ORANG-ORANG TERBUANG
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode:
Orang-Orang Terbuang
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Sesosok tubuh terbungkus pakaian penuh tambalan menghentikan langkahnya di
depan sebuah kedai makan. Sebentar ia berdiri mengawasi sekeliling ruangan dengan
sepasang matanya yang terlindung caping lebar. Kemudian, melangkah masuk
menghampiri sebuah meja kosong. Caping bambunya dilepas dan diletakkan di atas meja.
Tampaklah seraut wajah kotor berdebu. Sosok itu segera menjadi perhatian pengunjung
kedai. Beberapa di antaranya terdengar mendengus tak senang. Kehadiran gembel itu
agaknya telah melenyapkan selera makan mereka.
"Pelayan...!" Seorang lelaki bertubuh kurus dan bermata sipit berseru lantang
memanggil pelayan kedai. "Kalau kau ingin tempat ini disukai orang, lekas usir gembel
tengik itu!" lanjutnya setelah pelayan kedai tiba di dekatnya.
Pelayan kedai yang sejak tadi sibuk melayani pesanan bergegas menoleh ke arah
yang ditunjuk , ia memang tidak sempat memperhatikan gembel itu. Maka, tanpa banyak
bicara lagi ia mengangguk dan bergegas menghampiri.
"Hei, Pelayan...!"
Salah satu dari tiga orang lelaki yang sejak tadi memperhatikan pengemis itu,
berseru mengulapkan tangannya.
"Ada apa, Tuan..?" tanya pelayan kedai yang datang terbungkuk-bungkuk.
"Sebaiknya kau urus pesanan kami. Biar gembel itu bagianku...," ujar lelaki
berkumis lebat itu.
"Baik... baik...," jawab si pelayan kedai setelah tercenung sesaat. Bergegas ia pergi
menyiapkan pesanan ketiga lelaki itu.
"Hm.... Untuk apa kau merepotkan diri mengurusi pengemis seperu itu, Adi Loh
Jarang? Semestinya memang pelayan itu yang pantas untuk mengurusnya...." Lelaki
berikat kepala putih yang duduk di sebelah kanan Loh Jarang, menegur sewaktu melihat
kawannya bangkit.
"Heh heh heh.... Matamu ternyata kurang awas Kakang La Bondang! Tidakkah kau
lihat betapa gembel itu memiliki tubuh yang menggiurkan. Coba kau perhatikan
rambutnya yang panjang. Apakah kau tidak merasa aneh melihat seorang gembel memiliki
rambut sebagus itu? Menurutku, kalaupun benar ia seorang gembel, pastilah tidak seperti
gembel kebanyakan yang tidak mau mengurusi dirinya. Yang satu ini lain. Ini membuat
aku penasaran!" ujar Loh Jarang mengajukan alasannya.
Kedua orang kawannya tampak mengerutkan kening.
"Hm.... Kau benar, Adi. Kalau diperhatikan betul-betul, ia memang memiliki
beberapa kelebihan ketimbang gembel kebanyakan." La Bondang lalu mengangguk-angguk.
Ia baru menyadari setelah memperhatikan dengan seksama. Dan ia setuju dengan ucapan
Loh Jarang. Dibiarkannya Loh Jarang mengayun langkah menghampiri pengemis itu.
Dengan langkah lebar, Loh Jarang mendekati meja pengemis. Dan, terus bergerak
mengitari meja dengan mata tak lepas dari wajah kotor berdebu itu. Baru kemudian ia
menghempaskan tubuhnya, duduk tepat di hadapan si pengemis yang sepertinya tak
begitu peduli dengan kehadiran Loh Jarang.
"Hm.... Nampaknya kau belum lama menjalani hidup seperti ini. Debu-debu itu
belum berhasil menyembunyikan wajahmu yang cantik," ujar Loh Jarang seraya terus
menatapi wajah setengah menanduk di depannya. "Coba angkat wajahmu agar aku bisa
melihat lebih jelas," lanjutnya. Tangannya segera terjulur.
Perempuan gembel ini tidak berusaha mengelak. Dibiarkannya tangan Loh Jarang
menyentuh dagu dan mengangkat wajahnya. Malah, matanya yang sayu berani menatap
wajah Loh Jarang. Lelaki berkumis lebat itu tersenyum, menatap lekat-lekat wajah di
hadapannya.
"Heh heh heh.... Ternyata dugaanku memang tidak meleset," kekeh Loh Jarang,
sewaktu mendapati bentuk wajah, hidung, bibir, dan mata yang bagus. Sambil berkata
demikian, jemari tangannya yang masih menempel di dagu mengelus perlahan.
"Tuan...," ujar perempuan gembel ini lirih. "Bersikap sopanlah sedikit. Kita berada
di tempat yang ramai..," lanjutnya. Ditepisnya tangan Loh Jarang. Kemudian, kembali
merundukkan wajahnya.
Loh Jarang tidak marah. Ia terkekeh sambil mengusap-usap dagunya. Tatapan
matanya tetap tertuju ke wajah perempuan gembel itu.
"Hm..., ada baiknya kau membersihkan diri lebih dulu. Setelah itu baru kita
bersantap sepuasnya...," ujar Loh Jarang tiba-tiba. Kemudian bangkit dari duduknya.
Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung menyambar lengan perempuan gembel itu, dan
dibawanya ke bagian belakang kedai. Aneh, perempuan gembel ini tidak berusaha
memberontak, ia menurut saja dibawa ke bagian belakang kedai oleh Loh Jarang.
"Kalian tunggulah sebentar...," pesan Loh Jarang kepada kedua rekannya, yang
hanya bisa menggelengkan kepala. Sebentar saja sosoknya sudah menghilang di balik
pintu kedai.
Sambil menunggu kemunculan Loh Jarang, La Bondang dan kawannya yang
bernama Kebo Danayan, segera menyikat hidangan mereka.
"Hm.... Apa saja yang diperbuat Kakang Loh Jarang terhadap perempuan gembel
itu? Mengapa lama sekali?!" Kebo Danayan menggerutu. Karena meski mereka telah selesai
makan dan menunggu beberapa saat, Loh Jarang masih juga belum menampakkan batang
hidungnya.
"Heh heh heh.... Kau seperti tidak mengenal sifatnya saja, Adi Kebo. Kau tahu
sendiri kalau kakangmu itu seorang buaya perempuan. Lihat saja buktinya. Matanya
demikian tajam. Sampai-sampai seorang gembel perempuan pun tak lepas dari
perhatiannya. Aku sengaja tidak mencegah sewaktu ia membawa perempuan itu ke
belakang. Kalau Loh Jarang sampai tertarik dan mau mengurusnya, itu berarti perempuan
itu memang telah menarik hatinya. Gembel perempuan itu pastilah berwajah cantik. Paling
tidak mempunyai banyak nilai tambah. Mungkin sekarang ia tengah bersenang-senang
dengan gembel perempuan itu," ujar La Bondang yang kelihatan tidak mencemaskan Loh
Jarang, kendati telah cukup lama tidak muncul-muncul. Rupanya, La Bondang sangat
mengerti apa yang diperbuat Loh Jarang terhadap perempuan itu.
"Aaa...!"
Tiba-tiba, terdengar jeritan kematian yang melengking tinggi. La Bondang dan Kebo
Danayan sampai terlompat dari duduknya. Mereka saling tukar pandang sesaat. Suara
jeritan itu berasal dari bagian belakang kedai. Mereka kenal betul suara jeritan kematian
itu adalah suara Loh Jarang!
Seperti dikomando saja, tubuh La Bondang dan Kebo Danayan berkelebat menuju
sumber jeritan itu. Para pengunjung kedai yang juga terkejut dan berdesak-desakkan
menghalangi jalan, terhumbalang ke kiri-kanan diterjang kibasan tangan La Bondang dan
Kebo Danayan. Beberapa pengunjung terbanting membentur meja dan kursi. La Bondang
dan Kebo Danayan sedikit pun tak peduli. Mereka terus melesat ke depan, dan menjebol
pintu yang berderak patah!
"Minggir...! Minggir...!"
La Bondang berteriak-teriak kalap. Dilihatnya di sebuah pintu kamar yang
merupakan tempat penginapan, orang-orang saling berdesakan. Sambil berteriak-teriak,
sepasang tangannya mencengkeram dan melempar dengan ganas. Tak peduli meski orang-
orang yang dilemparkannya ada yang membentur tiang dan menggeloso tak sadarkan diri.
Ia segera menerobos masuk untuk melihat apa yang terjadi.
"Adi Loh Jarang...?!"
La Bondang berdesis parau. Tubuhnya bergetar menyaksikan pemandangan di atas
pembaringan. Lelaki kekar berhidung besar ini berdiri terpaku di ambang pintu. Sepasang
matanya membelalak lebar!
Di atas pembaringan yang beralaskan seprai putih, tubuh Loh Jarang terbujur
bermandikan darah. Wajahnya rusak oleh torehan senjata tajam.
Dari bawah lehernya terdapat luka memanjang hingga ke bawah pusat. Luka ini
terlihat jelas, karena tubuh Loh Jarang nyaris tak terlapisi pakaian. Yang lebih mengerikan
lagi, alat kelamin Loh Jarang tidak berada pada tempatnya. Lelehan darah yang masih
terus mengalir dari luka di bawah pusat ini menunjukkan kalau alat kelamin Loh Jarang
telah dipotong!
"Iblis Biadab...!" desis Kebo Danayan yang telah berdiri di sebelah La Bondang.
Wajah lelaki bertubuh tambun ini sebentar pucat sebentar merah. Pemandangan itu jelas
telah mengguncangkan hatinya.
"Perempuan pengemis itu.... Ke mana dia...?! Bukan mustahil dialah yang
membunuh Adi Loh Jarang...," La Bondang segera teringat pada perempuan gembel yang
dibawa Loh Jarang. Pandangannya beredar ke sekitar ruangan. Kemudian menerobos ke
luar, mencari-cari di antara kerumunan tamu yang menyewa penginapan di kedai makan
itu.
"Kakang, lihat...!" Kebo Danayan tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke arah jendela
yang terbuka.
"Keparat! Gembel perempuan itu pasti telah melarikan diri...!" geram La Bondang.
Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung melesat melompati jendela yang terbuka. Begitu
menjejakkan kaki di luar kamar, La Bondang memandang ke kiri-kanan, mencari-cari.
"Sebaiknya kita menyebar, Kakang...!" usul Kebo Danayan, yang juga melompati
jendela dan kini berdiri di sebelah La Bondang. "Kakang ke timur, biar aku mengejar ke
barat..," lanjutnya. Kebo Danayan segera melesat melakukan pengejaran terhadap
perempuan gembel yang menjadi tertuduh.
La Bondang pun bergerak ke arah timur. Namun setelah cukup jauh ia berlari,
hingga sampai di daerah persawahan, sosok perempuan gembel yang dicarinya tidak
berhasil ditemukan. Setelah beberapa saat memandangi jalan berbatu yang tampak sepi,
akhirnya La Bondang memutuskan untuk kembali ke kedai.
Kebo Danayan telah tiba lebih dulu. Setelah saling berpandangan sesaat, kedua
orang itu mengerti kalau pengejaran mereka sia-sia. Mereka segera kembali ke kamar
penginapan untuk mengurus jenazah Loh Jarang. Keduanya tidak menyadari tatapan
sepasang mata tajam dari seorang perempuan cantik berpakaian sutera putih yang duduk
tenang di dalam kedai. Bibir yang merah dan berbentuk bagus itu menyiratkan senyum
puas sewaktu La Bondang dan Kebo Danayan lewat di dekatnya.
***
"Jahanam Busuk! Kalau sampai ia berhasil kutemukan, akan kucincang hancur
tubuhnya...!" desis La Bondang, yang masih belum hilang rasa penasaran dan
kemarahannya. Kuda hitam yang ditungganginya dijalankan perlahan-lahan,
meninggalkan desa tempat Loh Jarang terbunuh.
"Kalau benar perempuan gembel itu yang membunuh Kakang Loh Jarang, pasti ada
sebab-sebabnya. Bukan mustahil ia sengaja menyamar sebagai pengemis agar kita tidak
mengenalinya. Selain itu, ia pasti kenal betul akan sifat Kakang Loh Jarang yang buaya
perempuan itu," ujar Kebo Danayan menimpali.
"Hm.... Kalau benar demikian, kita harus selalu waspada, Adi Kebo. Siapa tahu
bukan cuma Adi Loh Jarang saja yang diincarnya. Jangan-jangan ia pun menginginkan
kematian kita berdua...," La Bondang mulai terbuka pikirannya setelah mendengar
perkataan Kebo Danayan. "Tapi siapa pun dia adanya, yang jelas ia seorang perempuan.
Sayang, kita belum tahu bagaimana rupanya. Bukan mustahil sekarang pun ia tengah
mengintai kita. Menunggu kita lengah. Keparat!"
"Tapi, bisa juga ia seorang laki-laki yang sengaja menyamar sebagai perempuan
gembel untuk mengelabui kita...," tukas Kebo Danayan memberikan pendapat.
"Tidak mungkin, Adi Kebo! Jahanam itu pasti seorang perempuan! Mata Adi Loh
Jarang tidak mungkin bisa dikelabui. Ia dapat membedakan mana laki-laki dan mana
perempuan, meski dalam penyamaran yang sempurna sekalipun. Ingat, kakangmu itu
seorang buaya perempuan yang sangat hafal dengan bau tubuh perempuan! Itu sebabnya
aku berani memastikan kalau jahanam itu seorang perempuan. Dan pasti berwajah cantik.
Jadi, mulai hari ini kita harus hati-hati terhadap perempuan-perempuan muda!" tegas La
Bondang.
"Lalu, bagaimana cara kita menemukan jahanam itu, Kakang?" tanya Kebo
Danayan bingung. Tentu saja perempuan seperti yang dikatakan La Bondang sangat
banyak. Untuk mencari perempuan pembunuh yang sesungguhnya, sama saja dengan
mencari sebatang jarum di tumpukan jerami. Perbuatan itu jelas hampir tidak mungkin!
"Hm…, Kalau perlu kita permainkan setiap perempuan muda yang memiliki ilmu
silat! Karena dari cara ia mengelabui kita, menurutku kepandaian yang dimilikinya tidak
terlalu berbahaya. Buktinya ia tidak berani berhadapan langsung dengan kita," sahut La
Bondang, yang memang menaruh dendam pada pembunuh Loh Jarang. Dendam itu terus
bertambah bila ia teringat bagaimana mengerikannya keadaan Loh Jarang sewaktu
ditemukan.
"Tapi, tidakkah hal itu terlalu berlebihan, Kakang? Mengapa tidak kita pancing saja
pembunuh itu agar menampakkan dirinya di hadapan kita?" Kebo Danayan tampaknya
kurang setuju dengan pendapat La Bondang.
"Hm... Kita sudah terlanjur basah, Adi Kebo. Kita adalah orang terbuang! Orang-
orang golongan putih sudah tidak sudi berkawan dengan kita. Nama kita telah cacad di
mata mereka. Sedangkan untuk bergabung dengan golongan sesat, aku tidak sudi! Pada
dasarnya aku memang tidak suka perbuatan-perbuatan jahat. Aku merasa terlalu tinggi
untuk bergabung dengan mereka. Tapi sekarang pandanganku berubah. Kematian Adi Loh
Jarang tidak dapat kuterima! Aku harus membalas! Biar tokoh-tokoh persilatan tahu kalau
orang-orang buangan seperti kita pun mampu membuat geger!" ujar La Bondang dengan
penuh kegeraman.
Sepasang mata La Bondang berkilat-kilat mengerikan. Hingga, Kebo Danayan
hanya bisa mengangguk-angguk, ia merasa perkataan saudara tuanya itu memang benar.
Mereka bertiga adalah orang-orang terbuang yang tidak diakui golongan putih.
"Kau benar, Kakang. Selama ini kita sudah dianggap sesat. Lalu, apa ruginya kalau
kita melanjutkan kesesalan itu? Biar mereka tahu siapa sebenarnya La Bondang dan Kebo
Danayan. Ha ha ha...!" Kebo Danayan tertawa terbahak-bahak. Hatinya semakin dalam
dirasuki iblis. Terlebih setelah mendengar ucapan saudara tuanya, yang merupakan
ungkapan dendam dan putus asa.
"Tolooong... tolooong...!"
La Bondang dan Kebo Danayan serentak menarik tali kekang kuda. Keduanya
saling bertukar pandang sesaat.
"Kau dengar itu, Adi Kebo?" tanya La Bondang menyunggingkan senyum aneh.
Kebo Danayan mengangguk. Diam-diam hatinya merasa agak ngeri melihat
perubahan sikap La Bondang, yang seperti serigala lapar mencium bau daging kijang
muda. Kebo Danayan tahu pasti kematian Loh Jarang telah membuat jiwa La Bondang
kehilangan keseimbangan, hingga pikirannya agak terganggu.
Sudah cukup lama ia sadar akan rasa tidak puas kakak tertuanya, setelah mereka
bertiga dicampakkan orang-orang golongan putih. Semua itu bukan dugaan. Ia sering
mendengar keluhan dan makian La Bondang yang ditujukan kepada tokoh-tokoh golongan
putih. Selain itu, ia juga merasakan hal yang sama. Hanya saja ia lebih suka
memendamnya dalam hati, tidak seperti La Bondang dan Loh Jarang yang merasa
bencinya ditunjukkan jelas-jelas. Kematian Loh Jarang telah membuat rasa sakit hati itu
semakin bertambah parah.
"Inilah korban pertama kita...."
Kebo Danayan tersentak dari lamunan. Ditatapnya wajah La Bondang lekat-lekat.
"Tapi, perempuan yang berteriak minta tolong itu sudah pasti tidak memiliki
kepandaian silat Kakang?! Jelas ia memerlukan pertolongan kita!" Kebo Danayan mencoba
mengingatkan kakaknya.
"Hmhh. Sekarang aku tidak peduli, Adi Kebo! Yang jelas teriakan itu berasal dari
makhluk yang bernama perempuan! Memang betul sebelum kematian Adi Loh Jarang, kita
masih suka memberikah pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Semua itu
kita lakukan bukan karena ingin mendapat pujian. Melainkan, karena kita memang tidak
terlalu setuju dengan kejahatan dan penganiayaan! Tapi kematian Adi Loh Jarang
disebabkan oleh seorang perempuan. Dan aku telah merubah keputusan! Memiliki
kepandaian silat atau pun tidak, makhluk yang bernama perempuan harus kita bunuh
setelah puas mempermainkannya! Ingat, Adi Loh Jarang tewas dengan alat kelamin putus!"
tukas La Bondang menekankan kalimat terakhirnya dengan wajah merah terbakar.
Diingatkan tentang keadaan mayat kakak keduanya, Kebo Danayan menundukkan
wajah dalam-dalam. Amarah dan kebenciannya bangkit seketika. Sesaat kemudian,
kepalanya kembali terangkat. Ia mengangguk kepada La Bondang, yang kemudian
terkekeh mendirikan bulu roma. Rupanya, iblis benar-benar telah bersarang dalam hati La
Bondang.
La Bondang dan Kebo Danayan memutar kepala ketika mendengar suara langkah
orang berlari. Bibir mereka pun menyunggingkan senyum. Pemilik langkah kaki itu
seorang perempuan yang mengenakan kebaya merah muda. Kain yang dipakainya
membuat langkah kakinya tersaruk-saruk. Beruntung bagian bawah kakinya terkoyak di
kedua sisi. Sehingga, meski agak sulit namun masih bisa digunakan untuk berlari.
"Tuan., tolonglah aku, Tuan..!"
La Bondang dan Kebo Danayan melompat turun dari atas punggung kuda ketika
perempuan yang berlari-lari dengan napas tersengal itu menjatuhkan diri. Rupanya, ia
sudah tidak sanggup lagi untuk berlari.
"Bangkitlah, Nyonya. Katakan, pertolongan apa yang kau perlukan dari kami?"
tanya La Bondang seraya mengulurkan tangannya membantu perempuan itu bangkit
berdiri.
Bibir La Bondang tersenyum tipis sewaktu mendapati seraut wajah manis. Dari
pakaian dan cara berdandannya, La Bondang bisa menduga perempuan yang usianya
sekitar tiga puluh tahun itu paling tidak istri seorang saudagar kaya. Pakaiannya terbuat
dari bahan mahal. Selain itu, perhiasan-perhiasan emas melekat di tubuhnya.
"Kami... kami dihadang perampok, Tuan! Suamiku dan centeng-centeng kami tewas
di bantai mereka," jelas perempuan pesolek itu. Air matanya bercucuran.
"Lalu, bagaimana Nisanak bisa selamat? Tolol sekali kalau mereka membiarkan
perempuan secantik Nisanak lari begitu saja?" tanya La Bondang agak curiga, merasa
cerita perempuan itu agak janggal.
"Dua orang centeng kami membawa aku lari menyelamatkan diri. Sewaktu
beberapa orang perampok melihat dan melakukan pengejaran, mereka menyuruhku terus
berlari. Sedang mereka menghadang agar aku bisa lolos...," jelas perempuan berkebaya
merah muda, membuat La Bondang dan Kebo Danayan mulai percaya.
"Hm.... Marilah ikut denganku, Nisanak," ujar La Bondang setelah memberikan
isyarat dengan kedipan mata kepada Kebo Danayan. "Kau jaga di sini, Adi Kebo. Bunuh
perampok-perampok itu jika mereka datang!"
Setelah berpesan kepada Kebo Danayan, La Bondang bergegas membawa
perempuan itu pergi. Kebo Danayan tersenyum tipis, dan meneguk air liurnya. Bentuk
tubuh perempuan itu memang sanggup membuat nafsunya bangkit. Apalagi, ia bisa
menebak apa yang akan diperbuat La Bondang dengan membawa perempuan bertubuh
molek itu ke semak-semak.
DUA
Setibanya di balik semak-semak, sikap La Bondang berubah seketika.
Keramahannya lenyap. Dengan kasar disentakkannya tubuh perempuan itu hingga
terbanting ke atas tanah berumput tebal.
"Aauuu...?!"
Perempuan berkebaya merah muda menjerit kaget. Sepasang matanya terbelalak
memandang wajah La Bondang yang terkekeh sumbang.
"Mengapa...? Apa... apa yang Kisanak lakukan...?!" Dengan wajah agak pucat dan
merasa ngeri, perempuaan itu beringsut menjauh.
"Mengapa...?! Ah... kau ini aneh, Nisanak. Bukankah kau membutuhkan
pertolonganku? Nah, sekarang kau aman berada di tempat ini bersamaku. Kalau bangsat-
bangsat yang mengejarmu itu datang, adikkulah yang akan menghadapinya. Sedang aku,
tentu saja hendak meminta imbalannya. Karena, setiap segala sesuatu harus ada timbal-
baliknya. Aku memberikan pertolongan, kau memberikan kesenangan. Itu baru adil
namanya...," ujar La Bondang. Langkahnya terayun perlahan mendekati perempuan itu.
"Tidak... tidak.... Jangan...!" seru perempuan itu. Tubuhnya beringsut menjauh,
menghindari La Bondang.
Tapi, sikap itu tampaknya malah membuat La Bondang semakin tertarik. Suara
kekehnya berubah menjadi gelak berkepanjangan. Ia sengaja tidak mempercepat
langkahnya. Tapi, bergerak perlahan setindak demi setindak.
"Jangan, Kisanak... Kasihanilah aku...."
"Jangan takut, Nisanak. Aku justru hendak memberikan kesenangan kepadamu.
Berhentilah menghiba, dan mendekatlah. Jika sudah merasakannya, kurasa kau pasti
akan ketagihan...," bujuk La Bondang seraya memperdengarkan tawa iblisnya. Tangannya
terulur seolah hendak menolong calon korbannya. Sementara perempuan itu sudah tidak
bisa mundur lagi. Tubuhnya membentur batang pohon yang cukup besar, la hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata bercucuran. Meratap, mengiba, memohon
belas kasihan La Bondang.
"Huh, Perempuan! Bisanya cuma meratap dan mengandalkan air mata!" Merasa
jengkel juga dengan ratapan dan tangisan perempuan itu, La Bondang menghardik kasar.
Wajahnya berubah bengis. Sepasang matanya berkilat tajam memancarkan nafsu iblis.
Mungkin karena melihat La Bondang jengkel, perempuan itu tiba-tiba
menghentikan tangisnya. Ditentangnya pandang mata La Bondang dengan sikap tenang.
Bahkan ketika La Bondang mengulur tangan hendak merobek kainnya, ditangkapnya
tangan kekar berbulu lebat itu.
"Bukan begini seharusnya memperlakukan seorang wanita, Kisanak."
La Bondang tertegun. Perubahan sikap perempuan itu membuat lelaki kasar
berhidung besar ini tidak begitu memperhatikan, betapa gesit gerakan perempuan itu
sewaktu menangkap lengannya.
"Tidakkah Kisanak mempunyai cara yang lebih lembut? Ketahuilah, Kisanak, tak
satu pun wanita yang suka dikasari...." Perempuan itu kembali melanjutkan kata-katanya.
Sedangkan La Bondang masih belum tersadar dari rasa herannya.
"Apa... apa maksudmu, Nisanak...?" La Bondang menelan air liurnya. Sikap dan
kata-kata perempuan itu mendadak membuatnya gugup.
Perempuan itu tidak menjawab. Malah ia tersenyum manis. La Bondang merasa
tertantang. Ia tidak berusaha mencegah sewaktu perempuan itu bergerak bangkit dengan
sikap manja dengan menggerak-gerakkan tubuhnya sedemikian rupa, La Bondang sampai
meneguk air liurnya berkali-kali. Kalau ia tidak ingat pertanyaan tadi, sudah diterkamnya
perempuan itu.
"Hik hik hik.... Kelihatannya Kisanak sudah tidak sabar. Sikap Kisanak seperti
serigala kelaparan yang sudah sekian tahun tidak bertemu makanan...," goda perempuan
itu sambil mengayunkan langkah perlahan. Kelihatan sekali sikap jalannya dibuat-buat.
Pinggulnya melenggak-lenggok. Hati La Bondang bagai ikut terayun-ayun melihatnya.
Setibanya di balik semak-semak, sikap La Bondang berubah seketika.
Keramahannya lenyap. Dengan kasar disentakkannya tubuh perempuan itu hingga
terbanting ke atas tanah berumput tebal.
"Aku memberikan pertolongan, kau memberikan kesenangan. Itu baru adil
namanya...!" ujar La Bondang sambil melangkah mendekati.
"Hei...!" seru La Bondang tercekik di kerongkongan. Cepat, ia melompat dan
menangkap lengan perempuan itu yang dikiranya hendak melarikan diri.
"Cekalan Kisanak terlalu kuat dan menyakitkan tanganku," tegur perempuan itu
dengan manja disertai kerlingan menggoda.
"Hm.... Kau hendak ke mana, Nisanak? Jangan mimpi akan dapat menipuku!"
Meskipun mulutnya berkata demikian, La Bondang melepaskan juga pegangannya. Nada
ucapannya pun tidak keras. Hanya, tatapannya saja yang menyiratkan kecurigaan.
"Siapa yang mau menipumu, Kisanak? Aku cuma hendak mencari tempat yang
lebih aman, agar tidak terlihat orang lain. Aku tidak ingin kawanmu memergoki perbuatan
kita. Lebih baik kita ke semak sebelah sana!" ujar perempuan itu sambil menunjuk
gerombolan semak yang tumbuh rapat. Kurang lebih lima tombak dari tempat mereka
berada. Dan terpisah kira-kira sepuluh tombak lebih dari tempat Kebo Danayan.
Mendengar tantangan itu, karuan saja La Bondang kegirangan. Mulutnya
menyeringai. Di benaknya melintas janji kenikmatan yang akan diperolehnya. Maka, tanpa
banyak cakap lagi, La Bondang mengangguk. Lalu dipondongnya tubuh perempuan itu.
Agak gemetar ketika kedua kaki La Bondang melangkah, ia benar-benar sudah tidak sabar
ketika merasakan betapa lembut dan hangatnya tubuh perempuan dalam pondongannya.
***
"Hik hik hik...!" Perempuan itu seperti sengaja menggoda La Bondang. Tubuhnya
yang berada dalam pondongan La Bondang digerak-gerakkan, membuat dada lelaki kekar
itu kian panas terbakar nafsu.
Godaan perempuan memang benar-benar maut. Nafsu La Bondang semakin
menyentak-nyentak. Napasnya terengah-engah.
"Ingat! Aku tidak suka dengan sikap kasar, Kisanak."
La Bondang yang semula hendak melemparkan tubuh perempuan itu ke atas
rerumputan, segera membatalkan niatnya. Seraya menyeringai lebar sambil mengangguk-
anggukkan kepala, diturunkannya tubuh perempuan itu perlahan-lahan, dan
direbahkannya di atas rerumputan tebal.
"Tenanglah, Tuan. Tidak perlu tergesa-gesa seperti itu...."
La Bondang kembali mengangguk-angguk dengan napas kian memburu. Nafsunya
yang kian menggelegak, nyaris tak dapat ditahan La Bondang tidak begitu memperhatikan
betapa suara perempuan itu agak bergetar. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum
aneh.
"Sabarlah, Kisanak. Biar aku yang akan melakukannya sendiri," cegah perempuan
itu ketika La Bondang yang sudah setengah telanjang hendak melucuti pakaiannya.
Dengan gerakan yang dibuat-buat, perempuan itu mulai melepaskan kebayanya.
Semua itu dilakukan dengan sangat perlahan. Hingga, jalan napas La Bondang terasa
semakin sesak. Tapi, bukan main herannya La Bondang setelah perempuan itu
melepaskan kebaya merahnya. Ternyata ia masih mengenakan pakaian lain yang ringkas
dan terbuat dari sutera putih. Belum lagi La Bondang sadar dari keheranannya,
perempuan itu tiba-tiba melemparkan kebaya merahnya ke kepala La Bondang.
"Nih! Cumbulah sepuasmu, Manusia Keparat!"
Selagi La Bondang kelabakan melepaskan kebaya merah yang menutupi kepalanya,
perempuan itu sudah melompat dan menerjangnya. Sebatang pedang yang entah kapan
diambilnya telah tergenggam erat di tangan kanan, dan ditusukkan ke jantung La
Bondang.
La Bondang masih terlalu kaget dengan kejadian yang tak disangka-sangkanya itu.
Sehingga, dalam kegugupannya ia sulit melepaskan belitan kebaya. Tapi meskipun
demikian, telinganya menangkap suara desingan senjata. Cepat La Bondang menggeser
tubuhnya ke kanan menghindari ancaman itu.
Breettt!
Meskipun La Bondang berhasil menyelamatkan nyawanya, tak urung ujung pedang
menggores iganya. La Bondang memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Sedangkan pedang lawan sudah kembali mengejarnya. Tapi,
serangan gencar itu dapat dipatahkan La Bondang dengan berlompatan ke kiri-kanan.
Bahkan setelah berhasil melepaskan kebaya yang menutupi kepalanya, La Bondang
mengirimkan sebuah tendangan kilat yang dilancarkan dengan penuh kegeraman.
Desss!
Perempuan itu terpental ketika lambungnya terkena tendangan La Bondang.
Kendati ia masih dapat menguasai kuda-kudanya, tak urung wajah cantiknya meringis
kesakitan.
"La Bondang, Manusia Iblis! Kau tak bosan-bosannya membuat bencana! Orang
sepertimu tak pantas dibiarkan hidup di muka bumi ini...!" geram perempuan itu yang
tampaknya sangat benci kepada La Bondang.
"Kau... siapa...?" tanya La Bondang. Meski telah berusaha memeras otaknya,
namun tetap saja ia tidak bisa mengenali perempuan itu.
"Hm.... Aku adalah malaikat maut yang akan mencabut nyawamu! Bersiaplah,
Manusia Keji...!" sahut perempuan itu. Pedang di tangannya segera diputar cepat. Sesaat
kemudian ia menerjang maju dengan ganasnya. Tak diberinya kesempatan bagi La
Bondang untuk berpikir lebih lama.
Bwettt, whuttt...!
La Bondang melompat mundur menghindari sambaran pedang. Namun, senjata itu
terus mengejar. La Bondang tidak bisa membangun serangan. Ia harus mengerahkan
kelincahan tubuhnya untuk menyelamatkan diri dari maut.
Plakkk!
Pada jurus ke delapan La Bondang berhasil menampar pergelangan tangan lawan
yang memegang pedang. Serangan perempuan itu pun terpental balik. La Bondang segera
menyusuli dengan sebuah tendangan lurus menuju ulu hati lawan. Tapi serangan itu tidak
mengenai sasaran. Lawannya sudah keburu menarik tubuhnya dua langkah ke belakang.
Singng!
Kesempatan itu dipergunakan La Bondang untuk mencabut senjatanya. Terdengar
suara bercuitan. Di tangan kiri La Bondang kini tergenggam sebatang golok besar. La
Bondang memang seorang yang kidal, ia dijuluki sebagai Golok Kidal.
"Huh! Ingin kulihat sampai di mana kemajuan 'Ilmu Golok Kidal'-mu itu, La
Bondang...! Sambutlah seranganku, Hyaaattt...!"
"Hei...?!" La Bondang berseru kaget. Gerakan lawan sedikit banyak memiliki dasar-
dasar ilmu silat yang dimilikinya. Sayang, perkembangan gerak selanjutnya terasa sangat
asing. Bahkan terkesan sembarangan. Kendati demikian, dari sambaran angin pedang
lawan, La Bondang bisa menduga jurus-jurus itu sangat ampuh dan berbahaya. Maka
sewaktu serangan lawan dekat, La Bondang menyambutnya dengan pengerahan tenaga
penuh, ia tidak mau menderita kerugian. Bukan tidak mungkin itu akan mencelakakan
dirinya.
Trang! Trang!
Benturan kedua batang senjata membuat perempuan cantik itu terpental dan
nyaris terpelanting jatuh. La Bondang tidak membuang-buang waktu lagi. Tubuhnya
meluncur ke depan dengan serangan maut. Waktu itu tubuh lawan masih terhuyung....
Whuttt!
Perempuan berpakaian sutera putih itu menjejakkan kakinya ke tanah. Golok La
Bondang hanya mengenai angin kosong, karena tubuh lawan sudah berjumpalitan ke
belakang. La Bondang membentak dan mencelat menyusul. Goloknya meluncur dengan
kecepatan tinggi.
Crattt!
"Akhh...!"
Meskipun perempuan itu berusaha mengelak, golok La Bondang berhasil merobek
sebelah luar paha kanannya. Dengan langkah terpincang-pincang, perempuan itu bergerak
mundur. Bibirnya digigit kuat-kuat menahan rasa sakit. Wajah perempuan itu pucat
melihat La Bondang berdiri congkak di depannya sambil tertawa berkakakan.
"Heh hehheh.... Sekarang aku baru tahu. Rupanya, kaulah yang telah menyamar
sebagai perempuan gembel dan membunuh Adi Loh Jarang. Hm.... Kalau begitu, kau
harus menerima hukuman atas dosa-dosamu! Kau akan kusiksa dan kupermainkan
sepuas-puasnya sebelum akhirnya kupenggal batang lehermu yang mulus itu!" geram La
Bondang dengan wajah bengis. Ingatan tentang kematian Loh Jarang membuat sikap dan
wajahnya tampak menyeramkan. La Bondang melangkah perlahan mendekati perempuan
itu.
"Kakang, apa yang terjadi...?"
Seruan itu segera disusuli dengan berkelebatnya sesosok bayangan, dan mendarat
ringan di sebelah La Bondang. Dia adalah Kebo Danayan. Suara pertempuran membuat
lelaki ini bergegas mencari. Ia tidak lagi mempedulikan tugas yang diberikan La Bondang.
Apalagi para perampok yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Kebo Danayan kaget
bercampur-heran melihat La Bondang tengah bertarung dengan perempuan yang tadi
ditolongnya.
"Dialah perempuan gembel yang telah membunuh Loh Jarang di kedai. Rupanya
kali ini ia menyamar lagi untuk membunuhku. Tapi sayang ia tidak berhasil. Malah,
sebentar lagi justru dialah yang akan kita bunuh. Tentu saja setelah kita puas
mempermainkannya. Biar dia tersiksa dan hancur lahir batin!" jelas La Bondang kepada
Kebo Danayan, yang mendengarkannya dengan terheran-heran.
"Siapa sebenarnya perempuan itu, Kakang? Apa alasannya memusuhi kita?" tanya
Kebo Danayan seraya meneliti wajah perempuan itu.
"Aku tidak tahu," jawab La Bondang singkat "Ayo kita tangkap dia...."
Kebo Danayan mengangguk, ia bergerak menjauhi La Bondang, Tanpa menunggu
lagi, Kebo Danayan menerjang perempuan itu dengan menggunakan jurus-jurus tangan
kosong. La Bondang yang telah menyimpan goloknya segera melayang ke arena. Seperti
halnya Kebo Danayan, ia juga memilih menggunakan ilmu tangan kosong untuk
merobohkan perempuan itu.
"Haiiitt...!"
Saat La Bondang dan Kebo Danayan berhasil mendesak perempuan itu, mendadak
sesosok bayangan melayang ke tengah arena. Bayangan itu langsung menerjang mereka
berdua. Merasakan betapa hebatnya terjangan itu La Bondang dan Kebo Danayan bergegas
berlompatan mundur.
"Hanya orang-orang pengecut saja yang melakukan pengeroyokan terhadap seorang
perempuan!" tegur sosok bayangan itu. Ia menghentikan serangannya ketika La Bondang
dan Kebo Danayan melompat keluar dari arena pertarungan.
"Kau...?!"
"Hm.... Masih juga kalian belum mau minggat dari tempat ini!" Sosok bayangan itu
ternyata seorang lelaki bertubuh sedang namun gagah, ia segera mencelat ke arah La
Bondang dan Kebo Danayan yang masih terpaku memandanginya.
La Bondang dan Kebo Danayan terpaksa berloncatan menyelamatkan diri. Tapi,
lelaki tegap itu tampaknya tidak ingin memberikan kesempatan. Pukulan dan
tendangannya datang bertubi-tubi, memaksa La Bondang dan Kebo Danayan terus
bergerak mundur.
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini! Atau aku terpaksa membunuh kalian
berdua...!" desis lelaki itu mengancam sambil tetap melancarkan serangan. Ucapannya
jelas menunjukkan kalau ia telah mengenal La Bondang dan Kebo Danayan.
"Perempuan itu musuh kami. Dia sangat berbahaya dan merupakan ancaman bagi
kami..!" dengan suara ditekan, La Bondang membantah ucapan lelaki tegap itu.
"Hm.... Apakah kalian tidak percaya kalau aku bisa mengurusnya?" lanjut lelaki itu.
Kelihatannya ia tidak senang mendengar bantahan La Bondang. "Nah, pergilah...!" seiring
dengan ucapan terakhirnya, sepasang tangannya didorongkan ke depan.
La Bondang dan Kebo Danayan terpental bergulingan. Kedua lelaki itu bergegas
bangkit dengan wajah agak pucat. Sejenak mereka ragu untuk menuruti perintah lelaki
tegap itu. Tapi, ketika melihat sorot mata yang penuh ancaman, bergegas La Bondang dan
Kebo Danayan memutar tubuhnya. Kemudian, melesat pergi meninggalkan tempat itu.
"Keparat benar Iblis Pengisap Bunga itu!" sambil terus berlari, La Bondang
menyumpah-nyumpah.
"Apalah daya kita, Kakang. Kepandaian Iblis Pengisap Bunga sangat jauh berada di
atas kita. Berurusan dengannya sama saja dengan mencari mati." Kebo Danayan
menimpali. Meskipun hatinya tidak puas, tapi Kebo Danayan tahu diri. Dibuangnya
perasaan itu jauh-jauh.
La Bondang tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengus menumpahkan
kejengkelan hatinya.
TIGA
Lelaki tegap berwajah tampan itu masih berdiri memandangi sosok La Bondang dan
Kebo Danayan yang lenyap di kejauhan. La Bondang dan Kebo Danayan memang tidak
salah. Lelaki tegap itu adalah Iblis Pengisap Bunga. Seorang tokoh sesat berkepandaian
tinggi. Nama dan sepak terjangnya telah menggegerkan rimba persilatan. Iblis Pengisap
Bunga juga terkenal sangat licik. Ia tidak segan-segan melakukan kecurangan untuk
memperoleh kemenangan.
Sesuai dengan julukannya, Iblis Pengisap Bunga memang tidak jauh berbeda
dengan Penjahat Pemetik Bunga, atau tokoh-tokoh sesat lainnya yang suka
mempermainkan perempuan muda. Tapi, Iblis Pengisap Bunga tidak sudi disamakan
dengan mereka, yang menodai perempuan-perempuan muda secara paksa. Ia menganggap
perbuatan seperti itu sangat rendah dan memalukan. Berbeda dengan dirinya yang lebih
menyukai kepasrahan korbannya dengan dasar suka sama suka. Bagi Iblis Pengisap
Bunga hal itu memang tidak sulit. Dengan wajah tampan, tutur kata manis, dan
kepandaian yang tinggi, sudah banyak perempuan muda yang jatuh ke dalam pelukannya.
Setelah puas mereguk madu asmara, bunga-bunga malang yang telah layu itu pun
ditinggalkan, ia akan pergi mencari bunga-bunga segar.
"Kisanak, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...."
Suara merdu namun terdengar dingin itu membuat Iblis Pengisap Bunga memutar
tubuhnya dengan perlahan. Laki-laki tampan itu pun mulai memasang jeratnya. Sebagai
orang yang berpengalaman menghadapi perempuan, dari nada ucapan itu ia telah dapat
menilai seperti apa watak perempuan yang ditolongnya. Maka, begitu berbalik, Iblis
Pengisap Bunga langsung memainkan sandiwara.
Mendapati seraut wajah tampan yang agak pucat dengan sepasang mata sayu yang
kehilangan semangat hidup, wanita berpakaian sutera putih itu tersentak kaget. Tanpa
sadar kakinya melangkah mundur dua tindak. Sikap dinginnya lenyap, berganti dengan
kegugupan. Sorot mata yang semula menyiratkan kebencian itu perlahan memudar.
Perubahan yang nyata itu membuat Iblis Pengisap Bunga tersenyum dalam hati. Langkah
pertamanya telah mendatangkan hasil yang sangat baik.
"Nisanak," ucap Iblis Pengisap Bunga. Suaranya berat dan dalam, seolah
menunjukkan tekanan batin yang tidak bisa disembunyikan. "Tolong-menolong dalam
kehidupan ini memang sudah menjadi kewajiban kita. Hari ini aku menolongmu. Lain hari,
bukan mustahil kaulah yang menolongku. Dunia ini terus berputar, Nisanak. Yang
sekarang berada di atas, esok mungkin berada di bawah. Demikian pula sebaliknya.
Begitulah kehidupan di atas muka bumi ini. Kita tidak bisa meramalkan...." Selesai
berkata, Iblis Pengisap Bunga merangkapkan kedua tangannya dengan tubuh sedikit
membungkuk. Kemudian, memutar tubuhnya dan mengayunkan langkah gontai.
Sikap dan ucapan Iblis Pengisap Bunga membuat perempuan cantik itu tertegun.
Wajah agak pucat dan sorot mata redup Iblis Pengisap Bunga membuat hatinya bergetar.
Gambaran kedukaan dan pudarnya semangat hidup pada wajah dan sinar mata Iblis
Pengisap Bunga benar-benar telah mempengaruhinya. Ia ikut tenggelam dan merasakan
penderitaan penolongnya. Perempuan cantik itu berdiri terpaku. Ia tidak menyahut
sewaktu Iblis Pengisap Bunga berpamitan. Kesadarannya baru bangkit ketika sosok Iblis
Pengisap Bunga hampir lenyap di kejauhan.
"Kisanak, tunggu...!" Bergegas perempuan itu berlari mengejar.
Iblis Pengisap Bunga menghentikan langkahnya tanpa memutar tubuh. Senyum
kemenangan terukir di bibirnya. Ia merasa yakin perempuan cantik itu telah terjerat
jaring-jaring perangkapnya.
"Ada apa lagi, Nisanak...?" Tanpa memutar tubuhnya, Iblis Pengisap Bunga
melanjutkan sandiwaranya. Ia mendengar perempuan itu berhenti di belakangnya.
"Ng... maafkan sikap dan kata-kataku yang mungkin telah menyinggung
perasaanmu, Kisanak," suara perempuan itu patah-patah dan agak gugup.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nisanak," kilah Iblis Pengisap Bunga, bijaksana.
"Setiap orang mempunyai persoalan dalam hidupnya. Aku tahu kau tengah menghadapi
persoalan yang membuatmu bersikap demikian. Aku maklum. Dan, aku sama sekali tidak
tersinggung," Iblis Pengisap Bunga memutar tubuhnya, masih dengan gerakan perlahan
dan seperti tanpa gairah. Sandiwaranya terus berlanjut.
"Aku, Banowati, minta maaf yang sebesar-besarnya." Sambil memperkenalkan
namanya, Banowati memberi hormat kepada Iblis Pengisap Bunga. "Sekali lagi, aku
mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kisanak menolongku...."
"Hhh...." Diiringi senyum getir, Iblis Pengisap Bunga menghempaskan napas berat.
"Kau terlalu berlebihan, Nisanak. Tapi, karena kau telah memperkenalkan nama, rasanya
tidak adil kalau aku tidak menyebutkan namaku. Kau boleh panggil aku Pinggala," aku
Iblis Pengisap Bunga, yang tentu saja tidak menyebutkan julukannya.
Senyum getir dan sikap Iblis Pengisap Bunga yang belum berubah, membuat
Banowati penasaran! Ingin ia mengetahui apa yang menyebabkan laki-laki setegap dan
setampan Pinggala sampai mengalami kedukaan demikian dalam? Begitu hebatkah
peristiwa yang dialaminya hingga membuat semangat hidupnya nyaris padam?
"Pinggala...," tanpa ragu-ragu, Banowati menyebut nama lelaki tegap itu. "Sikap dan
nada bicaramu membuat hatiku bertanya-tanya. Mmm... kalau boleh aku tahu, apa
sebenarnya yang terjadi dengan kehidupanmu?"
Pinggala atau Iblis Pengisap Bunga, lagi-lagi menghempaskan napas berat yang
berkepanjangan. Kepalanya ditengadahkan menatap langit sore yang bening. Setelah
menatap wajah Banowati sesaat, kakinya terayun lambat-lambat.
"Kalau kau merasa keberatan, jangan paksakan, Pinggala. Mengenang kepahitan
yang pernah kita alami, seperti membuka luka lama yang menyakitkan..." Melihat betapa
Pinggala sangat berat untuk memenuhi permintaannya, Banowati menarik kembali kata-
katanya.
"Tapi, aku tidak ingin membuat kau penasaran, Banowati," Pinggala yang telah
duduk di atas sebuah batu di tepi sungai, menggeleng pelan.
"Jadi, kau tidak keberatan menceritakannya...?" Banowati menatap wajah pucat
Iblis Pengisap Bunga dengan penuh harap.
"Penderitaan bukanlah aib. Untuk apa kita menyembunyikannya..?" kilah Iblis
Pengisap Bunga. Meskipun sudah yakin Banowati telah terkena jeratnya, namun Iblis
Pengisap Bunga masih tetap melanjutkan sandiwaranya. Ini menunjukkan betapa hati-hati
dan sabarnya laki-laki itu. Tidak aneh kalau ia selalu berhasil dalam memperdayai korban-
korbannya.
***
Dengan diawali helaan napas panjang, Iblis Pengisap Bunga memulai kisahnya.
Suaranya demikian tenang. Sepasang mata redupnya terpejam sesaat ketika menceritakan
masa kecilnya yang penuh kepahitan. Betapa sejak kecil ia tidak mengenal ayah dan
ibunya. Hidup terlunta-lunta seperti gembel kelaparan. Berpindah dari satu tempat ke
tempat lain sambil mencari sesuap nasi dengan menjual tenaganya. Sampai akhirnya ia
dewasa dan menikah dengan seorang pelacur, yang sengaja diangkatnya dari lembah nista
dan menjadikannya seorang istri.
"Mungkin karena terlalu lama ia berada dalam lumpur yang dipenuhi kesenangan
hidup dan harta kotor itu, kesederhanaan yang kuberikan akhirnya dicampakkan. Ia
kembali menjadi pelacur tanpa bisa kucegah. Kami pun berpisah. Untuk melupakan
dirinya, aku memutuskan pergi mengembara ke mana saja kaki ini melangkah...." Iblis
Pengisap Bunga mengakhiri cerita dustanya.
Saking terharu dengan cerita sedih yang dipaparkan Pinggala, tanpa sadar
Banowati menggenggam erat tangan laki-laki itu. Seolah ia hendak memberi kekuatan
kepada Pinggala yang dianggapnya berhati rapuh.
"Ah.... Betapa bodohnya perempuan itu. Sukar dipercaya ada perempuan yang tega
meninggalkan lelaki sebaik dan sepandai engkau, Pinggala...," gumam Banowati sanbil
meremas telapak tangan Iblis Pengisap Bunga. Hidupnya sendiri mengalami kemalangan
yang hampir serupa dengan kisah Iblis Pengisap Bunga. Banowati seperti menemukan
teman senasib.
"Jangan terlalu mudah memberikan penilaian kepadaku, Banowati. Kau belum
kenal siapa aku. Kelak, kau pasti akan merubah pandanganmu dan membenarkan
perbuatan istriku itu...," ujar Pinggala sendu. Digenggamnya erat-erat tangan Banowati.
"Tidak, Pinggala," Banowati menggeleng. "Kau berbeda dengan kebanyakan laki-
laki. Biasanya, mereka akan memuji-muji dirinya, menceritakan kebaikan-kebaikan dan
menyembunyikan sifat-sifat buruk untuk menarik perhatianku. Tapi, kau tidak. Kau
justru memburuk-burukkan dirimu sendiri. Itu yang membuatku yakin kau seorang laki-
laki yang baik dan penuh tanggung jawab," lanjut Banowati. Tampaknya ia menaruh
kepercayaan penuh pada Pinggala.
"Kau baik sekali, Banowati," puji Iblis Pengisap Bunga. Ditatapnya wajah cantik
Banowati dengan mata bersinar. "Ah kalau saja...."
"Kalau saja apa, Pinggala...?! Mengapa kau tidak melanjutkan kata-katamu?"
"Ah, tidak. Sebaiknya lupakan saja...." Iblis Pengisap Bunga menundukkan kepala,
seolah takut Banowati dapat membaca pikirannya.
"Tapi aku ingin tahu, Pinggala!" Banowati menuntut. Tubuhnya digeser hingga
mereka duduk berhimpitan. Perempuan cantik itu sedikit pun tidak sadar kalau dirinya
telah semakin terperangkap jerat-jerat yang dipasang Iblis Pengisap Bunga.
"Kalau aku berterus terang, apakah kau tidak marah...?" Iblis Pengisap Bunga
berkata ragu-ragu.
Banowati tersenyum manis seraya menggeleng pasti. Tangannya masih
menggenggam jemari Iblis Pengisap Bunga. Bahkan semakin erat, dan mengalirkan
getaran-getaran benih cinta. Agaknya, Banowati mulai tertarik pada Iblis Pengisap Bunga,
yang menurut pandangannya seorang laki-laki jujur dan baik hati.
"Kalau saja... aku... dapat memilikimu, alangkah bahagianya hatiku...," Iblis
Pengisap Bunga menunduk sebentar. Lalu, mengangkat kepalanya dan menatap wajah
Banowati dengan harap-harap cemas. "Sayang...," Iblis Pengisap Bunga menggeleng
dengan wajah kecewa. "Melihat usia dan kecantikanmu, kau pasti sudah menjadi milik
orang lain...."
"Kau salah, Pinggala," tukas Banowati sambil menggeleng. "Dulu, aku memang
pernah menjadi milik orang. Tapi kematian telah memisahkan kami. Penyakit yang
menggerogotinya telah menyeretnya ke liang kubur...." Banowati menunduk. Dua titik air
mata meluncur turun tanpa dapat dicegah.
"Maafkan aku, Banowati...," sambil berkata demikian, Iblis Pengisap Bunga
mengulurkan tangannya menghapus air mata di wajah Banowati.
Banowati terisak. Ditangkapnya tangan Iblis Pengisap Bunga dan dilekatkan ke
wajahnya. Sepasang matanya terpejam rapat, seolah hendak merasakan belaian tangan
Iblis Pengisap Bunga. Banowati benar-benar telah masuk ke dalam perangkap lelaki
tampan itu.
"Sudahlah, Banowati...," hibur Iblis Pengisap Bunga. Ditariknya tubuh perempuan
itu ke dalam pelukannya. Dan, dibelainya rambut Banowati yang hitam. Iblis Pengisap
Bunga menahan napas ketika merasakan bau harum rambut Banowati yang menyeruak
rongga dadanya. Ditekannya keinginan untuk bertindak lebih jauh, ketika gairahnya
bangkit oleh kehangatan tubuh perempuan itu.
"Aku terlalu kotor untukmu, Pinggala...," terdengar keluhan Banowati. "Sebelum
menjadi istri orang yang juga guruku, aku telah diperkosa manusia-manusia berhati
binatang. Mereka adalah kakak-kakak seperguruanku. Karena kejadian itulah maka guru
mengambilku sebagai istrinya. Beliau ingin menghiburku. Padahal, beliau sendiri
mengalami guncangan hebat akibat perbuatan murid-muridnya. Aku langsung menerima,
karena tidak tega melihat guruku yang mulai sakit-sakitan. Beliau akhirnya meninggal
setelah beberapa bulan kami menikah...." Tangis Banowati semakin menjadi. Air matanya
membasahi pakaian Iblis Pengisap Bunga.
"Bagiku, kau wanita tercantik dan terbaik, Banowati...," ujar Iblis Pengisap Bunga.
Dibelainya punggung perempuan itu. "Kau adalah pelita bagi hatiku yang gelap, Banowati.
Coba kau tengok sekelilingmu. Tangis dan kedukaanmu membuat cuaca menjadi redup.
Angin pun berhenti berbisik. Kicauan burung tidak terdengar, seolah seluruh alam ikut
merasakan penderitaan yang kau tanggung. Bangkitlah, Banowati. Tersenyumlah. Biar
langit kembali cerah. Biar kegelapan di hatimu sirna. Biar angin kembali bertiup. Biar
semua kembali hidup...."
Kata-kata manis Iblis Pengisap Bunga bagaikan siraman air segar pada kuncup
bunga yang layu. Banowati merasa dirinya terbang ke awang-awang. Begitu ringan dan
nikmat. Dadanya terasa lapang. Beban batin yang selama ini menghimpit dadanya
mendadak lenyap. Banowati bangkit. Perempuan itu tersenyum. Lalu, dihirupnya udara
segar banyak-banyak.
"Nah, begitulah semestinya, Banowati." Iblis Pengisap Bunga tersenyum lebar.
"Senyummu mendatangkan kesejukan bagi hati yang gersang. Binar matamu mengalahkan
cerahnya sinar sang mentari. Hingga, alam kembali cerah dan hidup. Ah.... Kau cantik
sekali, Banowati. Kau tak ubahnya seorang dewi yang lari meninggalkan khayangan, dan
jatuh ke dalam pelukan Pinggala, si malang yang beruntung."
"Kau pandai sekali merangkai kata-kata yang indah yang melambungkan hatiku,
Pinggala. Kau buat aku merasa berharga. Dan., ah..., aku tidak tahu harus berkata apa
lagi," ujar Banowati dengan wajah berseri-seri. Segar kemerahan. Sepasang matanya
berbinar menatap wajah tampan Iblis Pengisap Bunga yang tengah tersenyum
memandangnya.
"Kehadiranmulah yang telah membuatku bisa merangkai kata-kata itu,
Banowati...," ujar Iblis Pengisap Bunga setengah berbisik. Tatapannya tetap tertuju pada
wajah cantik yang hanya terpisah satu jengkal dari wajahnya.
Kedua pasang mata mereka saling bertaut. Pancaran kasih pun semakin tumbuh
subur. Perlahan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, keduanya saling mendekatkan
wajah. Deru napas saling berpacu dengan debaran jantung yang kian bertalu-talu. Hingga,
akhirnya mereka saling berangkulan dengan erat, menumpahkan letupan-letupan gairah
yang berbeda. Banowati menyerahkan dirinya bulat-bulat karena terdorong rasa cinta.
Perempuan malang itu tidak sadar betapa cumbuan dan kehangatan yang diberikan
Pinggala cuma pelampiasan nafsu terkutuk. Semua itu tidak diketahuinya, karena Iblis
Pengisap Bunga sangat tahu bagaimana menaklukan hati perempuan.
***
Di tengah kebeningan pagi yang sejuk, Banowati menangis menyesali nasibnya
yang malang. Hatinya yang sudah patah, kini semakin hancur berantakan. Harapan-
harapan yang semula yakin telah digenggamnya erat-erat, tiba-tiba terenggut begitu saja.
Tanpa ia bisa mempertahankannya. Limpahan kasih sayang, cumbuan, dan kata-kata
manis Pinggala adalah kepalsuan yang terlambat disadarinya. Setelah kurang lebih tujuh
hari mereguk kesenangan darinya, Pinggala alias Iblis Pengisap Bunga, tiba-tiba lenyap
dari sisinya.
Kenyataan itu benar-benar menyakitkan Banowati. Jiwanya semakin terguncang.
Dunia terasa gelap. Alam seperti mengejek kebodohan dan kemalangannya. Banowati
menjadi putus asa. Ia tak ubahnya mayat hidup yang berjalan di atas permukaan bumi.
Tanpa perasaan, tanpa semangat, dan masa depan yang hitam kelam.
Dengan hati hancur dan air mata yang bagai tak berhenti mengalir, Banowati
berdiri tegak di bibir sebuah jurang yang menganga lebar. Sesekali terdengar isakannya
hingga kedua bahunya terguncang. Banowati telah mengambil keputusan untuk
mengakhiri hidupnya. Tidak ada dendam dalam dadanya, ia sadar semua kejadian itu
adalah karena ketololannya. Meskipun ia merasa benci kepada Pinggala, namun ia jauh
lebih benci kepada dirinya sendiri. Begitu mudah dirinya terjebak hingga dipermainkan
orang sesuka hati.
"Kau benar-benar iblis biadab tak berhati, Pinggala...! Betapa bodohnya aku mau
saja percaya dan menyerahkan diriku kepadamu. Entah, apa dosa yang telah kuperbuat
sampai harus menanggung semua penderitaan ini...." Banowati merintih, mengutuki
dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat kemudian, Banowati menengadahkan kepala menatap langit
pagi yang biru. Lalu, pandangannya ditujukan ke bawah, pada kegelapan mulut jurang
yang siap menerima tubuhnya.
"Maafkan kelemahanku, Guru...," desis perempuan cantik itu. Tatapannya kosong
menatap ke depan. "Aku sudah tak sanggup lagi hidup lebih lama...."
Banowati memejamkan matanya rapat-rapat, ia sudah siap terjun ke dalam jurang
yang tak terlihat dasarnya itu. Mendadak Banowati merasakan tubuhnya menjadi kaku.
Tak bisa digerakkan. Jangankan untuk melompat, menggerakkan ujung jari saja ia tidak
bisa. Yang dapat dilakukannya cuma membelalakkan mata. Itu saja!
EMPAT
"Aaah...?!"
Belum lagi keheranan hatinya lenyap, tiba-tiba Banowati merasakan tubuhnya
tersedot ke belakang. Demikian hebat tenaga sedotan itu, sehingga Banowati terseret deras
dengan telapak kaki mengambang satu jengkal di atas permukaan tanah. Makin lama
makin naik, hingga telapak kakinya berada setengah tombak dari tanah. Tentu saja
kejadian yang aneh itu membuat Banowati dilanda kengerian hebat. Wajahnya pucat pasi
dan keringat dingin keluar.
Seperti lupa dengan niat semula yang hendak mengakhiri hidup di dalam jurang,
Banowati menjerit ketakutan. Tengah ia menjerit-jerit, tenaga sedotan itu tiba-tiba
mendadak lenyap! Maka tanpa ampun lagi, tubuh Banowati pun meluncur jatuh dengan
derasnya.
Gubrakkk!
Banowati menjerit kesakitan ketika tubuhnya terbanting dengan punggung lebih
dulu. Banowati meringis menahan sakit. Bagian pinggang pun serasa patah.
"Hak hak hak. Kerrr...!"
Suara tawa ganjil yang diakhiri ucapan seperti orang memanggil ayam
peliharaannya itu, membuat Banowati tersentak kaget! Banowati bergegas bangkit dan
melupakan rasa sakit pada tubuhnya. Kemudian, diputarnya tubuhnya. Suara tawa ganjil
itu berada persis di belakangnya.
"Aaah...?!"
Bagai tersengat kalajengking, Banowati menjerit dan terlompat mundur! Wajahnya
pias. Sepasang matanya terbelalak lebar, menyiratkan perasaan ngeri yang sangat.
Keadaan Banowati tak ubahnya seorang pengecut yang melihat hantu di siang bolong.
"Hak hak hak... Kerrr...!"
Lagi-lagi suara tawa ganjil dan lucu itu berkumandang. Kali ini bahkan lebih
panjang dan nyaring. Banowati harus menutup telinganya yang terasa seperti ditusuk-
tusuk. Sakit dan ngilu bukan main! Kendati demikian, matanya seolah tak bisa lepas dari
sosok yang tengah duduk bersila di depannya.
Sosok yang tengah tertawa itu seorang kakek bertubuh jangkung dan kurus. Tubuh
bagian atasnya sama sekali tidak tertutup pakaian, hingga tulang-tulang dadanya tercetak
nyata. Anehnya kendati tubuhnya kerempeng, namun wajahnya tampak gemuk dan
berwarna kemerahan. Kedua pipinya menggembung. Sepasang matanya terlihat kecil, sipit,
dan seperti selalu terpejam. Hingga yang tampak cuma berupa garis saja. Begitu pula
dengan hidungnya. Kecil dan pesek. Terjepit oleh kedua pipi yang menggembung seperti
balon. Mulutnya pun kecil dan meruncing ke depan, seperti orang merengut. Waktu ia
tertawa mulutnya tetap merengut. Hanya kerongkongannya saja yang bergerak-gerak
turun naik. Kepalanya hampir tidak ditumbuhi rambut, kecuali pada bagian ubun-
ubunnya. Itu pun cuma sekelompok dan tercukur pendek. Semua keanehan itu masih
ditambah lagi dengan kedua daun telinganya yang sangat lebar dan tidak lumrah. Kira-kira
selebar telapak tangan laki-laki dewasa.
"Kalau kau cuma terkejut, aku masih maklum. Tapi, jangan sekali-kali merasa
takut kepadaku. Itu berarti suatu penghinaan besar. Dan, itu tidak bisa kuampuni, tahu?"
Kakek yang tubuhnya juga terlihat ganjil, karena meski duduk bersila tapi tingginya masih
lebih sedikit dari Banowati itu, berkata sambil bergerak bangkit.
Banowati yang mendengar ucapan itu cuma bisa mengangguk-angguk. Ditahannya
napas ketika kakek itu berdiri dari duduknya. Banowati terpaksa menengadah. Tingginya
cuma sampai di dada kakek itu.
"Hak hak hak. Kerrr...! Kaget lagi, ya?" tegur kakek ganjil itu. "Ingat baik-baik, hai
Perempuan! Kaget boleh kaget, tapi jangan sampai takut. Sebab, itu merupakan
penghinaan besoooar. Aku bisa marah, tahu?"
Lagi-lagi, Banowati cuma bisa mengangguk-angguk. Ia menarik napas berulang-
ulang untuk menenteramkan jantungnya yang berdebar-debar. Banowati mencoba
tersenyum. Meski yang terlihat hanya sebuah seringai kengerian.
"Kau kaget, Perempuan?" Kakek ganjil itu bertanya dengan mata seperti terpejam.
Sehingga, Banowati ragu apakah kakek itu bisa melihatnya atau tidak.
Bonawati masih belum bisa mengeluarkan suara. Lidahnya terasa kelu dan
kerongkongannya kering. Banowati cuma menganggukkan kepalanya.
"Kau tak punya mulut?!" kali ini suara kakek ganjil itu menggelegar. Banowati
sampai berjingrak saking kagetnya.
"Pu... pu... nya!" Dengan susah payah, setelah meneguk air liur berkali-kali,
barulah Banowati bisa bersuara. Itu pun terdengar gugup dan patah-patah.
"Mengapa tidak menjawab, hah?!"
"Ak... aku masih bingung. Aku... aku betul-betul kaget..." Banowati menghela napas
lega ketika kata-katanya mengalir agak lancar.
"Jadi kau tidak takut kepadaku?"
"Tidak." Banowati menyahut mantap. Hatinya sudah lebih tenang, dan nada
pertanyaan kakek ganjil itu terdengar agak rendah, hingga keberanian Banowati mulai
timbul.
"Benar kau tidak takut kepadaku?!" Kakek itu menegasi.
Banowati tentu saja kaget, ia tidak bisa buru-buru menjawab. Hatinya ragu. Dari
nada suaranya, kakek ganjil itu kelihatan marah.
"Hei, Perempuan! Apakah kau congek? Hayo, jawab pertanyaanku!"
Suara yang semakin menggelegar itu membuat Banowati menutup kedua
telinganya. Dari takut dan ngeri, Banowati menjadi jengkel, ia tidak mempunyai kesalahan
kepada kakek ganjil itu, mengapa kakek itu membentaknya terus-terusan?
"Hei, Laki-laki Tua, tinggi kurus seperti galah, kerempeng seperti tengkorak hidup!
Kau pikir kau siapa membentak-bentak orang seenaknya? Aku tidak sudi dibentak-bentak
seperti itu. Kalau mulutmu memang gatal dan ingin membentak-bentak, carilah anak dan
istrimu, atau siapa saja. Mereka boleh kau bentak-bentak sepuasmu!"
Bahkan Banowati membuat kakek ganjil itu tertegun kebingungan. Mulutnya yang
runcing semakin merengut. Lalu tiba-tiba saja, tiada hujan tiada angin, kakek itu
menangis tersedu-sedu dengan sedihnya. Ia jatuh terduduk, dan menangis menggerung-
gerung sambil menggosok matanya dengan punggung tangan. Kedua kakinya menggoser-
goser di tanah, tak ubahnya seorang anak kecil. Disela tangisnya terdengar kata-kata yang
membingungkan Banowati.
"Ampun, Ibu. Ampun...!" kata-kata itu diucapkan berulang-ulang.
Tentu saja perubahan sikap kakek ganjil itu mencengangkan Banowati. Bingung
dan heran ia melihat watak kakek itu. Sebentar terlihat garang dan menyeramkan,
sebentar kemudian menangis seperti seorang bocah.
Keanehan watak kakek itu semula sempat membuat hati Banowati dicekam rasa
cemas. Bahkan, ia mulai beranggapan kakek itu tidak waras. Tapi, ketika teringat tenaga
penyedot yang menarik tubuhnya dan menggagalkan niatnya untuk bunuh diri,
kecemasan Banowati lenyap seketika. Timbul dugaan kalau kakek ganjil itu seorang tokoh
persilatan yang berkepandaian tinggi.
Banowati memang belum lama terjun ke dunia ramai. Pengalaman yang didapatnya
pun belum banyak. Tapi, dari cerita-cerita gurunya yang juga suaminya, Banowati banyak
mendengar tentang perangai tokoh-tokoh tingkat tinggi. Selain berpenampilan aneh tidak
seperti orang kebanyakan, mereka rata-rata berwatak kurang beres. Suaminya sendiri
tidak tahu mengapa bisa begitu.
Dugaan itu membuat Banowati tersenyum tipis. Penampilan dan watak kakek ganjil
ini menurutnya sangat cocok dengan gambaran suaminya tentang tokoh-tokoh tingkat
tinggi. Dan, ia mengharapkan dugaannya tidak keliru. Kalau benar kakek ganjil itu seorang
tokoh sakti, ia akan mempergunakannya untuk membalas semua dendam dan sakit
hatinya.
***
Perkiraan Banowati memang tidak meleset Kakek ganjil yang tengah menangis di
hadapannya itu adalah seorang tokoh sakti. Meskipun wataknya mendekati kegilaan,
namun kepandaiannya sangat tinggi. Boleh dibilang, jarang ada tokoh yang mampu
menandingi ketinggian ilmunya. Usianya sudah tua sekali. Kira-kira delapan puluh tahun
lebih. Tidak ada seorang pun yang tahu asal-usul dan nama asli kakek ganjil itu. Ia sendiri
lupa dengan semua itu. Orang-orang menyebutnya dengan julukan Pertapa Muka Setan.
Julukan yang diberikan orang memang disesuaikan dengan penampilan dan cara
hidup kakek ganjil itu, yang sangat jarang menampakkan diri di dunia ramai. Sejak muda,
mungkin karena menyadari keburukan wajah dan perawakannya yang tidak seperti orang
kebanyakan, ia lebih suka bertapa di tempat-tempat terpencil. Itu sebabnya ia dijuluki
Pertapa Muka Setan.
Bagi Pertapa Muka Setan, dunia ramai adalah sumber malapetaka dan tempat
segala bentuk kesengsaraan. Kehadirannya hanya akan menjadi bahan ejekan orang.
Anak-anak kecil akan lari ketakutan melihat keburukan wajahnya. Itu merupakan salah
satu alasan mengapa Pertapa Muka Setan hampir tidak pernah mendekati tempat-tempat
ramai. Ia selalu berpindah dari satu tempat sunyi ke tempat sunyi yang lain. Ia bertapa
untuk menambah kekuatan batinnya, agar tidak terseret bujukan-bujukan setan yang
selalu menggoda.
Meskipun Pertapa Muka Setan memang telah lupa dengan asal-usulnya, namun
tidak seluruhnya benar. Ada peristiwa-peristiwa masa lalu yang tak pernah dapat
dilupakannya. Terutama tentang perkataan dan watak kedua orangtuanya. Sejak masih
kecil ayahnya selalu menekankan agar ia membunuh setiap orang yang takut kepadanya.
Karena itu mengingatkan akan keburukan wajahnya yang memang seperti muka setan. Itu
merupakan penghinaan yang tak terampuni.
Perkataan ayahnya yang hampir setiap hari dijejalkan kepadanya, tanpa sadar telah
terpatri erat di dalam ingatannya, meski ayahnya telah lama meninggal dan ia sendiri telah
menjadi seorang kakek-kakek pikun. Kendati ayahnya sangat keras dalam mendidiknya,
tapi Pertapa Muka Setan tahu betul ayahnya sangat sayang kepadanya.
Berbeda dengan ibunya. Sejak melihat anaknya terlahir dengan wajah buruk dan
mengerikan, ibunya tidak pernah sudi menyentuhnya. Apalagi mengasuh dan
menyusuinya. Ibunya sangat benci dan malu mempunyai putra yang memiliki wajah
seperti setan neraka. Pertapa Muka Setan tidak diakui sebagai putranya. Ibunya tidak
segan-segan memarahi dan memukulinya habis-habisan bila Pertapa Muka Setan berani
dekat-dekat dan memanggilnya ibu.
Bayangan ibunya yang selalu menunjukkan kebencian tertanam erat dalam benak
Pertapa Muka Setan. Walaupun ibunya telah tiada, bayangan masa kanak-kanak itu tetap
tidak bisa hilang. Sehingga, Pertapa Muka Setan paling takut bila dimarahi perempuan.
Dalam pandangannya perempuan itu adalah ibunya, yang kerap memarahi dan
memukulnya. Itu sebabnya Pertapa Muka Setan menangis sewaktu melihat Banowati
marah-marah kepadanya.
Cukup lama juga Banowati menunggu Pertapa Muka Setan menghentikan
tangisnya. Ketika kakek ganjil itu berhenti menangis dan memandangnya, Banowati
berusaha tersenyum semanis mungkin. Pada sepasang mata yang basah dan sipit itu,
Banowati menemukan gambaran ketakutan seorang bocah. Meskipun tidak tahu apa
penyebabnya, Banowati tidak ambil peduli. Yang penting baginya adalah bagaimana cara ia
dapat mendekati kakek ganjil itu, dan mengetahui sampai di mana kepandaiannya.
"Ibu.... Ibu tidak memukulku...?" Dengan ketololan seorang bocah, Pertapa Muka
Setan menatap Banowati takut-takut.
Sikap dan ucapan Pertapa Muka Setan mengejutkan Banowati. Tapi, perasaan itu
segera ditekannya. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepala perlahan.
"Betul...?" Pertapa Muka Setan belum bisa percaya dengan senyum dan gelengan
kepala Banowati.
"Betul," tegas Banowati dengan lembut. "Aku tidak akan marah atau memukulmu
lagi. Sekarang bangunlah. Aku ingin bicara."
Dengan masih ragu-ragu Pertapa Muka Setan menuruti permintaan Banowati.
Tubuh jangkungnya menjulang di hadapan Banowati. Tapi, kali ini Pertapa Muka Setan
tidak berani mengeluarkan suara. Apalagi bersikap garang seperti semula, ia berdiri
dengan kepala tertunduk. Tak berani menentang pandang mata Banowati.
"Aku ingin melihat sampai di mana kemajuan ilmu silatmu. Gunakan seluruh
kepandaianmu untuk menghadapi serangan-seranganku. Anggaplah aku seorang musuh
berbahaya yang hendak membunuhmu. Nah, apakah kau sudah siap?" ujar Banowati
setelah mengambil jarak kira-kira satu tombak dari hadapan Pertapa Muka Setan.
Kemudian, tanpa memberi peringatan lagi, Banowati menyerang Pertapa Muka Setan
dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya.
Whuttt...!
Tercekat hati Banowati ketika tahu-tahu tubuh Pertapa Muka Setan telah lenyap
dari hadapannya, ia cuma merasakan adanya desiran angin dan tidak melihat kapan
kakek jangkung itu bergerak. Baru ketika terdengar suara tawa dari belakangnya, tahulah
Banowati kalau kakek jangkung itu telah menggunakan kecepatan geraknya untuk
menghindari serangan dengan melompati kepalanya.
"Hm.... Kecepatan gerakmu cukup bagus," puji Banowati yang merasa kagum
bukan main. Gerakan mengelak kakek itu tidak tertangkap penglihatannya. "Sekarang aku
ingin melihat kemajuan tenaga dalammu. Coba kau pukul batu besar itu dari tempatmu
berdiri." Banowati menunjuk sebuah batu sebesar gajah yang berada tiga tombak dari
Pertapa Muka Setan.
"Hak hak hak. Kerrr...!" Pertapa Muka Setan malah memperdengarkan tawa
ganjilnya. Pandangannya tidak beralih dari Banowati. Sikapnya kembali seperti semula.
Garang dan menyeramkan. Tentu saja Banowati kaget. Tatapan kakek itu membuat
Banowati seketika dicekam rasa ngeri.
"Rupanya kau hendak menguji kepandaianku, Perempuan! Apakah kau hendak
mencuri ilmuku?!" Pertanyaan dengan suara garang menggelegar itu menyadarkan
Banowati bahwa ingatan kakek ganjil itu sudah kembali seperti semula.
Banowati memang tidak tahu banyak tentang watak tokoh-tokoh persilatan.
Semula, Pertapa Muka Setan memang kehilangan kewarasannya karena bayangan masa
kanak-kanaknya, ia menuruti permintaan Banowati yang dianggap sebagai ibunya. Tapi,
Banowati telah melakukan kesalahan. Bagi tokoh seperti Pertapa Muka Setan, ilmu silat
adalah segalanya. Sehingga, begitu ia bergerak menggunakan kepandaiannya, bayangan
masa kanak-kanak itu lenyap seketika. Pertapa Muka Setan telah kembali berpijak ke alam
kenyataan. Mengeluarkan kepandaian berarti membuat pikirannya bekerja. Ia kembali
melihat Banowati seperti adanya. Gambaran sosok ibunya kembali tenggelam. Bahkan,
Pertapa Muka Setan tidak ingat betapa ia tadi menangis.
Tapi, Banowati sudah merasa telanjur. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Otaknya
memang cerdik dan bisa menangkap dengan cepat apa penyebab Pertapa Muka Setan tadi
merasa takut dan mau menuruti permintaannya. Tapi untuk memarahi kakek ganjil itu
seperti tadi, sudah tidak ada kesempatan lagi. Pertapa Muka Setan sudah keburu
menggerak-gerakkan telapak tangannya. Kaget bukan main Banowati ketika dari telapak
tangan Pertapa Muka Setan menyambar gelombang angin yang sangat kuat. Gelombang
angin itu mengikuti gerakan telapak tangan Pertapa Muka Setan.
Banowati berusaha keras mempertahankan dirinya ketika merasa tubuhnya seperti
digoyang-goyangkan ke kiri-kanan. Padahal, Pertapa Muka Setan cuma menggoyang-
goyangkan telapak tangannya dari kejauhan. Tapi, akibat yang dialami Banowati seolah
kedua bahunya dicengkeram jari-jari tangan yang kuat dan mengguncang-guncangkannya.
Banowati benar-benar tidak habis pikir! Meski sudah mengalaminya sendiri, tapi ia
sungguh tidak tahu kalau itu hanyalah permainan tenaga dalam Pertapa Muka Setan.
Tidak sembarang tokoh bisa melakukannya. Permainan seperti itu hanya dapat dilakukan
tokoh-tokoh yang kepandaian tenaga dalamnya telah mencapai titik sempurna.
Melihat Banowati berusaha melepaskan diri, Pertapa Muka Setan tampak semakin
gembira. Tawa ganjilnya terus berkumandang. Pertapa Muka Setan meningkatkan
permainannya. Kali ini ia tidak hanya menggoyang-goyangkan telapak tangannya, tapi
menggerakkan lengannya ke kiri-kanan. Akibatnya, Banowati terlempar terguling-guling,
mengikuti ke mana lengan Pertapa Muka Setan bergerak. Tinggallah Banowati yang
menggelinding seperti bola, menjerit-jerit ketakutan. Tapi, jeritan-jeritan itu justru
membuat Pertapa Muka Setan tertawa kegirangan.
"Hentikan permainan gila itu...!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan yang menyertai
berkelebatnya sesosok bayangan putih. Tanpa mempedulikan Pertapa Muka Setan yang
terlihat jengkel karena kesenangannya diganggu, sosok bayangan putih itu melesat ke arah
Banowati.
Tapi sebelum bayangan putih itu sempat menyelamatkan Banowati, tiba-tiba
tubuhnya yang tengah melayang di udara terhenti. Suatu kekuatan yang tak tampak telah
menahan gerakannya. Kekuatan itu kemudian membetot tubuhnya ke bawah.
"Heaahh...!"
Saat tubuhnya nyaris terbanting ke tanah, sosok bayangan putih membentak keras
sambil menggeliat. Agaknya ia berusaha membebaskan diri dari belenggu yang melibat
tubuhnya. Dan seiring dengan suara bentakannya, sosok bayangan putih berjumpalitan
beberapa kali di udara. Baru kemudian meluncur turun dengan ringannya.
"Hak hak hak. Kerrr...! Hebat... hebat...! Gerakan yang indah dan
mengangumkan...!" Perbuatan sosok bayangan putih itu membuat Pertapa Muka Setan
tertawa kegirangan. Ia melompat-lompat sambil bertepuk tangan. Kelihatannya ia benar-
benar gembira dengan perbuatan sosok bayangan putih yang berhasil membebaskan diri
dari belenggu tenaga dalamnya.
Sosok bayangan putih itu sendiri yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan,
sedikit pun tidak mempedulikan pujian Pertapa Muka Setan. Begitu kedua kakinya
mendarat di tanah, tubuhnya langsung melesat ke arah Banowati. Disambarnya tubuh
perempuan yang tengah terduduk dengan wajah pucat dan napas tersengal-sengal itu.
Kemudian, diserahkan kepada seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang baru tiba di
tempat itu.
"Jagalah perempuan ini. Periksa kalau-kalau ia terluka...," pesannya kepada dara
jelita berpakaian serba hijau. Setelah itu, baru ia bergerak menghampiri Pertapa Muka
Setan yang masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan.
LIMA
"Aha! Pantas ilmu meringankan tubuhmu sangat bagus. Kiranya kau Pendekar
Naga Putih. Benar-benar suatu kebetulan yang sangat menyenangkan!" ujar Pertapa Muka
Setan. Tingkahnya yang kekanak-kanakan langsung dihentikan begitu melihat pemuda
tampan berjubah putih itu mendatanginya.
Kagum juga Pendekar Naga Putih dengan ketajaman mata kakek berwajah
mengerikan itu. Sebagai tokoh yang tingkatannya jauh lebih muda, Panji yang berjuluk
Pendekar Naga Putih segera memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangannya di
depan dada.
"Terima kasih atas pujianmu, Pertapa Muka Setan," balas Panji dengan sopan, ia
langsung bisa menduga siapa kakek berwajah buruk mengerikan itu. Untuk mengetahui
jati diri kakek ganjil itu memang tidak terlalu sulit. Dengan melihat wajah buruk yang
mengerikan, serta perawakannya, orang akan langsung bisa mereka-reka siapa tokoh itu.
"Hak hak hak... Kerrr...!" Pertapa Muka Setan memperdengarkan tawa ganjilnya.
Kakek ini tidak merasa heran Pendekar Naga Putih langsung bisa mengenalinya. Malah,
hatinya merasa bangga. Itu menunjukkan bahwa namanya masih dikenal di kalangan
persilatan.
"Pertapa Muka Setan," Panji berkata lagi ketika melihat Pertapa Muka Setan masih
saja tertawa. "Sebagai tokoh tua yang memiliki kedudukan tinggi, tidak sepantasnya kau
menghina orang muda. Terlebih seorang perempuan. Perbuatanmu sungguh tidak terpuji.
Ini akan mencemarkan nama besarmu...."
"Op... op... op...!" Pertapa Muka Setan memotong ucapan Panji sambil menggoyang-
goyangkan telapak tangannya. "Katakan saja terus terang, apa sebenarnya tujuanmu
mengganggu kesenanganku, lalu memberikan ceramah yang tak sedap didengar itu?"
"Aku datang karena mendengar jeritan perempuan muda yang kau permainkan itu,
Pertapa Muka Setan. Demi kehormatan serta nama besarmu, kuharap kau mau
membiarkan aku dan kawanku membawa perempuan muda itu pergi dari tempat ini,"
pinta Panji.
"Tidak bisa!" Pertapa Muka Setan membantah keras. "Heran. Apa perempuan
montok dan cantiknya seperti bidadari itu masih kurang memuaskan hatimu, Pendekar
Naga Putih? Atau karena mentang-mentang kau masih muda, gagah, dan berwajah
tampan lalu boleh berbuat sekehendak hatimu, menarik semua perempuan cantik ke
dalam pelukanmu? Serakah betul! Lalu, bagianku mana? Jelek-jelek begini dan biarpun
sudah kakek-kakek, aku masih sanggup meladeni kebinalan perempuan mana pun! Kalau
tidak percaya, boleh kau pinjamkan bidadari molekmu itu satu atau dua malam. Kujamin
ia pasti ketagihan tidak akan mau kembali lagi kepadamu, Pendekar Naga Putih. Hak hak
hak.... Kerrr...!"
Meskipun ucapan kasar dan tidak sopan itu membuat kulit wajah Panji memerah,
namun ia berusaha menekan kemarahan dalam dadanya. Kendati demikian, api
kemarahan itu terpancar jelas pada sorot matanya yang tajam berkilat.
Pendekar Naga Putih cukup maklum dengan sikap dan ucapan Pertapa Muka
Setan. Kakek itu memang bukan tokoh golongan putih. Tapi ia juga tidak sudi disebut
sebagai tokoh golongan hitam. Sikapnya angin-anginan. Kadang perbuatannya tak berbeda
dengan orang-orang golongan sesat. Tapi, juga tidak jarang ia memberikan pertolongan
sebagaimana layaknya tokoh-tokoh golongan putih.
Ketidaktetapan sikap Pertapa Muka Setan tentu saja mempunyai alasan yang kuat.
Ia tidak suka kepada golongan putih, yang menurut pandangannya merupakan kumpulan
orang-orang sombong yang sok benar dan bersih. Sedangkan kepada kaum golongan
hitam, Pertapa Muka Setan sangat benci. Mereka dianggapnya sebagai manusia yang
memiliki watak jauh lebih rendah daripada binatang buas.
Alasan-alasan itu membuat Pertapa Muka Setan tidak menempatkan dirinya ke
dalam golongan mana pun. Ia lebih suka sendiri. Bebas bertindak tanpa ada ikatan
peraturan.
Tapi, tidak demikian dengan Kenanga. Ucapan kotor Pertapa Muka Setan yang
ditujukan kepadanya membuat para dara jelita ini marah. Ia tidak bisa membiarkan
dirinya dihina orang seenaknya.
"Seharusnya sebutan pertapa tidak pantas kau taruh di depan julukanmu. Tua
Bangka Sinting! Otak dan hatimu sama kotornya dengan comberan!" Kenanga mengumpat
Pedang Sinar Bulannya segera diloloskan. Begitu ucapannya selesai, Kenanga melesat
disertai ayunan pedang yang menebarkan hawa dingin.
"Hop!"
Tapi, ketika tubuh Kenanga bergerak dari tempatnya, Pertapa Muka Setan
membentak harus. Telapak tangannya didorongkan ke arah Kenanga.
Kaget bukan main dara jelita itu. Satu gelombang angin kuat menahan laju
tubuhnya. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, gelombang angin aneh itu melibat
tubuhnya, membuat Kenanga mengambang di udara! Kenyataan yang mengejutkan
sekaligus mengherankan itu membuat Kenanga pucat oleh cengkeraman rasa ngeri.
"Lepaskan gadis itu...!"
Panji yang melihat kehebatan ilmu aneh itu, segera melompat sambil mengirimkan
pukulan jarak jauh. Pertapa Muka Setan kelihatan terkejut. Sambaran gelombang angin
dingin yang sangat kuat mengancam dirinya. Ia tahu pukulan jarak jauh itu tidak bisa
dianggap remeh. Pertapa Muka Setan segera memutar lengannya menyambut serangan
Pendekar Naga Putih.
Breshhh...!
Panji hampir tak percaya dengan penglihatannya. Gelombang angin pukulannya
buyar terhantam kekuatan berhawa panas yang keluar dari telapak tangan Pertapa Muka
Setan. Cepat ia melompat mundur, ketika gelombang angin pukulan kakek itu terus
meluncur ke arahnya.
"Hebat luar biasa kepandaian kakek itu...!" desis Panji terkagum-kagum. Padahal,
dalam pukulan jarak jauh itu Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Pukulan itu ternyata dapat dipatahkan dengan mudah oleh Pertapa Muka Setan.
"Pantaslah nama kakek berwajah buruk itu sangat ditakuti tokoh-tokoh persilatan.
Kiranya kepandaian Pertapa Muka Setan memang benar-benar luar biasa...!"
Sementara itu, Kenanga yang sudah terbebas dari kekuatan aneh Pertapa Muka
Setan, berhasil mendarat di tanah dengan selamat. Pedangnya direntangkan di depan
dada. Rupanya, meskipun sudah merasakan kehebatan Pertapa Muka Setan, Kenanga
sedikit pun tidak merasa gentar, ia sudah menyiapkan jurus andalannya untuk
menggempur kakek itu.
"Kenanga, menyingkirlah...!" Pendekar Naga Putih yang merasa khawatir dengan
keselamatan kekasihnya, segera mengingatkan. Kenanga terpaksa membatalkan niatnya.
Gadis itu kembali menyingkir ke tempat Banowati berada.
***
"Hak hak hak... Kerrr...! Kau takut si montok itu cidera olehku, Pendekar Naga
Putih? Jangan khawatir. Mana tega aku mencelakai perempuan secantik kekasihmu. Ia
tidak pantas berkelahi di sini. Paling-paling berkelahi di atas kasur empuk. Hak hak hak...
Kerrr...!"
Pertapa Muka Setan mengejek Pendekar Naga Putih dengan kata-kata yang
memanaskan telinga. Ucapan itu sengaja dilontarkan untuk menyembunyikan rasa
kagetnya akan kekuatan Pendekar Naga Putih. Karena, sewaktu mematahkan serangan
Panji tadi, kelihatannya saja ia tidak menggunakan banyak tenaga. Padahal, untuk
serangan itu ia telah mengerahkan separo dari tenaganya. Tapi itulah kehebatan Pertapa
Muka Setan. Ia pandai menyembunyikan perasaannya. Sehingga, Pendekar Naga Putih
tidak mengetahui apa yang dirasakannya.
***
"Simpan saja semua ocehan kotormu itu, Pertapa Muka Setan!" geram Panji dengan
gusar.
"Simpan? Simpan di mana...?" Pertapa Muka Setan pura-pura bodoh. Seraya
memasang wajah tolol, ia celingukan seperti orang kebingungan.
"Hm.... Mengapa harus bingung-bingung. Simpan saja dalam dengkulmu yang
sudah reyot itu...," ujar Panji.
"Eh! Jadi, dengkulmu sudah reyot? Hak hak hak.... Kerrr...!" Pertapa Muka Setan
mengembalikan ucapan Panji sambil memperdengarkan tawa ganjilnya. "Apakah sudah
banyak ocehan kotor yang kau simpan di dalam dengkulmu, Pendekar Naga Putih?"
"Dengkulmu, Kakek Peyot!" sentak Panji jengkel.
"Iya. Dengkulmu, kan?" Pertapa Muka Setan tidak mau kalah.
"Dengkulmu!"
"Dengkulmu!"
"Dengkulmu!"
"Hak hak hak.... Kerrr...!" Pertapa Muka Setan tertawa terpingkal-pingkal.
"Mengapa kita harus ribut soal dengkul-dengkulan? Sudahlah. Kita pilih saja dengkul sapi,
bagaimana? Kau setuju? Atau sebaliknya dengkulmu kucopot saja dulu, supaya kita tidak
meributkannya lagi...."
Baru saja ucapan itu selesai, tahu-tahu sosok Pertapa Muka Setan lenyap! Panji
tersentak kaget ketika merasakan sambaran angin kuat mengancam dengkulnya. Ada rasa
nyeri meskipun cengkeraman jari-jari Pertapa Muka Setan masih tiga jengkal lagi dari
kakinya. Cepat, Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk
melindungi tubuhnya. Kakinya digeser dengan kuda-kuda rendah. Kemudian, Panji
mengibaskan tangannya untuk menyambut cengkeraman Pertapa Muka Setan.
Tapi, Pendekar Naga Putih kecewa! Pertapa Muka Setan tidak meladeni kibasan
tangannya. Lengan kakek berwajah buruk itu berputar setengah lingkaran dengan
kecepatan nyaris tak terlihat mata. Tahu-tahu, cengkeraman itu kembali meluncur
mengancam lutut Pendekar Naga Putih!
"Haliitt..!"
Meskipun gerakan Pertapa Muka Setan nyaris tidak terlihat, sambaran anginnya
dapat dirasakan Panji. Bergegas Pendekar Naga Putih menarik kaki kanannya ke belakang.
Bersamaan dengan itu, pukulan tangan kirinya meluncur menuju sumber sambaran angin
itu. Terdengar suara benturan keras. Kedua lengan yang sama-sama terisi tenaga dalam
kuat itu saling beradu.
Tingkat tenaga dalam Pertapa Muka Setan yang sedikit lebih tinggi membuat tubuh
Panji terjajar mundur. Sedangkan saat itu, Pertapa Muka Setan sudah melanjutkan
serangan dengan telapak tangan kirinya ke arah dada. Pendekar Naga Putih yang dalam
keadaan terjajar, tak sempat lagi menghindar.
Blakkk!
"Hukhhh!"
Hantaman telak itu melemparkan Pendekar Naga Putih! Meskipun tidak
terpelanting jatuh dan dapat berdiri tegak setengah berjumpalitan di udara, namun wajah
Panji tampak agak pucat. Hantaman itu menyesakkan dadanya, hingga jalan napasnya
terganggu. Cairan merah merembes dari sudut bibir Panji. Pukulan Pertapa Muka Setan
rupanya telah mengguncangkan bagian dalam tubuh Pendekar Naga Putih.
"Hak hak hak... Kerrr...!" Melihat keadaan lawannya, Pertapa Muka Setan tergelak
kesenangan. "Cuih! Cuma begitu sajakah kepandaian pendekar muda yang digembar-
gemborkan memiliki ilmu-ilmu mukjizat? Mukjizat tai kucing!" lanjutnya sambil meludah
ke tanah.
Pendekar Naga Putih tidak meladeni ejekan lawannya. Saat itu, 'Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi' tengah bekerja untuk membakar luka di dalam tubuhnya. Setelah dadanya
kembali terasa lapang, tenaga gabungannya segera di kerahkan untuk menghadapi Pertapa
Muka Setan.
"Ah! Itukah 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang mukjizat? Hebat... hebat...!"
Meskipun mulutnya memuji, namun nada ucapannya terdengar menghina sekali. "Nah!
Hayo buktikan kemukjizatan tenaga itu, Pendekar Naga Putih...," lanjutnya sambil tertawa.
"Haaattt...!"
Panji menerjang maju dengan sebuah pukulan lurus ke arah dada. Kali ini Pertapa
Muka Setan tidak langsung menyambutnya. Deruan gelombang angin dingin dan panas
yang mengiringi datangnya serangan Pendekar Naga Putih, dielakkan dengan menggeser
tubuhnya ke samping. Kakek jangkung itu tidak perlu melompat. Cukup melangkahkan
kakinya yang panjang. Serangan Panji pun lewat di samping tubuhnya.
Tapi, ketika ia hendak membalas, cengkeraman tangan kiri Pendekar Naga Putih
sudah datang menyusul! Pertapa Muka Setan cepat mengegoskan tubuhnya dengan satu
liukan manis. Bersamaan dengan itu, sebuah tendangan berputar yang mengancam kepala
lawan dilontarkan.
Bwettt…!
Tendangan maut yang apabila mengenai sasaran akan dapat meremukkan kepala,
menyambar lewat di atas kepala Pendekar Naga Putih. Beruntung Panji segera
menundukkan kepalanya. Lalu, dengan gerak 'Naga Sakti Muncul di Permukaan Air',
tubuh Pendekar Naga Putih meliuk. Kemudian, menyembul dengan mendorongkan kedua
tangannya.
Whusss...!
"Yakhhh...!"
Pertapa Muka Setan membentak, melempar tubuhnya ke samping dengan gerak
melintir. Dengan cara seperti itu, tahu-tahu Pertapa Muka Setan telah berada di belakang
Panji. Babatan sisi telapak tangannya menderu menghantam punggung Pendekar Naga
Putih.
Bukkk!
Pendekar Naga Putih terpekik. Tubuhnya terjerembab ke depan dan jatuh mencium
tanah. Tapi, secepat kilat Panji menggelinding. Pemuda itu melenting bangkit seraya
membuat gerakan berputar setengah lingkaran di udara. Dari sebelah atas Pendekar Naga
Putih mendorongkan kedua tangannya ke arah lawan. Sebentuk gelombang angin dingin
dan panas menderu dahsyat.
Bresssh...!
Pertapa Muka Setan yang tidak menyangka Pendekar Naga Putih akan bertindak
demikian, tak sempat lagi menyelamatkan diri. Angin pukulan tenaga gabungan Panji telak
menghantam tubuhnya. Pertapa Muka Setan terhempas deras, melayang di udara dengan
diiringi pekik kesakitan.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang berbuat nekat dengan menguras hampir
setengah tenaga gabungannya untuk melakukan serangan balasan itu, tampak
memuntahkan darah segar. Tubuhnya terhuyung limbung. Penggunaan tenaga yang
dipaksakan itu membuat luka dalamnya kembali parah. Serangan balasannya memang
berhasil mengenai sasaran. Meski untuk itu Panji harus menggigit bibirnya kuat-kuat
menahan rasa sakit pada bagian dalam dadanya.
"Kakang...!"
Kenanga yang menyaksikan perkelahian itu dengan rasa cemas langsung
meninggalkan Banowati. Dengan dua kali loncatan, dara jelita itu sudah berada di samping
Pendekar Naga Putih. Tubuh kekasihnya yang masih terhuyung-huyung itu segera
dipeluknya erat-erat. Panji mengeluh tertahan. Kemudian, diam tak bergerak-gerak lagi.
"Kakang...!"
Kesanga menjerit panik. Diguncang-guncangnya tubuh Panji. Ketika mengetahui
kekasihnya masih bernapas, meski perlahan, bergegas Kenanga merebahkannya di atas
tanah.
"Auwww...!"
Suara jeritan Banowati membuat Kenanga tersentak kaget. Bergegas ia menoleh ke
tempat Banowati berada. Betapa cemas hati Kenanga. Banowati tengah berusaha
menyelamatkan diri dari Pertapa Muka Setan yang hendak menangkapnya. Untung
Banowati cukup cerdik. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu digunakan untuk
berlindung dari kejaran Pertapa Muka Setan. Kakek itu rupanya berhasil mengatasi rasa
sakitnya setelah terlempar karena serangan Pendekar Naga Putih.
"Iblis Kotor! Lepaskan perempuan itu...!" akhimya, Kenanga memutuskan untuk
menolong Banowati. Keputusan itu diambil setelah mengetahui kalau meskipun Panji
mengalami luka dalam, namun itu tidak sampai membahayakan nyawa kekasihnya.
"Haiiitt...!"
Kenanga melancarkan bacokan ke arah punggung Pertapa Muka Setan. Meskipun
sadar kakek jangkung itu bukan tandingannya, tapi Kenanga tidak merasa gentar,
walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Whuukk...!
Suara mengaling yang disertai sambaran angin dingin itu disambut Pertapa Muka
Setan dengan desahan mengejek. Malas-malasan, kakek jangkung itu memutar tubuhnya.
Begitu mata pedang yang kini mengancam dada hampir menyentuh kulitnya, Pertapa
Muka Setan menggerakkan tangan kanan. Jari tengah dan telunjuknya dijepitkan pada
mata pedang.
Jepitan kedua jari tangan itu sangat kuat, tak ubahnya capitan baja. Pedang
Kenanga pun tertahan. Tapi Kenanga tidak putus asa. Sambil membentak keras, ia
menekan mata pedang itu sekuat tenaga. Pertapa Muka Setan tertawa girang melihat
wajah dara di depannya tampak memerah dan berkeringat.
"Hak hak hak... Kerrr...! Susah, ya?" ejekPer-tapa Muka Setan. Kakek itu kelihatan
tenang-tenang saja. Seolah ia tidak mengeluarkan tenaga untuk melawan tekanan pedang.
Cukup lama Kenanga tersiksa oleh perbuatan Pertapa Muka Setan. Sebab,
jangankan untuk menekan atau menarik pulang pedangnya, melepaskan genggamannya
pun ia tidak bisa. Telapak tangannya seperti melekat dengan gagang pedang. Meskipun
sadar dirinya tengah dipermainkan, tapi Kenanga tidak bisa berbuat apa-apa.
Pertapa Muka Setan terkekeh. Kepalanya digoyang-goyangkan ke kiri-kanan.
Sampai akhirnya ia bosan sendiri, dan mengakhiri permainannya. Pertapa Muka Setan
membentak halus. Tapi, akibatnya sungguh hebat bagi Kenanga. Tubuh dara jelita itu
terlempar ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Kenanga merasakan alam di sekitar
seperti berputar. Pandangannya semakin samar. Sampai akhirya serpua terasa gelap.
Kenanga pingsan.
"Hak hak hak.... Kenr...! Pedang bagus... pedang bagus...!" sambil berkata
demikian, Pertapa Muka Setan mengayunkan langkah menghampiri Kenanga.
"Pertapa Muka Setan, jangan ganggu gadis itu...!" Seperti dapat menebak apa yang
dikehendaki kakek jangkung itu, Banowati langsung berteriak. Ia melompat keluar dari
tempat persembunyiannya. "Kau menginginkan aku, bukan? Hayo, tunggu apa lagi? Cepat
bawa aku pergi dari sini...!" lanjut Banowati. Ia tidak ingin dara jelita penolongnya itu
mendapat celaka. Banowati tahu Kenanga masih bersih, tidak seperti dirinya yang sudah
hancur.
Pertapa Muka Setan tertegun sejenak. Setelah menimbang-nimbang akhirnya ia
menganggukkan kepala. Dengan memperdengarkan tawa ganjilnya, Pertapa Muka Setan
melangkah ke arah Banowati.
"Hak hak hak... Kenr...! Kau tidak ingin dara montok itu celaka, ya? Kau ingin
menukar dengan dirimu karena ia telah bersusah payah hendak menolongmu, meskipun
gagal. Begitu kan? Nah, aku akan mengabulkan permintaanmu asal kau berjanji mau
menjadi istriku...."
Kalau saja saat itu ada halilintar menyambar di dekat telinganya, mungkin
Banowati tidak akan terkejut. Demikian kagetnya perempuan cantik itu, hingga wajahnya
langsung pucat seketika. Sungguh ia tidak pernah membayangkan akan menjadi istri
seorang kakek tua renta!
"Kalau kau tidak bersedia, aku akan membawamu dengan paksa, juga gadis molek
itu. Bagaimana? Aku memberimu pilihan karena aku tidak suka memaksa perempuan
untuk melayaniku. Aku ingin dilayani sebagai seorang suami. Bagiku itu lebih
menyenangkan Hak hak hak... Kenr...!"
"Baiklah. Aku bersedia!" karena tidak punya pilihan lain, dan ia tidak ingin
Kenanga ikut menjadi korban, Banowati pun terpaksa menyetujui permintaan Pertapa
Muka Setan. "Tapi, untuk itu aku meminta persyaratan darimu."
"Hak hak hak.... Kerrr...! Coba kau sebutkan, Istriku...," tanpa perlu berpikir lagi,
Pertapa Muka Setan langsung meminta Banowati menyebutkan persyaratannya.
"Pertama, kau harus mengajariku ilmu silat."
"Boleh... boleh...," Pertapa Muka Setan mengangguk-angguk.
"Kedua, kau harus membantu mencari musuh-musuhku dan membalas
dendamku."
"Bisa... bisa...," ujar Pertapa Muka Setan menyetujui. "Apakah masih ada yang
lainnya?"
"Kembalikan pedang gadis itu. Setelah itu, kau boleh membawaku ke mana saja.
Kau boleh memperlakukan aku sesukamu," ujar Banowati pasrah. Air mata mengalir di
kedua pipinya. Hati Banowati menangis pedih. Menangisi kemalangan nasibnya.
Pertapa Muka Setan tertawa tergelak-gelak. Pedang Sinar Bulan segera dilemparkan
ke samping tubuh Kenanga. Lalu, dengan sekali bergerak, tubuh Banowati dibawanya
pergi meninggalkan tempat itu. Suara tawa ganjilnya mengiringi kepergian kakek itu.
ENAM
Sejak diusir Iblis Pengisap Bunga, watak La Bondang dan Kebo Danayan semakin
jauh berubah. Dendam dan sakit hati pada Iblis Pengisap Bunga yang kepandaiannya jauh
berada di atas mereka, membuat kedua orang itu merasa terbuang. Mereka pun lalu
melakukan tindakan gila-gilaan! Bagi perempuan-perempuan muda, terutama yang pandai
ilmu silat, La Bondang dan Kebo Danayan merupakan ancaman besar. Mereka menculik,
memperkosa, dan membunuh setiap perempuan-perempuan muda tanpa belas kasihan
sedikit pun.
La Bondang dan Kebo Danayan benar-benar sudah tak berbeda dengan iblis-iblis
neraka. Tangisan dan rintihan korban membuat mereka memperoleh kepuasan tersendiri.
Semua itu mereka lakukan sebagai pelampiasan kegagalan mereka membalaskan kematian
Loh Jarang. Terhadap Iblis Pengisap Bunga yang telah menggagalkan usaha mereka juga
tertanam dendam dan sakit hati. Meskipun kepandaian mereka kalah jauh, namun La
Bondang dan Kebo Danayan mempunyai keyakinan kelak mereka akan dapat membalas
perbuatan Iblis Pengisap Bunga.
Sepak terjang La Bondang dan Kebo Danayan tentu saja mengundang kemarahan
tokoh-tokoh golongan putih. Terlebih setelah mereka menyaksikan korban-korban
keganasan kedua orang itu. Mereka ditinggalkan begitu saja di dalam hutan, di tengah
persawahan, atau di bangunan-bangunan tua yang tidak terpakai lagi. Hampir setiap hari
orang menemukan mayat-mayat perempuan muda terbujur kaku dalam keadaan telanjang
bulat!
Kekejaman La Bondang dan Kebo Danayan yang telah melampaui batas membuat
tokoh-tokoh golongan putih dituntut untuk segera bertindak. Tapi, La Bondang dan Kebo
Danayan ternyata tidak mudah ditaklukkan. La Bondang dan Kebo Danayan memang
tidak cuma mengandalkan kepandaian saja. Mereka licik dan pandai menyamar.
Dalam melakukan setiap aksinya, kedua tokoh yang digerogoti penyakit dendam itu
selalu merubah wajah dan penampilannya. Semua itu didapat La Bondang dan Kebo
Danayan dari cara Banowati membunuh saudara mereka. Wajah dan penampilannya yang
selalu berubah-ubah itulah yang menyebabkan tokoh-tokoh persilatan sulit
menangkapnya. Sehingga, La Bondang dan Kebo Danayan tetap berkeliaran melakukan
aksi balas dendamnya.
Tokoh-tokoh persilatan yang mengincarnya gugur satu persatu. Bahkan, dengan
tipu muslihat dan siasat licik, La Bondang dan Kebo Danayan dapat merobohkan musuh-
musuh yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari mereka. Banyaknya tokoh-tokoh yang
berguguran serta semakin mengganasnya La Bondang dan Kebo Danayan, membuat
mereka mendapat julukan yang mendirikan bulu roma. Iblis Neraka Jahanam!
"Ha ha ha...! Ternyata bukan cuma orang-orang berkepandaian tinggi saja yang bisa
membuat nama besar. Orang-orang terbuang seperti kita juga dapat menggegerkan dunia
persilatan. Bahkan, dijuluki Iblis Neraka Jahanam! Benar-benar suatu penghormatan yang
patut kita syukuri...."
Ucapan itu keluar dari mulut La Bondang. Tawanya meningkahi ucapan rasa puas
dan bangganya. Saat itu, ia tengah duduk berhadapan dengan Kebo Danayan di dalam
sebuah kuil tua yang mereka gunakan untuk bermalam.
Kebo Danayan tidak menanggapi perkataan saudara tuanya. Dengan malas-
malasan, ia bergerak bangkit dari tidurnya. Tanpa berkata apa-apa, Kebo Danayan
mematikan api unggun yang tadi malam mereka gunakan untuk mengusir nyamuk.
"Kau kenapa, Kebo?" La Bondang menegur dengan kening berkerut. "Kelihatannya
hari ini kau tidak gembira...?"
Kebo Danayan masih juga diam. Dihempaskannya tubuhnya di samping La
Bondang dengan lesu. Kebo Danayan menatap wajah saudara tuanya itu lekat-lekat.
"Rasanya kita sudah bertindak sangat jauh, Kakang. Sebaiknya kita sudahi saja
perbuatan itu. Korban yang jatuh sudah cukup banyak. Bahkan, lebih dari cukup," ucap
Kebo Danayan pelan. Seolah ia benar-benar merasa berdosa dengan apa yang telah mereka
lakukan selama ini.
"Jangan bodoh, Adi Kebo!" La Bondang marah bukan main. Ia melompat bangkit
dari duduknya. "Kita sudah terlambat! Berhenti atau terus, sama saja. Kita sudah terlanjur
dikutuk dan dimusuhi tokoh-tokoh persilatan. Kita sudah benar-benar terbuang, Adi Kebo!
Ingat itu!"
"Tapi, Kakang...."
"Diam!" suara La Bondang menggelegar. "Apa kau tidak ingat bagaimana
menyakitkannya kematian yang diterima Loh Jarang, saudara kita itu? Apa kau telah lupa
bagaimana guru mencampakkan kita? Menyalahkan kita karena orang-orang celaka yang
pernah kita bunuh itu adalah murid Ketua Perguruan Rantai Emas, yang merupakan
sahabat baiknya. Bahkan, ketika Ketua Perguruan Rantai Emas itu memfitnah dengan
mengatakan bahwa kita yang bersalah dan telah berlaku semena-mena, guru justru
menurutinya. Begitu kita kembali dan mengadukan persoalan yang sebenarnya, apa yang
kita dapatkan? Kita dihajar habis-habisan. Bahkan kemudian diusir dan tidak diakui lagi
sebagai murid! Sakit hati ini, Adi Kebo. Sakit...!"
'Tapi kaulah sebenarnya yang menjadi biang keladi semua penderitaan ini, Kakang?
Kau yang terburu nafsu mencampuri persoalan orang lain, tanpa menyelidiki lebih dulu
duduk persoalannya. Kau telah dibutakan oleh kecantikan perempuan yang belakangan
kita tahu adalah istri salah satu murid Perguruan Rantai Emas. Kau tidak mau bertanya
lebih dulu. Main hajar saja. Akibatnya, murid Perguruan Rantai Emas tewas. Tidak heran
kalau ketuanya datang dan menuntut kepada guru." Kebo Danayan buru-buru memotong
ketika La Bondang tengah mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena terbawa
emosi.
"Jadi, kau juga menyalahkan aku...?" La Bondang menatap Kebo Danayan dengan
sorot mata gusar. "Saudara macam apa kau! Padahal kau sendiri ikut membantu ketika
murid-murid Perguruan Rantai Emas mengeroyokku."
"Itu aku akui, Kakang," suara Kebo Danayan, melemah. "Tapi, mengapa kau tidak
menceritakannya dengan jujur kepada guru?"
"Biarpun begitu, guru akan tetap memberi hukuman kepadaku. Adi Kebo! Kau tahu
sendiri, bukan? Betapa keras watak guru kita. Meski cuma karena melakukan kesalahan
kecil saja, kita akan dihukum!"
Kebo Danayan tidak menimpali lagi ia cuma bisa menghela napas panjang. Apa
yang dikatakan La Bondang tentang watak guru mereka memang tidak berlebihan. Mereka
bertiga dididik secara keras. Guru mereka lebih mementingkan nama dan kehormatan
ketimbang perasaan mereka. Kesalahan sedikit saja, bisa membuat guru mereka marah
besar. Dan, itu seringkali terjadi.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang...?" Akhirnya Kebo Danayan
mengalah, ia menyadari keadaan kakak seperguruannya yang waktu itu memang serba
salah.
"Melanjutkan apa yang sudah kita perbuat. Kita sudah terlanjur basah, Adi Kebo.
Tak seorang pun tokoh yang akan mengampuni kita. Sekarang pilihan kita cuma dua,
membunuh atau dibunuh!" jawab La Bondang tegas, ia kembali menghempaskan
tubuhnya ke samping Kebo Danayan.
"Memang begitu seharusnya...!"
Suara yang lantang, meski tidak terlalu keras itu, membuat La Bondang dan Kebo
Danayan berjingkrak kaget. Mereka berdiri tegak menatap ke arah pintu dengan senjata di
tangan.
***
"Ha ha ha...!"
Seiring dengan suara tawa mengejek itu, muncullah sesosok tubuh tegap. La
Bondang dan Kebo Danayan terbelalak. Sosok tubuh itu bukan lain Iblis Pengisap Bunga!
"Hm.... Mau apa lagi kau mengganggu ketenangan kami? Bukankah kami sudah
mengalah dan memberikan perempuan itu kepadamu?" La Bondang menegur dengan sikap
curiga. Ia kenal betul dengan Iblis Pengisap Bunga yang berwatak licik dan tidak segan-
segan berbuat curang.
"Mulanya aku memang mencari kalian berdua untuk... kubunuh! Karena perbuatan
kalian telah membuat aku menjadi incaran tokoh-tokoh golongan putih. Mereka
menyangka salah satu dari Iblis Neraka Jahanam adalah aku," jelas Iblis Pengisap Bunga.
Dengan tenang, ia melangkah masuk ke dalam ruangan kuil tua.
La Bondang dan Kebo Danayan saling tukar pandang sesaat. Mereka benar-benar
tidak menyangka Iblis Pengisap Bunga sampai ikut terkena getah perbuatan mereka. Di
samping merasa heran, La Bondang dan Kebo Danayan juga gembira. Secara tidak
langsung mereka telah membalas sakit hatinya pada Iblis Pengisap Bunga. Tapi, rasa
heran mereka lenyap ketika teringat siapa Iblis Pengisap Bunga sebenarnya. Sebagai
pemburu wanita, tentu saja Iblis Pengisap Bunga diduga tokoh-tokoh persilatan sebagai
salah satu dari Iblis Neraka Jahanam.
"Tapi bukan alasan itu yang membuat aku datang menemui kalian..," Iblis Pengisap
Bunga menyambung ucapannya.
"Kalau memang itu alasanmu pun, kami tidak takut!" Kebo Danayan menyahuti
sambil melintangkan senjatanya di depan dada.
"Sabar... sabar...," Iblis Pengisap Bunga mengangkat kedua tangannya. "Ada
persoalan penting yang hendak kubicarakan dengan kalian berdua. Ini menyangkut nyawa
kalian!"
"Jelaskan maksudmu, Iblis Pengisap Bunga!" La Bondang membentak garang.
"Ingat dengan perempuan yang kuambil dari kalian...?" Iblis Pengisap Bunga
bertanya.
La Bondang dan Kebo Danayan mengangguk. Padahal, mereka belum mengerti ke
mana arah perkataan Iblis Pengisap Bunga.
"Perempuan itu bernama Banowati...."
"Aaah...?!"
La Bondang dan Kebo Danayan terpekik kaget. Mereka-sampai terjajar mundur
saking terkejutnya. Wajah mereka pucat seketika. Tentu saja mereka ingat siapa
perempuan bernama Banowati itu. Ia adalah adik seperguruan mereka, yang baru mereka
ketahui setelah kembali dari perantauan. Guru mereka, Ki Danang Laya, memperkenalkan
Banowati yang baru beberapa bulan diangkat sebagai murid.
Banowati berwajah cantik dan masih muda. Sifatnya meskipun pendiam namun
ramah. Keberadaan Banowati membuat ketiga orang kakak seperguruannya tidak lagi
terlalu sering meninggalkan perguruan. Karena baik La Bondang, Loh Jarang, maupun
Kebo Danayan sama-sama menaruh hati terhadap adik seperguruannya itu. Tapi,
Banowati sendiri tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap mereka. Karena La Bondang,
Loh Jarang, maupun Kebo Danayan memiliki watak yang keras, yang terbentuk dari
didikkan Ki Danang Laya. Lebih-lebih terhadap Loh Jarang. Dari cara memandangnya,
Banowati seolah merasa ditelanjangi. Hingga, gadis itu merasa risih.
Ki Danang Laya tentu saja mengetahui perasaan ketiga orang muridnya itu. Ia tidak
keberatan jika Banowati memilih salah seorang di antara mereka. Tapi, sebelum Ki Danang
Laya sempat bertanya kepada Banowati, terjadilah peristiwa yang mengejutkan hatinya. La
Bondang, Loh Jarang, dan Kebo Danayan yang pagi itu ditugaskan berbelanja ke desa,
telah membuat masalah dengan membunuh salah seorang murid Perguruan Rantai Emas.
Peristiwa itu membuat Ki Danang Laya sangat berduka. Ketua Perguruan Rantai Emas
adalah salah seorang sahabat baiknya.
La Bondang, Loh Jarang, dan Kebo Danayan yang datang mengadukan duduk
persoalannya, dimarahi habis-habisan. Ki Danang Laya tetap menyalahkan murid-
muridnya yang telah bertindak ceroboh. La Bondang, Loh Jarang, dan Kebo Danayan tidak
berani membantah ketika Ki Danang Laya mengusir mereka dari perguruan.
Rasa duka akibat perbuatan ketiga muridnya membuat Ki Danang Laya sakit-
sakitan. Adanya Banowati yang merawatnya dengan penuh kesabaran merupakan satu-
satunya hiburan bagi Ki Danang Laya. Tapi, sungguh tidak disangkanya kalau La
Bondang, Loh Jarang, dan Kebo Danayan mencari-cari alasan agar bisa memiliki Banowati
yang membuat mereka tergila-gila.
Pikiran gila itu membuat La Bondang dan saudara-saudaranya menaruh benci dan
dendam. Dengan berpura-pura hendak bertobat, mereka datang menemui Ki Danang Laya.
Tapi, orang tua itu ternyata tidak berada di tempat. Beliau sedang pergi mengunjungi
Perguruan Rantai Emas. Mengetahui Banowati berada sendirian, La Bondang dan kedua
saudaranya langsung menyergapnya. Bujukan-bujukan setan jahanam telah membuat hati
dan mata mereka buta. Terjadilah peristiwa terkutuk yang seharusnya tidak boleh mereka
lakukan!
Dapat dibayangkan betapa murkanya Ki Danang Laya ketika sepulang dari
kunjungannya ke tempat sahabatnya, menemukan Banowati menggeletak pingsan dengan
pakaian tak karuan. Terlebih setelah Banowati sadar dan mengatakan bahwa pelaku
perbuatan biadab itu adalah tiga kakak seperguruannya. Kenyataan itu sangat
mengguncangkan jiwa Ki Danang Laya. Tapi, ia tidak mempunyai waktu untuk mencari
murid-murid murtad itu. Ia harus merawat Banowati yang selalu murung dan kehilangan
gairah hidup.
Peristiwa yang sama-sama mendatangkan duka di hati mereka telah membuat
hubungan kedua orang itu semakin dekat. Ki Danang Laya yang merasa kasihan kepada
Banowati meminta agar muridnya suka menjadi istrinya. Banowati tidak menolak. Ia pun
merasa kasihan kepada gunanya, yang semenjak peristiwa itu selalu sakit-sakitan.
"Jadi..., diakah yang telah membunuh Adi Loh Jarang...?" gumam La Bondang
dengan wajah pucat.
"Benar!" sahut Iblis Pengisap Bunga tegas. "Sekarang, kulihat ia melakukan
perjalanan bersama seorang tokoh luar biasa. Namanya tentu pernah kalian dengar..."
"Hmh!" Kebo Danayan mendengus. "Banowati dan tokoh itu mengejarmu, bukan?
Lalu, kau mencari kami dan menceritakan semua ini agar kami mau bergabung
bersamamu untuk menghadapi mereka. Itu yang kau inginkan, bukan?" lanjutnya tanpa
tedeng aling-aling.
"Kalau kau tahu siapa tokoh luar biasa yang sekarang bersama Banowati, tentu
kau tidak akan sesinis itu. Kebo Danayan...." Iblis Pengisap Bunga menukas dengan nada
tak senang.
"Tidak perlu menakut-nakuti kami, Iblis Pengisap Bunga!" La Bondang menggeram
jengkel. "Selama ini kamu sudah cukup banyak menghadapi lawan-lawan sakti dan
tangguh. Dan, seperti yang kau lihat, sampai saat ini kami masih segar-bugar...."
"Hm.... Lawan-lawan yang pernah kalian hadapi tidak ada artinya bagi kakek yang
bersama Banowati, La Bondang!" Iblis Pengisap Bunga masih juga berteka-teki.
"Seorang kakek...?!" La Bondang berpaling menatap Kebo Danayan, yang saat itu
juga tengah berpaling ke arahnya. Sejenak keduanya saling berpandangan.
"Siapa tokoh itu sebenarnya, Iblis Pengisap Bunga...?" tanya Kebo Danayan
kemudian.
Kebo Danayan maupun La Bondang semula mengira kakek itu adalah Ki Danang
Laya. Guru yang telah mengusir mereka. Tapi, ketika teringat Ki Danang Laya sudah
meninggal, dugaan itu segera mereka buang jauh-jauh. Mana mungkin orang yang sudah
mati bisa hidup lagi. Selain itu, Ki Danang Laya meskipun sudah cukup tua namun belum
pantas disebut kakek-kakek. Mereka jadi penasaran. Siapa kakek yang dilihat Iblis
Pengisap Bunga yang melakukan perjalanan bersama Banowati?
"Kakek itu berwajah buruk dan mengerikan. Dia dijuluki sebagai..., Pertapa Muka
Setan!" jawab Iblis Pengisap Bunga. Ia sengaja menekankan kata-katanya sewaktu
menyebut julukan Pertapa Muka Setan.
"Pertapa Muka Setan...?!"
La Bondang dan Kebo Danayan saling berpandangan dengan wajah pucat! Mereka
tentu saja pernah mendengar nama Pertapa Muka Setan. Seorang tokoh tingkat tinggi yang
hampir tidak pernah menampakkan diri di tempat-tempat ramai. Kendati demikian, nama
besar tokoh itu sangat ditakuti golongan putih maupun golongan hitam. Bahkan, guru
mereka sendiri merasa gentar terhadap Pertapa Muka Setan. Ki Danang Laya berpesan
kepada mereka agar jangan coba-coba mencari perkara dengan tokoh luar biasa itu.
"Bagaimana tokoh itu bisa berada bersama Banowati...?!" desis Kebo Danayan.
Bulu kuduknya berdiri ketika membayangkan wajah kakek itu yang kabarnya seperti
setan.
"Yah. Bagaimana Pertapa Muka Setan mau mengikuti Banowati? Ada hubungan
apa di antara mereka...?" La Bondang pun menyatakan keheranan hatinya.
"Kalau kalian ingin tahu, mereka adalah suami-istri! Keterangan itu kuperoleh dari
salah satu kedai yang pernah mereka singgahi," jelas Iblis Pengisap Bunga. La Bondang
dan Kebo Danayan hampir tidak percaya mendengarnya. "Memang sangat sulit dipercaya,"
lanjut Iblis Pengisap Bunga, yang rupanya juga belum bisa mempercayai berita itu. "Tapi,
kelihatannya hal itu bisa saja terjadi"
"Kalau begitu celaka kita," desis Kebo Danayan. "Banowati pasti masih penasaran
kepada kita. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?" tanyanya seraya berpaling
menatap La Bondang.
Perasaan La Bondang pun tidak berbeda dengan Kebo Danayan. Tokoh silat mana
yang tidak akan ngeri kalau mendengar Pertapa Muka Setan mencarinya. Meskipun belum
pernah bertemu, tapi La Bondang percaya kakek itu memiliki wajah seseram setan. Baru
membayangkan wajahnya saja ia sudah gemetar. La Bondang tidak bisa membayangkan
bagaimana jika kakek yang menggiriskan itu berada di hadapannya.
"Sebaiknya kita lari saja sejauh-jauhnya. Kalau perlu menyeberangi pulau atau
mengarungi lautan. Yang penting kita tidak berjumpa dengan kakek muka setan itu...," La
Bondang mengajukan usul.
"Percuma!" Iblis Pengisap Bunga menukas. "Ke mana pun kalian pergi, mereka
tetap akan mencari. Jangankan menyeberangi pulau atau mengarungi lautan, sampai ke
ujung dunia pun mereka akan mengejar!"
"Jangan bisanya cuma menakut-nakuti saja, Iblis Pengisap Bunga! Kalau kau
memang mempunyai usul yang lebih baik, cepat katakan!" tukas La Bondang gusar.
"Tentu saja aku punya usul yang lebih baik. Ayo, kalian ikut aku!" sahut Iblis
Pengisap Bunga. Tubuhnya segera diputar dan segera melangkah pergi.
La Bondang dan Kebo Danayan saling bertukar pandang sesaat. Lalu, keduanya
mengangguk dan bergegas mengayun langkah mengikuti Iblis Pengisap Bunga.
TUJUH
Lembah Gunung Siguntang masih diselimuti kabut tipis. Pancaran sinar matahari
bersinar lemah. Tak mampu menguak cuaca yang temaram. Udara lembab di sekitar
lembah menebarkan bau tanah basah.
Namun, keadaan itu tidak menjadi halangan bagi dua sosok tubuh yang tengah
bergerak menyusuri lembah. Dengan gerakan ringan mereka menapaki tanah basah,
mendekati sebuah bangunan tua yang masih terlihat kokoh. Tiba di depan bangunan
keduanya bergerak masuk melewati pintu gerbang, tanpa merasa perlu untuk
memperhatikan sekelilingnya.
"Hih hih hih...! Rupanya murid gendeng itu tidak berdusta. Masuklah, Muka Setan.
Masuklah! Aku memang sedang menunggu-nunggu kedatanganmu...!"
Tawa mengikik yang disusul dengan kata-kata menggema itu menyambut
kedatangan mereka. Keduanya menghentikan langkah tepat di depan pintu utama
bangunan. Mereka yang datang berkunjung ke tempat itu memang tidak lain Pertapa Muka
Setan dan Banowati.
Lembah Gunung Siguntang adalah tempat kediaman seorang tokoh tingkat tinggi
yang telah lama mengasingkan diri dari dunia ramai. Semasa masih melanglang buana di
rimba persilatan tokoh itu dikenal sebagai Harimau Lembah Siguntang. Sekitar dua puluh
tahun silam, ia kembali dan menetap di tempat asalnya sambil mendidik seorang murid.
Yang kemudian membuat geger rimba persilatan dengan julukan Iblis Pengisap Bunga.
Setelah mengetahui kepada siapa saja Banowati menaruh dendam, Pertapa Muka
Setan langsung mengajaknya ke Lembah Gunung Siguntang. Pertapa Muka Setan tidak
mau pusing-pusing mencari Iblis Pengisap Bunga yang menurutnya sangat sulit diikuti
jejaknya. Maka, ia pun mengambil jalan pintas dengan mendatangi tempat itu, dengan
harapan akan dapat menemukan Iblis Pengisap Bunga. Atau paling tidak, bisa meminta
petunjuk Harimau Lembah Siguntang tentang di mana Iblis Pengisap Bunga berada.
"Hoeiii..., Harimau Ompong!" Pertapa Muka Setan berseru dengan mengerahkan
tenaga dalam. Gema suaranya bergaung memenuhi penjuru lembah. "Aku datang kemari
hendak meminta nyawa muridmu! Si Goblok Tolol itu sudah berani berlaku kurang ajar
terhadap istriku! Hayo, serahkan dia! Atau tempatmu kuratakan dengan tanah...!"
Baru saja ucapan Pertapa Muka Setan berakhir, angin keras bertiup mengibarkan
pakaian mereka.
Setelah tiupan angin lenyap, sesosok tubuh kekar telah berdiri di hadapan Pertapa
Muka Setan dan Banowati.
"Hak hak hak... Kerrr...!" Pertapa Muka Setan memperdengarkan tawanya yang
ganjil. "Rupanya kau hendak pamer kepandaian di depanku, Harimau Ompong? Tapi...,
tak apalah. Kulihat ilmu meringankan tubuhmu cukup banyak memperoleh kemajuan! Eh,
mana itu muridmu yang sialan? Apa kau hendak menyembunyikannya?"
"Hih hih hih...!"
Harimau Lembah Siguntang tertawa mengikik. Tokoh ini pun tak kalah anehnya
dengan Pertapa Muka Setan. Meskipun sudah tua, namun tubuhnya masih kekar. Wajah
dan potongan rambutnya benar-benar mirip kepala harimau. Tapi, suara tawanya sangat
berbeda jauh dengan penampilannya. Tawanya lebih mirip suara perempuan. Suaranya
pun kecil dan melengking.
"Sebaiknya kita lupakan saja murid gendengku itu, Muka Setan. Ia memang kurang
ajar sekali. Kuizinkan ia meninggalkan tempat ini dengan membawa satu tugas yang harus
segera diselesaikan, tapi tidak diperhatikannya. Begitu berada di luar, murid gendeng itu
malah membuat geger rimba persilatan dengan perbuatannya yang gila-gilaan. Sampai-
sampai ia dijuluki Iblis Pengisap Bunga! Sementara tugas yang kuberikan diabaikan begitu
saja. Benar-benar keterlaluan murid gendeng itu. Tapi.., meski begitu, aku suka dan
bangga sekali kepadanya...."
Tanpa diminta, Harimau Lembah Siguntang kemudian menceritakan tentang
muridnya, Iblis Pengisap Bunga.
"Muka Setan..!" Banowati yang sejak tadi diam mendengarkan, kelihatan mulai
kesal. Ini tersirat dari nada suaranya yang sumbang. "Mengapa harus membuang-buang
waktu menghadapi kecebong ini? Sebaiknya kita periksa seluruh isi bangunan. Kalau dia
menghalangi, hajar saja. Habis perkara...."
Pertapa Muka Setan kelihatan takut sekali mendengar nada bicara Banowati.
Sambil memandang Banowati, kepalanya mengangguk-angguk. Begitu ucapan Banowati
selesai, ia kembali menatap Harimau Lembah Siguntang. Wajahnya terlihat garang ketika
memandang majikan Lembah Gunung Siguntang itu.
"Cepat serahkan Goblok Tololmu itu! Atau...."
'Tunggu dulu, Muka Setan!" Harimau Lembah Siguntang mengangkat sebelah
tangannya. "Lupakan tentang murid gendengku itu. Ada satu persoalan yang jauh lebih
penting daripada mengurusi muridku itu."
"Muka Setan..!" Banowati mendesis memperingatkan suaminya.
Pertapa Muka Setan pun menggeram dengan sepasang mata berkilat. Ucapan
Banowati merupakan isyarat baginya untuk segera bertindak.
"Serahkan muridmu kataku...!"
Bentakan Pertapa Muka Setan kali ini disertai dengan lontaran pukulan lurus ke
kepala Harimau Lembah Siguntang. Namun, dengan gerakan yang cepat luar biasa tokoh
itu sudah lebih dulu menghindar.
"Dengar dulu apa yang akan kubicarakan. Muka Setan!" Harimau Lembah
Siguntang masih berusaha menghindari perkelahian. Tapi, Pertapa Muka Setan tidak lagi
peduli. Ia melepaskan dua buah pukulan beruntun yang disertai angin bercuitan.
Plak! Plakk!
Serangan yang cepat dan sangat berbahaya itu langsung disambut Harimau
Lembah Siguntang. Benturan sepasang lengan itu membuat tubuh Harimau Lembah
Siguntang terpelanting. Sedangkan Pertapa Muka Setan masih berdiri tegak di tempatnya.
Tubuhnya hanya bergetar akibat benturan itu. Tentu saja kenyataan ini sangat
mengejutkan Harimau Lembah Siguntang. Sungguh tak disangkanya kepandaian Pertapa
Muka Setan telah meningkat demikian pesat. Sadarlah Harimau Lembah Siguntang kalau
Pertapa Muka Setan yang sekarang tidak dapat disamakan dengan yang ia kenal dulu.
"Dengar, Mu...."
Harimau Lembah Siguntang tidak dapat menyelesaikan ucapannya. Pertapa Muka
Setan sudah kembali menerjang. Rupanya ia sudah tidak ingin mendengar penjelasan
Harimau Lembah Siguntang. Kali ini serangannya lebih ganas! Harimau Lembah Siguntang
terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh. Kecuali kalau ia memang sudah merasa
bosan hidup.
Menyadari Pertapa Muka Setan memang sudah tidak bisa diajak bicara lagi,
Harimau Lembah Siguntang segera mengeluarkan jurus-jurus andalannya. 'Jurus
Bayangan Harimau Setan' yang telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan, mulai
dipergunakannya. Pertarungan antara kedua tokoh tingkat tinggi itu pun semakin
mendebarkan.
Banowati segera menyingkir jauh-jauh dari arena pertarungan. Batu-batu kecil
yang beterbangan serta angin pukulan yang tajam bercuitan, bisa mencelakakan dirinya
kalau ia tidak berlindung di tempat yang aman. Dan, menyaksikan pertarungan itu dari
kejauhan.
"Yakhhh...!"
Lewat dari lima puluh jurus, Pertapa Muka Setan menjadi penasaran. Serangan
semakin diperhebat. Sepasang tangannya bergerak cepat hingga terlihat banyak. Sulit
dibedakan mana tangan yang sesungguhnya. Tahu-tahu, sebuah pukulan lurus meluncur
ke arah dada kiri Harimau Lembah Siguntang!
Bweettt...!
Pukulan dahsyat itu luput. Harimau Lembah Siguntang masih sempat menggeser
tubuhnya. Kemudian, langsung membalas dengan cengkeraman cakar harimau. Tapi,
betapa terkejutnya Harimau Lembah Siguntang, lawan telah menyusuli serangannya yang
luput.
Desss!
Hantaman telapak tangan Pertapa Muka Setan demikian cepat. Tak ayal lagi, tubuh
Harimau Lembah Siguntang terlempar deras. Dan, jatuh bergulingan di tanah dengan
disertai muntahan darah segar. Meskipun begitu, dengan sigapnya lelaki berparas mirip
harimau itu segera melenting bangkit. Walaupun wajahnya terlihat pucat dan cairan
merah masih merembes dari celah-celah bibirnya, Harimau Lembah Siguntang belum mau
menyerah.
Untuk sesaat pertarungan terhenti. Pertapa Muka Setan tidak melanjutkan
serangannya, ia berdecak kagum melihat kehebatan daya tahan tubuh lawan.
"Kau ternyata semakin bertambah hebat, Harimau Ompong...!" desis Pertapa Muka
Setan memuji.
"Dan kau semakin Tolol, Muka Setan!" geram Hirimau Lembah Siguntang. Sebelum
Pertapa Muka Setan menukas, Harimau Lembah Siguntang buru-buru melanjutkan
ucapannya. "Ketahuilah, perempuan yang kau bela itu adalah bekas istri Ki Danang Laya.
Tentu kau pernah mendengar namanya, bukan? Panglima Perang Kerajaan Galung yang
sangat pandai dan berani. Kau pasti juga tahu apa yang kemudian terjadi dengan Kerajaan
Galung setelah Senapati Danang Laya dicopot dari jabatannya, karena dituduh
bersekongkol dengan pihak musuh. Mengingat jasa-jasanya pada negara, ia tidak
mendapat hukuman mati. Hanya diberhentikan dengan tidak hormat. Sepeninggal
Senapati Danang Laya, Kerajaan Galung runtuh. Habis diporak-porandakan musuh!"
"Kehebatan ilmu siasat perangnya membuat banyak pihak mengejar-ngejarnya."
Harimau Lembah Siguntang melanjutkan ceritanya. Sementara Pertapa Muka Setan
kelihatan terkejut sekali. "Tapi, Senapati Danang Laya dapat menghindari kejaran mereka.
Ia menghilang tanpa jejak, bagai ditelan bumi. Bertahun kemudian, setelah Senapati
Danang Laya tidak juga dapat diketemukan, orang-orang pun melupakannya. Tapi, aku
tidak! Begitu Pinggala selesai kudidik, ia segera kutugaskan untuk mencari Senapati
Danang Laya. Rupanya, kitab ilmu perang yang dibuat Senapati Danang Laya memang
berjodoh denganku. Buktinya, Pinggala, muridku yang kini bergelar Iblis Pengisap Bunga,
secara kebetulan berjumpa dengan dua orang bekas murid panglima perkasa itu! Kau tahu
apa artinya ini, Muka Setan? Sebentar lagi, bila aku dan kau bergabung, kita akan
merasakan hidup senang di dalam istana. Kitab ilmu perang itu sangat berharga. Bila kita
tawarkan kepada kerajaan dengan imbalan jabatan, sudah pasti langsung disetujui!"
Pertapa Muka Setan tercenung dengan bibir terkatup rapat. Penjelasan Harimau
Lembah Siguntang sangat mengejutkannya. Beberapa saat kemudian, kepala kakek itu
berpaling mencari-cari Bano wati. Perempuan yang telah menjadi istrinya itu tengah
bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Tatapannya lalu kembali diarahkan pada
Harimau Lembah Siguntang.
"Benarkah... apa yang kau katakan itu..?" tanyanya meminta ketegasan.
"Apa yang dikatakan guruku memang benar, Pertapa Muka Setan...!" tiba-tiba
terdengar suara lain menyahuti. Disusul dengan munculnya tiga sosok tubuh dari dalum
bangunan Mereka adalah I-blis Pengisap Bunga La Bondang, dan Kebo Danayan.
"Aku dan adik seperguruanku ini adalah murid-murid Ki Danang Laya yang
terbuang,..," La Bondang menambahkan sambil menunjuk Kebo Danayan yang berdiri di
sebelahnya. "Kami berdua tidak tahu kalau guru kami ternyata juga orang yang
terbuang...."
"Jadi...?"
"Yah. Perempuan itu pasti tahu di mana Ki Danang Laya menyembunyikan
kitabnya...," tukas Harimau Lembah Siguntang, seperti tahu yang ada dalam pikiran
Pertapa Muka Setan.
Pembahan yang tidak disangka-sangka itu membuat Banowati heran. Terlebih
ketika mendengar Pertapa Muka Setan dan Harimau Lembah Siguntang menyebut-nyebut
nama almarhum suaminya. Kedua kakek itu sepertinya telah mengenal baik almarhum
suaminya itu. Padahal, ia sendiri tidak pernah tahu kalau almarhum suaminya pernah
menjabat sebagai panglima perang di Kerajaan Galung.
"Tangkap perempuan itu...!"
Selagi Banowati tidak tahu harus berbuat apa, terdengar perintah Harimau Lembah
Siguntang. Pertapa Muka Setan tidak berusaha mencegah ketika Iblis Pengisap Bunga, La
Bondang, dan Kebo Danayan menghambur ke arah Banowati.
"Tahan..!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar. Sesosok bayangan hitam
berkelebatan. Iblis Pengisap Bunga, La Bondang, dan Kebo Danayan kaget bukan main.
Sebelum mereka sempat menahan langkah, sambaran angin yang sangat kuat telah
menerpa dan melemparkan tubuh mereka.
"Nenek Trindil...?!" seru Harimau Lembah Siguntang. Terkejut bercampur heran.
"Trenggiling Besi...?!" Pertapa Muka Setan pun berseru kaget.
Nenek tinggi kurus yang ditangan kanannya tergenggam tongkat hitam sepanjang
satu tombak hanya memperdengarkan tawa. Tampak mulutnya yang bersih alias ompong.
Di belakang Nenek Trindil berdiri Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang mengapit
Banowati.
***
"Hik hik hik...!"
Suara tawa mengekeh itu membuat Pendekar Naga Putih yang tengah terlentang di
atas tanah, mengangkat kepalanya. Sebelumnya ia sudah menangkap suara langkah kaki
ringan, tapi Panji tidak bergerak dari tempatnya. Meskipun luka dalamnya sudah
berangsur sumbuh, namun tenaganya masih belum pulih. Baru ketika mendengar tawa
mengekeh, Panji mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang.
"Hei, Bocah! Bukankah kau Pendekar Naga Putih yang terkenal itu? Mengapa kau
tidur di tempat ini, di tanah lagi? Apakah kau sedang melatih ilmu ciptaanmu yang baru?
Dan, apakah dara yang rebah di sebelah sana itu juga melakukan hal yang sama
denganmu?" Nenek tinggi kurus bersenjatakan tongkat hitam itu segera mengajukan
pertanyaan yang bertubi-tubi pada Panji.
Karena masih merasa lelah. Panji tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Apalagi, nada pertanyaan itu seperti mencemooh dirinya. Panji tidak mempedulikan nenek
itu. Ia kembali menurunkan kepalanya seperti semula.
"Aiii.... Sayang, pendekar muda yang terkenal sakti dan gagah ternyata budek alias
tuli," Nenek tinggi kurus itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tampaknya ia benar-benar
kecewa. "Ah, ada baiknya dara itu saja yang kudekati. Mudah-mudahan ia tidak ketularan
penyakit tuli Pendekar Naga Putih...," sambil berkata demikian, langkahnya diayunkan ke
arah Kenanga yang masih tergeletak pingsan.
"Jangan ganggu gadis itu...!" seraya melompat bangkit, Pendekar Naga Putih
berseru memperingatkan. Rasa cemas ketika mendengar nenek itu hendak mendekati
Kenanga, membuat Panji melupakan rasa lelahnya, ia berdiri tegak memandang punggung
nenek itu.
"Aiii.... Rupanya kau tidak tuli, ya? Nah, apakah sekarang kau mau menjawab
pertanyaanku tadi?" Nenek tinggi kurus memutar tubuhnya kembali.
Lagi-lagi Panji membiarkan pertanyaan nenek itu. Kali ini bukan karena malas
ataupun jengkel, ia tengah berusaha mengingat-ingat siapa nenek tinggi kurus itu. Panji
merasa pernah mengenal seorang tokoh wanita yang mirip dengan nenek di hadapannya
ini.
"Maaf...," Pendekar Naga Putih merangkapkan kedua tangannya. Tubuhnya agak
membungkuk.
"Sikapku tadi memang tidak sopan," akunya. "Kalau aku yang muda dan bodoh ini
boleh tahu, siapa Nenek sebenarnya...?"
"Aiii... ternyata kau bisa juga bersikap sopan. Mau juga mengakui kesalahan!"
Nenek itu mengangguk-angguk sambil membelalakkan mata. "Kalau begitu, mengapa
tanggung-tanggung? Jelaskan saja apa sebenarnya yang sedang kau lakukan? Dan,
apakah kau melihat seorang perempuan cantik, berusia kira-kira dua puluh enam tahun?
ia mengenakan pakaian dari sutera putih."
Pengalaman-pengalaman Panji yang telah banyak menjumpai tok»h-tokoh berwatak
aneh, membuat Panji tidak menjadi tersinggung mendengar ucapan nenek itu. Dengan
sejelasnya diceritakannya semua yang telah terjadi di tempat itu. Juga tentang perempuan
yang ciri-cirinya mirip dengan wanita yang dibawa pergi Pertapa Muka Setan.
"Oya...! Celaka kalau begitu!" seni nenek itu Keningnya dipukul perlahan "Aiii... aku
harus segera mengikuti jejak Pertapa Muka Setan!"
"Nek tunggu...!" Panji berusaha mencegah ketika nenek itu hendak berkelebat pergi.
"Aiii... apa lagi, Pendekar Naga Putih? Aku harus bergegas supaya tidak kehilangan
jejak. Susah payah aku mengikuti jejak perempuan itu sampai ke tempat ini. Ternyata aku
terlambat...!" Nenek itu mengomel sendiri. Tapi, tak urung langkahnya ditahan juga.
"Aku belum tahu siapa kau sebenarnya. Juga, mengapa kau mengejar-ngejar
perempuan itu? Aku pun mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan perempuan itu dari
tangan Pertapa Muka Setan," ujar Panji.
"Aiii... baiklah... baiklah." Nenek itu mengibaskan lengannya di udara. "Aku dijuluki
Trenggiling Besi. Tapi, cukup kau panggil aku dengan Nenek Trindil saja. Itulah namaku
Mengenai perempuan itu aku akan menceritakannya di perjalanan."
Nenek Trindil alias Trenggiling Besi kembali membalikkan tubuhnya untuk
meninggalkan tempat itu. Tapi, Panji lagi-lagi mencegah. Nenek Trindil menatap Pendekar
Naga Putih dengan kening berkerut ia tampak kesal dengan sikap Panji.
"Kau seperti perempuan saja, Pendekar Naga Putih. Cerewet! Kalau mau ikut, ayo
berangkat. Tunggu apa lagi...?"
"Temanku masih belum sadarkan diri. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja
di tempat ini...," jelas Panji. Langkahnya terayun mendekati Kenanga.
"Aiii... begitu saja ribut! Cepat sadarkan. Aku tidak bisa menunggu lama-lama!"
gerutu Nenek Trindil Kemudian mendengus pendek.
Panji tidak menyahuti, ia berjongkok di samping tubuh kekasihnya. Lalu, mengurut
beberapa pembuluh darah di tubuh Kenanga. Tidak berapa lama kemudian, Kenanga
mulai bergerak-gerak. Terdengar keluhan lirih dan mulutnya.
"Kakang...?!" panggil Kenanga ketika membuka matanya dan mendapati wajah
kekasihnya. Kemudian, mata itu kembali terpejam. Keningnya berkerut seperti tengah
berusaha mengingat-ingat sesuatu.
"Bagaimana dengan perempuan itu, Kakang? Apakah ia selamat..?" tanya Kenanga
sambil membuka mata. Ia bergerak bangkit dengan sigapnya.
"Nanti kujelaskan," jawab Panji singkat "Sekarang sebaiknya kita ikuti saja Nenek
Trindil," lanjutnya sambil menunjuk sosok Nenek Trindil yang mencibirkan bibir melihat
Panji dan Kenanga saling berpegangan tangan.
"Hayo, cepat..!" Nenek Trindil mengidapkan tangannya. Ia memutar tubuh dan
berlari meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga bergegas bangkit. Mereka berlari menyusul Nenek Trindil.
DELAPAN
"Hm....Mau apa kau mencampuri urusan kami, Trindil...?" Harimau Lembah
Siguntang menegur Nenek Trindil dengan wajah gusar. Tapi, lelaki berwajah mirip harimau
itu tidak bisa menyembunyikan rasa segannya terhadap Nenek Trindil.
"Hak hak hak... Kerrr...!" Pertapa Muka Setan yang sudah dapat menguasai
perasaannya, tertawa lepas. "Sepertinya, kita harus membagi tiga hadiah yang akan kita
dapat, Harimau Ompong!"
"Jangan salah sangka dulu," Nenek Trindil menyanggah. Telapak tangannya
digoyang-goyangkan. "Aku bukanlah orang-orang serakah seperti kalian! Kedatanganku ke
tempat ini justru untuk menyelamatkan kitab ilmu perang almarhum sahabatku. Sebelum
kematiannya, Danang Laya telah mengirim sepucuk surat kepadaku. Aku diminta datang
untuk menerima kitab itu dan menyimpannya. Sayang, kedatanganku terlambat. Danang
Laya sudah keburu meninggal. Dan seperti pesannya dalam surat, jika ia tidak sempat
menemuiku, maka istrinyalah yang akan menunjukkan di mana kitab itu disimpan. Nah,
apakah kalian sudah jelas? Aku datang bukan mau mencampuri urusan kalian. Tapi, aku
mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menyelamatkan istri mendiang sahabatku!"
tegas Nenek Trindil di akhir ceritanya.
"Hih hih hih...! Tidak kusangka kau ternyata sangat pandai mengarang cerita,
Trindil. Bukan main..! Rupanya kau sudah memiliki kepandaian baru sekarang!" Harimau
Lembah Siguntang tertawa mengejek. Tokoh ini mana mau percaya begitu saja dengan
cerita Nenek Trindil. Ia suka menyamakan orang dengan dirinya, yang menghalalkan
segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkan.
"Mau percaya atau tidak, terserah!" tukas Nenek Trindil seraya mengangkat bahu.
"Yang penting, aku sudah menceritakan maksud kedatanganku Aku akan membawa istri
mendiang sahabatku. Siapa saja yang keberatan, silahkan. Barangkali dia sudah tidak
ingin melihat matahari esok pagi!"
"Bagus...!" ujar Pertapa Muka Setan dengan wajah garang. "Akulah orang pertama
yang merasa keberatan! Sejak beberapa hari yang lalu, perempuan itu sudah menjadi
istriku! Jadi, akulah yang berhak atas dirinya. Kalau kau masih sayang dengan nyawamu,
sebaiknya tinggalkan segera tempat ini. Trenggiling Besi...!"
"Hm... perkawinanmu tidak syah, Muka Setan! Perempuan itu pasti telah kau
paksa dan kau cekoki guna-guna. Jangankan perempuan cantik seperti istri mendiang
sahabatku, setan perempuan yang paling jelek pun pasti tidak akan sudi menjadi istrimu!"
ujar Nenek Trindil dengan meludah berkali-kali. Seolah ia juga merasa jijik melihat wajah
Pertapa Muka Setan.
"Bedebah...!" Penghinaan itu membuat Pertapa Muka Setan murka. "Terimalah
kematianmu. Trenggiling Besi.... Haaat...!" sambil berteriak, Pertapa Muka Setan melompat
disertai ayunan tangan kanan.
Debbb!
Gelombang angin pukulan yang menderu laksana amukan topan itu ternyata tidak
mengenai sasaran. Baik Nenek Trindil yang menjadi sasaran utama, maupun Panji,
Kenanga, dan Banowati yang berada di belakang Nenek Trindil, sudah berlompatan
menyelamatkan diri.
"Heaaa...!"
Melihat Pertapa Muka Setan sudah menerjang Trenggiling Besi, Harimau Lembah
Siguntang tidak mau ketinggalan. Dengan sebuah teriakan mengguntur, tubuhnya
melayang disertai sambaran cakar harimaunya.
Jari-jari berkuku runcing yang disertai suara bercicitan datang mengancam tubuh
Trenggiling Besi. Nenek itu tentu saja kaget. Saat itu ia tengah disibukkan oleh serangan-
serangan Pertapa Muka Setan. Menghadapi kakek ini saja ia ragu akan dapat
memenangkan perkelahian, kini Harimau Lembah Siguntang malah ikut maju mengeroyok.
Trenggiling Besi semakin kalang kabut. Sebentar saja ia sudah terdesak hebat
Nenek Trindil hanya mengandalkan putaran tongkat hitamnya untuk melindungi tubuh.
"Nek, biar Harimau Lembah Siguntang menjadi bagianku...!"
Seruan Panji membuat Trenggiling Besi tersenyum lega. Terlebih ketika melihat
Pendekar Naga Putih sudah menggempur Harimau Lembah Siguntang. Panji segera
membuat arena pertempuran tersendiri.
Harimau Lembah Siguntang tampak marah sekali setelah mengetahui siapa
pemuda tampan yang menjadi lawannya. Serangan-serangan pun kian diperhebat. Jari-jari
runcingnya yang sekeras besi menyambar-nyambar disertai suara bercuitan. Tapi, semua
serangan itu bukan saja dapat dipatahkan Pendekar Naga Putih. Malah, serangan-
serangan balasan yang datang mengancam membuat Harimau Lembah Siguntang
kelabakan!
Meskipun perkelahian belum mencapai seratus jurus, Harimau Lembah Siguntang
sudah terdesak hebat! Lelaki berparas mirip harimau itu tampaknya terlalu bernafsu, ia
ingin cepat-cepat merobohkan lawannya. Akibatnya, justru ia sendiri yang kewalahan.
"Hyaaattt...!"
Pendekar Naga Putih terus mendesak dengan gempuran-gempuran dahsyat.
Sengaja Panji langsung menggunakan tenaga gabungan, karena lawan yang dihadapi
seorang tokoh tingkat tinggi yang telah terkenal sejak puluhan tahun silam. Pendekar Naga
Putih tidak mau pengalaman pahitnya sewaktu menghadapi Pertapa Muka Setan terulang
lagi. Kini ia lebih berhati-hati dan langsung menggunakan tenaga gabungan. Hawa
pukulan dingin dan panas yang berganti-ganti berhasil mendesak Harimau Lembah
Siguntang.
Sebagai tokoh kawakan yang telah menghadapi ratusan perkelahian, Harimau
Lembah Siguntang memang tidak mungkin dapat dirobohkan dengan mudah, meski yang
menjadi lawannya Pendekar Naga Putih. Kepandaiannya jarang ada yang menandingi.
Selama malang melintang di rimba persilatan, belum pernah ada seorang tokoh pun yang
mengalahkannya.
Pada awalnya gempuran-gempuran Pendekar Naga Putih memang sempat
merepotkan Harimau Lembah Siguntang. Tapi, setelah ia dapat mempelajari kelemahan
jurus-jurus serangan lawan, mulailah Harimau Lembah Siguntang melepaskan diri dari
serangan Panji. Bahkan, kini ia balas mendesak dengan serangkaian serangan beruntun.
Keadaan pun berbalik. Panji terdesak mundur.
"Heahhh...!"
Dua puluh jurus kembali berlalu. Serangan Harimau Lembah Siguntang belum juga
mengenai sasaran. Ketika untuk yang kesekian kalinya Pendekar Naga Putih mengelakkan
serangannya, tiba-tiba Harimau Lembah Siguntang membentak nyaring. Disusul dengan
sambaran sepasang cakarnya tiga kali berturut-turut.
Plak! Plak! Plak!
Panji mengeluh pendek merasakan ngilu pada kedua lengannya yang digunakan
untuk memapaki serangan. Tubuhnya terhuyung sampai setengah tombak. Sedangkan
tubuh Harimau Lembah Siguntang hanya bergetar sesaat. Ia kemudian melompat dengan
sepasang cakar tertuju lurus ke dada Pendekar Naga Putih.
"Haiiittt...!"
Whusss...!
Sambil berseru nyaring, Panji menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Pemuda tampan
itu kemudian melepaskan tendangan dengan kedua kakinya ketika tubuh Harimau
Lembah Siguntang lewat di atasnya.
Desss...!
Tendangan itu telak sekali. Harimau Lembah Siguntang melambung tinggi di udara.
Tapi, dengan sebuah gerakan berputar yang indah, Harimau Lembah Siguntang dapat
menyelamatkan dirinya. Ia meluncur turun dengan ringannya di atas tanah. Tubuhnya
sempat terguncang. Dengan punggung tangannya, Harimau Lembah Siguntang menyusut
lelehan darah di sudut bibir.
"Hmm.... Kau harus membayar dengan nyawamu, Pendekar Naga Putih...!" geram
Harimau Lembah Siguntang. Dijilatinya darah yang menempel di punggung tangan.
Pendekar Naga Putih yang sudah melenting bangkit hanya menatap tajam. Ketika
Harimau Lembah Siguntang kembali menerjang, Panji segera melesat menyambut
serangan lawan. Pertarungan pun kembali berlanjut dengan sengitnya.
Harimau Lembah Siguntang mencelat tinggi, hendak menerkam tubuh Pendekar
Naga Putih yang sedang berada di tanah. Saat itu juga Panji langsung melepaskan
tendangan....
Desss....
Tendangan itu telak sekali. Tubuh Harimau Lembah Siguntang melambung tinggi di
udara.
Sementara itu, pertempuran antara Pertapa Muka Setan dengan Trenggiling Besi
masih berlangsung seru. Meski telah menyelesaikan dua ratus jurus lebih, namun belum
terlihat tanda-tanda pertempuran akan berakhir. Pertapa Muka Setan maupun Trenggiling
Besi menguras seluruh kemampuan mereka untuk memenangkan pertarungan itu.
"Hyaaattt...!"
Bentakan-bentakan Pertapa Muka Setan terdengar di antara pukulan-pukulan
mautnya yang datang menderu-deru. Tapi, dengan tongkat hitamnya, Trenggiling Besi
selalu dapat mematahkan serangan-serangan itu. Ia membalas dengan hantaman
tongkatnya yang disertai sambaran angin berdesingan.
Bed! Bed! Bed!
Sambaran-sambaran tongkat hitam Trenggiling Besi dielakkan Pertapa Muka Setan
dengan geseran-geseran langkah. Tubuhnya meliuk-liuk bagai seekor ular. Dengan
kecepatan dan kekuatan penuh, ia langsung membalas. Terdengar suara berdecitan ketika
kepalanya meluncur bergantian mengancam kepala dan dada kiri lawan.
"Haiiittt...!"
Trenggiling Besi membentak nyaring. Nenek Trindil melenting tinggi di udara
menghindari serangan ganas itu. Pertapa Muka Setan bergegas memutar tubuhnya.
Lawannya telah berada tepat di belakangnya. Tapi, baru saja tubuhnya berbalik,
Trenggiling Besi sudah menggelinding di tanah. Tongkat hitamnya membabat kedua kaki
lawan.
Menghadapi serangan yang mengancam kedua kakinya, Pertapa Muka Setan
bergegas melompat mundur. Tapi, alangkah terkejut kakek itu. Tubuh lawan tiba-tiba
melenting ke udara disertai sambaran tongkatnya dari atas ke bawah.
Desss...!
Hantaman tongkat hitam itu telak menghajar bahu kanan Pertapa Muka Setan
yang pada saat terakhir sempat memiringkan kepalanya. Pertapa Muka Setan menjerit
kesakitan. Tubuhnya terhuyung limbung menahankan rasa sakit pada bahu. Tulangnya
telah remuk.
"Habislah kau, Muka Setan...!"
Selagi lawannya terjajar, Trenggiling Besi melompat menyusuli serangannya.
Tongkat hitamnya menderu ke arah kepala Pertapa Muka Setan!
Prakkk! Desss...!
Kali ini Pertapa Muka Setan tak bisa lagi menyelamatkan diri. Kepalanya pecah
dihantam tongkat hitam. Tapi, berbarengan dengan itu, ia masih sempat melontarkan
telapak tangannya. Digedornya dada kiri Trenggiling Besi dengan telak. Bersamaan dengan
robohnya Pertapa Muka Setan, tubuh Trenggiling Besi pun terlempar disertai muntahan
darah yang berhamburan ke tanah.
"Huakhh...!"
Begitu mendarat di tanah, Trenggiling Besi kembali memuntahkan darah kental.
Rupanya, pada saat terakhir Pertapa Muka Setan telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Sehingga, meskipun ia sendiri tewas, namun Trenggiling Besi mengalami luka
dalam yang sangat parah.
Nenek Trindil alas Trenggiling Besi jatuh terduduk di tanah. Napasnya tersengal-
sengal. Wajah keriput itu tampak pucat kebiruan. Darah terus mengalir dari sela-sela
bibirnya.
Iblis Pengisap Bunga yang mengikuti jalannya pertarungan tampak tersenyum iblis.
Ia segera mengetahui Trenggiling Besi menderita luka dalam yang parah. Maka, dengan
liciknya, Iblis Pengisap Bunga melompat dari arah belakang Trenggiling Besi. Pemuda itu
melontarkan pukulan dengan sekuat tenaga.
"Nenek, awaaasss...!"
Kenanga dan Banowati yang melihat perbuatan Iblis Pengisap Bunga berteriak
memperingatkan. Kenanga segera melesat untuk menolong Nenek Trindil. Tapi, Kenanga
kalah cepat dengan Iblis Pengisap Bunga yang jaraknya memang lebih dekat dengan nenek
itu.
Nenek Trindil sendiri sudah merasakan sambaran angin pukulan Iblis Pengisap
Bunga. Tapi, keadaannya sangat lemah. Ia tidak mungkin dapat mengelakkan serangan
licik itu. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menunggu datangnya serangan. Nenek
Trindil menyadari hal itu. Ia sudah pasrah untuk menerima kematiannya.
Desss...!
"Hukhh?!"
Bersamaan dengan datangnya pukulan yang menghantam punggungnya, tongkat
hitam yang sejak tadi dipegangnya erat-erat langsung disodokkan ke belakang! Akibatnya,
Iblis Pengisap Bunga yang sedikit pun tidak menyangka, melotot kaget waktu tongkat
hitam itu memanggang tubuhnya, tembus sampai ke punggung. Pemuda itu menggeloso
tewas dengan mata melotot. Sementara tubuh Trenggiling Besi yang terlempar telentang di
tanah dengan wajah yang kian pucat. Pukulan Iblis Pengisap Bunga membuat Nenek
Trindil sekarat.
Kenanga segera mengangkat kepala Nenek Trindil, dan diletakkannya di atas
pangkuan. Ketika Kenanga hendak mengobati, Nenek Trindil menggeleng pelan. Ia
memberikan isyarat agar Kenanga mendekatkan telinganya. Tahu kalau Nenek Trindil
sudah tidak bisa diselamatkan lagi, Kenanga buru-buru mendekatkan wajahnya.
***
"Hyaaatt...!"
Sambil membentak nyaring, cakar Harimau Lembah Siguntang menyambar dengan
kecepatan tinggi. Tapi, Pendekar Naga Putih sudah lebih dulu merendahkan kuda-kudanya
seraya memiringkan tubuh. Sambaran cakar maut itu lewat di samping tubuhnya.
Harimau Lembah Siguntang kembali membentak. Lengannya segera diputar. Cakar
lelaki berparas mirip harimau itu kembali meluncur mengancam leher lawan.
Brettt...!
Desss...!
Meskipun sudah berusaha mengelak, namun Pendekar Naga Putih masih kalah
cepat. Bahu kanannya terkoyak oleh cakaran lawan. Tapi, pada saat yang bersamaan,
Panji sempat mengirimkan sebuah tendangan lurus yang mengenai perut Harimau Lembah
Siguntang. Sehingga, baik Pendekar Naga Putih maupun Harimau Lembah Siguntang
sama-sama terlempar ke belakang.
Harimau Lembah Siguntang berdiri dengan wajah menyeringai. Ditariknya napas
dalam-dalam untuk melegakan bagian dalam dada dan perutnya yang terguncang.
Sementara, Pendekar Naga Putih meringis mendekap bahunya yang terkoyak dan
mengalirkan darah. Tampaknya, luka itu bukan yang pertama kali. Di beberapa tempat
juga terlihat pakaiannya terkoyak, memperlihatkan tubuh yang tergurat cakar lawan.
Meskipun tidak sedalam dan separah pada bahunya, namun luka cakaran itu
mendatangkan rasa pedih dan panas.
Melihat Pendekar Naga Putih sanggup melukainya, Harimau Lembah Siguntang
menggeram murka. Tanpa mempedulikan rasa nyeri di perutnya, Harimau Lembah
Siguntang kembali menerjang lawan.
Bweett! Bweettt!
Sambaran cakar Harimau Lembah Siguntang kehilangan sasaran. Pada saat
serangan itu hampir tiba, Pendekar Naga Putih sudah lebih dulu mengelak dengan kuda-
kuda setengah berjongkok. Begitu serangan menyambar lewat di atas kepalanya, Panji
langsung membentak mengejutkan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melenting berputar
dan mengirimkan sebuah tendangan keras ke wajah Harimau Lembah Siguntang.
Desss...!
"Akhh...!"
Harimau Lembah Siguntang memekik kesakitan. Tubuhnya terpelanting dan
terhuyung mundur. Sedangkan saat itu Pendekar Naga Putih masih berada di udara. Panji
meluruk ke depan disertai dorongan sepasang tangannya. Gelombang angin keras berhawa
dingin dan panas mengiringi serangan dahsyat itu.
Bresssh...!
"Aaa...!"
Jeritan melengking Harimau Lembah Siguntang pun menggema. Tubuhnya
terhempas melayang-layang di udara. Hantaman sepasang cakar naga Panji telak
menggedor dadanya. Tulang-tulang dada Harimau Lembah Siguntang remuk seketika. Kali
ini Harimau Lembah Siguntang tak bisa lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya terbanting
ke tanah dengan keras.
Pendekar Naga Putih bergerak menyusul. Pemuda itu mendarat di sisi tubuh
Harimau Lembah Siguntang yang tengah merintih-rintih tanpa mampu bangkit lagi.
"Khau.. heb... bhat... Pendekar... Naga... Put.. tiiihhh...!" seiring dengan berakhirnya
ucapan itu, Harimau Lembah Siguntang menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Pendekar Naga Putih menghela napas lega. Meski sekujur tubuhnya terasa nyeri
dan sakit-sakit, ia merasa bersyukur telah dapat merobohkan Harimau Lembah Siguntang.
Seorang lawan yang harus diakui ketangguhannya.
Sesaat kemudian, Panji bergerak bangkit dan memutar kepalanya meneliti ke
sekitar tempat itu. Ketika melihat Kenanga tengah memeluk kepala Nenek Trindil, Panji
bergegas menghampiri. Pendekar Naga Putih tercekat juga ketika mengetahui Nenek Trindil
telah tewas. Beberapa kali Panji menghela napas berat, seakan menyesali kematian
Trenggiling Besi.
"Kenanga, ke mana perginya perempuan itu?!" Panji bertanya heran. Ia tidak
melihat Banowati di sekitar tempat itu.
Pertanyaan itu membuat Kenanga tersentak kaget. Ia baru sadar kalau perempuan
itu hampir dilupakannya.
"Dua orang bekas murid Ki Danang Laya juga tidak kelihatan, Kakang...," desis
Kenanga lemas setelah memperhatikan sekitarnya.
Panji mengerti apa yang terlintas dalam pikiran Kenanga. Maka, tanpa banyak
cakap lagi ia berkelebat meninggalkan tempat itu. Sambil mengerahkan indera
pendengarannya, Panji berlari menuruni lereng Gunung Siguntang. Ia mencari Banowati,
La Bondang, dan Kebo Danayan.
Pendekar Naga Putih menambah kecepatan larinya ketika telinganya menangkap
suara-suara orang bertempur dari arah kaki gunung. Tak berapa lama kemudian, ia pun
menemukan ketiga orang yang dicarinya. Tanpa mau banyak membuang waktu, Panji
segera melayang ke tengah arena pertarungan.
Plakkk! Desss...!
Dengan tubuh masih melayang di udara, Pendekar Naga Putih mengirimkan
tamparan dan pukulan keras pada salah satu lelaki yang mengeroyok Banowati. Maka,
tanpa ampun lagi, lelaki yang tidak lain La Bondang, langsung terpelanting dan jatuh
terbanting ke tanah.
Banowati yang saat itu sudah jatuh bangun dan nyaris celaka di tangan La
Bondang dan Kebo Danayan, merasa bersyukur sekali dengan datangnya pertolongan
Panji. Bergegas ia melompat bangkit dan menusukkan pedangnya ke tubuh Kebo Danayan,
yang saat itu tengah tertegun menyaksikan saudara tuanya berkelojotan di tanah.
Blesss...!
Kebo Danayan menjerit dengan sepasang mata terbelalak lebar. Pedang Banowati
amblas di dada kirinya, dan tepat melukai jantung. Kebo Danayan berdiri gemetar sambil
mendekap dada yang mengucurkan darah segar. Banowati telah mencabut kembali
senjatanya. Tak lama kemudian, Kebo Danayan pun ambruk ke tanah dengan napas
putus.
La Bondang yang saat itu tengah merintih kesakitan segera menggeram murka.
Kematian Kebo Danayan membuatnya menjadi nekat. Dengan sisa-sisa tenaganya, La
Bondang menubruk Banowati. Ia ingin membawa perempuan itu mati bersamanya.
Plak!
Gerakan La Bondang terhenti. Tubuhnya terpelanting dan ambruk dengan nyawa
putus. Tamparan Panji telah meretakkan batok kepalanya.
***
"Aku sama sekali tidak tahu tentang kitab ilmu perang yang dibuat Ki Danang Laya,
suamiku itu...," Banowati menjelaskan dengan sejujurnya kepada Panji dan Kenanga
Ketika itu mereka dalam perjalanan meninggalkan Gunung Siguntang.
"Aku tahu, Banowati," ujar Kenanga dengan tersenyum. "Di saat terakhirnya, Nenek
Trindil sempat memberitahukan di mana kitab itu disimpan. Ia juga memintaku untuk
memusnahkannya."
"Tapi, bukan aku yang menyimpannya. Melihatnya pun belum pernah!"
"Kau tahu di mana makam Ki Danang Laya, bukan?" tukas Kenanga. Banowati
mengangguk.
"Nah, kitab itu disimpan di dalam tempat pertapaannya, sekaligus tempat ia
beristirahat untuk selama-lamanya...."
Banowati mengangguk-angguk meski terlihat masih belum mengerti Pendekar Naga
Putih dan Kenanga pun tersenyum melihat wajah Banowati yang tampak kebingungan
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar