka dua buah

senjata lawan yang terpukul ujung cambuk itu kontan

terpental jatuh. Berbarengan dengan jatuhnya dua buah

senjata itu, dua saudara dari Lembah Maut itu terdorong

mental terguling-gulingan. Tampak dari mulut mereka

menyembur darah kental kehitaman!

Sedangkan Resi Bagawa sendiri hanya terjajar

mundur. Tangan kanannya yang memegang cambuk

terasa linu akibat berbenturan dengan dua senjata itu.

Orang tua berjuluk Cambuk Hujan dan Badai itu meng-

geleng-gelengkan kepala, karena kagum akan kehebatan

tenaga lawan-lawannya.

Sepasang Mambang Lembah Maut bergerak bangkit

meski agak limbung. Kini keduanya mengalami luka


parah akibat senjata mereka dapat dilumpuhkan lawan.

Memang senjata-senjata itu telah disatukan dengan

tenaga mereka. Sehingga, apabila lawan mengetahui

kelemahannya dan memiliki tenaga lebih kuat, mereka

akan mudah dilumpuhkan. Dengan memukul jatuh

senjata-senjata itu, berarti sama saja dengan memukul

tubuh mereka berdua.

"Hari ini kami mengaku kalah," ungkap Jonggala

penuh dendam. Setelah berkata demikian Sepasang

Mambang Lembah Maut bergegas meninggalkan tempat

itu setelah terlebih dahulu memungut senjata-senjata

mereka.

Resi Bagawa hanya memandang kepergian mereka

tanpa mengucapkan separah kata pun. Memang diakui,

dia merasa sangat lelah setelah melakukan pertempuran

tadi. Pelahan-lahan kakek sakti itu melangkahkan kakinya

mendekati tempat muridnya bersembunyi.

"Guru...!" Panggil Ragas yang langsung menjatuhkan

dirinya berlutut di bawah kaki Resi Bagawa.

"Mari kita mencari tempat yang lebih enak! Aku ingin

mendengar keteranganmu!" Ajak Resi Bagawa sambil

menggandeng bahu Ragas.

* * *


ENAM


Matahari pelahan-Iahan mulai tenggelam, setelah

menyelesaikan tugasnya menerangi mayapada ini. Dalam

keremangan senja, tampak Panji berlari menggunakan

ilmu meringankan tubuh agar dapat tiba di Desa Muara

Bening sebelum gelap-gulita. Tubuh pemuda itu

berkelebat di antara pohon besar, tak ubahnya sebuah

bayangan hantu. Terkadang tengah bermain-main di

angkasa raya.

Beberapa waktu kemudian, Pendekar Naga Putih

telah mencapai jalan umum yang cukup lebar. Segera

dihentikan larinya di tepi jalan itu Dirayapi daerah itu

untuk memastikan kalau dirinya tidak menemui jalan

yang salah. Memang Panji sengaja memotong jalan lewat

hutan sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh

agar perjalanan menjadi lebih cepat.

Rupanya, begitu selesai mengantarkan keluarga Ki

Dewana ke tempat tujuan, Panji berpamitan untuk

melanjutkan perjalanan. Pemuda itu masih teringat ketika

Ratna, anak gadis Ki Dewana, melepaskan keberang-

katannya dengan hati sangat berat. Setelah Panji berjanji

akan mengunjunginya kelak, barulah gadis itu rela

melepaskan pegangan tangannya. Panji jadi tersenyum

sendiri seraya menggelengkan kepalanya, jika mengingat

hal itu.

Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya lambat-

lambat. Menurut keterangan Ki Dewana, letak desa itu

tidak terlalu jauh dari Hutan Jati. Dan apabila


menemukan jalan yang bersimpang tiga, Panji harus

mengambil jalan kiri. Dari situ, Panji akan menemukan

jalan menuju Desa Muara Bening.

Tepat pada saat Panji tiba di persimpangan jalan, dari

mulut hutan di depannya muncul dua orang laki-laki yang

tak lain Ragas dan Resi Bagawa. Mereka juga hendak

menuju ke Desa Muara Bening.

Ketika melihat seorang berjubah putih yang melang-

kah ke arah mereka, Ragas mencabut golok panjangnya.

Sambil melintangkan goloknya, pemuda itu berbisik

kepada Resi Bagawa.

"Guru. Tampaknya orang itu adalah salah satu pim-

pinan mereka yang hendak menuntut balas atas kekalahan

Sepasang Mambang Lembah Maut tadi!"

Wajah Ragas nampak tegang ketika membisikkan

kata-kata itu kepada gurunya. Menurut anggapannya,

pasti orang berjubah putih itu memiliki kepandaian yang

lebih tinggi dari Jonggala dan Jonggali yang

dipecundangi gurunya.

Yakin kalau orang berjubah putih itu adalah salah

satu dari musuhnya, tanpa banyak cakap lagi Ragas

langsung menerjangnya. Goloknya diputar sedemikian

rupa hingga menimbulkan desing angin tajam.

"Hei!" Teriak Panji kaget sambil menghindar golok di

tangan penyerangnya. Gila! Orang sinting dari mana ini

yang tanpa bertanya lagi langsung menyerang orang

demikian ganasnya? Namun Panji tidak bisa berpikir

lebih banyak lagi, karena serangan lawan begitu cepat

datangnya.

Ketika golok di tangan lawan membabat ke arah

pinggang, Panji mengulur tangan kirinya bermaksud


merampas golok itu. Sedang, tangan kanannya melaku-

kan dorongan ke dada orang itu.

Ragas yang tengah melancarkan serangan bertubi-tubi

itu menjadi terkejut sekali melihat kecepatan gerak

lawan. Cepat-cepat ditarik pulang tangannya sambil

menggeser tubuh ke belakang, menghindari serangan

Panji. Tapi bukan main kagetnya hati Ragas ketika kedua

tangan itu tetap saja mengejarnya. Hingga akhirnya....

"Brettt!

Buggg!

"Aaahhhkkk...!"

Murid Resi Bagawa itu menjerit tertahan ketika tahu-

tahu goloknya telah terampas, ditambah tangan kanan

Panji yang telah menghantam dadanya. Tak ayal lagi,

tubuh Ragas pun terpental dan jatuh di hadapan gurunya.

Ragas merintih kesakitan, dan dari sela-sela bibirnya

tampak cairan merah mengalir pelarian.

Resi Bagawa cukup terkejut melihat cara orang

berjubah putih itu menjatuhkan muridnya. Dan secara

sepintas tadi telah dapat diukur tingkat kepandaian

pemuda berjubah putih itu. Orang tua itu hampir tak

percaya ketika melihat orang yang menjatuhkan

muridnya itu masih muda sekali. Paling banyak, usianya

baru sekitar dua puluh atau dua puluh satu tahun.

"Hm.... Anak Muda! Meskipun kepandaianmu sangat

tinggi, aku tidak akan mundur. Dan, aku akan mencoba

mengusirmu dari Desa Muara Bening, agar bencana yang

menimpa rakyat tidak berkepanjangan," setelah berkata

demikian, Resi Bagawa segera mencabut senjatanya.

Cambuk berwarna putih yang menebarkan hawa dingin


itu meledak-ledak menimbulkan percikan air yang terasa

nyeri apabila menyentuh permukaan kulit.

"Tahan dulu, Orang Tua! Aku tidak...," belum lagi

Panji sempat menyelesaikan ucapannya, serangan cam-

buk Resi Bagawa sudah meluncur datang.

Jtarrr! Jterrr!

"Haiiittt...!" seru Panji nyaring.

Pemuda berjubah putih itu segera melempar tubuhnya

dan melakukan salto sebanyak empat kali. Dan baru saja

hendak berdiri tegak, tahu-tahu ujung cambuk lawan

sudah meluncur datang. Rasanya, tidak ada waktu lagi

untuk menghindar. Maka Panji segera menggerakkan

tangan kanannya menangkap ujung cambuk. Hampir

separuh dari tenaga dalamya digunakan untuk melindungi

kulit tangan agar tidak luka.

Jeprattt!

"Uuuhhh...!"

Panji berseru tertahan dan terdorong mundur sampai

beberapa langkah ke belakang ketika ujung cambuk itu

meliuk menghantam tangannya. Untunglah pemuda itu

telah berjaga-jaga melindungi tangannya sehingga tidak

sampai terluka. Tapi tak urung rasa nyeri menusuk juga

menjalar hingga sebatas siku. Diam-diam Pendekar Naga

Putih memuji kekuatan tenaga dalam yang dimiliki orang

tua yang menjadi lawannya itu.

Dan ternyata Resi Bagawa juga sangat terkejut ketika

mendapat kenyataan kalau cambuk yang selama ini

dibanggakan tidak mampu melukai kulit lawan. Segera

dia mencari alasan kalau dirinya belum menggunakan

seluruh tenaga.


"Jangan takabur dulu, Anak Muda! Bersiaplah meng-

hadapi jurus 'Cambuk Hujan dan Badai' ku!"

Setelah berkata demikian, Resi Bagawa memutar

cambuknya hingga menimbulkan angin ribut. Seketika

batu-batu kecil beterbangan akibat putaran angin kuat

yang ditimbulkan cambuk di tangannya.

Panji cukup terkejut melihat kehebatan jurus

lawannya itu. Maka bergegas pemuda itu menyedot udara

banyak-banyak. Rupanya Pendekar Naga Putih mulai

mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat

itu. Sesaat kemudian, hawa dingin me¬nusuk menebar

dan bertiup keras. Tampak selapis kabut bersinar putih

keperakan bergerak menyelimuti tubuh pemuda itu.

"Pendekar Naga Putih...!?" Gumam Resi Bagawa

ragu. Meskipun masih diliputi keraguan, namun gerakan-

nya segera dihentikan, sehingga badai yang diciptakannya

mendadak lenyap! 'Tunggu dulu, Anak Muda!"

"Hm.... Ada apa lagi, Orang Tua? Mengapa

berhenti?" Sahut Panji yang masih bersiap menghadapi

pertarungan.

"Sebentar, Aku ingin bertanya sesuatu," ungkap Resi

Bagawa lagi.

"Silakan...!"

"Apakah kau..., Pendekar Naga Putih...?"

"Begitulah orang persilatan menyebutku!" Jawab

Panji tanpa sedikit pun tersirat nada kesombongan.

Ragas yang mendengar penegasan Panji, langsung

berubah wajahnya. Sungguh tak disangka kalau orang

berjubah putih itu adalah Pendekar Naga Putih.

"Maafkan aku yang bodoh ini, Pendekar Naga Putih,"

ucap Ragas di antara rintihan kesakitan.


"Lupakanlah," hanya itu yang diucapkan Panji

"Ahhh...! Kalau begitu kita telah salah paham,

Pendekar Naga Putih," jelas Resi Bagawa seraya menarik

napas lega sekaligus gembira. Lega karena tidak jadi

bertarung melawan pemuda berkepandaian tinggi.

Hatinya juga gembira karena dengan hadirnya pendekar

muda sakti itu, Resi Bagawa berarti telah mendapat

bantuan yang dapat diandalkan untuk menumpas

Penghuni Rimba Gerantang.

"Ah! Maafkan aku, Eyang Resi. Untunglah kita tidak

saling menjatuhkan," Panji menabah panggilannya sesuai

dengan pakaian yang dikenakan Resi Bagawa. Pemuda

itu membungkuk hormat kepada orang tua itu.

"Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu,

Pendekar Naga Putih. Untunglah aku segera dapat

mengenalimu berkat ciri-cirimu yang jarang dimiliki

kaum persilatan itu,'" Resi Bagawa tertawa senang

"Namaku Resi Bagawa dan itu muridku Namanya Ragas.

Boleh kutahu namamu, Pendekar Naga Putih? Apakah

engkau mempunyai tujuan datang ke daerah ini?"

"Namaku Panji, Eyang Resa. Sedang kedatanganku

kemari hanya kebetulan lewat saja," sahut Panji mencoba

menyembunyikan maksudnya.

"Hm.... Jadi, tidak ada maksud lain...?" Resi Bagawa

menggantungkan ucapannya. "Tidakkah kau mendengar

tentang sesuatu selama perjalananmu ke sini?"

"Maksud Eyang Resi...?" Tanya Panji ingin menge-

tahui sampai seberapa jauh yang diketahui Resi Bagawa

tentang Penghuni Rimba Gerantang yang penuh misteri

itu. Sedangkan, apa yang telah didengarnya dari Ki


Dewana maupun Laksa, hanya sebagian kecil saja. Dan

belum terlalu jelas.

Akhirnya, Resi Bagawa menceritakan tentang apa

yang diketahuinya. Sesekali Ragas ikut menimpali,

memberikan keterangan kepada Panji. Namun, segala apa

yang diceritakan Ragas maupun gurunya ternyata tidak

beda jauh dengan apa yang diceritakan Ki Dewana dan

Laksa. Sehingga, sampai cerita kedua orang itu selesai,

misteri Penghuni Rimba Gerantang masih belum

terungkapkan.

"Kita tidak boleh membiarkan kejadian ini berlarut-

larut, Panji. Mereka harus ditumpas!" Tegas Resi Bagawa

menutup ceritanya.

"Benar! Kita harus mencobanya, Eyang Resi!”

"Lalu, bagaimana dengan tugasmu, Ragas?" Tanya

Panji. Memang, Ragas telah menceritakan maksud

perjalanannya.

"Rasanya sudah tidak perlu lagi. Aku yakin dengan

adanya Eyang dan Pendekar Naga Putih, manusia-

manusia iblis itu akan dapat ditumpas!" Tegas Ragas,

yakin.

"Kalau begitu, marilah kita membuat rencana untuk

menjebak mereka!" Usul Resi Bagawa. Panji dan Ragas

mengangguk menyetujui usul orang tua itu. Dua orang

pemuda itu tersenyum melihat semangat Resi Bagawa

yang begitu menggebu-gebu.

"Sudah terlalu lama aku menyembunyikan diri. Dan

mulai hari ini, aku akan mempunyai pengalaman yang

akan membuatku menjadi lebih berarti," ucap Cambuk

Hujan dan Badai penuh kegembiraan.


Angin sore bertiup pelahan menyejukkan. Tiga orang

pendekar siap mengungkap misteri si Penghuni Rimba

Gerantang!

* * *

Ragas melangkah gontai memasuki Desa Muara

Bening Wajahnya terlihat agak pucat. Bahkan pakaian

yang dikenakannya robek di beberapa bagian. Tampak-

nya dia tengah menderita luka.

"Kakang Ragas...! Apa... apa yang terjadi?" Salah

seorang penjaga gardu yang ada di mulut dcsa berteriak

kaget, la kontan berlari menyambut Ragas. Beberapa

orang lainnya ikut pula menyongsong kedatangannya,

lalu memapah tubuhnya.

"Bawa aku menghadap Ki Jatar...!" Pinta Ragas

kepada para penjaga itu.

"Baik, Kakang!" Jawab orang yang pertama kali

menyongsongnya tadi. Dan dengan dibantu seorang

kawannya, mereka bergegas memapah Ragas ke tem¬pat

kediaman kepala desa.

Sepanjang perjalanan, para penduduk yang berpapa-

san dijalan menatap Ragas cemas. Mereka takut kalau-

kalau salah seorang pemuda yang diandalkan itu akan

meninggalkan mereka. Rupanya Ragas adalah salah

seorang pimpinan yang disukai oleh penduduk desa itu.

Beberapa waktu kemudian, ketiga orang itu pun tiba

didepan sebuah rumah besar. Mereka bergegas memasuki

halaman rumah besar itu.


"Cepat laporkan kepada Ki Jatar!" Teriak salah

seorang yang membawa Ragas begitu melihat seorang

penjaga yang baru keluar dari dalam rumah itu.

Tanpa banyak tanya lagi orang itu cepat bergegas

masuk. Tidak berapa lama kemudian, Ki Jatar pun

muncul Kepala Desa Muara Bening itu terpaku sejenak

melihat kedatangan Ragas dalam keadaan terluka.

"Ayo, bawa dia masuk ke dalam!" Perintah Ki Jatar.

Setelah berkata demikian, orang tua itu segera masuk

kembali Wajahnya terlihat agak pucat, karena keadaan

Ragas itu.

Begitu memasuki rumah, dibaringkan tubuh Ragas di

atas balai bambu yang terletak di ruang tengah. Dua

orang yang tadi mengantarnya bergegas pamit me-

ninggalkan rumah besar itu. Kini yang tinggal di dalam

ruangan tengah itu hanya Ragas, ditemani Ki Rambing

dan Ki Jatar.

"Hm.... Untung hanya luka-luka ringan saja," ujar Ki

Jatar menarik napas lega. Namun di wajahnya terbayang

kecemasan yang berusaha disembunyikan.

Selesai memeriksa keadaan pembantunya, Ki Jatar

bergerak bangkit. Dia melangkah ke tepi jendela yang

terbuka lebar itu. Sejenak dirayapinya pelataran samping

dengan wajah murung. Berkali-kali ditariknya napas

untuk menenangkan hatinya yang terguncang.

"Apa lagi yang harus kita lakukan sekarang, Ki?

Entah apa maksudnya iblis-iblis itu membebaskan Ragas.

Tidak mungkin kalau mereka begitu berbaik hati

melepaskannya?" Tanya Ki Rambing sambil melangkah

mendekati Ki Jatar yang masih terpaku di tepi jendela.


"Hhh...," Ki Jatar hanya mendesah lirih. Rupanya ia

tidak mempunyai minat sedikit pun menimpali perkataan

pembantunya itu. Pelahan-lahan dibalikkan tubuhnya,

menghadap Ki Rambing. Ditatapinya wajah pembantunya

itu lekat-lekat, seperti ingin membaca apa yang tengah

dipikirkan Ki Rambing itu.

"Kau jagalah dia. Tubuhku lelah sekali dan jangan

ganggu aku dulu. Aku ingin beristirahat," pinta Ki Jatar

kemudian laki-laki tua itu melangkah ke dalam ruangan

yang lain tempatnya menyepi dan bersemadi untuk

menenangkan pikiran.

Ki Rambing tidak sempat berkata sepatah pun kecuali

hanya mengangguk bingung melihat tingkah kepala

desanya yang terlihat aneh itu. Kata-kata yang tiba-tiba

saja menjadi kaku dan tidak ramah itu, menimbulkan

berbagai pertanyaan di hati Ki Rambing. Namun hal itu

berusaha dimakluminya karena keadaan desa memang

tengah ditimpa musibah.

"Ohhh...," Ragas yang jatuh tertidur setelah diobati,

tiba-tiba mengeluh pelahan. Pemuda itu menggeliat

sejenak sebelum membuka kedua matanya.

"Ah! Syukurlah kau sudah bangun, Ragas. Bagaimana

rasanya keadaanmu sekarang?" Tanya Ki Rambing

sambil melangkah menghampiri pembaringan.

"Hm.... Rasanya memang sudah enakan, Ki," jawab

Ragas sambil menggerak-gerakkan tangannya. Bergegas

pemuda itu bangkit dari dipan bambu, karena merasa

bahwa kesehatannya telah membaik. "Aku ingin berjalan-

jalan sebentar, Ki. Untuk mencari udara segar," jelas

Ragas lagi. Setelah berkata demikian, kakinya segera

melangkah kelur.


"Biar kutemani," sahut Ki Rambing yang segera

melangkah mengikuti Ragas.

Tangan kanan kepala desa ini sebenarnya merasa

curiga melihat kepulangan Ragas yang hanya menderita

luka-luka ringan saja. Menurutnya, itu merupakah hal

yang mustahil. Sebab ia kenal betul, siapa itu para

begundal Penghuni Rimba Gerantang yang kejam dan tak

kenal ampun.

Ragas sebenarnya sudah dapat menduga akan

kecurigaan Ki Rambing maupun Ki Jatar. Kedua orang

itu rasanya terlalu cerdik untuk percaya begitu saja

terhadap keberhasilan dirinya dalam meloloskan diri dari

kekejaman para pengikut iblis itu. Memang, hal ini

sebenarnya sengaja tidak diceritakan, sesuai yang

direncanakan gurunya dan Pendekar Naga Putih. Maka

sampai saat itu rencananya masih berjalan mulus.

Ki Rambing terus mengikuti langkah kaki Ragas yang

menuju kebun yang terletak di belakang rumah itu. Dahi

Ki Rambing berkerut melihat Ragas yang berjalan seperti

benar-benar tengah menikmati udara sore yang

menyegarkan itu. Tentu saja hatinya merasa heran, karena

Ragas tidak menunjukkan tanda-tanda habis dicengkeram

ketakutan ataupun kecemasan. Padahal, dia baru saja

terlepas dari iblis-iblis begundal Penghuni Rimba

Gerantang!

"Mmm... Ragas!" Panggil Ki Rambing ragu-ragu.

"Ya, Ki. Ada apa?" Tanya Ragas tanpa menolehkan

kepala.

"Benarkah orang-orang Penghuni Rimba Gerantang

itu tidak mengejarmu? Rasanya, tidak mungkin kalau

mereka membebaskanmu begitu saja?" Akhirnya Ki


Rambing tidak sanggup juga menyembunyikan rasa

penasaran dalam hari.

Mendengar pertanyaan itu, Ragas membalikkan

tubuhnya. Ditatapnya wajah Ki Rambing penuh selidik.

Sepertinya, Ragas ingin mengetahui apa maksud laki-laki

itu sebenarnya.

"Apakah Ki Rambing tidak gembira melihat aku

pulang dengan selamat? Apakah aku harus pulang dalam

keadaan sudah menjadi mayat? Begitukah yang Ki

Rambing inginkan?" Tanya Ragas dingin, tapi matanya

terus menatap wajah laki-laki yang berusia lima puluh

tahun itu.

"Hhh.... kau menyakiti hatiku, Ragas. Tidak cukupkah

waktu lima tahun untuk saling mengenal? Kita telah

sama-sama mengabdi di desa ini sejak lama. Tapi,

rupanya kau masih belum mengenalku secara baik,"

sergah Ki Rambing sambil melangkah kakinya menyusuri

tanah berumput. Wajahnya tampak muram, dan dari nada

suaranya tersirat kepedihan.

"Maafkan aku, Ki. Tidak seharusnya aku berkata

demikian. Tapi, keadaanlah yang membuatku harus

berhati-hati."

"Kau menyembunyikan sesuatu padaku, Ragas? Dan

kau... kau tidak percaya lagi padaku?" Tanya Ki Rambing

tidak dapat menyembunyikan perasaannya.

Ragas menatap Ki Rambing lekat-lekat. Tampak sinar

kesungguhan di mata dan wajah kawannya itu. Sedikit

pun tidak tampak kalau orang itu tengah bersandiwara.

Akhirnya, Ragas memutuskan untuk menceritakan

kejadian yang sebenarnya kepada Ki Rambing.


"Baiklah, Ki. Satu pesanku, jangan beritahukan apa

yang akan kuceritakan ini kepada siapa pun! Berjanjilah,

Ki!" Pinta Ragas setelah memastikan kalau hanya berdua

di tempat itu.

"Baik, aku berjanji!" Tegas Ki Rambing sungguh-

sungguh.

Dengan suara direndahkan, Ragas pun mulai men-

ceritakan kejadian yang dialami pagi tadi. Ki Rambing

mendengarkan cerita Ragas penuh kesungguhan. Sesekali

napasnya tertahan, dan di lain saat terkejut, seolah-olah

yang diceritakan kawannya itu benar-benar sebuah

peristiwa yang menegangkan.

"Begitu, Ki. Hingga akhirnya aku, Guru, dan

Pendekar Naga Putih sepakat untuk membuat rencana

seperti yang tengah kujalani ini," tutur Ragas mengakhiri

ceritanya. Sedang Ki Rambing masih saja termangu-

mangu seperti tak percaya.

"Hm... mudah-mudahan rencana itu berjalan lancar,"

desah Ki Rambing penuh harap. "Sudahlah, mari kita

kembali. Lihatlah hari sudah mulai gelap," ajak laki-laki

itu sambil melangkah meninggalkan kebun itu diikuti

Ragas.

* * *


TUJUH


Malam mulai beranjak turun. Kegelapan pelahan

menyelimuti permukaan bumi. Angin dingin bersilir

lembut menyejukkan. Samar-samar tampak sang rem-

bulan muncul utuh.

Dalam siraman cahaya bulan purnama, tampak dua

sosok bayangan putih berkelebatan di antara pepohonan.

Gerakan mereka itu demikian cepat dan ringan, seolah-

olah seperti iblis-iblis yang bergentayangan mencari

mangsa.

Dua sosok bayangan putih itu terus berlarian di atas

rumah-rumah penduduk Desa Muara Bening. Sepertinya,

tujuan mereka adalah balai desa yang letaknya di tengah-

tengah desa itu.

Begitu tiba di halaman belakang balai desa, dua sosok

bayangan putih itu bergegas menyelinap masuk ke

dalamnya. Kesibukan yang ada di halaman depan balai

desa itu sama sekali tidak dihiraukan.

Tidak berapa lama kemudian, keduanya tiba di

sebuah ruangan yang agak luas. Di situ terdapat tiga buah

tandu yang dijaga enam orang berseragam hitam. Dua

sosok bayangan putih itu tampak saling pandang sejenak,

kemudian mengangguk berberengan.

Tiba-tiba tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua

bayangan putih itu bergerak bagai kilat. Dalam sekejap

saja, enam orang berseragam hitam itu telah berdiri kaku

bagaikan patung. Rupanya keenam orang itu telah

terjorok.


Sementara itu di luar bangunan, tampak Ki Jatar

melangkah memasuki halaman balai desa. Di sebelah

kanannya, berjalan Ki Rambing. Wajahnya terlihat agak

tegang dan gelisah. Sepertinya, ada sesuatu yang

dikhawatirkan.

Ragas berlari menyambut kedatangan Ki Jatar yang

juga tengah melangkah ke arahnya. Wajah anak muda

pembantu utama kepala desa itu tampak agak gelisah.

"Apakah segalanya telah kau persiapkan, Ragas?"

Tanya Ki Jatar kepada pembantunya itu.

"Sudah, Ki. Kami hanya tinggal menunggu perintah

Ki Jatar. Kapan kami akan berangkat, Ki?" Sahut Ragas

tegang.

"Hm.... Kau tampaknya agak gelisah, Ragas? Apakah

ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Ki

Jatar yang menjadi heran melihat sikap pembantunya itu.

'Tidak, Ki. Aku hanya takut kalau kejadian yang

pernah menimpa Kakang Dumpa akan terulang lagi,"

jawab Ragas cepat.

"Hm.... Jika kita tidak membuat kesalahan, tidak

mungkin mereka akan menurunkan tangan kejam.

Sudahlah! Kejadian itu tidak usah diingat lagi. Nah!

Sekarang, berangkatlah sebelum malam semakin

melarut," ucap Ki Jatar ringan, sepera sama sekali tidak

mempedulikan nasib para gadis desa yang dijadikan

persembahan itu.

Ragas mengangguk lemah, kemudian bergegas

meninggalkan Ki Jatar. Ki Rambing pun ikut pula

meninggalkan kepala desa itu, lalu melangkah mengikuti

Ragas yang berjalan menuju ke dalam balai desa. Dia

terus memasuki ruangan, tempat ketiga buah tandu


diletakkan. Ragas yang melihat kalau keenam orang

penjaga itu bagai patung, segera menangkap penyebab-

nya. Dengan cepat, pemuda itu memberi totokan untuk

membebaskan mereka.

"Uhhh...," seru enam orang itu hampir berbarengan.

"Apakah semua telah siap?" Tanya Ragas kepada

salah satu dari mereka, setelah bebas dari totokan.

"Beres, Kakang!" Jawab orang itu tegas. Seperti

dikomando, mereka menyembunyikan kejadian yang

dialami tadi. Mungkin saja takut dituduh lalai.

"Hm.... Kalau begitu, panggil yang lain untuk

mengangkat tandu-tandu itu!" Perintah Ragas lagi. Orang

itu mengangguk cepat dan langsung keluar untuk mencari

kawan-kawannya yang lain.

Tidak berapa lama kemudian, orang itu sudah

kembali membawa dua belas orang yang juga berseragam

hitam. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas

membawa tandu. Setelah membungkuk hormat, kedua

belas orang itu bergegas mengangkat tandu-tandu, dan

bergegas menuju keluar bangunan itu.

Ki Jatar yang tengah menanti di halaman balai desa,

membalas anggukkan Ragas, Ki Rambing, dan yang

lainnya ketika iring-iringan itu melewati di depannya.

Orang tua itu terus menatap kepergian iring-iringan itu

hingga lenyap ditelan kegelapan bayang-bayangan

pepohonan. Begitu rombongan itu lenyap, Ki Jatar

bergegas meninggalkan balai desa untuk kembali ke

rumahnya, ditemani dua orang berseragam hitam. Dua

orang itu memang bertugas menjaga rumahnya.

Rombongan yang membawa persembahan untuk

Penghuni Rimba Gerantang pada setiap malam bulan


purnama itu terus berjalan menerobos kegelapan malam.

Dari kejauhan, terdengar lolongan anjing hutan yang

bersahut-sahutan. Sementara angin malam yang dingin

bertiup kencang membuat suasana malam semakin

menyeramkan.

Setelah kurang lebih seperempat malam mereka

berjalan, rombongan itu tibalah di tepi Rimba Gerantang.

Tanpa banyak bicara lagi, tandu-tandu itu segera

diletakkan di bawah sebatang pohon besar, dekat mulut

hutan.

"Penghuni Rimba Gerantang! Kami datang membawa

persembahan untukmu. Sekarang, ijinkanlah kami

kembali!" seru Ki Rambing sambil mengerahkan tenaga

dalam sehingga terdengar bagaikan bergema. Setelah

berkata demikian, Ki Rambing bergegas meninggalkan

tempat itu.

Ki Rambing dan Ragas berjalan lambat di belakang

rombongan itu. Wajah dua orang itu tampak berpeluh,

dan masih terlihat tegang. Keduanya menunduk dalam-

dalam, sepertinya tak berminat untuk berbicara satu sama

lain.

"Kalian kembalilah lebih dulu. Aku dan Ragas masih

mempunyai sedikit urusan. Kalau Ki Jatar menanyakan,

katakan saja kami akan segera kembali!" Pesan Ki

Rambing kepada rombongannya setelah mereka agak

jauh meninggalkan tepi hutan. Orang-orang itu hanya

mengangguk keheranan mendengar ucapan itu, tapi tak

seorang pun yang berani bertanya lebih jauh.

Ki Rambing dan Ragas menatap kepergian orang-

orang itu hingga mereka lenyap di balik rimbunan pohon

pada sebuah jalan berkelok. Setelah beberapa saat


menunggu, keduanya segera berbalik kembali menuju

Rimba Gerantang.

Kedua orang pembantu utama Kepala Desa Muara

Bening mengintai dari balik semak-semak. Mereka

memperhatikan tiga buah tandu yang nampaknya belum

diambil para begundal Penghuni Rimba Gerantang itu.

Saat-saat, berlalu penuh ketegangan. Setelah cukup lama

menanti, tampak belasan sosok tubuh berlompatan dari

dalam hutan dan langsung melangkah mendekati tiga

buah tandu itu.

Ki Rambing menempelkan telunjuk di bibirnya ketika

melihat Ragas hendak mengeluarkan suara. Pemuda itu

langsung terdiam menyadari kebodohannya itu.

Sementara itu dua belas orang berseragam putih mulai

mengangkat tiga buah tandu, lalu dibawa masuk ke dalam

hutan. Sesaat kemudian, kedua belas orang itu pun lenyap

ditelan kegelapan hutan. Suara lolongan anjing hutan

kembali terdengar seolah-olah mengiringi langkah kaki

mereka memasuki hutan.

Ragas dan Ki Rambing bergegas mengikuti dua belas

orang berseragam putih itu. Mereka mengendap-endap

dan menyelinap di antara rimbunan semak yang banyak

terdapat di tempat itu. Urat-urat di seluruh tubuh mereka

menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang

bakal terjadi.

Kedua belas orang berseragam putih itu terus

melangkah memasuki hutan melalui jalan sukar. Namun,

mereka sama sekali tidak mengalami hambatan karena

sudah terbiasa melewati jalan itu. Lain halnya dengan

Ragas dan Ki Rambing yang harus berhati-hati dan


menajamkan penglihatannya agar tidak sampai diketahui

orang-orang itu.

Tidak berapa lama kemudian, dua belas orang

berseragam putih itu memasuki sebuah tempat yang

dipenuhi sinar obor yang ditancapkan pada batang-batang

pohon. Kabut yang agak pekat menyambut kedatangan

dua belas orang yang membawa tandu itu.

Mereka terus memasuki sebuah bangunan tua yang

agak besar, dan dikelilingi kabut. Dua orang yang juga

berseragam putih bergegas menyambut kedatangan tiga

buah tandu itu, lalu terus masuk ke dalam bangunan tua

yang terlihat menyeramkan itu. Hawa dingin semakin

keras berhembus hingga terasa menembus tulang.

Setelah meletakkan tiga buah tandu di dalam sebuah

kamar yang cukup tuas dan menebarkan hawa dingin, dua

belas orang berseragam putih itu bergegas keluar.

Di dalam kamar itu terdapat sebuah pembaringan

yang menebarkan keharuman yang menusuk hidung.

Beberapa langkah dari pembaringan itu, terdapat sebuah

batu pipih. Di atasnya, duduk seorang berambut putih

semua. Kalau dilihat dari warna rambutnya, paling tidak

dia berusia sekitar tujuh puluh tahun. Namun meski

usianya sudah tua, wajah kakek itu nampak segar

kemerahan. Bahkan tubuhnya masih nampak tegap dan

gagah. Dialah Eyang Luwak Ambat yang disebut-sebut

sebagai Penghuni Rimba Gerantang. Dan kemudaan

wajah serta tubuh yang dimilikinya itu berkat sari pati

kehidupan yang diambil dari para perawan suci melalui

persetubuhan. Itulah sebabnya, mengapa pada setiap

bulan purnama Ki Jatar mempersembahkan tiga orang

perawan desa yang masih suci dan berwajah cantik.


Kini, kakek itu pelahan-lahan turun dari atas batu

pipih itu, lalu melangkah ke arah sebuah tandu terdekat

Ketika hampir mendekati tandu yang dituju, Eyang

Luwak Ambat merandek menahan langkahnya. Nalurinya

yang tajam mengisyaratkan kalau ada sesuatu yang tidak

beres pada tandu itu.

"Hm...," gumam kakek itu pelahan.

Eyang Luwak Ambat melangkah mundur mendekati

tepi pembaringan. Belum lagi sempat berbuat sesuatu,

tiba-tiba tandu yang tengah ditatapnya itu jebol bagian

atasnya. Tampak sesosok bayangan putih melesat keluar

bersama kepingan kayu yang berhamburan.

Bayangan putih yang ternyata adalah seorang pemuda

tampan itu mendarat beberapa tombak di hadapan Eyang

Luwak Ambat. Pemuda yang tak lain adalah Panji atau

Pendekar Naga Putih, menatap tajam wajah orang tua di

hadapannya. Tapi sebelum pemuda itu mengeluarkan

kata-kata. Tiba-tiba....

Brakkk!

Tandu yang kedua kembali jebol pada bagian atasnya

sehingga menimbulkan suara keras. Berbarengan dengan

ambrolnya atas tandu itu, muncul sesosok bayangan putih

lainnya yang melenting ke atas dan mendaratkan kedua

kakinya di sebelah Panji. Orang itu tak lain dari Resi

Bagawa atau Cambuk Hujan dan Badai.

Kedua orang pendekar itu memang sengaja hendak

bertemu langsung orang yang disebut sebagai Penghuni

Rimba Gerantang. Ternyata inilah siasat mereka untuk

dapat berhadapan langsung dengan Penghuni Rimba

Gerantang itu. Sedangkan pada tandu lainnya diisi

bongkahan batu yang seberat tubuh manusia dewasa.



Sebenarnya Eyang Luwak Ambat sangat terkejut

melihat kehadiran kedua orang itu. Tapi sebagai orang

berpengalaman, ia dapat menguasai perasaannya.

"Hm.... Rupanya kalian sengaja mengantarkan nyawa

ke tempat ini. Sungguh besar sekali nyali kalian." Tegas

kakek itu dingin. Dalam nada suaranya jelas tersirat

napsu membunuh. Pelahan tubuhnya bangkit dari tepi

pembaringan, lalu melangkah mendekati Panji dan Resi

Begawa.

"Orang Tua! Kaukah yang disebut sebagai Penghuni

Rimba Gerantang?!" Tanya Panji tenang.

Pemuda itu memang sama sekali tidak gentar

walaupun tahu dirinya di dalam sarang macan.

Sebenarnya Pendekar Naga Putih cukup terkejut melihat

seorang kakek yang memiliki bentuk tubuh dan wajah

yang tidak sewajarnya itu. Dan belum lagi keterke-

jutannya terjawab, Resi Bagawa sudah mendekati sambil

berbisik dengan suara rendah.

"Jangan heran, Panji. Orang itu tengah mempelajari

suatu ilmu sesat yang dapat menambah tenaga saktinya.

Bahkan juga dapat membuat dirinya awet muda. Itulah

sebabnya, mengapa penduduk desa selalu mempersem-

bahkan tiga perawan cantik yang menjadi syarat ilmu

itu," bisik Resi Bagawa yang membuat Panji terkejut.

"Bagaimana caranya, Eyang Resi?" Tanya pemuda itu

heran. Memang, Pendekar Naga Putih baru mendengar

ilmu sesat itu. Tapi keheranan pemuda itu seketika sirna

ketika teringat pengalaman dalam menumpas Dedemit

Bukit Iblis. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam

episode: 'Dedemit Bukit Iblis').


Iblis itu dalam melatih ilmunya harus menghisap

darah bayi sampai ilmunya menjadi sempurna. Tapi

untuk yang satu ini, Panji memang belum mengetahui

cara itu dalam menyempurnakan ilmu Penghuni Rimba

Gerantang.

"Dengan cara menghisap sari kehidupan perawan,

melalui persetubuhan!" Jawab Resi Bagawa pelan.

"Gila!" Teriak Panji sambil memalingkan wajahnya

yang memerah karena jengah. "Benar-benar iblis biadab!

Kalau begitu ia harus cepat-cepat dilenyapkan, Eyang

Resi."

Setelah ucapannya selesai, tubuh Panji segera

meluruk ke arah Penghuni Rimba Gerantang yang hanya

menatap penuh kesombongan.

Ketika serangan Panji tiba, Eyang Luwak Ambat

hanya menggerakkan tangan secara sembarang. Kelihatan

gerakan tangan itu tidak ada isinya. Tapi, dari gerakan

yang terlihat pelan itu, ternyata menimbulkan desir angin

tajam dan kuat.

Dukkk!

"Ahkkk...!"

Panji menjerit tertahan ketika lengannya bertemu

lengan kakek itu. Tubuh pemuda itu terpental balik.

Untunglah Panji bertindak cepat, dengan memutar

tubuhnya di udara hingga dapat menjejakkan kakinya di

atas tanah tanpa mengalami luka. Hanya tangan kanannya

saja yang terasa nyeri dan linu.

"Gila! Tenaga kakek tua itu hebat sekali!" Gumam

pemuda itu kagum.

"Hati-hatilah, Panji. Orang ini tidak bisa dipandang

enteng! Kalau tidak bisa bersikap tenang, kau akan celaka


di tangannya," Resi Bagawa mengingatkan. Memang

Pendekar Naga Putih tadi terbawa esosi setelah

mendengar kebiadaban kakek tua itu.

Mendengar kata-kata Resi Bagawa. Panji menjadi

sadar akan kecerobohannya tadi. Untunglah ia tidak

sampai celaka.

"He he he.... Kau boleh juga, Anak Muda. Kalau

orang lain yang menerima kebutan tanganku itu, paling

tidak tulang tangannya akan patah. Hmm... Pantas saja

berani berlagak, rupanya kau memiliki bekal cukup.

Marilah kita main-main sebentar, Anak Muda. Rasanya

sudah lama sekali aku tidak pernah bertarung. Dan hari

ini aku akan mencoba tenaga hasil latihanku selama ini,"

tantang kakek itu sambil tersenyum mengejek.

"Hm.... Berhati-hatilah kau, Orang Tua. Kali ini aku

tidak akan main-main lagi!" Tegas Panji geram.

Setelah berkata demikian, pemuda itu menarik napas

dalam-dalam. Sekejap kemudian, terdengar suara

berkerotokan yang menandakan 'Tenaga Sakti Gerhana

Bulan' mulai mengalir dikedua lengannya. Selapis kabut

bersinar putih keperakan tampak mengelilingi tubuhnya,

sehingga keadaan pemuda itu benar-benar mengejutkan

hati lawannya.

'Pendekar Naga Putih...! He he he.... Tidak kusangka

hari ini aku kedatangan seorang pendekar muda yang

sangat tersohor itu. Kebetulan sekali, Pendekar Naga

Putih! He he he.... Hari ini aku akan mencoba ilmu

baruku padamu," kata Eyang Luwak Ambat seraya

menatap tajam Pendekar Naga Putih. Dan untuk beberapa

saat lamanya, dia seperti lupa kalau hari ini harus


mendapat seorang perawan untuk menyempurnakan

ilmunya itu.

Begitu mengenali siapa pemuda itu sebenarnya, kakek

tua itu tidak lagi memandang remeh. Segera digerakkan

tangannya secara bersilangan. Seketika serangkum angin

tajam berhembus menandai kalau serangannya kali ini

tidak bisa dianggap main-main. Hawa dingin berhembus

kuat dari sekitar tubuh kakek itu.

Ketika sepasang tangan dari masing-masing lawan

menghentak, maka tampak dua kekuatan yang sama-sama

berinnkan hawa dingin saling dorong. Akibatnya dalam

ruangan itu bagaikan sebuah gua salju saja. Resi Bagawa

bergegas keluar dari ruangan itu kalau tidak ingin jadi

patung salju akibat hawa dingin yang menjadi berlipat-

lipat itu.

"Hiahhh...!"

Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji melunak

ke arah kakek itu. Kedua tangannya terkembang dalam

jurus 'Naga Sakti Masuk ke Bumi'. Sebuah jurus yang

mengandalkan kecepatan gerak tangan yang ditunjang

tenaga dalam tinggi.

Wusss! Wusss!

"Hm...," Eyang Luwak Ambat hanya bergumam

melihat serangan Panji.

Hawa dingin yang ditebarkan pemuda itu memang

tidak mempengaruhi tubuhnya. Karena, tenaga dalam

kakek itu juga bersumber dari hawa dingin. Segera Eyang

Luwak Ambat menggeser tubuhnya sehingga serangan

pemuda itu lewat dan mengenai tempat kosong.

Kemudian dengan kecepatan yang sukar diikuti mata,

kakek itu membalas serangan Panji dengan tiga buah


pukulan berturut-turut. Panji cepat dapat menghindar

tanpa mengalami kesulitan, sehingga serangan lawan

hanya mengenai tempat kosong.

Pertarungan terus berlanjut sengit. Dua gulung sinar

putih keperakan saling libat dan saling menindih. Dua

gelombang tenaga yang sama-sama menebarkan hawa

dingin, benar-benar sangat menggiriskan. Seluruh isi

kamar itu beterbangan terkena sambaran angin pukulan

sangat dahsyat. Sehingga, keadaan di dalam ruangan itu

tak ubahnya bagai dilanda angin topan.

Sementara itu Resi Bagawa yang baru saja keluar dari

dalam ruangan berpapasan dengan Tongkat Maut

Delapan Bayangan. Tangan kanan Penghuni Rimba

Gerantang itu memang bermaksud menuju ke ruang

majikannya ketika mendengar suara ribut-ribut. Dan

ketika bertemu, dua tokoh sakti dari golongan yang

berlainan itu sama-sama menghentikan langkahnya.

"Hm.... Resi Bagawa! Rupanya kau yang berani mati

mengacau tempat ini!" Geram Tongkat Maut sambil

melintangkan tongkatnya di depan dada. Memang

disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukan tokoh

sembarangan.

“Tongkat Maut Delapan Bayangan! Hari ini aku si

Cambuk Hujan dan Badai akan mengakhiri kebiadab-

anmu! Bersiaplah!"

Begitu ucapannya selesai Resi Bagawa langsung

mencabut senjatanya yang segera meledak-ledak meme-

kakkan telinga lawannya.

Ctarrr! Cterrr!

Sadar kalau lawan adalah tokoh sesat yang ternama,

Resi Bagawa langsung mengeluarkan ilmu andalan, jurus


'Cambuk Hujan dan Badai Menyapu Bumi'. Sebuah jurus

pilihan dari ilmu cambuknya.

Tanpa dapat dicegah lagi, keduanya segera terlibat

pertarungan sengit. Cambuk di tangan Resi Bagawa

meledak dan meliuk-liuk mengancam tubuh lawan. Ujung

cambuk itu selalu saja bergerak, sehingga sulit diduga ke

mana arah sasarannya.

Tongkat Maut Delapan Bayangan tidak tinggal diam,

dan segera memutar tongkatnya sedemikian rupa hingga

seolah-olah berubah menjadi delapan buah banyaknya.

Pertempuran berjalan sengit dan mendebarkan!

* * *

DELAPAN


Ternyata, pertempuran tidak hanya terjadi di da¬lam

bangunan tua itu saja. Di luar pun, terlihat Ragas dan Ki

Rambing sudah pula terlibat pertempuran yang tidak

seimbang.

Kedatangan kedua orang itu telah diketahui pengikut

Penghuni Rimba Gerantang. Maka, mereka kini terpaksa

melakukan perlawanan. Ki Rambing dan Ragas berusaha

mati-matian untuk mempertahankan nyawa. Namun,

kepandaian orang-orang berseragam putih itu ternyata

tidak bisa dipandang ringan. Dalam beberapa jurus saja,

keduanya telah terdesak hebat oleh empat orang lawan.

Belum lagi belasan kawanan orang berseragam putih itu

yang tengah menonton di tepi arena. Tampaknya dua

orang pembantu Kepala Desa Muara Bening itu tidak

akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Desss!

"Oughhh...!" Ragas melenguh kesakitan.

Tubuh pemuda itu terjungkal akibat tendangan lawan

yang telak menghantam dadanya. Namun semangat

pemuda itu memang patut dipuji. Meskipun dalam

keadaan terjepit seperti itu, Ragas masih juga berusaha

melakukan perlawanan. Sehingga, hal itu semakin

membuat lawan-lawannya penasaran.

Bukkk! Brettt!

"Aaahhhkkk...!"

Ki Rambing terpekik kesakitan ketika sebuah pukulan

dan bacokan dua orang lawan menyambar tubuhnya.


Darah mulai mengucur membasahi bumi. Namun

demikian, ia tetap berusaha mengadakan perlawanan

semampunya.

Tepat saat kedua orang pembantu Kepala Desa Muara

Bening itu tengah jatuh bangun dihajar pengeroyoknya,

tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ramping yang

mengenakan pakaian serba hijau. Pedang bersinar hitam

yang berada di tangan kanannya langsung berdesing,

menyambar leher dua orang berpakaian putih yang tengah

mengeroyok Ragas dan Ki Rambing. Mereka kontan

terjungkal mandi darah, dan tewas seketika.

Dan kini, seorang gadis cantik tahu-tahu telah berdiri

di tengah arena pertempuran. Di tangan kanannya

tergenggam sebatang pedang hitam yang telah bernoda

darah. Gadis berpakaian serba hijau itu tak ubahnya

malaikat maut yang siap menebarkan hawa kematian.

"Hm... Inikah gerombolan Penghuni Rimba Geran-

tang yang telah membuat kekacauan di Desa Muara

Bening? Mana pemimpin kalian?! Suruh dia keluar untuk

kupenggal batang lehernya!" Seru gadis itu yang ternyata

adalah Kenanga. Suaranya terdengar nyaring dan

bergema menyusup ke dalam bangunan tua itu karena

didorong tenaga dalam tinggi.

"Ohhh.... Terima kasih atas pertolonganmu, Nini. Eh!

Bagaimana Nini mengetahui tempat ini?" Tanya Ki

Rambing sambil melangkah mendekati Kenanga.

"Beberapa saat yang lalu aku bertemu serombongan

orang yang berlarian menuju Desa Muara Bening. Dari

merekalah aku mengetahui kalau di desa itu terjadi

musibah yang didalangi Penghuni Rimba Gerantang.

Maka aku langsung menuju kemari. Untunglah keda


tanganku tepat pada saatnya. Nah, sekarang marilah kita

basmi iblis-iblis biadab ini," jelas Kenanga yang segera

menggerakkan pedang hitamnya, menerjang orang-orang

berseragam putih yang sudah mengurungnya.

Para Pengikut Eyang Luwak Ambat itu kontan buyar

ketika Kenanga memutar pedangnya yang mengancam

bagian-bagian yang mematikan. Kembali terdengar

teriakan-teriakan ngeri. Seketika, dua orang pengeroyok

itu terjungkal bermandikan darah! Hebat sekali, memang,

sepak terjang murid Raja Pedang Pemutus Urat itu. Setiap

sambaran pedangnya berarti kematian bagi para penge-

royoknya.

Sementara itu Ki Rambing dan Ragas kembali

bertempur saling bahu-membahu. Semangat mereka

bangkit karena kedatangan Kenanga yang berkepandaian

tinggi itu. Dan kini, keduanya dapat bertempur lebih

tenang dan lebih berhati-hati.

Di tempat lain, Resi Bagawa tengah bertempur mati-

matian menghadapi Tongkat Maut Delapan Bayangan.

Dua tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan seluruh

kepandaian untuk menjatuhkan satu sama lain. Jurus-

jurus andalan telah dikeluarkan dengan tenaga dalam

tinggi, tapi sampai sejauh itu keduanya masih terlihat

berimbang.

"Heaaattt..!" Resi Bagawa berteriak nyaring sambil

mengelebatkan cambuknya yang menyambar-nyambar

bagai seekor ular itu. Hembusan angin keras bagaikan

badai menyertai serangannya. Tidak itu saja. Titik-titik

air ikut pula meramaikan serangan cambuknya. Benar-

benar sebuah serangan berbahaya.


Tongkat Maut Delapan Bayangan pun tidak tinggal

diam. Diputarnya tongkat maut yang menjadi andalan

hingga menimbulkan sebuah benteng yang tak tampak.

Akibatnya, lecutan-lecutan ujung cambuk Resi Bagawa

terpental balik. Dan pada saat ujung cambuk lawan

berbalik, segera dibarenginya dengan sambaran tongkat-

nya.

Bet! Bet! Bet!

"Aiiihhh...!" Resi Bagawa memekik tertahan.

Ia sangat terkejut melihat serangan lawan yang sama

sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat diputar tubuhnya

membentuk setengah lingkaran. Maka, dua serangan ber-

hasil dielakkannya. Sedangkan serangan yang satunya

lagi segera ditepis menggunakan tangan kiri.

Plakkk!

Keduanya terjajar mundur ke belakang beberapa

tindak Namun Resi Bagawa bertindak cepat Pada saat

lawan belum sempat mempersiapkan diri segera

digerakkan cambuknya melakukan dua serangan seka-

ligus. Seketika suara ledakan cambuk itu menggelegar

bagaikan halilintar.

Tongkat Maut Delapan Bayangan sangat terkejut

melihat serangan yang cepat dan ganas itu. Karena kalau

menghindarkan diri tidak mungkin, Maka Tongkat Maut

Delapan Bayangan nekad mengadu nyawa dengan

lawannya. Setelah mengambil keputusan demikian,

segera digerakkan tongkat berkepala tengkoraknya

menusuk dada lawannya itu.

Ctarrr!

Duggg!

"Aaahhhkkk...!"


"Uuuhhhkkk...!

Kedua tokoh sakti itu terpental ke belakang akibat

terkena pukulan senjata satu sama lain Tongkat Maut

Delapan Bayangan berkelojotan. Tongkat tengkorak

kepalanya retak akibat hantaman cambuk Resi Bagawa

yang menggunakan tenaga dalam tinggi. Darah mengalir

deras dari luka-luka di pelipisnya itu. Beberapa saat

kemudian, rubuh Tongkat Maut Delapan Bayangan pun

diam tak bergerak Mati.

Keadaan Resi Bagawa juga tidak berbeda jauh.

Hantaman tongkat kepala tengkorak lawannya itu telah

menghantam keras dadanya. Resi Bagawa terbatuk-batuk

hebat yang diiringi darah kental berwarna kehitaman.

"Celaka! Tongkat iblis itu beracun...!" Keluh Resi

Bagawa ketika mendapati warna biru kehitaman pada

dada yang terpukul tongkat lawannya tadi. Belum lagi

sempat berpikir lebih jauh, Resi Bagawa langsung

mengerang menahan rasa sakit yang hebat pada dadanya.

Tampak wajah orang tua itu mulai membiru.

“Huakkk...!" Setelah memuntahkan segumpal darah

kehitaman yang berbau busuk, Resi Bagawa langsung

ambruk. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian mati.

Wajahnya berubah menghitam dan kedua matanya mem-

belalak keluar akibat racun ganas pada kepala tengkorak

di tongkat lawannya.

Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara

Pendekar Naga Putih melawan Eyang Luwak Ambat atau

berjuluk Penghuni Rimba Gerantang telah berpindah ke

ruang lain. Tembok ruangan tempat mereka pertama kali

bertempur telah jebol akibat pukulan-pukulan yang tidak

mengenai sasaran.


Eyang Luwak Ambat yang semula menganggap

remeh lawannya itu menjadi terkejut setengah mati.

Sungguh tidak disangka kalau pemuda tampan yang ber-

juluk Pendekar Naga Putih itu benar-benar berkepandaian

sangat tinggi. Pantas saja julukannya begitu meng-

gemparkan dunia peralatan!

Apa yang dirasakan lawan, ternyata juga dirasakan

oleh Panji. Selama terjun dalam dunia persilatan baru kali

inilah ditemui lawan yang benarbenar tangguh dan

menguras tenaganya. Sehingga, Panji benar-benar harus

mengerahkan seluruh kepandaian untuk segera men-

jatuhkan lawan.

Pada suatu kesempatan Eyang Luwak Ambat me-

lompat mundur ke belakang. Secepat kakinya menjejak

bumi, secepat itu pula tubuhnya kembali meluruk sambil

mendorongkan sepasang tangannya ke dada Panji. Angin

dingin berkesiutan menyertai serangan itu.

Melihat serangan dahsyat itu, bergegas Panji

mengempos semangatnya. Terdengar suara bergemelutuk

dari seluruh tubuh pemuda itu ketika 'Tenaga Sakti

Gerhana Bulan' mengaliri kedua tangannya. Kabut

bersinar putih keperakan yang selalu menyelimuti

tubuhnya terlihat semakin membesar. Serangkum angin

dingin yang menusuk tulang berhembus keras, karena

Panji telah memusatkan seluruh tenaga saktinya untuk

menghadapi gempuran lawan.

"Heaaattt..!" Dibarengi teriakan mengguntur bagaikan

hendak membelah langit, tubuh Panji meluncur bagai

seekor naga memapak serangan lawan.

Blarrr!

"Aaakh...!"


Seketika terdengar ledakan dahsyat hingga meng-

getarkan seluruh tembok-tembok bangunan tua itu ketika

dua gelombang tenaga sakti saling berbenturan di udara.

Disertai pekik kesakitan, tubuh kedua orang ber-

kepandaian tinggi itu terpental balik. Demikian kerasnya

tenaga lontaran itu, sehingga tembok yang tertahan tubuh

mereka ambruk dengan menimbulkan suara gemuruh.

Tubuh mereka sama-sama jatuh terbanting di lantai,

disertai muntahan darah segar. Panji yang merasakan

tubuhnya telah terluka dalam, segera bertindak cepat

menelan sebuah pil berwarna putih. Obat luka dalam Itu

memang sengaja diberikan gurunya sebagai bekal pada

saat Pendekar Naga Putih hendak meninggalkan Bukit

Gua Harimau.

Sementara Eyang Luwak Ambat berusaha bangkit

meski kedua kakinya masih gemetar.

Rupanya tubuh kakek itu tidak luput dari luka dalam

akibat benturan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Darah

segar masih saja mengalir dari sela-sela bibirnya.

"Guru...!" Seru seorang laki-laki setengah baya berlari

mendatangi Eyang Luwak Ambat. Cepat laki-laki itu

memapah tubuh kakek tua yang dipanggil guru itu.

"Hm.... Cepat ambilkan tongkat kepala ularku!"

perintah kakek itu tanpa mempedulikan kekhawatiran

muridnya.

"Tapi, Guru...," orang itu mencoba membantah.

"Cepat! Ambil kataku...!" bentak kakek itu gemetar.

Wajahnya terlihat gusar mendengar bantahan muridnya

itu.

Meskipun ragu-ragu orang itu menuruti juga perintah

gurunya. Dia memasuki gedung tua yang sebagian telah


hancur itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu sudah

kembali sambil membawa sebatang tongkat hitam

berkepala ular. Langsung tongkat itu diserahkan kepada

gurunya.

Tanpa banyak cakap lagi, Eyang Luwak Ambat

langsung menyambar tongkat itu dari tangan muridnya,

kemudian bergegas bangkit sambil memutar-mutar

tongkatnya.

Dihisapnya dalam-dalam uap putih kebiruan yang

keluar dari mulut kepala ular yang telah kering itu. Sesaat

kemudian, tubuh orang tua itu bergetar seolah mendapat

tambahan tenaga baru. Itulah salah satu keistimewaan

ilmu yang tengah dilatihnya. Ia dapat menyimpan tenaga

pada tongkat itu dan mengambilnya kembali apabila

diperlukan.

"Hiaaah...! Mampuslah kau sekarang, Pendekar Naga

Putih!" Teriak kakek itu sambil menyabetkan tongkat

kepala ularnya ke arah Panji yang masih memejamkan

matanya untuk memulihkan tenaga.

Pada saat tongkat kepala ular itu hampir mencapai

sasaran, tahu-tahu saja tangan pemuda itu bergerak cepat.

Seketika seberkas sinar putih keperakan berpendar-

pendar di tangan kanannya. Dengan pengerahan tenaga

dalam sepenuhnya, pemuda itu menyabetkan sinar

keperakan yang ternyata adalah sebatang pedang.

Memang sudah lama pedang itu hanya melingkar di

pinggangnya. Senjata itu baru digunakan, jika lawan

benar-benar berilmu tinggi.

Tranggg!

"Aaahhh...!"


Eyang Luwak Ambat berteriak kaget Tidak di¬sangka

sama sekali kalau gerakan lawannya itu begitu cepat. Dan

tanpa dapat dicegah lagi, tongkat kepala ularnya terpapas

buntung oleh pedang pusaka sinar bulan yang dahsyat itu.

Tubuh kakek itu terpental dan berputar bagai gangsing.

Panji tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik

itu. Saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan dan

berputar bagaikan baling-baling. Sementara itu tangan

kanan yang memegang pedang ditujukan ke depan

sehingga kelebatan sinar pedang membentuk lingkaran.

Sinarnya berltilatan menyilaukan mata.

Crasss!

Brettt! Brettt!

"Aaa...!"

Eyang Luwak Ambat menjerit menyayat ketika ujung

pedang Panji merobek-robek tubuhnya. Darah segar

langsung menyembur deras dari luka-luka akibat tusukan

pedang Pendekar Naga Putih yang menggunakan jurus

'Naga Sakti Menyelam ke Dasar Laut'.

"Guru...!" laki-laki setengah baya sejak tadi meng-

khawatirkan keselamatan gurunya, berlari menubruk

tubuh Eyang Luwak Ambat yang telah basah oleh darah.

Darah segar keluar disertai suara seperti mengorok

ketika kakek itu memaksakan berbicara. Akhirnya tanpa

mengucapkan separah kata pun, Eyang Luwak Ambat

yang dijuluki Penghuni Rimba Gerantang itu tewas di

pangkuan muridnya.

"Guna...!" Laki-laki itu berteriak memanggil-manggil

sambil menggoncang-goncangkan tubuh gurunya yang

telah menjadi mayat itu. Sesaat kemudian ditolehkan

kepalanya ke arah Panji. Sepasang matanya menatap



tajam penuh api dendam, penuh napsu membunuh.

Pelahan-lahan Ki Jatar bangkit berdiri. Sebatang golok

panjang yang tergenggam erat di tangan, siap dikelebat-

kan.

"Pendekar Naga Putih! Bersiaplah mampus demi

ketenangan arwah guruku! Hiaaattt..!"

Ki Jatar melompat sambil membabatkan goloknya ke

arah Panji. Angin tajam terkesiutan, pertanda kalau golok

itu digerakkan oleh tenaga dalam tinggi.

Melihat serangan berbahaya itu, Panji segera meng-

gerakkan pedangnya yang masih belum disimpan itu.

Seberkas sinar putih keperakan berkilau menyilaukan

mata.

Tranggg!

"Aaahhhkkk..!"

Ki Jatar berteriak kaget ketika goloknya tertangkis

pedang Panji hingga terpental jauh. Sedangkan tubuh

laki-laki setengah baya itu jatuh bergulingan karena

lawan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya itu.

Ki Jatar berusaha bangkit sambil memegangi tangan

kanan yang terasa bagai patah itu. Belum lagi sempat

berdiri tegak, Panji langsung berkelebat seraya

menyabetkan senjatanya ke tubuh kepala desa itu.

Crakkk!

Crasss!

"Aaa...!"

Ki Jatar meraung setinggi langit ketika pedang

Pendekar Naga Putih telah menebas lehernya. Darah

segar berhamburan membasahi bumi. Tubuh Ki Jatar

berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tak bergerak


Kepala Desa Muara Bening itu tewas dengan leher

hampir putus.

Hening sejenak setelah kematian Ki Jatar. Ki Ram-

bing dan Ragas yang telah tiba di tempat itu berdiri

terpaku memandangi mayat Ki Jatar.

"Panji...!" Hei..? Bukankah itu Ki Jatar? Apa-apa

yang terjadi dengannya?" Ki Rambing dan Ragas

menghampiri Pendekar Naga Putih. Pakaian yang mereka

kenakan sudah tidak keruan bentuknya karena telah robek

di sana-sini akibat senjata tajam.

"Kau kenal laki-laki itu, Ragas?" Tanya Panji tanpa

mengalihkan tatapannya dari wajah laki-laki yang

ternyata Ki Jatar itu.

'Tentu saja aku kenal, Panji. Dia adalah kepala desa

kami. Ki Rambing, lihatlah! Apakah kau ingat wajah

kakek itu?" Tanya Ragas tiba-tiba sambil menunjuk

mayat Eyang Luwak Ambat.

"Hei?! Bukankah kakek itu pernah datang ke desa

pada setengah tahun yang lalu?" Tanya Ki Rambing

kaget.

"Hm.... Dialah yang disebut sebagai Penghuni Rimba

Gerantang yang selama ini meresahkan penduduk Desa

Muara Bening," sahut Panji tiba-tiba.

"Aaahhh...!" Ragas dan Ki Rambing berteriak kaget

dan hampir tak percaya akan pendengarannya.

"Hm.... Ternyata dugaanku tidak meleset terlalu jauh.

Semula kuduga Ki Jatar yang menjadi biang keladi semua

peristiwa di Desa Muara Bening. Tapi, ternyata ia hanya

diperalat gurunya yang berhati bejad itu," ujar Ragas

pelan.


"Menurut cerita yang kudengar dari Ki Dewana, Ki

Jatar belum terlalu lama menjabat Kepala Desa Muara

Bening. Tolong ceritakan hal ini padaku." Pinta Panji

penasaran, seraya menatap Ki Rambing dan Ragas.

"Memang benar apa yang dikatakan Ki Dewana itu.

Pada tiga tahun yang lalu, Ki Jatar datang ke Desa Muara

Bening dengan segala kemewahannya. Kemudian, ia

meminta ijin untuk menetap di desa kami. Karena

sikapnya yang ramah dan sangat dermawan, maka kepala

desa mengangkat menjadi wakilnya. Setelah diangkat

menjadi wakil kepala desa, ternyata sikapnya menjadi

semakin baik. Banyak petani miskin yang dibantu

sehingga Ki Jatar semakin disukai dan dihormati

penduduk desa," Ragas berhenti sejenak seolah ingin

mengumpulkan ingatannya.

"Biarlah aku yang teruskan ceritamu, Ragas," pinta Ki

Rambing yang dijawab Ragas dengan anggukan kepala.

Ki Rambing menarik napas dalam-dalam untuk

mengingat peristiwa yang telah lalu itu.

"Pada enam bulan yang lalu, datang seorang kakek

yang kemudian diperkenalkan sebagai guru Ki Jatar.

Setelah sepekan menginap di rumah Ki Jatar, kakek itu

pergi entah ke mana. Menurut keterangan Ki Jatar

gurunya itu telah kembali ke pertapaan. Beberapa hari

setelah kepergian kakek itu, kepala desa kami tewas tanpa

sebab yang jelas. Dan sebagai penggantinya, diangkatlah

Ki Jatar sebagai kepala Desa Muara Bening yang baru.

Beberapa bulan kemudian, muncullah beberapa peristiwa

pembunuhan di desa kami. Sampai akhirnya Ki Jatar

memutuskan untuk memberi persembahan pada setiap

bulan purnama, karena kami sudah tidak mampu



mengatasi pembunuhan-pembunuhan itu," Ki Rambing

mengakhiri cerita dengan helaan napas berat.

"Hm.... Jadi Ki Jatar dan gurunya yang merencanakan

semua ini. Mungkin Ki Jatar berusaha membantu gurunya

yang sedang mendalami sebuah ilmu," gumam Panji

pelan.

"Oh, ya. Ke mana Resi Bagawa...?" Tanya Panji

ketika tidak melihat orang tua itu semenjak tadi.

"Ia telah tewas bersama Tongkat Maut Delapan

Bayangan yang menjadi lawannya," sahut Ragas. Ada

nada kesedihan dalam suaranya.

"Ohhh...! Lalu, bagaimana kalian dapat masuk dengan

selamat ke tempat ini?" Tanya Pendekar Naga Putih

heran, karena ia tahu kalau tempat itu dijaga murid-murid

Penghuni Rimba Gerantang yang rata-rata memiliki

kepandaian cukup tinggi.

"Sebenarnya kami pun sudah tewas kalau saja tidak

ditolong seorang pendekar wanita yang cantik bagai

bidadari," sahut Ragas memuji.

Jantung di dada Panji berdebar ketika Ragas

menyebut gadis itu secantik bidadari. Selintas terbayang

wajah kekasihnya yang tengah dicarinya itu. Mungkinkah

gadis itu Kenanga!

"Apakah gadis itu mengenakan pakaian serba hijau?"

Tanya Panji suaranya terdengar tegang.

"Benar!" Sahut Ragas heran karena Panji dapat tepat

menebak.

"Apakah... apakah bersenjatakan sebatang pedang hi-

tam?" Suara pemuda itu semakin bergetar dan menegang

karena ia sudah mulai dapat menduga kalau gadis itu

pastilah kekasihnya.


"Eh! Bagaimana kau dapat tepat menerkanya, Panji?"

Ki Rambing semakin heran melihat ketegangan dan

kegelisahan pemuda itu.

"Katakan, di mana ia sekarang?"

"Ia... ia telah pergi ketika kami mengatakan akan

menemui Pendekar Naga Putih yang berada di dalam

bangunan ini," jawab Ragas gugup melihat sinar mata

pemuda itu yang mencorong tajam dan menakutkan.

"Aaahhh... Adik Kenanga...," desah Panji berduka.

Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu bergegas mening-

galkan tempat itu untuk mencari kekasihnya.

Namun sampai pagi menjelang, Panji belum juga

dapat menemukan gadis itu. Padahal seluruh pelosok

Rimba Gerantang sudah ditelusurinya.

"Hhh.... Rupanya rasa cemburu di harinya ketika

melihat sikap mesra Trijati kepadaku belum hilang,"

desah Panji resah. (Baca serial Pendekar Naga Putih

dalam Episode: 'Jari Maut Pencabut Nyawa').

Dengan langkah lambat, Pendekar Naga Putih

meninggalkan daerah Rimbang Gerantang.

Angin pagi yang bersilir lembut, ternyata belum

mampu mengusir rasa rindu di hatinya yang belum

bertemu dengan kekasihnya.



                            SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar