..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE BUNGA ABADI DI GUNUNG KEMBARAN

Bunga Abadi Di Gunung Kembaran

 

BUNGA ABADI DI 
GUNUNG KEMBARAN 
Oleh T. Hidayat
Cetakan Pertama,
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Widarto
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam Episode 010 :
Bunga Abadi Di Gunung Kembaran

SATU

"Kakang Panji...!"
Panji yang baru saja hendak memasuki 
mulut Hutan Randu Apus menghentikan 
langkahnya sejenak. Seketika urat-urat
wajahnya menegang ketika mendengar suara 
panggilan yang amat dikenalnya. Jantung 
pemuda itu berdebar keras karena telah 
mengetahui secara pasti pemilik suara 
yang merdu dan lembut itu.
"Adik Kenanga...!" desis pemuda itu 
begitu melihat seorang gadis berpakaian 
serba hijau tengah berlari 
mendatanginya. Pemuda itu terpaksa 
berhenti sejenak, menunggu kedatangan 
gadis itu.
Gadis cantik berpakaian hijau terus 
beriari menghampiri Panji. Rambutnya 
yang panjang bergoyang mengikuti 
gerakannya. Anak rambutnya tampak 
berkibaran dipermainkan angin. Namun 
pemandangan itu justru semakin menambah 
daya tarik tersendiri pada diri gadis 
jelita yang laksana bidadari itu.
"Kakang...," desis Kenanga. Gadis 
berpakaian hijau itu segera menjatuhkan 
kepalanya ke dada Panji. Dua butir air 
bening bergulir dari sepasang bola mata

indah melukiskan kebahagiaan dan 
keharuan hatinya.
"Adik Kenanga, maafkan aku...," 
desah Panji serak. Pemuda itu pun hampir 
tak sanggup menahan keharuan yang 
menyeruak dalam rongga dadanya.
Rambut gadis itu diusapnya mesra. 
Sesaat kemudian didorongnya tubuh gadis 
jelita itu perlahan. Lalu dipandanginya 
wajah Kenanga yang terlihat agak pucat.
"Ah, kau semakin kurus dan agak 
pucat, Adikku. Hhh... betapa berdosanya 
aku telah membuatmu menderita," ujar 
Panji. Hatinya terenyuh ketika melihat 
keadaan kekasihnya yang terlihat agak 
tak terurus.
"Kakang, mengapa kau begitu tega 
meninggalkan aku tanpa pesan? Apakah 
Kakang sudah tidak mencintaiku lagi?" 
tanya Kenanga sambil menengadahkan 
kepalanya. Suaranya terdengar begitu 
lembut hingga menimbulkan rasa iba yang 
semakin besar di hati Panji.
"Maafkan aku, Adikku. Bukan 
maksudku membuatmu susah. Tapi keadaanku
inilah yang membuatku harus mengambil 
keputusan demi kebahagiaanmu. Usiaku 
mungkin tinggal delapan bulan lagi. Oleh 
karena itulah aku terpaksa 
meninggalkanmu dengan harapan agar kau

dapat melupakanku," ujar Panji 
mengajukan alasan mengapa meninggalkan 
gadis itu begitu saja tanpa pamit ataupun 
pesan. (Baca serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: "Penjagal Alam Akherat").
"Aku mengerti keadaanmu, Kang. Dan 
aku pun tahu alasanmu pergi 
meninggalkanku. Itu semua karena kau 
telah mendengar ucapan paman guruku, 
bukan? Hhh... kau hanya tahu itu saja 
tapi tidak tahu yang lainnya," sahut 
Kenanga.
Melihat cibiran kekasihnya, Panji 
tak sanggup lagi menatap pesona yang 
perlahan-lahan mulai menjeratnya. 
Wajahnya ditundukkan. Lalu dikecupnya 
bibir yang merekah itu dengan lembut
Sesaat Kenanga terkejut karena sama 
sekali tidak menyangka kalau Panji akan 
mengecupnya. Tubuh gadis itu bergetar 
dalam dekapan Panji sambil mengeluarkan 
rintihan halus dari kerongkongannya. 
Sesaat kemudian, Kenanga pun membalas 
kecupan kekasihnya tak kalah hangat
"Cukup.... Adikku... cukup...," 
ujar Panji dengan napas terengah-engah 
seraya melepaskan pelukan gadis itu. 
"Bisa-bisa kita terperosok nanti. Aku 
takut gara-gara daya pesona mu, hubungan 
kita melangkah terlalu jauh. Padahal

kita belum resmi suami istri," desis 
Panji berusaha mengusai dirinya dari 
cengkeraman nafsu darah mudanya.
Kenanga tersipu malu mendengar 
ucapan tulus kekasihnya. Gadis itu sadar 
seandainya mereka telah terseret oleh 
kenikmatan tadi, bukan tidak mungkin 
keduanya tidak dapat menguasai diri 
lagi.
"Kakang, jangan tinggalkan aku 
lagi. Aku akan menemanimu ke manapun kau 
pergi," ujar Kenanga lirih.
Panji hanya mengangguk mendengar 
ucapan kekasihnya. Diam-diam hati 
Pendekar Naga Putih merasa bangga karena 
Kenanga bukan cantik lahiriah saja, tapi 
juga punya kesetiaan yang sukar ditemui 
pada gadis-gadis lain.
"Adikku, apa maksud ucapanmu yang 
mengatakan kalau aku hanya tahu satu hal 
saja tapi tidak tahu lainnya?" tanya 
Panji ketika teringat ucapan gadis itu 
ladi kepadanya.
"Hm... mengenai penyakitmu, Kang. 
Paman Guruku mengatakan kalau masih ada 
seorang ahli pengobatan yang mungkin 
dapat menyembuhkan penyakit, Kakang," 
jelas Kenanga menceritakan apa yang 
pemah dikatakan paman gurunya mengenai 
penyakit Panji Penyakit yang diderita

Pendekar Naga Putih disebabkan tenaga 
dalamnya yang liar dan sulit 
dikendalikan, akibat merasuknya 'Inti 
Tenaga Gerhana Bulan'. Dan hal ini sangat 
membahayakan keselamatan Panji, bila 
tidak ditemukan penangkal untuk tenaga 
liarnya! (Untuk mengetahui lebih jelas 
tentang penyakit yang diderita Panji, 
silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Hm.... Siapa orang itu dan di mana 
tinggalnya?" tanya Panji yang rupanya 
mulai tertarik mendengar keterangan 
kekasihnya.
"Mmm... namanya, Raja Obat Tapi aku 
tidak tahu tempat tinggal beliau. 
Menurut paman guruku, tabib itu tidak 
punya tempat tinggal tetap. Dia selalu 
bepergian dan menolong orang-orang yang 
tengah mengalami kesulitan dalam 
perjalanannya," sahut Kenanga agak 
menyesal karena tidak mengetahui tempat 
tinggal Raja Obat itu.
"Wah, lalu ke mana kita harus 
mencarinya kalau kita sendiri tidak tahu 
tempat tinggalnya?" desah Panji lesu. 
Harapannya lenyap seketika begitu 
mendengar kalau Raja Obat itu tidak punya 
tempat tinggal tetap.

“Tapi kita bisa telusuri jejak tabib 
itu dan bertanya kepada siapa saja yang 
kita temui di perjalanan. Dan bukan tidak 
mungkin kalau suatu saat kita menjumpai 
orang yang tahu di mana Raja Obat 
berada," hibur Kenanga. Gadis itu 
mencoba membangkitkan semangat Panji 
agar tetap tabah.
"Ya! Tapi bagaimana kalau sampai 
batas usiaku, kita belum menemukan tabib 
itu?" ujar Panji agak putus asa.
"Lalu apa rencana Kakang sekarang?" 
akhirnya Kenanga menyerah.
"Kalau kau ingin ikut bersamaku, 
marilah kita pergi ke Bukit Gua Harimau. 
Aku telah memutuskan untuk menghabiskan 
sisa-sisa umurku di sana. Apakah kau 
bersedia, Adik Kenanga?" tanya Panji 
tersenyum.
"Aku bersedia ikut ke manapun, 
Kakang. Tapi kau harus berjanji tidak 
akan meninggalkan aku lagi!" sahut 
Kenanga mantap.
"Baik, aku berjanji!" ujar Panji tak 
kalah mantap.
Lalu keduanya pun tertawa bahagia. 
Kini kedua muda-mudi itu berjalan 
berdampingan dan mulai merambah Hutan 
Randu Apus yang merupakan jalan 
satu-satunya menuju Bukit Gua Harimau.

***
Hari masih pagi ketika sesosok tubuh 
mendaki Bukit Gua Harimau dengan langkah 
tertatih-tatih. Meskipun langkahnya 
lamban, namun tubuhnya bergerak cepat 
sehingga dalam waktu singkat sosok itu 
telah mencapai puncak bukit
"Hoiii..., Tirta Yasa, apakah kau 
masih hidup?" teriak sosok itu lantang 
setibanya di depan sebuah pondok 
sederhana yang terbuat dari susunan 
batang-batang kayu bulat.
Panji dan Kenanga yang tengah berada 
dekat makam Eyang Tirta Yasa menjadi 
terkejut mendengar teriakan yang 
mengandurig kekuatan tenaga sakti tinggi 
itu. Sejenak keduanya saling 
berpandangan. Sesaat kemudian tubuh 
kedua muda-mudi itu melesat untuk 
menemui orang yang baru datang.
Kedua orang pendekar muda tertegun 
menatap seorang kakek tua yang mungkin 
usianya sudah mencapai sembilan puluh 
tahun. Namun, yang membuat Panji terpana 
adalah tatapan kakek itu. Sinar matanya 
demikian lembut dan menyejukkan. Siapa 
saja yang memandangnya akan betah 
berlama-lama berhadapan dengan orang tua 
itu.

"Siapakah Eyang? Dan ada keperluan 
apa Eyang mencari guruku?" tanya Panji 
halus dan sopan. Melihat sorot matanya, 
Panji yakin kalau kakek itu tidak 
bermaksud jahat
"Hm... kau murid Tirta Yasa? 
Bagus... bagus... siapa namamu, Anak 
Muda?" kakek itu balik bertanya kepada 
Panji, seolah-olah tidak didengarnya 
pertanyaan pemuda itu.
"Namaku Panji, Eyang," jawab Panji 
tanpa berusaha untuk memperkenalkan 
Kenanga kepada orang tua itu. Panji pun 
tidak lagi menanyakan keperluan kakek 
itu datang ke tempatnya. Pemuda itu hanya 
diam menunggu pertanyaan selanjutnya.
Tapi meskipun telah menanti cukup 
lama, pertanyaan yang dinanti Panji tak 
kunjung keluar dari muhit kakek itu. 
Sebaliknya laki-laki tua renta itu malah 
menatapnya sungguh-sungguh. Sepasang 
matanya menyipit, seolah tengah 
memperhatikan dan memastikan sesuatu.
"He he he... bodoh sekali si Tirta 
Yasa! Apakah dia tidak tahu, kalau kau 
salah menghimpun tenaga dalam?" desah si 
kakek sambil menggeleng-gelengkan 
kepalanya. "Hei, siapa namamu tadi, Anak 
Muda? Hm... ya, Panji. Apakah kau


benar-benar murid Tirta Yasa yang 
berjuluk Malaikat Petir?"
"Benar, Kek! Mengapa kakek 
meragukannya." kali ini giliran Kenanga 
yang menyahut Sepasang alis gadis jelita 
itu berkerut, seolah-olah tengah 
berusaha mengingat sesuatu. Dan ketika 
mendengar desahan kakek itu, barulah 
Kenanga teringat siapa sebenamya 
laki-laki yang berdiri di hadapannya. 
"Benarkah kakek yang tersohor 
dengan julukan Raja Obat?" tanya Kenanga 
tiba-tiba. Sebelumnya ia pernah diberi 
tahu paman gurunya tentang ciri-ciri 
orang tua yang berjuluk Raja Obat Itulah 
sebabnya mengapa sejak tadi gadis itu 
hanya terdiam sambil terus menatap wajah 
kakek itu.
"He he he... siapa kau, Wanita Muda? 
Dari mana kau tahu, namaku?" ujar kakek 
tua itu terkekeh mendengar ucapan gadis 
jelita yang telah mengetahui siapa dia.
"Aku Kenanga, murid mendiang Raja 
Pedang Pemutus Urat!" jawab Kenanga 
cepat hati Kenanga diliputi rasa tidak 
menentu dan tegang karena berhadapan 
dengan tokoh yang dicari-carinya selama 
ini.
Ingin rasanya gadis itu segera 
berlutut di depan orang tua itu untuk

memohon kesediaan Raja Obat mengobati 
Panji.
"Mendiang? Jadi gurumu telah 
tiada?" tanya kakek tua itu dengan kening 
berkerut
"Ya! Guruku telah lama tiada 
sebagaimana juga Eyang Tirta Yasa," 
jelas Kenanga.
"Eh, benarkah demikian. 
Jangan-jangan kalian hanya 
mempermainkan aku saja!" ucap Raja Obat 
sambil tertawa terkekeh. Tabib sakti ini 
belum sepenuhnya mempercayai ucapan 
Kenanga.
"Kalau kakek tidak percaya, marilah 
kutunjukkan makam beliaul" ajak Kenanga 
yang merasa tersinggung ketika kakek itu 
tidak mempercayai ucapannya.
"Hm... tidak perlu! Kalau hanya 
sekadar makam, akupun bisa membuatnya," 
ujar Raja Obat yang mau tidak mau membuat 
Kenanga menjadi panas hatinya. 
"Hm... sekarang begini saja! Kalian 
boleh menyerangku sebanyak tiga jurus. 
Tapi ingat kalian harus memainkan 
jurus-jurus andalan kalian! Nah, dari 
jurus-jurus kalian baru aku tahu kalau 
kalian memang betul murid mereka atau 
bukan. Bagaimana?" tantang Raja Obat 
sambil tersenyum gembira.


"Bagaimana, Kakang?" Kenanga tidak 
segera mengambil keputusan. Gadis Hu 
meminta pendapat kekasihnya.
"Sebenarnya aku tidak terialu 
berminat ikut permainanmu, Eyang. Kalau 
Eyang mau percaya, silakan! Tapi kalau 
tidak percaya, itu hak Eyang," tegas 
Panji yang tidak berminat meributkan 
soal itu. Meskipun pemuda itu sadar kalau 
hanya kakek inilah yang dapat 
menyelamatkan hidupnya, tapi dia sudah 
tidak peduli.
Mendengar perkataan Panji, Raja 
Obat tertegun sesaat Tapi tak lama 
kemudian terdengar kembali tawanya.
"He he he... kau benar-benar 
mewarisi sifat-sifat gurumu, Anak Muda! 
Begitulah sifat Tirta Yasa waktu muda. 
Keras tapi tegas! He he he...," ujar Raja 
Obat Itu seraya terus tertawa senang. 
Pandangannya dialihkan pada Kenanga 
"Sudahlah! Ayo, kita mulai Kau 
setuju kan?"
"Baik, Kek! Aku sudah siap!" sahut 
Kenanga sambil mencabut pedang hitamnya. 
Tiba-tiba gadis itu telah melesat ke arah 
Raja Obat sambil berteriak nyaring, 
"Lihat pedang!"
Singngng!
"Hmm...."

Pedang hitam Kenanga meluncur cepat
ke arah tenggorokan. Tapi aneh meskipun 
si Raja Obat sama sekali tak kelihatan 
mengelak atau menangkis, serangan gadis 
itu mengenai tempat kosong! Demikian 
pula dengan dua serangan berikutnya. 
Kedua serangan itu pun kembali mengenai 
tempat kosong, meskipun Raja Obat itu 
sama sekali tidak bergeser dari tempat 
dia berdiri. Tentu saja kejadian itu 
membuat Kenanga terkejut!
"Serangan kedua!" teriak Kenanga 
sambil menyi-langkan pedang hitamnya di 
depan dada Sesaat kemudian tubuhnya 
sudah berputar cepat seraya mengirimkan 
bacokan pedang yang hebat dan 
mengejutkan!
"Hmm... ilmu pedang hebat!" puji 
Raja Obat tulus. Ilmu pedang yang 
dimainkan gadis itu memang benar-benar 
hebat dan amat berbahaya!
Kali ini si kakek tidak berani 
menganggap enteng jurus-jurus pedang 
Kenanga. Tubuh si Raja Obat itu bergerak 
ke kiri menghindari sabetan pedang hitam 
yang menimbulkan hawa mengerikan. 
Terdengar deru angin keras begitu pedang 
Kenanga mencecar Raja Obat
Wuttt! Wuttt!


Kembali dua kali tebasan pedang 
hitam berhasil dielakkan si Raja Obat 
meskipun agak kewalahan. Sampai pada 
jurus yang kedua itu pun, temyata Kenanga 
masih harus mengakui kehebatan si Raja 
Obat
"Hmm... dua kali seranganku gagal, 
Kek! Tapi pada jurus ketiga ini aku mohon 
kakek tidak hanya mengelak, tapi harus 
membalas, bagaimana?" usul Kenanga yang 
merasa tidak enak karena harus menyerang 
terus-menerus tanpa sekali pun mendapat 
balasan.
"He he he... kalau memang itu maumu, 
baiklah!" sahut Raja Obat itu terkekeh 
kegirangan. Rupanya sebagai seorang ahli 
obat Raja Obat pun tak terlepas dari 
penyakit suka akan ilmu silat Dan 
meskipun usianya sudah lanjut, tapi 
semangat bertempurnya masih tetap 
menyala.
"Lihat serangan!" sentak Kenanga 
sambil melompat dan memutar pedangnya 
hingga membentuk sebuah sinar kehitaman 
yang bergulung-gulung. Kali ini gadis 
itu benar-benar mengerahkan jurus-jurus 
puncak ilmu pedang hitam yang paling 
tinggi, sehingga akibat yang dltimbulkan 
pun sangat dahsyat! Tubuh Kenanga telah

menghilang di balik gulungan sinar 
pedang hitamnya yang bergerak cepat
"Bagus...! Bagus...!" puji Raja 
Obat setiap kali mengelak serangan 
Kenanga yang membuat jubahnya berkibaran 
tersambar angin pedang gadis itu.
"Haiiittt..!"
Suatu ketika Kenanga berteriak 
nyaring dan langsung merubah gerakan 
pedang hitamnya. Dan tiba-tiba tubuh 
gadis itu telah melambung, seraya 
mengirimkan tusukan pedang hitam dengan 
kecepatan yang menggetarkan!
Singngng! 
Brettt!
"Aaai...!"
Hebat sekali akibat tusukan pedang 
gadis itu! Nyaris tubuh Raja Obat dirobek 
ujung pedang hitam, kalau saja dia tidak 
segera menggeser tubuhnya. Meskipun 
begitu kakek ini kelabakan juga melihat 
bajunya sedikit robek dekat lambung.
"He he he... cukup... cukup...! Kau 
benar-benar murid Raja Pedang Pemutus 
Urat!" sent Raja Obat sambil mundur 
kemudian mengatur pemapasannya. 
"Haihhh, ternyata gerakanku sudah 
tidak selincah dulu lagi!"
"Kakek benar-benar tadinya hebat 
aku hampir tak percaya kalau orang setua

kakek dapat bergerak segesit tadi. 
Bahkan melebihi kecepatan gerakku yang 
masih muda ini," puji Kenanga 
bersungguh-sungguh, seraya 
membungkukkan tubuhnya memberi hormat 
kepada Raja Obat
"He he he... kau pintar sekali 
memuji, Cucuku! Sudahlah, jangan kau 
teruskan! Bisa-bisa kepalaku besar 
jadinya!" ujar Raja Obat itu terkekeh 
dengan wajah berseri-seri tanpa 
mempedulikan napasnya yang masih 
tersengal-sengal selesai uji tarung 
dengan Kenanga.
"Nah, sekarang giliranmu, Anak 
Muda! Apakah kau sudah dap menyerangku 
barang tiga jurus saja?" pinta Raja Obat 
kepada Panji yang kelihatan masih 
ragu-ragu.
Panji tidak segera menjawab 
pennintaan kakek itu. Pemuda itu malah 
termenung memikirkan tantangan Raja Obat 
atau tidak. Tiba-tiba saja temgiang 
kembali ucapan gurunya, Eyang Tirta 
Yasa.
"Panji, Cucuku. Kau tidak perlu 
heran kalau kau menemui tokoh-tokoh tua 
yang tanpa sebab-sebab yang jelas 
tahu-tahu menantang bertarung. 
Kebanyakkan tokoh-tokoh tua senang

menguji pendekar-pendekar muda yang 
tangguh. Karena pertempuran dengan 
jago-jago muda, dapat menghidupkan 
kembali semangat hidup mereka dan seolah 
merasa muda kembali," demikian salah 
satu wejangan si Malaikat Petir.
Teringat pada ucapan gurunya, Panji 
menatap Raja Obat itu yang berdiri lima 
tombak di depannya dengan kening 
berkerut Dan Panji melihat betapa 
berserinya wajah Raja Obat setelah 
melakukan sedikit pertarungan dengan 
gadis jelita murid Raja Pedang Pemutus 
Urat
"Baiklah, Kek! Aku bersedia!" 
akhirnya Panji menuruti juga permintaan 
Raja Obat 
“Tapi perlu kuingatkan, kalau saat 
ini aku sedang mengidap penyakit aneh 
akibat terlalu banyak tenaga liar yang 
tersimpan di tubuhku," tutur Panji 
mengingatkan, karena biar bagaimanapun 
dia tidak ingin kakek itu menjadi korban. 
Panji sadar setinggi apa pun tenaga dalam 
Raja Obat masih sepuluh kali lipat di 
bawah tenaganya. Dan tenaga dalam di 
tubuhnya tak dapat dikendalikan, dan 
berbahaya bila dipancing tenaga orang 
lain. Itulah yang dkemaskannya selama 
ini.

"Hmm...," Raja Obat hanya bergumam 
tak jelas. Meskipun telah menduga kalau 
Panji menderita keracunan akibat 
tenaganya sendiri, namun kakek itu sama 
sekali tidak menyangka kalau tenaga liar 
itu justru datang dari sumber yang 
sesungguhnya. Dari gerhana bulan yang 
dahsyat itu. Sayang Raja Obat itu tidak 
sempat memeriksanya terlebih dahulu.
"Jurus pertama...!" teriak Panji 
sambil melangkah maju dan langsung 
melancarkan serangkaian jurus cakar naga 
andalannya sesuai dengan permintaan Raja 
Obat
Wuttt! Wuttt!
Dua kali sambaran cakar naga Panji 
berhasil dielakkan dengan melakukan 
lompatan jauh ke belakang. Hal itu 
dilakukan Raja Obat karena ingin 
menghindari sambaran angin dingin 
dahsyat yang menyertai serangan pemuda 
itu.
“Tunggu dulu, Anak Muda! Kau... 
kau.... Pendekar Naga Putih...?" tanya 
Raja Obat terperanjat dan minta berhenti 
sebentar. Rupa-rupanya Raja Obat itu 
tertarik dengan sambaran cakar naga 
Panji yang selalu di iringi dengan 
sambaran angin dingin yang menusuk 
tulang.

"Benar, Kek! Orang-orang persilatan 
menjulukiku Pendekar Naga Putih!" jawab 
Panji polos tanpa merasa bangga sedikit 
pun dengan julukan yang diberikan orang 
kepadanya.
"He he he... ini baru namanya jodoh! 
Sudah berbulan-bulan aku berkeliling 
mencari Pendekar Naga Putih. Eh, tak 
tahunya malah bertemu di sinl Bukankah 
ini namanya jodoh!" ujar Raja Obat 
terkekeh senang.
"Apa... apa maksud Kakek 
mencariku?" tanya Panji berdebar. Dalam 
hati kecilnya berharap kalau kakek sakti 
itu mencarinya karena sudah mengetahui 
penyakitnya.
"Namamu telah mengguncangkan dunia 
persilatan, dan jadi buah bibir di 
mana-mana. Bahkan orang setuaku ini 
dibuatnya jadi penasaran ingin menjajal 
sampai di mana kepandaian .pendekar muda 
yang tersohor itu! He he he... akhimya 
kita ketemu juga!" tandas Raja Obat itu 
tanpa mempedulikan perasaan Panji.
"Baiklah! Sekarang bersiap-siaplah 
melayani serangan keduaku!" ujar Panji 
sudah tidak mau lagi meladeni ucapan 
kakek itu yang sepertinya memang sangat 
keranjingan ilmu silat.

"He he he... silakan... silakan, 
Anak Muda! Kali ini aku memang harus 
lebih berhan-hati karena yang kuhadapi 
bukanlah tokoh sembarangan, melainkan 
seorang pendekar muda yang kesohor!" 
ujar Raja Obat terkekeh seperti mengejek 
Panji.
"Baiklah, Kek! Jagalah seranganku 
yang kedua Ini!" ujar Panji sambil 
merendahkan kuda-kudanya.
***
DUA


"Hiiiaaat..!"
Tubuh Panji melesat cepat dan 
langsung melancarkan beberapa sambaran 
bertubi-tubi. Sepasang tangannya 
membentuk cakar naga menyambar dahsyat 
disertai desiran hawa dingin yang mampu 
membekukan pembuluh darah.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Aiiih...!"
Raja Obat berseru tertahan ketika 
tiga kali sambaran cakar naga mencecar 
tubuhnya. Kali ini Raja Obat benar-benar 
terkejut bukan main. Kecepatan tangan

pemuda itu sungguh luar biasa sekali. 
Kalau saja dia tidak cepat mengelak, 
pastilah salah satu cakar pendekar muda 
itu telah merenggut nyawanya. Bergegas 
kakek sakti itu melompat lima tombak ke 
belakang dengan wajah berubah pucat
Gerakan Panji pun tidak kalah cepat 
Dikejarnya tubuh Raja Obat yang masih 
melambung ke belakang.
Wuttt! Wuttt!
Dua kali sambaran cakar naga 
menyambar cepat hingga menimbulkan suara 
mencicit tajam.
Bukan main! Raja Obat berdecak kagum 
menyaksikan kedahsyatan sambaran cakar 
naga yang kecepatannya laksana kilat.
Sadar kalau tidak mungkin menghindar, 
Raja Obat segera menjulurkan kedua belah 
tangannya. Kini seluruh urat-urat 
syarafnya menegang, menanti tibanya 
sambaran cakar naga Panji.
"Hiaaah...!"
Piakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
Tangan-tangan kokoh dua pendekar 
sakti itu beradu di udara hingga 
menimbulkan suara menggelegar yang 
memekakkan telinga!
Tubuh Raja Obat terpental keras 
seketika! Tangan kakek itu kalah kuat

dengan tangan kekar Pendekar Naga Putih. 
Tubuh renta itu terpelanting di tanah 
berumput disertai keluhan pendek. Darah 
segar pun merembes dari sela-sela bibir 
Raja Obat yang memucat.
"Eyang..!" 
"Kakek..!"
Panji dan Kenanga berteriak 
serempak Keduanya segera memburu tubuh 
Raja Obat yang terduduk lemas sambil 
mendekap dadanya. Kedua pendekar muda 
itu langsung bersimpuh di depan kakek 
yang amat mereka segani.
"Eyang... maafkan aku! Aku... aku 
telah bertindak terlalu kasar kepada 
Eyang," ujar Panji terbata-bata penuh 
sesal.
"He he he... tidak ada yang perlu 
kumaafkan, Cucuku. Aku tidak apa-apa, 
cuma dadaku terasa sedikit sesak Tidak 
kusangka, tenaga dalammu sangat hebat 
sekali Cucuku. Rasa-rasanya sepuluh 
orang setingkat aku pun masih sulit 
menandingi kekuatan tenaga dalammu," 
sahut Raja Obat tersenyum puas meskipun 
ada sedikit rasa heran mengusik 
benaknya.
"Yah, tapi tenaga dahsyat itu 
pulalah yang akan membawaku kepada

kematian, Eyang" ucap Panji menunduk 
sedih.
"Eh, mengapa begitu?" tanya Raja 
Obat seraya mengamati wajah Panji penuh 
selidik. Dia sudah tidak merasakan lagi 
rasa sesak di dadanya. 
"Meskipun sudah bisa kufihat dari 
wajah dan sinar matamu, namun aku tidak 
menduga kalau kekuatan yang meracuni 
tubuhmu itu sampai sedemikian dahsyat! 
Dapatkan kau ceritakan penyebabnya, 
Cucuku?" pinta Raja Obat dengan 
lemah-lembut seperti layaknya seorang 
kakek kepada cucunya.
Pengalaman adu tanding dengan Panji 
telah menarik perhatian kakek sakti itu. 
Kekuatan tenaga dalam pemuda itu 
benar-benar di luar dugaannya. Kejadian 
langka inilah yang membuat Raja Obat 
penasaran ingin mengetahui bagaimana 
Pendekar Naga Putih sampai 
mendapatkannya. Selama berpuluh-puluh 
tahun mengembara, baru kali inilah Raja 
Obat bertemu dengan manusia yang 
memiliki tenaga dalam sehebat pemuda 
ini.
"Ceritanya cukup panjang, Eyang 
Sebaiknya kita masuk ke pondok dulu. 
Nanti setelah Eyang sudah agak pulih,

baru akan kuceritakan," jawab Panji 
seraya memapah Raja Obat masuk ke pondok
***
"Jadi tenaga liar yang mengeram di 
tubuhmu adalah kekuatan alam dari tenaga 
'Inti Gerhana Bulan'? Hmm... sebenarnya 
tenaga liar itu tidak akan berakibat 
buruk seandainya saat itu keadaanmu 
tidak sedang terluka. Inti kekuatan 
gerhana bulan yang merasuk ke dalam 
tubuhmu menjadi tidak terkendali hingga 
melebihi daya tahan manusia biasa 
meskipun sudah beriatih selama seratus 
tahun," ulas Raja Obat seusai mendengar 
penuturan Panji tentang asal mula 
mengendapnya tenaga liar dalam tubuhnya.
"Apakah akibat buruk kekuatan liar 
ini bisa disembuhkan, Eyang?" tanya 
Kenanga menyelak tak sabar.
"He he he.... Tuhan maha adil, 
Cucuku. Setiap penyakit pasti ada 
obatnya. Dan kita sebagai manusia harus 
berusaha untuk mencari obat itu," jawab 
Raja Obat itu sambil tersenyum. 
Sebelumnya Raja Obat juga sudah diberi 
tahu kalau antara muda-mudi itu terjalin 
hubungan batin yang erat.
“Tapi, ke mana kira harus mencari 
obatnya, Eyang?" sergah Panji balik

bertanya. Di wajah pemuda tampan itu 
tersirat suatu kebulatan tekad untuk 
mencari obat yang dapat menyembuhkan 
penyakitnya. (Baca Pendekar Naga Putih 
dalam episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Hm.... Beberapa puluh tahun yang 
silam, Guru Eyang pernah bercerita 
tentang adanya tumbuhan mukjizat yang 
amat banyak sekali khasiatnya. Tumbuhan 
itu dapat menyembuhkan berbagai macam 
penyakit Memperpanjang usia, dan juga 
dapat melipat gandakan kekuatan tenaga 
dalam. Tumbuhan itu berbunga sekali 
dalam setiap seratus tahun. Nah, kalau 
tidak salah pada bulan ketujuh hari kedua 
nanti, tumbuhan itu akan kembali 
berbunga. Itulah satu-satunya 
kesempatanmu, Cucuku," kata Raja Obat 
menutup ceritanya.
"Katakanlah tempat tumbuhan itu 
berada Eyang. Di manapun tumbuhan itu 
berada, aku akan mencarinya sampai 
dapat!" desah Panji tidak sabar lagi.
"Hmm... tempat itu sangat jauh dan 
berbahaya. Aku khawatir di saat tumbuhan 
itu berbunga, berbondong-bondong tokoh 
persilatan berdatangan ke sana, dan 
belum lagi gangguan binatang-binatang 
buas yang banyak berkeliaran. Kurasa kau 
tidak akan sanggup menghadapi

rintangan-rintangan itu Cucuku." ujar 
Raja Obat dengan sorot mata menerawang 
jauh.
"Betapapun sulit dan berbahanya 
tempat itu, aku akan tetap ke sana, 
Eyang!" tandas Panji mantap.
"Baiklah, Cucuku!" sahut Raja Obat 
itu setelah menghela napas panjang. Lalu 
dijelaskannya tempat tumbuhan itu 
berada.
"Kalau begitu, aku akan berangkat 
sekarang juga, Eyang. Biarlah Adik 
Kenanga menemani Eyang di sini selama aku 
pergi," ucap Panji setelah mendapat 
petunjuk tempat terdapatnya tumbuhan 
itu.
Hari itu juga Panji segera 
mempersiapkan segala keperiuannya 
selama dalam perjalanan.
"Aku mau ikut, Kang...," pinta 
Kenanga serak karena keharuan yang 
memenuhi rongga dadanya. Air mata bening 
bergulir perlahan membasahi pipi Kenanga 
yang putih halus.
"Jangan, Adikku. Percayalah, aku 
mampu menjaga diri. Dan begitu mendapat 
bunga itu, aku akan kembali secepatnya. 
Kau di sini saja menemani Eyang," ujar 
Panji berusaha menahan keharuan. 
Sebenamya dia pun tidak mau berpisah

dengan wanita yang dicintainya ini. Tapi 
karena merasa lebih leluasa sendiri, 
Panji terpaksa meneguhkan keputusannya. 
Setelah mengecup lembut kening 
kekasihnya, Panji pun bergegas 
meninggalkan Bukit Gua Harimau.
***
Gunung Kembaran berdiri kokoh 
dengan angkernya di kejauhan. Puncaknya 
yang tinggi selalu diselimuti kabut 
tebal. Lereng-lerengnya yang licin dan 
curam membuat Gunung Kembaran 
hampir-hampir tidak pernah didatangi 
manusia.
Namun di pagi itu, tampak belasan 
sosok mulai berlarian mendekati ke sana. 
Rata-rata mereka berilmu tinggi. Ini 
terlihat dari gerakan tubuh mereka yang 
melenting ringan dan gesit merayapi 
lereng gunung.
Setibanya di tepi sebuah sungai yang 
mengalir dikaki gunung, orang terdepan 
menghentikan larinya. Sepasang matanya
yang tajam mengamati daerah sekitarnya 
penuh waspada.
"Hm... tampaknya kitalah orang 
pertama yang tiba di tempat ini, Adi

Badil," ucap orang itu kepada kawannya 
yang berdiri di sebelahnya.
"Kurasa juga begitu, Kang!" jawab 
orang yang dipanggil Badil. Sementara 
sepasang matanya pun ikut diedarkan 
berkeliling mengawasi sekitarnya.
Dua betas orang yang termasuk dalam 
rombongan itu ikut pula menghentikan 
larinya. Mereka berdiri berjajar di 
belakang dua laki-laki yang sepertirrya 
menjadi pemimpin mereka.
"Kawan kawan! Kita istirahat di sini 
sebentar sambil menunggu kedatangan 
guru!" kata orang yang pertama itu 
memberitahukan kepada dua belas
kawannya.
"Baik, Kakang Kanjawa!" jawab 
mereka serempak.
“Badil! Bawa dua kawanmu dan periksa 
sekitar tempat ini!" orang yang bemama 
Kanjawa kembali memberi perintah. 
Sepertinya belum merasa yakin kalau 
keadaan di sekitar tempat itu aman.
"Baik, Kakang!" jawab Badil cepat. 
Sesaat kemudian Badil segera pergi 
menyelidiki sekitar daerah itu bersama 
dua orang kawannya.
Setelah ketiga orang itu pergi, 
Kanjawa melangkahkan kaki menuruni 
tepian sungai. Seluruh wajahnya dibasuh

dengan air sungai yang sejuk dan jernih 
itu. Ketika Kanjawa bergerak hendak naik 
kembali, tibatiba dikejutkan oleh suara 
jeritan yang membuat jantungnya berdebar 
hebat. Secepat kilat Kanjawa melambung. 
Alangkah kagetnya dia, begitu 
mendapatkan sepuluh rekannya telah rebah 
bermandi darah!
"Bangsat! Siapa yang telah berbuat 
sekejam ini! Hayo keluar! Tunjukkan 
dirimu!" teriak Kanjawa murka. Dengan 
pedang terhunus, matanya beredar liar
merayapi seluruh pelosok tempat itu. 
Namun tak satupun makhluk yang 
dilihatnya. Apalagi menjawab 
tantangannya.
Setelah beberapa saat menanti, 
akhimya Kanjawa bergegas mendekati 
kesepuluh mayat kawannya Wajah pemuda 
itu mendadak pucat menyaksikan sekujur 
kulit para korban berwama kehitaman. Dan 
yang lebih mengherankan lagi, tak satu 
pun tampak luka senjata-senjata di tubuh 
mereka.
Kanjawa yang semula hendak 
menyentuh tubuh salah seorang kawannya, 
cepat menarik tangannya ketika melihat 
kulit kawannya semakin menghitam.
"Racun..!" desis Kanjawa. Seketika 
itu juga tubuhnya mencelat bangkit dan

bergegas menjauhi mayat kawannya. 
Mengerikan! Tiba-tiba saja mayat-mayat 
itu menciut. Makin lama makin mengecil 
dengan diiringi suara mendesis aneh.
"Kkk... kelabang... penghisap... 
darah...!" seru Kanjawa terbata-bata. 
Tanpa sadar kedua kakinya mundur 
beberapa langkah. Keringat dingin mulai 
membasahi seluruh tubuhnya.
Berbarengan dengan ucapan yang 
keluar dari mulut Kanjawa. Binatang yang 
disebutnya tadi mulai bersembulan dari 
dalam mayat kawan-kawannya. 
Binatang-binatang menjijikkan itu 
keluar dari lubang-lubang yang memenuhi 
sekujur daging mayat-mayat itu.
Puluhan binatang berwarna merah 
darah itu meninggalkan tubuh korbannya 
dengan menimbulkan suara gemerisik 
ribut. Rupanya binatang-binatang itu 
sudah puas dengan pestanya di hari ini.
"He he he... kalian sudah puas, 
anak-anak manis," mendadak terdengar
suara parau dan mendirikan bulu roma. 
Seiring dengan lenyapnya suara tadi, 
tahu-tahu sesosok tubuh melangkah 
perlahan mendatangi tempat itu.
"Kelabang Merah...!" desis Kanjawa 
sambil menji-lati bibirnya yang kering 
Wajahnya semakin pucat ba-gai tak

dialiri darah. Sepasang matanya 
membelalak ke arah sosok asing yang baru 
datang.
Sosok yang dijuluki Kelabang Merah 
itu benar-benar menyeramkan! Sekujur 
kulitnya berwarna kemerahan mirip 
binatang-binatang peliharaannya. 
Kepalanya gundul pelontos, berperawakan 
gemuk bulat dan hanya mengenakan cawat 
hitam sebagai penutup auratnya. Di kiri 
kanan pinggangnya tersampir sebuah 
bumbung bambu tempat menyimpan 
kelabang-kelabang berbisa 
peliharaannya.
"He he he... yang mampus itu 
saudara-saudaramu, ya?" ucap Kelabang 
Merah tanpa rasa berdosa sedikit pun!
Kanjawa diam membisu. Dia hanya 
mampu mengangguk di hadapan Kelabang 
Merah itu. Rasa kagetnya masih belum 
hilang seluruhnya.
"Hei! Apakah kau tuli? Aku tanya 
apakah mereka saudara seperguruanmu?" 
teriak Kelabang Merah mengulang 
pertanyaannya. Rupanya lelaki berkepala 
pelontos ini tak melihat anggukan kepala 
Kanjawa.
"Bbb... benar!" dengan susah payah 
akhimya Kanjawa dapat juga mengeluarkan 
suaranya.

"He he he... anak-anakku tadi lapar 
sekali. Sengaja kulepaskan mereka, biar 
mencari makan sendiri. Kau tentunya 
tidak keberatan, bukan?" tanya orang Itu 
seenaknya.
"Eh, ya... ya...! Aku tidak 
keberatan!" sahut Kanjawa seperti 
membeo.
"He he he... sudah kuduga kalau kau 
pasti orang baik! Eh... tapi, 
anak-anakku yang lain masih belum dapat 
bagian, apakah kau mau memberi mereka 
makan?" tanya Kelabang Merah lembut 
Meskipun begitu, suaranya tetap 
terdengar kasar dan menyeramkan.
Mendengar permintaan Kelabang 
Merah, wajah Kanjawa semakin pucat dan 
gemetar ketakutan. Ia memang pernah 
mendengar dari gurunya, tentang seorang 
datuk sesat yang berjuluk Kelabang 
Merah. Meskipun tergolong tokoh sesat 
tetapi memiliki sifat yang berlawanan 
dengan penampilannya. Tokoh ini selalu 
bersikap lemah-Iembut kepada 
orang-orang yang ditemuinya. Dan yang 
lebih aneh lagi, laki-laki berkulit 
merah ini sama sekali tidak menganggap 
membunuh manusia untuk memberi makan 
binatang-binatang peliharaan sebagai 
perbuatan keji.

"Ah, tidak! Jangan! Aku... aku tidak 
mau!" ujar Kanjawa tersentak dari 
lamunannya sambil melangkah mundur 
begitu mendengar permintaan aneh 
Kelabang Merah. Karena yang dimaksud 
memberi makan oleh Kelabang Merah adalah 
merelakan dirinya dimangsa 
kelabang-kelabang merah penghisap 
darah. Karuan saja Kanjawa ketakutan.
"Eh, mengapa kau tidak mau? Kau 
senang ya kalau melihat anak-anakku mati 
kelaparan? Mengapa kau pelit sekali?" 
bentak Kelabang Merah gara-gara 
permintaannya ditolak Tokoh aneh ini 
menuduh Kanjawa pelit karena dia tidak 
bersedia dimangsa binatang piaraannya. 
Rasa-rasanya hanya orang bosan hidup 
saja yang mau menuruti permintaan gila si 
Kelabang Merah.
Selagi kedua orang itu bersikeras 
hendak memaksakan keingjnannya 
masing-masing, mendadak tiga sosok tubuh 
beriari mendatangi mereka. Ketiga orang 
yang tidak lain adalah Badil dan dua 
orang kawannya menjadi terkejut 
mendapatkan teman-temannya telah 
menjadi mayat Dan mereka semakin 
terkejut melihat Kanjawa mundur 
ketakutan dihampiri orang berkepala

botak yang hanya mengenakan cawat hitam 
saja.
"Kakang Kanjawa...!" teriak Badil 
sambil berlari menghampiri Kanjawa. 
Orang yang bernama Badil itu semakin 
terkejut ketika melihat wajah kakak 
seperguruannya pucat pasi bagai tak 
dialiri darah.
"Siapa... siapa orang itu, Kakang?" 
tanya Badil terheran-heran bercampur 
kaget melihat Kanjawa ketakutan 
berhadapan dengan orang berkulit 
kemerahan yang hanya memakai cawat 
hitam.
"Dia... Kelabang Merah...," sahut 
Kanjawa. Rupa-rupanya kedatangan Badil 
dan dua orang kawannya membuat 
keberanian Kanjawa timbul kembali.
"He he he... rupanya anak-anakku 
sedang bernasib mujur hari ini," ujar 
Kelabang Merah begitu melihat kedatangan 
tiga orang lagi. "Hayo, anak-anak, 
makanan kalian sudah tersedia."
Sambil berkata demikian, Kelabang 
Merah segera membuka tutup bumbung yang 
tergantung di pinggang kirinya.
"Hahhh!"
Badil dan dua orang kawannya 
serentak melompat mundur dengan wajah 
memucat. Sekilas saja mereka pun tahu

kalau binatang-binatang itu pastilah 
sangat beracun. Kini mereka mulai dapat 
menduga penyebab kematian kawan-kawan 
mereka dan mengapa Kanjawa demikian 
ketakutan kepada laki-laki gemuk 
berkepala botak ini.
"Keparat! Jadi rupanya kau yang 
telah membunuh saudara-saudara kami, 
hah? Kubunuh kau, Bangsat Gundul!" 
bentak Badil marah. Sekejap saja 
pedangnya telah teihunus di tangan.
"Hiaaat..!"
Tanpa mengenai rasa takut Badil yang 
tidak mengenai tokoh berkepala gundul 
itu langsung saja membabatkan pedangnya 
ke arah Kelabang Merah.
Dua orang lainnya pun bergegas 
mencabut senjata maang-masing. Dan tanpa 
dikomando lagi, keduanya segera membantu 
Badil. Pedang di tangan mereka menderu 
tajam, mencecar titik kematian laki-laki 
bercawat hitam itu.
"Adi, jangan...!" Kanjawa yang 
mengetahui kalau tokoh itu bukan 
tandingan mereka berteriak mencegah.
Namun sayang, teriakan Kanjawa
terlambat! Pada seat itu juga 
makhluk-makhluk sebesar ibu jari yang 
berwarna merah sudah melesat dari

bumbung bambu yang dipegang laki-laki 
berkulit kemerahan.
Sent! Sent! Sent!
Puluhan kelabang merah meluncur 
deras menuju tiga orang adik seperguruan 
Kanjawa yang tengah melesat menerjang. 
Gerakan puluhan binatang menjijikkan itu 
demikian cepat sehingga Badil dan kedua 
orang lainnya tak sempat lagi 
menghindar. Maka....
Crabbb! Crabbb!
"Aaa...!"
Sekejap saja puluhan kelabang merah 
telah lenyap ke dalam tubuh tiga 
laki-laki itu. Cairan merah memercik ke 
mana-mana diiringi dengan robohnya tubuh 
mereka. Badil dan dua orang lainnya 
berkelojotan meregang nyawa!
Gemetar seluruh tubuh Kanjawa 
melihat ketika kawannya yang tengah 
sekarat itu. Rasa gentar dan kemarahan
bercampur menjadi satu. Terdengar 
keluhan lirih dari kerongkongan Kanjawa. 
Sesaat kemudian, wajahnya merah padam! 
Sepasang matanya berputar liar bagai 
orang hilang pikiran.
"Iblis laknat! Kubunuh kau...!" 
rasa takut yang semula menguasai hati 
Kanjawa lenyap seketika. Disertai 
bentakan menggeledek, tubuhnya mencelat

sambil menyabetkan pedangnya ke leher 
Kelabang Merah.
Wukkk! Wukkk!
Dua buah serangan beruntun yang 
dilancarkan Kanjawa dengan mudah 
dielakkan Kelabang Merah. Dan saat itu 
juga tangan lawan terulur ke arah 
perutnya.
Brettt!
"Uhhh...!"
Jari-jari tangan datuk sesat yang 
berkuku panjang dan runcing itu tidak 
mengenai sasaran ketika Kanjawa menarik 
kakinya mundur. Tapi tak urung bajunya 
sempat tercabik kuku-kuku runcing itu.
"He he he... mengapa tergesa-gesa, 
Anak Muda? Tunggulah sebentar! Setelah 
anak-anakku selesai mengeringkan darah 
kawanmu, kau pun akan kebagian giliran!" 
ujar Kelabang Merah terkekeh kegirangan.
Kanjawa yang kemarahannya sudah 
mencapai ubun-ubun, tak mampu menjawab 
ejekan lawannya. Bagaikan banteng 
teriuka, lawannya kembali diteriang. 
Kelabang Merah hanya tertawa cekakakan 
menantikan datangnya serangan Kanjawa.
***
TIGA

"Yiiaaat…" 
Wukkk!
Tubuh Kelabang Merah yang bulat 
gemuk berlompatan lincah menghindari 
sabetan pedang Kanjawa. Sambil terus 
berloncatan, lelaki berkulit kemerahan 
ini sengaja memperdengarkan tawanya 
untuk membuat Kanjawa tak mampu 
memusatkan perhatian pada permainan 
jurus-jurus pedangnya.
Memasuki jurus kesepuluh, dengan 
penuh perhitungan tangan kanan Kelabang
Merah dijulurkan ke atas. Datuk sesat itu 
bermaksud memapak tusukan pedang lawan. 
Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya 
menusuk dengan jari-jari terbuka 
mengarah ulu hati Kanjawa.
Plakkk! Crebbb!
"Aaakh...!"
Pedang di tangan Kanjawa terpental 
ketika lengan-nya tertangkis lengan 
Kelabang Merah yang keras bagaikan baja. 
Dan pada saat yang bersamaan, jari-jari 
yang berkuku runcing menembus perut.
Tubuh Kanjawa terhuyung ke 
belakang! Darah segar menyembur dari

luka menganga di perutnya. Dan dengan 
mata membelalak, Kanjawa mendekap luka 
yang terus menyemburkan darah segar. 
Sesaat kemudian tubuhnya pun roboh dan 
berkelojotan untuk kemudian diam tak 
bergerak-gerak lagi. Sekujur kulit 
Kanjawa perlahan menghitam ketika racun 
yang berada pada kuku-kuku jari lawannya 
mulai bekerja.
"He he he.... Ayo, Anak-anak. Kita 
pergi dari tempat ini!" ucap Kelabang 
Merah sambil terkekeh seram.
Beberapa saat kemudian, dari mayat 
Badil dan dua orang kawannya mulai 
bermunculan puluhan kelabang yang masih 
berlumuran darah! Dan bagai anak-anak 
yang penurut, puluhan kelabang itu pun 
melesat ke dalam bumbung bambu yang telah 
diletakkan di atas tanah oleh 
majikannya.
Sambil terus mengeluarkan tawanya 
yang seram, Kelabang Merah menutup 
bumbung dan menggantungkan kembali di 
pinggangnya. Dan tanpa menoleh lagi, 
laki-laki berkulit kemerahan itu 
berlenggang begitu saja. Seolah-olah 
tidak ada kejadian apa-apa di tempat itu.
"Berhenti!"
Kelabang Merah menahan langkah 
kakinya ketika mendengar bentakan yang

ditujukan kepadanya. Sesaat kemudian, 
laki-laki aneh itu kembali meneruskan 
langkahnya tanpa mempedulikan teriakan 
itu.
Belum lagi kakinya melangkah jauh, 
sesosok bayangan yang berambut 
riap-riapan berkelebat melewati 
kepalanya. Dan dengan sebuah putaran 
yang indah, sosok itu mendaratkan 
beberapa tombak di depan Kelabang Merah.
"He he he... mau apa kau menyuruhku 
berhenti? Apakah kau pun mau ikut-ikutan 
menyumbang darah?" ujar Kelabang Merah 
terkekeh menyebalkan.
"Hm... apakah binatang-binatang 
peliharaanmu yang menjijikkan itu suka 
dengan darah orang setua aku?" sahut 
orang berambut riap-riapan mengejek 
Meskipun nada bicaranya terdengar 
lembut, namun sepasang mata laki-laki 
itu berkilat-kilat. Jelas sekali kalau 
laki-laki yang berusia kurang lebih 
sekitar enam puluh lima tahun itu tengah 
menahan luapan amarahnya.
"He he he... sebenarnya sih tidak 
suka. Apalagi dagingmu sudah alot dan 
berbau busuk! Tapi kalau memang kau mau 
memberi anak-anakku makan, aku pun tak 
keberatan," sahut Kelabang Merah sambil 
tetap tertawa terkekeh.

"Benar-benar rakus sekali 
binatang-binatang peliharaanmu. 
Sampai-sampai darah empat belas orang 
muridku pun masih belum cukup membuat 
mereka kenyang!" ucap laki-laki berambut 
riap-riapan dengan nada yang semakin 
meninggi.
"Eh, jadi mereka murid-muridmu! 
Wah... sungguh beruntung sekali kau, 
Kisanak. Murid-muridmu itu baik sekali 
Mereka berlomba-lomba menyumbangkan 
darahnya pada anak-anakku!" Laki-laki 
aneh itu sama sekali tidak merasa 
terkejut ataupun ketakutan. meskipun 
tahu kalau yang menghadangnya itu adalah 
guru dari orang-orang yang telah 
dibunuhnya. Malah dia tertawa-tawa 
kegirangan. Seolah-olah sama sekali 
tidak merasa bersalah kepada orang tua di 
hadapannya.
"Tentu saja aku sangat beruntung, 
Iblis Gundul! Eh, omong-omong aku merasa 
lapar sekali sekarang! Sudikah kau 
berikan peliharaanmu untuk kujadikan 
pengisi perut?" sadar kalau si gundul 
otaknya sudah tidak waras akibat 
racun-racun yang dipelajarinya, maka 
kakek berambut riap-riapan itu pun 
mencoba mengimbanginya.

"Apa? Kau ingjn menyantap 
anak-anakku? Tidakkah kau sadar, Orang 
Tua Gila! Dengar baik-baik! Permintaan 
gilamu itu sudah cukup menjadi alasanku 
untuk membunuhmu!" bentak Kelabang Merah 
yang menjadi marah mendengar permintaan 
lawan bicaranya.
"Hm... apakah kau pun sadar gundul 
gila? Dengan memberikan darah-darah 
muridku kepada binatang jelekmu telah 
membuatku ingin membunuhmu? Nah sekarang 
kau boleh pilih! Serahkan binatang 
jelekmu atau kepalamu kuremukkan dengan 
tongkat ini!" ancam kakek berambut 
riap-riapan dengan emosi yang 
meledak-ledak.
"Eh, oh... mengapa begitu? Tidak! 
Kedua-duanya aku tidak mau!" teriak 
Kelabang Merah membentak marah.
"Kalau kau tidak mau, aku akan 
memaksanya! Hmh!" sambil mendengus 
kasar, kakek berambut riap-riapan 
mengulurkan tangannya mencengkeram 
batok kepala Kelabang Merah yang 
pelontos.
Wuttt!
"Eit, tidak kena!" ejek Kelabang 
Merah sambil menarik tubuhnya ke 
belakang.

"Huh! Jangan takabur dulu, Gundul! 
Coba kau tahan ini! Heaaat...!" Disertai 
teriakan nyaring, kakek berambut 
riap-riapan memutar tongkat baja 
hitamnya hingga menimbulkan angin 
menderu-deru.
Werrr! Werrr!
"Eh!"
Kelabang Merah berseru kaget ketika 
tahu-tahu saja ujung tongkat lawan telah 
mencecar tenggorokan-nya! Cepat 
laki-laki berkulit merah itu melesat ke 
belakang. Setelah bersalto beberapa kali 
di udara, sesaat kemudian kakinya sudah 
mendaratkan beberapa tombak di depan 
kakek berambut riap-riapan itu.
"Siapa kau sebenarnya, Orang Tua 
Gila! Sepertinya aku pemah mengenai 
jurus-jurus tongkatmu?" tanya Kelabang 
Merah agak terkejut. Rupanya mata si 
gundul baru teibuka begitu melihat 
kehebatan jurus-jurus tongkat baja 
lawan.
"Buka matamu lebar-Iebar, Gundul 
Tengikj Ketahuilah! Saat ini kau 
berhadapan dengan Tongkat Pencabut 
Nyawa! Sekarang bersiaplah kau menerima 
kematian!" bentak orang tua berambut 
riap-riapan.

"He he he... jangan takabur Tongkat 
Pemukul Anjing! Apa kau kira aku takut 
melihat tongkat bututmu? Ayo majulah!" 
seru Kelabang Merah berusaha menutupi 
rasa terkejutnya.
Setelah berkata demikian, laki-laki 
aneh itu pun segera melepaskan tutup 
bumbung bambu yang menggantung di 
pinggang kirinya. Dari sini saja sudah 
dapat ditebak kalau kali ini Kelabang 
Merah bukanlah tokoh sembarangan.
"Hm... kalau begitu tahanlah 
tongkat pemukul anjingku ini, Anjing 
Gundul!" Begitu ucapannya selesai, orang 
tua yang berjuluk Tongkat Pencabut Nyawa 
segera melejit ke udara. Tongkatnya 
berputaran di atas kepala, sehingga 
membuat daerah sekitar tempat itu bagai 
dilanda angin topan dahsyat.
Puluhan kelabang penghisap darah 
yang dilepaskan si gundul buyar tersapu 
angin putaran tongkat baja hitam! 
Melihat binatang peliharaannya tak mampu 
menembus dinding angin yang diciptakan 
Tongkat Pencabut Nyawa. Kelabang Merah 
segera berseru nyaring seraya 
melontarkan pukulan beracunnya 
bertubi-tubi.
Pertempuran pun semakin seru dan 
ramai! Dua tokoh sakti dari aliran yang

bertolak belakang itu saling terjang 
dengan ganasnya. Keduanya sudah 
mengeluarkan ilmu andalan 
masing-masing. Maka dapat dibayangkan 
kedahsyatan pertempuran kedua tokoh 
sakti itu!
Sampai lima puluh jurus, keduanya 
masih terlihat imbang Namun memasuki 
jurus kelima puluh dua, Tongkat Pencabut 
Nyawa semakin memperhebat serangannya. 
Batu-batu kerikil ikut beterbangan 
terbawa putaran angin dahsyat yang 
diciptakan tongkat bajanya.
Wuttt! 
"Aaaih...!"
Kelabang Merah melompat ketika 
tongkat baja hitam membabat pinggangnya. 
Sabetan tongkat lawan memang berhasil 
dielakkan. Namun pada saat tubuh 
Kelabang Merah masih mengambang di 
udara, tahu-tahu Tongkat Pencabut Nyawa 
melompat sambil melakukan dua kali 
tendangan dengan menggunakan tongkatnya 
sebagai penunjang! 
Desss! Desss! 
"Huaaakh!"
Darah segar kontan bermuncratan 
dari mulut laki-laki berkulit kemerahan 
hingga memercik ke pakaian lawannya. 
Datuk aneh itu terpental jauh ketika dua

tendangan beruntun Tongkat Pencabut 
Nyawa bersarang telak di dada! Tubuh 
tambun itu mencium bumi hingga 
menimbulkan suara berdebuk keras!
"Ha ha ha... bersiaplah kau menerima 
kematianmu, Kelabang Busuk!" bentak 
laki-laki berambut meriap terbahak. 
Sesaat kemudian tongkat baja hitamnya 
terayun deras ke arah kepala gundul yang 
tengah tertunduk itu. 
Wuttt!
Dapatlah dipastikan kalau sebentar 
lagi kepala gundul itu pastilah akan 
pecah berhamburan terhantam tongkat baja 
yang berat itu. Namun pada saat yang 
menegangkan, secepat kilat tangan kanan 
Kelabang Merah berkelebat melemparkan 
bumbung bambu dari pinggang kanannya. 
Berbarengan dengan itu, laki-laki 
berkulit kemerahan segera bergulingan 
menghindari ancaman maut.
Tongkat Pencabut Nyawa sempat 
terkejut melihat benda yang dilemparkan 
Kelabang Merah. Sekilas dilihatnya kalau 
benda yang dilempar lawan adalah bumbung 
kelabang merah. Kakek berambut 
riap-riapan tidak berani mengambil 
risiko Apabila bumbung bambu itu pecah 
berantakan akibat hantaman tongkatnya, 
bukan tidak mungkin akan ada beberapa

kelabang penghisap darah yang terlontar 
ke tubuhnya. 
Bumram!
Debu mengepul tinggi ketika tongkat 
baja hitam menghantam batu sebesar 
kepala gajah yang berada di samping kiri 
Kelabang Merah. Sedangkan bumbung bambu 
yang tadi dilemparkan oleh Kelabang 
Merah, tergeletak di atas rerumputan 
dalam keadaan masih tertutup rapat
Tongkat Pencabut Nyawa menoleh ke 
arah lawannya bergulingan. Namun temyata 
di tempat itu sudah tak terlihat bayangan 
Kelabang Merah lagi.
"Keparat gundul! Sampai ke ujung 
langit pun kau akan kukejar!" teriak 
Tongkat Pencabut Nyawa ketika menyadari 
kalau lawan telah melarikan diri.
Tongkat Pencabut Nyawa memungut 
bumbung bambu tempat penyimpanan 
kelabang penghisap darah. Lalu 
diletakkan ke atas batu yang 
permukaannya datar.
"Hm... binatang pembawa celaka ini 
harus dimusnahkan agar tidak meminta 
korban lagi," ujar Tongkat Pencabut 
Nyawa geram. Diambilnya batu sebesar 
kepala kerbau dan ditimpakan tepat di 
atas bumbung. Dan....
Prakkk..!

"Mampuslah kau binatang celaka!" 
ucapnya tersenyum puas. Setelah 
memusnahkan kelabang berbisa, Tongkat 
Pencabut Nyawa pun bergegas meninggalkan 
tempat itu menuju Puncak Gunung 
Kembaran.
"Hm... kau berbicara dengan siapa, 
Kisanak?" tiba-tiba terdengar teguran 
yang membuat Tongkat Pencabut Nyawa 
menghentikan langkahnya. Dan sebehim 
gema teguran itu lenyap, dari kejauhan 
tampak sesosok tubuh berlari mendatangi.
"Ah, rupanya Ki Bagasti yang 
datang!" seru Tongkat Pencabut Nyawa 
dengan wajah berseri.
"Eh, bukankah itu mayat 
murid-muridmu, Jiwana?" tanya orang yang 
baru datang agak terkejut
"Benar, Ki!" sahut Tongkat Pencabut 
Nyawa yang temyata bemama Ki Jiwana. 
Dengan singkat, kakek berambut 
riap-riapan menceritakan semua 
peristiwa yang baru saja terjadi.
"Hhh... setelah bertahun-tahun 
menghilang, ternyata dia mulai 
menebarkan bencana lagi. Tapi syukurlah
kau telah membunuh semua binatang-bi-
natang peliharaannya. Kalau tidak, 
bisa-bisa lebih ramai lagi keadaan di

sana," ujar Ki Bagasti menimpali ucapan 
Ki Jiwana.
"Ha ha ha... jadi kedatanganku 
kemari juga karena dongeng itu?" tanya Ki 
Jiwana tersenyum.
"Hm.... Bunga Abadi bukan hanya 
sekadar dongeng, Jiwana. Menurut guruku 
dulu bunga itu benar-benar memang ada. 
Kurasa, gurumu pun pasti sudah 
menceritakannya padamu. Kalau tidak, 
mengapa kau berada di sini juga?" tebak 
Ki Bagasti.
"Yah, seperti juga kau, aku pun 
ingin melihat seperti apa sebenamya 
tumbuhan itu?" sahut Ki Jiwana tertawa 
tergelak.
"Eh, jadi niatmu ke sini hanya 
sekadar ingin melihat tumbuhan itu? Apa 
kau tak berniat memilikinya, Jiwana? 
Ingat, khasiat tumbuhan mukjizat itu 
bukan hanya dapat menyembuhkan berbagai 
penyakit ataupun sekadar penawar racun 
saja, apa kau tidak tahu?" desak Ki 
Bagasti yang merasa heran ketika 
mendengar Ki Jiwana hanya ingin melihat 
tumbuhan yang pada masa itu telah membuat 
geger kaum persilatan.
"Aku tidak pernah bermimpi untuk 
mendapatkannya, Ki? Lagi pula 
kepandaianku kalah jauh jika

dibandingkan dengan ilmumu?" ujar Ki 
Jiwana merendah.
"Hm... kau terlalu merendah, 
Jiwana. Tak seorang pun tokoh persilatan
yang tidak gentar mendengar kehebatan 
Tongkat Pencabut Nyawa. Dan siapa pula 
yang tidak pernah mendengar berapa 
banyak tokoh persilatan yang bertekuk 
lutut di bawah kesaktianmu," ucap Ki 
Bagasti sambil mengulap-ulapkan tangan 
bagaikan orang yang tengah bersajak.
"Ha ha ha... katakanlah apa yang kau 
ucapkan itu benar. Tapi sehebat-hebatnya 
Tongkat Pencabut Nyawa, mana mungkin 
dapat mengatasi kepandaian Ki Bagasti!" 
Ki Jiwana balas memuji sambil tertawa 
lepas.
"Aaah sudahlah! Apakah kau tidak 
ingin cepat sampai ke tempat itu?" ucap 
Ki Bagasti sambil mengibaskan tangannya 
pertanda tak ingin meneruskan 
pembicaraan itu.
"Ayolah!" sahut Ki Jiwana sambil 
mengjkuti langkah sahabatnya. Lalu kedua 
tokoh sakti itu pun melangkah beriringan 
menyeberangi sungai yang memisahkan 
Gunung Kembaran dengan dunia luar.
***

Hembusan angin bersilir lembut 
mengiringi lang-kah seorang gadis muda 
berwajah cantik. Gadis itu melangkah 
hang sambil menoleh ke kiri-kanan jalan 
yang dilaluinya. Sepertinya dia begitu 
menikmati pemandangan di sekelilingnya.
Rambutnya yang ikal berhiaskan pita 
biru muda pada bagjan tengah kepalanya. 
Kalau melihat dari pakaian yang 
dikenakannya yang berwana biru muda itu, 
sudah pasti kalau gadis cantik itu 
Ayuninglah adanya. (Untuk jelasnya 
mengenai keberadaan gadis Ini silakan 
baca serial Pendekar Naga Putih dalam 
episode: "Mencari Jejak Pembunuh").
Baru saja gadis itu hendak memasuki 
hutan kecil di sebelah Timur Lereng 
Gunung Kembaran, tiba-tiba terdengar 
bentakan keras yang membuat langkahnya 
terhenti. Seketika bergegas Ayuning 
bersembunyi di batik semak-semak 
terdekat
"He he he... rupanya hari ini kita 
benar-benar mujur. Lihat, Kang! Ada 
bidadari cantik menghampiri kita," ujar 
seorang lelaki bermuka hitam seraya 
tertawa terkekeh hingga memperlihatkan 
giginya yang kotor. Sepasang matanya 
jelalatan melahap sekujur tubuh Ayuning

mulai dari ujung rambut hingga ke ujung 
kaki.
"Hm... hati-hati, Adi! Saat ini, 
banyak orang sakti melintasi hutan ini. 
Kurasa gadis cantik ini bukan mangsa 
empuk," bisik kawannya memperingatkan
"Ayo, lebih baik kita kembali ke 
tempat guru. Siapa tahu beliau 
mencari-cari kita," lanjut kawannya 
lagi.
"Ah, Kakang, mengapa tergesa-gesa. 
Bukanka guru sedang beristirahat Kupikir 
tak ada salahnya kalau kita mencari 
hiburan barang sejenak," ucap si muka 
hitam membandel.
"Jangan gegabah, Adi! Bukankah tadi 
sudah ku katakan kalau di tempat ini 
banyak berkumpul tokoh tokoh sakti 
berkepandaian tinggi. Lagi pula guru pur 
pernah berpesan agar kita harus 
membatasi semua tindakan agar tidak 
terjadi kesalahpahaman," kawannya yang 
lebih tua masih berusaha mengingatkan 
kalau tindakannya si muka hitam bisa 
merugikan mereka sendiri.
“Tapi, Kakang. Alangkah sayangnya 
kalau gadis secantik itu dibiarkan lewat 
begitu saja?" si muka hitam masih mencoba 
membantah.

"Ayolah!" ujar kawannya jengkel. 
Ditariknya lengan si muka hitam untuk 
segera melupakan nafsu bejatnya.
Ayuning hanya mengawasi tingkah 
kedua orang itu tanpa beranjak dari 
persembunyiannya. Gadis berpakaian biru 
muda itu sempat mencuri dengar 
sedikit-sedikit apa yang sedang 
diributkan kedua laki-laki itu.
"Hm... sepertnya di sini telah 
berkumpul tokoh-tokoh persilatan yang 
rupanya juga berminat pada tumbuhan 
mukjizat Wah kalau begini bisa ramai 
nih!" gumam gadis itu sambil tersenyum 
membayangkan seandainya dia bertemu 
dengan tokoh-tokoh persilatan yang 
memburu tumbuhan mukjizat itu.
Berpikir demikian, gadis itu pun 
bergegas mempercepat langkahnya menuju 
Gunung Kembaran. Karena menurut 
selentingan yang gurunya pernah dengar, 
konon di Gunung Kembaran itulah adanya 
tumbuhan mukjizat Tumbuhan Ajaib yang 
memiliki berbagai keistimewaan. Itulah 
sebabnya mengapa guru Ayuning menyuruh 
gadis ini menyelidiki kebenaran berita 
itu. Sekaligus juga, menimba pengalaman 
dalam dunia persilatan.
"Hm... mengapa kelihatannya 
sepi-sepi saja? Apakah para tokoh itu

belum datang?" gumam Ayuning keheranan 
tatkala mendapati hutan itu masih sepi. 
Menurut perhitungan gurunya, saat ini 
tokoh-tokoh persilatan pasti sudah 
berkumpul di sana, tapi temyata tak 
seorang pun terlihat.
"Ah, mungkin karena waktunya masih 
dua hari lagi? Atau mungkin mereka masih
dalam perialanan?" gumam Ayuning 
menghibur dirinya sendiri.
Baru saja Ayuning hendak beranjak 
dari persembunyiannya, tiba-tiba 
terdengar siulan panjang yang melengking 
tinggi. Belum lagi gema siulan itu 
lenyap, mendadak berkelebat beberapa 
sosok bayangan menuruni lembah di bawah 
tempat persembunyian Ayuning.
Ayuning menajamkan pandangannya 
mengamatj keempat sosok berseragam hijau 
yang akhirnya berhenti tepat di 
bawahnya. Jarak dataran yang memisahkan 
mereka sekitar enam atau tujuh tombak 
tingginya
Ayuning menarik napas lega ketika 
orang-orang itu tidak menyadari 
kehadirannya di tempat itu.
"Hm... kalian sudah temukan tempat 
itu?" tanya sebuah suara yang sepertinya 
berasal dari mulut seorang nenek tua.

"Sudah, Guru! Gua itu ada di lereng 
sebelah Selatan. Dan, ada beberapa tokoh 
yang sudah berdatangan ke sana," lapor 
salah seorang di antara sosok berpakaian 
serba hijau singkat Suaranya bening, 
mirip suara seorang gadis remaja.
Merasa penasaran, Ayuning 
menjulurkan kepalanya, untuk memastikan 
kalau mereka itu terdiri dari para 
wanita. Baru saja gadis itu menjengukkan 
kepalanya sedikit, tiba-tiba dikejutkan 
oleh suara nenek berbaju hijau hingga 
terpaksa menarik kepalanya.
"Mari, kita pergi!" seru nenek yang 
juga berpakaian serba hijau. Hanya saja 
pakaiannya terbuat dari bahan yang bagus 
dan mahal. Setelah berkata demikian, 
nenek itu pun segera melesat.
Nenek itu kemudian meneruskan 
perjalanan dikawal empat orang gadis 
manis berpakaian hijau. Perempuan tua 
ini temyata guru mereka.
"Guru, mengapa Guru berkata terlalu 
keras? Bukankah pembicaraan kita bisa 
didengar saingan-saingan kita?" ujar 
salah seorang gadis berpakaian hijau 
mengingatkan gurunya agar tidak 
berbicara terlalu keras.
"Hm... dengar, Murid Bodoh! Kita 
memang telah menemukan gua itu. Tapi

apakah kau tahu apa yang ada di 
dalamnya?" sang Guru balas bertanya 
sambil menatap wajah muridnya tajam.
"Tidak, Guru. Kami belum memeriksa 
isi dalam gua," jawab gadis berpakaian 
hijau itu gugup.
"Bodoh! Tentu saja aku tidak segila 
itu menyuruh kalian masuk ke gua!" sahut
gurunya ketus sambil terus berlari 
mendaki Lereng Gunung Kembaran. Meskipun 
Lereng Gunung Kembaran rata-rata curam 
dan licin, namun sepertinya semua itu 
bukan rintangan yang berarti bagi kelima 
wanita tadi. Dari sini saja sudah dapat 
diketahui betapa hebamya kepandaian 
wanita-wanita berpakaian hijau itu.
***
EMPAT


"Maaf Guru, kami masih belum paham 
maksud Guru?" tanya seorang murid 
lainnya karena memang belum mengerti 
maksud ucapan gurunya. 
Meskipun kata-katanya terdengar 
ketus dan galak, namun sesungguhnya 
nenek itu sangat menyayangi keempat
muridnya. Dan ketika mendengar 
pertanyaan muridnya, sang Guru menoleh 
sambil tersenyum memandang mereka 
bergantian.
Wanita tua berpakaian serba hijau 
segera berhenti beriari. Keempat 
muridnya pun melakukan hal yang sama 
sambil memandang wajah gurunya penuh 
tanda tanya.
"Dengarlah, Murid-Murid Bodoh!" 
ujar nenek itu dengan nada suara yang 
lebih lunak. "Kalau aku menyuruh kalian 
memasuki gua itu, sama artinya aku 
membunuh kalian. Kalian tahu, di dalam 
gua itu banyak binatang-binatang 
berbisa."
Setelah berkata demikian, sang Guru
pun kembali meneruskan larinya, 
mendengar penjelasan sang Guru wajah 
keempat wanita itu berubah pucat. 
Untunglah tempo hari mereka hanya 
menyelidiki di luar gua. Kalau saja waktu 
itu mereka nekat masuk, pastilah mereka 
tidak akan kembali.
Setelah saling pandang sejenak, 
keempat wanita berpakaian serba hijau 
menyusul guru mereka yang sudah melesat 
beberapa tombak di depan.
"Sekarang aku baru tahu alasan guru 
berseru keras tadi," ujar seorang wanita

yang usianya paling tua di antara mereka 
berempat
"Mengapa?" tanya salah seorang 
temannya masih belum mengerti.
"Ah, bodoh kau!" sahut yang lainnya 
menimpali. "Guru ingin memancing orang 
yang mendengar pembicaraan kita. Kalau 
guru tidak salah perhitungan, orang yang 
mendengar pembicaraan kita pasti akan 
mengikuti kita."
"Lalu guru akan membiarkan orang 
lain lebih dahulu masuk ke gua. Nah, 
kalau cerita tentang binatang-binatang 
berbisa itu benar, kita tahu binatang 
macam apa yang ada di dalam itu dan sampai 
di mana kekuatan bisanya," ujar yang 
seorang lagi ikut menerangkan.
"Ahhh, benar-benar cerdik sekali 
guru kita," sahut wanita yang bertanya 
tadi tersenyum malu. Kini dia baru 
mengerti maksud guru mereka sebenarnya.
"Ayo, cepat kita susul guru! Kalau 
sampai terlam-at bisa-bisa kita kena 
damprat!" ucap wanita yang paling tua 
mengajak teman-temannya segera pergi.
"Hm... di sanakah tempatnya?" tanya 
sang Guru sambil menunjuk tempat yang 
dimaksud begitu keempat muridnya 
berhasil menyusul.
"Benar, Guru!" jawab murid tertua.

"Ayo, kita cari tempat berlindung, 
biar kita intai dari jauh," ujar sang Gum 
sambil mengedarkan pandangan mencari 
tempat berlindung.
Setelah beberapa saat mengintai di 
tempat persembunyian. Akhimya muncul 
tiga sosok manusia mendekati lubang gua. 
Dari gerakan ketiga pendatang itu, bisa 
ditebak kalau mereka bukan tokoh 
sembarangan. Gerakan mereka rata-rata 
begitu lincah dan ringan.
"Hm... tampaknya sudah ada yang 
kemari," kata nenek berpakaian hijau 
kepada keempat muridnya.
"Siapakah ketiga orang itu, Guru?" 
tanya murid termuda sekaligus paling 
cantik di antara saudara-saudara 
seperguruannya.
"Entahlah! Tapi yang jelas 
kepandaian mereka tidak di bawah 
kepandaian kalian. Bahkan mungkin orang 
yang paling depan itu jauh lebih lihai," 
jawab sang Guru menerangkan.
Setibanya di depan gua, ketiga 
laki-laki itu menghentikan langkahnya 
sejenak. Ketiganya memandang sekeliling 
seolah ingin memastikan kalau di sekitar 
gua hanya ada mereka bertiga.
''Kakang, rasanya suasana di sini 
mencurigakan?" ujar orang termuda dari

ketiga laki-laki itu. Sorot matanya yang 
tajam berkeliling waspada. Nalurinya 
yang tajam membaui sesuatu yang 
mencurigakan.
"Hm... apa alasanmu berpikiran 
demikian, Adi Tantra?" tanya salah 
seorang berwajah bulat dan cacat mata 
kirinya.
"Sekarang coba kau pikir, Kakang! 
Masakan kita yang belum lama mendengar 
selentingan tentang Bunga Abadi dapat 
menemukan tempat ini. Ke mana 
tokoh-tokoh yang memang sudah mengincar 
sejak dulu?" ucap orang termuda 
mengemukakan alasan kecurigaannya.
"Alasanmu cukup masuk akal, Adi 
Tantra. Tapi bukankah tumbuhan ajaib itu 
baru akan berbunga dua hari lagi? Bukan 
tidak mungkin orang-orang itu baru 
datang pada hari yang tepat." Kali ini 
orang tertua yang angkat bicara. 
Wajahnya yang penuh otot-otot, mengejang 
ketika mengutarakan pendapatnya. Di 
tangan kanannya yang buntung terpasang 
kaitan dari baja putih yang ujungnya 
runcing. Selain berfungsi sebagai 
pengganti tangan kanan, kaitan baja itu 
sekaligus menjadi senjata andalannya.
"Nah! Rasanya aku lebih setuju 
dengan alasan, Kakang!" sahut orang

kedua sambil mengacungkan jempolnya 
dengan senyum terkembang.
"Ya! Tapi itu bukan berarti kita 
bisa berbuat seenaknya," ujar laki-laki 
termuda yang rupanya masih tetap 
mempertahankan kecurigaannya.
“Tentu saja! Aku sendiri berharap 
kita bertiga tetap waspada. Kurasa 
alasan Kakang Banjaran tepat" tukas 
orang yang kedua tetap tak mau kalah.
"Sudahlah! Tidak usah ribut-ribut!" 
sergah orang tertua yang bemama Banjaran 
sambil mengibaskan tangan. Rupanya 
laki-laki itu agak kesal melihat kedua 
temannya bertengkar. "Yang penting kita 
harus masuk ke gua ini sebelum orang lain 
melihat kita!"
Setelah berkata demikian, Banjaran 
menggerakkan tangannya agar kedua 
kawannya mengikuti langkahnya.
Namun baru beberapa tombak mereka 
melangkah, tiba-tiba melesat beberapa 
sosok bayangan yang langsung menghadang 
di mulut gua.
Banjaran memandang dengan mata 
melotot kepada lima laki-laki yang 
menghadang di mulut gua. Gigi-giginya 
bergemeletuk menahan kegeraman yang 
sudah naik ke ubun-ubun.

"Hmh! Lima Siluman Bukit Setan! Apa 
maksud kalian menghadang kami? Apakah 
kalian sudah bosan hidup?" bentak 
Banjaran dengan wajah merah padam 
menahan amarah. Banjaran memang 
pemberang. Laki-laki berlengan buntung 
itu mudah menurunkan tangan kejam 
meskipun hanya karena soal sepele.
"He he he.... Tiga Bajak Sungai 
Gandir! Apakah kalian pikir Bunga Abadi 
itu milik nenek moyang kalian?" bentak 
orang tertua dari Lima Siluman Bukit 
Setan tak kalah gertak. Rata-rata mereka 
bertopeng buruk Sehingga suaranya 
terdengar agak bergema. Tak seorang pun 
tokoh-tokoh persilatan yang pernah 
melihat wajah asli Penguasa Bukit Setan 
itu.
"Hm... kalau begitu, tahanlah 
senjataku ini! Hiaaah!" Banjaran yang 
sudah meledak-ledak kemarahannya segera 
membentak sambil menyabetkan kait 
bajanya.
"Nah! Ini baru namanya laki-laki! 
Jangan hanya pintar mengumbar bacot 
saja!" sahut orang tertua dari Siluman 
Bukit Setan seraya meloloskan cambuk 
yang melilit pinggangnya. 
Ctarrr! Ctarrr!

Ujung cambuk di tangan salah satu
kawanan tokoh sesat itu meledak-ledak di 
angkasa hingga menimbulkan suara 
memekakkan telinga. 
Wuttt!
Kaitan baja Banjaran nyaris 
menyambar leher. Tentu saja lawannya pun 
tidak tinggal diam. Lecutan ujung 
cambuknya mematuk-matuk dahsyat ke 
berbagai titik kematian laki-laki 
berlengan buntung itu. Banjaran yang 
semula maju menyerang, terpaksa 
menghindar ke samping. Sambaran ujung 
cambuk yang disertai kepulan asap hanya 
mengenai tempat kosong!
Banjaran temyata cukup cerdik! 
Laki-laki berlengan buntung itu segera 
memutar badannya disertai sambaran 
kaitan baja yang mengancam lambung la-
wan. Suara kaitan itu berdesing tajam 
menandakan kuatnya tenaga dalam yang 
mendorong serangan.
Wuttt!
"Hai, luput!" ejek Siluman Bukit 
Setan yang segera melompat mundur begitu 
sambaran kait baja Banjaran hampir 
menyerempet perutnya. Hati Banjaran 
makin panas, sambaran-sambaran kait 
bajanya makin diperhebat

Perang tanding kedua tokoh itu 
berlangsung sengit! Keduanya saling 
serang menggunakan jurus-jurus maut 
untuk saling menjatuhkan secepat 
mungkin. Namun, sampai dua puluh tujuh 
jurus pertarungan masih berlangsung 
imbang!
Sementara itu, empat kawanan 
Siluman Bukit Setan lain sudah 
mengeroyok dua adik seperguruan 
Banjaran. Tentu saja pertempuran menjadi 
berat sebelah. Pertarungan dua lawan 
empat itu segera dikuasai empat kawanan 
Siluman Bukit Setan!
Di tengah ramainya pertarungan itu, 
mendadak muncul seorang kakek berusia 
sekitar enam puluh lima tahun yang 
dikawal dua orang pengikutnya.
"He he he... lihatlah, Guru! Delapan 
anjing buduk sedang bertempur 
memperebutkan sepotong tulang!" ujar 
pengiring si laki-laki tua mengejek 
Orang itu adalah laki-laki si bermuka 
hitam yang pernah berniat mengganggu 
Ayuning.
Mendengar ejekan yang menyakitkan 
itu, oran orang yang tengah bertempur 
segera menghentikan serangan. Kedelapan 
orang itu serentak menoleh ke arah orang 
yang melontarkan hinaan tadi.

Kakek itu tersentak kaget! Sungguh 
tak disangka kalau muridnya lancang 
menghina orang yang sedang bertarung 
Sayang, semuanya sudah telanjur. Kini 
mau tak mau dia harus ikut 
mempertanggungjawabkan kata-kata 
muridnya.
"Ah, kau keterlaluan, Adi. Nah, 
sekarang kau lihat akibat kecerobohanmu. 
Mereka mengecam kita!" bentak kawannya 
yang merasa kesal dengan kecerobohan si 
muka hitam.
"Ah, mengapa kita harus takut? 
Habisi saja tikus-tikus itu!" sahut 
orang si bermuka hitam seenaknya. 
Kawannya hanya dapat mengurut dada dan 
tak mau melayani lagi.
"Kukira orang yang berani 
menghinaku itu raja iblis yang memiliki 
dua belas tangan! Tak tahunya hanya kutu 
busuk yang berteriak-teriak karena 
mukanya terbakar!" geram Banjaran sambil 
menatap si muka hitam dengan sikap 
menghina.
"He he he... kau benar, Kisanak! 
Rasanya kakiku sudah gatal ingin 
meremukkan kepala kutu busuk kurang ajar 
itu!" ancam orang tertua dari Lima 
Siluman Bukit Setan tak kalah geram. Dan 
begitu ucapannya selesai, siluman

bertopeng itu pun segera menerjang 
sambil mengirimkan dua tendangan ke arah 
kepala si muka hitam. Tampaknya Siluman 
Bukit Setan ingin membuktikan 
ancamannya.
Namun sebelum tendangan siluman 
bertopeng mengenai sasaran, mendadak 
berkelebat sesosok bayangan memapak 
sambaran kaki itu dengan kekuatan tenaga 
dalam dahsyat!
Tahan...!"
Plakkk! Plakkk!
"Heiit..!"
Disertai teriakan keras kedua 
telapak tangan bayangan itu dua kali 
berturut-turut menepis tangan orang 
bertopeng buruk Siluman Bukit Setan 
memekik tertahan. Penguasa Bukit Setan 
ini sama sekali tidak menduga kalau 
serangan balik lawan demikian cepat.
Tubuh bayangan itu tergetar mundur 
akibat berbenturan dengan tendangan 
orang bertopeng ini. Sejenak dia terdiam 
untuk mengatur napasnya yang agak 
memburu. Kedua lengannya terasa 
kesemutan sehabis menangkis tendangan 
yang hampir saja merenggut nyawa si muka 
hitam. Sedangkan orang pertama dari Lima 
Siluman Bukit Setan juga tersentak ke 
belakang akibat tangkisan bayangan itu,

namun dengan sekali berkelebat, orang 
bertopeng buruk ini sudah mendarat empuk 
di dekat keempat kawannya.
"Hm... rupanya kau, Setan Jari 
Seribu. Kau mau membela kutu busuk itu?" 
tegur orang tertua dari Lima Siluman 
Bukit Setan.
"He he he... Siluman Bukit Setan! 
Bagaimana aku bisa berpangku tangan 
melihat muridku dalam bahaya?" jawab 
sosok yang temyata berjuluk Setan Jari 
Seribu tetap tenang meskipun tahu kalau 
lawan yang dihadapi bukanlah orang 
sembarangan. Tokoh sakti ini sengaja 
memamerkan kehebatannya agar tidak 
dipandang rendah Lima Siluman Bukit 
Setan.
"Ha ha ha... pantas saja si muka 
pantat kuali berani kurang ajar! Tak
tahunya si muka gosong murid maling tua 
hina dina ini!" ujar Banjaran tertawa 
terbahak-bahak.
Mendengar perkataan Banjaran, yang 
lainnya pun ikut tertawa bergelak sambil 
memegang perut saking mulesnya.
"Diam!" bentak Setan Jari Seribu 
menggelegar. Wajahnya berubah semerah 
udang rebus karena darahnya benar-benar 
sudah sampai ke ubun-ubun.

"Hei! Kau menghinaku maling hina 
dina, tapi kau tak sadar siapa kau 
sebenarnya? Kau tak lebih dari buaya 
buruk pemakan bangkai!" teriak Setan 
Jari Seribu membalas hinaan Banjaran 
yang juga menjadi Kepala Bajak Sungai 
Gandir.
"Hm... lalu apa maumu, Maling Tua?" 
tantang Tantra orang termuda dari tiga 
Bajak Sungai Gandir sambil melangkah 
maju.
"He he he... kau tanya aku mau apa? 
Dengariah! Aku ingin menggaruk mukamu 
yang seperti serabi sampai rata! Ha ha 
ha..." balas Setan Jari Seribu. Selesai 
berkata demikian kakek itu dan dua orang 
muridnya tertawa terpingkal-pingkal 
sampai terbungkuk-bungkuk memegang 
perutnya.
"Bangsat! Kau makanlah golokku ini! 
Hiaaat...!" Tantra yang sudah terbakar 
amarahnya segera melompat maju sambil 
mengayunkan golok ke arah lambung Setan 
Jari Seribu yang masih 
terpingkal-pingkal.
Wuttt!
"Eit! Luput, Muka Serabi. Ha ha 
ha...!" sambil terus tertawa, Setan Jari
Seribu berkelit menghindari bacokan

golok Tantra hingga mengenai tempat 
kosong!
Tentu saja Tantra yang terns diejek 
semakin mendidih darahnya. Dengan kalap 
orang termuda dari Penguasa Sungai 
Gandir memperhebat sambaran-sambaran 
goloknya.
Setan Jari Seribu yang sudah 
mendengar kelihaian Bajak Sungai Gandir 
tidak berani gegabah. Tubuhnya bergerak 
lincah menghindari sambaran mata golok 
sambil sesekali tangannya berkelebat 
bergantian melakukan serangan balasan.
Bettt! Bettt!
"Uhhh...!"
Terdengar keluh tertahan ketika 
tubuh Tantra nyaris tersambar dua 
pukulan Setan Jari Seribu. Cepat-cepat 
pemuda itu melompat mundur sambil 
melintangkan goloknya dengan sikap 
waspada menjaga serangan susulan lawan. 
Tapi orang termuda dari Tiga Bajak Sungai 
Gandir ini kecele.Ternyata Setan Jari 
Seribu hanya berdiri memandangnya penuh 
ejekan. 
"Guru...!"
Setan Jari Seribu tersentak kaget 
mendengar teriakan muridnya. Laki-laki 
tua itu bertambah kaget lagi melihat dua 
muridnya tengah berusaha mati-matian

meloloskan diri dari keroyokan Empat 
Siluman Bukit Setan.
Brettt! 
Crakkk! 
"Aaakh...!"
Terlambat! Saat itu juga dua golok 
pengeroyok menembus perut kedua murid 
Setan Jari Seribu yang bernasib sial. 
Keduanya langsung roboh bermandi darah! 
Sesaat keduanya masih sempat mengerang 
sambil berkelojotan menahan rasa sakit 
Namun akhirnya terkapar di tanah. Tewas!
"Biadab kau Lima Siluman Bukit 
Setan! Kalian harus menebus nyawa kedua 
muridku! Aku belum puas kalau tidak 
menghirup darah kalian!" Setan Jari 
Seribu berteriak-teriak penuh 
kemarahan. Sesekali dia mendengus dan 
menggeram. Rupanya orang tua itu 
benar-benar terpukul atas kematian dua 
murid kesayangannya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wukkk!
Entah dari mana asalnya tahu-tahu 
dua bilah belati sudah tergenggam di 
tangan kanan dan kiri Setan Jari Seribu. 
Senjata tajam itu berkilat-kilat 
menyambar kerongkongan dua tokoh sesat 
yang tadi telah membunuh kedua muridnya, 
menyadari kedahsyatan sambaran kakek

yang sudah kalap itu, keduanya segera 
bergulingan menjauh sambil melemparkan 
beberapa buah jarum beracun. Dan.... 
Trang! Trang!
Jarum-jarum beracun rontok 
tersampok sepasang belati Setan Jari 
Seribu. Sesaat kemudian kakek yang sudah 
kalap itu kembali mengejar dua Siluman 
Bukit Setan yang sudah kembali berdiri 
tegak Dan, secara tiba-tiba, orang tua 
itu merendahkan kuda kudanya sambil 
menggerakkan sepasang senjatanya secara 
bersilangan.
Brettt! Brettt!
"Aaah...!"
Luar biasa kecepatan serangan Setan 
Jari Seribu Dua buah serangan yang sudah 
diperhitungkan masak itu tidak sia-sia. 
Mata belatinya berlumuran cairan darah 
milik korbannya.
Dua orang Siluman Bukit Setan 
terperangah kaget Celana mereka robek di 
bagian bawah hingga menggores kulit. 
Meskipun tidak terlalu dalam, namun 
goresan luka terasa sangat perih.
"Ha ha ha... sebentar lagi kalian 
akan menggelepar seperti ayam 
disembelih, kalian telah terkena racun 
ganas dari mata belatiku! Tertawalah 
sepuas kalian sebelum ajal datang

menjemput! Ha ha ha!" Setan Jari Seribu 
tertawa bergelak sambil menengadahkan 
kepalanya karena telah berhasil menebus 
kematian muridnya yang terbunuh oleh 
kedua orang itu.
"Bangsat kau, Maling Tua! Cepat 
serahkan obat penawarnya! Kalau tidak, 
tubuhmu akan kucincang dan kujadikan 
santapan anjing hutan!" bentak orang 
tertua dari Lima Siluman Bukit Setan yang 
mengkhawatirkan keselamatan kawannya.
"He he he... kalian jangan bermimpi 
untuk mendapatkan obat penawar! Aku akan 
menghancurkan obat penawar ini!" sahut 
Setan Jari Seribu sambil menunjukkan 
botol sebesar ibu jari kaki orang dewasa 
yang digenggam tangan kanannya. 
Tiba-tiba Setan Jari Seribu membanting 
botol itu ke tanah dan menginjak-nya 
kuat-kuat.
Krakkk!
Seketika botol sebesar ibu jari itu 
hancur berantakan tak berbentuk lagi. 
Tiga Siluman Bukit Setan yang masih segar 
bugar menjadi kalap. Dengan penuh 
kemarahan meluap, serentak tiga 
laki-laki bertopeng itu melompat sambil 
mengayunkan senjata.
Ctarrr! Ctarrr!

Cambuk kulit binatang milik orang 
pertama Penguasa Bukit Setan dilecutkan 
ke udara. Suaranya meledak-ledak 
memekakkan telinga disertai asap tipis 
yang mengepul setiap kali terdengar 
lecutan keras!
Dua orang kawannya tidak mau 
ketinggalan. Pedang yang sejak tadi 
sudah diloloskan dari sarungnya 
berkelebat mancecar titik kelemahan 
lawan. Rupa-rupanya Tiga Siluman Bukit 
Setan ini benar-benar ingin membuktikan 
ucapannya untuk mencincang Setan Jari 
Seribu yang telah melukai dua orang 
saudara mereka dengan senjata beracua 
Sehingga kedua orang saudaranya tewas 
dengan tubuh menghitam. Mengerikan!
Tentu saja Setan Jari Seribu maklum 
kalau ancaman itu bukanlah sekadar 
gertak kosong belaka. Kakek sakti ini 
memang sudah sering mendengar kekejaman 
Kelima Siluman Bukit Setan yang tak 
pernah berkedip jika membunuh 
musuh-musuhnya.
Di tengah sibuknya Setan Jari Seribu 
menghindarkan senjata ketiga lawan, 
tiba-tiba terdengar jerit kematian 
merobek udara. 
"Aaa...!"

Berbarengan dengan teriakan itu, 
sesosok tubuh muncul dari mulut gua 
dengan berlumur darah! Berpuluh-puluh 
lubang besar kecil menghiasi sekujur 
tubuhnya.
"Hah...! Ke... kenapa kau?" seru
keempat orang yang melihat tubuh orang 
tertua dari Tiga Bajak Sungai Gandir 
berkelojotan dari mulut gua, serentak 
orang yang tengah bertarung menghentikan 
gerakan mereka masing-masing. Wajah 
keempat orang tokoh itu berubah pucat 
ketika akhirnya Banjaran terbunuh oleh 
binatang beracun penghuni gua. Rupanya 
tiga Bajak Sungai Gandir yang sudah tidak 
sabar, mencuri kesempatan masuk ke dalam 
gua ketika ketiga Siluman Bukit Setan 
bentrok dengan Setan Jari Seribu. Dan 
inilah akibatnya!
“Gila!" teriak orang tertua dari 
ketiga Lima Siluman Bukit Setan sambil 
melompat mundur dengan wajah pucat Jauhi 
tubuh mayat itu! Bau tubuhnya bisa 
membuat kalian keracunan!" teriaknya. 
memberi peringatan kepada kedua 
saudaranya.
Terlambat! Ketiga orang lainnya
terhuyung mundur dengan kedua kaki 
goyah! Wajah-wajah mereka teriihat pucat 
bagai tak dialiri darah!


"Huaaak...!"
Keempat tokoh persilatan golongan 
hitam itu memuntahkan isi perutnya yang 
terasa diaduk-aduk oleh bau busuk luar 
biasa. Napas mereka pun mulai mem-buru.
"Celaka! Kita keracunan!" teriak 
Setan Jari Seribu dengan wajah pucat 
ketika menyadari kalau dirinya telah 
menghirup racun maut itu. Wajahnya yang 
pucat mulai berubah kehijauan seperti 
halnya kulit mayat Banjaran. Beberapa 
saat kemudian, tubuh Setan Jari Seribu 
pun tewas. Seluruh kulit tubuhnya 
berubah kehijauan.
"Aaah...!" Tiga orang Siluman Bukit 
Setan sangat terkejut melihat perubahan 
kulit tubuh Setan Jari Seribu Mereka 
dicekam ketakutan. Tapi mereka agak 
keheranan ketika dirasakan dirinya
temyata tidak mengalami apa-apa.
"Hm... aku tahu sekarang. Kita tidak 
separah Setan Jari Seribu karena kita 
memakai topeng karet. Racun yang kita 
hirup lebih sedikit, jika dibandingkan 
dengan racun yang tersedot oleh Setan 
Jari Seribu!" ujar orang tertua di antara 
mereka dengan perasaan lega.
"Hiiih... ayo kita tinggalkan 
tempat celaka ini! Bisa-bisa kita jadi 
bangkai di sini!" ujar orang tertua dari

Siluman Bukit Setan lagi sambil 
berjalan.
“Tapi bagaimana dengan mayat dua 
teman kita?" tanya satunya sambil 
memandang mayat dua orang saudara mereka 
yang telah keracunan.
“Tinggalkan! Tubuh merekapun telah 
keracunan.” Jawab orang tertua sambil 
terus melangkah meninggalkan tempat itu.
***
LIMA


Angin pegunungan bersilir lembut 
menyejukkan tubuh. Pagi itu, seorang 
pemuda berjubah putih berdiri tegak 
menatap Puncak Gunung Kembaran yang 
menjulang di hadapannya. Pemuda tampan 
itu adalah Panji alias Pendekar Naga 
Putih yang baru saja tiba di Kaki Gunung 
Kembaran.
Tanpa mempedulikan keadaan di 
sekeliling, Panji terus menatap puncak 
gunung yang selalu diselimuti kabut 
tebal. Pemuda berjubah putih ini berdiri 
tegak di atas batu besar di tepi sungai

yang memisahkan gunung itu dengan dunia 
luar.
"Hm... inilah Gunung Kembaran yang 
dimaksud Raja Obat Menurut beliau, Bunga 
Abadi ada di gua sebelah Selatan lereng 
gunung. Mudah-mudahan kedatanganku 
belum terlambat! Karena menurut Raja 
Obat, sebentar lagi pasti banyak sekali 
tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di 
tempat ini," gumam Panji sambil terus 
mengamati puncak gunung berkabut tebal 
di kejauhan.
Setelah agak lama memperhatikan, 
pemuda tampan itu pun segera melintasi 
sungai di depannya. Tubuhnya bergerak 
lincah di antara tonjolan batu-batu yang 
banyak tersebar di permukaan sungai. Tak 
lama kemudian, Panji sudah berada di 
seberang sungai di Kaki Gunung Kembaran.
Panji mengedarkan pandangannya 
berkeliling kererimbunan hutan di 
hadapannya. Pemuda itu menarik napas 
lega melihat keadaan sekitar hutan itu 
tampak sunyi. Hanya desir angin dan 
gemercik air sungai yang terdengar 
bagaikan nyanyian alam yang menemani 
Panji.
Sesaat kemudian, Pendekar Naga 
Putih sudah melesat mendaki lereng 
gunung yang licin dan berbatu-batu.

Tanpa kesulitan sedikit pun pemuda 
berjubah putih itu berkelebat melintasi 
lereng gunung.
"Ah, ternyata tak begitu sulit untuk 
menemukan gua yang dimaksud Raja Obat!" 
gumam Panji ketika dari kejauhan sudah 
melihat mulut gua yang dicarinya.
Pemuda itu berdiri di tanah darar 
yang agak tinggi, sehingga dengan mudah 
dapat mengawasi sekitar daerah itu. Dahi 
Panji berkerut dalam ketika melihat 
puluhan orang berkerumun di mulut gua.
"Hm... sudah banyak juga 
tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di 
sini," desah Panji menghela napas berat 
Panji pun bergegas melesat ke tempat di 
mana para tokoh itu berkumpul, karena 
tidak ingin kedahuluan.
"Pendekar Naga Putih...!" beberapa 
orang tokoh yang berada di sekitar mulut 
gua berseru serentak ketika melihat 
kehadiran seorang pemuda berjubah putih.
"Wah, rupanya pendekar muda yang 
tersohor itu pun menghendaki Bunga Abadi 
itu!" gumam seorang laki-laki berkumis 
tebal menghela napas kecewa. Laki-laki 
itu agak putus asa karena dengan 
kehadiran Pendekar Naga Putih, akan 
memperkecil peluangnya untuk merebut 
Bunga Abadi itu.

"He he he... bakal ramai nih!" ujar 
laki-laki gemuk pendek sambil 
mengelus-elus dagu dengan mata 
berbinar-binar. Menurut perhitungannya 
sebentar lagi di sekitar gua akan ramai 
dikunjungi orang.
Tanpa mempedulikan sorot mata 
tokoh-tokoh persilatan yang mengarah 
kepadanya, Panji terus melangkah lesu ke 
arah pohon besar yang tidak terlalu jauh 
dari mulut gua. Dengan tenang pemuda itu 
menyandarkan badannya di bawah pohon. 
"Kakang Panji..!"
Tiba-tiba terdengar dua orang gadis 
cantik yang serempak memanggil pemuda 
itu. Setelah saling tatap, keduanya 
sama-sama tersentak kaget karena tidak 
saling kenal.
Kedua gadis cantik itu saling tatap 
penuh selidik untuk beberapa saat 
lamanya. Siapa lagi kedua orang gadis itu 
kalau bukan Ayuning dan Sundari atau yang 
lebih dikenal dengan julukan Dewi Tangan 
Merah. Rupa-rupanya mereka pun sudah 
berada di tempat itu.
Ayuning memasang muka cemberut 
setelah tahu ada gadis lain yang juga 
mengenai pemuda itu. Sesaat kemudian, 
gadis berpakaian biru itu pun bergegas 
mendekati Panji yang tengah mengawasi

dirinya. Sejenak Pendekar Naga Putih 
mengemtkan kening ketika mengenali gadis 
yang memanggilnya.
"Ayuning...!" desah Panji menyebut 
nama gadis cantik murid Dewa Tanpa 
Bayangan itu lirih.
Sesaat setelah menatap Ayuning, 
Sundari pun melangkah ke arah Panji. 
Wajah gadis cantik berpakaian serba 
merah itu tampak berseri gembira karena 
memang sudah lama tidak berjumpa dengan 
Pendekar Naga Putih.
"Ayuning, apakah gurumu menugaskan 
kau untuk mendapatkan Bunga Abadi? Atau 
kau datang dengan keingjnanmu sendiri?" 
tanya Panji begitu Ayuning telah berdiri 
di depannya.
Gadis cantik yang galak itu sama 
sekali tidak menjawab pertanyaan Panji. 
Ayuning hanya berdiri memandang wajah 
Panji sambil memperiihatkan senyum 
manisnya.
"Ah, kasihan. Rupanya gadis cantik 
ini sudah tuli hingga sama sekali tidak 
mendengar pertanyaanku!" goda Panji 
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kurang ajar kau, Kakang! Kau bilang 
aku sudah tuli!" bentak gadis itu sambil 
mencibir. Tangan kanannya bergerak 
menampar bahu pemuda itu pelan.

"Habis aku sebal dengan sikapmu. 
Ditanya malah melotot seperti orang 
hilang akal!" ujar Panji membiarkan 
bahunya ditampar Ayuning. Pemuda ini 
tahu, kalau pukulan itu hanyalah tingkah 
manja gadis yang telah merasa akrab 
dengan dirinya.
Panji yang tengah asyik berbicara 
dengan Ayuning, tidak memperhatikan lagi 
ketika seorang gadis cantik berpakaian
serba merah datang menghampirinya. Serta 
merta gadis itu menegur dengan suaranya 
yang bening dan merdu.
"Apa kabar, Kakang Panji?"
"Adik Sundari...!" seru Panji 
ketika mengenali gadis berpakaian merah 
yang menegumya. "Kau... kau juga 
kemari? Apakah kau bersama gurumu?"
Pendekar Naga Putih berseru gembira 
begitu melihat Sundari yang telah 
berdiri sambil tersenyum di sebelah 
Ayuning.
"Aku datang bersama guruku!" Kau 
sendiri dengan siapa?" Sundari balas 
bertanya sambil melirik ke arah Ayuning.
"Aku datang sendiri. Oh, ya, 
perkenalkan, ini Ayuning Temanku ini 
juga seperti aku, datang sendiri ke 
sini!" sahut Panji seraya menoleh ke arah 
Ayuning.

Kedua gadis itu sama-sama tersenyum 
begitu tahu kalau mereka orang 
segolongan. Kedua pendekar wanita itu 
cepat sekali akrab. Sepertinya mereka 
memang cocok satu sama lain. 
"Waaa...!"
Panji, Sundari dan Ayuning 
sama-sama menoleh ke arah mulut gua. Dari 
situlah teriakan ngeri tadi berasal. Dan 
tak lama kemudian tampak dua sosok tubuh 
yang berlumuran darah melangkah keluar 
dengan gerakan limbung. Mereka adatah 
adik seperguruan Banjaran yang bernasib 
sama dengan kakaknya.
"Hm... siapa mereka? Apakah mereka 
tidak tahu kalau gua itu penuh binatang 
berbisa?" gumam Panji ketika melihat 
kejadian yang mengerikan itu.
"Entahlah! Tapi yang jelas keduanya 
pasti dari golongan hitam. Mereka nekat 
masuk gua karena takut keduluan orang 
lain," jawab Sundari sambil menatap 
orang yang tengah berkelojotan meregang 
nyawa itu.
Gadis berpakaian serba merah 
bergidik menyaksikan kedua orang itu 
keluar dari mulut gua dalam keadaan 
mengerikan.
"Man kita lihat lebih dekat!" ajak 
Ayuning kepada Panji dan Sundari.

Setelah berkata demikian, gadis 
berpakaian biru muda itu sudah 
melangkahkan kaki mendekati mulut gua.
"Ayuning! Jangan!" seru Sundari 
sambil melompat dan Iangsung menangkap 
pergelangan tangan gadis itu. 
"Mayat itu beracun. Kita tidak boleh 
mendekat kalau tidak ingin menghirup 
racun yang menyebar melalui uap mereka. 
Bisa-bisa kau akan mengalami nasib yang 
sama seperti mereka kalau kau menghirup 
racun itu!"
"Aaah...!" Ayuning terkejut 
mendengar keterangan Sundari. Wajahnya 
berubah pucat seketika. “Terima kasih
Sundari. Untunglah kau ingatkan aku. 
Kalau tidak, mungkin aku bisa seperti 
mereka."
"Hm... lalu mengapa para tokoh 
lainnya belum juga bergerak? Apakah 
mereka juga khawatir dengan 
binatang-binatang berbisa itu?" tanya 
Panji kepada Sundari. Pendekar Naga 
Putih berharap kalau gadis berpakaian 
serba merah yang telah banyak makan asam 
garam dunia persilatan itu dapat 
menjelaskannya.
"Entahlah! Sepertinya mereka saling 
menunggu!"
jawab Sundari.

"Hm... kalau begitu biarlah aku coba 
masuk!" ucap Panji yang kontan membuat 
kedua gadis itu serentak memandangnya 
pucat!
"Kakang, begitu pentingkah Bunga 
Abadi untukmu?" desak Sundari yang tidak 
tahu persoalan yang dihadapi pemuda itu.
Sedangkan Ayuning yang lebih tahu 
daripada Sundari, hanya memandang pemuda 
itu penuh kecemasan. (Baca serial 
Pendekar Naga Putih dalam episode: 
"Mencari Jejak Pembunuh").
"Sangat penting sekali, Adik 
Sundari! Nantilah kau akan kuceritakan 
karena terlalu panjang kalau kuceritakan 
sekarang. Yang jelas saat ini aku sedang 
mengidap penyakit yang hanya dapat 
disembuhkan dengan Bunga Abadi," jawab 
Panji singkat tapi jelas.
"Ahhh... kalau begitu kau harus 
hati-hati, Kakang! Di dalam gua itu 
banyak binatang berbisa!" ucap Sundari 
mengjngatkan.
“Terima kasih, Adik Sundari. Aku 
sudah dibekali sebutir obat yang dapat 
membuat semua jenis binatang berbisa tak 
akan berani menggangguku Tapi sayang, 
obat ini hanya sebutir. Jadi aku tidak 
bisa mengajak kalian berdua," ucap Panji 
agak menyesal.

“Tidak apa, Kakang! Asal kau kembali 
dengan selamat, itu sudah lebih dari 
cukup bagj kami! Bukankah begitu
Sundari?" kata Ayuning sambil 
memalingkan wajahnya ke arah Dewi Tangan 
Merah yang mengangguk sambil tersenyum 
getir.
“Tentu, Ayuning'" sahut Sundari 
sambil menyentuh bahu gadis berbaju biru
muda yang juga tersenyum.
Meskipun tersenyum, namun hati 
kedua gadis itu sebenarnya cemas luar 
biasa.
"Nah, aku pergi dulu, jagalah diri
kalian baik-baik!" ujar Panji seraya 
melangkahkan kakinya kearah mulut gua.
"Hati-hati Kakang!" seru keduanya 
serempak. 
***
Panji melangkah perlahan mendekati 
mulut gua. Obat penangkal racun 
pemberian Raja Obat ditelannya ketika ia 
mendekati mulut gua. Tokoh-tokoh 
persilatan yang berkerumun di mulut gua 
segera memberi Jalan kepada Pendekar 
Naga Putih. Tokoh-tokoh itu kagum pada 
keberanian Panji.

"Hm... Pendekar Naga Putih. Rupanya 
pendekar tersohor ini pun sudah tak sabar 
mendapatkan Bunga Abadi itu! Mungkinkah 
pemuda lihai ini berhasil?" ujar seorang 
laki-laki tua berusia sekitar enam puluh 
lima tahun dan berambut putih 
riap-riapan. Orang itu tidak lain adalah 
Tongkat Pencabut Nyawa yang rupanya juga 
telah berada di tempat itu.
"Sulit untuk memastikannya! Biarpun 
pendekar muda itu memiliki kepandaian 
setinggi langit belum tentu dia dapat 
lolos dari ancaman binatang-binatang 
berbisa yang sangat ganas itu," 
laki-laki di sebelahnya menyahuti. Dia 
tidak lain adalah Ki Bagasti, ikut 
mengawasi Pendekar Naga Putih yang 
sedang mendekati mulut gua.
Kira-kira dua tombak dari mulut gua, 
Panji menarik napasnya dalam-dalam. 
Sesaat kemudian, selapis kabut bersinar 
putih keperakan mulai menyelimuti 
sekujur tubuh Pendekar Naga Putih.
"Ck ck ck... hebat! Itu pasti ilmu 
Tenaga Sakti . Gerhana Bulan' yang 
terkenal!" seru nenek berpakaian serba 
hijau yang dikawal empat wanita cantik 
yang sama-sama berpakaian serba hijau. 
Kaki Panji mulai melangkahkan memasuki 
mulut gua yang sempit dan gelap.
Untunglah seluruh tubuhnya mengeluarkan 
sinar putih keperakan sehingga walaupun 
remang-remang cahaya itu cukup menerangi 
jalannya. Baru saja lima tombak pemuda 
itu melangkah, tiba-tiba terdengar suara 
bergemuruh di sekeliling gua.
Sambil terus melangkah, Pendekar 
Naga Putih menyilangkan kedua tangannya 
di depan dada. Panji berjaga-jaga atas 
segala kemungkinan. Namun sampai sejauh 
ini pemuda itu masih belum menemukan
sesuatu yang membahayakan jiwanya. Panji 
pun terus menelusuri lorong gua dengan 
hati-hati dan waspada.
Cittt! Cittt!
Seluruh otot di tubuh Panji menegang 
ketika mendengar suara mencicit yang 
bergemuruh disertai suara kepakan sayap 
ratusan kelelawar beracun. Sesaat tu-
buhnya gemetar dan berkeringat ketika 
tenaga saktinya bergolak dari pusamya.
"Ingat, Cucuku! Jangan sekali-kali 
kau lepaskan pukulan selagi berada di 
dalam gua! Yakinkan dirimu. Bila kau
sudah menelan obatku niscaya tak seekor 
pun binatang beracun yang akan 
mengganggumu!" kata-kata Raja Obat 
ketika melepas kepergiannya kembali 
terngiang-ngiang di telinga Pendekar 
Naga Putih. Panji berusaha menekan

tenaga saktinya agar tidak bergolak. 
Ditariknya napas dalam-dalam untuk 
menenangkan pikirannya. Dan 
periahan-lahan tenaga liar itu pun 
mereda dengan sendirinya.
Sambil terus berusaha untuk 
meyakini kalau kelelawar-kelelawar 
beracun itu tak akan menyerangnya, 
Pendekar Naga Putih terus menelusuri 
lorong gua. Dan apa yang dikatakan Raja 
Obat memang menjadi kenyataan. Tak 
seekor pun dari ratusan kelelawar 
beracun yang menyerang Panji. Malah 
sebaliknya, binatang-binatang malam
yang berbisa itu berusaha 
menghindarinya. Seobh-olah ada sesuatu 
yang ditakuti penghuni gua itu dari dalam 
diri Panji.
Setelah menyaksikan sendiri 
keampuhan obat pemberian Raja Obat, 
barulah Panji dapat sedikit menarik 
napas lega. Kini kakinya dilangkahkan 
dengan mantap. Semakin jauh Pendekar 
Naga Putih melangkah, gua itu pun tampak 
semakin lebar dan bertambah terang.
Setelah beberapa saat, akhirnya 
Pendekar Naga Putih tiba di sebuah ruang 
lebar bercabang tujuh.
"Hm... menurut Raja Obat aku harus 
memilih lorong ketiga dari sebelah

kiri," gumam Panji teringat pada ucapan 
kakek penolongnya.
Baru saja Panji hendak mengangkat 
kakinya, tiba-tiba terdengar desisan 
nyaring yang disertai munculnya raturan 
ular dari berbagai jenis. Ular-ular 
beracun itu merayap mendekatinya. Mata 
binatang-binatang melata itu 
mengeluarkan cahaya kekuningan, 
sehingga suasana gua menjadi terang 
benderang.
Ssszzz! Ssszzz!
Raturan ular itu mendesis seraya 
menjulur-julurkan lidahnya yang merah ke 
arah pemuda itu. Namun beberapa tombak 
sebelum menyentuh tubuh Panji, mendadak 
ular-ular itu berbalik dan langsung 
menghilang di lubang-lubang kecil yang 
banyak terdapat di dalam gua itu. 
Seketika suasana gua pun menjadi 
remang-remang kembali.
Panji menarik napas lega ketika 
melihat ular-ular beracun telah merayap 
pergi. Untunglah Panji bersikap tenang. 
Kalau tidak, tentu tenaga liarnya akan 
kembali bergolak.
Begitu ular-ular itu pergi, Panji 
pun bergegas memasuki lorong ketiga dari 
sebelah kirinya. Tapi hampir saja isi 
perut pemuda itu tumpah keluar ketika

mencium bau amis luar biasa yang keluar 
dari tubuh-tubuh ular itu. Dan ketika 
melongok ke dalam, tampaklah seberkas 
sinar warna-warni.
"Ah, itulah pancaran Bunga Abadi 
seperti yang dikatakan Raja Obat!" gumam 
Panji dengan wajah berseri-seri. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, pemuda itu 
pun bergegas melesat ke dalam.
Grrraurh!
Baru saja Panji menjejakkan kakinya 
memasuki lorong, terdengar raungan yang 
menggetarkan langit-langit gua. Pemuda 
itu terbelalak ketika tiba-tiba di 
hadapannya terhampar lembah yang sangat 
indah.
"Hahhh!"
Panji berseru tertahan dengan wajah 
pucat ketika melihat apa yang disaksikan 
di hadapannya. Pemuda itu 
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak 
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di tengah-tengah lembah itu 
terdapat tumbuhan yang sedang berbunga. 
Dari setiap kelopak bunga berjumlah 
delapan helai itu memancarkan cahaya 
wama-warni.
Bukan bunga itu saja yang membuat 
wajah Panji terpana! Ada sesuatu yang

lain membuat Pendekar Naga Putih 
membelalak dengan mulut ternganga!
"Benarkah... itu... seekor 
naga...!?" desis pemuda itu dengan suara 
gemetar karena terkejut dan tegang.
Sesungguhnya apa yang disaksikan 
Panji saat ini memang benar-benar sebuah 
kenyataan. Naga raksasa yang berwama 
putih keperakan tampak tengah melingkari 
Bunga Abadi yang dicarinya. Naga itu 
sepertinya adalah penjaga Bunga Abadi 
itu. Dan raungan naga itulah yang tadi 
didengar Panji.
"Ah, bagaimana mungkin!? Mengapa 
Raja Obat tidak menceritakan kalau Bunga 
Abadi dijaga naga raksasa? Apakah beliau 
lupa?" pemuda itu tak habis mengerti.
Pendekar Naga Putih yang sudah 
berada di dalam gua itu kembali melangkah 
mundur. Rupanya pemuda itu masih 
berpikir dua kali untuk mengambil bunga 
yang dijaga naga raksasa yang mengerikan 
itu. Baru suaranya saja sudah demikian 
menggetarkan apalagi tenaganya, pikir 
Panji ragu.
"Hm... kalau aku tidak mendapat 
Bunga Abadi berarti aku harus menunggu 
kematian. Tapi kalau nekat mengambil 
bunga itu pun sama saja. Kedua-duanya 
sama menantang maut!" Berpikir demikian,

Panji segera mencabut Pedang Sinar 
Rembulan yang selalu terselip di 
pinggangnya. Rupa-rupanya pemuda itu 
memilih kematian yang lebih terhormat! 
Kini periahan-lahan dihampirinya naga 
raksasa yang tampaknya tengah tertidur 
nyenyak
Graaaurh!
"Aaah...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar 
hebat ketika naga raksasa penjaga Bunga 
Abadi kembali meraung dahsyat Namun 
alangkah terkejutnya hati pemuda itu 
ketika tiba-tiba saja tenaga liamya 
bergolak semakin kuat hingga raungan 
ular naga raksasa tak lagi 
mengganggunya. Diam-diam Panji merasa 
bersyukur memiliki tenaga liar yang 
mengeram di dalam tubuhnya.
"Hm... apakah tenaga liarku sanggup 
menghadapi naga raksasa itu?" pikir 
Panji masih meragukan kekuatan yang 
tersembunyi dalam tubuhnya.
Tiba-tiba sang Naga terjaga dari 
tidumya. Sepasang bola matanya yang 
berwarna merah menyala menatap Panji 
marah. Rupanya kedatangan Pendekar Naga 
Putih telah tercium olehnya. Disertai 
raungan hebat, ular naga raksasa 
mengibaskan ekomya ke arah Panji.

Wukkk!
Blarrr!
"Aihhh...!"
Panji berseru tertahan sambil 
melompat mundur menghindari sabetan ekor 
makhluk raksasa itu. Terdengar suara 
benturan kerasa ketika ekor naga 
meng-hantam mulut gua hingga batu-batu 
berguguran menutupinya. Dinding dan atap 
gua pun berguguran akibat getaran suara 
itu.
Tenaga 'Inti Gerhana Bulan' yang 
mengeram dalam tubuh Panji bergolak 
semakin kuat Seolah-olah tenaga liar itu 
tahu kalau kali ini ditantang menghadapi 
kekuatan raksasa yang sukar diukur. 
Tentu saja akibatnya pun mulai terasa 
oleh pemuda itu. Tangan dan kakinya mulai 
bergerak-gerak tak terkendali.
"Kreeeaaa...!"
Mulut Panji mengeluarkan raungan 
hebat Pedangnya bergulung-gulung 
melindungi tubuhnya hingga menimbulkan 
deruan angin dingin. Sesaat kemudian, 
pemuda itu meluncur ke arah naga raksasa 
sambil mengayunkan Pedang Sinar 
Rembulannya.
***
ENAM

Wukkk!
Ayunan pedang Panji menimbulkan 
suara mengaung seraya menebarkan hawa 
dingin menusuk tulang. Pedang Sinar 
Rembulan cepat menghantam tubuh naga 
raksasa.
Trakkk!
Kraghhh!
"Aaah...!"
Mata pedang Panji telak menghantam 
tubuh naga raksasa. Tapi kulitnya yang 
kenyal dan alot tidak tergores sedikit 
pun. Bahkan sebaliknya, tubuh Panji 
terpelanting beberapa tombak ke 
belakang! Setelah bersalto beberapa kali 
di udara, Panji mendaratkan kakinya 
sepuluh tombak dari makhluk raksasa itu.
Naga raksasa meraung pendek Rupanya 
hantaman mata pedang Panji cukup 
menyakitkan dirinya. Saat itu juga, 
ekornya dikibaskan kembali ke arah 
Pendekar Naga Putih.
Wuttt!
Sambaran angin berbau amis yang 
memuakkan menyertai tibanya kibasan ekor 
naga.

"Hmh!"
Kali ini Panji tidak berusaha 
mengelak. Sambaran ekor naga raksasa 
disambutnya dengan dorongan sepasang 
telapak tangan yang sudah dialiri 
seluruh kekuatan tenaga dalamnya. 
Wusss!
Angin dingin menderu-deru menyertai 
dorongan sepasang telapak tangan pemuda 
itu. Dan.... 
Bresss! 
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat pertemuan dua 
gelombang tenaga dahsyat itu! Bumi di 
sekitar lembah bagai digoyang gempa 
hebat Dinding-dinding batu di sekeliling 
lembah berguguran akibat getaran 
pertemuan dua tenaga raksasa itu.
Ekor makhluk raksasa membalik 
ketika bertemu dengan serangkum angin 
kuat yang meluncur dari telapak tangan 
Panji Sang Naga meraungraung karena rasa 
nyeri yang mendera ekornya. Sepasang ma-
tanya semakin merah menyala menyiratkan 
kegusaran. Tubuh Panji sendiri terpental 
lima tombak ke belakang. Dan belum lagi 
pemuda itu memperbaiki posisi 
kuda-kudanya, tiba-tiba sabetan ekor 
penunggu Bunga Abadi sudah meluncur 
tiba. Dan....

Wuuut!
Derrr!
"Hukh!"
Sabetan ekor naga menyebabkan tubuh 
Panji meluncur cepat Daya luncur itu baru
berhenti ketika membentur dinding batu 
cadas.
"Gila! Tenaga naga raksasa itu 
benar-benar luar biasa!" gumam Panji 
sambil menyeka darah yang mengalir 
disela-sela bibir dengan ujung bajunya. 
"Aku harus mencari titik kelemahannya."
Kini Panji tidak berani lagi 
menyerang membabi buta. Pemuda sakti itu 
hanya berani menunggu serang an binatang 
raksasa sambil mengamati titik kelemahan 
nya.
Sang Naga kembali meraung-raung 
keras. Suaranya terpantul ke seluruh 
dinding gua. Sesaat kemudian, kepala 
naga raksasa pun melesat dengan 
kecepatan tinggi.
Derrr!
Bumi bergoyang ketika moncong 
binatang itu menghantam tanah tempat 
Pendekar Naga Putih berpijak. Untunglah 
saat itu Panji sempat melenting 
kesamping. Kalau tidak, tubuhnya pasti 
sudah lumat tertimpa kepala naga yang 
sebesar gajah itu.


Pendekar Naga Putih berdiri tegak 
sambil melintangkan Pedang Sinar 
Rembulan di depan dada. Sorot matanya 
menatap tajam, mengamati sekujur kepak 
naga raksasa. Tiba-tiba pemuda itu 
menyipitkan kedua matanya melihat 
seberkas sinar keemasan yang me mancar di 
antara kedua bola mata binatang itu.
"Hm.... Aku harus mencecar matanya! 
Siapa tahu sinar itu adalah titik 
kelemahannya," gumam Panj sambil 
memusatkan perhatiannya ke arah sinar 
keemasan yang terpancar di antar kedua 
mata penuh Bunga Abadi.
"Heaaa...!"
Panji berteriak seraya melambung ke 
udara dan langsung meluncur dengan jurus 
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Wungngng! Wungngng!
Tubuh Panji meluncur sambil 
memutar-mutar Pedang Sinar Rembulan 
melindungi tubuhnya.
Sang Naga meraung gusar sambil 
memukulkan ekornya memapak luncuran 
tubuh pemuda itu.
Bukkk!
"Aaaurgh!"
Kibasan ekor naga tepat menghantam 
tubuh Panji. Namun tenaga bar yang selama 
ini mengeram dalam tubuh Pendekar Naga

Putih kembali menunjukkan 
kedahsyatannya. Ekor sang Naga terpental 
balik disertai dengan raungan kesakitan 
yang menggelegar. Tenaga alam yang 
berasal dari Inti Tenaga Gerhana Bulan 
temyata mampu membendung tenaga pukulan 
ekor makhluk raksasa itu.
Meskipun tubuh Panji teriempar 
cukup jauh, namun hantaman ekor ular 
raksasa sama sekali tidak membuatnya 
terluka. Setelah bersalto beberapa kali, 
tubuh pemuda itu kembali meluncur ke arah 
kepala sang Naga.
Wingngng!
Pedang Sinar Rembulan kembali 
membentuk lingkaran hingga menimbulkan 
suara mengaung bagaikan ratusan ekor 
lebah yang marah. Ujung pedangnya 
meluncur menuju bulatan yang memancarkan 
sinar keemasan tepat di tengah kedua bola 
mata penunggu Bunga Abadi. 
Grottt! 
"Graurrri"
Ujung pedang Panji menancap telak 
pada sasaran. Dan seketika darah 
menyembur deras dari luka di tempat yang 
temyata merupakan titik kelemahan ular 
raksasa.
Rasa sakit yang luar biasa 
menyebabkan sang Naga mengamuk dahsyat!

Debu dan batu-batu kerilkil beterbangan 
hingga membuat suasana di sekitar tempat 
itu menjadi gelap!
Panji bergegas menyingkir dan 
bersandar pada dinding gua. Beberapa 
saat kemudian di tengah-tengah kepulan 
debu yang semakin menebal terdengar 
ledakan dahsyat yang mengguncangkan 
bumi! Ledakan yang disertai dengan 
pancaran sinar yang menyilaukan!
Beberapa saat setelah ledakan, 
kepulan debu yang membumbung pun mulai 
menipis. Bergegas Panji menurunkan 
tangan yang semula digunakan untuk 
melindungi matanya dari sorotan sinar 
yang menyilaukan itu.
"Eh, ke mana perginya naga raksasa 
itu?" desah Panji sambil merayapi selumh
pelosok gua.
Ketika kepulan debu pun sudah 
menipis, pemuda itu menjadi keheranan 
ketika tidak menemukan naga raksasa. 
Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh 
pelosok gua, periahan-lahan 
dihampirinya pohon Bunga Abadi. Panji 
terpaksa menyipitkan matanya ketika
semakin dekat dengan Bunga Abadi yang 
memancarkan sinar warna-warni. 
"Eh!?"

Pendekar Naga Putih menahan 
langkahnya ketika di samping pohon Bunga 
Abadi tergeletak sebatang pedang Pemuda 
itu menutupi sorot matanya dengan 
punggung tangan karena silau oleh sinar 
keemasan yang berpendar dari pedang itu.
Untuk beberapa saat lamanya Panji 
hanya berdiri terpaku memandang pedang 
yang satu setengah kali lebih besar dari 
Pedang Sinar Rembulannya. 
Perlahan-lahan tangannya diulurkan 
meraih pedang itu. Keheranan di wajah 
Pendekar Naga Putih semakin jelas ketika 
sinar keemasan mendadak lenyap saat 
pedang telah digenggamnya.
Panji meneliti pedang yang 
berukuran lebih besar dan lebih berat 
dari pedang biasa dan mempunyai sarung 
ajaib yang mirip sisik ular naga tadi.
Namun sampai sedemikian jauh 
memperhatikan, Pendekar Naga Putih sama 
sekali tidak berniat untuk mengeluarkan 
pedang itu dari sarungnya.
"Hm... biarlah pedang ini 
kuserahkan pada Raja Obat, mudah-mudahan 
dia tahu riwayat pedang ini," Berpikir 
demikian, pemuda itu bergegas 
menyampirkan pedang itu di punggungnya.

Pada saat tangannya terjulur hendak 
memetik Bunga Abadi, Panji teringat 
kembali nasihat Raja Obat 
"Ingat, Cucuku! Kau harus memetik 
Bunga Abadi tanpa merusak kelopak 
ataupun daun-daun pohonnya. Kalau kau 
sampai merusaknya, kau pasti akan 
celaka! Ketahuilah, sesungguhnya pohon 
maupun Bunga Abadi adalah racun yang 
tidak ada obatnya. Apabila kau telah 
menemukan Bunga Abadi, kau harus 
memetiknya tanpa perlu menyentuhnya. 
Pergunakanlah pedang dan seluruh tenaga 
dalammu untuk menebas tangkainya. Dan 
kau pun harus membungkus bunga itu 
sebelum menyentuh permukaan tanah! Ingat 
itu, Cucuku!" demikian pesan Raja Obat 
sebelum Panji meninggalkan Bukit Gua 
Harimau mencari Bunga Abadi.
Teringat pesan Raja Obat, Panji 
tidak jadi memetik dengan tangan. 
Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya 
ketika teringat kehebatan racun yang 
terkandung dalam Bunga Abadi itu. 
Perlahan-lahan pemuda itu mundur 
beberapa langkah.
Dengan memusatkan seluruh 
pikirannya, Panji segera mencabut Pedang 
Sinar Rembulan dari sarungnya. Sesaat 
kemudian....

"Haittt..!"
Wuttt!
Tasss!
Bunga Abadi melambung beberapa 
tombak di atas permukaan tanah. Pada saat 
bersamaan, tubuh Panji pun melompat 
sambil membuka kain pengikat kepalanya. 
Dengan gerakan yang indah, kedua tangan 
pemuda itu melayang cepat, menangkap 
Bunga Abadi dengan kain pengikat 
kepalanya.
Tappp!
Sepasang kaki Pendekar Naga Putih 
mendarat ringan di atas permukaan tanah. 
"Fuhhh...!"
Sambil menghela napas lega, 
Pendekar Naga Putih mengusap keringat 
yang membasahi keningnya.
"Sungguh berbahaya...!" gumamnya 
sambil menggantungkan bunga yang telah 
terbungkus rapi di pinggangnya. Setelah 
itu, dia pun bergegas meninggalkan 
tempat itu.
***
Puluhan pasang mata membelalak 
takjub melihat Pendekar Naga Putih yang 
masih segar bugar melangkah keluar dari 
mulut gua.

" Apakah pemuda itu berhasil 
mendapatkan Bunga Abadi?" gumam 
laki-laki gendut berkepala botak 
Sepasang matanya liar menatap sekujur 
tubuh Panji.
"Hebat! Sepertinya anak muda itu 
memang telah mendapatkan Bunga Abadi 
itu, Adi Jiwana. Kau lihat buntalan yang 
tergantung di pinggang kirinya?" ujar Ki 
Bagasti menahan air liur yang hampir 
menitik. Diam-diam dia pun menginginkan 
Bunga Abadi yang tergantung di pinggang 
Pendekar Naga Putih.
Panji berdiri tegak dengan wajah 
tegang ketika puluhan tokoh persilatan 
bergerak mengepungnya.
"Hm... mau apa kalian?" geram Panji 
melihat ketamakan tokoh-tokoh 
persilatan yang mengepungnya.
"He he he... tentu saja aku 
menginginkan Bunga Abadi yang tergantung 
di pinggangmu, Pendekar Naga Putih!" 
sahut seorang nenek tua berpakaian serba 
hijau yang diapit empat muridnya.
"Betul! Serahkan Bunga Abadi kepada 
kami! Dan kami berjanji tidak akan 
mengganggumu asal kau serahkan Bunga 
Abadi itu!" ancam laki-laki gendut 
berkepala botak menyeringai lebar

Para pengepung Pendekar Naga Putih 
semakin merapat Dari mulut mereka 
terdengar tuntutan-tuntutan yang sama. 
Bahkan ada beberapa di antaranya yang 
sudah bersiap-siap bertempur.
Sepasang mata pendekar muda itu 
berkilat menyiratkan kegusaran hatinya. 
Panji benar-benar muak dengan sikap 
tokoh-tokoh persilatan itu.
"Hm... baiklah! Kalau kalian 
menginginkan Bunga Abadi ini, ayo, 
rebutlah dari tanganku!" ujar Panji sam-
bil menghunus Pedang Sinar Rembulan. 
Sringngng!
Seberkas sinar putih keperakan 
berkilatan dari mata pedang yang 
tergenggam di tangan pemuda perkasa itu. 
Beberapa orang yang berdekatan dengan 
Panji terpaksa mundur. Mata mereka tidak 
tahan melihat sinar menyilaukan yang 
dipancarkan Pedang Sinar Rembulan.
"Kakang, kami datang 
membantumu...!" seru suara merdu yang 
dibarengi berkelebatnya sesosok tubuh 
ramping berpakaian biru muda. Sosok 
ramping itu bersalto melewati kepala 
pengepung Panji, lalu mendarat dua 
tombak di sebelahnya.
“Terima kasih, Ayuning. Tapi, biar 
kuhadapi mereka sendiri. Aku tidak ingin

kau terseret dalam masalah ini!" sahut 
Panji khawatir. Pemuda itu merasa lega 
karena Ayuning benar-benar tidak 
menginginkan Bunga Abadi. Namun tetap 
saja merasa khawatir akan keselamatan 
sahabatnya. Lawan-lawan yang bakal 
mereka hadapi kali ini adalah 
tokoh-tokoh berilmu tinggi yang 
mempunyai ilmu-ilmu aneh yang sukar 
dicari tandingannya.
"Tidak, Kakang! Biarpun kau 
melarang, aku tetap membantumu. Aku 
sebal melihat tingkah mereka yang 
tamak!" sahut Ayuning seraya menghunus 
pedangnya.
Sementara kedua muda-mudi berdebat, 
sesosok bayangan merah melayang dan 
mendaratkan kakinya di antara Panji dan 
Ayuning.
"Aku pun akan membantumu, Kakang!" 
ujar bayangan merah yang tidak lain 
adalah Sundari atau lebih dikenal 
sebagai Dewi Tangan Merah.
Belum lagi Panji sempat menyahuti 
ucapan Dewi Tanga Merah, sesosok 
bayangan hitam berkelebat kearah mereka.
"Sundari! Apa kau ingin melawan 
gurumu?" bentak seorang nenek berpakaian 
serba hitam marah. Sambil berkata

demikian, nenek itu menarik tangan gadis 
itu.
"Tidak, Guru! Bukankah Guru selalu 
berkata kalau kita harus membela 
kebenaran dan keadilan. Dan bukankah 
tindakan orang-orang tamak ini telah 
menyimpang dari kebenaran dan keadilan? 
Jawablah Guru?" sahut Sundari membantah 
perintah gurunya.
“Tapi kali ini lain, Sundari! 
Orang-orang ini sangat mendambakan Bunga 
Abadi itu Mereka rela mempertaruhkan 
nyawa asal dapat memiliki Bunga Abadi!" 
sahut gurunya berang.
"Jadi Guru pun menginginkan Bunga 
Abadi juga?" tanya Sundari mendesak 
gurunya.
"Ya! Dan itu kewajibanmu untuk 
membela kepentinganku!" bentak nenek 
berpakaian serba hitam semakin berang 
melihat kebandelan muridnya.
Sundari memandang wajah gurunya 
dengan muka pucat Sungguh tak disangka 
kalau gurunya setamak tokoh-tokoh 
persilatan yang mengepung Panji. 
Seketika pikiran gadis itu terpecah 
antara membela kepentingan gurunya dan 
membela keadilan. Beberapa saat lamanya 
dia mengeluh dan terisak, lalu berlari 
meninggalkan tempat itu. Alangkah

terpukulnya hati gadis itu melihat sikap 
gurunya.
"Sundari, tunggu...!" teriak nenek 
berpakaian serba hitam seraya menyusul 
muridnya.
Sepeninggal Sundari dan gurunya, 
Panji kembali mengalihkan pandangan ke 
arah puluhan tokoh persilatan yang masih 
mengepungnya.
"Hm..., Pendekar Naga Putih! 
Rupanya kau lebih sayang Bunga Abadi itu 
ketimbang nyawamu!" bentak laki-laki 
gemuk berkepala botak sambil melangkah 
maju. Tampaknya laki-laki ini sudah 
tidak sabar ingin merebut Bunga Abadi. 
Tangan kanannya bergerak mencabut 
senjata andalannya yang berbentuk 
tongkat berantai kembar tiga.
Wungngng! Wungngng!
Terdengar suara berdengung terasa 
ketika tongkat kembar tiga diputar-putar 
di atas kepala laki-laki gendut 
berkepala botak.
“Tunggu, Datuk Timur! Bukan kau saja 
yang berkepentingan dengan Bunga Abadi 
itu?" bentak nenek berpakaian serba 
hijau sambil melangkah maju. Sehelai 
selendang hijau di tangannya meliuk-liuk 
ditiup angin


"Hm..., Nyi Ayu Kedasih pun rupanya 
tergiur dengan Bunga Abadi? Kalau 
begitu, mari kita berlomba 
mendapatkannya!" sahut laki-laki gendut 
berkepala botak yang ternyata seorang 
datuk sesat dari wilayah Timur.
"Serahkan Bunga Abadi itu!" bentak 
si berkepala botak seraya menerjang 
Panji sambil memutar-mutar senjatanya. 
Suara tongkat berantai kembar tiga 
mendengung memekakkan telinga.
Trangngng!
"Uhhh...!
Bunga api berpijar ketika Pedang 
Sinar Rembulan beradu dengan senjata 
laki-laki gendut berkepala botak. Tubuh 
Datuk Timur terjajar mundur beberapa 
langkah kebelakang sambil mengeluarkan 
suara memekik tertahan.
"Bangsat! Pantas kau sombong, 
Pendekar Naga Putih! Rupanya kau 
memiliki kepandaian tinggi! Tapi jangan 
kira aku gentar menghadapimu. Nah, 
sambutlah seranganku yang kedua ini!" 
ucap Datuk Timur. Tubuh gendut itu 
kembali meturuk dengan disertai sambaran 
tiga tongkat berantai yang selalu 
mencecar ke manapun dia bergerak
Panji tidak takabur. Lawan 
tandingnya tidak dapat dipandang remeh.

Sesaat kemudian, kedua tokoh persilatan 
itu kembali bertarung dengan sengitnya! 
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang 
memekakkan telinga.
Ctarrr! Ctarrr!
Sehelai selendang berwama hijau 
menyambar-nyambar di tengah 
pertarungan. Suaranya meledak-ledak dan 
mematuk-matuk, mengancam tubuh Panji 
sehingga pemuda itu terpaksa melesat ke 
belakang. Selendang maut itu temyata 
milik Nyi Ayu Kedasih, yang juga berjuluk 
Dewi Selendang Maut.
Prattt!
Pendekar Naga Putih kewalahan 
menghadapi setiap serangan tokoh sakti 
itu. Walau kedua orang itu tak ada ikatan 
perguruan, tapi mereka menyerang Panji 
didorong oleh kepentingan mereka 
masing-masing
Nyi Ayu Kedasih terdesak mundur 
akibat tangkisan tangan pemuda itu 
terlalu kuat untuk selendang andalannya. 
Nenek itu sendiri keteteran melindungi 
tubuhnya dengan selendang.
"Huh temyata nama besar Pendekar 
Naga Putih ini betul-betul bukan omong 
kosong belaka saja!" maki Dewi Selendang 
Maut gusar ketika merasakan tangannya

kesemutan akibat tangkisan tangan pemuda 
itu.
Panji yang sadar lawannya bukanlah 
orang-orang sembarangan, bersiap-siap 
mengeluarkan tenaga dalamnya, lalu 
menghirup napas dalam-dalam. Sesaat 
kemudian, sinar putih keperakan pun 
mulai menyelimuti dirinya.
***
TUJUH


“Tenaga Sakti Gerhana Bulan...!" 
seru Datuk Timur dan Nyi Ayu Kedasih 
berbarengan. Kedua tokoh sesat yang 
sudah pernah mendengar kedahsyatan te-
naga sakti itu melangkah mundur sambil 
mempersiapkan jurus-jurus andalannya.
Tongkat Pencabut Nyawa, Ki Bagasti 
dan tokoh-tokoh lainnya tak mau 
ketinggalan. Mereka semakin merapatkan 
kepungan seraya mencabut senjata 
masing-masing.
Meskipun di antara pengepung Panji 
terdapat beberapa tokoh golongan putih, 
namun Bunga Abadi yang tiada duanya itu

membuat mereka lupa pada kebenaran yang 
selama ini mereka junjung tinggi.
"Heaaat...!"
Datuk Timur yang berkepala botak dan 
bertubuh gendut berteriak lantang. Tokoh 
sesat itu melompat sambil mengayunkan 
senjatanya ke leher Panji.
Menghadapi puluhan tokoh sakti yang 
tidak mungkin dihadapinya sekaligus, 
Panji berusaha mencari jalan keluar 
untuk meloloskan diri dari kepungan 
mereka. Pedang Sinar Rembulan diputamya 
cepat hingga menciptakan seguhingan 
sinar yang melindungi tubuh Pendekar 
Naga Putih. Begitu sambaran tongkat 
berujung kembar tiga tiba mendekat. 
Maka....
"Yeaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Panji 
menyambut serangan Datuk Timur yang juga 
dijuluki Tongkat Berantai.
Wukkk!
Sebelum dua tenaga raksasa itu 
bertemu, tiba-tiba tongkat baja Jiwana 
sudah lebih dahulu meluncur cepat ke arah 
lambung Panji. Melihat kelicikan 
tokoh-tokoh ini. Pendekar Naga Putih 
yang semula bermaksud memapak serangan 
Tongkat Berantai terpaksa mengurungkan 
niatnya. Dengan gerakan yang sukar

diikuti mata, pemuda itu segera 
menggeser tubuhnya ke kiri disertai 
ayunan Pedang Sinar Rembulan.
Singngng!
"Aaah...!"
Tongkat Pencabut Nyawa dan Tongkat 
Berantai yang tidak menyangka akan 
mendapat serangan balasan yang demikian 
tiba-tiba menjadi terkejut. Kedua tokoh 
sesat yang sudah mendengar kehebatan 
tenaga dalam Pendekar Naga Putih 
buru-buru menarik pulang senjatanya. 
Tapi terlambat...
Trangngng! 
"Aihhh...!"
Terdengar suara benturan keras 
memekakkan telinga ketika Pedang Sinar 
Rembulan berbenturan sekaligus dengan 
tongkat baja Jiwana dan Tongkat Berantai 
Datuk Timur. Seketika kedua tokoh sesat 
itu terpental bagai disentakkao oleh 
tenaga liar yang amat kuat Keduanya 
menggigil, menahan hawa dingin yang
merasuk sampai ke tulang.
"Hiahhh!"
Tongkat Pencabut Nyawa yang sudah 
lebih dah dapat menguasai rasa 
terkejutnya berseru keras. Kedua 
tangannya dikibas-kibaskan untuk 
mengusir pengaruh hawa dingin yang

membuat tubuhnya seperti orang terserang 
demam. Begitu pengaruh hawa dingin 
lenyap, Jiwana kembali memutar-mutar 
tongkat baja hingga menimbulkan suara 
berkesiutan.
Sementara itu Pendekar Naga Putih 
sudah bert-rung sengit mengimbangi 
keroyokan tokoh-tokoh sakti yang sudah 
mulai tak sabar. Demikian pula Ayuning. 
Kini gadis berpakaian bim muda ini sudah 
terlihat bertarung melawan empat orang 
wanita berpakaian hijau. Tubuh gadis 
cantik itu berkelebat lincah disertai 
dengan ayunan pedang yang 
menyambar-nyambar ganas.
Wuttt! Wuttt!
Dua buah sambaran yang dilancarkan 
murid Dewa Tanpa Bayangan ini 
benar-benar hebat Kedua lawannya 
terpaksa harus melempar tubuhnya ke 
belakang Namun kedua murid Dewi 
Selendang Maut mendadak pucat ketika 
baru saja menjejakkan tanah, ujung 
pedang Ayuning sudah mengancam 
tenggorokan. Posisi kuda-kuda kedua 
gadis berpakaian hijau itu sudah tidak 
mungkin lagi menghindar atau menangkis 
sambaran pedang Ayuning. Tiba-tiba.... 
Trangngng! Trangngng!

Untunglah pada saat yang gawat itu 
berkelebat dua batang pedang lain 
memotong arah luncuran pedang Ayuning. 
Seketika tubuh ketiga wanita itu 
tergetar mundur akibat benturan yang 
amat keras! Kini di hadapan Ayuning telah 
berdiri empat murid Nyi Ayu Kedasih 
dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Setan Betina! Mengapa 
kau bela pemuda itu? Apakah kau kekasih 
gelapnya?" maki salah seorang wanita 
berpakaian hijau marah.
"Hei! Dengarlah Manusia-Manusia 
Rakus! Aku Ratu Iblis yang ditugaskan 
mencabut nyawa manusia-manusia tak tahu 
malu seperti kalian!" sahut Ayuning tak 
kalah gertak
"Bangsat! Jangan takabur, Setan 
Betina! Kau pikir mudah mencabut nyawa 
kami?" ujar wanita lainnya membelalak 
marah.
"Hi hi hi... apa susahnya mencabut 
nyawa wanita-wanrta busuk seperti 
kalian? Bagiku hal itu semudah membalik 
telapak tangan!" ejek Ayuning sambil 
bertolak pinggang dan mencibirkan 
bibirnya.
Bukan main berang keempat murid Dewi 
Selendang Maut mendengar ejekan Ayuning

Serentak mereka melompat maju dan 
menerjang membabi buta. 
Wuttt! Wuttt!
"Aihhh... tidak kena!" ejek Ayuning 
sambil melompat mundur menghindari dua 
tusukan pedang yang mengarah leher dan 
ulu hati. Kemudian dengan gerakan yang 
tidak kalah cepat, Ayuning melancarkan 
serangan balasan bertubi-tubi mengarah 
jalan darah mematikan.
Pertempuran empat lawan satu itu 
beriangsung seru. Ayuning yang punya 
kelebihan dalam hal ilmu meringankan 
tubuh, tentu saja memanfaatkan 
kelebihannya. Tubuh gadis itu berkelebat 
kian kemari. Kadang-kadang menyelinap di 
antara hujan sabetan pedang, tapi di lain 
saat tahu-tahu sudah melambung di atas 
kepala lawannya.
"Adik Ayuning! Cepat tinggalkan 
tempat ini! Tak ada gunanya kau layani 
orang-orang culas ini!" teriak Panji 
yang masih sempat memikirkan keselamatan 
sahabatnya pada saat dirinya sendiri 
menghadapi bahaya!
Setelah berteriak demikian, tubuh 
Panji kembali berkelebat di sela-sela
sambaran senjata pengepungnya. Meskipun 
hams terpontang-panting menghindari 
hujan senjata pengepungnya, namun

Pendekar Naga Putih terus memutar 
otaknya untuk mencari peluang meloloskan 
diri.
"Yeaaaat..!"
Panji berseru keras sambil 
menyabetkan pedangnya secara mendatar 
dengan kecepatan yang menggetarkan! 
Suara angin pedang yang merobek udara 
mengaung tajam!
Wuttt!
Trangngng! 
Trakkk! 
Tringngng!
Tiga pedang yang mencoba menangkis 
serangan Panji berpatahan seketika. 
Belum lagi ketiga pengepungnya itu 
sempat berbuat sesuatu, pedang Panji 
kembali berkelebat!
Brettt! Brettt! 
"Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok yang tak sempat 
menghindar terguling roboh! Seketika 
darah segar bermuncratan dari luka 
sabetan pedang Pendekar Naga Putih yang 
merobek dada. Untunglah nyawa mereka 
masih diampuni Panji. Pedang pemuda itu 
hanya menggores kulit saja.
"Kejar...!" teriak laki-laki gendut 
berkepala botak yang tidak lain adalah si 
Tongkat Berantai. Walaupun tubuhnya

gendut, tapi gerakannya gesit seperti 
kijang.
Beberapa tokoh sakti yang berada di 
belakang segera mengejar Panji. Dalam 
beberapa kali lompatan, empat tokoh yang 
tadi mengeroyok telah menghadang di 
depan Pendekar Naga Putih.
"Minggir kalian! Jangan paksa aku 
berbuat kejam!" seru Panji yang sudah 
hampir hilang kesabarannya.
"Huh! Jangan coba menggertak kami 
Pendekar Naga Putih! Serahkan dulu Bunga 
Abadi, baru kami mau menyingkir!" desak 
salah seorang dari keempat tokoh itu.
Terdengar suara gemeretak ketika 
orang itu mengepalkan tinjunya dengan 
geram. Dan tanpa membuang-buang waktu 
lagi, kepalan orang itu langsung 
menyambar dada Pendekar Naga Putih. 
Wuttt!
Panji segera menggeser kakinya ke 
samping, sehingga pukulan lawan mengenai 
angin kosong. Secepat itu juga Panji
memutar tubuhnya setengah lingkaran 
sambil melepaskan tendangan kilat.
Namun lawan dapat menebak gerakan 
Pendekar Naga Putih. Bergegas orang itu 
menggeser kaki kiri kebelakang sambil 
menarik tubuhnya. Begitu tendangan 
pemuda itu lewat, orang itu langsung

melepaskan pukulan susulan ke arah perut 
Temyata Panji bukanlah pendekar kemarin 
sore. Tahu kalau tendangannya luput 
pemuda itu pun segera merendahkan 
kuda-kudanya seraya mengirimkan 
tendangan menyamping. 
Desss!
"Aaargh!"
Lawannya yang sudah telanjur 
melangkah maju, tak sempat lagi 
menghindari serangan kilat Panji yang 
menghantam dagu hingga orang itu 
terbanting keras ke tanah. Dengan mata 
merah dia berusaha bangkit sambil 
memegang dagu disertai erangan 
kesakitan. 
"Fuihhh...!"
Orang itu meludahkan beberapa benda 
putih bercampur darah. Rupanya tendangan 
yang cukup keras itu telah merontokkan 
beberapa buah giginya.
Sebelum Panji bertindak lebih jauh, 
tokoh-tokoh yang lainnya pun sudah pula 
berdatangan mengepung. Kini kesempatan 
untuk lolos kembali tertutup.
"Hi hi hi... mau lari ke mana kau 
Pendekar Naga Putih? Lebih baik kau 
serahkan bunga itu padaku. Dan 
kutanggung kau dapat pergi dengan

selamat!" bujuk Nyi Ayu Kedasih 
tersenyum licik
"Jangan dengarkan ucapan nenek gjla 
itu, Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau 
berikan padaku. Dan kau kulindungi pergi 
dari sini," ujar Tongkat Berantai tak mau 
kalah.
"Hm... dengarlah, Manusia-Manusia 
Tamak! Kudapatkan Bunga Abadi ini dengan 
taruhan nyawa! Kalian pikir aku bodoh 
bila kuserahkan Bunga Abadi ini begitu 
saja kepada orang-orang tamak seperti 
kalian!" ucap Panji dengan hati yang 
semakin gusar melihat tokoh-tokoh 
persilatan itu masih terus mendesaknya.
"Kalau begitu, bukan hanya bunga itu 
saja akan kuambil. Tapi, nyawamu juga 
harus kucabut" sahut Nyi Ayu Kedasih 
mengancam.
"Nah seranglah! Jangan hanya pandai 
mengumbar mulut saja!" tantang Panji.
"Keparati Kau memang harus kuberi 
pelajaran agar kau tidak besar kepala!" 
bentak Nyi Ayu Kedasih yang darahnya 
mulai mendidih mendengar sindiran
Panji.
Wuttt!
Ctarrr! Ctarrr!
Ujung selendang sakti meliuk-liuk
mematuk dan meledak-ledak disertai

kepulan asap tipis. Kecepatannya tidak 
dapat dilihat mata biasa. Bila diiihat 
sepintas, memang senjata si nenek 
seperti selendang biasa. Tapi karena 
dimainkan oleh tokoh yang sudah memiliki 
tenaga dalam tinggi, selendang itu 
berusaha menjadi senjata maut! Bahkan 
berkali-kali Panji hampir terpatuk 
sambaran selendang.
Pada saat yang sama, tongkat 
berantai Datuk Timur sudah mengancam 
Pendekar Naga Putih. Senjata tokoh sesat 
itu memancarkan sinar putih keperakan 
yang menyilaukan mata.
Demikian pula tokoh-tokoh lainnya. 
Mereka sudah bertekad merebut Bunga 
Abadi dengan taruhan nyawa. Pertumpahan 
darah di Lereng Gunung Kembaran 
nampaknya tidak dapat dihindari lagi.
Pendekar Naga Putih kini sibuk 
berusaha menyelamatkan selembar 
nyawanya dari keroyokan puluhan 
tokoh-tokoh sakti itu. Tubuhnya terus 
berkelebatan menghindari tanpa sempat 
membalas. Belum lagi menghindari 
serangan lawan yang satu, serangan yang 
lain sudah menyusul sehingga kesempatan 
untuk membalas makin tertutup.
Bukkk! 
Desss!

"Aaa...!"
Dua buah pukulan mengenai tubuh 
Panji dengan telak! Dalam keadaan 
terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat 
lagi menghindari Tapi pukulan telak dari 
dua tokoh itu justru berbalik menjadi 
malapetaka bagi mereka sendiri!
Tongkat Pencabut Nyawa dan salah 
seorang tokoh sesat yang berhasil 
menyarangkan pukulan di punggung dan 
dada Pendekar Naga Putih langsung 
menjerit kesakitan. Tubuh kedua tokoh 
itu terpental bagai disentakkan tenaga 
liar yang tak tampak! Keduanya 
terbanting keras di atas permukaan 
tanah. Bahkan tongkat baja di tangan 
Jiwana pun sampai terpental dari 
genggaman.

Dua buah pukulan mengenai tubuh 
Panji dengan telak! Dalam keadaan 
terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat 
lagi menghindari Tapi pukulan telak dari 
dua tokoh itu justru berbalik menjadi 
malapetaka bagi mereka sendiri!
Puluhan tokoh persilatan yang 
mengeroyok Panji kontan berlompatan 
mundur melihat kedua tokoh itu 
berlompatan dan langsung tewas seketika! 
Dari mulut, telinga, dan hidung mereka 
mengalir darah segar.
"Gila! Ilmu apa yang dimiliki pemuda 
itu...?" seru Ki Bagasti dengan wajah 
pucat. Sepasang matanya bagai hendak 
melompat keluar. Kalau saja tidak 
menyaksikan sendiri, tentu dia tidak 
akan percaya. Bagaimana tidak? Dengan 
mata kepala sendiri dilihatnya kalau 
kedua tokoh itu berhasil menyarangkan 
pukulan telak ke tubuh Pendekar Naga 
Putih. Tapi, justru dua tokoh itulah yang 
terpental dan tewas seketika.
"Ilmu setan...!" seru Tongkat 
Berantai bergetar ngeri.
"Tidak mungkin...!" Nyi Ayu Kedasih 
pun berteriak kaget melihat kejadian 
yang belum pernah disaksikan seumur

hidupnya. Nenek sakti ini memang sudah 
lama mendengar cerita kesaktian pemuda 
yang dijulukii Pendekar Naga Putih. 
Namun sama sekali tidak menyangka kalau 
kesaktian pemuda itu sampai begini 
dahsyat! Bagaimana mungkin dua orang 
sakti itu tewas sekaligus hanya karena 
pukulannya berbalik menjadi bumerang 
bagi mereka sendiri. Pikir nenek sakti 
itu tak habis mengerti.
Bukan hanya para tokoh persilatan 
yang mengeroyok saja yang terkejut 
setengah mati, tapi Panji pun 
terheran-heran. Pemuda itu sama sekali 
tidak menyangka kalau tenaga liar yang 
mengeram dalam tubuhnya sampai sedahsyat 
itu. Sekarang Panji baru tahu betapa 
besamya tenaga liar dalam dirinya. 
Tenaga liar itu baru akan menunjukkan 
kedahsyatannya apa bila tubuhnya dipukul 
orang lain. Semakin tinggi tenaga dalam 
orang yang menghantamnya, maka semakin 
hebat pula daya tolak tenaga liar itu.
Seperti kejadian-kejadian 
sebelumnya, maka tenaga liar yang 
mengeram dalam tubuh Panji mulai 
bergolak! Pukulan Tongkat Pencabut Nyawa 
dan Datuk Timur menyebabkan tenaga 
raksasa itu kembali meronta-ronta

laksana seekor harimau dibangunkan dari 
tidumya.
Seiring dengan bangkitnya tenaga 
sakti itu, Panji pun kembali didera 
penderitaan luar biasa. Tubuh anak muda 
itu bergetaran bagaikan orang terserang 
demam. Wajahnya berkerut-kerut menahan 
rasa sakit yang menjalari seluruh 
urat-urat syarafnya. Tenaga liar mulai 
meronta-ronta mencari jalan keluar!
Panji yang sudah tidak sanggup 
menahan gejolak tenaga sakti yang 
menyentak-nyentak tenggorokannya 
berteriak mengguntur. 
"Krrreaaahhh...!" 
"Aaah...!"
Beberapa tokoh persilatan yang 
tidak kuat menahan getaran tenaga liar 
yang luar biasa, jatuh bergulingan! Dari 
mulut, hidung dan telinga mereka 
menyembur darah segar! Tokoh-tokoh 
persilatan berilmu pas-pasan itu tewas 
seketika! Teriakan menggelegar yang 
keluar dari mulut Panji telah memecahkan 
pembuluh-pembuluh darah mereka!
Tentu saja kejadian itu semakin 
membuat pengeroyok Panji lainnya 
terkejut setengah mati! Wajah mereka 
semakin pucat bagai tak dialiri darah. 
Bebera saat para tokoh persilatan itu

hanya dapat berdiri mematung. Bahkan ada 
beberapa di antaranya langsung bersila 
untuk mengerahkan tenaga dalamnya.
Tanpa sadar, Panji yang sudah tidak
sanggup lagi menahan gejolak tenaga bar 
yang menyentak-nyentak, mendorongkan 
sepasang telapak tangannya disertai 
bentakan keras!
"Heaaat..!" 
Wusss!
Serangkum angin dingin yang 
membekukan tubuh berhembus keras 
disertai suara bergemuruh. Dan.... 
Blarrr!
"Aaargh...!"
Bumi di sekitar Lembar Gunung 
Kembaran bergetar hebat bagaikan 
diguncang gempa. Debu dan batu kerikil 
beterbangan memenuhi angkasa hingga 
menghalangi pandangan.
Keempat tokoh persilatan yang tak 
sempat menghindar berpentalan ke segala 
penjuru. Keempat orang malang itu tewas 
seketika dengan tubuh hampir tak 
berbentuk lagi!
Tongkat Berantai, Nyi Ayu Kedasih, 
Ki Bagasti dan beberapa orang yang memang 
sudah waspada sebelumnya berhasil 
meloloskan diri. Mereka terhindar dari

pukulan maut Panji karena beriindung di 
batik gulungan sinar senjatanya.
Tokoh-tokoh persilatan yang kini 
berjumlah menjadi dua puluh lima orang 
menjadi gentar menghadapi Panji Wajah 
mereka pucat dan bersimbah keringat 
dingin!
Pendekar Naga Putih terus mengamuk 
membabi buta. Dia seperti orang 
kerasukan setan. Ayuning yang sejak tadi 
berdiri terpaku terpaksa pula harus 
menyingkir. Merinding bulu tengkuk gadis 
ini melihat kehebatan tenaga liar yang 
terus diumbar Panji 
Duarrr...!
Para tokoh persilatan meleletkan 
lidah dengan rasa ngeri melihat akibat 
yang ditimbulkan pukulan yang nyaris 
menyambar mereka. Di tanah tempat para 
tokoh persilatan berdiri, tercipta 
lubang sebesar kubangan kerbau. Tentu 
saja hal itu membuat pengeroyok Panji 
semakin ciut!
"Huh! Lebih baik aku pergi daripada 
mati di tangan pemuda gila itu!" kata 
salah seorang pengeroyok seraya melesat 
meninggalkan tempat itu.
"Ya! Lebih baik kita pergi! Rasanya 
mustahil kalau kita dapat merebut Bunga 
Abadi. Pendekar Naga Putih benar-benar

sudah kemasukan setan!" kata pengeroyok 
lainnya.
Selesai berkata demikian, orang itu 
lari terbirit-birit hingga lupa memungut 
pedangnya yang tadi terlempar ketika 
menghindari sambaran Panji.
Satu demi satu tokoh persilatan yang 
sudah merasa gentar mulai meninggalkan 
Lembah Gunung Kembaran. Niat mereka yang 
semula hendak memiliki Bunga Abadi, 
mendadak sirna begitu menyaksikan 
kesaktian pemilik Bunga Abadi itu.
Sedangkan sembilan tokoh lain, 
termasuk Tongkat Berantai, Nyi Ayu 
Kedasih, dan Ki Bagasti, masih tetap 
bertahan. Walau bagaimanapun mereka 
tetap bersikeras hendak merebut Bunga 
Abadi dari tangan Panji. Kesembilan 
tokoh sakti segera mengelilingi pemuda 
yang tengah mengamuk dengan sikap 
waspada.
"Jangan takut! Kita pancing 
Pendekar Naga Putih terus menghamburkan 
tenaganya! Lama-kelamaan pasti 
tenaganya habis terkuras! Nah saat 
itulah baru kita rebut Bunga Abadi dari 
tangannya!" seru Tongkat Berantai yang 
rupanya cepat membaca situasai.
"Hi hi hi.... Tak kusangka kalau 
otakmu encer juga, Datuk Timur!" sahut

Dewi Selendang Maut terkekeh gembira 
menanggapi usul Tongkat Berantai
Sembilan tokoh lainnya 
mengangguk-angguk menyetujui usul yang 
sangat baik itu. Sesaat kemudian, mereka 
pun bergerak mengitari Pendekar Naga 
Putih.
Panji yang hampir lenyap 
kesadarannya tidak memperhatikan ucapan 
pengeroyoknya. Yang memenuhi pikirannya 
saat ini adalah bagaimana membuang 
kekuatan tenaga liar sebanyak-banyaknya 
agar kesadarannya pulih kembali.
"Yeaaat..!"
Diiringi teriakan membahana, Panji 
kembali mendorong sepasang telapak 
tangan ke arah dua pengeroyok di sebelah 
kirinya. Pendekar Naga Putih sudah tidak 
mempedulikan lagi ke mana jatuhnya 
Pedang Pusaka Sinar Rembulan pemberian 
eyang gurunya.
Blarrr!
Krrraaakh!
Sebatang pohon sebesar dua pelukan 
orang dewasa hancur beserpihan tersambar 
angin pukulan nyasar. Dua tokoh yang 
lolos dari pukulan maut itu sama sama 
meleletkan lidah melihat pohon di 
belakang mereka hancur lebur diterpa 
pukulan nyasar Pendekar Naga Putih. Kini

keduanya kembali bersiap-siap 
menghindari pukulan nyasar lain yang 
sewaktu-waktu bisa mencuri nyawa mereka.
"Hhh... entah apa jadinya kalau 
pukulan tadi mengenai tubuhku?" desah 
salah seorang di antaranya sambil 
menarik napas lega.
"Jangan kau pikirkan hal itu, 
Kisanak! Pokoknya sekarang kita tidak 
boleh lengah!" ujar yang seorang lagi 
mengingatkan bahaya maut bila pikiran 
mereka terpecah-pecah.
***
DELAPAN


Apa yang diperhitungkan tokoh sakti 
dari Timur itu memang mulai menjadi 
kenyataan. Setelah sekian lama mengumbar 
pukulan tanpa hasil, Pendekar Naga Putih 
pun tampak mulai melemah. Kini 
pukulan-pukulan berikutnya tidak 
sedahsyat tadi
"Ha ha ha... lihatlah, kawan-kawan! 
Pendekar Naga Putih sudah tidak seganas 
tadi lagi! Tenaga pukulannya sudah jauh

berkurang!" sem Tongkat Berantai tertawa 
senang.
Panji yang kesadarannya mulai 
pulih, terkejut mendengar ucapan 
laki-laki gendut berkepala botak itu. 
Pemuda itu sadar kalau kini keadaannya 
kembali terancam! Seluruh urat-urat 
tubuhnya yang mulai melemah membuat 
Panji cemas.
"Heaaat!"
Sambil memekik nyaring kesembilan 
tokoh persilatan segera menerjang saling 
mendahului. Senjata dari berbagai jenis 
segera menghujani tubuh Pendekar Naga 
Putih dari segala arah.
Wukkk!
Panji bergegas menundukkan 
kepalanya menghindari sambaran tiga 
tongkat berantai Datuk Timur yang tiba 
lebih dahulu. Begitu hantaman tongkat 
berantainya lolos, tangan kiri tokoh 
sesat itu menyambar Bunga Abadi yang 
tergantung di pinggang Panji. Pendekar 
Naga Putih yang dapat membaca gerakan 
Datuk Timur masih sempat menyelamatkan 
Bunga Abadi itu dengan melempar tubuhnya
ke belakang.
Wuttt!
Sebuah terkaman lain sudah 
menyongsong begitu Panji menjejak tanah.

Pemuda sakti itu tidak punya kesempatan 
lagi untuk menghindar. Kedua belah 
tangannya diangkat menangkis tamparan 
dengan pengerahan seluruh tenaga 
dalamnya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur begitu dua 
pasang telapak tangan beradu di udara 
dengan memperdengarkan suara nyaring. 
Ternyata meskipun keadaannya sudah 
lemah, namun pemuda itu masih sanggup 
memapak serangan lawan yang mengandung 
tenaga dalam dahsyat.
Selagi Panji berusaha memperbaiki 
kuda-kudanya, beberapa pengeroyok 
kembali menerjang. Sungguh pun begitu 
gerakan pemuda itu masih cukup gesit 
menghindari setiap serangan kesembilan 
pengeroyok yang berusaha keras 
merobohkannya. Sementara di arena lain, 
Ayuning manjadi cemas melihat Panji 
terus didesak lawan-lawannya. Rasa cemas 
membuat murid Dewa Tanpa Bayangan ini
semakin memperhebat gerakan pedangnya. 
Karuan saja keempat murid Nyi Ayu Kedasih 
yang berpakaian serba hijau menjadi 
gugup melihat kecepatan gerak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh, 
pedang-pedang lawan susul-menyusul

mengancam berbagai bagjan tubuh Ayuning. 
Cepat gadis itu menggerakkan pedangnya 
dua kali berturut-turut. 
Trangngng! Tringngng! 
"Ihhh...!"
Dua wanita berpakaian serba hijau 
berseru tertahan. Tubuh mereka terjajar 
mundur akibat tenaga tangkisan yang amat 
kuat Ayuning yang tidak ingin 
menyia-nyiakan kesempatan emas itu 
kembali mencecar disertai ayunan pedang 
secara mendatar.
Singngng!
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Tebasan pedang Ayuning yang dialiri 
tenaga sakti dahsyat tepat merobek perut 
kedua lawannya. Darah bermuncratan ke 
mana-mana dari luka memanjang akibat 
sabetan pedang gadis itu. Dua wanita 
berpakaian serba hijau langsung ambruk 
dan tewas seketika.
Melihat temannya tewas, dua gadis 
lainnya tersentak kaget Keduanya menatap 
mayat kedua saudara seperguruannya 
dengan wajah berubah pucat!
"Bangsat! Kubunuh kau, Iblis 
Betina! Yeaaat..!" Dua pengeroyok 
Ayuning mengayunkan pedangnya dengan 
kemarahan yang meluap-luap.

Wuttt! Wuttt!
"Hi hi hi... tidak kena....'" ejek 
Ayuning sambil melompat sejauh dua 
tombak ke belakang.
"Setan! Kuntilanak! Kucincang 
tubuhmu nanti!" maki kedua wanita itu 
sejadi-jadinya. Keduanya mencecar 
Ayuning secara membabi buta. Ayuning 
sengaja memancing kemarahan dua orang 
lawannya dengan ejekan-ejekan yang 
memanaskan perut. Karena dengan semakin 
kalapnya mereka menyerang, maka akan 
semakin mudahlah gadis itu merobohkan 
mereka.
Karena terus-menerus diejek, 
kemarahan mereka meledak-ledak, 
Serangan pedang mereka yang tak lagi 
terarah, sangat menguntungkan Ayuning.
"Heaaat..!"
Pada suatu kesempatan Ayuning 
berseru lantang hingga mengejutkan dua 
orang lawannya. Saat itu juga tubuh 
Ayuning melesat disertai sabetan pedang 
yang menimbulkan suara berdesing tajam.
Singngng! 
Trangngng! Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua serangan Ayuning berturut-turut 
berhasil dipatahkan oleh dua murid Dewi 
Selendang Maut Meskipun demikian, karena

tenaga dalam kedua orang lawannya itu 
masih dua tingkat berada di bawah murid 
Dewa Tanpa Bayangan, maka keduanya pun 
terdorong beberapa langkah ke belakang
Tentu saja Ayuning memperhitungkan 
hal itu secara cermat Seketika saja 
melesat bagai sebuah bayangan hantu yang 
menerkam mangsanya.
Brettt! Brettt!
"Aaah...!"
Darah segar bermuncratan begitu 
pedang Ayuning merobek lambung dan 
tenggorokan lawan. Kedua murid Nyi Ayu 
Kedasih itu pun langsung roboh ke tanah. 
Mereka menggelepar-gelepar sebentar 
kemudian tewas, menyusul dua orang 
saudaranya yang lebih dahulu sudah pergi 
ke akhirat.
Setelah berhasil merobohkan keempat 
lawannya, tubuh Ayuning melesat ke arah 
Pendekar Naga Putih yang tengah 
mati-matian menghindari 
serangan-serangan pengeroyoknya.
"Haiiit..!"
Trangngng!
Begitu tiba, pedang Ayuning 
langsung memotong pedang lawan yang saat 
itu meluncur deras ke leher Pendekar Naga 
Putih. Meskipun berhasil menyelamatkan 
Panji, tubuh Ayuning terpental beberapa

langkah ke belakang akibat benturan yang 
sangat keras.
"Siapa kau, Nisanak?" tegur kakek 
yang tersentak kaget mendapat serangan 
tiba-tiba. Kakek yang usia-nya kurang 
lebih sekitar tujuh puluh tahun melotot 
gusar karena gadis itu menggagalkan 
serangannya yang hampir berhasil tadi.
"Hmh! Tidak periu kau tahu siapa 
aku, Kakek Tua! Melihat sikap dan 
penampilanmu, rasanya kau bukan dari 
golongan sesat. Siapa kau sebenamya?" 
Ayuning balas bertanya sambil bertolak 
pinggang.
Tentu saja kakek yang bukan lain 
adalah Ki Bagasti tertegun mendengar 
jawaban Ayuning yang sama sekali di luar 
dugaan. Sepasang mata tuanya meneliti 
sekujur tubuh Ayuning, seolah dengan 
berbuat begitu dia dapat mengetahui dari
golongan mana gadis itu berasal.
"Huh! Dasar kakek mata keranjang! 
Mengapa kau malah memandangku seperti 
itu? Oh, aku tahu sekarang!" ucap Ayuning 
sambil tersenyum pahit.
"Rupanya kau kakek tua yang masih 
suka dengan daun muda ya? Huh! Dasar 
kakek tidak tahu diri! Sudah mau masuk 
lubang kubur masih juga matanya 
jelalatan! Menyebalkan!" lanjut Ayuning

sambil membuang muka dengan perasaan 
jijik
Bukan main terkejutnya Ki Bagasti 
mendengar ucapan gadis galak dan pandai 
bicara itu. Seketika wajahnya merah 
padam menahan malu karena tahu kalau 
ucapan Ayuning pasti didengar 
tokoh-tokoh lain.
"Kurang ajar kau, Gadis Gila!" 
teriak Ki Bagasti sambil membanting kaki 
penuh kegeraman. "Kau kira aku ini orang 
tua macam apa? Ketahuilah, orang yang 
berada di hadapanmu adalah Ki Bagasti 
yang terpaksa keluar dari pertapaan 
untuk mencari Bunga Abadi. Siapakah kau, 
Nisanak? Dan mengapa kau menuduhku 
sekeji itu?" lanjut Ki Bagasti terpaksa 
memperkenalkan namanya.
"Kau tidak periu tahu siapa aku, 
Kakek Tua! Kalau kuberi tahu nanti kau 
akan bertanya siapa ibuku, siapa ayahku 
dan di mana tempat tinggalku dan setelah 
mengetahuinya kau akan datang melamarku 
untuk kau jadikan istrimu yang kedua 
puluh! Bukankah begitu, Kakek Tua? Hi hi 
hi...!" tanpa mempedulikan kemarahan Ki 
Bagasti, Ayuning terus saja menyudutkan 
Ki Bagasti hingga wajahnya menjadi 
semakin merah karena menahan kegeraman 
bercampur rasa malu yang amat sangat

Ki Bagasti berdiri mematung. 
Sekujur tubuhnya gemetar! Dia 
benar-benar kehabisan akal menghadapi 
gadis cantik yang pandai berbicara ini 
dan terpaksa diam menahan amarah yang 
hampir membuat dadanya pecah.
"Mengapa diam saja, Bandot Tua? 
Apakah kau malu karena aku sudah tahu 
maksud bejatmu?" tanpa rasa takut 
sedikit pun Ayuning terus melontarkan 
ejekan-ejekan kepada Ki Bagasti.
"Kulumat mulutmu yang jahat itu, 
Gadis Gila!" bentak Ki Bagasti seraya 
melompat disertai ayunan pedang yang 
menimbulkan suara mengaung tajam.
"Eh... eh, mengapa marah-marah, 
Bandot Tua? Bukankah aku belum tentu 
menolak lamaranmu?" seru Ayuning sambil 
melompat ke belakang, menghindari 
serangan maut Ki Bagasti.
Sesaat kemudian, kedua orang itu 
kembali bertempur hebat! Ayuning yang 
menyadari kalau kepandaian Ki Bagasti 
masih setingkat di atasnya, terpaksa 
harus menggunakan ilmu meringankan 
tubuh, guna mengimbangi kehebatan orang 
tua itu.
Serangan-serangan Ki Bagasti yang 
bagaikan air bah akhimya berhasil juga 
mendesak Ayuning. Memasuki jurus keempat

puluh lima. Ayuning tak dapat lagi 
menghindari sebuah tamparan yang 
mengarah pelipis. 
Plakkk!
"Uhhh...!"
Untunglah pada saat yang gawat 
Ayuning sempat memiringkan tubuhnya, 
sehingga tamparan Ki Bagasti hanya 
menyerempet bahu kanannya. Tubuh gadis 
cantik itu berputar beberapa tombak ke 
belakang. Dari sela-sela bibirnya 
mengalir cairan merah kental!
Pada saat yang bersamaan, tubuh 
Panji pun terjatuh akibat sambaran 
pedang salah seorang lawan, tepat di 
dekat Ayuning. Pemuda itu menderita luka 
di dada tersabet pedang musuh.
Sebenamya tenaga liar yang 
mengendap di dalam tubuh Panji masih 
tetap bekerja seperti biasa. Tapi kaena 
kondisi Panji sudah sangat lemah, maka 
tenaga liar itu pun tidak mampu untuk 
menggerakkan otot-otot yang memang sudah 
sangat lemah.
"Kau... kau terluka, Kakang?" desah 
Ayuning lirih yang juga menyeringai 
menahan rasa nyeri di bahu-nya.
"Tidak apa-apa, Ayuning, hanya 
sedikit terg-res," sahut Panji 
terengah-engah. Luka pemuda itu tidak

sampai menggoyahkan dadanya. Rupanya 
Tenaga Liar Gerhana Bulan masih 
melindungi bagian dalam tubuh Panji.
"Kakang, mengapa tidak kau gunakan 
pedang yang di punggungmu?" ujar Ayuning 
menunjuk pedang yang tersampir di 
punggung sahabatnya.
Mendengar ucapan Ayuning, Panji 
baru teringat pada pedang yang baru 
ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi. 
Periahan-lahan tangannya meraba pedang 
yang tersampir di punggungnya.
"Ah, mengapa aku sampai lupa? Untung 
kau mengingatkan! Ayo, Ayuning! kita 
coba bertahan dengan menggunakan pedang 
ini," kata Panji sambil meloloskan 
pedang yang melebihi ukuran pedang 
biasa.
"Pedang apa itu, Kang? Mengapa 
demikian besar? Dari mana kau 
mendapatkannya?" serentetan pertanyaan 
meluncur dari mulut gadis itu karena 
heran melihat pedang yang melebihi 
ukuran pedang biasa itu.
"Entahlah, Ayuning? Aku 
menemukannya di dalam gua," jawab Panji
sambil berusaha bangkit. Perlahan-lahan 
pedang itu dicabut dari sarungnya.
Begitu tercabut, pedang itu 
diacungkan ke langit, mendadak langit

yang semula terang menjadi gelap gulita! 
Bahkan bukan itu saja! Kegelapan alam 
yang secara tiba-tiba itu pun dibarengi 
dengan sambaran-sambaran petir yang 
memekakkan telinga! Dalam sekejap 
suasana di sekitar Lembah Gunung 
Kembaran berubah menjadi hiruk-pikuk
Glarrr!
Kegelapan alam dan sambaran petir 
yang bersa-hut-sahutan diiringi pula 
dengan hembusan angin ribut!
"Aaah...!"
Panji yang menggenggam pedang 
bergetar hebat. Kilatan-kilatan petir 
menyambar dan merasuk ke ujung pedang 
yang diacungkan ke angkasa. Dan dari 
ujung pedang, sinar petir 
berpendar-pendar ke segala arah. 
Pembahan keadaan itu benar-benar membuat 
Pendekar Naga Putih menjadi ngeri! 
"Aaakh...!"
Pekikan kengerian kembali terlontar 
dari mulut Panji ketika merasakan tenaga 
liar yang mengeram dalam tubunya kembali 
bergolak hebat Tenaga liar itu akhirnya 
bertemu dengan tenaga inti petir yang 
terus merasuk ke dalam tubuhnya. Panji 
memekik dan meraung hebat ketika kedua 
tenaga liar yang beriainan jenis itu 
bergolak semakin hebat!

Beberapa saat kemudian tubuh 
Pendekar Naga Putih memancarkan cahaya 
putih keperakan yang bercampur dengan 
cahaya keemasan. Aneh! Meskipun tubuh 
pemuda itu bergetar demikian hebat namun 
sepasang kakinya bagai tertanam di dalam 
bumi sehingga Panji tetap berdiri tegak 
menggenggam pedang yang diacungkan ke 
langit
Nyi Ayu Kedasih, Ki Bagasti, Tongkat 
Berantai dan enam tokoh lain memandang 
kejadian yang luar biasa itu dengan 
sepasang mata tak berkedip. Mulut mereka 
temganga menyaksikan kejadian yang 
bagaikan dalam dongeng.
"Apa... apa...? Bagaimana..?" Datuk 
Sesat Wilayah Timur yang berjuluk 
Tongkat Berantai sampai-sampai tak tahu 
harus mengatakan apa. Ucapannya pun tak 
jelas maknanya.
"Gila! Apa... apa yang terjadi 
dengan pemuda itu...?" desah Nyi Ayu 
Kedasih dengan suara menggeletar mirip 
orang terserang demam!
"Luar biasa...!" desis Ki Bagasti 
seolah tak percaya dengan apa yang 
dilihatnya.
Tak lama kemudian, dua buah sinar 
yang menyelimuti tubuh Panji perlahan 
menipis dan kini hanya terdapat pada mata

pedangnya. Dan pada saat berikutnya, 
kedua berkas sinar itu pun melesat 
melalui ujung pedang yang masih berada 
dalam genggaman Pendekar Naga Putih.
Bersamaan dengan lenyapnya kedua 
berkas sinar itu, langit mendadak terang 
kembali. Tiupan angin keras dan sambaran 
petir yang bersahut-sahutan pun lenyap 
entah ke mana. Bumi di sekitar tempat itu 
kembali cerah seperti sediakala. 
Seolah-olah peristiwa yang menakjubkan 
tadi tak pernah terjadi.
Beberapa saat lamanya semua tokoh 
yang berada di tempat itu termasuk Panji 
dan Ayuning hanya berdiri terpaku. Tak 
seorang pun yang berbicara hingga 
suasana di sekitar Lembah Gunung 
Kembaran terasa hening dan mencekam.
"Kakang, mari kita tinggalkan 
tempat ini!" ajak Ayuning ketika 
tersadar dari keterpakuannya. Cepat 
Ayuning menarik tangan Panji 
meninggalkan tempat itu sebelum para 
tokoh persilatan tersadar dari terpesona 
yang masih menguasai mereka.
Panji tersentak dari ketegangan 
begitu lengan Ayuning menariknya 
meninggalkan Lembah Gunung Kembaran. 
Tanpa banyak bertanya lagi, pemuda itu

segera mengikuti tarikan tangan 
sahabatnya.
Sembilan tokoh persilatan segera 
bangkit dari keterpakuannya ketika 
mendengar suara Ayuning. Serentak para 
tokoh persilatan itu pun bergegas 
mengejar kedua muda-mudi yang telah 
melarikan diri sebelumnya. Namun mereka 
menjadi kecewa ketika bayangan Panji dan 
Ayuning sudah lenyap di balik rerimbunan 
pepohonan Lereng Gunung Kembaran.
Dengan hati yang diliputi 
kekecewaan, sembilan tokoh persilatan 
itu berpendar meninggalkan Lereng Gunung 
Kembaran dengan tangan hampa.
***
"Ayuning, sebaiknya kita berpisah 
di sini saja. Terima kasih atas 
pertolonganmu!" ujar Panji ketika 
keduanya sudah jauh meninggalkan Kaki
Gunung Kembaran.
"Ah, masih perlukah di antara kita 
terdapat rasa sungkan, Kakang? Kau 
adalah sahabat terbaik yang pernah 
kutemui, sejak aku meninggalkan 
pertapaan guruku. Apakah kau tidak 
menganggapku sebagai sahabat baikmu,

Kakang?" ucap Ayuning memperlihatkan 
senyum manisnya.
“Tentu Ayuning! Kau memang sahabat 
yang sangat baik. Dan rasanya sulit 
sekali mencari sahabat sepertimu!" sahut 
Panji juga tersenyum.
“Terima kasih, Kakang, aku senang 
sekali mendengamya," ujar Ayuning 
semakin melebarkan senyumnya.
"Selamat bcrpisah, Ayuning. Jagalah 
dirimu baik-baik!" ucap Panji terharu 
begitu teringat kebaikan gadis itu 
kepadanya. Setelah berkata demikian, 
Panji pun bergegas meninggalkan Ayuning.
"Kakang, tunggu..!" seat Ayuning 
sambil melompat mengejar Panji.
"Ada apa, Ayuning?" tanya Panji 
begitu gadis itu tiba di dekatnya.
Ayuning tersenyum sambil 
mengulurkan sebatang pedang yang sejak 
tadi dipegangnya.
"Bukankah ini pedangmu, Kakang?"
"Ah, aku hampir lupa dengan pedang 
pemberian eyang guruku ini! Di mana kau 
menemukannya?" tanya Panji, seraya 
menerima Pedang Sinar Rembulan dari 
tangan Ayuning.
"Ketika aku terjatuh akibat pukulan 
Ki Bagasti, secara tak sengaja tanganku 
menyentuh benda ini. Dan ketika aku

teringat kalau pedang ini adalah pedang 
yang selalu melingkar di pinggangmu, aku 
pun menyimpannya," jawab Ayuning 
menjelaskan mengapa pedang itu sampai di 
tangannya.
"Sekali lagi teri...."
"Ett... eit... Apakah kau sudah lupa 
dengan ucapanku tadi? Dasar kakek-kakek 
pikun!" protes Ayuning dengan wajah 
cemberut
"Ah, mengapa aku jadi pelupa!" seru 
Panji memegang keningnya. 
"Baiklah, tanpa terima kasih. 
Selamat tinggal, Ayuning!"
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung 
berkelebat meninggalkan murid Dewa Tanpa 
Bayangan yang memandangi kepergiannya 
dengan senyum dikulum.
***
Matahari baru saja muncul di ufuk 
Timur ketika seorang pemuda berjubah 
putih berlari cepat mendaki Lereng Bukit 
Gua Harimau. Pada jubah bagian dadanya 
terlihat garis merah melintang. Garis 
merah itu adalah darah yang telah 
mengering. Siapa lagi pemuda itu kalau 
bukan Panji alias Pendekar Naga Putih. 
Dan luka memanjang pada dadanya adalah

akibat sabetan pedang salah seorang
pengeroyoknya ketika berusaha 
mempertahankan Bunga Abadi yang hendak 
direbut tokoh-tokoh persilatan. 
Peristiwa itu terjadi di Lembah Gunung 
Kembaran kemarin.
Tak lama kemudian, Pendekar Naga 
Putih tiba di sebuah dataran yang cukup 
luas di Puncak Bukit Gua Harimau. Panji 
mengerutkan keningnya ketika melihat dua 
orang berpakaian perwira kerajaan tengah 
berjaga di depan pintu pondok 
peninggalan Eyang Tirta Yasa.
"Berhenti! Siapa kau, Kisanak? Dan 
apa keperluanmu datang ke tempat ini?" 
tanya salah seorang dari mereka galak.
"Namaku Panji. Dan tempat ini adalah 
kediaman guruku. Apakah yang telah 
terjadi di sini, Tuan Perwira?" tanya 
Panji cemas.
"Ah, kalau begitu kaulah yang 
berjuluk Pendekar Naga Putih! Mari... 
mari silakan," seru salah seorang 
perwira dengan wajah gembira begitu tahu 
kalau pemuda yang berdiri di hadapannya 
adalah Pendekar Naga Putih.
"Kakek, Kenanga... apa... apa yang 
terjadi?" tanya Panji begitu memasuki 
pondok. Perasaan pemuda itu semakin 
tidak enak ketika melihat ada seorang

perwira lagi yang tengah duduk di hadapan 
Raja Obat dan Kenanga.
"Panji, syukurlah kau sudah 
kembali! Bagaimana? Apakah kau sudah 
berhasil meridapatkan Bunga Abadi? 
Duduklah dulu, nanti kuceritakan!" ujar 
Raja Obat ketika melihat pemuda itu 
kebingungan dengan adanya seorang 
perwira kerajaan di dalam pondok.
"Sudah, Kek!" jawab Panji sambil 
menyerahkan kain pengikat kepala yang 
digunakan sebagai pembungkus Bunga 
Abadi.
Raja Obat tidak segera menerima 
bungkusan yang disodorkan, melainkan 
malah tertegun menatap wajah Panji. 
Setelah memperhatikan lebih teliti, 
akhirnya Raja Obat itu bertanya kepada 
Panji.
"Cucuku, kau... kau sudah sembuh? 
Kesinilah, biar kuperiksa tubuhmu?" ucap 
Raja Obat tiba-tiba sehingga membuat 
Kenanga dan perwira kerajaan 
terheran-heran
Lebih-lebih Panji, pemuda itu 
menjadi keheranan ketika mendengar 
ucapan Raja Obat Namun tanpa berkata 
sepatah pun, Panji membiarkan saja 
tubuhnya diperiksa oleh Raja Obat

"Ah... ah... ajaib! Kau benar-benar 
sudah sembuh, Cucuku!" seru Raja Obat 
tersenyum. Setelah memeriksa dan 
mengetuk-ngetuk tubuh Panji, kakek itu 
merasa yakin kalau Panji memang sudah 
benar-benar sembuh dari penyakitnya. 
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang 
penyakit yang diderita Pendekar Naga 
Putih, ada baiknya pembaca melihat 
episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Benarkah, Eyang?" Kenanga yang 
sejak tadi hanya mendengarkan dengan 
jantung berdebar tegang segera 
menghambur ke dalam pelukan Pendekar 
Naga Putih. Gadis jelita itu menangis 
bahagia di dada kekasihnya yang menurut 
Raja Obat sudah sembuh.
"Ceritakanlah, Cucuku! Apa yang 
telah kau alami sejak kau meninggalkan 
Bukit Gua Harimau," pinta Raja Obat yang 
kelihatannya tidak sabar ingin segera 
mendengar cerita Panji.
Secara singkat dan jelas Panji pun 
menceritakan segala kejadian yang 
dialaminya selama mencari Bunga Abadi. 
Raja Obat Kenanga dan perwira kerajaan 
sampai berkali-kali mengeluarkan seruan 
kaget dan takjub ketika mendengar apa 
yang dialami oleh Panji.

"Wah... sungguh luar biasa segala 
yang kau alami, Saudara Panji! Kalau saja 
cerita ini tidak kudengar dari mulutmu 
sendiri, rasanya aku tak mungkin 
percaya!" ujar perwira kerajaan dengan 
suara yang masih terbawa oleh rasa 
takjub.
"Betul, Cucuku. Dan setelah 
mendengar ceritamu, Eyang yakin kalau
sembuhnya penyakit yang kau derita 
disebabkan sambaran petir ketika engkau 
mencabut pedang itu dari sarungnya. 
Boleh kulihat pedang itu, Cucuku?" pinta 
Raja Obat kepada Panji.
"Tentu, tentu, Eyang...," sahut 
Panji sambil menyerahkan pedang yang 
ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi.
Raja Obat meneliti pedang yang 
diberikan Panji dengan penuh takjub. Dan 
begitu meloloskan pedang dari sarungnya, 
terdengar seruan takjubnya. Begitu pula 
halnya dengan Kenanga dan perwira 
kerajaan.
"Pedang Pusaka Naga Langit..!" seru 
Raja Obat begitu mengenali pedang yang 
ditemukan Panji.
"Pedang Naga Langit..?" seru Panji, 
Kenanga dan perwira kerajaan keheranan 
karena mereka belum pernah mendengar 
cerita tentang pedang pusaka itu.

"Ya! Pedang Naga Langit Nantilah 
akan aku ceritakan asal-usul pedang ini. 
Nah, sekarang kau tidak memerlukan Bunga 
Abadi lagi, Cucuku," ucap Raja Obat yang 
lalu menceritakan maksud kedatangan per-
wira kerajaan ke Bukit Gua Harimau
"Jadi beberapa hari setelah 
kepergianku, Eyang dipanggil menghadap 
Gusti Prabu?" tanya Panji mene-gaskan.
"Betul, Cucuku Saat ini Gusti Prabu 
tengah menderita sakit berat dan hampir 
tidak ada obatnya. Akhirnya aku dengan 
lancang menjanjikan akan mencarikan obat 
yang mujarab untuk kesembuhan sang 
Prabu. Kurasa kau sudah tahu apa yang 
kumaksudkan, Cucuku?" tanya Raja Obat 
sambil menatap wajah Panji dalam-dalam.
“Tahu, Eyang. Eyang pasti 
menjanjikan Bunga Abadi untuk mengobati 
penyakit, Gusti Prabu!" jawab Panji yang 
sudah dapat menebak maksud ucapan Raja 
Obat
"Nah, syukuriah. Sekarang kau sudah 
tak memerlukan Bunga Abadi lagi, karena 
memang benar-benar sudah sembuh secara 
ajaib! Bagaimana pendapatmu kalau Eyang 
meminta Bunga Abadi untuk obat penyakit, 
Gusti Prabu?" tanya Raja Obat hati-hati. 
Karena biar bagaimanapun Pendekar Naga

Putihlah yang berhak atas Bunga Abadi 
itu.
"Dengan senang hati aku akan 
merelakan Bunga Abadi ke tangan Eyang 
demi kesembuhan Gusti Prabu. Lagi pula 
kudengar Gusti Prabu adalah seorang raja 
yang adil dan bijaksana," jawab Panji 
tanpa ragu-ragu. Sejenak pemuda itu 
mengalihkan pandangannya ke arah 
kekasihnya yang tersenyum mengangguk.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. 
Kau memang benar-benar pendekar sejati 
yang lebih mementingkan keselamatan 
orang banyak ketimbang dirimu sendiri. 
Aku akan menyampaikan Bunga Abadi kepada 
Gusti Prabu. Sekarang kami mohon pamit 
dan akan membawa Raja Obat ke istana. 
Sekali lagi terimalah hormat dan terima 
kasihku ini, Pendekar Naga Putih," ujar 
perwira kerajaan yang belakangan baru 
Panji ketahui kalau dia adalah seorang 
Putih.
"Ah, Tuan Patih terlalu beriebihan. 
Apalah artinya pengorbananku bila 
dibandingkan dengan pengabdian, Tuan 
Patih," ujar Panji membungkuk hormat 
Kemudian Panji dan Kenanga mengantarkan 
kepergian mereka hingga keluar pondok.
"Sampai jumpa, Pendekar Naga Putih, 
Kenanga!" pamit patih kerajaan sambil

melambaikan tangan ke arah dua orang 
pendekar muda itu.
"Selamat jalan, Eyang, Gusti 
Patih!" seru Panji dan Kenanga tersenyum 
sambil balas melambaikan tangan.


                                SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar