PENGHUNI RIMBA GERANTANG
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Penghuni Rmba Gerantang
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Di bawah siraman cahaya sinar rembulan, tampak
sebuah iring-iringan bergerak keluar dari mulut sebuah
desa. Beberapa orang di antaranya tampak mengusung
tiga buah tandu yang dihias secantik mungkin. Lapat-
lapat tercium harum bunga-bungaan menyertai langkah
kaki mereka.
Seorang lelaki setengah baya yang memimpin iring-
iringan itu tampak berjalan didepan, diapit dua orang
berseragam hitam. Wajah laki-laki setengah baya itu
tampak pucat dan tak bergairah. Garis-garis yang
seharusnya belum waktunya menghias wajah telah
membuatnya tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Seolah dia mengalami tekanan batin yang ber-
kepanjangan.
Dua orang yang mengenakan seragam hitam di kiri
kanannya pun demikian. Mata mereka menatap kosong
ke depan, dengan bibir terkatup rapat tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun. Padahal perjalanan itu sudah cukup
jauh dan melelahkan.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan yang
cukup berat karena harus melewati jalan berkelok dan
mendaki, rombongan itu tiba di mulut sebuah hutan.
Hembusan angin dingin dan lolongan anjing hutan
seolah-olah menyambut kedatangan mereka.
'Turunkan tandu-tandu, dan taruh dekat pohon besar
itu!" perintah laki-laki setengah baya sambil menolehkan
kepala ke arah anak buahnya yang menggotong tandu
tandu itu. Suara laki-laki setengah baya itu terdengar
berat dan parau.
"Baik, Ki!" sahut seorang pengusung tandu terdepan.
Kedua belas laki-laki yang mengusung tiga buah
tandu bergerak mengikuti arah yang ditunjukkan
pemimpinnya. Setelah meletakkan tandu-tandu, mereka
bergegas kembali ke arah rombongan. Wajah mereka
yang dipenuhi keringat itu tampak membayangkan
kengerian yang mendalam. Entah apa yang telah mereka
alami sebelumnya.
"Ki., mestikah kita diamkan kejadian ini berlarut-
larut?" bisik salah seorang berseragam hitam yang berada
di sebelah kirinya. Suaranya terdengar lirih dan takut-
takut.
"Jaga mulutmu, Dumpa! Sadarkah kau, apa yang kau
ucapkan itu? Kau akan...," belum lagi selesai ucapan laki-
laki setengah baya itu, orang yang dipanggil dengan nama
Dumpa menjerit ngeri.
Tubuh orang itu ambruk dan berkelojotan meregang
nyawa. Kedua tangannya mencekik leher seolah-olah
Dumpa sedang membunuh dirinya sendiri. Wajahnya
langsung berubah kehijauan dan dari pori-pori kulit
mukanya tampak keluar bintik-bintik darah yang semakin
lama semakin membanjiri seluruh permukaan wajahnya.
"Dumpa! Dumpa! Kenapa...? Apa... ohhh...!" seorang
laki-laki berseragam hitam lainnya berteriak-teriak tanpa
tahu harus berbuat apa.
"Ragas! Jangan sentuh, kalau kau masih ingin hidup!"
bentak laki-laki setengah baya itu sambil menarik tubuh
orang berseragam hitam yang dipanggil dengan nama
Ragas.
Tangan Ragas yang sudah hampir menyentuh tubuh
kawannya tertarik ke belakang. Laki-laki itu menahan
haru sambil menutupi wajahnya. Ragas rupanya merasa
sangat terpukul melihat kematian kawannya yang sangat
mengerikan itu.
"Ki! Berbuatlah sesuatu, jangan hanya diam saja!
Lebih baik mati terhormat daripada harus tersiksa dan
terhina seperti ini! Hei, kau Penghuni Rimba Gerantang!
Tunjukkan ujudmu, iblis! Aku hari ini akan mengadu
nyawa denganmu!" Ragas berteriak bagai orang
kesetanan dan menantang-nantang sambil meng-
acungkan goloknya ke arah Rimba Gerantang. Sepertinya
keselamatan dirinya sudah tidak diperlukan lagi.
"Auuunggg...!" suara teriakan Ragas yang bergema
dan menyelusup ke dalam rimba disambut lolongan
anjing hutan yang bersahut-sahutan sehingga membuat
anggota rombongan itu menggigil ketakutan.
Puluhan orang desa yang tergabung dalam
rombongan itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut
mencium tanah berumput. Kepala mereka mengangguk-
angguk sambil mengucapkan kata-kata permohonan
ampun berulang-ulang.
"Ampunkan, kami... ampunkan, kami...!" Laki-laki
setengah baya yang mengepalai rombongan menjadi
terkejut melihat perubahan yang mendadak itu. Beberapa
saat lamanya ia hanya dapat memandang bingung tanpa
tahu harus berbuat apa.
"Hei, orang-orang tolol! Mengapa harus meminta
ampun kepada iblis itu? Mengapa kalian begitu pengecut?
Mana keberanian kalian? Ayo bangkit! Kita lawan iblis
itu bersama-sama!" Ragas memaki-maki anggota
rombongannya yang bersujud ketakutan itu.
"Hentikan ucapanmu, Kakang Ragas! Engkau akan
dikutuk Penghuni Rimba Gerantang! Sadarlah, Kakang
Ragas!" sergah salah seorang dari anggota rombongan itu
mencoba memperingatkan Ragas.
"Penghuni Rimba Gerantang! Maafkan orang-
orangku. Maafkan dan ampuni Ragas. la tidak sadar
dengan apa yang diucapkannya. Terimalah persmbahan
ini, dan kami mohon diri!" Tiba-tiba laki-laki setengah
baya yang sejak tadi hanya berdiam diri berseru lantang
sambil menghadap ke hutan. Suaranya bergema karena
diucapkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup
tinggi.
Sejenak suasana jadi hening, seperti menunggu
jawaban Penghuni Rimba Gerantang.
"Mari kita kembali!" Perintah laki-laki setengah baya
itu kepada seluruh anggotanya. Sambil berkata demikian
ditariknya tangan Ragas, lalu dibawa pergi.
“Tidak! Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini!
Aku ingin melihat wujud iblis itu, dan akan mengadu
nyawa dengannya!" Tolak Ragas sambil menyentakkan
tangannya hingga terlepas dari pegangan laki-laki
setengah baya itu Dia melarikan diri ke dalam hutan.
"Kembali, kataku!"
'Tidak! Kalau Ki Rambing ingin pulang, pulanglah!
Aku akan tetap di sini menanti kedatangan iblis keparat
itu!"
"Keras kepala!" Laki-laki setengah baya bernama Ki
Rambing itu mengumpat gusar. Tiba-tiba tubuhnya
mencelat ke arah Ragas sambil melancarkan totokan.
"Hah!?"
Ragas yang sudah seperti kerasukan setan itu malah
menggerakkan goloknya menyambut serangan Ki
Rambing. Laki-laki setengah baya itu menarik pulang
serangan dan membarenginya dengan sebuah tendangan
kilat ke paha Ragas yang menjadi terkejut setengah mati.
Bergegas dilempar tubuhnya ke belakang untuk
menghindari tendangan Ki Rambing.
Sambil bergulingan, laki-laki berseragam hitam itu
mengobat-abitkan goloknya. Sedangkan Ki Rambing
terpaksa harus menahan serangan itu agar tubuhnya tidak
menjadi sasaran golok.
"Ragas, dengar kataku! Kau hanya akan mengantar
nyawa percuma! Lebih baik kita kembali. Biar Ki Jatar
yang akan mengurus persoalan ini. Ayolah," Ki Rambing
masih juga berusaha menenangkan Ragas. Jiwa laki-laki
berseragam hitam itu menjadi guncang akibat kematian
saudara seperguruannya yang bernama Dumpa.
"Tidak, Ki! Jangan paksa aku. Lebih baik mati di
tangan iblis itu daripada ditertawakan arwah Kakang
Dumpa di alam sana!" sahut Ragas tetap keras kepala
setelah menghentikan serangannya.
"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi
keputusanmu. Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk
membantumu," ujar Ki Rambing tertunduk lesu. Sambil
terus berkata, laki-laki setengah baya itu melangkah
mendekati Ragas yang menjadi lengah mendengar
ucapannya.
Ki Rambing sadar sepenuhnya kalau kepandaian
mereka tidak berselisih jauh. Dan kalau pemuda itu diajak
secara paksa akan memakan banyak waktu dan tenaga.
Hingga akhirnya, harus berpura-pura menyerah kepada
kemauan pemuda itu. Karena dalam keadaan terguncang
seperti itu, Ragas akan menjadi lengah apabila diajak
bicara baik-baik.
Namun, sebelum kaki Ki Rambing sempat mendekati
tubuh Ragas, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan
mendarat dekat Ragas berdiri. Sedangkan Ki Rambing
dan Ragas melompat mundur. Seluruh urat-urat di tubuh
mereka menegang siap menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Ki Jatar...!"
Keduanya berseru berbarengan ketika mengenali
sosok yang baru datang itu. Ketegangan yang
menyelimuti hati mereka segera saja lenyap, lalu sama-
sama membungkuk hormat kepada orang yang baru
datang itu.
"Hm.... Mengapa kalian masih berada di tempat ini?
Apakah hendak bunuh diri?" Tegur orang yang dipanggil
Ki Jatar itu tak senang. Kedua matanya memandang
berganti-ganti ke arah kedua orang itu, begitu tajam
menusuk.
Setelah hening sesaat, Ki Rambing mengangkat
kepalanya menatap sosok tubuh tinggi kurus di
hadapannya. Laki-laki setengah baya itu menarik napas
terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Ki Jatar
yang menjadi penguasa di Desa Muara Bening tempat
mereka tinggal.
"Maafkan aku, Ki. Kejadian ini benar-benar diluar
dugaanku," jawab Ki Rambing sambil menundukkan
kepala tak sanggup menatap mata kepala desanya yang
bagaikan mata elang itu.
"Benar begitu, Ragas?" Tanya Ki Jatar yang kini
menatap wajah laki-laki muda yang berseragam hitam itu.
"Lalu apa maksudmu dengan senjata itu? Apakah ingin
menjadi pahlawan? Sarungkan golok itu!" Perintah Ki
Jatar tegas tanpa ingin dibantah.
'Tapi, Ki..! Kakang Dumpa telah dibunuh iblis itu.
Dan aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus mengadu
nyawa dengan Penghuni Rimba Gerantang itu," jawab
Ragas masih tetap pada pendiriannya. Tekadnya sudah
benar-benar tak bisa dihalangi siapa pun, meski orang itu
adalah kepala desanya sendiri.
"Kau tidak mendengar kata-kataku, Ragas?! Kau
berani membantahnya?!" Bentak Ki Jatar jengkel. Wajah
Kepala Desa Muara Bening itu memerah karena Ragas
membantah perintahnya. "Sarungkan golokmu, atau kau
ingin mengalami nasib seperti Dumpa?"
"Oooh...," Ragas mengeluh pendek. Tubuhnya yang
tegap itu melorot jatuh ke atas tanah berumput yang
mulai basah oleh butiran embun. Ia menekap wajah
dengan kedua tangannya. Sedangkan goloknya terjatuh di
atas tanah.
Wajah Ki Jatar yang semula mengeras karena
kemarahan pelahan melembut. Dengan langkah gontai
dihampiri pembantunya itu. Ditepuknya bahu Ragas
lembut seolah-olah dengan berbuat begitu dapat memberi
kekuatan kepadanya untuk menghadapi masalah itu.
"Maafkan aku, Ragas. Tidak seharusnya aku bersikap
kasar seperti tadi. Aku mengerti perasaanmu. Sekarang
marilah kita pukang," ajak Ki Jatar sambil mengangkat
bangkit tubuh orang itu. Tergambar perasaan sedih dan
kesal yang mendalam pada wajahnya.
'Tapi... tapi, Ki...."
"Sudahlah...," sahut Ki Jatar menghibur.
Ki Jatar membungkuk, memungut golok yang terlepas
dari tangan Ragas dan memberikan kepada pembantunya.
Ragas segera menerima, laki menyarungkan goloknya tak
bersemangat. Lalu, dibimbingnya laki-laki berseragam
hitam itu meninggalkan tepi hutan.
Ki Rambing menarik napas lega ketika melihat
kejadian itu. Kemudian, dia bergegas meninggalkan
tempat itu mengikuti kepala desa yang berjalan sambil
membimbing Ragas.
Rimba Gerantang kembali dicekam kesunyian dan
penuh misteri...
* * *
Beberapa saat setelah kepergian ketiga orang pemuda
Desa Muara Bening itu, nampak belasan sosok yang
mengenakan seragam serba hitam berlompatan ke arah
pohon besar di mulut hutan. Dengan langkah ringan dan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun, belasan sosok
tubuh itu mulai mendekati tiga buah tandu yang
ditinggalkan penduduk.
"Hati-hati...!" Bisik seorang laki-laki yang berada
paling depan sambil menggerakkan tangan, menahan
langkah kawan-kawannya yang berada di belakang.
Belasan orang itu terdiam sejenak Bulu kuduk mereka
berdiri tegak ketika hembusan angin dingin dan lolongan
anjing hutan seolah-olah menyambut langkah kaki
mereka.
"Aneh! Mengapa hatiku tiba-tiba merasa tidak e-
nak?" Bisik salah seorang. Suaranya terdengar bergetar.
Entah karena hembusan angin dingin atau perasaan takut.
"Ya! Aku pun merasakannya," sahut kawannya yang
juga ikut merasakan keanehan itu.
Sedang sang pemimpin yang berada paling depan,
mengedarkan pandangnya ke sekitar tempat itu.
Wajahnya terlihat menegang dan penuh kewaspadaan
seolah-olah tengah mencium sesuatu yang mencurigakan.
Setelah beberapa saat menanti dan merasa
kecurigaannya tak beralasan, kembali dilangkahkan
kakinya yang kemudian diikuti belasan pengikutnya.
Ketika jarak antara tandu-tandu itu dan dirinya hanya
tinggal sekitar dua tombak lagi, tiba-tiba angin dingin
berhembus keras, sehingga pakaian dan rambut belasan
orang itu berkibar dibuatnya.
Wrrr!
Demikian dinginnya hembusan angin keras itu
sampai-sampai beberapa orang di antaranya menggigil
kedinginan.
"Kurang ajar! Siapa yang berani main gila di hadapan
Iblis Baju Hitam? Ayo, tunjukkan batang hidungmu!"
pemimpin gerombolan yang berjuluk Iblis Baju Hitam itu
berteriak gusar karena merasa dipermainkan.
Namun, tiada satu suara pun yang menjawab
tantangannya kecuali gemerisik dedaunan yang
dipermainkan angin. Sesaat kemudian, suasana pun
menjadi tenang kembali.
"Hm!" sambil mendengus kasar Iblis Baju Hitam
kembali melangkah mendekati tiga buah tandu itu. "Buka
tirai penutup tandu itu. Cepat!" perintah Iblis Baju Hitam
tegas.
Dua orang pengikutnya bergegas membuka tirai
penutup tandu yang terdekat. Tangan keduanya gemetar
ketika menyentuh tirai itu. Jelas, mereka masih
terpengaruh keanehan-keanehan yang dialami tadi.
Tiba-tiba kedua orang itu segera menarik tangannya
yang memegang tirai ketika merasakan sesuatu yang
dingin menyelusup melalui telapak tangan.
"Ah?!"
Kedua orang itu berteriak kaget bercampur heran
ketika mendapati sebuah bintik merah pada telapak
tangan masing-masing. Wajah mereka terlihat menegang
karena merasakan sesuatu berhawa dingin bergolak
dalam tubuh. Sesaat kemudian wajah keduanya berubah
pucat dan menggigil kedinginan hebat! Kemudian mereka
jatuh dan berkelojotan di atas rumput dalam keadaan
sekarat. Dan kini keduanya pun tewas setelah terlebih
dahulu mengeluarkan buih-buih berwarna putih dan
berbau busuk dari mulut.
"Ihhh...!"
Iblis Baju Hitam dan para pengikutnya tersentak
mundur. Di wajah mereka terbayang kengerian yang
dalam ketika menyaksikan kematian kedua orang kawan
mereka dalam keadaan yang mengerikan itu.
"Bangsat! Manusia pengecut! Keluar kau, menusia
curang! Jangan hanya berani menyerang secara licik!"
teriak Iblis Baju Hitam yang begitu gusar melihat
kematian dua orang pengikutnya itu. Ia berteriak-teriak
menantang sambil mencabut senjatanya. Suaranya
bergema jauh karena didorong tenaga dalam tinggi.
Belasan orang pengikut Iblis Baju Hitam telah pula
mencabut senjata masing-masing, dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Selama beberapa saat seluruh laki-laki berpakaian
hitam itu dicekam ketegangan yang sangat menyiksai
hari. Baru saja Iblis Baju Hitam hendak bersuara! tiba-
tiba...
"Ha ha ha...!" terdengar tawa berkepanjangan yang
dibarengi berkelebatnya dua sosok bayangan putih. Tahu-
tahu saja, dua tubuh telah berdiri tegak di dalam jarak dua
tombak di hadapan Iblis Baju Hitam.
Hati Iblis Baju Hitam berdebar ketika melihat wajah
kedua orang berjubah putih itu. Wajah mereka hanya
tampak bagian depannya saja. Sedang kepalanya tertutup
kerudung yang juga berwarna putih. Dan yang membuat
hati iblis itu berdebar, adalah wajah kedua orang itu yang
tak ubahnya seperti tengkorak!
"Siapa kalian...?!" bentak Iblis Baju Hitam sambil
menyilangkan senjatanya di depan dada. Biar
bagaimanapun, keadaan dua orang berjubah putih itu
sempat menggetarkan hatinya.
"Siapa pun kami, bukan urusanmu, Iblis Baju Hitam.
Tapi perbuatanmu yang ingin mencuri tiga buah tandu
itu, patut diberi hukuman," tegas salah satu dari dua
orang berjubah putih itu dingin dan bernada maut.
"Huh! Siapa pun kau adanya, jangan harap dapat
menakut-nakutiku! Topeng tengkorakmu itu hanya untuk
menakut-nakuti anak kecil, tahu?! Dan jangan sangka
Iblis Baju Hitam akan mudah ditundukkan! Nah,
majulah!" tantang Iblis Baju Hitam yang rupanya dapat
segera mengetahui kalau dua orang itu mengenakan
topeng. Keberaniannya pun kembali muncul ketika
mengetahui keadaan dua orang itu. Sambil tertawa
mengejek, Iblis Baju Hitam menggerakkan senjatanya
siap menghadapai pertarungan.
Kedua orang berjubah putih itu cukup terkejut
mendengar ucapan Iblis Baju Hitam. Diam-diam mereka
mengakui ketajaman mata lawannya yang dapat
menembus keremangan malam. Dari situ saja sudah dapat
diduga kalau kepandaian pemimpin perkumpulan Iblis
Baju Hitam memang tidak bisa dipandang rendah.
Demikian pula para pengikut Iblis Baju Hitam.
Mendengar ucapan pemimpinnya serentak mereka maju
tanpa rasa takut lagi.
"Anak-anak, serang...!"
Begitu mendengar perintah pemimpinnya, belasan
orang anggota Iblis Baju Hitam itu serentak melompat
maju. Mereka langsung menerjang kedua orang berjubah
putih dengan senjata di tangan.
Kedua orang berjubah putih itu mendengus mengejek.
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, keduanya
melesat bagai terbang ke arah belasan orang itu.
Terdengar teriakan ngeri yang susul-menyusul, maka
empat orang pengikut Iblis Baju Hitam terjungkal mandi
darah! Kawan-kawannya serentak berlompatan mundur
disertai wajah pucat. Bukan main marahnya Iblis Baju
Hitam melihat dalam segebrakan saja empat orang anak
buahnya tewas di tangan dua orang berjubah putih itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
melesat ke arena pertempuran dan langsung menyabetkan
senjatanya.
Singgg!
Suara golok panjang di tangan Iblis Baju Hitam
berdesing tajam pertanda kalau senjata itu digerakkan
tenaga dalam tinggi.
Salah seorang lawan yang menjadi sasaran senjata
Iblis Baju Hitam melompat mundur menghindar serangan
itu. Namun belum lagi kedua kakinya sempat menginjak
tanah, tahu-tahu golok panjang Iblis Baju Hitam kembali
mengancam batang lehernya. Menyadari kalau untuk
menghindar sudah terlambat, tangannya segera diangkat
untuk menangkis pergelangan lawan.
Dukkk!
Orang berjubah putih itu terjajar mundur sejauh
delapan langkah karena posisinya memang lebih lemah
dari lawannya. Sekejap terlintas sinar berhawa maut
menyambar dari sepasang matanya.
Sementara itu setelah melakukan salto dua kali di
udara, Iblis Baju Hitam mendaratkan kakinya di atas
tanah berumput yang mulai berembun itu. Tangan
kanannya terasa nyeri akibat tangkisan lawan. Terpaksa
dia harus mengakui kehebatan tenaga dalam lawan yang
wajahnya tersembunyi di balik topeng tengkorak itu.
"Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa mencampuri
urusanku?" Tanya Iblis Baju Hitam penasaran.
Bagaimana tidak menjadi penasaran? Ia yang telah
malang melintang di daerah itu, sama sekali belum
pernah bertemu kedua orang berjubah putih yang kini
menjadi lawannya. Sama sekali tidak dapat diterka, siapa
gerangan kedua orang berjubah putih itu.
"Hm... mencampuri urusanmu! Tahukah kau,
siapakah yang berhak atas tandu-tandu itu?"
"Aku tidak peduli siapa pemilik tiga tandu itu. Dan
aku pun tidak peduli apakah kau mau memperkenalkan
namamu atau tidak!" bentak Iblis Baju Hitam marah.
"Kau memang tidak tahu diri, Iblis Baju Hitam.
Hingga sampai sedemikian beraninya ingin mengambil
milik penghuni Rimba Gerantang."
"Penghuni Rimba Gerantang...?" gumam Iblis Baju
Hitam heran." Hm... Jadi yang disebut-sebut pengawal
kepala desa ini benar adanya. Keparat! Rupanya tanpa
setahuku, di daerah ini telah kedatangan orang asing dan
mencoba menyebarkan pengaruhnya di wilayah
kekuasaanku! Kalau begitu kaliankah yang dijuluki
Penghuni Rimba Gerantang itu?! Bagus! Marilah kita
tentukan, siapa di antara kita yang akan menjadi penguasa
wilayah ini!"
"Kau salah, Iblis Baju Hitam. Kami berdua hanyalah
pembantu-pembantu yang ditugaskan untuk mengambil
tandu-tandu itu. Dan kami berdua dijuluki orang
Sepasang Mambang Lembah Maut," sahut salah seorang
memperkenalkan diri.
Mendengar siapa adanya kedua orang berjubah putih
itu saja sudah membuat Iblis Baju Hitam cukup terkejut,
karena nama itu cukup terkenal di kalangan dunia
persilatan. Namun karena mereka memang jarang muncul
di dunia ramai, maka para tokoh persilatan pun hampir
tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tapi kini tahu-
tahu saja mereka muncul dan mengaku sebagai pembantu
Penghuni Rimba Gerantang. Entah, sampai di mana
kesaktian yang dimiliki sampai-sampai Sepasang
Mambang Lembah Maut begitu merendahkan dirinya
untuk menjadi pembantu tokoh itu. Iblis Baju Hitam
benar-benar tak habis mengerti dibuatnya.
* * *
DUA
Pertarungan yang berlangsung antara para anggota
Iblis Baju Hitam melawan salah satu dari dua orang
berjubah putih semakin terlihat sengit. Para pengikut Iblis
Baju Hitam itu berusaha melawan dengan sekuat tenaga.
Mereka yang hanya tersisa tujuh orang itu tampak sudah
tidak kuat untuk bertahan lebih lama, akibat gempuran
yang dilancarkan lawan.
Iblis Baju Hitam menolehkan kepalanya ketika untuk
kesekian kalinya mendengar jeritan kematian
pengikutnya. Dua orang berseragam hitam itu terjungkal
dengan kepala pecah. Merasa tak tega melihat para
pengikutnya dibantai secara demikian, Iblis Baju Hitam
cepat melesat membantu para pengikutnya yang tinggal
lima orang itu.
"Heaaattt...!" ditandai teriakan keras, Iblis Baju Hitam
langsung melancarkan serangan ke arah orang berjubah
putih yang tengah bertarung melawan para pengikutnya.
Namun sebelum maksudnya tercapai, sebuah bayangan
putih lain melesat memotong serangannya. Akibatnya
Iblis Baju Hitam terpaksa membatalkan niatnya dan
bergegas menyambut serangan itu.
Sedetik kemudian keduanya kembali terlibat
pertarungan sengit. Orang berjubah putih itu rupanya
sudah memulai mengeluarkan ilmu-ilmu andalan, setelah
membaca kepandaian lawan. Tapi Iblis Baju Hitam
bukanlah orang lemah yang mudah ditaklukkan begitu
saja. Dalam kalangan perampok, Iblis Baju Hitam
termasuk rajanya perampok. Sehingga, kepandaiannya
pun tidak bisa dibuat main-main.
Memang, Iblis Baju Hitam sendiri sudah pula
mendengar nama besar Sepasang Mambang Lembah
Maut. Sepasang manusia kembar yang selalu
menyembunyikan dirinya di balik topeng tengkorak itu
bukan tokoh lemah. Banyak tokoh persilatan baik dari
golongan putih maupun golongan hitam enggan mencari
permusuhan dengannya. Karena selain berkepandaian
tinggi, Sepasang Mambang Lembah Maut tidak pernah
meninggalkan lawan dalam keadaan hidup.
Kini, keduanya betul-betul menemui lawan yang
seimbang! Meskipun segenap kemampuan telah
dikerahkan, tetap saja keadaan mereka tidak berubah!
Puluhan jurus telah berlalu, namun belum ada yang
terdesak. Iblis Baju Hitam semakin kalap ketika lagi-lagi
terdengar jerit kematian para mengikutnya yang tengah
bertarung melawan salah seorang dari Sepasang
Mambang Lembah Maut. Sambil berteriak keras, ia
melompat mundur.
"Hmh!"
Iblis Baju Hitam menggeram seraya mempersiapkan
Ilmu pamungkas, 'Menghalau Barisan Seratus Golok'.
Sebuah ilmu yang mengandalkan kekuatan dan
kecepatan. Kedua tangannya bersilangan dan membentuk
lingkaran-lingkaran yang sukar ditembus. Cepat sekali
gerakan kedua tangannya sehingga membuat lawan
menjadi kerepotan.
Dan kini Sepasang Mambang Lembah Maut yang
bernama Jonggala, terdesak hebat! Hingga pada jurus
yang kelima puluh tiga, dia tidak sempat lagi
menghindari dari sergapan lawan.
Bukkk!
"Ahhhkkk...!" tubuh Jonggala terpental akibat
hantaman Iblis Baju Hitam yang telak mengenai
lambung. Darah segar muncrat dari mulutnya karena
hantaman itu begitu keras. Dan sebelum posisinya sempat
diperbaiki, lawannya sudah kembali menyerang.
Dengan gerakan sebisanya, Jonggala melempar
tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan
lawan. Tubuhnya terus bergulingan karena sepasang
tangan Iblis Baju Hitam tidak ingin melepaskan
kesempatan begitu saja. Keadaan orang tertua dari
Sepasang Mambang Lembah Maut itu benar-benar bagai
telur di ujung tanduk.
Jonggali yang merupakan adik Jonggala menjadi
terkejut setengah mati, walaupun masih bertempur
dengan pengikut Iblis Baju Hitam. Matanya sempat
melihat kejadian yang dialami kakaknya itu. Hampir-
hampir ia tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tapi
Jonggali tidak bisa berpikir lebih lama lagi karena
keadaan kakaknya benar-benar dalam bahaya! Tanpa
membuang-buang waktu lagi ia pun segera melesat untuk
membantu. Tapi sebelumnya ia telah menghabisi nyawa
anak buah Iblis Baju Hitam yang masih ada. Ia pun
segera melesat untuk membantu.
Tubuh Jonggali melayang ke arah Iblis Baju Hitam
yang tengah mendesak lawannya. Kedua tangannya
terjulur kedepan, disertai hembusan angin keras pertanda
bahwa seluruh tenaganya tengah dikerahkan.
Merasakan sambaran angin kuat yang berhembus ke
arahnya, Iblis Baju Hitam menunda serangan dan ber-
gegas menyambut serangan Jonggali. Kedua tangannya
didorong ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya.
Desss!"
"Aaahhh...!"
Iblis Baju Hitam dan Jonggali berteriak melengking
ketika dua pasang lengan yang mengandung tenaga dalam
tinggi itu saling berbenturan di udara. Tubuh mereka
terlontar ke belakang bagai disentakkan tangan-tangan
raksasa. Mereka sama-sama terbanting di atas tanah
berumput hingga menimbulkan bunyi berdebuk keras!
Keduanya kini berusaha bangkit sambil berusaha
menghilangkan rasa sesak di dada akibat benturan itu,
lewat penyaluran hawa murni. Cairan merah yang
mengalir dari sela-sela bibir mereka masing-masing
segera dihapus.
"Hhh... hhh.... Hebat kau, Iblis Baju Hitam. Pantas
saja Kakang Jonggala sampai terdesak. Ternyata nama
besarmu memang bukan sekadar nama kosong belakang,"
puji Jonggali tulus, walau dengan napas terengah-engah.
"Kau.... Kaupun hebat, Kisanak. Tak percuma nama
kalian menjadi momok, bagi orang-orang persilatan,"
Iblis Baju Hitam juga memuji sambil berusaha mengatur
jalan napasnya.
"He he he.... Bersiaplah untuk melawat ke neraka
Iblis Baju Hitam!" tiba-tiba Jonggala yang keadaannya
sudah pulih telah bersiap melancarkan pukulan maut ke
arah Iblis Baju Hitam.
Terdengar suara bergemelutuk dari lengan Jonggala
yang rupanya benar-benar ingin membuktikan ucapan-
nya. Serangkum angin dingin bertiup menandai
kesungguhan Jonggala.
Tentu saja Iblis Baju Hitam tidak sudi menyerahkan
nyawanya begitu saja. Cepat-cepat dikempos
semangatnya untuk mengumpulkan tenaga dalam dan
bersiap menyambut serangan Jonggala.
Tapi sebelum keduanya sempat saling bertumbukan,
mendadak berhembus angin keras yang membuat mereka
terpental balik. Dan tahu-tahu saja di tengah-tengah
mereka telah berdiri sesosok tubuh yang juga berjubah
putih.
Sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri angker sambil
menatap mereka dengan sinar mata tajam menusuk. Di
tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berkepala
tengkorak yang juga berwarna putih.
'Tongkat Maut Delapan Bayangan....'" Sepasang
Mambang Lembah Maut berseru sambil membungkukkan
tubuh dalam-dalam. Kelihatan sekali kalau dua orang
bersaudara itu merasa takut kepada orang yang baru
datang itu.
'Tongkat Maut Delapan Bayangan...!" gumam Iblis
Baju Hitam terkejut "Gila! Bagaimana mungkin tokoh itu
bisa berada di tempat ini? Apa sebenarnya yang terjadi di
tempat ini? Siapa pula yang disebut sebagai Penghuni
Rimbang Gerantang itu? Mungkinkah tokoh sakti yang
telah lama menyembunyikan diri itu kini muncul dan
menjadi Penghuni Rimbang Gerantang?"
"Hm.... Sepasang Mambang, kalian pulanglah lebih
dahulu dan bawa persembahan itu kepada ketua. Biar aku
yang akan mengurusi perampok baju hitam ini," dingin
dan tegas suara yang keluar dari mulut orang tua yang
berjuluk Tongkat Maut Delapan Bayangan itu. Dari kata-
katanya, jelas kalau ia mem-punyai kedudukan yang lebih
tinggi dari Sepasang Mambang Lembah Maut itu.
"Baik! Kami permisi," jawab Jonggala dan Janggali
sambil membungkukkan badan bersikap hormat. Setelah
berkata demikian, Jonggala mengeluarkan siulan panjang
yang bergema dan menyelusup ke dalam Rimba
Gerantang.
Tidak lama kemudian, terdengar siulan lain yang
semakin lama semakin dekat, disusul berloncatannya
beberapa sosok bayangan putih dari balik semak dan
pepohonan.
"Angkat tandu-tandu itu!" Perintah Jonggala kepada
dua belas orang berjubah putih yang langsung mematuhi
perintahnya.
Sepasang Mambang Lembah Maut melangkah
meninggalkan tepi hutan. Sedangkan kedua belas orang
pengikutnya itu berjalan di belakangnya sambil
menggotong tiga buah tandu itu.
Meskipun anak buahnya telah dibantai habis, namun
Iblis Baju Hitam sama sekali tidak gentar. Dipandanginya
orang yang berjuluk Tongkat Maut Delapan Bayangan itu
lekat-lekat, seolah ingin menunjukkan ketidaktakutannya
terhadap orang sakti itu.
"Huh! Jangan kau pikir aku akan menjadi silau oleh
nama besarmu, Tongkat Maut! Aku tidak akan pernah
tunduk di bawah perintah siapa pun, seperti apa yang kau
lakukan itu!" tegas Iblis Baju Hitam dengan suara
lantang.
"Hm.... Tahukah kau, Iblis Baju Hitam!
Kedatanganku kemari atas perintah sang ketua untuk
menjemputmu agar kau bergabung bersama kami. Tapi
walau ketua menghendakimu, apakah kau pikir aku akan
berpangku tangan saja melihat kekurangajaranmu itu?"
jelas Tongkat Maut Delapan Bayangan bernada
mengancam.
"Apapun alasanmu, aku tidak akan pernah tunduk
sebelum mengetahui seperti apa orang yang kau anggap
sebagai ketua itu!"
"Jangan keras kepala, Iblis Baju Hitam! Apakah kau
kira, kau dapat lolos dari tanganku! Huh! Jangan harap,
perampok tengik!" suara Tongkat Maut semakin bergetar
karena hawa marah yang semakin memuncak. Sepasang
matanya semakin mencorong tajam kalau saja tidak ingat
akan pesan ketua, mungkin nyawa Iblis Baju Hitam sudah
sejak tadi meninggalkan raga.
'Tidak usah banyak bicara! Tangkaplah aku kalau
memang mampu, Tongkat Maut Delapan Bayangan!'
tantang Iblis Baju Hitam sambil menyilangkan goloknya
di depan dada. Sadar kalau kepandaian lawan sangat
tinggi, Iblis Baju Hitam segera menyiapkan ilmu
pamungkasnya. 'Menghalau Barisan Seratus Golok '.
"Ha ha ha.... Ilmu silat pasaran macam itu akan kau
gunakan untuk menghadapiku, Iblis Baju Hitam?
Lihatlah! Aku akan menundukkanmu tidak lebih dari
sepuluh jurus!" ejek Tongkat Maut Delapan Bayangan.
"Bangsat! Terimalah ini, hiaaattt...!"
Dengan kemarahan yang menggelegak, Iblis Baju
Hitam melompat ke arah Tongkat Maut Delapan
Bayangan. Golok panjangnya diputar sedemikian rupa
sehingga membentuk segunduk sinar yang membungkus
tubuhnya. Dan dari gundukan sinar itu, sesekali mencuat
ujung-ujung golok yang mengancam tubuh lawan.
Tongkat Maut Delapan Bayangan sama sekali tidak
menunjukkan sikap terkejut atas serangan lawan. Sambil
tertawa, ditancapkan tongkat itu langsung amblas sampai
seperempatnya. Kemudian, Tongkat Maut menggerakkan
kedua tangannya bersilang di depan dada. Seketika
serangkum angin berhawa dingin menebar dari tubuhnya.
Dan pada saat serangan Iblis Baju Hitam meluncur,
Tongkat Maut hanya memiringkan tubuhnya ke kiri
dengan kedua tangan masih tetap bersilang didepan dada.
Gundukan sinar golok Iblis. Baju Hitam ternyata tak
mampu menipu mata lawannya. Karena setiap kali ujung
goloknya mencuat, Tongkat Maut Delapan Bayangan
selalu saja dapat mengelaknya. Dan hal itu benar-benar
diluar dugaan Iblis Baju Hitam.
Melihat serangannya selalu dapat dielakkan lawan,
Iblis Baju Hitam semakin kalap saat melancarkan
serangan. Tanpa terasa pertarungan itu telah melewati
delapan jurus, tapi ujung golok Iblis Baju Hitam belum
sempat menyentuh tubuh lawannya sedikit pun.
"Ha ha ha... ingat! Hanya tinggal dua jurus lagi Iblis
Baju Hitam. Apakah kau masih belum ingin menyerah?!"
Tongkat Maut Delapan Bayangan tertawa mengejek
mengingatkan lawannya.
"Huh! Jangan hanya pandai mengelak saja, Tongkat
butut! Ayo, balas seranganku kalau kau mampu," teriak
Iblis Baju Hitam sambil terus mempergencar serangan.
"Sembilan! Ha ha ha.... Tinggal satu jurus lagi, Iblis
Baju Hitam!"
"Bangsat!"
Pada jurus yang kesepuluh, Tongkat Maut Delapan
Bayangan berteriak sambil melempar tubuh ke belakang.
Kedua tangannya mendorong ke depan. Serangkum angin
dingin memapak serangan Iblis Baju Hitam.
Bresss!
"Aaaahhh...!"
Iblis Baju Hitam berseru tertahan ketika tubuhnya
yang gemuk itu terlempar akibat pukulan tenaga dalam
yang dilontarkan lawan. Tapi, tidak percuma ia
mengepalai para perampok di wilayah itu. Dengan
gerakan manis, tubuhnya berputar di udara untuk
kemudian mendarat empuk di tanah berumput. Meski
agak sedikit goyah, namun sama sekali tidak menga-lami
luka dalam berarti.
"Bagus...!" Tongkat Maut Delapan Bayangan ter-
paksa mengeluarkan pujian. Karena apa yang dilakukan
lawan benar-benar mengagumkan hatinya.
"Jangan takabur dulu, Tongkat Maut. Aku belum
kalah!" tegas Iblis Baju Hitam sambil bersiap
melanjutkan pertarungan.
"Baik! Nah, coba kau sambut seranganku ini!"
Setelah berkata demikian, tubuh Tongkat Maut
Delapan Bayangan melayang bagai seekor burung besar.
Kedua tangannya terkembang siap menerkam tubuh
lawan.
Sementara itu Iblis Baju Hitam menebaskan goloknya
ke arah lengan yang mencengkeram ubun-ubunnya.
Tongkat Maut cepat-cepat menarik pulang kedua
tangannya, laki mengirimkan tendangan ke dada lawan.
Plakkk! Desss!
Tubuh raja perampok itu terlempar bergulingan, la
memang berhasil menepak tendangan kaki kiri lawannya.
Namun tidak disangka kalau kaki kanan lawan tahu-tahu
telah hinggap di dadanya. Seketika darah segar
menyembur dari mulutnya karena tendangan itu demikian
cepat dan kuat, sehingga mengguncangkan isi dadanya.
Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu
telapak tangan lawan menghantam pipinya.
Demikian kuatnya tamparan Tongkat Maut Delapan
Bayangan menghantam, sehingga Iblis Baju Hitam
langsung terpelanting pingsan, setelah mengeluarkan
keluhan pendek dari kerongkongannya.
"Hmh!"
Tongkat Maut Delapan Bayangan mendengus pendek,
seraya menggerakkan kakinya mencongkel tubuh yang
tergolek lemah itu. Setelah mengambil tongkat berkepala
tengkoraknya, Tongkat Maut Delapan Bayangan
bergegas meninggalkan tepi hutan sambil membawa
tubuh Iblis Baju Hitam di bahu.
Beberapa saat kemudian, suasana pun kembali hening
dan sunyi. Hanya suara binatang-binatang malam yang
terdengar bersahut-sahutan. Rimba Gerantang tetap
mencekam menyimpan seribu misteri...!
* * *
Ki Jatar duduk termenung di kursi mendengarkan
penuturan Ragas. Kepala Desa Muara Bening itu
mengangguk-anggukkan kepalanya seolah dapat
menyelami perasaan pembantunya itu.
"Biar bagaimanapun, aku harus menuntut balas atas
kematian kakak seperguruanku, Ki!" Ragas menutup
keterangannya sambil mengepalkan tinjunya. Wajahnya
terlihat mengeras, seolah-olah keputusan yang diambil-
nya itu sudah tidak dapat ditawar lagi.
"Aku mengerti perasaanmu, Ragas. Tapi dengan
kepandaian yang kau miliki itu, sama saja mengantarkan
nyawa sia-sia. Ketahuilah, Ragas. Orang yang kita hadapi
ini bukan orang sembarangan. Entah itu iblis atau
manusia, kita belum mengetahui pasti. Karena, ia dapat
muncul tiba-tiba dan kemudian lenyap tanpa
meninggalkan bekas sedikit pun!" sergah Ki Jatar sambil
menasehati pembantunya.
"Aku tidak takut, Ki. Meskipun yang akan kuhadapi
itu iblis peminum darah sekalipun!" jawab Ragas
membandel.
Mendengar jawaban pembantunya, wajah Kepala
Desa Muara Bening itu memerah sekejap. Orang tua itu
menghela napas berulang-ulang untuk menenangkan
hatinya yang berdebar. Pelahan-lahan Ki Jatar bangkit
dari kursi, lalu melangkah menghampiri jendela.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Jatar
tanpa melepaskan pandangannya dari luar jendela.
Suaranya terdengar berat dan mengandung kesedihan.
"Aku akan meminta bantuan guruku untuk menumpas
Penghuni Rimbang Gerantang itu!"
"Maksudmu, Resi Bagawa...?" Tanya Ki Jatar lagi.
Namun, sebelum Ragas menjawab pertanyaan itu, tiba-
tiba seorang laki-laki melangkah tergopoh-gopoh masuk
ke dalam ruangan itu.
"Ada apa...?" tegur Ki Jatar dingin.
"Anu... anu, Ki. Ki Dewana ingin meninggalkan
desa...," jawab orang itu terbata-bata.
"Maksudmu dia ingin mengungsi?"
"Iya! Betul, Ki...."
"Hm... di mana sekarang?" kelihatan sekali kalau Ki
Jatar merasa gusar dengan adanya kejadian itu.
"Di perbatasan desa, Ki. Sedang ditahan Ki
Rambing!"
"Mari kita ke sana! Raga, ikut aku!" perintah Ki Jatar.
Meskipun langkahnya terlihat tak bersemangat,
namun Ragas tetap mematuhi perintah kepala desa itu.
Jelas sekali kalau dia mulai merasa tidak suka kepada Ki
Jatar sejak kematian kakak seperguruannya Itu.
Dan kini ketiga orang itu melarikan kudanya menuju
batas desa bagaikan dikejar setan. Debu mengepul tinggi
ketika tiga ekor kuda itu melintasi jalan berdebu. Tidak
beberapa lama kemudian, mereka pun tiba di perbatasan
desa.
"Berhenti!"
Suara bentakan Ki Jatar membahana, memisahkan
orang-orang yang tengah bertempur sengit itu. Mereka
pun segera melompat mundur ketika mengenali orang
yang baru datang itu.
Ki Jatar melompat turun dari atas kudanya, kemudian
melangkahkan kakinya ke arah sebuah kereta kuda yang
berada di tepi jalan. Kepalanya digerakkan sebagai
isyarat agar keempat orang yang mengawal kereta kuda
menyingkir dari tempat itu.
Empat orang tukang pukul Saudagar Dewana itu
sejenak ragu-ragu. Mereka berpaling sejenak ke arah laki-
laki brewok yang berada di dalam kereta kuda. Begitu si
brewok menganggukkan kepalanya, keempat orang itu
segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Ki Jatar
yang segera meneruskan langkah mendekati kereta.
* * *
TIGA
Ki Dewana, saudagar kaya yang tinggal di Desa
Muara Bening itu segera keluar dari dalam kereta.
Wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka
melihat kedatangan Ki Jatar.
"Ki Jatar! Apa maksudmu menyuruh orang-orangmu
untuk menghalangi kepergianku?!" Tanya Ki Dewana
langsung menegur Ki Jatar, yaitu kepala desanya keras.
Jelas sekali kalau sikapnya sudah tidak lagi menghormati
kepala desa itu. Padahal, keduanya sudah lama mengenal
baik.
Ki Jatar tertegun mendengar perkataan Ki Dewana.
Untuk beberapa saat lamanya pertanyaan itu tidak dapat
dijawab karena hatinya terlalu terkejut akan perubahan
sikap Ki Dewana. Pelahan ditarik napas panjang sambil
melepaskan pandangannya menatap cakrawala biru.
"Dewana! Seharusnya akulah yang bertanya
kepadamu. Mengapa kau berniat meninggalkan desa ini?
Apakah kau tidak mendengar kalau para pengungsi yang
telah lebih dulu pergi, telah ditemukan tewas di tengah
perjalanan? Apakah kau memang berniat hendak bunuh
diri?" Tanya Ki Jatar bertubi-tubi. Suaranya terdengar
pelan dan tak bersemangat.
"Bagiku hal ini lebih baik daripada menunggu giliran
anakku yang akan kau bawa untuk persembahan
Penghuni Rimba Gerantang itu! Sedangkan, kau tidak
pernah berbuat apa-apa untuk mencari selamat!" sahut Ki
Dewana tegas hingga membuat wajah Ki Jatar semakin
terlihat sedih dan kecewa.
Ki Jatar melemparkan pandangan ke dalam kereta
yang di situ terdapat istri dan anak gadis Ki Dewana.
Kedua orang wanita itu pun rupanya sedang menatapnya.
Dari sinar mata mereka, tergambar permohonan yang
mengharapkan pengertiannya. Hati orang tua itu tersentuh
melihat sinar mata bening gadis berusia enam belas tahun
yang cantik dan manis itu. Tanpa berkata apa-apa, Ki
Jatar membalikkan tubuhnya meninggalkan Ki Dewana
yang tersenyum penuh kemenangan.
"Biarkan mereka lewat!" perintah Ki Jatar kepada
penjaga perbatasan tanpa menolehkan kepalanya lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Jatar melompat ke atas
punggung kudanya dan meninggalkan tempat itu.
Kelihatan sekali kalau hatinya merasa terpukul atas
kejadian itu. Karena sebagai kepala desa, ia sudah
dianggap tidak mampu untuk melindungi warganya.
Ragas dan Ki Rambing ikut pula melompat ke atas
pelana kuda masing-masing. Kemudian mereka bergegas
menyusul Ki Jatar setelah terlebih dahulu berpesan
kepada yang lain untuk tetap tinggal menjaga perbatasan
desa.
"Ki, apakah tidak sebaiknya kita mengirim utusan lagi
untuk menghadap adipati? Siapa tahu kali ini bernasib
mujur," usul Ragas ketika mereka sudah berjalan
berdampingan.
Ki Jatar menolehkan kepalanya sejenak kepada Ragas
yang berada di sebelah kirinya. Kerangnya berkerut
seolah-olah sedang mempertimbangkan usul yang
dikemukakan pembantunya itu. Beberapa saat kemudian,
dialihkan tatapannya ke arah Ki Rambing yang berada di
sebelah kanannya. Lalu, kembali menatap ke depan.
"Hhh.... Sudah dua kali utusan dikirim untuk
menghadap adipati, tapi kedua-duanya kembali dalam
keadaan sudah menjadi mayat. Entah, apakah ada lagi
orang yang bersedia diutus untuk melakukan tugas yang
berbahaya ini?" desah Ki Jatar seolah-olah berkata
kepada diri sendiri.
"Aku bersedia melakukan tugas itu, Ki," jawab Ragas
tanpa ragu-ragu lagi. Sedikit pun tidak nampak
kekhawatiran pada wajah pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu.
Ki Jatar dan Ki Rambing kelihatan cukup terkejut
mendengar kata-kata Ragas itu. Keduanya saling
berpandangan sejenak. Bagaikan diperintah, mereka
sama-sama menoleh ke arah Ragas berbarengan.
"Sudah dipikirkan, apa yang kau ucapkan itu, Ragas?
Apakah kau sadar bahwa dengan menerima tugas itu
berarti harus mempertaruhkan nyawamu? Pikirkanlah
sekali lagi, dan pergunakanlah akal sehatmu!" ujar Ki
Jatar memberi nasehat.
"Sudah,. Ki. Dan aku rela mengorbankan nyawa demi
ketentraman desa ini," sahut Ragas mantap.
"Baiklah, kalau memang itu sudah menjadi
keputusanmu," kata Ki Jatar. Dan tanpa berkata apa-apa
lagi, orang tua itu segera menghentakkan kudanya
mendahului kedua pembantunya.
Sementara, Ki Rambing dan Ragas, bergegas pula
meng-hentakkan kudanya hingga menimbulkan kepulan
debu yang cukup pekat. Kini ketiga orang itu memacu
kudanya menuju rumah kediaman kepala desa.
Tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah
rumah besar yang terletak dekat balai desa. Ki Jatar
bergegas menambatkan kudanya dan langsung memasuki
rumah besar tempat kediamannya.
"Ragas, kau berangkatlah esok pagi! Dan hari ini aku
tidak ingin diganggu persoalan apa pun!" tegas Ki Jatar.
Setelah berkata demikian ia pun langsung memasuki
kamar semadi.
* * *
Matahari semakin naik tinggi. Sinarnya yang
berwarna kuning keemasan itu memancar terik, hingga
terasa menyengat kulit. Dan dalam siraman sinar
matahari itu, tampak sebuah kereta kuda yang dikawal
empat orang berkuda melintas menyusuri jalan berbatu.
Suara roda kereta berderak-derak karena jalar yang dilalui
itu benar-benar sukar.
"Laksa, mengapa kita tidak mengambil jalan lain
saja?" Terdengar teguran serak yang berasal dari dalam
kereta.
Orang yang dipanggil Laksa itu bergegas
menghampiri kereta. Ia adalah seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun. Wajahnya kemerahan dengan
bintik-bintik keringat yang menghias dahi dan pelipis.
Sikapnya terlihat tenang sebagaimana sikap seorang yang
penuh percaya diri.
"Hanya jalan inilah yang paling dekat, Tuan. Sedang
jalan lain memakan waktu berhari-hari untuk sampai ke
tempat tujuan, Tuan," jawab Laksa ketika sudah berada di
samping jendela kereta.
"Berapa lama lagi akan sampai?" Tanya orang itu lagi
sambil menjulurkan kepalanya melalui jendela kereta.
Sejenak sepasang mata saudagar yang tak lain dari Ki
Dewana itu merayapi sekitarnya.
"Kalau tidak ada halangan, paling tidak esok malam
sudah sampai di tempat tujuan, Tuan," jawab Laksa lagi.
"Apa maksudmu dengan halangan itu, Laksa?" Ki
Dewana mengerutkan keningnya tak senang mendengar
keterangan tukang pukulnya itu. Tampak kekhawatiran
terbayang di wajahnya yang bulat itu.
"Ah! Maaf, Tuan. Maksudku, apabila kereta ini tidak
mengalami kerusakan atau paling tidak seperti Itulah,"
sahut Laksa cepat. “Permisi, Tuan. Aku akan memeriksa
jalan didepan."
Setelah berkata demikian, Laksa yang menjadi kepala
centeng Ki Dewana itu bergegas menghentak tali kekang
kuda meninggalkan kereta.
Laksa melarikan kudanya hingga beberapa ratus
tombak didepan. Sepasang matanya berputar merayapi
sekitar tempat itu. Jalan didepan nampak lebih rata
meskipun masih banyak terdapat batu cadas berserakan.
Kepalanya menoleh ketika mendengar suara kaki kuda
mendatangi dari arah belakang.
"Ada apa, Gardi? Kau nampak gelisah?" tegur Laksa
ketika penunggang kuda yang tak lain adalah kawannya
itu datang mendekat.
"Entahlah, Kakang. Rasanya perasaanku tidak enak
sekali hari ini. Hm... Apakah di daerah ini pernah terjadi
perampokan?" entah kenapa, tiba-tiba saja orang yang
dipanggil Gardi itu bertanya demikian kepada Laksa.
Pertanyaan kawannya itu tidak langsung dijawab
Laksa, la hanya menatap wajah Gardi penuh selidik,
solah-olah ingin mencari apa yang telah menyebabkan
kawannya berpikir demikian. Sejurus kemudian,
dialihkannya pandangannya disertai tarikan napas berat.
"Hm.... Sepanjang pengetahuanku, jalan ini termasuk
yang paling aman di antara jalan-jalan lain. Karena, jalan
ini hampir tidak pernah dilalui pedagang atau pun
saudagar yang hendak bepergian. Itulah sebabnya,
mengapa aku lebih suka melewati jalan ini daripada jalan
yang lain. Jadi, rasanya pemikiranmu itu tidak beralasan,"
tegas Laksa menjawab pertanyaan kawannya. Meskipun
sebenarnya agak terpengaruhi ucapan Gardi, namun ia
berusaha menyembunyikannya.
Baru saja Laksa menyelesaikan kata-katanya, tiba-
tiba terdengar lengkingan yang mirip siulan. Suara itu
kemudian disusul siulan-siulan lain sehingga suasana
yang semula sunyi itu menjadi ramai.
"Suara apa itu, Kang?" Tanya Gardi yang tertihat
semakin gelisah ketika mendengar siulan yang bersahut-
sahutan itu.
"Ah! Mungkin hanya suara binatang hutan saja. Ayo
kita kembali!" sergah Laksa yang segera memacu
kudanya ke arah kereta majikan mereka.
"Laksa! Kau dengar suara tadi?" Tanya Ki Dewana
sambil menjulurkan kepala ketika pengawalnya itu sudah
berada di samping kereta.
"Hanya suara burung-burung hutan, Tuan."
"Hhh...," Ki Dewana menarik napas lega sambil
menyenderkan kepalanya ke bantalan tempat duduk
kereta itu. Laki-laki gemuk brewok itu memejamkan
matanya, seolah-olah ingin menghilangkan pikiran-
pikiran buruk yang memenuhi benaknya.
"Kakang, lihat! Apa itu yang menghalangi jalan?!"
tiba-tiba Gardi berseru keras sambil menunjuk sebuah
benda yang melintang menghalangi jalan kira-kira dua
ratus tombak di depan
"Biar kulihat!" sahut Laksa langsung menggeprak
kudanya mendekati benda itu. "Heran, mengapa aku tadi
tidak melihatnya?" pikir Laksa ketika mendekati benda
melintang yang ternyata adalah sebuah pohon roboh yang
menghalangi jalan.
Kepala centeng Ki Dewana itu bergegas melompat
turun dari atas punggung kuda, dan berdiri menanti yang
lain. Laksa meneliti keadaan sekitar, kalau-kalau dapat
menemukan penyebab robohnya pohon besar itu. Hatinya
menjadi curiga ketika tidak melihat adanya sebuah pohon
pun yang roboh. Pohon yang berjajar di tepi jalan itu
masih berbaris utuh dan tidak ada satu pun yang
tumbang.
"Aneh! Kalau begitu, dari mana datangnya pohon
besar ini?" gumam Laksa tak habis mengerti. Wajahnya
mendadak menegang merasakan keanehan itu. Diam-
diam tangannya bergerak meraba gagang pedang yang
tersembul dari batik bajunya. Nalurinya mengatakan
kalau ada bahaya mengancam sedang mengintainya.
Gardi yang telah sampai di tempat itu segera
membantu Laksa menyingkirkan batang pohon yang
menghalangi jalan. Sementara dua orang lainnya berjaga-
jaga dengan senjata terhunus. Namun sampai batang
pohon itu disingkirkan ke tepi jalan, tidak ada satu pun
kejadian yang seperti mereka pikirkan.
Kini kereta itu kembali melaju menapaki jalan yang
mulai rata dan berkelok-kelok. Sampai sejauh itu, mereka
tetap aman tanpa mengalami satu gangguan pun. Untuk
sementara rombongan kecil itu dapat menarik napas lega.
Baru sesaat merasa tenang, mendadak terdengar suara
mendesing tajam yang menuju arah mereka.
Cappp!
Suara berdesing yang ternyata ditimbulkan sebatang
tombak itu dielakkan Laksa. Senjata itu tidak mengenai
sasaran, dan menancap pada sebatang pohon yang berada
di sebelah kiri. Belum lagi mereka dapat berbuat sesuatu,
tiba-tiba kuda-kuda mereka tersungkur akibat tertancap
anak panah pada batang leher. Maka empat ekor kuda
yang ditunggangi centeng-centeng Ki Dewana, langsung
mati.
Sementara empat centeng yang kudanya tersungkur
langsung melesat, dan melakukan salto di udara. Dan
mereka mendaratkan kaki di atas jalan berbatu itu tanpa
mengalami cidera sedikit pun, dan langsung menghunus
senjata masing-masing. Gerakan mereka terlihat sigap
dan terlatih baik sebagaimana layaknya orang-orang yang
memiliki kepandaian.
Diiringi siulan-siulan nyaring, enam sosok tubuh
berlompatan keluar dari balik semak-semak di tepi jalan.
Mereka yang rata-rata mengenakan baju dan celana
berwarna putih itu berdiri tegak dalam jarak tiga tombak
di hadapan Laksa dan kawan-kawannya.
"Ha ha ha...! Rupanya kalian ingin coba-coba
melarikan diri! Kalian keliru kalau berpikir dapat
menghindar dari kekuasaan Penghuni Rimba Gerantang!"
tiba-tiba terdengar suara tawa yang berkepanjangan.
Dan tahu-tahu dari arah belakang kereta berjalan
menghampiri seorang laki-laki gemuk dan agak pendek
yang mengenakan pakaian serba hitam. Orang itu tak lain
adalah Iblis Baju Hitam yang rupanya sudah menjadi kaki
tangan Penghuni Rimba Gerantang.
"Ragapati! Apa maksudmu menghadang perjalanan
kami?" tegur Laksa yang rupanya sudah mengenal Iblis
Baju Hitam itu.
"Ha ha ha.... Jangan berlagak bodoh, Laksa!
Bukankah kau sedang mengungsikan seorang dara cantik
yang akan jadi persembahan bagi Penghuni Rimba
Gerantang?" Iblis Baju Hitam yang ternyata bernama
Ragapati itu tertawa mengejek. Sementara, kakinya terus
melangkah mendekati kereta tempat Ki Dewana dan
keluarganya berada.
"Bangsat! Tidak semudah itu untuk dapat meng-
ganggu majikan kami, Iblis Baju Hitam. Langkahi dulu
mayatku!" bentak Laksa sambil melompat menghadang
langkah Ragapati yang hendak mendekati kereta. Dan
tanpa banyak cakap lagi langsung digerakkan senjatanya
seraya menerjang Iblis Baju Hitam yang hanya tertawa
penuh ejekan.
"Anak-anak! Rampas gadis anak saudagar itu, dan
bawa menghadap ketua!" perintah Ragapati kepada enam
orang berseragam putih yang segera melompa mematuhi
perintah.
"Jangan terburu nafsu, Kisanak!" tegas Gardi.
Pemuda itu bersama tiga orang lainnya serentak meng
hadang. Tanpa basa-basi lagi ketiga orang centeng Ki
Dewana itu segera menerjang enam orang berjubah putih
yang mencoba mengganggu majikannya itu.
Sesaat kemudian, mereka pun segera terlibat dalam
pertarungan berat sebelah. Enam orang berseragam putih
itu ternyata rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi. Dalam beberapa jurus saja tiga orang centeng Ki
Dewana itu terdesak hebat! Sehingga mereka harus
mengerahkan seluruh kemampuan untuk dapat meng-
imbangi permainan lawan.
Dua orang berseragam putih bergegas meninggalkan
tiga orang centeng yang tengah bertarung melawan empat
orang lainnya. Kedua orang itu melompat ke arah kereta.
Sang kusir yang mencoba menyelamatkan majikannya,
terpaksa harus rela melepaskan nyawa akibat tebasan
golok salah seorang berpakaian putih itu. Kusir yang
gagah itu terguling roboh bermandikan darah.
Salah seorang berseragam putih itu bergegas menarik
pintu kereta. Ki Dewana yang menyadari adanya bahaya,
mencoba menyelamatkan putrinya yang diseret keluar
oleh salah seorang dari mereka. Namun, saudagar itu
benar-benar tak berdaya karena sama sekali tidak
mengerti ilmu silat itu. Sekali orang berseragam putih itu
menggerakkan senjatanya, tubuh Ki Dewana langsung
terguling mandi darah. Di punggung saudagar itu terdapat
luka memanjang akibat tebasan pedang lawan.
"Ayah...! Oh... tolooonggg...! Lepaskan aku! Kalian
manusia-manusia biadab! Lepaskan! Paman Laksa,
tolooonggg...!" Putri Ki Dewana itu berteriak-teriak dan
meronta-ronta dalam pondongan orang itu.
Laksa menggigit bibirnya melihat kejadian itu.
Masalahnya, dia sendiri tengah berusaha mati-matian
menyelamatkan diri dari ancaman tangan maut Iblis Baju
Hitam yang memang memiliki kepandaian tinggi.
Beberapa bagian tubuhnya tampak terluka dan
mengeluarkan darah akibat jari-jari tangan lawan.
Dua orang berseragam putih yang memondong gadis
itu terus melarikan diri ke dalam hutan. Teriakan-teriakan
gadis itu kian melemah karena rasa takut dan ngeri
memenuhi hatinya.
"Ah, gadis itu cantik sekali. Sayang sekali ketua
sangat membutuhkannya. Kalau tidak... hm...," ujar salah
seorang dari mereka yang rupanya merasa tergiur melihat
kecantikan gadis itu.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan, kalau kau masih
menyayangi kepalamu!" bentak kawannya yang membuat
orang itu terdiam seketika.
Belum lagi jauh memasuki hutan, tiba-tiba keduanya
menghentikan langkah. Di hadapan mereka tampak
berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah
dan celana putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan
tergerai lepas. Tampak sehelai kain yang juga berwarna
putih menghias kepalanya. Wajahnya terlihat tenang.
Sebuah senyuman ramah menghias wajahnya. Siapa lagi
pemuda itu kalau bukan Panji yang berjuluk Pendekar
Naga Putih.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu hanya
berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Mereka terkejut ketika melihat pakaian pemuda itu yang
mirip dengan pakaian para pemimpinnya. Kedua orang
itu menjadi ragu-ragu karena merasa khawatir kalau-
kalau pemuda itu adalah salah seorang pemimpin mereka.
Memang, selama ini mereka jarang sekali bertemu para
pemimpinnya. Bahkan juga tidak mengenal semuanya.
"Siapa... siapa kau, Kisanak...?" Tanya salah seorang
dari mereka takut-takut. Kelihatan sekali kalau dua orang
itu begitu hormat kepada Panji.
Pendekar Naga Putih berpikir cepat. Ketika melihat
keraguan yang tergambar pada wajah kedua orang itu, ia
segera dapat menerka kalau kedua orang itu pastilah
anggota suatu perkumpulan yang selalu mengenakan
pakaian serba putih. Dan pastilah mereka, hanya anggota
biasa yang tidak begitu mengenal para pimpinannya.
Mendapat pemikiran demikian, Panji segera merubah
sikap dan wajahnya. Sejurus kemudian, wajahnya yang
semula selalu tersenyum ramah itu mendadak dingin, den
senyumnya seketika lenyap.
"Hm... Kalian tidak mengenali aku?" ujar Panji
dengan suara serak dan mengandung ancaman. Sepasang
matanya mencorong tajam menyiratkan hawa kematian.
"Maafkan kami, Tuan Muda...? Kami memang bodoh
tidak tapit mengenali Tuan Muda!" ucap kedua orang
berpakaian serba putih itu langsung menjatuhkan dirinya
dan berkutut di hadapan Panji setelah terlebih dulu
meletakkan tubuh gadis itu ke atas tanah berumput.
Mereka memang sudah mengetahui kalau para
pimpinan mereka rata-rata kejam dan tak kenal ampun.
Tentu saja mereka khawatir kalau sosok berjubah putih
itu adalah salah seorang pimpinan mereka yang selalu
menurunkan tangan kejam. Maka mereka langsung
berlutut dan meminta maaf.
"Tinggalkan gadis itu, dan teruskan pekerjaan kalian!
Cepat..!" sentak Panji menggelegar sehingga membuat
kedua orang itu lari terbirit-birit meninggalkan tawanan-
nya.
Sepeninggal kedua orang itu, Panji tersenyum geli.
Sungguh tidak diduga sama-sekali kalau dua orang ber-
seragam putih itu demikian mudah dibohongi. Dengan
wajah masih tersenyum, pemuda itu membungkuk
memeriksa tubuh gadis itu. Hatinya menjadi lega ketika
mendapati gads itu hanya pingsan dan tidak mengalami
luka sedikit pun.
"Uuuhhh...."
Gadis itu merintih lirih setelah Panji mengurut bagian
belakang lehernya yang disertai sedikit pengerahan
tenaga dalam. Pelahan-lahan matanya terbuka. Dan ketika
pandangannya tertumbuk pada seorang pemuda yang
tengah berjongkok di sisinya, dia bergegas bangkit.
Wajahnya kembali pucat dibayangi rasa takut.
"Oooh, tidak..! Jangan...!" Gadis itu melangkah
mundur sambil berteriak-teriak lemah. Air matanya
mengalir membasahi pipi yang halus itu.
"Jangan takut, Nini. Aku tidak akan menyakitimu.
Ceritakanlah apa yang terjadi denganmu? Aku
menemukanmu tengah tergeletak pingsan di sini. Dan
kalau aku bermaksud jahat, mengapa harus menunggumu
sadar?" ujar Panji memberi alasan disertai senyum ramah.
Putri Ki Dewana itu tertegun sejenak ketika
mendengar keterangan pemuda tampan di hadapannya.
Ditatapnya wajah Panji seolah ingin menemukan
jawabannya di wajah itu. Keraguan mulai sirna di wajah
gadis itu ketika melihat bahwa wajah pemuda itu sama
sekali tidak menggambarkan watak jahat.
'Tapi, mengapa kau ada di sini? Apalagi pakaianmu
sama dengan pakaian mereka!" sahut gadis itu gagap.
Biar bagaimanapun ia masih belum percaya akan
keterangan pemuda di depannya. Siapa tahu pemuda itu
tengah bersiasat.
"Hm... baiklah! Sebenarnya begini...." Panji lalu
menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Lalu, ke mana perginya ke dua orang itu?"
"Entahlah? Aku hanya menyuruh mereka untuk
meneruskan pekerjaannya."
"Kalau benar ceritamu, kau harus cepat menolong
ayahku!" seru gadis itu tersenyum di antara tangis dan
kecemasan hatinya karena mendengar cerita Panji yang
lucu dalam menolongnya tadi.
* * *
EMPAT
Pendekar Naga Putih dan putri Ki Dewana bergegas
keluar dari dalam hutan. Panji diam saja ketika tangannya
ditarik, lalu diajak berlari oleh gadis itu. Diam-diam
hatinya merasa suka kepada gadis yang periang dan
mudah bersahabat itu Namun dibalik itu semua tetap saja
hatinya terpukul atas musibah yang dialami ayahnya.
Sementara itu, suara-suara orang bertempur kian jelas
terdengar. Denting senjata ditingkahi suara teriakan-
teriakan dan bentakan yang membahana, membuat gadis
itu semakin mempercepat larinya. Namun di antara suara-
suara itu, terdengar suara rintihan, yang cukup menyayat.
"Oooh...! Tolooonggg... lepaskan aku binatang!"
Perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun
tengah berteriak-teriak dalam pelukan seorang berpakaian
putih yang menciumi penuh nafsu. Sebagian baju wanita
itu sudah sobek di sana-sini, sehingga menampakkan
kulitnya yang putih mulus.
"Ibu...! Kakang Panji, tolong ibuku!" Teriak gadis itu
yang rupanya sudah saling berkenalan dengan Pendekar
Naga Putih. Putri Ki Dewana benar-benar kalut melihat
ibunya tak berdaya dibawah cengkeraman laki-laki penuh
nafsu iblis itu.
'Tenanglah, Adik Ratna. Diamlah di sini! Dan jangan
pergi dari tempat ini, sampai aku kembali!" Tegas Panji
tenang. Sesat kemudian, gadis yang ternyata bernama
Ratna ini hanya melihat sesosok bayangan putih yang
berkelebat dari sampingnya. Gadis itu terkejut, namun
senakin kagum kepada pemuda penolongnya itu.
Pendekar Naga Putih melesat cepat ke arah orang yang
tengah liar menjelajahi tubuh wanita itu.
"Aaahhh...!
Entah bagaimana, laki-laki yang tengah menindih istri
Ki Dewana itu seketika melambung dan terbanting keras
di atas tanah berbatu. Orang itu langsung diam tak
bergerak karena lehernya patah akibat cengkeraman
tangan Panji yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Kejadian itu berlangsung hanya sekejap mata saja,
sehingga laki-laki yang berseragam putih yang tidak jauh
dari situ menjadi kebingungan. Ternyata tahu-tahu di
dekat wanita yang hendak digagahi berdiri seorang
pemuda tampan, nengenakan jubah putih.
"Menepilah Nianak. Biar kuhadapi manusia-manusia
buas ini,” ujar Panji sambil menatap orang di depannya
lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam menimbul-
kan perbawa yang menggetarkan hati.
"Sssiaaapaa... Kau...?" Tanya orang itu gemetar
karena telah melihat kedahsyatan cengkeraman pemuda
berjubah putih. Apalagi saat itu Pendekar Naga Putih
menatap tajam, begitu menusuk. Orang itu pun juga
terkejut melihat pakaian pemuda itu yang mirip pakaian
para pemimpin mereka.
"ru... Siapa aku, bukan urusanmu. Sekarang bersiap-
lah melawat ke neraka!" ucap Pendekar Naga Putih
dingin.
Setelah berkata demikian, tangan pemuda itu terulur
mengancam tenggorokan lawan. Gerakannya terlihat
lambat dan asal jadi saja. Namun tidak demikian yang
dirasakan lawannya. Uluran tangan Panji yang mengarah
ke leher orang itu masih tetap mengancam meskipun
pedangnya telah beberapa kali menebas. Setiap kali
menebas, setiap kali itu pula lengan Pendekar Naga Putih
berputar mengelak, untuk kemudian meluncur kembali
mengancam leher. Hingga akhirnya, orang itu pasrah
ketika jari-jari tangan Panji mencengkeram lehernya.
Terdengar sebuah keluhan pendek ketika jari-jari
Pendekar Naga Putih meremas leher lawannya. Maka
orang itu pun tewas seketika karena tulang lehernya
patah!
"Bangsat! Rupanya kau yang mengelabui kami, Anak
Muda! Siapa kau sebenarnya?! Dan di mana gadis itu
ctiambunyikan?" Bentak salah seorang laki-laki
berpakaian putih yang tadi berjumpa Panji pada saat
orang itu tengah melarikan putri Ki Dewana.
"Tidak perlu banyak bicara! Majulah kalau memang
berani!" tantang Panji tersenyum tenang.
"Kurang ajar! Kau sengaja mencari mampus,
Kisanak! Nah, mampuslah! Hiaaatt...!"
Dibarengi teriakan keras, oraig itu segera menerjang
Panji yang diikuti tiga orang larinya. Rupanya ketiga
orang centeng Ki Dewana telah tewas saat membela
majikannya. Dan kini keempat orang itu bergerak
mengeroyok Panji.
Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan di antara
sambaran senjata lawan-lawan yang berdesingan di
sekitar tubuhnya. Pemuda itu tak ubahnya seekor naga
putih yang sedang bermain-main di angkasa. Tubuhnya
kadang-kadang merendah menghindari serangan lawan,
dan dilain saat melambung melampaui kepala lawan-
lawannya. Sehingga hampir sepuluh jurus berlalu, tak
satu pun senjata lawan yang berhasil menyentuh
tubuhnya.
Tentu saja hal itu membuat enpat orang lawannya
semakin marah dan penasaran. Dan mereka pun semakin
mempercepat serangan-serangan.
Pada jurus kesepuluh, Panji berniat menyudahi
permainannya. Ketika dua buah jedang lawan membacok
dari atas ke bawah, tuluhnya cepat-cepat mengegos, lalu
melangkah ke kiri. Setelah itu, dijejakkan kedua kakinya
ke tanah hingga tubuhnya seketika melambung dengan
posisi kaki di atas. Dan sebelum kedua orang lawannya
sadar akan apa yang terjadi, tahu-tahu saja punggung
mereka bagai dihantam sebuah palu godam yang besar
dan berat!
Bukkk! Desss!
"Huakkk..!"
Kedua orang itu tersungkur sambil memuntahkan
darah segar akibat hantaman tangan Panji. Mereka
berkelojotan sesaat, kemudian diam tak berkutik Mereka
mati dengan tulang punggung remuk.
Dua orang berseragam putih lainnya melompat
mundur ketika melihat kawan-kawan mereka telah tewas
akibat pukulan pemuda itu. Wajah keduanya memucat
karena tidak menyangka kalau pemuda yang dikeroyok
itu ternyata memiliki kepandaian tinggi.
Meskipun kegentaran telah menyelimuti hati, namun
mereka sudah bersiap menyerang kembali. Sambil
berteriak parau, keduanya segera menerjang Pendekar
Naga Putih. Bergegas pemuda itu menggerakkan
tubuhnya menyelinap di antara dua batang pedang yang
hendak menebas. Dan pada saat tubuhnya di antara kedua
lawannya, Panji mengembangkan kedua tangan dengan
siku tertekuk yang telah mendarat di lambung lawan-
lawannya.
Bukkk! Bukkk!
"Hukkk...!"
Dua orang berseragam putih itu terhuyung ke depan
sambil meringis menahan sakit pada lambung. Cairan
merah mengalir dari celah-celah bibirnya. Dan selagi
mereka terhuyung-huyung, tubuh Panji berputar setengah
lingkaran melepaskan sebuah tendangan terbang yang
sekaligus menghantam rahang lawan.
Seketika, dua orang berseragam putih yang naas itu
terjungkal akibat tendangan maut yang dilepaskan
Pendekar Naga Putih. Mereka meraung menahan sakit
yang luar biasa karena tulang rahang telah remuk. Sesaat
kemudian mereka sudah diam tak bergerak, pingsan!
Bruggg!
Tiba-tiba sesosok tubuh tegap melayang dan hampir
menimpa tubuh Panji kalau saja tidak segera dihindari-
nya. Orang itu merintih menahan sakit, karena tubuhnya
telah dipenuhi tetesan darah di sana-sini. Meskipun
demikian, ia masih tetap berusaha untuk bangkit.
Ternyata dia adalah Laksa, kepala centeng Ki Dewana
yang bertarung melawan Ragapati atau Iblis Baju Hitam.
Rupanya meskipun mengetahui kalau kepandaian
Iblis Baju Hitam tidak mungkin dapat tertandingi, namun
Laksa berusaha mati-matian menyelamatkan nyawa
majikannya sekeluarga. Walaupun akhirnya dia hanya
menjadi bulan-bulanan Iblis Baju Hitam, kepala centeng
itu tidak peduli. Memang, Iblis Baju Hitam paling suka
menyiksa lawan sebelum akhirnya terbunuh. Itulah
sebabnya, mengapa sampai sejauh itu Laksa sampai saat
ini masih saja belum dibunuh Iblis Baju Hitam itu.
Panji bergegas membungkuk dan menekan pundak
Laksa agar tidak segera bangkit. Dari jari-jari tangannya
keluar hawa murni yang membuat luka-luka yang diderita
Laksa tidak terlalu menyiksa.
"Telanlah pil ini, dan beristirahatlah Paman. Biar aku
yang akan menghadapi orang itu," kata Panji sambil
menyerahkan sebutir pil yang berwarna putih bagaikan
kapur. Setelah berkata demikian Panji memalingkan
kepalanya, menatap tajam Iblis Baju Hitam.
"Hati-hatilah, Kisanak Iblis Baju Hitam memiliki
kepandaian tinggi!" sahut Laksa memperingatkan.
"Terima kasih, Paman. Mudah-mudahan dapat ku-
atasi," jawab pemuda itu merendah. Kemudian, pemuda
itu melangkah kakinya menghampiri Ragapati yang
tengah memandang dalam jarak sekitar empat tombak
"Siapa kau, Anak Muda?! Menyingkirlah sebelum
aku kehilangan kesabaranku!" bentak Iblis Baju Hitam
meremehkan keberadaan Panji.
"Aku adalah orang yang paling tidak suka melihat
kejahatan berlangsung didepan mataku. Maka,
kusarankan agar secepatnya meninggalkan tempat ini
sebelum segalanya menjadi terlanjur," ujar Panji tak
kalah gertak.
"Setan! Rupanya kau sengaja ingin mencari penyakit,
Anak Muda!" malu Ragapati geram. Sungguh tidak
disangka kalau anak muda itu sedemikian berani
membalikkan kata-katanya.
"Hm.... Siapa yang ingin mencari penyakit? Kau atau
aku, orang Tua?" Balas Panji tersenyum membangkitkan
kemarahan Ragapati.
"Heh! Tahukah kau, sekarang ini berhadapan dengan
siapa?" Tanya Iblis Baju Hitam memancing. Sementara
dadanya sudah terasa panas bagaikan terbakar karena
menahan amarah.
"Ha ha ha...! Siapa yang tidak kenal Iblis Baju Hitam
yang namanya tersohor di kolong langit sebagai penjahat
kelas rendah?!"
"Setan belang!" Bentak Ragapati murka. Kalau saja
pemuda itu belum mengenal namanya, itu masih bisa
dimaklumi. Tapi pemuda itu bukan saja telah mengenal,
bahkan begitu berani memaki sebagai penjahat rendah.
Dapat dibayangkan betapa murkanya Iblis Baju Hitam.
"Kurobek mulut lancangmu itu, Anak Muda!" Setelah
berkata demikian tubuh Ragapati melesat dengan sebuah
serangan berbahaya.
Wuttt!
Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kuda, maka
serangan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu
langsung membalas dengan sebuah tamparan menuju
kepala lawannya. Iblis Baju Hitam menarik kepala ke
belakang sehingga tamparan Panji menyambar tempat
kosong. Namun sayang Iblis Baju Hitam terlalu
memandang rendah pemuda itu. Maka ketika Panji
menyusuli dengan sebuah tendangan, akibatnya....
Bukkk!
Meskipun tendangan yang dilakukan Panji tidak
terlalu keras, tapi cukup membuat tubuh Ragapati terjajar
sejauh enam langkah. Iblis Baju Hitam meringis sambil
mengusap lambungnya yang terasa nyeri.
"Huh! Pantas saja kau berani bersikap kurang ajar
padaku. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian!"
Geram Iblis Baju Hitam menahan sakit. Hatinya merasa
penasaran sekali karena dalam segebrakan saja telah
kecolongan. Dan itu benar-benar diluar dugaannya sama
sekali.
"Hm...," gumam Panji pelan. Ia memang sudah tidak
bernapsu untuk melayani ucapan lawan.
"Jangan merasa takabur dulu, Anak Muda! Aku
belum bersungguh-sungguh tadi. Nah, sekarang bersiap-
lah!" ancam Ragapati tegas. Setelah berkata demikian,
dipersiapkan ilmu andalan yang sangat dibanggakannya.
Ilmu 'Menghalau Barisan Seratus Golok ' itu.
Iblis Baju Hitam cepat menggerakkan golok panjang-
nya secara bersilangan hingga menimbulkan kilatan sinar
putih. Kala kirinya ditarik ke belakang sambil meng-
acungkan golok di atas kepala. Disertai sebuah teriakan
parau, tubuhnya meluncur cepat melancarkan serangan
bertubi-tubi.
Panji melebarkan senyum ketika melihat lawannya
ternyata memiliki ilmu yang cukup bermutu. Memang
diakui kalau ilmu itu cukup berbahaya. Hanya saja, ilmu
itu tidak dilatih sempurna hingga masih terlalu banyak
kelemahan pada pertahanannya.
Meski gerakan Iblis Baju Hitam sangat cepat, tapi
masih kelihatan lambat di mata pemuda itu. Kedua
matanya yang memang sangat tajam itu mudah
menemukan beberapa kelemahan pada gerakan lawan.
Itulah sebabnya, mengapa serangan Ragapati yang
bertubi-tubi itu mudah sekali dielakan.
"Hm.... Sayang, gerakanmu masih terlalu lambat dan
belum terlatih secara sempurna, Iblis Baju Hitam!" Jelas
Panji sejujurnya tanpa bermaksud menghina. Sedangkan
tubuhnya terus bergerak menghindari sebuah tebasan
yang mengancam lambung, dan langsung melancarkan
tamparan kilat ke bahu lawan.
Desss!
"Uuuhhh...!" Tubuh Iblis Baju Hitam melintir ketika
tamparan tangan itu mendarat di bahunya. Untuk
beberapa saat, tangan kanannya itu sempat lumpuh dan
tergantung lemas. Pada saat itu juga tubuh Panji sudah
melesat disertai tamparan ke pelipis.
Prakkk!
"Aaahhhkkk...!"
Iblis Baju Hitam tak sempat lagi mengelakkan
tamparan maut itu. Ia memekik tertahan, dan terguling
roboh. Ragapati atau Iblis Baju Hitam tewas seketika
karena kepalanya pecah akibat tamparan yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Seketika darah
menggenangi tanah berbatuan itu.
Setelah memastikan kalau lawannya benar-benar
tewas, Panji bergegas melangkah ke arah kereta berkuda.
Disana, Ki Dewana yang telah terluka parah dan tengah
berkumpul menanti bersama istri, anak dan pembantunya.
Wajah keempat orang itu mulai bersinar cerah ketika
melihat pemuda itu berhasil membunub iblis Baju Hitam
yang terkenal sadis dan kejam itu.
“Terima kasih, Kakang Panji. Tidak dapat kubayang-
kan, apa yang akan terjadi pada diriku apabila Kakang
tidak datang menolong. Mungkin saat ini aku sudah
berada dalam cengkeraman Penghuni Rimba Gerantang
itu. Hiii...! Betapa mengerikan!" Ucap Ratna yang segera
menyambut hangat kedatangan Pendekar Naga Putih.
Gadis itu tidak malu-malu lagi menggandeng tangan
Panji, dan menuntun ke arah kedua orang tuanya.
Ki Dewana dan istrinya hanya dapat menggeleng-
gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Sikap manja
gadis itu benar-benar membuat suasana di antara mereka
menjadi kecanggungan. Diam-diam timbul niat di hati
saudagar kaya itu untuk menjodohkan anak gadisnya
dengan pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.
"Ayah! Ini Kakang Panji yang menolong kita.
Kepandaiannya tinggi sekali, Ayah! Pantas saja orang-
orang jahat itu tidak ada yang mampu melawannya,"
lapor gadis itu kepada Ki Dewana yang hendak bangkit
menyambut pemuda itu.
"Beristirahatlah dulu, Paman Luka di punggung
Paman masih mengeluarkan darah. Kalau Paman tidak
keberatan, akan kucoba untuk mengobati luka itu," ujar
Panji yang segera mencegah Ki Dewana agar tetap duduk
di tempatnya.
"Ah, terima kasih. Silakan, Nak Panji...."
Bergegas Panji mengeluarkan sebungkus obat bubuk
berwarna kuning dari dalam buntalan pakaian. Sigap
sekali Pendekar Naga Putih mengobati Ki Dewana dan
Laksa. Keduanya merasakan ada hawa dingin yang
menyelusup ketika bubuk berwarna kuning itu ditaburkan
Panji di atas luka-luka yang diderita. Beberapa saat
kemudian mereka tidak lagi merasakan nyeri pada luka
itu. Tentu saja keduanya menjadi gembira, dan semakin
bertambah kagum terhadap pemuda itu.
"Wah! Obat lukamu mujarab sekali, Panji. Rupanya
selain memiliki kepandaian silat, kau juga ahli dalam
pengobatan! Bukan main...," seru Laksa kagum.
"Wah, wah, wah...! Sudah, Paman. Sudah! Bisa-bisa
kepalaku nanti menjadi besar mendengar pujian yang
berlebihan itu. Oh, ya. Apakah Ki Dewana ingin
meneruskan perjalanan?" Tanya Panji mengalihkan
percakapan, la tidak lagi memanggil saudagar itu dengan
sebutan Paman, ketika Ratna telah memperkenalkan
nama orang tuanya itu.
"Tentu saja akan tetap meneruskan perjalanan, Nak
Panji. Karena biar bagaimanapun, aku harus menyelamat-
kan Ratna dari jangkauan Penghuni Rimba Gerantang
yang biadab itu!" sahut Ki Dewana.
"Jadi, Ki Dewana sengaja mengungsi?" Tanya Panji
ingin meminta penegasan.
"Ya! Karena di Desa Muara Bening tempat kami
tinggal, telah dikuasai pengaruh iblis. Dan pada setiap
bulan purnama, penduduk desa harus mempersembahkan
tiga orang perawan suci kepada Penghuni Rimba
Gerantang. Maka aku terpaksa mengungsi untuk me-
nyelamatkan anakku dari kebiadabannya. Tapi rupanya
iblis itu telah mengetahui, sehingga mengirimkan para
pembantunya untuk merampas anakku dan membunuhku.
Untunglah kedatanganmu tepat pada saatnya, Nak Panji.
Dan kini, kami sekeluarga dapat kau selamatkan. Aku
tidak tahu dengan apa harus membalas kebaikanmu ini,"
ungkap Ki Dewana menceritakan asal mulanya
pertempuran tadi.
"Hm.... Jadi, mereka bukan sekadar perampok biasa,"
gumam Panji tak jelas. "Seperti apakah kira-kira orang
yang disebut Penghuni Rimba Gerantang itu, Ki?"
"Entahlah, Nak Panji. Tidak ada seorang pun yang
pernah bertemu atau melihat Penghuni Rimba Gerantang?
Entah berwujud manusia atukah Iblis."
"Jadi, Penghuni Rimba Gerantang tidak pernah
menampakkan diri? Dan yang melaksanakan segala
kejahatan selama ini hanya para pengikutnya saja? Begitu
maksud Ki Dewana?" Tanya Panji lagi semakin merasa
penasaran.
"Begitulah kenyataannya!" Jawab Ki Dewana sambil
menghela napas.
"Apakah Kepala Desa Muara Bening tidak berusaha
melakukan perlawanan?" Tanya pemuda itu yang rupanya
semakin tertarik akan cerita tentang Penghuni Rimba
Gerantang yang penuh misteri itu.
“Tentu kami para penduduk desa telah berusaha
mencegah hal itu. Tapi jangankan berhadapan dengan
Penghuni Rimba Gerantang, baru menghadapi para
pembantunya saja sudah meminta korban banyak. Hingga
akhirnya, penduduk dan kepala desa menyetujui
mempersembahkan tiga orang perawan yang masih suci
pada tiap-tiap bulan purnama. Sesekali saja membantah,
maka Desa Muara Bening akan dimusnahkan iblis itu."
“Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Kalau begitu,
aku permisi dulu karena hendak melanjutkan perjalanan,"
pamit Panji. Sebentar kemudian Pendekar Naga Putih
sudah melangkahkan kakinya tanpa menunggu jawaban
mereka.
Ki Dewana dan Laksa bergegas bangkit untuk
mencegah kepergian pemuda tampan yang sederhana
namun memiliki kepandaian tinggi itu. Belum lagi
keduanya membuka suara, tiba-tiba Ratna berlari
mengejar pemuda penolongnya itu. Gadis itu memang
sudah terlanjur menyukai, sehingga merasa berat untuk
ditinggalkan pemuda yang sangat dikaguminya.
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar suara
langkah kaki yang lembut di belakangnya. Seketika
pemuda itu menahan langkahnya.
"Kakang.. tunggu...!" Teriak gadis itu sambil berlari
mengejar Pendekar Naga Putih. Sedang yang lain hanya
memperhatikan dari kejauhan.
Ki Dewana sama sekali tidak berusaha untuk men-
cegah putrinya. Karena sudah terlanjur suka akan sikap
dan kerendahan hati pemuda itu. Laki-laki brewok itu
seperti tidak merasa keberatan kalau putrinya akan jatuh
cinta kepada pendekar muda itu.
"Ada apa, Ratna?" Tanya Panji lembut. Sikap dan
pandangannya seperti seorang kakak yang memaklumi
sikap manja adiknya.
"Kakang, mengapa begitu terburu-buru? Ke mana
Kakang hendak pergi?" Tanya gadis cantik itu sendu,
seraya kedua tangannya memegang lengan Panji erat-erat.
Seakan-akan gadis itu ingin menunjukkan bahwa hatinya
merasa berat untuk berpisah.
"Entahlah, Ratna. Aku tidak mempunyai tujuan
pasti," jawab Panji menutup keinginan yang sebenarnya.
Dia sudah bermaksud akan singgah di Desa Muara
Bening untuk menyingkap misteri Penghuni Rimba
Gerantang. Memang peristiwa di desa itu telah
menggugah jiwa kependekarannya.
Gadis itu termenung sejenak mendengar jawaban
Panji. Sesaat kemudian kepalanya kembali tegak, lalu
menatap pemuda itu lekat-lekat.
"Kakang...," panggil Ratna setengah berbisik.
"Hm...."
"Bolehkah bertanya sesuatu?"
"Tentu saja boleh," jawab Panji mencoba menebak ke
mana arah tujuan perkataan gadis itu.
"Apakah kakang tidak kasihan padaku?" Ringan
sekali gadis itu bertanya sehingga membuat Panji menjadi
bingung sejenak
“Tentu saja, Ratna."
"Kalau begitu, aku ingin agar kau mengantarkan kami
ke tempat tujuan. Siapa tahu, di tengah jalan nanti aku
diculik orang jahat!" Pinta gadis itu, sambil menunduk-
kan kepala menyembunyikan wajahnya yang merah
merona.
"Ha ha ha.... Tentu saja aku bersedia, Ratna. Aku juga
tak tega jika gadis secantik dirimu hanya untuk
persembahan Penghuni Rimba Gerantang. Bisa ubanan
aku." Gurau Panji sambil melangkah ke arah kereta.
Tidak lama kemudian, mereka berangkat meninggalkan
tempat itu.
* * *
LIMA
Hari masih sangat pagi, dan matahari pun belum lagi
muncul. Kegelapan masih menyelimuti bumi. Hanya
suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan
menandai kedatangan sang pagi.
Sementara angin pagi bersilir lembut menebarkan
udara dingin menyejukkan, membuat tubuh terasa segar
setelah beristirahat panjang. Pintu-pintu rumah penduduk
Desa Muara Bening tampak satu persatu mulai terbuka.
Tampak satu dua orang penduduk mulai keluar untuk
menyegarkan tubuh.
Ketika di sebelah Timur cahaya mulai tampak
kemerahan, seorang penunggang kuda menghela
tunggangannya keluar dari mulut Desa Muara Bening
Binatang itu melesat menerobos suasana remang-remang
yang menjelang terang.
Dari cara melarikan kudanya, jelas kalau ia begitu
tergesa-gesa, seolah-olah tengah berpacu dengan waktu.
Entah apa yang dikejarnya sepagi itu.
"Hiya...!"
Orang itu berteriak sambil menghentakkan tali
kekang agar kuda itu berlari lebih cepat lagi. Padahal
binatang itu telah mendengus-dengus kelelahan.
Sepertinya binatang itu, terpaksa melaju semakin cepat.
Setelah cukup jauh meninggalkan mulut desa, orang
itu mulai memperlambat lari kudanya. Memang jalan
yang dilalui tidak lagi semulus tadi. Rupanya ia tidak
ingin menanggung resiko kalau kaki kudanya akan
mengalami cidera.
Orang itu adalah seorang pemuda yang berusia sekitar
dua puluh lima tahun. Wajahnya terlihat gagah dan cukup
simpatik. Di pinggangnya nampak tersembul sebuah
gagang golok. Pakaian yang serba hitam membuatnya
semakin gagah.
Pemuda itu tak lain Ragas yang menjadi pembantu
utama Ki Jatar. Hari itu ia mendapat tugas untuk
melaporkan kejadian yang menimpa penduduk Desa
Muara Bening ke kadipaten, dengan harapan sang adipati
mengirimkan pasukan untuk memberantas para perusuh
itu.
Ragas menarik tali kekang kuda ketika sampai di
petigaan jalan. Diedarkan pandangannya, meneliti kedua
jalan yang dapat membawanya ke tempat tujuan.
"Hm… Lebih baik aku mengujungi Guru lebih dahulu
untuk mengabarkan kematian Kakang Dumpa. Dan kalau
bisa, sekaligus meminta bantuan beliau untuk menumpas
Penghuni Rimba Gerantang dan para pengikutnya itu,"
gumam Ragas dalam hati. Segera dibelokkan kudanya ke
arah kiri. Kedua jalan itu kini tidak jadi dilalui. Karena
menurut hematnya, melalui jalan hutan akan lebih aman.
Pemuda pembantu Kepala Desa Muara Bening itu
bergegas memacu kudanya menerobos semak belukar.
Tujuannya sekarang adalah kediaman gurunya, tempat
dia dulu dididik ilmu silat yaitu di Gunung Bulangkang.
Belum begitu jauh Ragas menempuh perjalanan
melalui hutan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok
tubuh berjubah putih yang berdiri tegak menghadang
perjalanannya. Cepat-cepat Ragas menarik tali kekang
kudanya untuk berbalik menuju kedatangannya semula.
Pemuda itu menjadi tegang ketika beberapa tombak di
depannya berdiri sosok tubuh serupa. Ditolehkan kepala-
nya ke belakang Tampak orang tadi menghadangnya
berjalan mendatangi. Begitu pula yang dilakukan orang
yang di hadapannya. Kedua penghadang itu mengenakan
pakaian serupa.
"Celaka! Utusan Penghuni Rimba Gerantang..!" bisik
Ragas gentar, dan seketika itu juga wajahnya memucat.
Cepat diputar kudanya ke arah samping untuk meng-
hindari diri dari kedua orang berjubah putih itu.
Namun Ragas kalah cepat! Dua orang berjubah putih
itu melenting, lalu beberapa kali bersalto di udara. Kaki
mereka mendarat beberapa langkah di hadapan kuda
Ragas. Mereka adalah Sepasang Mambang Lembah
Maut.
"Ha ha ha.... Ingin lari ke mana kau keparat!" Ejek
salah seorang dari mereka bengis.
"Kita permainkan dulu tikus ini, Kakang. Setelah itu
baru dibunuh," umpat Sepasang Mambang Lembah Maut
yang bernama Jonggali.
Mendengar ejekan dua orang bertopeng tengkorak itu,
hati Ragas menjadi panas. Namun, ia bukan orang bodoh
yang hanya mau menurut napsunya saja. Dicarinya jalan
untuk menyelamatkan diri. Sebab biar bagaimanapun,
kedua orang itu tak akan dapat ditandingi. Menghadapi
salah seorang dari mereka saja, pemuda itu tidak mungkin
menang. Apalagi keduanya. Bahkan malah jadi bulan-
bulanan mereka.
"Hiya...!"
Tiba-tiba Ragas mengeluarkan bentakan keras dan
sekaligus menggeprak tubuh kudanya. Binatang itu
menjadi terkejut, lalu menjadi liar dengan melompat ke
depan. Maka kedua orang bertopeng tengkorak itu mau
tidak mau harus menghindar agar tidak tersepak kaki
kuda.
Belum lagi jauh binatang itu berlari, mendadak
binatang itu meringkik keras, lalu roboh terguling.
Rupanya salah seorang dari Sepasang Mambang Lembah
Maut itu telah melemparkan sebuah batu kerikil dan
langsung mengenai kaki depan kuda yang ditunggangi
Ragas. Maka cepat-cepat pemuda itu melentingkan
tubuhnya agar tidak ikut terbanting, lalu mendarat empuk
sejauh empat tombak dari kudanya.
"Hm.... Jangan harap lolos dari tanganku, tikus
busuk!" Bentak Jonggala orang tertua dari Sepasang
Mambang Lembah Maut itu.
Setelah berkata demikian, tubuh Jonggala meluncur
ke arah Ragas dan langsung melontarkan sebuah pukulan
yang menimbulkan desing angin tajam.
Ragas yang mengetahui kalau serangan itu amat
berbahaya, segera melempar tubuhnya bergulingan. Maka
ia terhindar dari serangan maut itu. Tapi dugaanya
ternyata keliru. Ternyata baru saja bisa bangkit berdiri,
tahu-tahu saja sebuah tendangan menghantam dadanya.
Bukkk!
"Ouggghhh...!"
Tubuh Ragas terpental disertai darah segar yang
menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terguling-guling
sejauh tiga tombak. Sambil menekap dada yang terasa
remuk, Ragas berusaha bangkit dan mencabut golok yang
terselip di pinggang.
"Majulah kalian, masing-masing iblis! Aku tidak akan
menyerah begitu saja! Phuihhh...!" Teriak Ragas sambil
menyemburkan air ludahnya bercampur darah. Rupanya
pemuda itu siap menantang maut!
Pemuda itu cepat menahan gejolak amarah yang
menggelora di dadanya. Ia teringat akan pesan gurunya
agar berusaha bersikap tenang dalam menghadapi
pertempuran Karena, kemarahan hanya akan membuat-
nya lengah dan mudah dikuasai lawan.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Seekor cacing ingin
bertingkah seperti naga! Kau memang patut mendapat
siksaan sebelum kubunuh!" Ujar Jonggala sambil
memperdengarkan tawa iblisnya. Begitu ucapannya
selesai, tubuhnya melesat melancarkan serangan berikut.
Sadar kalau dua lawannya memiliki kepandaian lebih
tinggi, Ragas mengelebatkan senjata untuk membuat
pertahanan. Sinar goloknya bergulung-gulung menye-
limuti tubuhnya sehingga menyulitkan lawan untuk
melontarkan pukulan.
Tapi kepandaian orang tertua dari Sepasang Mam-
bang Lembah Maut itu memang jauh di atas Ragas.
Maka, ketika pertarungan memasuki jurus kelima,
pertahanan pemuda itu pun mulai jebol. Sebuah hantaman
sisi telapak tangan miring lawan telak menghantam
iganya. Dan selagi tubuh pemuda itu terjajar, kembali
tangan kiri Jonggala menggedor perut.
Desss!
"Huakkk..!"
Tubuh Ragas seketika terlempar keras. Darah segar
kembali menyembur dari mulutnya. Pemuda itu
mengeluarkan rintihan lirih sambil berusaha bangkit.
Selagi matanya mencari-cari senjatanya yang terlem¬par
entah ke mana, dua buah tamparan pada wajah kembali
membuatnya terguling-guling. Ragas merasakan bumi
yang dipijaknya bergoyang. Kepalanya bagaikan tertimpa
palu godam. Darah pun mengalir dari bibirnya yang telah
pecah. Kedua pipinya membengkak, dan beberapa buah
giginya tanggal akibat tamparan keras itu.
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Jonggala
dan Jonggali melangkah menghampiri tubuh lawan.
Sedang Ragas hanya dapat menanti apa yang akan
dilakukan kedua orang itu terhadap dirinya. Seperti
harinya memang sudah pasrah.
Tapi sebelum melangkah lebih dekat, tiba-tiba
Sepasang Mambang Lembah Maut melompat mundur.
Dan selagi tubuh berada di udara, sepasang lengan
mereka melakukan dorongan untuk mengusir getaran
gelombang tenaga dalam yang tak tampak.
Jonggala dan Jonggali mengerutkan keningnya ketika
tahu-tahu saja sosok tubuh jangkung telah berdiri dan
tengah memeriksa tubuh Ragas. Rambutnya yang sudah
memutih digulung ke atas. Pakaian yang dikenakan
hanyalah berupa kain putih yang dilibat-libatkan ke
seluruh tubuh. Melihat cara dandanan orang bertubuh
jangkung itu, pasti dia seorang pertapa.
"Guru...!" Panggil Ragas di antara rintihannya. Ber-
bagai perasaan berkecamuk di hati pemuda itu ketika
melihat kedatangan gurunya yang langsung menolong-
nya.
"Tenanglah, muridku. Telanlah obat ini setelah itu,
aturlah pernapasan agar tenagamu cepat menjadi pulih,"
ujar orang tua itu lembut sambil menyerahkan sebutir pil
kepada muridnya. Setelah memeriksa bahwa keadaan
Ragas tidak terlalu mengkhawatirkan, orang tua yang
bernama Resi Bagawa itu membalikkan tubuhnya.
"Hm.... Apa yang telah diperbuat muridku hingga
kalian begitu tega menyiksanya?" Tanya Resi Bagawa
masih tetap bernada lembut. Sepasang mata tuanya
menatap tajam, seolah-olah mencoba mengenali kedua
orang itu. "Ah...! Kalau mataku tak salah lihat, bukankah
kalian yang berjuluk Sepasang Mambang Lembah Maut?
Aneh, apa yang dilakukan muridku hingga kalian rela
meninggalkan Lembah Maut?"
"Tidak perlau banyak cakap, Orang Tua! Kau pikir
aku akan gentar dengan nama Resi Bagawa yang berjuluk
Cambuk Hujan dan Badai?! Huh! Jangan harap, kakek
peot!" Tegas Jonggala takabur. "Nah, bersiaplah untuk
kukiram ke neraka! Hiaaattt....'"
"Hebat'" puji Resi Bagawa, tulus. Segera kakek itu
menggerakkan tubuhnya secara sembarangan tapi
membuat lawan memukul tempat kosong. Tubuh orang
tua sakti itu mencelat ke udara ketika Jonggali ikut pula
mengeroyok. Resi bagawa mendaratkan kakinya di tanah
berumput, dan terpisah cukup jauh dari lawannya. Dan
tahu-tahu saja, tangan kanannya memegang sebuah
cambuk berwarna putih.
Sementara Sepasang Mambang Lembah Maut telah
pula mencabut senjata masing-masing, yaitu sepasang
golok berbentuk bulan sabit. Sepasang senjata Jonggala
dan Jonggali itu berbahaya sekali, karena dapat
digunakan tak ubahnya sebuah bumerang. Apalagi yang
menggunakan adalah tokoh sakti seperti mereka. Tentu
saja senjata itu semakin berbahaya!
"Bersiaplah, Cambuk Hujan dan Badai! Hari ini
senjata kebanggaanmu tidak akan banyak menolong!"
Ejek Jonggali meremehkan lawan.
"Hiahhh...!" Sambil membentak keras, dua saudara
kembar itu meluncur disertai ayunan sepasang golok
bulan sabitnya.
Wunggg! Wunggg!
Dua pasang senjata di tangan Jonggala dan Jonggali
mengaung merobek udara pagi yang mulai terasa hangat.
Cahaya sinar matahari yang jatuh menimpa senjata-
senjata itu menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan
mata.
Resi Bagawa bertindak cepat memutar cambuknya,
sehingga menimbulkan angin menderu yang membawa
udara dingin. Terkadang ujung cambuk itu meledak
memekakkan telinga. Tapi anehnya, ledakan cambuk itu
bukan menimbulkan percikan bunga api, melainkan
menimbulkan titik-titik air. Dan bila mengenai kulit
lawan, titik-titik air itu akan terasa perih. Mungkin itu
yang menyebabkan Resi Bagawa dijuluki Cambuk Hujan
dan Badai oleh kaum persilatan.
Wunggg! Wunggg!
"Hm…!" Gumam kakek itu, tak jelas.
Resi Bagawa menggeser tubuhnya menghindari dua
buah serangan Jonggala. Belum lagi sempat membalas,
senjata di tangan Jonggali sudah mengancam perut dan
lehernya. Resi Bagawa menghindar ke belakang
dibarengi ayunan camtuk menuju ke pelipis orang
termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut.
"Iiihhh...!"
Jonggali cepat menarik tubuhnya sambil memiringkan
kepala, maka ujung cambuk itu hanya mengenai tempat
kosong. Kemudian dilempar tubuhnya ke atas, dan
melambung di udara. Segera dilepaskannya dua senjata
yang langsung berputar ke arah lawannya. Kedua senjata
itu berputar bagaikan bumerang, sehingga menimbulkan
suara mengaung yang membuyarkan daya perhatian
lawan.
Resi Bagawa cukup terkejut melihat kehebatan
sepasang senjata lawannya itu. Cepat tubuhnya berguling
menyelamatkan diri dari ancaman sepasang senjata itu.
Pada saat hendak bangkit, terdengar suara mengaung dari
sebelah kiri. Segera Resi Bagawa memutar tubuhnya
serendah mungkin, lalu sekaligus melakukan tangkisan
dengan tangan kirinya.
Plakkk!
"Aaahhh...!" Pekik Jonggala tertahan ketika tangkisan
Resi Bagawa menghantam sikunya.
Tubuh Jonggala terjajar mundur karena kuda-kudanya
telah tergempur. Dirasakan tangannya lumpuh untuk
beberapa saat lamanya. Diam-diam harus diakui kalau
kepandaian orang tua itu memang tidak bisa dibuat main-
main. Dialirkan hawa murni ke lengan yang terasa
lumpuh itu, dan sesaat kemudian kembali diterjangnya
Resi Bagawa yang tengah bertarung sengit melawan
adiknya.
Pertarungan kembali berlanjut. Semakin lama
semakin seru dan menegangkan! Sebenarnya secara
perorangan, Sepasang Mambang Lembah Maut itu tidak
akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus dalam
menghadapi gempuran Resi Bagawa. Tapi karena
keduanya maju secara bersama-sama dengan serangan
yang kompak dan rapi, maka cukup sibuk juga Resi
Bagawa dibuatnya.
Berkali-kali orang tua itu nyaris termakan senjata dua
orang lawannya yang berbentuk aneh itu. Maka Resi
Bagawa harus lebih berhati-hati dan memperhitungkan
gerakannya secara cermat. Kalau tidak, bukan mustahil
tubuhnya akan terkoyak senjata lawan yang berbentuk
bulan sabit itu.
Pada jurus yang kedua puluh dua, Jonggala dan
Jonggali melempar tubuh ke belakang secara ber-
barengan. Dan sebelum mendarat di tanah, mereka
melontarkan empat buah golok bulan sabit itu bersamaan.
Suatu cara bertempur yang sangat licik!
"Hm...," Resi Bagawa hanya bergumam ketika
melihat gerakan lawan-lawannya.
Ketika senjata-sejata itu tiba di dekatnya, Resi
Bagawa segera menjejakkan kakinya. Tubuh orang tua itu
melambung ke atas menghindari dua buah senjata yang
lewat di bawah kakinya. Sedang, dua senjata lain nyaris
melukai bahu dan lambungnya kalau saja tidak cepat
dimiringkan tubuhnya. Tapi begitu keempat senjata itu
tidak menemui sasaran, senjata-senjata itu langsung
berbalik tanpa berkurang sedikit pun kece¬patannya.
Crasss! Brettt!
"Aifihhh...!" Resi Bagawa berseru kaget!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah di antara senjata
itu merobek baju dan betisnya ketika berbalik. Kakek
berjuluk Cambuk Hujan dan Badai terhuyung beberapa
langkah. Sementara dari luka di kaki kirinya telah
mengalir darah segar. Untunglah, luka itu tidak begitu
dalam dan tidak terlalu mengkhawatirkan. Ce¬pat-cepat
tangannya melakukan totokkan di beberapa jalan aliran
darah di kakinya untuk mencegah aliran darah.
"Hm.... Sungguh berbahaya!" Desah Resi Bagawa
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Begitu rasa nyeri dilukanya lenyap, kakek itu
menyedot udara sebanyak-banyaknya. Lalu cambuknya
diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara
menderu dan mendebarkan arena pertarungan itu.
Sepasang Mambang Lembah Maut langsung terkejut
ketika tiba-tiba saja bertiup angin keras yang membawa
hawa dingin. Sama-samar dirasakan ada titik-titik air
yang menimpa tubuh mereka.
"Jurus Cambuk Hujan dan Badai...!" Seru Sepasang
Mambang Lembah Maut takjub.
Menyadari kalau lawannya telah mengeluarkan jurus-
jurus andalannya pada tingkat yang lebih tinggi, Jonggala
dan Jonggali segera bersiap menghadapinya. Bergegas
keduanya mengeluarkan ilmu andalan pada tingkat
terakhir, yaitu jurus 'Golok Terbang Merenggut Sukma '.
Dalam jurus ini Sepasang Mambang Lembah Maut
mencampurinya dengan unsur tenaga gaib. Sehingga,
keempat golok terbang mereka terkadang bagaikan benda
hidup dan dapat bergerak sendiri. Hanya saja, tenaga
dalam yang dipergunakan sangat banyak dan melelahkan.
Maka mau tak mau mereka harus menggunakannya
karena sadar kalau kepandaian Resi Bagawa sangat tinggi
dan berbahaya.
"Hahhh!"
Sepasang Mambang Lembah Maut membentak keras
bagai hendak menggetarkan jagad. Keduanya segera
menjatuhkan diri duduk bersila berdampingan Mereka
berpegangan tangan kanan dan kiri satu sama lain,
sedangkan tangan yang satu terulur ke depan dengan jari-
jari terbuka. Sepasang Mambang Lembah Maut
memejamkan mata menyatukan tenaga dan pikiran untuk
menggerakkan senjata.
Resi Bagawa cukup terkejut ketika dua pasang senjata
yang diletakkan didepan mereka, tiba-tiba saja mulai
bergerak naik bagaikan bernyawa. Kemudian, dua pasang
senjata itu berputar cepat dan meluncur ke arah Resi
Bagawa. Kakek sakti itu sampai ternganga takjub
dibuatnya!
Sadar kalau dirinya terancam bahaya, segera
digerakkan cambuk putih di tangannya. Kali ini Resi
Bagawa harus mengerahkan hampir seluruh tenaganya.
Werrr! Werrr!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan putaran cambuk
itu. Angin dingin bertiup keras hingga membuat beberapa
batang pohon terdekat tercabut. Dan dengan demikian
dua pasang golok bulan sabit yang tengah meluncur ke
arahnya tertahan, untuk kemudian terpental balik.
Sepasang Mambang Lembah Maut semakin
memperkuat daya serang melalui senjata mereka. Namun
setiap kali golok bulan sabit itu menyerang, selalu
berbalik! Memang dinding badai yang diciptakan Resi
Bagawa benar-benar sukar ditembus. Peluh mulai
mengalir deras membasahi pakaian Jonggala dan
Jonggali. Wajah mereka memerah bagai udang rebus.
Nampaknya, mereka benar-benar harus mencurahkan
seluruh kemampuan dalam pertarungan itu.
Empat batang golok bulan sabit itu kembali meluncur
dengan kekuatan berlipat ganda. Kali ini senjata-senjata
itu tidak sampai terpental balik, tapi mengambang di
udara berusaha menerobos dinding badai yang kuat itu.
Rupanya Jonggala dan Jonggali telah mengerahkan
seluruh kemampuannya. Demikian juga Resi Bagawa.
Ragas yang menyaksikan pertarungan dari tempat
tersembunyi, sampai ternganga kagum dibuatnya. Tidak
disangka kalau kepandaian Sepasang Mambang Lembah
Maut itu mampu mengimbangi gurunya. Kalau saja tidak
disaksikannya sendiri, tentu ia tidak akan percaya.
"Heaaahhh!?"
Ctarrr! Jterrr!
"Uuuggghhh...!"
Pada saat yang tepat Resi Bagawa membentak
nyaring sambil melecutkan cambuknya. Maka dua buah
senjata lawan yang terpukul ujung cambuk itu kontan
terpental jatuh. Berbarengan dengan jatuhnya dua buah
senjata itu, dua saudara dari Lembah Maut itu terdorong
mental terguling-gulingan. Tampak dari mulut mereka
menyembur darah kental kehitaman!
Sedangkan Resi Bagawa sendiri hanya terjajar
mundur. Tangan kanannya yang memegang cambuk
terasa linu akibat berbenturan dengan dua senjata itu.
Orang tua berjuluk Cambuk Hujan dan Badai itu meng-
geleng-gelengkan kepala, karena kagum akan kehebatan
tenaga lawan-lawannya.
Sepasang Mambang Lembah Maut bergerak bangkit
meski agak limbung. Kini keduanya mengalami luka
parah akibat senjata mereka dapat dilumpuhkan lawan.
Memang senjata-senjata itu telah disatukan dengan
tenaga mereka. Sehingga, apabila lawan mengetahui
kelemahannya dan memiliki tenaga lebih kuat, mereka
akan mudah dilumpuhkan. Dengan memukul jatuh
senjata-senjata itu, berarti sama saja dengan memukul
tubuh mereka berdua.
"Hari ini kami mengaku kalah," ungkap Jonggala
penuh dendam. Setelah berkata demikian Sepasang
Mambang Lembah Maut bergegas meninggalkan tempat
itu setelah terlebih dahulu memungut senjata-senjata
mereka.
Resi Bagawa hanya memandang kepergian mereka
tanpa mengucapkan separah kata pun. Memang diakui,
dia merasa sangat lelah setelah melakukan pertempuran
tadi. Pelahan-lahan kakek sakti itu melangkahkan kakinya
mendekati tempat muridnya bersembunyi.
"Guru...!" Panggil Ragas yang langsung menjatuhkan
dirinya berlutut di bawah kaki Resi Bagawa.
"Mari kita mencari tempat yang lebih enak! Aku ingin
mendengar keteranganmu!" Ajak Resi Bagawa sambil
menggandeng bahu Ragas.
* * *
ENAM
Matahari pelahan-Iahan mulai tenggelam, setelah
menyelesaikan tugasnya menerangi mayapada ini. Dalam
keremangan senja, tampak Panji berlari menggunakan
ilmu meringankan tubuh agar dapat tiba di Desa Muara
Bening sebelum gelap-gulita. Tubuh pemuda itu
berkelebat di antara pohon besar, tak ubahnya sebuah
bayangan hantu. Terkadang tengah bermain-main di
angkasa raya.
Beberapa waktu kemudian, Pendekar Naga Putih
telah mencapai jalan umum yang cukup lebar. Segera
dihentikan larinya di tepi jalan itu Dirayapi daerah itu
untuk memastikan kalau dirinya tidak menemui jalan
yang salah. Memang Panji sengaja memotong jalan lewat
hutan sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh
agar perjalanan menjadi lebih cepat.
Rupanya, begitu selesai mengantarkan keluarga Ki
Dewana ke tempat tujuan, Panji berpamitan untuk
melanjutkan perjalanan. Pemuda itu masih teringat ketika
Ratna, anak gadis Ki Dewana, melepaskan keberang-
katannya dengan hati sangat berat. Setelah Panji berjanji
akan mengunjunginya kelak, barulah gadis itu rela
melepaskan pegangan tangannya. Panji jadi tersenyum
sendiri seraya menggelengkan kepalanya, jika mengingat
hal itu.
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya lambat-
lambat. Menurut keterangan Ki Dewana, letak desa itu
tidak terlalu jauh dari Hutan Jati. Dan apabila
menemukan jalan yang bersimpang tiga, Panji harus
mengambil jalan kiri. Dari situ, Panji akan menemukan
jalan menuju Desa Muara Bening.
Tepat pada saat Panji tiba di persimpangan jalan, dari
mulut hutan di depannya muncul dua orang laki-laki yang
tak lain Ragas dan Resi Bagawa. Mereka juga hendak
menuju ke Desa Muara Bening.
Ketika melihat seorang berjubah putih yang melang-
kah ke arah mereka, Ragas mencabut golok panjangnya.
Sambil melintangkan goloknya, pemuda itu berbisik
kepada Resi Bagawa.
"Guru. Tampaknya orang itu adalah salah satu pim-
pinan mereka yang hendak menuntut balas atas kekalahan
Sepasang Mambang Lembah Maut tadi!"
Wajah Ragas nampak tegang ketika membisikkan
kata-kata itu kepada gurunya. Menurut anggapannya,
pasti orang berjubah putih itu memiliki kepandaian yang
lebih tinggi dari Jonggala dan Jonggali yang
dipecundangi gurunya.
Yakin kalau orang berjubah putih itu adalah salah
satu dari musuhnya, tanpa banyak cakap lagi Ragas
langsung menerjangnya. Goloknya diputar sedemikian
rupa hingga menimbulkan desing angin tajam.
"Hei!" Teriak Panji kaget sambil menghindar golok di
tangan penyerangnya. Gila! Orang sinting dari mana ini
yang tanpa bertanya lagi langsung menyerang orang
demikian ganasnya? Namun Panji tidak bisa berpikir
lebih banyak lagi, karena serangan lawan begitu cepat
datangnya.
Ketika golok di tangan lawan membabat ke arah
pinggang, Panji mengulur tangan kirinya bermaksud
merampas golok itu. Sedang, tangan kanannya melaku-
kan dorongan ke dada orang itu.
Ragas yang tengah melancarkan serangan bertubi-tubi
itu menjadi terkejut sekali melihat kecepatan gerak
lawan. Cepat-cepat ditarik pulang tangannya sambil
menggeser tubuh ke belakang, menghindari serangan
Panji. Tapi bukan main kagetnya hati Ragas ketika kedua
tangan itu tetap saja mengejarnya. Hingga akhirnya....
"Brettt!
Buggg!
"Aaahhhkkk...!"
Murid Resi Bagawa itu menjerit tertahan ketika tahu-
tahu goloknya telah terampas, ditambah tangan kanan
Panji yang telah menghantam dadanya. Tak ayal lagi,
tubuh Ragas pun terpental dan jatuh di hadapan gurunya.
Ragas merintih kesakitan, dan dari sela-sela bibirnya
tampak cairan merah mengalir pelarian.
Resi Bagawa cukup terkejut melihat cara orang
berjubah putih itu menjatuhkan muridnya. Dan secara
sepintas tadi telah dapat diukur tingkat kepandaian
pemuda berjubah putih itu. Orang tua itu hampir tak
percaya ketika melihat orang yang menjatuhkan
muridnya itu masih muda sekali. Paling banyak, usianya
baru sekitar dua puluh atau dua puluh satu tahun.
"Hm.... Anak Muda! Meskipun kepandaianmu sangat
tinggi, aku tidak akan mundur. Dan, aku akan mencoba
mengusirmu dari Desa Muara Bening, agar bencana yang
menimpa rakyat tidak berkepanjangan," setelah berkata
demikian, Resi Bagawa segera mencabut senjatanya.
Cambuk berwarna putih yang menebarkan hawa dingin
itu meledak-ledak menimbulkan percikan air yang terasa
nyeri apabila menyentuh permukaan kulit.
"Tahan dulu, Orang Tua! Aku tidak...," belum lagi
Panji sempat menyelesaikan ucapannya, serangan cam-
buk Resi Bagawa sudah meluncur datang.
Jtarrr! Jterrr!
"Haiiittt...!" seru Panji nyaring.
Pemuda berjubah putih itu segera melempar tubuhnya
dan melakukan salto sebanyak empat kali. Dan baru saja
hendak berdiri tegak, tahu-tahu ujung cambuk lawan
sudah meluncur datang. Rasanya, tidak ada waktu lagi
untuk menghindar. Maka Panji segera menggerakkan
tangan kanannya menangkap ujung cambuk. Hampir
separuh dari tenaga dalamya digunakan untuk melindungi
kulit tangan agar tidak luka.
Jeprattt!
"Uuuhhh...!"
Panji berseru tertahan dan terdorong mundur sampai
beberapa langkah ke belakang ketika ujung cambuk itu
meliuk menghantam tangannya. Untunglah pemuda itu
telah berjaga-jaga melindungi tangannya sehingga tidak
sampai terluka. Tapi tak urung rasa nyeri menusuk juga
menjalar hingga sebatas siku. Diam-diam Pendekar Naga
Putih memuji kekuatan tenaga dalam yang dimiliki orang
tua yang menjadi lawannya itu.
Dan ternyata Resi Bagawa juga sangat terkejut ketika
mendapat kenyataan kalau cambuk yang selama ini
dibanggakan tidak mampu melukai kulit lawan. Segera
dia mencari alasan kalau dirinya belum menggunakan
seluruh tenaga.
"Jangan takabur dulu, Anak Muda! Bersiaplah meng-
hadapi jurus 'Cambuk Hujan dan Badai' ku!"
Setelah berkata demikian, Resi Bagawa memutar
cambuknya hingga menimbulkan angin ribut. Seketika
batu-batu kecil beterbangan akibat putaran angin kuat
yang ditimbulkan cambuk di tangannya.
Panji cukup terkejut melihat kehebatan jurus
lawannya itu. Maka bergegas pemuda itu menyedot udara
banyak-banyak. Rupanya Pendekar Naga Putih mulai
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat
itu. Sesaat kemudian, hawa dingin me¬nusuk menebar
dan bertiup keras. Tampak selapis kabut bersinar putih
keperakan bergerak menyelimuti tubuh pemuda itu.
"Pendekar Naga Putih...!?" Gumam Resi Bagawa
ragu. Meskipun masih diliputi keraguan, namun gerakan-
nya segera dihentikan, sehingga badai yang diciptakannya
mendadak lenyap! 'Tunggu dulu, Anak Muda!"
"Hm.... Ada apa lagi, Orang Tua? Mengapa
berhenti?" Sahut Panji yang masih bersiap menghadapi
pertarungan.
"Sebentar, Aku ingin bertanya sesuatu," ungkap Resi
Bagawa lagi.
"Silakan...!"
"Apakah kau..., Pendekar Naga Putih...?"
"Begitulah orang persilatan menyebutku!" Jawab
Panji tanpa sedikit pun tersirat nada kesombongan.
Ragas yang mendengar penegasan Panji, langsung
berubah wajahnya. Sungguh tak disangka kalau orang
berjubah putih itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Maafkan aku yang bodoh ini, Pendekar Naga Putih,"
ucap Ragas di antara rintihan kesakitan.
"Lupakanlah," hanya itu yang diucapkan Panji
"Ahhh...! Kalau begitu kita telah salah paham,
Pendekar Naga Putih," jelas Resi Bagawa seraya menarik
napas lega sekaligus gembira. Lega karena tidak jadi
bertarung melawan pemuda berkepandaian tinggi.
Hatinya juga gembira karena dengan hadirnya pendekar
muda sakti itu, Resi Bagawa berarti telah mendapat
bantuan yang dapat diandalkan untuk menumpas
Penghuni Rimba Gerantang.
"Ah! Maafkan aku, Eyang Resi. Untunglah kita tidak
saling menjatuhkan," Panji menabah panggilannya sesuai
dengan pakaian yang dikenakan Resi Bagawa. Pemuda
itu membungkuk hormat kepada orang tua itu.
"Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu,
Pendekar Naga Putih. Untunglah aku segera dapat
mengenalimu berkat ciri-cirimu yang jarang dimiliki
kaum persilatan itu,'" Resi Bagawa tertawa senang
"Namaku Resi Bagawa dan itu muridku Namanya Ragas.
Boleh kutahu namamu, Pendekar Naga Putih? Apakah
engkau mempunyai tujuan datang ke daerah ini?"
"Namaku Panji, Eyang Resa. Sedang kedatanganku
kemari hanya kebetulan lewat saja," sahut Panji mencoba
menyembunyikan maksudnya.
"Hm.... Jadi, tidak ada maksud lain...?" Resi Bagawa
menggantungkan ucapannya. "Tidakkah kau mendengar
tentang sesuatu selama perjalananmu ke sini?"
"Maksud Eyang Resi...?" Tanya Panji ingin menge-
tahui sampai seberapa jauh yang diketahui Resi Bagawa
tentang Penghuni Rimba Gerantang yang penuh misteri
itu. Sedangkan, apa yang telah didengarnya dari Ki
Dewana maupun Laksa, hanya sebagian kecil saja. Dan
belum terlalu jelas.
Akhirnya, Resi Bagawa menceritakan tentang apa
yang diketahuinya. Sesekali Ragas ikut menimpali,
memberikan keterangan kepada Panji. Namun, segala apa
yang diceritakan Ragas maupun gurunya ternyata tidak
beda jauh dengan apa yang diceritakan Ki Dewana dan
Laksa. Sehingga, sampai cerita kedua orang itu selesai,
misteri Penghuni Rimba Gerantang masih belum
terungkapkan.
"Kita tidak boleh membiarkan kejadian ini berlarut-
larut, Panji. Mereka harus ditumpas!" Tegas Resi Bagawa
menutup ceritanya.
"Benar! Kita harus mencobanya, Eyang Resi!”
"Lalu, bagaimana dengan tugasmu, Ragas?" Tanya
Panji. Memang, Ragas telah menceritakan maksud
perjalanannya.
"Rasanya sudah tidak perlu lagi. Aku yakin dengan
adanya Eyang dan Pendekar Naga Putih, manusia-
manusia iblis itu akan dapat ditumpas!" Tegas Ragas,
yakin.
"Kalau begitu, marilah kita membuat rencana untuk
menjebak mereka!" Usul Resi Bagawa. Panji dan Ragas
mengangguk menyetujui usul orang tua itu. Dua orang
pemuda itu tersenyum melihat semangat Resi Bagawa
yang begitu menggebu-gebu.
"Sudah terlalu lama aku menyembunyikan diri. Dan
mulai hari ini, aku akan mempunyai pengalaman yang
akan membuatku menjadi lebih berarti," ucap Cambuk
Hujan dan Badai penuh kegembiraan.
Angin sore bertiup pelahan menyejukkan. Tiga orang
pendekar siap mengungkap misteri si Penghuni Rimba
Gerantang!
* * *
Ragas melangkah gontai memasuki Desa Muara
Bening Wajahnya terlihat agak pucat. Bahkan pakaian
yang dikenakannya robek di beberapa bagian. Tampak-
nya dia tengah menderita luka.
"Kakang Ragas...! Apa... apa yang terjadi?" Salah
seorang penjaga gardu yang ada di mulut dcsa berteriak
kaget, la kontan berlari menyambut Ragas. Beberapa
orang lainnya ikut pula menyongsong kedatangannya,
lalu memapah tubuhnya.
"Bawa aku menghadap Ki Jatar...!" Pinta Ragas
kepada para penjaga itu.
"Baik, Kakang!" Jawab orang yang pertama kali
menyongsongnya tadi. Dan dengan dibantu seorang
kawannya, mereka bergegas memapah Ragas ke tem¬pat
kediaman kepala desa.
Sepanjang perjalanan, para penduduk yang berpapa-
san dijalan menatap Ragas cemas. Mereka takut kalau-
kalau salah seorang pemuda yang diandalkan itu akan
meninggalkan mereka. Rupanya Ragas adalah salah
seorang pimpinan yang disukai oleh penduduk desa itu.
Beberapa waktu kemudian, ketiga orang itu pun tiba
didepan sebuah rumah besar. Mereka bergegas memasuki
halaman rumah besar itu.
"Cepat laporkan kepada Ki Jatar!" Teriak salah
seorang yang membawa Ragas begitu melihat seorang
penjaga yang baru keluar dari dalam rumah itu.
Tanpa banyak tanya lagi orang itu cepat bergegas
masuk. Tidak berapa lama kemudian, Ki Jatar pun
muncul Kepala Desa Muara Bening itu terpaku sejenak
melihat kedatangan Ragas dalam keadaan terluka.
"Ayo, bawa dia masuk ke dalam!" Perintah Ki Jatar.
Setelah berkata demikian, orang tua itu segera masuk
kembali Wajahnya terlihat agak pucat, karena keadaan
Ragas itu.
Begitu memasuki rumah, dibaringkan tubuh Ragas di
atas balai bambu yang terletak di ruang tengah. Dua
orang yang tadi mengantarnya bergegas pamit me-
ninggalkan rumah besar itu. Kini yang tinggal di dalam
ruangan tengah itu hanya Ragas, ditemani Ki Rambing
dan Ki Jatar.
"Hm.... Untung hanya luka-luka ringan saja," ujar Ki
Jatar menarik napas lega. Namun di wajahnya terbayang
kecemasan yang berusaha disembunyikan.
Selesai memeriksa keadaan pembantunya, Ki Jatar
bergerak bangkit. Dia melangkah ke tepi jendela yang
terbuka lebar itu. Sejenak dirayapinya pelataran samping
dengan wajah murung. Berkali-kali ditariknya napas
untuk menenangkan hatinya yang terguncang.
"Apa lagi yang harus kita lakukan sekarang, Ki?
Entah apa maksudnya iblis-iblis itu membebaskan Ragas.
Tidak mungkin kalau mereka begitu berbaik hati
melepaskannya?" Tanya Ki Rambing sambil melangkah
mendekati Ki Jatar yang masih terpaku di tepi jendela.
"Hhh...," Ki Jatar hanya mendesah lirih. Rupanya ia
tidak mempunyai minat sedikit pun menimpali perkataan
pembantunya itu. Pelahan-lahan dibalikkan tubuhnya,
menghadap Ki Rambing. Ditatapinya wajah pembantunya
itu lekat-lekat, seperti ingin membaca apa yang tengah
dipikirkan Ki Rambing itu.
"Kau jagalah dia. Tubuhku lelah sekali dan jangan
ganggu aku dulu. Aku ingin beristirahat," pinta Ki Jatar
kemudian laki-laki tua itu melangkah ke dalam ruangan
yang lain tempatnya menyepi dan bersemadi untuk
menenangkan pikiran.
Ki Rambing tidak sempat berkata sepatah pun kecuali
hanya mengangguk bingung melihat tingkah kepala
desanya yang terlihat aneh itu. Kata-kata yang tiba-tiba
saja menjadi kaku dan tidak ramah itu, menimbulkan
berbagai pertanyaan di hati Ki Rambing. Namun hal itu
berusaha dimakluminya karena keadaan desa memang
tengah ditimpa musibah.
"Ohhh...," Ragas yang jatuh tertidur setelah diobati,
tiba-tiba mengeluh pelahan. Pemuda itu menggeliat
sejenak sebelum membuka kedua matanya.
"Ah! Syukurlah kau sudah bangun, Ragas. Bagaimana
rasanya keadaanmu sekarang?" Tanya Ki Rambing
sambil melangkah menghampiri pembaringan.
"Hm.... Rasanya memang sudah enakan, Ki," jawab
Ragas sambil menggerak-gerakkan tangannya. Bergegas
pemuda itu bangkit dari dipan bambu, karena merasa
bahwa kesehatannya telah membaik. "Aku ingin berjalan-
jalan sebentar, Ki. Untuk mencari udara segar," jelas
Ragas lagi. Setelah berkata demikian, kakinya segera
melangkah kelur.
"Biar kutemani," sahut Ki Rambing yang segera
melangkah mengikuti Ragas.
Tangan kanan kepala desa ini sebenarnya merasa
curiga melihat kepulangan Ragas yang hanya menderita
luka-luka ringan saja. Menurutnya, itu merupakah hal
yang mustahil. Sebab ia kenal betul, siapa itu para
begundal Penghuni Rimba Gerantang yang kejam dan tak
kenal ampun.
Ragas sebenarnya sudah dapat menduga akan
kecurigaan Ki Rambing maupun Ki Jatar. Kedua orang
itu rasanya terlalu cerdik untuk percaya begitu saja
terhadap keberhasilan dirinya dalam meloloskan diri dari
kekejaman para pengikut iblis itu. Memang, hal ini
sebenarnya sengaja tidak diceritakan, sesuai yang
direncanakan gurunya dan Pendekar Naga Putih. Maka
sampai saat itu rencananya masih berjalan mulus.
Ki Rambing terus mengikuti langkah kaki Ragas yang
menuju kebun yang terletak di belakang rumah itu. Dahi
Ki Rambing berkerut melihat Ragas yang berjalan seperti
benar-benar tengah menikmati udara sore yang
menyegarkan itu. Tentu saja hatinya merasa heran, karena
Ragas tidak menunjukkan tanda-tanda habis dicengkeram
ketakutan ataupun kecemasan. Padahal, dia baru saja
terlepas dari iblis-iblis begundal Penghuni Rimba
Gerantang!
"Mmm... Ragas!" Panggil Ki Rambing ragu-ragu.
"Ya, Ki. Ada apa?" Tanya Ragas tanpa menolehkan
kepala.
"Benarkah orang-orang Penghuni Rimba Gerantang
itu tidak mengejarmu? Rasanya, tidak mungkin kalau
mereka membebaskanmu begitu saja?" Akhirnya Ki
Rambing tidak sanggup juga menyembunyikan rasa
penasaran dalam hari.
Mendengar pertanyaan itu, Ragas membalikkan
tubuhnya. Ditatapnya wajah Ki Rambing penuh selidik.
Sepertinya, Ragas ingin mengetahui apa maksud laki-laki
itu sebenarnya.
"Apakah Ki Rambing tidak gembira melihat aku
pulang dengan selamat? Apakah aku harus pulang dalam
keadaan sudah menjadi mayat? Begitukah yang Ki
Rambing inginkan?" Tanya Ragas dingin, tapi matanya
terus menatap wajah laki-laki yang berusia lima puluh
tahun itu.
"Hhh.... kau menyakiti hatiku, Ragas. Tidak cukupkah
waktu lima tahun untuk saling mengenal? Kita telah
sama-sama mengabdi di desa ini sejak lama. Tapi,
rupanya kau masih belum mengenalku secara baik,"
sergah Ki Rambing sambil melangkah kakinya menyusuri
tanah berumput. Wajahnya tampak muram, dan dari nada
suaranya tersirat kepedihan.
"Maafkan aku, Ki. Tidak seharusnya aku berkata
demikian. Tapi, keadaanlah yang membuatku harus
berhati-hati."
"Kau menyembunyikan sesuatu padaku, Ragas? Dan
kau... kau tidak percaya lagi padaku?" Tanya Ki Rambing
tidak dapat menyembunyikan perasaannya.
Ragas menatap Ki Rambing lekat-lekat. Tampak sinar
kesungguhan di mata dan wajah kawannya itu. Sedikit
pun tidak tampak kalau orang itu tengah bersandiwara.
Akhirnya, Ragas memutuskan untuk menceritakan
kejadian yang sebenarnya kepada Ki Rambing.
"Baiklah, Ki. Satu pesanku, jangan beritahukan apa
yang akan kuceritakan ini kepada siapa pun! Berjanjilah,
Ki!" Pinta Ragas setelah memastikan kalau hanya berdua
di tempat itu.
"Baik, aku berjanji!" Tegas Ki Rambing sungguh-
sungguh.
Dengan suara direndahkan, Ragas pun mulai men-
ceritakan kejadian yang dialami pagi tadi. Ki Rambing
mendengarkan cerita Ragas penuh kesungguhan. Sesekali
napasnya tertahan, dan di lain saat terkejut, seolah-olah
yang diceritakan kawannya itu benar-benar sebuah
peristiwa yang menegangkan.
"Begitu, Ki. Hingga akhirnya aku, Guru, dan
Pendekar Naga Putih sepakat untuk membuat rencana
seperti yang tengah kujalani ini," tutur Ragas mengakhiri
ceritanya. Sedang Ki Rambing masih saja termangu-
mangu seperti tak percaya.
"Hm... mudah-mudahan rencana itu berjalan lancar,"
desah Ki Rambing penuh harap. "Sudahlah, mari kita
kembali. Lihatlah hari sudah mulai gelap," ajak laki-laki
itu sambil melangkah meninggalkan kebun itu diikuti
Ragas.
* * *
TUJUH
Malam mulai beranjak turun. Kegelapan pelahan
menyelimuti permukaan bumi. Angin dingin bersilir
lembut menyejukkan. Samar-samar tampak sang rem-
bulan muncul utuh.
Dalam siraman cahaya bulan purnama, tampak dua
sosok bayangan putih berkelebatan di antara pepohonan.
Gerakan mereka itu demikian cepat dan ringan, seolah-
olah seperti iblis-iblis yang bergentayangan mencari
mangsa.
Dua sosok bayangan putih itu terus berlarian di atas
rumah-rumah penduduk Desa Muara Bening. Sepertinya,
tujuan mereka adalah balai desa yang letaknya di tengah-
tengah desa itu.
Begitu tiba di halaman belakang balai desa, dua sosok
bayangan putih itu bergegas menyelinap masuk ke
dalamnya. Kesibukan yang ada di halaman depan balai
desa itu sama sekali tidak dihiraukan.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya tiba di
sebuah ruangan yang agak luas. Di situ terdapat tiga buah
tandu yang dijaga enam orang berseragam hitam. Dua
sosok bayangan putih itu tampak saling pandang sejenak,
kemudian mengangguk berberengan.
Tiba-tiba tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua
bayangan putih itu bergerak bagai kilat. Dalam sekejap
saja, enam orang berseragam hitam itu telah berdiri kaku
bagaikan patung. Rupanya keenam orang itu telah
terjorok.
Sementara itu di luar bangunan, tampak Ki Jatar
melangkah memasuki halaman balai desa. Di sebelah
kanannya, berjalan Ki Rambing. Wajahnya terlihat agak
tegang dan gelisah. Sepertinya, ada sesuatu yang
dikhawatirkan.
Ragas berlari menyambut kedatangan Ki Jatar yang
juga tengah melangkah ke arahnya. Wajah anak muda
pembantu utama kepala desa itu tampak agak gelisah.
"Apakah segalanya telah kau persiapkan, Ragas?"
Tanya Ki Jatar kepada pembantunya itu.
"Sudah, Ki. Kami hanya tinggal menunggu perintah
Ki Jatar. Kapan kami akan berangkat, Ki?" Sahut Ragas
tegang.
"Hm.... Kau tampaknya agak gelisah, Ragas? Apakah
ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Ki
Jatar yang menjadi heran melihat sikap pembantunya itu.
'Tidak, Ki. Aku hanya takut kalau kejadian yang
pernah menimpa Kakang Dumpa akan terulang lagi,"
jawab Ragas cepat.
"Hm.... Jika kita tidak membuat kesalahan, tidak
mungkin mereka akan menurunkan tangan kejam.
Sudahlah! Kejadian itu tidak usah diingat lagi. Nah!
Sekarang, berangkatlah sebelum malam semakin
melarut," ucap Ki Jatar ringan, sepera sama sekali tidak
mempedulikan nasib para gadis desa yang dijadikan
persembahan itu.
Ragas mengangguk lemah, kemudian bergegas
meninggalkan Ki Jatar. Ki Rambing pun ikut pula
meninggalkan kepala desa itu, lalu melangkah mengikuti
Ragas yang berjalan menuju ke dalam balai desa. Dia
terus memasuki ruangan, tempat ketiga buah tandu
diletakkan. Ragas yang melihat kalau keenam orang
penjaga itu bagai patung, segera menangkap penyebab-
nya. Dengan cepat, pemuda itu memberi totokan untuk
membebaskan mereka.
"Uhhh...," seru enam orang itu hampir berbarengan.
"Apakah semua telah siap?" Tanya Ragas kepada
salah satu dari mereka, setelah bebas dari totokan.
"Beres, Kakang!" Jawab orang itu tegas. Seperti
dikomando, mereka menyembunyikan kejadian yang
dialami tadi. Mungkin saja takut dituduh lalai.
"Hm.... Kalau begitu, panggil yang lain untuk
mengangkat tandu-tandu itu!" Perintah Ragas lagi. Orang
itu mengangguk cepat dan langsung keluar untuk mencari
kawan-kawannya yang lain.
Tidak berapa lama kemudian, orang itu sudah
kembali membawa dua belas orang yang juga berseragam
hitam. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas
membawa tandu. Setelah membungkuk hormat, kedua
belas orang itu bergegas mengangkat tandu-tandu, dan
bergegas menuju keluar bangunan itu.
Ki Jatar yang tengah menanti di halaman balai desa,
membalas anggukkan Ragas, Ki Rambing, dan yang
lainnya ketika iring-iringan itu melewati di depannya.
Orang tua itu terus menatap kepergian iring-iringan itu
hingga lenyap ditelan kegelapan bayang-bayangan
pepohonan. Begitu rombongan itu lenyap, Ki Jatar
bergegas meninggalkan balai desa untuk kembali ke
rumahnya, ditemani dua orang berseragam hitam. Dua
orang itu memang bertugas menjaga rumahnya.
Rombongan yang membawa persembahan untuk
Penghuni Rimba Gerantang pada setiap malam bulan
purnama itu terus berjalan menerobos kegelapan malam.
Dari kejauhan, terdengar lolongan anjing hutan yang
bersahut-sahutan. Sementara angin malam yang dingin
bertiup kencang membuat suasana malam semakin
menyeramkan.
Setelah kurang lebih seperempat malam mereka
berjalan, rombongan itu tibalah di tepi Rimba Gerantang.
Tanpa banyak bicara lagi, tandu-tandu itu segera
diletakkan di bawah sebatang pohon besar, dekat mulut
hutan.
"Penghuni Rimba Gerantang! Kami datang membawa
persembahan untukmu. Sekarang, ijinkanlah kami
kembali!" seru Ki Rambing sambil mengerahkan tenaga
dalam sehingga terdengar bagaikan bergema. Setelah
berkata demikian, Ki Rambing bergegas meninggalkan
tempat itu.
Ki Rambing dan Ragas berjalan lambat di belakang
rombongan itu. Wajah dua orang itu tampak berpeluh,
dan masih terlihat tegang. Keduanya menunduk dalam-
dalam, sepertinya tak berminat untuk berbicara satu sama
lain.
"Kalian kembalilah lebih dulu. Aku dan Ragas masih
mempunyai sedikit urusan. Kalau Ki Jatar menanyakan,
katakan saja kami akan segera kembali!" Pesan Ki
Rambing kepada rombongannya setelah mereka agak
jauh meninggalkan tepi hutan. Orang-orang itu hanya
mengangguk keheranan mendengar ucapan itu, tapi tak
seorang pun yang berani bertanya lebih jauh.
Ki Rambing dan Ragas menatap kepergian orang-
orang itu hingga mereka lenyap di balik rimbunan pohon
pada sebuah jalan berkelok. Setelah beberapa saat
menunggu, keduanya segera berbalik kembali menuju
Rimba Gerantang.
Kedua orang pembantu utama Kepala Desa Muara
Bening mengintai dari balik semak-semak. Mereka
memperhatikan tiga buah tandu yang nampaknya belum
diambil para begundal Penghuni Rimba Gerantang itu.
Saat-saat, berlalu penuh ketegangan. Setelah cukup lama
menanti, tampak belasan sosok tubuh berlompatan dari
dalam hutan dan langsung melangkah mendekati tiga
buah tandu itu.
Ki Rambing menempelkan telunjuk di bibirnya ketika
melihat Ragas hendak mengeluarkan suara. Pemuda itu
langsung terdiam menyadari kebodohannya itu.
Sementara itu dua belas orang berseragam putih mulai
mengangkat tiga buah tandu, lalu dibawa masuk ke dalam
hutan. Sesaat kemudian, kedua belas orang itu pun lenyap
ditelan kegelapan hutan. Suara lolongan anjing hutan
kembali terdengar seolah-olah mengiringi langkah kaki
mereka memasuki hutan.
Ragas dan Ki Rambing bergegas mengikuti dua belas
orang berseragam putih itu. Mereka mengendap-endap
dan menyelinap di antara rimbunan semak yang banyak
terdapat di tempat itu. Urat-urat di seluruh tubuh mereka
menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang
bakal terjadi.
Kedua belas orang berseragam putih itu terus
melangkah memasuki hutan melalui jalan sukar. Namun,
mereka sama sekali tidak mengalami hambatan karena
sudah terbiasa melewati jalan itu. Lain halnya dengan
Ragas dan Ki Rambing yang harus berhati-hati dan
menajamkan penglihatannya agar tidak sampai diketahui
orang-orang itu.
Tidak berapa lama kemudian, dua belas orang
berseragam putih itu memasuki sebuah tempat yang
dipenuhi sinar obor yang ditancapkan pada batang-batang
pohon. Kabut yang agak pekat menyambut kedatangan
dua belas orang yang membawa tandu itu.
Mereka terus memasuki sebuah bangunan tua yang
agak besar, dan dikelilingi kabut. Dua orang yang juga
berseragam putih bergegas menyambut kedatangan tiga
buah tandu itu, lalu terus masuk ke dalam bangunan tua
yang terlihat menyeramkan itu. Hawa dingin semakin
keras berhembus hingga terasa menembus tulang.
Setelah meletakkan tiga buah tandu di dalam sebuah
kamar yang cukup tuas dan menebarkan hawa dingin, dua
belas orang berseragam putih itu bergegas keluar.
Di dalam kamar itu terdapat sebuah pembaringan
yang menebarkan keharuman yang menusuk hidung.
Beberapa langkah dari pembaringan itu, terdapat sebuah
batu pipih. Di atasnya, duduk seorang berambut putih
semua. Kalau dilihat dari warna rambutnya, paling tidak
dia berusia sekitar tujuh puluh tahun. Namun meski
usianya sudah tua, wajah kakek itu nampak segar
kemerahan. Bahkan tubuhnya masih nampak tegap dan
gagah. Dialah Eyang Luwak Ambat yang disebut-sebut
sebagai Penghuni Rimba Gerantang. Dan kemudaan
wajah serta tubuh yang dimilikinya itu berkat sari pati
kehidupan yang diambil dari para perawan suci melalui
persetubuhan. Itulah sebabnya, mengapa pada setiap
bulan purnama Ki Jatar mempersembahkan tiga orang
perawan desa yang masih suci dan berwajah cantik.
Kini, kakek itu pelahan-lahan turun dari atas batu
pipih itu, lalu melangkah ke arah sebuah tandu terdekat
Ketika hampir mendekati tandu yang dituju, Eyang
Luwak Ambat merandek menahan langkahnya. Nalurinya
yang tajam mengisyaratkan kalau ada sesuatu yang tidak
beres pada tandu itu.
"Hm...," gumam kakek itu pelahan.
Eyang Luwak Ambat melangkah mundur mendekati
tepi pembaringan. Belum lagi sempat berbuat sesuatu,
tiba-tiba tandu yang tengah ditatapnya itu jebol bagian
atasnya. Tampak sesosok bayangan putih melesat keluar
bersama kepingan kayu yang berhamburan.
Bayangan putih yang ternyata adalah seorang pemuda
tampan itu mendarat beberapa tombak di hadapan Eyang
Luwak Ambat. Pemuda yang tak lain adalah Panji atau
Pendekar Naga Putih, menatap tajam wajah orang tua di
hadapannya. Tapi sebelum pemuda itu mengeluarkan
kata-kata. Tiba-tiba....
Brakkk!
Tandu yang kedua kembali jebol pada bagian atasnya
sehingga menimbulkan suara keras. Berbarengan dengan
ambrolnya atas tandu itu, muncul sesosok bayangan putih
lainnya yang melenting ke atas dan mendaratkan kedua
kakinya di sebelah Panji. Orang itu tak lain dari Resi
Bagawa atau Cambuk Hujan dan Badai.
Kedua orang pendekar itu memang sengaja hendak
bertemu langsung orang yang disebut sebagai Penghuni
Rimba Gerantang. Ternyata inilah siasat mereka untuk
dapat berhadapan langsung dengan Penghuni Rimba
Gerantang itu. Sedangkan pada tandu lainnya diisi
bongkahan batu yang seberat tubuh manusia dewasa.
Sebenarnya Eyang Luwak Ambat sangat terkejut
melihat kehadiran kedua orang itu. Tapi sebagai orang
berpengalaman, ia dapat menguasai perasaannya.
"Hm.... Rupanya kalian sengaja mengantarkan nyawa
ke tempat ini. Sungguh besar sekali nyali kalian." Tegas
kakek itu dingin. Dalam nada suaranya jelas tersirat
napsu membunuh. Pelahan tubuhnya bangkit dari tepi
pembaringan, lalu melangkah mendekati Panji dan Resi
Begawa.
"Orang Tua! Kaukah yang disebut sebagai Penghuni
Rimba Gerantang?!" Tanya Panji tenang.
Pemuda itu memang sama sekali tidak gentar
walaupun tahu dirinya di dalam sarang macan.
Sebenarnya Pendekar Naga Putih cukup terkejut melihat
seorang kakek yang memiliki bentuk tubuh dan wajah
yang tidak sewajarnya itu. Dan belum lagi keterke-
jutannya terjawab, Resi Bagawa sudah mendekati sambil
berbisik dengan suara rendah.
"Jangan heran, Panji. Orang itu tengah mempelajari
suatu ilmu sesat yang dapat menambah tenaga saktinya.
Bahkan juga dapat membuat dirinya awet muda. Itulah
sebabnya, mengapa penduduk desa selalu mempersem-
bahkan tiga perawan cantik yang menjadi syarat ilmu
itu," bisik Resi Bagawa yang membuat Panji terkejut.
"Bagaimana caranya, Eyang Resi?" Tanya pemuda itu
heran. Memang, Pendekar Naga Putih baru mendengar
ilmu sesat itu. Tapi keheranan pemuda itu seketika sirna
ketika teringat pengalaman dalam menumpas Dedemit
Bukit Iblis. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: 'Dedemit Bukit Iblis').
Iblis itu dalam melatih ilmunya harus menghisap
darah bayi sampai ilmunya menjadi sempurna. Tapi
untuk yang satu ini, Panji memang belum mengetahui
cara itu dalam menyempurnakan ilmu Penghuni Rimba
Gerantang.
"Dengan cara menghisap sari kehidupan perawan,
melalui persetubuhan!" Jawab Resi Bagawa pelan.
"Gila!" Teriak Panji sambil memalingkan wajahnya
yang memerah karena jengah. "Benar-benar iblis biadab!
Kalau begitu ia harus cepat-cepat dilenyapkan, Eyang
Resi."
Setelah ucapannya selesai, tubuh Panji segera
meluruk ke arah Penghuni Rimba Gerantang yang hanya
menatap penuh kesombongan.
Ketika serangan Panji tiba, Eyang Luwak Ambat
hanya menggerakkan tangan secara sembarang. Kelihatan
gerakan tangan itu tidak ada isinya. Tapi, dari gerakan
yang terlihat pelan itu, ternyata menimbulkan desir angin
tajam dan kuat.
Dukkk!
"Ahkkk...!"
Panji menjerit tertahan ketika lengannya bertemu
lengan kakek itu. Tubuh pemuda itu terpental balik.
Untunglah Panji bertindak cepat, dengan memutar
tubuhnya di udara hingga dapat menjejakkan kakinya di
atas tanah tanpa mengalami luka. Hanya tangan kanannya
saja yang terasa nyeri dan linu.
"Gila! Tenaga kakek tua itu hebat sekali!" Gumam
pemuda itu kagum.
"Hati-hatilah, Panji. Orang ini tidak bisa dipandang
enteng! Kalau tidak bisa bersikap tenang, kau akan celaka
di tangannya," Resi Bagawa mengingatkan. Memang
Pendekar Naga Putih tadi terbawa esosi setelah
mendengar kebiadaban kakek tua itu.
Mendengar kata-kata Resi Bagawa. Panji menjadi
sadar akan kecerobohannya tadi. Untunglah ia tidak
sampai celaka.
"He he he.... Kau boleh juga, Anak Muda. Kalau
orang lain yang menerima kebutan tanganku itu, paling
tidak tulang tangannya akan patah. Hmm... Pantas saja
berani berlagak, rupanya kau memiliki bekal cukup.
Marilah kita main-main sebentar, Anak Muda. Rasanya
sudah lama sekali aku tidak pernah bertarung. Dan hari
ini aku akan mencoba tenaga hasil latihanku selama ini,"
tantang kakek itu sambil tersenyum mengejek.
"Hm.... Berhati-hatilah kau, Orang Tua. Kali ini aku
tidak akan main-main lagi!" Tegas Panji geram.
Setelah berkata demikian, pemuda itu menarik napas
dalam-dalam. Sekejap kemudian, terdengar suara
berkerotokan yang menandakan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' mulai mengalir dikedua lengannya. Selapis kabut
bersinar putih keperakan tampak mengelilingi tubuhnya,
sehingga keadaan pemuda itu benar-benar mengejutkan
hati lawannya.
'Pendekar Naga Putih...! He he he.... Tidak kusangka
hari ini aku kedatangan seorang pendekar muda yang
sangat tersohor itu. Kebetulan sekali, Pendekar Naga
Putih! He he he.... Hari ini aku akan mencoba ilmu
baruku padamu," kata Eyang Luwak Ambat seraya
menatap tajam Pendekar Naga Putih. Dan untuk beberapa
saat lamanya, dia seperti lupa kalau hari ini harus
mendapat seorang perawan untuk menyempurnakan
ilmunya itu.
Begitu mengenali siapa pemuda itu sebenarnya, kakek
tua itu tidak lagi memandang remeh. Segera digerakkan
tangannya secara bersilangan. Seketika serangkum angin
tajam berhembus menandai kalau serangannya kali ini
tidak bisa dianggap main-main. Hawa dingin berhembus
kuat dari sekitar tubuh kakek itu.
Ketika sepasang tangan dari masing-masing lawan
menghentak, maka tampak dua kekuatan yang sama-sama
berinnkan hawa dingin saling dorong. Akibatnya dalam
ruangan itu bagaikan sebuah gua salju saja. Resi Bagawa
bergegas keluar dari ruangan itu kalau tidak ingin jadi
patung salju akibat hawa dingin yang menjadi berlipat-
lipat itu.
"Hiahhh...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji melunak
ke arah kakek itu. Kedua tangannya terkembang dalam
jurus 'Naga Sakti Masuk ke Bumi'. Sebuah jurus yang
mengandalkan kecepatan gerak tangan yang ditunjang
tenaga dalam tinggi.
Wusss! Wusss!
"Hm...," Eyang Luwak Ambat hanya bergumam
melihat serangan Panji.
Hawa dingin yang ditebarkan pemuda itu memang
tidak mempengaruhi tubuhnya. Karena, tenaga dalam
kakek itu juga bersumber dari hawa dingin. Segera Eyang
Luwak Ambat menggeser tubuhnya sehingga serangan
pemuda itu lewat dan mengenai tempat kosong.
Kemudian dengan kecepatan yang sukar diikuti mata,
kakek itu membalas serangan Panji dengan tiga buah
pukulan berturut-turut. Panji cepat dapat menghindar
tanpa mengalami kesulitan, sehingga serangan lawan
hanya mengenai tempat kosong.
Pertarungan terus berlanjut sengit. Dua gulung sinar
putih keperakan saling libat dan saling menindih. Dua
gelombang tenaga yang sama-sama menebarkan hawa
dingin, benar-benar sangat menggiriskan. Seluruh isi
kamar itu beterbangan terkena sambaran angin pukulan
sangat dahsyat. Sehingga, keadaan di dalam ruangan itu
tak ubahnya bagai dilanda angin topan.
Sementara itu Resi Bagawa yang baru saja keluar dari
dalam ruangan berpapasan dengan Tongkat Maut
Delapan Bayangan. Tangan kanan Penghuni Rimba
Gerantang itu memang bermaksud menuju ke ruang
majikannya ketika mendengar suara ribut-ribut. Dan
ketika bertemu, dua tokoh sakti dari golongan yang
berlainan itu sama-sama menghentikan langkahnya.
"Hm.... Resi Bagawa! Rupanya kau yang berani mati
mengacau tempat ini!" Geram Tongkat Maut sambil
melintangkan tongkatnya di depan dada. Memang
disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukan tokoh
sembarangan.
“Tongkat Maut Delapan Bayangan! Hari ini aku si
Cambuk Hujan dan Badai akan mengakhiri kebiadab-
anmu! Bersiaplah!"
Begitu ucapannya selesai Resi Bagawa langsung
mencabut senjatanya yang segera meledak-ledak meme-
kakkan telinga lawannya.
Ctarrr! Cterrr!
Sadar kalau lawan adalah tokoh sesat yang ternama,
Resi Bagawa langsung mengeluarkan ilmu andalan, jurus
'Cambuk Hujan dan Badai Menyapu Bumi'. Sebuah jurus
pilihan dari ilmu cambuknya.
Tanpa dapat dicegah lagi, keduanya segera terlibat
pertarungan sengit. Cambuk di tangan Resi Bagawa
meledak dan meliuk-liuk mengancam tubuh lawan. Ujung
cambuk itu selalu saja bergerak, sehingga sulit diduga ke
mana arah sasarannya.
Tongkat Maut Delapan Bayangan tidak tinggal diam,
dan segera memutar tongkatnya sedemikian rupa hingga
seolah-olah berubah menjadi delapan buah banyaknya.
Pertempuran berjalan sengit dan mendebarkan!
* * *
DELAPAN
Ternyata, pertempuran tidak hanya terjadi di da¬lam
bangunan tua itu saja. Di luar pun, terlihat Ragas dan Ki
Rambing sudah pula terlibat pertempuran yang tidak
seimbang.
Kedatangan kedua orang itu telah diketahui pengikut
Penghuni Rimba Gerantang. Maka, mereka kini terpaksa
melakukan perlawanan. Ki Rambing dan Ragas berusaha
mati-matian untuk mempertahankan nyawa. Namun,
kepandaian orang-orang berseragam putih itu ternyata
tidak bisa dipandang ringan. Dalam beberapa jurus saja,
keduanya telah terdesak hebat oleh empat orang lawan.
Belum lagi belasan kawanan orang berseragam putih itu
yang tengah menonton di tepi arena. Tampaknya dua
orang pembantu Kepala Desa Muara Bening itu tidak
akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Desss!
"Oughhh...!" Ragas melenguh kesakitan.
Tubuh pemuda itu terjungkal akibat tendangan lawan
yang telak menghantam dadanya. Namun semangat
pemuda itu memang patut dipuji. Meskipun dalam
keadaan terjepit seperti itu, Ragas masih juga berusaha
melakukan perlawanan. Sehingga, hal itu semakin
membuat lawan-lawannya penasaran.
Bukkk! Brettt!
"Aaahhhkkk...!"
Ki Rambing terpekik kesakitan ketika sebuah pukulan
dan bacokan dua orang lawan menyambar tubuhnya.
Darah mulai mengucur membasahi bumi. Namun
demikian, ia tetap berusaha mengadakan perlawanan
semampunya.
Tepat saat kedua orang pembantu Kepala Desa Muara
Bening itu tengah jatuh bangun dihajar pengeroyoknya,
tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ramping yang
mengenakan pakaian serba hijau. Pedang bersinar hitam
yang berada di tangan kanannya langsung berdesing,
menyambar leher dua orang berpakaian putih yang tengah
mengeroyok Ragas dan Ki Rambing. Mereka kontan
terjungkal mandi darah, dan tewas seketika.
Dan kini, seorang gadis cantik tahu-tahu telah berdiri
di tengah arena pertempuran. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang pedang hitam yang telah bernoda
darah. Gadis berpakaian serba hijau itu tak ubahnya
malaikat maut yang siap menebarkan hawa kematian.
"Hm... Inikah gerombolan Penghuni Rimba Geran-
tang yang telah membuat kekacauan di Desa Muara
Bening? Mana pemimpin kalian?! Suruh dia keluar untuk
kupenggal batang lehernya!" Seru gadis itu yang ternyata
adalah Kenanga. Suaranya terdengar nyaring dan
bergema menyusup ke dalam bangunan tua itu karena
didorong tenaga dalam tinggi.
"Ohhh.... Terima kasih atas pertolonganmu, Nini. Eh!
Bagaimana Nini mengetahui tempat ini?" Tanya Ki
Rambing sambil melangkah mendekati Kenanga.
"Beberapa saat yang lalu aku bertemu serombongan
orang yang berlarian menuju Desa Muara Bening. Dari
merekalah aku mengetahui kalau di desa itu terjadi
musibah yang didalangi Penghuni Rimba Gerantang.
Maka aku langsung menuju kemari. Untunglah keda
tanganku tepat pada saatnya. Nah, sekarang marilah kita
basmi iblis-iblis biadab ini," jelas Kenanga yang segera
menggerakkan pedang hitamnya, menerjang orang-orang
berseragam putih yang sudah mengurungnya.
Para Pengikut Eyang Luwak Ambat itu kontan buyar
ketika Kenanga memutar pedangnya yang mengancam
bagian-bagian yang mematikan. Kembali terdengar
teriakan-teriakan ngeri. Seketika, dua orang pengeroyok
itu terjungkal bermandikan darah! Hebat sekali, memang,
sepak terjang murid Raja Pedang Pemutus Urat itu. Setiap
sambaran pedangnya berarti kematian bagi para penge-
royoknya.
Sementara itu Ki Rambing dan Ragas kembali
bertempur saling bahu-membahu. Semangat mereka
bangkit karena kedatangan Kenanga yang berkepandaian
tinggi itu. Dan kini, keduanya dapat bertempur lebih
tenang dan lebih berhati-hati.
Di tempat lain, Resi Bagawa tengah bertempur mati-
matian menghadapi Tongkat Maut Delapan Bayangan.
Dua tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan seluruh
kepandaian untuk menjatuhkan satu sama lain. Jurus-
jurus andalan telah dikeluarkan dengan tenaga dalam
tinggi, tapi sampai sejauh itu keduanya masih terlihat
berimbang.
"Heaaattt..!" Resi Bagawa berteriak nyaring sambil
mengelebatkan cambuknya yang menyambar-nyambar
bagai seekor ular itu. Hembusan angin keras bagaikan
badai menyertai serangannya. Tidak itu saja. Titik-titik
air ikut pula meramaikan serangan cambuknya. Benar-
benar sebuah serangan berbahaya.
Tongkat Maut Delapan Bayangan pun tidak tinggal
diam. Diputarnya tongkat maut yang menjadi andalan
hingga menimbulkan sebuah benteng yang tak tampak.
Akibatnya, lecutan-lecutan ujung cambuk Resi Bagawa
terpental balik. Dan pada saat ujung cambuk lawan
berbalik, segera dibarenginya dengan sambaran tongkat-
nya.
Bet! Bet! Bet!
"Aiiihhh...!" Resi Bagawa memekik tertahan.
Ia sangat terkejut melihat serangan lawan yang sama
sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat diputar tubuhnya
membentuk setengah lingkaran. Maka, dua serangan ber-
hasil dielakkannya. Sedangkan serangan yang satunya
lagi segera ditepis menggunakan tangan kiri.
Plakkk!
Keduanya terjajar mundur ke belakang beberapa
tindak Namun Resi Bagawa bertindak cepat Pada saat
lawan belum sempat mempersiapkan diri segera
digerakkan cambuknya melakukan dua serangan seka-
ligus. Seketika suara ledakan cambuk itu menggelegar
bagaikan halilintar.
Tongkat Maut Delapan Bayangan sangat terkejut
melihat serangan yang cepat dan ganas itu. Karena kalau
menghindarkan diri tidak mungkin, Maka Tongkat Maut
Delapan Bayangan nekad mengadu nyawa dengan
lawannya. Setelah mengambil keputusan demikian,
segera digerakkan tongkat berkepala tengkoraknya
menusuk dada lawannya itu.
Ctarrr!
Duggg!
"Aaahhhkkk...!"
"Uuuhhhkkk...!
Kedua tokoh sakti itu terpental ke belakang akibat
terkena pukulan senjata satu sama lain Tongkat Maut
Delapan Bayangan berkelojotan. Tongkat tengkorak
kepalanya retak akibat hantaman cambuk Resi Bagawa
yang menggunakan tenaga dalam tinggi. Darah mengalir
deras dari luka-luka di pelipisnya itu. Beberapa saat
kemudian, rubuh Tongkat Maut Delapan Bayangan pun
diam tak bergerak Mati.
Keadaan Resi Bagawa juga tidak berbeda jauh.
Hantaman tongkat kepala tengkorak lawannya itu telah
menghantam keras dadanya. Resi Bagawa terbatuk-batuk
hebat yang diiringi darah kental berwarna kehitaman.
"Celaka! Tongkat iblis itu beracun...!" Keluh Resi
Bagawa ketika mendapati warna biru kehitaman pada
dada yang terpukul tongkat lawannya tadi. Belum lagi
sempat berpikir lebih jauh, Resi Bagawa langsung
mengerang menahan rasa sakit yang hebat pada dadanya.
Tampak wajah orang tua itu mulai membiru.
“Huakkk...!" Setelah memuntahkan segumpal darah
kehitaman yang berbau busuk, Resi Bagawa langsung
ambruk. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian mati.
Wajahnya berubah menghitam dan kedua matanya mem-
belalak keluar akibat racun ganas pada kepala tengkorak
di tongkat lawannya.
Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara
Pendekar Naga Putih melawan Eyang Luwak Ambat atau
berjuluk Penghuni Rimba Gerantang telah berpindah ke
ruang lain. Tembok ruangan tempat mereka pertama kali
bertempur telah jebol akibat pukulan-pukulan yang tidak
mengenai sasaran.
Eyang Luwak Ambat yang semula menganggap
remeh lawannya itu menjadi terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda tampan yang ber-
juluk Pendekar Naga Putih itu benar-benar berkepandaian
sangat tinggi. Pantas saja julukannya begitu meng-
gemparkan dunia peralatan!
Apa yang dirasakan lawan, ternyata juga dirasakan
oleh Panji. Selama terjun dalam dunia persilatan baru kali
inilah ditemui lawan yang benarbenar tangguh dan
menguras tenaganya. Sehingga, Panji benar-benar harus
mengerahkan seluruh kepandaian untuk segera men-
jatuhkan lawan.
Pada suatu kesempatan Eyang Luwak Ambat me-
lompat mundur ke belakang. Secepat kakinya menjejak
bumi, secepat itu pula tubuhnya kembali meluruk sambil
mendorongkan sepasang tangannya ke dada Panji. Angin
dingin berkesiutan menyertai serangan itu.
Melihat serangan dahsyat itu, bergegas Panji
mengempos semangatnya. Terdengar suara bergemelutuk
dari seluruh tubuh pemuda itu ketika 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' mengaliri kedua tangannya. Kabut
bersinar putih keperakan yang selalu menyelimuti
tubuhnya terlihat semakin membesar. Serangkum angin
dingin yang menusuk tulang berhembus keras, karena
Panji telah memusatkan seluruh tenaga saktinya untuk
menghadapi gempuran lawan.
"Heaaattt..!" Dibarengi teriakan mengguntur bagaikan
hendak membelah langit, tubuh Panji meluncur bagai
seekor naga memapak serangan lawan.
Blarrr!
"Aaakh...!"
Seketika terdengar ledakan dahsyat hingga meng-
getarkan seluruh tembok-tembok bangunan tua itu ketika
dua gelombang tenaga sakti saling berbenturan di udara.
Disertai pekik kesakitan, tubuh kedua orang ber-
kepandaian tinggi itu terpental balik. Demikian kerasnya
tenaga lontaran itu, sehingga tembok yang tertahan tubuh
mereka ambruk dengan menimbulkan suara gemuruh.
Tubuh mereka sama-sama jatuh terbanting di lantai,
disertai muntahan darah segar. Panji yang merasakan
tubuhnya telah terluka dalam, segera bertindak cepat
menelan sebuah pil berwarna putih. Obat luka dalam Itu
memang sengaja diberikan gurunya sebagai bekal pada
saat Pendekar Naga Putih hendak meninggalkan Bukit
Gua Harimau.
Sementara Eyang Luwak Ambat berusaha bangkit
meski kedua kakinya masih gemetar.
Rupanya tubuh kakek itu tidak luput dari luka dalam
akibat benturan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Darah
segar masih saja mengalir dari sela-sela bibirnya.
"Guru...!" Seru seorang laki-laki setengah baya berlari
mendatangi Eyang Luwak Ambat. Cepat laki-laki itu
memapah tubuh kakek tua yang dipanggil guru itu.
"Hm.... Cepat ambilkan tongkat kepala ularku!"
perintah kakek itu tanpa mempedulikan kekhawatiran
muridnya.
"Tapi, Guru...," orang itu mencoba membantah.
"Cepat! Ambil kataku...!" bentak kakek itu gemetar.
Wajahnya terlihat gusar mendengar bantahan muridnya
itu.
Meskipun ragu-ragu orang itu menuruti juga perintah
gurunya. Dia memasuki gedung tua yang sebagian telah
hancur itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu sudah
kembali sambil membawa sebatang tongkat hitam
berkepala ular. Langsung tongkat itu diserahkan kepada
gurunya.
Tanpa banyak cakap lagi, Eyang Luwak Ambat
langsung menyambar tongkat itu dari tangan muridnya,
kemudian bergegas bangkit sambil memutar-mutar
tongkatnya.
Dihisapnya dalam-dalam uap putih kebiruan yang
keluar dari mulut kepala ular yang telah kering itu. Sesaat
kemudian, tubuh orang tua itu bergetar seolah mendapat
tambahan tenaga baru. Itulah salah satu keistimewaan
ilmu yang tengah dilatihnya. Ia dapat menyimpan tenaga
pada tongkat itu dan mengambilnya kembali apabila
diperlukan.
"Hiaaah...! Mampuslah kau sekarang, Pendekar Naga
Putih!" Teriak kakek itu sambil menyabetkan tongkat
kepala ularnya ke arah Panji yang masih memejamkan
matanya untuk memulihkan tenaga.
Pada saat tongkat kepala ular itu hampir mencapai
sasaran, tahu-tahu saja tangan pemuda itu bergerak cepat.
Seketika seberkas sinar putih keperakan berpendar-
pendar di tangan kanannya. Dengan pengerahan tenaga
dalam sepenuhnya, pemuda itu menyabetkan sinar
keperakan yang ternyata adalah sebatang pedang.
Memang sudah lama pedang itu hanya melingkar di
pinggangnya. Senjata itu baru digunakan, jika lawan
benar-benar berilmu tinggi.
Tranggg!
"Aaahhh...!"
Eyang Luwak Ambat berteriak kaget Tidak di¬sangka
sama sekali kalau gerakan lawannya itu begitu cepat. Dan
tanpa dapat dicegah lagi, tongkat kepala ularnya terpapas
buntung oleh pedang pusaka sinar bulan yang dahsyat itu.
Tubuh kakek itu terpental dan berputar bagai gangsing.
Panji tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik
itu. Saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan dan
berputar bagaikan baling-baling. Sementara itu tangan
kanan yang memegang pedang ditujukan ke depan
sehingga kelebatan sinar pedang membentuk lingkaran.
Sinarnya berltilatan menyilaukan mata.
Crasss!
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Eyang Luwak Ambat menjerit menyayat ketika ujung
pedang Panji merobek-robek tubuhnya. Darah segar
langsung menyembur deras dari luka-luka akibat tusukan
pedang Pendekar Naga Putih yang menggunakan jurus
'Naga Sakti Menyelam ke Dasar Laut'.
"Guru...!" laki-laki setengah baya sejak tadi meng-
khawatirkan keselamatan gurunya, berlari menubruk
tubuh Eyang Luwak Ambat yang telah basah oleh darah.
Darah segar keluar disertai suara seperti mengorok
ketika kakek itu memaksakan berbicara. Akhirnya tanpa
mengucapkan separah kata pun, Eyang Luwak Ambat
yang dijuluki Penghuni Rimba Gerantang itu tewas di
pangkuan muridnya.
"Guna...!" Laki-laki itu berteriak memanggil-manggil
sambil menggoncang-goncangkan tubuh gurunya yang
telah menjadi mayat itu. Sesaat kemudian ditolehkan
kepalanya ke arah Panji. Sepasang matanya menatap
tajam penuh api dendam, penuh napsu membunuh.
Pelahan-lahan Ki Jatar bangkit berdiri. Sebatang golok
panjang yang tergenggam erat di tangan, siap dikelebat-
kan.
"Pendekar Naga Putih! Bersiaplah mampus demi
ketenangan arwah guruku! Hiaaattt..!"
Ki Jatar melompat sambil membabatkan goloknya ke
arah Panji. Angin tajam terkesiutan, pertanda kalau golok
itu digerakkan oleh tenaga dalam tinggi.
Melihat serangan berbahaya itu, Panji segera meng-
gerakkan pedangnya yang masih belum disimpan itu.
Seberkas sinar putih keperakan berkilau menyilaukan
mata.
Tranggg!
"Aaahhhkkk..!"
Ki Jatar berteriak kaget ketika goloknya tertangkis
pedang Panji hingga terpental jauh. Sedangkan tubuh
laki-laki setengah baya itu jatuh bergulingan karena
lawan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya itu.
Ki Jatar berusaha bangkit sambil memegangi tangan
kanan yang terasa bagai patah itu. Belum lagi sempat
berdiri tegak, Panji langsung berkelebat seraya
menyabetkan senjatanya ke tubuh kepala desa itu.
Crakkk!
Crasss!
"Aaa...!"
Ki Jatar meraung setinggi langit ketika pedang
Pendekar Naga Putih telah menebas lehernya. Darah
segar berhamburan membasahi bumi. Tubuh Ki Jatar
berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tak bergerak
Kepala Desa Muara Bening itu tewas dengan leher
hampir putus.
Hening sejenak setelah kematian Ki Jatar. Ki Ram-
bing dan Ragas yang telah tiba di tempat itu berdiri
terpaku memandangi mayat Ki Jatar.
"Panji...!" Hei..? Bukankah itu Ki Jatar? Apa-apa
yang terjadi dengannya?" Ki Rambing dan Ragas
menghampiri Pendekar Naga Putih. Pakaian yang mereka
kenakan sudah tidak keruan bentuknya karena telah robek
di sana-sini akibat senjata tajam.
"Kau kenal laki-laki itu, Ragas?" Tanya Panji tanpa
mengalihkan tatapannya dari wajah laki-laki yang
ternyata Ki Jatar itu.
'Tentu saja aku kenal, Panji. Dia adalah kepala desa
kami. Ki Rambing, lihatlah! Apakah kau ingat wajah
kakek itu?" Tanya Ragas tiba-tiba sambil menunjuk
mayat Eyang Luwak Ambat.
"Hei?! Bukankah kakek itu pernah datang ke desa
pada setengah tahun yang lalu?" Tanya Ki Rambing
kaget.
"Hm.... Dialah yang disebut sebagai Penghuni Rimba
Gerantang yang selama ini meresahkan penduduk Desa
Muara Bening," sahut Panji tiba-tiba.
"Aaahhh...!" Ragas dan Ki Rambing berteriak kaget
dan hampir tak percaya akan pendengarannya.
"Hm.... Ternyata dugaanku tidak meleset terlalu jauh.
Semula kuduga Ki Jatar yang menjadi biang keladi semua
peristiwa di Desa Muara Bening. Tapi, ternyata ia hanya
diperalat gurunya yang berhati bejad itu," ujar Ragas
pelan.
"Menurut cerita yang kudengar dari Ki Dewana, Ki
Jatar belum terlalu lama menjabat Kepala Desa Muara
Bening. Tolong ceritakan hal ini padaku." Pinta Panji
penasaran, seraya menatap Ki Rambing dan Ragas.
"Memang benar apa yang dikatakan Ki Dewana itu.
Pada tiga tahun yang lalu, Ki Jatar datang ke Desa Muara
Bening dengan segala kemewahannya. Kemudian, ia
meminta ijin untuk menetap di desa kami. Karena
sikapnya yang ramah dan sangat dermawan, maka kepala
desa mengangkat menjadi wakilnya. Setelah diangkat
menjadi wakil kepala desa, ternyata sikapnya menjadi
semakin baik. Banyak petani miskin yang dibantu
sehingga Ki Jatar semakin disukai dan dihormati
penduduk desa," Ragas berhenti sejenak seolah ingin
mengumpulkan ingatannya.
"Biarlah aku yang teruskan ceritamu, Ragas," pinta Ki
Rambing yang dijawab Ragas dengan anggukan kepala.
Ki Rambing menarik napas dalam-dalam untuk
mengingat peristiwa yang telah lalu itu.
"Pada enam bulan yang lalu, datang seorang kakek
yang kemudian diperkenalkan sebagai guru Ki Jatar.
Setelah sepekan menginap di rumah Ki Jatar, kakek itu
pergi entah ke mana. Menurut keterangan Ki Jatar
gurunya itu telah kembali ke pertapaan. Beberapa hari
setelah kepergian kakek itu, kepala desa kami tewas tanpa
sebab yang jelas. Dan sebagai penggantinya, diangkatlah
Ki Jatar sebagai kepala Desa Muara Bening yang baru.
Beberapa bulan kemudian, muncullah beberapa peristiwa
pembunuhan di desa kami. Sampai akhirnya Ki Jatar
memutuskan untuk memberi persembahan pada setiap
bulan purnama, karena kami sudah tidak mampu
mengatasi pembunuhan-pembunuhan itu," Ki Rambing
mengakhiri cerita dengan helaan napas berat.
"Hm.... Jadi Ki Jatar dan gurunya yang merencanakan
semua ini. Mungkin Ki Jatar berusaha membantu gurunya
yang sedang mendalami sebuah ilmu," gumam Panji
pelan.
"Oh, ya. Ke mana Resi Bagawa...?" Tanya Panji
ketika tidak melihat orang tua itu semenjak tadi.
"Ia telah tewas bersama Tongkat Maut Delapan
Bayangan yang menjadi lawannya," sahut Ragas. Ada
nada kesedihan dalam suaranya.
"Ohhh...! Lalu, bagaimana kalian dapat masuk dengan
selamat ke tempat ini?" Tanya Pendekar Naga Putih
heran, karena ia tahu kalau tempat itu dijaga murid-murid
Penghuni Rimba Gerantang yang rata-rata memiliki
kepandaian cukup tinggi.
"Sebenarnya kami pun sudah tewas kalau saja tidak
ditolong seorang pendekar wanita yang cantik bagai
bidadari," sahut Ragas memuji.
Jantung di dada Panji berdebar ketika Ragas
menyebut gadis itu secantik bidadari. Selintas terbayang
wajah kekasihnya yang tengah dicarinya itu. Mungkinkah
gadis itu Kenanga!
"Apakah gadis itu mengenakan pakaian serba hijau?"
Tanya Panji suaranya terdengar tegang.
"Benar!" Sahut Ragas heran karena Panji dapat tepat
menebak.
"Apakah... apakah bersenjatakan sebatang pedang hi-
tam?" Suara pemuda itu semakin bergetar dan menegang
karena ia sudah mulai dapat menduga kalau gadis itu
pastilah kekasihnya.
"Eh! Bagaimana kau dapat tepat menerkanya, Panji?"
Ki Rambing semakin heran melihat ketegangan dan
kegelisahan pemuda itu.
"Katakan, di mana ia sekarang?"
"Ia... ia telah pergi ketika kami mengatakan akan
menemui Pendekar Naga Putih yang berada di dalam
bangunan ini," jawab Ragas gugup melihat sinar mata
pemuda itu yang mencorong tajam dan menakutkan.
"Aaahhh... Adik Kenanga...," desah Panji berduka.
Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu bergegas mening-
galkan tempat itu untuk mencari kekasihnya.
Namun sampai pagi menjelang, Panji belum juga
dapat menemukan gadis itu. Padahal seluruh pelosok
Rimba Gerantang sudah ditelusurinya.
"Hhh.... Rupanya rasa cemburu di harinya ketika
melihat sikap mesra Trijati kepadaku belum hilang,"
desah Panji resah. (Baca serial Pendekar Naga Putih
dalam Episode: 'Jari Maut Pencabut Nyawa').
Dengan langkah lambat, Pendekar Naga Putih
meninggalkan daerah Rimbang Gerantang.
Angin pagi yang bersilir lembut, ternyata belum
mampu mengusir rasa rindu di hatinya yang belum
bertemu dengan kekasihnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar