..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR BAYANGAN SUKMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR BAYANGAN SUKMA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PERTARUNGAN PARA PENDEKAR

Pertarungan Para Pendekar

 

PERTARUNGAN PARA PENDEKAR

Oleh Fahri Asiza

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

 Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Pertarungan Para Pendekar


SATU


Padepokan Angsoka pagi itu sunyi. Tak bersua-

ra. Bahkan kokok ayam jantan pun nyaris hilang. 

Embun pagi masih basah. Membasahi rumput-

rumput hijau dan pohon-pohon yang berada di se-

kitar sana.

Di ujung sana, Gunung Lawu berdiri dengan 

angker. Ditutupi kabut tebal. Udara dingin, me-

nembus tulang sumsum. Penuh misteri.

Begawan Batista menatap murid-muridnya yang 

duduk berlutut dengan sikap semedi. Tak ada 

yang membuka mata. Begawan itu berjalan perla-

han, hilir mudik. Memperhatikan murid-muridnya 

yang tetap terpejam.

Sikapnya tegang.

Penuh pikiran.

Begawan yang sudah berusia 65 tahun itu ber-

henti melangkah. Mendesah. Pelan. Dingin. Kaku.

Dia mengusap dagunya yang berjanggut putih.

Pelan.

Diresapi.

Tapi jelas penuh pikiran.

Perlahan keluar kata-kata dari bibirnya, "Mung-

kin kalian heran mengapa aku menyuruh kalian 

berkumpul di sini. Memang ada sesuatu yang hen-

dak kubicarakan."

Hening. Hanya desir angin yang terdengar.

Murid-muridnya hanya bertanya dalam hati. 

Ada apa? Kenapa Sang Guru memanggil dan men-

gumpulkan mereka pagi ini?


"Ada apa?"

"Semalam aku mendapat surat misterius, entah 

dari siapa," Sang Begawan berkata lagi. "Surat itu 

berisi, menantang padepokan kita untuk bertarung 

di Gunung Pengging."

"Semalam aku bingung memikirkannya. Entah 

dengan maksud apa pengirim surat misterius itu 

menantang kita. Dan yang ku tahu, padepokan 

Resi Gohkarna berdiam di sana. Dugaanku, apa-

kah dia yang telah mengirimkan surat tantangan 

itu?"

Hening.

Hanya langkah sang Begawan yang terdengar. 

Murid-muridnya yang berjumlah lima puluh orang, 

menggeram dalam hati.

Jengkel.

"Dalam hal ini, kuharap kalian jangan terpenga-

ruh. Itu hanya dugaanku. Pagi ini, aku mengum-

pulkan kalian, hendak menugaskan beberapa 

orang di antara kalian untuk menyelidik ke sana. 

Hanya menyelidik. Aku juga menduga, mungkin 

ada orang ketiga yang hendak mengadu domba."

"Sekarang buka mata kalian, kerahkan pernafa-

san selembut mungkin. Tahan dan lepas perlahan-

lahan."

Murid-murid sang Begawan melaksanakan pe-

rintahnya. Dengan tujuan agar rasa jengkel meng-

hilang. Sang Begawan menatap tiga orang murid-

nya yang duduk paling depan.

"Lesmana, Mantari Dan Anggada, kalian adalah 

murid-murid pilihanku yang mengemban tugas ini. 

Bagaimana pendapat kalian?"


Lesmana, pemuda bertubuh tegap dengan wa-

jah tampan dan dagu kukuh menjawab, "Guru... 

apakah tidak sebaiknya kami melihat dulu surat 

misterius itu?"

"Benar, Guru," sambung Mantari seorang gadis 

yang berumur delapan belasan sambil mengang-

guk. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya hitam. 

Wajahnya cantik. Alisnya tebal. Dan bibirnya me-

merah. Kedua matanya bersinar terang, menanda-

kan dia gadis yang ceria.

"Maafkan aku, untuk saat ini tak akan kuperli-

hatkan."

"Kenapa, Guru?" tanya Anggada. Pemuda yang 

bertubuh besar dengan wajah yang terlihat kasar 

itu mengerutkan keningnya.

"Kalian hanya aku beri tugas untuk menyelidik. 

Bukan untuk melihat surat misterius itu," sahut 

sang Begawan tegas. Ia duduk bersimpuh di hada-

pan para muridnya. Jubah putihnya menutupi ke-

dua lututnya yang kukuh jika berdiri.

Tak ada yang bersuara. Padepokan itu hening 

kembali.

Namun pertanyaan dalam hati murid-muridnya 

bertalu-talu. Bagaimana mungkin surat misterius 

itu bisa datang tanpa sepengetahuan mereka? Ju-

ga sang guru.

Apakah sangat tinggi ilmu yang dimiliki pengi-

rim surat misterius itu, sehingga sang guru yang 

tinggi ilmunya pun tidak mengetahuinya?

Sebenarnya, Begawan Batista sudah mengira-

ngira, siapa yang bisa melakukan itu tanpa sepen-

getahuan mereka. Hanya Resi Gohkarna dengan


ajian Bayumati, itu sebabnya dia menugaskan ke-

tiga murid pilihannya untuk menyelidik ke sana.

Untuk tahu apa maksud Resi Gohkarna menan-

tang mereka.

Sang Begawan menatap ketiga murid yang dipi-

lihnya.

"Siapkah kalian untuk melaksanakan tugas 

ini?"

Ketiga muridnya yang digemblengnya hampir 

sepuluh tahun itu mengangguk dengan mantap.

"Hanya ingat," sambung Sang Begawan, "Jan-

gan membuat onar. Tunjukkan bahwa kedatangan 

kalian dengan maksud baik. Ingat pula, ini bukan 

menjawab tantangan. Tapi untuk mengetahui, 

mengapa mereka mengirim tantangan pada kita."

"Baik, Guru." Lesmana mengangguk seraya 

menghormat.

"Mantari," panggil Sang Begawan.

Mantari mengangguk. "Ya, Guru?"

"Kau seorang gadis, cantik pula. Ada baiknya 

kau menyamar sebagai laki-laki sebelum berang-

kat."

"Baik, Guru."

"Anggada."

"Ya, Guru."

"Kau jaga kedua adik seperguruanmu ini, Jan-

gan sampai mereka lewat dari garis yang telah ku-

tetapkan."

"Baik, Guru." Pemuda bertubuh tegap itu men-

gangguk.

"Nanti malam, kalian temui aku di ruang sema-

diku. Sedangkan yang lain, tetap berlatih seperti


biasa. Menjaga ketentraman padepokan ini."

Begawan Batista berdiri, murid-muridnya seren-

tak berdiri. Memberi hormat. Begawan Batista se-

gera melangkah ke ruang khususnya, yang dina-

makan ruang semadi.

Murid-muridnya bubar.

Berlatih seperti biasa.

Padepokan Angsoka adalah sebuah padepokan 

yang terkenal yang terletak di sebelah utara Gu-

nung Lawu. Padepokan yang dipimpin oleh Bega-

wan Batista sendiri.

Dulu Sang Begawan adalah ksatria Majapahit 

yang mengabdi selama tiga puluh tahun. Setelah 

Raden Wijaya meninggal, dia pun mengundurkan 

diri.

Selama lima tahun dia bertapa di Gunung Lawu 

sampai akhirnya mendirikan padepokan Angsoka 

yang berarti di atas langit ada langit.

Walaupun memiliki ilmu kanuragan yang hebat, 

Begawan Batista tak pernah menggunakannya un-

tuk kejahatan. Bahkan sebelum dia bertapa di le-

reng Lawu, di sana ada komplotan perampok yang 

sangat kejam. Penduduk di sekitar gunung itu se-

lalu dicekam rasa ketakutan.

Tak ada yang berani melawan.

Melihat keangkaramurkaan itu, Begawan Batis-

ta segera turun tangan. Dilatihnya para pemuda 

desa itu ilmu kesaktian dengan dorongan seman-

gat yang membaja. Lambat laun mereka mau ber-

tindak. Dengan keberanian yang luar biasa, mere-

ka membasmi para perampok itu sampai ke akar-

akarnya.


Begawan Batista yang waktu itu masih bernama 

Wilkatama diangkat sebagai kepala desa. Namun 

sang Begawan menolak. Dia menyingkir agak ke 

Utara.

Untuk menyumbangkan ilmu kesaktian yang 

dimilikinya, akhirnya Wilkatama mendirikan pade-

pokan Angsoka dan bergelar Begawan Batista.

Selama sepuluh tahun lebih keadaan padepo-

kan Angsoka aman dan tentram.

Tak ada goresan noda di atas nama itu.

Namun semalam, tanpa diduga datang surat 

tantangan entah dari siapa. Walaupun Begawan 

Batista menduga kuat kalau surat itu datang dari 

Resi Gohkarna, namun dia masih tetap ragu, men-

gingat hubungan mereka selama ini sangat akrab.

Bahkan mereka pernah menganggap diri seba-

gai saudara.

Lalu apa maksud dari semua ini?

Siapa yang harus dicurigai?

Suasana yang mengherankan itu dibicarakan 

Lesmana, Mantari dan Anggada di ruang belakang.

"Apakah ini bertanda tidak baik, Kakang Les-

mana?" tanya Mantari dengan suara lembutnya.

"Aku pun tidak tahu, Rayi Tari," Lesmana me-

narik nafas panjang. Menatap Anggada, "Bagaima-

na dengan tanggapan Kakang Anggada?"

"Entahlah, Lesmana. Aku pun tidak tahu. Tapi 

kuharap, dugaan Rayi Tari tidak menjadi kenya-

taan." Walaupun wajahnya kasar dan seram, na-

mun Anggada punya sifat yang dibanggakan. Dia 

penyabar. Penyayang. Bahkan suka mengalah wa-

laupun dengan adik-adik seperguruannya.


"Bagaimana jika benar, Kakang?" tanya Mantari.

"Apakah Rayi mengharapkan demikian?" tanya 

Anggada sungguh-sungguh menatap wajah cantik 

gadis lereng Lawu itu.

Mantari menggelengkan kepala. "Sudah tentu 

tidak, Kakang. Namun aku kuatir. Ketentraman 

yang selama ini telah terjadi bisa jadi berantakan."

"Aku pun menguatirkan itu." Anggada menatap 

Gunung Lawu yang berdiri tegar. Kabut mulai me-

nepi. Matahari menyapu seisi alam, terang. Namun 

alam tetap bertahan dengan misterinya.

"Kakang..." panggil Lesmana. "Jika memang 

orang-orang Resi Gohkarna yang berbuat apa yang 

harus lakukan? Menyerang mereka?"

"Sudah tentu tidak, Lesmana. Kita harus mema-

tuhi tugas yang diberikan guru. Kita hanya menye-

lidiki, apa mereka yang mengirimkan surat itu dan 

kenapa mereka menantang kita?"

"Andaikata benar, seharusnya kita sikat saja, 

Kakang!" Tari menggeram sambil mengepalkan 

tangannya.

"Tidak. Jangan lakukan itu."

"Mereka menghina kita, Kakang!" kata Mantari 

keras kepala. Marah dia karena ada yang berani 

menantang padepokan mereka.

"Tari... belum tentu mereka yang melakukan 

ini." Sahut Anggada sabar.

"Kan kubilang jika benar!" sahut Mantari ngotot. 

Sifatnya yang sebenarnya sudah kelihatan.

Anggada tersenyum sabar. "Kita lihat apa yang 

akan dikatakan Guru nanti malam."

Mantari mendengus. "Seharusnya kita sikat sa


ja!" gerutunya sambil berlalu. Jalannya dihentak-

kan. Mulutnya cemberut.

Lesmana terbahak.

Anggada tersenyum.

"Guru agaknya salah menugaskan Mantari," de-

sisnya.

"Ha ha ha ha apa Kakang tidak tahu, kalau Rayi 

Tari suka pada Kakang?" Terbahak Lesmana.

Anggada tersipu. "Jangan mengada-ada, Les-

mana."

"Kakang memang kuno! Tidak tahu hati perem-

puan! Lihat saja kalau dia menatap Kakang, begitu 

mesra!"

"Itu hanya perasaan kau saja, Lesmana. Tidak 

usah mengada-ada!" Desis Anggada yang entah 

kenapa dadanya berdebar.

Lesmana masih terbahak. "Payah! Rayi Tari can-

tik, Kakang! Apa Kakang tidak tertarik?"

Anggada terdiam. Benarkah dugaan Lesmana 

itu? Memang, akhir-akhir ini dia suka melihat si-

kap Mantari yang lain seperti biasanya. Sering pu-

la Anggada melihat adik seperguruannya itu men-

curi pandang.

Kalau bentrok tersipu.

Memerah.

Ah... andaikata benar? Lho, kenapa jadi ke sa-

na. Anggada menepiskan bayangan itu.

Menatap Lesmana yang masih tertawa.

"Atau kau yang sebenarnya naksir pada Rayi 

Tari, Lesmana?" kata Anggada tiba-tiba.

Tawa Lesmana seketika terhenti. Tapi kemudian 

dia tertawa.


"Kau segitu saja sudah cemburu, Kakang..."

"Aku serius. Kau yang lebih pantas bersanding 

dengan Rayi Tari."

Kata-kata itu membuat Lesmana terdiam. Te-

gang.

Tapi kemudian lagi-lagi tertawa.

"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu dipikirkan itu."

"Memang tidak perlu kita pikirkan, ayo kita lihat 

yang lain latihan."

Keduanya melangkah.

Di depan halaman Padepokan Angsoka sekitar 

40 orang murid sedang berlatih ilmu toya. Mantari 

yang memberi contoh berseru-seru.

"Kalian harus penuh! Jangan tanggung men-

gayunkan toya. Sabet dengan keras! Ayo lakukan 

lagi!"

Anggada yang melihat dari jauh tersenyum. Be-

nar-benar cekatan. Ah, dia pun seperti baru me-

nyadari akan kecantikan adik seperguruannya itu. 

Dia manis. Cantik. Manja. Namun kadang suka 

ngambek pula.

Andaikata benar yang dikatakan Lesmana, 

alangkah senang. Tapi apa benar dia menyukaiku?

Dia masih muda.

Aku? Sudah berumur 28 tahun. Perbedaan se-

puluh tahun itu sangat jauh. Dia lebih cocok den-

gan adik Lesmana yang baru berusia 23 tahun! 

Wajah Lesmana pun lebih tampan daripadaku. En-

tah kenapa tahu-tahu Anggada mengeluh. Lesma-

na yang agak bandel, menoleh. Lalu tersenyum 

melihat pandangan kakangnya lekat pada Mantari.

"Dia memang cantik,," katanya tanpa menoleh


pada Anggada, seolah berucap sendiri. "Luwes. 

Menggemaskan. Manja. Juga... ya cantik..."

Anggada seperti tersadar. Dia melirik, "Siapa 

maksudmu Lesmana?" tanyanya polos.

"Dia memang cantik, Kakang." Lesmana tetap 

tidak menoleh. Malah mengangguk-angguk. "Sia-

pa?"

"Siapa lagi?" Lesmana tersenyum menggoda. 

Kali ini menoleh.

Kening Anggada berkerut. "Aku tidak mengerti," 

katanya polos masih belum tahu kalau sedang di-

goda.

"Ya... si Rambut Panjang itu. Rayi Mantari, Ka-

kang," sahut Lesmana seraya berlari sebelum Ang-

gada sempat memukulnya karena gemas.

Dia bergabung dengan yang sedang latihan, 

sambil tersenyum-senyum.

Anggada mendesah dalam hati.

Panjang. Gemas. Tapi senang.

Tak sadar dia memperhatikan terus Mantari 

yang tengah melatih para murid lainnya.

Malamnya, ketiga murid Padepokan Angsoka itu 

menghadap Begawan Batista. Sang Begawan me-

mang sudah menunggu, terbukti dengan kopi pa-

hitnya yang tinggal setengah.

Ketiganya duduk di hadapan sang Guru.

Anggada merasa heran, karena tiba-tiba saja dia 

merasa kikuk berdekatan dengan Mantari yang 

terlihat sekali-sekali meliriknya. Dan terlihat wa-

jahnya yang kadang memerah.

Lesmana hanya mesem-mesem saja.

Sekali lagi Sang Begawan menerangkan tugas


yang diberikan pada mereka.

Setelah itu dia berkata, "Aku bermaksud mem-

berikan kepada kalian tiga buah kitab kesaktian 

yang sangat langka. Kitab ini kudapat dari orang 

sakti yang bernama Trijata yang sudah lama wafat, 

dan makamnya berada di Gunung Muria. Kini Gu-

nung Muria didiami oleh sahabatnya yang sangat 

sakti, Ki Ageng Jayasih. Konon kabarnya dia telah 

memiliki dua orang murid. Pertama, Nindia yang 

bergelar Dewi Penyebar Maut yang telah mati di 

tangan manusia dewa Madewa Gumilang (baca: 

Kakek Sakti dari Gunung Muria).

Lalu Pranata Kumala, dia adalah putra manusia 

dewa Madewa Gumilang yang bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma. Konon kesaktian manusia dewa 

itu tak ada yang menandinginya sampai saat ini. 

Dia adalah Pendekar budiman dari golongan putih 

yang selalu memerangi kejahatan. Pendekar yang 

arif dan bijaksana."

Ketiga muridnya mendengarkan dengan tertib.

"Nama pendekar sakti itu sudah melambung ke 

langit ke tujuh dan ke dasar bumi. Aku yang su-

dah tua ini sebenarnya sangat berharap sekali da-

pat berjumpa dengan manusia dewa itu, tetapi 

agaknya jarak yang memisahkan kami sangat jauh 

adanya. Nah, Anggada, untukmu pelajarilah kitab 

Tapak Sepuluh. Lesmana, pelajarilah kitab Abot 

Sewu. Dan untukmu Mantari, pelajarilah kitab 

Manuk Mabur. Dan yang penting kalian ingat, ki-

tab itu hanya bisa dipelajari dalam satu malam. 

Tidak bisa lebih. Matahari menampakkan biasnya, 

harus sudah selesai. Jika kalian gagal, berarti se


muanya gagal. Berarti kitab-kitab ini tidak berjo-

doh dengan kalian. Dan tidak bisa mengulangi 

mempelajarinya lagi. Kalian mengerti?"

"Ya, Guru," ketiganya mengangguk.

"Nah, terimalah kitab ini." Sang Begawan Batis-

ta memberikan masing-masing muridnya satu ki-

tab yang telah dipilihkannya. "Kalian harus mem-

pelajarinya malam ini juga. Besok, jika matahari 

sudah sepenggalah, kalian harus segera berangkat 

ke gunung Pengging. Dan ingat, aku sendiri yang 

akan mencoba kemampuan kalian setelah mempe-

lajari kitab-kitab itu masing-masing, setelah bias 

matahari terlihat. Kalian mengerti?"

"Kami mengerti, Guru," ketiganya mengangguk 

dengan sikap hormat.

"Nah, terimalah kitab ini." Sang Begawan mem-

berikan masing-masing satu kitab. "Kalian harus 

cepat mempelajarinya."

Walau terasa ngeri, mereka mengangguk.

Hanya satu malam, setelah itu dicoba pula.

Dan malam itu pula ketiganya segera mempela-

jari kitab yang diberikan guru mereka dengan te-

kun. Sedikit pun mereka tidak mengantuk, Ber-

konsentrasi penuh. Masing-masing berusaha me-

namatkannya. Hanya satu malam.

Luar biasa. Hanya satu malam.

Sebelum bias mentari pagi nampak, dari tempat 

masing-masing terdengar desahan lega.

Mereka selesai.

Berhasil.

Namun dalam kondisi yang sebenarnya sangat 

letih itu, Begawan Batista mencoba kemampuan


mereka.

Tapak Sepuluh yang dipelajari Anggada, adalah 

sejenis ilmu kesaktian untuk berkelit. Sulit dikejar. 

Langkahnya bagai berada di sepuluh penjuru. Dan 

yang dahsyat, dalam berkelit secepat angin, Ang-

gada mampu mengeluarkan desingan angin yang 

memekakkan telinga.

Abot Sewu yang dipelajari Lesmana, menjadi-

kannya bagaikan gunung yang tegar. Tak goyah 

oleh hembusan apa pun dan dorongan tenaga apa 

pun. Malah membuatnya sangat kebal terhadap 

pukulan.

Manuk Mabur yang dipelajari Mantari sama se-

perti ilmu yang dipelajari Anggada, hanya bedanya 

kedua tangan Mantari dapat mematuk bagai bu-

rung dengan cepat. Dan hasil patukannya sangat 

luar biasa, mampu menghancurkan batu sebesar 

kambing hingga berkeping-keping.

Sang Begawan Batista tersenyum sangat puas 

ketika melihat hasilnya setelah uji coba itu selesai 

dilaksanakan. Ketiga muridnya benar-benar telah 

berhasil menamatkan kitab-kitab sakti itu.

"Kalian harus berhasil melakukan penyelidikan 

ini. Saat ini pula kalian harus meninggalkan pade-

pokan. Doaku, semoga berhasil!"

Ketiganya mengangguk mantap.

Mentari sepenggalah, bersinar terang.

Lalu tiga sosok pun keluar meninggalkan Pade-

pokan Angsoka.

***


DUA


Matahari telah tinggi ketika mereka beristirahat 

di sebuah hutan yang agak lebat. Suasana angker.

Sunyi.

Sengatan matahari tak begitu terasa.

Terhalang pepohonan tinggi.

Selesai makan, Mantari yang sudah menyamar 

sebagai laki-laki berkata, "Kakang... aku ingin 

mandi dulu. Kulihat ada sungai di sana" Tari men-

gipas-ngipas tubuhnya. Dia kelihatan berkeringat.

"Apakah tidak perlu menunggu sore, Rayi Tari?" 

kata Anggada yang menyandarkan tubuhnya di 

batang pohon.

"Kakang Gada gimana sih!" Mantari merengut. 

"Namaku Surajaga! Bukan Mantari lagi!"

"Ah... aku lupa," Anggada tersipu.

Lesmana mengulum senyum. "Soalnya namamu 

melekat terus di benak Kakang Anggada, Sura," 

katanya menggoda.

Mantari yang menyamar sebagai Surajaga tersi-

pu. Lalu buru-buru lari ke sungai yang tak jauh 

dari sana.

Lesmana menatap Anggada yang terdiam, "Gi-

mana, Kakang? Benarkah dugaanku, kalau Rayi 

Tari menaruh hati pada Kakang?"

"Kau ini masih bercanda saja, Lesmana. Sudah-

lah, istirahat dulu, Kita harus meneruskan perja-

lanan lagi."

Lesmana tertawa pelan. Anggada memejamkan 

matanya.


Di sungai, Mantari sudah asyik berenang ke sa-

na ke mari. Air sungai yang sejuk membuatnya se-

gan untuk keluar dari sana. Mantari berendam.

Dibasuhnya sekujur tubuhnya.

Mentari tidak begitu panas. Walau menjilat tu-

buhnya yang kuning langsat.

Tiba-tiba Mantari memiringkan kepalanya. Ma-

tanya terpusat pada semak-semak yang bergerak, 

tapi begitu dia memalingkan kepalanya, semak itu 

diam.

Sunyi.

Terdengar gemerisik angin. Gemericik air. Dan 

beberapa kicau burung.

Tak lebih.

Tapi mata Mantari tetap pada semak itu. Dia 

yakin, melihat sosok tubuh di sana.

Hati-hati dia berenang ke tepi.

Mencari pakaiannya. Lebih gila, pakaiannya ti-

dak ada! Mantari panik mencari-cari.

Tiba-tiba kepalanya berpaling lagi pada semak 

tadi. Jelas, dia melihat sepasang mata buas tera-

rah padanya. Mantari buru-buru bersembunyi di 

balik batu besar.

"Siapa di sana? Kakang Lesmana, ya?!" teriak-

nya yang tahu Kakang Lesmana suka menggo-

danya.

Tak ada jawaban.

Hanya kicau burung yang tetap terdengar.

Mantari mempererat kain yang melilit tubuh-

nya.

"Siapa di sana?!" teriaknya lagi. Dalam berkain 

basah yang mencetak tubuhnya seperti ini bukan


main malunya jika diintip orang. Terutama laki-

laki. Ini aib.

Tetap tak ada jawaban.

Mantari penasaran. Tiba-tiba dia mengibaskan 

tangannya ke arah semak itu. Seperti ada doron-

gan angin yang kuat semak itu terkuak.

Sosok tubuh meloncat dari sana.

Berdiri kukuh di batu besar.

"He he he he..." tawanya dengan suara yang 

sengau. Laki-laki itu bertubuh pendek, bulat. Hi-

dungnya besar, begitu pula dengan matanya, seo-

lah melotot. Di dadanya ada gambar tengkorak. 

Kedua tangannya yang pendek melingkar sepasang 

gelang bahar hitam. Keduanya kukuh, ada gelang 

sama.

Mantari mengira-ngira siapa laki-laki ini. Keda-

tangannya mengherankan. Tak kedengaran. Tak 

ada tanda-tanda.

"Siapa kau orang jelek?!" bentaknya jengkel ka-

rena merasa diintip.

"He he he he... jelek. Ya, ya aku jelek. Aku je-

lek." Orang itu terkekeh. "Tapi kamu cantik. Ya 

cantik. Kamu cantik. He he he orang jelek bertemu 

orang cantik. Ya, ya... jelek... cantik... he he he he."

"Jangan ketawa terus, Jelek!" bentak Mantari 

jengkel. Pasti si Jelek itu yang menyembunyikan 

pakaiannya. Aduh, kenapa dia tidak hati-hati tadi.

"Senang ya dengar ketawaku? Tawaku bagus 

ya? Ya, ya... bagus. Bagus. Bagus." Orang itu ter-

kekeh lagi.

Mantari masih jengkel. Dia berharap Kakang 

Anggada atau Lesmana menyusul.


"Gadis cantik... siapa namamu, hah? Siapa? Ya, 

ya... siapa? Pasti bagus. Pasti. Ya, ya... pasti... he 

he he he."

"Kesudian sekali aku beritahu namaku padamu, 

Jelek!" bentak Mantari sengit.

"Jangan ragu-ragu, Cantik. Ayo... katakan, biar 

aku, Ki Condromuko tahu namamu. He he he he... 

ya, ya, tahu... siapa, siapa he he he he..."

Laki-laki pendek yang setiap bicara terkekeh te-

rus itu makin memualkan perut Mantari.

Tahu-tahu Mantari menyambar sebutir batu 

dan menyambitnya ke arah laki-laki itu.

Namun entah dengan tenaga apa batu itu me-

lenceng dari sasaran.

Mantari ternganga. Padahal dia yakin, batu itu 

akan tepat pada sasarannya! Wajah jelek itu yang 

masih terkekeh.

"He he he he he... menyerang Ki Condromuko 

susah! Ya, ya... susah! Susah... siapa namamu, 

Cantik?"

"Persetan!" geram Mantari di hati. Tapi dia bisa 

mengukur kesaktian si Jelek yang menamakan di-

rinya Ki Condromuko itu.

"Mau apa kau tahu namaku?!"

"He he he... hanya mau tahu. Ya, ya, mau ta-

hu..."

Mantari mendengus. "Kembalikan dulu bajuku!"

"Namamu dulu he he he he..."

"Kembalikan bajuku! Awas kau nanti?!"

"He he he... ya, ya nanti. Nanti. Baju. Ya, na-

mamu dulu. Namamu..."

"Awas kalau kau tidak mengembalikan bajuku


nanti!"

"Ki Condromuko tak pernah berbohong he he 

he..."

"Namaku Ramasita!" seru Mantari berbohong.

Ki Condromuko terdiam. Manggut-manggut. 

"Ramasita... he he he... Ramasita... berarti bukan 

kau yang kucari... he he he he... bajumu ada di ba-

lik pohon itu... Aku akan pergi... he he he... Eh, 

nanti dulu. Ya, ya... nanti dulu..." 

"Apalagi?" bentak Mantari jengkel. "Aku sedang 

mencari seorang gadis. Ya, ya... seorang gadis... 

Kau kenal Mantari? Ya, ya... Mantari? Ah pasti kau 

tidak kenal. Sudahlah... he he he... bajumu di sa-

na..." Laki-laki itu meloncat dan langsung menghi-

lang.

Namun kekehannya terdengar nyaring. Mantari 

yang hendak memanggil tidak jadi. Orang itu men-

cari Mantari? Apakah dia mencari aku? Iya? Tapi 

aku tidak mengenalnya.

Mantari buru-buru mengambil pakaiannya. Se-

bentar saja dia sudah menjelma menjadi laki-laki. 

Rambutnya digulung. Ditutup caping. Mengenakan 

kumis palsunya. Tipis.

Dia bukan Mantari lagi, tapi Surajaga. Sambil 

menunggu kainnya kering, Surajaga memikirkan 

tentang laki-laki aneh tadi. Dia mengaku bernama 

Ki Condromuko. Mencari Mantari. Apakah aku? 

Aku?

Kenal dia saja tidak.

Tapi kenapa dia mencari aku? Atau hanya na-

maku saja yang sama dengan yang dicarinya?

"Hei, sedang apa kau melamun di sini?" sebuah


teguran terdengar. Surajaga bersiap menoleh. "Ah, 

Kakang Lesmana. Mengagetiku saja." 

"Sudah mandimu? Kakang Anggada mengajak 

kita melanjutkan perjalanan."

Surajaga memeriksa kainnya yang dijemur di 

batang pohon. Sudah agak kering. Lalu keduanya 

kembali ke tempat semula.

Anggada yang menunggu sudah bersiap. Mereka 

berkemas.

Surajaga bermaksud hendak menceritakan laki-

laki aneh tadi, tapi Anggada sudah menyuruh me-

reka untuk melanjutkan perjalanan.

***

TIGA



Laki-laki itu berusia 23 tahun. Bertubuh tegap. 

Dia memakai baju putih yang kelihatan sudah 

agak lusuh, wajahnya letih. Tapi matanya berkilau. 

Jelas dia habis melakukan perjalanan jauh. Ram-

butnya yang agak panjang diikat dengan secarik 

kain putih di keningnya. Dia memegang sebuah 

buntalan kecil.

Ketika dilihatnya ada sebatang pohon besar 

yang dapat melindunginya dari sengatan matahari, 

dia berhenti.

Membuka bekalnya.

Menikmatinya dengan ditemani oleh kicau bu-

rung kecil.

Santai.


Tapi tiba-tiba dia membentak, masih tetap me-

nikmati bekalnya, "Yang mengintip silahkan ke-

luar. Kalau ingin makan bersama, silahkan! Kalau 

ingin berbuat jahat, tidak ada barang berharga mi-

likku yang patut dirampas!"

Dari beberapa semak, berloncatan lima orang 

laki-laki berwajah bengis, dengan wajah sedikit 

merah.

Memandang galak.

Golok mengkilat ada di tangan masing-masing.

Tetapi pemuda itu tetap acuh tak acuh.

Makan dengan nikmatnya.

Salah seorang membentak, "Pemuda sombong! 

Berani-beraninya kau lewat tempat ini?"

"Kenapa?" Pemuda itu masih tetap makan. Lalu 

minum. Lalu makan lagi.

Orang yang membentak tadi menggeram. "Se-

tan! Angkat kepalamu kalau berhadapan dengan-

ku!"

"Kenapa?" Masih tetap makan.

"Aku penguasa di sini! Kau sedang berhadapan 

dengan Tanasura!" 

"Oh..."

Hanya itu. Lalu membuang bungkusan bekal-

nya.

"Bangsat!" sergah orang tadi geram. Dia menga-

cungkan goloknya. "Pemuda edan, belum merasa-

kan golokku rupanya!"

Tiba-tiba wajah pemuda itu memucat. Seperti 

baru menyadari kalau orang-orang itu memegang 

golok. Berbeda sekali dengan sikapnya yang santai 

tadi.


"Oh... jangan, jangan bunuh aku... Aku, aku ti-

dak bersalah..." Dia beringsut ketakutan.

Orang itu tertawa. Begitu pula dengan teman-

temannya "Pemuda edan! Ketahuilah, kami adalah 

murid-murid padepokan Gohkarna yang berdiri 

megah di gunung Pengging!"

"Jangan... jangan bunuh aku..." Pemuda itu ke-

takutan.

Wajahnya pucat. Berbeda dengan sikapnya tadi 

yang santai dan tenang.

"Jangan sok tahu! Cepat berikan barang-barang 

yang kau bawa!"

"Aku... aku tidak punya apa-apa..."

"Bajingan! Mau kupenggal kepalamu?!"

"Aku... aku tidak punya apa-apa..."

"Cepat berikan!"

Salah seorang beranjak, merampas buntalan 

yang dipegang pemuda itu yang sia-sia memperta-

hankannya. Memeriksanya. Hanya ada dua buah 

baju yang kumal dan bau. Belum dicuci.

Orang itu membantingnya.

"Hhh! Kepalamu harus sebagai gantinya!"

"Jangan... jangan bunuh aku!"

"Lalu apa yang hendak kau berikan pada kami? 

Kedua kaki?!"

"O... jangan, jangan... Aku... aku dengar, orang-

orang dari padepokan Gohkarna baik hati. Kena-

pa... kenapa kalian kejam padaku?"

"Itu dulu! Kau tahu! Resi Gohkarna, guru kami, 

telah menantang beberapa pendekar dari beberapa 

padepokan untuk bertarung! Memperebutkan ke-

dudukan di rimba persilatan ini!"


"Tapi..."

"Bajingan!" salah seorang yang berberewok ru-

panya tidak sabar dengan percakapan itu. Dia 

mengayunkan goloknya.

Belum lagi golok itu mengenai sasaran, sebutir 

batu meluncur. Tepat menghalangi laju golok itu.

Tangan orang tadi gemetar.

Golok itu terlepas.

Sosok tubuh melompat dari jalan setapak yang 

terhalang pohon.

Kelima orang itu bersiap. Berbalik dengan ga-

rang. Pemuda tadi beringsut ketakutan.

"Hhh! Rupanya bocah ingusan ingin ikut cam-

pur dalam urusan ini!" salah seorang membentak.

Orang yang menghalangi laju golok tadi itu tak 

lain adalah Surajaga alias Mantari. Surajaga ber-

kacak pinggang.

"Tidak tahu malu! Lima orang mengeroyok satu 

orang."

"Ini urusan kami, Setan!"

"Kudengar kalian orang-orang dari padepokan 

Gohkarna!?"

"Hm... ternyata orang-orang gunung Pengging 

sudah merubah adat! Menjadi kejam, bengis dan 

tak bersahabat!"

"Jangan banyak mulut! Siapa kau sebenarnya!?"

"Aku Surajaga, yang kebetulan melihat keingi-

nan kalian untuk berbuat keji pada pemuda itu!"

"Jangan sombong, Bocah tengik!" salah seorang 

membentak, dan menyerang. Surajaga mengesam-

pingkan sedikit tubuhnya, serangan itu meleset. 

Dan dengan gerakan yang ringan, Surajaga meng


gerakkan tangannya. Seperti menepuk bahu laki-

laki itu, tapi akibatnya dia tersaruk beberapa me-

ter.

Teman-teman orang itu kaget.

Pemuda yang kelihatan sombong tapi tak bisa 

apa-apa itu pun ternganga.

Dia bertepuk tangan.

"Hebat, hebat. Hajar lagi, hajar lagi!" Wajahnya 

berseri.

Surajaga memang sudah bersiap ketika seran-

gan selanjutnya datang. Golok-golok itu berterban-

gan.

Orang-orang itu kaget. Seketika jadi panik.

Surajaga berpura-pura hendak menyerang, tan-

pa diperintah lagi orang-orang itu kabur tunggang-

langgang.

Pemuda yang ketakutan itu berdiri dan terba-

hak-bahak.

"Ha ha ha... besar lagak saja! Rasain! Syukur! 

Coba hajar saja sampai mereka mampus, Kawan!" 

katanya pada Surajaga.

Tanpa sungkan dia mendekati dan mengulur-

kan tangannya.

"Aku Pratama. Pengembara."

Mau tak mau Surajaga mengulurkan tangannya 

pula. Kalau mau mengikuti kata hatinya, sebenar-

nya Surajaga tidak mau bersentuhan dengan laki-

laki.

Tapi dia sudah mengulurkan tangan itu.

"Surajaga."

"Ha ha ha... Kakang Surajaga hebat sekali. Se-

kali hajar orang-orang itu lari. Kakang Surajaga


hendak ke mana?"

"Aku pun pengembara," sahut Surajaga yang in-

gat kata-kata Anggada dan Lesmana. Kedua ka-

kangnya sebenarnya berada tak jauh dari mereka. 

Tadi ketika mereka lewat, mereka melihat pemuda 

itu tengah dipermainkan orang-orang tadi.

Mantari segera menyodorkan diri untuk mem-

bantu. Kedua kakangnya hanya mengangguk saja.

Dan sekarang keduanya muncul sambil terse-

nyum.

Surajaga mengenalkan mereka.

Pratama ternganga. Kelihatan kalau dia sangat 

kagum melihat kedua pemuda yang baru muncul 

itu.

"Oh... aku sangat bahagia sekali bisa berkena-

lan dengan orang-orang dari Padepokan Angsoka," 

katanya tulus. "Telah lama aku mendengar orang-

orang golongan putih yang bernaung di padepokan 

Angsoka."

"Tidak perlu memuji setinggi langit, Saudara," 

kata Anggada. "Hmm... sebenarnya... siapakah 

Saudara ini?"

"Aku?" Pratama bingung. Kan tadi sudah tahu.

"Ya, Saudara." Anggada tersenyum bijaksana.

"Aku mengembara."

"Saudara dari Timur?"

"Ya. Kalau Saudara Anggada bertanya di mana 

rumahku, jawabanku, tanah inilah lantai rumahku 

dan langit atap rumahku. Tujuan kalian sendiri 

hendak ke mana?"

"Kami pun sama seperti Saudara. Pengembara. 

Tak punya tujuan," Anggada menyembunyikan


maksud mereka sebenarnya. Suaranya datar. 

Enak didengar.

Pratama manggut-manggut.

"Tidak bisakah kita berjalan bersama?" ta-

nyanya berharap.

"Maafkan kami, Saudara Pratama. Kita harus 

berpisah. Pengembara... hanya arah angin jadi tu-

juan. Silahkan tuju ke arah angin mana yang akan 

Saudara tuju."

"Selatan."

"Selatan." suara Lesmana agak kaget. Anggada, 

Surajaga pun begitu.

Ke arah Selatan berarti ke gunung Pengging!

Apa orang ini punya tujuan ke sana, atau hanya 

spontan menjawab?

"Iya. Ke Selatan. Aku ingin melihat pegunungan 

yang indah di sana," sahut Pratama mantap, tanpa 

menghiraukan keheranan mereka.

"Kalau begitu tujuan kita sama. Kami pun ingin 

ke Selatan," kata Lesmana.

"Ke Gunung Pengging juga?"

"Ya."

Sudah terlanjur dijawab. Lesmana pun baru 

menyadari keceplosannya. Menolak, sulit. Diajak 

serta, lain tujuan.

Bagaimana?

Anggada berkata, "Kita bisa berjalan bersama 

saudara Pratama. Tapi sekali lagi, maafkan kami, 

kami tidak bisa mengajak Saudara bersama. Kare-

na kami punya masalah yang lain. Maafkan."

Pratama tersenyum. Dia merangkum kedua 

tangannya di dada.


"Tidak jadi masalah. Biar aku pergi sendiri. 

Memang sudah keinginanku demikian."

"Saudara Pratama," panggil Surajaga. "Hati-

hati."

Pratama berhenti. Tertawa. "Jangan kuatir, Su-

rajaga. Aku pasti bisa menghadapi tantangan. Iya 

tidak? Ha ha ha... Pratama!" Dia menepuk da-

danya, lalu berlalu.

Surajaga mendengus gemas. Lesmana berkata 

pelan, "Maafkan aku, Kakang. Aku keceplosan."

"Sudahlah. Ayo kita cari tempat bermalam. Se-

bentar lagi malam akan tiba."

***

EMPAT



Desa Manur Biru adalah desa yang tentram. Pa-

ra penduduknya sebagian besar bertani dan ber-

dagang. Satu sama lain saling menghormati. Ru-

kun.

Ki Lurah Aryopraksa memimpin daerah itu den-

gan satu kesatuan yang utuh. Tak membedakan 

mana yang kaya dan miskin. Sama.

Bahkan Ki Lurah sendiri pun akan suka turun 

bersama penduduknya jika mereka panen bersa-

ma. Bergembira. Mendendangkan Kidung Senja, 

Kidung yang berisikan persatuan, persahabatan 

dan persaudaraan yang kokoh.

Tapi sore ini nampak Ki Lurah Aryopraksa se-

perti sedang kebingungan. Jelas sekali kalau dia


gelisah.

Nyi Lurah sendiri tidak tahu kenapa suaminya 

begitu.

"Sikapmu tidak seperti biasanya, Pak," kata Nyi 

Lurah penasaran, jawaban yang diberikan sua-

minya tadi tidak memuaskannya.

"Sungguh, Bu. Tidak ada apa-apa. Kemala su-

dah pulang?"

"Belum. Mungkin sebentar lagi."

Nyi Lurah menyiapkan sirihnya.

Ki Lurah mendesah dalam-dalam. Memang ada 

yang dipikirkannya. Dia baru saja menerima surat 

dari padepokan Gohkarna, yang meminta upeti se-

tiap bulan berupa lima puluh keping uang emas.

Kalau tidak, desa dan seisinya akan dihancur-

kan.

Itu yang mengkhawatirkan Ki lurah.

Tapi dia tidak ingin kebingungannya ini menu-

lar. Tapi kalau didiamkan, warganya bisa kelaba-

kan.

Tiba-tiba Ki Lurah bangkit.

"Mau ke mana, Pak?"

"Alun-alun."

Nyi Lurah bingung. "Ada apa?"

"Nanti kau akan tahu, bu!"

Ki Lurah bergegas hendak keluar. Nyi Lurah 

menyusul.

"Pak!"

"Aku tidak lama, Bu! Kalau Kemala pulang, jan-

gan kasih ke mana-mana!"

Ki Lurah bergegas. Belum dua puluh meter dari 

rumahnya mendadak saja dia merasa kakinya ter


kena sesuatu.

Dan dirasakannya tubuhnya kaku.

Darahnya seolah berhenti mengalir.

Ki Lurah bingung. Kenapa aku? Kenapa tidak 

mau digerakkan kakiku? Ki Lurah mengerahkan 

tenaganya. Tapi tetap gagal.

Malah semakin sakit.

Kedua mata kakinya perih. Kakinya seolah ter-

paku di tempatnya, seolah ada tangan kuat yang 

menggenggamnya.

"Hi hi hi... jangan coba-coba berbuat nekat, Ki 

Lurah!" terdengar suara dari atas pohon.

Ki Lurah mendongak. Seorang gadis cantik du-

duk dengan kaki menjuntai.

Tersenyum manis. Cantik.

Tatapannya jalang.

Bibirnya merekah.

Dengan satu gerakan ringan dia meloncat tu-

run.

"Ingat pesan suratku, Ki Lurah?" gadis cantik 

itu berkata sambil mengikik. Suaranya merdu. 

Mampu membuat setiap pria berdebar jantungnya.

"Jangan ganggu ketentraman kami, Iblis beti-

na!" geram Ki Lurah marah.

"Hi hi hi hi... nyalimu sungguh besar, Ki Lurah. 

Aku hanya melaksanakan pesan Resi Gohkarna. 

Kau setuju bukan dengan keinginannya?"

"Iblis! Apa dia tidak pikir, dari mana kami men-

dapat uang sebanyak itu setiap bulan, hah!?"

"Itu urusanmu, Ki Lurah. Kami hanya menadah 

hi hi hi hi... terserah mau kau laksanakan atau ti-

dak."


Ki Lurah Aryopraksa mengatupkan kedua ra-

hangnya.

"Tidak!" semburnya geram.

"Hi hi hi... kau tidak ingin bukan melihat war-

gamu kami hajar habis-habisan?"

"Jangan lakukan itu pada mereka! Lakukan itu 

padaku!" bentak Ki Lurah.

"Semudah menjetikkan kuku, Ki Lurah!"

"Ayo lakukan, biar kau puas! Setelah itu ting-

galkan tempat ini! Jangan ganggu ketentraman 

kami!"

"Hi hi hi... nyawa tuamu tidak berguna. Bagai-

mana dengan Kemala? Putrimu yang cantik itu? 

Bukankah dia sangat bermanfaat? Tubuhnya mon-

tok. Wajahnya cantik. Bukankah ini sangat bergu-

na untuk orang-orang liar yang mau bergabung 

dengan kami?" Gadis itu terkikik lagi.

"Laknat!" geram Ki Lurah sengit. Dia meronta. 

Tapi kakinya bagai terpaku keras. Sakit. Malah te-

rasa tangannya mulai melemah.

"Bagaimana? Setuju?"

"Iblis!"

Satu tamparan membuat bibir Ki Lurah Aryo-

praksa berdarah. Perihnya minta ampun. Sakitnya 

terasa ke hati.

Tapi ditahannya.

Matanya makin melotot. Memancarkan kegera-

man yang luar biasa.

"Orang sepertimu mati tak pantas, hidup pun 

tak pantas, settttaaaan?!"

"Hi hi hi... kau pikir, kau pantas?" Gadis itu ter-

kikik. Walau lembut terdengar dingin. Matanya


berkilau, indah, namun dibalik semua itu tersim-

pan mata berbahaya yang siap menerkam bahkan 

mencabut nyawa Ki Lurah.

"Bilang sama Resi Gohkarna, aku, Aryopraksa 

siap mati untuk kebenaran!"

"Nyali yang luar biasa!" Gadis itu geleng-geleng 

sambil menyeringai.

Tiba-tiba terdengar teriakan ramai. Warga da-

tang menyerbu dengan senjata di tangan. Golok. 

Klewang, Clurit. Pentungan. Pisau. Mereka siap 

mencabut nyawa gadis cantik itu.

Tapi gadis itu malah tertawa.

Dingin. Sedikit pun tak kelihatan gugup.

Matanya berkilat lebih membahayakan.

Orang-orang itu langsung menyerbu, gadis can-

tik itu melompat sambil terkikik, melewati gerom-

bolan orang itu.

"Aku di sini, orang-orang dungu!"

Orang-orang itu berbalik dan menyerang den-

gan pekikan yang gegap gempita.

Gadis itu malah terkikik. Tiba-tiba dia menca-

but sesuatu dari balik baju belakangnya. Sebuah 

pecut yang ujungnya berduri.

Pecut itu bergerak.

Bergeletar.

Bercampur jeritan mengerikan. Keras. Beberapa 

orang yang menyerang ambruk dengan wajah ber-

darah.

Kikikan iblis betina itu semakin mengerikan. 

Tangannya bergerak ke sana kemari. Pecutnya 

bergeletar semakin hebat. Pekikan penduduk yang 

ambruk dengan luka yang sangat parah mengge


ma.

Tak sedikit yang langsung mati.

Ki Lurah menahan pedih hatinya.

Namun tubuhnya tetap terpantek dengan kuat. 

Tak bisa digerakkan. Dia tidak tega membiarkan 

warganya habis dibunuhi gadis si penyebar maut 

itu.

"Tahan!" serunya keras.

Namun orang-orang yang kalap itu terus me-

nyerang. Mereka sebenarnya sudah tahu dari Ke-

mala, yang mencuri baca surat ancaman yang di-

terima ayahnya.

Mereka sudah bersiap untuk menyambut keda-

tangan penyebar maut. Namun sekarang, apakah 

mereka mampu menanganinya, ini baru satu 

orang yang datang, bagaimana kalau banyak?

Kebencian warga Glagah Wangi terhadap Resi 

Gohkarna semakin menjadi-jadi. Resi baik hati, 

bersaudara dan selalu menolong, telah menurun-

kan maut melalui kaki tangan anak buahnya. Apa 

penyebabnya?

Mereka tahu, menghadapi orang-orang resi 

Gohkarna sangat sulit. Namun demi kebenaran 

mereka rela berkorban.

Tapi untuk apa berkorban kalau sia-sia belaka?

"TAHAAAAAAAAN!" teriak Ki Lurah Aryopraksa 

keras.

Serentak orang-orang itu berhenti. Memandang 

penuh kemarahan.

Gadis cantik itu terkikik. "Hi hi hi hi... bagai-

mana, Ki Lurah? Kau terima?"

"Iblis betina!" geram Ki Lurah putus asa.


"Tidak! jangan biarkan orang-orang Gohkarna 

menginjak-injak kita, Ki Lurah!" seru yang bertu-

buh besar. Dia memegang klewang.

"Maumu apa hi hi hi..." si gadis terkikik.

"Membunuhmu, setan!" Orang itu mengacung-

kan klewangnya. "Kau telah membunuhi saudara-

saudaraku!"

"Hi hi hi silakan, kalau kau mampu?"

"Bangsat!" orang itu menggeram hebat dan me-

nyerang. Baru satu tindak, pecut si gadis sudah 

menyambutnya dan bersarang di lehernya. Dan 

sekali tarik orang itu terbang menabrak pohon.

Hancur dengan kepala berdarah.

Orang-orang memekik antara takut dan marah.

Ki Lurah mendesah panjang, dalam, putus asa.

Tak ada jalan lain. Harus dipenuhi.

"Jangan teruskan!" serunya pada gadis cantik 

itu yang hendak bersiap mengayunkan pecutnya 

lagi. "Kami akan penuhi!"

"Hi hi hi... kenapa tidak sejak tadi kau bicara 

begitu, Ki Lurah Bukankah urusannya akan jadi 

cepat selesai?"

"Bajingan!" geram beberapa orang yang masih 

marah. Mereka kecewa melihat sikap Ki Lurah 

yang kalah. Dengan jengkel ketiga orang itu berge-

rak dengan cepat.

Si gadis itu memang luar biasa. Tanpa menoleh 

atau melirik sedikit pun, dia menggerakkan tan-

gannya. Pecutnya bergerak, bergeletar. Terdengar 

jeritan merobek sore yang berdarah itu.

Ketiganya ambruk.

Bersimbah darah dengan luka robekan yang da


lam di dada.

"Sudah kubilang, jangan lakukan itu lagi!" ge-

ram Ki Lurah marah.

"Hi hi hi... kau melihatnya sendiri, bukan? Jan-

gan salahi aku! Mereka yang salah!" Gadis itu ter-

kikik. Wajahnya sudah tidak kelihatan cantik lagi. 

Mirip setan yang haus darah.

Tatapan yang jalang semakin jalang.

Memerah.

Seperti harimau lapar yang melihat daging em-

puk.

"Ingat Ki, dua minggu lagi aku akan datang un-

tuk mengambil upetimu itu! Dan ingat, jika tidak, 

maut akan bertebar lagi di desa ini! Hi hi hi... yang 

lebih penting, Kemala, anakmu itu... Tubuhnya bi-

sa jadi makanan empuk orang-orang liar yang in-

gin bergabung dengan kami! Jangan coba-coba 

membohongi kami Ki. Hi hi hi... salam dari Gu-

nung Pengging! Dari yang mulia Resi Gohkarna! Hi 

hi hi...!" tawa itu menggema keras dan sosok itu 

menghilang dengan cepat. Bagaikan angin yang 

berdesir cepat dan kencang.

Ki Lurah merasa ada sesuatu yang mengenai 

kakinya dan seketika kakinya bisa terangkat.

Dia menatap warganya yang masih setengah ge-

ram dengan lemah.

"Maafkan aku, Saudara-saudara. Aku tak tahu 

lagi harus berbuat apa. Hanya itu yang dapat ku-

lakukan," katanya pelan. Ia menunduk. Tatapan-

nya tak lagi berwibawa.

Tapi sebagian warganya mengerti akan persoa-

lan yang mulai gawat ini.


Ada yang mengusulkan untuk segera bersiap-

siap dan berlatih jika si Penyebar Maut itu datang 

lagi.

Ada yang mengusulkan untuk minta bantuan 

orang-orang padepokan Angsoka.

Ada yang mengusulkan untuk melapor pada ke-

rajaan untuk minta perlindungan.

Ki Lurah bingung mau memutuskan bagaima-

na.

Dia mengusap wajahnya yang kelihatan lebih 

tua.

Lemah.

"Dalam hal ini, kita memang tidak bisa berdiam 

diri. Tidak boleh pasrah atas kehendak Tuhan. Ki-

ta harus bisa merubahnya. Karena nasib suatu 

kaum, berada di tangan kaum itu sendiri."

"Tapi menghadapi orang-orang Resi Gohkarna, 

sama dengan menghadapi dewa Syiwa. Kita tak bi-

sa berbuat apa-apa. Tidak bisa berbuat banyak. 

Perlawanan kita akan sia-sia."

"Berlatih dan bersiap hanya itu yang bisa kita 

lakukan. Minta bantuan orang-orang Padepokan 

Angsoka, sama saja kita mengadu antara mereka 

dengan orang-orang Resi Gohkarna. Ini lebih gawat 

lagi. Perpecahan akan semakin besar. Kudengar 

orang-orang Tartar sudah mulai masuk ke sini. 

Dan yang kudengar lagi, Resi Gohkarna mengun-

dang para pendekar untuk bertarung di gunung 

Pengging. Dalam hal ini, keadaan semakin me-

runcing. Lebih baik kita bersiap. Minta bantuan 

kerajaan, belum tentu mereka mau memperhati-

kan suara kita. Suara rakyat kecil yang tak banyak


memberi apa-apa. Tapi memang ada baiknya dico-

ba. Yah... mulai besok kalian harus berlatih dan 

bersiap untuk menyambut kembali si Penyebar 

Maut itu. Sekarang mari kita kuburkan saudara-

saudara kita yang menemui ajalnya..."

Orang-orang segera bekerja. Pekik tangis anak, 

istri dan orang tua yang gugur terdengar.

Begitu menyayat.

Menyakitkan.

Ki Lurah Aryopraksa menatap mega yang makin 

hitam.

Lagi dia mengusap wajah tuanya.

Di dalam rumah, Kemala mendesah pilu. Kare-

na salah seorang yang gugur adalah Mariodewo, 

kekasihnya yang sangat disayanginya.

Mariodewo adalah pemuda yang nekat menye-

rang si Penyebar Maut tadi dengan beraninya!

***

LIMA



Sebuah Bayangan berkelebat dengan cepat 

sambil terkikik dengan nada mengerikan. Membe-

dah langit, merobek alam yang kian sunyi.

Malam dingin.

Keheningan itu dirobek oleh tawa yang menye-

ramkan, yang mampu mengundang bulu kuduk 

berdiri lebih lama.

Bayangan itu terus berkelebat sambil terus tertawa.


Menjelang tengah malam, bayangan itu masuk 

ke perbatasan Keraton Selatan.

Jalan sepi. Kiri kanan penuh rumah penduduk 

yang sunyi. Hanya sekali-sekali terlihat para pe-

ronda yang sedang menjalankan tugasnya.

Bayangan itu bersembunyi. Lalu berkelebat lagi 

setelah para peronda itu menjauh. Bayangan itu 

mendengus.

"Sial! Hampir saja ada yang melihat kedatan-

ganku menuju Keraton Selatan."

Dengan sekali melompat, bayangan itu sudah 

berada di belakang tumenggungan. Tempat yang 

luas dan dijaga ketat itu membuatnya agak bim-

bang untuk masuk.

Dia menggerutu lagi, "Sialan! Kenapa Raden Wi-

jaya menyuruhku untuk datang malam-malam be-

gini?!"

Bayangan itu memperhatikan sekitarnya.

Tiba-tiba dia tersenyum. Mengambil sebutir 

benda kecil dari kantungnya yang terikat di ping-

gangnya.

Lalu melemparkannya ke halaman Keraton Se-

latan.

Benda itu jatuh tepat di beberapa penjaga yang 

sedang menjaga. Setelah mengeluarkan asap ben-

ing yang tidak tampak oleh mata, beberapa menit 

kemudian nampaklah para penjaga itu berdiam 

kaku.

Seperti terhipnotis.

Bayangan itu terkekeh. Lalu melompat. Dengan 

sekali lompatan dia sudah ada di atap keraton 

yang tinggi. Lalu celingak-celinguk dengan gerakan



ringan.

Lalu dia melompat turun setelah melihat se-

buah kamar yang terang.

Dia mengetuk jendela kamar itu dengan hati-

hati.

"Raden... Raden..." desisnya.

Jendela itu terbuka. Seraut wajah tampan den-

gan pakaian yang indah muncul.

"Lama sekali, Nimas..."

"Sulit untuk menembus kemari, Raden..." kata 

bayangan itu sambil melompat masuk.

Lalu Raden Wijaya menutup kembali jendela 

kamarnya. Menatap bayangan itu yang menjelma 

menjadi gadis yang sangat cantik sekali setelah be-

rada di dalam kamar yang terang. Wajahnya berki-

lau bagai rembulan karena kena sinar lampu.

Dadanya yang setengah membusung turun naik 

karena nafasnya masih memburu.

Raden Wijaya yang berpenampilan necis dan 

genit itu merangkulnya sambil tertawa.

"Kau semakin menggemaskan aku saja, Ni-

mas..." desisnya sambil menciumi bagian leher be-

lakang gadis tadi.

Tapi gadis itu menarik kepalanya.

"Nanti dulu, Raden... bagaimana dengan tawa-

ranku itu? Kau belum menjawabnya, Raden..."

"Itu mudah."

"Raden akan memenuhinya?" Mata itu berkilau 

penuh harap dan bibirnya terbuka menampakkan 

senyumnya yang indah menawan.

"Ya, rencanamu sendiri bagaimana?" Raden Wi-

jaya melepaskan rangkulannya. Menuang arak


merah ke gelas.

Memberikannya sebuah pada gadis itu.

"Setelah semua padepokan dan para pendekar 

yang ada di sekitar sini saling hantam, kita tinggal 

masuk saja, Raden. Bukankah begitu?"

"Hahaha... bagus, bagus, Nimas Priatsih. Sete-

lah itu, kita yang akan merampok tahta kerajaan 

selagi para pendekar dan padepokan saling han-

tam. Sehingga mereka lupa akan kerajaan yang 

dalam keadaan berbahaya!" Raden Wijaya terba-

hak sambil meminum araknya.

"Rencana Raden bagaimana?"

"Keraton Selatan harus kita kuasai."

"Bagaimana dengan ayah Raden sendiri?"

Kali ini wajah tampan itu sesaat terdiam. Te-

gang.

"Kita harus menggulingkannya. Aku ingin men-

jadi penguasa di sini. Juga beberapa keraton lain.

Rencanamu untuk mengadu domba semua pade-

pokan dan para pendekar itu bagus sekali. Karena 

mereka yang menyulitkan kita. Para orang-orang 

sakti, terutama dari Padepokan Angsoka dan Goh-

karna, adalah bawahan ayahku. Mereka sangat 

patuh pada ayahku. Ini sangat berbahaya bagi ki-

ta. Untuk itu, kita harus mengadu dan menghan-

curkan mereka dengan jalan mengadu domba. Ini 

merupakan jalan yang sangat baik. Dengan begitu 

mereka akan saling menghantam. Kau sendiri 

punya rencana lain, Nimas?"

"Sebenarnya iya, Raden. Tapi bagaimana den-

gan Keraton Barat, Timur dan Utara?"

"Setelah aku jadi penguasa di sini dengan keku


atan yang ada, kita akan menyerang ke sana. Mau 

tak mau, orang-orang sakti akan tunduk padaku 

karena akulah yang menjadi raja di sini. Bukan 

begitu, Nimas?"

Nimas Priatsih mengangguk-angguk.

"Nimas... bagaimana dengan desa-desa lain?"

"Maksud, Raden?"

"Desa Manur Biru. Glagah Wangi. Cempaka. Itu 

merupakan pos-pos yang harus kita tempati."

Nimas Priatsih tersenyum. Genit. "Itu sih beres, 

Raden. Hamba sudah mengatur semuanya. Ketiga 

desa itu sudah menjadi marah pada Padepokan 

Gohkarna. Bahkan hamba sendiri baru saja 

menghantam desa Manur Biru. Ini bukankah se-

buah berita yang baik, Raden?"

Raden Wijaya terbahak. "Betul. Biar orang-

orang Gunung Pengging akan kelabakan karena 

banyaknya orang-orang sakti yang akan menye-

rang ke sana."

"Tapi, Raden?"

"Bagaimana, Nimas?"

"Kapan Raden akan memenuhi keinginanku?"

"Untuk mengangkatmu sebagai permaisuriku? 

Hahaha... tak lama lagi, Nimas. Bukankah malam 

ini kau akan pergi ke nirwana bersamaku? Haha-

ha..."

Raden Wijaya merangkul sosok yang menggai-

rahkan itu. Nimas Priatsih terkekeh genit dan 

menjerit manja ketika tubuhnya didorong ke pera-

duan.

Sebenarnya Raden Wijaya bukanlah anak kan-

dung dari raja Keraton Selatan. Dia hanyalah anak


angkat yang ditemukan baginda raja ketika sedang 

berburu. Bocah itu ditemukan saat anak itu beru-

sia dua tahun, sedang menangis karena orangtua-

nya mati dibunuh para perampok.

Baginda tidak tega untuk tidak memungutnya. 

Lalu diambilnya bocah itu dan diberi nama Wijaya. 

Saat itu istri baginda sendiri sedang hamil tua 

anak yang pertama mereka.

Setelah anak kandungnya lahir, perhatian ba-

ginda tidak ada saling memihak. Dia menganggap 

Wijaya pun sebagai anak kandungnya. Tak dibe-

dakan dengan anak kandungnya.

Namun ketika keduanya menjelang masa ka-

nak-kanak, Wijaya sudah menunjukkan sifat yang 

tidak baik. Dia galak. Suka mencuri. Dan irinya 

kadang berlebihan. Tetapi baginda tetap sabar ka-

rena dia pun menyayangi Wijaya bak anak kan-

dungnya.

Raden Wijaya seharusnya berterima kasih kare-

na dengan fasilitas dan kasih sayang yang diberi-

kan sang raja begitu biasa.

Tak pilih kasih.

Namun ketika dia mendengar desas-desus, 

bahwa Raden Wiladalah yang akan menggantikan 

kedudukan raja. Ini membuatnya marah dan iri, 

meskipun dia tahu bukan anak kandung raja tetap 

dia marah.

Wijaya merasa dialah yang berhak menduduki 

tahta kerajaan menggantikan ayahnya yang sudah 

tua. Sudah tentu keinginannya itu sulit untuk di-

terima mengingat dia bukanlah keturunan darah 

biru.


Hal inilah yang menyebabkan Raden Wijaya 

menjadi semakin dengki, apalagi akhir-akhir ini 

adik angkatnya, Raden Wilada, semakin disanjung 

oleh rakyat. Ini membuatnya semakin marah, 

jengkel dan mendendam.

Dengan bantuan kekasih gelapnya Nimas Priat-

sih dari Daratan Pantai Timur, Raden Wijaya ber-

maksud hendak menggulingkan kerajaan ayahnya. 

Dialah yang membuat rencana mengadu domba 

para padepokan dan para pendekar dengan mak-

sud saat mereka bertarung mereka melupakan ke-

rajaan. Dan ini sangat memudahkan Raden Wijaya 

untuk membunuh baginda raja.

Sedangkan Nimas Priatsih senang saja mem-

bantu. Dia adalah murid tunggal nenek jahat 

Eyang Pratikanisti yang dulu pernah menyerang 

desa di lereng Gunung Lawu membantu perampok 

Bongsa. Tetapi serangan itu gagal berkat bantuan 

Begawan Batista. Bahkan Eyang Pratikanisti tewas 

di tangan Begawan Batista.

Selain itu, Raden Wijaya juga menjanjikan ke-

dudukannya sebagai permaisuri.

Lalu mulailah Nimas Priatsih menyebarkan beri-

ta palsu tentang ancaman dan tantangan yang di-

lontarkan oleh majikan gunung Pengging. Dia pun 

mulai menyebarkan teror di desa-desa dengan 

mengatasnamakan Resi Gohkarna, agar orang-

orang marah dan menyerangnya.

Politik adu domba itu terus dijalankan.

Kedua manusia itu kini terbaring lemas di pera-

duan. Menatap langit-langit kamar dengan nafas 

turun naik. Kadang memejamkan matanya sekali


sekali.

"Nimas..."

"Ya, Raden?"

"Mendadak saja timbul sebuah rencana yang ji-

tu dalam benakku."

Nimas Priatsih melirik. "Apakah itu, Raden?"

"Bagaimana jika kau menggoda adik angkatku, 

Raden Wilada?" tanya Raden Wijaya berhati-hati.

Nimas Priatsih kaget. "Maksud Raden?"

"Goda dia. Jerumuskan dia ke lembah nista. 

Dengan begitu, kedudukannya sebagai calon peng-

ganti ayahku akan berantakan. Ayah akan mem-

bencinya dan kecewa padanya. Begitu pula dengan 

rakyat, mereka tentu tak akan setuju mempunyai 

seorang raja yang berkelakuan kotor."

"Tapi, Raden..." Nimas Priatsih tercenung.

"Aku mengerti, Manis..." Raden Wijaya menge-

cup bibir yang memerah itu. "Aku mengerti. Kau 

pasti tidak rela tubuhmu dinikmati oleh Raden Wi-

lada, bukan? Memang bukan itu maksudku. Aku 

pun tak rela tubuhmu harus dinikmati olehnya. 

Aku cinta padamu, Nimas. Mana mungkin aku 

membiarkan Raden Wilada menikmati tubuhmu."

"Lalu maksud, Raden?" Gadis itu separuh ber-

nafas lega. Dia pun mencintai Raden Wijaya.

"Kau hanya menggodanya saja. Kalau bisa bawa 

dia ke tempat Kembang Mawar milik Nyai Alas Ra-

tih. Dengan begitu dia akan lupa diri. Dan ini 

membuat kita lebih mudah menyingkirkannya se-

belum menyerang kerajaan. Bagaimana Nimas? 

Kau sanggup melakukannya?"

Nimas Priatsih mengangguk.


Raden Wijaya terbahak.

Merangkul Nimas Priatsih yang terkikik genit 

dan manja itu.

"Setelah semuanya berhasil, tentunya raja akan 

marah padanya dan akan membatalkan pencalo-

nannya sebagai penggantinya. Nah, dalam kea-

daan seperti itu, pasti raja akan menunjuk ku un-

tuk menggantikan kedudukannya. Ini adalah sasa-

ran yang sangat empuk. Selagi pikiran raja kacau 

balau oleh perlakuan Raden Wilada, aku akan me-

nyuruh Paman Patih Coro Ijo untuk segera me-

mimpin pasukannya menyerbu istana. Kesempa-

tan ini sangat langka, karena para pendekar yang 

berpihak pada kerajaan tentunya sedang berta-

rung di gunung Pengging. Ini memudahkan kita 

untuk segera menggulingkan tahta kerajaan. Sete-

lah itu, aku akan masuk membantu kerajaan. Ten-

tunya pasukan yang dipimpin Paman Patih Coro 

Ijo akan mengalah dan melarikan diri. Sebagai 

gantinya, beberapa pengawal akan dibuat kambing 

hitam dan dibunuh karena telah berkhianat pada 

raja. Dan namaku akan semakin harum di mata 

raja dan rakyat, bukan?"

Nimas Priatsih terkikik.

"Hebat sekali akalmu, Raden. Benar, dengan 

begitu semuanya akan berjalan lancar."

"Ini tergantung bagaimana kau menjalankan tu-

gas yang kuberikan."

"Tenang, Raden... percayalah padaku, aku akan 

menjalankan tugas ini sebaik-baiknya. Bukankah 

aku calon permaisurimu, Raden?"

"Benar, Nimas... kau benar. Dan ingat, besok


Raden Wilada hendak pergi berburu ke hutan 

Lampor. Kalau tidak salah, dia hanya ditemani 

oleh Mona dan Prakista."

"Percayalah padaku, Raden..."

***

Hutan Lampor adalah hutan yang paling angker 

di sekitar Keraton Selatan. Hutan yang konon per-

nah dihuni oleh seorang raksasa yang mati karena 

tersambar geledek dan mayatnya hancur menjadi 

debu.

Konon hutan itu banyak pula dedemit yang me-

nyamar menjadi manusia.

Tetapi Raden Wilada telah menetapkan tekad-

nya, karena dia belum pernah berburu ke sana. 

Dan keinginannya itu harus tercapai. Di samping 

berburu adalah salah satu kegemarannya sejak 

kecil.

Raden Wilada berkulit putih. Wajahnya tidak 

begitu tampan. Alisnya tebal dengan kumis tipis di 

atas bibirnya. Di belakang bahunya terdapat se-

buah busur dan beberapa anak panah. Matanya, 

waspada, memperhatikan sekitarnya. Dia menden-

gar di hutan ini banyak rusa-rusa muda yang ber-

keliaran.

Di belakangnya, dua buah ekor kuda mengikuti. 

Dengan masing-masing penunggangnya.

Yang menaiki kuda berbulu hitam bernama 

Mona. Dia seorang abdi yang sangat setia pada 

Sang Raden. Usianya kira-kira sama. Sekitar 23 

tahun. Tubuh Mona besar dengan dagu yang ku


kuh. Dia pun menyandang busur dan anak panah.

Yang menunggang kuda berbulu coklat berna-

ma Prakista. Seorang abdi yang bertubuh pendek, 

tapi tidak gemuk. Boleh dikatakan cebol. Tapi ke-

tangkasannya menunggang kuda tidak kalah den-

gan Mona atau pun Raden Wilada sendiri. Bahkan 

kalau dia mau dia lebih hebat dari Raden Wilada. 

Tapi karena tidak mau mengalahkan junjungan-

nya, Prakista selalu berusaha untuk nampak le-

mah.

"Sejak tadi tidak kulihat seekor rusa, Mona dan 

Prakista," kata Wilada sambil menghentikan jalan 

kudanya.

"Entahlah, Raden. Mungkin sedang bersem-

bunyi," sahut Prakista sambil tertawa.

"Mungkin kita belum melihatnya saja, Raden." 

kata Mona dengan suaranya yang berat. Dia me-

mang lain dengan Prakista yang selalu ingin ber-

gurau saja.

"Atau... mereka sedang pesta, Raden," kata Pra-

kista.

"Atau juga... mereka yang hendak memburu ki-

ta?"

"Ha ha ha..." Raden Wilada tertawa. "Ada-ada 

saja kau, Prakista."

"Cebol! Jangan bercanda terus!" bentak Mona.

"Lho, kok jadi marah? Apa aku salah ngomong 

begitu? Kan siapa tahu?!" balas Prakista sambil 

tertawa.

"Ayo kita jalan lagi," kata Wilada sambil menja-

lankan kudanya perlahan.

Kedua abdinya mengikuti.


Mona menajamkan kedua matanya, barangkali 

ada rusa yang berkelebat. Sedangkan Prakista 

bernyanyi-nyanyi dengan riang.

Matahari baru sepenggalah. Udara cerah. Kicau 

burung kecil terdengar ramai. Pijakan kaki kuda 

yang kadang mematahkan ranting kecil yang ber-

serakan, kadang terdengar.

Tiba-tiba sebatang anak panah meluncur ke 

arah Raden Wilada dengan cepatnya.

Wilada yang sedang memperhatikan sekitarnya, 

cepat melompat karena mendengar desingan yang 

mengarah padanya.

"Hei!"

Anak panah itu lewat dan menancap di batang 

pohon. Mona dan Prakista segera waspada.

"Siapa adanya yang telah menyerang junjungan 

kami?" Mona membentak dengan sikap waspada. 

Suaranya menggema dengan keras.

Dari balik semak belukar muncul sosok tubuh 

yang indah terbalut pakaian ringkas berwarna pu-

tih. Di tangannya memegang busur. Wajah gadis 

itu cantik. Kelihatan keningnya berkerut melihat 

ketiganya yang diam terpaku, seolah kaget melihat 

kecantikannya.

Bidadari manakah ini? desis Wilada dalam hati.

Prakista terbahak. "Ha ha ha... rupanya gadis 

cantik yang menyerangmu, Raden?"

Wilada seperti tersadar. Mona sendiri menghela 

nafas dalam.

"Siapakah gerangan kiranya Nona?" tanya Wila-

da lembut.

Tapi gadis itu malah semakin mengerutkan ke


ningnya.

"Ha ha ha.... dia kelihatan naksir padamu, Ra-

den," tawa Prakista terdengar lagi.

Kali ini kening gadis itu berubah. Matanya me-

lotot marah pada Prakista.

"Hei, Cebol! Jangan sembarangan omong! Siapa 

yang naksir orang ini, heh?!" bentaknya marah.

Tetapi Prakista malah semakin terbahak.

"Si Cantik rupanya galak, Raden."

"Cih!" gadis itu meludah.

Wilada tersenyum. Kuatir bisa salah paham.

"Maafkan kawanku ini, Nona. Siapakah geran-

gan Nona?"

Gadis itu yang tak lain Mantari melipat kedua 

tangannya di dadanya, sikapnya acuh tak acuh.

"Mau apa tanya-tanya namaku?"

"Karena anak panah Nona hampir saja menan-

cap di tubuhku."

"Biar saja! Kan aku tidak salah. Aku tengah 

memanah kelinci?!" bentak Mantari yang kesal. Si-

al, kenapa aku tadi harus melepas samaranku, de-

sisnya dalam hati. Ah, kenapa aku tidak menuruti 

nasehat Kakang Anggada? Ingat Anggada menda-

dak wajahnya memerah. Ih!

Perubahan itu disangka Prakista karena gadis 

itu malu pada Raden Wilada.

Dia terbahak sambil menggoda, "Benarkan du-

gaanku, Raden. Gadis itu naksir padamu."

Kali ini kemarahan Mantari berlipat ganda. "Ce-

bol jelek! Jangan sembarangan omong!" bentaknya 

sambil menyerang.

Prakista menghindari serangan itu sambil ter


tawa-tawa. Gerakannya ringan dan gesit.

"Haa ha ha... yang seperti ini tidak cocok un-

tukmu, Raden! Galak!"

"Setan!" bentak Mantari semakin jengkel. "Siapa 

yang kesudian jadi pacar orang jelek itu!"

"Kau belum tahu siapa dia?!" Prakista menghin-

dar dengan lincahnya.

Mantari jadi jengkel. Tiba-tiba dia bergerak ba-

gaikan burung dengan cepat. Kali ini Prakista ke-

bingungan. Belum lagi sadar sebuah sodokan telah 

menyodok dadanya.

Prakista terhuyung.

Dadanya sakit.

Mantari tertawa. "Rasakan itu, Cebol!"

Mona yang sudah bersiap hendak menyerang 

ditahan oleh Wilada.

"Tahan! Jangan teruskan lagi! Kita hanya salah 

paham! Maafkan kelakuan kawanku itu, Nona."

Mantari mendongakkan kepalanya angkuh.

"Sikat saja, Raden! Biar dia tahu siapa Raden!" 

seru Prakista biarpun dadanya terasa sakit dia 

masih bisa tertawa dan bergurau. "Tangkap dan 

cium, Raden!"

"Bangsat!" wajah Mantari merah padam dan 

bersiap menyerang lagi.

"Tahan, Nona! Maafkan kawanku, ini!" kata Wi-

lada sambil menangkis serangan Mantari.

Mantari merasakan menghantam batu yang ko-

koh. Jemarinya terasa nyeri.

Wilada merangkum kedua tangannya di dada. 

"Maafkan kami, Nona. Prakista, Mona, ayo jalan!"

Mereka menaiki kuda masing-masing.


Prakista terkekeh-kekeh. "Untung saja ditahan 

oleh Raden Wilada, kalau tidak kucium kau!"

Mantari melotot marah.

Kuda-kuda itu melaju.

"Sialan!" Mantari meringis kesal. "Ada-ada saja 

gangguan. Hhh! Lebih baik kembali pada Kakang 

Lesmana dan Anggada."

Mantari melompat ke balik semak dan menghi-

lang.

Sementara itu Prakista masih menggoda Raden 

Wilada.

"Kenapa tidak Raden tangkap saja. Lumayan 

Raden, biar galak tapi cantik. Yang begitu lebih 

asyik, bukan? Ha ha ha!"

"Kau terlalu bertindak gegabah tadi, Prakista," 

kata Wilada tenang. Tapi menyesali juga mengapa 

hanya sesingkat itu pertemuannya dengan si can-

tik tadi. Yang lebih sial, dia belum tahu siapa na-

manya!

"Dia memang cantik, Raden. Bukankah Raden 

belum punya calon? Nah, ambil saja dia. Paling ti-

dak gadis dari Glagah Wangi atau Cempaka. Ke-

dua desa itu memang penuh dengan gadis-gadis 

cantik, Raden."

"Sudahlah."

"Tapi masih terkenang, bukan?" Prakista, meng-

goda lagi.

"Kau ini ada-ada saja, Prakista. Aku kenal saja 

baru tadi. Namanya juga belum aku tahu. Tapi 

yah... dia memang sangat cantik."

Tiba-tiba Raden Wilada menghentikan kudanya. 

Begitu pula dengan kedua abdinya. Mereka men


dengar suara isak dari balik pohon di depan sana. 

Ada apa lagi ini?

"Jangan-jangan dedemit, Raden," Prakista tim-

bul isengnya lagi.

"Lebih baik kita ke sana."

Ketiganya agak mempercepat laju kuda mereka. 

Isakan itu semakin jelas, dari balik pohon. Keti-

ganya turun dan mendekati.

Dan ketiganya terkejut.

Seorang gadis yang cantik! Ya ampun, banyak 

sekali gadis-gadis cantik berkeliaran di sini? Gadis 

itu kelihatan kaget dan takut.

Raden Wilada membungkuk, bertanya, "Kenapa 

gerangan Andika menangis?"

Gadis itu malah undur ketakutan. Matanya 

mencari-cari.

"Sana! Sana! Aku sudah tidak punya apa-apa 

lagi! Sungguh, aku tidak punya apa-apa lagi!" je-

ritnya takut.

Wilada sesaat terdiam. Mengira-ngira apa yang 

telah terjadi pada gadis ini.

"Tenang, Nona. Saya tidak bermaksud jahat. 

Apa yang telah terjadi?" tanyanya lembut.

Gadis itu memperhatikan ketiganya dengan 

seksama, seolah masih ragu akan kata-kata Wila-

da. sinar matanya masih ketakutan.

Wilada tersenyum. "Percayalah, kami tidak ber-

maksud jahat."

Sekali lagi gadis itu memperhatikan mereka. La-

lu katanya dengan terbata-bata, "Aku... aku baru... 

baru saja dirampok..."

"Dirampok?"


Gadis itu mengangguk sambil terisak. "Ya, ya... 

semua barang-barangku dibawa para perampok 

itu..."

Raden Wilada yang baik hati dan seringkali tim-

bul rasa kasihannya, "Lalu Andika hendak ke ma-

na?"

Gadis cantik itu menunduk. "Aku... aku tidak 

tahu..."

"Ha ha ha... kenapa tidak dibawa ke tumeng-

gungan saja, Raden?" kata Prakista. "Gagal yang 

galak, yang lembut ini lebih baik. Bukan begitu, 

Raden?"

Prakista terbahak lagi. Mona hanya melipat ke-

dua tangannya. Sifatnya tak banyak bicara menja-

dikannya seperti patung diam. Dia hanya bicara 

seperlunya.

Menatap gadis cantik yang sedang dibimbing 

Wilada ke kudanya.

"Lebih baik Andika tinggal di tumenggungan sa-

ja."

"Aku... aku tidak pantas bersahabat dengan 

orang-orang tumenggungan..." desis gadis itu ta-

kut-takut, menolak untuk dinaikkan ke kuda.

"Kau sudah bercakap-cakap dengan kami. Ka-

mu telah bersahabat dengan kami." Wilada terse-

nyum.

Gadis itu nampak gugup. Ia memandang keti-

ganya bergantian.

"Siapa... siapa gerangan Andika adanya?" ta-

nyanya terbata-bata.

"Ha ha ha ah..." Prakista terbahak. "Rupanya 

kau belum mengenal Raden Wilada, Nona? Inilah


Raden Wilada, putra kandung Pangeran Wilwatik-

ta."

"Oh!" seketika gadis terduduk berlutut berkali-

kali menyembah. "Maafkan sikapku, Raden, yang 

tidak tahu siapa Raden sebenarnya."

Wilada jadi kikuk. Dia melirik Prakista tajam. 

Yang dilirik hanya mesem saja.

Wilada buru-buru menyuruh gadis itu berdiri.

"Janganlah bersikap demikian, Nona. Ya, aku 

memang Raden Wilada. Tapi sudahlah, janganlah 

kau merubah sikap. Tetaplah seperti tadi. Kita 

akrab. Hm... siapakah nama Andika?"

"Namaku... namaku... Rastili... Aku... aku dari 

desa Glagah Wangi..." gadis itu malah menunduk-

kan kepalanya.

Raden Wilada makin kikuk.

Prakista terbahak. "Nyiur melambai, jadi lam-

bang. Jadi sarang, burung elang. Jangan ragu, 

jangan bimbang, segeralah Raden, bawa pulang. 

Ha ha ha..."

Sikap Raden Wilada jadi makin kikuk.

Rastili tersipu. Dan malu-malu dia melompat ke 

kuda Wilada. Dadanya berdebar keras ketika Wila-

da menaikkannya ke kudanya.

Lalu...oh, Gusti, sang Raden berada di bela-

kangnya!

Prakista sudah gatal saja mulutnya.

Sambil melompat ke kudanya, dia berseru, "Ti-

dak dapat rusa muda, kelinci muda juga tidak 

apa-apa. Bukan begitu, Raden?"

Wilada melotot.

Rastili menunduk. Wajahnya merona.


Perlahan kuda-kuda itu bergerak. Wilada men-

jalankan kudanya dengan hati-hati.

Di belakangnya Prakista mendendangkan lagu 

asmara yang sendu. Sedangkan Mona hanya diam 

saja. Terus mengikuti kuda-kuda itu berjalan.

Terdengar suara Prakista menggoda, "Kita tidak 

jadi berburu, Raden?"

***

ENAM



Mantari muncul dengan mulut menggerutu. Dia 

melemparkan pantatnya di dekat kedua kakak se-

perguruannya, masih tetap menggerutu.

Lesmana tertawa. "Hei, hei... ada apa, Rayi? Apa 

mulutmu pagi ini senang mengomel?"

Mantari malah makin cemberut.

"Tidak lucu!"

"Lho?" Lesmana terbahak. "Aku memang tidak 

sedang melucu!"

"Sudah diam!" Mantari melotot, nampak sema-

kin cantik.

Anggada yang baru saja bersemadi untuk me-

lancarkan jalan pernafasan menoleh, masih bersila 

dengan bahu tegak.

"Mana hasil buruan mu, Rayi?"

"Buruan apa, Kakang?" kali ini suara Mantari 

tidak lagi judes, malah ada kesan tersipu.

"Bukankah kau pergi berburu?"

Mantari hanya mendesah dalam. Ih, kenapa ka


lau yang bertanya Kakang Anggada hati ini selalu 

tentram saja?

Dia pura-pura menurunkan busur dan anak 

panahnya.

Lesmana yang suka iseng, mendehem. Bermak-

sud menggoda. Sambil menatap ke atas dia berka-

ta, "Heran... kalau aku yang bertanya, kenapa se-

lalu marah ya? Tapi kalau Kang Anggada yang ber-

tanya, sambutannya mesra. Tersipu. Bahkan se-

perti berharap. Hmm... heran, heran." Dia mengge-

leng-geleng.

Mantari tahu kalau dia sedang digoda. Makanya 

dia langsung mendongak, melotot pada Lesmana.

"Kakang kok ngomongnya gitu?"

Lesmana pura-pura kaget. "Lho, aku ngomong 

apa? Aku tidak merasa omong apa-apa?"

"Tadi?"

"Lho? Aduh, Rayi Mantari ini bagaimana, sih? 

Aku sedang bicara sendiri..."

"Bohong! Kakang menggodaku!" suara Mantari 

tersekat, seperti mau menangis.

"Lho, lho... kok jadi begini? Aku tidak mengerti?" 

Lesmana masih berpura-pura, membuat Mantari 

semakin sebal. Malu. Jengkel. Tapi juga senang.

"Jangan berpura-pura! Kakang jahat!" sembur 

Mantari, kali ini suaranya bagai isakan belaka.

Lesmana hanya mengangkat bahu. Masih ber-

pura-pura tidak mengerti. "Aneh... aku bicara sen-

diri kok dibilang menggoda? Rayi bertemu dedemit 

mana tadi, hingga marah-marah tidak karuan pa-

daku?"

Wajah Mantari merah padam. Malunya tidak ke


tulungan. Lesmana bermaksud hendak menggoda 

lagi, tapi ketika diliriknya Anggada nampak sedang 

memperhatikan sesuatu dia segera terdiam. Si-

kapnya jadi waspada.

Begitu juga dengan Mantari. Ngambeknya agak 

menghilang. Dia berbisik pada Anggada, "Ada apa, 

Kakang?"

Anggada hanya terdiam. Memperhatikan ke 

arah Timur dari mereka beristirahat.

Mantari jadi penasaran, bercampur ngeri, "Ka-

kang... ada apa?"

Tanpa menoleh Anggada menyahut, "Aku men-

dengar sesuatu yang mencurigakan.."

"Apa itu, Kakang?"

"Tajamkan pendengaranmu," kata Anggada. 

Tampak dia seperti bersiap tempur. Dadanya yang 

tegap semakin nampak kokoh ketika dia melipat 

kedua kakinya ke bawah.

Lesmana berdiri. Menajamkan telinganya.

"Ada langkah yang menuju kemari, Kang Ang-

gada," bisiknya.

Mantari juga mendengar.

"Seperti langkah ratusan orang yang berbaris."

Anggada mengangguk. "Ya. Dan membuatku 

curiga. Kita berada di kerajaan Kuripan. Tapi mau 

apa orang-orang itu seperti menuju kemari."

Keadaan yang agak sepi, pecah dengan derap 

langkah yang terdengar agak keras. Kali ini seperti 

berpencar.

Ketiganya segera waspada.

Berdiri mengambil posisi dengan sigap.

Tiba-tiba muncul enam orang laki-laki berusia


sekitar 45-an. Mereka mengenakan pakaian merah 

semua, salah seorang memakai jubah hitam.

Anggada tahu, dia tanda dari orang-orang pade-

pokan Gohkarna. Lalu ada apa mereka hingga 

sampai ke sini? Apa perlu mereka? Setahu Angga-

da, orang-orang padepokan Gohkarna hanya mau 

turun jika raja Kuripan membutuhkan bantuan 

mereka. Kalau begitu adakah sesuatu yang gawat?

Belum lagi Anggada bisa menganalisa semua 

itu, salah seorang bergerak ke arahnya dengan 

tangan terkepal.

Anggada kaget. Tapi cepat menyambutnya. Dia 

menangkap kepalan tangan itu dan memuntirnya 

ke kiri. Tapi orang itu dengan cepat bergerak, dan 

tangannya terlepas dari genggaman Anggada. Lalu 

dia mengirimkan jotosan ke wajah Anggada.

Anggada menundukkan kepala dan bersalto 

menghindar.

"Hmm... ada apa orang-orang Gunung Pengging 

menghalangi perjalanan kami?" serunya sementara 

kedua adik seperguruannya bersiaga.

"Hhh! Kami ingin membuat kalian mampus di 

sini!" Orang itu melesat lagi. Anggada pun tak mau 

dirinya dijadikan sasaran empuk serangan itu. Dia 

pun membalas.

Empat orang kawan berjubah merah itu segera 

mengurung Lesmana dan Mantari.

Dan sebentar saja di tempat itu sudah ramai 

oleh pertarungan yang hebat, sengit dan kejam. 

Orang-orang berjubah merah itu memperlihatkan 

jurus-jurus yang tangguh. Tetapi tiga orang murid 

Padepokan Angsoka pun segera mengimbanginya


dengan hebat.

Sampai dua puluh jurus berlangsung, tak seo-

rang pun yang nampak terdesak. Tetapi lewat dua 

jurus kemudian, Mantari sudah nampak kepaya-

han karena dua orang yang menyerangnya terus 

mendesak dengan gigih.

Tenaga Mantari sudah semakin terkuras.

Dia pun sudah mengeluarkan jurus Manuk Ma-

burnya. Tetapi dua orang penyerang dengan gesit 

menghindar dan membalas.

Melihat hal itu, Anggada dengan pukulan keras 

hingga terhuyung beberapa tindak.

Anggada menyeka darah yang keluar dari mu-

lutnya.

"Bangsat! aku akan mengadu jiwa denganmu!"

"Hahaha... murid-murid gunung Lawu hanya 

begitu saja kemampuannya sudah berani-

beraninya menyerang ke Gunung Pengging! Maju-

lah, akan kubuat mampus kau!"

Kembali keduanya bertarung.

Sementara Mantari kian terdesak, satu gedoran 

pun membuatnya ambruk. Dan dengan cepat sa-

lah seorang yang berjubah merah itu menotoknya 

hingga tak mampu bergerak.

Melihat hal itu Anggada dan Lesmana pun 

mempercepat serangannya dan meningkatkan ju-

rus-jurusnya. Tetapi lawan-lawannya begitu tang-

guh. Belum lagi dua lawan Mantari tadi datang 

membantu, semakin membuat keduanya kerepo-

tan.

Dan kini maut pun mengancam keduanya.

Tiba-tiba saja dua larik sinar berwarna merah


melesat ke arah orang-orang berjubah merah itu. 

Serentak orang-orang itu bersalto menghindari 

hantaman sinar merah yang kini menghantam po-

hon hingga hangus.

"Bangsat! Siapa yang beraninya hanya membo-

kong!"

Terdengar derap langkah kuda menuju ke arah 

mereka. Nampaklah dua ekor kuda dengan mas-

ing-masing penunggangnya. Yang satu seorang la-

ki-laki muda berwajah tampan. Yang satu seorang 

wanita muda yang berparas jelita dengan sebilah 

pedang di punggungnya.

Yang laki-laki berkata, "Maafkan aku... yang 

ikut campur dalam urusan ini... aku tidak begitu 

suka melihat kalian bertingkah pengecut menge-

royok dua lawan yang sudah kehabisan tenaga..."

"Hhhh! Anak muda, siapakah kau gerangan?!" 

seru salah seorang yang bernama Morojarot.

"Aku dan istriku hanyalah pengelana dari Laut 

Selatan. Namaku Pranata Kumala. Dan ini istriku, 

Ambarwati. Salam kenal untuk kalian, orang-orang 

berjubah merah."

"Hhh! Nama kosong belaka yang kau pamerkan 

di hadapan kami!"

Orang yang tak lain Pranata Kumala dan is-

trinya Ambarwati itu tersenyum. Mereka memang 

sedang meneruskan petualangan. Dan secara ti-

dak sengaja mereka tiba di daerah ini.

Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya, 

ketiga murid Padepokan Angsoka tertegun. Laki-

laki inikah yang pernah diceritakan guru mereka 

sebagai murid dari Ki Ageng Jayasih majikan gu


nung Muria? Bila benar adanya, mereka akan me-

rasa tertolong.

"Pranata, cepatlah kau berlalu dari sini!" kata 

Morojarot. "Tapi ingat, tinggalkan istrimu di sini! 

Lumayan untuk menghangatkan tubuh kami!"

Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu, Am-

barwati menggeram. Dan dengan sekali salto dia 

menerjang Morojarot sambil mengayunkan pe-

dangnya yang dengan cepat sudah berada di tan-

gannya.

"Aih! Rupanya pemarah benar kau!" seru Moro-

jarot sambil menghindar. Tetapi Ambarwati terus 

mencecarnya. Dan "Brekk!" jubah merah yang di-

kenakan Morojarot robek terkena sabetan pedang-

nya.

"Bangsat busuk! Kau rasakan itu! Sebentar lagi 

nyawamu yang akan kucabut!" geram Ambarwati.

Morojarot pun tak kalah kagetnya. Tadi dia 

menganggap enteng lawannya dan tak menyangka 

kalau jubah merahnya akan berhasil disambar pe-

dang yang di tangan gadis itu.

Dia menggeram. "Bangsat!" serunya sambil me-

nerjang. Tetapi segera bersalto kembali karena si-

nar merah itu kembali menyerangnya.

"Maafkan aku, Kisanak... Sungguhan, aku dan 

istriku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara 

kalian..." kata Pranata Kumala.

"Bangsat! Majulah kau!" seru Morojarot dan se-

rentak keempat kawannya pun mengurung Prana-

ta Kumala dan istrinya. Serentak pula mereka se-

gera menyerang.

Tetapi lagi-lagi serangan mereka kandas karena


pukulan sinar merah kembali dilontarkan oleh 

Pranata Kumala yang membuat orang-orang itu 

harus bersusah payah menghindar. Bahkan tiga 

orang dari mereka mati dengan tubuh hangus ter-

sambar sinar merah itu.

Hal ini membuat Morojarot murka. Dia mener-

jang lagi. Dan kali ini Pranata pun bersalto dari 

kudanya, melayani Morojarot dan kedua teman-

nya.

Serangan-serangan kedua orang itu cepat dan 

berbahaya. Pranata pun sudah menggunakan ju-

rus Tangan Bayangannya. Pertarungan pun tak te-

relakkan lagi. Tetapi murid Ki Ageng Jayasih itu 

dapat mengimbangi keduanya. Di samping mereka 

tengah murka hingga tidak mengontrol serangan-

serangan mereka juga ilmu mereka yang berada di 

bawah ilmu Pranata Kumala.

Sebentar saja salah seorang dari mereka sudah 

ambruk dengan muntah darah. Melihat hal itu, 

Morojarot pun segera melarikan diri.

Setelah merasa yakin, Morojarot tidak datang 

lagi, Pranata pun menghampiri Anggada dan Les-

mana. Sementara Ambarwati menghampiri Manta-

ri.

Merasa diri mereka sudah cukup pulih setelah 

menelan pil yang diberikan keduanya, mereka pun 

menjura.

"Terima kasih atas pertolongan, Kisanak."

Pranata tersenyum. "Aku paling tidak menyukai 

kekerasan. Hmmm... sebenarnya ada apakah 

hingga kalian berbentrokan dengan orang-orang 

jubah merah?"


"Maafkan kami sebelumnya, Kisanak. Kalau bo-

leh kami tahu, apakah Kisanak murid dari Ki 

Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria?"

Masih tetap tersenyum Pranata menjawab, "Be-

nar, Kisanak."

"Oh, terima kasih atas pertolongan, saudara 

Pranata... Namaku Anggada, ini Lesmana dan 

Mantari dua adik seperguruanku."

Lalu Anggada pun menceritakan mengapa me-

reka sampai bentrok dengan orang-orang berjubah 

merah. Juga maksud mereka menuju Selatan.

"Apakah hal ini biasa dilakukan oleh orang-

orang Gunung Pengging?" tanya Pranata.

"Tidak, Saudara. Itulah sebabnya, guru kami 

menugaskan kepada kami untuk menyelidik ke 

sana."

Pranata terdiam. "Kalau aku boleh bicara, se-

pertinya ada yang ingin mengadu domba di antara 

sesama. Mengingat tak pernahnya Resi Gohkarna 

berbuat seperti ini. Apalagi dia dikenal sebagai la-

ki-laki bijaksana."

"Maksud Saudara... ada yang hendak menghan-

curkan kami dengan jalan mengadu domba?"

"Benar,. Hmm... apakah ada sesuatu yang terja-

di di Keraton Selatan?"

"Setahu kami, Raden Wilada hendak menggan-

tikan ayahnya sebagai raja."

"Apakah Raden Wilada punya saudara?"

"Ya, dia bernama Raden Wijaya. Setahu kami, 

dia adalah anak angkat baginda raja..."

Pranata Kumala terdiam. Lalu katanya, "Bagai-

mana bila kita bersama-sama menuju Keraton Se


latan lebih dulu sebelum ke Gunung Pengging?"

"Dengan senang hati, Saudara Pranata."

***

TUJUH



Saat itu di halaman belakang Keraton Selatan, 

baginda raja sedang menunggu kedatangan pu-

tranya, Raden Wilada. Sejak beberapa hari bela-

kangan ini, Wilada sering terlambat pulang.

"Mungkin dia sedang pelesiran, Ayahanda," kata 

Raden Wijaya, yang sejak tadi menemaninya.

"Pelesiran?"

"Biasa saja, Ayah. Wilada adalah laki-laki yang 

tentunya tak akan pernah menyia-nyiakan kesem-

patan selagi muda."

"Kau omong apa, Wijaya?" Kening baginda ber-

kerut, tidak senang.

"Ini dugaan saya, Ayah. Karena beberapa pen-

gawal sering melaporkan hal itu pada saya. Kabar-

nya, Wilada sering mendatangi tempat pelesiran 

Nyai Alas Ratih."

"Kalau memang benar adanya, Wilada tak pan-

tas menggantikan kedudukanku," kata raja marah. 

Lalu memerintahkan pengawalnya untuk mencari 

Raden Wilada di tempat Nyai Alas Ratih.

Benar saja, para pengawal yang ditugaskan itu 

menemukan Raden Wilada sedang dalam keadaan 

mabuk di pelukan dua orang pelacur.

Ketika mereka melaporkan pada raja, betapa


murkanya sang baginda. Saat itu juga dia meme-

rintahkan menangkap Wilada dan mengurungnya 

di penjara bawah tanah.

Wijaya tersenyum dalam hati. Rupanya Nimas 

Priatsih hebat dalam menjalankan tugasnya. Dan 

itu membuatnya semakin besar untuk menjadi ra-

ja menggantikan ayahnya.

"Ayah... bagaimana mungkin Wilada dipenjara-

kan sedangkan dia hendak dijadikan pengganti 

ayah?" tanya Wijaya berpura-pura tidak tahu dan 

menutupi kegembiraannya.

Wajah baginda menjadi lesu. Tetapi dia tak 

mungkin mengizinkan dan memberikan tahta ke-

rajaan kepada Wilada yang ternyata laki-laki bu-

suk belaka. Baginda tak pernah menyangka Wila-

da akan berbuat seperti itu.

Perlahan-lahan baginda menatap Wijaya yang 

akhir-akhir ini di matanya nampak begitu baik. 

Yang ditatap berlagak menunduk padahal hatinya 

tengah gembira.

"Wijaya... agaknya memang kaulah yang pantas 

untuk menduduki tahta kerajaan di Keraton Sela-

tan ini..."

"Ayah..."

"Wilada tak seperti sangkaanku semula, Wijaya. 

Nah, dua minggu kemudian, aku akan mengu-

mumkan bahwa kaulah yang menggantikan kedu-

dukanku..."

"Ayah... apakah saya pantas?"

"Ya, kau memang pantas..."

"Terima kasih, Ayah..." kata Raden Wijaya den-

gan hati yang bergembira karena semua siasatnya


berhasil. Dan kini dia tengah menunggu para pen-

dekar saling bertarung.

***

Senja hari di Gunung Pengging.

Padepokan Gohkarna amat terkenal di sekitar 

sana. Juga di beberapa daerah. Pemimpin Padepo-

kan itu seorang resi yang amat bijaksana. Usianya 

sebaya dengan Begawan Batista dari Padepokan 

Angsoka.

Senja itu Resi Gohkarna sedang kedatangan be-

berapa orang tamu. Mereka adalah jago-jago yang 

terkenal di dunia persilatan. Kedatangan mereka 

sebagian besar meminta pertanggungjawaban Resi 

Gohkarna yang telah membuat onar.

Sudah tentu Resi Gohkarna merasa heran kare-

na merasa tidak berbuat apa-apa. Bahkan dia bin-

gung ketika salah seorang dari tamunya mengata-

kan dia menantangnya.

"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku," kata 

sang Resi dengan suara berwibawa. "Sebaiknya ki-

ta bicarakan masalah ini dengan tenang."

"Jangan banyak bacot lagi kau, Resi Tua!" seru 

salah seorang laki-laki yang berdiri gagah, di 

punggungnya tersampir dua buah pedang. Wajah 

laki-laki itu tampan. Dia bernama Jaya Tunggal. 

"Kau harus membayar nyawa adik seperguruanku 

yang dibunuh oleh anak buahmu!"

"Sabar, Saudaraku Jaya Tunggal. Terus terang, 

tak satu pun muridku yang kuizinkan meninggal-

kan tempat ini!"


"Bagaimana bila mereka kabur begitu saja?"

"Mati ganjarannya!"

"Nah, mengapa tidak kau bunuh satu per satu 

muridmu yang telah membunuh adik sepergurua-

nku?"

Wajah Resi Gohkarna merah padam.

Sebagian orang yang datang pun berseru untuk 

menuntut balas.

"Saudara-saudaraku, tenanglah..."

"Buat apa kami tenang, hah?! Kami datang un-

tuk menuntut kematian saudara-saudara kami 

yang telah dibunuh oleh murid-murid dari Gunung 

Pengging ini!"

"Dengan bukti apa kalian menuduh murid-

muridku yang melakukan semua ini?!" tanya Resi 

Gohkarna masih bersabar.

"Dengan bukti apa? Murid-muridmu semuanya 

memakai jubah berwarna merah. Sama seperti 

yang dipakai oleh orang-orang yang menyerang 

kami! Dan sama seperti yang dipakai sekarang 

oleh murid-murid di samping kanan kirimu itu!"

"Tapi...."

"Jangan banyak bacot lagi, Resi Tua! Kau harus 

membalas nyawa adik seperguruanku saat ini ju-

ga!" Lepas berkata begitu, Jaya Tunggal melesat 

menerjang dengan mengibaskan kedua pedangnya 

ke arah Resi Gohkarna.

Resi tua yang tangguh dan perkasa itu meng-

hindari serangan tadi dengan sekali melompat.

Dan "Tep!" salah sebuah pedang yang berada di 

tangan Jaya Tunggal kini berpindah tangan.

Membuat yang hadir mau tak mau berdecak


kagum. Tetapi bagi Jaya Tunggal ini merupakan 

suatu penghinaan. Dia pun menerjang kembali. 

Kali ini beberapa orang murid padepokan Gohkar-

na yang melayani.

Jaya Tunggal pun segera mengimbanginya den-

gan permainan pedangnya yang kini tinggal se-

buah.

Sambil menghindar dan membalas menyerang 

dia berseru pada orang-orang gagah yang ada di 

sana, "Hei, kalian semua! Mengapa hanya ber-

pangku tangan saja, cepat kalian bunuh Resi Goh-

karna yang berubah itu!"

Orang-orang gagah yang hadir di sana pun sa-

dar, kalau kedatangan mereka hendak menuntut 

balas pada resi Gohkarna. Sebentar saja beberapa 

orang pun sudah mengurung resi yang gagah per-

kasa itu.

Mau tak mau di Padepokan Gohkarna terjadilah 

pertarungan sengit para pendekar. Beberapa mu-

rid padepokan itu pun bergerak membantu guru 

mereka.

Dan terdengar jerit kesakitan yang mengundang 

wabah maut dari beberapa orang murid.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang men-

gandung tenaga dalam, "Hentikan semua!"

Serentak yang sedang bertarung menghentikan 

gerakannya. Dan melihat sosok tubuh berjubah 

putih dengan wajah yang arif dan bijaksana. Dia 

yang tadi membentak.

"Siapa kau?!" bentak Jaya Tunggal.

Sosok itu tersenyum berwibawa dan berkesan 

bijaksana.


"Namaku mungkin tak banyak berarti, tak ba-

nyak orang mengenalnya."

"Jangan banyak omong, katakan siapa kau se-

benarnya!" bentak Jaya Tunggal lagi.

"Aku hanya kebetulan lewat jalan ini. Dan aku 

merasa ada sesuatu di sini, itulah sebabnya aku 

keluar dari kediamanku di sebelah Barat sana..."

"Atau kau datang untuk membunuh Resi Goh-

karna?" bentak Jaya Tunggal lagi.

"Tidak, aku datang ingin bertanya ada apa hing-

ga kalian orang-orang gagah bertempur di sini?"

"Karena Resi Gohkarna menantang kami, dan 

telah membunuh beberapa orang teman kami!"

Resi Gohkarna yang merasa sedikit tertolong 

karena orang-orang itu menghentikan serangan-

nya, memandang sosok berjubah putih. Lalu ber-

tanya, "Kisanak yang perkasa, siapa Kisanak ge-

rangan adanya? Akulah Resi Gohkarna yang me-

mimpin padepokan di Gunung Pengging ini..."

Sosok berjubah putih itu tersenyum. "Aku? Ah... 

namaku tak berarti. Tapi kalau kalian memang 

memerlukan namaku, baiklah. Namaku... Madewa 

Gumilang."

"Apa?!"

"Siapa?!"

"Madewa Gumilang?!"

"Pendekar Bayangan Sukma!"

Seruan-seruan kaget terdengar. Sosok berjubah 

putih yang ternyata memang Madewa Gumilang 

alias Pendekar Bayangan Sukma itu tersenyum.

"Pendekar gagah budiman, ternyata aku yang 

tua ini masih diberikan kesempatan oleh Gusti Al


lah untuk berjumpa denganmu! Salam hormat dari 

kami, padepokan Gohkarna!" kata Resi Gohkarna 

sambil menjura yang diikuti oleh murid-muridnya.

Begitu pula dengan beberapa pendekar yang 

hadir.

"Aah, sikap kalian seolah-olah aku ini dewa," 

kata Madewa dengan suara yang arif. "Katakan-

lah... ada apa sebenarnya hingga kalian bertarung 

di sini?"

Menerangkanlah Resi Gohkarna tentang kea-

daan yang menimpa padepokannya.

Madewa manggut-manggut.

Tapi tiba-tiba Jaya Tunggal berseru membentak, 

"Hei, manusia sombong! Kalau kau memang benar 

Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Suk-

ma, aku akan mengujimu!"

"Saudara... kita tidak ada silang sengketa. Uji 

menguji bisa menimbulkan dendam bagi yang ka-

lah."

"Sombong sekali ucapanmu! Tahan serangan!"

Jaya Tunggal pun menderu maju. Tetapi Made-

wa hanya mengibaskan tangan kanannya. Menda-

dak saja tubuh Jaya Tunggal berbalik terpelanting 

ke belakang.

Orang-orang berdecak kagum.

Jaya Tunggal menjadi marah. Dia berbuat lagi. 

Tetapi kembali Madewa menggerakkan tangan ka-

nannya hingga Jaya Tunggal terpelanting lagi.

"Hentikan, Saudara," kata Madewa. "Dan men-

gakulah di hadapan orang-orang gagah ini atas ke-

salahanmu. Bertobatlah sebelum berlarut-larut."

Orang-orang gagah yang berada di sekitar sana


heran mendengar suara Madewa Gumilang.

"Saudara Yang agung... apa maksud Saudara 

berkata begitu?" tanya seorang kakek yang berna-

ma Sambar Tiga.

"Hm... ketahuilah... sebenarnya kalian para 

pendekar hanyalah diadu domba oleh orang-orang 

yang hendak berkhianat pada kerajaan. Dan salah 

satunya adalah Saudara Jaya Tunggal ini..."

"Bohong! Fitnah! Dusta!" seru Jaya Tunggal 

"Tak kusangka manusia dewa seperti kau menye-

barkan fitnah sekeji itu!"

"Mengakulah, Saudara..."

"Bangsat! Kau menyebarkan fitnah yang sangat 

keji, Madewa!" sambil berseru begitu, Jaya Tunggal 

kembali menderu menyerang. Kali ini dia tak mau 

tanggung lagi, dia mengibaskan pedangnya dengan 

hebat.

Namun serangannya itu pun harus kandas. 

Dengan menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri 

dan Ular Mematuk Katak, Jaya Tunggal harus ter-

pelanting ke belakang.

"Tahan!" terdengar seruan Madewa dan tubuh 

Jaya Tunggal yang hendak bangkit menjadi kaku. 

"Aku mempunyai seorang saksi dalam kasus ini! 

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya aku sudah men-

cium tentang para pemberontak yang akan menye-

rang istana. Tetapi belum kuketahui siapa sesung-

guhnya otak semua ini!"

Madewa Gumilang mengangkat tangan kanan-

nya. Mendadak satu sosok tubuh melenting bersal-

to ke arahnya dan hinggap di sampingnya dengan 

ringan.


Sosok tubuh itu adalah Pratama, yang pernah 

dijumpai Anggada, Lesmana dan Mantari atau Su-

rajaga yang sedang dihajar oleh para perampok.

"Ketahuilah Saudara-saudaraku..." kata Made-

wa. "Pemuda ini bernama Pratama. Dia adalah sa-

lah seorang murid dari Perguruan Topeng Hitam, 

perguruan yang aku pimpin sesudah Paksi Uluda-

ra (baca: Keris Naga Merah), yang sedang mengiku-

ti petualangan yang dilakukan anak dan menan-

tuku, Pranata Kumala dan Ambarwati. Dia telah 

menyelidiki kejadian yang menimpa antara kalian, 

para pendekar. Dan dia pun telah menyelidiki ke-

jadian yang menimpa Keraton Selatan! Pratama, 

ceritakanlah semuanya pada para pendekar di si-

ni!"

Pemuda yang nampak lemah yang ternyata seo-

rang murid Perguruan Topeng Hitam menjura, "Sa-

lam hormat buat para pendekar semua! Rupanya 

kita tengah diadu domba oleh satu gerombolan 

pemberontak yang berkhianat pada Keraton Sela-

tan. Dan salah seorang di antara mereka adalah 

Jaya Tunggal. Juga yang telah menyebarkan surat 

tantangan ke beberapa padepokan dan orang-

orang gagah."

"Saya juga melihat, ada beberapa pasukan leng-

kap dengan senjatanya yang akan menyerbu kera-

jaan. Dugaan saya, beberapa orang sakti dan to-

koh persilatan kerajaan ikut terlibat. Hanya 

sayang, siapa yang menjadi dalang dari semua 

perbuatan ini belum diketahui! Untuk itu, atas 

nama Madewa Gumilang, atau guruku, kalian 

hendaknya saling minta maaf dan menghilangkan


silang sengketa di antara kalian! Terutama pada 

perguruan atau padepokan Gohkarna!"

Mendengar penjelasan itu, orang-orang gagah 

yang hendak menyerang dan menghancurkan pa-

depokan Gohkarna menjadi malu. Mereka pun 

meminta maaf pada Resi Gohkarna yang sudah 

tentu memaafkan.

"Untunglah pertumpahan darah ini berhasil kita 

selesaikan secara damai. Saudara Madewa yang 

agung, kami mengucapkan banyak terima kasih 

atas bantuan Saudara. Bila saja Saudara terlam-

bat datang, mungkin darah akan mengalir di pa-

depokan Gohkarna ini."

"Sebaiknya kalian segera bersiap untuk mem-

bantu Keraton Selatan! Karena menurut perki-

raanku, subuh nanti para pemberontak akan me-

nyerang istana! Ingat, pekerjaan mereka sangat 

rapi dan tertutup."

"Tetapi tak ada salahnya bila kalian menjaga-

jaga di sana!"

"Tahan!" terdengar seruan yang keras. Muncul 

seorang laki-laki berusia 60-an dengan gagah 

mendekati mereka.

"Begawan Batista!" seru Resi Gohkarna.

Orang yang ternyata memang Begawan Batista 

itu mendekat. Dia menjura pada Madewa Gumi-

lang.

"Aku yang sudah tua ini ternyata masih diberi 

kesempatan untuk mengenal Madewa Gumilang 

atau Pendekar Bayangan Sukma! Kusampaikan 

salam hormat dan kenalku kepada saudara Pen-

dekar Budiman!" kata Begawan Batista sambil


menjura.

"Aku pun senang berkenalan dengan Begawan 

Batista yang bijaksana!"

"Hmm... aku sudah mendengar apa yang se-

sungguhnya terjadi. Saat ini pula aku minta maaf 

pada padepokan Gohkarna yang telah menuduh 

kalian menjadi pengkhianat dan sombong, men-

gingkari janji dan sumpah orang-orang dari golon-

gan putih!"

"Hahaha... sudahlah, Begawan Batista. Kita se-

mua pun salah paham dalam masalah ini!"

"Sebaiknya kalian segera bersiap!" kata Madewa 

Gumilang kemudian.

***

DELAPAN



Tengah malam menjelang.

Lima sosok bayangan mendekati Keraton Sela-

tan.

"Saudara Pranata... bagaimana bila dugaanmu 

salah?" terdengar salah seorang bertanya.

"Anggada... tak mungkin aku berbuat kesala-

han. Karena kupikir, pertarungan para pendekar 

yang akan terjadi disebabkan oleh adu domba dari 

orang-orang yang hendak berkhianat pada kera-

jaan Keraton Selatan. Mengingat mereka adalah 

orang-orang yang sangat mengabdi dan setia pada 

kerajaan. Dan di saat mereka saling bertarung, pa-

ra pemberontak itu akan menggunakan kesempatan menyerang kerajaan. Dengan begitu mereka 

akan aman dari orang-orang gagah yang patuh 

dan setia pada kerajaan Keraton Selatan. Bukan-

kah ini suatu akal yang sangat licik dan jitu?"

"Tapi... sepertinya tak ada tanda-tanda pembe-

rontakan bekal terjadi."

"Ingatkah kau bahwa saat ini Raden Wilada ca-

lon pengganti Baginda raja tengah di penjara di 

bawah tanah? Dan ingat pula, Raden yang baik 

hati itu mendadak saja terjerumus pada perbuatan 

nista. Bukankah ini hal aneh?"

"Jadi maksudmu ada yang hendak mengguling-

kan kerajaan dan merebut tahta kerajaan dari ca-

lon raja Raden Wilada?"

"Benar."

"Kalau begitu... kau menduga Raden Wijaya 

yang mengatur semua ini?"

"Benar. Hanya dialah seorang yang bisa meng-

gantikan kedudukan Raden Wilada bila dia sudah 

tersingkir."

"Tapi... mengapa dia masih mau memberontak, 

bukankah saingannya sudah disingkirkan?"

"Aku pun tidak tahu. Hmm... sebaiknya kalian 

tetap di sini. Aku akan menyelinap ke keraton!"

"Hati-hati."

"Kakang..." terdengar suara Ambarwati.

"Tenang, Rayi... tak ada yang perlu dice-

maskan," kata Pranata Kumala yang dapat melihat 

sinar mata cemas dari kedua mata istrinya. Sinar 

bulan di atas menerangi semua itu dan menje-

laskannya.

"Hati-hati, Kakang..."


Pranata mengangguk. Lalu hati-hati dia menye-

linap di tembok keraton. Dan dengan sekali salto 

dia sudah berada di dalam keraton. Matanya awas 

memperhatikan sekelilingnya. Suasana Keraton 

nampak aman-aman saja. Beberapa orang prajurit 

tengah menjaga keraton tanpa mengantuk sedikit 

pun.

Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.

Tetapi tiba-tiba matanya menangkap sosok tu-

buh yang menyelinap ke belakang keraton. Dan 

memasuki Tumenggungan. Lalu tubuh itu menye-

linap.

Pranata menjadi penasaran dan rasa ingin ta-

hunya timbul. Dia pun mengikuti sosok tubuh itu 

yang kini tengah melompat masuk dari jendela se-

buah kamar yang terang.

Pranata sempat melihat sosok tubuh yang 

membuka jendela itu. Diakah Raden Wijaya? Men-

gingat dari pakaian yang dikenakannya mirip seo-

rang pangeran?

Hati-hati Pranata mendekati kamar itu. Dan 

menguping pembicaraan dari luar.

"Bagaimana, Paman Patih?"

"Semua beres, Raden," kata sosok yang baru da-

tang itu yang ternyata Patih Coro Ijo.

"Bisa kita melakukan penyerangan subuh nan-

ti?"

"Bisa, Raden. Dalam kesempatan penyerangan 

ini, sasaran kita adalah Ki Condro Seta atau si 

Tangan Beracun. Agaknya hanya dia yang belum 

terpengaruh, Raden. Dia sungguh-sungguh manu-

sia yang bersih."


"Yang lain?"

"Beres, Raden. Setelah Ki Condro Seta berhasil 

kami lumpuhkan, barulah Raden dan pasukan 

Raden menyerang kami. Seolah-olah Raden men-

gusir kami. Tentu saja kami akan mengalah. Den-

gan begitu nama Raden sebagai calon pengganti 

raja setelah Raden Wilada dipenjara akan semakin 

disanjung rakyat. Dan nama Raden akan tetap 

bersih."

"Bagus. Hahaha... rencanamu matang juga Pa-

man Patih. Sebentar lagi Nimas Priatsih akan 

muncul ke sini..."

Mendengar kata-kata itu, Pranata langsung per-

gi dari situ. Dia tak mau dipergoki. Hmmm... be-

rarti Raden Wijayalah yang menjalankan siasat 

adu domba itu.

Sebaiknya aku harus membebaskan Raden Wi-

lada lebih dulu. Lalu Pranata Kumala kembali ke-

pada teman-temannya dan istrinya. Dia pun men-

ceritakan apa yang telah didengarnya tadi.

"Kalian tetap waspada di sini. Aku akan mem-

bebaskan dulu Raden Wilada." kata Pranata Ku-

mala. "Ingat, subuh nanti penyerangan itu dilaku-

kan."

Sehabis berkata begitu, Pranata pun melesat 

kembali ke dalam keraton. Dia menyelinap ke da-

lam. Beberapa penjaga yang tengah menjaga dito-

toknya hingga kaku.

Lalu dia menuju tangga bawah tanah.

Ada dua orang penjaga di sana.

Namun keduanya pun tak bisa berbuat banyak. 

Mereka pun ditotoknya. Lalu dia mencari penjara


Raden Wilada.

Setelah ditemukannya dia berbisik. "Raden... 

Raden..."

Raden Wilada yang tengah menyesali dirinya ka-

rena mau dibujuk oleh Rastili alias Nimas Priatsih 

ke lembah nista, terkejut karena ada yang me-

manggilnya.

"Siapa yang memanggilku?" tanyanya.

"Sttt! Jangan berisik, Raden. Nama saya Pranata 

Kumala."

"Hmmm... mau apa kau ke sini?"

"Tenang, Raden. Saya datang untuk membe-

baskan Raden."

"Hei, apa maksudmu?"

"Keadaan Keraton dalam bahaya, Raden."

"Aku tidak mengerti apa maksudmu?"

Lalu Pranata menceritakan rencana keji dari 

Raden Wijaya. Wilada menggeram.

"Wijaya busuk! Rupanya dia menyebabkan aku 

menjadi begini! Pasti gadis yang mengaku bernama 

Rastili itu kaki tangannya!"

"Benar, Raden... kita tidak punya banyak wak-

tu! Cepatlah!"

Lalu Raden Wilada keluar dari penjara yang te-

lah dibuka Pranata dengan kunci yang diambilnya 

dari penjaga tadi.

"Raden... sebaiknya kita ke kamar baginda raja. 

Raja harus segera disingkirkan."

"Tapi ayah masih marah padaku."

"Saya yang akan menjelaskan semuanya."

Tentu saja baginda raja terkejut ketika Raden 

Wilada dan orang yang tak dikenalnya masuk ke


peraduannya. Tetapi setelah dijelaskan oleh Prana-

ta Kumala, dia pun mengerti.

Sejak kejadian yang menimpa Raden Wilada, 

sebenarnya raja sangsi mengapa Raden Wilada 

berbuat seperti itu. Lalu dia pun membangunkan 

istrinya.

Setelah itu Pranata membawa ketiganya keluar 

dari keraton. Dan menyuruh Ambarwati dan Man-

tari menyembunyikan mereka. Mantari kini sudah 

kembali pada aslinya membuka samarannya seba-

gai Surajaga.

Tepat subuh menjelang, terdengarlah pekik dan 

jeritan ke arah keraton. Derap langkah kuda me-

nerjang pintu gerbang keraton. Para penjaga ber-

hamburan keluar dan menahan serangan para 

pemberontak.

Seketika di Keraton istana terjadi keributan dan 

banjir darah.

Ki Condro Seta alias si Tangan Beracun melom-

pat dari tempat tidurnya yang terletak di pojok 

Tumenggungan. Dia pun menerjang keluar dan 

terkejut melihat pertempuran sedang terjadi.

Ki Condro Seta tak mau berpikir panjang lagi. 

Dia pun memasuki kancah pertempuran. Patih 

Condro Ijo yang menyamar dengan menggunakan 

sebuah topeng segera menyambutnya.

Terjadilah pertempuran yang sengit antara Ki 

Condro Seta dan Patih Coro Ijo.

Di tempat lain, Nimas Priatsih yang juga men-

genakan sebuah topeng mengamuk menyabetkan 

pedangnya. Jeritan terdengar. Darah pun berhamburan.


Sejumlah pengawal istana terdesak hebat kare-

na jumlah pemberontak yang sangat banyak. Te-

tapi mereka berusaha bertahan sekuat tenaga.

Namun semua itu sia-sia belaka.

Ki Condro Seta sendiri pun sudah beberapa kali 

kena sambaran pedang Coro Ijo yang kin dibantu 

oleh beberapa anak buahnya.

Tiba-tiba masuk tiga orang laki-laki ke kancah 

pertempuran itu yang langsung mengobrak-abrik 

barisan pemberontak. Patih Coro Ijo dan Nimas 

Priatsih terkejut. Siapa pula mereka ini?

Sementara semangat Ki Condro Seta muncul 

kembali. Dia tidak tahu siapa ketiga pendatang itu, 

tetapi agaknya ketiga pendatang itu berpihak pa-

danya melihat mereka menghantam para pembe-

rontak.

Pukulan tangan beracunnya pun berkelebat la-

gi. Tiga orang pemberontak menjerit dan ambruk 

dengan tubuh membiru.

Melihat hal itu, Patih Coro Ijo menjadi murka. 

Dia menerjang hebat Ki Condro Seta yang menjadi 

kewalahan dan akhirnya ambruk. Mati dengan 

leher hampir putus tersabet pedang Patih Coro Ijo. 

Lalu Patih Coro Ijo segera menyambarkan pedang-

nya kepada tiga orang pendatang itu. Begitu pula 

dengan Nimas Priatsih yang datang membantu.

Tiga orang yang datang itu tak lain Pranata 

Kumala, Anggada dan Lesmana. Mereka pun 

membalas serangan-serangan yang datang dengan 

gesit dan tangkas.

Masing-masing sudah mengeluarkan jurusnya.

Saling serang.


Saling bertahan.

Suara-suara jerit kematian masih terdengar.

Sampai suatu ketika pedang Patih Coro Ijo me-

nyambar bahu Lesmana.

"Mundur kau, Lesmana!" seru Anggada sambil 

berguling dan menggedor maju ke arah Patih Coro 

Ijo.

Patih Coro Ijo pun membalas dengan hebat.

Sementara Pranata Kumala yang berhadapan 

dengan Nimas Priatsih terus bertempur dengan 

hebat. Ternyata Nimas Priatsih begitu tangguh. Se-

rangan-serangan Pranata Kumala berhasil dipa-

tahkannya.

Bahkan berkali-kali dia membalas.

"Terimalah ajalmu, Manusia Sombong! Makanya 

jangan ikut campur dalam urusan ini!" seru Nimas 

Priatsih sambil mengirimkan pukulannya.

"Manusia busuk! Nyatanya kau yang ditunggu 

semalam oleh Raden Wijaya!" balas Pranata Kuma-

la sambil bersalto menghindar.

Nimas Priatsih menjadi kaget. Berarti ada orang 

yang mengetahui semua rencana mereka. Kalau 

pun pasukan Raden Wijaya masuk dengan bala 

pasukannya seolah-olah mengusir para pemberon-

tak, akan sia-sia belaka.

Berarti rencana ini sudah gagal, sudah dicium 

orang.

Hal ini membuat Nimas Priatsih menjadi marah. 

Dia mempergencar serangannya.

Kali ini Pranata pun sudah mengeluarkan jurus 

pukulan sinar merahnya yang mampu membuat 

Nimas Priatsih tunggang-langgang menghindari se


rangan itu.

"Setan!" rutuknya.

"Kau yang setan, Perempuan busuk!"

Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda mema-

suki tempat itu. Disusul dengan suara, "Hei, para 

pemberontak! Menyerahlah kalian!"

Para pengawal istana gembira begitu melihat 

Raden Wijaya dan pasukannya datang membantu.

"Raden!"

"Bantu kami!"

"Pemberontak-pemberontak ini begitu banyak 

jumlahnya!"

Seruan-seruan penuh semangat membahana.

"Tenang, Para pengawal! Ayo, kita singkirkan 

para pemberontak ini!" seru Raden Wijaya sambil 

mengibaskan pedangnya ke sana kemari.

Nimas Priatsih yang merasa sia-sia sandiwara 

Raden Wijaya bersalto mendekatinya.

"Raden... tidak usah bersandiwara lagi! Rencana 

kita sudah diketahui orang!"

"Apa maksudmu, Nimas?"

"Hahaha... jangan berpura-pura lagi, Raden Wi-

jaya yang berhati busuk!" terdengar tawa Pranata 

Kumala di dekat mereka. "Hentikan semua sandi-

waramu ini! Dan menyerahkan diri!"

Raden Wijaya yang segera tanggap apa yang te-

lah terjadi, menggeram marah.

"Manusia lancang! Kau harus mampus!" se-

runya sambil menggebrak kudanya ke arah Prana-

ta.

Pranata cepat menghindar dengan jalan bersal-

to.


"Raden... biar aku yang hadapi manusia lancang 

itu!" berseru Nimas Priatsih sambil melompat. "Se-

baiknya kau mencari raja dan Wilada! Bunuhlah 

mereka!"

Raden Wijaya berlari ke kamar ayahnya. Tetapi 

kamar itu kosong. Begitu pula dengan kamar 

ibunya. Kosong melompong.

Raden Wijaya menggeram.

Lalu dia berlari ke penjara bawah tanah. Begitu 

pula adanya, penjara tempat Raden Wilada dihu-

kum kosong melompong.

"Bangsat! Berarti mereka sudah diselamatkan 

orang-orang itu! Laknat! Kalian harus mampus!"

Raden Wijaya pun melesat keluar lagi. Dia me-

merintahkan pasukannya untuk membunuh keti-

ga pendatang itu. Sudah tentu pasukannya dan 

penjaga istana yang tidak tahu apa yang sesung-

guhnya telah terjadi keheranan.

"Bagaimana, Raden?"

"Laksanakan perintahku cepat!"

Dan serentak pasukan itu pun mengurung Pra-

nata Kumala, Anggada Dan Lesmana. Yang harus 

mempertahankan selembar nyawa mereka secara 

mati-matian.

Ketiganya pun sudah merebut senjata dari tan-

gan para prajurit dan menggunakannya untuk 

membela diri.

Tiba-tiba Pranata Kumala bersalto menghindar, 

sambil mendekati Anggada dan Lesmana.

Lalu dia berbisik. "Kerahkan tenaga dalam ka-

lian dan alirkan pada kedua telinga kalian. Bila 

nanti kalian merasakan sakit yang teramat sangat,


lebih baik kalian pergi meninggalkan tempat ini. 

Mengerti?!"

Walaupun tidak sepenuhnya mengerti, tetapi 

keduanya mengangguk. Lalu mereka menyalurkan 

tengah dalam mereka ke telinga.

Sementara Pranata Kumala menghindari lagi 

serbuan dari Nimas Priatsih. Sambil melenting di 

udara dia mencabut sesuatu dari balik bajunya.

Itu Seruling Naga! Seruling sakti warisan dari 

ayahnya, Madewa Gumilang. Sedangkan Madewa 

sendiri mendapatkan dari gurunya Ki Rengsersari 

(baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

"Senjata apa yang kau keluarkan itu manusia 

lancang!" seru Nimas Priatsih.

Pranata langsung bersalto dan ketika hinggap di 

tanah sudah dalam posisi bersila. Dia mengelua-

rkan hawa murninya. Menenangkan pikiran dan 

dirinya.

Dan perlahan-lahan dia mulai meniup seruling-

nya.

Terdengarlah alunan perlahan-lahan. Merdu 

dan lembut. Namun lambat laun terasa menyentak 

di telinga. Mendadak saja orang-orang yang berada 

di sana, bagai diserang oleh ribuan tawon yang 

mendengung di telinga.

Menyakitkan.

Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo dan Raden Wijaya 

segera mengerahkan tenaga dalam mereka yang 

dialiri ke telinga untuk menutup jalan pendenga-

ran dari suara seruling itu.

Sedangkan pemandangan lain pun terlihat. Be-

berapa orang yang mempunyai tenaga dalam pas


pasan sudah tergeletak kelojotan dengan telinga 

berdarah.

Lalu meregang nyawa.

Anggada dan Lesmana sendiri pun telah me-

nyumbat telinga mereka dengan tenaga dalam.

Suara seruling yang terdengar merdu itu malah 

menyakitkan di telinga.

Itulah kesaktian dari Seruling Naga yang di ten-

gah tubuh seruling itu ada gambar dua ekor naga 

sedang bertarung.

Perlahan-lahan pemandangan mengerikan pun 

terlihat. Satu per satu ambruk dengan telinga ber-

darah sebelum meregang nyawa.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang men-

gandung tenaga dalam, "Pranata! Hentikan tiupan 

seruling itu!"

Seruling Naga yang dipegang oleh Pranata terle-

pas, menandakan betapa tingginya tenaga dalam 

orang yang membentak tadi.

Pranata pun menjadi siaga.

Di hadapannya kini berdiri sosok tubuh menge-

nakan jubah putih.

"Ayah!"

Madewa Gumilang yang membentak tadi terse-

nyum, "Bila tak kau hentikan alunan serulingmu, 

betapa banyaknya nyawa orang yang tak berdosa 

harus putus..."

"Maafkan aku, ayah... keadaanku sudah sangat 

terdesak. Jumlah mereka sangat banyak, Ayah..."

"Ya, aku pun sudah tahu apa yang telah terjadi 

di sini!"

Lalu muncullah beberapa orang-orang gagah ke


tempat itu. Mereka sangat terkejut menyaksikan 

pemandangan berdarah yang terpampang di hada-

pan mereka.

Tiba-tiba Begawan Batista berseru, "Baginda ra-

ja!"

Beberapa orang hendak menyerbu masuk ke is-

tana, tetapi Anggada berseru, "Tahan, Guru!"

"Kau, Anggada? Lesmana!" seru Begawan Batis-

ta sambil melongok mencari Mantari. "Di mana 

adik seperguruan kalian?!"

"Dia berada di satu tempat yang aman, Guru."

Begawan Batista menghela nafas lega. "Bagai-

mana keadaan Baginda Raja?"

"Beliau dalam keadaan sehat walafiat di satu 

tempat yang sangat tersembunyi. Dia bersama is-

trinya, Raden Wilada, Rayi Mantari, dan Mbakyu 

Ambarwati."

"Siapa Ambarwati?!"

"Beliau adalah menantuku, Begawan Batista," 

kata Madewa Gumilang.

Begawan Batista menoleh. "Jadi... yang meniup 

seruling tadi anakmu? Pranata Kumala? Murid da-

ri Kakek sakti Ki Ageng Jayasih?"

"Benar, Begawan..."

"Hei, lihat!" terdengar seruan dari Pranata Ku-

mala. Nampaklah Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo 

dan Raden Wijaya bangkit hendak melarikan diri.

Mereka merasa sudah tak berguna lagi berada 

di sini. Mereka juga merasa tak akan mungkin bisa 

meneruskan rencana keji mereka. Apalagi seka-

rang betapa banyaknya pendekar yang berdatan-

gan, yang mereka adu domba untuk saling bersi


lang sengketa.

Itulah sebabnya mereka mencoba melarikan di-

ri.

Tetapi langkah mereka tertahan, karena bebe-

rapa pendekar yang merasa geram sudah bersalto 

mengurung ketiganya.

"Menyerahlah kalian!"

"Hhh! Sebelum tubuh berkalang tanah, kami 

tak akan menyerah!" seru Nimas Priatsih sambil 

menyerang.

Terjadilah pertempuran kembali. Patih Coro Ijo. 

Nimas Priatsih dan Raden Wijaya yang tak kalau 

mereka menyerah, ditangkap dan diadili.

Madewa berseru, "Tangkap hidup-hidup! Mere-

ka harus merasakan hukuman terlebih dahulu se-

belum mati!"

Karena para pendekar itu bekerja sama, maka 

dengan cepat ketiga orang itu berhasil diringkus 

dan diikat.

Tiba-tiba muncul sosok tubuh pendek dengan 

kedua pergelangan tangan memakai gelang bahar.

"Ya, ya... hehe... aku terlambat, terlambat... he-

hehe... pestanya sudah selesai... hehehe selesai..."

Orang-orang menoleh pada sosok bundar yang 

baru datang itu.

Begawan Batista memanggil, "Ki Condromuko..."

"Ya, ya... aku... aku Ki Condromuko... Oh, kau 

rupanya, Begawan. Begawan Batista... hehehe... 

ya, ya... aku tidak bisa menemui muridmu yang 

bernama Mantari... heheh... ya, ya... Mantari... 

maafkan aku... hehehe... Ki Condromuko minta 

maaf... Ya ya... minta maaf..."


"Tidak apa-apa. Kau tetap sahabatku yang seja-

ti. Kau telah melakukan perjalanan yang cukup 

jauh untuk mengikuti ketiga murid Padepokan-

ku... Tidak apa-apa..."

"Benar... hehehe... benar tidak apa-apa... hehe... 

Ya, ya... tidak ketemu... hehehe..."

Laki-laki yang setiap bicara selalu terkekeh itu 

adalah Ki Condromuko yang pernah bertemu den-

gan Mantari saat gadis itu sedang mandi. Ternyata 

dia adalah sahabat Begawan Batista yang ditu-

gaskan sang Begawan untuk mengikuti jejak keti-

ga muridnya.

Tetapi agaknya Ki Condromuko tidak mengenal 

mereka.

Tiba-tiba laki-laki pendek bundar itu tertekun 

pada Madewa Gumilang. Lalu dia terkekeh lagi se-

perti biasanya.

"Hehehe... bukankah kau Madewa Gumilang... 

ya, ya... Madewa Gumilang... hehehe... Pendekar 

Bayangan Sukma... Hehehe... apa kabar Pergu-

ruan Topeng Hitam... ya, ya... Perguruan Topeng 

Hitam?"

"Salam kenal dariku, Ki Condromuko... Kabar 

Perguruan Topeng Hitam dalam keadaan baik," ka-

ta Madewa Gumilang.

"Hehehe... tak kusangka... hehehe... ya, ya... tak 

kusangka... aku akan bertemu dengan kau... he-

hehe... ya, ya... ini kabar bagus... hehehe... ini hari 

bagus..."

Dari arah gerbang Keraton muncullah raja ber-

sama yang lainnya.

Serentak orang-orang di sana menjura hormat


pada Raja. Baginda raja cuma tersenyum, lalu me-

lirik Raden Wijaya, Patih Coro Ijo dan Nimas Priat-

sih yang menunduk.

Lalu raja melangkah mendekati Raden Wijaya.

"Anak tak tahu diuntung! Kau telah berbuat se-

suatu yang keji! Pengawal, mulai besok umumkan 

pada seluruh rakyat, bahwa Raden Wilada tidak 

bersalah. Dia tetap akan menjadi calon pengganti-

ku! Dan umumkan pula pada rakyat, bahwa Ra-

den Wijaya akan dihukum seumur hidup! Begitu 

pula dengan Patih Coro Ijo! Sedangkan wanita iblis 

ini, akan dihukum mati!" seru Raja murka.

Lalu berkata pada orang-orang yang hadir, "Te-

rima kasih atas bantuan kalian semua. Ternyata 

kalian masih tetap setia kepadaku! Anak muda..." 

panggilnya pada Pranata Kumala. "Terima kasih 

atas pertolonganmu... aku akan mengangkatmu 

menjadi Panglima di Keraton Selatan ini..."

"Maafkan hamba... baginda Raja. Bukan mak-

sud hamba ingin menolak, tetapi hamba dan istri 

hamba, Ambarwati... akan meneruskan petualan-

gan hamba..."

Raja mendesah. Terlihat kekecewaan di ma-

tanya. Tetapi dia tak bisa menolak keinginan Pra-

nata Kumala dan istrinya untuk meneruskan pe-

tualangannya.

"Baiklah kalau begitu. Khusus kepada Pendekar 

Bayangan Sukma... rasa terima kasihku tak ter-

hingga padamu..."

"Baginda..." kata Madewa dengan suara yang 

arif. "Sudah sepatutnya kita memerangi kejahatan, 

bukan? Nah, aku permisi!" Sesudah berkata begi


tu, tubuh Madewa menghilang dari pandangan.

Orang-orang berdecak kagum.

"Dia memang manusia dewa yang baik dan bu-

diman," kata Begawan Batista dan Resi Gohkarna 

berbarengan.

Sementara Pranata Kumala dan istrinya, Am-

barwati pun pamit mundur untuk meneruskan 

perjalanan dan petualangan mereka yang mereka 

tidak tahu sampai kapan akan berakhir.

Yang pasti, mereka kagum pada ayah mereka, 

Madewa Gumilang yang bisa melihat kejadian-

kejadian yang berada jauh darinya.

Dan tanpa setahu mereka, Pratama, salah seo-

rang murid Perguruan Topeng Hitam terus membuntuti keduanya.



                          TAMAT




Share: