..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 20 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENGANTIN RATU PESOLEK

matjenuh khairil

 

PENGANTIN RATU PESOLEK
CINTAMEDIA
penerbit buku silat bermutu
PENGANTIN RATI) PESOLEK
oleh T. Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh ia buku ini tarsia ian tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Pengantin Ratu Pesolek
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Kakek itu duduk bersandar pada sebatang pohon.
Matanya terpejam rapat. Kedua tangannya terlipat
menyilang ke atas perut, mengempit sebatang tongkat
kayu butut berwama hitam pekat. Pakaian yang
dikenakannya berupa lembaran kain putih yang dilibat-
libatkan di sekujur tubuh. Tampaknya, kakek itu seorang
pertapa. Usianya sukar ditaksir. Karena, meski kumis dan
jenggotnya telah berwarna putih dan panjang menjuntai
ke dada, namun wajahnya masih terlihat segar. Kakek itu
memang tengah beristirahat. Belaian angin yang lembut
membuatnya terlena.
Keberadaan kakek pertapa itu, yang tertidur di
tengah hutan sunyi, telah menarik perharian seorang
pemuda tampan yang kebetulan melintas di hutan itu.
Melihat betapa kakek pertapa tertidur dengan pulasnya,
pemuda berjubah putih itu memperingan langkahnya.
Sepertinya, ia tidak ingin menggannggu ketenangan tidur
kakek pertapa.
Tapi, sewaktu hendak melintas di depan kakek
pertapa, tiba-tiba si pemuda mengerutkan kening dengan
wajah keheranan. Ada suatu gelombang aneh yang
menahan tubuhnya. Ia tidak dapat bergerak maju. Tentu
saja pemuda itu merasa heran.
Bergegas kepalanya menoleh ke arah kakek itu. Ia
merasa curiga. Kejadian itu dialaminya tepat sewaktu ia
berjalan di hadapan kakek pertapa.
"Kakek. Kalau memang sikapku yang lewat tanpa
permisi kau anggap tidak sopan, harap maafkan aku."
Pemuda tampan itu berkata dengan sopan. Setelah
memperhatikan sekeliling, ia tidak melihat orang lain
kecuali kakek itu. la merasa kakek itu bukanlah orang
sembarangan. Dan, ia tidak benar-benar sedang tidur.
Pemuda tampan berjubah putih itu kemudian

menunggu beberapa saat. Tapi, yang ditunggu
kelihatannya tidak tahu apa-apa dan tetap tertidur pulas.
Malah, suara dengkurnya terdengar semakin keras.
Merasa perkataannya tidak ditanggapi, pemuda itu hanya
bisa mengangkat bahu. la kembali mengayun langkah
hendak melanjutkan perjalanannya. Tapi, lagi-lagj ia
merasakan hal yang sama! Bahkan, gelombang tenaga yang
tak tampak itu semakin kuat Sehingga, meskipun ia
memaksa maju, tetap saja tubuhnya tertahan. Sampai
akhirnya pemuda itu menghela napas jengkel, setelah
berkali-kali mencoba tapi tetap gagal.
Sekali lagj pemuda berjubah putih itu menoleh ke
arah kakek pertapa. Wajahnya yang semula putih kini
tampak kemerahan. Butir-butir keringat menghiasi
keningnya.
"Baiklah, aku menyerah...." Akhirnya, pemuda
tampan itu berkata sambil menghela napas berat
Karena, kakek pertapa itu tetap tidak
menggubrisnya dan tetap tertidur dengan wajah tanpa
dosa.
Tanpa menoleh lagi, pemuda itu memutar tubuhnya.
Ia bermaksud mengambil Jalan lain.
"Eh...?!"
Pemuda tampan itu tak dapat menahan seruan
kagetnya. Dinding tenaga gaib itu sekarang bukan cuma
berada di depannya. Di belakangnya pun terdapat dinding
serupa. Tentu saja ia merasa dipermainkan!
Keheranannya berbuah menjadi kejengkelan.
"Seingatku tidak ada kesalahan yang kuperbuat
terhadapmu, Kakek Pertapa. Tapi, kalau kau
mempermainkan diriku seperti ini dan tetap berpura-pura
tidur bagai orang mati, aku tidak bisa terlma...," usai
berkata, pemuda tampan yang tidak lain Panji atau
Pendekar Naga Putih, segera mengerahkan 'Tenaga Sakii

Gerhana Bulan'-nya yang ter-kenal. Sekejap saja, sekujur
tubuhnya telah terbungkus lapisan kabut bersinar putih
keperakan yang menyebarkan hawa dingin menusuk.
"Oaahemmm...."
Tapi, sebelum Panji mendorongkan kedua telapak
tangannya untuk menggempur dinding gaib, tiba-tiba
kakek pertapa itu menguap panjang seraya menggeliatkan
tubuhnya.
"Wah.... Pantas saja tiba-tiba udara di tempat inl
berubah dingin. Kiranya kau penyebabnya, Orang Muda.
Hahh.... Keterlaluan sekali. Apa kau sengaja hendak
mengganggu tidurku?" Kakek pertapa itu bersungut-
sungut seraya bergerak bangkit.
Panji bergegas menarik kembali tenaga saktinya.
Diputarnya tubuhnya menghadap kakek itu. Panji tak
dapat menyembunyikan kekagumann ketika melihat sosok
pertapa itu. Mereka berdiri berhadap-hadapan dalam
jarak setengah tombak. Kakek itu bertubuh tinggi besar.
Panji sendiri cuma setinggi bahunya. Menurut
penglihatan Panji, kakek itu sekitar enam puluh tahun.
"Maaf, Kakek Pertapa." Sekali lagi Panji meminta
maaf seraya membungkukkan tubuhnya "Sebenamya aku
tidak bermaksud mengganggu tidurmu, Kek. Tapi,
dinding-dinding gaib yang sengaja kau ciptakan untuk
menghalangi jalanku membuat aku tidak mempunyai
pilihan lain."
Kakek pertapa itu tidak berkata apa-apa. Ditelitinya
sekujur tubuh Panji. Panji terpaksa diam saja
Ditunggunya kakek itu selesai menilai dirinya.
"Cocok!" Tiba-tiba kakek itu berkata seraya
mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang kau bersiaplah
untuk mati, Orang Muda...!"
Whuttt..!
Begitu ucapannya selesai, kakek itu membabatkan

tongkatnya memenggal leher Panji. Beruntung, sejak
semula Panji sudah menaruh curiga. Sambaran tongkat
itu dapat dihindarinya dengan melempar tubuh ke
belakang.
"Bagus...!" Kakek pertapa itu memuji kesigapan Panji.
Ia tidak melanjutkan serangannya. Setelah melemparkan
tongkatnya, kakek itu melangkah menghampiri sebatang
pohon yang cukup besar. dipeluknya batang pohon itu.
Lalu, dengan sebuah hentakan keras, disentakkannya
pohon itu. Brolll...!
Hebat bukan main kekuatan yang dimiliki kakek itu.
Sekali sentak saja batang pohon besar itu tercabut
hingga ke akar-akarnya! Panji sampai terbengong-bengong
menyaksikan kedahsyatan tenaga dalam itu. Terlebih
ketika kakek itu memondong batang pohon dan
melangkah menghampirinya.
"Lakukan seperti apa yang kuperbuat, Orang Muda.
Terserah bagaimana cara kau melakukannya..," ujar kakek
itu. Batang pohon dipondongnya dengan kedua tangan.
"Apa... apa maksudmu, Kakek Pertapa...?" tanya
Panji tidak mengerti.
"Tidak perlu banyak tanya! Lakukan saja apa yang
kukatakan tadl Kecuali, kalau kau memang ingln menjadi
mayat di pulau yang masih asing bagimu ini!" Kakek
pertapa itu membentak dengan sorot mata tajam
menusuk.
Sadar kalau kakek itu bersungguh-sungguh, Panji
segera melakukan keinginannya. Untuk mencabut pohoh
beserta akar-akarnya seperti yang dilakukan kakek
pertapa itu, jelas tidak mungkin. Selain ia tidak memiliki
dasar tenaga luar yang besar, sepasang lengannya pun tak
cukup panjang untuk memeluk batang pohon sebesar itu.
Tapi, Panji tidak kehilangan akal. Dengan tenaga
gabungannya, digedornya pohon besar itu hingga patah

dan ro-boh.
"Bagus!" Kakek pertapa itu kembali memuji. "Kau
cukup cerdik, meski tidak memiliki kekuatan seperti yang
kumiliki. Nah, sekarang marilah kita bertarung dengan
menggunakan batang pohon ini. Anggap saja sebagai
tongkat...."
"Kau ini benar-benar aneh, Kakek Pertapa," ujar
Panji heran bukan main. Tapi, Panji tidak mempunyai
pilihan lain. Ia juga merasa penasaran dan ingin tahu apa
sebenarnya yang diinginkan kakek pertapa itu.
"Jaga seranganku, Orang Muda! Hyaaatt..!"
Whuukkk...!
Hampir bersamaan dengan seruannya, kakek itu
mengayunkan batang pohonnya ke arah Panji
Menghindari serangan itu jelas tidak mungkin, Panji tak
mungkin melompat sambil memondong batang pohon.
Sedangkan untuk bergerak mundur, akan sangat
berbahaya. Dengan membawa-bawa batang pohon,
gerakannya pasti lebih lambat. Sementara, serangan itu
sudah semakin dekat ke arahnya. Satu-satunya jalan,
Panji harus melakukan hal yang sama seperti kakek
pertapa itu. Batang pohon di tangannya segera diayunkan
untuk menghalau serangan maut itu.
Derrr...!
Untuk menangkis serangan kakek pertapa, Panji pun
terpaksa harus mengayunkan batang pohon yang berada
di tangannya.
Derrr...!
Benturan keras yang tak terhindarkan lagi membuat
tubuh Panji dan kakek pertapa terhuyung mundur!
Benturan keras yang tak terhindarkan lag membuat
tubuh Panji terhuyung mundur hampir satu tombak.
Kakek pertapa itu pun mengalami hal serupa. Hanya
jaraknya lebih pendek. Kenyataan itu jelas menunjukkan

tenaga kakek itu masih satu tingkat di atas Panji.
Pertarungan unik itu kembali berlanjut. Serangan-
serangan kakek pertapa demikian gencar dan ganas. Panji
yang semula bertahan kini mulai melancarkan serangan
balasan. Meskipun agak sulit karena harus menggunakan
batang pohon sebaga senjata, namun karena kakek
pertapa itu seperti menghendaki kematiannya, Panji
berusaha membiasakan din.
Cukup lama pertarungan unik itu berlangsung
Sejauh itu belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan
keluar sebagai pemenang. Sedangkan tubuh keduanya
sudah bermandi peluh. Terlebih Pargi, yang selama
hidupnya baru pertama kali mengalami pertempuran unik
seperti ini. Tidak aneh kalau Panji terlihat kepayahan.
Deru napasnya mendengus-dengus bagai kuda pacu. la
harus mengerahkan tenaga gabungannya terus-menerus.
Tentu saja dengan begitu ia menjadi cepat lelah. Tapi,
untuk mengalah terhadap kakek pertapa itu Panji tidak
sudi. Menyerah kalah sama saja dengan menyerahkan
nyawanya. Panji tidak ingin mati percuma tanpa sebab-
sebab yang jelas. Terlebih di pulau yang asing dan baru
pertama kali didatanginya ini.
Hampir seratus jurus sudah pertempuran itu
berlangsung. Pagi telah berganti siang. Sementara, baik
Panji maupun kakek pertapa itu sudah semakin lelah.
Tubuh dan pakaian mereka basah kuyup oleh peluh,
seperti habis tercebur di sungai. Kuda-kuda mereka
semakin goyah, hampir tak kuat memondong batang
pohon.
"Hh... hh... hh...! Kau benar-benar tidak
mengecewakan, Orang Muda...."
Setelah lewat seratus jurus, kakek pertapa itu tiba-
tiba melempar batang pohon di tangannya, kemudian
melompat jauh ke belakang. Ia jatuh terduduk dengan

napas terengah-engah.
Panji tidak saja terkejut. Batang pohon yang
dilemparkan kakek pertapa itu melayang deras ke
arahnya. Panji tahu kakek itu mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Panji pun sadar ia tidak akan kuat
menahannya. Maka, sambil membentak keras,
dilemparkannya batang pohon di tangannya. Lalu,
melempar tubuh bergulingan ke samping.
Di udara, dua batang pohon itu saling bertumbukan
keras. Kemudian, jatuh berdebum menggetarkan tanah
sekitar tempat itu. Sementara, Panji dan kakek itu
terduduk di tanah dengan napas tersengal-sengal.
Keduanya saling berpandangan.
Setelah agak lama, kakek pertapa itu mengulapkan
tangannya kepada Panp. Panji tidak segera menuruti
permintaan kakek itu untuk maju mendekatinya. Tapi,
setelah kakek itu memintanya beberapa kali, akhirnya
Panji merangkak menghampiri dengan hati curiga.
"Siapa kau sebenamya, Kakek Pertapa? Mengapa kau
hendak mencelakaiku?" tanya Panji setelah mereka duduk
berdekatan.
"Orang Muda." Kakek pertapa itu berkata dengan
wajah semakin pucat dan napas satu-satu. "Aku tahu
kedatanganmu ke Pulau Bali ini dengan tujuan untuk
menghentikan keganasan Ratu Pesolek. Untuk itu, dari
daerah Tirtaempul ini, kau berjalanlah ke arah timur laut
Kelak kau akan tiba di Gunung Abang. Di lereng gunung
itulah Ratu Pesolek dapat kau temui...."
Panji tertegun mendengar ucapan kakek pertapa itu
Dugaannya memang tepat. "Siapa kau sebenarnya, Kek?"
Pertanyaan Panji tidak mendapat jawaban. Kakek
pertapa itu tidak membuka matanya lagi, yang dipejamkan
setelah memberikan keterangan pada Panji. Setelah
mengulangi pertanyaan dan tidak juga mendapat jawaban,

Panji menjadi heran. Dan keheranannya berubah menjadi
kekagetan. Kakek pertapa itu ternyata telah
menghembuskan napasnya yang terakhir dengan masih
duduk bersila!
"Siapa pun kau adanya, aku percaya kau tidak
bermaksud buruk terhadapku, Kek," desah Panji usai
menguburkan mayat kakek pertapa itu.
"Aku mengucapkan terima kasih atas petunjukmu...,"
Panji kemudian bergerak bangkit, dan melesat ke arah
timur laut sesuai petunjuk kakek pertapa yang misterius
itu.
***
Bayangan samar sebuah puncak gunung yang
membentang jauh di depan membuat Pendekar Naga
Putih semakin mempercepat langkahnya.
"Itu pasti puncak Gunung Abang, desis Panji dengan
desahan napas lega. "Kakek misterius itu memang tidak
berdusta...," lanjutnya sambil terus bergerak mendekati
bayangan pucak gunung.
'Tahan langkahmu, Orang Muda!"
Sebuah seruan halus yang disertai berkelebatnya
sesosok bayangan hitam memaksa langkah Panji terhenti.
Sementara sosok bayangan itu sudah mendaratkan
kakinya satu tombak lebih dari hadapan Panji. Gerakan
sosok itu membuat Panji ternganga kagum. Itu adalah
ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Panji segera tahu
kepandaian ilmu meringankan tubuh sosok bayangan
hitam itu. Paling tidak satu tingkat berada di atasnya.
Tentu saja kenyataan itu mengejutkan Panji.
"Hm.... Lagi-lagi seorang kakek-kakek...," Panji
bergumam dengan kening berkerut ketika wajah sosok
bayangan hitam itu terlihat jelas. "Heran, bagaimana
mungkin Ratu Pesolek dapat merajalela di pulau ini?
Padahal, melihat gerakan yang diperlihatkan kakek itu,

aku sendiri ragu akan dapat mengunggulinya? Tapi,
mengapa mereka membiarkan Ratu Pesolek berbuat
seenaknya? Atau... jangan-jangan kakek ini dan kakek
yang kemarin merupakan kaki tangan Ratu Pesolek yang
sengaja dikirim untuk membunuhku? Jika benar begitu,
artinya kedatanganku di pulau ini telah tercium oleh
Ratu Pesolek...?!"
"Tentunya kau bukan penduduk asli pulau ini,
bukan? Jelaskan, siapa namamu dan dari mana kau
berasal, Orang Muda?" Kakek kurus yang mengenakan
pakaian pertapa itu segera bertanya setelah
memperharikan sekujur tubuh Panji. Sikap dan nada
suaranya tidak ramah. Bahkan menunjukkan kesan slnis
dan meremehkan.
Panji tidak menjadi gusar. Sebagai orang asing di
pulau itu, ia harus menunjukkan sikap yang ramah.
Maka,sambil tersenyum, Panji merangkapkan kedua
tangan dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Orang Tua...."
Bwettt!
Meski dalam posisi agak membungkuk, Panji tidak
kehilangan kewaspadaannya. Suara sambaran angjn yang
menderu ke arah batok kepalanya cepat dihindari dengan
lompatan panjang ke belakang.
"Orang Tua, mengapa kau menyerangku tanpa
sebab?!" Panji menegur dengan wajah gusar.
"Dunia persilatan penuh dengan tipu muslihat,
Orang Muda. Siapa lengah, ia akan celaka...."
'Tapi..., apa salahku...?!"
"Kedatanganmu ke pulau ini untuk mencari Ratu
Pesolek, bukan?" Bukannya menjawab, kakek kurus itu
malah bertanya.
Meskl kaget dan heran, Panji mengangguk juga
"Jika demikian, langkahi dulu mayatku...," Ianjut

kakek kurus itu tanpa mempedulikan keheranan I'anji.
"Tapi...."
'Tidak ada tapi-tapian! Ayo, ikut aku!" tukas kakek
kurus itu. Ia memberikan isyarat agar Panji mengikuti.
Semula Panji tidak mau. Tapi, melihat sikap dan
kesungguhan kakek itu, akhirnya Panji terpaksa
mengikuti. Ia juga ingin mengetahui apakah antara kakek
pertapa kurus ini dengan kakek pertapa bertubuh tinggi
besar mempunyai hubungan. Mungkinkah keduanya
utusan Ratu Pesolek yang ditugaskan untuk
membunuhnya? Alasan-alasan itu memaksa Panji
mengikuti kakek ini.
Keheranan Panji semakin menjadi-jadi. Kakek
pertapa kurus ini membawanya ke sebuah tanah lapang
yang dipenuhi tonggak-tonggak kayu runcing. Tonggak-
tonggak kayu itu disusun sedemikian rupa dengan ukuran
panjang yang berbeda-beda.
"Tonggak-tonggak itu seperti sebuah arena maut..,"
ujar Panji setelah memperharikan beberapa saat lamanya.
Kakek pertapa kurus itu menoleh sekilas ke arah
Panji. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melenting ke
udara. Setelah berputar beberapa kali dengan gerakan
yang mengagumkan, tubuhnya meluncur ringan dan
mendarat di atas dua batang tonggak yang paling tinggl
"Hebat...!" Pertunjukan itu membuat Panji berdesis
kagum. Meski ia mampu melakukannya, tapi gerakan yang
diperlihatkan kakek kurus itu memang benar-benar luar
biasa.
"Kau boleh pilih, Orang Muda," Kakek kurus itu
berkata seraya berdiri di atas tonggak dengan kedua
tangan terlipat di depan dada. "Menerima tantanganku.
Atau, segera angkat kaki dari Pulau Bali ini..."
Panji menghela napas sesaat Ditatapnya wajah kakek
itu lekat-lekat. "Jelaskan alasanmu, Orang Tua?"

"Cerewet! Sudah kukatakan kalau kau hanya bisa
menjumpai Ratu Pesolek setelah melangkahi mayatku!
Apa alasan itu belum cukup?!" Kakek pertapa kurus itu
menghardik tak sabar.
"Hm. Baiklah...," Panji mengalah. Pemuda itu segera
melayang naik dan hinggap pada dua batang tonggak yang
sedikit lebih pendek dari tonggak yang dipijak kakek
pertapa.
***
DUA

"Hyaaat...!"
Bwet! Bwettt!
Baru saja Panji menempatkan kedua kakinya di
batang tonggak berujung runcing itu, kakek pertapa itu
sudah melontarkan dua buah serangan berbahaya!
"Licik...!" Panji mengumpat geram. Pemuda itu
segera melompat ke samping. Kedua serangan Itu berhasil
dielakkannya. Tapi, karena kedudukannya belum mantap,
lompatannya pun tidak begitu terarah. Pijakan kaki
kanannya pada salah satu mata tonggak meleset!
Brettt!
"Akh...!"
Panji menjerit kesakitan. Kaki kanannya tergelincir
dan termakan mata tonggak. Celana bagian bawah
berikut kulitnya terkoyak ujung tonggak. Luka seperti
torehan mata pisau itu cukup dalam. Darah mehgalir
deras.
Sambil menggigit bibir menahan nyeri, Panji bergegas
menotok kakinya untuk menghentikan darah yang keluar.
Kemudian, ia melenting ke belakang. Berputar dua kali di
udara sebelum mendarat di ujung-ujung tonggak yang
lain.
"Hmh...!"
Panji mendengus geram. Kedua tangannya
disilangkan di depan dada. Sepasang matanya nyorot
tajam menatap wajah lawannya yang melontarkan
serangan berikutnya.
Dibarengi bentakan keras, kakek pertapa kembali
menerjang maju. Langkah-langkahnya tampak gesit dan
ringan. Tidak terlihat ia mengalami kesulitan meski yang
dipijaknya ujung-ujung tonggak yang runcing.
"Hm.... Nampaknya ia telah terbiasa bergerak di

ujung-ujung tonggak ini. Pantas ilmu meringankan
tubuhnya sangat tinggi. Rupanya, bertarung di atas
tonggak-tonggak runcing ini merupakan keahliannya. Aku
harus hatl-hati menghadapinya. Sedikit saja lengah, ujung-
ujung tonggak ini akan memangang tubuhku..," gumam
Panji. Pemuda tampan itu segera mempersiapkan 'Ilmu
Silat Naga Saktl'-nya untuk menghadapi serangan kakek
pertapa kurus.
Bed! Bed!
Dua pukulan pertapa itu menderu mengancam
kepala dan dada. Bergegas Panji memiringkan tubuh
seraya mendorongkan kedu lengannya untuk mematahkan
serangan itu. Tap gerakan itu rupanya hanya tipuan
belaka. Sebelum tiba, kedua serangan itu sudah ditarik
pulang. Dan sebagai gantinya, kakek pertapa kurus
menggeser langkah dan melepaskan tendangan lurus yang
mengarah ulu hati. Dukkk!
Lengan dan kaki saling berbenturan keras. Panji
merasakan tubuhnya bergetar. Benturan itu membuat
beban tubuhnya bertambah. Ujung-ujung tonggak
tempatnya berpijak menembus alas kaki dan melukal
telapak kakinya. Bergegas Panji menggeser langkah dan
memindahkan kedua kakinya mencari pijakan lain.
Sementara, kakek pertapa kurus itu menggunakan
tenaga benturan untuk melempar tubuhnya ke udara.
Cara kakek itu bertarung jelas menunjukkan kecerdikan
dan pengalamannya. Ia lebih mengandalkan keringanan
tubuh daripada kekuatan. Berbeda dengan Panji yang
memang baru pertama kali Ini merasakan bertarung di
atas tonggak-tonggak bermata runcing.
"Heh heh heh...! Kalau kau bertarung dengan
mengandalkan ilmu silat dan tenaga dalam saja, Jangan
harap akan dapat selamat dari arena maut ini, Orang
Muda...." Kakek pertapa kurus itu mengejek Panji.

Pemuda itu cuma mendengus. Kemudian,
mempersiapkan jurus-jurus serangannya. Tidak
dipedulikannya rasa nyeri dan lelehan darah yang keluar
dari luka di kedua telapak kakinya. Ketika kakek pertapa
kurus kembali melancarkan serangan, Panji segera
menyambut dengan jurus-jurus andalannya.
Pertarungan berlangsung cepat dan seru. Jurus
demi jurus berlalu. Tubuh keduanya bergerak dengan
keeepatan yang sulit ditangkap mata. Hanya tampak
bayangan-bayangan hitam dan putih yang saling desak dan
gempur dengan hebatnya.
Bagi Panji, pertarungan ini terasa berat, meski
kepandaiannya tidak kalah dengan kakek pertapa kurus
itu. Bertarung di atas tonggak-tonggak kayu berujung
runcing seperti ini memang bukanlah hal yang mudah bagi
Panji. Ia tidak terbiasa. Untuk melakukan pertarungan, ia
harus membagi perhatian. Di satu pihak ia menghadapi
gempuran-gempuran lawan, sementara di pihak lain ia
harus mengatur kakinya sewaktu melangkah. Sebab, salah
melangkah bisa berakibat kemanan baginya.
Keadaan itu membuat Panji tidak selincah dan
segarang di tanah. Ia lebih banyak menghindar daripada
menyerang. Bertarung di tempat seperti ini diperlukan
pembagian tenaga. Untuk menyerang dan untuk
meringankan bobot tubuh. Itu semua memerlukan
pemusatan pikiran yang tinggi. Kesulitan-kesulitan itu
membuat Panji kian lama kian terdesak. Beberapa kali
pijakannya meleset, hingga celananya sudah tidak karuan.
Terkoyak-koyak dan dipenuhi noda darah dari luka-luka
di kakinya.
Bukkk!
Pada jurus keenam puluh, kembali salah satu
kepalan kakek pertapa singgah di dada Panji. Tanpa
ampun lagi, tubuh pemuda itu melambung terpental ke

belakang. Sementara, ujung-ujung tonggak sudah
menunggu. Siap memanggang tubuh Pendekar Naga
Putih.
"Haiiitt...!"
Pada saat tubuhnya meluncur ke bawah, Panji
membentak nyaring. Tubuhnya berputar. Kini ia meluncur
dengan kepala di bawah. Kedua tangannya segera
mencengkeram dua batang tonggak, tepat di bawah
ujungnya yang runcing. Untuk sesaat, Panji berdiri
dengan kedua kaki di atas.
Beeddd!
Merasakan ada angin keras menerpa punggungnya,
bergegas Panji menekuk kedua kakinya ke belakang
dengan kedudukan menyilang.
Dukkk!
Gerakan kedua kaki menyilang yang dilakukan Panji
memang sangat tepat Ia berhasil menggagalkan tendangan
lawan yang mengancam punggungnya. Bahkan, dengan
menggunakan tenaga benturan itu, Panji melenting
berputar. Dari udara ia mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan.
Bresssh...!
"Aaakh.,.!"
Tubuh kurus kakek pertapa itu tersentak deras.
Pukulan udara kosong Panji telah menghantamnya. Tapi,
meskipun sempat memuntahkan darah, dengan gerakan
berputar yang mengagumkan, kakek pertapa itu dapat
menyelamatkan tubuhnya dari rajaman ujung-ujung
tonggak. Tubuhnya mendarat ringan berpijak pada dua
batang tonggak setinggi setengah tombak.
Pukulan udara kosong yang dilancarkan Panji
memang tidak membahayakan nyawa lawan. Pukulan itu
dilepaskan menggunakan kurang dari separo tenaganya.
Itu dilakukan Panji karena ia telah menemukan jawaban

atas ejekan yang tadi dilontar-kan lawan. Ejekan pertapa
kurus itu membuat Panji sadar bahwa bertarung di atas
tonggak-tonggak lebih menitikberatkan pada keringanan
tubuh.
Jawaban itu baru didapatkan Panji ketika ia
memutar tubuh dan menahan jatuh tubuhnya dengan
mencengkeram bagian bawah mata tonggak. Panji sadar
sesungguhnya kakek itu telah memberikan petunjuk
kepadanya, tentang bagaimana seharusnya bertarung di
atas tonggak. Tapi, Panji tidak bisa berpikir lebih jauh
mengapa ia seperti memberitahukan rahasia itu
kepadanya. Sebelum ia sempat bertanya, kakek pertapa
kurus itu sudah menerjangnya kembali.
Tapi, pada pertempuran kali ini Panji tidak lagi
kerepotan. Dua puluh jurus setelah pertarungan
berlanjut, Panji mulai dapat mendesak lawan. Itu karena
dasar atau inti 'Ilmu Silat Naga Sakti' memang
menitikberatkan pada kekuatan dan keringanan tubuh.
Dalam memainkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' haruslah
memusatkan pikiran pada keringanan tubuh. Sementara,
tenaga dipusatkan pada kedua lengan. Sehingga, setiap
serangan yang dilontarkan, mengandung kekuatan
dahsyat yang tersembunyi. Itulah yang dilakukan Panji kali
ini.
Meskipun serangan-serangannya selalu menemui
kegagalan, namun kakek pertapa itu tidak menjadi putus
asa. Ia terus berusaha bertahan seraya sesekali membalas.
Tapi, usahanya untuk melepaskan diri dari kepungan
gempuran-gempuran lawan tidak berhasil dengan baik.
Dalam hal kekuatan, kakek pertapa itu masih berada satu
tingkat di bawah Panji. Sehingga, setiap kali lengan
mereka berbenturan, tubuh kakek pertapa itu selalu
terpental mundur. Akibatnya, kakek pertapa itu pun
semakin terdesak hebat!

"Hyaaatt..!"
Lewat lima puluh Jurus kemudian, saat kakek
pertapa itu sudah tidak sanggup lagi untuk membalas,
tiba-tiba Panji mengeluarkan bentakan mengejutkan.
Tubuhnya melesat cepat
Whuttt, whuttt!
Sambaran angin menderu keras mengiringi dua buah
tamparan Panji. Kakek pertapa itu tampak sedikit gugup.
Tamparan yang mengarah kepala dan dada itu berusaha
dielakkan sebisa-bisanya. Kepala dan tubuhnya diliukkan
ke kiri-kanan. Kedua tamparan" Itu memang berhasil
dihindarinya. Tapi, bukan berarti bahaya telah lewat.
Saat itu juga Panji sudah menyusuli serangannya dengan
sebuah hantaman telapak tangan kanan.
Bresssh...! "Hukh...!"
Dorongan telapak tangan Panji memang terlihat
hanya mengandung kecepatan saja. Tapi, begitu singgah
pada sasarannya, Panji segera menambahkan kekuatan
pukulannya. Tubuh kurus lawannya pun terjungkal
muntah darah!
Melihat lawannya melayang tanpa daya, sementara
ujung-ujung tonggak yang runcing di bawahnya siap
menanti tubuh kurus itu, bergegas Pendekar Naga Putih
melesat dan menyambar tubuh kakek pertapa itu.
Kemudian meluncur turun di atas tanah setelah
berputaran di udara lima kali. Direbahkannya tubuh
lemah itu di atas tanah berumput tebal
"Maafkan aku, Kek...," desah Panji iba melihat wajah
tua yang pucat itu.
Kakek pertapa itu terlihat berusaha tersenyum.
Kepalanya menggeleng. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Kau... tidak... pedu menyesal, Orang Muda," ujar
kakek itu terputus-putus karena harus menarik napas
berulang-ulang untuk menyelesaikan bicaranya.

"Lanjutkan... perjalananmu.... Nanti... kau akan... me...
ne... mui ssse... buah... da... nau...," suara kakek itu kian
melemah. Perlahan kemudian matanya terpejam rapat
"Kek...!" Panji mengguncang-guncangkan tubuh
kurus pertapa itu. Tapi, nyawa kakek itu telah pergj
meninggalkan raga. Panji hanya bisa menghela napas
***
Selesai menguburkan mayat kakek pertapa itu, Panji
tidak langsung melanjutkan perjalanan. Dipandanginya
sosok samar puncak gunung di depannya lama-lama.
Sementara keningnya berkerut memikirkan dua kakek
pertapa misterius yang telah tewas di tangannya.
"Kejadian ini pasti bukan suatu kebetulan...," gumam
PanjL "Pertama, kakek pertapa bertubuh tinggi besar
yang memiliki tenaga luar biasa. Lalu, kakek pertapa
bertubuh kurus yang memiliki keahlian dalam hal ilmu
meringankan tubuh. Keduanya seperti sengaja menunggu
kedatanganku. Mereka memaksaku untuk bertarung.
Tampaknya keduanya memang menginginkan kematianku.
Tapi anehnya, mereka malah seperti hendak mengujiku.
Pertama kekuatan, lalu yang kedua kecepatan!" sampai di
sini Panji terdiam. Dadanya tiba-tiba te-rasa berdebar
tegang.
"Mungkinkah meraka sengaja mengujiku? Jika benar
demikian, mengapa sampai harus mengorbankan" nyawa?"
Pertanyaan itu membuat Panji termenung.
Pikiranhya kembali menerawang pada kejadian pertama
sewaktu ia dihadang di sebuah hutan di daerah
Tirtaempul. Kakek pertapa bertubuh tinggi besar itu
tewas. Padahal, kakek itu tidak teruka sedikit pun! Panji
memang belum sempat menyarangkan satu pukulan pun!
"Hiu... Eenar-benar aneh dan tidak masuk di akaL..!"
Panji berdesis dengan hati penasaran la tetap tidak dapat
menemukan jawaban. Kedua kakek pertapa itu masih

tetap merupakan misteri yang belum terpecahkan. Tapi
meskipun begitu, Panji merasa yakin mereka bukanlah
utusan Ratu Pesolek.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkan, Panji tiba di sebuah danau yang terletak di
kaki gunung. Seraya melangkah perlahan, ditelitinya
sekitar danau itu. Seluruh tepian danau telah
dikelilingjnya, tapi Panji tidak menemukan satu bangunan
pun. Panji tidak habis pikir.
"Hm.... Mungkinkah kakek pertapa kurus Itu
membohongiku...?" gumam Panji. Ia tidak mengerti
mengapa seorang pertapa seperti kakek kurus itu sampai
bisa berbohong. Tapi setelah dipikir-pikir, Panji tidak
dapat menyalahkan pertapa itu. Kakek itu cuma
mengatakan ia akan menemui sebuah danau, bukan
tempat tinggal Ratu Pesolek!
"Kakek pertapa itu tidak bohong. Aku saja yang
bodoh, kurang memperhatikan perkataannya...," Panji
mendesah. Dihelanya napas kuat-kuat
"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Orang Muda?"
Sebuah teguran halus membuat Panji tersentak dari
lamunan. Dengan sigap Panji memutar tubuh penuh
kewaspadaan.
"Ditanya baik-balk kok begitu kagetnya," ujar
seorang kakek bertubuh sedang, yang lagi-lagi
mengenakan pakaian seperti seorang pertapa. Kakek itu
tersenyum tipis seolah menertawakan kekagetan Panjt
Tapi, meskipun sikap kakek itu berbeda dengan
kedua pertapa sebelumnya, Panji tetap menatap dengan
penuh curiga.
"Hm.... Lagi-lagi seorang kakek pertapa...," Gumam
Panji. Diperhatikannya sosok kakek itu. Kemudian, Panji
menggeser tubuhnya empat langkah. Sementara
pandangannya tetap tertuju kepada kakek itu

Sama seperti yang dilakukan Panji, pertapa itu pun
menatap sosok Panji dengan teliti. Sebentar kemudian,
kepalanya mengangguk-angguk. "Pasti Inilah orangnya...,"
gumamnya pelan.
"Apa maksudmu, Orang Tua...?" Panji yang
mendengar gumaman kakek itu langsung saja bertanya
penasaran. Ditentangnya pandang mata kakek itu dengan
sorot curiga.
"Dengan sampainya kau ke tempat ini, berartl kau
telah bertemu dengan kedua saudaraku, bukan? Dan, kau
berhasil mengalahkan mereka." Kakek pertapa itu berkata
lembut seraya mengelus Jenggotnya yang panjang
menjuntai hingga ke da da.
"Tepat seperti yang kuduga!" Panji menukas dalam
hati. Ditatapnya wajah kakek pertapa di depannya lekat-
lekat. "Jawablah pertanyaanku, Orang Tua. Siapa
sebenamya kau dan dua orang saudaramu itu? Apa
maksud kalian terhadapku? Kalau memang hendak
sekadar menguji kepandaian, mengapa sampai
mempertaruhkan nyawa? Jawablah, Orang Tua. Jangan
buat kepalaku pusing memikirkannya!"
"Kau pasti bukan penduduk asli pulau ini.
Kedatanganmu pasti ada hubungannya dengan kejahatan
yang dilakukan Ratu Pesolek. Aku tahu itu. Dan, itu
pasti!"
Panji membanting kakinya ke tanah dengan kesal.
Lagi-lagi ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Seperti dua pertapa lainnya, pertapa ini pun tidak
menjawab pertanyaannya.
"Ketahuilah, Orang Muda." Kakek pertapa itu
kembali berkata. "Saudaraku memang sengaja
menunjukkan jalan yang salah kepadamu. Baik Kakek
Tenaga Gajah maupun Kakek Tanpa Bayangan. Keduanya
adalah saudara-saudaraku. Aku sendiri dijuluki Kakek

Tanpa Tanding. Kami berttga dikenal sebagai Tiga Kakek
Gunung Batur, tempat kau sekarang berada. Inilah
Danau dan Gunung Batur. Itu sebabnya mengapa kau
tidak menemukan tempat tinggal Ratu Pesolek. Tokoh
wanita sesat itu memang tidak bermarkas di sekitar
tempat ini."
"Mengapa... mengapa kalian berbuat demikian? Apa
maksud kalian sebenamya?" Panji semakin tidak mengerti.
"Tentu saja untuk mencegahmu bertemu dengan
Ratu Pesolek. Daripada kau tertangkap dan dijadikan
korban oleh Ratu Pesolek, lebih baik kami membunuhmu.
Sayang, kedua saudaraku gagal melenyapkanmu. Tapi, aku
tidak akan membiarkanmu bertemu dengan wanita sesat
yang keji dan bladab Itu. Kecuali kalau kau bisa
mengalahkanku!" Kakek pertapa yang mengaku berjuluk
Kakek Tanpa Tanding itu berkata kandas. Sikapnya
berubah sungguh-sungguh.
"Tidak!" Panji menggelengkan kepalanya. "Aku tidak
akan melayani kesintinganmu, Orang Tua! Aku lebih baik
mati di tangan Ratu Pesolek daripada melayani
kegilaanmu. Aku tidak ingin membunuh tanpa alasan yang
kuat Dan, aku tidak ingin kejadian yang dialami dua orang
saudaramu terulang lagi!" Panji kemudian bergegas
memutar tubuhnya hendak meninggalkan Kakek Tanpa
Tanding.
"Bukan kau yang membunuh mereka, Orang Muda.
Mereka mati karena memang sudah waktunya!"
Ucapan Kakek Tanpa Tanding membuat Panji
menahan langkah. Tubuhnya berbalik menghadar kakek
itu "Apa maksudmu, Orang Tua?" Panji menuntut
penjelasan. Ia belum mengerti ke mana arah perkataan
Kakek Tanpa Tanding.
"Maksudnya..., kau tidak punya pilihan lain selain
menghadapiku!"

Belum lagi gema suaranya lenyap, Kakek Tanpa
Tanding sudah melesat dan melancarkan serangkaian
pukulan maut ke arah Panji.
"Gila...!" Panji berteriak mengumpat. Ia melompat
mundur menjauhi Kakek Tanpa Tanding! Diputarnya
tubuhnya dan berlari meninggalkan Gunung Batur.
"Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa meninggalkan
tempat ini...!" Kakek Tanpa Tanding melesat mengejar
seraya melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Merasakan ada deruan angin keras di belakangnya,
Panji bergegas berlompatan menyelamatkan diri.
Kesempatan itu dipergunakan Kakek Tanpa Tanding
untuk melesat ke udara. Kemudian, meluncur turun di
hadapan Panji.
"Sudah kubilang bahwa untuk meninggalkan tempat
in! kau harus melangkahi mayatku dulu...," ujar Kakek
Tanpa Tanding. Tampak ia segera mempersiapkan
serangan berikutnya.
Merasa tidak mempunyai pilihan lain, Panji bergegas
melompat mundur. Panji pun langsung menyiapkan 'Ilmu
Silat Naga Sakti'-nya menghadapi pertapa itu.
***

TIGA

"Hiyaaa...!"
Kakek Tanpa Tanding membuka serangan dengan
tiga buah pukulan berturut-turut. Satu mengarah leher,
sedang lainnya mengancam dada kiri dan lambung.
Kecepatan gerak dan deruan angin keras yang
menyertai serangan beruntun itu mengejutkan Panji. Ia
segera tahu kalau kepandaian Kakek Tanpa Tanding
berada di atas Kakek Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa
Bayangan! Tapi, karena ia tidak ingin menjadi mayat,
dihadapinya serangkaian serangan hebat itu.
Pukulan pertama dielakkan Panji dengan
memiringkan kepalanya. Sementara dua lainnya
dipatahkan dengan menyusupkan kedua lengannya yang
dirangkapkan di antara serangan itu. Kemudian, dengan
dibarengi bentakan nyaring, Panji membuka kedua
lengannya. Kuda-kuda direndahkan dengan kedudukan
agak doyong ke belakang
Plakk! Plakkk!
Tidak percuma pertapa itu mendapat julukan Kakek
Tanpa Tanding. Tangkisan Panji malah digunakan untuk
melanjutkan serangannya! Kakek Tanpa Tanding
membiarkan kedua lengannya terpental. Lalu, diputar
cepat dan langsung mengancam ke arah kedua sisi kepala
Panji. Sebuah serangan maut yang mematikan! Karena,
pada dua sisi kepala manusia merupakan Jalan darah
kematian!
Untuk mematahkan serangan maut itu Panji
menjatuhkan tubuhnya. Dan, dilanjutkan dengan
mengirimkan tendangan lurus yang menderu ke arah
perut lawan. Kakek Tanpa Tanding terpaksa melompat ke
belakang untuk menghindari serangan Itu.
"Pantas kedua saudaraku dapat kau lewati. ternyata

kau memang memiliki kepandaian yang tinggi, Orang
Muda...." Kakek Tanpa Tanding memuji kehebatan
lawannya. "Tapi, Jangan besar kepala dulu. Kau harus
berjuang keras untuk dapat meninggalkan tempat ini...."
Panji mengurungkan niatnya untuk menyahuti.
Karena begitu selesai berkata, Kakek Tanpa Tanding
kembali menerjang dengan serangan-serangan yang lebih
hebat dan lebih ganas! Pertarungan kembali berlanjut,
lebih seru dari semula. Kakek Tanpa Tanding
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menggempur
Panji.
Lima puluh jurus berlalu cepat. Menginjak pada
Jurus keenam puluh, Kakek Tanpa Tanding semakin
memperhebat gempurannya. Panji dipaksa bermain
mundur dan tidak diberikan kesempatan untuk balas
menyerang!
Sekarang Panji baru mengerti mengapa pertapa itu
dijuluki Kakek Tanpa Tanding. Ilmu kakek ini memang
hebat dan banyak sekali ragamnya. Perubahan-perubahan
gerak yang dilakukan demikian tiba-tiba dan sukar
ditebak. Tapi, Panji tidak kehilangan akal serta patah
semangat Dibiarkannya kakek itu terus menggempurnya,
sementara ia hanya bertahan sambil mencari-cari
kesempatan untuk mengirimkan balasan.
Pada jurus kedelapan puluh, tiba-tiba Kakek Tanpa
Tanding membentak nyaring. Tubuhnya melompat ke
udara disertai dorongan kedua tangan nya.
"Haahhh...!" Bresssh...!
Perbuatan Kakek Tanpa Tanding sedikitpun tidak
diduga Panji. Akibatnya, gelombang pukulan yang
menderu itu menghantam tubuhnya. Panji terpental
memuntahkan darah segar. Ia terbanting dan jatuh
terguling-guling sejauh lima tombak.
"Tamat riwayatmu, Orang Muda...!"

Kakek Tanpa Tanding menyusuli dengan ayunan
telapak tangan kanan. Sebentuk gelombang angin dahsyat
menderu bagai amukan topan!
Blarrr...!
Debu dan batu batuan kecil beterbangan seiring
dengan ledakan keras itu. Tapi sebelum pukulan maut itu
tiba, Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya ke
samping. Dan, terus bergulingan menjauhi lawan.
Dengan kuda-kuda yang agak goyah dan napas ter
engah, Panji bergegas bangkit. Ngeri hatinya melihat
tanah bekas tempat ia berpijak. Di tempat itu tercipta
sebuah lubang seperti kubangan kerbau. Debu tipis
tampak mengepul hangat. Itulah akibat pukulan yang
dilontarkan Kakek Tanpa Tanding.
"Hm.... Untung kau masih sempat mengelak, Orang
Muda. Kalau tidak, sekarang kau pasti sudah menjadi
orang panggang!" Kakek Tanpa Tanding tertawa
mengejek.
Panji tidak meladeni. la tengah mengerahkan 'Tenaga
Inti Panas Bumi' untuk membakar luka di bagian dalam
tubuhnya. Setelah rasa nyeri di dalam dadanya agak
berkurang, Panji segera menggabungkan kedua tenaga
mukjizatnya.
"Ah.... Benar-benar cocok!" Kakek Tanpa Tanding
berseru kaget bercampur takjub. "Sekarang aku semakin
yakin kaulah orang yang kami tunggu-lunggu...!"
Panji tertegun sesaat. Ditatapnya wajah Kakek
Tanpa Tanding dengan sorot mata bingung.
"Apa maksudmu, Orang Tua...?"
"Artinya, perkelahian ini harus segera kita
selesaikan!"
Begitu ucapannya selesai, Kakek Tanpa Tanding
kembali melesat dengan serangan-serangannya. Panji
benar-benar geram dan jengkel! Ia merasa dipermainkan!

Pikiran dan hatinya seperti sengaja dibuat kacau oleh
kakek itu.
"Kurang ajar! Sungguh licik sekali pertapa palsu ini?
Ia sengaja hendak mengganggu pemusatan pikiranku agar
gerakanku kacau dan tidak terarah. Dengan begitu ia
akan dapat mengalahkanku. Benar-benar keparat..!" Panji
mengutuk dan menyumpah-nyumpah kelicikan lawannya.
Pikiran itu membuat Panji mengempos semangatnya.
Kalau sejak semula ia merasa enggan melayani kakek
pertapa itu, kini ia bertekad untuk mengalahkannya.
Dengan melenyapkan segala gangguan pada pikiran
maupun hatinya, Panji menghadapi serangan-serangan
maut Kakek Tanpa Tanding. Pemusatan pikirannya yang
kuat membuat Panji memperoleh kembali ketenangannya.
Hasilnya pun segera terlihat Perlahan tapi pasti Panji
mulai dapat mendesak lawannya. Sikap tenang membuat
lontaran-lontaran pukulannya terarah dengan baik. Dan,
setiap serangan lawan dapat dipatahkannya dengan
langsung mengirimkan balasan. Tapi anehnya, Kakek
Tanpa Tanding malah terlihat berseri-seri wajahnya.
Padahal, serangan-serangan Panji yang membawa deruan
angin panas dan dingin sangat membahayakan jiwanya.
Tapi, Kakek Tanpa Tanding udak kelihatan gentar sedikit
pun!
"Yeahhh...!"
Lewat tiga puluh jurus setelah pertempuran
berlanjut, Kakek Tanpa Tanding kembali membentak.
Tamparan ke arah telinga dan pukulan lurus ke ulu hati
segera dilancarkannya. Kedua serangan itu menderu
menuju sasaran. Namun Panji tetap bersikap tenang.
Ditunggunya sampai serangan itu tiba dekat, "Hyahhh!"
Begitu serangan Kakek Tanpa Tanding tinggal satu
jengkal lagi dari telinga dan ulu hatinya, Panji membentak
seraya menjatuhkan tubuhnya. Gerakan itu dibarengi

dengan tendangan kedua kakinya.
Desss...!
Demikian cepat dan tak terduga gerakan yang
dilakukan Panji. Kakek Tanpa Tanding tak mempunyai
kesempatan untuk menghindar. Tendangan itu telak
menggedor perutnya. Tubuh Kakek Tanpa Tanding pun
tersentak deras ke belakang. Darah menyembur keluar.
Tubuh kakek itu jatuh berdebuk di tanah.
Panji bergegas menyusul. Kakek Tanpa Tanding yang
mengira Panji hendak menyusuli serangannya segera
mengangkat tangan kanannya tinggi-tlnggi.
"Cukup... cukup...," ujar kakek itu. Ia kemudian
bangkit duduk bersila.
"Aku bukanlah manusia keji yang tega menghabisi
lawan yang terluka, Orang Tua...," tukas Panji tersenyum
getir.Aku bermaksud ingin mengobati lukamu...."
"Tidak pedu... tidak periu...," Kakek TanpaTanding
menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
"Kemunculanmu merupakan tanda bahwa hidupku akan
berakhir."
Panji mengerutkan kening mendengar ucapan itu.
Tapi, ia tidak berkata apa-apa. Dilihatnya Kakek Tanpa
Tanding hendak melanjutkan ucapannya.
"Coba kau terka, berapa kira-kira umurku?" Kakek
Tanpa Tanding menatap Panji dengan mata sayu.
"Mungkin delapan puluh lebih...," tebak Panji setelah
memperhatikan wajah Kakek Tanpa Tanding beberapa
saat
Kakek Tanpa Tanding menggeleng lemah.
"Usiaku sudah seratus dua puluh tahun, Pendekar
Naga Putih. Jangan kaget kalau aku tahu julukanmu,"-
ujar Kakek Tanpa Tanding dengan tersenyum tipis.
"Demikian pula dengan kedua saudaraku. Mereka berusia
lebih dari seratus tahun. Kami tidak tahu mengapa umur

kami demikian panjang. Rahasia itu baru terungkap ketika
sepuluh tahun silam kami bertiga mendapat mimpi yang
sama. Dalam mimpi itu datang seorang kakek berpakaian
serba putih. Kakek itu mengatakan bahwa ajal kami akan
datang apabila kami telah berjumpa dengan seorang
pemuda yang berjuluk Pendekar Na¬ga Putih," Kakek
Tanpa Tanding berhenti sebentar untuk mengambil
napas.
Panji menganggukkan kepala. Sekarang ia baru
mengerti, mengapa Kakek Tenaga Gajah tewas meski ia
tidak melukainya. Dan, mengapa Kakek Tanpa Bayangan
bisa menemui ajal meski lukanya tidak terlalu parah.
"Pendekar Naga Putih." Kakek Tanpa Tanding
kembali berkata. "Tahukah kau berapa usia Ratu Pesolek?
Dan, siapa tokoh wanita sesat itu sebenarnya?" tanyanya
seraya menatap wajah Panji lekat-lekat
Panji menggeleng. Jangankan usia, bertemu dengan
tokoh sesat itu pun ia belum pemah.
"Ratu Pesolek adalah seorang perempuan yang
usianya tidak berselisih jauh dengan kami bertiga. Tapi,
tubuh maupun wajahnya tak ubahnya seorang wanita
berusia dua puluh tahun. Ia adalah adik seperguruanku!"
"Mengapa Kakek bertiga tidak berusaha mencegah
perbuatannya...?" tanya Panji heran.
"Itulah yang membuat hati kami susah," Kakek tanpa
Tanding menggeleng seraya menghela napas berat
"Sebenarnya sangat memalukan sekali untuk diceritakan.
Tapi, biarlah kau ketahui aib yang telah kami perbuat di
masa lalu...." Lagi-lagi kakeh itu menghela napas.
Tampaknya, apa yang akan disampaikannya itu sangatlah
berat.
"Waktu itu kami sama-sama masih muda. Guru kami
berjuluk Dewa Gunung Batur. Beliau menurunkan semua
kepandaiannya kepada kami berempat. Segala macam ilmu

boleh kami pelajari, kecuali satu. Kitab yang berisikan
Ilmu Lebah Hitam. Beliau melarang dengan keras, setelah
menunjukkannya kepada kami dan menceritakan tentang
bahayanya mempelajari kitab itu. Dewa Gunung Batur
sengaja tidak memusnahkan kitab itu. Karena, dalam
kitab itu juga terkandung ilmu pengobatan yang sangat
langka. Sedangkan salah satu keistimewaan Ilmu Lebah
Hitam, dapat membuat orang yang meyakininya menjadi
tetap muda dan segar. Siapa sangka kalau Diah, adik
seperguruan kami yang paling bungsu, ternyata sangat
tertarik dengan kitab itu. Rupanya ia ingin tetap
kelihatan muda dan cantik. Tapi, untuk meminta atau
mencuri kitab itu ia tidak berani. Guru kami bisa murka.
Padahal, keinginannya untuk mempelajari Ilmu Lebah
Hitam sangat besar." Kakek Tanpa Tanding berhenti
sebentar. Ditariknya napas berat berulang-ulang.
Wajahnya membayangkan kedukaan yang dalam.
'Terus terang, aku maupun kedua adik
seperguruanku menaruh hati kepadanya. Diah memang
sangat cantik dan begitu sempurna sebagai seorang
perempuan. Kepada kami bertiga dia sangat manja.
Mungkin ia mengetahui perasaan kami kepadanya.
Sikapnya semakin manis dan sangat menggoda. Kami
sungguh tidak menduga kalau Diah sengaja hendak
menjebak kami bertiga. Kami semakin tergila-gila, dan
saling bersaing untuk merebut cinta Diah. Rupanya itulah
yang diinginkan Diah. Dia buat kami tergila-gila. Lalu,
satu persatu kami dijebaknya. Malam terkutuk itu pun
datang. Diah datang kepadaku saat diriku tengah
membayangkan dirinya. Aku tidak begitu ingat awal
mulanya. Tapi, yang jelas malam itu Diah menyerahkan
dirinya kepadaku. Mulanya aku memang sangat bahagia
sekali. Tapi, ternyata bukan cuma aku seorang yang
pemah berhubungan dengannya. Kedua adik
seperguruanku pun berhubungan dengan Diah. Semua
itu baru terbongkar ketika guru kami pergi mengunjungi
salah seorang sahabatnya di pulau seberang."
Panji tidak berusaha memotong. Dibiarkannya Kakek
Tanpa Tanding menunda ceritanya yang belum selesai
"Diah mengambil Kitab Ilmu Lebah Hitam. Kami
bertiga tidak bisa berbuat apa-apa. Diah meng-ancam
akan membeberkan rahasia kami kepada guru. la
mengingatkan akan sumpah yang kami ucapkan sewaktu
berhubungan dengannya. Aku dan kadua adik
seperguruanku ternyata telah mengucapkan sumpah yang
sama. Kami akan menuruti segala permintaan Diah, apa
pun bentuknya. Saat llulah kami baru sadar kalau Diah
telah menjebak kami! Dengan membawa kitab itu, Diah
pergi meninggalkan Gunung Batur. Sebelum pergi, ia me-
minta kepada kami agar menutup mulut Baik tentang
kitab, maupun dirinya. Sepulang dari kepergiannya, guru
marah besar. Kami yang sudah terikat sumpah. terpaksa
berbohong. Kami dihukum dan dipaksa untuk
memberitahukan ke mana perginya Diah dan Kitab Ilmu
Lebah Hitam. Tapi kami tetap bungkam. Karena, kami
memang tidak tahu ke mana perginya Diah. Guru merasa
putus asa dan berduka sekali. Beliau jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia. Sebelum menghembuskan
napas terakhir, beliau sempat mengutuk kami bertiga.
Kaml akan menanggung derita berkepanjangan. Kutuk
guru kami kini terbukti. Untuk menebus dosa, kami lalu
menjadi pertapa. Tapi, dosa di malam terkutuk itu tidak
pemah lepas dari pikiran kami. Dan, meski usia kami telah
mencapai seratus tahun lebih, kematian masih juga belum
datang menjemput Sampai akhirnya kami mendapat mimpi
seperti yang kuceritakan kepadamu tadi." Kakek Tanpa
Tanding mengakhiri ceritanya dengan helaan napas berat
dan panjang.

"Jadi, itukah sebabnya mengapa kalian bertiga tidak
mencegah perbuatan Ratu Pesolek?" tanya Panji setelah
agak lama Kakek Tanpa Tanding terdiam.
"Kami terikat sumpah dan juga kutukan. Namun
kedatanganmu membuat hatiku lega, Pendekar Naga
Putih. Itu berarti ajalku sudah tiba. Aku akan segera
terlepas dari belenggu dosa yang tak berkesudahan
ini...," usai berkata, Kakek TanpaI Tanding memejamkan
kedua ma tanya
"Kek, tunggu...!" Panji yang sudah menduga apa yang
akan terjadi dengan Kakek Tanpa Tanding, berseru
seraya mengguncangkan tubuh kakek itu.I
"Dari sini, kau berjalan ke arah tenggara." Tanpa
membuka matanya, Kakek Tanpa Tanding berkata.
"Pertama, kau akan menemui Gunung Danang Setelah
itu, barulah kau akan melihat Gunung Abang."
"Terima kasih, Kek...," ucap Panji lega. la telah
mendapat petunjuk jalan yang benar untuk dapat
menemui Ratu Pesolek
Tidak seperti sewaktu menyaksikan kematian Kakek
Tenaga Gajah dan Kakek Tanpa Bayangan, kematian
Kakek Tanpa Tanding tidak membuat Panji bersedih atau
menyesal Malah, ia merasa lega. Kematian itu telah
membuat Kakek Tanpa Tanding menemukan ketenangan
hidup di alam lain.
***
Gunung Abang menjulang megah, mengalahkan
gunung-gunung yang terdapat di Pulau Bali, Gunung
Abang memang merupakan gunung tertinggi di pulau itu.
Di kaki gunung itulah Ratu Pesolek mendirikan
markasnya.
Nama Ratu Pesolek telah sangat dikenal dan menjadi
momok yang menakutkan bagi seluruh penduduk di Pulau
Bali. Sudah sejak puluhan tahun silam nama besarnya

bergaung di seluruh penjuru pulau. Ratu Pesolek bukan
saja melakukan penculikan terhadap pemuda-pemuda
tampan. Tapi, gadis-gadis muda dan cantik pun tidak
luput dari incarannya, meski tidak sesering lenyapnya
pemuda pemuda tampan. Perbuatan Ratu Pesolek banyak
ditentang oleh kaum golongan putih. Tapi, sampai
sebegitu jauh belum ada seorang pun yang sanggup
menghentikan kejahatannya. Jangankan menghadapi Ratu
Pesolek, melawan pembantu-pembantunya saja sudah
banyak tokoh-tokoh persilatan yang bertumbangan.
Sehingga, sampai puluhan tahun Ratu Pesolek tetap
berkuasa. Bahkan, kuku-kukunya semakin mencengkeram
seluruh daratan Pulau i Bali.
Usaha tokoh-tokoh golongan putih untuk me
numpasnya masih terus dilakukan, Walau Ratu Pesolek
maupun pembantu-pembantunya tidak segan-segan
membunuh setiap tokoh yang berani datang mengusik
ketenangannya. Terutama kaum golongan tua. Mereka
akan dibunuh tanpa ampun. Lain halnya dengan
pendekar-pendekar muda. Terlebih yang memiliki wajah
tampan. Ratu Pesolek tidak akan membunuh begitu saja.
Mereka akan mendapatkan perlakuan yang istimewa, dan
ditempatkan di kamar-kamar mewah. Pada setiap bulan
pumama barulah mereka dikeluarkan satu persatu untuk
melayani keinginan Ratu Pesolek, setelah melalui sebuah
upacara dan pesta semalam suntuk Setelah itu, korban
akan dibunuh. Perbuatan Ratu Pesolek memang tidak
berbeda dengan lebah-lebah ratu yang membunuh
pejantannya setelah masa kawin.
Saat itu hari masih pagi. Dua sosok tubuh bergerak
hati-hati mendekati sebuah bangunan megah yang mirip
istana raja. Itulah tempat kedjaman Ratu Pesolek dan
para pengikutnya. Tampaknya, hari ini Ratu Pesolek
kedatangan tamu yang tak diundang!

"Hih hih hih...! Apa yang sedang kalian intip, hah?"
Dua orang lelaki berusia sekitar empat puluh dan
lima puluh tahun, yang tengah mengintai tempat
kediaman Ratu Pesolek dari balik rimbunan semak,
berjingkrak kaget. Cepat bagai kilat keduanya memutar
tubuh. Namun, si pemilik suara yang mereka cari tidak
dapat mereka temukan! Karuan saja keduanya saling
bertukar pandang dengan penuh heran.
"Kau mendengar suara tadi, Narottama...?" Laki-laki
yang berusia lima puluh tahun bertanya kepada kawannya.
Sepertinya, ia meragukan pendengarannya.
"Ya. Aku memang mendengar suara tawa
mengikik...!" Meskipun ucapannya tandas, namun nada
suaranya terdengar agak bimbang. Jelas, Narottama pun
meragukan pendengarannya. Karena, mereka tidak
menemukan seorang manusia pun disekitar tempat itu.
"Hih hih hih...! Dasar kampret-kampret tolol! Ditanya
bukannya menjawab malah celingak-celinguk seperti
orang hendak buang ingus!"
Narottama dan Udayana berjingkrak mundur.
Mereka mendongakkan kepala. Suara itu terdengai jelas
di atas kepala mereka. Tampaklah sesosok tubuh
terbungkus pakaian hitam yang bergantung dengan kepala
di bawah. Narottama dan Udayana tidak bisa mengenali
sosok itu.
***

EMPAT

"Hih hih hih...!"
Sekali lagi sosok yang bergelantungan itu
memperdengarkan tawanya. la melayang turun dan
mendarat ringan di hadapan Narottama dan Udayana.
"Hei, mengapa bengong? Kalian lupa ya denganku?"
Sosok yang ternyata seorang nenek buruk berkulit hitam
legam menegur dengan suaranya yang seperti kaleng
rombeng, Ia menuding-nuding kening Narottama dan
Udayana yang masih terbengong-bengong di tempatnya.
"Maaf, Nek. Seingatku kita belum pernah bertemu,
apalagi berkenalan...." Udayana, yang lebih tua dan lebih
berpengalaman daripada Narottama, sudah dapat
menguasai kekagetannya. Ia melangkah maju dan
membungkuk hormat. Kata-katanya pun sopan dan
lembut
"Nak:nek-nak-nek! Kapan aku pernah kawin dengan
kakekmu? Lagipula, siapa yang bilang kalau kita pernah
berkenalan? Kau kira aku perempuan muraham. Huh,
tidak sudi aku berkenalan dengan kalian!" Nenek muka
hitam menghardik dan mencibirkan bibimya. Kemudian,
tubuhnya diputar seperti jual mahal. Karuan saja sikap
nenek itu membuat Narottama dan Udayana keheranan.
"Sinting...!" Narottama berdesis pelan.
"Apa katamu? Apa perempuan tidak boleh memakai
anting-anting? Itu sudah kodrat, tahu! Dasar lelaki
sinting! Biar wajahmu gagah tapi kalau otakmu kurang
beres, mana ada perempuan yang sudj mendekatimu!"
Nenek muka hitam mengomel panjang lebar, membentak-
bentak Narottama.
"Dasar gendeng...!" Udayana bergumam menahan
rasa geli.
"Kau suka, ya?" Nenek muka hitam memandang

Udayana dengan mata berbinar. Dielus-elus-nya andeng-
andeng (tahi lalat besar) yang melekat di cuping
hidungnya sebelah kanan. "Ini namanya pemanis, tahu,"
lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan badannya, persis
gadis remaja yang maki-malu karena ditegur pemuda
idamannya.
"Ya... ya... ya.....Aku suka dengan andeng-andengmu
itu. Wajahmu memang kelihatan jadi lebih manis...."
Merasa nenek itu agak tuli, Udayana pun mengalah. Ia
mengangguk-angguk dan mengikuti ucapan nenek muka
hitam. Padahal dalam hatinya ia berkata, "Suka
dengkulmu peyot! Andeng-andeng hitam, wajahmu juga
hitam, mana bisa dibilang pemanis. Wajah hangus seperti
pantat dandang begitu dibilang manis."
"Nenek ini memang manis, Udayana." Narottama
berbisik di telinga Udayana. "Tapi, kalau memandangnya
dari atas puncak gunung...," sambungnya tak dapat
menahan kegelian hatinya. Narrottama menahan
kekehnya. Ditutupnya mulutnya dengan telapak tangan.
"Apa bisik-bisik! Menceritakan aku, ya?
Mentertawakan aku, ya?"
"Tidaaak...!" Narottama dan Udayana menyahut
bersamaan seraya menggeleng keras-keras.
"Lalu, bisik-bisik itu apa yang kalian bicarakan?"
Nenek muka hitam mendesak curiga.
"Kawanku bilang kau cantik..."
Udayana berbohong. Bukan karena ia takut nenek
muka hitam akan marah. Tapi, Udayana telah
menyaksikan bagaimana tadi nenek itu meluncur turun
dengan sangat ringannya. la menduga nenek muka hitam
ini pasti bukan orang sembarangan. Ia lebih suka tidak
mencari penyakit yang akan menyusahkan diri sendiri.
Bahkan, Udayana berpikir akan menarik nenek itu ke
pihaknya. Ini akan menguntungkannya.

"Benar." Narottama segera dapat membaca maksud
kawannya. la pun menambahi. "Dengan andeng-andeng
itu, kau kelihatan semakin manis...," pujinya, meski dalam
hati tertawa terbahak-bahak.
"Kurang ajar! Celaka dua ratus! Rupanya kalian
berdua tukang merayu perempuan, ya? Dasar buaya-buaya
darat keparat! Sudah jelek dan melarat masih juga
mencari sekarat!" Nenek muka hitam membanting-banting
kaki kanannya ke tanah. la menuding-nuding hidung
Narottama dan Udayana.
"Wah, celaka! Susah juga kalau menghadapi orang
gila. Tidak diikuti salah. Diikuti juga salah." Di tengah
kecemasan dan keheranannya, Udayana menggerutu
jengkel.
"Dasar nenek-nenek jelek Sudah hitam, peot,
keriting, hidup lagi!" Dari heran, Narottama menjadi
jengkel. Ia mengumpat tak karuan.
"Hayo, pergi... pergi kalian...!" Kemarahan nenek
muka hitam masih berkepanjangan. Ia mengusir
Narottama dan Udayana seraya mengebut-ngebutkan
telapak tangannya.
Gerakan nenek itu kelihatan sembarangan saja. Tapi,
Udayana dan Narottama kaget setengah mati. Dari
kebutan tangan nenek muka hitam, menyambar deruan
angin keras. Bergegas Narottama dan Udayana melompat
mundur.
"Kita harus menjauhi nenek sinting itu, Narottama.
Kalau tidak, bisa-bisa kedatangan kita akan diketahui
pengikut-pengikut Ratu Pesolek..." Udayana berbisik
kepada Narottama tanpa melepaskan pandangannya dari
sosok nenek muka hitam.
"Sebaiknya memang begitu. Nenek sinting itu bisa
membuat kita celaka...." Narottama langsung setuju.
Diputamya tubuhnya dan berlari mengikuti Udayana yang

sudah bergerak meninggalkan tem¬pat itu lebih dulu.
"Hei, mau ke mana kalian...? Pegang... pegang...! Hih
hih hih...!" Melihat Udayana dan Narottama meninggalkan
tempat itu, nenek muka hitam berteriak-teriak sambil
tertawa.
"Benar-benar kurang ajar nenek jelek itu...!"
Narottama menggerutu dengan hati cemas. Ia khawatir
teriakan nenek muka hitam sampai terdengar orang-orang
Ratu Pesolek
"Jangan pedulikan nenek sinting itu, Narottama.
Menuruti dia bisa-bisa kita celaka...." Udayana segera
mengingatkan ketika melihat Narottama hendak berbalik
arah.
Narottama menggerutu tak jelas. Tinjunya dike-
palkan erat-erat Niatnya terpaksa diurungkan. Ia. terus
berlari mengikuti Udayana menerobos semak-semak.
Mereka menjauhi bangunan markas Ratu Pesolek
Gangguan nenek muka hitam itu membuat mereka
terpaksa menangguhkan rencana semula Dan, bersepakat
untuk menyelundup ke dalam pada waktu malam.
Kekhawatiran Narottama dan Udayana memang
beralasan. Teriakan nenek muka hitam telah menarik
perhatian orang-orang Ratu Pesolek. Sebentar saja, enam
orang perempuan muda yang rata rata berwajah canb'k
sudah bedarian mendatangi tempat itu
"Hei, siapa kau, Nenek Hitam? Apa yang sedang kau
lakukan di daerah kekuasaan kami?" Salah satu dari enam
perempuan cantik itu menegur nenek muka hitam. Ujung
tombaknya ditodongkan ke wajah nenek muka hitam.
"Setan, mengapa aku yang kalian tanya?" Nenek muka
hitam tidak kalah gertak "Seharusnya kalian can dua
orang telaki buaya darat yang lari ke sana itu. Aku sudah
capek-capek teriak, eh, malah aku yang disalahkan. Dasar
perempuan jelek! Pakaian saja sepotong-sepotong,

bertingkah seperti penguasa lagi!"
Nenek muka hitam memang tidak salah bicara.
Keenam perempuan cantik itu hanya mengenakan
pelindung dada dan kain yang tingginya satu jengkal lebih
di atas lutut Berbeda dengan nenek muka hitam yang;
mengenakan pakaian lengkap dan agak kebesaran.
"Jangan sembarangan bicara kau, Nenek Muka
Arang! Tahukah kau bahwa yang kau hadapi adalah
orang-orang kepercayaan Ratu Pesolek? Atau, kau
memang sengaja mencari maut?" Perempuan yang ada tahi
lalat di pipi kanannya mengancam.
"Ratu Pesolek...?!" Nenek muka hitam mengulang
nama itu dengan kening berkerut "Jadi kalian ini tengah
mencari madu, ya? Apa sudah dapat? Boleh aku cicipi
sedikit saja. Ingat madu, air liurku jadi keluar...."
Keenam perempuan itu menarik wajah ke belakang.
Diperhatikannya sosok nenek muka hitam dengan sorot
curiga. Mereka menduga nenek itu hanya berpura-pura
gila untuk mengelabui mereka. Perempuan yang bertahi
lalat di pipi kanan memberi isyarat dengan anggukkan
kepala. Sebentar saja, nenek muka hitam terkepung
rapat.
"Benar, kau mau mencicipi madu, Nek?" Perempuan
bertahi lalat bertanya menegasi.
"Mau... mau...." Nenek muka hitam mengangguk-
angguk dengan mata berbinar. Bibirna dijilat-jilat seolah
ia merasakan kelezatan madu itu.
"Nih, kau cicipilah sepuasmu!"
Whuttt..!
"Aiii...?!"
Nenek muka hitam terpekik kaget Dengan sangat
ketakutan, ia berlari ke depan menyambut datangnya
ujung tombak
Brettt..!

"Aaa...!"
Terdengar suara kain robek dan jerit kesakitan
nenek muka hitam. Aneh, meskipun mata tombak lelah
menembus tubuh nenek itu, tak setetes darah pun yang
keluar. Kenyataan itu sangat mengherankan
penyerangnya. Kepalanya bergerak ke kill ka¬nan mencari-
cari tetesan darah. Tapi, sulit sekali untuk "melihatnya.
Nenek muka hitam menggerak-gerakkan tubuhnya sambil
mendekap perut
Tapi sesaat kemudian, perempuan muda bertahi lalat
itu melenggak kaget Ketika nenek itu melepaskan
dekapan tangan pada perutnya, ternyata tusukan tombak
hanya merobek pakaiannya yang kebesaran. Sedang kulit
tubuhnya tidak terluka sedikit pun!
"Hih hih hih...! Kaget, ya? Nih, tombakmu
kukembalikan...!" sambil berkata demikian, nenek muka
hitam memutar tombak dan mengarahkan matanya ke
tubuh pemiliknya. Lalu, dilemparkannya tombak itu
dengan gerakan sembarangan.
Cappp!
Mata tombak meluncur deras dan langsung
menembus tubuh mulus perempuan itu hingga ke
punggung. Tentu saja keberhasilan serangan itu bukan
karena kepandaian nenek muka hitam sangat tinggi.
Atau, karena kepandaian perempuan bertahi lalat itu
rendah. Tapi, orang kepercayaan Ratu Pesolek itu terlalu
memandang remeh. Akibatnya sikap itu harus djtebus
dengan nyawanya!
"Nenek keparat!"
"Bedebah...!"
Lima perempuan cantik lainnya memaki dengan
wajah merah padam. Tanpa ada yang memerintah, karena
perempuan bertahi lalat yang tewas itu adalah pimpinan
mereka, kelima perempuan cantik itu menyerbu nenek

muka hitam dengan tombak di tangan.
"Hei hei hei...! Ini tidak adil... tidak adil...! Kalian
beraninya cuma main keroyok! Kalau memang betina, ayo
maju satu-satu...!"
Nenek muka hitam berteriak-teriak. Ia melompat ke
sana kemari dengan gerakan asal-asalan. Tapi hebatnya,
tak satu pun dari serangan lima batang lombak itu yang
dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan, mengenai
pakaiannya pun tidak. Padahal, tombak-tombak itu
djgerakkan dengan kecepatan cukup tinggi. Karuan saja
orang-orang Ratu Pesolek semakin marah dan penasaran!
Mereka semakin memperhebat serangan-serangannya.
"Wah, celaka...!" Nenek muka hitam mengeluh seraya
terus berlompatan menghindari ujung-ujung tombak yang
mengancamhya. Ia kemudian berteriak-teriak berlari
meninggalkan arena pertarungan. "Tolong... tolong...!"
Nenek muka hitam terus berlari. Sesekali ia berhenti dan
berjingkrak-jingkrak.
"Kejar...!" Salah satu dari kelima perempuan cantik
itu memberi perintah. Ia melesat mengejar nenek muka
hitam dengan diikuti keempat kawannya.
***
"Narottama, dengar! Bukankah itu suara jeritan
minta tolong nenek muka hitam? Mungkin ia dalam
kesulitan. Ayo kita tolong...!" Udayana berkata kepada
Narottama. Dan, tanpa menunggu jawaban lagi, langsung
saja ia memutar tubuh dan melesat ke arah suara jeritan
itu.
"Ah, jangan pedulikan nenek gila itu, Udayana!"
Narottama tidak sependapat dengan Udayana.
Narottama memang ikut menghentikan larinya. Tapi,
ia tidak bergerak mengikuti. Udayana terpaksa menunda
maksudnya.
"Siapa tahu nenek itu memang benar-benar dalam

kesulitan, Narottama. Benar ia cuma seorang nenek
sinting. Tapi siapa pun dia, kita harus melihatnya dulu."
Udayana bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Hm.... Kita sudah cukup jauh berputar, Udayana.
Beberapa tombak lagi kita akan segera tiba di bagian
belakang markas Ratu Pesolek, Untuk apa bersusah
payah kembali lagi hanya karena ingin menolong seorang
nenek-nenek jelek berotak miring?" Narottama juga
mempertahankan pendapatnya. Ia merasa tidak ada
perlunya menyusahkan diri menolong nenek muka hitam.
"Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar." Udayana
merendahkan suaranya. Diangkatnya kedua tangannya di
depan dada. "Menurutku, sebaiknya kita lihat saja apa
yang terjadi dengan nenek itu. Kalau memang ia tidak
memerlukan bantuan, kita bisa melanjutkan rencana kita.
Ingat, Narottama! Kita adalah orang-orang gagah yang
mempunyai kewajiban untuk menolong kaum lemah!"
"Hhh.... Baiklah. Mari kita lihat..." Narottama
akhirnya mengalah. la bergerak mengikuti Udayana.
Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat nenek
muka hitam tengah berlari dikejar lima orang perempuan
cantik yang bersenjata tombak Melihat cara nenek itu
berlari dengan sesekali berhenti jika pengejamya
tertinggal agak jauh, Udayana langsung tahu nenek muka
hitam sengaja mempermainkan para pengejamya. Entah
apa maksud nenek Itu. Udayana tidak mau ambil pusing.
Yang pasti keselamatan nenek muka hitam tidak perlu
dikhawatirkan.
"Mari kita pergi," ajak Udayana kepada Narottama
yang tersenyum penuh kemenangan, karena dugaannya
lebih benar. "Perbuatan nenek itu malah akan
menguntungkan kita. Apalagi, kalau pengikut-pengikut
Ratu Pesolek yang lainnya berdatangan dan ikut mengejar
nenek sinting itu."

Narottama tidak menanggapi Diam-diam ia pun
mengliarapkan hal yang sama. Tanpa berkata apa-apa lagi,
keduanya segera melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, sepeninggal Udayana dan Narottama,
nenek muka hitam menghentikan larinya. Sambil
mengekeh senang, ia membalikkan tubuh. Ditunggunya
kedatangan para pengejamya seraya berkacak pinggang
dan tertawa berkepanjangan. Gigi nenek itu tampak
masih lengkap dan putih. Tidak seperti gigi nenek-nenek
sewajarnya.
"Serbuuu...!"
Salah seorang dari kelima pengejar nenek muka
hitam memberi perintah. Kelimanya segera meluruk maju
dengan memutar tombak di tangan masing-masing. Tapi,
sambil terkekeh-kekeh, nenek muka hitam malah bergerak
maju. Disambutnya, datangnya serangan itu. Sekali
mengibaskan kedua tangannya, dua batang tombak
penyerangnya terpental patah menjadi dua. Kemudian,
nenek itu menjatuhkan tubuh menelungkup di depan
kedua perempuan yang kehilangan senjata. Seperti seekor
kuda binal, nenek muka hitam menyentakkan kakinya
telak mengenai dada mereka.
"Hih hih hih...! Bagus tidak jurus 'Kuda Binal' ku?"
ejek nenek itu kepada dua orang lawannya yang
terpelanting jatuh terguling-guling. Dan, tidak dapat
buru-buru bangkit
Nenek muka hitam masih saja terkekeh memandangi
korban tendangannya. Ia seperti tidak sadar betapa tiga
lawan lainnya tengah bergerak mengancam tubuhnya dari
tiga arah.
Bed! Bed! Bed!
Tiga batang tombak itu menusuk tengkuk dan kiri
kanan lehernya. Tapi, dengan gerakan yang manis, nenek
muka hitam membungkukkan tubuh. Ia menekuk

kepalanya ke depan dan mengembangkan kedua lengannya
ke kiri-kanan. Ketiga mata tombak itu pun lewat di atas
tengkuk dan kedua bahunya. Lalu, dengan gerakan yang
tak terduga, nenek muka hitam memutar kedua lengannya
dari belakang ke depan, dibarengi dengan putaran
tubuhnya setengah lingkaran ke belakang.
Trak trak! Des! Des! Des!
Hebat dan mengagumkan sekali gerakan nenek muka
hitam. Dua batang tombak yang dikempitnya langsung
patah seketika. Dan, tendangan berantai yang dilepaskan
pada saat bersamaan telak menghajar ketiga wajah
pengeroyoknya. Ketiga perempuan cantik itu pun
terpelanting. Mereka mengaduh-aduh memegangi sebelah
pipinya yang be-ngap!
"Hih hih hih...! Wajah kalian jadi kelihatan lucu!
Persis monyet yang sedang makan!" Nenek muka hitam
tertawa kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak.
"Nenek Keparat! Perbuatanmu ini kelak akan kau
sesali seumur hidup!" Salah satu dari ketiga perempuan
yang pipinya biru sembab mengancam nenek muka hitam.
"Eh, betulkah itu...?!" Nenek muka hitam memasang
wajah bodoh dan ngeri. Wajahnya yang sudah jelek
kelihatan semakin jelek.
Sikap nenek muka hitam membuat lawan-lawannya
bungkam. Mereka tidak mau menanggapi. Orang-orang
Ratu Pesolek itu hanya bisa mendengus dan'mengutuk
dalam hati. Kelimanya kemudian bergerak bangkit.
Tampaknya, mereka hendak nekat menghadapi nenek
muka hitam dengan menggunakan tangan kosong.
"Hei, mengapa kalian mendadak bisu seperti kerbau
kekenyangan? Hayo, tidak berani berkelahi lagi?" Nenek
muka hitam menantang. Mulutnya tersenyum-senyum
mengejek.
Tiba-tiba nenek itu menelengkan kepalanya.

Mulutnya dimonyongkan sambil mengangguk-angguk.
Telinganya yang tajam menangkap suara derap orang
berlari menuju ke tempat itu.
"Wah, sayang aku terpaksa meninggalkan permainan
yang menyenangkan ini...," sesal nenek muka hitam seraya
menggelengkan kepalanya "Lain waktu kita ketemu lagi,
ya..."
Usai berkata, nenek muka hitam memutar tubuh dan
berlari meninggalkan tempat itu. Lawan-lawannya hanya
bisa saling bertukar pandang. Mereka tidak berani
mencegah kepergian nenek sinting itu.
Beberapa saat setelah sosok nenek muka hitam
lenyap, muncullah serombongan pengikut Ratu Pesolek.
Karena nenek muka hitam sudah pergi jauh, kepala
rombongan segera mengajak kelima perempuan itu
kembali ke markasnya.
***

LIMA

"Gusti Yang Mulia Ratu Pesolek."
Tiga orang perempuan cantik segera menjatuhkan
diri berlutut di atas hamparan permadani. Perempuan
cantik yang duduk di atas singgasana bergagang gading
membalas dengan anggukan tipis.
Wanita cantik itu adalah Ratu Pesolek. Tokoh
wanita sesat nomor satu di Pulau Bali. Melihat kulitnya
yang masih kencang dan halus, sungguh sukar dipercaya
kalau ia telah berusia seratus tahun lebih! Bentuk tubuh
maupun paras Ratu Pesolek seperti gadis dua puluh
tahunan. Itulah kemukjizatan yang didapat Diah, nama
asli Ratu Pesolek, setelah ia mempelajari Kitab Ilmu
Lebah Hitam.
"Ada keperluan apa kalian datang menghadapku
sesore ini?" Ratu Pesolek yang selalu mengenakan pakaian
sutera serba merah menegur ketiga pembaritunya.
"Hamba bertiga mohon ampun, Ratu," Salah seorang
dari tiga wanita cantik itu, yang bermata bulat dan jernih,
menghaturkan sembah mewakili kedua kawannya.
Ratu Pesolek hanya bergumam tak jelas. Ia
memberikan isyarat dengan gerakan tangan agar
pembantunya itu segera mengutarakan maksud
kedatangannya.
"Kami memergoki dua orang lelaki menyelundup
masuk melalui taman belakang, Ratu. Kedua orang itu
mempunyai kepandaian tinggi. Beberapa kawan kami
menjadi korban keganasan mereka. Tapi, sekarang mereka
sudah terkepung. Kami mohon Ratu sudi memberi
petunjuk, apa yang harus kami lakukan terhadap kedua
penyelundup itu," lapor perempuan bermata bulat itu. la
kemudian kembali bergerak mundur dan menundukkan
wajahnya, setelah menghaturkan sembah lebih dulu

"Berapa usia mereka? Dan, bagaimana paras mereka?"
suara Ratu Pesolek terdengar angkuh. Padahal,
pertanyaan itu jelas menunjukkan wataknya yang cabul.
"Mereka berusia empat puluh dan lima puluh tahun.
Yang lebih muda memiliki bentuk wajah ga....
"Cukup!" Ratu Pesolek langsung memotong. "Bunuh
mereka!" titahnya kemudian.
"Baik, Ratu...."
Ketiga perempuan cantik itu menjawab bersamaan
Mereka bergerak mengundurkan diri dari tempat itu
setelah menghaturkan sembah.
***
Di taman belakang markas Ratu Pesolek tampak dua
orang lelaki tengah berusaha keras melepaskan diri dari
kepungan belasan perempuan cantik. Namun setiap kali
mencoba menerobos, mereka terpaksa harus berlompatan
mundur kembali. Ujung-ujung tombak di tangan para
pengepung itu datang mengancam dari sekeliling tubuh
mereka.
"Celaka kita, Udayana!" Lelaki berwajah gagah yang
tidak lain Narottama mengeluh cemas. "Sungguh tidak
disangka penjagaan di tempat kediaman Ratu Pesolek
ternyata sangat ketat Kemungkinan untuk selamat dari
tempat ini jelas sangat kecil."
"Selain itu, lata tidak mungkin melukai perempuan-
perempuan ini. Mereka adalah gadis-gadis tak berdosa
yang diperalat Ratu Pesolek. Mereka pasti telah dicekoki
semacam ramuan yang menghilangkan ingatan tentang diri
mereka. Dan, hanya menurut perintah Ratu Pesolek
laknat itu," ujar Udayana yang sudah mengetahui dari
mana asal pengjkut-pengikut Ratu Pesolek.
Mereka adalah gadis-gadis yang diculik Ratu
Pesolek, kemudian dijadikan pembantunya. Alasan itu
membuat Udayana dan Narottama tidak sampai hati
melukai gadis-gadis itu. Kalaupun sudah ada beberapa
orang yang mereka robohkan, itu pun tidak sampai
teriuka. Udayana maupun Narottama telah memilih
sasaran yang tepat. Korban-korban serangannya hanya
mereka buat tak sadarkan diri Tapi, kesempatan untuk
melakukan hal itu sekarang sudah tertutup. Kedua lelaki
gagah itu menjadi bingung, bagaimana cara menghadapi
para pengepungnya.
Tengah Udayana dan Narottama mencari-cari cara
untuk dapat lolos dari kepungan itu, tiga orang
perempuan cantik yang selesai menghadap Ratu Pesolek
telah tiba di tempat itu. Udayana dan Narottama saling
bertukar pandang dengan sorot mata gelisah. Mereka
dapat menduga ketiga perempuan yang baru tiba itu
pastilah pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek. Dan,
mereka sudah pasti memiliki kepandaian tinggi.
Kedatangan ketiga perempuan itu membuat Udayana dan
Narottama semakin merasa tidak dapat meloloskan diri.
"Biar aku yang menghadapi kedua cecunguk tak
tahu diri itu." Perempuan cantik bermata bulat berkata
kepada dua orang temannya. Lalu, tanpa menunggu
jawaban lagi, tubuhnya segera melayang ke tengah arena.
"Kemani, mundur kau...!"
Selagi tubuh perempuan bermata bulat yang bemama
Kemani melayang di udara, tiba-tiba terdengar bentakan
halus dan merdu. Disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan merah yang rrendahului Kemani. Bayangan
merah itu melayang turun di hadapan Udayana dan
Narottama. Sosok itu ternyata Ratu Pesolek. Rupanya, ia
telah berubah pikiran dan hendak menghadapi sendiri
kedua penyelundup itu.
Melihat kemunculan pimpinannya, Kemani yang
sudah menjejakkan kaki di tanah segera bergerak
mundur.

"Hm...." Ratu Pesolek menggumam pelan. Di-
tatapnya wajah Udayana dan Narottama lekat-lekat.
Sikap tokoh wanita sesat itu terlihat sangat tenang. Ia
melangkah mondar-mandir meneliti sosok kedua
musuhnya tanpa merasa khawatir akan diserang secara
tiba-tiba.
"Atas kehendak siapa kalian datang ke tempat ini?"
tanya Ratu Pesolek setelah puas menaksir-naksir kedua
musuhnya.
Udayana dan Narottama terlihat agak gugup. Sorot
mata indah dan paras yang cantik luar biasa, serta bentuk
tubuh menggiurkan di balik pakaian ketat Ratu Pesolek,
membuat Udayana dan Narottama kehilangan suara.
Kelihatan sekali betapa kedua lelaki itu terpesona oleh
sosok Ratu Pesolek.
Mereka memang sudah mendengar tentang
kecantikan Ratu Pesolek. Tapi, sungguh tidak disangka
kalau kenyataannya ternyata jauh lebih cantik dari yang
mereka bayangkan. Meskipun usia mereka sudah cukup
tua, namun sebagai laki-laki normal, pesona Ratu Pesolek
membuat pikiran mereka melayang membayangkan yang
tidak-tidak.
Melihat kedua musuhnya sangat terpesona dengan
dirinya, Ratu Pesolek tersenyum sinis. Tatapan rtata
Narottama dan Udayana yang seperti harimau lapar itu
tentu saja mendatangkan kebanggaan di hati Ratu
Pesolek Itu berarti dirinya masih tetap cantik dan
mempesona.
"Kalian tidak pantas menjadi pengantinku! Jadi,
sebaiknya buang saja jauh-jauh pikiran kotor yang ada
dalam kepala kalian!"
Suara sinis dan angkuh Ratu Pesolek membuat
kesadaran Udayana dan Narottama tergugah. Wajah
keduanya merah bagai terbakar. Ucapan Ratu Pesolek

seolah menelanjangi hasrat mereka.
"Ratu Pesolek!" Udayana yang sudah mencabut
pedangnya, menyilangkan senjata itu di depan dada.
"Kami datang untuk menumpasmu! Bersiaplah...!"
Begitu ucapannya selesai, Udayana menerjang maju
disertai bentakan mengguntur. Senjata di tangannya
"berkelebatan membentuk kilatan-kilatan cahaya putih
yang diiringi suara mengaung tajam. Rupanya, dalam jurus
pertama Udayana langsung mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Agaknya ia sudah banyak mendengar tentang
ketinggian ilmu Ratu Pesolek.
Ratu Pesolek tersenyum sinis. Sambaran pedang
Udayana dielakkan hanya dengan kelitan-kelitan
tubuhnya. Tampaknya, Ratu Pesolek sangat yakin dengan
kepandaiannya. la tidak terlihat buru-buru dalam
menghindari serangan gencar Udayana. Tapi, kelitan-
kelitan yang dilakukannya sangatlah tepat. Jangankan
tubuh, ujung pakaiannya saja tidak dapat disentuh
pedang Udayana. Hingga, lelaki setengah baya itu
penasaran bukan main!
"Udayana, aku datang membantu...!"
Ketika Udayana mempergencar serangannya,
Narottama berseru keras. Ia ikut menggempur Ratu
Pesolek dengan serangan-serangan yang cepat dan kuat.
Tapi meskipun dikeroyok dua orang, Ratu Pesolek tetap
enak saja menggerakkan tubuhnya menghindari kilatan-
kilatan mata pedang kedua lawannya.
Dua puluh jurus sudah Udayana dan Narottama
menyerang tanpa hasil, tiba-tiba Ratu Pesolek melompat
jauh ke belakang. Lalu, dengan sorot mata tajam berkilat
Ratu Pesolek membentak nyaring.
"Berhenti...!"
Hebat sekali pengaruh yang terkandung dalam
bentakan Ratu Pesolek. Tubuh Udayana dan Narottama


bergetar. Kedua lelaki itu tampak terkejut. Ini
membuktikan kalau ilmu tenaga dalam yang dimiliki Ratu
Pesolek telah mencapai tingkat yang tinggi sekali!
"Dengar!" Ratu Pesolek kembali membentak dengan
suara yang mengandung kekuatan sihir. "Kalian satu sama
lain adalah musuh bebuyutan!"
Udayana dan Narottama terkejut ketika merasakan
ada satu kekuatan aneh yang memaksa mereka saling
berhadapan. Dua pasang mata mereka saling tentang.
Ada kilatan dendam dan permusuhan dalam sorot mata
keduanya. Namun, mereka hanya berdiri tegak. Udayana
dan Narottama yang baru sadar mereka telah termakan
pengaruh sihir, tengah berusaha keras untuk
melawannya.
"Angkat senjata kalian...!" seru Ratu Pesolek kembali
bergema. "Tidak ada jalan keluar bagi kalian kecuali saling
bunuh!"
"Haaat..!"
Narottama yang tidak sanggup lagi menahan
pengaruh kekuatan sihir Ratu Pesolek, segera berteriak
menerjang Udayana. Senjata di tangannya menderu ganas.
Bed! Bed! Bed!
Udayana terpaksa berloncatan untuk menghindari
serangkaian serangan Narottama. Seperti halnya
Narottama, Udayana pun akhirnya kehilangan akal
sehatnya. Serangan-serangan Narottama membuat
pertahanannya untuk melawan pengaruh sihir melemah.
Akhirnya, Udayana pun dapat dikuasai Ratu Pesolek.
Dengan tidak kalah ganasnya, dibalasnya serangan
Narottama.
Udayana memutar tubuhnya dengan satu liukj an
manis ketika pedang Narottama hendak memapas batang
lehernya Kemudian, langsung dibalas dengan sebuah
tusukan cepat ke arah jantung!

Trang!
Bunga api memercik ketika Narottama memutar
senjatanya memapaki serangan Udayana. Benturan itu
membuat kuda-kuda keduanya tergempur. Udayana dan
Narottama terjajar mundur. Tapi, Udayana masih lebih
kuat dari Narottama. Ia lebih dulu dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga, ia melesat dengan
sebuah tendangan kilat ke ulu hati Narottama
Bukkk!
Narottama terpekik ngeri. Tendangan telak itu
membuat tubuhnya terpental ke belakang. Udayana tidak
menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia melompat
berputar sambil membabatkan pedangnya memapas
batang leher Narottama.
Crakkk!
Darah segar menyembur tumpah ke tanah. Tak ada
jeritan yang keluar dari mulut Narottama. Kepalanya
langsung putus terbabat pedang Udayana. Narottama
pun ambruk dengan nyawa melayang!
"Hi hi hi...!" Ratu Pesolek tertawa Iepas. Meskipun
pertarungan cukup singkat, hanya memerlukan lima puluh
jurus, namun Ratu Pesolek sangat puas. Ia tidak periu
bersusah payah mengotorkan tangannya
"Bagus... bagus...!" Ratu Pesolek menyambut
kemenangan Udayana. Ditariknya pengaruh sihir yang
menguasai pikiran Udayana. Lelaki itu mendapatkan
kembali kesadarannya.
"Aaaah...!"
Laksana melihat hantu di siang bolong, Udayana
terpekik dengan wajah pucat! Tubuhnya gemetar
menyaksikan mayat Narottama yang tanpa kepala.
Sepasang matanya terbelalak bagai hendak keluar ketika
melihat pedang di tangannya berlumuran darah.
"Tidak! Tidak mungkin aku yang membunuhnya! Aku

belum gila untuk membunuh sahaba sendiri! Tidaaak...!"
Bagai orang kemasukan setan, Udayana berteriak-
teriak panik. Langkahnya terhuyung limbung seraya
memandangi pedang berlumur darah di tangannya. Lalu,
dilemparkannya pedang itu jauh-jauh. Seolah pedang itu
sebuah benda yang mengerikan.
"Siapa lagi yang membunuh sahabatmu itu kalau
bukan kau, lelaki tua yang kejam! Tega sekali kau
memenggal kepala seorang sahabat yang sangat baik dan
seta kepadamu. Arwahnya di alam baka pasti tidak akan
pernah tenang. Arwah sahabatmu itu akan terus
membayangimu sampai kau menyusulnya...!" Ratu Pesolek
berkata dengan suara lantang.
Udayana memalingkan wajahnya menatap Ratu
Pesolek. Kepalanya menggeleng keras, membantah
tuduhan yang dijatuhkan kepadanya. Sesaat kemudian,
Udayana menggeram bagai harimau luka.
"Kaulah yang menjadi penyebab kematian sahabatku
itu, Ratu Pesolek! Ya..., pasti kaulah pembunuhnya.
Bukan aku! Kaulah pembunuhnya, Ratu Pesolek! Aku
akan menuntut balas atas kematian sahabatku itu.
Hiyaaa...!"
Bagaikan singa luka, Udayana menerjang Ratu
Pesolek dengan serangkaian pukulan maut Tapi, Ratu
Pesolek sedikit pun tidak bergeming dari tempatnya.
Dengan tenang, disambutnya semua serangan Udayana.
Plak! Plak! Plak!
"Uuh...!"
Tangkisan Ratu Pesolek membuat Udayana
terhuyung mundur. Ia nyaris terpelanting jatuh. Udayana
menggeram gusar. Tidak peduli meski kepandaiannya
jelas-jelas kalah jauh dengan Ratu Pesolek, ia kembali
menerjang maju!
"Haiiitt..!"

Tiba-tiba saja, sebelum serangan Udayana tiba
dekat, Ratu Pesolek membentak nyaring seraya
merendahkan tubuhnya. Tangan kanannya terayun ke
depan. Sebentuk angin pukulan menderu ke arah
Udayana yang tengah melayang di udara.
Bresssh...!
Kalau saja Udayana tidak menuruti kekalapan
hatinya, belum tentu pukulan itu dapat mengenai
tubuhnya. Tapi, karena ia sudah tidak peduli lagi dengan
keselamatan dirinya, dan pikirannya tengah terguncang,
pukulan dahsyat Ratu Pesolek tak dapat dihindari.
Udayana menjerit ngeri, Tubuhnya lersentak dan
terpental deras ke belakang. Kemudian, terbanting keras
di tanah.
Sesaat Udayana masih menggeliat menahan rasa
sakit pada dadanya yang menghitam dan mengepulkan
asap tipis. Dan sebentar kemudian, tubuh lelaki gagah itu
pun diam tak bergerak-gerak lagi.
Udayana tewas terkena pukulan Racun Lebah yang
dilancarkan Ratu Pesolek.
"Lemparkan mayat-mayat mereka ke hutan...!"
perintah Ratu Pesolek. Kemudian, segera memutar
tubuhnya dan bergerak meninggalkan tempat itu.
***
Begitu tiba di lereng sebelah timur Gunung Abang,
Panji terus mencari tempat kediaman Ratu Pesolek. la
memang tidak bermaksud mengunjungi markas tokoh
sesat itu. Lebih dulu ia hendak menyelidiki keadaannya
dan berapa banyak pengikut Ratu Pesolek. Panji tidak
ingin bertindak gegabah. ia sadar Ratu Pesolek tidaklah
dapat disamakan dengan tokoh-tokoh sesat lainnya. Ratu
Pesolek telah meyakini sebuah ilmu mukjizat yang mampu
membuat dirinya tampak awet muda. Begitu keterangan
yang didapat Panji dari Kakek Tanpa Tanding. Beliau juga

berpesan agar Panji berhati-hatl. Salah-salah ia bisa
menjadi korban keganasan Ratu Pesolek yang setiap
purnama membutuhkan calon pengantin.
Untuk lebih mudah melihat sekitar daerah itu, Panji
mencari dataran yang agak tinggi. Dari atas ia
memandang sekitar lereng sebelah timur.
"Hm... Itu pasti markas Ratu Pesolek...," gumam
Panji ketika melihat sebuah bangunan yang menyerupai
istana. "Rupanya, Ratu Pesolek mendirikan kerajaan kecil
di kawasan Gunung Abang ini."
Setelah mengetahui secara pasti letak markas Ratu
Pesolek. Panji segera mencari tempat yang baik untuk
mengintai. la akan menunggu datangnya malam. Saat hari
mulai gelap, barulah ia akan menyelundup ke dalam istana
mungil Ratu Pesolek.
"Hih hih hih...! Sedang apa kau di situ, Bocah Bagus?
Sedang mencari jangkerik, ya?"
Teguran itu membuat Panji terperanjat Bergegas ia
melompat mundur seraya mendongakkan kepalanya,
memandang ke atas sebatang pohon.
"Gila...! Siapa sosok hitam yang bergelantung-an di
cabang pohon itu?! Mengapa aku sampai tidak
mengetahui kedatangannya?" Panji berkata heran dalam
hati.
"Hih hih hih...! Begitu saja kaget?" Sosok yang
bergelantungan di atas pohon itu bergegas melayang
turun. Siapa lagi sosok itu kalau bukan nenek muka
hitam.
"Siapa kau, Nek? Apa yang sedang kau perbuat di
tempat ini?" Panji bertanya seraya menatap penuh selidik.
Hatinya agak tegang melihat cara nenek itu melayang
turun. Gerakannya demikian ringan.
Tapi, bukan cuma alasan itu yang membuat Panji
mendadak tegang. Ia khawarir nenek muka hitam adalah

salah seorang pengikut Ratu Pesolek. Jika benar
demikian, jelas sangat berbahaya. berarti kedatangannya
telah diketahui. Padahal Panji belum lagi iahu kekuatan
yang dimiliki Ratu Pesolek.
"Cerewet! Ditanya kok malah bertanya!" Nenek muka
hitam mengumpat seraya membanti kakinya ke tanah.
Tapi, kemudian ia terdiam dan menarik kepalanya ke
belakang. Dengan kepala miring-miring, ditelitinya wajah
Panji.
"Hai.... Wajahmu ternyata tampan sekali!" Nenek
muka hitam berseru dengan mata berbinar. "Kau sangat
cocok untuk menjadi pengantin Ratu Pesolek pada malam
pumama tiga hari lagi. Eh, apakah kau sengaja datang
untuk menemui Ratu Pesolek? Tetapi, mengapa harus
mengintip-intip segala?-Lebih baik kau langsung saja
masuk dan menemuinya. Aku berani bertaruh Ratu Pesol
akan langsung setuju untuk mengambil kau sebagal
pengantinnya. Kau pasti mau, bukan? Ratu Pesolek
sangat cantik. Tubuhnya montok dan masih kencang,
walaupun kabarnya ia telah berusia lebih seratus tahun.
Wah, kau pasti akan ketagihan kalau sudah menjadi
pengantinnya. Dan, aku yakin kau tidak akan menolak bila
sudah berjumpa dengan nya. Kau...."
"Nek, Nek, harap berhenti sebentar...." Panji buru-
buru memotong perkataan nenek itu. Dihelanya napas
seraya menggelengkan kepala. Panji menatap wajah nenek
muka hitam lekat-lekat. Keningnya berkerut ketika ia
membaui keharuman yang aneh. "Hm.... Genit sekali
nenek muka hitam ini. Walaupun sudah peot, ia masih
suka memakai wewangian. Benar-benar edan...!" desis
Panji dalam hati. Sementara matanya tetap melekat pada
wajah hitam berkilat seperti pantat dandang itu.
"Wah.... Sinting!" Nenek muka hitam yang kelihatan
agak risih, mengumpat Panji "Mengapa kau memandangj

aku sambil tersenyum-senyum? Apa wajahku seperti
badut? Atau... kau naksir padaku, ya?"
Ucapan nenek muka hitam menyadarkan Panji dari
lamunan. Pemuda itu menghela napas dan menggelengkan
kepalanya.
"Sudahlah, Nek. Langsung saja." Panji berkata seraya
menatap tajam wajah nenek muka hitam. Tapi, pandangan
itu segera dialihkannya ke tempat lain ketika melihat
nenek itu agak risih oleh tatapannya. Kemudian, tanpa
melihat, Panji melanjutkan ucapannya. "Sebenamya apa
maksudmu menggangguku, Nek? Apakah kau salah
seorang pengikut Ratu Pesolek?"
"Aku tidak mau menjawab!"
"Eh?!" Panji tersentak kaget. Suara nenek muka
hitam terdengar seperti orang sedang merajuk. "Mengapa
begitu?!" tanya Panji heran. Ia benar-benar tidak
mengerti. Nenek itu sebentar baik dan kemudian tiba-
tiba berubah marah.
"Aku tidak suka begitu! Aku suka begini!" Lagi-lagi
nenek muka hitam menukas ketus.
"Terserah kaulah, Nek...? Nah, katakanlah, mengapa
kau tidak mau menjawab pertanyaanku?"
"Karena aku bukan pohon, bukan dinding, dan juga
bukan makhluk aneh! Aku tidak suka berbicara dengan
orang yang tidak mau memandang muka-ku!" sentak nenek
muka hitam.
Panji tersenyum. "Baiklah," ujar Panji mengalah.
Lalu, kepalanya diputar menghadapi nenek itu.
"Nah, begitu baru betul! Tapi, jangan terus-terusan
kau pandangi wajahku seperti itu. Perasaanku jadi tidak
karuan, tahu!"
"Wah, susah kalau begini..:?" gumam Panji
menggeleng, tak tahu harus bagaimana berbicara dengan
nenek itu. Dipandang salah, tidak dipandang apalagi.

"Apa! Aku susah untuk mendapat suami! Kurang
ajar! Kau benar-benar merendahkan aku, Bocah
Gendeng!" Nenek muka hitam yang kadang-kadang
memang kurang dengar, mendadak marah. Ia salah
menangkap perkataan Panji yang terdengar tidak begitu
jelas.
"Aku tidak berkata demikian, Nek!" Panji
membantah seraya melompat mundur. Karena, nenek
muka hitam sudah menyiapkan serangannya
"Tidak bisa! Kau sudah menghina! Kau harus diajar
sopan santun, biar Iain kali tidak bicara sembarangan!"
Nenek muka hitam tidak bisa diajak berdamai. Ia
langsung menerjang Panji dengan serangkaian pukulan
yang cepat dan membawa deretan angin keras.
Panji melompat jauh ke belakang menghindari
serangan berbahaya itu.
"Jangan lari kau, pemuda kurang ajar...!" Nenek
muka hitam yang mengira Panji hendak melarikan diri,
bergegas mengejar. Ia kembali melancarkan serangkaian
serangan dahsyat!
***

ENAM

Nenek muka hitam tampak sangat bernafsu untuk
segera merobohkan Panji. Serangannya datang bertubi-
tubi, membuat Panji agak kewalahan untuk
menghindarinya.
Plak! Plak!
Ketika nenek muka hitam terus mendesak Panji
terpaksa memapaki dua buah pukulan berbahaya yang
mengancam pelipis dan dada kirinya. Tubuh nenek muka
hitam terdorong mundur. Begitu pula dengan Panji.
Keduanya sama-sama terkejut Kekuatan tenaga dalam
mereka ternyata berimbang.
"Hm.... Pantas kau berani menyatroni tempat ini
seorang diri, Bocah Bagus. Rupanya kau telah
mempersiapkan bekal yang cukup...." Nenek muka hitam
berkata setengah memuji. Tapi, sorot matanya tidak bisa
menyembunyikan rasa kagumnya.
Panji tidak berkata apa-apa. Pemuda itu kelihatan
sedang berpikir.
"Heran. Mata nenek itu demikian bening. Tak
ubahnya mata seorang perempuan muda...?! Padahal,
sepanjang pengetahuanku mata orang yang sudah tua
akan terlihat agak pudar...?" Panji berkata dalam hati
dengan menentang pandang mata nenek itu.
Dipandangi secara demikian, nenek muka hitam jadi
salah tjngkah. Ia kembali menerjang maju. Kali ini jurus-
jurus yang digunakannya jauh lebih berbahaya. Mau tidak
mau Panji terpaksa mengeluarkan kepandaiannya untuk
menandingi jurus-jurus lawan. Ia tentu saja tidak ingin
celaka di tangan nenek itu.
"Hentikan pertarungan...!"
Di tengah pertarungan yang beriangsung sengit itu,
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Panji dan nenek

muka hitam terpaksa menunda gerakannya. Mereka
berlompatan mundur. Lalu, menoleh ke arah tiga
perempuan cantik berwajah dingin yang muncul dari balik
semak-semak. Mereka adalah Kemani dan dua orang
kawannya, yang merupakan pembantu-pembantu utama
Ratu Pesolek.
Sejak Udayana dan Narottama menyelundup masuk
ke dalam markas mereka, Kemani dan dua orang
kawannya diperintahkan oleh Ratu Pesolek agar lebih
berhati-hati. Bahkan, Ratu Pesolek memerintahkan ketiga
pembantu utamanya itu untuk memeriksa sekitar tempat
itu. Saat sedang melakukan pemeriksaan itulah, Kemani
dan dua orang ka¬wannya mendengar suara-suara orang
bertempur. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat
pertempuran Panji dan nenek muka hitam. Kedatangan
Kemani dan kawan-kawannya memang tidak diketahui
Panji maupun nenek muka hitam. Saat itu mereka tengah
mencurahkan perhatian pada pertarungan.
"Siapa kalian? Sedang apa kalian berada di daerah
kekuasaan kami?" Kemani bertanya seraya menatap Panji
dan nenek muka hitam dengan sorot mata dingin.
"Wah, kasihan...." Nenek muka hitam bergumam
pelan. Kepalanya menggeleng-geleng. Dipandangnya ketiga
perempuan cantik itu dengan tatapan penuh iba. "Siapa
sangka wanita cantik seperti kalian ternyata bermata
buta."
Kemani dan kedua orang kawannya terperanjat
Tatapan mata mereka tampak membayangkan kemarahan.
"Apa maksudmu, Nenek Muka Pantat Kuali?
Sepantasnya kaulah yang buta, bukan kami!" Kemani
menukas dengan ketus dan galak.
"Hm.... Jadi begitu, ya?" Nenek muka hitam manggut-
manggut Lalu sambil menyunggingkan senyum sinis, ia
melangkah maju empat tindak. "Nah, sekarang coba

kalian jawab. Sewaktu kalian datang kami sedang apa,
hayo?l"
"Berkelahi." Tanpa periu berpikir lagi, Kemani
langsung menjawab tandas.
"Bagus! Jawabanmu sangat tepat!" Nenek muka
hitam mengacungkan ibu jarinya "Kalau kalian sudah tahu
kami tadi sedang berkelahi, mengapa harus bertanya lagi?
Bukankah itu buta namanya?"
"Kemani." Salah satu dari dua gadis lainnya
memanggil Kemani. "Nenek jelek ini kelihatannya
mempunyai otak yang kurang beres. Untuk apa
meladeninya. Lebih baik kita habisi saja dia. Sedang
pemuda tampan itu, sebaiknya kita tangkap dan kita
serahkan kepada ratu. Beliau pasti akan senang sekali
mendapat calon pengantin yang muda, tampan, dan
memiliki kepandaian mengagumkan...," lanjutnya
mengusulkan.
"Hm...." Kemani bergumam. Pandangannya beralih ke
arah Panji. "Tapi kita harus hati-hati, Ayu. Kelihatannya
untuk menangkap pemuda itu tidaklah mudah." Kemani
meneliti sekujur tubuh Panji
"Hih hih hih...!" Tiba-tiba nenek muka hitam tertawa
seraya menutupi miilutnya. "Dasar perempuan-perempuan
rakus! Begitu melihat pemuda tampan, mata kalian jadi
hijau. Persis singa-singa betina kelaparan yang melihat
kijang muda."
"Keparat...!" Kemani dan kedua kawannya memaki
dengan wajah merah padam.
"Biar kuhabisi nenek sial dangkalan itu...!" Ayu
menggeram tak sabar. Tanpa menunggu persetujuan
Kemani, ia langsung melompat maju dan mengirimkan
sebuah pukulan maut!
Dukkk!
Nenek muka hitam tidak berusaha menghindar.
Dipapakinya pukulan itu. Ayu menjerit kaget. Tubuhnya
terpental balik Meski tidak sampai terjatuh, namun
kenyataan itu membuat Ayu sadar tenaga dalam nenek
muka hitam berada beberapa tingkat di atasnya.
"Sukreni, bantu dia.:.!" Kemani memerintah
perempuan yang berdiri di sampingnya.
Gadis berambut panjang tergerai hingga ke pinggang
itu segera melayang ke tengah arena. Di tangannya
tergenggam sebuah pecut yang terbuat dari kulit
binatang.
Ctar! Ctarr!
Pecut di tangan Sukreni meledak-ledak memekakkan
telinga. Tapi, nenek muka hitam malah terkekeh.
"Hei! Kau, Kemani!" Nenek muka hitam berseru.
"Kau majulah sekalian. Biar aku tidak perlu bekerja dua
tiga kali...!" tantangnya. Kemudian, dilanjutkan dengan
suara tawa mengikik berkepanjang-an.
Kemani menggeram gusar. la tampak bimbang
menerima tantangan nenek itu. Sesaat ia menoleh ke
arah Panji. Kemudian, berputar memandang nenek muka
hitam.
"Hih hih hih...! Kau takut menghadapiku, Kemani...?"
Nenek muka hitam memanas-manasi Kemani yang tengah
dilanda kebimbangan.
"Nenek Cerewet Keparat...!" Kemani mengumpat
jengkel. Kebimbangan semakin nyata tergambar di
wajahnya. Tapi, akhirnya la mengambil keputusan untuk
menerima tantangan itu. Kemani pun melesat ke arena
untuk mengeroyok nenek muka hitam.
"Nah, begitu baru bagus...!" Nenek muka hitam
tampak semakin gembira. Disambutnya kedatangan
Kemani dengan hangat
"Bersiaplah untuk mampus, Nenek Tak Tahu
Diuntung...!" begitu ucapannya selesai, Kemani menerjang

dengan pukulan tangan kosong.
Ayu dan Sukreni tidak mau ketinggalan. Keduanya
yang berada di kiri-kanan nenek itu segera menyerbu
dengan senjata masing-masing. Sukreni menggunakan
pecut. Sedang Ayu bersenjatakan sepasang trisula
berwama perak.
Meskipun diserang dari tiga jurusan, tapi nenek
muka hitam tampak tenang-tenang saja. la berdiri sambil
berkacak pinggang. Panji yang menyaksikan sikap nenek
muka hitam, mengerutkan keningnya dengan wajah
cemas. Ia khawatir nenek itu akan celaka. Karena,
serangan ketiga perempuan cantik Itu tidak bisa
dipandang ringan! Untuk bergerak membantu, Panji masih
ragu. la takut nenek muka hitam akan berbalik marah
padanya. Panji menjadi bimbang. Ia cuma berdiri dengan
wajah tegang!
"Hyaaa...!"
Sewaktu serangan Kemani, Ayu, dan Sukreni sudah
tiba dekat, tiba-tiba nenek muka hitam membentak
nyaring. Berbarengan dengan itu kedua tangannya
mengibas berputar!
Pembantu-pembantu utama Ratu Pesolek tampak
kaget bukan main. Pandangan mereka terhalang oleh
bubuk-bubuk putih yang ditebarkan nenek muka hitam.
Ketiganya terbatuk- batuk. Bubuk-bubuk putih yang
berbau harum memabukkan itu terhirup hidung mereka,
dan membuat kepala mereka mendadak pening Sesaat
kemudian, ketiganya ambruk ke tanah tak ubahnya
sehelai karung basah.
"Hih hih hih...!" Nenek muka hitam tertawa puas. Ia
menoleh ke arah Panji "Mudah, ya?" ujarnya dengan mimik
wajah lucu.
Panji hanya menarik napas lega. Ia kagum dengan
sikap nenek itu. Perbuatan nenek muka hitam terlalu

berbahaya dan membutuhkan ketenangan serta
keberanian yang luar biasa. Karena, salah perhitungan
sedikit saja, Panji yakin nenek itu pasti akan kehilangan
nyawanya. Ternyata nenek muka hitam telah
memperhitungkan tindakannya dengan tepat. Ia bukan
saja berhasil mengecoh Kemani dan kawan-kawannya.
Bahkan, dapat merobohkan mereka tanpa pedu
mengeluarkan banyak tenaga.
Panji tidak lagi merasa khawatir. Nenek muka hitam
ternyata bukanlah di pihak musuh. Ia melangkah
mendekati nenek itu yang tengah memeriksa ketiga
korbannya yang menggeletak tak sadarkan diri.
"Kau suka kepada mereka?" Begitu Panji tiba dekat,
nenek muka hitam bangkit berdiri dan bertanya.
Panji tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis.
Untuk menjawab tidak, Panji merasa terlalu munafik.
Ketiga perempuan itu memang cantik-cantik.
Tapi, kalau pertanyaan itu dijawab suka, Panji
khawatir nenek muka hitam akan marah. Hal itu tidak
mustahil. Watak nenek muka hitam memang aneh dan
sukar ditebak. Panji memutuskan untuk tidak menjawab.
"Huh, dasar laki-laki! Tidak bisa dipercaya! Munafik!"
Nenek muka hitam mengumpat Telapak tangannya
kemudian dikibaskan di depan wajah Panji.
Panji terkejut Kibasan telapak tangan itu
menyebarkan bubuk berwama putih! Bau harum
memabukkan yang tersedot masuk ke dalam jalan
napasnya membuat Panji sedikit pening. Bergegas ia
melompat mundur seraya mengibaskan tangannya
mengusir bubuk-bubuk pembius. Tapi, nenek muka hitam
ternyata tidak ringgal diam. Selesai mengibaskan bubuk
pembius itu, ia langsung me-nyusupi dengan tebasan
lengannya ke belakang leher Panji.
Desss!

Karena tidak menyangka nenek muka hitam akan
berbuat licik seperti itu, Panji tak sempat lagi
menghindar. Terlebih saat itu ia masih disibukkan oleh
bubuk pembius. Hantaman lengan nenek muka hitam
membuat Panji seketika roboh pingsan!
"Hih hih hih...! Ternyata kau pun tidak sulit untuk
dibohongi!..," ujar nenek muka hitam tertawa puas.
***
Panji tersadar dari pingsannya dan menemukan
dirinya berada di sebuah ruangan yang harum dan indah.
Tubuhnya terbaring di atas pembaringan yang beralaskan
sutera halus berwama merah muda. Bukan cuma alas
pembaringan itu saja yang berwama merah muda.
Permadani yang terhampar menutupi seluruh lantai
ruangan itu juga berwarna merah muda. Tempat itu
tampak marak dan indah dipandang mata.
"Di manakah aku...? Siapakah pemilik kamar yang
indah dan harum ini...?" Panji bergumam de-ngan penuh
rasa heran. Perlahan ia bergerak bangkit. Alangkah kaget
hatinya merasakan kejanggalan dalam dirinya. Kepalanya
terasa berat. Jantungnya berdenyut dua kali lebih cepat
dari biasa. Sekujur tubuh Panji terasa panas bagai
terbakar.
"Hi Hi hi...! Rupanya kau sudah sadar, calon
pengantinku yang tampan."
Sebuah suara merdu merasuk telinganya. Panji
mengangkat kepala. Mulutnya sampai ternganga ketika
melihat seorang perempuan cantik menghampirinya
dengan langkah gemulai. Perempuan itu sangat cantik
dan mempesona. Terlebih dalam balutan pakaian tipis
yang tembus pandang, mencetak lekuk tubuhnya yang
aduhai.
Panji menggoyang-goyangkan kepalanya yang terasa
semakin berat Aliran darahnya menggelora bagaikan

amukan ombak. Panji merasakan sekujur tubuhnya
semakin panas, hingga kulitnya memerah bagai udang
rebus. Saat itu, Panji baru menyadari kalau tubuh bagian
atasnya sama sekali tidak tertutup pakaian.
"Sssi... apa kau...?" Setelah meneguk air liur beberapa
kali, akhirnya Panji dapat melontarkan pertanyaan. Itu
pun terdengar gugup. Deru napasnya demikian deras
mengalir. Seolah ia baru saja berlari cepat menempuh
perjalan yang jauh.
"Aku?" Perempuan cantik itu menegasi. Jari
telunjuknya menunjuk belahan dada yang terpentang
nyata di balik pakaian tipisnya. "Aku adalah calon
pengantinmu...," jawabnya dengan suara merdu.
Dengan perasaan tak karuan dan napas yang Masih
memburu, Panji tidak berusaha menolak ketika
perempuan cantik itu mengulurkan tangan membelai
wajah dan dadanya. Panji merasakan napasnya sesak.
Pemuda itu pun mengulurkan tangan memeluk pinggang
perempuan cantik itu. Keinginan itu tidak dapat
dibantahnya, meskipun ia tahu hal itu tidak benar.
"Hi hi hi..! Kau harus bersabar, Sayangku."
Perempuan cantik itu menolak dengan halus ketika
lengan Panji menarik tubuhnya ke atas pembaring¬an.
"Tunggulah sampai esok tengah malam. Saat itu, barulah
kau boleh menikmatinya sepuasmu...," usai berkata,
perempuan cantik itu melepaskan tangan Panji dari
pinggangnya. Kemudian, ia bergerak bangkit dari atas
pembaringan dan melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Hendak ke mana kau...?" Panji berseru dan hendak
melompat dari atas pembaringan untuk mencegah
kepergian perempuan itu. Tapi, Panji hanya bisa
menggeser tubuhnya dan melorot turun dari atas
pembaringan. Sesaat Panji terpaku seperti kebingungan.
Ketika ia mencoba memusatkan pikiran, kepalanya

semakin terasa pening. Ia tidak bisa berpikir dengan baik.
Malah, ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu
apa-apa. Namanya sendiri pun ia tidak ingat! Panji tidak
tahu bagaimana ia bisa berada di tempat itu. Tidak ingat
lagi apa yang telah dialaminya. Ia bagaikan manusia yang
baru lahir. Panji merasakan keanehan pada dirinya itu.
Tapi, ia tidak mengerti mengapa.
"Siapakah aku...? Siapa perempuan cantik yang
mempesona itu? Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?
Apakah ini rumahku? Milikkukah kamar yang harum dan
indah ini?"
Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu
membuat kepala Panji semakin pusing dan berat.
Akhirnya, ia tidak mempedulikan semua pertanyaan itu.
Tubuhnya direbahkan di atas pembaringan. Karena,
perempuan cantik yang tidak bisa dicegahnya itu telah
lenyap di balik pintu.
***
"Hei, Tampan. Bangunlah...."
Panji membuka matanya ketika mendengar suara
halus dan tepukan pelan pada kedua pipinya. Didapatinya
seorang perempuan muda yang tengah tersenyum manis.
Panji merasa tubuhnya bergetar. Ditangkapnya kedua
pergelangan tangan perempuan muda itu, yang bukannya
ketakutan malah tertawa senang.
"Hik hik hik...!"
Perempuan muda yang mengenakan pakaian seperti
seorang pelayan itu tertawa merdu ketika tubuhnya
berada dalam pelukan Panji. Periakuan Panji malah
dibalasnya dengan tidak kalah panas. Dari duduk,
perempuan muda itu sampai terseret ke atas
pembaringan. Panji mencium wajah perempuan itu dengan
penuh nafsu. Tapi, ketika Panji dan perempuan itu
hendak berbuat lebih jauh, tiba-tiba terdengar sebuah

bentakan menggelegar.
"Pelayan keparati Rupanya kau sudah bosan hidup!"
Bentakan menggelegar itu berasal dari perempuan
cantik yang mengenakan pakaian tipis, yang pertama kali
mendatangi Panji. Tapi, kali ini wajah cantik itu tidak lagi
terhias senyum memikat Sebaliknya, terlihat bengis dan
memancarkan hawa maut. Begitu bentakannya terdengar,
tubuhnya melesat ke arah pembaringan. Sekali sentak
saja, tubuh perempuan muda yang tengah bergumul
dengan Panji itu langsung terenggut dan terlempar jatuh
bergulingan di lantai.
Panji yang saat itu tengah dirasuk nafsu setan
bergegas hendak bangkit Tapi, sebuah totokan yang
dilancarkan perempuan cantik itu membuat tubuh Panji
kembali rebah. Sedang perempuan cantik itu memutar
tubuhnya dan melangkah menghampiri si pelayan.
Perempuan muda itu tengah berlutut dengan tubuh
gemetar ketakutan!
"Kau kuperintahkan untuk membawa makanan,
bukan menggodanya, pelayan tak tahu diuntung!"
Perempuan cantik berpakaian tjpis itu tampak marah
besar.
"Ampun hamba, Gusfi Yang Mulia Ratu Pesolek...."
Pelayan itu merintih. Kedua tangannya dirangkapkan dan
diangkat di atas kepala. Ia tidak berani menatap wajah
junjungannya. "Hamba... hamba... melihat ketampanannya.
Hamba tidak bisa menahan djri, Ratu. Ampunkan
hamba...." ratapnya. -,
"Ampun?" dengus perempuan cantik yang tidak lain
Ratu Pesolek itu. "Dosamu terlalu besar, Pelayan Busuk!
Kau tahu siapa pemuda tampan itu? Ia adalah calon
pengantinku pada malam purnama esok. Tahukah kau,
apa akibatnya kalau sampai tadi kau telanjur
berhubungan dengannya? Itu sama saja dengan

membunuhku, Pelayan Keparat!"
Kemarahan yang meledak-ledak dalam dada-nya
membuat Ratu Pesolek tidak bisa menahan diri lagi.
Dengan wajah bengis, telapak tangan kanannya diayunkan
ke kepala pelayan itu.
Prokkk!
Tamparan Ratu Pesolek langsung meremukkan batok
kepala pelayan yang malang itu. Tak ada jeritan yang
keluar. Sesaat tubuh berlumuran darah itu menggelepar
bagai ayam dipotong. Kemudian, diam tak bergerak-gerak
lagi.
Ratu Pesolek bertepuk tangan tiga kali. Dua orang
penjaga yang juga perempuan muncul dan menghaturkan
sembah. Ratu Pesolek segera memerintahkan untuk
melempar mayat pelayan itu ke dalam hutan. la sendiri
kemudian bergegas pergi meninggalkan kamar setelah
membebaskan totokannya pada tubuh Panji.
***

TUJUH

Malam sudah semakin larut. Di langit bulan pumama
menggantung dengan pendaran sinarnya yang menerangi
jagad raya. Itulah malam yang ditunggu-tunggu Ratu
Pesolek!
Di salah satu ruangan bagian belakang istana mungil
Ratu Pesolek terlihat kesibukan. Seluruh pengikut Ratu
Pesolek telah berkumpul di ruangan yang luas itu. Pada
malam pumama seperti ini istana tidak lagi dijaga. Ratu
Pesolek tidak merasa khawatir musuh akan menyelundup
dan menyerbu istananya. Ratu Pesolek tampaknya sangat
yakin tempat upacara itu tidak akan dapat ditemukan
lawan. Ruangan itu berada di dalam tanah. Selain tidak
ada orang luar yang tahu kalau pada setiap malam bulan
pumama istana tidak dijaga, yang mengetahui tempat
upacara itu pun hanya para pengikutnya saja. .
Ratu Pesolek memang tidak perlu merasa khawatir
para pengikutnya akan berkhianat. Meskipun para
pengikutnya, yang seluruhnya terdiri dari perempuan-
perempuan muda dan cantik, diculik dari keluarganya,
namun Ratu Pesolek telah memberikan mereka ramuan
pelupa ingatan yang diberi mantera-mantera sihir agar
mereka tunduk pada perintahnya. Setiap bulan pumama,
sebelum upacara perkawinan berlangsung, Ratu Pesolek
kembali memberikan ramuan pelupa ingatan kepada se-
mua pengikumya.
Malam terus merambat Ratu Pesolek sudah
berdandan secantik-cantiknya. Bau harum tubuhnya
memenuhi seluruh ruangan. Malam itu Ratu Pesolek
mengenakan pakaian tipis berwarna merah. la duduk
bersila di atas sebuah altar batu berbentuk persegi
panjang.
Seperti halnya Ratu Pesolek, Panji yang duduk

bersila di samping kanannya tampak telah didandani
sedemikian rupa. Panji duduk dengan tenang. Kedua
matanya tertuju lurus ke depan.
"Hai, para pengikut setiaku...!" Ratu Pesolek berkata
seraya mengedarkan pandangannya merayapi wajah
pengikutnya satu persatu. "Sebelum acara dilanjutkan,
seperti biasanya, aku telah menyediakan ramuan yang
akan membuat kalian tetap muda sepertiku, dan tetap
setia kepadaku...!"
Dengan isyarat tangannya, Ratu Pesolek
memerintahkan para pengikutnya agar maju satu persatu.
Mereka berjalan berputar melewati depan altar. Di
hadapan Ratu Pesolek mereka meneguk ramuan yang
diruangkan seorang pelayan ke dalam cangkir perak.
.Sementara yang lainnya berbaris menunggu giliran
Kemani, Ayu, dan Sukreni yang berdiri di samping kiri
Ratu Pesolek, menyaksikan kawan-kawannya meneguk
ramuan. Namun, wajah mereka tampak diliputi
kegelisahan. Ketegangan membayang jelas di wajah keriga
wanita itu. Setiap kali seorang anggota maju dan
meneguk ramuan di dalam cangkir perak, mereka menarik
napas dan saling mencuri pandang.
Semakin pendek barisan yang menunggu giliran,
semakin nyatalah kegelisahan keriga pembantu utama
Ratu Pesolek itu. Malah, wajah mereka mulai dibasahi
peluh.
"Hei, tunggu...!"
Ketika barisan semakin pendek dan tinggal tiga
orang lagi, tiba-tiba Ratu Pesolek berseru keras. Tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Saat itu, salah seorang
pengikutnya berdiri di hadapannya dan tengah mengulur
tangan untuk mengambil cangkir perak. Ratu Pesolek
menahannya. Keningnya tampak berkerut. Matanya
menyapu wajah perempuan muda dan cantik yang berdiri

di hadapannya.
"Rasanya selama ini aku belum pemah melihatmu..?"
Ratu Pesolek berkata bimbang.
"Siapa namamu?" tanyanya dengan sorot mata curiga.
"Ampunkan hamba, Ratu." Perempuan cantik
berwajah bulat telur itu menghaturkan sembah. "Orang
seperti hamba mana pantas mendapat perhatian Ratu.
Hamba hanyalah pengikut rendahan yang tidak berarti
apa-apa. Adalah layak jika Ratu tidak mengenal wajah
hamba...," ujarnya dengan tutur kata halus.
Jawaban yang masuk akal itu membuat Ratu Pesolek
mengangguk-angguk. Tapi, sorot matanya tidak terlepas
dari raut wajah di depannya. Ada sesuatu yang dirasakan
Ratu Pesolek pada diri pengikutnya itu. Tidak seperti
pengikutnya yang lain, perempuan lni tampak tidak
memperlihatkan rasa takut Ucapannya demikian tenang
dan teratur. Terlalu tenang dan mencurigakan bagi Ratu
Pesolek.
"Hm.... Dapatkah kau menunjukkan kesetiaan dan
kepatuhanmu?" Setelah terdiam beberapa saat, Ratu
Pesolek menemukan cara terbaik untuk menguji
pengikutnya itu.
"Apa yang Ratu perintahkan akan hamba patuhi.
Jika nyawa hamba yang Ratu minta, saat ini juga hamba
serahkan." Tegas dan tidak ragu-ragu jawaban yang
diberikan perempuan itu. Wajahnya membayangkan
kesungguhan. Hingga, Ratu Pesolek menjadi bimbang.
"Kalau begitu, silakan kau penggal batang lehermu
sebagai tanda kesetiaanmu kepadaku!" perintah Ratu
Pesolek.
"Titah Ratu akan hamba laksanakan...!" Lantang dan
penuh kepatuhan jawaban perempuan itu. Sepasang
matanya tampak berbinar. Permintaan Ratu Pesolek
seperti menimbulkan kebanggaan baginya. Tidak terlihat

rasa takut sedikit pun pada wa¬jah perempuan muda itu.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Kemani, Ayu,
dan Sukreni. Wajah ketiga pembantu utama Ratu Pesolek
itu tampak memucat. Lagi-lagi mereka saling mencuri
pandang.
"Ampunkan hamba, Ratu...." Tiba-tiba Kemani
membuka suara seraya menghaturkan sembah kepada
junjungannya.
"Hm...." Ratu Pesolek bergumam tak jelas. Kepalanya
menoleh ke arah Kemani. Kening Ratu Pesolek berkerut
ketika menatap wajah Kemani. Nalurinya membaui
sesuatu yang mencurigakan. Tapi, ia ragu. Kemani adalah
orang kepercayaannya.
"Apa yang hendak kau sampaikan, Kemani?!" Ratu
Pesolek bertanya ketus. Tampak jelas ia tidak senang
dengan perbuatan Kemani.
"Hamba rasa kesetiaan dan kepatuhan yang
diucapkannya tidak perlu diwujudkan dengan perbuatan,
Ratu." Dengan wajah tertunduk, Kemani mengutarakan
pendapatnya.
"Mengapa begitu...?!" Kening Ratu Pesolek semakin
berkerut dalam. "Jelaskan alasanmu, Kemani!" suara Ratu
Pesolek meninggi.
"Karena... karena... dari wajah dan kata-katanya,
terbayang jelas kesungguhan hatinya, Ratu. Orang seperti
itu kalau diberi kesempatan untuk mengabdi akan sangat
berguna sekali." Meskipun agak gugup dan terpatah-
patah, Kemani dapat juga mengajukan alasannya.
"Hm...." Lagi-lagi Ratu Pesolek hanya bergumam tak
jelas. la menyadari betul kebenaran ucapan pembantu
utamanya itu. Tapi, karena nalurinya masih membaui
sesuatu yang tidak beres, Ratu Pesolek tidak merubah
pendiriannya. Ia tetap menghendaki agar perempuan itu
menunjukkan kesetiaan dan kepatuhannya

Tanpa setahu Ratu Pesolek, perempuan yang tengah
diributkan itu mengerjapkan sebelah matanya kepada
Kemani, saat ekor mata Kemani melirik ke arahnya.
"Hamba siap menjalankan perintah...." Perempuan itu
mengalihkan perhatian Ratu Pesolek dari Kemani. Dan,
tanpa menunggu lagi, ia meminta sebatang pedang dari
salah seorang kawannya.
Ratu Pesolek memandang tanpa berkedip ketika
perempuan itu memalangkan mata pedang di
tenggorokannya. Sedang perempuan itu memandang Ratu
Pesolek dengan bibir tersenyum. Sesaat kemudian,
pedang yang melekat di tenggorokannya itu pun
digerakkan!
Cwiittt!
Disertai suara bercuitan, pedang di tangan
perempuan itu membabat cepat Bukan ke arah lehernya,
tapi ke arah leher Ratu Pesolek yang berada tepat
setengah tombak di depannya!
"Keparat..!" Ratu Pesolek gusar bukan main. Ia
terkejut menyaksikan kecepatan dan kekuatan serangan
itu.
Begitu ujung pedang tiba dekat Ratu Pesolek
bergegas memiringkan kepalanya. Bersamaan dengan itu,
kaki kanannya mencuat ke arah lambung perempuan itu
"Haiittt...!"
Plakkk!
Serangan balasan Ratu Pesolek tidak membuat
perempuan itu gugup. Dengan gerakan yang indah
disertai bentakan nyaring, ditepiskannya tendangan Ratu
Pesolek dengan menggunakan telapak tangan kiri. Dan,
benturan itu digunakan untuk melambungkan tubuhnya
ke udara, tepat di atas kepala Ratu Pesolek. Dari atas,
ujung pedangnya ditusukkan ke arah ubun-ubun Ratu
Pesolek!

Crakkk!
Ujung pedang menancap di batu altar sampai dua
jengkal lebih. Sedangkan tubuh Ratu Pesolek sudah
menggelinding meninggalkan altar.
"Hyahhh...!"
Sebelum perempuan itu sempat mencabut
senjatanya yang tertanam di batu altar, Ratu Pesolek
sudah melenting dan melompat dengan sebuah tendangan
kilat!
Desss...!
Meskipun sudah berusaha menghindar, tak urung
tendangan kilat itu singgah di pangkal lengan kanannya.
Perempuan itu terlempar dan jatuh terguling-guling di
lantai. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah.
Namun, dengan sigap perempuan itu melenting bangkit.
Pedangnya dilintangkan d depan dada, siap melanjutkan
perkelahian.
"Keparat! Apa hubunganmu dengan Bidadari
Kintamani?" Rupanya, meski baru bergebrak beberapa
jurus, Ratu Pesolek segera dapat mengenali dasar ilmu
perempuan itu.
"Akulah Bidadari Kintamani..." Perempuan itu
menjawab tegas. Tidak ada kesan main-main pada nada
suaranya.
"Jangan coba mempermainkan aku, Bangsat Kecil!
Bidadari Kintamani sudah kulenyapkan lima tahun silam,
sewaktu ia bersama tokoh-tokoh silat lainnya datang
menyerbu istana ini. Jadi sebaiknya kau mengaku saja,
sebelum menghadap malaikat maut!" ujar Ratu Pesolek
dengan sepasang mata mencorong tajam.
"Untuk apa aku berbohong kepadamu, Ratu Pesolek.
Bidadari Kintamani adalah guruku. Beliau memang tewas
di tempat ini bersama suami dan beberapa orang tokoh
persilatan. Itulah sebabnya mengapa aku memusuhimu!

Kematian guru harus kubalaskan!" Murid Bidadari
Kintamani yang menamakan dirinya sama seperti nama
gurunya menjelaskan secara singkat. Lalu, ia menoleh
kepada Kemani, Ayu, dan Sukreni yang saat itu berada
tidak jauh di belakangnya.
"Kemani, bawa Pendekar Naga Putih pergi dari
tempat ini! Minumkan ramuan ini kepadanya...!" Bidadari
Kintamani berseru seraya melemparkan sebuah
bungkusan kain yang langsung ditangkap Kemani
"Ayu, Sukreni, lindungi aku...!" Kemani berkata
kepada kedua kawannya. Ia melompat ke arah Panji yang
masih duduk bersila seperti patung dengan ratapan mata
lurus ke depan.
Ayu dan Sukreni tidak membuang-buang waktu lagi.
Kedua perempuan cantik itu bergegas melindungi Kemani
dari serangan para pengikut Ratu Pesolek, yang telah
bergerak maju untuk mencegah perbuatan Kemani dan
kedua kawannya.
"Pengkhianat-pengkhianat busuk.' Kupecahkan
batok kepala kalian...!" Ratu Pesolek murka bukan main.
Ia tentu saja tidak akan membiarkan calon pengantinnya
dibawa pergi. Dengan sebuah lengkingan panjang, Ratu
Pesolek melayang disertai ayunan telapak tangan kirinya.
Ia mengirimkan pukulan udara kosong yang sangat
dahsyat!
"Akulah lawanmu, Ratu Laknat...!" Bidadari
Kintamani segera melesat memotong jalan Ratu Pesolek.
la mengirimkan serangkaian serangan yang langsung
mengancam tiga jalan darah kematian di tubuh Ratu
Pesolek!
Derrr...!
Pukulan udara kosong Ratu Pesolek tidak mengenai
sasaran. Kemani sudah keburu menghindar dengan
menggulingkan tubuhnya di lantai. Sedangkan pukulan

maut itu terus menderu menghajar dinding hingga
bergetar. Langit-langit ruangan rontok berjatuhan ke
lantai.
Ratu Pesolek segera disibukkan oleh serangan
Bidadari KintamanL Tokoh wanita sesat nomor satu yang
sangat ditakuti di seluruh Pulau Bali itu menggeram
murka. Ia tidak menduga perempuan cantik yang
menyamar sebagai pengikutnya itu ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Biar tak satu pun dari serangan itu
yang mengenai tubuhnya, namun untuk beberapa jurus,
Ratu Pesolek terdesak dan tidak diberi kesempatan
untuk membalas.
"Bangsaaat! Kelak akan kubeset kulitmu, Perempuan
Sialan...!" Ratu Pesolek menyumpah-nyumpah. Serangan-
serangan Bidadari Kintamani benar-benar membuatnya
kelabakan! Ia tidak dapat menyelamatkan calon
pengantinnya. Jangankan mencegah perbuatan Kemani,
untuk melirik saja ia tidak sempat!
"Heaaat...!"
Karena kesempatan yang ditunggu-tunggu tak juga
didapat, Ratu Pesolek menjadi nekat. Sambaran pedang
Bidadari Kintamani yang mengaung menuju lambungnya
langsung dipapaki dengan tamparan telapak tangan
kanan!
Ratu Pesolek tertipu. Bidadari Kintamani ternyata
tidak meneruskan serangannya. Tamparan Ratu Pesolek
menerpa angin kosong. Karena, Bidadari Kintamani sudah
memutar pedangnya dengan gerakan yang tak terduga,
dan terus dibabatkan ke arah leher!
Crasss!
"Akh...!"
Ratu Pesolek menjerit ngeri. Meskipun ia telah
berusaha menghindar dengan menarik kepalanya ke
belakang, tapi bahu kanannya tergores mata pedang.

Luka yang cukup dalam itu membuat Ratu Pesolek
menggigjt bibirnya kuat-kuat. Sepasang matanya berkilat
menyeramkan ketika melihat lelehan darah yang mengalir
membasahi lengannya.
"Hih hih hih...! Malam ini ajalmu akan riba, Ratu
Jalang...!" Bidadari Kintamani tertawa mengejek. Ia
segcra kembali mempersiapkan serangan berikutnya.
Ratu Pesolek tidak mempedulikan ejekan lawannya.
Kesempatan yang hanya beberapa saat itu digunakan
untuk melirik ke arah calon pengantinnya. Tapi, Panji
telah lenyap dari tempat itu Juga Kemani dan Sukreni.
"Kemaniii...!" Ratu Pesolek berteriak melengking
menumpahkan kemarahan yang menyesakkan dadanya.
"Tunggu pembalasanku! Akan kuhirup darahmu! Akan
kukeluarkan jantungmu!" usai berkata, Ratu Pesolek
memutar tubuhnya melesat pergi meninggalkan Bidadari
KintamanL
"Mau lari ke mana kau, Ratu Mesum...?" Bidadari
Kintamani bergerak ingin mengejar. Tapi, niat itu
terpaksa ditundanya. Sewaktu ia melirik ke belakang,
dilihatnya Ayu tengah terdesak oleh keroyokan lawan-
lawannya. Perempuan itu tengah berusaha mati-matian
mempertahankan selembar nyawanya.
Untuk sesaat, Bidadari Kintamani tertegun bang, la
menoleh ke arah lenyapnya sosok Ra Pesolek. Lalu,
menatap Ayu yang tampak semakin kewalahan. Bidadari
Kintamani mendengus. Ia segera melayang ke arah
pertempuran. Bidadari Kintamani memutuskan untuk
menyelamatkan Ayu lebih dulu.
Dalam pertempuran itu, Bidadari Kintamani tidak
menggunakan pedang. Senjata itu tidak lagi
diperlukannya. la memang tidak bermaksud membunuh
para pengikut Ratu Pesolek yang adalah gadis-gadis desa
yang diculik Ratu Pesolek.

"Ayu, jangan bunuh mereka. Lumpuhkah saja...!"
Sambil melancarkan tamparan dan totokan, Bidadari
Kintamani mengingatkan Ayu. Bersamaan dengan itu,
Bidadari Kintamani merobohkan tiga orang
pengeroyoknya yang langsung terpelanting roboh tak
sadarkan diri.
"Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Bidadari!"
seraya melontarkan serangan dengan jurus-jurus tangan
kosong, Ayu berteriak mengingatkan.
"Usulmu sangat baik, Ayu...!" jawab Bidadari
Kintamani setelah mempertimbangkan sesaat Ia
menerobos kepungan dan memerintahkan Ayu agar lebih
dulu menyelamatkan diri.
"Hiaaah...!"
Setelah Ayu terbebas dari kepungan dan melesat
keluar dari tempat itu, Bidadari Kintamani membentak
Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan untuk
membendung lawan-lawan yang hendak mengejar.
Bresss...!
Pukulan itu tentu saja tidak dilakukan dengan
sepenuh tenaga. Bidadari Kintamani sudah mengukurnya,
agar tidak sampai mencederai lawan-lawan-nya, apalagi
menewaskan. Setelah itu, ia melesat pergi menyusul Ayu.
Keduanya bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk
menemui Kemani dan Sukreni.
Panji memandangi empat orang perempuan cantik
yang mengelilinginya. Sementara yang di-pandang cuma
tersenyum-senyum. Saat itu Panji memang terlihat lucu.
Wajahnya menggambarkan kebingungan yang sangat.
Pandangannya tampak seperti orang tolol.
"Kalian... mengapa kalian tidak menyerangku? Dan...,
mengapa aku bisa berada di tempat ini...?" tanya Panji
keheranan. Ia membuang pandangannya menatap riak air
sungai.

Panji berusaha mengingat-ingat apa yang telah
dialaminya. Seketika terbayang wajah seorang nenek-
nenek yang hitam seperti pantat kuali. Tiga orang
perempuan cantik yang dirobohkan nenek muka hitam itu
kini tengah duduk memandangi dirinya.
"Seingatku, nenek muka hitam menyerangku dengan
licik. Ia menggunakan bubuk pembius Mungkinkah aku
tak sadarkan diri...," gumam Panji pada dirinya sendiri. la
berpaling dan dipandanginya keempat perempuan cantik
itu satu persatu.
"Kami sudah bukan pengikut Ratu Pesolek lagi,
Pendekar Naga Putih...." Kemani rupanya tidak tega
membiarkan Panji dalam kebingungan
"Ya, kami sudah sadar sekarang. Selama ini Ratu
Pesolek membelenggu ingatan kami dengan ramuan
pelupa ingatan yang telah diberi mantera sihir. Untunglah
nenek muka hitam menolong kami." Sukreni menyambung
dengan bibir tersenyum.
"Laju, ke mana nenek muka hitam itu seka¬rang?
Hm.... Ia telah menyerangku secara licik Kelak aku akan
membalasnya...," ujar Panji.
"Nenek muka hitam sudah tidak ada lagi di dunia
ini...." Bidadari Kintamani memberi tahu.
"Lalu, siapa yang membawa aku ke tempat ini?"
Pertanyaan Panji membuat keempat perempuan cantik
itu tersenyum-senyum.
"Hai...?!" Panji terpekik ketika melirik pakaian yang
melekat di tubuhnya. "Siapa... siapa yang mengenakan
pakaian ini ke tubuhku...?"
Kemani, Ayu, Sukreni, dan Bidadari Kintamani
malah tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air
mata.
"Kurang ajar! Ini pasti ulah nenek licik itu...!"
Panji menggeram dengan wajah merah. Ia merasa

jengah membayangkan bagaimana pakaian itu bisa melekat
ke tubuhnya. Ini bukan pakaiannya. Apa-lagi ada bau
wewangian yang menyengat hidung.
"Sudahlah." Bidadari Kintamani berkata menengahi.
"Sebaiknya lupakan saja dulu persoalanmu dengan nenek
muka hitam. Yang terpenting sekarang adalah
melenyapkan Ratu Pesolek. Saat ini kekuatan yang
dimilikinya berkurang banyak. Kita harus segera kembali
ke istana untuk membunuh-nya. Apabila ia mendapatkan
pengganti pengantin yang lenyap dan telah menyelesaikan
upacara perkawinan, kita harus menunggu purnama
depan untuk dapat membunuhnya." Bidadari Kintamani
bergegas bangkit.
Kemani, Ayu, dan Sukreni ikut bangkit berdiri.
Cuma Panji yang masih terduduk bingung. la tak mengerti
dengan pembicaraan perempuan cantik yang mengenakan
pakaian merah muda itu. Baru beberapa saat kemudian,
setelah teringat sebagian perkataan Bidadari Kintamani
yang menyinggung tentang penyerangan ke tempat Ratu
Pesolek, Panji segera bangkit berdiri. Meskipun tidak
mengerti mengapa tubuhnya terasa agak lemas, Panji
segera berlari mengikuti keempat perempuan cantik yang
baginya masih misterius itu
***

DELAPAN

Istana Ratu Pesolek tampak sunyi Halaman bagian
depan gelap tanpa ada penerangan cahaya obor. Selain
itu tak terlihat seorang pun pengikut Ratu Pesolek yang
berjaga-jaga. Suasana di sekitar istana sepi mencekam
bagai telah ditinggalkan penghuninya.
"Kesunyian yang mencurigakan...." Bidadari
Kintamani bergumam lirih. Sepasang matanya merayapi
sekitar halaman depan istana. Saat itu Bidadari
Kintamani, Pendekar Naga Putih, dan tiga orang
pembantu utama Ratu Pesolek yang telah disadarkan dari
kesesatannya tengah mengintai dari balik semak-semak.
"Sebaiknya kita berpencar...." Panji yang berada di
samping Bidadari Kintamani mengajukan usul.
Bidadari Kintamani memandang Kemani, Ayu, dan
Sukreni. Ketiga gadis cantik itu mengangguk setuju.
Bidadari Kintamani tersenyum manis dan menoleh ke arah
Panji.
"Aku bersama Ayu dan Sukreni akan masuk dari
pintu depan. Kau bersama Kemani masuk lewat pintu
belakang. Kau setuju? Atau masih mempunyai usul yang
lebih baik?" Bidadari Kintamani berkata kepada Panji
"Usulmu sudah cukup baik...," jawab Panji.
Kemudian, pemuda itu mengajak Kemani. Keduanya
segera berari mengitari halaman luar istana menuju
bagian belakang.
Bidadari Kintamani bergerak bersama Ayu dan
Sukreni. Dengan hati-hati, ketiga wanita cantik itu
menyelinap masuk melalui pintu depan. Terus memasuki
bagian dalam istana. Tapi, meskipun seluruh kamar-kamar
telah mereka periksa, namun tak seorang manusia pun
mereka temukan.
"Kurang ajar! Apakah Ratu Pesolek dan pengikut

pengikutnya telah minggat meninggalkan istana ini..?!"
Bidadari Kintamani menggeram gusar. la mengajak Ayu
dan Sukreni memeriksa ruangan bawah tanah yang biasa
dijadikan tempat untuk mengadakan upacara. Ketiga
wanita itu kembali tertegun heran. Ruangan itu pun
kosong. Bahkan, beberapa peralatan yang berada di dalam
ruangan lenyap!
"Celaka...!" Ayu dan Sukreni berdesis pucat. Mereka
menatap Bidadari Kintamani dengan wajah ketakutan.
"Mengapa... apa... yang kalian pikirkan...?" Bidadari
Kintamani jadi gugup, terpengaruh sikap Ayu dan
Sukreni.
"Jangan... jangan...." Ayu tidak melanjutkan
kalimatnya. Ia memandang Sukreni dengan napas sedikit
memburu.
"Upacara pemikahan dilanjutkan di tempat lain...,"
Sukreni berdesis ragu.
"Apakah Ratu Pesolek masih mempunyai calon
pengantin lain? Dan, selain di ruangan ini, di mana lagi
biasanya upacara diadakan?" Bidadari Kintamani bertanya
cemas. Kalau sampai Ratu Pesolek" menyelesaikan
upacara pemikahan pada pumama malam itu, akan sulit
sekali untuk menandingi kesaktiannya.
"Pada setiap purnama, sedikitnya Ratu Pesolek telah
menyiapkan tiga orang pemuda untuk dijadikan
pengantinnya. la memilih yang terbaik Sedang dua lainnya
hanya untuk memuaskan keinginan gilanya saja. Mengenai
tempat untuk upacara pernikahan, selain ruangan bawah
tanah ini, kami tidak tahu lagi. Setahu kami, hanya
ruangan inilah yang digunakan pada setiap malam
purnama...," jelas Sukreni
Ketiga perempuan itu serentak berpaling ketika
mendengar suara langkah kaki mendatangi tempat itu.
Sesaat kemudian, muncullah Panji dan Kemani. Keduanya

mengangkat bahu, tanda mereka pun tidak menemukan
Ratu Pesolek dan pengikut-pengikutnya.
"Mungkin masih ada ruangan bawah tanah yang lain
di sekitar istana ini...." Panji menduga-duga.
Suasana hening sesaat. Bidadari Kintamani yang
lainnya memikirkan dugaan Panji. Tapi, sebelum mereka
sempat bergerak mencari ruangan lainnya, tiba-tiba
terdengar suara tawa mengikik yang mendirikan buiu
roma.
"Hi hi hi...!"
"Ratu Pesolek...!" Ayu, Sukreni, dan Kemani berseru
dengan wajah pucat Seketika tubuh mereka gemetar
ketakutan. Mereka langsung bisa menebak si pemilik
suara.
"Celaka...! Ayo, kita keluar dari tempat ini..!" Panji
langsung tanggap dengan keadaan itu. la segera
berkelebat menuju pintu.
Blammm!
Terlambat! Sebelum Panji mencapai pintu,
lempengan baja itu bergerak menutup dengan suara
berdentam keras. Dari celah-celah pintu baja tampak
asap tipis berwama kekuningan menerobos ma-suk
"Asap Kematian...!"
Kemani, Ayu, dan Sukreni yang telah mengenal baik
asap beracun itu berteriak seraya melompat jauh ke
belakang. Wajah mereka yang dibanjiri keringat dingin
terlihat pucat bagai mayat.
Bidadari Kintamani pun seperti kehilangan akal. Ia
sudah pemah mendengar tentang 'Asap Kematjan'. Suatu
asap beracun yang dapat membuat kulit menjadi rusak
seperti terkena penyakit cacar. Kemudian, daging-daging
di tubuh akan membusuk periahan-lahan, mengembung
dan berisikan cairan berbau busuk. Sampai akhimya, si
korban menemui kematian dengan sekujur badan rusak.

Bidadari Kintamani tak dapat membayangkan dirinya akan
menemui ajal sedemikian menakutkan.
"Aku... aku tidak mempunyai cara untuk menangkal
racun itu. Pendekar Naga Putih...." Bidadari Kintamani
mengeluh dengan wajah pucat
Rupanya, sehebat-hebatnya kepandaian Bidadari
Kintamani, ia masih saja seorang perempuan yang sangat
takut kulit wajah dan tubuhnya menjadi rusak. Terlebih
cara kerja racun 'Asap Kematian' sangat hebat sekali.
Korban keganasannya baru akan menemui ajal setelah
menjalani azab kira-kira setengah tahun. Selama itu ia
akan hidup dengan keadaan tubuh yang menjijikkan.
Kalau menghadapi maut, Bidadari Kintamani tidak akan
gentar. Tapi, ancaman 'Asap Kematian' benar-benar telah
meruntuhkan keberanian wanita perkasa itu.
"Mari ikut aku...." Setelah berpikir beberapa saat,
Panji menarik lengan Bidadari Kintamani untuk
berkumpul bersama Kemani, Ayu, dan Sukreni. "Aku akan
mencoba sesuatu. Tapi, aku belum yakin akan berhasil.
Aku belum pernah melakukan-nya...," jelas Panji yang
segera duduk bersila. la memberi isyarat agar yang lainnya
mengikuti.
"Sekarang kosongkan pikiran kalian. Jangan coba
melawan apabila ada hawa panas yang menerobos
masuk..." Panji memberi penjelasan seraya memejamkan
matanya. Lalu, dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi'.
Sebentar kemudian, saat asap berwama kuning itu
semakin mendekati mereka, sinar kuning keemasan
berpendar menyelimuti tubuh Panji. Lalu, menjalar ke
tubuh Bidadari Kintamani dan Kemani melatui tangan
Panji yang saling bergenggaman dengan kedua gadis yang
duduk bersila di kiri-kanannya. Terus menjalar ke tubuh
Ayu dan Sukreni. Sukreni berpegangan tangan dengan

Bidadari Kintamani. Sedang Ayu berpegangan pada
lengan Kemani. Terlihatlah sebuah pemandangan yang
aneh. Sinar kuning keemasan yang berasal dari tenaga
mukjizat Panji menyebar dan membungkus tubuh kelima
orang itu.
Usaha percobaan Panji ternyata tidak sia-sia.
Meskipun ia harus menguras banyak tenaga, namun
mukjizat 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang memang
merupakan penolak segala jenis racun mampu
memusnahkan asap-asap berwarna kuning yang memenuhi
ruangan. Lapisan sinar kuning keemasan itu seperti
sebuah besi sembrani. Ia membuat asap-asap itu bagai
besi-besi yang tertarik mendekatinya. Asap-asap yang
mendekat sinar kuning keemasan lenyap entah ke mana.
Seolah ter-sedot masuk ke dalam terowongan. Sehingga,
lama-kelamaan, asap-asap mengerikan itu pun lenyap
tanpa sisa.
" Setelah ruangan itu kembali bersih, secara
perlahan sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuh
kelima orang itu lenyap dan masuk ke dalam tubuh Panji.
Sesaat kemudian, Panji membuka matanya. Ia menekan
genggamannya pada telapak tangan Bidadari Kintamani
dan Kemani.
"Aah...." Bidadari Kintamani menghela napas lega
begitu membuka kedua matanya. "Bagaimana cara kau
melenyapkan asap-asap maut itu, Pendekar Naga Putih?"
tanyanya hampir tak percaya dirinya dapat selamat dari
ancaman 'Asap Kematian'.
Panji hanya tersenyum tipis. Tapi, ketika melihat
keempat gadis cantik itu memandangnya penuh tuntutan,
Panji pun memberikan keterangan seperlunya.
"Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana asap-asap
beracun itu bisa lenyap. Tapi yang jelas aku mendapat
anugerah suatu kekuatan ajaib ya mampu menolak dan

memusnahkan segala jenis racun. Nah, kekuatan itulah
yang tadi kugunakan untuk melindungi kita semua.
Kekuatan ajaib itu membentuk sinar kuning keemasan
yang menyelimuti tubuh kita. Puas?" tanya Panji
tersenyum akhir penjelasannya.
"Hmm.... Kalau begitu, sekarang kita tinggal
menunggu kemunculan Ratu Pesolek" Semangat Bidadari
Kintamani timbul kembali. "Sepanjang yang kudengar,
belum ada seorang tokoh pun yang dapat selamat dari
'Asap Kematian'. Ratu Pesolek pasti mengira kita semua
tidak akan dapat selamat dari asap maut itu. Aku yakin
sebentar lagi dia akan datang...."
Baru saja Bidadari Kintamani menyelesaikan
ucapannya, Panji mendengar suara langkah kaki banyak
orang menuju ke tempat itu. Bidadari Kintamani pun
mendengarnya. Keduanya saling bertukar pandang.
Mereka segera mengajak Kemani, Ayu, dan Sukreni
untuk menyambut kedatangan Ratu Pesolek dan
pengikut-pengikutnya.
***
"Selamat berjumpa lagi, Ratu Pesolek...." Begitu
pintu baja dibuka dari luar, Bidadari Kintamani langsung
menyambut kedatangan Ratu Pesolek dan sisa-sisa
pengikutnya.
"Mustahil...?!"
Ratu Pesolek tersurut mundur dengan wajah kaget
luar biasa. Sungguh tidak masuk di akal musuh-musuhnya
masih tetap segar-bugar setelah ia .memasukkan 'Asap
Kematian' ke dalam ruangan.
"Tuhan masih memberikan kami waktu untuk hidup,
Ratu Pesolek. Kau tidak perlu kaget atau pun heran.
Tidak selamanya kejahatan dapat ber kuasa di muka bumi
ini...." Bidadari Kintamani tersenyum penuh kemenangan.
Tokoh wanita dari Kintamani ini tampaknya sangat puas

dapat membuat Ratu Pesolek kaget daan penasaran
"Seraaang...!"
Ratu Pesolek tidak lagi mempedulikan ucapan
Bidadari Kintamani. Ia segera memerintahkan para
pengikutnya untuk menyerbu masuk.
"Kemani, Ayu, dan Sukreni. Kalian hadapi mereka.
Biar aku dan Pendekar Naga Putih yang akan membekuk
Ratu Pesolek...!" Bidadari Kintamani bertindak cepat
memberi perintah kepada ketiga kawannya. Lalu, ia
menoleh kepada Panji. "Ayo kita gempur iblis betina itu
bersama-sama, Pendekar Naga Putih...."
Bidadari Kintamani langsung menerjang Ratu
Pesolek dengan pukulan mautnya. Panji segera menyusul.
Agak risih juga Panji karena harus mengeroyok Ratu
Pesolek. Meskipun kabarnya tokoh wanita sesat itu
memiliki kepandaian tinggi, namun ia sendiri belum pernah
merasakannya. Sehingga, dalam melakukan pengeroyokan
Panji tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. la lebih
banyak bertindak sebagai pelindung Bidadari Kintamani.
Tapi, setelah bertempur kurang lebih dua puluh
jurus, barulah Panji merasakan kedahsyatan ilmu tokoh
sesat wanita nomor satu di Pulau Bali itu. Melihat
kenyataan itu, Panji mulai bersungguh-sungguh. Seluruh
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dikerahkan untuk
membantu Bidadari Kintamani menggempur Ratu
Pesolek.
"Hiaaa...!"
Memasuki jurus yang keenam puluh, tiba-tiba Ratu
Pesolek mengeluarkan teriakan melengking tinggi.
Tubuhnya berkelebatan dengan kecepatan yang
menakjubkan. Gerakan tokoh wanita itu benar-benar
mirip seekor lebah yang mengitari mang-sanya. Kedua
tangan dan kakinya melontarkan serangan laksana sengat-
sengat beracun yang berbahaya.

Panji dan Bidadari Kintamani tampak kaget bukan
main Kecepatan gerak Ratu Pesolek membuat kepala
mereka pening. Keduanya terdesak hebat Mereka
berusaha membentuk jurus-jurus pertahanan untuk
melindungi tubuh.
Desss...!
Pertahanan Bidadari Kintamani ternyata tidak
sanggup menahan gempuran Ratu Pesolek. Sebuah
hantaman telapak tangan Ratu Pesolek tak dapat
dihindarinya lagi. Bidadari Kintamani menjerit ngeri.
Tubuhnya tedempar jatuh bergulingan, dan baru terhenti
setelah membentur dinding ruangan. Bidadari Kintamani
mengeluh merasakan sesak pada dadanya. Kepalanya
pening Sehingga, ia tidak dapat segera bangkit berdiri.
Sementara itu, Panji yang kini harus menghadapi
gempuran-gempuran Ratu Pesolek seorang diri merasa
kewalahan bukan main. Sungguh tak pernah terbayang ia
akan berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki
kepandaian demikian hebat. Meskipun ia telah berusaha
membentengi dirinya dengan jurus-jurus pertahanan yang
ampuh, tetap saja gempuran Ratu Pesolek dapat
menyelinap menghantam lambungnya.
Bukkk!
Panji menjerit kesakitan. Tubuhnya terpelanting
jatuh. Lambungnya yang terkena tendangan Ratu Pesolek
terasa sakit bukan main. Tapi, Panji berusaha untuk
segera bangkit. Saat itu Ratu Pesolek sudah meluruk
datang dengan sebuah pukulan maut yang disertai deruan
angin mengerikan. Sadar untuk mengelak sudah
terlambat, Panji mengempos semangatnya. Dengan
mengerahkan tenaga gabungan, disambutnya serangan
maut Ratu Pesolek
Blarrr...!
Seluruh dinding ruangan bergetar ketika dua tenaga

dahsyat itu saling berbenturan di udara. Atap ruangan
berderak. Pecahan-pecahan atap bergu-guran mengotori
lantai. Tubuh Panji terlempar de-ras hingga membentur
dinding. Beruntung tubuhnya masih terlapisi tenaga
gabungan. Kalau tidak, bukan mustahil tubuh Panji akan
remuk sewaktu membentur dinding yang jebol disertai
suara hiruk-pikuk.
Ratu Pesolek sendiri tidak tertepas dari akibat
benturan itu. Tubuhnya tersentak balik. Namun, dengan
sebuah bentakan nyaring, Ratu Pesolek berputar di udara
beberapa kali. Dan, meluncur turun dengan kedua kaki
lebih dulu. Kendati wajahnya agak pucat dan tubuhnya
terhuyung, Ratu Pesolek terlihat tidak mengalami
kerugian yang berarti. Namun, wajah Ratu Pesolek
memperlihatkan rasa kaget.
"Hm.... Rupanya, kau jauh lebih hebat dari
sangkaanku...." Ratu Pesolek mendesis seraya menatap
Panji dengan sorot mata tajam menusuk.
Panji sudah bergerak bangkit meski bagian dalam
dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Tapi, Panji
tidak merasa khawatir dengan luka dalam itu. 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi' akan lang¬sung bekerja untuk
membakar dan menyembuhkan luka dalam di tubuh
majikannya.
Ratu Pesolek menunda serangan yang sudah
dipersiapkannya. Mulutnya ternganga melihat tubuh
lawannya dilapisi pendaran sinar kuning keemasan yang
memancarkan hawa panas menyengat. Ratu Pesolek
berdiri takjub. Pemandangan itu merupakan hal baru
baginya. Ilmu mukjizat seperri 'Tenaga Sakti lnti Panas
Bumi memang bukan ilmu sembarangan, dan tak ada
duanya di dunia. Panji sendiri mendapatkannya bukan
karena belajar. Tapi, karena jodoh dan keberuntungan
Saking takjubnya dan tidak mengerti mengapa tubuh

Panji terbungkus sinar seperri itu, Ratu Pesolek terus
memandangi. Sampai akhimya, sinar yang membungkus
tubuh Panji perlahan lenyap. Ratu Pesolek tidak sadar
bahwa perbuatannya itu sangat menguntungkan Panji.
Ratu Pesolek baru menyadari kesalahannya ketika sinar
kuning itu lenyap dan Panji tampak segar kembali. Kini di
tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang
memiliki perbawa luar biasa.
"Aaah...!"
Ratu Pesolek yang tatapan matanya mengandung
kekuatan sihir, menjerit kesakitan. Pedang yang tahu-
tahu muncul dan tergenggam di tangan lawan membuat
matanya terasa sakit dan panas. Ratu Pesolek segera
sadar kalau pedang di tangan lawannya mempunyai daya
tolak terhadap ilmu sihir. Kenyataan itu membuat Ratu
Pesolek terlihat agak tegang. Tanpa kekuatan sihir,
ketangguhannya akan berkurang. Sedangkan lawannya
telah menghunus pedang yang sangat dahsyat
"Keparat! Tampaknya malam ini aku benar-benar
sedang sial...!" Ratu Pesolek menggeram gusar.
"Pendekar Naga Putih, mari kita gempur lagi iblis
betina itu...!"
Suara di belakangnya membuat Ratu Pesolek
memutar tubuh. Dilihatnya Bidadari Kintamani sudah
siap melanjutkan pertempuran. Ratu Pesolek tersenyum
sinis. Ia tahu Bidadari Kintamani sudah menderita luka
dalam.
"Tampaknya malam ini kita harus bertarung mati-
matian, Bidadari Kintamani...!" Panji berseru seraya
bergerak maju. Pedang Naga Langjt di tangannya
mengaung sewaktu diputar di sekeliling tubuhnya.
"Hiaaat..!"
Bidadari Kintamani sudah membuka serangan lebih
dulu. Melihat itu, Panji bergegas melesat disertai

sambaran pedangnya. Panji tidak ingin Bidadari Kintamani
yang sedang terluka akan mendapat celaka di tangan
Ratu Pesolek. Maka, ia berusaha mendahului Bidadari
Kintamani.
Whuttt!
Ratu Pesolek terpekik seraya melompat jauh ke
samping menghindari serangan Panji. Tokoh wanita sesat
itu terlihat pucat Tubuhnya agak gemetar. Ia terus
berlompatan mundur menyelamatkan diri ketika Panji
melanjutkan serangan.
Semula Pendekar Naga Putih merasa agak heran
melihat sikap Ratu Pesolek. la baru mengerti setelah
teringat keampuhan Pedang Naga Langit. Panji langsung
tahu kalau ilmu yang dimiliki Ratu Pesolek sebagian besar
berintikan kekuatan gaib. Itu sebabnya Ratu Pesolek
ketakutan ketika Panji menyerangnya dengan Pedang
Naga Langit.
"Heaaatt...!"
Ketika menyadari Ratu Pesolek semakin tidak
berdaya, Panji terus mencecamya. Ratu Pesolek
berloncatan menghindar. Tapi, gerakannya makin lama
semakin lambat. Hawa yang keluar dari Pedang Naga
Langit telah menyedot kekuatannya sedikit demi sedikit.
Sehingga, lama-kelamaan ia menjadi lemah. Ratu Pesolek
tidak dapat lagi menyelamatkan diri ketika Panji
menusukkan Pedang Na¬ga Langit ke perutnya.
"Aaa...!"
Ratu Pesolek meraung setinggi langit ketika pedang
di tangan Pendekar Naga Putih menembus perutnya.
Terjadilah suatu pemandangan yang luar biasa! Tubuh
Ratu Pesolek mengerut disertai lolongan panjang yang
mendirikan bulu roma. Pada bagian perutnya, tempat
Pedang Naga Langit masih terbenam, tampak
mengeluarkan asap kehitaman yang berbau busuk.

Panji dan Bidadari Kintamani melangkah mundur
seraya memandangi sosok Ratu Pesolek yang kulit
tubuhnya terus mengeriput. Rambutnya yang semula
hitam berkilat perlahan memutlh. Dalam beberapa saat
saja, sosok Ratu Pesolek yang cantik telah berubah
menjadi perempuan tua. Dalam kematiannya, Ratu
Pesolek kembali pada kodratnya, seorang nenek-nenek
yang sudah sangat tua.
***
Panji, Bidadari Kintamani, Kemani, Ayu, dan Sukreni
melepas kepergian para pengikut Ratu Pesolek yang telah
dibebaskan dari pengaruh ramuan sihir. Mereka kembali
ke desa masing-masing. Karena, pada awalnya mereka
adalah gadis-gadis desa yang menjadi korban penculikan
Ratu Pesolek.
"Kemani...." Setelah rombongan gadis-gadis itu
lenyap, Panji berpaling kepada Kemani. "Aku masih
merasa penasaran dengan nenek muka hitam. Di pihak
mana sebenamya nenek itu berada? Mengapa ia tidak
muncul-muncul lagi? Apakah ia sudah tewas oleh Ratu
Pesolek?"
Kemani tidak segera menjawab. Gadis itu berpaling
menatap Ayu dan Sukreni. Lalu, ketiga gadis cantik itu
menatap Panji bersamaan.
"Kami harus pergi," ujar Kemani mengejutkan Panji.
"Mengenai nenek muka hitam, kau boleh tanyakan kepada
Bidadari Kintamani...."
Usai berkata, Kemani, Ayu, dan Sukreni tertawa
Ketiganya kemudian melesat pergi meninggalkan Panji
yarig kebingungan. Bidadari Kintamani hanya tersenyum-
senyum seraya melambaikan tangan kepada ketiga gadis
itu.
Sepeninggal ketiga gadis itu, Panji menatap Bidadari

Kintamani lurus-lurus. Pandangan mereka saling melekat.
Kening Panji berkerut ketika ia merasa seolah pemah
melihat mata bening Bidadari Kintamani.
"Akulah nenek muka hitam yang kau cari-cari,
Pendekar Naga Putih...." Seperti dapat menebak apa yang
ada dalam pikiran Panji, Bidadari Kintamani menjelaskan.
"Kau...?!" Panji tersurut mundur dengan wajah
berubah. Dengan rata pan tidak percaya, dipandanginya
sekujur tubuh Bidadari Kintamani. Lalu, Panji tersenyum
masam seraya menggelengkan kepala.
. "Maafkan aku, Pendekar Naga Putih," ucap
Bidadari Kintamani. Kepalanya tertunduk saat
mengucapkan itu. Sesaat kemudian, ia kembali
mengangkat kepalanya. "Ketika melihatmu, aku merasa
telah menemukan orang yang tepat untuk menjalankan
rencanaku. Agar rencanaku dapat berjalan lancar, aku
terpaksa membokongmu. Aku sudah lama mengjntai
istana Ratu Pesolek. Aku menemukan satu kejanggalan
dalam diri pengjkut-pengikutnya. Lama aku menyelidiki
sampai akhirnya aku mengetahui kalau para pengikut
Ratu Pesolek ternyata berada dalam pengaruh ramuan
pelupa ingatan. Itu sebabnya, mengapa aku bdak
membunuh Kemani dan kedua temannya. Mereka kubuat
pingsan. Lalu, kusadarkan dari pengaruh ramuan.
Penyamaranku sebagai nenek muka hitam kubuka
dihadapan mereka bertiga. Mereka kupesan agar tetap
bersikap seperti biasanya. Dengan bantuan mereka, kau
yang dalam keadaan pingsan kami persembankan ke
hadapan Ratu Pesolek. Aku sendiri menyamar sebagai
salah seorang pengikutnya. Hal itu tidak sulit. Ratu
Pesolek tidak begitu memperhatikan wajah pengikut-
pengikutnya, kecuali mereka yang menjadi pembantu-
pembantu uta-manya," ujar Bidadari Kintamani
Ketika Bidadari Kintamani menunda ceritanya, Panji

tidak berkata apa-apa. la menunggu kelanjutan cerita
wanita cantik itu.
"Aku tahu Ratu Pesolek akan lengah begitu melihat
pemuda yang kami persembahkan kepadanya. Ratu
Pesolek terlalu gembira. Pemuda yang kami persembahkan
menurutnya sangat istimewa.
Tanpa memperhatikan diriku, Ratu Pesolek segera
membawamu ke kamamya. Ia langsung menjatuh-kan
pilihan kepadamu untuk dijadikan pengantinnya." Sampai
di situ, Bidadari Kintamani menghentikan ceritanya.
"Hm.... Sungguh berbahaya sekali...," Panji bergumam
seraya menghela napas. "Bagaimana kalau rencanamu
ternyata gagal...?"
Bidadari Kintamani tersenyum manis. Lalu, sambil
berlari kecil meninggalkan Panji, ia berkata, "Terpaksa
kau jadi penganton Ratu Pesolek sungguhan...!"
"Brengsek...!" umpat Panji tanpa berusaha mengejar
Bidadari Kintamani.
Sepeninggal Bidadari Kintamani, Panji mengayun
langkahnya ke arah barat
"Aku harus segera menemui Kenanga. Mudah-
mudahan tugasnya di Pulau Jawa tidak mendapat
halangan besar...," gumam Panji kepada dirinya sendiri.
Kedatangan Panji ke Pulau Bali memang bukanlah
tanpa alasan. Seorang sahabat yang dikenalnya dalam
pengembaraan mengundangnya untuk datang ke pulau
itu. Sayang, setibanya di tempat tujuan, ia hanya
mendapatkan kabar tentang kematian sahabatnya yang
tewas di tangan Ratu Pesolek. Kini tugasnya di pulau itu
sudah selesai. Ia akan menemui Kenanga yang
ditinggalkannya di Pulau Jawa bagian timur.
Untuk mempercepat perjalanannya, Panji
mengerahkan kepandaian ilmu lari cepat. Panji melesat
meninggalkan kawasan Gunung Abang.





                       SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar