..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 11 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MALAIKAT GERBANG NERAKA

Malaikat Gerbang Neraka

 

SATU

Saat itu matahari sudah menampakkan kekuasaannya, 
sinarnya yang kuning keemasan, menyirami dataran 
Lembah Tiga Setan. Hembusan angin bertiup keras, karena 
dataran lembah itu sangat lebar dan luas. 
Tidak seperti biasanya, pagi ini Lembah Tiga Setan 
tampak dipenuhi manusia. Dari lereng saja sudah terlihat 
jelas banyaknya sosok tubuh yang berkelebat mendaki 
Gunung Kalaban, untuk kemudian menuruni Lembah Tiga 
Setan. 
Dari gerakan dan langkah kaki sosok-sosok tubuh itu, 
jelas kalau rata-rata terdiri dan tokoh persilatan. Apalagi di 
pinggang mereka tampak menyembul gagang senjata. Bisa 
ditebak, sosok-sosok tubuh itu merupakan kaum rimba 
persilatan. 
Rombongan pertama yang terdiri dari dua belas orang 
laki-laki bertampang kasar, menghentikan langkah di 
tengah lembah. Laki-laki tinggi kurus dan berwajah pucat 
yang merupakan kepala rombongan itu melangkah ber-
keliling sambil mengedarkan pandangan. Sikapnya terlihat 
jumawa, dan meremehkan orang lain. 
"Hm….. Mana orang yang mengaku berjuluk Malaikat 
Gerbang Neraka? Mengapa batang hidungnya tidak 
kelihatan? Apakah ia sengaja hendak mempermainkan 
Tengkorak Hutan Jati?" gumam laki-laki tinggi kurus itu 
sambil bertolak pinggang dengan sikap jumawa. 
Kesombongan yang diperlihatkan laki-laki tinggi kurus 
itu memang wajar. Memang, dalam rimba persilatan, 
julukan Tengkorak Hutan Jati sangat ditakuti. Entah sudah 
berapa banyak tokoh golongan putih yang tewas di 
tangannya. Kekejamannya yang tidak tanggung-tanggung 
membuat orang semakin segan berurusan dengannya. 
Dengan ilmunya yang bernama 'Cakar Penghancur Tulang’. 
Tengkorak Hutan Jati tampak semakin sombong. Dan

memang, dia belum pernah dicundangi orang. Tidak heran 
kalau ia cenderung memandang remeh orang lain. 
Kedatangannya pagi ini ke Lembah Tiga Setan atas 
undangan orang yang mengaku berjuluk Malaikat Gerbang 
Neraka. Dan sebenarnya ia tidak tahu kapan orang aneh 
itu mengirimkan undangan kepadanya. Tentu saja hal ini 
membuatnya jadi penasaran, sehingga membawanya ke 
Lembah Tiga Setan. 
Bukan hanya Tengkorak Hutan Jati saja yang 
mendapatkan undangan yang penuh teka-teki itu. Masih 
banyak tokoh persilatan lain yang juga mendapat 
undangan sama, dan dengan alasan yang juga tidak 
berbeda. Kebanyakan dari mereka datang hanya karena 
penasaran terhadap si pengirim undangan. Mereka ingin 
melihat, bagaimana rupa orang yang telah begitu berani 
mengirimkan undangan kepada mereka. Jadi tak heran 
kalau Lembah Tiga Setan dipenuhi manusia golongan 
sesat. 
Mereka yang mendapatkan undangan aneh itu ternyata 
bukan hanya penjahat-penjahat kelas teri. Bahkan para 
datuk sesat di empat penjuru mata angin pun mendapat 
undangan yang sama. Tentu saja keadaan di lembah itu 
semakin semarak dan ramai. 
"He he he.... Tak disangka, orang yang paling berkuasa 
di daerah Timur pun sudi juga memenuhi undangan gila 
ini," cetus seorang kakek berusia enam puluh tahun. 
Wajahnya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna 
dua. Pakaian yang dikenakannya pun tampak lusuh dan 
agak kotor. 
Suara berat dan parau yang terdengar pelan namun 
cukup menggetarkan hati itu tentu saja membuat terkejut 
para tokoh yang hadir. Serentak mereka menoleh ke arah 
asal suara tadi. Namun sampai lelah mata mereka 
mencari, tak ada seorang pun yang patut dicurigai. Tak ada 
yang tahu kalau kakek itu mengucapkan kata-katanya 
tanpa menggerakkan bibir. Padahal orang yang 
mengeluarkan ucapan itu sebenarnya ada di antara

mereka. 
"Memedi Karang Api...!" 
Terdengar suara mendesis lirih yang bersahut-sahutan 
dari beberapa orang tokoh sesat terkemuka saat ini. 
Beberapa pasang mata tokoh persilatan itu tampak 
menyiratkan sinar kegentaran dan rasa hormat ke arah 
kakek berjubah putih kumal itu. Dari nada suara yang 
terdengar agak bergetar, jelas kalau mereka merasa 
tunduk terhadap kakek yang berjuluk Memedi Karang Api. 
Bahkan Tengkorak Hutan Jati yang semula bersikap 
sangat sombong, langsung merubah sikap melihat 
kehadiran Memedi Karang Api. Hal itu wajar saja. Karena 
kakek itu merupakan raja kaum sesat di wilayah Barat. Dan 
karena Tengkorak Hutan Jati juga berasal dari daerah itu, 
maka secara tidak langsung, ikut mengangkat kakek itu 
sebagai raja. Namun, hal itu tanpa sepengetahuan Memedi 
Karang Api sendiri. 
"Ini baru hebat, kalau sampai seorang datuk seperti 
Memedi Karang Api sampai datang memenuhi undangan. 
Dan tentu si pengundang memiliki keistimewaan yang 
membuatnya penasaran!" celetuk salah seorang tokoh 
sesat bertubuh gendut dan berkepala botak. Sebelah 
matanya yang tertutup kulit binatang, membuatnya dijuluki 
sebagai Garuda Mata Satu. 
"Hm.... Kau benar, Garuda Mata Satu. Bukan hanya 
Memedi Karang Api saja yang muncul di sini. Aku sempat 
mendengar, apa yang diucapkannya tadi. Dan kalau tidak 
keliru, mungkin yang dimaksud orang paling berkuasa di 
daerah Timur itu adalah Datuk Panglima Sesat. Siapa lagi 
kalau bukan dia yang di maksud Memedi Karang Api." 
timpal laki-laki berwajah kekanakan. 
Dia berdiri di sebelah Garuda Mata Satu. Menilik dari 
ucapannya, jelas kalau orang itu pun pasti bukan orang 
sembarangan. Buktinya, ia cukup mengenal tokoh-tokoh 
kelas atas dalam golongannya. 
"Tapi, mengapa aku tidak melihatnya...? Apa kau 
melihat adanya tokoh sakti itu?" tanya Garuda Mata Satu

sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. 
Namun meski sampai pegal kepalanya tetap saja tidak bisa 
menemukan orang yang dimaksud. 
"He he he... Jangan samakan ketajaman mata dan 
pendengaranmu dengannya. Dan aku percaya, apa yang 
dikatakannya itu benar. Meskipun, aku sendiri belum 
melihatnya," sahut laki-laki berwajah kekanakan itu sambil 
tertawa lirih. 
Tak lama, selagi kedua orang itu terlibat dalam 
percakapan, terdengar suara langkah kaki berderap yang 
membuat semua orang menolehkan kepala ke arah asal 
suara. 
"Pasukan Datuk Panglima Sesat..!? Kiranya dia juga 
menyempatkan diri memenuhi undangan ini? Hm… Bukan 
mustahil kalau kedua orang datuk lainnya akan muncul 
juga di Lembah Tiga Setan ini. Benar-benar sebuah 
peristiwa yang jarang sekali terjadi. Entah apa daya tarik 
yang dimiliki tokoh berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu? 
Kalau melihat dari hadirnya datuk-datuk di empat penjuru 
mata angin ini, jelas kalau Malaikat Gerbang Neraka 
memiliki kelebihan yang membuat para datuk tertarik," 
gumam Tengkorak Hutan Jati dengan hati semakin ciut. 
Memang, tokoh-tokoh itu merupakan pentolan-pentolan 
kaum sesat. Maka begitu melihat kehadiran Memedi 
Karang Api dan Datuk Panglima Sesat, barulah Tengkorak 
Hutan Jati merasa betapa dirinya masih terlalu jauh untuk 
dapat disejajarkan dengan kedua orang tokoh itu. 
Sementara itu, rombongan orang berseragam serba 
putih dengan sulaman benang emas di bagian dada kiri 
sudah memasuki lembah dan memilih tempat teduh. 
Seorang laki-laki tinggi besar yang kumis dan jenggotnya 
tercukur rapi tampak berdiri angkuh sambil mengedarkan 
pandangan matanya ke sekeliling. Sikapnya terlihat 
menimbulkan perbawa kuat. Menilik dari pakaiannya yang 
mirip pakaian Panglima kerajaan, jelas sudah kalau laki-
laki berusa sekitar lima puluh tahun itulah yang berjuluk 
Datuk Panglima Sesat. Dan orang itu pulalah yang

dimaksudkan sebagai penguasa daerah Timur. 
Tingkah dan cara kehidupan yang dijalani tokoh 
menggiriskan itu memang aneh sekali. Di tempat 
kediamannya, ia membangun sebuah tempat tinggal yang 
megah dan mirip istana. Bahkan pata pembantunya yang 
berjumlah seratus orang, diwajibkan mengenakan pakaian 
prajurit bila berada di tempat kediamannya. Sedangkan ia 
sendiri tidak pernah melepas pakaian panglimanya itu. Dan 
karena sikapnya yang tidak mirip seorang panglima, maka 
kalangan rimba persilatan memberi julukan Panglima 
Sesat kepadanya. Kepandaiannya memang hampir tanpa 
tandingan. Inilah yang menyebabkannya dalam waktu yang 
singkat dapat menempatkan diri sejajar dengan tiga orang 
datuk sesat lainnya. 
Kedatangannya ke Lembah Tiga Setan adalah karena 
sebuah undangan yang sampai ke tempat kediamannya 
tanpa seorang pun mengetahuinya. Bahkan ia sendiri juga 
tidak tahu, kapan undangan itu dikirimkan. Dan semula dia 
menduga kalau si pengirim jelas bukan orang sem-
barangan. Maka dengan hati penasaran, Datuk Panglima 
Sesat pun menyempatkan diri memenuhi undangan itu. 
Kepala laki-laki tinggi besar yang terlihat gagah ini 
terangguk kaku ketika sepasang matanya tertumbuk pada 
sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah putih 
kumal. Jelas, tokoh sesat yang satu ini benar-benar 
memiliki sikap sangat angkuh. Jangankan terhadap tokoh 
di bawahnya, sedangkan terhadap Memedi Karang Api 
yang setingkat dengannya pun masih juga menunjukkan 
ketinggian hatinya. Dia benar-benar menganggap sebagai 
seorang Panglima yang patut di hormati. Dan itu sepertinya 
cukup wajar. Sebab selain kepandaiannya sulit diukur, 
datuk sesat yang satu ini memang orang terkaya di daerah 
Timur. 
"Hm... Kiranya kau tertarik juga dengan undangan gila 
ini, Memedi Karang Api?" tegur Datuk Panglima Sesat. 
Pandangan Datuk Panglima Sesat beralih sejenak ke 
arah kakek berjubah putih kumal itu. Suaranya terdengar

sangat angkuh. Sepertinya ia ingin membedakan kalau 
dirinya masih jauh lebih patut dihormati ketimbang Memedi 
Karang Api. 
Namun Memedi Karang Api sendiri sama sekali tidak 
tersinggung atas teguran Datuk Panglima Sesat. Ia hanya 
terkekeh serak memperlihatkan gigi-giginya yang ternyata 
terawat baik dan sangat kuat. Meskipun urakan, jelas 
kalau Datuk Wilayah Barat ini sangat memelihara 
kebersihan. Sayangnya, semua itu seolah disembunyikan di 
balik pakaiannya yang lusuh dan kumal. Entah apa maksud 
kakek itu berbuat demikian. 
"He he he…. Sebenarnya hanya kita berdua saja yang 
begitu gila, sehingga memenuhi undangan ini. Semenjak 
tadi aku tidak melihat dua tokoh lain. Apakah kau melihat 
mereka. Datuk Panglima Sesat?" tanya Memedi Karang 
Api. 
Datuk Panglima Sesat yang biasa dipanggil dengan 
sebutan 'tuanku', tentu saja tidak merasa keberatan atas 
panggilan itu. Sebab biarpun berpenampilan sangat lusuh, 
tapi tetap saja kakek itu dipandangnya sebagai orang yang 
seangkatan. Apalagi kepandaian mereka hampir-hampir 
tidak berselisih. 
"Ya! Aku pun tidak melihat mereka. Mungkin hal ini 
dianggap tidak terlalu penting. Lain dengan kita yang 
merasa tersinggung oleh undangan itu. Bagiku, surat itu 
lebih tepat sebuah tantangan ketimbang undangan. Untuk 
itulah aku datang kemari. Bagaimana dengan kau,. 
Memedi Karang Api? Apa alasanmu memenuhi undangan 
gila ini?" tanya Datuk Panglima Sesat, tetap tidak merubah 
nada suara maupun sikapnya 
"He he he.... Aku tidak segila dirimu, Datuk Panglima 
Sesat. Kehadiranku di sini hanya untuk menonton 
keramaian. Sebab, jarang sekali pertemuan seperti ini bisa 
terjadi. Sayang Datuk Selatan dan Datuk Utara tidak bisa 
hadir. Kalau saja mereka berada di tempat ini, mungkin 
hatiku akan semakin gembira," sahut Memedi Karang Api.

Dia tidak peduli, apakah ucapannya akan menyinggung 
perasaan lawan bicaranya atau tidak. Memang, sudah 
begitulah sikap dan tingkah lakunya. Datuk Panglima Sesat 
pun memang sudah maklum akan sifat kawan 
segolongannya itu. 
"Ha ha ha.... Dasar jembel tua kekurangan tontonan! 
Kalau hanya untuk alasan seperti itu, mengapa tidak 
singgah saja ke tempat kediamanku? Di sana kau akan 
menikmati tontonan-tontonan menarik setiap saat. Bahkan 
wanita-wanita cantik pun tinggal pilih saja," kata Datuk 
Panglima Sesat sambil tertawa terbahak-bahak mendengar 
ucapan sahabatnya. 
Apa yang dikatakan Datuk Panglima Sesat tentu saja 
bukan hanya omong kosong saja. Sebagai seorang datuk 
yang paling kaya di wilayah Timur, tentu apa yang 
ducapkannya tidaklah berlebihan. Bahkan tempat 
kediamannya masih lebih besar dan megah daripada 
istana kadipaten. Sehingga, Adipati Blambangan sendiri 
tidak berani mengusiknya. Dan jelas, hal itu hanya akan 
mendatangkan penyaklt saja. 
"Apakah ucapanmu ini merupakan undangan resmi 
untukku..?" kelar Memedi Karang Api. 
Hatinya benar-benar gembira membayangkan apa yang 
dijanjikan sahabatnya itu. Sepasang matanya yang kocak, 
berputar liar. Seolah-olah, kakek itu sudah merasa gembira 
walau hanya membayangkannya saja. 
"Mengapa tidak? Kalau kau memang kebetulan 
melewati tempat kediamanku, singgahlah. Tak perlu 
undangan resmi segala." sahut Datuk Panglima Sesat, 
kembali memperdengarkan suara tawanya yang ber-
kepanjangan. 
"He he he.... Pasti... pasti…" sambut Memedi Karang Api 
sambil tersenyum-senyum bagaikan orang menang undian. 
Tengah kedua orang datuk itu bercakap-cakap, tiba-tiba 
berhembus angin dingin yang sangat keras. Daun-daun 
kering beterbangan, sehingga membuat suasana di sekitar

Lembah Tiga Setan itu menjadi kacau. Belum lagi rasa 
heran orang-orang yang berada di lembah itu hilang, ter-
dengar suara tawa berkepanjangan yang mengandung 
kekuatan hebat. 
"Ha ha ha...!" 
Suara tawa serak yang jelas mengandung kekuatan 
tenaga dalam tinggi itu membuat beberapa orang tokoh 
persilatan yang tidak kuat tenaga dalamnya, jatuh ber-
gelimpangan. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka, 
tampak mengalir darah segar. Tubuh mereka pun ber-
kelojotan bagai seekor ikan yang diangkat dari dalam air. 
Untunglah tawa yang mengandung kekuatan dahsyat 
itu tidak berlangsung lama. Sehingga, tokoh-tokoh yang 
memiliki tenaga dalam pas-pasan hanya tergeletak 
pingsan. 
"Hm ... Tampaknya keramaian akan segera dimulai..," 
gumam Memedi Karang Api. 
Dia tampaknya sama sekali tidak terpengaruh suara 
tawa itu. Hanya Memedi Karang Api saja yang mengetahui 
kalau ucapan kakek sakti itu dikeluarkan lewat 
pengerahan tenaga dalam. Sehingga secara sekilas, kakek 
itu bagaikan tidak merasakan serangan yang dilontarkan 
melalui suara itu. 
Lain halnya Datuk Panglima Sesat. Tokoh sakti 
penguasa wilayah Timur itu menahan napasnya untuk 
melindungi isi dada dari serangan tawa yang menggetarkan 
itu. Diam-diam tokoh yang menggiriskan ini juga merasa 
terkejut oleh kekuatan tenaga dalam si pengirim suara. 
Namun keterkejutannya hanya disimpan dalam hati. 
Sedangkan mulutnya terkatup rapat tanpa kata. 
Bersamaan lenyapnya suara tawa yang menggetarkan 
tadi, hembusan angin dingin pun lenyap pula. Kesunyian 
dan ketegangan pun menyelimuti sekitar Lembah Tiga 
Setan. Hati mereka semua berdebar tegang menantikan 
munculnya si empunya suara yang diduga sebagai Malaikat 
Gerbang Neraka. 
Namun setelah agak lama menantikan, sosok yang


dibayangkan para tokoh persilatan itu tak kunjung muncul. 
Beberapa di antaranya mencoba menggerakkan kepala 
memandang ke sekeliling dataran lembah itu. Tapi, tanda-
tanda kemunculan tokoh aneh yang jelas sangat sakti itu 
belum juga nampak. 
"Gila! Permaian apa lagi yang akan dipertunjukkan 
manusia gila itu?!" umpat Garuda Mata Satu. 
Dia sepertinya merasa tidak enak oleh ketegangan dan 
kesunyian yang menyelimuti hatinya. Rasanya ia lebih suka 
berhadapan langsung dengan maut, dari pada dilanda 
ketegangan yang tak ada habtsnya itu. 
Tapi begitu ucapannya selesai, tahu-tahu saja Garuda 
Mata Satu merasakan tubuhnya terbang dari tempatnya 
berpijak. 
"Hei... hei! Apa ini..?!" 
Garuda Mata Satu seorang tokoh sesat yang kejam dan 
tidak pernah mengenal rasa takut tiba-tiba berteriak-teriak 
bagai anak kecil. Hatinya benar-benar merasa ngeri atas 
keanehan yang terjadi pada dirinya. Sehingga tanpa sadar, 
ia pun berteriak-teriak ketakutan. 
Laki-laki gemuk kekanakan yang berada di sebelah 
Garuda Mata Satu kontan terbelalak pucat. Kedua lututnya 
goyah, bagaikan tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya 
yang gemuk itu. Jelas, hatinya merasa ngeri oleh kejadian 
yang menimpa kawannya. Dan memang, ia sendiri tidak 
tahu apa yang menyebabkannya. 
Tubuh Garuda Mata Satu yang tengah melayang di 
udara setinggi satu setengah tombak, tiba-tiba terhempas 
begitu saja di atas permukaan tanah berbatu. 
Bruggg! 
Tokoh sesat berkepala botak yang sebelah matanya ter-
tutup kulit binatang itu berteriak ketakutan! Tubuhnya ter-
banting begitu saja, tanpa diketahui apa yang telah 
menyebabkannya. 
"Kurang ajar...! Siapa yang berani main-main dengan 
Garuda Mata Satu?! Hayo, tunjukkan dirimu!" teriak laki-
laki berkepala botak itu menantang-nantang.

Tentu saja ucapannya itu dikeluarkan hanya untuk 
menutupi rasa malu karena merasa dipermainkan di 
hadapan orang banyak. Meskipun jelas wajahnya terlihat 
memucat, namun dengan lagak sornbong ia bertolak 
pinggang sambil mengedarkan pandangan berkeliling. 
Para tokoh persftatan yang tidak mengetahui apa yang 
menyebabkan Garuda Mata Satu melayang dan kemudian 
terjatuh, tentu saja merasa geli melihat tingkah tokoh itu. 
Bahkan beberapa orang di antaranya tertawa lirih. Untuk 
beberapa saat lamanya, ketegangan yang semenjak tadi 
melanda hati mereka lenyap. 
Namun tawa para tokoh persilatan itu mendadak 
terhenti, ketika tanpa diketahui di sebelah kanan Garuda 
Mata Satu telah berdiri sesosok tubuh tinggi kurus. Dia 
mangenakan jubah panjang berwarna hitam. Wajah sosok 
tubuh yang entah kapan datangnya, tertutup kerudung 
yang membungkus kepalanya. Hanya sepasang matanya 
saja yang terlihat mencorong tajam bagaikan mata seekor 
harimau di dalam gelap. Tentu saja kehadiran orang aneh 
itu membuat para tokoh persilatan yang hadir merasa 
ngeri. 
"Dia... dia pasti bukan manusia! Mana ada manusia 
yang datang ke tempat terbuka seperti ini tanpa ada yang 
mengetahuinya...?" terdengar suara lirih yang bergetar 
karena terselubung rasa ngeri. 
Sayang ucapan yang terdengar lirih itu ternyata telah 
menjadi suatu ancaman baginya. Buktinya, sosok tubuh 
tinggi kurus yang saat itu tengah berdiri di samping Garuda 
Mata Satu langsung menolehkan kepala ke arah orang 
yang mengeluarkan ucapan tadi. Sepasang matanya yang 
bersinar kemerahan tertuju langsung dengan pengaruh 
yang membuat seorang penakut menjadi lemas persendian 
lututnya. 
"Kemari kau..." terdengar desis yang menebarkan hawa 
dingin dan menggetarkan jantung. 
Jelas, sosok tubuh itu sama sekali tidak terlihat meng-
gerakkan bibirnya. Namun, perintah yang jelas diucap

kannya ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat 
hebat. Sehingga, tubuh orang yang ditatapnya kontan 
menggigil hebat, bagaikan orang terserang demam. 
***
DUA


Seluruh tokoh persilatan yang hadir menjadi terkesima 
melihat tubuh laki-laki pendek kekar yang mengeluarkan 
ucapan tadi bergerak melangkah maju. Pandangan mata-
nya tertuju lurus ke depan. Sedikit pun kepalanya tidak 
menoleh ke tempat lain. Jelas, orang itu sudah berada 
dalam pengaruh orang tinggi kurus yang berjubah hitam 
panjang itu. 
"Hm.... Coba ulangi ucapanmu tadi!" pinta sosok ber-
jubah hitam itu dengan suara kaku dan tetap tanpa meng-
gerakkan bibir. 
"Aku... eh! Aku..., tidak...." 
Rasa takut dan ngeri yang mencengkeram dan 
melenyapkan seluruh keberaniannya, membuat laki-laki 
pendek kekar itu tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. 
Bahkan untuk mengingat kata apa yang harus diucapkan 
pun tidak mampu lagi. 
"Hm...," sosok tinggi kurus itu bergumam kaku. 
Dia kemudian membalikkan tubuhnya seraya meng-
edarkan pandangan ke sekeliling. Menilik dari sikapnya 
yang angker dan penuh perbawa, jelas kalau orang itu 
bukanlah orang sembarangan 
"Sahabat-sahabat sekalian. Aku senang atas kehadiran 
kalian yang sudi datang memenuhi undanganku ini. 
Sebagaimana yong tertulis dalam setiap undangan yang 
kukirimkan, akulah si Malaikat Gerbang Neraka. Dan mulai 
saat ini, aku mengangkat diriku sebagai datuk dari segala 
datuk kaum rimba persilatan golongan sesat!" sosok tinggi 
kurus berjubah hitam itu menghentikan ucapannya sejenak 
untuk melihat tanggapan para tokoh yang hadir. 
Namun, setelah menanti sekian lama tidak juga ada 
yang membantah, maka setelah menarik napas sejenak, 
ucapannya kembali dilanjutkan. 
"Aku akan membawa golongan kita ke kejayaan. Tidak

ada lagi tokoh golongan putih yang akan menghalangi per-
buatan kita. Bila hal itu masih juga terjadi, cari dan bunuh 
tokoh golongan putih yang sangat sombong dan me-
mandang hina kita." kembali tokoh yang mengaku berjuluk 
Malaikat Gerbang Neraka itu menghentikan kata-katanya. 
Puluhan orang tokoh persilatan yang telah melihat ke-
saktian dan keangkeran Malaikat Gerbang Neraka seren-
tak menyambut ucapan itu dengan sorak-sorai ber-
gemuruh. 
"Hidup Malaikat Gerbang Neraka...!" 
"Hidup sang Pemimpin Agung...!" 
"Hidup golongan hitam...!" 
Teriakan-teriakan yang merupakan ungkapan rasa 
setuju terdengar saling bersahutan. Dan untuk beberapa 
saat lamanya, dataran Lembah Tiga Setan bagaikan tengah 
diadakan sebuah pesta besar yang meriah. 
Sebentar sinar mata di balik kerudung hitam itu ber-
binar-binar, lalu tiba-tiba kembali menyorot tajam. Dan 
memang, ia melihat belum semua yang hadir ikut menyam-
but gembira ucapannya itu. Sepertinya, Malaikat Gerbang 
Neraka masih belum merasa puas atas sambutan yang 
diterimanya. 
Dengan gerakan perlahan dan angker, sosok tinggi 
kurus itu mengangkat kedua tangannya ke atas. Suara 
sorak-sorai yang semula bergemuruh langsung lenyap. 
Keheningan pun kembali menyelimuti dataran Lembah Tiga 
Setan. Melihat kepatuhan sebagian besar dari tokoh per-
silatan yang hadir, Malaikat Gerbang Neraka sepertinya 
belum merasa puas. 
"Kalau di antara kalian masih ada yang tidak setuju dan 
meragukan kemampuanku, silakan maju! Jangan hanya 
membungkam seperti perawan pingitan," tantang Malaikat 
Gerbang Neraka dengan suara masih tetap dingin dan 
kaku. 
Datuk Panglima Sesat yang memang merasa sangat 
penasaran oleh si pengirim undangan aneh itu, melangkah 
maju dengan sikap angkuh! Jubahnya yang lebar dan

hampir menyentuh lutut, dibuka dan diserahkannya ke 
salah seorang pengikutnya. Jelas kalau tokoh kelas satu 
wilayah Timur ini merasa tersinggung oleh tantangan sosok 
tinggi kurus itu. 
"Hm... Malaikat Gerbang Neraka! Kami tidak tahu asal-
usulmu. Dan kami juga belum tahu, apa maksudmu 
dengan mengangkat diri sebagai pimpinan seluruh tokoh 
sesat di negeri ini! Satu hal yang perlu kau ketahui. Aku 
Datuk Panglima Sesat tidak bersedia menjadi pembantu 
orang sepertimu.'' tegas Datuk Panglima Sesat seraya men-
dongakkan dagunya dengan sikap yang tidak kalah garang. 
Malaikat Gerbang Neraka tentu saja tahu, siapa orang 
di hadapannya. Dan ia pun sadar, orang seperti Datuk 
Panglima Sesat sangat diperlukan. Selain kepandaian dan 
kekuasaannya, tokoh kelas satu wilayah Timur itu bisa di-
jadikan tenaga pembantu yang diandalkan. Itulah sebab-
nya, mengapa ia tidak menjadi marah meskipun laki-laki 
tinggi besar yang gagah itu telah melontarkan kata-kata 
yang menyakitkan hati. 
"Hm.... Datuk Panglima Sesat. Aku telah lama mengenal 
dan menyelidikimu. Kalau hari ini hendak bertarung 
denganku, apakah yang akan kau pertaruhkan?" tantang 
Malaikat Gerbang Neraka. 
Sikapnya memang amat cerdik. Sebab, ia tahu seorang 
tokoh besar seperti Datuk Panglima Sesat tidak boleh di-
jatuhkan begitu saja di depan orang banyak. Masalahnya, 
hal itu bisa menyinggung harga diri Datuk Wilayah Timur 
itu. Dan apabila hal itu terjadi, ia akan kehilangan seorang 
pembantu yang sangat langka. Oleh karena itulah, ia 
dengan cerdiknya menantang bertaruh. 
"Ha ha ha...!" tawa Datuk Panglima Sesat berkuman-
dang ketika mendengar pertanyaan itu. 
Sebagai seorang datuk persilatan yang belum pernah 
menemui tandingan, tentu saja ia sangat yakin akan 
kemampuan yang dimiliki. Jangankan Malaikat Gerbang 
Neraka yang baginya hanya merupakan seorang tokoh 
baru. Sedangkan tiga datuk penguasa wilayah lainnya pun

belum tentu dapat mengalahkannya. Maka, tentu saja 
tantangan itu disambut suara tawa sombongnya. 
"Sebutkan! Apa yang kau inginkan, Malaikat Gerbang 
Neraka? Jangankan hanya kekayaan. Kepalaku pun boleh 
kau ambil asalkan bisa mengalahkanku!" tantang Datuk 
Panglima Sesat dengan takaburnya. 
Kelihatannya, Datuk Panglima Sesat lupa akan kodrat 
alam. Setiap sesuatu yang tinggi, tentu masih ada yang 
lebih tinggi. Dan setiap ada orang pandai, maka akan 
selalu ada orang yang lebih pandai. Sehingga, tidak ada 
satu pun di dunia ini yang bisa di katakan paling besar 
ataupun paling tinggi. 
"Tidak perlu sampai sejauh itu, Datuk Panglima Sesat," 
sahut Malaikat Gerbang Neraka yang menjadi girang 
melihat pancingannya ternyata membawa hasil. "Bila kalah, 
kau cukup kujadikan pembantuku. Bagaimana?" 
"Terserah apa saja maumu, Malaikat Gerbang Neraka. 
Satu yang harus kau ingat! Kalau kau sampai kalah di 
tanganku, maka bukan saja tidak melanjutkan cita-citamu. 
Tapi, nyawamu pun akan segera pindah ke neraka!" ujar 
Datuk Panglima Sesat sengaja menekankan kata-kata 
'neraka' untuk memancing kemarahan laki-laki tinggi kurus 
yang menjadi calon lawannya. 
Namun, apa yang diharapkan Datuk Panglima Sesat 
ternyata sama sekali tidak menjadi kenyataan. Sosok tinggi 
kurus berjubah hitam itu tetap tenang dan angker. Seolah-
olah ucapan yang mengandung ejekan dari tokoh sakti 
wilayah Timur itu sama sekali tidak didengarnya. 
"Apakah kau sudah siap, Malaikat Gerbang Neraka...?" 
ujar Datuk Panglima Sesat mengingatkan. 
Sepertinya, dengan berbuat demikian hendak ditunjuk-
kan kalau ia berada pada tempat yang lebih tinggi dari 
calon lawannya. 
"He.... Semenjak berbicara tadi pun, aku sudah siap!" 
sahut Malaikat Gerbang Neraka. Suaranya dingin dan tetap 
tidak terpengaruh oleh ucapan calon lawannya. 
Dua sosok tubuh yang sama tinggi itu berdiri tegak dan

saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Sepasang 
mata mereka mencorong tajam saling meneliti sikap lawan. 
Namun, sikap yang ditunjukkan Malaikat Gerbang Neraka 
sama sekali tidak menunjukkan kesiagaannya. Sepertinya, 
tokoh yang belum diketahui dari mana asalnya itu sama 
sekali tidak berhasrat bertarung. 
Tentu saja Datuk Pangllma Sesat menjadi jengkel me-
lihat sikap lawannya. Ia yang semenjak tadi menunggu 
serangan lawan, jadi tidak sabar. 
"Mengapa kau tidak menyerang, Malaikat Gerbang 
Neraka? Apakah kau berubah pikiran?" tegur Datuk 
Panglima Sesat. Nada suaranya jelas menunjukkan ke-
jengkelan hati. 
"Hm... Kalau memang itu maumu, bersiaplah....'' sahut 
laki-laki tinggi kurus itu. Nadanya tetap dingin dan tanpa 
amarah. 
Namun, di balik semua ketenangannya, tersembunyi 
sifat sadis dan kejam yang bahkan melebihi kekejaman 
para datuk sesat sekarang ini. Semua itu dapat terlihat 
jelas dari pancaran sepasang matanya yang terkadang me-
nimbulkan kilatan aneh dan mengerikan. 
Hati Datuk Panglima Sesat sempat bergetar juga 
melihat sikap lawan yang bagaikan tak memiliki semangat 
hidup itu. Namun, semua itu tertutup oleh rasa sombong di 
hatinya. Dan ia hanya berdiri tegak dengan kedua kaki 
terpentang untuk menghadapi serangan lawan. 
"Sambut seranganku...!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang sempat 
membuat Datuk Pangllma Sesat terkejut. Memang ketika 
bentakan itu terdengar, sosok tinggi kurus di hadapannya 
ternyata sudah lenyap entah ke mana. Sadar kalau lawan 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat langka, 
maka tokoh sakti wilayah Timur itu segera mengerahkan 
indera pendengarannya untuk menghadapi gempuran 
lawan. 
Wuttt! 
Datangnya angin pukulan yang menimbulkan suara

mencicit tajam itu, membuat Datuk Panglima Sesat meng-
geser kaki kanannya ke samping kiri. Gerakannya dibarengi 
egosan tubuh yang meliuk bagaikan seorang penari lihai. 
Bahkan Datuk Panglima Sesat masih sempat juga 
melancarkan serangan balasan yang cukup berbahaya. 
Bettt! Bettt! 
Dua pukulan balasan yang dilancarkan Datuk Panglima 
Sesat hanya mengenai angin kosong, karena saat ttu tubuh 
lawan kembali telah lenyap dari hadapannya. 
Namun, kepekaan pendengaran laki-laki tinggi besar itu 
memang patut mendapat acungan jempol. Begitu terasa 
ada angin lembut di sebelah kanannya, kakinya yang besar 
itu langsung saja melepaskan sebuah tendangan kilat yang 
mengejutkan. 
Zebbb! 
Sayang serangan yang dilancarkan Datuk Panglima 
Sesat kembali menghantam tempat kosong. Bahkan tubuh 
lawan yang mengegos itu tiba-tiba muncul di depannya. 
Langsung dikirimnya pukulan lurus menuju dada Datuk 
Timur itu. Dari suara angin pukulannya yang mencicit 
tajam, jelas kalau tenaga dalam yang terkandung dalam 
pukulan lawan sangat kuat. 
Tapi memang tidak percuma Datuk Panglima Sesat 
menjadi tokoh kelas satu di wilayah Timur. Serangan yang 
sangat cepat dan tak terduga itu sama sekali tidak mem-
buatnya gugup. Dengan sebuah gerakan mengejutkan, 
tubuh laki-laki tinggi besar itu roboh ke belakang. Sambil 
menjatuhkan diri dengan sikap telentang, dan bertumpu 
pada telapak tangan, sepasang kakinya melakukan ten-
dangan beruntun ke dada lawan. 
Pada jurus yang kedua puluh lima ini, Malaikat Gerbang 
Neraka memperlihatkan kehebatannya. Kepalanya yang 
semula meluncur lurus ke dada lawan, berputar cepat. 
Langsung disambutnya dua tendangan lawan. 
Plak! Plak! 
Terdengar suara nyaring begitu dua gelombang tenaga 
sakti yang sama kuat beradu. Dan dengan cerdiknya,

Malaikat Gerbang Neraka meminjam tenaga benturan 
untuk mencelat di atas tubuh lawan. Ternyata lompatan 
tubuhnya masih disertai sambaran telapak tangan yang 
meluncur deras mangancam pelipis Datuk Panglima Sesat. 
Sebuah serangan hebat, dan menandakan kecerdikan 
tokoh sesat bertubuh tinggi kurus itu. 
Bresssh! 
Dua gelombang tenaga sakti yang sama dahsyatnya 
kembali bertumbukan ketika Datuk Panglima Sesat men-
jatuhkan tubuh dan mendorongkan telapak tangannya 
untuk menyambut tamparan lawan. 
Hebat sekali akibat benturan dua gelombang tenaga 
raksasa itu. Tubuh Malaikat Gerbang Neraka melambung 
beberapa tombak ke udara. Hal itu terjadi, karena saat ber-
benturan, tubuh laki-laki tinggi kurus itu tengah berada di 
udara. Sehingga, benturan itu tidak mendatangkan kerugi-
an baginya. 
Sebaliknya, Datuk Panglima Sesat yang keadaannya 
tengah telentang, merasakan tubuhnya bagai dihimpit 
tenaga raksasa yang membuat dadanya sesak. Untunglah 
kekuatan tenaga saktinya sudah sangat tinggi. Kalau tidak, 
kemungkinan besar tokoh kelas satu wilayah Timur itu 
akan menderita luka dalam yang parah. 
"Haiiit..!" 
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh Datuk 
Panglima Sesat melenting ke udara. Dan begitu kedua 
kakinya menjejak tanah, tubuh tinggi besar itu meluncur 
bagai sebatang tombak ke arah lawan. 
Wuttt! Wutt! 
Tubuh yang meluncur lurus itu masih dibarengi putaran 
sepasang tangannya. Angin keras menyambar-nyambar 
bagaikan putaran gelombang angin puyuh! 
"Hmh...!" 
Malaikat Gerbang Neraka hanya menggeram ketika 
melihat datangnya serangan lawan. Sadar kalau Datuk 
Panglima Sesat telah menggunakan seluruh tenaga 
dalamnya, maka laki-laki tinggi kurus yang menggiriskan itu

pun memantek sepasang kakinya di atas tanah. Sementara 
sepasang tangannya menyilang di depan dada. 
"Heaaat..!" 
Sambil mengeluarkan bentakan keras, laki-laki ber-
tubuh tinggi kurus itu mendorongkan sepasang telapak 
tangannya menyambut hantaman sepasang telapak tangan 
Datuk Panglima Sesat. 
Wusss! 
Wusss! 
Dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama mengan-
dung hawa dingin meluncur deras mengiringi dorongan 
telapak tangan mereka. Dan... 
Blarrr..,! 
"Aaakh...!" 
Dataran di sekitar Lembah Tiga Setan seketika bagai-
kan diguncang gempa ketika dua tenaga raksasa yang 
sangat dahsyat saling bertumbukan keras. Ledakannya 
bagaikan gemuruh petir. Sehingga, membuat beberapa 
orang tokoh sesat yang menyaksikan pertarungan maut itu 
bergeletakan pingsan. Bahkan beberapa orang terlemah, 
langsung tewas seketika! Rupanya, ledakan dahsyat itu 
telah membuat dada mereka terguncang keras. 
Akibat yang diderita Datuk Panglima Sesat pun cukup 
parah. Tubuh laki-laki tinggi besar yang selalu mengenakan 
seragam seorang panglima kerajaan itu terpental balik 
dengan luncuran yang sangat deras. 
Pada saat tubuh tinggi besar itu meluncur hendak 
menabrak sebatang pohon sebesar dua pelukan orang 
dewasa, sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat 
menyambutnya. 
Tappp! 
Dengan gerakan sangat indah dan cekatan, sosok 
bayangan putih itu langsung menangkap tubuh Datuk 
Panglima Sesat. Sehingga, tubuh tinggi besar itu tidak 
sampai membentur pohon besar di belakangnya. 
Sebelum menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok 
tubuh berjubah putih kumal itu berputar dua kali di udara.

Memang, sosok itu tak lain adalah Memedi Karang Api. 
Rupanya, Datuk Wilayah Barat inilah yang telah menye-
lamatkan kawan seangkatannya itu. 
"Ah...! Orang itu benar-benar lihai sekali, Memedi 
Karang Api," aku Datuk Panglima Sesat yang sama sekali 
tidak mengucapkan rasa terima kasih atas pertolongan 
kakek itu. 
"Benar. Tuanku Panglima Sesat. Nampaknya laki-laki 
yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu benar-benar 
patut dijadikan pimpinan tokoh golongan hitam," sahut 
kakek berjubah putih lusuh itu seraya tersenyum gembira 
"Dasar Memedi jembel! Apa kau pikir, aku bersedia 
menerimamu sebagai pembantu, hanya karena telah 
menolongku," sergah Datuk Panglima Sesat menimpali 
ucapan Memedi Karang Api yang baru saja menyebutnya 
sebagai 'Tuanku Panglima'. Karena kakek urakan itu hanya 
sekadar bergurau, maka Datuk Panglima Sesat tidak 
menjadi marah. 
"Hm.... Apakah sekarang kau masih tidak setuju dengan 
keinginan orang itu, Datuk Gila Pangkat?" kembali Memedi 
Karang Api berkelakar. 
Datuk Panglima Sesat tidak segera menjawab per-
tanyaan Memedi Karang Api. Dihapusnya cairan merah 
yang saat itu masih mengalir di sudut bibirnya. Wajahnya 
yang saat itu masih nampak pucat, mengulas senyum 
dingin. 
"Kau bagaimana..?" Datuk Panglima Sesat balik ber-
tanya. 
Sepertinya laki-laki tinggi besar itu hendak menjajaki 
hati sahabatnya terlebih dahulu sebelum menjawab. 
"Rasanya aku menyetujui keinginannya itu. Dan kalau 
kita telah mengangkatnya, lalu ia berbuat macam-macam, 
tinggal tebas saja batang lehernya. Beres kan?" ujar 
Memedi Karang Api seenak perutnya. 
"Huh! Kau pikir siapa kau ini! Kalau aku saja dapat 
ditundukkannya dalam waktu kurang dari empat puluh 
jurus, bagaimana denganmu yang sudah tinggal tulang

terbungkus kulit?" omel Datuk Panglima Sesat yang 
merasa sebal dengan ucapan takabur kakek itu. 
Makian itu sama sekali tidak membuat Memedi Karang 
Api menjadi marah. Bahkan malah terkekeh melihat 
kekesalan Datuk Panglima Sesat. 
"Bagaimana, Sahabat..? Apakah masih perlu diadakan 
perkelahian yang tidak berguna ini?" Tiba-tiba terdengar 
teguran parau dari Malaikat Gerbang Neraka. 
Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api sama-
sama menolehkan kepala mendengar pertanyaan itu. 
Karena jarak di antara mereka masih terpisah beberapa 
belas tombak, maka kedua orang datuk itu pun sadar 
kalau Malaikat Gerbang Neraka telah menggunakan ilmu 
"Mengirim Suara dari Jauh' dalam menyampaikan per-
tanyaannya. Dan lagi, hanya mereka bertigalah yang 
mengetahuinya. 
Kedua orang datuk sesat itu sama-sama meng-
anggukkan kepala sebagai isyarat menyetujui peng-
angkatan pemimpin golongan hitam itu. 
"Bagus. Kalau begitu, kita segera mengatur rencana 
secepatnya." sambilt Malaikat Gerbang Neraka seraya 
menarik napas lega. 
Kegembiraan tokoh tinggi kurus yang menggiriskan itu, 
membuatnya melepaskan Garuda Mata Satu dan laki-laki 
pendek kekar yang semenjak tadi hanya berdiri kaku 
dalam keadaan tertotok. 
"Terima kasih atas kebaikan hati Pemimpin Agung 
terhadap kami," sembah kedua orang itu seraya men-
jatuhkan diri, langsung berlutut di depan Malaikat Gerbang 
Neraka. 
"Hm...," laki-laki tinggi kurus itu hanya menggeram 
sambil mengibaskan tangannya menyuruh keduanya 
bangkit. 
"Bagi kedua datuk yang tidak hadir, biarlah aku yang 
akan memberi pelajaran kepada mereka," tegas Malaikat 
Gerbang Neraka. 
Kemudian laki-laki berjubah hitam itu segera mengajak

tokoh-tokoh terkemuka untuk diajak berunding. Sedangkan 
yang lainnya diperbolehkan meninggalkan Lembah Tiga 
Setan. 
***
TIGA

Saat ini, matahari baru saja menampakkan dirinya. Kokok 
ayam jantan saling bersahutan menyambut datangnya 
sang mentari pagi. Angin pagi yang segar, bersilir lembut 
menyapa dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik 
lirih. 
Sayangnya, suasana pagi yang begitu tenang dan indah 
harus terusik oleh suara derap kaki kuda bergemuruh. 
Kepulan debu membumbung tinggj. Udara yang semula 
bersih, kontan menjadi kotor dan gelap. 
"Heyaaa.... Heyaaa...!" 
Seorang laki-laki berkepala botak membedal kudanya 
disertai teriakan nyaring. Di belakangnya tampak puluhan 
orang laki-laki bertampang kasar yang juga menunggang 
kuda. Rupanya, rombongan itulah yang telah merusak 
suasana pagi yang hening dan indah ini. 
Rombongan berkuda yang kurang lebih berjumlah dua 
puluh orang itu terus memacu kudanya melewati per-
batasan sebuah desa. Itu terlihat dari adanya sebuah tiang 
batu setinggi bahu laki-laki dewasa yang terpancang di 
mulut desa. 
Tak berapa lama kemudian, mulut Desa Karang Dadap 
pun mulai terlihat. Beberapa orang petani yang hendak 
berangkat ke sawah, bergegas menyingkir. Mereka yang 
tidak sempat menyingkir langsung terlempar ke tepi jalan, 
akibat tercambuk oleh orang-orang yang berkuda terdepan. 
"Minggir... minggir!" bentak laki-laki berkepala botak 
yang sebelah matanya tertutup kulit binatang. 
Sambil berteriak-teriak, laki-laki itu melecutkan cambuk 
di tangannya dengan bengis. 
Ctarrr! Ctarr! 
"Aaakh...!" 
"Aaa...!" 
Dua orang petani yang tidak sempat menyingkir,

tersengat lecutan cambuk yang keras dan menyakitkan. 
Tubuh mereka langsung terlempar ke tepi jalan. Darah 
segar mengucur pada luka memanjang akibat kerasnya 
sengatan cambuk itu. 
Tanpa mempedulikan korban lecutan cambuknya, laki-
laki berkepala botak yang tak lain adalah Garuda Mata 
Satu terus saja melanjutkan perjalanannya. Tak sedikit pun 
terlintas rasa iba dalam hatinya meskipun korban lecutan 
cambuk itu merintih kesaktian. 
Begitu tiba di mulut Desa Karang Dadap, beberapa 
orang yang berada di barisan belakang berlompatan turun. 
Sedangkan Garuda Mata Satu dan sebagian yang lain terus 
membedal kuda menyusuri jalan utama desa. 
Sebagian kelompok rombongan berkuda yang ber-
lompatan turun di mulut desa langsung saja bergerak 
memasuki rumah-rumah penduduk. Seketika, terdengar 
jerit kematian yang susul-menyusul saat sepuluh orang 
yang ternyata anggota perampok itu menyabetkan pedang. 
Brettt! Brettt! 
Darah segar langsung merembes bersama robohnya 
penduduk desa yang hendak melakukan perlawanan. 
Beberapa penghuni rumah terdepan yang terletak di mulut 
Desa Karang Dadap langsung dibantai apabila melawan. 
Sedangkan harta benda mereka digondol sepuluh orang 
laki-laki bertampang bengis itu. 
Tanpa mempedulikan jerit tangis wanita dan anak-anak 
yang kehilangan orang tua maupun suaminya, para 
perampok itu berlompatan ke atas punggung kuda mereka. 
"Binatang kau! Dasar perampok laknat!" 
Seorang wanita setengah baya berlari mengejar salah 
seorang perampok yang telah membunuh suaminya. Tanpa 
rasa takut, wanita itu menarik turun kaki perampok yang 
bertubuh kurus. Wajahnya yang pucat telah dibasahi air 
mata. 
"Pergi kau. Perempuan Setan...!" bentak laki-laki kurus 
itu sambil berusaha melepaskan kakinya dari pegangan 
perempuan setengah baya yang bagai kerasukan setan.

Kegeraman laki-laki tinggi kunis itu bangkit ketika 
cengkeraman wanita itu tidak juga mau terlepas dari 
kakinya. Dengan luapan amarah, perampok itu menendang 
dada wanita malang itu sekuat tenaga. 
Buggg! 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh wanita itu langsung 
jatuh terjengkang. Darah segar menyembur dan mulutnya. 
Belum lagi wanita malang itu sempat bangkit, perampok 
yang telah kalap ini melompat turun. Langsung goloknya 
ditusukkan ke dada wanita malang itu. 
Darah segar pun langsung menyembur membasahi 
tanah lembab. Diiringi jeritan pilu, tubuh wanita setengah 
baya itu pun ambruk tak bergerak-gerak lagi. 
"Ayo cepat berangkat..!" perintah anggota perampok 
yang merupakan pimpinan sepuluh orang, dengan suara 
lantang. 
Tanpa menoleh lagi, anggota perampok bertubuh kurus 
itu bergegas melompat ke atas punggung kudanya. Sesaat 
kemudian, mereka membedal kudanya menyusuri jalan 
utama Desa Karang Dadap tanpa mempedulikan korban 
korbannya yang bergelimpangan di tengah jalan. 
*** 
"Hei, berhenti..! Mau ke mana kalian…?" seru seorang 
laki-laki berseragam hitam yang bertugas menjaga rumah 
kediaman Kepala Desa Karang Dadap. Tubuhnya berdiri 
tegap menghadang jalan masuk rumah kediaman sang 
Kepala Desa. 
Namun rombongan penunggang kuda itu sama sekali 
tidak mempedulikannya. Mereka terus saja bergerak 
masuk menuju halaman depan rumah besar itu 
Merasa peringatannya tidak diindahkan, laki-laki ber-
seragam hitam itu melolos senjatanya yang berupa 
sebatang golok panjang. Dengan sikap gagah, goloknya 
dihunus untuk menghadapi kemungkinan yang bakal

dihadapi. 
Garuda Mata Satu yang menjadi pemimpin rombongan, 
tertawa terbahak-bahak. Saat itu juga, tangannya bergerak 
melepaskan lecutan pecut di tangannya. 
Ctarrr! 
 "Aaakh...!" 
Hebat sekali lecutan yang dilancarkan Garuda Mata 
Satu. Bagaikan seekor ular hidup, pecut itu langsung 
melibat tangan laki-laki berseragam hitam yang meng-
genggam senjata. Dan sebelum orang itu sempat 
menyadari apa yang terjadi, terdengar bentakan keras. 
"Hiaaah...!" 
Sambil membentak keras, Garuda Mata Satu mem-
betot gagang cambuknya. Dan tanpa dapat ditahan lagi, 
tubuh laki-laki itu terjerunuk deras ke depan. 
Cepat bagai kilat, tangan Garuda Mata Satu bergerak 
cepat mencabut keluar senjatanya. Sekali mengibas saja, 
terdengar teriakan ngeri yang disusul robohnya tubuh laki-
laki penjaga pintu gerbang Kepala Desa Karang Dadap 
dalam keadaan mandi darah. Setelah berkelojotan sesaat 
orang itu pun diam tak bergerak. Tewas, dengan luka 
memanjang di lehernya. 
"Ayo, tunggu apa lagi..?!" seru Garuda Mata Satu sambil 
melompat turun dari punggung kudanya. 
Dari gerakannya yang lincah dan ringan, dapat ditebak 
kalau kepandaian Garuda Mata Satu tidak bisa dipandang 
ringan. 
"Hei?! Siapa kalian, hah! Pembunuh keji!" seru seorang 
laki-laki bertubuh gendut yang mengenakan ikat kepala 
berwama hitam. 
Wajah laki-laki yang terhias brewok itu tampak 
memucat melihat tubuh kawannya yang telah tergeletak 
mandi darah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang itu 
pun langsung berteriak memberitahukan kawan-kawannya 
yang lain. 
"Pembunuh...! Ada pembunuh...!" teriak laki-laki gemuk 
itu sekuat tenaga.

Setelah berkata demikian, ia pun segera melolos keluar 
senjatanya yang berbentuk golok. Tanpa rasa gentar sedikit 
pun, dihadangnya rombongan itu dengan sikap gagah. 
Teriakan laki-laki gemuk itu tentu saja membuat orang-
orang yang berada di dalam rumah besar berlarian ke luar. 
Di tangan mereka tampak telah tergenggam senjata 
telanjang. 
"Sarpan! Ada apa…?" tanya seorang laki-laki bertubuh 
tegap. 
Wajah laki-laki itu terhias kumis tebal. Di tangannya 
telah tergenggam sebatang tongkat dari kayu besi. Melihat 
dari sikapnya yang berwibawa, jelas kalau dia termasuk 
tokoh penting di Desa Karang Dadap. 
"Jumala terbunuh, Kakang. Entah dari mana datangnya 
rombongan manusia liar itu," lapor laki-laki gemuk yang 
bernama Sarpan itu tergesa-gesa. Tangan kanannya yang 
memegang golok, menuding rombongan yang tengah 
berlarian ke arah mereka. 
"Kurang ajar...! Cegah orang-orang liar itu...!" perintah 
laki-laki tegap yang merupakan kepala keamanan di Desa 
Karang Dadap itu. Kemudian, tubuhnya segera melayang 
bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main 
di angkasa. 
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, tongkat di 
tangannya langsung berkelebat melancarkan serangan ke 
arah laki-laki terdepan. Dari sambaran tongkatnya yang 
menimbulkan desir angin kuat, dapat ditebak kalau tenaga 
sakti yang dimilikinya cukup tinggi. 
Wuttt! 
"Hmh...!" 
Orang terdepan yang tak lain adalah Garuda Mata Satu 
mendengus kasar. Melihat dari caranya memandang, jelas 
kalau Garuda Mata Satu menganggap remeh lawannya. 
Tubuhnya bergerak ke kiri menghindari sodokan tongkat 
yang mengancam perutnya. Gerakan mengelak itu ternyata 
masih dibarengi luncuran cambuknya yang melesat 
mengancam leher lawan.

Bagali, laki-laki tinggi tegap yang merupakan kepala 
keamanan Desa Karang Dadap ternyata bukan orang 
lemah. Melihat datangnya lecutan cambuk yang meng-
ancam leher, cepat tubuhnya mengegos ke kiri sambil 
membabatkan tongkat secara mendatar. 
Namun, Garuda Mata Satu bukanlah tokoh kemarin 
sore. Sepak terjangnya sebagai seorang kepala rampok 
yang mempunyail banyak anggota telah terkenal. Bahkan 
sifatnya sangat kejam, sehingga semakin ditakuti lawan-
lawannya. Tidak sedikit para tokoh golongan putih yang 
tewas karena hendak mencegah perbuatannya. 
Dalam menghadapi Bagali yang merupakan kepala 
keamanan desa, Garuda Mata Satu seperti tidak merasa 
perlu menggunakan ilmu andalannya. Selama bertarung 
dalam dua puluh jurus, ia hanya menggunakan cambuknya 
sebagai senjata. 
Tapi, jangan dipandang ringan cambuk di tangan tokoh 
sesat itu. Garuda Mata Satu terkenal sangat lihai dalam 
permainan cambuk. Sehingga, wajar saja kalau Bagali 
merasa kerepotan dalam menghadapi serangan cambuk 
yang dilancarkan kepala rampok itu. 
"Haiittt...!" 
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang kedua 
puluh tiga, Garuda Mata Satu memekik nyaring. 
Pekikannya yang mengejutkan masih disusul lesatan 
tubuhnya. Berbarengan dengan itu, cambuk di tangannya 
berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membuat 
lawan kebingungan. Sehingga, keadaan Bagali benar-
benar terancam. 
Ctarrr! Ctarrr! 
Bunyi ledakan cambuk yang memekakkan telinga 
kontan membuyarkan perhatian Bagali. Dan sebelum laki-
laki tegap itu sempat menyadari datangnya bahaya, tahu-
tahu saja cambuk lawan telah membelit lehernya. 
Keterkejutan itu membuatnya melakukan gerakan 
menebas. Maksudnya, untuk memutuskan senjata lawan. 
Tapi, Garuda Mata Satu tidak ingin memberi

kesempatan kepada lawan untuk membebaskan diri. 
Dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam, laki-
laki berkepala botak itu membetot cambuk yang membelit 
leher Bagali. Begitu tubuh Bagali terjerunuk ke depan, 
langsung disambiltnya dengan hantaman lutut 
Buggg! 
"Huagkh...!" 
Tubuh Bagali terbungkuk akibat sodokan lutut yang 
telah menghantam dadanya. Darah segar seketika 
termuntah dari mulut laki-laki gagah itu. Belum lagi rasa 
sakitnya lenyap, sebuah hantaman sisil telapak tangan 
miring yang dilakukan Garuda Mata Satu membuatnya 
menggelepar sekarat. Sesaat kemudian, Bagali pun 
menghembuskan napas terakhirnya. 
*** 
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara 
para pengikut Garuda Mata Satu melawan para pengawal 
kepala desa sudah pula hampir berakhir. 
Anggota perampok yang berjumlah sepuluh orang 
ternyata memiliki kepandaian lumayan. Sehingga, dua 
belas orang pengawal Kepala Desa Karang Dadap harus 
berusaha mati-matian mempertahankan selembar nyawa-
nya. 
Darah segar sudah menggenang membasahi pelataran 
rumah Kepala Desa Karang Dadap. Empat sosok mayat 
sudah tergeletak dengan tubuh berlumuran darah segar. 
Mereka adalah para pengawal kepala desa yang menjadi 
korban keganasan para perampok. 
Meskipun demikian, kedua belas orang pengawal 
kepala desa lainnya tetap mempertaruhkan selambar 
nyawanya untuk ketenteraman desa mereka. Sayang, per-
lawanan para pengawal itu seperti sta-sia saja. Apalagi 
dengan terbunuhnya Bagali. Maka, keadaan mereka pun 
semakin kocar-kacir. 
"Heaaat..!"

Brettt! Crakkk! 
"Aaakh...!" 
Dua orang pengawal Kepala Desa Karang Dadap 
kembali tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Kedua-
nya kontan tewas dengan luka yang sangat parah. 
Kenyataan itu tentu saja semakin membuat yang lain 
menjadi ciut nyalinya. Sehingga tanpa disadari serangan-
serangan mereka pun mulai tak beraturan. 
Kekacauan perlawanan para pengawal kepala desa itu 
membuat para pengikut Garuda Mata Satu semakin 
bersemangat. Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun, 
mereka segera membantai para pengawal satu persatu. 
Malang sekali nasib anggota keamanan Desa Karang 
Dadap. Satu persatu tubuh mereka berjatuhan dalam 
keadaan tewas. Bau anyir darah pun semakin santer, 
mengotori udara di sekitar halaman rumah kepala desa. 
Selesai membantai belasan orang pengawal Kepala 
Desa Karang Dadap, Garuda Mata Satu mengajak para 
pengikutnya untuk memasuki rumah kediaman kepala 
desa itu. 
"Hei, Kacung! Di mana kepala desamu bersembunyi? 
Cepat katakan, sebelum golokku menyembelih lehermu!" 
bentak salah seorang pengikut Garuda Mata Satu, kepada 
seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh lima tahun. 
"Ki..., Ki Kampala sedang menderita sakit, Tuan. 
Beliau... terbaring di kamarnya." sahut laki-laki bertubuh 
kurus kecil itu, gemetar. Wajahnya pucat bagai tak dialiri 
darah. Saking kuatnya rasa takut melihat mata golok yang 
menempel di kuat lehernya, sehingga celananya pun 
basah. Dia terkencing-kencing! 
"Bangsat! Huh...!" perampok berhidung besar itu 
menjadi berang ketika mencium bau tak sedap yang 
berasal dari celana kacung itu. Dengan wajah merah, 
ditebasnya leher pelayan tak berdosa itu. 
Tanpa mempedulikan tubuh pelayan yang menggelepar 
mandi darah, laki-laki berhidung besar itu pun bergegas 
mengikuti pemimpinnya memasuki kamar pribadi Ki

Kampala. 
Brakkk! 
Daun pintu yang terbuat dari papan tebal itu kontan 
hancur berantakan akibat tendangan Garuda Mata Satu. 
Sambil memperdengarkan suara tawanya yang ber-
kepanjangan, laki-aki berkepala botak itu bergegas 
memasuki kamar. 
Sepasang mata liar Garuda Mata Satu tertumbuk pada 
pembaringan. Senyum iblisnya mengembang ketika 
melihat dua sosok tubuh wanita yang tengah menunggui Ki 
Kampala. 
Sedangkan kepala desa itu sendiri tampak terbaring 
lemah dengan wajah pucat. 
"Seret dan bunuh orang tua tak berguna itu!" perintah 
Garuda Mata Satu tanpa rasa iba sedikit pun. 
"Oh...! Jangan, Tuan. Suamiku sedang sakit...," rintih 
wanita berwajah manis, dan berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun. 
Sedangkan wanita yang satunya lagi, hanya dapat 
memandang dengan mata membelalak ketakutan! Isaknya 
terdengar lirih sambil memeluk tubuh wanita berwajah 
manis itu. 
"Dan itu anakmu, bukan…? He he he...," Garuda Mata 
Satu menjilati bibirnya melihat gadis remaja berusia sekitar 
tujuh belas tahun yang tengah memeluk tubuh ibunya 
Sementara itu, dua orang anak buah Garuda Mata Satu 
segera melaksanakan perintah pimpinannya. Ki Kampala 
yang terbaring lemah segera diseret tanpa rasa belas 
kasihan. Tidak dipedulikannya rintih kesakitan yang keluar 
dan mulut laki-laki setengah baya itu. 
Istri Ki Kampala menjerit-jerit memohon ampun sambil 
memeluk kedua kaki Garuda Mata Satu. 
"Dia..., dia sedang sakit, Tuan. Jangan siksa dia.... 
Bunuh saja aku. Atau kalau Tuan memerlukan harta, 
silakan Tuan bawa semuanya asalkan kami jangan 
diganggu." ratap wanita berwajah manis itu, memelas. 
"He he he.... Wajahmu cukup manis, nisanak," ujar

Garuda Mata Satu samba mengelus pipi wanita itu. 
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah para 
pengikutnya, "Bawa dan kurung gadis ayu itu" 
"Ibuuu…." gadis itu hanya dapat menangis ketika dua 
orang pengikut Garuda Mata Satu membawanya keluar 
dari kamar. 
"Kalian boleh pergi dan jaga di depan. Kalau yang 
lainnya sudah tiba, baru kita tinggalkan desa ini. Kelak 
wanita ini akan kuserahkan pada kalian," ujar Garuda Mata 
Satu dengan suara rendah. 
"Baik..." jawab salah seorang pengikutnya yang segera 
beranjak meninggalkannya. 
Sepeninggal para pengikutnya, Garuda Mata Satu 
mengalihkan perhatian kepada istri Ki Kampala. Seringai 
iblis tersirat di wajah laki-laki bermata cacat itu. 
"Nah! Kalau kau ingin suami dan anakmu selamat, 
layanilah aku dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, terpaksa 
mereka kusiksa sampai mati." bujuk Garuda Mata Satu 
sambil mengelus punggung wanita itu. 
"Jangan, Tuan…..! Aku.... mempunyai suami..," rintih 
wanita itu dengan suara memelas. 
Sadar kalau laki-laki berkepala botak itu berniat tidak 
baik terhadap dirinya, maka ia pun berusaha melarikan diri 
dari dalam kamar itu. 
"Keparat! Dasar tidak tahu disayang orang..!" geram 
Garuda Mata Satu, langsung disambarnya tubuh mulus itu 
dan dilemparkan ke pembaringan. Sambil tertawa ter-
bahak-bahak, diterkamnya tubuh wanita malang itu. 
Seketika terdengar rintih memelas dari istri kepala 
desa itu. Namun suara itu bagi Garuda Mata Satu bagai 
rintihan nikmat. Laki-laki bejat itu segera melampiaskan 
nafsunya dengan napas memburu. 
Setelah beberapa lama kemudian, Garuda Mata Satu 
telah melepaskan hasrat bejatnya. Kini, kakinya melangkah 
keluar dari kamar itu. 
"Kawan-kawan kita yang lain sudah tiba, Ketua." lapor 
salah seorang anggota perampok, menyambut kedatangan
Garuda Mata Satu. 
"Hm.... Ayo kita tinggalkan tempat ini. Wanita tak tahu 
diuntung itu terpaksa kubunuh, karena tidak menyenang-
kan hatiku. Bagaimana dengan kepala desa penyakitan 
itu?" tanya Garuda Mata Satu kemudian. 
"Sudah beres, Ketua." sahut orang itu lagi. 
"Bagus. Ayo kita pergi, dan bawa serta gadis itu." 
pertntah Garuda Mata Satu lagi. 
"Ia.... ia telah bunuh diri, Ketua..." jawab pengikutnya 
takut-takur. 
"Setan…!" maki Garuda Mata Satu yang segera ber-
gegas ke luar, diikuti para pengikutnya. 
***

EMPAT

"Batas Desa Karang Dadap," sebut seorang gadis jelita 
berpakaian serba hijau, membaca tulisan yang tardapat 
pada tiang batu setinggi bahunya. "Apakah kita akan 
singgah di desa ini, Kakang?" 
Kepala gadis itu segera menoleh ke arah seorang 
pemuda tampan yang mengenakan jubah putih. 
"Terserah kau? Apakah bernial ingin singgah, atau kita 
mengambil jalan lain saja," sahut pemuda berjubah putih 
menggerakkan bahunya sambil memandang ke sekeliling 
tempat itu yang memang terdapat dua jalan. 
"Lebih baik, kita singgah saja, Kakang. Kalau desanya 
cukup ramai dan penduduknya ramah, kita bisa menginap 
barang semalam," saran gadis jelita itu sambil menatap 
wajah pemuda di sampingnya lekat-lekat. Seolah-olah, ia 
ingin mendengar tanggapan pemuda itu tentang usul yang 
diajukannya. 
"Baiklah kalau itu maumu," jawab pemuda tampan itu 
seraya tersenyum. 
Setelah mendapatkan jawaban, wajah jelita itu tampak 
berseri gembira. Kakinya kemudian melangkah mengiringi 
pemuda berjubah putih yang berjalan tanpa terburu-buru. 
Saat itu, matahari tengah memancarkan cahayanya 
yang terik. Pantulan sinarnya yang menerobos rimbunan 
pohon tampak memecah membentuk lingkaran garis-garis 
berwarna-warni. Namun, semua itu sama sekail tidak 
menarik perhatian mereka. Langkah kaki keduanya terus 
saja terayun menyusuri jalan lebar yang menuju Desa 
Karang Dadap. Tak sepatah kata pun yang terucap dari 
mulut mereka. Sepertinya, kedua orang itu ikut terhanyut 
oleh keheningan suasana di sekitarnya. 
Ketika di kiri kanan jalan itu tampak membentang per-
sawahan luas, pemuda berjubah putih itu mengerutkan 
keningnya. Sejenak langkahnya dihentikan, seraya meng

edarkan pandangan ke sekeliling menatapi sawah yang 
berpetak-petak itu. 
"Ada apa, Kakang? Mengapa berhenti...?" tegur gadis 
jelita itu. Dia merasa heran melihat kerutan di wajah 
pemuda tampan teman seperjalanannya. 
"Hm.... Perhatikanlah di sekelilingmu. Apakah kau 
melihat sesuatu yang ganjil...?" tanya pemuda itu seolah-
olah tidak mendengar pertanyaan tadi. 
Pertanyaan yang mengandung teka-teki itu tentu saja 
membuat gadis jelita ini mengerutkan kening. Namun, ia 
tetap mengikuti permintaan itu meski dengan benak 
dipenuhi pertanyaan. 
Setelah agak lama memperhatikan sekelilingnya, gadis 
jelita itu menolehkan kepala sambil mengangkat bahu. 
Jelas kalau ia tidak menemui keanehan seperti yang 
dimaksud pemuda itu. 
"Kau tidak menemukannya, Kenanga?" tegur pemuda 
berjubah putih yang tak lain adalah Panji dan berjuluk 
Pendekar Naga Putih. 
"Tidak. Apakah Kakang menemukan sesuatu yang aneh 
di sekitar tempat ini? Tapi, sepertinya semua dalam 
keadaan wajar...," sahut gadis jelita bagai bidadari sambil 
menggelengkan kepala. Dan memang, gadis berpakaian 
serba hijau itu adalah Kenanga. 
"Ah! Mengapa pertanyaan semudah itu tidak dapat kau 
temukan jawabannya? Coba perhatikan sawah-sawah itu. 
Adakah kau lihat seorang petani di sana?" tanya Panji lagi 
dengan maksud jelas, dan mudah dimengerti. 
"Oh! Mengapa aku begitu bodoh! Persoalan sepe1e ini 
seharusnya sudah dapat kuterka sejak tadi!" seru Kenanga 
yang baru menyadari keanehan itu. 
"Hm.... Ke mana saja pikiranmu sejak tadi?" ledek Panji 
sambil tersenyum menggoda. 
Tapi Kenanga yang sudah mulai mengerti apa yang 
dimaksudkan kekasihnya, tidak menimpali ucapan itu. 
Keningnya tampak berkerut dalam. Jelas, pikiran gadis 
jelita itu tengah tenggelam oleh keanehan yang

ditemukannya. 
"Hei! Kau memikirkan apa?" goda Panji sambil 
mencubit hidung gadis jelita yang mungil dan mancung itu. 
Kesadaran gadis itu baru tergugah ketika Pendekar 
Naga Putih mencubit hidungnya. Lamunannya pun lenyap 
seketika. Tapi, kali ini ia malah menatap wajah pemuda 
kekasihnya lekat-lekat. 
"Apa dugaanmu tentang keanehan ini, Kakang?" tanya 
gadis itu sambil tetap memandang wajah kekasihnya. 
Nampaknya Kenanga telah menyerah karena tidak 
menemukan jawaban atas keanehan yang dilihatnya itu. 
"Aku pun tidak bisa menebaknya secara pasti. 
Sedangkan pesta panen biasanya diadakan malam hari. 
Lagl pula, saat ini belum musim menuai. Tapi tidak adanya 
para petani di sekitar persawahan luas ini, tentu karena 
adanya sesuatu yang penting di dalam desa. Maka 
sebaiknya kita lihat saja. Ayo!" ajak Panji yang segera 
menarik lengan kekasihnya dan dibawanya berlari secepat 
terbang. 
Karena Kenanga dan Pendekar Naga Pufih 
mengerahkan ilmu lari yang amat langka, sebentar saja 
mereka telah tiba di mulut desa. Bau kamenyan yang 
terasa menyengat hidung, membuat keduanya bergegas 
memasuki desa itu. 
Pendekar Naga Putih mulai membaui sesuatu yang 
tidak wajar ketika kesepian yang mencekam menyambut 
kedatangan mereka. Tentu saja mereka menjadi heran. 
Sebab, bagaimana mungkin kalau persawahan yang padi-
nya telah mulai menguning, tapi desanya tidak ber-
penduduk. Lalu, siapa yang telah menggarap sawah yang 
demikian luas itu? 
Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hati Panji dan 
Kenanga mulai mendekati jawaban ketika tiba di balai 
desa. Bau kemenyan yang semakin menyengat, menyam-
but kedatangan pasangan pendekar muda itu. 
Apa yang terbentang di depan mata mereka, benar-
benar membuat keduanya terkejut. Puluhan sosok mayat,


tampak berjejer memenuhi halaman depan balai Desa 
Karang Dadap. 
"Apa yang telah menimpa desa ini, Paman..?" tanya 
Panji begitu melihat dua orang laki-laki setengah baya yang 
muncul dari dalam balai desa. 
Kening pemuda itu kembali berkerut ketika melihat 
adanya luka memanjang pada wajah salah seorang dari 
mereka. Jelas kalau luka itu bukan karena kecelakaan. 
"Kalian berdua siapa? Dan apa maksud kalian datang 
ke desa ini?" tegur laki-laki yang wajahnya terdapat luka. 
Nada suara orang itu sama sekali tidak enak di dengar 
telinga. Jelas, kedua laki-laki setengah baya itu tidak 
menyukai kehadiran orang asing di desa mereka. 
Karena suara pertanyaan orang itu cukup keras, maka 
tiga orang laki-laki lain, dan enam orang wanita berusia 
hampir separuh baya tampak berdatangan ke tempat itu. 
Mereka muncul begitu saja dari dalam balai desa. Dari cara 
memandang, jelas tersirat sinar kebencian mereka yang 
mendalam terhadap Pendekar Naga Putih dan Kenanga. 
Panji yang memaklumi akan perasaan orang-orang itu 
tersenyum sabar. Dengan sikap tetap tenang dan tanpa 
merasa tersinggung, ia pun memperkenalkan diri. 
"Maaf kalau kehadiran kami berdua telah mengganggu 
ketenteraman Paman dan yang lainnya. Namaku Panji. 
Sedangkan kawanku bernama Kenanga. Kami berdua 
adalah perantau yang kebetulan lewat di desa ini. Karena 
melihat keanehan dan juga mayat-mayat yang menurut 
kami jelas diakibatkan senjata tajam, maka kami ingin 
meminta sedikit keterangan dari Paman. Siapa tahu, kami 
dapat membantu," jelas Panji dengan tutur kata sopan dan 
wajah penuh senyum bersahabat. 
Mendengar jawaban ramah itu, para penduduk Desa 
Karang Dadap yang masih selamat saling bertukar 
pandang sejenak. Kemudian, laki-laki bermuka codet yang 
jelas merupakan sebuah luka baru itu memandang Panji 
dan Kenanga penuh selidik. Sepertinya, orang itu masih 
ragu dan hendak menilai kedua orang asing yang singgah

di desanya. 
Laki-laki berwajah codet itu tertegun sejenak ketika 
sepasang matanya tertumbuk pada gagang senjata yang 
menyembul dari balik punggung Panji. Tatapan matanya 
kemudian beralih kepada sosok gadis jelita itu. Maka 
hatinya kembali tertegun. Karena, di pinggang ramping 
gadis itu pun tampak gagang pedang yang seperti 
melingkarinya. 
"Kalau sekiranya kalian berdua memang bukan orang 
jahat, tentu merupakan orang-orang persilatan yang 
berjuluk pendekar? Lalu, manakah yang lebih benar?" 
tanya laki-laki itu dengan wajah menegang. Jelas kalau 
hatinya merasa tidak tenang setelah melihat Panji dan 
Kenanga membawa pedang. 
"Kami memang disebut sebagai pendekar persilatan. 
Oleh karena itu, janganlah Paman dan yang lainnya merasa 
takut. Bahkan kalau ada persoalan, kami berdua siap 
membantu." sahut Panji yang terpaksa menerangkan apa 
adanya. Dan memang, siapa tahu dengan pengakuannya 
akan lebih mudah mendapatkan keterangan dari mereka. 
"Ah! Kalau begitu, marilah kita masuk dan berbicara di 
dalam," ajak si muka codet dengan wajah berubah ramah. 
Dengan langkah agak terburu-buru, dibawanya Panji 
dan Kenanga ke dalam balai desa. 
*** 
"Jadi gerombolan perampok yang dipimpin laki-laki 
berkepala botak dan bermata satu yang menyebabkan 
kejadian ini?" tanya Panji meminta penegasan setelah 
mendengarkan keterangan dari laki-laki bermuka codet, 
tentang musibah yang baru saja tertadi di desa itu. 
"Benar, Tuan Pendekar. Seluruh keluarga kepala desa 
kami dan para keamanan, juga dibantai secara biadab oleh 
perampok berhati iblis itu. Harta-harta kami semua 
digondol. Beberapa orang penduduk yang mencoba 
melawan, dibunuh secara kejam! Entah apa yang membuat

mereka begitu berani melakukan parampokan di pagi hari. 
Padahal setahuku, para perampok itu biasa bertindak 
hanya pada waktu malam saja." lanjut laki-laki bermuka 
codet itu memberikan keterangan. 
"Benar, Paman. Hal ini memang terdengar sangat aneh! 
Tapi, sudahlah. Kami berdua akan membantu 
menghentikan kejahatan para perampok yang tengah 
merajalela itu," jelas Panji menghibur sisa penduduk Desa 
Karang Dadap itu dengan janji yang akan ditepatinya. 
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami benar-benar tidak 
tahu, harus bagaimana untuk menghadapi gerombolan 
perampok biadab itu. Dan kami pun ikut mendoakan, 
semoga usaha yang Tuan Pendekar jalankan bisa 
menghentikan kekejaman orang-orang liar itu. Lebih baik 
lagi, mereka semua itu dibinasakan. Agar kejadian seperti 
ini tidak menimpa desa-desa lain. Rasanya hati kami belum 
puas kalau para perampok biadab itu hanya diberi 
ampunan saja," tandas laki-laki bermuka codet itu lagi, 
mengandung kegeraman. 
"Benar, Tuan Pendekar. Orang-orang seperti mereka, 
rasanya tidak layak dibiarkan berkeliaran di muka bumi ini. 
Habisnya, kerja mereka hanya menjadi pengacau saja," 
timpal laki-laki setengah baya yang wajahnya tampak 
sudah mulai berkeriput. Nada suaranya pun jelas mengan-
dung dendam yang sama besarnya dengan laki-laki ber-
muka codet itu. 
Demikian pula para penduduk yang lainnya. Mereka 
yang hanya tinggal beberapa orang pun mengajukan 
tuntutan yang sama kepada Pendekar Naga Putih. 
Sehingga, suasana di dalam ruang pertemuan balai desa 
itu menjadi hiruk pikuk oleh seruan dendam mereka. 
Panji tersenyum sabar mendengar tuntutan penduduk 
Desa Karang Dadap. Perlahan kedua tangannya diangkat 
ke atas untuk menghentikan suasana gaduh itu. 
"Saudara-saudara sekalian." ucap Panji setelah 
suasana menjadi tenang kembali. Dirayapinya wajah-wajah 
sedih yang berjejer di hadapannya. "Meskipun orang-orang

itu telah bertindak di luar batas kemanusiaan, tapi aku 
yakin mereka hanya sekedar boneka yang digerakkan 
orang lain. Dan kalau ternyata mereka masih bisa diajak 
sadar, lalu bisa kembali ke masyarakat, apa salahnya 
kalau kita memaafkan. Dengan demikian, bukankah kita 
telah melepas satu kebaikan dan melenyapkan kejahatan. 
Tapi kalau gerombolan perampok itu tidak mau sadar, 
terpaksa kita berikan pelajaran yang lebih keras" 
Mendengar keterangan Panji yang panjang lebar, sisa 
para penduduk Desa Karang Dadap menundukkan kepala 
dalam-dalam. Jelas, mereka belum dapat melupakan apa 
yang telah menimpa saudara-saudara mereka. Sehingga, 
apa yang diuraikan pemuda tampan itu sama sekali tidak 
bisa diterima. Hanya saja mereka tidak berani membantah-
nya. 
Panji pun bukan tidak mengetahui apa yang tengah 
dirasakan mereka saat itu. Dan ia pun maklum kalau 
perkataannya tidak dapat diterima para penduduk. Tapi 
biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih telah cukup puas 
dengan kata-kata berupa nasihat yang diucapkannya. 
"Karena semuanya telah cukup jelas bagjku, ada 
baiknya kalau mayat-mayat itu dikuburkan sekarang. 
Setelah itu, kalian dapat beristirahat dengan tenang, atau 
dapat juga mengerjakan sawah yang terbengkalai," usul 
Panji setelah merasa tidak ada lagi keterangan yang 
dipertukan. 
Laki-laki bermuka codet dan yang lainnya hanya 
mengangguk sebagai tanda setuju atas usul pemuda 
tampan itu. Bergegas mereka bangkit dan mengikuti 
pemuda yang telah melangkah keluar bersama gadis jelita 
teman seperjalanannya. 
Penguburan puluhan mayat itu tidak berlangsung lama. 
Apalagi, Panji menggunakan tenaga saktinya untuk 
membuat sebuah lubang besar yang kira-kira cukup untuk 
menguburkan mayat-mayat. Semuanya ditanam sekaligus 
untuk menyingkat waktu. 
Setelah selesai menguburkan puluhan mayat-mayat,

Panji dan Kenanga pun berpamitan. Mereka berdua 
berjanji untuk menghentikan kekejaman para perampok 
yang kini tengah mengganas itu. 
Para penduduk Desa Karang Dadap menyertai 
kepergian Panji dan Kenanga. Mereka berharap agar apa 
yang dilakukan pasangan pendekar itu dapat berhasil baik. 
***

LIMA

Kekejaman dan keganasan para perampok yang semakin 
bertambah berani tentu saja membuat seluruh tokoh 
golongan putih menjadi geram. Beberapa perguruan yang 
merasa berkewajiban mencegah dan menghentikan 
keganasan para perampok, segera mengirimkan murid-
murid terbaik mereka. Bahkan beberapa perguruan malah 
menurunkan ketuanya sendiri yang dibantu murid-murid 
terpandainya. Seolah-olah perbuatan para perampok itu 
memang sengaja hendak menantang tokoh-tokoh golongan 
putih. 
"Hm.... Hal ini memang tidak bisa berlangsung berlarut 
larut. Siapa lagi yang akan mencegah kalau bukan orang-
orang seperti kita? Tidak ada gunanya mengharapkan 
tentara-tentara kerajaan ataupun kadipaten. Aku pikir, 
mana mungkin mereka akan menurunkan demikian 
banyak tentara untuk membasmi para perampok yang 
tempatnya berlainan. Apalagi, tempat perampok itu ber-
pindah-pindah. Bisa-bisa hal itu hanya akan mengganggu 
ketenteraman rakyat saja," kata seorang laki-laki berusia 
sekitar empat puluh tahun dengan berapi-api. 
Sedangkan tiga orang lainnya hanya mendengarkan 
penuh perhatian. Melihat dari lambang yang tersulam di 
dada kiri pakaian yang tidak berbeda. Jelas kalau keempat 
orang laki-laki itu merupakan saudara satu perguruan. 
Pada dada kiri mereka memang terdapat sulaman ber-
gambar ombak laut berwarna biru bercampur putih. 
"Benar, apa yang kau katakan itu, Kakang Badalawa. 
Perbuatan para perampok itu memang telah melewati 
ukuran. Bayangkan saja. Dalam beberapa pekan terakhir 
ini, sudah banyak desa yang menjadi korban keganasan 
mereka. Dan yang lebih membuat geram, perampokan dan 
pembunuhan itu dilakukan tanpa mengenal waktu. Kalau 
siang maupun pagi mereka sudah berani bergerak, jelas

kalau perbuatan itu memang sengaja untuk menantang 
orang-orang golongan putih. Dan ini tidak bisa didiamkan," 
timpal laki-laki lain yang berusia sepuluh tahun lebih muda 
dari laki-laki yang dipanggil Badalawa. Alisnya yang tebal 
dan hitam tampak bergerak-gerak ketika mengucapkan 
kata-katanya. 
"Hm. Coba kalian dengar baik-baik. Suara bergemuruh 
itu jelas seperti rombongan orang berkuda. Bukankah 
menurut kabar, para perampok itu selalu datang menung-
gang kuda?" kata laki-laki lain yang bertubuh tinggi namun 
berperawakan tegap. 
Sambil berkata demikian, ia memandang yang lainnya 
bergantian. Sepertinya ia hendak meminta pendapat dari 
kawannya. 
"Hm.... Derap kaki kuda itu jelas tengah menuju ke arah 
kita. Ada baiknya kalau kita bersembunyi di balik semak-
semak itu untuk melihat apakah dugaan kita benar," usul 
Badalawa yang merupakan orang tertua di antara mereka. 
Mendengar usul yang cukup bisa diterima, ketiga orang 
lainnya sama-sama menganggukkan kepala tanda setuju. 
Sesaat kemudian, tubuh mereka lenyap di balik rimbunan 
semak belukar yang banyak terdapat di tepi jalan. 
Tidak berapa lama setelah tubuh mereka lenyap, ter-
dengar suara bergemuruh yang semakin dekat. Kepulan 
debu membumbung tinggi menandakan kalau rombongan 
penunggang kuda itu cukup banyak jumlahnya. 
Badalawa dan kawan-kawannya menanti berlalunya 
rombongan berkuda itu dengan hati tegang. Memang, 
menilik derap kaki kuda yang bergemuruh, dapat diduga 
kalau jumlah mereka cukup banyak. Sehingga, ketegangan 
mereka pun semakin memuncak. 
"Heya... Heyaaa...!" 
Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat yang berada di 
depan berteriak-teriak untuk mempercepat lari kudanya. 
Melihat dari sikap dan tingkahnya. Jelas kalau ia adalah 
kepala rombongan. 
Keempat orang yang tengah bersembunyi di balik

semak-semak di tepi jalan itu semakin menundukkan 
kepala ketika rombongan itu lewat di depan mereka. 
"Hayo, cepat ikuti mereka...!" perintah Badalawa ketika 
penunggang kuda terakhir telah lewat beberapa tombak 
dari tempat persembunyian mereka. 
Setelah menutup sebagian wajah dengan sabuk yang 
melilit pinggang, keempat laki-laki gagah itu bergegas 
melakukan pengejaran menggunakan ilmu lari mereka. 
Badalawa mengisyaratkan kawan-kawannya untuk 
mengatur jarak agar tidak terlalu dekat dengan rombongan 
berkuda itu. Untungjah kepulan debu yang membumbung 
membuat tubuh mereka agak terlindung. Sehingga, 
Badalawa dan kawan-kawannya yang mengikuti dalam 
jarak sepuluh tombak, tidak sampai terlihat rombongan itu. 
Apalagi terkadang keempatnya menyelinap di antara 
rerimbunan semak-semak. 
Tidak berapa lama kemudian, rombongan orang-orang 
berkuda itu pun mulai memasuki sebuah mulut hutan. 
Badalawa dan kawan-kawannya menarik napas lega. 
Sebab dengan demikian, mereka akan lebih mudah dan 
aman dalam mengikuti rombongan itu. 
Pada saat rombongan penunggang kuda itu tiba pada 
sebuah dataran yang cukup luas dan terbuka, laki-laki 
tinggi kurus mengangkat tangan kanannya ke atas. 
Sedangkan ia sendiri sudah memperlambat lari kudanya, 
kemudian berhenti sama sekali. 
"Kita bermalam di dalam hutan ini...!" perintah laki-laki 
tinggi kurus itu dengan suara lantang. Lalu dengan gerakan 
ringan, tubuhnya meluncur turun dari atas punggung kuda. 
Tapi, Ketua…. Bukankah hari masih siang,..? Mengapa 
perjalanan ini tidak dilanjutkan saja?" bantah salah 
seorang anggota rombongan yang sepertinya kurang 
menyetujui perintah laki-laki tinggi kurus itu. 
Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat yang tak lain 
Tengkorak Hutan Jati menolehkan kepala dengan kening 
berkerut. Jelas, ia merasa tidak senang atas bantahan 
salah seorang anggotanya.

"Hm.... Kau tahu apa?! Kalau kuperintahkan bermalam 
di dalam hutan ini, turutilah. Jangan sekali-sekali mem-
bantah perintahku. Mengerti?!" ujar Tengkorak Hutan Jati 
sambil melangkah maju dengan sikap mengancam. 
Tokoh yang terkenal kejam dan bertangan dingin ini 
sepertinya sudah siap menjatuhkan tangan maut kepada 
anggotanya yang membantah itu. Untunglah, orang itu 
sempat menyadari kesalahannya dan cepat melompat 
turun dari atas punggung kuda. 
"Ampun, Ketua... Aku hanya mengajukan usul," sahut 
orang itu sambil menjatuhkan diri, berlutut di depan kaki 
Tengkorak Hutan Jati. Wajahnya tampak pucat dengan 
butir-butir keringat membasahi wajah dan tubuhnya. 
"Bagus, kalau kau menyadari kesalahanmu. Sekarang 
beristirahatlah. Dan, jangan coba-coba bertingkah macam-
macam lagi!" ancam Tengkorak Hutan Jati, dingin. 
"Terima kasih, Ketua ... Terima kasih...," ucap orang itu 
sambil mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali. 
Kemudian tanpa banyak cakap lagl, orang itu segera 
menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Kemudian 
segera berkumpul dengan kawan-kawannya yang lain. 
*** 
Rombongan perampok yang baru saja hendak 
melepaskan lelah itu, tersentak bangkit ketika tiba-tiba 
mendengar bentakan. Dengan sigap, mereka lalu men-
cabut senjatanya masing-masing dan siap menghadapi 
segala kemungkinan. 
"Perampok-perampok laknat! Kalian tidak patut dibiar-
kan hidup!" 
Belum juga bentakan keras itu hilang gemanya, tiba-
tiba berlompatan delapan sosok tubuh dari atas pohon di 
sekeliling tempat itu. 
Delapan orang laki-laki mengenakan seragam biru laut, 
kembali melenting ketika kaki mereka menjejak tanah. Dan 
sesaat saja, delapan orang laki-laki yang bersikap gagah itu

telah berdiri berjajar sambil menghunus senjata. 
"Tenang..!" seru Tengkorak Hutan Jati sambil 
merentangkan tangan kanannya ke samping. 
Seruannya yang cukup keras membuat para anggota 
perampok yang semula bersiap hendak menerjang, meng-
hentikan langkahnya. Mereka berdiri di belakang pimpinan-
nya, bersikap mengancam. 
Dengan langkah tenang, Tengkorak Hutan Jati men-
dekati delapan orang laki-laki yang jelas menantang 
mereka. Setelah merayapi dan meneliti lambang dua 
pedang yang bersulam benang perak di dada delapan 
orang itu, terdengar suara bernada meremehkan. 
"Hm…. Rupanya Perguruan Pedang Perak telah mengi-
rimkan tokoh-tokohnya untuk menguntitku. He he he... 
Bodoh sekali si tua Jalaksa itu! Mengapa ia begitu ceroboh 
mengirimkan murid-muridnya untuk mencegah perbuatan-
ku? Lebih baik kalian kembali, daripada datang hanya 
untuk mengantarkan nyawa sia-sia. Ketahuilah! Di tengah 
Hutan Jelaga ini akan diadakan pertemuan. Cepatlah 
kalian pergi sebelum yang lainnya berdatangan." ujar 
Tengkorak Hutan Jati dengan bibir mengulas senyum 
menyakitkan. Sikap yang ditunjukkannya juga terlihat 
angkuh. 
Delapan laki-laki berseragam biru laut yang memang 
merupakan murid Perguruan Pedang Perak sejenak 
tertegun mendengar ucapan Tengkorak Hutan Jati. Mereka 
saling berpandangan sesaat untuk mengambil keputusan. 
Setelah mendapatkan kata sepakat dengan isyarat 
anggukan kepala, salah seorang yang berusia lima puluh 
tahun melangkah dua tindak ke depan. Dengan memasang 
wajah setenang mungkin, ditatapnya mata Tengkorak 
Hutan Jati, tidak kalah gertak. 
"Hmh! Apa kau pikir kami akan percaya begitu saja oleh 
ucapan kosongmu itu? Tidak, Tengkorak Hutan Jati. 
Biarpun semua tokoh kaum sesat telah berkumpul di 
tempat ini, kami tetap tidak akan mundur selangkah pun!" 
tegas orang itu. Nada suaranya ditekan hingga terdengar

mantap dan penuh ketegasan. 
"Ha ha ha...!" tawa Tengkorak Hutan Jati meledak 
ketika mendengar ucapan orang itu. 
Sesaat kemudian, tawanya pun lenyap. Lalu, ditatapnya 
wajah orang itu lekat-lekat. 
"Hm... Kau tentu yang bernama Subadil, tokoh kedua 
Perguruan Pedang Perak, bukan? Hm.... Julukan Pedang 
Setan yang kau dapatkan rupanya telah membuatmu 
merasa hebat. Seolah-olah, tidak ada lagi yang melebihi 
kepandaianmu. Tapi, ketahuilah. Apa yang kukatakan tadi 
bukan hanya sekadar omong kosong belaka. Sayang, kau 
sudah membuatku muak. Jadi rasanya tidak mungkin lagi 
aku membiarkan kalian pergi dari tempat ini dengan 
kepala utuh!" sahut Tengkorak Hutan Jati dengan sinar 
mata penuh ancaman. 
Bukan hanya Pedang Setan dan rombongannya saja 
yang terkejut mendengar ucapan Tengkorak Hutan Jati itu. 
Bahkan Badalawa dan tiga orang adik seperguruannya 
yang masih bersembunyi di semak-semak itu pun menjadi 
pucat. Memang, melihat dari nada ucapan dan wajah laki-
laki tinggi kurus itu, jelas kalau itu tidak hanya gertakan. 
Sehingga, keempat orang itu pun menjadi tegang karena-
nya. 
Sadar kalau kedelapan orang murid Perguruan Pedang 
Perak itu akan menghadapi bahaya, maka Badalawa dan 
tiga orang temannya pun segera berlompatan ke luar. 
Tengkorak Hutan Jati dan para pengikutnya bergerak 
mundur ketika melihat empat sosok tubuh lain ber-
lompatan dari balik semak-semak. 
"He he he... Bukan main.., bukan main! Rupanya bukan 
hanya murid Perguruan Pedang Perak saja yang mengikuti-
ku. Kalian orang-orang Partai Ombak Selatan pun tertarik 
juga dengan rombonganku ini? Bagus… bagus..! Nyawa-
nyawa kalian akan sangat lebih berharga daripada harta 
rampokanku!" kata Tengkorak Hutan Jati sambil tertawa 
terbahak-bahak. 
Laki-laki Tinggi kurus itu tetap saja menampakkan

kegarangannya meskipun saat itu tengah berhadapan 
dengan dua kelompok murid perguruan terkenal sekarang 
ini. Sepertinya, Tengkorak Hutan Jati sangat yakin sekali 
akan kemampuan dirinya. Sehingga, ucapan-ucapannya 
pun tetap saja bernada meremehkan. 
"Sahabat. Sepertinya apa yang diucapkannya bukan 
hanya sekadar gertakan saja. Sebaiknya, kita lekas-lekas 
meninggalkan tempat ini sebelum terlambat" usul 
Badalawa. 
Laki-laki itu jelas mulai mempercayai ucapan 
Tengkorak Hutan Jati. Pikirnya, lebih baik berhati-hati dan 
tidak menuruti amarah. Bukan tidak mungkin kalau tempat 
itu benar-benar akan menjadi ajang pertemuan para tokoh 
sesat. Kalau sampal hal itu terjadi dan mereka masih tetap 
berada di dalam Hulan Jelaga, sudah pasti kematian dan 
siksaan pedihlah yang akan diterima. 
Ucapan Badalawa membuat Subadil yang berjuluk 
Pedang Setan berpikir sejenak. Sebenarnya, ia pun sudah 
mulai yakin kalau ucapan Tengkorak Hutan Jati itu bukan 
hanya sekadar gertakan saja. Hal itu dapat dilihat jelas dari 
sikapnya yang sangat tenang. 
"Rasanya, memang ada baiknya kalau kita segera 
meninggalkan tempat ini dulu. Biarlah kita lihat dulu 
perkembangan selanjutnya saja. Masih banyak waktu 
untuk membekuk tengkorak kering itu," sahut Subadil yang 
segera saja menyetujui usul Badalawa. 
Memang, meskipun Subadil belum mengenal laki-laki 
itu sepenuhnya, namun nama Partai Ombak Selatan 
merupakan jaminan yang patut dipercaya. 
"Hah! Mau pergi ke mana kalian...? Bukankah sudah 
kukatakan, kesadaran kalian tertambat sekali datangnya. 
Sekarang pintu keluar sudah tertutup," kata Tengkorak 
Hutan Jati mencegah kepergian murid-murid dua per-
guruan terkenal itu. 
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus itu 
mengibaskan tangannya ke kiri dan ke kanan disertai 
perintahnya.

"Kepung dan habisi mereka kecuali kedua orang itu...!" 
perintah Tengkorak Hutan Jati dengan lantang dan sikap 
bengis. 
Mendengar perintah pemimpinnya, dua puluh anggota 
perampok itu pun bergerak mengurung kedua belas orang 
laki-laki yang menjadi tegang karenanya. 
"Jelas, mereka tidak main-main. Kita harus segera 
membuka jalan darah!" ujar Badalawa yang segera 
mencabut keluar pedang yang terselip di pinggang. 
Perbuatan Badalawa, diikuti oleh tiga orang saudara 
seperguruannya. Mereka segera melolos senjata masing-
masing dan menyilangkan di depan dada, siap menghadapi 
pertarungan maut. 
Si Pedang Setan pun melakukan perbuatan serupa. 
Sinar putih keperakan berkelebat ketika laki-laki setengah 
baya itu mencabut keluar senjatanya. Demikian pula tujuh 
orang murid Perguruan Pedang Perak. Senjata-senjata 
mereka pun telah tergenggam erat di tangan masing-
masing. 
"He he he...! Ayo, Anak-anak. Sikat habis mereka....'' 
perintah Tengkorak Hutan Jati dengan tawanya yang 
mengekeh. 
Setelah mengeluarkan perintah demikian, Tengkorak 
Hutan Jati sendiri melangkah beberapa tindak ke belakang. 
Perbuatan Tengkorak Hutan Jati itu tentu saja mem-
buat Subadil mengerutkan keningnya. Dia sedikit heran 
melihat sikap tokoh sesat yang biasanya terkenal kejam 
tanpa ampun itu. Diam-diam, Pedang Setan meningkatkan 
kewaspadaannya. Dia berjaga-jaga, kalau kalau manusia 
licik itu akan berbuat curang. 
Sayang Subadil tidak sempat lagi mengikuti gerak-gerik 
tokoh sesat yang amat dibencinya. Sebab pada saat itu 
juga, para pengikut Tengkorak Hutan Jati telah menerjang 
disertai teriakan-teriakan yang bersahut-sahutan. 
"Heaaat…!" 
Melihat para perampok sudah datang menyerbu, dua 
belas orang laki-laki gagah itu pun berteriak nyaring. Saat

itu juga, tubuh mereka langsung meluruk maju menyambut 
serangan orang-orang liar itu. 
Dalam sekejap saja, pertarungan yang semrawut itu 
pun pecah. Dentang senjata yang ditingkahi teriakan-
teriakan nyaring, membuat suasana Hutan Jelaga yang 
semula terkungkung sepi mendadak bising. 
"Heaaa...!" 
Badalawa berseru keras sambil menyabetkan senjata 
dengan gerakan berputar. Empat orang anggota perampok 
yang mengeroyoknya menjadi terkejut melihat datangnya 
desingan mata pedang yang cepat dan kuat itu. 
Trang! Trang! Brettt! 
"Aaakh...!" 
"Aaa...!" 
Dua orang anggota perampok yang sempat menangkis 
datangnya sambaran pedang Badalawa, terlempar sejauh 
satu batang tombak ke belakang dengan wajah 
menyeringai kesakitan. Sedangkan senjata mereka ter-
lepas, entah ke mana. 
Berbeda dengan dua orang perampok lainnya. Mereka 
yang tidak sempat menyelamatkan diri, kontan ter-
jerembab mandi darah. Luka menganga di perut kedua 
orang itu, membuat mereka terpaksa harus merelakan 
nyawanya. 
Selesai merobohkan empat orang lawan, Badalawa 
terus melompat menerjang anggota perampok lain yang 
tengah mengeroyok kawan-kawannya. Apa yang semula 
diduga laki-laki gagah murid utama Partai Ombak Selatan 
itu ternyata meleset. Semula, dikira para anggota 
perampok itu hanya terdiri dari orang-orang kasar yang 
hanya mengandalkan kekuatan tenaga luar saja. Ternyata 
hampir semua anggota perampok di bawah pimpinan 
Tengkorak Hutan Jati, rata-rata memiliki kepandaian 
lumayan. Sehingga, untuk dapat merobohkan mereka 
diperlukan paling sedikit tiga jurus. Melihat kenyataan itu 
tentu saja membuatnya cemas. 
"Jangan ladeni mereka! Yang penting, buka jalan darah

agar kita dapat keluar dan kepungan ini...!" ujar Badalawa 
dengan suara lantang. 
Setelah berseru demikian, ia segera menerobos 
kepungan empat orang yang berada di sebelah kiri. 
Wuttt! Wukkk! 
Senjata di tangan laki-laki gagah itu berkelebatan bagai 
kilat, membawa hawa maut! Rupanya dalam kecemasan 
hatinya, Badalawa telah mengerahkan segenap 
kemampuan untuk bisa menerobos kepungan. 
Sepertinya, apa yang dilakukan Badalawa akan mem-
bawa hasil yang baik apabila sosok tinggi kurus yang ter-
nyata adalah Tengkorak Hutan Jati tidak segera turun 
tangan. 
Kedatangan kepala rampok yang langsung melontar-
kan pukulan maut ke arahnya, membuat gempuran 
Badalawa tertahan. Maka dengan sangat terpaksa, segera 
dilayaninya Tengkorak Hutan Jati dengan segenap 
kemampuannya. 
"Haiiit…!" 
Setelah mengelakkan pukulan lawan, laki-laki gagah itu 
langsung melancarkan serangan balasan dengan tusukan 
lurus yang siap menghunjam belahan dada. 
Siuttt! 
"Heahhh...!" 
Tengkorak Hutan Jati membentak keras sambil 
memiringkan tubuhnya ke kiri. Gerakan itu dibarengi 
sambaran tangan kirinya yang melibat lengan Badalawa. 
Gerakannya sangat cepat dan bertenaga. Akibatnya, 
Badalawa bergegas memutar balik mata pedangnya. 
Gerakan itu dilakukan sambil menarik pulang aenjatanya. 
Maksudnya untuk merobek lengan lawan. 
Sadar kalau serangannya apabila diteruskan bisa mem-
buat lengannya terluka, maka laki-laki tinggi kurus itu ber-
gegas menarik kaki kirinya ke belakang. Gerakan itu masih 
disertai liukan manis tubuhnya sambil membarengi dengan 
sodokan jari-jari tangan lurus yang melesat mengancam 
perut Badalawa.
Tuggg! 
"Hugkh...!" 
Tubuh Badalawa terhuyung-huyung beberapa langkah. 
Sodokan jari-jari tangan yang keras bagai besi itu telah 
menusuk perutnya. 
Kepala rampok yang terkenal kejam itu tidak mau 
menyia-nyiakan kesempatan baik yang dimilikinya. Maka, 
selagi tubuh lawan limbung, segera dikirimkannya sebuah 
tendangan keras ke dada Badalawa. 
Zebbb! 
Plakkk! 
"Uhhh...!" 
Untunglah pada saat yang sangat berbahaya, sesosok 
tubuh gemuk melayang dan langsung memapak tendangan 
Tengkorak Hutan Jati. 
Tangkisan telapak tangan yang mengandung tenaga 
kuat, membuat laki-laki kurus itu mengeluh pendek. 
Tubuhnya yang jangkung berputar bagai gasing. 
Sosok tubuh gemuk yang tak lain Subadil, berniat 
hendak menyusuli serangannya. Namun, gerakannya ter-
henti ketika mendengar derap kaki kuda bergemuruh. 
Bukan hanya gerakan Subadil saja yang menjadi ber-
henti karenanya. Bahkan tokoh golongan putih dari dua 
perguruan yang berbeda serentak berlompatan mundur 
dengan wajah tegang. 
"Celaka…! Rupanya ucapan Tengkorak Hutan Jati 
memang bukan sekadar gertakan kosong saja...!" seru 
Badalawa, perlahan. Wajah laki-laki gagah murid utama 
Partai Ombak Selatan itu pun berubah tegang. 
"Apa lagi yang harut kita tunggu? Ayo pergi…!" ajak 
Subadil. 
Murid utama Perguruan Pedang Perak itu sudah dapat 
menebak, dari pihak mana rombongan berkuda yang 
tengah menuju ke tempat itu. Memang, hanya rombongan 
para perampok itu saja yang biasa menggunakan kuda 
sebagai tunggangan. Maka tanpa membuang-buang waktu 
lagi, tubuh laki-laki setengah baya itu pun segera melesat

diiringi kawan-kawannya yang lain. 
"Ha ha ha... Mau lari ke mana kalian..?!" tiba-tiba ter-
dengar seruan keras yang membuat lutut beberapa orang 
di antara tokoh golongan putih itu menjadi lemas. 
Beberapa tombak di depan mereka, tampak seorang 
laki-laki tinggi besar mengenakan pakaian seorang 
Panglima kerajaan. Sedangkan di belakang orang itu masih 
terdapat sosok-sosok tubuh lain. 
***

ENAM

"Datuk Panglima Sesat..!" desis Badalawa dan Subadil ber-
barengan. 
Wajah kedua orang tokoh persilatan yang merupakan 
orang kedua dalam perguruan masing-masing menjadi 
pucat seketika. 
"Celaka...! Rasanya hari ini kita tidak akan lolos dari 
kematian...." bisik Subadil dengan wajah tegang. Keringat 
tampak semakin mengalir deras dari tubuhnya. 
Tentu saja hati kedua orang tokoh itu menjadi cemas. 
Kehadiran datuk sesat wilayah Timur itu membuat peluang 
untuk melarikan diri mendadak sirna. Siapa pula yang tidak 
mengenal tokoh yang menggiriskan itu? Biarpun Subadil 
merupakan tokoh tingkat atas di perguruannya, namun 
untuk dapat menandingi Datuk Panglima Sesat rasanya 
masih harus belajar selama tiga puluh tahun lagi. 
Jangankan dirinya yang hanya merupakan tokoh kedua di 
Perguruan Pedang Perak. Bahkan Ki Jalaksa yang menjadi 
ketuanya pun belum tentu dapat menandingi kesaktian 
tokoh luar biasa itu. Dan kenyataan itu membuat ia pasrah 
untuk menghadapi hingga titik darah yang penghabisan. 
"Bagaimana ini, Kakang...? Apa yang harus kita 
lakukan...?" tanya salah seorang murid utama Perguruan 
Pedang Perak sambil menatap Subadil untuk meminta 
pertimbangan. 
"Tidak ada jalan lain. Kita harus menghadapi mereka 
dengan sekuat tenaga." tandas Subadil. 
Belum lagi rasa terkejut mereka lenyap dengan 
kehadiran Datuk Panglima Sesat, terdengar derap kaki 
kuda yang bergemuruh mendatangi tempat itu. 
Badalawa, Subadil, dan sepuluh orang tokoh lainnya 
sama-sama menolehkan kepala ke arah rombongan 
berkuda itu. Dan hati mereka semakin berdebar ketika 
mengenali kepala rombongan berkuda itu.

"Garuda Mata Satu..?" desis Subadil yang segera saling 
bertukar pandang dengan Badalawa. 
Kedatangan rombongan Garuda Mata Satu yang mem-
bawa dua puluh orang anggotanya membuat keadaan para 
tokoh golongan putih semakin terjepit. Lenyap sudah 
harapan untuk dapat melihat terbitnya matahari esok pagi. 
Sebab untuk dapat lolos dari tempat itu, jelas mustahil. 
"He he he... Kasihan sekali murid-murid Pendekar 
Pedang Perak dan Pendekar Ombak Selatan. Ingin rasanya 
aku melihat wajah manusia-manusia sombong itu kalau 
mereka mengetahui keadaan ini," terdengar suara kekeh 
serak yang seperti datang dari setiap sudut hutan. Jelas, 
suara itu dikirimkan menggunakan tenaga dalam tinggi. 
Kembali Badalawa, Subadil, dan yang lainnya memutar 
kepala berkeliling. Sepertinya mereka ingin melihat, siapa 
orang yang telah mengirimkan suara itu. Dan hati mereka 
semakin berdebar ketika melihat seorang kakek berusia 
enam puluh tahun lebih yang melenggang seenaknya. 
Jubah berwama putih kumal yang panjangnya mencapai 
lutut itu tampak berkibar tertiup angin. 
Yang paling membuat Badalawa dan Subadil terbelalak 
tegang adalah cara kakek itu berjalan. Sebab meskipun 
langkah kakinya terlihat perlahan, namun seperti meluncur 
dengan pesatnya. Seolah-olah tubuhnya hanya merupakan 
segumpal kapas yang tertiup angin. Tentu saja hal itu 
merupakan bukti nyata akan kehebatan ilmu meringankan 
tubuh kakek itu. 
"Gila! Kakek itu pastilah Datuk Barat yang kalau tidak 
salah berjuluk Memedi Karang Api. Wah! Rasanya aku 
sudah seperti mati sebelum bertanding," umpat Badalawa, 
lirih dan menggeletar. Jelas kalau hatinya sangat gentar 
melihat kehadiran kakek itu 
"Benar, Adi. Meskipun kakek itu terlihat dari luar 
sebagai seorang yang kocak dan periang, namun 
kekejamannya sangat mengerikan. Kudengar, ia pernah 
membunuh dan menguliti seorang tokoh golongan putih 
sambil tertawa-tawa. Padahal, kesalahan tokoh itu hanya

karena menangkap seorang pencuri di wilayah Barat. 
Hhh.... Sungguh tidak kusangka kalau hari ini ia dapat ber-
gabung dengan Datuk Panglima Sesat," desah Subadil. 
Bulu kuduknya kontan berdiri ketika teringat peristiwa itu. 
Badalawa dan tokoh yang lain hanya bisa saling 
berpandangan mendengar cerita Subadil. Rasa tegang 
yang kian memuncak, membuat peluh semakin berlelehan 
membasahi pakaian mereka. Jelas kedua belas tokoh 
persilatan ini tengah dilanda ketegangan hebat. 
"He he he... Biar kutangkap mereka sebagai hadiah 
untuk Pemimpin Agung kita. Beliau pasti akan senang 
dengan hadiah yang sangat berharga ini," kata Memedi 
Karang Api sambil melangkah mendekati kedua belas 
tokoh persilatan golongan putih itu. 
Badalawa, Subadil, serta sepuluh orang lainnya segera 
menyilangkan senjata di depan dada. Langkah kaki kakek 
yang tengah menghampiri, membuat hati para tokoh 
golongan putih itu semakin mengkerut. Memang, yang 
paling mereka takuti kekejamannya hanyalah Memedi 
Karang Api dan Datuk Panglima Sesat. Meskipun 
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu terkenal 
sebagai tokoh-tokoh berhati iblis, namun dalam hal 
kekejaman masih kalah jauh dibanding kedua datuk sesat 
itu. Tentu saja hal itu semakin mendatangkan kengerian di 
hati Badalawa dan kawan-kawannya. 
Tubuh Memedi Karang Api melayang bagaikan tidak 
menjejak bumi. Begitu tiba, tangan kanannya langsung 
terulur mencengkeram leher Badalawa yang berdiri paling 
depan. 
Werrr...! 
Aneh dan menakutkan sekali apa yang disaksikan 
Badalawa dan kawan-kawannya. Buktinya, jarak yang 
terpisah tiga tombak di antara keduanya sama sekali tidak 
menjadi halangan bagi Memedi Karang Api untuk 
melancarkan cengkeraman maut. Lengan yang biasanya 
wajar, mendadak mulur hingga tiga tombak jauhnya. Tentu 
saja kenyataan itu membuat Badalawa menjadi kalang

kabut. 
"Heaaat..!" 
Meskipun rasa gentar telah meresap ke dalam urat-urat 
tubuhnya, namun Badalawa tidak sudi menyerahkan 
batang lehernya. Dengan sebuah bentakan keras, 
tubuhnya bergeser disertai langkah ke samping. Sambil 
mengelak, Badalawa mengirimkan bacokan pedangnya. 
Wuttt! 
Tebasan pedang Badalawa ternyata tidak membawa 
hasil! Bagaikan seekor ular hidup, tangan yang terulur itu 
berputar ke atas dan kembali mengancam leher. 
Tentu saja kenyataan itu membuat Badalawa menjadi 
bertambah kalap. Dengan gerakan gugup, tubuhnya 
dilempar ke belakang dan melakukan beberapa kali salto 
di udara. 
Walaupun Badalawa telah mati-matian berusaha meng-
hindari cengkeraman, namun tetap saja tangan Memedi 
Karang Api mengikutinya. Untunglah pada saat itu Subadil 
melompat disertai tebasan senjatanya untuk menyelamat-
kan Badalawa. 
Subadil pun bukan tidak tahu akan kehebatan ilmu 
Memedi Karang Api. Meskipun beberapa kali tebasan 
pedangnya tidak mengenai sasaran, laki-laki berusia lima 
puluh tahun itu tidak menyerah begitu saja. 
"Heaaat..!" 
Sembil membentak keras, Subadil memutar pedangnya 
hingga menimbulkan angin keras menderu. Bentuk pedang 
di tangan tokoh itu kini lenyap. Yang tampak hanyalah 
gulungan sinar putih yang bergerak turun naik dengan 
kecepatan tinggi. Tidak percuma Subadil dijuluki sebagai 
Pedang Setan. Sebab, gerakan pedangnya memang sangat 
cepat hingga tidak terlihat mata. 
Wukkk! Wukkk! 
Sinar pedang yang bergulung-gulung itu berkelebat 
cepat mengincar lengan Memedi Karang Api. Tapi yang kali 
ini dihadapi Subadil bukanlah tokoh semberangan. 
Sehingga, serangan-serangannya yang cepat dan ber

bahaya kandas dan tidak pemah mengenai sasaran. 
Badalawa dan yang lainnya pun tidak tinggal diam. 
Mereka berlompatan serentak dan langsung mengurung 
Memedi Karang Api. Senjata-senjata di tangan mereka 
bergerak kian kemari sehingga menimbulkan suara 
mengaung tajam. 
"Yeaaa...!" 
Diawali pekik nyaring yang keluar dari mulut Badalawa, 
serentak sebelas orang tokoh persilatan dari dua per-
guruan berbeda itu saling bahu-membahu. 
Mereka yang rata-rata berkepandaian tinggi itu me-
lakukan gempuran hebat terhadap Memedi Karang Api. 
Sayang, meskipun gempuran gempuran yang dilancar-
kan dua belas orang tokoh golongan putih itu demikian 
hebatnya, Memedi Karang Api tetap saja hanya tertawa-
tawa melayaninya. Serangan-serangan dari segala penjuru 
mampu dielakkan dengan mudah. Bahkan serangan 
balasan yang dilancarkannya justru lebih berbahaya 
daripada gempuran dua belas orang tokoh golongan putih 
itu. Sehingga, ketika pertarungan memasuki jurus yang 
kedua puluh, Memedi Karang Api mulai menunjukkan 
kehebatannya. Lengannya yang dapat mulur dan 
mengkerut, membuat dua belas orang tokoh golongan 
putih menjadi terdesak dan kocar-kacir. 
"Hahhh...!" 
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Memedi Karang Api 
melesat cepat ke arah Subadil yang berada di sebelah 
kirinya. Gerakannya demikian cepat dan tak terduga, mem-
buat lawannya menjadi terkejut setengah mati. 
Brettt! 
"Aaakh...!" 
Subadil berseru kaget ketika tahu-tahu saja ceng-
keraman lawan telah singgah di lehernya. Belum lagi 
sempat menyadari keadaannya, tubuhnya terasa me-
lambung karena dilemparkan tangan Memedi Karang Api 
yang berkekuatan hebat itu. 
"Aaa...!"

Teriakan ngeri terdengar dan mulut Subadil yang 
berjuluk Pedang Setan. Tubuhnya yang tengah melayang 
itu dalam keadaan tertotok. Ia sendiri tidak sempat 
mengetahui, bagaimana cara kakek sakti itu melakukan 
cengkeraman yang juga sekaligus memberikan totokan 
yang membuat tubuhnya lumpuh. Tentu saja dalam 
keadaan tak berdaya itu Subadil jadi ketakutan. 
Namun sebelum tubuh laki-laki berusia setengah baya 
itu menghantam sebatang pohon besar di depannya, 
sebuah cengkeraman kuat telah membuat luncuran tubuh-
nya terhenti. 
Rasa lega yang dialami Subadil berubah menjadi 
kengerian hebat. Betapa tidak? Sebab, cengkeraman itu 
ternyata berasal dari tangan Memedi Karang Api. Dan 
sebelum sempat menjerit, tubuhnya telah terbanting keras 
di atas tanah. 
Brukkk! 
"Ngekk…!" 
Terdengar keluhan lirih dari mulut Subadil yang 
merasakan tubuhnya remuk, akibat bantingan keras luar 
biasa itu. Untunglah pada saat cengkeraman itu kembali 
datang, dua orang kawannya menerjang Memedi Karang 
Api dari belakang. 
Swing! Swing! 
Sambaran dua batang pedang yang menimbulkan 
desingan tajam sama sekali tidak dipedulikan Memedi 
Karang Api. Sampai ketika mata pedang hampir mencium 
punggungnya, tiba-tiba tubuh kakek itu berbalik cepat. 
Gerakannya masih disertai sambaran tangan kanannya 
yang sekaligus memapak dan mengancam nyawa dua 
orang lawannya. 
Wuttt! 
Hebat dan mengerikan sekali akibat yang ditimbulkan 
sambaran tangan kakek sakti itu. Tubuh dua orang 
lawannya terlempar ke belakang disertai semburan darah 
segar. 
Jeritan ngeri mengiringi jatuhnya tubuh kedua orang

tokoh golongan putih, sehingga menimbulkan suara 
berderak keras. Darah segar kontan mengalir dari mulut 
mereka. Sesaat kemudan, leher kedua orang itu pun 
terkulai. Tewas! 
Badalawa dan delapan orang lainnya terkejut bukan 
main melihat kejadian itu. Dengan menguatkan hati, 
serentak mereka menerjang Memedi Karang Api yang saat 
itu tengah menghajar Subadil habis-habisan. 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Untuk kesekian kalinya. Subadil berteriak kesakitan. 
Tubuhnya yang dijadikan permainan Memedi Karang Api 
membuatnya terasa tersiksa. Darah segar pun tampak 
menodai pakaiannya akibat luka-luka yang diderita. 
Sebelum Memedi Karang Api kembali mengangkat naik 
tubuh Subadil, Badalawa dan delapan orang lainnya sudah 
datang dengan sambaran senjata. Sehingga, kakek itu 
melepaskan tubuh Subadil. 
Wuttt! Wukkk! 
Sambaran delapan pedang pengeroyok hanya diladeni 
dengusan kasar Memedi Karang Api. Tubuhnya berbalik 
menghadapi ke arah para penyerangnya. Kedua tangan 
kakek sakti itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah 
hendak menyambut hantaman delapan batang senjata itu 
dengan tubuhnya 
Trak! Trak...! 
"Aaah...!" 
"Uhhh...!" 
Delapan batang pedang yang mampu menghancurkan 
batu karang itu, langsung berpatahan ketika bertemu 
tubuh tua yang terbungkus kulit dan daging. Bahkan 
kedelapan orang gagah itu, sama-sama berlompatan 
mundur sambil memegangi telapak tangan yang terasa 
panas dan perih. 
"Ilmu 'Baju Besi'..." desis Badalawa yang rupanya sudah 
pernah mendengar jenis ilmu yang dipergunakan Memedi 
Karang Api.

Datuk Wilayah Barat yang memiliki kepandaian meng-
giriskan itu langsung mengulur tangannya ke arah delapan 
orang tokoh persilatan yang masih terkesima. Dari 
sambaran angin yang ditimbulkan. Jelas kalau sampokan 
tangan kakek itu mengandung kekuatan mematikan. 
Werrr! 
"Aaah...!" 
Bukan main terkejutnya hati delapan orang tokoh 
golongan putih itu. Wajah mereka langsung berubah pucat 
karena tidak mempunyai kesempatan menghindar. 
Memang, kecepatan gerak lawan masih jauh berada di 
atas mereka. 
Badalawa dan delapan orang lain hanya dapat 
memejamkan mata menanti datangnya maut. Jelas, 
mereka sudah pasrah dengan kematian yang bakal 
menjemput mereka. 
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan 
putih melesat dengan kecepatan tinggi. Begitu tiba, 
bayangan itu langsung mengulurkan tangan memapak 
sampokan Memedi Karang Api. 
Wusss! 
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, 
menebar seiring terulurnya tangan sosok bayangan putih 
itu. Dan... 
Plarrr...! 
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan benturan dua 
telapak tangan itu. Dua arus gelombeng tenaga raksasa 
yang sama kuatnya berbenturan dan menimbulkan 
ledakan keras. Sehingga, delapan orang tokoh yang tengah 
terancam maut langsung roboh tanpa bisa di cegah. 
Memedi Karang Api sendiri sampai mengeluarkan 
teriakan kaget. Datuk sesat yang selama hidupnya telah 
banyak bertemu lawan pandai, benar-benar tak percaya 
melihat kenyataan yang dihadapinya. 
"Gila...!" maki Memedi Karang Api yang merasakan 
adanya aliran hawa dingin meresap ke dalam tubuhnya. 
Cepat kakek itu mengusirnya dengan pengerahan hawa


murni. 
"Pendekar Naga Putih...!" seru Subadil dengan wajah 
berseri gembira. 
Dengan langkah agak limbung, laki-laki setengah baya 
itu bergerak menghampiri pemuda tampan berjubah putih 
yang memang Pendekar Naga Putih. 
Badalawa dan delapan orang tokoh lain yang merasa-
kan sambaran maut Memedi Karang Api tidak juga datang 
mencabut nyawanya, serentak membuka mata. Apalagi, 
setelah mendengar disebutnya nama Pendekar Naga Putih 
oleh Subadil. Maka serentak mereka bangkit dan me-
mandang sosok tubuh berjubah putih itu. 
*** 
Di sekitar tubuh Pendekar Naga Putih tampak terlapisi 
kabut bersinar putih keperakan. Memang, langkah kaki 
Panji yang berniat hendak mencari gerombolan perampok 
Garuda Mata Satu, telah membawa pemuda itu ke Hutan 
Jelaga. Untung kedatangannya masih belum terlambat. 
Kalau tidak, mungkin hanya akan menemui Subadil dan 
yang lain dalam keadaan menjadi mayat. 
Tidak lama setelah kemunculan pemuda itu, sosok 
bayangan lain yang mengenakan pakaian serba hijau 
mendaratkan kaki di samping Pendekar Naga Putih. Siapa 
lagi sosok dara jelita bagaikan bidadari itu kalau bukan 
Kenanga yang selalu menyertai Pendekar Naga Putih. 
"Nampaknya keadaan kita tidak terlalu baik, Kakang," 
kata Kenanga setelah mengedarkan pandangannya ke 
sekitar tempat itu. Beberapa sosok yang di kenalinya, 
membuat wajah Kenanga cemas. 
"Ya, tapi biar bagaimana pun, kita harus bisa keluar 
dari tempat berbahaya ini…" sahut Panji yang tentu saja 
menjadi terkejut melihat banyaknya tokoh sesat tingkat 
atas berada di tempat itu. Otaknya berputar mencari cara 
untuk tiba keluar dari kepungan para tokoh sesat itu. 
"Apa yang harus kita lakukan, Pendekar Naga Putih...?"

tanya Subadil yang sepertinya menyerahkan keputusan 
pada Panji. 
Namun sebelum Panji bisa menjawab pertanyaan tokoh 
Perguruan Pedang Perak itu, Memedi Karang Api telah 
melangkah mendekatinya. Sehingga, Subadil dan yang lain 
segera berpindah ke belakang Pendekar Naga Putih. 
Datuk sesat wilayah Barat yang memiliki kepandaian 
menggiriskan itu menghentikan langkahnya dalam jarak 
tiga batang tombak. Untuk beberapa saat lamanya, dia 
hanya membungkam sambil meneliti sosok pendekar 
muda itu. 
"He he he…. Benarkah kau yang berjuluk Pendekar 
Naga Putih, murid si Malaikat Petir...?" tanya kakek itu 
setelah selesai menilai sosok pemuda tampan di depan-
nya. 
"Benar," sahut Panji singkat. 
"Hm.... Kepandaian yang kau miliki memang sangat 
hebat. Bahkan jauh lebih hebat daripada gurumu. Benar-
benar seorang murid yang tidak mengecewakan. Tapi hari 
ini, terpaksa namamu akan kuhapus dari jajaran tokoh 
persilatan," ancam Memedi Karang Api lagi sambil 
memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan. 
"Maaf! Hari ini aku tidak berminat bertarung. Dan 
kuharap, kau suka membiarkan kami pergi dari tempat ini. 
Untuk itu, aku akan mengucapkan terima kasih kepada-
mu," sahut Pendekar Naga Putih dengan wajah tenang, 
meskipun sebenarnya merasa tegang. 
Bagaimana hati Panji tidak merasa tegang? Selain 
harus menyelamatkan dirinya dan Kenanga, ia pun masih 
harus membawa sepuluh orang tokoh golongan putih untuk 
diselamatkan pula. Dan hal itu bukan suatu pekerjaan 
ringan. 
"Ha ha ha...!" tawa Memedi Karang Api meledak ketika 
mendengar jawaban yang keluar dari mulut Panji. 
Kemudian ia menolehkan kepala kepada Datuk 
Panglima Sesat yang saat itu sudah berdiri di sampingnya. 
"Kau lihatlah, Datuk Panglima Sesat. Pendekar muda

yang terkenal itu ternyata hanya merupakan seorang 
pemuda pengecut. Rupanya julukanku telah lama dikenal-
nya. Sehingga dia takut kalau-kalau namanya akan jatuh. 
Sayang...," ujar Memedi Karang Api sambil menggeleng-
gelengkan kepala dengan wajah pura-pura sedih. 
***
TUJUH

"Ha ha ha...!" Datuk Panglima Sesat pun tertawa terbahak-
bahak mendengar ucapan rekannya. 
Tokoh sesat penguasa wilayah Timur itu pun sepertinya 
tidak ingin menyia-nyiakan pertemuannya dengan Pen-
dekar Naga Putih. Hal itu jelas terlihat dan pancaran 
matanya yang penuh semangat. 
Pendekar Naga Putih terdiam beberapa saat lamanya 
sambil memutar otak. Sindiran kedua orang datuk sesat itu 
sama sekali tidak dipedulikannya. Memang bukan saatnya 
dalam keadaan terancam seperti itu harus memper-
masalahkan tentang harga diri. 
"Hm... Jadi, apa yang kalian inginkan dariku?" tanya 
Panji. 
Sepertinya Pendekar Naga Putih sudah menemukan 
satu cara untuk dapat menyelamatkan sepuluh orang 
tokoh golongan putih itu. Maka, ia mulai menjajaki kedua 
orang datuk yang tidak bisa diremehkan itu. 
"Hah! Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga 
Putih!" umpat Memedi Karang Api tak sabar. "Sebagai 
seorang pendekar yang memiliki nama besar dan 
kepandaian tinggi, tentu sudah tahu akan sifat orang-orang 
seperti kami. Dan pertemuan yang menggembirakan ini 
akan menjadi lebih hidup dengan pertarungan kita. Nah! 
Apakah kami masih perlu menjelaskannya lagi?" 
"Aku paham dengan maksudmu, Memedi Karang Api. 
Tapi, aku mempunyai satu syarat yang harus dipenuhi. 
Kalau tidak, biar bagaimanapun aku tidak sudi bertarung 
denganmu." sahut Pendekar Naga Putih mulai menjalan-
kan siasatnya. 
Sebagai orang yang telah cukup berpengalaman dalam 
dunia persilatan, Pendekar Naga Putih maklum akan 
penyakit yang diderita tokoh-tokoh tingkat atas. Dan 
penyakit itulah yang justru dipergunakan untuk dapat

menyelamatkan sepuluh orang tokoh golongan putih di 
belakangnya. 
Mendengar jawaban Panji, Memedi Karang Api dan 
Datuk Panglima Sesat saling bertukar pandang sejenak. 
Sepertinya mereka tidak menyadari kalau tengah diper-
dayai Pendekar Naga Putih. 
"Katakan, apa syarat yang kau ajukan itu?" tanya Datuk 
Panglima Sesat yang sepertinya belum menduga tentang 
siasat pemuda tampan berjubah putih itu. 
"Aku akan menghadapi salah seorang dari kalian, 
asalkan kesepuluh orang tokoh dan gadis yang berada di 
belakangku dibiarkan meninggalkan Hutan Jelaga tanpa 
gangguan. Bagaimana? Kalau kalian setuju, aku akan 
meladeni walau sampai seribu jurus sekalipun!" pancing 
Pendekar Naga Putih. 
Dinantikannya jawaban kedua orang datuk itu dengan 
dada berdebar. Namun, wajah Pendekar Naga Putih tetap 
dipasang setenang mungkin agar tidak menimbulkan 
kecurigaan kedua orang tokoh sakti itu. 
"Ha ha ha...! Lucu.... lucu...! Seekor harimau yang sudah 
terperangkap masih hendak memperdayakan pemburu, 
dengan mengajukan syarat tidak lumrah seperti itu. Ha ha 
ha...!" Datuk Panglima Sesat rupanya dapat menebak 
maksud syarat itu. Sehingga, tawanya yang parau pun 
berkumandang memenuhi sekitarnya. 
"He he he...! Kau pikir kami orang bodoh, Pendekar 
Naga Putih! Ketahuilah. Bahwa kau dan orang-orang tak 
berguna di belakangmu itu sangat berharga untuk kuper-
sembahkan kepada Pemimpin Agung Malaikat Gerbang 
Neraka. Jadi, janganlah bermimpi akan dapat lolos dari 
tempai ini." 
Memedi Karang Api pun memperdengarkan suara 
tawanya demi mendengar usul pemuda tampan itu. Jelas, 
kedua orang datuk sesat itu tidak dapat diperdayai. 
"Terserah kalian. Kalau memang tidak setuju, aku pun 
tidak akan sudi mengemis mohon pengampunan dari 
kalian," sambut Pendekar Naga Putih yang merasa

kehabisan akal untuk dapat menyelamatkan tokoh-tokoh 
persilatan yang bersamanya. 
"He he he.... Ayo kita berlomba, Datuk Panglima Sesat. 
Siapa yang akan lebih dulu dapat menangkap pendekar 
muda itu, dialah yang unggul." tantang Memedi Karang Api 
sambil terkekeh gembira. 
"Baik. Pemuda ini pasti akan membuat Pemimpin 
Agung kita menjadi gembira. Dan, akulah orang yang akan 
mempersembahkan pemuda itu kepada beliau," sambut 
Datuk Panglima Sesat, jumawa. 
Panji yang sudah dua kali mendengar sebutan 
'pemimpin agung' yang dimaksud tokoh sesat itu, menjadi 
heran sekali. Meskipun dalam beberapa hari ini telah 
mendengar tentang munculnya seorang tokoh yang 
memiliki kepandaian menggiriskan, namun kabar itu belum 
bisa dipercayainya. Bahkan kabarnya, para datuk sesat di 
empat penjuru telah mengangkat tokoh berjuluk Malaikat 
Gerbang Neraka sebagai pimpinan mereka. Namun setelah 
mendengar ucapan kedua orang datuk itu, mau tak mau 
harus dipercayainya. Hanya yang membuatnya tidak habis 
pikir, sampai di mana kesaktian tokoh berjuluk Malaikat 
Gerbang Neraka itu. Kalau sampai para datuk di empat 
penjuru telah tunduk kepada tokoh itu, maka sudah pasti 
kepandaian yang dimilikinya sukar diukur. 
Sring! 
Pedang Pusaka Naga Langlt yang biasanya hanya 
dipergunakan dalam keadaan terdesak, langsung dicabut 
keluar oleh Panji. Karena untuk menghadapi dua orang 
datuk itu, tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri 
hanya dengan ilmu tangan kosong. Maka pedang pusaka 
bersinar kuning keemasan itu pun terpaksa dipergunakan-
nya. 
"Hm.... Pendekar muda ini benar-benar sangat berharga 
sekali! Llhatlah, apa yang ada di tangan Pendekar Naga 
Putih itu?" kata Memedi Karang Api. 
Kakek sakti itu membelalakkan matanya melihat 
senjata yang mengeluarkan sinar keemasan milik

Pendekar Naga Putih. Jelas, tokoh menggiriskan ini telah 
mengenal pedang yang tergenggam di tangan Panji. 
"Hei...? Bukankah itu Pedang Naga Langit...! Hebat 
sekali...!" desis Datuk Panglima Sesat. 
Tokoh berpakaian panglima itu bagaikan seorang anak 
kecil yang melihat mainan kesukaannya. Menilik dari wajah 
dan sikapnya, jelas kalau dia sangat ingin memiliki pedang 
yang berada di tangan lawannya. 
"He he he... Kau boleh ambil pemuda itu untuk di-
hadiahkan kepada pemimpin kita. Tapi mengenai Pedang 
Naga Langit, biarlah aku yang akan mengurusnya," sergah 
Memedi Karang Api yang sepertinya juga sangat tergiur 
dengan pusaka itu. 
"Tidak bisa, Kakek Gila! Akulah yang harus memiliki 
pedang pusaka itu, dan kau boleh urus pemiliknya." bantah 
Datuk Panglima Sesat, tak mau kalah. 
"Hm.. Kalau begitu, lebih baik kita berlomba saja. Siapa 
yang paling dulu dapat merebut pedang pusaka itu, maka 
dialah yang berhak memilikinya. Bagaimana?" usul Memedi 
Karang Api ketika melihat hasrat Datuk Panglima Sesat 
sangat menggebu untuk memiliki pusaka ampuh itu. 
"Baik. Ayo, segera kita mulai…," tantang Datuk 
Panglima Sesat yang segera melangkah beberapa tindak 
ke depan. 
Panji yang melihat kedua orang lawan telah bersiap 
melancarkan serangan, segera menyilangkan Pedang Naga 
Langit di depan dada. Kemudian kaki kanannya ditarik ke 
belakang sambil mengangkat pedangnya di atas kepala 
dalam sikap memanjang. Sedangkan tangan kirinya 
menuding ke arah lawan dengan menggunakan dua jari. 
"Heaaat…!" 
Memedi Karang Api berteriak parau sambil melancar-
kan serangannya dengan jurus-jurus maut. Sambaran 
angin pukulannya terdengar mencicit tajam. Jelas, tenaga 
dalam yang dimiliki kakek itu telah mencapai taraf 
kesempurnaan. 
Demikian pula halnya Datuk Panglima Sesat. Karena

tidak ingin didahului rekannya, maka tubuhnya yang tinggi 
besar segera melambung ke arah Panji. 
"Yeaaat…!" 
Bettt! Bettt! 
Angin tajam berkesiutan mengiringi datangnya pukulan 
berantai yang dilancarkan Datuk Panglima Sesat. Cepat 
bagai kilat pukulan-pukulan dua tokoh sesat itu langsung 
mengancam tubuh lawan. 
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menerima 
pukulan pada tubuhnya. Cepat langkahnya bergeser sambil 
mengibaskan Pedang Naga Langit dengan kecepatan kilat. 
Swing! 
Sinar kuning keemasan berkeredep mengiringi ayunan 
senjata ampuh itu. 
Datuk Panglima Sesat yang selama ini selalu 
mengagungkan kepandaiannya, tentu saja menjadi terkejut 
melihat kecepatan gerak lawan. Namun sebagai seorang 
datuk yang telah berpengalaman, ia tidak gugup. Dengan 
penuh ketenangan dan kematangan perhitungan, tokoh 
tinggi besar itu menarik pulang pukulannya. Lalu, secepat 
kilat kakinya mencelat melepaskan tendangan yang amat 
kuat. 
Meskipun tendangan itu datangnya sangat cepat dan 
tak terduga, namun Panji masih sempat mengelakkannya 
dengan menarik tubuh ke belakang. Tapi pemuda itu 
menjadi terkejut ketika merasakan sambaran angin 
pukulan yang amat kuat datang dari belakangnya. Sadar 
kalau serangan itu datang dari Memedi Karang Api, Panji 
segera memutar tubuh setengah lingkaran. 
Gerakan yang dilakukan Pendekar Naga Putih dengan 
sikap tubuh yang sangat rendah, telah menyelamatkan 
nyawanya dari sambaran pukulan Memedi Karang Api. 
Namun karena harus menghadapi kedua orang datuk sesat 
secara bersamaan, maka Panji pun tidak dapat lagi 
menyelamatkan iganya dari hantaman telapak tangan 
Datuk Panglima Sesat selagi tubuhnya merendah. 
Buggg!


"Hugkh...!" 
Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh pemuda itu pun 
terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Pendekar 
Naga Putih yang masih saja terhuyung sejauh dua tombak, 
langsung mendapat serangan dari Memedi Karang Api 
berupa sebuah pukulan yang telak menghajar dadanya. 
Bukkk! 
"Ough...!" 
Tubuh Pendekar Naga Putih kontan terjengkang akibat 
pukulan telak Memedi Karang Api itu. Meskipun tulang 
dada dan iganya terasa berpatahan, namun pemuda itu 
bergegas menggulingkan tubuhnya hingga beberapa 
tombak. Hal itu dilakukan, karena kedua orang datuk itu 
tidak mungkin akan membiarkan kesempatan selagi tubuh-
nya terjatuh untuk menyerang kembali. 
"Haiiit...!" 
Sambil menghentak keras disertai kibasan pedang, 
tubuh pendekar muda itu melenting bangkit dengan kuda-
kuda kokoh! Cepat dikerahkannya 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' untuk mengusir rasa sesak yang mengganggu 
pernapasan. Tidak dipedulikannya lagi cairan merah di 
sudut bibirnya. 
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat kembali 
berlompatan saling mendahului untuk mendekati Pendekar 
Naga Putih. Mereka kembali melancarkan serangan-
serangan untuk segera merobohkan lawan. 
Panji yang sadar kehebatan kedua orang tokoh sesat 
itu, cepat-cepat memutar pedangnya. Segera dikerahka-
nnya ilmu 'Naga Sakti' dengan penggunaan senjata. 
"Heaaat..!" 
Deru angin dingin yang menusuk tulang, menebar 
ketika pemuda itu melompat dengan serangan dahsyat! 
Pedang di tangannya berubah menjadi gundukan sinar 
keemasan yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga 
yang tengah mengamuk. Hebat dan menggiriskan sekali 
serangan yang kali ini dilancarkan Pendekar Naga Putin. 
Sehingga, kedua orang datuk sesat yang telah banyak

bertarung itu menjadi tercekat dibuatnya. 
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat baru 
merasakan kehebatan Pendekar Naga Putih ketika melihat 
serangan yang mengerikan itu. Serangan-serangan mereka 
pun cepat ditarik pulang, karena tidak sudi lengan mereka 
terbabat oleh sambaran pedang pusaka lawan yang 
ampuh. 
Wuttt! Wukkk! 
"Akh...!" 
"Ahhh...!" 
Datuk sesat dari Barat dan Timur itu terpekik kaget 
ketika hampir saja ujung pedang lawan yang bergulung-
gulung itu merobek perut mereka secara berbarengan. 
Untung keduanya masih sempat melompat dan melempar 
tubuh ke belakang. 
"Gila! Pemuda ini benar-benar tidak bisa dibuat main-
main!" umpat Memedi Karang Api, berang. Kakek yang 
biasanya periang itu bergegas mencabut keluar senjatanya 
berupa sepasang trisula emas. 
Wutt! Wuttt! 
Sepasang senjata di tangan Memedi Karang Api yang 
panjangnya sekitar dua jengkal iItu langsung digerakkan 
sehingga terdengar decitan tajam yang membelah udara. 
Secepat sambaran kilat di angkasa, secepat itu pula tubuh 
kurus Memedi Karang Api melesat menerjang Pendekar 
Naga Putih. 
Datuk Panglima Sesat pun tidak mau kalah. Entah dari 
mana datangnya, tahu-tahu saja di tangan laki-laki tinggi 
besar itu telah tergenggam sebatang tongkat terbuat dan 
emas murni. 
Werrr... werrr...! 
Putaran angin dahsyat yang bagaikan gelombang angin 
puyuh berputaran ketika Datuk Panglima Sesat meng-
gerakkan tongkat di atas kepala. Debu dan batu-batu kecil 
beterbangan, menandakan betapa hebatnya tenaga yang 
terkandung di dalam gerakan itu. 
"Heaaat…!"

Dengan sebuah lesatan kilat, tubuh tokoh tinggi besar 
itu melayang disertai putaran tongkat yang menimbulkan 
angin ribut! Pertarungan yang berlangsung antara tiga 
tokoh sakti itu pun membuat daerah di sekitarnya bagaikan 
tengah terjadi angin puting beliung yang menyeramkan. 
Seluruh tokoh persilatan yang menyaksikan per-
tarungan langka itu, sama-sama mengalami perasaan 
ngeri! Maka serentak mereka menyingkir menjauhi arena 
pertarungan berhawa maut itu. 
Kenanga, Subadil, Badalawa, dan delapan orang tokoh 
lainnya, bergerak mundur menjauhi arena pertarungan itu. 
Namun mereka tidak sempat lagi untuk menyaksikan 
pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi itu, karena saat itu 
juga telah dikurung gerombolan perampok yang dipimpin 
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu. 
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu sama-
sama menelan ludah ketika melihat kejelitaan dan 
keindahan bentuk tubuh Kenanga. Dengan penuh nafsu, 
mereka menjilati sekujur tubuh gadis jelita itu dengan 
pandangan mata yang bagai mata harimau lapar. 
Tentu saja tatapan mata kedua orang tokoh sesat itu 
membuat wajah Kenanga menjadi merah. Rasa jengahnya 
berubah menjadi kemarahan, sehingga membuat mata 
indahnya berkilat. 
"He he he.... Ayo, kita tangkap bidadari itu, Garuda 
Mata Satu. Siapa yang lebih dahulu mendapatkannya, 
maka boleh memilikinya untuk beberapa malam," tantang 
Tengkorak Hutan Jati tanpa melepaskan pandangannya 
dari gadis jelita yang penuh pesona itu. 
Garuda Mata Satu hanya mengangguk sambil menelan 
ludah. Rupanya, tokoh sesat yang gila wanita cantik itu 
benar-benar terbangkit birahinya melihat kecantikan 
Kenanga. Sehingga, usul yang diajukan rekannya tidak 
sempat dijawab. 
Tanpa mempedulikan yang lain, Garuda Mata Satu 
bergegas melompat. Langsung diterkamnya gadis ber-
pakaian serba hijau itu. Gerakannya yang ringan, membuat
tubuhnya melayang bagaikan seekor burung besar yang 
terbang bermain-main di angkasa. 
Tengkorak Hutan Jati pun tidak kalah dengan rekannya. 
Tubuh tinggi kurus itu pun segera melesat tidak kalah 
sigapnya. Langsung dikirimkan serangan menggunakan 
cengkeraman tangan. Tentu saja serangan itu mempunyai 
maksud-maksud kurang ajar. Apalagi, serangan sepasang 
tangannya hanya tertuju ke bagian-bagian tubuh yang 
sangat terlarang. Sudan pasti hal itu semakin mem-
bangkitkan kemarahan di hati Kenanga. 
"Jahanam...!" maki Kenanga sambil mengegoskan 
tubuh menghindari jamahan-jamahan tangan kedua orang 
lawannya. 
Dan dengan sengit, gadis jelita itu segera melancarkan 
serangan-serangan balasan menggunakan Pedang Sinar 
Rembulan yang telah dicabut dari pinggangnya. 
Wuttt! Wuttt! 
Sambaran pedang bersinar putih keperakan itu sempat 
membuat kedua orang lawan menjadi terkejut. Mereka 
yang sebelumnya tidak menduga akan kelihaian gadis jelita 
itu, segera melempar tubuh ke belakang. Langsung 
dilakukan beberapa kali putaran salto di udara, lalu kaki 
mereka mendarat beberapa tombak di tanah. 
Namun Kenanga yang kemarahannya telah mencapai 
ubun-ubun, segera melesat mengejar. Pedang Sinar 
Rembulan yang berada di tangannya telah lenyap 
bentuknya. Yang tampak hanyalah gulungan sinar 
keperakan yang bergerak naik turun bagaikan gelombang 
samudera. 
Wuttt! Wukkk! 
Terjangan yang dilancarkan Kenanga benar-benar 
membuat kedua orang kepala rampok menjadi gelagapan. 
Keduanya cepat mencabut senjata masing-masing untuk 
memapak serangan dara jelita yang digdaya itu. 
Trang! Trang! 
Terdengar benturan keras yang menimbulkan pijaran 
bunga api ketika senjata-senjata itu beradu. Tangkisan

kedua orang lawan, membuat tubuh Kenanga terjajar 
mundur sejauh setengah tombak lebih. Sedangkan kedua 
orang lawan hanya merasakan telapak tangan yang 
kesemutan. Namun, hal itu ternyata telah membuat 
Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu menjadi ter-
buka matanya. 
"Gila! Gadis jelita itu ternyata bukan sasaran empuk. 
Dia benar-benar seperti seorang dewi yang turun dan 
langit. Hm.... Kalau saja dia dapat kujadikan istri, tentu 
akan menjadi seorang pendamping yang sangat baik," 
desah Garuda Mata Satu yang semakin bertambah kagum 
setelah mengetahui kelihaian Kenanga. 
"Hm.... Alangkah beruntungnya bila bisa memiliki gadis 
jelita yang lihai itu." gumam Tengkorak Hutan Jati yang 
rupanya memiliki pikiran serupa dengan Garuda Mata 
Satu. Hanya saja, mereka tidak mengetahui perasaan 
masing-masing. 
***
DELAPAN

Sementara itu pertarungan Panji dan dua orang datuk 
sesat tampak semakin seru dan mendebarkan! Ketiga 
orang sakti yang telah sama-sama menggunakan jurus-
jurus ampuh, membuat arena pertandingan porak-poranda 
bagaikan diamuk badai. 
Gempuran-gempuran yang dilancarkan Datuk Panglima 
Sesat dan Memedi Karang Api tampak semakin dahsyat. 
Setelah mengetahui kehebatan Pendekar Naga Putih, 
mereka tidak lagi hanya sekadar hendak merebut Pedang 
Naga Langit. Bahkan kini berniat menghabisi nyawa 
pemuda itu sekaligus. Memang mereka khawatir kalau-
kalau rencana yang telah disusun Malaikat Gerbang 
Neraka akan terhalang Pendekar Naga Putih. Itulah yang 
menyebabkan kedua orang datuk sesat menggiriskan hati 
itu merubah niatnya semula. 
Pendekar Naga Putih yang meskipun telah meng-
gunakan 'Ilmu Pedang Naga Sakti', tetap saja menjadi 
sibuk menghadapi gempuran kedua orang tokoh sesat itu. 
Kalau saja dua orang datuk itu tidak maju berbarengan, 
mungkin masih bisa ditundukkan. Walaupun disadari harus 
memakan waktu yang cukup lama, tapi Pendekar Naga 
Putih yakin akan mampu menundukkan mereka. Tapi 
karena mereka maju bersama, maka kesempatan untuk 
memperoleh kemenangan pun menjadi tipis. 
"Yeaaat..!" 
Sadar kalau pertarungan berlarut-larut akan bisa 
menguras tenaganya, maka ketika pertarungan memasuki 
jurus yang kesembilan puluh dua, pemuda itu mengeluar-
kan 'Pekikan Naga Marah'. 
Hebat sekali raungan dahsyat yang keluar dari mulut 
pendekar muda itu. Hutan Jelaga langsung bergetar bagai 
dilanda angin topan yang sangat mengerikan. Bahkan 
gema suara yang diciptakannya sampat melewati per

batasan hutan lebat itu! 
Baik Datuk Panglima Sesat maupun Memedi Karang 
Api kontan melangkah mundur mendengar pekikan yang 
menggetarkan hutan itu. Cepat mereka memejamkan 
mata, dan mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi isi 
dada yang terguncang. Untunglah, mereka telah memiliki 
tenaga dalam yang telah hampir mencapai titik ke-
sempurnaan. Kalau tidak, bukan mustahil akan menderita 
luka dalam akibat 'Pekikan Naga Marah' yang dikerahkan 
Pendekar Naga Putih tadi. 
Kesempatan yang sangat baik itu tentu saja tidak 
dilewatkan begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Cepat 
matanya melirik ke arah Kenanga dan para tokoh per-
silatan lain yang tengah dikeroyok gerombolan Tengkorak 
Hutan Jati dan Garuda Mata Satu. Ketika melihat per-
tempuran sengit itu buyar akibat pengaruh teriakannya, 
tubuh pemuda itu berkelebat secepat kilat ke arah mereka. 
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini...!" seru Panji begitu 
kakinya mendarat di antara mereka. 
Kenanga, Subadil, Badalawa, dan para tokoh yang lain 
serentak menoleh ke arah Pendekar Naga Putih. Mereka 
sempat terperanjat melihat keadaan pendekar muda yang 
di beberapa bagian jubahnya tampak bernoda darah. 
"Kakang, kau tidak apa-apa...?" Kenanga yang melihat 
keadaan kekasihnya, tentu saja menjadi cemas. 
Cepat gadis jelita itu berlari menghampiri Panji, 
sehingga lupa kalau saat itu keadaan masih dalam 
ancaman bahaya. 
"Aku tidak apa-apa, Kenanga. Sebaiknya segera ber-
gegas meninggalkan tempat ini. Blar aku saja yang akan 
mencegah, apabila mereka hendak melakukan pengejaran. 
Cepatlah! Waktu kita tidak banyak!" ujar Panji, segera 
memerintahkan kekasihnya untuk memimpin sepuluh 
orang tokoh itu meninggalkan Hutan Jelaga. 
"Tapi..." 
"Cepatlah, Kenanga. Jangan membuang-buang waktu 
lagi. Percayalah, aku segera menyusul kalian. Tunggulah di

desa terdekat. Aku akan segera menjemputmu." ujar 
Pendekar Naga Putih 
Panji segera melompat ke depan, karena saat itu dua 
orang datuk sesat yang ditinggalkannya telah mengejar. 
"Jagalah dirimu baik-baik, Kakang..." pesan Kenanga 
dengan wajah cemas. 
Wajar saja kalau gadis itu mencemaskan keselamatan 
kekasihnya. Sebab, ia tahu kalau yang kali ini dihadapi 
Panji bukanlah tokoh sembarangan. Sehingga, hatinya ragu 
terhadap kekasihnya. Apakah Pendekar Naga Putih dapat 
terbebas dari datuk-datuk sesat yang berkepandaian 
sangat tinggi itu. 
Panji tidak sempat lagi menyahuti ucapan kekasihnya. 
Tubuh pemuda berjubah putih itu telah melesat 
menyambut kedatangan Datuk Panglima Sesal dan 
Memedi Karang Api. Dengan mengerahkan segenap 
kekuatan yang dimiliki, diterjangnya kedua orang datuk 
sesat itu. 
"Heaaat…!" 
Hebat sekali serangan yang dilakukan Pendekar Naga 
Putih. Deru angin dingin yang bagaikan badai salju, 
menerjang deras tubuh kedua orang datuk sesat itu. 
Sehingga, mereka berdua terpaksa menghentikan langkah, 
dan menyambut serangan Pendekar Naga Putih. 
Sementara itu, gerombolan para perampok yang 
dipimpin Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu 
tersentak mundur sambil menggigil kedinginan. Wajah 
mereka pucat kebiruan karena hawa dingin luar biasa yang 
menebar memenuhi tempat itu. Hingga, untuk beberapa 
saat lamanya, gerombolan perampok itu tertahan mundur 
dan tak sempat mengejar rombongan Kenanga. 
Sayang, lawan yang kali ini dihadapi Panji adalah tokoh-
tokoh sesat kelas satu. Sehingga, meskipun telah 
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sekuatnya, 
tetap saja kedua orang la an belum bisa ditaklukkannya. 
Bahkan kedua orang datuk itu masih bisa melancarkan 
serangan balasan yang tidak kalah berbahaya.

"Heaaa...!" 
Werrr... werrr...! 
Datuk Panglima Sesat yang telah membebaskan diri 
dari kungkungan hawa dingin menusuk tulang, melompat 
disertai putaran tongkatnya. Putaran angin keras yang 
bagaikan hendak merobohkan hutan, menyambar-nyambar 
mengancam seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. 
Belum lagi pemuda bertuhah putih ini sempat 
mengatasi terjangan dahsyat itu, serangan Memedi Karang 
Api telah tiba menyusuli. Maka dapat dibayangkan, betapa 
repotnya pemuda itu saat menghalau terjangan kedua 
lawan. 
Namun tekadnya yang telah bulat untuk menyelamat-
kan rombongan yang dipimpin Kenanga, membuat 
Pendekar Naga Putih tidak mudah menyerah begitu saja. 
Dibalasnya gempuran kedua orang datuk sesat itu dengan 
sambaran Pedang Naga Langit yang bagaikan kilatan maut. 
Sehingga meskipun kedua orang lawan mencoba 
mengatasi Panji secepatnya, tetap saja harus bekerja 
keras. Memang, untuk mencegah amukan Pendekar Naga 
Putih, tentu saja bukan merupakan hal mudah. 
Meskipun Panji terlihat sibuk menghadapi gempuran 
dua orang lawan, namun masih sempat melirik ke arah 
rombongan Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu. 
Ketika melihat kedua rombongan itu hendak melakukan 
pengejaran, tubuh pemuda tampan itu pun cepat melesat 
meninggalkan kedua orang lawan. 
"Haiiit…!" 
Wusss... blarr ...! 
"Aaah...!" 
Lontaran pukulan jarak Jauh yang dikerahkan Panji, 
meluncur deras menimbulkan ledakan menggetarkan. 
Beberapa sosok tubuh anggota perampok yang terlanggar 
angin pukulan berhawa dingin luar blasa itu terlempar 
bagaikan daun-daun kering. Tubuh mereka langsung 
terbujur dengan kulit tubuh kebiruan. Mereka kontan tewas 
akibat hantaman pukulan jarak jauh amat dahsyat yang

dilepaskan Pendekar Naga Putih. 
Melihat kejadian yang mengerikan itu, tentu saja para 
anggota perampok yang lain menjadi gentar. Mereka yang 
semula hendak melakukan pengejaran, segera ber-
lompatan mundur dengan wajah membayangkan 
kengerian. 
Meskipun Pendekar Naga Putih berhasil membuat 
pengejaran tertunda, namun ia sendiri harus menerima 
kenyataan pahit akibat perbuatannya. Memang, begitu 
berhasil memukul tewas beberapa orang perampok, 
sebuah hantaman tongkat Datuk Panglima Sesat 
menghajar telak bagian belakang tubuhnya. 
Buggg! 
"Akh ..!" 
Bagai dilemparkan sebuah tendangan raksasa yang tak 
tampak, tubuh pemuda berjubah putih itu terlempar deras 
hingga tiga tombak jauhnya. Segumpal darah segar yang 
mengental terlompat keluar dan mulutnya. Jelas, 
hantaman dahsyat itu telah membuat tubuhnya terluka 
dalam. Satu keuntungan yang masih membuatnya dapat 
bertahan adalah adanya lapisan kabut bersinar putih 
keperakan yang melindunginya dari pukulan dahsyat itu. 
Kalau saja ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikina 
tidak sering dilatih dan disempurnakan, sudah pasti 
pemuda itu tak akan sanggup menerima hantaman tongkat 
Datuk Panglima Sesat. 
Walaupun hantaman keras itu telah membuat tubuh-
nya terlempar, namun Pendekar Naga Putih masih juga 
dapat membuat kedua orang lawannya menggeleng 
kagum. Memang, tubuh yang tengah melayang itu masih 
mampu diselamatkan agar tidak sampai terbanting. 
Dengan beberapa kali putaran salto indah dan manis, 
tubuh pemuda itu dapat mendarat selamat. 
"Uhhh ..!" 
Panji mengeluh dengan kuda-kuda limbung! Darah 
segar kembali menetes keluar dari sudut bibirnya. Dadanya 
yang terasa sesak, membuat berdirinya agak limbung

sambil menekap dada dengan telapak tangan kiri. Jelas 
kalau luka dalam yang dialami Panji cukup parah. 
Memedi Karang Api yang menyusuli pemuda itu dengan 
lesatan tubuh, langsung menerjang dengan tusukan kedua 
senjatanya. 
Bettt! Bettt! 
Luncuran dua batang senjata yang menyiratkan sinar 
keemasan membuat Pendekar Naga Putih agak terkejut. 
Keadaannya yang jelas belum siap, membuatnya harus 
terpaksa menyelamatkan diri mati-matian dari ancaman 
maut itu. 
"Heaaah...!" 
Dengan gerakan mulai melemah, tangan kanan 
pemuda itu bergerak menyambar ke depan. Sambaran 
mendatar Pedang Naga Langitnya seketika berkelebat 
cepat memapak serangan senjata Memedi Karang Api. 
Trang! Trang! 
"Uhhh...!" 
Sayang, tangkisan yang dilakukan sepenuh tenaga itu 
terhambat rasa nyeri di dadanya. Sehingga akibat 
tangkisan itu, tubuh Pendekar Naga Putih kembali 
terdorong beberapa langkah ke belakang. 
Rupanya, Memedi Karang Api yang mengetahui kalau 
lawan telah mengalami luka dalam, tetap saja meneruskan 
serangan tanpa mempedulikan tangkisan. Memang, ia 
yakin kalau kali ini akan dapat menekan tenaga lawan. 
Melihat apa yang diduga tidak meleset, Memedi Karang 
Api kembali metompat menyusuli tubuh Panji yang tengah 
terhuyung mundur. Tusukan sepasang trisulanya kembali 
meluncur deras mengancam bagian terlemah di tubuh 
Pendekar Naga Putih. 
Crasss! Crasss! 
"Akh...!" 
Tusukan dua batang senjata lawan itu hampir berhasil 
melukai tubuh Panji. Untunglah pada saat-saat terakhir, 
tubuhnya masih sempat dimiringkan ke samping. 
Sehingga, tusukan trisula Memedi Karang Api hanya

menyerempet iga dan lambungnya saja. 
Panji yang merasa tidak bakal unggul melawan kedua 
orang datuk sesat yang lihal itu, mulai melirik jalan 
selamat, Pendekar Naga Putih telah cukup lama membuat 
pengejaran lawan terhambat. Dan menurut perhitungan-
nya, saat itu rombongan yang dipimpin Kenanga pasti 
sudah cukup jauh meninggalkan wilayah hutan. Maka, 
Panji pun berniat meloloskan diri dari kedua orang datuk 
sesat itu. 
Keluhan pendek kembali terdengar dan mulut 
Pendekar Naga Putih. Tidak dipedulikan lagi luka-lukanya 
yang terasa nyeri dan linu. Satu tekadnya, ia harus bisa 
menyelamatkan diri dari hutan itu. Kalau tidak mau mati 
sia-sia. Memang harus dengan siasat untuk menghadapi 
dua tokoh sesat ini. Namun yang pasti, dunia persilatan 
akan terancam bahaya dengan bersatunya seluruh tokoh 
sesat. Maka pemuda yang cerdik dan telah banyak 
pengalaman itu harus mengatur siasat. Karena, sudah 
dapat ditebak, apa maksud para tokoh sesat berkumpul 
dan melakukan keonaran-keonaran. Jelas, mereka ingin 
menguasai dunia persilatan! 
"He he he... Menyerahlah, Pendekar Naga Putih. Tidak 
ada gunanya keras kepala hendak melawan kami." ujar 
Datuk Panglima Sesat sambil memperdengarkan gelak 
tawanya yang menggelegar. 
Jelas kalau tokoh itu sudah merasa yakin akan dapat 
menundukkan Pendekar Naga Putih. Apalagi keadaan 
pemuda itu memang sudah cukup parah. Maka, keyakinan 
tokoh tinggi besar itu pun semakin bertambah. 
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat sama-
sama melangkah ke arah Pendekar Naga Putih. Mereka 
terkekeh melihat pemuda itu hanya menatap tanpa 
bergerak sedikit pun. Sehingga, kedua orang itu menduga 
kalau Pendekar Naga Putih sudah menyerah pasrah ter-
hadap nasib yang akan diterima. 
Namun, apa yang diduga kedua orang datuk sesat itu 
sama sekali tidak dipedulikan Panji Pendekar Naga Putih

lalu menelan obat pulung dari balik bajunya, seraya 
menghimpun tenaganya. Hawa hangat akibat obat luka 
dalam yang ditelan segera menyebar, dibantu pengerahan 
tenaga murni. Meskipun pemuda itu telah merasakan 
keadaannya semakin membaik, tetap saja tercekam 
menanti kesempatan untuk bisa selamat dari kedua orang 
datuk itu. 
"He he he... Apa lagi yang kau pikirkan, Pendekar Naga 
Putih? Apakah para bidadari surga tengah melambaikan 
tangan kepadamu?" ejek Datuk Panglima Sesat sambil 
tertawa-tawa parau. Langkah kakinya pun semakin dekat 
dengan tempat Panji berdiri. 
"Enak saja kau bicara, Datuk Panglima Sesat. Terlalu 
enak kalau rohnya disambut para bidadari surga. Kalau 
aku, lebih suka pendekar muda ini dipanggang dalam api 
neraka. Biar merasakan, betapa nikmatnya apabila api 
telah menjilati tubuhnya,'' bantah Memedi Karang Api. Dari 
ucapannya, jelas betapa kejamnya sifat yang dimiliki kakek 
berjubah Putih lusuh itu. 
Panji sama sekali tidak mempedulikan ejekan lawan-
lawannya. Tubuhnya yang terasa sudah semakin membaik, 
membuat pemuda itu bangkit semangatnya. Maka ketika 
jarak kedua orang datuk sesat itu hanya tinggal satu 
tombak di depannya, tubuh Pendekar Naga Putih segera 
berbalik dan melesat cepat meninggalkan tempat itu. 
"Hei...!" 
Tentu saja apa yang dilakukan Panji membuat kedua 
orang datuk sesat itu menjadi terkejut. Sungguh tidak 
diduga sama sekali kalau pemuda itu masih mempunyai 
kemampuan melarikan diri. Padahal mereka melihat jelas 
betapa keadaan pemuda itu telah sangat parah tadi. 
Sehingga, mereka jadi terkesima untuk beberapa saat. 
Memedi Karang Api yang lebih dulu tersadar dari rasa 
keheranannya, cepat melesat disertai uluran tangannya 
yang memanjang hingga dua tombak jauhnya. Tangan yang 
terulur itu langsung melakukan tusukan ke punggung 
Pendekar Naga Putih.

Wuttt! 
Panji yang merasakan desir angin keras menerpa 
belakang tubuhnya, cepat-cepat berbalik dan mengibaskan 
tangan yang menggenggam Pedang Naga Langit. 
Wuttt... Trang...! 
Tangkisan kuat yang dilakukan Pendekar Naga Putih 
dengan menggunakan Pedang Naga Langit, membuat 
tangan lawan yang semula memanjang mengkerut seperti 
sediakala. 
"Edan...!" maki Memedi Karang Api yang merasakan 
lengannya linu akibat tangkisan pemuda itu. "Heran! 
Bagaimana mungkin pemuda itu bisa memulihkan 
tenaganya kembali…?" 
"Hm... Dasar kita saja yang bodoh, sehingga bisa 
dikelabuinya. Kita lupa, pemuda itu pernah bersahabat 
dengan tokoh sakti yang berjuluk Raja Obat. Tentu saja 
lukanya bisa disembuhkan tanpa mengalami kesulitan," 
sahut Datuk Panglima Sesat yang baru teringat akan berita 
yang pernah didengarnya. 
"Hhh.... Hebat sekali pemuda itu. Dalam usia yang 
masih sangat muda telah bisa mengumpulkan berbagai 
kepandaian yang sangat diperlukan bagi kaum rimba per-
silatan. Hm... Lain kali aku tidak akan sudi dikelabui begitu 
saja," geram Memedi Karang Api. 
Kedua orang datuk sesat itu sama sekali tidak berniat 
mengejar Pendekar Naga Putih. Memang, saat itu tubuh 
lawan telah jauh. Melihat gerakannya yang demikian lincah 
dan cepat, mereka pun ragu untuk dapat mengejar. 
*** 
Pendekar Naga Putih terus melarikan diri menuju mulut 
Hutan Jelaga sebelah Barat. Tubuh pemuda itu berkelebat 
cepat bagaikan bayangan hantu yang terkadang lenyap di 
balik rimbunan pepohonan. Sepertinya, hatinya sudah tidak 
sabar untuk segera dapat mengejar Kenanga dan para 
tokoh persilatan yang telah terbebas dari kepungan para

tokoh sesat. 
Karena mengejar menggunakan ilmu lari cepat yang 
hampir mencapai tingkat kesempurnaan, maka tidak 
berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih hampir tiba 
di mulut hutan. 
Pepohonan yang tumbuh tidak terlalu rapat itu 
membuat cahaya matahari bebas menerobos dan 
menerangi jalan yang dilewati Pendekar Naga Putih. 
Beberapa belas tombak sebelum mencapal mulut 
hutan, Pendekar Naga Putih mengerutkan kaning ketika 
melihat beberapa sosok tubuh tampak bergeletakan dalam 
keadaan tewas. Tentu saja pemandangan itu membuat 
hatinya berdebar tegang. 
Dengan menambah kecepatan larinya, maka sekejap 
saja tubuh pemuda itu tiba di tempat mayat-mayat yang 
bergeletakan mandi darah. 
"Ah...?!" 
Hati Pendekar Naga Putih semakin berdebar ketika 
mengenali lima sosok mayat itu. Mereka tak lain adalah 
para tokoh persilatan yang melarikan diri bersama 
Kenanga. 
"Hm.... Tampaknya mereka belum lama tewas." gumam 
Pendekar Naga Putih setelah melihat darah yang 
menempel di tubuh mayat masih basah. 
Menduga demikian, tubuh pemuda itu pun berkelebat 
cepat melewati mulut Hutan Jelaga. Dia terus berlari 
melintasi jalan berdebu. 
Sambil mengerahkan ilmu lart cepat, Pendekar Naga 
Putih memasang indera pendengarannya tajam-tajam. 
Ketika secara lapat-lapat mendengar suara pertempuran, 
pemuda itu pun kembali melesat setelaah memastikan 
asal suara itu. 
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya ketika 
beberapa belas tombak di depannya tampak dua sosok 
tubuh tengah bertempur sengit. Sekali lihat saja, dia sudah 
dapat menilai kalau sosok berjubah hitam yang bertubuh 
tinggi kurus akan dapat mengalahkan lawannya dalam

waktu yang tidak begitu lama. Ketika Panji semakin dekat 
dengan pertarungan yang hebat dan membuatnya 
terkagum-kagum, dadanya kontan berdebar tegang. 
Memang, lawan orang berjubah hitam yang wajahnya 
tersembunyi di balik kerudung itu adalah seorang kakek 
renta yang mengenakan pakaian berwarna putih. Dari 
bentuk tongkat yang sempat dilihatnya, Panji segera dapat 
menebak, siapa kakek renta itu. 
"Eyang Raja Obat…!" gumam Panji semakin bertambah 
heran. 
Belum lagi Pendekar Naga Putih dapat mengungkapkan 
teka-teki pembunuhan atas lima orang tokoh persilatan 
yang ditemukannya di dekat mulut hutan, kini tahu-tahu 
muncul Raja Obat yang telah lama dikenalnya dalam 
keadaan terancam (Untuk dapat mengetahui hubungan 
Panji dengan Raja Obat lihat episode "Bunga Abadi di 
Gunung Kembaran"). 
Panji yang melihat Raja Obat terdesak hebat oleh laki-
laki tinggi kurus itu segera melesat memasuki arena. 
"Heaaat…!" 
Begitu tiba di tengah arena pertarungan, Pendekar 
Naga Putih langsung menyambut sebuah pukulan orang 
berjubah hitam itu. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan 
Raja Obat yang saat itu keadaannya sangat terancam. 
Plarrr...! 
"Akh…!" 
Pendekar Naga Putih memekik kaget ketika benturan 
keras itu membuat tubuhnya terlontar balik sejauh hampir 
dua batang tombak! Tentu saja kenyataan itu membuatnya 
terkejut setengah mati. Meskipun tadi tidak mengerahkan 
sepenuh tenaga, namun hal yang seperti itu hampir tidak 
pernah dialaminya. 
"Gila! Pantas saja Eyang Raja Obat dapat dbuatnya 
kelabakan. Kepandaian orang ini benar-benar luar biasa! 
Entah siapa tokoh sakti ini? Mungkinkah ia ada 
hubungannya dengan pertemuan para tokoh sesat di 
Hutan Jelaga? Atau jangan-jangan..?" hati Pendekar Naga

Putih berdebar tegang ketika teringat akan ucapan Datuk 
Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Mereka berdua 
memang pernah menyebut-nyebut tentang Pemimpin 
Agung. 
Laki-laki tinggi kurus yang wajahnya tersembunyi di 
balik kerudung itu tampaknya menatap tajam ke arah 
Panji. Sepasang matanya yang hanya berbentuk cahaya 
kemerahan itu benar-benar membuat hati Pendekar Naga 
Putih berdebar tegang. 
Panji mengusap tengkuknya yang terasa meremang 
akibat tatapan mata orang berkerudung itu. Otot-otot 
tubuhnya serentak menegang, karena disadari sepenuhnya 
kalau tenaga sakti yang dimiliki orang itu sudah 
sedemikian sempurna. Buktinya, ia mampu membuat 
hatinya bergetar. 
"Panji.., orang inilah yang berjuluk Malaikat Gerbang 
Neraka. Kepandaiannya hebat sekali. Sampai-sampai aku 
hampir tewas dibuatnya. Untunglah kau segera datang. 
Kalau tidak, mungkin hanya mayatku saja yang akan kau 
temukan," bisik Raja Obat yang segera menghampiri Panji, 
begitu mengenali siapa pemuda yang telah menolongnya. 
"Eyang.... Apakah kau bertemu Kenanga ?" tanya Panji. 
Memang, pikiran Pendekar Naga Putih hanya di penuhi 
bayangan gadis jelita itu. Hatinya benar-benar merasa 
khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya. 
"Ya! Aku telah bertemu dengannya. Dia membawa 
rombongan tokoh persilatan golongan putih. Saat itu, 
mereka tengah melarikan diri karena dikejar-kejar 
beberapa tokoh sesat," sahut Raja Obat sambil 
menggerakkan kepala ke arah Malaikat Gerbang Neraka. 
"Mereka kusuruh pergi terlebih dahulu, dan aku mencoba 
menghadang laki-laki tinggi kurus itu." 
Panji dan Raja Obat menolehkan kepala ketika men-
dengar suara menggeram yang menggetarkan! Keduanya 
bersiap ketika melihat tokoh menggiriskan yang berjuluk 
Malaikat Gerbang Neraka tengah bersiap melancarkan 
serangan.

"Hm... Kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya. 
Panji. Kurasa, tidak lama lagi tokoh sesat lainnya akan 
berdatangan ke tempat ini. Mereka yang sekarang berada 
di bawah pimpinan laki-laki tinggi kurus tni hendak 
mengadakan pertemuan. Sepertinya, mereka mempunyai 
rencana besar yang belum kita ketahui." ujar Raja Obat 
sambil tetap memandang Malaikat Gerbang Neraka 
dengan sikap waspada. 
"Tapi, bukankah para tokoh sesat itu masih berada di 
dalam Hutan Jelaga, Eyang. Dan kalau tidak salah dengar, 
justru tempat itulah yang akan dijadikan ajang perternuan." 
sahut Panji 
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa heran 
apabila Raja Obat mengetahui tentang hal itu. Kakek sakti 
yang merupakan seorang perantau itu sepertinya memang 
banyak tahu tentang kejadian-kejadian dalam rimba 
persilatan. 
"Hm.... Masih banyak yang belum hadir, Cucuku. Dan 
menurut dugaanku, mereka akan melewati tempat ini. 
Maka kita harus cepat pergi." tegas Raja Obat yang 
membuat Panji semakin terperangah. 
"Gila! Apa sebenarnya tujuan Malaikat Gerbang Neraka 
mengumpulkan demikian banyak tokoh golongan sesat. 
Tidak mungkin kalau hanya sekadar ingin menguasai dunia 
persilatan! Sebab dengan kepandaiannya yang sangat 
dahsyat, ia dapat dengan mudah menaklukkan tokoh-tokoh 
rimba persilatan tanpa bantuan tokoh lain." gumam Panji 
dalam hati. Dan memang, ucapan itu tidak dikeluarkan. 
"Kita gempur dulu orang ini. Setelah itu, baru tempat ini 
kita tinggalkan. Agar kita bisa mengatur langkah selanjut-
nya," bisik Raja Obat sambil mengerahkan seluruh 
kekuatan yang dimiliki. 
Panji hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab. 
Dikerahkannya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya 
untuk menghadapi serangan Malaikat Gerbang Neraka. 
Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang 
menyelubungi sekujur tubuh Pendekar Naga Putih, mem

buat Malaikat Gerbang Neraka mengerutkan keningnya. 
Dari sinar matanya, jelas tergambar kalau ia tengah 
menilai kekuatan calon lawannya. 
"Heaah...!" 
Tlba-tiba, tubuh tinggi kurus itu meluncur bagai kilat 
disertai teriakan mengguntur. 
Wusss…! 
Sambaran angin keras yang bagaikan hendak 
merobohkan gunung meluncur mengiringi dorongan 
sepasang telapak tangan Malaikat Gerbang Neraka. 
Menilik kekuatan yang dikerahkannya, jelas kalau tokoh itu 
hendak menghabisi kedua orang lawan sekaligus! 
"Yeaaat..!" 
"Heaaat…!" 
Pendekar Naga Putih dan Raja Obat pun tidak tinggal 
diam. Tubuh kedua tokoh kelas satu itu melesat ber-
barengan sambil mendorongkan telapak tangan untuk 
menyambut serangan lawan. 
Wusss... Blarrr…! 
Terdengar dentuman keras, bagai terjadi ribuan guntur 
di angkasa. Bumi di sekitar tempat itu terguncang hebat 
bagaikan dilanda gempa! Beberapa batang pohon yang 
tumbuh dalam jarak sepuluh tombak, langsung roboh 
menimbulkan suara hiruk-pikuk yang bersahut-sahutan. 
Debu tebal membumbung tinggi, membuat suasana di 
sekitar arena menjadi gelap. 
"Aaah…!" 
Tubuh Panji dan Raja Obat terlempar deras hingga 
beberapa tombak ke belakang. Namun dengan sebuah 
gerakan indah, tubuh mereka dapat bersalto di udara 
beberapa kali. 
"Ayo kita pergi..!" ajak Raja Obat begitu kedua kakinya 
menjejak tanah. 
Tanpa menunggu jawaban Panji, tubuh kakek itu 
langsung melesat meninggalkan arena pertarungan yang 
tertutup debu. 
Pendekar Naga Putih yang mendengar seruan Raja

Obat bergegas menyusul, sebelah kakinya mendarat di 
atas tanah. Tubuh pemuda itu langsung melayang meng-
ikuti kakek renta yang melesat beberapa tombak di depan-
nya. Melihat wajah mereka yang tampak menyeringai, jelas 
kalau Panji dan Raja Obat cukup menderita akibat 
benturan yang luar biasa dahsyatnya tadi. 
"Keparat..!" maki Malaikat Gerbang Neraka, marah. 
Memang, saat kepulan debu mulai menipis, Malaikat 
Gerbang Neraka tidak menemukan kedua orang lawannya 
lagi. Dengan wajah keruh, tokoh sakti itu membanting 
kakinya di atas tanah. Ia mengomel, sebelum meninggal-
kan tempat itu. 
Siapakah sebenarnya tokoh sakti yang menggiriskan 
itu? Dan apa rencana Malaikat Gerbang Neraka 
mengumpulkan tokoh sesat dunia persilatan? Dapatkah 
dia mengajak dua orang datuk sesat lainnya untuk 
bersekutu? Untuk mengetahui jawabannya, silakan meng-
ikuti lanjutan cerita ini yang berjudul 


"Rahasia Pedang Naga Langit". 


                                 SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar