..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE JERAT PERI KEMBANGAN

Matjenuh

 

SATU

Sosok tubuh ramping itu melangkah ringan dengan 
gemulai yang mempesona, memasuki mulut Desa 
Gondang. Bukit pinggulnya menari-nari seiring ayunan 
lembut kakinya. Pemandangan yang menggairahkan itu 
tentu saja tidak dilewatkan oleh setiap lelaki yang 
berpapasan dengannya. Bahkan beberapa di antaranya 
sampai meneguk air liur. Mereka sangat tergoda oleh 
lenggak-lenggok sosok tubuh ramping padat itu. 
Bukan hanya bentuk tubuhnya saja yang menarik. 
Wajahnya pun sangat cantik. Apalagi, mulutnya selalu 
menyunggingkan senyum memikat serta kerling mata genit 
yang membuat dada lelaki berdebar. Secara keseluruhan, 
wanita berusia sekitar dua puluh tahun itu memang sangat 
mempesona dan menggairahkan. 
Setelah melewati mulut Desa Gondang, gadis cantik itu 
membelokkan langkahnya memasuki sebuah kedai. 
Belasan pasang mata pengunjung, yang kebanyakan laki-
laki, langsung tertuju ke arah pintu. Gadis itu seperti 
sengaja hendak menarik perhatian. Ia tidak segera masuk 
ke dalam kedai. Tapi berdiri di ambang pintu beberapa 
saat lamanya. Kemudian melenggang lembut menuju 
sebuah meja kosong. 
"Pelayan...!" panggil gadis cantik itu melambaikan 
tangannya dengan gerakan lembut. Sepasang matanya 
sengaja dikerjap-kerjapkan, membuat dada pelayan itu 
berdebar-debar. 
Dengan gaya yang manja dan genit, gadis cantik itu 
memesan beberapa jenis makanan. Dan meminta agar 
pesanannya disediakan secepat mungkin. 
"Baik... baik...," sahut pelayan kedai manggut-manggut 
seperti burung pelatuk. Lalu bergegas meninggalkan meja 
gadis cantik itu untuk menyiapkan pesanan. 
Seorang lelaki brewok yang sejak tadi tidak lepas

mengawasi gadis cantik itu bergegas bangkit saat pesanan 
telah siap. Dihampirinya pelayan kedai itu. 
"Biar aku yang mengantarkan makanan ini kepada si 
cantik...," bisik lelaki brewok. Tanpa menunggu jawaban 
pelayan kedai, disambamya pesanan itu. Lalu berbalik 
menuju meja gadis cantik itu. 
"Nyai yang cantik, ini pesananmu...," ujar lelaki brewok 
seraya tersenyum. Sepasang matanya memandang liar, 
menjilati wajah cantik yang menengadah. 
"Hm...," gadis cantik berpakaian serba merah itu ber-
gumam lirih. Kendati senyum manisnya belum lenyap, 
namun sepasang matanya menyiratkan keheranan. 
"Pakaianmu tidak menunjukkan seorang pelayan. Siapa 
kau, Kisanak...?" tanya wanita cantik itu dengan suara 
merdu dan lembut, walau senyumnya mulai lenyap. Ada 
ketidaksenangan pada sepasang mata bulat jemih itu. 
"Aku memang bukan pelayan kedai. Tapi..., untuk 
seorang wanita secantik Nyai, rasanya aku rela menjadi 
pelayan...," jawab lelaki brewok masih tersenyum-senyum 
dengan mata kurang ajar. 
"Apa maksudmu, Kisanak...?" tanya wanita cantik itu. 
Nada suaranya berubah dingin dan datar. Bahkan 
sepasang matanya menyiratkan kemarahan yang ditahan. 
Perubahan sikap gadis berpakaian serba merah yang 
semula lembut dan penuh senyum memikat itu sejenak 
membuat lelaki brewok menjadi salah tingkah. Apalagi 
hampir semua mata pengunjung tertuju ke arahnya Tentu 
saja lelaki brewok itu malu. 
"Nisanak...!" desis lelaki brewok seraya membungkuk. 
Sehingga, wajah keduanya semakin dekat. "Sejak masuk 
ke dalam kedai, kau seperti sengaja hendak menjerat 
semua lelaki. Tapi, mengapa sambutanmu demikian dingin 
dan sinis?" 
Gadis cantik itu menarik wajahnya menjauh. Kilatan 
pada sepasang matanya semakin tajam. Kelihatan sekali ia 
tidak bisa menerima perlakuan lelaki brewok itu. 
"Hei, Kerbau Dungu!" bentak gadis cantik berpakaian

merah seraya bangkit dari duduknya. Walaupun nada 
ucapannya marah, namun wajahnya tetap dingin. Bahkan 
senyumnya terukir manis. "Berkacalah agar kau bisa 
melihat betapa buruknya wajahmu! Jangankan wanita 
cantik sepertiku, kerbau betina pun rasanya tidak akan 
sudi kau dekati! Nah, minggatlah dari hadapanku...!" 
Terkejut bukan main lelaki brewok itu mendapati lengan 
lembut gadis cantik di depannya terulur mendorong 
dadanya. Angin keras yang mendahului datangnya 
dorongan membuat lelaki brewok sadar kalau serangan itu 
cukup berbahaya dan bisa membuatnya terluka. Maka, 
cepat ia mengelak. 
Desss...! 
Kendati sudah berusaha mengelak, tapi tak urung 
bahunya terserempet telapak tangan halus gadis cantik itu. 
Dan akibatnya benar-benar sukar dipercaya. Tubuh lelaki 
brewok itu terpelanting menimpa meja di belakangnya. 
Brakkk! 
Terdengar bunyi meja berderak patah. Hidangan di atas 
meja berserakan. Dan mengotori pakaian pengunjung yang 
duduk di meja itu. Mereka berlompatan menjauh sambil 
menepiskan makanan yang melekat di pakaian. "Kurang 
ajar...!" 
Salah seorang dari tiga pengunjung kedai berdesis 
marah. Diangkatnya tubuh lelaki brewok itu bangkit. 
Kemudian kepalannya terayun ke wajah lelaki brewok. 
Plak! 
Lelaki tegap berwajah keras itu terkejut. Tubuhnya 
terjajar mundur ketika lelaki brewok memapaki 
pukulannya. Kekuatan lelaki brewok itu masih lebih unggul. 
Tubuhnya hanya bergetar akibat benturan cukup keras 
tadi. 
"Setan...!" 
Lelaki tegap itu kembali memaki. Lalu pedang di 
pinggangnya diloloskan. Perbuatan itu membuat keadaan 
menjadi kacau! Pengunjung yang merasa tidak mempunyai 
kemampuan, langsung angkat kaki meninggalkan kedai.

Mereka berduyun-duyun keluar, hingga suasana ber-
tambah kacau. Apalagi dua orang kawan lelaki tegap itu 
juga sudah mencabut senjata. 
Sedangkan gadis cantik yang menjadi penyebab 
keributan itu tetap tenang di tempatnya. Bahkan mulai 
mencicipi hidangan yang dipesannya. Ia tampak tidak 
peduli dengan keributan itu. 
Sementara itu, pertarungan sudah tidak bisa dihindari 
lagi. Keempat lelaki yang hendak berlaga itu telah siap. 
Lelaki brewok pun sudah meloloskan senjatanya. 
"Hiaaat..!" 
Lelaki tegap membuka serangan dengan teriakan keras. 
Tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah-langkah 
kokoh. Dan pedang di tangannya dikelebatkan hingga 
menimbulkan suara berdesing yang menyakitkan telinga. 
Namun lelaki brewok tidak tinggal diam. Cepat kaki 
kanannya digeser seraya meliukkan tubuh. Begitu pedang 
lawan lewat di samping tubuhnya, senjatanya berkelebat 
melepaskan serangkaian serangan balasan yang cepat dan 
kuat. 
Bwettt, bwettt...! 
Gerakan lelaki brewok itu memang hebat! Kelebatan 
pedangnya mengarah bagian-bagian berbahaya tubuh 
lawan. Dan tidak akan berhenti sebelum mengenai 
sasaran. 
Setelah pertarungan berjalan belasan jurus, ketiga 
orang itu baru sadar kalau lelaki brewok itu bukan lawan 
mereka. Sayang kesadaran itu terlambat datangnya. 
Mereka kini harus berjuang keras mempertahankan 
selembar nyawanya. 
"Haiiit...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh belas, tiba-
tiba lelaki brewok berteriak keras. Kakinya melangkah 
menyilang. Pedang di tangannya bergerak kian kemari 
mencari sasaran. Hingga ketiga lawannya menjadi 
kelabakan menyelamatkan diri. 
Whuuut..!

"Aaa...!" 
Salah satu dari ketiga orang itu, yang bertubuh gemuk, 
menjerit ngeri saat pedang lawan datang mengancam. 
Kelihatannya ia sudah pasrah. Karena untuk mengelakkan 
serangan itu memang sangat sulit. 
Namun pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba meluncur 
secercah cahaya putih yang langsung memapaki sambaran 
pedang lelaki brewok. 
Trak! 
"Akh...?!" 
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh lelaki brewok 
terhuyung mundur. Bahkan pedang di tangannya terlepas. 
Padahal yang memapaki sambaran pedangnya hanya 
sepotong tulang ayam! Benar-benar sulit dipercaya! 
"Hm.... Aku tidak suka ada pembunuhan di depan 
mataku...." 
Desisan itu berasal dari bibir si gadis cantik, yang telah 
menyelesaikan makannya. Kemudian wanita itu melangkah 
pergi setelah membayar makanannya. 
Tinggallah empat lelaki yang bertarung dam terpaku 
tanpa kata. Mereka menatap kepergian gadis cantik itu 
dengan perasaan tidak menentu. 
"Perempuan sundal...!" 
Pada saat tubuh ramping terbungkus pakaian serba 
merah itu hampir tiba di ambang pintu, lelaki brewok 
tersadar dari keterpakuannya. Setelah berdesis kasar, 
tubuhnya melayang ke depan. Pedang yang kembali telah 
tergenggam dikelebatkan dengan sekuat tenaga. 
Whuttt...! 
Sambaran angin pedang yang cukup tajam ini tidak 
membuat gadis cantik itu berbalik. Langkahnya terus 
terayun, seolah tidak mengetahui bahaya yang mengancam 
dirinya. Tapi.... 
Plak, desss...! 
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, mendadak 
tubuh gadis cantik itu berputar. Hanya dengan sebelah 
tangan gadis itu menangkis, sekaligus menyarangkan

hantaman telapak tangannya ke tubuh lelaki brewok. 
Tanpa ampun lagi, tubuh itu terjerembab mencium 
tanah. Untuk beberapa sesaat ia tidak sanggup bangkit. 
Wajahnya menyeringai menahan rasa sesak di dada. Dari 
sudut bibirnya mengalir darah segar. 
Gadis cantik berpakaian serba merah membatalkan 
niatnya untuk meninggalkan kedai. Rupanya ia sempat 
mendengar makian tadi. Dan itu membuatnya marah! 
"Ulangi makianmu tadi, Kerbau Dungu!" desis gadis 
cantik itu dengan wajah datar dan dingin. Kilatan nafsu 
membunuh terpancar jelas pada sepasang mata bening-
nya. 
Semula lelaki brewok tidak ingin mengulangi per-
kataannya. Tapi karena gadis cantik itu memaksa, akhirnya 
ia ucapkan juga kata-kata makian itu. 
"Kau..., perempuan sundal...," desis lelaki brewok 
dengan wajah pucat. 
"Hm....." gadis cantik itu menggeram perlahan. 
Tangan kanannya terangkat ke atas, dan siap meremuk-
kan batok kepala lelaki brewok itu. 
"Tahan...!" 
Baru saja telapak tangan gadis cantik berpakaian merah 
hendak bergerak turun, terdengar sebuah bentakan keras. 
Gadis itu menunda gerakannya. Kemudian menoleh ke 
arah asal suara. 
Sesosok tubuh tegap dengan dada bidang berdiri 
dengan kedua kaki terpentang lebar. Sikapnya terlihat 
demikian jantan dan gagah, membuat gadis cantik itu tidak 
berusaha menyembunyikan kekagumannya. 
"Siapakah kau, Kisanak? Apamukah lelaki brewok ini...?" 
tanya gadis cantik itu dengan mata mengerjap genit. 
Sikapnya yang memikat kembali muncul melihat ke-
gagahan dan kejantanan pemuda itu. Apalagi pemuda 
tampan itu kelihatan cukup berisi. Itu dapat diduga dari 
bentakannya yang mengandung tenaga dalam. Maka 
semakin tertariklah gadis cantik berpakaian serba merah 
itu.

"Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. 
Aku hanya tidak bisa berdiam diri melihat lelaki brewok itu 
terancam maut. Dan, aku yakin wanita secantikmu pasti 
memiliki sifat lembut dan pemaaf...," ujar lelaki muda itu. 
"Ah! Selain gagah, rupanya kau pun memiliki hati yang 
lembut, Kisanak...," tukas gadis cantik berpakaian merah 
itu. Kemudian kakinya melangkah dengan lenggang-
lenggok memikat sambil memamerkan senyum manisnya. 
Meskipun telah berusaha menyembunyikan perasaan 
hatinya, gadis cantik itu sangat yakin umpannya telah 
mengena. Sebab ia melihat dengan jelas sinar kekaguman 
pada sepasang mata lelaki muda itu, kendati berusaha 
disembunyikan. Kenyataan itu membuat senyumnya 
semakin melebar dan mempesona. 
"Aku memang tidak bermaksud membunuhnya. Hanya 
ingin memberi sedikit pelajaran agar lain kali lebih bersikap 
hormat terhadap wanita. Kalau boleh kutahu, siapakah 
namamu? Rasanya menyenangkan sekali dapat berkawan 
denganmu," ujar gadis cantik itu dengan suara mendayu-
dayu yang sanggup meruntuhkan hari lelaki paling keras 
sekalipun. Apalagi seorang anak muda seperti lelaki 
tampan itu. Tentu saja hatinya langsung jatuh dengan 
sikap dan gaya bicara yang penuh daya pikat itu. Terbukti 
pemuda itu tersenyum, meskipun agak ragu-ragu. 
"Namaku Arja. Arja Lawung. Siapakah namamu, Nyai? 
Apa yang membuatmu sampai berkelahi dengan lelaki 
brewok itu?" tanya pemuda tampan itu. Sikapnya tidak lagi 
sedingin tadi. Bahkan mulai berani menanyakan nama 
gadis cantik dan genit itu. 
"Panggil aku Anyelir, Arja. Senang sekali dapat 
berkenalan dengan seorang pemuda yang gagah dan 
berhati mulia sepertimu. Mudah-mudahan perkenalan ini 
bisa semakin erat...," sahut gadis cantik itu mem-
perkenalkan namanya. 
Anyelir menghentikan langkahnya tepat di hadapan Arja 
Lawung. Kepalanya agak menengadah, karena pemuda itu 
memang lebih tinggi darinya. Sepasang bola mata gadis

cantik itu bergerak perlahan merayapi wajah lelaki muda di 
depannya. Anyelir tampaknya tidak berusaha menyem-
bunyikan kekagumannya. 
"Namamu indah sekali, Anyelir...," desah Arja Lawung 
yang merasa aliran darahnya bertambah cepat. Bahkan 
deru napasnya terdengar agak memburu. Tubuh Anyelir 
begitu dekat. Dan harum tubuh gadis cantik itu membuat 
keinginannya tergugah. 
"Namamu pun gagah dan sesuai dengan orangnya, Arja. 
Tidakkah sebaiknya kita tinggalkan kedai ini, dan mencari 
tempat yang tepat untuk lebih saling mengenal...?" ujar 
Anyelir, nadanya hampir mirip sebuah desahan panjang. 
Napas gadis itu menyapu wajah Arja Lawung. Dan 
membuat pemuda itu semakin terbius. 
"Terserah kaulah, Anyelir...," tukas Arja Lawung yang 
mendadak pikirannya buntu. Sosok gadis cantik itu 
memang sangat mempesona. Arja Lawung tidak menolak 
ketika tangannya ditarik pergi meninggalkan kedai itu. 
"Ke mana kita, Anyelir...?" tanya Arja Lawung tanpa 
berusaha melepaskan lengannya dari genggaman jemari 
lembut Anyelir. Pemuda tampan itu tak ubahnya kerbau 
yang dicocok hidung, menurut saja ke mana gadis cantik 
itu membawanya. 
"Ke tempat yang tenang, agar tidak ada seorang pun 
mengganggu kita...," sahut Anyelir tanpa menghentikan 
larinya. Gadis itu membawa Arja Lawung meninggalkan 
Desa Gondang. 
Arja Lawung seorang pemuda yang hijau. Ia belum 
berpengalaman menghadapi wanita. Apalagi wanita 
secantik dan sebebas Anyelir. Meski usianya sudah dua 
puluh tahun, tapi Arja Lawung tidak pemah bergaul akrab 
dengan seorang wanita. Selain itu, ia sudah benar-benar 
terpikat oleh kecantikan dan sikap manja Anyelir. 
Sehingga, Arja Lawung tidak berusaha menolak ajakan 
gadis cantik itu. 
Setelah cukup lama berlari, akhirnya Anyelir mem-
perlambat langkahnya. Dan berhenti di tepi sungai yang

berair jernih. Dengan manja Anyelir menjatuhkan tubuhnya 
di atas rumput tebal di bawah sebatang pohon besar, yang 
menyembunyikan tubuh mereka dari pandangan orang. 
"Nah! Bagaimana, Arja? Tidakkah tempat ini sangat 
cocok untuk mempererat hubungan kita?" ujar gadis cantik 
itu dengan manja. 
Tanpa ragu-ragu, sepasang tangannya melingkari bahu 
Arja Lawung, membuat napas pemuda itu semakin mem-
buru. Wajah pemuda itu merah karena jengah. Arja Lawung 
belum pernah mendapat perlakuan semesra itu dari 
seorang wanita. 
"Kau... cantik sekali, Anyelir...," desah Arja Lawung 
dengan dada sesak. Suaranya terdengar agak aneh. Tapi 
Anyelir menanggapi dengan senyum manis. Bahkan 
semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Arja Lawung. 
Perlakuan Anyelir membuat bendungan Arja Lawung 
bobol seketika. Disambarnya wajah cantik yang sangat 
dekat itu. Lupa sudah pemuda itu akan kesopanan. 
Padahal mereka baru saja mengenal, dan belum tahu asal-
usul masing-masing. 
Cukup lama Arja Lawung menumpahkan gejolak yang 
bergemuruh di dadanya. Sampai akhirnya Anyelir men-
dorong tubuh pemuda itu perlahan. Sehingga Arja Lawung 
terpaksa melepaskan pelukannya, meski dengan sorot 
mata penuh pertanyaan. 
"Tidak perlu terburu nafsu, Arja. Masih banyak waktu 
untuk kita...," hibur gadis cantik itu seraya menyunggingkan 
senyum puas. 
Arja Lawung gelagapan seperti orang tenggelam ke 
dalam sungai. Kendati telah melepaskan pelukannya, 
pemuda ini tidak bisa menahan diri untuk membelai wajah 
cantik Anyelir. Namun gadis cantik itu kembali mendorong 
tubuh Arja Lawung ketika hendak mencumbunya kembali. 
"Mengapa, Anyelir...?" tanya Arja Lawung penasaran. 
Pemuda itu kelihatan tidak sabar dengan sikap Anyelir 
yang menolak untuk bercumbu. 
"Sudah kukatakan waktu untuk itu masih banyak.

Mengapa begitu terburu-buru...?" tukas Anyelir manja, 
membuat Arja Lawung menghela napas kesal. 
"Apa lagi yang kau tunggu, Anyelir? Bukankah tempat ini 
kau bilang aman, dan tidak ada orang yang melihat 
perbuatan kita?" kembali Arja Lawung mengungkapkan 
rasa penasarannya. 
Ucapan Arja Lawung malah membuat Anyelir 
melepaskan pegangan tangannya. Kemudian wanita itu 
bangkit berdiri dengan menghela napas panjang, seperti 
ada sesuatu yang mengganjal hatinya. 
"Perbuatanmu hanya didorong oleh nafsu, Arja. Tidak 
ada sedikit pun rasa cinta di hatimu...," desah Anyelir 
mencela Arja Lawung. 
Arja Lawung bangkit berdiri dengan wajah sungguh-
sungguh. 
"Apa maksudmu, Anyelir...?" tanya Arja Lawung tidak 
mengerti. 
"Katakan kau melakukannya karena mencintaiku, Arja. 
Bukan karena nafsu kotor yang ada dalam setiap pikiran 
laki-laki bila melihat wanita cantik...," pinta Anyelir. 
"Kau ini aneh. Tentu saja aku melakukannya karena 
rasa cinta. Bukan karena sekadar dorongan nafsu kotor 
seperti yang kau katakan," bantah Arja Lawung kembali 
melingkarkan lengannya ke tubuh gadis cantik itu dari 
belakang. 
Kali ini Anyelir tidak memberontak Bahkan menyandar-
kan kepalanya ke tubuh pemuda itu. Sehingga, dada Arya 
Lawung kembali bergemuruh bagai gelombang lautan. 
"Kalau benar kau mencintaiku, lakukanlah dengan 
lembut. Tapi sebelum itu aku minta kejujuranmu untuk 
menjawab pertanyaanku...," desah Anyelir. 
"Tanyakanlah! Aku akan menjawab dengan sejujur-
nya...," tukas pemuda itu seraya menciumi rambut Anyelir 
yang harum. 
"Apakah sebelumnya kau pernah melakukannya pada 
wanita lain?" tanya Anyelir dengan nada aneh. Kendati 
demikian, Arja Lawung tetap menjawabnya.

"Selama hidupku, baru kali ini aku berdekatan dengan 
seorang wanita...," jawab Arja Lawung jujur, membuat 
senyum Anyelir melebar. Setelah itu, ia pasrah dengan 
segala perlakuan Arja Lawung. Bahkan membalasnya 
dengan sepenuh hati. 
Sebentar kemudian kedua insan muda itu terlelap 
dalam buaian asmara. Kebisuan alam menjadi saksi 
perbuatan mereka berdua. 
***

DUA

"Perempuan rendah! Ini rupanya maksudmu bertingkah 
laku genit dan memikat...!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan menghina. Disusul muncul-
nya seorang lelaki brewok bertubuh tinggi besar dengan 
ditemani enam orang kawannya. 
Bentakan itu membuat Anyelir dan Arja Lawung ter-
sentak kaget. Cepat keduanya bangkit dan mengenakan 
pakaian. Wajah mereka merah menahan malu, karena 
perbuatannya dipergoki orang. 
Namun lelaki brewok itu tidak mau membiarkan Arja 
Lawung dan Anyelir mengenakan pakaian. Dengan bengis, 
kawan-kawannya segera diperintahkan untuk menyerbu 
dan menangkap kedua orang muda itu. 
"Serbu...!" 
Sambil berteriak keras, lelaki brewok melompat ke arah 
Anyelir yang saat itu belum selesai berpakaian. Karuan saja 
gadis cantik itu menjadi kelabakan. Kendati demikian, 
cengkeraman lelaki brewok dapat dihindarinya. 
Saat itu Anyelir hanya mengenakan pakaian bagian 
bawah. Sedangkan tubuh bagian atasnya masih polos 
tanpa tertutup sehelai kain pun. Keadaan tubuhnya 
membuat Anyelir sibuk menutup dari tatapan liar mata 
lawan. 
"Kurang ajar kau, Monyet Kurap! Awas! Akan kubeset 
mulutmu, dan kukuliti tubuhmu...!" desis Anyelir yang 
merasa jengah berhadapan dalam keadaan setengah 
telanjang. Ancaman yang keluar dari bibirnya bukan 
sekadar menakut-nakuti. Wanita itu memang marah sekali 
pada lelaki brewok. 
Lelaki brewok sendiri hanya cengar-cengir seperti 
monyet makan terasi. Ia merasa dipermalukan di depan 
orang banyak sewaktu di kedai. Rasa penasaran dan 
dendam membuatnya membawa kawan-kawannya

membuntuti wanita berpakaian merah itu. Dan akhirnya ia 
berhasil menemukan orang yang dicarinya sedang 
melakukan perbuatan tidak senonoh. Lelaki brewok itu 
marah karena dibakar rasa cemburu. 
"He he he...! Hayo serang aku, Manis. Mengapa 
sungkan-sungkan? Apa kedua tanganmu telah menjadi 
kaku...?" ejek lelaki brewok dengan air liur hampir 
menetes. Anyelir memang melipat kedua tangannya di 
depan dada. Itu dilakukan untuk melindungi dadanya yang 
polos. 
"Keparat! Kubunuh kau...!" pekik Anyelir marah. Sebab 
lelaki brewok itu menjilati sekujur tubuhnya dengan 
tatapan liar bagai singa lapar. 
"Hiaaat...!" 
Gejolak amarah yang menggelora membuat Anyelir tidak 
peduli lagi dengan keadaan tubuhnya. Gadis cantik dan 
genit itu melesat ke depan dengan tendangan dan pukulan 
yang menerbitkan deruan angin keras. Rasanya kalau 
kepala lawan sampai terkena kepalannya, sulit dipastikan 
dapat melihat matahari esok. 
Bettt! Bettt...! 
Sambaran kaki dan tangan Anyelir yang cepat dan kuat 
memang tidak bisa dianggap main-main. Lelaki brewok itu 
kelabakan dan sibuk setengah mati menghindarinya. 
Bahkan.... 
Plak, desss...! 
"Akh...!" 
Tamparan dan tendangan keras berturut-turut bersarang 
di kepala dan tubuh lelaki brewok itu. Akibatnya tubuh 
tinggi besar itu terjungkal roboh. Dan langsung tewas 
dengan pelipis retak! 
Begitu selesai mematahkan perlawanan lelaki brewok, 
Anyelir melompat ke balik semak-semak untuk membenahi 
pakaian yang belum sempurna menutupi tubuhnya. 
Tewasnya lelaki brewok mengagetkan kawan-kawannya. 
Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena harus 
menghadapi Arja Lawung yang memang bukan orang

sembarangan. Pemuda itu masih sanggup melancarkan 
serangan meskipun harus menghadapi keroyokan enam 
orang lawan. Bahkan dalam enam jurus dua orang 
pengeroyoknya roboh mandi darah. Pedang di tangan Arja 
Lawung telah ternoda darah kedua orang korbannya. 
"Habisi mereka, Arja...!" seru Anyelir yang telah muncul 
dan berpakaian rapi. Gadis cantik itu berdiri di tepi arena 
menyaksikan amukan Arja Lawung. 
Mendengar seruan gadis yang telah membuatnya 
mabuk kepayang, Arja Lawung pun menggertakkan giginya 
kuat-kuat. Seketika itu juga gerakannya dipercepat. 
Bahkan kekuatan tenaganya dilipatgandakan. Sambaran 
angin pedangnya terdengar menderu-deru. 
Brettt, brettt...! 
"Aaa...!" 
Kembali dua orang pengeroyok terguling mandi darah! 
Mereka tewas dengan perut menganga lebar. Meskipun 
demikian, Arja Lawung masih belum puas. Rasa malu dan 
marah karena perbuatannya dipergoki membuat pemuda 
tampan dan gagah itu bertindak tidak kepalang tanggung. 
Sepertinya tanpa diperintah Anyelir pun pemuda itu 
memang hendak menghabisi para pengeroyoknya. 
"Haaat...!" 
Dengan sebuah pekikan nyaring, tubuh Arja Lawung 
melompat ke udara. Pedang di tangannya berkelebat dari 
atas ke bawah dengan kecepatan mengagumkan. 
Akibatnya.... 
"Aaa...!" 
Jerit kematian terdengar merobek langit. Tubuh dua 
orang lawan terakhirnya terjungkal dengan leher hampir 
putus! Darah segar kembali mengalir membasahi 
rerumputan hijau. 
"Bagus, Arja! Kau benar-benar tidak mengecewakan...," 
puji Anyelir tanpa nada gembira. Bihkan terkesan dingin 
dan datar. 
Mendengar nada ucapan gadis cantik berpakaian serba 
merah itu, Arja Lawung menoleh dengan kening berkerut.

Dan kerutan itu semakin dalam ketika melihat Anyelir 
melipat kedua tangannya di depan dada seraya 
menatapnya dengan dingin. Tak sedikit pun terlihat sisa-
sisa kemesraan pada sepasang bola mata yang indah dan 
bening itu. Hingga Arja Lawung tersentak kaget. 
"Ada apa, Anyelir...?" tanya Arja Lawung sambil 
melangkah menghampiri gadis cantik yang telah memikat 
hatinya. Perubahan sikap gadis cantik itu tentu saja 
membuatnya heran. 
"Sekarang giliranmu menyusul mereka...," desis Anyelir 
dengan wajah datar tanpa emosi. Walaupun bibirnya yang 
ranum tetap mengukir senyum manis. Benar-benar seorang 
gadis yang aneh dan sulit ditebak. 
"Apa... apa maksudmu, Anyelir...?" tanya Arja Lawung. 
Pemuda ini merasa gentar juga melihat perubahan sikap 
gadis itu. 
"Hm.... Bodoh! Apa ucapanku masih kurang jelas...?!" 
tukas Anyelir seraya melangkah lambat menyongsong 
kedatangan Arja Lawung. 
"Tapi..., apa salahku...?" seru Arja Lawung dengan nada 
agak tinggi. 
Pemuda tampan itu mulai dilanda kegelisahan. Ia 
melihat ada ancaman dalam bola mata gadis cantik itu. 
Sehingga, hatinya mulai ragu kalau Anyelir hanya main-
main mengucapkan kata-katanya. 
"Tidak peduli kau bersalah atau tidak! Yang jelas, tak 
seorang pun kubiarkan hidup setelah menikmati ke-
hangatan tubuhku...!" jawab Anyelir tetap dingin dan penuh 
ancaman. 
"Tapi..., bukankah kita melakukannya atas dasar suka 
sama suka?" bantah Arja Lawung semakin heran dengan 
sikap Anyelir. Ucapan-ucapan gadis cantik itu sungguh 
tidak dimengertinya. 
"Hmh! Atas dasar suka sama suka kau bilang! Jadi, kau 
telah jatuh cinta kepadaku, Arja...?" ujar Anyelir balik 
bertanya. Sinis sekali suara gadis cantik itu. 
"Terus terang kuakui aku benar-benar jatuh cinta

kepadamu, Anyelir...," jawab Arja Lawung tanpa keraguan 
sedikit pun. Bahkan saat menyatakan perasaan itu 
sepasang matanya menatap wajah gadis berpakaian serba 
merah itu dengan penuh kasih. Sayang semua itu tidak 
membuat Anyelir berubah sikap. 
"Hm.... Tahukah kau, Arja. Berapa kira-kira usiaku...?" 
tanya Anyelir. 
"Sekitar dua puluh tahun...," jawab Arja Lawung 
menebak. Sinar mata gadis itu demikian menuntut. Hingga 
Arja Lawung tidak bisa menolak. 
"Hik hik hik...!" 
Mendengar jawaban Arja Lawung, Anyelir tertawa 
mengikik sambil menutupi mulutnya dengan punggung 
tangan. Namun, suara tawa itu hanya sebentar. Sikap gadis 
itu kembali dingin dan kaku. 
"Ketahuilah, Arja. Usiaku sudah hampir tiga puluh lima 
tahun! Aku menjadi awet muda karena sering berhubungan 
dengan pemuda-pemuda seusiamu. Tentu saja yang masih 
perjaka tulen. Dan aku ahli dalam menilai, walau baru 
sekali bertemu...," ujar Anyelir tanpa perasaan. Padahal 
ucapan gadis cantik itu membuat hati Arja Lawung seperti 
ditusuk-tusuk. "Setiap kali habis berhubungan, aku harus 
membunuhnya. Demikian pula dengan dirimu. Nah, 
sekarang bersiaplah. Terserah kau. Melawan boleh, tidak 
melawan pun bukan masalah bagiku...." 
"Kalau itu memang keinginanmu, lakukanlah. Aku tidak 
akan melawan. Karena aku benar-benar mencintaimu, dan 
rela menyerahkan selembar nyawaku untukmu...," ujar Arja 
Lawung pasrah. 
Pemuda itu memang sudah tergila-gila oleh kecantikan 
dan sikap gadis itu sewaktu pertama kali bertemu. Dengan 
penyerahan itu, Arja Lawung berharap Anyelir akan 
berubah pikiran. 
"Hm.... Rupanya kau ingin memperlihatkan kebesaran 
cintamu, Pemuda Tolol! Hendak kulihat sampai berapa 
besar rasa cintamu itu...," ucap Anyelir dengan nada sinis. 
Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melemparkan


pedangnya pada Arja Lawung. 
Pemuda itu segera menyambutnya. Kemudian meng-
genggamnya erat-erat. Kelihatannya Arja Lawung tidak 
main-main dalam membuktikan kebesaran cintanya. Mata 
pedang itu ditempelkan di tenggorokannya. Dan.... 
Srattt...! 
Semula Arja Lawung mengira perbuatannya akan 
dihentikan Anyelir. Kenyataannya, gadis cantik itu diam 
saja walau mata pedang mulai bergerak dan melukai 
tenggorokan Arja Lawung. Bahkan sampai tubuh pemuda 
itu roboh, Anyelir tidak berkedip. Bibirnya menyunggingkan 
senyum mengejek yang membayangkan kekejaman 
hatinya. 
"Pemuda tolol! Kau pikir aku tidak tahu akal bulusmu! 
Silakan kau bawa cintamu ke liang kubur...!" gumam 
Anyelir tertawa dingin. 
Rupanya gadis cantik itu tahu jalan pikiran Arja Lawung. 
Dan menganggap pemuda itu bodoh jika hendak meng-
gertaknya dengan alasan cinta. Anyelir memang tidak 
pernah menyukai pemuda itu. Meskipun semula gadis itu 
kelihatan menyambut cinta Arja Lawung, itu karena ia ingin 
menjeratnya, kemudian mencampakkannya begitu saja. 
Seperti sebuah mainan yang dilupakan setelah puas 
dipermainkan. 
Sambil memperdengarkan tawanya yang dingin, Anyelir 
bergerak meninggalkan korban-korbannya. Rambutnya 
yang panjang dan lebat dibiarkan tergerai, terayun lembut 
dipermainkan angin. 
*** 
Pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita 
berpakaian serba hijau melangkahkan kaki memasuki 
mulut Desa Warang. Sinar matahari siang itu menyorot 
garang dan terasa panas menyengat kulit. Meskipun 
demikian, desa yang mereka masuki tampak cukup ramai. 
Agaknya terik sang Raja Siang tidak mengganggu mereka.

Baru saja kedua orang muda itu hendak memasuki 
sebuah kedai makan, mendadak langkah mereka terhenti. 
Dari dalam kedai terdengar suara ribut-ribut orang 
bertengkar. 
"Sepertinya tengah terjadi pertengkaran, Kakang," 
gumam dara jelita berpakaian serba hijau, menoleh pada 
kawannya. 
"Kelihatannya begitu. Tapi, mudah-mudahan mereka 
hanya ribut mulut dan tidak sampai terjadi perkelahian. 
Mari kita masuk...," ajak pemuda tampan berjubah putih 
itu, membuka pintu kedai, dan melangkah dengan tenang. 
Munculnya pasangan muda itu tidak membuat 
pertengkaran terhenti. Bahkan berpaling sekejap pun tidak. 
Pertengkaran malah semakin bertambah panas. Dan, 
suara mereka bertambah keras. 
"Kisanak! Aku hanya sekadar mengingatkan agar 
bersikap sedikit sopan terhadap wanita. Bukan berarti aku 
mau sok bersikap pahlawan. Keliru sekali kalau kau 
berpandangan sesempit itu...!" ucap seorang pemuda 
bertubuh kekar dan berwajah simpatik. 
Tapi, ucapannya tidak mendapat tanggapan yang baik 
dari lelaki kurus lawan bertengkar mulut pemuda itu. 
Senyum mengejek tidak lepas dari bibirnya. Lelaki kurus itu 
menyahuti dengan lagak yang benar-benar memualkan 
perut. 
"Hei, Bocah Sok Jagoan! Apa kau kira gadis cantik itu 
akan tertarik kepadamu, setelah kau membelanya mati-
matian? Pemuda sepertimu tidak akan dilirik sedikit pun 
olehnya, tahu?!" balas lelaki kurus itu seraya meng-
gerakkan kepalanya ke arah seorang gadis cantik 
berpakaian serba merah yang duduk tenang di kursinya, 
tak jauh dari kedua lelaki yang bersitegang itu. Rupanya 
gadis cantik itu yang membuat kedua lelaki ini ribut 
Merah padam wajah pemuda kekar itu mendengar 
ucapan lawan bicaranya. Jari-jari tangannya mengepal. 
Pemuda ini merasa terhina dengan ucapan lelaki kurus itu. 
Apalagi perkataan itu dikeluarkan di hadapan orang

banyak. Tentu saja pemuda kekar ini merasa diper-
malukan. 
"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Kisanak! Aku tidak 
bisa menerima penghinaan ini...!" geram pemuda bertubuh 
kekar seraya menatap wajah di depannya bagai hendak 
ditelan bulat-bulat. Suaranya terdengar agak gemetar, 
karena menahan emosi yang bergejolak di dadanya. 
"Lalu apa maumu, hah...?!" tantang lelaki kurus itu 
bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. 
Pemuda kekar itu menggeram gusar. Tampaknya ia 
sudah tidak bisa lagi menahan amarah. Sikap itu membuat 
lelaki kurus bergerak mundur dua langkah. Sepertinya ia 
tidak menganggap remeh pemuda kekar itu, walaupun 
sikapnya selalu penuh ejekan. 
Suasana yang semakin menegang membuat beberapa 
pengunjung bergegas meninggalkan kedai. Tapi, dua orang 
yang berada di belakang lelaki kurus malah menyebar 
seperti hendak mengeroyok pemuda bertubuh kekar. 
Agaknya mereka berdua kawan lelaki kurus. 
"Hm...." 
Pemuda bertubuh kekar menggeram perlahan. 
Sepasang matanya bergerak sigap meneliti langkah dua 
lelaki yang hendak mengurungnya. Kelihatannya pemuda 
itu tidak merasa gentar meskipun sadar hendak dikeroyok. 
"Hmh...!" 
Lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh tahun itu 
menggerakkan dagunya ke atas memberi isyarat. 
Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia langsung 
menyerang pemuda di depannya dengan sebuah pukulan 
lurus yang mendatangkan angin cukup kuat. 
Whuttt...! 
Sayang serangan pemuda itu menemui kegagalan. 
Pemuda bertubuh kekar sudah menggeser tubuhnya tiga 
langkah ke belakang. Kemudian menyiapkan diri meng-
hadapi serangan lawan selanjutnya. 
"Hahhh...!" 
Dua lelaki yang mengurungnya di kiri dan kanan membentak sambil melancarkan serangan. Kali ini pemuda ber-
tubuh kekar tidak bergerak mundur. Sebab di belakangnya 
terdapat sebuah meja. Sehingga, terpaksa tubuhnya mem-
bungkuk menghindari tendangan ke arah kepala dari 
sebelah kirinya. Sedangkan pukulan yang datang dari 
sebelah kanan ditangkisnya dengan pengerahan tenaga 
yang kuat. 
Dukkk! 
"Auhhh...!?" 
Lelaki gendut berkumis jarang yang melancarkan 
pukulan ke lambung pemuda itu memekik kesakitan. 
Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Jelas 
tenaganya kalah dengan pemuda kekar itu. 
"Keparat...!" geram lelaki kurus yang menjadi pimpinan 
dua orang kawannya. Kemudian disiapkannya serangan 
dengan sepasang mata melotot, seperti hendak keluar dari 
tempatnya. Tampaknya perkelahian tidak bisa dihindari 
lagi. 
***

TIGA

"Tunggu...!" 
Tiba-tiba pemuda bertubuh kekar berseru lantang, mem-
buat ketiga lawannya menunda gerakan dan memandang 
dengan kening berkerut. 
"Hm.... Kau hendak menyerah dan meminta ampun 
kepadaku? Kalau begitu, cepat berlutut dan merangkak 
kemari seperti anjing buduk!" ujar lelaki kurus dengan bibir 
menyunggingkan senyum sinis. Kupanya ia menduga 
pemuda bertubuh kekar gentar terhadapnya. 
"Hmh! Jangan takabur, Kisanak! Aku sedikit pun tidak 
gentar, meskipun harus menghadapi keroyokan kalian 
bertiga. Tapi sebaiknya perkelahian ini dilanjutkan di luar 
kedai. Aku tidak ingin merugikan pemilik kedai ini...," sahut 
pemuda bertubuh kekar membantah dugaan lawannya. 
Setelah berkata demikian, kaki pemuda bertubuh kekar 
itu melangkah menuju pintu kedai. Sedang sepasang 
matanya tetap mengawasi ketiga lawannya. Pemuda itu 
khawatir kalau salah seorang lawannya akan menyerang 
secara licik. 
"Setan...!" desis lelaki bertubuh kurus dengan wajah 
merah padam. 
Ucapan pemuda bertubuh kekar itu membuat 
pengunjung kedai menatap sinis dan meremehkannya. 
Mereka melecehkan dirinya yang mengandalkan jumlah 
banyak untuk menghadapi pemuda kekar itu. 
"Akan kurobek mulutmu yang lancang itu...!" geram 
lelaki kurus itu gusar. Kemudian kakinya melangkah ke 
luar kedai. 
Gadis jelita berpakaian serba hijau yang duduk bersama 
pemuda tampan berjubah putih bergerak bangkit. Namun, 
gerakannya tertahan oleh pegangan pemuda di samping-
nya.

"Jangan dulu mencampuri urusan mereka. Kita belum 
mengetahui persoalannya secara jelas...," bisik pemuda 
tampan berjubah putih mengingatkan. 
"Aku hanya ingin melihat kelanjutan pertarungan 
mereka," sahut dara jelita itu. Sehingga, pemuda tampan 
berjubah putih melepaskan pegangannya. 
"Mari kita lihat...," ujar pemuda berjubah putih, segera 
bangkit dari duduknya. Dan melangkah meninggalkan 
ruangan kedai. 
Di halaman samping kedai, yang merupakan tanah 
kosong yang cukup luas, tampak telah cukup ramai oleh 
orang-orang yang hendak menyaksikan pertengkaran itu. 
Mereka berdiri memagari tempat itu dalam bentuk 
lingkaran. Seolah tanpa sengaja orang-orang itu telah 
membentuk sebuah arena pertarungan. 
Di antara belasan penonton terlihat seorang gadis cantik 
berpakaian serba merah. Senyum manisnya tak pernah 
lepas dari wajahnya. Bahkan tidak jarang matanya 
berkedip genit. Siapa lagi wanita cantik itu kalau bukan 
Anyelir, yang kali ini tengah mencari korban baru untuk 
memuaskan nafsunya. 
"Kakang...," panggil dara jelita berpakaian serba hijau 
pada kawannya dengan agak berbisik. Saat itu tubuhnya 
bersender pada sebatang pohon yang cukup besar. 
"Hm...." 
Pemuda tampan berjubah putih di sebelah kanannya 
bergumam menyahuti. Sepasang matanya tetap tertuju ke 
tengah arena pertarungan yang sebentar lagi akan dimulai. 
"Coba perhatikan gadis cantik berpakaian serba merah 
yang kelihatan agak genit itu...," lanjut dara jelita 
berpakaian serba hijau seraya menggerakkan kepalanya ke 
satu arah, hampir tidak kentara. 
"Ya. Aku sudah mencurigainya sejak di dalam kedai. 
Agaknya wanita itulah yang menjadi penyebab perkelahian 
keempat lelaki itu," sahut pemuda tampan berjubah putih. 
Rupanya tadi ia diam-diam sempat memperhatikan Anyelir. 
Buktinya gadis jelita di sampingnya tidak mengetahui

perbuatannya. 
"Mungkinkah gadis itu yang belakangan ini membuat 
ulah dengan perbuatannya yang kejam...?" tanya dara jelita 
berpakaian serba hijau itu dengan suara perlahan, hingga 
tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang di dekatnya. 
Saat itu perkelahian sudah berlangsung cukup seru. 
"Maksudmu..., gadis itu yang berjuluk Peri 
Kembangan...?" timpal pemuda tampan berjubah putih 
yang rupanya dapat menebak jalan pikiran dara jelita di 
sebelahnya. 
"Rupanya kita mempunyai dugaan yang sama, 
Kakang...," tukas dara jelita itu mendengar ucapan pemuda 
berjubah putih. 
"Tapi kita masih memerlukan bukti yang lebih kuat. 
Sebab, bukan hanya seorang wanita yang berdandan 
seperti itu...," lanjut pemuda tampan berjubah putih 
mengingatkan. Semua itu baru dugaan dan belum pasti. 
Setelah berkata demikian, pemuda berjubah putih yang 
tidak lain Panji dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga 
Putih, kembali mengikuti jalannya perkelahian. Keningnya 
tampak agak berkerut ketika melihat para petarung telah 
menggunakan senjata. Perkelahian itu jelas sudah bukan 
tontonan yang menarik lagi baginya. 
Apa yang dikhawatirkan Panji memang beralasan. 
Dengan menggunakan senjata, korban sudah pasti akan 
jatuh. Apalagi lelaki kurus itu kelihatan tangat bernafsu 
melancarkan serangan-serangannya. Ia bukan lagi hendak 
sekadar memberikan hajaran. Tapi, sudah bermaksud 
membunuh lawan. Dan Panji tidak ingin melihat per-
tumpahan darah di depan matanya. 
"Haaat..!" 
Untuk kesekian kalinya, lelaki kurus itu berteriak 
nyaring. Pedang di tangan kanannya berkelebat cepat 
menimbulkan desingan tajam. Lelaki kurus itu tampaknya 
sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri perkelahian. 
Sementara pemuda bertubuh kekar yang juga meng-
genggam pedang telanjang bergerak ke kiri dan kanan

menghindari gempuran lawan. Meskipun masih sanggup 
bertahan, namun jelas terlihat kalau lelaki muda bertubuh 
kekar itu sudah hampir tidak sanggup membalas serangan 
pengeroyoknya. Sehingga dapat diramalkan kalau pemuda 
kekar itu tidak akan sanggup bertahan pada jurus-jurus 
selanjutnya. 
Bwettt...! 
"Eits?!" 
Sebuah sambaran pedang yang datang dari samping 
kanannya, nyaris membuat pemuda kekar terpanggang. 
Untung pada saat pedang lawan hampir mengenai sasaran, 
pemuda itu sempat melempar tubuhnya ke belakang. 
Kemudian bergulingan menjauhi kelebatan senjata lawan-
lawannya yang lain. 
"Mampus kau, Pemuda Keparat...!" 
Lelaki kurus segera mempergunakan kesempatan 
sebaik-baiknya. Saat tubuh lawan bergulingan menjauh, ia 
melompat ke udara sambil mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi. Kemudian disabetkan dari atas ke bawah seperti 
hendak membelah tubuh pemuda bertubuh kekar. 
Serangan itu sangat berbahaya. Sebab pemuda kekar 
tidak akan mempunyai peluang untuk mengelak. Selain itu, 
kedudukannya jauh lebih lemah dari lawannya. Sehingga 
dapat dipastikan pemuda kekar itu akan mendapat celaka. 
Tapi.... 
"Haiitt..!" 
Saat mata pedang lelaki kurus terayun, tiba-tiba 
terdengar bentakan halus yang menggetarkan dada. 
Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan merah, 
yang langsung memapaki serangan maut itu. Dan.... 
Trang...! 
Bunga api berpijar menandakan betapa keras benturan 
itu. Disusul pekikan kaget lelaki kurus. Tubuh lelaki itu 
terjengkang ke belakang. Sedang pedang yang 
digunakannya untuk menyerang terpental entah ke mana. 
Gusrakkk! 
Tubuh kurus itu meluncur membentur penonton di sisi

kiri arena pertempuran. Terdengar sumpah serapah yang 
kotor saat ia berusaha bangkit, sambil menepis kotoran 
yang melekat di pakaiannya. 
"Monyet! Siapa yang...." 
Lelaki kurus itu menghentikan makiannya. Sepasang 
matanya membelalak melihat sesosok tubuh ramping 
terbungkus pakaian serba merah berdiri dengan senyum 
mengejek di depan pemuda bertubuh kekar. Tentu saja ia 
terkejut, dan tidak percaya. Kepalanya menoleh ke kiri dan 
kanan. Seolah hendak mencari orang yang menggagalkan 
serangannya. 
"Hm.... Siapa yang kau cari, Cacing Kurus...?" tegur gadis 
cantik berpakaian serba merah mengejek. 
"Eh?!" 
Lelaki kurus terperangah. Kepalanya tersentak ke 
belakang. Kemudian berputar menghadapi gadis cantik itu. 
"Kaukah yang barusan menggagalkan seranganku...?" 
tanya lelaki kurus ragu. 
Sepertinya ia mengharap gadis cantik yang genit itu 
akan membantah. Sayang harapannya tidak terkabul. 
Gadis cantik berpakaian serba merah yang tidak lain 
Anyelir, menjawabnya dengan sikap sangat menghina. 
"Hm.... Cacing kurus sepertimu mana mungkin memiliki 
kepandaian! Tanpa kusentuh pun, kau akan roboh juga. 
Untung aku masih merasa sedikit kasihan. Kalau tidak, kau 
sekarang pasti sudah tidak bernyawa lagi...," ujar gadis 
cantik itu tetap dengan senyum mengejek. 
"Kau...!" 
Lelaki kurus kelabakan menerima perkataan yang 
demikian tajam dan penuh hinaan. Wajahnya merah 
padam. Dan kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Saat itu 
suara tawa terdengar di sekelilingnya. Akhirnya lelaki kurus 
itu menoleh ke arah dua orang kawannya yang berdiri 
mematung. Kedua orang itu pun terlihat ragu untuk 
melanjutkan perkelahian setelah melihat gadis cantik itu 
maju ke tengah arena. 
"Goblok!" bentak lelaki kurus memaki kawan-kawannya.

"Mengapa kalian malah mematung seperti orang tolol! Ayo, 
tangkap wanita itu untukku...!" perintahnya dengan suara 
tinggi. Laki-laki itu merasa sangat terhina ditertawakan 
orang banyak. 
"Baik, Kakang Angkara...," sahut kedua lelaki itu hampir 
berbarengan. Keduanya pun bergerak maju, walau terlihat 
masih agak ragu. Mereka merasa enggan bertempur 
dengan gadis cantik yang penuh daya pikat itu. 
Lelaki kurus yang dipanggil Angkara sudah bergerak 
maju setelah menemukan pedangnya kembali. Tertawaan 
para penonton perkelahian itu membuatnya merasa 
terhina. Apalagi dirinya jagoan desa itu yang selama ini 
tidak ada yang berani melawan dan menertawakannya. 
Angkara tampak tidak peduli lagi siapa lawannya saat itu. 
Dengan pedang di tangan, Angkara maju menghadapi 
Anyelir. 
"Perempuan sundal! Rupanya kau tidak tahu disayang 
orang!" desis Angkara. Lalu mengibaskan pedangnya, 
membuka jurus serangan. Sepasang matanya melotot 
seperti hendak melompat dari tompatnya. 
"Tidak perlu banyak bicara, Cacing Kurus! Kalau 
memang mempunyai kepandaian, majulah! Tidak perlu 
teriak-teriak seperti kakek-kakek kebakaran jenggot..!" ejek 
Anyelir sambil bertolak pinggang. Sikap itu semakin 
membuat Angkara bertambah kalap. 
"Haaat...!" 
Kemarahan yang meledak-ledak di dadanya membuat 
Angkara tidak bisa menahan diri lagi. Ia segera menerjang 
dengan ganasnya. Angkara tidak lagi peduli semula ia 
bertarung karena gadis cantik itu. 
Whuttt...! 
Pedang Angkara menyambar dengan kecepatan 
mengagumkan! Sayang serangan itu tidak mengenai 
sasaran. Tubuh gadis cantik itu sudah lenyap dari 
hadapannya. Hingga Angkara kebingungan. Ia hanya 
melihat bayangan merah berkelebat dengan kecepatan 
yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Tahu-tahu saja

gadis cantik itu telah lenyap. 
Anyelir yang saat itu sudah meluncur turun di depan 
Angkara, menyentuh tubuh lelaki kurus itu dari belakang. 
Sehingga Angkara kaget, dan menoleh ke belakang. 
"Mampus...!" 
Begitu melihat tubuh gadis cantik itu, Angkara langsung 
saja menyabetkan pedangnya dengan ganas. Sayang, lagi-
lagi ia kehilangan sasaran. Tubuh Anyelir sudah melayang 
ke udara melewati kepala Angkara. Bahkan kedua kakinya 
sempat menotok punggung lelaki kurus itu. Hingga tubuh 
Angkara terdorong ke depan. Meskipun tidak terlalu kuat, 
namun cukup untuk membuat wajah Angkara semakin 
terbakar. 
"Haiiit...!" 
Dua orang kawan Angkara yang sejak tadi masih ragu-
ragu, kini mulai ikut membantu. Keduanya menerjang maju 
dengan sambaran pedangnya. 
"Hm....." 
Anyelir bergumam dengan bibir menyunggingkan 
senyum mengejek. Begitu serangan kedua lelaki itu tiba, 
kuda-kudanya direndahkan sambil mengibaskan lengan ke 
kiri dan kanan. Dan sebelum lawan menyadari 
tangkisannya, telapak tangan gadis cantik itu meluncur 
deras menggedor dada kedua lawannya secara 
bersamaan. 
Desss, desss...! 
"Aaa...!" 
Terdengar pekik kesakitan. Disusul terlemparnya tubuh 
kedua kawan Angkara. Mereka terbanting keras dan 
memuntahkan darah segar. Beberapa saat kemudian, 
kepala keduanya tergolek lemah. Napas mereka langsung 
putus saat itu juga. Gedoran telapak tangan Anyelir 
memang dimaksudkan untuk membunuh. 
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat 
suasana menjadi gempar. Penduduk yang menyaksikan 
perkelahian langsung bubar. Kekejaman gadis cantik 
berpakaian serba merah itu membuat mereka merasa
ngeri, dan tidak bernafsu lagi menonton kelanjutan 
kejadian itu. 
Panji sendiri sempat tersentak menyaksikan kekejaman 
gadis cantik itu. Ia sungguh tidak menduga, sehingga tidak 
sempat mencegahnya. Panji baru menyadari ketika melihat 
kedua orang itu melepaskan nyawa menghadapi sakaratul 
maut. 
"Gila! Gadis cantik itu sungguh kejam sekali! Tanpa 
alasan yang jelas, ia tega membunuh kedua orang itu! 
Tidak salah lagi, wanita itu pasti Peri Kembangan....!" desis 
Panji. Lalu tubuhnya melayang ke tengah arena men-
dahului Kenanga. Sehingga, dara jelita itu menunda 
gerakannya untuk terjun ke arena pertempuran. 
Campur tangan Panji ternyata tidak diterima baik oleh 
Angkara. Lelaki kurus itu menatap Panji dengan sorot mata 
mengancam. Ia merasa kalau pemuda tampan berjubah 
putih itu hendak memusuhinya. 
"Sabar, Kisanak...," ujar Panji sebelum Angkara sempat 
menumpahkan makian kepadanya. "Aku hanya tidak ingin 
melihatmu menjadi korban Peri Kembangan selanjutnya...." 
Angkara terlihat memalingkan wajahnya menatap sosok 
memikat Anyelir. 
"Peri Kembangan...?!" desis Angkara. 
Agaknya lelaki kurus itu telah mendengar perihal tokoh 
yang belakangan ini tengah mengganas itu. Wajah Angkara 
menjadi pucat. Ia memang pernah mendengar ciri-ciri 
tokoh wanita yang tega membunuh dengan bibir tersenyum 
itu. 
Anyelir pun tampak agak terkejut mendengar pemuda 
tampan berjubah putih itu menyebutkan julukannya. 
Hatinya yang semula terpikat oleh sosok pemuda tampan 
itu, kini pudar seketika. Sepasang matanya yang bulat 
memancarkan kilatan aneh dan penuh curiga. 
"Siapa kau, Pemuda Tampan? Rupanya kau cukup 
banyak mengetahui tentang diriku...?" tanya Anyelir tanpa 
mempedulikan kehadiran Angkara di antara mereka 
berdua.

Panji bergerak maju beberapa langkah, dan berhenti 
dalam jarak satu tombak dari hadapan Anyelir. Sikapnya 
tetap tenang, membuat Peri Kembangan semakin curiga. Ia 
menduga pemuda itu memiliki kepandaian yang bisa 
diandalkan. Karena sikap pemuda tampan berjubah putih 
itu sangat tenang dan penuh percaya diri. 
"Tidak banyak yang kuketahui tentang dirimu, Peri 
Kembangan. Tapi sepak terjangmu membuatku mem-
beranikan diri untuk mencoba menghentikannya...," sahut 
Panji tanpa merasa perlu memperkenalkan diri pada gadis 
cantik itu. 
Sementara itu, pemuda bertubuh kekar yang sejak tadi 
diam mendengarkan, kini melangkah maju, dan berhenti di 
samping Anyelir. Sikapnya jelas menujukkan kalau dia 
berpihak kepada Anyelir. Rupanya pemuda ini sudah 
terpikat oleh kecantikan dan sikap genit gadis cantik itu. 
"Kisanak," ucap pemuda bertubuh kekar seraya 
menatap tajam wajah Panji. "Seharusnya kau tidak 
memusuhi wanita ini. Ketiga orang itulah yang memulai 
keributan. Terlebih lelaki kurus itu, yang semula hendak 
berbuat kasar tidak senonoh. Sikapmu ini bukan pada 
tempatnya...." 
"Hm.... Meskipun demikian, tidak seharusnya dia 
menurunkan tangan kejam dengan membunuh kedua 
orang itu. Seharusnya kau pun sadar, Kisanak. Gadis 
cantik yang kau bela itu bukan orang baik-baik. Bahkan 
sudah sering membunuh orang-orang tak berdosa setelah 
menjerat dengan kecantikannya...," tukas Panji meng-
ingatkan lelaki bertubuh kekar. 
Sebenarnya Panji tidak bisa menyalahkan pemuda 
bertubuh kekar, yang usianya paling-paling baru sembilan 
belas tahun. Sosok Peri Kembangan memang sanggup 
meruntuhkan hati lelaki yang bagaimanapun kerasnya. 
Apalagi ditambah dengan sikap genit yang memancing 
perhatian laki-laki. Jangankan anak muda, kakek kakek 
pun sulit menghindari jerat Peri Kembangan. Itu harus 
diakuinya. Panji sendiri mengakui kecantikan serta daya
tarik yang amat kuat pada diri wanita berpakaian serba 
merah itu. Kalau saja ia tidak mendapat gemblengan kuat 
dari gurunya, serta kehadiran sosok Kenanga, mungkin ia 
pun akan jatuh ke dalam jerat wanita cantik yang kejam 
itu. 
"Hm...." 
Anyelir bergumam pelan mendengar ucapan Pendekar 
Naga Putih. Tapi, mulutnya tidak juga mengucapkan 
sesuatu. Tampaknya Anyelir hendak mendengar tanggapan 
pemuda kekar, yang ia tahu telah terjerat jaring-jaring 
asmara mautnya. 
Tapi pemuda kekar itu kelihatannya belum pernah 
mendengar sepak terjang Peri Kembangan. Terbukti 
sikapnya tidak berubah. Ia tetap menunjukkan kalau 
dirinya berpihak kepada wanita cantik berpakaian merah 
itu. Bahkan perkataan Panji membuat wajahnya berubah 
merah. Pemuda bertubuh kekar itu tidak bisa menerima 
wanita yang telah menjatuhkan hatinya dihina demikian 
rendah. 
"Tajam sekali lidahmu, Kisanak! Rupanya kau merasa 
dirimu sangat suci, sehingga mudah melemparkan tuduhan 
keji kepada wanita yang lemah lembut ini. Aku tidak bisa 
menerima ucapanmu itu...!" geram pemuda bertubuh kekar 
dengan sikap menantang. 
Panji menghela napas panjang melihat sikap pemuda 
itu. Tapi, bukan berarti ia akan mendiamkan Peri 
Kembangan menyebar kekejaman. Meskipun terpaksa ia 
harus menghadapi pemuda kekar itu, Panji tetap akan 
menghentikan sepak terjang wanita iblis itu. 
"Kau sungguh hebat, Peri Kembangan! Tapi, jangan 
harap kau dapat melampiaskan kekejamanmu pada 
pemuda itu...," ujar Panji, tanpa mempedulikan pemuda 
bertubuh kekar, yang tentu saja merasa tersinggung 
karena diremehkan. 
"Manusia sombong...!" geram pemuda kekai sudah tidak 
bisa menahan diri lagi. Kakinya melangkah maju dengan 
sikap mengancam. "Kau harus melangkahi mayatku untuk

dapat menjamah wanita ini...!" 
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki bertubuh 
kekar melepaskan sebuah pukulan menyilang. Sasarannya 
pelipis kiri Panji. 
Bwettt! 
Tanpa menggeser langkahnya, Panji memiringkan 
kepala. Kemudian melangkah melewati tubuh pemuda 
kekar setelah berhasil mematahkan serangan pukulan 
lawan. Dan terus mendekati Anyetir yang sempat kagum 
melihat cara Panji mengelakkan serangan itu. 
"Kau harus dihentikan, Peri Kembangan...!" ujar Panji 
seraya mengulurkan tangan kanannya dengan totokan 
pelumpuh. Panji kelihatan ragu untuk berbuat kasar pada 
gadis cantik yang penuh daya pikat itu. 
"Hm...." 
Anyelir tersenyum mengejek melihat serangan Panji. 
Gadis cantik itu hendak menunjukkan kehebatannya 
kepada Pendekar Naga Putih. Begitu serangan Panji luput, 
kaki kanannya digeser dengan kuda-kuda indah, kemudian 
melancarkan serangan lurus ke dada Pendekar Naga Putih. 
Whuttt..! 
Kepalan mungil itu meluncur datang mengancam dada 
kiri Panji. Melihat angin pukulannya, Pendekar Naga Putih 
tahu kalau kekuatan yang digunakan wanita cantik itu 
cukup untuk membuat seseorang pingsan bila tidak 
memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi. Diam-diam Panji 
mengakui kepandaian Peri Kembangan yang memang 
tidak bisa dipandang remeh. Tapi walaupun begitu 
Pendekar Naga Putih tidak berniat mengelakkan serangan 
itu. Tangannya sengaja diangkat untuk memapaki 
sekaligus mengukur kekuatan tenaga dalam wanita 
pemikat itu. Dan.... 
Plakkk! 
Anyelir pun mempunyai maksud serupa. Gadis itu tidak 
merubah arah serangannya, meskipun tahu pemuda 
tampan berjubah putih itu akan menyambutnya. Ia baru 
merasa kaget saat kedua lengan mereka saling

berbenturan. Karena ada rasa nyeri yang menjalar ke 
pangkal lengannya. Kenyataan itu menandakan kalau 
kekuatan lawan jelas tidak bisa dianggap ringan. Hingga 
Anyelir lebih memperhatikan pemuda itu. 
"Hebat...!" 
Panji memuji kekuatan tenaga dalam Anyelir. Sekarang 
ia baru maklum, mengapa selama ini belum ada seorang 
tokoh pun yang dapat menghentikan sepak terjang gadis 
cantik itu. Memang cukup sulit mencari orang yang dapat 
menandingi kepandaian Peri Kembangan. 
"Kau pun hebat, Pemuda Tampan...!" puji Peri 
Kembangan yang kelihatan merasa sayang harus melukai 
pemuda setampan dan sehebat Panji. 
Rasanya Anyelir lebih suka melepaskan pemuda kekar 
yang membelanya ketimbang pemuda berjubah putih itu. 
Sayang pemuda tampan itu kelihatannya tidak mudah 
ditundukkan dengan jeratnya. Bahkan pemuda itu terang-
terangan mengatakan hendak menghentikan sepak 
terjangnya. Anyelir hanya dapat menghela napas menyesali 
sikap Panji. 
Sementara Panji sudah kembali bersiap hendak 
menundukkan Peri Kembangan. Kali ini kelihatannya ia 
tidak main-main lagi. Pemuda itu mulai menunjukkan 
kepandaiannya kepada gadis cantik itu. Sebab Peri 
Kembangan bukan lawan yang mudah ditundukkan. 
"Majulah, Pemuda Tampan! Hendak kulihat sampai di 
mana kehebatanmu!" tantang Anyelir. 
***

EMPAT

"Hiaaat...!" 
Panji yang tengah bersiap menghadapi Peri Kembangan 
cepat menoleh ke belakang. Telinganya menangkap suara 
berdesing. Terdengar helaan napas beratnya ketika melihat 
pemuda bertubuh kekar meluncur datang dengan pedang 
di tangan. 
"Hm...!" 
Bwettt! 
Sambaran pedang pemuda kekar meluncur dengan 
kecepatan yang cukup mengagumkan. Meski agak 
terpaksa, Panji menggeser tubuhnya dan memapaki 
serangan itu. Lalu melancarkan sebuah pukulan yang 
cukup kuat untuk menghentikan kebandelan pemuda itu. 
Bukkk! 
Memang tidak terlalu kuat pukulan yang dilancarkan 
Panji. Namun, cukup untuk membuat lawannya terjungkal 
dan jatuh pingsan. 
"Maaf! Aku terpaksa bertindak sedikit keras ter-
hadapmu, Kisanak," desah Panji sedikit menyesal. 
Kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada Peri 
Kembangan. Sebab saat itu terdengar bentakan lawan 
yang disertai deru angin pukulan. 
"Lihat serangan...!" 
Belum lagi gema suara itu lenyap, serangan Peri 
Kembangan telah menderu tajam mengancam tubuh Panji. 
Cepat pemuda itu mengelak dan membalas serangan 
lawan. Sebentar saja keduanya terlibat dalam sebuah 
pertarungan sengit! 
Peri Kembangan berseru heran setiap kali serangannya 
dapat dipatahkan Panji. Mata gadis cantik itu semakin 
terbuka lebar dan sadar kalau pemuda yang dihadapinya 
bukan orang sembarangan. Selain sanggup menghadapi

jurus-jurus serangannya, juga sempat mengirimkan 
serangan balasan yang cukup berbahaya. 
"Hiaaat..!" 
Penasaran karena serangannya belum juga mengenai 
sasaran, Anyelir membentak keras dan menambah 
kecepatannya. Sambaran angin yang menderu-deru mem-
buat pepohonan di sekitar arena pertarungan berderak 
ribut. Memang hebat angin pukulan gadis cantik itu! 
Rasanya kepalan mungil berkulit halus itu sanggup 
meleburkan apa saja yang menghalanginya. 
Whuttt..! 
Pada jurus ketiga puluh dua, Panji bergerak mundur. 
Serangan Peri Kembangan bagai deburan ombak yang 
tidak pernah putus. Kendati semua serangan dapat 
dipatahkan dengan baik, tapi Panji belum mengirimkan 
serangan balasan yang mengejutkan. 
Plak! 
Untuk kesekian kalinya, lengan yang dilindungi kekuatan 
tenaga dalam itu saling berbenturan. Tapi kali ini Peri 
Kembangan terlihat agak kaget. Dan kuda-kudanya 
tergempur mundur beberapa langkah. Yang paling 
mengagetkan, ada getaran hawa dingin yang muncul dari 
lengan pemuda tampan berjubah putih. Tubuh gadis cantik 
itu menggigil sesaat. Hingga serangannya terhenti. 
Peri Kembangan berdiri tegak dalam keadaan siap 
tempur. Sepasang matanya menatap tajam sosok pemuda 
berjubah putih di hadapannya. Bayang keraguan tampak 
pada sepasang mata bening dan indah itu. Gadis cantik itu 
tengah berbantahan dengan hatinya sendiri. Maka.... 
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak...?" tanya Anyelir curiga. 
Kelihatannya ia mempunyai dugaan terhadap pemuda itu. 
"Aku bernama Panji. Nah, apa kau sudah puas...?" sahut 
Panji memperkenalkan namanya, meskipun ia sudah dapat 
menebak arah pertanyaan Peri Kembangan. 
"Kurang ajar! Bukan nama jelekmu yang aku tanyakan! 
Tapi julukanmu! Hanya orang pengecut yang tidak berani 
memperkenalkan julukannya...!" tukas Peri Kembangan

dengan berang. Ia tahu pemuda itu sengaja memancing 
dirinya agar bertanya lebih jelas. 
"Orang menjulukinya sebagai Pendekar Naga Putih. 
Itukah yang ingin kau ketahui, Perempuan Pemikat...?" 
Tiba-tiba terdengar jawaban yang datangnya bukan dari 
mulut Panji. Sebab selain sangat lembut untuk suara lelaki, 
arah datangnya pun dari tempat lain. 
Jawaban itu membuat Peri Kembangan menoleh ke arah 
asal suara. Keningnya berkerut dalam ketika melihat 
sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau 
sedang melangkah ke tengah arena. Gadis berparas jelita 
itulah yang menjawab pertanyaannya. Dan, jawaban itu 
pun tidak kalah mengejutkan. Sehingga, gadis cantik 
berhati kejam itu tertegun sejenak 
"Pantas kepandaianmu sangat hebat. Rupanya kau 
pendekar muda yang dipuja banyak orang itu...!" ujar 
Anyelir dengan nada suara yang mengandung ejekan. 
"Petualanganmu akan segera berakhir di tangannya...," 
lanjut suara merdu Kenanga. Sementara dara jelita itu 
terus melangkah mendekati kekasihnya. "Boleh aku yang 
menangani wanita kejam ini, Kakang...?" 
Sebenarnya Panji ingin menangani sendiri wanita sesaat 
itu. Tapi ketika melihat kilatan aneh pada mata dara jelita 
itu, ia pun mengangguk. Panji tahu Kenanga merasa 
khawatir ia akan terpikat dan tidak tega melukai Peri 
Kembangan yang memang sangat mempesona. Dan Panji 
pun tidak ingin membuat dara jelita yang sangat dicintainya 
itu tertekan rasa cemburu. 
"Berhati-hatilah...," pesan Panji seraya bergerak 
meninggalkan arena pertempuran. 
Entah mengapa, melihat kejelitaan Kenanga, timbul rasa 
benci yang amat sangat di hari Peri Kembangan. Apalagi 
saat melihat sikap Pendekar Naga Putih yang demikian 
mesra terhadap dara jelita berpakaian serba hijau itu. 
Timbul niat dalam hatinya untuk melenyapkan Kenanga. 
Anyelir tahu kebenciannya disebabkan oleh rasa cemburu 
pada dara jelita itu. Peri Kembangan harus mengakui

hatinya tertarik kepada pemuda tampan berjubah putih, 
yang baru kali ini ditemuinya selama bertualang di dunia 
persilatan. 
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih, 
Kuntilanak..?" tanya Peri Kembangan yang tidak berhasil 
menyembunyikan rasa iri hatinya. 
"Hm.... Kau tidak perlu mengetahui hubungan kami...," 
tukas Kenanga. Rupanya gadis jelita itu dapat menebak 
perasaan Anyelir. Kenanga ingin membuat Peri Kembangan 
penasaran. 
"Kurang ajar...! Ternyata kau sama sombongnya seperti 
Pendekar Naga Putih! Hendak kulihat apakah 
kepandaianmu sesuai dengan sikapmu...!" geram Peri 
Kembangan yang segera membuka jurusnya, siap 
menggempur Kenanga. 
Kenanga sendiri tidak mau banyak cakap lagi. Melihat 
lawan sudah mulai bersiap, langkahnya segera digeser 
membentuk kuda-kuda silang. Kemudian kaki kanannya 
maju membentuk kuda-kuda rajawali. Kemudian tangan-
nya membuat gerakan yang kelihatan lemas, namun 
menyembunyikan kekuatan hebat. Dan.... 
"Haaat...!" 
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh dara jelita itu 
bergerak maju menyambut serangan lawan. Dalam 
gebrakan pertama itu Kenanga langsung menggunakan 
tiga bagian dari tenaga dalamnya. Bahkan mengeluarkan 
jurus andalannya. Sebab tadi ia telah menyaksikan 
kehebatan gadis pemikat itu. Kenanga agaknya tidak mau 
bertindak tanggung-tanggung lagi. 
Whuttt...! 
Begitu mengelakkan sebuah tamparan lawan, Kenanga 
langsung membalas dengan pukulan miring. Kecepatan 
dan kesigapan dara jelita itu sempat membuat Peri 
Kembangan tertegun. Tampaknya ia tidak menduga kalau 
dara jelita itu memiliki kecepatan gerak yang tidak kalah 
dengannya. Bahkan terlihat lebih mantap dan kuat. 
"Heaaah...!"

Sadar kalau serangan balasan lawan tidak bisa diabai-
kan begitu saja, Anyelir segera melompat ke samping untuk 
menghindar. Tapi, untuk kedua kalinya gadis cantik itu 
dilanda rasa terkejut. Begitu serangan pertama luput, 
Kenanga masih melanjutkan serangannya dengan 
serangkaian pukulan dan tendangan yang jauh lebih 
berbahaya. Hingga dalam gebrakan pertama itu Peri 
Kembangan menjadi kalang-kabut! 
"Jaga pukulanku...!" 
Bentakan yang mengejutkan itu disusul dengan dua 
buah pukulan yang menerbitkan angin menderu tajam. 
Sehingga, Peri Kembangan berseru tertahan. Kedudukan-
nya tidak memungkinkan untuk mengelak! 
Plakkk! 
Terdengar suara lengan berbenturan ketika dengan 
sangat terpaksa Peri Kembangan mengangkat tangan 
memapaki serangan Kenanga. 
"Uhhh...?!" 
Peri Kembangan mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar 
mundur sejauh setengah tombak lebih. Untung ia masih 
sempat berputar untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. 
Lalu membentuk kuda-kuda kokoh. 
"Kurang ajar...!" desis gadis cantik berpakaian serba 
merah itu jengkel. Sekarang baru terbuka matanya kalau 
lawannya ternyata tidak bisa dipandang ringan! 
"Mengapa berhenti, Perempuan Genit?" tegur Kenanga 
melihat gadis cantik itu menghentikan gerakannya, dan 
memandang dirinya dengan sorot mata tajam. "Apa kau 
ingjn menyatakan takluk kepadaku? Kalau begitu, cepatlah 
berlutut dan minta ampun." 
"Setan...!" desis Peri Kembangan dengan dada turun 
naik. Anyelir tidak membalas ejekan lawannya. Sebab saat 
itu ia tengah memikirkan jalan keluar untuk meloloskan diri 
dari tempat itu. 
Kenanga memperdengarkan tawanya yang renyah 
ketika melihat kegelisahan lawan. Sekali pandang ia 
langsung dapat menduga kalau Peri Kembangan hendak

melarikan diri. 
"Jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini 
dengan selamat, Perempuan Iblis! Aku tidak akan 
melepaskanmu. Dosa-dosamu sudah terlalu banyak. Kau 
harus menebusnya sekarang juga...!" 
Peri Kembangan kelihatan semakin gelisah mendengar 
ancaman itu. Kakinya bergerak ke belakang beberapa 
langkah. Dan kedua tangannya membuat jurus-jurus baru. 
Wanita iblis itu tengah mempersiapkan ilmunya untuk 
pertarungan berikutnya. 
"Bagus kalau kau masih mempunyai keberanian untuk 
melanjutkan pertarungan...!" ujar Kenanga. Kemudian 
kakinya melangkah maju, siap menggempur wanita iblis 
itu. 
"Haiiit...!" 
Kali ini Kenanga yang memulai serangan lebih dulu. 
Tubuhnya melayang dengan kecepatan yang mengagum-
kan. Angin pukulannya datang menyambar sebelum 
serangan itu tiba. Jelas serangan Kenanga kali ini jauh 
lebih berbahaya dari sebelumnya. 
Peri Kembangan pun sadar akan kehebatan serangan 
lawan. Ia tidak mau bertindak ceroboh dengan memapaki 
serangan itu. Maka begitu serangan tiba, Anyelir melompat 
ke samping sambil mengirimkan tendangan kilat ke tubuh 
Kenanga. 
"Hiaaa...!" 
Plakkk! 
Kenanga langsung menyambut tendangan lawan 
dengan telapak tangan terbuka. Terus menggeser kaki 
kirinya membentuk kuda-kuda silang seraya mengibaskan 
kedua tangannya dengan telapak membuka. Hebat dan 
cepat bukan main serangan dara jelita itu. Peri Kembangan 
terpaksa harus melempar tubuhnya dengan berjumpalitan 
beberapa kali di udara. Dan baru meluncur turun setelah 
merasa yakin telah berada jauh dari jangkauan serangan 
lawan. 
Tapi, Kenanga yang tidak ingin buruannya lepas, segera

melesat dengan serangan-serangannya. Dara jelita itu tidak 
ingin memberi kesempatan kepada Peri Kembangan untuk 
meneliti sekitar tempat itu. Kenanga terus mencecar 
dengan hebatnya. 
"Setan keparat...!" 
Lagi-lagi Anyelir mengumpat marah. Karena baru saja 
kedua kakinya menjejak tanah, serangan Kenanga kembali 
datang mengancam. 
"Heaaah...!" 
Rasa jengkel dan penasaran membuat Peri Kembangan 
bertindak nekat. Kali ini ia tidak berusaha menghindar. 
Bahkan mempersiapkan jurusnya untuk menyambut 
serangan lawan. 
Whuttt, whuttt...! 
Peri Kembangan mengeluarkan jurus andalannya 
dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. 
Akibatnya sungguh hebat sekali. Kenanga harus mengerah-
kan segenap kemampuannya untuk mengimbangi per-
mainan lawan. 
Pertarungan pun bertambah seru dan berjalan cepat. 
Kedua wanita yang memiliki pesona memabukkan itu 
saling terjang bagai singa-singa betina. 
Memang berbahaya sekali wanita cantik berjuluk Peri 
Kembangan itu. Kalau saja orang lain yang menjadi 
lawannya, mungkin sudah sejak tadi dapat ditundukkan. 
Untunglah kepandaian Kenanga sudah bertambah maju. 
Kalau tidak, belum tentu ia sanggup menandingi 
kepandaian wanita itu, gumam Panji dalam hati. Diam-
diam Pendekar Naga Putih mengagumi kepandaian Peri 
Kembangan. Ia maklum jika wanita itu berani malang-
melintang menyebar kejahatan. Sebab menurut penilaian-
nya, jarang ada tokoh yang sanggup menandingi kehebatan 
wanita cantik itu. 
***

"Haaat..!" 
Peri Kembangan semakin penasaran! Setelah ber-
tempur enam puluh jurus lebih, ternyata ia masih belum 
sanggup mengalahkan lawan. Padahal selama ini ia jarang 
menemukan tandingan. Jangankan seorang wanita muda 
seusia lawannya, tokoh-tokoh tua yang cukup terkenal pun 
banyak yang gugur di tangannya. Jadi wajar kalau saat ini 
ia benar-benar dibuat penasaran oleh ketangguhan dara 
jelita itu. 
Bukan hanya Anyelir yang diam-diam mengagumi 
kehebatan lawan. Kenanga sendiri terkejut setelah 
merasakan kehebatan wanita cantik itu. Bahkan ia mulai 
merasa ragu dapat mengalahkan lawannya. Karena sampai 
sejauh itu belum nampak tanda-tanda lawannya akan 
dapat dikalahkan. Bahkan serangan Peri Kembangan 
semakin bertambah hebat, kendati pertarungan sudah 
cukup lama berjalan. 
"Hm.... Tampaknya aku memang harus menguras 
seluruh kepandaianku untuk menundukkan wanita iblis 
ini!" Gumam batin Kenanga. 
Berpikir demikian, Kenanga mulai mengubah per-
mainannya. Kali ini ia menggunakan jurus-jurus 
pamungkasnya yang sudah disempurnakan kekasihnya. 
Pengaruhnya tentu saja tidak kecil. Jurus 'Bidadari 
Menabur Bunga' yang kelemahan-kelemahannya boleh 
dikatakan sulit ditemui, telah mengejutkan Peri 
Kembangan. Ia mulai mengakui keunggulan lawan. 
"Setan...!" 
Lagi-lagi Peri Kembangan hanya bisa memaki ketika ia 
terdesak gempuran-gempuran Kenanga. Ruang geraknya 
semakin sempit, hingga sulit untuk mengembangkan jurus-
jurusnya. Sampai kemudian.... 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Tubuh Peri Kembangan terlempar sejauh satu tombak 
akibat pukulan keras yang menghantam tubuhnya. Wanita 
cantik itu pun dilanda kegelisahan. Ia sadar kepandaian

lawan masih lebih tinggi setingkat dari kepandaiannya. 
Anyelir menyusut cairan merah yang mengalir di sudut 
bibirnya. Napasnya terengah-engah, karena pukulan lawan 
membuat dadanya agak sesak, dan sulit bernapas. Tapi 
meskipun begitu, ia berusaha bangkit untuk menjaga 
serangan susulan yang mungkin akan dilancarkan. 
Kewaspadaan Peri Kembangan memang beralasan. 
Karena saat itu Kenanga telah melesat dengan serangan 
berikutnya. Tampaknya gadis jelita itu ingin segera 
menyelesaikan pertarungan yang melelahkan ini. 
"Heaaah...!" 
Sadar kalau tidak mungkin sanggup menghadapi 
serangan lawan, Peri Kembangan mengambil tindakan 
licik. Sambil menyiapkan senjata rahasia yang disimpan di 
pinggangnya, wanita cantik itu membentak nyaring. 
Kemudian lengannya dikibaskan dengan sisa-sisa tenaga-
nya. 
Srrr... srrr...! 
Belasan jarum-jarum halus meluncur menyambut tubuh 
Kenanga! Tentu saja dara jelita itu terkejut. Sedikit pun 
tidak diduganya kalau lawan akan berbuat selicik itu. Tidak 
ada jalan lain baginya kecuali sebisa mungkin menghalau 
sinar-sinar hitam itu. 
"Haiiit...!" 
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, 
Kenanga memutar kedua tangannya. Tapi.... 
"Akh...?!" 
Meskipun sudah berusaha melindungi tubuhnya dari 
serangan gelap itu, tak urung beberapa di antaranya lolos 
juga. Kenanga terpekik dengan tubuh terbanting ke tanah. 
"Kenanga...!" 
Menyaksikan tubuh kekasihnya terbanting jatuh, Panji 
cepat berlari memburu. Pendekar Naga Putih memang 
sempat menyaksikan perbuatan Peri Kembangan. Tapi, 
karena jarak antara mereka cukup jauh, ia tidak sempat 
mencegahnya. 
Kekhawatiran akan keadaan Kenanga membuat Panji
tidak mempedulikan wanita iblis itu. Ia sudah dapat 
menebak Peri Kembangan menggunakan senjata rahasia 
yang dilumuri racun. Sehingga, Panji lebih mementingkan 
keselamatan kekasihnya daripada mencegah Peri 
Kembangan yang dilihatnya langsung meninggalkan 
tempat itu. 
"Wanita iblis itu sungguh licik sekali, Kakang...," rintih 
Kenanga, sebelum jatuh tak sadarkan diri. Racun di dalam 
jarum-jarum halus itu telah bekerja cepat. 
Melihat kekasihnya tak sadarkan diri, Panji langsung 
memeriksa tubuh dara jelita itu. Dan menotok di beberapa 
tempat untuk mencegah racun itu tidak segera menyebar 
ke jantung. Sebab kalau hal itu sampai terjadi, besar 
kemungkinan kekasihnya akan tewas. 
Panji menarik napas lega setelah memberikan per-
tolongan pertama. Lalu tanpa mempedulikan sekelilingnya, 
tubuh pemuda berjubah putih itu melesat pergi membawa 
Kenanga. 
***

LIMA

Panji terus berlari meninggalkan Desa Warang. Ia hendak 
mencari tempat yang aman untuk mengeluarkan racun 
yang mengeram di tubuh kekasihnya. Satu-satunya tempat 
yang cocok adalah sebuah hutan di sebelah selatan desa 
itu. 
Setelah memasuki hutan dan mencari-cari tempat yang 
dianggapnya cocok, dilihatnya sebuah pondok sederhana. 
Cepat dibawanya Kenanga ke tempat itu. Meskipun sudah 
agak rapuh, ditemukannya sebuah balai-balai bambu. Panji 
segera membaringkan tubuh Kenanga. 
Secara kebetulan, pondok sederhana itu dibangun dekat 
aliran sungai yang berair jemih. Dari sungai itulah Panji 
mengambil air. Karena ia sudah meneliti sifat racun yang 
berada di dalam tubuh Kenanga. Ia tahu kekasihnya pasti 
akan merasa haus setelah sadar dari pingsannya. Sebab 
racun itu mengandung hawa panas. 
"Uhhh...." 
Panji yang duduk di tepi pembaringan, segera 
memegang jemari tangan kekasihnya. Dan meng-
genggamnya erat-erat. Pemuda itu tersenyum saat melihat 
kelopak mata Kenanga mengerjap dan terbuka. 
"Kakang...," panggil dara jelita itu dengan suara 
berdesah pelan. Keningnya tampak dibasahi titik-titik 
keringat. 
"Ya...," sahut Panji seraya meremas perlahan jemari dara 
jelita itu, sebagai tanda ia berada di dekatnya. 
"Aku haus...," rintih Kenanga lagi disertai erangan lirih. 
Wajah jelita itu tampak kemerahan. Karena racun yang 
berada dalam tubuhnya kembali bekerja. 
Panji pun segera menyodorkan air yang ditampungnya 
pada selembar daun pisang. Kemudian didekatkan ke bibir 
Kenanga yang kelihatan pucat dan kering. 
Setelah meneguk habis air yang diberikan Panji,

Kenanga kelihatan agak tenang. Tapi, bukan berarti 
bahaya telah lewat. Tubuh dara jelita itu makin bertambah 
panas. Bahkan pakaian yang dikenakannya mulai dibasahi 
peluh yang mengalir deras di sekujur tubuhnya. 
"Hebat sekali racun yang terdapat pada jarum-jarum 
halus itu. Tidak kusangka wanita iblis itu memiliki keahlian 
yang cukup tinggi dalam hal racun. Entah dari mana ia 
berasal, dan siapa yang telah mendidiknya sampai 
demikian lihai...," gumam Panji ketika melihat cara kerja 
racun itu. Panji pun sadar satu-satunya jalan untuk 
mengusir racun di dalam tubuh Kenanga adalah dengan 
menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. 
"Kenanga..., kau dengar suaraku....?" tanya Panji 
mendekatkan wajahnya ke telinga dara jelita itu, yang kini 
telah memejamkan kedua matanya kembali. 
"Aku dengar, Kakang...," sahut Kenanga setengah 
berbisik. Kenanga tampaknya cukup menderita dengan 
keadaan itu. 
"Hm.... Coba kosongkan pikiranmu. Kuasai tenaga 
dalammu agar tidak melawan sewaktu aku menyalurkan 
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' ke dalam tubuhmu. Hanya 
ini jalan satu-satunya untuk mengenyahkan racun yang ada 
dalam tubuhmu. Kau sanggup melakukannya...?" ujar Panji 
memberikan petunjuk. 
"Aku... sanggup, Kakang...," jawab Kenanga lirih. 
"Kalau begitu, bersiaplah...," lanjut Panji. Lalu membantu 
kekasihnya bangkit agar mudah menyalurkan tenaga 
mukjizatnya ke dalam tubuh Kenanga. 
Kenanga tidak membantah ketika Panji menyuruhnya 
duduk dalam sikap semadi. Dara jelita itu mengosongkan 
pikirannya agar tenaga dalamnya tak melawan saat Panji 
memindahkan tenaga dalamnya melalui telapak tangan 
yang diletakkan ke punggung dara jelita itu. 
Tubuh Panji yang duduk dalam sikap semadi di belakang 
kekasihnya mulai diselimuti cahaya keemasan. Pertanda 
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai menunjukkan 
kekuatannya. Dengan perlahan cahaya keemasan itu


bergerak dan berkumpul di kedua telapak tangan pemuda 
itu. Lalu lenyap ke dalam tubuh Kenanga. 
Beberapa saat kemudian, setelah tenaga mukjizat itu 
berpindah ke dalam tubuh kekasihnya, Panji melepaskan 
kedua telapak tangannya perlahan-lahan. Dan merebahkan 
tubuh kekasihnya yang telah diselimuti cahaya keemasan. 
"Hhh...!" 
Panji menghela napas lega melihat cahaya keemasan 
itu melebar dan hawa panasnya semakin menyengat kulit. 
Ia tahu itu pertanda 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai 
bekerja. Sekarang ia hanya tinggal menunggu kesembuhan 
kekasihnya. Karena tenaga mukjizat itu sanggup mem-
bakar segala jenis racun. Bahkan racun yang paling ganas 
sekalipun! 
Panji tampaknya tidak perlu menunggu terlalu lama. 
Daya kerja tenaga mukjizatnya memang luar biasa. 
Beberapa saat setelah ia memindahkannya, Kenanga 
mulai sadar dan mengeluh perlahan. 
Senyum di wajah pemuda tampan berjubah putih itu pun 
terkembang ketika Kenanga bangkit dengan wajah segar 
seperti biasa. Dara jelita itu sudah sembuh dan terbebas 
dari pengaruh racun Peri Kembangan. 
"Kau kelihatan sudah sehat seperti semula, Kenanga...," 
ujar Panji saat melihat dara jelita itu tersenyum manis. 
"Benar, Kakang. Tubuhku terasa segar. Bahkan jauh 
lebih segar dari biasanya...," sahut Kenanga segera bangkit 
dari pembaringan dan duduk di sebelah kekasihnya. 
"Itu karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih 
mengalir di seluruh tubuhmu," jelas Panji. 
"Kau benar, Kakang. Aku memang merasakannya...," 
tukas Kenanga setelah terdiam sesaat, seperti hendak 
meneliti kebenaran ucapan itu. 
Apa yang dikatakan pemuda itu memang tidak salah. 
Kenanga merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam 
tubuhnya. Hawa mukjizat itu masih menjaga kalau-kalau 
ada racun yang tersisa di dalam tubuh dara jelita itu. 
"Biarlah untuk sementara kekuatan mukjizat itu berada

dalam tubuhmu...," ujar Panji. Karena ia tahu hal itu sangat 
baik bagi Kenanga. 
"Kita harus segera mencari wanita iblis itu, Kakang. Aku 
khawatir ia akan kembali melakukan perbuatan kejinya. 
Entah keuntungan apa yang didapatnya dari perbuatan 
terkutuk itu...?" ucap Kenanga yang merasa telah cukup 
kuat untuk melakukan perjalanan jauh maupun bertempur. 
Panji tidak menjawab dengan kata-kata. Pemuda itu 
hanya mengangguk menyetujui usul kekasihnya. Ia yakin 
Kenanga sudah pulih seperti biasa. Maka, Panji segera 
bangkit dan mengajak Kenanga mencari Peri Kembangan 
untuk menghentikan perbuatan biadab wanita cantik 
berhati iblis itu. 
*** 
Gadis cantik berpakaian serba merah itu duduk di atas 
batu bulat di dalam taman. Sepasang matanya yang bulat 
bening mengawasi bunga-bunga yang sedang mekar. 
Hingga menyebarkan bau harum di sekitar tempat itu. 
Kelihatannya gadis cantik itu benar-benar menikmati 
keindahan alam dl sekitarnya. 
"Anyelir, Dewi Pujaanku...." 
Suara panggilan mesra bernada rayuan itu menyelusup 
ke dalam telinga, membuat gadis cantik itu menoleh 
dengan raut tak senang. Kelihatannya ia merasa terganggu 
dengan kehadiran suara itu. 
"Ah.... Kau rupanya, Kakang Japati...," ujar gadis cantik 
yang tidak lain Anyelir. Bibirnya yang merah menantang, 
mengulas senyum manis ketika melihat seorang lelaki 
gagah melangkah ke arahnya. 
"Maaf, kalau kehadiranku telah membuatmu terganggu, 
Anyelir...," ujar lelaki gagah yang bernama Japati masih 
dengan penuh mesra. Kemudian tubuhnya dijatuhkan di 
sebelah Anyelir. Tangannya melingkar di bahu yang hangat 
itu. 
"Tidak mengapa, Kakang. Kehadiranmu tidak mengganggu. Bahkan aku merasa senang sekali...," tukas 
Anyelir. Lalu merebahkan kepalanya di dada bidang Japati. 
Manja sekali sikap Anyelir terhadap lelaki gagah itu. 
Padahal wajah lelaki itu tidak bisa dibilang tampan. 
Biasanya Anyelir tidak akan berbuat demikian. Ia hanya 
menyukai pemuda-pemuda tampan yang memenuhi 
seleranya. Tapi, kali ini tampaknya ia tidak mempedulikan 
hal itu. 
"Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku merasa cemas 
ketika tidak menemukanmu di dalam rumah. Kukira kau 
telah pergi karena tidak suka hidup bersamaku...," lanjut 
Japati, mengecup lembut rambut Anyelir yang berbau 
harum. 
Anyelir tidak menanggapi ucapan itu. Hanya meng-
gesekkan kepalanya ke dada bidang Japati, bagai seekor 
kucing yang hendak bermanja kepada majikannya. 
Japati menarik napas dalam-dalam mencium bau harum 
tubuh Anyelir. Deru napasnya terdengar lebih cepat. 
Rupanya bau tubuh gadis cantik itu telah membuat 
gairahnya bangkit. Maka ditariknya tubuh lembut itu ke 
dalam pelukannya. Kemudian membisikkan sesuatu ke 
telinga gadis itu. 
"Iiih...! Bukankah kita sudah melakukannya beberapa 
kali dalam semalam...?" 
Terdengar suara manja Anyelir ketika mendengar 
bisikan Japati. Kendati berkata demikian, namun bibirnya 
menyunggingkan senyum menantang, membuat lelaki 
gagah itu semakin tidak sanggup menahan gejolak dalam 
dadanya. 
"Salahmu sendiri. Mengapa kau demikian cantik dan 
mempesona...," tukas Japati. 
Kemudian tubuh ramping itu dipondongnya tanpa 
mempedulikan pekikan manja yang mencela per-
buatannya. Gadis cantik itu dibawanya ke dalam rumahnya 
yang merupakan bangunan megah. Tampaknya Japati 
merupakan orang terhormat dan banyak memiliki harta. 
Anyelir memperdengarkan kekehnya yang genit. Ia tidak

berusaha melepaskan diri. Dan membiarkan lelaki gagah 
itu melakukan apa yang diinginkannya. 
Sebentar kemudian, tubuh keduanya lenyap di balik 
pintu kayu tebal yang berukir indah. Hanya dinding-dinding 
kamar tempat mereka berada yang tahu perbuatan 
manusia berlainan jenis itu. 
Japati memang bukan orang sembarangan di kadipaten 
itu. Ia adalah penguasa di tempat itu, yang dengan 
sikapnya sanggup menghitamputihkan segala sesuatu. 
Japati seorang adipati yang ditakuti penduduk daerah itu. 
Agaknya alasan inilah yang membuat Anyelir menyerahkan 
diri sepenuhnya kepada lelaki setengah baya itu. Tentunya 
ia mendapat keuntungan yang telah dipikirkannya masak-
masak. Kalau tidak, mana mungkin wanita cantik itu mau 
menyerahkan dirinya pada Adipati Japati yang wajahnya 
tidak bisa dibilang tampan. Bahkan mendekati buruk dan 
bengis. 
Tanpa sepengetahuan Japati dan Anyelir, sepasang 
mata tajam sempat melihat mereka memasuki kamar 
paling besar di dalam bangunan megah itu. Ada kilatan 
marah dan benci dalam bola mata sosok tubuh tegap yang 
bersembunyi di balik dinding ruangan besar itu. Apa yang 
dilakukan Anyelir bersama Adipati Japati telah mem-
bangkitkan rasa cemburu di hatinya. 
"Perempuan laknat...!" desis pemilik sepasang mata 
tajam itu. Kilatan dendam tersirat dalam pandang 
matanya. "Rupanya bukan cuma aku yang mendapatkan 
cintanya! Dasar perempuan rendah...!" 
Setelah menumpahkan kemarahannya melalui makian 
dan cercaan, pemilik sorot mata tajam itu bergerak 
meninggalkan tempat itu. Langkahnya demikian hati-hati. 
Sepertinya ia merasa khawatir kehadirannya akan 
diketahui kedua orang itu. Ia sangat maklum kedua orang 
yang diintainya sejak dari dalam taman merupakan orang-
orang terlatih yang bisa mendengar suara langkah kaki. 
Sosok itu baru melangkah biasa setelah agak jauh. 
Kemudian bergegas masuk ke dalam kamar yang cukup
besar. Dan lenyap di balik pintu tebal berukir. 
*** 
Cahaya kemerahan tampak menghiasi kaki langit 
sebelah barat. Tak berapa lama kemudian, pijarnya lenyap 
tertutup kegelapan. Rembulan pun muncul menghiasi 
malam. Bintang-bintang yang berkerlip jenaka ber-
gantungan di langit kelam, membuat suasana malam 
demikian indah dipandang mata. 
Di bawah pancaran cahaya bulan yang gemerlap tampak 
sesosok tubuh bergerak menuju taman yang terletak di 
belakang rumah Kadipaten Banjaran. Dari sikapnya yang 
hati-hati, mudah ditebak kalau kedatangannya di tempat 
itu tidak ingin diketahui orang. 
"Kasihan.... Apa kau terlalu lama menungguku, 
Ganajaya...?" tegur sosok tubuh itu dengan mesra. 
Kali ini ia tidak takut-takut lagi untuk menunjukkan 
dirinya. Kedatangannya memang hendak menemui sosok 
tubuh tegap yang tengah duduk termenung di dalam 
taman. 
Sosok tubuh tegap yang sudah pasti seorang lelaki itu 
tidak menoleh, meskipun jelas-jelas mendengar teguran 
itu. Bahkan tetap memandang lurus ke depan saat sosok 
tubuh itu melangkah gemulai menghampiri. Lelaki tegap 
yang dipanggil Ganajaya itu tampaknya tidak mem-
pedulikan kehadiran sosok tubuh ramping padat itu. 
"Hm.... Rupanya kau masih berani juga menemuiku, 
Perempuan Rendah...!" desis Ganajaya saat sosok tubuh 
ramping itu semakin dekat. 
Ucapan kasar itu membuat langkah sosok wanita itu 
terhenti. Kemudian kembali bergerak dan agak bergegas. 
Ia sempat terkejut mendengar ucapan tadi. 
"Kau bicara apa barusan, Ganajaya...? Apakah makian 
itu kau tujukan untukku...?" tegur gadis bertubuh meng-
giurkan itu dengan menyembunyikan keheranan dan rasa 
penasarannya.

Ganajaya tidak menyahut. Tubuhnya langsung bangkit 
saat wanita itu duduk di sebelahnya. Tampaknya lelaki 
tegap itu benar-benar sedang marah. Sampai-sampai tidak 
sudi duduk berdampingan dengan gadis bertubuh ramping 
padat itu. 
"Ada apa, Ganajaya...? Sikapmu benar-benar membuat-
ku penasaran! Kalau kau memang sudah tidak suka 
kepadaku, aku akan pergi dari tempat ini. Tapi katakan 
dulu, apa yang membuatmu berubah seperti ini? Apakah 
kata cinta yang pernah kau ucapkan hanya rayuan karena 
ingin menikmati tubuhku...? Jawab pertanyaanku, 
Ganajaya?" ujar wanita itu dengan suara agak meninggi. 
Kelihatannya ia merasa tersinggung dengan sikap 
Ganajaya. 
"Jangan tanya padaku, Anyelir! Coba kau teliti dirimu. 
Apakah ucapan manismu juga kau desahkan untuk 
menggoda ayahku? Nah, apa jawabmu...?" tukas Ganajaya 
melemparkan kembali kata-kata yang diucapkan wanita 
bertubuh menggiurkan, yang ternyata Anyelir. 
Ganajaya adalah putra Adipati Japati, yang merupakan 
kekasih Anyelir atau Peri Kembangan. Rupanya wanita 
kejam itu telah melangkah terlalu jauh. Dengan beraninya 
ia menjerat ayah dan anak penguasa Kadipaten Banjaran. 
Sungguh sebuah keberanian yang luar biasa! 
"Hm.... Katakan terus terang, Ganajaya? Apa maksud 
ucapanmu?" tanya Anyelir mencoba menyembunyikan 
perbuatannya. Ia hendak mencari tahu, sampai sejauh 
mana lelaki tegap itu mengetahui hubungannya dengan 
Adipati Japati. 
"Jangan berpura-pura, Anyelir! Kau pikir aku tidak tahu 
apa yang telah kau perbuat dengan ayahku? Coba katakan, 
apa yang akan diperbuat dua orang berlainan jenis di 
dalam kamar tertutup? Apakah kau hendak mengatakan 
kalian tengah bermain kucing-kucingan di dalam kamar 
itu?" geram Ganajaya dengan suara bagaikan kucing 
terinjak buntutnya. 
Hati lelaki tegap itu terasa sakit mendengar wanita yang

dicintainya berusaha menyembunyikan perbuatan kotor-
nya. Terlebih lagi dilakukan bersama ayahnya, lelaki yang 
seharusnya dihormati Anyelir. Tak dapat dibayangkan 
betapa sakitnya luka yang tertoreh di hati lelaki tegap itu. 
"Ganajaya...!" pekik Anyelir dengan terisak. 
Wanita iblis itu hendak mempergunakan senjata 
wanitanya untuk meruntuhkan hati Ganajaya. Air mata itu 
agaknya berhasil membuat hati Ganajaya tergerak. Lelaki 
itu tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Hanya 
berdiri mematung menatap Anyelir yang menutupi wajah-
nya dengan bahu berguncang lembut. Apa yang dilakukan 
wanita itu membuat Ganajaya tertegun. 
"Kau tidak tahu, Ganajaya. Betapa aku melakukannya 
dengan sangat terpaksa...," rintih Anyelir masih tetap 
menutupi wajahnya. Kelihatannya hati gadis itu sangat ter-
luka oleh tuduhan Ganajaya. 
"Apa... apa maksudmu, Anyelir...? Mengapa kau katakan 
terpaksa?" tanya Ganajaya seraya menghampiri gadis 
cantik itu dan memegang bahunya. 
Merasa senjatanya berhasil mengenai sasaran, Anyelir 
semakin terisak. Tapi tak setetes air mata pun mengalir 
membasahi jemarinya. Tangis itu jelas hanya dibuat-buat. 
Sayang Ganajaya tidak memperhatikan hal itu. Ia sudah 
cukup sibuk memikirkan ucapan Anyelir barusan. 
"Aku tidak ingin kau semakin terluka bila kuceritakan hal 
yang sesungguhnya terjadi, Ganajaya. Biarlah semua ini 
kusimpan sendiri. Dan..., selamat tinggal...." 
Setelah berkata demikian, Anyelir membalikkan tubuh 
hendak meninggalkan tempat itu. Tapi, Ganajaya tidak 
membiarkan gadis cantik itu meninggalkannya tanpa 
mengatakan apa sebenarnya yang sudah terjadi. 
"Kau tidak boleh pergi, Anyelir. Katakan, apa yang 
sebenarnya telah terjadi? Aku berjanji akan memaafkan 
perbuatanmu, dengan syarat kau tidak akan meng-
ulanginya lagi...," pinta Ganajaya mencegah kepergian 
gadis cantik itu. 
Mendengar ucapan itu, Anyelir berbalik dan menyuruk

kan kepalanya ke dalam pelukan Ganajaya. Sehingga, 
lelaki tegap itu kelihatan semakin iba, dan membalas 
pelukan Anyelir. Bahkan membelai rambut gadis itu dengan 
penuh kasih sayang. 
Untuk beberapa saat suasana menjadi bisu. Hanya 
desau angin yang terdengar lembut, ditingkahi gemerisik 
dedaunan. Kedua insan itu masih tetap saling berpelukan 
tanpa kata. 
***

ENAM

"Ceritakanlah kesusahan hatimu, Anyelir. Dengan begitu 
mungkin akan kupertimbangkan kembali, apakah kau 
pantas dimaafkan atau tidak," pinta Ganajaya setelah gadis 
cantik yang licik itu mulai tenang dan tidak terisak lagi. 
Pada mulanya Anyelir bersikeras tidak mau mencerita-
kan apa yang dialaminya. Tapi karena Ganajaya terus 
memaksa, akhirnya gadis cantik itu menceritakan juga. 
"Pada mulanya aku pun kaget...," Anyelir memulai 
ceritanya. "Ayahmu datang menemuiku saat aku tengah 
menyendiri di taman. Entah setan apa yang merasuk ke 
dalam tubuhnya ketika melihat aku duduk sendirian. Ia 
langsung merayu dengan menjanjikan akan mengabulkan 
segala keinginanku. Asalkan aku mau melayani nafsu 
bejatnya. Tentu saja aku menolak. Ayahmu sangat marah 
dengan penolakanku. Ia berkata akan mengusirmu dari 
rumah ini, dan tidak akan mengakuinya sebagai anak lagi. 
Sungguh kaget hatiku mendengar ancaman itu...." 
Sampai di situ Anyelir menghentikan ceritanya. Wajah-
nya menengadah menatap Ganajaya. Seolah hendak 
melihat tanggapan pemuda bertubuh tegap itu. 
Ganajaya terkejut bukan main mendengar penuturan 
Anyelir. Sedikit pun tidak pernah terpikir ayahnya akan ber-
tindak sejauh itu. Tubuh pemuda tegap itu menggigil 
seperti orang terserang demam hebat. Wajahnya tidak lagi 
merah, tapi pucat saking marahnya. 
"Lanjutkan, Anyelir...," pinta Ganajaya dengan suara ber-
getar penuh dorongan emosi yang bergejolak dalam dada. 
Sepasang matanya memancarkan kemarahan dan luka 
yang dalam. 
"Sudahlah, Ganajaya. Sebaiknya kita lupakan saja 
semua itu. Kita tinggalkan tempat ini, dan hidup bersama 
jauh dari jangkauan kekuasaan ayahmu. Aku tidak ingin 
menyiksamu lebih jauh...," bujuk Anyelir agar Ganajaya

tidak perlu lagi mendengar kelanjutan cerita itu. 
"Tidak, Anyelir. Aku harus tahu semuanya. Kau... tidak 
perlu khawatir...," bantah Ganajaya dengan suara bergetar. 
Ditariknya napas dalam-dalam untuk menyiapkan kekuatan 
mendengar kelanjutan cerita gadis cantik itu. 
"Jangan, Ganajaya...!" 
Anyelir masih berusaha mencegah keinginan pemuda 
tegap itu. Ditatapnya wajah Ganajaya dengan penuh per-
mohonan. 
"Lanjutkan, Anyelir. Aku ingin tahu apa lagi yang dikata-
kan tua bangka tak tahu diri itu untuk membujukmu...?" 
ujar Ganajaya dengan nada suara yang mulai menurun, 
kendati tetap menunjukkan kekerasan hatinya. 
"Baiklah...," desah Anyelir menyerah. 
Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya. Termasuk ucapan-
ucapan Adipati Japati untuk merayu dirinya agar menuruti 
keinginan kotor penguasa Kadipaten Banjaran itu. 
"Keparat...!" desis Ganajaya dengan mata merah 
menyala. Kemarahan di dalam dadanya menyentak kuat 
bagai gelora ombak samudera, membuat lelaki tegap itu 
meringis sambil mendekap dada. 
"Ganajaya...!" 
Anyelir terpekik kecil ketika melihat lelaki tegap itu 
tampak menderita sekali. Tapi, kekhawatiran itu hanya tipu 
muslihatnya. Jauh di dalam hatinya, Anyelir tertawa puas 
melihat kebencian mulai timbul di hati Ganajaya terhadap 
orangtuanya. Memang itulah maksudnya masuk ke dalam 
lingkungan Kadipaten Banjaran. 
"Tua bangka itu harus diberi pelajaran! Sungguh tega ia 
hendak mencampakkan ibuku untuk mendapatkanmu. 
Rasanya ia benar-benar sudah ditunggangi iblis...!" ujar 
Ganajaya seraya mengepalkan tinjunya erat-erat 
Ucapan itu bukan sekadar ancaman kosong belaka. 
Anyelir tahu betul akan hal itu. Bibirnya pun menyungging-
kan senyum iblis, karena rencananya berjalan mulus 
Anyelir diam menatap wajah yang tengah dilanda 
kemarahan hebat itu. Kali ini ia tidak menanggapi dan

tidak berusaha menenangkan lelaki tegap itu. Dibiarkannya 
Ganajaya menumpahkan semua kemarahannya melalui 
ancaman-ancaman berbau maut. 
"Aku akan menemuinya, dan memaksa agar semua yang 
pernah diucapkannya ditarik kembali. Kalau tidak, terpaksa 
aku akan bertindak untuk kebahagiaan kita, juga untuk 
ibuku...!" ujar Ganajaya seraya menatap langit kelam, 
sekelam dan sehitam suasana hatinya saat itu. 
Mendengar ucapan itu, Anyelir kelihatan sangat kaget. 
Tentu saja hal itu tidak dikehendakinya. Ia harus segera 
mencegahnya. 
"Jangan, Ganajaya! Aku tidak ingin kau melakukan hal 
itu...!" ujar Anyelir terdengar agak keras dan penuh 
tekanan, membuat pandangan lelaki tegap itu beralih ke 
raut wajah cantik menggiurkan itu. 
"Mengapa, Anyelir...? Bukankah sudah seharusnya aku 
mengingatkan ayah atas kesesatannya itu...?" tanya 
Ganajaya memegang bahu gadis cantik itu, dan meremas-
nya lembut penuh kasih sayang. 
"Kau tidak perlu bertindak sejauh itu. Sebaiknya kita 
lupakan saja yang sudah terjadi. Marilah...," tukas Anyelir 
sambil merebahkan kepalanya di dada Ganajaya. Dan 
menggesek-gesekkannya dengan penuh kemanjaan. 
Perbuatan gadis cantik itu membuat Ganajaya menarik 
napas panjang. Bau harum rambut wanita itu serta 
kelembutan dan kehangatan tubuh ramping yang melekat 
erat di tubuhnya, membuat keinginannya bangkit seketika. 
"Anyelir, kekasihku... dewiku...," desah Ganajaya seraya 
memeluk erat tubuh lembut yang menawarkan kenikmatan 
itu. 
Sebentar kemudian mereka bergerak meninggalkan 
taman dengan tubuh saling berpelukan. Dan lenyap di balik 
pintu kamar rumah Adipati Japati. Hanya mereka berdua 
yang tahu apa selanjutnya yang terjadi di dalam kamar itu. 
***
"Kita tidak mungkin membiarkan semua ini berlanjut, 
Kakang! Sebab, bukan tidak mungkin perempuan iblis itu 
akan menguasai kadipaten ini. Kalau sudah demikian, 
tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk bertindak...!" 
ujar lelaki gemuk berkumis tebal dengan penuh semangat. 
Tampaknya ia tengah merasa cemas terhadap sesuatu. 
"Apa lagi yang harus kita lakukan, Adi? Kalau adipati 
sendiri sudah tidak mau lagi mendengar nasihat kita, tidak 
ada lagi yang dapat kita perbuat. Menurutku, kita hanya 
tinggal menunggu keruntuhan kadipaten ini...," tukas lelaki 
setengah baya, yang sebagian rambut di atas telinganya 
berwarna putih. Kelihatannya lelaki itu sudah putus asa 
dan tidak tahu harus berbuat apa. 
"Tidak! Perempuan iblis itu harus segera dilenyapkan. 
Atau paling tidak mengusirnya keluar dari lingkungan 
kadipaten! Kita berdua harus melakukannya, Kakang. 
Karena keutuhan dan keamanan kadipaten ini ada di 
tangan kita berdua. Apa pun yang terjadi, kita harus 
bertindak!" tegas lelaki gemuk berkumis tebal yang 
kelihatannya belum berputus asa. Bahkan dalam 
kepalanya telah tersusun sebuah rencana. 
"Kau mempunyai rencana, Adi...?" tanya lelaki setengah 
baya yang kelihatan masih gagah. 
Lelaki setengah baya ini memang bukan orang 
sembarangan. Di dalam lingkungan Kadipaten Banjaran, ia 
merupakan orang kedua yang memiliki kekuasaan penuh 
setelah Adipati Japati. Ia adalah Senapati Bawara, yang 
bertanggung jawab penuh atas keselamatan junjungannya 
maupun keutuhan kadipaten itu. 
"Ya! Sebab, aku tidak ingin ulah perempuan keparat itu 
semakin menjadi-jadi. Walau harus mengorbankan nyawa, 
aku bertekad mencegah kehancuran kadipaten ini...!" 
jawab lelaki gemuk berkumis lebat, yang bernama Jipangga 
dan merupakan jagoan Kadipaten Banjaran. Mereka 
merupakan sahabat baik, dan selalu setia pada junjungan-
nya. 
"Aku pun tidak akan ragu berkorban untuk tegaknya

kadipaten ini, Adi. Tapi, kita tidak boleh mengorbankan 
nyawa sia-sia. Apalagi perempuan iblis itu kabarnya 
memiliki ilmu yang tidak rendah. Menurut laporan 
beberapa mata-mata yang kusebar, dapat kutarik 
kesimpulan kalau wanita cantik menggiurkan itu adalah 
Peri Kembangan. Sayang aku terlambat mengetahuinya. 
Karena baik Adipati Japati maupun Tuan Muda Ganajaya 
telah masuk ke dalam jerat yang dipasang perempuan 
setan itu. Sehingga, mata dan hati mereka menjadi buta 
dan tidak lagi mau mendengar laporanku. Bahkan beliau 
sangat marah dan mengancam akan memecatku bila 
masih juga menjelek-jelekkan Peri Kembangan...." 
Senapati Bawara kelihatan sangat sedih karena laporan-
nya ditolak, bahkan kedudukannya terancam. Ia tidak tahu 
lagi apa yang harus dilakukan dan hanya bisa menyesali 
sikap Adipati Japati. 
"Aku pun tidak luput dari ancaman itu, Kakang. 
Bayangkan, setelah mendidik Tuan Muda Ganajaya selama 
sekian tahun, baru kali ini aku tidak bisa mencegah 
tindakannya. Bahkan ia memutuskan hubungan guru dan 
murid ketika kunasihati agar berhati-hati terhadap 
perempuan iblis itu. Alangkah sakitnya hatiku mendengar 
perkataan Tuan Muda Ganajaya. Kalau menurutkan kata 
hatiku, sudah jauh-jauh hari aku meninggalkan kadipaten 
ini. Karena aku selalu menentang segala bentuk kejahatan 
dan berpegang pada keadilan itulah yang memaksaku 
bertahan di tempat ini...." 
Jipangga memaparkan pengalaman pahitnya yang 
hampir mirip dengan pengalaman sahabatnya. Ternyata 
mereka bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. 
Pengabdian mereka jelas bukan karena harta ataupun 
kedudukan. 
"Sekarang katakanlah rencanamu, Adi. Aku akan 
membantu dengan sekuat tenaga. Satu hal yang perlu 
kuingatkan padamu. Apa yang akan kita lakukan nanti, 
kuharap jangan diberitahukan kepada orang lain. Biarlah 
hanya kita berdua yang mengetahuinya...," ujar Senapati

Bawara yang jelas-jelas mendukung rencana sahabatnya. 
"Terima kasih, Kakang. Aku benar-benar bangga mem-
punyai sahabat sepertimu. Yang memiliki kesetiaan ter-
hadap jabatan," ujar Jipangga seraya menjabat erat jemari 
tangan sahabatnya. 
Setelah mengetahui sikap sahabatnya, Jipangga segera 
memaparkan rencana yang selama ini disimpannya. Tapi, 
meskipun merasa yakin kalau pembicaraan mereka tidak 
ada yang mendengarkan, tetap saja rencana itu mereka 
atur dengan berbisik-bisik. 
"Hm.... Rencanamu cukup bagus, Adi. Sekarang juga 
akan kusiapkan surat tantangan untuk Peri Kembangan. 
Mengenai pengirimannya, kau tidak usah khawatir. Aku 
jamin tak seorang pun akan mengetahuinya kecuali 
perempuan iblis itu," ujar Senapati Bawara yang wajahnya 
terhias cambang bauk lebat itu. Ia sangat setuju 
mendengar rencana sahabatnya. Sehingga, semangatnya 
bangkit kembali. 
"Satu hal yang tidak boleh kau lupakan, Kakang 
Senapati...," tukas Jipangga. 
"Apa itu, Adi...?" tanya Senapati Bawara dengan 
mengerutkan kening. 
"Kau tidak boleh membawa prajurit seorang pun!" jelas 
Jipangga, mengingatkan kalau rencana itu hanya boleh 
diketahui mereka berdua. 
"Jangan khawatir, Adi. Akan kuingat baik-baik hal itu...," 
sahut Senapati Bawara cepat Jawaban itu membuat 
sahabatnya menarik napas lega. 
"Kalau begitu aku pamit dulu, Kakang Senapati. Tengah 
malam besok aku akan menunggumu di hutan sebelah 
utara kadipaten." 
Setelah berkata demikian, Jipangga bergerak meninggal-
kan tempat kediaman Senapati Kadipaten Banjaran itu. 
"Hati-hati, Adi...," pesan Senapati Bawara mengingatkan 
saat kawannya menyelinap melalui jendela. Rupanya per-
temuan itu merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui 
orang.

Tanpa berkata lagi, Jipangga melompat melalui jendela, 
dan merendahkan tubuhnya begitu kedua kakinya meng-
injak tanah. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang 
melihatnya, tubuh gemuk itu melayang ke atas atap, dan 
terus bergerak di keremangan malam. 
*** 
"Kenapa, Adi? Kelihatannya kau begitu gelisah...?" 
Senapati Bawara menatap wajah lelaki gemuk di 
sebelahnya yang kelihatan tidak bisa berdiri tenang. Sikap 
yang tidak seperti biasanya itu membuat lelaki gagah ini 
tidak bisa menahan keinginannya untuk bertanya. 
"Hhh...!" 
Lelaki gemuk yang tidak lain Jipangga itu tidak segera 
menjawab. Bahkan kembali merubah sikap berdirinya 
disertai helaan napas yang menandakan kegundahan 
hatinya. Tatapan matanya yang semula tertuju lurus ke 
depan, beralih ke wajah lelaki gagah di sebelah kanannya. 
"Aku mempunyai firasat jelek, Kakang Senapati. Tapi, 
aku tidak tahu apa...?" desah Jipangga disertai tarikan 
napas yang membuat kening Senapati Bawara berkerut. 
"Jujurlah, Adi. Apakah kegelisahanmu karena kau 
merasa gentar terhadap ilmu Peri Kembangan yang 
kabarnya sangat tinggi itu...?" tanya Senapati Bawara. 
Pertanyaan itu diajukan bukan karena ingin mengejek. 
Tapi, hendak memancing agar mengetahui penyebab 
kegelisahan yang melanda perasaan rekannya. 
Jipangga yang cukup terkenal dengan ilmu tombak 
bergoloknya dalam kalangan persilatan, menoleh agak 
kaget. Rupanya pertanyaan itu mengejutkannya. Kerutan di 
keningnya kembali lenyap ketika melihat wajah Senapati 
Bawara. Pada raut wajah yang ditumbuhi brewok lebat itu 
sedikit pun tidak didapatinya tanda-tanda hinaan. Hal itu 
membuatnya sadar kalau pertanyaan itu bukan dimaksud-
kan untuk menghinanya.

"Seperti yang telah kita sepakati bersama, berkorban 
nyawa bukanlah sesuatu yang perlu kupersoalkan. Aku 
tidak takut mati, Kakang Senapati! Kegelisahan ini benar-
benar tidak kumengerti? Apakah kau tidak merasakan 
sesuatu pada hatimu...?" Jipangga mengajukan pertanyaan 
itu untuk mengetahui apa yang saat itu dirasakan Senapati 
Bawara, yang ia tahu tidak pernah mengenal rasa takut. 
"Entahlah, Adi. Yang pasti, ada sesuatu mengganjal di 
hatiku. Sayang aku tidak tahu pertanda apa perasaan tidak 
enak ini...?" sahut Senapati Bawara disertai helaan napas 
panjang. Itu membuktikan mereka berdua memang 
merasakan sesuatu, meski dengan sikap berlainan. Yang 
jelas mereka tengah dilanda kekhawatiran terhadap 
sesuatu. 
Jipangga tidak menanggapi ucapan Senapati Bawara. 
Saat itu pandangannya sudah kembali tertuju ke depan. 
Sebab dari situlah apa yang mereka tunggu akan muncul. 
Senapati Bawara dan Jipangga menarik napas panjang 
saat angin keras berhembus mempermainkan rambut dan 
pakaian mereka. Bahkan sempat membuat lengan 
Jipangga yang menggenggam erat tombak bergolok agak 
bergetar. Tiupan angin yang menurutnya agak aneh itu 
membuatnya waspada. 
"Jipangga...," panggil Senapati Bawara agak berbisik 
namun cukup jelas ditangkap telinga lelaki gemuk itu. 
"Apakah kau merasa ada sesuatu yang tengah mem-
perhatikan kita...?" 
"Ah?! Kau benar, Kakang," sahut Jipangga berbisik tanpa 
merubah kedudukannya. "Rupanya inilah yang sejak tadi 
membuatku tidak bisa tenang!" 
"Katakanlah, Jipangga. Apakah kau percaya akan 
kejujuran dan sikap gagah Peri Kembangan...?" tanya 
Senapati Bawara tetap dengan berdiri tegak dan menatap 
lurus ke depan. Tangan kanannya sudah bergerak meraba 
gagang pedang di pinggangnya. 
"Maksudmu...?" Jipangga tidak melajutkan kalimatnya. 
Wajahnya kelihatan tegang ketika memikirkan hal itu.
"Ya. Aku curiga Peri Kembangan mengadukan persoalan 
ini kepada Adipati Jipangga atau Tuan Muda Ganajaya. 
Bisa celaka kita kalau sampai dugaan itu benar terjadi...!" 
desis Senapati Bawara mendadak tegang seperti halnya 
Jipangga. 
Baru saja perkataan Senapati Bawara selesai, tiba-
tiba.... 
"Hik hik hik...!" 
"Keparat...!" umpat Senapati Bawara yang merasa 
jantungnya nyaris copot. Tawa yang mirip kekeh kuntilanak 
itu begitu tiba-tiba datangnya. Dan dalam keadaan hati 
tengah dilanda ketegangan memuncak! 
"Bedebah...!" 
Tubuh Jipangga sampai terlonjak. Tombak bergolok di 
tangan kanannya diputar sedemikian rupa dengan 
pengerahan tenaga sepenuhnya. Itu dilakukan untuk 
menenangkan hatinya yang berdebar keras. 
Suara tawa mengekeh berkepanjangan itu mendadak 
lenyap. Suasana di dalam hutan kembali hening men-
cekam. Hanya suara binatang malam yang terdengar saling 
bersahutan. 
Senapati Bawara dan Jipangga bertukar pandang 
sesaat. Agaknya mereka tidak bisa menebak dari arah 
mana suara tawa itu berasal. Karena selain datangnya 
begitu tiba-tiba, suara tawa itu pun bergaung seolah datang 
dari setiap pelosok hutan. Sehingga sulit untuk me-
nemukan sumbernya. Tapi, mereka tahu siapa yang 
mengeluarkan suara tawa itu. 
"Peri Kembangan, Perempuan Iblis! Tunjukkan dirimu 
kalau kau memang datang untuk memenuhi tantangan 
kami! Kuhitung sampai tiga! Kalau kau masih belum 
muncul juga, sebaiknya pergi dari lingkungan kadipaten! 
Dan, jangan ganggu junjungan kami lagi...!" Jipangga 
berteriak lantang mengerahkan tenaga dalamnya, me-
nantang pemilik suara tawa barusan yang mereka pastikan 
Peri Kembangan, orang yang mereka tantang untuk ber-
tarung malam itu.

Tapi sampai gema suara Jipangga lenyap dibawa angin, 
suasana malam tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda 
munculnya sosok yang tengah mereka tunggu-tunggu. 
Sampai akhirnya.... 
"Hik hik hik...!" 
Whusss...! 
Senapati Bawara dan Jipangga melompat ke belakang 
ketika suara tawa itu kembali muncul disertai hembusan 
angin keras. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh 
ramping dari atas pohon yang jaraknya sekitar dua tombak 
dari tempat kedua lelaki itu berdiri. 
Dengan ringan, sosok tubuh ramping itu menjejakkan 
kaki di atas rumput. Tawanya masih terdengar ber-
kepanjangan. Sosok yang tak lain Anyelir atau Peri 
Kembangan itu menatap tajam wajah kedua penantang-
nya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir menggairahkan 
itu. Untuk beberapa saat mereka hanya saling tatap 
dengan sikap waspada. 
***

TUJUH

"Hm.... Kaliankah yang telah berani mati mengirimkan 
tantangan kepadaku...?" tanya Anyelir seraya menatap 
kedua tokoh Kadipaten Banjaran dengan senyum sinis. 
"Tidak salah!" sahut Senapati Bawara mendahului 
kawannya. 
Kemudian lelaki brewok itu bergerak maju beberapa 
langkah. Tangan kanannya masih melekat pada gagang 
pedang di pinggangnya, yang setiap saat dapat digunakan 
untuk menghadapi wanita iblis itu. 
"Kami sudah tahu siapa sebenarnya dirimu, Perempuan 
Keji! Begitu juga dengan perbuatan kotormu di lingkungan 
kadipaten. Kami berdua telah bersepakat untuk meng-
hentikan perbuatanmu...!" 
Jipangga menimpali ucapan Senapati Bawara. Lelaki 
gemuk itu pun sudah maju beberapa langkah. Tombak 
bergolok di tangan kanannya berputaran menimbulkan 
deruan angin keras. 
"Hik hik hik...! Memang sudah sejak semula aku merasa 
tidak suka kepada kalian berdua. Sungguh tidak kusangka 
kalian berani mencari penyakit dengan menantangku 
malam ini...," ujar Anyelir yang kelihatan tetap tenang, dan 
belum menunjukkan siap bertarung. 
Senapati Bawara dan Jipangga saling bertukar pandang. 
Mereka agak heran melihat wanita iblis itu tidak terkejut, 
meski mereka telah mengetahui latar belakangnya. 
Tampaknya perempuan licik itu memang sudah memper-
siapkan segalanya. Sehingga tidak merasa cemas terhadap 
kedua tokoh Kadipaten Banjaran itu. Bahkan masih saja 
memperlihatkan senyum mengejek. 
"He, mengapa kalian malah berdiri seperti patung? 
Kalau memang ingin bertarung, ayo seranglah...!" tantang 
Anyelir. 
"Keparat, Perempuan Sombong! Tanpa kau suruh pun

akan segera kucincang tubuhmu...!" 
Jipangga kelihatannya sudah tidak bisa menahan diri 
lagi mendengar ejekan perempuan iblis itu. Begitu ucapan-
nya selesal, lelaki gemuk itu bergerak merenggang dari 
Senapati Bawara. 
Whuuuk..., whuuuk...! 
Jipangga memutar tombak bergoloknya sedemikian rupa 
hingga memperdengarkan suara angin menderu-deru. 
Lelaki gemuk yang terkenal dengan permainan tombak ber-
golok itu langsung mengeluarkan ilmu andalannya. Rupa-
nya ia sadar lawannya bukan tokoh sembarangan. Jipangga 
tidak mau menganggap remeh kendati lawannya hanya 
seorang wanita. 
Melihat Jipangga sudah bergerak dari sebelah kiri, 
Senapati Bawara pun segera meloloskan pedangnya. 
Kemudian memutar dengan gerak menyilang. Dari suara 
angin yang ditimbulkannya, agaknya lelaki brewok itu 
menggunakan seluruh kekuatannya. Senapati Bawara pun 
tidak main-main menghadapi perempuan cantik yang ber-
juluk Peri Kembangan itu. 
"Hm...." 
Anyelir semakin melebarkan senyum. Kelihatan ia tak 
merasa gentar, meskipun harus menghadapi dua orang 
jagoan sekaligus. Tubuhnya baru bergerak saat serangan 
kedua lawannya hampir tiba. 
"Haaat..!" 
Tombak bergolok Jipangga bergerak semakin cepat. 
Suara teriakannya membuktikan kalau lelaki gemuk itu 
telah memulai serangannya. Dalam gebrakan pertama ia 
langsung mencecar lawan dengan mata goloknya yang 
terdapat di ujung tombak. 
Bwettt..., bwettt...! 
"Bagus...!" puji Anyelir yang memutar goloknya dengan 
gerakan indah. Beberapa kali sambaran tombak bergolok 
Jipangga dapat dielakkan tanpa kesulitan. Bahkan mulai 
melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah ber-
bahayanya.

Whuuut..! 
Sebuah tamparan yang cepat dan kuat meluncur meng-
ancam kepala Jipangga. Untunglah lelaki gemuk itu sempat 
menyadari datangnya bahaya maut. Cepat kepalanya 
ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Sehingga, 
serangan balasan yang dilancarkan Peri Kembangan 
berhasil dielakkan. 
Tapi Peri Kembangan tidak memberi kesempatan 
kepada lawan untuk menarik napas lega. Serangannya 
kembali berlanjut. Bahkan kali ini ia mencecar dengan 
serangan pukulan dan tendangan yang mengarah 
beberapa jalan darah kematian di tubuh Jipangga. Tentu 
saja lelaki gemuk itu menjadi kelabakan. 
"Haaat...!" 
Melihat sahabatnya terdesak, Senapati Bawara me-
luncur dengan putaran pedangnya. Sehingga Peri 
Kembangan terpaksa menghentikan desakannya, dan 
melompat mundur sejauh satu tombak lebih. Gadis cantik 
itu tentu tidak ingin tubuhnya tersayat pedang lawan. 
"Gila! Perempuan iblis itu ternyata benar-benar hebat..!" 
desah Jipangga menghela napas panjang. 
Lelaki gemuk ini seolah-olah merasa dirinya baru saja 
terbebas dari kematian. Pada keningnya tampak peluh 
menitik turun. Rupanya Jipangga sempat dibuat tegang 
oleh desakan lawannya tadi. 
"Itu sebabnya kita tidak boleh bertindak gegabah, Adi 
Jipangga," timpal Senapati Bawara mengingatkan sahabat-
nya kalau yang diperbuat Jipangga barusan sangat ber-
bahaya. 
Jipangga tidak membantah. Ia sendiri menyadari 
tindakannya terlalu terburu-buru. Kalau saja Senapati 
Bawara tidak segera terjun ke arena, bukan tidak mungkin 
saat itu ia sudah menjadi korban keganasan Peri 
Kembangan. Paling tidak dirinya akan mendapat luka 
berat. Pengalaman itu membuat Jipangga berjanji kepada 
dirinya sendiri untuk lebih memperhitungkan tindakan 
selanjutnya.

Sementara itu, Peri Kembangan sudah mempersiapkan 
pedangnya untuk menghadapi keroyokan jagoan-jagoan 
kadipaten itu. Sinar putih berkilauan disertai sambaran 
angin menderu saat wanita itu menghunus senjata yang 
tergantung di pinggangnya. Nampak Anyelir tidak ingin 
main-main lagi dalam mengambil tindakan. 
"Bersiaplah kalian untuk melayat ke akhirat..!" desah 
bibir merah menantang itu, berbau hawa maut! 
Kemudian.... 
"Haiiit..!" 
Saat berikutnya, tubuh Peri Kembangan sudah ber-
kelebat cepat disertai putaran sinar pedang yang menderu-
deru tak ubahnya angin ribut. Sehingga suasana yang 
semula hening mencekam pecah oleh sambaran pedang 
wanita sesat itu. 
Melihat Peri Kembangan sudah memulai serangannya, 
Senapati Bawara dan Jipangga merenggang ke kiri dan 
kanan. Kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu telah siap 
menyambut serangan lawan. 
"Haaat..!" 
"Yeaaa...!" 
Dibarengi teriakan yang merobek kesunyian malam, 
Senapati Bawara dan Jipangga melesat bersamaan 
menyambut serangan Peri Kembangan. Sebentar saja 
ketiga tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan 
sengit yang mempertaruhkan nyawa. 
Dalam jurus-jurus awal, Senapati Bawara maupun 
Jipangga masih sanggup menghadapi serangan lawan yang 
terlihat sangat ganas. Bahkan tidak jarang keduanya 
melancarkan serangan balasan yang juga tidak bisa 
dipandang ringan. Tapi ketika Peri Kembangan semakin 
meningkatkan kecepatan serangannya, mulailah ruang 
gerak kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu menyempit. 
Hanya sesekali mereka membalas serangan lawan. 
"Haiiit...!" 
Anyelir kelihatan semakin bertambah ganas! Sambaran-
sambaran pedangnya semakin sering datang mengancam.

Sehingga, Senapati Bawara dan Jipangga dipaksa bermain 
mundur. Serangan balasan kedua tokoh itu hampir tidak 
terlihat lagi. Nampaknya kedua jagoan Kadipaten Banjaran 
itu harus mengakui kehebatan lawan. 
Peluh membanjir di wajah dan tubuh Senapati Bawara 
serta Jipangga saat pertempuran menginjak jurus ketiga 
puluh. Napas kedua jagoan itu sudah demikian berat. 
Mereka benar-benar harus memeras seluruh ilmu dan 
tenaga untuk menghadapi ancaman ujung pedang Peri 
Kembangan. Dan ketika pertarungan menginjak jurus 
ketiga puluh lima.... 
"Mampusss...!" 
Sambil membentak keras, Peri Kembangan melenting 
ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai 
bacokan pedangnya, bagai hendak membelah tubuh 
Jipangga, orang yang berada di sebelah kirinya. 
Whuuut...! 
"Aaah...?!" 
Jipangga memekik ngeri dengan wajah berubah pucat 
bagai mayat! Ancaman maut yang datang dengan 
kecepatan mengagumkan itu membuat Jipangga tidak 
mampu menghindar. Lelaki gemuk itu merasa seolah 
kedua kakinya tertanam di tanah dan sukar digerakkan. Ia 
hanya bisa membelalakkan mata menanti ajal. 
Trang...! 
Untunglah pada saat yang sangat menentukan itu, 
Senapati Bawara bertindak cepat, dengan pedang di 
tangannya, lelaki brewok itu nekat memapaki bacokan 
pedang Anyelir. Bentrokan keras pun terjadi! 
"Aaakh...?!" 
Senapati Bawara terpekik kesakitan! Pedangnya ter-
pental dari genggaman. Ternyata tenaga dalamnya masih 
kalah dua tingkat dari lawan. Akibatnya, tubuh lelaki 
brewok itu terjungkal ke belakang dengan lengan rasanya 
seperti patah. Sedangkan Peri Kembangan masih datang 
mengancam, meski arahnya agak menyeleweng dan 
kecepatannya berkurang jauh. Tapi....

Brettt..! 
"Aaakh...!" 
Kendati tidak sampai membahayakan nyawa Jipangga, 
tetap saja ujung pedang Peri Kembangan menyerempet 
pangkal lengan lelaki gemuk itu. Darah segar pun 
memercik saat kulit dan daging pangkal lengan Jipangga 
terpapas. 
Jipangga terhuyung mundur dengan wajah semakin 
pucat. Tombak bergoloknya lepas dari genggaman. Lelaki 
gemuk itu sibuk mendekap pangkal lengannya yang 
terluka. 
"Tunggu...!" 
Peri Kembangan yang semula sudah siap menamatkan 
riwayat kedua jagoan Kadipaten Banjaran, terpaksa 
menunda gerakannya, dan menoleh ke arah asal suara 
bentakan itu. 
"Ganajaya...?!" desis Anyelir langsung mengenali sosok 
lelaki tegap yang tengah berlari ke arah arena 
pertempuran. Kening gadis cantik itu agak berkerut ketika 
melihat belasan orang berlarian di belakang lelaki tegap 
itu. Tampaknya Ganajaya tidak datang sendirian! 
"Apa yang terjadi, Anyelir...?" tegur lelaki tegap yang 
memang Ganajaya. 
Putra tunggal Adipati Banjaran itu menatap wajah 
Anyelir dan kedua lawan gadis cantik itu. Wajah tampan itu 
tampak kaget ketika mengenali kedua lawan kekasihnya. 
Senapati Bawara dan Jipangga pun kelihatan sangat 
terkejut! Cepat keduanya membungkukkan tubuh kepada 
putra junjungan mereka. Tapi, di balik kekagetan itu ada 
rasa lega di hati mereka. Kemunculan Ganajaya secara 
tidak langsung telah menyelamatkan mereka dari 
kematian. 
"Tuan Muda...," sapa Senapati Bawara dan Jipangga 
berbarengan. Kemudian wajah mereka tertunduk menekuri 
rerumputan. 
"Ada apa ini? Mengapa kalian berkelahi...?" tanya 
Ganajaya menatap wajah Anyelir. Sebab hanya gadis cantik

itu yang tidak menundukkan kepala. Secara tidak langsung 
pertanyaan itu tertuju kepada Anyelir. 
"Ganajaya, dari mana kau tahu aku berada di sini...?" 
Bukannya menjawab, Anyelir malah melemparkan per-
tanyaan kepada pemuda bertubuh tegap itu. Sedikit pun 
tidak tersirat kegentaran maupun kecemasan dalam suara-
nya. 
Ganajaya tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan 
pandangannya kepada Senapati Bawara dan Jipangga. 
Lalu kembali ke wajah cantik Anyelir. Sebab wajah kedua 
jagoan kadipaten itu masih juga belum terangkat. 
"Aku menemukan surat tantangan di dalam kamarmu," 
jawab Ganajaya pelan. "Mengapa kau tidak menceritakan 
hal ini kepadaku, Anyelir? Sehingga, aku terpaksa harus 
menyusul ke sini. Untunglah surat itu sempat terlihat 
olehku. Kalau tidak, entah ke mana aku harus men-
carimu?" 
"Maaf kalau aku tidak menceritakan tantangan kedua 
orang berhati busuk itu, Ganajaya. Aku tidak ingin mem-
buatmu susah. Dan, aku ingin memberi pelajaran kepada 
mereka dengan tanganku sendiri," jawab Anyelir tanpa 
mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Ganajaya. 
Sehingga pemuda itu mengalihkan perhatiannya, dan 
memandang kedua pembantu ayahnya dengan sorot mata 
mengandung kemarahan. 
"Katakan, Paman. Apa yang mendorong kalian berbuat 
seperti ini? Aku ingin mendengar penjelasan secepatnya...," 
ujar Ganajaya dengan suara tinggi. Lelaki tegap itu marah 
melihat kekasihnya hendak dicelakai kedua orang itu. 
"Tidak perlu kau bertanya lagi, Ganajaya. Aku sudah 
tahu apa yang ada dalam kepala mereka...," Anyelir 
mendahului sebelum Senapati Bawara atau Jipangga 
menjawab pertanyaan itu. 
"Apa maksudmu, Peri Kembangan? Kau hendak me-
lempar fitnah kepada kami?" geram Senapati Bawara yang 
tentu saja menjadi marah mendengar perkataan Peri 
Kembangan. Ia sudah dapat meraba apa yang akan

dikatakan wanita itu tentang diri mereka berdua. 
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Senapati! Aku tahu 
kalian berdua bersekongkol untuk menguasai Kadipaten 
Banjaran. Kehadiranku di dalam llngkungan kadipaten 
membuat kalian merasa cemas. Sehingga kalian mengirim-
kan surat tantangan untuk melenyapkanku, agar rencana 
kalian tidak ada yang menghalangi. Nah, apakah kalian 
masih mau membantah...?" ujar Anyelir dengan liciknya, 
membuat wajah kedua orang itu pucat. 
"Keparat busuk! Perempuan iblis...!" 
Senapati Bawara gemetar sekujur tubuhnya. Apa yang 
diucapkan Anyelir bisa membahayakan mereka. Tentu saja 
tuduhan itu tidak benar. 
Ganajaya sendiri terbelalak mendengar ucaran kekasih-
nya. Wajah tampannya berubah merah padam. Tampaknya 
ia mempercayai perkataan Anyelir. Itu terlihat jelas dari 
kemarahan yang ditujukan kepada Senapati Bawara dan 
Jipangga, tokoh yang telah mendidiknya dalam ilmu silat. 
"Manusia tidak berbudi! Inikah balasan kalian terhadap 
segala kebaikan yang telah diberikan ayahku? Mengapa 
kalian demikian tega mengkhianati kami...?" bentak 
Ganajaya. 
"Ganajaya, mana mungkin mereka mau mengakui 
rencana busuk yang ada dalam batok kepala mereka," 
tukas Anyelir mengejek. "Sebaiknya habisi saja mereka 
sebelum semuanya terlambat..." 
Ucapan Anyelir itu sepertinya cukup mengena. Kendati 
masih agak bimbang, Ganajaya tampak lebih berpihak 
kepada Anyelir. Perasaan itu tentu saja berkaitan dengan 
rasa cintanya pada gadis cantik itu. Sehingga, keputusan 
yang akan diambilnya bisa saja salah. Sebab pikiran dan 
hatinya telah dibutakan oleh cinta. 
"Perempuan iblis...! Hatimu benar-benar keji!" desis 
Senapati Bawara dengan kemarahan menggelegak. 
Kemudian berpaling ke arah putra junjungannya. "Tuduhan 
itu sama sekali tidak benar, Tuan Muda. Justru wanita iblis 
itulah yang bisa menghancurkan kita semua. Bukan tidak

mungkin semua yang dituduhkan kepada kami merupakan 
rencana yang ada di dalam kepalanya. Jangan mudah 
dipercaya wanita berhati iblis seperti dia...!" 
Mendengar perdebatan kekasihnya dengan kedua 
pembantu ayahnya, Ganajaya menjadi pusing. Meskipun 
jelas-jelas lebih berpihak kepada Anyelir, namun ia belum 
bisa mengambil keputusan untuk menjatuhkan tuduhan itu 
kepada Senapati Bawara dan Jipangga. Ia belum percaya 
sepenuhnya kalau kedua orang kepercayaan itu akan tega 
berkhianat. Sehingga, Ganajaya bimbang dan belum bisa 
mengambil tindakan. 
Melihat Ganajaya belum juga mengambil tindakan, 
Anyelir merasa khawatir pemuda itu akan membawa 
mereka semua ke hadapan Adipati Japati. Gadis itu tidak 
mau mengambil risiko. Maka, ia berkata kepada Ganajaya. 
"Hm.... Kalau kau memang lebih suka aku mati di tangan 
kedua manusia jahat itu, baiklah! Biar, akan kuhadapi 
mereka tanpa meminta bantuanmu!" 
Setelah berkata demikian, Anyelir melompat ke arah 
Senapati Bawara dan Jipangga. Dan langsung melancarkan 
serangan maut kepada kedua jagoan kadipaten itu. 
"Anyelir, tahan...!" 
Ganajaya berusaha mencegah tindakan gadis yang telah 
membuat dirinya tergila-gila. Tentu saja ia cemas akan 
nasib gadis cantik itu. 
Tapi, Anyelir tidak peduli. Ia terus menggempur kedua 
lawannya. Senapati Bawara dan Jipangga pun terpaksa 
melakukan perlawanan. Mereka tidak ingin menjadi korban 
pedang di tangan lawannya yang menyambar-nyambar 
ganas. Pertarungan kembali berlangsung seru. 
Ganajaya yang belum tahu kehebatan Anyelir, tidak mau 
membiarkan gadis cantik itu celaka di tangan kedua 
pembantu ayahnya. Lelaki tegap itu segera terjun ke arena 
pertempuran setelah tidak berhasil mencegahnya. 
"Berhenti...!" 
Sambil membentak keras, pemuda tegap itu melancar-
kan serangan ke arah Senapati Bawara. Sehingga lelaki

brewok itu terpaksa melompat jauh menghindari serangan 
putra junjungannya, karena untuk menangkis ia merasa 
segan. 
Lain halnya dengan Jipangga. Meskipun ia termasuk 
abdi kadipaten, tapi telah mendidik Ganajaya dengan ilmu-
ilmunya. Ketika pemuda itu melancarkan serangan ke 
arahnya, lelaki gemuk itu menjadi tersinggung. Sehingga 
tidak lagi memandang Ganajaya sebagai putra junjungan-
nya. Jipangga langsung melancarkan serangan balasan 
setelah menghindari serangkaian pukulan dan tendangan 
pemuda tegap itu. 
Perlawanan Jipangga mendapat tanggapan lain dari 
Ganajaya. Walaupun lelaki gemuk itu telah mendidiknya 
dalam hal ilmu silat, tapi menurut Ganajaya, Jipangga 
harus tunduk padanya. Hingga kenyataan yang sebaliknya 
itu membuat Ganajaya marah. Maka ia menggempur 
Jipangga dengan sungguh-sungguh. Bahkan memerintah-
kan prajurit yang menyertainya untuk membantu. 
"Tangkap mereka berdua...!" perintah Ganajaya tanpa 
menghentikan serangannya. 
Tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit segera 
berlompatan memasuki arena. Meskipun yang harus 
mereka hadapi orang-orang yang mereka segani, namun 
Ganajaya merupakan putra Adipati Japati. Kelak pemuda 
itulah yang akan melanjutkan tugas junjungan mereka. 
Sehingga meski agak terpaksa para prajurit itu lebih 
mentaati perintah Ganajaya, walaupun harus menghadapi 
atasannya. 
***

DELAPAN

Majunya Ganajaya beserta belasan prajurit kadipaten 
semakin membuat Senapati Bawara dan Jipangga kalang-
kabut. Mereka harus berjuang mati-matian untuk 
menyelamatkan diri dari ancaman senjata lawan. Sayang 
seberapa keras pun usaha mereka menyelamatkan diri, 
tetap saja beberapa serangan pengeroyoknya sempat 
melukai tubuh mereka. 
"Haiiit...!" 
Anyelir tidak mau berlama-lama untuk menghabisi 
kedua orang itu. Untuk kesekian kalinya, sambaran 
pedangnya kembali datang mengancam Senapati Bawara 
yang memang berhadapan dengannya. 
Whuuut...! 
Disertai deruan angin tajam, pedang Peri Kembangan 
mengancam tubuh lelaki brewok itu. Kali ini Senapati 
Bawara tidak mungkin dapat mengelak dari kematian. 
Karena selain tenaganya telah jauh berkurang, ia pun tidak 
mempunyai peluang untuk mengelak. 
"Aaa...!" 
Senapati Bawara memekik ngeri saat ujung pedang Peri 
Kembangan siap memenggal batang lehernya! Tapi.... 
"Haiiit...!" 
Pada saat nyawa Senapati Bawara sudah di ambang 
maut, terdengar lengkingan nyaring disusul berkelebatnya 
sesosok bayangan putih. Sosok itu langsung menyambut 
sambaran pedang Peri Kembangan. 
Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Peri Kembangan yang semula merasa yakin akan dapat 
melenyapkan Senapati Bawara kaget bukan main. 
Tubuhnya terjajar dan hampir terbanting jatuh. Pedangnya 
terlepas dari pegangan. Dan lengan kanannya menjadi 
lumpuh untuk beberapa saat lamanya.

Senapati Bawara sendiri sempat kaget melihat sesosok 
bayangan putih tahu-tahu memapaki serangan Peri 
Kembangan. Perasaan lega dan heran merayapi hatinya 
ketika dilihatnya sosok bertubuh sedang terbungkus jubah 
panjang putih berdiri tegak membelakanginya. 
"Pendekar Naga Putih...!" 
Anyelir kaget bukan main ketika mengenali sosok 
berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Senapati 
Bawara. Langkahnya langsung tersurut. Ia sungguh tidak 
menduga pendekar yang pernah mengalahkannya muncul 
mengacaukan rencananya. 
"Hm.... Kita bertemu lagi, Peri Kembangan...," ujar 
pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji. 
Wajahnya tetap tenang dengan senyum yang hampir tidak 
pernah meninggalkan bibir. 
Tidak berselisih lama dengan kemunculan Pendekar 
Naga Putih, melayang turun sesosok tubuh ramping 
terbungkus pakaian serba hijau. Siapa lagi kalau bukan 
Kenanga yang datang bersama Panji. Begitu tiba, dara 
jelita itu langsung menyelamatkan Jipangga, yang saat itu 
tengah dikeroyok Ganajaya bersama prajuritnya. Sehingga 
lelaki gemuk itu terlepas dari kematian yang siap 
merenggutnya. 
Kemunculan dua orang itu tentu saja mengagetkan 
Ganajaya. Terlebih setelah merasakan kehebatan dara 
jelita berpakaian serba hijau itu. Kemarahannya pun 
semakin memuncak. Karena kedua orang itu telah berani 
mencampuri urusannya. 
"Siapa kalian? Apa kepentingan kalian sehingga berani 
mencampuri urusanku...?" bentak Ganajaya yang telah ber-
gabung dengan Anyelir. Di belakang mereka tampak 
belasan prajurit pilihan dari Kadipaten Banjaran. Mereka 
siap melindungi putra junjungannya. 
"Ganajaya, untuk apa bertanya lagi? Mereka jelas 
hendak membantu pengkhianat-pengkhianat itu! Sebaik-
nya kita bunuh saja mereka semua." 
Sebelum Panji dan Kenanga menjawab, Anyelir langsung

menyela. Wanita licik itu tentu saja merasa khawatir 
jawaban Pendekar Naga Putih dan dara jelita berpakaian 
serba hitam itu akan membahayakan dirinya. Ia tidak ingin 
semua itu terjadi. 
Kali ini Ganajaya tidak banyak cakap lagi. Ia sendiri telah 
menyaksikan betapa kedua orang kepercayaan ayahnya 
berani melawan kepadanya. Itu sudah cukup sebagai 
alasan untuk menghukum kedua jagoan kadipaten itu. 
Maka, lelaki tegap itu segera memerintahkan prajurit-
prajuritnya untuk menangkap atau membunuh keempat 
orang itu. 
"Tunggu...!" 
Melihat gelagat tidak baik, Panji segera berseru keras. 
Kendati belum tahu pasti masalah yang terjadi, tapi 
Pendekar Naga Putih merasa apa yang dilakukannya tidak 
keliru. Orang yang menjadi musuh Peri Kembangan sudah 
pasti berada di pihak yang benar. Alasan itu membuat Panji 
tidak merasa ragu untuk menyelamatkan Senapati Bawara 
dan Jipangga. 
Teriakan, Panji yang lantang dan membuat dada mereka 
berdebar sempat membuat gerakan Ganajaya dan 
prajuritnya tertunda. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. 
Karena Anyelir telah kembali berseru. 
"Serang...! Tidak ada gunanya mendengarkan perkataan 
pemuda sombong itu...!" 
Mendengar seruan Anyelir, Ganajaya kembali me-
merintahkan pasukannya untuk bergerak maju. Ia sendiri 
sudah melompat menerjang Pendekar Naga Putih dengan 
pedang di tangan. 
"Hiaaat..!" 
Sadar bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dielak-
kan lagi, Panji segera menggeser tubuhnya menghindari 
sambaran pedang Ganajaya. Dan terus berlompatan ke kiri 
dan kanan ketika serangan lelaki tegap itu masih terus ber-
kelanjutan. 
"Hiaaah...!" 
Saat pedang Ganajaya kembali menyambar Panji membentak keras dan langsung menepis serangan pemuda itu. 
Dan.... 
Plakkk! 
"Uhhh...?!" 
Tubuh Ganajaya terjajar mundur satu tombak. Pemuda 
itu meringis sambil mengurut lengan kanannya yang terasa 
bagai hendak patah. Padahal Panji belum mengerahkan 
sampai setengah tenaganya. Sebab dari serangan lelaki 
tegap itu, Panji sudah dapat mengukur kekuatan lawan. Ia 
memang tidak bermaksud melukai pemuda itu. 
"Keparat...!" desis Ganajaya yang merasa malu karena 
dalam sekali gebrak ia nyaris dipecundangi pemuda 
tampan berjubah putih itu. Terlebih kejadian itu ber-
langsung di depan mata Anyelir, wanita yang membuatnya 
mabuk kepayang. Tentu saja kenyataan itu tidak bisa 
diterima Ganajaya. 
"Mari kita hajar pemuda sombong itu bersama-sama, 
Ganajaya...," ujar Anyelir ketika melihat pemuda itu terdiam 
beberapa saat seraya menatap Pendekar Naga Putih 
dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ganajaya langsung 
mengangguk dan kembali melompat ke depan. Pedang di 
tangannya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan 
deruan angin tajam. 
Anyelir sendiri sudah menyusul dengan serangannya 
yang mengarah jalan darah kematian di tubuh Pendekar 
Naga Putih. Tampaknya wanita sesat itu merasa dendam 
dan ingin segera melenyapkan Panji. 
Kali ini Panji tidak hanya sekadar mengelak, tapi mulai 
membalas dengan tamparan dan tendangannya. Kendati 
dengan tangan kosong, namun kelihatan sekali betapa 
kedua lawannya menjadi sibuk. Ganajaya dan Anyelir harus 
menguras kepandaiannya untuk mengimbangi permainan 
Pendekar Naga Putih. 
***
Sementara itu, Kenanga tengah bertarung dengan 
belasan prajurit pilihan Ganajaya. Sebab para prajurit itu 
hendak mengeroyok kedua lelaki yang telah lelah dan 
hampir mati kehabisan tenaga. Tentu saja Kenanga tidak 
akan membiarkan kedua lelaki yang ditolongnya itu men-
jadi korban. Maka, tanpa banyak cakap lagi, dihadapinya 
belasan prajurit Kadipaten Banjaran itu dengan tangan 
kosong! 
Tapi meskipun dara jelita itu hanya menggunakan 
tangan kosong untuk menghadapi lawan-lawannya yang 
bersenjata lengkap, tidak membuatnya menjadi 
kewalahan. Malah belasan prajurit itu yang penasaran! 
Sebagai prajurit-prajurit pilihan yang terlatih baik, tentu 
saja ada rasa malu dalam hati mereka. Perasaan itu 
membuat serangan-serangan mereka semakin bertambah 
ganas. Kalau semula masih ragu untuk mencelakai dara 
yang sangat mempesona itu, sekarang mereka ingin 
melenyapkannya secepat mungkin. Tidak ada lagi rasa 
kasihan yang tersisa. 
Kenanga bukan tidak menyadari apa yang dikehendaki 
para pengeroyoknya. Dari semakin ganasnya mereka 
melancarkan serangan, dara jelita itu sadar mereka meng-
hendaki kematiannya. Kenyataan itu membuat Kenanga 
merubah gerakannya. Dara jelita itu tidak ragu-ragu lagi 
merobohkan mereka dengan pukulan yang berbahaya, 
Daya serangannya pun meningkat cepat, dan sepasang 
tangannya menyambar-nyambar diselingi tendangan yang 
mencuat dengan kecepatan kilat 
"Haiiit..!" 
Plakkk, desss...! 
Dua orang lawan yang terlalu bernafsu merobohkan 
dara jelita itu terpental muntah darah. Tendangan dan 
tamparan keras Kenanga membuat mereka roboh tak 
sadarkan diri. Hingga yang lainnya terkejut dan menjadi 
marah! 
"Perempuan celaka...!" geram salah seorang pengeroyok 
yang langsung melesat ke depan disertai tebasan pedang.

Tapi.... 
Bukkk! 
Sambil menggeser tubuhnya ke kanan, Kenanga 
langsung melepaskan tendangan yang telak mengenai 
perut lawan. Kemudian masih dilanjutkan dengan 
tamparan keras yang membuat tubuh prajurit sial itu 
terjerembab mencium tanah. Tubuh itu meregang sesaat 
sebelum melepas nyawa yang hanya selembar itu. 
"Gila...!" 
Para prajurit lainnya terpekik kaget! Mereka langsung 
bergerak mundur tanpa diperintah. Robohnya tiga orang 
kawan mereka membuat yang lainnya menjadi gentar. 
Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa dara jelita itu 
temyata bukan orang sembarangan. 
"Hm.... Mengapa berhenti? Bukankah kalian hendak 
membunuhku? Ayo, majulah...!" tantang Kenanga seraya 
tersenyum mengejek. 
Tapi, tantangan itu tidak mendapat sambutan. Para 
prajurit itu sudah tidak mempunyai keberanian untuk 
menyerang Kenanga. Mereka hanya saling berpandangan 
satu sama lain. Seolah hendak meminta pendapat masing-
masing. 
Ketika para prajurit itu tidak satu pun berani me-
lanjutkan pertempuran, Kenanga bergerak mundur ke 
tempat Senapati Bawara dan Jipangga. 
"Bagaimana dengan luka-luka kalian...?" tanya Kenanga. 
Dara jelita itu segera membungkuk untuk memeriksa 
luka-luka kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu. Kenanga 
menarik napas lega ketika melihat luka-luka yang diderita 
kedua lelaki itu tidak terlalu berbahaya. 
Setelah memberi pengobatan kepada Senapati Bawara 
dan Jipangga, Kenanga mengalihkan perhatiannya ke arah 
pertempuran yang masih berlangsung. 
Saat itu pertempuran Panji dan Peri Kembangan yang 
dibantu Ganajaya telah memasuki jurus ketiga puluh. Panji 
tampak sudah mulai menguasai arena. Melihat kedua 
pengeroyok itu sudah hampir tidak mampu membalas

serangan Pendekar Naga Putih, dapat dipastikan kalau 
dalam beberapa jurus lagi pertarungan pasti berakhir. 
"Haiiit...!" 
Saat kedua lawannya sudah benar-benar tidak mampu 
membalas serangannya, Pendekar Naga Putih membentak 
nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat ke arah Peri 
Kembangan. Dan.... 
Plak..., desss...! 
"Aaakh...!" 
Cepat bukan main serangan Pendekar Naga Putih. 
Sekali bergerak, tangan kirinya melancarkan dua buah 
serangan kilat! Tubuh Peri Kembangan pun terjungkal 
memuntahkan darah segar. 
"Huakkkh...!" 
Anyelir yang mencoba bangkit berdiri kembali 
terbungkuk memuntahkan darah kental. Kemudian rebah 
dengan napas satu-satu. Wajah cantiknya tampak pucat 
dengan butir-butir keringat meleleh membasahi sekujur 
wajahnya. 
"Anyelir...!" 
Ganajaya melupakan lawannya melihat wanita yang 
dicintainya tergeletak tak berdaya. Langsung saja pemuda 
tegap itu menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh Anyelir. 
Panji sendiri melangkah menghampiri Peri Kembangan. 
Pemuda itu berdiri tegap di hadapan lawannya. Dan 
menatap tajam wajah cantik yang kelihatan sangat men-
derita itu. 
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...," ujar 
Anyelir dengan suara payah. Sepasang matanya menatap 
sayu wajah pendekar muda itu, membuat hati Panji merasa 
iba. 
"Maafkan aku, Peri Kembangan. Bertahanlah, aku akan 
mencoba mengobati lukamu...," ujar Panji seraya mem-
bungkuk hendak memeriksa luka Peri Kembangan. 
Anyelir terbelalak mendengar perkataan Pendekar Naga 
Putih. Sedikit pun tidak diduganya kalau pemuda itu akan 
berkata demikian.

"Keparat...!" 
Mendengar ucapan Panji, Ganajaya serentak bangkit 
dan kembali mengambil pedangnya yang tergeletak di 
tanah. Ucapan Panji mengingatkan Ganajaya bahwa orang 
yang melukai kekasihnya masih berada di tempat itu. 
Tapi.... 
"Ganajaya, jangan...!" 
Lelaki bertubuh tegap itu tertegun dan menunda 
gerakannya. Kemudian kembali berlutut di dekat tubuh 
Anyelir. Gadis cantik itulah yang mencegahnya dengan 
suara lemah. 
"Anyelir, dia musuh kita. Aku harus membalas per-
lakuannya terhadapmu...," ujar Ganajaya penasaran. Sebab 
Anyelir malah mencegah perbuatannya, bukannya men-
dorong agar ia membalas dendamnya. 
Tapi Anyelir tidak mempedulikan pertanyaan Ganajaya. 
Gadis cantik itu kembali menatap Pendekar Naga Putih 
dengan matanya yang sayu. 
"Anyelir...," ujar Panji menyebut nama asli Peri 
Kembangan, membuat gadis cantik itu kembali tertegun 
heran. "Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalaupun aku 
menentangmu, itu bukan karena aku benci dengan dirimu, 
tapi perbuatanmu itu yang harus kucegah. Kejahatanmu 
yang aku perangi, bukan dirimu.... 
"Lalu, mengapa sekarang kau hendak mengobatiku...?" 
tanya Anyelir ingin tahu. 
Di mata gadis cantik itu tidak ada lagi sinar kebencian, 
yang terlihat justru kekaguman. Rupanya ucapan Panji 
telah membuka mata Anyelir pada luasnya pandangan 
pendekar muda itu. Gadis itu merasa dirinya sangat kerdil 
berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang sekarang ia 
tahu sangat bijaksana dan tidak membenci dirinya. 
"Aku melihat adanya kesadaran dalam pancaran 
matamu. Maaf kalau aku telah membuatmu menderita 
seperti ini...," jawab Panji. 
Ganajaya melirik sejenak. Kemudian kembali me-
mandangi wajah kekasihnya yang semakin pucat. Ada

gumpalan rasa cemburu ketika melihat betapa Anyelir lebih 
memperhatikan pemuda berjubah putih itu ketimbang 
dirinya. Tapi Ganajaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya 
membisu tanpa kata. 
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," tolak Anyelir 
ketika Panji hendak mengobatinya. "Aku sudah tidak 
mungkin dapat tertolong lagi. Pukulanmu terlalu berat. 
Rasanya telah membuat remuk bagian dalam tubuhku. 
Kau benar-benar berhati mulia, Pendekar Naga Putih. 
Aku... ka... gum padamu...." 
"Anyelir...! Kau tidak boleh mati! Aku mencintaimu...!" 
melihat napas kekasihnya semakin berat seperti dengusan 
kuda pacu, Ganajaya menggenggam erat jemari gadis 
cantik itu. 
"Ganajaya, tidak perlu berkata begitu...," Anyelir meng-
alihkan perhatiannya pada Ganajaya. "Ketahuilah, 
sebenarnya usiaku sudah tidak muda lagi. Kalaupun 
wajahku masih seperti gadis remaja, itu karena aku selalu 
berhubungan dengan lelaki-lelaki muda, yang setelah itu 
kubunuh tanpa rasa kasihan sedikit pun. Kedua pembantu 
ayahmu itu tidak bersalah. Aku memang Peri Kembangan. 
Yang membunuh dan mempermainkan laki-laki muda 
sesuka hatiku. Jadi, kuharap kau tidak dendam pada siapa 
pun. Dengan begitu, berarti kau benar-benar men-
cintaiku...." 
"Tapi,..." 
"Ja...ngan membantah..., Ganajaya. Arwahku tidak akan 
bisa tenang bila kau tidak merelakan kepergianku. I... ngat 
pesanku...," Anyelir memotong kalimat Ganajaya yang 
belum selesai. Tarikan napasnya terlihat kian berat. Hingga 
akhirnya memperdengarkan suara mengorok. 
"Anyelir...!" 
Ganajaya memekik ketika melihat wanita yang 
dicintainya meregang nyawa. Beberapa saat kemudian, 
kepala gadis itu terkulai di atas rerumputan hijau. 
Ganajaya menjatuhkan kepalanya dan memeluk tubuh 
Anyelir sambil menyebut nama gadis cantik itu dengan

suara parau. Tapi, Peri Kembangan sudah pergi 
meninggalkan dunia dengan damai. 
Panji tidak bisa berbuat apa-apa. Nyawa Peri 
Kembangan memang tidak bisa diselamatkan lagi. Pemuda 
itu bergerak bangkit. Kenanga segera menyambut dan 
meremas jemari tangan pemuda pujaannya itu. Tampaknya 
dara jelita itu pun merasa terharu mendengar ucapan 
terakhir Peri Kembangan. 
"Mari kita pergi...," ajak Panji membalas remasan jemari 
kekasihnya. Kemudian bergerak perlahan meninggalkan 
tempat itu, saat semua orang masih terpengaruh oleh 
suasana yang mengharukan. Tak seorang pun mem-
perhatikan kepergian pasangan pendekar muda itu. 
Fajar datang seiring dengan kokok ayam hutan yang 
bersahutan. Semilir angin demikian lembut menyapu 
wajah-wajah lelah. Mereka baru tersadar dari keadaannya 
masing-masing. 
Ganajaya bangkit perlahan seraya memondong tubuh 
Peri Kembangan, dan dibawanya pulang ke Kadipaten 
Banjaran. Pemuda itu hendak memakamkan Peri 
Kembangan di tempat pemakaman keluarganya. Ganajaya 
telah menganggap Peri Kembangan sebagai satu-satunya 
wanita yang membuatnya bahagia. 



                            SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar