PEREMPUAN-PEREMPUAN LEMBAH HITAM
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A.Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Perempuan-Perempuan Lembah Hitam
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Sepasang burung murai berlompatan riang di atas dahan. Kicauannya terdengar
menyambut bias cahaya merah di kaki langit sebelah timur. Unggas-unggas kecil yang
lucu itu nampak demikian gembira menyambut datangnya sang surya. Suasana yang sejuk
dan semilir angin lembut yang menyapa dedaunan, membuat pagi itu serasa indah dan
hidup.
Namun suasana damai seperti itu ternyata tak berlangsung lama. Suara bentakan-
bentakan kasar dan keras, serta dentangan senjata yang menusuk telinga, telah merusak
keindahan dan keheningan pagi itu. Dapat dipastikan kalau perusak keindahan itu
makhluk-makhluk yang bernama manusia. Dan suara-suara itu jelas bersumber dari
sebuah pertempuran.
Ternyata benar, pada sebuah tepian sungai, terlihat suatu pertempuran sengit
tengah berkecamuk. Mereka inilah yang telah membuat suasana pagi menjadi rusak.
"Yeaaat...!"
Suara teriakan keras kembali terdengar memekakkan telinga. Terlihat seorang
lelaki bertubuh kekar bersenjatakan sebatang pedang tengah melesat ke udara. Pedang di
tangannya berputaran cepat menimbulkan suara mengaung tajam, membelah keheningan
pagi hari itu.
"Hmh...!"
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda, mengeluarkan suara
mendengus bernada mengejek. Hanya dengan geseran langkahnya, sambaran pedang lelaki
bertubuh kekar itu luput, sehingga hanya menyambar tempat kosong.
"Perempuan setan...!"
Gagalnya serangan itu membuat lelaki bertubuh kekar tampak kian penasaran.
Terdengar umpatannya yang kasar meningkahi suara berdesingan. Sementara pedang di
tangannya terus bergerak dengan serangkaian serangan yang berbahaya. Melihat dari
gerakannya yang cepat dan kuat, dapat diduga kalau ielaki itu bukanlah orang
sembarangan.
"Makilah sepuasmu. Orang Gagah! Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di tangan
kami...!" sahut sosok bertubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu. Nada
suaranya mengandung ejekan yang disertai senyum sinis. Sambil berkata demikian,
tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan langkah-langkah ringan dan mantap. Se-
hingga, tak satu pun dari serangan lawan yang mengenai sasaran. Karuan saja lelaki
bertubuh kekar itu semakin marah. Dengan geram terus dilancarkan serangan-
serangannya yang semakin cepat dan kuat.
Namun wanita yang diserangnya tak kalah gesit. Bahkan terlihat dia mulai
membalas serangan lawan dengan tamparan dan tusukan jemari tangannya. Kendati
hanya bertangan kosong, serangan yang dilancarkan wanita itu ternyata jauh lebih
berbahaya ketimbang serangan pedang lawan. Sehingga pertarungan pun berjalan semakin
seru dan mendebarkan.
Perusak suasana pagi itu ternyata bukan hanya mereka berdua. Sebab, tak jauh
dari tempat pertarungan itu, terlihat dua pertempuran lain yang tidak kalah seru.
Anehnya, pertarungan itu seperti sengaja telah diatur. Karena pihak-pihak yang bertarung
antara lelaki melawan perempuan! Entah persoalan apa yang membuat mereka sepagi itu
telah terlibat dalam perkelahian mati-matian.
Seperti yang pertama, dua pertempuran lainnya pun kelihatan masih berjalan
seimbang. Meski demikian, tampak jelas betapa pihak lelaki berusaha keras untuk segera
merobohkan lawannya masing-masing. Hal itu terbukti dari serangan-serangan mereka
yang cepat dan bertubi-tubi datangnya. Seakan-akan ketiga orang lelaki itu demikian
membenci perempuan-perempuan yang menjadi lawan mereka.
Ketika tiga pertarungan itu berlangsung seru, tiba-tiba terdengar sebuah seruan
bernada dingin.
"Robohkan mereka...!"
Seruan bernada perintah itu membuat suasana pertarungan berubah seketika.
Perempuan-perempuan berpakaian merah muda yang semula hanya mengelak dan
sesekali melancarkan serangan balasan, kini merubah gaya permainan mereka.
"Haiiit..!"
"Heaaa...!"
Diiringi pekikan merdu yang susul-menyusul, ketiga perempuan itu mulai
membangun serangan.
"Hahhh...?!" pekik ketiga lelaki bertubuh kekar hampir bersamaan.
Tampak rasa keterkejutan melanda wajah mereka yang berubah agak pucat.
Dengan mata terbelalak nanar ketiganya menyaksikan serangan-serangan lawan yang
berubah dahsyat. Setiap kali tangan dan kaki mereka meluncur, diikuti serangkaian angin
keras menderu. Gempuran yang cepat dan beruntun itu membuat ketiga lelaki tampak tak
mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Bahkan...
"Hiaaa...!"
Bukkk,
"Aaakh...!"
Pekikan keras terdengar ketika salah seorang dari ketiga lelaki itu terhantam
serangan lawan. Pukulan telapak tangan halus yang mendarat di dadanya, membuat
tubuh tegap terbungkus pakaian putih itu terjerembab mencium tanah. Darah segar
langsung muntah dari mulutnya. Sesaat kemudian tanpa menggelepar-gelepar lelaki itu
tergeletak pingsan.
Kedua kawannya yang saat itu masih bertahan mati-matian, tentu saja tersentak
kaget menyaksikan kejadian itu. Akibatnya, dalam sesaat mereka lengah. Kedua
perempuan yang tengah dihadapi tampaknya mengetahui peluang itu. Hingga....
"Hiaaat..!"
Bluk! Plak!
Dengan cepat kedua perempuan itu melantarkan serangan dahsyat.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Tubuh kedua lelaki kekar yang
terbungkus pakaian putih itu seketika terjungkal. Setelah memuntahkan darah segar,
keduanya terkapar lemas di tanah. Ternyata tangan-tangan yang tampak halus dan mulus
milik kedua perempuan itu menyimpan suatu kekuatan tenaga dalam kuat. Terbukti
dalam sekali pukulan telapak tangan saja, telah membuat lawan terkapar tak sadarkan
diri.
Sejenak suasana berubah sepi. Tampak senyum sinis di bibir ketiga perempuan itu,
sambil menatap tubuh lawan yang telah ambruk di tanah basah.
"Sadarkan mereka...!"
Terdengar sebuah perintah dengan suara datar. Serentak ketiga perempuan
berpakaian merah muda itu menolehkan wajahnya menatap sebuah tandu yang diusung
empat laki-laki muda bertubuh kekar.
"Baik, Ketua...," sahut salah seorang dari ketiga perempuan itu dengan penuh
hormat. Kemudian segera memberikan isyarat dengan gerakan kepala kepada kedua
temannya.
Tanpa diperintah dua kali, ketiga perempuan yang rata-rata berwajah cantik itu
segera menghampiri lawan masing-masing. Mereka langsung menotok bagian tubuh lawan.
Seketika terdengarlah keluhan-keluhan lirih dari mulut ketiga lelaki yang masih terkulai
lemas itu.
"Bangun kau, Lelaki Pemalas...!"
Bluk!
Perempuan cantik yang mempunyai tahi lalat di tepi bibir kanannya, membentak
halus, seraya mengayunkan kaki kanan, menendang tubuh lelaki di bawahnya.
"Ugkh...!"
Kendati tendangan kaki mungil itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam,
lelaki itu tampak merasa kesakitan. Bahkan tendangan itu bagaikan mengandung tenaga
yang kuat. Terbukti tubuh lelaki berkumis tipis yang ditendangnya terangkat dari tanah.
Seketika dari mulutnya mengalir darah kental, karena luka dalam yang diderita bertambah
parah.
"Perempuan iblis...!" desis lelaki berkumis tipis ini penuh dendam. Sorot matanya
menyiratkan kebencian yang dalam. Sayang, dia sudah tak mampu berbuat sesuatu. Luka
dalam dadanya terasa nyeri saat dia berusaha mengerahkan tenaga. Sehingga, lelaki
bertubuh kekar itu hanya bisa pasrah terhadap perlakuan lawannya.
"Hmh...!" dengus perempuan cantik berwajah dingin yang mempunyai tahi lalat itu,
ketika mendengar umpatan lawannya. Seketika itu juga jemari tangannya terulur
menjambak rambut lelaki tegap berkumis tipis di hadapannya. Kemudian ditariknya
denngan sentakan kasar.
"Aaakh...!"
Perlakuan perempuan berwajah dingin itu tentu saja membuat lawannya menjerit
kesakitan. Dan mau tak mau laki-laki itu tersentak bangkit dengan mulut meringis
menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun tak tampak perasaan gentar sedikit pun
di wajahnya. Bahkan kembali memaki dengan kasar.
"Perempuan durjana! Kalian tak lebih dari iblis-iblis keparat yang berkedok wajah
cantik! Hhh..., tapi jangan dikira aku sudi menyerah! Lebih baik aku mati, daripada harus
ikut dengan kalian...!" geram lelaki kekar berkumis tipis itu. Sorot matanya tajam
menentang tatapan mata wanita itu. Sekilas matanya melirik pada tandu yang berada
sekitar lima tombak di depannya.
"Hi hi hi...! Makilah sepuasmu, Orang Gagah. Sebentar lagi kau akan merasakan
siksaan yang menyakitkan..!" sahut perempuan bertahi lalat itu tertawa penuh ejekan yang
menyakitkan.
"Ningrum! Ikat kedua tangan mereka, dan seret dengan kuda!" Kembali suara
dingin yang datang dari dalam tandu terdengar memerintah.
"Baik, Ketua...," sahut wanita bertahi lalat di tepi bibir, yang ternyata bernama
Ningrum. Tangannya menyeret tubuh lawan yang masih terkulai tak berdaya. Lalu diikat
kedua tangannya dengan seutas tali yang terbuat dari anyaman kulit binatang.
Kendati tak terlalu besar, tali itu sangat kuat dan tak mudah diputuskan.
Dua orang lelaki lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka tak mampu berbuat
apa-apa. Karena luka dalam akibat pukulan lawan telah membuat tubuh mereka lemas
tiada berdaya. Sehingga, semua perlakuan perempuan-perempuan berpakaian merah
muda itu hanya bisa diterima dengan pasrah.
"Jalan...!"
Suara perintah kembali terdengar dari dalam tandu. Seketika itu juga rombongan
pun bergerak meninggalkan tepian sungai.
Tiga perempuan berbaju hijau, yang juga rata-rata berwajah cantik, berada di
depan. Mereka bertiga menunggang kuda yang di belakangnya melangkah tiga orang lelaki
muda dengan kedua tangan terikat. Rupanya bukan hanya ketiga lelaki muda berpakaian
putih yang ditawan perempuan-perempuan itu. Ternyata tiga orang lelaki yang berada di
belakang kuda perempuan berpakaian hgau itu pun merupakan tawanan. Mereka dipaksa
melangkah tersaruk-saruk. Karena kalau sampai terjatuh, tubuh mereka akan terus
terseret-seret di atas tanah.
Sedangkan tiga perempuan berpakaian merah muda, berada di belakang
rombongan. Mereka pun memperlakukan para tawanan seperti tiga lelaki di depan. Tak
sedikit pun rasa kasihan di hati ketiganya, kendati tiga orang lelaki di belakang mereka
melangkah tersaruk-saruk dengan kedua tangan terikat pada punggung kuda. Seakan-
akan ketiga perempuan itu tak peduli terhadap luka dalam yang diderita para tawanan.
Sementara itu tandu yang diusung empat orang laki-laki kekar berwajah dingin,
berada di tengah rombongan. Meskipun sosok di dalam tandu itu belum terlihat, dapat
dipastikan kalau dia pun seorang wanita. Karena suaranya yang dingin tak bisa
menyembunyikan ciri suara seorang wanita. Dialah pimpinan rombongan kecil itu.
Rombongan itu terus bergerak perlahan menyusuri jalan selebar dua tombak yang
diapit pepohonan. Semilir angin lembut dan terpaan sinar matahari pagi mengiringi
langkah mereka.
***
"Kakang Gupta...! Aku... tak sanggup lagi...," keluh lelaki bertubuh tegap yang
wajahnya terhias kumis tipis seraya menoleh pada kawannya. Wajahnya yang sudah
dibanjiri peluh tampak berkerut-kerut. Bibirnya yang terkatup rapat dan kering, terlihat
bergetar sesaat. Sinar matanya menatap penuh kecemasan. Sementara sekujur tubuhnya
tampak lemah dan kelelahan.
"Kuatkan dirimu, Adi! Tunjukkan bahwa siksaan ini sama sekali tidak berarti bagi
kita...!" ujar lelaki berhidung mancung yang dipanggil Kakang Gupta. Ucapan itu pun
tampaknya tak mudah dikeluarkan. Suara kering dan pelan itu baru terlontar setelah lebih
dahulu bibirnya yang kering dijilat-jilat.
Namun, pancaran sinar matahari yang sangat garang menyengat tubuh, membuat
lelaki tegap berahang kokoh itu tak bisa menuruti nasihat Gupta. Kedua kakinya yang
lemas dan tak mampu lagi menahan tubuh, langsung menekuk. Lelaki itu pun roboh
terguling ke tanah, dan terseret kuda di depannya.
"Adi...!" Gupta terpekik dengan suara parau. Dia mencoba untuk menolong.
Namun, apa yang dapat dilakukan Gupta dengan kedua tangan terikat seperti itu. Bahkan
saat langkahnya tersaruk hendak mendekati kawannya, tiba-tiba....
Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Gupta terpekik ketika cambuk di tangan perempuan bernama Ningrum yang duduk
di punggung kuda menyengat tubuhnya. Tak ampun lagi, lelaki bertubuh gagah itu
terhuyung limbung, lalu jatuh ke tanah. Sadar kalau tak segera bangkit akan mengalami
siksaan yang lebih menyakitkan, Gupta pun menguatkan hatinya. Kendati sempat terseret
beberapa tombak, Gupta dapat mengeraskan hatinya, dan bangkit berdiri. Pakaiannya
yang putih kini kotor terkena tanah agak basah yang telah terinjak-injak kaki kuda.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan pendek dari mulut lelaki tegap itu. Ketika pakaiannya
tersingkap, tampak bilur merah di dadanya yang bidang. Goresan merah akibat lecutan
cambuk itu memanjang sampai ke leher. Bahkan mungkin kalau tak tertutup pakaian,
perutnya pun tergambar bekas sabetan itu. Sambil merintih, Gupta tampak menggigit bibir
bawahnya kuat-kuat. Dia tak ingin rintihan itu terdengar siapa pun. Sehingga hanya
dalam hati rintihan itu dikeluarkan. Dan ketika keringat mulai menyusup pada goresan
merah itu, dengan sekuat tenaga ditahannya rasa pedih yang mendera.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba kawan Gupta yang terseret memekik keras. Gupta pun serta merta
menolehkan wajahnya. Betapa geram hati lelaki itu ketika melihat tubuh kawannya
terseret-seret. Luka-luka goresan yang meneteskan darah, membuat sosok kawannya yang
telah kotor tampak begitu mengenaskan. Dan pemandangan itu membuat Gupta tak
mampu menahan kemarahan.
"Iblis...! Kalian benar-benar biadab! Tak berperasaan! Bunuh saja kami, daripada
kalian siksa seperti binatang yang tak berharga...!"
Pada puncak kemarahannya, Gupta berteriak-teriak keras. Tubuhnya yang dipaksa
melangkah tersaruk-saruk itu tampak menegang. Dia mencoba memberontak untuk
melepaskan kedua tangan yang terikat kuat. Namun hal itu hanya merupakan tindakan
yang sia-sia. Bahkan akhirnya harus menanggung akibat yang mengerikan. Cambuk di
tangan Ningrum kembali melecut tubuhnya diiringi tawa mengejek perempuan-perempuan
tak berperasaan itu.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Gupta meraung-raung keras karena merasakan sakit yang mendera tubuhnya.
Darah segar pun meleleh keluar dari luka sayatan akibat cambuk yang dilecutkan
beberapa kali.
"Perempuan-perempuan setan..! Lepaskan aku...! Ayo kita bertarung sampai seribu
jurus...!" teriak Gupta menantang karena marah dan tak tahan merasakan sakit di sekujur
tubuhnya. Matanya terbelalak merah menatap tajam perempuan itu.
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengejek di sana-sini yang membuat dada Gupta terasa meledak.
Mulutnya kembali terpekik ketika merasakan seretan itu semakin cepat. Ternyata
perempuan itu melarikan kudanya. Sehingga, tak ada kesempatan sama sekali bagi Gupta
untuk bangkit berdiri. Darah segar semakin banyak mengalir, turun membasahi tubuhnya.
Jalan terjal berbatu yang dilalui rombongan itu membuat sekujur tubuh Gupta dipenuhi
luka. Betapa sakit dan perihnya luka-luka di tubuhnya!
"Kakang...!" teriak kawannya yang masih berdiri melangkah tersaruk-saruk.
Suaranya kering dan parau. Sungguh, kalau saja tidak merasa malu, ingin sekali dia
menangis, melihat penderitaan Gupta. Kendati demikian, matanya tidak bisa menahan air
yang mulai mengalir keluar. Apalagi kawannya yang seorang sudah tak bergerak lagi, dan
terus terseret lari kuda. Dia tak tahu apakah kawannya pingsan atau sudah tewas karena
siksaan.
Gupta sendiri sudah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terlonjak-lonjak
karena jalan yang mereka lalui tidak rata, semakin menambah berat deritanya. Sekujur
tubuhnya dirasakan nyeri dan linu. Goresan bebatuan membuat pakaiannya terkoyak.
Gupta hanya mampu memejamkan kedua matanya sambil menggigit bibir kuat-kuat,
bahkan sampai mengeluarkan darah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat hati
perempuan-perempuan kejam itu tergerak untuk menghentikan siksaannya.
Sementara itu ketiga tawanan yang diseret penunggang-penunggang kuda
berpakaian serba hijau, hanya bisa menarik napas panjang, dan mengatupkan rahangnya
kuat-kuat. Mereka bukan tak tahu dengan apa yang menimpa tiga orang tawanan di
rombongan belakang. Namun, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong,
akhirnya mereka hanya bisa mengutuk dalam hati atas kekejaman perempuan-perempuan
berhati iblis itu. Tak satu pun dari mereka yang berani menoleh. Karena hal itu bisa
mendatangkan bencana yang mengerikan. Hanya sesekali mereka memejamkan mata
sambil menghela napas dalam-dalam.
"Heaaa...!"
Gupta yang merasa tidak sanggup lagi untuk menahan semua penderitaan itu, tiba-
tiba memekik sekuat tenaga. Kemudian menyentakkan tali yang mengikat kedua
tangannya. Gupta nekat hendak melepaskan dirinya dari ikatan itu. Tapi....
"Aaakh...!"
Gupta melolong kesakitan. Tali pengikat yang hanya sebesar jari kelingking itu
ternyata sangat kuat. Sentakannya barusan membuat tali itu terbenam ke dalam
pergelangan tangan. Darah mengalir karena kulit di pergelangan tangan Gupta sobek
sampai ke tulang.
Rasa sakit yang dirasakannya membuat Gupta jatuh tak sadarkan diri. Sehingga,
tubuhnya terseret tanpa daya. Untung saja saat itu rombongan telah melewati jalan
berbatu, dan mulai memasuki daerah padang rumput yang luas. Sehingga, penderitaan
yang dirasakan Gupta tidak semakin parah.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara perintah dari dalam tandu. Seketika itu juga, rombongan
pun terhenti. Hal itu tentu saja membuat para tawanan merasa sedikit lega. Karena
mereka dapat beristirahat, meski dalam keadaan berdiri dan di dalam sinar matahari yang
terik.
"Ningrum. Tinggalkan bangkai tak berguna itu..!"
Mendengar perintah ketuanya, sepasang mata dingin Ningrum menoleh ke
belakang. Dilihatnya tubuh lelaki di samping kanan Gupta sudah tidak bergerak lagi.
Rupanya nyawa lelaki berahang kokoh, kawan Gupta itu telah melayang. Dia sudah tak
sanggup untuk menahan penderitaan itu lebih lama.
Tanpa banyak cakap lagi, Ningrum langsung melompat turun dari punggung
kudanya. Kemudian melepaskan tali pengikat kedua lengan lelaki yang telah menjadi
mayat itu. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ningrum kembali melompat ringan ke atas
punggung kudanya. Dari gerakan yang dilakukan, menunjukkan kalau ilmu meringankan
tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi. Hanya sekali menggenjot, tubuhnya telah berada
di atas punggung kuda.
"Lanjutkan perjalanan...!"
Perintah dari dalam tandu yang tertutup kain sutera merah muda itu kembali
terdengar. Rombongan bergerak serentak. Tak satu pun dari anggota rombongan yang
mempedulikan Gupta. Padahal tubuh lelaki kekar berkumis tipis itu sudah sangat
mengenaskan. Tampak tubuhnya yang luka-luka berlumuran darah bercampur tanah,
terseret-seret terus tanpa ampun.
Sementara itu, kawan Gupta yang tinggal seorang hanya mampu menatap iba.
Untuk mengeluarkan suara saja mulutnya seperti tak kuasa. Terasa kelu, getir, dan pahit,
karena kerongkongannya kering kerontang. Selain itu sekujur tubuhnya dirasakan seperti
telah kehabisan tenaga. Matanya mulai berkunang-kunang seiring dengan rasa kesemutan
dan gemetaran di sekujur tubuh.
Perempuan-perempuan cantik berhati iblis itu terus bergerak dengan kuda mereka.
Tentu saja perjalanan yang agak cepat itu membuat keempat pemikul tandu harus berlari-
lari kecil. Tampaknya keempat pemikul tandu itu pun tidak berbeda jauh keadaannya
dengan para tawanan. Keringat yang meleleh membasahi tubuh telanjang itu sudah tak
ubahnya orang yang baru saja berendam di sungai.
Namun anehnya, mereka seakan-akan tak merasa kelelahan sedikit pun. Entah apa
yang telah membuat tenaga mereka bagaikan tak pernah habis.
DUA
Seorang pemuda tampan bertubuh sedang mengenakan jubah panjang berwarna
putih berdiri tegak di tengah jalan. Dengan kening berkerut matanya menatap tajam ke
depan. Kedua kakinya terpentang menghadang jalan. Senyum sinis di wajahnya
menyiratkan rasa ketidaksenangan dengan apa yang terlihat di depan.
"Celaka...!"
Suara berdesis itu terdengar dari dalam tandu yang diusung empat orang lelaki
kekar. Nadanya jelas menggambarkan kekhawatiran. Karena dari balik sutera merah muda
yang menutupi bagian depan tandu, matanya melihat sosok yang menghadang perjalanan
rombongannya. Rupanya rombongan kecil inilah yang membuat pemuda tampan berjubah
putih itu merasa terusik jiwanya dan menghadang di tengah jalan.
"Kita mendapat halangan besar...!" desis orang di dalam tandu, membuat enam
orang wanita di depan dan belakang tandu mengerutkan kening serentak.
Karena menangkap adanya nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam
perempuan cantik itu pun berusaha menegasi sosok bertubuh sedang yang berdiri
menghadang jalan. Namun mereka tetap belum mengerti, mengapa suara itu terdengar
penuh kecemasan. Padahal yang menghadang jalan mereka seorang pemuda tampan dan
menarik. Dan tak ada orang lain kecuali pemuda berjubah putih Itu. Tentu saja mereka
merasa penasaran.
"Pemuda tampan berjubah putih itukah yang Ketua maksud sebagai halangan
besar?" tanya Ningrum karena tak dapat menahan rasa penasaran di hatinya. Dia tidak
melihat sesuatu yang perlu ditakutkan dari pemuda berjubah pulih itu. Ningrum sendiri
justru sempat tergetar hatinya, melihat ketampanan dan sikap pemuda berjubah putih itu.
"Bodoh kau, Ningrum! Tidakkah kau kenali siapa sebenarnya yang menghadang
perjalanan kita?" terdengar suara dari dalam tandu setengah membentak.
Bentakan itu membuat Ningrum agak pucat. Matanya lalu memperhatikan lebih
teliti sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri menghadang di tengah jalan itu.
Wajah perempuan itu semakin pucat pasi. Dan hatinya yang semula tergetar karena
ketampanan pemuda itu, seketika berubah getar kecemasan.
"Apakah..., apakah Ketua hendak mengatakan kalau pemuda itu Pendekar Naga
Putih...?" desis Ningrum dengan suara kering. Kekagumannya langsung berubah rasa
khawatir, ketika teringat dan mulai menebak siapa sesungguhnya pemuda tampan
berjubah putih yang menghadang jalan mereka itu.
"Itulah sebabnya mengapa aku bilang celaka, Bodoh...!" maki orang dalam tandu
yang kedengarannya semakin menggambarkan kecemasan hatinya. Apalagi ketika dari
balik tirai dilihatnya pemuda berjubah putih itu melangkah lebar menghampiri
rombongannya. Tentu saja dia tahu apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu.
"Kalau begitu, kita benar-benar mendapat halangan besar kali ini, Ketua...!" desis
Ningrum mulai ikut cemas. "Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali melawannya sekuat tenaga. Bersiaplah
untuk menyambutnya...!" sahut orang dari dalam tandu yang kini nada suaranya mulai
tegang.
Kalau para perempuan cantik berhati kejam itu merasa tegang dan cemas, lain
halnya dengan tawanan-tawanan mereka. Wajah para tawanan yang semula berkerut
melihat sosok pemuda tampan berjubah putih itu, seketika berubah cerah setelah
mendengar pembicaraan Ningrum dengan perempuan yang berada dalam tandu. Seketika
itu juga timbul harapan di hati para tawanan untuk dapat terbebas dari siksaan
perempuan-perempuan keji itu.
"Pendekar Naga Putih, tolonglah kami...!"
Salah seorang tawanan yang berada di depan, langsung berteriak kepada pemuda
tampan berjubah putih yang tak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Namun tiba-tiba...
Ctarrr...!
Suara ledakan cambuk terdengar disusul pekik kesakitan lelaki tawanan itu, ketika
perempuan berpakaian serba hijau melecutkan cambuknya. Tubuh lelaki itu menggeliat-
geliat kesakitan. Bilur merah memanjang terlihat membelah sebagian wajahnya, dan
meneteskan darah segar
Seorang pemuda tampan berjubah putih berdiri tegak menghadang halan.
"Celaka...!" terdengar seruan dari dalam tandu. "Kita mendapat halangan besar...!"
Menangkap nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam perempuan cantik itu
pun berusaha menegasi sosok lelaki yang menghadang jalan!
"Tahan...!" teriak Panji, ketika melihat perempuan berpakaian hijau itu hendak
mengangkat cambuknya. Bahkan tubuh pemuda berjubah putih itu langsung melesat
dengan kecepatan yang sukar untuk diikuti mata. Tangan kanannya terulur hendak
merebut cambuk di tangan kanan perempuan itu. Tapi....
"Haiiit..!"
Wuttt!
Perempuan berpakaian hijau yang bermata lebar dan bening itu memekik keras.
Cambuk di tangannya langsung digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, menyambut
datangnya tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun, Panji bukanlah orang yang mudah untuk dijadikan korban cambuk itu.
Melihat gerakan perempuan itu, tangannya langsung terulur dengan kecepatan kilat.
Sehingga, ujung cambuk lawan dapat ditangkapnya dengan mudah.
"Hih...!"
Tappp!
"Hah...!"
Perempuan cantik bermata lebar itu tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia sama
sekali tak menyangka kalau pemuda berjubah putih itu dapat bergerak begitu cepat.
Sehingga, ujung cambuknya dengan mudah dapat ditangkap.
Pendekar Naga Putih yang sudah melihat betapa ganasnya perempuan itu,
langsung menyentakkan cambuk di tangannya. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan
kuat. Sehingga....
"Hih...!"
Wrettt!
"Aaakh...!"
Perempuan cantik yang duduk di atas punggung kuda itu terpekik ngeri. Karena
tubuhnya tiba-tiba tersentak keras dan terlontar ke udara.
"Haits...! Heaaa...!"
Panji sempat dibuat kagum melihat gerakan lawan. Perempuan berpakaian hijau
itu ternyata mampu menguasai diri. Dengan bersalto beberapa kali di udara, tubuh
ramping itu meluncur dengan manis dan mendarat ringan di atas tanah.
"Hih!"
Jliggg!
"Hebat..!" puji Panji yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Karena
gerakan perempuan itu jelas menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi.
Namun, pujian itu bukan berarti Panji menunda gerakannya. Tubuhnya terus
meluncur ke depan. Maksudnya tentu saja hendak membebaskan para lelaki yang ditawan
perempuan-perempuan kejam itu.
Melihat lawan melesat dengan serangan lanjutan, tiba-tiba dua perempuan cantik
berpakaian serba hijau lainnya melontarkan serangan dengan cambuk di tangan masing-
masing. Sehingga, Pendekar Naga Putih terpaksa mengurungkan serangannya.
Ctarrr! Ctarrr...!
Patukan ujung cambuk yang meliuk dan mengeluarkan suara memekakkan telinga
itu, membuat Pendekar Naga Putih harus bergerak mengelak. Sambil memiringkan tubuh,
tangan kanannya bergerak cerat untuk menangkap ujung cambuk lawan.
Tampaknya kali ini Pendekar Naga Putih tidak mudah untuk melakukan hal itu.
Kedua orang lawan yang telah mengetahui gerakannya, langsung menarik senjatanya.
Kemudian dengan cepat pula dilecutkan kembali dengan pengerahan tenaga dalam yang
lebih kuat. Bahkan tubuh kedua perempuan itu sudah melayang ke udara dengan
ringannya.
Ctarrr...!
"Haiiit...!"
"Ciaaat..!"
Terdengar pekik melengking susul-menyusul disertai ledakan cambuk yang
memekakkan telinga. Mau tidak mau Pendekar Naga Putih harus melayani serangan dua
orang perempuan berpakaian hijau itu. Dengan gerakan meliuk ke sana kemari
menghindari patukan ujung-ujung cambuk yang terus memburu. Namun, bersama
gerakan mengelak, pendekar muda itu sempat melakukan serangan dengan tamparan-
tamparan beruntun. Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih membuat kedua orang
lawannya sulit untuk bergerak. Seolah tangan pemuda itu berubah menjadi banyak, yang
menyerang dari tiap penjuru. Sehingga, perempuan-perempuan berpakaian serba hijau itu
pun tampak mulai terdesak.
"Haaat...!"
Ctarrr! Ctarrr...!
"Haiiit...!"
Ketika Pendekar Naga Putih tengah mendesak dan siap merobohkan lawan-
lawannya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking susul-menyusul. Tiga sosok bayangan
merah muda dan sesosok bayangan hijau melesat cepat memasuki kancah pertempuran.
Ledakan-ledakan cambuk pun terdengar setiap kali sosok-sosok cantik itu
melecutkan cambuk mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Kehadiran empat orang itu tampaknya tak banyak berarti bagi Pendekar Naga Putih
yang tengah meningkatkan serangannya. Bahkan tubuh pemuda itu sudah terlapisi kabut
bersinar putih keperakan yang mengandung hawa dingin menggigit.
Karuan saja keenam orang perempuan kejam itu tersentak kaget bukan kepalang.
Sebab, pengaruh hawa dingin yang keluar dari setiap serangan Pendekar Naga Putih
seolah membekukan urat-urat di tubuh mereka. Serangan-serangan keenam perempuan
itu tampak mulai mengendur, karena perhatian mereka seketika terpecah. Tampak
keenam perempuan cantik itu lebih banyak memusatkan pikiran untuk mengatasi
pengaruh hawa dingin menggigit itu. Tentu saja hal itu membuat gerakan mereka kacau
dan tak terarah.
Pendekar Naga Putih mulai memperoleh kedudukan yang menguntungkan. Dua
serangan yang dilontarkannya mendarat telak di tubuh dua orang lawan.
"Heaaa...!"
Plakkk! Bukkk...!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar. Dua tubuh ramping yang terbungkus pakaian hijau,
terlempar sampai di luar arena pertempuran dan jatuh terguling di tanah. Pukulan dan
tamparan keras Pendekar Naga Putih yang mendarat di punggung kedua perempuan itu
membuat bagian dalam tubuh mereka terguncang. Sehingga, darah segar pun merembes
dari sudut bibir-bibir tipis yang selalu menunjukkan senyum sinis itu. Tampaknya
tamparan itu sempat menimbulkan luka dalam tubuh kedua lawan.
"Heaaa...!"
Ctarrr...! Ctarrr...!
"Haits...!"
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat cepat ke atas.
Pemuda itu berusaha menyambut serangan dua cambuk yang meliuk mengincar
tubuhnya.
Dengan mengerahkan kekuatan tenaga angin pukulannya, Panji telah membuat
ujung-ujung cambuk itu membalik dan balik mengancam tubuh pemiliknya. Karuan saja
kedua perempuan berpakaian merah muda itu kaget bukan kepalang. Karena luncuran
ujung cambuk itu menjadi dua kali lebih cepat. Serta merta mereka berusaha mengelak
agar tak termakan senjatanya sendiri.
"Heaaa...!"
Namun tanpa diduga dengan cepat sosok bayangan putih berkelebat mendahului
datangnya ujung cambuk. Kedua perempuan berpakaian merah muda itu tersentak kaget.
Sungguh, mereka tak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan bergerak demikian
cepat. Sehingga....
Plakkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dua orang perempuan itu terlempar deras,
kemudian jatuh terbanting ke tanah dengan kerasnya. Untuk beberapa saat mereka tidak
mampu bangkit. Pandangan mereka berkunang-kunang, hingga sulit untuk melihat jelas
keadaan di sekitar. Darah segar yang keluar dari mulut keduanya menandakan kalau
pukulan Pendekar Naga Putih telah membuat luka dalam tubuh mereka.
"Kurang ajar...!" terdengar suara menggeram dari dalam tandu. Seketika itu juga
tirai penghalangnya tersibak. Dan....
Siiing! Siiing...!
Seiring dengan suara berdesingan tajam yang membelah udara siang, melesat cepat
lima larik cahaya putih menyilaukan, memburu mangsa. Sasarannya ternyata lima jalan
darah di tubuh Pendekar Naga Putih.
Lesatan lima cahaya putih yang begitu cepat itu membuat Pendekar Naga Putih
sesaat tersentak kaget. Keningnya mengerut, menyadari kalau senjata gelap itu sangat
berbahaya. Apalagi dilontarkan oleh seorang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
"Hebat...!" gumam Panji mengeluarkan pujian setulusnya. Namun, bukan berarti
Pendekar Naga Putih menyerah dan menerima saja serangan-serangan berbahaya itu.
Bahkan serangan yang ditujukan kepada dua orang lawan terakhirnya tetap dilanjutkan,
meski hanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya dikibaskan dengan
pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', yang sulit dicarikan tandingannya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua orang lawan terakhirnya langsung terpekik keras. Tubuh mereka terjungkal ke
tanah, lalu terguling-guling sejauh dua tombak lebih. Dapat dipastikan kalau pukulan itu
telah menghentikan perlawanan mereka.
Sementara lima bentuk sinar putih yang ternyata berasal dari pisau terbang,
terpental balik akibat sampokan tenaga dalam Pendekar Naga Putih. Kelima pisau terbang
itu meluncur cepat dengan dua kali lebih cepat, memburu ke arah tandu.
"Gila...! Benar-benar luar biasa sekali!"
Terdengar perempuan di dalam tandu bergumam penuh rasa terkejut, sambil
tangannya dengan cepat bergerak melolos selendang merah muda yang melilit
pinggangnya. Kemudian...
"Haiiit!"
Seiring dengan terdengarnya pekikan nyaring, tirai penutup tandu tersibak. Selarik
sinar merah melesat keluar dan langsung mematahkan serangan balik kelima pisau
bercahaya putih itu.
Wuttt!
Trakkk...!
Terdengar suara keras ketika sinar dari selendang merah menghantam pisau-pisau
itu. Seketika benda-benda yang tengah meluncur cepat itu berpatahan dan berpentalan ke
tanah. Selendang merah muda itu jelas digerakkan dengan kekuatan tenaga dalam yang
hebat.
"Tak kusangka orang di dalam tandu itu memiliki kepandaian yang hebat! Tenaga
dalam dan kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan! Menilik dari senjata yang
digunakan, aku yakin kalau orang di dalam tandu itu pastilah seorang perempuan cantik.
Para anak buahnya saja sudah sedemikian cantik. Apalagi majikannya...," gumam Panji
penuh rasa kagum terhadap kesaktian perempuan di dalam tandu itu.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu kemunculan perempuan di dalam
tandu itu. Namun, tidak sedikit pun sutera merah penutupnya terbuka. Nampaknya
penghuni tandu itu memang tak bermaksud menampakkan diri di hadapan Pendekar Naga
Putih.
Panji semakin tak sabar, dan melangkah perlahan menghampiri tandu yang tetap
berada di atas pundak empat lelaki kekar. Keempat pengusung tandu itu rata-rata berusia
tiga puluh tahun.
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan dari dalam tandu. Langkah Panji pun terhenti. Kendati
demikian dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari tirai merah muda penutup tandu
itu.
"Mengapa kau mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih...?" tanya
perempuan dari dalam tandu penuh ketidaksenangan.
"Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Nisanak? Setiap kekejaman di atas
permukaan bumi ini merupakan urusan semua orang yang menjunjung tinggi keadilan.
Jadi jelas, persoalan ini juga merupakan urusanku...," sanggah Panji dengan suara
lantang.
Tentu saja jawaban tak terduga itu mengejutkan perempuan yang berada di dalam
tandu. Terbukti beberapa saat tidak ada sahutan. Rupanya perempuan tua itu tengah
mencari jawaban atas sanggahan Pendekar Naga Putih.
"Apakah ucapanmu itu memiliki arti bahwa kau mengetahui latar belakang
tindakan kami..?" tanya perempuan di dalam tandu, agak ragu-ragu. Hatinya seakan-akan
ingin mengetahui sampai seberapa jauh Pendekar Naga Putih mengetahui sepak
terjangnya.
"Hm..., sekalipun aku belum tahu persoala sebenarnya, tapi ketidakadilan yang
terjadi di depan mataku, tak bisa kudiamkan begitu saja. Dan kalau tidak merasa
keberatan, silakan jelaskan duduk perkaranya kepadaku...," ujar Panji lagi yang membuat
perempuan di dalam tandu menggeram jengkel. Seakan-akan dia merasa kalah bicara
dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
Sejenak keadaan berubah hening. Perempuan di dalam tandu itu sepertinya tengah
berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Tidak terdengar suara
sampai beberapa saat lamanya. Namun pemuda tampan itu tetap menunggu, hendak
mendengar bagaimana tanggapan perempuan di dalam tandu itu.
Sementara itu keenam perempuan cantik pengikut tokoh yang belum jelas jati
dirinya itu, sudah berkumpul di kedua sisi tandu. Mereka hanya menatap sosok Pendekar
Naga Putih dengan wajah menyiratkan kegentaran. Dengan sabar mereka menunggu
tindakan yang akan diambil sang Ketua.
Tidak berapa lama kemudian, tirai penutup tandu mendadak tersibak. Dari dalam
tampak keluar sesosok tubuh ramping dengan kepala tertunduk. Separo wajahnya
tertutup cadar berwarna merah muda yang tipis dan menyamarkan raut wajah di baliknya.
Panji sempat tertegun seraya menyembunyikan kekagetannya. Sosok yang berada
di dalam tandu ternyata berbeda jauh dengan dugaannya. Wajah perempuan bertubuh
ramping itu bukan saja tidak cantik. Bahkan bisa dibilang menyeramkan. Karena wajah
yang tersembunyi di balik cadar tampak demikian rusak, seperti luka bakar. Keningnya
mengerut tajam dengan kulit yang terkelupas. Menimbulkan pemandangan yang
menjijikkan. Hanya sepasang mata yang bening dan menyiratkan bahwa pada mulanya
wajah itu mungkin sangat cantik. Sayang, luka bakar di wajahnya telah melenyapkan
kecantikan perempuan itu. Kalau semula orang akan bertekuk lutut di bawah kakinya,
memohon agar cinta mereka terbalas, tapi kini dengan luka bakar yang mengerikan seperti
itu, para pemuda akan lari tunggang-langgang ketakutan.
Sambil menenangkan perasaannya, Panji memperhatikan perempuan berpakaian
merah muda itu. Dari keadaan tubuhnya dapat diduga kalau usia perempuan buruk itu
tidak lebih dari dua puluh tahun. Kulitnya halus, putih, dan tampak lembut di balik
pakaian merah muda yang tipis. Agak iba juga hati pendekar muda itu melihat keadaan
perempuan yang selalu menyembunyikan dirinya di dalam tandu. Namun, semua itu
bukan berarti bahwa Panji mundur dari niatnya semula. Tidak. Panji tetap menginginkan
lima lelaki tawanan mereka dilepaskan. Apa pun duduk persoalannya. Karena siksaan
yang dijalani lima orang lelaki itu telah melampaui batas-batas kemanusiaan.
"Pendekar Naga Putih...," ujar perempuan buruk rupa itu dengan suara dingin dan
mendesah.
"Bukankah kau ingin membebaskan tawanan-tawanan kami...?"
"Memang itu keinginanku...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm..., kalau begitu keinginanmu, maukah kau menukar mereka dengan diri
kami...?" tanya perempuan buruk itu lagi, berdesah.
"Apa maksudmu, Nisanak...?" tanya Panji seraya mengerutkan kening, karena
belum bisa memastikan ke mana arah pembicaraan perempuan buruk rupa itu.
"Biarkan kami pergi tanpa diganggu! Dan kau boleh ambil semua tawanan kami...,"
pinta perempuan buruk rupa itu mengajukan syarat kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku bukanlah orang buas yang haus darah. Kalau itu yang kau inginkan,
baiklah...," sahut Panji seraya memalingkan wajahnya kepada lima tawanan.
Pendekar Naga Putih menggerakkan tangannya mencegah salah seorang dari
tawanan itu yang hendak berbicara. Kelihatannya lelaki itu hendak membantah, karena
tak menyetujui usul perempuan berwajah menjijikkan itu.
"Hm...."
Perempuan buruk itu seperti menyunggingkan senyum puas. Kemudian bergerak
naik ke dalam tandu dan memerintahkan para pengikutnya agar segera pergi dari tempat
itu.
Panji sama sekali tidak bergerak. Ditatapnya kepergian perempuan-perempuan itu
dengan mata tak berkedip. Baru kemudian berpaling setelah rombongan kecil itu semakin
jauh.
***
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Kemunculanmu benar-benar membuat kami
merasa bebas dari lubang kubur...," ucap salah seorang dari tiga lelaki yang ditawan
perempuan berpakaian hijau. Usia lelaki itu sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya
tampak ramah, membuat orang mudah menyukainya. Dia benar-benar merasa bersyukur
dengan kemunculan Pendekar Naga Putih menyelamatkan mereka dari siksaan.
Panji hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kendati tak diutarakan, dia
tahu kalau pemuda gagah itu memendam rasa penasaran atas tindakannya melepaskan
perempuan-perempuan kejam itu begitu saja. Padahal untuk semua itu Panji tentu
mempunyai alasan yang kuat.
Setelah ketiga orang itu terbebas dari ikatan, Pendekar Naga Putih bergegas
menghampiri lelaki berkumis tipis, yang masih tergeletak pingsan. Dilepaskannya tali
pengikat pergelangan tangan lelaki yang tak lain Gupta itu. Segera ditotoknya beberapa
bagian tubuh berlumuran darah itu untuk menghentikan pendarahan. Karena luka yang
cukup dalam pada pergelangan tangan Gupta tampak masih mengeluarkan darah.
Kemudian dibawanya tubuh tegap itu ke tepi jalan, setelah membebaskan kawan Gupta.
Dengan penuh ketelitian, Pendekar Naga Putih merawat luka-luka di sekujur tubuh
Gupta. Untung di dalam buntalan pakaiannya, Panji masih menemukan obat luka. Segera
dibalurkan ke tubuh Gupta, setelah melepaskan pakaian sebelah atas lelaki itu.
Gupta yang disadarkan Panji dari pingsannya, membuka pelupuk mata perlahan.
Ada kilatan terkejut ketika mendapati dirinya telah rebah dengan sekujur tubuh terasa
hangat. Terlebih ketika melihat seorang pemuda tampan telah berada di sampingnya dan
tersenyum. Gupta mengawasi sekitar dengan ekor matanya. Bibirnya tampak bergerak-
gerak ketika melihat wajah kawannya yang juga tersenyum.
"Kita telah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari keganasan perempuan-
perempuan iblis itu, Kakang...," ujar lelaki bertubuh kekar itu, seakan hendak
menjelaskan kepada Gupta yang baru siuman. Mendengar ucapan kawannya itu wajah
Gupta tampak terkejut.
"Tetaplah beristirahat, Kisanak! Luka-lukamu masih menghambat gerakan dan
mungkin masih agak nyeri...," cegah Panji seraya menekan kedua bahu Gupta perlahan
ketika melihat lelaki tegap itu memaksa hendak bangkit "Atur jalan napas agar
kesehatanmu semakin membaik…"
"Te... terima., kasih, Tuan Pen.. dekar..., ucap Gupta dengan susah-payah.
Pendekar Naga Putih hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri setelah melihat kedua
mata Gupta terpejam. Rupanya lelaki tegap itu langsung mengikuti petunjuk yang
diberikannya.
Panji bergerak menjauh dari tempat Gupta terbaring, dijaga kawannya. Ketiga lelaki
lain tampak mengikuti dari belakang. Mereka pun duduk di bawah pohon besar,
berhadapan dengan Pendekar Naga Putih.
"Perselisihan apa yang membuat kalian sampai disiksa oleh perempuan-perempuan
tadi...?" tanya Panji setelah menarik napas dalam-dalam. Dirayapinya satu-persatu wajah
ketiga lelaki yang bertubuh gagah itu.
"Pendekar Naga Putih...," sahut lelaki bertubuh tegap dan berwibawa. Lelaki
berwajah tampan ini tampak lebih pandai berbicara ketimbang dua orang kawannya. "Aku
bernama Rancaka. Kami bertiga merupakan saudara seperguruan yang telah setahun lebih
melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman."
Lelaki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada Panji.
Kemudian terdiam sesaat seperti hendak melihat tanggapan pendekar muda yang
sebenarnya telah lama menimbulkan kekaguman di dalam hati mereka.
Panji hanya menganggukkan kepala perlahan. Tak sepatah kata pun tanggapan
keluar dari mulutnya, seakan-akan masih menunggu kelanjutan cerita lelaki bernama
Rancaka itu.
"Belakangan ini kami mendengar tentang adanya pembunuhan dan penculikan.
Yang membuat kami merasa penasaran dan ingin menyelidiki, adanya keanehan dalam
setiap kejadian. Karena selain korbannya terdiri dari kaum lelaki yang kebanyakan masih
berusia muda hampir semua yang terbunuh dan hilang tanpa jejak adalah orang-orang
dari rimba persilatan. Sayang, si pembuat keonaran itu ternyata rata-rata memiliki ilmu
kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kami. Mereka tak lain perempuan-perempuan
kejam yang tadi kau lepaskan begitu saja, Pendekar Naga Putih...," Rancaka menghentikan
ceritanya. Dalam sorot matanya tersirat rasa penasaran yang menuntut penjelasan dari
Pendekar Naga Putih.
"Hm...," Panji bergumam pelan, seraya melemparkan pandangannya menatap
rimbun pepohonan. Sedang Rancaka dan kedua kawannya menunggu ucapan yang akan
keluar dari mulut pendekar muda itu.
"Kau tentu merasa penasaran karena aku telah membebaskan mereka, bukan...?"
tanya Panji seraya menatap wajah Rancaka, yang serta-merta menundukkan kepala, tak
sanggup menentang tatapan mata tajam Pendekar Naga Putih.
"Maaf, kalau rasa penasaranku membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih...,"
ujar Rancaka perlahan. Tampak jelas betapa lelaki kekar itu menaruh hormat kepada
pemuda tampan berjubah putih di depannya. Kareha sikap maupun tatapan Pendekar
Naga Putih demikian kuat mengandung kewibawaan.
"Jangan meminta maaf atas sikapmu yang benar itu, Rancaka!" tukas Panji cepat,
yang membuat Rancaka berani mengangkat kepalanya. "Kalaupun tadi kubiarkan mereka
pergi begitu saja, itu karena ada beberapa pertimbangan yang telah kuperhitungkan
masak-masak..."
Rancaka dan kedua kawannya tampak menganggukkan kepala, kendati belum
mengetahui alasan Pendekar Naga Putih. Sementara Panji tak segera melanjutkan
penjelasannya. Wajahnya menyunggingkan senyum simpul seraya menatap ketiga lelaki
gagah itu. Sehingga, Rancaka dan kedua orang kawannya menunggu dengan sabar.
Mereka belum bisa menduga apa alasan Pendekar Naga Putih melepaskan perempuan-
perempuan biadab itu.
"Pertama," ujar Panji tiba-tiba. "Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian berlima.
Karena, bisa saja aku bertarung, perempuan-perempuan itu akan berlaku licik. Misalnya
menunggunakan kalian sebagai pelindung. Bila aku melanjutkan pertarungan, mereka
akan membantai kalian satu-persatu..."
Rancaka dan kawan-kawannya tersentak kaget. Sungguh mereka tak sampai
berpikir kalau perempuan-perempuan kejam itu akan bertindak demikian untuk
melumpuhkan perlawanan Pendekar Naga Putih. Rancaka pun sadar akan keterbatasan
pikirannya.
"Kedua...," Panji melanjutkan setelah Rancaka dan kedua kawannya kembali
memandang ke arahnya. "Perempuan berwajah buruk itu bukan orang sembarangan.
Mungkin aku pun belum tentu mampu mengalahkannya dalam lima puluh jurus. Mungkin
memerlukan seratus jurus atau lebih untuk dapat merobohkannya. Dengan begitu, kecil
kemungkinan bagi kalian masih bisa hidup, kendati aku memenangkan perkelahian. Nah,
kedua alasan itulah yang membuatku menyetujui usul perempuan sakti berwajah cacat
itu...."
"Hhh...," Rancaka menghela napas panjang dengan wajah penuh sesal. Karena
semula disangkanya Pendekar Naga Putih merasa tak tega menghukum perempuan-
perempuan kejam yang memang rata-rata berwajah cantik itu, kecuali pemimpinnya.
"Maafkan kebodohanku, Pendekar Naga Putih! Berhadapan denganmu, kami
merasa seperti anak-anak kecil yang tak tahu persoalan...," tukas Rancaka dengan suara
pelan.
"Tidak perlu meminta maaf, Rancaka! Aku memahami apa yang ada dalam
pikiranmu. Terus terang, aku pun merasa tak tega melukai atau membunuh mereka.
Selain wajah mereka rata-rata cantik, tampaknya mereka menyembunyikan luka di balik
sikap dingin dan kejam. Aku pun belum mengetahui secara jelas tentang sepak terjang
mereka. Jadi, kau tak perlu merasa bersalah kepadaku, Rancaka...," tukas Panji seraya
menepuk perlahan bahu Rancaka.
Rancaka hanya bisa tersenyum dengan kepala tertunduk. Hatinya merasa agak
risih karena Pendekar Naga Putih ternyata dapat menebak jalan pikirannya. Dan sikap
serta ucapan pendekar muda itu semakin mendatangkan rasa hormat dan kagum di
hatinya.
"Hm..., sudah cukup lama kita bercakap-cakap...," desah Panji seraya bergerak
bangkit dari duduknya. Kemudian melemparkan pandang ke arah matahari yang sudah
mulai tergelincir ke barat "Hari sudah semakin sore. Mudah-mudahan lelaki yang terluka
parah itu sudah dapat mengembalikan tenaganya," lanjurnya sambil melangkah mendekati
tempat Gupta berada.
Rancaka dan kedua kawannya bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih.
Mereka pun ingin mengetahui bagaimana hasil pengobatan yang dilakukan pendekar muda
itu. Sebab, melihat dari cara Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan, mereka
menganggap kalau pemuda berjubah putih itu demikian sigap, tak ubahnya seorang ahli.
Apa yang disaksikan Rancaka dan kedua kawannya, benar-benar menimbulkan
rasa kagum. Sebab, lelaki tegap berkumis tipis yang semula terluka parah itu, kini tengah
duduk bersila ditemani kawannya. Perubahan yang begitu cepat itu jelas menandakan
betapa mujarabnya hasil pengobatan yang dilakukan Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih...," sambut Gupta, menyapa Panji sambil tetap bersila.
"Rasanya tubuhku sudah semakin membaik. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu..."
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum dan mengangguk. Melihat lelaki tegap itu
sudah membaik pun merupakan hal yang menyenangkan baginya. Sehingga hatinya
merasa lega. Dan bisa melanjutkan perjalanan tanpa khawatir lagi akan keadaan Gupta.
"Senang sekali melihat kau sudah mulai membaik, Kisanak. Sayang sekali, aku tak
bisa tinggal lebih lama untuk menemani kalian," ujar Panji seraya mengambil buntalan
pakaiannya. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu setelah berpamitan kepada
Gupta, Rancaka dan tiga orang lainnya.
"Pendekar Naga Putih...!" Panji menolehkan wajah ketika mendengar panggilan itu.
Ditatapnya wajah Rancaka. Karena lelaki itulah yang memanggilnya.
"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepadaku, Rancaka...?" tanya Panji ketika
melihat Rancaka ragu-ragu untuk mengatakan apa yang saat itu ada dalam benaknya.
"Bagaimana dengan perempuan-perempuan kejam itu...?" Akhirnya Rancaka
memberanikan diri, setelah melihat senyum di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku akan menyelidiki penyebab kejahatan mereka. Kalau bisa sekaligus
menghentikan perbuatan mereka untuk selamanya...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit
pun. Dan dia tahu jawaban itu telah membuat Rancaka maupun empat orang lainnya
tersenyum puas.
"Semoga kau berhasil, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka yang tak lagi
mencegah langkah Panji. Hanya pandang matanya yang mengiringi kepergian sosok
pendekar muda itu.
Namun, baru saja beberapa tombak Pendekar Naga Putih melangkah, tiba-tiba
tubuhnya berbalik. Kemudian ditatapnya wajah kelima lelaki gagah itu satu-persatu.
"Harap kalian berhati-hati jika berjumpa lagi dengan perempuan-perempuan kejam
itu...!" seru Panji sekadar mengingatkan kalau perempuan-perempuan itu sangat
berbahaya.
"Kami akan mengingatnya...!" sahut Rancaka agak keras. Namun, saat itu sosok
Pendekar Naga Putih sudah berkelebat begitu cepat, lenyap dari pandangan mereka.
"Aku yakin Pendekar Naga Putih akan dapat menghentikan keganasan perempuan-
perempuan kejam itu...," desah Gupta yang menatap lurus ke arah pepohonan tempat
sosok Pendekar Naga Putih lenyap.
***
"Kakang Panji...!"
Sebuah seruan merdu membuat langkah Pendekar Naga Putih tertahan seketika.
Kemudian wajahnya ditolehkan ke tempat datangnya suara panggilan itu. Keningnya
tampak berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berkulit halus tengah berdiri sekitar
sepuluh tombak dari tempatnya. Matanya menangkap sorot kemesraan dan kerinduan
dalam mata bening gadis cantik itu.
"Kakang lupa padaku..?" tegur gadis cantik itu ketika melihat pendekar muda itu
belum juga bersuara.
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis
cantik itu. Karena dia merasa pernah mengenal raut wajah cantik itu, tapi lupa entah
kapan dan di mana. Sementara si gadis cantik sudah melangkah semakin dekat.
"Apakah sang Waktu telah merubah wajahku hingga Kakang tidak mengenali
diriku...?" tanya gadis cantik itu setelah menghentikan langkahnya satu tombak di depan
Pendekar Naga Putih. Mata beningnya tak berkedip memandang wajah pemuda di
hadapannya tanpa rasa malu. Seakan-akan gadis cantik itu pernah mengenal bahkan
akrab dengan Panji. Sehingga pertemuan itu membuatnya tampak sangat bahagia.
"Kau...," Panji tak melanjutkan ucapan itu karena merasa agak ragu untuk
menebak siapa sebenarnya gadis cantik itu
"Ya...," sahut gadis cantik dengan kulit bersinar bagaikan rembulan itu. Seakan-
akan dia memberi kesempatan kepada pemuda berjubah putih itu untuk menebak siapa
dirinya. Kelihatannya gadis cantik itu ingin tahu apa Pendekar Naga Putih masih dapat
mengingatnya.
"Benarkah kau..., Suntini...?" tebak Panji, agak ragu. Dirasakan wajah gadis cantik
itu jauh lebih matang daripada Suntini yang pernah dikenalnya. Meskipun ada beberapa
bagian yang masih dikenalnya, raut wajah itu tampak telah jauh berubah.
"Tidak salah lagi, Kakang!" tukas Suntini terlonjak seperti anak kecil. "Rupanya kau
ingat padaku...!"
Gadis cantik itu langsung memegang kedua tangan Panji erat-erat. Seolah hal itu
merupakan ungkapan perasaan hatinya yang sangat gembira karena perjumpaan itu.
"Aku tak langsung dapat mengenali karena banyak perubahan pada dirimu,
Suntini. Waktu setahun ternyata telah membuatmu tampak semakin matang dan...," Panji
terpaksa menghentikan ucapannya. Karena apa yang akan dikatakan dirasa agak kurang
pantas. Tentu saja menurut pikirannya sendiri.
"Dan apa, Kang? Mengapa tak kau lanjutkan...?" tanya Suntini agak mendesak
dengan sepasang mata berbinar. Sepertinya gadis cantik itu sudah dapat menduga
kelanjutan dari ucapan Panji yang terpotong. Namun ingin mendengarnya dari mulut
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kau hendak ke mana, Suntini...?"
Panji mencoba mengalihkan perhatian gadis cantik itu dengan pertanyaan itu.
Namun, Suntini tak bisa dipancing begitu saja. Gadis itu tetap ingin mendengar kelanjutan
ucapan Panji. Sepasang matanya yang bening dan indah tampak menyiratkan keinginan
itu.
"Aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan ucapan yang tadi...,"
desak gadis cantik itu memonyongkan bibirnya dengan sikap manja. Sementara tangannya
tetap menggenggam kedua lengan Panji erat-erat.
Pendekar Naga Putih terpaksa menyunggingkan senyum. Padahal saat itu dia
tengah memutar otak untuk mencari jawaban yang kira-kira tepat untuk disampaikan
kepada gadis cantik itu. Dan senyumnya semakin lebar karena Panji telah mendapatkan
jawabannya.
"Mengapa kau ingin mengetahui kelanjutan ucapanku yang terpotong tadi,
Suntini...?" tanya Panji tetap tersenyum agar tak menimbulkan kecurigaan di hati gadis
itu.
"Sudah kubilang aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan kalimat
tadi...!" tukas Suntini tetap merajuk
"Baiklah, akan kulanjutkan...," akhirnya Panji mengalah.
"Katakanlah, Kang? Aku ingin mendengarnya...."
"Aku tadi hendak mengatakan bahwa kau semakin matang dan dewasa. Nah, apa
kau puas sekarang...?" ujar Panji tersenyum menatap wajah cantik di depannya.
"Kakang bohong!" sentak Suntini yang langsung melepaskan pegangannya pada
tangan pemuda itu. Kemudian tubuhnya berbalik, seolah hendak menunjukkan kepada
Pendekar Naga Putih kalau hatinya merasa marah dengan jawaban yang tidak benar itu.
"Mengapa kau bisa berkata begitu, Suntini? Apa yang kukatakan itu sama sekali
tidak salah. Kau memang terlihat semakin dewasa dibanding setahun yang lalu," Panji
berusaha meyakinkan Suntini bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran.
"Tidak! Aku tak percaya...!" sentak gadis cantik yang mengaku Suntini tetap
membelakangi Pendekar Naga Putih.
"Menurutmu apa sebenarnya yang hendak kukatakan tadi...?" akhirnya Panji
mengalah dan ingin mengetahui apa yang menjadi dugaan gadis cantik itu.
"Aku tahu, Kakang ingin mengatakan bahwa aku semakin matang dan cantik,
bukan? Mengapa Kakang tak langsung saja mengatakannya? Atau aku memang
bertambah jelek...?" tanya Suntini yang membuat Panji merasa risih. Karena gadis cantik
itu mengetahui kalimat yang sengaja tak diucapkannya tadi.
"Siapa bilang kau jelek, Anak Manis? Hanya orang buta yang akan mengatakan
begitu," ujar Panji seraya menyunggingkan senyumnya.
"Tidak! Aku memang bertambah jelek! Buktinya Kakang tak mau mengatakan aku
cantik," tukas Suntini yang telah membalikkan tubuhnya. Kemudian ditatapnya kedua
bola mata pemuda tampan itu.
"Kalau sudah tahu bahwa dirimu cantik, mengapa harus diributkan lagi? Sudahlah,
lupakan saja persoalan sepele itu! Sekarang ceritakanlah padaku, bagaimana kau bisa
berada di daerah ini? Bukankah tempat tinggal orangtuamu berada di selatan?" tanya
Panji, kembali mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Hhh...!" Suntini menghela napas panjang, seraya melepaskan pandang ke langit
yang mulai teduh. Kakinya melangkah perlahan, kemudian menjatuhkan tubuh di bawah
pepohonan rindang.
Pendekar Naga Putih tidak mendesak. Diikutinya langkah gadis cantik itu.
Kemudian ikut duduk di samping Suntini, yang kelihatan wajahnya agak muram.
Ditatapnya wajah cantik itu dari samping. Dia mulai menduga, bahwa ada sesuatu yang
telah terjadi dengan keluarga gadis itu.
"Ceritanya panjang sekali, Kakang...," desah Suntini menatap ke depan dengan
sinar mata berkabut. Jelas kalau hati gadis cantik itu tengah dilanda kesedihan.
"Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah! Aku siap mendengarnya...," pinta Panji,
tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah Suntini yang kelihatan semakin berduka
itu. Dengan sabar ditunggunya gadis cantik itu melanjutkan ceritanya.
EMPAT
"Kakang tentu masih ingat peristiwa setahun yang silam. Kakang menolong
keluargaku ketika dihadang perampok," ujar Suntini, berusaha mengingatkan Pendekar
Naga Putih saat mereka pertama kali berjumpa. Gadis cantik itu menoleh, seperti hendak
meminta kepastian dari pemuda di sebelahnya.
"Ya, aku ingat...," sahut Panji meyakinkan Suntini.
"Dan Kakang masih ingat juga bukan, kalau perampok-perampok laknat itu telah
membuat ibuku tewas?" tanya Suntini lagi.
"Ya, aku ingat..."
"Nah, setelah peristiwa itu, ayahku pun menyusul sebulan kemudian. Kematian ibu
telah mendatangkan penderitaan dalam batinnya. Dengan kematian mereka, tak ada lagi
tempatku untuk bergantung. Lalu aku teringat dengan Kakang. Dengan berbekal sedikit
ilmu yang kupelajari dari ayah, aku nekat mencari Kakang Panji. Karena hanya Kakanglah
satu-satunya yang bisa kupercaya selain kedua orangtuaku yang telah tiada."
Sampai di situ Suntini menghentikan ceritanya. Sepasang mata beningnya menatap
wajah Pendekar Naga Putih. Terdengar tarikan napasnya mendesah. Sementara pemuda
tampan berjubah putih itu diam tanpa sahutan.
"Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu aku melihat Kakang. Tapi, karena Kakang
selalu melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa,
aku tak berani mengganggu. Padahal aku ingin sekali dapat berbicara berdua dengan
Kakang seperti sekarang ini...," sambung Suntini seraya menatap wajah Pendekar Naga
Putih dengan mata sayu. Seolah gadis itu tengah mengalami suatu tekanan dalam
batinnya.
"Seharusnya kau langsung menemui aku, Suntini. Gadis yang kau maksudkan itu
pasti Kenanga. Tapi, tak ada salahnya kalau kau menemui kami berdua...," ujar Panji
ketika melihat gadis itu terdiam dan menatapnya dengan mata sayu. Ada kecemasan yang
berusaha disembunyikan, karena dia mulai dapat meraba tatapan mata Suntini.
"Siapa gadis jelita yang bernama Kenanga itu, Kakang? Kekasihmu...?" tanya
Suntini dengan nada aneh seperti menyimpan rasa cemburu yang besar. Bahkan pendekar
muda itu menemukan sinar kemarahan dalam sorot mata gadis cantik itu.
"Gadis yang bernama Kenanga itu memang kekasihku, Suntini..," karena tak ingin
sesuatu di dalam hati Suntini kian berkembang, Panji berkata terus terang.
"Sudah kuduga...," desis Suntini dengan suara bergetar, menyiratkan adanya rasa
kecewa dalam hati gadis itu. Bahkan kemudian terdengar helaan napasnya yang berat.
"Bukankah Kakang pernah berjanji akan singgah ke tempat tinggal kami suatu
waktu? Tapi, mengapa Kakang ingkar? Padahal aku yakin Kakang tahu, bagaimana
perasaanku saat itu...?" suara Suntini mirip sebuah desahan menyimpan isak. Rupanya
gadis itu tak pernah melupakan janji yang pernah diucapkan Panji saat setelah menolong
keluarganya.
"Maafkan aku, Suntini. Kalau saja aku mempunyai kesempatan, tentu akan
singgah ke tempat tinggalmu. Maaf, kalau aku telah membuatmu kecewa...," ujar Panji
dengan perasaan yang mulai tak karuan, karena Suntini semakin berani menuntut banyak
darinya. Padahal dia tak ingin menemui gadis itu lagi. Sesungguhnya hatinya tak
memberikan harapan kosong kepada Suntini, yang sejak semula disadari kalau gadis
cantik itu telah terpikat kepadanya. Entah karena kesaktian atau ketampanannya. Namun,
yang jelas Pendekar Naga Putih tahu perasaan gadis itu terhadap dirinya.
"Tapi secara tak langsung Kakang telah memberikan harapan kepadaku? Padahal
Kakang tahu, bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Terus terang, semenjak
berjumpa dengan Kakang, aku telah memutuskan untuk tak menerima lelaki lain, seorang
pangeran sekalipun! Dan janji itu pula yang telah membuatku mengambil keputusan
untuk mencari Kakang. Tapi..., yang kuterima justru kehancuran! Mengapa waktu itu tak
berterus terang kalau Kakang telah punya kekasih?"
Suntini mengungkapkan semua perasaan yang telah lama terpendam dalam
hatinya. Tentu saja pengakuan itu membuat Panji tersentak kaget. Dia sama sekali tak
menyangka kalau gadis itu menaruh harapan sedemikian besar. Bahkan kini berani
mengutarakannya secara terbuka. Jelas di matanya Suntini merupakan seorang gadis
yang keras kepala dan mau menang sendiri. Padahal seharusnya gadis itu tahu kalau
sejak semula Panji telah menolak secara halus.
Pendekar Naga Putih terdiam dengan helaan napas panjang yang berat. Sama sekali
tidak disangka kalau Sutini ternyata seorang gadis yang buta hatinya. Kebaikan dan sikap
halus yang ditunjukkan Panji telah disalahtafsirkan. Bahkan kini berani menuntut secara
terus terang. Tentu saja hal itu membuat hati pendekar muda itu susah, serba salah, dan
bingung. Dia tak ingin menyakiti hati siapa pun. Apalagi seorang gadis seperti Suntini.
"Suntini...," ujar Panji perlahan. "Sebagai seorang wanita, seharusnya kau
mempunyai perasaan yang lebih peka ketimbang lelaki. Dan tak seharusnya kau berjanji
untuk menolak lelaki lain. Semestinya kau memahami perasaan hatiku. Selain itu, aku
percaya, bahwa kelak kau akan mendapatkan pemuda yang jauh lebih baik dariku. Dan,
kalaupun semua sikapku kau anggap suatu kesalahan, biarlah aku meminta maaf
kepadamu! Lupakan aku, dan bukalah hatimu untuk dapat menerima kehadiran pemuda
lain yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati....!"
Ucapan Panji justru membuat air mata gadis itu mengalir turun di pipinya yang
halus. Bibirnya yang merah tampak bergetar. Jelas bahwa sehalus apa pun ucapan yang
dikeluarkan pemuda itu tetap membuat hati Suntini hancur. Sehingga, hati pemuda
tampan itu iba melihat penderitaan gadis di depannya.
"Maafkan aku, Suntini...!" ucap Panji penuh sesal. Kemudian bangkit berdiri dan
menyentuh bahu gadis itu yang mulai terguncang menahan isak.
"Kakang...," Suntini berdesah pilu. Disambarnya kedua tangan Panji. Kemudian
dilekatkannya ke wajah yang basah oleh air mata. Tangis gadis itu pun semakin menjadi-
jadi.
"Suntini..., kau masih muda dan memiliki paras yang cantik. Rasanya tidak sulit
bagi pemuda-pemuda gagah untuk jatuh cinta kepadamu. Bahkan aku yakin mereka akan
rela mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan cintamu," Panji berusaha menghibur dan
menyadarkan Suntini dari kedukaannya. "Kalau saja aku belum memiliki Kenanga, tak
sulit rasanya bagiku membalas cintamu. Namun, aku telah memiliki seorang kekasih dan
aku sangat mencintainya...."
"Tapi, aku rela kau duakan, Kakang! Bagiku asal kau terima perasan hatiku, itu
sudah cukup. Kendati hanya menerima sedikit cinta darimu. Aku tak akan menuntut
terlalu banyak, Kakang. Percayalah!"
Suntini tetap tidak bisa menerima nasihat dan kata-kata hiburan dari Panji.
Bahkan bersikeras mengemis cinta kasih pemuda itu, dengan merelakan dirinya sebagai
kekasih kedua. Pendekar Naga Putih rupanya telah merebut seluruh cinta di hati gadis
cantik itu.
"Aku tidak bisa, Suntini.... Maafkan aku...!" ujar Panji yang semakin iba melihat
betapa gadis cantik seperti Suntini sampai mempermalukan diri sendiri demi mendapatkan
cintanya. Ucapan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, kalau cinta kasih Suntini
ternyata sudah sedemikian dalam. Sampai-sampai rela diduakan.
"Kalau diriku tak cukup pantas menerima cintamu, biarlah aku menjadi budakmu,
Kakang! Asal diperbolehkan ikut ke mana kau pergi, aku sudah merasa bahagia! Apakah
untuk menjadi budakmu pun, aku masih belum pantas...?" desak gadis cantik itu yang
kali ini memeluk kaki Pendekar Naga Putih dengan kuatnya.
Dapat dibayangkan, betapa hebat perasaan cinta di dalam hati Suntini. Sehingga
rela merendahkan dirinya berlutut di depan Panji demi bisa selalu berdekatan dengan
pemuda yang telah membuatnya jatuh ke dalam perangkap asmara itu.
Sikap Suntini itu tentu saja membuat Panji kaget bukan kepalang. Cepat
disambarnya tubuh gadis itu. Dan dipaksanya bangkit berdiri. Namun, apa yang
selanjutnya dilakukan gadis itu, membuat Panji hampir terlompat kaget. Karena begitu
dipaksa bangkit dan berdiri dalam Jarak yang sangat dekat, Suntini langsung saja
menjatuhkan kepala di dada pendekar muda itu. Kemudian menangis terisak di dada
bidang pemuda itu. Sedang kedua tangannya telah melingkar ketat di tubuh Panji.
Karena tak ingin membuat hati gadis itu semakin hancur, akhirnya Pendekar Naga
Putih hanya bisa menghela napas panjang. Dia khawatir kalau tubuh ramping itu
ditelakkan, kendati dengan perlahan, hati Suntini tentu akan semakin sakit. Terpaksalah
pemuda berjubah putih itu membiarkan Suntini menumpahkan air mata di dadanya. Panji
berharap gadis itu akan segera berlapang dada, setelah tangisnya terhenti nanti. Kemudian
menyadari kekeliruannya terhadap sikap baik Pendekar Naga Putih.
"Sudahlah, Suntini, hentikan tangismu! Anggaplah aku kakakmu! Aku tentu akan
suka sekali mempunyai adik secantik dirimu."
Setelah menunggu cukup lama Suntini tak juga melepaskan pelukannya, akhirnya
Panji mengambil keputusan untuk menganggap gadis itu sebagai saudara. Hanya itulah
jalan satu-satunya yang paling baik, menurut pikirannya.
"Tidak, Kakang!" bantah Suntini dengan suara terisak dan masih tetap
menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. "Rasa cintaku tidak bisa berubah! Aku
lebih suka menjadi budakmu ketimbang menjadi adikmu!"
"Celaka...!" gumam Panji dalam hati. Benar-benar tak disangka kalau Suntini tetap
bersikeras memilih menjadi budak ketimbang menjadi adik angkatnya. Sikap gadis itu
benar-benar membuat Panji kehilangan akal. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan
agar gadis itu menyadari kekeliruannya.
"Sudahlah, Suntini! Jangan siksa dirimu dengan mengharapkan sesuatu, yang kau
tahu, tak mungkin bisa aku lakukan. Mari kita bicarakan hal ini baik-baik, dan mencari
jalan keluarnya...!" bujuk Panji karena semakin terdorong rasa iba. Dibelainya rambut
gadis itu dengan penuh perasaan sayang. Tentu saja rasa sayang itu bukan berarti dirinya
membalas dan menerima cinta Suntini. Hatinya memang lebih condong mengasihi gadis
itu sebagai saudara.
Namun perlakuan Panji diartikan lain oleh Suntini. Merasakan belaian lembut
tangan pemuda itu, perlahan wajahnya terangkat dari dada Panji. Kemudian wajahnya
didongakkan, menatap wajah di atasnya. Sehingga ujung hidung gadis itu menyentuh dagu
Panji. Serta merta Panji menarik wajah ke belakang dengan halus.
Entah karena sudah terlarut belaian tangan Pendekar Naga Putih, Suntini
melakukan tindakan yang sangat mengejutkan Panji. Bagai kerasukan setan, mulutnya
menciumi sekujur wajah pemuda yang sangat dicintai itu. Karuan saja pemuda tampan itu
kelabakan. Dengan cepat ditolaknya tubuh gadis itu, hingga pelukan Suntini terlepas dan
terdorong mundur beberapa langkah.
Suntini tersentak kaget merasakan perlakuan Pendekar Naga Putih. Sepasang
matanya terbelalak memancarkan rasa terkejut. Seolah gadis itu sama sekali tak
menyangka kalau Panji akan berbuat seperti itu terhadapnya.
"Kau kejam sekali, Kakang...!" rintih gadis dengan suara parau, menggambarkan
perasaan hatinya yang tercampakkan. "Padahal aku rela menyerahkan segalanya
kepadamu, termasuk hidupku. Tidak sadarkah kalau apa yang baru Kakang lakukan
semakin membuat hatiku hancur...!"
Pendekar Naga Putih mengatupkan rahangnya kuat-kuat ketika melihat kilatan
mata Suntini yang menyiratkan perasaannya. Namun dia mencoba menguatkan hati,
karena kalau dibiarkan berlarut-larut, Suntini akan semakin sakit hati.
"Maaf, kalau perlakuanku kau anggap terlalu kasar, Suntini! Tapi, sadarlah kalau
aku tidak bisa membalas perasaan cintamu. Sampai kapan pun aku tetap tak bisa...,"
tegas Panji yang membuat wajah gadis cantik itu memucat bagaikan tak berdarah. Bahkan
tubuh ramping itu sampai bergetar. Sepertinya penolakan secara tegas itu telah
menimbulkan goncangan batinnya.
Dengan wajah yang masih pucat, Suntini terlihat menarik napas panjang berulang-
ulang. Seakan-akan gadis itu tengah berusaha untuk menahan rasa sakit di dada. Wajah
cantiknya berkerut-kerut. Seolah siksaan dalam batinnya demikian nyeri dan
menyakitkan.
"Kalau keputusanmu memang sudah tak bisa berubah, baiklah, aku terima dengan
hati pasrah, Kakang! Tapi, sebelum kita berpisah, aku mempunyai satu permintaan. Ini
yang terakhir kali aku meminta kepadamu...," ujar Suntini dengan suara bercampur isak
tertahan, hingga terdengar parau.
"Katakan, apa permintaanmu itu, Suntini? Jika aku sanggup, tentu akan
kukabulkan...," sahut Panji sambil menduga-duga apa permintaan yang akan diajukan
gadis cantik itu.
"Tidak sulit apa yang akan kuminta, Kakang. Dan kau pasti bisa memenuhinya...,"
ujar Suntini seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih di hadapannya.
"Katakanlah...!"
"Sekarang aku sadar, bahwa kau memang tak mungkin dapat kumiliki, Kakang.
Tapi, paling tidak aku ingin memilikimu untuk beberapa saat. Dan aku akan
mengenangnya seumur hidup, jika kau mau memenuhinya...."
Sambil berkata begitu, Suntini meraba sabuk yang melilit pinggangnya. Kemudian
melepaskannya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Panji.
Pendekar Naga Putih mulai dapat menduga apa permintaan gadis cantik itu. Wajah
tampannya berubah kemerahan ketika Suntini hendak melepaskan pakaian yang
dikenakan. Karuan saja pemuda itu kaget bukan kepalang. Sungguh tak disangkanya
kalau Suntini akan nekat berlaku seperti itu.
"Lakukanlah, Kakang...! Kalau ini pun masih juga kau tolak, kau benar-benar
menghancurkan seluruh kehidupanku...," desis Suntini yang mulai memperlihatkan tubuh
bagian atasnya.
Tentu saja Pendekar Naga Putih tidak mungkin dapat memenuhi permintaan gila
itu.
"Berhenti...!" bentaknya dengan suara keras menggelegar.
Suntini tersentak kaget.
"Kau gila, Suntini...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat lenyap
meninggalkan tempat itu. Dia tak peduli bagaimana perasaan gadis itu sepeninggalnya.
Pemuda itu benar-benar tak menyangka, kalau perasaan cinta telah membuat Suntini
sampai tersesat sedemikian jauh. Sehingga, akal sehatnya tak lagi dapat membedakan
mana baik dan buruk.
"Ohhh...!"
Melihat betapa tubuh pemuda yang telah merebut seluruh cintanya berkelebat
pergi, Suntini jatuh terduduk. Gadis itu merasa malu sekali, dan menangis sedih seraya
menutup wajah dengan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih telah menolak permintaan
terakhirnya. Padahal semua itu dilakukan Suntini karena perasaan cintanya yang sangat
besar. Tentu saja kepergian pemuda pujaannya, membuat hatinya kian hancur.
***
"Aaakh...!"
Suara teriakan keras terdengar dan kejauhan. Pendekar Naga Putih yang tengah
berlari meningyalkan Suntini, langsung menghentikan gerakannya. Suara jeritan
perempuan itu membuat keningnya berkerut. Dia tahu jeritan itu datang dari belakang.
Tempat Suntini berada.
"Entah pikiran apa lagi yang ada di dalam kepala gadis itu? Mungkin dia hendak
mengecoh dengan teriakannya...?" gumam Panji seraya membalikkan tubuh, dan menatap
lurus ke tempat Suntini ditinggalkan.
Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih tetap tegak dengan tatapan
mata lurus ke depan. Hatinya hendak memastikan apa jeritan itu akan terdengar lagi,
kalau dia belum muncul? Dan...
"Auw...! Tolong...!"
Pendekar Naga Putih terkejut ketika teriakan itu kembali terdengar. Dari suaranya,
Panji menangkap getar ketakuan. Pikirannya melayang, menduga-duga apa kira-kira yang
tengah dialami gadis cantik itu.
"Hm..., sebaiknya kulihat dulu. Siapa tahu Suntini benar-benar tengah menghadapi
kesulitan...."
Panji langsung mengerahkan ilmu lari cepatnya. Seketika itu juga, tubuhnya
melesat cepat, menuju tempat Suntini berada.
Pendekar Naga Putih yang semula berniat hanya untuk mengintai, langsung
membatalkannya. Karena dilihatnya Suntini tengah dikepung sosok-sosok lelaki kasar,
yang tertawa-tawa penuh gejolak nafsu. Kegeraman pendekar muda itu muncul ketika
melihat pakaian yang melekat di tubuh Suntini telah terkoyak-koyak. Tanpa pikir panjang,
tubuhnya melesat untuk menyelamatkan gadis cantik itu.
"Haiiit! Heaaa....!"
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepaskan tiga kali pukulan berturut-
turut. Akibatnya tiga lelaki kasar yang saat itu hendak menerkam tubuh Suntini, jatuh
terjengkang memuntahkan darah segar. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kakang...!"
Melihat munculnya sosok bayangan putih yang langsung merobohkan ketiga lelaki
itu, Suntini tersentak gembira. Kemudian menyeret langkah kakinya sambil menutupi
seluruh bagian tubuh yang terlihat.
"Perampok kurang ajar...! Kalian boleh cicipi kepalanku!" geram Panji kembali
melesat dengan pukulan dan tendangannya.
"Hih!"
Bukkk! Plakkk!
Serangan cepat yang dilancarkan Pendekar Naga Putih mendarat telak di tubuh
empat laki-laki yang tengah berusaha menangkap tubuh Suntini.
"Aaa...!"
"Akh...!"
Teriakan keras terdengar ketika keempat lelaki berwajah kasar itu terhantam
serangan Pendekar Naga Putih. Seketika tubuh mereka berpentalan dan menyemburkan
darah segar dari mulut.
Srat! Srat!
Dua perampok lain yang merasa penasaran, segera melolos pedang sambil
menerjang Panji. Dengan cepat mereka mengayunkan senjata memburu tubuh lawan.
Namun...
"Hihhh...!"
Trak!
Dengan cepat Pendekar Naga Putih menyampok tangan mereka seraya
mengirimkan pukulan keras. Tak ampun lagi kedua lelaki berwajah kasar itu terjungkal
dan mencium tanah.
"Lariii...!" teriak leiaki bermuka codet yang rupanya pimpinan perampok itu. Dan
tanpa berpikir dua kali, kawan-kawannya langsung berlari kabur meninggalkan tempat itu.
Tampaknya mereka menyadari kalau lawan terlalu berat. Tak mungkin mengadakan
perlawanan.
"Kakang...!"
Suntini langsung menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Tubuh
setengah telanjang itu memeluk erat pemuda berwajah tampan itu Panji tak mampu
berbuat apa-apa mendengar tangis gadis itu. Dia memahami kalau Suntini masih dalam
keadaan ketakutan. Hanya dengan membiarkannya menangis dalam pelukan,
kemungkinan besar Suntini bisa tenang kembali.
"Bahayanya sudah lewat, Suntini...," bisik Panji menenangkan hati Suntini seraya
mengelus rambutnya. Rasa ibanya kembali muncul melihat betapa gadis cantik itu harus
mengarungi kehidupan yang ganas seorang diri. Namun, tak ada satu pun yang bisa
dilakukannya untuk membuat gadis itu terbebas dari kehidupan yang memang diwarnai
kekerasan itu.
LIMA
Suntini masih terisak dalam pelukan Panji. Hal itu cukup lama berlangsung,
sampai akhirnya Panji mendorong perlahan tubuh gadis cantik itu. Sebab, kendati bahu
Suntini masih terguncang sesekali, dia merasakan betapa debaran jantung gadis cantik itu
sudah pulih seperti biasa.
"Siapa mereka, Kakang? Mengapa mereka kelihatan demikian buas...?" tanya
Suntini menatap wajah Panji yang begitu dekat dengan wajahnya. Sehingga, sepasang
mata bening yang masih basah itu menjelajah sekujur wajah tampan di depannya.
"Hhh..., orang-orang kasar yang biasa mengganggu orang dengan kekerasan.
Mungkin mereka hanya kebetulan lewat di tempat ini. Dan ketika melihat gadis cantik
seperti dirimu berada seorang diri di tempat ini, mereka tentu saja tidak akan
membiarkan...," sahut Panji yang berusaha bersikap wajar, meskipun tahu kalau Suntini
kembali tergoda gejolak cintanya. Hal itu bisa dirasakan dari tatapan mata gadis cantik itu
yang berbicara banyak meski tanpa kata.
"Kakang Panji, mengapa, tak kau biarkan saja aku hancur di tangan mereka?
Untuk apa aku hidup dengan hati yang remuk-redam seperti ini? Rasanya aku lebih baik
mati daripada hidup tanpa dirimu, Kakang...," ucap Suntini seraya mendekatkah wajah
dan menatap wajah Panji dengan sinar mata redup. Bibirnya yang merah basah tampak
setengah terbuka, memberikan tantangan.
Wajah cantik dengan sepasang mata sayu menghiba dan bibir merah menantang
itu nyaris menyeret hati Pendekar Naga Putih. Namun, bayangan gadis jelita berpakaian
hijau yang melintas di benaknya, membuat pendekar muda itu menarik wajahnya.
Bayangan wajah Kenanga yang melintas sekilas, membuat Panji tersadar. Biar dengan
alasan apa pun, dia tidak mungkin akan mengkhianati cinta Kenanga.
"Maafkan aku, Suntini...!" desah Panji dengan suara perlahan. Karena dilihatnya
kilatan marah dalam pancaran mata gadis cantik itu. Panji bergegas bangkit berdiri.
"Kau benar-benar tak sudi menerima cintaku, Kakang...?" tanya Suntini dengan
suara bergetar. Sorot matanya menampakkan perasaan sakit dalam hati gadis cantik itu.
Beberapa kali dia memohon kesediaan Pendekar Naga Putih menerima cintanya, tapi
pemuda itu tetap tak berubah dengan keputusan semula.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas panjang. Hatinya dapat
merasakan apa yang bergejolak dalam hari Suntini saat itu.
"Tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pedesaan. Aku tidak bisa menemanimu
lebih lama lagi, Suntini. Sekali lagi, harap kau maafkan aku...," ujar Panji dengan nada
penuh sesal. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya langsung berkelebat lenyap
dari hadapan Suntini.
"Kakang...!" Suntini hanya bisa mengeluh dengan air mata yang kembali mengalir
menuruni pipinya yang halus.
***
"Hm..., adanya peristiwa penculikan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan,
akan membuat perjalananku tertunda. Mudah-mudahan Kenanga bisa mengerti akan
keterlambatanku...!" gumam Panji yang saat itu tengah menyusuri jalanan berbatu kecil.
Pendekar Naga Putih tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Dengan
adanya peristiwa penculikan aneh itu, telah membuatnya merasa berkewajiban untuk
menyelidiki dan mengatasi. Namun, karena pamannya Kenanga yang menjadi perwira di
Kadipaten Tumapel, meminta mereka datang secepatnya, akhirnya Pendekar Naga Putih
meminta pengertian Kenanga. Disuruhnya gadis itu melanjutkan perjalanan. Sementara
dia ingin menyelidiki kejadian itu, dan berjanji akan segera menyusul Kenanga.
Namun siapa kira kalau setelah peristiwa yang satu tuntas, muncul lagi peristiwa
lain. Karena Pendekar Naga Putih merasa wajib untuk menghentikan penculikan dan
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan itu.
Kepasrahan sikap Suntini yang nyaris menyeretnya, membuat Pendekar Naga Putih
tiba-tiba dilanda kerinduan terhadap kekasihnya. Bayangan kemesraan yang ditawarkan
Suntini, memang sempat membuat benteng pertahanannya runtuh, karena didorong rasa
iba terhadap gadis itu. Untunglah pada saat-saat terakhir, bayangan Kenanga melintas di
benaknya. Sehingga, terlepas dari cengkeraman dewi asmara yang nyaris membuat dirinya
terlena.
Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas penuh sesal, ketika teringat
Suntini. Apalagi gadis itu kini hidup sebatang kara. Panji pun sadar, betapa berat
perjalanan hidup yang harus dilalui gadis cantik itu. Karena sebelumnya Suntini
merupakan putri seorang hartawan. Tentu saja kehidupan yang kali ini harus dijalani
seorang diri, akan semakin terasa sangat berat baginya. Mengingat semua itulah, timbul
perasaan kasihan dalam hati pemuda itu. Sama sekali tak disangka kalau justru perasaan
itu pula yang nyaris membuatnya berkhianat terhadap Kenanga. Namun sekarang dia
boleh merasa lega karena semua itu tak sampai terjadi. Disadari kalau Suntini menjadi
semakin sakit hati terhadapnya.
"Hhh...," Panji kembali menghela napas mengingat Suntini. Dia hanya bisa berdoa
agar Suntini mendapatkan seorang pelindung yang lebih baik. Selain itu, tak ada lagi yang
bisa dilakukannya.
Namun, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menahan langkahnya. Seketika lamunannya
buyar. Sesuatu yang mengusik pendengarannya, membuat kepala pemuda itu
menengadah dengan kening berkerut. Seakan-akan hendak memastikan suara itu.
"Hm..., mungkinkah yang kudengar barusan suara binatang buas...?" gumam Panji
dengan kening berkerut. Telah dikerahkan ilmu pendengarannya, tapi tak ada sesuatu pun
yang tertangkap. Pendekar Naga Putih mulai meragukan apa yang barusan mengusik
telinganya.
Setelah agak lama berpikir, akhirnya Panji memutuskan untuk segera melanjutkan
perjalanan. Namun, ketika kakinya baru maju selangkah, tiba-tiba....
"Aaa...!"
Lengkingan panjang mirip jerit kematian, membuat Pendekar Naga Putih tersentak.
Meskipun suara itu masih agak samar terdengar telinga, hatinya dapat memastikan kalau
pemilik jeritan itu tengah menghadapi kematian. Atau paling tidak tengah berhadapan
dengan sesuatu yang mengerikan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, aku harus mencari sumber jeritan itu..,"
gumam Panji, mengambil keputusan. Kemudian langsung melesat ke hutan kecil di
sebelah kiri jalan yang dilaluinya.
Ketika Pendekar Naga Putih tengah bingung karena belum tahu pasti tempat asal
jeritan, tiba-tiba terdengar lagi suara itu. Kali ini terdengar lebih jelas dan keras.
Langkahnya segera dipercepat.
Namun sayang, kedatangan Pendekar Naga Putih terlambat! Dari jarak sekitar dua
puluh tombak di depannya, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat pergi. Kemudian
di dekat tempat itu tampak empat sosok tubuh tergeletak di atas rerumputan. Tanpa
buang-buang waktu segera kedua kakinya dihentakkan dan melesat menuju tempat itu.
Bagaikan seekor burung besar, tubuh Pendekar Naga Putih melayang di udara.
Setelah bersalto beberapa kali tubuhnya melucur ke bawah. Tak terdengar suara sedikit
pun saat kedua telapak kakinya menjejak permukaan tanah berumput.
Panji yang semula berniat untuk memeriksa empat sosok tubuh di atas tanah itu,
membatalkan niatnya. Karena dilihatnya ada darah segar berceceran di atas rerumputan.
Juga pada tubuh keempat orang yang tak dikenalnya itu.
"Hhh.... Lengkingan kematian tadi berasal dari keempat lelaki malang ini...,"
gumam Panji, setelah melihat empat sosok tubuh terkapar berlumuran darah itu sudah
tak bernyawa. Sehingga dia tak sempat mengorek keterangan, apa sebenarnya yang
menyebabkan mereka terbunuh.
Setelah berpikir sejenak, Pendekar Naga Pulih segera melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Pikirannya menyimpulkan, kematian keempat lelaki itu pasti ada hubungannya
dengan sosok bayangan yang tadi dilihatnya berkelebat dari tempat itu. Maka pemuda itu
memutuskan untuk segera mengejarnya.
Tubuh Pendekar Naga Putih terus melesat dengan ilmu meringankan tubuhnya
yang telah sempurna. Dalam sekejap saja sosok bayangan putih itu telah berada jauh dari
tempat terbunuhnya keempat lelaki tadi. Sejauh itu belum juga ditemukan adanya jejak
sosok bayangan yang dicurigainya itu.
"Hm..., pembunuh itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Kalau tidak,
mana mungkin bisa menghilang begitu cepat. Hhh.... Siapa manusia keji itu? Mungkinkah
dia salah seorang dari perempuan-perempuan cantik yang kutemukan beberapa hari lalu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Pendekar Naga Putih dalam keadaan
tetap berlari. Sampai akhirnya larinya dihentikan karena sampai di dekat sebuah
pedesaan. Dia mengetahui hal itu ketika melihat tak jauh di depan ada seorang lelaki
pencari kayu.
Melihat pencari kayu itu, timbul keinginan Panji untuk bertanya. Bergegas
dihampirinya lelaki bertelanjang dada itu.
"Maaf, Kisanak! Aku ingin bertanya sedikit...," sapa Panji setelah menjajari langkah
pencari kayu bakar itu.
"Eh, silakan...," sambut lelaki separo baya yang kulit wajahnya agak kehitaman.
Sepasang matanya agak menyipit meneliti sosok pemuda tampan di sampingnya.
Wajahnya agak tertegun sesaat ketika membentur mata pemuda berjubah putih itu. Segera
wajahnya dipalingkan, karena merasa ada suatu perbawa kuat dalam sorot mata pemuda
tampan itu.
"Mmm..., apakah Kisanak melihat ada orang yang barusan berlari melewati jalan
ini...?" tanya Panji dengan sikap ramah. Karena sempat dilihatnya dari sorot mata lelaki
setengah baya itu perasaan curiga.
"Saya tak melihat, Tuan...," jawab lelaki separuh baya itu dengan jujur. Kemudian
menatap Panji sesaat, seperti menunggu kalau-kalau pemuda itu melontarkan pertanyaan
lain.
"Terima kasih, Kisanak! Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu...!" ucap Panji
yang tidak ingin mengganggu orang tua itu lebih lama lagi. Dan dia percaya dengan
jawaban orang tua itu.
Pendekar Naga Putih masih tetap berdiri sambil mengawasi sekitarnya. Sedangkan
pencari kayu bakar itu sudah melanjutkan perjalanannya. Panji sempat menghela napas
ketika melihat pencari kayu bakar itu sesekali menoleh ke arahnya. Orang tua itu
sepertinya belum yakin betul kalau Panji tak akan mengikuti langkahnya.
"Mungkin dia mengira aku orang jahat yang pura-pura bertanya kepadanya...,"
gumam Panji seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan pencari kayu bakar yang melangkah
tergesa meninggalkan tempat itu. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu sudah melesat
bagaikan terbang. Gagal menemukan sosok bayangan yang dicari, dia berniat kembali ke
tempat kejadian.
Keadaan empat sosok mayat itu belum berubah. Begitu tiba di tempat itu, Panji
segera memeriksa satu persatu. Maksudnya hendak mencari tahu kalau-kalau mengenal
ilmu pukulan yang menewaskan keempat orang itu. Namun, lagi-lagi Panji harus menelan
kekecewaan. Karena keempat mayat itu terbunuh oleh tusukan pedang. Sehingga, sulit
diduga siapa pelaku pembunuhan itu.
Akhirnya Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memakamkan mayat-mayat itu.
Sementara itu, dugaannya mulai mengarah pada perempuan-perempuan cantik yang
pernah bentrok dengannya. Karena, dari salah seorang lelaki yang pernah
diselamatkannya, tercetus keterangan bahwa perempuan-perempuan berwajah dingin itu
merupakan kelompok penculik dan pembunuh. Sehingga tuduhan lebih kuat jatuh kepada
mereka.
Selesai menguburkan keempat mayat itu, Pendekar Naga Putih melesat pergi.
Kecepatan gerakannya membuat tubuh pemuda itu tampak seperti tak menapak di atas
tanah. Dalam sekejap dia telah sampai di perbatasan sebuah desa. Jalan yang dilaluinya
memang tampak sepi. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mempercepat larinya.
Pendekar berjubah putih itu baru berhenti ketika memasuki mulut desa.
"Desa Lengser...," gumam Panji membaca huruf-huruf yang tertera pada tugu di
sebelah kanan jalan yang dilaluinya. Kemudian baru melangkah memasuki mulut desa itu.
Matahari sudah bergeser jauh ke barat saat Panji melintas di jalan utama desa.
Langkahnya menuju sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu. Kedai kecil
itu tampak tidak begitu ramai.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Baru saja langkahnya sampai di depan kedai, terdengar seruan kaget sekaligus
gembira. Pendekar Naga Putih yang semula agak kaget mendengar orang menyebut
julukannya, tersenyum lebar ketika menoleh tempat asal suara. Terlihat salah satu dari
beberapa orang lelaki yang duduk mengelilingi sebuah meja, bergerak bangkit menyambut
kedatangannya.
"Gupta...?!" seru Pendekar Naga Putih, menyebut nama lelaki gagah berkumis tipis
yang melangkah lebar menyambutnya dengan penuh kegembiraan.
Lelaki gagah berkumis tipis itu ternyata Gupta, salah seorang tokoh persilatan yang
pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari kematian. Gupta tampaknya sama sekali
tak menyangka akan berjumpa lagi dengan Pendekar Naga Putih. Seorang pendekar besar
yang namanya telah tersohor. Tampak di wajahnya rasa gembira begitu melihat dan
mengenali pemuda tampan berjubah putih yang datang ke kedai itu.
"Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu, Pendekar Naga Putih!" ucap Gupta
menyatakan kegembiraannya seraya menyalami pemuda itu. "Marilah bergabung dengan
kami..!"
"Terima kasih...!" sahut Pendekar Naga Putih yang juga gembira dapat bertemu
Gupta di Desa Lengser itu. Tanpa ragu lagi, kakinya mengikuti langkah Gupta.
Enam orang lelaki yang rata-rata bertubuh tegap, serentak bangkit berdiri. Bahkan
delapan orang di meja sebelah kanan pun ikut menyambut kedatangan pendekar muda
itu. Sorot mata mereka memancarkan kekaguman terhadap sosok pendekar muda yang
namanya sangat tersohor di rimba persilatan.
Empat belas orang lelaki itu tampak saling berebutan menyalami Pendekar Naga
Putih, yang tampak tersenyum penuh persahabatan. Hatinya pun gembira melihat sikap
para lelaki gagah yang bersikap tulus dan bukan hanya sekadar basa-basi. Baru kemudian
dia duduk di bangku yang telah disediakan Gupta.
Gupta langsung memanggil pelayan kedai. Kemudian memesan hidangan untuk
Panji. Lelaki itu tak mampu menyembunyikan kegembiraan hatinya. Wajahnya tampak
cerah dan penuh senyum. Seolah menganggap Pendekar Naga Putih sebagai seorang tokoh
yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya.
"Hm..., kelihatannya kesehatanmu sudah pulih benar, Gupta...," ujar Pendekar
Naga Putih seraya menatap lelaki gagah berkumis tipis itu untuk beberapa saat.
"Semua ini berkat pertolonganmu Pendekar Naga Putih. Kabar yang selalu
kudengar tentang namamu tampaknya, tak berlebihan. Selain terkenal ilmu kedigdayaan,
kiranya kau memang seorang ahli pengobatan yang sukar dicari bandingannya. Beruntung
sekali aku mendapatkan pertolonganmu saat itu. Kalau tidak, mungkin hari ini aku masih
terbaring di tempat tidur sembari merintih-rintih kesakitan. He he he...!" Gupta mengakhiri
ucapannya dengan tawa panjang, yang juga disambut kawan-kawannya.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan Gupta. Kemudian matanya menatapi
empat belas wajah tokoh-tokoh persilatan yang tadi menyambut kedatangannya.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku, Pendekar Naga Putih. Dan kami telah
bertekad untuk memberantas para perempuan keparat itu. Perjalanan kami terpaksa
tertahan di Desa Lengser ini, karena ada berita yang tak kalah mengejutkan dengan
perbuatan iblis-iblis itu...," jelas Gupta tanpa diminta.
"Hm… Apa yang telah terjadi di desa ini, Gupta...?* tanya Panji dengan kening
berkerut. Tampak dia sangat tertarik untuk mengetahui berita yang dimaksud Gupta.
"Wah..., lagi-lagi kau ketinggalan berita, Pendekar Naga Putih," tukas Gupta tertawa
perlahan. "Yang kami dengar, belakangan ini telah terjadi penculikan terhadap wanita-
wanita muda. Dan, baru semalam Desa Lengser dijarah penculik-penculik itu. Kami telah
mendapatkan keterangan langsung dari Ki Lengser, kepala desa ini."
"Ki Lengser...?" desis Panji agak heran mendengar nama penguasa yang sama
dengan desanya.
"Benar. Namanya sendiri sudah dilupakan orang. Menurut sebagian penduduk,
lelaki tua yang bijaksana itu sudah tiga puluh tahun menjadi kepala desa. Di bawah
pimpinannya, desa yang semula kecil ini berkembang pesat dan cukup makmur. Sehingga,
penduduk memberikan nama Lengser untuk desa ini. Barangkali hal itu sebagai ungkapan
rasa terima kasih mereka. Dengan demikian, para warga tak akan pernah melupakan
kepala desa mereka, meskipun telah wafat nanti...," Gupta memberi penjelasan kepada
Pendekar Naga Putih, sehubungan dengan nama kepala desa itu.
"Hm...," Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam dia merasa kagum
terhadap Gupta. Padahal lelaki gagah berkumis tipis itu baru setengah hari berada di Desa
Lengser. Namun telah demikian banyak keterangan yang didapatnya. Itu yang membuat
Pendekar Naga Putih kagum terhadap Gupta.
"Jadi, kau telah berbicara banyak dengan Ki Lengser...?" tanya Panji kemudian.
"Benar. Itu sebabnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Kami khawatir
kalau para penculik itu akan datang lagi," sahut Gupta dengan mata berapi-api. Tampak
Gupta sangat geram terhadap para pelaku penculikan itu.
"Hm..., jadi selain harus memberantas para perempuan keji itu, kita pun harus
menghadapi pelaku penculikan itu,.?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah Gupta.
"Yah, begitulah...," sahut Gupta cepat.
Pendekar Naga Putih terdiam. Pandangannya dilemparkan ke luar kedai melalui
jendela yang terbuka lebar. Suasana hening seketika. Semua terdiam mengikuti jalan
pikiran masing-masing.
ENAM
Perempuan muda itu berlari tersaruk-saruk. Langkahnya yang tidak tetap,
menandakan bahwa kaki-kaki mungil itu telah kelelahan karena berlari terlalu jauh.
Sehingga, ketika kaki kanannya terantuk batu kecil, tubuh ramping itu terhuyung
limbung. Akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah.
Blukkk!
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan kecil dari mulutnya. Perempuan muda itu tak berusaha bangkit.
Wajahnya yang kotor tampak meringis-ringis menahan sakit. Air matanya meleleh di pipi,
sepertinya ada kesedihan yang melanda hatinya.
"Ya, Tuhan...! Kenapa tak kau cabut saja nyawaku! Aku tak sanggup menanggung
beban derita ini..," rintihan pilu yang menggambarkan penderitaan, terucap dari mulut
perempuan muda itu. Kedua tangannya memukul tanah berkali-kali. Wajahnya
menelungkup tanpa peduli tanah berdebu di jalanan itu. Entah penderitaan apa yang
membuat gadis itu demikian sedih dan putus asa.
Setelah puas menumpahkan tangis dan kegundahannya, gadis itu pun bangkit
dengan perlahan. Sepasang matanya tampak sangat sayu tanpa gairah untuk hidup.
Kakinya yang lemah itu kembali melangkah gontai tanpa semangat.
Di tepi sebuah sungai yang menjorok, langkah gadis muda itu terhenti. Wajahnya
yang basah air mata itu menengadah, menatap langit. Kemudian menatap arus air sungai
yang bergemuruh di bawahnya.
"Tidak ada gunanya lagi aku hidup...! Biarlah derita ini kubawa ke alam
keabadian..!" desis gadis itu dengan wajah pucat dan tatapan kosong.
Lama gadis berwajah cantik itu menatap sungai berarus deras di bawahnya, batu-
batu besar yang menyembul di atas permukaan air, seakan telah siap menyambut tubuh
ramping itu. Namun, gadis itu kelihatannya tak merasa gentar. Dia telah mengambil
keputusan bulat untuk mengakhiri penderitaan di tempat itu.
"Ayah...! Ibu...!" desahnya dengan air mata bercucuran. "Ampunilah anakmu...!"
Usai berkata demikian, matanya dipejamkan rapat-rapat. Seakan-akan dirinya
telah siap untuk melompat ke bawah, tempat batu-batu besar itu siap menyambut
tubuhnya.
"Jangan lakukan perbuatan bodoh itu, Adik Manis...!"
Tiba-tiba terdengar suara teguran halus. Belum juga gadis itu menoleh, tubuhnya
tertarik ke belakang. Sepasang tangan halus terasa menyentaknya dengan kuat. Sehingga
tubuh gadis itu terhempas ke atas rerumputan.
"Akh...!"
Gadis muda berwajah manis itu menjerit kecil. Sepasang matanya tampak
menyiratkan keterkejutan dan marah. Sebelum bangkit, kepalanya didongakkan menatap
sosok yang telah berani mencegah perbuatannya.
Kilat kemarahan di mata gadis itu seketika berubah keheranan. Karena dilihatnya
ada dua orang wanita cantik berpakaian merah muda tengah berdiri tegak di sampingnya.
Wajah kedua wanita itu tampak sangat ramah dan terhias senyum manis.
"Siapa kalian...? Mengapa menghalangiku...?" tanya gadis manis itu dengan mata
menatap keduanya. Setelah itu dia bangkit tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah
kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Kau tidak perlu takut kepada kami, Adik Manis! Kami berdua justru hendak
menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuatmu berduka hati, lalu hendak bunuh diri
seperti itu? Kami siap membantumu...."
Salah seorang dari wanita muda berwajah cantik itu menyahuti. Suaranya
terdengar lembut. Seolah dia benar-benar hendak menolong dengan hati yang tulus.
"Kalian hendak menolongku? Mengapa...? Untuk apa kalian tahu tentang
penderitaanku...?" tukas gadis itu dengan nada melecehkan. Seakan-akan hatinya tak
percaya ada orang yang peduli dengan penderitaannya. Lebih-lebih kedua orang itu wanita,
seperti dirinya.
"Kami berdua merasa iba melihat kesedihanmu. Dan untuk menolongmu, tentu
saja kami harus mengetahui penyebab penderitaanmu itu," sahut perempuan berpakaian
merah muda yang memiliki tahi lalat di tepi bibir kanannya. Sedang perempuan yang satu
lagi hanya diam mendengarkan.
"Bagaimana kalian dapat menolongku?" tanya gadis itu masih tidak percaya.
Kemudian ditatapnya kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik.
"Apakah kalian peri sungai ini?"
Mendengar pertanyaan itu, perempuan cantik yang bertahi lalat tertawa perlahan.
Sedangkan perempuan yang lain menahan senyum. Pertanyaan itu mereka anggap lucu.
"Dengarlah, Adik Manis," ujar perempuan cantik bertahi lalat yang ternyata
Ningrum. "Hhh..., kami bukan peri sungai ini, tapi percayalah, kami dapat menolongmu!
Katakan apa yang harus kami lakukan untuk melenyapkan penderitaanmu?"
"Hm..., apa yang dapat dilakukan perempuan-perempuan cantik dan lemah seperti
kalian...?" tanya gadis muda itu dengan senyum tipis di mulutnya. Tampaknya dia belum
percaya kemampuan kedua perempuan cantik di hadapannya.
"Banyak yang bisa kami lakukan," sahut Ningrum tersenyum. "Contohnya ini...!"
Setelah berkata demikian, Ningrum mengayunkan lengannya. Dan....
Whuuut! Crab...!
Seketika beberapa batang pohon pisang yang berada sekitar tiga tombak dari
mereka bertumbangan laksana tertebas pedang.
"Akh...?!"
Gadis desa yang berwajah manis itu terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak
percaya menyaksikan kejadian itu. Betapa tidak! Tangan halus lembut perempuan
berpakaian merah muda itu ternyata mampu menebas beberapa batang pohon dalam
sekali gerakan cepat.
"Bagaimana? Apa kau masih belum percaya kalau kami dapat menolongmu...?"
tanya Ningrum seraya tersenyum sinis.
"Tapi..., dengan apa nanti aku harus membalas pertolongan yang kalian berikan...,"
tanya gadis desa itu bimbang. Hatinya sudah percaya penuh, kalau kedua perempuan itu
dapat menolongnya. Hanya dia masih meragukan balasan atas jasaa perempuan-
perempuan cantik itu kelak.
"Hi hi hi...!" Ningrum tertawa perlahan, membuat gadis manis itu heran. "Kenapa
harus membalas, Adik Manis? Hm.... Jika segalanya telah selesai, ikutlah bergabung
dengan kami..!"
"Bergabung...?" tanya gadis desa itu agak heran.
"Benar, Adik Manis. Dan aku yakin kau pasti akan senang. Karena di tempat
tinggal kami, kau akan mempunyai banyak teman. Mereka perempuan-perempuan seusia
kita. Selain itu pada mulanya mereka mempunyai penderitaan sama seperti dirimu.
Bagaimana? Bersedia...?" tanya perempuan cantik, kawan Ningrum.
"Mereka semuanya perempuan...?" tanya gadis desa itu menegasi. Karena seakan
belum percaya kalau di dunia ini begitu banyak wanita yang menderita dan berkumpul di
suatu tempat.
"Benar. Apa yang dikatakan Wilasih benar...," sahut Ningrum menimpali ucapan
kawannya yang ternyata bernama Wilasih.
"Dan tempat tinggal kami berada di sebuah lembah yang bernama Lembah Hitam,"
Wilasih kembali menyahut sebelum gadis desa itu menanyakannya. "Tapi jangan
kau salah mengartikan Lembah Hitam yang kami maksud, bukanlah tempat perempuan-
perempuan kotor."
"Pada mulanya kami pun merupakan perempuan-perempuan lemah yang
menderita. Namun, setelah sekian tahun dididik tetua kami, hasilnya seperti yang kau
saksikan tadi. Padahal itu belum seberapa. Masih banyak yang dapat kami perbuat selain
mematahkan batang pohon itu," jelas Ningrum menambahkan.
Mendengar penjelasan kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu, gadis
desa itu jadi tertarik.
"Eh, apakah kalian berdua juga disakiti laki-laki...?" tanya gadis desa itu seraya
menatap wajah Ningrum dan Wilasih yang juga menatapnya.
"Benar," sahut Ningrum cepat "Dan pertanyaanmu itu secara tak sengaja telah
menjawab pertanyaan kami tadi. Sekarang ceritakanlah! Bagaimana sampai kau bisa
disakiti laki-laki...?"
"Mulanya aku tidak menyangka kalau Sidanta akan sejahat itu. Kebusukan hatinya
baru kuketahui setelah dia mengambil dan menikmati tubuhku. Padahal aku begitu
mencintainya. Tapi, setelah kesucianku dilahapnya dengan rakus, tahu-tahu dia akan
menikah dengan seorang putri juragan kaya di desa lain.... Aku hanya bisa menangis
ketika mendengar berita itu. Diriku dicampakkan begitu saja bagai seonggok sampah!"
jelas gadis desa yang malang itu membeberkan penyebab penderitaannya. Air matanya
kembali mengalir ketika teringat pengkhianatan kekasihnya.
"Hm.... Sungguh malang nasibmu. Adik Manis! Sekarang, katakan di mana pemuda
keparat bernama Sidanta itu tinggal? Kami akan menyeretnya ke hadapanmu! Setelah
puas menyiksanya, baru kita membunuhnya..!" tukas Ningrum dengan mata berapi-api.
Tampak sinar dendam dalam tatapan matanya yang tajam. Wanita cantik itu berubah
dingin dan seakan menebarkan hawa maut.
"Sidanta tinggal satu desa denganku. Dia anak seorang juragan kaya yang banyak
mempunyai tukang pukul. Mereka bengis-bengis dan memiliki kepandaian silat..," jawab
gadis desa itu menerangkan dengan suara takut-takut. Seakan hatinya merasa gentar
ketika melihat wajah kedua perempuan cantik itu berubah bengis dan menyeramkan.
"Hm..., kau tunggulah di sini! Kami akan segera menyeret pemuda keparat itu ke
tempat ini..," ujar Ningrum yang segera memberikan isyarat kepada Wilasih untuk segera
pergi.
"Tapi, bagaimana denganku? Aku takut ditinggal sendiri di tempat ini..?" ujar gadis
desa itu sembari mengawasi sekelilingnya yang sepi.
Semula Ningrum dan Wilasih agak kebingungan. Namun wajah mereka berubah
ketika melihat adanya sesosok bayangan merah tengah bergerak menuju tempat itu.
"Jangan khawatir! Kau akan ditemani kawan kami. Itu dia datang!" ujar Ningrum
sambil menunjuk sosok bayangan itu.
Tidak lama kemudian, sosok bayangan merah muda itu tiba. Kelihatannya
perempuan itu sama sekali tak merasa heran menemukan adanya seorang gadis desa
berwajah manis.
"Jagalah gadis ini! Kami berdua melakukan 'tugas'," ujar Ningrum setengah
memerintah.
"Baik," sahut perempuan cantik yang baru tiba itu. Seakan dia telah mengerti apa
yang dimaksud 'tugas' oleh Ningrum. Sehingga tidak banyak bertanya lagi.
Setelah berpesan, Ningrum mengajak Wilasih segera meninggalkan tempat itu.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat yang tinggi, kedua perempuan cantik itu melesat.
Sebentar saja yang tampak hanya dua soosk bayangan kemerahan di kejauhan.
***
Desa Tiram tampak tidak begitu ramai ketika Ningrum dan Wilasih melintas di
jalan utama yang membelah desa itu. Beberapa penduduk yang sempat berpapasan
dengan mereka menggeleng-geleng kagum. Hal itu tak aneh. Kedua perempuan itu
memang cantik. Apalagi pakaian merah muda yang dikenakan, membuat kulit lengan dan
wajah mereka tampak semakin putih. Sehingga, sosok kedua perempuan itu cukup
menarik perhatian kaum lelaki.
Ningrum dan Wilasih sama sekali tidak peduli. Mereka terus melangkah dengan
tatapan lurus ke depan. Wajah-wajah dingin tanpa senyum itu membuat orang merasa
segan untuk menegur. Sehingga, keduanya tak mendapat hambatan untuk segera sampai
di tempat tujuan.
Di depan sebuah rumah besar yang dijaga dua orang tukang pukul, mereka
berhenti. Tentu saja kedatangan dua perempuan cantik itu membuat mata penjaga itu
melotot. Keduanya tersenyum nakal menggoda.
"Benarkah ini tempat tinggal Sidanta...?" tanya Ningrum tanpa basa-basi. Suaranya
angkuh dengan wajah dingin tanpa senyum.
"Hm.... Untung kau seorang perempuan cantik. Kalau tidak, salah mengucap
seperti itu sudah cukup sebagai alasan bagi kami untuk menghukummu, Nisanak...!"
sahut salah seorang dari tukang pukul itu memasang wajah angker kepada Ningrum dan
Wilasih.
"Hm..., rupanya kalian berdua tuli! Aku bertanya, apakah si keparat Sidanta tinggal
di rumah ini?" tanya Ningrum, sama sekali tak menggubris ancaman tukang pukul itu.
Bahkan ditambahkan kata-kata makian bagi Sidanta, yang seharusnya disebut sebagai
tuan muda.
"Heh! Kau malah semakin kurang ajar, Nisanak! Di sini yang ada Tuan Muda
Sidanta, tahu! Hati-hati kalau bicara, Nisanak!" sahut tukang pukul yang berkumis tebal
melintang. Kelihatannya lelaki gagah itu sengaja memelihara kumis agar penampilannya
lebih menakutkan. Namun semua itu sama sekali tak membuat Ningrum gentar.
"Jadi benar rumah ini tempat kediaman pemuda keparat yang bernama Sidanta?!"
Tanpa mempedulikan wajah garang kedua tukang pukul itu, Ningrum langsung
bergerak masuk diikuti Wilasih. Tentu saja kedua penjaga itu kaget melihat tindakan
mereka.
"Hei, mau ke mana kalian? Berhenti...!" bentak tukang pukul berkumis tebal itu,
sambil berlari menghadang di jalan masuk. Wajahnya yang garang menatap penuh
ancaman kepada kedua perempuan cantik itu.
"Minggirlah, Manusia Tak Berguna...!" bentak Ningrum sambil menghentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Serangkum angin keras bertiup, menandakan bahwa
dorongan telapak tangan halus itu dialiri tenaga dalam yang kuat.
"Heh...?!"
Tukang pukul berkumis tebal melintang itu tersentak kaget. Namun lelaki bertubuh
kekar itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Bahkan sengaja jemari tangannya
dijulurkan dengan senyum kurang ajar. Sepertinya dia sudah membayangkan betapa
halusnya kulit lengan perempuan cantik itu. Tapi....
"Huhhh...!"
Trak!
Ningrum mendengus sengit sambil memutar tangannya dengan kecepatan
mengagumkan. Secepat kilat pergelangan tangan tukang pukul itu telah tercekal. Dengan
cepat dan keras Ningrum segera menyentakkannya.
"Hiaaat..!"
Wrettt!
"Ukhhh...!"
Tukang pukul berkumis tebal melintang itu terpekik kaget. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya terjerembab ke belakang. Belum lagi dia menyadari keadaan, jemari tangan
lembut yang mencekal pergelangan tangannya terlepas. Lalu telapak tangan mungil itu
meluncur ke dadanya.
Blukkk!
"Akh...!"
Telapak tangan Ningrum mendarat telak di dada kanan lawan. Tubuh tukang pukul
itu terpental deras ke belakang.
Brukkk!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tegap itu terbanting keras ke tanah. Terdengar
suara merintih dari mulutnya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit yang mendera
sekujur tubuh. Dan dari sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir menandakan luka
dalam yang parah.
"Perempuan setan...!" tukang pukul yang bertubuh gemuk memaki kaget. Tanpa
pikir panjang lagi, tangannya langsung menghunus senjata. Rupanya lelaki gemuk itu tak
berani memandang ringan perempuan di depannya. Karena sekali gebrak saja kawannya
roboh tak berdaya. Kenyataan itu membuatnya harus bersikap hati-hati.
"Simpan makianmu, Anjing Keparat...!"
Belum lenyap suara bentakan itu, Wilasih sudah melesat dengan sebuah tendangan
keras ke dagu tukang pukul bertubuh gemuk itu.
"Hiaaa...!"
"Hih!"
Tukang pukul bertubuh gemuk itu rupanya mengetahui gerakan cepat lawan,
sehingga dengan cepat melangkah mundur. Tendangan keras Wilasih luput dari sasaran.
Bahkan dengan cepat tukang pukul itu membabatkan pedangnya. Namun....
"Hiaaa..!"
Bukkk!
"Huakhhh...!"
Perempuan cantik itu ternyata lebih cepat mendaratkan serangannya. Sebuah
tendangan susulannya yang dilakukan dengan gerak berputar, membuat tubuh lawannya
terhempas ke belakang. Telapak kaki mungil berisi tenaga dalam kuat itu tahu-tahu telah
menghantam dada lawan. Karuan saja lelaki gemuk itu memuntahkan darah segar.
"Keparat..! Siapa kalian sebenarnya? Dan ada urusan apa dengan majikan muda
kami..?!" bentak tukang pukul berkumis lebat yang sudah bangkit berdiri. Di tangan
kanannya sudah tergenggam sebilah pedang. Matanya baru terbuka setelah melihat
kawannya terbanting muntah darah.
Namun, baik Ningrum maupun Wilasih sama sekali tak menjawab. Keduanya saling
bertukar pandang sesaat. Kemudian tampak mereka saling menganggukkan kepala,
seakan telah saling sepakat untuk melakukan sesuatu. Dan....
"Haiiit..!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan melengking, kedua perempuan cantik itu melesat cepat ke atas.
Dan seketika itu juga tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Siiing! Siiing...!
Bret! Bret!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Teriakan keras terdengar dari mulut kedua tukang pukul itu. Sekejap kemudian
tubuh mereka terbanting ke tanah. Darah segar mengalir membasahi tubuh yang terbeset
mata pedang. Sesaat lamanya kedua tubuh berlumur darah itu menggelepar-gelepar di
tanah. Terdengar rintihan kesakitan dari mulut mereka.
"Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan menikmati hidup lebih lama...!"
desis Ningrum dengan sepasang mata menatap penuh kepuasan. Bibirnya
menyunggingkan senyum sinis yang mengerikan.
"Hm...," dengus Wilasih yang juga menatap kedua tubuh sekarat itu.
"Mari kita cari si keparat itu...," ajak Ningrum setelah tubuh kedua tukang pukul
itu diam tak bergerak lagi nyawa mereka telah melayang ke akherat.
Dalam sekejap, kedua tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu sudah
lenyap di balik pintu gerbang. Perempuan-perempuan haus darah itu siap melanjutkan
tindakannya.
TUJUH
"Hei, berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang membuat langkah Ningrum dan Wilasih terhenti.
Tampak sosok-sosok bayangan berlompatan dan langsung mengepung kedua perempuan
cantik itu.
"Siapa kalian...?" tegur seorang lelaki bercambang bauk yang bagian dadanya
terbuka, memperlihatkan bulu-bulu halusnya. Sepasang matanya menatap tajam kedua
perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. Suara jerit kematian dua
orang tukang pukul tadi tampaknya telah mengundang kedatangan mereka. Terbukti
delapan orang tukang pukul lainnya sudah menggenggam pedang di tangan.
"Sebenarnya aku sama sekali tak punya kepentingan dengan kalian! Dan aku pun
enggan mengotori tangan dengan darah kalian! Sebaiknya cepat panggil keluar pemuda
keparat yang bernama Sidanta! Kalau tidak, kalianlah yang akan lebih dulu kukirim ke
akherat!" sahut Ningrum dengan sepasang mata mencorong penuh kebencian.
Namun ancaman itu tampaknya tak membuat mereka gentar, bahkan sebaliknya.
Mereka geram dan marah. Wajah-wajah sangar itu tampak memerah.
"Perempuan sundal! Apa kalian pikir rumah milik bapak moyangmu?! Enak saja
kau mengumbar bacot! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, agar lain kali tak sembarangan
membuka mulut!" geram lelaki brewok itu yang langsung memberi isyarat dengan gerak
tangannya untuk meringkus kedua perempuan cantik itu.
"Sebaiknya mereka jangan dibunuh dulu, Kakang," usul salah seorang tukang
pukul yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna hitam. "Kita tangkap saja!
Setelah kita 'kerjai' beramai-ramai sampai puas, baru kita habisi..."
"Hm..., begitu pun bagus...!" sahut lelaki brewok yang rupanya pemimpin para
tukang pukul di rumah besar itu. Wajahnya tampak menyeringai membayangkan betapa
nikmat tubuh-tubuh ramping, padat dan berkulit putih halus itu. Sehingga ditelannya air
liur yang terkumpul di mulut. Matanya yang beringas menatap wajah kedua perempuan
cantik di hadapannya.
Tukang-tukang pukul lainnya yang mengurung tempat itu saling menyahut
menyetujui. Mereka tampak menjilati bibir sambil membayangkan kehangatan tubuh
Ningrum dan Wilasih yang sintal itu. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan air
liur, karena begitu bernafsu.
Ucapan para tukang pukul itu membuat mata kedua perempuan cantik itu berubah
penuh kebencian. Kilatan dendam dan sakit hati, membuat wajah-wajah cantik itu
berubah merah. Hawa maut pun seketika menyelimuti mata tajam keduanya.
"Serbuuu...!"
Tukang-tukang pukul itu rupanya terlalu menganggap ringan kedua lawannya.
Teriakan lelaki brewok pimpinan mereka, membuat tukang-tukang pukul itu berlompatan
maju. Seolah semua saling berlomba untuk lebih cepat menjamah tubuh molek itu.
"Haiiit..!"
"Hiaaa...!"
Suara lengkingan nyaring terdengar mengejutkan. Dan, kedua tubuh perempuan
berpakaian merah muda langsung melesat ke kiri dan kanan. Entah kapan mencabutnya,
tahu-tahu di tangan keduanya telah tergenggam pedang berkilat.
Wut!
Cras! Jrab!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Empat orang tukang pukul meraung keras. Wajah mereka berkerut menahan rasa
sakit yang luar biasa. Karena tangan kiri mereka yang semula hendak meraba dan
meremas tubuh gadis-gadis cantik itu telah tertebas pedang dan buntung. Tentu saja
mereka tidak menyangka kalau kedua orang perempuan cantik itu bergerak demikian
cepat. Hingga, mereka tak sempat menghindari.
"Iblis...!" Lejaki brewok itu terkejut setengah mati. "Bunuh mereka...!"
"Yeaaat..!"
Tanpa menunggu anak buahnya bergerak, lelaki brewok itu sudah menerjang maju
dengan teriakan keras. Tangan kanannya memutar pedang dengan kecepatan tinggi.
Sepertinya baru disadari kalau perempuan-perempuan cantik itu tak bisa dipandang
ringan. Terbukti dengan sekali gebrak saja empat orang anak buahnya telah kehilangan
lengan. Kenyataan yang mengejutkan itu membuatnya tak mau gegabah dalam
melancarkan serangan.
Bukan hanya lelaki brewok itu saja yang menjadi marah. Lima orang tukang pukul
lainnya pun sudah serentak berlompatan maju dengan sambaran pedang yang
berdesingan.
Gerakan pertama Ningrum dan Wilasih benar-benar telah membuat tukang-tukang
pukul itu kalap. Semua itu terlihat dari gencar dan ganasnya serangan mereka.
Namun kedua perempuan itu hanya mendengus penuh ejekan. Keroyokan itu
tampaknya sama sekali tidak membuat hati mereka gentar, bahkan keduanya langsung
melesat maju menyambut serangan lawan. Dalam sekejap saja pertarungan sengit pun
berlangsung.
Untuk kali ini para tukang pukul yang biasanya galak itu benar-benar ketemu
batunya. Sebab, kendati mereka telah menguras tenaga dan kemampuan untuk mendesak
lawan, tetap saja mereka tak mampu berbuat banyak. Bahkan serangan balasan kedua
perempuan itu membuat mereka kaget. Hingga....
"Hiaaa...!"
Bret! Bret!
"Aaa...!"
Dua orang tukang pukul terpental keluar dari arena pertarungan. Mereka
terbanting di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Nyawa mereka melayang seketika.
Kedua orang perempuan cantik itu sepertinya telah berubah menjadi makhluk-
makhluk haus darah yang buas. Kendati dua orang lawan kembali telah menjadi korban
senjata mereka, keduanya belum merasa puas. Pedang di tangan mereka terus berkelebat
memburu korban berikutnya.
Wuttt!
Trang!
"Akh!"
Lelaki brewok yang menjadi kepala tukang pukul itu masih sempat menggerakkan
pedangnya, menyambut sambaran pedang Ningrum yang mengancam perutnya. Namun
untuk itu dia terpaksa harus merasakan lengannya linu. Karena tenaga dalam lawan
masih lebih kuat dari tenaganya. Sehingga, kuda-kudanya tergempur mundur beberapa
langkah.
Ningrum sendiri tampaknya tidak mau bertele-tele. Pedang di tangannya berputar
cepat bersilangan dua kali. Sehingga, lawan yang belum siap memperbaiki kedudukannya
terpaksa hanya bisa terpekik saat mata pedang membeset tubuhnya.
Brettt!
"Aaargh...!"
Lelaki brewok itu meraung keras. Darah segar muncrat membasahi permukaan
tanah. Tubuh kekar itu langsung ambruk dan tewas. Dua buah luka memanjang yang
dalam di dada dan perut membuat dirinya tak mampu lagi bertahan hidup.
Pada saat yang hampir bersamaan, tukang pukul yang tinggal seorang itu pun
mengakhiri nyawanya di ujung pedang lawan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja enam
orang tukang pukul yang biasa menyombongkan kepandaiannya itu, harus menyerahkan
nyawa di tangan dua orang perempuan cantik. Benar-benar sukar untuk dipercaya!
Empat orang tukang pukul yang lengannya putus sebatas pergelangan, menatap
ketakutan. Kematian kawan-kawan mereka bagaikan mimpi buruk yang sukar dipercaya.
Namun, kenyataan itu jelas-jelas terpampang di depan mata mereka. Tidak bisa dibantah
lagi!
"Hm...!"
Setelah menyelesaikan perlawanan para tukang pukul yang mengeroyok, kedua
orang perempuan cantik yang haus darah itu memalingkan wajah dengan dengusan kasar.
Karuan saja wajah empat orang tukang pukul itu semakin ketakutan.
"Celaka...!" desis salah seorang dari mereka yang mulai berkeringat dingin. Karena
kedua kakinya sukar sekali untuk diajak berlari meninggalkan tempat itu. Matanya hanya
bisa menatap putus asa menunggu maut yang siap menjemput.
Hai itu juga dialami tiga orang tukang pukul lainnya. Kedua kaki mereka yang
gemetar, sulit sekali untuk digerakkan. Kekejaman kedua perempuan itu benar-benar
telah membuat keberanian dan kegalakan mereka terbang entah ke mana. Sekarang
mereka hanya bisa menatap putus asa menanti kematian.
"Sebaiknya kita habisi saja mereka...," ujar Wilasih dengan sorot mata
memancarkan dendam dan kebencian yang dalam.
Ningrum sama sekali tidak menyahut. Hanya kepalanya yang mengangguk sebagai
tanda setuju. Karena dia memang sudah bertekad untuk membasmi habis seluruh
makhluk hidup di dalam rumah besar itu. Jangankan manusia. Hewan peliharaan pun
akan dihabisi jika tampak di depan matanya. Sepertinya rasa benci telah terbakar hebat
dalam hati perempuan itu.
"Ampun...! Ampunkan kami, Nisanak...!"
Karena rasa takut demikian kuat menghantui perasaan mereka, tanpa malu-malu
keempat tukang pukul itu saling menjatuhkan tubuh dan berlutut di depan dua
perempuan cantik yang tampak beringas itu.
Namun, ucapan itu justru semakin membakar kebencian di hati Ningrum dan
Wilasih. Dengan langkah perlahan mereka bergerak maju. Dan....
Wuttt!
Crak! Crak...!
Empat buah kepala langsung menggelinding lepas dari leher mereka. Benar-benar
sadis sekali! Kedua perempuan cantik itu sanggup memenggal kepala lawan dengan bibir
tersenyum sinis!
"Mari kita cari Sidanta keparat itu...," ajak Ningrum seraya memutar tubuh dan
bergerak memasuki bangunan. Tanpa menjawab, Wilasih langsung mengikuti langkah
Ningrum.
Terdengar jerit kemauan susul-menyusul dari dalam rumah besar itu. Tampaknya
Ningrum dan Wilasih sudah seperti bukan manusia lagi. Siapa saja yang ditemui, langsung
dibantai tanpa ampun! Rupanya kemarahan mereka belum terlampiaskan.
Tidak lama kemudian, terlihat keduanya melesat ke luar bangunan. Seorang
pemuda tampan bertubuh tegap terlihat tak berdaya diseret kedua orang perempuan
kejam itu. Di kedua sisi kepala pemuda itu tampak mengalir darah segar yang tak henti.
Darah itu berasal dari telinga yang telah kehilangan daunnya. Rupanya Ningrum dan
Wilasih telah membabat putus daun telinga pemuda itu.
"Apa yang kau rasakan sekarang masih belum cukup, Sidanta! Kau harus
merasakan betapa sakitnya sebuah penderitaan...!" geram Ningrum sambil terus menyeret
tubuh pemuda yang hanya bisa merintih kesakitan itu.
Tiba di luar bangunan, mereka langsung mengerahkan ilmu lari cepat. Tidak
dipedulikan lagi betapa tubuh Sidanta terguncang-guncang terseret di tanah. Rupanya
rasa sakit hati telah membuat perempuan-perempuan cantik itu berubah buas dan biadab.
***
"Itu mereka datang...!"
Wanita cantik berpakaian merah muda yang tengah duduk itu bergegas bangkit,
lalu menunjuk ke satu arah. Sedangkan gadis desa yang duduk di sebelahnya turut
bangkit. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata bengkak karena terlalu
banyak menangis, menatap dengan kening berkerut.
"Kakang Sidanta...?!"
Bibir gadis desa itu bergetar perlahan mengucapkan nama Sidanta. Seketika itu
juga kesenduan wajahnya berubah garang. Kilatan dendam tergambar jelas pada wajah
dan tatapan matanya. Langkahnya bergerak maju menyambut kedatangan Ningrum dan
Wilasih yang menyeret tubuh seorang pemuda yang tak lain Sidanta.
"Hm..., bagaimana, Adik Manis? Apa hasil kerja kami belum memuaskan...?" tanya
Ningrum sambil melemparkan begitu saja tubuh Sidanta ke hadapan gadis cantik itu.
"Winarti...?!"
Pemuda tampan bertubuh kekar yang bernama Sidanta itu menatap sosok gadis
cantik di depannya sembari menekap kedua telinganya yang sudah tak berdaun lagi.
"Hmh...!"
Gadis desa yang dipanggil Winarti hanya mendengus kasar. Sorot matanya tak lagi
menyiratkan keluguan. Bahkan telah berubah garang! Siap menumpahkan dendam dan
sakit hatinya.
"Kau masih ingat padaku, Sidanta...?" tegur Winarti dengan tarikan bibir penuh
ejekan. "Bagus! Dengan demikian, berarti kau pun tahu bagaimana rasanya dicampakkan
seperti sampah oleh orang yang sangat dicintai...!"
Setelah berkata demikian Winarti melangkah maju dengan mata menatap penuh
perasaan dendam.
"Winarti...! Apa yang akan kau lakukan kepadaku? Bagaimana kau bisa berkawan
dengan perempuan-perempuan setan itu?" tanya Sidanta dengan wajah pucat. Tentu saja
disadari betapa bekas kekasihnya itu sudah siap untuk membalas sakit hatinya.
"Hm.... Menurut perkiraanmu, apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, Sidanta?
Apa kau kira tubuhku, akan kuserahkan lagi kepadamu?" ujar Winarti yang saat itu
benar-benar telah kehilangan sifat aslinya. Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi
makhluk haus darah yang siap mereguk darah dari tubuh Sidanta.
"Apa maksudmu, Winarti? Bukankah apa yang pernah kita lakukan atas dasar
suka sama suka? Aku..., aku sama sekali tak pernah memaksamu, bukan?" Sidanta masih
juga hendak membela diri dan tak mau mengakui kesalahannya.
"Memang benar semua itu kita lakukan atas dasar suka sama suka! Tapi, setelah
kau rayu aku dengan janji-janji muluk. Setelah itu kau hendak meninggalkan aku! Huh!
Tak semudah itu, Sidanta! Kini kau akan merasakan buah dari kebejatanmu itu!" ujar
Winarti yang langsung menyambar cambuk di pinggang Ningrum. Kemudian
melecutkannya sekuat tenaga ke tubuh Sidanta.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Auuugh...!"
Sidanta terjingkat akibat sengatan ujung cambuk itu. Tubuhnya bergulir ke kanan.
Rasa sakit membuat Sidanta mengeluh dan mengerang keras. Meskipun Winarti tak
memiliki tenaga dalam, lecutan cambuk itu sudah cukup menyiksa bagi Sidanta.
"Bagus, Winarti! Lakukan sepuasmu..!" Ningrum memberikan dorongan semangat
dengan bibir tersenyum. Seakan-akan dia bersama dua orang kawannya sangat menikmati
pemandangan itu.
Winarti sendiri sudah seperti gila. Sambil menahan isaknya, dia terus melecutkan
cambuk ke tubuh Sidanta. Sehingga, pemuda itu terpekik keras, setiap kali ujung cambuk
menyengat tubuhnya.
Beberapa bagian tubuh Sidanta tampak sudah matang biru dan mengeluarkan
darah. Rasanya tentu saja sangat pedih. Sampai-sampai Sidanta tak mampu menahan air
mata karena merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya.
Namun ketika untuk yang kesekian kalinya Winarti hendak melecut tubuh Sidanta,
tiba-tiba ada sesosok bayangan putih berkerlebat. Dengan cepat sosok bayangan itu
menangkap ujung cambuk yang diayunkan Winarti.
"Lepas...!"
Disertai sebuah bentakan, sosok bayangan putih itu langsung menyentakkan ujung
cambuk yang telah digenggamnya. Winarti yang tersentak kaget, tidak mampu
mempertahankan gagang cambuk yang dipegangnya.
"Akh...?!"
Sentakan yang perlahan itu membuat tubuh Winarti terhuyung limbung dan
terjatuh ke tanah. Tampaknya sosok bayangan putih itu tahu kalau si pemegang cambuk
bukan seorang ahli silat. Terbukti dia menyentakkan dengan perlahan, hanya sekadar
merebut cambuk itu dari tangan Winarti.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Ningrum dan dua orang kawannya tersentak kaget! Ketiganya bergerak mundur
dengan mata terbelalak. Baru mereka mengerti, mengapa gerak langkah sosok bayangan
itu tak sempat tertangkap pendengaran mereka. Ternyata yang datang Pendekar Naga
Putih, yang telah tersohor kedigdayaannya di kalangan rimba persilatan.
"Kiranya kalian lagi yang membuat ulah...!" ujar sosok bayangan putih yang
memang Parvji. "Persoalan apa lagi yang membuat kalian tega menyiksa pemuda ini
sedemikian rupa?"
"Pendekar Naga Putih! Seharusnya kau tak mencampuri urusan ini! Karena yang
tengah kami siksa adalah seorang pemuda keparat yang kerjanya mempermainkan wanita!
Dan jika kau membelanya, itu sama artinya dengan menyetujui segala perbuatan jahat
yang selama ini dilakukannya!" kilah Ningrum mencoba menggertak Pendekar Naga Putih.
Gertakan Ningrum kelihatannya cukup berhasil. Buktinya Pendekar Naga Putih
terdiam tanpa sahutan untuk beberapa saat. Hanya matanya saja yang menatap tubuh
pemuda penuh luka gores yang tergeletak tak berdaya itu. Lalu beralih ke wajah Winarti.
"Mengapa kau menyiksanya sedemikian rupa, Nisanak?" tanya Panji kepada
Winarti. Karena dia telah menduga kalau gadis manis itulah yang lebih menaruh dendam
terhadap pemuda di hadapannya. Dilihatnya tadi hanya gadis manis itulah yang dengan
bengis menyiksa pemuda yang tergeletak tak berdaya. Sedangkan tiga perempuan cantik
berpakaian merah muda yang pernah bentrok dengannya hanya berdiri menonton dengan
senyum puas.
"Dia..., dia jahat...!"
Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Winarti. Sosok Pendekar Naga Putih
tampaknya membuat gadis itu luluh dan hilang kebengisannya. Seketika dia berubah
menjadi Winarti, si gadis desa yang lugu dan penakut.
"Apa yang telah dilakukannya terhadapmu..?" tanya Panji mendesak Winarti yang
terlihat mulai menangis. Seakan-akan gadis itu merasa takut setelah kesadarannya pulih
dan melihat tubuh Sidanta tergeletak berlumuran darah.
"Pemuda keparat itu telan memperkosanya, Pendekar Naga Putih! Jadi, sudah
sepantasnyalah kalau dia menjalani hukuman atas kebiadabannya!" selak Ningrum cepat.
"Benarkah apa yang dikatakannya itu?" tanya Panji lagi mendesak Winarti. Karena
dia belum percaya terhadap perempuan berpakaian merah muda itu yang telah diketahui
kelicikan dan kekejamannya. Berbeda dengan Winarti yang tampak lugu dan tak berani
berdusta.
"Untuk apa kami berbohong kepadamu, Pendekar Naga Putih! Jangan kau kira
kami merasa gentar kepadamu! Meski kami sadar kalau kau bukan tandingan bagi kami,
tapi tak ada rasa gentar dalam hati kami! Dan semua jawaban tadi bukan karena kami
takut terhadapmu. Ingat itu baik-baik."
Lagi-lagi Ningrum yang menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Bahkan
nadanya terdengar lebih tajam dan menunjukkan kejengkelan harinya.
"Hm...!" Panji bergumam lirih. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sosok
Ningrum, dan menelitinya sekilas. "Kalau jawabanmu memang mengandung kebenaran,
mengapa tak kau biarkan saja gadis itu menjawab pertanyaanku?"
"Keparat sombong...!" dengus Ningrum geram. Bantahan Pendekar Naga Putih
membuatnya bungkam. Karena apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Mengapa
tidak dibiarkan Winarti yang menjawabnya? Mengapa dia yang merasa cemas mendengar
pertanyaan-pertanyaan Pendekar Naga Putih terhadap Winarti? Bukankah makna
jawabannya tak akan berbeda jauh?
Ningrum mendengus jengkel. Namun, ketika tatapan tajam mata pendekar muda
yang tampan itu belum juga beranjak dari wajahnya, tiba-tiba saja Ningrum merasakan
dadanya berdebar. Perlahan kedua pipinya dijalari rona merah. Menyadari keadaannya
yang tidak wajar, perempuan cantik itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Dia bukan
tak tahu kalau hatinya terguncang oleh sosok pendekar muda yang tampan dan penuh
ketenangan itu. Rasa kebencian yang telah berakar di dalam hatinya seketika lenyap entah
ke mana. Dan memang baru terhadap Pendekar Naga Putih, hatinya merasa kagum dan
tertarik. Apalagi ketika sepasang mata tajam itu menatapnya berlama-lama. Ada getaran
aneh yang menjalari sekujur tubuhnya dan membuat parasnya menghangat.
Namun, tentu saja Ningrum tak akan membiarkan dirinya terseret getar asmara.
Ningrum menggigit bibirnya kuat-kuat untuk melawan pengaruh sorot mata Pendekar
Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tak tahu kalau perasaan perempuan cantik itu
tergetar. Maka, cepat-cepat wajahnya berpaling, kembali menatap Winarti. Seolah-olah
hatinya belum merasa puas kalau tidak mendapatkan jawaban dari gadis desa itu.
DELAPAN
"Nisanak, benarkah apa yang dikatakan wanita itu?" tanya Panji, ingin
mendapatkan kepastian dari Winarti.
"Sidanta membujukku dengan janji-janji manis. Kemudian... aku... aku
menyerahkan apa yang dimintanya. Tapi..., dia malah pergi setelah segalanya
kuberikan...."
Akhirnya, meskipun dengan susah payah, keluar juga jawaban yang ditunggu
Pendekar Naga Putih dari gadis desa itu.
"Tapi, tidak adakah jalan yang lebih baik, selain menyiksanya seperti itu?
Bukankah kau bisa meminta pertanggungjawabannya secara baik-baik?" tanya Panji ingin
tahu bagaimana pendapat gadis cantik itu terhadap pertanyaan yang dilontarkannya.
"Sidanta..., akan menikah dengan perempuan lain. Mereka berdua sama-sama dari
keluarga terhormat. Tidak sepertiku yang miskin dan bodoh. Dia... membuat aku
menderita dan putus asa...," jawab Winarti lagi sambil terisak. Seolah-olah gadis itu belum
mampu untuk melenyapkan kesedihan setiap kali teringat akan kepahitan yang pernah
dialaminya
"Hm..., lalu kau meminta kepada mereka untuk menyeret kekasihmu ini, dan
menyiksanya sampai sekarat..?"
"Cukup, Pendekar Naga Putih!" Ningrum yang sudah tak sabar, langsung menyelak.
Kakinya melangkah lebar lalu menarik lengan Winarti, menjauhi pemuda tampan berjubah
putih itu.
Pendekar Naga Putih tidak berusaha mencegah tindakan Ningrum. Dia justru
berpaling dan menatap tubuh Sidanta yang masih merintih kesakitan. Baru kemudian
memandang Ningrum dan kawan-kawannya.
"Kendati niat kalian baik, cara yang kalian tempuh tak bisa kubenarkan. Selagi
masih bisa menempuh jalan damai, tak layak kalian berbuat sekehendak hati. Selain itu,
aku ada sedikit pertanyaan untuk kalian bertiga...," ujar Panji seraya menatap tajam wajah
ketiga perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Maaf, kami tak punya waktu untuk meladenimu, Pendekar Naga Putih! Biarlah
kami mengalah dengan tak membunuh pemuda keparat itu. Nah, selamat tinggal...!"
Setelah berkata demikian, Ningrum memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Perempuan cantik itu sendiri sudah melesat pergi dengan membawa tubuh Winarti Tapi...
"Tunggu...!"
Pendekar Naga Putih yang merasa masih mempunyai kepentingan dengan
perempuan-perempuan itu, langsung saja berseru mencegah. Bahkan tubuhnya melenting
ke atas, lalu meluncur dengan cepat setelah berputaran beberapa kali di udara.
Jliggg!
Ningrum terpaksa menahan langkahnya ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih
telah berdiri tegak menghadang di depan. Tentu saja tindakan pendekar muda itu
membuat kemarahannya bangkit. Semua kekaguman dan rasa sukanya terhadap pemuda
itu ditekan sekeras mungkin. Sikapnya tetap dingin dan tanpa perasaan.
"Mengapa kau masih juga menghalangi kepergian kami. Pendekar Naga Putih?"
tegur Ningrum sambil meraba gagang pedang di punggungnya. Jelas perempuan cantik
dari Lembah Hitam itu telah siap bertindak keras.
"Sudah kukatakan tadi, aku memiliki sedikit kepentingan dengan kalian bertiga...,"
sahut Panji. Sinar matanya menghunjam tepat di kedua bola mata Ningrum yang tampak
sangat gelisah.
"Apa yang kau inginkan dari kami...?" tanya Ningrum ketus sambil berusaha
menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Dia terpaksa mengalah karena sadar tak
mungkin mampu melepaskan diri dari kejaran pendekar muda itu. Melarikan diri dari
Pendekar Naga Putih merupakan perbuatan bodoh. Karena pemuda itu pasti dapat
menyusulnya.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Panji dengan sinar mata mencorong
tajam, membuat hati Ningrum kian bergetar. Sinar mata pemuda tampan itu dirasakan
begitu berpengaruh dalam jiwanya.
"Aku... sudah berjanji untuk membawanya ke tempat tinggal kami. Dan dia sendiri
sudah setuju. Kalau tak percaya, boleh kau tanyakan kepadanya...," sahut Ningrum
menyembunyikan kegelisahannya. Karena disadari kalau Pendekar Naga Putih tak dapat
dikelabui. Dan, kemungkinan besar tugasnya kali ini akan menemui kegagalan di tangan
pendekar muda yang sakti itu.
"Hm..., jadi selain memusuhi tokoh-tokoh muda persilatan, ternyata kalian pun
merupakan pelaku penculikan terhadap gadis-gadis muda. Nah, apa tuduhanku terhadap
kalian salah...?" tukas Panji. Dia langsung menduga, ketiga perempuan kejam itulah
pelaku penculikan terhadap wanita-wanita muda.
"Kami tak menculik mereka! Tapi mengajaknya untuk bergabung dengan kami!"
bantah Ningrum dengan suara keras. Sepasang matanya mulai melirik ke kiri dan kanan
mencari jalan untuk dapat lolos dari Pendekar Naga Putih.
"Itu anggapan kalian! Tapi, bagaimana dengan orangtua gadis-gadis yang kau ajak
pergi itu? Mereka yang kehilangan anak-anak gadisnya, tentu saja menganggap perbuatan
kalian merupakan tindakan penculikan. Dan, hal itu tak bisa kudiamkan begitu saja.
Meski baru sekadar dugaan, aku yakin kalau kalian akan menjejalkan kebencian di hati
mereka terhadap laki-laki. Bukankah itu yang kalian inginkan?" tukas Panji tak mau
kalah. Hatinya semakin yakin ketika melihat perempuan bertahi lalat di sudut bibir
kanannya itu tak bisa membantah lagi.
Sadar bahwa semua kedok mereka sudah terbuka, Ningrum dan kawan-kawannya
tak berpanjang kata lagi. Jemari tangan mereka langsung meraba gagang pedang. Bahkan
ketiganya telah bergerak dari tiga jurusan mengepung Pendekar Naga Putih.
Siiing! Siiing...!
Terdengar suara berdesingan susul-menyusul. Tiba-tiba di tangan ketiga
perempuan cantik itu telah tergenggam sebatang pedang. Kemudian diputar dengan
kecepatan penuh di atas kepala hingga menimbulkan angin yang menderu-deru. Ketiganya
jelas telah siap untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih.
"Hm..., begini lebih bagus...," gumam Panji sambil memperhatikan gerak langkah
ketiga lawannya. Sejauh itu dia belum melakukan gerakan sedikit pun. Karena pendekar
muda itu sudah bisa mengukur sampai di mana kekuatan ketiga orang pengeroyoknya itu.
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Ningrum yang berada di sebelah kanan Pendekar Naga Putih, berteriak nyaring.
Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Pedang di tangannya berputaran cepat
bagaikan baling-baling. Sekali bergerak, perempuan cantik itu langsung mengirimkan
serangkaian serangan yang mematikan. Benar-benar berbahaya sekali!
Karena sebelumnya Pendekar Naga Putih pernah bertarung melawan mereka,
serangan Ningrum dengan mudah dapat dikandaskan. Tubuh pemuda itu bergerak
menyelinap di antara sambaran mata pedang lawannya.
Melihat gerakan lawan, Ningrum semakin memperhebat serbuannya. Tampak dua
perempuan berpakaian merah muda lainnya sudah merangsek ke tengah arena. Kilatan
putih dan suara desingan pedang datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar Naga
Putih. Namun, sampai beberapa jurus kemudian, serangan ketiga orang pengeroyok itu
belum menunjukkan hasil. Padahal Pendekar Naga Putih masih mengambil sikap
mengalah dengan jalan menghindar.
Setelah merasa cukup memberi kesempatan kepada lawan-lawannya, baru
Pendekar Naga Putih membuka serangan. Kedua tangannya bergerak cepat melakukan
tamparan dan tangkisan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja ketiga orang pengeroyok itu
dibuat kelabakan. Serangan-serangan mereka tak lagi terarah dengan baik. Pemusatan
pikiran mereka terganggu oleh hembusan angin dingin menggigit tulang yang datang
mengiringi setiap tamparan dan tangkisan tangan Pendekar Naga Putih. Sehingga...
"Hiaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
Salah satu dari tiga perempuan cantik berhati kejam itu terpekik kesakitan.
Tubuhnya terlempar keluar dari arena pertempuran. Tamparan yang mendarat di
punggungnya, membuat tubuhnya terbanting tak sadarkan diri.
"Haiiit...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua
orang perempuan itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan merah yang memapak serangan
Pendekar Naga Putih.
Plak! Plak!
"Hei...?!" terdengar seruan kaget terlontar dari mulut Pendekar Naga Putih.
Tubuh Pendekar Naga Putih sekali lagi meluncur disertai pekikan keras
menggelegar. Serangkum angin dingin berhembus keras, membuat kedua orang lawan
tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak dari tamparan pemuda itu. Namun, ke mana
pun mereka bergerak, telapak tangan Pendekar Naga Putih terus mengejar. Sampai
akhirnya mereka tersudut dan tak mungkin dapat menghindar lagi.
Tapi....
"Heaaa...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua
orang perempuan cantik itu, tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang yang
memekakkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan merah muda
telah melesat ke tengah arena. Bayangan merah itu langsung menyambut serangan
Pendekar Naga Putih yang nyaris berhasil itu. Hingga...
Plak! Plak!
"Hei...?!"
Terdengar suara benturan yang mirip ledakan. Pendekar Naga Putih sempat
terpekik. Karena lengannya dirasakan bergetar akibat benturan keras itu. Sehingga,
tubuhnya melompat mundur dan meluncur turun beberapa tombak dari arena
pertempuran.
"Kau...?!"
Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika melihat siapa yang telah
menyelamatkan kedua lawannya barusan. Seraut wajah buruk yang seperti bekas luka
bakar itu membuat Panji mengerutkan kening dalam-dalam. Karena sosok tubuh ramping
berwajah buruk itu pimpinan para perempuan-perempuan cantik yang telah menculik
banyak gadis muda rimba persilatan.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!" ujar sosok berwajah buruk itu dengan
wajah dingin. Sulit sekali menduga perasaan apa yang saat itu ada dalam hatinya. Karena
luka bakar itu membuat wajahnya seolah-olah tak menggambarkan perasaan apa pun.
"Ya, kita bertemu lagi, Nisanak! Tapi kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi
begitu saja. Perbuatanmu sudah melampaui batas dan membuat keresahan bagi orang
banyak...," ujar Panji seraya bergerak maju. Langkahnya berhenti ketika jarak di antara
mereka hanya terpisah sekitar satu tombak.
"Aku pun datang bukan dengan niat untuk berbincang denganmu, Pendekar Naga
Putih. Perbuatanmu kali ini membuatku harus mengambil keputusan untuk melenyapkan
dirimu. Keberadaan dan keusilanmu telah membuat kami susah...," tukas wanita berwajah
buruk itu menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan kebencian yang dalam.
"Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan secepatnya persoalan ini...!" ujar Panji
yang sudah menggeser langkah ke kanan. Sadar kalau kepandaian lawan tidak rendah, dia
bersikap lebih hati-hati.
"Hmh...!"
Perempuan berwajah buruk itu mendengus kasar. Lalu dia tampak membuka
jurus, siap bertarung melawan Pendekar Naga Putih. Gerakannya terlihat mantap dan
seperti mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat. Bahkan dari tatapan matanya,
perempuan berwajah buruk itu tampak bertekad hendak melenyapkan Pendekar Naga
Putih yang memang selalu menentang segala tindak kejahatan.
"Ciaaat..!"
Diiringi pekikan melengking, perempuan berwajah buruk itu membuka serangan
dengan serangkaian pukulan maut yang menimbulkan desiran angin keras. Nampaknya
dia langsung menggunakan jurus-jurus andaian dalam menggempur Pendekar Naga Putih.
Terbukti pukulan-pukulannya begitu gencar seperti mengandung kekuatan dahsyat.
Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau kesaktian lawan sangat hebat. Segera
dikerahkannya jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Seketika hawa dingin menusuk tulang
menyebar menyelimuti arena pertarungan. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu telah
terlibat dalam sebuah pertempuran sengit.
Setelah berjalan selama kurang lebih empat puluh jurus, Pendekar Naga Putih
tampak mulai menguasai lawannya. Kecepatannya yang berada dua tingkat di atas lawan,
membuat serangan-serangannya lebih banyak dari gencarnya serangan lawan. Bahkan
dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya yang berhawa dingin menggigit, Pendekar Naga
Putih dapat membuat tubuh lawannya terkurung dan kacau gerakannya. Hingga, pada
satu kesempatan baik, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan ke tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Plak! Brettt...!
"Aihhh...?!"
Perempuan berwajah buruk itu terpekik kaget. Meskipun berhasil menepis
cengkeraman tangan kanan, namun tamparan tangan kiri Panji telah membuatnya
terdorong ke belakang.
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri sempat merasa terkejut. Tebasan tangan
kirinya yang kemudian dirubah menjadi cengkeraman, telah mengenai wajah lawan. Dan
kini di tangannya tergenggam sebuah topeng karet yang sangat tipis. Tentu saja hatinya
heran bukan main.
'"Kupu-kupu Berbisa'...?!" seru Panji ketika menatap wajah yang kini tertutup kain
dari bagian hidung ke atas.
Pendekar Naga Putih pernah mendengar tentang tokoh wanita sakti yang
mengenakan ciri khas demikian. Namun, sepanjang pengetahuannya, tokoh sakti itu telah
lama tidak menampakkan diri di dunia persilatan. Tokoh perempuan yang sakti itu
sebenarnya angkatan tua yang sezaman dengan gurunya. Itulah yang membuat dirinya
hampir tak percaya. Karena Kupu-kupu Berbisa yang kini berada di hadapannya ternyata
memiliki raut wajah seorang perempuan muda.
"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau memalsukan Kupu-kupu Berbisa?" tanya
Panji yang merasa heran melihat tokoh sesat wanita angkatan gurunya ternyata masih
demikian muda.
"Akulah Kupu-kupu Berbisa! Hi hi hi... Aku tak memalsukan siapa-siapa...!" tukas
perempuan yang semula dengan topeng berwajah buruk.
"Tidak mungkin! Kupu-kupu Berbisa telah berusia di atas enam puluh tahun. Lalu,
bagaimana mungkin kau yang baru sekitar dua puluh tahun mengaku sebagai Kupu-kupu
Berbisa? Jelas kau mengada-ada!" bantah Panji tidak percaya akan pengakuan perempuan
cantik itu.
"Memang benar apa yang kau katakan itu. Pendekar Naga Putih! Aku melanjutkan
julukan guruku. Beliau telah wafat setengah tahun silam. Dan mewariskan julukan Kupu-
kupu Berbisa kepadaku. Jelas?" lanjut Kupu-kupu Berbisa menjelaskan. "Sekarang,
bersiaplah untuk mati!"
"Yeaaat...!"
Panji yang termangu mendengar jawaban lawannya, bergerak menarik mundur
langkahnya ke belakang. Kemudian langsung membalas serangan lawan dengan tidak
kalah hebat. Sehingga, pertarungan pun kembali berlanjut, dengan seru.
Sementara itu, di bagian lain telah pula terjadi pertarungan. Tokoh-tokoh persilatan
yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang, menggempur Ningrum dan kawan-
kawannya. Pimpinan dari tokoh-tokoh persilatan itu ternyata Gupta dan Rancaka.
Rupanya mereka telah pula tiba di tempat itu. Dan menemukan musuh yang selama ini
dicari-cari, mereka langsung menggempur tanpa banyak tanya lagi.
Di pihak Kupu-kupu Berbisa, terdapat tiga orang wanita cantik berpakaian serba
hijau dan empat orang lelaki kekar pemikul tandu. Ditambah dengan Ningrum dan dua
orang kawannya. Pengikut tokoh sesat itu berjumlah sembilan orang. Mereka menyambut
serbuan tokoh-tokoh persilatan itu dengan senjata terhunus.
"Yeaaat...!"
Gupta menerjang sambil mengayunkan pedang di tangannya. Semangatnya berapi-
api, setelah sempat melihat sosok Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan Pimpinan
Perempuan-perempuan Lembah Hitam itu. Keberadaan pendekar muda itu membuat
Gupta dan kawan-kawannya merasa yakin kalau mereka akan dapat melenyapkan para
perempuan berhati iblis itu.
Menghadapi puluhan tokoh persilatan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi
itu, Ningrum dan kawan-kawannya terpaksa harus berjuang keras. Namun, karena lawan
tiga kali lipat jumlahnya, lama-kelamaan para perempuan kejam itu pun terdesak hebat.
Dan satu-persatu mulai roboh berlumur darah di ujung senjata pengeroyok mereka.
"Habisi mereka semua..!"
Rancaka, lelaki kekar berwajah keras yang juga memimpin kawan-kawannya,
berteriak tak henti-henti memberikan semangat. Sehingga, Ningrum dan kawan-kawannya
semakin kewalahan. Kendati korban di pihak lawan tak sedikit yang berjatuhan, di pihak
mereka pun juga jatuh korban.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang telah bertarung selama kurang lebih
empat puluh tiga jurus, mulai dapat mendesak lawannya. Kupu-kupu Berbisa sendiri
berusaha keras untuk dapat mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih. Namun,
kepandaian yang dimiliki tokoh sesat itu masih berada beberapa tingkat di bawah Panji.
Sehingga, sekeras apa pun bertarung, tetap saja dia tidak mampu mengungguli Pendekar
Naga Putih.
"Yeaaat...!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih berteriak keras mengejutkan
lawannya. Dengan kecepatan laksana sambaran kilat, serangannya meluncur. Melihat
serangan cepat itu, Kupu-kupu Berbisa tampak gugup dan tak sempat bergerak
menghindar. Sehingga....
Plakkk..!
"Aaargh...!"
Blukkk!
Tanpa ampun lagi, tubuk ramping terbungkus pakaian merah muda itu
terpelanting keras, dan jatuh terbanting di atas tanah. Darah segar muntah dari mulutnya.
Pukulan Pendekar Naga Putih yang mendarat di tubuhnya, membuat tokoh sesat itu tidak
sanggup untuk segera bangkit.
Melihat lawannya tergeletak dengan napas terengah-engah, Panji bergerak
menghampiri dengan sikap waspada. Pendekar Naga Putih yakin, pukulannya tadi dapat
membuat lawannya terluka parah, namun tetap tak menghilangkan kewaspadaannya.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" desah Kupu-kupu Berbisa dengan
suara lemah. Sepasang mata yang tampak dari lubang pada kain hitam itu terlihat sayu.
Pendekar Naga Putih merasa tidak tega menyaksikannya.
Wajah di balik kain itu tiba-tiba membuat kening pendekar muda itu berkerut
Hatinya merasa aneh. Meskipun hanya tampak sebagian wajah Kupu-kupu Berbisa seperti
sudah tidak asing baginya. Karena penasaran, tangannya langsung bergerak menyambar
kain hitam yang menutupi wajah perempuan itu.
"Akh...!"
Kupu-kupu Berbisa terpekik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau
Pendekar Naga Putih akan berbuat demikian. Wajah cantik berkulit halus itu berpaling ke
kiri, berusaha menyembunyikan dengan kedua telapak tangannya.
"Hahhh...?!"
Panji tersentak kaget. Tiba-tiba wajahnya memucat tegang. Meskipun kini wajah
perempuan itu telah tertutup kedua belah telapak tangan, dia sempat mengenalinya
dengan baik. Karena gerakan Kupu-kupu Berbisa agak terlambat.
"Kau.., kau... Suntini...?!" desis Panji hampir tak percaya dengan apa yang
disaksikannya.
Memang, Kupu-kupu Berbisa itu adalah Suntini! Gadis cantik yang beberapa hari
lalu menemui Pendekar Naga Putih dan mengemis cintanya. Karena sudah terbongkar
rahasianya, Kupu-kupu Berbisa bergegas menurunkan kedua telapak tangannya.
Kemudian ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu.
"Mengapa..., mengapa kau melakukan semua ini, Suntini...?" tanya Panji tak
mengerti.
"Seharusnya akulah yang bertanya, Kakang. Mengapa kau menolak cintaku?
Apakah aku kurang cantik? Atau kau meragukan kesetiaanku? Kau membuatku kecewa
dan sakit hati, Kakang. Sehingga, aku menjadi benci terhadap laki-laki. Aku bertekad
untuk menyiksa ataupun membunuh mereka sebanyak-banyaknya. Aku.., aku demikian
menderita, Kakang...," rintih Suntini yang mulai mengalirkan air mata di kedua pipinya.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas penuh sesal. Tidak ada lagi
yang perlu dijelaskan. Suntini telah tahu perasaannya. Hatinya tak bisa menerima gadis
itu, karena tak mungkin mengkhianati Kenanga.
"Kau mengalami luka dalam yang parah, Suntini. Mudah-mudahan obat ini dapat
membuatmu merasa lebih baik...!"
Pendekar Naga Putih menyodorkan dua butir pi] kepada gadis itu. Ketika melihat
Suntini menggeleng, langsung saja dipaksanya dan memasukkan obat itu ke mulut
Suntini.
"Kakang! Sekali lagi kuminta kepadamu. Aku rela meskipun harus menjadi orang
kedua yang kau cintai. Aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu Kakang! Aku
tak akan menuntut banyak. Hanya itu...."
Untuk kesekian kalinya, Suntini kembali mengajukan pertanyaan senada.
Sementara Panji hanya menghela napas dalam-dalam. "Maafkan aku Suntini...!" Hanya itu
yang bisa diucapkan Panji dengan wajah menunduk. Mendengar jawaban itu, Suntini
memaksa dirinya bangkit. Ditepisnya tangan Panji yang mencoba menolongnya. Wajah
yang pucat itu menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Suntini benar-
benar tak bisa menerima jawaban pendekar muda itu.
Panji hanya bisa mengikuti langkah gadis malang itu dengan tatapan penuh iba.
Dia tak berusaha mencegah, karena takut Suntini kembali salah menafsirkan. Meski
dengan sangat terpaksa, Panji membiarkan Suntini melangkah terseret-seret meninggalkan
tempat itu. Karena gadis itu bersikeras tak ingin ditolong. Kecuali Panji bersedia menerima
uluran cintanya.
"Pendekar Naga Putih!" seorang lelaki gagah benari mendatangi Panji. "Bukankah
perempuan itu pimpinan mereka? Mengapa kau biarkan pergi...?"
"Jangan ganggu dia, Gupta...!" ujar Panji singkat tanpa penjelasan kepada Gupta.
"Tapi, kita masih memerlukannya untuk menemukan gadis-gadis yang mereka
culik? Karena penculikan itu ulah mereka juga, Pendekar Naga Putih...!" sahut Gupta
membuat Panji terkejut. Namun ketika hendak mengejar Suntini, terdengar suara halus
menahan langkah mereka berdua.
"Mereka membawa gadis-gadis itu ke Lembah Hitam..."
Serentak Panji dan Gupta menoleh. Ucapan ternyata dikeluarkan dari mulut
Winarti yang tengah berdiri kebingungan. Wajah manis dan tampak mendung itu membuat
Gupta terpana. Tatapan matanya terhunjam lekat ke wajah Winarti, membuat gadis manis
itu tersipu.
Tanpa ragu lagi Gupta melangkah menghampiri Winarti. Tatapannya tak beralih
dari wajah manis itu. Gupta tak berusaha menyembunyikan rasa tertariknya terhadap
gadis itu.
"Kau sendiri hendak ke mana, Nisanak?" tanya Gupta lembut dengan tatapan
penuh kasih yang tulus.
"Aku tidak tahu...," sahut Winarti tertunduk malu "Mungkin aku harus kembali ke
desa. Tinggal bersama paman dan bibi yang selama ini merawatku"
"Pendek...," Gupta tidak,melanjutkan kalimatnya, karena saat wajahnya menoleh,
sosok Pendekar Naga Putih telah lenyap dari tempat itu. Sehingga Gupta kembali berpaling
kepada Winarti.
"Ikutlah bersama kami ke Lembab Hitam, Nisanak. Setelah itu, aku akan
mengantarkanmu. Juga gadis-gadis desa yang diculik perempuan-perempuan Lembah
Hitam itu...," ujar Gupta menawarkan sembari menyentuh lembut bahu Winarti. Senyum
di bibir lelaki itu mengembang, karena Winarti tak berusaha menghindar. Itu berarti
Winarti tahu perasaannya dan tak menolak.
Gupta dan Rancaka kemudian berembuk. Lalu mereka mengajak kawan-kawan
yang masih hidup untuk pergi ke Lembah Hitam guna menyelamatkan gadis-gadis desa
yang berada di tempat itu. Gupta juga memerintahkan beberapa kawannya untuk
mengantarkan pemuda bernama Sidanta ke desanya.
"Mari ikut kami...!" ajak Gupta kepada Winarti.
"Namaku Winarti...," sahut Winarti seraya tersenyum manis kepada lelaki gagah
itu. Kelihatan sekali betapa sinar mata yang semula redup itu telah kembali hidup.
Tampaknya Winarti menerima uluran tangan Gupta.
Gupta, Rancaka, Winarti, dan tokoh-tokoh persilatan yang masih selamat, bergerak
menuju Lembah Hitam. Tempat yang sudah ditinggalkan penghuninya itu masih harus
mereka datangi. Karena di sana banyak gadis-gadis muda yang harus segera diselamatkan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar