SATU
RADEN MAS BEI KARTOMARMO duduk di kursi
goyang berukir itu dengan mata terpejam-pejam. Se-
bentar-sebentar dia menghisap pipanya, dan meng-
hembuskan asap tembakau yang mengeluarkan suara
mendesis.
Tubuhnya bergoyang-goyang dan kepalanya te-
rangguk-angguk mengikuti alunan kursi yang ber-
goyang. Tampaknya orang tua yang usianya sudah
menjelang 50 tahun ini sedang menikmati acara san-
tainya diruang pendopo gedungnya yang besar dan
luas.
Nama julukan Raden Mas Bei Kartomarmo adalah
nama terhormat yang diberikan penduduk desa Blam-
bangan. Bukan saja dia sebagai seorang Carik Desa,
akan tetapi juga seorang hartawan kaya raya yang
mendiami wilayah itu. Pantaslah kalau Raden Mas Bei
Kartomarmo bisa menggaji belasan orang pegawai dan
dapat duduk berleha-leha sedemikian rupa. Karena ti-
daklah dia begitu memusingkan urusan hidup. Hari
itu.....
Seorang pegawainya menghampiri Raden Mas Bei
Kartomarmo dengan langkah tergesa-gesa.
"Raden Mas Bei... maaf hamba mengganggu..."
berkata pegawai laki-laki ini dengan tubuh membung-
kuk-bungkuk di hadapan Raden Mas Bei Kartomarmo.
Laki-laki tua yang berjenggot cuma sejumput tanpa
kumis ini membuka matanya. Dia memang telah men-
dengar suara langkah mendekat. Bahkan telah tahu
siapa yang datang, dengan mengintip dari celah kelo-
pak matanya yang setengah terpejam.
"Ada apa Gembeng, kau menghadapku?" ta
nyanya. Pegawai laki-laki bernama Gembeng itu mem-
bungkukkan tubuhnya dalam-dalam. "Maaf, Raden
Mas Bei, hamba mengganggu istirahat Raden...!" ucap
Gembeng sekali lagi.
Bicaranya amat sopan dan amat hormat serta ha-
ti-hati.
"Hm, tak apa. Katakan maksudmu, Gembeng! Apa
kau perlu uang? Kulihat sudah dua bulan kau tak pu-
lang menemui anak istrimu!" berkata sang majikan.
"Ah, memang hamba amat memerlukannya, Ra-
den. Hamba memang sudah sangat rindu untuk me-
nemui anak-anak" menyahut Gembeng yang tak me-
nyangka akan mendapat tawaran sebaik itu. Padahal
maksudnya bukan untuk itu. Tapi cepat-cepat dia me-
nyambung kata-katanya. "Selain itu, kedatangan ham-
ba kemari juga bermaksud mengantarkan surat ini,
dari... dari Kanjeng
Adipati!" Gembeng keluarkan sepucuk surat dari
saku bajunya. Lalu serahkan benda itu pada Raden
Mas Bei Kartomarmo.
"Surat dari Kanjeng Adipati?" tersentak Raden Mas
Bei Kartomarmo. Seketika dia melompat berdiri dari
kursi goyangnya. Lengannya menerima kertas lipatan
ditangan Gembeng.
"Aneh!? tak biasanya dia menitipkan surat pada
pegawai lain selain si gendut Sento?" berkata dalam
hati Carik ini.
"Baik! aku terima! Hm, apakah kau tak melihat
Sento? sudah beberapa hari aku tak melihat dia?" ta-
nyanya.
"Sento sakit, Raden Mas Bei...! Maksud hamba ju-
ga sekalian mau menjenguknya" sahut Gembeng men-
jelaskan.
"Sudah sejak kapan kau terima surat ini? dan siapa yang memberikan padamu?" tanya lagi
Raden Mas Bei Kartomarmo.
"Tentu saja dari... dari Sento, Den Bei.
Mengenai lamanya surat ini hamba tak mengeta-
hui" sahut Gembeng menjelaskan.
Carik desa ini kerutkan keningnya, namun dia
manggut-manggut mendengar jawaban Gembeng.
"Bagaimana kau tahu kalau surat ini dari kanjeng
Adipati?" tiba-tiba Raden Mas Bei Kartomarmo ber-
tanya lagi.
"Sento yang mengatakan pada hamba..." sahut
Gembeng dengan mengusap dahinya yang berkeringat.
Dia tak menyangka kalau akan mendapat banyak per-
tanyaan.
"Baiklah, Gembeng. Ini untukmu, dan kau boleh
pulang!" ujar Raden Mas Bei Kartomarmo, seraya beri-
kan beberapa keping uang yang barusan di rogohnya
dari saku bajunya. Lega hati Gembeng. Terbungkuk-
bungkuk dia menerima uang pinjaman itu dengan
mengucapkan terimakasih.
"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk is-
tirahat?" tanya sang majikan.
"Cukup hanya... dua hari saja, Den Bei..." sahut
Gembeng.
Sebelum Gembeng melangkah keluar gedung sete-
lah mohon diri, Raden Mas Bei Kartomarmo berkata.
"Kuharap kau langsung saja menjenguk Sento. Ka-
lau dia sudah sehat, segera suruh menghadapku sece-
patnya!"
"Baik, Den...!" sahut Gembeng. Dan setelah mem-
bungkuk sekali lagi dia balikkan tubuhnya. Dan me-
langkah cepat keluar dari pendopo gedung. Tukang
kebun merangkap penjaga gedung majikannya itu cu-
ma diberi anggukan kepala, lalu bergegas keluar dari
halaman rumah terindah ditengah desa itu.
Sepeninggal Gembeng, Kartomarmo membuka su-
rat dari Adipati itu.
Beberapa saat setelah membaca isi surat, tampak
wajah Kartomarmo berubah.
"Aku diharuskan datang ke Puri Kuno malam nan-
ti...?" mendesis suara Den Mas Bei Kartomarmo, Se-
saat dia tercenung. Lalu melipat kertas, kemudian be-
ranjak masuk ke ruangan dalam.
***
Sementara Gembeng melangkah cepat ke arah ti-
mur desa. Di belokan yang rapat dengan semak belu-
kar dan jauh dari rumah penduduk, dia berhenti. Se-
sosok tubuh keluar dari balik semak belukar.
Gembeng melihat ke kiri dan kanan seperti khawa-
tir ada yang mengetahui. Lalu menyelinap masuk ke
semak, dan berbisik-bisik pada laki-laki yang barusan
menampakkan tubuhnya. Entah apa yang dibicarakan.
Yang terdengar cuma suara laki-laki berpakaian sing-
sat warna hitam itu berkata.
"Bagus! mari kita beri laporan pada Raden Puja
Sangara!" Gembeng mengangguk.
Tak lama kedua orang itu dengan berindap-indap
menelusuri semak belukar, dan lenyap di balik hutan.
Sebuah tempat rahasia di dalam hutan yang tam-
paknya sukar diketemukan orang karena pondokan
beratap alang-alang itu tertutup rapat oleh pepohonan
dan terletak disisi sungai terapit oleh sebuah bukit.
Ternyata di dalam pondok itu terdapat beberapa orang
berpakaian serba hitam. Tampak seorang laki-laki mu-
da berusia sekitar 20 tahun berpakaian serba putih.
Berambut gondrong, dengan ikat kepala warna hitam.
Dialah orang yang bernama Raden Puja Sengara.
Siapakah adanya laki-laki ini? Mari kita ikuti
pembicaraan mereka.
"Apakah rencana Ketua akan berhasil menyuruh
Kartomarmo mendatangi Puri kuno malam nanti?" ber-
tanya salah seorang berpakaian hitam
Laki-laki jembros ini bernama Gudri. Dia orang
kepercayaan yang sekaligus menjadi tangan kanan Ra-
den Puja Sengara.
"Hm, kita lihat saja nanti. Sekarang kita tunggu
hasil kerja Gembeng yang mengantarkan surat palsu
dari Adipati Renggo Seto!" Sahut Puja Sengara.
"Baiknya kau bawa kehadapan ku, si gendut Sento
kemari!" sambung pemuda ini. "Baik, Raden!" sahut
Gudri, yang segera bangkit berdiri. Gudri melangkah
lebar ke belakang pondokan. Memasuki satu ruang
yang lebar didapati seorang laki-laki gendut terikat di-
tiang kayu.
"Ayo, ikut aku menghadap Ketua ku!" berkata Gu-
dri seraya melepaskan ikatan di tangan Sento.
Nampak wajah Sento pucat pias. "Mau... mau di-
apakan aku...?
"Jangan banyak tanya babi gendut! ayo, jalan!"
bentak Gudri menghardik. Sento tak dapat berbuat
apa-apa selain segera melangkah, karena Gudri telah
menggusurnya dengan kasar.
"Oh, nasibku..." mengguman Sento. Terbayang se-
saat dimata laki-laki gendut ini ketika dua hari yang
lalu tengah malam beberapa orang bertopeng menya-
troni rumahnya, sesaat setelah dia menerima surat da-
ri Adipati Renggo Seto untuk diserahkan pada Carik
Raden Mas Kartomarmo.
***
DUA
Sento memang orang kepercayaan Raden Mas Kar-
tomarmo. Tak heran kalau rumahnya besar, dan tam-
paknya dia hidup berkecukupan dengan anak istrinya.
Bahkan dialah orang yang menjadi perantara Adipati
Renggo Seto bila akan menghubungi Carik itu. Adipati
Renggo Seto setiap datang selalu pada malam hari,
dengan menyamar. Tentu saja agar tindakan raha-
sianya tak diketahui orang. Akan tetapi sepeninggal
Adipati itu, rumahnya di datangi beberapa orang ber-
ropeng yang meringkusnya. dia tak mampu berteriak
karena golok tajam telah menempel dileher. Gerakan
mereka tak menimbulkan suara, pertanda orang-orang
bertopeng itu mempunyai ilmu yang tinggi. Entah den-
gan cara bagaimana mereka bisa masuk ke dalam ru-
mahnya, istrinya yang terbangun dibekap mulutnya la-
lu disumpal dengan kain. Hingga dapat memandangi
suaminya yang digondol pergi oleh penculik-penculik
itu, setelah memaksa menunjukkan surat dari Adipati.
"Berani kau berteriak, kubunuh kau! Awas! jangan
kau ceritakan pada siapa-siapa tentang suamimu. Ka-
takan saja dia pergi ke desa lain! Jangan khawatir, la-
kimu akan terjamin keselamatannya bila kau tak buka
mulut!" mengancam laki-laki bertopeng itu setelah me-
lepaskan sumbatan dimulut istri Sento. Perempuan itu
cuma mengangguk-angguk.
Dan beberapa saat setelah beberapa orang berto-
peng itu lenyap dikegelapan malam, wanita itu cuma
bisa menangis terisak-isak. Tak tahu dia kesalahan
apakah yang membuat suaminya diculik komplotan
orang bertopeng itu. Sento tahu jelas kalau laki-laki
brewok bernama Gudri inilah yang telah mengancam
istrinya itu. Bahkan selama dalam perjalanan tak hen-
tinya Gudri menyiksanya, menendang dan memukul.
"Enak kau ya? Sering dapat hadiah dari Adipati
dan Carik.
Sama saja kau telah membantu komplotan terse-
lubung yang merusak wibawa Kerajaan! Dan bahkan
merusak serta merongrong pemerintahan.
Kelak bila kami telah berhasil menggulung dan
membuka selubung mereka, kau bisa terlibat. Dan tali
gantungan siap menggantung lehermu!" bentak si be-
rewok Gudri.
"Hah!? aku tak tahu menahu hal itu!" aku hanya
mengantar surat dari Adipati tanpa membaca isinya!"
sahut Sento meringis-ringis menahan sakit pada pan-
tatnya yang kena tendang.
"Dusta!" Plak! Lengan Gudri telah melayang me-
nampar pipi laki-laki gendut itu hingga membekas me-
rah. Sento mengaduh kesakitan. Tapi dia tak dapat
berbuat apa-apa selain pasrah pada nasib. "Duduklah,
Sento!" berkata pemuda dihadapannya yang mengena-
kan topeng hitam membungkus wajahnya. Pemuda itu
tak lain dari Puja Sangara. Mata Sento sekilas menatap
pada laki-laki itu, lalu menunduk dengan hati kebat-
kebit.
"Apakah kau tetap membungkam mulut, tak mau
membeberkan rahasia hubungan Adipati Renggo Seto
dengan Carik Kartomarmo?" berkata Puja Sangara
dengan suara datar.
"Am... ampun gusti raden... hamba... hamba be-
nar-benar tak tahu menahu dengan urusan beliau..."
menyahut Sento dengan tergagap. Wajahnya sejak tadi
sudah pucat pasi karena takutnya.
"Kau berani bersumpah?" tanya sang Ketua komplotan itu.
"Sungguh mati, gusti raden...! Hamba tak tahu
apa-apa..."
Puja Sangara terdiam sejurus. Matanya menatap
pada Sento yang gemetaran dengan keluarkan keringat
dingin disekujur tubuh.
"Baik! Baiklah...! kau kubebaskan!" berkata Puja
Sangara. Seperti mimpi disiang hari rasanya Sento
mendengar kata-kata itu seolah dia tak percaya.
"Oh, hamba... hamba dibebaskan, gusti raden?
Oh, te... terima kasih.....! terima kasih, gusti raden!"
berkata Sento terbata-bata dengan kegirangan yang
luar biasa. Tak ayal dia sudah jatuhkan tubuhnya me-
nyembah laki-laki dihadapannya itu, dengan ucapkan
terimakasih berkali-kali. Sementara beberapa orang
anak buah Puja Sangara termasuk Gudri saling pan-
dang sesama kawannya, tanpa berkata apa-apa.
"Gudri! kau antarkan dia kebatas desa!" ujar Puja
Sangara dengan berpaling pada Gudri. Lengan laki-laki
ini bergerak memberi kode dengan Ibu jarinya serta
kedipan mata pada Gudri. Tahulah Gudri apa yang ha-
rus dia lakukan.
"Baik, Ketua...! perintah akan hamba lakukan!"
menyahut Gudri. Lalu berdiri seraya menepuk-nepuk
pundak Sento. "Marilah Sento! Nasibmu baik! Kau bisa
berjumpa lagi dengan anak istrimu!" berkata Gudri
yang membimbing Sento bangun dari duduknya.
"Tentu saja dengan syarat!" berkata Puja Sangara.
"kau tak akan membuka mulut dan menceritakan apa-
apa tentang semua ini. Jaminannya adalah nyawamu!"
"Tentu...! tentu, gusti raden. Hamba berjanji..."
sahut Sento dengan wajah berseri. Lalu dengan ter-
bungkuk-bungkuk dia menjura pada Puja Sangara.
Gudri segera mendorongnya untuk segera keluar dari
pondokan rahasia itu.
Langkah Sento semakin cepat ketika mereka telah
keluar dari dalam hutan dengan melalui jalan yang
berliku-liku. Hingga tersembul di perbatasan desa. Ka-
ki Sento berhenti melangkah. Lalu menoleh pada Gudri
dibelakangnya. "Cukuplah sampai disini saja kau
mengantarku, sobat Gudri. Dan terimakasih atas ke-
baikanmu mengantar ku..." berkata Sento.
"Ya, ya..... terimakasih kembali! Semoga kau dapat
menjaga mulut, demi keselamatan nyawamu!" ujar
Gudri tersenyum. Sento manggut-manggut seraya ber-
kata. "Akan kuingat selalu pesan itu, sobat Gudri...!"
Setelah mengangguk sekali lagi, Sento balikkan
tubuhnya untuk segera bergegas melangkah menuju
ke arah desa.
Tempat itu telah dikenalnya, hingga untuk menuju
ke desa Wlingi tak jauh lagi. Gudripun balikkan tu-
buhnya untuk kembali memasuki hutan. Akan tetapi
setelah tiba dibelokan jalan setapak, Gudri menyeli-
nap.
Sento terus mempercepat langkahnya. Dia mulai
merasakan hatinya tak enak seperti bakal terjadi sesu-
atu dengan dirinya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke
belakang. Gudri memang sudah tak tampak lagi. Su-
dah kembali ke dalam hutan. Tepat diujung mulut de-
sa, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat muncul dihada-
pannya. Tersirap darah Sento ketika melihat Gudri
berdiri menyeringai dihadapannya dengan menghunus
golok yang berkilatan.
"Hehehe... Sento! Jangan terkejut. Karena seben-
tar lagi nyawamu akan melayang. Segeralah berdo'a
sebelum kau berangkat ke Akhirat!" Suara Gudri se-
perti terdengar Sento bagai mendengar petir disiang
hari. Seketika pucatlah wajah laki-laki gendut ini. Ka-
kinya melangkah mundur dua tindak. "Gudri! apa
maksudmu semua ini!" berkata Sento menggetar.
Akan tetapi kata-katanya ditutup dengan sabetan
golok Gudri ke leher laki-laki gendut itu. Gerakan tak
terduga itu dilakukan secepat kilat. Sento yang bertu-
buh gendut itu dan tak punya kepandaian apa-apa tak
dapat mengelakkan diri lagi.
Des!
Darah memuncrat seketika. Dan tubuh Sento am-
bruk ke tanah berkelojotan dengan mengeluarkan sua-
ra bagaikan kerbau disembelih. Tak lama tubuh laki-
laki gendut itu terdiam tak berkutik. Nyawanya telah
lepas keluar dari raganya. Gudri tersenyum menyerin-
gai. Lalu membersihkan darah yang melekat dimata
goloknya kerumput. Dan masukkan lagi senjata pen-
cabut nyawa itu kedalam serangkanya lagi. Kemudian
dengan cepat dia menyeret tubuh gendut itu kesemak
belukar. Menimbunnya dengan ranting-ranting kayu,
tak lama dia telah keluar lagi dari semak.
"Beres!" berdesis suara Gudri. Sesaat antaranya di
telah kembali berkelebat dan menyelinap untuk kemu-
dian lenyap dikerimbunan pepohonan.
***
TIGA
DUA ORANG UTUSAN Puja Sangara telah tiba di-
pondokan rahasia itu. Tampak Gembeng menceritakan
hasil usahanya memberikan surat kepada Carik Raden
Mas Bei Kartomarmo.
"Bagus! Bersiap-siaplah! Seperti rencana semula
segera kalian menuju ke Puri Kuno. Hari sudah menje-
lang tengah hari. Senja nanti kalian sudah siap ditem
pat persembunyian masing-masing. Sementara aku
akan mengawasi keadaan diluar!" berkata Puja Sanga-
ra.
"Kita berangkat sekarang, Ketua?" bertanya Gudri.
"Ya! kau pimpinlah kawan-kawanmu. Tugas ini
kuserahkan padamu untuk meringkus Carik itu. Akan
tetapi ingat! Jangan sampai dia kehilangan nyawa. Dan
tunggu sampai aku datang!" ujar laki-laki muda ini.
Serentak belasan orang-orang berpakaian serba
hitam itu bergegas mengadakan persiapan. Dan tak
lama telah berkelebatan menyelinap untuk menuju ke
Puri Kuno dengan dipimpin oleh Gudri.
Puja Sangara menatap mereka dengan tersenyum.
Tampaknya dia puas dengan apa yang telah direnca-
kannya. Pemuda ini melangkah masuk ke dalam pon-
dok. Lalu bantingkan tubuhnya dipembaringan bambu
hingga berbunyi suara berderak. Dengan terlentang itu
dia keluarkan sebuah kertas dari balik bajunya. Itulah
surat asli dari Adipati Renggo Seto.
Surat itu bertulisan demikian.
"Carik Kartomarmo!
Hasil kerja orang-orangmu berhasil baik. Penyerga-
pan yang ku lakukan terpaksa menewaskan beberapa
orang anak buahmu. Terpaksa, karena dalam penyer-
buan itu telah ikut serta anak Tumenggung KANIRAGA.
Dia bernama PUJA SANGARA! Bocah muda itu amat
berbahaya.
Tak ada jalan lain, selain melenyapkan dia secepat
mungkin, sebelum rahasia bocor ke telinga Raja!
Atur rencanamu, dan segera hubungi aku melalui
SENTO!
Tertanda: Adipati Renggo Seto
"Hm, Adipati keparat! kau takkan dapat membu-
nuhku! Bahkan akulah yang akan menghancurkanmu!
Termasuk si Carik Kartomarmo. Kelak suatu saat sete-
lah terbukanya rahasia terselubung kalian!" berkata
mengguman Puja Sangara. Lalu melipat kertas itu dan
masukkan lagi ke celah bajunya. Pemuda inipun teng-
gelam dalam lamunannya.
Ternyata Puja Sangara adalah anak Tumenggung
KANIRAGA yang baru saja turun gunung setelah tiga
tahun berguru pada seorang tua pertapa kosen dipun-
cak Gunung CULA BADAK. Sebulan berada dirumah
ayahnya. Sang ayah menyuruhnya menghadap Adipati
Renggo Seto. Sebenarnya Puja Sangara tak berkeingi-
nan menjadi orang Kerajaan. Tapi karena mematuhi
perintah sang ayah, terpaksa dia menurut kehendak
orang tuanya itu.
Dia diangkat oleh Adipati Renggo Seto menjadi
seorang perwira Kerajaan, dengan pangkat Kepala Pra-
jurit, karena sangatlah tidak enak Adipati Renggo Seto
pada Tumenggung Kaniraga kalau mengangkat Puja
Sangara menjadi prajurit biasa. ditambah setelah diuji
ternyata Puja Sangara cukup memadai untuk menjadi
seorang kepala Prajurit. Disamping masih muda, juga
berkepandaian tinggi.
Namun yang membuat Puja Sangara penasaran,
adalah dia tak puas dengan sikap Adipati itu yang tak
pernah memberi tugas dalam setiap kesempatan dalam
menggulung kejahatan. Pendeknya pangkat Kepala
Prajurit itu seperti tak berarti apa-apa. Puja Sangara
seolah dirinya tak lebih dari seorang prajurit biasa.
"Apa artinya pangkatku, kalau terus menerus be-
gini?" pikirnya dalam hati pada waktu itu. Hingga ke-
mudian Puja Sangara mengadu pada ayahnya. Tu-
menggung Kaniraga segera menemui Adipati Renggo
Seto untuk membicarakan perihal anaknya. Puja San-
gara yang telah berniat keluar dari keprajuritan ter-
paksa batalkan niat karena dipanggil oleh Adipati
Renggo Seto. Demikianlah, hingga dia ikut serta dalam
melakukan penyergapan kesarang penjahat.
Dalam pertarungan itu dia berhasil menewaskan
beberapa orang penjahat. Akan tetapi aneh! Dia tak
mendapat tanggapan atau pujian dari Adipati. Bahkan
para tamtama Kerajaan pada pasukannya kelihatan
menjauhi dirinya.
Suatu ketika, dua hari setelah usai pertarungan
dengan kemenangan pihak Kerajaan dan berhasil
menggulung para perampok, dia terpanggil untuk men-
jalankan tugas dari Adipati Rekso Seto. Yaitu menyer-
bu komplotan penjahat yang berada dihutan KALIKI.
Sebagai penunjuk jalan adalah WIRASANCA. Bekas
seorang Kepala Prajurit yang diangkat menjadi tangan
kanan Adipati Rekso Seto.
Ternyata perintah ini adalah jebakan atas dirinya,
dan rencana busuk Adipati Renggo Seto untuk mele-
nyapkan jiwanya. Tengah malam ketika mereka beristi-
rahat ditepi hutan untuk mengadakan serangan kesa-
rang penjahat, terjadi serangan mendadak diluar du-
gaan.
Kemah mereka didatangi belasan orang berpa-
kaian serba hitam. Semua prajurit tertidur lelap, kecu-
ali dia yang masih duduk diperapian.
Terjadilah pertarungan seru! Puja Sangara harus
berhadapan dengan enam orang berkepandaian tinggi
yang mengincar nyawanya. Bahkan mendesaknya
hingga menjauhi perkemahan. Puja Sangara merasa-
kan keanehan, karena tak seorangpun lasykarnya yang
terbangun untuk memberi pertolongan membantunya.
Serangan-serangan gencar harus dihadapinya seorang
diri.
Untunglah dalam pertarungan yang tak seimbang
itu, Puja Sangara dibantu oleh seseorang yang tak di-
kenal. Orang itu muncul dan membantunya bertarung.
Seorang dari para pengeroyok itu melarikan diri sete-
lah yang lainnya tewas.
Namun dia tak dapat berlari jauh, karena si peno-
long telah menotok tubuhnya. Sang penolong yang
aneh dan misterius itu berkelebat lenyap tanpa tahu
diketahui siapa adanya.
"Aneh!? siapakah gerangan orang yang memban-
tuku itu?" pikir Puja Sangara. Puja Sangara ternyata
berotak cerdas. Dia tak membunuh lawannya. Karena
kalau mau, mengapa si penolong tak membunuhnya
sekaligus? Ketika Puja Sangara membuka topeng wa-
jahnya, ternyata dia tak lain dari WIRASANCA.
"Kau?" tersentak Puja Sangara. "Apa artinya se-
mua ini? katakanlah!" membentak Puja Sangara den-
gan amat gusar.
"Jangan bunuh, ampunkan nyawaku, Puja Sanga-
ra...!" memohon Wirasanca dengan wajah pucat.
"Baik! aku ampuni jiwamu! katakan siapa dalang
dari semua ini...!" membentak Puja Sangara dengan
tempelkan golok tipisnya ke leher Wirasanca.
"Aku... aku diperintah Kanjeng Adipati..." berkata
gemetar Wirasanca yang bernyali tikus dan takut mati
itu. Dia memang tak turut bertarung. Melihat bermun-
culan orang misterius yang membantu Puja Sangara
dan berhasil membunuh kelima konconya, dia segera
melarikan diri. Namun malang nasibnya karena seso-
sok tubuh bagaikan bayangan telah mengejar, dan
menotoknya hingga dia tak berdaya.
Tentu saja keterangan Wirasanca membuat Puja
Sangara terkejut. Dari keterangan Wirasanca segera
diketahui kalau perintah Adipati Ronggo Seto hanyalah
sebagai jebakan saja untuk menghabiskan nyawanya.
Kelima orang itu tak lain dari Lima Iblis Kali Gondang.
Diam-diam terkejut hati Puja Sangara, karena dia telah
mendengar nama kelima tokoh golongan hitam itu. Je-
laslah sudah mereka adalah pembunuh-pembunuh
bayaran yang diperalat Adipati Renggo Seto untuk
membunuhnya.
Setelah cukup memberi keterangan, Wirasanca
mohon dibebaskan dari totokan dan berjanji akan ber-
pihak pada Puja Sangara.
Namun watak berangasan Puja Sangara tak men-
gijinkan manusia itu tinggal hidup. Seketika golok ti-
pisnya berkelebat. Tanpa ampun lagi Wirasanca meng-
gelosor menemui kematian!
Dengan kemarahan meluap dia berkelebat kembali
ke perkemahan. Didapati belasan prajurit itu telah
berkumpul dalam keadaan bersimpuh dimuka kemah.
Ketika dia muncul, serentak para prajurit itu bersujud
dihadapannya memohon ampun agar tak dibunuh.
Kalau menurutkan hatinya yang sedang gusar, tak
nantinya dia memberi ampun pada belasan prajuritnya
itu. Tapi penjelasan seorang prajurit bernama GUDRI
telah mengendurkan kemarahannya. Mereka memang
tak bersalah. Karena mereka cuma prajurit biasa yang
menjalankan perintah walau tahu tentang rencana
Adipati dan Wirasanca.
Sejak itulah, Puja Sangara memutuskan untuk ke-
luar dari keprajuritan. Dan belasan prajurit Kadipaten
itu menjadi anak-anak buahnya dan kawan-kawan se-
perjuangan. Pengikut Puja Sangara bertambah dengan
masuknya Gembeng si pegawai Carik KARTOMARMO.
Yang masih menjadi pemikiran Puja Sangara itu
adalah si penolongnya. Karena sampai saat ini dia tak
mengetahui siapa adanya dia. Namun dia berkesimpu-
lan sang penolong itu adalah seorang wanita.
Lama dia termangu diatas balai-balai bambu itu.
Hingga ketika matahari menyorot wajahnya, dia baru
tersadar kalau senja kian menjelang. Puja Sangara ce-
pat bangkit berdiri. Lalu beranjak menuju bilik kamar.
Setelah menyambar golok tipisnya yang tergantung di
tiang bambu, dia melesat keluar pondok.
Tak lama telah berkelebat lenyap meninggalkan
tempat itu...
***
EMPAT
BUKAN KEPALANG terkejutnya Tumenggung Ka-
niraga ketika malam itu telah diserang oleh sesosok
tubuh berpakaian serba hitam. Dia baru saja kembali
dari Kadipaten, menyangkut urusan tugas. Sekalian
menanyakan perkembangan kemajuan anaknya. Da-
lam pembicaraan mereka yang berlanjut sampai agak
larut malam itu, Adipati Renggo Seto telah menjamu
Tumenggung Kaniraga dengan makan dan minum.
WHUUT!
Kalau saja dia tak cepat mengelakkan diri dengan
gesit, tentu kepalanya akan menggelinding tersabat
putus golok si penyerang gelap itu. "Edan! Siapa kau?!"
membentak Tumenggung ini. Kudanya meringkik ke-
takutan mengangkat kedua kaki depannya.
Akan tetapi tanpa memberi jawaban, si manusia
berbaju serba hitam itu kembali menerjang. Kilatan go-
lok berkelebat. Akan tetapi yang diserang ternyata ku-
da tunggangan Tumenggung Kaniraga. Tak ampun lagi
binatang itu roboh terjungkal dengan suara bergede-
bugan. Ringkiknya terputus karena tubuhnya berkelo-
jotan sekarat. Golok itu menebas lehernya hampir sa-
rat. Namun sang Tumenggung sendiri telah melompat
cekatan dan berhasil selamatkan diri dengan melompat
dari punggung kuda.
Sreek! Tumenggung telah cabut keris pusakanya
dari balik punggung. Sementara si sosok tubuh miste-
rius bagai kilat telah menerjangnya lagi.
Trang! Trang...! Tringng!
Percikan lelatu api diremang cahaya bulan men-
gukir udara, ketika dengan gesit Tumenggung Kanira-
ga menangkis beberapa kali menahan serangan lawan
yang mengingini jiwanya.
"Keparat! Sebutkan siapa dirimu!" membentak
Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dia merobah gerakan
silatnya, dari menangkis kini menyerang. Ternyata
sang Tumenggung tua ini memiliki ilmu kedigjayaan
yang cukup lumayan.
Tampaknya si manusia bertopeng hitam itu agak
terkejut melihat perubahan gerakan silat yang menin-
dih sambaran-sambaran goloknya. Bahkan setiap kali
sang Tumenggung tak mau mengalami benturan senja-
ta. Rangsakan Tumenggung Kaniraga semakin hebat.
Karena dia telah gunakan jurus-jurus serangan anda-
lannya. Sebagai seorang Tumenggung yang telah ba-
nyak pengalaman, Tumenggung Kaniraga telah banyak
berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dari bangsa
perampok. Baginya menghadapi pertarungan adalah
sudah hampir sebagian dari hidupnya.
Rasa penasaran laki-laki tua ini adalah dia ingin
tahu siapa wajah dibalik topeng itu. Dan mengapa ta-
hu-tahu menyerang untuk membunuhnya. "Buka to-
pengmu bangsat tengik!" bentak Kaniraga seraya men
girim sodokan kaki ke arah ulu hati lawan. Sementara
tinjunya membarengi menghantam tengkuk orang
dengan sedikit menekuk tubuh.
Buk! si penyerang gelap mengaduh disusul ter-
lemparnya tubuh manusia itu beberapa tombak. Kani-
raga cepat memburu. Keris ditangan siap untuk di-
tempelkan ketengkuk lawan, dan sebelah lengannya
siap menyambar topeng untuk merenggutnya. Akan te-
tapi diluar dugaan...
Sssrrrrr!
Puluhan jarum berbisa meluruk bagai hujan dari
balik pohon besar. Saat itu Kaniraga sedang dalam
keadaan menyergap lawan. Agaknya serangan maut
dari orang kedua dibalik potion itu takkan dapat tere-
lakkan. Namun pada saat itu terdengar teriakan mem-
peringati. "Awas, ayah...!"
Itulah suara yang dikenalnya. Suara Puja Sangara.
Dengan gerak reflek sang Tumenggung menghindarkan
diri. Dia memang dapat merasai adanya serangan bo-
kongan dengan mendengar suara berdesis puluhan ba-
tang jarum senjata rahasia mengancam tubuhnya. Tu-
buh Tumenggung Kaniraga berguling ketanah, disertai
gerakan memutar keris yang menimbulkan angin tena-
ga dalam menerpa puluhan jarum yang meluruk itu
hingga buyar! akan tetapi akibatnya si penyerang ber-
topeng itulah yang jadi sasaran.
Tak dapat dicegah lagi, manusia itu menjerit pa-
rau. Tubuhnya berkelojotan ketika belasan jarum me-
nembus ke kulit tubuhnya.
Tak lama tubuh itu sudah diam tak berkutik. Ma-
ti! Keringat dingin Kaniraga mengembun ditengkuk.
Nyaris dia mengalami nasib naas kalau tak diperingati
Puja Sangara. Pemuda ini menatap pada sang ayah
dan korban kematian itu. Sesaat keduanya saling pandang. Namun Kaniraga cepat menangkap gerakan me-
larikan diri sesosok tubuh dari balik pohon. itulah so-
sok tubuh si penyerang tadi.
Tumenggung Kaniraga cuma bisa melihat berkele-
batnya sesosok tubuh mengejar si penyerang gelap itu.
Sesaat dia tersadar dari terperangahnya. Sekali
bergerak tubuh Tumenggung melompat ke arah si ma-
nusia bertopeng. Dan... Brreeet! Dia telah menyambar
kain penutup wajah si penyerang yang mengingini ji-
wanya ini.
Sang Tumenggung cuma bisa melihat wajah seo-
rang laki-laki tak dikenal yang berkumis lebat berdagu
panjang.
"Siapakah orang ini" desisnya dengan kerutkan
kening.
Hm, apakah dia pembunuh yang dibayar untuk
melenyapkanku? Apa salahku? Aku jadi agak curiga
dengan Adipati Renggo Seto. Jangan-jangan ada udang
dibalik batu dengan semua ini...!"
Orang tua ini bangkit berdiri. Ketika dia baru mau
masukkan keris keserangka dibalik punggung, terden-
gar suara berkrosak. Cepat dia berbalik. Darahnya su-
dah tersirap akan adanya bahaya lagi. Tapi segera dia
menarik napas lega karena yang muncul adalah Puja
Sangara.
"Dia kabur cepat sekali! Syukurlah ayah, kau tak
apa-apa...!" berkata Puja Sangara dengan memandang
girang pada sang ayah.
"Kau tak mengenali orang ini?" tanya Tumenggung
Kaniraga. Akan tetapi belum sempat
Puja Sangara menoleh, tiba-tiba...
BHUSSSSS.....!
Asap putih membumbung tepat di hadapan mere-
ka. Dan sesosok tubuh muncul dibalik asap perdengarkan suara tertawa berkakakan.
"Hahahaha... hahaha... kalian dua manusia ayah
dan anak akan segera mampus! Karena adanya kau
akan menjadi duri di dalam daging yang membahaya-
kan kami." Sesosok tubuh laki-laki yang juga menge-
nakan topeng pembungkus kepala sekalipun tubuh-
nya, berwarna hitam, membuat keduanya melangkah
mundur dua tindak. "Siapa kau?!" membentak Puja
Sangara hampir berbareng dengan sang Tumenggung.
"Hahaha... panggillah aku si Ninja Edan Lengan
Tunggal!"
Seraya berkata lengan manusia aneh ini bergerak.
Dan sekejap ditangannya telah tercekal sebuah pedang
Samurai.
Barulah keduanya sadar kalau sosok tubuh orang
ini cuma punya sebuah lengan. Seketika Tumenggung
Kaniraga telah mencabut lagi kerisnya. Sementara Puja
Sangara yang masih mencekal golok tipisnya, segera
slap bertarung untuk melabrak manusia ini. Jelas ka-
lau orang ini adalah orang bayaran Adipati Renggo Se-
to! pikir Puja Sangara.
Namun dia tak dapat berpikir lama karena si ma-
nusia aneh yang menamakan dirinya Ninja Edan Len-
gan Tunggal itu telah menerjang...
Trang! Trang! Trang! Berguling-guling tubuh Puja
Sangara dan Tumenggung Kaniraga menghindari se-
rangan beruntun yang dahsyat itu. Pedang Samurai si
manusia pencabut nyawa itu berkelebatan menabas
dan menusuk dengan serangan bertubi-tubi. "Haha-
ha... kalian takkan dapat menyelamatkan diri!" sesum-
bar si Ninja Edan Lengan Tunggal dengan suara se-
ram. Gerakan orang ini memang amat luar biasa ce-
patnya. Nyaris dada Puja Sangara dan pinggang Tu-
menggung Kaniraga terkoyak kalau dia tak cepat
menghindarkan diri.
Kali ini yang dicecar adalah Puja Sangara.
"Hahaha..... Ingin kulihat apakah ilmu silatmu su-
dah boleh diandalkan untuk kau memimpin pembe-
rontakan?" berkata Ninja Edan Lengan Tunggal dengan
mendengus. Pedang Samurainya membabat tiga kali ke
arah leher, dada dan kaki. Dengan mengkonsentrasi-
kan panca indranya Puja Sangara berhasil menghin-
dar. Dua kali lakukan salto dengan lompatan ke bela-
kang, dan jejakkan kaki ke tanah dengan baik. Terke-
jut Puja Sangara mendengar kata-kata itu. Dadanya
bergolak karena gusar.
"Pemberontakan?" Apa maksudmu, keparat? Ka-
lianlah yang akan melakukan pemberontakan. Aku ta-
hu, kau pasti orangnya Adipati Renggo Seto!"
Kalianlah manusia yang merongrong kewibawaan
pemerintah! Aku punya bukti kalau Adipati Renggo Se-
to bekerja sama dengan kaum penjahat!" teriak Puja
Sangara. Kali ini dia yang melompat menerjang. Golok
tipisnya berkelebatan mencercah tubuh lawan dengan
jurus-jurus yang amat berbahaya. Namun gerakan si
Ninja Edan Lengan Tunggal memang amat menakjub-
kan. Setiap serangan dengan mudah dipatahkan.
Bahkan lengan bajunya dapat digunakan menangkis
atau menyambar lawan tak lebih bagaikan sebuah
lempengan baja yang bisa membuat nyawa melayang
bila mengenai sasaran.
"Hahaha... untuk itulah, maka kau harus mam-
pus, termasuk ayahmu yang bisa jadi penyakit!" berka-
ta Ninja Edan Lengan Tunggal. Serangan gencar Puja
Sangara punah total. Bahkan kini pemuda itu sendiri
yang harus mati-matian mempertahankan nyawanya.
Sementara Tumenggung Kaniraga yang mendengar
kata-kata itu semakin kuat kecurigaannya pada Adipa
ti Renggo Seto. Melihat anaknya terdesak dia tak ber-
laku ayal untuk segera melompat memberi bantuan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking
renyah seperti suara seorang wanita.
"Hihihi... serahkan padaku yang muda ini, sobat
Ninja Edan!" Dan sesosok tubuh berkelebat dari ca-
bang pohon kayu. Laki-laki pakaian serba hitam ber-
topeng itu tertawa melihat orang yang muncul.
"Hahaha... matamu masih saja hijau kalau melihat
orang ganteng! Apakah kau mau menangkapnya hi-
dup-hidup? Baik! kuserahkan dia untukmu, Ninja Wa-
don!" ujarnya.
Pendatang ini memang seorang wanita. Jelas terli-
hat dari bentuk potongan tubuhnya. Tentu saja Puja
Sangara melengak melihat orang ini karena jelas sekali
dari bentuk potongan yang telah menolongnya.
Namun dia tak dapat bertanya lagi karena Ninja
Wadon telah menyerangnya dengan pukulan-pukulan
ganas. Desir angin pukulannya saja telah membuat
Puja Sangara mengetahui kalau perempuan ini berte-
naga dalam tinggi. Sementara Tumenggung Kaniraga
telah bertarung dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal.
Keduanya terlibat dalam pertarungan yang seru. Kare-
na Tumenggung ini telah keluarkan seluruh kepan-
daiannya.
***
LIMA
NINJA WADON menyerang gencar membuat Puja
Sangara terpaksa harus mengelakkan diri kesana ke-
mari. Dia agak ragu untuk mempergunakan goloknya
karena semakin yakin kalau wanita ini adalah orang
yang pernah menolongnya. Yang menjadikan dia terhe-
ran adalah mengapa wanita ini berkomplot dengan si
Ninja Edan Lengan Tunggal. Dan mengapa kini berba-
lik memusuhi? pikir pemuda ini dalam benaknya yang
kusut.
Ternyata Puja Sangara tak diberi kesempatan un-
tuk buka suara. Karena setiap kali dia mau buka mu-
lut, tentu si Ninja Wadon segera merangsaknya dengan
pukulan-pukulan ganas. Sebagai murid seorang kosen
Puja Sangara boleh dikatakan berilmu tinggi. Namun
menghadapi si Ninja Wadon ini dia cuma bisa menge-
lakkan diri tanpa balas menyerang.
Dalam waktu beberapa kejap saja jarak kedua per-
tarungan itu telah semakin jauh, karena Ninja Wadon
seperti mendesaknya agar menjauhi sang Tumeng-
gung.
Mengelak terus yang dilakukan Puja Sangara
membuat tenaganya semakin mengendur. Bila di laku-
kan terus akan berbahaya bagi dirinya. Demikianlah,
akhirnya Puja Sangara terpaksa lakukan serangan
membalas. Golok tipisnya mulai digunakan untuk me-
nangkis. Dan tiba-tiba dengan membentak keras tu-
buh Puja Sangara melompat lima tombak. Lengannya
menghantam ke arah si Ninja Wadon dalam gerakan
menukik.
Whuuuk! Krrraak...!
Batang pohon sebesar betis remuk terhantam.
Saat berikutnya dia menerjang dengan lompatan Naga
Sakti menerjang Bukit. Gerakan ini dibarengi dengan
serangan beruntun dari golok tipisnya yang dinamakan
jurus Ombak Laut Menyapu Karang. Jurus istimewa
ini memang luar biasa. Terdengar teriakan tertahan si
Ninja Wadon. Akan tetapi dengan meletik ke atas bagai
ikan dia berhasil menghindari serangan. Tak diduga
serangan berikutnya adalah serangan yang berbahaya.
Karena dia harus menghadapi serbuan serangan maut.
Whut! Whut! Whut! Gerakan kilat golok tipis Puja
Sangara nyaris menabas putus pinggang, perut leher
dan kaki. Dan terakhir...
Prass!
Ujung rambut si Ninja Wadon terbabat putus se-
panjang satu jengkal, setelah dia berhasil mengelakkan
serangan maut yang bertubi-tubi itu.
"Ahhh!? Memekik kaget Ninja Wadon. Tubuhnya
bersalto dua kali ke belakang, dan... lenyap dikegela-
pan serta rimbunnya pepohonan.
"Jangan lari!" membentak Puja Sangara. Tubuh-
nya melesat memburu ke arah lenyapnya wanita Ninja
itu. Akan tetapi tahu-tahu dia berteriak kaget ketika
sebuah bayangan menyambar ke arah kaki.
"Ahhh! Bluk!
Puja Sangara tak dapat menjaga keseimbangan
tubuhnya. Karena kakinya kena dicekal orang. Tak
ampun dia jatuh terbanting ketanah. "Hihihi.... pemu-
da gagah! kakimu tak bermata!" terdengar ejek si wani-
ta Ninja. Tubuh Ninja Wadon mendadak melompat ke
atas punggung Puja Sangara. Dan disaat pemuda itu
belum berbuat apa-apa, lengan wanita ini telah terju-
lur menotok.
Puja Sangara cuma bisa perdengarkan keluhan.
Mendadak dia jatuh menggeloso karena rasakan tu-
buhnya menjadi lunglai.
"Hihihi... Ilmu silatmu cukup hebat. Tapi mengha-
dapiku, kau takkan mampu karena aku punya seribu
satu macam akal!" berkata wanita Ninja ini. Apakah
selanjutnya yang dilakukan wanita Ninja itu? Ternyata
setelah menyelipkan golok tipis Puja Sangara pada lipatan ikat pingganggnya, dia memondong tubuh laki-
laki itu ke atas pundak. Dan berkelebat pergi dengan
tertawa mengikik...
Dari balik semak tiba-tiba muncul pula sesosok
tubuh yang berkelebat menyusul membuntuti si Ninja
Wadon. Tempat itu kembali senyap....
Pertarungan Tumenggung Kaniraga dengan si Nin-
ja Edan Lengan Tunggal mencapai pada puncaknya.
Walaupun orang tua ini memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi namun lawannya kali ini sukar untuk dija-
tuhkan. Bahkan sang Tumenggung sempat dibuat ter-
heran, karena terkadang lawan bisa lenyap sukar di-
ikuti kemana gerakannya. Hingga disatu saat Tumeng-
gung yang malang ini tersentak kaget ketika pedang
Samurai yang panjang itu tahu-tahu menabas dari
arah samping. Dalam keadaan gawat itu dia sempat ja-
tuhkan diri bergulingan. Namun... Cras! Sabetan pe-
dang lawan tak terhindarkan lagi, yang selalu membu-
ru nyawanya.
Dada orang tua ini terkoyak. Tubuhnya terhuyung
beberapa langkah.
"Bangsat! ssi... siapa kau sebenarnya...!" masih
sempat dia memaki. Secepat kilat dengan tenaga te-
rakhir dia lontarkan kerisnya ke arah jantung lawan.
Serangan ini amat berbahaya karena diluar dugaan si
Ninja Edan Lengan Tunggal. Tapi ketika itu juga len-
gan bajunya mengibas, dibarengi dengan gerakan pe-
dang menangkis.
Trang!..... Bles! Diiringi jeritan menyayat hati tu-
buh Tumenggung Kaniraga roboh terjungkal. Kerisnya
terlempar ke udara terkena sontekan pedang Samurai
si Ninja itu. Sedangkan gerakan mengibas barusan te-
lah meluncurkan dua buah belati kecil yang tepat me-
nembus perut dan dada sang Tumenggung. Sejenak
setelah hal ini berlangsung, tiba-tiba terdengar benta-
kan suara seorang wanita.
"Iblis keji!" Dan... Whuuuuk! Segelombang angin
menerpa tubuh si Ninja Edan Lengan Tunggal, mem-
buat orang ini terperanjat. Tapi dengan gesit dia me-
lompat setinggi sepuluh tombak. Dengan gerakan me-
lompat-lompat dari pohon ke pohon sekejap saja ma-
nusia itu telah lenyap!
Sesosok tubuh tiba-tiba muncul ditempat itu yang
berkelebat ke arah sang Tumenggung. "Tumenggung
Kaniraga? Hah! siapa yang telah menyerangmu?" ber-
teriak tertahan orang ini.
Tumenggung Kaniraga menyeringai menahan rasa
sakit. Ketika kelopak matanya terbuka dan melihat
siapa orang dihadapannya, mendadak... napas laki-
laki tua ini memburu. Terpancar rasa girang pada wa-
jahnya. Dia tersenyum. Dan ucapnya dengan suara
terputus-putus. "Nona pe... pendekar RO... RO...
CEN...TIL." Memanglah orang ini tak lain dari Roro
Centil adanya. Roro mengangguk dengan tersenyum.
Sementara diam-diam dia salurkan hawa hangat dari
tenaga dalamnya dan menotok di beberapa urat darah
untuk memberhentikan aliran darah.
Dipandangnya wajah yang tua itu. Wajah yang ba-
ru dikenalnya beberapa bulan yang lalu sejak dia me-
nolong Tumenggung ini dari serbuan para perampok
dihutan Jati Nongko.
"Katakan siapa yang menyerangmu, paman Kani-
raga...! Maafkan, aku datang terlambat..." berkata Roro
dengan menatap haru.
"Mengapa harus meminta maaf, nona Pendekar...?
Kita tak pernah berjanji apa-apa. Dan kau datang...
se... secara kebetulan. Seperti juga pada saat kau me-
nolongku melawan para perampok dihutan... Jati
Nong...ko..." menjawab Tumenggung Kaniraga dengan
suara lemah.
"Yang tahu hal ini adalah anak...ku... Puja Sanga-
ra..." sambung Tumenggung ini. "Ah, seandainya
umurku pan...jang, aku tak menyesal bila punya me-
nantu seperti k..kau, nona Pendekar Roro..."
Roro cuma tersenyum haru. dia tak dapat berbuat
apa-apa, selain manggut-manggut mendengar apa
yang diucapkan orang tua abdi Kerajaan ini. Selang
sesaat napas laki-laki tua ini kian memburu. Dan
ujarnya dengan terputus. "Ca...carilah, dia... carilah
Puja Sangara. Dan... tolonglah bantu perjuangannya..."
Roro kembali mengangguk-angguk seraya menya-
huti.
"Tentu, paman Kaniraga. Aku pasti akan memban-
tunya. Apakah kau mengetahui siapa yang menye-
rangmu tadi?" tanya Roro.
"Dia... dia... si Ninja Edan.. Lengan Tunggal..." Se-
telah ucapkan demikian lengan orang tua ini mencekal
lengan Roro erat-erat. Lalu tergolek layu. Ternyata dia
telah hembuskan napasnya yang terakhir.
***
ENAM
RORO CENTIL termangu-mangu beberapa saat
lama ditempat itu. Bibirnya mengguman,
"Ninja Edan Lengan Tunggal?...
Apa hubungannya dengan si Brewok Lengan
Tunggal?" Lama Roro berpikir, sementara hatinya ber-
kata. "Apakah dia yang telah melakukannya?". Segera
Roro teringat akan nama Joko Sangit. Dia yang dimaksudkan adalah laki-laki itu. Setelah lama tercenung
tanpa bicara apa-apa. Pelahan Roro bangkit berdiri.
Matanya mencari-cari tempat yang baik untuk mengu-
burkan jenazah Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dara
Pantai Selatan ini kerahkan tenaga dalam yang dis-
alurkan ke telapak tangan. Tampak uap putih menge-
pul diantara jari-jarinya yang mengembang. Tiba-tiba
lengan gadis ini menghantam tanah di bawah pohon
besar itu.
Bhlarrr!
Tanah menyemburat ke udara. Dan sebuah lu-
bang segera terlihat menguak memanjang. Hantaman
pukulan bertenaga dalam itu telah membuat sebuah
lubang yang cukup dalam. Tak ayal Roro segera pon-
dong tubuh Tumenggung Kaniraga. Kejap berikutnya
tubuh abdi Kerajaan itu telah dibaringkan didalam lu-
bang. Sejenak setelah menatap wajah laki-laki tua itu,
Roro segera menimbunnya dengan tanah.
Sebuah cabang kayu digunakan untuk nisannya.
Tak lama setelah menghela napas, Roro segera bertin-
dak meninggalkan tempat itu. Sepuluh langkah kemu-
dian dia enjot tubuh. Sekejapan saja pendekar wanita
perkasa itu telah lenyap dikeremangan malam.
***
"Mau dibawa kemana aku?" berdesah suara Puja
Sangara dalam pondongan si Ninja Wadon. ketika dia
membuka matanya merasakan tubuhnya berguncang-
guncang. Tahulah dia kalau berada dipundak wanita
ini.
"Hihihi... tenang sajalah! Pokoknya kau tak usah
khawatir aku membunuhmu cepat-cepat! sahut wanita
ini.
Rembulan yang mengambang di langit kelam itu
menerangi jalan yang ditempuh si Ninja Wadon,
Ninja Edan Lengan tanpa dia mengetahui kalau
dia dikuntit oleh sesosok tubuh yang juga sejenis den-
gannya.
Diujung jalan setapak itu segera terlihat sebuah
kuil. Di pelataran kuil itulah si wanita meletakkan tu-
buh Puja Sangara. Sejurus setelah dia mengamati seki-
tarnya, lalu melangkah masuk ke dalam kuil. Terden-
gar dia menguak sebuah pintu. Tak lama tampak ada
cahaya dari dalam ruangan. Ternyata dia barusan me-
nyalakan sebuah pelita dalam kamar.
Tak lama dia keluar lagi. Sementara sosok tubuh
penguntitnya menyelinap ke sisi tembok. Tampaknya
dia seperti ragu untuk mengambil tindakan. Hingga
keburu wanita itu keluar lagi. Puja Sangara cuma me-
rasa tubuhnya diangkat orang. Dan sesaat dia telah
dibaringkan di atas sebuah pembaringan kayu.
Lampu itu cukup menerangi wajah si Ninja Wa-
don, ketika dia menyibak topeng penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita yang cantik. Berwajah bu-
lat telur dengan mata yang membinar menatap pada
Puja Sangara.
"Ah, sayang sekali kalau wajah tampan mu terke-
na pedang Samurai kakak angkatku! Apalagi
kalau kau sampai tewas...!" berkata dia seraya du-
duk dipembaringan. Lengannya mengusap wajah Puja
Sangara.
"Kau amat gagah, sobat Puja Sangara. Membuat
aku kepincut! hihihi...
bajumu ini sudah bau apek. Baiknya dibuka saja!"
berkata sendiri si Ninja Wadon. Dan tanpa tunggu
waktu lagi segera melolosi pakaian pemuda anak Tu-
menggung Kaniraga yang cuma bisa menatap dengan
mata membelalak.
"Apa yang kau mau lakukan, perempuan genit!"
tersentak Puja Sangara ketika lengan wanita itu mera-
bai sekujur tubuhnya. Akan tetapi sebagai jawabannya
lengan wanita itu menotok urat suaranya. Hingga laki-
laki itu cuma bisa berdesis ditenggorokan.
"Pintu ini kurapatkan dulu!" berkata wanita muda
itu seraya melompat ke arah pintu. Dan dengan cepat
dia telah menutup serta memalangnya.
Tampak dia seperti sudah tidak tahan untuk me-
lakukan sesuatu. Lengannya bergerak membukai pa-
kaiannya sendiri. Selanjutnya dengan tubuh tanpa bu-
sana dia mendekati Puja Sangara. Membelalak mata
laki-laki yang masih tabu pada wanita ini melihat pe-
mandangan dihadapannya.
Sebisanya dia mencari akal untuk melepaskan diri
dari pengaruh totokan. Dia memang mempelajari cara
untuk membuka totokan. Tapi totokan dara ini sukar
dibuka. Mau tak mau dia terpaksa cuma mandah saja
seketika lengan wanita itu menarik celananya hingga
merosot.
Belaian-belaian halus membuat sekujur bulu di-
tubuhnya seperti bangkit berdiri. Yang terdengar cuma
suara desahan napas si Ninja Wadon yang memburu.
Tahu-tahu Puja Sangara merasakan dua buah benda
lunak yang mempesona itu telah menekan dadanya.
Belaihan tangan terus menelusuri wajah menimbulkan
rasa geli, akan tetapi membuat darahnya bergolak oleh
rangsangan yang hebat. Ketika selanjutnya cekatan
sekali si dara yang sudah dimabuk asmara itu memba-
sahi bibirnya dengan leletan lidah. Yang kemudian me-
lumat bibirnya dengan lumatan penuh nafsu.
Lengan itu meluncur lagi ke bawah. Gemetar se-
kujur tubuh Puja Sangara yang baru sekali ini seumur
hidupnya disentuh seorang wanita. Sementara dibalik
pintu dengan berjingkat sosok. tubuh yang tadi men-
guntit mendekati celah pintu. Tampak dia dekatkan
kepalanya ke arah celah. Kamar yang terang oleh ca-
haya lampu itu menerangi apa saja yang terlihat dari
celah. Seketika tampak tubuh orang ini gemetar.
Desah demi desah semakin membauri ruangan
kamar. Sebentar-sebentar sosok tubuh ini mengangkat
wajahnya. Tapi kembali mengintip dengan dada be-
rombak-ombak. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tu-
buhnya. Wajahnya tampak memucat seperti mau me-
nangis.
BRRAAAAAK! Dia telah menghantam pintu yang
tertutup itu dengan pukulan tangannya. Tak ampun
pintu berderak hancur. Terdengar suara si Ninja Wa-
don terkejut. "Bedebah! Siapa diluar!?" membentak dia.
Wanita yang tengah dibuai asmara ini cepat ki-
baskan lengannya.
Sekali kibas, padamlah pelita itu. Dan kamar men-
jadi gelap. Akan tetapi tak ada sahutan, juga tak ada
tanda-tanda ada serangan dari luar. Ninja Wadon yang
siap menghadapi segala kemungkinan jadi terheran.
Dalam kegelapan dia merangkak ke pintu. Kembali dia
membentak. Tapi yang terdengar cuma suaranya sen-
diri berpantulan.
"Setan siapa pula yang mengganggu kesenangan-
ku? Apakah si Ninja Edan Lengan Tunggal?" desis wa-
nita ini yang mengawasi sekitar ruangan.
Walau dia telah memeriksa sekitar kuil tak ada
tanda-tanda adanya orang lain, tapi hal itu telah mem-
buat dia kecewa setengah mati. Juga menggagalkan
hasratnya yang telah menggebu. Malam itu dilalui si
Ninja Wadon dengan berjaga-jaga didepan pintu kuil.
Sementara hatinya memaki. "Sial dangkalan! Siapa
yang usil menggangguku itu?" bergumam dia dalam
kesenyapan yang kian mencekam. Malampun semakin
melarut. Dan hawa dingin menebar ke tulang sumsum.
Dengan tiada habis-habisnya menggerutu wanita ini
kembali melangkah masuk ke dalam kuil...
Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh kaget, karena
seketika tubuhnya lunglai. Dan... bluk! dia sudah ro-
boh menggeloso ke lantai.
"Ganti aku yang menotok mu, Ninja Wadon!" Se-
lang sesaat terdengar suara seorang laki-laki. Suara
Puja Sangara.
***
TUJUH
PUJA SANGARA menyeret tubuh si Ninja Wadon
ke dekat pembaringan. Lalu menggulingkannya ke ko-
long tempat tidur. Dalam kamar yang gelap itu Puja
Sangara segera menyusul kelebatan tubuh berping-
gang ramping yang baru saja menyelinap keluar dari
ruangan yang gelap itu.
Fajar baru saja menyingsing ketika dua sosok tu-
buh itu tersembul diujung jalan yang menuju ke arah
kota Singosari.
"Aku berhutang budi padamu, nona." berkata Puja
Sangara. Sejak mengikuti berlari dibelakang wanita ini
Puja Sangara baru berani buka suara. "Apa yang kula-
kukan adalah demi kebaikanmu. Karena aku tak mau
kau jatuh ke tangan si Ninja Wadon!" menyahut wanita
yang masih mengenakan cadar penutup wajahnya.
Cadar penutup wajahnya yang berwarna biru itu
kini disibakkan. Segera terpampanglah seraut wajah
cantik. Agak terpana Puja Sangara karena wajah itu
amat mirip dengan si Ninja Wadon. "Boleh aku tahu
siapa nama nona? Dan apa hubungannya kau dengan
si Ninja Wadon serta si Ninja Edan Lengan Tunggal?
Juga apakah kau yang pernah menolongku ketika aku
menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?" Pertanyaan
Puja Sangara yang beruntun itu membuat si dara can-
tik ini tersenyum. "Pertanyaan yang cukup banyak, ta-
pi baik sekali" ucapnya.
"Namaku rasanya telah hampir tak kuingat lagi.
Karena aku cuma disebut si KERUDUNG BIRU! Hu-
bunganku dengan si Ninja Wadon dan Ninja Edan Len-
gan Tunggal? Ninja Wadon adalah saudara kembarku,
dan si Ninja Edan Lengan Tunggal adalah ketua dari
komplotan Rahasia yang selama ini sudah bentangkan
sayapnya diperbagai tempat! sahut gadis ini.
"Ha...?" membelalak mata Puja Sangara.
"Apakah komplotan rahasia itu didalangi oleh Adi-
pati Rekso Seto?" bertanya lagi pemuda ini. Dara ini ta-
tapkan matanya ke puncak bukit.
"Benar... !" sahutnya datar.
Puja Sangara tercenung sesaat. Darahnya kembali
bergolak bila disebut nama Adipati itu.. Dan dia sema-
kin terperanjat mengetahui begitu besar kekuasaan
Adipati Puja Sangara diluar.
"Keparat! Sudah kuduga! Dan bukti semakin jelas,
bahwa Adipati Rekso Seto akan melakukan pemberon-
takan pada Kerajaan!" memaki Puja Sengara.
"Nona Kerudung Biru. Kau belum menjawab per-
tanyaanku tadi. Apakah kau yang telah menolongku
ketika aku menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?"
"Aku baru pertama kali ini menolongmu. Mengenai
siapa yang telah menolongmu dihutan Kaliki itu aku
tak mengetahui!" sahut si dara Kerudung Biru. Melengak Puja Sangara mendengar jawaban itu.
"Bukan dia?" berkata dalam hati pemuda ini." Jadi
siapakah perempuan kosen yang telah menolongku
itu?" bertanya-tanya dalam hati Puja Sangara.
"Baiklah!" sejurus antaranya Puja Sangara kembali
berkata. "Satu hal lagi yang akan kutanyakan padamu,
nona! Kau adalah orang yang ada dalam keanggotaan
komplotan rahasia itu. Mengapa kau menolongku?
Dan apa maksudmu mengajakku ke tempat ini?"
Sejurus lamanya si Kerudung Biru tak menjawab.
Yang terdengar adalah suara helaan napas berat. Seo-
lah dalam dadanya ada tertindih suatu masalah yang
sukar untuk dielakkan. Namun tak lama dia membuka
suara.
"Aku memang orang komplotan rahasia itu. Tapi
aku tak menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan
orang-orang komplotan rahasia itu. Pendek kata kalau
ada orang yang bersedia membawaku ke tempat yang
amat jauh, aku bersedia mengikuti. Asal aku bisa ke-
luar dari komplotan manusia-manusia tamak, serakah,
yang berwajah iblis itu. Aku... aku benar-benar sudah
muak dengan tingkah laku mereka!" menyahut gadis
Kerudung biru dengan suara tersendat. Terkejut Puja
Sangara mendengar kata-kata itu.
"Nona... jadi untuk itulah kau membebaskanku?"
tanyanya terheran.
"Ya! apakah kau bersedia membawaku pergi jauh-
jauh dari tempat ini?" berkata dara Kerudung Biru
dengan menatap Puja Sangara. Wajah itu tampak me-
melas. Dan sepasang mata bulat yang indah itu tam-
pak berkaca-kaca. Dihati Puja Sangara segera timbul
perasaan kasihan, salut, juga tak mengerti.
Tak terasa Puja Sangarapun menghela napas, se-
raya menunduk. Benaknya memikir keras karena saat
itu dia menghadapi tiga masalah. Masalah kesatu ada-
lah, dia harus mengetahui keselamatan ayahnya yang
tadi malam bertarung melawan si Ninja Edan Lengan
Tunggal. Masalah kedua, dia harus pula pergi ke Puri
Kuno untuk melihat hasil kerja anak buahnya untuk
menawan hidup-hidup Carik Kartomarmo. Karena dia
harus mengorek rahasia terselubung yang dilakukan
Adipati Rekso Seto dari mulut Carik itu. Masalah ke-
dua itu mungkin bisa dikesampingkan karena dia bisa
mengorek keterangan dari gadis Kerudung Biru. Akan
tetapi toh dia harus melihat keadaan anak buahnya
yang perlu dijaga keselamatannya.
Masalah yang ketiga adalah dia merasa bertang-
gung jawab untuk menumpas komplotan rahasia itu
yang didalangi oleh Adipati Renggo Seto. Tiga masalah
itulah yang membuat dia bingung untuk mengambil
keputusan.
"Kalau kau tak bersedia, tak mengapalah...!
Tapi mungkin kau takkan pernah mendengar na-
maku lagi, karena setiap anggota komplotan rahasia
yang berkhianat, hukumannya adalah kematian!" tiba-
tiba gadis kerudung biru berkata memecah kehenin-
gan. Puja Sangara terkejut melihat dara itu balikkan
tubuh dan berkelebat lari.
"Hai...!? tunggu!" teriak Puja Sangara. Cepat dia
mengejar. Namun si dara cantik tak hentikan gerakan
larinya. Bahkan mempercepat gerakan lari menuju ke
atas tebing terjal.
"Nona Kerudung Biru...! tunggu dulu. Aku akan
beri penjelasan!" teriak lagi pemuda ini seraya menam-
bah kecepatan larinya. Namun tetap gadis itu tak me-
noleh. Dia terus berlari cepat dengan terisak-isak.
Beberapa saat saja si dara cantik itu telah tiba di-
ujung tebing. Disana dia berhenti. Matanya menatap
nanar ke bawah tebing curam.
"Hiduppun sudah tak berguna..." menggumam su-
ara gadis ini.
"Nona...? apa yang kau mau lakukan?" teriak Puja
Sangara dengan wajah pias. Jantungnya berdetak ce-
pat. hatinya membatin
"Jangan-jangan dia mau bunuh diri..."
Tak ayal pemuda ini bergegas mendaki tebing.
"Aku harus mencegahnya!" sentaknya. Akan tetapi ter-
lambat. Baru saja dia menyembul di puncak tebing, di-
lihatnya dara Kerudung Biru baru saja melompat ter-
jun.
"Nona...!? Jangaaaan..." teriakan Puja Sangara me-
lengking berkumandang. Sekejap dia telah enjot tubuh
dengan kekuatan penuh.
Ketika Puja Sangara jejakkan kaki dibibir tebing,
kedatangannya sudah kasip. Suara jeritan gadis Keru-
dung Biru baru saja lenyap bersamaan dengan lenyap-
nya tubuh wanita itu ke bawah tebing yang masih ter-
tutup kabut.
Tertegunlah pemuda ini hingga beberapa saat,
memandangi ke bawah tebing dengan mata membela-
lak. Sekujur tubuhnya terasa lunglai.
"Ah, mengapa kau berbuat senekad itu, Kerudung
Biru..." mengguman Puja Sangara. Diam-diam dia
amat menyesali tindakan yang diambil si dara cantik
itu.
"Begitu kerasnya peraturan yang dibuat oleh kom-
plotan rahasia itu, hingga si Kerudung Biru harus kor-
bankan jiwanya karena mau melepaskan diri dari kete-
rikatannya pada komplotan tersebut!" berkata dalam
hati pemuda ini. Ada rasa berdosa dihatinya pada sang
gadis. Membuat lama dia tercenung dipuncak tebing
itu. Namun selang tak lama dia segera menuruni tebing terjal itu. "Aku harus melihat keadaan ayah untuk
mengetahui nasibnya!" desisnya ketika sejenak meran-
dek. Demikianlah. Puja Sangara segera mengambil ke-
putusan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Se-
makin menggebu niatnya untuk menumpas habis
komplotan rahasia itu, walaupun di harus korbankan
nyawa untuk itu. Pengkhianatan Adipati Renggo Seto
semakin nyata dengan keterangan yang diperoleh dari
gadis Kerudung Biru.
***
DELAPAN
SESOSOK tubuh berkelebat menyambar tubuh
yang meluncur deras ke dasar jurang itu sebelum ba-
tu-batu runcing menghabisi nyawanya. Dan sekejap
saja telah berada dalam pondongannya.
"Aiiiii! nyaris saja kau menemui ajal, nona cantik!
mengapa kau berbuat senekad itu?" terdengar suara
menggumam sosok tubuh itu. Tak lama dia telah ter-
sembul dari asap kabut yang menyelimuti sekitar da-
sar jurang. Ternyata sosok tubuh itu tak lain dari Roro
Centil. Gadis Kerudung Biru itu tertelungkup me-
nyampir dipundaknya.
Nasib baik agaknya masih mengikuti diri si dara
cantik Kerudung Biru yang berbuat nekad membunuh
diri dengan terjun ke bawah tebing, karena Roro Centil
si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah menyela-
matkan jiwanya. Bagaimana sampai Roro berada di
tempat itu?
Ternyata Roro yang malam itu melacak jejak Puja
Sangara, telah melihat dua sosok tubuh yang berkelebatan berlari-lari ke arah timur. Tentu saja Roro segera
mengikuti mereka. Dengan Aji Halimunan yang dimiliki
Roro kedua orang yang dikuntit itu tidak mengetahui.
Ternyata kedua orang itu tak lain dari Puja Sanga-
ra dan si gadis Kerudung Biru. Demikianlah, hingga
Roro berhasil mengutip pembicaraan mereka, hingga
ketika terjadinya ke peristiwa bunuh diri si dara cantik
Kerudung Biru tidaklah luput dari mata Roro. Disaat
dara itu terjunkan diri, Roro segera bertindak cepat
untuk menyelamatkan nyawa si gadis.
Tampak Roro merandek sejenak untuk melakukan
tindakan apa yang akan dilakukan. Tiba-tiba dia ter-
senyum. Dan... Whusssssss!
Tubuh Roro bagaikan angin lewat meluncur kem-
bali ke puncak tebing. Gerakan melompat bagai ter-
bang yang dimilikinya adalah warisan gurunya yang
terakhir yaitu si Manusia Gurun Pasir.
Puja Sangara yang tengah bergegas menuruni
puncak tebing baru saja jejakkan kaki didataran ren-
dah. Segera dia tentukan arah yang bakal di tempuh.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa berkaka-
kan di iringi dengan tersembulnya dua sosok tubuh.
Membelalak mata pemuda ini melihat siapa diha-
dapannya. Ternyata tak lain dari Si Ninja Edan Lengan
Tunggal dan si Wanita cabul Ninja Wadon. Melihat
adanya wanita itu yang bersama Ninja Edan Lengan
Tunggal, tahulah Puja Sangara kalau si wanita itu te-
lah ditolong oleh si Ketua komplotan rahasia ini yang
membebaskannya dari totokan si gadis Kerudung Biru.
Perbuatan si gadis Kerudung Biru ketika menyela-
matkan dia dari perbuatan kotor Ninja Wadon memang
dilakukan secara sembunyi. Yaitu di saat ruangan
menjadi gelap, dia menyelinap masuk, lalu sembunyi
disudut ruangan dengan menempelkan tubuhnya di
tembok sambil menahan napas.
Ninja Wadon yang berjaga-jaga menunggu datang-
nya serangan, tak kunjung datang. Bahkan dengan
berteriak-teriak dia membentak si manusia yang telah
menjebolkan pintu kamar kuil itu, namun tak ada ja-
waban. Disaat itulah dia berindap-indap mendekati
Puja Sangara. Setelah membisiki ke telinga pemuda
itu, segera dia melepaskan totokan ditubuh Puja San-
gara. kemudian menanti di pintu kamar yang gelap gu-
lita. Menunggu kedatangan Ninja Wadon yang meme-
riksa sekitar kuil. Ketika wanita cabul itu melangkah
masuk ke kamar, disaat itulah si gadis Kerudung Biru
menotoknya. Lalu berkelebat keluar. Tak lama Puja
Sangara telah berada didekat tubuh Ninja Wadon yang
berjingkat-jingkat mendekati. Lalu ucapkan kata-kata
"Ninja Wadon! kini giliran aku yang menotokmu!"
Hal itu direncanakan si gadis Kerudung Biru ada-
lah agar tak diketahui perbuatannya menggagalkan
maksud bejad wanita yang menjadi saudara kembar-
nya.
Saat itu Ninja Edan Lengan Tunggal telah mem-
bentak.
"Huahaha... Puja Sangara! anak pemberontak! kau
takkan dapat loloskan diri dari kematian!
"Hm, serahkan dia padaku, Ketua! Aku yang akan
membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!" ber-
kata Ninja Wadon seraya melangkah lebih dekat keha-
dapan pemuda ini.
Matanya liar dan tampak berapi-api memandang
Puja Sangara. Tentu saja gadis ini amat mendongkol
karena nafsunya tak tersalurkan. Bahkan dia berhasil
dipecundangi Puja Sangara.
Kalau tak muncul sang Ketua alias si Ninja Edan
Lengan Tunggal, tak nantinya dia bisa terlepas dari totokan itu.
"Heh! penipu busuk! kiranya kau telah bekerja
sama dengan si Kerudung Biru? Bagus! dia lebih baik
mampus membunuh diri dari pada kami yang harus
membunuh! itu lebih baik dilakukan bagi manusia
yang mau mengkhianati dan keluar dari komplotan ra-
hasia kami!" berkata lagi Ninja Wadon.
"Kini terimalah kematianmu, menyusul ayahmu si
Tumenggung tua bangka Kaniraga!" bentak Ninja Wa-
don. Seraya membentak dia keluarkan senjatanya dua
buah gelang yang separuh bergerigi. Lalu dipasang pa-
da tekukan keempat jarinya. Dengan sepasang senjata
inilah dia menerjang Puja Sangara.
Bukan serangkaian kilat yang datang mendadak
dan nyaris menggores kulit lehernya membuat dia ter-
kejut. Akan tetapi kata-kata wanita itulah yang mem-
buatnya lebih terperanjat.
"Hah!? ayah telah tewas?" sentaknya dalam hati.
Dua kali bersalto dia sudah melompat agak jauh.
"Ninja Edan Lengan Tunggal! betulkah ucapan pe-
rempuan anak buahmu ini?" teriak Puja Sangara
membentak dengan suara menggetar.
"Hahaha... apa susahnya memindahkan nyawa
Tumenggung tak berguna itu ke alam Akhirat?" ujar
Ninja Edan Lengan Tunggal.
Membludak kemarahan Puja Sangara seketika itu.
Disertai teriakan histeris seakan halilintar membelah
bumi, dia melompat menerjang Ninja Edan Lengan
Tunggal. "Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu!"
Puja Sangara masih sempat membawa golok tipis-
nya yang ditemukan di sudut pembaringan di dalam
kuil. Dia menerjang dengan senjata itu. Sebentar saja
keduanya telah terlibat dalam pertarungan seru. Akan
tetapi Ninja Edan cuma menghindari serangan saja
dengan sebentar-sebentar tertawa. Agaknya serangan-
serangan gencar Puja Sangara dianggap tak berarti
bahkan dengan mudah dihindarkannya. Lagi-lagi Ninja
Wadon melompat seraya berteriak. "Ketua! sudahlah!
berikan padaku. Biar aku yang mengurusi!"
"Perempuan bejat! kau akan kubunuh terlebih du-
lu!" bentak Puja Sangara dengan menggerung. Dan...
Whuk! Whukk!
Trang! Trang! Dua terjangan menabas telah di-
tangkis oleh si Ninja Wadon dengan sepasang gelang
besinya. Hingga menimbulkan suara nyaring yang
memercikkan lelatu api. Tiba-tiba Puja Sangara me-
lompat mundur. Kakinya terpacak ditanah dengan ku-
da-kuda yang kokoh. Sepasang lengannya membuat
gerakan memutar. Nampak bergetaran, dan menim-
bulkan uap putih. Tak dapat disangsikan lagi kalau dia
tengah mengeluarkan ilmu tenaga dalam pada sepa-
sang lengan, serta siap menerjang dengan jurus-jurus
lain dari pada yang lain. Tampak bibir pemuda ini ber-
kemak-kemik membaca mantera. Sementara ingatan
pemuda ini terpancang pada gurunya Panembahan
Gumintar di puncak gunung Cula Badak.
Tampak dimata batin Puja Sangara pertapa tua itu
berkata. "Jangan kau pergunakan jurus ilmu dan ajian
Paweling Sukma bila kau dalam keadaan marah!" Akan
tetapi tampaknya Puja Sangara sudah tak dapat mem-
bendung kemarahannya mengingat kematian sang
ayah yang amat dihormati dan dicintai tewas di tangan
si Ninja Edan Lengan Tunggal.
Dia merasa amat terhina karena lawannya si Ke-
tua komplotan rahasia melayani serangannya sambil
tertawa mengejek dan meremehkan. Dia merasa malu
pada dirinya sendiri karena dapat dijatuhkan oleh si
Ninja Wadon, yang nyaris membuat dia melakukan
perbuatan hina! Ketika berguru pada Panembahan
GUMINTAR dia mempelajari satu ilmu yang lain dari
pada yang lain. inilah dia ilmu itu, yaitu sebuah ilmu
kebatinan. Ilmu yang bisa merubah manusia berganti
ujud, serta menjadi sakti mandra guna dalam sekejap.
Tapi ilmu itu bisa menjadikan si empunya ilmu akan
menjadi gila alias tidak waras otaknya kalau diguna-
kan dalam keadaan marah.
Dan Puja Sangara telah melanggarnya!
Ninja Edan Lengan Tunggal membelalakkan ma-
tanya ketika melihat sosok tubuh Puja Sangara beru-
bah menjadi sesosok makhluk berbulu mirip seekor
gorilah yang menyeramkan. Matanya nyalang merah
mengerikan. Wajah Ninja Edan Lengan Tunggal tiba-
tiba berubah pucat. Kakinya melangkah mundur dua
tindak.
Kejadian itu ternyata tak luput dari mata sesosok
tubuh di atas tebing yang agak rendah.
Dialah Roro Centil yang mengintai dari atas po-
hon.
Sebenarnya sejak tadi Roro sudah mau turun tan-
gan membantu pemuda itu. Akan tetapi entah menga-
pa Roro ingin tahu kehebatan Puja Sangara, hingga dia
urungkan niat. Roro yang tahu dari pembicaraan siapa
adanya kedua orang itu, semakin penasaran untuk
mengetahui siapa sebenarnya si Ninja Edan Lengan
Tunggal itu. Dugaannya adalah Joko Sangit. Bukan-
kah Joko Sangitpun seorang Ninja yang lengannya
buntung? Bahkan beberapa bulan yang lalu dia pernah
menjumpai Joko Sangit, yang menamakan dirinya si
Brewok Lengan Tunggal.
Akan tetapi lagi-lagi dia urungkan niat, karena
melihat kejadian aneh pada tubuh Puja Sangara yang
berubah jadi mengerikan. "Hah? Ilmu apakah?" berka
ta Roro dalam hati. Apakah Puja Sangara berguru pada
seorang golongan hitam? pikir Roro dalam benak.
Bhussss...! Cepat sekali Ninja Edan Lengan tung-
gal gunakan ilmu anehnya untuk menghilang dari
tempat itu. Dengan membanting sebuah benda yang
menimbulkan asap hitam bergulung, tubuh Ninja
Edan Lengan Tunggal lenyap terbungkus asap.
Melihat demikian, Ninja Wadon yang sudah ber-
niat mau membunuh Puja Sangara dengan kedua tan-
gannya sendiri, jadi urungkan niat. Seketika tubuhnya
menggigit gemetar. Begitulah takutnya dia melihat pe-
rubahan tubuh pemuda itu. "Celaka! lebih baik aku
melarikan diri!" berkata Ninja Wadon dalam hati. Ber-
pikir demikian, Ninja Wadon segera balikkan tubuh
untuk melompat pergi. Akan tetapi tiba-tiba lengan si
makhluk menyeramkan itu telah terulur panjang dan
menyambar pinggang.
"Aaah?" tersentak kaget wanita ini. Serta merta
lengannya menghantam lengan berbulu itu. Akan teta-
pi terkejut dia karena seperti menghantam kapas saja.
Hantaman itu tak berarti. Bahkan kejap selanjutnya
tubuhnya telah ditarik. Karena lengan itu kembali me-
luncur memendek. Dan... Sekejap si Ninja Wadon telah
berada dalam Pelukan makhluk menyeramkan itu.
***
SEMBILAN
RORO CENTIL baru saja mau bertindak mengejar
si Ninja Edan Lengan Tunggal yang menghilang dibalik
asap, tiba-tiba telah urungkan lagi niatnya karena
mendengar suara jeritan menyayat hati dari si Ninja
Wadon. Apa yang dilihatnya membuat Roro membela-
lakkan mata. Karena diiringi berderaknya suara tulang
yang remuk, tampak tubuh wanita itu terkulai dalam
pelukan si makhluk berbulu yang menyeramkan itu.
Bruk! Dengan keluarkan suara menggeram tubuh
wanita itu dibantingkan ke tanah. Selanjutnya dengan
buas makhluk itu menginjak-injak tubuh wanita cabik
itu hingga remuk. Tampaknya makhluk itu puas su-
dah dengan apa yang telah dilakukannya. Dia berdiri
memandangi tubuh lawannya. Lalu tiba-tiba berteriak
menggeram dengan mata jelalatan mencari si Ninja
Edan Lengan Tunggal yang telah tak kelihatan lagi ba-
tang hidungnya.
Selang sesaat dia terkulai lesu. Tubuh makhluk
itu mendeprok di tanah. Tubuhnya terlihat bergetar
hebat. Dan selang tak lama berangsur-angsur sosok
tubuh yang menyeramkan itupun berubah lagi menjadi
Puja Sangara.
Saat itulah Roro Centil melompat menghampiri.
Tersentak Puja Sangara melihat Roro yang meman-
dangnya tak berkedip.
"Ssi...siapa kau?" bentak Puja Sangara. "apakah
kau kawannya si wanita keparat ini ataukah kau anak
buahnya si Ninja Edan Lengan Tunggal?" Roro tampil-
kan senyuman seraya berkata. "Aku bukan siapa-siapa
dan tak ada hubungannya dengan kedua orang yang
kau maksudkan itu. Apakah anda yang bernama Puja
Sangara?" balas bertanya Roro setelah menjawab per-
tanyaan pemuda itu.
"Ada maksud apa kau mencariku?" tanya ketus
laki-laki muda ini.
"Aku Roro Centil! aku pernah menolongmu ketika
kau bertarung dengan kawanan penjahat dihutan Ka-
liki! Tujuanku menemuimu adalah membawa amanat
dari ayahmu Tumenggung Kaniraga. Beliau memang
benar telah tewas di tangan si Ninja Edan Lengan
Tunggal! Dan wasiat itu adalah menyuruhku memban-
tu perjuangan mu, dalam menggulung komplotan ra-
hasia yang diketuai si Ninja Edan Lengan Tunggal!" tu-
tur Roro.
Puja Sangara menyimak kata-kata Roro. Akan te-
tapi tampaknya dia amat kesulitan untuk memahami.
Dia berusaha mengkonsentrasikan ingatan, tapi selalu
saja buyar. Dalam keadaan demikian Puja Sangara
hanya mampu tertawa dan menjawab dengan berteriak
keras.
"Ayahku sudah tewas! Pembunuhnya adalah si
Ninja Edan Lengan Tunggal! Tak seorangpun kuizin-
kan mencampuri urusanku! Hahaha... haha... aku tak
kenal Roro Centil! Dan aku tak perlu bantuan siapa-
siapa!
Hahaha... haha... tunggulah kau Ninja Edan Len-
gan Tunggal. Kemanapun kau pergi takkan luput dari
tanganku!"
Seusai berkata Puja Sangara tertawa berkakakan.
Dan tiba-tiba berkelebat melompat, lalu berlari ce-
pat meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan masih terdengar suaranya berte-
riak-teriak.
"Adipati Rekso Seto! pengkhianat Kerajaan! Kau
yang akan terlebih dulu kuhancurkan! Karena kaulah
dalangnya kericuhan ini. Hahaha... dan kau Carik Kar-
tomarmo! kau si pelempar batu sembunyi tangan yang
bekerja sama dengan Adipati keparat itu. Kaupun tak-
kan luput dari kematian! hahaha.....hahaha..."
Terhenyak Roro Centil melihat perubahan sikap
Puja Sangara. Sadarlah Roro kalau pemuda itu telah
berubah tidak waras otaknya.
Dalam ketercenungannya mendengar kata-kata
Puja Sangara barusan, tiba-tiba Roro tersadar ketika
mendengar suara keluhan dari atas tebing. Sekejap dia
telah melompat ke atas. Dan didapati dara Kerudung
Biru telah sadarkan diri dari pingsannya.
Gadis Kerudung Biru terpaku memandang sosok
tubuh si Ninja Wadon saudara kembarnya yang sudah
tak berbentuk lagi. Pelahan Roro bertindak mengham-
piri, lalu bimbing lengannya untuk menjauh.
"Sudahlah! Tuhan sudah menggariskan kematian-
nya sedemikian rupa. Kau tak perlu mendendam pada
Puja Sangara. Bahkan Sebaliknya kau harus mengasi-
haninya, karena saat ini dia dalam keadaan tidak wa-
ras!" ujar Roro.
"Tidak! aku takkan mendendam padanya, kakak
pendekar Roro. Kematian saudara kembarku memang
sudah layak. Dia seorang yang kejam. Banyak perbua-
tan terkutuk yang telah dia lakukan. Dan bila setiap
laki-laki telah puas menuruti hawa napsunya tak se-
gan-segan dia membunuhnya. Sekali lagi aku ucapkan
terimakasih atas pertolongan anda, kakak Pendekar
Roro. Sungguh girang sekali aku bisa berjumpa dengan
anda.
Nama besarmu sudah kudengar sejak lama. Men-
gapa kau sudi menolongku, kakak Roro? Bukankah
aku termasuk anggota komplotan rahasia yang menja-
di musuh setiap kaum pendekar?" berkata si kerudung
Biru. Roro Centil tersenyum dan tertawa kecil.
"Hihihi... siapa yang tak tahu pribadimu sebenar-
nya? Bukankah kau telah mengatakan bahwa kau
membenci komplotan itu. Dan kau akan keluar dari
keanggotaannya? Kesadaranmu itulah yang membuat
aku menolongmu. Di samping itu aku perlu keterangan
lebih terperinci mengenai komplotan itu. Kau tak boleh
mati. Bahkan aku berjanji akan melindungimu dari ke-
jaran komplotan rahasia itu yang pasti menginginkan
nyawa mu!" ujar Roro dengan suara tegas.
Terpaku si Kerudung Biru menatap pada Roro.
Sepasang mata yang indah itupun kembali berkaca-
kaca. Dan tiba-tiba dia jatuhkan dirinya berlutut di
hadapan wanita Pendekar Pantai Selatan. "Budi baik-
mu terlalu besar, kakak Pendekar. Ah, entah bagaima-
na aku harus membalasnya?"
"Aiiii....! sudahlah! hayo kau bangun adik manis!"
berkata Roro. Lengannya terulur menempel ke pundak
si gadis Kerudung Biru. Gadis ini tiba-tiba rasakan se-
perti ada tenaga yang amat luar biasa yang mengang-
kat tubuhnya hingga dia kembali berdiri.
"Baiknya jenazah saudara kembar mu itu dikebu-
mikan. Secepatnya kita pergi dari sini!" berkata Roro
seraya menyuruti si Kerudung Biru menyingkir ke sisi.
Pendekar Wanita Pantai Selatan ini tumpukan telapak
tangannya pada bawah telapak tangan kanannya yang
berdiri. Tampak telapak tangan itu kepulkan uap pu-
tih. Mata Roro menatap pada jenazah si Ninja Wadon.
Tiba-tiba dia berseru keras seraya arahkan telapak
tangannya pada tanah di sebelah depan jenazah. Sela-
rik sinar perak meluncur.
Dan... Bhlarrrr!
Tanah menyemburat membuat lubang besar dide-
kat jenazah si Ninja Wadonpun telah lenyap teruruk
tanah. Dengan cara itu Roro telah mengebumikan sang
jenazah tanpa harus bersusah payah menggali tanah.
Dara Kerudung Biru memuji kagum. Bibirnya ke-
luarkan desisan lirih.
"Ah, jurus pukulan yang hebat!" Namun dia tak
dapat berlama-lama berdiri di tempat itu, karena len-
gan Roro telah menyambarnya untuk dibawa berkelebat, seraya berkata.
"Hayo, adik manis, kita pergi dari sini!" Tentu saja
si Kerudung Biru tak dapat tidak harus mengikuti la-
rinya si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Hingga dalam
beberapa kejap saja kedua dara cantik itu telah lenyap
dari tempat itu...
***
SEPULUH
Dari si dara Kerudung Biru itulah Roro berhasil
mengorek keterangan mengenai komplotan rahasia
yang didalangi oleh Adipati Rekso Seto itu. Ternyata
bukan saja Adipati itu bekerja sama dengan kaum
penjahat, tapi juga mendirikan markas yang berada
dibukit Nala Gareng.
Kelicikan komplotan rahasia yang didalangi Adipa-
ti Rekso Seto adalah dengan mengadakan persekong-
kolan dengan Carik Kartomarmo yang berhubungan
dengan kaum penjahat. Dimana telah direncanakan
satu kejahatan atau perampokan yang dilakukan oleh
orang-orang carik Kartomarmo sendiri. Kemudian di-
adakan laporan yang seolah didengar oleh Adipati Rek-
so Seto. Maka segera lasykar pasukan Kadipaten men-
gejar ke sarang penjahat untuk menumpas mereka.
Hasilnya? Komplotan penjahat seolah telah dapat
digulung oleh pasukan prajurit Kadipaten.
Tentu saja tak ada yang tahu seluk beluknya, ke-
cuali "orang-orang sendiri" dari komplotan terselubung
itu. Raja hanya menerima laporan yang menggembira-
kan dari Adipati Rekso Seto.
Tampaknya dimata Raja, keadaan wilayah pemerintahan yang dipasrahkan dalam pembinaan Adipati
Rekso Seto aman sentosa. Padahal di dalamnya penuh
kemelut. Penculikan gadis hampir sering terjadi dua ti-
ga kali dalam satu bulan. Perampokan, pemerasan,
pemerkosaan. Bahkan yang membuat Roro menjadi
gregetan adalah Adipati itu membangun sebuah istana
kecil yang di dalamnya ditempatkan perempuan-
perempuan cantik hasil penculikan. Pada tiap kesem-
patan Adipati Rekso Seto tentu menyinggahi "Istana"
itu untuk memuaskan hasratnya.
Tempat itu dijaga ketat, dan mempunyai, tempat
yang tersembunyi hingga sukarlah orang menemukan.
Disamping di tempat itu banyak berkumpul jago-jago
silat bayaran yang di bawah perintah Carik Kartomar-
mo.
Suara tertawa cekikikan terdengar di satu ruangan
dalam "Istana" rahasia itu yang dibarengi dengan sua-
ra laki-laki. Dalam ruang itu ternyata tampak Carik
Kartomarmo dalam keadaan terlentang, dipembaringan
berseprei bersih dikelilingi tiga orang wanita cantik
yang memijiti tubuhnya dengan sebentar-sebentar ter-
tawa mengikik.
"Berapa kali dalam sepekan Adipati Rekso Seto da-
tang kemari?" tanya Cari Kartomarmo sambil meram-
melek merasakan kenikmatan.
"Tidak tentu, Den.! kadang-kadang sepekan sekali,
tapi terkadang satu pekan sampai tiga empat kali da-
tang!" sahut wanita yang memijiti bahunya. Karto-
marmo manggut-manggut. Sementara diam-diam dia
bersyukur dalam hati karena terhindar dari bahaya.
Dalam terlena itu dia terbayang pada kejadian dua hari
yang lalu. Kalau saja dia datang ke Puri Kuno pada
malam itu, tentu dia tak dapat berleha-leha seperti se-
karang ini. Karena belasan anak buah Puja Sangara telah menantinya. Rencana untuk membekuk Carik Kar-
tomarmo gagal, karena diketemukannya mayat Sento
yang dibunuh Gudri oleh tiga orang jago silat bayaran
Kartomarmo. Ketiga orang laki-laki yang menamakan
dirinya si Tiga Ular Weling segera melaporkan pada Ca-
rik Kartomarmo. Untung saja dia yang sudah mau be-
rangkat pergi ke Puri Kuno, segera gagalkan maksud-
nya.
Sebagai gantinya dia mengutus si Tiga Ular Weling
untuk melihat ada apa sebenarnya di Puri Kuno. Dia
curiga kalau-kalau itu rencana Puja Sangara yang di-
ketahui telah bergabung dengan belasan orang-orang
Adipati Rekso Seto dan sudah diketahuinya menjadi
duri penghalang yang harus dilenyapkan!
Akibatnya anak-anak buah Puja Sengara habis
menemui ajal dibantai si Tiga Ular Weling tanpa am-
pun. Ketiga laki-laki jago silat bayaran itu bukanlah
tandingan mereka. Carik Kartomarmo secepatnya sege-
ra terima laporan dari si Tiga Ular Weling tentang ter-
basminya anak buah Puja Sangara. Selesai memberi
imbalan, Carik Kartomarmo segera menghubungi Adi-
pati Rekso Seto, lalu mengatur rencana selanjutnya,
karena keadaan boleh dikatakan amat gawat. Surat
Adipati bisa dijadikan barang bukti pengkhianatannya
selama ini yang mencemarkan nama baik Kerajaan.
Oleh sebab itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Puja
Sangara harus dibunuh secepatnya dan Tumenggung
Kaniraga harus segera disingkirkan!
Demikianlah hingga terbunuhnya Tumenggung
Kaniraga oleh si Ninja Edan Lengan Tunggal, sehabis
bercakap-cakap dengan Adipati Rekso Seto yang sen-
gaja diundang oleh Adipati busuk itu untuk melaku-
kan rencana kejinya. Namun sayang, Puja Sangara da-
pat meloloskan diri. Yang kemudian dikejar oleh Ninja
Wadon dan Ninja Edan Lengan Tunggal, seperti diceri-
takan dibagian depan.
Waktu itu penjagaan memang segera diperketat.
Orang-orang Komplotan Rahasia disebar disetiap tem-
pat. Bahkan kepergian Carik Kartomarmo ke tempat
rahasia itu untuk bersantai dengan ditemani tiga wani-
ta-wanita cantik itu, gedung kediamannya telah dijaga
ketat oleh orang-orangnya.
Siang itu cukup terik. Panasnya menyengat kulit.
Tapi dalam ruangan kamar itu Carik Kartomarmo tak
merasakannya. Dua orang wanita itu telah menyingkir,
ketika sang Carik itu segera merengkuh tubuh mulus
wanita yang satu ini. Wanita ini memang mempunyai
bentuk tubuh yang amat mempesona, selain juga ber-
wajah cantik. Terengah-engah si dara cantik ketika si
tua bangka ini dengan gejolak nafsu yang sudah tak
terbendung. Lengannya mencengkeram dada wanita
itu hingga si wanita menyeringai. Kedua tubuh itu sal-
ing bergelinjangan berbaur dengan napas sang Carik
yang memburu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar te-
lah diketuk orang.
"Siapa?" teriak Carik Kartomarmo dengan wajah
berubah. Tak biasanya ada yang berani mengganggu
dia bila sedang berada dalam kamar.
"Kami, Den Bei..! Menyahut suara diluar. "Kami
siapa?! bentak Kartomarmo dengan bergegas menge-
nakan pakaian. Perempuan itu didorong seraya diberi
isyarat untuk lekas menyingkir. Bergegas wanita itu
menyambar pakaiannya, langsung menghambur keluar
dari pintu rahasia.
"Kami, Tiga Ular Weling!"
Sahutan itu agak melegakan hatinya. Tapi mem-
buat dia terkejut, karena kedatangan si Tiga Ular Wel-
ing yang mendadak itu tentu membawa berita atau laporan. Sementara dia merasa hatinya tak enak. Tak
lama lengan Carik Kartomarmo gerakkan sebuah ben-
da dikolong tempat tidur. Dan... Klik! Kunci pintu ka-
mar itu telah membuka.
"Masuklah!" berkata Kartomarmo. Dia telah siap
menyambut dengan pakaian yang telah dirapikan.
Tampak pintu bergerak didorong dari luar. Dan ti-
ga sosok tubuh melangkah masuk. Ternyata benar si
Tiga Ular Weling adanya. Wajah ketiga laki-laki jago si-
lat bayaran yang biasanya bertampang seram itu, kali
ini unjukkan wajah pucat bagai kertas.
"Cepat laporkan apa yang kalian mau laporkan?
Mengapa cuma berdiri membisu?" membentak Carik
Kartomarmo tak sabar menunggu kata-kata si Tiga
Ular Weling. Akan tetapi betapa terperanjatnya sang
Carik ini ketika tahu-tahu ketiga sosok tubuh itu ber-
jatuhan ambruk ke lantai. Membuat dia melompat ka-
get. Ketika memeriksa ternyata si Tiga Ular Weling itu
telah tewas. Dari mulut, mata, telinga dan hidung me-
reka semburkan darah berwarna kuning.
"Ah!? Racun Kuning..!?" tersentak kaget Carik Kar-
tomarmo. Seketika wajahnya berubah pucat. Karto-
marmo yang telah cukup berpengalaman segera men-
getahui kalau si Tiga Ular Weling telah terkena satu
pukulan ganas yang mengandung racun kuning. Jelas
terlihat dari warna darah ketiga orang jagoan andalan-
nya itu. Yang membuat wajahnya berubah pucat ada-
lah si pemilik pukulan Racun Kuning adalah orang
yang paling ditakutinya.
"Ahh... apakah kakek PAMOKSA telah muncul dari
"Lubang Kuburnya?" Bagaimana dia dapat terlepas da-
ri penjara bawah tanah itu? desisnya dengan tubuh
menggeletar. Pemilik pukulan Racun Kuning itu siapa
lagi kalau bukan PAMOKSA alias si IBLIS RACUN
KUNING!
***
SEBELAS
Memikir demikian, Garik Kartomarmo sudah mau
menghambur untuk melarikan diri masuk pintu raha-
sia. Akan tetapi telah terdengar suara tertawa menge-
keh serak dan berat, diiringi munculnya di depan pintu
sesosok tubuh kurus kering bagai jerangkong. Pa-
kaiannya sudah compang camping tak keruan. Kakek
ini berambut putih yang gondrong sebatas bahu tak te-
rawat.
Bahkan bau tubuhnya santar menusuk hidung.
“Hehehehe... Heheh... LINDU SONGO! kau mau la-
ri kemana?" "Bila kau kabur lewat pintu rahasia, dis-
ana telah menunggu seorang muridku yang telah siap
mengirim nyawamu ke liang akhirat. Akan tetapi bila
kau tak lari, toh kau akan bernasib sama! Mungkin
kau tak begitu cepat mati. Karena aku akan jebloskan
kau dalam penjara kuburan itu menjadi pengganti ku!"
berkata Pamoksa. Lalu tertawa berkakakan terkekeh-
kekeh.
"Pa... Pamoksa? bagaimana kau masih bisa hidup
dan keluar dari penjara itu setelah lewat 10 tahun?"
berkata Kartomarmo dengan suara datar. Dia telah
bersikap merubah kepucatan wajahnya dengan sikap
biasa. Karena Carik Kartomarmo yang nama sebenar-
nya adalah LINDU SONGO itu adalah tokoh golongan
hitam yang punya banyak pengalaman. Segera dia me-
nyadari. Rasa takut akan membuat akal orang menjadi
buntu. Sedangkan ketenangan akan menguntungkan,
karena akal dapat berjalan baik!
Pertanyaan ini membuat Pamoksa kembali terke-
keh. Lalu menjawab dengan mendengus di hidung.
"Heh! Sudah beberapa bulan yang lewat aku lolos
dari penjara keparat itu. Bahkan kalau aku mau su-
dah sejak tiga tahun yang lalu aku tinggalkan penjara
bawah tanah itu untuk ku segera mencarimu dan
membunuh mu! Tapi aku harus menamatkan ilmu-
ilmuku. Kini aku benar-benar telah tinggalkan penjara
keparat itu untuk selamanya, karena sudah waktunya
aku membunuhmu!"
Akan tetapi kata-kata Pamoksa tak membuat wa-
jah Kartomarmo berubah. Walau sebenarnya dia amat
terkejut luar biasa. Kakek bernama Pamoksa itu ada-
lah paman gurunya. Seorang yang berilmu tinggi. Ber-
watak brangasan dan telengas.
Nama Kartomarmo sendiri sebenarnya Lindu Son-
go. Lindu Songo tak dapat dikatakan seorang yang
berwatak baik. Karena dia seorang yang amat doyan
dengan wanita cantik. Hingga anak gadis gurunya sen-
diri "dimakan" nya juga. Hingga dia harus berurusan
dengan gurunya. Bahkan dengan akal licik terpaksa
dia membunuh sang guru yang telah melabraknya, ka-
rena gusar anak gadisnya dikerjai si murid gila ini.
Lindu Songo selanjutnya berpetualang menjadi
"pendekar" pembela si lemah menindas si kuat. Tapi
tujuannya adalah untuk mendapatkan kesenangan.
Kalau tak harta benda tentulah wanita cantik yang di-
incarnya. Perbuatannya amat licik, yang dapat dium-
pamakan sebagai Musang berbulu Ayam.
Lindu Songo teringat kalau dia punya seorang
guru bernama PAMOKSA. Akal liciknya kembali timbul
untuk memperdaya sang paman guru. Dia mendatangi
tempat kediaman Pamoksa, lalu menceritakan tentang
tewasnya Ki BERGOLA (sang guru) dengan dikarang ja-
lan cerita palsu. Dikatakan bahwa si pelakunya adalah
adik Adipati Manyar Dewa yang pada waktu itu kera-
jaan masih diperintah oleh Prabu Candra Bayu. Kera-
jaan yang sekarang diperintah oleh Prabu SASRA
BHESWARA. Akibatnya PAMOKSA mengamuk dige-
dung Kedipatian. Menuntut Adipati Manyar Duwa un-
tuk menyerahkan adiknya, dan bertanggung jawab
atas perbuatan keji dan amoral Manyar Langit. Dalam
kerusuhan itu, Lindu Songo mengambil kesempatan
menculik anak gadis Adipati Munyir Dewa. Setelah
puas mereguk madusari, anak Adipati itupun dibu-
nuhnya untuk menutupi kejahatannya.
Pertarungan digedung kedipatian membuat tewas-
nya Adipati Manyar Dewa, juga adik Adipati itu. Se-
mentara dalam kesempatan dikala terjadi kerusuhan,
Lindu Songo tak lewatkan kesempatan untuk meram-
pok harta benda Adipati Manyar Dewa. Sempat-
sempatnya pula dia meniduri istri sang Adipati.
Lindu Songo yang berniat mempelajari ilmu puku-
lan Racun Kuning dari sang paman guru, akhirnya tak
kesampaian. Karena Pamoksa telah tertawan oleh to-
koh Kerajaan, yaitu Patih GAJAH SORA. Ki Patih Gajah
Sora berbaik hati tak membunuh Pamoksa. melainkan
setelah memunahkan kekuatan Pamoksa hingga men-
jadi orang tanpa daksa, yang kehilangan tenaga dalam
seumur hidupnya. Dia dijebloskan dalam penjara ba-
wah tanah!
Keringat dingin mencucur disekujur tubuh Lindu
Songo alias Carik Kartomarmo. Memikir dirinya telah
terkurung tak dapat meloloskan diri, tiba-tiba laki-laki
tua ini hantamkan telapak tangannya ke langit-langit
kamar.
Di iringi suara berkerotakan hancurnya langit
langit kamar, tak menunggu waktu lagi tubuh Carik
Kartomarmo telah melesat keluar dari jebolan langit-
langit kamar itu. Membaur diantara kepingan genting
yang melayang di udara, tampak tubuh Carik Karto-
marmo yang dengan gerakan kilat segera totolkan
ujung kaki ke arah pecahan genting. Hebat! mengan-
dalkan kekuatan ilmu meringankan tubuh yang amat
sempurna, secepat kilat Lindu Songo telah melesat ba-
gai anak panah berkelebat ke arah hutan.
Menggembor marah Pamoksa. Tentu saja dia tak
mau buruannya kabur menghilang begitu saja dari de-
pan hidungnya. Tubuh kakek ini berkelebat 10 tombak
ke udara, dan berkelebat bagaikan bayangan hantu
putih mengejar Lindu Songo. Sementara itu diarah lain
yaitu tepat disisi mulut hutan, sesosok tubuh berkele-
bat pula memburu bayangan tubuh Lindu Songo yang
melarikan diri.
Beralih sejenak ke lain tempat.
Sesosok tubuh berpakaian jubah hitam berdiri te-
gak di atas tebing, dimana dibawahnya terhampar hu-
tan belantara. Angin pegunungan yang bertiup mem-
buat jubah laki-laki bertopeng ini berkibaran. Begitu
pula lengan jubahnya. Jelaslah kalau orang ini tak lain
dari si Ninja Edan Lengan Tunggal!
Belum lagi sepeminuman teh laki-laki itu berdiri
disitu mendadak terdengar suara tertawa merdu mero-
bek keheningan, dan sesosok tubuh muncul di bela-
kang si Ninja Edan Lengan Tunggal.
"Hihihi.....Bagus! Sungguh kebetulan! hari ini aku
bisa berhadapan dengan salah seorang anjingnya Adi-
pati Renggo Seto! Dan manusianya adalah orang yang
sungguh tak kusangka dan diluar dugaanku sama se-
kali. Heh! ... JOKO SANGIT! begitukah perbuatan seo-
rang pendekar murid si Pendekar Gentayangan?".
Laki-laki jubah hitam yang kepalanya terbungkus
kain hitam ini ternyata masih tetap berdiri tanpa
membalikkan tubuh mendengar kata-kata dibelakang-
nya. Agaknya diapun sudah mengetahui siapa yang
datang.
"Balikkan tubuhmu menghadap ke arah ku, Joko
Sangit! Buka topengmu! Apakah kau malu? Ataukah
mukamu rusak hingga kau terus menutupinya?" ber-
kata wanita dibelakang si Ninja Edan Lengan Tunggal.
Akan tetapi laki-laki ini tetap tak menggubrisnya.
Hal itu membuat si wanita jadi mendongkol. Akan
tetapi tetap dia menunggu reaksi laki-laki itu. Siapa
adanya wanita itu? Ternyata siapa lagi kalau bukan
RORO CENTIL si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Ka-
rena si Ninja Edan Lengan Tunggal tetap tak menggu-
brisnya, Roro mulai kesal dan membanting kaki den-
gan membentak. Suaranya seperti mau menangis. Dan
memang disudut kelopak mata itu telah tersembul seti-
tik air bening.
"Joko Sangit...! Sungguh perbuatanmu membuat
aku tak bersimpati terhadapmu. kau sungguh orang
yang punya hati! Betapapun besarnya cintaku pada-
mu, namun karena perbuatanmu yang membantu ma-
nusia seperti Adipati Reggo Seta membuat hatiku ter-
luka! Baiklah! hari ini kulupakan semua kenangan
manis masa lalu! hari ini semuanya telah menjadi te-
rang. Ternyata kau bukanlah orang yang aku idamkan!
Maka hari ini pula aku akan menghentikan petualan-
ganmu!" Selesai berkata Roro Centil perdengarkan sua-
ra melolong panjang yang lebih menyerupai jeritan me-
lengklng. itulah ungkapan hati yang penuh dengan ke-
kecewaan yang diungkapkan Roro dengan jeritan me-
lengking panjang.
Dan belum lagi terputus suara jeritan yang menyerupai lengkingan serigala itu, tubuh Roro berkelebat.
Lengannya terangkat menghantam ke arah pung-
gung si Ninja Edan Lengan Tunggal. Selarik cahaya pe-
rak berkelebat. Itulah pukulan jarak jauh yang berna-
ma ilmu pukulan SELAKSA PETIR. Akan tetapi puku-
lan ganas yang mengerikan itu lewat disamping laki-
laki Ninja Edan Lengan Tunggal, sedangkan laki-laki
itu masih tetap berdiri tak bergeming.
Terdengarlah suara ledakan keras. Belahan pohon
disisi tebing dimana laki-laki itu berdiri terbakar han-
gus.
Sedangkan Roro tampak dengan membanting kaki
dan mata merah mau menangis menatap laki-laki itu
dengan terpaku...
Seandainya dia tak miringkan tangannya dikala
menghantam tadi, tak dapat disangsikan lagi tubuh si
Ninja Edan Lengan Tunggal akan bernasib sama den-
gan pohon-pohon itu. Tentu saja dia melengak, karena
laki-laki itu tak berupaya mengelakkan diri.
Sesaat suasana kembali hening. Dan dalam kehe-
ningan yang mencekam itu, terdengar suara si Ninja
Edan Lengan Tunggal yang perdengarkan suara terta-
wanya. Suara tertawa tawar yang bernada hambar.
"Hahaha... mengapa kau urungkan niatmu mem-
bunuhku, Roro? Bukankah aku telah membuat kau
kecewa? Bukankah aku telah menyakitkan hatimu?
Bukankah seribu kekecewaan telah kau dapati dari di-
riku?"
"Joko Sangit! mengapa kau tak mengelakkan diri?
Aku enggan membunuh orang yang tak mau melaku-
kan perlawanan. Hayo, persiapkan dirimu untuk
menghadapi aku! Kita bertarung sampai ada yang te-
was salah satu diantara kita!" teriak Roro dengan menahan isak.
Akan tetapi Ninja Edan Lengan Tunggal kembali
tertawa hambar.
"Percuma! apakah keuntungannya? toh hanya
akan membuat manusia pengacau yang mempitnahku
justru bergirang hati!" ujar Ninja Edan Lengan Tung-
gal. Terhenyak Roro Centil menatap laki-laki itu den-
gan terheran.
"Siapa orang yang telah mempitnahmu? Dan keja-
dian apakah sebenarnya dibalik semua ini?" tanya Ro-
ro agak lirih. Namun sebagai jawabannya Ninja Edan
Lengan Tunggal perdengarkan suara tertawa gelak-
gelak. Dan BHUSSSS! tubuhnya lenyap seketika dian-
tara gumpalan asap hitam. Roro terperangah. Dan saat
itu terdengar suara kata-kata si Ninja Edan Lengan
Tunggal.
"Kelak kau akan mengetahuinya! Datanglah ke
lembah padang Alang-alang pada malam purnama hari
keempat belas tiga hari lagi...!"
Suara itupun lenyap bersamaan dengan lenyapnya
asap hitam yang bergulung-gulung menghalangi pan-
dangan mata Roro Centil.
Roro tertegun beberapa saat. Diam-diam dia me-
muji kehebatan ilmu NINJA laki-laki itu. Setelah
menghela napas, tubuh si pendekar wanita itupun
berkelebat lenyap dari tempat itu.
***
DUA BELAS
"CARIK KARTOMARMO! kau tak akan dapat melo-
loskan diri lagi dari kematianmu!" bentakan menggele-
dek terdengar. Dan di hadapan Lindu Songo telah ber
diri sesosok tubuh yang tak lain dari PUJA SANGARA.
Dialah orang yang sembunyi disisi mulut hutan tadi.
Mendelik mata laki-laki ini. Namun dia telah cabut
keris pusakanya dari balik punggung. Tanpa ayal lagi
dia telah menerjang diiringi bentakan.
"Puja Sangara! kaulah yang segera akan pergi ke
alam baka menyusul ayahmu!" Hebat serangan carik
Kartomarmo alias Lindu Songo ini. Serangan keris pu-
sakanya bertubi-tubi mengirim tusukan maut ke arah
lawannya. Seolah-olah tubuh Puja Sangara terbungkus
oleh sinar hijau yang mengurungnya. Hingga sukar
bagi laki-laki itu meloloskan diri.
Namun laki-laki itu dengan tangkas berkelebat ke-
sana-kemari menghindari gencarnya tusukan senjata
lawan. Bahkan dengan menggerung keras tubuh Puja
Sangara mendadak telah berubah menjadi besar dan
dihadapan carik itu bukan lagi Puja Sangara, melain-
kan seekor makhluk yang mirip gorila yang begitu me-
nyeramkan.
Terkejut Lindu Songo. Namun bibirnya segera ber-
kemak-kemik membaca mantera. Mendadak tubuh la-
ki-laki ini telah berubah menjadi sebentuk asap. Asap
itu membumbung lenyap. Tentu saja membuat sang
gorila seperti terheran karena kehilangan buruannya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Pamoksa.
"Lindu Songo pengecut!! tampakkan dirimu!" Ka-
kek itu ternyata telah berada ditempat itu. Melihat ke-
datangan Pamoksa, Puja Sangara segera berkata.
"Dia sudah kabur, guru! Hehehe... hahaha... dia
pintar dan licik. sedangkan kau dan aku tolol! Haha-
ha... tolol! Dan yang paling tolol adalah kau si tua
bangka! Ilmu-ilmumu tak mampu untuk berbuat apa-
apa...!
"Bocah keparat!" bentakan keras Pamoksa seperti
menggelarkan tanah.
Detik itu juga lengannya bergerak menghantam ke
arah Puja Sangara. Sukar untuk diduga kalau kakek
itu bertindak demikian Tanpa ampun lagi terdengarlah
suara berderaknya tulang kepala. Dan detik berikut-
nya tubuh laki-laki itu roboh ke tanah. Darah memun-
crat bercampur otak. Seketika itu juga nyawa Puja
Sangara langsung melayang ke alam baka.
Pamoksa menatap tubuh sang muridnya dengan
dada turun naik. Jelas kalau kakek ini amat tersing-
gung mendengar kata-kata sang murid. Agaknya me-
mang sudah hari naas Puja Sangara harus tewas di-
tangan gurunya sendiri akibat otaknya yang tidak wa-
ras.
"Lebih baik kau mati! kukira itu jalan terbaik ba-
gimu bocah! Dari pada kau hidup dengan otak sinting!
Salahmu! kau melanggar pantangan mempergunakan
ilmu itu!"
Setelah berkata demikian, kakek inipun berkelebat
pergi dari tempat itu.
***
Kemunculan Pamoksa digedung kadipatian telah
membuat gempar para prajurit kedipatian. Tentu saja
karena sebelah lengan kakek ini mencekal tengkuk
seorang tamtama yang kepalanya telah terkulai karena
lehernya patah. Tak seorangpun dari para prajurit
yang berani mendekati. Mereka cuma mengurung si
kakek menyeramkan ini dari jarak yang agak jauh.
Melihat demikian tiga orang kepala prajurit me-
lompat ke arah Pamoksa. Tiga laki-laki ini langsung
mencabut masing-masing senjatanya. Salah seorang
membentak keras.
"Manusia tua bangka manakah yang berani bikin
onar disini?"
"Kakek yang sudah dekat liang kubur! apakah kau
mencari mampus?!" bentak pula seorang dari kepala
prajurit itu. Akan tetapi si kakek Cuma mendengus.
Lengannya bergerak, dan... Krraak! putuslah buah ke-
pala prajurit yang dicekal tengkuknya itu. Darah me-
mancur deras. Blug! batang tubuh prajurit yang sial
itu dilemparkan dihadapan ketiga orang kepala prajurit
itu. Sedangkan sebelah lengannya masing mencekal
buah kepala prajurit itu yang dicengkeram rambutnya.
Melihat kekejian kakek tua yang entah dari mana
munculnya itu dan entah kesalahan apa si prajurit sial
penjaga pintu itu hingga menemui ajal ditangan si ka-
kek, ketiga kepala prajurit itu membeliakkan mata.
Dan serentak mereka telah menerjang dengan masing-
masing senjatanya.
Akan tetapi apa yang terjadi? Sekali si kakek men-
gibaskan lengannya terdengarlah jeritan-jeritan me-
nyayat hati dibarengi dengan terlemparnya tiga tubuh
kepala prajurit itu. Dalam waktu cuma sekejap mata
ketiga orang kedipatian itu telah menggeletak tak ber-
nyawa, sementara senjata-senjata mereka terlempar
entah kemana.
Puluhan tamtama berteriak kaget. Wajah-wajah
mereka menjadi pucat tak berdarah. Mereka mundur
beberapa belas langkah. Terkejut Adipati Rekso Seto
melihat siapa yang telah muncul dan membuat kericu-
han di gedung Kedipatian. Tersentak dia mengetahui
tiga orang kepala prajurit yang kepandaiannya tak da-
pat dikatakan rendah telah berkaparan tak bernyawa
dengan tulang dada remuk.
Akan tetapi Adipati Rekso Seto segera menampak-
kan senyum menyeringai diwajahnya. Bibirnya mengguman lirih. "Bagus! untuk mendapatkan ikan besar
memang harus mengorbankan ikan-ikan kecil sebagai
umpan. Si Pamoksa ini bisa ku peralat untuk menjadi
orangku! hehehe... Dan tak ayal lagi dia telah me-
lompat keluar dari dalam ruang pendopo.
"Haiih! kiranya kakek Pamoksa! Apakah yang ter-
jadi, sahabat? Kukira telah terjadi kesalahan paham.
Kuharap anda dapat memaafkan sikap para tamtama-
ku yang tak mengadakan penyambutan terhadap anda
sobat Pamoksa!" berkata Adipati Rekso Seto dengan
menjura. Lalu berpaling pada para prajuritnya.
"Hei! Mengapa kalian bersikap bermusuhan pada
sahabat dan orang sendiri? Hayo, lekas kalian singkir-
kan tiga mayat itu!" teriak Adipati Rekso Seto. Para
prajurit Kedipatian itu tentu saja melengak heran. Na-
mun segera mereka menjalankan perintah. Belasan
orang lepaskan senjatanya dan bergerak cepat menggo-
tong mayat-mayat ketiga kepala prajurit itu termasuk
batang tubuh tanpa kepala si prajurit sial.
Lalu dengan menjura setelah mayat-mayat yang
berkaparan itu digotong pergi, Adipati Rekso Seto
kembali menjura.
"Maafkan sikap penyambutan kami yang kurang
ajar, sahabat Pamoksa. Selamat datang kami ucapkan
pada anda, dan ada prihal apakah maksud kedatangan
sahabat Pamoksa kemari?" berkata ramah Adipati
Rekso Seto.
"Heh? 10 tahun aku dikurung dalam penjara ba-
wah tanah adalah akibat pitnah keji yang dilakukan
Lindu Songo dan kau sendiri! Kedatanganku adalah
untuk mengambil nyawa mu! karena kau termasuk
komplotan manusia pengacau yang harus dile-
nyapkan!" berkata Pamoksa dengan menggereng dan
mata menatap tajam seperti mau menembus jantung
sang Adipati.
Tersentak kaget Adipati Rekso Seto, tapi tak ken-
tara pada raut mukanya. Namun kakinya tak terasa te-
lah menyurut mundur selangkah.
"Ah, sabarlah dulu sobat Pamoksa...!" cepat-cepat
dia berkata. "Anda jangan salah pengertian. Mengenai
perihal peristiwa lalu itu aku tak mencampuri urusan.
Semua itu adalah perbuatan Lindu Songo atau Carik
Kartomarmo. Kita telah kena pitnah keji, sobat Pamok-
sa. Kau lihat sendiri keadaanku. Bukankah aku tak
semewah Kartomarmo. Dan siapakah sebenarnya Lin-
du Songo alias Kartomarmo itu kau belum mengetahui.
Dialah seorang tokoh hitam yang berasal dari tenggara!
Julukan dia sebelum menjadi orang kerajaan dan ma-
sih menjadi orang Rimba Hijau adalah si Tangan Besi!
Dia telah mengadu-domba kita! Apakah kau tak me-
nyadari?"
Mendengar kata-kata Adipati Rekso Seto, kakek ini
tercenung beberapa saat. Hatinya ragu setengah mem-
percayai kata-kata itu tapi setengahnya tidak. Kebim-
bangan itu nampak jelas oleh Adipati Rekso Seto. Ce-
pat-cepat dia menyambungnya.
"Aku orang kerajaan yang hanya menjalankan tu-
gas kerajaan dengan jujur. Aku sendiri akan membe-
kuk manusia itu yang telah mencemarkan nama baik-
ku. Kalau kau tak percaya kata-kataku, baiknya beri-
kan waktu buat aku membekuk manusia itu agar
mengaku dihadapanmu! Dan kau boleh memenggal ba-
tang lehernya setelah kau dengar sendiri pengakuan-
nya!"
Kata-kata Adipati Rekso Seto yang tegas membuat
Pamoksa membanting kepala prajurit yang tercekal di-
lengannya hingga hancur amblas terbenam ditanah.
"Aku sendiri yang akan membekuk dan memotes
batang leher manusia keparat itu! Karena ulahnya pu-
la aku telah terlepas tangan membunuh muridku sen-
diri!" menggembor gusar Pamoksa. Rahangnya meng-
gembung dan urat-urat lehernya bergerak-gerak me-
nahan kemarahan.
"Bagus! Tapi sebaiknya sobat Pamoksa beristirahat
dulu ditempat kami. Oh, ya boleh aku tahu siapa ge-
rangan muridmu itu!" tanya Adipati.
"Hm, dia seorang laki-laki muda bernama Puja
Sangara. Dari dia pulalah aku banyak mengetahui pe-
rihal keadaan dan kejadian di Kota Raja ini!" Menyahut
Pamoksa. Terhenyak Adipati Rekso Seto mengetahui
hal itu. Diam-diam hatinya bergirang karena telah le-
nyap orang yang menjadi penghalang yang bisa meru-
sak namanya. Kematian Puja Sangara adalah satu
keuntungan bagi Adipati Rekso Seto, karena dengan
demikian sulit mencari saksi perbuatannya bila kelak
perihal peristiwa ini diketahui raja.
Adipati ini manggut-manggut dan nampak ikut
prihatin dengan musibah yang menimpa Pamoksa. Wa-
lau diam-diam hatinya bergidig seram, bagaimana bisa
Pamoksa melepaskan diri dan dalam keadaan masih
hidup setelah terkurung hampir sepuluh tahun di-
ruang penjara bawah tanah? Bahkan kini muncul den-
gan ilmu yang sedemikian tinggi. Dia sendiri bila diuji
untuk bertarung melawan tiga pengawal yang telah di-
bunuh Pamoksa rasanya sukar untuk merobohkannya.
Tapi si kakek ini cuma dalam waktu sekejap mata te-
lah membuat nyawa ketiga orang pengawal berkepan-
daian tinggi bawahannya itu melayang ke akhirat!
Dengan upaya serta bujukan dan penyambutan
Adipati Rekso Seto yang ramah tamah, maka luluhlah
kemarahan Pamoksa. Kakek ini tak menolak ajakan
Adipati Rekso Seto untuk singgah di gedung Kedipatian.
***
MALAM PURNAMA yang dinantikan Roro hampir
tiba. Gadis pendekar yang sejak senja tadi duduk ter-
mangu di depan pura segera bangkit
berdiri. Beberapa kejadian telah diikuti Roro dan
diketahui setelah dia berkeliling Kota Raja, yaitu telah
digulungnya komplotan rahasia orang-orangnya Adipa-
ti Rekso Seto oleh para perwira kerajaan dibawah pim-
pinan Ki Patih GAJAH SORA. Adapun Adipati Rekso
Seto kedapatan telah tewas dengan batok kepala re-
muk di pintu pendopo Kedipatian tanpa diketahui sia-
pa pembunuhnya. Dan lenyapnya PAMOKSA yang tak
diketahui kemana perginya. Hal itu dilaporkan oleh pa-
ra tamtama yang mengetahui kakek tua yang menye-
ramkan itu setelah menjadi tamu Adipati Rekso Seto
digedung Kedipatian.
Dapat diduga si pembunuhnya adalah Pamoksa
sendiri! Namun amat disayangkan kakek itu tak un-
jukkan diri, sedangkan Roro yang mengikuti jalannya
penyergapan ke gedung Kedipatian dengan sembunyi-
sembunyi mengharapkan pertemuan dengan tokoh
aneh itu. Karena ingin mengetahui siapa adanya kakek
yang dapat bertahan hidup selama hampir sepuluh ta-
hun di penjara bawah tanah.
Kemelut di kerajaan kecil itu memang belum selu-
ruhnya tuntas. Karena tokoh utama dan beberapa
orang yang terlibat dalam peristiwa itu masih belum
ditangkap. Terutama Carik Kartomarmo dan si Ninja
Edan Lengan Tunggal. Yang membuat penasaran Roro
adalah terlibatnya Joko Sangit dalam kemelut itu.
Hingga dia harus bersabar untuk menunggu datang
nya malam purnama dimana dia telah di undang oleh
si Ninja Edan Lengan Tunggal untuk datang ke lembah
padang Alang-Alang.
Setelah menghela napas, tampak Roro beranjak
menuruni tangga undakan dari batu itu. Pandangan-
nya diarahkan ke langit dengan menengadah. Bibirnya
bergerak mengeluarkan suara menggumam.
"Sudah tiba waktunya!"
Dan seiring dengan suara bergumam itu, tubuh
Roro Centil segera saja berkelebat ke arah depan. Se-
lanjutnya dalam beberapa kejap saja telah lenyap ter-
halang bukit yang menjulur ke arah hutan.
DUA MANUSIA yang serupa baik pakaian maupun
perawakannya membuat Roro Centil tertegun meman-
dang. Kedua sosok tubuh itu saling berhadapan da-
lam jarak antara sembilan atau sepuluh langkah.
Keduanya adalah si Ninja Edan Lengan Tunggal
yang tak diketahui mana yang asli di mana yang palsu.
Angin malam berhembus menerpa rumput ilalang
menimbulkan suara berkrosakan. Kedua laki-laki yang
sama mengenakan topeng itu masih tetap berdiri tak
bergeming. Cahaya purnama menerangi tempat itu,
seperti menjadi saksi akan terjadinya satu pertarungan
hebat yang bakal meminta korban jika dan pertumpa-
han darah Roro pentang mata hampir tak berkedip da-
ri tempat berdirinya di atas batu pada sisi bukit kecil
disisi lembah. Tempat yang cukup dekat untuk me-
nyaksikan pertarungan yang sebentar lagi bakal ber-
langsung.
"Hahaha... apakah kau sudah siap, sobat Ninja
Edan Lengan Tunggal?" salah seorang dari kedua "Nin-
ja" itu berkata.
"Hm, Aku sudah siap untuk mengirim nyawamu
ke Akhirat, Ninja Palsu!" membentak Ninja yang satu
dan jurus pukulan yang serupa. Hingga sulit untuk
mengetahui yang mana Joko Sangit dan mana Ninja
palsu yang menyamar sebagai dirinya.
Tiba-tiba salah seorang merobah gerakan. Tubuh-
nya mencelat setinggi enam tombak. Kedua lengannya
terpentang membuat gerakan memutar. Mendadak tu-
buhnya menukik dengan gerakan menyambar laksana
elang. Tersentak Roro. Itulah jurus Rajawali Menyam-
bar Mangsa, salah satu jurus si kakek pendekar Gen-
tayangan Ki Jagur Wedha. Roro pentang mata tak ber-
kedip. Dia yakin sekali itulah Joko Sangit.
Apakah yang akan dilakukan oleh lawan mengha-
dapi serangan yang telah diketahui kehebatannya itu?
Ternyata dengan perdengarkan teriakan mengge-
ma Ninja yang berada di bawah secepat kilat bergulin-
gan. Dan... serrrrrrr!
Ratusan jarum halus terlontar ke arah Ninja yang
diperkirakan Roro adalah Joko Sangit itu.
"Keparat!" membentak Ninja itu. Mendadak pedang
Samurainya digerakkan berputar. Sebelah lengannya
mengibas. Punahlah serangan ratusan jarum maut itu
meluruk kembali ke arah si penyerangnya, sebagian
lagi buyar! Hebat Ninja itu dengan gerakan kilat dia te-
lah totol ujung kakinya ke tanah Tubuhnya melam-
bung ke atas. Serangan balik itu lolos! Kini dialah yang
berada di atas. Dengan gerakan mendadak pedang
Samurainya tiba-tiba meluncur deras menabas deras
ke arah leher Joko Sangit.
Tebasan maut itu memang diluar dugaan Joko
Sangit. Namun di detik itu dimana beberapa inci lagi
ujung Samurai mendekati kulit leher Ninja yang diper-
kirakan Joko Sangit itu mendadak secercah kilatan
meluncur.
Trakkk!
Kilatan perak yang menyambar itu berasal dari
arah Roro yang tegak berdiri menyaksikan pertarun-
gan. Terkejut Ninja itu mengetahui tiba-tiba ujung pe-
dang Samurainya patah! Dan selamatlah Joko Sangit
dari maut. Laki-laki Ninja itu jatuhkan tubuhnya ber-
gulingan. Saat yang baik itu ternyata dipergunakan
dengan baik untuk melontarkan pedangnya ke arah
Ninja lawannya.
Terdengarlah suara mengaduh. Dan... bruk! Tu-
buh Ninja lawannya roboh direrumputan alang-alang.
"Kena!" teriak Ninja ini yang sudah jelas dialah Jo-
ko Sangit. Dia telah melompat untuk memburu dengan
mempersiapkan pukulan yang akan mengakhiri ri-
wayat hidup lawannya.
Akan Tetapi mendadak... Bhusssss! Tubuh Ninja
itu mendadak lenyap terbungkus asap hitam.
Roro yang barusan membantu Joko Sangit dengan
melemparkan kepingan uang logamnya telah bergirang
karena sebentar lagi akan tersingkap siapa adanya
Ninja yang menyamar itu. Akan tetapi diapun terpe-
rangah dan kecewa karena sang Ninja misterius itupun
mendadak lenyap.
Joko Sangit yang berdiri tegak dengan sikap was-
pada itu mendadak gerakkan lengannya membuka to-
peng. Segera rambutnya yang gondrong terurai. Ca-
haya purnama yang terang benderang tak meragukan
Roro lagi kalau laki-laki itu adalah Joko Sangit.
Roro Centil terperangah memandang wajahnya
berseri girang.
Pada saat itu tiba-tiba... Bhusssss! Tepat di bela-
kang Joko Sangit terjadi kepulan asap hitam. Dan ke-
tika asap lenyap segera tampak sosok tubuh si manu-
sia Ninja berdiri dalam keadaan limbung. Di dada se-
belah kirinya tertancap pedang Samurai yang tadi di
lontarkan Joko Sangit. Plash! Brett!
Laki-laki yang terluka itu telah membuka topeng
penutup wajah dan merobek lengan jubahnya. Membe-
lalak mata Roro melihat siapa adanya laki-laki Ninja
itu, yang tak lain dari Carik KARTOMARMO. Dan ter-
nyata sebelah lengan carik tua ini tidaklah kutung se-
perti halnya si Ninja Edan Lengan Tunggal. Sebelah
lengan carik Kartomarmo hanya ditutupi lengan jubah
yang menjuntai.
BUK!
Tahu-tahu sebelah lengan Kartomarmo alias Lindu
Songo ini telah mulur memanjang menghantam dada
Joko Sangit yang tak sempat dielakkan lagi. Terdengar
teriakan Joko Sangit disertai terlemparnya tubuh laki-
laki Ninja itu.
"Manusia licik!" membentak Roro. Tubuhnya ber-
kelebat ke arah Lindu Songo. Dan sekali lengannya
bergerak terlemparlah tubuh manusia Ninja palsu itu
berguling-guling. Roro kertak gigi dan melesat untuk
memburu. Tapi diluar dugaan lengan Lindu Songo
kembali meluncur menyongsongnya.
Trang!
Terdengar suara beradunya dua buah benda. Roro
dengan gesit telah menyambutnya dengan senjata Ran-
tai Genit yang tahu-tahu telah berada ditangannya.
Terkejut Roro. Jelaslah kalau sebelah tangan Lindu
Songo itu terbuat dari besi. Belum lagi Roro sadar dari
terkejut, mendadak dia telah diserang hebat oleh laki-
laki itu yang telah mencabut pedang Samurai yang ter-
tancap didadanya untuk menyerang Roro. Serangan-
serangan gencar itu juga dibarengi pukulan-pukulan
dahsyat bertenaga dalam yang bertubi-tubi meluruk ke
arah Roro.
Namun dengan mempergunakan Ilmu tarian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro berhasil menghindari se-
rangan yang menggebu-gebu itu.
Diam-diam Roro membatin dalam hati. "Heh!? jadi
dia inilah si manusia yang menamakan dirinya si Tan-
gan Besi itu?"
Tiba-tiba Roro sambar pergelangan tangan orang
yang menusuk dengan pedang Samurai itu. Kraaak!
Sekali lengan Roro bergerak, patahlah tulang lengan
Kartomarmo. Laki-laki ini menjerit dan roboh terkulai.
Cepat Roro menjambak rambutnya seraya membentak.
"Hei! manusia busuk! apa maksudmu meniru si
Brewok Lengan Tunggal?" Laki-laki tua ini tertawa me-
nyeringai putus asa.
"Hehehe... Aku tak mau ada dua NINJA. Aku ada-
lah pewaris ilmu Ninja kakek MATSUI. Kitab yang dipe-
lajari Joko Sangit kawanmu itu ku temukan di suatu
tempat dan ku pelajari!" berkata Kartomarmo alias
Lindu Songo.
"Bukankah kau si Tangan Besi?" bentak Roro.
"Hehe... benar! aku... sssi... Tangan Be...si!" me-
nyahut Lindu Songo dengan mata yang semakin mem-
beliak. Tapi mulutnya menyeringai tertawa walau se-
benarnya laki-laki itu sudah merasakan maut siap
menjemput nyawanya.
"Bedebah!" memaki Roro. Lengannya bergerak
menghempaskan tubuh Kartomarmo ke tanah.
Praak! Buah kepala laki-laki itu menghantam ke-
ras bongkah batu. Sejenak tubuh laki-laki itu mengge-
liat. Namun sekejap segera terkulai tak bergerak lagi.
Nyawanya telah melayang ke Akhirat!
Ketika Roro balikkan tubuh untuk melihat bagai-
mana keadaan Joko Sangit ternyata dia tak melihat
sepotong tubuhpun berada di tempat itu.
"Joko Sangit...!" teriak Roro.
"Joko Sangitttttt!" Kembali Roro berteriak meme-
cahkan keheningan. Tapi hanya suaranya saja yang
berpantulan lagi menggema di telinganya.
"Joko! ah, Joko...! maafkan aku...! Aku telah me-
nuduhmu sebagai seorang penjahat!" keluh Roro den-
gan air muka trenyuh. Kedua bola mata dara ini tam-
pak berkaca-kaca.
Dan sebelum air bening itu meluncur turun mem-
basahi pipinya, sosok tubuh dara ini telah berkelebat
diiringi suara memekik panjang. Pekik yang merupa-
kan gejolak dari perasaan kecewa. Selanjutnya dalam
beberapa kejap saja bayangan tubuh dara Pantai Sela-
tan itupun lenyap di atas lembah.
Rembulan masih menampakkan sinarnya di langit
yang hitam. Bintang-bintang gemerlapan mengelilin-
ginya. Keheningan pun mengembara di sekitar lembah
padang Alang-alang, dimana sesosok mayat terkapar
membisu. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara
burung hantu menyelingi desahan angin malam yang
menyibak pepohonan...
TAMAT