MEMBURU HARTA
KARUN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Memburu Harta Karun
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Malam telah larut dan hening.
Suasana begitu pekat, karena cahaya
rembulan bersembunyi di balik gumpalan
awan hitam. Taburan bintang pun tak
lagi tampak menghias malam. Angin
dingin berhembus membawa titik-titik
air yang menetes, membasahi permukaan
mayapada. Suasana malam semakin hening
dan mencekam!
Dalam suasana seperti ini,
rasanya orang akan enggan untuk keluar
rumah. Seperti halnya penghuni rumah
besar yang terletak di sebelah Selatan
kotaraja itu, atau tepatnya di Desa
Karang Kemiri. Rumah itupun terlihat
sepi bagaikan tak berpenghuni.
Dua orang laki-laki yang bertugas
jaga, tampak meringkuk malas di gardu
jaga. Sesekali mereka terlihat menguap
menahan serangan kantuk. Mata mereka
menyipit dan terasa berat. Dapat
dipastikan tidak lama lagi keduanya
akan jatuh terridur.
Di tengah kegelapan malam dan
titik-titik air yang jatuh membasahi
bumi itu, tampak belasan sosok tubuh
berlarian mendekati rumah besar itu.
Mereka yang rata-rata mengenakan
pakaian serba hitam bergerak lincah
menyelinap di antara bayang-bayang
pohon. Wajah mereka tidak terlihat
jelas karena tertutup selembar
saputangan hitam.
Tidak lama kemudian belasan sosok
tubuh itu tiba di bawah tembok tinggi
yang kokoh. Sejenak mereka memandangi
tembok tinggi yang mengelilingi rumah
besar itu. Sesaat kemudian salah
seorang dari mereka membalikkan
tubuhnya membelakangi tembok. Kedua
tangannya ditadahkan ke arah kawan-
kawannya dengan keadaan posisi kaki
kuda-kuda. Kemudian satu-persatu
kawannya melompat dengan kaki menjejak
tangan yang ditadahkan itu Maka orang
yang membelakangi dinding itu seketika
melemparkan tubuh kawannya.
Perbuatan itu terus dilakukan
berkali-kali hingga akhimya seluruh
kawannya telah berhasil melewati
tembok itu. Sedangkan dia sendiri
bergegas menjejak tanah, maka tubuhnya
langsung melambung melewati tembok
Rupanya orang itu memiliki kepandaian
yang lebih tinggi daripada kawan-
kawannya.
Setelah berhasil melewati tembok
yang mengu-rung bangunan rumah besar
itu, belasan sosok tubuh itu berpencar
menjadi tiga kelompok. Masing masing
kelompok terdiri dari empat orang.
Mereka berpencaran untuk memasuki
bangunan besar itu dari tiga jurusan.
Salah satu dari kelompok orang
berpakaian hitam itu bergerak
mendekati pos jaga. Dua orang dari me-
reka cepat membekap mulut, kemudian
menancapkan senjatanya ke perut dua
orang penjaga pos yang tengah
terkantuk-kantuk.
"Huh! Anjing-anjing pemalas!
Tidurlah kalian untuk selamanya,"
gumam salah seorang dari mereka sambil
membersihkan darah yang menetes dari
senjatanya, setelah menghabisi nyawa
dua orang penjaga itu. Kemudian ia
menggerakkan kepalanya sebagai isyarat
untuk memasuki bangunan besar yang
jadi sasaran mereka.
Sementara itu di dalam sebuah
kamar rumah besar itu, tampak seorang
wanita cantik berusia sekitar tiga
puluh lima tahun tengah terjaga dari
tidurnya. Rasa gelisah merayapi
hatinya. Tangannya bergerak menggapai-
gapai untuk membangunkan seorang laki
laki yang tampak masih terlelap di
sampingnya.
"Kang...," panggil wanita itu
pelan sambil mengguncang-guncangkan
tubuh suaminya yang berusia sekitar
lima puluh tahun.
"Hmmmh...," laki-laki itu hanya
bergumam pelahan tanpa berusaha
membuka matanya. Tapi ketika merasakan
guncangan pada tangannya semakin
keras, akhimya laki-laki itu terbangun
juga.
"Hhh.... Ada apa?" tanya laki-
laki itu, malas.
"Aneh! Malam ini hatiku gelisah
terus, Kang."
"Aaah! Jangan.terlalu mengikuti
perasaan. Sudah, tidurlah!" sergah
suaminya yang segera kembali
membaringkan tubuh tanpa mempedulikan
perasaan istrinya. Sebentar kemudian,
dengkurnya kembali terdengar.
Mendengar jawaban suaminya yang
acuh, wanita itu terdiam. Pelahan-
lahan direbahkan kembali tubuhnya di
atas pembaringan yang beralaskan sutra
berwarna merah muda. Meskipun
kegelisahan masih menghantui, namun
wanita cantik itu berusaha untuk
memejamkan matanya rapat-rapat.
Belum lagi sempat. terlena, tiba-
tiba terdengar suara benda jatuh ke
atas lantai. Wanita cantik itu
langsung bangkit dengan wajah diliputi
ketegangan.
"Siapa itu...?" tanya wanita itu
was-was.
Sementara tangan berjari lentik
itu terus mengguncang-guncang tubuh
suaminya. Sehingga, laki-laki itu
kembali terbangun karena merasa
terganggu.
"Sssttt..!" sebelum sang suami
sempat bertanya, wanita cantik itu
segera meletakkan jari telunjuknya di
mulut. Kemudian dengan suara lirih
diceritakan apa yang tadi didengamya.
"Huh! Paling-paling hanya tikus
nakal!" gumam laki-laki itu, kesal.
Namun untuk memuaskan hati istrinya
laki-laki gagah itu bangkit juga
sambil menyambar senjatanya yang
tergantung di dinding kamar.
Baru saja beberapa tindak kakinya
melangkah, tiba-tiba laki-laki
setengah baya itu berhenti.
Dikerahkannya segenap panca indranya
ketika mendengar suara-suara yang
mencurigakan pada waktu menghampiri
pintu tadi. Tapi begitu tidak lagi
terdengar suara-suara yang
mencurigakan segera diusirnya bayang-
bayang buruk yang tergambar di
benaknya.
"Ah! Mungkin aku hanya terbawa
kegelisahan istriku saja," ujar laki-
laki dalam hati.
Meskipun telah berhasil mengusir
bayangan buruk itu, namun
kewaspadaannya tetap ditingkatkan
ketika melangkah menuju pintu kamar.
Dari langkah kakinya yang ringan dan
tak menimbulkan suara, dapat diduga
kalau laki-laki gagah itu tentu
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Pada saat jarak laki-laki gagah
itu dengan pintu hanya sekitar satu
tombak lagi, mendadak....
Brakkk!
Daun pintu itu langsung hancur
berantakan. Empat orang yang
mengenakan pakaian serba hitam
serentak melompat masuk dengan senjata
terhunus. Wajah mereka tertutup
sehelai kain hitam hingga sukar
dikenali.
"Garbala! Kalau kau dan
keluargamu ingin selamat, cepat
serahkan peta harta itu padaku!" ancam
salah seorang dari mereka galak.
"Kurang ajar! Siapa kau
sebenarnya Perampok Busuk?! Apa yang
kau maksudkan dengan peta harta itu?"
bentak laki-laki gagah yang dipanggil
Garbala marah. Dan ia merasa heran
ketika mendengar orang berpakaian
hitam mengenalnya.
"Huh! Siapa adanya aku, itu bukan
urusanmu! Sekarang cepat serahkan peta
harta itu sebelum kesabaranku habis!"
orang itu mulai menggeram gusar.
"Maaf, Kisanak. Aku benar-benar
tidak mengerti apa yang kau ucapkan
itu. Lagipula, kalaupun peta harta
yang kau maksudkan itu ada padaku
belum tentu aku bersedia
menyerahkannya padamu!" jawab Garbala
tegas.
"Hm.... Jangan berpura-pura
bodoh, Garbala. Orang-orang telah tahu
kalau kau adalah keturunan Patih
Gajati Denta. Seorang patih yang tamak
dan serakah pada lima puluh tahun yang
lalu. Karena terlalu serakah terhadap
harta, akhimya ia tewas di tangan para
pendekar yang memang sangat
membencinya. Namun sayang, para
pendekar tidak berhasil menemukan
harta yang ditimbunnya sejak muda itu.
Dan kau sebagai keturunannya pasti
mengetahui di mana harta itu
disimpan," ujar salah seorang yang
sebagian wajahnya tertutup kain hitam.
"Aneh! Mengapa kau lebih tahu
daripada aku? Siapa kau sebenarnya?"
tanya Garbala semakin penasaran,
karena orang itu mengetahui riwayat
kakeknya dulu. Dan hal itu rasanya
tidak mungkin diketahui sembarang
orang. Pastilah orang itu telah
mengenal keluarganya dengan baik.
Garbala berusaha mencari jawaban dari
semua itu, tapi otaknya seperti sulit
untuk diajak berpikir.
"Bangsat! Rupanya kau pun sama
tamaknya dengan kakekmu itu! Kau akan
menyesal, Garbala!" bentak orang
bertopeng itu.
Setelah berkata demikian, orang
itu segera menerjang Garbala.
Pedangnya berkelebat mengancam tubuh
laki-laki gagah itu.
Tranggg!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur sejauh
empat langkah, ketika golok besar
Garbala menangkis senjata lawan.
Mereka masing-masing terpaku sejenak
seraya sedikit melirik senjatanya
kalau-kalau menjadi rusak akibat
benturan itu.
Bagaikan dua ekor ayam jago,
keduanya saling pandang penuh
kewaspadaan. Baik Garbala maupun
lawannya sama-sama mencari kelemahan
satu sama lain. Dua orang yang
bersiap-siap melanjutkan pertarungan
itu kali ini terlihat lebih berhati-
hati. Ternyata dalam benturan senjata
tadi ternyata tenaga mereka berimbang.
"Heaaattt..!"
Kali ini Garbala membuka serangan
teriebih dahulu. Golok besarnya
berputar menimbulkan desir angin tajam
yang menderu-deru. Laki-laki gagah itu
rupanya telah siap mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk cepat
menyelesaikan pertarungan.
Tusukan golok besar Garbala
berhasil dihindari lawannya hanya
dengan menarik kaki depannya ke
belakang. Dan secepat itu pula
disabetkan pedangnya ke leher Garbala.
Tentu saja laki-laki gagah itu menjadi
terkejut melihat kecepatan gerak
lawan. Bergegas dilempar tubuhnya ke
belakang sehingga serangan lawan
mengenai tempat kosong.
Namun Garbala salah sangka kalau
ia mengira dapat lolos dari sambaran
pedang lawan. Karena begitu kakinya
mendarat ternyata desingan senjata
lawan terasa berkelebat dekat
telinganya. Cepat-cepat kepala Garbala
merunduk, maka pedang itu lewat
beberapa rambut dari kepalanya. Tapi
belum lagi posisinya sempat
diperbaiki, sebuah tendangan lawan
telah menyongsong ke arah dada.
Bukkk!
"Hukkk...!"
Tubuh Garbala terpental deras ke
belakang dibarengi muncratnya darah
segar dari mulut.
"Oh, Kakang...! Kau... kau
terluka?!" teriak wanita yang sejak
tadi menggigil ketakutan begitu
melihat suaminya terkapar.
Meskipun isi dadanya sempat
terguncang akibat tendangan lawan,
Garbala bergerak bangkit seraya
melintangkan pedangnya.
"Tetaplah di sini, Wilarni. Biar
akan kucoba menahan mereka!" ujar
Garbala berusaha menenangkan istrinya
yang ternyata bemama Wilarni itu.
"He he he.... Menyerahlah,
Garbala. Lebih baik serahkan peta
harta karun padaku Apakah tak merasa
sayang kepada istrimu yang cantik
molek itu," ejek lawannya terkekeh.
"Sudah kukatakan, aku sama sekali
tidak tahu menahu tentang peta harta
yang kau sebutkan," sahut Garbala
geram. Laki-laki gagah ini masih tidak
mengerti, dari mana orang itu menduga
kalau ia menyimpan peta harta milik
kakeknya. Padahal, tentang peta itu
pun baru diketahuinya beberapa minggu
terakhir ini. Itu pun didengarnya dari
orang lain.
"Betul, Kisanak. Kami sama sekali
tidak mengetahui tentang peta harta
yang kau maksudkan itu," Wilarni ikut
pula meyakinkan orang-orang yang
bertopeng itu.
"Keras kepala! Manusia-manusia
tamak mampuslah!" sambil membentak
keras orang bertopeng itu kembali
membabatkan pedang ke tubuh Garbala
yang sudah bersiap menghadapinya.
***
Sementara itu di tempat lain,
tapi masih di dalam bangunan besar
itu, sudah. pula terjadi perkelahian.
Delapan orang berpakaian hitam
yang lain rupanya telah berkumpul dan
bertempur melawan dua anak muda yang
dibantu beberapa orang lainnya.
"Kakang! Aku mengkhawatirkan
keadaan Ayah!" teriak seorang gadis
cantik berpakaian sutra merah muda
sambil menangkis serangan lawan dengan
pedangnya. Dan secepat kilat gadis itu
membalas dengan tidak kalah ganas.
"Hm.... Lebih baik kita cepat-
cepat habisi orang-orang gila ini.
Setelah itu, baru kita melihat keadaan
Ayah," sahut seorang pemuda tampan
berusia sekitar delapan betas tahun.
Setelah berkata demikian, pemuda
itu semakin mempercepat gerakan
pedangnya hingga menimbulkan angin
menderu-deru.
Namun, ternyata kepandaian orang-
orang berpakaian serba hitam itu rata-
rata cukup tinggi. Sehingga, biarpun
mereka telah berusaha mendesak lawan,
tetap saja keadaannya tidak berubah.
Malah kadang-kadang dua anak muda dan
para pengikutnya yang terdesak
serangan lawan-lawannya.
Tiba-tiba, ditengah bisingnya
suara pertempuran, terdengar sebuah
siulan panjang yang menusuk telinga.
Tepat saat suara siulan itu lenyap,
berkelebatan sosok tubuh yang
mengenakan pakaian biru gelap sambil
membabatkan pedang bersinar putih ke
tubuh salah seorang kawanan berjubah
hitam. Terdengar teriakan ngeri
disertai semburan darah segar yang
membasahi lantai. Salah, seorang dari
kawanan baju hitam itu roboh tewas
dengan leher hampir putus.
"Paman Gatar...!" seru sepasang
muda-mudi itu gembira. Jelas terlihat
kalau keduanya sudah amat mengenal
orang yang baru datang itu.
"Pendekar Pedang Kilat..!" seru
tujuh orang laki-laki berpakaian hitam
itu kaget.
Seketika kegentaran menyelimuti
hati mereka. Memang, siapa yang tidak
mengenal nama besar Pendekar Pedang
Kilat yang telah mengguncangkan dunia
persilatan dengan sepak terjangnya
yang menggiriskan. Untuk beberapa saat
lamanya, ke tujuh orang berpakaian
serba hitam itu hanya berdiri terpaku.
"Hm.. siapa kalian? Dan apa
maksudnya datang ke tempat ini?" tanya
Gatar yang berjuluk Pendekar Pedang
Kilat. Sinar mata pendekar itu
mencorong tajam hingga membuat tujuh
orang itu semakin gentar.
"Paman, hadapilah mereka! Aku dan
Adik Suntini akan melihat keadaan
Ayah!" teriak pemuda tampan itu yang
langsung berkelebat meninggalkan arena
pertempuran. Sedangkan di belakangnya,
gadis cantik yang bemama Suntini itu
berlari mengikuti kakaknya.
"Baik, Shindura! Jangan khawatir,
mereka hanyalah tikus-tikus busuk yang
kelaparan dan tak perlu ditakuti,"
sahut laki-laki yang berjuluk Pendekar
Pedang Kilat itu tenang. Sedikit pun
tidak terlihat kegentaran pada raut
wajahnya.
"Huh! Kau terlalu sombong,
Pendekar Pedang Kilat! Biarpun kau
memiliki kepandaian yang tinggi, tapi
jangan harap kami akan tunduk
kepadamu!" sahut salah seorang yang
bertubuh gemuk. Begitu ucapannya
selesai, tubuhnya meluncur disertai
bentakan keras. Gerakan itu segera
diikuti enam orang lainnya.
Serangan tujuh orang berseragam
hitam yang serentak itu, tidak membuat
Gatar gugup Sambil berteriak-teriak
nyaring tubuhnya bergerak di antara
kelebatan sinar-sinar pedang lawan.
Sesekali pedang bersinar putih di
tangannya melakukan serangan balasan.
Angin tajam berkesiutan menandakan
kalau tenaga dalam yang terkandung di
dalamnya begitu kuat Sehingga,
kepungan lawan-lawannya menjadi buyar
seketika.
Walaupun kepandaian Pendekar
Pedang Kilat masih lebih tinggi
daripada lawan-lawannya, tapi untuk
menghadapi keroyokan tujuh orang yang
rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi, tidaklah mudah. Karena mereka
bertempur secara kompak dan saling
melindungi. Dan itu menyulitkan untuk
dapat mendesak mereka.
***
Di tempat lain, Garbala yang
tengah bertempur melawan empat orang
bertopeng hitam tengah mati-matian
mempertahankan nyawanya. Seluruh
tubuhnya telah dipenuhi goresan
senjata lawan-lawannya. Pakaian yang
dikenakannya sudah tak ubahnya pakaian
seorang pengemis gembel. Garbala sudah
tidak mempedulikan lagi segala rasa
pedih yang diderita. Yang ada dalam
pikirannya adalah, bagaimana caranya
mempertahankan dan keselamatan diri
dan istrinya yang tengah merungkut di
sudut kamar itu. Sementara, kamar yang
dijadikan arena pertarungan lebih
mirip kapal pecah. Beberapa kursi
telah patah-patah. Beberapa hiasan
dinding, tidak karuan lagi bentuknya.
"Bangsat! Rupanya kau lebih
sayang peta harta itu daripada
nyawamu! Kau memang patut mampus,
Garbala!" teriak orang bertopeng itu
geram melihat sikap lawannya yang
kepala batu itu.
Crakkk!
"Aaahhh...!"
Tubuh Garbala melintir akibat
hantaman pedang lawan yang mengenai
punggung. Darah kembali mengalir dari
luka memanjang itu. Wajahnya
berkerinyut menahan sakit pada
punggungnya.
"Nah! Terimalah kematianmu,
Keparat!" bentak orang berbaju hitam,
kehilangan kesabarannya^
"Kakang...!" Wilarni menjerit
histeris melihat kematian suaminya
yang sudah di ambang pintu.
Wutttt!
Tranggg!
"Uhhh...!"
Tepat pada saat mata pedang
hampir memenggal kepala Garbala, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat
menyampok dengan senjatanya hingga
menimbulkan pijaran api yang menerangi
kamar itu sekejap. Sosok bayangan itu
mengeluh pendek, dan tubuhnya seketika
terjajar beberapa langkah ke belakang.
Memang, tenaga dalamnya masih lebih
rendah dibandirig orang berpakaian
hitam itu. Mulutnya meringis menahan
rasa ngilu yang menusuk hingga ke
bahunya.
Sedangkan orang berbaju hitam itu
melompat mundur karena terkejut
pedangnya yang sudah hampir memenggal
kepala Garbala terpental balik.
Kegusaran yang amat sangat tergambar
jelas di wajahnya. Tanpa banyak cakap
lagi, diayunkannya pedang itu ke arah
pemuda remaja yang tadi menangkis
senjatanya.
"Kakang Shindura, awasss...!"
Gadis cantik yang bernama Suntini
terpekik memperingatkan kakaknya yang
tengah terancam bahaya. Suntini yang
baru saja tiba di kamar itu tidak
sempat lagi menyelamatkan kakaknya.
Gadis itu hanya dapat memandang
disertai wajah pucat
Pada saat yang gawat, Garbala
yang berada di bawa kaki putranya
segera mengakat golok besarnya untuk
melindungi Shindura.
Tranggg!
"Huakkk..,!"
Laki-laki setengah baya itu
kembali terpental sambil memuntahkan
segumpal darah segar. Meskipun
usahanya berhasil, namun keadaan
tubuhnya yang sudah lemah dan terluka
itu tidak sanggup menahan tenaga lawan
yang sangat kuat itu. Akibatnya,
Garbala langsung roboh pingsan karena
dadanya bagaikan dihantam sebuah batu
besar akibat benturan tadi.
"Kakang..!" teriak Wilarni,
langsung berlari menubruk tubuh
Garbala yang tergolek pingsan.
"Ayah...!" seru Shindura dan
Suntini berbarengan. Mereka segera
berlari untuk memeriksa keadaan
ayahnya.
Laki-laki berbaju hitam yang
sebagian wajahnya tertutup selembar
kain hitam itu sama sekali tidak
tergugah perasaannya. Malah kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya.
Segera disabetkan pedangnya ke arah
empat orang anak beranak itu tanpa
perasaan iba sedikit pun!
Namun, sebelum ia sempat
mendekati keempat orang itu, mendadak
sesosok tubuh berpakaian biru gelap
telah berdiri menghalangi jalan orang
berbaju hitam. Sebatang pedang
bersinar putih yang masih meneteskan
darah segar tergenggam erat di tangan-
nya.
"Pendekar Pedang Kilat...!" seru
orang itu tersentak mundur. Segera
ditarik senjatanya yang semula. di
arahkan kepada empat orang anak
beranak itu. Sesaat terlihat
kebimbangan di wajahnya. "Mengapa
mencampuri urusanku, Kisanak?!" tanya
orang itu kasar, tapi sedikit gusar.
"Hm... siapa bilang mencampuri
urusanmu?! Kau tahu, dengan membuat
urusan terhadap keluarga ini. berarti
telah berurusan denganku! Mereka itu
masih terhitung keluargaku," sahut
Gatar tenang. "Dan sekali kau membuat
urusan denganku, jangan harap akan
dapat melihat sinar matahari esok
pagi!" ancam pendekar itu dingin dan
menggetarkan.
"Eh!?" seru orang itu
terperangah. "Anak-anak gelombang
besar, lari...!" orang berpakaian
hitam itu yang sudah merasa tidak akan
mampu menghadapi Pendekar Pedang
Kilat, memberi isyarat kepada tiga
orang pengikutnya itu. Sekejap
kemudian, mereka berlompatan
meninggalkan tempat itu.
Pendekar Pedang Kilat yang tidak
ingin melepaskan lawan-lawan begitu
saja, bergegas mengejar. Tapi alangkah
terkejut hati pendekar itu ketika
terdengar desingan yang menyambut
tubuhnya. Maka cepat-cepat tubuhnya
dilempar ke belakang, lalu bergulingan
ke samping kiri untuk menghindari
senjata-senjata rahasia itu.
***
DUA
"Sialan!" maki Gatar, yang
berjuluk Pendekar Pedang Kilat ketika
berhasil menghindari senjata-senjata
rahasia itu, tapi ternyata musuh-
musuhnya telah lenyap.
Pendekar itu segera melangkahkan
kakinya kembali ke dalam rumah besar
milik Garbala. Dia langsung menuju
kamar tempat tadi Garbala tergeletak.
Tampak laki-laki gagah itu sudah
dinaikkan ke pembaringan. Segera
didekati dan diperiksanya luka-luka
yang diderita Garbala. Setelah
beberapa saat lamanya, Pendekar Pedang
Kilat menarik napas lega.
"Hm... untunglah tubuhnya telah
terlatih baik. Kalau tidak, tentu
sudah tewas tadi," ujar Gatar tenang.
Kemudian Shindura diperintahkan
menyediakan air hangat dan kain bersih
untuk membersihkan luka-luka di tubuh
ayahnya.
Beberapa saat kemudian, pemuda
itu telah kembali membawa apa yang
diperintahkan pamannya. Di wajah
remaja itu masih terbayang kecemasan
dan kemarahan terhadap orang-orang
berpakaian hitam yang telah menebarkan
bencana di rumahnya.
"Paman, kenalkah dengan orahg-
orang berseragam hitam itu? Atau Paman
mungkin dapat menebak?, dari
perkumpulan mana mereka?" tanya
Shindura langsung.
Gatar tersenyum tipis mendengar
pertanyaan keponakannya. Ia segera
dapat menduga, kalau pemuda itu akan
bertanya demikian.
"Hm.... Apa yang akan kau lakukan
apabila telah mengetahui tentang
perkumpulan mereka?" Pendekar Pedang
Kilat malah balik bertanya. Tentu saja
hal ini membuat kening pemuda itu
berkerut dalam.
"Tentu saja aku akan mendatangi
dan meminta pertanggungjawaban mereka,
Paman. Katakanlah, apakah Paman
mengetahuinya?" desak Shindura semakin
penasaran.
"Hhh.... Sayang sekali Paman
tidak mengetahuinya, Shindura. Tapi
kalau melihat dari cara mereka,
kemungkinan besar dari golongan
sesat," jawab Gatar sambil melayangkan
pandangannya keluar kamar.
Setelah selesai membersihkan
luka-luka di tubuh Garbala agar tidak
membengkak, Garbala melangkahkan
kakinya keluar dari kamar itu.
Sedangkan Shindura dan acfiknya
bergegas mengikuti pamannya. Mereka
melangkah lambat di belakang laki-laki
yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu. Sejenak tak ada yang berbicara
sedikit pun.
"Ini sudah yang kedua kalinya
rumah kami disatroni tamu-tamu yang
tak diundang itu, Paman. Dan anehnya,
meskipun kedua gerombolan itu
berlainan partai, tapi mereka
mempunyai tujuan sama," jelas Shindura
yang masih merasa penasaran.
"Hm.... Apa sebenarnya yang
mereka inginkan, Shindura?" tanya
Gatar sambil membalikkan tubuhnya
menghadap kedua anak muda itu. Memang,
Pendekar Pedang Kilat belum mengetahui
duduk persoalannya, karena baru saja
tiba pagi tadi.
"Peta harta," jawab pemuda itu
cepat. "Itulah yang mereka inginkan.
Padahal sepengetahuan kami, Ayah sama
sekali tidak mengetahui tentang peta
harta itu. Apalagi menyimpannya."
"Apakah yang kau maksudkan peta
harta kakek-mu yang bernama Patih
Gajah Denta? Itukah yang mereka
inginkan?" tanya Pendekar Pedang Kilat
ingin kepastian. Rupanya, dia sudah
mulai dapat meraba apa yang menjadi
penyebab kejadian tadi.
"Eh! Jadi, Paman sudah pula
mendengar tentang peta harta itu?
Bagaimana Paman dapat mengetahui nya?"
kali ini gadis cantik yang bernama
Suntini yang keheranan.
"Hhh.... Ayahku pernah bercerita
tentang sifat kakekmu. Hartanya yang
berlimpah memang didapat dari hasil
keringat rakyat. Bahkan menurut cerita
yang kudengar, kekayaan kakekmu itu
sampai melebihi kekayaan yang dipunyai
sang prabu sendiri. Ayahmu yang tidak
suka akan sifat kakeknya itu mencoba
menentangnya, tapi gagal! Akhimya, ia
melarikan diri dan berguru kepada
ayahku," tutur pendekar itu sambil
melepaskan pandangannya ke kaki langit
sebelah Timur yang mulai menampakkan
cahaya kemerahan. Rupanya hari telah
menjelang pagi.
"Teruskanlah, Paman," pinta
Suntini ketika melihat pamannya
seperti tidak ingin bercerita lagi.
"Hm.... Apakah ayahmu tidak pemah
menceritakannya?" tanya Pendekar
Pedang Kilat heran.
"Sama sekali tidak pernah, Paman.
Dan kalau kami tanya pun, Ayah selalu
mengelak. Hingga kami menjadi semakin
penasaran!" sahut gadis itu cemberut.
"Hm...," Gatar hanya bergumam tak
jelas. Kemudian tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, tubuh laki-laki
gagah itu berbalik, meninggalkan
tempat itu.
"Paman...!" Suntini dan Shindura
berlari memanggil. Kedua remaja itu
bergegas menghadang langkah pamannya.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik
kalian pergi istirahat Aku janji akan
menceritakan selengkapnya," sahut
Pendekar Pedang Kilat membujuk. Dan
sebelum kedua remaja itu sempat
membuka mulut, Gatar sudah melesat
pergi tanpa sempat dicegah. Tinggallah
Shindura dan Suntini terpaku bisu.
***
Pagi begitu cerah. Burung-burung
berkicau riuh menyambut kedatangan
sang mentari. Kesibukan mulai nampak
di Desa Karang Kemiri.
Beberapa hari setelah kejadian di
rumah besar yang dihuni keluarga
Garbala, tampak disibuki oleh beberapa
orang yang lalu lalang. Di halaman,
juga tampak tiga buah kereta yang
cukup besar berjajar seperti menunggu
sesuatu.
Tidak lama kemudian, tampak
Garbala dan istrinya menaiki kereta
terdepan yang ditarik empat ekor kuda
besar dan kokoh. Sepertinya, kuda-kuda
itu memang dipersiapkan untuk menempuh
perjalanan jauh.
Sedang Shindura, Suntini, dan
Gatar, masing-masing sudah berada di
atas kudanya. Demikian pula belasan
orang lainnya yang merupakan para
pembantu keluarga Garbala. Mereka pun
akan akut mengawal kepergian keluarga
itu.
Tapi belum lagi kereta sempat
berangkat, tiba-tiba terdengar suara
terkekeh serak berkumandang.
"He he he... dasar nasibku memang
sedang sial. Maksud hati ingin
menikmati makanan lezat, tapi orang
yang hendak dikunjungi malah akan
bepergian. Huh...! Sungguh sial
nasibku," keluh seorang kakek
berpakaian pengemis penuh tambal. Ia
berjalan sambil tak henti-hentinya
menggelengkan kepala seolah-olah
menyesali nasibnya.
Shindura dan Suntini bergegas
menggeprak kudanya menghampiri kakek
pengemis itu. Mereka merasa heran
ketika melihat pakaian yang dikenakan
kakek itu. Sebab meskipun penuh
tambalan, tapi terlihat bersih tidak
seperti pakaian yang dikenakan
pengemis sewajarnya. Dan tongkat yang
dipegang kakek itu lebih mengejutkan
mereka, karena terbuat dari sebatang
baja berwarna hitam. Yang jelas bukan
tongkat kayu butut.
"Siapakah Kakek ini? Dan apa
maksud kata-kata kakek tadi?" sapa
Shindura ramah.
Pemuda itu meskipun sebagai anak
keluarga hartawan, namun sama sekali
tidak memiliki sifat sombong. Apalagi
untuk memandang rendah orang lain.
Bahkan seorang pengemis sekalipun!
"He he he.... Siapakah kau, Anak
Muda?" tanya. kakek pengemis itu
sambil menatap Shindura dan Suntini
penuh selidik. Sama sekali tidak
dipedulikan pertanyaan Shindura.
"Hm... Kakek pengemis ini mungkin
orang sinting. Pertanyaanku belum
dijawab, tapi malah balik bertanya,"
pikir pemuda itu sambil tersenyum.
Shindura sama sekali tidak merasa
jengkel karena pertanyaannya tidak
dibalas. la segera melompat turun dari
atas punggung kudanya, namun wajahnya
tetap ramah terhias senyum manis.
"Aku Shindura, dan ayahku bernama
Garbala. Sedangkan gadis itu adikku,
namanya Suntini. Nah, sekarang kakek
harus menjawab pertanyaanku. Siapakah
kakek? Dan apa maksud kakek datang ke
sini?" tanya Shindura. Suaranya tetap
ramah dan halus.
"Hm.... Kau anak Garbala. Kalau
begitu, inilah jawabanku!"
Setelah berkata demikian, kakek
pengemis itu melompat sambil
mengayunkan tongkatnya ke arah kepala
Shindura. Ayunan tongkat itu terdengar
mengaung keras dan menimbulkan desiran
angin tajam.
Wuttt!
"Hei...!"
Shindura berteriak kaget melihat
serangan yang berbahaya itu. Cepat-
cepat tubuhnya dilempar ke belakang
sambil mencabut pedangnya. Pemuda itu
semakin terkejut ketika tongkat baja
di tangan kakek pengemis itu terus
mencecarnya. Karena tidak mempunyai
kesempatan mengelak, akhimya pemuda
itu menggerakkan pedangnya menangkis
tongkat baja itu.
Tranggg!
"Uhhh...!"
Terdengar suara benturan yang
memekakkan telinga dibarengi pijaran
bunga api yang berhamburan. Shindura
berteriak tertahan dan tubuhnya
terlempar sejauh tiga tombak. Pemuda
itu merangkak bangkit, lalu mencari-
cari pedangnya yang terpental entah ke
mana. Sementara tulang tangan kanannya
terasa bagai berpatahan. Sambil
meringis menahan sakit, Shindura
bersiap menghadapi segala kemungkinan
"He he he.... Tidak jelek...
tidak jelek...," puji kakek pengemis
itu sambil terkekeh senang.
Sementara itu, Suntini yang
melihat kakaknya terlempar segera
melompat turun dari atas kudanya. Tan-
pa banyak cakap lagi, gadis cantik itu
cepat meluncur ke arah kakek pengemis
disertai ayunan pedangnya.
"Kakek Jahat, terimalah
seranganku!" teriak Suntini marah.
"Ha ha ha... sabarlah Anak Manis.
Jangan terlalu cepat marah, nanti akan
cepat peot seperti aku," sahut kakek
itu acuh tak acuh.
"Suntini, tahan...!" tiba-tiba
terdengar bentakan keras yang
dibarengi melesatnya sesosok bayangan
memotong serangan Suntini. Dan tahu-
tahu saja beberapa tombak di hadapan
gadis itu telah berdiri Pendekar
Pedang Kilat, yaitu paman gadis itu.
"Paman, kakek gembel itu kurang
ajar sekali! Kakang Shindura bertanya
baik-baik, tapi dia malah
mencelakainya," dengus gadis itu tak
puas.
"Sabarlah, Suntini. Si gembel
peot itu tidak bermaksud melukai
kakakmu. la hanya ingin mengetahui,
sampai di mana kepandaian yang
dimiliki putra sahabatnya itu," jawab
Gatar menerangkan.
"Jadi, kakek gembel itu sahabat
Ayah?" tanya gadis itu ingin
ketegasan.
"Benar! Cah Ayu yang galak. Aku
adalah sahabat lama ayahmu itu," selak
kakek pengemis itu tiba-tiba disefingi
kekehnya yang serak.
"Ha ha ha.... Benar, Suntini Ki
Gala Rengat adalah sahabat baik Ayah,"
ujar Garbala gembira yang tahu-tahu
saja telah berdiri di samping Suntini
"Sifat yang aneh dan pakaian yang
penuh dengan tambalan itulah yang
menyebabkan kaum rimba persilatan
menjulukinya sebagai Pengemis Aneh
Tongkat Sakti."
"Ah! Kalau begitu, maafkan
sikapku yang tidak pantas tadi,
Eyang," ucap Suntini cepat. Dan gadis
itu langsung merubah panggilannya
terhadap Ki Gala Rengat itu. Perbuatan
itu diikuti pula oleh Shindura yang
juga telah berada di tempat itu.
Sedangkan kakek pengemis itu hanya
terkekeh gembira.
"Ha ha ha.... Rupanya
kedatanganku telah mengganggu
kesibukan kalian. Biarlah aku pergi
saja," ujar Pengemis Aneh Tongkat
Sakti sambil membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi.
"Ki, tunggu…!" Garbala cepat
melompat sambil bersalto di udara
menghadang perjalanan kakek pengemis
aneh itu.
"Hhh.... Ada apa lagi, Garbala?
Sudahlah, memang nasibku sedang sial,"
keluh Ki Gala Rengat sambil menghela
napas berat.
"Siapa bilang nasibmu sial. Kau
saja yang tidak tahu diri," ujar
Garbala tersenyum.
"Eh! Apa maksudmu, Garbala?"
tanya kakek itu seraya mengerutkan
kening.
"Bukankah kau hendak singgah di
rumahku? Nah, tunggu apa lagi?
Perjalananku bisa kutunda hingga esok,
bagaimana?"
"He he he.... Benarkah itu,
Garbala? Wah, kalau begitu tali
pinggangku harus siap-siap
dikendurkan," gurau kakek itu gembira.
"Nah, marilah...," ajak Garbala
mempersilakan.
Kedua sahabat lama itu pun
berjalan berangkulan sambil tertawa
gembira. Garbala segera memerintahkan
untuk menunda perjalanan sampai esok
hari.
***
Diri hari sekali, rombongan
Garbala tampak mulai bergerak
meninggalkan Desa Karang Kemiri.
Diterangi . beberapa buah obor,
rombongan kereta kuda itu merangkak
menembus pekatnya kabut pagi.
Di depan tampak Shindura dan
Suntini yang mengapit seorang laki-
laki tinggi besar dan bercambang bauk.
Dialah kepala pengawal keluarga
Garbala. Namanya Maruta. Ia merupakan
orang kepercayaan keluarga itu dan
telah bekerja puluhan tahun.
Sedangkan Garbala dan istrinya
ada di dalam kereta kedua, karena
kereta pertama dan ketiga untuk
barang-barang dan perbekalan yang
dibutuhkan dalam perjalanan.
Beberapa tombak di belakang
kereta yang ditumpangi Garbala, tampak
Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Rupanya pengemis aneh yang
bernama Ki Gala Rengat itu ikut pula
mengawal rombongan. Laki-laki gembel
yang menjadi sahabat Garbala itu
bersedia membantu ketika mendengar
cerita sahabatnya yang sedang terancam
bahaya itu. Itulah sebabnya, mengapa
dia terlihat pula mengawal rombongan.
Sementara Pendekar Pedang Kilat
sendiri berada di belakang. Laki-laki
gagah bernama Gatar itu ikut pula
mengawasi, mengingat dirinya masih
terhitung sebagai kakak seperguruan
Garbala.
Rombongan kereta kuda itu terus
merangkak maju, namun tidak terburu-
buru. Mereka sengaja menghindari
jalan-jalan umum agar tidak terlalu
menarik perhatian orang. Jadi tentu
saja harus melewati jalan yang lebih
sukar dan memakan waktu lebih lama
dari semestinya. Namun, itulah yang
dikehendaki Garbala agar kepergian
mereka tidak diketahui oleh komplotan
orang yang mengincar peta harta yang
sama sekali tidak diketahui.
Ini dilakukan, karena terpaksa
mengikuti kemauan Wilarni yang selalu
dicekam rasa takut dan cemas. Ia tidak
ingin istri yang dicintainya itu
menderita karena diteror orang-orang
yang sama sekali tidak jelas dari mana
asalnya. Daripada istrinya setiap
malam terus terjaga karena rasa
khawatir akan kedatangan komplotan
itu, akhimya Garbala menyetujui usul
Wilarni untuk pindah.
Di kaki langit sebelah Timur,
nampak cahaya kemerahan menyemburat
indah. Itu tandanya, sebentar lagi
sang surya akan muncul menerangi jagad
raya ini. Kicauan burung-burung mulai
ramai menyemaraki suasana pagi yang
tampak cerah itu.
"Aaahhhkkk...!"
Tiba-tiba saja suasana pagi yang
cerah itu dikejutkan oleh teriakan
menyayat, disusul jatuhnya dua orang
pengawal Garbala dari atas punggung
kuda. Setelah menggelepar beberapa
saat, keduanya tewas dengan tubuh
menghitam.
Sekejap kemudian, suasana kontan
menjadi hiruk-pikuk. Kuda-kuda yang
lainnya meringkik ketakutan dan
berlarian ke sana kemari, membuat para
penunggangnya menjadi sibuk untuk
menenangkannya.
"Berlindung...!" Pendekar Pedang
Kilat cepat mengambil keputusan. Gatar
menduga akan adanya serangan gelap
yang mungkin akan berlanjut.
Maka setelah berkata demikian,
pendekar itu sudah melompat turun dari
atas kudanya yang segera diikuti yang
lainnya.
Beberapa ekor kuda segera
berlarian ketika para penunggangnya
melompat turun dari punggung binatang
itu. Kuda-kuda itu terus berlari
bagaikan dikejar setan, sehingga para
penunggangnya hanya dapat memandang
tanpa dapat mencegah.
Sampai beberapa saat lamanya
keadaan menjadi tegang dan mencekam,
tanpa ada serangan. Dan apa yang
diduga Pendekar Pedang Kilat ternyata
meleset. Sampai lama mereka menanti,
tapi tak satu pun dari para penyerang
gelap itu yang menampakkan diri,
"Kalian tetaplah di tempat! Akan
kucoba untuk memeriksa sekitar daerah
ini!" ujar Pendekar Pedang Kilat
kepada yang lain.
Setelah berkata demikian, Gatar
bergegas pergi. Namun sebelum
melangkah lebih jauh, sesosok bayangan
berkelebat di sampingnya.
"Aku ikut, Paman!" tegas bayangan
itu yang ternyata Shindura. Di tangan
pemuda itu telah tergenggam sebatang
pedang.
"Hm... baiklah! Tapi jangan
bertindak ceroboh dan jangan
mendahuluiku!" pesan Pendekar Pedang
Kilat sambil menatap tajam pemuda yang
menjadi keponakannya itu.
"Baiklah, Paman," jawab pemuda
itu cepat. Sekejap kemudian keduanya
langsung .melesat meninggalkan
rombongan. Dengan penuh kesiagaan,
mereka mulai memeriksa daerah sekitar.
Paman dan keponakan itu menyelinap di
antara rimbunan pohon sambil
menajamkan indra pendengarannya.
Sampai agak lama mereka mengamati
daerah sekitar, namun tak satu tanda
pun yang ditemui. Belum lagi keduanya
sempat menarik napas lega, tiba-tiba
terdengar suara-suara pertempuran.
Pendekar Pedang Kilat
mendongakkan kepala untuk menangkap
lebih jelas asal suara itu. Wajah pen-
dekar itu sesaat menegang ketika
mengetahui sumber suara pertempuran
berasal.
"Shindura, ayo kita kembali!"
ajak Gatar cepat. Dan tanpa menunggu
jawaban pemuda itu, Pendekar Pedang
Kilat sudah melesat menuju ke tempat
rombongan berada.
Gatar dan Shindura terkejut bukan
main ketika mendaparj rombongan mereka
tengah bertempur melawan puluhan orang
berseragam hitam, dan sebagian-
wajahnya tertutup selembar kain hitam.
Kepandaian mereka rata-rata cukup
tinggi, sehingga para pembantu Garbala
terdesak hebat.
"Hm... manusia-manusia keparat
dari mana ini?!" geram Gatar yang
segera mencabut senjatanya, langsung
menerjunkan din ke dalam kancah
pertempuran yang semrawut itu.
Shindura yang tidak ingin
ketinggalan oleh pamannya, cepat
menggerakkan pedang sepenuh tenaga.
Sekejap. saja pemuda itu sudah
mengamuk bagaikan harimau marah.
Pedangnya berkelebat menebarkan hawa
maut. Sekejap saja salah seorang lawan
sudah terguling mandi darah.
Di tempat lain, Pengemis Aneh
Tongkat Sakti tampak tengah bertempur
sengit melawan seorang berseragam
hitam yang bersenjatakan sebatang
golok besar. Kepandaian orang itu
tampak hebat sekali, sehingga tokoh
sakti seperti Ki Gala Rengat sempat
dibuat kerepotan.
"Hm... rasanya sudah dapat
kuduga, siapa kau sebenarnya manusia
pengecut!" ejek Ki Gala Rengat yang
sempat membuat lawannya terkejut
sejenak.
Kesempatan itu tidak disia-siakan
Pengemis Aneh Tongkat Sakti. Cepat-
cepat disabetkan tongkat bajanya ke
kepala lawan hingga menimbulkan suara
mengaung tajam bagai suara ribuan ekor
lebah marah!
Wuttt!
"liihhh...!" Orang berpakaian
hitam itu berseru kaget.
Cepat-cepat dia melempar tubuhnya
ke belakang, menghindari serangan yang
mematikan itu. Tapi bukan main
terperanjatnya orang berbaju hitam itu
ketika tahu-tahu saja ujung tongkat
baja Ki Gala Rengat meluncur mengancam
perutnya.
Sadar kalau untuk mengelak sudah
tidak mungkin, orang berbaju hitam itu
bergegas menggerakkan golok besamya
untuk menangkis tusukan tongkat lawan.
Tranggg!
"Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentang
nyaring yang memekakkan telinga. Bunga
api seketika berpijar menandakan
betapa kuatnya tenaga benturan itu.
Keduanya berseru tertahan, dan sama-
sama terpental balik.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti
terjajar mundur sejauh enam langkah.
Kakek itu cukup terkejut ketika
merasakan kalau kekuatan tenaga dalam
lawannya ternyata. hampir menyamainya.
Buktinya, benturan itu sempat membuat
lengan kakek itu bergetar. Dan hal itu
membuatnya lebih berhati-hari dalam
menghadapi lawan.
Sedang orang-orang berpakaian
hitam itu terlempar dan jatuh
bergulingan sejauh beberapa tombak.
Namun dengan gesit ia melompat bangkit
sambil menyeringai menahan rasa nyeri
yang menusuk lengannya. Seketika
terlihat sinar kegetaran dari sepasang
matanya.
"He he he.... Hari ini kau tak
akan lolos dari tanganku, Manusia
Pengecut! Nah, bersiaplah melayat ke
neraka!" ejek Pengemis Aneh Tongkat
Sakti terkekeh.
Setelah berkata demikian kakek
pengemis itu kembali memutar tongkat
bajanya, sehingga menimbulkan deru
angin keras yang menerbangkan daun-
daun kering di sekitarnya. Inilah
jurus andalannya yang bernama jurus
'Tongkat Sakti Penggetar Jagad' yang
telah mengangkat namanya dalam rimba
persilatan
Kelihatan sekali kalau lawannya
begitu terkejut melihat gerakan
tongkat kakek pengemis itu. Sekejap
teriihat ketegangan melipuri wajahnya.
Memang sungguh tidak disangka kalau
dalam rombongan itu terdapat seorang
lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
***
TIGA
"Heaaattt...!"
Dibarengi teriakan mengguntur,
tubuh Pengemis Aneh Tongkat Sakti
melesat menerjang lawan. Sinar hitam
bergulung-gulung hingga menimbulkan
deru angin keras. Benar-benar sebuah
serangan berbahaya!
Orang berpakaian hitam itu
berlompatan menghin-dari serangan
dahsyat tongkat baja Ki Gala Rengat
Sesekali dicobanya untuk membalas
dengan tusukan golok besarnya. Namun,
kembali hatinya merasa terkejut ketika
tusukan-tusukan goloknya selalu
berbalik. Seolah-olah seluruh tubuh
lawan terlindung benteng yang tak
tampak.
Di arena lain, Garbala yang
semula berada di dalam kereta berkuda
kini telah pula keluar dan bertempur
sengit! Sialnya, lawan yang didapat
ternyata memiliki kepandaian yang
lebih tinggi darinya, dan
perkelahianriya jauh dari pengawal-
pengawal maupun anaknya sendiri.
Sehingga, seluruh kepandaiannya harus
dikuras tanpa ada yang membantu.
"Ha ha ha.... Lebih baik cepat
serahkan peta harta itu' kepadaku,
Garbala. Imbalannya, kau akan
kubebaskan!" ejek lawannya tertawa
lepas.
"Huh! Sudah kubilang aku sama
sekali tidak tahu-menahu tentang peta
harta itu! Kalau bisa membunuhku,
silakan! Jangan banyak bacot!" teriak
Garbala gusar.
Sambil berkata demikian. Laki-
laki gagah itu melompat menghindari
sebuah bacokan yang mengancam tubuh.
Rupanya kesabaran orang berbaju
hitam itu telah habis. Sambil
menggereng gusar segera diperhebat
serangan-serangannya. Maka, sebentar
saja Garbala dibuat jungkir balik dan
tak mampu membalas.
"Terimalah ini! Heaaattt...!"
Orang itu membentak keras disertai
ayunan pedang yang menggetarkan
jantung. Senjata itu meluncur deras
dengan kecepatan kilat.
Garbala menggeser tubuhnya ke
kanan, maka serangan itu hanya
mengenai tempat kosong. Rupanya hal
itu sudah diperhitungkan lawan. Dan
secara tiba-tiba saja senjata itu
meliuk membentuk setengah lingkaran.
Sehingga...
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Garbala menjerit kesakitan ketika
tebasan senjata lawan dua kali merobek
tubuhnya. Laki-laki gagah itu
terlempar disertai percikan darah
segar yang berhamburan. Dan sebelum ia
sempat bangkit, sebuah bacokan kembali
membabat perutnya. Kembali tubuh Gar
bala ambruk, dan kini tidak berkutik
lagi.
"Kakang...!" Wilarni menjerit
ketika melihat tubuh suaminya
tergeletak berlumuran darah. Tanpa
mempedulikan keadaan sekelilingnya,
wanita cantik itu segera menghambur
dan menubruk tubuh suaminya yang telah
menjadi mayat itu. Seketika tangisnya
meledak begitu mengetahui suaminya
benar-benar telah tewas.
"Manusia Biadab! Mengapa tidak
kau bunuh aku sekalian, hah?! Mengapa
diam saja?!" Wilarni berteriak-teriak
bagai orang kemasukan setan. Dan
segera saja dia menghambur menerjang
orang berpakaian hitam yang telah
membunuh suaminya itu.
Namun, apalah artinya seorang
wanita lemah seperti Wilarni itu.
Sekali bergerak saja, kedua tangan
istri Garbala sudah tak berdaya dalam
genggaman orang itu. Maka kini Wilarni
hanya dapat memaki dan menjerit-jerit
ketakutan.
"He he he.... Sayang kalau wanita
secantjk dirimu harus matj tanpa bisa
dinikmati terlebih dahulu. Kau
demikian liar dan penuh semangat.
Marilah, Manis. Kita tinggalkan orang
orang ini sebentar, dan akan kubawa
kau terbang ke langit yang ketujuh! He
he he...."
Setelah berkata demikian tangan
orang itu bergerak cepat. Terdengar
keluhan lirih Wilarni, kemudian
tubuhnya tergantung lemas tak berdaya.
Wanita itu telah tertotok di beberapa
bagian tubuhnya. Orang berbaju hitam
itu cepat memondong tubuh Wilarni.
Diiringi tawa yang berkumandang,
orang berbaju hitam itu melesat
meninggalkan arena pertempuran.
Sementara tubuh Wilarni tergantung
lemas di punggungnya. Orang itu terus
berlari memasuki hutan tanpa
menghiraukan pertempuran yang masih
berlangsung. Dan rupanya kejadian ini
juga lolos dari pengamatan rombongan
keluarga Garbala!
***
Sementara itu, pertarungan antara
Pengemis Aneh Tongkat Sakti melawan
orang bersenjata golok besar tampaknya
akan segera berakhir. Lawan kakek
sakti itu kelihatannya sudah putus asa
untuk menghindari serangan tongkat
baja yang terus mengancam tubuhnya
itu. Pakaian hitamnya sudah dibasahi
peluh yang membanjir. Hingga pada
jurus yang ketiga puluh lima ia tak
mampu lagi untuk menghindari hantaman
keras tongkat baja hitam lawan.
Bukkk!
"Aaakhhh...!"
Orang itu menjerit kesakitan
ketika tongkat baja di tangan Ki Gala
Rengat menghantam pada paha kanannya.
Tubuhnya terpental sejauh dua tombak
Namun, daya tahan tubuh yang dimiliki
orang itu memang patut dipuji.
Meskipun tulang pahanya terasa remuk,
tapi tetap saja berusaha bangkit.
Belum lagi ia sempat berdiri tegak,
sebuah hantaman tongkat lawan kembali
bersarang di dadanya.
Tubuh orang itu kembali
terpental, bahkan kali ini lebih jauh
dari yang pertama. Darah segar
menyembur keluar dari mulutnya.
Setelah berkelojotan sejenak, tubuh
itu pun diam tak bergerak. Mati.
Tulang dada orang berbaju hitam itu
remuk akibat hantaman tongkat baja Ki
Gala Rengat.
Sementara itu, Pendekar Pedang
Kilat telah merobohkan lebih dari enam
orang berpakaian hitam yang menyerang
rombongan saudara seperguruannya itu.
Pedang sinar putihnya berkelebat tanpa
ada yang mampu menahannya. Memang
hebat sekali sepak terjang pendekar
itu. Hingga dalam beberapa jurus saja,
tak ada seorang lawan pun yang berani
mencoba mendekatinya.
Tiba-tiba terdengar sebuah siulan
panjang yang melengking memenuhi
sekitar arena pertarungan. Kelompok
berseragam hitam yang hanya tersisa
beberapa belas orang itu sejenak
terpaku dan saling berpandangan satu
sama lain. Sekejap kemudian, mereka
segera berlompatan meninggalkan tempat
itu.
"Bangsati Jangan harap kalian
dapat pergi begitu saja!" bentak
Pendekar Pedang Kilat sambil melompat
yang disertai kelebatan pedangnya. Dua
orang berpakaian hitam yang hendak
melarikan diri kontan terjungkal mandi
darah, tersabet pedang bersinar putih
itu.
Rupanya tidak hanya Pendekar
Pedang Kilat saja yang merasa marah.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti pun tidak
ketinggalan. Dia segera menghajar tiga
orang lawan yang hendak melarikan diri
itu. Tak ayal lagi, tiga orang
berpakaian hitam langsung ambruk tanpa
sempat berteriak. Kepala mereka telah
remuk akibat hantaman tongkat baja
yang sangat berat itu. Apalagi,
senjata itu digerakkan oleh seorang
tokoh sakti seperti Ki Gala Rengat
yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Namun di lain hal, sayangnya tiga
belas orang berpakaian hitam lainnya
berhasil meloloskan diri dan
menghilang ke dalam hutan. Hal ini
benar-benar membuat hati penasaran
Pendekar Pedang Kilat dan yang
lainnya.
"Jangan dikejar...!" seru
Pendekar Pedang Kilat ketika melihat
Shindura, Suntini, dan beberapa orang
lain hendak mengejar. Pendekar itu
sengaja mencegah karena bisa saja hal
itu suatu jebakan.
"Mengapa, Paman? Bukankah mereka
tinggal beberapa orang saja? Apa lagi
yang periu ditakutkan?" tanya Shindura
penasaran sekali melihat lawan-lawan-
nya berhasil meloloskan diri.
"Hm.... Itu sangat berbahaya,
Shindura. Kita tidak tahu, apakah
sekitar daerah itu aman. Belum lagi
orang yang mengeluarkan siulan tadi!
Nampaknya kepandaiannya sangat tinggi.
Aku pun belum tentu sanggup
menandinginya," Gatar menjelaskan
sambil menghela napas berat. "Ternyata
lawan kita mempunyai banyak sekali
orang berkepandaian tinggi. Entah,
dari golongan dan partai mana mereka?"
"Rasanya sudah mulai dapat
kuduga, dari partai mana mereka itu!"
tiba-tiba saja Ki Gala Rengat atau
yang lebih dikenal berjuluk Pengemis
Aneh Tongkat Sakti itu bergumam di
samping Pendekar Pedang Kilat
"Hm.... Benarkah itu? Kalau
begitu, dari partai mana mereka,
Eyang? Katakanlah!" Shindura yang
masih merasa belum puas itu segera
menghampiri, lalu mengguncang tangan
Ki Gala Rengat. Wajahnya terlihat
menegang karena tak sabar ingin
mendengar keterangan dari pengemis
aneh itu.
“He…he..he…Sabarlah, Anak Muda.
Jangan terlalu terbawa amarah. Jika
tak ingin celaka karenanya," sahut
Ki'Gala Rengat terkekeh. "Hm....
Gatar. Pernahkah .kau mendengar
tentang Partai Lima Unsur?" Tanya Ki
Gala Rengat seraya memalingkan
wajahnya ke arah Pendekar Pedang Kilat
Mendengar pertanyaan itu wajah
Pendekar Pedang Kilat mendadak pucat
Tentu saja sebagai seorang pendekar
yang selalu berpetualangan, ia banyak
mendengar berbagai macam partai
persilatan yang terkenal dalam rimba
persilatan. Dan salah satu partai
besar yang sangat ditakuti kaum rimba
persilatan adalah Partai Lima Unsur.
Tak seorang tokoh rimba persilatan pun
yang mengetahui, apakah partai itu
termasuk golongan hitam atau putih.
Karena, Partai Lima Unsur merupakan
partai tertutup dan tersembunyi. Hanya
beberapa tokoh saja yang mengetahui
tentang keberadaan partai itu. Mereka
di antaranya adalah Pendekar Pedang
Kilat dan Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Memang, keduanya merupakan tokoh yang
cukup terkenal di kalangan rimba
persilatan.
"Apakah Ki Gala Rengat yakin
kalau mereka adalah anggota partai
tersembunyi itu?" tanya Pendekar
Pedang Kilat ragu. Ditunggunya jawaban
yang keluar dari mulut kakek itu
dengan hati berdebar. Memang, biar
bagaimanapun, ia lebih suka untuk
tidak berurusan dengan partai yang
amat ditakuti itu.
"Hm... mari kita lihat mayat
orang yang menjadi lawanku tadi," ajak
Pengemis Aneh Tongkat Sakti sambil
melangkah menghampiri mayat lawannya.
Ki Gala Rengat mencongkel mayat
yang tertelungkup itu dengan ujung
kakinya. Kemudian, dirobeknya baju
orang itu pada bagian dada menggunakan
tongkat bajanya. Maka terlihatlah
sebuah lambang bergambar lima jari
yang masing-masing berlainan warna.
Tubuh Pendekar Pedang Kilat dan
Pengemis Aneh Tongkat Sakti bergetar
sejenak ketika menatap lambang yang
tertera pada dada orang itu. Sampai
beberapa saat lamanya, mereka terdiam
sambil menatap lambang itu dengan
jalan pikiran masing-masing.
Tinggallah Shindura dan Suntini
yang terheran-heran menyaksikan dua
orang berkepandian tinggi itu menjadi
terdiam hanya karena melihat lambang
lima jari pada dada mayat itu. Dua
anak muda yang memang belum
berpengalaman dalam dunia persilatan
itu tentu saja menjadi bingung ketika
melihat sinar kekagetan dan kecemasan
membayang di wajah dua orang tokoh
sakti itu.
"Apakah artinya lambang itu,
Paman? Mengapa Paman dan Eyang
kelihatan gentar?" akhimya Shindura
mengeluarkan uneg-uneg yang terkandung
dalam pikirannya. Jelas sekali kalau
Shindura menuntut jawaban pasti dari
kedua orang sakti yang dikaguminya
itu.
"Hhh.... Ketahuilah Shindura,
Suntini. Itu adalah lambang sebuah
partai besar yang sangat ditakuti kaum
rimba persilatan. Partai itu memiliki
ratusan anggota yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Partai itu
terkenal sangat kejam terhadap orang-
orang yang mencampuri urusan mereka.
Setiap orang yang mencampuri urusan
mereka, hukumannya adalah kematian
yang mengerikan," jelas Pendekar
Pedang Kilat sambil menghela napas
berat. Memang bagi Gatar sudah tidak
ada jalan untuk menghindari orang-
orang Partai Lima Unsur itu.
"Kami bukannya takut, Shindura.
Hanya saja, orang-orang rimba
persilatan lebih suka untuk tidak
mencampuri urusan mereka. Karena, hal
itu berarti bunuh diri!" Ki Gala
Rengat ikut pula menimpali.
Wajah kakek itu yang biasanya
penuh senyum, kini tampak penuh
ketegangan.
'Tapi, bukankah mereka yang
teriebih dahulu membuat urusan dengan
kita? Jadi, mengapa kita harus takut,
Eyang?" kali ini Suntini yang berkata.
Nada suaranya terkandung rasa
penasaran yang mendalam.
"Yahhh...," kakek pengemis itu
hanya dapat mendesah. Mendengar
perkataan Suntini. "Kita tunggu saja,
apa yang bakal terjadi nanti?"
Tapi sebelum Shindura dan Suntini
mengemukakan rasa penasarannya lebih
jauh lagi, tiba-tiba salah seorang
pembantu Garbala yang masih tersisa
berlari mendatangi mereka. Napas orang
itu terlihat memburu, dan wajahnya pun
teriihat pucat dan tegang sekali.
"Ada apa?" tanya Shindura cepat
seraya mencabut pedangnya dan bersiap
menghadapi segala sesuatu.
"Anu.... Tuan.... Tuan Besar
Garbala tewas, Tuan Muda," jawab orang
itu gagap.
"Hahhh!?"
Keempat orang itu terkejut bukan
main mendengar berita itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, mereka
segera berlarian mendatangi tempat
kereta berkuda Garbala berada.
"Ayah...!"
Dua anak muda itu serentak
menghambur ketika melihat tubuh
ayahnya terkapar mandi darah. Sesaat
kemudian tangis mereka pun meledak,
sehingga membuat suasana di sekitar
tempat itu menjadi hening kecuali
suara tangisan dua orang kakak beradik
yang tengah dirundung duka mendalam.
Pendekar Pedang Kilat dan
Pengemis Aneh Tongkat Sakti hanya
saling berpandangan satu sama lain
tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
Rupanya mereka berdua ikut larut pula
dalam kesedihan yang dialami dua
remaja itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba
Suntini mendadak bangkit bagai
disengat kalajengking. Sepasang ma-
tanya yang indah itu merayapi
sekelilingnya seolah-olah mencari
sesuatu. Sekejap kemudian tubuh ram-
ping itu melesat ke arah kereta
berkuda yang tadi ditumpangi ayah dan
ibunya.
"Mana Ibu...? Kakang, Ibu..., Ibu
tak ada...?" teriak gadis itu baru
menyadari kalau ibunya tidak ada.
Mendengar kata-kata adiknya,
Shindura menjadi tersadar. Cepat bagai
kilat pemuda itu bangkit dan melompat
ke arah Suntini berada. Dan ketika
tidak menemukan apa yang dicarinya,
pemuda itu menjadi kalap. Ia berlarian
ke sana kemari mencari-cari kalau-
kalau mayat ibunya dapat ditemukan di
antara puluhan mayat yang
bergelimpangan tumpang tindih itu.
Secercah harapan terbesit di hatinya
ketika mayat ibunya tak ditemukan.
"Paman, Eyang.... Ibu..., Ibu
lenyap?" seru Shindura berteriak keras
sehingga membuat dua tokoh sakti itu
bergegas berlari mendatanginya.
"Mari kita cari ibumu, Shindura!
Ki Gala Rengat, tolong jaga Suntini!"
ujar Pendekar Pedang Kilat seraya
meraih lengan Shindura. Beberapa saat
kemudian, tubuh keduanya lenyap di
telan rimbunan pepohonan hutan.
***
Orang berbaju hitam itu terus
melarikan Wilarni masuk ke dalam hutan
lebat dan menyeramkan itu. Setelah
yakin kalau telah berada jauh
meninggalkan arena pertempuran, orang
itu menurunkan tubuh Wilarni di atas
rerumputan hijau yang cukup tebal bak
permadani. Bibir orang itu tersenyum,
tapi senyumnya lebih mirip seringai
srigala yang liar merayapi kelinci
putih mulus.
"He he he.... Marilah kita
bersenang senang sebentar, Manis. Aku
jamin, kau akan seperti berada di
surga rasanya nanti," ujar orang itu
sambil melepaskan pakaiannya satu
persatu, namun matanya terus menatap
penuh nafsu birahi. Kemudian, bagaikan
seekor srigala kelaparan, ditubruknya
tubuh Wilarni dan ditihdihnya kuat-
kuat.
"Bangsat, kau! Manusia Iblis!
Lepaskan aku, tolooonggg...!" Wilarni
berusaha berontak, namun totokan orang
berbaju hitam itu cukup kuat.
Apalagi,..dia hanya seorang wanita
yang tidak dibekali ilmu silat. Istri
Garbala itu hanya mampu berteriak,
hingga akhimya....
Plakkk!
"Ohhh..."
Wilarni mengeluh ketika sebuah
tamparan hinggap di pipinya. Wanita
cantik itu hanya bisa menangis
menerima perlakuan kasar laki-laki
yang dirasuki nafsu iblis itu.
"Huh! Rupanya kau lebih suka
dikasari daripada diperlakukan lemah
lembut! Baiklah, kalau itu yang
diinginkan!"
Setelah berkata demikian, laki-
laki itu menarik pakaiannya dengan
paksa yang dikenakan Wilarni. Ter-
dengar suara kain sobek beberapa kali,
sehingga tampaklah bagian-bagian yang
semakin membuat nafsu bejat orang itu
memuncak.
"Ohhh... jangan...! Kasihanilah
aku. Lepaskan aku!" ratap Wilarni di
antara isaknya. Tubuhnya semakin lemah
karena pengaruh totokan itu masih
mengungkungnya.
"Nah, begitu. Kalau kau menyerah,
kan jadi lebih enak!" ujar laki-laki
itu di antara desah napasnya yang
memburu.
Namun sebelum laki-laki itu dapat
menumpahkan hasrat bejadnya, entah
dari mana, tiba-tiba seorang pemuda
tampan yang mengenakan jubah dan
celana berwarna putih telah berdiri
tegak di belakangnya.
"Hm.... Hendak kau apakan wanita
itu, Manusia Bejad?" tegur pemuda
tampan berikat kepala putih itu
tenang.
Laki-laki yang tengah menggumuli
Wilarni langsung tersentak, dan
bergegas bangkit sambil berusaha
meraih pakaiannya. Jelas sekali kalau
hatinya begitu terkejut akan
kedatangan pemuda tampan yang sama
sekali tidak diduga itu. Segera
dikenakan pakaiannya. Dan karena
merasa kesenangannya terganggu, kema-
rahannya seketika bangkit.
"Kurang ajar! Tak boleh melihat
orang senang! Mampuslah kau," bentak
orang itu geram.
Orang berbaju hitam itu langsung
menyerang pemuda yang menegurnya
dengan sisi telapak tangan miring.
Rupanya ia ingin mematahkan leher
pemuda itu dengan sekali serang.
Pemuda itu cukup terkejut
mendengar desing angin mencicit tajam
yang keluar dari tebasan tangan itu.
Sama sekali tidak terduga kalau orang
yang disangka perampok rendahan itu
ternyata memiliki tenaga dalam tinggi.
Cepat-cepat pemuda itu menggeser kaki
kirinya ke belakang sambil merendahkan
kuda-kudanya.
Wuttt!
"Hmh!"
Pemuda yang ternyata bukan lain
adalah Pendekar Naga Putih itu
mendengus ketika tebasan sisi telapak
tangan lawan lewat di atas kepalanya.
Ikat kepalanya yang berwarna putih
ikut berkibar akibat angin yang
ditimbulkan serangan lawan begitu
kuat. Sebelum pemuda itu dapat
memperbajki kuda-kudanya, tangan kiri
lawan tahu-tahu sudah menusuk pe-
rutnya. Kecepatan gerak orang itu
kembali mengejutkan pemuda yang
bernama Panji itu.
Rasa penasaran membuat Pendekar
Naga Putih tidak berusaha menghindari
tusukan jari-jari sekeras baja itu.
Secepat kilat tangan kanarinya
bergerak membentuk setengah lingkaran
keluar. Maksudnya, sudah pasti hendak
mengukur sampai di mana kekuatan
tenaga orang berbaju hitam itu.
Dierrr!
"Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentam keras
bagaikan dua batang besi yang
dibenturkan. Orang itu berteriak
kaget, lalu tubuhnya terjajar mundur
sejauh enam langkah. Wajahnya meringis
menahan sakit akibat benturan tangan
dengan Pendekar Naga Putih. Tulang-
tulang lengannya kini terasa ngilu.
Tentu saja hal itu membuatnya menjadi
semakin penasaran!
Panji sendiri sebenarnya sempat
dibuat terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau tenaga dalam lawan
cukup tinggi juga. Bahkan lengannya
sempat bergetar akibat menangkis
serangan lawan tadi. Padahal hampir
dari separuh tenaga dalamnya telah
dikerahkan. Benar-benar seorang lawan
yang tidak bisa dipandang remeh.
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda?!
Mengapa mencampuri urusanku?!
Kuperingatkan sekali lagi! Pergilah
sebelum kesabaranku hilang!" bentak
orang itu. Rupanya setelah merasakan
kelihaian pemuda itu, matanya baru
terbuka. Ternyata pemuda tampan di
hadapannya bukan orang sembarangan.
"Kau tidak perlu tahu siapa
diriku, karena itu bukan urusanmu!
Nah! Sekarang, bebaskanlah wanita Itu.
Dan kau akan pergi tanpa aku memberi
hukuman atas perbuatanmu tadi!" sahut
Panji tak kalah gertak.
"Kalau memang itu keinginanmu,
baiklah! Jangan katakan aku kejam
kalau bertindak kasar kepadamu, Anak
Muda.
Setelah berkata demikian,
dihampirinya tubuh Wilarni yang hanya
dapat tergolek lemas. Tubuhnya yang
hampir tanpa pakaian itu tergolek di
rerumputan hijau yang tebal. Orang
berbaju hitam kemudian menggerakkan
tangannya, melepaskan totokan pada
tubuh Wilarni.
"Berhenti! Jangan sentuh wanita
itu!" seru Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih
sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu saja
orang berpakaian hitam itu telah
memasukkan secara paksa sebutir pil ke
mulut Wilarni. Sedang wanita malang
itu hanya mampu memandang terbelalak
dengan wajah pucat.
"He he he.... Jangan khawatir,
Anak Muda. Aku hanya memberi obat
penenang agar tidak dapat pergi ke
mana-mana. Nah! Sekarang, bersiap-
siaplah!" ejek orang itu sambil meraih
sehelai kain hitam yang tadi
dilepaskan. Setelah menutup sebagian
wajah, bergegas dicabut senjatanya.
Dibarengi teriakan memekakkan
telinga, tubuh orang itu meluncur ke
arah Panji disertai ayunan pedang.
Suara pedang itu berdesing nyaring
membelah udara siang.
Pendekar Naga Putih yang sudah
mengetahui kalau lawannya mempunyai
kepandaian yang tinggi, tidak ingin
main-main lagi. Dihirupnya udara
dalam-dalam, lalu dikempos semangatnya
untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan’ yang sangat dahsyat
itu. Kedua jari-jari tangannya
mengembang membentuk sepasang cakar
naga. Rupanya pemuda itu juga telah
mengerahkan ilmu andalan yaitu 'Ilmu
Naga Sakti' yang menggetarkan itu.
Orang berbaju hitam itu kontan
menjadi terkejut merasakan hembusan
angin dingin yang menggigit kulit. Dan
ia semakin terkejut lagi ketika
melihat sekujur tubuh lawan telah
terselimut selapis kabut yang bersinar
putih keperakan. Sejenak hatinya
tertegun ketika teringat seorang
pendekar muda yang baru-baru ini telah
menggemparkan dunia persilatan dengan
ilmu-ilmu dahsyatnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru
orang itu kaget bercampur gentar.
Namun kegentaran hanya sekilas
mewarnai wajahnya. Sesaat kemudian,
sinar kegembiraan terpancar pad
wajahnya. Sudah menjadi kebiasaan
sifat seorang ahli silat yang seperti
mandapat kehormatan apabila bertemu
lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
Rupanya hal itu dirasakan pula oleh
lawan Panji.
Mengetahui kalau lawannya adalah
seorang pendekar muda yang terkenal,
orang itu segera mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Langsung dia meluruk,
disertai serangan dahsyat. Pedangnya
membentuk segunduk sinar yang
menimbulkan angin menderu-deru,
seolah-olah daerah sekitar hutan itu
tengah dilanda angin topan hebat!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri
ketika tusukan pedang lawan mengincar
perutnya. Secepat kilat pemuda itu
segera membalasnya, dengan tangan
kanan terulur ke wah muka lawan. Maka
cepat-cepat orang berbaju hitam itu
menarik wajahnya ke belakang sehingga
serangan Panji hanya mengenai tempat
kosong. Dan secara mendadak, pedang di
tangannya berputar membentuk setengah
lingkaran menebas leher Panji. Dan
cepat-cepat Pendekar Naga Putih
memutar kepalanya disertai kuda-kuda
rendah, dan sekaligus membarengi
dengan hantaman ke lambung lawan.
Orang berpakaian serba hitam itu
tercekat melihat kecepatan pemuda itu.
Kelihatan sekali kalau hatinya merasa
gugup ketika menghindari pukulan yang
datang bagai kilat itu.
Desss!
"Uhhh...!"
***
EMPAT
Terdengar keluhan tertahan ketika
kepalan tangan Panji menghantam
lambung lawan. Untunglah orang berbaju
hitam itu menggeser tubuhnya sedikit
sehingga pukulan Pendekar Naga Putih
tidak terlalu telak menghantamnya.
Meskipun demikian, hal itu sudah cukup
membuat wajahnya memerah dan pucat
berganti-ganti. Rasa malu dan
penasaran membuat orang itu menjadi
semakin kalap. Sementara, tetesan
darah mulai mengalir dari sela-sela
bibimya.
"Hm.... Jangan takabur dulu, Anak
Muda. Aku belum kalah!" bentak orang
itu menggereng murka. Dan secepat
kilat tubuhnya kembali meluncur ke
arah Panji. Kali ini, serangannya
lebih dahsyat dan berbahaya.
Keduanya kini kembali terlibat
pertarungan sengit. Sinar pedang orang
berbaju hitam tampak bergulung-gulung,
dan menimbulkan putaran angin yang
menerbangkan batu-batu kecil dan daun
kering di sekitamya. Pertarungan itu
memang benar-benar hebat dan
mendebarkan!
Pendekar Naga Putih yang sama
sekali belum merasa perlu menggunakan
pedangnya, mengimbangi serangan lawan
dengan hanya menggunakan 'Ilmu Naga
Sakti”. Tubuh pemuda itu bagaikan
seekor naga putih yang tengah bermain-
main di angkasa raya. Suatu saat
tubuhnya menukik cepat bagai hendak
menyelam ke dasar bumi, dan di lain
saat melenting ke udara seraya
berputar. Sepak terjang Pendekar Naga
Putih benar-benar membuat lawan
menjadi pusing tujuh keliling!
Memasuki jurus kelima puluh
empat, sepasang tangan Panji bergerak
cepat bersilangan. Itulah jurus 'Naga
Sakti Masuk ke Gua' yang merupakan
jurus nomor tiga dari 'Ilmu Naga
Sakti' yang amat dahsyat dan sulit
dicari tandingannya. Terpaan angin
dingin berhembus kuat mengiringi
serangannya.
Seketika orang berbaju hitam itu
terkejut bukan main ketika merasakan
tubuhnya bagai dikurung dinding salju
yang tak tampak. Pedangnya membabat
berkali-kali ke arah tubuh Panji.
Namun setiap kali pedang itu
digerakkan, maka setiap kali pula mata
pedangnya membalik dan malah mengancam
dirinya. Melihat kenyataan ini,
seketika hati orang berbaju hitam itu
langsung ciut. Dia tidak mampu lagi
memusatkan perhatiannya. Akibatnya,
orang berbaju hitam itu tidak dapat
lagi menghindari sebuah hantaman lawan
yang menggunakan jari-jari terbuka.
Maka....
Brettt!
"Aaahkkk...!"
Orang itu meraung tinggi ketika
sebuah cakar Pendekar Naga Putih
menghantam bagian dadanya. Tubuh orang
itu terjengkang bagai sehelai daun
kering yang diterbangkan angin. Darah
segar seketika menyembur dari mulutnya
akibat kuatnya hantaman itu. Terdengar
suara berdebuk keras ketika ttubuh
orang itu terbanting di atas tanah
berumput. Namun demikian, daya tahan
tubuh orang itu patut dipuji. Langsung
dikerahkannya hawa murni untuk
melepaskan pengaruh hawa dingin yang
terasa menggigit tulangnya.
Meskipun tubuhnya masih menggigil
kedingjnan, tapi orang itu segera
bangkit berdiri walau agak limbung.
Gigi-giginya bergemeletuk dan wajahnya
pucat bagai kertas. Kembali
dikerahkannya hawa murni untuk
mengusir hawa dingin itu.
Beberapa saat setelah pengaruh
hawa dingin pada tubuhnya berhasil
diusir, orang itu pun kembali
menerjang Panji. Kedua tangannya
bergerak berputaran dengan telapak
terbuka. Diiringi bentakan keras, tu-
buhnya kembali meluruk cepat.
Panji yang sudah berniat
menyudahi pertarungan itu bergerak
cepat menyambut serangan lawan. Tubuh
Pendekar Naga Putih berdiri lurus
bagaikan sebatang kayu. Kedua
tangannya bergerak bergantian, ke
depan dada kemudian naik ke atas
kepala. Dan begitu serangan lawan
tiba, tahu-tahu saja tubuh pemuda itu
melenting ke atas. Kedua kakinya
melepaskan tendangan dua kali
berturut-turut. Sedang tangan kanannya
menghantam batok kepala lawan hingga
jari tangannya terbenam beberapa
rambut.
Desss! Desss! Crakkk!
“Aaarghhh…!”
Jerit kematian kini bagai bergema
memenuhi pen-juru hutan. Darah segar
menyembur dari mulut dan kepala orang
berpakaian hitam itu. Tubuhnya
terjajar limbung dan ambruk ke tanah.
Tewas seketika! Tulang dada dan batok
kepalanya remuk akibat hantaman
Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak
menatap kema-tian lawannya yang
mengenaskan itu. Sejurus kemudian,
pemuda itu segera melangkahkan kakinya
mendekati tubuh Wilarni yang telah
tergeletak pingsan itu.
"Hm... wanita yang malang," gumam
pemuda itu iba.
Pendekar Naga Putih memeriksa
tubuh wanita itu dengan jari-jari
tangannya yang cekatan. Betapa
terkejutnya hati Panji ketika
merasakan ada hawa panas yang keluar
dari tubuh Wilarni. Dan lebih terkejut
lagi ketika melihat seluruh permukaan
kulit tubuh wanita malang itu memerah
bagai udang rebus.
"Uhhh...," terdengar keluhan
wanita malang itu.
Wilarni menggeliatkan tubuhnya.
Sesaat kemudian kedua matanya membuka.
Namun anehnya, sepasang mata wanita
itu tampak merah bagaikan buah saga
masak. Ketika melihat seorang pemuda
tampan tengah bersimpuh di dekatnya,
Wilarni bergegas bangkit. Cepat bagai
kilat langsung dipeluk dan diciuminya
Panji penuh nafsu. Tentu saja hal ini
membuat tubuh Panji bergetar dan
gelagapan.
"Ohhh.... Peluklah aku... ciumlah
aku...," desah wanita cantik itu tanpa
berhenti memeluk dan menciumi Panji.
Tiba-tiba saja Wilarni menarik
sisa-sisa pakaian yang dikenakan
sehingga tubuh molek itu terpampang
jelas tanpa benang sehelai pun yang
menutupinya. Segera direbahkan
tubuhnya di atas rerumputan tebii
sambil terus memeluk Panji.
"Eh! Oh...! Nisanak, sadarlah!
Aku... aku... ufff...!" Panji yang
menjadi kelabakan itu mencoba
menenangkan wanita itu. Namun sebelum
ucapannya habis, mulut pemuda itu
telah diterkam bibir Wilarni yang
panas membara bagai api itu. Seketika
Panji melompat bangun sambil
mendorongkan tangannya sehingga
pelukan wanita itu terlepas. Dan
sebelum Wilarni sempat bangkit
Pendekar Naga Putih segera memberi
totokan di beberapa bagian tubuh
Wilarni hingga jatuh lemas.
"Bangsat! Manusia Biadab,
mampuslah kau!" tiba-tiba terdengar
sebuah bentakan diiringi melesatnya
dua sosok tubuh yang langsung
menerjang Panji.
Singgg!
"Heiii...!"
Panji berteriak kaget ketika
mendengar suara berdesingan tajam yang
membuat bulu kuduknya berdiri. Cepat-
cepat dihindarinya serangan gelap dan
tiba-tiba itu. Tubuhnya mencelat
sejauh tiga tombak, lalu mendarat
ringan di atas permukaan tanah
berumput. Tapi sebelum pemuda itu
sempat menatap penyerangnya, lagi-lagi
terdengar suara berdesing nyaring.
Bahkan kali ini terdengar lebih kuat
dari yang pertama.
Merasa penasaran, Pendekar Naga
Putih cepat mengangkat tangan kanannya
menangkis pergelangan tangan yang
memegang pedang Itu. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, dua pasang lengan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi itu saling berbenturan keras.
Dukkk!
"Aaahhh...!"
Tubuh si penyerang terpental
balik ketika tangannya membentur
tangan Panji yang keras bagai baja
itu. Terdengar teriakan tertahan dari
mulut orang yang menyerang tiba-tiba
itu. Seketika tubuhnya terjajar mundur
sejauh delapan langkah ke belakang.
Wajah orang itu menyeringai menahan
nyeri.
Sementara tubuh Panji juga sempat
bergetar akibat kuatnya tenaga dalam
yang terkandung dalam serangan tadi.
Diam-diam, Pendekar Naga Putih menjadi
heran karena dalam waktu singkat telah
bertemu, dan bertempur melawan dua
orang berkepandaian tinggi.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua?
Mengapa datang-datang menyerangku?"
tanya Panji penasaran. Wajahnya yang
tampan itu terlihat tegang dan tanpa
amarah sedikit pun. Wajah seseorang
yang merasa tak membuat kesalahan.
"Jangan banyak bacot kau, Pemuda
Bejad! Hari ini aku akan mengadu nyawa
denganmu! Hiaaattt..!" teriak orang
itu tanpa banyak cakap lagi. Terlihat
sinar bergulung-gulung menyelimuti
sekujur tubuh orang yang tak lain dari
Gatar atau Pendekar Pedang Kilat.
Langsung dikerahkan seluruh tenaganya
untuk menyerang Panji yang dirasakan
memiliki tenaga dalam tinggi.
Rasanya Panji percuma untuk
berteriak-teriak menyanggah kalau
dirinya merasa tak melakuan apa-apa
terhadap Wilarni. Maka terpaksa
dilayaninya serangan lawan, dan
sesekali melakukan serangah balasan
yang cukup membuat terkejut
Sementara itu pemuda tampan yang
pertama kali menyerang Panji, telah
bersimpuh dekat tubuh Wilarni yang
tergolek pingsan itu. Cepat pemuda
yang bukan lain adalah Shindura itu
melepaskan pakaiannya, lalu dikenakan
ke tubuh ibunya yang polos itu. Wajah
pemuda itu memerah menahan geram yang
menggelora dalam dadanya. Langsung
ditolehkan kepalanya ke arah Panji
yang tengah bertempur melawan paman-
nya.
"Manusia Biadab! Kau harus
menebus dosa-dosamu dengan darah!"
geram Shindura penuh kemarahan.
Seketika pemuda itu bergegas
melompat ke dalam kancah pertarungan
itu. Begitu tiba, pedangnya langsung
berkelebat mengancam tubuh Panji.
Panji yang menduga kalau itu
hanya sebuah kesalahpahaman saja,
tidak ingin membalas serangan dua
orang lawannya, kecuali sesekali jika
benar-benar terancam. Sadar kalau
kedua orang itu tidak akan berhenti
menyerang sebelum tubuhnya tergeletak,
Panji cepat mengambil keputusan. Tiba-
tiba, tubuh Pendekar Naga Putih
melesat sejauh empat tombak ke
belakang. Dan sebelum kedua lawannya
menyadarinya, dia sudah berkelebat
lenyap di antara lebatnya pepohonan.
"Bangsat! Jangan lari kau,
Manusia Bejad!"
Shindura berteriak-teriak sambil
berusaha mengejar Panji. Namun, tentu
saja pemuda itu tidak akan sanggup
mengejar Pendekar Naga Putih yang ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai
taraf kesempurnaan.
Beberapa saat kemudian, Shindura
melangkah keluar dari dalam hutan
Wajahnya teriihat muram dan agak
pucat. Hati pemuda itu benar benar
merasa terpukul atas kejadian yang
berturut-turut dialami keluarganya
itu. Diam-diam, hatinya menyesali me-
ngapa ilmu kepandaian yang dimilikinya
demikian rendah, hingga tak mau
melindungi keluarganya dari segala
malapetaka itu.
Pendekar Pedang Kilat yang dapat
merasakan apa yang terkandung dalam
hati keponakannya, mencoba menghibur.
Ditepuknya bahu Shindura berkali-kali,
seolah-olah dengan cara demikian dapat
mengalirkan kekuatan yang dapat
menenangkan hati Shindura.
"Sudahlah, Shindura. Lebih baik
kita lihat keadaan ibumu sekarang,"
ajak pendekar itu sambil membimbing
Shindura ke tempat Wilarni tergeletak.
"Hm.... Rupanya bangsat cabul itu
menggunakan semacam obat untuk
membangkitkan nafsu jahat dalam tubuh
ibumu. Benar-benar manusia cabul!"
Pendekar Pedang Kilat benar-benar
murka melihat ada ketidakwajaran dalam
tubuh Wilarni. Dia yang sudah memiliki
banyak pengalaman, langsung mengetahui
ketika memeriksa tubuh wanita itu.
Pendekar itu menarik napas lega karena
tidak menemukan luka-luka pada tubuh
Wilarni.
"Apakah obat itu dapat
membahayakan jiwa Ibu, Paman?" tanya
Shindura cemas.
"Tidak, Shindura. Obat itu hanya
bekerja kurang dari setengah hari. Dan
setelah siuman nanti, ibumu sudah
sehat kembali seperti sediakala,"
jawab Gatar. Jawaban itu memang
membuat hati Shindura menjadi lega.
Setelah berkata demikian pendekar
itu bangkit dan melangkah merayapi
sekitar tempat itu. Kening Pendekar
Pedang Kilat berkerut ketika matanya
menatap sesosok tubuh yang tergeletak
beberapa tombak dari tempatnya
berdiri.
"Eh! Tubuh siapa yang tergeletak
di situ?" gumam Gatar heran.
Pendekar Pedang Kilat itu
bergegas menghampiri sosok tubuh yang
tergeletak di atas rerumputan. Dan
hatinya menjadi tercekat ketika
mengenali pakaian yang dikenakan sosok
yang telah menjadi mayat itu. Sesaat
kemudian, pendekar itu pun berjongkok
memeriksa mayat itu.
"Eh! Bukankah ini mayat salah
seorang yang tadi menyerang rombongan
kita, Paman?" tiba-tiba saja Shindura
telah berada di samping Gatar. Kening
pemuda itu berkerut dalam seolah-olah
tengah berpikir keras untuk memecahkan
masalah itu.
"Hm... aku ingat sekarang!"
"Apa yang kau ingat, Shindura?"
Gatar menjadi penasaran ketika
mendengar ucapan Shindura yang
mengejutkan hati. Pendekar itu
menolehkan kepalanya ke arah
keponakannya itu. Sinar matanya tampak
menuntut jawaban yang sejelas-
jelasnya.
"Paman, bukankah orang yang
melarikan Ibu adalah komplotan orang
yang berpakaian serba hitam?" tanya
Shindura
"Benar. Lalu, apa maksud
pertanyaanmu?" Gatar malah balik
bertanya. Keningnya berkerut karena
masih belum mengerti ke mana arah
pembicaraan keponakannya itu.
'Tapi, mengapa pemuda yang kita
keroyok tadi mengenakan jubah putih?"
"Lalu...?"
"Bukankah tadi dia tidak berusaha
membalas serangan kita?" tanya pemuda
itu lagi.
"Sepertinya begitu."
"Memang aku sendiri tidak tahu,
apa yang dilakukannya terhadap Ibu.
Tapi yang jelas, orang berseragam
hitam ini sudah tergeletak tewas
tentunya."
"Jadi menurut dugaanmu, pemuda
itu telah menyelamatkan nyawa ibumu?"
tanya Pendekar Pedang Kilat sambil
melepaskan pandangannya ke langit
lepas.
"Aku rasa begitu, Paman. Coba
Paman ingat! Kalau pemuda tampan
berjubah putih tadi menghendaki,
mungkin saja dia dapat merobohkan
kita, meskipun itu tidak mudah
baginya. Tapi anehnya, mengapa ia
malah melarikan diri? Bukankah ia sama
sekali tidak terlihat terdesak?"
Shindura mulai dapat menduga-duga apa
sebenarnya yang telah terjadi di
tempat itu. tadi.
"Ah, mengapa aku begitu bodoh!"
teriak Pendekar Pedang Kilat sambil
menampar kepalanya pelahan. "Bukankah
kita ke sini karena mendengar teriakan
kesakitan yang melengking tadi. Hm....
Pastilah orang ini yang menjerit tadi!
Hhh... mengapa kita begitu bodoh!"
"Sudahlah, Paman. Mudah-mudahan
di lain kesempatan nanti kita bisa
bertemu pemuda itu lagi. Kelak aku
akan mencoba untuk bertanya
kepadanya," ujar Shindura.
"Yahhh...," Pendekar Pedang Kilat
hanya berdesah mendengar ucapan
Shindura. Dan secara iseng,
dicongkelnya penutup wajah mayat itu
dengan ujung pedangnya. Gatar
tersentak mundur ketika mengenali
wajah mayat itu. Sesaat wajahnya
memucat seolah-olah tak percaya dengan
apa yang dilihatnya.
"Ada apa, Paman? Apakah Paman
mengenali orang ini?" tanya Shindura
sambil menatap wajah sang paman yang
teriihat pucat itu.
"Hm.... Aku kenal betul orang
ini. Pada mulanya, dia seorang tokoh
pengemis yang berjuluk Pengemis
Tongkat Merah. Heran, benarkah ia
termasuk orang Partai Lima Unsur?"
tanya Gatar, seperti untuk dirinya
sendiri.
Bergegas Pendekar Pedang Kilat
menggerakkan ujung pedangnya untuk
merobek baju pada bagian dada mayat
itu. Namun alis Gatar menjadi berkerut
ketika tidak menemukan tanda yang
dimaksudnya itu.
"Ayo kita kembali, Shindura!"
ajak Gatar cepat.
Shindura menjadi heran melihat
perubahan yang tiba-tiba pada wajah
pamannya itu. Jelas sekali kalau Gatar
tengah berpikir keras. Dan dia
berusaha untuk menyembunyikan
keterkejutannya dari penglihatan
Shindura dengan cara mengalihkan
perhatian pemuda itu.
Pendekar Pedang Kilat segera
mengangkat tubuh Wilarni lalu
meletakkan di atas punggungnya. Kemu-
dian tanpa mengucapkan sepatah kata
pun, pendekar itu langsung melesat
meninggalkan tempat itu, menuju
rombongan mereka berada.
Melihat sikap pamannya yang
seolah-olah tak ingin diajak bicara,
Shindura pun menutup mulutnya. Pemuda
itu berusaha menyimpan segala macam
pertanyaan dan pikiran yang berkecamuk
di hatinya. Bergegas diikutinya
langkah pamannya yang sudah lebih dulu
meninggalkan tempat itu.
"Biarlah. Nanti kalau ada waktu,
akan kutanyakan pada Paman," kata hati
pemuda itu untuk menenangkan
pikirannya yang semrawut.
Matahari sudah semakin meninggi.
Sinamya yang kuning keemasan tampak
membias di antara rimbunan dedaunan
hingga membentuk garis-garis yang
indah berwarna-warni.
***
LIMA
Kedatangan Pendekar Pedang Kilat,
Shindura, dan Wilarni membuat hati
Suntini cemas. Sementara, Pengemis
Aneh Tongkat Sakti masih menunggu di
rombongan kereta berkuda.
Suntini berlari menyambut
kedatangan kakak, paman, dan ibunya
itu. Sepasang matanya telah basah oleh
air mata. Gadis cantik itu segera
memeluk tubuh ibunya yang berada dalam
pondongan pamannya.
"Ibu...!" panggil gadis itu
serak. Perasaan gembira dan haru
menyelimuti hatinya. Suntini hanya
dapat terisak memeluk dan menciumi
wajah ibunya yang masih tak sadarkan
diri.
Pendekar Pedang Kilat mendiamkan
saja perbuatan gadis keponakannya itu.
Dia cukup memaklumi, apa yang saat ini
tengah dirasakan Suntini. Kematian
ayahnya membuat jiwa gadis itu
terguncang. Untunglah ibu gadis itu
berhasil ditemukan. Entah apa yang
akan terjadi pada diri Suntini apabila
Wilarni tak berhasil ditemukan,
Mungkin jiwa gadis itu akan terguncang
lebih berat lagi.
"Ibu.... Ibu kenapa, Paman?
Kakang, kenapa Ibu?" tanya Suntini
setelah agak tenang. Pandangannya
berganti-ganti menatap paman dan
kakaknya. Suaranya terdengar agak
bergetar.
“Tenanglah, Adikku. Ibu tidak
apa-apa, dan hanya pingsan saja,"
jawab Shindura sambil mengusap rambut
kepala adiknya penuh kasih sayang.
Sebenarnya Shindura sendiri juga tidak
tenang, namun berusaha untuk
menyenangkan hati adiknya itu.
Saat Suntini dalam pelukan
kakaknya, Pendekar Pedang Kilat
melangkahkan kakinya menuju tempat
kereta berkuda berada. Pendekar itu
masih belum tahu, bagaimana caranya
menyembuhkan wanita malang yang berada
dalam pondongannya itu.
"Apa yang terjadi, Saudara
Gatar?" Pengemis Aneh Tongkat Sakti
melangkah menghampiri Pendekar Pedang
Kilat. Kakek pengemis itu menatap
wajah Wilarni dengan kening berkerut.
"Hm... sepertinya ia menderita
keracunan?"
"Benar, Ki. Untunglah aku
menemukannya dalam keadaan tertotok.
Kalau tidak, bisa repot aku
dibuatnya," sahut Gatar sambil terus
melangkahkan kakinya.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti
manggut-manggut dengan kening sedikit
berkerut. Namun demikian, hatinya
masih bertanya-tanya. Apa penyebabnya
Wilarni keracunan.
'Tolong sediakan selimut tebal,
dan hamparkan di bawah pohon
itu!"perintah Gatar kepada seorang
anggota rombongan yang masih tersisa.
Orang itu bergegas melaksanakan
apa yang diminta Pendekar Pedang Kilat
tadi. Dia mengambil selimut tebal dari
dalam kereta, lalu menghamparkannya di
bawah pohon yang dimaksud pendekar.
itu.
Gatar meletakkan tubuh Wilarni di
atas hamparan selimut dengan hati-
hati. Wajah wanita'itu nampak masih
memerah akibat pengaruh obat yang
dijejalkan orang yang berjuluk
Pengemis Tongkat Merah. Pendekar
Pedang Kilat hanya dapat memandang
iba, tanpa mampu berbuat sesuatu.
"Boleh kuperiksa sebentar,
Saudara Gatar?" pinta Pengemis Aneh
Tongkat Sakti.
Setelah mendapat anggukan dari
Pendekar Pedang Kilat, kakek itu
segera mulai memeriksa keadaan
Wilarni. Tampak dahi kakek pengemis
itu berkerut dalam. Disertai helaan
napas berat, kakek pengemis yang
bernama Ki Gala Rengat itu bergegas
bangkit
"Kita tidak bisa mendiamkan
begitu saja, Saudara Gatar. Pengaruh
obat yang mengeram dalam tubuhnya kuat
sekali. Kasihan wanita ini. Kalau
tidak cepat diobati, ia akan menderita
selama dua hari dua malam. Sayang,
Garbala sudah tiada! Kalau masih
hidup, tentu istrinya tidak terlalu
menderita," jelas Ki Gala Rengat
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
yang disertai helaan napas berat
"Bukankah kau cukup berpengalaman
di dalam soal racun, Ki? Masak kau
tidak mengetahui cara mengobatinya?"
tanya Pendekar Pedang Kilat.
"Sebenamya, pendekar itu sengaja
menyembunyikan perasaan tak senang
dari curiga setelah menemukan mayat
Pengemis Tongkat Merah yang ikut
menyerang rombongannya tadi.
"Kalau diperbolehkan, aku akan
berusaha mengobatinya. Yahhh mudah-
mudahan saja bisa meringankan
penderitaannya," jawab Ki Gala Rengat
merendah.
Sebagai orang yang telah banyak
pengalaman, kakek pengemis itu dapat
mengetahui perubahan sikap yang
ditunjukkan Pendekar Pedang Kilat. Dan
hal itu tidak dipedulikannya.
"Tolonglah ibuku, Eyang," tiba-
tiba saja Suntini sudah berdiri di
belakang kakek pengemis itu sambil
mengguncang-guncangkan tangan kakek
itu.
'Tenanglah, Suntini. Akan kuusaha
menolongnya. Tunggulah sebentar, aku
akan mencari ramuannya."
Begitu ucapannya selesai, tubuh
kakek pengemis itu berkelebat. Begitu
cepat gerakannya, sehingga dalam
sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap
dalam hutan.
***
Pendekar Pedang Kilat, Shindura,
dan Suntini serta empat orang
pembantunya yang selamat, menunggu
kedatangan Pengemis Aneh Tongkat Sakti
dengan hati tegang. Waktu terasa
begitu lambat berjalan, seolah-olah
merayap bagaikan seekor keong.
Tidak berapa lama kemudian,
sebuah bayangan berkelebat disertai
kekehnya yang keras. Rupanya Ki Gala
Rengat sudah kembali dari dalam hutan.
Di tangan kanannya, tergenggam
beberapa lembar dedaunan dari jenis
yang berbeda.
'Tunggulah. Aku akan
mempersiapkan obat ini!" kata Pengemis
Aneh Tongkat Sakti gembira.
Setelah beberapa lembar dedaunan
itu ditumbuk dan dimasak dengan air,
kakek aneh itu pun mendatangi sambil
membawa ramuan obat hasil ciptaannya
untuk menyembuhkan Wilarni.
"Apakah racun yang mengeram dalam
tubuh Ibu akan segera hilang, Eyang?"
tanya Shindura setelah obat ramuan itu
diminumkan ke mulut ibunya.
"Tunggu sajalah, Shindura. Kalau
dalam beberapa waktu kulit tubuh ibumu
belum menampakkan perubahan, itu
tandanya obatku tidak manjur," jawab
Ki Gala Rengat sambil tersenyum.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik
kita lanjutkan perjaianan. Rasanya
tempat ini tidak cocok untuk bermalam.
Shindura, angkat ibumu ke dalam
kereta. Biar Suntini yang akan
menjaganya," perintah Pendekar Pedang
Kilat sambil bangkit berdiri dari
duduknya.
Tidak lama kemudian, di tempat
itu mulai sibuk untuk mempersiapkan
melanjutkan perjalanan. Wilarni sudah
dinaikkan ke dalam kereta ditemani
Suntini. Sedangkan yang lain
menunggangi kuda masing-masing yang
masih tersisa, siap untuk melakukan
perjalanan kembali. Kini rombongan itu
kembali melanjutkan perjalanan,
sebagaimana tujuan Garbala semula.
Sinar matahari yang mulai redup itu
sangat membantu perjalanan mereka.
Kini rasa panas tidak lagi terasa
menyengat kulit. Angin bersilir lembut
menyegarkan tubuh yang terasa mulai
lelah.
Setelah beberapa saat lamanya
melakukan perjalanan melalui jalan
yang berkelok-kelok, rombongan itu
tiba di sebuah perbukitan. Batu-batu
kecil yang bertebaran di jalan,
sedikit menghambat laju kereta kuda
yang tinggal dua buah jumlahnya. Sebab
kereta ketiga terpaksa ditinggalkan
agar tidak terlalu membebani
perjalanan.
Pendekar Pedang Kilat yang
memimpin rombongan itu mengendarai
kudanya lambat-lambat. Sepasang
matanya yang tajam merayapi daerah
perbukitan yang akan dilalui. Sesaat
kemudian, pendekar itu mengangkat
tangan kanan untuk menghentikan
lajunya rombongan.
"Yang lain beristirahatlah
sejenak. Aku akan memeriksa di depan
sana!" seru pendekar itu. Tanpa
menunggu jawaban lagi, ia pun
menghentak tali kekang kudanya
menyusuri jalan berbatu.
"Aku ikut, Paman...!" seru
Shindura sambil memacu kuda mengejar
pamannya yang berada beberapa tombak
di depan. Tidak berapa lama kemudian,
pemuda itu dapat menyusul Pendekar
Pedang Kilat.
"Apa yang Paman curigai?
Nampaknya, daerah perbukitan itu aman-
aman saja," kata Shindura ketika kuda
kuda mereka sudah berjalan
berdampingan.
Sambil berkata demikian,
pandangannya beredar ke sekitar daerah
yang akan dilalui rombongannya itu
"Hm... biasanya di daerah seperti ini
banyak dikuasai para perampok. Tapi
tampaknya tempat ini tenang dan cukup
aman," sahut pendekar itu sambil lalu.
"Nah, kau kembalilah! Perintahkan agar
rombongan terus maju."
Tanpa membantah Shindura cepat
membalikkan kudanya, dan langsung
membedal menuju tempat semula.
Kelihatan sekali kalau wajah pemuda
itu sudah mulai cerah. Rupanya ia
sudah mulai melupakan kejadian yang
mengakibatkan kematian ayahriya itu.
"Ayo, jalankan kereta!" seru
pemuda itu dari kejauhan. Suaranya
begitu nyaring, sehingga bergema.
Memang, Shindura berteriak tepat di
bawah tebing bukit yang agak menjorok
keluar.
Mendengar perintah itu, maka
kereta kembali bergerak lambat
menyusuri jalan berbatu yang sedikit
mendaki. Setelah agak lama karena
jalan yang dilaluinya tidak mulus,
rombongan itu tiba di tempat Pendekar
Pedang Kilat menunggu.
Mereka terus melanjutkan
perjalanan melewati jalan-jalan yang
lebih sulit daripada semula. Roda
kereta kuda terdengar berderak-derak
ketika melintas jalan yang banyak
lubang dan batu-baru besar sating
bertonjolan.
"Hhh...."
Tiba-tiba terdengar keluhan
lirih, keluar dari dalam kereta yang
ditumpangi Wilarni dan Suntini.
Rupanya Wilarni sudah mulai tersadar
dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat
sejenak, seolah-olah ingin melemaskan
urat-urat yang terasa kaku.
Wilarni membuka kedua matanya
pelahan-lahan. Seketika bibimya
menyunggingkan senyum manis ketika-
mendapati anak gadisnya tengah duduk
di sisinya. Seperti tak mempercayai
penglihatannya, Wilarni mengerjap-
ngerjapkan mata seakan-akan ingin
menghilangkan bayangan yang diangap
semu itu.
"Kakang Shindura...! Ibu sudah
sembuh!" teriak gadis cantik itu
sambil mengulurkan kepalanya melalui
jendela kereta: Sepasang matanya yang
indah nampak berbinar ketika
menyerukan berita yang menggembirakan
itu.
Dan kini Suntini menangis dalam
pelukan ibunya. Namun, tangisnya kali
ini adalah sebuah luapan rasa bahagia
karena melihat kesembuhan ibunya.
Pelukan kedua tangannya demikian
ketat, seolah-olah tidak ingin lagi
melepaskan ibu yang dikasihinya itu.
Shindura yang mendengar teriakan
adiknya, bergegas membedal kudanya ke
belakang Tampak senyum gembira
menghias wajahnya yang tampan. Rupanya
kegembiraan itu bukan hanya milik
mereka berdua. Sebab wajah-wajah lain
pun terlihat ikut mengembangkan senyum
gembira pula. Kegembiraan kedua remaja
itu telah pula membangkitkan kegem-
biraan di hati yang lain.
Saat ini, rombongan itu telah
memasuki sebuah dataran yang cukup
luas. Di beberapa sudut dataran,
tampak tumbuh beberapa batang pohon.
Melihat alam yang cukup ramah
ini, Pendekar Pedang Kilat bergegas
menghentikan perjalanan rombongannya.
Rupanya pendekar itu berniat
melepaskan malam di tempat itu.
Memang, saat itu matahari sudah hampir
tenggelam di kaki langit sebelah
Barat. Cahaya kemerahan tampak
menyemburat, mewarnai kaki langit.
Senja mulai menampakkan ronanya yang
indah dipandang mata.
Empat orang pengikut keluarga
Garbala yang masih setia itu bergegas
membuat tenda-tenda. Sigap sekali cara
mereka menyelesaikan pekerjaan itu.
Hingga tidak berapa lama kemudian,
tiga buah tenda sederhana telah
berdiri kokoh. Tampak beberapa buah
obor mulai dipasang, untuk menerangi
sekitar tempat itu.
Shindura dan Suntini tampak
menemani ibunya di tenda paling
tengah. Sedang dua tenda lainnya,
disediakan untuk kaum lelaki.
Kesedihan di hati Wilarni sudah
mulai pudar, karena dua orang anaknya
terus berusaha menghibur hatinya.
Wajah wanita berusia tiga puluh lima
tahun yang masih nampak cantik itu
sudah segar kembali. Rupanya obat yang
dibuat Ki Gala Rengat benar-benar
manjur.
Beberapa saat kemudian, tampak
Shindura dan Suntini berjalan keluar
dari dalam tenda. Mereka melangkah
menghampiri Pengemis Aneh Tongkat
Sakti yang tampak tengah berkumpul
bersama dua orang pembantu keluarga
Garbala itu.
"Ah! Shindura, Suntini, mari...
mari. Bagaimana keadaan ibumu?" sapa
kakek pengemis itu ketika melihat
Shindura dan Suntini tengah berjalan
ke arahnya.
"Sudah lumayan, Eyang. Kami
berdua mengucapkan terima kasih atas
pertolongan Eyang. Entah apa jadinya
keadaan Ibu kami apabila Eyang tidak
cepat bertindak," ucap Shindura sambil
membungkuk hormat kepada kakek
pengemis itu.
Sesaat kemudian, ketiganya telah
terlibat dalam pembicaraan yang
mengasyikan. Sesekali terdengar suara
tawa mereka ketika mendengar cerita
lucu Ki Gala Rengat Selain banyak
pengalamannya dalam dunia persilatan,
rupanya kakek itu pandai juga ber-
erita.
Setelah puas mendengar cerita
kakek pengemis itu, Shindura dan
Suntini mohon pamit untuk menemui
Pendekar Pedang Kilat. Mereka
melangkah meninggalkan tempat itu
diiringi tatapan Pengemis Aneh Tongkat
Sakti.
Malam itu cuaca nampak sangat
cerah. Sinar rembulan memancar terang
menghiasi sang malam. Bintang-bintang
pun berkelip jenaka, bak mata dara
jelita yang manja. Tiupan angin
bersilir lembut menebarkan kesejukan.
***
Gatar atau yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Pedang Kilat nampak
termenung menatapi sang bulah. Laki-
laki berusia empat puluh tahun itu
duduk bersandar pada sebatang pohon
yang letaknya tidak jauh dari tenda
yang ditempatinya.
Wajahnya yang masih terlihat
segar dan gagah itu tampak agak
berkerut seolah-olah tengah memikirkan
sesuatu. Cukup lama pikirannya
terhanyut dalam, hingga tidak
menyadari kedatangan dua sosok tubuh
yang tahu-tahu sudah di belakangnya.
'Paman Gatar...," pangil Shindura
dan Suntini pelan. Dari suara mereka,
tersirat nada keengganan. Sepertinya,
mereka terpaksa harus mengganggu
lamunan sang paman.
"Eh! Shindura, Suntini, ada apa?"
sahut pendekar itu tersentak. Seketika
lamunannya terbang entah ke mana.
Gatar cepat menolehkan kepalanya
menatap dua orang keponakannya itu.
"Ah! Tidak ada apa-apa, Paman.
Kami hanya ingin ngobrol-ngobrol
saja," jawab Shindura. Langsung
dijatuhkan dirinya di atas sebuah batu
yang berada di samping pohon. Suntini
juga segera mengambil tempat di sisi
kakaknya.
"Paman, apakah yang tengah
dipikirkan tadi? Tampaknya Paman
begitu terhanyut dalam lamunan,
sampai-sampai tidak mengetahui
kedatangan kami?" tanya Suntini
memecah kebisuan di antara mereka.
"Hhh.„," desah Pendekar Pedang
Kilat.
Gatar tidak segera menjawab
pertanyaan gadis itu. Dihela napas
berkali-kali. Sepertinya, beban
pikirannya memang terasa sangat berat.
Dilepaskan pandangannya merayapi
langit yang berhiaskan taburan
bintang. Seolah-olah ia ingin mencari
jawaban di atas sana.
"Shindura, Suntini. Benarkah
kalian sama sekali tidak mengetahui
tentang peta harta itu? Atau, apakah
kakek kalian tidak meninggalkan
sesuatu kepada Ayah kalian?" tanya
pendekar itu sambil menatap tajam dua
orang di depannya berganti-ganti.
Seperti dia ingin meminta jawaban yang
sejujurnya.
"Sepengetahuanku memang tidak,
Paman. Bahkan Ayah pun hampir tidak
pernah bercerita mengenai riwayat
kakek kepada kami. Itulah yang membuat
hatiku bertanya-tanya, dari mana
orang-orang berseragam hitam itu
mengetahuinya? Bahkan nampaknya begitu
yakin tentang adanya peta harta itu
pada keluarga kami," jawab Shindura
lesu, seolah-olah menyesal karena
tidak memberi jawaban yang
menyenangkan.
"Apakah Ayah kalian tidak pernah
memberi sesuatu benda, atau katakanlah
benda peninggalan kakekmu itu?" tanya
Pendekar Pedang Kilat penasaran. Se-
pertinya, dia masih belum puas atas
jawaban yang diberikan Shindura tadi.
"Sama sekali ti... eh! Nanti
dulu!"
Tiba-tiba saja Shindura
menghentikan ucapannya. Cepat
ditolehkan kepalanya, seolah-olah
teringat akan sesuatu.
"Adikku, bukankah Ayah pernah
memberi sebuah pedang kepadamu? Dan
bukankah Ayah mengatakan kalau pedang
itu adalah peninggalan Kakek satu-
satunya?" tanya Shindura dengan wajah
tegang, sambil menatap wajah adiknya
lekat-lekat. Seolah-olah, ia ingin
membantu ingatan adiknya tentang hal
itu.
Pendekar Pedang Kilat berdebar
hatinya mendengar ungkapan Shindura.
Di wajah pendekar itu terlintas
harapan yang berpendar-pendar.
Sepasang matanya yang tajam mengawasi
bibir gadis cantik itu.
"Ya! Aku ingat sekarang, Kakang!"
seru gadis itu terlonjak bangkit.
Tentu saja gerakan gadis yang
tiba-tiba, membuat Pendekar Pedang
Kilat dan Shindura ikut terlonjak dari
duduknya. Memang, mereka terlalu
tegang menunggu jawaban Suntini, tanpa
sadar mereka terlonjak.
"Di mana... di mana pedang itu
sekarang, Adikku?"
Saking tegangnya, Shindura sampai
tak sadar mengguncang tangan adiknya
terlalu keras. Akibatnya wajah gadis
itu menyeringai menahan sakit.
"Ah! Maaf... maaf, Adikku," ucap
Shindura menyadari perbuatannya.
Serta-merta, dilepaskannya cekalan
tangan yang menyakitkan lengan adiknya
itu.
"Ah, Kakang! Mengapa sih, sampai
begitu tegang? Apakah Kakang sudah
menjadi seorang yang gila harta?"
Suntini memonyongkan bibirnya
cemberut.
Gadis itu segera mencabut
pedangnya dari pinggang. Dengan
segera, diserahkannya pedang itu.
"Ini, pedangnya! Ambillah, kalau
kau lebih menyayangi benda ini
daripada aku!"
"Ah! Maafkan kelakuanku tadi,
Adik Suntini. Tentu saja aku lebih
menyayangimu dan Ibu, ketimbang pedang
ini. Sudahlah, jangan marah," ucap
Shindura sambil membentangkan kedua
tangan dan memeluk adiknya.
Rambut kepala Suntini dibelai
Shindura penuh kasih sayang. Kedua
kakak-beradik itu memang dekat sekali
satu sama Iain. Karena itulah, mengapa
Shindura , tidak merasa canggung
memeluk tubuh adiknya. Memang
mungkin.ia tidak menyadari kalau
adiknya itu telah berubah menjadi
seorang remaja yang cantik dan memikat
Melihat Shindura tidak meraih
pedang yang disodorkan, tapi malah
memeluk dan menghibur adiknya,
Pendekar Pedang Kilat sigap
menyambutnya. Bergegas pendekar itu
meneliti dari ujung sampai ke gagang
pedang. Keningnya berkerut dalam
ketika tidak dapat menemukan satu
petunjuk pun dari pedang itu.
"Apakah hanya benda ini yang
menjadi peninggalan kakekmu?" tanya
Pendekar Pedang Kilat Wajahnya nampak
menyiratkan kekecewaan setelah
berkali-kali memeriksa, tapi tak
menemui sesuatu petunjuk pun.
Diangsurkannya pedang itu kepada
Shindura yang segera menyambutnya.
Begitu berada dalam genggaman
Shindura cepat meneliti secara cermat.
Namun, hasilnya tetap saja tidak ada.
Bahkan sampai-sampai sarung pedang itu
dibelah, hasilnya tetap sama.
Pemuda itu kembali menjatuhkan
pantatnya di atas batu yang semula
didudukinya. Sepasang matanya tetap
tak lepas dari senjata itu, seperti
masih belum ingin menyerah. Otaknya
bekerja tak henti-henti, memikirkan
hal itu. Malah Shindura tak sadar
kalau adik dan pamannya tengah
mengamatinya.
"Hm.... Kalau orang-orang
berseragam hitam itu sampai rela
mengorbankan nyawa, pasti kabar
tentang peta harta itu benar. Sedang,
satu-satunya peninggalan Kakek
hanyalah sebilah pedang ini. Jadi
menurut hematku, sudah pasti peta
harta itu berada di dalam pedang ini.
Hanya saja kita tidak tahu, di bagian
mana Kakek menyembunyikan peta harta
simpanannya itu?"
Shindura terus berpikir keras
mencari-cari jawabannya. Dikerahkannya
seluruh ingatannya tentang kisah raja-
raja terdahulu yang sering dibaca
melalui kitab-kitab kuno.
"Suntini, bolehkah pedangmu itu
kurusak?" tiba-. tiba saja pemuda itu
bertanya sungguh-sungguh kepada
adiknya.
Pendekar Pedang Kilat berdebar
hatinya ketika mendengar pertanyaan
aneh itu.
"Hm... anak ini cerdik sekali.
Siapa tahu ia benar-benar dapat
menemukan peta harta itu? Entah cara
apa yang akan diperbuatnya?" kata hati
pendekar itu tegang.
"Kalau hal itu memang dapat
menyelamatkan keluarga kita dari
ancaman musuh, aku rela Kakang," jawab
gadis itu setelah berpikir beberapa
saat lamanya.
Setelah berkata demikian, gadis
itu melangkah mendekati, lalu duduk di
samping kakaknya itu. Sepasang matanya
yang indah ini menatap wajah kakaknya
lekat-lekat, seolah-olah ingin mencari
tahu apa yang tengah dipikirkan
kakaknya.
Setelah mendapat persetujuan
adiknya, Shindura mencabut keluar
pedangnya yang tergantung di pinggang.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
pemuda itu lalu menorehkan ujung
pedangnya pada sambungan gagang pedang
yang diduga menyimpan peta harta.
Beberapa saat kemudian, gagang pedang
itu pun terlepas. Hati-hati sekali
Shindura memasukkan jari-jari
tangannya ke dalam gagang pedang pada
bagian tengahnya. Wajah pemuda itu
mendadak tegang ketika merasakan ujung
jari tangannya menyentuh benda yang
agak lemas.
Melihat ketegangan yang terpancar
dari wajah pemuda itu, serentak
Pendekar Pedang Kilat menghampirinya.
Wajahnya juga berubah tegang seperti
halnya Shindura.
"Apa... apa yang kau dapatkan,
Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat
tegang. Dari nada suaranya, jelas
sekali kalau hati pendekar itu
berdebar keras. Suaranya yang biasanya
tenang terdengar bergetar dan napasnya
agak memburu.
Shindura cepat mencabut sebuah
gulungan yang terdapat di dalam lubang
gagang pedang itu. Gulungan itu
terbuat dari sejenis kulit binatang
yang agak kaku dan tipis. Rupanya
orang yang menyimpan peta itu benar-
benar teliti dan pandai sekali.
Buktinya kulit yang di dalamnya
terdapat gambar peta sangat liat dan
tidak mudah rusak. Padahal benda itu
disimpan sudah puluhan tahun. Diam-
diam hati pemuda itu mengagumi
kecerdikan kakeknya.
Shindura hati-hati dan penuh
ketegangan saat membuka gulungan kulit
itu. Maka tampak sebuah gambar rumit
dan tak mudah dimengerti sembarang
orang. Bahkan Pendekar Pedang Kilat
dan Suntini sampai mengerutkan dahinya
dalam-dalam. Namun, mereka tetap saja
tak dapat menerka, apa dan tempat apa
yang digambarkan di atas kulit itu.
"Dapatkah kau membacanya,
Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat
dengan suara kering.
'Tidak, Paman. Menyesal sekali
aku tidak memahami apa yang
digambarkan dalam peta ini," jawab
Shindura lesu.
"Boleh kulihat?" pinta pendekar
itu penuh minat Shindura hanya
mengulurkan peta itu tanpa mengucapkan
sesuatu. Setelah beberapa saat
meneliti, Gatar mengembalikan peta itu
kepada Shindura.
"Simpanlah peta ini, Shindura.
Aku pun tak dapat membacanya," ujar
Gatar tak bergairah. "Malam sudah
semakin larut. Mari kita
beristirahat."
***
ENAM
Malam terus merangkak semakin
mendekati pagi. Di dalam tenda, tampak
Shindura masih sibuk memperbaiki
pedang peninggalan kakeknya itu.
Sesekali, tatapannya berpindah ke arah
dua sosok tubuh yang tengah terlelap.
Mereka adalah ibu dan adiknya.
Pemuda itu berkeras hati untuk
menjaga dua orang yang dikasihinya,
meskipun ibu dan adiknya berupaya
membujuk untuk tidak terlalu
mengkhawatir-kan keadaan mereka. Namun
dengan berbagai alasan, akhirnya dua
orang wanita itu mengalah. Sehingga
sampai jauh malam, Shindura terlena
juga karena kelelahan yang sangat.
Kini pagi baru saja datang.
Shindura terjaga dari tidurnya ketika
mendengar suara ribut di luar. Bunyi
dentang senjata yang diselingi
teriakan-teriakan orang bertempur itu,
membuatnya terlompat seraya mencabut
keluar senjatanya.
"Ada apa, Shindura?!" Wilarni
juga tersentak bangun dari tidurnya.
Wajah wanita itu berubah pucat.
Nalurinya mengatakan kalau ada bahaya
tengah mengancam mereka.
"Entahlah, Bu. Biar kuperiksa
keadaan di luar!" kata Shindura cepat.
"Suntini kau jaga Ibu!"
Setelah berpesan demikian, tubuh
pemuda itu menghambur keluar.
Gerakannya cepat bagai kilat, pertanda
ilmu meringankan tubuh pemuda itu
tinggi juga.
Wajah pemuda itu berubah pucat
ketika melihat empat orang pembantunya
telah bergelimpangan bermandi darah.
Di hadapannya tampak seorang laki-laki
tinggi kurus, mengenakan seragam
hitam. Sebagian wajahnya tertutup
sehelai kain yang juga berwarna hitam.
Dia berdiri tegak mengawasi Shindura
yang baru saja muncul dari dalam tenda
itu.
"Hm.... Kau pasti putra si
keparat Garbala itu. Ayo, serahkan
peta harta itu!" bentak orang itu
sember. Sepasang matanya yang setajam
mata elang itu menatap penuh ancaman.
Di tangan kanannya tergenggam sebilah
kapak besar yang masih meneteskan
darah. Rupanya dialah yang telah
membunuh keempat orang pembantunya
itu
"Huh! Manusia Tamak! Jangan harap
kau bisa mendapatkan peta harta itu
sebelum tubuhku terbujur menjadi
mayat!" sahut Shindura gagah. Kedua
kakinya terpentang lebar. Sedangkan
pedangnya sudah melintang di atas
kepalanya. Pemuda itu siap menghadapi
maut!
Sementara itu di depan tenda yang
berada di kanan tenda Shindura, tampak
Pendekar Pedang Kilat tengah bertarung
sengit melawan seorang berpakaian
hitam lainnya. Lawan pendekar itu
bersenjatakan sebatang toya, dan
gerakannya tampak hebat sekali.
Berkali-kali Pendekar Pedang Kilat
melakukan serangan-serangan yang
mematikan, namun lawannya yang
bertubuh tinggi kekar itu selalu saja
dapat mematahkan.
"He he he.... Keluarkan seluruh
kepandaianmu, Pendekar Tolol!"
Orang bertubuh tinggi kekar itu
tertawa mengejek sambil menangkis
serangan-serangan Gatar. Nampaknya
kepandaian yang dimilikinya memang di
atas kepandaian paman Shindura dan
Suntini itu. Buktinya ia masih saja
mudah berkelit Padahal, serangan pen
dekar itu berkali-kali mengancam
tubuhnya.
"Huh! Jangan takabur dulu, Monyet
Hitam! Tunjukkan kepandaianmu! Jangan
hanya bisa mengelak!" teriak Gatar
marah bercampur penasaran.
Memang diakui, hati Gatar begitu
penasaran. Padahal, serangan yang
dilakukannya.itu diambil dari jurus-
jurus pilihan yang jarang sekali
digunakan. Tapi, lawannya seolah-olah
enak saja menghadapinya. Tidak heran
kalau hati Gatar dibuat semakin gusar.
"Heaaattt...!"
Dalam kemarahannya, pendekar itu
mengeluarkan sebuah jurus yang paling
diandalkannya. Pedang sinar putihnya
berkelebat bagai kilat, menyambar-
nyambar di angkasa. Sebentuk sinar
putih bergulung-gulung menyertai
ayunan pedangnya. Sesekali, ujung pe-
dangnya yang tersembunyi di balik
gulungan sinar putih mencuat mengancam
keselamatan lawan. Itulah jurus 'Kilat
Bersembunyi dl Balik Awan' yang meru-
pakan jurus kesepuluh dari 'Ilmu
Pedang Sinar Kilat'.
Menyaksikan kehebatan jurus yang
dimainkan lawan, orang berpakaian
hitam itu tampak cukup terkejut
Tawanya mendadak lenyap, dan berganti
kerutan dalam di keningnya. Dia segera
melangkah mundur ke belakang beberapa
tindak. Toya yang panjangnya hampir
mencapai dua tombak diputar-putar
sede-mikian rupa, hingga membentuk
lingkaran yang melindungi tubuhnya.
Wukkk! Wukkk!
Batu-batu kecil dan daun-daun
kering seketika beterbangan terkena
arus putaran tongkat yang menimbulkan
angin menderu-deru. Sekejap saja,
arena pertarungan telah tertutup debu-
debu tipis yang mengepul tinggi di
angkasa.
"Yeaaattt...!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan mengguntur,
tubuh keduanya melesat menerjang satu
sama lain. Sekejap kemudian mereka
kembali terlibat perkelahian mati-
matian; Tampak gulungan sinar saling
libat dan saling terjang dengan
dahsyatnya!
Sementara itu di tempat lain,
Pengemis Aneh Tongkat Sakti juga
tengah bertarung melawan seorang
bertubuh kecil kurus. Namun tubuh yang
kecil kurus itu nampak demikian gesit
dan licin. Sehingga ke mana pun
tongkat pengemis itu berkelebat,
selalu saja dapat dielakkaa. Malah
serangan balasannya tidak kalah
berbahayanya. Meskipun hanya sesekali
membalas, tapi telah sanggup membuat
Ki Gala Rengat kelabakan.
"Setan Kurus! Kurang ajar!
Kupukul pantatmu nanti baru tahu
rasa!"
Ki Gala Rengat menghindari sebuah
hantaman tangan lawannya sambil memaki
kalang kabut. Benar-benar tidak
disangka kalau lawannya yang bertubuh
kecil dan kurus itu mampu membuatnya
kerepotan. Padahal, orang itu sama
sekali tidak menggunakan senjata!
"He he he... jangan hanya pandai
memaki, Kakek Gembel! Nih, jaga jurus
'Meledakkan Seribu Gunungku!" ancam si
kecil kurus sambil melontarkan sebuah
pukulan maut. Angin pukulan itu
mencicit tajam membelah udara pagi
dengan kecepatan yang tak tampak oleh
mata biasa.
Siuuuttt!
Trakkk!
Bukkk!
"Arrrghhh...!"
Terdengar suara berdentang
nyaring ketika telapak tangan orang
itu membentur tongkat baja Ki Gala Re-
ngat. Tubuh kakek pangemis itu
terjajar mundur sejauh lima langkah.
Dan selagi tubuhnya terjajar limbung,
telapak tangan kiri lawan telak
menggedor dadanya! Kakek pengemis itu
terlempar sejauh empat tombak disertai
semburan darah segar dari mulutnya.
Tubuh tua renta itu terbanting di atas
tanah berbatu menimbulkan suara
berdebuk keras.
"Hkkk...!"
Dengan dibantu tongkat baja yang
masih tergenggam di tangan, Pengemis
Aneh Tongkat Sakti berusaha bangkit
berdiri. Kedua tangannya menekap dada
yang terasa panas bagaikan terbakar
itu Meski pandangan matanya terasa
bagai berputar, namun ia berusaha
untuk berdiri tegak.
"He he he.... Kenapa sampai di
sini saja kepandaianmu, Gala Rengat?"
ejek si kecil kurus sambil melangkah
menghampiri lawan yang sudah hampir
tak berdaya itu.
"Kau... kau pasti yang berjuluk
Raja Maut Tangan Sakti?!" tegas Ki
Gala Rengat.
Dia baru bisa menerka siapa
sebenarnya kakek kecil kurus yang
menjadi lawannya itu. Ini karena jurus
yang dikeluarkan lawan hanya dimiliki
oleh Raja Maut Tangan Sakti.
Setelah berkata demikian,
Pengemis Aneh Tongkat Sakti kembali
terbatuk hebat! Darah segar segera
menetes dari sela-sela bibirnya.
Sesaat kemudian, tubuhnya pun ambruk
ke tanah. Rupanya luka dalam di tubuh
Ki Gala Rengat terlalu parah, sehingga
membuatnya tergeletak pingsan
"He he he.... Kau tidak akan
kubunuh, kakek gembel! Terlalu enak
rasanya kalau mati begitu saja. Luka
di tubuhmu akan menggerogoti pelahan-
lahan. Dan dalam jangka waktu satu
bulan, kau akan tewas setelah
mengalami penderitaan menyakitkan!"
Sesudah mengucapkan kata-kata
yang membuat bulu kuduk berdiri itu,
kakek kurus yang berjuluk Raja Maut
Tangan Sakti itu pun melangkah lebar
meninggalkan tubuh Pengemis Aneh
Tongkat Sakti yang terkapar pingsan
***
Di arena lain, tampak Pendekar
Pedang Kilat tengah mati-matian
mempertahankan nyawanya. Jurus 'Kilat
Bersembunyi di Balik Awan' miliknya
ternyata tak mampu menahan jurus
'Perisai Topan dan Badai' milik lawan.
Akibatnya pada jurus yang kelima puluh
satu Gatar sudah tidak dapat lagi
membalas serangan lawan.
Hingga memasuki jurus kelima
puluh dua, Pendekar Pedang Kilat tak
sanggup lagi menghindarkan sebuah
hantaman toya lawan pada punggung.
Bukkk!
"Hukkk...!"
Pendekar Pedang Kilat terpental
sejauh tiga tombak. Darah segar
mengaiir dari celah-celah bibirnya
yang pucat Pendekar itu menyeringai
menahan rasa sakit, terasa bagaikan
remuk tulang-tulang punggungnya.
Meskipun luka yang diderita cukup
parah, namun Gatar masih mencoba
melintangkan pedangnya siap menghadapi
maut.
Sementara itu di tempat lain,
Shindura telah dibuat jatuh bangun
oleh lawannya. Seluruh wajahnya telah
dipenuhi luka memar akibat temparan
orang tinggi kurus itu Pakaiannya
telah robek di sana-sini, bagaikan
tercabik binatang buas. Rupanya
lawannya sengaja menyiksa Shindura
yang masih belum bersedia menyerahkan
peta harta yang diinginkan orang itu.
"Hm, Anak Setan! Rupanya kau
memang tidak boleh dikasih hati. Baik,
kalau memang lebih sayang peta itu
daripada nyawamu!" ancam orang itu
geram.
"Kakang Shindura...!"
Suntini yang sudah merasa tidak
betah berada di dalam tenda itu cepat
melompat keluar. Ia langsung menubruk
tubuh kakaknya yang sudah dipenuhi
luka akibat goresan senjata lawan.
"Manusia Biadab, mampuslah!"
teriak Suntini marah.
"Ha ha ha.... Rupanya ada kelinci
manis di tempat ini? Mari, Manis.
Rasanya aku tak tega menjatuhkan
tangan kejam kepadamu. Sebaiknya, ikut
saja bersamaku!" ujar orang itu sambil
menyeringai buas.
Orang berpakaian hitam itu hanya
menggerakkan tubuh sedikit ketika
serangan Suntini tiba. Maka senjata
gadis itu hanya menusuk angin. Cepat
bagai kilat, tangannya bergerak
menangkap pergelangan tangan halus
itu.
Suntini tercekat melihat gerakan
tangan lawan yang demikian cepat.
Tentu saja gadis itu tidak ingin
tangannya dipegang laki-laki beringas
itu. Cepat-cepat senjatanya ditarik
pulang sambil tubuhnya diputar
membentuk setengah lingkaraa Hasilnya,
cengkeraman lawan pun lolos! Sedangkan
pedangnya terus berputar membabat
perut lawan.
Singgg!
"Eh...!"
Laki-laki tinggi kurus itu sempat
kaget dibuatnya. Sungguh tidak diduga
kalau gadis cantik itu ternyata cukup
lihai. Cepat-cepat dia melompat ke
belakang karena tidak rela perutnya
dirobek senjata gadis itu.
"Hm.... Ternyata kau berisi juga,
Bidadariku! Ayolah, kita main-main
sebentar!" ledek orang itu sambil
menjilati sekujur tubuh Suntini
melalui tatapan matanya yang liar.
Segera disimpan kapaknya di balik
pinggang, kemudian melompat ke arah
Suntini dengan kedua telapak tangan
terkembang.
"Bangsat! Jangan kau ganggu
adikku!" Shindura yang melihat adiknya
terancam serentak menerjang orang itu.
Padahal, keadaan tubuhnya telah lelah
sekali pemuda itu segera mengayunkan
pedangnya, sehingga menimbulkan
desingan tajam.
"Monyet tak tahu diri,
mampuslah!" bentak laki-laki itu
geram, ketika melihat Shindura
mengganggu kesenangannya.
Seketika orang berbaju hitam itu
menunda serangannya yang semula
ditunjukkan kepada Suntini. Cepat
sekali tubuhnya berputar, dibarengi
tamparan tangan ke arah pergelangan
tangan Shindura.
Sadar kalau serangannya akan
kandas, Shindura cepat menarik pulang
senjatanya, dan digantikannya dengan
tendangan kilat yang menuju dada
lawan. Tapi, tamparan orang itu
ternyata membelok ke arah kaki pemuda
itu. Akibatnya Shindura terlambat
untuk menarik pulang kakinya.
Sehingga....
Plakkk!
"Aaahhh...!"
Shindura menjerit kesakitan
ketika tangan lawan yang sekeras besi
itu menghantam mata kakinya. Tubuh
pemuda itu terpental berputar dan
jatuh terguling-guling. Sambil
menyeringai menahan sakit, Shindura
berusaha bangkit namun keadaannya
terpincang-pincang." Mata kakinya
membengkak akibat tamparan orang, itu.
Belum lagi ia sempat menguruti ka-
kinya, tahu-tahu tangan lawannya telah
berada di depan dadanya.
Desss!
"Ouggghhh...!"
Shindura mengeluh pendek, lalu
tidak tahu lagi apa yang terjadi
selanjutnya. Yang dirasakan adalah
kegelapan yang menutupi penglihatan.
Sama sekali tidak dirasakan lagi
ketika tubuhnya terbanting di atas
tanah keras. Memang pemuda itu sudah
pingsan selagi tubuhnya terlempar di
udara.
"Kakang...!" teriak Suntini.
Gadis itu berlari memburu tubuh
kakaknya yang terkapar tak berdaya.
Air mata mengalir membasahi pipinya
yang halus. Perkiraannya, kakaknya
telah tewas di tangan laki-laki tinggi
kurus itu.
"Ha ha ha.... Tidak periu
dirisaukan kakakmu yang tengah melayat
ke neraka itu. Lebih baik, kau ikut
bersamaku dan menjadi istriku. Ayo,
Dewiku...," kata orong itu sambil
mengembangkan kedua lengan-nya
menghalangi jalan Suntini.
Tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat ke samping Suntini. Gadis
itu semula sudah siap menyerang. Namun
cepat-cepat senjatanya ditarik kembali
ketika mengetahui kalau bayangan itu
tak lain adalah pamannya. Rupanya
ketika melihat keselamatan Suntini
terancam, Pendekar Pedang Kilat
bergegas meninggalkan lawannya.
"Paman...!" sapa gadis itu serak.
"Suntini! Berikan pedang itu
kepadaku, dan kau pakai pedangku!"
bisik Gatar di telinga gadis itu.
Mengerti akan maksud baik pamannya,
gadis itu menyerahkan senjatanya. Lalu
diambilnya senjata Pendekar Pedang
Kilat yang diulurkan kepadanya.
"Mereka sudah tahu tentang pedang
itu. Biarlah aku akan memancing
perhatian mereka dengan cara melarikan
pedang ini," bisik pendekar itu lagi.
Setelah berkata demikian, tubuh
pendekar itu segera melesat
meninggalkan tempat itu.
Raja Maut Tangan Sakti dan orang
tinggi besar yang menjadi lawan Gatar
tadi, bergegas mengejar pendekar itu.
Sedangkan laki-laki tinggi kurus tetap
di tempatnya sambil menyeringai ke
arah Suntini.
Tentu saja gadis cantik itu
menjadi ketakutan setengah mati. Tapi
Suntini bukannya takut terhadap
kematian. Yang ditakutkannya adalah
sesuatu yang lebih hebat yang akan
mengancam kehormatan dirinya. Gadis
itu menoleh ke kiri dan ke kanan
seolah-olah mencari perlindungan.
Namun, baik Ki Gala Rengat maupun
kakaknya telah tergeletak tak berdaya.
Kini tinggallah dia sendiri yang harus
dapat menyelamatkan dirinya tanpa
bergantung kepada siapapun.
"Ha ha ha.... Menyerahlah, Manis.
Tidak ada seorang pun yang dapat
menolongmu kali ini!" kata orang itu
terkekeh penuh nafsu. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, laki-laki
itu melompat menerkam tubuh Suntini
Gadis itu menggeser tubuhnya ke
samping sambil membabatkan pedang,
yang berkelebat mengancam tubuh lawan.
Namun tebasan itu berhasil
dielakkannya. Sekejap kemudian,
keduanya sudah terlibat pertarungan
yang berat sebelah.
Sampai beberapa jurus lamanya,
Suntini masih berhasil mempertahankan
diri agar tidak terjatuh ke tangan
orang buas itu. Tapi, biar
bagaimanapun Suntini tak akan mampu
melawan orang itu hingga belasan jurus
lamanya. Pada jurus kedua belas saja,
gadis itu sudah mulai terdesak hebat.
Sehingga dia hanya dapat melompat
lompat menghindari terkaman sepasang
lengan yang terus mengejarnya itu.
Pada jurus yang ketiga belas,
Suntini bertindak nekad. Sepertinya
gadis itu sudah tidak mempedulikan
lagi akan keseiamatan nyawanya. Maka,
ketika sepasang tangan itu meluncur ke
arah dadanya, segera dibabatkan
senjatanya ke leher orang itu. Tapi,
rupanya laki-laki itu sudah
memperhitungkan hal ini. Sebab, pada
saat senjata itu bergerak menuju
leher, kepalanya diputar sambil kuda-
kudanya direndahkan.
Wuttt!
Pedang Suntini meluncur membabat
tempat kosong Dan tahu-tahu saja,
jari-jari tangan lawan telah meluncur
cepat ke arah sikutnya. Dan....
Tukkk! Tukkk!
"Ohhh...!"
Suntini mengeluh tertahan Lengan
kanannya yang memegang pedang
tergantung lumpuh. Bahkan bukan hanya
lengannya. Kini tubuhnya pun melorot
jatuh akibat totokan lawan yang tak
dapat dihindari lagi.
"Bunuhlah aku, Manusia Rendah!"
teriak gadis itu ketakutan melihat
sinar mata laki-laki itu yang
menjilati sekujur tubuhnya. Suntini
merasakan tubuhnya panas dingin karena
tatapan orang itu. Tampak air matanya
meleleh membasahi pipinya. Bukan
kematian yang ditakuti Suntini, tapi
mahkota berharga yang hanya sekali
dimiliki bakal hilang. Gadis itu hanya
bisa menangis tanpa mampu berbuat
sesuatu.
Bagaikan seekor harimau lapar,
laki-laki tinggi kurus itu menerkam
tubuh Suntini. Terdengar suara kain
robek ketika tangan laki-laki itu
merenggut kasar pakaian gadis itu.
Seketika tampaklah kulit putih halus
mulus yang dimiliki gadis itu. Bahkan
dua bukit kembarnya sedikit
tersingkap, sehingga makin
membangkitkan gairah birahi. Tanpa
mempedulikan tangisan pilu yang keluar
dari mulut Suntini, orang itu menciumi
wajah dan leher gadis itu penuh nafsu.
Wilarni yang mendengar jerit dan
tangis anaknya bergegas keluar dari
dalam tenda. Dan apa yang tengah
dilihatnya, membuat wanita itu
terbelalak pucat. Anak gadisnya yang
sudah setengah telanjang itu tengah
digeluti dengan buas oleh laki-laki
tinggi kurus.
Tanpa pikir panjang lagi, Wilarni
bergegas berlari untuk menolong
anaknya. Kedua tangannya terulur
mencengkeram rambut kepala orang itu.
Seketika ditariknya sekuat tenaga
rambut orang berbaju hitam, sehingga
terdongak dan berteriak kesakitan.
Bukan main marahnya orang itu
karena kesenangannya merasa terganggu.
Secepat kilat tubuhnya berbalik sambil
meiayangkan sebuah tamparan keras.
Mungkin karena rasa marah yang
menggelegak, membuat orang itu tidak
sadar kalau yang ditamparnya hanyalah
seorang wanita lembut.
Plakkk!
Wilarni tidak sempat lagi
berteriak. Tubuh wanita malang itu
terpelanting dan tewas seketika.
Tulang tengkorak kepalanya retak
akibat tamparan yang mengandung tenaga
sakti itu.
Tanpa mempedulikan keadaan
Wilarni, orang itu kembali meneruskan
niat bejadnya yang belum terlaksana
tadi. Sambil menyeringai buas kembali
diterkamnya tubuh gadis malang itu.
"Ibu...!" Suntini berteriak serak
ketika menyak-sikan tubuh ibunya
terkapar.
Gadis itu tidak tahu, apakah
ibunya telah tewas atau hanya sekadar
pingsan saja. Secara sepintas terlihat
ada genangan darah di sekitar kepala
ibunya.
Gadis itu merasakan dunia di
sekitarnya menjadi gelap.
Dia menyesali dirinya, mengapa
tidak jatuh pingsan saja agar tidak
merasakan penderitaan yang dialami
sekarang ini
Namun sebelum kejadian yang
mengerikan itu sempat menimpa diri
Suntini, tiba-tiba sebuah tangan
meraba leher baju laki-laki tinggi
kurus itu. Tidak sampai di situ saja.
Sebelum laki-laki itu sempat
menyadari, tubuhnya telah terangkat
dan terlempar sejauh dua tombak.
Blug!
Tubuh laki-laki tinggi kurus itu
terbanting ningga menimbulkan suara
berdebuk keras. Dia menyeringai
menahan sakit karena tubuhnya yang
miskih daging itu terbentur batu-batu
yang bertonjolan.
Panji bergegas menghampiri
Suntini untuk membebaskan pengaruh
totokan yang bersarang di beberapa
bagian tubuhnya.
"Kurang ajar! Siapa orang yang
begitu berani mati mengganggu
kesenangan Setan Kapak Baja?" teriak
si tinggi kurus murka.
Saking marahnya orang itu sampai
menyebutkan julukan yang seharusnya
dirahasiakan itu. Tapi begitu melihat
di sekelilingnya tidak ada orang lain
kecuali seorang pemuda tampan
berpakaian serba putih, hatinya
menjadi lega.
Orang yang melemparkan tubuh
Setan Kapak Baja itu memang Pendekar
Naga Putih. Pemuda tampan itu berdiri
tegak membelakangi tubuh Suntini yang
terlebih, karena keadaan tubuh gadis
itu sudah tidak karuan.
"Di dalam buntalan itu ada
beberapa pakaian yang masih bersih.
Gantilah pakaianmu, Nini. Hhh....
Rupanya aku teriambat," kata Panji
sambil melemparkan buntalan pakaiannya
ke arah gadis itu. Wajah pemuda tampan
itu mendadak buram ketika melihat
beberapa sosok mayat nampak tergolek
di sekitar tempat itu.
"Terima kasih...," ucap Suntini
lemah karena hatinya masih terguncang
akibat kejadian tadi.
Setelah berkata, gadis itu
bergegas masuk ke dalam tenda untuk
menukar pakaiannya.
Sementara Panji mengarahkan
pandangannya ke orang tinggi kurus
yang saat itu juga tengah menatapnya.
Sepasang mata pemuda tampan itu
mencorong tajam bagai mata seekor naga
yang sedang marah.
***
TUJUH
"Kaukah yang telah melemparkan
tubuhku, Anak Muda?" tanya Setan Kapak
Baja ragu, ingin ketegasan. Ia masih
belum mempercayai kalau pemuda itu
yang telah melakukan perbuatan tadi.
"Hm.... Apa yang tengah melanda
dunia persilatan saat ini, sehingga
banyak sekali orang berpakaian hitam
yang melakukan kejahatan. Entah apa
yang diinginkan?" kata Panji seolah-
olah berkata pada dirinya sendiri.
Wajahnya yang bersih dan tampan itu
ditengadahkan ke langit, seakan-akan
ingin mencari jawaban atas pertanyaan
itu.
Setan Kapak Baja menggereng
ketika pertanyaannya tidak mendapat
sambutan seperti yang diharapkan.
Wajahnya berubah seketika. Dicabutnya
kapak baja yang terselip di pinggang.
Seketika terdengar suara angin yang
menderu-deru ketika Setan Kapak Baja
memutar-mutar senjatanya.
Dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya.
Wrrr! Wrrr!
"Mintalah kepada arwah leluhurmu,
agar-kematianmu tak terlalu menderita,
Anak Muda," geram orang tinggi kurus
itu mengejek. Begitu ucapannya
selesai, tubuh orang itu melesat cepat
ke arah Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam
pelahan melihat serangan lawan. Dan
begitu serangan lawannya tiba,
tubuhnya bergerak menghindar ke arah
kari sambil melepaskan sebuah
tendangan kilat.
Wusss!
Setan Kapak Baja mengegoskan
tubuhnya sehingga tendangan kaki
pemuda itu hanya menghantam angin.
Perhitungan Panji rupanya cukup
matang. Secepat lawannya menghindar,
secepat itu pula kakinya menekuk untuk
kemudian meluncur deras ke arah lutut
lawan. Namun Setan Kapak Baja cepat
melompat
Derrr!
Tanah di sekitar tempat itu
bergetar ketika telapak kaki Panji
yang bertenaga dalam tinggi itu
menghantam tanah.
"Gila!" desis orang tinggi kurus
itu.
Sama sekali tidak disangka kalau
tenaga dalam a-nak muda yang terlihat
lemah lembut itu sedemikian hebatnya.
Kini barulah Setan Kapak Baja merasa
yakin kalau yang melemparkan tubuhnya
itu adalah pemuda itu.
"Huh! Kali ini aku tidak akan
main-main lagi! Nah, sambutlah jurus
'Kapak Setan Pembelah Sukma' ku ini!
Yeaaattt...!" diiringi teriakannya
yang menggetarkan dada, tubuh orang
itu meluruk bagai elang yang tengah
memburu mangsa.
Melihat lawan telah mulai
mengeluarkan jurus-jurus maut sepasang
tangan Panji segera membentuk cakar
naga. Dan pengerahan tenaga saktinya
langsung mengalir, membentuk selapis
kabut bersinar putih keperakan yang
menyelimuti tubuhnya. Rupanya pendekar
muda itu telah mengerahkan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat itu.
Kali ini Panji tidak lagi
menunggu datangnya serangan. Tubuh
pemuda itu sudah melesat memapak
serangan lawannya. Keduanya segera
terlibat dalam sebuah pertarungan
sengit!
Setan Kapak Baja rupanya sudah
benar-benar kalap. Kapaknya yang besar
dan berat itu berdesingan bagaikan
suara ratusan ekor lebah marah,
mengancam tubuh lawan. Orang tinggi
kurus itu benar-benar bertekad untuk
mencincang tubuh Panji
Sedangkan Panji sendiri yang
sudah mengeluarkan 'Ilmu Naga Putih'
berkelebat di antara sambaran senjata
lawaa Namun sampai sejauh itu, dia
belum melontarkan sebuah pukulan
berarti. Pendekar Naga Putih hanya
sesekali membalas apabila keadaannya
mulai terdesak, karena tengah mencari-
cari kelemahan pertahanan lawan.
Pada jurus yang kedua puluh
empat, mata pemuda itu telah menangkap
ruangan kosong dalam pertahanan
lawannya. Secepat kilat tangannya
bergerak melakukan pukulan. Tentu saja
lawannya yang tidak menduga gerakan
pemuda itu menjadi terkejut setengah
mati. Kecepatan pukulan itu hampir
tidak dapat ditangkap matanya.
Sehingga....
Desss!
"Ouggghhh...!"
Orang tinggi kurus itu berteriak
ngeri ketika hantaman telapak tangan
Panji bersarang di dadanya. Seketika
darah segar menyembur dari mulutnya.
Derrr!
Sebatang pohon sebesar pelukan
orang dewasa berderak keras ketika
tubuh Setan Kapak Baja menabraknya.
Setelah bergoyang-goyang sesaat, pohon
itu tumbang menimbulkan suara gemuruh.
Sedangkan Setan Kapak Baja sendiri
tengah meringkuk di bawah pohon itu
bagaikan orang yang terserang demam.
"Kau... kau Pendekar Naga
Putihhh...!" desah Setan Kapak Baja
terputus-putus. Setelah mengakhiri
kata-katanya, napasnya pun putus,
karena pukulan Panji telah
menghancurkan dadanya.
Suntini yang menyaksikan
pertempuran yang berlangsung tadi
terbelalak kagum. Apalagi ketika
melihat pemuda penolongnya itu
ternyata dapat menyudahi perlawanan si
tinggi kurus yang hampir-hampir
merenggut kehormatannya. Bergegas
gadis cantik itu berlari menghampiri
Panji yang tengah menatap mayat
lawannya itu.
'Terima kasih atas pertolonganmu
ini, Kisanak. Entah bagaimana aku
harus membalasnya kelak," ucap Suntini
sambil membungkuk hormat kepada pemuda
penolongnya itu.
"Ah! Sudahlah, Nini. Memang sudah
menjadi kewajiban kita untuk saling
menolong. Hari ini aku telah
menolongmu. Siapa tahu di hari lain,
kau yang menolongku," sahut Panji
tersenyum.
"Ohhh...," tiba-tiba terdengar
suara erangan lirih. Panji dan Suntini
cepat menolehkan kepalanya ke arah
suara itu berasal. Mata mereka
berputar mengawasi daerah sekitarnya,
kemudian bergegas melangkah ketika
melihat sesosok tubuh tengah berusaha
bangkit. Tangan sosok tubuh itu
menggapai-gapai seolah-olah mencari
pegangan.
"Eyang...!" seru Suntini ketika
mereka telah berada di tempat Ki Gala
Rengat tergolek Kakek pengemis itu
berusaha tersenyum. Tapi ternyata yang
tampak adalah sebuah seringai
kesakitan.
"Uhuk... uhukkk..!" Ki Gala
Rengat kembali terbatuk-batuk. Darah
pun kembali menetes dari bibir, namun
ia masih juga mencoba bangkit.
Melihat keadaan Ki Gala Rengat,
Panji bergerak cepat. Segera
diperiksanya tubuh kakek itu. Setelah
beberapa saat kemudian, pemuda itu pun
bangkit berdiri. Dihelanya napas
berulang-ulang.
"Kakek ini rupanya mengalami luka
yang cukup parah. Untunglah daya tahan
tubuhnya sangat kuat, sehingga tidak
sampai tewas karenanya," jelas Panji
kepada Suntini pelan.
"Apakah ia dapat disembuhkan,
Kisanak?" tanya gadis itu penuh harap.
Karena sekarang, hanya kakek pengemis
itulah yang dikenal dan mungkin dapat
dipercayainya.
Tiba-tiba Panji menolehkan kepala
dengan sikap waspada. Pendengarannya
yang tajam itu menangkap suara
mencurigakan yang tak jauh di
sampingnya. Bagaikan seekor burung
besar, tubuh pemuda itu melesat
menghampiri sosok tubuh lain yang
tampak mulai bergerak.
Suntini yang ikut menoleh ke arah
yang sama dengan pemuda itu, sempat
dilipurj ketegangan. Sebab, sosok
tubuh yang tengah bergerak-gerak itu
tak lain adalah kakaknya. Seketika itu
juga hatinya berdebar cepat. Secercah
harapan tampak terpancar di wajahnya.
"Kakang Shindura...!" desah gadis
itu serak ketika sudah tiba di dekat
sosok tubuh itu. Tanpa ragu-ragu lagi,
gadis itu pun langsung berjongkok di
samping Panji yang saat itu tengah
memeriksa kakaknya.
Suntini memperhatikan jari-jari
tangan pemuda penolongnya yang tengah
melakukan pijatan dan totokan pada
tubuh kakaknya. Jari-jari tangan
pemuda itu bergerak lincah di atas
tubuh yang tergolek lemah. Sesekali
tampak jari tangan pemuda itu
menegang, dan di lain saat kembali
lemas bagaikan tak bertulang. Diam-
diam hati Suntini mengagumi gerakan
tangan pemuda penolongnya itu.
"Hm.... Pemuda ini sepertinya
seorang ahli pengobatan? Ah... siapa
tahu saja ia dapat menyelamatkan
Kakang Shindura dan Eyang Gala," kata
hari gadis itu sambil menatap pemuda
di sampingnya penuh ke-kagumam.
"Nampaknya luka yang diderita
pemuda ini tidak terlalu parah.
Kakakmukah dia?" tanya Panji sambil
lalu.
Setelah berkata demikian, Panji
mengangkat tubuh Shindura dan
membawanya masuk ke dalam tenda.
“Apakah dia dapat disembuhkan?"
Suntini rupanya tidak begitu mendengar
perkataan Panji karena alam pikirannya
tengah melayang.
"Kita lihat saja nanti," sahut
Panji tanpa menolehkan kepalanya.
Setelah meletakkan tubuh
Shindura, Panji kembali melangkah
keluar dan memondong tubuh Ki Gala Re-
ngat. Kakek pengemis itu pun
dibaringkannya di dekat tubuh
Shindura.
"Ohhh.... Siapakah kau, Anak
Muda?" tanya Pengemis Aneh Tongkat
Sakti sambil mencoba bangkit.
"Sudahlah, Kek. Jangan terlalu
banyak bergerak dulu. Biar kuobati
dulu," sahut Panji mencegah Ki Gala
Rengat bangkit Kemudian di masukkannya
sebutir obat ke dalam mulut kakek itu.
Hal itu pun dilakukan juga terhadap
Shindura yang hanya dapat memandang
bingung.
"Sekarang, tidurlah dulu dan
jangan pikirkan yang lain-lain," ujar
Panji lagi. Dalam nada suaranya
tersirat ketegasan yang tak ingin
dibantah lagi.
Setelah berkata demikian, Panji
melangkah keluar tenda.
***
"Dia ibumu?" tanya Panji yang
tahu-tahu saja telah berada di samping
Suntini.
Pendekar Naga Putih mendapati
gadis itu tengah . terisak sambil
memeluk sesosok tubuh wanita yang te-
lah menjadi mayat Panji menatap wajah
mayat itu serta mencoba mengingat-
ingatnya.
"Eh, bukankah ia adalah wanita
yang kutolong dua hari yang Ialu?"
tanya Panji dalam hati ketika teringat
kejadian dua hari yang lalu di dalam
hutan.
Suntini mengangkat wajahnya
menatap wajah penolongnya itu. Gadis
itu hanya mengangguk lemas menjawab
pertanyaan Panji. Sesaat kemudian,
tatapannya dialihkannya kembali.
Diciuminya wajah ibunya yang telah
mulai membeku itu.
"Sudahlah, Nini. Lebih baik kita
kuburkan mayat ibumu itu," bujuk
Pendekar Naga Putih lembut.
Disentuhnya jari-jari tangan gadis
itu, lalu dianggukkannya kepalanya
ketika gadis itu menoleh. Dan ketika
Suntini bangkit berdiri, Panji segera
mengangkat tubuh mayat Wilarni untuk
segera dikuburkan.
"Sebenamya apakah yang sudah
terjadi, Nini?" sebdik Panji. Ketika
mereka duduk berdampingan di atas
sebuah batu yang cukup besar. Rupanya
ia telah selesai menguburkan semua
mayat-mayat yang berserakan tadi.
"Panggil aku, Suntini saja,"
pinta gadis itu yang merasa kurang
enak mendengar sebutan Nini yang
diucapkan penolongnya itu. Dan dengan
wajah sungguh-sungguh, Pendekar Naga
Putih mendengarkan cerita gadis yang
bernama Suntini itu.
"Ah! Betapa buruknya sifat
manusia sampai-sampai rela membunuh
sesama hanya karena soal harta," desah
Panji sambil menengadahkan wajahnya
menatap langit biru. "Apakah kau tidak
keberatan kalau aku menemanimu sampai
dua orang itu benar-benar sembuh?"
'Tentu saja tidak, Kakang Panji.
Memang sebenar-nya aku mengharapkan
demikian," jawab Suntini tersenyum
malu.
"Nah! Sekarang, kau temanilah
mereka. Siapa tahu mereka memerlukan
kehadiranmu," pinta pemuda itu lagi.
Setelah termenung sejenak,
Suntini pun melangkah meninggalkan
Panji yang hanya dapat menatap
punggung gadis itu.
"Hhh... seorang gadis malang,"
desah pemuda itu iba.
Matahari semakin naik tinggi.
Hembusan angin yang bersilir lembut
mengusap wajah Pendekar Naga Putih
yang tengah termenung sendiri. Sekilas
terbayang wajah kekasihnya yang tidak
diketahui berada di mana. Dihelanya
napas berulang-ulang untuk
menghilangkan rasa nyeri di dalam
dada.
***
Dua hari sudah Pendekar Naga
Putih menunggui dan mengobati Shindura
dan Ki Gala Rengat. Tampaknya usaha
pemuda itu tidak sia-sia. Buktinya
kesehatan Shindura dan Ki Gala Rengat
tampak mulai membaik. Kedua orang itu
hanya tinggal memulihkan tenaganya
saja. Sedangkan luka-luka yang
diderita sudah hilang karena
kemanjuran obat yang diberikan Panji.
Malam itu adalah malam ke tiga
semenjak Panji berada di tempat itu.
Pendekar Naga Putih tampak tengah
berjalan-jalan memeriksa daerah di
sekitarnya karena Ki Gala Rengat dan
Shindura tengah melakukan semadi untuk
memulihkan tenaga. Tiba-tiba, tiga.
sosok-bayangan hitam berkelebat cepat
menuju ke arah tenda.
"Hei! Berhenti!" teriak Panji
sambil melesat menghadang lari mereka.
Sekali lompat saja tubuh pemuda itu
telah berdiri tegak di hadapan tiga
sosok bayangan yang mencurigakan itu.
"Minggirlah kau, Anak Muda!
Jangan coba-coba mencampuri urusan
kami!" bentak salah seorang dari
mereka. Orang itu bertubuh tinggi
besar dan bersenjatakan sebatang toya.
Sambil berkata demikian, orang
itu mengibaskan toyanya seperti hendak
mengusir Panji.
"Hm...," pemuda itu bergumam tak
jelas ketika merasakan hembusan angin
keras menyertai kibasan toya si tinggi
besar. Kiranya, kibasan toya itu
merupakan serangan tersembunyi.
Panji cepat mengerahkan tenaga
dalamnya sehingga daya dorong yang
ditimbulkan kibasan toya itu tertahan
untuk beberapa saat lamanya. Lalu
tubuhnya membungkuk bagaikan orang
yang memberi hormat. Serangkum angin
keras yang berhawa dingin menebar
mendorong balik tenaga lawannya.
"Ehhh..,!
Orang bertubuh tinggi besar itu
tersentak kaget ketika merasakan
tenaganya terhimpit tenaga pemuda itu
yang mengandung hawa dingin. Tubuh
orang itu mulai menggigil ketika hawa
dingin dari tenaga lawannya merasuk ke
dalam tubuhnya. Akibatnya, tubuhnya
terdorong beberapa Iangkah ke
belakang.
. "Sssiapa... kau, Anak
Muda?" tanya si tinggi besar sambil
menatap penuh selidik setelah berhasil
membebaskan dirinya dari hawa dingin
yang mempengaruhinya. Rupanya mata
orang itu mulai terbuka ketika
merasakan kekuatan tenaga dalam pemuda
itu.
"Hm... siapa aku, itu bukan
urusanmu. Sebaiknya, akulah yang
bertanya. Siapakah kalian?! Dan apa
maksud kalian mendatangi tempat ini?!"
sahut Panji tegas, disertai tatapan
tajam sepasang matanya.
"Gila! Apakah mungkin Anak Muda
itu memiliki tenaga sakti yang tinggi?
Padahal kalau melihat usianya paling
sekitar dua puluh atau dua puluh satu
tahun!" kata hari seorang kakek yang
bertubuh kecil kurus ketika matanya
sempat bentrok dengan sepasang mata
Panji yang menggetarkan hatinya. Orang
itu tak lain adalah Raja Maut Tangan
Sakti yang telah melukai Ki Gala
Rengat pada tiga hari yang lalu.
"Kakang, Panji! Mereka adalah
orang-orang yang telah melukai Kakang
Shindura dan Eyang Gala Rengat," tiba-
tiba terdengar sebuah suara nyaring
seorang gadis. Panji menolehkan
kepalanya ketika melihat Suntini
berlari mendatangi.
"Nini! Sebaiknya, cepat serahkan
peta harta itu sebelum aku benar-benar
hilang kesabaran!" seru Raja Maut
Tangan Sakti menggeram.
"Huh! Apa kalian tidak tahu kalau
peta harta itu sudah dilarikan
pamanku. Sia-sia saja kedatangan ka-
lian!" sahut Suntini tak kalah gertak.
Diam-diam hati gadis itu menjadi
lega ketika mendengar pertanyaan itu.
Sebab dengan demikian, berarti
pamannya tidak berhasil mereka kejar.
Dan ke mungkinan besar, keselamatan
pamannya tidak terganggu.
"Bangsat Kecil! Rupanya kau ingin
menipu kami! Peta yang berada dalam
gagang pedangmu yang dibawa pamanmu
itu palsu!" bentak si tinggi besar
galak.
Sambil berkata demikian
dilemparkan pedang yang direbutnya
dari tangan Pendekar Pedang Kilat itu.
"Ohhh...."
Suntini menjerit tertahan ketika
melihat pedang itu. Karena, itu
berarti pamannya kemungkinan telah
tewas. Cepat-cepat disambarnya pedang
yang dilemparkan orang tinggi besar
itu. Ditelitinya pedang yang telah
dicopot dari gagangnya itu. Sebentar
kemudian dikeluarkannya segulung kulit
binatang dari dalam gagang pedang itu.
Setelah diamati sejenak, gadis itu
menjadi heran ketika mendapati kalau
peta harta itu ternyata palsu. Karena,
jelas sekali kalau gambar-gambar yang
tertera di dalam belum lama dibuatnya.
Bahkan tintanya masih terlihat baru.
Tentu saja hal ini amat mengherankan
hati Suntini.
"Mengapa kalian tidak tanyakan
saja kepada pamanku itu. Barangkali
saja ia telah menggantinya," ujar
Suntini lagi. Diam-diam hati gadis itu
lega atas kecerdikan pamannya. Dan dia
masih berharap pamannya tidak tewas!
"Tidak mungkin!" si tinggi besar
menghardik. "Kalau peta harta itu
tidak kami dapatkan, seluruh
keluargamu harus kubunuh!" begitu
ucapannya selesai, orang tinggi besar
itu langsung melompat dengan kibasan
toya yang menderu.
"Kau menyingkirlah dulu, Adik
Suntini," ujar Panji 'sambil bersiap
menyambut serangan lawan.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar
Naga Putih berkelebat memapak serangan
toya si tinggi besar. Selapis kabut
bersinar putih keperakan telah
mengelilingi tubuhnya. Rupanya Panji
sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' nya yang dahsyat itu.
Krakkk!
"Aaahkkk...!"
Terdengar suara benda patah
ketika telapak tangan Panji yang
membentuk cakar naga menyampok toya
yang meluncur ke arah kepalanya. Dan
memang toya itu patah menjadi tiga
bagian. Sementara, tubuh si tinggi
besar terdorong ke belakang dibarengi
teriakan kagetnya. Namun dengan sebuah
gerakan indah, tubuhnya segera
berputar melakukan salto tiga kali,
dan jatuh di belakang dua orang
kawannya.
"Gila! Pantas saja tenaga Anak
Muda itu sedemikian hebatnya! Kiranya
dialah yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, dan telah menggemparkan dunia
persilatan dewasa ini!" ucap si tinggi
besar terengah-engah.
Raja Maut Tangan Sakti yang juga
telah dapat mengenali anak muda itu
sempat terkejut Ditatapnya wajah Panji
lekat-lekat
"Hm... Pendekar Naga Putih.
Perbuatanmu yang telah mencampuri
urusan kami ini akan kau bayar mahal!
Tahukah kau kalau saat ini tengah
berhadapan dengan tokoh-tokoh Partai
Lima Unsur? Akibat perbuatanmu, maka
harus kau bayar dengan kematian!"
ancam orang tua kecil kurus itu
menakut-nakuti Panji.
Kakek itu terpaksa menyebutkan
nama partainya. Dia bermaksud agar
pemuda itu menjadi gentar dan tidak
melanjutkan campur tangannya. Memang,
nama Partai Lima Unsur sangat ditakuti
kaum rimba persilatan. Tak peduli
golongan hitam ataupun golongan putih.
Apalagi, tidak seorang tokoh pun yang
mengetahui, masuk golongan mana
sebenarnya partai itu berpihak. Sebab,
seluruh anggota partai itu hampir
tidak pernah berhubungan dengan dunia
luar.
"Hm.... Apakah dengan menggunakan
nama partai itu lalu aku menjadi
takut? Jangan harap, Kakek Tua. Selama
kau masih hidup, aku akan selalu
menentang setiap kejahatan. Tak peduli
siapa pun yang melakukannya!" sahut
Panji tegas. "Nah, mulailah! Jangan
hanya berbicara saja!"
"Bangsat! Rupanya kau belum
mengenal Raja Maut Tangan Sakti, Anak
Sombong! Nah, rasakanlah! Yeaaattt..!"
Diiringi teriakan nyaring, tubuh
kakek kurus itu melesat bagaikan kilat
yang menyambar di angkasa. Kedua
tangannya terjulur ke depan, mengarah
dada dan kepala Pendekar Naga Putih.
Panji pun tak ingin berbuat ayal-
ayalan lagi. Sesaat kemudian, segera
disedot udara banyak-banyak Terdengar
suara berkerotokan ketika tenaga
saktinya mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sambil berteriak keras, tubuh pemuda
itu segera melesat menyambut serangan
lawan.
Blarrr!
Tubuh keduanya terlempar balik
ketika sepasang tangan mereka saling
berbenturan di udara. Tanah di sekitar
tempat itu bagaikan diguncang gempa
sesaat.
Suara ledakan keras yang
ditimbulkan oleh pertempuran sepasang
dua tangan bertenaga dalam tinggi,
cukup membuat yang lainnya tersentak
mundur beberapa langkah ke belakang.
Raja Maut Tangan Sakti jatuh
bergulingan di atas tanah. Seketika
darah segar menetes dari celah-celah
bibimya. Cepat kakek kecil kurus itu
menjatuhkan dirinya bersemadi. Dia
harus cepat menenangkan guncanga
dalam dada agar tidak menimbulkan luka
dalam yang parah.
Sedangkan Pendekar Naga Putih
dapat mendaratkan kakinya di atas
tanah tanpa menderita luka sedikit
pun. Pemuda itu hanya memejamkan kedua
matanya sekejap, karena benturan tadi
sempat mengguncangkan dadanya. Mau
tidak mau harus diakui kehebatan
tenaga dalam kakek kecil kurus yang
berjuluk Raja Maut Tangan Sakti itu.
***
DELAPAN
Melihat keadaan itu, dua orang
kawan Raja Maut Tangan Sakti serentak
melompat menerjang Panji. Sadar kalau
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi,
maka mereka kini mengerahkan seluruh
tenaga dalam nya setinggi mungkin.
Panji yang sudah dapat meredakan
debaran dalam dadanya, bergerak gesit
menghindari serangan dua orang itu.
Sesaat kemudian, mereka sudah terlibat
pertarungan sengit!
Orang berpakaian hitam yang
bertubuh tinggi besar itu melancarkan
serangan lewat jurus-jurus tangan
kosong. Karena, toya yang menjadi
senjata andalannya telah patah oleh
pemuda itu. Tapi, jangan dianggap
enteng jurus-jurus tangan kosongnya.
Angin pukulan yang berkesiutan itu
menandakan kalau tenaga dalam yang
terkandung sangatlah hebat, sehingga
cukup membuat Panji berhati-hati.
Sedangkan seorang lagi yang
bertubuh sedang, menggunakan sebatang
pedang yang cukup ampuh. Senjata itu
berkelebat bagaikan kilat menyambar-
nyambar di angkasa. Benar-benar
seorang lawan yang cukup berbahaya!
Tubuh Panji berkelebat menyelinap
di antara sambaran pedang dan pukulan
dua orang lawannya itu. Gerakan pemuda
itu demikian cepat tak ubahnya seekor
burung walet yang menyambar-nyambar.
Sehingga sampai puluhan jurus lamanya,
kedua serangan lawan belum juga dapat
menyentuh tubuhnya. Tentu saja hal itu
membuat dua orang itu semakin
penasaran.
"Hiaaattt..!"
Si tinggi besar berteriak
mengguntur sambil melancarkan sebuah
pukulan maut! Sepasang tangannya yang
membentuk kepalan bergetar cepat
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Panji yang telah mengetahui sampai di
mana tenaga si tinggi besar itu, tidak
segera menghindar. Malah sebaliknya,
pemuda itu menggerakkan tangannya
menangkis serangan.
Dukkk!
"Uhhh...!"
Tubuh si tinggi besar terpental
ke belakang disertai pekikan kaget.
Hawa dingin yang menyelusup ke dalam
tubuh membuatnya menggigil bagai
terserang demam hebat. Kedua tulang
lengannya terasa remuk akibat
tangkisan tangan Pendekar Naga Putih.
Darah menetes pelahan di sela
bibirnya.
Panji tidak ingin bertindak
kepalang tanggung. Secepat kilat
tubuhnya kembali meluncur untuk
menghabisi lawannya. Sedang, si tinggi
besar hanya dapat membelalakkan
matanya menanti datangnya sang maut.
Namun sebelum pemuda itu sempat
melaksanakan niatnya, terdengar suara
berdesing tajam. Ternyata, suara itu
berasal dari sambaran pedang di tangan
lawan yang seorang lagi. Terpaksa
Pendekar Naga Putih menunda
serangannya, dan bergegas memutar
tubuh menghindari sambaran pedang itu.
Bukan itu saja. Sambil berputar segera
dilontarkan kedua belah tangannya
dalam posisi terayun dari bawah ke
atas.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Orang itu meraung ketika sepasang
cakar naga Pendekar Naga Putih merobek
perut dan dadanya. Tanpa dapat dicegah
lagi tubuh orang itu terlempar bagai
sehelai daun kering. Darah segar
langsung muncrat dari mulutnya.
Tubuhnya terbanting ke atas tanah
sambil menggeliat menahan hawa dingin
dan rasa sakit yang tak terkira.
Sesaat kemudian, tubuhnya diam tak
bergerak lagi. Untung saja bagian
dadanya yang terlihat turun naik,
menandakan kalau dia tidak mati dan
hanya tergeletak pingsan.
Begitu melihat lawannya terkapar,
Pendekar Naga Putih kembali menoleh ke
arah si tinggi besar. Tampak orang itu
masih berusaha melepaskan pengaruh
hawa dingin akibat pukulannya tadi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
pemuda itu pun kembali menerjang ke
arah lawannya itu.
"Heaaattt..!"
Tubuh Panji meluruk cepat bagai
sesosok bayangan hantu yang menyambar
mangsa. Pada saat lain melesat sesosok
bayangan menyongsong serangan pemuda
itu. Sepasang tangan bayangan itu
melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah
tubuh Panji. Tapi pemuda ita tetap
saja meneruskan serangannya ke arah si
tinggi besar. Sedangkan pukulan sosok
bayangan itu dihalau dengan kibasan
tangan kanannya.
Desss!
"Aaahhhklk...!"
Prattt!
Tubuh si tinggi besar terlempar
keras ketika pelipisnya terhantam
sambaran tangan Panji. Tubuhnya
melintir bagaikan sebuah gangsing.
Tampak dari pelipisnya mengalir darah
segar. Si tinggi besar ambruk ke atas
tanah dan tewas seketika, karena
tengkorak kepalanya retak akibat
kuatnya hantaman pemuda itu.
***
Sedang sosok bayangan yang
meluruk ke arah pemuda itu terpental
balik akibat kibasan tangan Pendekar
Naga Putih. Dua gelombang tenaga sakti
yang saling berbenturan di udara itu
menimbulkan ledakan keras! Namun sosok
bayangan yang kecil kurus itu cepat
melakukan salto beberapa kali,
sehingga tubuhnya tidak sampai
terbanting ke atas tanah. Meskipun
begitu, tetap saja tubuhnya limbung.
Tampak darah segar menetes dari sela
bibirnya. Rupanya luka dalam si kecil
kurus yang berjuluk Raja Maut Tangan
Sakti itu kembali kambuh akibat
kibasan tangan pemuda itu yang
mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'.
Dan ternyata Panji pun mengalami
kerugian pula. Posisinya yang tidak
menguntungkan karena harus memecah
tenaga, membuat tubuh pemuda itu
terpental akibat berbenturan dengan
pukulan Raja Maut Tangan Sakti. Pemuda
itu cepat melakukan salto di udara.
Meski agak terhuyung, namun tubuhnya
tidak sampai terbanting ke atas tanah.
Pemuda itu cepat melakukan beberapa
gerakan untuk mengusir getaran dalam
tubuh akibat benturan tadi.
"Kau benar-benar seorang pendekar
pilih tanding, Pendekar Naga Putih!"
puji Raja Maut Tangan Sakti sejujumya.
Napas kakek kecil kurus itu masih agak
memburu. Sementara kedua tangannya
masih tetap menekap dadanya yang
terguncang.
"Hm...," Panji hanya bergumam
mendengar ucapan lawannya itu.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih
mengawasi lawan yang juga tengah
menatap ke arahnya. Untuk beberapa
saat lamanya, kedua orang sakti itu
saling berpandangan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
"Sebaiknya, cepat tinggalkan
tempat ini sebelum aku berubah
pikiran, Kakek Tua!" tegas Panji tiba-
tiba ketika melihat lawannya hanya
berdiri menatapnya. Sepertinya kakek
kecil kurus itu tidak mampu lagi untuk
melanjutkan pertarungan.
"Huh! Pantang bagiku untuk mundur
sebelum tubuhku terkapar menjadi
mayat!" sahut Raja Maut Tangan Sakti
gusar.
Kakek yang selama ini ditakuti
kaum rimba persilatan, tentu saja
tidak sudi diampuni dengan cara se-
perri itu. Karena, hal itu akan
menjadi bahan tertawaan kaum rimba
persilatan saja.
"Mari kita lanjutkan permainan
kita! Aku tak akan menyerah sebelum
salah seorang di antara kita
tergeletak menjadi mayat!"
Panji tegak tak bergeming
meskipun lawannya telah bersiap uhtuk
melanjutkan pertarungan. Pemuda itu
hanya menggeser kuda-kudanya sedikit,
ketika kakek kecil kurus itu melompat
sambil melontarkan sebuah pukulan ke
arah dada. Melihat pukulannya tak
membawa hasil, kakek itu segera
mengayunkan kakinya menyapu kaki
lawan, disusul sebuah bacokan sisi
telapak tangan miring ke arah leher.
Pendekar Naga Putih terpaksa
melempar tubuhnya ke belakang dan
melakukan salto. Pada saat kedua
kakinya baru menginjak tanah, sebuah
pukulan berantai sudah menyambutnya.
Cepat-cepat digeser kaki ke belakang
secara bergantian sambil melakukan
tangkisan untuk menghalau pukulan yang
datang bertubi-tubi. Tiba-tiba secara
mendadak tubuh Panji berputar sambil
melepaskan pukulan ke lambung kakek
kecil kurus itu.
Desss!
"Hukkk...!"
Raja Maut Tangan Sakti
terpelanting keras! Darah segar
langsung, menyembur deras. Kakek itu
terjerembab di atas tanah. Seluruh
tubuhnya bergetar karena hawa dingin
yang hebat menelusup ke dalam tubuh-
nya. Setelah memuntahkan segumpal
darah yang agak kental, tubuh kakek
itu pun meregang nyawa. Dia mati
akibat pukulan yang dilontarkan
Pendekar Naga Putih tadi. Raja Maut
Tangan Sakti terpaksa harus rela
menyerahkan nyawanya di tangan
Pendekar Naga Putih.
"Kau tidak apa-apa, Kakang
Panji?" tanya Suntini sambil berlari
setelah pertempuran berakhir. Gadis
itu keluar dari tempat
persembunyiannya, karena me mang tak
mungkin membantu Pendekar Naga Putih.
"Adik Suntini! Rupanya Tuhan
masih melindungi diriku," sahut pemuda
itu tanpa ingin menonjolkan
kepandaiannya.
"Apa yang terjadi, Saudara
Panji...?" tiba-tiba dari arah tenda
dua sosok tubuh berlari mendatangi.
Dua orang yang tak lain Shindura
dan Ki Gala Rengat itu terkejut
melihat tiga orang berseragam hitam
telah tergeletak di tempat itu. Mereka
menatapi pemuda tampan itu dengan
wajah bingung. Rasanya mereka belum
dapat mempercayai kalau mayat-mayat
orang berseragam hitam itu adalah
hasil pekerjaan pemuda itu.
Belum sempat Panji menjawab
pertanyaan itu, tiba-tiba mereka
dikejutkan jerit tertahan Suntini.
Ketiga orang lainnya bergegas menoleh
ke arah yang ditunjuk gadis itu. Maka
mereka pun bergegas menghampiri
sesosok tubuh berpakaian hitam yang
tampak bergerak-gerak.
Shindura, Suntini dan Ki Gala
Rengat menatap tajam sosok tubuh gagah
yang mengenakan pakaian hitam itu.
Alis mereka berkerut seolah-olah
tengah berpikir keras. Sesaat
kemudian, tiba-tiba saja tangan
Shindura terulur melepaskan kain hitam
yang menu-tupi wajah orang itu.
"Paman Gatar...!" seru ketiganya
tersentak mun-duf dengan wajah pucat!
Shindura, Suntini dan Ki Gala Rengat
mengerjap-ngerjapkan matanya untuk
memastikan kalau yang dilihamya itu
bukan kenyataan. Meskipun mereka
berusaha untuk tidak mempercayainya,
tapi wajah sosok tubuh yang tergeletak
itu tetap tidak berubah. Itu adalah
wajah Gatar atau Pendekar Pedang
Kilat!
"Paman, mengapa Paman...?" tegur
Shindura sambil bersimpuh di sisi
tubuh pamannya yang tergeletak tak
berdaya itu. Sepasang mata anak muda
itu menatap sayu menuntut jawaban
pamannya. Perbuatan itu diikuti oleh
yang lainnya.
Gatar memandangi empat pasang
mata yang tengah menatapnya. Sinar
mata pendekar itu seolah-olah penuh
permohonan maaf. Ketika mulut pendekar
itu bergerak, terdengar suara
mengorok. Tak sepatah kata pun yang
terlontar dari mulutnya, kecuali darah
segar yang mengalir deras. Rupanya
tubuh pendekar itu benar-benar telah
terluka dalam sehingga darah telah
menyumbat kerongkongannya.
Panji bergegas menotok jalan-
jalan darah yang menuju ke leher untuk
menghambat aliran darah itu sementara.
Keempat orang itu makin mendekat ke
telinga agar dapat menangkap jelas
ucapan Gatar.
"Maafkan, aku. Terpaksa kulakukan
semua ini..., Aku... aku harus
mendapatkan peta harta itu.... Mereka
telah menjejalkan sejenis racun ganas
ke dalam tubuhku. Apabila aku... aku
tidak menuruti perintahnya, dalam
waktu tiga bulan kulit dan daging
tubuhku akan mengelupas sedikit demi
sedikit... Hingga akhirnya, tubuhku
hanya tinggal tulang-belulang saja....
Maafkan aku, Shindura, Suntini...
aku... aaak-kkuuu...," Pendekar Pedang
Kilat tak mampu lagi untuk
menyelesaikan ucapannya. Kepala
pendekar itu terkulai lemas. Pendekar
Pedang Kilat tewas setelah mengucapkan
perkataan yang sangat mengejutkan itu.
"Paman... ahhh! Kasihan sekali,
kau Paman. Kalau saja kau ceritakan
sebelumnya, aku pasti rela menyerahkan
peta harta celaka ini," ucap Shindura
sambil mengeluarkan gulungan kulit
binatang dari balik bajunya. Wajah
pemuda itu tertunduk lesu. Air matanya
pun menetes mengiringi kepergian sang
paman untuk selama-lamanya.
Suasana duka cita itu menyebabkan
kewaspadaan mereka berkurang. Sehingga
mereka tidak mengetahui ada sesosok
tubuh berpakaian hitam melangkah men-
datangi. Langkah orang itu demikian
ringannya hingga tidak terdengar oleh
mereka. Dan sekali berkelebat,
gulungan peta di tangan Shindura telah
berpindah ke tangannya.
"Ha ha ha...! Akhirnya kudapatkan
juga peta ini!" orang berpakaian hitam
itu tertawa bergelak-gelak sambil
melesat melarikan diri.
"Hei, berhenti!" teriak Panji
kaget Tanpa membuang-buang waktu lagi,
pemuda itu melesat cepat bagaikan anak
panah yang lepas dari busurnya. Se-
mentara yang lainnya ikut pula
mengejar di belakang Panji.
Pendekar Naga Putih mengempos
semangatnya. Segera dikerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengejar orang berpakain hitam itu
yang berlari demikian cepat .Beberapa
saat kemudian, jarak antara keduanya
terlihat semakin dekat. Dan ketika
mereka mehntasi hamparan padang rumput
luas, sekarang hanya terpisah sekitar
empat tombak saja.
"Manusia Curang, berhenti!"
teriak Panji sambil melompat Tubuh
pemuda itu berputar beberapa kali di
udara melewati kepala orang itu.
Sesaat kemudian, Panji telah berdiri
menghadang di hadapan orang itu.
"Bocah tidak tahu diri,
mampuslah!" bentak orang itu geram.
Dia langsung melancarkan serangan maut
ke arah pemuda yang berdiri menghadang
jalan itu.
Wuttt!
"Hmh...!"
Panji mendengus sambil
menghindari serangan itu. Sehingga,
membuat lawannya melotot semakin
geram. Kembali dilancarkan beberapa
buah pukulan berturut-turut. Lagi-lagi
Panji berhasil menghindari serangan
dengan melakukan geseran-geseran yang
cepat dan indah.
"Bangsat! Heaaattt...!" merasa
dirinya dipermain-kan, orang
berpakaian hitam itu marah bukan main.
Sambil memaki segera dilontarkan
sebuah pukulan yang didorong tenaga
dalam dahsyat! Serangkum angin keras
berkesiutan mengiringi luncuran
pukulannya.
Derrr!
Sebatang pohon yang berjarak tiga
tombak di belakang Panji terpukul
roboh, karena pemuda itu telah lebih
dahulu menghindar. Pohon itu berderak
menimbulkan gemuruh. Sedangkan orang
berpakaian hitam itu sudah menerjang
Panji kembali.
Tapi, kali ini Panji tidak sudi
menghindari pukulan lawannya. Melihat
kedahsyatan serangan lawan tadi,
pemuda itu berniat untuk menguji
sampai di mana kehebatan tenaga lawan.
Maka ketika serangan lawan meluncur
datang, cepat-cepat diangkat kedua
tangannya untuk memapak pukulan itu.
Selapis kabut bersinar putih keperakan
teriihat melindungi tubuhnya.Dan....
Blarrr!
"Aaahhh...!"
Hebat sekali benturan dua
gelombang tenaga yang sama-sama
dahsyat itu. Untuk sekejap, bumi
bagaikan dilanda gempa. Pohon-pohon
yang tumbuh dalam jarak sekitar empat
sampai lima tombak, terlihat berderak-
derak bagaikan hendak roboh. Sedangkan
kedua orang yang saling berbenturan
itu terlempar ke belakang.
Baik Panji maupun orang
berpakaian hitam itu sama-sama
melakukan salto di udara untuk
mematahkan daya dorong akibat benturan
tadi Mereka masing-masing berdiri
tegak saling berhadapan dalam jarak
enam tombak. Sepasang mata mereka
saling tatap penuh selidik bagaikan
dua ekor ayam jago yang sedang
berlagak.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih, Anak Muda?!" tegas orang
itu ketika merasakan adanya hawa
dingin yang menyelusup ketika
berbenturan tadi.
Diam-diam hati orang itu bergetar
merasakan kehebatan tenaga dalam
pemuda yang menjadi lawannya itu. Dan
pengalaman itu membuatnya semakin
berhati-hati dalam mengambil langkah
selanjutnya.
"Begitulah kaum rimba persilatan
menjulukiku," sahut Panji tanpa
mengalihkan pandangannya. Pemuda itu
merasa terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau tenaga lawan ternyata
kuat sekali. "Hm... orang ini pasti
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada tiga orang tadi," pikir
pemuda itu.
"Hm... jangan kau merasa takabur
dulu, Anak Muda. Hari ini akan kuhapus
nama Pendekar Naga Putih dari kalangan
persilatan. Nah, bersiaplah!" geram
orang itu.
Bergegas dia mencabut keluar
senjatanya yang berbentuk sebuah
pedang yang bercagak pada ujungnya.
Disertai teriakan nyaring tubuh orang
itu meluruk ke arah Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji
segera mencabut Pedang Sinar Bulan
yang selalu melilit pinggangnya itu.
Cepat-cepat pemuda itu memiringkan
tubuhnya sambil menggerakkan senjata
secara bersilang. Gerakkan pemuda itu
demikian cepat dan indah.
Tranggg! Tringgg!
Dua buah serangan berhasil
dihalau Pendekar Naga Putih. Seketika
bunga api berpijar ketika dua buah
senjata yang mengandung tenaga dahsyat
itu saling berbenturan. Tubuh keduanya
terjajar mundur beberapa tindak ke
belakang. Setelah memeriksa senjata
masing-masing, keduanya kembali saling
menerjang hebat.
Dua buah sinar bergulung-gulung
saling menindih dan menekan. Kadang-
kadang, terlihat sinar putih keperakan
berada di atas menekan gulungan sinar
lainnya. Tapi pada kesempatan lain,
sinar pedang lawan menekannya.
Sehingga, pertarungan kedua orang
sakti itu benar-benar menegangkan.
Sembilan puluh jurus berialu
cepat. Sampai sejauh ini kepandaian,
masing-masing masih nampak berimbang.
"Hiaaattt..!"
Pendekar Naga Putih mengeluarkan
'Pekikan Naga Marah' yang terasa
bagaikan mengguncang jagad. Hembusan
angin dingin berkesiut di sekitar
arena pertarungan. Akibatnya udara di
sekitar arena pertarungan itu tak
ubahnya bagaikan di atas puncak gunung
yang terselimut salju. Pohon di
sekitar tempat itu bergoyang hingga
menimbulkan suara berderak akibat
pekikannya.
Orang berpakaian hitam itu
terjajar mundur beberapa langkah ke
belakang. Wajahnya yang sebagian
tertutup kain hitam tampak memucat.
Tangan kirinya menekap dada yang
terguncang oleh getaran 'Pekikan Naga
Marah' yang dikerahkan lawan. Tepat
pada saat itu, Pedang Sinar Bulan di
tangan Panji berdesing menusuk lambung
lawannya.
Siiinggg!
"Aaahhh...!"
Lawannya berseru kaget sambil
menggulingkan tubuhnya menghindari
serangan maut itu Namun, jurus pedang
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' me-
mang benar-benar hebat! Sinar putih
keperakan bergulung-gulung bagaikan
angin topan dahsyat, hingga
menyilaukan mata lawan. Dan tanpa
dapat dicegah lagi, Pedang Sinar Bulan
berputar bagaikan sebuah baling-baling
menembus tubuh orang itu.
Crasss! Jrasss!
"Wuaaa...!"
Diiringi jeritan panjang
mendirikan bulu roma, tubuh orang
berpakaian hitam itu terjungkal ke
belakang. Darah segar langsung
menyembur keluar dan memercik
membasahi bumi. Tubuh orang itu
berkelojotan sesaat, kemudian diam tak
bergerak Tewas, dengan usus terburai.
"Hebat dan sungguh menakjubkan
sekali! Jurus apakah yang kau gunakan
tadi, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki
Gala Rengat yang berlari mendatangi
bersama Shindura dan Suntini. Panji
hanya tersenyum memandang ke arah
kakek pengemis itu.
"Hanya sebuah jurus kosong yang
bernama 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam
Bumi', Eyang," jawab Panji yang meniru
panggilan Suntini dan Shindura kepada
kakek itu.
Setelah berkata demikian, pemuda
itu melangkah mendekati mayat
lawannya. Tangan pemuda itu meraba dan
mengambil sesuatu dari balik baju
mayat itu.
"Simpanlah peta ini baik-baik,
Shindura," kata Panji sambil
menyerahkan gulungan peta itu kepada
Shindura.
'Peta harta ini hanya akan
mendatangkan bencana bagi kami. Maka
kami memutuskan untuk menyerahkan peta
harta ini kepada Baginda Prabu di
kotaraja. Biarlah beliau sendiri yang
memutuskan dan menyimpannya. Tentu
harta itu akan lebih berguna apabila
berada di tangan beliau. Aku tahu,
beliau adalah seorang yang adil dan
bijaksana," jelas Shindura. Ucapan itu
disambut gembira oleh yang lainnya.
"Eh Eyang. Mengapa ketika aku dan
Paman Gatar menemukan sesosok mayat di
dalam hutan tidak terdapat tanda lima
jari pada dadanya? Padahal, orang itu
adalah anggota dari Partai Lima Unsur?
Bukankah itu adalah mayat Pengemis
Tongkat Merah? Bagaimana ini, Eyang?"
tanya Shindura sambil menolehkan
kepalanya ke arah Ki Gala Rengat.
"Mari ikut aku!" sahut kakek itu
cepat.
Begitu tiba di dekat mayat orang
yang tewas di tangan Pendekar Naga
Putih, kakek pengemis itu merobek baju
di bagian dada orang itu. Ternyata
tidak terdapat tanda lima jari pada
dadanya. Lalu Ki Gala Rengat
menekankan telapak tangannya ke dahi
mayat itu sambil mengerahkan tenaga
dalam. Sesaat kemudian, tampak asap
putih mengepul tipis. Maka pada dahi
itu terdapat tanda sebuah jari tangan.
"Begitulah mereka menandakannya
pada tokoh-tokoh tingkat tinggi. Dan
orang ini rupanya adalah tokoh nomor
satu partai itu," jelas kakek itu
menerangkan. Sedang Shindura dan
Suntini hanya menganggukkan kepalanya
tanda mengerti.
Dalam anggukannya itu, pikiran
Suntini masih diliputi satu hal yang
tak dapat dimengertinya pada beberapa
waktu lalu. Maka Suntini menanyakan
hal itu kepada Shindura kakaknya.
"Kakang.. siapakah yang telah
memalsukan peta harta itu, seperri
yang diucapkan si tinggi besar tadi?"
tanya Suntini tidak mengerti.
Shindura menatap wajah adiknya
yang sangat ia sayangi dengan senyum
cerah. Lalu membelai rambut. adiknya
dengan penuh kasih sayang.
"Adikku Suntini, Kakanglah yang
telah ..memalsukan peta harta itu
Ketahuilah bahwa pada tiga malam lalu,
setelah kamu dan Ibu terlelap tidur,
Kakang sempatkan diri untuk memalsukan
peta harta itu dengan maksud
menyelamatkannya dari para perampok!"
jawab Shindura yang disambut dengan
senyuman manja dari Suntini.
"Eh! Ke mana perginya Kakang
Panji...?" tiba-tiba Suntini bertanya
kaget sambil mengedarkan pandangannya
ke sekeliling. Namun, sosok tubuh
pemuda itu telah lenyap entah ke mana.
Sejenak gadis cantik itu termenung
seolah-olah merasa ada sesuatu yang
terbawa hilang dari hatinya.
"Hm... rupanya ia sudah pergi
jauh. Pemuda itu benar-benar seorang
pendekar sejati yang tak mengharapkan
imbalan atas jasa-jasanya," puji
Pengemis Aneh Tongkat Sakti mendesah
pelan. Wajah orang tua itu menengadah
memandang hamparan cakrawala yang biru
jernih. Angin bersilir lembut mengusap
wajah-wajah mereka yang kini dipenuhi
ketenangan dan kedamaian.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar