SATU
Saat itu matahari sudah menampakkan kekuasaannya,
sinarnya yang kuning keemasan, menyirami dataran
Lembah Tiga Setan. Hembusan angin bertiup keras, karena
dataran lembah itu sangat lebar dan luas.
Tidak seperti biasanya, pagi ini Lembah Tiga Setan
tampak dipenuhi manusia. Dari lereng saja sudah terlihat
jelas banyaknya sosok tubuh yang berkelebat mendaki
Gunung Kalaban, untuk kemudian menuruni Lembah Tiga
Setan.
Dari gerakan dan langkah kaki sosok-sosok tubuh itu,
jelas kalau rata-rata terdiri dan tokoh persilatan. Apalagi di
pinggang mereka tampak menyembul gagang senjata. Bisa
ditebak, sosok-sosok tubuh itu merupakan kaum rimba
persilatan.
Rombongan pertama yang terdiri dari dua belas orang
laki-laki bertampang kasar, menghentikan langkah di
tengah lembah. Laki-laki tinggi kurus dan berwajah pucat
yang merupakan kepala rombongan itu melangkah ber-
keliling sambil mengedarkan pandangan. Sikapnya terlihat
jumawa, dan meremehkan orang lain.
"Hm….. Mana orang yang mengaku berjuluk Malaikat
Gerbang Neraka? Mengapa batang hidungnya tidak
kelihatan? Apakah ia sengaja hendak mempermainkan
Tengkorak Hutan Jati?" gumam laki-laki tinggi kurus itu
sambil bertolak pinggang dengan sikap jumawa.
Kesombongan yang diperlihatkan laki-laki tinggi kurus
itu memang wajar. Memang, dalam rimba persilatan,
julukan Tengkorak Hutan Jati sangat ditakuti. Entah sudah
berapa banyak tokoh golongan putih yang tewas di
tangannya. Kekejamannya yang tidak tanggung-tanggung
membuat orang semakin segan berurusan dengannya.
Dengan ilmunya yang bernama 'Cakar Penghancur Tulang’.
Tengkorak Hutan Jati tampak semakin sombong. Dan
memang, dia belum pernah dicundangi orang. Tidak heran
kalau ia cenderung memandang remeh orang lain.
Kedatangannya pagi ini ke Lembah Tiga Setan atas
undangan orang yang mengaku berjuluk Malaikat Gerbang
Neraka. Dan sebenarnya ia tidak tahu kapan orang aneh
itu mengirimkan undangan kepadanya. Tentu saja hal ini
membuatnya jadi penasaran, sehingga membawanya ke
Lembah Tiga Setan.
Bukan hanya Tengkorak Hutan Jati saja yang
mendapatkan undangan yang penuh teka-teki itu. Masih
banyak tokoh persilatan lain yang juga mendapat
undangan sama, dan dengan alasan yang juga tidak
berbeda. Kebanyakan dari mereka datang hanya karena
penasaran terhadap si pengirim undangan. Mereka ingin
melihat, bagaimana rupa orang yang telah begitu berani
mengirimkan undangan kepada mereka. Jadi tak heran
kalau Lembah Tiga Setan dipenuhi manusia golongan
sesat.
Mereka yang mendapatkan undangan aneh itu ternyata
bukan hanya penjahat-penjahat kelas teri. Bahkan para
datuk sesat di empat penjuru mata angin pun mendapat
undangan yang sama. Tentu saja keadaan di lembah itu
semakin semarak dan ramai.
"He he he.... Tak disangka, orang yang paling berkuasa
di daerah Timur pun sudi juga memenuhi undangan gila
ini," cetus seorang kakek berusia enam puluh tahun.
Wajahnya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna
dua. Pakaian yang dikenakannya pun tampak lusuh dan
agak kotor.
Suara berat dan parau yang terdengar pelan namun
cukup menggetarkan hati itu tentu saja membuat terkejut
para tokoh yang hadir. Serentak mereka menoleh ke arah
asal suara tadi. Namun sampai lelah mata mereka
mencari, tak ada seorang pun yang patut dicurigai. Tak ada
yang tahu kalau kakek itu mengucapkan kata-katanya
tanpa menggerakkan bibir. Padahal orang yang
mengeluarkan ucapan itu sebenarnya ada di antara
mereka.
"Memedi Karang Api...!"
Terdengar suara mendesis lirih yang bersahut-sahutan
dari beberapa orang tokoh sesat terkemuka saat ini.
Beberapa pasang mata tokoh persilatan itu tampak
menyiratkan sinar kegentaran dan rasa hormat ke arah
kakek berjubah putih kumal itu. Dari nada suara yang
terdengar agak bergetar, jelas kalau mereka merasa
tunduk terhadap kakek yang berjuluk Memedi Karang Api.
Bahkan Tengkorak Hutan Jati yang semula bersikap
sangat sombong, langsung merubah sikap melihat
kehadiran Memedi Karang Api. Hal itu wajar saja. Karena
kakek itu merupakan raja kaum sesat di wilayah Barat. Dan
karena Tengkorak Hutan Jati juga berasal dari daerah itu,
maka secara tidak langsung, ikut mengangkat kakek itu
sebagai raja. Namun, hal itu tanpa sepengetahuan Memedi
Karang Api sendiri.
"Ini baru hebat, kalau sampai seorang datuk seperti
Memedi Karang Api sampai datang memenuhi undangan.
Dan tentu si pengundang memiliki keistimewaan yang
membuatnya penasaran!" celetuk salah seorang tokoh
sesat bertubuh gendut dan berkepala botak. Sebelah
matanya yang tertutup kulit binatang, membuatnya dijuluki
sebagai Garuda Mata Satu.
"Hm.... Kau benar, Garuda Mata Satu. Bukan hanya
Memedi Karang Api saja yang muncul di sini. Aku sempat
mendengar, apa yang diucapkannya tadi. Dan kalau tidak
keliru, mungkin yang dimaksud orang paling berkuasa di
daerah Timur itu adalah Datuk Panglima Sesat. Siapa lagi
kalau bukan dia yang di maksud Memedi Karang Api."
timpal laki-laki berwajah kekanakan.
Dia berdiri di sebelah Garuda Mata Satu. Menilik dari
ucapannya, jelas kalau orang itu pun pasti bukan orang
sembarangan. Buktinya, ia cukup mengenal tokoh-tokoh
kelas atas dalam golongannya.
"Tapi, mengapa aku tidak melihatnya...? Apa kau
melihat adanya tokoh sakti itu?" tanya Garuda Mata Satu
sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
Namun meski sampai pegal kepalanya tetap saja tidak bisa
menemukan orang yang dimaksud.
"He he he... Jangan samakan ketajaman mata dan
pendengaranmu dengannya. Dan aku percaya, apa yang
dikatakannya itu benar. Meskipun, aku sendiri belum
melihatnya," sahut laki-laki berwajah kekanakan itu sambil
tertawa lirih.
Tak lama, selagi kedua orang itu terlibat dalam
percakapan, terdengar suara langkah kaki berderap yang
membuat semua orang menolehkan kepala ke arah asal
suara.
"Pasukan Datuk Panglima Sesat..!? Kiranya dia juga
menyempatkan diri memenuhi undangan ini? Hm… Bukan
mustahil kalau kedua orang datuk lainnya akan muncul
juga di Lembah Tiga Setan ini. Benar-benar sebuah
peristiwa yang jarang sekali terjadi. Entah apa daya tarik
yang dimiliki tokoh berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu?
Kalau melihat dari hadirnya datuk-datuk di empat penjuru
mata angin ini, jelas kalau Malaikat Gerbang Neraka
memiliki kelebihan yang membuat para datuk tertarik,"
gumam Tengkorak Hutan Jati dengan hati semakin ciut.
Memang, tokoh-tokoh itu merupakan pentolan-pentolan
kaum sesat. Maka begitu melihat kehadiran Memedi
Karang Api dan Datuk Panglima Sesat, barulah Tengkorak
Hutan Jati merasa betapa dirinya masih terlalu jauh untuk
dapat disejajarkan dengan kedua orang tokoh itu.
Sementara itu, rombongan orang berseragam serba
putih dengan sulaman benang emas di bagian dada kiri
sudah memasuki lembah dan memilih tempat teduh.
Seorang laki-laki tinggi besar yang kumis dan jenggotnya
tercukur rapi tampak berdiri angkuh sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling. Sikapnya terlihat
menimbulkan perbawa kuat. Menilik dari pakaiannya yang
mirip pakaian Panglima kerajaan, jelas sudah kalau laki-
laki berusa sekitar lima puluh tahun itulah yang berjuluk
Datuk Panglima Sesat. Dan orang itu pulalah yang
dimaksudkan sebagai penguasa daerah Timur.
Tingkah dan cara kehidupan yang dijalani tokoh
menggiriskan itu memang aneh sekali. Di tempat
kediamannya, ia membangun sebuah tempat tinggal yang
megah dan mirip istana. Bahkan pata pembantunya yang
berjumlah seratus orang, diwajibkan mengenakan pakaian
prajurit bila berada di tempat kediamannya. Sedangkan ia
sendiri tidak pernah melepas pakaian panglimanya itu. Dan
karena sikapnya yang tidak mirip seorang panglima, maka
kalangan rimba persilatan memberi julukan Panglima
Sesat kepadanya. Kepandaiannya memang hampir tanpa
tandingan. Inilah yang menyebabkannya dalam waktu yang
singkat dapat menempatkan diri sejajar dengan tiga orang
datuk sesat lainnya.
Kedatangannya ke Lembah Tiga Setan adalah karena
sebuah undangan yang sampai ke tempat kediamannya
tanpa seorang pun mengetahuinya. Bahkan ia sendiri juga
tidak tahu, kapan undangan itu dikirimkan. Dan semula dia
menduga kalau si pengirim jelas bukan orang sem-
barangan. Maka dengan hati penasaran, Datuk Panglima
Sesat pun menyempatkan diri memenuhi undangan itu.
Kepala laki-laki tinggi besar yang terlihat gagah ini
terangguk kaku ketika sepasang matanya tertumbuk pada
sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah putih
kumal. Jelas, tokoh sesat yang satu ini benar-benar
memiliki sikap sangat angkuh. Jangankan terhadap tokoh
di bawahnya, sedangkan terhadap Memedi Karang Api
yang setingkat dengannya pun masih juga menunjukkan
ketinggian hatinya. Dia benar-benar menganggap sebagai
seorang Panglima yang patut di hormati. Dan itu sepertinya
cukup wajar. Sebab selain kepandaiannya sulit diukur,
datuk sesat yang satu ini memang orang terkaya di daerah
Timur.
"Hm... Kiranya kau tertarik juga dengan undangan gila
ini, Memedi Karang Api?" tegur Datuk Panglima Sesat.
Pandangan Datuk Panglima Sesat beralih sejenak ke
arah kakek berjubah putih kumal itu. Suaranya terdengar
sangat angkuh. Sepertinya ia ingin membedakan kalau
dirinya masih jauh lebih patut dihormati ketimbang Memedi
Karang Api.
Namun Memedi Karang Api sendiri sama sekali tidak
tersinggung atas teguran Datuk Panglima Sesat. Ia hanya
terkekeh serak memperlihatkan gigi-giginya yang ternyata
terawat baik dan sangat kuat. Meskipun urakan, jelas
kalau Datuk Wilayah Barat ini sangat memelihara
kebersihan. Sayangnya, semua itu seolah disembunyikan di
balik pakaiannya yang lusuh dan kumal. Entah apa maksud
kakek itu berbuat demikian.
"He he he…. Sebenarnya hanya kita berdua saja yang
begitu gila, sehingga memenuhi undangan ini. Semenjak
tadi aku tidak melihat dua tokoh lain. Apakah kau melihat
mereka. Datuk Panglima Sesat?" tanya Memedi Karang
Api.
Datuk Panglima Sesat yang biasa dipanggil dengan
sebutan 'tuanku', tentu saja tidak merasa keberatan atas
panggilan itu. Sebab biarpun berpenampilan sangat lusuh,
tapi tetap saja kakek itu dipandangnya sebagai orang yang
seangkatan. Apalagi kepandaian mereka hampir-hampir
tidak berselisih.
"Ya! Aku pun tidak melihat mereka. Mungkin hal ini
dianggap tidak terlalu penting. Lain dengan kita yang
merasa tersinggung oleh undangan itu. Bagiku, surat itu
lebih tepat sebuah tantangan ketimbang undangan. Untuk
itulah aku datang kemari. Bagaimana dengan kau,.
Memedi Karang Api? Apa alasanmu memenuhi undangan
gila ini?" tanya Datuk Panglima Sesat, tetap tidak merubah
nada suara maupun sikapnya
"He he he.... Aku tidak segila dirimu, Datuk Panglima
Sesat. Kehadiranku di sini hanya untuk menonton
keramaian. Sebab, jarang sekali pertemuan seperti ini bisa
terjadi. Sayang Datuk Selatan dan Datuk Utara tidak bisa
hadir. Kalau saja mereka berada di tempat ini, mungkin
hatiku akan semakin gembira," sahut Memedi Karang Api.
Dia tidak peduli, apakah ucapannya akan menyinggung
perasaan lawan bicaranya atau tidak. Memang, sudah
begitulah sikap dan tingkah lakunya. Datuk Panglima Sesat
pun memang sudah maklum akan sifat kawan
segolongannya itu.
"Ha ha ha.... Dasar jembel tua kekurangan tontonan!
Kalau hanya untuk alasan seperti itu, mengapa tidak
singgah saja ke tempat kediamanku? Di sana kau akan
menikmati tontonan-tontonan menarik setiap saat. Bahkan
wanita-wanita cantik pun tinggal pilih saja," kata Datuk
Panglima Sesat sambil tertawa terbahak-bahak mendengar
ucapan sahabatnya.
Apa yang dikatakan Datuk Panglima Sesat tentu saja
bukan hanya omong kosong saja. Sebagai seorang datuk
yang paling kaya di wilayah Timur, tentu apa yang
ducapkannya tidaklah berlebihan. Bahkan tempat
kediamannya masih lebih besar dan megah daripada
istana kadipaten. Sehingga, Adipati Blambangan sendiri
tidak berani mengusiknya. Dan jelas, hal itu hanya akan
mendatangkan penyaklt saja.
"Apakah ucapanmu ini merupakan undangan resmi
untukku..?" kelar Memedi Karang Api.
Hatinya benar-benar gembira membayangkan apa yang
dijanjikan sahabatnya itu. Sepasang matanya yang kocak,
berputar liar. Seolah-olah, kakek itu sudah merasa gembira
walau hanya membayangkannya saja.
"Mengapa tidak? Kalau kau memang kebetulan
melewati tempat kediamanku, singgahlah. Tak perlu
undangan resmi segala." sahut Datuk Panglima Sesat,
kembali memperdengarkan suara tawanya yang ber-
kepanjangan.
"He he he.... Pasti... pasti…" sambut Memedi Karang Api
sambil tersenyum-senyum bagaikan orang menang undian.
Tengah kedua orang datuk itu bercakap-cakap, tiba-tiba
berhembus angin dingin yang sangat keras. Daun-daun
kering beterbangan, sehingga membuat suasana di sekitar
Lembah Tiga Setan itu menjadi kacau. Belum lagi rasa
heran orang-orang yang berada di lembah itu hilang, ter-
dengar suara tawa berkepanjangan yang mengandung
kekuatan hebat.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa serak yang jelas mengandung kekuatan
tenaga dalam tinggi itu membuat beberapa orang tokoh
persilatan yang tidak kuat tenaga dalamnya, jatuh ber-
gelimpangan. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka,
tampak mengalir darah segar. Tubuh mereka pun ber-
kelojotan bagai seekor ikan yang diangkat dari dalam air.
Untunglah tawa yang mengandung kekuatan dahsyat
itu tidak berlangsung lama. Sehingga, tokoh-tokoh yang
memiliki tenaga dalam pas-pasan hanya tergeletak
pingsan.
"Hm ... Tampaknya keramaian akan segera dimulai..,"
gumam Memedi Karang Api.
Dia tampaknya sama sekali tidak terpengaruh suara
tawa itu. Hanya Memedi Karang Api saja yang mengetahui
kalau ucapan kakek sakti itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam. Sehingga secara sekilas, kakek
itu bagaikan tidak merasakan serangan yang dilontarkan
melalui suara itu.
Lain halnya Datuk Panglima Sesat. Tokoh sakti
penguasa wilayah Timur itu menahan napasnya untuk
melindungi isi dada dari serangan tawa yang menggetarkan
itu. Diam-diam tokoh yang menggiriskan ini juga merasa
terkejut oleh kekuatan tenaga dalam si pengirim suara.
Namun keterkejutannya hanya disimpan dalam hati.
Sedangkan mulutnya terkatup rapat tanpa kata.
Bersamaan lenyapnya suara tawa yang menggetarkan
tadi, hembusan angin dingin pun lenyap pula. Kesunyian
dan ketegangan pun menyelimuti sekitar Lembah Tiga
Setan. Hati mereka semua berdebar tegang menantikan
munculnya si empunya suara yang diduga sebagai Malaikat
Gerbang Neraka.
Namun setelah agak lama menantikan, sosok yang
dibayangkan para tokoh persilatan itu tak kunjung muncul.
Beberapa di antaranya mencoba menggerakkan kepala
memandang ke sekeliling dataran lembah itu. Tapi, tanda-
tanda kemunculan tokoh aneh yang jelas sangat sakti itu
belum juga nampak.
"Gila! Permaian apa lagi yang akan dipertunjukkan
manusia gila itu?!" umpat Garuda Mata Satu.
Dia sepertinya merasa tidak enak oleh ketegangan dan
kesunyian yang menyelimuti hatinya. Rasanya ia lebih suka
berhadapan langsung dengan maut, dari pada dilanda
ketegangan yang tak ada habtsnya itu.
Tapi begitu ucapannya selesai, tahu-tahu saja Garuda
Mata Satu merasakan tubuhnya terbang dari tempatnya
berpijak.
"Hei... hei! Apa ini..?!"
Garuda Mata Satu seorang tokoh sesat yang kejam dan
tidak pernah mengenal rasa takut tiba-tiba berteriak-teriak
bagai anak kecil. Hatinya benar-benar merasa ngeri atas
keanehan yang terjadi pada dirinya. Sehingga tanpa sadar,
ia pun berteriak-teriak ketakutan.
Laki-laki gemuk kekanakan yang berada di sebelah
Garuda Mata Satu kontan terbelalak pucat. Kedua lututnya
goyah, bagaikan tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya
yang gemuk itu. Jelas, hatinya merasa ngeri oleh kejadian
yang menimpa kawannya. Dan memang, ia sendiri tidak
tahu apa yang menyebabkannya.
Tubuh Garuda Mata Satu yang tengah melayang di
udara setinggi satu setengah tombak, tiba-tiba terhempas
begitu saja di atas permukaan tanah berbatu.
Bruggg!
Tokoh sesat berkepala botak yang sebelah matanya ter-
tutup kulit binatang itu berteriak ketakutan! Tubuhnya ter-
banting begitu saja, tanpa diketahui apa yang telah
menyebabkannya.
"Kurang ajar...! Siapa yang berani main-main dengan
Garuda Mata Satu?! Hayo, tunjukkan dirimu!" teriak laki-
laki berkepala botak itu menantang-nantang.
Tentu saja ucapannya itu dikeluarkan hanya untuk
menutupi rasa malu karena merasa dipermainkan di
hadapan orang banyak. Meskipun jelas wajahnya terlihat
memucat, namun dengan lagak sornbong ia bertolak
pinggang sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Para tokoh persftatan yang tidak mengetahui apa yang
menyebabkan Garuda Mata Satu melayang dan kemudian
terjatuh, tentu saja merasa geli melihat tingkah tokoh itu.
Bahkan beberapa orang di antaranya tertawa lirih. Untuk
beberapa saat lamanya, ketegangan yang semenjak tadi
melanda hati mereka lenyap.
Namun tawa para tokoh persilatan itu mendadak
terhenti, ketika tanpa diketahui di sebelah kanan Garuda
Mata Satu telah berdiri sesosok tubuh tinggi kurus. Dia
mangenakan jubah panjang berwarna hitam. Wajah sosok
tubuh yang entah kapan datangnya, tertutup kerudung
yang membungkus kepalanya. Hanya sepasang matanya
saja yang terlihat mencorong tajam bagaikan mata seekor
harimau di dalam gelap. Tentu saja kehadiran orang aneh
itu membuat para tokoh persilatan yang hadir merasa
ngeri.
"Dia... dia pasti bukan manusia! Mana ada manusia
yang datang ke tempat terbuka seperti ini tanpa ada yang
mengetahuinya...?" terdengar suara lirih yang bergetar
karena terselubung rasa ngeri.
Sayang ucapan yang terdengar lirih itu ternyata telah
menjadi suatu ancaman baginya. Buktinya, sosok tubuh
tinggi kurus yang saat itu tengah berdiri di samping Garuda
Mata Satu langsung menolehkan kepala ke arah orang
yang mengeluarkan ucapan tadi. Sepasang matanya yang
bersinar kemerahan tertuju langsung dengan pengaruh
yang membuat seorang penakut menjadi lemas persendian
lututnya.
"Kemari kau..." terdengar desis yang menebarkan hawa
dingin dan menggetarkan jantung.
Jelas, sosok tubuh itu sama sekali tidak terlihat meng-
gerakkan bibirnya. Namun, perintah yang jelas diucap
kannya ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat
hebat. Sehingga, tubuh orang yang ditatapnya kontan
menggigil hebat, bagaikan orang terserang demam.
***
DUA
Seluruh tokoh persilatan yang hadir menjadi terkesima
melihat tubuh laki-laki pendek kekar yang mengeluarkan
ucapan tadi bergerak melangkah maju. Pandangan mata-
nya tertuju lurus ke depan. Sedikit pun kepalanya tidak
menoleh ke tempat lain. Jelas, orang itu sudah berada
dalam pengaruh orang tinggi kurus yang berjubah hitam
panjang itu.
"Hm.... Coba ulangi ucapanmu tadi!" pinta sosok ber-
jubah hitam itu dengan suara kaku dan tetap tanpa meng-
gerakkan bibir.
"Aku... eh! Aku..., tidak...."
Rasa takut dan ngeri yang mencengkeram dan
melenyapkan seluruh keberaniannya, membuat laki-laki
pendek kekar itu tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Bahkan untuk mengingat kata apa yang harus diucapkan
pun tidak mampu lagi.
"Hm...," sosok tinggi kurus itu bergumam kaku.
Dia kemudian membalikkan tubuhnya seraya meng-
edarkan pandangan ke sekeliling. Menilik dari sikapnya
yang angker dan penuh perbawa, jelas kalau orang itu
bukanlah orang sembarangan
"Sahabat-sahabat sekalian. Aku senang atas kehadiran
kalian yang sudi datang memenuhi undanganku ini.
Sebagaimana yong tertulis dalam setiap undangan yang
kukirimkan, akulah si Malaikat Gerbang Neraka. Dan mulai
saat ini, aku mengangkat diriku sebagai datuk dari segala
datuk kaum rimba persilatan golongan sesat!" sosok tinggi
kurus berjubah hitam itu menghentikan ucapannya sejenak
untuk melihat tanggapan para tokoh yang hadir.
Namun, setelah menanti sekian lama tidak juga ada
yang membantah, maka setelah menarik napas sejenak,
ucapannya kembali dilanjutkan.
"Aku akan membawa golongan kita ke kejayaan. Tidak
ada lagi tokoh golongan putih yang akan menghalangi per-
buatan kita. Bila hal itu masih juga terjadi, cari dan bunuh
tokoh golongan putih yang sangat sombong dan me-
mandang hina kita." kembali tokoh yang mengaku berjuluk
Malaikat Gerbang Neraka itu menghentikan kata-katanya.
Puluhan orang tokoh persilatan yang telah melihat ke-
saktian dan keangkeran Malaikat Gerbang Neraka seren-
tak menyambut ucapan itu dengan sorak-sorai ber-
gemuruh.
"Hidup Malaikat Gerbang Neraka...!"
"Hidup sang Pemimpin Agung...!"
"Hidup golongan hitam...!"
Teriakan-teriakan yang merupakan ungkapan rasa
setuju terdengar saling bersahutan. Dan untuk beberapa
saat lamanya, dataran Lembah Tiga Setan bagaikan tengah
diadakan sebuah pesta besar yang meriah.
Sebentar sinar mata di balik kerudung hitam itu ber-
binar-binar, lalu tiba-tiba kembali menyorot tajam. Dan
memang, ia melihat belum semua yang hadir ikut menyam-
but gembira ucapannya itu. Sepertinya, Malaikat Gerbang
Neraka masih belum merasa puas atas sambutan yang
diterimanya.
Dengan gerakan perlahan dan angker, sosok tinggi
kurus itu mengangkat kedua tangannya ke atas. Suara
sorak-sorai yang semula bergemuruh langsung lenyap.
Keheningan pun kembali menyelimuti dataran Lembah Tiga
Setan. Melihat kepatuhan sebagian besar dari tokoh per-
silatan yang hadir, Malaikat Gerbang Neraka sepertinya
belum merasa puas.
"Kalau di antara kalian masih ada yang tidak setuju dan
meragukan kemampuanku, silakan maju! Jangan hanya
membungkam seperti perawan pingitan," tantang Malaikat
Gerbang Neraka dengan suara masih tetap dingin dan
kaku.
Datuk Panglima Sesat yang memang merasa sangat
penasaran oleh si pengirim undangan aneh itu, melangkah
maju dengan sikap angkuh! Jubahnya yang lebar dan
hampir menyentuh lutut, dibuka dan diserahkannya ke
salah seorang pengikutnya. Jelas kalau tokoh kelas satu
wilayah Timur ini merasa tersinggung oleh tantangan sosok
tinggi kurus itu.
"Hm... Malaikat Gerbang Neraka! Kami tidak tahu asal-
usulmu. Dan kami juga belum tahu, apa maksudmu
dengan mengangkat diri sebagai pimpinan seluruh tokoh
sesat di negeri ini! Satu hal yang perlu kau ketahui. Aku
Datuk Panglima Sesat tidak bersedia menjadi pembantu
orang sepertimu.'' tegas Datuk Panglima Sesat seraya men-
dongakkan dagunya dengan sikap yang tidak kalah garang.
Malaikat Gerbang Neraka tentu saja tahu, siapa orang
di hadapannya. Dan ia pun sadar, orang seperti Datuk
Panglima Sesat sangat diperlukan. Selain kepandaian dan
kekuasaannya, tokoh kelas satu wilayah Timur itu bisa di-
jadikan tenaga pembantu yang diandalkan. Itulah sebab-
nya, mengapa ia tidak menjadi marah meskipun laki-laki
tinggi besar yang gagah itu telah melontarkan kata-kata
yang menyakitkan hati.
"Hm.... Datuk Panglima Sesat. Aku telah lama mengenal
dan menyelidikimu. Kalau hari ini hendak bertarung
denganku, apakah yang akan kau pertaruhkan?" tantang
Malaikat Gerbang Neraka.
Sikapnya memang amat cerdik. Sebab, ia tahu seorang
tokoh besar seperti Datuk Panglima Sesat tidak boleh di-
jatuhkan begitu saja di depan orang banyak. Masalahnya,
hal itu bisa menyinggung harga diri Datuk Wilayah Timur
itu. Dan apabila hal itu terjadi, ia akan kehilangan seorang
pembantu yang sangat langka. Oleh karena itulah, ia
dengan cerdiknya menantang bertaruh.
"Ha ha ha...!" tawa Datuk Panglima Sesat berkuman-
dang ketika mendengar pertanyaan itu.
Sebagai seorang datuk persilatan yang belum pernah
menemui tandingan, tentu saja ia sangat yakin akan
kemampuan yang dimiliki. Jangankan Malaikat Gerbang
Neraka yang baginya hanya merupakan seorang tokoh
baru. Sedangkan tiga datuk penguasa wilayah lainnya pun
belum tentu dapat mengalahkannya. Maka, tentu saja
tantangan itu disambut suara tawa sombongnya.
"Sebutkan! Apa yang kau inginkan, Malaikat Gerbang
Neraka? Jangankan hanya kekayaan. Kepalaku pun boleh
kau ambil asalkan bisa mengalahkanku!" tantang Datuk
Panglima Sesat dengan takaburnya.
Kelihatannya, Datuk Panglima Sesat lupa akan kodrat
alam. Setiap sesuatu yang tinggi, tentu masih ada yang
lebih tinggi. Dan setiap ada orang pandai, maka akan
selalu ada orang yang lebih pandai. Sehingga, tidak ada
satu pun di dunia ini yang bisa di katakan paling besar
ataupun paling tinggi.
"Tidak perlu sampai sejauh itu, Datuk Panglima Sesat,"
sahut Malaikat Gerbang Neraka yang menjadi girang
melihat pancingannya ternyata membawa hasil. "Bila kalah,
kau cukup kujadikan pembantuku. Bagaimana?"
"Terserah apa saja maumu, Malaikat Gerbang Neraka.
Satu yang harus kau ingat! Kalau kau sampai kalah di
tanganku, maka bukan saja tidak melanjutkan cita-citamu.
Tapi, nyawamu pun akan segera pindah ke neraka!" ujar
Datuk Panglima Sesat sengaja menekankan kata-kata
'neraka' untuk memancing kemarahan laki-laki tinggi kurus
yang menjadi calon lawannya.
Namun, apa yang diharapkan Datuk Panglima Sesat
ternyata sama sekali tidak menjadi kenyataan. Sosok tinggi
kurus berjubah hitam itu tetap tenang dan angker. Seolah-
olah ucapan yang mengandung ejekan dari tokoh sakti
wilayah Timur itu sama sekali tidak didengarnya.
"Apakah kau sudah siap, Malaikat Gerbang Neraka...?"
ujar Datuk Panglima Sesat mengingatkan.
Sepertinya, dengan berbuat demikian hendak ditunjuk-
kan kalau ia berada pada tempat yang lebih tinggi dari
calon lawannya.
"He.... Semenjak berbicara tadi pun, aku sudah siap!"
sahut Malaikat Gerbang Neraka. Suaranya dingin dan tetap
tidak terpengaruh oleh ucapan calon lawannya.
Dua sosok tubuh yang sama tinggi itu berdiri tegak dan
saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Sepasang
mata mereka mencorong tajam saling meneliti sikap lawan.
Namun, sikap yang ditunjukkan Malaikat Gerbang Neraka
sama sekali tidak menunjukkan kesiagaannya. Sepertinya,
tokoh yang belum diketahui dari mana asalnya itu sama
sekali tidak berhasrat bertarung.
Tentu saja Datuk Pangllma Sesat menjadi jengkel me-
lihat sikap lawannya. Ia yang semenjak tadi menunggu
serangan lawan, jadi tidak sabar.
"Mengapa kau tidak menyerang, Malaikat Gerbang
Neraka? Apakah kau berubah pikiran?" tegur Datuk
Panglima Sesat. Nada suaranya jelas menunjukkan ke-
jengkelan hati.
"Hm... Kalau memang itu maumu, bersiaplah....'' sahut
laki-laki tinggi kurus itu. Nadanya tetap dingin dan tanpa
amarah.
Namun, di balik semua ketenangannya, tersembunyi
sifat sadis dan kejam yang bahkan melebihi kekejaman
para datuk sesat sekarang ini. Semua itu dapat terlihat
jelas dari pancaran sepasang matanya yang terkadang me-
nimbulkan kilatan aneh dan mengerikan.
Hati Datuk Panglima Sesat sempat bergetar juga
melihat sikap lawan yang bagaikan tak memiliki semangat
hidup itu. Namun, semua itu tertutup oleh rasa sombong di
hatinya. Dan ia hanya berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang untuk menghadapi serangan lawan.
"Sambut seranganku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang sempat
membuat Datuk Pangllma Sesat terkejut. Memang ketika
bentakan itu terdengar, sosok tinggi kurus di hadapannya
ternyata sudah lenyap entah ke mana. Sadar kalau lawan
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat langka,
maka tokoh sakti wilayah Timur itu segera mengerahkan
indera pendengarannya untuk menghadapi gempuran
lawan.
Wuttt!
Datangnya angin pukulan yang menimbulkan suara
mencicit tajam itu, membuat Datuk Panglima Sesat meng-
geser kaki kanannya ke samping kiri. Gerakannya dibarengi
egosan tubuh yang meliuk bagaikan seorang penari lihai.
Bahkan Datuk Panglima Sesat masih sempat juga
melancarkan serangan balasan yang cukup berbahaya.
Bettt! Bettt!
Dua pukulan balasan yang dilancarkan Datuk Panglima
Sesat hanya mengenai angin kosong, karena saat ttu tubuh
lawan kembali telah lenyap dari hadapannya.
Namun, kepekaan pendengaran laki-laki tinggi besar itu
memang patut mendapat acungan jempol. Begitu terasa
ada angin lembut di sebelah kanannya, kakinya yang besar
itu langsung saja melepaskan sebuah tendangan kilat yang
mengejutkan.
Zebbb!
Sayang serangan yang dilancarkan Datuk Panglima
Sesat kembali menghantam tempat kosong. Bahkan tubuh
lawan yang mengegos itu tiba-tiba muncul di depannya.
Langsung dikirimnya pukulan lurus menuju dada Datuk
Timur itu. Dari suara angin pukulannya yang mencicit
tajam, jelas kalau tenaga dalam yang terkandung dalam
pukulan lawan sangat kuat.
Tapi memang tidak percuma Datuk Panglima Sesat
menjadi tokoh kelas satu di wilayah Timur. Serangan yang
sangat cepat dan tak terduga itu sama sekali tidak mem-
buatnya gugup. Dengan sebuah gerakan mengejutkan,
tubuh laki-laki tinggi besar itu roboh ke belakang. Sambil
menjatuhkan diri dengan sikap telentang, dan bertumpu
pada telapak tangan, sepasang kakinya melakukan ten-
dangan beruntun ke dada lawan.
Pada jurus yang kedua puluh lima ini, Malaikat Gerbang
Neraka memperlihatkan kehebatannya. Kepalanya yang
semula meluncur lurus ke dada lawan, berputar cepat.
Langsung disambutnya dua tendangan lawan.
Plak! Plak!
Terdengar suara nyaring begitu dua gelombang tenaga
sakti yang sama kuat beradu. Dan dengan cerdiknya,
Malaikat Gerbang Neraka meminjam tenaga benturan
untuk mencelat di atas tubuh lawan. Ternyata lompatan
tubuhnya masih disertai sambaran telapak tangan yang
meluncur deras mangancam pelipis Datuk Panglima Sesat.
Sebuah serangan hebat, dan menandakan kecerdikan
tokoh sesat bertubuh tinggi kurus itu.
Bresssh!
Dua gelombang tenaga sakti yang sama dahsyatnya
kembali bertumbukan ketika Datuk Panglima Sesat men-
jatuhkan tubuh dan mendorongkan telapak tangannya
untuk menyambut tamparan lawan.
Hebat sekali akibat benturan dua gelombang tenaga
raksasa itu. Tubuh Malaikat Gerbang Neraka melambung
beberapa tombak ke udara. Hal itu terjadi, karena saat ber-
benturan, tubuh laki-laki tinggi kurus itu tengah berada di
udara. Sehingga, benturan itu tidak mendatangkan kerugi-
an baginya.
Sebaliknya, Datuk Panglima Sesat yang keadaannya
tengah telentang, merasakan tubuhnya bagai dihimpit
tenaga raksasa yang membuat dadanya sesak. Untunglah
kekuatan tenaga saktinya sudah sangat tinggi. Kalau tidak,
kemungkinan besar tokoh kelas satu wilayah Timur itu
akan menderita luka dalam yang parah.
"Haiiit..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh Datuk
Panglima Sesat melenting ke udara. Dan begitu kedua
kakinya menjejak tanah, tubuh tinggi besar itu meluncur
bagai sebatang tombak ke arah lawan.
Wuttt! Wutt!
Tubuh yang meluncur lurus itu masih dibarengi putaran
sepasang tangannya. Angin keras menyambar-nyambar
bagaikan putaran gelombang angin puyuh!
"Hmh...!"
Malaikat Gerbang Neraka hanya menggeram ketika
melihat datangnya serangan lawan. Sadar kalau Datuk
Panglima Sesat telah menggunakan seluruh tenaga
dalamnya, maka laki-laki tinggi kurus yang menggiriskan itu
pun memantek sepasang kakinya di atas tanah. Sementara
sepasang tangannya menyilang di depan dada.
"Heaaat..!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, laki-laki ber-
tubuh tinggi kurus itu mendorongkan sepasang telapak
tangannya menyambut hantaman sepasang telapak tangan
Datuk Panglima Sesat.
Wusss!
Wusss!
Dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama mengan-
dung hawa dingin meluncur deras mengiringi dorongan
telapak tangan mereka. Dan...
Blarrr..,!
"Aaakh...!"
Dataran di sekitar Lembah Tiga Setan seketika bagai-
kan diguncang gempa ketika dua tenaga raksasa yang
sangat dahsyat saling bertumbukan keras. Ledakannya
bagaikan gemuruh petir. Sehingga, membuat beberapa
orang tokoh sesat yang menyaksikan pertarungan maut itu
bergeletakan pingsan. Bahkan beberapa orang terlemah,
langsung tewas seketika! Rupanya, ledakan dahsyat itu
telah membuat dada mereka terguncang keras.
Akibat yang diderita Datuk Panglima Sesat pun cukup
parah. Tubuh laki-laki tinggi besar yang selalu mengenakan
seragam seorang panglima kerajaan itu terpental balik
dengan luncuran yang sangat deras.
Pada saat tubuh tinggi besar itu meluncur hendak
menabrak sebatang pohon sebesar dua pelukan orang
dewasa, sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat
menyambutnya.
Tappp!
Dengan gerakan sangat indah dan cekatan, sosok
bayangan putih itu langsung menangkap tubuh Datuk
Panglima Sesat. Sehingga, tubuh tinggi besar itu tidak
sampai membentur pohon besar di belakangnya.
Sebelum menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok
tubuh berjubah putih kumal itu berputar dua kali di udara.
Memang, sosok itu tak lain adalah Memedi Karang Api.
Rupanya, Datuk Wilayah Barat inilah yang telah menye-
lamatkan kawan seangkatannya itu.
"Ah...! Orang itu benar-benar lihai sekali, Memedi
Karang Api," aku Datuk Panglima Sesat yang sama sekali
tidak mengucapkan rasa terima kasih atas pertolongan
kakek itu.
"Benar. Tuanku Panglima Sesat. Nampaknya laki-laki
yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu benar-benar
patut dijadikan pimpinan tokoh golongan hitam," sahut
kakek berjubah putih lusuh itu seraya tersenyum gembira
"Dasar Memedi jembel! Apa kau pikir, aku bersedia
menerimamu sebagai pembantu, hanya karena telah
menolongku," sergah Datuk Panglima Sesat menimpali
ucapan Memedi Karang Api yang baru saja menyebutnya
sebagai 'Tuanku Panglima'. Karena kakek urakan itu hanya
sekadar bergurau, maka Datuk Panglima Sesat tidak
menjadi marah.
"Hm.... Apakah sekarang kau masih tidak setuju dengan
keinginan orang itu, Datuk Gila Pangkat?" kembali Memedi
Karang Api berkelakar.
Datuk Panglima Sesat tidak segera menjawab per-
tanyaan Memedi Karang Api. Dihapusnya cairan merah
yang saat itu masih mengalir di sudut bibirnya. Wajahnya
yang saat itu masih nampak pucat, mengulas senyum
dingin.
"Kau bagaimana..?" Datuk Panglima Sesat balik ber-
tanya.
Sepertinya laki-laki tinggi besar itu hendak menjajaki
hati sahabatnya terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Rasanya aku menyetujui keinginannya itu. Dan kalau
kita telah mengangkatnya, lalu ia berbuat macam-macam,
tinggal tebas saja batang lehernya. Beres kan?" ujar
Memedi Karang Api seenak perutnya.
"Huh! Kau pikir siapa kau ini! Kalau aku saja dapat
ditundukkannya dalam waktu kurang dari empat puluh
jurus, bagaimana denganmu yang sudah tinggal tulang
terbungkus kulit?" omel Datuk Panglima Sesat yang
merasa sebal dengan ucapan takabur kakek itu.
Makian itu sama sekali tidak membuat Memedi Karang
Api menjadi marah. Bahkan malah terkekeh melihat
kekesalan Datuk Panglima Sesat.
"Bagaimana, Sahabat..? Apakah masih perlu diadakan
perkelahian yang tidak berguna ini?" Tiba-tiba terdengar
teguran parau dari Malaikat Gerbang Neraka.
Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api sama-
sama menolehkan kepala mendengar pertanyaan itu.
Karena jarak di antara mereka masih terpisah beberapa
belas tombak, maka kedua orang datuk itu pun sadar
kalau Malaikat Gerbang Neraka telah menggunakan ilmu
"Mengirim Suara dari Jauh' dalam menyampaikan per-
tanyaannya. Dan lagi, hanya mereka bertigalah yang
mengetahuinya.
Kedua orang datuk sesat itu sama-sama meng-
anggukkan kepala sebagai isyarat menyetujui peng-
angkatan pemimpin golongan hitam itu.
"Bagus. Kalau begitu, kita segera mengatur rencana
secepatnya." sambilt Malaikat Gerbang Neraka seraya
menarik napas lega.
Kegembiraan tokoh tinggi kurus yang menggiriskan itu,
membuatnya melepaskan Garuda Mata Satu dan laki-laki
pendek kekar yang semenjak tadi hanya berdiri kaku
dalam keadaan tertotok.
"Terima kasih atas kebaikan hati Pemimpin Agung
terhadap kami," sembah kedua orang itu seraya men-
jatuhkan diri, langsung berlutut di depan Malaikat Gerbang
Neraka.
"Hm...," laki-laki tinggi kurus itu hanya menggeram
sambil mengibaskan tangannya menyuruh keduanya
bangkit.
"Bagi kedua datuk yang tidak hadir, biarlah aku yang
akan memberi pelajaran kepada mereka," tegas Malaikat
Gerbang Neraka.
Kemudian laki-laki berjubah hitam itu segera mengajak
tokoh-tokoh terkemuka untuk diajak berunding. Sedangkan
yang lainnya diperbolehkan meninggalkan Lembah Tiga
Setan.
***
TIGA
Saat ini, matahari baru saja menampakkan dirinya. Kokok
ayam jantan saling bersahutan menyambut datangnya
sang mentari pagi. Angin pagi yang segar, bersilir lembut
menyapa dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik
lirih.
Sayangnya, suasana pagi yang begitu tenang dan indah
harus terusik oleh suara derap kaki kuda bergemuruh.
Kepulan debu membumbung tinggj. Udara yang semula
bersih, kontan menjadi kotor dan gelap.
"Heyaaa.... Heyaaa...!"
Seorang laki-laki berkepala botak membedal kudanya
disertai teriakan nyaring. Di belakangnya tampak puluhan
orang laki-laki bertampang kasar yang juga menunggang
kuda. Rupanya, rombongan itulah yang telah merusak
suasana pagi yang hening dan indah ini.
Rombongan berkuda yang kurang lebih berjumlah dua
puluh orang itu terus memacu kudanya melewati per-
batasan sebuah desa. Itu terlihat dari adanya sebuah tiang
batu setinggi bahu laki-laki dewasa yang terpancang di
mulut desa.
Tak berapa lama kemudian, mulut Desa Karang Dadap
pun mulai terlihat. Beberapa orang petani yang hendak
berangkat ke sawah, bergegas menyingkir. Mereka yang
tidak sempat menyingkir langsung terlempar ke tepi jalan,
akibat tercambuk oleh orang-orang yang berkuda terdepan.
"Minggir... minggir!" bentak laki-laki berkepala botak
yang sebelah matanya tertutup kulit binatang.
Sambil berteriak-teriak, laki-laki itu melecutkan cambuk
di tangannya dengan bengis.
Ctarrr! Ctarr!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua orang petani yang tidak sempat menyingkir,
tersengat lecutan cambuk yang keras dan menyakitkan.
Tubuh mereka langsung terlempar ke tepi jalan. Darah
segar mengucur pada luka memanjang akibat kerasnya
sengatan cambuk itu.
Tanpa mempedulikan korban lecutan cambuknya, laki-
laki berkepala botak yang tak lain adalah Garuda Mata
Satu terus saja melanjutkan perjalanannya. Tak sedikit pun
terlintas rasa iba dalam hatinya meskipun korban lecutan
cambuk itu merintih kesaktian.
Begitu tiba di mulut Desa Karang Dadap, beberapa
orang yang berada di barisan belakang berlompatan turun.
Sedangkan Garuda Mata Satu dan sebagian yang lain terus
membedal kuda menyusuri jalan utama desa.
Sebagian kelompok rombongan berkuda yang ber-
lompatan turun di mulut desa langsung saja bergerak
memasuki rumah-rumah penduduk. Seketika, terdengar
jerit kematian yang susul-menyusul saat sepuluh orang
yang ternyata anggota perampok itu menyabetkan pedang.
Brettt! Brettt!
Darah segar langsung merembes bersama robohnya
penduduk desa yang hendak melakukan perlawanan.
Beberapa penghuni rumah terdepan yang terletak di mulut
Desa Karang Dadap langsung dibantai apabila melawan.
Sedangkan harta benda mereka digondol sepuluh orang
laki-laki bertampang bengis itu.
Tanpa mempedulikan jerit tangis wanita dan anak-anak
yang kehilangan orang tua maupun suaminya, para
perampok itu berlompatan ke atas punggung kuda mereka.
"Binatang kau! Dasar perampok laknat!"
Seorang wanita setengah baya berlari mengejar salah
seorang perampok yang telah membunuh suaminya. Tanpa
rasa takut, wanita itu menarik turun kaki perampok yang
bertubuh kurus. Wajahnya yang pucat telah dibasahi air
mata.
"Pergi kau. Perempuan Setan...!" bentak laki-laki kurus
itu sambil berusaha melepaskan kakinya dari pegangan
perempuan setengah baya yang bagai kerasukan setan.
Kegeraman laki-laki tinggi kunis itu bangkit ketika
cengkeraman wanita itu tidak juga mau terlepas dari
kakinya. Dengan luapan amarah, perampok itu menendang
dada wanita malang itu sekuat tenaga.
Buggg!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh wanita itu langsung
jatuh terjengkang. Darah segar menyembur dan mulutnya.
Belum lagi wanita malang itu sempat bangkit, perampok
yang telah kalap ini melompat turun. Langsung goloknya
ditusukkan ke dada wanita malang itu.
Darah segar pun langsung menyembur membasahi
tanah lembab. Diiringi jeritan pilu, tubuh wanita setengah
baya itu pun ambruk tak bergerak-gerak lagi.
"Ayo cepat berangkat..!" perintah anggota perampok
yang merupakan pimpinan sepuluh orang, dengan suara
lantang.
Tanpa menoleh lagi, anggota perampok bertubuh kurus
itu bergegas melompat ke atas punggung kudanya. Sesaat
kemudian, mereka membedal kudanya menyusuri jalan
utama Desa Karang Dadap tanpa mempedulikan korban
korbannya yang bergelimpangan di tengah jalan.
***
"Hei, berhenti..! Mau ke mana kalian…?" seru seorang
laki-laki berseragam hitam yang bertugas menjaga rumah
kediaman Kepala Desa Karang Dadap. Tubuhnya berdiri
tegap menghadang jalan masuk rumah kediaman sang
Kepala Desa.
Namun rombongan penunggang kuda itu sama sekali
tidak mempedulikannya. Mereka terus saja bergerak
masuk menuju halaman depan rumah besar itu
Merasa peringatannya tidak diindahkan, laki-laki ber-
seragam hitam itu melolos senjatanya yang berupa
sebatang golok panjang. Dengan sikap gagah, goloknya
dihunus untuk menghadapi kemungkinan yang bakal
dihadapi.
Garuda Mata Satu yang menjadi pemimpin rombongan,
tertawa terbahak-bahak. Saat itu juga, tangannya bergerak
melepaskan lecutan pecut di tangannya.
Ctarrr!
"Aaakh...!"
Hebat sekali lecutan yang dilancarkan Garuda Mata
Satu. Bagaikan seekor ular hidup, pecut itu langsung
melibat tangan laki-laki berseragam hitam yang meng-
genggam senjata. Dan sebelum orang itu sempat
menyadari apa yang terjadi, terdengar bentakan keras.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, Garuda Mata Satu mem-
betot gagang cambuknya. Dan tanpa dapat ditahan lagi,
tubuh laki-laki itu terjerunuk deras ke depan.
Cepat bagai kilat, tangan Garuda Mata Satu bergerak
cepat mencabut keluar senjatanya. Sekali mengibas saja,
terdengar teriakan ngeri yang disusul robohnya tubuh laki-
laki penjaga pintu gerbang Kepala Desa Karang Dadap
dalam keadaan mandi darah. Setelah berkelojotan sesaat
orang itu pun diam tak bergerak. Tewas, dengan luka
memanjang di lehernya.
"Ayo, tunggu apa lagi..?!" seru Garuda Mata Satu sambil
melompat turun dari punggung kudanya.
Dari gerakannya yang lincah dan ringan, dapat ditebak
kalau kepandaian Garuda Mata Satu tidak bisa dipandang
ringan.
"Hei?! Siapa kalian, hah! Pembunuh keji!" seru seorang
laki-laki bertubuh gendut yang mengenakan ikat kepala
berwama hitam.
Wajah laki-laki yang terhias brewok itu tampak
memucat melihat tubuh kawannya yang telah tergeletak
mandi darah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang itu
pun langsung berteriak memberitahukan kawan-kawannya
yang lain.
"Pembunuh...! Ada pembunuh...!" teriak laki-laki gemuk
itu sekuat tenaga.
Setelah berkata demikian, ia pun segera melolos keluar
senjatanya yang berbentuk golok. Tanpa rasa gentar sedikit
pun, dihadangnya rombongan itu dengan sikap gagah.
Teriakan laki-laki gemuk itu tentu saja membuat orang-
orang yang berada di dalam rumah besar berlarian ke luar.
Di tangan mereka tampak telah tergenggam senjata
telanjang.
"Sarpan! Ada apa…?" tanya seorang laki-laki bertubuh
tegap.
Wajah laki-laki itu terhias kumis tebal. Di tangannya
telah tergenggam sebatang tongkat dari kayu besi. Melihat
dari sikapnya yang berwibawa, jelas kalau dia termasuk
tokoh penting di Desa Karang Dadap.
"Jumala terbunuh, Kakang. Entah dari mana datangnya
rombongan manusia liar itu," lapor laki-laki gemuk yang
bernama Sarpan itu tergesa-gesa. Tangan kanannya yang
memegang golok, menuding rombongan yang tengah
berlarian ke arah mereka.
"Kurang ajar...! Cegah orang-orang liar itu...!" perintah
laki-laki tegap yang merupakan kepala keamanan di Desa
Karang Dadap itu. Kemudian, tubuhnya segera melayang
bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main
di angkasa.
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, tongkat di
tangannya langsung berkelebat melancarkan serangan ke
arah laki-laki terdepan. Dari sambaran tongkatnya yang
menimbulkan desir angin kuat, dapat ditebak kalau tenaga
sakti yang dimilikinya cukup tinggi.
Wuttt!
"Hmh...!"
Orang terdepan yang tak lain adalah Garuda Mata Satu
mendengus kasar. Melihat dari caranya memandang, jelas
kalau Garuda Mata Satu menganggap remeh lawannya.
Tubuhnya bergerak ke kiri menghindari sodokan tongkat
yang mengancam perutnya. Gerakan mengelak itu ternyata
masih dibarengi luncuran cambuknya yang melesat
mengancam leher lawan.
Bagali, laki-laki tinggi tegap yang merupakan kepala
keamanan Desa Karang Dadap ternyata bukan orang
lemah. Melihat datangnya lecutan cambuk yang meng-
ancam leher, cepat tubuhnya mengegos ke kiri sambil
membabatkan tongkat secara mendatar.
Namun, Garuda Mata Satu bukanlah tokoh kemarin
sore. Sepak terjangnya sebagai seorang kepala rampok
yang mempunyail banyak anggota telah terkenal. Bahkan
sifatnya sangat kejam, sehingga semakin ditakuti lawan-
lawannya. Tidak sedikit para tokoh golongan putih yang
tewas karena hendak mencegah perbuatannya.
Dalam menghadapi Bagali yang merupakan kepala
keamanan desa, Garuda Mata Satu seperti tidak merasa
perlu menggunakan ilmu andalannya. Selama bertarung
dalam dua puluh jurus, ia hanya menggunakan cambuknya
sebagai senjata.
Tapi, jangan dipandang ringan cambuk di tangan tokoh
sesat itu. Garuda Mata Satu terkenal sangat lihai dalam
permainan cambuk. Sehingga, wajar saja kalau Bagali
merasa kerepotan dalam menghadapi serangan cambuk
yang dilancarkan kepala rampok itu.
"Haiittt...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang kedua
puluh tiga, Garuda Mata Satu memekik nyaring.
Pekikannya yang mengejutkan masih disusul lesatan
tubuhnya. Berbarengan dengan itu, cambuk di tangannya
berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membuat
lawan kebingungan. Sehingga, keadaan Bagali benar-
benar terancam.
Ctarrr! Ctarrr!
Bunyi ledakan cambuk yang memekakkan telinga
kontan membuyarkan perhatian Bagali. Dan sebelum laki-
laki tegap itu sempat menyadari datangnya bahaya, tahu-
tahu saja cambuk lawan telah membelit lehernya.
Keterkejutan itu membuatnya melakukan gerakan
menebas. Maksudnya, untuk memutuskan senjata lawan.
Tapi, Garuda Mata Satu tidak ingin memberi
kesempatan kepada lawan untuk membebaskan diri.
Dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam, laki-
laki berkepala botak itu membetot cambuk yang membelit
leher Bagali. Begitu tubuh Bagali terjerunuk ke depan,
langsung disambiltnya dengan hantaman lutut
Buggg!
"Huagkh...!"
Tubuh Bagali terbungkuk akibat sodokan lutut yang
telah menghantam dadanya. Darah segar seketika
termuntah dari mulut laki-laki gagah itu. Belum lagi rasa
sakitnya lenyap, sebuah hantaman sisil telapak tangan
miring yang dilakukan Garuda Mata Satu membuatnya
menggelepar sekarat. Sesaat kemudian, Bagali pun
menghembuskan napas terakhirnya.
***
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara
para pengikut Garuda Mata Satu melawan para pengawal
kepala desa sudah pula hampir berakhir.
Anggota perampok yang berjumlah sepuluh orang
ternyata memiliki kepandaian lumayan. Sehingga, dua
belas orang pengawal Kepala Desa Karang Dadap harus
berusaha mati-matian mempertahankan selembar nyawa-
nya.
Darah segar sudah menggenang membasahi pelataran
rumah Kepala Desa Karang Dadap. Empat sosok mayat
sudah tergeletak dengan tubuh berlumuran darah segar.
Mereka adalah para pengawal kepala desa yang menjadi
korban keganasan para perampok.
Meskipun demikian, kedua belas orang pengawal
kepala desa lainnya tetap mempertaruhkan selambar
nyawanya untuk ketenteraman desa mereka. Sayang, per-
lawanan para pengawal itu seperti sta-sia saja. Apalagi
dengan terbunuhnya Bagali. Maka, keadaan mereka pun
semakin kocar-kacir.
"Heaaat..!"
Brettt! Crakkk!
"Aaakh...!"
Dua orang pengawal Kepala Desa Karang Dadap
kembali tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Kedua-
nya kontan tewas dengan luka yang sangat parah.
Kenyataan itu tentu saja semakin membuat yang lain
menjadi ciut nyalinya. Sehingga tanpa disadari serangan-
serangan mereka pun mulai tak beraturan.
Kekacauan perlawanan para pengawal kepala desa itu
membuat para pengikut Garuda Mata Satu semakin
bersemangat. Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun,
mereka segera membantai para pengawal satu persatu.
Malang sekali nasib anggota keamanan Desa Karang
Dadap. Satu persatu tubuh mereka berjatuhan dalam
keadaan tewas. Bau anyir darah pun semakin santer,
mengotori udara di sekitar halaman rumah kepala desa.
Selesai membantai belasan orang pengawal Kepala
Desa Karang Dadap, Garuda Mata Satu mengajak para
pengikutnya untuk memasuki rumah kediaman kepala
desa itu.
"Hei, Kacung! Di mana kepala desamu bersembunyi?
Cepat katakan, sebelum golokku menyembelih lehermu!"
bentak salah seorang pengikut Garuda Mata Satu, kepada
seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
"Ki..., Ki Kampala sedang menderita sakit, Tuan.
Beliau... terbaring di kamarnya." sahut laki-laki bertubuh
kurus kecil itu, gemetar. Wajahnya pucat bagai tak dialiri
darah. Saking kuatnya rasa takut melihat mata golok yang
menempel di kuat lehernya, sehingga celananya pun
basah. Dia terkencing-kencing!
"Bangsat! Huh...!" perampok berhidung besar itu
menjadi berang ketika mencium bau tak sedap yang
berasal dari celana kacung itu. Dengan wajah merah,
ditebasnya leher pelayan tak berdosa itu.
Tanpa mempedulikan tubuh pelayan yang menggelepar
mandi darah, laki-laki berhidung besar itu pun bergegas
mengikuti pemimpinnya memasuki kamar pribadi Ki
Kampala.
Brakkk!
Daun pintu yang terbuat dari papan tebal itu kontan
hancur berantakan akibat tendangan Garuda Mata Satu.
Sambil memperdengarkan suara tawanya yang ber-
kepanjangan, laki-aki berkepala botak itu bergegas
memasuki kamar.
Sepasang mata liar Garuda Mata Satu tertumbuk pada
pembaringan. Senyum iblisnya mengembang ketika
melihat dua sosok tubuh wanita yang tengah menunggui Ki
Kampala.
Sedangkan kepala desa itu sendiri tampak terbaring
lemah dengan wajah pucat.
"Seret dan bunuh orang tua tak berguna itu!" perintah
Garuda Mata Satu tanpa rasa iba sedikit pun.
"Oh...! Jangan, Tuan. Suamiku sedang sakit...," rintih
wanita berwajah manis, dan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun.
Sedangkan wanita yang satunya lagi, hanya dapat
memandang dengan mata membelalak ketakutan! Isaknya
terdengar lirih sambil memeluk tubuh wanita berwajah
manis itu.
"Dan itu anakmu, bukan…? He he he...," Garuda Mata
Satu menjilati bibirnya melihat gadis remaja berusia sekitar
tujuh belas tahun yang tengah memeluk tubuh ibunya
Sementara itu, dua orang anak buah Garuda Mata Satu
segera melaksanakan perintah pimpinannya. Ki Kampala
yang terbaring lemah segera diseret tanpa rasa belas
kasihan. Tidak dipedulikannya rintih kesakitan yang keluar
dan mulut laki-laki setengah baya itu.
Istri Ki Kampala menjerit-jerit memohon ampun sambil
memeluk kedua kaki Garuda Mata Satu.
"Dia..., dia sedang sakit, Tuan. Jangan siksa dia....
Bunuh saja aku. Atau kalau Tuan memerlukan harta,
silakan Tuan bawa semuanya asalkan kami jangan
diganggu." ratap wanita berwajah manis itu, memelas.
"He he he.... Wajahmu cukup manis, nisanak," ujar
Garuda Mata Satu samba mengelus pipi wanita itu.
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah para
pengikutnya, "Bawa dan kurung gadis ayu itu"
"Ibuuu…." gadis itu hanya dapat menangis ketika dua
orang pengikut Garuda Mata Satu membawanya keluar
dari kamar.
"Kalian boleh pergi dan jaga di depan. Kalau yang
lainnya sudah tiba, baru kita tinggalkan desa ini. Kelak
wanita ini akan kuserahkan pada kalian," ujar Garuda Mata
Satu dengan suara rendah.
"Baik..." jawab salah seorang pengikutnya yang segera
beranjak meninggalkannya.
Sepeninggal para pengikutnya, Garuda Mata Satu
mengalihkan perhatian kepada istri Ki Kampala. Seringai
iblis tersirat di wajah laki-laki bermata cacat itu.
"Nah! Kalau kau ingin suami dan anakmu selamat,
layanilah aku dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, terpaksa
mereka kusiksa sampai mati." bujuk Garuda Mata Satu
sambil mengelus punggung wanita itu.
"Jangan, Tuan…..! Aku.... mempunyai suami..," rintih
wanita itu dengan suara memelas.
Sadar kalau laki-laki berkepala botak itu berniat tidak
baik terhadap dirinya, maka ia pun berusaha melarikan diri
dari dalam kamar itu.
"Keparat! Dasar tidak tahu disayang orang..!" geram
Garuda Mata Satu, langsung disambarnya tubuh mulus itu
dan dilemparkan ke pembaringan. Sambil tertawa ter-
bahak-bahak, diterkamnya tubuh wanita malang itu.
Seketika terdengar rintih memelas dari istri kepala
desa itu. Namun suara itu bagi Garuda Mata Satu bagai
rintihan nikmat. Laki-laki bejat itu segera melampiaskan
nafsunya dengan napas memburu.
Setelah beberapa lama kemudian, Garuda Mata Satu
telah melepaskan hasrat bejatnya. Kini, kakinya melangkah
keluar dari kamar itu.
"Kawan-kawan kita yang lain sudah tiba, Ketua." lapor
salah seorang anggota perampok, menyambut kedatangan
Garuda Mata Satu.
"Hm.... Ayo kita tinggalkan tempat ini. Wanita tak tahu
diuntung itu terpaksa kubunuh, karena tidak menyenang-
kan hatiku. Bagaimana dengan kepala desa penyakitan
itu?" tanya Garuda Mata Satu kemudian.
"Sudah beres, Ketua." sahut orang itu lagi.
"Bagus. Ayo kita pergi, dan bawa serta gadis itu."
pertntah Garuda Mata Satu lagi.
"Ia.... ia telah bunuh diri, Ketua..." jawab pengikutnya
takut-takur.
"Setan…!" maki Garuda Mata Satu yang segera ber-
gegas ke luar, diikuti para pengikutnya.
***
EMPAT
"Batas Desa Karang Dadap," sebut seorang gadis jelita
berpakaian serba hijau, membaca tulisan yang tardapat
pada tiang batu setinggi bahunya. "Apakah kita akan
singgah di desa ini, Kakang?"
Kepala gadis itu segera menoleh ke arah seorang
pemuda tampan yang mengenakan jubah putih.
"Terserah kau? Apakah bernial ingin singgah, atau kita
mengambil jalan lain saja," sahut pemuda berjubah putih
menggerakkan bahunya sambil memandang ke sekeliling
tempat itu yang memang terdapat dua jalan.
"Lebih baik, kita singgah saja, Kakang. Kalau desanya
cukup ramai dan penduduknya ramah, kita bisa menginap
barang semalam," saran gadis jelita itu sambil menatap
wajah pemuda di sampingnya lekat-lekat. Seolah-olah, ia
ingin mendengar tanggapan pemuda itu tentang usul yang
diajukannya.
"Baiklah kalau itu maumu," jawab pemuda tampan itu
seraya tersenyum.
Setelah mendapatkan jawaban, wajah jelita itu tampak
berseri gembira. Kakinya kemudian melangkah mengiringi
pemuda berjubah putih yang berjalan tanpa terburu-buru.
Saat itu, matahari tengah memancarkan cahayanya
yang terik. Pantulan sinarnya yang menerobos rimbunan
pohon tampak memecah membentuk lingkaran garis-garis
berwarna-warni. Namun, semua itu sama sekail tidak
menarik perhatian mereka. Langkah kaki keduanya terus
saja terayun menyusuri jalan lebar yang menuju Desa
Karang Dadap. Tak sepatah kata pun yang terucap dari
mulut mereka. Sepertinya, kedua orang itu ikut terhanyut
oleh keheningan suasana di sekitarnya.
Ketika di kiri kanan jalan itu tampak membentang per-
sawahan luas, pemuda berjubah putih itu mengerutkan
keningnya. Sejenak langkahnya dihentikan, seraya meng
edarkan pandangan ke sekeliling menatapi sawah yang
berpetak-petak itu.
"Ada apa, Kakang? Mengapa berhenti...?" tegur gadis
jelita itu. Dia merasa heran melihat kerutan di wajah
pemuda tampan teman seperjalanannya.
"Hm.... Perhatikanlah di sekelilingmu. Apakah kau
melihat sesuatu yang ganjil...?" tanya pemuda itu seolah-
olah tidak mendengar pertanyaan tadi.
Pertanyaan yang mengandung teka-teki itu tentu saja
membuat gadis jelita ini mengerutkan kening. Namun, ia
tetap mengikuti permintaan itu meski dengan benak
dipenuhi pertanyaan.
Setelah agak lama memperhatikan sekelilingnya, gadis
jelita itu menolehkan kepala sambil mengangkat bahu.
Jelas kalau ia tidak menemui keanehan seperti yang
dimaksud pemuda itu.
"Kau tidak menemukannya, Kenanga?" tegur pemuda
berjubah putih yang tak lain adalah Panji dan berjuluk
Pendekar Naga Putih.
"Tidak. Apakah Kakang menemukan sesuatu yang aneh
di sekitar tempat ini? Tapi, sepertinya semua dalam
keadaan wajar...," sahut gadis jelita bagai bidadari sambil
menggelengkan kepala. Dan memang, gadis berpakaian
serba hijau itu adalah Kenanga.
"Ah! Mengapa pertanyaan semudah itu tidak dapat kau
temukan jawabannya? Coba perhatikan sawah-sawah itu.
Adakah kau lihat seorang petani di sana?" tanya Panji lagi
dengan maksud jelas, dan mudah dimengerti.
"Oh! Mengapa aku begitu bodoh! Persoalan sepe1e ini
seharusnya sudah dapat kuterka sejak tadi!" seru Kenanga
yang baru menyadari keanehan itu.
"Hm.... Ke mana saja pikiranmu sejak tadi?" ledek Panji
sambil tersenyum menggoda.
Tapi Kenanga yang sudah mulai mengerti apa yang
dimaksudkan kekasihnya, tidak menimpali ucapan itu.
Keningnya tampak berkerut dalam. Jelas, pikiran gadis
jelita itu tengah tenggelam oleh keanehan yang
ditemukannya.
"Hei! Kau memikirkan apa?" goda Panji sambil
mencubit hidung gadis jelita yang mungil dan mancung itu.
Kesadaran gadis itu baru tergugah ketika Pendekar
Naga Putih mencubit hidungnya. Lamunannya pun lenyap
seketika. Tapi, kali ini ia malah menatap wajah pemuda
kekasihnya lekat-lekat.
"Apa dugaanmu tentang keanehan ini, Kakang?" tanya
gadis itu sambil tetap memandang wajah kekasihnya.
Nampaknya Kenanga telah menyerah karena tidak
menemukan jawaban atas keanehan yang dilihatnya itu.
"Aku pun tidak bisa menebaknya secara pasti.
Sedangkan pesta panen biasanya diadakan malam hari.
Lagl pula, saat ini belum musim menuai. Tapi tidak adanya
para petani di sekitar persawahan luas ini, tentu karena
adanya sesuatu yang penting di dalam desa. Maka
sebaiknya kita lihat saja. Ayo!" ajak Panji yang segera
menarik lengan kekasihnya dan dibawanya berlari secepat
terbang.
Karena Kenanga dan Pendekar Naga Pufih
mengerahkan ilmu lari yang amat langka, sebentar saja
mereka telah tiba di mulut desa. Bau kamenyan yang
terasa menyengat hidung, membuat keduanya bergegas
memasuki desa itu.
Pendekar Naga Putih mulai membaui sesuatu yang
tidak wajar ketika kesepian yang mencekam menyambut
kedatangan mereka. Tentu saja mereka menjadi heran.
Sebab, bagaimana mungkin kalau persawahan yang padi-
nya telah mulai menguning, tapi desanya tidak ber-
penduduk. Lalu, siapa yang telah menggarap sawah yang
demikian luas itu?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hati Panji dan
Kenanga mulai mendekati jawaban ketika tiba di balai
desa. Bau kemenyan yang semakin menyengat, menyam-
but kedatangan pasangan pendekar muda itu.
Apa yang terbentang di depan mata mereka, benar-
benar membuat keduanya terkejut. Puluhan sosok mayat,
tampak berjejer memenuhi halaman depan balai Desa
Karang Dadap.
"Apa yang telah menimpa desa ini, Paman..?" tanya
Panji begitu melihat dua orang laki-laki setengah baya yang
muncul dari dalam balai desa.
Kening pemuda itu kembali berkerut ketika melihat
adanya luka memanjang pada wajah salah seorang dari
mereka. Jelas kalau luka itu bukan karena kecelakaan.
"Kalian berdua siapa? Dan apa maksud kalian datang
ke desa ini?" tegur laki-laki yang wajahnya terdapat luka.
Nada suara orang itu sama sekali tidak enak di dengar
telinga. Jelas, kedua laki-laki setengah baya itu tidak
menyukai kehadiran orang asing di desa mereka.
Karena suara pertanyaan orang itu cukup keras, maka
tiga orang laki-laki lain, dan enam orang wanita berusia
hampir separuh baya tampak berdatangan ke tempat itu.
Mereka muncul begitu saja dari dalam balai desa. Dari cara
memandang, jelas tersirat sinar kebencian mereka yang
mendalam terhadap Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
Panji yang memaklumi akan perasaan orang-orang itu
tersenyum sabar. Dengan sikap tetap tenang dan tanpa
merasa tersinggung, ia pun memperkenalkan diri.
"Maaf kalau kehadiran kami berdua telah mengganggu
ketenteraman Paman dan yang lainnya. Namaku Panji.
Sedangkan kawanku bernama Kenanga. Kami berdua
adalah perantau yang kebetulan lewat di desa ini. Karena
melihat keanehan dan juga mayat-mayat yang menurut
kami jelas diakibatkan senjata tajam, maka kami ingin
meminta sedikit keterangan dari Paman. Siapa tahu, kami
dapat membantu," jelas Panji dengan tutur kata sopan dan
wajah penuh senyum bersahabat.
Mendengar jawaban ramah itu, para penduduk Desa
Karang Dadap yang masih selamat saling bertukar
pandang sejenak. Kemudian, laki-laki bermuka codet yang
jelas merupakan sebuah luka baru itu memandang Panji
dan Kenanga penuh selidik. Sepertinya, orang itu masih
ragu dan hendak menilai kedua orang asing yang singgah
di desanya.
Laki-laki berwajah codet itu tertegun sejenak ketika
sepasang matanya tertumbuk pada gagang senjata yang
menyembul dari balik punggung Panji. Tatapan matanya
kemudian beralih kepada sosok gadis jelita itu. Maka
hatinya kembali tertegun. Karena, di pinggang ramping
gadis itu pun tampak gagang pedang yang seperti
melingkarinya.
"Kalau sekiranya kalian berdua memang bukan orang
jahat, tentu merupakan orang-orang persilatan yang
berjuluk pendekar? Lalu, manakah yang lebih benar?"
tanya laki-laki itu dengan wajah menegang. Jelas kalau
hatinya merasa tidak tenang setelah melihat Panji dan
Kenanga membawa pedang.
"Kami memang disebut sebagai pendekar persilatan.
Oleh karena itu, janganlah Paman dan yang lainnya merasa
takut. Bahkan kalau ada persoalan, kami berdua siap
membantu." sahut Panji yang terpaksa menerangkan apa
adanya. Dan memang, siapa tahu dengan pengakuannya
akan lebih mudah mendapatkan keterangan dari mereka.
"Ah! Kalau begitu, marilah kita masuk dan berbicara di
dalam," ajak si muka codet dengan wajah berubah ramah.
Dengan langkah agak terburu-buru, dibawanya Panji
dan Kenanga ke dalam balai desa.
***
"Jadi gerombolan perampok yang dipimpin laki-laki
berkepala botak dan bermata satu yang menyebabkan
kejadian ini?" tanya Panji meminta penegasan setelah
mendengarkan keterangan dari laki-laki bermuka codet,
tentang musibah yang baru saja tertadi di desa itu.
"Benar, Tuan Pendekar. Seluruh keluarga kepala desa
kami dan para keamanan, juga dibantai secara biadab oleh
perampok berhati iblis itu. Harta-harta kami semua
digondol. Beberapa orang penduduk yang mencoba
melawan, dibunuh secara kejam! Entah apa yang membuat
mereka begitu berani melakukan parampokan di pagi hari.
Padahal setahuku, para perampok itu biasa bertindak
hanya pada waktu malam saja." lanjut laki-laki bermuka
codet itu memberikan keterangan.
"Benar, Paman. Hal ini memang terdengar sangat aneh!
Tapi, sudahlah. Kami berdua akan membantu
menghentikan kejahatan para perampok yang tengah
merajalela itu," jelas Panji menghibur sisa penduduk Desa
Karang Dadap itu dengan janji yang akan ditepatinya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami benar-benar tidak
tahu, harus bagaimana untuk menghadapi gerombolan
perampok biadab itu. Dan kami pun ikut mendoakan,
semoga usaha yang Tuan Pendekar jalankan bisa
menghentikan kekejaman orang-orang liar itu. Lebih baik
lagi, mereka semua itu dibinasakan. Agar kejadian seperti
ini tidak menimpa desa-desa lain. Rasanya hati kami belum
puas kalau para perampok biadab itu hanya diberi
ampunan saja," tandas laki-laki bermuka codet itu lagi,
mengandung kegeraman.
"Benar, Tuan Pendekar. Orang-orang seperti mereka,
rasanya tidak layak dibiarkan berkeliaran di muka bumi ini.
Habisnya, kerja mereka hanya menjadi pengacau saja,"
timpal laki-laki setengah baya yang wajahnya tampak
sudah mulai berkeriput. Nada suaranya pun jelas mengan-
dung dendam yang sama besarnya dengan laki-laki ber-
muka codet itu.
Demikian pula para penduduk yang lainnya. Mereka
yang hanya tinggal beberapa orang pun mengajukan
tuntutan yang sama kepada Pendekar Naga Putih.
Sehingga, suasana di dalam ruang pertemuan balai desa
itu menjadi hiruk pikuk oleh seruan dendam mereka.
Panji tersenyum sabar mendengar tuntutan penduduk
Desa Karang Dadap. Perlahan kedua tangannya diangkat
ke atas untuk menghentikan suasana gaduh itu.
"Saudara-saudara sekalian." ucap Panji setelah
suasana menjadi tenang kembali. Dirayapinya wajah-wajah
sedih yang berjejer di hadapannya. "Meskipun orang-orang
itu telah bertindak di luar batas kemanusiaan, tapi aku
yakin mereka hanya sekedar boneka yang digerakkan
orang lain. Dan kalau ternyata mereka masih bisa diajak
sadar, lalu bisa kembali ke masyarakat, apa salahnya
kalau kita memaafkan. Dengan demikian, bukankah kita
telah melepas satu kebaikan dan melenyapkan kejahatan.
Tapi kalau gerombolan perampok itu tidak mau sadar,
terpaksa kita berikan pelajaran yang lebih keras"
Mendengar keterangan Panji yang panjang lebar, sisa
para penduduk Desa Karang Dadap menundukkan kepala
dalam-dalam. Jelas, mereka belum dapat melupakan apa
yang telah menimpa saudara-saudara mereka. Sehingga,
apa yang diuraikan pemuda tampan itu sama sekali tidak
bisa diterima. Hanya saja mereka tidak berani membantah-
nya.
Panji pun bukan tidak mengetahui apa yang tengah
dirasakan mereka saat itu. Dan ia pun maklum kalau
perkataannya tidak dapat diterima para penduduk. Tapi
biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih telah cukup puas
dengan kata-kata berupa nasihat yang diucapkannya.
"Karena semuanya telah cukup jelas bagjku, ada
baiknya kalau mayat-mayat itu dikuburkan sekarang.
Setelah itu, kalian dapat beristirahat dengan tenang, atau
dapat juga mengerjakan sawah yang terbengkalai," usul
Panji setelah merasa tidak ada lagi keterangan yang
dipertukan.
Laki-laki bermuka codet dan yang lainnya hanya
mengangguk sebagai tanda setuju atas usul pemuda
tampan itu. Bergegas mereka bangkit dan mengikuti
pemuda yang telah melangkah keluar bersama gadis jelita
teman seperjalanannya.
Penguburan puluhan mayat itu tidak berlangsung lama.
Apalagi, Panji menggunakan tenaga saktinya untuk
membuat sebuah lubang besar yang kira-kira cukup untuk
menguburkan mayat-mayat. Semuanya ditanam sekaligus
untuk menyingkat waktu.
Setelah selesai menguburkan puluhan mayat-mayat,
Panji dan Kenanga pun berpamitan. Mereka berdua
berjanji untuk menghentikan kekejaman para perampok
yang kini tengah mengganas itu.
Para penduduk Desa Karang Dadap menyertai
kepergian Panji dan Kenanga. Mereka berharap agar apa
yang dilakukan pasangan pendekar itu dapat berhasil baik.
***
LIMA
Kekejaman dan keganasan para perampok yang semakin
bertambah berani tentu saja membuat seluruh tokoh
golongan putih menjadi geram. Beberapa perguruan yang
merasa berkewajiban mencegah dan menghentikan
keganasan para perampok, segera mengirimkan murid-
murid terbaik mereka. Bahkan beberapa perguruan malah
menurunkan ketuanya sendiri yang dibantu murid-murid
terpandainya. Seolah-olah perbuatan para perampok itu
memang sengaja hendak menantang tokoh-tokoh golongan
putih.
"Hm.... Hal ini memang tidak bisa berlangsung berlarut
larut. Siapa lagi yang akan mencegah kalau bukan orang-
orang seperti kita? Tidak ada gunanya mengharapkan
tentara-tentara kerajaan ataupun kadipaten. Aku pikir,
mana mungkin mereka akan menurunkan demikian
banyak tentara untuk membasmi para perampok yang
tempatnya berlainan. Apalagi, tempat perampok itu ber-
pindah-pindah. Bisa-bisa hal itu hanya akan mengganggu
ketenteraman rakyat saja," kata seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun dengan berapi-api.
Sedangkan tiga orang lainnya hanya mendengarkan
penuh perhatian. Melihat dari lambang yang tersulam di
dada kiri pakaian yang tidak berbeda. Jelas kalau keempat
orang laki-laki itu merupakan saudara satu perguruan.
Pada dada kiri mereka memang terdapat sulaman ber-
gambar ombak laut berwarna biru bercampur putih.
"Benar, apa yang kau katakan itu, Kakang Badalawa.
Perbuatan para perampok itu memang telah melewati
ukuran. Bayangkan saja. Dalam beberapa pekan terakhir
ini, sudah banyak desa yang menjadi korban keganasan
mereka. Dan yang lebih membuat geram, perampokan dan
pembunuhan itu dilakukan tanpa mengenal waktu. Kalau
siang maupun pagi mereka sudah berani bergerak, jelas
kalau perbuatan itu memang sengaja untuk menantang
orang-orang golongan putih. Dan ini tidak bisa didiamkan,"
timpal laki-laki lain yang berusia sepuluh tahun lebih muda
dari laki-laki yang dipanggil Badalawa. Alisnya yang tebal
dan hitam tampak bergerak-gerak ketika mengucapkan
kata-katanya.
"Hm. Coba kalian dengar baik-baik. Suara bergemuruh
itu jelas seperti rombongan orang berkuda. Bukankah
menurut kabar, para perampok itu selalu datang menung-
gang kuda?" kata laki-laki lain yang bertubuh tinggi namun
berperawakan tegap.
Sambil berkata demikian, ia memandang yang lainnya
bergantian. Sepertinya ia hendak meminta pendapat dari
kawannya.
"Hm.... Derap kaki kuda itu jelas tengah menuju ke arah
kita. Ada baiknya kalau kita bersembunyi di balik semak-
semak itu untuk melihat apakah dugaan kita benar," usul
Badalawa yang merupakan orang tertua di antara mereka.
Mendengar usul yang cukup bisa diterima, ketiga orang
lainnya sama-sama menganggukkan kepala tanda setuju.
Sesaat kemudian, tubuh mereka lenyap di balik rimbunan
semak belukar yang banyak terdapat di tepi jalan.
Tidak berapa lama setelah tubuh mereka lenyap, ter-
dengar suara bergemuruh yang semakin dekat. Kepulan
debu membumbung tinggi menandakan kalau rombongan
penunggang kuda itu cukup banyak jumlahnya.
Badalawa dan kawan-kawannya menanti berlalunya
rombongan berkuda itu dengan hati tegang. Memang,
menilik derap kaki kuda yang bergemuruh, dapat diduga
kalau jumlah mereka cukup banyak. Sehingga, ketegangan
mereka pun semakin memuncak.
"Heya... Heyaaa...!"
Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat yang berada di
depan berteriak-teriak untuk mempercepat lari kudanya.
Melihat dari sikap dan tingkahnya. Jelas kalau ia adalah
kepala rombongan.
Keempat orang yang tengah bersembunyi di balik
semak-semak di tepi jalan itu semakin menundukkan
kepala ketika rombongan itu lewat di depan mereka.
"Hayo, cepat ikuti mereka...!" perintah Badalawa ketika
penunggang kuda terakhir telah lewat beberapa tombak
dari tempat persembunyian mereka.
Setelah menutup sebagian wajah dengan sabuk yang
melilit pinggang, keempat laki-laki gagah itu bergegas
melakukan pengejaran menggunakan ilmu lari mereka.
Badalawa mengisyaratkan kawan-kawannya untuk
mengatur jarak agar tidak terlalu dekat dengan rombongan
berkuda itu. Untungjah kepulan debu yang membumbung
membuat tubuh mereka agak terlindung. Sehingga,
Badalawa dan kawan-kawannya yang mengikuti dalam
jarak sepuluh tombak, tidak sampai terlihat rombongan itu.
Apalagi terkadang keempatnya menyelinap di antara
rerimbunan semak-semak.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan orang-orang
berkuda itu pun mulai memasuki sebuah mulut hutan.
Badalawa dan kawan-kawannya menarik napas lega.
Sebab dengan demikian, mereka akan lebih mudah dan
aman dalam mengikuti rombongan itu.
Pada saat rombongan penunggang kuda itu tiba pada
sebuah dataran yang cukup luas dan terbuka, laki-laki
tinggi kurus mengangkat tangan kanannya ke atas.
Sedangkan ia sendiri sudah memperlambat lari kudanya,
kemudian berhenti sama sekali.
"Kita bermalam di dalam hutan ini...!" perintah laki-laki
tinggi kurus itu dengan suara lantang. Lalu dengan gerakan
ringan, tubuhnya meluncur turun dari atas punggung kuda.
Tapi, Ketua…. Bukankah hari masih siang,..? Mengapa
perjalanan ini tidak dilanjutkan saja?" bantah salah
seorang anggota rombongan yang sepertinya kurang
menyetujui perintah laki-laki tinggi kurus itu.
Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat yang tak lain
Tengkorak Hutan Jati menolehkan kepala dengan kening
berkerut. Jelas, ia merasa tidak senang atas bantahan
salah seorang anggotanya.
"Hm.... Kau tahu apa?! Kalau kuperintahkan bermalam
di dalam hutan ini, turutilah. Jangan sekali-sekali mem-
bantah perintahku. Mengerti?!" ujar Tengkorak Hutan Jati
sambil melangkah maju dengan sikap mengancam.
Tokoh yang terkenal kejam dan bertangan dingin ini
sepertinya sudah siap menjatuhkan tangan maut kepada
anggotanya yang membantah itu. Untunglah, orang itu
sempat menyadari kesalahannya dan cepat melompat
turun dari atas punggung kuda.
"Ampun, Ketua... Aku hanya mengajukan usul," sahut
orang itu sambil menjatuhkan diri, berlutut di depan kaki
Tengkorak Hutan Jati. Wajahnya tampak pucat dengan
butir-butir keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
"Bagus, kalau kau menyadari kesalahanmu. Sekarang
beristirahatlah. Dan, jangan coba-coba bertingkah macam-
macam lagi!" ancam Tengkorak Hutan Jati, dingin.
"Terima kasih, Ketua ... Terima kasih...," ucap orang itu
sambil mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali.
Kemudian tanpa banyak cakap lagl, orang itu segera
menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Kemudian
segera berkumpul dengan kawan-kawannya yang lain.
***
Rombongan perampok yang baru saja hendak
melepaskan lelah itu, tersentak bangkit ketika tiba-tiba
mendengar bentakan. Dengan sigap, mereka lalu men-
cabut senjatanya masing-masing dan siap menghadapi
segala kemungkinan.
"Perampok-perampok laknat! Kalian tidak patut dibiar-
kan hidup!"
Belum juga bentakan keras itu hilang gemanya, tiba-
tiba berlompatan delapan sosok tubuh dari atas pohon di
sekeliling tempat itu.
Delapan orang laki-laki mengenakan seragam biru laut,
kembali melenting ketika kaki mereka menjejak tanah. Dan
sesaat saja, delapan orang laki-laki yang bersikap gagah itu
telah berdiri berjajar sambil menghunus senjata.
"Tenang..!" seru Tengkorak Hutan Jati sambil
merentangkan tangan kanannya ke samping.
Seruannya yang cukup keras membuat para anggota
perampok yang semula bersiap hendak menerjang, meng-
hentikan langkahnya. Mereka berdiri di belakang pimpinan-
nya, bersikap mengancam.
Dengan langkah tenang, Tengkorak Hutan Jati men-
dekati delapan orang laki-laki yang jelas menantang
mereka. Setelah merayapi dan meneliti lambang dua
pedang yang bersulam benang perak di dada delapan
orang itu, terdengar suara bernada meremehkan.
"Hm…. Rupanya Perguruan Pedang Perak telah mengi-
rimkan tokoh-tokohnya untuk menguntitku. He he he...
Bodoh sekali si tua Jalaksa itu! Mengapa ia begitu ceroboh
mengirimkan murid-muridnya untuk mencegah perbuatan-
ku? Lebih baik kalian kembali, daripada datang hanya
untuk mengantarkan nyawa sia-sia. Ketahuilah! Di tengah
Hutan Jelaga ini akan diadakan pertemuan. Cepatlah
kalian pergi sebelum yang lainnya berdatangan." ujar
Tengkorak Hutan Jati dengan bibir mengulas senyum
menyakitkan. Sikap yang ditunjukkannya juga terlihat
angkuh.
Delapan laki-laki berseragam biru laut yang memang
merupakan murid Perguruan Pedang Perak sejenak
tertegun mendengar ucapan Tengkorak Hutan Jati. Mereka
saling berpandangan sesaat untuk mengambil keputusan.
Setelah mendapatkan kata sepakat dengan isyarat
anggukan kepala, salah seorang yang berusia lima puluh
tahun melangkah dua tindak ke depan. Dengan memasang
wajah setenang mungkin, ditatapnya mata Tengkorak
Hutan Jati, tidak kalah gertak.
"Hmh! Apa kau pikir kami akan percaya begitu saja oleh
ucapan kosongmu itu? Tidak, Tengkorak Hutan Jati.
Biarpun semua tokoh kaum sesat telah berkumpul di
tempat ini, kami tetap tidak akan mundur selangkah pun!"
tegas orang itu. Nada suaranya ditekan hingga terdengar
mantap dan penuh ketegasan.
"Ha ha ha...!" tawa Tengkorak Hutan Jati meledak
ketika mendengar ucapan orang itu.
Sesaat kemudian, tawanya pun lenyap. Lalu, ditatapnya
wajah orang itu lekat-lekat.
"Hm... Kau tentu yang bernama Subadil, tokoh kedua
Perguruan Pedang Perak, bukan? Hm.... Julukan Pedang
Setan yang kau dapatkan rupanya telah membuatmu
merasa hebat. Seolah-olah, tidak ada lagi yang melebihi
kepandaianmu. Tapi, ketahuilah. Apa yang kukatakan tadi
bukan hanya sekadar omong kosong belaka. Sayang, kau
sudah membuatku muak. Jadi rasanya tidak mungkin lagi
aku membiarkan kalian pergi dari tempat ini dengan
kepala utuh!" sahut Tengkorak Hutan Jati dengan sinar
mata penuh ancaman.
Bukan hanya Pedang Setan dan rombongannya saja
yang terkejut mendengar ucapan Tengkorak Hutan Jati itu.
Bahkan Badalawa dan tiga orang adik seperguruannya
yang masih bersembunyi di semak-semak itu pun menjadi
pucat. Memang, melihat dari nada ucapan dan wajah laki-
laki tinggi kurus itu, jelas kalau itu tidak hanya gertakan.
Sehingga, keempat orang itu pun menjadi tegang karena-
nya.
Sadar kalau kedelapan orang murid Perguruan Pedang
Perak itu akan menghadapi bahaya, maka Badalawa dan
tiga orang temannya pun segera berlompatan ke luar.
Tengkorak Hutan Jati dan para pengikutnya bergerak
mundur ketika melihat empat sosok tubuh lain ber-
lompatan dari balik semak-semak.
"He he he... Bukan main.., bukan main! Rupanya bukan
hanya murid Perguruan Pedang Perak saja yang mengikuti-
ku. Kalian orang-orang Partai Ombak Selatan pun tertarik
juga dengan rombonganku ini? Bagus… bagus..! Nyawa-
nyawa kalian akan sangat lebih berharga daripada harta
rampokanku!" kata Tengkorak Hutan Jati sambil tertawa
terbahak-bahak.
Laki-laki Tinggi kurus itu tetap saja menampakkan
kegarangannya meskipun saat itu tengah berhadapan
dengan dua kelompok murid perguruan terkenal sekarang
ini. Sepertinya, Tengkorak Hutan Jati sangat yakin sekali
akan kemampuan dirinya. Sehingga, ucapan-ucapannya
pun tetap saja bernada meremehkan.
"Sahabat. Sepertinya apa yang diucapkannya bukan
hanya sekadar gertakan saja. Sebaiknya, kita lekas-lekas
meninggalkan tempat ini sebelum terlambat" usul
Badalawa.
Laki-laki itu jelas mulai mempercayai ucapan
Tengkorak Hutan Jati. Pikirnya, lebih baik berhati-hati dan
tidak menuruti amarah. Bukan tidak mungkin kalau tempat
itu benar-benar akan menjadi ajang pertemuan para tokoh
sesat. Kalau sampal hal itu terjadi dan mereka masih tetap
berada di dalam Hulan Jelaga, sudah pasti kematian dan
siksaan pedihlah yang akan diterima.
Ucapan Badalawa membuat Subadil yang berjuluk
Pedang Setan berpikir sejenak. Sebenarnya, ia pun sudah
mulai yakin kalau ucapan Tengkorak Hutan Jati itu bukan
hanya sekadar gertakan saja. Hal itu dapat dilihat jelas dari
sikapnya yang sangat tenang.
"Rasanya, memang ada baiknya kalau kita segera
meninggalkan tempat ini dulu. Biarlah kita lihat dulu
perkembangan selanjutnya saja. Masih banyak waktu
untuk membekuk tengkorak kering itu," sahut Subadil yang
segera saja menyetujui usul Badalawa.
Memang, meskipun Subadil belum mengenal laki-laki
itu sepenuhnya, namun nama Partai Ombak Selatan
merupakan jaminan yang patut dipercaya.
"Hah! Mau pergi ke mana kalian...? Bukankah sudah
kukatakan, kesadaran kalian tertambat sekali datangnya.
Sekarang pintu keluar sudah tertutup," kata Tengkorak
Hutan Jati mencegah kepergian murid-murid dua per-
guruan terkenal itu.
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus itu
mengibaskan tangannya ke kiri dan ke kanan disertai
perintahnya.
"Kepung dan habisi mereka kecuali kedua orang itu...!"
perintah Tengkorak Hutan Jati dengan lantang dan sikap
bengis.
Mendengar perintah pemimpinnya, dua puluh anggota
perampok itu pun bergerak mengurung kedua belas orang
laki-laki yang menjadi tegang karenanya.
"Jelas, mereka tidak main-main. Kita harus segera
membuka jalan darah!" ujar Badalawa yang segera
mencabut keluar pedang yang terselip di pinggang.
Perbuatan Badalawa, diikuti oleh tiga orang saudara
seperguruannya. Mereka segera melolos senjata masing-
masing dan menyilangkan di depan dada, siap menghadapi
pertarungan maut.
Si Pedang Setan pun melakukan perbuatan serupa.
Sinar putih keperakan berkelebat ketika laki-laki setengah
baya itu mencabut keluar senjatanya. Demikian pula tujuh
orang murid Perguruan Pedang Perak. Senjata-senjata
mereka pun telah tergenggam erat di tangan masing-
masing.
"He he he...! Ayo, Anak-anak. Sikat habis mereka....''
perintah Tengkorak Hutan Jati dengan tawanya yang
mengekeh.
Setelah mengeluarkan perintah demikian, Tengkorak
Hutan Jati sendiri melangkah beberapa tindak ke belakang.
Perbuatan Tengkorak Hutan Jati itu tentu saja mem-
buat Subadil mengerutkan keningnya. Dia sedikit heran
melihat sikap tokoh sesat yang biasanya terkenal kejam
tanpa ampun itu. Diam-diam, Pedang Setan meningkatkan
kewaspadaannya. Dia berjaga-jaga, kalau kalau manusia
licik itu akan berbuat curang.
Sayang Subadil tidak sempat lagi mengikuti gerak-gerik
tokoh sesat yang amat dibencinya. Sebab pada saat itu
juga, para pengikut Tengkorak Hutan Jati telah menerjang
disertai teriakan-teriakan yang bersahut-sahutan.
"Heaaat…!"
Melihat para perampok sudah datang menyerbu, dua
belas orang laki-laki gagah itu pun berteriak nyaring. Saat
itu juga, tubuh mereka langsung meluruk maju menyambut
serangan orang-orang liar itu.
Dalam sekejap saja, pertarungan yang semrawut itu
pun pecah. Dentang senjata yang ditingkahi teriakan-
teriakan nyaring, membuat suasana Hutan Jelaga yang
semula terkungkung sepi mendadak bising.
"Heaaa...!"
Badalawa berseru keras sambil menyabetkan senjata
dengan gerakan berputar. Empat orang anggota perampok
yang mengeroyoknya menjadi terkejut melihat datangnya
desingan mata pedang yang cepat dan kuat itu.
Trang! Trang! Brettt!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua orang anggota perampok yang sempat menangkis
datangnya sambaran pedang Badalawa, terlempar sejauh
satu batang tombak ke belakang dengan wajah
menyeringai kesakitan. Sedangkan senjata mereka ter-
lepas, entah ke mana.
Berbeda dengan dua orang perampok lainnya. Mereka
yang tidak sempat menyelamatkan diri, kontan ter-
jerembab mandi darah. Luka menganga di perut kedua
orang itu, membuat mereka terpaksa harus merelakan
nyawanya.
Selesai merobohkan empat orang lawan, Badalawa
terus melompat menerjang anggota perampok lain yang
tengah mengeroyok kawan-kawannya. Apa yang semula
diduga laki-laki gagah murid utama Partai Ombak Selatan
itu ternyata meleset. Semula, dikira para anggota
perampok itu hanya terdiri dari orang-orang kasar yang
hanya mengandalkan kekuatan tenaga luar saja. Ternyata
hampir semua anggota perampok di bawah pimpinan
Tengkorak Hutan Jati, rata-rata memiliki kepandaian
lumayan. Sehingga, untuk dapat merobohkan mereka
diperlukan paling sedikit tiga jurus. Melihat kenyataan itu
tentu saja membuatnya cemas.
"Jangan ladeni mereka! Yang penting, buka jalan darah
agar kita dapat keluar dan kepungan ini...!" ujar Badalawa
dengan suara lantang.
Setelah berseru demikian, ia segera menerobos
kepungan empat orang yang berada di sebelah kiri.
Wuttt! Wukkk!
Senjata di tangan laki-laki gagah itu berkelebatan bagai
kilat, membawa hawa maut! Rupanya dalam kecemasan
hatinya, Badalawa telah mengerahkan segenap
kemampuan untuk bisa menerobos kepungan.
Sepertinya, apa yang dilakukan Badalawa akan mem-
bawa hasil yang baik apabila sosok tinggi kurus yang ter-
nyata adalah Tengkorak Hutan Jati tidak segera turun
tangan.
Kedatangan kepala rampok yang langsung melontar-
kan pukulan maut ke arahnya, membuat gempuran
Badalawa tertahan. Maka dengan sangat terpaksa, segera
dilayaninya Tengkorak Hutan Jati dengan segenap
kemampuannya.
"Haiiit…!"
Setelah mengelakkan pukulan lawan, laki-laki gagah itu
langsung melancarkan serangan balasan dengan tusukan
lurus yang siap menghunjam belahan dada.
Siuttt!
"Heahhh...!"
Tengkorak Hutan Jati membentak keras sambil
memiringkan tubuhnya ke kiri. Gerakan itu dibarengi
sambaran tangan kirinya yang melibat lengan Badalawa.
Gerakannya sangat cepat dan bertenaga. Akibatnya,
Badalawa bergegas memutar balik mata pedangnya.
Gerakan itu dilakukan sambil menarik pulang aenjatanya.
Maksudnya untuk merobek lengan lawan.
Sadar kalau serangannya apabila diteruskan bisa mem-
buat lengannya terluka, maka laki-laki tinggi kurus itu ber-
gegas menarik kaki kirinya ke belakang. Gerakan itu masih
disertai liukan manis tubuhnya sambil membarengi dengan
sodokan jari-jari tangan lurus yang melesat mengancam
perut Badalawa.
Tuggg!
"Hugkh...!"
Tubuh Badalawa terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sodokan jari-jari tangan yang keras bagai besi itu telah
menusuk perutnya.
Kepala rampok yang terkenal kejam itu tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan baik yang dimilikinya. Maka,
selagi tubuh lawan limbung, segera dikirimkannya sebuah
tendangan keras ke dada Badalawa.
Zebbb!
Plakkk!
"Uhhh...!"
Untunglah pada saat yang sangat berbahaya, sesosok
tubuh gemuk melayang dan langsung memapak tendangan
Tengkorak Hutan Jati.
Tangkisan telapak tangan yang mengandung tenaga
kuat, membuat laki-laki kurus itu mengeluh pendek.
Tubuhnya yang jangkung berputar bagai gasing.
Sosok tubuh gemuk yang tak lain Subadil, berniat
hendak menyusuli serangannya. Namun, gerakannya ter-
henti ketika mendengar derap kaki kuda bergemuruh.
Bukan hanya gerakan Subadil saja yang menjadi ber-
henti karenanya. Bahkan tokoh golongan putih dari dua
perguruan yang berbeda serentak berlompatan mundur
dengan wajah tegang.
"Celaka…! Rupanya ucapan Tengkorak Hutan Jati
memang bukan sekadar gertakan kosong saja...!" seru
Badalawa, perlahan. Wajah laki-laki gagah murid utama
Partai Ombak Selatan itu pun berubah tegang.
"Apa lagi yang harut kita tunggu? Ayo pergi…!" ajak
Subadil.
Murid utama Perguruan Pedang Perak itu sudah dapat
menebak, dari pihak mana rombongan berkuda yang
tengah menuju ke tempat itu. Memang, hanya rombongan
para perampok itu saja yang biasa menggunakan kuda
sebagai tunggangan. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, tubuh laki-laki setengah baya itu pun segera melesat
diiringi kawan-kawannya yang lain.
"Ha ha ha... Mau lari ke mana kalian..?!" tiba-tiba ter-
dengar seruan keras yang membuat lutut beberapa orang
di antara tokoh golongan putih itu menjadi lemas.
Beberapa tombak di depan mereka, tampak seorang
laki-laki tinggi besar mengenakan pakaian seorang
Panglima kerajaan. Sedangkan di belakang orang itu masih
terdapat sosok-sosok tubuh lain.
***
ENAM
"Datuk Panglima Sesat..!" desis Badalawa dan Subadil ber-
barengan.
Wajah kedua orang tokoh persilatan yang merupakan
orang kedua dalam perguruan masing-masing menjadi
pucat seketika.
"Celaka...! Rasanya hari ini kita tidak akan lolos dari
kematian...." bisik Subadil dengan wajah tegang. Keringat
tampak semakin mengalir deras dari tubuhnya.
Tentu saja hati kedua orang tokoh itu menjadi cemas.
Kehadiran datuk sesat wilayah Timur itu membuat peluang
untuk melarikan diri mendadak sirna. Siapa pula yang tidak
mengenal tokoh yang menggiriskan itu? Biarpun Subadil
merupakan tokoh tingkat atas di perguruannya, namun
untuk dapat menandingi Datuk Panglima Sesat rasanya
masih harus belajar selama tiga puluh tahun lagi.
Jangankan dirinya yang hanya merupakan tokoh kedua di
Perguruan Pedang Perak. Bahkan Ki Jalaksa yang menjadi
ketuanya pun belum tentu dapat menandingi kesaktian
tokoh luar biasa itu. Dan kenyataan itu membuat ia pasrah
untuk menghadapi hingga titik darah yang penghabisan.
"Bagaimana ini, Kakang...? Apa yang harus kita
lakukan...?" tanya salah seorang murid utama Perguruan
Pedang Perak sambil menatap Subadil untuk meminta
pertimbangan.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus menghadapi mereka
dengan sekuat tenaga." tandas Subadil.
Belum lagi rasa terkejut mereka lenyap dengan
kehadiran Datuk Panglima Sesat, terdengar derap kaki
kuda yang bergemuruh mendatangi tempat itu.
Badalawa, Subadil, dan sepuluh orang tokoh lainnya
sama-sama menolehkan kepala ke arah rombongan
berkuda itu. Dan hati mereka semakin berdebar ketika
mengenali kepala rombongan berkuda itu.
"Garuda Mata Satu..?" desis Subadil yang segera saling
bertukar pandang dengan Badalawa.
Kedatangan rombongan Garuda Mata Satu yang mem-
bawa dua puluh orang anggotanya membuat keadaan para
tokoh golongan putih semakin terjepit. Lenyap sudah
harapan untuk dapat melihat terbitnya matahari esok pagi.
Sebab untuk dapat lolos dari tempat itu, jelas mustahil.
"He he he... Kasihan sekali murid-murid Pendekar
Pedang Perak dan Pendekar Ombak Selatan. Ingin rasanya
aku melihat wajah manusia-manusia sombong itu kalau
mereka mengetahui keadaan ini," terdengar suara kekeh
serak yang seperti datang dari setiap sudut hutan. Jelas,
suara itu dikirimkan menggunakan tenaga dalam tinggi.
Kembali Badalawa, Subadil, dan yang lainnya memutar
kepala berkeliling. Sepertinya mereka ingin melihat, siapa
orang yang telah mengirimkan suara itu. Dan hati mereka
semakin berdebar ketika melihat seorang kakek berusia
enam puluh tahun lebih yang melenggang seenaknya.
Jubah berwama putih kumal yang panjangnya mencapai
lutut itu tampak berkibar tertiup angin.
Yang paling membuat Badalawa dan Subadil terbelalak
tegang adalah cara kakek itu berjalan. Sebab meskipun
langkah kakinya terlihat perlahan, namun seperti meluncur
dengan pesatnya. Seolah-olah tubuhnya hanya merupakan
segumpal kapas yang tertiup angin. Tentu saja hal itu
merupakan bukti nyata akan kehebatan ilmu meringankan
tubuh kakek itu.
"Gila! Kakek itu pastilah Datuk Barat yang kalau tidak
salah berjuluk Memedi Karang Api. Wah! Rasanya aku
sudah seperti mati sebelum bertanding," umpat Badalawa,
lirih dan menggeletar. Jelas kalau hatinya sangat gentar
melihat kehadiran kakek itu
"Benar, Adi. Meskipun kakek itu terlihat dari luar
sebagai seorang yang kocak dan periang, namun
kekejamannya sangat mengerikan. Kudengar, ia pernah
membunuh dan menguliti seorang tokoh golongan putih
sambil tertawa-tawa. Padahal, kesalahan tokoh itu hanya
karena menangkap seorang pencuri di wilayah Barat.
Hhh.... Sungguh tidak kusangka kalau hari ini ia dapat ber-
gabung dengan Datuk Panglima Sesat," desah Subadil.
Bulu kuduknya kontan berdiri ketika teringat peristiwa itu.
Badalawa dan tokoh yang lain hanya bisa saling
berpandangan mendengar cerita Subadil. Rasa tegang
yang kian memuncak, membuat peluh semakin berlelehan
membasahi pakaian mereka. Jelas kedua belas tokoh
persilatan ini tengah dilanda ketegangan hebat.
"He he he... Biar kutangkap mereka sebagai hadiah
untuk Pemimpin Agung kita. Beliau pasti akan senang
dengan hadiah yang sangat berharga ini," kata Memedi
Karang Api sambil melangkah mendekati kedua belas
tokoh persilatan golongan putih itu.
Badalawa, Subadil, serta sepuluh orang lainnya segera
menyilangkan senjata di depan dada. Langkah kaki kakek
yang tengah menghampiri, membuat hati para tokoh
golongan putih itu semakin mengkerut. Memang, yang
paling mereka takuti kekejamannya hanyalah Memedi
Karang Api dan Datuk Panglima Sesat. Meskipun
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu terkenal
sebagai tokoh-tokoh berhati iblis, namun dalam hal
kekejaman masih kalah jauh dibanding kedua datuk sesat
itu. Tentu saja hal itu semakin mendatangkan kengerian di
hati Badalawa dan kawan-kawannya.
Tubuh Memedi Karang Api melayang bagaikan tidak
menjejak bumi. Begitu tiba, tangan kanannya langsung
terulur mencengkeram leher Badalawa yang berdiri paling
depan.
Werrr...!
Aneh dan menakutkan sekali apa yang disaksikan
Badalawa dan kawan-kawannya. Buktinya, jarak yang
terpisah tiga tombak di antara keduanya sama sekali tidak
menjadi halangan bagi Memedi Karang Api untuk
melancarkan cengkeraman maut. Lengan yang biasanya
wajar, mendadak mulur hingga tiga tombak jauhnya. Tentu
saja kenyataan itu membuat Badalawa menjadi kalang
kabut.
"Heaaat..!"
Meskipun rasa gentar telah meresap ke dalam urat-urat
tubuhnya, namun Badalawa tidak sudi menyerahkan
batang lehernya. Dengan sebuah bentakan keras,
tubuhnya bergeser disertai langkah ke samping. Sambil
mengelak, Badalawa mengirimkan bacokan pedangnya.
Wuttt!
Tebasan pedang Badalawa ternyata tidak membawa
hasil! Bagaikan seekor ular hidup, tangan yang terulur itu
berputar ke atas dan kembali mengancam leher.
Tentu saja kenyataan itu membuat Badalawa menjadi
bertambah kalap. Dengan gerakan gugup, tubuhnya
dilempar ke belakang dan melakukan beberapa kali salto
di udara.
Walaupun Badalawa telah mati-matian berusaha meng-
hindari cengkeraman, namun tetap saja tangan Memedi
Karang Api mengikutinya. Untunglah pada saat itu Subadil
melompat disertai tebasan senjatanya untuk menyelamat-
kan Badalawa.
Subadil pun bukan tidak tahu akan kehebatan ilmu
Memedi Karang Api. Meskipun beberapa kali tebasan
pedangnya tidak mengenai sasaran, laki-laki berusia lima
puluh tahun itu tidak menyerah begitu saja.
"Heaaat..!"
Sembil membentak keras, Subadil memutar pedangnya
hingga menimbulkan angin keras menderu. Bentuk pedang
di tangan tokoh itu kini lenyap. Yang tampak hanyalah
gulungan sinar putih yang bergerak turun naik dengan
kecepatan tinggi. Tidak percuma Subadil dijuluki sebagai
Pedang Setan. Sebab, gerakan pedangnya memang sangat
cepat hingga tidak terlihat mata.
Wukkk! Wukkk!
Sinar pedang yang bergulung-gulung itu berkelebat
cepat mengincar lengan Memedi Karang Api. Tapi yang kali
ini dihadapi Subadil bukanlah tokoh semberangan.
Sehingga, serangan-serangannya yang cepat dan ber
bahaya kandas dan tidak pemah mengenai sasaran.
Badalawa dan yang lainnya pun tidak tinggal diam.
Mereka berlompatan serentak dan langsung mengurung
Memedi Karang Api. Senjata-senjata di tangan mereka
bergerak kian kemari sehingga menimbulkan suara
mengaung tajam.
"Yeaaa...!"
Diawali pekik nyaring yang keluar dari mulut Badalawa,
serentak sebelas orang tokoh persilatan dari dua per-
guruan berbeda itu saling bahu-membahu.
Mereka yang rata-rata berkepandaian tinggi itu me-
lakukan gempuran hebat terhadap Memedi Karang Api.
Sayang, meskipun gempuran gempuran yang dilancar-
kan dua belas orang tokoh golongan putih itu demikian
hebatnya, Memedi Karang Api tetap saja hanya tertawa-
tawa melayaninya. Serangan-serangan dari segala penjuru
mampu dielakkan dengan mudah. Bahkan serangan
balasan yang dilancarkannya justru lebih berbahaya
daripada gempuran dua belas orang tokoh golongan putih
itu. Sehingga, ketika pertarungan memasuki jurus yang
kedua puluh, Memedi Karang Api mulai menunjukkan
kehebatannya. Lengannya yang dapat mulur dan
mengkerut, membuat dua belas orang tokoh golongan
putih menjadi terdesak dan kocar-kacir.
"Hahhh...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Memedi Karang Api
melesat cepat ke arah Subadil yang berada di sebelah
kirinya. Gerakannya demikian cepat dan tak terduga, mem-
buat lawannya menjadi terkejut setengah mati.
Brettt!
"Aaakh...!"
Subadil berseru kaget ketika tahu-tahu saja ceng-
keraman lawan telah singgah di lehernya. Belum lagi
sempat menyadari keadaannya, tubuhnya terasa me-
lambung karena dilemparkan tangan Memedi Karang Api
yang berkekuatan hebat itu.
"Aaa...!"
Teriakan ngeri terdengar dan mulut Subadil yang
berjuluk Pedang Setan. Tubuhnya yang tengah melayang
itu dalam keadaan tertotok. Ia sendiri tidak sempat
mengetahui, bagaimana cara kakek sakti itu melakukan
cengkeraman yang juga sekaligus memberikan totokan
yang membuat tubuhnya lumpuh. Tentu saja dalam
keadaan tak berdaya itu Subadil jadi ketakutan.
Namun sebelum tubuh laki-laki berusia setengah baya
itu menghantam sebatang pohon besar di depannya,
sebuah cengkeraman kuat telah membuat luncuran tubuh-
nya terhenti.
Rasa lega yang dialami Subadil berubah menjadi
kengerian hebat. Betapa tidak? Sebab, cengkeraman itu
ternyata berasal dari tangan Memedi Karang Api. Dan
sebelum sempat menjerit, tubuhnya telah terbanting keras
di atas tanah.
Brukkk!
"Ngekk…!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Subadil yang
merasakan tubuhnya remuk, akibat bantingan keras luar
biasa itu. Untunglah pada saat cengkeraman itu kembali
datang, dua orang kawannya menerjang Memedi Karang
Api dari belakang.
Swing! Swing!
Sambaran dua batang pedang yang menimbulkan
desingan tajam sama sekali tidak dipedulikan Memedi
Karang Api. Sampai ketika mata pedang hampir mencium
punggungnya, tiba-tiba tubuh kakek itu berbalik cepat.
Gerakannya masih disertai sambaran tangan kanannya
yang sekaligus memapak dan mengancam nyawa dua
orang lawannya.
Wuttt!
Hebat dan mengerikan sekali akibat yang ditimbulkan
sambaran tangan kakek sakti itu. Tubuh dua orang
lawannya terlempar ke belakang disertai semburan darah
segar.
Jeritan ngeri mengiringi jatuhnya tubuh kedua orang
tokoh golongan putih, sehingga menimbulkan suara
berderak keras. Darah segar kontan mengalir dari mulut
mereka. Sesaat kemudan, leher kedua orang itu pun
terkulai. Tewas!
Badalawa dan delapan orang lainnya terkejut bukan
main melihat kejadian itu. Dengan menguatkan hati,
serentak mereka menerjang Memedi Karang Api yang saat
itu tengah menghajar Subadil habis-habisan.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Untuk kesekian kalinya. Subadil berteriak kesakitan.
Tubuhnya yang dijadikan permainan Memedi Karang Api
membuatnya terasa tersiksa. Darah segar pun tampak
menodai pakaiannya akibat luka-luka yang diderita.
Sebelum Memedi Karang Api kembali mengangkat naik
tubuh Subadil, Badalawa dan delapan orang lainnya sudah
datang dengan sambaran senjata. Sehingga, kakek itu
melepaskan tubuh Subadil.
Wuttt! Wukkk!
Sambaran delapan pedang pengeroyok hanya diladeni
dengusan kasar Memedi Karang Api. Tubuhnya berbalik
menghadapi ke arah para penyerangnya. Kedua tangan
kakek sakti itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah
hendak menyambut hantaman delapan batang senjata itu
dengan tubuhnya
Trak! Trak...!
"Aaah...!"
"Uhhh...!"
Delapan batang pedang yang mampu menghancurkan
batu karang itu, langsung berpatahan ketika bertemu
tubuh tua yang terbungkus kulit dan daging. Bahkan
kedelapan orang gagah itu, sama-sama berlompatan
mundur sambil memegangi telapak tangan yang terasa
panas dan perih.
"Ilmu 'Baju Besi'..." desis Badalawa yang rupanya sudah
pernah mendengar jenis ilmu yang dipergunakan Memedi
Karang Api.
Datuk Wilayah Barat yang memiliki kepandaian meng-
giriskan itu langsung mengulur tangannya ke arah delapan
orang tokoh persilatan yang masih terkesima. Dari
sambaran angin yang ditimbulkan. Jelas kalau sampokan
tangan kakek itu mengandung kekuatan mematikan.
Werrr!
"Aaah...!"
Bukan main terkejutnya hati delapan orang tokoh
golongan putih itu. Wajah mereka langsung berubah pucat
karena tidak mempunyai kesempatan menghindar.
Memang, kecepatan gerak lawan masih jauh berada di
atas mereka.
Badalawa dan delapan orang lain hanya dapat
memejamkan mata menanti datangnya maut. Jelas,
mereka sudah pasrah dengan kematian yang bakal
menjemput mereka.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan
putih melesat dengan kecepatan tinggi. Begitu tiba,
bayangan itu langsung mengulurkan tangan memapak
sampokan Memedi Karang Api.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang,
menebar seiring terulurnya tangan sosok bayangan putih
itu. Dan...
Plarrr...!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan benturan dua
telapak tangan itu. Dua arus gelombeng tenaga raksasa
yang sama kuatnya berbenturan dan menimbulkan
ledakan keras. Sehingga, delapan orang tokoh yang tengah
terancam maut langsung roboh tanpa bisa di cegah.
Memedi Karang Api sendiri sampai mengeluarkan
teriakan kaget. Datuk sesat yang selama hidupnya telah
banyak bertemu lawan pandai, benar-benar tak percaya
melihat kenyataan yang dihadapinya.
"Gila...!" maki Memedi Karang Api yang merasakan
adanya aliran hawa dingin meresap ke dalam tubuhnya.
Cepat kakek itu mengusirnya dengan pengerahan hawa
murni.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Subadil dengan wajah
berseri gembira.
Dengan langkah agak limbung, laki-laki setengah baya
itu bergerak menghampiri pemuda tampan berjubah putih
yang memang Pendekar Naga Putih.
Badalawa dan delapan orang tokoh lain yang merasa-
kan sambaran maut Memedi Karang Api tidak juga datang
mencabut nyawanya, serentak membuka mata. Apalagi,
setelah mendengar disebutnya nama Pendekar Naga Putih
oleh Subadil. Maka serentak mereka bangkit dan me-
mandang sosok tubuh berjubah putih itu.
***
Di sekitar tubuh Pendekar Naga Putih tampak terlapisi
kabut bersinar putih keperakan. Memang, langkah kaki
Panji yang berniat hendak mencari gerombolan perampok
Garuda Mata Satu, telah membawa pemuda itu ke Hutan
Jelaga. Untung kedatangannya masih belum terlambat.
Kalau tidak, mungkin hanya akan menemui Subadil dan
yang lain dalam keadaan menjadi mayat.
Tidak lama setelah kemunculan pemuda itu, sosok
bayangan lain yang mengenakan pakaian serba hijau
mendaratkan kaki di samping Pendekar Naga Putih. Siapa
lagi sosok dara jelita bagaikan bidadari itu kalau bukan
Kenanga yang selalu menyertai Pendekar Naga Putih.
"Nampaknya keadaan kita tidak terlalu baik, Kakang,"
kata Kenanga setelah mengedarkan pandangannya ke
sekitar tempat itu. Beberapa sosok yang di kenalinya,
membuat wajah Kenanga cemas.
"Ya, tapi biar bagaimana pun, kita harus bisa keluar
dari tempat berbahaya ini…" sahut Panji yang tentu saja
menjadi terkejut melihat banyaknya tokoh sesat tingkat
atas berada di tempat itu. Otaknya berputar mencari cara
untuk tiba keluar dari kepungan para tokoh sesat itu.
"Apa yang harus kita lakukan, Pendekar Naga Putih...?"
tanya Subadil yang sepertinya menyerahkan keputusan
pada Panji.
Namun sebelum Panji bisa menjawab pertanyaan tokoh
Perguruan Pedang Perak itu, Memedi Karang Api telah
melangkah mendekatinya. Sehingga, Subadil dan yang lain
segera berpindah ke belakang Pendekar Naga Putih.
Datuk sesat wilayah Barat yang memiliki kepandaian
menggiriskan itu menghentikan langkahnya dalam jarak
tiga batang tombak. Untuk beberapa saat lamanya, dia
hanya membungkam sambil meneliti sosok pendekar
muda itu.
"He he he…. Benarkah kau yang berjuluk Pendekar
Naga Putih, murid si Malaikat Petir...?" tanya kakek itu
setelah selesai menilai sosok pemuda tampan di depan-
nya.
"Benar," sahut Panji singkat.
"Hm.... Kepandaian yang kau miliki memang sangat
hebat. Bahkan jauh lebih hebat daripada gurumu. Benar-
benar seorang murid yang tidak mengecewakan. Tapi hari
ini, terpaksa namamu akan kuhapus dari jajaran tokoh
persilatan," ancam Memedi Karang Api lagi sambil
memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan.
"Maaf! Hari ini aku tidak berminat bertarung. Dan
kuharap, kau suka membiarkan kami pergi dari tempat ini.
Untuk itu, aku akan mengucapkan terima kasih kepada-
mu," sahut Pendekar Naga Putih dengan wajah tenang,
meskipun sebenarnya merasa tegang.
Bagaimana hati Panji tidak merasa tegang? Selain
harus menyelamatkan dirinya dan Kenanga, ia pun masih
harus membawa sepuluh orang tokoh golongan putih untuk
diselamatkan pula. Dan hal itu bukan suatu pekerjaan
ringan.
"Ha ha ha...!" tawa Memedi Karang Api meledak ketika
mendengar jawaban yang keluar dari mulut Panji.
Kemudian ia menolehkan kepala kepada Datuk
Panglima Sesat yang saat itu sudah berdiri di sampingnya.
"Kau lihatlah, Datuk Panglima Sesat. Pendekar muda
yang terkenal itu ternyata hanya merupakan seorang
pemuda pengecut. Rupanya julukanku telah lama dikenal-
nya. Sehingga dia takut kalau-kalau namanya akan jatuh.
Sayang...," ujar Memedi Karang Api sambil menggeleng-
gelengkan kepala dengan wajah pura-pura sedih.
***
TUJUH
"Ha ha ha...!" Datuk Panglima Sesat pun tertawa terbahak-
bahak mendengar ucapan rekannya.
Tokoh sesat penguasa wilayah Timur itu pun sepertinya
tidak ingin menyia-nyiakan pertemuannya dengan Pen-
dekar Naga Putih. Hal itu jelas terlihat dan pancaran
matanya yang penuh semangat.
Pendekar Naga Putih terdiam beberapa saat lamanya
sambil memutar otak. Sindiran kedua orang datuk sesat itu
sama sekali tidak dipedulikannya. Memang bukan saatnya
dalam keadaan terancam seperti itu harus memper-
masalahkan tentang harga diri.
"Hm... Jadi, apa yang kalian inginkan dariku?" tanya
Panji.
Sepertinya Pendekar Naga Putih sudah menemukan
satu cara untuk dapat menyelamatkan sepuluh orang
tokoh golongan putih itu. Maka, ia mulai menjajaki kedua
orang datuk yang tidak bisa diremehkan itu.
"Hah! Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga
Putih!" umpat Memedi Karang Api tak sabar. "Sebagai
seorang pendekar yang memiliki nama besar dan
kepandaian tinggi, tentu sudah tahu akan sifat orang-orang
seperti kami. Dan pertemuan yang menggembirakan ini
akan menjadi lebih hidup dengan pertarungan kita. Nah!
Apakah kami masih perlu menjelaskannya lagi?"
"Aku paham dengan maksudmu, Memedi Karang Api.
Tapi, aku mempunyai satu syarat yang harus dipenuhi.
Kalau tidak, biar bagaimanapun aku tidak sudi bertarung
denganmu." sahut Pendekar Naga Putih mulai menjalan-
kan siasatnya.
Sebagai orang yang telah cukup berpengalaman dalam
dunia persilatan, Pendekar Naga Putih maklum akan
penyakit yang diderita tokoh-tokoh tingkat atas. Dan
penyakit itulah yang justru dipergunakan untuk dapat
menyelamatkan sepuluh orang tokoh golongan putih di
belakangnya.
Mendengar jawaban Panji, Memedi Karang Api dan
Datuk Panglima Sesat saling bertukar pandang sejenak.
Sepertinya mereka tidak menyadari kalau tengah diper-
dayai Pendekar Naga Putih.
"Katakan, apa syarat yang kau ajukan itu?" tanya Datuk
Panglima Sesat yang sepertinya belum menduga tentang
siasat pemuda tampan berjubah putih itu.
"Aku akan menghadapi salah seorang dari kalian,
asalkan kesepuluh orang tokoh dan gadis yang berada di
belakangku dibiarkan meninggalkan Hutan Jelaga tanpa
gangguan. Bagaimana? Kalau kalian setuju, aku akan
meladeni walau sampai seribu jurus sekalipun!" pancing
Pendekar Naga Putih.
Dinantikannya jawaban kedua orang datuk itu dengan
dada berdebar. Namun, wajah Pendekar Naga Putih tetap
dipasang setenang mungkin agar tidak menimbulkan
kecurigaan kedua orang tokoh sakti itu.
"Ha ha ha...! Lucu.... lucu...! Seekor harimau yang sudah
terperangkap masih hendak memperdayakan pemburu,
dengan mengajukan syarat tidak lumrah seperti itu. Ha ha
ha...!" Datuk Panglima Sesat rupanya dapat menebak
maksud syarat itu. Sehingga, tawanya yang parau pun
berkumandang memenuhi sekitarnya.
"He he he...! Kau pikir kami orang bodoh, Pendekar
Naga Putih! Ketahuilah. Bahwa kau dan orang-orang tak
berguna di belakangmu itu sangat berharga untuk kuper-
sembahkan kepada Pemimpin Agung Malaikat Gerbang
Neraka. Jadi, janganlah bermimpi akan dapat lolos dari
tempai ini."
Memedi Karang Api pun memperdengarkan suara
tawanya demi mendengar usul pemuda tampan itu. Jelas,
kedua orang datuk sesat itu tidak dapat diperdayai.
"Terserah kalian. Kalau memang tidak setuju, aku pun
tidak akan sudi mengemis mohon pengampunan dari
kalian," sambut Pendekar Naga Putih yang merasa
kehabisan akal untuk dapat menyelamatkan tokoh-tokoh
persilatan yang bersamanya.
"He he he.... Ayo kita berlomba, Datuk Panglima Sesat.
Siapa yang akan lebih dulu dapat menangkap pendekar
muda itu, dialah yang unggul." tantang Memedi Karang Api
sambil terkekeh gembira.
"Baik. Pemuda ini pasti akan membuat Pemimpin
Agung kita menjadi gembira. Dan, akulah orang yang akan
mempersembahkan pemuda itu kepada beliau," sambut
Datuk Panglima Sesat, jumawa.
Panji yang sudah dua kali mendengar sebutan
'pemimpin agung' yang dimaksud tokoh sesat itu, menjadi
heran sekali. Meskipun dalam beberapa hari ini telah
mendengar tentang munculnya seorang tokoh yang
memiliki kepandaian menggiriskan, namun kabar itu belum
bisa dipercayainya. Bahkan kabarnya, para datuk sesat di
empat penjuru telah mengangkat tokoh berjuluk Malaikat
Gerbang Neraka sebagai pimpinan mereka. Namun setelah
mendengar ucapan kedua orang datuk itu, mau tak mau
harus dipercayainya. Hanya yang membuatnya tidak habis
pikir, sampai di mana kesaktian tokoh berjuluk Malaikat
Gerbang Neraka itu. Kalau sampai para datuk di empat
penjuru telah tunduk kepada tokoh itu, maka sudah pasti
kepandaian yang dimilikinya sukar diukur.
Sring!
Pedang Pusaka Naga Langlt yang biasanya hanya
dipergunakan dalam keadaan terdesak, langsung dicabut
keluar oleh Panji. Karena untuk menghadapi dua orang
datuk itu, tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri
hanya dengan ilmu tangan kosong. Maka pedang pusaka
bersinar kuning keemasan itu pun terpaksa dipergunakan-
nya.
"Hm.... Pendekar muda ini benar-benar sangat berharga
sekali! Llhatlah, apa yang ada di tangan Pendekar Naga
Putih itu?" kata Memedi Karang Api.
Kakek sakti itu membelalakkan matanya melihat
senjata yang mengeluarkan sinar keemasan milik
Pendekar Naga Putih. Jelas, tokoh menggiriskan ini telah
mengenal pedang yang tergenggam di tangan Panji.
"Hei...? Bukankah itu Pedang Naga Langit...! Hebat
sekali...!" desis Datuk Panglima Sesat.
Tokoh berpakaian panglima itu bagaikan seorang anak
kecil yang melihat mainan kesukaannya. Menilik dari wajah
dan sikapnya, jelas kalau dia sangat ingin memiliki pedang
yang berada di tangan lawannya.
"He he he... Kau boleh ambil pemuda itu untuk di-
hadiahkan kepada pemimpin kita. Tapi mengenai Pedang
Naga Langit, biarlah aku yang akan mengurusnya," sergah
Memedi Karang Api yang sepertinya juga sangat tergiur
dengan pusaka itu.
"Tidak bisa, Kakek Gila! Akulah yang harus memiliki
pedang pusaka itu, dan kau boleh urus pemiliknya." bantah
Datuk Panglima Sesat, tak mau kalah.
"Hm.. Kalau begitu, lebih baik kita berlomba saja. Siapa
yang paling dulu dapat merebut pedang pusaka itu, maka
dialah yang berhak memilikinya. Bagaimana?" usul Memedi
Karang Api ketika melihat hasrat Datuk Panglima Sesat
sangat menggebu untuk memiliki pusaka ampuh itu.
"Baik. Ayo, segera kita mulai…," tantang Datuk
Panglima Sesat yang segera melangkah beberapa tindak
ke depan.
Panji yang melihat kedua orang lawan telah bersiap
melancarkan serangan, segera menyilangkan Pedang Naga
Langit di depan dada. Kemudian kaki kanannya ditarik ke
belakang sambil mengangkat pedangnya di atas kepala
dalam sikap memanjang. Sedangkan tangan kirinya
menuding ke arah lawan dengan menggunakan dua jari.
"Heaaat…!"
Memedi Karang Api berteriak parau sambil melancar-
kan serangannya dengan jurus-jurus maut. Sambaran
angin pukulannya terdengar mencicit tajam. Jelas, tenaga
dalam yang dimiliki kakek itu telah mencapai taraf
kesempurnaan.
Demikian pula halnya Datuk Panglima Sesat. Karena
tidak ingin didahului rekannya, maka tubuhnya yang tinggi
besar segera melambung ke arah Panji.
"Yeaaat…!"
Bettt! Bettt!
Angin tajam berkesiutan mengiringi datangnya pukulan
berantai yang dilancarkan Datuk Panglima Sesat. Cepat
bagai kilat pukulan-pukulan dua tokoh sesat itu langsung
mengancam tubuh lawan.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menerima
pukulan pada tubuhnya. Cepat langkahnya bergeser sambil
mengibaskan Pedang Naga Langit dengan kecepatan kilat.
Swing!
Sinar kuning keemasan berkeredep mengiringi ayunan
senjata ampuh itu.
Datuk Panglima Sesat yang selama ini selalu
mengagungkan kepandaiannya, tentu saja menjadi terkejut
melihat kecepatan gerak lawan. Namun sebagai seorang
datuk yang telah berpengalaman, ia tidak gugup. Dengan
penuh ketenangan dan kematangan perhitungan, tokoh
tinggi besar itu menarik pulang pukulannya. Lalu, secepat
kilat kakinya mencelat melepaskan tendangan yang amat
kuat.
Meskipun tendangan itu datangnya sangat cepat dan
tak terduga, namun Panji masih sempat mengelakkannya
dengan menarik tubuh ke belakang. Tapi pemuda itu
menjadi terkejut ketika merasakan sambaran angin
pukulan yang amat kuat datang dari belakangnya. Sadar
kalau serangan itu datang dari Memedi Karang Api, Panji
segera memutar tubuh setengah lingkaran.
Gerakan yang dilakukan Pendekar Naga Putih dengan
sikap tubuh yang sangat rendah, telah menyelamatkan
nyawanya dari sambaran pukulan Memedi Karang Api.
Namun karena harus menghadapi kedua orang datuk sesat
secara bersamaan, maka Panji pun tidak dapat lagi
menyelamatkan iganya dari hantaman telapak tangan
Datuk Panglima Sesat selagi tubuhnya merendah.
Buggg!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh pemuda itu pun
terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Pendekar
Naga Putih yang masih saja terhuyung sejauh dua tombak,
langsung mendapat serangan dari Memedi Karang Api
berupa sebuah pukulan yang telak menghajar dadanya.
Bukkk!
"Ough...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih kontan terjengkang akibat
pukulan telak Memedi Karang Api itu. Meskipun tulang
dada dan iganya terasa berpatahan, namun pemuda itu
bergegas menggulingkan tubuhnya hingga beberapa
tombak. Hal itu dilakukan, karena kedua orang datuk itu
tidak mungkin akan membiarkan kesempatan selagi tubuh-
nya terjatuh untuk menyerang kembali.
"Haiiit...!"
Sambil menghentak keras disertai kibasan pedang,
tubuh pendekar muda itu melenting bangkit dengan kuda-
kuda kokoh! Cepat dikerahkannya 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' untuk mengusir rasa sesak yang mengganggu
pernapasan. Tidak dipedulikannya lagi cairan merah di
sudut bibirnya.
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat kembali
berlompatan saling mendahului untuk mendekati Pendekar
Naga Putih. Mereka kembali melancarkan serangan-
serangan untuk segera merobohkan lawan.
Panji yang sadar kehebatan kedua orang tokoh sesat
itu, cepat-cepat memutar pedangnya. Segera dikerahka-
nnya ilmu 'Naga Sakti' dengan penggunaan senjata.
"Heaaat..!"
Deru angin dingin yang menusuk tulang, menebar
ketika pemuda itu melompat dengan serangan dahsyat!
Pedang di tangannya berubah menjadi gundukan sinar
keemasan yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga
yang tengah mengamuk. Hebat dan menggiriskan sekali
serangan yang kali ini dilancarkan Pendekar Naga Putin.
Sehingga, kedua orang datuk sesat yang telah banyak
bertarung itu menjadi tercekat dibuatnya.
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat baru
merasakan kehebatan Pendekar Naga Putih ketika melihat
serangan yang mengerikan itu. Serangan-serangan mereka
pun cepat ditarik pulang, karena tidak sudi lengan mereka
terbabat oleh sambaran pedang pusaka lawan yang
ampuh.
Wuttt! Wukkk!
"Akh...!"
"Ahhh...!"
Datuk sesat dari Barat dan Timur itu terpekik kaget
ketika hampir saja ujung pedang lawan yang bergulung-
gulung itu merobek perut mereka secara berbarengan.
Untung keduanya masih sempat melompat dan melempar
tubuh ke belakang.
"Gila! Pemuda ini benar-benar tidak bisa dibuat main-
main!" umpat Memedi Karang Api, berang. Kakek yang
biasanya periang itu bergegas mencabut keluar senjatanya
berupa sepasang trisula emas.
Wutt! Wuttt!
Sepasang senjata di tangan Memedi Karang Api yang
panjangnya sekitar dua jengkal iItu langsung digerakkan
sehingga terdengar decitan tajam yang membelah udara.
Secepat sambaran kilat di angkasa, secepat itu pula tubuh
kurus Memedi Karang Api melesat menerjang Pendekar
Naga Putih.
Datuk Panglima Sesat pun tidak mau kalah. Entah dari
mana datangnya, tahu-tahu saja di tangan laki-laki tinggi
besar itu telah tergenggam sebatang tongkat terbuat dan
emas murni.
Werrr... werrr...!
Putaran angin dahsyat yang bagaikan gelombang angin
puyuh berputaran ketika Datuk Panglima Sesat meng-
gerakkan tongkat di atas kepala. Debu dan batu-batu kecil
beterbangan, menandakan betapa hebatnya tenaga yang
terkandung di dalam gerakan itu.
"Heaaat…!"
Dengan sebuah lesatan kilat, tubuh tokoh tinggi besar
itu melayang disertai putaran tongkat yang menimbulkan
angin ribut! Pertarungan yang berlangsung antara tiga
tokoh sakti itu pun membuat daerah di sekitarnya bagaikan
tengah terjadi angin puting beliung yang menyeramkan.
Seluruh tokoh persilatan yang menyaksikan per-
tarungan langka itu, sama-sama mengalami perasaan
ngeri! Maka serentak mereka menyingkir menjauhi arena
pertarungan berhawa maut itu.
Kenanga, Subadil, Badalawa, dan delapan orang tokoh
lainnya, bergerak mundur menjauhi arena pertarungan itu.
Namun mereka tidak sempat lagi untuk menyaksikan
pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi itu, karena saat itu
juga telah dikurung gerombolan perampok yang dipimpin
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu.
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu sama-
sama menelan ludah ketika melihat kejelitaan dan
keindahan bentuk tubuh Kenanga. Dengan penuh nafsu,
mereka menjilati sekujur tubuh gadis jelita itu dengan
pandangan mata yang bagai mata harimau lapar.
Tentu saja tatapan mata kedua orang tokoh sesat itu
membuat wajah Kenanga menjadi merah. Rasa jengahnya
berubah menjadi kemarahan, sehingga membuat mata
indahnya berkilat.
"He he he.... Ayo, kita tangkap bidadari itu, Garuda
Mata Satu. Siapa yang lebih dahulu mendapatkannya,
maka boleh memilikinya untuk beberapa malam," tantang
Tengkorak Hutan Jati tanpa melepaskan pandangannya
dari gadis jelita yang penuh pesona itu.
Garuda Mata Satu hanya mengangguk sambil menelan
ludah. Rupanya, tokoh sesat yang gila wanita cantik itu
benar-benar terbangkit birahinya melihat kecantikan
Kenanga. Sehingga, usul yang diajukan rekannya tidak
sempat dijawab.
Tanpa mempedulikan yang lain, Garuda Mata Satu
bergegas melompat. Langsung diterkamnya gadis ber-
pakaian serba hijau itu. Gerakannya yang ringan, membuat
tubuhnya melayang bagaikan seekor burung besar yang
terbang bermain-main di angkasa.
Tengkorak Hutan Jati pun tidak kalah dengan rekannya.
Tubuh tinggi kurus itu pun segera melesat tidak kalah
sigapnya. Langsung dikirimkan serangan menggunakan
cengkeraman tangan. Tentu saja serangan itu mempunyai
maksud-maksud kurang ajar. Apalagi, serangan sepasang
tangannya hanya tertuju ke bagian-bagian tubuh yang
sangat terlarang. Sudan pasti hal itu semakin mem-
bangkitkan kemarahan di hati Kenanga.
"Jahanam...!" maki Kenanga sambil mengegoskan
tubuh menghindari jamahan-jamahan tangan kedua orang
lawannya.
Dan dengan sengit, gadis jelita itu segera melancarkan
serangan-serangan balasan menggunakan Pedang Sinar
Rembulan yang telah dicabut dari pinggangnya.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran pedang bersinar putih keperakan itu sempat
membuat kedua orang lawan menjadi terkejut. Mereka
yang sebelumnya tidak menduga akan kelihaian gadis jelita
itu, segera melempar tubuh ke belakang. Langsung
dilakukan beberapa kali putaran salto di udara, lalu kaki
mereka mendarat beberapa tombak di tanah.
Namun Kenanga yang kemarahannya telah mencapai
ubun-ubun, segera melesat mengejar. Pedang Sinar
Rembulan yang berada di tangannya telah lenyap
bentuknya. Yang tampak hanyalah gulungan sinar
keperakan yang bergerak naik turun bagaikan gelombang
samudera.
Wuttt! Wukkk!
Terjangan yang dilancarkan Kenanga benar-benar
membuat kedua orang kepala rampok menjadi gelagapan.
Keduanya cepat mencabut senjata masing-masing untuk
memapak serangan dara jelita yang digdaya itu.
Trang! Trang!
Terdengar benturan keras yang menimbulkan pijaran
bunga api ketika senjata-senjata itu beradu. Tangkisan
kedua orang lawan, membuat tubuh Kenanga terjajar
mundur sejauh setengah tombak lebih. Sedangkan kedua
orang lawan hanya merasakan telapak tangan yang
kesemutan. Namun, hal itu ternyata telah membuat
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu menjadi ter-
buka matanya.
"Gila! Gadis jelita itu ternyata bukan sasaran empuk.
Dia benar-benar seperti seorang dewi yang turun dan
langit. Hm.... Kalau saja dia dapat kujadikan istri, tentu
akan menjadi seorang pendamping yang sangat baik,"
desah Garuda Mata Satu yang semakin bertambah kagum
setelah mengetahui kelihaian Kenanga.
"Hm.... Alangkah beruntungnya bila bisa memiliki gadis
jelita yang lihai itu." gumam Tengkorak Hutan Jati yang
rupanya memiliki pikiran serupa dengan Garuda Mata
Satu. Hanya saja, mereka tidak mengetahui perasaan
masing-masing.
***
DELAPAN
Sementara itu pertarungan Panji dan dua orang datuk
sesat tampak semakin seru dan mendebarkan! Ketiga
orang sakti yang telah sama-sama menggunakan jurus-
jurus ampuh, membuat arena pertandingan porak-poranda
bagaikan diamuk badai.
Gempuran-gempuran yang dilancarkan Datuk Panglima
Sesat dan Memedi Karang Api tampak semakin dahsyat.
Setelah mengetahui kehebatan Pendekar Naga Putih,
mereka tidak lagi hanya sekadar hendak merebut Pedang
Naga Langit. Bahkan kini berniat menghabisi nyawa
pemuda itu sekaligus. Memang mereka khawatir kalau-
kalau rencana yang telah disusun Malaikat Gerbang
Neraka akan terhalang Pendekar Naga Putih. Itulah yang
menyebabkan kedua orang datuk sesat menggiriskan hati
itu merubah niatnya semula.
Pendekar Naga Putih yang meskipun telah meng-
gunakan 'Ilmu Pedang Naga Sakti', tetap saja menjadi
sibuk menghadapi gempuran kedua orang tokoh sesat itu.
Kalau saja dua orang datuk itu tidak maju berbarengan,
mungkin masih bisa ditundukkan. Walaupun disadari harus
memakan waktu yang cukup lama, tapi Pendekar Naga
Putih yakin akan mampu menundukkan mereka. Tapi
karena mereka maju bersama, maka kesempatan untuk
memperoleh kemenangan pun menjadi tipis.
"Yeaaat..!"
Sadar kalau pertarungan berlarut-larut akan bisa
menguras tenaganya, maka ketika pertarungan memasuki
jurus yang kesembilan puluh dua, pemuda itu mengeluar-
kan 'Pekikan Naga Marah'.
Hebat sekali raungan dahsyat yang keluar dari mulut
pendekar muda itu. Hutan Jelaga langsung bergetar bagai
dilanda angin topan yang sangat mengerikan. Bahkan
gema suara yang diciptakannya sampat melewati per
batasan hutan lebat itu!
Baik Datuk Panglima Sesat maupun Memedi Karang
Api kontan melangkah mundur mendengar pekikan yang
menggetarkan hutan itu. Cepat mereka memejamkan
mata, dan mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi isi
dada yang terguncang. Untunglah, mereka telah memiliki
tenaga dalam yang telah hampir mencapai titik ke-
sempurnaan. Kalau tidak, bukan mustahil akan menderita
luka dalam akibat 'Pekikan Naga Marah' yang dikerahkan
Pendekar Naga Putih tadi.
Kesempatan yang sangat baik itu tentu saja tidak
dilewatkan begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Cepat
matanya melirik ke arah Kenanga dan para tokoh per-
silatan lain yang tengah dikeroyok gerombolan Tengkorak
Hutan Jati dan Garuda Mata Satu. Ketika melihat per-
tempuran sengit itu buyar akibat pengaruh teriakannya,
tubuh pemuda itu berkelebat secepat kilat ke arah mereka.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini...!" seru Panji begitu
kakinya mendarat di antara mereka.
Kenanga, Subadil, Badalawa, dan para tokoh yang lain
serentak menoleh ke arah Pendekar Naga Putih. Mereka
sempat terperanjat melihat keadaan pendekar muda yang
di beberapa bagian jubahnya tampak bernoda darah.
"Kakang, kau tidak apa-apa...?" Kenanga yang melihat
keadaan kekasihnya, tentu saja menjadi cemas.
Cepat gadis jelita itu berlari menghampiri Panji,
sehingga lupa kalau saat itu keadaan masih dalam
ancaman bahaya.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga. Sebaiknya segera ber-
gegas meninggalkan tempat ini. Blar aku saja yang akan
mencegah, apabila mereka hendak melakukan pengejaran.
Cepatlah! Waktu kita tidak banyak!" ujar Panji, segera
memerintahkan kekasihnya untuk memimpin sepuluh
orang tokoh itu meninggalkan Hutan Jelaga.
"Tapi..."
"Cepatlah, Kenanga. Jangan membuang-buang waktu
lagi. Percayalah, aku segera menyusul kalian. Tunggulah di
desa terdekat. Aku akan segera menjemputmu." ujar
Pendekar Naga Putih
Panji segera melompat ke depan, karena saat itu dua
orang datuk sesat yang ditinggalkannya telah mengejar.
"Jagalah dirimu baik-baik, Kakang..." pesan Kenanga
dengan wajah cemas.
Wajar saja kalau gadis itu mencemaskan keselamatan
kekasihnya. Sebab, ia tahu kalau yang kali ini dihadapi
Panji bukanlah tokoh sembarangan. Sehingga, hatinya ragu
terhadap kekasihnya. Apakah Pendekar Naga Putih dapat
terbebas dari datuk-datuk sesat yang berkepandaian
sangat tinggi itu.
Panji tidak sempat lagi menyahuti ucapan kekasihnya.
Tubuh pemuda berjubah putih itu telah melesat
menyambut kedatangan Datuk Panglima Sesal dan
Memedi Karang Api. Dengan mengerahkan segenap
kekuatan yang dimiliki, diterjangnya kedua orang datuk
sesat itu.
"Heaaat…!"
Hebat sekali serangan yang dilakukan Pendekar Naga
Putih. Deru angin dingin yang bagaikan badai salju,
menerjang deras tubuh kedua orang datuk sesat itu.
Sehingga, mereka berdua terpaksa menghentikan langkah,
dan menyambut serangan Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, gerombolan para perampok yang
dipimpin Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu
tersentak mundur sambil menggigil kedinginan. Wajah
mereka pucat kebiruan karena hawa dingin luar biasa yang
menebar memenuhi tempat itu. Hingga, untuk beberapa
saat lamanya, gerombolan perampok itu tertahan mundur
dan tak sempat mengejar rombongan Kenanga.
Sayang, lawan yang kali ini dihadapi Panji adalah tokoh-
tokoh sesat kelas satu. Sehingga, meskipun telah
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sekuatnya,
tetap saja kedua orang la an belum bisa ditaklukkannya.
Bahkan kedua orang datuk itu masih bisa melancarkan
serangan balasan yang tidak kalah berbahaya.
"Heaaa...!"
Werrr... werrr...!
Datuk Panglima Sesat yang telah membebaskan diri
dari kungkungan hawa dingin menusuk tulang, melompat
disertai putaran tongkatnya. Putaran angin keras yang
bagaikan hendak merobohkan hutan, menyambar-nyambar
mengancam seluruh tubuh Pendekar Naga Putih.
Belum lagi pemuda bertuhah putih ini sempat
mengatasi terjangan dahsyat itu, serangan Memedi Karang
Api telah tiba menyusuli. Maka dapat dibayangkan, betapa
repotnya pemuda itu saat menghalau terjangan kedua
lawan.
Namun tekadnya yang telah bulat untuk menyelamat-
kan rombongan yang dipimpin Kenanga, membuat
Pendekar Naga Putih tidak mudah menyerah begitu saja.
Dibalasnya gempuran kedua orang datuk sesat itu dengan
sambaran Pedang Naga Langit yang bagaikan kilatan maut.
Sehingga meskipun kedua orang lawan mencoba
mengatasi Panji secepatnya, tetap saja harus bekerja
keras. Memang, untuk mencegah amukan Pendekar Naga
Putih, tentu saja bukan merupakan hal mudah.
Meskipun Panji terlihat sibuk menghadapi gempuran
dua orang lawan, namun masih sempat melirik ke arah
rombongan Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu.
Ketika melihat kedua rombongan itu hendak melakukan
pengejaran, tubuh pemuda tampan itu pun cepat melesat
meninggalkan kedua orang lawan.
"Haiiit…!"
Wusss... blarr ...!
"Aaah...!"
Lontaran pukulan jarak Jauh yang dikerahkan Panji,
meluncur deras menimbulkan ledakan menggetarkan.
Beberapa sosok tubuh anggota perampok yang terlanggar
angin pukulan berhawa dingin luar blasa itu terlempar
bagaikan daun-daun kering. Tubuh mereka langsung
terbujur dengan kulit tubuh kebiruan. Mereka kontan tewas
akibat hantaman pukulan jarak jauh amat dahsyat yang
dilepaskan Pendekar Naga Putih.
Melihat kejadian yang mengerikan itu, tentu saja para
anggota perampok yang lain menjadi gentar. Mereka yang
semula hendak melakukan pengejaran, segera ber-
lompatan mundur dengan wajah membayangkan
kengerian.
Meskipun Pendekar Naga Putih berhasil membuat
pengejaran tertunda, namun ia sendiri harus menerima
kenyataan pahit akibat perbuatannya. Memang, begitu
berhasil memukul tewas beberapa orang perampok,
sebuah hantaman tongkat Datuk Panglima Sesat
menghajar telak bagian belakang tubuhnya.
Buggg!
"Akh ..!"
Bagai dilemparkan sebuah tendangan raksasa yang tak
tampak, tubuh pemuda berjubah putih itu terlempar deras
hingga tiga tombak jauhnya. Segumpal darah segar yang
mengental terlompat keluar dan mulutnya. Jelas,
hantaman dahsyat itu telah membuat tubuhnya terluka
dalam. Satu keuntungan yang masih membuatnya dapat
bertahan adalah adanya lapisan kabut bersinar putih
keperakan yang melindunginya dari pukulan dahsyat itu.
Kalau saja ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikina
tidak sering dilatih dan disempurnakan, sudah pasti
pemuda itu tak akan sanggup menerima hantaman tongkat
Datuk Panglima Sesat.
Walaupun hantaman keras itu telah membuat tubuh-
nya terlempar, namun Pendekar Naga Putih masih juga
dapat membuat kedua orang lawannya menggeleng
kagum. Memang, tubuh yang tengah melayang itu masih
mampu diselamatkan agar tidak sampai terbanting.
Dengan beberapa kali putaran salto indah dan manis,
tubuh pemuda itu dapat mendarat selamat.
"Uhhh ..!"
Panji mengeluh dengan kuda-kuda limbung! Darah
segar kembali menetes keluar dari sudut bibirnya. Dadanya
yang terasa sesak, membuat berdirinya agak limbung
sambil menekap dada dengan telapak tangan kiri. Jelas
kalau luka dalam yang dialami Panji cukup parah.
Memedi Karang Api yang menyusuli pemuda itu dengan
lesatan tubuh, langsung menerjang dengan tusukan kedua
senjatanya.
Bettt! Bettt!
Luncuran dua batang senjata yang menyiratkan sinar
keemasan membuat Pendekar Naga Putih agak terkejut.
Keadaannya yang jelas belum siap, membuatnya harus
terpaksa menyelamatkan diri mati-matian dari ancaman
maut itu.
"Heaaah...!"
Dengan gerakan mulai melemah, tangan kanan
pemuda itu bergerak menyambar ke depan. Sambaran
mendatar Pedang Naga Langitnya seketika berkelebat
cepat memapak serangan senjata Memedi Karang Api.
Trang! Trang!
"Uhhh...!"
Sayang, tangkisan yang dilakukan sepenuh tenaga itu
terhambat rasa nyeri di dadanya. Sehingga akibat
tangkisan itu, tubuh Pendekar Naga Putih kembali
terdorong beberapa langkah ke belakang.
Rupanya, Memedi Karang Api yang mengetahui kalau
lawan telah mengalami luka dalam, tetap saja meneruskan
serangan tanpa mempedulikan tangkisan. Memang, ia
yakin kalau kali ini akan dapat menekan tenaga lawan.
Melihat apa yang diduga tidak meleset, Memedi Karang
Api kembali metompat menyusuli tubuh Panji yang tengah
terhuyung mundur. Tusukan sepasang trisulanya kembali
meluncur deras mengancam bagian terlemah di tubuh
Pendekar Naga Putih.
Crasss! Crasss!
"Akh...!"
Tusukan dua batang senjata lawan itu hampir berhasil
melukai tubuh Panji. Untunglah pada saat-saat terakhir,
tubuhnya masih sempat dimiringkan ke samping.
Sehingga, tusukan trisula Memedi Karang Api hanya
menyerempet iga dan lambungnya saja.
Panji yang merasa tidak bakal unggul melawan kedua
orang datuk sesat yang lihal itu, mulai melirik jalan
selamat, Pendekar Naga Putih telah cukup lama membuat
pengejaran lawan terhambat. Dan menurut perhitungan-
nya, saat itu rombongan yang dipimpin Kenanga pasti
sudah cukup jauh meninggalkan wilayah hutan. Maka,
Panji pun berniat meloloskan diri dari kedua orang datuk
sesat itu.
Keluhan pendek kembali terdengar dan mulut
Pendekar Naga Putih. Tidak dipedulikan lagi luka-lukanya
yang terasa nyeri dan linu. Satu tekadnya, ia harus bisa
menyelamatkan diri dari hutan itu. Kalau tidak mau mati
sia-sia. Memang harus dengan siasat untuk menghadapi
dua tokoh sesat ini. Namun yang pasti, dunia persilatan
akan terancam bahaya dengan bersatunya seluruh tokoh
sesat. Maka pemuda yang cerdik dan telah banyak
pengalaman itu harus mengatur siasat. Karena, sudah
dapat ditebak, apa maksud para tokoh sesat berkumpul
dan melakukan keonaran-keonaran. Jelas, mereka ingin
menguasai dunia persilatan!
"He he he... Menyerahlah, Pendekar Naga Putih. Tidak
ada gunanya keras kepala hendak melawan kami." ujar
Datuk Panglima Sesat sambil memperdengarkan gelak
tawanya yang menggelegar.
Jelas kalau tokoh itu sudah merasa yakin akan dapat
menundukkan Pendekar Naga Putih. Apalagi keadaan
pemuda itu memang sudah cukup parah. Maka, keyakinan
tokoh tinggi besar itu pun semakin bertambah.
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat sama-
sama melangkah ke arah Pendekar Naga Putih. Mereka
terkekeh melihat pemuda itu hanya menatap tanpa
bergerak sedikit pun. Sehingga, kedua orang itu menduga
kalau Pendekar Naga Putih sudah menyerah pasrah ter-
hadap nasib yang akan diterima.
Namun, apa yang diduga kedua orang datuk sesat itu
sama sekali tidak dipedulikan Panji Pendekar Naga Putih
lalu menelan obat pulung dari balik bajunya, seraya
menghimpun tenaganya. Hawa hangat akibat obat luka
dalam yang ditelan segera menyebar, dibantu pengerahan
tenaga murni. Meskipun pemuda itu telah merasakan
keadaannya semakin membaik, tetap saja tercekam
menanti kesempatan untuk bisa selamat dari kedua orang
datuk itu.
"He he he... Apa lagi yang kau pikirkan, Pendekar Naga
Putih? Apakah para bidadari surga tengah melambaikan
tangan kepadamu?" ejek Datuk Panglima Sesat sambil
tertawa-tawa parau. Langkah kakinya pun semakin dekat
dengan tempat Panji berdiri.
"Enak saja kau bicara, Datuk Panglima Sesat. Terlalu
enak kalau rohnya disambut para bidadari surga. Kalau
aku, lebih suka pendekar muda ini dipanggang dalam api
neraka. Biar merasakan, betapa nikmatnya apabila api
telah menjilati tubuhnya,'' bantah Memedi Karang Api. Dari
ucapannya, jelas betapa kejamnya sifat yang dimiliki kakek
berjubah Putih lusuh itu.
Panji sama sekali tidak mempedulikan ejekan lawan-
lawannya. Tubuhnya yang terasa sudah semakin membaik,
membuat pemuda itu bangkit semangatnya. Maka ketika
jarak kedua orang datuk sesat itu hanya tinggal satu
tombak di depannya, tubuh Pendekar Naga Putih segera
berbalik dan melesat cepat meninggalkan tempat itu.
"Hei...!"
Tentu saja apa yang dilakukan Panji membuat kedua
orang datuk sesat itu menjadi terkejut. Sungguh tidak
diduga sama sekali kalau pemuda itu masih mempunyai
kemampuan melarikan diri. Padahal mereka melihat jelas
betapa keadaan pemuda itu telah sangat parah tadi.
Sehingga, mereka jadi terkesima untuk beberapa saat.
Memedi Karang Api yang lebih dulu tersadar dari rasa
keheranannya, cepat melesat disertai uluran tangannya
yang memanjang hingga dua tombak jauhnya. Tangan yang
terulur itu langsung melakukan tusukan ke punggung
Pendekar Naga Putih.
Wuttt!
Panji yang merasakan desir angin keras menerpa
belakang tubuhnya, cepat-cepat berbalik dan mengibaskan
tangan yang menggenggam Pedang Naga Langit.
Wuttt... Trang...!
Tangkisan kuat yang dilakukan Pendekar Naga Putih
dengan menggunakan Pedang Naga Langit, membuat
tangan lawan yang semula memanjang mengkerut seperti
sediakala.
"Edan...!" maki Memedi Karang Api yang merasakan
lengannya linu akibat tangkisan pemuda itu. "Heran!
Bagaimana mungkin pemuda itu bisa memulihkan
tenaganya kembali…?"
"Hm... Dasar kita saja yang bodoh, sehingga bisa
dikelabuinya. Kita lupa, pemuda itu pernah bersahabat
dengan tokoh sakti yang berjuluk Raja Obat. Tentu saja
lukanya bisa disembuhkan tanpa mengalami kesulitan,"
sahut Datuk Panglima Sesat yang baru teringat akan berita
yang pernah didengarnya.
"Hhh.... Hebat sekali pemuda itu. Dalam usia yang
masih sangat muda telah bisa mengumpulkan berbagai
kepandaian yang sangat diperlukan bagi kaum rimba per-
silatan. Hm... Lain kali aku tidak akan sudi dikelabui begitu
saja," geram Memedi Karang Api.
Kedua orang datuk sesat itu sama sekali tidak berniat
mengejar Pendekar Naga Putih. Memang, saat itu tubuh
lawan telah jauh. Melihat gerakannya yang demikian lincah
dan cepat, mereka pun ragu untuk dapat mengejar.
***
Pendekar Naga Putih terus melarikan diri menuju mulut
Hutan Jelaga sebelah Barat. Tubuh pemuda itu berkelebat
cepat bagaikan bayangan hantu yang terkadang lenyap di
balik rimbunan pepohonan. Sepertinya, hatinya sudah tidak
sabar untuk segera dapat mengejar Kenanga dan para
tokoh persilatan yang telah terbebas dari kepungan para
tokoh sesat.
Karena mengejar menggunakan ilmu lari cepat yang
hampir mencapai tingkat kesempurnaan, maka tidak
berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih hampir tiba
di mulut hutan.
Pepohonan yang tumbuh tidak terlalu rapat itu
membuat cahaya matahari bebas menerobos dan
menerangi jalan yang dilewati Pendekar Naga Putih.
Beberapa belas tombak sebelum mencapal mulut
hutan, Pendekar Naga Putih mengerutkan kaning ketika
melihat beberapa sosok tubuh tampak bergeletakan dalam
keadaan tewas. Tentu saja pemandangan itu membuat
hatinya berdebar tegang.
Dengan menambah kecepatan larinya, maka sekejap
saja tubuh pemuda itu tiba di tempat mayat-mayat yang
bergeletakan mandi darah.
"Ah...?!"
Hati Pendekar Naga Putih semakin berdebar ketika
mengenali lima sosok mayat itu. Mereka tak lain adalah
para tokoh persilatan yang melarikan diri bersama
Kenanga.
"Hm.... Tampaknya mereka belum lama tewas." gumam
Pendekar Naga Putih setelah melihat darah yang
menempel di tubuh mayat masih basah.
Menduga demikian, tubuh pemuda itu pun berkelebat
cepat melewati mulut Hutan Jelaga. Dia terus berlari
melintasi jalan berdebu.
Sambil mengerahkan ilmu lart cepat, Pendekar Naga
Putih memasang indera pendengarannya tajam-tajam.
Ketika secara lapat-lapat mendengar suara pertempuran,
pemuda itu pun kembali melesat setelaah memastikan
asal suara itu.
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya ketika
beberapa belas tombak di depannya tampak dua sosok
tubuh tengah bertempur sengit. Sekali lihat saja, dia sudah
dapat menilai kalau sosok berjubah hitam yang bertubuh
tinggi kurus akan dapat mengalahkan lawannya dalam
waktu yang tidak begitu lama. Ketika Panji semakin dekat
dengan pertarungan yang hebat dan membuatnya
terkagum-kagum, dadanya kontan berdebar tegang.
Memang, lawan orang berjubah hitam yang wajahnya
tersembunyi di balik kerudung itu adalah seorang kakek
renta yang mengenakan pakaian berwarna putih. Dari
bentuk tongkat yang sempat dilihatnya, Panji segera dapat
menebak, siapa kakek renta itu.
"Eyang Raja Obat…!" gumam Panji semakin bertambah
heran.
Belum lagi Pendekar Naga Putih dapat mengungkapkan
teka-teki pembunuhan atas lima orang tokoh persilatan
yang ditemukannya di dekat mulut hutan, kini tahu-tahu
muncul Raja Obat yang telah lama dikenalnya dalam
keadaan terancam (Untuk dapat mengetahui hubungan
Panji dengan Raja Obat lihat episode "Bunga Abadi di
Gunung Kembaran").
Panji yang melihat Raja Obat terdesak hebat oleh laki-
laki tinggi kurus itu segera melesat memasuki arena.
"Heaaat…!"
Begitu tiba di tengah arena pertarungan, Pendekar
Naga Putih langsung menyambut sebuah pukulan orang
berjubah hitam itu. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan
Raja Obat yang saat itu keadaannya sangat terancam.
Plarrr...!
"Akh…!"
Pendekar Naga Putih memekik kaget ketika benturan
keras itu membuat tubuhnya terlontar balik sejauh hampir
dua batang tombak! Tentu saja kenyataan itu membuatnya
terkejut setengah mati. Meskipun tadi tidak mengerahkan
sepenuh tenaga, namun hal yang seperti itu hampir tidak
pernah dialaminya.
"Gila! Pantas saja Eyang Raja Obat dapat dbuatnya
kelabakan. Kepandaian orang ini benar-benar luar biasa!
Entah siapa tokoh sakti ini? Mungkinkah ia ada
hubungannya dengan pertemuan para tokoh sesat di
Hutan Jelaga? Atau jangan-jangan..?" hati Pendekar Naga
Putih berdebar tegang ketika teringat akan ucapan Datuk
Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Mereka berdua
memang pernah menyebut-nyebut tentang Pemimpin
Agung.
Laki-laki tinggi kurus yang wajahnya tersembunyi di
balik kerudung itu tampaknya menatap tajam ke arah
Panji. Sepasang matanya yang hanya berbentuk cahaya
kemerahan itu benar-benar membuat hati Pendekar Naga
Putih berdebar tegang.
Panji mengusap tengkuknya yang terasa meremang
akibat tatapan mata orang berkerudung itu. Otot-otot
tubuhnya serentak menegang, karena disadari sepenuhnya
kalau tenaga sakti yang dimiliki orang itu sudah
sedemikian sempurna. Buktinya, ia mampu membuat
hatinya bergetar.
"Panji.., orang inilah yang berjuluk Malaikat Gerbang
Neraka. Kepandaiannya hebat sekali. Sampai-sampai aku
hampir tewas dibuatnya. Untunglah kau segera datang.
Kalau tidak, mungkin hanya mayatku saja yang akan kau
temukan," bisik Raja Obat yang segera menghampiri Panji,
begitu mengenali siapa pemuda yang telah menolongnya.
"Eyang.... Apakah kau bertemu Kenanga ?" tanya Panji.
Memang, pikiran Pendekar Naga Putih hanya di penuhi
bayangan gadis jelita itu. Hatinya benar-benar merasa
khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya.
"Ya! Aku telah bertemu dengannya. Dia membawa
rombongan tokoh persilatan golongan putih. Saat itu,
mereka tengah melarikan diri karena dikejar-kejar
beberapa tokoh sesat," sahut Raja Obat sambil
menggerakkan kepala ke arah Malaikat Gerbang Neraka.
"Mereka kusuruh pergi terlebih dahulu, dan aku mencoba
menghadang laki-laki tinggi kurus itu."
Panji dan Raja Obat menolehkan kepala ketika men-
dengar suara menggeram yang menggetarkan! Keduanya
bersiap ketika melihat tokoh menggiriskan yang berjuluk
Malaikat Gerbang Neraka tengah bersiap melancarkan
serangan.
"Hm... Kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya.
Panji. Kurasa, tidak lama lagi tokoh sesat lainnya akan
berdatangan ke tempat ini. Mereka yang sekarang berada
di bawah pimpinan laki-laki tinggi kurus tni hendak
mengadakan pertemuan. Sepertinya, mereka mempunyai
rencana besar yang belum kita ketahui." ujar Raja Obat
sambil tetap memandang Malaikat Gerbang Neraka
dengan sikap waspada.
"Tapi, bukankah para tokoh sesat itu masih berada di
dalam Hutan Jelaga, Eyang. Dan kalau tidak salah dengar,
justru tempat itulah yang akan dijadikan ajang perternuan."
sahut Panji
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa heran
apabila Raja Obat mengetahui tentang hal itu. Kakek sakti
yang merupakan seorang perantau itu sepertinya memang
banyak tahu tentang kejadian-kejadian dalam rimba
persilatan.
"Hm.... Masih banyak yang belum hadir, Cucuku. Dan
menurut dugaanku, mereka akan melewati tempat ini.
Maka kita harus cepat pergi." tegas Raja Obat yang
membuat Panji semakin terperangah.
"Gila! Apa sebenarnya tujuan Malaikat Gerbang Neraka
mengumpulkan demikian banyak tokoh golongan sesat.
Tidak mungkin kalau hanya sekadar ingin menguasai dunia
persilatan! Sebab dengan kepandaiannya yang sangat
dahsyat, ia dapat dengan mudah menaklukkan tokoh-tokoh
rimba persilatan tanpa bantuan tokoh lain." gumam Panji
dalam hati. Dan memang, ucapan itu tidak dikeluarkan.
"Kita gempur dulu orang ini. Setelah itu, baru tempat ini
kita tinggalkan. Agar kita bisa mengatur langkah selanjut-
nya," bisik Raja Obat sambil mengerahkan seluruh
kekuatan yang dimiliki.
Panji hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab.
Dikerahkannya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya
untuk menghadapi serangan Malaikat Gerbang Neraka.
Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
menyelubungi sekujur tubuh Pendekar Naga Putih, mem
buat Malaikat Gerbang Neraka mengerutkan keningnya.
Dari sinar matanya, jelas tergambar kalau ia tengah
menilai kekuatan calon lawannya.
"Heaah...!"
Tlba-tiba, tubuh tinggi kurus itu meluncur bagai kilat
disertai teriakan mengguntur.
Wusss…!
Sambaran angin keras yang bagaikan hendak
merobohkan gunung meluncur mengiringi dorongan
sepasang telapak tangan Malaikat Gerbang Neraka.
Menilik kekuatan yang dikerahkannya, jelas kalau tokoh itu
hendak menghabisi kedua orang lawan sekaligus!
"Yeaaat..!"
"Heaaat…!"
Pendekar Naga Putih dan Raja Obat pun tidak tinggal
diam. Tubuh kedua tokoh kelas satu itu melesat ber-
barengan sambil mendorongkan telapak tangan untuk
menyambut serangan lawan.
Wusss... Blarrr…!
Terdengar dentuman keras, bagai terjadi ribuan guntur
di angkasa. Bumi di sekitar tempat itu terguncang hebat
bagaikan dilanda gempa! Beberapa batang pohon yang
tumbuh dalam jarak sepuluh tombak, langsung roboh
menimbulkan suara hiruk-pikuk yang bersahut-sahutan.
Debu tebal membumbung tinggi, membuat suasana di
sekitar arena menjadi gelap.
"Aaah…!"
Tubuh Panji dan Raja Obat terlempar deras hingga
beberapa tombak ke belakang. Namun dengan sebuah
gerakan indah, tubuh mereka dapat bersalto di udara
beberapa kali.
"Ayo kita pergi..!" ajak Raja Obat begitu kedua kakinya
menjejak tanah.
Tanpa menunggu jawaban Panji, tubuh kakek itu
langsung melesat meninggalkan arena pertarungan yang
tertutup debu.
Pendekar Naga Putih yang mendengar seruan Raja
Obat bergegas menyusul, sebelah kakinya mendarat di
atas tanah. Tubuh pemuda itu langsung melayang meng-
ikuti kakek renta yang melesat beberapa tombak di depan-
nya. Melihat wajah mereka yang tampak menyeringai, jelas
kalau Panji dan Raja Obat cukup menderita akibat
benturan yang luar biasa dahsyatnya tadi.
"Keparat..!" maki Malaikat Gerbang Neraka, marah.
Memang, saat kepulan debu mulai menipis, Malaikat
Gerbang Neraka tidak menemukan kedua orang lawannya
lagi. Dengan wajah keruh, tokoh sakti itu membanting
kakinya di atas tanah. Ia mengomel, sebelum meninggal-
kan tempat itu.
Siapakah sebenarnya tokoh sakti yang menggiriskan
itu? Dan apa rencana Malaikat Gerbang Neraka
mengumpulkan tokoh sesat dunia persilatan? Dapatkah
dia mengajak dua orang datuk sesat lainnya untuk
bersekutu? Untuk mengetahui jawabannya, silakan meng-
ikuti lanjutan cerita ini yang berjudul
"Rahasia Pedang Naga Langit".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar