PERTARUNGAN PARA PENDEKAR
Oleh Fahri Asiza
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode:
Pertarungan Para Pendekar
SATU
Padepokan Angsoka pagi itu sunyi. Tak bersua-
ra. Bahkan kokok ayam jantan pun nyaris hilang.
Embun pagi masih basah. Membasahi rumput-
rumput hijau dan pohon-pohon yang berada di se-
kitar sana.
Di ujung sana, Gunung Lawu berdiri dengan
angker. Ditutupi kabut tebal. Udara dingin, me-
nembus tulang sumsum. Penuh misteri.
Begawan Batista menatap murid-muridnya yang
duduk berlutut dengan sikap semedi. Tak ada
yang membuka mata. Begawan itu berjalan perla-
han, hilir mudik. Memperhatikan murid-muridnya
yang tetap terpejam.
Sikapnya tegang.
Penuh pikiran.
Begawan yang sudah berusia 65 tahun itu ber-
henti melangkah. Mendesah. Pelan. Dingin. Kaku.
Dia mengusap dagunya yang berjanggut putih.
Pelan.
Diresapi.
Tapi jelas penuh pikiran.
Perlahan keluar kata-kata dari bibirnya, "Mung-
kin kalian heran mengapa aku menyuruh kalian
berkumpul di sini. Memang ada sesuatu yang hen-
dak kubicarakan."
Hening. Hanya desir angin yang terdengar.
Murid-muridnya hanya bertanya dalam hati.
Ada apa? Kenapa Sang Guru memanggil dan men-
gumpulkan mereka pagi ini?
"Ada apa?"
"Semalam aku mendapat surat misterius, entah
dari siapa," Sang Begawan berkata lagi. "Surat itu
berisi, menantang padepokan kita untuk bertarung
di Gunung Pengging."
"Semalam aku bingung memikirkannya. Entah
dengan maksud apa pengirim surat misterius itu
menantang kita. Dan yang ku tahu, padepokan
Resi Gohkarna berdiam di sana. Dugaanku, apa-
kah dia yang telah mengirimkan surat tantangan
itu?"
Hening.
Hanya langkah sang Begawan yang terdengar.
Murid-muridnya yang berjumlah lima puluh orang,
menggeram dalam hati.
Jengkel.
"Dalam hal ini, kuharap kalian jangan terpenga-
ruh. Itu hanya dugaanku. Pagi ini, aku mengum-
pulkan kalian, hendak menugaskan beberapa
orang di antara kalian untuk menyelidik ke sana.
Hanya menyelidik. Aku juga menduga, mungkin
ada orang ketiga yang hendak mengadu domba."
"Sekarang buka mata kalian, kerahkan pernafa-
san selembut mungkin. Tahan dan lepas perlahan-
lahan."
Murid-murid sang Begawan melaksanakan pe-
rintahnya. Dengan tujuan agar rasa jengkel meng-
hilang. Sang Begawan menatap tiga orang murid-
nya yang duduk paling depan.
"Lesmana, Mantari Dan Anggada, kalian adalah
murid-murid pilihanku yang mengemban tugas ini.
Bagaimana pendapat kalian?"
Lesmana, pemuda bertubuh tegap dengan wa-
jah tampan dan dagu kukuh menjawab, "Guru...
apakah tidak sebaiknya kami melihat dulu surat
misterius itu?"
"Benar, Guru," sambung Mantari seorang gadis
yang berumur delapan belasan sambil mengang-
guk. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya hitam.
Wajahnya cantik. Alisnya tebal. Dan bibirnya me-
merah. Kedua matanya bersinar terang, menanda-
kan dia gadis yang ceria.
"Maafkan aku, untuk saat ini tak akan kuperli-
hatkan."
"Kenapa, Guru?" tanya Anggada. Pemuda yang
bertubuh besar dengan wajah yang terlihat kasar
itu mengerutkan keningnya.
"Kalian hanya aku beri tugas untuk menyelidik.
Bukan untuk melihat surat misterius itu," sahut
sang Begawan tegas. Ia duduk bersimpuh di hada-
pan para muridnya. Jubah putihnya menutupi ke-
dua lututnya yang kukuh jika berdiri.
Tak ada yang bersuara. Padepokan itu hening
kembali.
Namun pertanyaan dalam hati murid-muridnya
bertalu-talu. Bagaimana mungkin surat misterius
itu bisa datang tanpa sepengetahuan mereka? Ju-
ga sang guru.
Apakah sangat tinggi ilmu yang dimiliki pengi-
rim surat misterius itu, sehingga sang guru yang
tinggi ilmunya pun tidak mengetahuinya?
Sebenarnya, Begawan Batista sudah mengira-
ngira, siapa yang bisa melakukan itu tanpa sepen-
getahuan mereka. Hanya Resi Gohkarna dengan
ajian Bayumati, itu sebabnya dia menugaskan ke-
tiga murid pilihannya untuk menyelidik ke sana.
Untuk tahu apa maksud Resi Gohkarna menan-
tang mereka.
Sang Begawan menatap ketiga murid yang dipi-
lihnya.
"Siapkah kalian untuk melaksanakan tugas
ini?"
Ketiga muridnya yang digemblengnya hampir
sepuluh tahun itu mengangguk dengan mantap.
"Hanya ingat," sambung Sang Begawan, "Jan-
gan membuat onar. Tunjukkan bahwa kedatangan
kalian dengan maksud baik. Ingat pula, ini bukan
menjawab tantangan. Tapi untuk mengetahui,
mengapa mereka mengirim tantangan pada kita."
"Baik, Guru." Lesmana mengangguk seraya
menghormat.
"Mantari," panggil Sang Begawan.
Mantari mengangguk. "Ya, Guru?"
"Kau seorang gadis, cantik pula. Ada baiknya
kau menyamar sebagai laki-laki sebelum berang-
kat."
"Baik, Guru."
"Anggada."
"Ya, Guru."
"Kau jaga kedua adik seperguruanmu ini, Jan-
gan sampai mereka lewat dari garis yang telah ku-
tetapkan."
"Baik, Guru." Pemuda bertubuh tegap itu men-
gangguk.
"Nanti malam, kalian temui aku di ruang sema-
diku. Sedangkan yang lain, tetap berlatih seperti
biasa. Menjaga ketentraman padepokan ini."
Begawan Batista berdiri, murid-muridnya seren-
tak berdiri. Memberi hormat. Begawan Batista se-
gera melangkah ke ruang khususnya, yang dina-
makan ruang semadi.
Murid-muridnya bubar.
Berlatih seperti biasa.
Padepokan Angsoka adalah sebuah padepokan
yang terkenal yang terletak di sebelah utara Gu-
nung Lawu. Padepokan yang dipimpin oleh Bega-
wan Batista sendiri.
Dulu Sang Begawan adalah ksatria Majapahit
yang mengabdi selama tiga puluh tahun. Setelah
Raden Wijaya meninggal, dia pun mengundurkan
diri.
Selama lima tahun dia bertapa di Gunung Lawu
sampai akhirnya mendirikan padepokan Angsoka
yang berarti di atas langit ada langit.
Walaupun memiliki ilmu kanuragan yang hebat,
Begawan Batista tak pernah menggunakannya un-
tuk kejahatan. Bahkan sebelum dia bertapa di le-
reng Lawu, di sana ada komplotan perampok yang
sangat kejam. Penduduk di sekitar gunung itu se-
lalu dicekam rasa ketakutan.
Tak ada yang berani melawan.
Melihat keangkaramurkaan itu, Begawan Batis-
ta segera turun tangan. Dilatihnya para pemuda
desa itu ilmu kesaktian dengan dorongan seman-
gat yang membaja. Lambat laun mereka mau ber-
tindak. Dengan keberanian yang luar biasa, mere-
ka membasmi para perampok itu sampai ke akar-
akarnya.
Begawan Batista yang waktu itu masih bernama
Wilkatama diangkat sebagai kepala desa. Namun
sang Begawan menolak. Dia menyingkir agak ke
Utara.
Untuk menyumbangkan ilmu kesaktian yang
dimilikinya, akhirnya Wilkatama mendirikan pade-
pokan Angsoka dan bergelar Begawan Batista.
Selama sepuluh tahun lebih keadaan padepo-
kan Angsoka aman dan tentram.
Tak ada goresan noda di atas nama itu.
Namun semalam, tanpa diduga datang surat
tantangan entah dari siapa. Walaupun Begawan
Batista menduga kuat kalau surat itu datang dari
Resi Gohkarna, namun dia masih tetap ragu, men-
gingat hubungan mereka selama ini sangat akrab.
Bahkan mereka pernah menganggap diri seba-
gai saudara.
Lalu apa maksud dari semua ini?
Siapa yang harus dicurigai?
Suasana yang mengherankan itu dibicarakan
Lesmana, Mantari dan Anggada di ruang belakang.
"Apakah ini bertanda tidak baik, Kakang Les-
mana?" tanya Mantari dengan suara lembutnya.
"Aku pun tidak tahu, Rayi Tari," Lesmana me-
narik nafas panjang. Menatap Anggada, "Bagaima-
na dengan tanggapan Kakang Anggada?"
"Entahlah, Lesmana. Aku pun tidak tahu. Tapi
kuharap, dugaan Rayi Tari tidak menjadi kenya-
taan." Walaupun wajahnya kasar dan seram, na-
mun Anggada punya sifat yang dibanggakan. Dia
penyabar. Penyayang. Bahkan suka mengalah wa-
laupun dengan adik-adik seperguruannya.
"Bagaimana jika benar, Kakang?" tanya Mantari.
"Apakah Rayi mengharapkan demikian?" tanya
Anggada sungguh-sungguh menatap wajah cantik
gadis lereng Lawu itu.
Mantari menggelengkan kepala. "Sudah tentu
tidak, Kakang. Namun aku kuatir. Ketentraman
yang selama ini telah terjadi bisa jadi berantakan."
"Aku pun menguatirkan itu." Anggada menatap
Gunung Lawu yang berdiri tegar. Kabut mulai me-
nepi. Matahari menyapu seisi alam, terang. Namun
alam tetap bertahan dengan misterinya.
"Kakang..." panggil Lesmana. "Jika memang
orang-orang Resi Gohkarna yang berbuat apa yang
harus lakukan? Menyerang mereka?"
"Sudah tentu tidak, Lesmana. Kita harus mema-
tuhi tugas yang diberikan guru. Kita hanya menye-
lidiki, apa mereka yang mengirimkan surat itu dan
kenapa mereka menantang kita?"
"Andaikata benar, seharusnya kita sikat saja,
Kakang!" Tari menggeram sambil mengepalkan
tangannya.
"Tidak. Jangan lakukan itu."
"Mereka menghina kita, Kakang!" kata Mantari
keras kepala. Marah dia karena ada yang berani
menantang padepokan mereka.
"Tari... belum tentu mereka yang melakukan
ini." Sahut Anggada sabar.
"Kan kubilang jika benar!" sahut Mantari ngotot.
Sifatnya yang sebenarnya sudah kelihatan.
Anggada tersenyum sabar. "Kita lihat apa yang
akan dikatakan Guru nanti malam."
Mantari mendengus. "Seharusnya kita sikat sa
ja!" gerutunya sambil berlalu. Jalannya dihentak-
kan. Mulutnya cemberut.
Lesmana terbahak.
Anggada tersenyum.
"Guru agaknya salah menugaskan Mantari," de-
sisnya.
"Ha ha ha ha apa Kakang tidak tahu, kalau Rayi
Tari suka pada Kakang?" Terbahak Lesmana.
Anggada tersipu. "Jangan mengada-ada, Les-
mana."
"Kakang memang kuno! Tidak tahu hati perem-
puan! Lihat saja kalau dia menatap Kakang, begitu
mesra!"
"Itu hanya perasaan kau saja, Lesmana. Tidak
usah mengada-ada!" Desis Anggada yang entah
kenapa dadanya berdebar.
Lesmana masih terbahak. "Payah! Rayi Tari can-
tik, Kakang! Apa Kakang tidak tertarik?"
Anggada terdiam. Benarkah dugaan Lesmana
itu? Memang, akhir-akhir ini dia suka melihat si-
kap Mantari yang lain seperti biasanya. Sering pu-
la Anggada melihat adik seperguruannya itu men-
curi pandang.
Kalau bentrok tersipu.
Memerah.
Ah... andaikata benar? Lho, kenapa jadi ke sa-
na. Anggada menepiskan bayangan itu.
Menatap Lesmana yang masih tertawa.
"Atau kau yang sebenarnya naksir pada Rayi
Tari, Lesmana?" kata Anggada tiba-tiba.
Tawa Lesmana seketika terhenti. Tapi kemudian
dia tertawa.
"Kau segitu saja sudah cemburu, Kakang..."
"Aku serius. Kau yang lebih pantas bersanding
dengan Rayi Tari."
Kata-kata itu membuat Lesmana terdiam. Te-
gang.
Tapi kemudian lagi-lagi tertawa.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu dipikirkan itu."
"Memang tidak perlu kita pikirkan, ayo kita lihat
yang lain latihan."
Keduanya melangkah.
Di depan halaman Padepokan Angsoka sekitar
40 orang murid sedang berlatih ilmu toya. Mantari
yang memberi contoh berseru-seru.
"Kalian harus penuh! Jangan tanggung men-
gayunkan toya. Sabet dengan keras! Ayo lakukan
lagi!"
Anggada yang melihat dari jauh tersenyum. Be-
nar-benar cekatan. Ah, dia pun seperti baru me-
nyadari akan kecantikan adik seperguruannya itu.
Dia manis. Cantik. Manja. Namun kadang suka
ngambek pula.
Andaikata benar yang dikatakan Lesmana,
alangkah senang. Tapi apa benar dia menyukaiku?
Dia masih muda.
Aku? Sudah berumur 28 tahun. Perbedaan se-
puluh tahun itu sangat jauh. Dia lebih cocok den-
gan adik Lesmana yang baru berusia 23 tahun!
Wajah Lesmana pun lebih tampan daripadaku. En-
tah kenapa tahu-tahu Anggada mengeluh. Lesma-
na yang agak bandel, menoleh. Lalu tersenyum
melihat pandangan kakangnya lekat pada Mantari.
"Dia memang cantik,," katanya tanpa menoleh
pada Anggada, seolah berucap sendiri. "Luwes.
Menggemaskan. Manja. Juga... ya cantik..."
Anggada seperti tersadar. Dia melirik, "Siapa
maksudmu Lesmana?" tanyanya polos.
"Dia memang cantik, Kakang." Lesmana tetap
tidak menoleh. Malah mengangguk-angguk. "Sia-
pa?"
"Siapa lagi?" Lesmana tersenyum menggoda.
Kali ini menoleh.
Kening Anggada berkerut. "Aku tidak mengerti,"
katanya polos masih belum tahu kalau sedang di-
goda.
"Ya... si Rambut Panjang itu. Rayi Mantari, Ka-
kang," sahut Lesmana seraya berlari sebelum Ang-
gada sempat memukulnya karena gemas.
Dia bergabung dengan yang sedang latihan,
sambil tersenyum-senyum.
Anggada mendesah dalam hati.
Panjang. Gemas. Tapi senang.
Tak sadar dia memperhatikan terus Mantari
yang tengah melatih para murid lainnya.
Malamnya, ketiga murid Padepokan Angsoka itu
menghadap Begawan Batista. Sang Begawan me-
mang sudah menunggu, terbukti dengan kopi pa-
hitnya yang tinggal setengah.
Ketiganya duduk di hadapan sang Guru.
Anggada merasa heran, karena tiba-tiba saja dia
merasa kikuk berdekatan dengan Mantari yang
terlihat sekali-sekali meliriknya. Dan terlihat wa-
jahnya yang kadang memerah.
Lesmana hanya mesem-mesem saja.
Sekali lagi Sang Begawan menerangkan tugas
yang diberikan pada mereka.
Setelah itu dia berkata, "Aku bermaksud mem-
berikan kepada kalian tiga buah kitab kesaktian
yang sangat langka. Kitab ini kudapat dari orang
sakti yang bernama Trijata yang sudah lama wafat,
dan makamnya berada di Gunung Muria. Kini Gu-
nung Muria didiami oleh sahabatnya yang sangat
sakti, Ki Ageng Jayasih. Konon kabarnya dia telah
memiliki dua orang murid. Pertama, Nindia yang
bergelar Dewi Penyebar Maut yang telah mati di
tangan manusia dewa Madewa Gumilang (baca:
Kakek Sakti dari Gunung Muria).
Lalu Pranata Kumala, dia adalah putra manusia
dewa Madewa Gumilang yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Konon kesaktian manusia dewa
itu tak ada yang menandinginya sampai saat ini.
Dia adalah Pendekar budiman dari golongan putih
yang selalu memerangi kejahatan. Pendekar yang
arif dan bijaksana."
Ketiga muridnya mendengarkan dengan tertib.
"Nama pendekar sakti itu sudah melambung ke
langit ke tujuh dan ke dasar bumi. Aku yang su-
dah tua ini sebenarnya sangat berharap sekali da-
pat berjumpa dengan manusia dewa itu, tetapi
agaknya jarak yang memisahkan kami sangat jauh
adanya. Nah, Anggada, untukmu pelajarilah kitab
Tapak Sepuluh. Lesmana, pelajarilah kitab Abot
Sewu. Dan untukmu Mantari, pelajarilah kitab
Manuk Mabur. Dan yang penting kalian ingat, ki-
tab itu hanya bisa dipelajari dalam satu malam.
Tidak bisa lebih. Matahari menampakkan biasnya,
harus sudah selesai. Jika kalian gagal, berarti se
muanya gagal. Berarti kitab-kitab ini tidak berjo-
doh dengan kalian. Dan tidak bisa mengulangi
mempelajarinya lagi. Kalian mengerti?"
"Ya, Guru," ketiganya mengangguk.
"Nah, terimalah kitab ini." Sang Begawan Batis-
ta memberikan masing-masing muridnya satu ki-
tab yang telah dipilihkannya. "Kalian harus mem-
pelajarinya malam ini juga. Besok, jika matahari
sudah sepenggalah, kalian harus segera berangkat
ke gunung Pengging. Dan ingat, aku sendiri yang
akan mencoba kemampuan kalian setelah mempe-
lajari kitab-kitab itu masing-masing, setelah bias
matahari terlihat. Kalian mengerti?"
"Kami mengerti, Guru," ketiganya mengangguk
dengan sikap hormat.
"Nah, terimalah kitab ini." Sang Begawan mem-
berikan masing-masing satu kitab. "Kalian harus
cepat mempelajarinya."
Walau terasa ngeri, mereka mengangguk.
Hanya satu malam, setelah itu dicoba pula.
Dan malam itu pula ketiganya segera mempela-
jari kitab yang diberikan guru mereka dengan te-
kun. Sedikit pun mereka tidak mengantuk, Ber-
konsentrasi penuh. Masing-masing berusaha me-
namatkannya. Hanya satu malam.
Luar biasa. Hanya satu malam.
Sebelum bias mentari pagi nampak, dari tempat
masing-masing terdengar desahan lega.
Mereka selesai.
Berhasil.
Namun dalam kondisi yang sebenarnya sangat
letih itu, Begawan Batista mencoba kemampuan
mereka.
Tapak Sepuluh yang dipelajari Anggada, adalah
sejenis ilmu kesaktian untuk berkelit. Sulit dikejar.
Langkahnya bagai berada di sepuluh penjuru. Dan
yang dahsyat, dalam berkelit secepat angin, Ang-
gada mampu mengeluarkan desingan angin yang
memekakkan telinga.
Abot Sewu yang dipelajari Lesmana, menjadi-
kannya bagaikan gunung yang tegar. Tak goyah
oleh hembusan apa pun dan dorongan tenaga apa
pun. Malah membuatnya sangat kebal terhadap
pukulan.
Manuk Mabur yang dipelajari Mantari sama se-
perti ilmu yang dipelajari Anggada, hanya bedanya
kedua tangan Mantari dapat mematuk bagai bu-
rung dengan cepat. Dan hasil patukannya sangat
luar biasa, mampu menghancurkan batu sebesar
kambing hingga berkeping-keping.
Sang Begawan Batista tersenyum sangat puas
ketika melihat hasilnya setelah uji coba itu selesai
dilaksanakan. Ketiga muridnya benar-benar telah
berhasil menamatkan kitab-kitab sakti itu.
"Kalian harus berhasil melakukan penyelidikan
ini. Saat ini pula kalian harus meninggalkan pade-
pokan. Doaku, semoga berhasil!"
Ketiganya mengangguk mantap.
Mentari sepenggalah, bersinar terang.
Lalu tiga sosok pun keluar meninggalkan Pade-
pokan Angsoka.
***
DUA
Matahari telah tinggi ketika mereka beristirahat
di sebuah hutan yang agak lebat. Suasana angker.
Sunyi.
Sengatan matahari tak begitu terasa.
Terhalang pepohonan tinggi.
Selesai makan, Mantari yang sudah menyamar
sebagai laki-laki berkata, "Kakang... aku ingin
mandi dulu. Kulihat ada sungai di sana" Tari men-
gipas-ngipas tubuhnya. Dia kelihatan berkeringat.
"Apakah tidak perlu menunggu sore, Rayi Tari?"
kata Anggada yang menyandarkan tubuhnya di
batang pohon.
"Kakang Gada gimana sih!" Mantari merengut.
"Namaku Surajaga! Bukan Mantari lagi!"
"Ah... aku lupa," Anggada tersipu.
Lesmana mengulum senyum. "Soalnya namamu
melekat terus di benak Kakang Anggada, Sura,"
katanya menggoda.
Mantari yang menyamar sebagai Surajaga tersi-
pu. Lalu buru-buru lari ke sungai yang tak jauh
dari sana.
Lesmana menatap Anggada yang terdiam, "Gi-
mana, Kakang? Benarkah dugaanku, kalau Rayi
Tari menaruh hati pada Kakang?"
"Kau ini masih bercanda saja, Lesmana. Sudah-
lah, istirahat dulu, Kita harus meneruskan perja-
lanan lagi."
Lesmana tertawa pelan. Anggada memejamkan
matanya.
Di sungai, Mantari sudah asyik berenang ke sa-
na ke mari. Air sungai yang sejuk membuatnya se-
gan untuk keluar dari sana. Mantari berendam.
Dibasuhnya sekujur tubuhnya.
Mentari tidak begitu panas. Walau menjilat tu-
buhnya yang kuning langsat.
Tiba-tiba Mantari memiringkan kepalanya. Ma-
tanya terpusat pada semak-semak yang bergerak,
tapi begitu dia memalingkan kepalanya, semak itu
diam.
Sunyi.
Terdengar gemerisik angin. Gemericik air. Dan
beberapa kicau burung.
Tak lebih.
Tapi mata Mantari tetap pada semak itu. Dia
yakin, melihat sosok tubuh di sana.
Hati-hati dia berenang ke tepi.
Mencari pakaiannya. Lebih gila, pakaiannya ti-
dak ada! Mantari panik mencari-cari.
Tiba-tiba kepalanya berpaling lagi pada semak
tadi. Jelas, dia melihat sepasang mata buas tera-
rah padanya. Mantari buru-buru bersembunyi di
balik batu besar.
"Siapa di sana? Kakang Lesmana, ya?!" teriak-
nya yang tahu Kakang Lesmana suka menggo-
danya.
Tak ada jawaban.
Hanya kicau burung yang tetap terdengar.
Mantari mempererat kain yang melilit tubuh-
nya.
"Siapa di sana?!" teriaknya lagi. Dalam berkain
basah yang mencetak tubuhnya seperti ini bukan
main malunya jika diintip orang. Terutama laki-
laki. Ini aib.
Tetap tak ada jawaban.
Mantari penasaran. Tiba-tiba dia mengibaskan
tangannya ke arah semak itu. Seperti ada doron-
gan angin yang kuat semak itu terkuak.
Sosok tubuh meloncat dari sana.
Berdiri kukuh di batu besar.
"He he he he..." tawanya dengan suara yang
sengau. Laki-laki itu bertubuh pendek, bulat. Hi-
dungnya besar, begitu pula dengan matanya, seo-
lah melotot. Di dadanya ada gambar tengkorak.
Kedua tangannya yang pendek melingkar sepasang
gelang bahar hitam. Keduanya kukuh, ada gelang
sama.
Mantari mengira-ngira siapa laki-laki ini. Keda-
tangannya mengherankan. Tak kedengaran. Tak
ada tanda-tanda.
"Siapa kau orang jelek?!" bentaknya jengkel ka-
rena merasa diintip.
"He he he he... jelek. Ya, ya aku jelek. Aku je-
lek." Orang itu terkekeh. "Tapi kamu cantik. Ya
cantik. Kamu cantik. He he he orang jelek bertemu
orang cantik. Ya, ya... jelek... cantik... he he he he."
"Jangan ketawa terus, Jelek!" bentak Mantari
jengkel. Pasti si Jelek itu yang menyembunyikan
pakaiannya. Aduh, kenapa dia tidak hati-hati tadi.
"Senang ya dengar ketawaku? Tawaku bagus
ya? Ya, ya... bagus. Bagus. Bagus." Orang itu ter-
kekeh lagi.
Mantari masih jengkel. Dia berharap Kakang
Anggada atau Lesmana menyusul.
"Gadis cantik... siapa namamu, hah? Siapa? Ya,
ya... siapa? Pasti bagus. Pasti. Ya, ya... pasti... he
he he he."
"Kesudian sekali aku beritahu namaku padamu,
Jelek!" bentak Mantari sengit.
"Jangan ragu-ragu, Cantik. Ayo... katakan, biar
aku, Ki Condromuko tahu namamu. He he he he...
ya, ya, tahu... siapa, siapa he he he he..."
Laki-laki pendek yang setiap bicara terkekeh te-
rus itu makin memualkan perut Mantari.
Tahu-tahu Mantari menyambar sebutir batu
dan menyambitnya ke arah laki-laki itu.
Namun entah dengan tenaga apa batu itu me-
lenceng dari sasaran.
Mantari ternganga. Padahal dia yakin, batu itu
akan tepat pada sasarannya! Wajah jelek itu yang
masih terkekeh.
"He he he he he... menyerang Ki Condromuko
susah! Ya, ya... susah! Susah... siapa namamu,
Cantik?"
"Persetan!" geram Mantari di hati. Tapi dia bisa
mengukur kesaktian si Jelek yang menamakan di-
rinya Ki Condromuko itu.
"Mau apa kau tahu namaku?!"
"He he he... hanya mau tahu. Ya, ya, mau ta-
hu..."
Mantari mendengus. "Kembalikan dulu bajuku!"
"Namamu dulu he he he he..."
"Kembalikan bajuku! Awas kau nanti?!"
"He he he... ya, ya nanti. Nanti. Baju. Ya, na-
mamu dulu. Namamu..."
"Awas kalau kau tidak mengembalikan bajuku
nanti!"
"Ki Condromuko tak pernah berbohong he he
he..."
"Namaku Ramasita!" seru Mantari berbohong.
Ki Condromuko terdiam. Manggut-manggut.
"Ramasita... he he he... Ramasita... berarti bukan
kau yang kucari... he he he he... bajumu ada di ba-
lik pohon itu... Aku akan pergi... he he he... Eh,
nanti dulu. Ya, ya... nanti dulu..."
"Apalagi?" bentak Mantari jengkel. "Aku sedang
mencari seorang gadis. Ya, ya... seorang gadis...
Kau kenal Mantari? Ya, ya... Mantari? Ah pasti kau
tidak kenal. Sudahlah... he he he... bajumu di sa-
na..." Laki-laki itu meloncat dan langsung menghi-
lang.
Namun kekehannya terdengar nyaring. Mantari
yang hendak memanggil tidak jadi. Orang itu men-
cari Mantari? Apakah dia mencari aku? Iya? Tapi
aku tidak mengenalnya.
Mantari buru-buru mengambil pakaiannya. Se-
bentar saja dia sudah menjelma menjadi laki-laki.
Rambutnya digulung. Ditutup caping. Mengenakan
kumis palsunya. Tipis.
Dia bukan Mantari lagi, tapi Surajaga. Sambil
menunggu kainnya kering, Surajaga memikirkan
tentang laki-laki aneh tadi. Dia mengaku bernama
Ki Condromuko. Mencari Mantari. Apakah aku?
Aku?
Kenal dia saja tidak.
Tapi kenapa dia mencari aku? Atau hanya na-
maku saja yang sama dengan yang dicarinya?
"Hei, sedang apa kau melamun di sini?" sebuah
teguran terdengar. Surajaga bersiap menoleh. "Ah,
Kakang Lesmana. Mengagetiku saja."
"Sudah mandimu? Kakang Anggada mengajak
kita melanjutkan perjalanan."
Surajaga memeriksa kainnya yang dijemur di
batang pohon. Sudah agak kering. Lalu keduanya
kembali ke tempat semula.
Anggada yang menunggu sudah bersiap. Mereka
berkemas.
Surajaga bermaksud hendak menceritakan laki-
laki aneh tadi, tapi Anggada sudah menyuruh me-
reka untuk melanjutkan perjalanan.
***
TIGA
Laki-laki itu berusia 23 tahun. Bertubuh tegap.
Dia memakai baju putih yang kelihatan sudah
agak lusuh, wajahnya letih. Tapi matanya berkilau.
Jelas dia habis melakukan perjalanan jauh. Ram-
butnya yang agak panjang diikat dengan secarik
kain putih di keningnya. Dia memegang sebuah
buntalan kecil.
Ketika dilihatnya ada sebatang pohon besar
yang dapat melindunginya dari sengatan matahari,
dia berhenti.
Membuka bekalnya.
Menikmatinya dengan ditemani oleh kicau bu-
rung kecil.
Santai.
Tapi tiba-tiba dia membentak, masih tetap me-
nikmati bekalnya, "Yang mengintip silahkan ke-
luar. Kalau ingin makan bersama, silahkan! Kalau
ingin berbuat jahat, tidak ada barang berharga mi-
likku yang patut dirampas!"
Dari beberapa semak, berloncatan lima orang
laki-laki berwajah bengis, dengan wajah sedikit
merah.
Memandang galak.
Golok mengkilat ada di tangan masing-masing.
Tetapi pemuda itu tetap acuh tak acuh.
Makan dengan nikmatnya.
Salah seorang membentak, "Pemuda sombong!
Berani-beraninya kau lewat tempat ini?"
"Kenapa?" Pemuda itu masih tetap makan. Lalu
minum. Lalu makan lagi.
Orang yang membentak tadi menggeram. "Se-
tan! Angkat kepalamu kalau berhadapan dengan-
ku!"
"Kenapa?" Masih tetap makan.
"Aku penguasa di sini! Kau sedang berhadapan
dengan Tanasura!"
"Oh..."
Hanya itu. Lalu membuang bungkusan bekal-
nya.
"Bangsat!" sergah orang tadi geram. Dia menga-
cungkan goloknya. "Pemuda edan, belum merasa-
kan golokku rupanya!"
Tiba-tiba wajah pemuda itu memucat. Seperti
baru menyadari kalau orang-orang itu memegang
golok. Berbeda sekali dengan sikapnya yang santai
tadi.
"Oh... jangan, jangan bunuh aku... Aku, aku ti-
dak bersalah..." Dia beringsut ketakutan.
Orang itu tertawa. Begitu pula dengan teman-
temannya "Pemuda edan! Ketahuilah, kami adalah
murid-murid padepokan Gohkarna yang berdiri
megah di gunung Pengging!"
"Jangan... jangan bunuh aku..." Pemuda itu ke-
takutan.
Wajahnya pucat. Berbeda dengan sikapnya tadi
yang santai dan tenang.
"Jangan sok tahu! Cepat berikan barang-barang
yang kau bawa!"
"Aku... aku tidak punya apa-apa..."
"Bajingan! Mau kupenggal kepalamu?!"
"Aku... aku tidak punya apa-apa..."
"Cepat berikan!"
Salah seorang beranjak, merampas buntalan
yang dipegang pemuda itu yang sia-sia memperta-
hankannya. Memeriksanya. Hanya ada dua buah
baju yang kumal dan bau. Belum dicuci.
Orang itu membantingnya.
"Hhh! Kepalamu harus sebagai gantinya!"
"Jangan... jangan bunuh aku!"
"Lalu apa yang hendak kau berikan pada kami?
Kedua kaki?!"
"O... jangan, jangan... Aku... aku dengar, orang-
orang dari padepokan Gohkarna baik hati. Kena-
pa... kenapa kalian kejam padaku?"
"Itu dulu! Kau tahu! Resi Gohkarna, guru kami,
telah menantang beberapa pendekar dari beberapa
padepokan untuk bertarung! Memperebutkan ke-
dudukan di rimba persilatan ini!"
"Tapi..."
"Bajingan!" salah seorang yang berberewok ru-
panya tidak sabar dengan percakapan itu. Dia
mengayunkan goloknya.
Belum lagi golok itu mengenai sasaran, sebutir
batu meluncur. Tepat menghalangi laju golok itu.
Tangan orang tadi gemetar.
Golok itu terlepas.
Sosok tubuh melompat dari jalan setapak yang
terhalang pohon.
Kelima orang itu bersiap. Berbalik dengan ga-
rang. Pemuda tadi beringsut ketakutan.
"Hhh! Rupanya bocah ingusan ingin ikut cam-
pur dalam urusan ini!" salah seorang membentak.
Orang yang menghalangi laju golok tadi itu tak
lain adalah Surajaga alias Mantari. Surajaga ber-
kacak pinggang.
"Tidak tahu malu! Lima orang mengeroyok satu
orang."
"Ini urusan kami, Setan!"
"Kudengar kalian orang-orang dari padepokan
Gohkarna!?"
"Hm... ternyata orang-orang gunung Pengging
sudah merubah adat! Menjadi kejam, bengis dan
tak bersahabat!"
"Jangan banyak mulut! Siapa kau sebenarnya!?"
"Aku Surajaga, yang kebetulan melihat keingi-
nan kalian untuk berbuat keji pada pemuda itu!"
"Jangan sombong, Bocah tengik!" salah seorang
membentak, dan menyerang. Surajaga mengesam-
pingkan sedikit tubuhnya, serangan itu meleset.
Dan dengan gerakan yang ringan, Surajaga meng
gerakkan tangannya. Seperti menepuk bahu laki-
laki itu, tapi akibatnya dia tersaruk beberapa me-
ter.
Teman-teman orang itu kaget.
Pemuda yang kelihatan sombong tapi tak bisa
apa-apa itu pun ternganga.
Dia bertepuk tangan.
"Hebat, hebat. Hajar lagi, hajar lagi!" Wajahnya
berseri.
Surajaga memang sudah bersiap ketika seran-
gan selanjutnya datang. Golok-golok itu berterban-
gan.
Orang-orang itu kaget. Seketika jadi panik.
Surajaga berpura-pura hendak menyerang, tan-
pa diperintah lagi orang-orang itu kabur tunggang-
langgang.
Pemuda yang ketakutan itu berdiri dan terba-
hak-bahak.
"Ha ha ha... besar lagak saja! Rasain! Syukur!
Coba hajar saja sampai mereka mampus, Kawan!"
katanya pada Surajaga.
Tanpa sungkan dia mendekati dan mengulur-
kan tangannya.
"Aku Pratama. Pengembara."
Mau tak mau Surajaga mengulurkan tangannya
pula. Kalau mau mengikuti kata hatinya, sebenar-
nya Surajaga tidak mau bersentuhan dengan laki-
laki.
Tapi dia sudah mengulurkan tangan itu.
"Surajaga."
"Ha ha ha... Kakang Surajaga hebat sekali. Se-
kali hajar orang-orang itu lari. Kakang Surajaga
hendak ke mana?"
"Aku pun pengembara," sahut Surajaga yang in-
gat kata-kata Anggada dan Lesmana. Kedua ka-
kangnya sebenarnya berada tak jauh dari mereka.
Tadi ketika mereka lewat, mereka melihat pemuda
itu tengah dipermainkan orang-orang tadi.
Mantari segera menyodorkan diri untuk mem-
bantu. Kedua kakangnya hanya mengangguk saja.
Dan sekarang keduanya muncul sambil terse-
nyum.
Surajaga mengenalkan mereka.
Pratama ternganga. Kelihatan kalau dia sangat
kagum melihat kedua pemuda yang baru muncul
itu.
"Oh... aku sangat bahagia sekali bisa berkena-
lan dengan orang-orang dari Padepokan Angsoka,"
katanya tulus. "Telah lama aku mendengar orang-
orang golongan putih yang bernaung di padepokan
Angsoka."
"Tidak perlu memuji setinggi langit, Saudara,"
kata Anggada. "Hmm... sebenarnya... siapakah
Saudara ini?"
"Aku?" Pratama bingung. Kan tadi sudah tahu.
"Ya, Saudara." Anggada tersenyum bijaksana.
"Aku mengembara."
"Saudara dari Timur?"
"Ya. Kalau Saudara Anggada bertanya di mana
rumahku, jawabanku, tanah inilah lantai rumahku
dan langit atap rumahku. Tujuan kalian sendiri
hendak ke mana?"
"Kami pun sama seperti Saudara. Pengembara.
Tak punya tujuan," Anggada menyembunyikan
maksud mereka sebenarnya. Suaranya datar.
Enak didengar.
Pratama manggut-manggut.
"Tidak bisakah kita berjalan bersama?" ta-
nyanya berharap.
"Maafkan kami, Saudara Pratama. Kita harus
berpisah. Pengembara... hanya arah angin jadi tu-
juan. Silahkan tuju ke arah angin mana yang akan
Saudara tuju."
"Selatan."
"Selatan." suara Lesmana agak kaget. Anggada,
Surajaga pun begitu.
Ke arah Selatan berarti ke gunung Pengging!
Apa orang ini punya tujuan ke sana, atau hanya
spontan menjawab?
"Iya. Ke Selatan. Aku ingin melihat pegunungan
yang indah di sana," sahut Pratama mantap, tanpa
menghiraukan keheranan mereka.
"Kalau begitu tujuan kita sama. Kami pun ingin
ke Selatan," kata Lesmana.
"Ke Gunung Pengging juga?"
"Ya."
Sudah terlanjur dijawab. Lesmana pun baru
menyadari keceplosannya. Menolak, sulit. Diajak
serta, lain tujuan.
Bagaimana?
Anggada berkata, "Kita bisa berjalan bersama
saudara Pratama. Tapi sekali lagi, maafkan kami,
kami tidak bisa mengajak Saudara bersama. Kare-
na kami punya masalah yang lain. Maafkan."
Pratama tersenyum. Dia merangkum kedua
tangannya di dada.
"Tidak jadi masalah. Biar aku pergi sendiri.
Memang sudah keinginanku demikian."
"Saudara Pratama," panggil Surajaga. "Hati-
hati."
Pratama berhenti. Tertawa. "Jangan kuatir, Su-
rajaga. Aku pasti bisa menghadapi tantangan. Iya
tidak? Ha ha ha... Pratama!" Dia menepuk da-
danya, lalu berlalu.
Surajaga mendengus gemas. Lesmana berkata
pelan, "Maafkan aku, Kakang. Aku keceplosan."
"Sudahlah. Ayo kita cari tempat bermalam. Se-
bentar lagi malam akan tiba."
***
EMPAT
Desa Manur Biru adalah desa yang tentram. Pa-
ra penduduknya sebagian besar bertani dan ber-
dagang. Satu sama lain saling menghormati. Ru-
kun.
Ki Lurah Aryopraksa memimpin daerah itu den-
gan satu kesatuan yang utuh. Tak membedakan
mana yang kaya dan miskin. Sama.
Bahkan Ki Lurah sendiri pun akan suka turun
bersama penduduknya jika mereka panen bersa-
ma. Bergembira. Mendendangkan Kidung Senja,
Kidung yang berisikan persatuan, persahabatan
dan persaudaraan yang kokoh.
Tapi sore ini nampak Ki Lurah Aryopraksa se-
perti sedang kebingungan. Jelas sekali kalau dia
gelisah.
Nyi Lurah sendiri tidak tahu kenapa suaminya
begitu.
"Sikapmu tidak seperti biasanya, Pak," kata Nyi
Lurah penasaran, jawaban yang diberikan sua-
minya tadi tidak memuaskannya.
"Sungguh, Bu. Tidak ada apa-apa. Kemala su-
dah pulang?"
"Belum. Mungkin sebentar lagi."
Nyi Lurah menyiapkan sirihnya.
Ki Lurah mendesah dalam-dalam. Memang ada
yang dipikirkannya. Dia baru saja menerima surat
dari padepokan Gohkarna, yang meminta upeti se-
tiap bulan berupa lima puluh keping uang emas.
Kalau tidak, desa dan seisinya akan dihancur-
kan.
Itu yang mengkhawatirkan Ki lurah.
Tapi dia tidak ingin kebingungannya ini menu-
lar. Tapi kalau didiamkan, warganya bisa kelaba-
kan.
Tiba-tiba Ki Lurah bangkit.
"Mau ke mana, Pak?"
"Alun-alun."
Nyi Lurah bingung. "Ada apa?"
"Nanti kau akan tahu, bu!"
Ki Lurah bergegas hendak keluar. Nyi Lurah
menyusul.
"Pak!"
"Aku tidak lama, Bu! Kalau Kemala pulang, jan-
gan kasih ke mana-mana!"
Ki Lurah bergegas. Belum dua puluh meter dari
rumahnya mendadak saja dia merasa kakinya ter
kena sesuatu.
Dan dirasakannya tubuhnya kaku.
Darahnya seolah berhenti mengalir.
Ki Lurah bingung. Kenapa aku? Kenapa tidak
mau digerakkan kakiku? Ki Lurah mengerahkan
tenaganya. Tapi tetap gagal.
Malah semakin sakit.
Kedua mata kakinya perih. Kakinya seolah ter-
paku di tempatnya, seolah ada tangan kuat yang
menggenggamnya.
"Hi hi hi... jangan coba-coba berbuat nekat, Ki
Lurah!" terdengar suara dari atas pohon.
Ki Lurah mendongak. Seorang gadis cantik du-
duk dengan kaki menjuntai.
Tersenyum manis. Cantik.
Tatapannya jalang.
Bibirnya merekah.
Dengan satu gerakan ringan dia meloncat tu-
run.
"Ingat pesan suratku, Ki Lurah?" gadis cantik
itu berkata sambil mengikik. Suaranya merdu.
Mampu membuat setiap pria berdebar jantungnya.
"Jangan ganggu ketentraman kami, Iblis beti-
na!" geram Ki Lurah marah.
"Hi hi hi hi... nyalimu sungguh besar, Ki Lurah.
Aku hanya melaksanakan pesan Resi Gohkarna.
Kau setuju bukan dengan keinginannya?"
"Iblis! Apa dia tidak pikir, dari mana kami men-
dapat uang sebanyak itu setiap bulan, hah!?"
"Itu urusanmu, Ki Lurah. Kami hanya menadah
hi hi hi hi... terserah mau kau laksanakan atau ti-
dak."
Ki Lurah Aryopraksa mengatupkan kedua ra-
hangnya.
"Tidak!" semburnya geram.
"Hi hi hi... kau tidak ingin bukan melihat war-
gamu kami hajar habis-habisan?"
"Jangan lakukan itu pada mereka! Lakukan itu
padaku!" bentak Ki Lurah.
"Semudah menjetikkan kuku, Ki Lurah!"
"Ayo lakukan, biar kau puas! Setelah itu ting-
galkan tempat ini! Jangan ganggu ketentraman
kami!"
"Hi hi hi... nyawa tuamu tidak berguna. Bagai-
mana dengan Kemala? Putrimu yang cantik itu?
Bukankah dia sangat bermanfaat? Tubuhnya mon-
tok. Wajahnya cantik. Bukankah ini sangat bergu-
na untuk orang-orang liar yang mau bergabung
dengan kami?" Gadis itu terkikik lagi.
"Laknat!" geram Ki Lurah sengit. Dia meronta.
Tapi kakinya bagai terpaku keras. Sakit. Malah te-
rasa tangannya mulai melemah.
"Bagaimana? Setuju?"
"Iblis!"
Satu tamparan membuat bibir Ki Lurah Aryo-
praksa berdarah. Perihnya minta ampun. Sakitnya
terasa ke hati.
Tapi ditahannya.
Matanya makin melotot. Memancarkan kegera-
man yang luar biasa.
"Orang sepertimu mati tak pantas, hidup pun
tak pantas, settttaaaan?!"
"Hi hi hi... kau pikir, kau pantas?" Gadis itu ter-
kikik. Walau lembut terdengar dingin. Matanya
berkilau, indah, namun dibalik semua itu tersim-
pan mata berbahaya yang siap menerkam bahkan
mencabut nyawa Ki Lurah.
"Bilang sama Resi Gohkarna, aku, Aryopraksa
siap mati untuk kebenaran!"
"Nyali yang luar biasa!" Gadis itu geleng-geleng
sambil menyeringai.
Tiba-tiba terdengar teriakan ramai. Warga da-
tang menyerbu dengan senjata di tangan. Golok.
Klewang, Clurit. Pentungan. Pisau. Mereka siap
mencabut nyawa gadis cantik itu.
Tapi gadis itu malah tertawa.
Dingin. Sedikit pun tak kelihatan gugup.
Matanya berkilat lebih membahayakan.
Orang-orang itu langsung menyerbu, gadis can-
tik itu melompat sambil terkikik, melewati gerom-
bolan orang itu.
"Aku di sini, orang-orang dungu!"
Orang-orang itu berbalik dan menyerang den-
gan pekikan yang gegap gempita.
Gadis itu malah terkikik. Tiba-tiba dia menca-
but sesuatu dari balik baju belakangnya. Sebuah
pecut yang ujungnya berduri.
Pecut itu bergerak.
Bergeletar.
Bercampur jeritan mengerikan. Keras. Beberapa
orang yang menyerang ambruk dengan wajah ber-
darah.
Kikikan iblis betina itu semakin mengerikan.
Tangannya bergerak ke sana kemari. Pecutnya
bergeletar semakin hebat. Pekikan penduduk yang
ambruk dengan luka yang sangat parah mengge
ma.
Tak sedikit yang langsung mati.
Ki Lurah menahan pedih hatinya.
Namun tubuhnya tetap terpantek dengan kuat.
Tak bisa digerakkan. Dia tidak tega membiarkan
warganya habis dibunuhi gadis si penyebar maut
itu.
"Tahan!" serunya keras.
Namun orang-orang yang kalap itu terus me-
nyerang. Mereka sebenarnya sudah tahu dari Ke-
mala, yang mencuri baca surat ancaman yang di-
terima ayahnya.
Mereka sudah bersiap untuk menyambut keda-
tangan penyebar maut. Namun sekarang, apakah
mereka mampu menanganinya, ini baru satu
orang yang datang, bagaimana kalau banyak?
Kebencian warga Glagah Wangi terhadap Resi
Gohkarna semakin menjadi-jadi. Resi baik hati,
bersaudara dan selalu menolong, telah menurun-
kan maut melalui kaki tangan anak buahnya. Apa
penyebabnya?
Mereka tahu, menghadapi orang-orang resi
Gohkarna sangat sulit. Namun demi kebenaran
mereka rela berkorban.
Tapi untuk apa berkorban kalau sia-sia belaka?
"TAHAAAAAAAAN!" teriak Ki Lurah Aryopraksa
keras.
Serentak orang-orang itu berhenti. Memandang
penuh kemarahan.
Gadis cantik itu terkikik. "Hi hi hi hi... bagai-
mana, Ki Lurah? Kau terima?"
"Iblis betina!" geram Ki Lurah putus asa.
"Tidak! jangan biarkan orang-orang Gohkarna
menginjak-injak kita, Ki Lurah!" seru yang bertu-
buh besar. Dia memegang klewang.
"Maumu apa hi hi hi..." si gadis terkikik.
"Membunuhmu, setan!" Orang itu mengacung-
kan klewangnya. "Kau telah membunuhi saudara-
saudaraku!"
"Hi hi hi silakan, kalau kau mampu?"
"Bangsat!" orang itu menggeram hebat dan me-
nyerang. Baru satu tindak, pecut si gadis sudah
menyambutnya dan bersarang di lehernya. Dan
sekali tarik orang itu terbang menabrak pohon.
Hancur dengan kepala berdarah.
Orang-orang memekik antara takut dan marah.
Ki Lurah mendesah panjang, dalam, putus asa.
Tak ada jalan lain. Harus dipenuhi.
"Jangan teruskan!" serunya pada gadis cantik
itu yang hendak bersiap mengayunkan pecutnya
lagi. "Kami akan penuhi!"
"Hi hi hi... kenapa tidak sejak tadi kau bicara
begitu, Ki Lurah Bukankah urusannya akan jadi
cepat selesai?"
"Bajingan!" geram beberapa orang yang masih
marah. Mereka kecewa melihat sikap Ki Lurah
yang kalah. Dengan jengkel ketiga orang itu berge-
rak dengan cepat.
Si gadis itu memang luar biasa. Tanpa menoleh
atau melirik sedikit pun, dia menggerakkan tan-
gannya. Pecutnya bergerak, bergeletar. Terdengar
jeritan merobek sore yang berdarah itu.
Ketiganya ambruk.
Bersimbah darah dengan luka robekan yang da
lam di dada.
"Sudah kubilang, jangan lakukan itu lagi!" ge-
ram Ki Lurah marah.
"Hi hi hi... kau melihatnya sendiri, bukan? Jan-
gan salahi aku! Mereka yang salah!" Gadis itu ter-
kikik. Wajahnya sudah tidak kelihatan cantik lagi.
Mirip setan yang haus darah.
Tatapan yang jalang semakin jalang.
Memerah.
Seperti harimau lapar yang melihat daging em-
puk.
"Ingat Ki, dua minggu lagi aku akan datang un-
tuk mengambil upetimu itu! Dan ingat, jika tidak,
maut akan bertebar lagi di desa ini! Hi hi hi... yang
lebih penting, Kemala, anakmu itu... Tubuhnya bi-
sa jadi makanan empuk orang-orang liar yang in-
gin bergabung dengan kami! Jangan coba-coba
membohongi kami Ki. Hi hi hi... salam dari Gu-
nung Pengging! Dari yang mulia Resi Gohkarna! Hi
hi hi...!" tawa itu menggema keras dan sosok itu
menghilang dengan cepat. Bagaikan angin yang
berdesir cepat dan kencang.
Ki Lurah merasa ada sesuatu yang mengenai
kakinya dan seketika kakinya bisa terangkat.
Dia menatap warganya yang masih setengah ge-
ram dengan lemah.
"Maafkan aku, Saudara-saudara. Aku tak tahu
lagi harus berbuat apa. Hanya itu yang dapat ku-
lakukan," katanya pelan. Ia menunduk. Tatapan-
nya tak lagi berwibawa.
Tapi sebagian warganya mengerti akan persoa-
lan yang mulai gawat ini.
Ada yang mengusulkan untuk segera bersiap-
siap dan berlatih jika si Penyebar Maut itu datang
lagi.
Ada yang mengusulkan untuk minta bantuan
orang-orang padepokan Angsoka.
Ada yang mengusulkan untuk melapor pada ke-
rajaan untuk minta perlindungan.
Ki Lurah bingung mau memutuskan bagaima-
na.
Dia mengusap wajahnya yang kelihatan lebih
tua.
Lemah.
"Dalam hal ini, kita memang tidak bisa berdiam
diri. Tidak boleh pasrah atas kehendak Tuhan. Ki-
ta harus bisa merubahnya. Karena nasib suatu
kaum, berada di tangan kaum itu sendiri."
"Tapi menghadapi orang-orang Resi Gohkarna,
sama dengan menghadapi dewa Syiwa. Kita tak bi-
sa berbuat apa-apa. Tidak bisa berbuat banyak.
Perlawanan kita akan sia-sia."
"Berlatih dan bersiap hanya itu yang bisa kita
lakukan. Minta bantuan orang-orang Padepokan
Angsoka, sama saja kita mengadu antara mereka
dengan orang-orang Resi Gohkarna. Ini lebih gawat
lagi. Perpecahan akan semakin besar. Kudengar
orang-orang Tartar sudah mulai masuk ke sini.
Dan yang kudengar lagi, Resi Gohkarna mengun-
dang para pendekar untuk bertarung di gunung
Pengging. Dalam hal ini, keadaan semakin me-
runcing. Lebih baik kita bersiap. Minta bantuan
kerajaan, belum tentu mereka mau memperhati-
kan suara kita. Suara rakyat kecil yang tak banyak
memberi apa-apa. Tapi memang ada baiknya dico-
ba. Yah... mulai besok kalian harus berlatih dan
bersiap untuk menyambut kembali si Penyebar
Maut itu. Sekarang mari kita kuburkan saudara-
saudara kita yang menemui ajalnya..."
Orang-orang segera bekerja. Pekik tangis anak,
istri dan orang tua yang gugur terdengar.
Begitu menyayat.
Menyakitkan.
Ki Lurah Aryopraksa menatap mega yang makin
hitam.
Lagi dia mengusap wajah tuanya.
Di dalam rumah, Kemala mendesah pilu. Kare-
na salah seorang yang gugur adalah Mariodewo,
kekasihnya yang sangat disayanginya.
Mariodewo adalah pemuda yang nekat menye-
rang si Penyebar Maut tadi dengan beraninya!
***
LIMA
Sebuah Bayangan berkelebat dengan cepat
sambil terkikik dengan nada mengerikan. Membe-
dah langit, merobek alam yang kian sunyi.
Malam dingin.
Keheningan itu dirobek oleh tawa yang menye-
ramkan, yang mampu mengundang bulu kuduk
berdiri lebih lama.
Bayangan itu terus berkelebat sambil terus tertawa.
Menjelang tengah malam, bayangan itu masuk
ke perbatasan Keraton Selatan.
Jalan sepi. Kiri kanan penuh rumah penduduk
yang sunyi. Hanya sekali-sekali terlihat para pe-
ronda yang sedang menjalankan tugasnya.
Bayangan itu bersembunyi. Lalu berkelebat lagi
setelah para peronda itu menjauh. Bayangan itu
mendengus.
"Sial! Hampir saja ada yang melihat kedatan-
ganku menuju Keraton Selatan."
Dengan sekali melompat, bayangan itu sudah
berada di belakang tumenggungan. Tempat yang
luas dan dijaga ketat itu membuatnya agak bim-
bang untuk masuk.
Dia menggerutu lagi, "Sialan! Kenapa Raden Wi-
jaya menyuruhku untuk datang malam-malam be-
gini?!"
Bayangan itu memperhatikan sekitarnya.
Tiba-tiba dia tersenyum. Mengambil sebutir
benda kecil dari kantungnya yang terikat di ping-
gangnya.
Lalu melemparkannya ke halaman Keraton Se-
latan.
Benda itu jatuh tepat di beberapa penjaga yang
sedang menjaga. Setelah mengeluarkan asap ben-
ing yang tidak tampak oleh mata, beberapa menit
kemudian nampaklah para penjaga itu berdiam
kaku.
Seperti terhipnotis.
Bayangan itu terkekeh. Lalu melompat. Dengan
sekali lompatan dia sudah ada di atap keraton
yang tinggi. Lalu celingak-celinguk dengan gerakan
ringan.
Lalu dia melompat turun setelah melihat se-
buah kamar yang terang.
Dia mengetuk jendela kamar itu dengan hati-
hati.
"Raden... Raden..." desisnya.
Jendela itu terbuka. Seraut wajah tampan den-
gan pakaian yang indah muncul.
"Lama sekali, Nimas..."
"Sulit untuk menembus kemari, Raden..." kata
bayangan itu sambil melompat masuk.
Lalu Raden Wijaya menutup kembali jendela
kamarnya. Menatap bayangan itu yang menjelma
menjadi gadis yang sangat cantik sekali setelah be-
rada di dalam kamar yang terang. Wajahnya berki-
lau bagai rembulan karena kena sinar lampu.
Dadanya yang setengah membusung turun naik
karena nafasnya masih memburu.
Raden Wijaya yang berpenampilan necis dan
genit itu merangkulnya sambil tertawa.
"Kau semakin menggemaskan aku saja, Ni-
mas..." desisnya sambil menciumi bagian leher be-
lakang gadis tadi.
Tapi gadis itu menarik kepalanya.
"Nanti dulu, Raden... bagaimana dengan tawa-
ranku itu? Kau belum menjawabnya, Raden..."
"Itu mudah."
"Raden akan memenuhinya?" Mata itu berkilau
penuh harap dan bibirnya terbuka menampakkan
senyumnya yang indah menawan.
"Ya, rencanamu sendiri bagaimana?" Raden Wi-
jaya melepaskan rangkulannya. Menuang arak
merah ke gelas.
Memberikannya sebuah pada gadis itu.
"Setelah semua padepokan dan para pendekar
yang ada di sekitar sini saling hantam, kita tinggal
masuk saja, Raden. Bukankah begitu?"
"Hahaha... bagus, bagus, Nimas Priatsih. Sete-
lah itu, kita yang akan merampok tahta kerajaan
selagi para pendekar dan padepokan saling han-
tam. Sehingga mereka lupa akan kerajaan yang
dalam keadaan berbahaya!" Raden Wijaya terba-
hak sambil meminum araknya.
"Rencana Raden bagaimana?"
"Keraton Selatan harus kita kuasai."
"Bagaimana dengan ayah Raden sendiri?"
Kali ini wajah tampan itu sesaat terdiam. Te-
gang.
"Kita harus menggulingkannya. Aku ingin men-
jadi penguasa di sini. Juga beberapa keraton lain.
Rencanamu untuk mengadu domba semua pade-
pokan dan para pendekar itu bagus sekali. Karena
mereka yang menyulitkan kita. Para orang-orang
sakti, terutama dari Padepokan Angsoka dan Goh-
karna, adalah bawahan ayahku. Mereka sangat
patuh pada ayahku. Ini sangat berbahaya bagi ki-
ta. Untuk itu, kita harus mengadu dan menghan-
curkan mereka dengan jalan mengadu domba. Ini
merupakan jalan yang sangat baik. Dengan begitu
mereka akan saling menghantam. Kau sendiri
punya rencana lain, Nimas?"
"Sebenarnya iya, Raden. Tapi bagaimana den-
gan Keraton Barat, Timur dan Utara?"
"Setelah aku jadi penguasa di sini dengan keku
atan yang ada, kita akan menyerang ke sana. Mau
tak mau, orang-orang sakti akan tunduk padaku
karena akulah yang menjadi raja di sini. Bukan
begitu, Nimas?"
Nimas Priatsih mengangguk-angguk.
"Nimas... bagaimana dengan desa-desa lain?"
"Maksud, Raden?"
"Desa Manur Biru. Glagah Wangi. Cempaka. Itu
merupakan pos-pos yang harus kita tempati."
Nimas Priatsih tersenyum. Genit. "Itu sih beres,
Raden. Hamba sudah mengatur semuanya. Ketiga
desa itu sudah menjadi marah pada Padepokan
Gohkarna. Bahkan hamba sendiri baru saja
menghantam desa Manur Biru. Ini bukankah se-
buah berita yang baik, Raden?"
Raden Wijaya terbahak. "Betul. Biar orang-
orang Gunung Pengging akan kelabakan karena
banyaknya orang-orang sakti yang akan menye-
rang ke sana."
"Tapi, Raden?"
"Bagaimana, Nimas?"
"Kapan Raden akan memenuhi keinginanku?"
"Untuk mengangkatmu sebagai permaisuriku?
Hahaha... tak lama lagi, Nimas. Bukankah malam
ini kau akan pergi ke nirwana bersamaku? Haha-
ha..."
Raden Wijaya merangkul sosok yang menggai-
rahkan itu. Nimas Priatsih terkekeh genit dan
menjerit manja ketika tubuhnya didorong ke pera-
duan.
Sebenarnya Raden Wijaya bukanlah anak kan-
dung dari raja Keraton Selatan. Dia hanyalah anak
angkat yang ditemukan baginda raja ketika sedang
berburu. Bocah itu ditemukan saat anak itu beru-
sia dua tahun, sedang menangis karena orangtua-
nya mati dibunuh para perampok.
Baginda tidak tega untuk tidak memungutnya.
Lalu diambilnya bocah itu dan diberi nama Wijaya.
Saat itu istri baginda sendiri sedang hamil tua
anak yang pertama mereka.
Setelah anak kandungnya lahir, perhatian ba-
ginda tidak ada saling memihak. Dia menganggap
Wijaya pun sebagai anak kandungnya. Tak dibe-
dakan dengan anak kandungnya.
Namun ketika keduanya menjelang masa ka-
nak-kanak, Wijaya sudah menunjukkan sifat yang
tidak baik. Dia galak. Suka mencuri. Dan irinya
kadang berlebihan. Tetapi baginda tetap sabar ka-
rena dia pun menyayangi Wijaya bak anak kan-
dungnya.
Raden Wijaya seharusnya berterima kasih kare-
na dengan fasilitas dan kasih sayang yang diberi-
kan sang raja begitu biasa.
Tak pilih kasih.
Namun ketika dia mendengar desas-desus,
bahwa Raden Wiladalah yang akan menggantikan
kedudukan raja. Ini membuatnya marah dan iri,
meskipun dia tahu bukan anak kandung raja tetap
dia marah.
Wijaya merasa dialah yang berhak menduduki
tahta kerajaan menggantikan ayahnya yang sudah
tua. Sudah tentu keinginannya itu sulit untuk di-
terima mengingat dia bukanlah keturunan darah
biru.
Hal inilah yang menyebabkan Raden Wijaya
menjadi semakin dengki, apalagi akhir-akhir ini
adik angkatnya, Raden Wilada, semakin disanjung
oleh rakyat. Ini membuatnya semakin marah,
jengkel dan mendendam.
Dengan bantuan kekasih gelapnya Nimas Priat-
sih dari Daratan Pantai Timur, Raden Wijaya ber-
maksud hendak menggulingkan kerajaan ayahnya.
Dialah yang membuat rencana mengadu domba
para padepokan dan para pendekar dengan mak-
sud saat mereka bertarung mereka melupakan ke-
rajaan. Dan ini sangat memudahkan Raden Wijaya
untuk membunuh baginda raja.
Sedangkan Nimas Priatsih senang saja mem-
bantu. Dia adalah murid tunggal nenek jahat
Eyang Pratikanisti yang dulu pernah menyerang
desa di lereng Gunung Lawu membantu perampok
Bongsa. Tetapi serangan itu gagal berkat bantuan
Begawan Batista. Bahkan Eyang Pratikanisti tewas
di tangan Begawan Batista.
Selain itu, Raden Wijaya juga menjanjikan ke-
dudukannya sebagai permaisuri.
Lalu mulailah Nimas Priatsih menyebarkan beri-
ta palsu tentang ancaman dan tantangan yang di-
lontarkan oleh majikan gunung Pengging. Dia pun
mulai menyebarkan teror di desa-desa dengan
mengatasnamakan Resi Gohkarna, agar orang-
orang marah dan menyerangnya.
Politik adu domba itu terus dijalankan.
Kedua manusia itu kini terbaring lemas di pera-
duan. Menatap langit-langit kamar dengan nafas
turun naik. Kadang memejamkan matanya sekali
sekali.
"Nimas..."
"Ya, Raden?"
"Mendadak saja timbul sebuah rencana yang ji-
tu dalam benakku."
Nimas Priatsih melirik. "Apakah itu, Raden?"
"Bagaimana jika kau menggoda adik angkatku,
Raden Wilada?" tanya Raden Wijaya berhati-hati.
Nimas Priatsih kaget. "Maksud Raden?"
"Goda dia. Jerumuskan dia ke lembah nista.
Dengan begitu, kedudukannya sebagai calon peng-
ganti ayahku akan berantakan. Ayah akan mem-
bencinya dan kecewa padanya. Begitu pula dengan
rakyat, mereka tentu tak akan setuju mempunyai
seorang raja yang berkelakuan kotor."
"Tapi, Raden..." Nimas Priatsih tercenung.
"Aku mengerti, Manis..." Raden Wijaya menge-
cup bibir yang memerah itu. "Aku mengerti. Kau
pasti tidak rela tubuhmu dinikmati oleh Raden Wi-
lada, bukan? Memang bukan itu maksudku. Aku
pun tak rela tubuhmu harus dinikmati olehnya.
Aku cinta padamu, Nimas. Mana mungkin aku
membiarkan Raden Wilada menikmati tubuhmu."
"Lalu maksud, Raden?" Gadis itu separuh ber-
nafas lega. Dia pun mencintai Raden Wijaya.
"Kau hanya menggodanya saja. Kalau bisa bawa
dia ke tempat Kembang Mawar milik Nyai Alas Ra-
tih. Dengan begitu dia akan lupa diri. Dan ini
membuat kita lebih mudah menyingkirkannya se-
belum menyerang kerajaan. Bagaimana Nimas?
Kau sanggup melakukannya?"
Nimas Priatsih mengangguk.
Raden Wijaya terbahak.
Merangkul Nimas Priatsih yang terkikik genit
dan manja itu.
"Setelah semuanya berhasil, tentunya raja akan
marah padanya dan akan membatalkan pencalo-
nannya sebagai penggantinya. Nah, dalam kea-
daan seperti itu, pasti raja akan menunjuk ku un-
tuk menggantikan kedudukannya. Ini adalah sasa-
ran yang sangat empuk. Selagi pikiran raja kacau
balau oleh perlakuan Raden Wilada, aku akan me-
nyuruh Paman Patih Coro Ijo untuk segera me-
mimpin pasukannya menyerbu istana. Kesempa-
tan ini sangat langka, karena para pendekar yang
berpihak pada kerajaan tentunya sedang berta-
rung di gunung Pengging. Ini memudahkan kita
untuk segera menggulingkan tahta kerajaan. Sete-
lah itu, aku akan masuk membantu kerajaan. Ten-
tunya pasukan yang dipimpin Paman Patih Coro
Ijo akan mengalah dan melarikan diri. Sebagai
gantinya, beberapa pengawal akan dibuat kambing
hitam dan dibunuh karena telah berkhianat pada
raja. Dan namaku akan semakin harum di mata
raja dan rakyat, bukan?"
Nimas Priatsih terkikik.
"Hebat sekali akalmu, Raden. Benar, dengan
begitu semuanya akan berjalan lancar."
"Ini tergantung bagaimana kau menjalankan tu-
gas yang kuberikan."
"Tenang, Raden... percayalah padaku, aku akan
menjalankan tugas ini sebaik-baiknya. Bukankah
aku calon permaisurimu, Raden?"
"Benar, Nimas... kau benar. Dan ingat, besok
Raden Wilada hendak pergi berburu ke hutan
Lampor. Kalau tidak salah, dia hanya ditemani
oleh Mona dan Prakista."
"Percayalah padaku, Raden..."
***
Hutan Lampor adalah hutan yang paling angker
di sekitar Keraton Selatan. Hutan yang konon per-
nah dihuni oleh seorang raksasa yang mati karena
tersambar geledek dan mayatnya hancur menjadi
debu.
Konon hutan itu banyak pula dedemit yang me-
nyamar menjadi manusia.
Tetapi Raden Wilada telah menetapkan tekad-
nya, karena dia belum pernah berburu ke sana.
Dan keinginannya itu harus tercapai. Di samping
berburu adalah salah satu kegemarannya sejak
kecil.
Raden Wilada berkulit putih. Wajahnya tidak
begitu tampan. Alisnya tebal dengan kumis tipis di
atas bibirnya. Di belakang bahunya terdapat se-
buah busur dan beberapa anak panah. Matanya,
waspada, memperhatikan sekitarnya. Dia menden-
gar di hutan ini banyak rusa-rusa muda yang ber-
keliaran.
Di belakangnya, dua buah ekor kuda mengikuti.
Dengan masing-masing penunggangnya.
Yang menaiki kuda berbulu hitam bernama
Mona. Dia seorang abdi yang sangat setia pada
Sang Raden. Usianya kira-kira sama. Sekitar 23
tahun. Tubuh Mona besar dengan dagu yang ku
kuh. Dia pun menyandang busur dan anak panah.
Yang menunggang kuda berbulu coklat berna-
ma Prakista. Seorang abdi yang bertubuh pendek,
tapi tidak gemuk. Boleh dikatakan cebol. Tapi ke-
tangkasannya menunggang kuda tidak kalah den-
gan Mona atau pun Raden Wilada sendiri. Bahkan
kalau dia mau dia lebih hebat dari Raden Wilada.
Tapi karena tidak mau mengalahkan junjungan-
nya, Prakista selalu berusaha untuk nampak le-
mah.
"Sejak tadi tidak kulihat seekor rusa, Mona dan
Prakista," kata Wilada sambil menghentikan jalan
kudanya.
"Entahlah, Raden. Mungkin sedang bersem-
bunyi," sahut Prakista sambil tertawa.
"Mungkin kita belum melihatnya saja, Raden."
kata Mona dengan suaranya yang berat. Dia me-
mang lain dengan Prakista yang selalu ingin ber-
gurau saja.
"Atau... mereka sedang pesta, Raden," kata Pra-
kista.
"Atau juga... mereka yang hendak memburu ki-
ta?"
"Ha ha ha..." Raden Wilada tertawa. "Ada-ada
saja kau, Prakista."
"Cebol! Jangan bercanda terus!" bentak Mona.
"Lho, kok jadi marah? Apa aku salah ngomong
begitu? Kan siapa tahu?!" balas Prakista sambil
tertawa.
"Ayo kita jalan lagi," kata Wilada sambil menja-
lankan kudanya perlahan.
Kedua abdinya mengikuti.
Mona menajamkan kedua matanya, barangkali
ada rusa yang berkelebat. Sedangkan Prakista
bernyanyi-nyanyi dengan riang.
Matahari baru sepenggalah. Udara cerah. Kicau
burung kecil terdengar ramai. Pijakan kaki kuda
yang kadang mematahkan ranting kecil yang ber-
serakan, kadang terdengar.
Tiba-tiba sebatang anak panah meluncur ke
arah Raden Wilada dengan cepatnya.
Wilada yang sedang memperhatikan sekitarnya,
cepat melompat karena mendengar desingan yang
mengarah padanya.
"Hei!"
Anak panah itu lewat dan menancap di batang
pohon. Mona dan Prakista segera waspada.
"Siapa adanya yang telah menyerang junjungan
kami?" Mona membentak dengan sikap waspada.
Suaranya menggema dengan keras.
Dari balik semak belukar muncul sosok tubuh
yang indah terbalut pakaian ringkas berwarna pu-
tih. Di tangannya memegang busur. Wajah gadis
itu cantik. Kelihatan keningnya berkerut melihat
ketiganya yang diam terpaku, seolah kaget melihat
kecantikannya.
Bidadari manakah ini? desis Wilada dalam hati.
Prakista terbahak. "Ha ha ha... rupanya gadis
cantik yang menyerangmu, Raden?"
Wilada seperti tersadar. Mona sendiri menghela
nafas dalam.
"Siapakah gerangan kiranya Nona?" tanya Wila-
da lembut.
Tapi gadis itu malah semakin mengerutkan ke
ningnya.
"Ha ha ha.... dia kelihatan naksir padamu, Ra-
den," tawa Prakista terdengar lagi.
Kali ini kening gadis itu berubah. Matanya me-
lotot marah pada Prakista.
"Hei, Cebol! Jangan sembarangan omong! Siapa
yang naksir orang ini, heh?!" bentaknya marah.
Tetapi Prakista malah semakin terbahak.
"Si Cantik rupanya galak, Raden."
"Cih!" gadis itu meludah.
Wilada tersenyum. Kuatir bisa salah paham.
"Maafkan kawanku ini, Nona. Siapakah geran-
gan Nona?"
Gadis itu yang tak lain Mantari melipat kedua
tangannya di dadanya, sikapnya acuh tak acuh.
"Mau apa tanya-tanya namaku?"
"Karena anak panah Nona hampir saja menan-
cap di tubuhku."
"Biar saja! Kan aku tidak salah. Aku tengah
memanah kelinci?!" bentak Mantari yang kesal. Si-
al, kenapa aku tadi harus melepas samaranku, de-
sisnya dalam hati. Ah, kenapa aku tidak menuruti
nasehat Kakang Anggada? Ingat Anggada menda-
dak wajahnya memerah. Ih!
Perubahan itu disangka Prakista karena gadis
itu malu pada Raden Wilada.
Dia terbahak sambil menggoda, "Benarkan du-
gaanku, Raden. Gadis itu naksir padamu."
Kali ini kemarahan Mantari berlipat ganda. "Ce-
bol jelek! Jangan sembarangan omong!" bentaknya
sambil menyerang.
Prakista menghindari serangan itu sambil ter
tawa-tawa. Gerakannya ringan dan gesit.
"Haa ha ha... yang seperti ini tidak cocok un-
tukmu, Raden! Galak!"
"Setan!" bentak Mantari semakin jengkel. "Siapa
yang kesudian jadi pacar orang jelek itu!"
"Kau belum tahu siapa dia?!" Prakista menghin-
dar dengan lincahnya.
Mantari jadi jengkel. Tiba-tiba dia bergerak ba-
gaikan burung dengan cepat. Kali ini Prakista ke-
bingungan. Belum lagi sadar sebuah sodokan telah
menyodok dadanya.
Prakista terhuyung.
Dadanya sakit.
Mantari tertawa. "Rasakan itu, Cebol!"
Mona yang sudah bersiap hendak menyerang
ditahan oleh Wilada.
"Tahan! Jangan teruskan lagi! Kita hanya salah
paham! Maafkan kelakuan kawanku itu, Nona."
Mantari mendongakkan kepalanya angkuh.
"Sikat saja, Raden! Biar dia tahu siapa Raden!"
seru Prakista biarpun dadanya terasa sakit dia
masih bisa tertawa dan bergurau. "Tangkap dan
cium, Raden!"
"Bangsat!" wajah Mantari merah padam dan
bersiap menyerang lagi.
"Tahan, Nona! Maafkan kawanku, ini!" kata Wi-
lada sambil menangkis serangan Mantari.
Mantari merasakan menghantam batu yang ko-
koh. Jemarinya terasa nyeri.
Wilada merangkum kedua tangannya di dada.
"Maafkan kami, Nona. Prakista, Mona, ayo jalan!"
Mereka menaiki kuda masing-masing.
Prakista terkekeh-kekeh. "Untung saja ditahan
oleh Raden Wilada, kalau tidak kucium kau!"
Mantari melotot marah.
Kuda-kuda itu melaju.
"Sialan!" Mantari meringis kesal. "Ada-ada saja
gangguan. Hhh! Lebih baik kembali pada Kakang
Lesmana dan Anggada."
Mantari melompat ke balik semak dan menghi-
lang.
Sementara itu Prakista masih menggoda Raden
Wilada.
"Kenapa tidak Raden tangkap saja. Lumayan
Raden, biar galak tapi cantik. Yang begitu lebih
asyik, bukan? Ha ha ha!"
"Kau terlalu bertindak gegabah tadi, Prakista,"
kata Wilada tenang. Tapi menyesali juga mengapa
hanya sesingkat itu pertemuannya dengan si can-
tik tadi. Yang lebih sial, dia belum tahu siapa na-
manya!
"Dia memang cantik, Raden. Bukankah Raden
belum punya calon? Nah, ambil saja dia. Paling ti-
dak gadis dari Glagah Wangi atau Cempaka. Ke-
dua desa itu memang penuh dengan gadis-gadis
cantik, Raden."
"Sudahlah."
"Tapi masih terkenang, bukan?" Prakista, meng-
goda lagi.
"Kau ini ada-ada saja, Prakista. Aku kenal saja
baru tadi. Namanya juga belum aku tahu. Tapi
yah... dia memang sangat cantik."
Tiba-tiba Raden Wilada menghentikan kudanya.
Begitu pula dengan kedua abdinya. Mereka men
dengar suara isak dari balik pohon di depan sana.
Ada apa lagi ini?
"Jangan-jangan dedemit, Raden," Prakista tim-
bul isengnya lagi.
"Lebih baik kita ke sana."
Ketiganya agak mempercepat laju kuda mereka.
Isakan itu semakin jelas, dari balik pohon. Keti-
ganya turun dan mendekati.
Dan ketiganya terkejut.
Seorang gadis yang cantik! Ya ampun, banyak
sekali gadis-gadis cantik berkeliaran di sini? Gadis
itu kelihatan kaget dan takut.
Raden Wilada membungkuk, bertanya, "Kenapa
gerangan Andika menangis?"
Gadis itu malah undur ketakutan. Matanya
mencari-cari.
"Sana! Sana! Aku sudah tidak punya apa-apa
lagi! Sungguh, aku tidak punya apa-apa lagi!" je-
ritnya takut.
Wilada sesaat terdiam. Mengira-ngira apa yang
telah terjadi pada gadis ini.
"Tenang, Nona. Saya tidak bermaksud jahat.
Apa yang telah terjadi?" tanyanya lembut.
Gadis itu memperhatikan ketiganya dengan
seksama, seolah masih ragu akan kata-kata Wila-
da. sinar matanya masih ketakutan.
Wilada tersenyum. "Percayalah, kami tidak ber-
maksud jahat."
Sekali lagi gadis itu memperhatikan mereka. La-
lu katanya dengan terbata-bata, "Aku... aku baru...
baru saja dirampok..."
"Dirampok?"
Gadis itu mengangguk sambil terisak. "Ya, ya...
semua barang-barangku dibawa para perampok
itu..."
Raden Wilada yang baik hati dan seringkali tim-
bul rasa kasihannya, "Lalu Andika hendak ke ma-
na?"
Gadis cantik itu menunduk. "Aku... aku tidak
tahu..."
"Ha ha ha... kenapa tidak dibawa ke tumeng-
gungan saja, Raden?" kata Prakista. "Gagal yang
galak, yang lembut ini lebih baik. Bukan begitu,
Raden?"
Prakista terbahak lagi. Mona hanya melipat ke-
dua tangannya. Sifatnya tak banyak bicara menja-
dikannya seperti patung diam. Dia hanya bicara
seperlunya.
Menatap gadis cantik yang sedang dibimbing
Wilada ke kudanya.
"Lebih baik Andika tinggal di tumenggungan sa-
ja."
"Aku... aku tidak pantas bersahabat dengan
orang-orang tumenggungan..." desis gadis itu ta-
kut-takut, menolak untuk dinaikkan ke kuda.
"Kau sudah bercakap-cakap dengan kami. Ka-
mu telah bersahabat dengan kami." Wilada terse-
nyum.
Gadis itu nampak gugup. Ia memandang keti-
ganya bergantian.
"Siapa... siapa gerangan Andika adanya?" ta-
nyanya terbata-bata.
"Ha ha ha ah..." Prakista terbahak. "Rupanya
kau belum mengenal Raden Wilada, Nona? Inilah
Raden Wilada, putra kandung Pangeran Wilwatik-
ta."
"Oh!" seketika gadis terduduk berlutut berkali-
kali menyembah. "Maafkan sikapku, Raden, yang
tidak tahu siapa Raden sebenarnya."
Wilada jadi kikuk. Dia melirik Prakista tajam.
Yang dilirik hanya mesem saja.
Wilada buru-buru menyuruh gadis itu berdiri.
"Janganlah bersikap demikian, Nona. Ya, aku
memang Raden Wilada. Tapi sudahlah, janganlah
kau merubah sikap. Tetaplah seperti tadi. Kita
akrab. Hm... siapakah nama Andika?"
"Namaku... namaku... Rastili... Aku... aku dari
desa Glagah Wangi..." gadis itu malah menunduk-
kan kepalanya.
Raden Wilada makin kikuk.
Prakista terbahak. "Nyiur melambai, jadi lam-
bang. Jadi sarang, burung elang. Jangan ragu,
jangan bimbang, segeralah Raden, bawa pulang.
Ha ha ha..."
Sikap Raden Wilada jadi makin kikuk.
Rastili tersipu. Dan malu-malu dia melompat ke
kuda Wilada. Dadanya berdebar keras ketika Wila-
da menaikkannya ke kudanya.
Lalu...oh, Gusti, sang Raden berada di bela-
kangnya!
Prakista sudah gatal saja mulutnya.
Sambil melompat ke kudanya, dia berseru, "Ti-
dak dapat rusa muda, kelinci muda juga tidak
apa-apa. Bukan begitu, Raden?"
Wilada melotot.
Rastili menunduk. Wajahnya merona.
Perlahan kuda-kuda itu bergerak. Wilada men-
jalankan kudanya dengan hati-hati.
Di belakangnya Prakista mendendangkan lagu
asmara yang sendu. Sedangkan Mona hanya diam
saja. Terus mengikuti kuda-kuda itu berjalan.
Terdengar suara Prakista menggoda, "Kita tidak
jadi berburu, Raden?"
***
ENAM
Mantari muncul dengan mulut menggerutu. Dia
melemparkan pantatnya di dekat kedua kakak se-
perguruannya, masih tetap menggerutu.
Lesmana tertawa. "Hei, hei... ada apa, Rayi? Apa
mulutmu pagi ini senang mengomel?"
Mantari malah makin cemberut.
"Tidak lucu!"
"Lho?" Lesmana terbahak. "Aku memang tidak
sedang melucu!"
"Sudah diam!" Mantari melotot, nampak sema-
kin cantik.
Anggada yang baru saja bersemadi untuk me-
lancarkan jalan pernafasan menoleh, masih bersila
dengan bahu tegak.
"Mana hasil buruan mu, Rayi?"
"Buruan apa, Kakang?" kali ini suara Mantari
tidak lagi judes, malah ada kesan tersipu.
"Bukankah kau pergi berburu?"
Mantari hanya mendesah dalam. Ih, kenapa ka
lau yang bertanya Kakang Anggada hati ini selalu
tentram saja?
Dia pura-pura menurunkan busur dan anak
panahnya.
Lesmana yang suka iseng, mendehem. Bermak-
sud menggoda. Sambil menatap ke atas dia berka-
ta, "Heran... kalau aku yang bertanya, kenapa se-
lalu marah ya? Tapi kalau Kang Anggada yang ber-
tanya, sambutannya mesra. Tersipu. Bahkan se-
perti berharap. Hmm... heran, heran." Dia mengge-
leng-geleng.
Mantari tahu kalau dia sedang digoda. Makanya
dia langsung mendongak, melotot pada Lesmana.
"Kakang kok ngomongnya gitu?"
Lesmana pura-pura kaget. "Lho, aku ngomong
apa? Aku tidak merasa omong apa-apa?"
"Tadi?"
"Lho? Aduh, Rayi Mantari ini bagaimana, sih?
Aku sedang bicara sendiri..."
"Bohong! Kakang menggodaku!" suara Mantari
tersekat, seperti mau menangis.
"Lho, lho... kok jadi begini? Aku tidak mengerti?"
Lesmana masih berpura-pura, membuat Mantari
semakin sebal. Malu. Jengkel. Tapi juga senang.
"Jangan berpura-pura! Kakang jahat!" sembur
Mantari, kali ini suaranya bagai isakan belaka.
Lesmana hanya mengangkat bahu. Masih ber-
pura-pura tidak mengerti. "Aneh... aku bicara sen-
diri kok dibilang menggoda? Rayi bertemu dedemit
mana tadi, hingga marah-marah tidak karuan pa-
daku?"
Wajah Mantari merah padam. Malunya tidak ke
tulungan. Lesmana bermaksud hendak menggoda
lagi, tapi ketika diliriknya Anggada nampak sedang
memperhatikan sesuatu dia segera terdiam. Si-
kapnya jadi waspada.
Begitu juga dengan Mantari. Ngambeknya agak
menghilang. Dia berbisik pada Anggada, "Ada apa,
Kakang?"
Anggada hanya terdiam. Memperhatikan ke
arah Timur dari mereka beristirahat.
Mantari jadi penasaran, bercampur ngeri, "Ka-
kang... ada apa?"
Tanpa menoleh Anggada menyahut, "Aku men-
dengar sesuatu yang mencurigakan.."
"Apa itu, Kakang?"
"Tajamkan pendengaranmu," kata Anggada.
Tampak dia seperti bersiap tempur. Dadanya yang
tegap semakin nampak kokoh ketika dia melipat
kedua kakinya ke bawah.
Lesmana berdiri. Menajamkan telinganya.
"Ada langkah yang menuju kemari, Kang Ang-
gada," bisiknya.
Mantari juga mendengar.
"Seperti langkah ratusan orang yang berbaris."
Anggada mengangguk. "Ya. Dan membuatku
curiga. Kita berada di kerajaan Kuripan. Tapi mau
apa orang-orang itu seperti menuju kemari."
Keadaan yang agak sepi, pecah dengan derap
langkah yang terdengar agak keras. Kali ini seperti
berpencar.
Ketiganya segera waspada.
Berdiri mengambil posisi dengan sigap.
Tiba-tiba muncul enam orang laki-laki berusia
sekitar 45-an. Mereka mengenakan pakaian merah
semua, salah seorang memakai jubah hitam.
Anggada tahu, dia tanda dari orang-orang pade-
pokan Gohkarna. Lalu ada apa mereka hingga
sampai ke sini? Apa perlu mereka? Setahu Angga-
da, orang-orang padepokan Gohkarna hanya mau
turun jika raja Kuripan membutuhkan bantuan
mereka. Kalau begitu adakah sesuatu yang gawat?
Belum lagi Anggada bisa menganalisa semua
itu, salah seorang bergerak ke arahnya dengan
tangan terkepal.
Anggada kaget. Tapi cepat menyambutnya. Dia
menangkap kepalan tangan itu dan memuntirnya
ke kiri. Tapi orang itu dengan cepat bergerak, dan
tangannya terlepas dari genggaman Anggada. Lalu
dia mengirimkan jotosan ke wajah Anggada.
Anggada menundukkan kepala dan bersalto
menghindar.
"Hmm... ada apa orang-orang Gunung Pengging
menghalangi perjalanan kami?" serunya sementara
kedua adik seperguruannya bersiaga.
"Hhh! Kami ingin membuat kalian mampus di
sini!" Orang itu melesat lagi. Anggada pun tak mau
dirinya dijadikan sasaran empuk serangan itu. Dia
pun membalas.
Empat orang kawan berjubah merah itu segera
mengurung Lesmana dan Mantari.
Dan sebentar saja di tempat itu sudah ramai
oleh pertarungan yang hebat, sengit dan kejam.
Orang-orang berjubah merah itu memperlihatkan
jurus-jurus yang tangguh. Tetapi tiga orang murid
Padepokan Angsoka pun segera mengimbanginya
dengan hebat.
Sampai dua puluh jurus berlangsung, tak seo-
rang pun yang nampak terdesak. Tetapi lewat dua
jurus kemudian, Mantari sudah nampak kepaya-
han karena dua orang yang menyerangnya terus
mendesak dengan gigih.
Tenaga Mantari sudah semakin terkuras.
Dia pun sudah mengeluarkan jurus Manuk Ma-
burnya. Tetapi dua orang penyerang dengan gesit
menghindar dan membalas.
Melihat hal itu, Anggada dengan pukulan keras
hingga terhuyung beberapa tindak.
Anggada menyeka darah yang keluar dari mu-
lutnya.
"Bangsat! aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Hahaha... murid-murid gunung Lawu hanya
begitu saja kemampuannya sudah berani-
beraninya menyerang ke Gunung Pengging! Maju-
lah, akan kubuat mampus kau!"
Kembali keduanya bertarung.
Sementara Mantari kian terdesak, satu gedoran
pun membuatnya ambruk. Dan dengan cepat sa-
lah seorang yang berjubah merah itu menotoknya
hingga tak mampu bergerak.
Melihat hal itu Anggada dan Lesmana pun
mempercepat serangannya dan meningkatkan ju-
rus-jurusnya. Tetapi lawan-lawannya begitu tang-
guh. Belum lagi dua lawan Mantari tadi datang
membantu, semakin membuat keduanya kerepo-
tan.
Dan kini maut pun mengancam keduanya.
Tiba-tiba saja dua larik sinar berwarna merah
melesat ke arah orang-orang berjubah merah itu.
Serentak orang-orang itu bersalto menghindari
hantaman sinar merah yang kini menghantam po-
hon hingga hangus.
"Bangsat! Siapa yang beraninya hanya membo-
kong!"
Terdengar derap langkah kuda menuju ke arah
mereka. Nampaklah dua ekor kuda dengan mas-
ing-masing penunggangnya. Yang satu seorang la-
ki-laki muda berwajah tampan. Yang satu seorang
wanita muda yang berparas jelita dengan sebilah
pedang di punggungnya.
Yang laki-laki berkata, "Maafkan aku... yang
ikut campur dalam urusan ini... aku tidak begitu
suka melihat kalian bertingkah pengecut menge-
royok dua lawan yang sudah kehabisan tenaga..."
"Hhhh! Anak muda, siapakah kau gerangan?!"
seru salah seorang yang bernama Morojarot.
"Aku dan istriku hanyalah pengelana dari Laut
Selatan. Namaku Pranata Kumala. Dan ini istriku,
Ambarwati. Salam kenal untuk kalian, orang-orang
berjubah merah."
"Hhh! Nama kosong belaka yang kau pamerkan
di hadapan kami!"
Orang yang tak lain Pranata Kumala dan is-
trinya Ambarwati itu tersenyum. Mereka memang
sedang meneruskan petualangan. Dan secara ti-
dak sengaja mereka tiba di daerah ini.
Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya,
ketiga murid Padepokan Angsoka tertegun. Laki-
laki inikah yang pernah diceritakan guru mereka
sebagai murid dari Ki Ageng Jayasih majikan gu
nung Muria? Bila benar adanya, mereka akan me-
rasa tertolong.
"Pranata, cepatlah kau berlalu dari sini!" kata
Morojarot. "Tapi ingat, tinggalkan istrimu di sini!
Lumayan untuk menghangatkan tubuh kami!"
Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu, Am-
barwati menggeram. Dan dengan sekali salto dia
menerjang Morojarot sambil mengayunkan pe-
dangnya yang dengan cepat sudah berada di tan-
gannya.
"Aih! Rupanya pemarah benar kau!" seru Moro-
jarot sambil menghindar. Tetapi Ambarwati terus
mencecarnya. Dan "Brekk!" jubah merah yang di-
kenakan Morojarot robek terkena sabetan pedang-
nya.
"Bangsat busuk! Kau rasakan itu! Sebentar lagi
nyawamu yang akan kucabut!" geram Ambarwati.
Morojarot pun tak kalah kagetnya. Tadi dia
menganggap enteng lawannya dan tak menyangka
kalau jubah merahnya akan berhasil disambar pe-
dang yang di tangan gadis itu.
Dia menggeram. "Bangsat!" serunya sambil me-
nerjang. Tetapi segera bersalto kembali karena si-
nar merah itu kembali menyerangnya.
"Maafkan aku, Kisanak... Sungguhan, aku dan
istriku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara
kalian..." kata Pranata Kumala.
"Bangsat! Majulah kau!" seru Morojarot dan se-
rentak keempat kawannya pun mengurung Prana-
ta Kumala dan istrinya. Serentak pula mereka se-
gera menyerang.
Tetapi lagi-lagi serangan mereka kandas karena
pukulan sinar merah kembali dilontarkan oleh
Pranata Kumala yang membuat orang-orang itu
harus bersusah payah menghindar. Bahkan tiga
orang dari mereka mati dengan tubuh hangus ter-
sambar sinar merah itu.
Hal ini membuat Morojarot murka. Dia mener-
jang lagi. Dan kali ini Pranata pun bersalto dari
kudanya, melayani Morojarot dan kedua teman-
nya.
Serangan-serangan kedua orang itu cepat dan
berbahaya. Pranata pun sudah menggunakan ju-
rus Tangan Bayangannya. Pertarungan pun tak te-
relakkan lagi. Tetapi murid Ki Ageng Jayasih itu
dapat mengimbangi keduanya. Di samping mereka
tengah murka hingga tidak mengontrol serangan-
serangan mereka juga ilmu mereka yang berada di
bawah ilmu Pranata Kumala.
Sebentar saja salah seorang dari mereka sudah
ambruk dengan muntah darah. Melihat hal itu,
Morojarot pun segera melarikan diri.
Setelah merasa yakin, Morojarot tidak datang
lagi, Pranata pun menghampiri Anggada dan Les-
mana. Sementara Ambarwati menghampiri Manta-
ri.
Merasa diri mereka sudah cukup pulih setelah
menelan pil yang diberikan keduanya, mereka pun
menjura.
"Terima kasih atas pertolongan, Kisanak."
Pranata tersenyum. "Aku paling tidak menyukai
kekerasan. Hmmm... sebenarnya ada apakah
hingga kalian berbentrokan dengan orang-orang
jubah merah?"
"Maafkan kami sebelumnya, Kisanak. Kalau bo-
leh kami tahu, apakah Kisanak murid dari Ki
Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria?"
Masih tetap tersenyum Pranata menjawab, "Be-
nar, Kisanak."
"Oh, terima kasih atas pertolongan, saudara
Pranata... Namaku Anggada, ini Lesmana dan
Mantari dua adik seperguruanku."
Lalu Anggada pun menceritakan mengapa me-
reka sampai bentrok dengan orang-orang berjubah
merah. Juga maksud mereka menuju Selatan.
"Apakah hal ini biasa dilakukan oleh orang-
orang Gunung Pengging?" tanya Pranata.
"Tidak, Saudara. Itulah sebabnya, guru kami
menugaskan kepada kami untuk menyelidik ke
sana."
Pranata terdiam. "Kalau aku boleh bicara, se-
pertinya ada yang ingin mengadu domba di antara
sesama. Mengingat tak pernahnya Resi Gohkarna
berbuat seperti ini. Apalagi dia dikenal sebagai la-
ki-laki bijaksana."
"Maksud Saudara... ada yang hendak menghan-
curkan kami dengan jalan mengadu domba?"
"Benar,. Hmm... apakah ada sesuatu yang terja-
di di Keraton Selatan?"
"Setahu kami, Raden Wilada hendak menggan-
tikan ayahnya sebagai raja."
"Apakah Raden Wilada punya saudara?"
"Ya, dia bernama Raden Wijaya. Setahu kami,
dia adalah anak angkat baginda raja..."
Pranata Kumala terdiam. Lalu katanya, "Bagai-
mana bila kita bersama-sama menuju Keraton Se
latan lebih dulu sebelum ke Gunung Pengging?"
"Dengan senang hati, Saudara Pranata."
***
TUJUH
Saat itu di halaman belakang Keraton Selatan,
baginda raja sedang menunggu kedatangan pu-
tranya, Raden Wilada. Sejak beberapa hari bela-
kangan ini, Wilada sering terlambat pulang.
"Mungkin dia sedang pelesiran, Ayahanda," kata
Raden Wijaya, yang sejak tadi menemaninya.
"Pelesiran?"
"Biasa saja, Ayah. Wilada adalah laki-laki yang
tentunya tak akan pernah menyia-nyiakan kesem-
patan selagi muda."
"Kau omong apa, Wijaya?" Kening baginda ber-
kerut, tidak senang.
"Ini dugaan saya, Ayah. Karena beberapa pen-
gawal sering melaporkan hal itu pada saya. Kabar-
nya, Wilada sering mendatangi tempat pelesiran
Nyai Alas Ratih."
"Kalau memang benar adanya, Wilada tak pan-
tas menggantikan kedudukanku," kata raja marah.
Lalu memerintahkan pengawalnya untuk mencari
Raden Wilada di tempat Nyai Alas Ratih.
Benar saja, para pengawal yang ditugaskan itu
menemukan Raden Wilada sedang dalam keadaan
mabuk di pelukan dua orang pelacur.
Ketika mereka melaporkan pada raja, betapa
murkanya sang baginda. Saat itu juga dia meme-
rintahkan menangkap Wilada dan mengurungnya
di penjara bawah tanah.
Wijaya tersenyum dalam hati. Rupanya Nimas
Priatsih hebat dalam menjalankan tugasnya. Dan
itu membuatnya semakin besar untuk menjadi ra-
ja menggantikan ayahnya.
"Ayah... bagaimana mungkin Wilada dipenjara-
kan sedangkan dia hendak dijadikan pengganti
ayah?" tanya Wijaya berpura-pura tidak tahu dan
menutupi kegembiraannya.
Wajah baginda menjadi lesu. Tetapi dia tak
mungkin mengizinkan dan memberikan tahta ke-
rajaan kepada Wilada yang ternyata laki-laki bu-
suk belaka. Baginda tak pernah menyangka Wila-
da akan berbuat seperti itu.
Perlahan-lahan baginda menatap Wijaya yang
akhir-akhir ini di matanya nampak begitu baik.
Yang ditatap berlagak menunduk padahal hatinya
tengah gembira.
"Wijaya... agaknya memang kaulah yang pantas
untuk menduduki tahta kerajaan di Keraton Sela-
tan ini..."
"Ayah..."
"Wilada tak seperti sangkaanku semula, Wijaya.
Nah, dua minggu kemudian, aku akan mengu-
mumkan bahwa kaulah yang menggantikan kedu-
dukanku..."
"Ayah... apakah saya pantas?"
"Ya, kau memang pantas..."
"Terima kasih, Ayah..." kata Raden Wijaya den-
gan hati yang bergembira karena semua siasatnya
berhasil. Dan kini dia tengah menunggu para pen-
dekar saling bertarung.
***
Senja hari di Gunung Pengging.
Padepokan Gohkarna amat terkenal di sekitar
sana. Juga di beberapa daerah. Pemimpin Padepo-
kan itu seorang resi yang amat bijaksana. Usianya
sebaya dengan Begawan Batista dari Padepokan
Angsoka.
Senja itu Resi Gohkarna sedang kedatangan be-
berapa orang tamu. Mereka adalah jago-jago yang
terkenal di dunia persilatan. Kedatangan mereka
sebagian besar meminta pertanggungjawaban Resi
Gohkarna yang telah membuat onar.
Sudah tentu Resi Gohkarna merasa heran kare-
na merasa tidak berbuat apa-apa. Bahkan dia bin-
gung ketika salah seorang dari tamunya mengata-
kan dia menantangnya.
"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku," kata
sang Resi dengan suara berwibawa. "Sebaiknya ki-
ta bicarakan masalah ini dengan tenang."
"Jangan banyak bacot lagi kau, Resi Tua!" seru
salah seorang laki-laki yang berdiri gagah, di
punggungnya tersampir dua buah pedang. Wajah
laki-laki itu tampan. Dia bernama Jaya Tunggal.
"Kau harus membayar nyawa adik seperguruanku
yang dibunuh oleh anak buahmu!"
"Sabar, Saudaraku Jaya Tunggal. Terus terang,
tak satu pun muridku yang kuizinkan meninggal-
kan tempat ini!"
"Bagaimana bila mereka kabur begitu saja?"
"Mati ganjarannya!"
"Nah, mengapa tidak kau bunuh satu per satu
muridmu yang telah membunuh adik sepergurua-
nku?"
Wajah Resi Gohkarna merah padam.
Sebagian orang yang datang pun berseru untuk
menuntut balas.
"Saudara-saudaraku, tenanglah..."
"Buat apa kami tenang, hah?! Kami datang un-
tuk menuntut kematian saudara-saudara kami
yang telah dibunuh oleh murid-murid dari Gunung
Pengging ini!"
"Dengan bukti apa kalian menuduh murid-
muridku yang melakukan semua ini?!" tanya Resi
Gohkarna masih bersabar.
"Dengan bukti apa? Murid-muridmu semuanya
memakai jubah berwarna merah. Sama seperti
yang dipakai oleh orang-orang yang menyerang
kami! Dan sama seperti yang dipakai sekarang
oleh murid-murid di samping kanan kirimu itu!"
"Tapi...."
"Jangan banyak bacot lagi, Resi Tua! Kau harus
membalas nyawa adik seperguruanku saat ini ju-
ga!" Lepas berkata begitu, Jaya Tunggal melesat
menerjang dengan mengibaskan kedua pedangnya
ke arah Resi Gohkarna.
Resi tua yang tangguh dan perkasa itu meng-
hindari serangan tadi dengan sekali melompat.
Dan "Tep!" salah sebuah pedang yang berada di
tangan Jaya Tunggal kini berpindah tangan.
Membuat yang hadir mau tak mau berdecak
kagum. Tetapi bagi Jaya Tunggal ini merupakan
suatu penghinaan. Dia pun menerjang kembali.
Kali ini beberapa orang murid padepokan Gohkar-
na yang melayani.
Jaya Tunggal pun segera mengimbanginya den-
gan permainan pedangnya yang kini tinggal se-
buah.
Sambil menghindar dan membalas menyerang
dia berseru pada orang-orang gagah yang ada di
sana, "Hei, kalian semua! Mengapa hanya ber-
pangku tangan saja, cepat kalian bunuh Resi Goh-
karna yang berubah itu!"
Orang-orang gagah yang hadir di sana pun sa-
dar, kalau kedatangan mereka hendak menuntut
balas pada resi Gohkarna. Sebentar saja beberapa
orang pun sudah mengurung resi yang gagah per-
kasa itu.
Mau tak mau di Padepokan Gohkarna terjadilah
pertarungan sengit para pendekar. Beberapa mu-
rid padepokan itu pun bergerak membantu guru
mereka.
Dan terdengar jerit kesakitan yang mengundang
wabah maut dari beberapa orang murid.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang men-
gandung tenaga dalam, "Hentikan semua!"
Serentak yang sedang bertarung menghentikan
gerakannya. Dan melihat sosok tubuh berjubah
putih dengan wajah yang arif dan bijaksana. Dia
yang tadi membentak.
"Siapa kau?!" bentak Jaya Tunggal.
Sosok itu tersenyum berwibawa dan berkesan
bijaksana.
"Namaku mungkin tak banyak berarti, tak ba-
nyak orang mengenalnya."
"Jangan banyak omong, katakan siapa kau se-
benarnya!" bentak Jaya Tunggal lagi.
"Aku hanya kebetulan lewat jalan ini. Dan aku
merasa ada sesuatu di sini, itulah sebabnya aku
keluar dari kediamanku di sebelah Barat sana..."
"Atau kau datang untuk membunuh Resi Goh-
karna?" bentak Jaya Tunggal lagi.
"Tidak, aku datang ingin bertanya ada apa hing-
ga kalian orang-orang gagah bertempur di sini?"
"Karena Resi Gohkarna menantang kami, dan
telah membunuh beberapa orang teman kami!"
Resi Gohkarna yang merasa sedikit tertolong
karena orang-orang itu menghentikan serangan-
nya, memandang sosok berjubah putih. Lalu ber-
tanya, "Kisanak yang perkasa, siapa Kisanak ge-
rangan adanya? Akulah Resi Gohkarna yang me-
mimpin padepokan di Gunung Pengging ini..."
Sosok berjubah putih itu tersenyum. "Aku? Ah...
namaku tak berarti. Tapi kalau kalian memang
memerlukan namaku, baiklah. Namaku... Madewa
Gumilang."
"Apa?!"
"Siapa?!"
"Madewa Gumilang?!"
"Pendekar Bayangan Sukma!"
Seruan-seruan kaget terdengar. Sosok berjubah
putih yang ternyata memang Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma itu tersenyum.
"Pendekar gagah budiman, ternyata aku yang
tua ini masih diberikan kesempatan oleh Gusti Al
lah untuk berjumpa denganmu! Salam hormat dari
kami, padepokan Gohkarna!" kata Resi Gohkarna
sambil menjura yang diikuti oleh murid-muridnya.
Begitu pula dengan beberapa pendekar yang
hadir.
"Aah, sikap kalian seolah-olah aku ini dewa,"
kata Madewa dengan suara yang arif. "Katakan-
lah... ada apa sebenarnya hingga kalian bertarung
di sini?"
Menerangkanlah Resi Gohkarna tentang kea-
daan yang menimpa padepokannya.
Madewa manggut-manggut.
Tapi tiba-tiba Jaya Tunggal berseru membentak,
"Hei, manusia sombong! Kalau kau memang benar
Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Suk-
ma, aku akan mengujimu!"
"Saudara... kita tidak ada silang sengketa. Uji
menguji bisa menimbulkan dendam bagi yang ka-
lah."
"Sombong sekali ucapanmu! Tahan serangan!"
Jaya Tunggal pun menderu maju. Tetapi Made-
wa hanya mengibaskan tangan kanannya. Menda-
dak saja tubuh Jaya Tunggal berbalik terpelanting
ke belakang.
Orang-orang berdecak kagum.
Jaya Tunggal menjadi marah. Dia berbuat lagi.
Tetapi kembali Madewa menggerakkan tangan ka-
nannya hingga Jaya Tunggal terpelanting lagi.
"Hentikan, Saudara," kata Madewa. "Dan men-
gakulah di hadapan orang-orang gagah ini atas ke-
salahanmu. Bertobatlah sebelum berlarut-larut."
Orang-orang gagah yang berada di sekitar sana
heran mendengar suara Madewa Gumilang.
"Saudara Yang agung... apa maksud Saudara
berkata begitu?" tanya seorang kakek yang berna-
ma Sambar Tiga.
"Hm... ketahuilah... sebenarnya kalian para
pendekar hanyalah diadu domba oleh orang-orang
yang hendak berkhianat pada kerajaan. Dan salah
satunya adalah Saudara Jaya Tunggal ini..."
"Bohong! Fitnah! Dusta!" seru Jaya Tunggal
"Tak kusangka manusia dewa seperti kau menye-
barkan fitnah sekeji itu!"
"Mengakulah, Saudara..."
"Bangsat! Kau menyebarkan fitnah yang sangat
keji, Madewa!" sambil berseru begitu, Jaya Tunggal
kembali menderu menyerang. Kali ini dia tak mau
tanggung lagi, dia mengibaskan pedangnya dengan
hebat.
Namun serangannya itu pun harus kandas.
Dengan menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri
dan Ular Mematuk Katak, Jaya Tunggal harus ter-
pelanting ke belakang.
"Tahan!" terdengar seruan Madewa dan tubuh
Jaya Tunggal yang hendak bangkit menjadi kaku.
"Aku mempunyai seorang saksi dalam kasus ini!
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya aku sudah men-
cium tentang para pemberontak yang akan menye-
rang istana. Tetapi belum kuketahui siapa sesung-
guhnya otak semua ini!"
Madewa Gumilang mengangkat tangan kanan-
nya. Mendadak satu sosok tubuh melenting bersal-
to ke arahnya dan hinggap di sampingnya dengan
ringan.
Sosok tubuh itu adalah Pratama, yang pernah
dijumpai Anggada, Lesmana dan Mantari atau Su-
rajaga yang sedang dihajar oleh para perampok.
"Ketahuilah Saudara-saudaraku..." kata Made-
wa. "Pemuda ini bernama Pratama. Dia adalah sa-
lah seorang murid dari Perguruan Topeng Hitam,
perguruan yang aku pimpin sesudah Paksi Uluda-
ra (baca: Keris Naga Merah), yang sedang mengiku-
ti petualangan yang dilakukan anak dan menan-
tuku, Pranata Kumala dan Ambarwati. Dia telah
menyelidiki kejadian yang menimpa antara kalian,
para pendekar. Dan dia pun telah menyelidiki ke-
jadian yang menimpa Keraton Selatan! Pratama,
ceritakanlah semuanya pada para pendekar di si-
ni!"
Pemuda yang nampak lemah yang ternyata seo-
rang murid Perguruan Topeng Hitam menjura, "Sa-
lam hormat buat para pendekar semua! Rupanya
kita tengah diadu domba oleh satu gerombolan
pemberontak yang berkhianat pada Keraton Sela-
tan. Dan salah seorang di antara mereka adalah
Jaya Tunggal. Juga yang telah menyebarkan surat
tantangan ke beberapa padepokan dan orang-
orang gagah."
"Saya juga melihat, ada beberapa pasukan leng-
kap dengan senjatanya yang akan menyerbu kera-
jaan. Dugaan saya, beberapa orang sakti dan to-
koh persilatan kerajaan ikut terlibat. Hanya
sayang, siapa yang menjadi dalang dari semua
perbuatan ini belum diketahui! Untuk itu, atas
nama Madewa Gumilang, atau guruku, kalian
hendaknya saling minta maaf dan menghilangkan
silang sengketa di antara kalian! Terutama pada
perguruan atau padepokan Gohkarna!"
Mendengar penjelasan itu, orang-orang gagah
yang hendak menyerang dan menghancurkan pa-
depokan Gohkarna menjadi malu. Mereka pun
meminta maaf pada Resi Gohkarna yang sudah
tentu memaafkan.
"Untunglah pertumpahan darah ini berhasil kita
selesaikan secara damai. Saudara Madewa yang
agung, kami mengucapkan banyak terima kasih
atas bantuan Saudara. Bila saja Saudara terlam-
bat datang, mungkin darah akan mengalir di pa-
depokan Gohkarna ini."
"Sebaiknya kalian segera bersiap untuk mem-
bantu Keraton Selatan! Karena menurut perki-
raanku, subuh nanti para pemberontak akan me-
nyerang istana! Ingat, pekerjaan mereka sangat
rapi dan tertutup."
"Tetapi tak ada salahnya bila kalian menjaga-
jaga di sana!"
"Tahan!" terdengar seruan yang keras. Muncul
seorang laki-laki berusia 60-an dengan gagah
mendekati mereka.
"Begawan Batista!" seru Resi Gohkarna.
Orang yang ternyata memang Begawan Batista
itu mendekat. Dia menjura pada Madewa Gumi-
lang.
"Aku yang sudah tua ini ternyata masih diberi
kesempatan untuk mengenal Madewa Gumilang
atau Pendekar Bayangan Sukma! Kusampaikan
salam hormat dan kenalku kepada saudara Pen-
dekar Budiman!" kata Begawan Batista sambil
menjura.
"Aku pun senang berkenalan dengan Begawan
Batista yang bijaksana!"
"Hmm... aku sudah mendengar apa yang se-
sungguhnya terjadi. Saat ini pula aku minta maaf
pada padepokan Gohkarna yang telah menuduh
kalian menjadi pengkhianat dan sombong, men-
gingkari janji dan sumpah orang-orang dari golon-
gan putih!"
"Hahaha... sudahlah, Begawan Batista. Kita se-
mua pun salah paham dalam masalah ini!"
"Sebaiknya kalian segera bersiap!" kata Madewa
Gumilang kemudian.
***
DELAPAN
Tengah malam menjelang.
Lima sosok bayangan mendekati Keraton Sela-
tan.
"Saudara Pranata... bagaimana bila dugaanmu
salah?" terdengar salah seorang bertanya.
"Anggada... tak mungkin aku berbuat kesala-
han. Karena kupikir, pertarungan para pendekar
yang akan terjadi disebabkan oleh adu domba dari
orang-orang yang hendak berkhianat pada kera-
jaan Keraton Selatan. Mengingat mereka adalah
orang-orang yang sangat mengabdi dan setia pada
kerajaan. Dan di saat mereka saling bertarung, pa-
ra pemberontak itu akan menggunakan kesempatan menyerang kerajaan. Dengan begitu mereka
akan aman dari orang-orang gagah yang patuh
dan setia pada kerajaan Keraton Selatan. Bukan-
kah ini suatu akal yang sangat licik dan jitu?"
"Tapi... sepertinya tak ada tanda-tanda pembe-
rontakan bekal terjadi."
"Ingatkah kau bahwa saat ini Raden Wilada ca-
lon pengganti Baginda raja tengah di penjara di
bawah tanah? Dan ingat pula, Raden yang baik
hati itu mendadak saja terjerumus pada perbuatan
nista. Bukankah ini hal aneh?"
"Jadi maksudmu ada yang hendak mengguling-
kan kerajaan dan merebut tahta kerajaan dari ca-
lon raja Raden Wilada?"
"Benar."
"Kalau begitu... kau menduga Raden Wijaya
yang mengatur semua ini?"
"Benar. Hanya dialah seorang yang bisa meng-
gantikan kedudukan Raden Wilada bila dia sudah
tersingkir."
"Tapi... mengapa dia masih mau memberontak,
bukankah saingannya sudah disingkirkan?"
"Aku pun tidak tahu. Hmm... sebaiknya kalian
tetap di sini. Aku akan menyelinap ke keraton!"
"Hati-hati."
"Kakang..." terdengar suara Ambarwati.
"Tenang, Rayi... tak ada yang perlu dice-
maskan," kata Pranata Kumala yang dapat melihat
sinar mata cemas dari kedua mata istrinya. Sinar
bulan di atas menerangi semua itu dan menje-
laskannya.
"Hati-hati, Kakang..."
Pranata mengangguk. Lalu hati-hati dia menye-
linap di tembok keraton. Dan dengan sekali salto
dia sudah berada di dalam keraton. Matanya awas
memperhatikan sekelilingnya. Suasana Keraton
nampak aman-aman saja. Beberapa orang prajurit
tengah menjaga keraton tanpa mengantuk sedikit
pun.
Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Tetapi tiba-tiba matanya menangkap sosok tu-
buh yang menyelinap ke belakang keraton. Dan
memasuki Tumenggungan. Lalu tubuh itu menye-
linap.
Pranata menjadi penasaran dan rasa ingin ta-
hunya timbul. Dia pun mengikuti sosok tubuh itu
yang kini tengah melompat masuk dari jendela se-
buah kamar yang terang.
Pranata sempat melihat sosok tubuh yang
membuka jendela itu. Diakah Raden Wijaya? Men-
gingat dari pakaian yang dikenakannya mirip seo-
rang pangeran?
Hati-hati Pranata mendekati kamar itu. Dan
menguping pembicaraan dari luar.
"Bagaimana, Paman Patih?"
"Semua beres, Raden," kata sosok yang baru da-
tang itu yang ternyata Patih Coro Ijo.
"Bisa kita melakukan penyerangan subuh nan-
ti?"
"Bisa, Raden. Dalam kesempatan penyerangan
ini, sasaran kita adalah Ki Condro Seta atau si
Tangan Beracun. Agaknya hanya dia yang belum
terpengaruh, Raden. Dia sungguh-sungguh manu-
sia yang bersih."
"Yang lain?"
"Beres, Raden. Setelah Ki Condro Seta berhasil
kami lumpuhkan, barulah Raden dan pasukan
Raden menyerang kami. Seolah-olah Raden men-
gusir kami. Tentu saja kami akan mengalah. Den-
gan begitu nama Raden sebagai calon pengganti
raja setelah Raden Wilada dipenjara akan semakin
disanjung rakyat. Dan nama Raden akan tetap
bersih."
"Bagus. Hahaha... rencanamu matang juga Pa-
man Patih. Sebentar lagi Nimas Priatsih akan
muncul ke sini..."
Mendengar kata-kata itu, Pranata langsung per-
gi dari situ. Dia tak mau dipergoki. Hmmm... be-
rarti Raden Wijayalah yang menjalankan siasat
adu domba itu.
Sebaiknya aku harus membebaskan Raden Wi-
lada lebih dulu. Lalu Pranata Kumala kembali ke-
pada teman-temannya dan istrinya. Dia pun men-
ceritakan apa yang telah didengarnya tadi.
"Kalian tetap waspada di sini. Aku akan mem-
bebaskan dulu Raden Wilada." kata Pranata Ku-
mala. "Ingat, subuh nanti penyerangan itu dilaku-
kan."
Sehabis berkata begitu, Pranata pun melesat
kembali ke dalam keraton. Dia menyelinap ke da-
lam. Beberapa penjaga yang tengah menjaga dito-
toknya hingga kaku.
Lalu dia menuju tangga bawah tanah.
Ada dua orang penjaga di sana.
Namun keduanya pun tak bisa berbuat banyak.
Mereka pun ditotoknya. Lalu dia mencari penjara
Raden Wilada.
Setelah ditemukannya dia berbisik. "Raden...
Raden..."
Raden Wilada yang tengah menyesali dirinya ka-
rena mau dibujuk oleh Rastili alias Nimas Priatsih
ke lembah nista, terkejut karena ada yang me-
manggilnya.
"Siapa yang memanggilku?" tanyanya.
"Sttt! Jangan berisik, Raden. Nama saya Pranata
Kumala."
"Hmmm... mau apa kau ke sini?"
"Tenang, Raden. Saya datang untuk membe-
baskan Raden."
"Hei, apa maksudmu?"
"Keadaan Keraton dalam bahaya, Raden."
"Aku tidak mengerti apa maksudmu?"
Lalu Pranata menceritakan rencana keji dari
Raden Wijaya. Wilada menggeram.
"Wijaya busuk! Rupanya dia menyebabkan aku
menjadi begini! Pasti gadis yang mengaku bernama
Rastili itu kaki tangannya!"
"Benar, Raden... kita tidak punya banyak wak-
tu! Cepatlah!"
Lalu Raden Wilada keluar dari penjara yang te-
lah dibuka Pranata dengan kunci yang diambilnya
dari penjaga tadi.
"Raden... sebaiknya kita ke kamar baginda raja.
Raja harus segera disingkirkan."
"Tapi ayah masih marah padaku."
"Saya yang akan menjelaskan semuanya."
Tentu saja baginda raja terkejut ketika Raden
Wilada dan orang yang tak dikenalnya masuk ke
peraduannya. Tetapi setelah dijelaskan oleh Prana-
ta Kumala, dia pun mengerti.
Sejak kejadian yang menimpa Raden Wilada,
sebenarnya raja sangsi mengapa Raden Wilada
berbuat seperti itu. Lalu dia pun membangunkan
istrinya.
Setelah itu Pranata membawa ketiganya keluar
dari keraton. Dan menyuruh Ambarwati dan Man-
tari menyembunyikan mereka. Mantari kini sudah
kembali pada aslinya membuka samarannya seba-
gai Surajaga.
Tepat subuh menjelang, terdengarlah pekik dan
jeritan ke arah keraton. Derap langkah kuda me-
nerjang pintu gerbang keraton. Para penjaga ber-
hamburan keluar dan menahan serangan para
pemberontak.
Seketika di Keraton istana terjadi keributan dan
banjir darah.
Ki Condro Seta alias si Tangan Beracun melom-
pat dari tempat tidurnya yang terletak di pojok
Tumenggungan. Dia pun menerjang keluar dan
terkejut melihat pertempuran sedang terjadi.
Ki Condro Seta tak mau berpikir panjang lagi.
Dia pun memasuki kancah pertempuran. Patih
Condro Ijo yang menyamar dengan menggunakan
sebuah topeng segera menyambutnya.
Terjadilah pertempuran yang sengit antara Ki
Condro Seta dan Patih Coro Ijo.
Di tempat lain, Nimas Priatsih yang juga men-
genakan sebuah topeng mengamuk menyabetkan
pedangnya. Jeritan terdengar. Darah pun berhamburan.
Sejumlah pengawal istana terdesak hebat kare-
na jumlah pemberontak yang sangat banyak. Te-
tapi mereka berusaha bertahan sekuat tenaga.
Namun semua itu sia-sia belaka.
Ki Condro Seta sendiri pun sudah beberapa kali
kena sambaran pedang Coro Ijo yang kin dibantu
oleh beberapa anak buahnya.
Tiba-tiba masuk tiga orang laki-laki ke kancah
pertempuran itu yang langsung mengobrak-abrik
barisan pemberontak. Patih Coro Ijo dan Nimas
Priatsih terkejut. Siapa pula mereka ini?
Sementara semangat Ki Condro Seta muncul
kembali. Dia tidak tahu siapa ketiga pendatang itu,
tetapi agaknya ketiga pendatang itu berpihak pa-
danya melihat mereka menghantam para pembe-
rontak.
Pukulan tangan beracunnya pun berkelebat la-
gi. Tiga orang pemberontak menjerit dan ambruk
dengan tubuh membiru.
Melihat hal itu, Patih Coro Ijo menjadi murka.
Dia menerjang hebat Ki Condro Seta yang menjadi
kewalahan dan akhirnya ambruk. Mati dengan
leher hampir putus tersabet pedang Patih Coro Ijo.
Lalu Patih Coro Ijo segera menyambarkan pedang-
nya kepada tiga orang pendatang itu. Begitu pula
dengan Nimas Priatsih yang datang membantu.
Tiga orang yang datang itu tak lain Pranata
Kumala, Anggada dan Lesmana. Mereka pun
membalas serangan-serangan yang datang dengan
gesit dan tangkas.
Masing-masing sudah mengeluarkan jurusnya.
Saling serang.
Saling bertahan.
Suara-suara jerit kematian masih terdengar.
Sampai suatu ketika pedang Patih Coro Ijo me-
nyambar bahu Lesmana.
"Mundur kau, Lesmana!" seru Anggada sambil
berguling dan menggedor maju ke arah Patih Coro
Ijo.
Patih Coro Ijo pun membalas dengan hebat.
Sementara Pranata Kumala yang berhadapan
dengan Nimas Priatsih terus bertempur dengan
hebat. Ternyata Nimas Priatsih begitu tangguh. Se-
rangan-serangan Pranata Kumala berhasil dipa-
tahkannya.
Bahkan berkali-kali dia membalas.
"Terimalah ajalmu, Manusia Sombong! Makanya
jangan ikut campur dalam urusan ini!" seru Nimas
Priatsih sambil mengirimkan pukulannya.
"Manusia busuk! Nyatanya kau yang ditunggu
semalam oleh Raden Wijaya!" balas Pranata Kuma-
la sambil bersalto menghindar.
Nimas Priatsih menjadi kaget. Berarti ada orang
yang mengetahui semua rencana mereka. Kalau
pun pasukan Raden Wijaya masuk dengan bala
pasukannya seolah-olah mengusir para pemberon-
tak, akan sia-sia belaka.
Berarti rencana ini sudah gagal, sudah dicium
orang.
Hal ini membuat Nimas Priatsih menjadi marah.
Dia mempergencar serangannya.
Kali ini Pranata pun sudah mengeluarkan jurus
pukulan sinar merahnya yang mampu membuat
Nimas Priatsih tunggang-langgang menghindari se
rangan itu.
"Setan!" rutuknya.
"Kau yang setan, Perempuan busuk!"
Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda mema-
suki tempat itu. Disusul dengan suara, "Hei, para
pemberontak! Menyerahlah kalian!"
Para pengawal istana gembira begitu melihat
Raden Wijaya dan pasukannya datang membantu.
"Raden!"
"Bantu kami!"
"Pemberontak-pemberontak ini begitu banyak
jumlahnya!"
Seruan-seruan penuh semangat membahana.
"Tenang, Para pengawal! Ayo, kita singkirkan
para pemberontak ini!" seru Raden Wijaya sambil
mengibaskan pedangnya ke sana kemari.
Nimas Priatsih yang merasa sia-sia sandiwara
Raden Wijaya bersalto mendekatinya.
"Raden... tidak usah bersandiwara lagi! Rencana
kita sudah diketahui orang!"
"Apa maksudmu, Nimas?"
"Hahaha... jangan berpura-pura lagi, Raden Wi-
jaya yang berhati busuk!" terdengar tawa Pranata
Kumala di dekat mereka. "Hentikan semua sandi-
waramu ini! Dan menyerahkan diri!"
Raden Wijaya yang segera tanggap apa yang te-
lah terjadi, menggeram marah.
"Manusia lancang! Kau harus mampus!" se-
runya sambil menggebrak kudanya ke arah Prana-
ta.
Pranata cepat menghindar dengan jalan bersal-
to.
"Raden... biar aku yang hadapi manusia lancang
itu!" berseru Nimas Priatsih sambil melompat. "Se-
baiknya kau mencari raja dan Wilada! Bunuhlah
mereka!"
Raden Wijaya berlari ke kamar ayahnya. Tetapi
kamar itu kosong. Begitu pula dengan kamar
ibunya. Kosong melompong.
Raden Wijaya menggeram.
Lalu dia berlari ke penjara bawah tanah. Begitu
pula adanya, penjara tempat Raden Wilada dihu-
kum kosong melompong.
"Bangsat! Berarti mereka sudah diselamatkan
orang-orang itu! Laknat! Kalian harus mampus!"
Raden Wijaya pun melesat keluar lagi. Dia me-
merintahkan pasukannya untuk membunuh keti-
ga pendatang itu. Sudah tentu pasukannya dan
penjaga istana yang tidak tahu apa yang sesung-
guhnya telah terjadi keheranan.
"Bagaimana, Raden?"
"Laksanakan perintahku cepat!"
Dan serentak pasukan itu pun mengurung Pra-
nata Kumala, Anggada Dan Lesmana. Yang harus
mempertahankan selembar nyawa mereka secara
mati-matian.
Ketiganya pun sudah merebut senjata dari tan-
gan para prajurit dan menggunakannya untuk
membela diri.
Tiba-tiba Pranata Kumala bersalto menghindar,
sambil mendekati Anggada dan Lesmana.
Lalu dia berbisik. "Kerahkan tenaga dalam ka-
lian dan alirkan pada kedua telinga kalian. Bila
nanti kalian merasakan sakit yang teramat sangat,
lebih baik kalian pergi meninggalkan tempat ini.
Mengerti?!"
Walaupun tidak sepenuhnya mengerti, tetapi
keduanya mengangguk. Lalu mereka menyalurkan
tengah dalam mereka ke telinga.
Sementara Pranata Kumala menghindari lagi
serbuan dari Nimas Priatsih. Sambil melenting di
udara dia mencabut sesuatu dari balik bajunya.
Itu Seruling Naga! Seruling sakti warisan dari
ayahnya, Madewa Gumilang. Sedangkan Madewa
sendiri mendapatkan dari gurunya Ki Rengsersari
(baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Senjata apa yang kau keluarkan itu manusia
lancang!" seru Nimas Priatsih.
Pranata langsung bersalto dan ketika hinggap di
tanah sudah dalam posisi bersila. Dia mengelua-
rkan hawa murninya. Menenangkan pikiran dan
dirinya.
Dan perlahan-lahan dia mulai meniup seruling-
nya.
Terdengarlah alunan perlahan-lahan. Merdu
dan lembut. Namun lambat laun terasa menyentak
di telinga. Mendadak saja orang-orang yang berada
di sana, bagai diserang oleh ribuan tawon yang
mendengung di telinga.
Menyakitkan.
Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo dan Raden Wijaya
segera mengerahkan tenaga dalam mereka yang
dialiri ke telinga untuk menutup jalan pendenga-
ran dari suara seruling itu.
Sedangkan pemandangan lain pun terlihat. Be-
berapa orang yang mempunyai tenaga dalam pas
pasan sudah tergeletak kelojotan dengan telinga
berdarah.
Lalu meregang nyawa.
Anggada dan Lesmana sendiri pun telah me-
nyumbat telinga mereka dengan tenaga dalam.
Suara seruling yang terdengar merdu itu malah
menyakitkan di telinga.
Itulah kesaktian dari Seruling Naga yang di ten-
gah tubuh seruling itu ada gambar dua ekor naga
sedang bertarung.
Perlahan-lahan pemandangan mengerikan pun
terlihat. Satu per satu ambruk dengan telinga ber-
darah sebelum meregang nyawa.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang men-
gandung tenaga dalam, "Pranata! Hentikan tiupan
seruling itu!"
Seruling Naga yang dipegang oleh Pranata terle-
pas, menandakan betapa tingginya tenaga dalam
orang yang membentak tadi.
Pranata pun menjadi siaga.
Di hadapannya kini berdiri sosok tubuh menge-
nakan jubah putih.
"Ayah!"
Madewa Gumilang yang membentak tadi terse-
nyum, "Bila tak kau hentikan alunan serulingmu,
betapa banyaknya nyawa orang yang tak berdosa
harus putus..."
"Maafkan aku, ayah... keadaanku sudah sangat
terdesak. Jumlah mereka sangat banyak, Ayah..."
"Ya, aku pun sudah tahu apa yang telah terjadi
di sini!"
Lalu muncullah beberapa orang-orang gagah ke
tempat itu. Mereka sangat terkejut menyaksikan
pemandangan berdarah yang terpampang di hada-
pan mereka.
Tiba-tiba Begawan Batista berseru, "Baginda ra-
ja!"
Beberapa orang hendak menyerbu masuk ke is-
tana, tetapi Anggada berseru, "Tahan, Guru!"
"Kau, Anggada? Lesmana!" seru Begawan Batis-
ta sambil melongok mencari Mantari. "Di mana
adik seperguruan kalian?!"
"Dia berada di satu tempat yang aman, Guru."
Begawan Batista menghela nafas lega. "Bagai-
mana keadaan Baginda Raja?"
"Beliau dalam keadaan sehat walafiat di satu
tempat yang sangat tersembunyi. Dia bersama is-
trinya, Raden Wilada, Rayi Mantari, dan Mbakyu
Ambarwati."
"Siapa Ambarwati?!"
"Beliau adalah menantuku, Begawan Batista,"
kata Madewa Gumilang.
Begawan Batista menoleh. "Jadi... yang meniup
seruling tadi anakmu? Pranata Kumala? Murid da-
ri Kakek sakti Ki Ageng Jayasih?"
"Benar, Begawan..."
"Hei, lihat!" terdengar seruan dari Pranata Ku-
mala. Nampaklah Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo
dan Raden Wijaya bangkit hendak melarikan diri.
Mereka merasa sudah tak berguna lagi berada
di sini. Mereka juga merasa tak akan mungkin bisa
meneruskan rencana keji mereka. Apalagi seka-
rang betapa banyaknya pendekar yang berdatan-
gan, yang mereka adu domba untuk saling bersi
lang sengketa.
Itulah sebabnya mereka mencoba melarikan di-
ri.
Tetapi langkah mereka tertahan, karena bebe-
rapa pendekar yang merasa geram sudah bersalto
mengurung ketiganya.
"Menyerahlah kalian!"
"Hhh! Sebelum tubuh berkalang tanah, kami
tak akan menyerah!" seru Nimas Priatsih sambil
menyerang.
Terjadilah pertempuran kembali. Patih Coro Ijo.
Nimas Priatsih dan Raden Wijaya yang tak kalau
mereka menyerah, ditangkap dan diadili.
Madewa berseru, "Tangkap hidup-hidup! Mere-
ka harus merasakan hukuman terlebih dahulu se-
belum mati!"
Karena para pendekar itu bekerja sama, maka
dengan cepat ketiga orang itu berhasil diringkus
dan diikat.
Tiba-tiba muncul sosok tubuh pendek dengan
kedua pergelangan tangan memakai gelang bahar.
"Ya, ya... hehe... aku terlambat, terlambat... he-
hehe... pestanya sudah selesai... hehehe selesai..."
Orang-orang menoleh pada sosok bundar yang
baru datang itu.
Begawan Batista memanggil, "Ki Condromuko..."
"Ya, ya... aku... aku Ki Condromuko... Oh, kau
rupanya, Begawan. Begawan Batista... hehehe...
ya, ya... aku tidak bisa menemui muridmu yang
bernama Mantari... heheh... ya, ya... Mantari...
maafkan aku... hehehe... Ki Condromuko minta
maaf... Ya ya... minta maaf..."
"Tidak apa-apa. Kau tetap sahabatku yang seja-
ti. Kau telah melakukan perjalanan yang cukup
jauh untuk mengikuti ketiga murid Padepokan-
ku... Tidak apa-apa..."
"Benar... hehehe... benar tidak apa-apa... hehe...
Ya, ya... tidak ketemu... hehehe..."
Laki-laki yang setiap bicara selalu terkekeh itu
adalah Ki Condromuko yang pernah bertemu den-
gan Mantari saat gadis itu sedang mandi. Ternyata
dia adalah sahabat Begawan Batista yang ditu-
gaskan sang Begawan untuk mengikuti jejak keti-
ga muridnya.
Tetapi agaknya Ki Condromuko tidak mengenal
mereka.
Tiba-tiba laki-laki pendek bundar itu tertekun
pada Madewa Gumilang. Lalu dia terkekeh lagi se-
perti biasanya.
"Hehehe... bukankah kau Madewa Gumilang...
ya, ya... Madewa Gumilang... hehehe... Pendekar
Bayangan Sukma... Hehehe... apa kabar Pergu-
ruan Topeng Hitam... ya, ya... Perguruan Topeng
Hitam?"
"Salam kenal dariku, Ki Condromuko... Kabar
Perguruan Topeng Hitam dalam keadaan baik," ka-
ta Madewa Gumilang.
"Hehehe... tak kusangka... hehehe... ya, ya... tak
kusangka... aku akan bertemu dengan kau... he-
hehe... ya, ya... ini kabar bagus... hehehe... ini hari
bagus..."
Dari arah gerbang Keraton muncullah raja ber-
sama yang lainnya.
Serentak orang-orang di sana menjura hormat
pada Raja. Baginda raja cuma tersenyum, lalu me-
lirik Raden Wijaya, Patih Coro Ijo dan Nimas Priat-
sih yang menunduk.
Lalu raja melangkah mendekati Raden Wijaya.
"Anak tak tahu diuntung! Kau telah berbuat se-
suatu yang keji! Pengawal, mulai besok umumkan
pada seluruh rakyat, bahwa Raden Wilada tidak
bersalah. Dia tetap akan menjadi calon pengganti-
ku! Dan umumkan pula pada rakyat, bahwa Ra-
den Wijaya akan dihukum seumur hidup! Begitu
pula dengan Patih Coro Ijo! Sedangkan wanita iblis
ini, akan dihukum mati!" seru Raja murka.
Lalu berkata pada orang-orang yang hadir, "Te-
rima kasih atas bantuan kalian semua. Ternyata
kalian masih tetap setia kepadaku! Anak muda..."
panggilnya pada Pranata Kumala. "Terima kasih
atas pertolonganmu... aku akan mengangkatmu
menjadi Panglima di Keraton Selatan ini..."
"Maafkan hamba... baginda Raja. Bukan mak-
sud hamba ingin menolak, tetapi hamba dan istri
hamba, Ambarwati... akan meneruskan petualan-
gan hamba..."
Raja mendesah. Terlihat kekecewaan di ma-
tanya. Tetapi dia tak bisa menolak keinginan Pra-
nata Kumala dan istrinya untuk meneruskan pe-
tualangannya.
"Baiklah kalau begitu. Khusus kepada Pendekar
Bayangan Sukma... rasa terima kasihku tak ter-
hingga padamu..."
"Baginda..." kata Madewa dengan suara yang
arif. "Sudah sepatutnya kita memerangi kejahatan,
bukan? Nah, aku permisi!" Sesudah berkata begi
tu, tubuh Madewa menghilang dari pandangan.
Orang-orang berdecak kagum.
"Dia memang manusia dewa yang baik dan bu-
diman," kata Begawan Batista dan Resi Gohkarna
berbarengan.
Sementara Pranata Kumala dan istrinya, Am-
barwati pun pamit mundur untuk meneruskan
perjalanan dan petualangan mereka yang mereka
tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
Yang pasti, mereka kagum pada ayah mereka,
Madewa Gumilang yang bisa melihat kejadian-
kejadian yang berada jauh darinya.
Dan tanpa setahu mereka, Pratama, salah seo-
rang murid Perguruan Topeng Hitam terus membuntuti keduanya.
TAMAT