PEMBUNUH BAYARAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Pembunuh Bayaran
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Saat itu matahari menampakkan sinar jingga di su-
dut cakrawala timur, menggantikan tugas malam yang
baru saja usai. Semilir angin sejuk yang membawa ke-
segaran, menemani munculnya sang Raja Siang. Ceri-
cit burung sesekali terdengar dari rimbun pepohonan,
membuat suasana pagi bertambah indah dan hidup.
“Kadipaten Balaraja....”
Ucapan itu keluar dari bibir seorang gadis bertubuh
ramping yang mengenakan pakaian serba hijau. Wa-
jahnya demikian memancarkan pesona. Membuat ma-
ta lelaki tidak akan sudi melewatkannya, meski hanya
untuk menatap sekilas. Sepasang mata bulat berbulu
lentik miliknya, demikian terang laksana bintang pagi.
Perpaduan kulit yang putih halus laksana gumpalan
salju dengan pakaian berwarna hijau yang dikenakan,
semakin menambah cahaya pada kulit tubuhnya. Be-
nar-benar seorang dara yang luar biasa. Tentunya
mampu membuat lelaki sudi bertekuk lutut di bawah
pesonanya.
Dara jelita itu rupanya tidak seorang diri. Di sebelah
kanannya terlihat pemuda bertubuh sedang yang men-
genakan jubah panjang berwarna putih. Penampilan-
nya pun tidak kalah menarik dengan dara jelita di si-
sinya. Meskipun tubuhnya tidak terlalu kekar, namun
terlihat padat dan kokoh. Sepasang matanya bersinar
tajam, memancarkan perbawa yang kuat. Wajahnya
yang bersih tampan dengan bibir yang selalu terse-
nyum ramah. Jelas, bahwa dia pun seorang pemuda
pilihan yang sangat menarik hati wanita.
Keduanya berdiri tegak menatap tembok batu se-
tinggi bahu, yang bertuliskan huruf-huruf besar dan
indah, sebagai tanda perbatasan sebuah kadipaten.
“Kita akan melewati Kota Kadipaten Balaraja. Ayo-
lah kita bergegas, mumpung hari masih pagi,” ujar
pemuda tampan itu sambil menoleh ke arah dara jelita
di sebelahnya. Melihat nada bicara dan caranya mena-
tap, jelas hubungan di antara mereka bukan sekadar
teman seperjalanan. Sudah pasti lebih dari itu.
“Ayolah, Kakang...,” sahut dara jelita itu bernada
riang serta menyiratkan kemanjaan. Sepasang bola
matanya berkedip jenaka ketika berkata demikian.
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, menyen-
tuh wajah jelita yang begitu membakar asmara di ha-
tinya. Jelas, dia agak terpengaruh menyaksikan wajah
yang semakin mempesona itu.
“Kau cantik sekali...,” desahnya sambil membelai
wajah dara berpakaian serba hijau itu.
Dara itu sendiri tidak berusaha mengelak. Bahkan
tangannya diangkat, lalu ditekannya punggung tangan
pemuda itu kuat-kuat ke wajahnya yang halus. Terli-
hat pancaran kebahagiaan pada sepasang bola ma-
tanya mendengar pujian tadi.
“Betulkah ucapanmu itu, Kakang...?” tanyanya
manja dengan senyum meruntuhkan iman lelaki.
“Hm.... Untuk apa aku harus berdusta...?” sahut
pemuda tampan sambil menarik tubuh ramping itu da-
lam pelukan. Bibir merah merekah dan penuh pesona
itu dikecupnya sepenuh kasih. Dalam sekejap, kedua-
nya terlena dalam buaian dewi asmara.
Cukup lama keduanya terlupa keadaan sekitar. Ak-
hirnya pemuda tampan itu melepas pelukannya perla-
han, saat disadarinya gelora nafsu yang semakin
membakar dada. Kalau tidak segera dicegah, mereka
bisa terperosok semakin dalam. Perbuatannya menjadi
tanda kalau dia adalah pemuda yang digembleng ma
tang, sehingga mampu menahan keinginan yang tidak
baik dalam dirinya.
“Kau terlalu cantik, Kenanga. Aku takut terperosok
apabila kita tidak segera menghentikannya...,” desah-
nya dengan suara bergetar, karena pengaruh buaian
dewi asmara yang melenakan barusan.
“Kau benar, Kakang. Aku pun hampir lupa diri...,”
aku dara jelita itu sejujurnya. Wajahnya tampak keme-
rahan. Entah perasaan apa yang terkandung dalam
hatinya saat itu.
“Sudahlah. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjala-
nan ini...,” sergah pemuda tampan, yang tak lain dari
Panji, seraya melangkah menyusuri jalan berbatu yang
cukup lebar. Di sebelahnya, Kenanga mengikuti tanpa
kata.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di gerbang Kota
Kadipaten Balaraja. Keduanya agak heran melihat ke-
tatnya penjagaan gerbang masuk itu. Terlihat dari pe-
meriksaan yang dilakukan para prajurit kadipaten ter-
hadap beberapa pendatang.
“Entah sudah terjadi apa di Kota Kadipaten Balara-
ja, sehingga penjagaan demikian ketat, dan harus me-
lalui pemeriksaan terlebih dahulu...?” gumam Panji
sambil melangkah lambat, mendekati gerbang kota ka-
dipaten.
Sedangkan Kenanga sama sekali tidak berkata-kata.
Dara jelita itu menjadi sedikit gelisah ketika disadari
kalau di pinggangnnya terselip senjata. Sebab, kalau
memang ucapan Panji barusan benar, ada kemungki-
nan pedangnya akan dilucuti dan disita penjaga ger-
bang. Walaupun begitu, kakinya tetap melangkah
mengikuti kekasihnya, karena mereka memang berniat
memasuki kota kadipaten itu.
“Kalian harap berhenti sebentar...!” seru seorang
prajurit sambil melangkah menghadang jalan, mena-
han Panji dan Kenanga. Tanpa banyak bicara lagi, ke-
duanya menuruti kehendak prajurit itu.
“Hm.... Kalian bukan penduduk Kota Kadipaten Ba-
laraja...?” tanya prajurit bertubuh sedang sambil me-
neliti wajah dan penampilan kedua orang muda itu.
Sepasang matanya terhenti agak lama pada wajah dan
tubuh sintal Kenanga. Jelas, tersirat kekaguman yang
tidak bisa disembunyikannya.
“Kami memang bukan penduduk kota kadipaten ini,
Tuan. Tapi, apa ada larangan bagi orang luar untuk
memasuki kota ini...?” sahut Panji, sekaligus melon-
tarkan pertanyaan kepada prajurit tadi.
“Sebenarnya tidak, kecuali kali ini. Karena kalian
adalah orang asing, maka kami terpaksa menahan ka-
lian untuk sementara...,” ujar prajurit yang tampak
mencurigai Panji dan Kenanga.
Wajah Panji tidak menunjukkan perubahan. Dimak-
luminya kalau prajurit itu hanya melaksanakan tugas.
Jadi, dia tidak bisa disalahkan. Selain itu, Panji meli-
hat ada beberapa pendatang lain yang juga ditahan
untuk diperiksa. Jadi, Panji pun tidak keberatan un-
tuk diperiksa.
“Mari kalian ikut kami menghadap komandan jaga,”
kata prajurit itu lagi, bermaksud menggiring pasangan
pendekar itu ke pos jaganya.
“Hey...! Kami bukan penjahat, kenapa harus dita-
han dan diperiksa seperti pesakitan? Aku kebera-
tan...!” Kenanga yang tidak bersedia untuk diperiksa,
langsung mengemukakan perasaannya tanpa kenal ta-
kut. Sebab, dia merasa tidak bersalah apa-apa.
“Maaf, Nisanak. Kami hanya melaksanakan tugas
dari senapati. Kuharap kalian tidak memperberat tu-
gas kami...,” ujar prajurit bertubuh sedang itu.
“Sudahlah, Kenanga. Tak ada salahnya mengikuti
peraturan yang berlaku di kadipaten ini, selama tidak
menyusahkan kita,” bujuk Panji menenangkan keka-
sihnya.
“Tapi, Kakang. Biasanya kalau kita menurut saja,
mereka akan berbuat sesuka hati...,” bantah Kenanga
tidak menuruti bujukan Panji. Tentu saja Panji tidak
tahu kekhawatiran kekasihnya jika Pedang Sinar Rem-
bulan yang melingkar di pinggangnya disita oleh praju-
rit kadipaten. Itu alasan mengapa Kenanga merasa ke-
beratan.
“Kenanga. Selama kita tidak berbuat macam-
macam, mereka tetap akan memperlakukan kita den-
gan baik. Kalaupun mereka berbuat kasar, mengapa
kita harus takut...?” bujuk Panji lagi dengan suara per-
lahan.
“Baiklah, Kakang,” Kenanga akhirnya mengalah.
“Tapi Kakang harus berjanji untuk tidak mencegahku
apabila mereka melakukan hal yang tidak kuinginkan
...”
“Aku berjanji...,” jawab Panji, merasa tidak ada ru-
ginya mengabulkan syarat yang diajukan Kenanga.
Karena Kenanga sudah berhasil dibujuk, keduanya
pun digiring prajurit bertubuh sedang itu menuju pos
jaga untuk dihadapkan kepada komandan jaga mere-
ka.
“Tuan Komandan. Mereka adalah orang asing yang
hendak memasuki kota kadipaten. Kami menahan me-
reka untuk diperiksa...,” lapor prajurit itu kepada seo-
rang komandan bertubuh gemuk dengan wajah bulat
dihiasi sepasang mata sipit, karena wajahnya keba-
nyakan lemak.
“Hm.„. Kau boleh kembali ke tempatmu...,” perintah
komandan itu kepada prajurit yang membawa Kenanga
dan Panji.
Sesaat setelah kepergian prajurit tadi, komandan
itu beringsut bangkit dari kursi. Kakinya melangkah
terseret, mengitari Panji dan Kenanga. Sikapnya terli-
hat demikian angkuh, seolah sedang memeriksa pesa-
kitan yang melakukan kesalahan.
“Kalian siapa, dan berasal dari mana...?” tanya ko-
mandan bermata sipit itu dengan nada sinis.
Mulutnya berkata demikian, tapi sepasang matanya
menjilati sekujur tubuh ramping Kenanga dengan la-
hap. Sehingga, bulu-bulu di tubuh dara jelita itu me-
remang. Kenanga merasa bukan sedang berhadapan
dengan manusia, melainkan seekor serigala lapar yang
tergiur kijang muda. Kalau saja di tempat itu tidak ada
Panji, mungkin sudah dicongkelnya sepasang mata ku-
rang ajar itu.
“Nama hamba Panji, Tuan Komandan. Sedangkan
sahabat hamba ini bernama Kenanga. Kami adalah pe-
rantau yang tidak mempunyai tempat tinggal...,” jawab
Panji dengan nada hormat.
“Hm...!”
Komandan bermata sipit itu hanya bergumam tak
jelas mendengar jawaban Panji.
“Lalu, apa tujuan kalian ke kota kadipaten ini...?”
lanjutnya penuh selidik.
“Seperti yang hamba kemukakan tadi, kami adalah
pengembara yang mengikuti ke mana kaki kami me-
langkah. Datang ke Kota Kadipaten Balaraja ini seka-
dar singgah, tanpa maksud tertentu,” urai Panji, tetap
dengan sikap hormat.
“Kalian tidak mempunyai sanak keluarga di kota
ini...?”
“Tidak, Tuan Komandan....”
Sambil mengangguk-anggukkan kepala, kaki komandan bermata sipit itu kembali bergerak mengitari
Panji dan Kenanga. Sepasang matanya menjelajahi se-
kujur tubuh Panji maupun Kenanga. Wajahnya bersi-
nar kaget saat melihat sembulan gagang pedang di
pinggang bagian depan Kenanga. Langkahnya terhenti
tiba-tiba di depan dara jelita itu.
Kenanga menarik napas perlahan, menekan kema-
rahan yang meletup-letup dalam dadanya. Sebenarnya,
dia sudah begitu jengkel dan muak pada komandan
bermata sipit itu. Tapi, karena komandan itu belum
memperlihatkan sikap kurang ajar, Kenanga masih
menahan luapan amarah. Diam-diam hatinya berharap
agar orang menyebalkan itu berbuat di luar batas, agar
ada alasan untuk melabraknya.
“Kalian orang-orang rimba persilatan, heh...?!” den-
gus komandan bermata sipit itu agak kasar. Kali ini
pertanyaannya ditujukan kepada Kenanga.
“Tepatnya kami adalah....”
“Diam! Aku tidak bertanya padamu...!” bentaknya
menggelegar, memotong kalimat Panji yang belum sele-
sai. “Aku bertanya kepada gadis ini, bukan kau! Men-
gerti?! Jadi, gadis ini yang harus menjawab, tidak per-
lu kau wakili!”
Bentakan itu membuat hati Panji tidak senang. Ke-
palanya kemudian diangkat, dan ditentangnya pan-
dangan komandan itu dengan sinar mencorong meng-
getarkan jantung.
“Tuan Komandan! Pertanyaan tadi menggunakan
kata ‘kalian’. Jadi jelas, siapa pun dari kami yang men-
jawabnya tidak menjadi soal. Selain itu, Tuan pun ti-
dak berhak membentak salah seorang dari kami. Kami
bukan pesakitan yang dapat dihina dengan sesuka ha-
ti...,” bantah Panji dengan suara mengandung perbawa
menggetarkan hati komandan bermata sipit itu. Sehingga, tubuhnya sempat beringsut mundur tanpa sa-
dar.
Empat orang prajurit dalam ruangan cukup besar
itu langsung menggenggam gagang pedang masing-
masing. Mereka serentak maju melihat ketegangan ter-
jadi antara kedua orang asing dengan komandannya.
Tampaknya mereka siap turun tangan bila terjadi se-
suatu.
Semula komandan bermata sipit itu agak gentar
dengan sorot mata dan sikap menentang yang ditun-
jukkan Panji. Namun, ketika teringat posisinya sebagai
komandan, sikap angkuhnya kembali muncul, mengu-
bur kegentarannya.
“Hei, Orang Asing!” geramnya seraya menudingkan
jari telunjuk ke wajah Panji. “Aku bisa saja menghu-
kum mu karena begitu lancang melawan petugas! Si-
kap memberontak mu itu bisa membawamu ke dalam
penjara, tahu?!”
Melihat kekasihnya mulai bersitegang dengan ko-
mandan bermata sipit, Kenanga tidak menyia-
nyiakannya. Dengan wajah berang, kakinya digerak-
kan mendekati komandan gemuk yang telah mem-
buatnya muak sejak pertama kali melihat caranya
memandang dirinya.
“Kau pikir kami akan menurut diancam seperti itu?
Kau salah, Tuan Komandan. Jangankan seorang ko-
mandan, kalaupun Adipati Balaraja sendiri melontar-
kan ancaman, kami sama sekali tidak takut! Mau di-
anggap pemberontak, silakan! Mau ditangkap dan di-
masukkan ke dalam penjara, boleh! Tegasnya, kami ti-
dak suka caramu dan kami tidak sudi lagi diperiksa
seperti pesakitan!” seru Kenanga dengan sepasang ma-
ta berkilat penuh kejengkelan.
Setelah berkata demikian, dara jelita itu langsung
mengajak Panji meninggalkan tempat itu.
“Ayo kita pergi dari sini, Kakang...!”
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan
Kenanga. Dia pun tidak suka dengan komandan ber-
mata sipit itu. Kalau pada mulanya mau diperiksa, hal
itu karena Panji mengira akan diperlakukan secara
baik.
“Hei, tunggu...! Jangan harap kalian dapat pergi be-
gitu saja dari sini...!” bentak komandan bermata sipit
itu. Tubuh gemuknya melesat ke depan, bermaksud
mencegah kepergian pasangan pendekar muda itu.
Mulanya, baik Panji maupun Kenanga tidak mem-
pedulikan seruan tadi. Tapi, ketika mereka dikepung
belasan prajurit kadipaten, terpaksa keduanya me-
nunda langkah.
“Tangkap mereka...!” perintah komandan itu kepada
para prajurit yang mengepung Panji dan Kenanga. Se-
pertinya dia tidak ingin banyak bicara lagi.
“Baik.... Jangan salahkan jika kami melawan. Ka-
lian terlalu memaksa...!” ujar Panji seraya mengedar-
kan pandang satu demi satu pada wajah tegang para
pengepung. Lalu berhenti pada wajah penuh lemak
yang bermata sipit.
“Hm.... Kalian berdua memang sangat mencuriga-
kan. Patut dikaitkan dengan kejadian semalam,” geram
komandan bermata sipit itu tanpa berani menentang
pandangan Panji. “Tangkap mereka hidup-hidup, teru-
tama gadis itu...!”
Sambil berkata demikian, jari telunjuk lelaki gemuk
bermata sipit itu menunjuk ke arah Kenanga. Maka,
tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit Kadipaten
Balaraja itu langsung menerjang dengan senjata di
tangan.
“Kurang ajar! Monyet gendut ini benar-benar licik!
Bisanya hanya memerintah prajuritnya saja untuk
menyerang kita, sedang dia sendiri enak-enakan berdi-
ri menonton. Akan kuberi pelajaran monyet gendut ku-
rang ajar itu...!” umpat Kenanga berang, melihat keli-
cikan komandan bermata sipit itu. Tanpa dapat dice-
gah, tubuhnya melayang menuju sasaran.
“Hei...?!”
Bukan main terkejutnya komandan bermata sipit
itu ketika melihat sekelebat bayangan hijau meluncur
deras ke arahnya. Merasa ada sambaran angin kuat
datang mengancam kepalanya, tubuh gemuknya den-
gan susah payah menghindar ke belakang.
Kenanga yang sangat ingin memberi pelajaran ke-
pada komandan memuakkan itu, tak berhenti sampai
di situ. Tamparan-tamparannya datang bertubi-tubi di-
iringi sambaran angin menderu, membuat komandan
bermata sipit itu menjadi kalang-kabut!
“Rasakan akibat kesombonganmu...!” bentak Ke-
nanga. Kakinya melontarkan sebuah tendangan kilat,
menyusul tamparan yang masih sempat dihindari la-
wan.
Bukkk!
“Hegkh…!”
Tendangan dara jelita itu singgah telak di perut
gendut lawannya. Tanpa dapat ditahan, tubuh gemuk
itu pun jatuh terguling-guling bermandi debu. Tapi,
meski tubuhnya kelihatan sulit bergerak, komandan
itu ternyata mampu bertindak gesit. Terbukti tubuh-
nya dapat langsung melenting bangkit, dan segera ber-
siap menghadapi gempuran Kenanga berikutnya.
“Gila! Tidak kusangka kalau dara cantik yang terli-
hat lembut ini memiliki kepandaian tinggi...!” desis
komandan bermata sipit itu.
Kini pedangnya sudah diloloskan. Senjata itu diputar demikian rupa membentuk gulungan sinar putih
yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Menilik
dari gerakan dan deru angin yang ditimbulkan, jelas
dia memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, meski
tentu saja masih jauh di bawah Kenanga.
“Rasakan pedangku, Gadis Binal...!” bentak koman-
dan bermata sipit itu. Kali ini, serangannya dibuka le-
bih dulu.
Bettt! Bettt!
Pedang di tangan komandan bertubuh gemuk itu
berkelebatan cepat mencari sasarannya.
Namun serangan-serangan pedang itu sama sekali
tidak membuat Kenanga menjadi kewalahan. Hanya
mengandalkan kegesitan, setiap sambaran pedang la-
wan selalu saja dapat dihindari. Bahkan tangan dan
kaki dara itu terlihat lebih berbahaya ketimbang se-
rangan pedang lawannya. Sehingga, komandan itu ma-
lah menjadi kewalahan ketika tangan dan kaki dara je-
lita itu melancarkan serangan balasan.
Bukkk! Desss.
“Aaakh...!”
Pukulan dan tendangan Kenanga kembali singgah
di tubuh lawan. Kali ini kekuatannya telah ditambah.
Sehingga akibatnya pun lebih parah ketimbang ten-
dangan pertama tadi.
Komandan bertubuh gemuk itu merangkak bangkit
dengan tubuh terasa remuk. Darah segar mengalir dari
sudut bibirnya. Kenyataan itu membuatnya menjadi
gentar.
“Hm.... Kurasa pelajaran hari ini cukup membuat-
mu lain kali lebih berhati-hati...,” ujar Kenanga, puas
dengan hasil perbuatannya. Setelah berkata demikian,
tubuhnya berbalik lalu melayang ke arah pertempuran
lain yang masih berlangsung.
“Kakang, ayo tinggalkan tempat ini...!” seru dara je-
lita itu kepada Panji yang masih menghadapi keroyo-
kan para prajurit.
Panji yang tidak sungguh-sungguh menghadapi la-
wan-lawannya, segera saja melesat bersama Kenanga
meninggalkan ajang pertempuran.
“Kejar...!” perintah seorang prajurit dibarengi lompa-
tan untuk melakukan pengejaran. Tapi, mana mereka
mampu mengimbangi kecepatan gerak pasangan pen-
dekar muda yang sakti itu. Sebentar saja mereka telah
kehilangan buruannya. Sedangkan kedua sosok yang
dikejar sudah demikian jauh dari jangkauan mereka.
***
DUA
“Kita harus cari tahu; sebenarnya apa yang terjadi
di Kota Kadipaten Balaraja, Kakang. Kalau perlu, akan
kudatangi Adipati Balaraja untuk melaporkan sikap
prajuritnya yang mencoreng citra kadipaten itu,” ucap
Kenanga, mengungkapkan rasa penasaran yang meng-
ganjal hatinya.
Saat itu mereka duduk pada sebuah batu besar, da-
lam kerimbunan hutan kecil.
“Untuk menghadap adipati, tidak semudah perki-
raan kita, Kenanga. Selain harus menuruti peraturan
yang rumit, kita pun harus punya alasan tepat. Belum
lagi kalau di antara penjaga istana kadipaten meminta
uang pelicin. Lebih baik buang saja pikiran untuk me-
nemui Adipati Balaraja. Mengenai kejadian yang
mungkin menggegerkan kadipaten itu, sudah menjadi
kewajiban kita menyelidikinya. Susahnya, mungkin kini kita jadi buronan kadipaten,” jawab Panji, menimpa-
li ucapan Kenanga.
“Ah! Apa sulitnya bagi kita memasuki sebuah kadi-
paten? Saat hari gelap, kita bisa menyusup masuk dan
mencari tahu apa yang terjadi di sana. Bagaimana me-
nurut Kakang...?”
“Hm.... Kalau hanya menyelinap ke dalam kota ka-
dipaten, tentu saja tidak sulit. Tapi, apa mungkin se-
mua penduduk tahu tentang kejadian di dalam ko-
tanya? Sebab, seingatku komandan bermata sipit yang
memeriksa kita sama sekali tidak menjelaskan tujuan-
nya mengadakan pemeriksaan. Hal itu membuktikan
kalau kejadian menggemparkan itu terjadi dalam ista-
na kadipaten. Mereka sengaja merahasiakan...,” urai
Panji lagi yang rupanya sangat teliti menghadapi segala
sesuatu, sampai-sampai ucapan komandan bermata
sipit yang memeriksa mereka masih dapat diingatnya
dengan baik.
“Kalau begitu, kejadiannya pasti menyangkut kea-
manan Kadipaten Balaraja. Tidak mustahil kalau yang
terlibat di dalamnya adalah orang-orang penting,” ujar
Kenanga setelah terdiam beberapa saat, untuk men-
cerna ucapan kekasihnya.
“Menurutku pun demikian...,” timpal Panji yang ru-
panya punya perkiraan serupa dengan Kenanga. “Biar
bagaimanapun kita harus tahu kejadian yang mem-
buat kadipaten itu geger....”
“Aku setuju, Kakang. Bagaimana kalau nanti malam
kita langsung menyelinap ke dalam istana kadipaten?
Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah lagi
bertanya ke sana-sini...,” usul Kenanga penuh seman-
gat.
“Hhh....”
Panji hanya menghela napas panjang. Diam-diam
Pendekar Naga Putih merasa bangga dengan semangat
petualangan Kenanga.
“Sebaiknya kita pikirkan dulu masak-masak segala
tindakan yang akan kita ambil. Selain itu, mungkin ki-
ta tidak bisa mendapat keterangan dalam waktu sing-
kat. Kuharap kau tidak terburu-buru dalam menyeli-
diki persoalan yang masih gelap ini...,” nasihat Panji
kepada dara jelita di sisinya.
Kenanga langsung mengerti. Terbukti dari anggu-
kan kepalanya perlahan.
“Percayalah, Kakang. Aku akan berhati-hati dan
mencoba sabar menghadapi segala sesuatunya....”
Bibir Panji tersenyum melihat sikap Kenanga. Ke-
mudian, mulai mengatur rencana untuk menyelidiki
pergolakan yang mungkin terjadi di Kota Kadipaten
Balaraja.
“Ada orang datang...,” bisik Panji tiba-tiba.
Saat keduanya membicarakan rencana penyusupan
ke dalam istana kadipaten, telinga Panji menangkap
langkah kaki menuju tempat mereka berada.
“Mungkin hanya pencari kayu yang hendak lewat,
Kakang...,” sergah Kenanga seperti tidak menaruh cu-
riga.
“Biar bagaimanapun, kita harus tetap waspada. Kau
ingat, kita baru saja membuat keributan di gerbang
kadipaten? Siapa tahu yang datang itu utusan kadipa-
ten yang sengaja diperintah membekuk kita...,” ujar
Panji membantah dugaan Kenanga. Sekaligus mengin-
gatkan dara jelita itu bahwa mereka kini merupakan
buronan Kadipaten Balaraja.
“Maaf aku lupa, Kakang...,” sesal dara jelita itu per-
lahan.
Kemudian, Kenanga ikut menajamkan indera pen-
dengarannya. Wajahnya berubah sungguh-sungguh,
setelah telinganya menangkap langkah kaki itu.
“Langkah kaki mereka demikian ringan, Kakang. Je-
las orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak
rendah,” tuturnya lagi setengah berbisik.
Kepala Panji mengangguk sebagai tanggapan atas
ucapan kekasihnya. Satu jarinya digerakkan, memberi
isyarat pada Kenanga agar mereka pindah ke tempat
yang lebih tersembunyi. Tanpa suara, tubuh Panji me-
lenting ringan ke sebuah dahan pohon besar. Kenanga
lalu menyusulnya.
Tidak lama kemudian, muncul tiga lelaki yang ber-
lari melewati tempat Panji dan Kenanga semula duduk.
Celakanya, ketiga lelaki itu menghentikan larinya, tak
jauh dari persembunyian pasangan pendekar muda
itu. Sehingga, baik Panji maupun Kenanga mengatur
pernapasan sehalus mungkin agar tidak tertangkap
indera pendengaran ketiga orang itu. Sebab, keduanya
yakin kalau mereka bukan orang-orang sembarangan.
“Hm.... Ke mana perginya mereka? Hampir seluruh
pelosok hutan kecil ini telah kita jelajahi. Tapi, hasil-
nya tetap nol!” gerutu lelaki gemuk dan kekar, yang
hanya mengenakan rompi sebagai penutup tubuh se-
belas atas.
Suara lelaki itu parau dan berat, dengan sepasang
mata tajam mencorong, pertanda kalau dirinya seorang
ahli tenaga dalam.
“Mungkin kedua orang itu sudah pergi jauh me-
ninggalkan daerah ini, Kakang Dawanta. “Sebaiknya
kita kembali saja melaporkan seadanya...,” sahut orang
kedua, bertubuh agak kurus dan sedikit lebih tinggi
dari orang pertama.
Dia mengenakan jubah berwarna biru tua, yang
terbuka pada bagian dadanya. Dari, balik jubah itu
terlihat pisau-pisau kecil berbaris rapi. Mudah ditebak,
kalau lelaki berwajah agak pucat itu seorang ahli sen-
jata rahasia.
“Benar apa yang dikatakan Adi Songgara barusan.
Sebaiknya kita kembali saja dan melaporkan hal ini,”
timpal orang ketiga.
Tubuhnya jauh lebih pendek dari kedua orang ka-
wannya. Bahkan bisa dikatakan kalau orang ketiga itu
bertubuh cebol. Meskipun demikian, baik Dawanta
maupun Songgara terlihat menaruh rasa segan kepa-
danya. Mungkin karena lelaki cebol itu lebih tua di an-
tara mereka bertiga, sekaligus merupakan pemimpin
ketiganya.
Mendengar ucapan itu, Dawanta tidak segera me-
nyahut. Lelaki kekar dan kokoh bagai batu karang itu
malah terdiam sambil mengawasi sekitarnya dengan
mata menyipit. Kedua orang kawannya hanya bisa sal-
ing pandang melihat tingkah Dawanta.
“Siapa ketiga orang itu, Kakang...?” Kenanga yang
mengintip dari sela-sela dedaunan, berbisik kepada
Panji di sebelahnya. Sejak tadi diperhatikannya ketiga
orang itu, dan dicoba untuk mengenalinya. Setelah
memutar otak tanpa bisa mengenali mereka, akhirnya
Kenanga bertanya kepada Panji.
“Entahlah. Aku belum mengenal mereka, Kenanga.
Mungkin ketiga orang itu baru keluar dari tempat ting-
galnya,” sahut Panji yang juga tidak bisa mengetahui
siapa adanya ketiga orang lelaki yang kelihatan memi-
liki tatapan mata dingin yang menyembunyikan keke-
jaman mengerikan itu.
Sedangkan tiga orang itu sepertinya sudah men-
gambil keputusan untuk pergi. Terlihat mereka me-
langkah melewati pohon tempat Panji dan Kenanga
bersembunyi. Sehingga, pasangan pendekar muda itu
terpaksa menahan napas kembali. Tapi sesuatu di luar
perhitungan terjadi.
“Aaah...! Setan...!” pekik Kenanga tiba-tiba. Tubuh-
nya serabutan tak terkendali sambil mengumpat jeng-
kel.
Panji tentu saja terkejut ketika melihat kekasihnya
sibuk mengebut-ngebutkan pakaian. Pemuda tampan
berjubah putih itu tidak perlu bertanya lagi ketika se-
pasang matanya mengerling ke dahan yang diduduki,
dilihatnya semut-semut merah berduyun-duyun me-
nuju ke arahnya.
“Hm.... Rupanya binatang ini penyebabnya,” desis
Panji. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya meluncur
turun dari atas pohon itu, menyusul Kenanga yang le-
bih dahulu meluruk panik.
Sedangkan tiga orang lelaki yang hendak mening-
galkan tempat itu mendadak membalikkan tubuh saat
mendengar teriakan seorang gadis dari atas pohon.
Kaki mereka serentak mundur melihat tubuh ramping
meluncur turun dari atas pohon yang sibuk mengebut-
ngebutkan pakaiannya. Sehingga, ketiganya terpaku
beberapa saat. Mereka baru sadar ketika melihat tu-
buh lain berjubah panjang yang berwarna putih me-
nyusul turun.
“Setan! Kiranya mereka bersembunyi di atas po-
hon...!” geram Dawanta, menjadi marah karena merasa
dipermainkan.
Tahan, Kisanak...!” cegah Panji. Langsung saja dia
bergerak maju untuk melindungi kekasihnya.
Sementara, Kenanga masih sibuk membersihkan
pakaian dari rayapan semut-semut merah.
Dawanta menahan langkah ketika melihat pemuda
tampan berjubah putih itu berdiri menghadang. Sepa-
sang matanya menatap penuh selidik.
“Hm..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?” tanya Dawanta sinis, seperti tidak percaya
kalau pemuda tampan di depannya adalah orang yang
berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Hm.... Bagaimana kalau kalian lebih dulu memper-
kenalkan diri. Setelah itu, baru aku dan kawanku
akan memperkenalkan nama kami. Cukup adil, bu-
kan?” ujar Panji, lebih dulu ingin mengetahui dengan
siapa dia berhadapan Tentu saja jawaban yang tak di-
harapkan itu membuat Dawanta naik darah.
Songgara dan Malingga melangkah maju dengan
mata dingin menusuk jantung, lalu berdiri mendam-
pingi Dawanta. Tiga pasang mata mereka menjelajah
sekujur tubuh Panji dari ujung kaki sampai ujung
rambut.
“Bocah...,” desis Malingga dengan suara serak,
sambil menentang pandangan Panji. “Jawab saja per-
tanyaan kami atau kau akan menyesal telah dilahirkan
ibumu ke dunia ini...!”
Panji sama sekali tidak marah atau kelihatan gen-
tar, bahkan tatapan Malingga dibalas dengan sikap te-
nang. Pemuda itu tersenyum sambil menghela napas
perlahan.
“Kisanak. Seingatku kita belum pernah bertemu se-
belumnya. Mengapa kalian bertiga tampak sangat
membenci dan memusuhiku? Mungkin kalian keliru
mengenali orang,” sahut Panji. Masih juga belum men-
jawab pertanyaan ketiga orang itu.
“Mau apa mereka, Kakang? Apakah kita yang mere-
ka cari?” Kenanga yang baru selesai dengan urusan-
nya, bertanya kepada Panji. Sepasang mata dara jelita
itu meneliti tiga orang di depannya.
“He he he...! Kau betul-betul beruntung, Bocah. Da-
ri mana kau dapatkan bidadari itu...? Boleh kami me-
minjamnya barang semalam?” Songgara yang rupanya
seorang lelaki mata keranjang, langsung tergiur meli-
hat kejelitaan dan kemolekan Kenanga. Lelaki kurus
bermata dingin itu sampai meneguk air liur yang ham-
pir menetes.
“Kurang ajar...!” desis Kenanga yang tidak bisa lagi
menahan kemarahannya mendengar ucapan tak bera-
dat itu.
“Sabar, Kenanga...,” cegah Panji sambil memegang
lengan kekasihnya untuk mencegah melabrak lelaki
kurus berwajah pucat itu.
“Untuk apa berdebat dengan iblis-iblis seperti mere-
ka, Kakang. Kalau mereka hendak mencelakai kita,
mengapa tidak kita layani saja? Kalau dibiarkan, sikap
mereka pasti akan semakin kurang ajar...,” bantah Ke-
nanga dengan kemarahan yang meluruk sampai ke
ubun-ubun.
“Bagus, Bidadari Cantik. Kau pasti tidak akan me-
nyesal bila melayaniku di ranjang...,” cemooh Songgara
lagi, membuat Kenanga memberontak dari cekalan
tangan kekasihnya. Panji tidak bisa mencegah lagi, ju-
stru pegangannya sengaja dikendurkan. Dianggapnya
kata-kata Songgara telah melewati batas.
“Pecah mulutmu...!” bentak Kenanga yang langsung
melakukan tamparan ke wajah Songgara.
Whuuut...!
Songgara tentu saja tidak sudi wajahnya dibuat ca-
cat oleh dara jelita itu. Cepat tubuhnya ditarik mundur
satu langkah, sambil menyiapkan serangan balasan.
Kenanga tidak mau memberikan kesempatan kepa-
da lawannya untuk membalas. Begitu tamparannya
luput, tangannya kembali menurunkan tamparan-
tamparan kuat.
“Hebat..!” Songgara mau tak mau memuji kecepatan
gerak dan kelincahan dara jelita itu. Sadar dia akan
celaka kalau terus-menerus mengelak, maka tamparan
berikutnya ditangkis.
Plakkk!
“Akh...?!”
Bukan main terkejut hati Songgara ketika lengan
yang digunakan untuk menangkis terpental balik!
Bahkan terasa nyeri dan membuat kuda-kudanya ter-
seret sejauh empat langkah.
Kenanga tak kalah terkejut merasakan telapak tan-
gannya panas akibat benturan itu. Dia lantas paham
kalau lelaki kurus berwajah pucat itu ternyata memili-
ki tenaga dalam kuat. Mungkin hanya setingkat di ba-
wahnya, karena dia sendiri tidak sampai, terjajar
mundur akibat benturan keras tadi.
Untuk sesaat, pertempuran itu terhenti. Songgara
telah menggeser langkah ke samping kanan, siap
menghadapi serangan lawan berikut. Kenanga sendiri
mempersiapkan jurus-jurusnya. Disadari kalau lawan-
nya tidak bisa dipandang ringan.
***
“Haiiit...!”
Diiringi sebuah pekik melengking, Kenanga mence-
lat ke depan dengan serangan-serangan yang jauh le-
bih hebat dari sebelumnya. Kaki dan tangannya berge-
rak cepat melakukan tamparan-tamparan dan tendan-
gan yang menerbitkan deruan angin tajam!
“Heaaa...!”
Songgara tidak tinggal diam. Tubuhnya bergerak
maju menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar
saja keduanya sudah saling terjang dengan jurus-jurus
pilihan.
Melihat kekasihnya terlibat dalam sebuah pertarungan sengit, Panji sadar kalau keadaan memang tidak
mungkin bisa diubah lagi. Dengan langkah tenang,
pemuda tampan itu bergerak mendekati dua orang
lainnya, Dawanta dan Malingga.
Kedua lelaki bermata dingin itu sepertinya sudah
bersiap untuk menggebrak Panji. Begitu melihat pe-
muda berjubah putih itu melangkah maju, Dawanta
dan Malingga merenggang ke kiri dan kanan. Jelas,
kedua orang itu hendak mengeroyok Panji dari dua
arah.
“Jawablah pertanyaan kami yang terakhir, Bocah!
Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?!”
bentak Malingga kasar. Rupanya dia masih penasaran
karena belum mendapat kepastian tentang jati diri
pemuda tampan berjubah putih itu. Itu sebabnya, se-
belum bertarung, pertanyaan itu kembali dilontarkan.
“Hm.... Siapa pun aku, itu tidak penting. Katakan
dulu, siapa kalian bertiga, dan apa maksud kalian
mencariku...?” sahut Panji, masih juga tidak mau men-
jawab pertanyaan Malingga. Pemuda itu sengaja hen-
dak membuat lawannya penasaran.
“Keparat! Bocah keras kepala! Rupanya kau lebih
suka mampus daripada memperkenalkan namamu...!”
geram Malingga jengkel bukan main. Dia merasa di-
permainkan oleh seorang pemuda seperti Panji. Tanpa
banyak cakap lagi, langsung saja tubuh cebolnya me-
lesat dengan sebuah serangan maut mematikan ke
arah kepala Panji.
“Remuk kepalamu, Bocah...!” teriak Malingga berin-
gas.
Bibir Panji memperlihatkan senyum meledek men-
dengar teriakan lawan. Pendekar Naga Putih hanya
menggeser kaki kanannya seraya memutar tubuh.
Disusul satu kibasan lengan ke punggung lawan.
“Yeaaah...!”
Malingga kaget melihat kecepatan gerak lawan yang
hampir tidak bisa ditangkap oleh matanya itu. Segera
dia membentak nyaring sambil memutar tubuh dengan
kuda-kuda rendah. Tangan kanannya dilintangkan ke
depan, memapaki kibasan lengan Panji yang disertai
tenaga dalam kuat. Akibatnya....
Dukkk!
“Ahhh...?!”
Bukan main terperanjatnya Malingga ketika tangki-
sannya justru membuat tubuhnya hampir terjengkang
ke tanah. Untunglah tubuhnya masih sempat dikuasai
dengan melambung ke udara dan berputar beberapa
kali sebelum kakinya menjejak tanah.
“Hmhhh...!”
Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada,
Malingga menggereng keras. Kedua lengannya diki-
baskan ke kiri dan kanan bersama bentakan lantang.
Gerakan itu dilakukannya untuk mengusir hawa din-
gin yang membekukan aliran darah di tubuhnya.
“Keparat! Tenaga yang kau gunakan itu pasti ‘Tena-
ga Sakti Gerhana Bulan’. Tidak salah lagi, kau me-
mang benar-benar Pendekar Naga Putih. Tapi, menga-
pa kau begitu pengecut untuk mengakuinya?” desis
Malingga dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu
membunuh.
“Hm..., aku tidak mengenal siapa kalian. Aku juga
tidak tahu apa maksud kalian mencari serta memusu-
hiku. Jadi untuk apa aku memperkenalkan nama ka-
lau akhirnya kita akan bertarung juga...?” jawab Panji
dengan raut wajah yang tetap tenang, membuat kema-
rahan Malingga semakin menjadi-jadi.
“Bocah sombong! Kau tidak perlu tahu julukan ka-
mi! Yang jelas, kami datang untuk membunuhmu...!”
bentak Malingga. Kembali disiapkannya jurus baru un-
tuk menggempur Pendekar Naga Putih.
Wunggg!
Tiba-tiba saja telinga Panji menangkap deruan ta-
jam dari belakang. Cepat kepalanya menoleh, dan
langsung merunduk ketika melihat sebuah benda bu-
lat meluncur menuju kepalanya.
Ketika benda bulat itu hanya lewat satu jengkal di
atas kepala Panji, benda itu langsung berputar balik,
lalu kembali mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras bagai mengguncang bumi
ketika, benda bulat itu menghantam tanah tempat
Panji berpijak. Untunglah pemuda itu telah melempar
tubuh ke udara dan langsung berputar sebelum men-
darat di permukaan tanah.
“He he he...! Sebentar lagi kepalamu pasti akan re-
muk oleh bola bajaku ini, Pendekar Naga Putih...!” ujar
Dawanta seraya tertawa parau.
Rupanya lelaki kekar berotot itu yang menyerang
Pendekar Naga Putih secara licik. Dawanta memutar
senjata andalannya yang berbentuk rantai dengan
ujung bola berduri di atas kepalanya.
Panji mengangkat kepala menatap bola berduri yang
menderu di atas kepala lawannya yang bertubuh ke-
kar. Disadari kalau senjata lawan sangat berbahaya.
Terbukti tanah tempatnya berpijak tadi telah berlu-
bang besar terhantam bola baja berduri itu. Pendekar
Naga Putih memutar otak untuk mencari cara meng-
hadapi lawan bersenjata aneh yang baru kali ini dite-
muinya.
***
DUA
“Yeaaah...!”
Disertai bentakan nyaring, Dawanta melontarkan
bola berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.
Whusss...!
Senjata maut yang mengerikan itu meluncur den-
gan kecepatan tinggi. Panji yang sudah memper-
siapkan diri untuk menghadapi senjata maut itu, baru
menggeser tubuh saat bola itu tinggal satu jengkal dari
tubuhnya. Gerakan menghindar secepat kilat tadi ti-
dak sulit dilakukan Panji, karena ilmu meringankan
tubuhnya memang telah mencapai tingkat kesempur-
naan.
Baru saja terhindar dari serangan yang satu, seran-
gan lainnya sudah datang mengancam.
Jtarrr... ctarrr...!
Suara ledakan cambuk yang menyakitkan telinga
itu, datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar
Naga Putih. Rupanya, Malingga pun telah mempergu-
nakan senjata andalan untuk mengeroyok Panji. Tentu
saja pemuda itu semakin terkejut dan kagum melihat
kehebatan lawan-lawannya. Hatinya bertanya-tanya,
siapa gerangan tiga lelaki bermata dingin yang berke-
pandaian tinggi itu? Dan, mengapa mereka memusu-
hiku?
Tapi, Pendekar Naga Putih tidak sempat memikir-
kan jawaban semua pertanyaan yang memenuhi be-
naknya. Karena dia harus menyelamatkan diri dari an-
caman ujung cambuk yang mengincar setiap jalan da-
rah besar di tubuhnya.
Ketika ujung cambuk datang mengancam untuk ke-
sekian kalinya, Panji yang ingin mengetahui kekuatan
lawan secara pasti, langsung mengibaskan lengan,
memapaki patukan ujung cambuk. Dan....
Prattt...!
“Aaah...!”
Malingga terpekik saat ujung cambuknya terpental
balik akibat kibasan lengan lawan. Bahkan, hawa din-
gin yang mengalir dari telapak tangan lawan sampai
pada telapak tangannya. Membuat lengannya menjadi
kaku beberapa saat lamanya.
“Heaaah...!”
Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
Segera saja jarinya menusuk deras ke tubuh lawan.
Tukkk!
“Aaakh...!”
Tusukan jari tangan Pendekar Naga Putih telak
mengenai sasaran. Akibatnya, tubuh Malingga ter
jengkang ke belakang, lalu jatuh berguling-guling. Je-
las hantaman yang dilontarkan Panji terlalu kuat ba-
ginya, karena pemuda itu mengerahkan tenaga dalam-
nya lebih dari separoh.
“Uhhh...!”
Meskipun dengan tulang iga terasa remuk, Malingga
berusaha bangkit untuk melanjutkan pertarungan.
Darah segar mengalir turun dari sudut bibirnya, per-
tanda kalau hantaman jari-jari tangan Pendekar Naga
Putih mengakibatkan luka dalam yang lumayan parah.
“Haaat...!”
Bagai tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita,
Malingga kembali melesat ke tengah arena. Saat itu
Panji berusaha keras melumpuhkan senjata maut di
tangan Dawanta yang menerjang bertubi-tubi.
Wunggg...!
Untuk kesekian kalinya bola maut itu mengancam
batok kepala Pendekar Naga Putih. Kali ini Panji hanya
merunduk, dan segera mengangkat tangan saat bola
maut itu lewat di atas kepalanya.
Dan....
Wrettt!
Rantai maut Dawanta langsung terjerat di pergelan-
gan tangan Panji. Lalu secepat kilat tangannya men-
cengkeram rantai senjata maut itu, membuat Dawanta
terperangah melihat senjatanya dapat dilumpuhkan
lawan.
“Hahhh!”
Disertai bentakan menggeledek, Dawanta menge-
rahkan seluruh tenaga untuk membetot rantai di tan-
gannya.
Rrrttt..!
Rantai baja itu menegang ketika Panji mempererat
genggamannya serta menambah kekuatannya ketika
merasakan tenaga lawan benar-benar sangat kuat Ter-
jadilah adu tarik yang menegangkan, membuat rantai
baja yang menjadi ajang adu kekuatan itu berderak-
derak.
“Haiiit...!”
Saat Dawanta mengerahkan segenap kekuatannya
agar dapat merebut senjata mautnya kembali, tiba-tiba
saja Panji mengendurkan tarikannya, dan membiarkan
dirinya melayang terbawa sentakan lawan. Hal itu bu-
kan berarti kalau kekuatan Dawanta lebih besar. Na-
mun, Panji memang menghendaki hal itu.
Dengan memanfaatkan tenaga sentakan lawan, tu-
buh Panji melesat bagai anak panah menuju Dawanta.
Sebelum Dawanta sempat menyadari yang terjadi, ten-
dangan Panji telah mengancam dadanya.
Desss...!
Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak kaki Panji yang
dialiri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, mendarat telak di
dada Dawanta!
“Huakhhh...!”
Tanpa ampun, tubuh kekar itu terpental deras ke
belakang. Darah segar termuntah, membasahi tanah di
bawahnya. Kendati demikian, rantai berujung bola
berduri itu tidak terlepas juga dari tangannya. Karena
ujung lainnya terikat erat di pergelangan lengan kanan
Dawanta.
Semula Panji hendak memutuskan rantai yang teri-
kat di pergelangan tangannya. Tapi, terpaksa niatnya
itu ditunda, karena saat itu Malingga merangsek kem-
bali dengan serangan pecutnya. Sehingga, Panji ter-
paksa harus menggeser tubuh untuk menghindari le-
cutan cambuk lawan.
“Hiaaah...!”
Tanpa terlepas dari libatan rantai pada pergelangan
tangannya, Panji bergerak menghindar dan secepat ki-
lat melangkah maju begitu ujung cambuk lawan luput.
Kemudian, kaki kanannya mencelat ke iga kanan la-
wan.
Bukkk!
“Huakkkh...!”
Untuk kedua kalinya, tubuh Malingga terpental ke
belakang. Kali ini mulutnya memuntahkan darah segar
akibat tendangan sekeras palu godam yang menimpa
tubuhnya. Untuk kesekian kalinya tubuh cebol itu ja-
tuh terguling-guling. Bahkan kali ini mendapat kesu-
karan untuk dapat segera bangkit.
“Aaakh...!”
Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Maling-
ga, terdengar jerit kesakitan lain. Kemudian disusul
dengan melayangnya sesosok tubuh kurus yang ke-
mudian terbanting di atas tanah, tidak jauh dari tem-
pat Malingga terjatuh.
“Adi Songgara...?!” rintih Malingga melihat siapa
yang terbanting itu. Lelaki cebol itu nampak kaget me-
lihat cairan merah termuntah juga dari mulut rekan-
nya itu. -
“Lari...!”
Setelah berseru begitu, Malingga terseok-seok mela-
rikan diri dari tempat itu. Disusul oleh Dawanta yang
terpaksa harus melepaskan senjatanya.
Melihat kedua rekannya telah melarikan diri, Song-
gara bergegas bangkit dan tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu.
“Hei! Jangan harap kalian dapat lolos begitu saja...!”
Kenanga yang tak sudi melepaskan lawan-lawannya,
melesat untuk melakukan pengejaran.
“Kenanga, tahan...!” cegah Panji. Dia sadar kalau
ketiga orang itu adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Bisa saja mereka berbuat licik untuk melepaskan diri
dari kejaran Kenanga.
Apa yang diduga Panji ternyata tidak meleset Pemu-
da itu melihat Songgara mendadak berbalik, dan men-
gibaskan lengannya ke arah Kenanga.
Syuuut... syuuut..!
Terdengar desingan halus diiringi kilatan sinar pu-
tih yang meluncur ke arah Kenanga yang berada dua
tombak dari Songgara.
“Hait..!”
Sadar kalau benda berkilau itu adalah pisau-pisau
terbang sebagai senjata rahasia Songgara,
Kenanga langsung melolos Pedang Sinar Rembulan
dari pinggangnya. Kemudian, dengan gerakan menyi-
lang, dihalaunya ketiga pisau kecil itu.
Darrr... darrr..,!
Hati Kenanga terkejut bukan main ketika benda itu
mendadak meledak saat berbenturan dengan senja
tanya. Asap tipis yang harum menebar di sekitar tubuh
dara jelita itu. Sesaat kemudian Kenanga jatuh tak sa-
darkan diri. Kedua bagian lengan pakaiannya ter-
koyak, seperti terbakar api.
“Kenanga...!” seru Panji khawatir.
Tubuhnya segera melesat menghampiri kekasihnya
yang tergeletak pingsan.
“Kenanga...,” desis Panji sambil memeriksa keadaan
kekasihnya. Wajah Pendekar Naga Putih terlihat agak
cemas ketika mengetahui kekasihnya terkena jenis ra-
cun ganas yang mematikan.
Setelah menotok beberapa bagian tubuh kekasih-
nya, Panji mengangkat tubuh lunglai dara jelita yang
dicintainya itu. Kemudian, dibawanya ke tempat yang
lebih aman, agar dapat mengobatinya dengan tenang.
Sementara itu, kegelapan merayap perlahan, me-
nyelimuti permukaan bumi. Angin dingin berdesir lem-
but, menyambut datangnya dewi malam di cakrawala
yang mulai menampakkan keanggunan cahayanya.
***
Bayangan putih itu bergerak menerobos sepinya
malam di bawah sinar bulan yang redup. Jubah putih-
nya berkibar mengikuti gerakannya yang cepat bagai
bayangan hantu. Di bahu kanannya terlihat sesosok
tubuh lain, tergantung lemah tak berdaya. Sosok ber-
jubah putih itu terus melesat ke selatan dengan ca-
haya rembulan sebagai penerang jalan.
Tidak berapa lama kemudian, sosok berjubah putih
itu menghentikan larinya. Setelah terdiam sesaat sam-
bil menatap tajam sebuah pondok sederhana di de-
pannya, kakinya melangkah perlahan mendekati pintu
pondok.
Tok, tok, tok!
Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, sosok
yang ternyata pemuda berjubah putih itu mundur dua
tindak. Dinantinya sang Empunya rumah membuka-
kan pintu baginya.
“Siapa di luar...?” tanya suara gemetar dari dalam
rumah.
“Maaf kalau aku mengganggu. Aku seorang pen-
gembara yang membutuhkan pertolongan. Tidak usah
cemas, aku bukan orang jahat..,” sahut pemuda berju-
bah putih dengan lantang dan jelas hingga terdengar
ke dalam rumah.
“Carilah tempat lain. Kami tidak mempunyai apa-
apa yang bisa menolongmu...!” sahut pemilik rumah
sederhana itu, belum juga mau membukakan pintu.
Rupanya dia belum mempercayai jawaban yang baru-
san didengarnya.
“Bukalah! Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat Temanku sedang sakit, dan dia harus se-
gera ditolong...!” pinta pemuda berjubah putih, seten-
gah memaksa. Setelah berkata demikian, kakinya me-
langkah, lalu telapak tangannya ditempelkan pada
daun pintu.
Kreeek...!
Tanpa kesulitan sedikit pun, daun pintu itu lang-
sung terdorong, padahal pemuda berjubah putih itu
sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga.
“Ahhh...!”
Terdengar jeritan tertahan dari dalam rumah. Lelaki
berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang sejak tadi
telah menunggu dengan jantung berdetak tegang,
langsung menyambar sebilah golok di bilik rumahnya.
Kemudian, diserbunya bayangan putih yang menyem-
bul dari balik daun pintu.
“Perampok keparat! Mampus kau...!” bentaknya
bergetar. Disusul kelebatan sinar putih yang meluncur
ke arah tamu tak diundang itu.
Orang yang dirangsek hanya memiringkan tubuh,
dan menerima bacokan itu dengan pangkal lengan.
Trakkk!
Bacokan mata golok itu memang tepat mengenai sa-
saran. Tapi, yang terjadi justru sangat mengejutkan si
pemilik rumah. Sebab, orang yang diserangnya sama
sekali tidak berteriak kesakitan, apalagi sampai men-
geluarkan darah. Malah golok di genggamannya ter-
lempar begitu saja ke tanah. Tubuh pemilik rumah itu
terjajar mundur sambil meringis memegangi pergelan-
gan tangan yang terasa sakit bukan main.
“Maaf, Paman. Aku sama sekali tidak bermaksud
menyakiti. Aku hanya butuh tempat yang baik untuk
mengobati sahabatku yang keracunan...,” ujar pemuda
berjubah putih itu. Kakinya kembali melangkah te-
nang, lalu tangannya diulurkan kepada si pemilik ru-
mah.
Ketika wajah pemuda berjubah putih itu tertimpa
sinar lampu minyak, hati pemilik rumah itu agak sedi-
kit lega. Sebab, dilihatnya wajah pemuda itu tidak
menggambarkan sifat-sifat jahat.
Pemuda tampan yang tak lain dari Panji itu, terse-
nyum seraya menganggukkan kepala. Kemudian tan-
gannya yang terulur itu, memijat lengan orang tua di
depannya dengan pengerahan ‘Tenaga Sakti Gerhana
Bulan’. Hawa dingin tiba-tiba mengalir dari jari-jari
pemuda itu, membuat rasa nyeri pada pergelangan
pemilik rumah langsung lenyap.
“Ohhh...?!”
Mulut lelaki tua itu sampai ternganga ketika mera-
sakan semua itu. Apalagi ketika dirasakan betapa
nikmatnya pijatan itu.
“Kau..., kau siapakah...?” tanya orang tua itu terga-
gap. Sepertinya dia menduga kalau tamunya sebangsa
siluman. Tentu saja Panji yang melihat gelagat itu
menjadi tersenyum.
“Namaku Panji, Paman. Dan aku membutuhkan
tempat untuk mengobati luka kawanku ini. Aku seo-
rang manusia biasa, sama seperti Paman,” jelas Panji,
membuat orang tua itu mengangguk-angguk, menya-
dari kekeliruannya.
“Silakan, Nak Panji...,” ujar orang tua itu, sudah
merasa yakin kalau pemuda tampan berjubah putih
itu bukan orang jahat, atau sebangsa siluman. Segera
diajaknya Panji ke sebuah kamar, dan mengizinkannya
untuk digunakan.
“Terima kasih, Paman...,” ucap Panji. Segera tubuh
Kenanga direbahkannya di atas balai-balai bambu
yang kelihatan sudah cukup tua itu.
“Kalau kau memerlukan sesuatu, silakan ambil
sendiri di belakang. Aku hendak beristirahat...,” pamit
orang tua itu. Rupanya dia tidak mau mencampuri
urusan tamunya. Kemudian, bergerak keluar dari da-
lam kamar itu.
Sepeninggal orang tua itu, Panji mulai melakukan
pengobatan terhadap kekasihnya. Setelah merasa ya-
kin kalau keadaan Kenanga sudah tidak terlalu berba-
haya, Panji pun melepaskan lelah sambil bersemadi.
Hal itu lebih berguna ketimbang tidur. Karena dengan
melakukan semadi, tubuhnya akan cepat terasa segar.
***
“Uhhh....”
Panji sudah menyelesaikan semadi dan menunggu
kekasihnya siuman. Dihampirinya balai-balai bambu
tempat Kenanga terbaring, dan duduk di tepinya.
Perlahan-lahan sepasang mata indah dara jelita itu
terbuka. Bibirnya bergerak ketika melihat seraut wajah
tampan tengah tersenyum kepadanya.
“Kaukah itu, Kakang...?” tanya Kenanga yang ru-
panya masih samar-samar mengenali Panji.
“Benar, Kenanga. Tetaplah berbaring, kau masih
terlalu lemah,” cegah Panji seraya menekan perlahan
kedua bahu kekasihnya yang hendak bangkit Dara jeli-
ta itu kembali berbaring.
Yakin kalau orang yang berada di sisinya adalah
Panji, Kenanga kembali memejamkan mata. Dia men-
coba mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya.
Perlahan-lahan, ingatannya kembali pada kejadian
yang telah menimpa dirinya.
“Pisau terbang itu pasti mengandung racun ganas,
hingga tubuhku terasa lemah dibuatnya...,” ucap Ke-
nanga perlahan. Kemudian dara jelita itu membuka
matanya dan menatap Panji, seakan meminta penjela-
san.
“Racun yang terhisap olehmu memang tidak terlalu
berbahaya, Kenanga. Tapi, untuk beberapa hari pere-
daran darahmu akan terganggu. Meskipun tidak akan
menyebabkan kematian, tapi racun itu sanggup me-
lumpuhkan daya pikir seseorang. Itu sebabnya menga-
pa kau masih belum bisa berpikir secara baik, dan te-
nagamu pun masih belum pulih seluruhnya. Untuk
memulihkan kesehatanmu, kau harus beristirahat se-
tidaknya tiga hari...,” jelas Panji, membuat Kenanga
menghela napas menyesali kecerobohannya waktu itu.
“Jadi, Kakang akan menyelidiki Istana Kadipaten
Balaraja seorang diri? Sedangkan aku harus berbaring
di sini menunggumu...?” tanya Kenanga, sudah dapat
menebak apa yang akan dilakukan Panji.
“Kau tidak perlu berbaring terus-menerus, Kenanga.
Bisa saja kau berlatih ataupun bersemadi guna mem-
percepat pemulihan tenagamu. Mengenai penyelidikan
itu, kelihatannya memang aku harus melakukannya
sendiri. Kalau tidak, mungkin saja kita terlambat. Dan
keadaan berubah semakin sulit..,” ujar Panji lagi, me-
minta pengertian kekasihnya.
“Yaaah.... Baiklah, Kakang. Kalau memang aku su-
dah sehat betul, aku akan menyusul...,” sahut Kenan-
ga, memaklumi kekhawatiran kekasihnya.
Setelah menitipkan Kenanga kepada pemilik rumah,
Panji pun meninggalkan tempat itu menuju Kadipaten
Balaraja.
***
EMPAT
Di Istana Kadipaten Balaraja saat itu terjadi kesibu-
kan. Atas perintah Senapati Marganta, para pejabat
kadipaten berkumpul di ruang pertemuan. Tujuannya
untuk menenangkan suasana istana yang dilanda ke-
resahan.
“Saudara-saudara sekalian..-.!”
Terdengar seorang lelaki gagah berusia lima puluh
tahun membuka pertemuan.
“Aku berharap agar peristiwa ini tidak tersebar luas.
Kalau sampai hal itu terjadi, kemungkinan besar ma-
syarakat akan menjadi resah. Selain itu, bahaya yang
lebih besar mungkin akan melanda kadipaten ini. Sa-
lah satunya adalah serangan dari luar dengan maksud
merebut istana ini dari tangan kita. Untuk itu, kuharap kalian semua dapat mengerti...,” lanjut lelaki gagah
yang dikenal sebagai Senapati Marganta.
“Tuan Senapati! Boleh kami mengajukan penda-
pat..?” seorang pejabat yang berada di sudut, mohon
izin untuk berbicara.
“Silakan...,” ujar Senapati Marganta dengan suara
berwibawa. Sepasang mata lelaki gagah itu agak me-
nyipit, seolah menilai perwira yang ingin mengajukan
pendapatnya itu.
“Karena kejadian ini menyangkut kewibawaan Ka-
dipaten Balaraja, tidakkah sebaiknya kalau diam-diam
kita memerintahkan pasukan untuk melakukan penye-
lidikan? Siapa tahu manusia jahanam itu belum lari
jauh dari daerah ini. Dengan begitu, kita akan mudah
menangkapnya. Sebab kalau hal ini dibiarkan, kita bi-
sa celaka. Mungkin di antara kita tidak akan ada yang
membocorkan rahasia ini. Tapi, apakah mulut manu-
sia laknat itu dapat kita jaga pula? Bagaimana kalau
dia sendiri yang akan menyebarluaskan berita ini...?”
tutur perwira berwajah brewok yang memiliki sepasang
mata tajam itu dengan suara yang lantang, hingga ter-
dengar oleh semua orang yang hadir di ruangan itu.
Terdengar kasak-kusuk yang membuat ruangan itu
menjadi bising. Beberapa pejabat tampak mengang-
guk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan perwira
bertubuh kekar tadi.
“Benar apa yang dikemukakan Perwira Duranta itu,
Tuan Senapati. Rasanya kita tidak bisa berdiam diri
setelah mengetahui perbuatan manusia jahat itu ter-
hadap kadipaten yang kita cintai ini. Aku ikut mendu-
kung pendapat Perwira Duranta...,” timpal lelaki tinggi
kurus yang wajahnya terhias kumis tipis. Dia pun ber-
pangkat perwira, seperti halnya Duranta.
“Hm...,” Senapati Marganta tidak segera menyahuti
ataupun menyetujui pendapat kedua perwira itu. Dia
hanya bergumam sambil mempermainkan jenggotnya
yang tercukur rapi. Pandang matanya menerawang
jauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Saudara-saudara sekalian. Aku bukan tidak setuju
dengan pendapat Perwira Duranta maupun Perwira
Sanggira. Tapi, apakah di antara kita ada yang me-
nyaksikan kejadian itu, dan sempat mengenali manu-
sia laknat itu? Kalau kita mengirim sepasukan prajurit
untuk menyelidiki, bukankah hal itu hanya buang-
buang tenaga? Sebab, siapa orang yang harus kita cari
itu? Adakah di antara kalian yang mengetahuinya...?”
Para pejabat kadipaten yang berkumpul di ruang
pertemuan itu kembali saling berbicara satu sama lain.
Kepala mereka tertunduk lesu. Sebab, apa yang dika-
takan Senapati Marganta memang tidak bisa dibantah!
Tak seorang pun tahu ke mana dan siapa yang harus
mereka cari?
“Tuan Senapati, menurut laporan beberapa prajurit
penjaga gerbang, kemarin ada seorang pemuda yang
ciri-cirinya sangat cocok dengan pendekar muda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih. Bahkan setelah men-
dengar laporan, hamba merasa yakin kalau pemuda
itu adalah Pendekar Naga Putih. Nah, bagaimana kalau
kita meminta bantuannya untuk mengungkapkan ra-
hasia yang masih gelap ini...?” Duranta tampak belum
putus harapan. Maksud hatinya dikemukakan tanpa
keraguan sedikit pun.
“Aku pun sudah mendengar peristiwa yang terjadi
di gerbang barat kemarin. Tapi, mengingat para praju-
rit telah bentrok dengannya, rasanya aku kurang yakin
kalau pendekar muda itu masih berada di sekitar dae-
rah ini Kemungkinan besar pendekar itu telah melan-
jutkan perjalanannya, dan tidak jadi singgah di kadipaten ini. Jadi buanglah keinginan yang tidak mung-
kin terwujud itu, Perwira Duranta. Sebaiknya kita per-
ketat saja penjagaan di istana. Dan berharap agar
bangsat itu muncul kembali di tempat ini...,” jawab
Senapati Marganta, menyelesaikan pertemuan. Lang-
sung saja ditutupnya pertemuan itu, karena tidak
menghasilkan jalan keluar yang diharapkan.
Setelah Senapati Marganta mengetukkan palu di
tangannya sebagai tanda pertemuan telah berakhir,
para pejabat istana kadipaten pun bubar menuju tem-
patnya masing-masing. Beberapa di antara para peja-
bat itu ada yang merasa belum puas dengan keputu-
san pertemuan itu. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-
apa selain menerima dengan terpaksa.
***
Malam sudah lama turun membasahi permukaan
bumi. Suara jangkrik dan serangga-serangga malam
menyemarakkan suasana. Bulan yang menggantung
separuh di langit kelam, tak mampu menerobos kege-
lapan.
Seiring berhembusnya angin malam yang sesekali
keras, tampak tiga tubuh bergerak ringan melompati
tembok yang mengelilingi Kadipaten Balaraja. Dan te-
rus melesat di atap rumah penduduk yang tengah ter-
buai mimpi.
Ketiga sosok hitam yang memiliki kepandaian tinggi
itu, terus bergerak menuju Istana Kadipaten Balaraja.
Dengan memilih jalan yang terlindung bayang-
bayang pohon maupun tembok gelap, ketiga sosok hi-
tam itu tenis menyelinap ke istana, tanpa seorang pen-
jaga pun menyadarinya. Ketiganya terus bergerak me-
nuju bagian belakang, tempat para jawara Kadipaten
Balaraja tinggal.
“Kita habisi mereka di tempat ini, atau kita pancing
ke luar, Kakang...?” tanya sosok bertubuh tinggi kurus
dan mengenakan jubah panjang hingga ke lutut.
“Tidak perlu memancing. Kita habisi saja di sini...,”
sahut lelaki bertubuh gemuk namun kekar berotot, ju-
ga dengan suara berbisik perlahan.
Tapi, meski ketiga sosok itu telah melangkah hati-
hati, tetap saja langkah dan dengus napas mereka ter-
tangkap oleh penghuni rumah. Buktinya terdengar su-
ara orang bertanya dari dalam rumah itu.
“Siapa di luar...?!” tegur suara lantang. Disusul ber-
kelebatnya sesosok tubuh tegap dari dalam rumah
yang cukup besar itu.
Karuan saja ketiganya menjadi terkejut bukan
main. Cepat mereka bergerak menyelinap ke tempat
yang terlindung dari sinar obor yang tertempel di dind-
ing rumah.
“Hm...,” gumam sosok tegap itu perlahan sambil
mengedarkan pandangan ke sekitar.
Meskipun tidak menemukan sesuatu yang mencuri-
gakan, sosok tegap itu menanti beberapa saat untuk
memastikan bahwa sekeliling rumahnya memang
aman. Tapi....
“Eh...?!” sosok tegap itu menahan seruannya saat
mendengar desiran angin tajam menuju ke arahnya
dari belakang.
“Haiiit..!”
Seiring teriakan nyaring, sosok tegap itu melenting
ke udara, menghindari sambaran tiga pisau terbang
yang sekaligus mengancam tiga jalan darah kematian
di tubuhnya.
Meskipun telah berhasil menghindari serangan ge-
lap itu, tak urung sosok tegap itu kecolongan juga. Se
buah tendangan keras yang datang cepat, membuat-
nya terlempar keras, memuntahkan darah segar!
Sadar kalau dirinya dalam bahaya besar, lelaki te-
gap yang merupakan salah satu jawara kadipaten,
langsung menggulingkan tubuhnya ke tempat yang le-
bih aman.
Baru saja tubuhnya melenting bangkit, dan belum
sempat mengatur kuda-kuda, terdengar desingan ta-
jam yang mengancam kepalanya.
Whuuut...!
“Aaah...!”
Meski agak gugup, lelaki tegap itu masih sempat
menundukkan kepalanya. Sehingga, sambaran mata
pedang itu lewat satu jengkal di atas kepalanya. Na-
mun bukan berarti dia sudah terlepas dari bahaya. Pe-
nyerang berpedang itu ternyata memiliki gerakan yang
gesit. Begitu bacokan pedangnya luput, kakinya lang-
sung melancarkan tendangan kilat yang mengenai
punggung lawan.
Desss...!
Tendangan berputar yang dilancarkan sosok kekar
berotot itu, membuat tubuh lawan terjerembab men-
cium tanah. Sebelum tubuhnya sempat bangkit, seba-
tang pedang berkelebat di antara sinar obor, menyam-
bar cepat memutuskan batang lehernya!
Crakkk!
Darah segar menyembur saat kepala lelaki tegap itu
terpental dari badannya. Tewaslah jawara Kadipaten
Balaraja itu, tanpa sempat berteriak lagi.
“Hei...! Siapa kalian?!”
Tiba-tiba terdengar teguran dari belakang ketiga so-
sok hitam yang berkumpul di dekat mayat korbannya.
Cepat mereka menoleh ke belakang.
“Pendekar Golok Sakti...?!” desis sosok yang bertubuh cebol ketika melihat seorang lelaki tinggi tegap
yang barusan menegur mereka.
“Untuk apa menunggu lagi? Habisi dia...!” seru lela-
ki bertubuh kekar berotot seraya menerjang lelaki te-
gap yang berjuluk Pendekar Golok Sakti.
“Yeaaah...!”
Bettt..!
Sambaran mata pedang berkeredep, dibarengi suara
mengaung mengerikan yang mengancam lelaki tadi,
segera dielakkannya dengan menggeser tubuh ke ka-
nan.
Tranggg!
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di tan-
gan lelaki tegap itu telah tergenggam sebatang golok
berwarna putih mengkilat, yang langsung digunakan
untuk memapaki serangan lawan berikutnya. Akibat-
nya, kedua orang itu terdorong mundur sejauh empat
langkah. Hal itu membuktikan kalau kekuatan mereka
berimbang.
“Keparat! Siapa kalian...?! Apa maksud kalian men-
datangi tempat ini?!” geram Pendekar Golok Sakti
sambil mengelebatkan goloknya dengan gerak menyi-
lang di depan dada.
“Hm.... Kami adalah malaikat maut yang akan
membunuhmu...!” dengus lelaki tinggi kurus berjubah
panjang yang langsung mengibaskan kedua lengannya
bergantian. Terdengarlah desingan yang berasal dari
enam bilah pisau terbang yang dilepaskannya.
“Hait..!”
Pendekar Golok Sakti ternyata sangat hati-hati. Dia
tidak menyambut serangan senjata rahasia itu dengan
tebasan goloknya. Tapi, memilih menghindar dengan
cara melambung ke udara.
“Haaat...!”
Selagi tubuh Pendekar Golok Sakti melayang di
udara, lelaki kekar yang menggunakan pedang lang-
sung melesat dan mengirimkan serangannya sekuat
tenaga.
“Yeaaah...!”
Sadar kalau berusaha menghindar jelas sangat su-
lit, Pendekar Golok Sakti tak segan-segan menyambut
tebasan pedang lawan dengan kelebatan senjatanya.
Sehingga....
Trang! Trang...!
Tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras pun terja-
di, membuat percikan bunga api menerangi arena per-
tarungan itu. Tubuh keduanya terpental balik, dan
sama-sama berputar beberapa kali sebelum menyen-
tuh permukaan tanah.
“Kalian Tiga Setan Lembah Mayat...?! Siapa..., siapa
yang membayar kalian untuk membunuhku...?” desis
Pendekar Golok Sakti.
Rupanya lelaki bertubuh tegap itu mengenali ketiga
lawannya. Dia pun tahu pula kalau ketiga orang itu
merupakan pembunuh bayaran yang bersedia melaku-
kan apa saja demi beberapa kantong uang. Tentu saja
Pendekar Golok Sakti menjadi terkejut setelah menge-
tahui siapa ketiga orang lawannya itu.
“Hm.... Setelah mengetahui siapa kami, kau harus
mati, Pendekar Golok Sakti...!” geram orang pertama
dari Tiga Setan Lembah Mayat, yang tidak lain dari
Malingga.
“Suiiit...!”
Tiba-tiba Pendekar Golok Sakti memperdengarkan
siulan panjang yang melengking tinggi, membuat keti-
ga orang lawannya terkejut. Mereka menduga kalau
Pendekar Golok Sakti tengah memanggil bala bantuan.
“Keparat! Mampus kau...!” geram Songgara menjadi
marah. Langsung dilepaskannya tiga bilah pisau ter-
bang ke arah lelaki tegap itu.
Syuuut...!
Belum lagi benda-benda tajam itu benar-benar de-
kat, lelaki bertubuh kekar berotot bernama Dawanta
sudah menyusul dengan serangan pedangnya. Mem-
buat, Pendekar Golok Sakti kerepotan oleh serangan-
serangan maut itu.
Merasa agak kaget mendapat serangan yang cukup
mendadak itu, Pendekar Golok Sakti segera saja men-
gayunkan golok, menyambut datangnya sebilah pisau
terbang yang mengarah tenggorokannya. Dan....
Darrr...!
“Aaah….!”
Pendekar Golok Sakti yang tak menduga kalau sen-
jata rahasia itu akan meledak akibat tangkisannya,
memekik tertahan. Tubuhnya terlempar balik di antara
kepulan asap tipis beraroma memabukkan.
“Tamat riwayatmu...!”
Sebelum Pendekar Golok Sakti sempat berbuat se-
suatu, Dawanta sudah tiba dengan satu sabetan pe-
dang, yang langsung merobek sepanjang dada lelaki
gagah itu.
Breeet...!
“Aaa...!”
Jeritan menyayat terdengar saat mata pedang Da-
wanta menghabisi nyawa Pendekar Golok Sakti. Seir-
ing robohnya tubuh jawara kadipaten itu, terdengar
derap langkah banyak orang mendatangi tempat perta-
rungan maut itu. Dari kejauhan terlihat sinar terang
berasal dari obor yang dibawa serombongan prajurit
kadipaten.
“Lari...!” perintah Malingga, mengetahui sepasukan
prajurit berlarian memandangi mereka.
Tanpa diperintah dua kali, Dawanta dan Songgara
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dalam sekejap,
tubuh Tiga Setan Lembah Mayat melambung ke atas
atap, dan terus berkelebat menuju keluar lingkungan
istana kadipaten.
“Kejar...!” teriak seorang lelaki gagah berpakaian
senapati.
Seketika itu juga, tidak kurang dari seratus orang
prajurit di bawah pimpinannya, bergerak menyebar
untuk melakukan pengejaran.
Namun, Tiga Setan Lembah Mayat tidak bodoh. Me-
reka lari berpencar untuk mengacaukan para penge-
jarnya. Sehingga, para prajurit kadipaten menjadi bin-
gung dan berlarian ke sana kemari.
“Kejar salah seorang dari mereka...!”
Lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Margan-
ta, kembali memberi perintah kepada pasukannya
yang kacau-balau itu. Setelah memberi perintah tadi,
tubuhnya sendiri melesat melakukan pengejaran,
mendahului para prajuritnya. Senapati Marganta se-
pertinya tidak ingin kehilangan buruan hanya karena
kelambatan para prajuritnya dalam melakukan penge-
jaran.
“Hm.... Mau lari ke mana kau, Keparat...?!” geram
Senapati Marganta.
Saat itu, dilihatnya sesosok bayangan berkelebat
dalam jarak satu tombak lebih. Cepat Senapati Mar-
ganta melakukan pengejaran, dengan membawa seba-
tang obor yang disambarnya dari dinding bangunan.
“Hei! Berhenti...!” bentak Senapati Marganta sambil
melayang ke depan dengan berputar di udara beberapa
kali.
Sedangkan sosok tubuh yang dikejar, terlihat
menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke belakang, saat menyadari sesosok tubuh berputaran di
udara ke arahnya. Dia pun melangkah mundur dua
tindak
“Menyerahlah, Pembunuh Keji...!” bentak Senapati
Marganta begitu kedua kakinya mendarat di atas ta-
nah, beberapa langkah di hadapan sosok bertubuh se-
dang berjubah panjang yang berwarna putih.
Sosok bertubuh sedang itu tampak agak tertegun
mendengar perkataan Senapati Marganta. Namun, le-
laki gagah itu berpikir lain. Khawatir kalau-kalau so-
sok berjubah putih itu berbuat curang, Senapati Mar-
ganta bergegas melolos senjatanya, lalu maju mener-
jang. Sebelumnya dia bersiul panjang, sebagai isyarat
kepada pasukannya untuk datang ke tempat itu.
“Hei! Ada apa ini...?!” seru sosok berjubah putih
yang segera menarik tubuhnya ke belakang, untuk
menghindari sambaran pedang lawannya.
“Tidak perlu banyak cakap! Menyerahlah, atau kau
kubunuh di tempat ini...?!” ancam Senapati Marganta
penuh kegeraman. Kembali pedangnya dibabatkan
dengan gerakan mendatar.
Bettt...!
Sosok berjubah putih itu kembali melompat mun-
dur, menghindari sambaran pedang yang nyaris mero-
bek perutnya. Kemudian, kaki depannya mencuat den-
gan maksud melumpuhkan pedang lawan.
Dukkk!
Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Tubuh Se-
napati Marganta terjajar mundur sejauh enam lang-
kah. Sedangkan sosok berjubah putih itu tetap tegak
tanpa bergeming sedikit pun dari tempatnya semula.
Kenyataan itu tentu saja membuat Senapati Marganta
menjadi terkejut.
“Bangsat! Pantas saja kau berani mati mengacau di
dalam istana kadipaten. Rupanya kau memiliki kepan-
daian tinggi.... Walau begitu, jangan harap kau dapat
lolos dari tempat ini...!” geram Senapati Marganta.
Kembali pedangnya disilangkan di depan dada, dan
bersiap menghadapi pertarungan selanjutnya.
Tapi, sebelum keduanya saling menggebrak, terden-
gar derap langkah dari empat penjuru. Sosok berjubah
putih itu kelihatan kaget begitu menyaksikan puluhan
prajurit kadipaten muncul mengepung dirinya.
“Tuan Senapati, harap jangan teruskan kesalahpa-
haman ini. Hamba hanya kebetulan tengah berkeliling
di sekitar istana kadipaten. Karena hamba mendengar
terjadi sesuatu yang menggemparkan di dalam ling-
kungan istana. Itu sebabnya, hamba berada di tempat
ini...,” sosok berjubah putih itu berusaha menjelaskan
duduk persoalannya.
“Hm.... Jadi kau tetap tidak mau mengakui perbua-
tanmu yang telah menewaskan dua orang jawara kadi-
paten...?” ujar Senapati Marganta dengan wajah sinis.
Jelas sekali kalau lelaki gagah itu tidak mempercayai
omongan orang yang dianggapnya sebagai pembunuh
keji.
“Membunuh jawara kadipaten? Apa maksud Tuan?
Hamba sama sekali tidak mengerti...,” bantah sosok
berjubah putih itu yang tetap tidak menerima tuduhan
Senapati Marganta kepadanya.
“Tidak usah berpura-pura lagi, Manusia Keji! Bebe-
rapa hari yang lalu kau telah membunuh Adipati Bala-
raja secara keji! Malam ini kau kembali menewaskan
dua orang jawara yang sangat dipercaya oleh Gusti
Adipati. Apa sebenarnya maksudmu? Mengapa kau
berbuat sekeji itu?!” Senapati Marganta tetap berkeras
menuduh orang itu telah melakukan pembunuhan-
pembunuhan keji.
Tanpa mau mendengar bantahan-bantahan pemuda
berjubah putih itu, Senapati Marganta segera saja
memerintahkan para prajuritnya untuk mengepung
dan menangkap sosok berjubah putih itu untuk dihu-
kum atas segala perbuatannya.
***
LIMA
“Tuan Senapati. Percayalah, hamba sama sekali ti-
dak melakukan perbuatan keji itu. Bahkan hamba siap
membantu sepenuh tenaga apabila diperlukan...,” pe-
muda berjubah putih itu masih berusaha untuk meya-
kinkan Senapati Marganta kalau dirinya sama sekali
tidak bersalah.
Tapi, senapati gagah itu sama sekali tidak mempe-
dulikan ucapan tersebut. Kakinya malah melangkah
mundur untuk memberikan tempat kepada para praju-
rit yang siap menangkap pemuda berjubah putih itu.
“Hujani dengan anak panah...!” perintah Senapati
Marganta dengan suara menggelegar.
Mendengar perintah itu, pemuda berjubah putih
yang tidak lain Panji itu tentu saja menjadi terkejut.
Sadar kalau dirinya terancam bahaya besar, segera di-
kerahkannya ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk me-
lindungi sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian, hawa
dingin menusuk tulang menebar seiring munculnya
lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti seku-
jur tubuhnya.
“Ahhh...! Dia..., Pendekar Naga Putih...?!” teriak be-
berapa orang perwira yang rupanya pernah mendengar
tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih.
Karena itu, begitu melihat tubuh pemuda berjubah
putih itu diselimuti kabut berhawa dingin, mereka
langsung mengenalinya.
“Pendekar Naga Putih...?!” desis Senapati Marganta
dengan wajah penuh tanda tanya.
Senapati Kadipaten Balaraja itu sama terkejutnya
ketika menyaksikan lapisan kabut menyelimuti seku-
jur tubuh orang yang semula dituduh sebagai pembu-
nuh itu.
Enam orang perwira yang ikut di dalam pengepun-
gan itu, menoleh ke arah Senapati Marganta. Tampak
mereka meminta pendapat Senapati Marganta, setelah
mengetahui jati diri pemuda berjubah putih yang me-
reka kepung itu.
“Hm.... Bagaimanapun juga, pendekar itu tetap ha-
rus ditangkap. Bisa saja pembunuhan di dalam ling-
kungan istana dilakukannya. Siapa lagi yang mampu
membunuh Gusti Adipati tanpa seorang pun yang
mengetahuinya? Kedua pengawal pribadi Gusti Adipati
yang terbunuh pun bukan orang sembarangan. Men-
gapa keduanya dapat tewas demikian mudah? Bukan-
kah semua itu berarti kalau pembunuhnya memang
memiliki kepandaian sangat tinggi? Dan, pemuda ini
salah satu dari sekian orang yang mampu melakukan-
nya. Lebih baik dia dilenyapkan saja, sebelum menim-
bulkan bencana baru bagi kita semua...,” ujar Senapati
Marganta, masih tetap pada pendiriannya semula.
“Seraaang...!”
Setelah menetapkan keputusannya, Senapati Mar-
ganta segera memerintahkan pasukan panah yang te-
lah bersiap-siap untuk segera menyerang Pendekar
Naga Putih.
Singgg... zinggg...!
Puluhan anak panah meluncur menghujani Panji
dengan kecepatan yang mengerikan. Sepertinya Pen-
dekar Naga Putih akan segera tewas terhunjam pulu-
han batang anak panah.
“Hm...,” gumam Panji yang sama sekali tidak mera-
sa gentar sedikit pun menghadapi hujan anak panah
itu.
Tanpa bergeser dari tempatnya, kedua tangannya
digerakkan untuk menangkapi anak panah yang me-
nuju kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya
sama sekali tidak dipedulikan. Sebelum kulit tubuhnya
tersentuh, anak panah itu berguguran dalam keadaan
patah. Tentu saja. semua itu akibat lapisan kabut yang
melindungi tubuhnya.
“Gila...?!” Senapati Marganta sampai memekik ter-
tahan menyaksikan pemandangan itu. Kenyataan yang
terjadi di depan matanya, membuat Senapati Marganta
sadar kalau Pendekar Naga Putih benar-benar seorang
yang sangat sakti. Dia sendiri telah membuktikan den-
gan mata kepalanya sendiri.
“Serbuuu...!” perintah senapati gagah itu kembali.
Senapati Marganta sepertinya tidak berkecil hati.
Menurutnya, betapapun saktinya pemuda berjubah
putih itu, pasti ada batasnya. Jadi, kalau diserang te-
rus-menerus, bukan tidak mungkin pemuda itu akan
kehilangan banyak tenaga. Pikiran itulah yang mem-
buat Senapati Marganta memerintahkan para prajurit-
nya untuk menerjang kembali.
Melihat para prajurit meluruk dengan senjata di
tangan, Panji pun segera menyambutnya. Kaki dan
tangannya bergerak kian kemari. Setiap kali pemuda
itu menampar atau menendang, selalu ada tubuh yang
terjengkang tanpa mampu bangkit lagi. Pendekar Naga
Putih memang tidak berniat membunuh para prajurit
yang menurutnya hanya melaksanakan tugas dari ata
sannya. Maka, para pengeroyoknya hanya dibuat ping-
san saja.
“Heaaat...!”
Dua perwira yang melihat Panji memporak-
porandakan pasukannya, segera memasuki kancah
pertempuran. Begitu tiba, pedangnya langsung berke-
lebat ke arah tubuh Pendekar Naga Putih.
Bettt! Bettt!
Panji bergegas menggeser tubuhnya untuk meng-
hindari sambaran dua batang pedang perwira itu. Dis-
usul tamparan balasan yang lebih kuat, ketika kedua
batang pedang lawan kembali berputar mengancam
tubuhnya.
Plakkk! Plakkk!
“Aaak...!”
“Aaa...!”
Akibatnya, kedua perwira itu memekik kesakitan!
Tubuh mereka terlempar deras ke belakang.
Kesempatan itu digunakan Panji untuk menerobos
kepungan. Sepasang tangannya bergerak mendorong
ke depan.
Whusss...!
Angin dingin menusuk tulang yang berhembus dari
sepasang telapak tangan pemuda itu, membuat bela-
san prajurit terhempas bagaikan daun-daun kering
yang diterbangkan angin. Sedangkan tubuh mereka
menggigil hebat.
“Haaat...!”
Senapati Marganta tentu saja tidak sudi membiar-
kan pemuda itu meloloskan diri. Cepat dia mencegah
disertai tebasan pedang yang menimbulkan angin ber-
cuitan!
Wuuut...!
Merasakan ada serangan berbahaya, Panji bergegas
menarik mundur tubuhnya dua langkah. Setelah sen-
jata lawan lewat di depan tubuhnya, pemuda itu lang-
sung melenting ke udara seraya melontarkan pukulan
jarak jauh yang mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana
Bulan’.
Senapati Marganta yang sadar akan kedahsyatan
pukulan sakti pemuda itu, segera melempar tubuhnya
lalu bergulingan menjauh.
Kesempatan itu digunakan Panji kembali untuk
menerobos kepungan, dan segera menghilang di kege-
lapan malam.
“Tidak perlu mengejar! Percuma, kalian tidak akan
bisa menyusulnya...!”
Senapati Marganta berteriak kepada para prajurit-
nya, ketika melihat Pendekar Naga Putih berhasil melo-
loskan diri dari kepungan.
“Seorang pemuda yang hebat dan sangat berba-
haya...,” puji Senapati Marganta, merasa kagum bukan
main dengan kesaktian Pendekar Naga Putih.
“Tapi, Tuan Senapati. Apakah mungkin Pendekar
Naga Putih berbuat sejahat itu? Bukankah selama ini
kita mendengar kalau pemuda itu adalah seorang pen-
dekar yang budiman...?” ujar seorang perwira bertu-
buh tegap, yang tidak lain adalah Duranta.
Jelas perwira itu masih belum percaya kalau pen-
dekar muda yang diagung-agungkan kaum rimba per-
silatan itu tega melakukan pembunuhan keji di dalam
istana kadipaten. Kebimbangan hatinya langsung di-
utarakan kepada Senapati Marganta, yang secara tak
langsung kini merupakan pimpinan tertinggi di Kadi-
paten Balaraja. Karena, Adipati Balaraja selaku pe-
mimpin tertinggi telah tewas oleh pembunuh misterius.
Sedangkan Pendekar Naga Putih dituduh sebagai pelakunya.
“Hhh...! Aku sendiri merasa heran, Duranta. Tapi,
kau lihat sendiri buktinya, bukan? Mungkin saja pen-
dekar muda itu adalah seorang dari ketiga pembunuh
yang melarikan diri dengan jalan berpencar tadi.
Mungkin juga semua ini siasat dari para pembunuh itu
dengan cara menonjolkan Pendekar Naga Putih agar
kita terkecoh. Hm.... Sayang mereka salah menduga
kalau dapat mengelabuiku...,” ujar Senapati Marganta,
mengajukan pikiran-pikirannya.
Perwira Duranta mengangguk-anggukkan kepala.
Ucapan Senapati Marganta menurutnya memang ma-
suk akal.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan setelah menge-
tahui jati diri seorang dari pembunuh itu, Tuan Sena-
pati...?” tanya Duranta lagi, meminta pendapat pimpi-
nannya.
“Sebaiknya kita tetap memperketat penjagaan. Kita
tidak perlu mengerahkan pasukan untuk mengejar
mereka. Aku merasa yakin kalau para pembunuh itu
pasti akan kembali menyatroni istana kadipaten ini.
Bukan hal yang mustahil kalau incaran mereka selan-
jutnya adalah diriku....”
Setelah berkata demikian, Senapati Marganta me-
langkah pergi, meninggalkan Duranta yang tertegun.
Perwira gagah itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Ka-
rena sebelum meninggalkan tempat itu, Senapati Mar-
ganta memerintahkannya memimpin para prajurit un-
tuk menyelesaikan segala sesuatunya.
Tanpa banyak cakap lagi, perwira gagah itu segera
memerintahkan para prajuritnya untuk mengobati me-
reka yang terluka dan merapikan tempat yang telah
porak-poranda itu.
***
Tiga sosok tubuh bergerak cepat menerobos lebat-
nya Hutan Pancawarna. Mereka adalah Tiga Setan
Lembah Mayat, pembunuh-pembunuh bayaran yang
telah melakukan tugasnya dengan baik.
Tidak lama kemudian, ketiga manusia berhati iblis
itu pun memperlambat larinya. Beberapa tombak di
depan mereka tampak sebuah bangunan tua berdiri
angker. Dinding bangunan tersebut nampak telah ru-
sak dan berlumut di beberapa bagian. Sekali lihat saja,
dapat diketahui kalau bangunan tua itu sama sekali
tidak berpenghuni.
Tiga Setan Lembah Mayat bergerak mengitari ban-
gunan. Sepertinya mereka ingin memastikan kalau
tempat itu benar-benar aman. Setelah merasa yakin
akan keadaan di sekelilingnya, mereka pun berkumpul
di sebuah ruangan bangunan tua itu.
“Aku khawatir dia akan menyalahi janjinya....”
Terdengar ucapan bernada berat milik Dawanta. Le-
laki bertubuh kekar berotot itu menatap saudaranya
yang tertua, seperti hendak meminta pendapat.
“Tidak mungkin, Adi. Kalau benar hal itu dilaku-
kannya, sama artinya dengan bunuh diri.
Tentunya dia tidak menginginkan kita membeber-
kan semua rahasianya ke kadipaten, bukan?” jawab
Malingga. Kelihatannya dia sama sekali tidak
mengkhawatirkan hal itu.
“Biar bagaimanapun kita tidak boleh kehilangan
kewaspadaan. Bukan tidak mungkin dia akan menge-
nyahkan kita untuk menghilangkan jejak,” sergah
Songgara ikut menimpali pembicaraan kedua orang
saudaranya.
“He he he...! Kita bukan orang bodoh yang baru se-
kali melakukan tugas seperti ini. Semua kekhawatiran
kalian, telah ada dalam kepalaku. Jadi, tidak perlu lagi
ada yang dikhawatirkan. Sebaiknya kita lihat saja nan-
ti...,” kilah Malingga sambil memperdengar tawa parau.
Kemudian, tubuhnya dihempaskan ke lantai bangunan
tua itu.
Kekhawatiran Dawanta dan Songgara perlahan pu-
dar, mendengar ucapan saudara tua mereka. Tapi, ba-
ru saja keduanya hendak ikut duduk, Malingga tiba-
tiba melompat bangkit.
“Dia sudah datang...!” seru Malingga, memberitahu-
kan kedua saudaranya.
Dawanta dan Songgara saling berpandangan seje-
nak. Kemudian, keduanya melangkah dan berdiri di ki-
ri dan kanan Malingga, menunggu munculnya orang
yang mereka maksudkan.
“Ha ha ha...! Tidak percuma aku menyewa kalian,
Tiga Setan Lembah Mayat! Kerja kalian benar-benar
membuat hatiku puas...!”
Terdengar gelak tawa memenuhi ruangan. Disusul
bayangan hitam berkelebat menghampiri Tiga Setan
Lembah Mayat.
“Hm.... Kami cukup lama menantimu di sini. Kupi-
kir kau akan mengingkari perjanjian yang telah kita
sepakati...,” sambut Malingga tanpa rasa hormat sedi-
kit pun. Sikapnya terlihat amat angkuh. Membuat
orang yang baru saja datang, terkekeh perlahan meli-
hat Malingga yang dianggapnya bertingkah.
“Kau tidak mempercayaiku, Malingga? Bukankah
pada tugas yang pertama kalian telah menerima baya-
ran tanpa kurang sepeser pun? Jadi, tidak ada alasan
bagi kalian untuk mencurigaiku,” sahut orang bertu-
buh kurus itu sambil melangkah maju beberapa tin-
dak, membuat jarak di antara mereka semakin dekat.
Rupanya Dawanta dan Songgara masih menyimpan
sedikit kecurigaan kepada orang bertubuh kurus yang
membayar mereka itu. Terbukti saat dia melangkah
maju, keduanya sigap meraba senjata, siap bertindak
apabila lawan berbuat curang.
Malingga mengerling kepada dua saudaranya, seba-
gai isyarat agar mereka tenang. Sehingga, baik Dawan-
ta maupun Songgara terpaksa menjauhkan lengannya
dari gagang senjata.
“Tidak perlu banyak cakap lagi! Berikan saja apa
yang sudah menjadi hak kami...!” geram Dawanta ingin
lekas-lekas menerima bayarannya.
“He he he...! Jangan terlalu tegang, Dawanta. Lihat-
lah apa yang kubawa ini...,” ujar orang bertubuh tinggi
kurus itu seraya menurunkan bungkusan besar yang
tergantung di bahunya. Kemudian bungkusan itu di-
buka dan diperlihatkan kepada Tiga Setan Lembah
Mayat. Tampak enam kantong uang di dalamnya,
membuat kecurigaan Dawanta dan Songgara pupus
seketika.
“Keenam kantong uang ini akan menjadi milik ka-
lian. Setelah itu, masih ada satu tugas lagi yang harus
kalian lakukan untukku...,” ujar orang tinggi kurus itu
dengan bibir tersenyum tipis.
“Tidak! Apa yang kami lakukan untukmu sudah cu-
kup. Berikan saja uang itu! Kau boleh mencari orang
lain untuk melakukan tugas selanjutnya. Karena me-
nurut kami, sudah tidak ada lagi yang perlu dilaku-
kan...!” tegas Songgara ikut angkat bicara, sebelum
Malingga sempat menyahuti ucapan lelaki tinggi kurus
itu.
“Maafkan kami, Kisanak. Sebaiknya hubungan ini
memang harus kita akhiri. Sesuai dengan ucapanmu
beberapa hari yang lalu, tugas kami semalam adalah
tugas terakhir. Sebaiknya kau mencari orang lain un-
tuk melakukan tugas selanjutnya. Semalam kami
hampir tertangkap, dan mungkin juga kami sudah da-
pat dikenali. Itu sebabnya saudaraku menolak tawa-
ranmu dan lebih suka kembali ke tempat kediaman
kami...,” Malingga ikut mendukung ucapan Songgara,
yang dirasanya cukup beralasan.
“Hm.... Kalau memang begitu keinginan kalian,
baiklah. Nah, terimalah uang ini. Kalian bisa gunakan
untuk bersenang-senang sampai puas...,” ujar lelaki
tinggi kurus itu. Tangannya segera mengangkat bung-
kusan dan siap melemparkannya kepada Malingga.
“Tunggu...!” cegah Dawanta segera melangkah maju
menjajari Malingga. “Sebaiknya keluarkan saja kan-
tong-kantong uang itu lalu lemparkan kepada kami...!:
“Benar. Lemparkan saja keenam kantong uang itu
kepada kami...!” Malingga ikut menimpali. Dia seper-
tinya dapat menebak pikiran Dawanta yang merasa
khawatir kalau bungkusan itu mengandung racun ga-
nas.
“He he he...!” sosok tinggi kurus itu kembali mem-
perdengarkan tawa perlahan. Kemudian bungkusan itu
dirogohnya, dan mengeluarkan enam kantong uang
dari dalamnya. Terdengar suara gemerincing memenu-
hi ruangan tersebut, membuat Tiga Setan Lembah
Mayat, terutama Dawanta semakin tak sabar.
Malingga langsung menyambut kantong uang per-
tama yang dilempar ke arahnya oleh lelaki tinggi kurus
itu. Kemudian dilempar kembali pada Dawanta, yang
kemudian melemparkannya pada Songgara. Demikian
seterusnya, hingga tangan masing-masing Tiga Setan
Lembah Mayat memegang dua kantong uang.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba saja lelaki bertubuh tinggi kurus itu ter-
tawa keras, membuat Tiga Setan Lembah Mayat men-
jadi terkejut Tak lama kemudian, dirasakan kalau telapak tangan mereka panas dan gatal-gatal.
“Celaka...?!” pekik Songgara yang memang paling
tahu tentang racun ketimbang dua orang saudaranya.
Wajahnya yang memang agak pucat, semakin bertam-
bah pias bagai kehilangan darah.
“Kantong uang ini dilapisi racun...!” desis Malingga
geram. Baru disadarinya hal itu saat pengaruh racun
mulai bekerja. Tokoh bertubuh cebol itu melangkah
mundur seraya melemparkan dua kantong uang di
tangannya ke tanah.
“Aaa….!”
Malingga menatap kedua lengannya yang menghi-
tam. Pada bagian telapak tangannya muncul gelem-
bung-gelembung kecil yang kemudian pecah dan men-
geluarkan cairan berbau busuk. Karuan saja tokoh itu
menjadi ketakutan setengah mati.
Hal yang serupa juga dialami Dawanta dan Songga-
ra. Kedua tokoh sesat itu pun menjerit-jerit penuh rasa
ngeri. Apalagi ketika racun itu semakin menjalari len-
gan mereka dengan sangat cepat Sulit untuk di-
bayangkan, betapa ketakutannya ketiga tokoh sesat
itu.
“Ha ha ha...! Kalian telah terkena ‘Racun Kelabang
Hijau’ yang kerjanya sangat cepat dan mematikan. Se-
bentar lagi kalian bertiga akan berubah menjadi bang-
kai yang mengerikan...!” ujar lelaki di depan mereka.
Mulutnya mengumbar tawa yang meledak-ledak meli-
hat ketiga korbannya semakin ketakutan.
“Bangsat...!” maki Malingga yang tentu saja sadar
kalau hidupnya tidak akan lama lagi. Kesadaran itu
membuatnya nekat Tanpa mempedulikan pengaruh
racun yang mulai menjalar ke pangkal lengan dan te-
rus ke sekujur tubuhnya, tubuh lelaki cebol itu mener-
jang lawannya.
“He he he...! Perbuatanmu hanya mempercepat daya
kerja racun itu, Malingga...,” ejek lelaki tinggi kurus itu
tanpa niat mengingatkan Malingga.
Malingga sempat menahan langkahnya dengan ma-
ta terbelalak ngeri. Ucapan sosok tinggi kurus itu bu-
kan sekadar menakut-nakuti. Karena saat tenaga da-
lamnya dikerahkan, pengaruh racun itu dirasakan se-
makin kuat.
Malingga terpaksa membanting tubuhnya ke tanah
ketika tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang
menggeragoti sekujur tubuhnya.
“Aaarghhh...!”
Terdengar raungan yang mengerikan bagai lolongan
binatang buas yang menyambut datangnya ajal. Se-
bentar kemudian, ucapan lelaki tinggi kurus itu benar-
benar terbukti. Tubuh Malingga mengejang seketika,
dan tewas setelah kembali memperdengarkan raungan
panjang yang mendirikan bulu roma! Setelah mem-
banting-banting dirinya serta bergulingan kian kemari
di atas tanah.
“Aaah...?!”
Dawanta dan Songgara terpekik ngeri melihat tubuh
saudara tua mereka terdiam kaku. Sementara, seluruh
kulitnya berubah kehitaman. Yang lebih mengerikan
lagi, sekujur tubuh Malingga dipenuhi gelembung-
gelembung yang kemudian pecah dan menebarkan bau
busuk memualkan perut
“He he he...! Jika kalian berdua ingin lekas mati, si-
lakan mengikuti apa yang dilakukan Malingga...,” ejek
lelaki tinggi kurus itu sambil terkekeh penuh keme-
nangan.
“Kau.... Kau benar-benar keparat...!” umpat Dawan-
ta dengan hati penuh dendam, membuat rongga da-
danya serasa hendak meledak. Sayang dia tidak bisa
melakukan apa-apa lagi. Karena malaikat maut sudah
siap mencabut nyawanya.
“Ha ha ha...!” lelaki tinggi kurus itu kembali mem-
perdengarkan tawa iblisnya saat menyaksikan Dawan-
ta dan Songgara berkelojotan. Tubuh kedua orang itu
pun ambruk ke tanah. Terus bergulingan diselingi
raungan kesakitan yang susul-menyusul.
Seiring dengan berkumandangnya tawa menggele-
gar lelaki bertubuh tinggi kurus itu, nyawa Dawanta
dan Songgara melayang ke akhirat. Kedua tokoh sesat
itu tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Sambil tetap mengumandangkan tawanya, lelaki
tinggi kurus itu mengumpulkan kembali enam kantong
uang perak yang berserakan di tanah. Dan dimasuk-
kannya ke dalam bungkusan besar. Kemudian tubuh-
nya segera melesat meninggalkan tempat itu.
***
ENAM
Pemuda berjubah putih itu menahan langkahnya
saat mendengar raungan panjang yang menggetarkan.
Meski telinganya hanya mendengar sayup-sayup, na-
mun pemuda berjubah putih yang tidak lain dari Panji
tahu kalau raungan itu adalah jerit seseorang yang se-
dang dilanda kesakitan hebat
Ketika raungan menjelang ajal itu kembali merasuk
indera pendengarannya, tanpa ragu-ragu lagi tubuh-
nya berkelebat dengan mengerahkan ilmu lari cepat-
nya.
Panji kehilangan jejak ketika raungan mengerikan
itu mendadak lenyap. Segera diduganya kalau orang
yang tadi melengkingkan raungan menyayat hati telah
dijemput malaikat maut. Seketika Panji menghentikan
larinya, dan dicobanya mengerahkan indera pendenga-
ran. Sayang, dia tetap gagal. Suara raungan itu telah
benar-benar lenyap.
“Hm.... Sebenarnya apa yang dialami orang malang
itu? Dari jeritannya barusan, aku dapat menduga ka-
lau dia sedang menghadapi sesuatu yang mengerikan
dan sangat menyakitkan. Sayang aku kehilangan jejak.
Kemungkinan besar orang itu telah tewas. Mungkin di-
terkam harimau atau binatang buas lain yang banyak
berkeliaran di dalam Hutan Pancawarna ini...,” gumam
Panji seorang diri.
Untuk beberapa saat, pemuda itu tetap tak bergerak
di tempatnya. Pendekar Naga Putih benar-benar telah
kehilangan jejak.
Harapan yang semula lenyap, timbul kembali ketika
Panji mendengar raungan panjang yang mendirikan
bulu roma. Kali ini telinganya malah menangkap dua
jeritan berlainan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga
Putih segera melesat seperti terbang menuju asal sua-
ra. Karena sudah dapat memastikan asal jeritan itu,
tidak sulit bagi Panji untuk segera mencapainya. Dari
kejauhan, dilihatnya sebuah bangunan tua berdiri di
dalam hutan. Tanpa ragu-ragu lagi, Panji segera mele-
sat kembali lalu memasuki sebuah ruangan besar da-
lam bangunan itu.
“Keji...!” desis pemuda itu ketika matanya menyak-
sikan tiga sosok tubuh menggeletak tewas dalam kea-
daan mengerikan.
Pemuda tampan berjubah putih itu bergerak men-
dekat, meski hidungnya mencium bau busuk yang
memualkan perut.
“Hm.... Peristiwa ini jelas baru saja terjadi. Ke-
mungkinan besar pelakunya masih belum pergi
jauh...,” duga Panji ketika melihat ketiga sosok tubuh
itu benar-benar telah tewas, dan tidak mungkin dapat
diselamatkan lagi. Maka, segera tubuhnya melesat
dengan maksud menemukan jejak si pembunuh.
Sayang, Panji tidak tahu secara pasti arah yang ha-
rus ditempuhnya. Karena itu, dia hanya mengelilingi
sekitar bangunan dalam jarak belasan tombak. Tapi,
tak satu manusia pun yang ditemukannya. Sadar ka-
lau telah terlambat, Pendekar Naga Putih memutuskan
untuk segera kembali ke tempat kejadian.
Kenyataan yang didapatnya benar-benar membuat-
nya terkejut setengah mati. Saat diperhatikannya pa-
kaian dan bentuk tubuh ketiga mayat itu, Panji segera
dapat menebak kalau mereka adalah orang-orang yang
pernah bentrok dengannya beberapa hari lalu. Bahkan
ketiga orang itu seperti sengaja mencarinya, dan hen-
dak melenyapkan dirinya.
“Siapa sebenarnya ketiga orang ini? Mereka muncul
untuk mencariku setelah aku berada di sekitar Kadipa-
ten Balaraja. Mengingat ucapan-ucapan Senapati Ka-
dipaten Balaraja yang menuduhku sebagai pembunuh,
bisa jadi ketiga orang ini ikut terlibat di dalamnya. Ta-
pi, mengapa mereka sampai terbunuh? Padahal ke-
pandaian ketiga orang ini sangat tinggi, dan tidak mu-
dah untuk dikalahkan? Jelas kalau si pembunuh ada-
lah tokoh puncak yang memiliki kesaktian tinggi. En-
tah permusuhan apa yang membuat tokoh itu sampai
membunuh mereka bertiga? Mungkin hal ini ada kai-
tannya dengan pembunuhan yang terjadi beberapa ha-
ri ini di dalam Istana Kadipaten Balaraja. Hm.... Aku
harus menyelidikinya...,” gumam Panji yang mulai
menduga ada sesuatu yang tidak beres di dalam Istana
Kadipaten Balaraja.
Panji baru saja hendak membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu. Ketika sepasang matanya
sempat menangkap goresan-goresan di tanah, segera
langkahnya ditahan. Cepat pemuda itu melangkah
mendekati mayat bertubuh cebol, yang baunya sangat
menyengat hidung.
“Hm.... Rupanya salah satu dari orang-orang ma-
lang ini sempat meninggalkan nama si pembunuh.
Pasti dia hendak meninggalkan pesan kepada siapa sa-
ja yang kebetulan menemukan mayat mereka. Petun-
juk yang diberikannya jelas sangat berarti sekali bagi-
ku. Dengan begitu, kejadian-kejadian di istana kadipa-
ten akan segera dapat terungkap...,” gumam Panji se-
raya mengangguk-angguk. Diam-diam dipujinya kecer-
dikan salah seorang dari korban pembunuhan keji itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, yang meskipun
masih sangat samar, Pendekar Naga Putih segera ber-
kelebat meninggalkan tempat itu.
***
Saat malam merayap perlahan, Panji bergerak me-
masuki Kadipaten Balaraja secara sembunyi-
sembunyi. Tujuannya hendak menemui Senapati Mar-
ganta untuk memperjelas masalah yang berkecamuk di
dalam istana. Pemuda perkasa itu sudah bertekad un-
tuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi. Dia
tidak takut menghadapi bahaya maut, demi menegak-
kan keadilan.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sulit bagi
Pendekar Naga Putih untuk menyelinap ke dalam wi-
layah istana kadipaten. Meskipun belum tahu pasti le-
tak bangunan yang didiami Senapati Marganta, Panji
tidak kehilangan akal. Pemuda itu bergerak ke bagian
belakang istana kadipaten. Kemudian, dengan mudah-
nya menawan seorang pelayan yang tengah terbuai
mimpi.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kuminta kau
menunjukkan, di mana Senapati Marganta tinggal?”
tanya Panji kepada pelayan yang sekujur tubuhnya
gemetar karena ketakutan.
Rupanya pelayan itu menduga kalau Panji adalah
pembunuh kejam yang selama beberapa waktu ini ber-
keliaran di lingkungan istana. Rasa takutnya mem-
buatnya tidak dapat menahan kencing. Celananya per-
lahan menjadi basah.
“Jangan takut. Aku bukan seorang pembunuh. Ma-
lah aku berniat membantu Kadipaten Balaraja untuk
menangkap manusia jahat itu,” bujuk Panji lagi, ber-
harap agar pelayan itu dapat hilang rasa takutnya, dan
mau berbicara.
“Sejak Adipati Balaraja terbunuh, Tuan Senapati
tinggal di dalam salah satu kamar istana. Dia hendak
melindungi Paduka Permaisuri dan putranya yang ma-
sih berusia enam tahun,” tuturnya dengan suara su-
sah-payah.
“Terima kasih, Kisanak. Maaf, aku harus mem-
bungkammu agar tidak menyusahkanku...,” bisik Pan-
ji. Lalu satu jarinya menotok lumpuh tubuh pelayan
itu. Kemudian melesat menuju tempat yang ditunjuk-
kan pelayan itu.
Pada waktu hendak memasuki ruangan dalam ista-
na, matanya menangkap delapan orang yang tampak-
nya sedang meronda. Panji terpaksa menyelinap ke da-
lam semak di taman bagian samping istana. Setelah
mereka lewat, Pendekar Naga Putih kembali melesat
bagaikan bayangan hantu menuju kamar yang menurut pelayan istana menjadi tempat tinggal Senapati
Marganta sementara.
Dengan mendorongkan telapak tangannya disertai
pengerahan tenaga dalam, pintu yang terkunci itu ber-
derit perlahan.
“Siapa...?” tegur sebuah suara dari dalam kamar.
Membuat Panji memutuskan untuk langsung masuk.
Sebagai seorang panglima yang memiliki kepan-
daian tinggi, Senapati Marganta sempat melihat berke-
lebatnya sesosok bayangan memasuki kamarnya. Tapi,
sebelum sempat bertindak apa-apa, seorang pemuda
tampan berjubah putih telah berdiri di hadapannya da-
lam jarak tiga langkah. Kenyataan itu membuat Sena-
pati Marganta sadar akan kesaktian tamu tak diun-
dang itu.
“Pendekar Naga Putih...?!” desis lelaki gagah itu
dengan sepasang mata terbelalak lebar. Sungguh tak
disangkanya kalau pendekar muda itu berani datang
menyatroninya.
“Maaf kalau kedatanganku yang tidak pantas ini
membuat Panglima terkejut...,” ujar Panji merendah-
kan suaranya, karena tidak ingin membuat seisi istana
terbangun.
“Hm.... Kau benar-benar telah tersesat jauh, Pende-
kar Naga Putih. Seharusnya kau sadar kalau perbua-
tanmu membunuhi orang-orang istana kadipaten akan
membuat tokoh golongan putih marah besar dan akan
memusuhimu. Tapi, jangan kau sangka aku sama
dengan korban-korbanmu terdahulu. Kecerobohanmu
ini akan membuat kau menyesal seumur hidup, Pen-
dekar Naga Putih...!” geram Senapati Marganta sambil
menggeser mundur langkahnya. Siap menghadapi
Pendekar Naga Putih.
“Sabar, Panglima. Kedatanganku justru hendak me
laporkan tentang pembunuh-pembunuh keji itu. Me-
nurut dugaanku, pembunuh itu adalah orang-orang
bayaran yang melakukannya demi uang. Dan, aku te-
lah mengetahui siapa orang yang berada di belakang
tiga orang pembunuh itu,” jelas Panji, membuat Sena-
pati Marganta kelihatan sangat terkejut. Karuan saja
lelaki gagah itu menarik gerakannya. Ditatapnya wajah
Pendekar Naga Putih setengah tidak percaya.
“Hm.... Dari mana kau mengetahui kalau pembu-
nuh itu berjumlah tiga orang? Apa pula maksudmu
dengan mengatakan kalau kau sudah mengetahui to-
koh di belakang layar yang membayar ketiga orang
itu?” tanya Senapati Marganta seraya menatap lekat-
lekat wajah pemuda tampan di hadapannya. Panglima
gagah itu merasa tertarik setelah mendengar keteran-
gan Panji. Sehingga tidak lagi kelihatan siap tarung.
Panji sebenarnya hanya menduga saja tentang
pembunuh-pembunuh itu. Tampaknya dia sudah ber-
hasil memancing keterangan secara tidak langsung da-
ri panglima gagah di hadapannya. Dia pun berusaha
untuk menegasinya lagi.
“Jadi benar kalau pembunuh itu berjumlah tiga
orang? Kalau begitu, mereka telah tewas di dalam Hu-
tan Pancawarna di sebuah ruangan dalam bangunan
tua. Tapi, meskipun racun ganas itu telah membuat
mereka tewas, salah seorang dari mereka sempat
mengguratkan sebuah nama pada tanah. Itu sebabnya
mengapa aku memaksa diri untuk menghadap dalam
keadaan seperti ini,” jelas Panji lagi, membuat Senapati
Marganta kelihatan semakin kaget
“Sebuah nama? Siapa nama yang ditulis salah seo-
rang pembunuh itu sebelum kematiannya...?” tanya
Senapati Marganta dengan wajah semakin menegang.
“Tokoh keji itu berjuluk Raja Racun Kelabang...,”
sahut Panji dengan kata-kata yang jelas terdengar di
telinga Senapati Marganta.
“Raja Racun Kelabang...?!” gumam panglima gagah
itu mengulang julukan yang dikatakan Pendekar Naga
Putih. Senapati Marganta seperti tidak mempercayai
laporan Panji.
“Benar. Tokoh itulah yang telah menewaskan ketiga
pembunuh bayaran yang disewanya. Rupanya dia su-
dah merasa sudah cukup dengan apa yang dilakukan
ketiga pembunuh bayarannya. Apakah Tuan Panglima
pernah mendengar nama tokoh jahat itu...?” tanya
Panji ketika melihat Senapati Marganta terdiam mene-
kuri lantai.
Dengan sabar Panji menunggu ucapan yang bakal
keluar dari mulut senapati itu.
“Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Na-
ga Putih! Sayang orang yang hendak kau jadikan
kambing hitam itu telah tewas beberapa tahun silam.
Kau jelas-jelas telah dipermainkan orang...!” ejek Se-
napati Marganta.
Hal itu tentu saja membuat Panji terkejut bukan
main. Padahal pemuda itu sudah memeriksa jenis ra-
cun yang terdapat di tubuh Tiga Setan Lembah Mayat
Dan diketahuinya pula kalau racun jahat itu bernama
Racun Kelabang Hijau.
“Tapi, aku melihat dan memeriksa sendiri bukti-
buktinya, Tuan Panglima,” bantah Panji.
Memang, Pendekar Naga Putih belum pernah lagi
mendengar kabar tentang tokoh sesat berjuluk Raja
Racun Kelabang. Mungkin tokoh sesat itu selalu me-
nyembunyikan diri di pertapaannya, dan jarang mun-
cul ke dunia ramai belakangan ini. Jadi, ada kemung-
kinan tokoh sesat itu benar-benar telah tewas.
“Kau hanya mengarang cerita usang, Pendekar Naga
Putih! Sekarang aku bertambah yakin kalau kau ada-
lah pembunuh biadab itu. Karena kau pernah tertang-
kap basah olehku, maka kau berusaha untuk mencari
cara meloloskan diri dengan melemparkan fitnah ke-
pada orang lain. Tidak kusangka kalau pendekar yang
diagung-agungkan kaum rimba persilatan adalah seo-
rang yang berhati keji dan licik!” geram Senapati Mar-
ganta.
Kembali Senapati Kadipaten Balaraja itu bersiap
menghadapi Pendekar Naga Putih. Bahkan sudah
mengeluarkan lengkingan panjang sebagai isyarat ke-
pada seluruh prajurit kalau tengah berhadapan den-
gan pembunuh misterius yang beberapa hari ini telah
menggemparkan Kadipaten Balaraja dengan kekeja-
mannya.
“Tuan Senapati. Aku sama sekali bukan pembunuh
keji yang kau maksudkan. Sampai kapan pun aku ti-
dak akan pernah berbuat sekeji itu. Izinkanlah aku
membantu untuk mengungkapkan masalah yang ma-
sih gelap ini...,” pinta Panji yang menjadi terkejut meli-
hat perubahan sikap panglima itu.
“Hm.... Tidak perlu banyak cakap lagi, Pendekar Ke-
ji! Kau memang harus dilenyapkan agar umat manusia
menjadi tenteram!” bentak Senapati Marganta. Setelah
itu, tubuhnya langsung menerjang Panji dengan seran-
gan-serangan yang menimbulkan deruan angin keras.
Plak! Plak!
“Sabar, Tuan Panglima...,” tahan Panji, setelah me-
nepiskan dua buah serangan lawan yang mengancam
jalan darah kematian di tubuhnya.
“Sambut saja seranganku, Pemuda Iblis...!” bentak
Senapati Marganta penuh kemarahan. Sepertinya, dia
sudah tidak bisa lagi diajak bicara baik-baik. Dibarengi
sebuah pekikan nyaring, panglima gagah itu kembali
menerjang hebat.
“Haiiit..!”
Brakkk!
Sadar jika tetap berada di dalam kamar itu akan su-
lit baginya untuk meloloskan diri, maka Panji terpaksa
melesat ke luar dengan menjebol daun jendela. Du-
gaannya ternyata tidak meleset! Baru saja kedua ka-
kinya menjejak tanah, beberapa batang tombak lang-
sung menyambutnya.
Wuttt! Wuttt!
“Hiaaah...!”
Cepat Panji membungkukkan tubuh sambil memu-
tar sepasang lengannya, membuat tombak-tombak itu
berpatahan dan terpental ke mana-mana.
“Jangan biarkan pendekar biadab itu lolos! Tidak
perlu tanggung-tanggung, bunuh saja dia...!”
Senapati Marganta yang saat itu masih berada di
dalam kamarnya memberi perintah. Kemudian, tubuh-
nya bergerak melompati jendela yang telah jebol, lalu
terus meluncur untuk menerjang Panji.
Meskipun semua kemungkinan itu telah diperhi-
tungkan, tak urung Panji sempat menjadi bingung.
Pendekar Naga Putih tidak ingin menurunkan tangan
kejam kepada para prajurit kadipaten yang hanya me-
nuruti perintah pimpinannya itu. Sedangkan untuk
dapat lolos dari kepungan ratusan prajurit itu, tidak
mungkin tanpa melukai mereka. Hal itulah yang mem-
buatnya menjadi bingung dan terdiam untuk beberapa
saat.
Sedangkan para prajurit kadipaten sepertinya tidak
ingin membiarkan pemuda itu lolos untuk yang kedua
kalinya. Sehingga, mereka membuat kepungan berla-
pis-lapis, agar Pendekar Naga Putih tidak dapat lagi
melarikan diri seperti beberapa malam lalu.
Panji sendiri sempat terkejut menyaksikan bentuk
barisan kepungan para prajurit itu. Pada lapisan ter-
depan, masing-masing prajurit memegang golok terhu-
nus di tangan. Sedangkan pada tangan kiri mereka
terdapat sebuah perisai berbentuk bulat. Sadarlah
Pendekar Naga Putih kalau Senapati Marganta me-
mang telah mempersiapkan cara khusus untuk meng-
hadapinya.
“Haaat..!”
Saat Panji tertegun melihat barisan yang berlapis-
lapis dan sangat teratur itu, tiba-tiba saja para prajurit
di barisan terdepan berteriak keras. Separoh dari me-
reka yang semula dalam posisi berlutut, kini bergulin-
gan di tanah sambil menyabetkan golok besar ke ba-
gian tubuh Panji.
Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih cepat bergerak
mundur dengan satu lompatan pendek untuk meng-
hindari serangan mereka.
“Aaat..!”
Saat tubuh Panji melambung di udara, kembali ter-
dengar teriakan nyaring serempak. Barisan prajurit
pada lapisan kedua melesat ke udara sambil men-
gayunkan goloknya yang menderu mengancam tubuh
pemuda tampan berjubah putih itu.
“Yeaaah...!”
Karena ingin mengetahui lebih jauh akan kehebatan
pasukan itu, Pendekar Naga Putih mencoba melontar-
kan dua buah pukulan ke arah lawannya yang terde-
pan. Dan....
Bukkk! Bukkk!
Kaget bukan main hati Panji ketika kepalannya dis-
ambut dengan perisai yang terpasang di tangan kiri
lawan. Yang membuat pemuda itu lebih terkejut ada-
lah tenaga pukulannya dapat membalik. Seolah-olah
perisai itu terbuat dari benda kenyal yang tahan pukul.
“Hebat...!” desis Panji dengan wajah yang tidak me-
nyembunyikan rasa kagum melihat ketangguhan para
prajurit Kadipaten Balaraja. Meskipun demikian, Pen-
dekar Naga Putih sama sekali tidak merasa gentar
ataupun cemas. Karena tenaga pukulan yang dipergu-
nakannya barusan masih dalam tingkat yang rendah.
Entah kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya tadi di-
kerahkan untuk menghadapi barisan perisai itu.
“Yeaaah...!”
Whuttt! Whuttt!
Dua buah sambaran golok datang mengancam leher
dan perut pemuda itu. Panji segera menggeser mundur
tubuhnya, lalu melanjutkannya dengan gerak berpu-
tar. Begitu serangan lawan luput, tubuhnya sudah
berbalik dan langsung mendorongkan sepasang tela-
pak tangannya ke depan.
Bummm...!
“Aaa...!”
Terdengar pekik ngeri susul-menyusul ketika dari
sepasang telapak tangan pemuda itu keluar deruan
angin tajam, membuat para prajurit yang berada di
depannya, langsung terpental bagaikan daun kering
yang diterbangkan angin. Sebagian dari korban puku-
lan itu langsung menggeletak tak sadarkan diri. Panji
memang masih membatasi penggunaan tenaga mukji-
zatnya agar tidak sampai menewaskan lawan.
***
TUJUH
Baru saja tubuh Panji melesat ke tempat lowong un-
tuk dapat meloloskan diri, terdengar teriakan-teriakan
nyaring diselingi kilatan ujung tombak. Ancaman-
ancaman itu datang dari empat penjuru, membuat
Pendekar Naga Putih terpaksa harus menahan lang-
kahnya.
“Haaat...!”
Delapan kilatan mata tombak mengancam jalan da-
rah penting di tubuhnya. Membuat Panji tidak bisa
tinggal diam. Apalagi dari desingannya dapat ditebak
kalau luncuran senjata itu mengandung kekuatan te-
naga dalam yang cukup tinggi.
“Heaaah...!”
Karena tidak mau tubuhnya tertembus delapan ma-
ta tombak lawan, Pendekar Naga Putih terpaksa me-
nunda niat untuk melarikan diri. Tubuhnya bergerak
dengan mengandalkan kelincahan tubuh untuk meng-
hindari ancaman maut itu. Dibarengi juga dengan pu-
taran sepasang lengannya yang membuat kedelapan
pelempar tombak itu berlompatan mundur.
Kesempatan itu kembali dipergunakan Pendekar
Naga Putih untuk menjejakkan kakinya ke tanah. Lalu
dalam sekejap, tubuhnya melambung ke udara dan
berputaran beberapa kali, melewati barisan prajurit
yang menghadangnya.
“Hujani dengan anak panah,,.!” perintah Senapati
Marganta. Segera saja kesempatan itu digunakannya
selagi Panji berada di udara untuk menghujani dengan
anak panah.
Belum lagi gema suara Senapati Marganta lenyap,
menyusul desingan riuh bagai hendak meruntuhkan
langit. Puluhan batang anak panah itu melesat deras
ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih me-
layang di udara!
“Yeaaa….!”
Dengan mengandalkan kekuatan mukjizat yang di
milikinya, Panji menyapu anak-anak panah yang men-
gincar kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuh-
nya sama sekali tidak dipedulikan. Pendekar Naga Pu-
tih yakin kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang me-
lapisi tubuhnya mampu menghalau anak-anak panah
itu.
Terdengar suara bergemeretak ramai ketika seluruh
anak panah yang menghujani tubuh pemuda itu, lang-
sung runtuh dalam keadaan patah! Beberapa batang di
antaranya tergenggam erat di tangan Panji.
Untung Pendekar Naga Putih tidak berniat membu-
nuh. Kalau saja mau, tentu tidak akan sulit baginya
untuk meloloskan diri.
Gagalnya serangan terakhir tadi tidak membuat
semangat Senapati Marganta surut. Kemarahannya
makin meledak-ledak, memenuhi rongga dadanya.
“Seraaang...!” perintah Senapati Marganta kembali
dengan berapi-api sambil melesat maju. Dia sendiri
merangsek dengan sabetan pedang yang mengincar ti-
tik-titik jalan darah kematian di tubuh Pendekar Naga
Putih. Bettt!
Panji menarik mundur tubuhnya dua langkah saat
pedang di tangan Senapati Marganta datang mengan-
cam. Dan, terus bergerak kian kemari dengan lompa-
tan-lompatan pendek untuk menghindari sambaran
ganas senjata para perwira kadipaten yang ikut meng-
gempur.
“Hm.... Kalian terlalu memaksa...!” geram Panji di
sela-sela sambaran senjata-senjata lawan. Usai berka-
ta demikian, kedua tangannya dikembangkan, meng-
halau tebasan empat pedang lawan. Dan....
Bukkk! Desss...!
“Aaakh...!”
Tiga perwira dan dua prajurit yang menyerangnya,
langsung terpental dengan mulut memuntahkan da-
rah! Rupanya Pendekar Naga Putih mulai kehilangan
kesabaran. Tentu saja keberangan Panji membuat la-
wan-lawannya menjadi terkejut dan gentar.
Tanpa sadar, beberapa orang di antara mereka ber-
gerak mundur dengan wajah berubah tegang!
“Jangan takut! Ayo, maju...!”
Senapati Marganta yang melihat belasan prajuritnya
bergerak mundur dengan wajah pucat, kembali mem-
beri perintah dengan lantang, seperti hendak memba-
kar semangat anak buahnya. Dia sendiri menerjang
Panji kembali yang saat itu bergerak ke kiri untuk me-
loloskan diri, karena kepungan di bagian itu terlihat
lemah.
“Jangan harap kau dapat keluar dari tempat ini da-
lam keadaan hidup, Pemuda Keji...?!” bentak Senapati
Marganta sambil menyusul lesatan tubuh Panji, lalu
dikirimkannya tusukan pedang ke punggung pemuda
itu.
Plakkk!
“Aihhh...?!”
Tanpa menoleh lagi, Panji mengibaskan lengan ka-
nannya ke belakang. Kali ini Pendekar Naga Putih
mengerahkan lebih dari separoh kekuatan saktinya.
Akibatnya, tubuh Senapati Marganta terlempar mun-
dur, tak sanggup mempertahankan kuda-kudanya
yang memang dalam posisi lemah itu.
“Bangsat...!” umpat Senapati Marganta yang ru-
panya masih dapat menyelamatkan tubuhnya dengan
melakukan tiga kali salto di udara.
Panji sendiri saat itu sudah tidak peduli lagi dengan
korban pukulannya. Sepasang tangannya bergerak ce-
pat membagi-bagikan pukulan kepada para prajurit
dan perwira yang mencoba mencegahnya. Akibatnya,
para pengepung itu berpelantingan ke sana-sini. Bah-
kan beberapa di antara mereka ada yang langsung te-
was dengan kulit tubuh membiru.
“Ahhh...?!”
Tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Senapati
Marganta agar mencegah kepergian pemuda itu, para
prajurit yang dilabrak Panji bergerak mundur. Dengan
demikian, jalan lolos bagi pemuda itu semakin terbuka
lebar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Tubuh-
nya langsung melesat dengan kecepatan yang sukar di-
tangkap mata, lalu terus menghilang di kegelapan ma-
lam.
“Kejaaar...!”
Melihat Panji berhasil lolos dari kepungan, segera
saja Senapati Marganta memerintahkan para prajurit-
nya untuk melakukan pengejaran.
Para prajurit itu sesaat kelihatan ragu-ragu. Mereka
sadar, untuk melakukan pengejaran terhadap seorang
tokoh sakti seperti Pendekar Naga Putih, tentu saja
akan sia-sia. Ilmu lari cepat pemuda itu tidak mungkin
dapat ditandingi.
Senapati Marganta yang dapat membaca pikiran
anak buahnya, segera memerintah untuk menyiapkan
kuda. Dengan kuda-kuda itulah, pengejaran akan di-
lakukan terhadap Pendekar Naga Putih.
***
Panji terus berlari menerobos kegelapan malam. Un-
tunglah bulan bersinar penuh, sehingga dia tidak
mengalami kesulitan yang berarti, meski harus mele-
wati perkebunan dan hutan-hutan kecil. Pendekar Na-
ga Putih berniat menjauhi Kadipaten Balaraja untuk
sementara waktu. Sementara telinganya samar-samar
menangkap derap kaki kuda di belakangnya.
“Rupanya mereka benar-benar menginginkan kema-
tianku. Benarkah Raja Racun Kelabang telah mening-
gal? Lalu, siapa pembunuh misterius yang mengguna-
kan ‘Racun Kelabang Hijau’ untuk membunuh ketiga
orang itu? Hhh.... Tidak kusangka kalau persoalannya
semakin bertambah rumit...,” desah Panji sambil terus
berlari menjauhi Kota Kadipaten Balaraja. Meskipun
demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa jera.
Tekadnya sudah bulat untuk mengungkap misteri itu.
Ketika pagi muncul menggantikan tugas sang Ma-
lam, Panji menghentikan larinya di tepian sungai bera-
rus deras. Setelah membasuh wajahnya dengan air
sungai yang bening dan menyegarkan itu, Panji duduk
beristirahat pada sebuah batu di tepi sungai.
Pendekar Naga Putih termenung memikirkan cara
memulai kembali penyelidikannya. Untuk kembali ke
Kadipaten Balaraja jelas tidak mungkin. Di sana di-
rinya akan mendapatkan kebencian dan tuduhan keji.
Tak seorang pun yang dapat diharapkan dapat mem-
berikan keterangan mengenai kejadian-kejadian itu.
Satu-satunya jalan, harus mencari
Raja Racun Kelabang. Jika benar tokoh itu telah
tiada, berarti dia harus memulai segalanya dari awal.
Setelah hatinya mantap mengambil keputusan,
Panji bangkit. Seingatnya, Raja Racun Kelabang tinggal
cukup jauh dari Kadipaten Balaraja. Tepatnya di dae-
rah Pegunungan Gedang. Ke tempat itulah tujuannya,
untuk mengungkapkan misteri yang masih sangat ge-
lap baginya.
Dengan kepandaian yang tinggi, Panji dapat mem-
persingkat waktu perjalanan. Pada pagi hari berikut-
nya, Pendekar Naga Putih sudah menjejakkan kakinya
di daerah Pegunungan Gedang.
Hawa yang segar dan pemandangan pegunungan di
pagi hari yang indah, membuat pemuda itu menghen-
tikan langkah sesaat. Tubuhnya berdiri tegak, menik-
mati keindahan alam dan keagungan sang Pencipta.
Kemudian tubuhnya bergerak lagi untuk menyeberangi
sungai selebar tiga tombak, yang membelah jalan me-
nuju kaki Gunung Gedang.
Tapi, baru beberapa tindak kakinya menginjak kaki
gunung itu, langkahnya dihentikan. Di depannya terli-
hat tiga sosok tubuh menghadang perjalanannya. Sete-
lah saling bertatapan sejenak, Panji bergerak mendeka-
ti ketiga orang bertampang kasar itu. Mungkin ketiga
lelaki kasar itu adalah murid Raja Racun Kelabang, pi-
kir Panji.
“Maaf, Kisanak. Dapatkah kalian menunjukkan
tempat tinggal Raja Racun Kelabang...?” tanya Panji
dengan senyum ramah dan tubuh sedikit membung-
kuk, sebagai tanda penghormatan kepada ketiga orang
itu.
“Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?”
Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan
Panji, salah seorang dari mereka malah balik bertanya.
Nadanya pun sama sekali tidak menujukkan sikap
bersahabat. Bahkan ada nada sinis dalam pertanyaan
itu.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan orang tadi,
yang berwajah persegi empat dengan tarikan bibir me-
nyunggingkan senyum mengejek. Mata pemuda itu
merayapi wajah ketiga penghadangnya, tetap dengan
sikap ramah dan tersenyum.
“Benar. Akulah yang dijuluki sebagai Pendekar Naga
Putih. Siapakah kalian? Apa kalian bertiga memang
sengaja hendak menghadang perjalananku...?” tanya
Panji setelah memberikan jawaban pasti kepada ketiga
lelaki bertampang kasar itu.
“Kalau begitu, kau harus mati...!” desis lelaki berwa-
jah persegi yang langsung saja meloloskan sepasang
pedang dari punggungnya. Demikian juga dengan dua
orang yang lain.
“Hm ... Tepat dugaanku. Kalian jelas sengaja hen-
dak menghalangi perjalananku,” ujar Panji lagi yang
mulai bersiaga ketika melihat ketiga orang itu mereng-
gang membentuk kepungan dari tiga penjuru. “Sein-
gatku kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Entah
persoalan apa yang membuat kalian hendak mele-
nyapkanku... ?”
Tak satu pun dari mereka menanggapi ucapan Pan-
ji. Mereka terus bergerak memutar, mengelilingi tubuh
pemuda berjubah putih itu. Dan....
“Haaat..!”
Lelaki berwajah persegi yang bibirnya selalu mem-
bentuk senyum mengejek itu, langsung membuka se-
rangan dengan tebasan sepasang pedang. Kemudian
disusul oleh dua orang lainnya berturut-turut.
Bettt! Bettt!
Panji merunduk saat sepasang pedang lawan berge-
rak mengancam leher dan dadanya. Dari posisi miring,
tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah panjang,
lalu sepasang tangannya bergerak hendak mendorong
tubuh lawan.
“Yaaat..!”
Panji terpaksa menarik kedua lengannya, karena
saat itu ada mata pedang lain yang datang mengancam
kedua lengannya itu. Dan....
“Haiiit..!”
Dengan sebuah gerak berputar yang cepat, Pende-
kar Naga Putih langsung mengirimkan sebuah tendan-
gan keras yang telak menghantam perut lawan di ki
rinya.
Bukkk!
“Hugkh...!”
Tanpa ampun lagi, lelaki kurus yang menyerang da-
ri sebelah kiri itu langsung jatuh terguling-guling ke
belakang. Tendangan yang keras itu membuatnya me-
muntahkan darah segar. Dan tidak mampu bangkit
untuk beberapa saat lamanya.
Lelaki berwajah persegi yang sepertinya menjadi
pemimpin mereka, kembali mencecar Panji dengan ke-
lebatan sepasang pedangnya. Bahkan satu lawan yang
lain pun, sudah ikut menyerbu. Untuk sementara Panji
hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk menge-
lak. Pemuda itu ingin meneliti gerak lawan agar dapat
mengenali asal aliran ketiga orang itu.
“Heaaah...!”
Setelah cukup lama bertarung, dan belum bisa
mengetahui sumber ilmu silat lawan, Pendekar Naga
Putih mulai melancarkan serangan. Sekali tangannya
bergerak, tubuh seorang lawan terbanting jatuh, me-
muntahkan darah segar. Sedang yang seorang lagi me-
luncur terkena tamparan kerasnya. Sehingga, kedua
lawannya jatuh berdebuk di tanah.
“Yeaaah...!”
Lelaki bertubuh kurus yang tadi terkena tendangan
Panji, sudah bangkit kembali. Dia berniat membokong
Pendekar Naga Putih dengan tusukan pedangnya.
Sayang maksud busuknya itu gagal. Panji yang men-
dengar teriakan dan desingan senjata, langsung saja
membungkuk. Dengan kuda-kuda miring, dikirimkan-
nya tusukan jari tangan kanan.
Akibatnya, tubuh lelaki curang itu terjajar mundur
dengan wajah merah padam menahan sakit. Pedang-
nya terpaksa dilepaskan karena sepasang tangannya
sibuk mendekap perut. Tampak darah segar merembes
keluar dari sela-sela jarinya. Sebentar kemudian, tu-
buhnya ambruk ke tanah. Nyawanya melayang saat itu
juga.
“Ahhh...?!”
Dua orang lainnya menjadi terkejut bukan main.
Tidak mereka sangka kalau pemuda tampan yang
usianya masih sangat muda itu dapat merobohkan sa-
lah satu dari mereka dengan mudah. Kenyataan itu
membuktikan kalau Pendekar Naga Putih memang
memiliki kesaktian yang menggetarkan.
“Jika kalian tidak ingin mengalami nasib serupa,
cepat katakan, mengapa kalian memusuhiku tanpa
alasan? Kalau tidak, nasib kalian mungkin akan lebih
buruk dari kawan kalian itu...!” ancam Panji dengan
suara yang menggetarkan hati kedua orang itu.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu ber-
tukar pandang dengan wajah agak pucat. Lalu, kedua-
nya sama-sama mengangguk bersepakat. Tiba-tiba....
“Haaat...!”
Kedua orang itu tampaknya lebih suka mati di tan-
gan Panji. Dengan sisa-sisa kemampuan, mereka me-
nerjang Pendekar Naga Putih bagaikan sepasang ban-
teng luka.
“Keras kepala...!” maki Panji melihat kebandelan
kedua lawannya. Pemuda itu sadar kalau dia harus
bertindak sedikit kejam untuk mengorek keterangan
dari orang-orang itu.
Bettt...!
Ketika tebasan pedang lawan datang, Panji sama
sekali tidak menghindar. Dengan kekuatan tenaga sak-
tinya, pemuda itu menahan sabetan pedang lawan pa-
da tubuhnya.
Trakkk!
“Ahhh...?!”
Terdengar derak benda patah, ketika mata pedang
itu berbenturan dengan tubuh Pendekar Naga Putih.
Hal yang dianggap mustahil itu membuat lawannya
terperangah. Sehingga, dengan mudah Panji menceng-
keram batang leher lawan dengan jari tangan kanan-
nya.
“Hmhhh...!” sambil mendengus kasar, Pendekar Na-
ga Putih menghentakkan tangannya ke atas. Sehingga,
tubuh lawan terangkat naik dari atas tanah.
“Aaa...!”
Lelaki bertubuh sedang itu berteriak parau. Tenggo-
rokannya dirasa seperti terjepit benda yang amat kuat
Wajahnya memerah, dan sepasang matanya terbeliak
hampir melompat ke luar.
“Ekhhh...!”
Sekali menggerakkan jari-jari tangannya, remuklah
batang leher lelaki kasar itu. Kemudian, mayatnya di-
hempaskan ke tanah begitu saja, membuat lawan yang
tinggal seorang lagi menjadi semakin pucat ketakutan.
“Kau akan mengalami nasib yang jauh lebih menge-
rikan apabila tidak mau menjawab pertanyaanku ta-
di...!” ancam Panji seraya melangkah perlahan.
Sementara, lelaki berwajah persegi itu bergerak
mundur. Keberaniannya telah terbang melihat cara
Pendekar Naga Putih meremukkan batang leher ka-
wannya.
Plakkk!
“Akh...!”
Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tubuh
Pendekar Naga Putih melesat ke depan. Tahu-tahu saja
wajah lelaki itu telah tertampar keras, membuat tu-
buhnya terpelanting.
“Katakan! Mengapa kau hendak membunuhku? Ka
lau tidak, aku akan menyiksamu habis-habisan...!” an-
cam Panji lagi. Hatinya merasa jengkel karena tanpa
sebab yang jelas orang-orang itu menghendaki kema-
tiannya.
“Kami..., kami hanyalah orang-orang bayaran. Kami
akan menerima bayaran yang besar apabila dapat me-
lenyapkanmu,” akhirnya lelaki berwajah persegi itu
terpaksa mengakui.
“Hm.... Dari mana kau tahu aku berada di tempat
ini...?” desak Panji lagi, tetap dengan langkah lambat,
menghampiri lawannya yang sudah kehilangan kebe-
ranian itu.
“Orang..., yang membayar kami yang memberitahu
kalau kau mungkin menuju tempat ini...,” jawab lelaki
itu lagi. Tubuhnya kini terduduk, karena kedua ka-
kinya tidak kuat lagi menyangga berat tubuhnya. Je-
las, tatapan sepasang mata Panji yang mencorong
menggetarkan jantung telah membuat lawannya seolah
lumpuh.
“Siapa orang yang membayarmu untuk melakukan
perbuatan ini?” desak Panji, lagi semakin mendekati
sasarannya.
“Dia adalah. ..”
“Aaa...!”
Belum lagi lelaki berwajah persegi itu mengatakan
nama orang yang membayarnya untuk membunuh
Panji, tiba-tiba dari lereng gunung terdengar jeritan
panjang. Serentak keduanya menoleh ke lereng Gu-
nung Gedang.
“Ahhh...?!”
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ke-
tika sepasang bola matanya menangkap sesosok tubuh
kurus menggelinding ke bawah dengan deras. Jelas
orang itu terjatuh. Lereng Gunung Gedang memang
terlihat agak licin. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Panji segera melesat untuk menolong orang itu.
Melihat Pendekar Naga Putih lupa kepadanya, lelaki
berwajah persegi itu langsung mengambil langkah se-
ribu. Kabur!
***
DELAPAN
Panji yang mendengar suara orang berlari di bela-
kangnya, terpaksa menghentikan langkahnya. Betapa
terkejutnya pemuda itu ketika melihat buronannya
melarikan diri. Terjadilah pertentangan di hatinya, an-
tara menyelamatkan orang yang terjatuh, atau me-
nangkap tawanan yang sangat berarti baginya itu.
Dengan berpikir kalau sosok lelaki kurus yang terja-
tuh itu kemungkinan besar tewas dan tidak mungkin
tertolong, maka Panji mengambil keputusan untuk
mengejar lelaki berwajah persegi yang hampir membe-
rikan keterangan penting kepadanya.
“Haiiit...!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Pendekar
Naga Putih melesat ke depan, lalu melambung tinggi
melewati kepala lawannya. Kakinya menjejak ringan
setelah berputaran beberapa kali di udara.
“Ahhh...?!”
Bukan main terkejutnya hati lelaki berwajah persegi
itu ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba saja berdiri
tegak beberapa langkah di depannya.
“Hm.... Kau hendak melarikan diri rupanya...,” den-
gus Panji dengan sorot mata yang menggetarkan jan-
tung. Secepat kilat tangannya menotok jalan darah bu-
ruannya. Dan, tubuh lelaki itu pun menggeloso ke tanah bagai sehelai karung basah.
Setelah melumpuhkan buruannya, Panji melesat
kembali dengan maksud melihat orang yang terjatuh
barusan. Ketika menemukan seorang kakek-kakek ter-
duduk di dekat semak dengan napas satu-satu, Panji
mendekatinya.
“Anak Muda...., tolonglah aku...,” suara kakek itu
demikian lemah.
Hal itu membuat Panji menjadi iba. Dan tanpa curi-
ga sedikit pun, kakek itu didekatinya dengan maksud
untuk menolong.
Ketika tiba di depan kakek itu, Panji berjongkok un-
tuk memeriksa luka-luka yang dideritanya. Tapi..., ba-
ru saja mengulurkan tangan untuk memeriksa, tiba-
tiba....
“Heaaah...!”
Kakek itu membentak sambil mendorong sepasang
telapak tangan ke depan. Karuan saja Panji terkejut
setengah mati. Dia terlambat menyadarinya. Akibat-
nya, tidak bisa menghindar dari serangan licik itu.
Dan....
Desss...!
“Aaargh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar Naga Putih ter-
lempar deras sejauh tiga tombak lebih, kemudian ter-
guling-guling lebih dari satu setengah tombak. Puku-
lan licik yang mengandung kekuatan hebat itu, mem-
buat mulutnya memuntahkan darah segar. Wajah Pan-
ji pucat seketika. Untunglah tenaga saktinya sedikit
melindungi tubuhnya, meski agak terlambat. Kalau ti-
dak, mungkin dada pendekar muda itu sudah remuk
akibat pukulan yang luar biasa itu.
“Uhukkk! Uhukkk...!”
Panji terbatuk hebat dengan tubuh terbungkuk
bungkuk. Darah segar kembali menetes dari mulutnya.
Tubuhnya terasa lemas, ditambah rasa gatal yang me-
nyerang bagian dalam dadanya. Sadarlah Panji kalau
pukulan itu mengandung racun ganas.
Sadar jika dibiarkan berlarut-larut racun itu akan
segera menjalar, Panji segera memusatkan pikiran. Di-
kerahkannya ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ sebagai
penjelmaan dari Pedang Naga Langit yang sanggup
menawarkan jenis racun terkuat sekalipun.
Tidak berapa lama kemudian, tubuh pemuda berju-
bah putih itu bergetar hebat. Butiran keringat sebesar
biji jagung bersembulan di wajahnya. Lapisan sinar
kuning keemasan menyusul muncul, menebarkan ha-
wa panas luar biasa dalam jarak satu tombak
“Gila...! Apa yang terjadi dengan pemuda itu?! Ke-
kuatan apa yang dimilikinya? Benarkah dugaanku ka-
lau lapisan sinar kuning keemasan itu tengah memba-
kar racun pukulanku? Kalau benar demikian, jelas
pemuda itu benar-benar sangat sakti! Aku jadi ragu
untuk dapat menundukkannya...,” desis kakek bertu-
buh tinggi kurus yang rupanya hanya berpura-pura ja-
tuh dari lereng gunung untuk menjebak Panji. Niat li-
ciknya itu memang berhasil baik.
“Huakhhh...!”
Seiring dengan lenyapnya sinar kuning keemasan
berhawa panas itu, Panji memuntahkan segumpal da-
rah kental kehitaman. Setelah itu, tubuhnya terasa
ringan kembali, dan kepalanya tidak lagi berdenyut-
denyut. Bahkan rasa gatal di dadanya lenyap tanpa
bekas. Jelas, racun di tubuhnya telah berhasil dipu-
nahkan.
“Kau benar-benar seorang pemuda yang luar biasa,
Pendekar Naga Putih. Betapa bangga hatiku sean-
dainya kita bisa berkawan dan melenyapkan permusuhan. Maafkan tindakanku barusan. Aku hanya ber-
maksud mengujimu. Apa yang terjadi barusan meru-
pakan peringatan sekaligus pengalaman buatmu, agar
lain kali bisa lebih hati-hati...,” ujar kakek bertubuh
tinggi kurus itu, menyembunyikan kelicikannya.
“Pukulanmu benar-benar hebat dan jahat, Kek.
Tentu saja aku tidak akan menolak uluran persahaba-
tanmu, meskipun kau hampir saja membuatku tewas.
Tapi, sebelumnya kau harus menjawab pertanyaanku.
Siapa sebenarnya dirimu? Kalau kita belum saling
kenal, mana mungkin dapat menjadi sahabat..?” tim-
pal Panji yang kali ini bersikap penuh kewaspadaan.
Dia berusaha mengulur waktu dengan basa-basi itu,
agar tubuhnya yang masih lemah dan kekuatannya
yang berkurang dapat kembali pulih.
“He he he...! Mengapa kau masih berpura-pura,
Pendekar Naga Putih. Aku sudah tahu tujuanmu da-
tang ke Gunung Gedang ini. Nah! Sekarang kau telah
berhadapan dengan penghuninya. Apa maksudmu
mencariku, Pendekar Naga Putih...?” tanya kakek itu.
Secara tidak langsung, mengakui dirinya sebagai Raja
Racun Kelabang yang hendak dijumpai Panji.
“Hm.... Jadi kau yang berjuluk Raja Racun Kela-
bang...?” ujar Panji, meminta ketegasan.
“Benar. Akulah yang berjuluk Raja Racun Kelabang.
Nah, apa yang kau inginkan dariku...?” tanya kakek itu
lagi sambil menatap Panji dengan pandangan menyeli-
dik tajam.
“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah
aku mengetahui bagaimana kau dapat menduga mak-
sudku datang ke tempat ini? Mungkinkah ada seseo-
rang yang mengabarkannya kepadamu...?” tanya Panji
bernada menyelidik.
Wajar saja kalau Pendekar Naga Putih bertanya demikian. Sebab, menurutnya tak seorang pun tahu ten-
tang kedatangannya ke Gunung Gedang. Lalu, bagai-
mana ketiga penghadang yang telah dilumpuhkannya
itu bisa mengetahui kalau dia datang ke tempat ini?
Bagaimana pula Raja Racun Kelabang bisa menebak
maksud kedatangannya? Tentu saja semua pertanyaan
itu sangat sulit dijawab Panji.
“He he he...! Tidak perlu aku menyembunyikan se-
mua apa yang ku tahu, Pendekar Naga Putih. Aku su-
dah mendengar tentang tewasnya Tiga Setan Lembah
Mayat di Hutan Pancawarna. Dan, ketiga orang yang
kuketahui sebagai pembunuh bayaran itu, tewas oleh
‘Racun Kelabang Hijau’, bukan? Sedangkan aku belum
pernah meninggalkan tempat ini. Jelasnya, ada seseo-
rang yang hendak memfitnah dan menjatuhkan nama
besarku. Bagaimana pendapatmu, Pendekar Naga Pu-
tih...?” tanya Raja Racun Kelabang menjelaskan apa
yang diketahuinya.
Mendengar ucapan itu Panji langsung tertegun.
Dengan adanya penjelasan itu, berarti dia telah gagal
untuk menemukan petunjuk.
“Ah, sebentar...!” Panji tersentak ketika ingat pada
lelaki berwajah persegi yang dilumpuhkannya tadi
Dengan agak tergesa, Panji membalikkan tubuhnya
untuk membawa tawanannya ke hadapan Raja Racun
Kelabang.
“Tunggu...!” sambil berseru, Raja Racun Kelabang
melesat seperti hendak mencegah Panji mendekati ta-
wanannya.
“Ada apa, Raja Racun Kelabang? Mengapa kau
mencegahku...?” tegur Panji bernada curiga. Matanya
menatap tajam wajah kakek itu.
“Sebaiknya lupakan saja tawananmu itu. Karena
persoalan ini menyangkut nama baikku, biarlah aku
saja yang mengurusnya,” pinta Raja Racun Kelabang.
Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah men-
dahului Panji.
“Tidak. Aku sudah telanjur terlibat ke dalam persoa-
lan ini!” bantah Panji yang memang belum percaya pe-
nuh pada keterangan Raja Racun Kelabang. Biar ba-
gaimanapun, dia harus mempertahankan tawanannya.
Sebab, hanya orang itu yang menjadi kunci jawaban
dari semua peristiwa yang melibatkan namanya.
“Kalau begitu aku terpaksa harus merebutnya dari
tanganmu!” Raja Racun Kelabang tidak mau kalah.
Malah kakek itu tampak tidak ragu-ragu untuk mere-
butnya dengan jalan kekerasan.
“Hm.... Aku akan mempertahankannya dengan ta-
ruhan nyawaku, Raja Racun Kelabang...!” tegas Panji
seraya melangkah mundur beberapa tindak. Pendekar
Naga Putih tahu kalau kakek itu memiliki sifat yang
sangat licik. Tentu dia tidak akan ragu-ragu berbuat
curang demi mencapai kemenangan.
“Kurang ajar...!” geram Raja Racun Kelabang.
Langsung saja dilontarkannya serangan kilat sega-
nas serangan ular berbisa. Untung Panji waspada,
membuat serangan Raja Racun Kelabang luput
“Heaaah...!”
Dengan sebuah bentakan keras, Pendekar Naga Pu-
tih melancarkan serangan balasan yang tidak kalah
berbahaya dengan serangan lawan. Kendati tenaganya
belum pulih sepenuhnya, namun hati pemuda itu sa-
ma sekali tidak gentar. Bahkan mampu membuat la-
wannya kerepotan dengan serangkaian serangan maut.
Plak! Plak!
Terdengar ledakan keras saat kedua pasang lengan
itu berbenturan. Tubuh keduanya terjajar mundur. Je-
las hal itu membuktikan kekuatan mereka berimbang.
Panji menggeser mundur langkahnya. Kemudian
disiapkannya ‘Ilmu Silat Naga Sakti’ untuk menghada-
pi Raja Racun Kelabang. Tenaga Pendekar Naga Putih
sebenarnya belum pulih benar, namun berusaha un-
tuk tetap tenang dalam menghadapi lawannya.
“He he he....! Ke mana perginya tenaga sakti mukji-
zat yang kabarnya sangat hebat itu, Pendekar Naga
Putih?” ejek Raja Racun Kelabang yang menyadari ka-
lau kekuatan lawan banyak berkurang akibat pukulan
beracun yang dilontarkan secara licik tadi.
“Hm.... Biar bagaimanapun aku tetap akan berusa-
ha membekukmu, Raja Racun Kelabang...,” desis Panji
yang membuka jurusnya kembali dan siap menghadapi
lawan berat itu.
“Haaat...!”
Kali ini Pendekar Naga Putih memulai serangan le-
bih dulu. Sepasang tangannya yang membentuk cakar
naga, bergerak kian kemari dengan menebarkan hawa
dingin menusuk tulang. Sehingga, Raja Racun Kela-
bang tidak berani menganggap enteng kekuatan pe-
muda itu.
Bettt!
Raja Racun Kelabang menarik mundur tubuhnya
untuk menghindari sambaran cakar naga Panji. Ke-
mudian langsung dibalasnya dengan serangan yang ti-
dak kalah berbahaya. Sebentar saja kedua tokoh sakti
itu terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebar-
kan.
***
“Yeaaat...!”
Untuk kesekian kalinya, Raja Racun Kelabang men-
cecar lawannya dengan serangkaian serangan maut
Sepasang tangannya seolah berubah menjadi ratusan
banyaknya. Setiap sambaran tangannya selalu diiringi
suara mencicit tajam, pertanda tenaga sakti kakek itu
telah mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, da-
lam jurus kesembilan puluh tujuh itu, Panji jadi sibuk
menghindari serangan hebat lawannya.
Dukkk! Plakkk!
Terdengar suara benturan keras, membuat udara di
sekitar tempat itu bergetar. Untuk yang kesekian ka-
linya tubuh kedua tokoh itu terjajar mundur. Bahkan
kali ini Panji terjajar agak jauh akibat tenaga saktinya
yang kian melemah.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Raja Racun
Kelabang. Diiringi teriakan melengking yang meme-
kakkan telinga, kakek bertubuh tinggi kurus itu mele-
sat bagai sambaran kilat. Pukulan-pukulannya melun-
cur deras, mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji terpaksa terus melangkah mundur untuk me-
nyelamatkan dirinya. Tapi, untuk menghindar terus
dari serangan lawan ternyata tidak mudah. Mau tak
mau tangannya harus menepiskan beberapa pukulan
lawan yang tidak bisa dihindarinya. Setiap kali lengan
mereka berbenturan, tubuh Panji selalu tergetar mun-
dur. Pada suatu saat....
Desss!
“Ughhh...!”
Tubuh Pendekar Naga Putih terpelanting akibat pu-
kulan keras yang mendarat telak di tubuhnya. Darah
segar kembali menetes dari sudut bibirnya. Meski begi-
tu, Panji masih dapat berguling saat telapak kaki la-
wan hendak melumatnya.
Derrr...!
Terdengar ledakan bagai mengguncangkan bumi ke-
tika telapak kaki Raja Racun Kelabang hanya menjejak
tanah kosong. Kalau saja pemuda itu tak sempat
menghindari gempuran ganas itu, niscaya tubuhnya
akan lumat seketika.
Sadar kalau ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya su-
dah tidak mungkin diandalkan untuk menghadapi la-
wan, Pendekar Naga Putih segera memusatkan pikiran
untuk mengeluarkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’.
“Aaarkkk....!”
Diawali sebuah pekikan keras, muncullah lapisan
cahaya keemasan yang menebar hawa panas menyen-
gat kulit. Tentu saja Raja Racun Kelabang menjadi ter-
kejut Sungguh tidak dimengertinya, bagaimana mung-
kin lawan yang sudah kehabisan tenaga itu masih bisa
mengerahkan kekuatannya yang lain?
Raja Racun Kelabang memang tidak bisa memaha-
mi kekuatan tersembunyi di dalam tubuh Pendekar
Naga Putih. Tenaga yang kali ini digunakan Panji bu-
kanlah tenaga yang didapat dari latihan yang bisa ber-
kurang karena terlalu banyak dikerahkan. Sedangkan
‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ adalah tenaga gaib jel-
maan Pedang Naga Langit, maka kekuatannya pun ti-
dak akan pernah berkurang. Hanya saja Panji jarang
menggunakannya, kecuali dalam keadaan terpaksa se-
perti sekarang.
“Gila...!” desis Raja Racun Kelabang yang tak habis
pikir dengan keanehan itu. Meskipun demikian, kakek
itu sama sekali tidak terlihat gentar. Saat itu juga tu-
buhnya melayang ke depan sambil mendorong sepa-
sang telapak tangannya.
Whusss..!
Serangkum angin keras disertai bau amis, mengi-
ringi terlepasnya pukulan maut Raja Racun Kelabang!
Melihat kedahsyatan serangan lawan, Panji pun ti-
dak tinggal diam. Segera dikerahkannya tenaga sakti
itu ke kedua lengannya. Kemudian didorongkan ke depan untuk menyambut datangnya serangan lawan.
Dan....
Blarrr...!
Bumi di sekitar Gunung Gedang bagai dilanda gem-
pa ketika dua gelombang tenaga sakti yang maha dah-
syat itu berbenturan di udara.
“Aaa...!”
Raja Racun Kelabang menjerit ngeri! Tubuhnya ter-
lempar bagaikan daun kering yang diterbangkan angin,
lalu menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh
di tepi sungai. Tubuh Raja Racun Kelabang berikut
pohon itu langsung terjerumus ke dalam sungai.
Panji yang hanya tergetar akibat beradunya tenaga
itu, segera melompat untuk mengejar tubuh Raja Ra-
cun Kelabang yang terbawa arus. Pemuda itu langsung
menyambarnya dan mengangkatnya naik. Hal itu dila-
kukan karena tokoh itu sangat penting sekali bagi Pan-
ji untuk membersihkan namanya dari tuduhan Sena-
pati Marganta.
Sambil membawa tubuh Raja Racun Kelabang yang
pingsan dengan luka dalam yang parah, Pendekar Na-
ga Putih menghampiri lelaki berwajah persegi yang se-
jak tadi di tinggalnya. Kemudian, jarinya bergerak un-
tuk membebaskan totokan pada tubuh lelaki itu.
“Nah! Sekarang katakan, siapa yang membayar mu
untuk membunuhku...?” tanya Panji kepada lelaki
yang tampak ketakutan itu.
“Se..., Senapati Marganta...,” jawab lelaki itu dengan
suara patah-patah.
“Senapati Marganta...?!” seru Panji setengah tak
percaya.
Tapi ketika teringat betapa panglima itu sangat in-
gin melenyapkannya, Panji akhirnya dapat memper-
cayai juga. Kini Pendekar Naga Putih mengerti, mengapa Tiga Setan Lembah Mayat hendak membunuhnya
pula. Rupanya tiga pembunuh bayaran itu pun dijanji-
kan imbalan tinggi untuk melenyapkan dirinya.
“Lalu, mengapa Tiga Setan Lembah Mayat menuduh
Raja Racun Kelabang sebagai pembunuhnya...?” tanya
Panji lagi, agak heran.
“Raja Racun Kelabang adalah guru Senapati Mar-
ganta. Senapati itu hendak menguasai Kadipaten Bala-
raja dengan bantuan gurunya...,” jelas lelaki itu lagi,
membuat Panji mengerti mengapa persoalan itu jadi
demikian rumit. Rupanya orang dalam istana kadipa-
ten itu sendiri yang hendak berkhianat
“Hm.... Kalau begitu, aku juga akan membawamu
ke Kadipaten Balaraja. Kali ini senapati pengkhianat
itu akan merasakan akibat perbuatannya!”
***
Kemunculan Panji di Kota Kadipaten Balaraja den-
gan membawa dua orang tawanan, benar-benar mem-
buat gempar seisi kota itu. Penjaga pintu gerbang
langsung melaporkan kedatangan pemuda itu. Tidak
seorang pun berani mencegah. Apalagi ketika Panji
mengatakan kalau kedua orang yang dibawanya ada-
lah orang-orang yang telah mengacaukan Istana Kadi-
paten Balaraja.
Saat itu kedatangan Panji didampingi oleh kekasih-
nya. Memang, pemuda itu sengaja menjemput Kenanga
sebelum mendatangi kadipaten.
Ketika Panji dan Kenanga yang diiringi puluhan
penduduk kota tiba di depan gerbang istana, puluhan
prajurit menghadang dengan senjata terhunus. Mereka
dipimpin oleh Perwira Duranta.
“Pendekar Naga Putih, apa maksudmu memasuki
kadipaten dengan membawa dua orang tawanan itu?”
tegur Perwira Duranta dengan sikap waspada. Jelas
kalau perwira gagah itu masih mencurigai Panji.
“Tuan Perwira, kedua orang ini adalah orang-orang
yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi
di istana kadipaten. Apakah Tuan Perwira tidak kenal
dengan kakek ini...?” ujar Panji.
Ditatapnya wajah Perwira Duranta dengan sinar
mata tajam. Dan Pendekar Naga Putih jadi kecewa ke-
tika melihat perwira itu menggelengkan kepala.
“Hm.... Kalau begitu, biar Saranta yang menje-
laskannya,” ujar Panji sambil menoleh pada lelaki ber-
wajah persegi, salah seorang dari pembunuh sewaan
Senapati Marganta yang ditawannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, Saranta segera menceritakan
semua yang diketahuinya. Diakuinya kalau dirinya di-
bayar untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Dije-
laskannya juga siapa kakek yang berjuluk Raja Racun
Kelabang yang dibawa Panji. Perwira Duranta menjadi
terkejut bukan main mendengar semua penjelasan itu.
“Jadi, Senapati Marganta yang menjadi biang keladi
dari semua peristiwa ini?! Tidak kusangka kalau dia
mempunyai niat jahat untuk menguasai kadipaten
ini...,” ujar Perwira Duranta yang sejak semula me-
mang tidak percaya kalau Pendekar Naga Putih adalah
pelaku semua kejadian itu.
“Tuanku...!”
Perwira Duranta menoleh ketika mendengar suara
panggilan yang ditujukan padanya. Kening lelaki gagah
itu berkerut ketika melihat seorang prajurit berlari
menghampirinya.
“Ada apa...?” tanya perwira gagah itu dengan suara
berwibawa.
“Kami..., kami menemukan Senapati Marganta tewas. Dia..., dia bunuh diri, Tuanku...,” lapor prajurit
yang bertugas menjaga istana kadipaten itu dengan
napas memburu.
Perwira Duranta hanya bisa menghela napas pan-
jang mendengar berita itu. Kemudian memandang Pan-
ji dan Kenanga dengan wajah menyesal.
“Rupanya dia memilih mati daripada dihukum gan-
tung di depan rakyat banyak...,” desah Perwira Duran-
ta pelan namun terdengar cukup jelas bagi Panji dan
Kenanga.
“Jika demikian, kami mohon diri. Kedua orang ini
kami serahkan untuk diadili,” ujar Panji.
Kemudian, diserahkannya Raja Racun Kelabang
dan Saranta kepada perwira gagah itu. Raja Racun Ke-
labang tampak sudah tidak berdaya, karena Panji telah
melumpuhkan kesaktiannya dengan jalan melumpuh-
kan otot besar di kedua bahunya.
Tubuh Panji dan Kenanga tiba-tiba berkelebat cepat
sebelum Perwira Duranta sempat membuka mulut,
bahkan untuk sekadar mengucapkan terima kasih.
“Pendekar Naga Putih benar-benar seorang lelaki
gagah berhati mulia. Dia sama sekali tidak mengha-
rapkan imbalan atas jasa-jasanya, meskipun hanya
sekadar ucapan terima kasih...,” gumam Perwira Du-
ranga yang semakin kagum kepada pemuda sakti itu.
Di kejauhan, dua sosok tubuh berlari menuju arah
barat yang telah diwarnai oleh lembayung. Hari tam-
paknya akan bergulir dan terus bergulir, sementara
dua pendekar sejati itu akan terus mengisinya dengan
perjuangan untuk menancapkan bendera kebenaran.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar