SATU
Sosok tubuh ramping itu melangkah ringan dengan
gemulai yang mempesona, memasuki mulut Desa
Gondang. Bukit pinggulnya menari-nari seiring ayunan
lembut kakinya. Pemandangan yang menggairahkan itu
tentu saja tidak dilewatkan oleh setiap lelaki yang
berpapasan dengannya. Bahkan beberapa di antaranya
sampai meneguk air liur. Mereka sangat tergoda oleh
lenggak-lenggok sosok tubuh ramping padat itu.
Bukan hanya bentuk tubuhnya saja yang menarik.
Wajahnya pun sangat cantik. Apalagi, mulutnya selalu
menyunggingkan senyum memikat serta kerling mata genit
yang membuat dada lelaki berdebar. Secara keseluruhan,
wanita berusia sekitar dua puluh tahun itu memang sangat
mempesona dan menggairahkan.
Setelah melewati mulut Desa Gondang, gadis cantik itu
membelokkan langkahnya memasuki sebuah kedai.
Belasan pasang mata pengunjung, yang kebanyakan laki-
laki, langsung tertuju ke arah pintu. Gadis itu seperti
sengaja hendak menarik perhatian. Ia tidak segera masuk
ke dalam kedai. Tapi berdiri di ambang pintu beberapa
saat lamanya. Kemudian melenggang lembut menuju
sebuah meja kosong.
"Pelayan...!" panggil gadis cantik itu melambaikan
tangannya dengan gerakan lembut. Sepasang matanya
sengaja dikerjap-kerjapkan, membuat dada pelayan itu
berdebar-debar.
Dengan gaya yang manja dan genit, gadis cantik itu
memesan beberapa jenis makanan. Dan meminta agar
pesanannya disediakan secepat mungkin.
"Baik... baik...," sahut pelayan kedai manggut-manggut
seperti burung pelatuk. Lalu bergegas meninggalkan meja
gadis cantik itu untuk menyiapkan pesanan.
Seorang lelaki brewok yang sejak tadi tidak lepas
mengawasi gadis cantik itu bergegas bangkit saat pesanan
telah siap. Dihampirinya pelayan kedai itu.
"Biar aku yang mengantarkan makanan ini kepada si
cantik...," bisik lelaki brewok. Tanpa menunggu jawaban
pelayan kedai, disambamya pesanan itu. Lalu berbalik
menuju meja gadis cantik itu.
"Nyai yang cantik, ini pesananmu...," ujar lelaki brewok
seraya tersenyum. Sepasang matanya memandang liar,
menjilati wajah cantik yang menengadah.
"Hm...," gadis cantik berpakaian serba merah itu ber-
gumam lirih. Kendati senyum manisnya belum lenyap,
namun sepasang matanya menyiratkan keheranan.
"Pakaianmu tidak menunjukkan seorang pelayan. Siapa
kau, Kisanak...?" tanya wanita cantik itu dengan suara
merdu dan lembut, walau senyumnya mulai lenyap. Ada
ketidaksenangan pada sepasang mata bulat jemih itu.
"Aku memang bukan pelayan kedai. Tapi..., untuk
seorang wanita secantik Nyai, rasanya aku rela menjadi
pelayan...," jawab lelaki brewok masih tersenyum-senyum
dengan mata kurang ajar.
"Apa maksudmu, Kisanak...?" tanya wanita cantik itu.
Nada suaranya berubah dingin dan datar. Bahkan
sepasang matanya menyiratkan kemarahan yang ditahan.
Perubahan sikap gadis berpakaian serba merah yang
semula lembut dan penuh senyum memikat itu sejenak
membuat lelaki brewok menjadi salah tingkah. Apalagi
hampir semua mata pengunjung tertuju ke arahnya Tentu
saja lelaki brewok itu malu.
"Nisanak...!" desis lelaki brewok seraya membungkuk.
Sehingga, wajah keduanya semakin dekat. "Sejak masuk
ke dalam kedai, kau seperti sengaja hendak menjerat
semua lelaki. Tapi, mengapa sambutanmu demikian dingin
dan sinis?"
Gadis cantik itu menarik wajahnya menjauh. Kilatan
pada sepasang matanya semakin tajam. Kelihatan sekali ia
tidak bisa menerima perlakuan lelaki brewok itu.
"Hei, Kerbau Dungu!" bentak gadis cantik berpakaian
merah seraya bangkit dari duduknya. Walaupun nada
ucapannya marah, namun wajahnya tetap dingin. Bahkan
senyumnya terukir manis. "Berkacalah agar kau bisa
melihat betapa buruknya wajahmu! Jangankan wanita
cantik sepertiku, kerbau betina pun rasanya tidak akan
sudi kau dekati! Nah, minggatlah dari hadapanku...!"
Terkejut bukan main lelaki brewok itu mendapati lengan
lembut gadis cantik di depannya terulur mendorong
dadanya. Angin keras yang mendahului datangnya
dorongan membuat lelaki brewok sadar kalau serangan itu
cukup berbahaya dan bisa membuatnya terluka. Maka,
cepat ia mengelak.
Desss...!
Kendati sudah berusaha mengelak, tapi tak urung
bahunya terserempet telapak tangan halus gadis cantik itu.
Dan akibatnya benar-benar sukar dipercaya. Tubuh lelaki
brewok itu terpelanting menimpa meja di belakangnya.
Brakkk!
Terdengar bunyi meja berderak patah. Hidangan di atas
meja berserakan. Dan mengotori pakaian pengunjung yang
duduk di meja itu. Mereka berlompatan menjauh sambil
menepiskan makanan yang melekat di pakaian. "Kurang
ajar...!"
Salah seorang dari tiga pengunjung kedai berdesis
marah. Diangkatnya tubuh lelaki brewok itu bangkit.
Kemudian kepalannya terayun ke wajah lelaki brewok.
Plak!
Lelaki tegap berwajah keras itu terkejut. Tubuhnya
terjajar mundur ketika lelaki brewok memapaki
pukulannya. Kekuatan lelaki brewok itu masih lebih unggul.
Tubuhnya hanya bergetar akibat benturan cukup keras
tadi.
"Setan...!"
Lelaki tegap itu kembali memaki. Lalu pedang di
pinggangnya diloloskan. Perbuatan itu membuat keadaan
menjadi kacau! Pengunjung yang merasa tidak mempunyai
kemampuan, langsung angkat kaki meninggalkan kedai.
Mereka berduyun-duyun keluar, hingga suasana ber-
tambah kacau. Apalagi dua orang kawan lelaki tegap itu
juga sudah mencabut senjata.
Sedangkan gadis cantik yang menjadi penyebab
keributan itu tetap tenang di tempatnya. Bahkan mulai
mencicipi hidangan yang dipesannya. Ia tampak tidak
peduli dengan keributan itu.
Sementara itu, pertarungan sudah tidak bisa dihindari
lagi. Keempat lelaki yang hendak berlaga itu telah siap.
Lelaki brewok pun sudah meloloskan senjatanya.
"Hiaaat..!"
Lelaki tegap membuka serangan dengan teriakan keras.
Tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah-langkah
kokoh. Dan pedang di tangannya dikelebatkan hingga
menimbulkan suara berdesing yang menyakitkan telinga.
Namun lelaki brewok tidak tinggal diam. Cepat kaki
kanannya digeser seraya meliukkan tubuh. Begitu pedang
lawan lewat di samping tubuhnya, senjatanya berkelebat
melepaskan serangkaian serangan balasan yang cepat dan
kuat.
Bwettt, bwettt...!
Gerakan lelaki brewok itu memang hebat! Kelebatan
pedangnya mengarah bagian-bagian berbahaya tubuh
lawan. Dan tidak akan berhenti sebelum mengenai
sasaran.
Setelah pertarungan berjalan belasan jurus, ketiga
orang itu baru sadar kalau lelaki brewok itu bukan lawan
mereka. Sayang kesadaran itu terlambat datangnya.
Mereka kini harus berjuang keras mempertahankan
selembar nyawanya.
"Haiiit...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh belas, tiba-
tiba lelaki brewok berteriak keras. Kakinya melangkah
menyilang. Pedang di tangannya bergerak kian kemari
mencari sasaran. Hingga ketiga lawannya menjadi
kelabakan menyelamatkan diri.
Whuuut..!
"Aaa...!"
Salah satu dari ketiga orang itu, yang bertubuh gemuk,
menjerit ngeri saat pedang lawan datang mengancam.
Kelihatannya ia sudah pasrah. Karena untuk mengelakkan
serangan itu memang sangat sulit.
Namun pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba meluncur
secercah cahaya putih yang langsung memapaki sambaran
pedang lelaki brewok.
Trak!
"Akh...?!"
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh lelaki brewok
terhuyung mundur. Bahkan pedang di tangannya terlepas.
Padahal yang memapaki sambaran pedangnya hanya
sepotong tulang ayam! Benar-benar sulit dipercaya!
"Hm.... Aku tidak suka ada pembunuhan di depan
mataku...."
Desisan itu berasal dari bibir si gadis cantik, yang telah
menyelesaikan makannya. Kemudian wanita itu melangkah
pergi setelah membayar makanannya.
Tinggallah empat lelaki yang bertarung dam terpaku
tanpa kata. Mereka menatap kepergian gadis cantik itu
dengan perasaan tidak menentu.
"Perempuan sundal...!"
Pada saat tubuh ramping terbungkus pakaian serba
merah itu hampir tiba di ambang pintu, lelaki brewok
tersadar dari keterpakuannya. Setelah berdesis kasar,
tubuhnya melayang ke depan. Pedang yang kembali telah
tergenggam dikelebatkan dengan sekuat tenaga.
Whuttt...!
Sambaran angin pedang yang cukup tajam ini tidak
membuat gadis cantik itu berbalik. Langkahnya terus
terayun, seolah tidak mengetahui bahaya yang mengancam
dirinya. Tapi....
Plak, desss...!
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, mendadak
tubuh gadis cantik itu berputar. Hanya dengan sebelah
tangan gadis itu menangkis, sekaligus menyarangkan
hantaman telapak tangannya ke tubuh lelaki brewok.
Tanpa ampun lagi, tubuh itu terjerembab mencium
tanah. Untuk beberapa sesaat ia tidak sanggup bangkit.
Wajahnya menyeringai menahan rasa sesak di dada. Dari
sudut bibirnya mengalir darah segar.
Gadis cantik berpakaian serba merah membatalkan
niatnya untuk meninggalkan kedai. Rupanya ia sempat
mendengar makian tadi. Dan itu membuatnya marah!
"Ulangi makianmu tadi, Kerbau Dungu!" desis gadis
cantik itu dengan wajah datar dan dingin. Kilatan nafsu
membunuh terpancar jelas pada sepasang mata bening-
nya.
Semula lelaki brewok tidak ingin mengulangi per-
kataannya. Tapi karena gadis cantik itu memaksa, akhirnya
ia ucapkan juga kata-kata makian itu.
"Kau..., perempuan sundal...," desis lelaki brewok
dengan wajah pucat.
"Hm....." gadis cantik itu menggeram perlahan.
Tangan kanannya terangkat ke atas, dan siap meremuk-
kan batok kepala lelaki brewok itu.
"Tahan...!"
Baru saja telapak tangan gadis cantik berpakaian merah
hendak bergerak turun, terdengar sebuah bentakan keras.
Gadis itu menunda gerakannya. Kemudian menoleh ke
arah asal suara.
Sesosok tubuh tegap dengan dada bidang berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar. Sikapnya terlihat
demikian jantan dan gagah, membuat gadis cantik itu tidak
berusaha menyembunyikan kekagumannya.
"Siapakah kau, Kisanak? Apamukah lelaki brewok ini...?"
tanya gadis cantik itu dengan mata mengerjap genit.
Sikapnya yang memikat kembali muncul melihat ke-
gagahan dan kejantanan pemuda itu. Apalagi pemuda
tampan itu kelihatan cukup berisi. Itu dapat diduga dari
bentakannya yang mengandung tenaga dalam. Maka
semakin tertariklah gadis cantik berpakaian serba merah
itu.
"Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya.
Aku hanya tidak bisa berdiam diri melihat lelaki brewok itu
terancam maut. Dan, aku yakin wanita secantikmu pasti
memiliki sifat lembut dan pemaaf...," ujar lelaki muda itu.
"Ah! Selain gagah, rupanya kau pun memiliki hati yang
lembut, Kisanak...," tukas gadis cantik berpakaian merah
itu. Kemudian kakinya melangkah dengan lenggang-
lenggok memikat sambil memamerkan senyum manisnya.
Meskipun telah berusaha menyembunyikan perasaan
hatinya, gadis cantik itu sangat yakin umpannya telah
mengena. Sebab ia melihat dengan jelas sinar kekaguman
pada sepasang mata lelaki muda itu, kendati berusaha
disembunyikan. Kenyataan itu membuat senyumnya
semakin melebar dan mempesona.
"Aku memang tidak bermaksud membunuhnya. Hanya
ingin memberi sedikit pelajaran agar lain kali lebih bersikap
hormat terhadap wanita. Kalau boleh kutahu, siapakah
namamu? Rasanya menyenangkan sekali dapat berkawan
denganmu," ujar gadis cantik itu dengan suara mendayu-
dayu yang sanggup meruntuhkan hari lelaki paling keras
sekalipun. Apalagi seorang anak muda seperti lelaki
tampan itu. Tentu saja hatinya langsung jatuh dengan
sikap dan gaya bicara yang penuh daya pikat itu. Terbukti
pemuda itu tersenyum, meskipun agak ragu-ragu.
"Namaku Arja. Arja Lawung. Siapakah namamu, Nyai?
Apa yang membuatmu sampai berkelahi dengan lelaki
brewok itu?" tanya pemuda tampan itu. Sikapnya tidak lagi
sedingin tadi. Bahkan mulai berani menanyakan nama
gadis cantik dan genit itu.
"Panggil aku Anyelir, Arja. Senang sekali dapat
berkenalan dengan seorang pemuda yang gagah dan
berhati mulia sepertimu. Mudah-mudahan perkenalan ini
bisa semakin erat...," sahut gadis cantik itu mem-
perkenalkan namanya.
Anyelir menghentikan langkahnya tepat di hadapan Arja
Lawung. Kepalanya agak menengadah, karena pemuda itu
memang lebih tinggi darinya. Sepasang bola mata gadis
cantik itu bergerak perlahan merayapi wajah lelaki muda di
depannya. Anyelir tampaknya tidak berusaha menyem-
bunyikan kekagumannya.
"Namamu indah sekali, Anyelir...," desah Arja Lawung
yang merasa aliran darahnya bertambah cepat. Bahkan
deru napasnya terdengar agak memburu. Tubuh Anyelir
begitu dekat. Dan harum tubuh gadis cantik itu membuat
keinginannya tergugah.
"Namamu pun gagah dan sesuai dengan orangnya, Arja.
Tidakkah sebaiknya kita tinggalkan kedai ini, dan mencari
tempat yang tepat untuk lebih saling mengenal...?" ujar
Anyelir, nadanya hampir mirip sebuah desahan panjang.
Napas gadis itu menyapu wajah Arja Lawung. Dan
membuat pemuda itu semakin terbius.
"Terserah kaulah, Anyelir...," tukas Arja Lawung yang
mendadak pikirannya buntu. Sosok gadis cantik itu
memang sangat mempesona. Arja Lawung tidak menolak
ketika tangannya ditarik pergi meninggalkan kedai itu.
"Ke mana kita, Anyelir...?" tanya Arja Lawung tanpa
berusaha melepaskan lengannya dari genggaman jemari
lembut Anyelir. Pemuda tampan itu tak ubahnya kerbau
yang dicocok hidung, menurut saja ke mana gadis cantik
itu membawanya.
"Ke tempat yang tenang, agar tidak ada seorang pun
mengganggu kita...," sahut Anyelir tanpa menghentikan
larinya. Gadis itu membawa Arja Lawung meninggalkan
Desa Gondang.
Arja Lawung seorang pemuda yang hijau. Ia belum
berpengalaman menghadapi wanita. Apalagi wanita
secantik dan sebebas Anyelir. Meski usianya sudah dua
puluh tahun, tapi Arja Lawung tidak pemah bergaul akrab
dengan seorang wanita. Selain itu, ia sudah benar-benar
terpikat oleh kecantikan dan sikap manja Anyelir.
Sehingga, Arja Lawung tidak berusaha menolak ajakan
gadis cantik itu.
Setelah cukup lama berlari, akhirnya Anyelir mem-
perlambat langkahnya. Dan berhenti di tepi sungai yang
berair jernih. Dengan manja Anyelir menjatuhkan tubuhnya
di atas rumput tebal di bawah sebatang pohon besar, yang
menyembunyikan tubuh mereka dari pandangan orang.
"Nah! Bagaimana, Arja? Tidakkah tempat ini sangat
cocok untuk mempererat hubungan kita?" ujar gadis cantik
itu dengan manja.
Tanpa ragu-ragu, sepasang tangannya melingkari bahu
Arja Lawung, membuat napas pemuda itu semakin mem-
buru. Wajah pemuda itu merah karena jengah. Arja Lawung
belum pernah mendapat perlakuan semesra itu dari
seorang wanita.
"Kau... cantik sekali, Anyelir...," desah Arja Lawung
dengan dada sesak. Suaranya terdengar agak aneh. Tapi
Anyelir menanggapi dengan senyum manis. Bahkan
semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Arja Lawung.
Perlakuan Anyelir membuat bendungan Arja Lawung
bobol seketika. Disambarnya wajah cantik yang sangat
dekat itu. Lupa sudah pemuda itu akan kesopanan.
Padahal mereka baru saja mengenal, dan belum tahu asal-
usul masing-masing.
Cukup lama Arja Lawung menumpahkan gejolak yang
bergemuruh di dadanya. Sampai akhirnya Anyelir men-
dorong tubuh pemuda itu perlahan. Sehingga Arja Lawung
terpaksa melepaskan pelukannya, meski dengan sorot
mata penuh pertanyaan.
"Tidak perlu terburu nafsu, Arja. Masih banyak waktu
untuk kita...," hibur gadis cantik itu seraya menyunggingkan
senyum puas.
Arja Lawung gelagapan seperti orang tenggelam ke
dalam sungai. Kendati telah melepaskan pelukannya,
pemuda ini tidak bisa menahan diri untuk membelai wajah
cantik Anyelir. Namun gadis cantik itu kembali mendorong
tubuh Arja Lawung ketika hendak mencumbunya kembali.
"Mengapa, Anyelir...?" tanya Arja Lawung penasaran.
Pemuda itu kelihatan tidak sabar dengan sikap Anyelir
yang menolak untuk bercumbu.
"Sudah kukatakan waktu untuk itu masih banyak.
Mengapa begitu terburu-buru...?" tukas Anyelir manja,
membuat Arja Lawung menghela napas kesal.
"Apa lagi yang kau tunggu, Anyelir? Bukankah tempat ini
kau bilang aman, dan tidak ada orang yang melihat
perbuatan kita?" kembali Arja Lawung mengungkapkan
rasa penasarannya.
Ucapan Arja Lawung malah membuat Anyelir
melepaskan pegangan tangannya. Kemudian wanita itu
bangkit berdiri dengan menghela napas panjang, seperti
ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Perbuatanmu hanya didorong oleh nafsu, Arja. Tidak
ada sedikit pun rasa cinta di hatimu...," desah Anyelir
mencela Arja Lawung.
Arja Lawung bangkit berdiri dengan wajah sungguh-
sungguh.
"Apa maksudmu, Anyelir...?" tanya Arja Lawung tidak
mengerti.
"Katakan kau melakukannya karena mencintaiku, Arja.
Bukan karena nafsu kotor yang ada dalam setiap pikiran
laki-laki bila melihat wanita cantik...," pinta Anyelir.
"Kau ini aneh. Tentu saja aku melakukannya karena
rasa cinta. Bukan karena sekadar dorongan nafsu kotor
seperti yang kau katakan," bantah Arja Lawung kembali
melingkarkan lengannya ke tubuh gadis cantik itu dari
belakang.
Kali ini Anyelir tidak memberontak Bahkan menyandar-
kan kepalanya ke tubuh pemuda itu. Sehingga, dada Arya
Lawung kembali bergemuruh bagai gelombang lautan.
"Kalau benar kau mencintaiku, lakukanlah dengan
lembut. Tapi sebelum itu aku minta kejujuranmu untuk
menjawab pertanyaanku...," desah Anyelir.
"Tanyakanlah! Aku akan menjawab dengan sejujur-
nya...," tukas pemuda itu seraya menciumi rambut Anyelir
yang harum.
"Apakah sebelumnya kau pernah melakukannya pada
wanita lain?" tanya Anyelir dengan nada aneh. Kendati
demikian, Arja Lawung tetap menjawabnya.
"Selama hidupku, baru kali ini aku berdekatan dengan
seorang wanita...," jawab Arja Lawung jujur, membuat
senyum Anyelir melebar. Setelah itu, ia pasrah dengan
segala perlakuan Arja Lawung. Bahkan membalasnya
dengan sepenuh hati.
Sebentar kemudian kedua insan muda itu terlelap
dalam buaian asmara. Kebisuan alam menjadi saksi
perbuatan mereka berdua.
***
DUA
"Perempuan rendah! Ini rupanya maksudmu bertingkah
laku genit dan memikat...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan menghina. Disusul muncul-
nya seorang lelaki brewok bertubuh tinggi besar dengan
ditemani enam orang kawannya.
Bentakan itu membuat Anyelir dan Arja Lawung ter-
sentak kaget. Cepat keduanya bangkit dan mengenakan
pakaian. Wajah mereka merah menahan malu, karena
perbuatannya dipergoki orang.
Namun lelaki brewok itu tidak mau membiarkan Arja
Lawung dan Anyelir mengenakan pakaian. Dengan bengis,
kawan-kawannya segera diperintahkan untuk menyerbu
dan menangkap kedua orang muda itu.
"Serbu...!"
Sambil berteriak keras, lelaki brewok melompat ke arah
Anyelir yang saat itu belum selesai berpakaian. Karuan saja
gadis cantik itu menjadi kelabakan. Kendati demikian,
cengkeraman lelaki brewok dapat dihindarinya.
Saat itu Anyelir hanya mengenakan pakaian bagian
bawah. Sedangkan tubuh bagian atasnya masih polos
tanpa tertutup sehelai kain pun. Keadaan tubuhnya
membuat Anyelir sibuk menutup dari tatapan liar mata
lawan.
"Kurang ajar kau, Monyet Kurap! Awas! Akan kubeset
mulutmu, dan kukuliti tubuhmu...!" desis Anyelir yang
merasa jengah berhadapan dalam keadaan setengah
telanjang. Ancaman yang keluar dari bibirnya bukan
sekadar menakut-nakuti. Wanita itu memang marah sekali
pada lelaki brewok.
Lelaki brewok sendiri hanya cengar-cengir seperti
monyet makan terasi. Ia merasa dipermalukan di depan
orang banyak sewaktu di kedai. Rasa penasaran dan
dendam membuatnya membawa kawan-kawannya
membuntuti wanita berpakaian merah itu. Dan akhirnya ia
berhasil menemukan orang yang dicarinya sedang
melakukan perbuatan tidak senonoh. Lelaki brewok itu
marah karena dibakar rasa cemburu.
"He he he...! Hayo serang aku, Manis. Mengapa
sungkan-sungkan? Apa kedua tanganmu telah menjadi
kaku...?" ejek lelaki brewok dengan air liur hampir
menetes. Anyelir memang melipat kedua tangannya di
depan dada. Itu dilakukan untuk melindungi dadanya yang
polos.
"Keparat! Kubunuh kau...!" pekik Anyelir marah. Sebab
lelaki brewok itu menjilati sekujur tubuhnya dengan
tatapan liar bagai singa lapar.
"Hiaaat...!"
Gejolak amarah yang menggelora membuat Anyelir tidak
peduli lagi dengan keadaan tubuhnya. Gadis cantik dan
genit itu melesat ke depan dengan tendangan dan pukulan
yang menerbitkan deruan angin keras. Rasanya kalau
kepala lawan sampai terkena kepalannya, sulit dipastikan
dapat melihat matahari esok.
Bettt! Bettt...!
Sambaran kaki dan tangan Anyelir yang cepat dan kuat
memang tidak bisa dianggap main-main. Lelaki brewok itu
kelabakan dan sibuk setengah mati menghindarinya.
Bahkan....
Plak, desss...!
"Akh...!"
Tamparan dan tendangan keras berturut-turut bersarang
di kepala dan tubuh lelaki brewok itu. Akibatnya tubuh
tinggi besar itu terjungkal roboh. Dan langsung tewas
dengan pelipis retak!
Begitu selesai mematahkan perlawanan lelaki brewok,
Anyelir melompat ke balik semak-semak untuk membenahi
pakaian yang belum sempurna menutupi tubuhnya.
Tewasnya lelaki brewok mengagetkan kawan-kawannya.
Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena harus
menghadapi Arja Lawung yang memang bukan orang
sembarangan. Pemuda itu masih sanggup melancarkan
serangan meskipun harus menghadapi keroyokan enam
orang lawan. Bahkan dalam enam jurus dua orang
pengeroyoknya roboh mandi darah. Pedang di tangan Arja
Lawung telah ternoda darah kedua orang korbannya.
"Habisi mereka, Arja...!" seru Anyelir yang telah muncul
dan berpakaian rapi. Gadis cantik itu berdiri di tepi arena
menyaksikan amukan Arja Lawung.
Mendengar seruan gadis yang telah membuatnya
mabuk kepayang, Arja Lawung pun menggertakkan giginya
kuat-kuat. Seketika itu juga gerakannya dipercepat.
Bahkan kekuatan tenaganya dilipatgandakan. Sambaran
angin pedangnya terdengar menderu-deru.
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Kembali dua orang pengeroyok terguling mandi darah!
Mereka tewas dengan perut menganga lebar. Meskipun
demikian, Arja Lawung masih belum puas. Rasa malu dan
marah karena perbuatannya dipergoki membuat pemuda
tampan dan gagah itu bertindak tidak kepalang tanggung.
Sepertinya tanpa diperintah Anyelir pun pemuda itu
memang hendak menghabisi para pengeroyoknya.
"Haaat...!"
Dengan sebuah pekikan nyaring, tubuh Arja Lawung
melompat ke udara. Pedang di tangannya berkelebat dari
atas ke bawah dengan kecepatan mengagumkan.
Akibatnya....
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar merobek langit. Tubuh dua
orang lawan terakhirnya terjungkal dengan leher hampir
putus! Darah segar kembali mengalir membasahi
rerumputan hijau.
"Bagus, Arja! Kau benar-benar tidak mengecewakan...,"
puji Anyelir tanpa nada gembira. Bihkan terkesan dingin
dan datar.
Mendengar nada ucapan gadis cantik berpakaian serba
merah itu, Arja Lawung menoleh dengan kening berkerut.
Dan kerutan itu semakin dalam ketika melihat Anyelir
melipat kedua tangannya di depan dada seraya
menatapnya dengan dingin. Tak sedikit pun terlihat sisa-
sisa kemesraan pada sepasang bola mata yang indah dan
bening itu. Hingga Arja Lawung tersentak kaget.
"Ada apa, Anyelir...?" tanya Arja Lawung sambil
melangkah menghampiri gadis cantik yang telah memikat
hatinya. Perubahan sikap gadis cantik itu tentu saja
membuatnya heran.
"Sekarang giliranmu menyusul mereka...," desis Anyelir
dengan wajah datar tanpa emosi. Walaupun bibirnya yang
ranum tetap mengukir senyum manis. Benar-benar seorang
gadis yang aneh dan sulit ditebak.
"Apa... apa maksudmu, Anyelir...?" tanya Arja Lawung.
Pemuda ini merasa gentar juga melihat perubahan sikap
gadis itu.
"Hm.... Bodoh! Apa ucapanku masih kurang jelas...?!"
tukas Anyelir seraya melangkah lambat menyongsong
kedatangan Arja Lawung.
"Tapi..., apa salahku...?" seru Arja Lawung dengan nada
agak tinggi.
Pemuda tampan itu mulai dilanda kegelisahan. Ia
melihat ada ancaman dalam bola mata gadis cantik itu.
Sehingga, hatinya mulai ragu kalau Anyelir hanya main-
main mengucapkan kata-katanya.
"Tidak peduli kau bersalah atau tidak! Yang jelas, tak
seorang pun kubiarkan hidup setelah menikmati ke-
hangatan tubuhku...!" jawab Anyelir tetap dingin dan penuh
ancaman.
"Tapi..., bukankah kita melakukannya atas dasar suka
sama suka?" bantah Arja Lawung semakin heran dengan
sikap Anyelir. Ucapan-ucapan gadis cantik itu sungguh
tidak dimengertinya.
"Hmh! Atas dasar suka sama suka kau bilang! Jadi, kau
telah jatuh cinta kepadaku, Arja...?" ujar Anyelir balik
bertanya. Sinis sekali suara gadis cantik itu.
"Terus terang kuakui aku benar-benar jatuh cinta
kepadamu, Anyelir...," jawab Arja Lawung tanpa keraguan
sedikit pun. Bahkan saat menyatakan perasaan itu
sepasang matanya menatap wajah gadis berpakaian serba
merah itu dengan penuh kasih. Sayang semua itu tidak
membuat Anyelir berubah sikap.
"Hm.... Tahukah kau, Arja. Berapa kira-kira usiaku...?"
tanya Anyelir.
"Sekitar dua puluh tahun...," jawab Arja Lawung
menebak. Sinar mata gadis itu demikian menuntut. Hingga
Arja Lawung tidak bisa menolak.
"Hik hik hik...!"
Mendengar jawaban Arja Lawung, Anyelir tertawa
mengikik sambil menutupi mulutnya dengan punggung
tangan. Namun, suara tawa itu hanya sebentar. Sikap gadis
itu kembali dingin dan kaku.
"Ketahuilah, Arja. Usiaku sudah hampir tiga puluh lima
tahun! Aku menjadi awet muda karena sering berhubungan
dengan pemuda-pemuda seusiamu. Tentu saja yang masih
perjaka tulen. Dan aku ahli dalam menilai, walau baru
sekali bertemu...," ujar Anyelir tanpa perasaan. Padahal
ucapan gadis cantik itu membuat hati Arja Lawung seperti
ditusuk-tusuk. "Setiap kali habis berhubungan, aku harus
membunuhnya. Demikian pula dengan dirimu. Nah,
sekarang bersiaplah. Terserah kau. Melawan boleh, tidak
melawan pun bukan masalah bagiku...."
"Kalau itu memang keinginanmu, lakukanlah. Aku tidak
akan melawan. Karena aku benar-benar mencintaimu, dan
rela menyerahkan selembar nyawaku untukmu...," ujar Arja
Lawung pasrah.
Pemuda itu memang sudah tergila-gila oleh kecantikan
dan sikap gadis itu sewaktu pertama kali bertemu. Dengan
penyerahan itu, Arja Lawung berharap Anyelir akan
berubah pikiran.
"Hm.... Rupanya kau ingin memperlihatkan kebesaran
cintamu, Pemuda Tolol! Hendak kulihat sampai berapa
besar rasa cintamu itu...," ucap Anyelir dengan nada sinis.
Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melemparkan
pedangnya pada Arja Lawung.
Pemuda itu segera menyambutnya. Kemudian meng-
genggamnya erat-erat. Kelihatannya Arja Lawung tidak
main-main dalam membuktikan kebesaran cintanya. Mata
pedang itu ditempelkan di tenggorokannya. Dan....
Srattt...!
Semula Arja Lawung mengira perbuatannya akan
dihentikan Anyelir. Kenyataannya, gadis cantik itu diam
saja walau mata pedang mulai bergerak dan melukai
tenggorokan Arja Lawung. Bahkan sampai tubuh pemuda
itu roboh, Anyelir tidak berkedip. Bibirnya menyunggingkan
senyum mengejek yang membayangkan kekejaman
hatinya.
"Pemuda tolol! Kau pikir aku tidak tahu akal bulusmu!
Silakan kau bawa cintamu ke liang kubur...!" gumam
Anyelir tertawa dingin.
Rupanya gadis cantik itu tahu jalan pikiran Arja Lawung.
Dan menganggap pemuda itu bodoh jika hendak meng-
gertaknya dengan alasan cinta. Anyelir memang tidak
pernah menyukai pemuda itu. Meskipun semula gadis itu
kelihatan menyambut cinta Arja Lawung, itu karena ia ingin
menjeratnya, kemudian mencampakkannya begitu saja.
Seperti sebuah mainan yang dilupakan setelah puas
dipermainkan.
Sambil memperdengarkan tawanya yang dingin, Anyelir
bergerak meninggalkan korban-korbannya. Rambutnya
yang panjang dan lebat dibiarkan tergerai, terayun lembut
dipermainkan angin.
***
Pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita
berpakaian serba hijau melangkahkan kaki memasuki
mulut Desa Warang. Sinar matahari siang itu menyorot
garang dan terasa panas menyengat kulit. Meskipun
demikian, desa yang mereka masuki tampak cukup ramai.
Agaknya terik sang Raja Siang tidak mengganggu mereka.
Baru saja kedua orang muda itu hendak memasuki
sebuah kedai makan, mendadak langkah mereka terhenti.
Dari dalam kedai terdengar suara ribut-ribut orang
bertengkar.
"Sepertinya tengah terjadi pertengkaran, Kakang,"
gumam dara jelita berpakaian serba hijau, menoleh pada
kawannya.
"Kelihatannya begitu. Tapi, mudah-mudahan mereka
hanya ribut mulut dan tidak sampai terjadi perkelahian.
Mari kita masuk...," ajak pemuda tampan berjubah putih
itu, membuka pintu kedai, dan melangkah dengan tenang.
Munculnya pasangan muda itu tidak membuat
pertengkaran terhenti. Bahkan berpaling sekejap pun tidak.
Pertengkaran malah semakin bertambah panas. Dan,
suara mereka bertambah keras.
"Kisanak! Aku hanya sekadar mengingatkan agar
bersikap sedikit sopan terhadap wanita. Bukan berarti aku
mau sok bersikap pahlawan. Keliru sekali kalau kau
berpandangan sesempit itu...!" ucap seorang pemuda
bertubuh kekar dan berwajah simpatik.
Tapi, ucapannya tidak mendapat tanggapan yang baik
dari lelaki kurus lawan bertengkar mulut pemuda itu.
Senyum mengejek tidak lepas dari bibirnya. Lelaki kurus itu
menyahuti dengan lagak yang benar-benar memualkan
perut.
"Hei, Bocah Sok Jagoan! Apa kau kira gadis cantik itu
akan tertarik kepadamu, setelah kau membelanya mati-
matian? Pemuda sepertimu tidak akan dilirik sedikit pun
olehnya, tahu?!" balas lelaki kurus itu seraya meng-
gerakkan kepalanya ke arah seorang gadis cantik
berpakaian serba merah yang duduk tenang di kursinya,
tak jauh dari kedua lelaki yang bersitegang itu. Rupanya
gadis cantik itu yang membuat kedua lelaki ini ribut
Merah padam wajah pemuda kekar itu mendengar
ucapan lawan bicaranya. Jari-jari tangannya mengepal.
Pemuda ini merasa terhina dengan ucapan lelaki kurus itu.
Apalagi perkataan itu dikeluarkan di hadapan orang
banyak. Tentu saja pemuda kekar ini merasa diper-
malukan.
"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Kisanak! Aku tidak
bisa menerima penghinaan ini...!" geram pemuda bertubuh
kekar seraya menatap wajah di depannya bagai hendak
ditelan bulat-bulat. Suaranya terdengar agak gemetar,
karena menahan emosi yang bergejolak di dadanya.
"Lalu apa maumu, hah...?!" tantang lelaki kurus itu
bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.
Pemuda kekar itu menggeram gusar. Tampaknya ia
sudah tidak bisa lagi menahan amarah. Sikap itu membuat
lelaki kurus bergerak mundur dua langkah. Sepertinya ia
tidak menganggap remeh pemuda kekar itu, walaupun
sikapnya selalu penuh ejekan.
Suasana yang semakin menegang membuat beberapa
pengunjung bergegas meninggalkan kedai. Tapi, dua orang
yang berada di belakang lelaki kurus malah menyebar
seperti hendak mengeroyok pemuda bertubuh kekar.
Agaknya mereka berdua kawan lelaki kurus.
"Hm...."
Pemuda bertubuh kekar menggeram perlahan.
Sepasang matanya bergerak sigap meneliti langkah dua
lelaki yang hendak mengurungnya. Kelihatannya pemuda
itu tidak merasa gentar meskipun sadar hendak dikeroyok.
"Hmh...!"
Lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh tahun itu
menggerakkan dagunya ke atas memberi isyarat.
Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia langsung
menyerang pemuda di depannya dengan sebuah pukulan
lurus yang mendatangkan angin cukup kuat.
Whuttt...!
Sayang serangan pemuda itu menemui kegagalan.
Pemuda bertubuh kekar sudah menggeser tubuhnya tiga
langkah ke belakang. Kemudian menyiapkan diri meng-
hadapi serangan lawan selanjutnya.
"Hahhh...!"
Dua lelaki yang mengurungnya di kiri dan kanan membentak sambil melancarkan serangan. Kali ini pemuda ber-
tubuh kekar tidak bergerak mundur. Sebab di belakangnya
terdapat sebuah meja. Sehingga, terpaksa tubuhnya mem-
bungkuk menghindari tendangan ke arah kepala dari
sebelah kirinya. Sedangkan pukulan yang datang dari
sebelah kanan ditangkisnya dengan pengerahan tenaga
yang kuat.
Dukkk!
"Auhhh...!?"
Lelaki gendut berkumis jarang yang melancarkan
pukulan ke lambung pemuda itu memekik kesakitan.
Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Jelas
tenaganya kalah dengan pemuda kekar itu.
"Keparat...!" geram lelaki kurus yang menjadi pimpinan
dua orang kawannya. Kemudian disiapkannya serangan
dengan sepasang mata melotot, seperti hendak keluar dari
tempatnya. Tampaknya perkelahian tidak bisa dihindari
lagi.
***
TIGA
"Tunggu...!"
Tiba-tiba pemuda bertubuh kekar berseru lantang, mem-
buat ketiga lawannya menunda gerakan dan memandang
dengan kening berkerut.
"Hm.... Kau hendak menyerah dan meminta ampun
kepadaku? Kalau begitu, cepat berlutut dan merangkak
kemari seperti anjing buduk!" ujar lelaki kurus dengan bibir
menyunggingkan senyum sinis. Kupanya ia menduga
pemuda bertubuh kekar gentar terhadapnya.
"Hmh! Jangan takabur, Kisanak! Aku sedikit pun tidak
gentar, meskipun harus menghadapi keroyokan kalian
bertiga. Tapi sebaiknya perkelahian ini dilanjutkan di luar
kedai. Aku tidak ingin merugikan pemilik kedai ini...," sahut
pemuda bertubuh kekar membantah dugaan lawannya.
Setelah berkata demikian, kaki pemuda bertubuh kekar
itu melangkah menuju pintu kedai. Sedang sepasang
matanya tetap mengawasi ketiga lawannya. Pemuda itu
khawatir kalau salah seorang lawannya akan menyerang
secara licik.
"Setan...!" desis lelaki bertubuh kurus dengan wajah
merah padam.
Ucapan pemuda bertubuh kekar itu membuat
pengunjung kedai menatap sinis dan meremehkannya.
Mereka melecehkan dirinya yang mengandalkan jumlah
banyak untuk menghadapi pemuda kekar itu.
"Akan kurobek mulutmu yang lancang itu...!" geram
lelaki kurus itu gusar. Kemudian kakinya melangkah ke
luar kedai.
Gadis jelita berpakaian serba hijau yang duduk bersama
pemuda tampan berjubah putih bergerak bangkit. Namun,
gerakannya tertahan oleh pegangan pemuda di samping-
nya.
"Jangan dulu mencampuri urusan mereka. Kita belum
mengetahui persoalannya secara jelas...," bisik pemuda
tampan berjubah putih mengingatkan.
"Aku hanya ingin melihat kelanjutan pertarungan
mereka," sahut dara jelita itu. Sehingga, pemuda tampan
berjubah putih melepaskan pegangannya.
"Mari kita lihat...," ujar pemuda berjubah putih, segera
bangkit dari duduknya. Dan melangkah meninggalkan
ruangan kedai.
Di halaman samping kedai, yang merupakan tanah
kosong yang cukup luas, tampak telah cukup ramai oleh
orang-orang yang hendak menyaksikan pertengkaran itu.
Mereka berdiri memagari tempat itu dalam bentuk
lingkaran. Seolah tanpa sengaja orang-orang itu telah
membentuk sebuah arena pertarungan.
Di antara belasan penonton terlihat seorang gadis cantik
berpakaian serba merah. Senyum manisnya tak pernah
lepas dari wajahnya. Bahkan tidak jarang matanya
berkedip genit. Siapa lagi wanita cantik itu kalau bukan
Anyelir, yang kali ini tengah mencari korban baru untuk
memuaskan nafsunya.
"Kakang...," panggil dara jelita berpakaian serba hijau
pada kawannya dengan agak berbisik. Saat itu tubuhnya
bersender pada sebatang pohon yang cukup besar.
"Hm...."
Pemuda tampan berjubah putih di sebelah kanannya
bergumam menyahuti. Sepasang matanya tetap tertuju ke
tengah arena pertarungan yang sebentar lagi akan dimulai.
"Coba perhatikan gadis cantik berpakaian serba merah
yang kelihatan agak genit itu...," lanjut dara jelita
berpakaian serba hijau seraya menggerakkan kepalanya ke
satu arah, hampir tidak kentara.
"Ya. Aku sudah mencurigainya sejak di dalam kedai.
Agaknya wanita itulah yang menjadi penyebab perkelahian
keempat lelaki itu," sahut pemuda tampan berjubah putih.
Rupanya tadi ia diam-diam sempat memperhatikan Anyelir.
Buktinya gadis jelita di sampingnya tidak mengetahui
perbuatannya.
"Mungkinkah gadis itu yang belakangan ini membuat
ulah dengan perbuatannya yang kejam...?" tanya dara jelita
berpakaian serba hijau itu dengan suara perlahan, hingga
tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang di dekatnya.
Saat itu perkelahian sudah berlangsung cukup seru.
"Maksudmu..., gadis itu yang berjuluk Peri
Kembangan...?" timpal pemuda tampan berjubah putih
yang rupanya dapat menebak jalan pikiran dara jelita di
sebelahnya.
"Rupanya kita mempunyai dugaan yang sama,
Kakang...," tukas dara jelita itu mendengar ucapan pemuda
berjubah putih.
"Tapi kita masih memerlukan bukti yang lebih kuat.
Sebab, bukan hanya seorang wanita yang berdandan
seperti itu...," lanjut pemuda tampan berjubah putih
mengingatkan. Semua itu baru dugaan dan belum pasti.
Setelah berkata demikian, pemuda berjubah putih yang
tidak lain Panji dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga
Putih, kembali mengikuti jalannya perkelahian. Keningnya
tampak agak berkerut ketika melihat para petarung telah
menggunakan senjata. Perkelahian itu jelas sudah bukan
tontonan yang menarik lagi baginya.
Apa yang dikhawatirkan Panji memang beralasan.
Dengan menggunakan senjata, korban sudah pasti akan
jatuh. Apalagi lelaki kurus itu kelihatan tangat bernafsu
melancarkan serangan-serangannya. Ia bukan lagi hendak
sekadar memberikan hajaran. Tapi, sudah bermaksud
membunuh lawan. Dan Panji tidak ingin melihat per-
tumpahan darah di depan matanya.
"Haaat..!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki kurus itu berteriak
nyaring. Pedang di tangan kanannya berkelebat cepat
menimbulkan desingan tajam. Lelaki kurus itu tampaknya
sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri perkelahian.
Sementara pemuda bertubuh kekar yang juga meng-
genggam pedang telanjang bergerak ke kiri dan kanan
menghindari gempuran lawan. Meskipun masih sanggup
bertahan, namun jelas terlihat kalau lelaki muda bertubuh
kekar itu sudah hampir tidak sanggup membalas serangan
pengeroyoknya. Sehingga dapat diramalkan kalau pemuda
kekar itu tidak akan sanggup bertahan pada jurus-jurus
selanjutnya.
Bwettt...!
"Eits?!"
Sebuah sambaran pedang yang datang dari samping
kanannya, nyaris membuat pemuda kekar terpanggang.
Untung pada saat pedang lawan hampir mengenai sasaran,
pemuda itu sempat melempar tubuhnya ke belakang.
Kemudian bergulingan menjauhi kelebatan senjata lawan-
lawannya yang lain.
"Mampus kau, Pemuda Keparat...!"
Lelaki kurus segera mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya. Saat tubuh lawan bergulingan menjauh, ia
melompat ke udara sambil mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi. Kemudian disabetkan dari atas ke bawah seperti
hendak membelah tubuh pemuda bertubuh kekar.
Serangan itu sangat berbahaya. Sebab pemuda kekar
tidak akan mempunyai peluang untuk mengelak. Selain itu,
kedudukannya jauh lebih lemah dari lawannya. Sehingga
dapat dipastikan pemuda kekar itu akan mendapat celaka.
Tapi....
"Haiitt..!"
Saat mata pedang lelaki kurus terayun, tiba-tiba
terdengar bentakan halus yang menggetarkan dada.
Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan merah,
yang langsung memapaki serangan maut itu. Dan....
Trang...!
Bunga api berpijar menandakan betapa keras benturan
itu. Disusul pekikan kaget lelaki kurus. Tubuh lelaki itu
terjengkang ke belakang. Sedang pedang yang
digunakannya untuk menyerang terpental entah ke mana.
Gusrakkk!
Tubuh kurus itu meluncur membentur penonton di sisi
kiri arena pertempuran. Terdengar sumpah serapah yang
kotor saat ia berusaha bangkit, sambil menepis kotoran
yang melekat di pakaiannya.
"Monyet! Siapa yang...."
Lelaki kurus itu menghentikan makiannya. Sepasang
matanya membelalak melihat sesosok tubuh ramping
terbungkus pakaian serba merah berdiri dengan senyum
mengejek di depan pemuda bertubuh kekar. Tentu saja ia
terkejut, dan tidak percaya. Kepalanya menoleh ke kiri dan
kanan. Seolah hendak mencari orang yang menggagalkan
serangannya.
"Hm.... Siapa yang kau cari, Cacing Kurus...?" tegur gadis
cantik berpakaian serba merah mengejek.
"Eh?!"
Lelaki kurus terperangah. Kepalanya tersentak ke
belakang. Kemudian berputar menghadapi gadis cantik itu.
"Kaukah yang barusan menggagalkan seranganku...?"
tanya lelaki kurus ragu.
Sepertinya ia mengharap gadis cantik yang genit itu
akan membantah. Sayang harapannya tidak terkabul.
Gadis cantik berpakaian serba merah yang tidak lain
Anyelir, menjawabnya dengan sikap sangat menghina.
"Hm.... Cacing kurus sepertimu mana mungkin memiliki
kepandaian! Tanpa kusentuh pun, kau akan roboh juga.
Untung aku masih merasa sedikit kasihan. Kalau tidak, kau
sekarang pasti sudah tidak bernyawa lagi...," ujar gadis
cantik itu tetap dengan senyum mengejek.
"Kau...!"
Lelaki kurus kelabakan menerima perkataan yang
demikian tajam dan penuh hinaan. Wajahnya merah
padam. Dan kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Saat itu
suara tawa terdengar di sekelilingnya. Akhirnya lelaki kurus
itu menoleh ke arah dua orang kawannya yang berdiri
mematung. Kedua orang itu pun terlihat ragu untuk
melanjutkan perkelahian setelah melihat gadis cantik itu
maju ke tengah arena.
"Goblok!" bentak lelaki kurus memaki kawan-kawannya.
"Mengapa kalian malah mematung seperti orang tolol! Ayo,
tangkap wanita itu untukku...!" perintahnya dengan suara
tinggi. Laki-laki itu merasa sangat terhina ditertawakan
orang banyak.
"Baik, Kakang Angkara...," sahut kedua lelaki itu hampir
berbarengan. Keduanya pun bergerak maju, walau terlihat
masih agak ragu. Mereka merasa enggan bertempur
dengan gadis cantik yang penuh daya pikat itu.
Lelaki kurus yang dipanggil Angkara sudah bergerak
maju setelah menemukan pedangnya kembali. Tertawaan
para penonton perkelahian itu membuatnya merasa
terhina. Apalagi dirinya jagoan desa itu yang selama ini
tidak ada yang berani melawan dan menertawakannya.
Angkara tampak tidak peduli lagi siapa lawannya saat itu.
Dengan pedang di tangan, Angkara maju menghadapi
Anyelir.
"Perempuan sundal! Rupanya kau tidak tahu disayang
orang!" desis Angkara. Lalu mengibaskan pedangnya,
membuka jurus serangan. Sepasang matanya melotot
seperti hendak melompat dari tompatnya.
"Tidak perlu banyak bicara, Cacing Kurus! Kalau
memang mempunyai kepandaian, majulah! Tidak perlu
teriak-teriak seperti kakek-kakek kebakaran jenggot..!" ejek
Anyelir sambil bertolak pinggang. Sikap itu semakin
membuat Angkara bertambah kalap.
"Haaat...!"
Kemarahan yang meledak-ledak di dadanya membuat
Angkara tidak bisa menahan diri lagi. Ia segera menerjang
dengan ganasnya. Angkara tidak lagi peduli semula ia
bertarung karena gadis cantik itu.
Whuttt...!
Pedang Angkara menyambar dengan kecepatan
mengagumkan! Sayang serangan itu tidak mengenai
sasaran. Tubuh gadis cantik itu sudah lenyap dari
hadapannya. Hingga Angkara kebingungan. Ia hanya
melihat bayangan merah berkelebat dengan kecepatan
yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Tahu-tahu saja
gadis cantik itu telah lenyap.
Anyelir yang saat itu sudah meluncur turun di depan
Angkara, menyentuh tubuh lelaki kurus itu dari belakang.
Sehingga Angkara kaget, dan menoleh ke belakang.
"Mampus...!"
Begitu melihat tubuh gadis cantik itu, Angkara langsung
saja menyabetkan pedangnya dengan ganas. Sayang, lagi-
lagi ia kehilangan sasaran. Tubuh Anyelir sudah melayang
ke udara melewati kepala Angkara. Bahkan kedua kakinya
sempat menotok punggung lelaki kurus itu. Hingga tubuh
Angkara terdorong ke depan. Meskipun tidak terlalu kuat,
namun cukup untuk membuat wajah Angkara semakin
terbakar.
"Haiiit...!"
Dua orang kawan Angkara yang sejak tadi masih ragu-
ragu, kini mulai ikut membantu. Keduanya menerjang maju
dengan sambaran pedangnya.
"Hm....."
Anyelir bergumam dengan bibir menyunggingkan
senyum mengejek. Begitu serangan kedua lelaki itu tiba,
kuda-kudanya direndahkan sambil mengibaskan lengan ke
kiri dan kanan. Dan sebelum lawan menyadari
tangkisannya, telapak tangan gadis cantik itu meluncur
deras menggedor dada kedua lawannya secara
bersamaan.
Desss, desss...!
"Aaa...!"
Terdengar pekik kesakitan. Disusul terlemparnya tubuh
kedua kawan Angkara. Mereka terbanting keras dan
memuntahkan darah segar. Beberapa saat kemudian,
kepala keduanya tergolek lemah. Napas mereka langsung
putus saat itu juga. Gedoran telapak tangan Anyelir
memang dimaksudkan untuk membunuh.
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat
suasana menjadi gempar. Penduduk yang menyaksikan
perkelahian langsung bubar. Kekejaman gadis cantik
berpakaian serba merah itu membuat mereka merasa
ngeri, dan tidak bernafsu lagi menonton kelanjutan
kejadian itu.
Panji sendiri sempat tersentak menyaksikan kekejaman
gadis cantik itu. Ia sungguh tidak menduga, sehingga tidak
sempat mencegahnya. Panji baru menyadari ketika melihat
kedua orang itu melepaskan nyawa menghadapi sakaratul
maut.
"Gila! Gadis cantik itu sungguh kejam sekali! Tanpa
alasan yang jelas, ia tega membunuh kedua orang itu!
Tidak salah lagi, wanita itu pasti Peri Kembangan....!" desis
Panji. Lalu tubuhnya melayang ke tengah arena men-
dahului Kenanga. Sehingga, dara jelita itu menunda
gerakannya untuk terjun ke arena pertempuran.
Campur tangan Panji ternyata tidak diterima baik oleh
Angkara. Lelaki kurus itu menatap Panji dengan sorot mata
mengancam. Ia merasa kalau pemuda tampan berjubah
putih itu hendak memusuhinya.
"Sabar, Kisanak...," ujar Panji sebelum Angkara sempat
menumpahkan makian kepadanya. "Aku hanya tidak ingin
melihatmu menjadi korban Peri Kembangan selanjutnya...."
Angkara terlihat memalingkan wajahnya menatap sosok
memikat Anyelir.
"Peri Kembangan...?!" desis Angkara.
Agaknya lelaki kurus itu telah mendengar perihal tokoh
yang belakangan ini tengah mengganas itu. Wajah Angkara
menjadi pucat. Ia memang pernah mendengar ciri-ciri
tokoh wanita yang tega membunuh dengan bibir tersenyum
itu.
Anyelir pun tampak agak terkejut mendengar pemuda
tampan berjubah putih itu menyebutkan julukannya.
Hatinya yang semula terpikat oleh sosok pemuda tampan
itu, kini pudar seketika. Sepasang matanya yang bulat
memancarkan kilatan aneh dan penuh curiga.
"Siapa kau, Pemuda Tampan? Rupanya kau cukup
banyak mengetahui tentang diriku...?" tanya Anyelir tanpa
mempedulikan kehadiran Angkara di antara mereka
berdua.
Panji bergerak maju beberapa langkah, dan berhenti
dalam jarak satu tombak dari hadapan Anyelir. Sikapnya
tetap tenang, membuat Peri Kembangan semakin curiga. Ia
menduga pemuda itu memiliki kepandaian yang bisa
diandalkan. Karena sikap pemuda tampan berjubah putih
itu sangat tenang dan penuh percaya diri.
"Tidak banyak yang kuketahui tentang dirimu, Peri
Kembangan. Tapi sepak terjangmu membuatku mem-
beranikan diri untuk mencoba menghentikannya...," sahut
Panji tanpa merasa perlu memperkenalkan diri pada gadis
cantik itu.
Sementara itu, pemuda bertubuh kekar yang sejak tadi
diam mendengarkan, kini melangkah maju, dan berhenti di
samping Anyelir. Sikapnya jelas menujukkan kalau dia
berpihak kepada Anyelir. Rupanya pemuda ini sudah
terpikat oleh kecantikan dan sikap genit gadis cantik itu.
"Kisanak," ucap pemuda bertubuh kekar seraya
menatap tajam wajah Panji. "Seharusnya kau tidak
memusuhi wanita ini. Ketiga orang itulah yang memulai
keributan. Terlebih lelaki kurus itu, yang semula hendak
berbuat kasar tidak senonoh. Sikapmu ini bukan pada
tempatnya...."
"Hm.... Meskipun demikian, tidak seharusnya dia
menurunkan tangan kejam dengan membunuh kedua
orang itu. Seharusnya kau pun sadar, Kisanak. Gadis
cantik yang kau bela itu bukan orang baik-baik. Bahkan
sudah sering membunuh orang-orang tak berdosa setelah
menjerat dengan kecantikannya...," tukas Panji meng-
ingatkan lelaki bertubuh kekar.
Sebenarnya Panji tidak bisa menyalahkan pemuda
bertubuh kekar, yang usianya paling-paling baru sembilan
belas tahun. Sosok Peri Kembangan memang sanggup
meruntuhkan hati lelaki yang bagaimanapun kerasnya.
Apalagi ditambah dengan sikap genit yang memancing
perhatian laki-laki. Jangankan anak muda, kakek kakek
pun sulit menghindari jerat Peri Kembangan. Itu harus
diakuinya. Panji sendiri mengakui kecantikan serta daya
tarik yang amat kuat pada diri wanita berpakaian serba
merah itu. Kalau saja ia tidak mendapat gemblengan kuat
dari gurunya, serta kehadiran sosok Kenanga, mungkin ia
pun akan jatuh ke dalam jerat wanita cantik yang kejam
itu.
"Hm...."
Anyelir bergumam pelan mendengar ucapan Pendekar
Naga Putih. Tapi, mulutnya tidak juga mengucapkan
sesuatu. Tampaknya Anyelir hendak mendengar tanggapan
pemuda kekar, yang ia tahu telah terjerat jaring-jaring
asmara mautnya.
Tapi pemuda kekar itu kelihatannya belum pernah
mendengar sepak terjang Peri Kembangan. Terbukti
sikapnya tidak berubah. Ia tetap menunjukkan kalau
dirinya berpihak kepada wanita cantik berpakaian merah
itu. Bahkan perkataan Panji membuat wajahnya berubah
merah. Pemuda bertubuh kekar itu tidak bisa menerima
wanita yang telah menjatuhkan hatinya dihina demikian
rendah.
"Tajam sekali lidahmu, Kisanak! Rupanya kau merasa
dirimu sangat suci, sehingga mudah melemparkan tuduhan
keji kepada wanita yang lemah lembut ini. Aku tidak bisa
menerima ucapanmu itu...!" geram pemuda bertubuh kekar
dengan sikap menantang.
Panji menghela napas panjang melihat sikap pemuda
itu. Tapi, bukan berarti ia akan mendiamkan Peri
Kembangan menyebar kekejaman. Meskipun terpaksa ia
harus menghadapi pemuda kekar itu, Panji tetap akan
menghentikan sepak terjang wanita iblis itu.
"Kau sungguh hebat, Peri Kembangan! Tapi, jangan
harap kau dapat melampiaskan kekejamanmu pada
pemuda itu...," ujar Panji, tanpa mempedulikan pemuda
bertubuh kekar, yang tentu saja merasa tersinggung
karena diremehkan.
"Manusia sombong...!" geram pemuda kekai sudah tidak
bisa menahan diri lagi. Kakinya melangkah maju dengan
sikap mengancam. "Kau harus melangkahi mayatku untuk
dapat menjamah wanita ini...!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki bertubuh
kekar melepaskan sebuah pukulan menyilang. Sasarannya
pelipis kiri Panji.
Bwettt!
Tanpa menggeser langkahnya, Panji memiringkan
kepala. Kemudian melangkah melewati tubuh pemuda
kekar setelah berhasil mematahkan serangan pukulan
lawan. Dan terus mendekati Anyetir yang sempat kagum
melihat cara Panji mengelakkan serangan itu.
"Kau harus dihentikan, Peri Kembangan...!" ujar Panji
seraya mengulurkan tangan kanannya dengan totokan
pelumpuh. Panji kelihatan ragu untuk berbuat kasar pada
gadis cantik yang penuh daya pikat itu.
"Hm...."
Anyelir tersenyum mengejek melihat serangan Panji.
Gadis cantik itu hendak menunjukkan kehebatannya
kepada Pendekar Naga Putih. Begitu serangan Panji luput,
kaki kanannya digeser dengan kuda-kuda indah, kemudian
melancarkan serangan lurus ke dada Pendekar Naga Putih.
Whuttt..!
Kepalan mungil itu meluncur datang mengancam dada
kiri Panji. Melihat angin pukulannya, Pendekar Naga Putih
tahu kalau kekuatan yang digunakan wanita cantik itu
cukup untuk membuat seseorang pingsan bila tidak
memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi. Diam-diam Panji
mengakui kepandaian Peri Kembangan yang memang
tidak bisa dipandang remeh. Tapi walaupun begitu
Pendekar Naga Putih tidak berniat mengelakkan serangan
itu. Tangannya sengaja diangkat untuk memapaki
sekaligus mengukur kekuatan tenaga dalam wanita
pemikat itu. Dan....
Plakkk!
Anyelir pun mempunyai maksud serupa. Gadis itu tidak
merubah arah serangannya, meskipun tahu pemuda
tampan berjubah putih itu akan menyambutnya. Ia baru
merasa kaget saat kedua lengan mereka saling
berbenturan. Karena ada rasa nyeri yang menjalar ke
pangkal lengannya. Kenyataan itu menandakan kalau
kekuatan lawan jelas tidak bisa dianggap ringan. Hingga
Anyelir lebih memperhatikan pemuda itu.
"Hebat...!"
Panji memuji kekuatan tenaga dalam Anyelir. Sekarang
ia baru maklum, mengapa selama ini belum ada seorang
tokoh pun yang dapat menghentikan sepak terjang gadis
cantik itu. Memang cukup sulit mencari orang yang dapat
menandingi kepandaian Peri Kembangan.
"Kau pun hebat, Pemuda Tampan...!" puji Peri
Kembangan yang kelihatan merasa sayang harus melukai
pemuda setampan dan sehebat Panji.
Rasanya Anyelir lebih suka melepaskan pemuda kekar
yang membelanya ketimbang pemuda berjubah putih itu.
Sayang pemuda tampan itu kelihatannya tidak mudah
ditundukkan dengan jeratnya. Bahkan pemuda itu terang-
terangan mengatakan hendak menghentikan sepak
terjangnya. Anyelir hanya dapat menghela napas menyesali
sikap Panji.
Sementara Panji sudah kembali bersiap hendak
menundukkan Peri Kembangan. Kali ini kelihatannya ia
tidak main-main lagi. Pemuda itu mulai menunjukkan
kepandaiannya kepada gadis cantik itu. Sebab Peri
Kembangan bukan lawan yang mudah ditundukkan.
"Majulah, Pemuda Tampan! Hendak kulihat sampai di
mana kehebatanmu!" tantang Anyelir.
***
EMPAT
"Hiaaat...!"
Panji yang tengah bersiap menghadapi Peri Kembangan
cepat menoleh ke belakang. Telinganya menangkap suara
berdesing. Terdengar helaan napas beratnya ketika melihat
pemuda bertubuh kekar meluncur datang dengan pedang
di tangan.
"Hm...!"
Bwettt!
Sambaran pedang pemuda kekar meluncur dengan
kecepatan yang cukup mengagumkan. Meski agak
terpaksa, Panji menggeser tubuhnya dan memapaki
serangan itu. Lalu melancarkan sebuah pukulan yang
cukup kuat untuk menghentikan kebandelan pemuda itu.
Bukkk!
Memang tidak terlalu kuat pukulan yang dilancarkan
Panji. Namun, cukup untuk membuat lawannya terjungkal
dan jatuh pingsan.
"Maaf! Aku terpaksa bertindak sedikit keras ter-
hadapmu, Kisanak," desah Panji sedikit menyesal.
Kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada Peri
Kembangan. Sebab saat itu terdengar bentakan lawan
yang disertai deru angin pukulan.
"Lihat serangan...!"
Belum lagi gema suara itu lenyap, serangan Peri
Kembangan telah menderu tajam mengancam tubuh Panji.
Cepat pemuda itu mengelak dan membalas serangan
lawan. Sebentar saja keduanya terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit!
Peri Kembangan berseru heran setiap kali serangannya
dapat dipatahkan Panji. Mata gadis cantik itu semakin
terbuka lebar dan sadar kalau pemuda yang dihadapinya
bukan orang sembarangan. Selain sanggup menghadapi
jurus-jurus serangannya, juga sempat mengirimkan
serangan balasan yang cukup berbahaya.
"Hiaaat..!"
Penasaran karena serangannya belum juga mengenai
sasaran, Anyelir membentak keras dan menambah
kecepatannya. Sambaran angin yang menderu-deru mem-
buat pepohonan di sekitar arena pertarungan berderak
ribut. Memang hebat angin pukulan gadis cantik itu!
Rasanya kepalan mungil berkulit halus itu sanggup
meleburkan apa saja yang menghalanginya.
Whuttt..!
Pada jurus ketiga puluh dua, Panji bergerak mundur.
Serangan Peri Kembangan bagai deburan ombak yang
tidak pernah putus. Kendati semua serangan dapat
dipatahkan dengan baik, tapi Panji belum mengirimkan
serangan balasan yang mengejutkan.
Plak!
Untuk kesekian kalinya, lengan yang dilindungi kekuatan
tenaga dalam itu saling berbenturan. Tapi kali ini Peri
Kembangan terlihat agak kaget. Dan kuda-kudanya
tergempur mundur beberapa langkah. Yang paling
mengagetkan, ada getaran hawa dingin yang muncul dari
lengan pemuda tampan berjubah putih. Tubuh gadis cantik
itu menggigil sesaat. Hingga serangannya terhenti.
Peri Kembangan berdiri tegak dalam keadaan siap
tempur. Sepasang matanya menatap tajam sosok pemuda
berjubah putih di hadapannya. Bayang keraguan tampak
pada sepasang mata bening dan indah itu. Gadis cantik itu
tengah berbantahan dengan hatinya sendiri. Maka....
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak...?" tanya Anyelir curiga.
Kelihatannya ia mempunyai dugaan terhadap pemuda itu.
"Aku bernama Panji. Nah, apa kau sudah puas...?" sahut
Panji memperkenalkan namanya, meskipun ia sudah dapat
menebak arah pertanyaan Peri Kembangan.
"Kurang ajar! Bukan nama jelekmu yang aku tanyakan!
Tapi julukanmu! Hanya orang pengecut yang tidak berani
memperkenalkan julukannya...!" tukas Peri Kembangan
dengan berang. Ia tahu pemuda itu sengaja memancing
dirinya agar bertanya lebih jelas.
"Orang menjulukinya sebagai Pendekar Naga Putih.
Itukah yang ingin kau ketahui, Perempuan Pemikat...?"
Tiba-tiba terdengar jawaban yang datangnya bukan dari
mulut Panji. Sebab selain sangat lembut untuk suara lelaki,
arah datangnya pun dari tempat lain.
Jawaban itu membuat Peri Kembangan menoleh ke arah
asal suara. Keningnya berkerut dalam ketika melihat
sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau
sedang melangkah ke tengah arena. Gadis berparas jelita
itulah yang menjawab pertanyaannya. Dan, jawaban itu
pun tidak kalah mengejutkan. Sehingga, gadis cantik
berhati kejam itu tertegun sejenak
"Pantas kepandaianmu sangat hebat. Rupanya kau
pendekar muda yang dipuja banyak orang itu...!" ujar
Anyelir dengan nada suara yang mengandung ejekan.
"Petualanganmu akan segera berakhir di tangannya...,"
lanjut suara merdu Kenanga. Sementara dara jelita itu
terus melangkah mendekati kekasihnya. "Boleh aku yang
menangani wanita kejam ini, Kakang...?"
Sebenarnya Panji ingin menangani sendiri wanita sesaat
itu. Tapi ketika melihat kilatan aneh pada mata dara jelita
itu, ia pun mengangguk. Panji tahu Kenanga merasa
khawatir ia akan terpikat dan tidak tega melukai Peri
Kembangan yang memang sangat mempesona. Dan Panji
pun tidak ingin membuat dara jelita yang sangat dicintainya
itu tertekan rasa cemburu.
"Berhati-hatilah...," pesan Panji seraya bergerak
meninggalkan arena pertempuran.
Entah mengapa, melihat kejelitaan Kenanga, timbul rasa
benci yang amat sangat di hari Peri Kembangan. Apalagi
saat melihat sikap Pendekar Naga Putih yang demikian
mesra terhadap dara jelita berpakaian serba hijau itu.
Timbul niat dalam hatinya untuk melenyapkan Kenanga.
Anyelir tahu kebenciannya disebabkan oleh rasa cemburu
pada dara jelita itu. Peri Kembangan harus mengakui
hatinya tertarik kepada pemuda tampan berjubah putih,
yang baru kali ini ditemuinya selama bertualang di dunia
persilatan.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih,
Kuntilanak..?" tanya Peri Kembangan yang tidak berhasil
menyembunyikan rasa iri hatinya.
"Hm.... Kau tidak perlu mengetahui hubungan kami...,"
tukas Kenanga. Rupanya gadis jelita itu dapat menebak
perasaan Anyelir. Kenanga ingin membuat Peri Kembangan
penasaran.
"Kurang ajar...! Ternyata kau sama sombongnya seperti
Pendekar Naga Putih! Hendak kulihat apakah
kepandaianmu sesuai dengan sikapmu...!" geram Peri
Kembangan yang segera membuka jurusnya, siap
menggempur Kenanga.
Kenanga sendiri tidak mau banyak cakap lagi. Melihat
lawan sudah mulai bersiap, langkahnya segera digeser
membentuk kuda-kuda silang. Kemudian kaki kanannya
maju membentuk kuda-kuda rajawali. Kemudian tangan-
nya membuat gerakan yang kelihatan lemas, namun
menyembunyikan kekuatan hebat. Dan....
"Haaat...!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh dara jelita itu
bergerak maju menyambut serangan lawan. Dalam
gebrakan pertama itu Kenanga langsung menggunakan
tiga bagian dari tenaga dalamnya. Bahkan mengeluarkan
jurus andalannya. Sebab tadi ia telah menyaksikan
kehebatan gadis pemikat itu. Kenanga agaknya tidak mau
bertindak tanggung-tanggung lagi.
Whuttt...!
Begitu mengelakkan sebuah tamparan lawan, Kenanga
langsung membalas dengan pukulan miring. Kecepatan
dan kesigapan dara jelita itu sempat membuat Peri
Kembangan tertegun. Tampaknya ia tidak menduga kalau
dara jelita itu memiliki kecepatan gerak yang tidak kalah
dengannya. Bahkan terlihat lebih mantap dan kuat.
"Heaaah...!"
Sadar kalau serangan balasan lawan tidak bisa diabai-
kan begitu saja, Anyelir segera melompat ke samping untuk
menghindar. Tapi, untuk kedua kalinya gadis cantik itu
dilanda rasa terkejut. Begitu serangan pertama luput,
Kenanga masih melanjutkan serangannya dengan
serangkaian pukulan dan tendangan yang jauh lebih
berbahaya. Hingga dalam gebrakan pertama itu Peri
Kembangan menjadi kalang-kabut!
"Jaga pukulanku...!"
Bentakan yang mengejutkan itu disusul dengan dua
buah pukulan yang menerbitkan angin menderu tajam.
Sehingga, Peri Kembangan berseru tertahan. Kedudukan-
nya tidak memungkinkan untuk mengelak!
Plakkk!
Terdengar suara lengan berbenturan ketika dengan
sangat terpaksa Peri Kembangan mengangkat tangan
memapaki serangan Kenanga.
"Uhhh...?!"
Peri Kembangan mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar
mundur sejauh setengah tombak lebih. Untung ia masih
sempat berputar untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Lalu membentuk kuda-kuda kokoh.
"Kurang ajar...!" desis gadis cantik berpakaian serba
merah itu jengkel. Sekarang baru terbuka matanya kalau
lawannya ternyata tidak bisa dipandang ringan!
"Mengapa berhenti, Perempuan Genit?" tegur Kenanga
melihat gadis cantik itu menghentikan gerakannya, dan
memandang dirinya dengan sorot mata tajam. "Apa kau
ingjn menyatakan takluk kepadaku? Kalau begitu, cepatlah
berlutut dan minta ampun."
"Setan...!" desis Peri Kembangan dengan dada turun
naik. Anyelir tidak membalas ejekan lawannya. Sebab saat
itu ia tengah memikirkan jalan keluar untuk meloloskan diri
dari tempat itu.
Kenanga memperdengarkan tawanya yang renyah
ketika melihat kegelisahan lawan. Sekali pandang ia
langsung dapat menduga kalau Peri Kembangan hendak
melarikan diri.
"Jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini
dengan selamat, Perempuan Iblis! Aku tidak akan
melepaskanmu. Dosa-dosamu sudah terlalu banyak. Kau
harus menebusnya sekarang juga...!"
Peri Kembangan kelihatan semakin gelisah mendengar
ancaman itu. Kakinya bergerak ke belakang beberapa
langkah. Dan kedua tangannya membuat jurus-jurus baru.
Wanita iblis itu tengah mempersiapkan ilmunya untuk
pertarungan berikutnya.
"Bagus kalau kau masih mempunyai keberanian untuk
melanjutkan pertarungan...!" ujar Kenanga. Kemudian
kakinya melangkah maju, siap menggempur wanita iblis
itu.
"Haiiit...!"
Kali ini Kenanga yang memulai serangan lebih dulu.
Tubuhnya melayang dengan kecepatan yang mengagum-
kan. Angin pukulannya datang menyambar sebelum
serangan itu tiba. Jelas serangan Kenanga kali ini jauh
lebih berbahaya dari sebelumnya.
Peri Kembangan pun sadar akan kehebatan serangan
lawan. Ia tidak mau bertindak ceroboh dengan memapaki
serangan itu. Maka begitu serangan tiba, Anyelir melompat
ke samping sambil mengirimkan tendangan kilat ke tubuh
Kenanga.
"Hiaaa...!"
Plakkk!
Kenanga langsung menyambut tendangan lawan
dengan telapak tangan terbuka. Terus menggeser kaki
kirinya membentuk kuda-kuda silang seraya mengibaskan
kedua tangannya dengan telapak membuka. Hebat dan
cepat bukan main serangan dara jelita itu. Peri Kembangan
terpaksa harus melempar tubuhnya dengan berjumpalitan
beberapa kali di udara. Dan baru meluncur turun setelah
merasa yakin telah berada jauh dari jangkauan serangan
lawan.
Tapi, Kenanga yang tidak ingin buruannya lepas, segera
melesat dengan serangan-serangannya. Dara jelita itu tidak
ingin memberi kesempatan kepada Peri Kembangan untuk
meneliti sekitar tempat itu. Kenanga terus mencecar
dengan hebatnya.
"Setan keparat...!"
Lagi-lagi Anyelir mengumpat marah. Karena baru saja
kedua kakinya menjejak tanah, serangan Kenanga kembali
datang mengancam.
"Heaaah...!"
Rasa jengkel dan penasaran membuat Peri Kembangan
bertindak nekat. Kali ini ia tidak berusaha menghindar.
Bahkan mempersiapkan jurusnya untuk menyambut
serangan lawan.
Whuttt, whuttt...!
Peri Kembangan mengeluarkan jurus andalannya
dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Akibatnya sungguh hebat sekali. Kenanga harus mengerah-
kan segenap kemampuannya untuk mengimbangi per-
mainan lawan.
Pertarungan pun bertambah seru dan berjalan cepat.
Kedua wanita yang memiliki pesona memabukkan itu
saling terjang bagai singa-singa betina.
Memang berbahaya sekali wanita cantik berjuluk Peri
Kembangan itu. Kalau saja orang lain yang menjadi
lawannya, mungkin sudah sejak tadi dapat ditundukkan.
Untunglah kepandaian Kenanga sudah bertambah maju.
Kalau tidak, belum tentu ia sanggup menandingi
kepandaian wanita itu, gumam Panji dalam hati. Diam-
diam Pendekar Naga Putih mengagumi kepandaian Peri
Kembangan. Ia maklum jika wanita itu berani malang-
melintang menyebar kejahatan. Sebab menurut penilaian-
nya, jarang ada tokoh yang sanggup menandingi kehebatan
wanita cantik itu.
***
"Haaat..!"
Peri Kembangan semakin penasaran! Setelah ber-
tempur enam puluh jurus lebih, ternyata ia masih belum
sanggup mengalahkan lawan. Padahal selama ini ia jarang
menemukan tandingan. Jangankan seorang wanita muda
seusia lawannya, tokoh-tokoh tua yang cukup terkenal pun
banyak yang gugur di tangannya. Jadi wajar kalau saat ini
ia benar-benar dibuat penasaran oleh ketangguhan dara
jelita itu.
Bukan hanya Anyelir yang diam-diam mengagumi
kehebatan lawan. Kenanga sendiri terkejut setelah
merasakan kehebatan wanita cantik itu. Bahkan ia mulai
merasa ragu dapat mengalahkan lawannya. Karena sampai
sejauh itu belum nampak tanda-tanda lawannya akan
dapat dikalahkan. Bahkan serangan Peri Kembangan
semakin bertambah hebat, kendati pertarungan sudah
cukup lama berjalan.
"Hm.... Tampaknya aku memang harus menguras
seluruh kepandaianku untuk menundukkan wanita iblis
ini!" Gumam batin Kenanga.
Berpikir demikian, Kenanga mulai mengubah per-
mainannya. Kali ini ia menggunakan jurus-jurus
pamungkasnya yang sudah disempurnakan kekasihnya.
Pengaruhnya tentu saja tidak kecil. Jurus 'Bidadari
Menabur Bunga' yang kelemahan-kelemahannya boleh
dikatakan sulit ditemui, telah mengejutkan Peri
Kembangan. Ia mulai mengakui keunggulan lawan.
"Setan...!"
Lagi-lagi Peri Kembangan hanya bisa memaki ketika ia
terdesak gempuran-gempuran Kenanga. Ruang geraknya
semakin sempit, hingga sulit untuk mengembangkan jurus-
jurusnya. Sampai kemudian....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tubuh Peri Kembangan terlempar sejauh satu tombak
akibat pukulan keras yang menghantam tubuhnya. Wanita
cantik itu pun dilanda kegelisahan. Ia sadar kepandaian
lawan masih lebih tinggi setingkat dari kepandaiannya.
Anyelir menyusut cairan merah yang mengalir di sudut
bibirnya. Napasnya terengah-engah, karena pukulan lawan
membuat dadanya agak sesak, dan sulit bernapas. Tapi
meskipun begitu, ia berusaha bangkit untuk menjaga
serangan susulan yang mungkin akan dilancarkan.
Kewaspadaan Peri Kembangan memang beralasan.
Karena saat itu Kenanga telah melesat dengan serangan
berikutnya. Tampaknya gadis jelita itu ingin segera
menyelesaikan pertarungan yang melelahkan ini.
"Heaaah...!"
Sadar kalau tidak mungkin sanggup menghadapi
serangan lawan, Peri Kembangan mengambil tindakan
licik. Sambil menyiapkan senjata rahasia yang disimpan di
pinggangnya, wanita cantik itu membentak nyaring.
Kemudian lengannya dikibaskan dengan sisa-sisa tenaga-
nya.
Srrr... srrr...!
Belasan jarum-jarum halus meluncur menyambut tubuh
Kenanga! Tentu saja dara jelita itu terkejut. Sedikit pun
tidak diduganya kalau lawan akan berbuat selicik itu. Tidak
ada jalan lain baginya kecuali sebisa mungkin menghalau
sinar-sinar hitam itu.
"Haiiit...!"
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya,
Kenanga memutar kedua tangannya. Tapi....
"Akh...?!"
Meskipun sudah berusaha melindungi tubuhnya dari
serangan gelap itu, tak urung beberapa di antaranya lolos
juga. Kenanga terpekik dengan tubuh terbanting ke tanah.
"Kenanga...!"
Menyaksikan tubuh kekasihnya terbanting jatuh, Panji
cepat berlari memburu. Pendekar Naga Putih memang
sempat menyaksikan perbuatan Peri Kembangan. Tapi,
karena jarak antara mereka cukup jauh, ia tidak sempat
mencegahnya.
Kekhawatiran akan keadaan Kenanga membuat Panji
tidak mempedulikan wanita iblis itu. Ia sudah dapat
menebak Peri Kembangan menggunakan senjata rahasia
yang dilumuri racun. Sehingga, Panji lebih mementingkan
keselamatan kekasihnya daripada mencegah Peri
Kembangan yang dilihatnya langsung meninggalkan
tempat itu.
"Wanita iblis itu sungguh licik sekali, Kakang...," rintih
Kenanga, sebelum jatuh tak sadarkan diri. Racun di dalam
jarum-jarum halus itu telah bekerja cepat.
Melihat kekasihnya tak sadarkan diri, Panji langsung
memeriksa tubuh dara jelita itu. Dan menotok di beberapa
tempat untuk mencegah racun itu tidak segera menyebar
ke jantung. Sebab kalau hal itu sampai terjadi, besar
kemungkinan kekasihnya akan tewas.
Panji menarik napas lega setelah memberikan per-
tolongan pertama. Lalu tanpa mempedulikan sekelilingnya,
tubuh pemuda berjubah putih itu melesat pergi membawa
Kenanga.
***
LIMA
Panji terus berlari meninggalkan Desa Warang. Ia hendak
mencari tempat yang aman untuk mengeluarkan racun
yang mengeram di tubuh kekasihnya. Satu-satunya tempat
yang cocok adalah sebuah hutan di sebelah selatan desa
itu.
Setelah memasuki hutan dan mencari-cari tempat yang
dianggapnya cocok, dilihatnya sebuah pondok sederhana.
Cepat dibawanya Kenanga ke tempat itu. Meskipun sudah
agak rapuh, ditemukannya sebuah balai-balai bambu. Panji
segera membaringkan tubuh Kenanga.
Secara kebetulan, pondok sederhana itu dibangun dekat
aliran sungai yang berair jemih. Dari sungai itulah Panji
mengambil air. Karena ia sudah meneliti sifat racun yang
berada di dalam tubuh Kenanga. Ia tahu kekasihnya pasti
akan merasa haus setelah sadar dari pingsannya. Sebab
racun itu mengandung hawa panas.
"Uhhh...."
Panji yang duduk di tepi pembaringan, segera
memegang jemari tangan kekasihnya. Dan meng-
genggamnya erat-erat. Pemuda itu tersenyum saat melihat
kelopak mata Kenanga mengerjap dan terbuka.
"Kakang...," panggil dara jelita itu dengan suara
berdesah pelan. Keningnya tampak dibasahi titik-titik
keringat.
"Ya...," sahut Panji seraya meremas perlahan jemari dara
jelita itu, sebagai tanda ia berada di dekatnya.
"Aku haus...," rintih Kenanga lagi disertai erangan lirih.
Wajah jelita itu tampak kemerahan. Karena racun yang
berada dalam tubuhnya kembali bekerja.
Panji pun segera menyodorkan air yang ditampungnya
pada selembar daun pisang. Kemudian didekatkan ke bibir
Kenanga yang kelihatan pucat dan kering.
Setelah meneguk habis air yang diberikan Panji,
Kenanga kelihatan agak tenang. Tapi, bukan berarti
bahaya telah lewat. Tubuh dara jelita itu makin bertambah
panas. Bahkan pakaian yang dikenakannya mulai dibasahi
peluh yang mengalir deras di sekujur tubuhnya.
"Hebat sekali racun yang terdapat pada jarum-jarum
halus itu. Tidak kusangka wanita iblis itu memiliki keahlian
yang cukup tinggi dalam hal racun. Entah dari mana ia
berasal, dan siapa yang telah mendidiknya sampai
demikian lihai...," gumam Panji ketika melihat cara kerja
racun itu. Panji pun sadar satu-satunya jalan untuk
mengusir racun di dalam tubuh Kenanga adalah dengan
menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Kenanga..., kau dengar suaraku....?" tanya Panji
mendekatkan wajahnya ke telinga dara jelita itu, yang kini
telah memejamkan kedua matanya kembali.
"Aku dengar, Kakang...," sahut Kenanga setengah
berbisik. Kenanga tampaknya cukup menderita dengan
keadaan itu.
"Hm.... Coba kosongkan pikiranmu. Kuasai tenaga
dalammu agar tidak melawan sewaktu aku menyalurkan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' ke dalam tubuhmu. Hanya
ini jalan satu-satunya untuk mengenyahkan racun yang ada
dalam tubuhmu. Kau sanggup melakukannya...?" ujar Panji
memberikan petunjuk.
"Aku... sanggup, Kakang...," jawab Kenanga lirih.
"Kalau begitu, bersiaplah...," lanjut Panji. Lalu membantu
kekasihnya bangkit agar mudah menyalurkan tenaga
mukjizatnya ke dalam tubuh Kenanga.
Kenanga tidak membantah ketika Panji menyuruhnya
duduk dalam sikap semadi. Dara jelita itu mengosongkan
pikirannya agar tenaga dalamnya tak melawan saat Panji
memindahkan tenaga dalamnya melalui telapak tangan
yang diletakkan ke punggung dara jelita itu.
Tubuh Panji yang duduk dalam sikap semadi di belakang
kekasihnya mulai diselimuti cahaya keemasan. Pertanda
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai menunjukkan
kekuatannya. Dengan perlahan cahaya keemasan itu
bergerak dan berkumpul di kedua telapak tangan pemuda
itu. Lalu lenyap ke dalam tubuh Kenanga.
Beberapa saat kemudian, setelah tenaga mukjizat itu
berpindah ke dalam tubuh kekasihnya, Panji melepaskan
kedua telapak tangannya perlahan-lahan. Dan merebahkan
tubuh kekasihnya yang telah diselimuti cahaya keemasan.
"Hhh...!"
Panji menghela napas lega melihat cahaya keemasan
itu melebar dan hawa panasnya semakin menyengat kulit.
Ia tahu itu pertanda 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai
bekerja. Sekarang ia hanya tinggal menunggu kesembuhan
kekasihnya. Karena tenaga mukjizat itu sanggup mem-
bakar segala jenis racun. Bahkan racun yang paling ganas
sekalipun!
Panji tampaknya tidak perlu menunggu terlalu lama.
Daya kerja tenaga mukjizatnya memang luar biasa.
Beberapa saat setelah ia memindahkannya, Kenanga
mulai sadar dan mengeluh perlahan.
Senyum di wajah pemuda tampan berjubah putih itu pun
terkembang ketika Kenanga bangkit dengan wajah segar
seperti biasa. Dara jelita itu sudah sembuh dan terbebas
dari pengaruh racun Peri Kembangan.
"Kau kelihatan sudah sehat seperti semula, Kenanga...,"
ujar Panji saat melihat dara jelita itu tersenyum manis.
"Benar, Kakang. Tubuhku terasa segar. Bahkan jauh
lebih segar dari biasanya...," sahut Kenanga segera bangkit
dari pembaringan dan duduk di sebelah kekasihnya.
"Itu karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih
mengalir di seluruh tubuhmu," jelas Panji.
"Kau benar, Kakang. Aku memang merasakannya...,"
tukas Kenanga setelah terdiam sesaat, seperti hendak
meneliti kebenaran ucapan itu.
Apa yang dikatakan pemuda itu memang tidak salah.
Kenanga merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam
tubuhnya. Hawa mukjizat itu masih menjaga kalau-kalau
ada racun yang tersisa di dalam tubuh dara jelita itu.
"Biarlah untuk sementara kekuatan mukjizat itu berada
dalam tubuhmu...," ujar Panji. Karena ia tahu hal itu sangat
baik bagi Kenanga.
"Kita harus segera mencari wanita iblis itu, Kakang. Aku
khawatir ia akan kembali melakukan perbuatan kejinya.
Entah keuntungan apa yang didapatnya dari perbuatan
terkutuk itu...?" ucap Kenanga yang merasa telah cukup
kuat untuk melakukan perjalanan jauh maupun bertempur.
Panji tidak menjawab dengan kata-kata. Pemuda itu
hanya mengangguk menyetujui usul kekasihnya. Ia yakin
Kenanga sudah pulih seperti biasa. Maka, Panji segera
bangkit dan mengajak Kenanga mencari Peri Kembangan
untuk menghentikan perbuatan biadab wanita cantik
berhati iblis itu.
***
Gadis cantik berpakaian serba merah itu duduk di atas
batu bulat di dalam taman. Sepasang matanya yang bulat
bening mengawasi bunga-bunga yang sedang mekar.
Hingga menyebarkan bau harum di sekitar tempat itu.
Kelihatannya gadis cantik itu benar-benar menikmati
keindahan alam dl sekitarnya.
"Anyelir, Dewi Pujaanku...."
Suara panggilan mesra bernada rayuan itu menyelusup
ke dalam telinga, membuat gadis cantik itu menoleh
dengan raut tak senang. Kelihatannya ia merasa terganggu
dengan kehadiran suara itu.
"Ah.... Kau rupanya, Kakang Japati...," ujar gadis cantik
yang tidak lain Anyelir. Bibirnya yang merah menantang,
mengulas senyum manis ketika melihat seorang lelaki
gagah melangkah ke arahnya.
"Maaf, kalau kehadiranku telah membuatmu terganggu,
Anyelir...," ujar lelaki gagah yang bernama Japati masih
dengan penuh mesra. Kemudian tubuhnya dijatuhkan di
sebelah Anyelir. Tangannya melingkar di bahu yang hangat
itu.
"Tidak mengapa, Kakang. Kehadiranmu tidak mengganggu. Bahkan aku merasa senang sekali...," tukas
Anyelir. Lalu merebahkan kepalanya di dada bidang Japati.
Manja sekali sikap Anyelir terhadap lelaki gagah itu.
Padahal wajah lelaki itu tidak bisa dibilang tampan.
Biasanya Anyelir tidak akan berbuat demikian. Ia hanya
menyukai pemuda-pemuda tampan yang memenuhi
seleranya. Tapi, kali ini tampaknya ia tidak mempedulikan
hal itu.
"Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku merasa cemas
ketika tidak menemukanmu di dalam rumah. Kukira kau
telah pergi karena tidak suka hidup bersamaku...," lanjut
Japati, mengecup lembut rambut Anyelir yang berbau
harum.
Anyelir tidak menanggapi ucapan itu. Hanya meng-
gesekkan kepalanya ke dada bidang Japati, bagai seekor
kucing yang hendak bermanja kepada majikannya.
Japati menarik napas dalam-dalam mencium bau harum
tubuh Anyelir. Deru napasnya terdengar lebih cepat.
Rupanya bau tubuh gadis cantik itu telah membuat
gairahnya bangkit. Maka ditariknya tubuh lembut itu ke
dalam pelukannya. Kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga gadis itu.
"Iiih...! Bukankah kita sudah melakukannya beberapa
kali dalam semalam...?"
Terdengar suara manja Anyelir ketika mendengar
bisikan Japati. Kendati berkata demikian, namun bibirnya
menyunggingkan senyum menantang, membuat lelaki
gagah itu semakin tidak sanggup menahan gejolak dalam
dadanya.
"Salahmu sendiri. Mengapa kau demikian cantik dan
mempesona...," tukas Japati.
Kemudian tubuh ramping itu dipondongnya tanpa
mempedulikan pekikan manja yang mencela per-
buatannya. Gadis cantik itu dibawanya ke dalam rumahnya
yang merupakan bangunan megah. Tampaknya Japati
merupakan orang terhormat dan banyak memiliki harta.
Anyelir memperdengarkan kekehnya yang genit. Ia tidak
berusaha melepaskan diri. Dan membiarkan lelaki gagah
itu melakukan apa yang diinginkannya.
Sebentar kemudian, tubuh keduanya lenyap di balik
pintu kayu tebal yang berukir indah. Hanya dinding-dinding
kamar tempat mereka berada yang tahu perbuatan
manusia berlainan jenis itu.
Japati memang bukan orang sembarangan di kadipaten
itu. Ia adalah penguasa di tempat itu, yang dengan
sikapnya sanggup menghitamputihkan segala sesuatu.
Japati seorang adipati yang ditakuti penduduk daerah itu.
Agaknya alasan inilah yang membuat Anyelir menyerahkan
diri sepenuhnya kepada lelaki setengah baya itu. Tentunya
ia mendapat keuntungan yang telah dipikirkannya masak-
masak. Kalau tidak, mana mungkin wanita cantik itu mau
menyerahkan dirinya pada Adipati Japati yang wajahnya
tidak bisa dibilang tampan. Bahkan mendekati buruk dan
bengis.
Tanpa sepengetahuan Japati dan Anyelir, sepasang
mata tajam sempat melihat mereka memasuki kamar
paling besar di dalam bangunan megah itu. Ada kilatan
marah dan benci dalam bola mata sosok tubuh tegap yang
bersembunyi di balik dinding ruangan besar itu. Apa yang
dilakukan Anyelir bersama Adipati Japati telah mem-
bangkitkan rasa cemburu di hatinya.
"Perempuan laknat...!" desis pemilik sepasang mata
tajam itu. Kilatan dendam tersirat dalam pandang
matanya. "Rupanya bukan cuma aku yang mendapatkan
cintanya! Dasar perempuan rendah...!"
Setelah menumpahkan kemarahannya melalui makian
dan cercaan, pemilik sorot mata tajam itu bergerak
meninggalkan tempat itu. Langkahnya demikian hati-hati.
Sepertinya ia merasa khawatir kehadirannya akan
diketahui kedua orang itu. Ia sangat maklum kedua orang
yang diintainya sejak dari dalam taman merupakan orang-
orang terlatih yang bisa mendengar suara langkah kaki.
Sosok itu baru melangkah biasa setelah agak jauh.
Kemudian bergegas masuk ke dalam kamar yang cukup
besar. Dan lenyap di balik pintu tebal berukir.
***
Cahaya kemerahan tampak menghiasi kaki langit
sebelah barat. Tak berapa lama kemudian, pijarnya lenyap
tertutup kegelapan. Rembulan pun muncul menghiasi
malam. Bintang-bintang yang berkerlip jenaka ber-
gantungan di langit kelam, membuat suasana malam
demikian indah dipandang mata.
Di bawah pancaran cahaya bulan yang gemerlap tampak
sesosok tubuh bergerak menuju taman yang terletak di
belakang rumah Kadipaten Banjaran. Dari sikapnya yang
hati-hati, mudah ditebak kalau kedatangannya di tempat
itu tidak ingin diketahui orang.
"Kasihan.... Apa kau terlalu lama menungguku,
Ganajaya...?" tegur sosok tubuh itu dengan mesra.
Kali ini ia tidak takut-takut lagi untuk menunjukkan
dirinya. Kedatangannya memang hendak menemui sosok
tubuh tegap yang tengah duduk termenung di dalam
taman.
Sosok tubuh tegap yang sudah pasti seorang lelaki itu
tidak menoleh, meskipun jelas-jelas mendengar teguran
itu. Bahkan tetap memandang lurus ke depan saat sosok
tubuh itu melangkah gemulai menghampiri. Lelaki tegap
yang dipanggil Ganajaya itu tampaknya tidak mem-
pedulikan kehadiran sosok tubuh ramping padat itu.
"Hm.... Rupanya kau masih berani juga menemuiku,
Perempuan Rendah...!" desis Ganajaya saat sosok tubuh
ramping itu semakin dekat.
Ucapan kasar itu membuat langkah sosok wanita itu
terhenti. Kemudian kembali bergerak dan agak bergegas.
Ia sempat terkejut mendengar ucapan tadi.
"Kau bicara apa barusan, Ganajaya...? Apakah makian
itu kau tujukan untukku...?" tegur gadis bertubuh meng-
giurkan itu dengan menyembunyikan keheranan dan rasa
penasarannya.
Ganajaya tidak menyahut. Tubuhnya langsung bangkit
saat wanita itu duduk di sebelahnya. Tampaknya lelaki
tegap itu benar-benar sedang marah. Sampai-sampai tidak
sudi duduk berdampingan dengan gadis bertubuh ramping
padat itu.
"Ada apa, Ganajaya...? Sikapmu benar-benar membuat-
ku penasaran! Kalau kau memang sudah tidak suka
kepadaku, aku akan pergi dari tempat ini. Tapi katakan
dulu, apa yang membuatmu berubah seperti ini? Apakah
kata cinta yang pernah kau ucapkan hanya rayuan karena
ingin menikmati tubuhku...? Jawab pertanyaanku,
Ganajaya?" ujar wanita itu dengan suara agak meninggi.
Kelihatannya ia merasa tersinggung dengan sikap
Ganajaya.
"Jangan tanya padaku, Anyelir! Coba kau teliti dirimu.
Apakah ucapan manismu juga kau desahkan untuk
menggoda ayahku? Nah, apa jawabmu...?" tukas Ganajaya
melemparkan kembali kata-kata yang diucapkan wanita
bertubuh menggiurkan, yang ternyata Anyelir.
Ganajaya adalah putra Adipati Japati, yang merupakan
kekasih Anyelir atau Peri Kembangan. Rupanya wanita
kejam itu telah melangkah terlalu jauh. Dengan beraninya
ia menjerat ayah dan anak penguasa Kadipaten Banjaran.
Sungguh sebuah keberanian yang luar biasa!
"Hm.... Katakan terus terang, Ganajaya? Apa maksud
ucapanmu?" tanya Anyelir mencoba menyembunyikan
perbuatannya. Ia hendak mencari tahu, sampai sejauh
mana lelaki tegap itu mengetahui hubungannya dengan
Adipati Japati.
"Jangan berpura-pura, Anyelir! Kau pikir aku tidak tahu
apa yang telah kau perbuat dengan ayahku? Coba katakan,
apa yang akan diperbuat dua orang berlainan jenis di
dalam kamar tertutup? Apakah kau hendak mengatakan
kalian tengah bermain kucing-kucingan di dalam kamar
itu?" geram Ganajaya dengan suara bagaikan kucing
terinjak buntutnya.
Hati lelaki tegap itu terasa sakit mendengar wanita yang
dicintainya berusaha menyembunyikan perbuatan kotor-
nya. Terlebih lagi dilakukan bersama ayahnya, lelaki yang
seharusnya dihormati Anyelir. Tak dapat dibayangkan
betapa sakitnya luka yang tertoreh di hati lelaki tegap itu.
"Ganajaya...!" pekik Anyelir dengan terisak.
Wanita iblis itu hendak mempergunakan senjata
wanitanya untuk meruntuhkan hati Ganajaya. Air mata itu
agaknya berhasil membuat hati Ganajaya tergerak. Lelaki
itu tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Hanya
berdiri mematung menatap Anyelir yang menutupi wajah-
nya dengan bahu berguncang lembut. Apa yang dilakukan
wanita itu membuat Ganajaya tertegun.
"Kau tidak tahu, Ganajaya. Betapa aku melakukannya
dengan sangat terpaksa...," rintih Anyelir masih tetap
menutupi wajahnya. Kelihatannya hati gadis itu sangat ter-
luka oleh tuduhan Ganajaya.
"Apa... apa maksudmu, Anyelir...? Mengapa kau katakan
terpaksa?" tanya Ganajaya seraya menghampiri gadis
cantik itu dan memegang bahunya.
Merasa senjatanya berhasil mengenai sasaran, Anyelir
semakin terisak. Tapi tak setetes air mata pun mengalir
membasahi jemarinya. Tangis itu jelas hanya dibuat-buat.
Sayang Ganajaya tidak memperhatikan hal itu. Ia sudah
cukup sibuk memikirkan ucapan Anyelir barusan.
"Aku tidak ingin kau semakin terluka bila kuceritakan hal
yang sesungguhnya terjadi, Ganajaya. Biarlah semua ini
kusimpan sendiri. Dan..., selamat tinggal...."
Setelah berkata demikian, Anyelir membalikkan tubuh
hendak meninggalkan tempat itu. Tapi, Ganajaya tidak
membiarkan gadis cantik itu meninggalkannya tanpa
mengatakan apa sebenarnya yang sudah terjadi.
"Kau tidak boleh pergi, Anyelir. Katakan, apa yang
sebenarnya telah terjadi? Aku berjanji akan memaafkan
perbuatanmu, dengan syarat kau tidak akan meng-
ulanginya lagi...," pinta Ganajaya mencegah kepergian
gadis cantik itu.
Mendengar ucapan itu, Anyelir berbalik dan menyuruk
kan kepalanya ke dalam pelukan Ganajaya. Sehingga,
lelaki tegap itu kelihatan semakin iba, dan membalas
pelukan Anyelir. Bahkan membelai rambut gadis itu dengan
penuh kasih sayang.
Untuk beberapa saat suasana menjadi bisu. Hanya
desau angin yang terdengar lembut, ditingkahi gemerisik
dedaunan. Kedua insan itu masih tetap saling berpelukan
tanpa kata.
***
ENAM
"Ceritakanlah kesusahan hatimu, Anyelir. Dengan begitu
mungkin akan kupertimbangkan kembali, apakah kau
pantas dimaafkan atau tidak," pinta Ganajaya setelah gadis
cantik yang licik itu mulai tenang dan tidak terisak lagi.
Pada mulanya Anyelir bersikeras tidak mau mencerita-
kan apa yang dialaminya. Tapi karena Ganajaya terus
memaksa, akhirnya gadis cantik itu menceritakan juga.
"Pada mulanya aku pun kaget...," Anyelir memulai
ceritanya. "Ayahmu datang menemuiku saat aku tengah
menyendiri di taman. Entah setan apa yang merasuk ke
dalam tubuhnya ketika melihat aku duduk sendirian. Ia
langsung merayu dengan menjanjikan akan mengabulkan
segala keinginanku. Asalkan aku mau melayani nafsu
bejatnya. Tentu saja aku menolak. Ayahmu sangat marah
dengan penolakanku. Ia berkata akan mengusirmu dari
rumah ini, dan tidak akan mengakuinya sebagai anak lagi.
Sungguh kaget hatiku mendengar ancaman itu...."
Sampai di situ Anyelir menghentikan ceritanya. Wajah-
nya menengadah menatap Ganajaya. Seolah hendak
melihat tanggapan pemuda bertubuh tegap itu.
Ganajaya terkejut bukan main mendengar penuturan
Anyelir. Sedikit pun tidak pernah terpikir ayahnya akan ber-
tindak sejauh itu. Tubuh pemuda tegap itu menggigil
seperti orang terserang demam hebat. Wajahnya tidak lagi
merah, tapi pucat saking marahnya.
"Lanjutkan, Anyelir...," pinta Ganajaya dengan suara ber-
getar penuh dorongan emosi yang bergejolak dalam dada.
Sepasang matanya memancarkan kemarahan dan luka
yang dalam.
"Sudahlah, Ganajaya. Sebaiknya kita lupakan saja
semua itu. Kita tinggalkan tempat ini, dan hidup bersama
jauh dari jangkauan kekuasaan ayahmu. Aku tidak ingin
menyiksamu lebih jauh...," bujuk Anyelir agar Ganajaya
tidak perlu lagi mendengar kelanjutan cerita itu.
"Tidak, Anyelir. Aku harus tahu semuanya. Kau... tidak
perlu khawatir...," bantah Ganajaya dengan suara bergetar.
Ditariknya napas dalam-dalam untuk menyiapkan kekuatan
mendengar kelanjutan cerita gadis cantik itu.
"Jangan, Ganajaya...!"
Anyelir masih berusaha mencegah keinginan pemuda
tegap itu. Ditatapnya wajah Ganajaya dengan penuh per-
mohonan.
"Lanjutkan, Anyelir. Aku ingin tahu apa lagi yang dikata-
kan tua bangka tak tahu diri itu untuk membujukmu...?"
ujar Ganajaya dengan nada suara yang mulai menurun,
kendati tetap menunjukkan kekerasan hatinya.
"Baiklah...," desah Anyelir menyerah.
Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya. Termasuk ucapan-
ucapan Adipati Japati untuk merayu dirinya agar menuruti
keinginan kotor penguasa Kadipaten Banjaran itu.
"Keparat...!" desis Ganajaya dengan mata merah
menyala. Kemarahan di dalam dadanya menyentak kuat
bagai gelora ombak samudera, membuat lelaki tegap itu
meringis sambil mendekap dada.
"Ganajaya...!"
Anyelir terpekik kecil ketika melihat lelaki tegap itu
tampak menderita sekali. Tapi, kekhawatiran itu hanya tipu
muslihatnya. Jauh di dalam hatinya, Anyelir tertawa puas
melihat kebencian mulai timbul di hati Ganajaya terhadap
orangtuanya. Memang itulah maksudnya masuk ke dalam
lingkungan Kadipaten Banjaran.
"Tua bangka itu harus diberi pelajaran! Sungguh tega ia
hendak mencampakkan ibuku untuk mendapatkanmu.
Rasanya ia benar-benar sudah ditunggangi iblis...!" ujar
Ganajaya seraya mengepalkan tinjunya erat-erat
Ucapan itu bukan sekadar ancaman kosong belaka.
Anyelir tahu betul akan hal itu. Bibirnya pun menyungging-
kan senyum iblis, karena rencananya berjalan mulus
Anyelir diam menatap wajah yang tengah dilanda
kemarahan hebat itu. Kali ini ia tidak menanggapi dan
tidak berusaha menenangkan lelaki tegap itu. Dibiarkannya
Ganajaya menumpahkan semua kemarahannya melalui
ancaman-ancaman berbau maut.
"Aku akan menemuinya, dan memaksa agar semua yang
pernah diucapkannya ditarik kembali. Kalau tidak, terpaksa
aku akan bertindak untuk kebahagiaan kita, juga untuk
ibuku...!" ujar Ganajaya seraya menatap langit kelam,
sekelam dan sehitam suasana hatinya saat itu.
Mendengar ucapan itu, Anyelir kelihatan sangat kaget.
Tentu saja hal itu tidak dikehendakinya. Ia harus segera
mencegahnya.
"Jangan, Ganajaya! Aku tidak ingin kau melakukan hal
itu...!" ujar Anyelir terdengar agak keras dan penuh
tekanan, membuat pandangan lelaki tegap itu beralih ke
raut wajah cantik menggiurkan itu.
"Mengapa, Anyelir...? Bukankah sudah seharusnya aku
mengingatkan ayah atas kesesatannya itu...?" tanya
Ganajaya memegang bahu gadis cantik itu, dan meremas-
nya lembut penuh kasih sayang.
"Kau tidak perlu bertindak sejauh itu. Sebaiknya kita
lupakan saja yang sudah terjadi. Marilah...," tukas Anyelir
sambil merebahkan kepalanya di dada Ganajaya. Dan
menggesek-gesekkannya dengan penuh kemanjaan.
Perbuatan gadis cantik itu membuat Ganajaya menarik
napas panjang. Bau harum rambut wanita itu serta
kelembutan dan kehangatan tubuh ramping yang melekat
erat di tubuhnya, membuat keinginannya bangkit seketika.
"Anyelir, kekasihku... dewiku...," desah Ganajaya seraya
memeluk erat tubuh lembut yang menawarkan kenikmatan
itu.
Sebentar kemudian mereka bergerak meninggalkan
taman dengan tubuh saling berpelukan. Dan lenyap di balik
pintu kamar rumah Adipati Japati. Hanya mereka berdua
yang tahu apa selanjutnya yang terjadi di dalam kamar itu.
***
"Kita tidak mungkin membiarkan semua ini berlanjut,
Kakang! Sebab, bukan tidak mungkin perempuan iblis itu
akan menguasai kadipaten ini. Kalau sudah demikian,
tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk bertindak...!"
ujar lelaki gemuk berkumis tebal dengan penuh semangat.
Tampaknya ia tengah merasa cemas terhadap sesuatu.
"Apa lagi yang harus kita lakukan, Adi? Kalau adipati
sendiri sudah tidak mau lagi mendengar nasihat kita, tidak
ada lagi yang dapat kita perbuat. Menurutku, kita hanya
tinggal menunggu keruntuhan kadipaten ini...," tukas lelaki
setengah baya, yang sebagian rambut di atas telinganya
berwarna putih. Kelihatannya lelaki itu sudah putus asa
dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Tidak! Perempuan iblis itu harus segera dilenyapkan.
Atau paling tidak mengusirnya keluar dari lingkungan
kadipaten! Kita berdua harus melakukannya, Kakang.
Karena keutuhan dan keamanan kadipaten ini ada di
tangan kita berdua. Apa pun yang terjadi, kita harus
bertindak!" tegas lelaki gemuk berkumis tebal yang
kelihatannya belum berputus asa. Bahkan dalam
kepalanya telah tersusun sebuah rencana.
"Kau mempunyai rencana, Adi...?" tanya lelaki setengah
baya yang kelihatan masih gagah.
Lelaki setengah baya ini memang bukan orang
sembarangan. Di dalam lingkungan Kadipaten Banjaran, ia
merupakan orang kedua yang memiliki kekuasaan penuh
setelah Adipati Japati. Ia adalah Senapati Bawara, yang
bertanggung jawab penuh atas keselamatan junjungannya
maupun keutuhan kadipaten itu.
"Ya! Sebab, aku tidak ingin ulah perempuan keparat itu
semakin menjadi-jadi. Walau harus mengorbankan nyawa,
aku bertekad mencegah kehancuran kadipaten ini...!"
jawab lelaki gemuk berkumis lebat, yang bernama Jipangga
dan merupakan jagoan Kadipaten Banjaran. Mereka
merupakan sahabat baik, dan selalu setia pada junjungan-
nya.
"Aku pun tidak akan ragu berkorban untuk tegaknya
kadipaten ini, Adi. Tapi, kita tidak boleh mengorbankan
nyawa sia-sia. Apalagi perempuan iblis itu kabarnya
memiliki ilmu yang tidak rendah. Menurut laporan
beberapa mata-mata yang kusebar, dapat kutarik
kesimpulan kalau wanita cantik menggiurkan itu adalah
Peri Kembangan. Sayang aku terlambat mengetahuinya.
Karena baik Adipati Japati maupun Tuan Muda Ganajaya
telah masuk ke dalam jerat yang dipasang perempuan
setan itu. Sehingga, mata dan hati mereka menjadi buta
dan tidak lagi mau mendengar laporanku. Bahkan beliau
sangat marah dan mengancam akan memecatku bila
masih juga menjelek-jelekkan Peri Kembangan...."
Senapati Bawara kelihatan sangat sedih karena laporan-
nya ditolak, bahkan kedudukannya terancam. Ia tidak tahu
lagi apa yang harus dilakukan dan hanya bisa menyesali
sikap Adipati Japati.
"Aku pun tidak luput dari ancaman itu, Kakang.
Bayangkan, setelah mendidik Tuan Muda Ganajaya selama
sekian tahun, baru kali ini aku tidak bisa mencegah
tindakannya. Bahkan ia memutuskan hubungan guru dan
murid ketika kunasihati agar berhati-hati terhadap
perempuan iblis itu. Alangkah sakitnya hatiku mendengar
perkataan Tuan Muda Ganajaya. Kalau menurutkan kata
hatiku, sudah jauh-jauh hari aku meninggalkan kadipaten
ini. Karena aku selalu menentang segala bentuk kejahatan
dan berpegang pada keadilan itulah yang memaksaku
bertahan di tempat ini...."
Jipangga memaparkan pengalaman pahitnya yang
hampir mirip dengan pengalaman sahabatnya. Ternyata
mereka bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Pengabdian mereka jelas bukan karena harta ataupun
kedudukan.
"Sekarang katakanlah rencanamu, Adi. Aku akan
membantu dengan sekuat tenaga. Satu hal yang perlu
kuingatkan padamu. Apa yang akan kita lakukan nanti,
kuharap jangan diberitahukan kepada orang lain. Biarlah
hanya kita berdua yang mengetahuinya...," ujar Senapati
Bawara yang jelas-jelas mendukung rencana sahabatnya.
"Terima kasih, Kakang. Aku benar-benar bangga mem-
punyai sahabat sepertimu. Yang memiliki kesetiaan ter-
hadap jabatan," ujar Jipangga seraya menjabat erat jemari
tangan sahabatnya.
Setelah mengetahui sikap sahabatnya, Jipangga segera
memaparkan rencana yang selama ini disimpannya. Tapi,
meskipun merasa yakin kalau pembicaraan mereka tidak
ada yang mendengarkan, tetap saja rencana itu mereka
atur dengan berbisik-bisik.
"Hm.... Rencanamu cukup bagus, Adi. Sekarang juga
akan kusiapkan surat tantangan untuk Peri Kembangan.
Mengenai pengirimannya, kau tidak usah khawatir. Aku
jamin tak seorang pun akan mengetahuinya kecuali
perempuan iblis itu," ujar Senapati Bawara yang wajahnya
terhias cambang bauk lebat itu. Ia sangat setuju
mendengar rencana sahabatnya. Sehingga, semangatnya
bangkit kembali.
"Satu hal yang tidak boleh kau lupakan, Kakang
Senapati...," tukas Jipangga.
"Apa itu, Adi...?" tanya Senapati Bawara dengan
mengerutkan kening.
"Kau tidak boleh membawa prajurit seorang pun!" jelas
Jipangga, mengingatkan kalau rencana itu hanya boleh
diketahui mereka berdua.
"Jangan khawatir, Adi. Akan kuingat baik-baik hal itu...,"
sahut Senapati Bawara cepat Jawaban itu membuat
sahabatnya menarik napas lega.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Kakang Senapati. Tengah
malam besok aku akan menunggumu di hutan sebelah
utara kadipaten."
Setelah berkata demikian, Jipangga bergerak meninggal-
kan tempat kediaman Senapati Kadipaten Banjaran itu.
"Hati-hati, Adi...," pesan Senapati Bawara mengingatkan
saat kawannya menyelinap melalui jendela. Rupanya per-
temuan itu merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui
orang.
Tanpa berkata lagi, Jipangga melompat melalui jendela,
dan merendahkan tubuhnya begitu kedua kakinya meng-
injak tanah. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang
melihatnya, tubuh gemuk itu melayang ke atas atap, dan
terus bergerak di keremangan malam.
***
"Kenapa, Adi? Kelihatannya kau begitu gelisah...?"
Senapati Bawara menatap wajah lelaki gemuk di
sebelahnya yang kelihatan tidak bisa berdiri tenang. Sikap
yang tidak seperti biasanya itu membuat lelaki gagah ini
tidak bisa menahan keinginannya untuk bertanya.
"Hhh...!"
Lelaki gemuk yang tidak lain Jipangga itu tidak segera
menjawab. Bahkan kembali merubah sikap berdirinya
disertai helaan napas yang menandakan kegundahan
hatinya. Tatapan matanya yang semula tertuju lurus ke
depan, beralih ke wajah lelaki gagah di sebelah kanannya.
"Aku mempunyai firasat jelek, Kakang Senapati. Tapi,
aku tidak tahu apa...?" desah Jipangga disertai tarikan
napas yang membuat kening Senapati Bawara berkerut.
"Jujurlah, Adi. Apakah kegelisahanmu karena kau
merasa gentar terhadap ilmu Peri Kembangan yang
kabarnya sangat tinggi itu...?" tanya Senapati Bawara.
Pertanyaan itu diajukan bukan karena ingin mengejek.
Tapi, hendak memancing agar mengetahui penyebab
kegelisahan yang melanda perasaan rekannya.
Jipangga yang cukup terkenal dengan ilmu tombak
bergoloknya dalam kalangan persilatan, menoleh agak
kaget. Rupanya pertanyaan itu mengejutkannya. Kerutan di
keningnya kembali lenyap ketika melihat wajah Senapati
Bawara. Pada raut wajah yang ditumbuhi brewok lebat itu
sedikit pun tidak didapatinya tanda-tanda hinaan. Hal itu
membuatnya sadar kalau pertanyaan itu bukan dimaksud-
kan untuk menghinanya.
"Seperti yang telah kita sepakati bersama, berkorban
nyawa bukanlah sesuatu yang perlu kupersoalkan. Aku
tidak takut mati, Kakang Senapati! Kegelisahan ini benar-
benar tidak kumengerti? Apakah kau tidak merasakan
sesuatu pada hatimu...?" Jipangga mengajukan pertanyaan
itu untuk mengetahui apa yang saat itu dirasakan Senapati
Bawara, yang ia tahu tidak pernah mengenal rasa takut.
"Entahlah, Adi. Yang pasti, ada sesuatu mengganjal di
hatiku. Sayang aku tidak tahu pertanda apa perasaan tidak
enak ini...?" sahut Senapati Bawara disertai helaan napas
panjang. Itu membuktikan mereka berdua memang
merasakan sesuatu, meski dengan sikap berlainan. Yang
jelas mereka tengah dilanda kekhawatiran terhadap
sesuatu.
Jipangga tidak menanggapi ucapan Senapati Bawara.
Saat itu pandangannya sudah kembali tertuju ke depan.
Sebab dari situlah apa yang mereka tunggu akan muncul.
Senapati Bawara dan Jipangga menarik napas panjang
saat angin keras berhembus mempermainkan rambut dan
pakaian mereka. Bahkan sempat membuat lengan
Jipangga yang menggenggam erat tombak bergolok agak
bergetar. Tiupan angin yang menurutnya agak aneh itu
membuatnya waspada.
"Jipangga...," panggil Senapati Bawara agak berbisik
namun cukup jelas ditangkap telinga lelaki gemuk itu.
"Apakah kau merasa ada sesuatu yang tengah mem-
perhatikan kita...?"
"Ah?! Kau benar, Kakang," sahut Jipangga berbisik tanpa
merubah kedudukannya. "Rupanya inilah yang sejak tadi
membuatku tidak bisa tenang!"
"Katakanlah, Jipangga. Apakah kau percaya akan
kejujuran dan sikap gagah Peri Kembangan...?" tanya
Senapati Bawara tetap dengan berdiri tegak dan menatap
lurus ke depan. Tangan kanannya sudah bergerak meraba
gagang pedang di pinggangnya.
"Maksudmu...?" Jipangga tidak melajutkan kalimatnya.
Wajahnya kelihatan tegang ketika memikirkan hal itu.
"Ya. Aku curiga Peri Kembangan mengadukan persoalan
ini kepada Adipati Jipangga atau Tuan Muda Ganajaya.
Bisa celaka kita kalau sampai dugaan itu benar terjadi...!"
desis Senapati Bawara mendadak tegang seperti halnya
Jipangga.
Baru saja perkataan Senapati Bawara selesai, tiba-
tiba....
"Hik hik hik...!"
"Keparat...!" umpat Senapati Bawara yang merasa
jantungnya nyaris copot. Tawa yang mirip kekeh kuntilanak
itu begitu tiba-tiba datangnya. Dan dalam keadaan hati
tengah dilanda ketegangan memuncak!
"Bedebah...!"
Tubuh Jipangga sampai terlonjak. Tombak bergolok di
tangan kanannya diputar sedemikian rupa dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya. Itu dilakukan untuk
menenangkan hatinya yang berdebar keras.
Suara tawa mengekeh berkepanjangan itu mendadak
lenyap. Suasana di dalam hutan kembali hening men-
cekam. Hanya suara binatang malam yang terdengar saling
bersahutan.
Senapati Bawara dan Jipangga bertukar pandang
sesaat. Agaknya mereka tidak bisa menebak dari arah
mana suara tawa itu berasal. Karena selain datangnya
begitu tiba-tiba, suara tawa itu pun bergaung seolah datang
dari setiap pelosok hutan. Sehingga sulit untuk me-
nemukan sumbernya. Tapi, mereka tahu siapa yang
mengeluarkan suara tawa itu.
"Peri Kembangan, Perempuan Iblis! Tunjukkan dirimu
kalau kau memang datang untuk memenuhi tantangan
kami! Kuhitung sampai tiga! Kalau kau masih belum
muncul juga, sebaiknya pergi dari lingkungan kadipaten!
Dan, jangan ganggu junjungan kami lagi...!" Jipangga
berteriak lantang mengerahkan tenaga dalamnya, me-
nantang pemilik suara tawa barusan yang mereka pastikan
Peri Kembangan, orang yang mereka tantang untuk ber-
tarung malam itu.
Tapi sampai gema suara Jipangga lenyap dibawa angin,
suasana malam tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda
munculnya sosok yang tengah mereka tunggu-tunggu.
Sampai akhirnya....
"Hik hik hik...!"
Whusss...!
Senapati Bawara dan Jipangga melompat ke belakang
ketika suara tawa itu kembali muncul disertai hembusan
angin keras. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh
ramping dari atas pohon yang jaraknya sekitar dua tombak
dari tempat kedua lelaki itu berdiri.
Dengan ringan, sosok tubuh ramping itu menjejakkan
kaki di atas rumput. Tawanya masih terdengar ber-
kepanjangan. Sosok yang tak lain Anyelir atau Peri
Kembangan itu menatap tajam wajah kedua penantang-
nya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir menggairahkan
itu. Untuk beberapa saat mereka hanya saling tatap
dengan sikap waspada.
***
TUJUH
"Hm.... Kaliankah yang telah berani mati mengirimkan
tantangan kepadaku...?" tanya Anyelir seraya menatap
kedua tokoh Kadipaten Banjaran dengan senyum sinis.
"Tidak salah!" sahut Senapati Bawara mendahului
kawannya.
Kemudian lelaki brewok itu bergerak maju beberapa
langkah. Tangan kanannya masih melekat pada gagang
pedang di pinggangnya, yang setiap saat dapat digunakan
untuk menghadapi wanita iblis itu.
"Kami sudah tahu siapa sebenarnya dirimu, Perempuan
Keji! Begitu juga dengan perbuatan kotormu di lingkungan
kadipaten. Kami berdua telah bersepakat untuk meng-
hentikan perbuatanmu...!"
Jipangga menimpali ucapan Senapati Bawara. Lelaki
gemuk itu pun sudah maju beberapa langkah. Tombak
bergolok di tangan kanannya berputaran menimbulkan
deruan angin keras.
"Hik hik hik...! Memang sudah sejak semula aku merasa
tidak suka kepada kalian berdua. Sungguh tidak kusangka
kalian berani mencari penyakit dengan menantangku
malam ini...," ujar Anyelir yang kelihatan tetap tenang, dan
belum menunjukkan siap bertarung.
Senapati Bawara dan Jipangga saling bertukar pandang.
Mereka agak heran melihat wanita iblis itu tidak terkejut,
meski mereka telah mengetahui latar belakangnya.
Tampaknya perempuan licik itu memang sudah memper-
siapkan segalanya. Sehingga tidak merasa cemas terhadap
kedua tokoh Kadipaten Banjaran itu. Bahkan masih saja
memperlihatkan senyum mengejek.
"He, mengapa kalian malah berdiri seperti patung?
Kalau memang ingin bertarung, ayo seranglah...!" tantang
Anyelir.
"Keparat, Perempuan Sombong! Tanpa kau suruh pun
akan segera kucincang tubuhmu...!"
Jipangga kelihatannya sudah tidak bisa menahan diri
lagi mendengar ejekan perempuan iblis itu. Begitu ucapan-
nya selesal, lelaki gemuk itu bergerak merenggang dari
Senapati Bawara.
Whuuuk..., whuuuk...!
Jipangga memutar tombak bergoloknya sedemikian rupa
hingga memperdengarkan suara angin menderu-deru.
Lelaki gemuk yang terkenal dengan permainan tombak ber-
golok itu langsung mengeluarkan ilmu andalannya. Rupa-
nya ia sadar lawannya bukan tokoh sembarangan. Jipangga
tidak mau menganggap remeh kendati lawannya hanya
seorang wanita.
Melihat Jipangga sudah bergerak dari sebelah kiri,
Senapati Bawara pun segera meloloskan pedangnya.
Kemudian memutar dengan gerak menyilang. Dari suara
angin yang ditimbulkannya, agaknya lelaki brewok itu
menggunakan seluruh kekuatannya. Senapati Bawara pun
tidak main-main menghadapi perempuan cantik yang ber-
juluk Peri Kembangan itu.
"Hm...."
Anyelir semakin melebarkan senyum. Kelihatan ia tak
merasa gentar, meskipun harus menghadapi dua orang
jagoan sekaligus. Tubuhnya baru bergerak saat serangan
kedua lawannya hampir tiba.
"Haaat..!"
Tombak bergolok Jipangga bergerak semakin cepat.
Suara teriakannya membuktikan kalau lelaki gemuk itu
telah memulai serangannya. Dalam gebrakan pertama ia
langsung mencecar lawan dengan mata goloknya yang
terdapat di ujung tombak.
Bwettt..., bwettt...!
"Bagus...!" puji Anyelir yang memutar goloknya dengan
gerakan indah. Beberapa kali sambaran tombak bergolok
Jipangga dapat dielakkan tanpa kesulitan. Bahkan mulai
melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah ber-
bahayanya.
Whuuut..!
Sebuah tamparan yang cepat dan kuat meluncur meng-
ancam kepala Jipangga. Untunglah lelaki gemuk itu sempat
menyadari datangnya bahaya maut. Cepat kepalanya
ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Sehingga,
serangan balasan yang dilancarkan Peri Kembangan
berhasil dielakkan.
Tapi Peri Kembangan tidak memberi kesempatan
kepada lawan untuk menarik napas lega. Serangannya
kembali berlanjut. Bahkan kali ini ia mencecar dengan
serangan pukulan dan tendangan yang mengarah
beberapa jalan darah kematian di tubuh Jipangga. Tentu
saja lelaki gemuk itu menjadi kelabakan.
"Haaat...!"
Melihat sahabatnya terdesak, Senapati Bawara me-
luncur dengan putaran pedangnya. Sehingga Peri
Kembangan terpaksa menghentikan desakannya, dan
melompat mundur sejauh satu tombak lebih. Gadis cantik
itu tentu tidak ingin tubuhnya tersayat pedang lawan.
"Gila! Perempuan iblis itu ternyata benar-benar hebat..!"
desah Jipangga menghela napas panjang.
Lelaki gemuk ini seolah-olah merasa dirinya baru saja
terbebas dari kematian. Pada keningnya tampak peluh
menitik turun. Rupanya Jipangga sempat dibuat tegang
oleh desakan lawannya tadi.
"Itu sebabnya kita tidak boleh bertindak gegabah, Adi
Jipangga," timpal Senapati Bawara mengingatkan sahabat-
nya kalau yang diperbuat Jipangga barusan sangat ber-
bahaya.
Jipangga tidak membantah. Ia sendiri menyadari
tindakannya terlalu terburu-buru. Kalau saja Senapati
Bawara tidak segera terjun ke arena, bukan tidak mungkin
saat itu ia sudah menjadi korban keganasan Peri
Kembangan. Paling tidak dirinya akan mendapat luka
berat. Pengalaman itu membuat Jipangga berjanji kepada
dirinya sendiri untuk lebih memperhitungkan tindakan
selanjutnya.
Sementara itu, Peri Kembangan sudah mempersiapkan
pedangnya untuk menghadapi keroyokan jagoan-jagoan
kadipaten itu. Sinar putih berkilauan disertai sambaran
angin menderu saat wanita itu menghunus senjata yang
tergantung di pinggangnya. Nampak Anyelir tidak ingin
main-main lagi dalam mengambil tindakan.
"Bersiaplah kalian untuk melayat ke akhirat..!" desah
bibir merah menantang itu, berbau hawa maut!
Kemudian....
"Haiiit..!"
Saat berikutnya, tubuh Peri Kembangan sudah ber-
kelebat cepat disertai putaran sinar pedang yang menderu-
deru tak ubahnya angin ribut. Sehingga suasana yang
semula hening mencekam pecah oleh sambaran pedang
wanita sesat itu.
Melihat Peri Kembangan sudah memulai serangannya,
Senapati Bawara dan Jipangga merenggang ke kiri dan
kanan. Kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu telah siap
menyambut serangan lawan.
"Haaat..!"
"Yeaaa...!"
Dibarengi teriakan yang merobek kesunyian malam,
Senapati Bawara dan Jipangga melesat bersamaan
menyambut serangan Peri Kembangan. Sebentar saja
ketiga tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan
sengit yang mempertaruhkan nyawa.
Dalam jurus-jurus awal, Senapati Bawara maupun
Jipangga masih sanggup menghadapi serangan lawan yang
terlihat sangat ganas. Bahkan tidak jarang keduanya
melancarkan serangan balasan yang juga tidak bisa
dipandang ringan. Tapi ketika Peri Kembangan semakin
meningkatkan kecepatan serangannya, mulailah ruang
gerak kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu menyempit.
Hanya sesekali mereka membalas serangan lawan.
"Haiiit...!"
Anyelir kelihatan semakin bertambah ganas! Sambaran-
sambaran pedangnya semakin sering datang mengancam.
Sehingga, Senapati Bawara dan Jipangga dipaksa bermain
mundur. Serangan balasan kedua tokoh itu hampir tidak
terlihat lagi. Nampaknya kedua jagoan Kadipaten Banjaran
itu harus mengakui kehebatan lawan.
Peluh membanjir di wajah dan tubuh Senapati Bawara
serta Jipangga saat pertempuran menginjak jurus ketiga
puluh. Napas kedua jagoan itu sudah demikian berat.
Mereka benar-benar harus memeras seluruh ilmu dan
tenaga untuk menghadapi ancaman ujung pedang Peri
Kembangan. Dan ketika pertarungan menginjak jurus
ketiga puluh lima....
"Mampusss...!"
Sambil membentak keras, Peri Kembangan melenting
ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai
bacokan pedangnya, bagai hendak membelah tubuh
Jipangga, orang yang berada di sebelah kirinya.
Whuuut...!
"Aaah...?!"
Jipangga memekik ngeri dengan wajah berubah pucat
bagai mayat! Ancaman maut yang datang dengan
kecepatan mengagumkan itu membuat Jipangga tidak
mampu menghindar. Lelaki gemuk itu merasa seolah
kedua kakinya tertanam di tanah dan sukar digerakkan. Ia
hanya bisa membelalakkan mata menanti ajal.
Trang...!
Untunglah pada saat yang sangat menentukan itu,
Senapati Bawara bertindak cepat, dengan pedang di
tangannya, lelaki brewok itu nekat memapaki bacokan
pedang Anyelir. Bentrokan keras pun terjadi!
"Aaakh...?!"
Senapati Bawara terpekik kesakitan! Pedangnya ter-
pental dari genggaman. Ternyata tenaga dalamnya masih
kalah dua tingkat dari lawan. Akibatnya, tubuh lelaki
brewok itu terjungkal ke belakang dengan lengan rasanya
seperti patah. Sedangkan Peri Kembangan masih datang
mengancam, meski arahnya agak menyeleweng dan
kecepatannya berkurang jauh. Tapi....
Brettt..!
"Aaakh...!"
Kendati tidak sampai membahayakan nyawa Jipangga,
tetap saja ujung pedang Peri Kembangan menyerempet
pangkal lengan lelaki gemuk itu. Darah segar pun
memercik saat kulit dan daging pangkal lengan Jipangga
terpapas.
Jipangga terhuyung mundur dengan wajah semakin
pucat. Tombak bergoloknya lepas dari genggaman. Lelaki
gemuk itu sibuk mendekap pangkal lengannya yang
terluka.
"Tunggu...!"
Peri Kembangan yang semula sudah siap menamatkan
riwayat kedua jagoan Kadipaten Banjaran, terpaksa
menunda gerakannya, dan menoleh ke arah asal suara
bentakan itu.
"Ganajaya...?!" desis Anyelir langsung mengenali sosok
lelaki tegap yang tengah berlari ke arah arena
pertempuran. Kening gadis cantik itu agak berkerut ketika
melihat belasan orang berlarian di belakang lelaki tegap
itu. Tampaknya Ganajaya tidak datang sendirian!
"Apa yang terjadi, Anyelir...?" tegur lelaki tegap yang
memang Ganajaya.
Putra tunggal Adipati Banjaran itu menatap wajah
Anyelir dan kedua lawan gadis cantik itu. Wajah tampan itu
tampak kaget ketika mengenali kedua lawan kekasihnya.
Senapati Bawara dan Jipangga pun kelihatan sangat
terkejut! Cepat keduanya membungkukkan tubuh kepada
putra junjungan mereka. Tapi, di balik kekagetan itu ada
rasa lega di hati mereka. Kemunculan Ganajaya secara
tidak langsung telah menyelamatkan mereka dari
kematian.
"Tuan Muda...," sapa Senapati Bawara dan Jipangga
berbarengan. Kemudian wajah mereka tertunduk menekuri
rerumputan.
"Ada apa ini? Mengapa kalian berkelahi...?" tanya
Ganajaya menatap wajah Anyelir. Sebab hanya gadis cantik
itu yang tidak menundukkan kepala. Secara tidak langsung
pertanyaan itu tertuju kepada Anyelir.
"Ganajaya, dari mana kau tahu aku berada di sini...?"
Bukannya menjawab, Anyelir malah melemparkan per-
tanyaan kepada pemuda bertubuh tegap itu. Sedikit pun
tidak tersirat kegentaran maupun kecemasan dalam suara-
nya.
Ganajaya tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan
pandangannya kepada Senapati Bawara dan Jipangga.
Lalu kembali ke wajah cantik Anyelir. Sebab wajah kedua
jagoan kadipaten itu masih juga belum terangkat.
"Aku menemukan surat tantangan di dalam kamarmu,"
jawab Ganajaya pelan. "Mengapa kau tidak menceritakan
hal ini kepadaku, Anyelir? Sehingga, aku terpaksa harus
menyusul ke sini. Untunglah surat itu sempat terlihat
olehku. Kalau tidak, entah ke mana aku harus men-
carimu?"
"Maaf kalau aku tidak menceritakan tantangan kedua
orang berhati busuk itu, Ganajaya. Aku tidak ingin mem-
buatmu susah. Dan, aku ingin memberi pelajaran kepada
mereka dengan tanganku sendiri," jawab Anyelir tanpa
mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Ganajaya.
Sehingga pemuda itu mengalihkan perhatiannya, dan
memandang kedua pembantu ayahnya dengan sorot mata
mengandung kemarahan.
"Katakan, Paman. Apa yang mendorong kalian berbuat
seperti ini? Aku ingin mendengar penjelasan secepatnya...,"
ujar Ganajaya dengan suara tinggi. Lelaki tegap itu marah
melihat kekasihnya hendak dicelakai kedua orang itu.
"Tidak perlu kau bertanya lagi, Ganajaya. Aku sudah
tahu apa yang ada dalam kepala mereka...," Anyelir
mendahului sebelum Senapati Bawara atau Jipangga
menjawab pertanyaan itu.
"Apa maksudmu, Peri Kembangan? Kau hendak me-
lempar fitnah kepada kami?" geram Senapati Bawara yang
tentu saja menjadi marah mendengar perkataan Peri
Kembangan. Ia sudah dapat meraba apa yang akan
dikatakan wanita itu tentang diri mereka berdua.
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Senapati! Aku tahu
kalian berdua bersekongkol untuk menguasai Kadipaten
Banjaran. Kehadiranku di dalam llngkungan kadipaten
membuat kalian merasa cemas. Sehingga kalian mengirim-
kan surat tantangan untuk melenyapkanku, agar rencana
kalian tidak ada yang menghalangi. Nah, apakah kalian
masih mau membantah...?" ujar Anyelir dengan liciknya,
membuat wajah kedua orang itu pucat.
"Keparat busuk! Perempuan iblis...!"
Senapati Bawara gemetar sekujur tubuhnya. Apa yang
diucapkan Anyelir bisa membahayakan mereka. Tentu saja
tuduhan itu tidak benar.
Ganajaya sendiri terbelalak mendengar ucaran kekasih-
nya. Wajah tampannya berubah merah padam. Tampaknya
ia mempercayai perkataan Anyelir. Itu terlihat jelas dari
kemarahan yang ditujukan kepada Senapati Bawara dan
Jipangga, tokoh yang telah mendidiknya dalam ilmu silat.
"Manusia tidak berbudi! Inikah balasan kalian terhadap
segala kebaikan yang telah diberikan ayahku? Mengapa
kalian demikian tega mengkhianati kami...?" bentak
Ganajaya.
"Ganajaya, mana mungkin mereka mau mengakui
rencana busuk yang ada dalam batok kepala mereka,"
tukas Anyelir mengejek. "Sebaiknya habisi saja mereka
sebelum semuanya terlambat..."
Ucapan Anyelir itu sepertinya cukup mengena. Kendati
masih agak bimbang, Ganajaya tampak lebih berpihak
kepada Anyelir. Perasaan itu tentu saja berkaitan dengan
rasa cintanya pada gadis cantik itu. Sehingga, keputusan
yang akan diambilnya bisa saja salah. Sebab pikiran dan
hatinya telah dibutakan oleh cinta.
"Perempuan iblis...! Hatimu benar-benar keji!" desis
Senapati Bawara dengan kemarahan menggelegak.
Kemudian berpaling ke arah putra junjungannya. "Tuduhan
itu sama sekali tidak benar, Tuan Muda. Justru wanita iblis
itulah yang bisa menghancurkan kita semua. Bukan tidak
mungkin semua yang dituduhkan kepada kami merupakan
rencana yang ada di dalam kepalanya. Jangan mudah
dipercaya wanita berhati iblis seperti dia...!"
Mendengar perdebatan kekasihnya dengan kedua
pembantu ayahnya, Ganajaya menjadi pusing. Meskipun
jelas-jelas lebih berpihak kepada Anyelir, namun ia belum
bisa mengambil keputusan untuk menjatuhkan tuduhan itu
kepada Senapati Bawara dan Jipangga. Ia belum percaya
sepenuhnya kalau kedua orang kepercayaan itu akan tega
berkhianat. Sehingga, Ganajaya bimbang dan belum bisa
mengambil tindakan.
Melihat Ganajaya belum juga mengambil tindakan,
Anyelir merasa khawatir pemuda itu akan membawa
mereka semua ke hadapan Adipati Japati. Gadis itu tidak
mau mengambil risiko. Maka, ia berkata kepada Ganajaya.
"Hm.... Kalau kau memang lebih suka aku mati di tangan
kedua manusia jahat itu, baiklah! Biar, akan kuhadapi
mereka tanpa meminta bantuanmu!"
Setelah berkata demikian, Anyelir melompat ke arah
Senapati Bawara dan Jipangga. Dan langsung melancarkan
serangan maut kepada kedua jagoan kadipaten itu.
"Anyelir, tahan...!"
Ganajaya berusaha mencegah tindakan gadis yang telah
membuat dirinya tergila-gila. Tentu saja ia cemas akan
nasib gadis cantik itu.
Tapi, Anyelir tidak peduli. Ia terus menggempur kedua
lawannya. Senapati Bawara dan Jipangga pun terpaksa
melakukan perlawanan. Mereka tidak ingin menjadi korban
pedang di tangan lawannya yang menyambar-nyambar
ganas. Pertarungan kembali berlangsung seru.
Ganajaya yang belum tahu kehebatan Anyelir, tidak mau
membiarkan gadis cantik itu celaka di tangan kedua
pembantu ayahnya. Lelaki tegap itu segera terjun ke arena
pertempuran setelah tidak berhasil mencegahnya.
"Berhenti...!"
Sambil membentak keras, pemuda tegap itu melancar-
kan serangan ke arah Senapati Bawara. Sehingga lelaki
brewok itu terpaksa melompat jauh menghindari serangan
putra junjungannya, karena untuk menangkis ia merasa
segan.
Lain halnya dengan Jipangga. Meskipun ia termasuk
abdi kadipaten, tapi telah mendidik Ganajaya dengan ilmu-
ilmunya. Ketika pemuda itu melancarkan serangan ke
arahnya, lelaki gemuk itu menjadi tersinggung. Sehingga
tidak lagi memandang Ganajaya sebagai putra junjungan-
nya. Jipangga langsung melancarkan serangan balasan
setelah menghindari serangkaian pukulan dan tendangan
pemuda tegap itu.
Perlawanan Jipangga mendapat tanggapan lain dari
Ganajaya. Walaupun lelaki gemuk itu telah mendidiknya
dalam hal ilmu silat, tapi menurut Ganajaya, Jipangga
harus tunduk padanya. Hingga kenyataan yang sebaliknya
itu membuat Ganajaya marah. Maka ia menggempur
Jipangga dengan sungguh-sungguh. Bahkan memerintah-
kan prajurit yang menyertainya untuk membantu.
"Tangkap mereka berdua...!" perintah Ganajaya tanpa
menghentikan serangannya.
Tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit segera
berlompatan memasuki arena. Meskipun yang harus
mereka hadapi orang-orang yang mereka segani, namun
Ganajaya merupakan putra Adipati Japati. Kelak pemuda
itulah yang akan melanjutkan tugas junjungan mereka.
Sehingga meski agak terpaksa para prajurit itu lebih
mentaati perintah Ganajaya, walaupun harus menghadapi
atasannya.
***
DELAPAN
Majunya Ganajaya beserta belasan prajurit kadipaten
semakin membuat Senapati Bawara dan Jipangga kalang-
kabut. Mereka harus berjuang mati-matian untuk
menyelamatkan diri dari ancaman senjata lawan. Sayang
seberapa keras pun usaha mereka menyelamatkan diri,
tetap saja beberapa serangan pengeroyoknya sempat
melukai tubuh mereka.
"Haiiit...!"
Anyelir tidak mau berlama-lama untuk menghabisi
kedua orang itu. Untuk kesekian kalinya, sambaran
pedangnya kembali datang mengancam Senapati Bawara
yang memang berhadapan dengannya.
Whuuut...!
Disertai deruan angin tajam, pedang Peri Kembangan
mengancam tubuh lelaki brewok itu. Kali ini Senapati
Bawara tidak mungkin dapat mengelak dari kematian.
Karena selain tenaganya telah jauh berkurang, ia pun tidak
mempunyai peluang untuk mengelak.
"Aaa...!"
Senapati Bawara memekik ngeri saat ujung pedang Peri
Kembangan siap memenggal batang lehernya! Tapi....
"Haiiit...!"
Pada saat nyawa Senapati Bawara sudah di ambang
maut, terdengar lengkingan nyaring disusul berkelebatnya
sesosok bayangan putih. Sosok itu langsung menyambut
sambaran pedang Peri Kembangan.
Plakkk!
"Aaakh...!"
Peri Kembangan yang semula merasa yakin akan dapat
melenyapkan Senapati Bawara kaget bukan main.
Tubuhnya terjajar dan hampir terbanting jatuh. Pedangnya
terlepas dari pegangan. Dan lengan kanannya menjadi
lumpuh untuk beberapa saat lamanya.
Senapati Bawara sendiri sempat kaget melihat sesosok
bayangan putih tahu-tahu memapaki serangan Peri
Kembangan. Perasaan lega dan heran merayapi hatinya
ketika dilihatnya sosok bertubuh sedang terbungkus jubah
panjang putih berdiri tegak membelakanginya.
"Pendekar Naga Putih...!"
Anyelir kaget bukan main ketika mengenali sosok
berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Senapati
Bawara. Langkahnya langsung tersurut. Ia sungguh tidak
menduga pendekar yang pernah mengalahkannya muncul
mengacaukan rencananya.
"Hm.... Kita bertemu lagi, Peri Kembangan...," ujar
pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji.
Wajahnya tetap tenang dengan senyum yang hampir tidak
pernah meninggalkan bibir.
Tidak berselisih lama dengan kemunculan Pendekar
Naga Putih, melayang turun sesosok tubuh ramping
terbungkus pakaian serba hijau. Siapa lagi kalau bukan
Kenanga yang datang bersama Panji. Begitu tiba, dara
jelita itu langsung menyelamatkan Jipangga, yang saat itu
tengah dikeroyok Ganajaya bersama prajuritnya. Sehingga
lelaki gemuk itu terlepas dari kematian yang siap
merenggutnya.
Kemunculan dua orang itu tentu saja mengagetkan
Ganajaya. Terlebih setelah merasakan kehebatan dara
jelita berpakaian serba hijau itu. Kemarahannya pun
semakin memuncak. Karena kedua orang itu telah berani
mencampuri urusannya.
"Siapa kalian? Apa kepentingan kalian sehingga berani
mencampuri urusanku...?" bentak Ganajaya yang telah ber-
gabung dengan Anyelir. Di belakang mereka tampak
belasan prajurit pilihan dari Kadipaten Banjaran. Mereka
siap melindungi putra junjungannya.
"Ganajaya, untuk apa bertanya lagi? Mereka jelas
hendak membantu pengkhianat-pengkhianat itu! Sebaik-
nya kita bunuh saja mereka semua."
Sebelum Panji dan Kenanga menjawab, Anyelir langsung
menyela. Wanita licik itu tentu saja merasa khawatir
jawaban Pendekar Naga Putih dan dara jelita berpakaian
serba hitam itu akan membahayakan dirinya. Ia tidak ingin
semua itu terjadi.
Kali ini Ganajaya tidak banyak cakap lagi. Ia sendiri telah
menyaksikan betapa kedua orang kepercayaan ayahnya
berani melawan kepadanya. Itu sudah cukup sebagai
alasan untuk menghukum kedua jagoan kadipaten itu.
Maka, lelaki tegap itu segera memerintahkan prajurit-
prajuritnya untuk menangkap atau membunuh keempat
orang itu.
"Tunggu...!"
Melihat gelagat tidak baik, Panji segera berseru keras.
Kendati belum tahu pasti masalah yang terjadi, tapi
Pendekar Naga Putih merasa apa yang dilakukannya tidak
keliru. Orang yang menjadi musuh Peri Kembangan sudah
pasti berada di pihak yang benar. Alasan itu membuat Panji
tidak merasa ragu untuk menyelamatkan Senapati Bawara
dan Jipangga.
Teriakan, Panji yang lantang dan membuat dada mereka
berdebar sempat membuat gerakan Ganajaya dan
prajuritnya tertunda. Tapi hal itu tidak berlangsung lama.
Karena Anyelir telah kembali berseru.
"Serang...! Tidak ada gunanya mendengarkan perkataan
pemuda sombong itu...!"
Mendengar seruan Anyelir, Ganajaya kembali me-
merintahkan pasukannya untuk bergerak maju. Ia sendiri
sudah melompat menerjang Pendekar Naga Putih dengan
pedang di tangan.
"Hiaaat..!"
Sadar bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dielak-
kan lagi, Panji segera menggeser tubuhnya menghindari
sambaran pedang Ganajaya. Dan terus berlompatan ke kiri
dan kanan ketika serangan lelaki tegap itu masih terus ber-
kelanjutan.
"Hiaaah...!"
Saat pedang Ganajaya kembali menyambar Panji membentak keras dan langsung menepis serangan pemuda itu.
Dan....
Plakkk!
"Uhhh...?!"
Tubuh Ganajaya terjajar mundur satu tombak. Pemuda
itu meringis sambil mengurut lengan kanannya yang terasa
bagai hendak patah. Padahal Panji belum mengerahkan
sampai setengah tenaganya. Sebab dari serangan lelaki
tegap itu, Panji sudah dapat mengukur kekuatan lawan. Ia
memang tidak bermaksud melukai pemuda itu.
"Keparat...!" desis Ganajaya yang merasa malu karena
dalam sekali gebrak ia nyaris dipecundangi pemuda
tampan berjubah putih itu. Terlebih kejadian itu ber-
langsung di depan mata Anyelir, wanita yang membuatnya
mabuk kepayang. Tentu saja kenyataan itu tidak bisa
diterima Ganajaya.
"Mari kita hajar pemuda sombong itu bersama-sama,
Ganajaya...," ujar Anyelir ketika melihat pemuda itu terdiam
beberapa saat seraya menatap Pendekar Naga Putih
dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ganajaya langsung
mengangguk dan kembali melompat ke depan. Pedang di
tangannya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan
deruan angin tajam.
Anyelir sendiri sudah menyusul dengan serangannya
yang mengarah jalan darah kematian di tubuh Pendekar
Naga Putih. Tampaknya wanita sesat itu merasa dendam
dan ingin segera melenyapkan Panji.
Kali ini Panji tidak hanya sekadar mengelak, tapi mulai
membalas dengan tamparan dan tendangannya. Kendati
dengan tangan kosong, namun kelihatan sekali betapa
kedua lawannya menjadi sibuk. Ganajaya dan Anyelir harus
menguras kepandaiannya untuk mengimbangi permainan
Pendekar Naga Putih.
***
Sementara itu, Kenanga tengah bertarung dengan
belasan prajurit pilihan Ganajaya. Sebab para prajurit itu
hendak mengeroyok kedua lelaki yang telah lelah dan
hampir mati kehabisan tenaga. Tentu saja Kenanga tidak
akan membiarkan kedua lelaki yang ditolongnya itu men-
jadi korban. Maka, tanpa banyak cakap lagi, dihadapinya
belasan prajurit Kadipaten Banjaran itu dengan tangan
kosong!
Tapi meskipun dara jelita itu hanya menggunakan
tangan kosong untuk menghadapi lawan-lawannya yang
bersenjata lengkap, tidak membuatnya menjadi
kewalahan. Malah belasan prajurit itu yang penasaran!
Sebagai prajurit-prajurit pilihan yang terlatih baik, tentu
saja ada rasa malu dalam hati mereka. Perasaan itu
membuat serangan-serangan mereka semakin bertambah
ganas. Kalau semula masih ragu untuk mencelakai dara
yang sangat mempesona itu, sekarang mereka ingin
melenyapkannya secepat mungkin. Tidak ada lagi rasa
kasihan yang tersisa.
Kenanga bukan tidak menyadari apa yang dikehendaki
para pengeroyoknya. Dari semakin ganasnya mereka
melancarkan serangan, dara jelita itu sadar mereka meng-
hendaki kematiannya. Kenyataan itu membuat Kenanga
merubah gerakannya. Dara jelita itu tidak ragu-ragu lagi
merobohkan mereka dengan pukulan yang berbahaya,
Daya serangannya pun meningkat cepat, dan sepasang
tangannya menyambar-nyambar diselingi tendangan yang
mencuat dengan kecepatan kilat
"Haiiit..!"
Plakkk, desss...!
Dua orang lawan yang terlalu bernafsu merobohkan
dara jelita itu terpental muntah darah. Tendangan dan
tamparan keras Kenanga membuat mereka roboh tak
sadarkan diri. Hingga yang lainnya terkejut dan menjadi
marah!
"Perempuan celaka...!" geram salah seorang pengeroyok
yang langsung melesat ke depan disertai tebasan pedang.
Tapi....
Bukkk!
Sambil menggeser tubuhnya ke kanan, Kenanga
langsung melepaskan tendangan yang telak mengenai
perut lawan. Kemudian masih dilanjutkan dengan
tamparan keras yang membuat tubuh prajurit sial itu
terjerembab mencium tanah. Tubuh itu meregang sesaat
sebelum melepas nyawa yang hanya selembar itu.
"Gila...!"
Para prajurit lainnya terpekik kaget! Mereka langsung
bergerak mundur tanpa diperintah. Robohnya tiga orang
kawan mereka membuat yang lainnya menjadi gentar.
Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa dara jelita itu
temyata bukan orang sembarangan.
"Hm.... Mengapa berhenti? Bukankah kalian hendak
membunuhku? Ayo, majulah...!" tantang Kenanga seraya
tersenyum mengejek.
Tapi, tantangan itu tidak mendapat sambutan. Para
prajurit itu sudah tidak mempunyai keberanian untuk
menyerang Kenanga. Mereka hanya saling berpandangan
satu sama lain. Seolah hendak meminta pendapat masing-
masing.
Ketika para prajurit itu tidak satu pun berani me-
lanjutkan pertempuran, Kenanga bergerak mundur ke
tempat Senapati Bawara dan Jipangga.
"Bagaimana dengan luka-luka kalian...?" tanya Kenanga.
Dara jelita itu segera membungkuk untuk memeriksa
luka-luka kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu. Kenanga
menarik napas lega ketika melihat luka-luka yang diderita
kedua lelaki itu tidak terlalu berbahaya.
Setelah memberi pengobatan kepada Senapati Bawara
dan Jipangga, Kenanga mengalihkan perhatiannya ke arah
pertempuran yang masih berlangsung.
Saat itu pertempuran Panji dan Peri Kembangan yang
dibantu Ganajaya telah memasuki jurus ketiga puluh. Panji
tampak sudah mulai menguasai arena. Melihat kedua
pengeroyok itu sudah hampir tidak mampu membalas
serangan Pendekar Naga Putih, dapat dipastikan kalau
dalam beberapa jurus lagi pertarungan pasti berakhir.
"Haiiit...!"
Saat kedua lawannya sudah benar-benar tidak mampu
membalas serangannya, Pendekar Naga Putih membentak
nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat ke arah Peri
Kembangan. Dan....
Plak..., desss...!
"Aaakh...!"
Cepat bukan main serangan Pendekar Naga Putih.
Sekali bergerak, tangan kirinya melancarkan dua buah
serangan kilat! Tubuh Peri Kembangan pun terjungkal
memuntahkan darah segar.
"Huakkkh...!"
Anyelir yang mencoba bangkit berdiri kembali
terbungkuk memuntahkan darah kental. Kemudian rebah
dengan napas satu-satu. Wajah cantiknya tampak pucat
dengan butir-butir keringat meleleh membasahi sekujur
wajahnya.
"Anyelir...!"
Ganajaya melupakan lawannya melihat wanita yang
dicintainya tergeletak tak berdaya. Langsung saja pemuda
tegap itu menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh Anyelir.
Panji sendiri melangkah menghampiri Peri Kembangan.
Pemuda itu berdiri tegap di hadapan lawannya. Dan
menatap tajam wajah cantik yang kelihatan sangat men-
derita itu.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...," ujar
Anyelir dengan suara payah. Sepasang matanya menatap
sayu wajah pendekar muda itu, membuat hati Panji merasa
iba.
"Maafkan aku, Peri Kembangan. Bertahanlah, aku akan
mencoba mengobati lukamu...," ujar Panji seraya mem-
bungkuk hendak memeriksa luka Peri Kembangan.
Anyelir terbelalak mendengar perkataan Pendekar Naga
Putih. Sedikit pun tidak diduganya kalau pemuda itu akan
berkata demikian.
"Keparat...!"
Mendengar ucapan Panji, Ganajaya serentak bangkit
dan kembali mengambil pedangnya yang tergeletak di
tanah. Ucapan Panji mengingatkan Ganajaya bahwa orang
yang melukai kekasihnya masih berada di tempat itu.
Tapi....
"Ganajaya, jangan...!"
Lelaki bertubuh tegap itu tertegun dan menunda
gerakannya. Kemudian kembali berlutut di dekat tubuh
Anyelir. Gadis cantik itulah yang mencegahnya dengan
suara lemah.
"Anyelir, dia musuh kita. Aku harus membalas per-
lakuannya terhadapmu...," ujar Ganajaya penasaran. Sebab
Anyelir malah mencegah perbuatannya, bukannya men-
dorong agar ia membalas dendamnya.
Tapi Anyelir tidak mempedulikan pertanyaan Ganajaya.
Gadis cantik itu kembali menatap Pendekar Naga Putih
dengan matanya yang sayu.
"Anyelir...," ujar Panji menyebut nama asli Peri
Kembangan, membuat gadis cantik itu kembali tertegun
heran. "Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalaupun aku
menentangmu, itu bukan karena aku benci dengan dirimu,
tapi perbuatanmu itu yang harus kucegah. Kejahatanmu
yang aku perangi, bukan dirimu....
"Lalu, mengapa sekarang kau hendak mengobatiku...?"
tanya Anyelir ingin tahu.
Di mata gadis cantik itu tidak ada lagi sinar kebencian,
yang terlihat justru kekaguman. Rupanya ucapan Panji
telah membuka mata Anyelir pada luasnya pandangan
pendekar muda itu. Gadis itu merasa dirinya sangat kerdil
berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang sekarang ia
tahu sangat bijaksana dan tidak membenci dirinya.
"Aku melihat adanya kesadaran dalam pancaran
matamu. Maaf kalau aku telah membuatmu menderita
seperti ini...," jawab Panji.
Ganajaya melirik sejenak. Kemudian kembali me-
mandangi wajah kekasihnya yang semakin pucat. Ada
gumpalan rasa cemburu ketika melihat betapa Anyelir lebih
memperhatikan pemuda berjubah putih itu ketimbang
dirinya. Tapi Ganajaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya
membisu tanpa kata.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," tolak Anyelir
ketika Panji hendak mengobatinya. "Aku sudah tidak
mungkin dapat tertolong lagi. Pukulanmu terlalu berat.
Rasanya telah membuat remuk bagian dalam tubuhku.
Kau benar-benar berhati mulia, Pendekar Naga Putih.
Aku... ka... gum padamu...."
"Anyelir...! Kau tidak boleh mati! Aku mencintaimu...!"
melihat napas kekasihnya semakin berat seperti dengusan
kuda pacu, Ganajaya menggenggam erat jemari gadis
cantik itu.
"Ganajaya, tidak perlu berkata begitu...," Anyelir meng-
alihkan perhatiannya pada Ganajaya. "Ketahuilah,
sebenarnya usiaku sudah tidak muda lagi. Kalaupun
wajahku masih seperti gadis remaja, itu karena aku selalu
berhubungan dengan lelaki-lelaki muda, yang setelah itu
kubunuh tanpa rasa kasihan sedikit pun. Kedua pembantu
ayahmu itu tidak bersalah. Aku memang Peri Kembangan.
Yang membunuh dan mempermainkan laki-laki muda
sesuka hatiku. Jadi, kuharap kau tidak dendam pada siapa
pun. Dengan begitu, berarti kau benar-benar men-
cintaiku...."
"Tapi,..."
"Ja...ngan membantah..., Ganajaya. Arwahku tidak akan
bisa tenang bila kau tidak merelakan kepergianku. I... ngat
pesanku...," Anyelir memotong kalimat Ganajaya yang
belum selesai. Tarikan napasnya terlihat kian berat. Hingga
akhirnya memperdengarkan suara mengorok.
"Anyelir...!"
Ganajaya memekik ketika melihat wanita yang
dicintainya meregang nyawa. Beberapa saat kemudian,
kepala gadis itu terkulai di atas rerumputan hijau.
Ganajaya menjatuhkan kepalanya dan memeluk tubuh
Anyelir sambil menyebut nama gadis cantik itu dengan
suara parau. Tapi, Peri Kembangan sudah pergi
meninggalkan dunia dengan damai.
Panji tidak bisa berbuat apa-apa. Nyawa Peri
Kembangan memang tidak bisa diselamatkan lagi. Pemuda
itu bergerak bangkit. Kenanga segera menyambut dan
meremas jemari tangan pemuda pujaannya itu. Tampaknya
dara jelita itu pun merasa terharu mendengar ucapan
terakhir Peri Kembangan.
"Mari kita pergi...," ajak Panji membalas remasan jemari
kekasihnya. Kemudian bergerak perlahan meninggalkan
tempat itu, saat semua orang masih terpengaruh oleh
suasana yang mengharukan. Tak seorang pun mem-
perhatikan kepergian pasangan pendekar muda itu.
Fajar datang seiring dengan kokok ayam hutan yang
bersahutan. Semilir angin demikian lembut menyapu
wajah-wajah lelah. Mereka baru tersadar dari keadaannya
masing-masing.
Ganajaya bangkit perlahan seraya memondong tubuh
Peri Kembangan, dan dibawanya pulang ke Kadipaten
Banjaran. Pemuda itu hendak memakamkan Peri
Kembangan di tempat pemakaman keluarganya. Ganajaya
telah menganggap Peri Kembangan sebagai satu-satunya
wanita yang membuatnya bahagia.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar