KETURUNAN DATUK-DATUK PERSILATAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hdayat
Serial Pendekar Naga PuHh
dalam episode:
Keturunan Datuk-Datuk Persilatan
128 haL ; 12 x 18 cm
SATU
"Heyaaa... heyaaa...!"
Suara bentakan nyaring itu terdengar berkali-kali, merobek
suasana siang yang sunyi. Debu mengepul mengiringi suara
derap bergemuruh, yang diselingi suara berderit dari roda-roda
kereta kuda, menggilas bebatuan.
Ctarrr.... Ctarrr...!
Suasana bising itu, masih diselingi pula ledakan cambuk sang
Kusir, yang merobek-robek angkasa. Semua itu makin
menambah riuhnya suasana.
Kereta yang melaju pesat itu ditarik dua ekor kuda, dan
diikuti beberapa penunggang kuda di belakangnya. Sedangkan
di bagian depan, terdapat dua orang penunggang kuda lainnya.
Jelas, rombongan orang berkuda itu merupakan pengawal dari
kereta kuda itu.
Rombongan kecil yang membawa sebuah bendera kuning
berlukiskan seekor harimau belang itu, bergerak cepat
membelah jalan yang di kiri dan kanannya terdapat pepohonan.
Melihat dari huruf-huruf yang tertera pada bagian samping
kereta, jelas mereka sedang mengawal barang.
Dalam dunia persilatan, rombongan pengawal barang
Harimau Terbang memang sangat terkenal. Dan, selama
bertugas, tidak pernah sekali pun perkumpulan itu
meninggalkan cacat.
Setiap mendapat pesanan untuk mengantarkan sesuatu,
mereka selalu menyelesaikan tugas dengan baik. Sehingga,
nama pengawal barang Harimau Terbang makin terkenal dan
dipercaya para saudagar kaya.
Kelompok pengawal barang yang bernaung di bawah
bendera Harimau Terbang, bukan hanya dikenal di kalangan
saudagar kaya saja. Tapi, kaum rimba persilatan pun banyak
yang mengikat tali persahabatan dengan kelompok itu. Luasnya
pergaulan kepala perkumpulan itulah yang membuat mereka
selalu dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena,
kaum perampok dan begal merasa segan untuk berurusan
dengan Kelompok Harimau Terbang.
Bukan hanya keluasan hubungan ketua perkumpulan itu
yang membuat para perampok dan begal segan
mengganggunya. Tapi, kebaikan hati ketua perkumpulan itu
pun membuat para perampok dan begal menghormatinya.
Tidak jarang ketua perkumpulan itu memberi hadiah kepada
mereka sebagai ikatan tali persaudaraan. Semua itu membuat
Kelompok Harimau Terbang tidak pernah mendapatkan
gangguan dari para perampok dan begal dalam menunaikan
tugasnya.
Tapi, perkumpulan pengantar barang Harimau Terbang itu
bukan sekumpulan orang-orang penakut dan lemah. Selain
pemimpinnya seorang tokoh persilatan yang disegani, para
anggotanya pun rata-rata memilikia kepandaian yang dapat
diandalkan. Tidak jarang kelompok pengantar barang itu harus
berurusan dengan para perampok yang tidak mau peduli
dengan bendera maupun nama ketua mereka. Namun, semua
itu dapat ditanggulangi dengan baik oleh Kelompok Harimau
Terbang. Sehingga, nama mereka semakin terkenal dan
disegani kawan maupun lawan.
Menjulangnya nama Kelompok Harimau Terbang, membuat
para saudagar lebih mempercayakan barang-barangnya kepada
mereka. Sehingga, hampir setiap hari kelompok itu harus
mengantarkan barang dagang atau upeti para saudagar.
Seperti biasanya, kali ini Kelompok Harimau Terbang
mendapat kepercayaan dari seorang pelanggannya. Barang
yang akan mereka antarkan, pesanan seorang saudagar kaya di
kota kadipaten.
Setelah agak lama menyusuri jalan lebar yang cukup ramai
oleh penduduk. Mereka mulai memasuki mulut sebuah hutan.
Cuaca yang remang-remang karena cahaya matahari terhalang
rimbun daun pepohonan, membuat rombongan itu bergerak
lebih lambat dari semula.
Ketika rombongan pengawal barang itu semakin dalam
memasuki hutan, mendadak dua orang yang berada di depan
mengangkat tangannya ke atas. Karuan saja kusir kereta
barang itu segera menarik tali kudanya. Dan, kereta pun
berhenti.
Dua orang dari enam rombongan yang berada di belakang,
bergerak melarikan kudanya. Begitu tiba di samping
penunggang kuda terdepan, ia segera menarik tali kudanya.
"Ada apa, Kakang?" tanya lelaki brewok yang datang dari
belakang itu dengan nada heran. "Apa kau ingin kita
beristirahat di dalam hutan ini?"
"Tidak, Adi Galing. Tapi, sepertinya aku mendengar sesuatu
yang mencurigakan di sekitar daerah ini," sahut lelaki gagah
berusia lima putuh tahun, yang sepertinya pimpinan
rombongan kecil itu. Sambil berkata, ia mengedarkan
pandangannya dengan sikap waspada.
"Ah, yang Kakang dengar tadi, mungkin suara binatang
hutan. Mereka berlarian karena terganggu oleh kehadiran kita.
Seperti kita ketahui, daerah hutan ini sama sekali tidak rawan.
Jadi, kecurigaan Kakang itu sama sekali tidak beralasan,"
bantah lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Galing itu.
Menilik dari jawabannya, jelas kalau ia sama sekali tidak
merasa cemas dengan ucapan pimpinannya.
"Hm...," lelaki gagah yang memimpin rombongan itu hanya
bergumam pelan menanggapi bantahan anggotanya. "Apakah
kau tidak mendengarnya, Adi Bana Raga?" tanyanya sambil
berpaling ke arah kawannya yang berada di sebdah kiri.
Lelaki berusia empat puluh lima tahun yang merupakan
orang kedua dalam rombongan itu, terdiam sejenak. Sepertinya
lelaki yang bernama Ki Bana Raga itu hendak memastikan,
sebelum menjawab pertanyaan pimpinannya. Setelah
mendapatkan jawaban, baru ia berpaling ke arah pimpinannya.
"Munkin aku pun sempat mendengarnya tadi, Kakang. Tapi,
aku kurang yakin, apakah suara itu patut kita curigai. Selain itu,
yang kudengar tadi, mungkin tidak sama dengan apa yang
Kakang Mahinta dengar. Sebab, yang kudengar hanyalah suara-
suara yang mirip jeritan seekor kera," jawab Ki Bana Raga
dengan wajah yang tetap tenang. Meskipun sebenarnya ia
merasa curiga, tapi perasaan itu lenyap begitu saja.
Seperti halnya Galing, Ki Bana Raga tahu kalau Hutan
Grambang yang mereka lalui itu merupakan daerah yang aman.
Dan, selama ia bergabung dengan kelompok pengawal barang
Harimau Terbang, tak pernah sekalipun mereka mendapat
halangan di hutan itu. Pengalaman itulah yang membuatnya
bersikap tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Aneh. Apa yang kudengar, justru berbeda. Bukan suara-
suara itu yang kumaksudkan, Adi Bana Raga. Tapi, gerakan-
gerakan yang mirip dengan langkah kaki manusia itulah yang
membuat aku curiga," sanggah Ki Mahinta, pimpinan
rombongan itu, dengan kening berkerut. Jawaban itu
sepertinya bukti bahwa Ki Mahintalah yang mendengar suara
itu.
Berbeda dengan Ki Bana Raga, Galing, atau anggota lainnya,
Ki Mahinta adalah seorang yang sangat berpengalaman, dalam
kelompok Harimau Terbang. Dan, jasanya terhadap
perkumpulan pengantar barang itu pun tidak sedikit. Bahkan
ketua perkumpulan itu sendiri sangat mengagumi Ki Mahinta.
Ki Mahinta memang memiliki kelebihan, terutama kekuatan
nalurinya. Sehingga, tidak jarang lelaki gagah itu dapat
menyelamatkan barang-barang antarannya, dengan cara
memutar jalan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Meski semua itu hanya bersandar pada kekuatan naluri Ki
Mahinta, namun seringkali menjadi kenyataan.
"Hm..., mungkinkah di wilayah Hutan Grambang ini ada
gerombolan perampok...?" gumam Ki Bana Raga yang jelas-
jelas meragukan dugaan Ki Mahinta. Sambil bergumam, lelaki
kunis itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan
kening berkerut.
"Kemungkinan itu akan selalu ada, Adi Bana Raga. Bisa saja
gerombolan perampok yang mengungsi dari daerahnya. Dan,
mereka belum mengenal siapa kita. Jadi, kuharap kalian semua
selalu waspada...," Ki Mahinta yang tetap mencurigai langkah-
langkah yang didengarnya tadi, mengingatkan kepada
anggotanya.
Setelah mendengar perkiraan itu, barulah Ki Bana Raga dan
Galing mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang
itu mulai dapat menerima alasan yang dikemukakan
pimpinannya.
"Kalau begitu aku harus mengingatkan kawan-kawan yang
lain, Kakang...," ujar Galing yang segera mengajak kawannya
melarikan kudanya ke belakang kereta.
Sepeninggal kedua orang anggotanya, Ki Mahinta kembali
memerintahkan rombongannya untuk bergerak maju. Sambil
tetap menjalankan kudanya perlahan, pimpinan rombongan itu
tampak senantiasa memusatkan pikirannya. Jelas kalau lelaki
gagah setengah baya itu telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Belum lagi rombongan kecil itu bergerak jauh, tiba-tiba
terdengar suara berdesingan nyaring.
Swingngng... syuuut..!
"Awaaas...!"
Ki Mahinta yang memang sejak tadi telah bersiap, segera
berseru mengingatkan anggotanya. Dan, lelaki setengah baya
itu segera mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang
kirinya. Diputarnya senjata itu hingga membentuk gulungan
sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar suara benturan keras yang disusul bunyi
berderak. Beberapa batang anak panah yang mengancam
tubuh Ki Mahinta, langsung berjatuhan dalam keadaan patah!
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jeritan susul-
menyusul. Dua orang anggota Kelompok Harimau Terbang,
terjungkal dari atas punggung kudanya. Tubuh mereka masing-
masing tertancap empat batang anak panah! Sudah dapat
dipastikan, kedua anggota Ki Mahinta itu tewas akibat serangan
gelap!
"Cepat berlindung...!"
Ki Mahinta sebagai seorang pimpinan, memang patut
mendapat acungan jempol. Lelaki gagah itu segera dapat
menguasai keadaan, dan langsung memberikan jalan keluar
kepada anggotanya yang masih selamat.
Lelaki gagah pimpinan rombongan kecil itu sendiri, tidak
tinggal diam. Setelah memperingatkan anggota-anggotanya, ia
segera melesat dan berjumpalitan di udara dengan disertai
putaran pedangnya.
Kembali terdengar suara benda berpatahan, ketika tubuh Ki
Mahinta masih berputar di udara. Entam batang anak panah
berjatuhan dalam kedaan patah.
Melihat dari gerakan yang ditunjukkannya, jelas Ki Mahinta
bukanlah orang yang mudah menjadi sasaran serangan gelap.
Terbukti lelaki setengah baya itu dapat menyelamatkan
nyawanya untuk yang kedua kali.
Dan, untuk kesekian kalinya, Ki Mahinta kembali
menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. Benturan
enam batang anak panah itu, ia gunakan sebagai jembatan
untuk kembali berputaran, kemudian kedua kakinya mendarat
tepat di samping kereta kuda.
"Hm..., siapa pun mereka, aku harus membuat perhitungan!
Kematian kedua orang kita harus dapat ditebus dengan nyawa
pengecut-pengecut licik itu, Kakang...," geram Ki Bana Raga
yang sudah berada di samping kereta, sebelum Ki Mahinta tiba.
"Hal itu boleh saja, Adi. Tapi, kita harus waspada, dan
jangan bertindak ceroboh. Selain kita tak mengetahui di mana
mereka berada, juga kita belum mengetahui kekuatan mereka.
Jadi, kuharap kau jangan bertindak gegabah," pesan Ki
Mahinta. Meskipun ia menyetujui ucapan pembantunya, tapi
tetap mengingatkan dengan penuh ketegasan.
Ki Bana Raga, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu
mengangguk pasti. Kendati rasa kemarahan telah memuncak,
Ki Bana Raga tetap menghormati ucapan pimpinannya. Hal itu
membuktikan kalau Ki Mahinta merupakan pimpinan yang
disukai dan dihormati oleh anggotanya.
Ki Mahinta sendiri, tetap memerintahkan para anggotanya
untuk berlindung di balik kereta barang. Walaupun saat itu
serangan gelap dari lawan telah berhenti, Ki Mahinta tidak
memperkenankan anggotanya bergerak.
Melihat Ki Mahinta seperti tengah memutar otak mencari
jalan keluar dari intaian maut itu, para anggotanya, termasuk Ki
Bana Raga dan Galing, sama sekali tidak berani mengganggu.
Mereka tetap tenang, meskipun keadaan sepertinya sudah
mulai aman.
***
Kesunyian yang mencekam dan sangat meresahkan anggota
pengantar barang Harimau Terbang itu, berlangsung cukup
lama. Sehingga, beberapa orang di antaranya terlihat sudah
tidak sabar untuk keluar dari persembunyian.
"Ingat! Jangan ada yang bergerak, atau keluar dari tempat
persembunyian ini! Meski keadaan terlihat sudah aman, tapi
siapa tahu musuh masih menunggu dengan anak-anak
panahnya. Kuharap kalian semua dapat mengerti dan tidak
bertindak menuruti kemauan sendiri," pesan Ki Mahinta lagi
ketika matanya menangkap rasa gelisah beberapa orang
anggotanya.
Meskipun Ki Mahinta sendiri tidak merasa tenteram dengan
kesunyian yang mencekam itu, namun ia tetap menekan
keinginannya untuk keluar dari persembunyian.
Setelah beberapa saat kembali terlewat tanpa suatu gerakan
Ki Mahinta bergerak dengan tubuh membungkuk menghampiri
Ki Bana Raga
"Bana Raga, kita harus bergerak, untuk memancing
penyerang-penyerang gelap itu. Dengan demikian, mungkin
kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Kau siap?" tanya
Ki Mahinta berbisik lirih.
"Bagaimana caranya, Kakang? Apakah kita harus melompat
dan menghalau hujan panah mereka?" Ki Bana Raga yang
sepertinya tidak bisa berpikir dengan baik, dan meminta
petunjuk dari pimpinannya.
Dalam menghadapi keadaan genting seperti itu, Ki Mahinta
lebih berpengalaman daripada dirinya. Sehingga, ia pun
menanyakan rencana Ki Mahinta.
"Hm..., sebelum kita memaksa mereka keluar dari
persembunyiannya, kita terpaksa mengambil risiko menghadapi
serangan anak panah mereka. Setelah itu, kita harus berusaha
untuk mencapai kuda-kuda kita. Nah, dengan menunggangi
kuda, kita paksa mereka untuk keluar," jelas Ki Mahinta
menerangkan rencana yang telah dipikirkannya dengan
matang.
"Baiklah, Kakang. Dan, untuk itu rasanya kita harus
berpencar. Dengan demikian, kita bisa memecah perhatian
mereka," ujar Ki Bana Raga yang mulai dapat berpikir setelah
mendengar rencana pimpinannya itu.
"Bagus! Rupanya kau juga dapat berpikir baik, Bana Raga,"
puji Ki Mahinta sambil mengembangkan senyum. Sepertinya
apa yang diusulkan pembantunya itu, memang sejalan dengan
pikirannya.
Setelah mereka sepakat dengan rencana itu, Ki Mahinta dan
Ki Bana Raga berpencar ke kiri dan kanan kereta. Pedang
mereka telah tergenggam erat-erat. Jelas mereka telah bersiap
untuk menghadapi segala kemungkinan!
"Sekarang!"
Setelah berseru demikian, Ki Mahinta melesat dengan
kecepatan tinggi, sambil memutar pedangnya. Beberapa batang
anak panah menyambut tubuhnya, dan langsung dipukul
runtuh dengan putaran senjatanya! Kemudian, tubuhnya
melesat ke arah seekor kuda yang tengah merumput di bawah
sebatang pohon.
"Heyaaa...!"
Dengan sebuah bentakan nyaring, Ki Mahinta segera
menggebah kudanya, begitu berada di atas punggung binatang
itu. Sambil merunduk dengan menggunakan kuda sebagai
perisai, Ki Mahinta membedal kudanya ke arah semak-semak,
dari mana hujan anak panah itu berasal!
Hampir bersamaan dengan Ki Mahinta, Ki Bana Raga pun
telah pula berhasil menunggangi seekor kuda lainnya.
Kemudian, ia terus membedal kudanya menuju kerimbunan
semak. Karena, lelaki kurus itu menduga dari balik kerimbunan
semak itulah hujan anak panah mengancam dirinya.
Perhitungan Ki Mahinta ternyata tidak meleset! Begitu kuda
yang ditungganginya melesat ke arah rimbunan semak-semak,
beberapa batang anak panah kembali menyambutnya. Sayang,
meskipun ia berhasil menghalau anak panah yang mengancam
dirinya, kuda tunggangannya meringkik kesakitan! Enam ba-
tang anak panah menancap di lehernya.
Tapi, nasib baik ternyata masih berpihak kepada lelaki
setengah baya itu. Walaupun kuda tunggangannya terluka
parah, namun ia terus saja menerobos semak belukar tempat
para penyerang gelap itu bersembunyi.
"Heaaah...!"
Begitu terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam
melompat dari semak-semak, Ki Mahinta segera menjejakkan
kakinya ke punggung kuda. Seketika itu juga, tubuhnya
langsung mencelat ke arah delapan orang lelaki yang keluar
dari gerombolan semak belukar itu.
Trangngng! Brettt! Brettt!
Salah satu dari delapan orang berseragam hitam itu,
langsung tersungkur dengan tubuh bermandi darah! Rupanya ia
berhasil memapaki sabetan pertama dari senjata Ki Mahinta,
tapi sabetan kedua tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga, pedang
di tangan lelaki setengah baya itu, merobek lambung lawannya.
Tujuh orang lelaki berseragam hitam lainnya, langsung
mencabut pedang, dan mengurung Ki Mahinta. Namun, lelaki
gagah itu menghadapi lawannya dengan putaran pedang yang
cepat dan menggetarkan! Pertarungan sengit pun tidak bisa
dihindarkan lagi!
Di tempat lain, Ki Bana Raga juga telah berhasil memaksa
para penyerangnya keluar dari persembunyian. Meskipun untuk
itu ia terpaksa kehilangan kudanya, namun lelaki tinggi kurus
itu merasa puas! Maka, begitu orang-orang berseragam hitam
yang menyerang secara gelap itu berloncatan ke segala arah, Ki
Bana Raga segera merangsek maju.
Tapi, bukan main terkejut hati Ki Bana Raga ketika
mendapat kenyataan lain. Tujuh orang lelaki berseragam hitam
itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sehingga,
Ki Bana Raga harus bekerja keras untuk menghadapi keroyokan
lawan-lawannya.
DUA
Pertempuran yang telah pecah itu, membuat para anggota
Harimau Terbang yang lainnya bersorak gembira. Tanpa perlu
menunggu aba-aba lagi, mereka langsung berlompatan keluar
dari balik persembunyiannya.
Lima orang anggota Harimau Terbang, termasuk Galing dan
kusir kereta barang itu, langsung menyerbu ke arena
pertempuran. Sudah pasti kelima orang itu di bawah pimpinan
Galing. Karena lelaki brewok itu merupakan orang ketiga
setelah Ki Mahinta dan Ki Bana Raga.
Namun, perbuatan Galing dan anggota lainnya itu
mengejutkan hati Ki Mahinta. Lelaki gagah berusia setengah
baya itu, merasa cemas dengan tindakan yang dilakukan
anggotanya.
"Adi Galing...! Jaga kereta barang...!" sambil menghindari
sabetan golok salah seorang pengeroyoknya, Ki Mahinta
berseru mengingatkan anak buahnya yang berwajah brewok
itu.
Seruan Ki Mahinta itu, tentu saja membuat Galing sadar
kalau kereta barang tidak terjaga sama sekali.
Maka, tanpa banyak cakap lagi, Galing langsung melesat ke
arah kereta bersama salah seorang kawannya.
Peringatan Ki Mahinta memang bukan sekadar omongan
kosong. Lelaki setengah baya yang telah banyak pengalamah
itu, sudah menduga para penghadang itu pasti mempunyai
kawan-kawan yang lain. Dan, hal itu memang terbukti!
Galing dan lelaki tinggi kurus yang berlari dengan maksud
untuk menjaga kereta barang, terkejut bukan main ketika
mendengar sorak-sorai yang gegap gempita. Wajah lelaki
brewok dan kawannya itu berubah tegang! Dari sebelah depan
dan belakang kereta, tampak belasan lelaki berpakaian serba
hitam menghambur dengan senjata di tangan!
"Celaka...!" desis Gilang dengan suara bergetar. Meskipun
ada kilatan gentar di matanya, namun lelaki brewok itu
bergegas menyilangkan senjatanya di depan dada. Sikapnya
nampak gagah, meski ia sadar akan ancaman maut.
"Kita pertahankan isi kereta ini dengan taruhan nyawa,
Kakang..," desis lelaki kurus di sebelah Galing, yang juga telah
bersiap menghadapi maut!
"Tentu, Adi...," sahut Galing dengan suara mantap.
Sepertinya lelaki brewok itu telah mengambil keputusan untuk
mempertahankan barang kawalannya dengan taruhan nyawa!
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Galing dan kawannya berdiri saling membelakangi satu sama
lain. Musuh yang datang menyerang sambil berteriak-teriak itu,
langsung mereka sambut dengan gagah! Sehingga, sebentar
saja tubuh kedua orang anggota pengawal barang Harimau
Terbang itu lenyap di tengah kerumunan para pengeroyoknya.
Ki Mahinta dan Ki Bana Raga sempat menyaksikan kejadian
itu, hati mereka merasa cemas bukan main! Terlebih lagi Ki
Mahinta yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan
kawan-kawannya mau pun barang kawalan mereka. Sehingga,
wajah lelaki setengah baya itu berubah agak pucat!
Ketegangan dan kecemasan yang memuncak di hati lelaki
gagah setengah baya itu, membuatnya semakin memperhebat
serangan-serangan terhadap lawan. Pedang di tangannya
berkelebatan menebarkan hawa maut! Sehingga, ketujuh orang
lawannya sempat terkejut, dan berlompatan mundur karena
amukan lelaki tua itu benar-benar berbahaya!
"Adi Bana Raga, 'Air Pasang'...!" sambil berlompatan ke arah
kereta barang, Ki Mahinta berteriak nyaring dengan kata-kata
yang hanya diketahui oleh setiap anggota Harimau Terbang
Brettt!
"Aaakh...!"
Karena perhatiannya terbagi-bagi, Ki Mahinta terpaksa harus
menerima akibat dari kelalaiannya! Sebuah sabetan pedang
salah seorang pengeroyoknya membeset pangkal lengan lelaki
gagah itu. Meski tidak terlalu dalam, namun cukup membuat
gerakkan Ki Mahinta agak terhambat.
"Haiiit...!"
Ki Mahinta berjumpalitan sambil mengayunkan pedangnya,
merobek perut lawan yang hampir membuat kepalanya
terpenggal!
Brettt!
"Aaargh...!"
Pembokong sial itu meraung keras ketika pedang Ki Mahinta
membuat ususnya terburai keluar! Karuan saja tubuh lelaki itu
ambruk ke tanah, dan tewas seketika.
Ki Mahinta bergulingan mendekati kereta barang. Namun,
delapan orang lelaki berseragam hitam yang semula
mengeroyok dua orang anggotanya itu berbalik memapakinya.
Dan, Ki Mahinta tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Pedang di tangannya langsung saja diputar bergulung,
sehingga membentuk gundukan sinar yang turun naik bagaikan
ombak laut!
Wuuuk! Wuuuk!
Amukan lelaki setengah baya itu rupanya cukup mengerikan.
Terbukti kedelapan orang lawannya itu langsung berlompatan
mundur! Lawannya menyadari kalau senjata di tangan lelaki
setengah baya itu memang behar-benar berbahaya!
"Aaa...!"
Bukan main pucatnya wajah Ki Mahinta ketika mendengar
jerit kematian yang susul-menyusul itu. Ia mengenali suara
teriakan itu seperti ia mengenali suara teriakannya sendiri.
"Adi Galing...!" suara yang sebenarnya berupa teriakan itu,
terdengar hampir menyerupai bisikan. Karena selain kesedihan,
juga ada kemarahan yang terpendam dalam dada lelaki
setengah baya itu. Sehingga, suara teriakannya tersumbat di
kerongkongan.
Belum lagi berbagai perasaan yang bercampur-baur itu
sempat ditumpahkannya, kembali terdengar jerit kematian dari
sebelah belakangnya. Sepasang mata tua itu terbelalak
menyaksikan tiga orang anggotanya, terlempar dengan tubuh
dipenuhi luka. Karuan saja lelaki setengah baya itu menggereng
seperti harimau luka.
"Biadab!" desis Ki Mahinta dengan kemarahan yang sudah
tidak bisa dibendung lagi. Dengan disertai pekikan nyaring, Ki
Mahinta melesat sambil memutar senjatanya dengan sekuat
tenaga.
Namun, apalah artinya kemarahan seorang Ki Mahinta dalam
menghadapi keroyokan para perampok yang rata-rata gesit dan
memiliki kepandaian cukup lumayan itu? Apalagi gerakan-
gerakan mereka sangat kompak dan teratur. Maka, meskipun
lelaki setengah baya itu mengamuk bagaikan harimau luka,
tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan-lawannya. Malah ia
sendiri yang mulai terdesak oleh serangan lawan-lawannya.
***
Di tempat lain, Ki Bana Raga sendiri sudah terlihat
kepayahan. Di beberapa bagian tubuhnya, tampak luka akibat
goresan senjata lawannya. Dan, dari luka itu mengucur darah
segar. Sehingga, pakaian yang dikenakannya sudah tidak dapat
dikenali lagi warnanya.
Tapi, walaupun luka-lukanya terasa perih, Ki Bana Raga
sama sekali tidak menyerah. Dengan gagah lelaki berusia
empat puluh lima tahun itu, melakukan perlawanan yang tidak
bisa dipandang remeh! Bahkan dalam keadaan seperti itu, ia
masih mampu merobohkan beberapa penyerangnya yang
terdekat! Sehingga, kegagahan dan perlawanan Ki Bana Raga
sempat membuat lawan-lawannya berhati-hati, dan tidak
menyerang sembarangan.
"Berhenti...!"
Di tengah bisingnya suara-suara teriakan dan denting
senjata, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar!
Hebatnya, pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu
pun terhenti seketika!
Belum lagi gema bentakan itu lenyap, tahu-tahu muncul
sosok tubuh raksasa yang mengenakan rompi dari kulit ular.
Lengannya yang besar dan berotot itu, tampak ditumbuhi bulu-
bulu halus. Demikian pula dengan wajahnya, dipenuhi oleh
kumis, cambang, dan jenggot yang lebat, membuat penampilan
lelaki itu semakin angker. Sedang di kiri dan kanannya tampak
dua orang lelaki yang juga bertubuh kekar, namun sedikit lebih
pendek berjalan mengiringi sosok bertubuh raksasa itu.
"Hidup Ketua Kalya Bantar si Raja Ular Emas...!"
Terdengar teriakan-teriakan memuji dari gerombolan lelaki
berpakaian hitam yang mengeroyok Ki Mahinta dan Ki Bana
Raga itu.
"Ha ha ha...! Mundur, Anak-anak. Biar aku sendiri yang akan
menghabisi dua cecunguk yang sok jago ini," terdengar suara
tawa serak dan parau dari lelaki raksasa yang bernama Kalya
Bantar itu.
Setelah menghentikan tawanya, ia melangkah menghampiri
Ki Mahinta dan Ki Bana Raga yang telah berdiri saling
berdampingan itu.
"Raja Ular Emas...!" desis Ki Mahinta ketika mendengar dan
mengenali lelaki bertubuh raksasa dan berwajah bengis itu.
Dalam nada ucapannya tersembunyi kegentaran. Jelas, Ki
Mahinta mengetahui Kalya Bantar yang berjuluk Raja Ular Emas
itu.
Gerombolan perampok Ular Emas memang bukan nama baru
bagi telinga Ki Mahinta. Lelaki setengah baya yang semasa
mudanya gemar berpetualang itu, sudah mengenal siapa
sesungguhnya Kalya Bantar. Dialah seorang raja perampok
yang sangat ditakuti di kalangan rimba persilatan. Selain
kepandaian lelaki itu sendiri tidak rendah, juga para
pengikutnya rata-rata berkepandaian tinggi. Sehingga, nama
gerombolan perampok itu sangat ditakuti lawan dan disegani
kawan.
Ki Mahinta menatap tajam sosok lelaki bertubuh raksasa itu.
Ia sudah tahu sejak lama, wilayah Utara adalah daerah
kekuasaan Raja Ular Emas. Karena itu ia tidak percaya kalau
gerombolan perampok yang menakutkan itu muncul di daerah
Selatan.
"Apa yang membuat gerombolan perampok gila ini sampai
pindah ke Selatan? Hm..., pasti ada sesuatu yang menyebabkan
mereka meninggalkan daerah ke kuasannya," gumam Ki
Mahinta dengan kening berkerut dan sepasang mata menyipit.
Lelaki gagah itu sadar betul kalau nyawa mereka berdua
seperti telur di ujung tanduk. Ia tahu betapa ganas dan kejinya
Raja Ular Emas itu. Sepanjang pengetahuannya, tidak pernah
ada seorang lawan pun yang dibiarkan hidup oleh lelaki
bertubuh raksasa itu.
"Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali melawan mereka
mati-manan. Biar bagaimanapun mereka pasti tidak akan
membiarkan kita berdua hidup," bisik Ki Mahinta kepada Ki
Bana Raga, tanpa mengalihkan pandangannya kepada Raja
Ular Emas.
Ki Bana Raga yang juga telah bergabung cukup lama di
bawah bendera Harimau Terbang, tentu saja tahu akan risiko
dari pekerjaannya.
"Benar, Kakang. Kita harus mempertahankan diri sampai titik
darah terakhir...," Ki Bana Raga balas berbisik dengan tatapan
mata lurus ke depan.
"Tidak kuduga kalau kita akan berjumpa di sini, Mahinta. Kau
tentu masih ingat kepadaku bukan? Ha ha ha..., sayang nama
Pedang Bintang Timur harus terhapus dari dunia persilatan hari
ini," ujar Kalya Bantar memperdengarkan suara tawanya yang
berat dan parau. Menilik dari ucapannya, jelas lelaki bertubuh
raksasa itu mengenal Ki Mahinta yang memang berasal dari
Utara.
Kedua orang tokoh dari golongan yang berbeda itu, memang
tidak asing satu sama lainnya. Meskipun di antara mereka tidak
mempunyai dendam secara pribadi, tapi Kalya Bantar si Raja
Ular Emas tetap menganggap orang-orang golongan putih
sebagai musuh-musuhnya.
Walaupun mereka tak pernah bertemu dalam sebuah
pertarungan, tapi hati kecil Kalya Bantar menginginkan
perjumpaan itu. Tak mengherankan kalau ia memerintahkan
anak buahnya mundur. Karena ia berkeinginan membunuh Ki
Mahinta dengan tangannya sendiri.
"Raja Ular Emas," ujar Ki Mahinta mencoba bersikap tenang,
"Apa yang membuatmu kesasar hingga sejauh ini? Apakah
gerombolanmu dikejar-kejar kerajaan?"
Ki Mahinta memang sengaja melontarkan kata-kata seperti
itu untuk membangkitkan kemarahan Raja Ular Emas. Sebagai
orang tokoh tua yang berpengalaman, ia pun tahu kalau
serangan yang dibarengi dengan kemarahan yang tinggi, akan
menimbulkan kelalaian. Dan, keadaan seperti itulah yang
dikehendaki Ki Mahinta.
"Ha ha ha..., ucapanmu tidak salah, Pedang Bintang Timur.
Aku memang melarikan diri dari kejaran prajurit kerajaan. Tapi,
daerah baru ini ternyata cukup menyenangkan. Buktinya, baru
beberapa hari aku tiba, kau sudah datang mengantarkan
barang-barang berharga untukku. Dan, aku sangat berterima
kasih sekali bila kau juga mau menyerahkan kepalamu
untukku," sambut Kalya Bantar yang ternyata tidak tersinggung
dengan ejekan lawannya. Sehingga Ki Mahinta sempat
kehilangan akal dibuatnya.
"Kau melupakan sesuatu, Raja Ular Emas. Sadarkah kalau
perbuatanmu ini bisa mengundang kemarahan ketua kami?
Apabila berita ini sampai terdengar, jangan kau sesali kalau
dalam dua hari, ribuan anggota pengawal barang Harimau
Terbang akan mengaduk-aduk seluruh isi hutan ini untuk
membinasakanmu," gagal dengan ejekan, Ki Mahinta mencoba
mengancam Raja Ular Emas dengan bayangan-bayangan yang
menyeramkan.
Tapi, ucapan Ki Mahinta itu hanya disambut dengan tawa
berkepanjangan. Bahkan beberapa orang anggota gerombolan
Ular Emas ikut memperdengarkan suara tawanya. Sehingga, Ki
Mahinta dan Ki Bana Raga mengerutkan kening dan merasa
heran. Mereka benar-benar tak mengerti mengapa Raja Ular
Emas dan pengikutnya malah menertawakan ancamannya.
"Kau jangan coba-coba menakut-nakuti, Mahinta. Apakah
kau pikir aku begitu bodoh mau kau perdayai dengan ancaman
palsumu itu? Agar kau tidak penasaran, baiklah kuberi tahu.
Anggota kelompok pengawal barang Harimau Terbang
berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Bahkan ketua yang
kau agung-agungkan itu, kini terbaring menanti ajal. Karena ia
telah menderita keracunan akibat pertarungannya dengan
seorang tokoh sesat. Meskipun tokoh sesat itu berhasil
dibunuhnya, namun nyawa ketuamu tidak akan berumur
panjang. Aku tahu kalian memang sengaja merahasiakan
masalah ini dari telinga orang-orang persilatan. Tapi, aku si
Raja Ular Emas, tidak pernah ketinggalan berita. Karena
telingaku ada di mana-mana. Bahkan aku juga tahu
gerombolan perampok mana yang paling berkuasa di wilayah
Selatan ini. Dan, mereka pun sudah takluk di bawah benderaku.
Ha ha ha...," jelas Kalya Bantar sambil memperdengarkan
tawanya yang tidak enak didengar telinga.
Kaget bukan main Ki Mahinta saat mendengar ucapan
lawannya. Ia tak menduga sama sekali kalau Kalya Bantar telah
mengetahui rahasia yang disimpan rapat oleh kelompoknya. Ki
Mahinta sadar kalau ia tidak mempunyai jalan lain, kecuali
bertarung mati-matian.
"Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Raja Ular Emas?
Mari kita selesaikan urusan ini tanpa campur tangan anak
buahmu. Tapi, kalau memang kau takut mati, boleh kau
merengek meminta bantuan para pengikutmu yang banyak itu,"
Ki Mahinta rupanya masih belum kehilangan akal. Dengan
cerdiknya lelaki gagah setengah baya itu melontarkan
perkataan, yang jelas-jelas akan membawa keuntungan bagi
pihaknya. Kalau Raja Ular Emas maju seorang diri mereka
mempunyai harapan untuk lolos. Bahkan ada kemungkinan
mereka dapat merebut kembali barangnya.
Kalya Bantar pun bukanlah orang bodoh. Kalau ia berani
menjawab tantangan Ki Mahinta, sudah pasti ada sesuatu yang
diandalkannya. Dan, jawaban yang keluar dari mulut lelaki
raksasa itu, ternyata tidak meleset dari harapan Ki Mahinta.
"Ha ha ha...! Kau memang sangat cerdik, Ki Mahinta. Tapi
jangan khawatir. Aku akan meluluskan permintaan terakhirmu
itu. Nah, sekarang bersiapiah untuk melayat ke akhirat," ujar
Kalya Bantar sambil tertawa terkakak.
Girang bukan main hati Ki Mahinta mendengar jawaban itu.
Dengan majunya Raja Ular Emas seorang diri. Ia yakin bisa
menundukkan lelaki bertubuh raksasa itu. Sepengetahuannya,
kepandaian yang dimiliki Raja Ular Emas itu, boleh dibilang
berimbang dengan kepandaiannya. Meskipun itu beberapa
tahun yang lalu. Apalagi seorang kepala perampok seperti Raja
Ular Emas. Tentu bukan kemajuan yang diperolehnya selama
beberapa tahun terakhlr. Bisa jadi malah kepandaian ataupun
tenaga lelaki raksasa itu berkurang. Hal itu disebabkan Kalya
Bantar sering membuang-buang hawa murninya dengan
memuaskan nafsu bejadnya terhadap wanlta-wanita. Pemikiran
itulah yang membuat Ki Mahinta merasa yakin akan dapat
menundukkan lawannya.
Sayang, penilaian Ki Mahinta meleset jauh. Raja Ular Emas
yang kini dihadapinya, tidaklah dapat disamakan dengan
beberapa tahun yang lalu. Malah kepandaian yang dimilikinya
saat itu, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebuah ilmu
baru yang diciptakannya telah membuat Raja Ular Emas berani
mencuri benda-benda pusaka istana. Itulah sebabnya mengapa
ia sampai dikejar-kejar prajurit kerajaan, sehingga ia
mengungsi ke Selatan.
"Bagaimana dengan kau sendiri, Mahinta? Apakah kau pun
akan merengek meminta bantuan kawanmu itu untuk
mengeroyokku?" Raja Ular Emas pun mencoba mencari
keuntungan bagi pihaknya. Meskipun ia seorang diri yakin
dapat menundukkan kedua orang calon lawannya. Namun, ia
mencoba memancing harga diri calon lawannya.
Ucapan Kalya Bantar hanya disambut dengan senyum tipis
oleh Ki Mahinta. Jelas, ia tidak dapat dikelabui dengan ucapan
lawannya.
"Raja Ular Emas. Sebenarnya aku sendiri mungkin akan
dapat menundukkanmu tanpa harus bersusah-payah. Tapi,
karena kami berd+ua sama-sama bertanggung jawab terhadap
barang kawalan itu, tentu saja tak ada jalan lain bagi kami
kecuali bersama-sama pula menghadapimu. Lain halnya kalau
kau takut menghadapi kami berdua," balas Ki Mahinta dengan
senyum lebar. Memang cerdik sekali lelaki setengah baya itu.
"Ha ha ha.... Marilah... marilah kalian berdua maju. Aku Raja
Ular Emas tidak pernah takut menghadapi siapa pun," tegas
Kalya Bantar tetap memperdengarkan tawanya yang serak.
Setelah menghentikan tawanya, lelaki bertubuh raksasa itu
melangkah beberapa tindak ke depan.
Ki Mahinta sendiri sudah merenggang dan bergerak ke
kanan. Senjata di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang menyilaukan mata.
Jelas, lelaki setengah baya yang gagah itu mengeluarkan ilmu
'Pedang Bintang Timur'nya, yang telah mengangkat namanya
dalam dunia persilatan.
Demikian pula halnya dengan Ki Bana Raga. Meskipun
sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan pedang akibat
pertempuran tadi, namun lelaki gagah itu tetap bertekad untuk
merebut kembali harta kawalan, yang dirampas oleh anak buah
Raja Ular Emas.
Wuuut! Wuuut!
Meskipun ilmu pedang Ki Bana Raga tidak sehebat Ki
Mahinta, tapi permainan senjatanya tidak kalah berbahaya
dengan pimpinannya.
Raja Ular Emas yang diapit dari dua arah oleh kedua orang
pentolan Harimau Terbang itu, berdiri pongah sambil
memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan.
Sepertinya lelaki bertubuh raksasa itu merasa yakin dapat
menundukkan lawan dengan kepandaian yang dimilikinya.
TIGA
"Heaaat…!"
Diiringi teriakan nyaring sebagai tanda pertempuran sudah
dimulai, tubuh Ki Mahinta melesat seperti seekor burung besar,
seraya memutar pedangnya.
Wuuut! Wuuut!
Sekali bergerak saja, Ki Mahinta langsung melancarkan
serangkaian serangan beruntun yang susul-menyusul. Kilatan-
kilatan sinar pedangnya berkelebatan kian kemari mengancam
keselamatan lawannya!
Ki Bana Raga pun tidak mau ketinggalan. Begitu mendengar
teriakan Ki Mahinta, ia segera melesat menyusul kawannya.
Senjata di tangannya bergerak bersilangan dengan kecepatan
yang tidak bisa dipandang ringan. Sekali bergerak, ia langsung
melontarkan tiga buah serangan, yang mengarah ke jalan
darah kematian di tubuh lawan.
Namun, sikap Kalya Bantar memang patut mendapat
acungan jempol. Tokoh sesat Kepala Rampok Ular Emas itu,
tetap berdiri tenang menanti serangan kedua orang lawannya.
Meski terlihat lelaki bertubuh raksasa itu tidak menggunakan
senjata, tapi jangan dikira ia akan berdiam diri dan menerima
serangan kedua orang lawannya begitu saja.
"Haiiit...!"
Tepat kedua batang senjata itu tinggal sejengkal lagi di
depan tubuhnya, Kalya Bantar bergegas menggerakkan tangan
kanannya ke arah pinggang. Kemudian, sambil merendahkan
tubuhnya, lelaki itu mengibaskan lengan kanannya sehingga
menimbulkan ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga!
Jtarrr! Jtarrr...!
Bunga-bunga api memercik disertai dengan kepulan asap
tipis, ketika sebentuk benda panjang bergerak-gerak dan
meledak-ledak memapaki serangan Ki Mahinta dan Ki Bana
Raga. Jelas, Kalya Bantar menggunakan sebuah cambuk
sebagai senjata andalannya!
Baik Ki Mahinta maupun Ki Bana Raga sempat terkejut
mendengar ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga
itu. Menyadari kalau lawan menggunakan senjata, keduanya
bergerak cepat merubah serangan-serangannya. Pedang di
tangan kedua orang lelaki gagah itu, diputar setengah
lingkaran, dan bergerak turun naik sambil menghindari
sambaran cambuk lawan!
"Yeaaah...!"
Jdarrr...!
Ki Mahinta melakukan lompatan pendek, guna menghindari
lecutan cambuk yang mengincar kedua kakinya! Begitu
tubuhnya bergulingan dengan lompatan harimau, detik
berikutnya tubuh lelaki gagah itu mencelat, bagaikan seekor
kera yang berpindah dari pohon yang satu, ke lain pohon.
Gerakan Ki Mahinta memang cepat dan tak terduga sama
sekali! Berbarengan dengan lompatan itu, pedang di tangannya
berkeredep mengarah batang leher lawan! Jelas, lelaki gagah
itu hendak memenggal batang leher Kalya Bantar.
Bettt!
Sebagai seorang tokoh sesat dan kepala rampok yang
banyak pengalaman, Kalya Bantar tentu mengetahui kalau
nyawanya tengah terancam maut. Tapi, lelaki bertubuh raksasa
itu sama sekali tidak kelihatan gugup. Dengan sebuah gerakan
indah, tubuhnya merendah disertai dengan uluran lengan kiri
menyambut tebasan pedang lawan. Dan....
Trangngng...!
"Aiiih...!"
Terdengar benturan nyaring yang diiringi pijaran bunga api!
Ki Mahinta sendiri berseru tertahan, tubuhnya terdorong
mundur akibat terbentur lengan kiri lawan. Namun, dengan
sebuah gerakan manis, lelaki gagah itu berjumpalitan guna
mematahkan daya dorong benturan itu, dan mendarat dengan
kedua kaki terlebih dahulu.
"Aaah..., mungkinkah raksasa gila itu memiliki ilmu 'Kebal'?"
desis Ki Mahinta sambil meringis merasakan lengannya yang
nyeri akibat benturan itu. Kenyataan itu membuat ia sadar
kalau tenaga dalam lawan masih dua tingkat berada di sebelah
atasnya.
Ki Mahinta yang merasa heran dengan kekebalan tubuh
lawan, menatap tajam penuh selidik ke arah lawan yang tengah
bertarung dengan Ki Bana Raga. Dan, lelaki gagah itu menarik
napas lega ketika melihat kilauan cahaya, yang berpendar dari
pergelangan tangan musuhnya.
"Pantas dia berani memapaki tebasan pedangku. Rupanya ia
mengenakan lempengan baja pada kedua pergelangan
tangannya. Hm..., benar-benar licik dan berbahaya sekali
raksasa gila itu," gumam Ki Mahinta yang kekhawatirannya
lenyap, begitu ia mengetahui apa yang membuat lawannya
berani memapaki tebasan senjatanya. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, lelaki gagah itu melesat membantu Ki Bana Raga
yang terlihat sudah sangat terdesak!
Namun, usaha yang dilakukan Ki Mahinta ternyata sedikit
terlambat! Sebelum ia tiba di arena pertempuran, terdengar
pekik kesakitan, yang disusul dengan terlemparnya tubuh Ki
Bana Raga dari arena pertempuran!
"Adi Bana Raga…!"
Ki Mahinta, si Pedang Bintang Timur, terpaksa menunda
serangannya. Cepat ia melesat menyambar tubuh kawannya,
agar tidak sampai terbanting ke tanah.
"Ughhh...!"
Ki Bana Raga terbatuk memuntahkan gumpalan darah segar
dari mulutnya. Melihat luka memanjang seperti terkena cakaran
harimau itu, Ki Mahinta sadar kalau jiwa rekannya tidak
mungkin dapat tertolong lagi. Karena luka memanjang itu
sangat dalam, dan melihat pembengkakan di sepanjang luka
itu, jelas kalau senjata yang digunakan Raja Ular Emas
mengandung racun!
Sedangkan Raja Ular Emas yang menggunakan cambuk
berduri dan mengandung racun itu, melecutkan senjatanya
berkali-kali di udara. Seolah-olah lelaki raksasa itu ingin
mengejek Ki Mahinta.
Lelaki gagah yang dalam dunia persilatan berjuluk Pedang
Bintang Timur itu memekik memanggil nama Ki Bana Raga,
ketika melihat kepala lelaki itu terkulai lemas. Jelas, Ki Bana
Raga telah menghembuskan napasnya yang terakhir di pelukan
Ki Mahinta.
"Keparat keji...!" desis Ki Mahinta dengan wajah berduka.
Hati lelaki gagah itu sangat terpukul dengan kematian kawan-
kawannya di depan mata kepalanya sendiri.
"Ha ha ha... jangan merengek seperti anak kecil, Pedang
Bintang Timur," ejek Kalya Bantar dengan suara sengaja
ditekan pada julukan Ki Mahinta. Sehingga, Ki Mahinta segera
membalikkan tubuh dan berdiri tegak menghadapi lelaki
raksasa itu.
"Licik kau, Raja Ular Emas! Kau sengaja mengoleskan racun
keji pada tubuh pecut berduri itu! Kau memang pantas untuk
menjadi penghuni neraka!" maki Ki Mahinta dengan wajah
merah. Tampak kalau kemarahan lelaki gagah itu terbangkit.
"Ha ha ha..., hati-hati, Pedang Bintang Timur. Kemarahanmu
justru akan membawamu ke neraka. Atau kau memang sudah
siap untuk melayat ke alam yang mengerikan itu?" kembali
Kalya Bantar melontarkan ejekan-ejekan yang memanaskan
hati lawannya.
Menyadari kemarahan akan merugikan dirinya, Ki Mahinta
berusaha bersikap tenang dengan menarik napas berulang-
ulang. Meskipun demikian, wajahnya tetap merah, menandakan
kemarahannya sulit dibendung.
"Haaat..!"
Karena tak mampu menekan kemarahan di hatinya, Ki
Mahinta langsung berteriak dan menerjang lawan. Senjata di
tangan orang tua itu kembali berputaran dengan kilatan-kilatan
cahaya, yang menyilaukan pandang mata lelaki bertubuh
raksasa itu.
Namun, Raja Ular Emas telah siap menghadapi gempuran
lawannya. Pecut berduri yang telah diolesi racun keji itu
meledak-ledak dan berputaran menebarkan hawa maut!
"Hiaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan pendek yang menggelegar, pecut
di tangan Raja Ular Emas meluncur cepat mengancam tubuh
lawannya yang tengah melayang di udara.
Jtarrr...! Jtarrr...!
Ledakan yang susul-menyusul dengan disertai pijaran bunga
api itu, memang benar-benar hebat. Karena mampu
mengacaukan pikiran lawan. Terbukti serangan Ki Mahinta
langsung kacau karena pengaruh ledakan cambuk dan pijaran
bunga-bunga api yang bertebaran di sekitar tubuhnya.
Kenyataan itu, mau tidak mau membuat lelaki tua itu merasa
kagum akan kemajuan ilmu silat Raja Ular Emas. Dan, ia pun
sadar kalau lelaki bertubuh raksasa itu bukan lagi
tandingannya.
"Heaaah...!"
Menyadari kepandaian lawan berada di atas, Ki Mahinta pun
makin memperhebat serangan-serangannya. Sehingga, bentuk
senjatanya lenyap berganti dengan gulungan sinar bagaikan
baling-baling raksasa!
Bettt! Wuuut!
"Hmh!"
Raja Ular Emas hanya memperdengarkan suara di hidung,
ketika ia melihat sabetan pedang lawan mengancam
lambungnya. Dengan merendahkan tubuh dan menggeser
langkah dua tindak ke kanan, lelaki bertubuh raksasa itu
menarik pulang cambuknya sehingga membentuk gulungan di
tangannya.
"Hiiih...!"
Begitu serangan lawan lewat Raja Ular Emas membentak
nyaring seiring dengan melesatnya cambuk berduri di
tangannya!
Rrrt... Brolll!
"Aaakh...!"
Ki Mahinta menjerit keras ketika tangannya yang memegang
pedang terkena babatan cambuk lawan, yang langsung ditarik
pulang oleh Kalya Bantar. Sehingga tangan Ki Mahinta sebatas
pergelangan, ikut terbawa oleh cambuk berduri lawannya!
Ki Mahinta terhuyung mundur dengan darah yang
menyembur deras dari pergelangan tangannya yang putus!
Wajah lelaki gagah itu menyeringai menahan rasa sakit yang
luar biasa pada lukanya. Karena luka itu tampak membengkak.
Jelas racun jahat pada senjata lawannya telah mulai bereaksi.
"Ha ha ha.... Aku tidak akan membunuhmu sekaligus,
Mahinta! Tapi, aku ingin agar kau merasakan cambuk berduri
ini pada sekujur tubuhmu!" ujar Raja Ular Emas tertawa
berkakakan melihat lawannya tengah sibuk menotok
pergelangan tangannya, untuk mencegah darah yang terus
mengalir dari lukanya.
"Biadab kau, Raja Ular Emas! Kalau mau bunuh, bunuhlah,
aku tidak takut mati!" teriak Ki Mahinta dengan suara lantang.
Lelaki gagah itu sadar betul, rengekan hanya akan membuat
lawan semakin gembira menyaksikan penderitaannya. Itulah
sebabnya, mengapa Ki Mahinta malah menantang Raja ULar
Emas dengan suara lantang.
"Ha ha ha.... Sudah tentu aku akan membunuhmu, Mahinta!"
ujar Raja Ular Emas. Lalu ia berpaling kepada para pengikutnya
dan berseru, "Anak-anak, kalian boleh saksikan pertunjukan
menarik ini...."
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah seruan nyaring, cambuk di tangan Raja
Ular Emas meluncur dengan disertai ledakan-ledakan yang
memekakkan telinga!
Ki Mahinta yang hanya tinggal menanti maut itu, menatap
tajam tanpa rasa takut sedikit pun. Dinantinya ujung cambuk
yang siap merobek tubuhnya itu dengan penuh ketabahan!
Prattt...!
Tepat pada saat yang sangat menegangkan bagi Ki Mahinta,
tiba-tiba melesat sesosok bayangan ramping, yang langsung
memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas!
"Aaah...?!"
Raja Ular Emas memekik tertanan, ketika merasakan
tangannya yang memegang cambuk bergetar, akibat tangkisan
yang dilakukan bayangan ramping itu. Dan, yang membuatnya
tak percaya, kuda-kuda lelaki bertubuh raksasa itu tergempur.
Sehingga, ia berdiri terpaku beberapa saat lamanya. Sedang
sepasang matanya terbelalak ketika ia melihat sosok tubuh
ramping berdiri di samping Ki Mahinta.
***
Sosok tubuh ramping berpakaian kuning cerah yang telah
menyelamatkan Ki Mahinta itu, menatap dengan kening
berkerut ke arah tangan lelaki gagah yang buntung itu.
"Aaah..., luka tanganmu mengandung racun, Paman...," ujar
sosok ramping itu agak terkejut. Menilik dari bentuk tubuh dan
suaranya yang merdu, jelas sosok yang menyelamatkan Ki
Mahinta itu adalah seorang wanita.
Prattt..!
Tepat pada saat Ki Mahinta tinggal menunggu maut, tiba-
tiba melesat sesosok bayangan ramping, yang lansung
memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas!
"Aaah...?" Raja Ular Emas memekik tertanan. Tangannya
yang memegang
cambuk terasa
bergetar!
"Aaah, ya... ya...,"
Ki Mahinta yang
belum hilang dari rasa
terkejutnya, hanya
bisa mengeluarkan
ucapan itu. Sepertinya
ia belum dapat
mempercayai,
seorang gadis muda
yang pantas menjadi
anaknya, ternyata
dapat memukul balik
senjata Raja Ular
Emas. Benar-benar
sukar untuk
dipercaya! Kalau saja Ki Mahinta hanya mendengar cerita,
mungkin orang yang bercerita itu akan ditertawakannya habis-
habisan.
"Mari kuobati, Paman...."
Tanpa menanti jawaban dari Ki Mahinta, gadis berpakaian
kuning cerah itu langsung mengeluarkan sejenis obat bubuk
berwama putih. Ditaburkannya obat itu pada luka di tangan Ki
Mahinta. Kemudian, dengan cermat gadis itu merobek lengan
baju lelaki gagah itu, setelah meminta maaf terlebih dahulu
sebelumnya.
Untuk kedua kalinya Ki Mahinta kembali dibuat kagum oleh
kesigapan gadis cantik itu. Sebentar saja, tangannya yang
terluka telah terbalut rapi, dan tidak lagi merasa nyeri.
"Terima kasih, Nisanak... Kau hebat dan mengagumkan
sekali," puji Ki Mahinta yang secara tidak langsung memuji
kecantikan gadis berpakaian kuning cerah itu.
"Mengapa Paman sampai berkelahi dengan raksasa itu...?"
tanya gadis itu tanpa mempedulikan tatapan penuh kagum dari
Ki Mahinta. Dan, ia tersenyum manis karena tatapan mata lelaki
tua itu begitu tulus, tanpa maksud-maksud tertentu.
"Mereka merampok barang yang harus kami antar. Selain
itu, mereka juga telah membantai semua kawan-kawanku.
Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak? Dan, mengapa Nisanak
menolongku?" ujar Ki Mahinta tanpa melepaskan pandang
matanya dari sosok di depannya. Sosok gadis cantik dan berani
yang telah menyelamatkan nyawanya dari kekejaman Raja Ular
Emas.
"Namaku Aryani. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman.
Begitu aku melihat wajah Paman yang tidak nampak seperti
orang jahat, maka aku langsung menolong Paman," sahut gadis
berpakaian kuning cerah yang mengaku bernama Aryani itu.
"Namamu indah sekali. Kau seperti seorang dewi, yang turun
dari langit untuk menyelamatkan diriku," desah Ki Mahinta
seraya mengalihkan pandangannya ke arah Raja Ular Emas.
Karena ia mendengar langkah kaki lelaki bertubuh raksasa itu
ke arah mereka. Tampak sorot matanya penuh dengan
ancaman.
Aryani yang juga mendengar langkah kepala rampok itu,
segera membalikkan tubuhnya dan menatap tajam. Sepertinya
gadis cantik itu tidak merasa gentar sama sekali terhadap Raja
Ular Emas. Sikapnya demikian tenang dengan wajah terulas
senyum tipis.
"Hati-hati, Aryani. Kepandaian raksasa gila itu hebat sekali.
Dia juga kejam, dan tak mengenal ampun," bisik Ki Mahinta
yang diam-diam merasa khawatir atas keselamatan gadis cantik
yang telah menolongnya itu.
"Terima kasih, Paman. Tapi, rasanya aku mampu
menghadapi raksasa jahat itu. Dia kelihatannya saja kuat dan
galak. Padahal, ia tidak lebih dari seorang raksasa tolol," ujar
Aryani dengan suara agak keras. Sepertinya ia memang
sengaja agar Raja Ular mendengar suaranya.
"Ha ha ha... Tak kusangka di hutan lebat ini aku bisa
berjumpa dengan seorang dewi. Hai, Nisanak. Aku akan
memaafkanmu bila kau bersedia untuk menjadi gundikku.
Bagaimana? Kau setuju tawaranku?" tanya Kalya Bantar yang
tidak menjadi marah ketika melihat kecantikan gadis yang telah
berani mencampuri urusannya itu. Bahkan sepasang matanya
yang besar itu, sudah bergerak liar menjelajahi sekujur tubuh
Aryani.
"Hm.... Ternyata kau bukan hanya tolol, Raksasa Jelek. Tapi
mulutmu juga harus dibersihkan. Dan, kalau kau tidak sempat
membersihkannya, biarlah aku yang akan membantumu. Agar
lain kali kau bisa menjaga perkataanmu itu," cetus Aryani yang
kedua pipinya menjadi merah mendengar ucapan yang jelas-
jelas telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang wardta.
Maka, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu sudah
melesat ke arah Raja Ular Emas.
Piakkk!
"Aaakh...!"
Kalya Bantar memekik kesakitan, ketika telapak tangan
mungil itu telah mendarat di pipi kirinya. Tanpa ampun lagi, pipi
raksasa itu langsung membengkak. Bahkan bibirnya pecah
akibat tamparan Aryani yang keras.
Bukan hanya Kalya Bantar yang tidak mengerti kalau ia bisa
kena tampar sedemikian mudah. Bahkan Ki Mahinta pun
sampai terbeliak matanya. Ia hampir tak mempercayai dengan
apa yang disaksikannya. Gerakan gadis cantik itu memang
sangat cepat, sehingga sulit ditangkap dengan mata biasa.
Melihat kenyataan itu, Ki Mahinta sadar kalau Aryani ternyata
bukan seorang pendekar wanita biasa. Mungkin kepandaian
gadis cantik itu jauh berada di atas tingkat kepandaiannya.
"Bangsat! Perempuan sundal...!"
Kalya Bantar memaki kalang kabut, sambil menyusut cairan
merah yang membasahi jenggotnya. Raksasa yang sombong itu
ternyata tidak menyadari kehebatan Aryani. Ia mengira hal itu
terjadi hanya karena ia tidak siap.
"Eh, kenapa kau, Raksasa Tolol? Mengapa marah-marah
seperti seorang kakek kebakaran jenggot? Seharusnya kau
berterima kasih karena aku telah membantu membersihkan
mulutmu," ujar Aryani sambil bertolak pinggang dan
melontarkan senyum mengejek.
"Setan...! Kau akan rasakan akibat kekurangajaranmu, Gadis
Busuk!" geram Raja Ular Emas sambil memutar cambuknya
dengan sekuat tenaga.
Wuuuk! Wuuuk!
Angin keras menderu-deru mengiringi putaran cambuk
berduri kepala rampok itu. Melihat dari tatapan matanya yang
bengis, jelas bahwa ia benar-benar telah murka!
"Heaaah...!"
Berbarengan dengan suara bentakan menggelegar, cambuk
di tangan Raja Ular Emas meledak-ledak keras memekakkan
telinga. Kemudian meluncur deras mengancam tubuh ramping
Aryani. Andai saja tubuh ramping itu terkena, dapat dipastikan
tubuh molek itu akan rusak dan tak berujud lagi.
Ki Mahinta sendiri sudah bersiap ingin melindungi gadis
cantik itu. Sepertinya lelaki gagah itu belum yakin akan
kemampuan Aryani. Karena penampilan Raja Ular Emas benar-
benar menyeramkan. Sehingga, ia sendiri tidak tega
membiarkan gadis itu menghadapi maut.
"Tenanglah, Paman. Percayalah, raksasa itu pasti akan
menjadi jinak sebentar lagi," ucap Aryani sambil
mengembangkan tangan kanannya mencegah Ki Mahinta.
Kemudian, lelaki tua itu bergerak mundur ketika Aryani
memintanya.
Jtarrr...! Jtarrr...!"
Tanah di tempat Aryani berpijak meledak hingga membentuk
beberapa buah lubang. Untunglah gadis cantik itu telah melesat
menghindarinya. Sehingga, tanah di tempatnya berpijak itulah
yang menjadi sasaran.
Ki Mahinta meleletkan lidahnya melihat akibat yang
ditimbulkan lecutan cambuk Kalya Bantar. Kenyataan itu,
menyadarkan Ki Mahinta kalau Raja Ular Emas belum
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ketika ia bertempur
dengan kepala perampok itu. Kalau gadis itu tidak
menolongnya, mungkin ia sudah menjadi mayat.
Tapi, gadis cantik itu sama sekali tidak merasa gentar,
melihat akibat lecutan cambuk lawannya. Bahkan ia malah
mengejek dengan kata-kata yang memanaskan telinga. Karuan
saja kemarahan Raja Ular Emas makin menggelegak!
"Hik hik hik...! Hanya segitukah kehebatan cambuk
mautmu?" ejek Aryani sambil berloncatan menghindari ujung
cambuk yang meledak-ledak mengancamnya. Permainan
cambuk yang mengerikan dari Raja Ular Emas itu, tidak lebih
dari permainan anak-anak bagi Aryani.
EMPAT
Pertarungan antara Aryani dan Raja Ular Emas, masih
berlangsung dengan sengit. Meskipun serangan cambuk Kalya
Bantar sangat gencar menghujani tubuh gadis itu, namun
sampai sepuluh jurus, belum sekali pun ujung cambuk itu
menyentuh tubuh Aryani. Sehingga, Kalya Bantar semakin
penasaran dibuatnya.
"Waktu untukmu menyerang sudah cukup, Raksasa Tengik!
Sekarang aku akan mulai membalas. Bersiap-siapiah...," ujar
Aryani yang segera menghindari lecutan cambuk ke arah
dadanya. Kemudian ia berjumpalitan beberapa kali, sebelum
kakinya mendarat sejauh satu setengah tombak dari tempatnya
semula.
"Kuntilanak, mau lari ke mana kau...?"
Kalya Bantar yang mengIra lawannya hendak meLarikan diri,
segera mengejar dengan lecutan cambuknya yang meledak-
ledak memercikkan bunga-bunga api. Sepertinya Raja Ular
Emas memang berniat menghabisi lawannya.
Tapi kali ini Aryani tidak hanya sekadar mengelak. Dengan
sepasang telapak tangan terbuka, gadis cantik itu mulai
membalas serangan-serangan cambuk lawannya. Sambaran-
sambaran angin berbau wangi mulai menebar, mengiringi
setiap lontaran telapak tangan gadis cantik itu. Bahkan setap
kali ujung cambuk dipapaki dengan pukulan telapak tangannya,
selalu saja membalik, membuat Raja Ular Emas terkejut bukan
kepalang.
"Heaaah...!"
Rasa penasaran dan kemarahan, membuat Raja Ular Emas
menjadi kalap! Sambil menggereng seperti harimau luka,
diputarnya cambuk berduri itu dengan seluruh kekuatan yang
ada! Akibatnya tentu saja hebat! Sehingga, Aryani sendiri
sempat mengagumi kepandaian kepala rampok bertubuh
raksasa itu.
Setelah pertarungan menginjak jurus keempat puluh, Aryani
mulai mendesak lawan dengan lontaran tendangan dan
tamparan-tamparan maut! Kecepatan dan kekuatan yang
ditunjukkan gadis cantik itu, benar-benar mengejutkan sekali!
Sehingga, dalam waktu singkat. Raja Ular Emas dibuat tak
berkutik oleh serangan-serangan gadis itu.
"Haiiit...!"
Tepat saat pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua,
Aryani memekik nyaring disertai lesatan tubuhnya yang benar-
benar menggiriskan! Berbarengan dengan itu, telapak tangan
kanannya meluncur ke depan diiringi wewangian yang
menebar. Bahkan, dari telapak tangan gadis cantik itu terlihat
warna kemerahan yang samar!
Desss...!
"Aaakh...!"
Raja Ular Emas memekik ngeri ketika pukulan berbau harum
yang memabukkan itu menghajar telak dadanya! Karuan saja
tubuh raksasa itu terjungkal, dan jatuh berdebum di atas tanah!
"Huaaakh...!" gumpalan darah segar muncrat dari mulut
Kalya Bantar. Melihat dari warna darahnya yang agak
kehitaman, Kalya Bantar sadar kalau ia telah mengalami luka
dalam yang mengandung racun.
Raja Ular Emas berusaha bangkit meski dengan susah
payah. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika melihat rompi kulit
ular yang dikenakannya, tampak robek di bagian dada.
Sedangkan dada yang terkena pukulan gadis cantik itu,
terdapat tanda telapak tangan berwarna kemerahan.
"Ilmu Pukulan Mawar Beracun?!" desis Kalya Bantar dengan
wajah pucat! Jelas ia telah cukup mengenal ilmu pukulan yang
dipergunakan lawan.
Aryani tersenyum tipis melihat kekagetan Raja Ular Emas.
Dengan tenang, ia mengayunkan langkah menghampiri kepala
rampok bertubuh raksasa itu, yang masih terduduk dengan
napas tersengal-sengal.
"Kau... apa hubunganmu dengan Raja Racun Merah yang
menjadi datuk sesat di wilayah Selatan ini...?" tanya Raja Ular
Emas dengan wajah pucat. Menilik dari cara ia mengucapkan
nama datuk sesat itu, jelas hati Kalya Bantar dicekam rasa
takut.
Ki Mahinta sendiri terperangah ketika mendengar disebutnya
nama datuk sesat yang menggiriskan itu. Meskipun dalam
beberapa bulan terakhir ini, nama datuk sesat itu tidak lagi
terdengar, namun setiap nama itu disebut orang, pengaruhnya
tetap terasa bagi mereka yang berkecimpung di dalam dunia
persilatan. Diam-diam lelaki gagah itu menatap penuh selidik
dan mulai menduga-duga, siapa sesungguhnya gadis cantik
yang sangat sakti itu.
"Dia adalah ayahku. Mengapa? Apakah kau ingin bertemu
dengannya?" Aryani yang sudah dapat menerka ketakutan di
wajah lelaki bertubuh raksasa itu, sengaja menakut-nakuti
lawannya. Sepertinya gadis lincah itu ingin melihat sikap Raja
Ular Emas kalau dikatakan ayahnya berada di sekitar tempat
mereka bertarung.
"Kau, putri Raja Racun Merah...?! Dan..., ayahmu juga
datang bersamamu..?" desis Raja Ular Emas dengan wajah
semakin pucat. Bahkan ia mengedarkan pandangannya ke
sekeliling hutan itu dengan sepasang mata mendelik. Jelas,
kalau ia sangat ketakutan!
Rasa takut yang menyelubungi hati Kalya Bantar tidaklah
aneh. Karena datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah itu
memang terkenal sangat kejam dalam mengambil tindakan.
Kalau sampai seorang kepala rampok yang kejam seperti Raja
Ular Emas sudah sedemikian takutnya, dapat dibayangkan
betapa kejamnya Raja Racun Merah itu.
"Ya, ayah datang bersamaku. Apakah kau mau
kupanggilkan?" goda Aryani lagi dengan wajah sungguh-
sungguh.
"Ah, tidak... tidak...," sambil berkata demikian, Kalya Bantar
mengisyaratkan kedua orang pembantunya untuk menghampiri.
Lalu, dengan dipapah kedua orang lelaki kekar itu, Raja Ular
Emas bergegas meninggalkan tempat itu, dengan disertai
seluruh anggotanya.
"Hik hik hik...! Dasar raksasa penakut..." ejek Aryani tertawa
terpingkal-pingkal melihat raksasa itu bergegas lari
meninggalkan tempat itu dengan wajah ketakutan.
Ki Mahinta menatapi kepergian Gerombolan Perampok Ular
Emas dengan tarikan napas lega. Meskipun ia harus kehilangan
para anggotanya, namun lelaki tua itu merasa bersyukur.
Karena barang kawalannya telah selamat. Barang itulah yang
lebih penting bagi kelompoknya. Sedangkan kematian kawan-
kawannya memang sudah menjadi risiko bagi pekerjaan
mereka.
***
"Aryani, benarkah kau putri datuk sesat yang berjuluk Raja
Racun Merah...?" tanya Ki Mahinta setelah mereka selesai
menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di tempat itu.
"Benar, Paman. Apakah Paman juga membenci ayahku...?"
Aryani balik bertanya dengan sepasang mata menghunjam
tepat di kedua bola mata Ki Mahinta. Jelas sekali gadis cantik
itu ingin mengetahui perasaan hati lelaki gagah itu terhadap
ayahnya.
"Hm..., secara pribadi, aku memang tidak membencinya.
Tapi, kebanyakan dari kaum rimba persilatan golongan putih,
sudah pasti mengecam apa yang pernah diperbuat Raja Racun
Merah selama ini. Maaf, kalau kukatakan secara terus-terang
bahwa ayahmu adalah seorang datuk yang kejam dan banyak
menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang tak terhitung,"
desah Ki Mahinta sambil mengalihkan pandangan matanya ke
arah lain. Biar bagaimanapun, hati lelaki tua itu merasa tidak
enak terhadap Aryani yang telah mati-matian menyelamatkan
dirinya dan nama kelompok pengawal barang Harimau
Terbang.
Ki Mahinta sadar kalau tanpa pertolongan gadis cantik, putri
datuk sesat itu, bukan hanya dirinya saja yang tewas. Bahkan
kelompok pengawal barang Harimau Terbang mungkin akan
hancur dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari para
pelanggannya.
"Aku sadar dengan kejahatan yang pernah dilakukan ayah
pada waktu yang lalu. Tapi, apakah Paman percaya kalau
sekarang ini ayahku telah mengundurkan diri, dan tidak pernah
melakukan kejahatan lagi?" ujar Aryani meminta pendapat Ki
Mahinta.
"Ah, jadi lenyapnya Raja Racun Merah tanpa kabar selama
beberapa bulan terakhir ini, karena beliau sudah membersihkan
diri?" Ki Mahinta sempat kaget mendengar penjelasan Aryani.
Kalau saja orang lain yang mengatakannya, mungkin ia tidak
mempercayai sepenuhnya. Tapi, gadis cantik yang jelas-jelas
membelanya mati-matian, dan juga melihat dari sikap serta
tutur katanya, mau tidak mau Ki Mahinta mempercayainya.
Hanya saja ia agak terkejut dengan berita itu.
"Benar, Pedang Bintang Timur," tiba-tiba terdengar sebuah
suara berat yang mengejutkan. Bersamaan dengan itu,
munculah seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih yang
bertubuh kurus dan mengenakan jubah berwarna merah darah.
"Ayah...!" Aryani yang semula hanya berbohong ketika
mengejek Raja Ular Emas terkejut melihat kehadiran lelaki tua
yang tidak lain dari ayahnya. Serentak gadis cantik itu
menghambur menyambut kedatangan ayahnya.
"Aryani...," desah lelaki tua itu sambil memeluk tubuh
putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Mengapa Ayan berada di tempat ini...?" tanya gadis cantik
itu bernada tak senang.
"Maaf, kalau aku terpaksa membuntuti perjalananmu selama
ini, Anakku. Apakah aku tidak boleh mengkhawatirkan
keselamatan putri yang satu-satunya?" bantah kakek itu
tersenyum sambil menatap sepasang mata bening yang
menentang pandang matanya.
"Ah, Ayah...," desah gadis cantik itu manja. Dalam saat
seperti itu kelihatan sekali, betapa tidak berbedanya kedua
tokoh sesat itu dengan manusia-manusia lain. Tidak nampak
sedikit pun sinar kejahatan pada wajah keduanya.
Cukup lama seorang ayah dan anaknya itu melupakan
kehadiran Ki Mahinta yang terpaku seperti patung. Sekilas ada
kecurigaan dalam hatinya, ketika melihat kehadiran Raja Racun
Merah. Batinnya mulai menduga kalau semua perbuatan Aryani
tadi, hanyalah sebuah sandiwara belaka. Dan, munculnya datuk
sesat yang sangat kejam itu, tentu ada hubungannya dengan
kereta barang yang dibawanya.
Dugaan yang membuat Ki Mahinta was-was itu, demikian
kuat mencengkeram. Sehingga, ia tidak menyadari ketika dua
pasang mata ayah dan anaknya itu telah menatapnya.
"Paman Mahinta. Kau kenapa...?" tanya Aryani yang baru
teringat akan keberadaan orang tua itu.
Bergegas gadis cantik itu menghampiri bersama ayahnya.
"Eh...!" Ki Mahinta tersentak sadar dari lamunannya.
Wajahnya terlihat berubah tegang ketika Raja Racun Merah dan
Aryani datang menghampiri.
"Mengapa, Paman...?" tanya Aryani yang tidak mengerti
kenapa wajah Ki Mahinta tampak tegang. Tanpa curiga sedikit
pun gadis itu mengulur tangannya bermaksud menyentuh bahu
orang tua itu.
Tapi, apa yang dilakukan Ki Mahinta benar-benar membuat
hati Aryani terkejut. Lelaki tua itu melompat menghindarkan
diri. Seolah-olah uluran tangan gadis itu hendak mencekik
lehernya.
"Paman, kau kenapa...?" rasa penasaran membuat Aryani
memekik, karena ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ki
Mahinta berbuat demikian aneh.
"Eh, aku... ah, tidak apa-apa...," sahut Ki Mahinta berusaha
bersikap wajar. Sayang, ketegangan masih terlihat jelas pada
raut wajahnya.
"Hm...," Raja Racun Merah bergumam lirih. Sebagai orang
tua, dan tokoh sesat yang berpengalaman, ia segera dapat
membaca apa yang tengah terjadi dengan Ki Mahinta. Sekilas
terlintas sinar penyesalan di mata orang tua itu.
"Ayah, kenapa dia...?" Aryani yang mendengar gumaman
ayahnya, membalikkan tubuh dan bertanya kepada ayahnya.
Sinar matanya yang bening menuntut jawaban jujur.
"Hhh..., Mahinta tidak bisa disalahkan, Anakku. Wajar kalau
ia merasa curiga kepada kita. Ingat, kita adalah orang-orang
sesat yang selalu berbuat kejahatan. Dia curiga, kehadiranku
dan pertolonganmu tadi mempunyai hubungan, dan bukan
kejadian yang kebetulan," ujar Raja Racun Merah dengan nada
penuh penyesalan.
"Apa..., Paman Mahinta mencurigai kita? Mengapa? Apakah
dia mengira kita akan merampok kereta barangnya? Kurang
ajar...!" dari rasa penasaran dan tak mengerti, Aryani berubah
menjadi marah. Sepertinya gadis cantik itu tidak bisa menerima
tuduhan Ki Mahinta.
''Aryani, sudahlah...," Raja Racun Merah mencegah putrinya
yang hendak menerjang Ki Mahinta. Dicekalnya pergelangan
gadis cantik yang tengah murka itu.
''Paman, kau tega menuduh kami sekeji itu? Lalu, apa artinya
aku menyelamatkanmu? Kau benar-benar tidak tahu budi!"
Aryani berteriak-teriak marah dan menuding-nuding Ki Mahinta
yang terlihat menundukkan kepalanya seperti orang yang
merasa bersalah.
"Maafkan aku..., aku..., telah bersalah mempunyai dugaan
yang kotor terhadap niat baikmu, Aryani. Aku..., menyesal..."
ujar Ki Mahinta terpatah-patah agak serak.
"Kau sama sekali tidak bersalah, Mahinta. Aku dan anakku
memang patut untuk dicurigai. Kami berdua memang pernah
bersalah. Terlebih aku. Karena sebelumnya aku memang
seorang manusia kotor yang sangat kejam. Tapi, apakah salah
kalau aku berniat meninggalkan dunia sesat itu? Atau, salahkah
seorang putri datuk sesat tidak mengikuti jejak ayahnya?"
terdengar suara parau Raja Racun Merah. Sepertinya orang tua
itu pun merasa kecewa dengan sikap Ki Mahinta yang
mencurigai mereka.
"Maafkan aku, Raja Racun, Aryani. Aku..., menyesal sekali.
Kalau saja kalian meminta nyawaku sebagai tanda penyesalan
atas sikapku, aku siap," tegas Ki Mahinta yang sepertinya
benar-benar sangat menyesal atas sikapnya, yang membuat
ayah dan anaknya itu merasa terpukul.
Mendengar ucapan itu, Aryani yang tengah memeluk
ayahnya, segera membalikkan tubuh, dan menatap orang tua
itu penuh selidik. Sepasang mata indahnya sempat terbelalak
melihat betapa di tangan kiri Ki Mahinta sudah tergenggam
pedang telanjang. Bahkan mata pedang itu sudah ditempelkan
di lehernya.
"Aku tidak akan meminta nyawamu, Paman Mahinta. Kalau
kau memang benar-benar telah menyesali tuduhanmu itu,
rasanya sudah cukup. Bantulah ayah untuk kembali ke jalan
yang benar, Paman," pinta gadis cantik itu sambil menatap Ki
Mahinta penuh harap.
"Ah, aku benar-benar telah berdosa sekali...," desah Ki
Mahinta lagi, "Sikapmu telah menunjukkan bahwa kau tidak
kalah dengan gadis-gadis pendekar, Aryani. Bahkan tidak
sedikit orang-orang golongan putih yang bersikap sombong dan
mau menang sendiri. Sekali lagi, aku mohon maaf atas sikapku
yang telah menyakiti hati kalian berdua."
"Terima kasih, Paman. Aku percaya dengan semua
ucapanmu itu," ujar Aryani dengan wajah yang kembali berseri.
Kemudian, ia berpaling kepada ayahnya, "Ayah harap kembali
saja, dan tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kelak kalau aku
sudah puas melihat-lihat dunia yang luas ini, aku akan segera
kembali percayalah."
"Hm..., kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah. Dan,
kalau boleh Ayah tahu, ke manakah tujuanmu sekarang?" tanya
Raja Racun Merah membelai rambut putri satu-satunya yang
telah membuatnya sadar akan kehidupannya yang sesat selama
ini.
"Entahlah, Ayah. Aku belum bisa memastikannya. Tapi, aku
akan ikut bersama Paman Mahinta untuk mengantarkan barang
yang ada di dalam kereta itu," jawab Aryani yang segera
mengambil keputusan untuk mengikuti Ki Mahinta
mengantarkan barang kawalannya.
"Hm..., kau bersedia kalau putriku ikut bersamamu,
Mahinta?" tanya Raja Racun Merah sambil menatap Ki Mahinta.
"Bukan hanya bersedia, Raja Racun. Aku merasa sangat
bahagia sekali dapat berjalan bersama putrimu, yang gagah
dan cantik itu," sahut Ki Mahinta sambil membungkuk hormat
kepada tokoh sesat yang telah sadar itu.
"Baiklah. Kutunggu kau di pertapaanku, Aryani...," belum lagi
gema suara Raja Racun Merah itu lenyap, tubuh orang tua itu
telah menghilang dari hadapan Aryani dan Ki Mahinta.
"Baik, Ayah...!" Aryani berseru menjawab perkataan
ayahnya.
Ki Mahinta menggeleng-geleng kepala menyaksikan
kesaktian Raja Racun Merah yang sukar diukur itu.
Pertemuannya dengan ayah beranak itu, membuat Ki Mahinta
merasa kepandaiannya sama sekali tidak berarti apa-apa.
Jangankan dengan Raja Racun Merah. Dengan putrinya pun ia
kalah jauh.
"Hhh..., demikian banyaknya orang sakti di dunia ini...,"
desah Ki Mahinta menghela napas panjang.
"Ayolah kita berangkat Paman," Aryani menyadarkan Ki
Mahinta dari lamunannya. Tanpa banyak cakap lagi, orang tua
itu segera melompat ke atas kereta, kemudian disusul oleh
Aryani.
"Heaaah...!" Aryani yang meminta untuk menjadi kusir
kereta itu berteriak dan melecutkan cambuk di tangannya.
Kereta pun mulai bergerak meninggalkan hutan.
LIMA
Gadis cantik itu melangkah ringan menyusuri jalan lebar di
Kota Kadipaten Jaga Karta. Rambutnya yang panjang dengan
ikat kepala berwarna kuning cerah, bergoyang mengikuti
ayunan langkah kakinya. Pakaian yang berwana kuning cerah,
sangat serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat.
Sehingga, wajah cantiknya tampak semakin memikat.
Sesekali gadis itu menolehkan kepala ke kiri dan kanan
dengan senyum selalu menghias di wajahnya. Kelihatan sekali
kalau gadis cantik, yang tidak lain dari Aryani itu, sangat
menikmati suasana ramai di sekitarnya. Beberapa orang lelaki
muda yang tengah duduk di depan kedai makan, melontarkan
kata-kata godaan, ketika Aryani lewat di depannya. Namun,
gadis cantik itu sama sekali tidak peduli. Ia terus melangkahkan
kakinya.
Setelah mengantarkan Ki Mahinta ke kadipatenan itu, Aryani
memaksa untuk berpisah. Keikutsertaannya mengantarkan
lelaki setengah baya itu, memang hanya untuk menjaga agar
barang yang dibawa Ki Mahinta sampai di tempat tujuan.
Sesudah tugas itu selesai, Aryani pun pamit. Karena ia hendak
melanjutkan perantauannya seorang diri. Sehingga, meskipun
dengan berat hati, Ki Mahinta terpaksa melepaskan kepergian
gadis cantik yang telah menolongnya.
Ketika Aryani melewati sebuah kedai makan yang cukup
besar dan tampak ramai, timbul selera gadis cantik itu untuk
singgah dan menikmati hidangan. Ia pun mengayunkan
langkah memasuki kedai makan.
"Silakan, Nisanak..."
Seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun dan
berwajah ramah, menyambut kedatangan Aryani. Wajah
pelayan itu sempat berubah ketika melihat sebilah pedang yang
tergantung di pinggang kiri gadis cantik itu. Sekilas pandang
pelayan itu pun sadar, kalau gadis cantik itu bukanlah gadis
lemah.
Aryani duduk di sebuah meja kosong sambil menunggu
hidangan yang telah dipesan. Sepasang matanya yang bening
dan riang itu beredar di sekeliling ruangan yang ramai oleh
pengunjung.
Tengah ia menikmati keadaan di sekelilingnya, tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kedai. Kening
gadis cantik itu agak berkerut, ketika ia melihat empat orang
lelaki muda tampak memasuki kedai. Lagak mereka terlihat
angkuh. Sehingga, hati Aryani langsung tidak menyukainya.
"Silakan..., silakan, Tuan Muda...." Sepasang mata Aryani
menyipit ketika mendengar pelayan yang tadi menyambutnya
membungkuk-bungkuk hormat, menyebut salah seorang dari
mereka sebagai 'tuan muda'. Merasa penasaran, ditatapinya
wajah empat pemuda itu satu persatu. Sepertinya ia ingin
mengetahui, siapa gerangan yang disebut pelayan itu sebagai
'tuan muda'.
Pada saat yang sama, secara kebetulan salah seorang dari
empat pemuda itu tengah melepaskan pandang ke arah Aryani.
Sehingga, tanpa sengaja mata keduanya pun bertemu.
"Hm..., diakah yang disebut sebagai Tuan Muda...?" gumam
Aryani menatap tajam pemuda bertubuh jangkung yang
wajahnya tampak bersih, namun tersirat sinar keangkuhan
pada sepasang mata dan wajah itu. Cepat gadis itu
mengalihkan matanya, ketika pemuda jangkung itu tidak juga
berpaling.
Senyum di bibir Aryani terkembang, ketika seorang pelayan
datang membawakan pesanannya. Sambil meletakkan
hidangan, pelayan yang usianya sekitar lima puluh tahun itu
berbisik lirih.
"Nisanak, harap hati-hati. Salah seorang dari mereka yang
bertubuh jangkung itu, putra ketua perguruan yang disegani di
Kadipaten Jaga Karta ini. Kalau dia menggoda, harap jangan
diladeni."
"Mengapa, Paman...," Aryani bertanya lirih, sambil berpura-
pura sibuk ikut mengatur hidangan. Sekali lihat saja, gadis yang
cerdik itu menangkap nada ketakutan dalam ucapan pelayan
setengah baya itu. Maka, ia pun bertanya sambil berbisik.
"Lelaki jangkung itu, bermata keranjang. Harap Nisanak
berhati-hati...," pesan pelayan itu sambil cepat-cepat berlalu.
Dengan ekor matanya, ia melihat rombongan pemuda itu
tengah menuju ke arahnya.
Tanpa banyak tanya lagi, Aryani segera menikmati hidangan
yang telah dipesannya. Ia sama sekali tidak ambil peduli, ketika
mendengar langkah langkah kaki berhenti di depannya.
"Aaah, untunglah masih ada tempat yang kosong. Kebetulan
ada seorang bidadari di kedai ini. Benar-benar peruntunganmu
baik sekali, Tuan Muda...," terdengar salah seorang yang
bersuara seperti perempuan mengoceh.
Lelaki muda yang bertubuh jangkung itu tersenyum, seraya
sepasang matanya mengamati tubuh Aryani. Sambil menarik
sebuah kursi, ia langsung duduk di hadapan putri datuk sesat
itu. Ketiga kawannya yang lain serentak mengikuti.
"Boleh aku duduk di sini, Nisanak...?" tanya pemuda
jangkung itu dengan lagak yang dibuat-buat
Aryani mengangkat kepalanya sejenak. Hatinya ingin
memaki, karena ucapan pemuda jangkung itu jelas-jelas
bermaksud menggodanya. Kalau tidak, mengapa setelah duduk
baru meminta persetujuannya. Batin gadis cantik itu mengomel
panjang pendek.
"Silakan, kalian bebas duduk di mana saja. Kedai ini bukan
milikku," sahut Aryani ketus. Kemudian, ia kembali menunduk
dan menikmati hidangannya. Meski selera makannya sudah
lenyap dengan kehadiran empat orang pemuda itu, tapi ia
berusaha tidak mendamprat mereka di kedai itu.
"Wah, matanya galak sekali... tapi, indah, dan
menggemaskan...," celetuk pemuda berwajah bulat yang duduk
di sebelah kanan Aryani. Terdengar gelak tawa mereka ketika
mendengar ucapan itu.
"Hai, sayang kedai sebesar dan sebagus ini banyak
dikerumuni lalat. Benar-benar menyebalkan...," ujar Aryani
sambil bangkit, setelah meninggalkan uang sebagai
pembayaran hidangan yang disantapnya.
"Kurang ajar...! Berhenti kau, Perempuan Sombong! Kau
benar-benar kelewatan menyebut kami sebagai lalat-lalat
menyebalkan! Kau harus minta maaf kepada Tuan Muda
kami...!" pemuda berwajah bulat yang merasa tersinggung
dengan umpatan Aryani, bergerak bangkit dan menangkap
pergelangan gadis cantik yang hendak berlalu itu.
Meskipun hatinya sudah kesal karena mereka telah
mengganggu selera makannya, namun Aryani tetap mencoba
bersabar. Seperti tak disengaja, tangan kanannya yang akan
dicekal pemuda itu bergerak ke depan, bersamaan dengan
berbaliknya tubuh gadis cantik itu.
"Hei, siapa yang mengatakan kalau kalian adalah lalat? Apa
aku berkata begitu? Aku hanya tidak suka melihat kedai ini
dikerumuni lalat. Nah, apakah kalian berempat ini binatang
yang bernama lalat?" tukas Aryani tak mau kalah. Sehingga,
pemuda bertubuh gemuk yang wajahnya bulat itu terdiam
dengan wajah ketololan. Kemudian mengharapkan bantuan
kawan-kawannya.
Senyum sinis di bibir Aryani terkembang, ketika melihat
pemuda berwajah bulat itu tak bisa menjawab kata-katanya.
Dengan tenang ia kembali melangkah keluar kedai. Ia sama
sekali tidak peduli dengan teriakan-teriakan pemuda itu yang
berusaha mencegah kepergiannya.
"Hei, berhenti kau, Perempuan Sombong...!" tiba-tiba
terdengar hardikan, yang kemudian disusul dengan
berkelebatannya sosok-sosok tubuh menghadang jalan gadis
itu. Dan, tahu-tahu keempat orang pemuda itu telah berdiri di
depan Aryani.
"Apa mau kalian sebenarnya...?" ujar gadis cantik itu sambil
memandang tajam wajah yang menghadangnya, karena saat
itu sudah berdiri di luar kedai, maka Aryani pun berniat untuk
memberi pelajaran kepada orang-orang itu.
"Setelah menghina kami, apakah kau kira dapat pergi begitu
saja? Kau harus dihukum, sebelum meninggalkan tempat ini!"
ujar salah seorang dari mereka sambil menudingkan
telunjuknya ke wajah gadis cantik itu.
"Katakan, apa hukuman itu...?" pinta Aryani sambil menatap
tajam lelaki berwajah bulat yang sepertinya sangat mendendam
kepada gadis cantik itu.
"He he he... tidak sulit. Kau harus mencium kami berempat.
Setelah itu, baru kau boleh pergi dengan bebas," sahut yang
lainnya cepat sambil terkekeh menyebalkan
Mendengar ucapan kurang ajar itu, wajah Aryani berubah
merah. Tapi, dengan pandainya gadis cantik itu segera dapat
menguasai kemarahannya. Lalu, ia melangkah ke arah lelaki
yang mengajukan permintaan 'hukuman' itu dengan bibir
tersenyum manis.
"Baik. Tapi dengan satu syarat, kalian semua harus
memejamkan mata rapat-rapat, bagaimana?" ujar Aryani
dengan nada wajar. Sehingga, keempat pemuda itu sama sekali
tidak merasa curiga.
Jawaban yang sama sekali tidak disangka-sangka itu,
membuat mereka terkekeh kegirangan. Sambil membayangkan
nikmatnya sentuhan bibir gadis cantik itu, keempatnya segera
memejamkan mata rapat-rapat.
"Hm..., kalian harus berdiri berjajar. Jadi, aku langsung bisa
menyelesaikan hukuman itu secepatnya," kembali terdengar
suara Aryani yang membuat keempat pemuda itu segera
menuruti ucapannya.
"Rasakanlah kenikmatan ini...," desis Aryani sambil
menggerakkan tangannya empat kali berturut-turut.
Plak! Plak! Plak...!
Keempat orang lelaki itu berteriak kesakitan! Tubuh mereka
langsung terpelanting akibat kerasnya tamparan gadis cantik
itu. Bahkan dua orang di antaranya sampai copot giginya!
"Bangsat...!"
Lelaki jangkung yang disebut sebagai 'tuan muda' itu,
memaki kalang kabut. Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung
melompat menerjang Aryani. Nafsu bejadnya lenyap berganti
dengan sakit hati yang bergolak di dalam dadanya. Sehingga,
serangannya pun tidak bisa dipandang ringan.
Bettt! Bettt!
Serangakaian pukulan dan tendangan dilontarkan pemuda
jangkung itu, dapat dielakkan secara mudah oleh Aryani.
Sebagai putri seorang datuk sesat, tentu saja serangan-
serangan itu tidak berarti sama sekali baginya. Bahkan dengan
gesitnya ia langsung membalas serangan-serangan yang tidak
kalah berbahaya.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang kedua puluh, Aryani berseru nyaring
sambil melontarkan sebuah pukulan ke dada lawan. Kecepatan
geraknya yang memang jauh di atas lawan, membuat pukulan
itu mendarat telak pada sasarannya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terjungkal, dan
terbanting jatuh ke tanah. Darah segar tampak meleleh di
sudut bibirnya. Melihat seringai di wajahnya, jelas pukulan
gadis itu cukup mendatangkan rasa sakit pada bagian dalam
dada Tuan Muda itu.
"Bunuh gadis itu...!" merasa dipermalukan di depan orang
banyak, pemuda jangkung itu langsung memerintahkan ketiga
kawannya untuk membinasakan Aryani. Sedangkan ia sendiri
sudah mencabut senjata dan langsung mengeroyok gadis cantik
itu, tanpa malu-malu lagi.
Di tengah pertarungan yang berlangsung sengit tiba-tiba
melayang sesosok tubuh tegap ke tengah arena. Sekali
bergerak, tangan dan kakinya langsung merobohkan tiga orang
pengeroyok gadis cantik itu.
"Cepat tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, kau akan
mendapat kesulitan besar...!" bisik sosok yang ternyata adalah
seorang pemuda tampan. Sambil berkata, tangan pemuda itu
bergerak mencekal pergelangan tangan Aryani. Dan, langsung
melesat meninggalkan tempat itu.
Aryani yang sebelumnya mau memberontak, terpaksa
menunda niatnya. Meski di kepalanya dipenuhi tanda tanya,
namun gadis cantik itu diam saja ketika pemuda itu terus
berlari keluar batas kadipaten. Tidak ada sedikit pun bantahan
dari Aryani, karena gadis itu merasa penasaran, dan ingin
mengetahui apa sebenarnya maksud pemuda itu menolongnya.
***
Pemuda bertubuh tegap itu baru memperlambat larinya,
ketika keduanya telah jauh meninggalkan kadipaten. Kemudian,
ia menghentikan langkahnya. Seperti tidak sadar kalau
jemarinya masih mencekal pergelangan tangan Aryani, pemuda
itu enak saja menyandarkan tubuhnya pada sebuah batu besar
di tepi jalan.
"Hm..., sekarang kau harus menjelaskan kepadaku, mengapa
kau membawaku lari, dan mengapa kau begitu suka memegang
tanganku?" tanya Aryani sambil menatap wajah pemuda itu
lekat-lekat. Gadis cantik itu sejenak terpaku ketika melihat
wajah pemuda itu sangat gagah dan tampan. Dan, yang paling
membuat hatinya lega, ia tidak menemukan sinar
kekurangajaran pada sepasang mata, yang terlindung alis
hitam dan tebal itu. "Benar-benar seorang pemuda yang gagah
dan menarik."
Ketika mendengar ucapan Aryani, pemuda itu baru sadar
kalau ia masih saja menggenggam pergelangan tangan gadis
cantik itu. Dengan wajah agak kemerahan, pemuda itu
bergegas melepaskan genggamannya.
"Maaf...," desahnya dengan wajah penuh sesal. Kemudian,
pemuda itu mengalihkan pandangan matanya, disertai dengan
helaan napas panjang.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku...?" ujar Aryani
setengah memekik. Hatinya sempat kesal karena mengira
pemuda itu sengaja mengacuhkan pertanyaannya.
"Oh, maaf..., maaf...," lagi-lagi hanya ucapan itu yang keluar
dari mulutnya. Sehingga Aryani menjadi jengkel dibuatnya.
"Ooo, jadi hanya kata-kata itukah sebagai penjelasan atas
sikapmu yang telah membawaku lari sejauh ini? Sadarkah kau
kalau aku menghendaki, kepalamu bisa kupukul pecah, setelah
bisa membawaku ke sini!" karena tidak sanggup menahan
kejengkelan hatinya, Aryani menghardik pemuda itu dengan
sepasang mata melotot.
"Tentu saja aku tahu, Nisanak. Tapi ketahuilah, aku sama
sekali tidak bermaksud buruk. Sengaja aku membawamu lari
menghindari perkelahian itu. Karena, lelaki jangkung yang
bernama Pandala itu adalah putra Ketua Perguruan Gagak
Putih, yang merupakan perguruan paling terkenal di Kota
Kadipaten Jaga Karta. Pengaruh perguruan itu sampai ke dalam
istana kadipaten. Dan, kalau sampai perkelahian itu dilihat
prajurit kadipaten, mereka bisa menangkapmu, dan
menuduhmu sebagai pemberontak," jelas pemuda tampan itu,
yang membuat Aryani terbelalak. Sepertinya ia tidak mengira
kalau akan sedemikian jauh akibat persolan sepele itu.
"Hm..., lalu, apakah kau kira aku takut untuk menghadapi
prajurit Kadipaten Jaga Karta?" Aryani yang sepertinya tidak
mau kalah itu, membantah dengan wajah tersenyum sinis.
Dengan cerdik, ia menyimpan keterkejutan hatinya.
"Aku percaya kau tidak takut. Tapi, bukan itu yang
kukhawatirkan. Tentu dengan kepandaianmu yang tinggi, kau
dapat membinasakan puluhan, bahkan ratusan prajurit. Nah,
untuk menghindari peristiwa berdarah itulah terpaksa aku
memberanikan diri membawamu kemari," tutur pemuda itu
sambil berusaha untuk tidak membuat Aryani menjadi marah.
"Hm..., kalau begitu kau benar-benar seorang pemuda yang
baik. Menilik dari kepandaian dan sikapmu, tentulah kau orang-
orang golongan putih yang menamakan dirinya sebagai
pembela kebenaran, begitukah?" meski terdapat nada pujian
dalam ucapan gadis itu, tapi jelas lebih banyak nada ejekan.
"Aku tidak berani mengatakan, diriku adalah seorang
pendekar. Apabila sebagai pembela kebenaran yang budiman.
Rasanya perkataan itu terlalu muluk. Namaku Puja Merta. Dan,
aku hanya seorang pemuda bodoh, yang mengerti sedikit
tentang ilmu silat. Kalau aku boleh tahu siapakah, Nisanak?"
tanya pemuda gagah yang mengaku bernama Puja Merta itu,
menatap Aryani dengan sepasang mata yang tajam. Nyata
sekali sinar persahabatan di mata pemuda itu.
Aryani sendiri sempat tersenyum mendengar ucapan pemuda
bernama Puja Merta itu. Hatinya sedikit lega merasakan betapa
pemuda itu seorang yang sabar dan tak sombong. Bahkan
dalam setiap perkataannya, pemuda itu selalu mengalah
terhadapnya. Tentu tidak ada alasan lagi bagi gadis cantik itu
untuk tidak menyukai pemuda seperti Puja Merta.
"Namaku Aryani. Aku, seorang pengembara yang datang dari
jauh. Dan, apakah yang sedang kau kerjakan di Kota Kadipaten
Jaga Karta itu? Atau kau memang tinggal di sana?" tanya
Aryani setelah memperkenalkan namanya.
"Aku bukan penduduk kadipaten. Secara kebetulan aku
berada di sana, karena kedua orang tuaku tengah singgah di
istana kadipaten. Karena merasa tidak betah berada di dalam
lingkungan itu, aku bemiat melihat-lihat keramaian. Nah, di
situlah aku melihatmu," jelas Puja Merta sambil melangkahkan
kakinya perlahan menyusuri tanah berumput.
"Lalu, dari mana kau mengetahui tentang Perguruan Gagak
Putih? Sedangkan kau bukan penduduk kadipaten," Aryani yang
sepertinya merasa penasaran, meminta Puja Merta menjelaskan
hal itu.
"Kedua orang tuaku merupakan sahabat Ketua Perguruan
Gagak Putih. Itulah sebabnya aku mengenal pemuda itu, dan
juga pengaruh ayahnya. Hm..., sejak tadi aku selalu menjawab
pertanyaanmu. Kalau aku boleh bertanya, dari mana kau
mempelajari ilmu silat? Melihat dari gerakanmu, pasti gurumu
seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Siapakah beliau,
Aryani?" tanya Puja Merta hati-hati. Sepertinya ia merasa
sedikit tidak enak menanyakan hal itu. Karena berkesan
menyelidik.
"Hm..., guruku adalah ayahku sendiri. Beliau dikenal dengan
julukan Raja Racun Merah. Mungkin kau juga pernah
mendengar namanya?" jelas Aryani tanpa rasa curiga sedikit
pun.
Puja Merta yang mendengar, Aryani adalah putri datuk sesat
yang berjuluk Raja Racun Merah, tentu saja terkejut bukan
kepalang. Cepat ia menekan perasaannya yang terguncang,
agar tidak menyinggung perasaan Aryani. Karena hal itu dapat
menimbulkan kemarahan di hati gadis cantik itu.
Tapi, belum lagi Puja Merta sempat menjawab pertanyaan
Aryani, tiba-tiba terdengar suara berat yang mengejutkan
mereka berdua. Sebelum gema suara itu sendiri lenyap, si
empunya suara sudah muncul mendatangi Aryani dan Puja
Merta.
"Hm..., aku mendengar disebutnya nama Raja Racun Merah.
Di mana manusia iblis itu? Biar kupatahkan batang lehernya."
Aryani terkejut bukan main mendengar suara yang jelas-jelas
menghina ayahnya. Wajar saja kalau gadis cantik itu menjadi
marah besar. Karena ia memang sangat mencintai ayahnya.
Lain halnya dengan Puja Merta. Ia mengenal baik suara
berat yang mengejutkan itu. Dan, wajahnya semakin
bertambah pucat ketika melihat dua sosok tubuh yang sangat
ia kenal menghampiri mereka berdua.
ENAM
"Ayah.... Ibu...!" teriak Puja Merta dalam hati. Dan, pemuda
tampan itu pun menjadi serba-salah, ketika mengetahui orang
yang mengeluarkan ucapan tadi adalah orang tuanya sendiri.
Pemuda itu semakin bingung ketika melihat Aryani yang jelas-
jelas marah terhadap ayah dan ibunya.
"Hm..., Manusia Sombong! Berani sekali menghina ayahku?"
ujar gadis cantik itu dengan suara lantang. Ia tidak mendengar
ucapan Puja Merta, karena pemuda itu hanya mengatakannya
dalam hati, tapi ia agak heran melihat pemuda itu salah
tingkah.
"Puja Merta!" lelaki gagah berusia setengah baya itu
berteriak dengan wajah gelap, ketika melihat putranya berada
bersama dara cantik, yang ia dengar sebagai putri Raja Racun
Merah, "Mengapa kau berada di slni? Apa yang kau lakukan
dengan putri manusia sesat itu?"
"Kau mengenal kedua orang itu, Puja Merta...?" tanya Aryani
ketika mendengar salah seorang dari mereka memanggil
pemuda yang berdiri di sampingnya. Wajah gadis itu terkesan
curiga ketika melihat Puja Merta gugup.
"Mereka... ayah ibuku, Aryani. Maafkanlah...," bisik Puja
Merta lirih. Jelas, pemuda itu tidak ingin kalau suaranya sampai
terdengar oleh kedua orang tuanya.
"Ooo..., jadi mereka orang tuamu?" tegas Aryani dengan
senyum sinis yang menyakitkan hati Puja Merta, "Rupanya kau
putra pasangan pendekar sombong, yang hanya selalu
menghina orang lain!"
"Hei, Gadis Liar!" hardik orang tua perempuan Puja Merta
sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Aryani. "Ayahmu
memang seorang manusia keji dan kotor! Apakah kau hendak
menyangkalnya? Sebagai putri seorang bejad, kau pun pasti
tidak berbeda dengan ayahmu."
"Huh, Nenek-nenek bermulut besar! Apakah kau seorang
malaikat yang suci dan tidak mempunyai kesalahan? Melihat
dari sikapmu yang sombong itu, aku sudah bisa menduga kalau
kau menganggap dirimu paling bersih dan paling benar di dunia
ini. Tapi, menurutku kalian berdualah yang lebih jahat dari
ayahku!" sahut Aryani ketus tanpa mengenal rasa takut sedikit
pun. Karena hatinya terasa sakit mendengar penghinaan orang
tua Puja Merta.
"Aryani, mereka kedua orang tuaku! Mengapa kau sampai
hati menghinanya?" Puja Merta yang mendengar hinaan gadis
cantik itu terhadap kedua orang tuanya, tentu saja tidak bisa
menerimanya. Ia menatap gadis cantik itu dengan pandangan
menuntut agar Aryani menarik kembali kata-katanya.
"Oooh, jadi kalau mereka kedua orang tuamu, lalu aku harus
mendiamkan mereka menghina ayahku? Puja Merta! Kalau kau
tidak senang orang tuamu dihina orang, apakah kau pikir aku
bisa mendiamkan orang-orang busuk yang menghina ayahku?
Belalah orang tuamu yang sombong itu, aku tidak takut!"
tantang Aryani yang juga menjadi marah melihat pemuda itu
menyalahkan dirinya, dan bukan menegur kedua orang tuanya.
Puja Merta yang diam-diam telah menaruh hati kepada gadis
cantik itu, tentu saja semakin bertambah bingung. Tapi, biar
bagaimanapun, ia lebih condong membela kedua orang tuanya
ketimbang gadis cantik, yang ternyata putri seorang datuk
sesat itu. Keputusan itu membuatnya tidak mau kalah dengan
Aryani.
"Gadis liar ini memang perlu diberi hajaran, agar ia tidak
semakin kurang ajar...," belum lagi Puja Merta berbuat sesuatu,
tiba-tiba saja wanita yang tidak lain adalah ibu pemuda itu,
melesat mengirimkan sebuah tendangan ke wajah Aryani.
"Hm...," Aryani bergumam lirih, dan siap menyambut
serangan wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Ibu.... Jangaaan...!"
Puja Merta tidak menyangka kalau perdebatannya dengan
Aryani berlanjut menjadi perkelahian. Ia berusaha mencegah,
tapi sayang ia tak mampu berbuat apa-apa. Sehingga,
pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi.
Serangan-serangan yang dilancarkan orang tua perempuan
Puja Merta, nampak semakin gencar dan cepat. Rupanya
wanita cantik, yang tampak jauh lebih muda dari usianya itu,
merasa penasaran ketika mengetahui kepandaian gadis muda
itu tidak bisa dipandang enteng. Terbukti, setiap serangan-
serangannya selalu dapat diimbangi oleh gadis berpakaian
kuning cerah itu. Bahkan serangan balasan gadis itu tidak kalah
berbahaya!
Sebagai istri seorang pendekar berjuluk Tangan Malaikat,
tentu saja wanita berpakaian merah muda itu merasa malu
kalau tidak mampu menjatuhkan seorang gadis muda seperti
Aryani. Sehingga, serangan-serangannya yang semula untuk
memberi pelajaran kepada gadis cantik itu, telah berubah
menjadi serangan maut yang mematikan! Sudah tentu suasana
perkelahian makin menghebat yang membuat hati Puja Merta
menjadi gelisah.
Pemuda tampan gagah itu berdiri dengan mimik wajah
sedih. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk melerai pertarungan
yang kelihatan mulai mati-matian itu. Ditahannya keinginan
untuk membela orang tuanya, karena hal itu pasti akan
membuat Aryani semakin sakit hati. Selain itu, ia pun tahu
kalau ibunya yang memulai pertarungan. Keraguan itu
membuatnya hanya berdiri mematung dengan wajah berduka.
Lain halnya dengan orang tua laki-laki Puja Merta, yang
berjuluk Tangan Malaikat itu. Kening lelaki separuh baya itu
nampak berkerut ketika melihat istrinya mulai terdesak oleh
serangan balasan lawannya, yang semakin hebat dan gencar.
"Hebat... Gadis itu benar-benar hampir mewarisi seluruh
kesaktian Raja Racun Merah. Hm..., kalau tidak dicegah dari
sekarang, kelak wanita itu akan menjadi ancaman bagi
kehidupan manusia. Bukan tidak mungkin, dalam waktu
beberapa tahun lagi, ia akan berubah menjadi iblis wanita yang
lihai dan kejam," gumam Tangan Malaikat sambil mengelus-
elus jenggotnya, yang tampak mulai berwarna putih itu.
Tangan Malaikat khawatir akan keselamatan istrinya. Dan,
perasaan itu tidak meleset. Setelah bertarung selama kurang
lebih empat puluh jurus, tampak Aryani telah menguasai
lawannya. Gadis cantik putri Raja Racun Merah itu terlihat
mencecar lawan dengan ilmu andalannya, 'Tangan Racun
Merah'. Sehingga, istri Pendekar Tangan Malaikat, semakin
kelabakan karena terkurung oleh bau harum yang menebar dari
setiap lontaran pukulan lawan.
"Huh! Kau rasakan pukulanku, Wanita Jahat..!" sambil
membentak keras, Aryani melontarkan pukulan-pukulannya
dengan kekuatan penuh. Sehingga, lawan yang memang telah
kepayahan itu terbelalak matanya. Sedangkan wajahnya pucat
ketika melihat datangnya serangan maut!
Wuuus!
"Aiiih...?!"
Hantaman telapak tangan kiri Aryani yang meluncur
mengancam dada kiri lawan, sempat dielakkan meski dengan
susah payah. Sayang, pukulan telapak tangan kanan yang
datang menyusul seperti sambaran kilat itu, tidak sempat
dihindarkan lawan. Dan....
Bresssh...!
Apa yang terjdi kemudian, benar-benar diluar dugaan Aryani.
Pada saat hantaman telapak tangan kanannya meluncur deras,
sesosok bayangan tinggi besar melesat menyambut
pukulannya! Sehingga, terjadilah benturan keras yang
membuat tubuh gadis cantik itu terpental balik dengan
kerasnya!
"Aaakh...!"
Aryani memekik tertahan! Kesadarannya hampir hilang,
ketika merasakan tubuhnya melayang seperti dilemparkan
tenaga raksasa! Kemudian ia terbanting keras di atas tanah
berumput.
"Curang...!" desis Aryani begitu menyadari orang yang
memapak serangannya. Dari lelehan darah yang mengalir di
sudut bibirnya, jelas wanita cantik itu cukup menderita akibat
benturan tenaga tadi.
"Aryani...!"
Puja Merta yang juga tidak menyangka kejadian itu,
bergegas memburu Aryani Pemuda itu segera membantu
sahabat barunya. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu
mendengar ucapan Aryani.
"Mau apa kau...? Apakah kau juga akan mengeroyokku?
Majulah! Aku tidak takut menghadapi keroyokan keluarga
pendekar seperti kalian, Manusia-manusia Licik dan Sombong!"
hardik Aryani yang bergegas bangkit, meski dengan langkah
agak sempoyongan. Sepasang mata gadis cantik itu menatap
tajam dan mengandung ejekan. Bahkan ia tampak siap
menyambut serangan Puja Merta, yang sebenarnya berniat
ingin menolongnya.
"Aryani..., kau selalu salah mengerti. Aku justru ingin
menolongmu...," ujar Puja Merta dengan wajah agak pucat.
"Huh! Pergi saja kepada orang tuamu! Aku tidak butuh
pertolongan seorang pendekar besar sepertimu!" kembali
Aryani membentak dan melontarkan kata-kata yang
menyakitkan hati Puja Merta.
"Puja Merta, kemari kau! Untuk apa berteman dengan calon
wanita iblis jahat seperti dia!" Tangan Malaikat yang tentu saja
merasa tidak senang dengan sikap putranya, membentak keras
bagai guntur yang menggelegar. Jelas, kalau lelaki gagah itu
marah melihat sikap putranya yang lemah.
"Ayah..., aku...."
"Diam! Gadis itu jelas merupakan bibit kejahatan yang harus
dilenyapkan! Kalau tidak, di kemudian hati ia akan berubah
menjadi iblis wanita yang keji! Dan, kelak kau akan menyesal!"
hardik orang tua itu memotong kalimat Puja Merta. Sehingga,
meski agak segan, pemuda itu melangkah juga ke arah kedua
orang tuanya.
"Orang tua, siapakah kau sebenarnya yang demikian
sombong dan sangat merendahkan orang lain? Apakah kau
orang yang paling benar di dunia, sehingga begitu rendahnya
kau menilai orang lain! Apakah kau merasa sesuci malaikat?"
desis Aryani dengan tubuh menggigil karena kemarahan yang
telah mencapai ubun-ubunnya. Gadis cantik itu hampir
menangis, karena hinaan-hinaan yang dilontarkan lelaki gagah
itu serasa menusuk-nusuk jantungnya.
"Hm..., ayahmu tentu sudah mengenalku dengan baik. Aku
adalah si Tangan Malaikat yang akan mencabut nyawa ayahmu,
dan juga nyawamu! Kalau kau kubiarkan hidup, bukan tidak
mungkin kau akan menyebarkan malapetaka di muka bumi ini.
Bahkan mungkin jauh lebih jahat dan keji dari ayahmu sendiri.
Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Jadi, bersiapiah
untuk pergi ke akhirat" Jelas lelaki gagah itu sambil melangkah
perlahan-lahan menghampiri Aryani.
Tangan Malaikat memang bukan nama baru dalam dunia
persilatan. Sepak terjangnya yang tidak mengenal ampun,
membuat kaum sesat merasa jerih kepadanya. Jangankan
golongan penjahat tingkat rendahan, bahkan para datuk-datuk
kaum hitam pun, enggan berurusan dengan pendekar kosen
itu.
Sayang, meskipun ia termasuk golongan putih, banyak
tokoh-tokoh dari golongannya yang tidak suka kepada
pendekar besar itu. Selain sikapnya yang keras dalam
menghukum kaum sesat, Tangan Malaikat juga terkenal
sebagai pendekar yang sombong dan tinggi hati. Sikapnya yang
selalu memandang rendah orang-orang di bawahnya, sehingga
membuat pendekar itu dijauhi oleh rekan-rekan segolongan.
Namun, tidak seorang pun yang berani berkata terus terang.
Meskipun, mereka tidak menyukai sikap Tangan Malaikat.
Sebagai tokoh golongan atas, tentu saja banyak kaum rimba
persilatan yang takut menghadapi kemarahan orang tua sakti
itu. Itulah sebabnya, mengapa ia membenci Raja Racun Merah,
dan juga Aryani yang diduganya akan menjadi penurut kekejian
dan kejahatan tokoh sesat itu.
Aryani sendiri yang cukup lama mengembara mencari
pengalaman, baru kali ini berjumpa dengan seorang pendekar
yang sombong, dan mudah sekali melontarkan hinaan kepada
dirinya dan ayahnya. Sebenarnya gadis cantik itu merasa
maklum, bila ada orang yang membenci ayahnya. Karena ia
bukan tidak tahu kesalahan ayahnya di masa lalu. Yang tidak
bisa ia terima adalah hinaan-hinaan terhadap dirinya.
Semua orang boleh saja membenci dan menghina ayahnya,
yang memang bersalah dan jahat. Tapi, mengapa dirinya yang
tidak pernah berbuat jahat ikut-ikutan dihina? Apakah tidak
boleh seorang ayah yang jahat mempunyai anak yang tidak
menuruni sifatnya. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia
buat sehingga tokoh yang bernama Tangan Malaikat itu sangat
membencinya? Benar-benar ia tidak dapat menerima
penghinaan itu!
"Tangan Malaikat..," desis Aryani seperti hendak mengingat,
kalau-kalau ayahnya pernah menyinggung tokoh itu dalam
sebuah ceritanya.
"Hei, Perempuan Liar...!"
Aryani yang tengah mengingat-ingat tentang tokoh pendekar
itu, tersentak kaget ketika mendengar bentakan Tangan
Malaikat. Cepat ia menoleh dan membalas tatapan mata orang
tua itu dengan sorot kebencian.
"Kuberi kau kesempatan untuk bertahan selama dua puluh
jurus! Kalau kau mampu bertahan, kurelakan kau pergi dari
tempat ini dengan selamat. Tapi, kalau kau tidak mampu
menyelamatkan dirimu, jangan salahkan aku bila tanganku
akan mencabut nyawamu," ujar Tangan Malaikat dengan suara
berat dan mengandung perbawa kuat.
"Dengar, Orang Tua Sombong! Aku tidak butuh belas
kasihmu! Kalaupun aku harus mati di tanganmu, aku tidak
menyesal. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan
bagiku! Seranglah aku, jangan hanya bicaramu saja yang
besar!" sahut Aryani dengan suara ketus dan kasar.
Hal itu wajar saja. Meskipun pada dasarnya Aryani adalah
seorang gadis yang lembut dan penuh belas kasih, namun
karena sejak kecil dididik orang tuanya dalam lingkungan sesat,
maka tidak heran kalau sikap atau ucapan gadis cantik itu
cenderung kasar kalau disakiti.
"Baik. Tapi, kaulah yang harus menyerangku lebih dahulu.
Sebagai orang yang lebih tua, tentu saja aku tidak mau kalau
kelak ada orang yang menyalahkan aku, karena tidak memberi
kesempatan kepadamu untuk membela diri. Mulailah," ujar
Tangan Malaikat yang berdiri tegak tanpa persiapan. Sebagai
seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, tentu saja ia
tidak perlu lagi memasang kuda-kuda sebelum bertarung.
Karena dalam kedudukan bagaimanapun, itu merupakan sikap
bertarung.
"Ayah, jangan mendesak Aryani. Aku percaya dia tidak
sejahat orang tuanya. Tahanlah sikap Ayah, jangan sampai di
kemudian hari akan mendatangkan sesal yang tak berujung,"
Puja Merta yang merasa kurang setuju dengan sikap ayahnya.
Kemudian, ia segera berdiri di antara kedua orang yang telah
siap bertarung itu.
Menilik dari sikap dan ucapan-ucapannya, jelas Puja Merta
sama sekali tidak menuruti sifat lelaki gagah itu. Bahkan, ia
terkesan lembut meskipun diasuh oleh kedua orang tua
pendekar besar yang terkenal tinggi hati itu.
"Puja Merta. Menyingkirlah! Beraninya kau menasihati
Ayahmu? Kau masih terlalu muda untuk mengenal sifat-sifat
licik dan keji orang-orang golongan sesat. Tapi aku, Ayahmu
sudah lama berkecimpung di dalam dunia persilatan. Dan, aku
tahu mana yang harus kutindak," hardik Tangan Malaikat
dengan suaranya yang berat dan berpengaruh itu. Bahkan,
wajah orang itu sudah berubah gelap. Karena ia dinasihati oleh
anaknya sendiri di depan orang lain. Tentu saja hal itu sangat
memalukan dan merendahkan namanya. Untunglah di tempat
itu hanya mereka berempat. Kalau saja ada tokoh persilatan
yang lain menyaksikannya, bukan tidak mungkin berita itu akan
tersebar di kalangan rimba persilatan.
"Ayah..., aku hanya...."
"Cukup! Atau kau ingin melawan terhadap Ayahmu?" tukas
Tangan Malaikat dengan suara menggelegar, karena
kemarahannya telah memuncak. Bantahan putranya itu benar-
benar membuat orang tua itu hampir menjadi gelap matanya.
"Puja, minggirlah. Gadis liar itu tidak patut kau bela...,"
terdengar suara orang tua perempuan Puja Merta. Wanita yang
masih nampak cantik itu segera menyeret putranya untuk
menjauh.
"Seranglah aku, Gadis Liar. Jangan membuat ucapan yang
kuucapkan tadi berubah!" kemarahan karena bantahan
putranya, ditumpahkan kepada Aryani yang dituduh sebagai
biang keladi sikap bandel putranya itu. Sehingga, Aryani
menjadi semakin benci dengan orang tua gagah itu.
"Baik! Kau pikir aku takut, Orang Tua Sombong!" bentak
Aryani melengking karena marah. Begitu ucapannya selesai,
tubuh gadis cantik itu langsung melesat menerjang lawannya.
"Tunggu!"
Tapi, sebelum serangan Aryani tiba, tiba-tiba berkelebat dua
sosok tubuh yang diiringi sebuah bentakan menggelegar seperti
akan mengguncangkan tempat itu.
Baik Aryani, Tangan Malaikat, Puja Merta, maupun ibunya,
serentak menatap sosok berjubah putih dan sosok ramping
berpakaian hijau yang telah berdiri tegak di tengah arena.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Tangan Malaikat dan istrinya berseru hampir berbarengan.
Sebagai tokoh persilatan tingkat atas, tentu saja kedua orang
itu telah mendengar munculnya seorang pendekar muda yang
telah membuat kaum sesat kelabakan. Selain itu, ciri-ciri
pendekar muda itu pun telah lama mereka ketahui. Maka, tidak
heran begitu melihat ciri-ciri pemuda berjubah putih yang
berdiri di tengah arena, pasangan pendekar besar itu langsung
mengenalinya dengan baik.
"Benar, Ki. Aku adalah Panji. Orang-orang rimba persilatan
menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih. Dan, aku pun sudah
lama mendengar nama besar Tangan Malaikat, sebagai seorang
pendekar gagah berbudi tinggi, yang selalu menolong orang-
orang lemah. Terimalah sebagai tanda hormatku...," sambil
berkata demikian, pemuda berjubah putih yang memang
adalah Panji itu, segera membungkukkan tubuhnya ke arah
Tangan Maiaikat dan istrinya. Dari perkataan maupun sikapnya,
jelas pemuda itu cukup cerdik.
Kenanga yang berdiri tidak jauh dari Panji, hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya sekejap. Menilik dari sorot
matanya gadis jelita itu tidak begitu suka dengan pasangan
pendekar besar itu.
"Hm..., lalu apa keperluanmu mencampuri urusanku,
Pendekar Naga Putih? Apakah kau ingin membela gadis liar
itu?" dalam nada pertanyaan Tangan Malaikat terkandung
perasaan sinis. Bahkan melihat dari gaya bicara dan sikapnya,
orang tua itu merasa lebih tinggi tingkatannya dari Panji. Tapi,
pemuda itu berpura-pura tidak tahu, dan tetap bersikap
hormat.
"Maaf, menurutku persoalan ini bukanlah pribadi sifatnya.
Aku cukup lama bersembunyi dan mendengar semua yang
kalian ucapkan. Karena gadis yang berpakaian kuning, kalau
tidak salah bernama Aryani ini, tidak berbuat kesalahan, maka
aku terpaksa mencampuri persoalan kalian. Sebab masalahnya
terletak pada pertentangan antara golongan hitam dan
golongan putih. Melihat adanya ketidakadilan di sini, aku
terpaksa memberanikan diri mencampuri persoalan kalian,"
jelas Panji dengan tutur kata yang teratur baik dan sopan.
Sehingga, Puja Merta menjadi kagum atas sikap pemuda yang
berjutuk Pendekar Naga Putih itu.
Demikian juga halnya dengan Aryani, putri tokoh sesat yang
semula membenci golongan putih karena sikap Tangan
Malaikat, menatap kagum ke arah pemuda tampan berjubah
putih itu. Mendengar ucapan dan sikap pemuda itu, gadis ini
mulai berubah pandangannya terhadap golongan putih.
"Pendekar Naga Putih...? Sepertinya ayah pernah bercerita
tentang pendekar besar yang masih muda itu. Apa yang
diceritakan ayah memang tidak berlebihan. Pemuda itu begitu
lembut, sopan, dan sepertinya mempunyai pandangan yang
lebih luas ketimbang orang tua sombong itu. Bahkan
wibawanya pun tidak kalah dengan pendekar besar yang
berpikiran sempit itu...," gumam Aryani sambil menatap lekat-
lekat wajah Pendekar Naga Putih dari samping. Hatinya benar-
benar kagum terhadap pemuda itu.
TUJUH
Tangan Malaikat mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Penjelasan Pendekar Naga Putih menurutnya terlalu berbelit-
belit dan membuatnya tidak sabar.
"Hm..., dengarlah, Pendekar Naga Putih. Gadis liar ini, putri
seorang datuk sesat yang sangat jahat dan kejam. Aku ingin
melenyapkan bibit kejahatan itu, sebelum membahayakan
orang-orang tak berdosa dan kaum rimba persilatan. Sekarang,
aku meminta ketegasanmu, dan bukan nasihatmu! Bersedia
menyingkir, atau terpaksa aku akan menggempurmu!" tegas
Tangan Malaikat sambil melangkah jauh beberapa tindak.
Pendekar yang sombong itu sepertinya sedang kumat
penyakitnya. Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang lain,
senantiasa ingin menjajal ilmu silatnya, Tangan Malaikat pun
ingin merasakan sampai di mana kehebatan pendekar muda
yang digembar-gemborkan kaum persilatan itu.
"Maaf, Ki. Gadis ini meskipun keturunan seorang datuk sesat
atau biang iblis sekalipun, tapi ia belum pernah melakukan
kejahatan. Semua ini bisa kupastikan, baik dari tingkah lakunya
maupun ucapan-ucapannya. Selain itu, ia pun belum tentu akan
mengikuti jejak ayahnya yang sesat itu," ujar Panji lagi dengan
sikap dan ucapan tetap lembut. Panji merasa enggan terlibat
pertarungan dengan pendekar besar itu. Apalagi mereka
merupakan orang segolongan.
"Tidak perlu banyak cakap! Sudah kukatakan tadi, aku tidak
butuh nasihatmu!" tukas Tangan Malaikat lagi. Kali ini wajahnya
tampak berubah gelap. Sepertinya keputusan pendekar itu
tidak bisa diubah lagi.
"Pendekar Naga Putih...," Aryani yang semenjak tadi hanya
diam mendengarkan perdebatan itu, melangkah maju, "Ayahku
memang sebelumnya manusia kejam dan jahat. Tapi, kalau kau
percaya, ayahku telah cukup lama mengundurkan diri. Ia telah
sadar akan sikapnya selama ini."
Hal itu dikarenakan ia telah menaruh kepercayaan kepada
pemuda itu. Dan, ia juga yakin akan tanggapan Pendekar Naga
Putih.
"Ha ha ha...!"
Sebelum Panji menanggapi keterangan Aryani, Tangan
Malaikat tertawa berkakakan. Tawa itu jelas dimaksudkan untuk
mengejek keterangan gadis keturunan datuk sesat itu, tentu
saja ia tidak percaya begitu saja mendengar ucapan gadis itu.
Dan, sepertinya semuanya itu tetap tidak mengubah keputusan
untuk melenyapkan Aryani.
"Aku tidak minta pendapatmu, Pendekar Sombong! Tapi, aku
meminta pendapat Pendekar Naga Putih. Aku yakin pendekar
yang meskipun masih muda ini mempunyai pandangan yang
luas, dan jauh berbeda denganmu. Dan, aku percaya
kepadanya!" seru Aryani yang merasa tersinggung mendengar
suara tawa lelaki tua yang gagah itu.
"Hm..., rasanya keteranganmu bisa aku percaya, Aryani...,"
ujar Panji sambil menatap wajah Aryani. Pemuda itu juga
tersenyum untuk meyakinkan Aryani kalau ia mempercayai
ucapan gadis itu.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," ucap Aryani lirih.
Sepertinya ia merasa lega setelah mendengar jawaban Panji.
"Dengar! Apa pun yang kalian katakan, itu tidak akan
mengubah pikiranku!" hardik Tangan Malaikat dengan wajah
merah.
"Maaf, aku terpaksa membelanya...," ujar Panji lirih.
"Benar, Kakang. Aku pun percaya kalau Aryani tidak
bersalah, dan patut dibela," Kenaga yang semenjak tadi hanya
diam, ikut angkat bicara. Jelas gadis jelita itu merasa yakin
akan keputusan yang diambil kekasihnya.
"Hm..., kalau begitu bersiaplah...," geram Tangan Malaikat
yang sepertinya sudah siap melancarkan serangan, "Aku pun
ingin tahu, sampai di mana kehebatan pendekar muda yang
tersohor itu," ujar Tangan Malaikat dengan nada sombong.
"Kenanga, Aryani, kalian pergilah. Cari desa yang terdekat
dengan daerah ini, aku akan segera menyusul. Persoalan
seperti ini tidak patut ditebus dengan nyawa. Berhati-hatilah,"
bisik Panji sambil mengedipkan matanya kepada Kenanga.
Kenanga dan Aryani segera beranjak meninggalkan tempat
itu sebagai mana dibisikkan Panji. Kenanga mengerti kalau
kekasihnya hanya berpura-pura saja melayani tantangan
Tangan Malaikat. Ia pun menyadari kalau sampai pertempuran
itu meminta nyawa, tentu kelanjutannya akan semakin rumit.
Maka, tanpa banyak tanya lagi keduanya pun bergegas.
"Hei, tunggu! Mau ke mana kalian...?" seru Tangan Malaikat
yang segera mencegah ketika melihat gadis berpakaian hijau
itu mengajak Aryani meninggalkan tempat itu. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya pun melesat mengejar mereka.
"Biarkan mereka pergi, Ki...," ujar Panji yang segera
melompat dan menghadang pengejaran Tangan Malaikat.
"Bedebah!" bentak lelaki tua itu sambil melontarkan pukulan
jarak jauhnya ke arah Pendekar Naga Putih.
Wuuut
Serangkum angin keras berhembus mengancam tubuh Panji.
Cepat pemuda itu berkelit ke samping, guna menghindarkan
pukulan maut lawannya. Kemudian ia segera melepaskan
serangan balasan yang cepat dan susul-menyusul.
Serangkaian serangan yang dilancarkan Panji bermaksud
untuk mengalihkan perhatian Tangan Malaikat, ternyata
membawa hasil yang baik. Lelaki gagah itu menjadi sibuk
menghindarkan serangan-serangan Pendekar Naga Putih, yang
memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga, ia terpaksa
menghadapi serangan pemuda itu, dan tidak mempedulikan
buruannya lagi.
Namun, orang tua perempuan Puja Merta sepertinya tidak
mau membiarkan gadis berpakaian kuning itu lolos. Tanpa
mempedulikan seruan putranya, wanita cantik itu segera
melesat, mengejar Kenanga dan Aryani.
Tentu saja perbuatan wanita itu membuat Panji terkejut, ia
pun segera melesat meninggalkan Tangan Malaikat, dan
mencegah istri pendekar besar yang akan mengejar Aryani dan
Kenanga.
"Haiiit..!"
Karena tidak ingin dianggap membokong, Panji memberikan
isyarat menyerang dengan teriakannya.
Sehingga, wanita itu membatalkan pengejarannya, dan
menyambut serangan Pendekar Naga Putih!
"Haaat..!"
Sambil berkelit, wanita cantik itu berseru nyaring dan
melancarkan serangan balasan yang cepat dan kuat! Menilik
dari angin pukulannya, jelas serangan yang dilontarkan lawan
sangat berbahaya! Sedangkan serangan Panji hanya dimaksud
untuk mencegah, dan bukan mencelakakan wanita itu.
"Setan...!" Tangan Malaikat yang merasa dipermainkan Panji,
segera saja melompat dan langsung menerjang Pendekar Naga
Putih dengan serangkaian pukulan maut! Jelas serangan-
serangan itu dimaksudkan untuk membunuh!
Plakkk! Plakkk...!
Panji yang memang tidak bersungguh-sungguh menghadapi
waniia itu, cepat merendahkan tubuhnya sambil melepaskan
dua buah tamparan guna memapaki serangan Tangan Malaikat!
Sehingga, benturan keras pun terjadi!
Duarrr!
"Kurang ajar...!"
Tangan Malaikat yang merasakan getaran akibat
berbenturan dengan telapak tangan pemuda itu, mengumpat
kalang-kabut. Namun, hatinya sempat dibuat kagum oleh
kekuatan Pendekar Naga Putih.
Kini matanya pun terbuka, setelah merasakan kehebatan
tenaga sakti pemuda itu.
"Hebat..! Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang
tersohor?" puji Tangan Malaikat sambil tersenyum sinis.
Meskipun ia telah merasakan kehebatan tenaga dalam lawan,
namun Tangan Malaikat tidak ingin membuat lawannya besar
kepala. Sehingga, pujiannya terdengar bernada sinis.
Panji pun bukan tidak merasa akibat tangkisan itu. Namun,
ia telah menyadari sebelumnya akan kesaktian lawan. Karena
itu ia lebih dulu telah bersikap dan waspada. Sehingga, apa
yang dirasakannya tidaklah terlalu berarti.
"Yeaaat..!"
Rupanya Tangan Malaikat tidak ingin membuang-buang
waktu lagi. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya
kembali melesat menerjang Panji. Sementara itu, istrinya telah
mundur dari arena pertarungan. Karena ia tidak ingin disebut
mengeroyok.
Serangan yang dilontarkan lawan kali ini benar-benar
membuat Panji terkejut! Kedua tangan lawan tampak seperti
bayangan samar yang terkadang lenyap begitu saja, tanpa
diketahui ke mana serangannya. Lelaki gagah itu sepertinya
telah mulai mengeluarkan ilmu andalannya.
"Hebat! Inikah ilmu 'Tangan Malaikat' yang tersohor itu...?"
desis Panji, yang tentu saja menjadi kagum bukan main melihat
kehebatan ilmu lawannya.
Ilmu 'Tangan Malaikat' yang dimiliki lelaki gagah itu memang
jauh berbeda dengan ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. Cukup
banyak Panji mengenal jenis-jenis ilmu pukulan tangan kosong
seperti ilmu 'Tangan Seribu', 'Tinju Delapan Bayangan', dan
sejenisnya. Semua ilmu-ilmu tangan kosong itu kebanyakan
bisa merubah pandangan lawan. Sehingga gerakan tangannya
tampak menjadi banyak, dan sulit ditebak, mana tangan yang
sesungguhnya.
Namun, ilmu tangan kosong yang digunakan Tangan
Malaikat kali ini, benar-benar aneh dan sangat jauh berbeda.
Ilmu yang digunakan lawannya tampak aneh sekali, dan nyaris
tidak masuk akal. Tangan itu sama sekali tidak nampak
berputar, sebagaimana ilmu-ilmu tangan kosong lainnya.
Sebaliknya, malah yang terlihat bayangan samar-samar, yang
tampak jelas, tapi di lain saat lenyap dan tidak bisa dilihat oleh
mata biasa. Sepertinya ilmu 'Tangan Malaikat', memang
sengaja mengambil nama julukannya melalui gerakan-gerakan
tangan, yang tak ubahnya seperti tangan malaikat.
Karuan saja Pendekar Naga Putih menjadi terdesak hebat
oleh ilmu lawannya, yang memang aneh dan belum pernah
dijumpainya. Melihat kedahsyatan dan keanehan ilmu tersebut,
memang pantas kalau Tangan Malaikat ditakuti lawan dan
disegani kawan. Karena ilmu andalan pendekar itu memang
sukar untuk dilawan!
"Haiiit...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ke empat puluh lima,
secara mengejutkan, Tangan Malaikat berseru nyaring.
Berbarengan dengan seruan itu, tubuh lelaki setengah baya itu
berputar secara aneh. Kemudian, tangan kanan lawan tiba-tiba
telah mengancam dada Panji.
Wuuuk!
"Aiiih...?!"
Panji sempat terpekik kaget karena serangan lawan yang
mendadak itu. Untunglah ia masih sempat memiringkan
tubuhnya. Sehingga, telapak tangan lawan lewat setengah
jengkal di depan dadanya! Sayangnya, gerakan tangan lawan
tidak berhenti di situ saja! Terbukti, secara aneh pergelangan
tangan itu berputar, dan langsung menggedor dada kiri Panji!
Blakkk!
"Hukh...!"
Hantaman yang sangat keras itu menghajar telak dada kiri
Panji! Akibatnya, tubuh pemuda itu terdorong sejauh satu
tombak lebih. Untunglah lapisan kabut bersinar putih keperakan
yang menyelimuti tubuhnya, membentengi tubuh pemuda itu.
Biarpun pada sudut kiri bibirnya tampak cairan merah meleleh,
tapi pemuda itu tidak mengalami luka dalam yang parah!
Pukulan lawan yang membuat tubuh Pendekar Naga Putih
terdorong mundur cukup jauh itu, membuat pikiran Panji
bekerja dengan baik. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
pemuda itu langsung melesat meninggalkan lawannya. Karena
pemuda itu menggunakan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya, maka sekejap saja bayangannya telah
lenyap di balik lebatnya pepohonan.
"Jangan lari kau, Pengecut..!"
Tangan Malaikat yang tidak menduga kalau Panji akan
melarikan diri, tentu saja menjadi kaget. Walaupun ia berusaha
mengejar, namun bayangan Pendekar Naga Putih sudah tidak
nampak lagi. Lelaki tua itu hanya dapat menggeram marah,
sambil membanting kakinya dengan kesal!
Karena tidak berhasil mengejar Panji, Tangan Malaikat
segera kembali ke tempat anak dan istrinya berada. Wajah
lelaki gagah itu tampak gelap. Jelas ia merasa tak puas dengan
kejadian yang dialaminya itu.
"Hm..., kelak kalau aku bertemu lagi dengan pendekar
pengecut itu, akan kulumat tubuhnya!" geram Tangan Malaikat
sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
"Menurutku, tindakan Pendekar Naga Putih justru sangat
bijaksana, Ayah. Ia sama sekali bukan seorang pengecut, tapi
perbuatannya itu justru menunjukkan kebesaran jiwanya. Dan,
untuk melakukan perbuatan itu, ia tak takut dicap sebagai
seorang pengecut" Puja Merta yang membenarkan tindakan
Pendekar Naga Putih, membantah tuduhan ayahnya.
"Sudahlah, Puja. Kau hanya membuat Ayahmu tambah
penasaran saja," tukas ibunya menasihati Puja Merta. Wanita
itu rupanya tidak ingin lagi mendengar pertengkaran antara
suami dan putranya.
"Kau rupanya sudah tergila-gila oleh kecantikan putri datuk
sesat itu! Sadarkah kalau kau telah salah menjatuhkan pilihan?"
ujar Tangan Malaikat dengan suara ketus.
"Sudahlah. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini.
Untuk apa meributkan hal yang sudah lewat?" selak wanita
yang wajahnya masih tampak cantik dan muda itu. Setelah
berkata demikian, wanita itu segera menyeret putranya pergi.
Sebentar kemudian, tempat itu pun kembali sunyi. Hanya
hembusan angin yang sesekali bertiup keras, dan
menerbangkan daun-daun kering.
***
"Aku belum mengerti, mengapa kita harus pergi? Apa
sebenarnya yang direncanakan Pendekar Naga Putih...?" gadis
cantik itu mengungkapkan ketidakpuasannya kepada gadis
lainnya yang berwajah jelita, dan mengenakan pakaian serba
hijau. Siapa lagi kedua gadis muda itu, kalau bukan Kenanga
dan Aryani. Saat itu keduanya sudah hampir keluar dari perut
hutan.
"Kakang Panji tidak menginginkan pertarungan yang
mengakibatkan korban nyawa. Persoalan ini dianggapnya
hanya sekadar salah penilaian saja. Kalau kita berdua tetap
berada di tempat itu, berarti pertarungan akan memakan waktu
lama, dan bukan tidak mungkin kalau salah satu bisa tewas.
Kalau Kakang Panji tewas, tentu aku tidak tinggal diam.
Sedangkan kalau Tangan Malaikat tewas, keluarganya sudah
pasti akan menuntut balas. Nah, kalau sudah begitu, bukankah
persoalan akan semakin rumit? Itu yang tidak dikehendaki
Kakang Panji," ujar Kenanga menjelaskan kenapa mereka
disuruh pergi.
Aryani mendengarkan penuh perhatian. Sepasang matanya
memandangi wajah Kenanga
"Dengan tidak adanya kita di tempat pertarungan, Kakang
Panji akan lebih mudah meninggalkan lawannya," lanjut
Kenanga. "Sedangkan langkah berikutnya, kita tunggu saja apa
yang terjadi. Yang jelas, antara kau dan Tangan Malaikat tidak
ada persoalan pribadi. Jadi, mustahil kalau pendekar besar itu
sampai mengejar atau mencari-carimu."
"Bagaimana kalau pendekar tua yang sombong itu tetap
berusaha untuk mencari dan melenyapkan aku?" panting Aryani
karena ingin mendengar tanggapan Kenanga.
"Kalau memang benar begitu, tentu akan lain persoalannya.
Dan, kita tidak perlu lagi sungkan-sungkan untuk
menghadapinya. Karena perbuatannya itu, jelas salah besar,"
ujar Kenanga dengan sikap tegas.
Aryani terlihat mengangguk puas mendengar jawaban
Kenanga. Gadis cantik itu memang telah tertarik begitu melihat
Kenanga, datang bersama Pendekar Naga Putih. Ia pun yakin,
sebagai seorang sahabat dekat pendekar muda itu, Kenanga
pasti juga mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda.
Sehingga, Aryani merasa senang mendapat seorang sahabat
seperti gadis jelita itu.
Demiklan pula halnya dengan Kenanga. Semakin lama ia
mengenal gadis putri datuk sesat itu, semakin yakin hatinya
kalau Aryani sama sekali tidak memliki niat jahat atau memiliki
sifat licik. Cara bicara maupun sikap gadis itu telah membuat
Kenanga semakin merasa sayang terhadap Aryani. Dan, itu
membuat tekadnya semakin kuat untuk membela gadis cantik
dan lincah itu dari incaran Tangan Malaikat, yang sudah lama ia
dengar kesombongan dan kekerasan sikapnya dalam menindak
kaum sesat.
"Kalau boleh kutahu, ke manakah tujuan kalian berdua jika
Kakang Panji sudah menemukan kita?" tanya Aryani sambil lalu.
Meskipun pertanyaan itu seperti basa-basi, tapi sepasang mata
gadis cantik itu mengharapkan sekali jawaban.
"Entahlah. Kami tidak pernah menentukan arah tujuan. Ke
mana kaki kami melangkah, itulah yang kami turuti," sahut
Kenanga yang memang mereka berdua tidak pernah
mempunyai tujuan.
"Jadi, kalian hanya melakukan perjalanan untuk meluaskan
pengalaman, begitu?" tegas Aryani seperti masih kurang
percaya.
"Kira-kira begitulah. Semenjak kecil Kakang Panji dididik
untuk menjadi pelindung bagi orang-orang lemah. Setelah
menamatkan pelajarannya, ia pergi merantau untuk
mengamalkan ilmunya. Sedangkan aku tidak seperti dia. Aku
hanya mengikuti ke mana Kakang Panji pergi," sahut Kenanga
menolehkan kepalanya sambil tersenyum kepada Aryani.
"Hm..., kalian berdua sudah lama kenal...?" selidik Aryani
lagi. Kali ini tampak nada menggoda dalam pertanyaannya.
"Yah..., cukup lama. Kakang Panji merupakan seorang
penolongku," jawab Kenanga singkat. Meskipun ia mulai
menduga arah kelanjutan keingintahuan gadis itu, tapi Kenanga
berpura-pura tidak tahu.
"Aku yakin kau pasti kekasih Pendekar Naga Putih yang
gagah dan tampan itu bukan? Wah, kau benar-benar beruntung
sekali mempunyai seorang kekasih seperti pemuda itu. Kalau
saja aku bisa mendapatkan seorang kekasih seperti Kakang
Panji, bukan main bahagianya aku...," desah Aryani sambil
menghela napas panjang. Terkesan nada iri dalam ucapan
gadis itu. Namun, Kenanga menganggap hal itu suatu yang
wajar.
Pada saat keduanya telah keluar dari dalam hutan, tiba-tiba
Kenanga dan Aryani sama-sama menoleh ke belakang. Karena
mereka mendengar suara langkah kaki yang lembut menuju ke
arah mereka.
"Ah, itu Kakang Panji..," seru Kenanga yang merasa lega
melihat kekasihnya telah menyusul mereka.
"Apakah mereka tidak mengejarmu..?" Aryani langsung saja
menyambut kedatangan pemuda itu dengan pertanyaan.
Sambil bertanya, kepalanya terjulur ke belakang melalui bahu
Panji. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa Tangan Malaikat
dan keluarga tidak mengejar mereka.
"Tidak, aku berhasil mengelabui lelaki tua yang gagah itu.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku terlebih dahulu
bersembunyi. Setelah mereka pergi, baru aku menyusul
kalian...," sahut Panji yang segera melangkah dan diikuti kedua
orang gadis cantik itu.
"Hhh, syukurlah kalau begitu...," desah Kenanga sambil
menghela napas lega.
Beberapa saat kemudian, suasana pun berubah hening.
Ketiga orang muda ini melangkah menyusuri jalan yang
semakin melebar. Hembusan angin yang lembut mengiringi
langkah kaki mereka.
DELAPAN
Sosok tubuh tegap itu melangkah gontai menyusuri jalan
setapak. Pada wajahnya yang tampan dan gagah itu tersirat
bayang kesedihan. Rambutnya yang panjang sebahu terurai
lepas melambai-lambai dipermainkan hembusan angin yang
sesekali bertiup keras. Sorot matanya tampak demikian sayu.
Jelas, kalau pemuda itu tengah dilanda kedukaan.
Pemuda berjubah biru yang tidak lain daripada Puja Merta
itu, menghela napas tanda hatinya sedang diamuk keresahan.
Tangannya menyibak ke kiri dan kanan menyingkirkan ranting-
ranting pohon yang terkadang menutupi jalan.
"Hhh.... Ke mana aku harus mencarimu, Aryani...?" bibir
yang terkatup rapat itu bergumam pelan. Kepalanya
menengadah menatap pucuk-pucuk dedaunan pohon. Mungkin
ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan itu.
Puja Merta yang merasa berdosa terhadap Aryani terpaksa
meninggalkan tempat kediaman orang tuanya tanpa pamit. Hati
kecilnya yang merasa yakin kalau gadis cantik itu sama sekali
tidak memiliki sifat jahat dan kejam, membuatnya bertekad
untuk mencari gadis cantik itu. Ia ingin meminta pengertian
Aryani atas ucapan-ucapan ayahnya. Dan, ia ingin meminta
maaf untuk kesalahan yang diperbuat kedua orang tuanya.
Itulah yang menyebabkan Puja Merta minggat dari rumahnya,
tanpa seizin ayah dan ibunya.
Setelah agak lama menyusuri hutan, tibalah pemuda itu di
sebuah jalan lebar yang berbatu. Untuk beberapa saat,
langkahnya terhenti dan melayangkan pandangan ke alam yang
terbuka luas. Tapi, baru saja beberapa langkah kakinya
menindak, tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengejutkan.
Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik dan mengedarkan
pandangannya dengan sikap curiga.
"Hm,.., siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersikap seperti
perempuan!" seru Puja Merta tetap dalam keadaan siap
menghadapi segala kemungkinan.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa itu kembali terdengar berkepanjangan. Bahkan
kali ini seperti datang dari delapan penjuru. Hal itu
menandakan si empunya suara bukanlah orang sembarangan.
Paling tidak ia memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi.
"Hei, Manusia Pengecut! Kalau kau tidak berani
menampakkan dirimu, lebih baik kau pergi, dan jangan ganggu
aku!" Puja Merta kembali berteriak lantang dengan sikap
gagah. Tampak pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar,
meskipun ia sadar orang yang tengah mempermainkannya itu
memiliki kesaktian yang tinggi.
"Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu, Anak Bodoh? Sejak
tadi aku telah berdiri di sini. Apakah matamu buta?" terdengar
suara berat dan parau yang berasal dari sebelah belakang
pemuda itu. Sehingga, Puja Merta segera berbalik dengan
wajah agak tegang.
Puja Merta mengerutkan keningnya ketika melihat sesosok
tubuh gemuk pendek dan berkepala botak. Lelaki tua yang
usianya paling tidak sebaya dengan ayahnya itu, terlihat berdiri
dengan dada membusung. Tentu saja hal itu merupakan
pemandangan yang lucu. Biarpun lelaki gemuk pendek itu
berusaha tegak sambil mengempeskan perutnya, tetap saja
perut buncit itu menonjol ke depan.
Belum lagi Puja Merta membuka suara untuk bertanya, tiba-
tiba terdengar suara lain dari arah belakangnya. Kemudian
terdengar pula suara dari sebelah kiri dan kanannya. Sehingga
tubuh pemuda itu, berputar ke kiri dan ke kanan dan ke
belakang. Jelas, sekali orang-orang itu hendak mempermainkan
dirinya.
Dan, hati pemuda itu kian bertambah tegang ketika
mendapati sosok lain yang kini berjumlah empat orang. Menitik
dari sikap mereka, pemuda itu sadar kalau keempat orang itu
pasti berniat tidak baik terhadapnya. Pikiran itu membuatnya
semakin waspada.
"Siapa kalian? Mau apa kalian menghadang perjalananku?"
tegur Puja Merta sambil menatap keempat sosok tubuh itu
secara bergantian.
"Hm... kalau kau ingin tahu, kami adalah sahabat-sahabat
Raja Racun Merah. Kudengar ayahmu yang sombong itu
hendak membunuh putri sahabat kami itu. Jadi, kedatangan
kami kemari untuk menunjukkan bahwa Raja Racun Merah
tidak bisa dibuat main-main," sahut lelaki pendek gemuk
berkepala botak itu dengan nada mengancam.
"Huh! Kalian kira aku mudah dibohongi begitu saja?
Ketahuilah, Raja Racun Merah sudah tidak berurusan lagi
dengan dunia sesat! Datuk itu telah sadar, dan ingin
memperbaiki kesalahannya di masa lalu!" bantah Puja Merta
yang mendengar semua itu dari mulut Aryani sendiri, ketika ia
mengatakan kepada Pendekar Naga Putih.
"He he he...! Tentu-tentu. Sahabatku memang telah sadar
akan kesalahannya. Tapi, ketika mendengar ayahmu menghina
dan ingin membunuh putri satu-satunya, yang sangat disayang
melebihi nyawanya sendiri, tentu saja ia tidak tinggal diam.
Sekarang ia mungkin tengah berhadapan dengan orang tuamu
yang sombong itu. Sedangkan kami, cukup membawamu untuk
kami siksa. Karena penghinaan dan sikap ayahmu itu tidak bisa
dimaafkan begitu saja!" ujar lelaki gemuk itu dengan suara
lantang dan jelas.
Mendengar keterangan itu, Puja Merta ragu sejenak. Karena
apa yang dikatakan lelaki gemuk pendek itu, memang dapat
diterima akal sehat. "Siapa pula yang tidak marah mendengar
kabar anak gadis satu-satunya akan dibunuh orang. Ayahnya
sendiri yang merupakan tokoh golongan putih itu akan marah
dan pasti akan mencabik-cabik orang yang ingin membunuh
dirinya. Apalagi seorang tokoh sesat dan kejam seperti Raja
Racun Merah? Sudah pasti datuk sesat itu akan mengamuk!"
pikir Puja Merta bimbang.
"Tidak mungkin datuk sesat itu berani mendatangi
kediamanku! Apalagi untuk menantang ayahku!" desis Puja
Merta masih belum percaya penuh. Pemuda itu telah mengenal
orang tuanya, dan tahu akan kesaktian ayahnya yang jarang
menemui tandingan itu. Sedangkan Raja Racun Merah, meski ia
belum begitu lama mendengar namanya disebut orang,
kesaktiannya sama sekali belum diketahui, Sehingga, Puja
Merta tidak yakin kalau datuk sesat itu berani mati mendatangi
ayahnya.
"He he he... jangan kau kira kesaktian Raja Racun Merah
berada di bawah kepandaian ayahmu. Lihat saja nanti, apakah
datuk sesat itu berhasil membawa pulang kepala kedua orang
tuamu atau tidak," tukas lelaki pendek gemuk itu lagi dengan
keyakinan yang sangat kuat sekali. Sehingga Puja Merta
menjadi agak cemas.
Cemas akan keadaan orang tuanya, Puja Merta berbalik dan
berlari ke dalam hutan kembali. Sepertinya pemuda gagah itu
hendak kembali ke rumahnya.
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan nyaring, yang disusul berkelebatannya
sosok tubuh gemuk pendek itu. Hebat sekali gerakan lelaki
gemuk itu, sungguh tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang
bulat. Ternyata ia dapat bergerak cepat seperti kilat! Dalam dua
kali lompatan saja, lelaki itu telah berdiri menghadang Puja
Merta di mulut hutan!
"Heaaat...!"
Tanpa banyak cakap lagi, Puja Merta langsung melontarkan
pukulan-pukulan untuk menerobos ke dalam hutan! Tapi lelaki
gemuk pendek itu, ternyata sangat gesit dan lihai! Empat buah
pukulan yang dilancarkan secara cepat dan susul-menyusul,
dapat dielakkannya dengan geseran-geseran langkah aneh.
Hebatnya, semua serangan itu, tidak satu pun yang dapat
menyentuh tubuhnya. Padahal, gerak kakinya terlihat agak
kacau, dan terkesan serampangan.
"Ringkus pemuda itu! Aku tidak sudi berhadapan dengan
seorang bocah ingusan!" sambil berseru, lelaki gemuk pendek
itu mencelat ke belakang, sejauh dua tombak lebih!
Puja Merta yang bermaksud mengejar lawan, kembali
menarik mundur langkahnya. Karena ketiga orang kawan lelaki
gemuk pendek itu, mencecarnya dengan pukulan-pukulan yang
menimbulkan sambaran angin yang kuat sekali.
Bettt! Bettt! Bettt!
Serangkaian serangan yang dilontarkan ketiga orang itu
secara bergelombang, cukup membuat Puja Merta sibuk untuk
beberapa saat lamanya. Begitu melihat peluang, pemuda itu
segera melompat jauh ke belakang, dan siap melakukan
perlawanan.
Sebagai seorang putra pendekar besar, tentu saja Puja Merta
telah dibekali bermacam ilmu-ilmu tinggi. Bahkan ilmu 'Tangan
Malaikat' yang menjadi andalan ayahnya pun, telah puta
diwariskan kepada putra tunggalnya itu. Sehingga, tingkat
kepandaian pemuda itu sudah sangat tinggi, dan tidak bisa
disamakan dengan pemuda-pemuda sebayanya.
"Hm...," sambil menggeram, Puja Merta memutar tangannya
ke samping dan ke depan. Gerakannya yang lemas, namun
jelas mengandung kekuatan tenaga dalam yang tinggi itu,
sejenak membuat ketiga orang pengeroyoknya mundur
beberapa tindak. Sepertinya ketiga orang itu, mulai mengatur
serangan untuk menghadapi pemuda tampan itu.
"Haiiit..!"
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda tampan
dan gagah itu bergerak dengan langkah-langkah cepat, sambil
diiringi gerakan tangannya yang cepat pula. Sehingga
menimbulkan sambaran angin kuat itu.
"He he he...! Hati-hati, Tiga Iblis Gundul. Ingat, pemuda itu,
keturunan datuk golongan putih. Kepandaiannya tentu tidak
dapat dipandang ringan," ujar lelaki gemuk pendek itu terkekeh
seraya mengingatkan kawannya.
Tiga lelaki bertubuh kekar yang berkepala gundul itu
menggeram lirih. Serentak ketiganya berpencar dan
membentuk tiga sudut. Sepertinya mereka ingin menggunakan
jurus gabungan dalam menghadapi pemuda itu.
Lelaki bertubuh kekar yang memiliki kumis seperti tikus,
yang berdiri di depan pemuda itu, segera bergerak ke kanan
menghindari pukulan yang mengancam tubuhnya. Gerakannya
itu langsung disusul oleh kawannya yang berada di sebelah
kanan, dan sekaligus menggantikan tempatnya.
Pertarungan pun semakin seru, sehingga membuat lelaki
gemuk pendek yang menyaksikannya menggeleng-gelengkan
kepala tak sabar. Sepertinya ia sudah merasa gatal ingin turun
tangan langsung untuk menundukkan keturunan datuk
golongan putih itu.
Bahkan ia mulai meremas-remas tangannya, ketika pada
jurus kedua puluh keadaan masih belum juga berubah.
"Ah, terlalu lamban, terlalu lamban...!" ucap lelaki pendek
gemuk itu berulang-ulang. Setelah berkata demikian, tubuh
gemuk pendek itu langsung melayang ke arah arena
pertarungan.
Wuuut! Wuuut!
Begitu memasuki kancah pertarungan, lelaki pendek gemuk
itu segera melontarkan serangan-serangan ke arah lawan.
Menilik dari sambaran angin pukulannya yang mencicit tajam
itu, jelas tenaga dalam yang dimiliki lawan sangat tinggi sekali!
Sehingga, meskipun dua buah serangannya berhasil dihindari
Puja Merta, tapi tubuh pemuda itu sempat terhuyung karena
kuatnya sambaran angin pukulan lawan.
"Hm..., mengapa tidak sejak tadi kau ikut mengeroyokku,
Cebol!" ejek Puja Merta setelah melakukan lompatan panjang
ke belakang dan menyiapkan ilmu andalannya.
"He he he...! Aku harus meneliti dulu, sampai di mana ilmu
yang telah kau pelajari dari ayahmu. Setelah itu, baru aku
sendiri yang akan membekukmu...," tukas lelaki cebol itu
terkekeh nyaring. Suara tawanya terdengar sangat berbeda
sekali. Rasanya suara yang melengking nyaring itu, lebih tepat
dimiliki seorang perempuan.
Puja Merta tidak mempedulikan ocehan laki-laki pendek
gemuk, yang dalam dunia persilatan berjuluk Bocah Iblis.
Tokoh yang menggiriskan dan sangat kejam itu, sebenarnya
seorang datuk sesat di wilayah Timur. Melihat dari angin
pukulannya, yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi itu,
rasanya memang pantas kalau laki-laki pendek gemuk itu
menjadi seorang datuk.
"Hiaaah...!"
Puja Merta yang sudah menyiapkan ilmu 'Tangan Malaikat'
merendahkan kuda-kudanya, ketika melihat lelaki cebol
mendorongkan telapak tangannya ke depan. Menduga kalau
lawan telah melepaskan pukulan jarak jauh, maka pemuda
tampan itu bersiap menyambutnya.
Sayang, apa yang diduga pemuda itu sama sekali meleset.
Kesadarannya baru bangkit, ketika matanya menangkap sinar
hitam yang menebar mengepung tubuhnya. Tapi, kesadaran itu
datangnya terlambat! Tubuh pemuda itu tiba-tiba telah
terbungkus jala halus yang sangat kuat! Belum sempat pemuda
itu berbuat sesuatu untuk membebaskan dirinya, ia telah
merasakan sekujur tubuhnya lumpuh!
Lelaki cebol yang berjuluk Bocah Iblis itu terkekeh penuh
kemenangan. Rupanya berbarengan dengan dilepaskannya jala
halus itu, tubuhnya pun ikut melesat cepat dan mengirim
totokan yang membuat pemuda itu lumpuh!
"Hei, tahan...!"
Sebelum Bocah Iblis sempai membawa pergi ta-wanannya,
tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum
gema suara itu lenyap, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh,
seorang pemuda dan seorang gadis cantik.
"Hei, tahan...!"
Sebelum datuk sesat yang berjuluk Bocah Iblis itu sempat
membawa pergi tawanannya, tiba-tiba terdengar sebuah
seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum gema suara itu
lenyap dari pendengaran, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh,
seorang pemuda dan seorang gadis cantik.
"Hm..., bukankah yang kalian tawan itu keturunan Datuk
Tangan Malaikat?" tegur pemuda tampan berjubah putih itu
sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Puja Merta yang
meringkuk dalam keadaan pingsan.
"He he he.... Tidak kusangka kalau di tempat seperti ini, aku
berjumpa dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Naga
Putih. Apakah dugaanku keliru?" lelaki cebol itu terkekeh tanpa
mempedulikan ucapan pemuda berjubah putih yang tidak lain
Panji itu. Sedangkan sosok yang satunya lagi, sudah pasti
Kenanga.
"Tidak salah. Dan,
kalau aku tidak
keliru, kau pasti
Datuk sesat dari
wilayah Timur, yang
dijutuki orang Bocah
Iblis...," ujar Panji
yang rupanya telah
banyak mendengar
tentang tokoh sesat
itu.
"He he he..., kau
pun tidak salah.
Akulah yang dijuluki
Bocah Iblis itu. Anak-
anak, bawa pergi pemuda keturunan Datuk Tangan Malaikat ini.
Biar aku yang akan meladeni pendekar muda yang tersohor
itu," ujar Bocah Iblis sambil menoleh kepada tiga orang anak
buahnya.
"Tunggu! Kalau kalian ingin pergi tanpa kuganggu,
tinggalkan pemuda itu...," tegas Panji mengancam. Sambil
berkata, tubuh pemuda tampan itu langsung mencelat, dan
mencegah Tiga Iblis Gundul yang akan membawa Puja Merta.
"Jangan hiraukan dia...!" seru lelaki cebol itu yang segera
menghadang Pendekar Naga Putih. Tanpa banyak cakap lagi,
Bocah Iblis langsung melontarkan serangan beruntun ke arah
Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa melayaninya. Pertarungan
tidak dapat dicegah lagi.
Kenanga yang melihat kekasihnya telah bertarung dengan
lelaki cebol itu, segera melesat merebut Puja Merta dari tangan
Tiga Iblis Gundul.
"Haiiit..! Lebih balk kau mundur, Nisanak...," ujar lelaki cebol
itu yang sempat melihat gerakan Kenanga, meski ia sedang
bertarung. Dengan cepat ia mengibaskan tangan kirinya.
Karuan saja gadis jelita itu melompat mundur, ketika mencium
bau amis yang berbarengan dengan menyebarnya asap putih
dari tangan Bocah Iblis. Rupanya tokoh sesat itu telah
menggunakan bubuk beracun untuk mencegah Kenanga.
Panji yang mendengar kekasihnya memekik sambil
melindungi wajah dari semburan bubuk putih itu, tentu saja
menjadi khawatir. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya
oleh Bocah Iblis untuk melepaskan bubuk beracun ke arah
Panji. Sehingga, Panji terpaksa mundur ketika sepasang
matanya terasa perih.
"Licik...!" desis Panji yang segera mendorongkan telapak
tangannya, guna mengusir bubuk beracun itu. Tapi, begitu ia
membuka matanya, bayangan ibbs cebol itu sudah tidak
nampak.
"Kurang ajar...! Mereka telah melarikan diri, Kakang," desis
Kenanga geram. Gadis jelita itu tampak masih agak kabur
pandangannya. Bahkan air matanya tampak mengalir akibat
bubuk beracun yang mengenai matanya.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Naga Putih. Pemuda
itu tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang berair.
Dalam keadaan seperti itu, membuat mereka tidak berani
mengejar lawan-lawannya. Karena dengan pandangan yang
masih kabur itu, jelas sangat berbahaya mengejar seorang
lawan yang lihai seperti datuk wilayah Timur itu.
"Hhh..., belum lagi kita dapat menemukan jejak Aryani, yang
pergi entah ke mana. Kini muncul masalah baru yang cukup
rumit. Mungkinkah kejadian itu merupakan buntut dari
penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap Raja Racun
Merah?" gumam Panji seperti berkata dengan diri sendiri.
"Maksud Kakang, Raja Racun Merah mau membalas dendam
atas penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap dirinya itu?
Tapi, bukankah datuk sesat wilayah Selatan itu telah bertobat?"
ujar Kenanga yang sepertinya mulai merasa ragu dengan
keterangan Aryani.
"Tapi, mengapa Aryani pergi tanpa pamit kepada kita? Kalau
memang ia ingin melanjutkan pengembaraan seorang diri, toh
kita tidak akan melarangnya. Ah..., aneh sekali sikap gadis
keturunan datuk sesat itu," desah Panji dengan kening
berkerut. Jelas, ia berpikir keras untuk mencari jawaban dari
semua pertstiwa yang menurutnya sangat rumit itu.
"Keadaan pasti akan semakin rumit bila Tangan Malaikat
mengetahui, putranya diculik orang...," ujar Kenanga lagi
dengan disertai desahan napas panjang. Gadis jelita itu merasa
pening dengan pertstiwa yang mereka hadapi kali ini. Karena
semua masalahnya masih serba gelap.
"Hm..., sebaiknya kejadian itu tidak perlu kita beritahukan
kepada Datuk Tangan Malaikat. Kita selidiki saja dulu, apa
sebenarnya yang menjadi penyebab semua kejadian mi," usul
Panji yang meminta persetujuan kekasihnya.
"Aku setuju, Kakang. Persoalan ini masih belum jelas. Siapa
yang bersalah, kita belum bisa mengetahuinya. Ada baiknya
memang kalau kita saja yang menyelidiki. Dengan demikian,
mungkin kita dapat menghindarkan hal-hal yang tidak kita
inginkan," jawab Kenanga penuh semangat.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?" sambil berkata demikian,
Panji menggenggam jemari tangan gadis jelita itu. Kemudian
keduanya melangkah meninggalkan tempat itu, meski dengan
mata terasa agak perih. Racun yang disebarkan Iblis Cebol itu
rupanya tidak berbahaya. Sepertinya senjata itu hanya digu-
nakan untuk mengelabui lawan-lawannya, agar ia bisa
meloloskan diri. Hal itu telah diketahui Pendekar Naga Putih,
setelah merasakan tidak adanya pengaruh lain, kecuali rasa
perih. Itu sebabnya pemuda itu tidak merasa khawatir dengan
bubuk beracun yang memasuki mata mereka.
Ke manakah perginya Aryani? Apa yang membuat gadis
keturunan datuk sesat itu pergi tanpa pamit? Apakah ada
hubungannya dengan penculik Puja Merta? Bagaimana sikap
Datuk Tangan Malaikat ketika mengetahui keturunan satu-
satunya itu diculik orang? Lalu, apakah ucapan seorang datuk
sesat seperti Raja Racun Merah yang hendak mengundurkan
diri itu dapat dipercaya? Terakhir, mampukah Pendekar Naga
Putih mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di batik semua
perisriwa itu? Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah
berikutnya dari penyelidikan Pendekar Naga Putih dalam
episode "Tewasnya Raja Racun Merah"!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar