..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MEMBURU HARTA KARUN

Memburu Harta Karun


MEMBURU HARTA 
KARUN 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Memburu Harta Karun
128 hal ; 12 x 18 cm


SATU

Malam telah larut dan hening. 
Suasana begitu pekat, karena cahaya 
rembulan bersembunyi di balik gumpalan 
awan hitam. Taburan bintang pun tak 
lagi tampak menghias malam. Angin 
dingin berhembus membawa titik-titik 
air yang menetes, membasahi permukaan 
mayapada. Suasana malam semakin hening 
dan mencekam!
Dalam suasana seperti ini, 
rasanya orang akan enggan untuk keluar 
rumah. Seperti halnya penghuni rumah 
besar yang terletak di sebelah Selatan 
kotaraja itu, atau tepatnya di Desa 
Karang Kemiri. Rumah itupun terlihat 
sepi bagaikan tak berpenghuni.
Dua orang laki-laki yang bertugas 
jaga, tampak meringkuk malas di gardu 
jaga. Sesekali mereka terlihat menguap 
menahan serangan kantuk. Mata mereka 
menyipit dan terasa berat. Dapat 
dipastikan tidak lama lagi keduanya 
akan jatuh terridur.
Di tengah kegelapan malam dan 
titik-titik air yang jatuh membasahi 
bumi itu, tampak belasan sosok tubuh 
berlarian mendekati rumah besar itu.

Mereka yang rata-rata mengenakan 
pakaian serba hitam bergerak lincah 
menyelinap di antara bayang-bayang 
pohon. Wajah mereka tidak terlihat 
jelas karena tertutup selembar 
saputangan hitam.
Tidak lama kemudian belasan sosok 
tubuh itu tiba di bawah tembok tinggi 
yang kokoh. Sejenak mereka memandangi 
tembok tinggi yang mengelilingi rumah 
besar itu. Sesaat kemudian salah 
seorang dari mereka membalikkan 
tubuhnya membelakangi tembok. Kedua 
tangannya ditadahkan ke arah kawan-
kawannya dengan keadaan posisi kaki 
kuda-kuda. Kemudian satu-persatu 
kawannya melompat dengan kaki menjejak 
tangan yang ditadahkan itu Maka orang 
yang membelakangi dinding itu seketika 
melemparkan tubuh kawannya.
Perbuatan itu terus dilakukan 
berkali-kali hingga akhimya seluruh 
kawannya telah berhasil melewati 
tembok itu. Sedangkan dia sendiri 
bergegas menjejak tanah, maka tubuhnya 
langsung melambung melewati tembok 
Rupanya orang itu memiliki kepandaian 
yang lebih tinggi daripada kawan-
kawannya.

Setelah berhasil melewati tembok 
yang mengu-rung bangunan rumah besar 
itu, belasan sosok tubuh itu berpencar 
menjadi tiga kelompok. Masing masing 
kelompok terdiri dari empat orang. 
Mereka berpencaran untuk memasuki 
bangunan besar itu dari tiga jurusan.
Salah satu dari kelompok orang 
berpakaian hitam itu bergerak 
mendekati pos jaga. Dua orang dari me-
reka cepat membekap mulut, kemudian 
menancapkan senjatanya ke perut dua
orang penjaga pos yang tengah 
terkantuk-kantuk.
"Huh! Anjing-anjing pemalas! 
Tidurlah kalian untuk selamanya," 
gumam salah seorang dari mereka sambil 
membersihkan darah yang menetes dari 
senjatanya, setelah menghabisi nyawa 
dua orang penjaga itu. Kemudian ia 
menggerakkan kepalanya sebagai isyarat 
untuk memasuki bangunan besar yang 
jadi sasaran mereka.
Sementara itu di dalam sebuah 
kamar rumah besar itu, tampak seorang 
wanita cantik berusia sekitar tiga 
puluh lima tahun tengah terjaga dari 
tidurnya. Rasa gelisah merayapi 
hatinya. Tangannya bergerak menggapai-
gapai untuk membangunkan seorang laki


laki yang tampak masih terlelap di 
sampingnya.
"Kang...," panggil wanita itu 
pelan sambil mengguncang-guncangkan 
tubuh suaminya yang berusia sekitar 
lima puluh tahun.
"Hmmmh...," laki-laki itu hanya 
bergumam pelahan tanpa berusaha 
membuka matanya. Tapi ketika merasakan 
guncangan pada tangannya semakin 
keras, akhimya laki-laki itu terbangun 
juga.
"Hhh.... Ada apa?" tanya laki-
laki itu, malas.
"Aneh! Malam ini hatiku gelisah 
terus, Kang."
"Aaah! Jangan.terlalu mengikuti 
perasaan. Sudah, tidurlah!" sergah 
suaminya yang segera kembali 
membaringkan tubuh tanpa mempedulikan 
perasaan istrinya. Sebentar kemudian, 
dengkurnya kembali terdengar.
Mendengar jawaban suaminya yang
acuh, wanita itu terdiam. Pelahan-
lahan direbahkan kembali tubuhnya di 
atas pembaringan yang beralaskan sutra 
berwarna merah muda. Meskipun 
kegelisahan masih menghantui, namun 
wanita cantik itu berusaha untuk 
memejamkan matanya rapat-rapat.

Belum lagi sempat. terlena, tiba-
tiba terdengar suara benda jatuh ke 
atas lantai. Wanita cantik itu 
langsung bangkit dengan wajah diliputi 
ketegangan.
"Siapa itu...?" tanya wanita itu 
was-was.
Sementara tangan berjari lentik 
itu terus mengguncang-guncang tubuh 
suaminya. Sehingga, laki-laki itu 
kembali terbangun karena merasa 
terganggu.
"Sssttt..!" sebelum sang suami 
sempat bertanya, wanita cantik itu 
segera meletakkan jari telunjuknya di 
mulut. Kemudian dengan suara lirih 
diceritakan apa yang tadi didengamya.
"Huh! Paling-paling hanya tikus 
nakal!" gumam laki-laki itu, kesal. 
Namun untuk memuaskan hati istrinya 
laki-laki gagah itu bangkit juga 
sambil menyambar senjatanya yang 
tergantung di dinding kamar.
Baru saja beberapa tindak kakinya 
melangkah, tiba-tiba laki-laki 
setengah baya itu berhenti. 
Dikerahkannya segenap panca indranya 
ketika mendengar suara-suara yang 
mencurigakan pada waktu menghampiri 
pintu tadi. Tapi begitu tidak lagi

terdengar suara-suara yang 
mencurigakan segera diusirnya bayang-
bayang buruk yang tergambar di 
benaknya.
"Ah! Mungkin aku hanya terbawa 
kegelisahan istriku saja," ujar laki-
laki dalam hati.
Meskipun telah berhasil mengusir 
bayangan buruk itu, namun 
kewaspadaannya tetap ditingkatkan 
ketika melangkah menuju pintu kamar. 
Dari langkah kakinya yang ringan dan 
tak menimbulkan suara, dapat diduga 
kalau laki-laki gagah itu tentu 
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Pada saat jarak laki-laki gagah 
itu dengan pintu hanya sekitar satu 
tombak lagi, mendadak....
Brakkk!
Daun pintu itu langsung hancur 
berantakan. Empat orang yang 
mengenakan pakaian serba hitam 
serentak melompat masuk dengan senjata 
terhunus. Wajah mereka tertutup 
sehelai kain hitam hingga sukar 
dikenali.
"Garbala! Kalau kau dan 
keluargamu ingin selamat, cepat 
serahkan peta harta itu padaku!" ancam 
salah seorang dari mereka galak.

"Kurang ajar! Siapa kau 
sebenarnya Perampok Busuk?! Apa yang 
kau maksudkan dengan peta harta itu?" 
bentak laki-laki gagah yang dipanggil 
Garbala marah. Dan ia merasa heran 
ketika mendengar orang berpakaian 
hitam mengenalnya.
"Huh! Siapa adanya aku, itu bukan 
urusanmu! Sekarang cepat serahkan peta 
harta itu sebelum kesabaranku habis!" 
orang itu mulai menggeram gusar.
"Maaf, Kisanak. Aku benar-benar 
tidak mengerti apa yang kau ucapkan 
itu. Lagipula, kalaupun peta harta 
yang kau maksudkan itu ada padaku 
belum tentu aku bersedia 
menyerahkannya padamu!" jawab Garbala 
tegas.
"Hm.... Jangan berpura-pura 
bodoh, Garbala. Orang-orang telah tahu 
kalau kau adalah keturunan Patih 
Gajati Denta. Seorang patih yang tamak 
dan serakah pada lima puluh tahun yang 
lalu. Karena terlalu serakah terhadap 
harta, akhimya ia tewas di tangan para 
pendekar yang memang sangat 
membencinya. Namun sayang, para 
pendekar tidak berhasil menemukan 
harta yang ditimbunnya sejak muda itu. 
Dan kau sebagai keturunannya pasti

mengetahui di mana harta itu 
disimpan," ujar salah seorang yang 
sebagian wajahnya tertutup kain hitam.
"Aneh! Mengapa kau lebih tahu 
daripada aku? Siapa kau sebenarnya?" 
tanya Garbala semakin penasaran, 
karena orang itu mengetahui riwayat 
kakeknya dulu. Dan hal itu rasanya 
tidak mungkin diketahui sembarang 
orang. Pastilah orang itu telah 
mengenal keluarganya dengan baik. 
Garbala berusaha mencari jawaban dari 
semua itu, tapi otaknya seperti sulit 
untuk diajak berpikir.
"Bangsat! Rupanya kau pun sama 
tamaknya dengan kakekmu itu! Kau akan 
menyesal, Garbala!" bentak orang 
bertopeng itu.
Setelah berkata demikian, orang 
itu segera menerjang Garbala. 
Pedangnya berkelebat mengancam tubuh 
laki-laki gagah itu.
Tranggg!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur sejauh 
empat langkah, ketika golok besar 
Garbala menangkis senjata lawan. 
Mereka masing-masing terpaku sejenak 
seraya sedikit melirik senjatanya

kalau-kalau menjadi rusak akibat 
benturan itu.
Bagaikan dua ekor ayam jago, 
keduanya saling pandang penuh 
kewaspadaan. Baik Garbala maupun 
lawannya sama-sama mencari kelemahan 
satu sama lain. Dua orang yang
bersiap-siap melanjutkan pertarungan 
itu kali ini terlihat lebih berhati-
hati. Ternyata dalam benturan senjata 
tadi ternyata tenaga mereka berimbang.
"Heaaattt..!"
Kali ini Garbala membuka serangan 
teriebih dahulu. Golok besarnya 
berputar menimbulkan desir angin tajam 
yang menderu-deru. Laki-laki gagah itu 
rupanya telah siap mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya untuk cepat 
menyelesaikan pertarungan.
Tusukan golok besar Garbala 
berhasil dihindari lawannya hanya 
dengan menarik kaki depannya ke 
belakang. Dan secepat itu pula 
disabetkan pedangnya ke leher Garbala. 
Tentu saja laki-laki gagah itu menjadi 
terkejut melihat kecepatan gerak 
lawan. Bergegas dilempar tubuhnya ke 
belakang sehingga serangan lawan 
mengenai tempat kosong.

Namun Garbala salah sangka kalau 
ia mengira dapat lolos dari sambaran 
pedang lawan. Karena begitu kakinya 
mendarat ternyata desingan senjata 
lawan terasa berkelebat dekat 
telinganya. Cepat-cepat kepala Garbala 
merunduk, maka pedang itu lewat 
beberapa rambut dari kepalanya. Tapi 
belum lagi posisinya sempat 
diperbaiki, sebuah tendangan lawan 
telah menyongsong ke arah dada.
Bukkk!
"Hukkk...!"
Tubuh Garbala terpental deras ke 
belakang dibarengi muncratnya darah 
segar dari mulut.
"Oh, Kakang...! Kau... kau 
terluka?!" teriak wanita yang sejak 
tadi menggigil ketakutan begitu 
melihat suaminya terkapar.
Meskipun isi dadanya sempat 
terguncang akibat tendangan lawan, 
Garbala bergerak bangkit seraya 
melintangkan pedangnya.
"Tetaplah di sini, Wilarni. Biar 
akan kucoba menahan mereka!" ujar 
Garbala berusaha menenangkan istrinya 
yang ternyata bemama Wilarni itu.
"He he he.... Menyerahlah, 
Garbala. Lebih baik serahkan peta

harta karun padaku Apakah tak merasa 
sayang kepada istrimu yang cantik 
molek itu," ejek lawannya terkekeh.
"Sudah kukatakan, aku sama sekali 
tidak tahu menahu tentang peta harta 
yang kau sebutkan," sahut Garbala 
geram. Laki-laki gagah ini masih tidak 
mengerti, dari mana orang itu menduga 
kalau ia menyimpan peta harta milik 
kakeknya. Padahal, tentang peta itu 
pun baru diketahuinya beberapa minggu 
terakhir ini. Itu pun didengarnya dari 
orang lain.
"Betul, Kisanak. Kami sama sekali 
tidak mengetahui tentang peta harta 
yang kau maksudkan itu," Wilarni ikut 
pula meyakinkan orang-orang yang 
bertopeng itu.
"Keras kepala! Manusia-manusia 
tamak mampuslah!" sambil membentak 
keras orang bertopeng itu kembali 
membabatkan pedang ke tubuh Garbala 
yang sudah bersiap menghadapinya.
***
Sementara itu di tempat lain, 
tapi masih di dalam bangunan besar 
itu, sudah. pula terjadi perkelahian.

Delapan orang berpakaian hitam 
yang lain rupanya telah berkumpul dan 
bertempur melawan dua anak muda yang 
dibantu beberapa orang lainnya.
"Kakang! Aku mengkhawatirkan 
keadaan Ayah!" teriak seorang gadis 
cantik berpakaian sutra merah muda 
sambil menangkis serangan lawan dengan 
pedangnya. Dan secepat kilat gadis itu 
membalas dengan tidak kalah ganas.
"Hm.... Lebih baik kita cepat-
cepat habisi orang-orang gila ini. 
Setelah itu, baru kita melihat keadaan 
Ayah," sahut seorang pemuda tampan 
berusia sekitar delapan betas tahun.
Setelah berkata demikian, pemuda 
itu semakin mempercepat gerakan 
pedangnya hingga menimbulkan angin 
menderu-deru.
Namun, ternyata kepandaian orang-
orang berpakaian serba hitam itu rata-
rata cukup tinggi. Sehingga, biarpun 
mereka telah berusaha mendesak lawan, 
tetap saja keadaannya tidak berubah. 
Malah kadang-kadang dua anak muda dan 
para pengikutnya yang terdesak 
serangan lawan-lawannya.
Tiba-tiba, ditengah bisingnya 
suara pertempuran, terdengar sebuah 
siulan panjang yang menusuk telinga.

Tepat saat suara siulan itu lenyap, 
berkelebatan sosok tubuh yang 
mengenakan pakaian biru gelap sambil 
membabatkan pedang bersinar putih ke 
tubuh salah seorang kawanan berjubah 
hitam. Terdengar teriakan ngeri 
disertai semburan darah segar yang 
membasahi lantai. Salah, seorang dari 
kawanan baju hitam itu roboh tewas 
dengan leher hampir putus.
"Paman Gatar...!" seru sepasang 
muda-mudi itu gembira. Jelas terlihat 
kalau keduanya sudah amat mengenal 
orang yang baru datang itu.
"Pendekar Pedang Kilat..!" seru 
tujuh orang laki-laki berpakaian hitam 
itu kaget.
Seketika kegentaran menyelimuti 
hati mereka. Memang, siapa yang tidak 
mengenal nama besar Pendekar Pedang 
Kilat yang telah mengguncangkan dunia 
persilatan dengan sepak terjangnya 
yang menggiriskan. Untuk beberapa saat 
lamanya, ke tujuh orang berpakaian 
serba hitam itu hanya berdiri terpaku.
"Hm.. siapa kalian? Dan apa 
maksudnya datang ke tempat ini?" tanya
Gatar yang berjuluk Pendekar Pedang 
Kilat. Sinar mata pendekar itu

mencorong tajam hingga membuat tujuh 
orang itu semakin gentar.
"Paman, hadapilah mereka! Aku dan 
Adik Suntini akan melihat keadaan 
Ayah!" teriak pemuda tampan itu yang 
langsung berkelebat meninggalkan arena 
pertempuran. Sedangkan di belakangnya, 
gadis cantik yang bemama Suntini itu 
berlari mengikuti kakaknya.
"Baik, Shindura! Jangan khawatir, 
mereka hanyalah tikus-tikus busuk yang 
kelaparan dan tak perlu ditakuti," 
sahut laki-laki yang berjuluk Pendekar 
Pedang Kilat itu tenang. Sedikit pun 
tidak terlihat kegentaran pada raut 
wajahnya.
"Huh! Kau terlalu sombong, 
Pendekar Pedang Kilat! Biarpun kau 
memiliki kepandaian yang tinggi, tapi 
jangan harap kami akan tunduk 
kepadamu!" sahut salah seorang yang 
bertubuh gemuk. Begitu ucapannya 
selesai, tubuhnya meluncur disertai 
bentakan keras. Gerakan itu segera 
diikuti enam orang lainnya.
Serangan tujuh orang berseragam 
hitam yang serentak itu, tidak membuat 
Gatar gugup Sambil berteriak-teriak 
nyaring tubuhnya bergerak di antara 
kelebatan sinar-sinar pedang lawan.

Sesekali pedang bersinar putih di 
tangannya melakukan serangan balasan. 
Angin tajam berkesiutan menandakan 
kalau tenaga dalam yang terkandung di 
dalamnya begitu kuat Sehingga, 
kepungan lawan-lawannya menjadi buyar 
seketika.
Walaupun kepandaian Pendekar 
Pedang Kilat masih lebih tinggi 
daripada lawan-lawannya, tapi untuk 
menghadapi keroyokan tujuh orang yang 
rata-rata memiliki kepandaian cukup 
tinggi, tidaklah mudah. Karena mereka 
bertempur secara kompak dan saling 
melindungi. Dan itu menyulitkan untuk 
dapat mendesak mereka.
***
Di tempat lain, Garbala yang 
tengah bertempur melawan empat orang 
bertopeng hitam tengah mati-matian 
mempertahankan nyawanya. Seluruh 
tubuhnya telah dipenuhi goresan 
senjata lawan-lawannya. Pakaian yang 
dikenakannya sudah tak ubahnya pakaian 
seorang pengemis gembel. Garbala sudah 
tidak mempedulikan lagi segala rasa 
pedih yang diderita. Yang ada dalam 
pikirannya adalah, bagaimana caranya

mempertahankan dan keselamatan diri 
dan istrinya yang tengah merungkut di 
sudut kamar itu. Sementara, kamar yang 
dijadikan arena pertarungan lebih 
mirip kapal pecah. Beberapa kursi 
telah patah-patah. Beberapa hiasan 
dinding, tidak karuan lagi bentuknya.
"Bangsat! Rupanya kau lebih 
sayang peta harta itu daripada 
nyawamu! Kau memang patut mampus, 
Garbala!" teriak orang bertopeng itu 
geram melihat sikap lawannya yang 
kepala batu itu.
Crakkk!
"Aaahhh...!"
Tubuh Garbala melintir akibat 
hantaman pedang lawan yang mengenai 
punggung. Darah kembali mengalir dari 
luka memanjang itu. Wajahnya 
berkerinyut menahan sakit pada 
punggungnya.
"Nah! Terimalah kematianmu, 
Keparat!" bentak orang berbaju hitam, 
kehilangan kesabarannya^
"Kakang...!" Wilarni menjerit 
histeris melihat kematian suaminya 
yang sudah di ambang pintu.
Wutttt!
Tranggg!
"Uhhh...!"

Tepat pada saat mata pedang 
hampir memenggal kepala Garbala, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat 
menyampok dengan senjatanya hingga 
menimbulkan pijaran api yang menerangi 
kamar itu sekejap. Sosok bayangan itu 
mengeluh pendek, dan tubuhnya seketika 
terjajar beberapa langkah ke belakang. 
Memang, tenaga dalamnya masih lebih 
rendah dibandirig orang berpakaian 
hitam itu. Mulutnya meringis menahan 
rasa ngilu yang menusuk hingga ke 
bahunya.
Sedangkan orang berbaju hitam itu 
melompat mundur karena terkejut 
pedangnya yang sudah hampir memenggal 
kepala Garbala terpental balik. 
Kegusaran yang amat sangat tergambar 
jelas di wajahnya. Tanpa banyak cakap 
lagi, diayunkannya pedang itu ke arah 
pemuda remaja yang tadi menangkis 
senjatanya.
"Kakang Shindura, awasss...!"
Gadis cantik yang bernama Suntini 
terpekik memperingatkan kakaknya yang 
tengah terancam bahaya. Suntini yang 
baru saja tiba di kamar itu tidak 
sempat lagi menyelamatkan kakaknya. 
Gadis itu hanya dapat memandang 
disertai wajah pucat

Pada saat yang gawat, Garbala 
yang berada di bawa kaki putranya 
segera mengakat golok besarnya untuk 
melindungi Shindura.
Tranggg!
"Huakkk..,!"
Laki-laki setengah baya itu 
kembali terpental sambil memuntahkan 
segumpal darah segar. Meskipun 
usahanya berhasil, namun keadaan 
tubuhnya yang sudah lemah dan terluka 
itu tidak sanggup menahan tenaga lawan 
yang sangat kuat itu. Akibatnya, 
Garbala langsung roboh pingsan karena 
dadanya bagaikan dihantam sebuah batu 
besar akibat benturan tadi.
"Kakang..!" teriak Wilarni, 
langsung berlari menubruk tubuh 
Garbala yang tergolek pingsan.
"Ayah...!" seru Shindura dan 
Suntini berbarengan. Mereka segera 
berlari untuk memeriksa keadaan 
ayahnya.
Laki-laki berbaju hitam yang 
sebagian wajahnya tertutup selembar 
kain hitam itu sama sekali tidak 
tergugah perasaannya. Malah kesempatan 
itu dipergunakan sebaik-baiknya. 
Segera disabetkan pedangnya ke arah


empat orang anak beranak itu tanpa 
perasaan iba sedikit pun!
Namun, sebelum ia sempat 
mendekati keempat orang itu, mendadak 
sesosok tubuh berpakaian biru gelap 
telah berdiri menghalangi jalan orang 
berbaju hitam. Sebatang pedang 
bersinar putih yang masih meneteskan 
darah segar tergenggam erat di tangan-
nya.
"Pendekar Pedang Kilat...!" seru 
orang itu tersentak mundur. Segera 
ditarik senjatanya yang semula. di 
arahkan kepada empat orang anak 
beranak itu. Sesaat terlihat 
kebimbangan di wajahnya. "Mengapa 
mencampuri urusanku, Kisanak?!" tanya 
orang itu kasar, tapi sedikit gusar.
"Hm... siapa bilang mencampuri 
urusanmu?! Kau tahu, dengan membuat 
urusan terhadap keluarga ini. berarti 
telah berurusan denganku! Mereka itu 
masih terhitung keluargaku," sahut 
Gatar tenang. "Dan sekali kau membuat 
urusan denganku, jangan harap akan 
dapat melihat sinar matahari esok 
pagi!" ancam pendekar itu dingin dan 
menggetarkan.
"Eh!?" seru orang itu 
terperangah. "Anak-anak gelombang

besar, lari...!" orang berpakaian 
hitam itu yang sudah merasa tidak akan 
mampu menghadapi Pendekar Pedang 
Kilat, memberi isyarat kepada tiga 
orang pengikutnya itu. Sekejap 
kemudian, mereka berlompatan 
meninggalkan tempat itu.
Pendekar Pedang Kilat yang tidak 
ingin melepaskan lawan-lawan begitu 
saja, bergegas mengejar. Tapi alangkah 
terkejut hati pendekar itu ketika 
terdengar desingan yang menyambut 
tubuhnya. Maka cepat-cepat tubuhnya 
dilempar ke belakang, lalu bergulingan 
ke samping kiri untuk menghindari 
senjata-senjata rahasia itu.
***
DUA


"Sialan!" maki Gatar, yang 
berjuluk Pendekar Pedang Kilat ketika 
berhasil menghindari senjata-senjata 
rahasia itu, tapi ternyata musuh-
musuhnya telah lenyap.
Pendekar itu segera melangkahkan 
kakinya kembali ke dalam rumah besar 
milik Garbala. Dia langsung menuju

kamar tempat tadi Garbala tergeletak. 
Tampak laki-laki gagah itu sudah 
dinaikkan ke pembaringan. Segera 
didekati dan diperiksanya luka-luka 
yang diderita Garbala. Setelah 
beberapa saat lamanya, Pendekar Pedang 
Kilat menarik napas lega.
"Hm... untunglah tubuhnya telah 
terlatih baik. Kalau tidak, tentu 
sudah tewas tadi," ujar Gatar tenang. 
Kemudian Shindura diperintahkan 
menyediakan air hangat dan kain bersih 
untuk membersihkan luka-luka di tubuh 
ayahnya.
Beberapa saat kemudian, pemuda 
itu telah kembali membawa apa yang 
diperintahkan pamannya. Di wajah 
remaja itu masih terbayang kecemasan
dan kemarahan terhadap orang-orang 
berpakaian hitam yang telah menebarkan 
bencana di rumahnya.
"Paman, kenalkah dengan orahg-
orang berseragam hitam itu? Atau Paman 
mungkin dapat menebak?, dari 
perkumpulan mana mereka?" tanya 
Shindura langsung.
Gatar tersenyum tipis mendengar 
pertanyaan keponakannya. Ia segera 
dapat menduga, kalau pemuda itu akan 
bertanya demikian.

"Hm.... Apa yang akan kau lakukan 
apabila telah mengetahui tentang 
perkumpulan mereka?" Pendekar Pedang 
Kilat malah balik bertanya. Tentu saja 
hal ini membuat kening pemuda itu 
berkerut dalam.
"Tentu saja aku akan mendatangi 
dan meminta pertanggungjawaban mereka, 
Paman. Katakanlah, apakah Paman 
mengetahuinya?" desak Shindura semakin 
penasaran.
"Hhh.... Sayang sekali Paman 
tidak mengetahuinya, Shindura. Tapi 
kalau melihat dari cara mereka, 
kemungkinan besar dari golongan 
sesat," jawab Gatar sambil melayangkan 
pandangannya keluar kamar.
Setelah selesai membersihkan 
luka-luka di tubuh Garbala agar tidak 
membengkak, Garbala melangkahkan 
kakinya keluar dari kamar itu. 
Sedangkan Shindura dan acfiknya 
bergegas mengikuti pamannya. Mereka 
melangkah lambat di belakang laki-laki 
yang berusia sekitar empat puluh tahun 
itu. Sejenak tak ada yang berbicara 
sedikit pun.
"Ini sudah yang kedua kalinya 
rumah kami disatroni tamu-tamu yang 
tak diundang itu, Paman. Dan anehnya,

meskipun kedua gerombolan itu 
berlainan partai, tapi mereka 
mempunyai tujuan sama," jelas Shindura 
yang masih merasa penasaran.
"Hm.... Apa sebenarnya yang 
mereka inginkan, Shindura?" tanya 
Gatar sambil membalikkan tubuhnya 
menghadap kedua anak muda itu. Memang, 
Pendekar Pedang Kilat belum mengetahui 
duduk persoalannya, karena baru saja 
tiba pagi tadi.
"Peta harta," jawab pemuda itu 
cepat. "Itulah yang mereka inginkan. 
Padahal sepengetahuan kami, Ayah sama 
sekali tidak mengetahui tentang peta 
harta itu. Apalagi menyimpannya."
"Apakah yang kau maksudkan peta 
harta kakek-mu yang bernama Patih 
Gajah Denta? Itukah yang mereka 
inginkan?" tanya Pendekar Pedang Kilat 
ingin kepastian. Rupanya, dia sudah 
mulai dapat meraba apa yang menjadi 
penyebab kejadian tadi.
"Eh! Jadi, Paman sudah pula 
mendengar tentang peta harta itu? 
Bagaimana Paman dapat mengetahui nya?" 
kali ini gadis cantik yang bernama 
Suntini yang keheranan.
"Hhh.... Ayahku pernah bercerita 
tentang sifat kakekmu. Hartanya yang

berlimpah memang didapat dari hasil 
keringat rakyat. Bahkan menurut cerita 
yang kudengar, kekayaan kakekmu itu 
sampai melebihi kekayaan yang dipunyai 
sang prabu sendiri. Ayahmu yang tidak 
suka akan sifat kakeknya itu mencoba 
menentangnya, tapi gagal! Akhimya, ia 
melarikan diri dan berguru kepada 
ayahku," tutur pendekar itu sambil 
melepaskan pandangannya ke kaki langit 
sebelah Timur yang mulai menampakkan 
cahaya kemerahan. Rupanya hari telah 
menjelang pagi.
"Teruskanlah, Paman," pinta 
Suntini ketika melihat pamannya 
seperti tidak ingin bercerita lagi.
"Hm.... Apakah ayahmu tidak pemah 
menceritakannya?" tanya Pendekar 
Pedang Kilat heran.
"Sama sekali tidak pernah, Paman. 
Dan kalau kami tanya pun, Ayah selalu 
mengelak. Hingga kami menjadi semakin 
penasaran!" sahut gadis itu cemberut.
"Hm...," Gatar hanya bergumam tak 
jelas. Kemudian tanpa mengucapkan 
sepatah kata pun, tubuh laki-laki 
gagah itu berbalik, meninggalkan 
tempat itu.

"Paman...!" Suntini dan Shindura 
berlari memanggil. Kedua remaja itu 
bergegas menghadang langkah pamannya.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik 
kalian pergi istirahat Aku janji akan 
menceritakan selengkapnya," sahut 
Pendekar Pedang Kilat membujuk. Dan 
sebelum kedua remaja itu sempat 
membuka mulut, Gatar sudah melesat 
pergi tanpa sempat dicegah. Tinggallah 
Shindura dan Suntini terpaku bisu.
***
Pagi begitu cerah. Burung-burung 
berkicau riuh menyambut kedatangan 
sang mentari. Kesibukan mulai nampak 
di Desa Karang Kemiri.
Beberapa hari setelah kejadian di 
rumah besar yang dihuni keluarga 
Garbala, tampak disibuki oleh beberapa 
orang yang lalu lalang. Di halaman, 
juga tampak tiga buah kereta yang 
cukup besar berjajar seperti menunggu 
sesuatu.
Tidak lama kemudian, tampak 
Garbala dan istrinya menaiki kereta 
terdepan yang ditarik empat ekor kuda 
besar dan kokoh. Sepertinya, kuda-kuda

itu memang dipersiapkan untuk menempuh 
perjalanan jauh.
Sedang Shindura, Suntini, dan 
Gatar, masing-masing sudah berada di 
atas kudanya. Demikian pula belasan 
orang lainnya yang merupakan para 
pembantu keluarga Garbala. Mereka pun 
akan akut mengawal kepergian keluarga 
itu.
Tapi belum lagi kereta sempat 
berangkat, tiba-tiba terdengar suara 
terkekeh serak berkumandang.
"He he he... dasar nasibku memang 
sedang sial. Maksud hati ingin 
menikmati makanan lezat, tapi orang 
yang hendak dikunjungi malah akan 
bepergian. Huh...! Sungguh sial 
nasibku," keluh seorang kakek 
berpakaian pengemis penuh tambal. Ia 
berjalan sambil tak henti-hentinya 
menggelengkan kepala seolah-olah 
menyesali nasibnya.
Shindura dan Suntini bergegas 
menggeprak kudanya menghampiri kakek 
pengemis itu. Mereka merasa heran 
ketika melihat pakaian yang dikenakan 
kakek itu. Sebab meskipun penuh 
tambalan, tapi terlihat bersih tidak 
seperti pakaian yang dikenakan 
pengemis sewajarnya. Dan tongkat yang

dipegang kakek itu lebih mengejutkan 
mereka, karena terbuat dari sebatang 
baja berwarna hitam. Yang jelas bukan 
tongkat kayu butut.
"Siapakah Kakek ini? Dan apa 
maksud kata-kata kakek tadi?" sapa 
Shindura ramah.
Pemuda itu meskipun sebagai anak 
keluarga hartawan, namun sama sekali 
tidak memiliki sifat sombong. Apalagi 
untuk memandang rendah orang lain. 
Bahkan seorang pengemis sekalipun!
"He he he.... Siapakah kau, Anak 
Muda?" tanya. kakek pengemis itu 
sambil menatap Shindura dan Suntini 
penuh selidik. Sama sekali tidak 
dipedulikan pertanyaan Shindura.
"Hm... Kakek pengemis ini mungkin 
orang sinting. Pertanyaanku belum 
dijawab, tapi malah balik bertanya," 
pikir pemuda itu sambil tersenyum. 
Shindura sama sekali tidak merasa 
jengkel karena pertanyaannya tidak 
dibalas. la segera melompat turun dari 
atas punggung kudanya, namun wajahnya 
tetap ramah terhias senyum manis.
"Aku Shindura, dan ayahku bernama 
Garbala. Sedangkan gadis itu adikku, 
namanya Suntini. Nah, sekarang kakek 
harus menjawab pertanyaanku. Siapakah

kakek? Dan apa maksud kakek datang ke 
sini?" tanya Shindura. Suaranya tetap 
ramah dan halus.
"Hm.... Kau anak Garbala. Kalau 
begitu, inilah jawabanku!"
Setelah berkata demikian, kakek 
pengemis itu melompat sambil 
mengayunkan tongkatnya ke arah kepala 
Shindura. Ayunan tongkat itu terdengar 
mengaung keras dan menimbulkan desiran 
angin tajam.
Wuttt!
"Hei...!"
Shindura berteriak kaget melihat 
serangan yang berbahaya itu. Cepat-
cepat tubuhnya dilempar ke belakang 
sambil mencabut pedangnya. Pemuda itu 
semakin terkejut ketika tongkat baja 
di tangan kakek pengemis itu terus 
mencecarnya. Karena tidak mempunyai 
kesempatan mengelak, akhimya pemuda 
itu menggerakkan pedangnya menangkis 
tongkat baja itu.
Tranggg!
"Uhhh...!"
Terdengar suara benturan yang 
memekakkan telinga dibarengi pijaran 
bunga api yang berhamburan. Shindura 
berteriak tertahan dan tubuhnya 
terlempar sejauh tiga tombak. Pemuda

itu merangkak bangkit, lalu mencari-
cari pedangnya yang terpental entah ke 
mana. Sementara tulang tangan kanannya 
terasa bagai berpatahan. Sambil 
meringis menahan sakit, Shindura 
bersiap menghadapi segala kemungkinan
"He he he.... Tidak jelek... 
tidak jelek...," puji kakek pengemis 
itu sambil terkekeh senang.
Sementara itu, Suntini yang 
melihat kakaknya terlempar segera 
melompat turun dari atas kudanya. Tan-
pa banyak cakap lagi, gadis cantik itu 
cepat meluncur ke arah kakek pengemis 
disertai ayunan pedangnya.
"Kakek Jahat, terimalah 
seranganku!" teriak Suntini marah.
"Ha ha ha... sabarlah Anak Manis. 
Jangan terlalu cepat marah, nanti akan 
cepat peot seperti aku," sahut kakek 
itu acuh tak acuh.
"Suntini, tahan...!" tiba-tiba 
terdengar bentakan keras yang 
dibarengi melesatnya sesosok bayangan 
memotong serangan Suntini. Dan tahu-
tahu saja beberapa tombak di hadapan 
gadis itu telah berdiri Pendekar 
Pedang Kilat, yaitu paman gadis itu.
"Paman, kakek gembel itu kurang 
ajar sekali! Kakang Shindura bertanya

baik-baik, tapi dia malah 
mencelakainya," dengus gadis itu tak 
puas.
"Sabarlah, Suntini. Si gembel 
peot itu tidak bermaksud melukai 
kakakmu. la hanya ingin mengetahui,
sampai di mana kepandaian yang 
dimiliki putra sahabatnya itu," jawab 
Gatar menerangkan.
"Jadi, kakek gembel itu sahabat 
Ayah?" tanya gadis itu ingin 
ketegasan.
"Benar! Cah Ayu yang galak. Aku 
adalah sahabat lama ayahmu itu," selak 
kakek pengemis itu tiba-tiba disefingi 
kekehnya yang serak.
"Ha ha ha.... Benar, Suntini Ki 
Gala Rengat adalah sahabat baik Ayah," 
ujar Garbala gembira yang tahu-tahu 
saja telah berdiri di samping Suntini 
"Sifat yang aneh dan pakaian yang 
penuh dengan tambalan itulah yang 
menyebabkan kaum rimba persilatan 
menjulukinya sebagai Pengemis Aneh 
Tongkat Sakti."
"Ah! Kalau begitu, maafkan 
sikapku yang tidak pantas tadi, 
Eyang," ucap Suntini cepat. Dan gadis 
itu langsung merubah panggilannya 
terhadap Ki Gala Rengat itu. Perbuatan

itu diikuti pula oleh Shindura yang 
juga telah berada di tempat itu. 
Sedangkan kakek pengemis itu hanya 
terkekeh gembira.
"Ha ha ha.... Rupanya 
kedatanganku telah mengganggu 
kesibukan kalian. Biarlah aku pergi 
saja," ujar Pengemis Aneh Tongkat 
Sakti sambil membalikkan tubuhnya dan 
melangkah pergi.
"Ki, tunggu…!" Garbala cepat 
melompat sambil bersalto di udara 
menghadang perjalanan kakek pengemis 
aneh itu.
"Hhh.... Ada apa lagi, Garbala? 
Sudahlah, memang nasibku sedang sial," 
keluh Ki Gala Rengat sambil menghela 
napas berat.
"Siapa bilang nasibmu sial. Kau 
saja yang tidak tahu diri," ujar 
Garbala tersenyum.
"Eh! Apa maksudmu, Garbala?" 
tanya kakek itu seraya mengerutkan 
kening.
"Bukankah kau hendak singgah di 
rumahku? Nah, tunggu apa lagi? 
Perjalananku bisa kutunda hingga esok, 
bagaimana?"
"He he he.... Benarkah itu, 
Garbala? Wah, kalau begitu tali

pinggangku harus siap-siap 
dikendurkan," gurau kakek itu gembira.
"Nah, marilah...," ajak Garbala 
mempersilakan.
Kedua sahabat lama itu pun 
berjalan berangkulan sambil tertawa 
gembira. Garbala segera memerintahkan 
untuk menunda perjalanan sampai esok 
hari.
***
Diri hari sekali, rombongan 
Garbala tampak mulai bergerak 
meninggalkan Desa Karang Kemiri. 
Diterangi . beberapa buah obor, 
rombongan kereta kuda itu merangkak 
menembus pekatnya kabut pagi.
Di depan tampak Shindura dan 
Suntini yang mengapit seorang laki-
laki tinggi besar dan bercambang bauk. 
Dialah kepala pengawal keluarga 
Garbala. Namanya Maruta. Ia merupakan 
orang kepercayaan keluarga itu dan 
telah bekerja puluhan tahun.
Sedangkan Garbala dan istrinya 
ada di dalam kereta kedua, karena 
kereta pertama dan ketiga untuk 
barang-barang dan perbekalan yang 
dibutuhkan dalam perjalanan.

Beberapa tombak di belakang 
kereta yang ditumpangi Garbala, tampak 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Rupanya pengemis aneh yang 
bernama Ki Gala Rengat itu ikut pula 
mengawal rombongan. Laki-laki gembel 
yang menjadi sahabat Garbala itu 
bersedia membantu ketika mendengar 
cerita sahabatnya yang sedang terancam 
bahaya itu. Itulah sebabnya, mengapa 
dia terlihat pula mengawal rombongan.
Sementara Pendekar Pedang Kilat 
sendiri berada di belakang. Laki-laki 
gagah bernama Gatar itu ikut pula 
mengawasi, mengingat dirinya masih 
terhitung sebagai kakak seperguruan 
Garbala.
Rombongan kereta kuda itu terus 
merangkak maju, namun tidak terburu-
buru. Mereka sengaja menghindari 
jalan-jalan umum agar tidak terlalu 
menarik perhatian orang. Jadi tentu 
saja harus melewati jalan yang lebih 
sukar dan memakan waktu lebih lama 
dari semestinya. Namun, itulah yang 
dikehendaki Garbala agar kepergian 
mereka tidak diketahui oleh komplotan 
orang yang mengincar peta harta yang 
sama sekali tidak diketahui.


Ini dilakukan, karena terpaksa 
mengikuti kemauan Wilarni yang selalu 
dicekam rasa takut dan cemas. Ia tidak 
ingin istri yang dicintainya itu 
menderita karena diteror orang-orang 
yang sama sekali tidak jelas dari mana 
asalnya. Daripada istrinya setiap 
malam terus terjaga karena rasa 
khawatir akan kedatangan komplotan 
itu, akhimya Garbala menyetujui usul 
Wilarni untuk pindah.
Di kaki langit sebelah Timur, 
nampak cahaya kemerahan menyemburat 
indah. Itu tandanya, sebentar lagi 
sang surya akan muncul menerangi jagad 
raya ini. Kicauan burung-burung mulai 
ramai menyemaraki suasana pagi yang 
tampak cerah itu. 
"Aaahhhkkk...!"
Tiba-tiba saja suasana pagi yang 
cerah itu dikejutkan oleh teriakan 
menyayat, disusul jatuhnya dua orang 
pengawal Garbala dari atas punggung 
kuda. Setelah menggelepar beberapa 
saat, keduanya tewas dengan tubuh 
menghitam.
Sekejap kemudian, suasana kontan 
menjadi hiruk-pikuk. Kuda-kuda yang 
lainnya meringkik ketakutan dan 
berlarian ke sana kemari, membuat para

penunggangnya menjadi sibuk untuk 
menenangkannya.
"Berlindung...!" Pendekar Pedang 
Kilat cepat mengambil keputusan. Gatar 
menduga akan adanya serangan gelap 
yang mungkin akan berlanjut.
Maka setelah berkata demikian, 
pendekar itu sudah melompat turun dari 
atas kudanya yang segera diikuti yang 
lainnya.
Beberapa ekor kuda segera 
berlarian ketika para penunggangnya 
melompat turun dari punggung binatang 
itu. Kuda-kuda itu terus berlari 
bagaikan dikejar setan, sehingga para 
penunggangnya hanya dapat memandang 
tanpa dapat mencegah.
Sampai beberapa saat lamanya 
keadaan menjadi tegang dan mencekam, 
tanpa ada serangan. Dan apa yang 
diduga Pendekar Pedang Kilat ternyata 
meleset. Sampai lama mereka menanti, 
tapi tak satu pun dari para penyerang 
gelap itu yang menampakkan diri,
"Kalian tetaplah di tempat! Akan 
kucoba untuk memeriksa sekitar daerah
ini!" ujar Pendekar Pedang Kilat 
kepada yang lain.
Setelah berkata demikian, Gatar 
bergegas pergi. Namun sebelum

melangkah lebih jauh, sesosok bayangan 
berkelebat di sampingnya.
"Aku ikut, Paman!" tegas bayangan 
itu yang ternyata Shindura. Di tangan 
pemuda itu telah tergenggam sebatang 
pedang.
"Hm... baiklah! Tapi jangan 
bertindak ceroboh dan jangan 
mendahuluiku!" pesan Pendekar Pedang 
Kilat sambil menatap tajam pemuda yang 
menjadi keponakannya itu.
"Baiklah, Paman," jawab pemuda 
itu cepat. Sekejap kemudian keduanya 
langsung .melesat meninggalkan 
rombongan. Dengan penuh kesiagaan, 
mereka mulai memeriksa daerah sekitar. 
Paman dan keponakan itu menyelinap di 
antara rimbunan pohon sambil 
menajamkan indra pendengarannya. 
Sampai agak lama mereka mengamati 
daerah sekitar, namun tak satu tanda 
pun yang ditemui. Belum lagi keduanya 
sempat menarik napas lega, tiba-tiba 
terdengar suara-suara pertempuran.
Pendekar Pedang Kilat 
mendongakkan kepala untuk menangkap 
lebih jelas asal suara itu. Wajah pen-
dekar itu sesaat menegang ketika 
mengetahui sumber suara pertempuran 
berasal.

"Shindura, ayo kita kembali!" 
ajak Gatar cepat. Dan tanpa menunggu 
jawaban pemuda itu, Pendekar Pedang 
Kilat sudah melesat menuju ke tempat 
rombongan berada.
Gatar dan Shindura terkejut bukan 
main ketika mendaparj rombongan mereka 
tengah bertempur melawan puluhan orang 
berseragam hitam, dan sebagian-
wajahnya tertutup selembar kain hitam. 
Kepandaian mereka rata-rata cukup 
tinggi, sehingga para pembantu Garbala 
terdesak hebat.
"Hm... manusia-manusia keparat 
dari mana ini?!" geram Gatar yang 
segera mencabut senjatanya, langsung 
menerjunkan din ke dalam kancah 
pertempuran yang semrawut itu.
Shindura yang tidak ingin 
ketinggalan oleh pamannya, cepat 
menggerakkan pedang sepenuh tenaga. 
Sekejap. saja pemuda itu sudah 
mengamuk bagaikan harimau marah. 
Pedangnya berkelebat menebarkan hawa 
maut. Sekejap saja salah seorang lawan 
sudah terguling mandi darah.
Di tempat lain, Pengemis Aneh 
Tongkat Sakti tampak tengah bertempur 
sengit melawan seorang berseragam 
hitam yang bersenjatakan sebatang

golok besar. Kepandaian orang itu 
tampak hebat sekali, sehingga tokoh 
sakti seperti Ki Gala Rengat sempat 
dibuat kerepotan.
"Hm... rasanya sudah dapat 
kuduga, siapa kau sebenarnya manusia 
pengecut!" ejek Ki Gala Rengat yang 
sempat membuat lawannya terkejut 
sejenak.
Kesempatan itu tidak disia-siakan 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti. Cepat-
cepat disabetkan tongkat bajanya ke 
kepala lawan hingga menimbulkan suara 
mengaung tajam bagai suara ribuan ekor 
lebah marah! 
Wuttt!
"liihhh...!" Orang berpakaian 
hitam itu berseru kaget.
Cepat-cepat dia melempar tubuhnya 
ke belakang, menghindari serangan yang 
mematikan itu. Tapi bukan main 
terperanjatnya orang berbaju hitam itu 
ketika tahu-tahu saja ujung tongkat 
baja Ki Gala Rengat meluncur mengancam 
perutnya.
Sadar kalau untuk mengelak sudah 
tidak mungkin, orang berbaju hitam itu 
bergegas menggerakkan golok besamya 
untuk menangkis tusukan tongkat lawan.
Tranggg!

"Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentang 
nyaring yang memekakkan telinga. Bunga 
api seketika berpijar menandakan 
betapa kuatnya tenaga benturan itu. 
Keduanya berseru tertahan, dan sama-
sama terpental balik.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti 
terjajar mundur sejauh enam langkah. 
Kakek itu cukup terkejut ketika 
merasakan kalau kekuatan tenaga dalam 
lawannya ternyata. hampir menyamainya. 
Buktinya, benturan itu sempat membuat 
lengan kakek itu bergetar. Dan hal itu 
membuatnya lebih berhati-hari dalam 
menghadapi lawan.
Sedang orang-orang berpakaian 
hitam itu terlempar dan jatuh 
bergulingan sejauh beberapa tombak. 
Namun dengan gesit ia melompat bangkit 
sambil menyeringai menahan rasa nyeri 
yang menusuk lengannya. Seketika 
terlihat sinar kegetaran dari sepasang 
matanya.
"He he he.... Hari ini kau tak 
akan lolos dari tanganku, Manusia 
Pengecut! Nah, bersiaplah melayat ke 
neraka!" ejek Pengemis Aneh Tongkat 
Sakti terkekeh.

Setelah berkata demikian kakek 
pengemis itu kembali memutar tongkat 
bajanya, sehingga menimbulkan deru 
angin keras yang menerbangkan daun-
daun kering di sekitarnya. Inilah 
jurus andalannya yang bernama jurus 
'Tongkat Sakti Penggetar Jagad' yang 
telah mengangkat namanya dalam rimba 
persilatan
Kelihatan sekali kalau lawannya 
begitu terkejut melihat gerakan 
tongkat kakek pengemis itu. Sekejap 
teriihat ketegangan melipuri wajahnya. 
Memang sungguh tidak disangka kalau 
dalam rombongan itu terdapat seorang 
lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
***
TIGA


"Heaaattt...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, 
tubuh Pengemis Aneh Tongkat Sakti 
melesat menerjang lawan. Sinar hitam 
bergulung-gulung hingga menimbulkan 
deru angin keras. Benar-benar sebuah 
serangan berbahaya!

Orang berpakaian hitam itu 
berlompatan menghin-dari serangan 
dahsyat tongkat baja Ki Gala Rengat 
Sesekali dicobanya untuk membalas 
dengan tusukan golok besarnya. Namun, 
kembali hatinya merasa terkejut ketika 
tusukan-tusukan goloknya selalu 
berbalik. Seolah-olah seluruh tubuh 
lawan terlindung benteng yang tak 
tampak.
Di arena lain, Garbala yang 
semula berada di dalam kereta berkuda 
kini telah pula keluar dan bertempur 
sengit! Sialnya, lawan yang didapat 
ternyata memiliki kepandaian yang 
lebih tinggi darinya, dan 
perkelahianriya jauh dari pengawal-
pengawal maupun anaknya sendiri. 
Sehingga, seluruh kepandaiannya harus 
dikuras tanpa ada yang membantu.
"Ha ha ha.... Lebih baik cepat 
serahkan peta harta itu' kepadaku, 
Garbala. Imbalannya, kau akan 
kubebaskan!" ejek lawannya tertawa 
lepas.
"Huh! Sudah kubilang aku sama 
sekali tidak tahu-menahu tentang peta 
harta itu! Kalau bisa membunuhku, 
silakan! Jangan banyak bacot!" teriak 
Garbala gusar.

Sambil berkata demikian. Laki-
laki gagah itu melompat menghindari 
sebuah bacokan yang mengancam tubuh.
Rupanya kesabaran orang berbaju 
hitam itu telah habis. Sambil 
menggereng gusar segera diperhebat 
serangan-serangannya. Maka, sebentar 
saja Garbala dibuat jungkir balik dan 
tak mampu membalas.
"Terimalah ini! Heaaattt...!" 
Orang itu membentak keras disertai 
ayunan pedang yang menggetarkan 
jantung. Senjata itu meluncur deras 
dengan kecepatan kilat.
Garbala menggeser tubuhnya ke 
kanan, maka serangan itu hanya 
mengenai tempat kosong. Rupanya hal 
itu sudah diperhitungkan lawan. Dan 
secara tiba-tiba saja senjata itu 
meliuk membentuk setengah lingkaran. 
Sehingga...
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Garbala menjerit kesakitan ketika 
tebasan senjata lawan dua kali merobek 
tubuhnya. Laki-laki gagah itu 
terlempar disertai percikan darah 
segar yang berhamburan. Dan sebelum ia 
sempat bangkit, sebuah bacokan kembali 
membabat perutnya. Kembali tubuh Gar

bala ambruk, dan kini tidak berkutik 
lagi.
"Kakang...!" Wilarni menjerit 
ketika melihat tubuh suaminya 
tergeletak berlumuran darah. Tanpa 
mempedulikan keadaan sekelilingnya, 
wanita cantik itu segera menghambur 
dan menubruk tubuh suaminya yang telah 
menjadi mayat itu. Seketika tangisnya 
meledak begitu mengetahui suaminya 
benar-benar telah tewas.
"Manusia Biadab! Mengapa tidak 
kau bunuh aku sekalian, hah?! Mengapa 
diam saja?!" Wilarni berteriak-teriak 
bagai orang kemasukan setan. Dan 
segera saja dia menghambur menerjang 
orang berpakaian hitam yang telah 
membunuh suaminya itu.
Namun, apalah artinya seorang 
wanita lemah seperti Wilarni itu. 
Sekali bergerak saja, kedua tangan 
istri Garbala sudah tak berdaya dalam 
genggaman orang itu. Maka kini Wilarni 
hanya dapat memaki dan menjerit-jerit 
ketakutan.
"He he he.... Sayang kalau wanita 
secantjk dirimu harus matj tanpa bisa 
dinikmati terlebih dahulu. Kau 
demikian liar dan penuh semangat. 
Marilah, Manis. Kita tinggalkan orang

orang ini sebentar, dan akan kubawa 
kau terbang ke langit yang ketujuh! He 
he he...."
Setelah berkata demikian tangan 
orang itu bergerak cepat. Terdengar 
keluhan lirih Wilarni, kemudian 
tubuhnya tergantung lemas tak berdaya. 
Wanita itu telah tertotok di beberapa 
bagian tubuhnya. Orang berbaju hitam 
itu cepat memondong tubuh Wilarni.
Diiringi tawa yang berkumandang, 
orang berbaju hitam itu melesat 
meninggalkan arena pertempuran. 
Sementara tubuh Wilarni tergantung 
lemas di punggungnya. Orang itu terus 
berlari memasuki hutan tanpa 
menghiraukan pertempuran yang masih 
berlangsung. Dan rupanya kejadian ini 
juga lolos dari pengamatan rombongan 
keluarga Garbala!
***
Sementara itu, pertarungan antara 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti melawan 
orang bersenjata golok besar tampaknya 
akan segera berakhir. Lawan kakek 
sakti itu kelihatannya sudah putus asa 
untuk menghindari serangan tongkat 
baja yang terus mengancam tubuhnya

itu. Pakaian hitamnya sudah dibasahi 
peluh yang membanjir. Hingga pada 
jurus yang ketiga puluh lima ia tak 
mampu lagi untuk menghindari hantaman 
keras tongkat baja hitam lawan.
Bukkk!
"Aaakhhh...!"
Orang itu menjerit kesakitan 
ketika tongkat baja di tangan Ki Gala
Rengat menghantam pada paha kanannya. 
Tubuhnya terpental sejauh dua tombak 
Namun, daya tahan tubuh yang dimiliki 
orang itu memang patut dipuji. 
Meskipun tulang pahanya terasa remuk, 
tapi tetap saja berusaha bangkit.
Belum lagi ia sempat berdiri tegak, 
sebuah hantaman tongkat lawan kembali 
bersarang di dadanya.
Tubuh orang itu kembali 
terpental, bahkan kali ini lebih jauh 
dari yang pertama. Darah segar 
menyembur keluar dari mulutnya.
Setelah berkelojotan sejenak, tubuh
itu pun diam tak bergerak. Mati. 
Tulang dada orang berbaju hitam itu 
remuk akibat hantaman tongkat baja Ki 
Gala Rengat.
Sementara itu, Pendekar Pedang 
Kilat telah merobohkan lebih dari enam 
orang berpakaian hitam yang menyerang

rombongan saudara seperguruannya itu. 
Pedang sinar putihnya berkelebat tanpa 
ada yang mampu menahannya. Memang 
hebat sekali sepak terjang pendekar 
itu. Hingga dalam beberapa jurus saja,
tak ada seorang lawan pun yang berani 
mencoba mendekatinya.
Tiba-tiba terdengar sebuah siulan 
panjang yang melengking memenuhi 
sekitar arena pertarungan. Kelompok 
berseragam hitam yang hanya tersisa 
beberapa belas orang itu sejenak 
terpaku dan saling berpandangan satu 
sama lain. Sekejap kemudian, mereka 
segera berlompatan meninggalkan tempat 
itu.
"Bangsati Jangan harap kalian 
dapat pergi begitu saja!" bentak 
Pendekar Pedang Kilat sambil melompat 
yang disertai kelebatan pedangnya. Dua 
orang berpakaian hitam yang hendak 
melarikan diri kontan terjungkal mandi 
darah, tersabet pedang bersinar putih 
itu.
Rupanya tidak hanya Pendekar 
Pedang Kilat saja yang merasa marah. 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti pun tidak 
ketinggalan. Dia segera menghajar tiga 
orang lawan yang hendak melarikan diri 
itu. Tak ayal lagi, tiga orang

berpakaian hitam langsung ambruk tanpa 
sempat berteriak. Kepala mereka telah 
remuk akibat hantaman tongkat baja 
yang sangat berat itu. Apalagi, 
senjata itu digerakkan oleh seorang 
tokoh sakti seperti Ki Gala Rengat 
yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Namun di lain hal, sayangnya tiga 
belas orang berpakaian hitam lainnya 
berhasil meloloskan diri dan 
menghilang ke dalam hutan. Hal ini 
benar-benar membuat hati penasaran 
Pendekar Pedang Kilat dan yang 
lainnya.
"Jangan dikejar...!" seru 
Pendekar Pedang Kilat ketika melihat 
Shindura, Suntini, dan beberapa orang
lain hendak mengejar. Pendekar itu 
sengaja mencegah karena bisa saja hal 
itu suatu jebakan.
"Mengapa, Paman? Bukankah mereka 
tinggal beberapa orang saja? Apa lagi 
yang periu ditakutkan?" tanya Shindura 
penasaran sekali melihat lawan-lawan-
nya berhasil meloloskan diri.
"Hm.... Itu sangat berbahaya, 
Shindura. Kita tidak tahu, apakah 
sekitar daerah itu aman. Belum lagi 
orang yang mengeluarkan siulan tadi! 
Nampaknya kepandaiannya sangat tinggi.

Aku pun belum tentu sanggup 
menandinginya," Gatar menjelaskan 
sambil menghela napas berat. "Ternyata 
lawan kita mempunyai banyak sekali 
orang berkepandaian tinggi. Entah, 
dari golongan dan partai mana mereka?"
"Rasanya sudah mulai dapat 
kuduga, dari partai mana mereka itu!" 
tiba-tiba saja Ki Gala Rengat atau 
yang lebih dikenal berjuluk Pengemis 
Aneh Tongkat Sakti itu bergumam di 
samping Pendekar Pedang Kilat
"Hm.... Benarkah itu? Kalau 
begitu, dari partai mana mereka, 
Eyang? Katakanlah!" Shindura yang 
masih merasa belum puas itu segera 
menghampiri, lalu mengguncang tangan 
Ki Gala Rengat. Wajahnya terlihat 
menegang karena tak sabar ingin 
mendengar keterangan dari pengemis 
aneh itu.
“He…he..he…Sabarlah, Anak Muda. 
Jangan terlalu terbawa amarah. Jika 
tak ingin celaka karenanya," sahut 
Ki'Gala Rengat terkekeh. "Hm.... 
Gatar. Pernahkah .kau mendengar 
tentang Partai Lima Unsur?" Tanya Ki 
Gala Rengat seraya memalingkan 
wajahnya ke arah Pendekar Pedang Kilat

Mendengar pertanyaan itu wajah
Pendekar Pedang Kilat mendadak pucat 
Tentu saja sebagai seorang pendekar 
yang selalu berpetualangan, ia banyak 
mendengar berbagai macam partai 
persilatan yang terkenal dalam rimba 
persilatan. Dan salah satu partai 
besar yang sangat ditakuti kaum rimba 
persilatan adalah Partai Lima Unsur. 
Tak seorang tokoh rimba persilatan pun 
yang mengetahui, apakah partai itu 
termasuk golongan hitam atau putih. 
Karena, Partai Lima Unsur merupakan 
partai tertutup dan tersembunyi. Hanya 
beberapa tokoh saja yang mengetahui
tentang keberadaan partai itu. Mereka 
di antaranya adalah Pendekar Pedang 
Kilat dan Pengemis Aneh Tongkat Sakti. 
Memang, keduanya merupakan tokoh yang 
cukup terkenal di kalangan rimba 
persilatan.
"Apakah Ki Gala Rengat yakin 
kalau mereka adalah anggota partai 
tersembunyi itu?" tanya Pendekar 
Pedang Kilat ragu. Ditunggunya jawaban 
yang keluar dari mulut kakek itu 
dengan hati berdebar. Memang, biar 
bagaimanapun, ia lebih suka untuk 
tidak berurusan dengan partai yang 
amat ditakuti itu.

"Hm... mari kita lihat mayat 
orang yang menjadi lawanku tadi," ajak 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti sambil 
melangkah menghampiri mayat lawannya.
Ki Gala Rengat mencongkel mayat 
yang tertelungkup itu dengan ujung 
kakinya. Kemudian, dirobeknya baju 
orang itu pada bagian dada menggunakan 
tongkat bajanya. Maka terlihatlah 
sebuah lambang bergambar lima jari 
yang masing-masing berlainan warna.
Tubuh Pendekar Pedang Kilat dan 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti bergetar 
sejenak ketika menatap lambang yang 
tertera pada dada orang itu. Sampai 
beberapa saat lamanya, mereka terdiam 
sambil menatap lambang itu dengan 
jalan pikiran masing-masing.
Tinggallah Shindura dan Suntini 
yang terheran-heran menyaksikan dua 
orang berkepandian tinggi itu menjadi 
terdiam hanya karena melihat lambang 
lima jari pada dada mayat itu. Dua 
anak muda yang memang belum 
berpengalaman dalam dunia persilatan 
itu tentu saja menjadi bingung ketika 
melihat sinar kekagetan dan kecemasan 
membayang di wajah dua orang tokoh 
sakti itu.

"Apakah artinya lambang itu, 
Paman? Mengapa Paman dan Eyang 
kelihatan gentar?" akhimya Shindura 
mengeluarkan uneg-uneg yang terkandung 
dalam pikirannya. Jelas sekali kalau 
Shindura menuntut jawaban pasti dari 
kedua orang sakti yang dikaguminya 
itu.
"Hhh.... Ketahuilah Shindura, 
Suntini. Itu adalah lambang sebuah 
partai besar yang sangat ditakuti kaum 
rimba persilatan. Partai itu memiliki 
ratusan anggota yang rata-rata 
memiliki kepandaian tinggi. Partai itu 
terkenal sangat kejam terhadap orang-
orang yang mencampuri urusan mereka. 
Setiap orang yang mencampuri urusan 
mereka, hukumannya adalah kematian 
yang mengerikan," jelas Pendekar 
Pedang Kilat sambil menghela napas 
berat. Memang bagi Gatar sudah tidak 
ada jalan untuk menghindari orang-
orang Partai Lima Unsur itu.
"Kami bukannya takut, Shindura. 
Hanya saja, orang-orang rimba 
persilatan lebih suka untuk tidak 
mencampuri urusan mereka. Karena, hal 
itu berarti bunuh diri!" Ki Gala 
Rengat ikut pula menimpali.

Wajah kakek itu yang biasanya 
penuh senyum, kini tampak penuh 
ketegangan.
'Tapi, bukankah mereka yang 
teriebih dahulu membuat urusan dengan 
kita? Jadi, mengapa kita harus takut, 
Eyang?" kali ini Suntini yang berkata. 
Nada suaranya terkandung rasa 
penasaran yang mendalam.
"Yahhh...," kakek pengemis itu 
hanya dapat mendesah. Mendengar 
perkataan Suntini. "Kita tunggu saja, 
apa yang bakal terjadi nanti?"
Tapi sebelum Shindura dan Suntini 
mengemukakan rasa penasarannya lebih 
jauh lagi, tiba-tiba salah seorang 
pembantu Garbala yang masih tersisa 
berlari mendatangi mereka. Napas orang 
itu terlihat memburu, dan wajahnya pun 
teriihat pucat dan tegang sekali.
"Ada apa?" tanya Shindura cepat 
seraya mencabut pedangnya dan bersiap 
menghadapi segala sesuatu.
"Anu.... Tuan.... Tuan Besar 
Garbala tewas, Tuan Muda," jawab orang 
itu gagap. 
"Hahhh!?"
Keempat orang itu terkejut bukan 
main mendengar berita itu. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, mereka

segera berlarian mendatangi tempat 
kereta berkuda Garbala berada.
"Ayah...!"
Dua anak muda itu serentak 
menghambur ketika melihat tubuh 
ayahnya terkapar mandi darah. Sesaat 
kemudian tangis mereka pun meledak, 
sehingga membuat suasana di sekitar 
tempat itu menjadi hening kecuali
suara tangisan dua orang kakak beradik 
yang tengah dirundung duka mendalam.
Pendekar Pedang Kilat dan 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti hanya 
saling berpandangan satu sama lain 
tanpa mengucapkan satu patah kata pun. 
Rupanya mereka berdua ikut larut pula 
dalam kesedihan yang dialami dua 
remaja itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba 
Suntini mendadak bangkit bagai 
disengat kalajengking. Sepasang ma-
tanya yang indah itu merayapi 
sekelilingnya seolah-olah mencari 
sesuatu. Sekejap kemudian tubuh ram-
ping itu melesat ke arah kereta 
berkuda yang tadi ditumpangi ayah dan 
ibunya.
"Mana Ibu...? Kakang, Ibu..., Ibu 
tak ada...?" teriak gadis itu baru 
menyadari kalau ibunya tidak ada.

Mendengar kata-kata adiknya, 
Shindura menjadi tersadar. Cepat bagai 
kilat pemuda itu bangkit dan melompat 
ke arah Suntini berada. Dan ketika 
tidak menemukan apa yang dicarinya, 
pemuda itu menjadi kalap. Ia berlarian 
ke sana kemari mencari-cari kalau-
kalau mayat ibunya dapat ditemukan di 
antara puluhan mayat yang 
bergelimpangan tumpang tindih itu. 
Secercah harapan terbesit di hatinya 
ketika mayat ibunya tak ditemukan.
"Paman, Eyang.... Ibu..., Ibu 
lenyap?" seru Shindura berteriak keras 
sehingga membuat dua tokoh sakti itu 
bergegas berlari mendatanginya.
"Mari kita cari ibumu, Shindura! 
Ki Gala Rengat, tolong jaga Suntini!" 
ujar Pendekar Pedang Kilat seraya 
meraih lengan Shindura. Beberapa saat 
kemudian, tubuh keduanya lenyap di 
telan rimbunan pepohonan hutan.
***
Orang berbaju hitam itu terus 
melarikan Wilarni masuk ke dalam hutan 
lebat dan menyeramkan itu. Setelah 
yakin kalau telah berada jauh 
meninggalkan arena pertempuran, orang

itu menurunkan tubuh Wilarni di atas 
rerumputan hijau yang cukup tebal bak 
permadani. Bibir orang itu tersenyum, 
tapi senyumnya lebih mirip seringai 
srigala yang liar merayapi kelinci 
putih mulus.
"He he he.... Marilah kita 
bersenang senang sebentar, Manis. Aku 
jamin, kau akan seperti berada di 
surga rasanya nanti," ujar orang itu 
sambil melepaskan pakaiannya satu 
persatu, namun matanya terus menatap 
penuh nafsu birahi. Kemudian, bagaikan 
seekor srigala kelaparan, ditubruknya 
tubuh Wilarni dan ditihdihnya kuat-
kuat.
"Bangsat, kau! Manusia Iblis! 
Lepaskan aku, tolooonggg...!" Wilarni
berusaha berontak, namun totokan orang 
berbaju hitam itu cukup kuat. 
Apalagi,..dia hanya seorang wanita 
yang tidak dibekali ilmu silat. Istri 
Garbala itu hanya mampu berteriak, 
hingga akhimya....
Plakkk!
"Ohhh..."
Wilarni mengeluh ketika sebuah 
tamparan hinggap di pipinya. Wanita 
cantik itu hanya bisa menangis

menerima perlakuan kasar laki-laki 
yang dirasuki nafsu iblis itu.
"Huh! Rupanya kau lebih suka 
dikasari daripada diperlakukan lemah 
lembut! Baiklah, kalau itu yang 
diinginkan!"
Setelah berkata demikian, laki-
laki itu menarik pakaiannya dengan 
paksa yang dikenakan Wilarni. Ter-
dengar suara kain sobek beberapa kali, 
sehingga tampaklah bagian-bagian yang 
semakin membuat nafsu bejat orang itu 
memuncak.
"Ohhh... jangan...! Kasihanilah 
aku. Lepaskan aku!" ratap Wilarni di 
antara isaknya. Tubuhnya semakin lemah 
karena pengaruh totokan itu masih 
mengungkungnya.
"Nah, begitu. Kalau kau menyerah, 
kan jadi lebih enak!" ujar laki-laki 
itu di antara desah napasnya yang 
memburu.
Namun sebelum laki-laki itu dapat 
menumpahkan hasrat bejadnya, entah 
dari mana, tiba-tiba seorang pemuda 
tampan yang mengenakan jubah dan 
celana berwarna putih telah berdiri 
tegak di belakangnya.
"Hm.... Hendak kau apakan wanita 
itu, Manusia Bejad?" tegur pemuda

tampan berikat kepala putih itu 
tenang.
Laki-laki yang tengah menggumuli 
Wilarni langsung tersentak, dan 
bergegas bangkit sambil berusaha 
meraih pakaiannya. Jelas sekali kalau 
hatinya begitu terkejut akan 
kedatangan pemuda tampan yang sama 
sekali tidak diduga itu. Segera 
dikenakan pakaiannya. Dan karena 
merasa kesenangannya terganggu, kema-
rahannya seketika bangkit.
"Kurang ajar! Tak boleh melihat 
orang senang! Mampuslah kau," bentak 
orang itu geram.
Orang berbaju hitam itu langsung 
menyerang pemuda yang menegurnya 
dengan sisi telapak tangan miring. 
Rupanya ia ingin mematahkan leher 
pemuda itu dengan sekali serang.
Pemuda itu cukup terkejut 
mendengar desing angin mencicit tajam 
yang keluar dari tebasan tangan itu. 
Sama sekali tidak terduga kalau orang 
yang disangka perampok rendahan itu 
ternyata memiliki tenaga dalam tinggi. 
Cepat-cepat pemuda itu menggeser kaki 
kirinya ke belakang sambil merendahkan 
kuda-kudanya.
Wuttt!

"Hmh!"
Pemuda yang ternyata bukan lain 
adalah Pendekar Naga Putih itu 
mendengus ketika tebasan sisi telapak 
tangan lawan lewat di atas kepalanya. 
Ikat kepalanya yang berwarna putih 
ikut berkibar akibat angin yang 
ditimbulkan serangan lawan begitu 
kuat. Sebelum pemuda itu dapat 
memperbajki kuda-kudanya, tangan kiri 
lawan tahu-tahu sudah menusuk pe-
rutnya. Kecepatan gerak orang itu 
kembali mengejutkan pemuda yang 
bernama Panji itu.
Rasa penasaran membuat Pendekar 
Naga Putih tidak berusaha menghindari 
tusukan jari-jari sekeras baja itu. 
Secepat kilat tangan kanarinya 
bergerak membentuk setengah lingkaran 
keluar. Maksudnya, sudah pasti hendak 
mengukur sampai di mana kekuatan 
tenaga orang berbaju hitam itu.
Dierrr!
"Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentam keras 
bagaikan dua batang besi yang 
dibenturkan. Orang itu berteriak 
kaget, lalu tubuhnya terjajar mundur 
sejauh enam langkah. Wajahnya meringis 
menahan sakit akibat benturan tangan

dengan Pendekar Naga Putih. Tulang-
tulang lengannya kini terasa ngilu. 
Tentu saja hal itu membuatnya menjadi 
semakin penasaran!
Panji sendiri sebenarnya sempat 
dibuat terkejut ketika mendapat 
kenyataan kalau tenaga dalam lawan 
cukup tinggi juga. Bahkan lengannya 
sempat bergetar akibat menangkis 
serangan lawan tadi. Padahal hampir 
dari separuh tenaga dalamnya telah 
dikerahkan. Benar-benar seorang lawan 
yang tidak bisa dipandang remeh.
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda?! 
Mengapa mencampuri urusanku?! 
Kuperingatkan sekali lagi! Pergilah 
sebelum kesabaranku hilang!" bentak 
orang itu. Rupanya setelah merasakan 
kelihaian pemuda itu, matanya baru 
terbuka. Ternyata pemuda tampan di
hadapannya bukan orang sembarangan.
"Kau tidak perlu tahu siapa 
diriku, karena itu bukan urusanmu! 
Nah! Sekarang, bebaskanlah wanita Itu. 
Dan kau akan pergi tanpa aku memberi
hukuman atas perbuatanmu tadi!" sahut 
Panji tak kalah gertak.
"Kalau memang itu keinginanmu, 
baiklah! Jangan katakan aku kejam

kalau bertindak kasar kepadamu, Anak 
Muda.
Setelah berkata demikian, 
dihampirinya tubuh Wilarni yang hanya 
dapat tergolek lemas. Tubuhnya yang 
hampir tanpa pakaian itu tergolek di 
rerumputan hijau yang tebal. Orang 
berbaju hitam kemudian menggerakkan 
tangannya, melepaskan totokan pada 
tubuh Wilarni.
"Berhenti! Jangan sentuh wanita 
itu!" seru Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih 
sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu saja 
orang berpakaian hitam itu telah 
memasukkan secara paksa sebutir pil ke 
mulut Wilarni. Sedang wanita malang 
itu hanya mampu memandang terbelalak 
dengan wajah pucat.
"He he he.... Jangan khawatir, 
Anak Muda. Aku hanya memberi obat 
penenang agar tidak dapat pergi ke 
mana-mana. Nah! Sekarang, bersiap-
siaplah!" ejek orang itu sambil meraih 
sehelai kain hitam yang tadi 
dilepaskan. Setelah menutup sebagian 
wajah, bergegas dicabut senjatanya.
Dibarengi teriakan memekakkan 
telinga, tubuh orang itu meluncur ke 
arah Panji disertai ayunan pedang.

Suara pedang itu berdesing nyaring 
membelah udara siang.
Pendekar Naga Putih yang sudah 
mengetahui kalau lawannya mempunyai 
kepandaian yang tinggi, tidak ingin 
main-main lagi. Dihirupnya udara 
dalam-dalam, lalu dikempos semangatnya 
untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan’ yang sangat dahsyat 
itu. Kedua jari-jari tangannya 
mengembang membentuk sepasang cakar 
naga. Rupanya pemuda itu juga telah 
mengerahkan ilmu andalan yaitu 'Ilmu 
Naga Sakti' yang menggetarkan itu.
Orang berbaju hitam itu kontan 
menjadi terkejut merasakan hembusan
angin dingin yang menggigit kulit. Dan 
ia semakin terkejut lagi ketika 
melihat sekujur tubuh lawan telah 
terselimut selapis kabut yang bersinar 
putih keperakan. Sejenak hatinya 
tertegun ketika teringat seorang 
pendekar muda yang baru-baru ini telah 
menggemparkan dunia persilatan dengan 
ilmu-ilmu dahsyatnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru 
orang itu kaget bercampur gentar.
Namun kegentaran hanya sekilas 
mewarnai wajahnya. Sesaat kemudian, 
sinar kegembiraan terpancar pad


wajahnya. Sudah menjadi kebiasaan 
sifat seorang ahli silat yang seperti 
mandapat kehormatan apabila bertemu 
lawan yang memiliki kepandaian tinggi. 
Rupanya hal itu dirasakan pula oleh 
lawan Panji.
Mengetahui kalau lawannya adalah 
seorang pendekar muda yang terkenal, 
orang itu segera mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya. Langsung dia meluruk, 
disertai serangan dahsyat. Pedangnya 
membentuk segunduk sinar yang 
menimbulkan angin menderu-deru, 
seolah-olah daerah sekitar hutan itu 
tengah dilanda angin topan hebat!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri 
ketika tusukan pedang lawan mengincar 
perutnya. Secepat kilat pemuda itu 
segera membalasnya, dengan tangan 
kanan terulur ke wah muka lawan. Maka 
cepat-cepat orang berbaju hitam itu 
menarik wajahnya ke belakang sehingga 
serangan Panji hanya mengenai tempat 
kosong. Dan secara mendadak, pedang di 
tangannya berputar membentuk setengah 
lingkaran menebas leher Panji. Dan 
cepat-cepat Pendekar Naga Putih 
memutar kepalanya disertai kuda-kuda 
rendah, dan sekaligus membarengi 
dengan hantaman ke lambung lawan.

Orang berpakaian serba hitam itu 
tercekat melihat kecepatan pemuda itu. 
Kelihatan sekali kalau hatinya merasa 
gugup ketika menghindari pukulan yang 
datang bagai kilat itu.
Desss!
"Uhhh...!"
***
EMPAT


Terdengar keluhan tertahan ketika 
kepalan tangan Panji menghantam 
lambung lawan. Untunglah orang berbaju 
hitam itu menggeser tubuhnya sedikit 
sehingga pukulan Pendekar Naga Putih 
tidak terlalu telak menghantamnya. 
Meskipun demikian, hal itu sudah cukup 
membuat wajahnya memerah dan pucat 
berganti-ganti. Rasa malu dan 
penasaran membuat orang itu menjadi 
semakin kalap. Sementara, tetesan 
darah mulai mengalir dari sela-sela 
bibimya.
"Hm.... Jangan takabur dulu, Anak 
Muda. Aku belum kalah!" bentak orang 
itu menggereng murka. Dan secepat


kilat tubuhnya kembali meluncur ke 
arah Panji. Kali ini, serangannya 
lebih dahsyat dan berbahaya.
Keduanya kini kembali terlibat 
pertarungan sengit. Sinar pedang orang 
berbaju hitam tampak bergulung-gulung, 
dan menimbulkan putaran angin yang 
menerbangkan batu-batu kecil dan daun 
kering di sekitamya. Pertarungan itu 
memang benar-benar hebat dan 
mendebarkan!
Pendekar Naga Putih yang sama 
sekali belum merasa perlu menggunakan 
pedangnya, mengimbangi serangan lawan 
dengan hanya menggunakan 'Ilmu Naga 
Sakti”. Tubuh pemuda itu bagaikan 
seekor naga putih yang tengah bermain-
main di angkasa raya. Suatu saat 
tubuhnya menukik cepat bagai hendak 
menyelam ke dasar bumi, dan di lain 
saat melenting ke udara seraya 
berputar. Sepak terjang Pendekar Naga 
Putih benar-benar membuat lawan 
menjadi pusing tujuh keliling!
Memasuki jurus kelima puluh 
empat, sepasang tangan Panji bergerak 
cepat bersilangan. Itulah jurus 'Naga 
Sakti Masuk ke Gua' yang merupakan 
jurus nomor tiga dari 'Ilmu Naga 
Sakti' yang amat dahsyat dan sulit

dicari tandingannya. Terpaan angin 
dingin berhembus kuat mengiringi 
serangannya.
Seketika orang berbaju hitam itu 
terkejut bukan main ketika merasakan 
tubuhnya bagai dikurung dinding salju 
yang tak tampak. Pedangnya membabat 
berkali-kali ke arah tubuh Panji. 
Namun setiap kali pedang itu 
digerakkan, maka setiap kali pula mata 
pedangnya membalik dan malah mengancam 
dirinya. Melihat kenyataan ini, 
seketika hati orang berbaju hitam itu
langsung ciut. Dia tidak mampu lagi 
memusatkan perhatiannya. Akibatnya, 
orang berbaju hitam itu tidak dapat 
lagi menghindari sebuah hantaman lawan 
yang menggunakan jari-jari terbuka. 
Maka....
Brettt!
"Aaahkkk...!"
Orang itu meraung tinggi ketika 
sebuah cakar Pendekar Naga Putih 
menghantam bagian dadanya. Tubuh orang 
itu terjengkang bagai sehelai daun 
kering yang diterbangkan angin. Darah 
segar seketika menyembur dari mulutnya 
akibat kuatnya hantaman itu. Terdengar 
suara berdebuk keras ketika ttubuh 
orang itu terbanting di atas tanah

berumput. Namun demikian, daya tahan 
tubuh orang itu patut dipuji. Langsung 
dikerahkannya hawa murni untuk 
melepaskan pengaruh hawa dingin yang 
terasa menggigit tulangnya.
Meskipun tubuhnya masih menggigil 
kedingjnan, tapi orang itu segera
bangkit berdiri walau agak limbung. 
Gigi-giginya bergemeletuk dan wajahnya 
pucat bagai kertas. Kembali 
dikerahkannya hawa murni untuk 
mengusir hawa dingin itu.
Beberapa saat setelah pengaruh 
hawa dingin pada tubuhnya berhasil 
diusir, orang itu pun kembali 
menerjang Panji. Kedua tangannya 
bergerak berputaran dengan telapak 
terbuka. Diiringi bentakan keras, tu-
buhnya kembali meluruk cepat.
Panji yang sudah berniat 
menyudahi pertarungan itu bergerak 
cepat menyambut serangan lawan. Tubuh 
Pendekar Naga Putih berdiri lurus 
bagaikan sebatang kayu. Kedua 
tangannya bergerak bergantian, ke 
depan dada kemudian naik ke atas 
kepala. Dan begitu serangan lawan 
tiba, tahu-tahu saja tubuh pemuda itu 
melenting ke atas. Kedua kakinya 
melepaskan tendangan dua kali

berturut-turut. Sedang tangan kanannya 
menghantam batok kepala lawan hingga 
jari tangannya terbenam beberapa 
rambut.
Desss! Desss! Crakkk!
“Aaarghhh…!”
Jerit kematian kini bagai bergema 
memenuhi pen-juru hutan. Darah segar 
menyembur dari mulut dan kepala orang 
berpakaian hitam itu. Tubuhnya 
terjajar limbung dan ambruk ke tanah. 
Tewas seketika! Tulang dada dan batok 
kepalanya remuk akibat hantaman
Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak 
menatap kema-tian lawannya yang 
mengenaskan itu. Sejurus kemudian, 
pemuda itu segera melangkahkan kakinya 
mendekati tubuh Wilarni yang telah 
tergeletak pingsan itu.
"Hm... wanita yang malang," gumam 
pemuda itu iba.
Pendekar Naga Putih memeriksa 
tubuh wanita itu dengan jari-jari 
tangannya yang cekatan. Betapa 
terkejutnya hati Panji ketika 
merasakan ada hawa panas yang keluar 
dari tubuh Wilarni. Dan lebih terkejut 
lagi ketika melihat seluruh permukaan

kulit tubuh wanita malang itu memerah 
bagai udang rebus.
"Uhhh...," terdengar keluhan 
wanita malang itu.
Wilarni menggeliatkan tubuhnya. 
Sesaat kemudian kedua matanya membuka. 
Namun anehnya, sepasang mata wanita 
itu tampak merah bagaikan buah saga 
masak. Ketika melihat seorang pemuda 
tampan tengah bersimpuh di dekatnya, 
Wilarni bergegas bangkit. Cepat bagai 
kilat langsung dipeluk dan diciuminya 
Panji penuh nafsu. Tentu saja hal ini 
membuat tubuh Panji bergetar dan 
gelagapan.
"Ohhh.... Peluklah aku... ciumlah 
aku...," desah wanita cantik itu tanpa 
berhenti memeluk dan menciumi Panji.
Tiba-tiba saja Wilarni menarik 
sisa-sisa pakaian yang dikenakan 
sehingga tubuh molek itu terpampang 
jelas tanpa benang sehelai pun yang 
menutupinya. Segera direbahkan 
tubuhnya di atas rerumputan tebii 
sambil terus memeluk Panji. 
"Eh! Oh...! Nisanak, sadarlah! 
Aku... aku... ufff...!" Panji yang 
menjadi kelabakan itu mencoba 
menenangkan wanita itu. Namun sebelum 
ucapannya habis, mulut pemuda itu

telah diterkam bibir Wilarni yang 
panas membara bagai api itu. Seketika 
Panji melompat bangun sambil 
mendorongkan tangannya sehingga 
pelukan wanita itu terlepas. Dan 
sebelum Wilarni sempat bangkit 
Pendekar Naga Putih segera memberi 
totokan di beberapa bagian tubuh 
Wilarni hingga jatuh lemas.
"Bangsat! Manusia Biadab, 
mampuslah kau!" tiba-tiba terdengar 
sebuah bentakan diiringi melesatnya 
dua sosok tubuh yang langsung 
menerjang Panji.
Singgg! 
"Heiii...!"
Panji berteriak kaget ketika 
mendengar suara berdesingan tajam yang 
membuat bulu kuduknya berdiri. Cepat-
cepat dihindarinya serangan gelap dan 
tiba-tiba itu. Tubuhnya mencelat 
sejauh tiga tombak, lalu mendarat 
ringan di atas permukaan tanah 
berumput. Tapi sebelum pemuda itu 
sempat menatap penyerangnya, lagi-lagi 
terdengar suara berdesing nyaring. 
Bahkan kali ini terdengar lebih kuat 
dari yang pertama.
Merasa penasaran, Pendekar Naga 
Putih cepat mengangkat tangan kanannya

menangkis pergelangan tangan yang 
memegang pedang Itu. Dan tanpa dapat 
dicegah lagi, dua pasang lengan yang 
sama-sama mengandung tenaga dalam 
tinggi itu saling berbenturan keras.
Dukkk!
"Aaahhh...!"
Tubuh si penyerang terpental 
balik ketika tangannya membentur 
tangan Panji yang keras bagai baja 
itu. Terdengar teriakan tertahan dari 
mulut orang yang menyerang tiba-tiba 
itu. Seketika tubuhnya terjajar mundur 
sejauh delapan langkah ke belakang. 
Wajah orang itu menyeringai menahan 
nyeri.
Sementara tubuh Panji juga sempat 
bergetar akibat kuatnya tenaga dalam 
yang terkandung dalam serangan tadi. 
Diam-diam, Pendekar Naga Putih menjadi 
heran karena dalam waktu singkat telah 
bertemu, dan bertempur melawan dua 
orang berkepandaian tinggi.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua? 
Mengapa datang-datang menyerangku?" 
tanya Panji penasaran. Wajahnya yang 
tampan itu terlihat tegang dan tanpa 
amarah sedikit pun. Wajah seseorang 
yang merasa tak membuat kesalahan.

"Jangan banyak bacot kau, Pemuda 
Bejad! Hari ini aku akan mengadu nyawa 
denganmu! Hiaaattt..!" teriak orang 
itu tanpa banyak cakap lagi. Terlihat 
sinar bergulung-gulung menyelimuti 
sekujur tubuh orang yang tak lain dari 
Gatar atau Pendekar Pedang Kilat. 
Langsung dikerahkan seluruh tenaganya 
untuk menyerang Panji yang dirasakan 
memiliki tenaga dalam tinggi.
Rasanya Panji percuma untuk 
berteriak-teriak menyanggah kalau 
dirinya merasa tak melakuan apa-apa 
terhadap Wilarni. Maka terpaksa 
dilayaninya serangan lawan, dan 
sesekali melakukan serangah balasan 
yang cukup membuat terkejut
Sementara itu pemuda tampan yang 
pertama kali menyerang Panji, telah 
bersimpuh dekat tubuh Wilarni yang 
tergolek pingsan itu. Cepat pemuda 
yang bukan lain adalah Shindura itu 
melepaskan pakaiannya, lalu dikenakan 
ke tubuh ibunya yang polos itu. Wajah 
pemuda itu memerah menahan geram yang 
menggelora dalam dadanya. Langsung 
ditolehkan kepalanya ke arah Panji 
yang tengah bertempur melawan paman-
nya.

"Manusia Biadab! Kau harus 
menebus dosa-dosamu dengan darah!" 
geram Shindura penuh kemarahan.
Seketika pemuda itu bergegas 
melompat ke dalam kancah pertarungan 
itu. Begitu tiba, pedangnya langsung 
berkelebat mengancam tubuh Panji.
Panji yang menduga kalau itu 
hanya sebuah kesalahpahaman saja, 
tidak ingin membalas serangan dua 
orang lawannya, kecuali sesekali jika 
benar-benar terancam. Sadar kalau 
kedua orang itu tidak akan berhenti
menyerang sebelum tubuhnya tergeletak, 
Panji cepat mengambil keputusan. Tiba-
tiba, tubuh Pendekar Naga Putih 
melesat sejauh empat tombak ke 
belakang. Dan sebelum kedua lawannya 
menyadarinya, dia sudah berkelebat 
lenyap di antara lebatnya pepohonan.
"Bangsat! Jangan lari kau, 
Manusia Bejad!"
Shindura berteriak-teriak sambil 
berusaha mengejar Panji. Namun, tentu 
saja pemuda itu tidak akan sanggup 
mengejar Pendekar Naga Putih yang ilmu 
meringankan tubuhnya telah mencapai 
taraf kesempurnaan.
Beberapa saat kemudian, Shindura 
melangkah keluar dari dalam hutan

Wajahnya teriihat muram dan agak 
pucat. Hati pemuda itu benar benar 
merasa terpukul atas kejadian yang 
berturut-turut dialami keluarganya 
itu. Diam-diam, hatinya menyesali me-
ngapa ilmu kepandaian yang dimilikinya 
demikian rendah, hingga tak mau 
melindungi keluarganya dari segala 
malapetaka itu.
Pendekar Pedang Kilat yang dapat 
merasakan apa yang terkandung dalam 
hati keponakannya, mencoba menghibur.
Ditepuknya bahu Shindura berkali-kali, 
seolah-olah dengan cara demikian dapat 
mengalirkan kekuatan yang dapat 
menenangkan hati Shindura.
"Sudahlah, Shindura. Lebih baik 
kita lihat keadaan ibumu sekarang," 
ajak pendekar itu sambil membimbing 
Shindura ke tempat Wilarni tergeletak. 
"Hm.... Rupanya bangsat cabul itu 
menggunakan semacam obat untuk 
membangkitkan nafsu jahat dalam tubuh 
ibumu. Benar-benar manusia cabul!"
Pendekar Pedang Kilat benar-benar 
murka melihat ada ketidakwajaran dalam 
tubuh Wilarni. Dia yang sudah memiliki 
banyak pengalaman, langsung mengetahui 
ketika memeriksa tubuh wanita itu. 
Pendekar itu menarik napas lega karena

tidak menemukan luka-luka pada tubuh 
Wilarni.
"Apakah obat itu dapat 
membahayakan jiwa Ibu, Paman?" tanya 
Shindura cemas.
"Tidak, Shindura. Obat itu hanya 
bekerja kurang dari setengah hari. Dan 
setelah siuman nanti, ibumu sudah 
sehat kembali seperti sediakala," 
jawab Gatar. Jawaban itu memang 
membuat hati Shindura menjadi lega.
Setelah berkata demikian pendekar 
itu bangkit dan melangkah merayapi 
sekitar tempat itu. Kening Pendekar 
Pedang Kilat berkerut ketika matanya 
menatap sesosok tubuh yang tergeletak 
beberapa tombak dari tempatnya 
berdiri.
"Eh! Tubuh siapa yang tergeletak 
di situ?" gumam Gatar heran.
Pendekar Pedang Kilat itu 
bergegas menghampiri sosok tubuh yang 
tergeletak di atas rerumputan. Dan 
hatinya menjadi tercekat ketika 
mengenali pakaian yang dikenakan sosok 
yang telah menjadi mayat itu. Sesaat 
kemudian, pendekar itu pun berjongkok 
memeriksa mayat itu.
"Eh! Bukankah ini mayat salah 
seorang yang tadi menyerang rombongan

kita, Paman?" tiba-tiba saja Shindura 
telah berada di samping Gatar. Kening 
pemuda itu berkerut dalam seolah-olah 
tengah berpikir keras untuk memecahkan 
masalah itu. 
"Hm... aku ingat sekarang!"
"Apa yang kau ingat, Shindura?" 
Gatar menjadi penasaran ketika 
mendengar ucapan Shindura yang 
mengejutkan hati. Pendekar itu 
menolehkan kepalanya ke arah 
keponakannya itu. Sinar matanya tampak 
menuntut jawaban yang sejelas-
jelasnya.
"Paman, bukankah orang yang 
melarikan Ibu adalah komplotan orang 
yang berpakaian serba hitam?" tanya 
Shindura
"Benar. Lalu, apa maksud 
pertanyaanmu?" Gatar malah balik 
bertanya. Keningnya berkerut karena
masih belum mengerti ke mana arah 
pembicaraan keponakannya itu.
'Tapi, mengapa pemuda yang kita 
keroyok tadi mengenakan jubah putih?" 
"Lalu...?"
"Bukankah tadi dia tidak berusaha 
membalas serangan kita?" tanya pemuda 
itu lagi.
"Sepertinya begitu."

"Memang aku sendiri tidak tahu, 
apa yang dilakukannya terhadap Ibu. 
Tapi yang jelas, orang berseragam 
hitam ini sudah tergeletak tewas 
tentunya."
"Jadi menurut dugaanmu, pemuda 
itu telah menyelamatkan nyawa ibumu?" 
tanya Pendekar Pedang Kilat sambil 
melepaskan pandangannya ke langit 
lepas.
"Aku rasa begitu, Paman. Coba 
Paman ingat! Kalau pemuda tampan 
berjubah putih tadi menghendaki, 
mungkin saja dia dapat merobohkan 
kita, meskipun itu tidak mudah 
baginya. Tapi anehnya, mengapa ia 
malah melarikan diri? Bukankah ia sama 
sekali tidak terlihat terdesak?" 
Shindura mulai dapat menduga-duga apa 
sebenarnya yang telah terjadi di 
tempat itu. tadi.
"Ah, mengapa aku begitu bodoh!" 
teriak Pendekar Pedang Kilat sambil 
menampar kepalanya pelahan. "Bukankah 
kita ke sini karena mendengar teriakan 
kesakitan yang melengking tadi. Hm.... 
Pastilah orang ini yang menjerit tadi! 
Hhh... mengapa kita begitu bodoh!"
"Sudahlah, Paman. Mudah-mudahan 
di lain kesempatan nanti kita bisa

bertemu pemuda itu lagi. Kelak aku 
akan mencoba untuk bertanya 
kepadanya," ujar Shindura.
"Yahhh...," Pendekar Pedang Kilat 
hanya berdesah mendengar ucapan 
Shindura. Dan secara iseng, 
dicongkelnya penutup wajah mayat itu 
dengan ujung pedangnya. Gatar 
tersentak mundur ketika mengenali 
wajah mayat itu. Sesaat wajahnya 
memucat seolah-olah tak percaya dengan 
apa yang dilihatnya.
"Ada apa, Paman? Apakah Paman 
mengenali orang ini?" tanya Shindura 
sambil menatap wajah sang paman yang 
teriihat pucat itu.
"Hm.... Aku kenal betul orang 
ini. Pada mulanya, dia seorang tokoh 
pengemis yang berjuluk Pengemis 
Tongkat Merah. Heran, benarkah ia 
termasuk orang Partai Lima Unsur?" 
tanya Gatar, seperti untuk dirinya 
sendiri.
Bergegas Pendekar Pedang Kilat 
menggerakkan ujung pedangnya untuk 
merobek baju pada bagian dada mayat 
itu. Namun alis Gatar menjadi berkerut 
ketika tidak menemukan tanda yang 
dimaksudnya itu.

"Ayo kita kembali, Shindura!" 
ajak Gatar cepat.
Shindura menjadi heran melihat 
perubahan yang tiba-tiba pada wajah 
pamannya itu. Jelas sekali kalau Gatar 
tengah berpikir keras. Dan dia 
berusaha untuk menyembunyikan 
keterkejutannya dari penglihatan 
Shindura dengan cara mengalihkan 
perhatian pemuda itu.
Pendekar Pedang Kilat segera 
mengangkat tubuh Wilarni lalu 
meletakkan di atas punggungnya. Kemu-
dian tanpa mengucapkan sepatah kata 
pun, pendekar itu langsung melesat 
meninggalkan tempat itu, menuju 
rombongan mereka berada.
Melihat sikap pamannya yang 
seolah-olah tak ingin diajak bicara, 
Shindura pun menutup mulutnya. Pemuda 
itu berusaha menyimpan segala macam 
pertanyaan dan pikiran yang berkecamuk 
di hatinya. Bergegas diikutinya 
langkah pamannya yang sudah lebih dulu 
meninggalkan tempat itu.
"Biarlah. Nanti kalau ada waktu, 
akan kutanyakan pada Paman," kata hati 
pemuda itu untuk menenangkan 
pikirannya yang semrawut.

Matahari sudah semakin meninggi. 
Sinamya yang kuning keemasan tampak 
membias di antara rimbunan dedaunan 
hingga membentuk garis-garis yang 
indah berwarna-warni.
***
LIMA


Kedatangan Pendekar Pedang Kilat, 
Shindura, dan Wilarni membuat hati 
Suntini cemas. Sementara, Pengemis 
Aneh Tongkat Sakti masih menunggu di 
rombongan kereta berkuda.
Suntini berlari menyambut 
kedatangan kakak, paman, dan ibunya 
itu. Sepasang matanya telah basah oleh 
air mata. Gadis cantik itu segera 
memeluk tubuh ibunya yang berada dalam 
pondongan pamannya.
"Ibu...!" panggil gadis itu 
serak. Perasaan gembira dan haru 
menyelimuti hatinya. Suntini hanya 
dapat terisak memeluk dan menciumi 
wajah ibunya yang masih tak sadarkan 
diri.
Pendekar Pedang Kilat mendiamkan 
saja perbuatan gadis keponakannya itu.

Dia cukup memaklumi, apa yang saat ini 
tengah dirasakan Suntini. Kematian 
ayahnya membuat jiwa gadis itu 
terguncang. Untunglah ibu gadis itu 
berhasil ditemukan. Entah apa yang 
akan terjadi pada diri Suntini apabila 
Wilarni tak berhasil ditemukan, 
Mungkin jiwa gadis itu akan terguncang 
lebih berat lagi.
"Ibu.... Ibu kenapa, Paman? 
Kakang, kenapa Ibu?" tanya Suntini 
setelah agak tenang. Pandangannya 
berganti-ganti menatap paman dan 
kakaknya. Suaranya terdengar agak 
bergetar.
“Tenanglah, Adikku. Ibu tidak 
apa-apa, dan hanya pingsan saja," 
jawab Shindura sambil mengusap rambut 
kepala adiknya penuh kasih sayang. 
Sebenarnya Shindura sendiri juga tidak 
tenang, namun berusaha untuk 
menyenangkan hati adiknya itu.
Saat Suntini dalam pelukan 
kakaknya, Pendekar Pedang Kilat 
melangkahkan kakinya menuju tempat 
kereta berkuda berada. Pendekar itu 
masih belum tahu, bagaimana caranya 
menyembuhkan wanita malang yang berada 
dalam pondongannya itu.

"Apa yang terjadi, Saudara 
Gatar?" Pengemis Aneh Tongkat Sakti 
melangkah menghampiri Pendekar Pedang 
Kilat. Kakek pengemis itu menatap 
wajah Wilarni dengan kening berkerut. 
"Hm... sepertinya ia menderita 
keracunan?"
"Benar, Ki. Untunglah aku 
menemukannya dalam keadaan tertotok. 
Kalau tidak, bisa repot aku 
dibuatnya," sahut Gatar sambil terus 
melangkahkan kakinya.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti 
manggut-manggut dengan kening sedikit 
berkerut. Namun demikian, hatinya 
masih bertanya-tanya. Apa penyebabnya 
Wilarni keracunan.
'Tolong sediakan selimut tebal, 
dan hamparkan di bawah pohon 
itu!"perintah Gatar kepada seorang 
anggota rombongan yang masih tersisa.
Orang itu bergegas melaksanakan 
apa yang diminta Pendekar Pedang Kilat 
tadi. Dia mengambil selimut tebal dari 
dalam kereta, lalu menghamparkannya di 
bawah pohon yang dimaksud pendekar. 
itu.
Gatar meletakkan tubuh Wilarni di 
atas hamparan selimut dengan hati-
hati. Wajah wanita'itu nampak masih

memerah akibat pengaruh obat yang 
dijejalkan orang yang berjuluk 
Pengemis Tongkat Merah. Pendekar 
Pedang Kilat hanya dapat memandang 
iba, tanpa mampu berbuat sesuatu.
"Boleh kuperiksa sebentar, 
Saudara Gatar?" pinta Pengemis Aneh 
Tongkat Sakti.
Setelah mendapat anggukan dari 
Pendekar Pedang Kilat, kakek itu 
segera mulai memeriksa keadaan 
Wilarni. Tampak dahi kakek pengemis 
itu berkerut dalam. Disertai helaan 
napas berat, kakek pengemis yang 
bernama Ki Gala Rengat itu bergegas 
bangkit
"Kita tidak bisa mendiamkan 
begitu saja, Saudara Gatar. Pengaruh 
obat yang mengeram dalam tubuhnya kuat 
sekali. Kasihan wanita ini. Kalau 
tidak cepat diobati, ia akan menderita 
selama dua hari dua malam. Sayang, 
Garbala sudah tiada! Kalau masih 
hidup, tentu istrinya tidak terlalu 
menderita," jelas Ki Gala Rengat 
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya 
yang disertai helaan napas berat
"Bukankah kau cukup berpengalaman 
di dalam soal racun, Ki? Masak kau

tidak mengetahui cara mengobatinya?" 
tanya Pendekar Pedang Kilat.
"Sebenamya, pendekar itu sengaja 
menyembunyikan perasaan tak senang 
dari curiga setelah menemukan mayat 
Pengemis Tongkat Merah yang ikut 
menyerang rombongannya tadi.
"Kalau diperbolehkan, aku akan 
berusaha mengobatinya. Yahhh mudah-
mudahan saja bisa meringankan 
penderitaannya," jawab Ki Gala Rengat 
merendah.
Sebagai orang yang telah banyak 
pengalaman, kakek pengemis itu dapat 
mengetahui perubahan sikap yang 
ditunjukkan Pendekar Pedang Kilat. Dan 
hal itu tidak dipedulikannya.
"Tolonglah ibuku, Eyang," tiba-
tiba saja Suntini sudah berdiri di 
belakang kakek pengemis itu sambil 
mengguncang-guncangkan tangan kakek 
itu.
'Tenanglah, Suntini. Akan kuusaha 
menolongnya. Tunggulah sebentar, aku 
akan mencari ramuannya."
Begitu ucapannya selesai, tubuh 
kakek pengemis itu berkelebat. Begitu 
cepat gerakannya, sehingga dalam 
sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap 
dalam hutan.

***
Pendekar Pedang Kilat, Shindura, 
dan Suntini serta empat orang 
pembantunya yang selamat, menunggu 
kedatangan Pengemis Aneh Tongkat Sakti 
dengan hati tegang. Waktu terasa 
begitu lambat berjalan, seolah-olah 
merayap bagaikan seekor keong.
Tidak berapa lama kemudian, 
sebuah bayangan berkelebat disertai 
kekehnya yang keras. Rupanya Ki Gala 
Rengat sudah kembali dari dalam hutan. 
Di tangan kanannya, tergenggam 
beberapa lembar dedaunan dari jenis 
yang berbeda.
'Tunggulah. Aku akan 
mempersiapkan obat ini!" kata Pengemis 
Aneh Tongkat Sakti gembira.
Setelah beberapa lembar dedaunan 
itu ditumbuk dan dimasak dengan air, 
kakek aneh itu pun mendatangi sambil 
membawa ramuan obat hasil ciptaannya 
untuk menyembuhkan Wilarni.
"Apakah racun yang mengeram dalam 
tubuh Ibu akan segera hilang, Eyang?" 
tanya Shindura setelah obat ramuan itu 
diminumkan ke mulut ibunya.
"Tunggu sajalah, Shindura. Kalau 
dalam beberapa waktu kulit tubuh ibumu 
belum menampakkan perubahan, itu

tandanya obatku tidak manjur," jawab 
Ki Gala Rengat sambil tersenyum.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik 
kita lanjutkan perjaianan. Rasanya 
tempat ini tidak cocok untuk bermalam. 
Shindura, angkat ibumu ke dalam 
kereta. Biar Suntini yang akan 
menjaganya," perintah Pendekar Pedang 
Kilat sambil bangkit berdiri dari 
duduknya.
Tidak lama kemudian, di tempat 
itu mulai sibuk untuk mempersiapkan 
melanjutkan perjalanan. Wilarni sudah 
dinaikkan ke dalam kereta ditemani 
Suntini. Sedangkan yang lain 
menunggangi kuda masing-masing yang 
masih tersisa, siap untuk melakukan 
perjalanan kembali. Kini rombongan itu 
kembali melanjutkan perjalanan, 
sebagaimana tujuan Garbala semula.
Sinar matahari yang mulai redup itu 
sangat membantu perjalanan mereka. 
Kini rasa panas tidak lagi terasa 
menyengat kulit. Angin bersilir lembut 
menyegarkan tubuh yang terasa mulai 
lelah.
Setelah beberapa saat lamanya 
melakukan perjalanan melalui jalan 
yang berkelok-kelok, rombongan itu 
tiba di sebuah perbukitan. Batu-batu

kecil yang bertebaran di jalan, 
sedikit menghambat laju kereta kuda 
yang tinggal dua buah jumlahnya. Sebab 
kereta ketiga terpaksa ditinggalkan 
agar tidak terlalu membebani 
perjalanan.
Pendekar Pedang Kilat yang 
memimpin rombongan itu mengendarai 
kudanya lambat-lambat. Sepasang 
matanya yang tajam merayapi daerah 
perbukitan yang akan dilalui. Sesaat 
kemudian, pendekar itu mengangkat 
tangan kanan untuk menghentikan 
lajunya rombongan.
"Yang lain beristirahatlah 
sejenak. Aku akan memeriksa di depan 
sana!" seru pendekar itu. Tanpa 
menunggu jawaban lagi, ia pun 
menghentak tali kekang kudanya 
menyusuri jalan berbatu.
"Aku ikut, Paman...!" seru 
Shindura sambil memacu kuda mengejar 
pamannya yang berada beberapa tombak 
di depan. Tidak berapa lama kemudian, 
pemuda itu dapat menyusul Pendekar 
Pedang Kilat.
"Apa yang Paman curigai? 
Nampaknya, daerah perbukitan itu aman-
aman saja," kata Shindura ketika kuda

kuda mereka sudah berjalan 
berdampingan.
Sambil berkata demikian, 
pandangannya beredar ke sekitar daerah 
yang akan dilalui rombongannya itu 
"Hm... biasanya di daerah seperti ini 
banyak dikuasai para perampok. Tapi 
tampaknya tempat ini tenang dan cukup 
aman," sahut pendekar itu sambil lalu. 
"Nah, kau kembalilah! Perintahkan agar 
rombongan terus maju."
Tanpa membantah Shindura cepat 
membalikkan kudanya, dan langsung 
membedal menuju tempat semula. 
Kelihatan sekali kalau wajah pemuda 
itu sudah mulai cerah. Rupanya ia 
sudah mulai melupakan kejadian yang 
mengakibatkan kematian ayahriya itu.
"Ayo, jalankan kereta!" seru 
pemuda itu dari kejauhan. Suaranya 
begitu nyaring, sehingga bergema. 
Memang, Shindura berteriak tepat di 
bawah tebing bukit yang agak menjorok 
keluar.
Mendengar perintah itu, maka 
kereta kembali bergerak lambat 
menyusuri jalan berbatu yang sedikit 
mendaki. Setelah agak lama karena 
jalan yang dilaluinya tidak mulus,

rombongan itu tiba di tempat Pendekar 
Pedang Kilat menunggu.
Mereka terus melanjutkan 
perjalanan melewati jalan-jalan yang 
lebih sulit daripada semula. Roda 
kereta kuda terdengar berderak-derak 
ketika melintas jalan yang banyak 
lubang dan batu-baru besar sating 
bertonjolan. 
"Hhh...."
Tiba-tiba terdengar keluhan 
lirih, keluar dari dalam kereta yang 
ditumpangi Wilarni dan Suntini. 
Rupanya Wilarni sudah mulai tersadar 
dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat 
sejenak, seolah-olah ingin melemaskan 
urat-urat yang terasa kaku.
Wilarni membuka kedua matanya 
pelahan-lahan. Seketika bibimya 
menyunggingkan senyum manis ketika-
mendapati anak gadisnya tengah duduk 
di sisinya. Seperti tak mempercayai 
penglihatannya, Wilarni mengerjap-
ngerjapkan mata seakan-akan ingin 
menghilangkan bayangan yang diangap 
semu itu.
"Kakang Shindura...! Ibu sudah 
sembuh!" teriak gadis cantik itu 
sambil mengulurkan kepalanya melalui 
jendela kereta: Sepasang matanya yang

indah nampak berbinar ketika
menyerukan berita yang menggembirakan 
itu.
Dan kini Suntini menangis dalam 
pelukan ibunya. Namun, tangisnya kali 
ini adalah sebuah luapan rasa bahagia 
karena melihat kesembuhan ibunya. 
Pelukan kedua tangannya demikian 
ketat, seolah-olah tidak ingin lagi 
melepaskan ibu yang dikasihinya itu.
Shindura yang mendengar teriakan 
adiknya, bergegas membedal kudanya ke 
belakang Tampak senyum gembira 
menghias wajahnya yang tampan. Rupanya 
kegembiraan itu bukan hanya milik 
mereka berdua. Sebab wajah-wajah lain 
pun terlihat ikut mengembangkan senyum 
gembira pula. Kegembiraan kedua remaja 
itu telah pula membangkitkan kegem-
biraan di hati yang lain.
Saat ini, rombongan itu telah 
memasuki sebuah dataran yang cukup 
luas. Di beberapa sudut dataran, 
tampak tumbuh beberapa batang pohon.
Melihat alam yang cukup ramah 
ini, Pendekar Pedang Kilat bergegas 
menghentikan perjalanan rombongannya. 
Rupanya pendekar itu berniat 
melepaskan malam di tempat itu. 
Memang, saat itu matahari sudah hampir

tenggelam di kaki langit sebelah 
Barat. Cahaya kemerahan tampak 
menyemburat, mewarnai kaki langit.
Senja mulai menampakkan ronanya yang 
indah dipandang mata.
Empat orang pengikut keluarga 
Garbala yang masih setia itu bergegas 
membuat tenda-tenda. Sigap sekali cara 
mereka menyelesaikan pekerjaan itu. 
Hingga tidak berapa lama kemudian, 
tiga buah tenda sederhana telah 
berdiri kokoh. Tampak beberapa buah 
obor mulai dipasang, untuk menerangi 
sekitar tempat itu.
Shindura dan Suntini tampak 
menemani ibunya di tenda paling 
tengah. Sedang dua tenda lainnya, 
disediakan untuk kaum lelaki.
Kesedihan di hati Wilarni sudah 
mulai pudar, karena dua orang anaknya 
terus berusaha menghibur hatinya. 
Wajah wanita berusia tiga puluh lima 
tahun yang masih nampak cantik itu 
sudah segar kembali. Rupanya obat yang 
dibuat Ki Gala Rengat benar-benar 
manjur.
Beberapa saat kemudian, tampak 
Shindura dan Suntini berjalan keluar 
dari dalam tenda. Mereka melangkah 
menghampiri Pengemis Aneh Tongkat

Sakti yang tampak tengah berkumpul 
bersama dua orang pembantu keluarga 
Garbala itu.
"Ah! Shindura, Suntini, mari... 
mari. Bagaimana keadaan ibumu?" sapa 
kakek pengemis itu ketika melihat 
Shindura dan Suntini tengah berjalan 
ke arahnya.
"Sudah lumayan, Eyang. Kami 
berdua mengucapkan terima kasih atas 
pertolongan Eyang. Entah apa jadinya 
keadaan Ibu kami apabila Eyang tidak 
cepat bertindak," ucap Shindura sambil 
membungkuk hormat kepada kakek 
pengemis itu.
Sesaat kemudian, ketiganya telah 
terlibat dalam pembicaraan yang 
mengasyikan. Sesekali terdengar suara 
tawa mereka ketika mendengar cerita 
lucu Ki Gala Rengat Selain banyak 
pengalamannya dalam dunia persilatan, 
rupanya kakek itu pandai juga ber-
erita.
Setelah puas mendengar cerita 
kakek pengemis itu, Shindura dan 
Suntini mohon pamit untuk menemui 
Pendekar Pedang Kilat. Mereka 
melangkah meninggalkan tempat itu 
diiringi tatapan Pengemis Aneh Tongkat 
Sakti.

Malam itu cuaca nampak sangat 
cerah. Sinar rembulan memancar terang 
menghiasi sang malam. Bintang-bintang 
pun berkelip jenaka, bak mata dara 
jelita yang manja. Tiupan angin 
bersilir lembut menebarkan kesejukan.
***
Gatar atau yang lebih dikenal 
berjuluk Pendekar Pedang Kilat nampak 
termenung menatapi sang bulah. Laki-
laki berusia empat puluh tahun itu 
duduk bersandar pada sebatang pohon 
yang letaknya tidak jauh dari tenda 
yang ditempatinya.
Wajahnya yang masih terlihat 
segar dan gagah itu tampak agak 
berkerut seolah-olah tengah memikirkan 
sesuatu. Cukup lama pikirannya 
terhanyut dalam, hingga tidak
menyadari kedatangan dua sosok tubuh 
yang tahu-tahu sudah di belakangnya.
'Paman Gatar...," pangil Shindura 
dan Suntini pelan. Dari suara mereka, 
tersirat nada keengganan. Sepertinya, 
mereka terpaksa harus mengganggu 
lamunan sang paman.
"Eh! Shindura, Suntini, ada apa?" 
sahut pendekar itu tersentak. Seketika

lamunannya terbang entah ke mana. 
Gatar cepat menolehkan kepalanya 
menatap dua orang keponakannya itu.
"Ah! Tidak ada apa-apa, Paman. 
Kami hanya ingin ngobrol-ngobrol 
saja," jawab Shindura. Langsung
dijatuhkan dirinya di atas sebuah batu 
yang berada di samping pohon. Suntini 
juga segera mengambil tempat di sisi 
kakaknya.
"Paman, apakah yang tengah 
dipikirkan tadi? Tampaknya Paman 
begitu terhanyut dalam lamunan, 
sampai-sampai tidak mengetahui 
kedatangan kami?" tanya Suntini 
memecah kebisuan di antara mereka.
"Hhh.„," desah Pendekar Pedang 
Kilat.
Gatar tidak segera menjawab 
pertanyaan gadis itu. Dihela napas 
berkali-kali. Sepertinya, beban 
pikirannya memang terasa sangat berat. 
Dilepaskan pandangannya merayapi 
langit yang berhiaskan taburan 
bintang. Seolah-olah ia ingin mencari 
jawaban di atas sana.
"Shindura, Suntini. Benarkah 
kalian sama sekali tidak mengetahui 
tentang peta harta itu? Atau, apakah 
kakek kalian tidak meninggalkan

sesuatu kepada Ayah kalian?" tanya 
pendekar itu sambil menatap tajam dua 
orang di depannya berganti-ganti. 
Seperti dia ingin meminta jawaban yang 
sejujurnya.
"Sepengetahuanku memang tidak, 
Paman. Bahkan Ayah pun hampir tidak 
pernah bercerita mengenai riwayat 
kakek kepada kami. Itulah yang membuat 
hatiku bertanya-tanya, dari mana 
orang-orang berseragam hitam itu 
mengetahuinya? Bahkan nampaknya begitu 
yakin tentang adanya peta harta itu 
pada keluarga kami," jawab Shindura 
lesu, seolah-olah menyesal karena 
tidak memberi jawaban yang 
menyenangkan.
"Apakah Ayah kalian tidak pernah 
memberi sesuatu benda, atau katakanlah 
benda peninggalan kakekmu itu?" tanya 
Pendekar Pedang Kilat penasaran. Se-
pertinya, dia masih belum puas atas 
jawaban yang diberikan Shindura tadi.
"Sama sekali ti... eh! Nanti 
dulu!"
Tiba-tiba saja Shindura 
menghentikan ucapannya. Cepat 
ditolehkan kepalanya, seolah-olah 
teringat akan sesuatu.

"Adikku, bukankah Ayah pernah 
memberi sebuah pedang kepadamu? Dan 
bukankah Ayah mengatakan kalau pedang 
itu adalah peninggalan Kakek satu-
satunya?" tanya Shindura dengan wajah 
tegang, sambil menatap wajah adiknya 
lekat-lekat. Seolah-olah, ia ingin 
membantu ingatan adiknya tentang hal 
itu.
Pendekar Pedang Kilat berdebar 
hatinya mendengar ungkapan Shindura. 
Di wajah pendekar itu terlintas 
harapan yang berpendar-pendar. 
Sepasang matanya yang tajam mengawasi 
bibir gadis cantik itu.
"Ya! Aku ingat sekarang, Kakang!" 
seru gadis itu terlonjak bangkit.
Tentu saja gerakan gadis yang 
tiba-tiba, membuat Pendekar Pedang 
Kilat dan Shindura ikut terlonjak dari 
duduknya. Memang, mereka terlalu 
tegang menunggu jawaban Suntini, tanpa 
sadar mereka terlonjak.
"Di mana... di mana pedang itu 
sekarang, Adikku?"
Saking tegangnya, Shindura sampai 
tak sadar mengguncang tangan adiknya 
terlalu keras. Akibatnya wajah gadis 
itu menyeringai menahan sakit.

"Ah! Maaf... maaf, Adikku," ucap 
Shindura menyadari perbuatannya. 
Serta-merta, dilepaskannya cekalan 
tangan yang menyakitkan lengan adiknya 
itu.
"Ah, Kakang! Mengapa sih, sampai 
begitu tegang? Apakah Kakang sudah 
menjadi seorang yang gila harta?" 
Suntini memonyongkan bibirnya 
cemberut.
Gadis itu segera mencabut 
pedangnya dari pinggang. Dengan 
segera, diserahkannya pedang itu.
"Ini, pedangnya! Ambillah, kalau 
kau lebih menyayangi benda ini 
daripada aku!"
"Ah! Maafkan kelakuanku tadi, 
Adik Suntini. Tentu saja aku lebih 
menyayangimu dan Ibu, ketimbang pedang 
ini. Sudahlah, jangan marah," ucap 
Shindura sambil membentangkan kedua 
tangan dan memeluk adiknya.
Rambut kepala Suntini dibelai 
Shindura penuh kasih sayang. Kedua 
kakak-beradik itu memang dekat sekali 
satu sama Iain. Karena itulah, mengapa 
Shindura , tidak merasa canggung 
memeluk tubuh adiknya. Memang 
mungkin.ia tidak menyadari kalau

adiknya itu telah berubah menjadi 
seorang remaja yang cantik dan memikat
Melihat Shindura tidak meraih
pedang yang disodorkan, tapi malah 
memeluk dan menghibur adiknya, 
Pendekar Pedang Kilat sigap 
menyambutnya. Bergegas pendekar itu 
meneliti dari ujung sampai ke gagang 
pedang. Keningnya berkerut dalam 
ketika tidak dapat menemukan satu 
petunjuk pun dari pedang itu.
"Apakah hanya benda ini yang 
menjadi peninggalan kakekmu?" tanya 
Pendekar Pedang Kilat Wajahnya nampak 
menyiratkan kekecewaan setelah 
berkali-kali memeriksa, tapi tak 
menemui sesuatu petunjuk pun. 
Diangsurkannya pedang itu kepada 
Shindura yang segera menyambutnya.
Begitu berada dalam genggaman 
Shindura cepat meneliti secara cermat. 
Namun, hasilnya tetap saja tidak ada. 
Bahkan sampai-sampai sarung pedang itu 
dibelah, hasilnya tetap sama.
Pemuda itu kembali menjatuhkan 
pantatnya di atas batu yang semula 
didudukinya. Sepasang matanya tetap 
tak lepas dari senjata itu, seperti 
masih belum ingin menyerah. Otaknya 
bekerja tak henti-henti, memikirkan


hal itu. Malah Shindura tak sadar 
kalau adik dan pamannya tengah 
mengamatinya.
"Hm.... Kalau orang-orang 
berseragam hitam itu sampai rela 
mengorbankan nyawa, pasti kabar 
tentang peta harta itu benar. Sedang, 
satu-satunya peninggalan Kakek 
hanyalah sebilah pedang ini. Jadi 
menurut hematku, sudah pasti peta 
harta itu berada di dalam pedang ini. 
Hanya saja kita tidak tahu, di bagian 
mana Kakek menyembunyikan peta harta 
simpanannya itu?"
Shindura terus berpikir keras 
mencari-cari jawabannya. Dikerahkannya 
seluruh ingatannya tentang kisah raja-
raja terdahulu yang sering dibaca 
melalui kitab-kitab kuno.
"Suntini, bolehkah pedangmu itu 
kurusak?" tiba-. tiba saja pemuda itu 
bertanya sungguh-sungguh kepada 
adiknya.
Pendekar Pedang Kilat berdebar 
hatinya ketika mendengar pertanyaan 
aneh itu.
"Hm... anak ini cerdik sekali. 
Siapa tahu ia benar-benar dapat 
menemukan peta harta itu? Entah cara

apa yang akan diperbuatnya?" kata hati 
pendekar itu tegang.
"Kalau hal itu memang dapat 
menyelamatkan keluarga kita dari 
ancaman musuh, aku rela Kakang," jawab 
gadis itu setelah berpikir beberapa 
saat lamanya.
Setelah berkata demikian, gadis 
itu melangkah mendekati, lalu duduk di 
samping kakaknya itu. Sepasang matanya 
yang indah ini menatap wajah kakaknya 
lekat-lekat, seolah-olah ingin mencari 
tahu apa yang tengah dipikirkan 
kakaknya.
Setelah mendapat persetujuan 
adiknya, Shindura mencabut keluar 
pedangnya yang tergantung di pinggang. 
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun 
pemuda itu lalu menorehkan ujung 
pedangnya pada sambungan gagang pedang 
yang diduga menyimpan peta harta. 
Beberapa saat kemudian, gagang pedang 
itu pun terlepas. Hati-hati sekali 
Shindura memasukkan jari-jari 
tangannya ke dalam gagang pedang pada 
bagian tengahnya. Wajah pemuda itu 
mendadak tegang ketika merasakan ujung 
jari tangannya menyentuh benda yang 
agak lemas.

Melihat ketegangan yang terpancar 
dari wajah pemuda itu, serentak 
Pendekar Pedang Kilat menghampirinya. 
Wajahnya juga berubah tegang seperti 
halnya Shindura.
"Apa... apa yang kau dapatkan, 
Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat 
tegang. Dari nada suaranya, jelas 
sekali kalau hati pendekar itu 
berdebar keras. Suaranya yang biasanya 
tenang terdengar bergetar dan napasnya 
agak memburu.
Shindura cepat mencabut sebuah 
gulungan yang terdapat di dalam lubang 
gagang pedang itu. Gulungan itu 
terbuat dari sejenis kulit binatang 
yang agak kaku dan tipis. Rupanya 
orang yang menyimpan peta itu benar-
benar teliti dan pandai sekali. 
Buktinya kulit yang di dalamnya 
terdapat gambar peta sangat liat dan 
tidak mudah rusak. Padahal benda itu 
disimpan sudah puluhan tahun. Diam-
diam hati pemuda itu mengagumi 
kecerdikan kakeknya.
Shindura hati-hati dan penuh 
ketegangan saat membuka gulungan kulit 
itu. Maka tampak sebuah gambar rumit 
dan tak mudah dimengerti sembarang 
orang. Bahkan Pendekar Pedang Kilat

dan Suntini sampai mengerutkan dahinya 
dalam-dalam. Namun, mereka tetap saja 
tak dapat menerka, apa dan tempat apa
yang digambarkan di atas kulit itu.
"Dapatkah kau membacanya, 
Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat 
dengan suara kering.
'Tidak, Paman. Menyesal sekali 
aku tidak memahami apa yang 
digambarkan dalam peta ini," jawab 
Shindura lesu.
"Boleh kulihat?" pinta pendekar 
itu penuh minat Shindura hanya 
mengulurkan peta itu tanpa mengucapkan 
sesuatu. Setelah beberapa saat 
meneliti, Gatar mengembalikan peta itu 
kepada Shindura.
"Simpanlah peta ini, Shindura.
Aku pun tak dapat membacanya," ujar 
Gatar tak bergairah. "Malam sudah 
semakin larut. Mari kita 
beristirahat."
***

ENAM

Malam terus merangkak semakin 
mendekati pagi. Di dalam tenda, tampak 
Shindura masih sibuk memperbaiki 
pedang peninggalan kakeknya itu. 
Sesekali, tatapannya berpindah ke arah 
dua sosok tubuh yang tengah terlelap. 
Mereka adalah ibu dan adiknya.
Pemuda itu berkeras hati untuk 
menjaga dua orang yang dikasihinya, 
meskipun ibu dan adiknya berupaya 
membujuk untuk tidak terlalu 
mengkhawatir-kan keadaan mereka. Namun 
dengan berbagai alasan, akhirnya dua 
orang wanita itu mengalah. Sehingga 
sampai jauh malam, Shindura terlena 
juga karena kelelahan yang sangat.
Kini pagi baru saja datang. 
Shindura terjaga dari tidurnya ketika 
mendengar suara ribut di luar. Bunyi 
dentang senjata yang diselingi 
teriakan-teriakan orang bertempur itu, 
membuatnya terlompat seraya mencabut 
keluar senjatanya.
"Ada apa, Shindura?!" Wilarni 
juga tersentak bangun dari tidurnya. 
Wajah wanita itu berubah pucat.

Nalurinya mengatakan kalau ada bahaya 
tengah mengancam mereka.
"Entahlah, Bu. Biar kuperiksa 
keadaan di luar!" kata Shindura cepat. 
"Suntini kau jaga Ibu!"
Setelah berpesan demikian, tubuh 
pemuda itu menghambur keluar. 
Gerakannya cepat bagai kilat, pertanda 
ilmu meringankan tubuh pemuda itu 
tinggi juga.
Wajah pemuda itu berubah pucat 
ketika melihat empat orang pembantunya 
telah bergelimpangan bermandi darah. 
Di hadapannya tampak seorang laki-laki 
tinggi kurus, mengenakan seragam 
hitam. Sebagian wajahnya tertutup 
sehelai kain yang juga berwarna hitam. 
Dia berdiri tegak mengawasi Shindura 
yang baru saja muncul dari dalam tenda 
itu.
"Hm.... Kau pasti putra si 
keparat Garbala itu. Ayo, serahkan 
peta harta itu!" bentak orang itu 
sember. Sepasang matanya yang setajam 
mata elang itu menatap penuh ancaman. 
Di tangan kanannya tergenggam sebilah 
kapak besar yang masih meneteskan 
darah. Rupanya dialah yang telah 
membunuh keempat orang pembantunya 
itu
"Huh! Manusia Tamak! Jangan harap 
kau bisa mendapatkan peta harta itu 
sebelum tubuhku terbujur menjadi 
mayat!" sahut Shindura gagah. Kedua 
kakinya terpentang lebar. Sedangkan 
pedangnya sudah melintang di atas 
kepalanya. Pemuda itu siap menghadapi 
maut!
Sementara itu di depan tenda yang 
berada di kanan tenda Shindura, tampak 
Pendekar Pedang Kilat tengah bertarung 
sengit melawan seorang berpakaian 
hitam lainnya. Lawan pendekar itu 
bersenjatakan sebatang toya, dan 
gerakannya tampak hebat sekali. 
Berkali-kali Pendekar Pedang Kilat 
melakukan serangan-serangan yang 
mematikan, namun lawannya yang 
bertubuh tinggi kekar itu selalu saja 
dapat mematahkan.
"He he he.... Keluarkan seluruh 
kepandaianmu, Pendekar Tolol!"
Orang bertubuh tinggi kekar itu 
tertawa mengejek sambil menangkis 
serangan-serangan Gatar. Nampaknya 
kepandaian yang dimilikinya memang di 
atas kepandaian paman Shindura dan 
Suntini itu. Buktinya ia masih saja 
mudah berkelit Padahal, serangan pen

dekar itu berkali-kali mengancam 
tubuhnya.
"Huh! Jangan takabur dulu, Monyet 
Hitam! Tunjukkan kepandaianmu! Jangan 
hanya bisa mengelak!" teriak Gatar 
marah bercampur penasaran.
Memang diakui, hati Gatar begitu 
penasaran. Padahal, serangan yang 
dilakukannya.itu diambil dari jurus-
jurus pilihan yang jarang sekali 
digunakan. Tapi, lawannya seolah-olah 
enak saja menghadapinya. Tidak heran 
kalau hati Gatar dibuat semakin gusar.
"Heaaattt...!"
Dalam kemarahannya, pendekar itu 
mengeluarkan sebuah jurus yang paling
diandalkannya. Pedang sinar putihnya 
berkelebat bagai kilat, menyambar-
nyambar di angkasa. Sebentuk sinar 
putih bergulung-gulung menyertai 
ayunan pedangnya. Sesekali, ujung pe-
dangnya yang tersembunyi di balik 
gulungan sinar putih mencuat mengancam 
keselamatan lawan. Itulah jurus 'Kilat 
Bersembunyi dl Balik Awan' yang meru-
pakan jurus kesepuluh dari 'Ilmu 
Pedang Sinar Kilat'.
Menyaksikan kehebatan jurus yang 
dimainkan lawan, orang berpakaian 
hitam itu tampak cukup terkejut

Tawanya mendadak lenyap, dan berganti 
kerutan dalam di keningnya. Dia segera 
melangkah mundur ke belakang beberapa 
tindak. Toya yang panjangnya hampir 
mencapai dua tombak diputar-putar 
sede-mikian rupa, hingga membentuk 
lingkaran yang melindungi tubuhnya. 
Wukkk! Wukkk!
Batu-batu kecil dan daun-daun 
kering seketika beterbangan terkena 
arus putaran tongkat yang menimbulkan 
angin menderu-deru. Sekejap saja, 
arena pertarungan telah tertutup debu-
debu tipis yang mengepul tinggi di 
angkasa.
"Yeaaattt...!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan mengguntur, 
tubuh keduanya melesat menerjang satu 
sama lain. Sekejap kemudian mereka 
kembali terlibat perkelahian mati-
matian; Tampak gulungan sinar saling 
libat dan saling terjang dengan 
dahsyatnya!
Sementara itu di tempat lain, 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti juga 
tengah bertarung melawan seorang 
bertubuh kecil kurus. Namun tubuh yang 
kecil kurus itu nampak demikian gesit 
dan licin. Sehingga ke mana pun

tongkat pengemis itu berkelebat, 
selalu saja dapat dielakkaa. Malah 
serangan balasannya tidak kalah 
berbahayanya. Meskipun hanya sesekali 
membalas, tapi telah sanggup membuat 
Ki Gala Rengat kelabakan.
"Setan Kurus! Kurang ajar! 
Kupukul pantatmu nanti baru tahu 
rasa!"
Ki Gala Rengat menghindari sebuah 
hantaman tangan lawannya sambil memaki 
kalang kabut. Benar-benar tidak 
disangka kalau lawannya yang bertubuh
kecil dan kurus itu mampu membuatnya 
kerepotan. Padahal, orang itu sama 
sekali tidak menggunakan senjata!
"He he he... jangan hanya pandai 
memaki, Kakek Gembel! Nih, jaga jurus 
'Meledakkan Seribu Gunungku!" ancam si 
kecil kurus sambil melontarkan sebuah 
pukulan maut. Angin pukulan itu 
mencicit tajam membelah udara pagi 
dengan kecepatan yang tak tampak oleh 
mata biasa.
Siuuuttt!
Trakkk!
Bukkk!
"Arrrghhh...!"
Terdengar suara berdentang 
nyaring ketika telapak tangan orang

itu membentur tongkat baja Ki Gala Re-
ngat. Tubuh kakek pangemis itu 
terjajar mundur sejauh lima langkah. 
Dan selagi tubuhnya terjajar limbung, 
telapak tangan kiri lawan telak 
menggedor dadanya! Kakek pengemis itu 
terlempar sejauh empat tombak disertai 
semburan darah segar dari mulutnya. 
Tubuh tua renta itu terbanting di atas 
tanah berbatu menimbulkan suara 
berdebuk keras.
"Hkkk...!"
Dengan dibantu tongkat baja yang 
masih tergenggam di tangan, Pengemis 
Aneh Tongkat Sakti berusaha bangkit 
berdiri. Kedua tangannya menekap dada 
yang terasa panas bagaikan terbakar 
itu Meski pandangan matanya terasa 
bagai berputar, namun ia berusaha 
untuk berdiri tegak.
"He he he.... Kenapa sampai di 
sini saja kepandaianmu, Gala Rengat?" 
ejek si kecil kurus sambil melangkah 
menghampiri lawan yang sudah hampir 
tak berdaya itu.
"Kau... kau pasti yang berjuluk 
Raja Maut Tangan Sakti?!" tegas Ki 
Gala Rengat.
Dia baru bisa menerka siapa 
sebenarnya kakek kecil kurus yang

menjadi lawannya itu. Ini karena jurus 
yang dikeluarkan lawan hanya dimiliki 
oleh Raja Maut Tangan Sakti.
Setelah berkata demikian, 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti kembali 
terbatuk hebat! Darah segar segera 
menetes dari sela-sela bibirnya. 
Sesaat kemudian, tubuhnya pun ambruk 
ke tanah. Rupanya luka dalam di tubuh 
Ki Gala Rengat terlalu parah, sehingga 
membuatnya tergeletak pingsan
"He he he.... Kau tidak akan 
kubunuh, kakek gembel! Terlalu enak 
rasanya kalau mati begitu saja. Luka 
di tubuhmu akan menggerogoti pelahan-
lahan. Dan dalam jangka waktu satu 
bulan, kau akan tewas setelah 
mengalami penderitaan menyakitkan!"
Sesudah mengucapkan kata-kata 
yang membuat bulu kuduk berdiri itu, 
kakek kurus yang berjuluk Raja Maut 
Tangan Sakti itu pun melangkah lebar 
meninggalkan tubuh Pengemis Aneh 
Tongkat Sakti yang terkapar pingsan
***
Di arena lain, tampak Pendekar 
Pedang Kilat tengah mati-matian 
mempertahankan nyawanya. Jurus 'Kilat 
Bersembunyi di Balik Awan' miliknya 
ternyata tak mampu menahan jurus

'Perisai Topan dan Badai' milik lawan. 
Akibatnya pada jurus yang kelima puluh 
satu Gatar sudah tidak dapat lagi 
membalas serangan lawan.
Hingga memasuki jurus kelima 
puluh dua, Pendekar Pedang Kilat tak 
sanggup lagi menghindarkan sebuah 
hantaman toya lawan pada punggung.
Bukkk!
"Hukkk...!"
Pendekar Pedang Kilat terpental 
sejauh tiga tombak. Darah segar 
mengaiir dari celah-celah bibirnya 
yang pucat Pendekar itu menyeringai 
menahan rasa sakit, terasa bagaikan 
remuk tulang-tulang punggungnya. 
Meskipun luka yang diderita cukup 
parah, namun Gatar masih mencoba 
melintangkan pedangnya siap menghadapi 
maut.
Sementara itu di tempat lain, 
Shindura telah dibuat jatuh bangun 
oleh lawannya. Seluruh wajahnya telah 
dipenuhi luka memar akibat temparan 
orang tinggi kurus itu Pakaiannya 
telah robek di sana-sini, bagaikan 
tercabik binatang buas. Rupanya 
lawannya sengaja menyiksa Shindura 
yang masih belum bersedia menyerahkan 
peta harta yang diinginkan orang itu.

"Hm, Anak Setan! Rupanya kau 
memang tidak boleh dikasih hati. Baik, 
kalau memang lebih sayang peta itu 
daripada nyawamu!" ancam orang itu 
geram.
"Kakang Shindura...!"
Suntini yang sudah merasa tidak 
betah berada di dalam tenda itu cepat 
melompat keluar. Ia langsung menubruk 
tubuh kakaknya yang sudah dipenuhi 
luka akibat goresan senjata lawan.
"Manusia Biadab, mampuslah!" 
teriak Suntini marah.
"Ha ha ha.... Rupanya ada kelinci 
manis di tempat ini? Mari, Manis. 
Rasanya aku tak tega menjatuhkan 
tangan kejam kepadamu. Sebaiknya, ikut 
saja bersamaku!" ujar orang itu sambil 
menyeringai buas.
Orang berpakaian hitam itu hanya 
menggerakkan tubuh sedikit ketika 
serangan Suntini tiba. Maka senjata 
gadis itu hanya menusuk angin. Cepat 
bagai kilat, tangannya bergerak 
menangkap pergelangan tangan halus 
itu.
Suntini tercekat melihat gerakan 
tangan lawan yang demikian cepat. 
Tentu saja gadis itu tidak ingin 
tangannya dipegang laki-laki beringas


itu. Cepat-cepat senjatanya ditarik 
pulang sambil tubuhnya diputar 
membentuk setengah lingkaraa Hasilnya, 
cengkeraman lawan pun lolos! Sedangkan 
pedangnya terus berputar membabat 
perut lawan.
Singgg!
"Eh...!"
Laki-laki tinggi kurus itu sempat 
kaget dibuatnya. Sungguh tidak diduga 
kalau gadis cantik itu ternyata cukup 
lihai. Cepat-cepat dia melompat ke 
belakang karena tidak rela perutnya 
dirobek senjata gadis itu.
"Hm.... Ternyata kau berisi juga, 
Bidadariku! Ayolah, kita main-main 
sebentar!" ledek orang itu sambil 
menjilati sekujur tubuh Suntini 
melalui tatapan matanya yang liar. 
Segera disimpan kapaknya di balik 
pinggang, kemudian melompat ke arah 
Suntini dengan kedua telapak tangan 
terkembang.
"Bangsat! Jangan kau ganggu 
adikku!" Shindura yang melihat adiknya 
terancam serentak menerjang orang itu. 
Padahal, keadaan tubuhnya telah lelah 
sekali pemuda itu segera mengayunkan 
pedangnya, sehingga menimbulkan 
desingan tajam.

"Monyet tak tahu diri, 
mampuslah!" bentak laki-laki itu 
geram, ketika melihat Shindura 
mengganggu kesenangannya.
Seketika orang berbaju hitam itu 
menunda serangannya yang semula 
ditunjukkan kepada Suntini. Cepat 
sekali tubuhnya berputar, dibarengi 
tamparan tangan ke arah pergelangan 
tangan Shindura.
Sadar kalau serangannya akan 
kandas, Shindura cepat menarik pulang 
senjatanya, dan digantikannya dengan 
tendangan kilat yang menuju dada 
lawan. Tapi, tamparan orang itu 
ternyata membelok ke arah kaki pemuda 
itu. Akibatnya Shindura terlambat 
untuk menarik pulang kakinya. 
Sehingga....
Plakkk!
"Aaahhh...!"
Shindura menjerit kesakitan 
ketika tangan lawan yang sekeras besi 
itu menghantam mata kakinya. Tubuh 
pemuda itu terpental berputar dan 
jatuh terguling-guling. Sambil 
menyeringai menahan sakit, Shindura 
berusaha bangkit namun keadaannya 
terpincang-pincang." Mata kakinya 
membengkak akibat tamparan orang, itu.

Belum lagi ia sempat menguruti ka-
kinya, tahu-tahu tangan lawannya telah 
berada di depan dadanya.
Desss!
"Ouggghhh...!"
Shindura mengeluh pendek, lalu 
tidak tahu lagi apa yang terjadi 
selanjutnya. Yang dirasakan adalah 
kegelapan yang menutupi penglihatan. 
Sama sekali tidak dirasakan lagi 
ketika tubuhnya terbanting di atas 
tanah keras. Memang pemuda itu sudah 
pingsan selagi tubuhnya terlempar di 
udara.
"Kakang...!" teriak Suntini.
Gadis itu berlari memburu tubuh 
kakaknya yang terkapar tak berdaya. 
Air mata mengalir membasahi pipinya 
yang halus. Perkiraannya, kakaknya 
telah tewas di tangan laki-laki tinggi 
kurus itu.
"Ha ha ha.... Tidak periu 
dirisaukan kakakmu yang tengah melayat 
ke neraka itu. Lebih baik, kau ikut 
bersamaku dan menjadi istriku. Ayo, 
Dewiku...," kata orong itu sambil 
mengembangkan kedua lengan-nya 
menghalangi jalan Suntini.
Tiba-tiba sesosok bayangan 
berkelebat ke samping Suntini. Gadis

itu semula sudah siap menyerang. Namun 
cepat-cepat senjatanya ditarik kembali
ketika mengetahui kalau bayangan itu 
tak lain adalah pamannya. Rupanya 
ketika melihat keselamatan Suntini 
terancam, Pendekar Pedang Kilat 
bergegas meninggalkan lawannya.
"Paman...!" sapa gadis itu serak.
"Suntini! Berikan pedang itu 
kepadaku, dan kau pakai pedangku!" 
bisik Gatar di telinga gadis itu. 
Mengerti akan maksud baik pamannya, 
gadis itu menyerahkan senjatanya. Lalu 
diambilnya senjata Pendekar Pedang 
Kilat yang diulurkan kepadanya.
"Mereka sudah tahu tentang pedang 
itu. Biarlah aku akan memancing 
perhatian mereka dengan cara melarikan 
pedang ini," bisik pendekar itu lagi.
Setelah berkata demikian, tubuh 
pendekar itu segera melesat 
meninggalkan tempat itu.
Raja Maut Tangan Sakti dan orang 
tinggi besar yang menjadi lawan Gatar 
tadi, bergegas mengejar pendekar itu. 
Sedangkan laki-laki tinggi kurus tetap 
di tempatnya sambil menyeringai ke 
arah Suntini.
Tentu saja gadis cantik itu 
menjadi ketakutan setengah mati. Tapi

Suntini bukannya takut terhadap 
kematian. Yang ditakutkannya adalah 
sesuatu yang lebih hebat yang akan 
mengancam kehormatan dirinya. Gadis 
itu menoleh ke kiri dan ke kanan 
seolah-olah mencari perlindungan. 
Namun, baik Ki Gala Rengat maupun 
kakaknya telah tergeletak tak berdaya. 
Kini tinggallah dia sendiri yang harus 
dapat menyelamatkan dirinya tanpa 
bergantung kepada siapapun.
"Ha ha ha.... Menyerahlah, Manis. 
Tidak ada seorang pun yang dapat 
menolongmu kali ini!" kata orang itu 
terkekeh penuh nafsu. Dan tanpa 
membuang-buang waktu lagi, laki-laki 
itu melompat menerkam tubuh Suntini
Gadis itu menggeser tubuhnya ke 
samping sambil membabatkan pedang, 
yang berkelebat mengancam tubuh lawan. 
Namun tebasan itu berhasil 
dielakkannya. Sekejap kemudian, 
keduanya sudah terlibat pertarungan 
yang berat sebelah.
Sampai beberapa jurus lamanya, 
Suntini masih berhasil mempertahankan 
diri agar tidak terjatuh ke tangan 
orang buas itu. Tapi, biar 
bagaimanapun Suntini tak akan mampu 
melawan orang itu hingga belasan jurus

lamanya. Pada jurus kedua belas saja, 
gadis itu sudah mulai terdesak hebat.
Sehingga dia hanya dapat melompat 
lompat menghindari terkaman sepasang 
lengan yang terus mengejarnya itu.
Pada jurus yang ketiga belas, 
Suntini bertindak nekad. Sepertinya 
gadis itu sudah tidak mempedulikan 
lagi akan keseiamatan nyawanya. Maka, 
ketika sepasang tangan itu meluncur ke 
arah dadanya, segera dibabatkan 
senjatanya ke leher orang itu. Tapi, 
rupanya laki-laki itu sudah 
memperhitungkan hal ini. Sebab, pada 
saat senjata itu bergerak menuju 
leher, kepalanya diputar sambil kuda-
kudanya direndahkan.
Wuttt!
Pedang Suntini meluncur membabat 
tempat kosong Dan tahu-tahu saja, 
jari-jari tangan lawan telah meluncur 
cepat ke arah sikutnya. Dan....
Tukkk! Tukkk!
"Ohhh...!"
Suntini mengeluh tertahan Lengan 
kanannya yang memegang pedang 
tergantung lumpuh. Bahkan bukan hanya 
lengannya. Kini tubuhnya pun melorot 
jatuh akibat totokan lawan yang tak 
dapat dihindari lagi.

"Bunuhlah aku, Manusia Rendah!" 
teriak gadis itu ketakutan melihat 
sinar mata laki-laki itu yang 
menjilati sekujur tubuhnya. Suntini 
merasakan tubuhnya panas dingin karena 
tatapan orang itu. Tampak air matanya 
meleleh membasahi pipinya. Bukan 
kematian yang ditakuti Suntini, tapi 
mahkota berharga yang hanya sekali 
dimiliki bakal hilang. Gadis itu hanya 
bisa menangis tanpa mampu berbuat 
sesuatu.
Bagaikan seekor harimau lapar, 
laki-laki tinggi kurus itu menerkam 
tubuh Suntini. Terdengar suara kain 
robek ketika tangan laki-laki itu 
merenggut kasar pakaian gadis itu. 
Seketika tampaklah kulit putih halus 
mulus yang dimiliki gadis itu. Bahkan 
dua bukit kembarnya sedikit 
tersingkap, sehingga makin 
membangkitkan gairah birahi. Tanpa 
mempedulikan tangisan pilu yang keluar 
dari mulut Suntini, orang itu menciumi 
wajah dan leher gadis itu penuh nafsu.
Wilarni yang mendengar jerit dan 
tangis anaknya bergegas keluar dari 
dalam tenda. Dan apa yang tengah 
dilihatnya, membuat wanita itu 
terbelalak pucat. Anak gadisnya yang

sudah setengah telanjang itu tengah 
digeluti dengan buas oleh laki-laki 
tinggi kurus.
Tanpa pikir panjang lagi, Wilarni 
bergegas berlari untuk menolong 
anaknya. Kedua tangannya terulur 
mencengkeram rambut kepala orang itu. 
Seketika ditariknya sekuat tenaga 
rambut orang berbaju hitam, sehingga 
terdongak dan berteriak kesakitan.
Bukan main marahnya orang itu 
karena kesenangannya merasa terganggu. 
Secepat kilat tubuhnya berbalik sambil 
meiayangkan sebuah tamparan keras. 
Mungkin karena rasa marah yang 
menggelegak, membuat orang itu tidak 
sadar kalau yang ditamparnya hanyalah 
seorang wanita lembut.
Plakkk!
Wilarni tidak sempat lagi 
berteriak. Tubuh wanita malang itu 
terpelanting dan tewas seketika. 
Tulang tengkorak kepalanya retak 
akibat tamparan yang mengandung tenaga 
sakti itu.
Tanpa mempedulikan keadaan 
Wilarni, orang itu kembali meneruskan 
niat bejadnya yang belum terlaksana 
tadi. Sambil menyeringai buas kembali 
diterkamnya tubuh gadis malang itu.

"Ibu...!" Suntini berteriak serak 
ketika menyak-sikan tubuh ibunya 
terkapar.
Gadis itu tidak tahu, apakah 
ibunya telah tewas atau hanya sekadar 
pingsan saja. Secara sepintas terlihat 
ada genangan darah di sekitar kepala 
ibunya.
Gadis itu merasakan dunia di 
sekitarnya menjadi gelap.
Dia menyesali dirinya, mengapa 
tidak jatuh pingsan saja agar tidak 
merasakan penderitaan yang dialami
sekarang ini
Namun sebelum kejadian yang 
mengerikan itu sempat menimpa diri 
Suntini, tiba-tiba sebuah tangan 
meraba leher baju laki-laki tinggi 
kurus itu. Tidak sampai di situ saja. 
Sebelum laki-laki itu sempat 
menyadari, tubuhnya telah terangkat 
dan terlempar sejauh dua tombak.
Blug!
Tubuh laki-laki tinggi kurus itu 
terbanting ningga menimbulkan suara 
berdebuk keras. Dia menyeringai 
menahan sakit karena tubuhnya yang 
miskih daging itu terbentur batu-batu 
yang bertonjolan.

Panji bergegas menghampiri 
Suntini untuk membebaskan pengaruh 
totokan yang bersarang di beberapa 
bagian tubuhnya.
"Kurang ajar! Siapa orang yang 
begitu berani mati mengganggu 
kesenangan Setan Kapak Baja?" teriak 
si tinggi kurus murka.
Saking marahnya orang itu sampai 
menyebutkan julukan yang seharusnya 
dirahasiakan itu. Tapi begitu melihat 
di sekelilingnya tidak ada orang lain 
kecuali seorang pemuda tampan 
berpakaian serba putih, hatinya 
menjadi lega.
Orang yang melemparkan tubuh 
Setan Kapak Baja itu memang Pendekar 
Naga Putih. Pemuda tampan itu berdiri 
tegak membelakangi tubuh Suntini yang 
terlebih, karena keadaan tubuh gadis 
itu sudah tidak karuan.
"Di dalam buntalan itu ada 
beberapa pakaian yang masih bersih. 
Gantilah pakaianmu, Nini. Hhh.... 
Rupanya aku teriambat," kata Panji 
sambil melemparkan buntalan pakaiannya 
ke arah gadis itu. Wajah pemuda tampan 
itu mendadak buram ketika melihat 
beberapa sosok mayat nampak tergolek 
di sekitar tempat itu.

"Terima kasih...," ucap Suntini 
lemah karena hatinya masih terguncang 
akibat kejadian tadi.
Setelah berkata, gadis itu 
bergegas masuk ke dalam tenda untuk 
menukar pakaiannya.
Sementara Panji mengarahkan 
pandangannya ke orang tinggi kurus 
yang saat itu juga tengah menatapnya. 
Sepasang mata pemuda tampan itu 
mencorong tajam bagai mata seekor naga 
yang sedang marah.
***
TUJUH


"Kaukah yang telah melemparkan 
tubuhku, Anak Muda?" tanya Setan Kapak 
Baja ragu, ingin ketegasan. Ia masih 
belum mempercayai kalau pemuda itu 
yang telah melakukan perbuatan tadi.
"Hm.... Apa yang tengah melanda 
dunia persilatan saat ini, sehingga 
banyak sekali orang berpakaian hitam 
yang melakukan kejahatan. Entah apa 
yang diinginkan?" kata Panji seolah-
olah berkata pada dirinya sendiri. 
Wajahnya yang bersih dan tampan itu

ditengadahkan ke langit, seakan-akan 
ingin mencari jawaban atas pertanyaan 
itu.
Setan Kapak Baja menggereng 
ketika pertanyaannya tidak mendapat 
sambutan seperti yang diharapkan. 
Wajahnya berubah seketika. Dicabutnya 
kapak baja yang terselip di pinggang. 
Seketika terdengar suara angin yang 
menderu-deru ketika Setan Kapak Baja 
memutar-mutar senjatanya. 
Dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga 
dalam yang dimilikinya. 
Wrrr! Wrrr!
"Mintalah kepada arwah leluhurmu, 
agar-kematianmu tak terlalu menderita, 
Anak Muda," geram orang tinggi kurus 
itu mengejek. Begitu ucapannya 
selesai, tubuh orang itu melesat cepat 
ke arah Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam 
pelahan melihat serangan lawan. Dan 
begitu serangan lawannya tiba, 
tubuhnya bergerak menghindar ke arah 
kari sambil melepaskan sebuah 
tendangan kilat. 
Wusss!
Setan Kapak Baja mengegoskan 
tubuhnya sehingga tendangan kaki 
pemuda itu hanya menghantam angin.

Perhitungan Panji rupanya cukup 
matang. Secepat lawannya menghindar, 
secepat itu pula kakinya menekuk untuk 
kemudian meluncur deras ke arah lutut 
lawan. Namun Setan Kapak Baja cepat 
melompat
Derrr!
Tanah di sekitar tempat itu 
bergetar ketika telapak kaki Panji 
yang bertenaga dalam tinggi itu 
menghantam tanah.
"Gila!" desis orang tinggi kurus 
itu.
Sama sekali tidak disangka kalau 
tenaga dalam a-nak muda yang terlihat 
lemah lembut itu sedemikian hebatnya. 
Kini barulah Setan Kapak Baja merasa 
yakin kalau yang melemparkan tubuhnya 
itu adalah pemuda itu.
"Huh! Kali ini aku tidak akan 
main-main lagi! Nah, sambutlah jurus 
'Kapak Setan Pembelah Sukma' ku ini! 
Yeaaattt...!" diiringi teriakannya 
yang menggetarkan dada, tubuh orang 
itu meluruk bagai elang yang tengah 
memburu mangsa.
Melihat lawan telah mulai 
mengeluarkan jurus-jurus maut sepasang 
tangan Panji segera membentuk cakar 
naga. Dan pengerahan tenaga saktinya

langsung mengalir, membentuk selapis 
kabut bersinar putih keperakan yang 
menyelimuti tubuhnya. Rupanya pendekar 
muda itu telah mengerahkan 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat itu.
Kali ini Panji tidak lagi 
menunggu datangnya serangan. Tubuh 
pemuda itu sudah melesat memapak 
serangan lawannya. Keduanya segera 
terlibat dalam sebuah pertarungan 
sengit!
Setan Kapak Baja rupanya sudah 
benar-benar kalap. Kapaknya yang besar 
dan berat itu berdesingan bagaikan 
suara ratusan ekor lebah marah, 
mengancam tubuh lawan. Orang tinggi 
kurus itu benar-benar bertekad untuk 
mencincang tubuh Panji
Sedangkan Panji sendiri yang 
sudah mengeluarkan 'Ilmu Naga Putih' 
berkelebat di antara sambaran senjata 
lawaa Namun sampai sejauh itu, dia 
belum melontarkan sebuah pukulan 
berarti. Pendekar Naga Putih hanya 
sesekali membalas apabila keadaannya 
mulai terdesak, karena tengah mencari-
cari kelemahan pertahanan lawan.
Pada jurus yang kedua puluh 
empat, mata pemuda itu telah menangkap 
ruangan kosong dalam pertahanan

lawannya. Secepat kilat tangannya 
bergerak melakukan pukulan. Tentu saja 
lawannya yang tidak menduga gerakan 
pemuda itu menjadi terkejut setengah 
mati. Kecepatan pukulan itu hampir 
tidak dapat ditangkap matanya. 
Sehingga....
Desss!
"Ouggghhh...!"
Orang tinggi kurus itu berteriak 
ngeri ketika hantaman telapak tangan 
Panji bersarang di dadanya. Seketika 
darah segar menyembur dari mulutnya.
Derrr!
Sebatang pohon sebesar pelukan 
orang dewasa berderak keras ketika 
tubuh Setan Kapak Baja menabraknya. 
Setelah bergoyang-goyang sesaat, pohon 
itu tumbang menimbulkan suara gemuruh. 
Sedangkan Setan Kapak Baja sendiri 
tengah meringkuk di bawah pohon itu 
bagaikan orang yang terserang demam.
"Kau... kau Pendekar Naga 
Putihhh...!" desah Setan Kapak Baja 
terputus-putus. Setelah mengakhiri 
kata-katanya, napasnya pun putus, 
karena pukulan Panji telah 
menghancurkan dadanya.
Suntini yang menyaksikan 
pertempuran yang berlangsung tadi

terbelalak kagum. Apalagi ketika 
melihat pemuda penolongnya itu 
ternyata dapat menyudahi perlawanan si 
tinggi kurus yang hampir-hampir 
merenggut kehormatannya. Bergegas 
gadis cantik itu berlari menghampiri 
Panji yang tengah menatap mayat 
lawannya itu.
'Terima kasih atas pertolonganmu 
ini, Kisanak. Entah bagaimana aku 
harus membalasnya kelak," ucap Suntini 
sambil membungkuk hormat kepada pemuda 
penolongnya itu.
"Ah! Sudahlah, Nini. Memang sudah 
menjadi kewajiban kita untuk saling 
menolong. Hari ini aku telah 
menolongmu. Siapa tahu di hari lain, 
kau yang menolongku," sahut Panji 
tersenyum.
"Ohhh...," tiba-tiba terdengar 
suara erangan lirih. Panji dan Suntini 
cepat menolehkan kepalanya ke arah 
suara itu berasal. Mata mereka 
berputar mengawasi daerah sekitarnya, 
kemudian bergegas melangkah ketika 
melihat sesosok tubuh tengah berusaha 
bangkit. Tangan sosok tubuh itu 
menggapai-gapai seolah-olah mencari 
pegangan.

"Eyang...!" seru Suntini ketika 
mereka telah berada di tempat Ki Gala 
Rengat tergolek Kakek pengemis itu 
berusaha tersenyum. Tapi ternyata yang 
tampak adalah sebuah seringai 
kesakitan.
"Uhuk... uhukkk..!" Ki Gala 
Rengat kembali terbatuk-batuk. Darah 
pun kembali menetes dari bibir, namun 
ia masih juga mencoba bangkit.
Melihat keadaan Ki Gala Rengat, 
Panji bergerak cepat. Segera 
diperiksanya tubuh kakek itu. Setelah 
beberapa saat kemudian, pemuda itu pun 
bangkit berdiri. Dihelanya napas 
berulang-ulang.
"Kakek ini rupanya mengalami luka 
yang cukup parah. Untunglah daya tahan 
tubuhnya sangat kuat, sehingga tidak 
sampai tewas karenanya," jelas Panji 
kepada Suntini pelan.
"Apakah ia dapat disembuhkan, 
Kisanak?" tanya gadis itu penuh harap. 
Karena sekarang, hanya kakek pengemis 
itulah yang dikenal dan mungkin dapat 
dipercayainya.
Tiba-tiba Panji menolehkan kepala 
dengan sikap waspada. Pendengarannya 
yang tajam itu menangkap suara 
mencurigakan yang tak jauh di

sampingnya. Bagaikan seekor burung 
besar, tubuh pemuda itu melesat 
menghampiri sosok tubuh lain yang 
tampak mulai bergerak.
Suntini yang ikut menoleh ke arah 
yang sama dengan pemuda itu, sempat 
dilipurj ketegangan. Sebab, sosok 
tubuh yang tengah bergerak-gerak itu 
tak lain adalah kakaknya. Seketika itu 
juga hatinya berdebar cepat. Secercah 
harapan tampak terpancar di wajahnya.
"Kakang Shindura...!" desah gadis 
itu serak ketika sudah tiba di dekat 
sosok tubuh itu. Tanpa ragu-ragu lagi, 
gadis itu pun langsung berjongkok di 
samping Panji yang saat itu tengah 
memeriksa kakaknya.
Suntini memperhatikan jari-jari 
tangan pemuda penolongnya yang tengah 
melakukan pijatan dan totokan pada 
tubuh kakaknya. Jari-jari tangan 
pemuda itu bergerak lincah di atas 
tubuh yang tergolek lemah. Sesekali 
tampak jari tangan pemuda itu 
menegang, dan di lain saat kembali 
lemas bagaikan tak bertulang. Diam-
diam hati Suntini mengagumi gerakan 
tangan pemuda penolongnya itu.
"Hm.... Pemuda ini sepertinya 
seorang ahli pengobatan? Ah... siapa

tahu saja ia dapat menyelamatkan 
Kakang Shindura dan Eyang Gala," kata 
hari gadis itu sambil menatap pemuda 
di sampingnya penuh ke-kagumam.
"Nampaknya luka yang diderita 
pemuda ini tidak terlalu parah. 
Kakakmukah dia?" tanya Panji sambil 
lalu.
Setelah berkata demikian, Panji 
mengangkat tubuh Shindura dan 
membawanya masuk ke dalam tenda.
“Apakah dia dapat disembuhkan?" 
Suntini rupanya tidak begitu mendengar 
perkataan Panji karena alam pikirannya
tengah melayang.
"Kita lihat saja nanti," sahut 
Panji tanpa menolehkan kepalanya.
Setelah meletakkan tubuh 
Shindura, Panji kembali melangkah 
keluar dan memondong tubuh Ki Gala Re-
ngat. Kakek pengemis itu pun 
dibaringkannya di dekat tubuh 
Shindura.
"Ohhh.... Siapakah kau, Anak 
Muda?" tanya Pengemis Aneh Tongkat 
Sakti sambil mencoba bangkit.
"Sudahlah, Kek. Jangan terlalu 
banyak bergerak dulu. Biar kuobati 
dulu," sahut Panji mencegah Ki Gala 
Rengat bangkit Kemudian di masukkannya


sebutir obat ke dalam mulut kakek itu. 
Hal itu pun dilakukan juga terhadap 
Shindura yang hanya dapat memandang 
bingung.
"Sekarang, tidurlah dulu dan 
jangan pikirkan yang lain-lain," ujar 
Panji lagi. Dalam nada suaranya 
tersirat ketegasan yang tak ingin 
dibantah lagi.
Setelah berkata demikian, Panji 
melangkah keluar tenda.
***
"Dia ibumu?" tanya Panji yang 
tahu-tahu saja telah berada di samping 
Suntini.
Pendekar Naga Putih mendapati 
gadis itu tengah . terisak sambil 
memeluk sesosok tubuh wanita yang te-
lah menjadi mayat Panji menatap wajah 
mayat itu serta mencoba mengingat-
ingatnya.
"Eh, bukankah ia adalah wanita 
yang kutolong dua hari yang Ialu?" 
tanya Panji dalam hati ketika teringat 
kejadian dua hari yang lalu di dalam 
hutan.
Suntini mengangkat wajahnya 
menatap wajah penolongnya itu. Gadis

itu hanya mengangguk lemas menjawab 
pertanyaan Panji. Sesaat kemudian, 
tatapannya dialihkannya kembali.
Diciuminya wajah ibunya yang telah 
mulai membeku itu.
"Sudahlah, Nini. Lebih baik kita 
kuburkan mayat ibumu itu," bujuk
Pendekar Naga Putih lembut. 
Disentuhnya jari-jari tangan gadis 
itu, lalu dianggukkannya kepalanya 
ketika gadis itu menoleh. Dan ketika 
Suntini bangkit berdiri, Panji segera 
mengangkat tubuh mayat Wilarni untuk 
segera dikuburkan.
"Sebenamya apakah yang sudah 
terjadi, Nini?" sebdik Panji. Ketika 
mereka duduk berdampingan di atas 
sebuah batu yang cukup besar. Rupanya 
ia telah selesai menguburkan semua 
mayat-mayat yang berserakan tadi.
"Panggil aku, Suntini saja," 
pinta gadis itu yang merasa kurang 
enak mendengar sebutan Nini yang 
diucapkan penolongnya itu. Dan dengan 
wajah sungguh-sungguh, Pendekar Naga 
Putih mendengarkan cerita gadis yang 
bernama Suntini itu.
"Ah! Betapa buruknya sifat 
manusia sampai-sampai rela membunuh 
sesama hanya karena soal harta," desah

Panji sambil menengadahkan wajahnya 
menatap langit biru. "Apakah kau tidak 
keberatan kalau aku menemanimu sampai 
dua orang itu benar-benar sembuh?"
'Tentu saja tidak, Kakang Panji. 
Memang sebenar-nya aku mengharapkan 
demikian," jawab Suntini tersenyum 
malu.
"Nah! Sekarang, kau temanilah 
mereka. Siapa tahu mereka memerlukan 
kehadiranmu," pinta pemuda itu lagi.
Setelah termenung sejenak, 
Suntini pun melangkah meninggalkan 
Panji yang hanya dapat menatap 
punggung gadis itu.
"Hhh... seorang gadis malang," 
desah pemuda itu iba.
Matahari semakin naik tinggi. 
Hembusan angin yang bersilir lembut 
mengusap wajah Pendekar Naga Putih 
yang tengah termenung sendiri. Sekilas 
terbayang wajah kekasihnya yang tidak 
diketahui berada di mana. Dihelanya 
napas berulang-ulang untuk 
menghilangkan rasa nyeri di dalam 
dada.
***

Dua hari sudah Pendekar Naga 
Putih menunggui dan mengobati Shindura 
dan Ki Gala Rengat. Tampaknya usaha 
pemuda itu tidak sia-sia. Buktinya 
kesehatan Shindura dan Ki Gala Rengat 
tampak mulai membaik. Kedua orang itu 
hanya tinggal memulihkan tenaganya 
saja. Sedangkan luka-luka yang 
diderita sudah hilang karena 
kemanjuran obat yang diberikan Panji.
Malam itu adalah malam ke tiga 
semenjak Panji berada di tempat itu. 
Pendekar Naga Putih tampak tengah 
berjalan-jalan memeriksa daerah di 
sekitarnya karena Ki Gala Rengat dan 
Shindura tengah melakukan semadi untuk 
memulihkan tenaga. Tiba-tiba, tiga. 
sosok-bayangan hitam berkelebat cepat 
menuju ke arah tenda.
"Hei! Berhenti!" teriak Panji 
sambil melesat menghadang lari mereka. 
Sekali lompat saja tubuh pemuda itu 
telah berdiri tegak di hadapan tiga 
sosok bayangan yang mencurigakan itu.
"Minggirlah kau, Anak Muda! 
Jangan coba-coba mencampuri urusan 
kami!" bentak salah seorang dari 
mereka. Orang itu bertubuh tinggi 
besar dan bersenjatakan sebatang toya.


Sambil berkata demikian, orang 
itu mengibaskan toyanya seperti hendak 
mengusir Panji.
"Hm...," pemuda itu bergumam tak 
jelas ketika merasakan hembusan angin 
keras menyertai kibasan toya si tinggi 
besar. Kiranya, kibasan toya itu 
merupakan serangan tersembunyi.
Panji cepat mengerahkan tenaga 
dalamnya sehingga daya dorong yang 
ditimbulkan kibasan toya itu tertahan 
untuk beberapa saat lamanya. Lalu 
tubuhnya membungkuk bagaikan orang 
yang memberi hormat. Serangkum angin 
keras yang berhawa dingin menebar 
mendorong balik tenaga lawannya.
"Ehhh..,!
Orang bertubuh tinggi besar itu 
tersentak kaget ketika merasakan 
tenaganya terhimpit tenaga pemuda itu 
yang mengandung hawa dingin. Tubuh 
orang itu mulai menggigil ketika hawa 
dingin dari tenaga lawannya merasuk ke 
dalam tubuhnya. Akibatnya, tubuhnya 
terdorong beberapa Iangkah ke 
belakang.
. "Sssiapa... kau, Anak 
Muda?" tanya si tinggi besar sambil 
menatap penuh selidik setelah berhasil 
membebaskan dirinya dari hawa dingin

yang mempengaruhinya. Rupanya mata 
orang itu mulai terbuka ketika
merasakan kekuatan tenaga dalam pemuda 
itu.
"Hm... siapa aku, itu bukan 
urusanmu. Sebaiknya, akulah yang 
bertanya. Siapakah kalian?! Dan apa 
maksud kalian mendatangi tempat ini?!" 
sahut Panji tegas, disertai tatapan 
tajam sepasang matanya.
"Gila! Apakah mungkin Anak Muda 
itu memiliki tenaga sakti yang tinggi? 
Padahal kalau melihat usianya paling 
sekitar dua puluh atau dua puluh satu 
tahun!" kata hari seorang kakek yang 
bertubuh kecil kurus ketika matanya 
sempat bentrok dengan sepasang mata 
Panji yang menggetarkan hatinya. Orang 
itu tak lain adalah Raja Maut Tangan 
Sakti yang telah melukai Ki Gala 
Rengat pada tiga hari yang lalu.
"Kakang, Panji! Mereka adalah 
orang-orang yang telah melukai Kakang 
Shindura dan Eyang Gala Rengat," tiba-
tiba terdengar sebuah suara nyaring 
seorang gadis. Panji menolehkan 
kepalanya ketika melihat Suntini 
berlari mendatangi.
"Nini! Sebaiknya, cepat serahkan 
peta harta itu sebelum aku benar-benar

hilang kesabaran!" seru Raja Maut 
Tangan Sakti menggeram.
"Huh! Apa kalian tidak tahu kalau 
peta harta itu sudah dilarikan 
pamanku. Sia-sia saja kedatangan ka-
lian!" sahut Suntini tak kalah gertak.
Diam-diam hati gadis itu menjadi 
lega ketika mendengar pertanyaan itu. 
Sebab dengan demikian, berarti
pamannya tidak berhasil mereka kejar. 
Dan ke mungkinan besar, keselamatan 
pamannya tidak terganggu.
"Bangsat Kecil! Rupanya kau ingin 
menipu kami! Peta yang berada dalam 
gagang pedangmu yang dibawa pamanmu 
itu palsu!" bentak si tinggi besar 
galak.
Sambil berkata demikian 
dilemparkan pedang yang direbutnya 
dari tangan Pendekar Pedang Kilat itu.
"Ohhh...."
Suntini menjerit tertahan ketika 
melihat pedang itu. Karena, itu 
berarti pamannya kemungkinan telah 
tewas. Cepat-cepat disambarnya pedang 
yang dilemparkan orang tinggi besar 
itu. Ditelitinya pedang yang telah 
dicopot dari gagangnya itu. Sebentar 
kemudian dikeluarkannya segulung kulit 
binatang dari dalam gagang pedang itu.

Setelah diamati sejenak, gadis itu 
menjadi heran ketika mendapati kalau 
peta harta itu ternyata palsu. Karena, 
jelas sekali kalau gambar-gambar yang 
tertera di dalam belum lama dibuatnya.
Bahkan tintanya masih terlihat baru. 
Tentu saja hal ini amat mengherankan 
hati Suntini.
"Mengapa kalian tidak tanyakan 
saja kepada pamanku itu. Barangkali 
saja ia telah menggantinya," ujar 
Suntini lagi. Diam-diam hati gadis itu 
lega atas kecerdikan pamannya. Dan dia 
masih berharap pamannya tidak tewas!
"Tidak mungkin!" si tinggi besar 
menghardik. "Kalau peta harta itu 
tidak kami dapatkan, seluruh 
keluargamu harus kubunuh!" begitu 
ucapannya selesai, orang tinggi besar 
itu langsung melompat dengan kibasan 
toya yang menderu.
"Kau menyingkirlah dulu, Adik 
Suntini," ujar Panji 'sambil bersiap 
menyambut serangan lawan.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar 
Naga Putih berkelebat memapak serangan 
toya si tinggi besar. Selapis kabut 
bersinar putih keperakan telah 
mengelilingi tubuhnya. Rupanya Panji

sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' nya yang dahsyat itu.
Krakkk!
"Aaahkkk...!"
Terdengar suara benda patah 
ketika telapak tangan Panji yang 
membentuk cakar naga menyampok toya 
yang meluncur ke arah kepalanya. Dan 
memang toya itu patah menjadi tiga 
bagian. Sementara, tubuh si tinggi 
besar terdorong ke belakang dibarengi 
teriakan kagetnya. Namun dengan sebuah 
gerakan indah, tubuhnya segera 
berputar melakukan salto tiga kali, 
dan jatuh di belakang dua orang 
kawannya.
"Gila! Pantas saja tenaga Anak 
Muda itu sedemikian hebatnya! Kiranya 
dialah yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih, dan telah menggemparkan dunia 
persilatan dewasa ini!" ucap si tinggi 
besar terengah-engah.
Raja Maut Tangan Sakti yang juga 
telah dapat mengenali anak muda itu 
sempat terkejut Ditatapnya wajah Panji 
lekat-lekat
"Hm... Pendekar Naga Putih. 
Perbuatanmu yang telah mencampuri 
urusan kami ini akan kau bayar mahal! 
Tahukah kau kalau saat ini tengah

berhadapan dengan tokoh-tokoh Partai 
Lima Unsur? Akibat perbuatanmu, maka 
harus kau bayar dengan kematian!" 
ancam orang tua kecil kurus itu 
menakut-nakuti Panji.
Kakek itu terpaksa menyebutkan 
nama partainya. Dia bermaksud agar 
pemuda itu menjadi gentar dan tidak 
melanjutkan campur tangannya. Memang, 
nama Partai Lima Unsur sangat ditakuti 
kaum rimba persilatan. Tak peduli 
golongan hitam ataupun golongan putih. 
Apalagi, tidak seorang tokoh pun yang 
mengetahui, masuk golongan mana 
sebenarnya partai itu berpihak. Sebab, 
seluruh anggota partai itu hampir 
tidak pernah berhubungan dengan dunia 
luar.
"Hm.... Apakah dengan menggunakan 
nama partai itu lalu aku menjadi 
takut? Jangan harap, Kakek Tua. Selama 
kau masih hidup, aku akan selalu 
menentang setiap kejahatan. Tak peduli 
siapa pun yang melakukannya!" sahut 
Panji tegas. "Nah, mulailah! Jangan 
hanya berbicara saja!"
"Bangsat! Rupanya kau belum 
mengenal Raja Maut Tangan Sakti, Anak 
Sombong! Nah, rasakanlah! Yeaaattt..!"

Diiringi teriakan nyaring, tubuh 
kakek kurus itu melesat bagaikan kilat 
yang menyambar di angkasa. Kedua 
tangannya terjulur ke depan, mengarah 
dada dan kepala Pendekar Naga Putih.
Panji pun tak ingin berbuat ayal-
ayalan lagi. Sesaat kemudian, segera 
disedot udara banyak-banyak Terdengar 
suara berkerotokan ketika tenaga 
saktinya mengalir ke seluruh tubuhnya. 
Sambil berteriak keras, tubuh pemuda 
itu segera melesat menyambut serangan 
lawan. 
Blarrr!
Tubuh keduanya terlempar balik 
ketika sepasang tangan mereka saling 
berbenturan di udara. Tanah di sekitar 
tempat itu bagaikan diguncang gempa 
sesaat.
Suara ledakan keras yang 
ditimbulkan oleh pertempuran sepasang 
dua tangan bertenaga dalam tinggi, 
cukup membuat yang lainnya tersentak 
mundur beberapa langkah ke belakang.
Raja Maut Tangan Sakti jatuh 
bergulingan di atas tanah. Seketika 
darah segar menetes dari celah-celah 
bibimya. Cepat kakek kecil kurus itu 
menjatuhkan dirinya bersemadi. Dia 
harus cepat menenangkan guncanga

dalam dada agar tidak menimbulkan luka 
dalam yang parah.
Sedangkan Pendekar Naga Putih 
dapat mendaratkan kakinya di atas 
tanah tanpa menderita luka sedikit 
pun. Pemuda itu hanya memejamkan kedua 
matanya sekejap, karena benturan tadi 
sempat mengguncangkan dadanya. Mau 
tidak mau harus diakui kehebatan 
tenaga dalam kakek kecil kurus yang 
berjuluk Raja Maut Tangan Sakti itu.
***
DELAPAN


Melihat keadaan itu, dua orang 
kawan Raja Maut Tangan Sakti serentak 
melompat menerjang Panji. Sadar kalau 
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, 
maka mereka kini mengerahkan seluruh 
tenaga dalam nya setinggi mungkin.
Panji yang sudah dapat meredakan 
debaran dalam dadanya, bergerak gesit 
menghindari serangan dua orang itu. 
Sesaat kemudian, mereka sudah terlibat 
pertarungan sengit!

Orang berpakaian hitam yang 
bertubuh tinggi besar itu melancarkan 
serangan lewat jurus-jurus tangan 
kosong. Karena, toya yang menjadi 
senjata andalannya telah patah oleh 
pemuda itu. Tapi, jangan dianggap 
enteng jurus-jurus tangan kosongnya. 
Angin pukulan yang berkesiutan itu 
menandakan kalau tenaga dalam yang 
terkandung sangatlah hebat, sehingga 
cukup membuat Panji berhati-hati.
Sedangkan seorang lagi yang 
bertubuh sedang, menggunakan sebatang 
pedang yang cukup ampuh. Senjata itu 
berkelebat bagaikan kilat menyambar-
nyambar di angkasa. Benar-benar 
seorang lawan yang cukup berbahaya!
Tubuh Panji berkelebat menyelinap 
di antara sambaran pedang dan pukulan 
dua orang lawannya itu. Gerakan pemuda 
itu demikian cepat tak ubahnya seekor 
burung walet yang menyambar-nyambar. 
Sehingga sampai puluhan jurus lamanya, 
kedua serangan lawan belum juga dapat 
menyentuh tubuhnya. Tentu saja hal itu 
membuat dua orang itu semakin 
penasaran.
"Hiaaattt..!"
Si tinggi besar berteriak 
mengguntur sambil melancarkan sebuah

pukulan maut! Sepasang tangannya yang 
membentuk kepalan bergetar cepat 
melancarkan serangan bertubi-tubi. 
Panji yang telah mengetahui sampai di 
mana tenaga si tinggi besar itu, tidak 
segera menghindar. Malah sebaliknya, 
pemuda itu menggerakkan tangannya 
menangkis serangan.
Dukkk!
"Uhhh...!"
Tubuh si tinggi besar terpental 
ke belakang disertai pekikan kaget. 
Hawa dingin yang menyelusup ke dalam 
tubuh membuatnya menggigil bagai 
terserang demam hebat. Kedua tulang 
lengannya terasa remuk akibat 
tangkisan tangan Pendekar Naga Putih. 
Darah menetes pelahan di sela 
bibirnya.
Panji tidak ingin bertindak 
kepalang tanggung. Secepat kilat 
tubuhnya kembali meluncur untuk 
menghabisi lawannya. Sedang, si tinggi 
besar hanya dapat membelalakkan 
matanya menanti datangnya sang maut. 
Namun sebelum pemuda itu sempat 
melaksanakan niatnya, terdengar suara 
berdesing tajam. Ternyata, suara itu 
berasal dari sambaran pedang di tangan 
lawan yang seorang lagi. Terpaksa

Pendekar Naga Putih menunda 
serangannya, dan bergegas memutar 
tubuh menghindari sambaran pedang itu. 
Bukan itu saja. Sambil berputar segera 
dilontarkan kedua belah tangannya 
dalam posisi terayun dari bawah ke 
atas. 
Brettt! Brettt! 
"Aaarghhh...!"
Orang itu meraung ketika sepasang 
cakar naga Pendekar Naga Putih merobek 
perut dan dadanya. Tanpa dapat dicegah 
lagi tubuh orang itu terlempar bagai 
sehelai daun kering. Darah segar 
langsung muncrat dari mulutnya. 
Tubuhnya terbanting ke atas tanah 
sambil menggeliat menahan hawa dingin 
dan rasa sakit yang tak terkira. 
Sesaat kemudian, tubuhnya diam tak 
bergerak lagi. Untung saja bagian 
dadanya yang terlihat turun naik, 
menandakan kalau dia tidak mati dan 
hanya tergeletak pingsan.
Begitu melihat lawannya terkapar, 
Pendekar Naga Putih kembali menoleh ke 
arah si tinggi besar. Tampak orang itu 
masih berusaha melepaskan pengaruh 
hawa dingin akibat pukulannya tadi. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi,

pemuda itu pun kembali menerjang ke 
arah lawannya itu.
"Heaaattt..!"
Tubuh Panji meluruk cepat bagai 
sesosok bayangan hantu yang menyambar 
mangsa. Pada saat lain melesat sesosok 
bayangan menyongsong serangan pemuda 
itu. Sepasang tangan bayangan itu 
melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah 
tubuh Panji. Tapi pemuda ita tetap 
saja meneruskan serangannya ke arah si 
tinggi besar. Sedangkan pukulan sosok 
bayangan itu dihalau dengan kibasan 
tangan kanannya. 
Desss!
"Aaahhhklk...!"
Prattt!
Tubuh si tinggi besar terlempar 
keras ketika pelipisnya terhantam 
sambaran tangan Panji. Tubuhnya 
melintir bagaikan sebuah gangsing. 
Tampak dari pelipisnya mengalir darah 
segar. Si tinggi besar ambruk ke atas 
tanah dan tewas seketika, karena 
tengkorak kepalanya retak akibat 
kuatnya hantaman pemuda itu.
***
Sedang sosok bayangan yang 
meluruk ke arah pemuda itu terpental 
balik akibat kibasan tangan Pendekar

Naga Putih. Dua gelombang tenaga sakti 
yang saling berbenturan di udara itu 
menimbulkan ledakan keras! Namun sosok 
bayangan yang kecil kurus itu cepat 
melakukan salto beberapa kali, 
sehingga tubuhnya tidak sampai 
terbanting ke atas tanah. Meskipun 
begitu, tetap saja tubuhnya limbung. 
Tampak darah segar menetes dari sela 
bibirnya. Rupanya luka dalam si kecil 
kurus yang berjuluk Raja Maut Tangan 
Sakti itu kembali kambuh akibat 
kibasan tangan pemuda itu yang 
mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'.
Dan ternyata Panji pun mengalami 
kerugian pula. Posisinya yang tidak 
menguntungkan karena harus memecah 
tenaga, membuat tubuh pemuda itu 
terpental akibat berbenturan dengan 
pukulan Raja Maut Tangan Sakti. Pemuda 
itu cepat melakukan salto di udara. 
Meski agak terhuyung, namun tubuhnya 
tidak sampai terbanting ke atas tanah. 
Pemuda itu cepat melakukan beberapa 
gerakan untuk mengusir getaran dalam 
tubuh akibat benturan tadi.
"Kau benar-benar seorang pendekar 
pilih tanding, Pendekar Naga Putih!" 
puji Raja Maut Tangan Sakti sejujumya.

Napas kakek kecil kurus itu masih agak 
memburu. Sementara kedua tangannya 
masih tetap menekap dadanya yang 
terguncang.
"Hm...," Panji hanya bergumam 
mendengar ucapan lawannya itu.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih 
mengawasi lawan yang juga tengah 
menatap ke arahnya. Untuk beberapa 
saat lamanya, kedua orang sakti itu 
saling berpandangan tanpa mengucapkan 
sepatah kata pun.
"Sebaiknya, cepat tinggalkan 
tempat ini sebelum aku berubah 
pikiran, Kakek Tua!" tegas Panji tiba-
tiba ketika melihat lawannya hanya 
berdiri menatapnya. Sepertinya kakek 
kecil kurus itu tidak mampu lagi untuk 
melanjutkan pertarungan.
"Huh! Pantang bagiku untuk mundur 
sebelum tubuhku terkapar menjadi 
mayat!" sahut Raja Maut Tangan Sakti 
gusar.
Kakek yang selama ini ditakuti 
kaum rimba persilatan, tentu saja 
tidak sudi diampuni dengan cara se-
perri itu. Karena, hal itu akan 
menjadi bahan tertawaan kaum rimba 
persilatan saja.

"Mari kita lanjutkan permainan 
kita! Aku tak akan menyerah sebelum 
salah seorang di antara kita 
tergeletak menjadi mayat!"
Panji tegak tak bergeming 
meskipun lawannya telah bersiap uhtuk 
melanjutkan pertarungan. Pemuda itu 
hanya menggeser kuda-kudanya sedikit, 
ketika kakek kecil kurus itu melompat 
sambil melontarkan sebuah pukulan ke 
arah dada. Melihat pukulannya tak
membawa hasil, kakek itu segera 
mengayunkan kakinya menyapu kaki 
lawan, disusul sebuah bacokan sisi 
telapak tangan miring ke arah leher.
Pendekar Naga Putih terpaksa 
melempar tubuhnya ke belakang dan 
melakukan salto. Pada saat kedua 
kakinya baru menginjak tanah, sebuah 
pukulan berantai sudah menyambutnya. 
Cepat-cepat digeser kaki ke belakang 
secara bergantian sambil melakukan 
tangkisan untuk menghalau pukulan yang 
datang bertubi-tubi. Tiba-tiba secara 
mendadak tubuh Panji berputar sambil 
melepaskan pukulan ke lambung kakek 
kecil kurus itu.
Desss!
"Hukkk...!"


Raja Maut Tangan Sakti 
terpelanting keras! Darah segar 
langsung, menyembur deras. Kakek itu 
terjerembab di atas tanah. Seluruh 
tubuhnya bergetar karena hawa dingin 
yang hebat menelusup ke dalam tubuh-
nya. Setelah memuntahkan segumpal 
darah yang agak kental, tubuh kakek 
itu pun meregang nyawa. Dia mati 
akibat pukulan yang dilontarkan 
Pendekar Naga Putih tadi. Raja Maut 
Tangan Sakti terpaksa harus rela 
menyerahkan nyawanya di tangan 
Pendekar Naga Putih.
"Kau tidak apa-apa, Kakang 
Panji?" tanya Suntini sambil berlari 
setelah pertempuran berakhir. Gadis 
itu keluar dari tempat 
persembunyiannya, karena me mang tak 
mungkin membantu Pendekar Naga Putih.
"Adik Suntini! Rupanya Tuhan 
masih melindungi diriku," sahut pemuda
itu tanpa ingin menonjolkan 
kepandaiannya.
"Apa yang terjadi, Saudara 
Panji...?" tiba-tiba dari arah tenda 
dua sosok tubuh berlari mendatangi.
Dua orang yang tak lain Shindura 
dan Ki Gala Rengat itu terkejut 
melihat tiga orang berseragam hitam

telah tergeletak di tempat itu. Mereka 
menatapi pemuda tampan itu dengan 
wajah bingung. Rasanya mereka belum 
dapat mempercayai kalau mayat-mayat 
orang berseragam hitam itu adalah 
hasil pekerjaan pemuda itu.
Belum sempat Panji menjawab 
pertanyaan itu, tiba-tiba mereka 
dikejutkan jerit tertahan Suntini. 
Ketiga orang lainnya bergegas menoleh 
ke arah yang ditunjuk gadis itu. Maka 
mereka pun bergegas menghampiri 
sesosok tubuh berpakaian hitam yang 
tampak bergerak-gerak.
Shindura, Suntini dan Ki Gala 
Rengat menatap tajam sosok tubuh gagah 
yang mengenakan pakaian hitam itu. 
Alis mereka berkerut seolah-olah 
tengah berpikir keras. Sesaat 
kemudian, tiba-tiba saja tangan 
Shindura terulur melepaskan kain hitam 
yang menu-tupi wajah orang itu.
"Paman Gatar...!" seru ketiganya 
tersentak mun-duf dengan wajah pucat!
Shindura, Suntini dan Ki Gala Rengat 
mengerjap-ngerjapkan matanya untuk 
memastikan kalau yang dilihamya itu 
bukan kenyataan. Meskipun mereka 
berusaha untuk tidak mempercayainya, 
tapi wajah sosok tubuh yang tergeletak

itu tetap tidak berubah. Itu adalah 
wajah Gatar atau Pendekar Pedang 
Kilat!
"Paman, mengapa Paman...?" tegur 
Shindura sambil bersimpuh di sisi 
tubuh pamannya yang tergeletak tak 
berdaya itu. Sepasang mata anak muda 
itu menatap sayu menuntut jawaban 
pamannya. Perbuatan itu diikuti oleh
yang lainnya.
Gatar memandangi empat pasang 
mata yang tengah menatapnya. Sinar 
mata pendekar itu seolah-olah penuh 
permohonan maaf. Ketika mulut pendekar 
itu bergerak, terdengar suara 
mengorok. Tak sepatah kata pun yang 
terlontar dari mulutnya, kecuali darah 
segar yang mengalir deras. Rupanya 
tubuh pendekar itu benar-benar telah 
terluka dalam sehingga darah telah 
menyumbat kerongkongannya.
Panji bergegas menotok jalan-
jalan darah yang menuju ke leher untuk 
menghambat aliran darah itu sementara. 
Keempat orang itu makin mendekat ke 
telinga agar dapat menangkap jelas 
ucapan Gatar.
"Maafkan, aku. Terpaksa kulakukan 
semua ini..., Aku... aku harus 
mendapatkan peta harta itu.... Mereka

telah menjejalkan sejenis racun ganas 
ke dalam tubuhku. Apabila aku... aku 
tidak menuruti perintahnya, dalam 
waktu tiga bulan kulit dan daging 
tubuhku akan mengelupas sedikit demi 
sedikit... Hingga akhirnya, tubuhku 
hanya tinggal tulang-belulang saja.... 
Maafkan aku, Shindura, Suntini... 
aku... aaak-kkuuu...," Pendekar Pedang 
Kilat tak mampu lagi untuk 
menyelesaikan ucapannya. Kepala 
pendekar itu terkulai lemas. Pendekar 
Pedang Kilat tewas setelah mengucapkan 
perkataan yang sangat mengejutkan itu.
"Paman... ahhh! Kasihan sekali, 
kau Paman. Kalau saja kau ceritakan 
sebelumnya, aku pasti rela menyerahkan 
peta harta celaka ini," ucap Shindura 
sambil mengeluarkan gulungan kulit 
binatang dari balik bajunya. Wajah 
pemuda itu tertunduk lesu. Air matanya 
pun menetes mengiringi kepergian sang 
paman untuk selama-lamanya.
Suasana duka cita itu menyebabkan 
kewaspadaan mereka berkurang. Sehingga 
mereka tidak mengetahui ada sesosok 
tubuh berpakaian hitam melangkah men-
datangi. Langkah orang itu demikian 
ringannya hingga tidak terdengar oleh 
mereka. Dan sekali berkelebat,

gulungan peta di tangan Shindura telah 
berpindah ke tangannya.
"Ha ha ha...! Akhirnya kudapatkan 
juga peta ini!" orang berpakaian hitam 
itu tertawa bergelak-gelak sambil 
melesat melarikan diri.
"Hei, berhenti!" teriak Panji 
kaget Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
pemuda itu melesat cepat bagaikan anak 
panah yang lepas dari busurnya. Se-
mentara yang lainnya ikut pula 
mengejar di belakang Panji.
Pendekar Naga Putih mengempos 
semangatnya. Segera dikerahkan seluruh 
ilmu meringankan tubuhnya untuk 
mengejar orang berpakain hitam itu 
yang berlari demikian cepat .Beberapa 
saat kemudian, jarak antara keduanya 
terlihat semakin dekat. Dan ketika 
mereka mehntasi hamparan padang rumput 
luas, sekarang hanya terpisah sekitar 
empat tombak saja.
"Manusia Curang, berhenti!" 
teriak Panji sambil melompat Tubuh 
pemuda itu berputar beberapa kali di 
udara melewati kepala orang itu. 
Sesaat kemudian, Panji telah berdiri 
menghadang di hadapan orang itu.
"Bocah tidak tahu diri, 
mampuslah!" bentak orang itu geram.

Dia langsung melancarkan serangan maut 
ke arah pemuda yang berdiri menghadang 
jalan itu.
Wuttt!
"Hmh...!"
Panji mendengus sambil 
menghindari serangan itu. Sehingga, 
membuat lawannya melotot semakin 
geram. Kembali dilancarkan beberapa 
buah pukulan berturut-turut. Lagi-lagi 
Panji berhasil menghindari serangan 
dengan melakukan geseran-geseran yang 
cepat dan indah.
"Bangsat! Heaaattt...!" merasa 
dirinya dipermain-kan, orang 
berpakaian hitam itu marah bukan main. 
Sambil memaki segera dilontarkan 
sebuah pukulan yang didorong tenaga 
dalam dahsyat! Serangkum angin keras 
berkesiutan mengiringi luncuran 
pukulannya.
Derrr!
Sebatang pohon yang berjarak tiga 
tombak di belakang Panji terpukul 
roboh, karena pemuda itu telah lebih 
dahulu menghindar. Pohon itu berderak 
menimbulkan gemuruh. Sedangkan orang 
berpakaian hitam itu sudah menerjang 
Panji kembali.
Tapi, kali ini Panji tidak sudi 
menghindari pukulan lawannya. Melihat 
kedahsyatan serangan lawan tadi, 
pemuda itu berniat untuk menguji 
sampai di mana kehebatan tenaga lawan. 
Maka ketika serangan lawan meluncur 
datang, cepat-cepat diangkat kedua 
tangannya untuk memapak pukulan itu. 
Selapis kabut bersinar putih keperakan 
teriihat melindungi tubuhnya.Dan....
Blarrr!
"Aaahhh...!"
Hebat sekali benturan dua 
gelombang tenaga yang sama-sama 
dahsyat itu. Untuk sekejap, bumi 
bagaikan dilanda gempa. Pohon-pohon 
yang tumbuh dalam jarak sekitar empat 
sampai lima tombak, terlihat berderak-
derak bagaikan hendak roboh. Sedangkan 
kedua orang yang saling berbenturan 
itu terlempar ke belakang.
Baik Panji maupun orang 
berpakaian hitam itu sama-sama 
melakukan salto di udara untuk 
mematahkan daya dorong akibat benturan 
tadi Mereka masing-masing berdiri 
tegak saling berhadapan dalam jarak 
enam tombak. Sepasang mata mereka 
saling tatap penuh selidik bagaikan


dua ekor ayam jago yang sedang 
berlagak.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar 
Naga Putih, Anak Muda?!" tegas orang 
itu ketika merasakan adanya hawa 
dingin yang menyelusup ketika 
berbenturan tadi.
Diam-diam hati orang itu bergetar 
merasakan kehebatan tenaga dalam 
pemuda yang menjadi lawannya itu. Dan 
pengalaman itu membuatnya semakin 
berhati-hati dalam mengambil langkah 
selanjutnya.
"Begitulah kaum rimba persilatan 
menjulukiku," sahut Panji tanpa 
mengalihkan pandangannya. Pemuda itu 
merasa terkejut ketika mendapat 
kenyataan kalau tenaga lawan ternyata 
kuat sekali. "Hm... orang ini pasti 
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi 
daripada tiga orang tadi," pikir 
pemuda itu.
"Hm... jangan kau merasa takabur 
dulu, Anak Muda. Hari ini akan kuhapus 
nama Pendekar Naga Putih dari kalangan 
persilatan. Nah, bersiaplah!" geram 
orang itu.
Bergegas dia mencabut keluar 
senjatanya yang berbentuk sebuah 
pedang yang bercagak pada ujungnya.

Disertai teriakan nyaring tubuh orang 
itu meluruk ke arah Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji 
segera mencabut Pedang Sinar Bulan 
yang selalu melilit pinggangnya itu. 
Cepat-cepat pemuda itu memiringkan 
tubuhnya sambil menggerakkan senjata 
secara bersilang. Gerakkan pemuda itu 
demikian cepat dan indah.
Tranggg! Tringgg!
Dua buah serangan berhasil 
dihalau Pendekar Naga Putih. Seketika 
bunga api berpijar ketika dua buah 
senjata yang mengandung tenaga dahsyat 
itu saling berbenturan. Tubuh keduanya 
terjajar mundur beberapa tindak ke 
belakang. Setelah memeriksa senjata 
masing-masing, keduanya kembali saling 
menerjang hebat.
Dua buah sinar bergulung-gulung 
saling menindih dan menekan. Kadang-
kadang, terlihat sinar putih keperakan 
berada di atas menekan gulungan sinar 
lainnya. Tapi pada kesempatan lain, 
sinar pedang lawan menekannya. 
Sehingga, pertarungan kedua orang 
sakti itu benar-benar menegangkan.
Sembilan puluh jurus berialu 
cepat. Sampai sejauh ini kepandaian, 
masing-masing masih nampak berimbang.

"Hiaaattt..!"
Pendekar Naga Putih mengeluarkan 
'Pekikan Naga Marah' yang terasa 
bagaikan mengguncang jagad. Hembusan 
angin dingin berkesiut di sekitar 
arena pertarungan. Akibatnya udara di 
sekitar arena pertarungan itu tak 
ubahnya bagaikan di atas puncak gunung 
yang terselimut salju. Pohon di 
sekitar tempat itu bergoyang hingga 
menimbulkan suara berderak akibat 
pekikannya.
Orang berpakaian hitam itu 
terjajar mundur beberapa langkah ke 
belakang. Wajahnya yang sebagian 
tertutup kain hitam tampak memucat. 
Tangan kirinya menekap dada yang 
terguncang oleh getaran 'Pekikan Naga 
Marah' yang dikerahkan lawan. Tepat 
pada saat itu, Pedang Sinar Bulan di 
tangan Panji berdesing menusuk lambung 
lawannya.
Siiinggg!
"Aaahhh...!"
Lawannya berseru kaget sambil 
menggulingkan tubuhnya menghindari 
serangan maut itu Namun, jurus pedang 
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' me-
mang benar-benar hebat! Sinar putih 
keperakan bergulung-gulung bagaikan

angin topan dahsyat, hingga 
menyilaukan mata lawan. Dan tanpa 
dapat dicegah lagi, Pedang Sinar Bulan 
berputar bagaikan sebuah baling-baling 
menembus tubuh orang itu.
Crasss! Jrasss!
"Wuaaa...!"
Diiringi jeritan panjang 
mendirikan bulu roma, tubuh orang 
berpakaian hitam itu terjungkal ke 
belakang. Darah segar langsung 
menyembur keluar dan memercik 
membasahi bumi. Tubuh orang itu 
berkelojotan sesaat, kemudian diam tak 
bergerak Tewas, dengan usus terburai.
"Hebat dan sungguh menakjubkan 
sekali! Jurus apakah yang kau gunakan 
tadi, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki 
Gala Rengat yang berlari mendatangi 
bersama Shindura dan Suntini. Panji 
hanya tersenyum memandang ke arah 
kakek pengemis itu.
"Hanya sebuah jurus kosong yang 
bernama 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam 
Bumi', Eyang," jawab Panji yang meniru 
panggilan Suntini dan Shindura kepada 
kakek itu.
Setelah berkata demikian, pemuda 
itu melangkah mendekati mayat 
lawannya. Tangan pemuda itu meraba dan

mengambil sesuatu dari balik baju 
mayat itu.
"Simpanlah peta ini baik-baik, 
Shindura," kata Panji sambil 
menyerahkan gulungan peta itu kepada 
Shindura.
'Peta harta ini hanya akan 
mendatangkan bencana bagi kami. Maka 
kami memutuskan untuk menyerahkan peta 
harta ini kepada Baginda Prabu di 
kotaraja. Biarlah beliau sendiri yang 
memutuskan dan menyimpannya. Tentu 
harta itu akan lebih berguna apabila 
berada di tangan beliau. Aku tahu, 
beliau adalah seorang yang adil dan 
bijaksana," jelas Shindura. Ucapan itu 
disambut gembira oleh yang lainnya.
"Eh Eyang. Mengapa ketika aku dan 
Paman Gatar menemukan sesosok mayat di 
dalam hutan tidak terdapat tanda lima 
jari pada dadanya? Padahal, orang itu 
adalah anggota dari Partai Lima Unsur? 
Bukankah itu adalah mayat Pengemis 
Tongkat Merah? Bagaimana ini, Eyang?" 
tanya Shindura sambil menolehkan 
kepalanya ke arah Ki Gala Rengat.
"Mari ikut aku!" sahut kakek itu 
cepat.
Begitu tiba di dekat mayat orang 
yang tewas di tangan Pendekar Naga

Putih, kakek pengemis itu merobek baju 
di bagian dada orang itu. Ternyata 
tidak terdapat tanda lima jari pada 
dadanya. Lalu Ki Gala Rengat 
menekankan telapak tangannya ke dahi 
mayat itu sambil mengerahkan tenaga 
dalam. Sesaat kemudian, tampak asap 
putih mengepul tipis. Maka pada dahi 
itu terdapat tanda sebuah jari tangan.
"Begitulah mereka menandakannya 
pada tokoh-tokoh tingkat tinggi. Dan 
orang ini rupanya adalah tokoh nomor 
satu partai itu," jelas kakek itu 
menerangkan. Sedang Shindura dan 
Suntini hanya menganggukkan kepalanya 
tanda mengerti.
Dalam anggukannya itu, pikiran 
Suntini masih diliputi satu hal yang 
tak dapat dimengertinya pada beberapa 
waktu lalu. Maka Suntini menanyakan 
hal itu kepada Shindura kakaknya.
"Kakang.. siapakah yang telah 
memalsukan peta harta itu, seperri 
yang diucapkan si tinggi besar tadi?" 
tanya Suntini tidak mengerti.
Shindura menatap wajah adiknya 
yang sangat ia sayangi dengan senyum 
cerah. Lalu membelai rambut. adiknya 
dengan penuh kasih sayang.

"Adikku Suntini, Kakanglah yang 
telah ..memalsukan peta harta itu 
Ketahuilah bahwa pada tiga malam lalu, 
setelah kamu dan Ibu terlelap tidur, 
Kakang sempatkan diri untuk memalsukan 
peta harta itu dengan maksud 
menyelamatkannya dari para perampok!" 
jawab Shindura yang disambut dengan 
senyuman manja dari Suntini.
"Eh! Ke mana perginya Kakang 
Panji...?" tiba-tiba Suntini bertanya 
kaget sambil mengedarkan pandangannya 
ke sekeliling. Namun, sosok tubuh 
pemuda itu telah lenyap entah ke mana. 
Sejenak gadis cantik itu termenung 
seolah-olah merasa ada sesuatu yang 
terbawa hilang dari hatinya.
"Hm... rupanya ia sudah pergi 
jauh. Pemuda itu benar-benar seorang 
pendekar sejati yang tak mengharapkan 
imbalan atas jasa-jasanya," puji 
Pengemis Aneh Tongkat Sakti mendesah 
pelan. Wajah orang tua itu menengadah 
memandang hamparan cakrawala yang biru 
jernih. Angin bersilir lembut mengusap 
wajah-wajah mereka yang kini dipenuhi 
ketenangan dan kedamaian.


                             SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar