..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label RORO CENTIL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RORO CENTIL. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Juni 2025

NINJA EDAN LENGAN TUNGGAL

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

SATU


RADEN MAS BEI KARTOMARMO duduk di kursi 

goyang berukir itu dengan mata terpejam-pejam. Se-

bentar-sebentar dia menghisap pipanya, dan meng-

hembuskan asap tembakau yang mengeluarkan suara 

mendesis.

Tubuhnya bergoyang-goyang dan kepalanya te-

rangguk-angguk mengikuti alunan kursi yang ber-

goyang. Tampaknya orang tua yang usianya sudah 

menjelang 50 tahun ini sedang menikmati acara san-

tainya diruang pendopo gedungnya yang besar dan 

luas.

Nama julukan Raden Mas Bei Kartomarmo adalah 

nama terhormat yang diberikan penduduk desa Blam-

bangan. Bukan saja dia sebagai seorang Carik Desa, 

akan tetapi juga seorang hartawan kaya raya yang 

mendiami wilayah itu. Pantaslah kalau Raden Mas Bei 

Kartomarmo bisa menggaji belasan orang pegawai dan 

dapat duduk berleha-leha sedemikian rupa. Karena ti-

daklah dia begitu memusingkan urusan hidup. Hari 

itu.....

Seorang pegawainya menghampiri Raden Mas Bei 

Kartomarmo dengan langkah tergesa-gesa.

"Raden Mas Bei... maaf hamba mengganggu..." 

berkata pegawai laki-laki ini dengan tubuh membung-

kuk-bungkuk di hadapan Raden Mas Bei Kartomarmo. 

Laki-laki tua yang berjenggot cuma sejumput tanpa 

kumis ini membuka matanya. Dia memang telah men-

dengar suara langkah mendekat. Bahkan telah tahu 

siapa yang datang, dengan mengintip dari celah kelo-

pak matanya yang setengah terpejam.

"Ada apa Gembeng, kau menghadapku?" ta

nyanya. Pegawai laki-laki bernama Gembeng itu mem-

bungkukkan tubuhnya dalam-dalam. "Maaf, Raden 

Mas Bei, hamba mengganggu istirahat Raden...!" ucap 

Gembeng sekali lagi.

Bicaranya amat sopan dan amat hormat serta ha-

ti-hati.

"Hm, tak apa. Katakan maksudmu, Gembeng! Apa 

kau perlu uang? Kulihat sudah dua bulan kau tak pu-

lang menemui anak istrimu!" berkata sang majikan.

"Ah, memang hamba amat memerlukannya, Ra-

den. Hamba memang sudah sangat rindu untuk me-

nemui anak-anak" menyahut Gembeng yang tak me-

nyangka akan mendapat tawaran sebaik itu. Padahal 

maksudnya bukan untuk itu. Tapi cepat-cepat dia me-

nyambung kata-katanya. "Selain itu, kedatangan ham-

ba kemari juga bermaksud mengantarkan surat ini, 

dari... dari Kanjeng

Adipati!" Gembeng keluarkan sepucuk surat dari 

saku bajunya. Lalu serahkan benda itu pada Raden 

Mas Bei Kartomarmo.

"Surat dari Kanjeng Adipati?" tersentak Raden Mas 

Bei Kartomarmo. Seketika dia melompat berdiri dari 

kursi goyangnya. Lengannya menerima kertas lipatan 

ditangan Gembeng.

"Aneh!? tak biasanya dia menitipkan surat pada 

pegawai lain selain si gendut Sento?" berkata dalam 

hati Carik ini.

"Baik! aku terima! Hm, apakah kau tak melihat 

Sento? sudah beberapa hari aku tak melihat dia?" ta-

nyanya.

"Sento sakit, Raden Mas Bei...! Maksud hamba ju-

ga sekalian mau menjenguknya" sahut Gembeng men-

jelaskan.

"Sudah sejak kapan kau terima surat ini? dan siapa yang memberikan padamu?" tanya lagi

Raden Mas Bei Kartomarmo.

"Tentu saja dari... dari Sento, Den Bei.

Mengenai lamanya surat ini hamba tak mengeta-

hui" sahut Gembeng menjelaskan.

Carik desa ini kerutkan keningnya, namun dia 

manggut-manggut mendengar jawaban Gembeng.

"Bagaimana kau tahu kalau surat ini dari kanjeng 

Adipati?" tiba-tiba Raden Mas Bei Kartomarmo ber-

tanya lagi.

"Sento yang mengatakan pada hamba..." sahut 

Gembeng dengan mengusap dahinya yang berkeringat. 

Dia tak menyangka kalau akan mendapat banyak per-

tanyaan.

"Baiklah, Gembeng. Ini untukmu, dan kau boleh 

pulang!" ujar Raden Mas Bei Kartomarmo, seraya beri-

kan beberapa keping uang yang barusan di rogohnya 

dari saku bajunya. Lega hati Gembeng. Terbungkuk-

bungkuk dia menerima uang pinjaman itu dengan 

mengucapkan terimakasih.

"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk is-

tirahat?" tanya sang majikan. 

"Cukup hanya... dua hari saja, Den Bei..." sahut 

Gembeng.

Sebelum Gembeng melangkah keluar gedung sete-

lah mohon diri, Raden Mas Bei Kartomarmo berkata.

"Kuharap kau langsung saja menjenguk Sento. Ka-

lau dia sudah sehat, segera suruh menghadapku sece-

patnya!"

"Baik, Den...!" sahut Gembeng. Dan setelah mem-

bungkuk sekali lagi dia balikkan tubuhnya. Dan me-

langkah cepat keluar dari pendopo gedung. Tukang 

kebun merangkap penjaga gedung majikannya itu cu-

ma diberi anggukan kepala, lalu bergegas keluar dari


halaman rumah terindah ditengah desa itu.

Sepeninggal Gembeng, Kartomarmo membuka su-

rat dari Adipati itu.

Beberapa saat setelah membaca isi surat, tampak 

wajah Kartomarmo berubah.

"Aku diharuskan datang ke Puri Kuno malam nan-

ti...?" mendesis suara Den Mas Bei Kartomarmo, Se-

saat dia tercenung. Lalu melipat kertas, kemudian be-

ranjak masuk ke ruangan dalam.

***

Sementara Gembeng melangkah cepat ke arah ti-

mur desa. Di belokan yang rapat dengan semak belu-

kar dan jauh dari rumah penduduk, dia berhenti. Se-

sosok tubuh keluar dari balik semak belukar.

Gembeng melihat ke kiri dan kanan seperti khawa-

tir ada yang mengetahui. Lalu menyelinap masuk ke 

semak, dan berbisik-bisik pada laki-laki yang barusan 

menampakkan tubuhnya. Entah apa yang dibicarakan. 

Yang terdengar cuma suara laki-laki berpakaian sing-

sat warna hitam itu berkata.

"Bagus! mari kita beri laporan pada Raden Puja 

Sangara!" Gembeng mengangguk.

Tak lama kedua orang itu dengan berindap-indap 

menelusuri semak belukar, dan lenyap di balik hutan.

Sebuah tempat rahasia di dalam hutan yang tam-

paknya sukar diketemukan orang karena pondokan 

beratap alang-alang itu tertutup rapat oleh pepohonan 

dan terletak disisi sungai terapit oleh sebuah bukit. 

Ternyata di dalam pondok itu terdapat beberapa orang 

berpakaian serba hitam. Tampak seorang laki-laki mu-

da berusia sekitar 20 tahun berpakaian serba putih. 

Berambut gondrong, dengan ikat kepala warna hitam.


Dialah orang yang bernama Raden Puja Sengara.

Siapakah adanya laki-laki ini? Mari kita ikuti 

pembicaraan mereka.

"Apakah rencana Ketua akan berhasil menyuruh 

Kartomarmo mendatangi Puri kuno malam nanti?" ber-

tanya salah seorang berpakaian hitam

Laki-laki jembros ini bernama Gudri. Dia orang 

kepercayaan yang sekaligus menjadi tangan kanan Ra-

den Puja Sengara.

"Hm, kita lihat saja nanti. Sekarang kita tunggu 

hasil kerja Gembeng yang mengantarkan surat palsu 

dari Adipati Renggo Seto!" Sahut Puja Sengara.

"Baiknya kau bawa kehadapan ku, si gendut Sento 

kemari!" sambung pemuda ini. "Baik, Raden!" sahut 

Gudri, yang segera bangkit berdiri. Gudri melangkah 

lebar ke belakang pondokan. Memasuki satu ruang 

yang lebar didapati seorang laki-laki gendut terikat di-

tiang kayu.

"Ayo, ikut aku menghadap Ketua ku!" berkata Gu-

dri seraya melepaskan ikatan di tangan Sento.

Nampak wajah Sento pucat pias. "Mau... mau di-

apakan aku...?

"Jangan banyak tanya babi gendut! ayo, jalan!" 

bentak Gudri menghardik. Sento tak dapat berbuat 

apa-apa selain segera melangkah, karena Gudri telah 

menggusurnya dengan kasar.

"Oh, nasibku..." mengguman Sento. Terbayang se-

saat dimata laki-laki gendut ini ketika dua hari yang 

lalu tengah malam beberapa orang bertopeng menya-

troni rumahnya, sesaat setelah dia menerima surat da-

ri Adipati Renggo Seto untuk diserahkan pada Carik 

Raden Mas Kartomarmo.

***


DUA

Sento memang orang kepercayaan Raden Mas Kar-

tomarmo. Tak heran kalau rumahnya besar, dan tam-

paknya dia hidup berkecukupan dengan anak istrinya. 

Bahkan dialah orang yang menjadi perantara Adipati 

Renggo Seto bila akan menghubungi Carik itu. Adipati 

Renggo Seto setiap datang selalu pada malam hari, 

dengan menyamar. Tentu saja agar tindakan raha-

sianya tak diketahui orang. Akan tetapi sepeninggal 

Adipati itu, rumahnya di datangi beberapa orang ber-

ropeng yang meringkusnya. dia tak mampu berteriak 

karena golok tajam telah menempel dileher. Gerakan 

mereka tak menimbulkan suara, pertanda orang-orang 

bertopeng itu mempunyai ilmu yang tinggi. Entah den-

gan cara bagaimana mereka bisa masuk ke dalam ru-

mahnya, istrinya yang terbangun dibekap mulutnya la-

lu disumpal dengan kain. Hingga dapat memandangi 

suaminya yang digondol pergi oleh penculik-penculik 

itu, setelah memaksa menunjukkan surat dari Adipati.

"Berani kau berteriak, kubunuh kau! Awas! jangan 

kau ceritakan pada siapa-siapa tentang suamimu. Ka-

takan saja dia pergi ke desa lain! Jangan khawatir, la-

kimu akan terjamin keselamatannya bila kau tak buka 

mulut!" mengancam laki-laki bertopeng itu setelah me-

lepaskan sumbatan dimulut istri Sento. Perempuan itu 

cuma mengangguk-angguk.

Dan beberapa saat setelah beberapa orang berto-

peng itu lenyap dikegelapan malam, wanita itu cuma 

bisa menangis terisak-isak. Tak tahu dia kesalahan 

apakah yang membuat suaminya diculik komplotan 

orang bertopeng itu. Sento tahu jelas kalau laki-laki 

brewok bernama Gudri inilah yang telah mengancam

istrinya itu. Bahkan selama dalam perjalanan tak hen-

tinya Gudri menyiksanya, menendang dan memukul.

"Enak kau ya? Sering dapat hadiah dari Adipati 

dan Carik.

Sama saja kau telah membantu komplotan terse-

lubung yang merusak wibawa Kerajaan! Dan bahkan 

merusak serta merongrong pemerintahan.

Kelak bila kami telah berhasil menggulung dan 

membuka selubung mereka, kau bisa terlibat. Dan tali 

gantungan siap menggantung lehermu!" bentak si be-

rewok Gudri.

"Hah!? aku tak tahu menahu hal itu!" aku hanya 

mengantar surat dari Adipati tanpa membaca isinya!" 

sahut Sento meringis-ringis menahan sakit pada pan-

tatnya yang kena tendang.

"Dusta!" Plak! Lengan Gudri telah melayang me-

nampar pipi laki-laki gendut itu hingga membekas me-

rah. Sento mengaduh kesakitan. Tapi dia tak dapat 

berbuat apa-apa selain pasrah pada nasib. "Duduklah, 

Sento!" berkata pemuda dihadapannya yang mengena-

kan topeng hitam membungkus wajahnya. Pemuda itu 

tak lain dari Puja Sangara. Mata Sento sekilas menatap 

pada laki-laki itu, lalu menunduk dengan hati kebat-

kebit.

"Apakah kau tetap membungkam mulut, tak mau 

membeberkan rahasia hubungan Adipati Renggo Seto 

dengan Carik Kartomarmo?" berkata Puja Sangara 

dengan suara datar.

"Am... ampun gusti raden... hamba... hamba be-

nar-benar tak tahu menahu dengan urusan beliau..." 

menyahut Sento dengan tergagap. Wajahnya sejak tadi 

sudah pucat pasi karena takutnya.

"Kau berani bersumpah?" tanya sang Ketua komplotan itu.



"Sungguh mati, gusti raden...! Hamba tak tahu 

apa-apa..."

Puja Sangara terdiam sejurus. Matanya menatap 

pada Sento yang gemetaran dengan keluarkan keringat 

dingin disekujur tubuh.

"Baik! Baiklah...! kau kubebaskan!" berkata Puja 

Sangara. Seperti mimpi disiang hari rasanya Sento 

mendengar kata-kata itu seolah dia tak percaya.

"Oh, hamba... hamba dibebaskan, gusti raden? 

Oh, te... terima kasih.....! terima kasih, gusti raden!" 

berkata Sento terbata-bata dengan kegirangan yang 

luar biasa. Tak ayal dia sudah jatuhkan tubuhnya me-

nyembah laki-laki dihadapannya itu, dengan ucapkan 

terimakasih berkali-kali. Sementara beberapa orang 

anak buah Puja Sangara termasuk Gudri saling pan-

dang sesama kawannya, tanpa berkata apa-apa.

"Gudri! kau antarkan dia kebatas desa!" ujar Puja 

Sangara dengan berpaling pada Gudri. Lengan laki-laki 

ini bergerak memberi kode dengan Ibu jarinya serta 

kedipan mata pada Gudri. Tahulah Gudri apa yang ha-

rus dia lakukan.

"Baik, Ketua...! perintah akan hamba lakukan!" 

menyahut Gudri. Lalu berdiri seraya menepuk-nepuk 

pundak Sento. "Marilah Sento! Nasibmu baik! Kau bisa 

berjumpa lagi dengan anak istrimu!" berkata Gudri 

yang membimbing Sento bangun dari duduknya.

"Tentu saja dengan syarat!" berkata Puja Sangara. 

"kau tak akan membuka mulut dan menceritakan apa-

apa tentang semua ini. Jaminannya adalah nyawamu!"

"Tentu...! tentu, gusti raden. Hamba berjanji..." 

sahut Sento dengan wajah berseri. Lalu dengan ter-

bungkuk-bungkuk dia menjura pada Puja Sangara. 

Gudri segera mendorongnya untuk segera keluar dari 

pondokan rahasia itu.


Langkah Sento semakin cepat ketika mereka telah 

keluar dari dalam hutan dengan melalui jalan yang 

berliku-liku. Hingga tersembul di perbatasan desa. Ka-

ki Sento berhenti melangkah. Lalu menoleh pada Gudri 

dibelakangnya. "Cukuplah sampai disini saja kau 

mengantarku, sobat Gudri. Dan terimakasih atas ke-

baikanmu mengantar ku..." berkata Sento.

"Ya, ya..... terimakasih kembali! Semoga kau dapat 

menjaga mulut, demi keselamatan nyawamu!" ujar 

Gudri tersenyum. Sento manggut-manggut seraya ber-

kata. "Akan kuingat selalu pesan itu, sobat Gudri...!"

Setelah mengangguk sekali lagi, Sento balikkan 

tubuhnya untuk segera bergegas melangkah menuju 

ke arah desa.

Tempat itu telah dikenalnya, hingga untuk menuju 

ke desa Wlingi tak jauh lagi. Gudripun balikkan tu-

buhnya untuk kembali memasuki hutan. Akan tetapi 

setelah tiba dibelokan jalan setapak, Gudri menyeli-

nap.

Sento terus mempercepat langkahnya. Dia mulai 

merasakan hatinya tak enak seperti bakal terjadi sesu-

atu dengan dirinya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke 

belakang. Gudri memang sudah tak tampak lagi. Su-

dah kembali ke dalam hutan. Tepat diujung mulut de-

sa, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat muncul dihada-

pannya. Tersirap darah Sento ketika melihat Gudri 

berdiri menyeringai dihadapannya dengan menghunus 

golok yang berkilatan.

"Hehehe... Sento! Jangan terkejut. Karena seben-

tar lagi nyawamu akan melayang. Segeralah berdo'a 

sebelum kau berangkat ke Akhirat!" Suara Gudri se-

perti terdengar Sento bagai mendengar petir disiang 

hari. Seketika pucatlah wajah laki-laki gendut ini. Ka-

kinya melangkah mundur dua tindak. "Gudri! apa


maksudmu semua ini!" berkata Sento menggetar.

Akan tetapi kata-katanya ditutup dengan sabetan 

golok Gudri ke leher laki-laki gendut itu. Gerakan tak 

terduga itu dilakukan secepat kilat. Sento yang bertu-

buh gendut itu dan tak punya kepandaian apa-apa tak 

dapat mengelakkan diri lagi.

Des!

Darah memuncrat seketika. Dan tubuh Sento am-

bruk ke tanah berkelojotan dengan mengeluarkan sua-

ra bagaikan kerbau disembelih. Tak lama tubuh laki-

laki gendut itu terdiam tak berkutik. Nyawanya telah 

lepas keluar dari raganya. Gudri tersenyum menyerin-

gai. Lalu membersihkan darah yang melekat dimata 

goloknya kerumput. Dan masukkan lagi senjata pen-

cabut nyawa itu kedalam serangkanya lagi. Kemudian 

dengan cepat dia menyeret tubuh gendut itu kesemak 

belukar. Menimbunnya dengan ranting-ranting kayu, 

tak lama dia telah keluar lagi dari semak.

"Beres!" berdesis suara Gudri. Sesaat antaranya di 

telah kembali berkelebat dan menyelinap untuk kemu-

dian lenyap dikerimbunan pepohonan.

***

TIGA

DUA ORANG UTUSAN Puja Sangara telah tiba di-

pondokan rahasia itu. Tampak Gembeng menceritakan 

hasil usahanya memberikan surat kepada Carik Raden 

Mas Bei Kartomarmo.

"Bagus! Bersiap-siaplah! Seperti rencana semula 

segera kalian menuju ke Puri Kuno. Hari sudah menje-

lang tengah hari. Senja nanti kalian sudah siap ditem

pat persembunyian masing-masing. Sementara aku 

akan mengawasi keadaan diluar!" berkata Puja Sanga-

ra.

"Kita berangkat sekarang, Ketua?" bertanya Gudri.

"Ya! kau pimpinlah kawan-kawanmu. Tugas ini 

kuserahkan padamu untuk meringkus Carik itu. Akan 

tetapi ingat! Jangan sampai dia kehilangan nyawa. Dan 

tunggu sampai aku datang!" ujar laki-laki muda ini.

Serentak belasan orang-orang berpakaian serba 

hitam itu bergegas mengadakan persiapan. Dan tak 

lama telah berkelebatan menyelinap untuk menuju ke 

Puri Kuno dengan dipimpin oleh Gudri.

Puja Sangara menatap mereka dengan tersenyum. 

Tampaknya dia puas dengan apa yang telah direnca-

kannya. Pemuda ini melangkah masuk ke dalam pon-

dok. Lalu bantingkan tubuhnya dipembaringan bambu 

hingga berbunyi suara berderak. Dengan terlentang itu 

dia keluarkan sebuah kertas dari balik bajunya. Itulah 

surat asli dari Adipati Renggo Seto.

Surat itu bertulisan demikian.

"Carik Kartomarmo!

Hasil kerja orang-orangmu berhasil baik. Penyerga-

pan yang ku lakukan terpaksa menewaskan beberapa 

orang anak buahmu. Terpaksa, karena dalam penyer-

buan itu telah ikut serta anak Tumenggung KANIRAGA. 

Dia bernama PUJA SANGARA! Bocah muda itu amat 

berbahaya.

Tak ada jalan lain, selain melenyapkan dia secepat 

mungkin, sebelum rahasia bocor ke telinga Raja!

Atur rencanamu, dan segera hubungi aku melalui 

SENTO!

Tertanda: Adipati Renggo Seto


"Hm, Adipati keparat! kau takkan dapat membu-

nuhku! Bahkan akulah yang akan menghancurkanmu! 

Termasuk si Carik Kartomarmo. Kelak suatu saat sete-

lah terbukanya rahasia terselubung kalian!" berkata 

mengguman Puja Sangara. Lalu melipat kertas itu dan 

masukkan lagi ke celah bajunya. Pemuda inipun teng-

gelam dalam lamunannya.

Ternyata Puja Sangara adalah anak Tumenggung 

KANIRAGA yang baru saja turun gunung setelah tiga 

tahun berguru pada seorang tua pertapa kosen dipun-

cak Gunung CULA BADAK. Sebulan berada dirumah 

ayahnya. Sang ayah menyuruhnya menghadap Adipati 

Renggo Seto. Sebenarnya Puja Sangara tak berkeingi-

nan menjadi orang Kerajaan. Tapi karena mematuhi

perintah sang ayah, terpaksa dia menurut kehendak 

orang tuanya itu.

Dia diangkat oleh Adipati Renggo Seto menjadi 

seorang perwira Kerajaan, dengan pangkat Kepala Pra-

jurit, karena sangatlah tidak enak Adipati Renggo Seto 

pada Tumenggung Kaniraga kalau mengangkat Puja 

Sangara menjadi prajurit biasa. ditambah setelah diuji 

ternyata Puja Sangara cukup memadai untuk menjadi 

seorang kepala Prajurit. Disamping masih muda, juga 

berkepandaian tinggi.

Namun yang membuat Puja Sangara penasaran, 

adalah dia tak puas dengan sikap Adipati itu yang tak 

pernah memberi tugas dalam setiap kesempatan dalam 

menggulung kejahatan. Pendeknya pangkat Kepala 

Prajurit itu seperti tak berarti apa-apa. Puja Sangara 

seolah dirinya tak lebih dari seorang prajurit biasa.

"Apa artinya pangkatku, kalau terus menerus be-

gini?" pikirnya dalam hati pada waktu itu. Hingga ke-

mudian Puja Sangara mengadu pada ayahnya. Tu-

menggung Kaniraga segera menemui Adipati Renggo

Seto untuk membicarakan perihal anaknya. Puja San-

gara yang telah berniat keluar dari keprajuritan ter-

paksa batalkan niat karena dipanggil oleh Adipati 

Renggo Seto. Demikianlah, hingga dia ikut serta dalam 

melakukan penyergapan kesarang penjahat.

Dalam pertarungan itu dia berhasil menewaskan 

beberapa orang penjahat. Akan tetapi aneh! Dia tak 

mendapat tanggapan atau pujian dari Adipati. Bahkan 

para tamtama Kerajaan pada pasukannya kelihatan 

menjauhi dirinya.

Suatu ketika, dua hari setelah usai pertarungan 

dengan kemenangan pihak Kerajaan dan berhasil 

menggulung para perampok, dia terpanggil untuk men-

jalankan tugas dari Adipati Rekso Seto. Yaitu menyer-

bu komplotan penjahat yang berada dihutan KALIKI. 

Sebagai penunjuk jalan adalah WIRASANCA. Bekas 

seorang Kepala Prajurit yang diangkat menjadi tangan 

kanan Adipati Rekso Seto.

Ternyata perintah ini adalah jebakan atas dirinya, 

dan rencana busuk Adipati Renggo Seto untuk mele-

nyapkan jiwanya. Tengah malam ketika mereka beristi-

rahat ditepi hutan untuk mengadakan serangan kesa-

rang penjahat, terjadi serangan mendadak diluar du-

gaan.

Kemah mereka didatangi belasan orang berpa-

kaian serba hitam. Semua prajurit tertidur lelap, kecu-

ali dia yang masih duduk diperapian.

Terjadilah pertarungan seru! Puja Sangara harus 

berhadapan dengan enam orang berkepandaian tinggi 

yang mengincar nyawanya. Bahkan mendesaknya 

hingga menjauhi perkemahan. Puja Sangara merasa-

kan keanehan, karena tak seorangpun lasykarnya yang 

terbangun untuk memberi pertolongan membantunya. 

Serangan-serangan gencar harus dihadapinya seorang


diri.

Untunglah dalam pertarungan yang tak seimbang 

itu, Puja Sangara dibantu oleh seseorang yang tak di-

kenal. Orang itu muncul dan membantunya bertarung. 

Seorang dari para pengeroyok itu melarikan diri sete-

lah yang lainnya tewas.

Namun dia tak dapat berlari jauh, karena si peno-

long telah menotok tubuhnya. Sang penolong yang 

aneh dan misterius itu berkelebat lenyap tanpa tahu 

diketahui siapa adanya.

"Aneh!? siapakah gerangan orang yang memban-

tuku itu?" pikir Puja Sangara. Puja Sangara ternyata 

berotak cerdas. Dia tak membunuh lawannya. Karena 

kalau mau, mengapa si penolong tak membunuhnya 

sekaligus? Ketika Puja Sangara membuka topeng wa-

jahnya, ternyata dia tak lain dari WIRASANCA.

"Kau?" tersentak Puja Sangara. "Apa artinya se-

mua ini? katakanlah!" membentak Puja Sangara den-

gan amat gusar.

"Jangan bunuh, ampunkan nyawaku, Puja Sanga-

ra...!" memohon Wirasanca dengan wajah pucat.

"Baik! aku ampuni jiwamu! katakan siapa dalang 

dari semua ini...!" membentak Puja Sangara dengan 

tempelkan golok tipisnya ke leher Wirasanca.

"Aku... aku diperintah Kanjeng Adipati..." berkata 

gemetar Wirasanca yang bernyali tikus dan takut mati 

itu. Dia memang tak turut bertarung. Melihat bermun-

culan orang misterius yang membantu Puja Sangara 

dan berhasil membunuh kelima konconya, dia segera 

melarikan diri. Namun malang nasibnya karena seso-

sok tubuh bagaikan bayangan telah mengejar, dan 

menotoknya hingga dia tak berdaya.

Tentu saja keterangan Wirasanca membuat Puja 

Sangara terkejut. Dari keterangan Wirasanca segera


diketahui kalau perintah Adipati Ronggo Seto hanyalah 

sebagai jebakan saja untuk menghabiskan nyawanya. 

Kelima orang itu tak lain dari Lima Iblis Kali Gondang. 

Diam-diam terkejut hati Puja Sangara, karena dia telah 

mendengar nama kelima tokoh golongan hitam itu. Je-

laslah sudah mereka adalah pembunuh-pembunuh 

bayaran yang diperalat Adipati Renggo Seto untuk 

membunuhnya.

Setelah cukup memberi keterangan, Wirasanca 

mohon dibebaskan dari totokan dan berjanji akan ber-

pihak pada Puja Sangara.

Namun watak berangasan Puja Sangara tak men-

gijinkan manusia itu tinggal hidup. Seketika golok ti-

pisnya berkelebat. Tanpa ampun lagi Wirasanca meng-

gelosor menemui kematian!

Dengan kemarahan meluap dia berkelebat kembali 

ke perkemahan. Didapati belasan prajurit itu telah 

berkumpul dalam keadaan bersimpuh dimuka kemah. 

Ketika dia muncul, serentak para prajurit itu bersujud 

dihadapannya memohon ampun agar tak dibunuh.

Kalau menurutkan hatinya yang sedang gusar, tak 

nantinya dia memberi ampun pada belasan prajuritnya 

itu. Tapi penjelasan seorang prajurit bernama GUDRI 

telah mengendurkan kemarahannya. Mereka memang 

tak bersalah. Karena mereka cuma prajurit biasa yang 

menjalankan perintah walau tahu tentang rencana 

Adipati dan Wirasanca.

Sejak itulah, Puja Sangara memutuskan untuk ke-

luar dari keprajuritan. Dan belasan prajurit Kadipaten 

itu menjadi anak-anak buahnya dan kawan-kawan se-

perjuangan. Pengikut Puja Sangara bertambah dengan 

masuknya Gembeng si pegawai Carik KARTOMARMO.

Yang masih menjadi pemikiran Puja Sangara itu 

adalah si penolongnya. Karena sampai saat ini dia tak


mengetahui siapa adanya dia. Namun dia berkesimpu-

lan sang penolong itu adalah seorang wanita.

Lama dia termangu diatas balai-balai bambu itu. 

Hingga ketika matahari menyorot wajahnya, dia baru 

tersadar kalau senja kian menjelang. Puja Sangara ce-

pat bangkit berdiri. Lalu beranjak menuju bilik kamar. 

Setelah menyambar golok tipisnya yang tergantung di 

tiang bambu, dia melesat keluar pondok.

Tak lama telah berkelebat lenyap meninggalkan 

tempat itu...

***

EMPAT

BUKAN KEPALANG terkejutnya Tumenggung Ka-

niraga ketika malam itu telah diserang oleh sesosok 

tubuh berpakaian serba hitam. Dia baru saja kembali 

dari Kadipaten, menyangkut urusan tugas. Sekalian 

menanyakan perkembangan kemajuan anaknya. Da-

lam pembicaraan mereka yang berlanjut sampai agak 

larut malam itu, Adipati Renggo Seto telah menjamu 

Tumenggung Kaniraga dengan makan dan minum.

WHUUT!

Kalau saja dia tak cepat mengelakkan diri dengan 

gesit, tentu kepalanya akan menggelinding tersabat 

putus golok si penyerang gelap itu. "Edan! Siapa kau?!" 

membentak Tumenggung ini. Kudanya meringkik ke-

takutan mengangkat kedua kaki depannya.

Akan tetapi tanpa memberi jawaban, si manusia 

berbaju serba hitam itu kembali menerjang. Kilatan go-

lok berkelebat. Akan tetapi yang diserang ternyata ku-

da tunggangan Tumenggung Kaniraga. Tak ampun lagi


binatang itu roboh terjungkal dengan suara bergede-

bugan. Ringkiknya terputus karena tubuhnya berkelo-

jotan sekarat. Golok itu menebas lehernya hampir sa-

rat. Namun sang Tumenggung sendiri telah melompat 

cekatan dan berhasil selamatkan diri dengan melompat 

dari punggung kuda.

Sreek! Tumenggung telah cabut keris pusakanya 

dari balik punggung. Sementara si sosok tubuh miste-

rius bagai kilat telah menerjangnya lagi.

Trang! Trang...! Tringng!

Percikan lelatu api diremang cahaya bulan men-

gukir udara, ketika dengan gesit Tumenggung Kanira-

ga menangkis beberapa kali menahan serangan lawan 

yang mengingini jiwanya.

"Keparat! Sebutkan siapa dirimu!" membentak 

Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dia merobah gerakan 

silatnya, dari menangkis kini menyerang. Ternyata 

sang Tumenggung tua ini memiliki ilmu kedigjayaan 

yang cukup lumayan.

Tampaknya si manusia bertopeng hitam itu agak 

terkejut melihat perubahan gerakan silat yang menin-

dih sambaran-sambaran goloknya. Bahkan setiap kali 

sang Tumenggung tak mau mengalami benturan senja-

ta. Rangsakan Tumenggung Kaniraga semakin hebat. 

Karena dia telah gunakan jurus-jurus serangan anda-

lannya. Sebagai seorang Tumenggung yang telah ba-

nyak pengalaman, Tumenggung Kaniraga telah banyak 

berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dari bangsa 

perampok. Baginya menghadapi pertarungan adalah 

sudah hampir sebagian dari hidupnya.

Rasa penasaran laki-laki tua ini adalah dia ingin 

tahu siapa wajah dibalik topeng itu. Dan mengapa ta-

hu-tahu menyerang untuk membunuhnya. "Buka to-

pengmu bangsat tengik!" bentak Kaniraga seraya men


girim sodokan kaki ke arah ulu hati lawan. Sementara 

tinjunya membarengi menghantam tengkuk orang 

dengan sedikit menekuk tubuh.

Buk! si penyerang gelap mengaduh disusul ter-

lemparnya tubuh manusia itu beberapa tombak. Kani-

raga cepat memburu. Keris ditangan siap untuk di-

tempelkan ketengkuk lawan, dan sebelah lengannya 

siap menyambar topeng untuk merenggutnya. Akan te-

tapi diluar dugaan...

Sssrrrrr!

Puluhan jarum berbisa meluruk bagai hujan dari 

balik pohon besar. Saat itu Kaniraga sedang dalam 

keadaan menyergap lawan. Agaknya serangan maut 

dari orang kedua dibalik potion itu takkan dapat tere-

lakkan. Namun pada saat itu terdengar teriakan mem-

peringati. "Awas, ayah...!"

Itulah suara yang dikenalnya. Suara Puja Sangara. 

Dengan gerak reflek sang Tumenggung menghindarkan 

diri. Dia memang dapat merasai adanya serangan bo-

kongan dengan mendengar suara berdesis puluhan ba-

tang jarum senjata rahasia mengancam tubuhnya. Tu-

buh Tumenggung Kaniraga berguling ketanah, disertai 

gerakan memutar keris yang menimbulkan angin tena-

ga dalam menerpa puluhan jarum yang meluruk itu 

hingga buyar! akan tetapi akibatnya si penyerang ber-

topeng itulah yang jadi sasaran.

Tak dapat dicegah lagi, manusia itu menjerit pa-

rau. Tubuhnya berkelojotan ketika belasan jarum me-

nembus ke kulit tubuhnya.

Tak lama tubuh itu sudah diam tak berkutik. Ma-

ti! Keringat dingin Kaniraga mengembun ditengkuk. 

Nyaris dia mengalami nasib naas kalau tak diperingati 

Puja Sangara. Pemuda ini menatap pada sang ayah 

dan korban kematian itu. Sesaat keduanya saling pandang. Namun Kaniraga cepat menangkap gerakan me-

larikan diri sesosok tubuh dari balik pohon. itulah so-

sok tubuh si penyerang tadi.

Tumenggung Kaniraga cuma bisa melihat berkele-

batnya sesosok tubuh mengejar si penyerang gelap itu.

Sesaat dia tersadar dari terperangahnya. Sekali 

bergerak tubuh Tumenggung melompat ke arah si ma-

nusia bertopeng. Dan... Brreeet! Dia telah menyambar 

kain penutup wajah si penyerang yang mengingini ji-

wanya ini.

Sang Tumenggung cuma bisa melihat wajah seo-

rang laki-laki tak dikenal yang berkumis lebat berdagu 

panjang.

"Siapakah orang ini" desisnya dengan kerutkan 

kening.

Hm, apakah dia pembunuh yang dibayar untuk 

melenyapkanku? Apa salahku? Aku jadi agak curiga 

dengan Adipati Renggo Seto. Jangan-jangan ada udang 

dibalik batu dengan semua ini...!"

Orang tua ini bangkit berdiri. Ketika dia baru mau 

masukkan keris keserangka dibalik punggung, terden-

gar suara berkrosak. Cepat dia berbalik. Darahnya su-

dah tersirap akan adanya bahaya lagi. Tapi segera dia 

menarik napas lega karena yang muncul adalah Puja 

Sangara.

"Dia kabur cepat sekali! Syukurlah ayah, kau tak 

apa-apa...!" berkata Puja Sangara dengan memandang 

girang pada sang ayah.

"Kau tak mengenali orang ini?" tanya Tumenggung 

Kaniraga. Akan tetapi belum sempat

Puja Sangara menoleh, tiba-tiba...

BHUSSSSS.....!

Asap putih membumbung tepat di hadapan mere-

ka. Dan sesosok tubuh muncul dibalik asap perdengarkan suara tertawa berkakakan.

"Hahahaha... hahaha... kalian dua manusia ayah 

dan anak akan segera mampus! Karena adanya kau 

akan menjadi duri di dalam daging yang membahaya-

kan kami." Sesosok tubuh laki-laki yang juga menge-

nakan topeng pembungkus kepala sekalipun tubuh-

nya, berwarna hitam, membuat keduanya melangkah 

mundur dua tindak. "Siapa kau?!" membentak Puja 

Sangara hampir berbareng dengan sang Tumenggung.

"Hahaha... panggillah aku si Ninja Edan Lengan 

Tunggal!"

Seraya berkata lengan manusia aneh ini bergerak. 

Dan sekejap ditangannya telah tercekal sebuah pedang 

Samurai.

Barulah keduanya sadar kalau sosok tubuh orang 

ini cuma punya sebuah lengan. Seketika Tumenggung 

Kaniraga telah mencabut lagi kerisnya. Sementara Puja 

Sangara yang masih mencekal golok tipisnya, segera 

slap bertarung untuk melabrak manusia ini. Jelas ka-

lau orang ini adalah orang bayaran Adipati Renggo Se-

to! pikir Puja Sangara.

Namun dia tak dapat berpikir lama karena si ma-

nusia aneh yang menamakan dirinya Ninja Edan Len-

gan Tunggal itu telah menerjang...

Trang! Trang! Trang! Berguling-guling tubuh Puja 

Sangara dan Tumenggung Kaniraga menghindari se-

rangan beruntun yang dahsyat itu. Pedang Samurai si 

manusia pencabut nyawa itu berkelebatan menabas 

dan menusuk dengan serangan bertubi-tubi. "Haha-

ha... kalian takkan dapat menyelamatkan diri!" sesum-

bar si Ninja Edan Lengan Tunggal dengan suara se-

ram. Gerakan orang ini memang amat luar biasa ce-

patnya. Nyaris dada Puja Sangara dan pinggang Tu-

menggung Kaniraga terkoyak kalau dia tak cepat


menghindarkan diri.

Kali ini yang dicecar adalah Puja Sangara.

"Hahaha..... Ingin kulihat apakah ilmu silatmu su-

dah boleh diandalkan untuk kau memimpin pembe-

rontakan?" berkata Ninja Edan Lengan Tunggal dengan 

mendengus. Pedang Samurainya membabat tiga kali ke 

arah leher, dada dan kaki. Dengan mengkonsentrasi-

kan panca indranya Puja Sangara berhasil menghin-

dar. Dua kali lakukan salto dengan lompatan ke bela-

kang, dan jejakkan kaki ke tanah dengan baik. Terke-

jut Puja Sangara mendengar kata-kata itu. Dadanya 

bergolak karena gusar.

"Pemberontakan?" Apa maksudmu, keparat? Ka-

lianlah yang akan melakukan pemberontakan. Aku ta-

hu, kau pasti orangnya Adipati Renggo Seto!"

Kalianlah manusia yang merongrong kewibawaan 

pemerintah! Aku punya bukti kalau Adipati Renggo Se-

to bekerja sama dengan kaum penjahat!" teriak Puja 

Sangara. Kali ini dia yang melompat menerjang. Golok 

tipisnya berkelebatan mencercah tubuh lawan dengan 

jurus-jurus yang amat berbahaya. Namun gerakan si 

Ninja Edan Lengan Tunggal memang amat menakjub-

kan. Setiap serangan dengan mudah dipatahkan. 

Bahkan lengan bajunya dapat digunakan menangkis 

atau menyambar lawan tak lebih bagaikan sebuah 

lempengan baja yang bisa membuat nyawa melayang 

bila mengenai sasaran.

"Hahaha... untuk itulah, maka kau harus mam-

pus, termasuk ayahmu yang bisa jadi penyakit!" berka-

ta Ninja Edan Lengan Tunggal. Serangan gencar Puja 

Sangara punah total. Bahkan kini pemuda itu sendiri 

yang harus mati-matian mempertahankan nyawanya.

Sementara Tumenggung Kaniraga yang mendengar 

kata-kata itu semakin kuat kecurigaannya pada Adipa


ti Renggo Seto. Melihat anaknya terdesak dia tak ber-

laku ayal untuk segera melompat memberi bantuan. 

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking

renyah seperti suara seorang wanita.

"Hihihi... serahkan padaku yang muda ini, sobat 

Ninja Edan!" Dan sesosok tubuh berkelebat dari ca-

bang pohon kayu. Laki-laki pakaian serba hitam ber-

topeng itu tertawa melihat orang yang muncul.

"Hahaha... matamu masih saja hijau kalau melihat 

orang ganteng! Apakah kau mau menangkapnya hi-

dup-hidup? Baik! kuserahkan dia untukmu, Ninja Wa-

don!" ujarnya.

Pendatang ini memang seorang wanita. Jelas terli-

hat dari bentuk potongan tubuhnya. Tentu saja Puja 

Sangara melengak melihat orang ini karena jelas sekali 

dari bentuk potongan yang telah menolongnya.

Namun dia tak dapat bertanya lagi karena Ninja 

Wadon telah menyerangnya dengan pukulan-pukulan 

ganas. Desir angin pukulannya saja telah membuat 

Puja Sangara mengetahui kalau perempuan ini berte-

naga dalam tinggi. Sementara Tumenggung Kaniraga 

telah bertarung dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal. 

Keduanya terlibat dalam pertarungan yang seru. Kare-

na Tumenggung ini telah keluarkan seluruh kepan-

daiannya.

***

LIMA

NINJA WADON menyerang gencar membuat Puja 

Sangara terpaksa harus mengelakkan diri kesana ke-

mari. Dia agak ragu untuk mempergunakan goloknya


karena semakin yakin kalau wanita ini adalah orang 

yang pernah menolongnya. Yang menjadikan dia terhe-

ran adalah mengapa wanita ini berkomplot dengan si 

Ninja Edan Lengan Tunggal. Dan mengapa kini berba-

lik memusuhi? pikir pemuda ini dalam benaknya yang 

kusut.

Ternyata Puja Sangara tak diberi kesempatan un-

tuk buka suara. Karena setiap kali dia mau buka mu-

lut, tentu si Ninja Wadon segera merangsaknya dengan 

pukulan-pukulan ganas. Sebagai murid seorang kosen 

Puja Sangara boleh dikatakan berilmu tinggi. Namun 

menghadapi si Ninja Wadon ini dia cuma bisa menge-

lakkan diri tanpa balas menyerang.

Dalam waktu beberapa kejap saja jarak kedua per-

tarungan itu telah semakin jauh, karena Ninja Wadon 

seperti mendesaknya agar menjauhi sang Tumeng-

gung.

Mengelak terus yang dilakukan Puja Sangara 

membuat tenaganya semakin mengendur. Bila di laku-

kan terus akan berbahaya bagi dirinya. Demikianlah, 

akhirnya Puja Sangara terpaksa lakukan serangan 

membalas. Golok tipisnya mulai digunakan untuk me-

nangkis. Dan tiba-tiba dengan membentak keras tu-

buh Puja Sangara melompat lima tombak. Lengannya

menghantam ke arah si Ninja Wadon dalam gerakan 

menukik.

Whuuuk! Krrraak...!

Batang pohon sebesar betis remuk terhantam. 

Saat berikutnya dia menerjang dengan lompatan Naga 

Sakti menerjang Bukit. Gerakan ini dibarengi dengan 

serangan beruntun dari golok tipisnya yang dinamakan 

jurus Ombak Laut Menyapu Karang. Jurus istimewa 

ini memang luar biasa. Terdengar teriakan tertahan si 

Ninja Wadon. Akan tetapi dengan meletik ke atas bagai

ikan dia berhasil menghindari serangan. Tak diduga 

serangan berikutnya adalah serangan yang berbahaya. 

Karena dia harus menghadapi serbuan serangan maut.

Whut! Whut! Whut! Gerakan kilat golok tipis Puja 

Sangara nyaris menabas putus pinggang, perut leher 

dan kaki. Dan terakhir...

Prass!

Ujung rambut si Ninja Wadon terbabat putus se-

panjang satu jengkal, setelah dia berhasil mengelakkan 

serangan maut yang bertubi-tubi itu.

"Ahhh!? Memekik kaget Ninja Wadon. Tubuhnya 

bersalto dua kali ke belakang, dan... lenyap dikegela-

pan serta rimbunnya pepohonan.

"Jangan lari!" membentak Puja Sangara. Tubuh-

nya melesat memburu ke arah lenyapnya wanita Ninja 

itu. Akan tetapi tahu-tahu dia berteriak kaget ketika 

sebuah bayangan menyambar ke arah kaki.

"Ahhh! Bluk!

Puja Sangara tak dapat menjaga keseimbangan 

tubuhnya. Karena kakinya kena dicekal orang. Tak 

ampun dia jatuh terbanting ketanah. "Hihihi.... pemu-

da gagah! kakimu tak bermata!" terdengar ejek si wani-

ta Ninja. Tubuh Ninja Wadon mendadak melompat ke 

atas punggung Puja Sangara. Dan disaat pemuda itu 

belum berbuat apa-apa, lengan wanita ini telah terju-

lur menotok.

Puja Sangara cuma bisa perdengarkan keluhan. 

Mendadak dia jatuh menggeloso karena rasakan tu-

buhnya menjadi lunglai.

"Hihihi... Ilmu silatmu cukup hebat. Tapi mengha-

dapiku, kau takkan mampu karena aku punya seribu 

satu macam akal!" berkata wanita Ninja ini. Apakah 

selanjutnya yang dilakukan wanita Ninja itu? Ternyata 

setelah menyelipkan golok tipis Puja Sangara pada lipatan ikat pingganggnya, dia memondong tubuh laki-

laki itu ke atas pundak. Dan berkelebat pergi dengan 

tertawa mengikik...

Dari balik semak tiba-tiba muncul pula sesosok 

tubuh yang berkelebat menyusul membuntuti si Ninja 

Wadon. Tempat itu kembali senyap....

Pertarungan Tumenggung Kaniraga dengan si Nin-

ja Edan Lengan Tunggal mencapai pada puncaknya. 

Walaupun orang tua ini memiliki ilmu kepandaian 

yang tinggi namun lawannya kali ini sukar untuk dija-

tuhkan. Bahkan sang Tumenggung sempat dibuat ter-

heran, karena terkadang lawan bisa lenyap sukar di-

ikuti kemana gerakannya. Hingga disatu saat Tumeng-

gung yang malang ini tersentak kaget ketika pedang 

Samurai yang panjang itu tahu-tahu menabas dari 

arah samping. Dalam keadaan gawat itu dia sempat ja-

tuhkan diri bergulingan. Namun... Cras! Sabetan pe-

dang lawan tak terhindarkan lagi, yang selalu membu-

ru nyawanya.

Dada orang tua ini terkoyak. Tubuhnya terhuyung 

beberapa langkah.

"Bangsat! ssi... siapa kau sebenarnya...!" masih 

sempat dia memaki. Secepat kilat dengan tenaga te-

rakhir dia lontarkan kerisnya ke arah jantung lawan. 

Serangan ini amat berbahaya karena diluar dugaan si 

Ninja Edan Lengan Tunggal. Tapi ketika itu juga len-

gan bajunya mengibas, dibarengi dengan gerakan pe-

dang menangkis.

Trang!..... Bles! Diiringi jeritan menyayat hati tu-

buh Tumenggung Kaniraga roboh terjungkal. Kerisnya 

terlempar ke udara terkena sontekan pedang Samurai 

si Ninja itu. Sedangkan gerakan mengibas barusan te-

lah meluncurkan dua buah belati kecil yang tepat me-

nembus perut dan dada sang Tumenggung. Sejenak


setelah hal ini berlangsung, tiba-tiba terdengar benta-

kan suara seorang wanita.

"Iblis keji!" Dan... Whuuuuk! Segelombang angin 

menerpa tubuh si Ninja Edan Lengan Tunggal, mem-

buat orang ini terperanjat. Tapi dengan gesit dia me-

lompat setinggi sepuluh tombak. Dengan gerakan me-

lompat-lompat dari pohon ke pohon sekejap saja ma-

nusia itu telah lenyap!

Sesosok tubuh tiba-tiba muncul ditempat itu yang 

berkelebat ke arah sang Tumenggung. "Tumenggung 

Kaniraga? Hah! siapa yang telah menyerangmu?" ber-

teriak tertahan orang ini.

Tumenggung Kaniraga menyeringai menahan rasa 

sakit. Ketika kelopak matanya terbuka dan melihat 

siapa orang dihadapannya, mendadak... napas laki-

laki tua ini memburu. Terpancar rasa girang pada wa-

jahnya. Dia tersenyum. Dan ucapnya dengan suara 

terputus-putus. "Nona pe... pendekar RO... RO... 

CEN...TIL." Memanglah orang ini tak lain dari Roro 

Centil adanya. Roro mengangguk dengan tersenyum. 

Sementara diam-diam dia salurkan hawa hangat dari 

tenaga dalamnya dan menotok di beberapa urat darah 

untuk memberhentikan aliran darah.

Dipandangnya wajah yang tua itu. Wajah yang ba-

ru dikenalnya beberapa bulan yang lalu sejak dia me-

nolong Tumenggung ini dari serbuan para perampok 

dihutan Jati Nongko.

"Katakan siapa yang menyerangmu, paman Kani-

raga...! Maafkan, aku datang terlambat..." berkata Roro 

dengan menatap haru.

"Mengapa harus meminta maaf, nona Pendekar...? 

Kita tak pernah berjanji apa-apa. Dan kau datang... 

se... secara kebetulan. Seperti juga pada saat kau me-

nolongku melawan para perampok dihutan... Jati


Nong...ko..." menjawab Tumenggung Kaniraga dengan 

suara lemah.

"Yang tahu hal ini adalah anak...ku... Puja Sanga-

ra..." sambung Tumenggung ini. "Ah, seandainya 

umurku pan...jang, aku tak menyesal bila punya me-

nantu seperti k..kau, nona Pendekar Roro..."

Roro cuma tersenyum haru. dia tak dapat berbuat 

apa-apa, selain manggut-manggut mendengar apa 

yang diucapkan orang tua abdi Kerajaan ini. Selang 

sesaat napas laki-laki tua ini kian memburu. Dan 

ujarnya dengan terputus. "Ca...carilah, dia... carilah 

Puja Sangara. Dan... tolonglah bantu perjuangannya..."

Roro kembali mengangguk-angguk seraya menya-

huti.

"Tentu, paman Kaniraga. Aku pasti akan memban-

tunya. Apakah kau mengetahui siapa yang menye-

rangmu tadi?" tanya Roro.

"Dia... dia... si Ninja Edan.. Lengan Tunggal..." Se-

telah ucapkan demikian lengan orang tua ini mencekal 

lengan Roro erat-erat. Lalu tergolek layu. Ternyata dia 

telah hembuskan napasnya yang terakhir.

***

ENAM

RORO CENTIL termangu-mangu beberapa saat 

lama ditempat itu. Bibirnya mengguman,

"Ninja Edan Lengan Tunggal?...

Apa hubungannya dengan si Brewok Lengan 

Tunggal?" Lama Roro berpikir, sementara hatinya ber-

kata. "Apakah dia yang telah melakukannya?". Segera 

Roro teringat akan nama Joko Sangit. Dia yang dimaksudkan adalah laki-laki itu. Setelah lama tercenung 

tanpa bicara apa-apa. Pelahan Roro bangkit berdiri. 

Matanya mencari-cari tempat yang baik untuk mengu-

burkan jenazah Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dara 

Pantai Selatan ini kerahkan tenaga dalam yang dis-

alurkan ke telapak tangan. Tampak uap putih menge-

pul diantara jari-jarinya yang mengembang. Tiba-tiba 

lengan gadis ini menghantam tanah di bawah pohon 

besar itu.

Bhlarrr!

Tanah menyemburat ke udara. Dan sebuah lu-

bang segera terlihat menguak memanjang. Hantaman 

pukulan bertenaga dalam itu telah membuat sebuah 

lubang yang cukup dalam. Tak ayal Roro segera pon-

dong tubuh Tumenggung Kaniraga. Kejap berikutnya 

tubuh abdi Kerajaan itu telah dibaringkan didalam lu-

bang. Sejenak setelah menatap wajah laki-laki tua itu, 

Roro segera menimbunnya dengan tanah.

Sebuah cabang kayu digunakan untuk nisannya. 

Tak lama setelah menghela napas, Roro segera bertin-

dak meninggalkan tempat itu. Sepuluh langkah kemu-

dian dia enjot tubuh. Sekejapan saja pendekar wanita 

perkasa itu telah lenyap dikeremangan malam.

***

"Mau dibawa kemana aku?" berdesah suara Puja 

Sangara dalam pondongan si Ninja Wadon. ketika dia 

membuka matanya merasakan tubuhnya berguncang-

guncang. Tahulah dia kalau berada dipundak wanita 

ini.

"Hihihi... tenang sajalah! Pokoknya kau tak usah 

khawatir aku membunuhmu cepat-cepat! sahut wanita 

ini.

Rembulan yang mengambang di langit kelam itu 

menerangi jalan yang ditempuh si Ninja Wadon,

Ninja Edan Lengan tanpa dia mengetahui kalau 

dia dikuntit oleh sesosok tubuh yang juga sejenis den-

gannya.

Diujung jalan setapak itu segera terlihat sebuah 

kuil. Di pelataran kuil itulah si wanita meletakkan tu-

buh Puja Sangara. Sejurus setelah dia mengamati seki-

tarnya, lalu melangkah masuk ke dalam kuil. Terden-

gar dia menguak sebuah pintu. Tak lama tampak ada 

cahaya dari dalam ruangan. Ternyata dia barusan me-

nyalakan sebuah pelita dalam kamar.

Tak lama dia keluar lagi. Sementara sosok tubuh 

penguntitnya menyelinap ke sisi tembok. Tampaknya 

dia seperti ragu untuk mengambil tindakan. Hingga 

keburu wanita itu keluar lagi. Puja Sangara cuma me-

rasa tubuhnya diangkat orang. Dan sesaat dia telah 

dibaringkan di atas sebuah pembaringan kayu.

Lampu itu cukup menerangi wajah si Ninja Wa-

don, ketika dia menyibak topeng penutup wajahnya. 

Ternyata dia seorang wanita yang cantik. Berwajah bu-

lat telur dengan mata yang membinar menatap pada 

Puja Sangara.

"Ah, sayang sekali kalau wajah tampan mu terke-

na pedang Samurai kakak angkatku! Apalagi

kalau kau sampai tewas...!" berkata dia seraya du-

duk dipembaringan. Lengannya mengusap wajah Puja 

Sangara.

"Kau amat gagah, sobat Puja Sangara. Membuat 

aku kepincut! hihihi...

bajumu ini sudah bau apek. Baiknya dibuka saja!" 

berkata sendiri si Ninja Wadon. Dan tanpa tunggu 

waktu lagi segera melolosi pakaian pemuda anak Tu-

menggung Kaniraga yang cuma bisa menatap dengan


mata membelalak.

"Apa yang kau mau lakukan, perempuan genit!" 

tersentak Puja Sangara ketika lengan wanita itu mera-

bai sekujur tubuhnya. Akan tetapi sebagai jawabannya

lengan wanita itu menotok urat suaranya. Hingga laki-

laki itu cuma bisa berdesis ditenggorokan.

"Pintu ini kurapatkan dulu!" berkata wanita muda 

itu seraya melompat ke arah pintu. Dan dengan cepat 

dia telah menutup serta memalangnya.

Tampak dia seperti sudah tidak tahan untuk me-

lakukan sesuatu. Lengannya bergerak membukai pa-

kaiannya sendiri. Selanjutnya dengan tubuh tanpa bu-

sana dia mendekati Puja Sangara. Membelalak mata 

laki-laki yang masih tabu pada wanita ini melihat pe-

mandangan dihadapannya.

Sebisanya dia mencari akal untuk melepaskan diri 

dari pengaruh totokan. Dia memang mempelajari cara 

untuk membuka totokan. Tapi totokan dara ini sukar 

dibuka. Mau tak mau dia terpaksa cuma mandah saja 

seketika lengan wanita itu menarik celananya hingga 

merosot.

Belaian-belaian halus membuat sekujur bulu di-

tubuhnya seperti bangkit berdiri. Yang terdengar cuma 

suara desahan napas si Ninja Wadon yang memburu. 

Tahu-tahu Puja Sangara merasakan dua buah benda 

lunak yang mempesona itu telah menekan dadanya. 

Belaihan tangan terus menelusuri wajah menimbulkan 

rasa geli, akan tetapi membuat darahnya bergolak oleh 

rangsangan yang hebat. Ketika selanjutnya cekatan 

sekali si dara yang sudah dimabuk asmara itu memba-

sahi bibirnya dengan leletan lidah. Yang kemudian me-

lumat bibirnya dengan lumatan penuh nafsu.

Lengan itu meluncur lagi ke bawah. Gemetar se-

kujur tubuh Puja Sangara yang baru sekali ini seumur

hidupnya disentuh seorang wanita. Sementara dibalik 

pintu dengan berjingkat sosok. tubuh yang tadi men-

guntit mendekati celah pintu. Tampak dia dekatkan 

kepalanya ke arah celah. Kamar yang terang oleh ca-

haya lampu itu menerangi apa saja yang terlihat dari 

celah. Seketika tampak tubuh orang ini gemetar.

Desah demi desah semakin membauri ruangan 

kamar. Sebentar-sebentar sosok tubuh ini mengangkat 

wajahnya. Tapi kembali mengintip dengan dada be-

rombak-ombak. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tu-

buhnya. Wajahnya tampak memucat seperti mau me-

nangis.

BRRAAAAAK! Dia telah menghantam pintu yang 

tertutup itu dengan pukulan tangannya. Tak ampun 

pintu berderak hancur. Terdengar suara si Ninja Wa-

don terkejut. "Bedebah! Siapa diluar!?" membentak dia.

Wanita yang tengah dibuai asmara ini cepat ki-

baskan lengannya.

Sekali kibas, padamlah pelita itu. Dan kamar men-

jadi gelap. Akan tetapi tak ada sahutan, juga tak ada 

tanda-tanda ada serangan dari luar. Ninja Wadon yang 

siap menghadapi segala kemungkinan jadi terheran. 

Dalam kegelapan dia merangkak ke pintu. Kembali dia 

membentak. Tapi yang terdengar cuma suaranya sen-

diri berpantulan.

"Setan siapa pula yang mengganggu kesenangan-

ku? Apakah si Ninja Edan Lengan Tunggal?" desis wa-

nita ini yang mengawasi sekitar ruangan.

Walau dia telah memeriksa sekitar kuil tak ada 

tanda-tanda adanya orang lain, tapi hal itu telah mem-

buat dia kecewa setengah mati. Juga menggagalkan 

hasratnya yang telah menggebu. Malam itu dilalui si 

Ninja Wadon dengan berjaga-jaga didepan pintu kuil. 

Sementara hatinya memaki. "Sial dangkalan! Siapa


yang usil menggangguku itu?" bergumam dia dalam 

kesenyapan yang kian mencekam. Malampun semakin 

melarut. Dan hawa dingin menebar ke tulang sumsum. 

Dengan tiada habis-habisnya menggerutu wanita ini 

kembali melangkah masuk ke dalam kuil...

Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh kaget, karena 

seketika tubuhnya lunglai. Dan... bluk! dia sudah ro-

boh menggeloso ke lantai.

"Ganti aku yang menotok mu, Ninja Wadon!" Se-

lang sesaat terdengar suara seorang laki-laki. Suara 

Puja Sangara.

***

TUJUH

PUJA SANGARA menyeret tubuh si Ninja Wadon 

ke dekat pembaringan. Lalu menggulingkannya ke ko-

long tempat tidur. Dalam kamar yang gelap itu Puja 

Sangara segera menyusul kelebatan tubuh berping-

gang ramping yang baru saja menyelinap keluar dari 

ruangan yang gelap itu.

Fajar baru saja menyingsing ketika dua sosok tu-

buh itu tersembul diujung jalan yang menuju ke arah 

kota Singosari.

"Aku berhutang budi padamu, nona." berkata Puja 

Sangara. Sejak mengikuti berlari dibelakang wanita ini 

Puja Sangara baru berani buka suara. "Apa yang kula-

kukan adalah demi kebaikanmu. Karena aku tak mau 

kau jatuh ke tangan si Ninja Wadon!" menyahut wanita 

yang masih mengenakan cadar penutup wajahnya.

Cadar penutup wajahnya yang berwarna biru itu 

kini disibakkan. Segera terpampanglah seraut wajah


cantik. Agak terpana Puja Sangara karena wajah itu 

amat mirip dengan si Ninja Wadon. "Boleh aku tahu 

siapa nama nona? Dan apa hubungannya kau dengan 

si Ninja Wadon serta si Ninja Edan Lengan Tunggal? 

Juga apakah kau yang pernah menolongku ketika aku 

menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?" Pertanyaan 

Puja Sangara yang beruntun itu membuat si dara can-

tik ini tersenyum. "Pertanyaan yang cukup banyak, ta-

pi baik sekali" ucapnya.

"Namaku rasanya telah hampir tak kuingat lagi. 

Karena aku cuma disebut si KERUDUNG BIRU! Hu-

bunganku dengan si Ninja Wadon dan Ninja Edan Len-

gan Tunggal? Ninja Wadon adalah saudara kembarku, 

dan si Ninja Edan Lengan Tunggal adalah ketua dari 

komplotan Rahasia yang selama ini sudah bentangkan 

sayapnya diperbagai tempat! sahut gadis ini.

"Ha...?" membelalak mata Puja Sangara.

"Apakah komplotan rahasia itu didalangi oleh Adi-

pati Rekso Seto?" bertanya lagi pemuda ini. Dara ini ta-

tapkan matanya ke puncak bukit.

"Benar... !" sahutnya datar.

Puja Sangara tercenung sesaat. Darahnya kembali 

bergolak bila disebut nama Adipati itu.. Dan dia sema-

kin terperanjat mengetahui begitu besar kekuasaan 

Adipati Puja Sangara diluar.

"Keparat! Sudah kuduga! Dan bukti semakin jelas, 

bahwa Adipati Rekso Seto akan melakukan pemberon-

takan pada Kerajaan!" memaki Puja Sengara.

"Nona Kerudung Biru. Kau belum menjawab per-

tanyaanku tadi. Apakah kau yang telah menolongku 

ketika aku menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?"

"Aku baru pertama kali ini menolongmu. Mengenai 

siapa yang telah menolongmu dihutan Kaliki itu aku 

tak mengetahui!" sahut si dara Kerudung Biru. Melengak Puja Sangara mendengar jawaban itu.

"Bukan dia?" berkata dalam hati pemuda ini." Jadi 

siapakah perempuan kosen yang telah menolongku 

itu?" bertanya-tanya dalam hati Puja Sangara.

"Baiklah!" sejurus antaranya Puja Sangara kembali 

berkata. "Satu hal lagi yang akan kutanyakan padamu, 

nona! Kau adalah orang yang ada dalam keanggotaan 

komplotan rahasia itu. Mengapa kau menolongku? 

Dan apa maksudmu mengajakku ke tempat ini?"

Sejurus lamanya si Kerudung Biru tak menjawab. 

Yang terdengar adalah suara helaan napas berat. Seo-

lah dalam dadanya ada tertindih suatu masalah yang 

sukar untuk dielakkan. Namun tak lama dia membuka 

suara.

"Aku memang orang komplotan rahasia itu. Tapi 

aku tak menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan 

orang-orang komplotan rahasia itu. Pendek kata kalau 

ada orang yang bersedia membawaku ke tempat yang 

amat jauh, aku bersedia mengikuti. Asal aku bisa ke-

luar dari komplotan manusia-manusia tamak, serakah, 

yang berwajah iblis itu. Aku... aku benar-benar sudah 

muak dengan tingkah laku mereka!" menyahut gadis 

Kerudung biru dengan suara tersendat. Terkejut Puja 

Sangara mendengar kata-kata itu.

"Nona... jadi untuk itulah kau membebaskanku?" 

tanyanya terheran.

"Ya! apakah kau bersedia membawaku pergi jauh-

jauh dari tempat ini?" berkata dara Kerudung Biru 

dengan menatap Puja Sangara. Wajah itu tampak me-

melas. Dan sepasang mata bulat yang indah itu tam-

pak berkaca-kaca. Dihati Puja Sangara segera timbul 

perasaan kasihan, salut, juga tak mengerti.

Tak terasa Puja Sangarapun menghela napas, se-

raya menunduk. Benaknya memikir keras karena saat


itu dia menghadapi tiga masalah. Masalah kesatu ada-

lah, dia harus mengetahui keselamatan ayahnya yang 

tadi malam bertarung melawan si Ninja Edan Lengan 

Tunggal. Masalah kedua, dia harus pula pergi ke Puri 

Kuno untuk melihat hasil kerja anak buahnya untuk 

menawan hidup-hidup Carik Kartomarmo. Karena dia 

harus mengorek rahasia terselubung yang dilakukan 

Adipati Rekso Seto dari mulut Carik itu. Masalah ke-

dua itu mungkin bisa dikesampingkan karena dia bisa 

mengorek keterangan dari gadis Kerudung Biru. Akan 

tetapi toh dia harus melihat keadaan anak buahnya 

yang perlu dijaga keselamatannya.

Masalah yang ketiga adalah dia merasa bertang-

gung jawab untuk menumpas komplotan rahasia itu 

yang didalangi oleh Adipati Renggo Seto. Tiga masalah

itulah yang membuat dia bingung untuk mengambil 

keputusan.

"Kalau kau tak bersedia, tak mengapalah...!

Tapi mungkin kau takkan pernah mendengar na-

maku lagi, karena setiap anggota komplotan rahasia 

yang berkhianat, hukumannya adalah kematian!" tiba-

tiba gadis kerudung biru berkata memecah kehenin-

gan. Puja Sangara terkejut melihat dara itu balikkan 

tubuh dan berkelebat lari.

"Hai...!? tunggu!" teriak Puja Sangara. Cepat dia 

mengejar. Namun si dara cantik tak hentikan gerakan 

larinya. Bahkan mempercepat gerakan lari menuju ke 

atas tebing terjal.

"Nona Kerudung Biru...! tunggu dulu. Aku akan 

beri penjelasan!" teriak lagi pemuda ini seraya menam-

bah kecepatan larinya. Namun tetap gadis itu tak me-

noleh. Dia terus berlari cepat dengan terisak-isak.

Beberapa saat saja si dara cantik itu telah tiba di-

ujung tebing. Disana dia berhenti. Matanya menatap

nanar ke bawah tebing curam.

"Hiduppun sudah tak berguna..." menggumam su-

ara gadis ini.

"Nona...? apa yang kau mau lakukan?" teriak Puja 

Sangara dengan wajah pias. Jantungnya berdetak ce-

pat. hatinya membatin

"Jangan-jangan dia mau bunuh diri..."

Tak ayal pemuda ini bergegas mendaki tebing. 

"Aku harus mencegahnya!" sentaknya. Akan tetapi ter-

lambat. Baru saja dia menyembul di puncak tebing, di-

lihatnya dara Kerudung Biru baru saja melompat ter-

jun.

"Nona...!? Jangaaaan..." teriakan Puja Sangara me-

lengking berkumandang. Sekejap dia telah enjot tubuh 

dengan kekuatan penuh.

Ketika Puja Sangara jejakkan kaki dibibir tebing, 

kedatangannya sudah kasip. Suara jeritan gadis Keru-

dung Biru baru saja lenyap bersamaan dengan lenyap-

nya tubuh wanita itu ke bawah tebing yang masih ter-

tutup kabut.

Tertegunlah pemuda ini hingga beberapa saat, 

memandangi ke bawah tebing dengan mata membela-

lak. Sekujur tubuhnya terasa lunglai.

"Ah, mengapa kau berbuat senekad itu, Kerudung 

Biru..." mengguman Puja Sangara. Diam-diam dia 

amat menyesali tindakan yang diambil si dara cantik

itu.

"Begitu kerasnya peraturan yang dibuat oleh kom-

plotan rahasia itu, hingga si Kerudung Biru harus kor-

bankan jiwanya karena mau melepaskan diri dari kete-

rikatannya pada komplotan tersebut!" berkata dalam 

hati pemuda ini. Ada rasa berdosa dihatinya pada sang 

gadis. Membuat lama dia tercenung dipuncak tebing 

itu. Namun selang tak lama dia segera menuruni tebing terjal itu. "Aku harus melihat keadaan ayah untuk 

mengetahui nasibnya!" desisnya ketika sejenak meran-

dek. Demikianlah. Puja Sangara segera mengambil ke-

putusan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Se-

makin menggebu niatnya untuk menumpas habis 

komplotan rahasia itu, walaupun di harus korbankan 

nyawa untuk itu. Pengkhianatan Adipati Renggo Seto 

semakin nyata dengan keterangan yang diperoleh dari 

gadis Kerudung Biru.

***

DELAPAN

SESOSOK tubuh berkelebat menyambar tubuh 

yang meluncur deras ke dasar jurang itu sebelum ba-

tu-batu runcing menghabisi nyawanya. Dan sekejap 

saja telah berada dalam pondongannya.

"Aiiiii! nyaris saja kau menemui ajal, nona cantik! 

mengapa kau berbuat senekad itu?" terdengar suara 

menggumam sosok tubuh itu. Tak lama dia telah ter-

sembul dari asap kabut yang menyelimuti sekitar da-

sar jurang. Ternyata sosok tubuh itu tak lain dari Roro 

Centil. Gadis Kerudung Biru itu tertelungkup me-

nyampir dipundaknya.

Nasib baik agaknya masih mengikuti diri si dara 

cantik Kerudung Biru yang berbuat nekad membunuh 

diri dengan terjun ke bawah tebing, karena Roro Centil 

si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah menyela-

matkan jiwanya. Bagaimana sampai Roro berada di 

tempat itu?

Ternyata Roro yang malam itu melacak jejak Puja 

Sangara, telah melihat dua sosok tubuh yang berkelebatan berlari-lari ke arah timur. Tentu saja Roro segera 

mengikuti mereka. Dengan Aji Halimunan yang dimiliki 

Roro kedua orang yang dikuntit itu tidak mengetahui.

Ternyata kedua orang itu tak lain dari Puja Sanga-

ra dan si gadis Kerudung Biru. Demikianlah, hingga 

Roro berhasil mengutip pembicaraan mereka, hingga 

ketika terjadinya ke peristiwa bunuh diri si dara cantik 

Kerudung Biru tidaklah luput dari mata Roro. Disaat 

dara itu terjunkan diri, Roro segera bertindak cepat 

untuk menyelamatkan nyawa si gadis.

Tampak Roro merandek sejenak untuk melakukan 

tindakan apa yang akan dilakukan. Tiba-tiba dia ter-

senyum. Dan... Whusssssss!

Tubuh Roro bagaikan angin lewat meluncur kem-

bali ke puncak tebing. Gerakan melompat bagai ter-

bang yang dimilikinya adalah warisan gurunya yang 

terakhir yaitu si Manusia Gurun Pasir.

Puja Sangara yang tengah bergegas menuruni 

puncak tebing baru saja jejakkan kaki didataran ren-

dah. Segera dia tentukan arah yang bakal di tempuh. 

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa berkaka-

kan di iringi dengan tersembulnya dua sosok tubuh.

Membelalak mata pemuda ini melihat siapa diha-

dapannya. Ternyata tak lain dari Si Ninja Edan Lengan 

Tunggal dan si Wanita cabul Ninja Wadon. Melihat 

adanya wanita itu yang bersama Ninja Edan Lengan 

Tunggal, tahulah Puja Sangara kalau si wanita itu te-

lah ditolong oleh si Ketua komplotan rahasia ini yang 

membebaskannya dari totokan si gadis Kerudung Biru. 

Perbuatan si gadis Kerudung Biru ketika menyela-

matkan dia dari perbuatan kotor Ninja Wadon memang 

dilakukan secara sembunyi. Yaitu di saat ruangan 

menjadi gelap, dia menyelinap masuk, lalu sembunyi 

disudut ruangan dengan menempelkan tubuhnya di


tembok sambil menahan napas.

Ninja Wadon yang berjaga-jaga menunggu datang-

nya serangan, tak kunjung datang. Bahkan dengan 

berteriak-teriak dia membentak si manusia yang telah 

menjebolkan pintu kamar kuil itu, namun tak ada ja-

waban. Disaat itulah dia berindap-indap mendekati 

Puja Sangara. Setelah membisiki ke telinga pemuda 

itu, segera dia melepaskan totokan ditubuh Puja San-

gara. kemudian menanti di pintu kamar yang gelap gu-

lita. Menunggu kedatangan Ninja Wadon yang meme-

riksa sekitar kuil. Ketika wanita cabul itu melangkah 

masuk ke kamar, disaat itulah si gadis Kerudung Biru 

menotoknya. Lalu berkelebat keluar. Tak lama Puja 

Sangara telah berada didekat tubuh Ninja Wadon yang 

berjingkat-jingkat mendekati. Lalu ucapkan kata-kata 

"Ninja Wadon! kini giliran aku yang menotokmu!"

Hal itu direncanakan si gadis Kerudung Biru ada-

lah agar tak diketahui perbuatannya menggagalkan 

maksud bejad wanita yang menjadi saudara kembar-

nya.

Saat itu Ninja Edan Lengan Tunggal telah mem-

bentak.

"Huahaha... Puja Sangara! anak pemberontak! kau 

takkan dapat loloskan diri dari kematian!

"Hm, serahkan dia padaku, Ketua! Aku yang akan 

membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!" ber-

kata Ninja Wadon seraya melangkah lebih dekat keha-

dapan pemuda ini.

Matanya liar dan tampak berapi-api memandang 

Puja Sangara. Tentu saja gadis ini amat mendongkol 

karena nafsunya tak tersalurkan. Bahkan dia berhasil 

dipecundangi Puja Sangara.

Kalau tak muncul sang Ketua alias si Ninja Edan 

Lengan Tunggal, tak nantinya dia bisa terlepas dari totokan itu.

"Heh! penipu busuk! kiranya kau telah bekerja 

sama dengan si Kerudung Biru? Bagus! dia lebih baik 

mampus membunuh diri dari pada kami yang harus 

membunuh! itu lebih baik dilakukan bagi manusia 

yang mau mengkhianati dan keluar dari komplotan ra-

hasia kami!" berkata lagi Ninja Wadon.

"Kini terimalah kematianmu, menyusul ayahmu si 

Tumenggung tua bangka Kaniraga!" bentak Ninja Wa-

don. Seraya membentak dia keluarkan senjatanya dua 

buah gelang yang separuh bergerigi. Lalu dipasang pa-

da tekukan keempat jarinya. Dengan sepasang senjata 

inilah dia menerjang Puja Sangara.

Bukan serangkaian kilat yang datang mendadak 

dan nyaris menggores kulit lehernya membuat dia ter-

kejut. Akan tetapi kata-kata wanita itulah yang mem-

buatnya lebih terperanjat.

"Hah!? ayah telah tewas?" sentaknya dalam hati. 

Dua kali bersalto dia sudah melompat agak jauh.

"Ninja Edan Lengan Tunggal! betulkah ucapan pe-

rempuan anak buahmu ini?" teriak Puja Sangara 

membentak dengan suara menggetar.

"Hahaha... apa susahnya memindahkan nyawa 

Tumenggung tak berguna itu ke alam Akhirat?" ujar 

Ninja Edan Lengan Tunggal.

Membludak kemarahan Puja Sangara seketika itu. 

Disertai teriakan histeris seakan halilintar membelah 

bumi, dia melompat menerjang Ninja Edan Lengan 

Tunggal. "Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu!"

Puja Sangara masih sempat membawa golok tipis-

nya yang ditemukan di sudut pembaringan di dalam 

kuil. Dia menerjang dengan senjata itu. Sebentar saja 

keduanya telah terlibat dalam pertarungan seru. Akan 

tetapi Ninja Edan cuma menghindari serangan saja


dengan sebentar-sebentar tertawa. Agaknya serangan-

serangan gencar Puja Sangara dianggap tak berarti 

bahkan dengan mudah dihindarkannya. Lagi-lagi Ninja 

Wadon melompat seraya berteriak. "Ketua! sudahlah! 

berikan padaku. Biar aku yang mengurusi!"

"Perempuan bejat! kau akan kubunuh terlebih du-

lu!" bentak Puja Sangara dengan menggerung. Dan... 

Whuk! Whukk!

Trang! Trang! Dua terjangan menabas telah di-

tangkis oleh si Ninja Wadon dengan sepasang gelang 

besinya. Hingga menimbulkan suara nyaring yang 

memercikkan lelatu api. Tiba-tiba Puja Sangara me-

lompat mundur. Kakinya terpacak ditanah dengan ku-

da-kuda yang kokoh. Sepasang lengannya membuat 

gerakan memutar. Nampak bergetaran, dan menim-

bulkan uap putih. Tak dapat disangsikan lagi kalau dia 

tengah mengeluarkan ilmu tenaga dalam pada sepa-

sang lengan, serta siap menerjang dengan jurus-jurus 

lain dari pada yang lain. Tampak bibir pemuda ini ber-

kemak-kemik membaca mantera. Sementara ingatan 

pemuda ini terpancang pada gurunya Panembahan 

Gumintar di puncak gunung Cula Badak.

Tampak dimata batin Puja Sangara pertapa tua itu 

berkata. "Jangan kau pergunakan jurus ilmu dan ajian 

Paweling Sukma bila kau dalam keadaan marah!" Akan 

tetapi tampaknya Puja Sangara sudah tak dapat mem-

bendung kemarahannya mengingat kematian sang 

ayah yang amat dihormati dan dicintai tewas di tangan 

si Ninja Edan Lengan Tunggal.

Dia merasa amat terhina karena lawannya si Ke-

tua komplotan rahasia melayani serangannya sambil 

tertawa mengejek dan meremehkan. Dia merasa malu 

pada dirinya sendiri karena dapat dijatuhkan oleh si 

Ninja Wadon, yang nyaris membuat dia melakukan

perbuatan hina! Ketika berguru pada Panembahan 

GUMINTAR dia mempelajari satu ilmu yang lain dari 

pada yang lain. inilah dia ilmu itu, yaitu sebuah ilmu 

kebatinan. Ilmu yang bisa merubah manusia berganti 

ujud, serta menjadi sakti mandra guna dalam sekejap. 

Tapi ilmu itu bisa menjadikan si empunya ilmu akan 

menjadi gila alias tidak waras otaknya kalau diguna-

kan dalam keadaan marah.

Dan Puja Sangara telah melanggarnya!

Ninja Edan Lengan Tunggal membelalakkan ma-

tanya ketika melihat sosok tubuh Puja Sangara beru-

bah menjadi sesosok makhluk berbulu mirip seekor 

gorilah yang menyeramkan. Matanya nyalang merah 

mengerikan. Wajah Ninja Edan Lengan Tunggal tiba-

tiba berubah pucat. Kakinya melangkah mundur dua 

tindak.

Kejadian itu ternyata tak luput dari mata sesosok 

tubuh di atas tebing yang agak rendah.

Dialah Roro Centil yang mengintai dari atas po-

hon.

Sebenarnya sejak tadi Roro sudah mau turun tan-

gan membantu pemuda itu. Akan tetapi entah menga-

pa Roro ingin tahu kehebatan Puja Sangara, hingga dia 

urungkan niat. Roro yang tahu dari pembicaraan siapa 

adanya kedua orang itu, semakin penasaran untuk 

mengetahui siapa sebenarnya si Ninja Edan Lengan 

Tunggal itu. Dugaannya adalah Joko Sangit. Bukan-

kah Joko Sangitpun seorang Ninja yang lengannya 

buntung? Bahkan beberapa bulan yang lalu dia pernah 

menjumpai Joko Sangit, yang menamakan dirinya si 

Brewok Lengan Tunggal.

Akan tetapi lagi-lagi dia urungkan niat, karena 

melihat kejadian aneh pada tubuh Puja Sangara yang 

berubah jadi mengerikan. "Hah? Ilmu apakah?" berka


ta Roro dalam hati. Apakah Puja Sangara berguru pada 

seorang golongan hitam? pikir Roro dalam benak.

Bhussss...! Cepat sekali Ninja Edan Lengan tung-

gal gunakan ilmu anehnya untuk menghilang dari 

tempat itu. Dengan membanting sebuah benda yang 

menimbulkan asap hitam bergulung, tubuh Ninja 

Edan Lengan Tunggal lenyap terbungkus asap.

Melihat demikian, Ninja Wadon yang sudah ber-

niat mau membunuh Puja Sangara dengan kedua tan-

gannya sendiri, jadi urungkan niat. Seketika tubuhnya 

menggigit gemetar. Begitulah takutnya dia melihat pe-

rubahan tubuh pemuda itu. "Celaka! lebih baik aku 

melarikan diri!" berkata Ninja Wadon dalam hati. Ber-

pikir demikian, Ninja Wadon segera balikkan tubuh

untuk melompat pergi. Akan tetapi tiba-tiba lengan si 

makhluk menyeramkan itu telah terulur panjang dan 

menyambar pinggang.

"Aaah?" tersentak kaget wanita ini. Serta merta 

lengannya menghantam lengan berbulu itu. Akan teta-

pi terkejut dia karena seperti menghantam kapas saja. 

Hantaman itu tak berarti. Bahkan kejap selanjutnya 

tubuhnya telah ditarik. Karena lengan itu kembali me-

luncur memendek. Dan... Sekejap si Ninja Wadon telah 

berada dalam Pelukan makhluk menyeramkan itu.

***

SEMBILAN

RORO CENTIL baru saja mau bertindak mengejar 

si Ninja Edan Lengan Tunggal yang menghilang dibalik 

asap, tiba-tiba telah urungkan lagi niatnya karena 

mendengar suara jeritan menyayat hati dari si Ninja


Wadon. Apa yang dilihatnya membuat Roro membela-

lakkan mata. Karena diiringi berderaknya suara tulang 

yang remuk, tampak tubuh wanita itu terkulai dalam 

pelukan si makhluk berbulu yang menyeramkan itu.

Bruk! Dengan keluarkan suara menggeram tubuh 

wanita itu dibantingkan ke tanah. Selanjutnya dengan 

buas makhluk itu menginjak-injak tubuh wanita cabik 

itu hingga remuk. Tampaknya makhluk itu puas su-

dah dengan apa yang telah dilakukannya. Dia berdiri 

memandangi tubuh lawannya. Lalu tiba-tiba berteriak 

menggeram dengan mata jelalatan mencari si Ninja 

Edan Lengan Tunggal yang telah tak kelihatan lagi ba-

tang hidungnya.

Selang sesaat dia terkulai lesu. Tubuh makhluk 

itu mendeprok di tanah. Tubuhnya terlihat bergetar 

hebat. Dan selang tak lama berangsur-angsur sosok 

tubuh yang menyeramkan itupun berubah lagi menjadi 

Puja Sangara.

Saat itulah Roro Centil melompat menghampiri. 

Tersentak Puja Sangara melihat Roro yang meman-

dangnya tak berkedip.

"Ssi...siapa kau?" bentak Puja Sangara. "apakah 

kau kawannya si wanita keparat ini ataukah kau anak 

buahnya si Ninja Edan Lengan Tunggal?" Roro tampil-

kan senyuman seraya berkata. "Aku bukan siapa-siapa 

dan tak ada hubungannya dengan kedua orang yang 

kau maksudkan itu. Apakah anda yang bernama Puja 

Sangara?" balas bertanya Roro setelah menjawab per-

tanyaan pemuda itu.

"Ada maksud apa kau mencariku?" tanya ketus 

laki-laki muda ini.

"Aku Roro Centil! aku pernah menolongmu ketika 

kau bertarung dengan kawanan penjahat dihutan Ka-

liki! Tujuanku menemuimu adalah membawa amanat


dari ayahmu Tumenggung Kaniraga. Beliau memang 

benar telah tewas di tangan si Ninja Edan Lengan 

Tunggal! Dan wasiat itu adalah menyuruhku memban-

tu perjuangan mu, dalam menggulung komplotan ra-

hasia yang diketuai si Ninja Edan Lengan Tunggal!" tu-

tur Roro.

Puja Sangara menyimak kata-kata Roro. Akan te-

tapi tampaknya dia amat kesulitan untuk memahami. 

Dia berusaha mengkonsentrasikan ingatan, tapi selalu 

saja buyar. Dalam keadaan demikian Puja Sangara 

hanya mampu tertawa dan menjawab dengan berteriak 

keras.

"Ayahku sudah tewas! Pembunuhnya adalah si 

Ninja Edan Lengan Tunggal! Tak seorangpun kuizin-

kan mencampuri urusanku! Hahaha... haha... aku tak

kenal Roro Centil! Dan aku tak perlu bantuan siapa-

siapa!

Hahaha... haha... tunggulah kau Ninja Edan Len-

gan Tunggal. Kemanapun kau pergi takkan luput dari 

tanganku!"

Seusai berkata Puja Sangara tertawa berkakakan.

Dan tiba-tiba berkelebat melompat, lalu berlari ce-

pat meninggalkan tempat itu.

Dari kejauhan masih terdengar suaranya berte-

riak-teriak.

"Adipati Rekso Seto! pengkhianat Kerajaan! Kau 

yang akan terlebih dulu kuhancurkan! Karena kaulah 

dalangnya kericuhan ini. Hahaha... dan kau Carik Kar-

tomarmo! kau si pelempar batu sembunyi tangan yang 

bekerja sama dengan Adipati keparat itu. Kaupun tak-

kan luput dari kematian! hahaha.....hahaha..."

Terhenyak Roro Centil melihat perubahan sikap 

Puja Sangara. Sadarlah Roro kalau pemuda itu telah 

berubah tidak waras otaknya.


Dalam ketercenungannya mendengar kata-kata 

Puja Sangara barusan, tiba-tiba Roro tersadar ketika 

mendengar suara keluhan dari atas tebing. Sekejap dia 

telah melompat ke atas. Dan didapati dara Kerudung 

Biru telah sadarkan diri dari pingsannya.

Gadis Kerudung Biru terpaku memandang sosok 

tubuh si Ninja Wadon saudara kembarnya yang sudah 

tak berbentuk lagi. Pelahan Roro bertindak mengham-

piri, lalu bimbing lengannya untuk menjauh.

"Sudahlah! Tuhan sudah menggariskan kematian-

nya sedemikian rupa. Kau tak perlu mendendam pada 

Puja Sangara. Bahkan Sebaliknya kau harus mengasi-

haninya, karena saat ini dia dalam keadaan tidak wa-

ras!" ujar Roro.

"Tidak! aku takkan mendendam padanya, kakak 

pendekar Roro. Kematian saudara kembarku memang 

sudah layak. Dia seorang yang kejam. Banyak perbua-

tan terkutuk yang telah dia lakukan. Dan bila setiap 

laki-laki telah puas menuruti hawa napsunya tak se-

gan-segan dia membunuhnya. Sekali lagi aku ucapkan 

terimakasih atas pertolongan anda, kakak Pendekar 

Roro. Sungguh girang sekali aku bisa berjumpa dengan 

anda.

Nama besarmu sudah kudengar sejak lama. Men-

gapa kau sudi menolongku, kakak Roro? Bukankah 

aku termasuk anggota komplotan rahasia yang menja-

di musuh setiap kaum pendekar?" berkata si kerudung 

Biru. Roro Centil tersenyum dan tertawa kecil.

"Hihihi... siapa yang tak tahu pribadimu sebenar-

nya? Bukankah kau telah mengatakan bahwa kau 

membenci komplotan itu. Dan kau akan keluar dari 

keanggotaannya? Kesadaranmu itulah yang membuat 

aku menolongmu. Di samping itu aku perlu keterangan 

lebih terperinci mengenai komplotan itu. Kau tak boleh

mati. Bahkan aku berjanji akan melindungimu dari ke-

jaran komplotan rahasia itu yang pasti menginginkan 

nyawa mu!" ujar Roro dengan suara tegas.

Terpaku si Kerudung Biru menatap pada Roro. 

Sepasang mata yang indah itupun kembali berkaca-

kaca. Dan tiba-tiba dia jatuhkan dirinya berlutut di 

hadapan wanita Pendekar Pantai Selatan. "Budi baik-

mu terlalu besar, kakak Pendekar. Ah, entah bagaima-

na aku harus membalasnya?"

"Aiiii....! sudahlah! hayo kau bangun adik manis!" 

berkata Roro. Lengannya terulur menempel ke pundak 

si gadis Kerudung Biru. Gadis ini tiba-tiba rasakan se-

perti ada tenaga yang amat luar biasa yang mengang-

kat tubuhnya hingga dia kembali berdiri.

"Baiknya jenazah saudara kembar mu itu dikebu-

mikan. Secepatnya kita pergi dari sini!" berkata Roro 

seraya menyuruti si Kerudung Biru menyingkir ke sisi. 

Pendekar Wanita Pantai Selatan ini tumpukan telapak 

tangannya pada bawah telapak tangan kanannya yang 

berdiri. Tampak telapak tangan itu kepulkan uap pu-

tih. Mata Roro menatap pada jenazah si Ninja Wadon.

Tiba-tiba dia berseru keras seraya arahkan telapak 

tangannya pada tanah di sebelah depan jenazah. Sela-

rik sinar perak meluncur.

Dan... Bhlarrrr!

Tanah menyemburat membuat lubang besar dide-

kat jenazah si Ninja Wadonpun telah lenyap teruruk 

tanah. Dengan cara itu Roro telah mengebumikan sang 

jenazah tanpa harus bersusah payah menggali tanah.

Dara Kerudung Biru memuji kagum. Bibirnya ke-

luarkan desisan lirih.

"Ah, jurus pukulan yang hebat!" Namun dia tak 

dapat berlama-lama berdiri di tempat itu, karena len-

gan Roro telah menyambarnya untuk dibawa berkelebat, seraya berkata.

"Hayo, adik manis, kita pergi dari sini!" Tentu saja 

si Kerudung Biru tak dapat tidak harus mengikuti la-

rinya si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Hingga dalam 

beberapa kejap saja kedua dara cantik itu telah lenyap 

dari tempat itu...

***

SEPULUH

Dari si dara Kerudung Biru itulah Roro berhasil 

mengorek keterangan mengenai komplotan rahasia 

yang didalangi oleh Adipati Rekso Seto itu. Ternyata 

bukan saja Adipati itu bekerja sama dengan kaum 

penjahat, tapi juga mendirikan markas yang berada 

dibukit Nala Gareng.

Kelicikan komplotan rahasia yang didalangi Adipa-

ti Rekso Seto adalah dengan mengadakan persekong-

kolan dengan Carik Kartomarmo yang berhubungan 

dengan kaum penjahat. Dimana telah direncanakan 

satu kejahatan atau perampokan yang dilakukan oleh 

orang-orang carik Kartomarmo sendiri. Kemudian di-

adakan laporan yang seolah didengar oleh Adipati Rek-

so Seto. Maka segera lasykar pasukan Kadipaten men-

gejar ke sarang penjahat untuk menumpas mereka.

Hasilnya? Komplotan penjahat seolah telah dapat 

digulung oleh pasukan prajurit Kadipaten.

Tentu saja tak ada yang tahu seluk beluknya, ke-

cuali "orang-orang sendiri" dari komplotan terselubung 

itu. Raja hanya menerima laporan yang menggembira-

kan dari Adipati Rekso Seto.

Tampaknya dimata Raja, keadaan wilayah pemerintahan yang dipasrahkan dalam pembinaan Adipati 

Rekso Seto aman sentosa. Padahal di dalamnya penuh 

kemelut. Penculikan gadis hampir sering terjadi dua ti-

ga kali dalam satu bulan. Perampokan, pemerasan, 

pemerkosaan. Bahkan yang membuat Roro menjadi 

gregetan adalah Adipati itu membangun sebuah istana 

kecil yang di dalamnya ditempatkan perempuan-

perempuan cantik hasil penculikan. Pada tiap kesem-

patan Adipati Rekso Seto tentu menyinggahi "Istana" 

itu untuk memuaskan hasratnya.

Tempat itu dijaga ketat, dan mempunyai, tempat 

yang tersembunyi hingga sukarlah orang menemukan. 

Disamping di tempat itu banyak berkumpul jago-jago 

silat bayaran yang di bawah perintah Carik Kartomar-

mo.

Suara tertawa cekikikan terdengar di satu ruangan 

dalam "Istana" rahasia itu yang dibarengi dengan sua-

ra laki-laki. Dalam ruang itu ternyata tampak Carik 

Kartomarmo dalam keadaan terlentang, dipembaringan 

berseprei bersih dikelilingi tiga orang wanita cantik 

yang memijiti tubuhnya dengan sebentar-sebentar ter-

tawa mengikik.

"Berapa kali dalam sepekan Adipati Rekso Seto da-

tang kemari?" tanya Cari Kartomarmo sambil meram-

melek merasakan kenikmatan.

"Tidak tentu, Den.! kadang-kadang sepekan sekali, 

tapi terkadang satu pekan sampai tiga empat kali da-

tang!" sahut wanita yang memijiti bahunya. Karto-

marmo manggut-manggut. Sementara diam-diam dia 

bersyukur dalam hati karena terhindar dari bahaya. 

Dalam terlena itu dia terbayang pada kejadian dua hari

yang lalu. Kalau saja dia datang ke Puri Kuno pada 

malam itu, tentu dia tak dapat berleha-leha seperti se-

karang ini. Karena belasan anak buah Puja Sangara telah menantinya. Rencana untuk membekuk Carik Kar-

tomarmo gagal, karena diketemukannya mayat Sento 

yang dibunuh Gudri oleh tiga orang jago silat bayaran 

Kartomarmo. Ketiga orang laki-laki yang menamakan 

dirinya si Tiga Ular Weling segera melaporkan pada Ca-

rik Kartomarmo. Untung saja dia yang sudah mau be-

rangkat pergi ke Puri Kuno, segera gagalkan maksud-

nya.

Sebagai gantinya dia mengutus si Tiga Ular Weling 

untuk melihat ada apa sebenarnya di Puri Kuno. Dia 

curiga kalau-kalau itu rencana Puja Sangara yang di-

ketahui telah bergabung dengan belasan orang-orang 

Adipati Rekso Seto dan sudah diketahuinya menjadi

duri penghalang yang harus dilenyapkan!

Akibatnya anak-anak buah Puja Sengara habis 

menemui ajal dibantai si Tiga Ular Weling tanpa am-

pun. Ketiga laki-laki jago silat bayaran itu bukanlah 

tandingan mereka. Carik Kartomarmo secepatnya sege-

ra terima laporan dari si Tiga Ular Weling tentang ter-

basminya anak buah Puja Sangara. Selesai memberi 

imbalan, Carik Kartomarmo segera menghubungi Adi-

pati Rekso Seto, lalu mengatur rencana selanjutnya, 

karena keadaan boleh dikatakan amat gawat. Surat 

Adipati bisa dijadikan barang bukti pengkhianatannya 

selama ini yang mencemarkan nama baik Kerajaan. 

Oleh sebab itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Puja 

Sangara harus dibunuh secepatnya dan Tumenggung 

Kaniraga harus segera disingkirkan!

Demikianlah hingga terbunuhnya Tumenggung 

Kaniraga oleh si Ninja Edan Lengan Tunggal, sehabis 

bercakap-cakap dengan Adipati Rekso Seto yang sen-

gaja diundang oleh Adipati busuk itu untuk melaku-

kan rencana kejinya. Namun sayang, Puja Sangara da-

pat meloloskan diri. Yang kemudian dikejar oleh Ninja


Wadon dan Ninja Edan Lengan Tunggal, seperti diceri-

takan dibagian depan.

Waktu itu penjagaan memang segera diperketat. 

Orang-orang Komplotan Rahasia disebar disetiap tem-

pat. Bahkan kepergian Carik Kartomarmo ke tempat 

rahasia itu untuk bersantai dengan ditemani tiga wani-

ta-wanita cantik itu, gedung kediamannya telah dijaga 

ketat oleh orang-orangnya.

Siang itu cukup terik. Panasnya menyengat kulit. 

Tapi dalam ruangan kamar itu Carik Kartomarmo tak 

merasakannya. Dua orang wanita itu telah menyingkir, 

ketika sang Carik itu segera merengkuh tubuh mulus 

wanita yang satu ini. Wanita ini memang mempunyai 

bentuk tubuh yang amat mempesona, selain juga ber-

wajah cantik. Terengah-engah si dara cantik ketika si 

tua bangka ini dengan gejolak nafsu yang sudah tak 

terbendung. Lengannya mencengkeram dada wanita 

itu hingga si wanita menyeringai. Kedua tubuh itu sal-

ing bergelinjangan berbaur dengan napas sang Carik 

yang memburu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar te-

lah diketuk orang.

"Siapa?" teriak Carik Kartomarmo dengan wajah 

berubah. Tak biasanya ada yang berani mengganggu

dia bila sedang berada dalam kamar.

"Kami, Den Bei..! Menyahut suara diluar. "Kami 

siapa?! bentak Kartomarmo dengan bergegas menge-

nakan pakaian. Perempuan itu didorong seraya diberi 

isyarat untuk lekas menyingkir. Bergegas wanita itu 

menyambar pakaiannya, langsung menghambur keluar 

dari pintu rahasia.

"Kami, Tiga Ular Weling!"

Sahutan itu agak melegakan hatinya. Tapi mem-

buat dia terkejut, karena kedatangan si Tiga Ular Wel-

ing yang mendadak itu tentu membawa berita atau laporan. Sementara dia merasa hatinya tak enak. Tak 

lama lengan Carik Kartomarmo gerakkan sebuah ben-

da dikolong tempat tidur. Dan... Klik! Kunci pintu ka-

mar itu telah membuka.

"Masuklah!" berkata Kartomarmo. Dia telah siap 

menyambut dengan pakaian yang telah dirapikan.

Tampak pintu bergerak didorong dari luar. Dan ti-

ga sosok tubuh melangkah masuk. Ternyata benar si 

Tiga Ular Weling adanya. Wajah ketiga laki-laki jago si-

lat bayaran yang biasanya bertampang seram itu, kali 

ini unjukkan wajah pucat bagai kertas.

"Cepat laporkan apa yang kalian mau laporkan? 

Mengapa cuma berdiri membisu?" membentak Carik 

Kartomarmo tak sabar menunggu kata-kata si Tiga 

Ular Weling. Akan tetapi betapa terperanjatnya sang 

Carik ini ketika tahu-tahu ketiga sosok tubuh itu ber-

jatuhan ambruk ke lantai. Membuat dia melompat ka-

get. Ketika memeriksa ternyata si Tiga Ular Weling itu 

telah tewas. Dari mulut, mata, telinga dan hidung me-

reka semburkan darah berwarna kuning.

"Ah!? Racun Kuning..!?" tersentak kaget Carik Kar-

tomarmo. Seketika wajahnya berubah pucat. Karto-

marmo yang telah cukup berpengalaman segera men-

getahui kalau si Tiga Ular Weling telah terkena satu 

pukulan ganas yang mengandung racun kuning. Jelas 

terlihat dari warna darah ketiga orang jagoan andalan-

nya itu. Yang membuat wajahnya berubah pucat ada-

lah si pemilik pukulan Racun Kuning adalah orang 

yang paling ditakutinya.

"Ahh... apakah kakek PAMOKSA telah muncul dari 

"Lubang Kuburnya?" Bagaimana dia dapat terlepas da-

ri penjara bawah tanah itu? desisnya dengan tubuh 

menggeletar. Pemilik pukulan Racun Kuning itu siapa 

lagi kalau bukan PAMOKSA alias si IBLIS RACUN

KUNING!

***

SEBELAS

Memikir demikian, Garik Kartomarmo sudah mau 

menghambur untuk melarikan diri masuk pintu raha-

sia. Akan tetapi telah terdengar suara tertawa menge-

keh serak dan berat, diiringi munculnya di depan pintu 

sesosok tubuh kurus kering bagai jerangkong. Pa-

kaiannya sudah compang camping tak keruan. Kakek 

ini berambut putih yang gondrong sebatas bahu tak te-

rawat.

Bahkan bau tubuhnya santar menusuk hidung.

“Hehehehe... Heheh... LINDU SONGO! kau mau la-

ri kemana?" "Bila kau kabur lewat pintu rahasia, dis-

ana telah menunggu seorang muridku yang telah siap 

mengirim nyawamu ke liang akhirat. Akan tetapi bila 

kau tak lari, toh kau akan bernasib sama! Mungkin 

kau tak begitu cepat mati. Karena aku akan jebloskan 

kau dalam penjara kuburan itu menjadi pengganti ku!" 

berkata Pamoksa. Lalu tertawa berkakakan terkekeh-

kekeh.

"Pa... Pamoksa? bagaimana kau masih bisa hidup 

dan keluar dari penjara itu setelah lewat 10 tahun?" 

berkata Kartomarmo dengan suara datar. Dia telah 

bersikap merubah kepucatan wajahnya dengan sikap 

biasa. Karena Carik Kartomarmo yang nama sebenar-

nya adalah LINDU SONGO itu adalah tokoh golongan 

hitam yang punya banyak pengalaman. Segera dia me-

nyadari. Rasa takut akan membuat akal orang menjadi 

buntu. Sedangkan ketenangan akan menguntungkan,


karena akal dapat berjalan baik!

Pertanyaan ini membuat Pamoksa kembali terke-

keh. Lalu menjawab dengan mendengus di hidung.

"Heh! Sudah beberapa bulan yang lewat aku lolos 

dari penjara keparat itu. Bahkan kalau aku mau su-

dah sejak tiga tahun yang lalu aku tinggalkan penjara 

bawah tanah itu untuk ku segera mencarimu dan 

membunuh mu! Tapi aku harus menamatkan ilmu-

ilmuku. Kini aku benar-benar telah tinggalkan penjara 

keparat itu untuk selamanya, karena sudah waktunya 

aku membunuhmu!"

Akan tetapi kata-kata Pamoksa tak membuat wa-

jah Kartomarmo berubah. Walau sebenarnya dia amat 

terkejut luar biasa. Kakek bernama Pamoksa itu ada-

lah paman gurunya. Seorang yang berilmu tinggi. Ber-

watak brangasan dan telengas.

Nama Kartomarmo sendiri sebenarnya Lindu Son-

go. Lindu Songo tak dapat dikatakan seorang yang 

berwatak baik. Karena dia seorang yang amat doyan 

dengan wanita cantik. Hingga anak gadis gurunya sen-

diri "dimakan" nya juga. Hingga dia harus berurusan 

dengan gurunya. Bahkan dengan akal licik terpaksa 

dia membunuh sang guru yang telah melabraknya, ka-

rena gusar anak gadisnya dikerjai si murid gila ini.

Lindu Songo selanjutnya berpetualang menjadi 

"pendekar" pembela si lemah menindas si kuat. Tapi 

tujuannya adalah untuk mendapatkan kesenangan. 

Kalau tak harta benda tentulah wanita cantik yang di-

incarnya. Perbuatannya amat licik, yang dapat dium-

pamakan sebagai Musang berbulu Ayam.

Lindu Songo teringat kalau dia punya seorang 

guru bernama PAMOKSA. Akal liciknya kembali timbul 

untuk memperdaya sang paman guru. Dia mendatangi 

tempat kediaman Pamoksa, lalu menceritakan tentang


tewasnya Ki BERGOLA (sang guru) dengan dikarang ja-

lan cerita palsu. Dikatakan bahwa si pelakunya adalah 

adik Adipati Manyar Dewa yang pada waktu itu kera-

jaan masih diperintah oleh Prabu Candra Bayu. Kera-

jaan yang sekarang diperintah oleh Prabu SASRA 

BHESWARA. Akibatnya PAMOKSA mengamuk dige-

dung Kedipatian. Menuntut Adipati Manyar Duwa un-

tuk menyerahkan adiknya, dan bertanggung jawab 

atas perbuatan keji dan amoral Manyar Langit. Dalam 

kerusuhan itu, Lindu Songo mengambil kesempatan 

menculik anak gadis Adipati Munyir Dewa. Setelah 

puas mereguk madusari, anak Adipati itupun dibu-

nuhnya untuk menutupi kejahatannya.

Pertarungan digedung kedipatian membuat tewas-

nya Adipati Manyar Dewa, juga adik Adipati itu. Se-

mentara dalam kesempatan dikala terjadi kerusuhan, 

Lindu Songo tak lewatkan kesempatan untuk meram-

pok harta benda Adipati Manyar Dewa. Sempat-

sempatnya pula dia meniduri istri sang Adipati.

Lindu Songo yang berniat mempelajari ilmu puku-

lan Racun Kuning dari sang paman guru, akhirnya tak 

kesampaian. Karena Pamoksa telah tertawan oleh to-

koh Kerajaan, yaitu Patih GAJAH SORA. Ki Patih Gajah 

Sora berbaik hati tak membunuh Pamoksa. melainkan 

setelah memunahkan kekuatan Pamoksa hingga men-

jadi orang tanpa daksa, yang kehilangan tenaga dalam 

seumur hidupnya. Dia dijebloskan dalam penjara ba-

wah tanah!

Keringat dingin mencucur disekujur tubuh Lindu 

Songo alias Carik Kartomarmo. Memikir dirinya telah 

terkurung tak dapat meloloskan diri, tiba-tiba laki-laki 

tua ini hantamkan telapak tangannya ke langit-langit 

kamar.

Di iringi suara berkerotakan hancurnya langit

langit kamar, tak menunggu waktu lagi tubuh Carik 

Kartomarmo telah melesat keluar dari jebolan langit-

langit kamar itu. Membaur diantara kepingan genting 

yang melayang di udara, tampak tubuh Carik Karto-

marmo yang dengan gerakan kilat segera totolkan 

ujung kaki ke arah pecahan genting. Hebat! mengan-

dalkan kekuatan ilmu meringankan tubuh yang amat 

sempurna, secepat kilat Lindu Songo telah melesat ba-

gai anak panah berkelebat ke arah hutan.

Menggembor marah Pamoksa. Tentu saja dia tak 

mau buruannya kabur menghilang begitu saja dari de-

pan hidungnya. Tubuh kakek ini berkelebat 10 tombak 

ke udara, dan berkelebat bagaikan bayangan hantu 

putih mengejar Lindu Songo. Sementara itu diarah lain 

yaitu tepat disisi mulut hutan, sesosok tubuh berkele-

bat pula memburu bayangan tubuh Lindu Songo yang 

melarikan diri.

Beralih sejenak ke lain tempat.

Sesosok tubuh berpakaian jubah hitam berdiri te-

gak di atas tebing, dimana dibawahnya terhampar hu-

tan belantara. Angin pegunungan yang bertiup mem-

buat jubah laki-laki bertopeng ini berkibaran. Begitu 

pula lengan jubahnya. Jelaslah kalau orang ini tak lain 

dari si Ninja Edan Lengan Tunggal!

Belum lagi sepeminuman teh laki-laki itu berdiri 

disitu mendadak terdengar suara tertawa merdu mero-

bek keheningan, dan sesosok tubuh muncul di bela-

kang si Ninja Edan Lengan Tunggal.

"Hihihi.....Bagus! Sungguh kebetulan! hari ini aku 

bisa berhadapan dengan salah seorang anjingnya Adi-

pati Renggo Seto! Dan manusianya adalah orang yang 

sungguh tak kusangka dan diluar dugaanku sama se-

kali. Heh! ... JOKO SANGIT! begitukah perbuatan seo-

rang pendekar murid si Pendekar Gentayangan?".


Laki-laki jubah hitam yang kepalanya terbungkus 

kain hitam ini ternyata masih tetap berdiri tanpa 

membalikkan tubuh mendengar kata-kata dibelakang-

nya. Agaknya diapun sudah mengetahui siapa yang 

datang.

"Balikkan tubuhmu menghadap ke arah ku, Joko 

Sangit! Buka topengmu! Apakah kau malu? Ataukah 

mukamu rusak hingga kau terus menutupinya?" ber-

kata wanita dibelakang si Ninja Edan Lengan Tunggal. 

Akan tetapi laki-laki ini tetap tak menggubrisnya.

Hal itu membuat si wanita jadi mendongkol. Akan 

tetapi tetap dia menunggu reaksi laki-laki itu. Siapa 

adanya wanita itu? Ternyata siapa lagi kalau bukan 

RORO CENTIL si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Ka-

rena si Ninja Edan Lengan Tunggal tetap tak menggu-

brisnya, Roro mulai kesal dan membanting kaki den-

gan membentak. Suaranya seperti mau menangis. Dan 

memang disudut kelopak mata itu telah tersembul seti-

tik air bening.

"Joko Sangit...! Sungguh perbuatanmu membuat 

aku tak bersimpati terhadapmu. kau sungguh orang 

yang punya hati! Betapapun besarnya cintaku pada-

mu, namun karena perbuatanmu yang membantu ma-

nusia seperti Adipati Reggo Seta membuat hatiku ter-

luka! Baiklah! hari ini kulupakan semua kenangan 

manis masa lalu! hari ini semuanya telah menjadi te-

rang. Ternyata kau bukanlah orang yang aku idamkan! 

Maka hari ini pula aku akan menghentikan petualan-

ganmu!" Selesai berkata Roro Centil perdengarkan sua-

ra melolong panjang yang lebih menyerupai jeritan me-

lengklng. itulah ungkapan hati yang penuh dengan ke-

kecewaan yang diungkapkan Roro dengan jeritan me-

lengking panjang.

Dan belum lagi terputus suara jeritan yang menyerupai lengkingan serigala itu, tubuh Roro berkelebat.

Lengannya terangkat menghantam ke arah pung-

gung si Ninja Edan Lengan Tunggal. Selarik cahaya pe-

rak berkelebat. Itulah pukulan jarak jauh yang berna-

ma ilmu pukulan SELAKSA PETIR. Akan tetapi puku-

lan ganas yang mengerikan itu lewat disamping laki-

laki Ninja Edan Lengan Tunggal, sedangkan laki-laki 

itu masih tetap berdiri tak bergeming.

Terdengarlah suara ledakan keras. Belahan pohon 

disisi tebing dimana laki-laki itu berdiri terbakar han-

gus.

Sedangkan Roro tampak dengan membanting kaki 

dan mata merah mau menangis menatap laki-laki itu 

dengan terpaku...

Seandainya dia tak miringkan tangannya dikala 

menghantam tadi, tak dapat disangsikan lagi tubuh si 

Ninja Edan Lengan Tunggal akan bernasib sama den-

gan pohon-pohon itu. Tentu saja dia melengak, karena 

laki-laki itu tak berupaya mengelakkan diri.

Sesaat suasana kembali hening. Dan dalam kehe-

ningan yang mencekam itu, terdengar suara si Ninja 

Edan Lengan Tunggal yang perdengarkan suara terta-

wanya. Suara tertawa tawar yang bernada hambar.

"Hahaha... mengapa kau urungkan niatmu mem-

bunuhku, Roro? Bukankah aku telah membuat kau 

kecewa? Bukankah aku telah menyakitkan hatimu? 

Bukankah seribu kekecewaan telah kau dapati dari di-

riku?"

"Joko Sangit! mengapa kau tak mengelakkan diri? 

Aku enggan membunuh orang yang tak mau melaku-

kan perlawanan. Hayo, persiapkan dirimu untuk 

menghadapi aku! Kita bertarung sampai ada yang te-

was salah satu diantara kita!" teriak Roro dengan menahan isak.

Akan tetapi Ninja Edan Lengan Tunggal kembali 

tertawa hambar.

"Percuma! apakah keuntungannya? toh hanya 

akan membuat manusia pengacau yang mempitnahku 

justru bergirang hati!" ujar Ninja Edan Lengan Tung-

gal. Terhenyak Roro Centil menatap laki-laki itu den-

gan terheran.

"Siapa orang yang telah mempitnahmu? Dan keja-

dian apakah sebenarnya dibalik semua ini?" tanya Ro-

ro agak lirih. Namun sebagai jawabannya Ninja Edan 

Lengan Tunggal perdengarkan suara tertawa gelak-

gelak. Dan BHUSSSS! tubuhnya lenyap seketika dian-

tara gumpalan asap hitam. Roro terperangah. Dan saat 

itu terdengar suara kata-kata si Ninja Edan Lengan 

Tunggal.

"Kelak kau akan mengetahuinya! Datanglah ke 

lembah padang Alang-alang pada malam purnama hari 

keempat belas tiga hari lagi...!"

Suara itupun lenyap bersamaan dengan lenyapnya 

asap hitam yang bergulung-gulung menghalangi pan-

dangan mata Roro Centil.

Roro tertegun beberapa saat. Diam-diam dia me-

muji kehebatan ilmu NINJA laki-laki itu. Setelah 

menghela napas, tubuh si pendekar wanita itupun 

berkelebat lenyap dari tempat itu.

***

DUA BELAS

"CARIK KARTOMARMO! kau tak akan dapat melo-

loskan diri lagi dari kematianmu!" bentakan menggele-

dek terdengar. Dan di hadapan Lindu Songo telah ber


diri sesosok tubuh yang tak lain dari PUJA SANGARA. 

Dialah orang yang sembunyi disisi mulut hutan tadi.

Mendelik mata laki-laki ini. Namun dia telah cabut 

keris pusakanya dari balik punggung. Tanpa ayal lagi 

dia telah menerjang diiringi bentakan.

"Puja Sangara! kaulah yang segera akan pergi ke 

alam baka menyusul ayahmu!" Hebat serangan carik 

Kartomarmo alias Lindu Songo ini. Serangan keris pu-

sakanya bertubi-tubi mengirim tusukan maut ke arah 

lawannya. Seolah-olah tubuh Puja Sangara terbungkus 

oleh sinar hijau yang mengurungnya. Hingga sukar 

bagi laki-laki itu meloloskan diri.

Namun laki-laki itu dengan tangkas berkelebat ke-

sana-kemari menghindari gencarnya tusukan senjata 

lawan. Bahkan dengan menggerung keras tubuh Puja 

Sangara mendadak telah berubah menjadi besar dan 

dihadapan carik itu bukan lagi Puja Sangara, melain-

kan seekor makhluk yang mirip gorila yang begitu me-

nyeramkan.

Terkejut Lindu Songo. Namun bibirnya segera ber-

kemak-kemik membaca mantera. Mendadak tubuh la-

ki-laki ini telah berubah menjadi sebentuk asap. Asap 

itu membumbung lenyap. Tentu saja membuat sang 

gorila seperti terheran karena kehilangan buruannya. 

Tiba-tiba terdengar suara bentakan Pamoksa.

"Lindu Songo pengecut!! tampakkan dirimu!" Ka-

kek itu ternyata telah berada ditempat itu. Melihat ke-

datangan Pamoksa, Puja Sangara segera berkata.

"Dia sudah kabur, guru! Hehehe... hahaha... dia 

pintar dan licik. sedangkan kau dan aku tolol! Haha-

ha... tolol! Dan yang paling tolol adalah kau si tua 

bangka! Ilmu-ilmumu tak mampu untuk berbuat apa-

apa...!

"Bocah keparat!" bentakan keras Pamoksa seperti


menggelarkan tanah.

Detik itu juga lengannya bergerak menghantam ke 

arah Puja Sangara. Sukar untuk diduga kalau kakek 

itu bertindak demikian Tanpa ampun lagi terdengarlah 

suara berderaknya tulang kepala. Dan detik berikut-

nya tubuh laki-laki itu roboh ke tanah. Darah memun-

crat bercampur otak. Seketika itu juga nyawa Puja 

Sangara langsung melayang ke alam baka.

Pamoksa menatap tubuh sang muridnya dengan 

dada turun naik. Jelas kalau kakek ini amat tersing-

gung mendengar kata-kata sang murid. Agaknya me-

mang sudah hari naas Puja Sangara harus tewas di-

tangan gurunya sendiri akibat otaknya yang tidak wa-

ras.

"Lebih baik kau mati! kukira itu jalan terbaik ba-

gimu bocah! Dari pada kau hidup dengan otak sinting! 

Salahmu! kau melanggar pantangan mempergunakan 

ilmu itu!"

Setelah berkata demikian, kakek inipun berkelebat 

pergi dari tempat itu.

***

Kemunculan Pamoksa digedung kadipatian telah 

membuat gempar para prajurit kedipatian. Tentu saja 

karena sebelah lengan kakek ini mencekal tengkuk 

seorang tamtama yang kepalanya telah terkulai karena 

lehernya patah. Tak seorangpun dari para prajurit 

yang berani mendekati. Mereka cuma mengurung si 

kakek menyeramkan ini dari jarak yang agak jauh.

Melihat demikian tiga orang kepala prajurit me-

lompat ke arah Pamoksa. Tiga laki-laki ini langsung 

mencabut masing-masing senjatanya. Salah seorang 

membentak keras.


"Manusia tua bangka manakah yang berani bikin 

onar disini?"

"Kakek yang sudah dekat liang kubur! apakah kau 

mencari mampus?!" bentak pula seorang dari kepala 

prajurit itu. Akan tetapi si kakek Cuma mendengus. 

Lengannya bergerak, dan... Krraak! putuslah buah ke-

pala prajurit yang dicekal tengkuknya itu. Darah me-

mancur deras. Blug! batang tubuh prajurit yang sial

itu dilemparkan dihadapan ketiga orang kepala prajurit 

itu. Sedangkan sebelah lengannya masing mencekal 

buah kepala prajurit itu yang dicengkeram rambutnya.

Melihat kekejian kakek tua yang entah dari mana 

munculnya itu dan entah kesalahan apa si prajurit sial 

penjaga pintu itu hingga menemui ajal ditangan si ka-

kek, ketiga kepala prajurit itu membeliakkan mata. 

Dan serentak mereka telah menerjang dengan masing-

masing senjatanya.

Akan tetapi apa yang terjadi? Sekali si kakek men-

gibaskan lengannya terdengarlah jeritan-jeritan me-

nyayat hati dibarengi dengan terlemparnya tiga tubuh 

kepala prajurit itu. Dalam waktu cuma sekejap mata 

ketiga orang kedipatian itu telah menggeletak tak ber-

nyawa, sementara senjata-senjata mereka terlempar 

entah kemana.

Puluhan tamtama berteriak kaget. Wajah-wajah 

mereka menjadi pucat tak berdarah. Mereka mundur 

beberapa belas langkah. Terkejut Adipati Rekso Seto 

melihat siapa yang telah muncul dan membuat kericu-

han di gedung Kedipatian. Tersentak dia mengetahui 

tiga orang kepala prajurit yang kepandaiannya tak da-

pat dikatakan rendah telah berkaparan tak bernyawa 

dengan tulang dada remuk.

Akan tetapi Adipati Rekso Seto segera menampak-

kan senyum menyeringai diwajahnya. Bibirnya mengguman lirih. "Bagus! untuk mendapatkan ikan besar 

memang harus mengorbankan ikan-ikan kecil sebagai 

umpan. Si Pamoksa ini bisa ku peralat untuk menjadi

orangku! hehehe... Dan tak ayal lagi dia telah me-

lompat keluar dari dalam ruang pendopo.

"Haiih! kiranya kakek Pamoksa! Apakah yang ter-

jadi, sahabat? Kukira telah terjadi kesalahan paham. 

Kuharap anda dapat memaafkan sikap para tamtama-

ku yang tak mengadakan penyambutan terhadap anda 

sobat Pamoksa!" berkata Adipati Rekso Seto dengan 

menjura. Lalu berpaling pada para prajuritnya.

"Hei! Mengapa kalian bersikap bermusuhan pada 

sahabat dan orang sendiri? Hayo, lekas kalian singkir-

kan tiga mayat itu!" teriak Adipati Rekso Seto. Para 

prajurit Kedipatian itu tentu saja melengak heran. Na-

mun segera mereka menjalankan perintah. Belasan 

orang lepaskan senjatanya dan bergerak cepat menggo-

tong mayat-mayat ketiga kepala prajurit itu termasuk 

batang tubuh tanpa kepala si prajurit sial.

Lalu dengan menjura setelah mayat-mayat yang 

berkaparan itu digotong pergi, Adipati Rekso Seto 

kembali menjura.

"Maafkan sikap penyambutan kami yang kurang 

ajar, sahabat Pamoksa. Selamat datang kami ucapkan 

pada anda, dan ada prihal apakah maksud kedatangan 

sahabat Pamoksa kemari?" berkata ramah Adipati 

Rekso Seto.

"Heh? 10 tahun aku dikurung dalam penjara ba-

wah tanah adalah akibat pitnah keji yang dilakukan 

Lindu Songo dan kau sendiri! Kedatanganku adalah 

untuk mengambil nyawa mu! karena kau termasuk 

komplotan manusia pengacau yang harus dile-

nyapkan!" berkata Pamoksa dengan menggereng dan 

mata menatap tajam seperti mau menembus jantung


sang Adipati.

Tersentak kaget Adipati Rekso Seto, tapi tak ken-

tara pada raut mukanya. Namun kakinya tak terasa te-

lah menyurut mundur selangkah.

"Ah, sabarlah dulu sobat Pamoksa...!" cepat-cepat 

dia berkata. "Anda jangan salah pengertian. Mengenai 

perihal peristiwa lalu itu aku tak mencampuri urusan. 

Semua itu adalah perbuatan Lindu Songo atau Carik 

Kartomarmo. Kita telah kena pitnah keji, sobat Pamok-

sa. Kau lihat sendiri keadaanku. Bukankah aku tak 

semewah Kartomarmo. Dan siapakah sebenarnya Lin-

du Songo alias Kartomarmo itu kau belum mengetahui. 

Dialah seorang tokoh hitam yang berasal dari tenggara! 

Julukan dia sebelum menjadi orang kerajaan dan ma-

sih menjadi orang Rimba Hijau adalah si Tangan Besi! 

Dia telah mengadu-domba kita! Apakah kau tak me-

nyadari?"

Mendengar kata-kata Adipati Rekso Seto, kakek ini 

tercenung beberapa saat. Hatinya ragu setengah mem-

percayai kata-kata itu tapi setengahnya tidak. Kebim-

bangan itu nampak jelas oleh Adipati Rekso Seto. Ce-

pat-cepat dia menyambungnya.

"Aku orang kerajaan yang hanya menjalankan tu-

gas kerajaan dengan jujur. Aku sendiri akan membe-

kuk manusia itu yang telah mencemarkan nama baik-

ku. Kalau kau tak percaya kata-kataku, baiknya beri-

kan waktu buat aku membekuk manusia itu agar 

mengaku dihadapanmu! Dan kau boleh memenggal ba-

tang lehernya setelah kau dengar sendiri pengakuan-

nya!"

Kata-kata Adipati Rekso Seto yang tegas membuat 

Pamoksa membanting kepala prajurit yang tercekal di-

lengannya hingga hancur amblas terbenam ditanah.

"Aku sendiri yang akan membekuk dan memotes


batang leher manusia keparat itu! Karena ulahnya pu-

la aku telah terlepas tangan membunuh muridku sen-

diri!" menggembor gusar Pamoksa. Rahangnya meng-

gembung dan urat-urat lehernya bergerak-gerak me-

nahan kemarahan.

"Bagus! Tapi sebaiknya sobat Pamoksa beristirahat 

dulu ditempat kami. Oh, ya boleh aku tahu siapa ge-

rangan muridmu itu!" tanya Adipati.

"Hm, dia seorang laki-laki muda bernama Puja 

Sangara. Dari dia pulalah aku banyak mengetahui pe-

rihal keadaan dan kejadian di Kota Raja ini!" Menyahut 

Pamoksa. Terhenyak Adipati Rekso Seto mengetahui 

hal itu. Diam-diam hatinya bergirang karena telah le-

nyap orang yang menjadi penghalang yang bisa meru-

sak namanya. Kematian Puja Sangara adalah satu 

keuntungan bagi Adipati Rekso Seto, karena dengan 

demikian sulit mencari saksi perbuatannya bila kelak 

perihal peristiwa ini diketahui raja.

Adipati ini manggut-manggut dan nampak ikut 

prihatin dengan musibah yang menimpa Pamoksa. Wa-

lau diam-diam hatinya bergidig seram, bagaimana bisa 

Pamoksa melepaskan diri dan dalam keadaan masih 

hidup setelah terkurung hampir sepuluh tahun di-

ruang penjara bawah tanah? Bahkan kini muncul den-

gan ilmu yang sedemikian tinggi. Dia sendiri bila diuji 

untuk bertarung melawan tiga pengawal yang telah di-

bunuh Pamoksa rasanya sukar untuk merobohkannya. 

Tapi si kakek ini cuma dalam waktu sekejap mata te-

lah membuat nyawa ketiga orang pengawal berkepan-

daian tinggi bawahannya itu melayang ke akhirat!

Dengan upaya serta bujukan dan penyambutan 

Adipati Rekso Seto yang ramah tamah, maka luluhlah 

kemarahan Pamoksa. Kakek ini tak menolak ajakan 

Adipati Rekso Seto untuk singgah di gedung Kedipatian.

***

MALAM PURNAMA yang dinantikan Roro hampir 

tiba. Gadis pendekar yang sejak senja tadi duduk ter-

mangu di depan pura segera bangkit

berdiri. Beberapa kejadian telah diikuti Roro dan 

diketahui setelah dia berkeliling Kota Raja, yaitu telah 

digulungnya komplotan rahasia orang-orangnya Adipa-

ti Rekso Seto oleh para perwira kerajaan dibawah pim-

pinan Ki Patih GAJAH SORA. Adapun Adipati Rekso 

Seto kedapatan telah tewas dengan batok kepala re-

muk di pintu pendopo Kedipatian tanpa diketahui sia-

pa pembunuhnya. Dan lenyapnya PAMOKSA yang tak 

diketahui kemana perginya. Hal itu dilaporkan oleh pa-

ra tamtama yang mengetahui kakek tua yang menye-

ramkan itu setelah menjadi tamu Adipati Rekso Seto 

digedung Kedipatian.

Dapat diduga si pembunuhnya adalah Pamoksa 

sendiri! Namun amat disayangkan kakek itu tak un-

jukkan diri, sedangkan Roro yang mengikuti jalannya 

penyergapan ke gedung Kedipatian dengan sembunyi-

sembunyi mengharapkan pertemuan dengan tokoh 

aneh itu. Karena ingin mengetahui siapa adanya kakek 

yang dapat bertahan hidup selama hampir sepuluh ta-

hun di penjara bawah tanah.

Kemelut di kerajaan kecil itu memang belum selu-

ruhnya tuntas. Karena tokoh utama dan beberapa 

orang yang terlibat dalam peristiwa itu masih belum 

ditangkap. Terutama Carik Kartomarmo dan si Ninja 

Edan Lengan Tunggal. Yang membuat penasaran Roro 

adalah terlibatnya Joko Sangit dalam kemelut itu. 

Hingga dia harus bersabar untuk menunggu datang


nya malam purnama dimana dia telah di undang oleh 

si Ninja Edan Lengan Tunggal untuk datang ke lembah 

padang Alang-Alang.

Setelah menghela napas, tampak Roro beranjak 

menuruni tangga undakan dari batu itu. Pandangan-

nya diarahkan ke langit dengan menengadah. Bibirnya 

bergerak mengeluarkan suara menggumam.

"Sudah tiba waktunya!"

Dan seiring dengan suara bergumam itu, tubuh 

Roro Centil segera saja berkelebat ke arah depan. Se-

lanjutnya dalam beberapa kejap saja telah lenyap ter-

halang bukit yang menjulur ke arah hutan.

DUA MANUSIA yang serupa baik pakaian maupun 

perawakannya membuat Roro Centil tertegun meman-

dang. Kedua sosok tubuh itu saling berhadapan da-

lam jarak antara sembilan atau sepuluh langkah.

Keduanya adalah si Ninja Edan Lengan Tunggal 

yang tak diketahui mana yang asli di mana yang palsu.

Angin malam berhembus menerpa rumput ilalang 

menimbulkan suara berkrosakan. Kedua laki-laki yang 

sama mengenakan topeng itu masih tetap berdiri tak 

bergeming. Cahaya purnama menerangi tempat itu, 

seperti menjadi saksi akan terjadinya satu pertarungan 

hebat yang bakal meminta korban jika dan pertumpa-

han darah Roro pentang mata hampir tak berkedip da-

ri tempat berdirinya di atas batu pada sisi bukit kecil

disisi lembah. Tempat yang cukup dekat untuk me-

nyaksikan pertarungan yang sebentar lagi bakal ber-

langsung.

"Hahaha... apakah kau sudah siap, sobat Ninja 

Edan Lengan Tunggal?" salah seorang dari kedua "Nin-

ja" itu berkata.

"Hm, Aku sudah siap untuk mengirim nyawamu 

ke Akhirat, Ninja Palsu!" membentak Ninja yang satu


dan jurus pukulan yang serupa. Hingga sulit untuk 

mengetahui yang mana Joko Sangit dan mana Ninja 

palsu yang menyamar sebagai dirinya.

Tiba-tiba salah seorang merobah gerakan. Tubuh-

nya mencelat setinggi enam tombak. Kedua lengannya 

terpentang membuat gerakan memutar. Mendadak tu-

buhnya menukik dengan gerakan menyambar laksana 

elang. Tersentak Roro. Itulah jurus Rajawali Menyam-

bar Mangsa, salah satu jurus si kakek pendekar Gen-

tayangan Ki Jagur Wedha. Roro pentang mata tak ber-

kedip. Dia yakin sekali itulah Joko Sangit.

Apakah yang akan dilakukan oleh lawan mengha-

dapi serangan yang telah diketahui kehebatannya itu?

Ternyata dengan perdengarkan teriakan mengge-

ma Ninja yang berada di bawah secepat kilat bergulin-

gan. Dan... serrrrrrr!

Ratusan jarum halus terlontar ke arah Ninja yang 

diperkirakan Roro adalah Joko Sangit itu.

"Keparat!" membentak Ninja itu. Mendadak pedang 

Samurainya digerakkan berputar. Sebelah lengannya 

mengibas. Punahlah serangan ratusan jarum maut itu 

meluruk kembali ke arah si penyerangnya, sebagian 

lagi buyar! Hebat Ninja itu dengan gerakan kilat dia te-

lah totol ujung kakinya ke tanah Tubuhnya melam-

bung ke atas. Serangan balik itu lolos! Kini dialah yang 

berada di atas. Dengan gerakan mendadak pedang 

Samurainya tiba-tiba meluncur deras menabas deras 

ke arah leher Joko Sangit.

Tebasan maut itu memang diluar dugaan Joko 

Sangit. Namun di detik itu dimana beberapa inci lagi 

ujung Samurai mendekati kulit leher Ninja yang diper-

kirakan Joko Sangit itu mendadak secercah kilatan 

meluncur.

Trakkk!


Kilatan perak yang menyambar itu berasal dari 

arah Roro yang tegak berdiri menyaksikan pertarun-

gan. Terkejut Ninja itu mengetahui tiba-tiba ujung pe-

dang Samurainya patah! Dan selamatlah Joko Sangit 

dari maut. Laki-laki Ninja itu jatuhkan tubuhnya ber-

gulingan. Saat yang baik itu ternyata dipergunakan 

dengan baik untuk melontarkan pedangnya ke arah 

Ninja lawannya.

Terdengarlah suara mengaduh. Dan... bruk! Tu-

buh Ninja lawannya roboh direrumputan alang-alang.

"Kena!" teriak Ninja ini yang sudah jelas dialah Jo-

ko Sangit. Dia telah melompat untuk memburu dengan 

mempersiapkan pukulan yang akan mengakhiri ri-

wayat hidup lawannya.

Akan Tetapi mendadak... Bhusssss! Tubuh Ninja 

itu mendadak lenyap terbungkus asap hitam.

Roro yang barusan membantu Joko Sangit dengan 

melemparkan kepingan uang logamnya telah bergirang 

karena sebentar lagi akan tersingkap siapa adanya 

Ninja yang menyamar itu. Akan tetapi diapun terpe-

rangah dan kecewa karena sang Ninja misterius itupun 

mendadak lenyap.

Joko Sangit yang berdiri tegak dengan sikap was-

pada itu mendadak gerakkan lengannya membuka to-

peng. Segera rambutnya yang gondrong terurai. Ca-

haya purnama yang terang benderang tak meragukan 

Roro lagi kalau laki-laki itu adalah Joko Sangit.

Roro Centil terperangah memandang wajahnya 

berseri girang.

Pada saat itu tiba-tiba... Bhusssss! Tepat di bela-

kang Joko Sangit terjadi kepulan asap hitam. Dan ke-

tika asap lenyap segera tampak sosok tubuh si manu-

sia Ninja berdiri dalam keadaan limbung. Di dada se-

belah kirinya tertancap pedang Samurai yang tadi di


lontarkan Joko Sangit. Plash! Brett!

Laki-laki yang terluka itu telah membuka topeng 

penutup wajah dan merobek lengan jubahnya. Membe-

lalak mata Roro melihat siapa adanya laki-laki Ninja 

itu, yang tak lain dari Carik KARTOMARMO. Dan ter-

nyata sebelah lengan carik tua ini tidaklah kutung se-

perti halnya si Ninja Edan Lengan Tunggal. Sebelah 

lengan carik Kartomarmo hanya ditutupi lengan jubah 

yang menjuntai.

BUK!

Tahu-tahu sebelah lengan Kartomarmo alias Lindu 

Songo ini telah mulur memanjang menghantam dada 

Joko Sangit yang tak sempat dielakkan lagi. Terdengar 

teriakan Joko Sangit disertai terlemparnya tubuh laki-

laki Ninja itu.

"Manusia licik!" membentak Roro. Tubuhnya ber-

kelebat ke arah Lindu Songo. Dan sekali lengannya 

bergerak terlemparlah tubuh manusia Ninja palsu itu 

berguling-guling. Roro kertak gigi dan melesat untuk 

memburu. Tapi diluar dugaan lengan Lindu Songo 

kembali meluncur menyongsongnya.

Trang!

Terdengar suara beradunya dua buah benda. Roro 

dengan gesit telah menyambutnya dengan senjata Ran-

tai Genit yang tahu-tahu telah berada ditangannya. 

Terkejut Roro. Jelaslah kalau sebelah tangan Lindu 

Songo itu terbuat dari besi. Belum lagi Roro sadar dari 

terkejut, mendadak dia telah diserang hebat oleh laki-

laki itu yang telah mencabut pedang Samurai yang ter-

tancap didadanya untuk menyerang Roro. Serangan-

serangan gencar itu juga dibarengi pukulan-pukulan 

dahsyat bertenaga dalam yang bertubi-tubi meluruk ke 

arah Roro.

Namun dengan mempergunakan Ilmu tarian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro berhasil menghindari se-

rangan yang menggebu-gebu itu.

Diam-diam Roro membatin dalam hati. "Heh!? jadi 

dia inilah si manusia yang menamakan dirinya si Tan-

gan Besi itu?"

Tiba-tiba Roro sambar pergelangan tangan orang 

yang menusuk dengan pedang Samurai itu. Kraaak! 

Sekali lengan Roro bergerak, patahlah tulang lengan 

Kartomarmo. Laki-laki ini menjerit dan roboh terkulai. 

Cepat Roro menjambak rambutnya seraya membentak.

"Hei! manusia busuk! apa maksudmu meniru si 

Brewok Lengan Tunggal?" Laki-laki tua ini tertawa me-

nyeringai putus asa.

"Hehehe... Aku tak mau ada dua NINJA. Aku ada-

lah pewaris ilmu Ninja kakek MATSUI. Kitab yang dipe-

lajari Joko Sangit kawanmu itu ku temukan di suatu 

tempat dan ku pelajari!" berkata Kartomarmo alias 

Lindu Songo.

"Bukankah kau si Tangan Besi?" bentak Roro.

"Hehe... benar! aku... sssi... Tangan Be...si!" me-

nyahut Lindu Songo dengan mata yang semakin mem-

beliak. Tapi mulutnya menyeringai tertawa walau se-

benarnya laki-laki itu sudah merasakan maut siap 

menjemput nyawanya.

"Bedebah!" memaki Roro. Lengannya bergerak 

menghempaskan tubuh Kartomarmo ke tanah.

Praak! Buah kepala laki-laki itu menghantam ke-

ras bongkah batu. Sejenak tubuh laki-laki itu mengge-

liat. Namun sekejap segera terkulai tak bergerak lagi. 

Nyawanya telah melayang ke Akhirat!

Ketika Roro balikkan tubuh untuk melihat bagai-

mana keadaan Joko Sangit ternyata dia tak melihat 

sepotong tubuhpun berada di tempat itu.

"Joko Sangit...!" teriak Roro.


"Joko Sangitttttt!" Kembali Roro berteriak meme-

cahkan keheningan. Tapi hanya suaranya saja yang 

berpantulan lagi menggema di telinganya.

"Joko! ah, Joko...! maafkan aku...! Aku telah me-

nuduhmu sebagai seorang penjahat!" keluh Roro den-

gan air muka trenyuh. Kedua bola mata dara ini tam-

pak berkaca-kaca.

Dan sebelum air bening itu meluncur turun mem-

basahi pipinya, sosok tubuh dara ini telah berkelebat 

diiringi suara memekik panjang. Pekik yang merupa-

kan gejolak dari perasaan kecewa. Selanjutnya dalam 

beberapa kejap saja bayangan tubuh dara Pantai Sela-

tan itupun lenyap di atas lembah.

Rembulan masih menampakkan sinarnya di langit 

yang hitam. Bintang-bintang gemerlapan mengelilin-

ginya. Keheningan pun mengembara di sekitar lembah 

padang Alang-alang, dimana sesosok mayat terkapar 

membisu. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara 

burung hantu menyelingi desahan angin malam yang 

menyibak pepohonan...






                               TAMAT












































Share: