..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 17 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PEREMPUAN PEREMPUAN LEMBAH HITAM

Matjenuh khairil

 


PEREMPUAN-PEREMPUAN LEMBAH HITAM 

oleh T. Hidayat 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Penyunting : A.Suyudi 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 

T. Hidayat 

Serial Pendekar Naga Putih 

dalam episode: 

Perempuan-Perempuan Lembah Hitam 

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


Sepasang burung murai berlompatan riang di atas dahan. Kicauannya terdengar 

menyambut bias cahaya merah di kaki langit sebelah timur. Unggas-unggas kecil yang 

lucu itu nampak demikian gembira menyambut datangnya sang surya. Suasana yang sejuk 

dan semilir angin lembut yang menyapa dedaunan, membuat pagi itu serasa indah dan 

hidup. 

Namun suasana damai seperti itu ternyata tak berlangsung lama. Suara bentakan-

bentakan kasar dan keras, serta dentangan senjata yang menusuk telinga, telah merusak 

keindahan dan keheningan pagi itu. Dapat dipastikan kalau perusak keindahan itu 

makhluk-makhluk yang bernama manusia. Dan suara-suara itu jelas bersumber dari 

sebuah pertempuran. 

Ternyata benar, pada sebuah tepian sungai, terlihat suatu pertempuran sengit 

tengah berkecamuk. Mereka inilah yang telah membuat suasana pagi menjadi rusak. 

"Yeaaat...!" 

Suara teriakan keras kembali terdengar memekakkan telinga. Terlihat seorang 

lelaki bertubuh kekar bersenjatakan sebatang pedang tengah melesat ke udara. Pedang di 

tangannya berputaran cepat menimbulkan suara mengaung tajam, membelah keheningan 

pagi hari itu. 

"Hmh...!" 

Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda, mengeluarkan suara 

mendengus bernada mengejek. Hanya dengan geseran langkahnya, sambaran pedang lelaki 

bertubuh kekar itu luput, sehingga hanya menyambar tempat kosong. 

"Perempuan setan...!" 

Gagalnya serangan itu membuat lelaki bertubuh kekar tampak kian penasaran. 

Terdengar umpatannya yang kasar meningkahi suara berdesingan. Sementara pedang di 

tangannya terus bergerak dengan serangkaian serangan yang berbahaya. Melihat dari 

gerakannya yang cepat dan kuat, dapat diduga kalau ielaki itu bukanlah orang 

sembarangan. 

"Makilah sepuasmu. Orang Gagah! Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di tangan 

kami...!" sahut sosok bertubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu. Nada 

suaranya mengandung ejekan yang disertai senyum sinis. Sambil berkata demikian, 

tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan langkah-langkah ringan dan mantap. Se-

hingga, tak satu pun dari serangan lawan yang mengenai sasaran. Karuan saja lelaki 

bertubuh kekar itu semakin marah. Dengan geram terus dilancarkan serangan-

serangannya yang semakin cepat dan kuat. 

Namun wanita yang diserangnya tak kalah gesit. Bahkan terlihat dia mulai 

membalas serangan lawan dengan tamparan dan tusukan jemari tangannya. Kendati 

hanya bertangan kosong, serangan yang dilancarkan wanita itu ternyata jauh lebih 

berbahaya ketimbang serangan pedang lawan. Sehingga pertarungan pun berjalan semakin 

seru dan mendebarkan. 

Perusak suasana pagi itu ternyata bukan hanya mereka berdua. Sebab, tak jauh 

dari tempat pertarungan itu, terlihat dua pertempuran lain yang tidak kalah seru. 

Anehnya, pertarungan itu seperti sengaja telah diatur. Karena pihak-pihak yang bertarung 

antara lelaki melawan perempuan! Entah persoalan apa yang membuat mereka sepagi itu 

telah terlibat dalam perkelahian mati-matian. 

Seperti yang pertama, dua pertempuran lainnya pun kelihatan masih berjalan 

seimbang. Meski demikian, tampak jelas betapa pihak lelaki berusaha keras untuk segera 

merobohkan lawannya masing-masing. Hal itu terbukti dari serangan-serangan mereka 

yang cepat dan bertubi-tubi datangnya. Seakan-akan ketiga orang lelaki itu demikian 

membenci perempuan-perempuan yang menjadi lawan mereka. 

Ketika tiga pertarungan itu berlangsung seru, tiba-tiba terdengar sebuah seruan 

bernada dingin. 

"Robohkan mereka...!" 

Seruan bernada perintah itu membuat suasana pertarungan berubah seketika. 

Perempuan-perempuan berpakaian merah muda yang semula hanya mengelak dan 

sesekali melancarkan serangan balasan, kini merubah gaya permainan mereka. 

"Haiiit..!"


"Heaaa...!" 

Diiringi pekikan merdu yang susul-menyusul, ketiga perempuan itu mulai 

membangun serangan. 

"Hahhh...?!" pekik ketiga lelaki bertubuh kekar hampir bersamaan. 

Tampak rasa keterkejutan melanda wajah mereka yang berubah agak pucat. 

Dengan mata terbelalak nanar ketiganya menyaksikan serangan-serangan lawan yang 

berubah dahsyat. Setiap kali tangan dan kaki mereka meluncur, diikuti serangkaian angin 

keras menderu. Gempuran yang cepat dan beruntun itu membuat ketiga lelaki tampak tak 

mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Bahkan... 

"Hiaaa...!" 

Bukkk, 

"Aaakh...!" 

Pekikan keras terdengar ketika salah seorang dari ketiga lelaki itu terhantam 

serangan lawan. Pukulan telapak tangan halus yang mendarat di dadanya, membuat 

tubuh tegap terbungkus pakaian putih itu terjerembab mencium tanah. Darah segar 

langsung muntah dari mulutnya. Sesaat kemudian tanpa menggelepar-gelepar lelaki itu 

tergeletak pingsan. 

Kedua kawannya yang saat itu masih bertahan mati-matian, tentu saja tersentak 

kaget menyaksikan kejadian itu. Akibatnya, dalam sesaat mereka lengah. Kedua 

perempuan yang tengah dihadapi tampaknya mengetahui peluang itu. Hingga.... 

"Hiaaat..!" 

Bluk! Plak! 

Dengan cepat kedua perempuan itu melantarkan serangan dahsyat. 

"Aaakh...!" 

Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Tubuh kedua lelaki kekar yang 

terbungkus pakaian putih itu seketika terjungkal. Setelah memuntahkan darah segar, 

keduanya terkapar lemas di tanah. Ternyata tangan-tangan yang tampak halus dan mulus 

milik kedua perempuan itu menyimpan suatu kekuatan tenaga dalam kuat. Terbukti 

dalam sekali pukulan telapak tangan saja, telah membuat lawan terkapar tak sadarkan 

diri. 

Sejenak suasana berubah sepi. Tampak senyum sinis di bibir ketiga perempuan itu, 

sambil menatap tubuh lawan yang telah ambruk di tanah basah. 

"Sadarkan mereka...!" 

Terdengar sebuah perintah dengan suara datar. Serentak ketiga perempuan 

berpakaian merah muda itu menolehkan wajahnya menatap sebuah tandu yang diusung 

empat laki-laki muda bertubuh kekar. 

"Baik, Ketua...," sahut salah seorang dari ketiga perempuan itu dengan penuh 

hormat. Kemudian segera memberikan isyarat dengan gerakan kepala kepada kedua 

temannya. 

Tanpa diperintah dua kali, ketiga perempuan yang rata-rata berwajah cantik itu 

segera menghampiri lawan masing-masing. Mereka langsung menotok bagian tubuh lawan. 

Seketika terdengarlah keluhan-keluhan lirih dari mulut ketiga lelaki yang masih terkulai 

lemas itu. 

"Bangun kau, Lelaki Pemalas...!" 

Bluk! 

Perempuan cantik yang mempunyai tahi lalat di tepi bibir kanannya, membentak 

halus, seraya mengayunkan kaki kanan, menendang tubuh lelaki di bawahnya. 

"Ugkh...!" 

Kendati tendangan kaki mungil itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam, 

lelaki itu tampak merasa kesakitan. Bahkan tendangan itu bagaikan mengandung tenaga 

yang kuat. Terbukti tubuh lelaki berkumis tipis yang ditendangnya terangkat dari tanah. 

Seketika dari mulutnya mengalir darah kental, karena luka dalam yang diderita bertambah 

parah. 

"Perempuan iblis...!" desis lelaki berkumis tipis ini penuh dendam. Sorot matanya 

menyiratkan kebencian yang dalam. Sayang, dia sudah tak mampu berbuat sesuatu. Luka 

dalam dadanya terasa nyeri saat dia berusaha mengerahkan tenaga. Sehingga, lelaki 

bertubuh kekar itu hanya bisa pasrah terhadap perlakuan lawannya. 

"Hmh...!" dengus perempuan cantik berwajah dingin yang mempunyai tahi lalat itu, 

ketika mendengar umpatan lawannya. Seketika itu juga jemari tangannya terulur


menjambak rambut lelaki tegap berkumis tipis di hadapannya. Kemudian ditariknya 

denngan sentakan kasar. 

"Aaakh...!" 

Perlakuan perempuan berwajah dingin itu tentu saja membuat lawannya menjerit 

kesakitan. Dan mau tak mau laki-laki itu tersentak bangkit dengan mulut meringis 

menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun tak tampak perasaan gentar sedikit pun 

di wajahnya. Bahkan kembali memaki dengan kasar. 

"Perempuan durjana! Kalian tak lebih dari iblis-iblis keparat yang berkedok wajah 

cantik! Hhh..., tapi jangan dikira aku sudi menyerah! Lebih baik aku mati, daripada harus 

ikut dengan kalian...!" geram lelaki kekar berkumis tipis itu. Sorot matanya tajam 

menentang tatapan mata wanita itu. Sekilas matanya melirik pada tandu yang berada 

sekitar lima tombak di depannya. 

"Hi hi hi...! Makilah sepuasmu, Orang Gagah. Sebentar lagi kau akan merasakan 

siksaan yang menyakitkan..!" sahut perempuan bertahi lalat itu tertawa penuh ejekan yang 

menyakitkan. 

"Ningrum! Ikat kedua tangan mereka, dan seret dengan kuda!" Kembali suara 

dingin yang datang dari dalam tandu terdengar memerintah. 

"Baik, Ketua...," sahut wanita bertahi lalat di tepi bibir, yang ternyata bernama 

Ningrum. Tangannya menyeret tubuh lawan yang masih terkulai tak berdaya. Lalu diikat 

kedua tangannya dengan seutas tali yang terbuat dari anyaman kulit binatang. 

Kendati tak terlalu besar, tali itu sangat kuat dan tak mudah diputuskan. 

Dua orang lelaki lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka tak mampu berbuat 

apa-apa. Karena luka dalam akibat pukulan lawan telah membuat tubuh mereka lemas 

tiada berdaya. Sehingga, semua perlakuan perempuan-perempuan berpakaian merah 

muda itu hanya bisa diterima dengan pasrah. 

"Jalan...!" 

Suara perintah kembali terdengar dari dalam tandu. Seketika itu juga rombongan 

pun bergerak meninggalkan tepian sungai. 

Tiga perempuan berbaju hijau, yang juga rata-rata berwajah cantik, berada di 

depan. Mereka bertiga menunggang kuda yang di belakangnya melangkah tiga orang lelaki 

muda dengan kedua tangan terikat. Rupanya bukan hanya ketiga lelaki muda berpakaian 

putih yang ditawan perempuan-perempuan itu. Ternyata tiga orang lelaki yang berada di 

belakang kuda perempuan berpakaian hgau itu pun merupakan tawanan. Mereka dipaksa 

melangkah tersaruk-saruk. Karena kalau sampai terjatuh, tubuh mereka akan terus 

terseret-seret di atas tanah. 

Sedangkan tiga perempuan berpakaian merah muda, berada di belakang 

rombongan. Mereka pun memperlakukan para tawanan seperti tiga lelaki di depan. Tak 

sedikit pun rasa kasihan di hati ketiganya, kendati tiga orang lelaki di belakang mereka 

melangkah tersaruk-saruk dengan kedua tangan terikat pada punggung kuda. Seakan-

akan ketiga perempuan itu tak peduli terhadap luka dalam yang diderita para tawanan. 

Sementara itu tandu yang diusung empat orang laki-laki kekar berwajah dingin, 

berada di tengah rombongan. Meskipun sosok di dalam tandu itu belum terlihat, dapat 

dipastikan kalau dia pun seorang wanita. Karena suaranya yang dingin tak bisa 

menyembunyikan ciri suara seorang wanita. Dialah pimpinan rombongan kecil itu. 

Rombongan itu terus bergerak perlahan menyusuri jalan selebar dua tombak yang 

diapit pepohonan. Semilir angin lembut dan terpaan sinar matahari pagi mengiringi 

langkah mereka. 

*** 

"Kakang Gupta...! Aku... tak sanggup lagi...," keluh lelaki bertubuh tegap yang 

wajahnya terhias kumis tipis seraya menoleh pada kawannya. Wajahnya yang sudah 

dibanjiri peluh tampak berkerut-kerut. Bibirnya yang terkatup rapat dan kering, terlihat 

bergetar sesaat. Sinar matanya menatap penuh kecemasan. Sementara sekujur tubuhnya 

tampak lemah dan kelelahan. 

"Kuatkan dirimu, Adi! Tunjukkan bahwa siksaan ini sama sekali tidak berarti bagi 

kita...!" ujar lelaki berhidung mancung yang dipanggil Kakang Gupta. Ucapan itu pun 

tampaknya tak mudah dikeluarkan. Suara kering dan pelan itu baru terlontar setelah lebih 

dahulu bibirnya yang kering dijilat-jilat.

Namun, pancaran sinar matahari yang sangat garang menyengat tubuh, membuat 

lelaki tegap berahang kokoh itu tak bisa menuruti nasihat Gupta. Kedua kakinya yang 

lemas dan tak mampu lagi menahan tubuh, langsung menekuk. Lelaki itu pun roboh 

terguling ke tanah, dan terseret kuda di depannya. 

"Adi...!" Gupta terpekik dengan suara parau. Dia mencoba untuk menolong. 

Namun, apa yang dapat dilakukan Gupta dengan kedua tangan terikat seperti itu. Bahkan 

saat langkahnya tersaruk hendak mendekati kawannya, tiba-tiba.... 

Ctarrr...! 

"Aaakh...!" 

Gupta terpekik ketika cambuk di tangan perempuan bernama Ningrum yang duduk 

di punggung kuda menyengat tubuhnya. Tak ampun lagi, lelaki bertubuh gagah itu 

terhuyung limbung, lalu jatuh ke tanah. Sadar kalau tak segera bangkit akan mengalami 

siksaan yang lebih menyakitkan, Gupta pun menguatkan hatinya. Kendati sempat terseret 

beberapa tombak, Gupta dapat mengeraskan hatinya, dan bangkit berdiri. Pakaiannya 

yang putih kini kotor terkena tanah agak basah yang telah terinjak-injak kaki kuda. 

"Uhhh...!" 

Terdengar keluhan pendek dari mulut lelaki tegap itu. Ketika pakaiannya 

tersingkap, tampak bilur merah di dadanya yang bidang. Goresan merah akibat lecutan 

cambuk itu memanjang sampai ke leher. Bahkan mungkin kalau tak tertutup pakaian, 

perutnya pun tergambar bekas sabetan itu. Sambil merintih, Gupta tampak menggigit bibir 

bawahnya kuat-kuat. Dia tak ingin rintihan itu terdengar siapa pun. Sehingga hanya 

dalam hati rintihan itu dikeluarkan. Dan ketika keringat mulai menyusup pada goresan 

merah itu, dengan sekuat tenaga ditahannya rasa pedih yang mendera. 

"Aaakh...!" 

Tiba-tiba kawan Gupta yang terseret memekik keras. Gupta pun serta merta 

menolehkan wajahnya. Betapa geram hati lelaki itu ketika melihat tubuh kawannya 

terseret-seret. Luka-luka goresan yang meneteskan darah, membuat sosok kawannya yang 

telah kotor tampak begitu mengenaskan. Dan pemandangan itu membuat Gupta tak 

mampu menahan kemarahan. 

"Iblis...! Kalian benar-benar biadab! Tak berperasaan! Bunuh saja kami, daripada 

kalian siksa seperti binatang yang tak berharga...!" 

Pada puncak kemarahannya, Gupta berteriak-teriak keras. Tubuhnya yang dipaksa 

melangkah tersaruk-saruk itu tampak menegang. Dia mencoba memberontak untuk 

melepaskan kedua tangan yang terikat kuat. Namun hal itu hanya merupakan tindakan 

yang sia-sia. Bahkan akhirnya harus menanggung akibat yang mengerikan. Cambuk di 

tangan Ningrum kembali melecut tubuhnya diiringi tawa mengejek perempuan-perempuan 

tak berperasaan itu. 

Ctarrr! Ctarrr...! 

"Aaakh...!" 

Gupta meraung-raung keras karena merasakan sakit yang mendera tubuhnya. 

Darah segar pun meleleh keluar dari luka sayatan akibat cambuk yang dilecutkan 

beberapa kali. 

"Perempuan-perempuan setan..! Lepaskan aku...! Ayo kita bertarung sampai seribu 

jurus...!" teriak Gupta menantang karena marah dan tak tahan merasakan sakit di sekujur 

tubuhnya. Matanya terbelalak merah menatap tajam perempuan itu. 

"Hik hik hik...!" 

Terdengar tawa mengejek di sana-sini yang membuat dada Gupta terasa meledak. 

Mulutnya kembali terpekik ketika merasakan seretan itu semakin cepat. Ternyata 

perempuan itu melarikan kudanya. Sehingga, tak ada kesempatan sama sekali bagi Gupta 

untuk bangkit berdiri. Darah segar semakin banyak mengalir, turun membasahi tubuhnya. 

Jalan terjal berbatu yang dilalui rombongan itu membuat sekujur tubuh Gupta dipenuhi 

luka. Betapa sakit dan perihnya luka-luka di tubuhnya! 

"Kakang...!" teriak kawannya yang masih berdiri melangkah tersaruk-saruk. 

Suaranya kering dan parau. Sungguh, kalau saja tidak merasa malu, ingin sekali dia 

menangis, melihat penderitaan Gupta. Kendati demikian, matanya tidak bisa menahan air 

yang mulai mengalir keluar. Apalagi kawannya yang seorang sudah tak bergerak lagi, dan 

terus terseret lari kuda. Dia tak tahu apakah kawannya pingsan atau sudah tewas karena 

siksaan.


Gupta sendiri sudah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terlonjak-lonjak 

karena jalan yang mereka lalui tidak rata, semakin menambah berat deritanya. Sekujur 

tubuhnya dirasakan nyeri dan linu. Goresan bebatuan membuat pakaiannya terkoyak. 

Gupta hanya mampu memejamkan kedua matanya sambil menggigit bibir kuat-kuat, 

bahkan sampai mengeluarkan darah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat hati 

perempuan-perempuan kejam itu tergerak untuk menghentikan siksaannya. 

Sementara itu ketiga tawanan yang diseret penunggang-penunggang kuda 

berpakaian serba hijau, hanya bisa menarik napas panjang, dan mengatupkan rahangnya 

kuat-kuat. Mereka bukan tak tahu dengan apa yang menimpa tiga orang tawanan di 

rombongan belakang. Namun, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong, 

akhirnya mereka hanya bisa mengutuk dalam hati atas kekejaman perempuan-perempuan 

berhati iblis itu. Tak satu pun dari mereka yang berani menoleh. Karena hal itu bisa 

mendatangkan bencana yang mengerikan. Hanya sesekali mereka memejamkan mata 

sambil menghela napas dalam-dalam. 

"Heaaa...!" 

Gupta yang merasa tidak sanggup lagi untuk menahan semua penderitaan itu, tiba-

tiba memekik sekuat tenaga. Kemudian menyentakkan tali yang mengikat kedua 

tangannya. Gupta nekat hendak melepaskan dirinya dari ikatan itu. Tapi.... 

"Aaakh...!" 

Gupta melolong kesakitan. Tali pengikat yang hanya sebesar jari kelingking itu 

ternyata sangat kuat. Sentakannya barusan membuat tali itu terbenam ke dalam 

pergelangan tangan. Darah mengalir karena kulit di pergelangan tangan Gupta sobek 

sampai ke tulang. 

Rasa sakit yang dirasakannya membuat Gupta jatuh tak sadarkan diri. Sehingga, 

tubuhnya terseret tanpa daya. Untung saja saat itu rombongan telah melewati jalan 

berbatu, dan mulai memasuki daerah padang rumput yang luas. Sehingga, penderitaan 

yang dirasakan Gupta tidak semakin parah. 

"Berhenti...!" 

Tiba-tiba terdengar suara perintah dari dalam tandu. Seketika itu juga, rombongan 

pun terhenti. Hal itu tentu saja membuat para tawanan merasa sedikit lega. Karena 

mereka dapat beristirahat, meski dalam keadaan berdiri dan di dalam sinar matahari yang 

terik. 

"Ningrum. Tinggalkan bangkai tak berguna itu..!" 

Mendengar perintah ketuanya, sepasang mata dingin Ningrum menoleh ke 

belakang. Dilihatnya tubuh lelaki di samping kanan Gupta sudah tidak bergerak lagi. 

Rupanya nyawa lelaki berahang kokoh, kawan Gupta itu telah melayang. Dia sudah tak 

sanggup untuk menahan penderitaan itu lebih lama. 

Tanpa banyak cakap lagi, Ningrum langsung melompat turun dari punggung 

kudanya. Kemudian melepaskan tali pengikat kedua lengan lelaki yang telah menjadi 

mayat itu. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ningrum kembali melompat ringan ke atas 

punggung kudanya. Dari gerakan yang dilakukan, menunjukkan kalau ilmu meringankan 

tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi. Hanya sekali menggenjot, tubuhnya telah berada 

di atas punggung kuda. 

"Lanjutkan perjalanan...!" 

Perintah dari dalam tandu yang tertutup kain sutera merah muda itu kembali 

terdengar. Rombongan bergerak serentak. Tak satu pun dari anggota rombongan yang 

mempedulikan Gupta. Padahal tubuh lelaki kekar berkumis tipis itu sudah sangat 

mengenaskan. Tampak tubuhnya yang luka-luka berlumuran darah bercampur tanah, 

terseret-seret terus tanpa ampun. 

Sementara itu, kawan Gupta yang tinggal seorang hanya mampu menatap iba. 

Untuk mengeluarkan suara saja mulutnya seperti tak kuasa. Terasa kelu, getir, dan pahit, 

karena kerongkongannya kering kerontang. Selain itu sekujur tubuhnya dirasakan seperti 

telah kehabisan tenaga. Matanya mulai berkunang-kunang seiring dengan rasa kesemutan 

dan gemetaran di sekujur tubuh. 

Perempuan-perempuan cantik berhati iblis itu terus bergerak dengan kuda mereka. 

Tentu saja perjalanan yang agak cepat itu membuat keempat pemikul tandu harus berlari-

lari kecil. Tampaknya keempat pemikul tandu itu pun tidak berbeda jauh keadaannya 

dengan para tawanan. Keringat yang meleleh membasahi tubuh telanjang itu sudah tak 

ubahnya orang yang baru saja berendam di sungai.


Namun anehnya, mereka seakan-akan tak merasa kelelahan sedikit pun. Entah apa 

yang telah membuat tenaga mereka bagaikan tak pernah habis.



DUA



Seorang pemuda tampan bertubuh sedang mengenakan jubah panjang berwarna 

putih berdiri tegak di tengah jalan. Dengan kening berkerut matanya menatap tajam ke 

depan. Kedua kakinya terpentang menghadang jalan. Senyum sinis di wajahnya 

menyiratkan rasa ketidaksenangan dengan apa yang terlihat di depan. 

"Celaka...!" 

Suara berdesis itu terdengar dari dalam tandu yang diusung empat orang lelaki 

kekar. Nadanya jelas menggambarkan kekhawatiran. Karena dari balik sutera merah muda 

yang menutupi bagian depan tandu, matanya melihat sosok yang menghadang perjalanan 

rombongannya. Rupanya rombongan kecil inilah yang membuat pemuda tampan berjubah 

putih itu merasa terusik jiwanya dan menghadang di tengah jalan. 

"Kita mendapat halangan besar...!" desis orang di dalam tandu, membuat enam 

orang wanita di depan dan belakang tandu mengerutkan kening serentak. 

Karena menangkap adanya nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam 

perempuan cantik itu pun berusaha menegasi sosok bertubuh sedang yang berdiri 

menghadang jalan. Namun mereka tetap belum mengerti, mengapa suara itu terdengar 

penuh kecemasan. Padahal yang menghadang jalan mereka seorang pemuda tampan dan 

menarik. Dan tak ada orang lain kecuali pemuda berjubah putih Itu. Tentu saja mereka 

merasa penasaran. 

"Pemuda tampan berjubah putih itukah yang Ketua maksud sebagai halangan 

besar?" tanya Ningrum karena tak dapat menahan rasa penasaran di hatinya. Dia tidak 

melihat sesuatu yang perlu ditakutkan dari pemuda berjubah pulih itu. Ningrum sendiri 

justru sempat tergetar hatinya, melihat ketampanan dan sikap pemuda berjubah putih itu. 

"Bodoh kau, Ningrum! Tidakkah kau kenali siapa sebenarnya yang menghadang 

perjalanan kita?" terdengar suara dari dalam tandu setengah membentak. 

Bentakan itu membuat Ningrum agak pucat. Matanya lalu memperhatikan lebih 

teliti sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri menghadang di tengah jalan itu. 

Wajah perempuan itu semakin pucat pasi. Dan hatinya yang semula tergetar karena 

ketampanan pemuda itu, seketika berubah getar kecemasan. 

"Apakah..., apakah Ketua hendak mengatakan kalau pemuda itu Pendekar Naga 

Putih...?" desis Ningrum dengan suara kering. Kekagumannya langsung berubah rasa 

khawatir, ketika teringat dan mulai menebak siapa sesungguhnya pemuda tampan 

berjubah putih yang menghadang jalan mereka itu. 

"Itulah sebabnya mengapa aku bilang celaka, Bodoh...!" maki orang dalam tandu 

yang kedengarannya semakin menggambarkan kecemasan hatinya. Apalagi ketika dari 

balik tirai dilihatnya pemuda berjubah putih itu melangkah lebar menghampiri 

rombongannya. Tentu saja dia tahu apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu. 

"Kalau begitu, kita benar-benar mendapat halangan besar kali ini, Ketua...!" desis 

Ningrum mulai ikut cemas. "Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?" 

"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali melawannya sekuat tenaga. Bersiaplah 

untuk menyambutnya...!" sahut orang dari dalam tandu yang kini nada suaranya mulai 

tegang. 

Kalau para perempuan cantik berhati kejam itu merasa tegang dan cemas, lain 

halnya dengan tawanan-tawanan mereka. Wajah para tawanan yang semula berkerut 

melihat sosok pemuda tampan berjubah putih itu, seketika berubah cerah setelah 

mendengar pembicaraan Ningrum dengan perempuan yang berada dalam tandu. Seketika 

itu juga timbul harapan di hati para tawanan untuk dapat terbebas dari siksaan 

perempuan-perempuan keji itu. 

"Pendekar Naga Putih, tolonglah kami...!" 

Salah seorang tawanan yang berada di depan, langsung berteriak kepada pemuda 

tampan berjubah putih yang tak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Namun tiba-tiba... 

Ctarrr...! 

Suara ledakan cambuk terdengar disusul pekik kesakitan lelaki tawanan itu, ketika 

perempuan berpakaian serba hijau melecutkan cambuknya. Tubuh lelaki itu menggeliat-

geliat kesakitan. Bilur merah memanjang terlihat membelah sebagian wajahnya, dan 

meneteskan darah segar


Seorang pemuda tampan berjubah putih berdiri tegak menghadang halan. 

"Celaka...!" terdengar seruan dari dalam tandu. "Kita mendapat halangan besar...!" 

Menangkap nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam perempuan cantik itu 

pun berusaha menegasi sosok lelaki yang menghadang jalan!


"Tahan...!" teriak Panji, ketika melihat perempuan berpakaian hijau itu hendak 

mengangkat cambuknya. Bahkan tubuh pemuda berjubah putih itu langsung melesat 

dengan kecepatan yang sukar untuk diikuti mata. Tangan kanannya terulur hendak 

merebut cambuk di tangan kanan perempuan itu. Tapi.... 

"Haiiit..!" 

Wuttt! 

Perempuan berpakaian hijau yang bermata lebar dan bening itu memekik keras. 

Cambuk di tangannya langsung digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, menyambut 

datangnya tubuh Pendekar Naga Putih. 

Namun, Panji bukanlah orang yang mudah untuk dijadikan korban cambuk itu. 

Melihat gerakan perempuan itu, tangannya langsung terulur dengan kecepatan kilat. 

Sehingga, ujung cambuk lawan dapat ditangkapnya dengan mudah. 

"Hih...!" 

Tappp! 

"Hah...!" 

Perempuan cantik bermata lebar itu tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia sama 

sekali tak menyangka kalau pemuda berjubah putih itu dapat bergerak begitu cepat. 

Sehingga, ujung cambuknya dengan mudah dapat ditangkap. 

Pendekar Naga Putih yang sudah melihat betapa ganasnya perempuan itu, 

langsung menyentakkan cambuk di tangannya. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan 

kuat. Sehingga.... 

"Hih...!" 

Wrettt! 

"Aaakh...!" 

Perempuan cantik yang duduk di atas punggung kuda itu terpekik ngeri. Karena 

tubuhnya tiba-tiba tersentak keras dan terlontar ke udara. 

"Haits...! Heaaa...!" 

Panji sempat dibuat kagum melihat gerakan lawan. Perempuan berpakaian hijau 

itu ternyata mampu menguasai diri. Dengan bersalto beberapa kali di udara, tubuh 

ramping itu meluncur dengan manis dan mendarat ringan di atas tanah. 

"Hih!" 

Jliggg! 

"Hebat..!" puji Panji yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Karena 

gerakan perempuan itu jelas menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi. 

Namun, pujian itu bukan berarti Panji menunda gerakannya. Tubuhnya terus 

meluncur ke depan. Maksudnya tentu saja hendak membebaskan para lelaki yang ditawan 

perempuan-perempuan kejam itu. 

Melihat lawan melesat dengan serangan lanjutan, tiba-tiba dua perempuan cantik 

berpakaian serba hijau lainnya melontarkan serangan dengan cambuk di tangan masing-

masing. Sehingga, Pendekar Naga Putih terpaksa mengurungkan serangannya. 

Ctarrr! Ctarrr...! 

Patukan ujung cambuk yang meliuk dan mengeluarkan suara memekakkan telinga 

itu, membuat Pendekar Naga Putih harus bergerak mengelak. Sambil memiringkan tubuh, 

tangan kanannya bergerak cerat untuk menangkap ujung cambuk lawan. 

Tampaknya kali ini Pendekar Naga Putih tidak mudah untuk melakukan hal itu. 

Kedua orang lawan yang telah mengetahui gerakannya, langsung menarik senjatanya. 

Kemudian dengan cepat pula dilecutkan kembali dengan pengerahan tenaga dalam yang 

lebih kuat. Bahkan tubuh kedua perempuan itu sudah melayang ke udara dengan 

ringannya. 

Ctarrr...! 

"Haiiit...!" 

"Ciaaat..!" 

Terdengar pekik melengking susul-menyusul disertai ledakan cambuk yang 

memekakkan telinga. Mau tidak mau Pendekar Naga Putih harus melayani serangan dua 

orang perempuan berpakaian hijau itu. Dengan gerakan meliuk ke sana kemari 

menghindari patukan ujung-ujung cambuk yang terus memburu. Namun, bersama 

gerakan mengelak, pendekar muda itu sempat melakukan serangan dengan tamparan-

tamparan beruntun. Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih membuat kedua orang 

lawannya sulit untuk bergerak. Seolah tangan pemuda itu berubah menjadi banyak, yang


menyerang dari tiap penjuru. Sehingga, perempuan-perempuan berpakaian serba hijau itu 

pun tampak mulai terdesak. 

"Haaat...!" 

Ctarrr! Ctarrr...! 

"Haiiit...!" 

Ketika Pendekar Naga Putih tengah mendesak dan siap merobohkan lawan-

lawannya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking susul-menyusul. Tiga sosok bayangan 

merah muda dan sesosok bayangan hijau melesat cepat memasuki kancah pertempuran. 

Ledakan-ledakan cambuk pun terdengar setiap kali sosok-sosok cantik itu 

melecutkan cambuk mengincar tubuh Pendekar Naga Putih. 

Kehadiran empat orang itu tampaknya tak banyak berarti bagi Pendekar Naga Putih 

yang tengah meningkatkan serangannya. Bahkan tubuh pemuda itu sudah terlapisi kabut 

bersinar putih keperakan yang mengandung hawa dingin menggigit. 

Karuan saja keenam orang perempuan kejam itu tersentak kaget bukan kepalang. 

Sebab, pengaruh hawa dingin yang keluar dari setiap serangan Pendekar Naga Putih 

seolah membekukan urat-urat di tubuh mereka. Serangan-serangan keenam perempuan 

itu tampak mulai mengendur, karena perhatian mereka seketika terpecah. Tampak 

keenam perempuan cantik itu lebih banyak memusatkan pikiran untuk mengatasi 

pengaruh hawa dingin menggigit itu. Tentu saja hal itu membuat gerakan mereka kacau 

dan tak terarah. 

Pendekar Naga Putih mulai memperoleh kedudukan yang menguntungkan. Dua 

serangan yang dilontarkannya mendarat telak di tubuh dua orang lawan. 

"Heaaa...!" 

Plakkk! Bukkk...! 

"Akh...!" 

Pekikan tertahan terdengar. Dua tubuh ramping yang terbungkus pakaian hijau, 

terlempar sampai di luar arena pertempuran dan jatuh terguling di tanah. Pukulan dan 

tamparan keras Pendekar Naga Putih yang mendarat di punggung kedua perempuan itu 

membuat bagian dalam tubuh mereka terguncang. Sehingga, darah segar pun merembes 

dari sudut bibir-bibir tipis yang selalu menunjukkan senyum sinis itu. Tampaknya 

tamparan itu sempat menimbulkan luka dalam tubuh kedua lawan. 

"Heaaa...!" 

Ctarrr...! Ctarrr...! 

"Haits...!" 

Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat cepat ke atas. 

Pemuda itu berusaha menyambut serangan dua cambuk yang meliuk mengincar 

tubuhnya. 

Dengan mengerahkan kekuatan tenaga angin pukulannya, Panji telah membuat 

ujung-ujung cambuk itu membalik dan balik mengancam tubuh pemiliknya. Karuan saja 

kedua perempuan berpakaian merah muda itu kaget bukan kepalang. Karena luncuran 

ujung cambuk itu menjadi dua kali lebih cepat. Serta merta mereka berusaha mengelak 

agar tak termakan senjatanya sendiri. 

"Heaaa...!" 

Namun tanpa diduga dengan cepat sosok bayangan putih berkelebat mendahului 

datangnya ujung cambuk. Kedua perempuan berpakaian merah muda itu tersentak kaget. 

Sungguh, mereka tak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan bergerak demikian 

cepat. Sehingga.... 

Plakkk! Bukkk! 

"Aaakh...!" 

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dua orang perempuan itu terlempar deras, 

kemudian jatuh terbanting ke tanah dengan kerasnya. Untuk beberapa saat mereka tidak 

mampu bangkit. Pandangan mereka berkunang-kunang, hingga sulit untuk melihat jelas 

keadaan di sekitar. Darah segar yang keluar dari mulut keduanya menandakan kalau 

pukulan Pendekar Naga Putih telah membuat luka dalam tubuh mereka. 

"Kurang ajar...!" terdengar suara menggeram dari dalam tandu. Seketika itu juga 

tirai penghalangnya tersibak. Dan.... 

Siiing! Siiing...!


Seiring dengan suara berdesingan tajam yang membelah udara siang, melesat cepat 

lima larik cahaya putih menyilaukan, memburu mangsa. Sasarannya ternyata lima jalan 

darah di tubuh Pendekar Naga Putih. 

Lesatan lima cahaya putih yang begitu cepat itu membuat Pendekar Naga Putih 

sesaat tersentak kaget. Keningnya mengerut, menyadari kalau senjata gelap itu sangat 

berbahaya. Apalagi dilontarkan oleh seorang yang memiliki tenaga dalam tinggi. 

"Hebat...!" gumam Panji mengeluarkan pujian setulusnya. Namun, bukan berarti 

Pendekar Naga Putih menyerah dan menerima saja serangan-serangan berbahaya itu. 

Bahkan serangan yang ditujukan kepada dua orang lawan terakhirnya tetap dilanjutkan, 

meski hanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya dikibaskan dengan 

pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', yang sulit dicarikan tandingannya. 

Bukkk! 

"Aaakh...!" 

Dua orang lawan terakhirnya langsung terpekik keras. Tubuh mereka terjungkal ke 

tanah, lalu terguling-guling sejauh dua tombak lebih. Dapat dipastikan kalau pukulan itu 

telah menghentikan perlawanan mereka. 

Sementara lima bentuk sinar putih yang ternyata berasal dari pisau terbang, 

terpental balik akibat sampokan tenaga dalam Pendekar Naga Putih. Kelima pisau terbang 

itu meluncur cepat dengan dua kali lebih cepat, memburu ke arah tandu. 

"Gila...! Benar-benar luar biasa sekali!" 

Terdengar perempuan di dalam tandu bergumam penuh rasa terkejut, sambil 

tangannya dengan cepat bergerak melolos selendang merah muda yang melilit 

pinggangnya. Kemudian... 

"Haiiit!" 

Seiring dengan terdengarnya pekikan nyaring, tirai penutup tandu tersibak. Selarik 

sinar merah melesat keluar dan langsung mematahkan serangan balik kelima pisau 

bercahaya putih itu. 

Wuttt! 

Trakkk...! 

Terdengar suara keras ketika sinar dari selendang merah menghantam pisau-pisau 

itu. Seketika benda-benda yang tengah meluncur cepat itu berpatahan dan berpentalan ke 

tanah. Selendang merah muda itu jelas digerakkan dengan kekuatan tenaga dalam yang 

hebat. 

"Tak kusangka orang di dalam tandu itu memiliki kepandaian yang hebat! Tenaga 

dalam dan kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan! Menilik dari senjata yang 

digunakan, aku yakin kalau orang di dalam tandu itu pastilah seorang perempuan cantik. 

Para anak buahnya saja sudah sedemikian cantik. Apalagi majikannya...," gumam Panji 

penuh rasa kagum terhadap kesaktian perempuan di dalam tandu itu. 

Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu kemunculan perempuan di dalam 

tandu itu. Namun, tidak sedikit pun sutera merah penutupnya terbuka. Nampaknya 

penghuni tandu itu memang tak bermaksud menampakkan diri di hadapan Pendekar Naga 

Putih. 

Panji semakin tak sabar, dan melangkah perlahan menghampiri tandu yang tetap 

berada di atas pundak empat lelaki kekar. Keempat pengusung tandu itu rata-rata berusia 

tiga puluh tahun. 

"Berhenti...!" 

Terdengar bentakan dari dalam tandu. Langkah Panji pun terhenti. Kendati 

demikian dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari tirai merah muda penutup tandu 

itu. 

"Mengapa kau mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih...?" tanya 

perempuan dari dalam tandu penuh ketidaksenangan. 

"Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Nisanak? Setiap kekejaman di atas 

permukaan bumi ini merupakan urusan semua orang yang menjunjung tinggi keadilan. 

Jadi jelas, persoalan ini juga merupakan urusanku...," sanggah Panji dengan suara 

lantang. 

Tentu saja jawaban tak terduga itu mengejutkan perempuan yang berada di dalam 

tandu. Terbukti beberapa saat tidak ada sahutan. Rupanya perempuan tua itu tengah 

mencari jawaban atas sanggahan Pendekar Naga Putih.


"Apakah ucapanmu itu memiliki arti bahwa kau mengetahui latar belakang 

tindakan kami..?" tanya perempuan di dalam tandu, agak ragu-ragu. Hatinya seakan-akan 

ingin mengetahui sampai seberapa jauh Pendekar Naga Putih mengetahui sepak 

terjangnya. 

"Hm..., sekalipun aku belum tahu persoala sebenarnya, tapi ketidakadilan yang 

terjadi di depan mataku, tak bisa kudiamkan begitu saja. Dan kalau tidak merasa 

keberatan, silakan jelaskan duduk perkaranya kepadaku...," ujar Panji lagi yang membuat 

perempuan di dalam tandu menggeram jengkel. Seakan-akan dia merasa kalah bicara 

dengan pemuda tampan berjubah putih itu. 

Sejenak keadaan berubah hening. Perempuan di dalam tandu itu sepertinya tengah 

berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Tidak terdengar suara 

sampai beberapa saat lamanya. Namun pemuda tampan itu tetap menunggu, hendak 

mendengar bagaimana tanggapan perempuan di dalam tandu itu. 

Sementara itu keenam perempuan cantik pengikut tokoh yang belum jelas jati 

dirinya itu, sudah berkumpul di kedua sisi tandu. Mereka hanya menatap sosok Pendekar 

Naga Putih dengan wajah menyiratkan kegentaran. Dengan sabar mereka menunggu 

tindakan yang akan diambil sang Ketua. 

Tidak berapa lama kemudian, tirai penutup tandu mendadak tersibak. Dari dalam 

tampak keluar sesosok tubuh ramping dengan kepala tertunduk. Separo wajahnya 

tertutup cadar berwarna merah muda yang tipis dan menyamarkan raut wajah di baliknya. 

Panji sempat tertegun seraya menyembunyikan kekagetannya. Sosok yang berada 

di dalam tandu ternyata berbeda jauh dengan dugaannya. Wajah perempuan bertubuh 

ramping itu bukan saja tidak cantik. Bahkan bisa dibilang menyeramkan. Karena wajah 

yang tersembunyi di balik cadar tampak demikian rusak, seperti luka bakar. Keningnya 

mengerut tajam dengan kulit yang terkelupas. Menimbulkan pemandangan yang 

menjijikkan. Hanya sepasang mata yang bening dan menyiratkan bahwa pada mulanya 

wajah itu mungkin sangat cantik. Sayang, luka bakar di wajahnya telah melenyapkan 

kecantikan perempuan itu. Kalau semula orang akan bertekuk lutut di bawah kakinya, 

memohon agar cinta mereka terbalas, tapi kini dengan luka bakar yang mengerikan seperti 

itu, para pemuda akan lari tunggang-langgang ketakutan. 

Sambil menenangkan perasaannya, Panji memperhatikan perempuan berpakaian 

merah muda itu. Dari keadaan tubuhnya dapat diduga kalau usia perempuan buruk itu 

tidak lebih dari dua puluh tahun. Kulitnya halus, putih, dan tampak lembut di balik 

pakaian merah muda yang tipis. Agak iba juga hati pendekar muda itu melihat keadaan 

perempuan yang selalu menyembunyikan dirinya di dalam tandu. Namun, semua itu 

bukan berarti bahwa Panji mundur dari niatnya semula. Tidak. Panji tetap menginginkan 

lima lelaki tawanan mereka dilepaskan. Apa pun duduk persoalannya. Karena siksaan 

yang dijalani lima orang lelaki itu telah melampaui batas-batas kemanusiaan. 

"Pendekar Naga Putih...," ujar perempuan buruk rupa itu dengan suara dingin dan 

mendesah. 

"Bukankah kau ingin membebaskan tawanan-tawanan kami...?" 

"Memang itu keinginanku...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun. 

"Hm..., kalau begitu keinginanmu, maukah kau menukar mereka dengan diri 

kami...?" tanya perempuan buruk itu lagi, berdesah. 

"Apa maksudmu, Nisanak...?" tanya Panji seraya mengerutkan kening, karena 

belum bisa memastikan ke mana arah pembicaraan perempuan buruk rupa itu. 

"Biarkan kami pergi tanpa diganggu! Dan kau boleh ambil semua tawanan kami...," 

pinta perempuan buruk rupa itu mengajukan syarat kepada Pendekar Naga Putih. 

"Hm..., aku bukanlah orang buas yang haus darah. Kalau itu yang kau inginkan, 

baiklah...," sahut Panji seraya memalingkan wajahnya kepada lima tawanan. 

Pendekar Naga Putih menggerakkan tangannya mencegah salah seorang dari 

tawanan itu yang hendak berbicara. Kelihatannya lelaki itu hendak membantah, karena 

tak menyetujui usul perempuan berwajah menjijikkan itu. 

"Hm...." 

Perempuan buruk itu seperti menyunggingkan senyum puas. Kemudian bergerak 

naik ke dalam tandu dan memerintahkan para pengikutnya agar segera pergi dari tempat 

itu.


Panji sama sekali tidak bergerak. Ditatapnya kepergian perempuan-perempuan itu 

dengan mata tak berkedip. Baru kemudian berpaling setelah rombongan kecil itu semakin 

jauh. 

*** 

"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Kemunculanmu benar-benar membuat kami 

merasa bebas dari lubang kubur...," ucap salah seorang dari tiga lelaki yang ditawan 

perempuan berpakaian hijau. Usia lelaki itu sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya 

tampak ramah, membuat orang mudah menyukainya. Dia benar-benar merasa bersyukur 

dengan kemunculan Pendekar Naga Putih menyelamatkan mereka dari siksaan. 

Panji hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kendati tak diutarakan, dia 

tahu kalau pemuda gagah itu memendam rasa penasaran atas tindakannya melepaskan 

perempuan-perempuan kejam itu begitu saja. Padahal untuk semua itu Panji tentu 

mempunyai alasan yang kuat. 

Setelah ketiga orang itu terbebas dari ikatan, Pendekar Naga Putih bergegas 

menghampiri lelaki berkumis tipis, yang masih tergeletak pingsan. Dilepaskannya tali 

pengikat pergelangan tangan lelaki yang tak lain Gupta itu. Segera ditotoknya beberapa 

bagian tubuh berlumuran darah itu untuk menghentikan pendarahan. Karena luka yang 

cukup dalam pada pergelangan tangan Gupta tampak masih mengeluarkan darah. 

Kemudian dibawanya tubuh tegap itu ke tepi jalan, setelah membebaskan kawan Gupta. 

Dengan penuh ketelitian, Pendekar Naga Putih merawat luka-luka di sekujur tubuh 

Gupta. Untung di dalam buntalan pakaiannya, Panji masih menemukan obat luka. Segera 

dibalurkan ke tubuh Gupta, setelah melepaskan pakaian sebelah atas lelaki itu. 

Gupta yang disadarkan Panji dari pingsannya, membuka pelupuk mata perlahan. 

Ada kilatan terkejut ketika mendapati dirinya telah rebah dengan sekujur tubuh terasa 

hangat. Terlebih ketika melihat seorang pemuda tampan telah berada di sampingnya dan 

tersenyum. Gupta mengawasi sekitar dengan ekor matanya. Bibirnya tampak bergerak-

gerak ketika melihat wajah kawannya yang juga tersenyum. 

"Kita telah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari keganasan perempuan-

perempuan iblis itu, Kakang...," ujar lelaki bertubuh kekar itu, seakan hendak 

menjelaskan kepada Gupta yang baru siuman. Mendengar ucapan kawannya itu wajah 

Gupta tampak terkejut. 

"Tetaplah beristirahat, Kisanak! Luka-lukamu masih menghambat gerakan dan 

mungkin masih agak nyeri...," cegah Panji seraya menekan kedua bahu Gupta perlahan 

ketika melihat lelaki tegap itu memaksa hendak bangkit "Atur jalan napas agar 

kesehatanmu semakin membaik…" 

"Te... terima., kasih, Tuan Pen.. dekar..., ucap Gupta dengan susah-payah. 

Pendekar Naga Putih hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri setelah melihat kedua 

mata Gupta terpejam. Rupanya lelaki tegap itu langsung mengikuti petunjuk yang 

diberikannya. 

Panji bergerak menjauh dari tempat Gupta terbaring, dijaga kawannya. Ketiga lelaki 

lain tampak mengikuti dari belakang. Mereka pun duduk di bawah pohon besar, 

berhadapan dengan Pendekar Naga Putih. 

"Perselisihan apa yang membuat kalian sampai disiksa oleh perempuan-perempuan 

tadi...?" tanya Panji setelah menarik napas dalam-dalam. Dirayapinya satu-persatu wajah 

ketiga lelaki yang bertubuh gagah itu. 

"Pendekar Naga Putih...," sahut lelaki bertubuh tegap dan berwibawa. Lelaki 

berwajah tampan ini tampak lebih pandai berbicara ketimbang dua orang kawannya. "Aku 

bernama Rancaka. Kami bertiga merupakan saudara seperguruan yang telah setahun lebih 

melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman." 

Lelaki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada Panji. 

Kemudian terdiam sesaat seperti hendak melihat tanggapan pendekar muda yang 

sebenarnya telah lama menimbulkan kekaguman di dalam hati mereka. 

Panji hanya menganggukkan kepala perlahan. Tak sepatah kata pun tanggapan 

keluar dari mulutnya, seakan-akan masih menunggu kelanjutan cerita lelaki bernama 

Rancaka itu. 

"Belakangan ini kami mendengar tentang adanya pembunuhan dan penculikan. 

Yang membuat kami merasa penasaran dan ingin menyelidiki, adanya keanehan dalam


setiap kejadian. Karena selain korbannya terdiri dari kaum lelaki yang kebanyakan masih 

berusia muda hampir semua yang terbunuh dan hilang tanpa jejak adalah orang-orang 

dari rimba persilatan. Sayang, si pembuat keonaran itu ternyata rata-rata memiliki ilmu 

kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kami. Mereka tak lain perempuan-perempuan 

kejam yang tadi kau lepaskan begitu saja, Pendekar Naga Putih...," Rancaka menghentikan 

ceritanya. Dalam sorot matanya tersirat rasa penasaran yang menuntut penjelasan dari 

Pendekar Naga Putih. 

"Hm...," Panji bergumam pelan, seraya melemparkan pandangannya menatap 

rimbun pepohonan. Sedang Rancaka dan kedua kawannya menunggu ucapan yang akan 

keluar dari mulut pendekar muda itu. 

"Kau tentu merasa penasaran karena aku telah membebaskan mereka, bukan...?" 

tanya Panji seraya menatap wajah Rancaka, yang serta-merta menundukkan kepala, tak 

sanggup menentang tatapan mata tajam Pendekar Naga Putih. 

"Maaf, kalau rasa penasaranku membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih...," 

ujar Rancaka perlahan. Tampak jelas betapa lelaki kekar itu menaruh hormat kepada 

pemuda tampan berjubah putih di depannya. Kareha sikap maupun tatapan Pendekar 

Naga Putih demikian kuat mengandung kewibawaan. 

"Jangan meminta maaf atas sikapmu yang benar itu, Rancaka!" tukas Panji cepat, 

yang membuat Rancaka berani mengangkat kepalanya. "Kalaupun tadi kubiarkan mereka 

pergi begitu saja, itu karena ada beberapa pertimbangan yang telah kuperhitungkan 

masak-masak..." 

Rancaka dan kedua kawannya tampak menganggukkan kepala, kendati belum 

mengetahui alasan Pendekar Naga Putih. Sementara Panji tak segera melanjutkan 

penjelasannya. Wajahnya menyunggingkan senyum simpul seraya menatap ketiga lelaki 

gagah itu. Sehingga, Rancaka dan kedua orang kawannya menunggu dengan sabar. 

Mereka belum bisa menduga apa alasan Pendekar Naga Putih melepaskan perempuan-

perempuan biadab itu. 

"Pertama," ujar Panji tiba-tiba. "Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian berlima. 

Karena, bisa saja aku bertarung, perempuan-perempuan itu akan berlaku licik. Misalnya 

menunggunakan kalian sebagai pelindung. Bila aku melanjutkan pertarungan, mereka 

akan membantai kalian satu-persatu..." 

Rancaka dan kawan-kawannya tersentak kaget. Sungguh mereka tak sampai 

berpikir kalau perempuan-perempuan kejam itu akan bertindak demikian untuk 

melumpuhkan perlawanan Pendekar Naga Putih. Rancaka pun sadar akan keterbatasan 

pikirannya. 

"Kedua...," Panji melanjutkan setelah Rancaka dan kedua kawannya kembali 

memandang ke arahnya. "Perempuan berwajah buruk itu bukan orang sembarangan. 

Mungkin aku pun belum tentu mampu mengalahkannya dalam lima puluh jurus. Mungkin 

memerlukan seratus jurus atau lebih untuk dapat merobohkannya. Dengan begitu, kecil 

kemungkinan bagi kalian masih bisa hidup, kendati aku memenangkan perkelahian. Nah, 

kedua alasan itulah yang membuatku menyetujui usul perempuan sakti berwajah cacat 

itu...." 

"Hhh...," Rancaka menghela napas panjang dengan wajah penuh sesal. Karena 

semula disangkanya Pendekar Naga Putih merasa tak tega menghukum perempuan-

perempuan kejam yang memang rata-rata berwajah cantik itu, kecuali pemimpinnya. 

"Maafkan kebodohanku, Pendekar Naga Putih! Berhadapan denganmu, kami 

merasa seperti anak-anak kecil yang tak tahu persoalan...," tukas Rancaka dengan suara 

pelan. 

"Tidak perlu meminta maaf, Rancaka! Aku memahami apa yang ada dalam 

pikiranmu. Terus terang, aku pun merasa tak tega melukai atau membunuh mereka. 

Selain wajah mereka rata-rata cantik, tampaknya mereka menyembunyikan luka di balik 

sikap dingin dan kejam. Aku pun belum mengetahui secara jelas tentang sepak terjang 

mereka. Jadi, kau tak perlu merasa bersalah kepadaku, Rancaka...," tukas Panji seraya 

menepuk perlahan bahu Rancaka. 

Rancaka hanya bisa tersenyum dengan kepala tertunduk. Hatinya merasa agak 

risih karena Pendekar Naga Putih ternyata dapat menebak jalan pikirannya. Dan sikap 

serta ucapan pendekar muda itu semakin mendatangkan rasa hormat dan kagum di 

hatinya.


"Hm..., sudah cukup lama kita bercakap-cakap...," desah Panji seraya bergerak 

bangkit dari duduknya. Kemudian melemparkan pandang ke arah matahari yang sudah 

mulai tergelincir ke barat "Hari sudah semakin sore. Mudah-mudahan lelaki yang terluka 

parah itu sudah dapat mengembalikan tenaganya," lanjurnya sambil melangkah mendekati 

tempat Gupta berada. 

Rancaka dan kedua kawannya bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. 

Mereka pun ingin mengetahui bagaimana hasil pengobatan yang dilakukan pendekar muda 

itu. Sebab, melihat dari cara Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan, mereka 

menganggap kalau pemuda berjubah putih itu demikian sigap, tak ubahnya seorang ahli. 

Apa yang disaksikan Rancaka dan kedua kawannya, benar-benar menimbulkan 

rasa kagum. Sebab, lelaki tegap berkumis tipis yang semula terluka parah itu, kini tengah 

duduk bersila ditemani kawannya. Perubahan yang begitu cepat itu jelas menandakan 

betapa mujarabnya hasil pengobatan yang dilakukan Pendekar Naga Putih. 

"Pendekar Naga Putih...," sambut Gupta, menyapa Panji sambil tetap bersila. 

"Rasanya tubuhku sudah semakin membaik. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih 

atas pertolonganmu..." 

Pendekar Naga Putih hanya tersenyum dan mengangguk. Melihat lelaki tegap itu 

sudah membaik pun merupakan hal yang menyenangkan baginya. Sehingga hatinya 

merasa lega. Dan bisa melanjutkan perjalanan tanpa khawatir lagi akan keadaan Gupta. 

"Senang sekali melihat kau sudah mulai membaik, Kisanak. Sayang sekali, aku tak 

bisa tinggal lebih lama untuk menemani kalian," ujar Panji seraya mengambil buntalan 

pakaiannya. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu setelah berpamitan kepada 

Gupta, Rancaka dan tiga orang lainnya. 

"Pendekar Naga Putih...!" Panji menolehkan wajah ketika mendengar panggilan itu. 

Ditatapnya wajah Rancaka. Karena lelaki itulah yang memanggilnya. 

"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepadaku, Rancaka...?" tanya Panji ketika 

melihat Rancaka ragu-ragu untuk mengatakan apa yang saat itu ada dalam benaknya. 

"Bagaimana dengan perempuan-perempuan kejam itu...?" Akhirnya Rancaka 

memberanikan diri, setelah melihat senyum di wajah Pendekar Naga Putih. 

"Hm..., aku akan menyelidiki penyebab kejahatan mereka. Kalau bisa sekaligus 

menghentikan perbuatan mereka untuk selamanya...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit 

pun. Dan dia tahu jawaban itu telah membuat Rancaka maupun empat orang lainnya 

tersenyum puas. 

"Semoga kau berhasil, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka yang tak lagi 

mencegah langkah Panji. Hanya pandang matanya yang mengiringi kepergian sosok 

pendekar muda itu. 

Namun, baru saja beberapa tombak Pendekar Naga Putih melangkah, tiba-tiba 

tubuhnya berbalik. Kemudian ditatapnya wajah kelima lelaki gagah itu satu-persatu. 

"Harap kalian berhati-hati jika berjumpa lagi dengan perempuan-perempuan kejam 

itu...!" seru Panji sekadar mengingatkan kalau perempuan-perempuan itu sangat 

berbahaya. 

"Kami akan mengingatnya...!" sahut Rancaka agak keras. Namun, saat itu sosok 

Pendekar Naga Putih sudah berkelebat begitu cepat, lenyap dari pandangan mereka. 

"Aku yakin Pendekar Naga Putih akan dapat menghentikan keganasan perempuan-

perempuan kejam itu...," desah Gupta yang menatap lurus ke arah pepohonan tempat 

sosok Pendekar Naga Putih lenyap. 

*** 

"Kakang Panji...!" 

Sebuah seruan merdu membuat langkah Pendekar Naga Putih tertahan seketika. 

Kemudian wajahnya ditolehkan ke tempat datangnya suara panggilan itu. Keningnya 

tampak berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berkulit halus tengah berdiri sekitar 

sepuluh tombak dari tempatnya. Matanya menangkap sorot kemesraan dan kerinduan 

dalam mata bening gadis cantik itu. 

"Kakang lupa padaku..?" tegur gadis cantik itu ketika melihat pendekar muda itu 

belum juga bersuara.


Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis 

cantik itu. Karena dia merasa pernah mengenal raut wajah cantik itu, tapi lupa entah 

kapan dan di mana. Sementara si gadis cantik sudah melangkah semakin dekat. 

"Apakah sang Waktu telah merubah wajahku hingga Kakang tidak mengenali 

diriku...?" tanya gadis cantik itu setelah menghentikan langkahnya satu tombak di depan 

Pendekar Naga Putih. Mata beningnya tak berkedip memandang wajah pemuda di 

hadapannya tanpa rasa malu. Seakan-akan gadis cantik itu pernah mengenal bahkan 

akrab dengan Panji. Sehingga pertemuan itu membuatnya tampak sangat bahagia. 

"Kau...," Panji tak melanjutkan ucapan itu karena merasa agak ragu untuk 

menebak siapa sebenarnya gadis cantik itu 

"Ya...," sahut gadis cantik dengan kulit bersinar bagaikan rembulan itu. Seakan-

akan dia memberi kesempatan kepada pemuda berjubah putih itu untuk menebak siapa 

dirinya. Kelihatannya gadis cantik itu ingin tahu apa Pendekar Naga Putih masih dapat 

mengingatnya. 

"Benarkah kau..., Suntini...?" tebak Panji, agak ragu. Dirasakan wajah gadis cantik 

itu jauh lebih matang daripada Suntini yang pernah dikenalnya. Meskipun ada beberapa 

bagian yang masih dikenalnya, raut wajah itu tampak telah jauh berubah. 

"Tidak salah lagi, Kakang!" tukas Suntini terlonjak seperti anak kecil. "Rupanya kau 

ingat padaku...!" 

Gadis cantik itu langsung memegang kedua tangan Panji erat-erat. Seolah hal itu 

merupakan ungkapan perasaan hatinya yang sangat gembira karena perjumpaan itu. 

"Aku tak langsung dapat mengenali karena banyak perubahan pada dirimu, 

Suntini. Waktu setahun ternyata telah membuatmu tampak semakin matang dan...," Panji 

terpaksa menghentikan ucapannya. Karena apa yang akan dikatakan dirasa agak kurang 

pantas. Tentu saja menurut pikirannya sendiri. 

"Dan apa, Kang? Mengapa tak kau lanjutkan...?" tanya Suntini agak mendesak 

dengan sepasang mata berbinar. Sepertinya gadis cantik itu sudah dapat menduga 

kelanjutan dari ucapan Panji yang terpotong. Namun ingin mendengarnya dari mulut 

pemuda tampan berjubah putih itu. 

"Kau hendak ke mana, Suntini...?" 

Panji mencoba mengalihkan perhatian gadis cantik itu dengan pertanyaan itu. 

Namun, Suntini tak bisa dipancing begitu saja. Gadis itu tetap ingin mendengar kelanjutan 

ucapan Panji. Sepasang matanya yang bening dan indah tampak menyiratkan keinginan 

itu. 

"Aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan ucapan yang tadi...," 

desak gadis cantik itu memonyongkan bibirnya dengan sikap manja. Sementara tangannya 

tetap menggenggam kedua lengan Panji erat-erat. 

Pendekar Naga Putih terpaksa menyunggingkan senyum. Padahal saat itu dia 

tengah memutar otak untuk mencari jawaban yang kira-kira tepat untuk disampaikan 

kepada gadis cantik itu. Dan senyumnya semakin lebar karena Panji telah mendapatkan 

jawabannya. 

"Mengapa kau ingin mengetahui kelanjutan ucapanku yang terpotong tadi, 

Suntini...?" tanya Panji tetap tersenyum agar tak menimbulkan kecurigaan di hati gadis 

itu. 

"Sudah kubilang aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan kalimat 

tadi...!" tukas Suntini tetap merajuk 

"Baiklah, akan kulanjutkan...," akhirnya Panji mengalah. 

"Katakanlah, Kang? Aku ingin mendengarnya...." 

"Aku tadi hendak mengatakan bahwa kau semakin matang dan dewasa. Nah, apa 

kau puas sekarang...?" ujar Panji tersenyum menatap wajah cantik di depannya. 

"Kakang bohong!" sentak Suntini yang langsung melepaskan pegangannya pada 

tangan pemuda itu. Kemudian tubuhnya berbalik, seolah hendak menunjukkan kepada 

Pendekar Naga Putih kalau hatinya merasa marah dengan jawaban yang tidak benar itu. 

"Mengapa kau bisa berkata begitu, Suntini? Apa yang kukatakan itu sama sekali 

tidak salah. Kau memang terlihat semakin dewasa dibanding setahun yang lalu," Panji 

berusaha meyakinkan Suntini bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran. 

"Tidak! Aku tak percaya...!" sentak gadis cantik yang mengaku Suntini tetap 

membelakangi Pendekar Naga Putih.


"Menurutmu apa sebenarnya yang hendak kukatakan tadi...?" akhirnya Panji 

mengalah dan ingin mengetahui apa yang menjadi dugaan gadis cantik itu. 

"Aku tahu, Kakang ingin mengatakan bahwa aku semakin matang dan cantik, 

bukan? Mengapa Kakang tak langsung saja mengatakannya? Atau aku memang 

bertambah jelek...?" tanya Suntini yang membuat Panji merasa risih. Karena gadis cantik 

itu mengetahui kalimat yang sengaja tak diucapkannya tadi. 

"Siapa bilang kau jelek, Anak Manis? Hanya orang buta yang akan mengatakan 

begitu," ujar Panji seraya menyunggingkan senyumnya. 

"Tidak! Aku memang bertambah jelek! Buktinya Kakang tak mau mengatakan aku 

cantik," tukas Suntini yang telah membalikkan tubuhnya. Kemudian ditatapnya kedua 

bola mata pemuda tampan itu. 

"Kalau sudah tahu bahwa dirimu cantik, mengapa harus diributkan lagi? Sudahlah, 

lupakan saja persoalan sepele itu! Sekarang ceritakanlah padaku, bagaimana kau bisa 

berada di daerah ini? Bukankah tempat tinggal orangtuamu berada di selatan?" tanya 

Panji, kembali mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. 

"Hhh...!" Suntini menghela napas panjang, seraya melepaskan pandang ke langit 

yang mulai teduh. Kakinya melangkah perlahan, kemudian menjatuhkan tubuh di bawah 

pepohonan rindang. 

Pendekar Naga Putih tidak mendesak. Diikutinya langkah gadis cantik itu. 

Kemudian ikut duduk di samping Suntini, yang kelihatan wajahnya agak muram. 

Ditatapnya wajah cantik itu dari samping. Dia mulai menduga, bahwa ada sesuatu yang 

telah terjadi dengan keluarga gadis itu. 

"Ceritanya panjang sekali, Kakang...," desah Suntini menatap ke depan dengan 

sinar mata berkabut. Jelas kalau hati gadis cantik itu tengah dilanda kesedihan. 

"Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah! Aku siap mendengarnya...," pinta Panji, 

tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah Suntini yang kelihatan semakin berduka 

itu. Dengan sabar ditunggunya gadis cantik itu melanjutkan ceritanya.



EMPAT


"Kakang tentu masih ingat peristiwa setahun yang silam. Kakang menolong 

keluargaku ketika dihadang perampok," ujar Suntini, berusaha mengingatkan Pendekar 

Naga Putih saat mereka pertama kali berjumpa. Gadis cantik itu menoleh, seperti hendak 

meminta kepastian dari pemuda di sebelahnya. 

"Ya, aku ingat...," sahut Panji meyakinkan Suntini. 

"Dan Kakang masih ingat juga bukan, kalau perampok-perampok laknat itu telah 

membuat ibuku tewas?" tanya Suntini lagi. 

"Ya, aku ingat..." 

"Nah, setelah peristiwa itu, ayahku pun menyusul sebulan kemudian. Kematian ibu 

telah mendatangkan penderitaan dalam batinnya. Dengan kematian mereka, tak ada lagi 

tempatku untuk bergantung. Lalu aku teringat dengan Kakang. Dengan berbekal sedikit 

ilmu yang kupelajari dari ayah, aku nekat mencari Kakang Panji. Karena hanya Kakanglah 

satu-satunya yang bisa kupercaya selain kedua orangtuaku yang telah tiada." 

Sampai di situ Suntini menghentikan ceritanya. Sepasang mata beningnya menatap 

wajah Pendekar Naga Putih. Terdengar tarikan napasnya mendesah. Sementara pemuda 

tampan berjubah putih itu diam tanpa sahutan. 

"Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu aku melihat Kakang. Tapi, karena Kakang 

selalu melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa, 

aku tak berani mengganggu. Padahal aku ingin sekali dapat berbicara berdua dengan 

Kakang seperti sekarang ini...," sambung Suntini seraya menatap wajah Pendekar Naga 

Putih dengan mata sayu. Seolah gadis itu tengah mengalami suatu tekanan dalam 

batinnya. 

"Seharusnya kau langsung menemui aku, Suntini. Gadis yang kau maksudkan itu 

pasti Kenanga. Tapi, tak ada salahnya kalau kau menemui kami berdua...," ujar Panji 

ketika melihat gadis itu terdiam dan menatapnya dengan mata sayu. Ada kecemasan yang 

berusaha disembunyikan, karena dia mulai dapat meraba tatapan mata Suntini. 

"Siapa gadis jelita yang bernama Kenanga itu, Kakang? Kekasihmu...?" tanya 

Suntini dengan nada aneh seperti menyimpan rasa cemburu yang besar. Bahkan pendekar 

muda itu menemukan sinar kemarahan dalam sorot mata gadis cantik itu. 

"Gadis yang bernama Kenanga itu memang kekasihku, Suntini..," karena tak ingin 

sesuatu di dalam hati Suntini kian berkembang, Panji berkata terus terang. 

"Sudah kuduga...," desis Suntini dengan suara bergetar, menyiratkan adanya rasa 

kecewa dalam hati gadis itu. Bahkan kemudian terdengar helaan napasnya yang berat. 

"Bukankah Kakang pernah berjanji akan singgah ke tempat tinggal kami suatu 

waktu? Tapi, mengapa Kakang ingkar? Padahal aku yakin Kakang tahu, bagaimana 

perasaanku saat itu...?" suara Suntini mirip sebuah desahan menyimpan isak. Rupanya 

gadis itu tak pernah melupakan janji yang pernah diucapkan Panji saat setelah menolong 

keluarganya. 

"Maafkan aku, Suntini. Kalau saja aku mempunyai kesempatan, tentu akan 

singgah ke tempat tinggalmu. Maaf, kalau aku telah membuatmu kecewa...," ujar Panji 

dengan perasaan yang mulai tak karuan, karena Suntini semakin berani menuntut banyak 

darinya. Padahal dia tak ingin menemui gadis itu lagi. Sesungguhnya hatinya tak 

memberikan harapan kosong kepada Suntini, yang sejak semula disadari kalau gadis 

cantik itu telah terpikat kepadanya. Entah karena kesaktian atau ketampanannya. Namun, 

yang jelas Pendekar Naga Putih tahu perasaan gadis itu terhadap dirinya. 

"Tapi secara tak langsung Kakang telah memberikan harapan kepadaku? Padahal 

Kakang tahu, bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Terus terang, semenjak 

berjumpa dengan Kakang, aku telah memutuskan untuk tak menerima lelaki lain, seorang 

pangeran sekalipun! Dan janji itu pula yang telah membuatku mengambil keputusan 

untuk mencari Kakang. Tapi..., yang kuterima justru kehancuran! Mengapa waktu itu tak 

berterus terang kalau Kakang telah punya kekasih?" 

Suntini mengungkapkan semua perasaan yang telah lama terpendam dalam 

hatinya. Tentu saja pengakuan itu membuat Panji tersentak kaget. Dia sama sekali tak 

menyangka kalau gadis itu menaruh harapan sedemikian besar. Bahkan kini berani 

mengutarakannya secara terbuka. Jelas di matanya Suntini merupakan seorang gadis


yang keras kepala dan mau menang sendiri. Padahal seharusnya gadis itu tahu kalau 

sejak semula Panji telah menolak secara halus. 

Pendekar Naga Putih terdiam dengan helaan napas panjang yang berat. Sama sekali 

tidak disangka kalau Sutini ternyata seorang gadis yang buta hatinya. Kebaikan dan sikap 

halus yang ditunjukkan Panji telah disalahtafsirkan. Bahkan kini berani menuntut secara 

terus terang. Tentu saja hal itu membuat hati pendekar muda itu susah, serba salah, dan 

bingung. Dia tak ingin menyakiti hati siapa pun. Apalagi seorang gadis seperti Suntini. 

"Suntini...," ujar Panji perlahan. "Sebagai seorang wanita, seharusnya kau 

mempunyai perasaan yang lebih peka ketimbang lelaki. Dan tak seharusnya kau berjanji 

untuk menolak lelaki lain. Semestinya kau memahami perasaan hatiku. Selain itu, aku 

percaya, bahwa kelak kau akan mendapatkan pemuda yang jauh lebih baik dariku. Dan, 

kalaupun semua sikapku kau anggap suatu kesalahan, biarlah aku meminta maaf 

kepadamu! Lupakan aku, dan bukalah hatimu untuk dapat menerima kehadiran pemuda 

lain yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati....!" 

Ucapan Panji justru membuat air mata gadis itu mengalir turun di pipinya yang 

halus. Bibirnya yang merah tampak bergetar. Jelas bahwa sehalus apa pun ucapan yang 

dikeluarkan pemuda itu tetap membuat hati Suntini hancur. Sehingga, hati pemuda 

tampan itu iba melihat penderitaan gadis di depannya. 

"Maafkan aku, Suntini...!" ucap Panji penuh sesal. Kemudian bangkit berdiri dan 

menyentuh bahu gadis itu yang mulai terguncang menahan isak. 

"Kakang...," Suntini berdesah pilu. Disambarnya kedua tangan Panji. Kemudian 

dilekatkannya ke wajah yang basah oleh air mata. Tangis gadis itu pun semakin menjadi-

jadi. 

"Suntini..., kau masih muda dan memiliki paras yang cantik. Rasanya tidak sulit 

bagi pemuda-pemuda gagah untuk jatuh cinta kepadamu. Bahkan aku yakin mereka akan 

rela mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan cintamu," Panji berusaha menghibur dan 

menyadarkan Suntini dari kedukaannya. "Kalau saja aku belum memiliki Kenanga, tak 

sulit rasanya bagiku membalas cintamu. Namun, aku telah memiliki seorang kekasih dan 

aku sangat mencintainya...." 

"Tapi, aku rela kau duakan, Kakang! Bagiku asal kau terima perasan hatiku, itu 

sudah cukup. Kendati hanya menerima sedikit cinta darimu. Aku tak akan menuntut 

terlalu banyak, Kakang. Percayalah!" 

Suntini tetap tidak bisa menerima nasihat dan kata-kata hiburan dari Panji. 

Bahkan bersikeras mengemis cinta kasih pemuda itu, dengan merelakan dirinya sebagai 

kekasih kedua. Pendekar Naga Putih rupanya telah merebut seluruh cinta di hati gadis 

cantik itu. 

"Aku tidak bisa, Suntini.... Maafkan aku...!" ujar Panji yang semakin iba melihat 

betapa gadis cantik seperti Suntini sampai mempermalukan diri sendiri demi mendapatkan 

cintanya. Ucapan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, kalau cinta kasih Suntini 

ternyata sudah sedemikian dalam. Sampai-sampai rela diduakan. 

"Kalau diriku tak cukup pantas menerima cintamu, biarlah aku menjadi budakmu, 

Kakang! Asal diperbolehkan ikut ke mana kau pergi, aku sudah merasa bahagia! Apakah 

untuk menjadi budakmu pun, aku masih belum pantas...?" desak gadis cantik itu yang 

kali ini memeluk kaki Pendekar Naga Putih dengan kuatnya. 

Dapat dibayangkan, betapa hebat perasaan cinta di dalam hati Suntini. Sehingga 

rela merendahkan dirinya berlutut di depan Panji demi bisa selalu berdekatan dengan 

pemuda yang telah membuatnya jatuh ke dalam perangkap asmara itu. 

Sikap Suntini itu tentu saja membuat Panji kaget bukan kepalang. Cepat 

disambarnya tubuh gadis itu. Dan dipaksanya bangkit berdiri. Namun, apa yang 

selanjutnya dilakukan gadis itu, membuat Panji hampir terlompat kaget. Karena begitu 

dipaksa bangkit dan berdiri dalam Jarak yang sangat dekat, Suntini langsung saja 

menjatuhkan kepala di dada pendekar muda itu. Kemudian menangis terisak di dada 

bidang pemuda itu. Sedang kedua tangannya telah melingkar ketat di tubuh Panji. 

Karena tak ingin membuat hati gadis itu semakin hancur, akhirnya Pendekar Naga 

Putih hanya bisa menghela napas panjang. Dia khawatir kalau tubuh ramping itu 

ditelakkan, kendati dengan perlahan, hati Suntini tentu akan semakin sakit. Terpaksalah 

pemuda berjubah putih itu membiarkan Suntini menumpahkan air mata di dadanya. Panji 

berharap gadis itu akan segera berlapang dada, setelah tangisnya terhenti nanti. Kemudian 

menyadari kekeliruannya terhadap sikap baik Pendekar Naga Putih.


"Sudahlah, Suntini, hentikan tangismu! Anggaplah aku kakakmu! Aku tentu akan 

suka sekali mempunyai adik secantik dirimu." 

Setelah menunggu cukup lama Suntini tak juga melepaskan pelukannya, akhirnya 

Panji mengambil keputusan untuk menganggap gadis itu sebagai saudara. Hanya itulah 

jalan satu-satunya yang paling baik, menurut pikirannya. 

"Tidak, Kakang!" bantah Suntini dengan suara terisak dan masih tetap 

menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. "Rasa cintaku tidak bisa berubah! Aku 

lebih suka menjadi budakmu ketimbang menjadi adikmu!" 

"Celaka...!" gumam Panji dalam hati. Benar-benar tak disangka kalau Suntini tetap 

bersikeras memilih menjadi budak ketimbang menjadi adik angkatnya. Sikap gadis itu 

benar-benar membuat Panji kehilangan akal. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan 

agar gadis itu menyadari kekeliruannya. 

"Sudahlah, Suntini! Jangan siksa dirimu dengan mengharapkan sesuatu, yang kau 

tahu, tak mungkin bisa aku lakukan. Mari kita bicarakan hal ini baik-baik, dan mencari 

jalan keluarnya...!" bujuk Panji karena semakin terdorong rasa iba. Dibelainya rambut 

gadis itu dengan penuh perasaan sayang. Tentu saja rasa sayang itu bukan berarti dirinya 

membalas dan menerima cinta Suntini. Hatinya memang lebih condong mengasihi gadis 

itu sebagai saudara. 

Namun perlakuan Panji diartikan lain oleh Suntini. Merasakan belaian lembut 

tangan pemuda itu, perlahan wajahnya terangkat dari dada Panji. Kemudian wajahnya 

didongakkan, menatap wajah di atasnya. Sehingga ujung hidung gadis itu menyentuh dagu 

Panji. Serta merta Panji menarik wajah ke belakang dengan halus. 

Entah karena sudah terlarut belaian tangan Pendekar Naga Putih, Suntini 

melakukan tindakan yang sangat mengejutkan Panji. Bagai kerasukan setan, mulutnya 

menciumi sekujur wajah pemuda yang sangat dicintai itu. Karuan saja pemuda tampan itu 

kelabakan. Dengan cepat ditolaknya tubuh gadis itu, hingga pelukan Suntini terlepas dan 

terdorong mundur beberapa langkah. 

Suntini tersentak kaget merasakan perlakuan Pendekar Naga Putih. Sepasang 

matanya terbelalak memancarkan rasa terkejut. Seolah gadis itu sama sekali tak 

menyangka kalau Panji akan berbuat seperti itu terhadapnya. 

"Kau kejam sekali, Kakang...!" rintih gadis dengan suara parau, menggambarkan 

perasaan hatinya yang tercampakkan. "Padahal aku rela menyerahkan segalanya 

kepadamu, termasuk hidupku. Tidak sadarkah kalau apa yang baru Kakang lakukan 

semakin membuat hatiku hancur...!" 

Pendekar Naga Putih mengatupkan rahangnya kuat-kuat ketika melihat kilatan 

mata Suntini yang menyiratkan perasaannya. Namun dia mencoba menguatkan hati, 

karena kalau dibiarkan berlarut-larut, Suntini akan semakin sakit hati. 

"Maaf, kalau perlakuanku kau anggap terlalu kasar, Suntini! Tapi, sadarlah kalau 

aku tidak bisa membalas perasaan cintamu. Sampai kapan pun aku tetap tak bisa...," 

tegas Panji yang membuat wajah gadis cantik itu memucat bagaikan tak berdarah. Bahkan 

tubuh ramping itu sampai bergetar. Sepertinya penolakan secara tegas itu telah 

menimbulkan goncangan batinnya. 

Dengan wajah yang masih pucat, Suntini terlihat menarik napas panjang berulang-

ulang. Seakan-akan gadis itu tengah berusaha untuk menahan rasa sakit di dada. Wajah 

cantiknya berkerut-kerut. Seolah siksaan dalam batinnya demikian nyeri dan 

menyakitkan. 

"Kalau keputusanmu memang sudah tak bisa berubah, baiklah, aku terima dengan 

hati pasrah, Kakang! Tapi, sebelum kita berpisah, aku mempunyai satu permintaan. Ini 

yang terakhir kali aku meminta kepadamu...," ujar Suntini dengan suara bercampur isak 

tertahan, hingga terdengar parau. 

"Katakan, apa permintaanmu itu, Suntini? Jika aku sanggup, tentu akan 

kukabulkan...," sahut Panji sambil menduga-duga apa permintaan yang akan diajukan 

gadis cantik itu. 

"Tidak sulit apa yang akan kuminta, Kakang. Dan kau pasti bisa memenuhinya...," 

ujar Suntini seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih di hadapannya. 

"Katakanlah...!" 

"Sekarang aku sadar, bahwa kau memang tak mungkin dapat kumiliki, Kakang. 

Tapi, paling tidak aku ingin memilikimu untuk beberapa saat. Dan aku akan 

mengenangnya seumur hidup, jika kau mau memenuhinya...."


Sambil berkata begitu, Suntini meraba sabuk yang melilit pinggangnya. Kemudian 

melepaskannya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Panji. 

Pendekar Naga Putih mulai dapat menduga apa permintaan gadis cantik itu. Wajah 

tampannya berubah kemerahan ketika Suntini hendak melepaskan pakaian yang 

dikenakan. Karuan saja pemuda itu kaget bukan kepalang. Sungguh tak disangkanya 

kalau Suntini akan nekat berlaku seperti itu. 

"Lakukanlah, Kakang...! Kalau ini pun masih juga kau tolak, kau benar-benar 

menghancurkan seluruh kehidupanku...," desis Suntini yang mulai memperlihatkan tubuh 

bagian atasnya. 

Tentu saja Pendekar Naga Putih tidak mungkin dapat memenuhi permintaan gila 

itu. 

"Berhenti...!" bentaknya dengan suara keras menggelegar. 

Suntini tersentak kaget. 

"Kau gila, Suntini...!" 

Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat lenyap 

meninggalkan tempat itu. Dia tak peduli bagaimana perasaan gadis itu sepeninggalnya. 

Pemuda itu benar-benar tak menyangka, kalau perasaan cinta telah membuat Suntini 

sampai tersesat sedemikian jauh. Sehingga, akal sehatnya tak lagi dapat membedakan 

mana baik dan buruk. 

"Ohhh...!" 

Melihat betapa tubuh pemuda yang telah merebut seluruh cintanya berkelebat 

pergi, Suntini jatuh terduduk. Gadis itu merasa malu sekali, dan menangis sedih seraya 

menutup wajah dengan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih telah menolak permintaan 

terakhirnya. Padahal semua itu dilakukan Suntini karena perasaan cintanya yang sangat 

besar. Tentu saja kepergian pemuda pujaannya, membuat hatinya kian hancur. 

*** 

"Aaakh...!" 

Suara teriakan keras terdengar dan kejauhan. Pendekar Naga Putih yang tengah 

berlari meningyalkan Suntini, langsung menghentikan gerakannya. Suara jeritan 

perempuan itu membuat keningnya berkerut. Dia tahu jeritan itu datang dari belakang. 

Tempat Suntini berada. 

"Entah pikiran apa lagi yang ada di dalam kepala gadis itu? Mungkin dia hendak 

mengecoh dengan teriakannya...?" gumam Panji seraya membalikkan tubuh, dan menatap 

lurus ke tempat Suntini ditinggalkan. 

Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih tetap tegak dengan tatapan 

mata lurus ke depan. Hatinya hendak memastikan apa jeritan itu akan terdengar lagi, 

kalau dia belum muncul? Dan... 

"Auw...! Tolong...!" 

Pendekar Naga Putih terkejut ketika teriakan itu kembali terdengar. Dari suaranya, 

Panji menangkap getar ketakuan. Pikirannya melayang, menduga-duga apa kira-kira yang 

tengah dialami gadis cantik itu. 

"Hm..., sebaiknya kulihat dulu. Siapa tahu Suntini benar-benar tengah menghadapi 

kesulitan...." 

Panji langsung mengerahkan ilmu lari cepatnya. Seketika itu juga, tubuhnya 

melesat cepat, menuju tempat Suntini berada. 

Pendekar Naga Putih yang semula berniat hanya untuk mengintai, langsung 

membatalkannya. Karena dilihatnya Suntini tengah dikepung sosok-sosok lelaki kasar, 

yang tertawa-tawa penuh gejolak nafsu. Kegeraman pendekar muda itu muncul ketika 

melihat pakaian yang melekat di tubuh Suntini telah terkoyak-koyak. Tanpa pikir panjang, 

tubuhnya melesat untuk menyelamatkan gadis cantik itu. 

"Haiiit! Heaaa....!" 

Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepaskan tiga kali pukulan berturut-

turut. Akibatnya tiga lelaki kasar yang saat itu hendak menerkam tubuh Suntini, jatuh 

terjengkang memuntahkan darah segar. Mereka tewas seketika itu juga. 

"Kakang...!"


Melihat munculnya sosok bayangan putih yang langsung merobohkan ketiga lelaki 

itu, Suntini tersentak gembira. Kemudian menyeret langkah kakinya sambil menutupi 

seluruh bagian tubuh yang terlihat. 

"Perampok kurang ajar...! Kalian boleh cicipi kepalanku!" geram Panji kembali 

melesat dengan pukulan dan tendangannya. 

"Hih!" 

Bukkk! Plakkk! 

Serangan cepat yang dilancarkan Pendekar Naga Putih mendarat telak di tubuh 

empat laki-laki yang tengah berusaha menangkap tubuh Suntini. 

"Aaa...!" 

"Akh...!" 

Teriakan keras terdengar ketika keempat lelaki berwajah kasar itu terhantam 

serangan Pendekar Naga Putih. Seketika tubuh mereka berpentalan dan menyemburkan 

darah segar dari mulut. 

Srat! Srat! 

Dua perampok lain yang merasa penasaran, segera melolos pedang sambil 

menerjang Panji. Dengan cepat mereka mengayunkan senjata memburu tubuh lawan. 

Namun... 

"Hihhh...!" 

Trak! 

Dengan cepat Pendekar Naga Putih menyampok tangan mereka seraya 

mengirimkan pukulan keras. Tak ampun lagi kedua lelaki berwajah kasar itu terjungkal 

dan mencium tanah. 

"Lariii...!" teriak leiaki bermuka codet yang rupanya pimpinan perampok itu. Dan 

tanpa berpikir dua kali, kawan-kawannya langsung berlari kabur meninggalkan tempat itu. 

Tampaknya mereka menyadari kalau lawan terlalu berat. Tak mungkin mengadakan 

perlawanan. 

"Kakang...!" 

Suntini langsung menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Tubuh 

setengah telanjang itu memeluk erat pemuda berwajah tampan itu Panji tak mampu 

berbuat apa-apa mendengar tangis gadis itu. Dia memahami kalau Suntini masih dalam 

keadaan ketakutan. Hanya dengan membiarkannya menangis dalam pelukan, 

kemungkinan besar Suntini bisa tenang kembali. 

"Bahayanya sudah lewat, Suntini...," bisik Panji menenangkan hati Suntini seraya 

mengelus rambutnya. Rasa ibanya kembali muncul melihat betapa gadis cantik itu harus 

mengarungi kehidupan yang ganas seorang diri. Namun, tak ada satu pun yang bisa 

dilakukannya untuk membuat gadis itu terbebas dari kehidupan yang memang diwarnai 

kekerasan itu.



LIMA



Suntini masih terisak dalam pelukan Panji. Hal itu cukup lama berlangsung, 

sampai akhirnya Panji mendorong perlahan tubuh gadis cantik itu. Sebab, kendati bahu 

Suntini masih terguncang sesekali, dia merasakan betapa debaran jantung gadis cantik itu 

sudah pulih seperti biasa. 

"Siapa mereka, Kakang? Mengapa mereka kelihatan demikian buas...?" tanya 

Suntini menatap wajah Panji yang begitu dekat dengan wajahnya. Sehingga, sepasang 

mata bening yang masih basah itu menjelajah sekujur wajah tampan di depannya. 

"Hhh..., orang-orang kasar yang biasa mengganggu orang dengan kekerasan. 

Mungkin mereka hanya kebetulan lewat di tempat ini. Dan ketika melihat gadis cantik 

seperti dirimu berada seorang diri di tempat ini, mereka tentu saja tidak akan 

membiarkan...," sahut Panji yang berusaha bersikap wajar, meskipun tahu kalau Suntini 

kembali tergoda gejolak cintanya. Hal itu bisa dirasakan dari tatapan mata gadis cantik itu 

yang berbicara banyak meski tanpa kata. 

"Kakang Panji, mengapa, tak kau biarkan saja aku hancur di tangan mereka? 

Untuk apa aku hidup dengan hati yang remuk-redam seperti ini? Rasanya aku lebih baik 

mati daripada hidup tanpa dirimu, Kakang...," ucap Suntini seraya mendekatkah wajah 

dan menatap wajah Panji dengan sinar mata redup. Bibirnya yang merah basah tampak 

setengah terbuka, memberikan tantangan. 

Wajah cantik dengan sepasang mata sayu menghiba dan bibir merah menantang 

itu nyaris menyeret hati Pendekar Naga Putih. Namun, bayangan gadis jelita berpakaian 

hijau yang melintas di benaknya, membuat pendekar muda itu menarik wajahnya. 

Bayangan wajah Kenanga yang melintas sekilas, membuat Panji tersadar. Biar dengan 

alasan apa pun, dia tidak mungkin akan mengkhianati cinta Kenanga. 

"Maafkan aku, Suntini...!" desah Panji dengan suara perlahan. Karena dilihatnya 

kilatan marah dalam pancaran mata gadis cantik itu. Panji bergegas bangkit berdiri. 

"Kau benar-benar tak sudi menerima cintaku, Kakang...?" tanya Suntini dengan 

suara bergetar. Sorot matanya menampakkan perasaan sakit dalam hati gadis cantik itu. 

Beberapa kali dia memohon kesediaan Pendekar Naga Putih menerima cintanya, tapi 

pemuda itu tetap tak berubah dengan keputusan semula. 

Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas panjang. Hatinya dapat 

merasakan apa yang bergejolak dalam hari Suntini saat itu. 

"Tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pedesaan. Aku tidak bisa menemanimu 

lebih lama lagi, Suntini. Sekali lagi, harap kau maafkan aku...," ujar Panji dengan nada 

penuh sesal. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya langsung berkelebat lenyap 

dari hadapan Suntini. 

"Kakang...!" Suntini hanya bisa mengeluh dengan air mata yang kembali mengalir 

menuruni pipinya yang halus. 

*** 

"Hm..., adanya peristiwa penculikan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan, 

akan membuat perjalananku tertunda. Mudah-mudahan Kenanga bisa mengerti akan 

keterlambatanku...!" gumam Panji yang saat itu tengah menyusuri jalanan berbatu kecil. 

Pendekar Naga Putih tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Dengan 

adanya peristiwa penculikan aneh itu, telah membuatnya merasa berkewajiban untuk 

menyelidiki dan mengatasi. Namun, karena pamannya Kenanga yang menjadi perwira di 

Kadipaten Tumapel, meminta mereka datang secepatnya, akhirnya Pendekar Naga Putih 

meminta pengertian Kenanga. Disuruhnya gadis itu melanjutkan perjalanan. Sementara 

dia ingin menyelidiki kejadian itu, dan berjanji akan segera menyusul Kenanga. 

Namun siapa kira kalau setelah peristiwa yang satu tuntas, muncul lagi peristiwa 

lain. Karena Pendekar Naga Putih merasa wajib untuk menghentikan penculikan dan 

pembunuhan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan itu. 

Kepasrahan sikap Suntini yang nyaris menyeretnya, membuat Pendekar Naga Putih 

tiba-tiba dilanda kerinduan terhadap kekasihnya. Bayangan kemesraan yang ditawarkan 

Suntini, memang sempat membuat benteng pertahanannya runtuh, karena didorong rasa 

iba terhadap gadis itu. Untunglah pada saat-saat terakhir, bayangan Kenanga melintas di


benaknya. Sehingga, terlepas dari cengkeraman dewi asmara yang nyaris membuat dirinya 

terlena. 

Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas penuh sesal, ketika teringat 

Suntini. Apalagi gadis itu kini hidup sebatang kara. Panji pun sadar, betapa berat 

perjalanan hidup yang harus dilalui gadis cantik itu. Karena sebelumnya Suntini 

merupakan putri seorang hartawan. Tentu saja kehidupan yang kali ini harus dijalani 

seorang diri, akan semakin terasa sangat berat baginya. Mengingat semua itulah, timbul 

perasaan kasihan dalam hati pemuda itu. Sama sekali tak disangka kalau justru perasaan 

itu pula yang nyaris membuatnya berkhianat terhadap Kenanga. Namun sekarang dia 

boleh merasa lega karena semua itu tak sampai terjadi. Disadari kalau Suntini menjadi 

semakin sakit hati terhadapnya. 

"Hhh...," Panji kembali menghela napas mengingat Suntini. Dia hanya bisa berdoa 

agar Suntini mendapatkan seorang pelindung yang lebih baik. Selain itu, tak ada lagi yang 

bisa dilakukannya. 

Namun, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menahan langkahnya. Seketika lamunannya 

buyar. Sesuatu yang mengusik pendengarannya, membuat kepala pemuda itu 

menengadah dengan kening berkerut. Seakan-akan hendak memastikan suara itu. 

"Hm..., mungkinkah yang kudengar barusan suara binatang buas...?" gumam Panji 

dengan kening berkerut. Telah dikerahkan ilmu pendengarannya, tapi tak ada sesuatu pun 

yang tertangkap. Pendekar Naga Putih mulai meragukan apa yang barusan mengusik 

telinganya. 

Setelah agak lama berpikir, akhirnya Panji memutuskan untuk segera melanjutkan 

perjalanan. Namun, ketika kakinya baru maju selangkah, tiba-tiba.... 

"Aaa...!" 

Lengkingan panjang mirip jerit kematian, membuat Pendekar Naga Putih tersentak. 

Meskipun suara itu masih agak samar terdengar telinga, hatinya dapat memastikan kalau 

pemilik jeritan itu tengah menghadapi kematian. Atau paling tidak tengah berhadapan 

dengan sesuatu yang mengerikan. 

"Untuk mengetahuinya secara pasti, aku harus mencari sumber jeritan itu..," 

gumam Panji, mengambil keputusan. Kemudian langsung melesat ke hutan kecil di 

sebelah kiri jalan yang dilaluinya. 

Ketika Pendekar Naga Putih tengah bingung karena belum tahu pasti tempat asal 

jeritan, tiba-tiba terdengar lagi suara itu. Kali ini terdengar lebih jelas dan keras. 

Langkahnya segera dipercepat. 

Namun sayang, kedatangan Pendekar Naga Putih terlambat! Dari jarak sekitar dua 

puluh tombak di depannya, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat pergi. Kemudian 

di dekat tempat itu tampak empat sosok tubuh tergeletak di atas rerumputan. Tanpa 

buang-buang waktu segera kedua kakinya dihentakkan dan melesat menuju tempat itu. 

Bagaikan seekor burung besar, tubuh Pendekar Naga Putih melayang di udara. 

Setelah bersalto beberapa kali tubuhnya melucur ke bawah. Tak terdengar suara sedikit 

pun saat kedua telapak kakinya menjejak permukaan tanah berumput. 

Panji yang semula berniat untuk memeriksa empat sosok tubuh di atas tanah itu, 

membatalkan niatnya. Karena dilihatnya ada darah segar berceceran di atas rerumputan. 

Juga pada tubuh keempat orang yang tak dikenalnya itu. 

"Hhh.... Lengkingan kematian tadi berasal dari keempat lelaki malang ini...," 

gumam Panji, setelah melihat empat sosok tubuh terkapar berlumuran darah itu sudah 

tak bernyawa. Sehingga dia tak sempat mengorek keterangan, apa sebenarnya yang 

menyebabkan mereka terbunuh. 

Setelah berpikir sejenak, Pendekar Naga Pulih segera melesat cepat meninggalkan 

tempat itu. Pikirannya menyimpulkan, kematian keempat lelaki itu pasti ada hubungannya 

dengan sosok bayangan yang tadi dilihatnya berkelebat dari tempat itu. Maka pemuda itu 

memutuskan untuk segera mengejarnya. 

Tubuh Pendekar Naga Putih terus melesat dengan ilmu meringankan tubuhnya 

yang telah sempurna. Dalam sekejap saja sosok bayangan putih itu telah berada jauh dari 

tempat terbunuhnya keempat lelaki tadi. Sejauh itu belum juga ditemukan adanya jejak 

sosok bayangan yang dicurigainya itu. 

"Hm..., pembunuh itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Kalau tidak, 

mana mungkin bisa menghilang begitu cepat. Hhh.... Siapa manusia keji itu? Mungkinkah 

dia salah seorang dari perempuan-perempuan cantik yang kutemukan beberapa hari lalu?"


Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Pendekar Naga Putih dalam keadaan 

tetap berlari. Sampai akhirnya larinya dihentikan karena sampai di dekat sebuah 

pedesaan. Dia mengetahui hal itu ketika melihat tak jauh di depan ada seorang lelaki 

pencari kayu. 

Melihat pencari kayu itu, timbul keinginan Panji untuk bertanya. Bergegas 

dihampirinya lelaki bertelanjang dada itu. 

"Maaf, Kisanak! Aku ingin bertanya sedikit...," sapa Panji setelah menjajari langkah 

pencari kayu bakar itu. 

"Eh, silakan...," sambut lelaki separo baya yang kulit wajahnya agak kehitaman. 

Sepasang matanya agak menyipit meneliti sosok pemuda tampan di sampingnya. 

Wajahnya agak tertegun sesaat ketika membentur mata pemuda berjubah putih itu. Segera 

wajahnya dipalingkan, karena merasa ada suatu perbawa kuat dalam sorot mata pemuda 

tampan itu. 

"Mmm..., apakah Kisanak melihat ada orang yang barusan berlari melewati jalan 

ini...?" tanya Panji dengan sikap ramah. Karena sempat dilihatnya dari sorot mata lelaki 

setengah baya itu perasaan curiga. 

"Saya tak melihat, Tuan...," jawab lelaki separuh baya itu dengan jujur. Kemudian 

menatap Panji sesaat, seperti menunggu kalau-kalau pemuda itu melontarkan pertanyaan 

lain. 

"Terima kasih, Kisanak! Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu...!" ucap Panji 

yang tidak ingin mengganggu orang tua itu lebih lama lagi. Dan dia percaya dengan 

jawaban orang tua itu. 

Pendekar Naga Putih masih tetap berdiri sambil mengawasi sekitarnya. Sedangkan 

pencari kayu bakar itu sudah melanjutkan perjalanannya. Panji sempat menghela napas 

ketika melihat pencari kayu bakar itu sesekali menoleh ke arahnya. Orang tua itu 

sepertinya belum yakin betul kalau Panji tak akan mengikuti langkahnya. 

"Mungkin dia mengira aku orang jahat yang pura-pura bertanya kepadanya...," 

gumam Panji seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. 

Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan pencari kayu bakar yang melangkah 

tergesa meninggalkan tempat itu. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu sudah melesat 

bagaikan terbang. Gagal menemukan sosok bayangan yang dicari, dia berniat kembali ke 

tempat kejadian. 

Keadaan empat sosok mayat itu belum berubah. Begitu tiba di tempat itu, Panji 

segera memeriksa satu persatu. Maksudnya hendak mencari tahu kalau-kalau mengenal 

ilmu pukulan yang menewaskan keempat orang itu. Namun, lagi-lagi Panji harus menelan 

kekecewaan. Karena keempat mayat itu terbunuh oleh tusukan pedang. Sehingga, sulit 

diduga siapa pelaku pembunuhan itu. 

Akhirnya Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memakamkan mayat-mayat itu. 

Sementara itu, dugaannya mulai mengarah pada perempuan-perempuan cantik yang 

pernah bentrok dengannya. Karena, dari salah seorang lelaki yang pernah 

diselamatkannya, tercetus keterangan bahwa perempuan-perempuan berwajah dingin itu 

merupakan kelompok penculik dan pembunuh. Sehingga tuduhan lebih kuat jatuh kepada 

mereka. 

Selesai menguburkan keempat mayat itu, Pendekar Naga Putih melesat pergi. 

Kecepatan gerakannya membuat tubuh pemuda itu tampak seperti tak menapak di atas 

tanah. Dalam sekejap dia telah sampai di perbatasan sebuah desa. Jalan yang dilaluinya 

memang tampak sepi. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mempercepat larinya. 

Pendekar berjubah putih itu baru berhenti ketika memasuki mulut desa. 

"Desa Lengser...," gumam Panji membaca huruf-huruf yang tertera pada tugu di 

sebelah kanan jalan yang dilaluinya. Kemudian baru melangkah memasuki mulut desa itu. 

Matahari sudah bergeser jauh ke barat saat Panji melintas di jalan utama desa. 

Langkahnya menuju sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu. Kedai kecil 

itu tampak tidak begitu ramai. 

"Pendekar Naga Putih...!?" 

Baru saja langkahnya sampai di depan kedai, terdengar seruan kaget sekaligus 

gembira. Pendekar Naga Putih yang semula agak kaget mendengar orang menyebut 

julukannya, tersenyum lebar ketika menoleh tempat asal suara. Terlihat salah satu dari 

beberapa orang lelaki yang duduk mengelilingi sebuah meja, bergerak bangkit menyambut 

kedatangannya.


"Gupta...?!" seru Pendekar Naga Putih, menyebut nama lelaki gagah berkumis tipis 

yang melangkah lebar menyambutnya dengan penuh kegembiraan. 

Lelaki gagah berkumis tipis itu ternyata Gupta, salah seorang tokoh persilatan yang 

pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari kematian. Gupta tampaknya sama sekali 

tak menyangka akan berjumpa lagi dengan Pendekar Naga Putih. Seorang pendekar besar 

yang namanya telah tersohor. Tampak di wajahnya rasa gembira begitu melihat dan 

mengenali pemuda tampan berjubah putih yang datang ke kedai itu. 

"Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu, Pendekar Naga Putih!" ucap Gupta 

menyatakan kegembiraannya seraya menyalami pemuda itu. "Marilah bergabung dengan 

kami..!" 

"Terima kasih...!" sahut Pendekar Naga Putih yang juga gembira dapat bertemu 

Gupta di Desa Lengser itu. Tanpa ragu lagi, kakinya mengikuti langkah Gupta. 

Enam orang lelaki yang rata-rata bertubuh tegap, serentak bangkit berdiri. Bahkan 

delapan orang di meja sebelah kanan pun ikut menyambut kedatangan pendekar muda 

itu. Sorot mata mereka memancarkan kekaguman terhadap sosok pendekar muda yang 

namanya sangat tersohor di rimba persilatan. 

Empat belas orang lelaki itu tampak saling berebutan menyalami Pendekar Naga 

Putih, yang tampak tersenyum penuh persahabatan. Hatinya pun gembira melihat sikap 

para lelaki gagah yang bersikap tulus dan bukan hanya sekadar basa-basi. Baru kemudian 

dia duduk di bangku yang telah disediakan Gupta. 

Gupta langsung memanggil pelayan kedai. Kemudian memesan hidangan untuk 

Panji. Lelaki itu tak mampu menyembunyikan kegembiraan hatinya. Wajahnya tampak 

cerah dan penuh senyum. Seolah menganggap Pendekar Naga Putih sebagai seorang tokoh 

yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya. 

"Hm..., kelihatannya kesehatanmu sudah pulih benar, Gupta...," ujar Pendekar 

Naga Putih seraya menatap lelaki gagah berkumis tipis itu untuk beberapa saat. 

"Semua ini berkat pertolonganmu Pendekar Naga Putih. Kabar yang selalu 

kudengar tentang namamu tampaknya, tak berlebihan. Selain terkenal ilmu kedigdayaan, 

kiranya kau memang seorang ahli pengobatan yang sukar dicari bandingannya. Beruntung 

sekali aku mendapatkan pertolonganmu saat itu. Kalau tidak, mungkin hari ini aku masih 

terbaring di tempat tidur sembari merintih-rintih kesakitan. He he he...!" Gupta mengakhiri 

ucapannya dengan tawa panjang, yang juga disambut kawan-kawannya. 

Panji hanya tersenyum mendengar ucapan Gupta. Kemudian matanya menatapi 

empat belas wajah tokoh-tokoh persilatan yang tadi menyambut kedatangannya. 

"Mereka saudara-saudara seperguruanku, Pendekar Naga Putih. Dan kami telah 

bertekad untuk memberantas para perempuan keparat itu. Perjalanan kami terpaksa 

tertahan di Desa Lengser ini, karena ada berita yang tak kalah mengejutkan dengan 

perbuatan iblis-iblis itu...," jelas Gupta tanpa diminta. 

"Hm… Apa yang telah terjadi di desa ini, Gupta...?* tanya Panji dengan kening 

berkerut. Tampak dia sangat tertarik untuk mengetahui berita yang dimaksud Gupta. 

"Wah..., lagi-lagi kau ketinggalan berita, Pendekar Naga Putih," tukas Gupta tertawa 

perlahan. "Yang kami dengar, belakangan ini telah terjadi penculikan terhadap wanita-

wanita muda. Dan, baru semalam Desa Lengser dijarah penculik-penculik itu. Kami telah 

mendapatkan keterangan langsung dari Ki Lengser, kepala desa ini." 

"Ki Lengser...?" desis Panji agak heran mendengar nama penguasa yang sama 

dengan desanya. 

"Benar. Namanya sendiri sudah dilupakan orang. Menurut sebagian penduduk, 

lelaki tua yang bijaksana itu sudah tiga puluh tahun menjadi kepala desa. Di bawah 

pimpinannya, desa yang semula kecil ini berkembang pesat dan cukup makmur. Sehingga, 

penduduk memberikan nama Lengser untuk desa ini. Barangkali hal itu sebagai ungkapan 

rasa terima kasih mereka. Dengan demikian, para warga tak akan pernah melupakan 

kepala desa mereka, meskipun telah wafat nanti...," Gupta memberi penjelasan kepada 

Pendekar Naga Putih, sehubungan dengan nama kepala desa itu. 

"Hm...," Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam dia merasa kagum 

terhadap Gupta. Padahal lelaki gagah berkumis tipis itu baru setengah hari berada di Desa 

Lengser. Namun telah demikian banyak keterangan yang didapatnya. Itu yang membuat 

Pendekar Naga Putih kagum terhadap Gupta. 

"Jadi, kau telah berbicara banyak dengan Ki Lengser...?" tanya Panji kemudian.


"Benar. Itu sebabnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Kami khawatir 

kalau para penculik itu akan datang lagi," sahut Gupta dengan mata berapi-api. Tampak 

Gupta sangat geram terhadap para pelaku penculikan itu. 

"Hm..., jadi selain harus memberantas para perempuan keji itu, kita pun harus 

menghadapi pelaku penculikan itu,.?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah Gupta. 

"Yah, begitulah...," sahut Gupta cepat. 

Pendekar Naga Putih terdiam. Pandangannya dilemparkan ke luar kedai melalui 

jendela yang terbuka lebar. Suasana hening seketika. Semua terdiam mengikuti jalan 

pikiran masing-masing.



ENAM


Perempuan muda itu berlari tersaruk-saruk. Langkahnya yang tidak tetap, 

menandakan bahwa kaki-kaki mungil itu telah kelelahan karena berlari terlalu jauh. 

Sehingga, ketika kaki kanannya terantuk batu kecil, tubuh ramping itu terhuyung 

limbung. Akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah. 

Blukkk! 

"Ohhh...!" 

Terdengar keluhan kecil dari mulutnya. Perempuan muda itu tak berusaha bangkit. 

Wajahnya yang kotor tampak meringis-ringis menahan sakit. Air matanya meleleh di pipi, 

sepertinya ada kesedihan yang melanda hatinya. 

"Ya, Tuhan...! Kenapa tak kau cabut saja nyawaku! Aku tak sanggup menanggung 

beban derita ini..," rintihan pilu yang menggambarkan penderitaan, terucap dari mulut 

perempuan muda itu. Kedua tangannya memukul tanah berkali-kali. Wajahnya 

menelungkup tanpa peduli tanah berdebu di jalanan itu. Entah penderitaan apa yang 

membuat gadis itu demikian sedih dan putus asa. 

Setelah puas menumpahkan tangis dan kegundahannya, gadis itu pun bangkit 

dengan perlahan. Sepasang matanya tampak sangat sayu tanpa gairah untuk hidup. 

Kakinya yang lemah itu kembali melangkah gontai tanpa semangat. 

Di tepi sebuah sungai yang menjorok, langkah gadis muda itu terhenti. Wajahnya 

yang basah air mata itu menengadah, menatap langit. Kemudian menatap arus air sungai 

yang bergemuruh di bawahnya. 

"Tidak ada gunanya lagi aku hidup...! Biarlah derita ini kubawa ke alam 

keabadian..!" desis gadis itu dengan wajah pucat dan tatapan kosong. 

Lama gadis berwajah cantik itu menatap sungai berarus deras di bawahnya, batu-

batu besar yang menyembul di atas permukaan air, seakan telah siap menyambut tubuh 

ramping itu. Namun, gadis itu kelihatannya tak merasa gentar. Dia telah mengambil 

keputusan bulat untuk mengakhiri penderitaan di tempat itu. 

"Ayah...! Ibu...!" desahnya dengan air mata bercucuran. "Ampunilah anakmu...!" 

Usai berkata demikian, matanya dipejamkan rapat-rapat. Seakan-akan dirinya 

telah siap untuk melompat ke bawah, tempat batu-batu besar itu siap menyambut 

tubuhnya. 

"Jangan lakukan perbuatan bodoh itu, Adik Manis...!" 

Tiba-tiba terdengar suara teguran halus. Belum juga gadis itu menoleh, tubuhnya 

tertarik ke belakang. Sepasang tangan halus terasa menyentaknya dengan kuat. Sehingga 

tubuh gadis itu terhempas ke atas rerumputan. 

"Akh...!" 

Gadis muda berwajah manis itu menjerit kecil. Sepasang matanya tampak 

menyiratkan keterkejutan dan marah. Sebelum bangkit, kepalanya didongakkan menatap 

sosok yang telah berani mencegah perbuatannya. 

Kilat kemarahan di mata gadis itu seketika berubah keheranan. Karena dilihatnya 

ada dua orang wanita cantik berpakaian merah muda tengah berdiri tegak di sampingnya. 

Wajah kedua wanita itu tampak sangat ramah dan terhias senyum manis. 

"Siapa kalian...? Mengapa menghalangiku...?" tanya gadis manis itu dengan mata 

menatap keduanya. Setelah itu dia bangkit tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah 

kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu. 

"Kau tidak perlu takut kepada kami, Adik Manis! Kami berdua justru hendak 

menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuatmu berduka hati, lalu hendak bunuh diri 

seperti itu? Kami siap membantumu...." 

Salah seorang dari wanita muda berwajah cantik itu menyahuti. Suaranya 

terdengar lembut. Seolah dia benar-benar hendak menolong dengan hati yang tulus. 

"Kalian hendak menolongku? Mengapa...? Untuk apa kalian tahu tentang 

penderitaanku...?" tukas gadis itu dengan nada melecehkan. Seakan-akan hatinya tak 

percaya ada orang yang peduli dengan penderitaannya. Lebih-lebih kedua orang itu wanita, 

seperti dirinya. 

"Kami berdua merasa iba melihat kesedihanmu. Dan untuk menolongmu, tentu 

saja kami harus mengetahui penyebab penderitaanmu itu," sahut perempuan berpakaian


merah muda yang memiliki tahi lalat di tepi bibir kanannya. Sedang perempuan yang satu 

lagi hanya diam mendengarkan. 

"Bagaimana kalian dapat menolongku?" tanya gadis itu masih tidak percaya. 

Kemudian ditatapnya kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. 

"Apakah kalian peri sungai ini?" 

Mendengar pertanyaan itu, perempuan cantik yang bertahi lalat tertawa perlahan. 

Sedangkan perempuan yang lain menahan senyum. Pertanyaan itu mereka anggap lucu. 

"Dengarlah, Adik Manis," ujar perempuan cantik bertahi lalat yang ternyata 

Ningrum. "Hhh..., kami bukan peri sungai ini, tapi percayalah, kami dapat menolongmu! 

Katakan apa yang harus kami lakukan untuk melenyapkan penderitaanmu?" 

"Hm..., apa yang dapat dilakukan perempuan-perempuan cantik dan lemah seperti 

kalian...?" tanya gadis muda itu dengan senyum tipis di mulutnya. Tampaknya dia belum 

percaya kemampuan kedua perempuan cantik di hadapannya. 

"Banyak yang bisa kami lakukan," sahut Ningrum tersenyum. "Contohnya ini...!" 

Setelah berkata demikian, Ningrum mengayunkan lengannya. Dan.... 

Whuuut! Crab...! 

Seketika beberapa batang pohon pisang yang berada sekitar tiga tombak dari 

mereka bertumbangan laksana tertebas pedang. 

"Akh...?!" 

Gadis desa yang berwajah manis itu terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak 

percaya menyaksikan kejadian itu. Betapa tidak! Tangan halus lembut perempuan 

berpakaian merah muda itu ternyata mampu menebas beberapa batang pohon dalam 

sekali gerakan cepat. 

"Bagaimana? Apa kau masih belum percaya kalau kami dapat menolongmu...?" 

tanya Ningrum seraya tersenyum sinis. 

"Tapi..., dengan apa nanti aku harus membalas pertolongan yang kalian berikan...," 

tanya gadis desa itu bimbang. Hatinya sudah percaya penuh, kalau kedua perempuan itu 

dapat menolongnya. Hanya dia masih meragukan balasan atas jasaa perempuan-

perempuan cantik itu kelak. 

"Hi hi hi...!" Ningrum tertawa perlahan, membuat gadis manis itu heran. "Kenapa 

harus membalas, Adik Manis? Hm.... Jika segalanya telah selesai, ikutlah bergabung 

dengan kami..!" 

"Bergabung...?" tanya gadis desa itu agak heran. 

"Benar, Adik Manis. Dan aku yakin kau pasti akan senang. Karena di tempat 

tinggal kami, kau akan mempunyai banyak teman. Mereka perempuan-perempuan seusia 

kita. Selain itu pada mulanya mereka mempunyai penderitaan sama seperti dirimu. 

Bagaimana? Bersedia...?" tanya perempuan cantik, kawan Ningrum. 

"Mereka semuanya perempuan...?" tanya gadis desa itu menegasi. Karena seakan 

belum percaya kalau di dunia ini begitu banyak wanita yang menderita dan berkumpul di 

suatu tempat. 

"Benar. Apa yang dikatakan Wilasih benar...," sahut Ningrum menimpali ucapan 

kawannya yang ternyata bernama Wilasih. 

"Dan tempat tinggal kami berada di sebuah lembah yang bernama Lembah Hitam," 

Wilasih kembali menyahut sebelum gadis desa itu menanyakannya. "Tapi jangan 

kau salah mengartikan Lembah Hitam yang kami maksud, bukanlah tempat perempuan-

perempuan kotor." 

"Pada mulanya kami pun merupakan perempuan-perempuan lemah yang 

menderita. Namun, setelah sekian tahun dididik tetua kami, hasilnya seperti yang kau 

saksikan tadi. Padahal itu belum seberapa. Masih banyak yang dapat kami perbuat selain 

mematahkan batang pohon itu," jelas Ningrum menambahkan. 

Mendengar penjelasan kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu, gadis 

desa itu jadi tertarik. 

"Eh, apakah kalian berdua juga disakiti laki-laki...?" tanya gadis desa itu seraya 

menatap wajah Ningrum dan Wilasih yang juga menatapnya. 

"Benar," sahut Ningrum cepat "Dan pertanyaanmu itu secara tak sengaja telah 

menjawab pertanyaan kami tadi. Sekarang ceritakanlah! Bagaimana sampai kau bisa 

disakiti laki-laki...?" 

"Mulanya aku tidak menyangka kalau Sidanta akan sejahat itu. Kebusukan hatinya 

baru kuketahui setelah dia mengambil dan menikmati tubuhku. Padahal aku begitu


mencintainya. Tapi, setelah kesucianku dilahapnya dengan rakus, tahu-tahu dia akan 

menikah dengan seorang putri juragan kaya di desa lain.... Aku hanya bisa menangis 

ketika mendengar berita itu. Diriku dicampakkan begitu saja bagai seonggok sampah!" 

jelas gadis desa yang malang itu membeberkan penyebab penderitaannya. Air matanya 

kembali mengalir ketika teringat pengkhianatan kekasihnya. 

"Hm.... Sungguh malang nasibmu. Adik Manis! Sekarang, katakan di mana pemuda 

keparat bernama Sidanta itu tinggal? Kami akan menyeretnya ke hadapanmu! Setelah 

puas menyiksanya, baru kita membunuhnya..!" tukas Ningrum dengan mata berapi-api. 

Tampak sinar dendam dalam tatapan matanya yang tajam. Wanita cantik itu berubah 

dingin dan seakan menebarkan hawa maut. 

"Sidanta tinggal satu desa denganku. Dia anak seorang juragan kaya yang banyak 

mempunyai tukang pukul. Mereka bengis-bengis dan memiliki kepandaian silat..," jawab 

gadis desa itu menerangkan dengan suara takut-takut. Seakan hatinya merasa gentar 

ketika melihat wajah kedua perempuan cantik itu berubah bengis dan menyeramkan. 

"Hm..., kau tunggulah di sini! Kami akan segera menyeret pemuda keparat itu ke 

tempat ini..," ujar Ningrum yang segera memberikan isyarat kepada Wilasih untuk segera 

pergi. 

"Tapi, bagaimana denganku? Aku takut ditinggal sendiri di tempat ini..?" ujar gadis 

desa itu sembari mengawasi sekelilingnya yang sepi. 

Semula Ningrum dan Wilasih agak kebingungan. Namun wajah mereka berubah 

ketika melihat adanya sesosok bayangan merah tengah bergerak menuju tempat itu. 

"Jangan khawatir! Kau akan ditemani kawan kami. Itu dia datang!" ujar Ningrum 

sambil menunjuk sosok bayangan itu. 

Tidak lama kemudian, sosok bayangan merah muda itu tiba. Kelihatannya 

perempuan itu sama sekali tak merasa heran menemukan adanya seorang gadis desa 

berwajah manis. 

"Jagalah gadis ini! Kami berdua melakukan 'tugas'," ujar Ningrum setengah 

memerintah. 

"Baik," sahut perempuan cantik yang baru tiba itu. Seakan dia telah mengerti apa 

yang dimaksud 'tugas' oleh Ningrum. Sehingga tidak banyak bertanya lagi. 

Setelah berpesan, Ningrum mengajak Wilasih segera meninggalkan tempat itu. 

Dengan mengerahkan ilmu lari cepat yang tinggi, kedua perempuan cantik itu melesat. 

Sebentar saja yang tampak hanya dua soosk bayangan kemerahan di kejauhan. 

*** 

Desa Tiram tampak tidak begitu ramai ketika Ningrum dan Wilasih melintas di 

jalan utama yang membelah desa itu. Beberapa penduduk yang sempat berpapasan 

dengan mereka menggeleng-geleng kagum. Hal itu tak aneh. Kedua perempuan itu 

memang cantik. Apalagi pakaian merah muda yang dikenakan, membuat kulit lengan dan 

wajah mereka tampak semakin putih. Sehingga, sosok kedua perempuan itu cukup 

menarik perhatian kaum lelaki. 

Ningrum dan Wilasih sama sekali tidak peduli. Mereka terus melangkah dengan 

tatapan lurus ke depan. Wajah-wajah dingin tanpa senyum itu membuat orang merasa 

segan untuk menegur. Sehingga, keduanya tak mendapat hambatan untuk segera sampai 

di tempat tujuan. 

Di depan sebuah rumah besar yang dijaga dua orang tukang pukul, mereka 

berhenti. Tentu saja kedatangan dua perempuan cantik itu membuat mata penjaga itu 

melotot. Keduanya tersenyum nakal menggoda. 

"Benarkah ini tempat tinggal Sidanta...?" tanya Ningrum tanpa basa-basi. Suaranya 

angkuh dengan wajah dingin tanpa senyum. 

"Hm.... Untung kau seorang perempuan cantik. Kalau tidak, salah mengucap 

seperti itu sudah cukup sebagai alasan bagi kami untuk menghukummu, Nisanak...!" 

sahut salah seorang dari tukang pukul itu memasang wajah angker kepada Ningrum dan 

Wilasih. 

"Hm..., rupanya kalian berdua tuli! Aku bertanya, apakah si keparat Sidanta tinggal 

di rumah ini?" tanya Ningrum, sama sekali tak menggubris ancaman tukang pukul itu. 

Bahkan ditambahkan kata-kata makian bagi Sidanta, yang seharusnya disebut sebagai 

tuan muda.


"Heh! Kau malah semakin kurang ajar, Nisanak! Di sini yang ada Tuan Muda 

Sidanta, tahu! Hati-hati kalau bicara, Nisanak!" sahut tukang pukul yang berkumis tebal 

melintang. Kelihatannya lelaki gagah itu sengaja memelihara kumis agar penampilannya 

lebih menakutkan. Namun semua itu sama sekali tak membuat Ningrum gentar. 

"Jadi benar rumah ini tempat kediaman pemuda keparat yang bernama Sidanta?!" 

Tanpa mempedulikan wajah garang kedua tukang pukul itu, Ningrum langsung 

bergerak masuk diikuti Wilasih. Tentu saja kedua penjaga itu kaget melihat tindakan 

mereka. 

"Hei, mau ke mana kalian? Berhenti...!" bentak tukang pukul berkumis tebal itu, 

sambil berlari menghadang di jalan masuk. Wajahnya yang garang menatap penuh 

ancaman kepada kedua perempuan cantik itu. 

"Minggirlah, Manusia Tak Berguna...!" bentak Ningrum sambil menghentakkan 

telapak tangan kirinya ke depan. Serangkum angin keras bertiup, menandakan bahwa 

dorongan telapak tangan halus itu dialiri tenaga dalam yang kuat. 

"Heh...?!" 

Tukang pukul berkumis tebal melintang itu tersentak kaget. Namun lelaki bertubuh 

kekar itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Bahkan sengaja jemari tangannya 

dijulurkan dengan senyum kurang ajar. Sepertinya dia sudah membayangkan betapa 

halusnya kulit lengan perempuan cantik itu. Tapi.... 

"Huhhh...!" 

Trak! 

Ningrum mendengus sengit sambil memutar tangannya dengan kecepatan 

mengagumkan. Secepat kilat pergelangan tangan tukang pukul itu telah tercekal. Dengan 

cepat dan keras Ningrum segera menyentakkannya. 

"Hiaaat..!" 

Wrettt! 

"Ukhhh...!" 

Tukang pukul berkumis tebal melintang itu terpekik kaget. Tanpa dapat dicegah 

lagi, tubuhnya terjerembab ke belakang. Belum lagi dia menyadari keadaan, jemari tangan 

lembut yang mencekal pergelangan tangannya terlepas. Lalu telapak tangan mungil itu 

meluncur ke dadanya. 

Blukkk! 

"Akh...!" 

Telapak tangan Ningrum mendarat telak di dada kanan lawan. Tubuh tukang pukul 

itu terpental deras ke belakang. 

Brukkk! 

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tegap itu terbanting keras ke tanah. Terdengar 

suara merintih dari mulutnya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit yang mendera 

sekujur tubuh. Dan dari sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir menandakan luka 

dalam yang parah. 

"Perempuan setan...!" tukang pukul yang bertubuh gemuk memaki kaget. Tanpa 

pikir panjang lagi, tangannya langsung menghunus senjata. Rupanya lelaki gemuk itu tak 

berani memandang ringan perempuan di depannya. Karena sekali gebrak saja kawannya 

roboh tak berdaya. Kenyataan itu membuatnya harus bersikap hati-hati. 

"Simpan makianmu, Anjing Keparat...!" 

Belum lenyap suara bentakan itu, Wilasih sudah melesat dengan sebuah tendangan 

keras ke dagu tukang pukul bertubuh gemuk itu. 

"Hiaaa...!" 

"Hih!" 

Tukang pukul bertubuh gemuk itu rupanya mengetahui gerakan cepat lawan, 

sehingga dengan cepat melangkah mundur. Tendangan keras Wilasih luput dari sasaran. 

Bahkan dengan cepat tukang pukul itu membabatkan pedangnya. Namun.... 

"Hiaaa..!" 

Bukkk! 

"Huakhhh...!" 

Perempuan cantik itu ternyata lebih cepat mendaratkan serangannya. Sebuah 

tendangan susulannya yang dilakukan dengan gerak berputar, membuat tubuh lawannya 

terhempas ke belakang. Telapak kaki mungil berisi tenaga dalam kuat itu tahu-tahu telah 

menghantam dada lawan. Karuan saja lelaki gemuk itu memuntahkan darah segar.


"Keparat..! Siapa kalian sebenarnya? Dan ada urusan apa dengan majikan muda 

kami..?!" bentak tukang pukul berkumis lebat yang sudah bangkit berdiri. Di tangan 

kanannya sudah tergenggam sebilah pedang. Matanya baru terbuka setelah melihat 

kawannya terbanting muntah darah. 

Namun, baik Ningrum maupun Wilasih sama sekali tak menjawab. Keduanya saling 

bertukar pandang sesaat. Kemudian tampak mereka saling menganggukkan kepala, 

seakan telah saling sepakat untuk melakukan sesuatu. Dan.... 

"Haiiit..!" 

"Hiaaa...!" 

Diiringi teriakan melengking, kedua perempuan cantik itu melesat cepat ke atas. 

Dan seketika itu juga tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata. 

Siiing! Siiing...! 

Bret! Bret! 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!" 

Teriakan keras terdengar dari mulut kedua tukang pukul itu. Sekejap kemudian 

tubuh mereka terbanting ke tanah. Darah segar mengalir membasahi tubuh yang terbeset 

mata pedang. Sesaat lamanya kedua tubuh berlumur darah itu menggelepar-gelepar di 

tanah. Terdengar rintihan kesakitan dari mulut mereka. 

"Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan menikmati hidup lebih lama...!" 

desis Ningrum dengan sepasang mata menatap penuh kepuasan. Bibirnya 

menyunggingkan senyum sinis yang mengerikan. 

"Hm...," dengus Wilasih yang juga menatap kedua tubuh sekarat itu. 

"Mari kita cari si keparat itu...," ajak Ningrum setelah tubuh kedua tukang pukul 

itu diam tak bergerak lagi nyawa mereka telah melayang ke akherat. 

Dalam sekejap, kedua tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu sudah 

lenyap di balik pintu gerbang. Perempuan-perempuan haus darah itu siap melanjutkan 

tindakannya.


TUJUH


"Hei, berhenti...!" 

Terdengar bentakan keras yang membuat langkah Ningrum dan Wilasih terhenti. 

Tampak sosok-sosok bayangan berlompatan dan langsung mengepung kedua perempuan 

cantik itu. 

"Siapa kalian...?" tegur seorang lelaki bercambang bauk yang bagian dadanya 

terbuka, memperlihatkan bulu-bulu halusnya. Sepasang matanya menatap tajam kedua 

perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. Suara jerit kematian dua 

orang tukang pukul tadi tampaknya telah mengundang kedatangan mereka. Terbukti 

delapan orang tukang pukul lainnya sudah menggenggam pedang di tangan. 

"Sebenarnya aku sama sekali tak punya kepentingan dengan kalian! Dan aku pun 

enggan mengotori tangan dengan darah kalian! Sebaiknya cepat panggil keluar pemuda 

keparat yang bernama Sidanta! Kalau tidak, kalianlah yang akan lebih dulu kukirim ke 

akherat!" sahut Ningrum dengan sepasang mata mencorong penuh kebencian. 

Namun ancaman itu tampaknya tak membuat mereka gentar, bahkan sebaliknya. 

Mereka geram dan marah. Wajah-wajah sangar itu tampak memerah. 

"Perempuan sundal! Apa kalian pikir rumah milik bapak moyangmu?! Enak saja 

kau mengumbar bacot! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, agar lain kali tak sembarangan 

membuka mulut!" geram lelaki brewok itu yang langsung memberi isyarat dengan gerak 

tangannya untuk meringkus kedua perempuan cantik itu. 

"Sebaiknya mereka jangan dibunuh dulu, Kakang," usul salah seorang tukang 

pukul yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna hitam. "Kita tangkap saja! 

Setelah kita 'kerjai' beramai-ramai sampai puas, baru kita habisi..." 

"Hm..., begitu pun bagus...!" sahut lelaki brewok yang rupanya pemimpin para 

tukang pukul di rumah besar itu. Wajahnya tampak menyeringai membayangkan betapa 

nikmat tubuh-tubuh ramping, padat dan berkulit putih halus itu. Sehingga ditelannya air 

liur yang terkumpul di mulut. Matanya yang beringas menatap wajah kedua perempuan 

cantik di hadapannya. 

Tukang-tukang pukul lainnya yang mengurung tempat itu saling menyahut 

menyetujui. Mereka tampak menjilati bibir sambil membayangkan kehangatan tubuh 

Ningrum dan Wilasih yang sintal itu. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan air 

liur, karena begitu bernafsu. 

Ucapan para tukang pukul itu membuat mata kedua perempuan cantik itu berubah 

penuh kebencian. Kilatan dendam dan sakit hati, membuat wajah-wajah cantik itu 

berubah merah. Hawa maut pun seketika menyelimuti mata tajam keduanya. 

"Serbuuu...!" 

Tukang-tukang pukul itu rupanya terlalu menganggap ringan kedua lawannya. 

Teriakan lelaki brewok pimpinan mereka, membuat tukang-tukang pukul itu berlompatan 

maju. Seolah semua saling berlomba untuk lebih cepat menjamah tubuh molek itu. 

"Haiiit..!" 

"Hiaaa...!" 

Suara lengkingan nyaring terdengar mengejutkan. Dan, kedua tubuh perempuan 

berpakaian merah muda langsung melesat ke kiri dan kanan. Entah kapan mencabutnya, 

tahu-tahu di tangan keduanya telah tergenggam pedang berkilat. 

Wut! 

Cras! Jrab! 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!" 

Empat orang tukang pukul meraung keras. Wajah mereka berkerut menahan rasa 

sakit yang luar biasa. Karena tangan kiri mereka yang semula hendak meraba dan 

meremas tubuh gadis-gadis cantik itu telah tertebas pedang dan buntung. Tentu saja 

mereka tidak menyangka kalau kedua orang perempuan cantik itu bergerak demikian 

cepat. Hingga, mereka tak sempat menghindari. 

"Iblis...!" Lejaki brewok itu terkejut setengah mati. "Bunuh mereka...!" 

"Yeaaat..!" 

Tanpa menunggu anak buahnya bergerak, lelaki brewok itu sudah menerjang maju 

dengan teriakan keras. Tangan kanannya memutar pedang dengan kecepatan tinggi.


Sepertinya baru disadari kalau perempuan-perempuan cantik itu tak bisa dipandang 

ringan. Terbukti dengan sekali gebrak saja empat orang anak buahnya telah kehilangan 

lengan. Kenyataan yang mengejutkan itu membuatnya tak mau gegabah dalam 

melancarkan serangan. 

Bukan hanya lelaki brewok itu saja yang menjadi marah. Lima orang tukang pukul 

lainnya pun sudah serentak berlompatan maju dengan sambaran pedang yang 

berdesingan. 

Gerakan pertama Ningrum dan Wilasih benar-benar telah membuat tukang-tukang 

pukul itu kalap. Semua itu terlihat dari gencar dan ganasnya serangan mereka. 

Namun kedua perempuan itu hanya mendengus penuh ejekan. Keroyokan itu 

tampaknya sama sekali tidak membuat hati mereka gentar, bahkan keduanya langsung 

melesat maju menyambut serangan lawan. Dalam sekejap saja pertarungan sengit pun 

berlangsung. 

Untuk kali ini para tukang pukul yang biasanya galak itu benar-benar ketemu 

batunya. Sebab, kendati mereka telah menguras tenaga dan kemampuan untuk mendesak 

lawan, tetap saja mereka tak mampu berbuat banyak. Bahkan serangan balasan kedua 

perempuan itu membuat mereka kaget. Hingga.... 

"Hiaaa...!" 

Bret! Bret! 

"Aaa...!" 

Dua orang tukang pukul terpental keluar dari arena pertarungan. Mereka 

terbanting di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Nyawa mereka melayang seketika. 

Kedua orang perempuan cantik itu sepertinya telah berubah menjadi makhluk-

makhluk haus darah yang buas. Kendati dua orang lawan kembali telah menjadi korban 

senjata mereka, keduanya belum merasa puas. Pedang di tangan mereka terus berkelebat 

memburu korban berikutnya. 

Wuttt! 

Trang! 

"Akh!" 

Lelaki brewok yang menjadi kepala tukang pukul itu masih sempat menggerakkan 

pedangnya, menyambut sambaran pedang Ningrum yang mengancam perutnya. Namun 

untuk itu dia terpaksa harus merasakan lengannya linu. Karena tenaga dalam lawan 

masih lebih kuat dari tenaganya. Sehingga, kuda-kudanya tergempur mundur beberapa 

langkah. 

Ningrum sendiri tampaknya tidak mau bertele-tele. Pedang di tangannya berputar 

cepat bersilangan dua kali. Sehingga, lawan yang belum siap memperbaiki kedudukannya 

terpaksa hanya bisa terpekik saat mata pedang membeset tubuhnya. 

Brettt! 

"Aaargh...!" 

Lelaki brewok itu meraung keras. Darah segar muncrat membasahi permukaan 

tanah. Tubuh kekar itu langsung ambruk dan tewas. Dua buah luka memanjang yang 

dalam di dada dan perut membuat dirinya tak mampu lagi bertahan hidup. 

Pada saat yang hampir bersamaan, tukang pukul yang tinggal seorang itu pun 

mengakhiri nyawanya di ujung pedang lawan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja enam 

orang tukang pukul yang biasa menyombongkan kepandaiannya itu, harus menyerahkan 

nyawa di tangan dua orang perempuan cantik. Benar-benar sukar untuk dipercaya! 

Empat orang tukang pukul yang lengannya putus sebatas pergelangan, menatap 

ketakutan. Kematian kawan-kawan mereka bagaikan mimpi buruk yang sukar dipercaya. 

Namun, kenyataan itu jelas-jelas terpampang di depan mata mereka. Tidak bisa dibantah 

lagi! 

"Hm...!" 

Setelah menyelesaikan perlawanan para tukang pukul yang mengeroyok, kedua 

orang perempuan cantik yang haus darah itu memalingkan wajah dengan dengusan kasar. 

Karuan saja wajah empat orang tukang pukul itu semakin ketakutan. 

"Celaka...!" desis salah seorang dari mereka yang mulai berkeringat dingin. Karena 

kedua kakinya sukar sekali untuk diajak berlari meninggalkan tempat itu. Matanya hanya 

bisa menatap putus asa menunggu maut yang siap menjemput. 

Hai itu juga dialami tiga orang tukang pukul lainnya. Kedua kaki mereka yang 

gemetar, sulit sekali untuk digerakkan. Kekejaman kedua perempuan itu benar-benar


telah membuat keberanian dan kegalakan mereka terbang entah ke mana. Sekarang 

mereka hanya bisa menatap putus asa menanti kematian. 

"Sebaiknya kita habisi saja mereka...," ujar Wilasih dengan sorot mata 

memancarkan dendam dan kebencian yang dalam. 

Ningrum sama sekali tidak menyahut. Hanya kepalanya yang mengangguk sebagai 

tanda setuju. Karena dia memang sudah bertekad untuk membasmi habis seluruh 

makhluk hidup di dalam rumah besar itu. Jangankan manusia. Hewan peliharaan pun 

akan dihabisi jika tampak di depan matanya. Sepertinya rasa benci telah terbakar hebat 

dalam hati perempuan itu. 

"Ampun...! Ampunkan kami, Nisanak...!" 

Karena rasa takut demikian kuat menghantui perasaan mereka, tanpa malu-malu 

keempat tukang pukul itu saling menjatuhkan tubuh dan berlutut di depan dua 

perempuan cantik yang tampak beringas itu. 

Namun, ucapan itu justru semakin membakar kebencian di hati Ningrum dan 

Wilasih. Dengan langkah perlahan mereka bergerak maju. Dan.... 

Wuttt! 

Crak! Crak...! 

Empat buah kepala langsung menggelinding lepas dari leher mereka. Benar-benar 

sadis sekali! Kedua perempuan cantik itu sanggup memenggal kepala lawan dengan bibir 

tersenyum sinis! 

"Mari kita cari Sidanta keparat itu...," ajak Ningrum seraya memutar tubuh dan 

bergerak memasuki bangunan. Tanpa menjawab, Wilasih langsung mengikuti langkah 

Ningrum. 

Terdengar jerit kemauan susul-menyusul dari dalam rumah besar itu. Tampaknya 

Ningrum dan Wilasih sudah seperti bukan manusia lagi. Siapa saja yang ditemui, langsung 

dibantai tanpa ampun! Rupanya kemarahan mereka belum terlampiaskan. 

Tidak lama kemudian, terlihat keduanya melesat ke luar bangunan. Seorang 

pemuda tampan bertubuh tegap terlihat tak berdaya diseret kedua orang perempuan 

kejam itu. Di kedua sisi kepala pemuda itu tampak mengalir darah segar yang tak henti. 

Darah itu berasal dari telinga yang telah kehilangan daunnya. Rupanya Ningrum dan 

Wilasih telah membabat putus daun telinga pemuda itu. 

"Apa yang kau rasakan sekarang masih belum cukup, Sidanta! Kau harus 

merasakan betapa sakitnya sebuah penderitaan...!" geram Ningrum sambil terus menyeret 

tubuh pemuda yang hanya bisa merintih kesakitan itu. 

Tiba di luar bangunan, mereka langsung mengerahkan ilmu lari cepat. Tidak 

dipedulikan lagi betapa tubuh Sidanta terguncang-guncang terseret di tanah. Rupanya 

rasa sakit hati telah membuat perempuan-perempuan cantik itu berubah buas dan biadab. 

*** 

"Itu mereka datang...!" 

Wanita cantik berpakaian merah muda yang tengah duduk itu bergegas bangkit, 

lalu menunjuk ke satu arah. Sedangkan gadis desa yang duduk di sebelahnya turut 

bangkit. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata bengkak karena terlalu 

banyak menangis, menatap dengan kening berkerut. 

"Kakang Sidanta...?!" 

Bibir gadis desa itu bergetar perlahan mengucapkan nama Sidanta. Seketika itu 

juga kesenduan wajahnya berubah garang. Kilatan dendam tergambar jelas pada wajah 

dan tatapan matanya. Langkahnya bergerak maju menyambut kedatangan Ningrum dan 

Wilasih yang menyeret tubuh seorang pemuda yang tak lain Sidanta. 

"Hm..., bagaimana, Adik Manis? Apa hasil kerja kami belum memuaskan...?" tanya 

Ningrum sambil melemparkan begitu saja tubuh Sidanta ke hadapan gadis cantik itu. 

"Winarti...?!" 

Pemuda tampan bertubuh kekar yang bernama Sidanta itu menatap sosok gadis 

cantik di depannya sembari menekap kedua telinganya yang sudah tak berdaun lagi. 

"Hmh...!" 

Gadis desa yang dipanggil Winarti hanya mendengus kasar. Sorot matanya tak lagi 

menyiratkan keluguan. Bahkan telah berubah garang! Siap menumpahkan dendam dan 

sakit hatinya.


"Kau masih ingat padaku, Sidanta...?" tegur Winarti dengan tarikan bibir penuh 

ejekan. "Bagus! Dengan demikian, berarti kau pun tahu bagaimana rasanya dicampakkan 

seperti sampah oleh orang yang sangat dicintai...!" 

Setelah berkata demikian Winarti melangkah maju dengan mata menatap penuh 

perasaan dendam. 

"Winarti...! Apa yang akan kau lakukan kepadaku? Bagaimana kau bisa berkawan 

dengan perempuan-perempuan setan itu?" tanya Sidanta dengan wajah pucat. Tentu saja 

disadari betapa bekas kekasihnya itu sudah siap untuk membalas sakit hatinya. 

"Hm.... Menurut perkiraanmu, apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, Sidanta? 

Apa kau kira tubuhku, akan kuserahkan lagi kepadamu?" ujar Winarti yang saat itu 

benar-benar telah kehilangan sifat aslinya. Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi 

makhluk haus darah yang siap mereguk darah dari tubuh Sidanta. 

"Apa maksudmu, Winarti? Bukankah apa yang pernah kita lakukan atas dasar 

suka sama suka? Aku..., aku sama sekali tak pernah memaksamu, bukan?" Sidanta masih 

juga hendak membela diri dan tak mau mengakui kesalahannya. 

"Memang benar semua itu kita lakukan atas dasar suka sama suka! Tapi, setelah 

kau rayu aku dengan janji-janji muluk. Setelah itu kau hendak meninggalkan aku! Huh! 

Tak semudah itu, Sidanta! Kini kau akan merasakan buah dari kebejatanmu itu!" ujar 

Winarti yang langsung menyambar cambuk di pinggang Ningrum. Kemudian 

melecutkannya sekuat tenaga ke tubuh Sidanta. 

Ctarrr! Ctarrr...! 

"Auuugh...!" 

Sidanta terjingkat akibat sengatan ujung cambuk itu. Tubuhnya bergulir ke kanan. 

Rasa sakit membuat Sidanta mengeluh dan mengerang keras. Meskipun Winarti tak 

memiliki tenaga dalam, lecutan cambuk itu sudah cukup menyiksa bagi Sidanta. 

"Bagus, Winarti! Lakukan sepuasmu..!" Ningrum memberikan dorongan semangat 

dengan bibir tersenyum. Seakan-akan dia bersama dua orang kawannya sangat menikmati 

pemandangan itu. 

Winarti sendiri sudah seperti gila. Sambil menahan isaknya, dia terus melecutkan 

cambuk ke tubuh Sidanta. Sehingga, pemuda itu terpekik keras, setiap kali ujung cambuk 

menyengat tubuhnya. 

Beberapa bagian tubuh Sidanta tampak sudah matang biru dan mengeluarkan 

darah. Rasanya tentu saja sangat pedih. Sampai-sampai Sidanta tak mampu menahan air 

mata karena merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya. 

Namun ketika untuk yang kesekian kalinya Winarti hendak melecut tubuh Sidanta, 

tiba-tiba ada sesosok bayangan putih berkerlebat. Dengan cepat sosok bayangan itu 

menangkap ujung cambuk yang diayunkan Winarti. 

"Lepas...!" 

Disertai sebuah bentakan, sosok bayangan putih itu langsung menyentakkan ujung 

cambuk yang telah digenggamnya. Winarti yang tersentak kaget, tidak mampu 

mempertahankan gagang cambuk yang dipegangnya. 

"Akh...?!" 

Sentakan yang perlahan itu membuat tubuh Winarti terhuyung limbung dan 

terjatuh ke tanah. Tampaknya sosok bayangan putih itu tahu kalau si pemegang cambuk 

bukan seorang ahli silat. Terbukti dia menyentakkan dengan perlahan, hanya sekadar 

merebut cambuk itu dari tangan Winarti. 

"Pendekar Naga Putih...?!" 

Ningrum dan dua orang kawannya tersentak kaget! Ketiganya bergerak mundur 

dengan mata terbelalak. Baru mereka mengerti, mengapa gerak langkah sosok bayangan 

itu tak sempat tertangkap pendengaran mereka. Ternyata yang datang Pendekar Naga 

Putih, yang telah tersohor kedigdayaannya di kalangan rimba persilatan. 

"Kiranya kalian lagi yang membuat ulah...!" ujar sosok bayangan putih yang 

memang Parvji. "Persoalan apa lagi yang membuat kalian tega menyiksa pemuda ini 

sedemikian rupa?" 

"Pendekar Naga Putih! Seharusnya kau tak mencampuri urusan ini! Karena yang 

tengah kami siksa adalah seorang pemuda keparat yang kerjanya mempermainkan wanita! 

Dan jika kau membelanya, itu sama artinya dengan menyetujui segala perbuatan jahat 

yang selama ini dilakukannya!" kilah Ningrum mencoba menggertak Pendekar Naga Putih.


Gertakan Ningrum kelihatannya cukup berhasil. Buktinya Pendekar Naga Putih 

terdiam tanpa sahutan untuk beberapa saat. Hanya matanya saja yang menatap tubuh 

pemuda penuh luka gores yang tergeletak tak berdaya itu. Lalu beralih ke wajah Winarti. 

"Mengapa kau menyiksanya sedemikian rupa, Nisanak?" tanya Panji kepada 

Winarti. Karena dia telah menduga kalau gadis manis itulah yang lebih menaruh dendam 

terhadap pemuda di hadapannya. Dilihatnya tadi hanya gadis manis itulah yang dengan 

bengis menyiksa pemuda yang tergeletak tak berdaya. Sedangkan tiga perempuan cantik 

berpakaian merah muda yang pernah bentrok dengannya hanya berdiri menonton dengan 

senyum puas. 

"Dia..., dia jahat...!" 

Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Winarti. Sosok Pendekar Naga Putih 

tampaknya membuat gadis itu luluh dan hilang kebengisannya. Seketika dia berubah 

menjadi Winarti, si gadis desa yang lugu dan penakut. 

"Apa yang telah dilakukannya terhadapmu..?" tanya Panji mendesak Winarti yang 

terlihat mulai menangis. Seakan-akan gadis itu merasa takut setelah kesadarannya pulih 

dan melihat tubuh Sidanta tergeletak berlumuran darah. 

"Pemuda keparat itu telan memperkosanya, Pendekar Naga Putih! Jadi, sudah 

sepantasnyalah kalau dia menjalani hukuman atas kebiadabannya!" selak Ningrum cepat. 

"Benarkah apa yang dikatakannya itu?" tanya Panji lagi mendesak Winarti. Karena 

dia belum percaya terhadap perempuan berpakaian merah muda itu yang telah diketahui 

kelicikan dan kekejamannya. Berbeda dengan Winarti yang tampak lugu dan tak berani 

berdusta. 

"Untuk apa kami berbohong kepadamu, Pendekar Naga Putih! Jangan kau kira 

kami merasa gentar kepadamu! Meski kami sadar kalau kau bukan tandingan bagi kami, 

tapi tak ada rasa gentar dalam hati kami! Dan semua jawaban tadi bukan karena kami 

takut terhadapmu. Ingat itu baik-baik." 

Lagi-lagi Ningrum yang menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Bahkan 

nadanya terdengar lebih tajam dan menunjukkan kejengkelan harinya. 

"Hm...!" Panji bergumam lirih. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sosok 

Ningrum, dan menelitinya sekilas. "Kalau jawabanmu memang mengandung kebenaran, 

mengapa tak kau biarkan saja gadis itu menjawab pertanyaanku?" 

"Keparat sombong...!" dengus Ningrum geram. Bantahan Pendekar Naga Putih 

membuatnya bungkam. Karena apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Mengapa 

tidak dibiarkan Winarti yang menjawabnya? Mengapa dia yang merasa cemas mendengar 

pertanyaan-pertanyaan Pendekar Naga Putih terhadap Winarti? Bukankah makna 

jawabannya tak akan berbeda jauh? 

Ningrum mendengus jengkel. Namun, ketika tatapan tajam mata pendekar muda 

yang tampan itu belum juga beranjak dari wajahnya, tiba-tiba saja Ningrum merasakan 

dadanya berdebar. Perlahan kedua pipinya dijalari rona merah. Menyadari keadaannya 

yang tidak wajar, perempuan cantik itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Dia bukan 

tak tahu kalau hatinya terguncang oleh sosok pendekar muda yang tampan dan penuh 

ketenangan itu. Rasa kebencian yang telah berakar di dalam hatinya seketika lenyap entah 

ke mana. Dan memang baru terhadap Pendekar Naga Putih, hatinya merasa kagum dan 

tertarik. Apalagi ketika sepasang mata tajam itu menatapnya berlama-lama. Ada getaran 

aneh yang menjalari sekujur tubuhnya dan membuat parasnya menghangat. 

Namun, tentu saja Ningrum tak akan membiarkan dirinya terseret getar asmara. 

Ningrum menggigit bibirnya kuat-kuat untuk melawan pengaruh sorot mata Pendekar 

Naga Putih. 

Pendekar Naga Putih pun bukan tak tahu kalau perasaan perempuan cantik itu 

tergetar. Maka, cepat-cepat wajahnya berpaling, kembali menatap Winarti. Seolah-olah 

hatinya belum merasa puas kalau tidak mendapatkan jawaban dari gadis desa itu.



DELAPAN


"Nisanak, benarkah apa yang dikatakan wanita itu?" tanya Panji, ingin 

mendapatkan kepastian dari Winarti. 

"Sidanta membujukku dengan janji-janji manis. Kemudian... aku... aku 

menyerahkan apa yang dimintanya. Tapi..., dia malah pergi setelah segalanya 

kuberikan...." 

Akhirnya, meskipun dengan susah payah, keluar juga jawaban yang ditunggu 

Pendekar Naga Putih dari gadis desa itu. 

"Tapi, tidak adakah jalan yang lebih baik, selain menyiksanya seperti itu? 

Bukankah kau bisa meminta pertanggungjawabannya secara baik-baik?" tanya Panji ingin 

tahu bagaimana pendapat gadis cantik itu terhadap pertanyaan yang dilontarkannya. 

"Sidanta..., akan menikah dengan perempuan lain. Mereka berdua sama-sama dari 

keluarga terhormat. Tidak sepertiku yang miskin dan bodoh. Dia... membuat aku 

menderita dan putus asa...," jawab Winarti lagi sambil terisak. Seolah-olah gadis itu belum 

mampu untuk melenyapkan kesedihan setiap kali teringat akan kepahitan yang pernah 

dialaminya 

"Hm..., lalu kau meminta kepada mereka untuk menyeret kekasihmu ini, dan 

menyiksanya sampai sekarat..?" 

"Cukup, Pendekar Naga Putih!" Ningrum yang sudah tak sabar, langsung menyelak. 

Kakinya melangkah lebar lalu menarik lengan Winarti, menjauhi pemuda tampan berjubah 

putih itu. 

Pendekar Naga Putih tidak berusaha mencegah tindakan Ningrum. Dia justru 

berpaling dan menatap tubuh Sidanta yang masih merintih kesakitan. Baru kemudian 

memandang Ningrum dan kawan-kawannya. 

"Kendati niat kalian baik, cara yang kalian tempuh tak bisa kubenarkan. Selagi 

masih bisa menempuh jalan damai, tak layak kalian berbuat sekehendak hati. Selain itu, 

aku ada sedikit pertanyaan untuk kalian bertiga...," ujar Panji seraya menatap tajam wajah 

ketiga perempuan cantik berpakaian merah muda itu. 

"Maaf, kami tak punya waktu untuk meladenimu, Pendekar Naga Putih! Biarlah 

kami mengalah dengan tak membunuh pemuda keparat itu. Nah, selamat tinggal...!" 

Setelah berkata demikian, Ningrum memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. 

Perempuan cantik itu sendiri sudah melesat pergi dengan membawa tubuh Winarti Tapi... 

"Tunggu...!" 

Pendekar Naga Putih yang merasa masih mempunyai kepentingan dengan 

perempuan-perempuan itu, langsung saja berseru mencegah. Bahkan tubuhnya melenting 

ke atas, lalu meluncur dengan cepat setelah berputaran beberapa kali di udara. 

Jliggg! 

Ningrum terpaksa menahan langkahnya ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih 

telah berdiri tegak menghadang di depan. Tentu saja tindakan pendekar muda itu 

membuat kemarahannya bangkit. Semua kekaguman dan rasa sukanya terhadap pemuda 

itu ditekan sekeras mungkin. Sikapnya tetap dingin dan tanpa perasaan. 

"Mengapa kau masih juga menghalangi kepergian kami. Pendekar Naga Putih?" 

tegur Ningrum sambil meraba gagang pedang di punggungnya. Jelas perempuan cantik 

dari Lembah Hitam itu telah siap bertindak keras. 

"Sudah kukatakan tadi, aku memiliki sedikit kepentingan dengan kalian bertiga...," 

sahut Panji. Sinar matanya menghunjam tepat di kedua bola mata Ningrum yang tampak 

sangat gelisah. 

"Apa yang kau inginkan dari kami...?" tanya Ningrum ketus sambil berusaha 

menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Dia terpaksa mengalah karena sadar tak 

mungkin mampu melepaskan diri dari kejaran pendekar muda itu. Melarikan diri dari 

Pendekar Naga Putih merupakan perbuatan bodoh. Karena pemuda itu pasti dapat 

menyusulnya. 

"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Panji dengan sinar mata mencorong 

tajam, membuat hati Ningrum kian bergetar. Sinar mata pemuda tampan itu dirasakan 

begitu berpengaruh dalam jiwanya. 

"Aku... sudah berjanji untuk membawanya ke tempat tinggal kami. Dan dia sendiri 

sudah setuju. Kalau tak percaya, boleh kau tanyakan kepadanya...," sahut Ningrum


menyembunyikan kegelisahannya. Karena disadari kalau Pendekar Naga Putih tak dapat 

dikelabui. Dan, kemungkinan besar tugasnya kali ini akan menemui kegagalan di tangan 

pendekar muda yang sakti itu. 

"Hm..., jadi selain memusuhi tokoh-tokoh muda persilatan, ternyata kalian pun 

merupakan pelaku penculikan terhadap gadis-gadis muda. Nah, apa tuduhanku terhadap 

kalian salah...?" tukas Panji. Dia langsung menduga, ketiga perempuan kejam itulah 

pelaku penculikan terhadap wanita-wanita muda. 

"Kami tak menculik mereka! Tapi mengajaknya untuk bergabung dengan kami!" 

bantah Ningrum dengan suara keras. Sepasang matanya mulai melirik ke kiri dan kanan 

mencari jalan untuk dapat lolos dari Pendekar Naga Putih. 

"Itu anggapan kalian! Tapi, bagaimana dengan orangtua gadis-gadis yang kau ajak 

pergi itu? Mereka yang kehilangan anak-anak gadisnya, tentu saja menganggap perbuatan 

kalian merupakan tindakan penculikan. Dan, hal itu tak bisa kudiamkan begitu saja. 

Meski baru sekadar dugaan, aku yakin kalau kalian akan menjejalkan kebencian di hati 

mereka terhadap laki-laki. Bukankah itu yang kalian inginkan?" tukas Panji tak mau 

kalah. Hatinya semakin yakin ketika melihat perempuan bertahi lalat di sudut bibir 

kanannya itu tak bisa membantah lagi. 

Sadar bahwa semua kedok mereka sudah terbuka, Ningrum dan kawan-kawannya 

tak berpanjang kata lagi. Jemari tangan mereka langsung meraba gagang pedang. Bahkan 

ketiganya telah bergerak dari tiga jurusan mengepung Pendekar Naga Putih. 

Siiing! Siiing...! 

Terdengar suara berdesingan susul-menyusul. Tiba-tiba di tangan ketiga 

perempuan cantik itu telah tergenggam sebatang pedang. Kemudian diputar dengan 

kecepatan penuh di atas kepala hingga menimbulkan angin yang menderu-deru. Ketiganya 

jelas telah siap untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih. 

"Hm..., begini lebih bagus...," gumam Panji sambil memperhatikan gerak langkah 

ketiga lawannya. Sejauh itu dia belum melakukan gerakan sedikit pun. Karena pendekar 

muda itu sudah bisa mengukur sampai di mana kekuatan ketiga orang pengeroyoknya itu. 

"Haiiit...!" 

"Hiaaa...!" 

Ningrum yang berada di sebelah kanan Pendekar Naga Putih, berteriak nyaring. 

Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Pedang di tangannya berputaran cepat 

bagaikan baling-baling. Sekali bergerak, perempuan cantik itu langsung mengirimkan 

serangkaian serangan yang mematikan. Benar-benar berbahaya sekali! 

Karena sebelumnya Pendekar Naga Putih pernah bertarung melawan mereka, 

serangan Ningrum dengan mudah dapat dikandaskan. Tubuh pemuda itu bergerak 

menyelinap di antara sambaran mata pedang lawannya. 

Melihat gerakan lawan, Ningrum semakin memperhebat serbuannya. Tampak dua 

perempuan berpakaian merah muda lainnya sudah merangsek ke tengah arena. Kilatan 

putih dan suara desingan pedang datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar Naga 

Putih. Namun, sampai beberapa jurus kemudian, serangan ketiga orang pengeroyok itu 

belum menunjukkan hasil. Padahal Pendekar Naga Putih masih mengambil sikap 

mengalah dengan jalan menghindar. 

Setelah merasa cukup memberi kesempatan kepada lawan-lawannya, baru 

Pendekar Naga Putih membuka serangan. Kedua tangannya bergerak cepat melakukan 

tamparan dan tangkisan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja ketiga orang pengeroyok itu 

dibuat kelabakan. Serangan-serangan mereka tak lagi terarah dengan baik. Pemusatan 

pikiran mereka terganggu oleh hembusan angin dingin menggigit tulang yang datang 

mengiringi setiap tamparan dan tangkisan tangan Pendekar Naga Putih. Sehingga... 

"Hiaaa...!" 

Plak! 

"Akh...!" 

Salah satu dari tiga perempuan cantik berhati kejam itu terpekik kesakitan. 

Tubuhnya terlempar keluar dari arena pertempuran. Tamparan yang mendarat di 

punggungnya, membuat tubuhnya terbanting tak sadarkan diri. 

"Haiiit...!"


Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua 

orang perempuan itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan merah yang memapak serangan 

Pendekar Naga Putih. 

Plak! Plak! 

"Hei...?!" terdengar seruan kaget terlontar dari mulut Pendekar Naga Putih.


Tubuh Pendekar Naga Putih sekali lagi meluncur disertai pekikan keras 

menggelegar. Serangkum angin dingin berhembus keras, membuat kedua orang lawan 

tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak dari tamparan pemuda itu. Namun, ke mana 

pun mereka bergerak, telapak tangan Pendekar Naga Putih terus mengejar. Sampai 

akhirnya mereka tersudut dan tak mungkin dapat menghindar lagi. 

Tapi.... 

"Heaaa...!" 

Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua 

orang perempuan cantik itu, tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang yang 

memekakkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan merah muda 

telah melesat ke tengah arena. Bayangan merah itu langsung menyambut serangan 

Pendekar Naga Putih yang nyaris berhasil itu. Hingga... 

Plak! Plak! 

"Hei...?!" 

Terdengar suara benturan yang mirip ledakan. Pendekar Naga Putih sempat 

terpekik. Karena lengannya dirasakan bergetar akibat benturan keras itu. Sehingga, 

tubuhnya melompat mundur dan meluncur turun beberapa tombak dari arena 

pertempuran. 

"Kau...?!" 

Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika melihat siapa yang telah 

menyelamatkan kedua lawannya barusan. Seraut wajah buruk yang seperti bekas luka 

bakar itu membuat Panji mengerutkan kening dalam-dalam. Karena sosok tubuh ramping 

berwajah buruk itu pimpinan para perempuan-perempuan cantik yang telah menculik 

banyak gadis muda rimba persilatan. 

"Kita bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!" ujar sosok berwajah buruk itu dengan 

wajah dingin. Sulit sekali menduga perasaan apa yang saat itu ada dalam hatinya. Karena 

luka bakar itu membuat wajahnya seolah-olah tak menggambarkan perasaan apa pun. 

"Ya, kita bertemu lagi, Nisanak! Tapi kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi 

begitu saja. Perbuatanmu sudah melampaui batas dan membuat keresahan bagi orang 

banyak...," ujar Panji seraya bergerak maju. Langkahnya berhenti ketika jarak di antara 

mereka hanya terpisah sekitar satu tombak. 

"Aku pun datang bukan dengan niat untuk berbincang denganmu, Pendekar Naga 

Putih. Perbuatanmu kali ini membuatku harus mengambil keputusan untuk melenyapkan 

dirimu. Keberadaan dan keusilanmu telah membuat kami susah...," tukas wanita berwajah 

buruk itu menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan kebencian yang dalam. 

"Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan secepatnya persoalan ini...!" ujar Panji 

yang sudah menggeser langkah ke kanan. Sadar kalau kepandaian lawan tidak rendah, dia 

bersikap lebih hati-hati. 

"Hmh...!" 

Perempuan berwajah buruk itu mendengus kasar. Lalu dia tampak membuka 

jurus, siap bertarung melawan Pendekar Naga Putih. Gerakannya terlihat mantap dan 

seperti mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat. Bahkan dari tatapan matanya, 

perempuan berwajah buruk itu tampak bertekad hendak melenyapkan Pendekar Naga 

Putih yang memang selalu menentang segala tindak kejahatan. 

"Ciaaat..!" 

Diiringi pekikan melengking, perempuan berwajah buruk itu membuka serangan 

dengan serangkaian pukulan maut yang menimbulkan desiran angin keras. Nampaknya 

dia langsung menggunakan jurus-jurus andaian dalam menggempur Pendekar Naga Putih. 

Terbukti pukulan-pukulannya begitu gencar seperti mengandung kekuatan dahsyat. 

Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau kesaktian lawan sangat hebat. Segera 

dikerahkannya jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Seketika hawa dingin menusuk tulang 

menyebar menyelimuti arena pertarungan. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu telah 

terlibat dalam sebuah pertempuran sengit. 

Setelah berjalan selama kurang lebih empat puluh jurus, Pendekar Naga Putih 

tampak mulai menguasai lawannya. Kecepatannya yang berada dua tingkat di atas lawan, 

membuat serangan-serangannya lebih banyak dari gencarnya serangan lawan. Bahkan 

dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya yang berhawa dingin menggigit, Pendekar Naga 

Putih dapat membuat tubuh lawannya terkurung dan kacau gerakannya. Hingga, pada 

satu kesempatan baik, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan ke tubuh lawan.


"Heaaa...!" 

Plak! Brettt...! 

"Aihhh...?!" 

Perempuan berwajah buruk itu terpekik kaget. Meskipun berhasil menepis 

cengkeraman tangan kanan, namun tamparan tangan kiri Panji telah membuatnya 

terdorong ke belakang. 

Sementara Pendekar Naga Putih sendiri sempat merasa terkejut. Tebasan tangan 

kirinya yang kemudian dirubah menjadi cengkeraman, telah mengenai wajah lawan. Dan 

kini di tangannya tergenggam sebuah topeng karet yang sangat tipis. Tentu saja hatinya 

heran bukan main. 

'"Kupu-kupu Berbisa'...?!" seru Panji ketika menatap wajah yang kini tertutup kain 

dari bagian hidung ke atas. 

Pendekar Naga Putih pernah mendengar tentang tokoh wanita sakti yang 

mengenakan ciri khas demikian. Namun, sepanjang pengetahuannya, tokoh sakti itu telah 

lama tidak menampakkan diri di dunia persilatan. Tokoh perempuan yang sakti itu 

sebenarnya angkatan tua yang sezaman dengan gurunya. Itulah yang membuat dirinya 

hampir tak percaya. Karena Kupu-kupu Berbisa yang kini berada di hadapannya ternyata 

memiliki raut wajah seorang perempuan muda. 

"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau memalsukan Kupu-kupu Berbisa?" tanya 

Panji yang merasa heran melihat tokoh sesat wanita angkatan gurunya ternyata masih 

demikian muda. 

"Akulah Kupu-kupu Berbisa! Hi hi hi... Aku tak memalsukan siapa-siapa...!" tukas 

perempuan yang semula dengan topeng berwajah buruk. 

"Tidak mungkin! Kupu-kupu Berbisa telah berusia di atas enam puluh tahun. Lalu, 

bagaimana mungkin kau yang baru sekitar dua puluh tahun mengaku sebagai Kupu-kupu 

Berbisa? Jelas kau mengada-ada!" bantah Panji tidak percaya akan pengakuan perempuan 

cantik itu. 

"Memang benar apa yang kau katakan itu. Pendekar Naga Putih! Aku melanjutkan 

julukan guruku. Beliau telah wafat setengah tahun silam. Dan mewariskan julukan Kupu-

kupu Berbisa kepadaku. Jelas?" lanjut Kupu-kupu Berbisa menjelaskan. "Sekarang, 

bersiaplah untuk mati!" 

"Yeaaat...!" 

Panji yang termangu mendengar jawaban lawannya, bergerak menarik mundur 

langkahnya ke belakang. Kemudian langsung membalas serangan lawan dengan tidak 

kalah hebat. Sehingga, pertarungan pun kembali berlanjut, dengan seru. 

Sementara itu, di bagian lain telah pula terjadi pertarungan. Tokoh-tokoh persilatan 

yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang, menggempur Ningrum dan kawan-

kawannya. Pimpinan dari tokoh-tokoh persilatan itu ternyata Gupta dan Rancaka. 

Rupanya mereka telah pula tiba di tempat itu. Dan menemukan musuh yang selama ini 

dicari-cari, mereka langsung menggempur tanpa banyak tanya lagi. 

Di pihak Kupu-kupu Berbisa, terdapat tiga orang wanita cantik berpakaian serba 

hijau dan empat orang lelaki kekar pemikul tandu. Ditambah dengan Ningrum dan dua 

orang kawannya. Pengikut tokoh sesat itu berjumlah sembilan orang. Mereka menyambut 

serbuan tokoh-tokoh persilatan itu dengan senjata terhunus. 

"Yeaaat...!" 

Gupta menerjang sambil mengayunkan pedang di tangannya. Semangatnya berapi-

api, setelah sempat melihat sosok Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan Pimpinan 

Perempuan-perempuan Lembah Hitam itu. Keberadaan pendekar muda itu membuat 

Gupta dan kawan-kawannya merasa yakin kalau mereka akan dapat melenyapkan para 

perempuan berhati iblis itu. 

Menghadapi puluhan tokoh persilatan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi 

itu, Ningrum dan kawan-kawannya terpaksa harus berjuang keras. Namun, karena lawan 

tiga kali lipat jumlahnya, lama-kelamaan para perempuan kejam itu pun terdesak hebat. 

Dan satu-persatu mulai roboh berlumur darah di ujung senjata pengeroyok mereka. 

"Habisi mereka semua..!" 

Rancaka, lelaki kekar berwajah keras yang juga memimpin kawan-kawannya, 

berteriak tak henti-henti memberikan semangat. Sehingga, Ningrum dan kawan-kawannya 

semakin kewalahan. Kendati korban di pihak lawan tak sedikit yang berjatuhan, di pihak 

mereka pun juga jatuh korban.


Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang telah bertarung selama kurang lebih 

empat puluh tiga jurus, mulai dapat mendesak lawannya. Kupu-kupu Berbisa sendiri 

berusaha keras untuk dapat mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih. Namun, 

kepandaian yang dimiliki tokoh sesat itu masih berada beberapa tingkat di bawah Panji. 

Sehingga, sekeras apa pun bertarung, tetap saja dia tidak mampu mengungguli Pendekar 

Naga Putih. 

"Yeaaat...!" 

Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih berteriak keras mengejutkan 

lawannya. Dengan kecepatan laksana sambaran kilat, serangannya meluncur. Melihat 

serangan cepat itu, Kupu-kupu Berbisa tampak gugup dan tak sempat bergerak 

menghindar. Sehingga.... 

Plakkk..! 

"Aaargh...!" 

Blukkk! 

Tanpa ampun lagi, tubuk ramping terbungkus pakaian merah muda itu 

terpelanting keras, dan jatuh terbanting di atas tanah. Darah segar muntah dari mulutnya. 

Pukulan Pendekar Naga Putih yang mendarat di tubuhnya, membuat tokoh sesat itu tidak 

sanggup untuk segera bangkit. 

Melihat lawannya tergeletak dengan napas terengah-engah, Panji bergerak 

menghampiri dengan sikap waspada. Pendekar Naga Putih yakin, pukulannya tadi dapat 

membuat lawannya terluka parah, namun tetap tak menghilangkan kewaspadaannya. 

"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" desah Kupu-kupu Berbisa dengan 

suara lemah. Sepasang mata yang tampak dari lubang pada kain hitam itu terlihat sayu. 

Pendekar Naga Putih merasa tidak tega menyaksikannya. 

Wajah di balik kain itu tiba-tiba membuat kening pendekar muda itu berkerut 

Hatinya merasa aneh. Meskipun hanya tampak sebagian wajah Kupu-kupu Berbisa seperti 

sudah tidak asing baginya. Karena penasaran, tangannya langsung bergerak menyambar 

kain hitam yang menutupi wajah perempuan itu. 

"Akh...!" 

Kupu-kupu Berbisa terpekik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau 

Pendekar Naga Putih akan berbuat demikian. Wajah cantik berkulit halus itu berpaling ke 

kiri, berusaha menyembunyikan dengan kedua telapak tangannya. 

"Hahhh...?!" 

Panji tersentak kaget. Tiba-tiba wajahnya memucat tegang. Meskipun kini wajah 

perempuan itu telah tertutup kedua belah telapak tangan, dia sempat mengenalinya 

dengan baik. Karena gerakan Kupu-kupu Berbisa agak terlambat. 

"Kau.., kau... Suntini...?!" desis Panji hampir tak percaya dengan apa yang 

disaksikannya. 

Memang, Kupu-kupu Berbisa itu adalah Suntini! Gadis cantik yang beberapa hari 

lalu menemui Pendekar Naga Putih dan mengemis cintanya. Karena sudah terbongkar 

rahasianya, Kupu-kupu Berbisa bergegas menurunkan kedua telapak tangannya. 

Kemudian ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu. 

"Mengapa..., mengapa kau melakukan semua ini, Suntini...?" tanya Panji tak 

mengerti. 

"Seharusnya akulah yang bertanya, Kakang. Mengapa kau menolak cintaku? 

Apakah aku kurang cantik? Atau kau meragukan kesetiaanku? Kau membuatku kecewa 

dan sakit hati, Kakang. Sehingga, aku menjadi benci terhadap laki-laki. Aku bertekad 

untuk menyiksa ataupun membunuh mereka sebanyak-banyaknya. Aku.., aku demikian 

menderita, Kakang...," rintih Suntini yang mulai mengalirkan air mata di kedua pipinya. 

Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas penuh sesal. Tidak ada lagi 

yang perlu dijelaskan. Suntini telah tahu perasaannya. Hatinya tak bisa menerima gadis 

itu, karena tak mungkin mengkhianati Kenanga. 

"Kau mengalami luka dalam yang parah, Suntini. Mudah-mudahan obat ini dapat 

membuatmu merasa lebih baik...!" 

Pendekar Naga Putih menyodorkan dua butir pi] kepada gadis itu. Ketika melihat 

Suntini menggeleng, langsung saja dipaksanya dan memasukkan obat itu ke mulut 

Suntini.


"Kakang! Sekali lagi kuminta kepadamu. Aku rela meskipun harus menjadi orang 

kedua yang kau cintai. Aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu Kakang! Aku 

tak akan menuntut banyak. Hanya itu...." 

Untuk kesekian kalinya, Suntini kembali mengajukan pertanyaan senada. 

Sementara Panji hanya menghela napas dalam-dalam. "Maafkan aku Suntini...!" Hanya itu 

yang bisa diucapkan Panji dengan wajah menunduk. Mendengar jawaban itu, Suntini 

memaksa dirinya bangkit. Ditepisnya tangan Panji yang mencoba menolongnya. Wajah 

yang pucat itu menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Suntini benar-

benar tak bisa menerima jawaban pendekar muda itu. 

Panji hanya bisa mengikuti langkah gadis malang itu dengan tatapan penuh iba. 

Dia tak berusaha mencegah, karena takut Suntini kembali salah menafsirkan. Meski 

dengan sangat terpaksa, Panji membiarkan Suntini melangkah terseret-seret meninggalkan 

tempat itu. Karena gadis itu bersikeras tak ingin ditolong. Kecuali Panji bersedia menerima 

uluran cintanya. 

"Pendekar Naga Putih!" seorang lelaki gagah benari mendatangi Panji. "Bukankah 

perempuan itu pimpinan mereka? Mengapa kau biarkan pergi...?" 

"Jangan ganggu dia, Gupta...!" ujar Panji singkat tanpa penjelasan kepada Gupta. 

"Tapi, kita masih memerlukannya untuk menemukan gadis-gadis yang mereka 

culik? Karena penculikan itu ulah mereka juga, Pendekar Naga Putih...!" sahut Gupta 

membuat Panji terkejut. Namun ketika hendak mengejar Suntini, terdengar suara halus 

menahan langkah mereka berdua. 

"Mereka membawa gadis-gadis itu ke Lembah Hitam..." 

Serentak Panji dan Gupta menoleh. Ucapan ternyata dikeluarkan dari mulut 

Winarti yang tengah berdiri kebingungan. Wajah manis dan tampak mendung itu membuat 

Gupta terpana. Tatapan matanya terhunjam lekat ke wajah Winarti, membuat gadis manis 

itu tersipu. 

Tanpa ragu lagi Gupta melangkah menghampiri Winarti. Tatapannya tak beralih 

dari wajah manis itu. Gupta tak berusaha menyembunyikan rasa tertariknya terhadap 

gadis itu. 

"Kau sendiri hendak ke mana, Nisanak?" tanya Gupta lembut dengan tatapan 

penuh kasih yang tulus. 

"Aku tidak tahu...," sahut Winarti tertunduk malu "Mungkin aku harus kembali ke 

desa. Tinggal bersama paman dan bibi yang selama ini merawatku" 

"Pendek...," Gupta tidak,melanjutkan kalimatnya, karena saat wajahnya menoleh, 

sosok Pendekar Naga Putih telah lenyap dari tempat itu. Sehingga Gupta kembali berpaling 

kepada Winarti. 

"Ikutlah bersama kami ke Lembab Hitam, Nisanak. Setelah itu, aku akan 

mengantarkanmu. Juga gadis-gadis desa yang diculik perempuan-perempuan Lembah 

Hitam itu...," ujar Gupta menawarkan sembari menyentuh lembut bahu Winarti. Senyum 

di bibir lelaki itu mengembang, karena Winarti tak berusaha menghindar. Itu berarti 

Winarti tahu perasaannya dan tak menolak. 

Gupta dan Rancaka kemudian berembuk. Lalu mereka mengajak kawan-kawan 

yang masih hidup untuk pergi ke Lembah Hitam guna menyelamatkan gadis-gadis desa 

yang berada di tempat itu. Gupta juga memerintahkan beberapa kawannya untuk 

mengantarkan pemuda bernama Sidanta ke desanya. 

"Mari ikut kami...!" ajak Gupta kepada Winarti. 

"Namaku Winarti...," sahut Winarti seraya tersenyum manis kepada lelaki gagah 

itu. Kelihatan sekali betapa sinar mata yang semula redup itu telah kembali hidup. 

Tampaknya Winarti menerima uluran tangan Gupta. 

Gupta, Rancaka, Winarti, dan tokoh-tokoh persilatan yang masih selamat, bergerak 

menuju Lembah Hitam. Tempat yang sudah ditinggalkan penghuninya itu masih harus 

mereka datangi. Karena di sana banyak gadis-gadis muda yang harus segera diselamatkan. 




                            SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar