Tampilkan postingan dengan label PENGEMIS BINAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENGEMIS BINAL. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 November 2025

Rahasia Siluman Ragakaca

 


RAHASIA SILUMAN RAGAKACA
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah Cerita oleh S. Pranowo
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pengemis Binal
Dalam Episode:
Rahasia Siluman Ragakaca
112 Hal

1

Di bawah siraman cahaya rembulan temaram,
dua orang lelaki berdiri mematung dalam kesunyian.
Tatapan mereka sama-sama tertuju ke sosok bayangan
merah yang berkelebat di balik pepohonan. Setelah si
bayangan lenyap dari pandangan, kedua orang lelaki
ini menarik napas lega bersamaan.
Hingga beberapa lama, mereka tetap berdiri me-
matung. Hembusan angin dingin malam tak mereka
pedulikan sama sekali. Sementara, lamat-lamat ter-
dengar lolongan serigala. Sesekali disahuti tekur bu-
rung hantu dan suara binatang malam lainnya. Men-
cekam.... Sepi!
Usia kedua lelaki itu terpaut cukup jauh. Yang
satu seorang pemuda remaja berwajah tampan dan
mengenakan pakaian putih penuh tambalan. Sedang
yang satunya lagi seorang kakek cacat tak punya tan-
gan, mengenakan rompi dan celana kuning. Di kepa-
lanya melingkar ikat kepala yang terbuat dari besetan
kulit pohon kasar berduri, Kumis dan jenggotnya yang
putih panjang terayun-ayun manakala hembusan an-
gin mempermainkan.
"Kakek Peramal Buntung...," sebut si remaja
yang menyelipkan sebatang tongkat butut di ikat ping-
gangnya. "Raja Angin Barat telah pergi meninggalkan
kita. Semula, dia datang membawa segudang amarah.
Apakah amarah pemilik Lembah Makam Pelangi itu
masih bersemayam di hatinya kini?"
Kakek cacat yang disebut sebagai Peramal Bun-
tung menatap wajah si remaja sekilas. Setelah menarik
napas panjang, dia menengadah dengan pandangan
lurus ke atas. "Seperti kemarin, kulihat rembulan dan
bintang masih mengambang di bawah langit. Seperti
kemarin, malam ini pun terasa sunyi, Hembusan angin
juga dingin seperti kemarin," ujarnya. "Di sini, aku tak
melihat perubahan apa-apa. Aku tak merasakan peru-
bahan apa-apa. Semuanya tetap berjalan seperti ke-
marin."
"Hmmm…Kalau tidak salah aku menebak, uca-
pan Kakek menyiratkan bahwa isi hati Raja Angin Ba-
rat tetap tak berubah seperti yang kuharapkan. Berar-
ti, dalam dada Raja Angin Barat masih tersimpan api
amarah yang berkobar-kobar." sahut si remaja, berna-
da sedih. "Andai amarah itu tetap ditujukan kepadaku,
maka patutlah aku menyayangkan. Kenapa tokoh tua
yang sudah matang pengalaman macam Raja Angin
Barat begitu mudah terjerumus dalam nafsu rendah?
Kenapa mesti menuruti hawa amarah kalau diri sendiri
bakal terkena getahnya juga?"
"Begitulah Raja Angin Barat saat ini, Tuan Muda
Suropati," tegas Peramal Buntung. "Rasa cinta me-
mang bisa membuat buta. Buta mata dan buta hati.
Ketika cinta berubah jadi rasa kehilangan, maka buta
pula akal pikiran. Raja Angin Barat adalah contoh
yang tepat Dia telah kehilangan seorang putri yang
sangat dicintainya. Saat ini, sulit bagi Raja Angin Barat
untuk dapat membedakan mana yang salah dan mana
yang benar."
Remaja tampan yang tak lain si Pengemis Binal
Suropati tak menyahuti ucapan Peramal Buntung. Da-
lam hati, dia mengucap seribu kata syukur. Bersyukur
karena Raja Angin Barat tak jadi menjatuhkan tangan
maut terhadapnya.
Namun, benarkah Raja Angin Barat pergi dan
melupakan urusannya dengan Suropati? Ternyata ti-
dak! Sebuah teriakan serak parau tiba-tiba memecah
keheningan malam....
"Suropati keparat! Kalau aku tidak merenggut ji
wamu, sama artinya dengan aku membunuh putriku
sendiri!"
Pengemis Binal dan Peramal Buntung membela-
lakkan mata. Mereka terhantam keterkejutan melihat
sesosok bayangan berkelebat dan menghadirkan se-
orang kakek berjubah merah yang tak lain Raja Angin
Barat
"Untuk apa kau kembali, sahabatku Raja Angin
Barat?" selidik Peramal Buntung, menahan jantungnya
yang berdegup kencang.
"Aku tak punya urusan denganmu, Peramal Bun-
tung!" bentak Raja Angin Barat, keras menggelegar.
"Pergilah dan, biarkan aku menyelesaikan urusan de-
ngan bocah gemblung bernama Suropati itu!"
"Rupanya, hawa amarah benar-benar telah me-
nutupi akal sehatmu, Sahabat. Bila Siluman Raga ka-
ca melihat sikapmu ini, dia akan tertawa senang kare-
na merasa menang. Bukankah kau telah dapat dipera-
latnya, sahabatku Raja Angin Barat?"
"Jangan banyak cakap, Peramal Buntung! Kau
boleh mengatakan aku telah diperalat Siluman Raga
kaca. Tapi, setidaknya dia tak akan mencelakakan pu-
triku kalau aku berhasil membunuh bocah gemblung
itu!"
Mendengus gusar Pengemis Binal mendengar
dua kali dirinya disebut sebagai bocah gemblung. Tapi
mengingat jalan pikiran Raja Angin Barat yang tak lagi
normal, Pengemis Binal mencoba bersabar. Ditariknya
napas panjang beberapa kali.
"Pak Tua...," sebutnya. "Aku turut menyesal atas
kejadian yang menimpa putrimu. Aku tak akan menge-
lak dari kesalahan. Karena sedikit banyak, Narita ber-
hasil disekap Siluman Raga kaca, memang ada sang-
kut pautnya dengan diriku. Tapi...."
"Aku tak butuh ucapanmu, Bocah Gemblung!"
sela Raja Angin Barat "Yang kubutuhkan saat ini ha-
nyalah nyawamu!"
"Uts! Kau jangan keburu nafsu dulu, Sahabat!"
sergap Peramal Buntung
"Minggir kau!"
Sambil membentak keras, mendadak Raja Angin
Barat mengibaskan ujung lengan jubahnya. Serang-
kum angin pukulan meluruk deras ke arah Peramal
Buntung!
Wusss...!
Sengaja Peramal Buntung tak menghindar. Uda-
ra di paru-parunya dia keluarkan lewat mulut dengan
disertai aliran tenaga dalam. Sesaat kemudian, terden-
gar suara gemuruh bagai ada badai yang datang me-
nerjang. Raja Angin Barat menggeram marah melihat
angin pukulannya dapat dihalau dengan mudah.
"Hmmm..... Walau malam ini cukup gelap, tapi
aku dapat melihat warna mukamu yang semakin me-
rah padam, sahabatku Raja Angin Barat," ujar Peramal
Buntung. "Apa yang kulakukan tadi hanyalah satu
usaha untuk membela diri. Kau jangan salah sangka,
Sahabat. Aku tidak sedang pamer kepandaian di ha-
dapanmu. Tapi yang harus kau ketahui, aku tak bisa
membiarkan perbuatan membabi buta berlangsung di
depan mataku! Aku akan membela Tuan Muda Su-
ropati walau terpaksa aku harus memutuskan tali per-
sahabatan...."
"Kek..!" tegur Pengemis Binal. Sebaiknya kau
menyingkir. Urusan ini tidak ada sangkut pautnya
denganmu. Biarlah aku selesaikan diri dengan orang
tua keras kepala yang sok jago itu!"
"Tapi..., Tuan Muda...,"
"Sudahlah. Bila kau turuti kata-kataku, aku
akan senang dan sangat berterima kasih kepadamu,"
Melihat kesungguhan Suropati, Peramal Buntung
mengerutkan kening rapat-rapat Peramal Buntung in-
gat janjinya untuk menjadi budak pengiring setia se-
lama seumur hidup. Tapi bila Suropati memberi perin-
tah untuk menyingkir, haruskah dia menolak perintah
itu? Haruskah Peramal Buntung menutup mata ketika
tahu ada orang yang hendak berbuat sewenang-
wenang terhadap junjungannya?
Selagi Peramal Buntung bingung untuk segera
menentukan pilihan dalam bertindak, tiba-tiba melesat
selarik sinar biru tipis dari kegelapan. Sinar itu mele-
sat luar biasa cepat dan sama sekali tak mengeluarkan
suara. Di lain kejap, beberapa jalan darah di tubuh
bagian belakang Peramal Buntung telah kena totok!
"Kakek...!" seru Pengemis Binal dalam keterkeju-
tannya. Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini juga tak dapat mengetahui lesatan sinar biru.
Beruntung, totokan jarak jauh itu tidak ditujukan ke-
padanya. Andai itu terjadi, bagaimana mungkin dia bi-
sa menghadapi Raja Angin Barat yang sangat bernafsu
untuk membunuhnya?
Melihat tubuh Peramal Buntung yang tiba-tiba
jatuh ke tanah dalam keadaan lemas tanpa tenaga, Ra-
ja Angin Barat turut terkejut. Dia tak tahu siapa yang
telah melancarkan totokan jarak jauh terhadap Peram-
al Buntung. Tapi menilik tindakannya, penyerang gelap
itu kemungkinan besar berada di pihaknya. Tapi, tin-
dakan merobohkan Peramal Buntung dari belakang itu
malah membuat Raja Angin Barat mendengus gusar.
Dia tersinggung dan marah melihat perbuatan yang
jauh dari sifat ksatria, Terlebih lagi. Raja Angin Barat
merasa didahului sementara dia belum melakukan
apa-apa. Maka, menggeram keraslah Raja Angin Barat.
"Jahanam! Kiranya, ada cecunguk yang mencoba
pamer kepandaian di hadapanku. Walau maksudmu
hendak membantuku, tapi sungguh aku tak suka!"
Begitu ucapan Raja Angin Barat lenyap dari pen-
dengaran, dari kejauhan terdengar suara tawa keras
menggelegar. "Ha ha ha...! Kau jangan salah mengerti,
Sahabat! Siapa yang hendak membantumu? Apa yang
kulakukan adalah satu cara untuk menyelesaikan
urusanku dengan Peramal Buntung!"
Suropati yang tengah berusaha membebaskan
pengaruh totokan di tubuh Peramal Buntung tampak
terkesiap. Dia seperti telah mengenal warna suara si
pembokong itu, tapi siapa? Suropati berusaha meme-
ras otak untuk mengingat-ingat. Dia pun bertambah
yakin bila pernah mengenal warna suara yang baru di-
dengarnya. Tapi hingga beberapa lama berpikir, otak-
nya malah terasa buntu.
"Ah Persetan dengan pengecut licik itu! Aku ha-
rus segera melepas pengaruh totokan di tubuh Kakek
Peramal Buntung ini," kata hati Pengemis Binal kemu-
dian.
Namun, keterkejutan kembali menghantam.
Waktu memeriksa, Suropati mendapati tubuh Peramal
Buntung telah dingin seperti mayat. Kelopak mata dan
mulutnya terbuka lebar. Tarikan napas dan detak jan-
tungnya terasa amat lamban.
Amat tergesa-gesa Suropati mengeluarkan selu-
ruh daya kemampuan yang pernah dipelajarinya dari
si Wajah Merah. Tapi hingga beberapa lama dia beru-
saha, pengaruh totokan di tubuh Peramal Buntung tak
dapat dilepaskannya. Totokan jarak jauh yang dilan-
carkan si penyerang gelap itu benar-benar lihai!
Maka, mengelamlah paras Pengemis Binal. Rasa
khawatir, bingung, dan kalut bercampuraduk jadi sa-
tu. Membuat jalan napas Pengemis Binal terasa buntu.
Tanpa terasa, keringat dingin keluar bercucuran. Apa-
lagi, Raja Angin Barat, tampaknya sudah tak sabaran
untuk segera menjatuhkan tangan maut!
"Tinggalkan orang tua naas itu, Bocah Gem-
blung!"
Seruan Raja Angin Barat membuat Pengemis Bi-
nal melonjak kaget. Dia sadar jika harus segera mela-
deni tantangan Raja Angin Barat Tapi, bagaimana den-
gan Peramal Buntung? Haruskah orang tua itu diting-
galkan begitu saja, sementara tubuhnya masih dalam
pengaruh totokan yang amat lihai? Tidakkah hal itu
akan membuatnya celaka?
Dengan hati berdebar-debar tak karuan, Penge-
mis Binal menatap wajah Peramal Buntung yang me-
nyiratkan siksaan hebat Sementara, Raja Angin Barat
tampak menautkan gigi rapat-rapat dan mengeluarkan
suara menggerendeng, pertanda dia sudah bersiap se-
dia untuk mengawali pertempuran.
Tiba-tiba....
"Hadapi Raja Angin Barat! Relakan kepergian Pe-
ramal Buntung!"
Dari kejauhan terdengar suara dingin yang ditu-
jukan kepada Pengemis Binal. Sesaat kemudian, Pen-
gemis Binal merasakan tiupan angin dingin. Sebelum
dia menyadari apa yang tengah terjadi, mendadak tu-
buh Peramal Buntung terangkat satu depa dari per-
mukaan tanah. Tubuh kakek berompi kuning itu lalu
melesat cepat karena terhisap oleh kekuatan yang tak
tampak!
"Kakek...!" pekik Suropati ketika tahu tubuh Pe-
ramal Buntung menghilang dari hadapannya.
Raja Angin Barat turut terkejut. Pemilik Lembah
Makam Pelangi ini sempat melihat bagaimana tubuh
Peramal Buntung terangkat dan melesat, lalu menghi-
lang di kegelapan malam. Tubuh Peramal Buntung te-
lah dilarikan orang. Tapi siapa orang itu, Raja Angin
Barat tak tahu. Demikian pula dengan si Pengemis Bi-
nal Suropati!
***
"Penjahat culas! Kembalikan Mustika Batu Mer-
pati kepadaku!"
Mendengar teriakan itu, seorang wanita cantik
berpakaian merah kuning terkesiap. Tanpa sadar,
langkahnya terhenti. Dengan penuh kewaspadaan, dia
memutar badan seraya mengedarkan pandangan. Wa-
nita cantik berambut putih meletak dan mengenakan
mahkota emas ini tersurut mundur satu langkah saat
melihat seekor anjing hitam berjalan tenang di balik
keremangan malam. Moncong anjing yang nyaris sebe-
sar kuda itu terus mengeluarkan lolongan panjang.
Sementara, di punggungnya bertengger seorang wanita
gemuk bundar mengenakan pakaian serba putih. Rupa
si wanita gemuk tak seberapa sedap dipandang mata.
Hidungnya pesek, bibirnya pun tebal berwarna hitam.
Lebih buruk lagi, kepalanya gundu! tanpa sehelai ram-
but pun!
"Putri Impian...!" desis wanita cantik berambut
putih.
Bibir tebal si wanita gemuk menyungging se-
nyum ejekan. Matanya berkilat, menatap lurus ke de-
pan.
"Berhenti dan diamlah kau, Sona Langit!" perin-
tah si wanita gemuk yang tak lain Putri Impian, salah
seorang dari penghuni Istana Langit yang mempunyai
kedudukan sebagai Ratu Istana Dalam.
Mendengar perintah tuannya, anjing besar hitam
menghentikan lolongannya. Langkahnya terhenti pula.
Wanita cantik berambut putih menatap dengan hati
berdebar kencang.
"Apa maksud kedatanganmu ini, Putri Impian?"
tanyanya.
"Hmmm.... Kau mengajukan pertanyaan yang te-
lah kau ketahui jawabannya, Melati Putih," sahut Putri
Impian. "Dengan akal bulusmu, kau telah mengelabui
si Pengemis Binal Suropati. Kau telah melarikan Mus-
tika Batu Merpati. Kedatanganku ini tentu saja untuk
meminta kembali batu mustika pemberianku itu!"
Wanita cantik yang tak lain Melati Putih atau Bi-
dadari Pulau Penyu melempar senyum aneh. Tarikan
bibirnya lebih tepat disebut ringis kesakitan. Dan, Pu-
tri Impian tampaknya mengetahui keanehan itu.
"Kulihat ada luka bakar di pinggang kananmu,
Melati Putih,'" ujar Putri Impian. "Aku tahu kau tengah
tersiksa oleh hawa panas yang menjalar dari luka ba-
kar di pinggang kananmu itu. Oleh karenanya, aku
mau berbaik hati kepadamu. Aku tak akan menjatuh-
kan hukuman apa-apa kepadamu asal kau kembalikan
Mustika Batu Merpati kepadaku!"
Bidadari Pulau Penyu menekap pinggang kanan-
nya. Diam-diam dia salurkan hawa dingin lewat tela-
pak tangannya. Tapi luka bakar akibat pancaran 'Sinar
Merah Penghancur Segala' ketika bentrok dengan Iblis
Mata Satu itu tetap saja terasa panas. Bahkan, terasa
makin panas, hingga sekujur tubuh Bidadari Pulau
Penyu bermandi keringat. (Tentang luka yang didapat
Bidadari Pulau Penyu ini, silakan simak serial Pengemis
Binal dalam episode: "Bidadari Pulau Penyu").
"Uh! Sekujur tubuhku terasa panas luar biasa...,"
keluh Bidadari Pulau Penyu dalam hati. "Dengan kea-
daan terluka seperti ini, dapatkah aku menghadapi pe-
rempuan gembrot itu? Apakah tidak lebih baik Mustika
Batu Merpati kuserahkan saja kepadanya? Tapi..., bu-
kankah aku mempunyai sebuah rencana besar? Ren-
cana itu hanya dapat kuwujudkan kalau aku memiliki
Mustika Batu Merpati! Hmmm.... Lebih baik aku men-
cari akal agar dapat meloloskan diri dari tempat ini...."
"Hei! Kenapa kau diam saja, Kuntilanak!" hardik
Putri Impian.
"Kulihat wajahmu makin pucat. Kau harus sege-
ra mendapat pertolongan Oleh karena itu, cepat serah-
kan Mustika Batu Merpati, lalu pergilah sejauh mung-
kin sebelum aku berubah pikiran!"
"Kau jangan keburu nafsu, Putri Impian...," sa-
hut Bidadari Pulau Penyu dengan suara lembut, walau
wanita bertubuh sintal ini mesti meredam perasaan
yang menghentak-hentak tak karuan. "Aku bukan
orang serendah dugaanmu. Aku tak pernah menipu
Suropati, bahkan berpikir begitu pun tidak. Aku me-
mang membawa Mustika Batu Merpati, tapi...."
"Cukup!" potong Putri Impian dengan suara ke-
ras menggelegar. Dengan sinar mata berkilat tajam,
wanita gemuk bundar ini meloncat dari punggung sat-
wa tunggangannya yang bernama Sona Langit. "Aku
tahu kelanjutan ucapanmu itu Melati Putih. Kau
hanya akan mengumbar kata-kata untuk dapat mem-
bujukku. Kau salah! Kau salah menduga, Melati Putih!
Aku bukanlah orang yang mudah kau bujuk! Aku tahu
persis siapa kau! Aku tahu benar perangai buruk dan
sifat licikmu...!"
"Sebentar...," sela Bidadari Pulau Penyu mende-
ngar ucapan Putri Impian yang nyerocos panjang. "Kau
boleh berbuat apa saja terhadapku, tapi aku mohon
dengarlah dulu penjelasanku...."
"Aku tak butuh penjelasanmu! Serahkan Mustika
Batu Merpati! Atau, kulumatkan tubuhmu yang sudah
terluka itu!"
Mendengar ancaman Putri Impian, Bidadari Pu-
lau Penyu menggeragap kaget seperti baru dibangun-
kan dari tidur panjang. Di balik keremangan malam,
kedua bola mata Putri Impian tampak melotot besar
dan memancarkan cahaya biru kemerahan. Sementa
ra, bola mata Sona Langit pun demikian pula. Mon-
cong anjing yang tubuhnya hampir sebesar kuda itu
terbuka lebar, memperlihatkan taring-taring tajam pu-
tih berkilat. Putri Impian dan Sona Langit sama-sama
menatap Bidadari Pulau Penyu bagai makhluk berlai-
nan wujud yang haus darah!
Cepat Bidadari Pulau Penyu mengerahkan keku-
atan hawa sakti untuk melindungi tubuhnya manakala
merasakan sentakan-sentakan aneh yang menyerang
seluruh persendian. Tulang-tulang tubuh Bidadari Pu-
lau Penyu terasa hendak tanggal dari sambungannya!
"Hmmm.....Perempuan gembrot dan satwa tung-
gangannya itu telah mengeluarkan 'Sinar Mata Pemi-
sah Tulang'...," gumam Bidadari Pulau Penyu. "Aku bi-
sa mati konyol kalau berdiam diri saja. Aku harus ber-
buat sesuatu!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Bidadari Pulau
Penyu mengerahkan hawa sakti sampai ke puncak.
Dari kepalanya mengepul asap tipis. Begitu sentakan-
sentakan aneh itu berkurang kekuatannya, dia berka-
ta,
"Putri Impian, cobalah kau tarik dulu 'Sinar Mata
Pemisah Tulang'-mu ini. Bila kau nekat mengikuti ha-
wa amarahmu, kau pasti akan menyesal!"
"Apa maksudmu?" tanya Putri Impian, dibarengi
dengus kegusaran.
"Saat ini juga kau bisa membunuhku, tapi sam-
pai langit runtuh pun kau tak akan mendapatkan, ba-
tu mustika yang kau inginkan!"
Melihat kesungguhan Bidadari Pulau Penyu, mau
tak mau Putri Impian mesti melepas pancaran 'Sinar
Mata Pemisah Tulang'. Seperti dapat membaca pikiran
tuannya, Sona Langit pun berbuat serupa.
Dan begitu sentakan-sentakan aneh yang menye-
rang persendian tulang-tulangnya tak terasa lagi, Bidadari Pulau Penyu menarik napas lega. Sekilas, senyum
tipis tersungging di bibirnya yang merah ranum.
"Cepat katakan apa maksud ucapanmu tadi, Me-
lati Putih!" sentak Putri Impian.
Seperti sengaja mengulur waktu, Bidadari Pulau
Penyu diam dan tampak berpikir pikir. Beberapa kali
dia mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tentu. saja sikap Bidadari Pulau Penyu ini membuat
jengkel dan gemas hati Putri Impian.
“Jangan coba-coba menipuku Setan Alas! Jika
kau tak segera menyerahkan Mustika Batu Merpati,
kau akan kusiksa! Akan kubuat tulang-tulang tubuh-
mu bercerai-berai!"
Usai berkata, kedua bola mata Putri Impian tam-
pak memancarkan sinar biru kemerahan lagi. Namun
sebelum 'Sinar "Mata Pemisah Tulang' datang menye-
rang, bergegas Bidadari Pulau Penyu mengangkat tan-
gan kanannya. Gerakannya agak kaku karena rasa
panas yang menjalar dari pinggang kanannya belum
hilang, bahkan terasa amat menyiksa.
"Uts! Tahan amarahmu dulu, Putri Impian...!" ce-
gahnya. "Dalam keadaan terluka seperti ini, aku me-
mang tak akan sanggup melawan 'Sinar Mata Pemisah
Tulang' -mu. Apalagi, kau dibantu satwa tunggangan-
mu yang bernama Sona Langit itu. Tapi ketahuilah,
Putri Impian..., sudah kukatakan di depan, kau bisa
membunuhku, tapi kau hanya akan melihat mayatku
tanpa mendapatkan Mustika Batu Merpati...."
"Apa maksudmu?" sentak Putri Impian, terbawa
rasa penasaran. Agaknya, wanita gemuk bundar ini
termakan siasat Bidadari Pulau Penyu.
Dan begitu sinar biru kemerahan di bola mata
Putri Impian meredup lagi, Bidadari Pulau Penyu.
mengibaskan telapak tangan kanannya ke depan!
Wusss...!
Terkejut tiada terkira Putri Impian. Dari telapak
tangan Bidadari Pulau Penyu melesat berpuluh-puluh
bayangan tangan yang merupakan wujud serangan da-
ri ilmu 'Tangan Ganda Pemakan Roh'!
Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari tu-
lang dan daging empuk, bongkahan batu karang sebe-
sar gajah pun akan hancur lebur menjadi debu bila
tertimpa ilmu 'Tangan Ganda Pemakan Roh' itu. Maka
sambil mengumpat panjang pendek, Putri Impian me-
loncat ke sana-sini agar dapat menghindari maut Dan
pada waktu inilah Bidadari Pulau Penyu mengeluarkan
lempengan batu sebesar uang logam hijau dari balik li-
patan bajunya. Lempengan batu yang tak lain dari
Mustika Batu Merpati itu lalu ditempelkan ke lidah!
Bidadari Pulau Penyu bermaksud melarikan diri de-
ngan menggunakan kekuatan gaib Mustika Batu Mer-
pati seperti yang pernah dilakukannya ketika berhada-
pan dengan Iblis Mata Satu di Graha Kenikmatan.
Namun tiba-tiba Sona Langit menggerung,
"Hungngng...!" Terbawa nalurinya yang tajam,
anjing besar berbulu hitam legam ini meloncat ke de-
pan!
Karena tak menyangka akan datangnya seran-
gan, Bidadari Pulau Penyu menjerit kaget. Tubuhnya
berhasil diterkam oleh Sona Langit Dan pada saat in-
ilah kekuatan gaib Mustika Batu Merpati bekerja!
Splash...!
Putri Impian yang telah berhasil berkelit dari
serbuan bayang-bayang tangan tampak menggedruk-
kan kaki ke tanah beberapa kali. Bidadari Pulau Penyu
telah lenyap dari pandangannya. Demikian pula Sona
Langit satwa tunggangannya.
"Jahanam kau, Melati Putih!" umpat Putri Impian
dengan darah mendidih naik ke ubun-ubun "Sebelum
Mustika Batu Merpati kudapatkan kembali, sampai ke

ujung langit pun, kau akan kukejar!"
***
2

Kalau saja Raja Angin Barat tidak menghalangi,
ingin rasanya Suropati mengejar orang yang telah
menculik Peramal Buntung. Selama beberapa hari me-
lakukan perjalanan bersama kakek cacat itu, telah
timbul perasaan suka dalam diri Suropati. Apalagi,
berkali-kali sudah Peramal Buntung menunjukkan ke-
setiaannya sebagai seorang budak pengiring, walau se-
benarnya Suropati tak pernah meminta. Dan kalau se-
karang kakek cacat itu dilarikan orang yang tidak jelas
apa maksudnya, haruskah Suropati diam saja? Tentu
saja tidak! Tapi mau apa lagi, Raja Angin Barat telah
berdiri tegak menantang dengan kuda-kuda terpasang!
Terpaksa Suropati harus melayani kalau tidak ingin
dikatakan pengecut.
"Lupakan Peramal Buntung! Kau harus bertem-
pur dengan penuh kesungguhan, Bocah Gemblung!"
seru Raja Angin Barat. "Keluarkan seluruh ilmu kesak-
tianmu agar kau tak menyesal nantinya!"
"Sebenarnya, dalam diriku tak pernah terbersit
setitik pun rasa permusuhan denganmu, Pak Tua...,"
sahut Pengemis Binal. "Kalaupun sekarang aku berse-
dia bertempur denganmu, ini kulakukan hanya karena
terpaksa...."
"Ha ha ha...! Orang gagah memang nolak tantan-
gan! Hidup atau mati itu urusan nanti. Tapi yang jelas,
aku ingin membawa kepalamu untuk kuhadapkan ke-
pada Siluman Raga kaca! Agar, aku dapat menyela-
matkan Narita…."
Mendadak, air muka Raja Angin Barat yang se-
mula garang berubah keruh dan menyiratkan rasa se-
dih. Waktu mengucapkan nama putrinya, suara pemi-
lik Lembah Makam Pelangi ini terdengar bergetar. De-
ngan mata berkaca-kaca, dia menggeleng-gelengkan
kepala seperti hendak mengusir perasaan hatinya yang
galau.
"Pak Tua, aku tahu jiwamu terpukul. Tidakkah
lebih baik kau menenteramkan pikiran agar tak salah
kau melangkah, agar tak keliru kau berbuat..," ujar
Pengemis Binal.
"Tutup mulutmu! Aku tahu apa yang harus kula-
kukan!" hardik Raja Angin Barat dengan air muka be-
rubah garang lagi.
Di ujung kalimatnya, kakek berjubah merah ini
menarik napas panjang seraya memutar-mutar kedua
tangannya di depan dada. Di lain kejap, timbul suara
gemuruh dahsyat. Daun-daun kering dan batu yang
berserakan di tanah berhamburan ke segala penjuru.
Pengemis Binal tersurut mundur satu langkah.
Kedua pergelangan tangan Raja Angin Barat tampak
dilapisi sinar putih berkeredapan Sinar itu amat terang
dan cukup untuk menyilaukan mata. Hingga, kere-
mangan malam tersibak. Dan perlahan namun pasti,
kedua pergelangan tangan Raja Angin Barat mulai ber-
tambah ukuran. Membesar!
"Bersiaplah kau untuk menerima ajalmu, Bocah
Gemblung! Dengan ilmu 'Tangan Langit', akan kure-
mukkan tubuhmu!" seru Raja Angin Barat sewaktu
kedua pergelangan tangannya telah membesar pulu-
han kali dari ukuran normal.
Suropati yang pernah merasakan kehebatan ilmu
'Tangan Langit' cepat menghimpun seluruh kekuatan
tenaga dalam beserta kekuatan batinnya. Remaja tam-
pan ini hendak mengeluarkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' wejangan Bayangan Putih dari Sela-
tan. Sengaja Suropati tak mengeluarkan ilmu pukulan
'Salju Merah' karena ilmu yang diturunkan Nyai Catur
Asta itu tak mampu menghadapi kedahsyatan ilmu
'Tangan Langit' Raja Angin Barat. (Baca serial Pengemis
Binal dalam episode: "Sepasang Racun Api").
Tampak kemudian, Pengemis Binal mementang-
kan kedua tangannya ke samping, dijulurkan lurus ke
atas, lalu perlahan-lahan diturunkan di depan dada.
Dengan bersedekap dan mata terpejam rapat, tubuh
Suropati bergetar. Dari getaran itu. memancar cahaya
kebiru-kebiruan. Suropati telah berhasil menghimpun
kekuatan semesta!
Ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' diperoleh
dari penyatuan tenaga dalam tingkat tinggi dengan ke-
kuatan batin yang suci bersih. Dari penyatuan ke-
kuatan yang berbeda itu, kekuatan semesta yang ma-
ha dahsyat berhasil dihimpun. Dan benda berwujud
apa pun yang menyentuh cahaya kebiru-biruan yang
memancar dari sekujur tubuh Suropati akan hancur
berkeping-keping! Tak terkecuali, tubuh manusia yang
mempunyai ilmu kesaktian tinggi!
Namun..., mampukah ilmu 'Tangan Langit' yang
telah disempurnakan Raja Angin Barat meredam ke-
dahsyatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'?
"Tangan Langit Penghancur Arwah'!" seru Raja
Angin Barat.
Sambil berteriak lantang, tangan kanan Raja An-
gin Barat berkelebat ke depan. Kelima jarinya siap me-
remas tubuh Pengemis Binal! Namun....
Blarrr...!
"Wuahhh...!" Raja Angin Barat memekik kesaki-
tan tatkala jari-jari tangan kanannya membentur inti
kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang
melindungi tubuh Pengemis Binal. Sinar putih yang
melapisi pergelangan tangan Raja Angin Barat kontan
lenyap. Di lain kejap, tangan raksasa itu mengecil lagi.
Hingga hanya tangan kirinyalah yang masih berwujud
tangan raksasa.
Kaki Raja Angin Barat tampak melangkah gontai
ke belakang. Jari-jari tangan kanannya yang telah me-
ngecil terasa panas luar biasa. Namun sebagai tokoh
tua yang cukup punya nama di Negeri Pasir Luhur, Ra-
ja Angin Barat pantang mundur pada gebrakan perta-
ma. Usai menggerendeng panjang, dia memutar-mutar
tangan kanannya di depan dada. Sekali lagi timbul su-
ara gemuruh dahsyat. Putaran tangan pemilik Lembah
Makam Pelangi ini menimbulkan tiupan angin ken-
cang. Beberapa pohon kecil tampak tercabut dari
akarnya, lalu terlontar sejauh ratusan tombak!
Pergelangan tangan kanan Raja Angin Barat yang
telah membesar lagi diangkat lurus ke atas, Tangan ki-
rinya mengikuti. Dan ketika Raja Angin Barat meng-
gembor keras, sinar putih yang melapisi kedua perge-
langan tangannya berubah kuning kemerahan yang
amat menyilaukan mata!
"Blarrr...!
Kedua telapak tangan Raja Angin Barat menepuk
di atas kepala. Bersamaan dengan timbulnya ledakan
keras, melesat seberkas sinar kuning kemerahan. Me-
luncur deras ke tubuh Pengemis Binal yang diselubun-
gi cahaya kebiru-biruan!
Luar biasa! Seberkas sinar kuning kemerahan
yang mempunyai daya penghancur amat dahsyat itu
lenyap tanpa bekas ketika membentur cahaya kebiru-
biruan yang merupakan inti kekuatan dari ilmu 'Kalbu
Suci Penghempas Sukma'!
Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya
Raja Angin Barat Dua tingkatan ilmu 'Tangan Lan-
git'nya dapat dipatahkan dengan mudah oleh Pengemis
Binal yang tengah mengetrapkan salah satu ilmu an-
dalannya.
"Hmmm... tak kusangka bocah gemblung itu
memiliki ilmu yang sangat ampuh...," ujar Raja Angin
Barat dalam hati.
"Ilmu 'Tangan Langit' tingkat pertama yang ber-
nama 'Tangan Langit Penghancur Arwah' dapat dimen-
tahkannya. Begitu pula ilmu 'Tangan Langit' tingkat
kedua yang bernama 'Sinar Tangan Langit Pelebur
Sukma'. Sungguh dia seorang pemuda yang mempu-
nyai kesaktian luar biasa. Andai Narita putriku tidak
dalam sekapan Siluman Ragakaca, sehingga aku harus
membunuh pemuda itu, ingin rasanya aku mende-
katkan Narita kepadanya. Kasihan Narita. Seumur hi-
dupnya dia selalu dirundung sepi karena tak punya
teman...."
Beberapa saat, Raja Angin Barat menatap Penge-
mis Binal yang tengah berdiri bersedekap dengan tata-
pan aneh. Melihat keteduhan yang tersirat dari raut
wajah Pengemis Binal, tiba-tiba Raja Angin Barat me-
nitikkan air mata. Ingatannya melayang ke wajah je-
naka Narita.
"Narita putriku...," desah Raja Angin Barat, pe-
nuh kesedihan. "Maafkan kesalahan ayahmu ini, Nak...
Walau aku bermaksud baik, tapi kenyataannya aku te-
lah memenjarakanmu di Lembah Makam Pelangi yang
sunyi sepi. Kini..., kau pasti lebih tersiksa lagi dalam
sekapan Siluman Ragakaca. Tapi, tunggulah beberapa
saat lagi, Narita putriku sayang. Aku akan membawa-
mu pulang. Aku akan menebusmu dengan... den-
gan...."
Mendadak, Raja Angin Barat menggeleng-
gelengkan kepalanya dengan cepat. Timbul tiupan an-
gin yang mengeluarkan suara bersiut nyaring. Seperti
orang lupa ingatan, kakek berjubah merah ini tertawa.

bergelak-gelak. Suaranya keras menggelegar dan
menggema ke empat penjuru angin. Dan begitu ta-
wanya berhenti, dia menatap Pengemis Binal dengan
bola mata memerah seperti darah!
"Aku harus membunuhmu! Aku harus membu-
nuhmu, Bocah Gemblung!" geram Raja Angin Barat.
Sepuluh jari tangan raksasanya meremas-remas seba-
gai wujud hawa amarah yang tiba-tiba menutupi akal
sehatnya lagi.
Sementara, Suropati masih saja berdiri tegak de-
ngan tangan bersedekap. Dengan kelopak mata tertu-
tup rapat, wajah pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini terlihat begitu teduh seperti wajah
bayi yang tak punya dosa.
Karena nalurinya memberitahukan bahwa masih
ada bahaya yang mengancam, ilmu 'Kalbu Suci Peng-
hempas Sukma' masih. terus melindungi. Hingga sam-
pai beberapa waktu lamanya, tubuh Pengemis Binal te-
tap terselubungi cahaya kebiru-biruan yang mempu-
nyai daya tolakan amat dahsyat!
"Tangan Langit Perontok Jiwa'!" seru Raja Angin
Barat kemudian. Kedua tangan raksasanya yang dila-
pisi sinar kuning kemerahan berubah jadi bayangan
tangan raksasa berwarna hijau yang mengeluarkan
hawa panas luar biasa.
“Tangan langit Perontok Jiwa' adalah tingkatan
ketiga atau puncak dari kedahsyatan ilmu 'Tangan La-
ngit' Raja Angin Barat. Balok baja yang amat keras pun
akan lumer apabila tersentuh tangan raksasa kakek
berjubah merah ini. Tapi, mampukah dia menghalau
inti kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
milik Pengemis Binal?
Tampak kemudian, kedua bayangan tangan rak-
sasa Raja Angin Barat berkelebat ke depan secara ber-
samaan. Sementara, Suropati yang berdiri bersedekap
dengan kelopak mata tertutup rapat, sama sekali tak
bergeming dari tempatnya!
Wusss….!
"Haya...!"
Tubuh Pengemis Binal yang terselubungi cahaya
kebiru-biruan berhasil digenggam oleh sepuluh ba-
yangan jari raksasa. Raja Angin Barat. Timbul suara ...
mendesis seperti bara api tersiram air. Raja Angin Ba-
rat memekik parau ketika merasakan sepuluh jari tan-
gannya yang berhawa panas seperti menyentuh bong-
kahan es yang amat dingin, ratusan kali dinginnya bila
dibanding dengan hawa dingin es yang sebenarnya.
Tapi walau Raja Angin Barat merasa kesakitan di
mana tubuhnya terasa bagai ditimbun di dalam gum-
palan-gumpalan es yang berhawa dingin luar biasa, dia
tak mau melepaskan tubuh Suropati yang berada da-
lam genggaman sepuluh bayangan jari tangan raksa-
sanya.
Kemudian sambil menggembor keras, Raja Angin
Barat mengangkat tubuh Pengemis Binal tinggi-tinggi,
lalu disambitkan ke bawah dengan kekuatan penuh.
Tak ayal lagi, tubuh Pengemis Binal melesat cepat un-
tuk segera membentur permukaan tanah keras!
Slaps…!
Sewaktu meluncur deras ke bawah, sinar kebiru-
biruan yang menyelubungi tubuh Pengemis Binal tiba-
tiba lenyap. Itu berarti tubuh Pengemis Binal tak lagi
terlindungi oleh kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghem-
pas Sukma'. Rupanya, ilmu 'Tangan Langit’ tingkat ke-
tiga mampu meredam kedahsyatan salah satu ilmu
andalan remaja tampan itu!
Dan agaknya Suropati pun belum menyadari bila
malaikat kematian segera akan menjemput nyawanya.
Tanpa perlindungan apa-apa, tubuh remaja berpa-
kaian putih penuh tambalan ini terus meluncur ke
bawah. Sementara permukaan tanah keras telah siap
untuk menyambut luncuran tubuhnya!
Namun tiba-tiba, permukaan tanah di mana tu-
buh Pengemis Binal akan mendarat mengeluarkan su-
ara berderak-derak Di lain kejap, beberapa bagian di
permukaan tanah itu retak, lalu membuka, hingga
muncul sebuah lubang bergaris tengah satu depa!
Wusss...!
"Aaa...!"
Diiringi jeritan panjang yang sangat menyayat
hati, tubuh Pengemis Binal terhisap masuk ke lubang
yang tiba-tiba muncul di permukaan tanah itu. Lalu
secepat kilat, permukaan tanah menyatu lagi dengan
mengeluarkan suara berderak amat keras. Akibatnya
tubuh Pengemis Binal lenyap. Benar-benar tertelan ta-
nah!
"Astaga...!" kesiap Raja Angin Barat.
Kakek berjubah merah ini sama sekali tak men-
duga akan kejadian yang menimpa diri Suropati. Dia
tak tahu kekuatan apa yang tiba-tiba muncul dari da-
lam tanah, untuk kemudian menghisap tubuh Suropa-
ti.
Setelah melepas ilmu 'Tangan Langit'nya, Raja
Angin Barat meloncat sejauh lima tombak. Diperik-
sanya permukaan tanah yang baru saja menelan tu-
buh Suropati. Namun, pemilik Lembah Makam Pelangi
ini segera tampak menggeleng-gelengkan kepala dalam
perasaan heran.
Permukaan tanah yang tadi tampak membuka la-
lu menelan tubuh Suropati hanya memperlihatkan be-
kas retakan sepanjang satu depa. Sementara, tubuh
Suropati pun sudah tak terlihat lagi. Raja Angin Barat
mengucak-ucak matanya beberapa kali. Kakek ber-
jubah merah ini seperti tak percaya pada penglihatan-
nya sendiri. Bagaimana mungkin permukaan tanah bisa membuka lalu menutup lagi setelah menghisap tu-
buh seorang anak manusia?
Untuk beberapa saat, Raja Angin Barat berdiri
mematung memikirkan peristiwa aneh yang baru saja
dilihatnya. Setelah angin dingin malam berhembus
kencang dan mengibarkan kain jubahnya, barulah ka-
kek yang rambutnya dikuncir ini menyadari keadaan.
"Hmmm.... Tubuh bocah gemblung itu benar-be-
nar telah tertimbun di dalam tanah. Mustahil dia dapat
bertahan hidup...," pikir Raja Angin Barat. "Walau ti-
dak secara langsung, tapi aku telah membunuhnya.
Itu berarti aku bisa menemui Siluman Ragakaca untuk
meminta kembali Narita putriku...."
Diiringi desau angin malam, Raja Angin Barat
tertawa panjang penuh kepuasan. Lalu sambil tetap
tertawa-tawa, dia berkelebat... Tapi, benarkah si Pen-
gemis Binal Suropati telan menemui ajalnya?
***
Bila sang Penguasa Jagat berkehendak, maka se-
suatu yang dikendaki-Nya itu pasti akan terjadi. Tanpa
ada satu kekuatan pun yang mampu menghalangi.
Dan, kehendak-Nya sering kali di luar akal pikiran ma-
nusia. Satu misal adalah peristiwa yang dialami si
Pengemis Binal Suropati kali ini.
Antara sadar dan tidak, Pengemis Binal merasa-
kan tubuhnya terhisap oleh kekuatan dahsyat yang
tak tampak oleh mata. Dia merasakan tubuhnya terus
meluncur ke bawah, tanpa mau memberikan perlawa-
nan sedikit pun. Akal pikiran Pengemis Binal jadi ge-
lap, segelap matanya yang tak dapat melihat apa-apa
Beberapa tarikan napas kemudian, luncuran tu-
buh Suropati berkurang. Suropati pun merasakan tu-
buhnya amat ringan. Mendadak, kegelapan yang me

nyelimuti pandangannya lenyap. Sebagai gantinya
muncul pancaran cahaya putih. Karena silau, cepat
Suropati memejamkan mata. Dan pada saat Suropati
memejamkan mata inilah terdengar suara dingin me-
nyeramkan..,.
"Bocah gendeng! Bocah geblek yang sok pintar!
Seharusnya aku biarkan kau mati, tapi aku kasihan
melihatmu mati karena keangkara murkaan Siluman
Ragakaca. Bolehlah kali ini kau kutolong!"
Pengemis Binal tak tahu suara yang didengarnya
itu dari mana. Tapi telinga remaja tampan ini cukup
jelas menangkap makna ucapannya.
Pengemis Binal terkesiap manakala merasakan
tubuhnya mengambang di udara. Pancaran cahaya pu-
tih pun tak lagi menyilaukan, hingga remaja tampan
ini bisa mengedarkan pandangan dengan leluasa.
Kembali Pengemis Binal terkesiap. Ternyata, tu-
buhnya ditahan oleh serat-serat cahaya putih yang
memancar dari bawah. Serat-serat cahaya itulah yang
membuat tubuh remaja tampan ini tidak sampai jatuh
berdebam.
Saat kesadarannya benar-benar telah pulih, Pe-
ngemis Binal menggerakkan otot-otot tubuhnya seraya
meloncat. Begitu mendarat, heran tiada terkira Penge-
mis Binal. Sambil garuk-garuk kepala, remaja yang
sering berperilaku konyol ini terus mengedarkan pan-
dangan. Namun, apa yang dilihatnya tetap tak beru-
bah. Di sekitar tempatnya berdiri hanya tampak dind-
ing-dinding tanah kapur berwarna putih.
"Hmmm.... Kiranya, aku berada di sebuah gua
bawah tanah," pikir Suropati. "Aneh! Benar-benar
aneh! Aku masih ingat dan dapat melihat dengan jelas
ketika tubuhku dilemparkan oleh tangan raksasa Raja
Angin Barat, permukaan tanah tiba-tiba membuka, tu-
buhku terhisap masuk mustahil kalau ini semua karena kekuatan alam biasa. Tapi, mungkinkah ada manu-
sia yang sanggup membuka permukaan tanah lalu
menyedot tubuhku, dan menempatkanku di gua ba-
wah tanah ini?"
Terbawa rasa herannya, beberapa kali Suropati
mendongak, melihat ke kanan kiri, memeriksa permu-
kaan tanah kapur tempatnya berpijak, lalu garuk-
garuk kepala!
Di bagian atas, Suropati hanya melihat tonjolan-
tonjolan-tanah kapur. Begitu pula di bagian kanan ki-
rinya yang berupa dinding kasar. Tempatnya berpijak
pun berupa tanah kapur. Permukaannya tak rata dis-
eraki batu-batu kapur, yang semuanya berwarna putih
meletak.
Ruangan gua bawah tanah yang cukup luas ini
menjadi terang benderang karena di salah satu sudut-
nya terdapat gumpalan cahaya. Suropati tak tahu
gumpalan cahaya itu berasal dari benda atau dari se-
suatu yang berwujud apa. Namun, beberapa kali Suro-
pati melonjak kaget. Gumpalan cahaya yang dilihat-
nya, pancarannya dapat berubah-ubah. Kadang men-
guat, hingga terlihat menyilaukan mata, Kadang mele-
mah, dan hanya mampu memberi penerangan gua se-
cukupnya.
"Aneh!" mungkinkah gumpalan cahaya itu beras-
al dari kekuatan panas bumi?" tanya Pengemis Binal
dalam hati. "Tapi, kenapa pancarannya tidak terasa
panas? Bahkan, aku yakin bila gumpalan cahaya itu-
lah yang telah menahan luncuran tubuhku waktu ter-
jatuh ke dalam gua ini. Hmmm... kekuatan panas bu-
mi tidak akan sehebat itu, Cahaya panasnya pasti
akan membakar hangus tubuhku. Tapi, gumpalan ca-
haya itu tidak demikian. Pasti ada apa-apa di balik
keanehannya...."
Selagi Pengemis Binal larut dalam pikiran di benaknya, mendadak gumpalan cahaya yang berada di
salah satu sudut ruangan tampak menguat pancaran-
nya. Karena silau dan merasa pedih, cepat Pengemis
Binal menutup kelopak matanya. Namun tiba-tiba...,
Krash...!
Srattt...!
Batu-batu kapur yang berserakan di dekat gum-
palan cahaya tampak melayang. Lalu dengan kecepa-
tan tinggi dan mengandung daya penghancur luar bi-
asa, menyerbu Pengemis Binal!
"Ya Tuhan...," sebut Suropati. Walau kelopak
matanya tertutup rapat, tapi indera pendengaran Su-
ropati dapat bekerja dengan baik. Dia tahu bila ada
bahaya yang mengancam jiwanya. Maka tanpa pikir
panjang lagi, sambil tetap menutup kelopak mata, Su-
ropati meloloskan tongkat butut yang terselip di ikat
pinggangnya!
Wuttt...! Wuttt...!
Bletakkk...!
"Ih...!"
Pengemis "Binal menjerit kaget Batang tongkat
yang diputarnya di depan tubuh untuk membentuk
perisai, tiba-tiba patah menjadi tiga bagian. Batang
tongkat yang telah dialiri tenaga dalam tingkat tinggi
ternyata tak mampu menahan gempuran batu-batu
kapur!
"Kadal bunting! Setan comberan!" Sambil men-
gumpat-umpat, Pengemis Binal melentingkan tubuh-
nya ke sana-sini. Susah payah dia berusaha menghin-
dari hujan batu kapur. Tapi untunglah hujan batu itu
tidak berlangsung lama. Hingga Pengemis Binal dapat
bernapas lega.
"Uh! Ada-ada saja! Peristiwa apa ini?!"
Sambil berkata-kata seorang diri, Suropati ga-
ruk-garuk kepala seraya mengedarkan pandangan untuk kesekian kalinya. Kini terlihat hampir seluruh
permukaan dinding jadi berlubang-lubang. Agaknya
batu-batu kapur yang berlesatan tadi telah menancap
dan amblas ke dalam dinding gua.
"Hmmm.,.. Mataku memang tak dapat melihat
apa-apa, tapi aku tahu yang telah dengan sengaja
menyerangku,..," ujar Pengemis Binal dengan suara
menggeram. "Walau kau berwujud kuntilanak dekil
ataupun setan comberan bau, segera tampakkan ba-
tang hidungmu!"
Tiba-tiba....
"Ha ha ha...! Bocah gendeng! Bocah geblek yang
sok pintar! Bibirmu tipis, hingga mulutmu jadi sangat
ceriwis! Kau punya nyali besar, tapi kau tak sadar bila
kepandaianmu belumlah dapat diandalkan!"
Suropati terkejut mendengar suara yang menya-
huti ucapannya. Bergegas dia memutar tubuh untuk
mencari siapa yang telah berkata-kata itu. Namun
hingga kepalanya terasa tengkleng, tak ada sosok ma-
nusia lain yang tampak di dalam gua. Sementara,
gumpalan cahaya terus menguat dan melemah panca-
rannya. Tanpa sadar, Suropati telah terserang rasa ta-
kut. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, dan keringat din-
gin pun bercucuran!
***
3


Semburat cahaya jingga di langit menandakan
hari telah menyingsing fajar. Seiring dengan terusirnya
gelap malam, wajah sang candra terlihat memucat Ke-
dipan bintang pun melemah. Namun suasana di data-
ran tanah luas berbatu-batu ini tetap lengang. Tak
berkutik melawan cengkeraman sepi.
Satwa-satwa malas beranjak dari sarangnya. Ka-
rena hawa dingin masih terasa menusuk tulang. Tapi
sepi tak lagi berkuasa manakala melesat seberkas Ca-
haya putih dari langit, dibarengi jerit ngeri seorang
wanita dan lolongan panjang seekor anjing!
"Wuaaahhh...!"
"Huuung...!"
Begitu seberkas cahaya yang melesat dari langit
itu menerpa tanah, muncul sesosok tubuh manusia
yang tengah bergumul dengan seekor anjing yang nya-
ris sebesar kuda!
Sosok manusia berpakaian merah kuning ini tak
lain Melati Putih atau Bidadari Pulau Penyu. Dan anj-
ing besar berbulu hitam legam yang tengah menggu-
mulinya adalah Sona Langit, satwa tunggangan Putri
Impian!
Sampai beberapa saat lamanya, tubuh kedua
makhluk berlainan wujud ini terus bergumul dan ber-
gulingan di permukaan. tanah berbatu. Bidadari Pulau
Penyu berusaha sekuat tenaga untuk dapat melepas-
kan diri dari cengkeraman dan gigitan Sona Langit
Namun karena Sona Langit mempunyai kekuatan luar
biasa, puluhan kali lipat bila dibanding dengan anjing
biasa, tak mudah bagi Bidadari Pulau Penyu untuk
dapat meloloskan diri dari intaian maut. Tubuh sintal
Bidadari Pulau Penyu terus terbanting-banting, Pa-
kaiannya yang indah gemerlap bak seorang ratu telah
robek di sana-sini. Kulitnya yang halus mulus pun
mulai terluka dan mengucurkan darah segar!
Sebenarnya kemampuan Bidadari Pulau Penyu
tidak berada di bawah Sona Langit. Tapi karena dia
menderita luka di pinggang kanan akibat terkena pan-
caran 'Sinar Merah Penghancur Segala' sewaktu ber-
tempur dengan Iblis Mata Satu di Graha Kenikmatan,
maka kekuatan Bidadari Pulau Penyu jadi berkurang
setengah bagian. Dan itu dimanfaatkan benar oleh So-
na Langit, seekor anjing piaraan Putri Impian yang
memiliki naluri tajam. Sona Langit tahu bila Bidadari
Pulau Penyu telah melarikan Mustika Batu Merpati mi-
lik tuannya. Oleh karena itu, Sona Langit bermaksud
membunuh sekaligus merebut kembali Mustika Batu
Merpati yang merupakan satu-satunya benda yang da-
pat menembus Pesanggrahan Pelangi!
Pertempuran antara Bidadari Pulau Penyu den-
gan Sona Langit terus berlangsung sampai pagi datang
menjelang. Keadaan Bidadari Pulau Penyu benar-benar
telah berada di ambang pintu akhirat. Tenaganya yang
lemas dan telah terkuras tak mampu menandingi ke-
ganasan Sona Langit!
"Huuung...!"
Diiringi lolongan panjang, salah satu kaki Sona
Langit berkelebat cepat, menyepak dada! Akibatnya
tubuh Bidadari Pulau Penyu terlempar jauh, lalu ber-
gulingan dan terbentur-bentur batu yang berserakan
di tanah.
Pandangan Bidadari Pulau Penyu jadi kabur. Ra-
sa sakit merejam sekujur tubuhnya. Tulang belulang-
nya pun terasa amat ngilu bagai telah remuk redam.
Namun dengan napas megap-megap, wanita cantik be-
rambut putih ini berusaha bangun.
"Aku tak boleh mati! Aku harus tetap hidup!" se-
ru Bidadari Pulau Penyu dalam hati. "Aku' harus me-
wujudkan cita-cita dulu! Lagi pula aku tak boleh mati
dengan nama kotor tercoreng seperti ini! Aku harus te-
tap hidup!"
Dengan menguatkan hatinya, Bidadari Pulau Pe-
nyu merangkak bangun. Tak dia pedulikan rasa sakit
yang merejam tubuhnya. Namun karena tenaganya
benar-benar telah terkuras, dia jatuh terduduk. Dan
pada saat inilah Sona Langit melolong panjang seraya
meloncat sebat ke depan! Moncongnya yang terbuka
memperlihatkan taring-taring runcing bagai pisau be-
lati, siap menerkam leher jenjang Bidadari Pulau
Penyu!
"Huuungngng...!"
"Hiahhh...!"
Bidadari Pulau Penyu menjerit ngeri melihat ke-
lebatan tubuh Sona Langit yang meluncur ke arahnya.
Dia hendak berkelit menghindar, tapi keadaan tubuh-
nya yang lemah sudah tak memungkinkan lagi untuk
diajak meloloskan diri dari lubang maut. Bidadari Pu-
lau Penyu cuma dapat duduk terpaku dengan bola ma-
ta melotot besar dan mulut terbuka lebar. Wanita yang
tubuhnya sudah berlumuran darah ini pun tak tahu
apakah Mustika Batu Merpati masih menempel di li-
dahnya atau telah terlempar keluar.
Namun sebelum malaikat kematian benar-benar
menjemput nyawa Bidadari Pulau Penyu, dari kejau-
han terdengar suara genderang dipukul bertalu-talu..,.
Dung! Blang!'
Dung! Blang!
Luar biasa! Getaran suara genderang itu mampu
menahan luncuran tubuh Sona Langit, Bahkan di lain
kejap, tubuh anjing besar berbulu hitam legam ini ter-
lontar balik, lalu jatuh berdebam dan melesak ke da-
lam tanah keras!
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Getaran suara
genderang tadi sebenarnya sudah sanggup untuk me-
remukkan tubuh seekor gajah. Tapi karena Sona La-
ngit memiliki daya tahan luar biasa, dia tak menderita
luka sedikit pun. Bahkan satwa piaraan Putri Impian
ini langsung melompat tegak. Lalu dengan pandangan
berkilat-kilat, dia berusaha mencari seseorang yang te
lah menggagalkan niatnya untuk menghabisi riwayat
Bidadari Pulau Penyu.
Sekitar lima tombak di belakang Bidadari Pulau
Penyu yang tengah duduk mendeprok di tanah, tam-
pak seorang kakek kate berdiri dengan kedua tangan
memegang kayu pemukul. Bentuk tubuhnya yang ha-
nya menyamai anak-anak sepuluh tahunan dibungkus
dengan pakaian ketat merah hitam. Kepalanya yang
gundul diikat dengan sehelai kain kuning. Sementara,
di depan kakinya yang dialasi sepatu kulit kerbau ter-
geletak sebuah genderang besar. Melihat penampilan-
kakek kate ini, siapa lagi dia kalau bukan Hakim Ne-
raka!
"Huuungngng...!!” lolong Sona Langit penuh ke-
marahan Anjing besar ini melangkah satu depa ke de-
pan, lalu meloncat dengan kecepatan melebihi luncu-
ran anak panah lepas dari busur.
Bidadari Pulau Penyu yang sudah tiada daya,
menutup kelopak mata rapat-rapat. Walau wanita can-
tik ini masih punya semangat hidup yang menyala-
nyala, tapi kalau seluruh tenaganya sudah terkuras
habis, apa lagi yang dapat dilakukannya untuk meng-
hindari kematian?
Wusss...!
Bulu kuduk Bidadari Pulau Penyu kontan berdiri
ketika merasakan hembusan angin dingin lewat di atas
kepalanya. Namun, wanita cantik yang pernah menjadi
ratu kecil di Pulau Penyu ini dapat menarik napas lega.
Terkaman Sona Langit tidak ditujukan kepada dirinya,
melainkan kepada Hakim Neraka!
Tapi ketika terkaman Sona Langit kurang satu
tombak untuk mencapai sasaran, secepat kilat Hakim
Neraka mengangkat tangan kanannya yang memegang
kayu pemukul. Permukaan genderang pun bergetar....
Dung...!
"Httuung…!"
Sona Langit melolong panjang. dalam kegusaran
ketika tubuhnya membentur getaran suara genderang.
Karena getaran suara itu mengandung kekuatan dah-
syat, tak ayal lagi tubuh Sona Langit terlontar balik
untuk kedua kalinya. Bahkan, lontaran tubuh Sona
Langit kali ini lebih cepat dan lebih jauh!
Wusss...!
Mata Bidadari Pulau Penyu terbelalak lebar saat
melihat tubuh Sona Langit meluncur di atas kepa-
lanya. Berkali-kali wanita bertubuh sintal ini menarik
napas lega karena tahu ada orang yang bermaksud
menolongnya.
Sementara, tubuh Sona Langit terus meluncur
jauh diiringi lolongan yang parau panjang. Setelah
mencapai jarak sekitar tiga puluh tombak, tubuh sat-
wa piaraan Putri Impian ini jatuh berdebam di tanah,
dan amblas ke dalam, memperdengarkan suara gemu-
ruh yang memekakkan gendang telinga.
Dan sebelum Sona Langit meloncat dari kuban-
gan yang terbentuk oleh lontaran tubuhnya sendiri,
Hakim Neraka memukul lagi genderangnya!
Dung! Blang!
Dung! Blang!
Tampak kemudian, bongkahan batu besar kecil
yang bertebaran di permukaan tanah melayang, lalu
menghujani tubuh Sona Langit Hanya dalam satu tari-
kan napas, tubuh Sona Langit sudah menghilang dari
pandangan karena tertimbun ratusan bongkah batu!
Kini suasana di tanah luas berbatu-batu ini
kembali sepi. Hanya desau angin yang tertangkap oleh
indera pendengaran. Hakim Neraka tampak geleng-
geleng kepala, lalu menyelipkan kedua tongkat kayu
pemukul ke ikat pinggangnya.
Dengan langkah sedikit melompat-lompat, Hakim
Neraka menghampiri Bidadari Pulau Penyu. Namun,
tubuh wanita cantik ini telah tergeletak dalam keadaan
pingsan. Rupanya Bidadari Pulau Penyu tak kuasa lagi
menahan rasa sakit akibat luka-luka di tubuhnya.
"Kasihan kau, Melati Putih...," desis Hakim Ne-
raka.
"Setelah geleng-geleng kepala lagi, Hakim Neraka
memungut mahkota emas yang tergeletak tak seberapa
jauh dari tubuh Bidadari Pulau Penyu.
"Kau tampak kurang cantik kalau tidak memakai
mahkota ini," ujar Hakim Neraka seraya mengenakan
mahkota emas di kepala Bidadari Pulau Penyu. "Nah!
Sekarang, kecantikanmu benar-benar tampak luar bia-
sa...."
Dengan lembut dan penuh kasih, Hakim Neraka
menghapus percikan darah bercampur debu yang me-
nempel di wajah Bidadari Pulau Penyu. Sejenak, Ha-
kim Neraka menatap kecantikan wajah Bidadari Pulau
Penyu tanpa berkedip. Telunjuk jari tangan kanannya
yang kecil mungil menelusuri dahi, pipi, dan bibir wa-
nita yang baru ditolongnya ini.
"Tempat ini tak bagus untuk tempat tidur wanita
secantik kau, Sayang...."
Di ujung kalimatnya, Hakim Neraka mengangkat
tubuh Bidadari Pulau Penyu. Walau tubuh Bidadari
Pulau Penyu hampir dua kali lipat besar tubuhnya
sendiri, tapi Hakim Neraka sama sekali tak mendapat
kesulitan untuk membopong. Sesaat kemudian, tubuh
Bidadari Pulau Penyu telah dibaringkan di atas gende-
rang besar.
"Hmmm.... Kau memang memiliki kecantikan
yang sempurna, sayangku Melati Putih...," desis Hakim
Neraka seraya mendaratkan kecupan di kening
Bidadari Pulau Penyu yang masih belum sadar
dari pingsannya.
Hakim Neraka lalu tertawa bergelak. Ringan se-
kali kedua tangannya menyambar genderang besar
tempat Bidadari Pulau Penyu terbaring pingsan, lalu
dipanggulnya seraya dibawa berkelebat. Sampai bebe-
rapa saat, tawa panjang Hakim Neraka masih terden-
gar di hamparan tanah luas berbatu-batu ini....
***
"Ouw...!"
Si Pengemis Binal Suropati melonjak kaget.
Gumpalan cahaya yang berada di salah satu sudut gua
tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya, muncul seorang ka-
kek yang paling tidak telah berumur seratus tahun.
Anehnya, kulit wajahnya yang keriputan berwarna pu-
tih seperti kapur. Kulit tubuhnya juga demikian. Bah-
kan, tampak seperti tanpa pori-pori!
Tanpa sadar Suropati tersurut mundur dua
langkah. Sebagai manusia biasa yang memiliki pera-
saan takut, remaja tampan ini menatap dengan penuh
rasa giris. Apalagi wajah si kakek yang tiba-tiba mun-
cul di hadapannya sungguh terlihat mengerikan. Da-
hinya lebar dengan bentuk mata bulat hijau seperti
buah kedondong muda. Sementara batang hidungnya
yang melesak ke dalam, hingga hanya dua lubangnya
yang terlihat. Yang tampak lebih mengerikan. adalah
dua taring sepanjang satu jengkal yang mencuat dari
sudut bibirnya.
Kalau saja Suropati belum pernah melihat wujud
Iblis Mata Satu yang juga tampak mengerikan, dia pas-
ti sudah berdiri terkencing-kencing!
Ketika Suropati memperhatikan lebih seksama,
ternyata kedua pergelangan kaki si kakek sangat pen-
dek. Tak lebih dari setengah jengkal!
"Si... siapa kau...?" tanya Pengemis Binal, geragapan.
Kakek berambut putih panjang tak memperden-
garkan suara. Kedua bola matanya yang berwarna hi-
jau menatap. Penuh selidik.
"Apakah kau yang memiliki gua ini?" tanya Suro-
pati lagi memberanikan diri. "Kau jugakah yang telah
menolongku?"
Kakek bertampang mengerikan menyeringai di-
ngin. Walau sekejap, Suropati sempat melihat rongga
mulut si kakek yang berwarna putih, termasuk lidah-
nya.
"Bocah gemblung! Bocah geblek yang sok pintar!"
sebut si kakek dengan suara serak parau. "Aku me-
mang telah menolongmu dari tangan maut Raja Angin
Barat. Tapi, aku memberi pertolongan hanya sekali ini
saja. Lain kali, kau harus pandai-pandai mengurus
nyawamu sendiri!"
"Kalau begitu, aku yang bernama Suropati ini
layak mengaturkan terima kasih."
Waktu melihat Pengemis Binal membungkuk da-
lam ke arahnya, kakek berkaki pendek tertawa berge-
lak.
"Ha ha ha...Walau geblek, tapi kau tahu perada-
tan juga. Ha ha ha...! Dari getaran tubuhmu, aku tahu
kau punya bakat luar biasa untuk mendalami ilmu ke-
saktian. Karena sekarang ini kau punya kewajiban un-
tuk meredam keangkara murkaan Siluman Ragakaca,
bersediakah kau menerima beberapa ilmu kesaktian
dariku?"
Melengak heran Pengemis Binal Kenapa tiba-tiba
si kakek memberikan pujian dan bahkan menawarkan
jasa baik? Bukankah tadi dia mengumpat-umpat seka-
ligus menyebut Pengemis Binal sebagai 'bocah gem-
blung' dan 'bocah geblek yang sok pintar'? Apakah ini
bukan sebuah pancingan yang menjerumuskan?
"Maafkan aku, Kek...," ujar Suropati kemudian.
"Kakek belum tahu siapa aku, apakah aku ini orang
baik atau jahat, tapi kenapa Kakek hendak memberi-
kan ilmu kesaktian kepadaku?"
Mendengar kata-kata Suropati yang terasa me-
nyelidik, si kakek tertawa bergelak lagi. "Ha ha ha...!
Kau benar-benar bocah gemblung! Bocah geblek yang
berlaku sok pintar! Sepertinya, kau hendak menolak
tawaran baikku...."
"Bukan begitu, Kek...," sahut Pengemis Binal.
"Bukan begitu apa?!" sentak si kakek, mengge-
ram.
Untuk kedua kalinya, Pengemis Binal tersurut
mundur. Mendapat bentakan sedemikian rupa, tiba-
tiba otak remaja tampan ini jadi linglung. Entah sadar
entah tidak, Pengemis Binal tampak garuk-garuk ke-
pala. Bola matanya melirik ke kanan kiri. Ruangan gua
bawah tanah yang ditempatnya ini tidak gelap gulita
karena ada seberkas cahaya yang cukup memberi pe-
nerangan. Namun, segera Pengemis Binal berseru ka-
get. Seberkas cahaya yang menerangi ruangan gua
ternyata berasal dari tubuh si kakek yang berwarna
putih seperti kapur.
"Uh! Ada-ada saja! Di alam mimpikah aku ini?"
kata Pengemis Binal dalam hati. "Bagaimana mungkin
tubuh kakek buruk rupa itu bisa memancarkan ca-
haya terus menerus? Apakah dia sedang menge-
trapkan salah satu ilmu kesaktiannya? Tapi kurasa
kakek itu tidak sedang mengetrapkan suatu ilmu ke-
saktian. Tubuhnya benar-benar bisa memancarkan
cahaya....."
"Hei! Kenapa kau malah terlongong bengong se-
perti itu?!" sentak kakek bertubuh putih seperti kapur.
"Eh..., apa, Kek?" kesiap Pengemis Binal.
Si kakek mendelikkan matanya yang besar seperti buah kedondong, lalu berkata dengan suara keras
lantang. "Katakan kenapa kau menolak tawaran baik-
ku?!"
Suropati yang diliputi rasa curiga melihat sikap
kasar si kakek tampak nyengir kuda sejenak. Lalu
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia berka-
ta, "Aku bukan menolak tawaran Kakek yang kedenga-
rannya memang baik, tapi kurasa kita belum saling
mengenal. Aku tak tahu siapa Kakek sebenarnya. De-
mikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sungguh ter-
dengar aneh kalau tiba-tiba Kakek hendak menurun-
kan ilmu kesaktian kepadaku...."
"Dasar kau berbibir tipis! Mulutmu amat ceriwis!"
sahut si kakek, garang. "Katakan saja kalau menaruh
curiga kepadaku! Kau pasti sudah tahu bila hujan ba-
tu kapur yang menyerbu tubuhmu tadi adalah ulahku!
Benar begitu, bukan?! Ha ha ha...! Ketahuilah..., itu
tadi kulakukan karena aku ingin menguji kemam-
puanmu! Dasar bocah geblek yang tak bisa mengguna-
kan otak dengan benar"
Mendengar ucapan kasar si kakek yang berkali-
kali menyebutnya 'bocah geblek’, ingin rasanya Penge-
mis Binal balas mencaci untuk menumpahkan seluruh
rasa dongkolnya. Tapi itu tak dilakukannya karena
Pengemis Binal sadar benar bila si kakek memiliki ke-
saktian luar biasa. Kalau si kakek tersinggung, bukan
mustahil Pengemis Binal akan mendapat celaka.
"Kek...," sebut Suropati, berusaha melembutkan
ucapannya walau hatinya benar-benar amat kesal.
"Kau menyerangku dengan hujan batu kapur setelah
membawa tubuhku masuk ke gua ini, tentu ada mak-
sud yang tersembunyi, tidak sekadar hendak menguji
kemampuanku...."
Begitu Pengemis Binal selesai berucap, menda-
dak bola mata si kakek melotot besar seperti hendak
keluar dari rongganya. Kulit wajahnya yang berwarna
putih tambah memutih. Bahunya terlihat naik turun
dengan dengus napas memburu. Agaknya, kakek ini
tengah menahan kemarahan. Walau, ucapan Suropati
terdengar lembut, tapi mampu menusuk perasaannya!
"Kau... kau...!" seru si kakek, tak jelas apa mak-
sudnya.
Melihat keadaan yang tak menguntungkan, cepat
Pengemis Binal menyadari kekeliruannya. Walau sebe-
narnya Pengemis Binal bukan seseorang yang bernyali
kecil, tapi mengetahui bila si kakek telah menolongnya
dari tangan maut Raja Angin Barat, maka dia mau
mengalah dan menunjukkan sikap merendah.
"Maafkan aku, Kek...," ujar Suropati. "Sekali lagi
kukatakan, bukan aku menolak tawaran Kakek yang
hendak menurunkan ilmu kesaktian kepadaku. Aku
hanya memperlihatkan rasa heran, kenapa Kakek yang
jelas-jelas belum pernah bertatap muka denganku se-
belum ini, hendak menurunkan ilmu kesaktian? Na-
mun andai tawaran itu memang tercetus dari lubuk
hati Kakek yang paling dalam, siapa yang akan meno-
lak tawaran sebaik ini?"
"Ha ha ha...!" mendadak si kakek tertawa pan-
jang. Hilang sudah hawa amarahnya mendengar penje-
lasan Pengemis Binal. "Tepat! Dan, memang tak salah
apa yang kau katakan, Bocah Gemblung!" katanya
dengan suara lantang. "Sebelum ini, kita memang be-
lum pernah bertatap muka. Tapi, aku tahu benar siapa
kau!"
"Benarkah itu?"
"Aku tahu riwayat hidupmu dari bayi sampai kau
sebesar ini. Bukankah ketika bayi kau diasuh oleh se-
orang penjual obat? Dan ketika penjual obat itu mati,
hidupmu jadi terlantar, hingga kau jadi gelandangan di
Kota Kadipaten Bumiraksa!"

Terkejut Suropati mendengar kata-kata si kakek
yang mampu menyebut asal-usulnya cukup jelas.
"Ketika kau berumur sepuluh tahun, banyak to-
koh rimba persilatan yang berkeinginan mengangkat-
mu sebagai murid. Karena, selain memiliki tulang dan
susunan otot bagus yang menjadikanmu punya bakat
kuat untuk mempelajari ilmu silat, kau juga mempu-
nyai kekuatan batin luar biasa, hingga kau pun berba-
kat untuk mendalami ilmu sihir dan ilmu kesaktian
lainnya...," lanjut si kakek. "Oleh karena itulah, kau
selalu jadi incaran tokoh-tokoh sakti di rimba persila-
tan. Beruntung, kau diambil murid oleh Pragolawulung
atau Periang Bertangan Lembut yang berjiwa luhur.
Sayang, tokoh pandai yang pernah menjabat sebagai
penasihat Kerajaan Anggarapura itu mesti mati di tan-
gan Brajadenta yang bergelar Dewa Maut di Bukit Pa-
rahyangan...."
"Sebentar, Kek...," potong Pengemis Binal. "Ke-
napa Kakek dapat mengatakan riwayat hidupku de-
ngan sangat rinci?"
Si kakek cuma mendehem. Pertanyaan Pengemis
Binal sama sekali tak diperhatikannya. Dengan suara
tetap lantang, dia lanjutkan kata-katanya.
"Kau lalu diambil murid oleh Gede Panjalu yang
lebih dikenal sebagai Pengemis Tongkat Sakti. Bersama
kakek bongkok itu, dan dengan dukungan teman-
temanmu sesama gelandangan dan pengemis, kau
mendirikan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Dan kau diangkat sebagai pemimpin.... Tapi, dasar bo-
cah geblek! Walau telah jadi pemimpin, kau tetap saja
geblek!”
***
4

"Dinda Aini..., kulihat sinar matamu redup. Raut
wajahmu pun tampak kuyu. Apa gerangan yang tengah
kau pikirkan.,..?" Ujar seorang pemuda berwajah tam-
pan dan lembut Nada suaranya terdengar penuh per-
hatian dan kasih sayang.
Wanita cantik berpakaian sutera putih menatap
sejenak wajah si pemuda." Dihelanya napas panjang,
lalu tatapannya kembali tertuju pada hamparan tanah
luas berbatu-batu. Hembusan angin mempermainkan
sebagian anak-anak rambutnya yang digelung ke atas.
Jari-jari tangan si pemuda menyentuh bahu ka-
nan wanita cantik yang berdiri membelakanginya. Si
wanita diam saja. Tak ada tanggapan. Matanya mene-
rawang jauh. Jauh sekali. Sementara, mentari di langit
timur mulai merayap naik untuk segera menduduki
takhta raja siang.
"Dinda Aini...," sebut si pemuda dengan desah
napas yang mencerminkan cinta: "Pagi-pagi sekali kau
mengajakku ketempat ini. Namun, aku jadi heran dan
sungguh tak habis mengerti. Kau mengajak dengan se-
juta pengharapan, tapi setelah sampai di sini, kau di-
am membisu. Aku tahu ada perasaan tak enak yang
mengganggu jalan pikiranmu...," pemuda berpakaian
putih kuning ini menarik napas dalam seraya meling-
karkan lengan kanannya di bahu si wanita. Dengan
ucapan lembut dan penuh kasih, dia melanjutkan kali-
matnya.
"Dinda Aini...., apa pun yang membuat hatimu
gundah, ada baiknya bila kau sampaikan kepadaku.
Bukankah aku adalah bagian dari hidupmu? Sebagai
seorang suami yang baik, aku tak ingin melihat istriku
tercinta dirundung lara...."
Wanita cantik yang tak lain dari Anggraini Sulis-
tya atau Putri Cahaya Sakti menatap lagi wajah tam-
pan si pemuda. Perlahan dia jatuhkan tubuhnya dalam
pelukan si pemuda.
"Kanda Maruta...."
"Ya. Dindaku sayang...."
"Saka Purdianta dan Kusuma baru saja mengirim
undangan kepada kita,.."
"Ya. Mereka akan menikah pada hari kesepuluh
purnama ketujuh nanti. Jika dihitung mulai hari ini,
hari yang paling membahagiakan bagi mereka itu akan
jatuh tepat empat belas hari lagi. Kupikir tidak ada
yang patut kau risaukan Dinda Aini...."
"Aku tidak sedang merisaukan mereka, Kanda
Maruta. Aku hanya berpikir, mungkinkah si Pengemis
Binal Suropati akan datang ke Katumenggungan Le-
mah Abang untuk menghadiri pesta pernikahan kedua
sahabatnya itu?"
"Oh..., aku tahu sekarang. Rupanya, kau tengah
merindukan adik kandungmu itu,"
Anggraini Sulistya tak menyahuti ucapan si pe-
muda. Dia benamkan wajahnya di dada suaminya itu,
yang tak lain dari Raka Maruta alias Pendekar Kipas
Terbang.
"Dinda Aini..., bila aku duduk diam seorang diri,
kadang-kadang aku merasa heran memikirkan bebera-
pa sikapmu yang tampak aneh. Satu misal apa yang
kau tunjukkan kali ini. Kalau hanya rindu kepada seo-
rang adik saja, kenapa kau terlihat begitu gundah dan
risau? Sepertinya, kau tengah memikirkan suatu tang-
gung jawab yang amat berat..." .
Anggraini Sulistya melepas pelukan suaminya.
"Kanda Maruta..., aku tahu kau sangat memperhati-
kan aku. Aku tahu kau mencintaiku dengan penuh ke-
tulusan hati. Tapi maafkan aku Kanda. Bukan maksudku untuk mengajakmu bersedih pilu seperti ini...."
"Aku tak tahu apa yang kau maksud, Dinda” sa-
hut Raka Maruta. "Tak perlu kau menyalahkan dirimu
sendiri. Sungguh aku bisa merasakan apa yang tengah
kau rasakan sekarang ini. Namun kukira, rasa rindu-
mu terhadap Suropati tidak perlu kau lebih-lebihkan
sedemikian rupa, yang pada akhirnya nanti akan
membuat hatimu benar-benar jadi sedih....”
"Entahlah...Aku sendiri tak mengerti, kenapa pe-
rasaanku bisa jadi seperti ini? Mungkinkah karena se-
jak bayi aku tak pernah bertemu dengan adik kan-
dungku itu? Ketika bertemu pun cuma dalam waktu
singkat. Mungkinkah karena Suropati adalah pewaris
takhta Pasir Luhur, sehingga aku sangat mengkhawa-
tirkan keselamatannya?"
"Ya. Ya, aku bisa mengerti kekhawatiranmu,
Dinda Aini. Aku tahu benar sifat dan tabiat pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. Walau ber-
jiwa pendekar sejati, tapi dia sering kali tak sadar akan
akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau sudah meno-
long orang, maka apa pun akan dilakukannya, tak pe-
duli nyawanya jadi terancam. Namun..., kuharap kau
tidak terlalu memendam kekhawatiran, Dinda Aini.
Yakinlah bahwa mati hidup manusia itu ada di tangan
Tuhan. Kalau Tuhan belum berkehendak, dalam ba-
haya sehebat apa pun, seseorang tentu akan dapat
menyelamatkan diri...."
Sampai di sini percakapan terhenti. Raka Maruta
merengkuh bahu Anggraini Sulistya yang sangat dicin-
tainya. Suami istri yang berbahagia ini sama-sama
menatap hamparan tanah luas di hadapan mereka.
Cahaya mentari tak begitu menyengat karena tiupan
angin membawa kesejukan.. Beberapa kali Raka Maru-
ta menciumi kening dan pipi istrinya penuh kasih.
Anggraini Sulistya pun menerimanya dengan hati penuh kasih pula.
Sesaat kemudian, Anggraini Sulistya terlihat ber-
lari-lari di antara bongkahan batu. Raka Maruta men-
gejar. Dan, mereka tertawa bersama-sama sebagai un-
gkapan kebahagiaan. Sejenak, Anggraini Sulistya lupa
akan rasa rindunya kepada si Pengemis Binal Suropati
adik kandungnya.
"Dinda Aini! Kau jangan naik ke situ!" seru Raka
Maruta ketika melihat istrinya meloncat ke atas tum-
pukan bongkah batu yang menjulang cukup tinggi”.
"Jangan khawatir, Kanda! Aku hanya ingin meli-
hat ke kejauhan tanpa ada sesuatu yang menghalan-
gi!" sahut Anggraini Sulistya.
Mendengar kata-kata istrinya, Raka Maruta sa-
dar bila rasa khawatirnya memang tidak beralasan.
Kalau hanya naik ke tumpukan batu, Anggraini Sulis-
tya yang bergelar Putri Cahaya Sakti tidak mungkin
akan mendapat celaka. Tapi, rasa cinta memang sering
kali mendatangkan kekhawatiran yang tak beralasan.
Sementara Raka Maruta menunggu di bawah,
Anggraini Sulistya tampak mengarahkan, pandangan
ke utara. Di sana terlihat sebuah gunung yang dipagari
beberapa bukit. Gumpalan awan yang menyelimuti
puncak gunung terlihat bagai kapas putih yang mele-
kat pada sebentuk tanah kerucut berwarna biru. Hing-
ga beberapa lama, Anggraini Sulistya menikmati pe-
mandangan yang cukup mempesona itu.
"Dinda Aini...!" teriak Raka Maruta. "Karena kita
pergi tanpa berpamitan, kita harus segera kembali ke
istana. Jangan sampai Ayahanda Prabu jadi gelisah...."
Yang disebut Raka Maruta sebagai 'ayahanda
prabu' adalah Prabu Singgalang Manjunjung Langit,
penguasa Kerajaan Pasir Luhur, yang tak lain dari
ayah kandung Anggraini Sulistya.
"Sebentar Kanda...," tolak Putri Cahaya Sakti.
Kening Pendekar Kipas Terbang berkerut melihat
Anggraini Sulistya berjongkok di atas tumpukan batu.
Sikapnya seperti tengah mempertajam pendengaran.
"Kau sedang apa, Dinda? Sebelum mentari naik
tepat di atas kepala, kita harus sudah berada di ista-
na," seru Raka Maruta, mengingatkan.
Anggraini Sulistya tak begitu memperhatikan
ucapan suaminya. Tatapan matanya tertuju ke sela-
sela bongkahan batu yang dipijaknya. Ada sesuatu
yang menarik perhatian putri Prabu Singgalang Man-
junjung Langit ini.
"Kau sedang apa, Dinda?" Pendekar Kipas Ter-
bang mengulang pertanyaannya.
"Aku merasakan tumpukan batu yang ku pijak
ini bergerak-gerak. Aku juga mendengar suara lenguh
kesakitan...,” Beritahu Putri Cahaya Sakti. "Kemungki-
nan besar ada manusia, atau makhluk hidup lainnya
yang tertimbun...."
Kerut di kening Raka Maruta bertambah rapat.
Setelah menimbang sejenak, pemuda berwajah lembut
ini menjejak tanah. Ringan sekali tubuhnya melayang
setinggi lima tombak, lalu mendarat di sisi kiri
Anggraini Sulistya.
Putri Cahaya Sakti menatap sekilas wajah suami-
nya. Wanita muda yang berumur dua puluh tahunan
ini segera mendekatkan telinganya ke sela-sela bong-
kahan batu.
"Suara lenguh kesakitan itu kudengar lebih je-
las...," ujar Anggraini Sulistya.
Melihat kesungguhan istrinya, Raka Maruta tu-
rut mendekatkan telinganya ke sela-sela bongkahan
batu. Tak seberapa lama kemudian, berubah keruh.
Dia juga mendengar apa yang didengar istrinya. Suara
lenguh kesakitan!
Sebenarnya, suara itu pelan sekali dan nyaris tak
dapat ditangkap indera pendengaran. Tapi karena
Anggraini Sulistya dan Raka Maruta mempunyai ilmu
kepandaian cukup tinggi, maka suara yang timbul dari
sela-sela bongkah batu itu dapat mereka dengar.
"Kanda Maruta, apakah kau juga merasakan ge-
taran-getaran aneh ini...?" tanya Anggraini Sulistya
menunjuk bongkahan batu yang dipijaknya.
"Ya. Aku juga merasakannya. Benar dugaanmu,
ada makhluk hidup yang tertimbun di tumpukan batu
ini. Sebaiknya kita turun, Dinda...."
Di ujung kalimatnya, Pendekar Kipas Terbang
meloncat turun. Bergegas Putri Cahaya Sakti mengiku-
ti. Dengan berdiri berdampingan, suami-istri ini me-
mandang nanar bongkahan batu yang menumpuk di
hadapan mereka.”
"Kau menyingkirlah dulu, Dinda...," ujar Raka
Maruta kemudian seraya mengeluarkan sebuah kipas
baja dari balik bajunya.
Begitu Putri Cahaya Sakti melangkah mundur
dua tindak, Raka Maruta menarik napas panjang. Dia
salurkan kekuatan tenaga dalam ke batang kipas yang
telah dikembangkannya. Lalu....
"Hiahhh...!"
Wusss...!
Raka Maruta memekik nyaring. Kipas baja di ta-
ngan kanannya berkelebat, membersitkan cahaya pu-
tih berkeredepan. Dalam sekejap tumpukan batu se-
tinggi lima tombak tampak berhamburan. Melayang
jauh, dan memperdengarkan suara gemuruh keras ke-
tika mendarat ke permukaan tanah.
"Astaga...!" pekik Pendekar Kipas Terbang.
Putri Cahaya Sakti turut memekik kaget. Dengan
mata terbelalak, Putri Raja Pasir Luhur ini melompat
ke sisi kiri Raka Maruta.
Di bawah tumpukan batu yang telah diruntuh
kan oleh Pendekar Kipas Terbang, terlihat seekor anj-
ing berbulu hitam tengah terbaring telungkup di dalam
kubangan. Tubuh anjing itu nyaris sebesar kuda. Sona
Langit!
Sejenak. Raka Maruta dan Anggraini Sulistya sal-
ing pandang. Lalu, menatap Sona Langit dengan pera-
saan heran bercampur ngeri. Seumur hidup, suami-
istri ini belum pernah melihat anjing sebesar itu. Sam-
pai beberapa saat lamanya, mereka tak tahu apa yang
harus dilakukan. Sementara, tubuh Sona Langit mulai
bergerak-gerak. Ekornya mengibas ke kanan kiri. Sete-
lah mendengking panjang, keempat kakinya tampak
merayap bangkit.
"Huuung...!"
Luar biasa! Dengan kepala tegak ke atas, mon-
cong Sona Langit mengeluarkan lolongan keras. Satwa
piaraan Putri Impian ini sama sekali tak menunjukkan
sikap bahwa dia tengah menderita luka. Tak terdapat
luka gores sedikit pun di kulit tubuhnya. Padahal, dia
baru saja tertimbun bongkahan batu sedemikian ba-
nyaknya. Hanya saja, gerakan tubuhnya tampak le-
mah. Kemungkinan karena tenaganya telah terkuras.
"Hmmm.... Anjing ini tampak aneh dan memiliki
daya tahan luar biasa. Dia pasti piaraan seseorang
yang berilmu tinggi," pikir Pendekar Kipas Terbang.
"Tapi, dimanakah tuannya? Dan bagaimana anjing be-
sar itu bisa tertimbun bongkahan batu? Mungkinkah
ada seseorang yang bermaksud membunuhnya?"
Anggraini Sulistya memegangi lengan Raka Ma-
ruta ketika melihat Sona Langit membalikkan tubuh
dan mengerahkan pandangan ke arahnya. Melihat tu-
buh besar Sona Langit, Anggraini Sulistya bukannya
takut, melainkan menjaga kewaspadaan. Bagaimana-
pun, Sona Langit adalah binatang buas, yang sewaktu-
waktu bisa menyerang siapa saja. Namun tampaknya,
Sona Langit tak menunjukkan sikap garang. Dia mam-
pu menunjukkan tatapan mata yang teduh dan bersa-
habat
Sona Langit tahu bila dua orang anak manusia
yang tengah berdiri di hadapannya adalah dewa-dewi
penolongnya. Maka, tidak ada alasan baginya untuk
menyerang walau hatinya masih diliputi hawa amarah.
Amarah yang ditujukan kepada Hakim Neraka yang
membuat tubuhnya terlontar dua kali, bahkan menim-
bunnya dengan bongkahan batu setinggi lima tombak.
Sona Langit yang punya naluri tajam, dapat membe-
dakan mana orang baik dan mana orang jahat.
Tampak kemudian, Sona Langit merundukkan
tubuhnya ke tanah. Dengan dua kaki depan ditekuk,
anjing besar berbulu hitam legam ini membenturkan
jidatnya tiga kali ke tanah. Gerakannya seperti orang
bersujud untuk menghaturkan sembah kepada raja.
Raka Maruta dan istrinya saling pandang. Mere-
ka heran melihat cara Sona Langit menyampaikan un-
gkapan terima kasih yang sepertinya sangat tahu pe-
radatan walau dia sebenarnya hanyalah seekor bina-
tang.
"Huiiing...!"
Sona Langit mendengking seraya menegakkan
tubuh kembali. Ekornya digerak-gerakkan ke kiri, Ke-
palanya juga digerak-gerakkan ke kiri.
"Kanda, tampaknya anjing itu tengah menyam-
paikan ajakan kepada kita," cetus Anggraini Sulistya.
“Aku tahu, tapi kita harus segera kembali ke is-
tana. Aku tak ingin membuat risau pikiran Ayahanda
Prabu...," sahut Raka Maruta.
"Ah! Aku sangat tertarik untuk menuruti ajakan
anjing besar itu. Tampaknya, dia ingin menunjukkan
sesuatu. Ayolah. Aku nanti yang akan memberi penje-
lasan kepada Ayahanda Prabu."
Selagi "Anggraini Sulistya bicara, Sona Langit
mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya, satwa pia-
raan Putri Impian ini tengah memberi dukungan. Dan
ketika melihat Raka Maruta cuma diam, dia lalu bersu-
jud lagi seraya membenturkan jidatnya ke tanah bebe-
rapa kali. Sikapnya seperti tengah mengajukan per-
mintaan yang sangat penting.
"Baiklah. Kita ikuti kemauan anjing itu," cetus
Pendekar Kipas Terbang kemudian.
"Huffing...! Huffing...!"
Sona Langit mendengking dua kali sebagai cetu-
san kegembiraannya. Setelah menggerakkan kepalanya
ke kiri yang bermakna ajakan, dia lalu berjalan dengan
langkah tegap dan pasti. Raka Maruta dan Anggraini
Sulistya segera mengikuti.
Namun baru saja Sona Langit berjalan dua tom-
bak, tiba-tiba satwa bertaring runcing ini menoleh ke
belakang. Setelah menatap Raka Maruta dan Anggraini
Sulistya, dia gerakkan kepalanya ke depan lagi.
"Anjing itu menginginkan kita agar tetap mengi-
kutinya Kanda," ujar Putri Cahaya Sakti.
Pendekar Kipas Terbang mengangguk.
Mendadak, Sona Langit menjejak tanah kuat-
kuat. Di lain kejap, tubuh satwa piaraan Putri Impian
ini berkelebat cepat ke utara. Lesatan tubuhnya amat
cepat. Berlipat dua kali bila dibanding dengan kecepa-
tan lari kuda!
"Mari kita ikuti, Kanda!"
Sambil berseru, Anggraini Sulistya turut menje-
jak tanah. Tubuh putri Prabu Singgalang Manjunjung
Langit ini berkelebat tak kalah cepat berubah menjadi
bayangan putih yang hampir tak terlihat
Raka Maruta pun mengempos tenaga, berlari de-
ngan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka
seekor anjing dan dua anak manusia itu seperti tengah
terlibat dalam pertunjukan ilmu meringankan tubuh.
***
"Astaga...!"
Raka Maruta dan Anggraini Sulistya memekik
bersamaan. Di bagian lain tanah luas berbatu-batu itu,
mereka melihat Sona Langit menghentikan kelebatan
tubuhnya di depan lempengan batu sebesar uang lo-
gam hijau. Tertimpa cahaya mentari, lempengan batu
yang tergeletak di tanah itu memancarkan cahaya hi-
jau. Anehnya, di tengah cahaya hijau itu samar-samar
terlihat gambar dua ekor merpati putih yang saling pa-
tuk.
"Huffing… !"
Sona Langit mendengking seraya memberi isyarat
kepada Raka Maruta agar memungut lempengan batu
yang tergeletak di hadapannya.
Pendekar Kipas Terbang menarik napas panjang
berusaha menenangkan hatinya yang berdebar-debar
tak karuan. Dengan mata tak berkedip, pemuda yang
berasal dari Negeri Saloka Medang ini melangkah lima
tindak. Sejenak, dia ragu untuk memuncrat lempengan
batu yang memancarkan cahaya hijau.
"Hmmm.... Jelas sekali-bila lempengan batu yang
tergeletak di hadapanku ini bukanlah batu sembaran-
gan. Pasti sebuah batu mustika yang memiliki suatu
kekuatan...," pikir Raka Maruta. "Tapi jika aku me-
nyentuhnya, apakah kekuatan batu ini tidak akan
membuatku celaka?"
Selagi Pendekar Kipas Terbang tampak berpikir-
pikir, hati Anggraini Sulistya turut berdebar-debar. Pi-
kiran yang ada di benaknya sama persis dengan piki-
ran yang ada di benak Raka Maruta. Apakah lempen-
gan batu mustika yang ditunjukkan oleh Sona Langit
itu tidak mengandung kekuatan jahat?
"Huuungngng,..!"
Tiba-tiba, Sona Langit melolong panjang. Ketika
Raka Maruta menoleh ke arahnya, dia bersujud lagi.
Jidatnya pun dibentur-benturkan ke permukaan ta-
nah.
"Sepertinya, anjing itu tengah memberitahukan
bahwa dia sama sekali tak bermaksud buruk. Jika
memang demikian, berarti lempengan batu mustika ini
tidak mengandung kekuatan jahat...," pikir Pendekar
Kipas Terbang.
Walau masih sedikit ragu, akhirnya Raka Maruta
memberanikan diri untuk memungut lempengan batu
mustika yang tergeletak di tanah. Raka Maruta pun ja-
di heran. Cahaya hijau yang di tengahnya terdapat
gambar sepasang merpati putih tiba-tiba lenyap ketika
lempengan batu mustika itu tersentuh tangannya.
"Batu ini terasa dingin dan tampaknya memang
tak mengandung kekuatan jahat..," guman Raka Ma-
ruta. Lempengan batu mustika telah berada di telapak
tangannya.
Terbawa rasa ingin tahunya, Anggraini Sulistya
meloncat, lalu mengambil batu mustika yang berada di
telapak tangan suaminya.
Sampai beberapa saat, Anggraini Sulistya tam-
pak mengamat-amati. Di tengah lempengan batu sebe-
sar uang logam hijau itu terdapat gambar sepasang
merpati. Kening Anggraini Sulistya berkerut rapat, se-
perti sedang mengingat-ingat sesuatu.
Sementara, Pendekar Kipas Terbang menatap
wajah istrinya dengan sejuta tanda tanya. Beberapa
kali Sona Langit mendengking sambil mengibas-
ngibaskan ekornya. Sepertinya, dia merasa lega setelah
mengetahui lempengan batu mustika tidak keburu di-
ambil orang jahat, dan kini berada di tangan Anggraini
Sulistya. . '
"Ya. Ya, aku ingat sekarang.... Kalau tidak salah
lempengan batu ini bernama Mustika Batu Merpati,"
ujar Putri Cahaya Sakti lirih, seperti menggumam.
"Aku pernah mendengar riwayat dan ceritanya dari
Paman Lembu Tal."
Anggraini Sulistya menyebut nama salah seorang
punggawa Pasir Luhur yang mempunyai, kedudukan
sebagai penasihat raja. Lembu Tal adalah seorang per-
tapa yang turun gunung. Karena dia memiliki wawasan
luas dan cukup arif bijaksana, maka Prabu Singgalang
Manjunjung Langit yang telah lama mendengar kebe-
saran namanya, berkenan mengangkatnya sebagai pe-
nasihat raja. Pengangkatan itu baru saja dilakukan
beberapa purnama yang lalu, setelah api pemberonta-
kan yang disulut oleh I Halu Rakryan Subandria dari
Tumenggung Sangga Percona dapat dipadamkan.
"Kau mengatakan apa, Dinda?" tanya Raka Ma-
ruta yang tak jelas mendengar ucapan istrinya.
"Paman Lembu Tal pernah bercerita kepadaku
tentang adanya sebuah batu mustika yang memiliki
kekuatan gaib luar biasa. Batu itu bernama" Mustika
Batu Merpati," jelas Putri Cahaya Sakti.
"Kau pikir inikah Mustika Batu Merpati itu?"
"Menilik ciri-cirinya, kukira memang demikian."
Di ujung kalimat Putri Cahaya Sakti, mendadak
timbul hembusan angin bersiut. Sesosok bayangan
berkelebat dibarengi dengan kata-kata....
"Serahkan batu mustika itu kepadaku!"
***
5

Hati si Pengemis Binal Suropati benar-benar
mendongkol karena dirinya berkali-kali disebut sebagai
'bocah geblek'. Bahkan, si kakek bertampang buruk
mengucapkan sebutan itu dengan nada yang sangat
menghina. Maka tak dapat lagi Pengemis Binal mena-
han diri. Dengan mengalirkan kekuatan tenaga dalam
sedemikian rupa ke kaki kanan, dia menggedruk lantai
gua!
Blammm...!
Terdengar sebuah ledakan dahsyat Permukaan
gua terguncang keras. Batu-batu kapur yang bersera-
kan terangkat, lalu berhamburan ke arah kakek ber-
kaki pendek. Bukan hanya itu, bongkahan-bongkahan
batu kapur yang menempel di langit-langit gua turut
menyerbu! Namun.... ,
"Ha ha ha...!" Mengetahui dirinya terancam ba-
haya, kakek berkaki pendek malah tertawa bergelak.
Tapi gelombang suara tawanya benar-benar memiliki
kekuatan maha dahsyat!
Suropati terbelalak karena terkejut Bongkahan-
bongkahan batu kapur saat masih melayang di udara
tiba-tiba hancur lebur menjadi debu putih yang me-
menuhi ruangan gua!
Sampai dua kejap mata, debu putih itu tetap me-
layang di udara. Namun ketika kakek berkaki pendek
menghentikan tawanya debu yang berasal dari peca-
han batu kapur itu bergerak ke satu tempat. Terhisap
dan masuk ke mulut kakek berkaki pendek!
"Astaga...!"
Pengemis Binal berseru kaget.
"Nyam! Nyam! Nyam!"
Kakek berkaki pendek tampak menjilati bibirnya
seperti habis makan sesuatu yang lezat. Anehnya, wa-
lau mulutnya baru saja menghisap begitu banyak debu
kapur, tapi perutnya tak terlihat membesar tetapi
kempes seperti masih kosong, tak berisi apa-apa!
"Kau..., kau manusia atau siluman...?" desis Pe-
ngemis Binal, tergagap. "Bagaimana kau bisa makan
debu pecahan batu kapur...?"
"Aku manusia atau siluman? Ha ha ha...! Aku
sendiri tak tahu! Tapi kau jangan heran. Makananku
memang batu kapur. Ha ha ha...!" kakek berkala pen-
dek tertawa bergelak. Sikapnya sama sekali tak me-
nunjukkan dia tengah marah walau baru diserang oleh
Suropati.
"Kalau tak tahu kau itu manusia atau siluman,
lalu kau lahir dari rahim siapa?" tanya Pengemis Binal,
sedikit konyol.
"Tentu saja dari rahim ibuku, Geblek! Tapi kalau
kau bertanya siapa ibuku, aku tak bisa menjawabnya!"
"Kenapa?"
"Ha ha ha...!"
"Kenapa?" "
"Ha ha ha..!"
"Dasar edan!" maki Pengemis Binal dalam hati.
"Ditanya dua kali, dijawab dengan tawa panjang dua
kali pula!
"Hei! Kalau kau mengerutkan kening seperti itu,
wajahmu tampak lucu! Ha ha ha...!" seru kakek ber-
kaki pendek, tertawa. "Melihat tampangmu, sebenar-
nya kau tak pantas menjadi pewaris takhta Pasir Lu-
hur!"
"Heh?!" Suropati terperangah. ."Apa yang kau ka-
takan tadi, Kek?"
"Huh! Selain geblek, rupanya kau pun budek!"
Mendelik mata Pengemis Binal mendengar di-
rinya dikatakan 'geblek' dan 'budek'. Budek artinya tu
li. Tapi karena terbawa rasa penasaran, dia lupakan
sejenak hatinya yang mendongkol.
"Aku tadi mengatakan bahwa kau sebenarnya
tak pantas menjadi pewaris takhta Pasir Luhur!" seru
kakek berkaki pendek, mendahului Pengemis Binal
yang hendak bertanya lagi.
"Apa?"
"Budek!"
"Aku tak main-main, Kek! Jelaskan apa maksud
ucapanmu!"
"Ha ha ha...! Sudah geblek, masih mau berlagak,
pura-pura tak tahu. Bukankah sudah kukatakan di
depan, aku tahu riwayat hidupmu dari bayi sampai
kau jadi pemuda remaja seperti yang kulihat sekarang
ini? Walau kau punya sifat konyol, urakan, dan amat
ugal-ugalan, tapi kau sesungguhnya putra Prabu Sing-
galang Manjunjung Langit...."
Berkerut kening Suropati mendengar ucapan si
kakek yang berkali-kali dapat menuturkan riwayat hi-
dupnya dengan tepat. Berarti orang di luar istana Pasir
Luhur yang tahu dirinya putra Prabu Singgalang Man-
junjung Langit telah bertambah satu orang lagi. Orang
pertama adalah Putri Impian. Dan, orang kedua adalah
kakek berkaki pendek yang memiliki kesaktian luar bi-
asa itu.
"Namun... meskipun kau punya darah keturunan
raja, kau sama sekali tak pantas untuk mewarisi tahta
sebuah kerajaan. Kalau hanya menjadi pemimpin para
pengemis dan gelandangan, bolehlah...," lanjut kakek
berkaki pendek.
"Dengan alasan apa kau mengatakan aku tak
pantas menjadi raja?!" selidik Suropati, dongkol. Walau
remaja tampan ini tak pernah bercita-cita menjadi raja,
tapi bila direndahkan sedemikian rupa, kesal juga ha-
tinya.
"Dengan alasan apa? Ha ha ha...! Sungguhkah
kau tak merasa?" sahut kakek berkaki pendek. "Selain
kau berotak geblek, bukankah sifat konyol dan ura-
kanmu tak pantas dimiliki oleh seorang raja?"
"Kata-katamu memanaskan telingaku, Kek!" seru
Suropati. "Jangan hanya dapat mengolok-olok orang!
Kalau kau punya nama, katakan siapa namamu! Aku
tahu diriku memang tak sepandai dirimu, tapi. tak se-
harusnya kau mengucapkan kata-kata yang begitu
menghina. Sadarkah kau bila yang bermulut ceriwis
itu sebenarnya kau sendiri!"
"Hmmm.... Rupanya, otakmu bisa diajak berpikir
pula. Kau katakan aku bermulut ceriwis, aku tak bisa
mengelak Karena, orang-orang di Negeri Pasir Luhur
ini biasa menyebutku sebagai Setan Ceriwis."
"Setan Ceriwis?"
"Ya. Tapi, banyak pula orang yang menyebutku
sebagai Setan Tanah karena aku senang tinggal di gua
bawah tanah. Dan, ada juga yang menyebutku sebagai
Setan Kapur. Mereka tahu kalau kulit tubuhku putih
seperti kapur, lagi pula aku suka makan batu kapur!
Ha ha ha...!"
"Setan Ceriwis?" Setan Tanah? Setan Kapur?" de-
sis Pengemis Binal, "Kenapa semua julukanmu mema-
kai kata 'setan'? Apakah kau memang setan, hantu, ib-
lis, atau makhluk halus sebangsa itu?"
"Ha ha ha...!"
"Jawab pertanyaanku!"
"Ha ha ha...!"
"Gila!"
"Kaulah yang gila!"
Suropati garuk-garuk kepala.
Setan Ceriwis nyengir kuda.
"Hmmm.... Terus terang, aku sangat penasaran
kepadamu, Kek!" ujar Pengemis Binal kemudian.
"Terus terang pula, walau kau terlihat begitu ge-
blek dan konyol, tapi aku suka kepadamu," sahut Se-
tan Ceriwis.
"Aneh! Baru saja kau mencaci maki aku, kenapa
sekarang kau berkata suka kepadaku?!"
"Ha ha ha..! Aku suka kepadamu karena kau te-
lah terlibat urusan dengan Siluman Ragakaca, Kau bi-
sa mewakili aku untuk menumpas siluman keparat
itu!"
"Kalau aku tak mau bagaimana?"
"Geblek! Bukankah sudah kukatakan di depan,
aku bermaksud menurunkan beberapa ilmu kesaktian
kepadamu!"
"Untuk apa?"
"Walah! Walah! Rupanya, kau benar-benar bocah
geblek! Dengan ilmu kesaktian yang sekarang kau mi-
liki, mustahil kau dapat menumpas Siluman Ragaka-
ca! Melawan salah seorang kepercayaannya saja, kau
pasti mati kutu. Kemarin, kalau Peramal Buntung tak
punya gagasan cemerlang, kau pasti sudah mati di
tangan Hakim Neraka! Tahukah kau bila kakek kate
itu adalah salah seorang kepercayaan Siluman Raga-
kaca yang menjabat sebagai Duta Utara?"
Mendengar nama Hakim Neraka disebut, ingatan
Pengemis Binal melayang ke sebuah tanah luas berba-
tu-batu. Tempo hari, dia memang hampir saja mati
oleh gempuran gelombang suara genderang maut Ha-
kim Neraka. Tahulah dia kini, kenapa Hakim Neraka
bermaksud membunuhnya. Rupanya, kakek kate itu
adalah urusan Siluman Ragakaca.
"Hei! Kenapa bengong saja?!" bentak Setan Ceri-
wis atau Setan Tanah alias Setan Kapur.
"Eh!"
"Cepat ambil sikap semadi!"
Suropati yang masih belum percaya benar kepa
da Setan Ceriwis cuma berdiri terpaku, tak segera me-
nuruti perintah kakek berkulit putih seperti kapur itu.
"Geblek! Rupanya, aku harus memaksamu!"
Usai mengeluarkan bentakan keras, Setan Ceri-
wis , meluruskan telunjuk jari tangan kanannya, men-
garah pada dahi Pengemis Binal. Sementara, Pengemis
Binal pun cepat memasang kuda-kuda karena me-
nyangka dirinya akan diserang.
Namun hingga dua tarikan napas, Pengemis Bi-
nal tak melihat suatu bentuk serangan yang sengaja
ditujukan kepada dirinya. Hanya saja, ujung telunjuk
jari kanan Setan Ceriwis tetap tertuju ke dahinya.
"Ambil sikap semadi...!"
Telinga Suropati menangkap sebuah suara dingin
yang keluar dari mulut Setan Ceriwis. Cepat Suropati
mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan se-
bentuk tenaga gaib yang memaksanya untuk menuruti
suara perintah itu.
Suropati tahu bila Setan Ceriwis berusaha me-
nyihirnya. Tapi walau remaja tampan ini telah menge-
luarkan kekuatan gaib penolak ilmu sihir yang pernah
dipelajarinya dari Periang Bertangan Lembut, suara
perintah Setan Ceriwis mengiang terus di telinganya.
Perlahan namun pasti, otaknya pun mulai linglung.
Tak seberapa lama kemudian, sinar mata Suropati me-
redup. Dan di lain kejap, pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ini telah bertekuk lutut di bawah
perintah Setan Ceriwis. Duduk bersila dengan mata
terpejam rapat dan tangan bersedekap!
Lalu, lamat-lamat telinga Suropati menangkap
suara Setan Ceriwis yang tengah bertutur,...
"Di dunia ini terdapat satu alam lain yang sulit
dijamah oleh manusia biasa. Keberadaannya tak per-
nah terjangkau akal pikiran manusia. Bahkan, seba-
gian manusia menganggapnya sebagai bualan kosong
belaka. Namun apabila manusia mau membuka diri
untuk dapat menyadari dan memahami ciptaan sang
Pencipta, maka akan timbul pikiran bahwa alam lain
itu benar-benar ada. Dan ketahuilah kau, Suropati,
disanalah Siluman Ragakaca menyusun kekuatan. Dia
hendak menghancurkan peradaban manusia di bumi.
Dan mendirikan peradaban baru di bawah kekuasaan-
nya! Dengan ilmu kesaktiannya, Siluman Ragakaca
berhasil menciptakan sebuah lembah luas yang sangat
subur. Manusia yang tinggal di lembah itu tidak akan
mengenal dengan apa yang dinamakan perubahan ha-
wa, karena iklimnya tetap tak berubah sampai akhir
zaman. Yang lebih hebat lagi, di sana tidak pula me-
ngenal putaran waktu. Sehingga siapa pun manusia
yang menempatinya seakan telah menemukan kekeka-
lan hidup. Dengan kata lain, Siluman Ragakaca telah
berhasil menciptakan sebuah tempat yang tak men-
genal kematian. Dan untuk mewujudkan cita-citanya
menghancurkan peradaban manusia di bumi, Siluman
Ragakaca telah memperalat beberapa tokoh sakti di
Negeri Pasir Luhur ini. Tugas mereka adalah menum-
pas para penguasa atau raja, termasuk para tokoh
sakti yang dianggap sebagai batu penghalang bagi cita-
cita Siluman Ragakaca. Oleh karena manusia memiliki
derajat lebih tinggi dari siluman dan makhluk halus
lain sejenisnya, maka manusia tidak boleh bertekuk
lutut di bawah makhluk yang berderajat lebih rendah
itu. Terlebih lagi, apabila Siluman Ragakaca dapat
mewujudkan cita-citanya, maka seluruh permukaan
bumi akan digenangi darah manusia. Air laut akan
berwarna merah darah. Hewan dan tumbuhan akan
musnah. Dan, hanya sebagian manusia yang dapat lo-
los dari maut. Namun, lolos dari maut bukan berarti
mereka telah menemukan keselamatan. Justru, hidup
mereka akan dirundung penderitaan sepanjang akhir
jaman. Hidup mereka akan selalu di bawah tekanan
Siluman Ragakaca!”
"Nah, kau tahu kini, Suropati..., betapa jahat dan
berbahayanya Siluman Ragakaca itu. Sebagai seorang
pendekar sejati, jiwamu tentu terpanggil jika melihat
keangkaramurkaan merajalela. Menumpas kejahatan
adalah tugas orang-orang gagah sepertimu. Tak perlu
banyak-banyak yang kututurkan lagi. Sekarang, coba
kau pusatkan seluruh perhatianmu pada satu titik.
Aku akan segera menurunkan beberapa ilmu kesak-
tian kepadamu."
Sampai di sini, telinga Suropati tak dapat me-
nangkap suara apa-apa lagi, Namun karena ada sesua-
tu yang masih mengganjal di benaknya, hati kecil re-
maja tampan ini bertanya....
"Kenapa Kakek Setan Ceriwis hendak menurun-
kan ilmu kesaktian kepadaku? Kenapa pula Kakek
hendak menjadikan aku sebagai wakil Kakek untuk
menumpas Siluman Ragakaca?"
Setan Ceriwis yang dapat membaca pikiran
orang, mampu mendengar pertanyaan di hati kecil Su-
ropati.
"Hmmm.... Untuk menjawab pertanyaanmu itu,
terpaksa aku mengatakan siapa diriku ini sebenarnya.
Tapi tak apa, aku percaya benar kepadamu. Dengan
jiwa pendekar dan darah raja yang mengalir di tubuh-
mu, kau akan dapat menyelamatkan peradaban ma-
nusia di bumi ini...."
***

6

Sesosok bayangan ini ternyata seorang lelaki
berpakaian ketat hijau yang tengah membopong se-
orang wanita cantik berpakaian kuning merah. Menilik
raut wajah mereka, siapa lagi kalau bukan Dewa Cinta
dan Dewi Asmara yang lebih dikenal dengan sebutan
Dewa-Dewi Kayangan!
"Serahkan batu mustika itu kepadaku!" Dewa
cinta mengulang perintahnya.
Ketika Dewa Cinta berbicara, Dewi Asmara men-
cium mesra pipi kekasihnya itu, lalu melorot turun da-
ri bopongan. Namun, kepalanya tetap disandarkan di
dada Dewa Cinta.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Bola matanya
memancarkan sinar merah menyala-nyala. Sikapnya
seperti hendak menyerang Dewa-Dewi Kayangan.
"Tenanglah...!" seru Raka Maruta sambil men-
gangkat tangan kanannya. "Tetaplah di tempatmu! Me-
reka biar kuurus!"
Tampaknya, Sona Langit dapat mengerti makna
ucapan Pendekar Kipas Terbang. Sinar matanya kem-
bali meredup. Kepalanya mengangguk-angguk
Raka Maruta yang sudah mengenal siapa sebe-
narnya Dewa-Dewi Kayangan, melangkah satu tindak
seraya berkata, "Kau datang hendak meminta Mustika
Batu Merpati. Apakah batu mustika itu milikmu?"
"Ya!" jawab Dewa Cinta cepat.
"Huiiing...!" Sona Langit mendengking seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Mengetahui makna dengkingan Sona Langit, ce-
pat Putri Cahaya Sakti menyimpan Mustika Batu Mer-
pati kelipatan bajunya yang tersembunyi. Semula,
Mustika Batu Merpati digunakan Bidadari Pulau Penyu
untuk menghindari bentrokan dengan Putri Impian.
Kekuatan gaib batu mustika itu mampu membawa Bi-
dadari Pulau Penyu berpindah tempat Sona Langit
yang berhasil menerkam tubuhnya turut berpindah
tempat. Dan pada saat bergumul, Mustika Batu Mer-
pati terlempar keluar dari mulut Bidadari Pulau Penyu.
Batu itu melesat jauh karena dilontarkan gelombang
suara Genderang Maut Hakim Neraka. Sementara be-
gitu terbebas dari timbunan batu, dengan mudah Sona
Langit dapat menemukannya, karena anjing itu memi-
liki indera dan penciuman yang sangat tajam.
"Hei! Serahkan batu mustika itu!" seru Dewi As-
mara, menuding Anggraini Sulistya.
Anggraini Sulistya yang juga sudah mengenal
Dewa-Dewi Kayangan sebagai dua tokoh jahat yang
suka mengumbar nafsu pribadi, tersenyum sinis. Diba-
lasnya tatapan tajam Dewi Asmara.
"Hmmm.... Aku tahu kau putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit. Tapi, aku datang tidak untuk
mengaturkan sembah kepadamu. Justru aku akan
memecahkan batok kepalamu seandainya kau tidak
bersedia menyerahkan batu mustika yang telah ter-
simpan di balik bajumu itu!" ancam Dewi Asmara
sungguh-sungguh.
"Tidak kelirukah apa yang kau katakan itu?" ci-
bir Putri Cahaya Sakti. "Telah lama aku mendengar se-
pak terjangmu yang jahat dan kejam. Kau dan keka-
sihmu itu juga telah berkali-kali menyusahkan orang-
orang istana. Jika kini kau datang ke hadapanku, sa-
ma artinya dengan seekor ular yang datang untuk min-
ta digebuk!"
"Mulutmu terlalu nyinyir!"
Tiba-tiba, Dewi Asmara meloncat sebat. Telapak
tangan kanannya berkelebat cepat untuk menampar
Putri Cahaya Sakti!
"Hiahhh...!"
Wuttt...!
Mudah saja Anggraini menghindari tamparan itu.
Hanya dengan menggerakkan kepalanya ke belakang,
telapak tangan Dewi Asmara lewat begitu saja tanpa
memperoleh hasil apa-apa.
Mengetahui serangan kekasihnya gagal, menda-
dak Dewa Cinta memekik nyaring. Telunjuk jari tangan
kanannya diluruskan ke depan. Timbul selarik sinar
kuning menggidikkan. Melesat ganas mengarah ulu
hati Putri Cahaya Sakti!
Wusss...!'
Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat membahana di angkasa.
Selarik sinar kuning yang melesat dari telunjuk jari
Dewa Cinta membentur seberkas cahaya putih berke-
redepan. Rupanya, dengan kipas baja putihnya, Pen-
dekar Kipas Terbang berhasil menyelamatkan nyawa
Anggraini Sulistya.
"Penjahat culas! Biarkan mereka bertempur! Kau
hadapi aku!" tantang Raka Maruta.
"Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa bergelak. "Te-
lah lama aku mendengar nama besar Pendekar Kipas
Terbang! Sungguh satu kesempatan yang jarang ada
jika kini kau bermaksud menantangku! Boleh! Boleh-
lah, kulayani kau!"
Secepat kilat, Dewa Cinta melepas sapu tangan
merah yang mengikat kunciran rambutnya. Sapu ta-
ngan itu dipilin-pilinnya sejenak. Dan, Raka Maruta
pun terkesiap. Sapu tangan Dewa Cinta tiba-tiba me-
manjang, lalu berubah menjadi seutas tali mirip cam-
buk!
“Hhh...!"
Dewa Cinta mendengus seraya mengalirkan te
naga dalam ke cambuk anehnya. Di lain kejap, cam-
buk yang berasal dari sapu tangan itu membersitkan
cahaya merah yang amat menyilaukan mata!
"Cambuk Api Darah!" pekik Dewa Cinta seraya
menyabetkan cambuknya ke angkasa.
Jderrr...!
Dari sabetan itu muncul garis-garis sinar merah
yang menyerbu ke arah Pendekar Kipas Terbang. Cepat
Pendekar Kipas Terbang mengatasi keterkejutannya.
Kipas baja putih yang telah dialiri tenaga dalam, dia
kibaskan ke atas!
Terdengar suara berdentang keras seperti den-
tangan balok besi yang dipukul berkali-kali. Garis-
garis sinar merah yang muncul dari sabetan Cambuk
Api Darah di tangan Dewa Cinta tampak terbabat pu-
tus di udara. Dan seberkas cahaya putih yang melesat
dari senjata andalan Raka Maruta, terus meluncur ke
depan. Hendak menggulung tubuh Dewa Cinta!
"Setan Alas!"
Dewa Cinta memaki seraya membuang tubuh
jauh ke samping kanan. Sebelum kakinya menginjak
tanah. dia sabetkan lagi Cambuk Api Darahnya. Kem-
bali garis-garis sinar merah menyerbu ke arah Pende-
kar Kipas Terbang. Dan..., pertempuran seru pun tak
bisa dihindari lagi.
Sementara itu, Anggraini Sulistya dan Dewi As-
mara telah saling terjang pula. Tangan kanan Anggrai-
ni Sulistya tampak memegang sebatang seruling yang
terbuat dari emas berkilauan. Sedangkan Dewi Asmara
merangsek ganas dengan sepasang pedang lentur yang
bisa memanjang ataupun memendek.
Sambaran dua pedang lentur di tangan Dewi As-
mara tampak sangat berbahaya. Beberapa kali Ang-
graini Sulistya dibuat terkejut setengah mati. Ketika
dia menghindari tusukan salah satu pedang lawan, ti
ba-tiba batang pedang itu molor panjang, mampu
mengejar lompatan hingga dua tombak Dan selagi se-
ruling Anggraini Sulistya berkelebat menangkis, secara
cepat luar biasa pedang yang satunya lagi menyusul,
mengirim serangan yang lebih mematikan, sama-sama
dapat molor sepanjang dua tombak!
"Hmmm.... Menyesal aku tak membawa Kecapi
Mautku...," kata hati Putri Cahaya Sakti. "Jika aku
membawa Kecapi Maut, sampai di mana pun keheba-
tan pedang perempuan keji itu, tentu akan dapat ku-
redam dari jarak jauh...,"
Memang, senjata andalan Anggraini Sulistya se-
benarnya adalah sebuah alat musik berupa kecapi. Ka-
rena Anggraini Sulistya tidak menyangka akan terlibat
dalam pertempuran, maka senjata andalannya itu dia
tinggal di istana. (Tentang kehebatan Kecapi Maut milik
Anggraini Sulistya, bisa disimak pada serial Pengemis
Binal dalam episode: "Cinta Bernoda Darah").
Namun karena tak mau dipecundangi lawan, Pu-
tri Cahaya Sakti tak segan-segan lagi mengeluarkan
se-luruh kemampuannya. Beberapa saat kemudian,
tubuh putri raja Pasir Luhur ini tampak membiaskan
cahaya putih bening.
Trang!
"Heh?!"
Terkejut luar biasa Dewi Asmara. Cahaya putih
bening yang menyelubungi tubuh Anggraini Sulistya
ternyata dapat menjadi tameng yang kebal terhadap
senjata tajam. Batang pedang Dewi Asmara tampak
melengkung kemudian menggeletar ke atas ketika me-
nusuk dada Anggraini Sulistya.
"Kulihat wajahmu pucat. Lebih baik kau menye-
rah saja untuk segera kuhadapkan Ayahanda Prabu,"
cibir Putri Cahaya Sakti.
"Bedebah! Setelah kucincang tubuhmu, justru
aku akan memenggal kepala orang tua buruk rupa
itu!" balas Dewi Asmara.
Di ujung kalimatnya, Dewi Asmara menyabetkan
kedua pedangnya bergantian. Kedua pedang lentur itu
mengeluarkan suara. berdesing tajam, mengarah leher
dan pinggang Anggraini Sulistya!
Sing! Sing!
"Hiahhh...!"
***
Peramal Buntung menggerigap bangun manakala
merasakan sentakan-sentakan aneh di kaki kirinya.
Lama-lama terasa pedih seperti ada jarum yang menu-
suk-nusuk. Dan, mendeliklah mata Peramal Buntung.
Ternyata, jari-jari kaki kirinya sedang digigit dan dita-
rik-tarik tiga ekor tikus!
"Mati kau!" hardik Peramal Buntung.
Kakinya mengibas cepat. Terdengar suara berde-
buk keras yang disusul dengan suara mencicit pendek.
Tampak kemudian, tubuh tiga ekor tikus yang tadi
menggigit jari-jari kaki Peramal Buntung telah terge-
letak di lantai tanpa nyawa. Tubuh ketiga hewan pen-
gerat itu hampir hancur karena membentur dinding
ruangan yang keras.
"Aduh! Hik.. hik... hik..., Tega benar kau mem-
bunuh saudara saudaraku...." "
Peramal Buntung melonjak kaget. Telinganya
menangkap suara dingin bernada sedih. Lebih kaget
lagi Peramal Buntung saat menoleh ke belakang. Wa-
lau samar-samar, matanya dapat melihat sebentuk ke-
pala manusia yang tergeletak di lantai ruangan. Kepala
itu ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam keku-
ningan, menyebar rata sampai ke wajah. Wajah itu
pun tampak lucu karena bagian mulutnya monyong
panjang seperti moncong tikus. Terdapat kumis yang
panjang kaku pula! Sementara, matanya yang bulat
kecil terlihat meneteskan air bening!
"Ya, Tuhan...," sebut Peramal Buntung. "Kenapa
ada kepala tanpa badan bisa bicara dan menangis...?"
"Hik.. hik... hik... Kini tak ada lagi yang mene-
mani di tempat sepi ini. Hik... hik.. hik... Kau telah
membunuh mereka. Aku sedih. Aku sedih. Hik...
hik...hik..."
"Kepala tanpa badan terus berucap sambil mena-
ngis tersedu-sedu. Sementara, Peramal Buntung me-
natapnya dengan mata terbeliak lebar.
"Si... siapa kau? Kenapa wujudmu hanya berupa
kepala tanpa badan?"
"Hik.. hik.,. hik... Kau telah membunuh ketiga
saudaraku. Kau tak patut bertanya lagi kepadaku.
Hik... hik... hik..."
Peramal Buntung mengerutkan kening. Ditajam-
kannya penglihatan. Karena kepala yang dilihatnya
tanpa badan terus menangis, dia tak hendak mengajak
bicara lagi. Namun, dia tak bisa menyembunyikan ke-
heranannya. Peramal Buntung mengucak-ucak ma-
tanya terus. Tak percaya pada penglihatannya sendiri.
"Kau... kau siapa? Kenapa wajahmu hanya beru-
pa kepala?" tanya Peramal Buntung lagi
"Hik... hik... hik... Setelah kupikir-pikir, biarlah
ketiga saudaraku mati. Kau bisa menjadi gantinya...,"
ujar sebentuk kepala yang mirip kepala tikus. "Karena
kita akan segera menjadi dua orang saudara yang ber-
nasib sama, boleh aku mengenalkan diri. Aku Dewa
Tikus.... Kau jangan salah lihat Wujudku bukan hanya
berupa kepala. Aku juga punya badan, sepasang ta-
ngan, dan kaki...."
Mendengar penjelasan itu, Peramal Buntung
memberanikan diri untuk melangkah mendekat. Dia
perhatikan dengan seksama.
"Yah.... Aku tahu sekarang. Rupanya, tubuhmu
terbenam dalam lantai ruangan ini," ujar Peramal Bun-
tung kemudian.
"Tepat sekali apa yang kau katakan," tegas Dewa
Tikus. "Sedih... sungguh sedih hatiku kini. Malang...
sungguh malang nasibku ini. Aku tak tahu apa salah-
ku. Aku tak tahu apa dosaku. Kenapa tiba-tiba orang
jahat itu menangkapku, kemudian memenjarakanku di
tempat ini. Hik.. hik... hik..."
Peramal Buntung menatap iba Dewa Tikus yang
meneteskan air mata lagi. Mendengar kata-kata sosok
makhluk yang hanya tampak kepalanya itu, Peramal
Buntung berusaha mengingat-ingat kejadian yang baru
dialaminya.
"Aku ingat... aku ingat.,," gumam Peramal Bun-
tung. "Bersama Tuan Muda Suropati, aku berusaha
meredam kemarahan Raja Angin Barat Tapi tiba-tiba
tubuhku jadi lemas. Seseorang pasti telah menotok,
kemudian membawa tubuhku ketempat ini...."
Peramal Buntung menatap sekilas Dewa Tikus
yang masih menangis tersedu-sedu. Namun karena
memikirkan keadaan dirinya yang tengah disekap, Pe-
ramal Buntung mengedarkan pandangan untuk men-
cari jalan keluar. Dengan menggunakan jari-jari ka-
kinya, dia memeriksa keadaan ruangan. Kiranya, dia
berada di sebuah ruangan persegi empat yang terletak
di bawah tanah. Keempat sisi dinding, lantai, dan atap
ruangan berupa tanah padat namun terasa lembek
Sementara, di salah satu sudutnya terdapat pelita kecil
yang terus menyala, berasal dari semburan gas alam.
"Hmmm... ruangan ini tertutup rapat. Bagaimana
mungkin penculik itu bisa menempatkan tubuhku di
sini?" tanya Peramal Buntung kepada dirinya sendiri.
"Hei! Kenapa kau bengong terlongong-longong?!"
sentak Dewa Tikus tiba-tiba, tangisnya telah terhenti.
Peramal Buntung menatap dengan kening berke-
rut. "Aku sedang memikirkan cara untuk dapat keluar
dari tempat pengap ini!" ujarnya.
"Mencari jalan keluar? Ha ha ha...!"
"Gila!" rutuk Peramal Buntung dalam hati. "Ke-
napa makhluk yang mengaku bernama Dewa Tikus itu
tertawa-tawa, padahal tadi dia begitu larut dalam tan-
gis?"
"Ha ha ha...! Kau mencari jalan keluar? Ha ha
ha,..!" Dewa Tikus tertawa lebih panjang. "Boleh! Boleh
kau coba!"
Peramal Buntung tak mempedulikan lagi Dewa
Tikus yang tampak melempar ejekan. Dengan jari-jari
kakinya, dia periksa sekali lagi seluruh permukaan
dinding ruangan.
"Hmmm.... Benar-benar tak ada jalan keluar," pi-
kir Peramal Buntung. "Tapi, bagaimana kalau salah sa-
tu dinding ini kuhancurkan? barangkali setelah itu,
aku bisa menemukan jalan yang bisa membawaku ke-
luar dari tempat ini..."
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Peramal
Buntung menghimpun kekuatan tenaga dalam seraya
dialirkan ke kaki kanannya. Dia bermaksud menen-
dang jebol salah satu dinding ruangan. Tapi....
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" bentak Dewa Ti-
kus dengan mata mendelik marah.
"Siapa yang sudi disekap di tempat pengap seper-
ti ini!" sahut Peramal Buntung.
"Kau hendak menjebol dinding di hadapanmu
itu?"
"Terpaksa!"
"Jangan berlaku bodoh!"
"Kenapa?"
"Begitu kau tendang dinding itu, atap ruangan
ini akan runtuh! Bukan jalan menuju kebebasan yang
kau dapatkan! Justru, jalan kematian”.
Peramal Buntung mendongak. Dilihatnya atap
ruangan yang berupa tanah padat. Karena tak begitu
percaya pada ucapan Dewa Tikus, Peramal Buntung
ingin menguji. Pelan saja dia benturkan jempol ka-
kinya ke dinding.
Duk!
Brolll...!
Terkejut Peramal Buntung. Atap ruangan tiba-
tiba ambrol. Cepat dia meloncat ke samping kiri karena
tak mau tubuhnya tertimbun tanah.
"Ha ha ha! Kini, kau percaya, bukan?" cibir Dewa
Tikus. Kepalanya digerak-gerakkan untuk menghalau
gumpalan tanah yang hendak menerpa.
Peramal Buntung mendesah.
"Mati aku!"
***
7


"Kami lahir dari rahim seorang wanita yang
mempunyai keturunan siluman...."
"Sebentar, Kek!" sela hati kecil si Pengemis Binal
yang ingin bertanya. "Kau menyebut dirimu sebagai
'kami' apakah kau mempunyai hubungan darah de-
ngan Siluman Ragakaca?"
"Ya. Aku dan Siluman Ragakaca adalah saudara
sekandung. Siluman Ragakaca lahir sebagai kakak ter-
tua. Sementara, aku masih punya seorang adik ber-
nama Dewa Tikus.,.."
"Dewa Tikus...?"
"Adikku itu memang pantas disebut demikian karena dia suka bermain-main dengan tikus. Ke mana
pun dia pergi, selalu ada tikus yang menemaninya.
Hebatnya, tikus jenis apa pun kalau bertemu dengan
adikku itu akan menjadi jinak dan menuruti segala
kemauannya. Terlebih lagi, tubuh Dewa Tikus dipenu-
hi bulu halus dan berwajah persis seperti tikus, hingga
tak keliru kalau dia diberi nama Dewa Tikus. Na-
mun..., sebagian tokoh golongan atas di negeri ini lebih
suka menyebutnya sebagai Dewa Tangis. Karena, dia
mudah bersedih hati, lalu menangis tersedu-sedu wa-
lau tanpa alasan yang pasti. Dan, sebagian tokoh lagi
menyebutnya dengan Dewa Gila...."
"Tapi, dia tidak gila, bukan?"
"Ya. Hanya tingkah lakunya saja yang mirip
orang gila. Usai menangis tersedu-sedu, dia bisa terta-
wa panjang sepuas hati. Meski sebenarnya tidak ada
yang pantas untuk ditertawakan..."
"Kalau begitu, tahu aku sekarang kenapa kau
hendak menjadikan aku sebagai wakilmu untuk
menghentikan keangkaramurkaan Siluman Ragakaca.
Karena, siluman itu saudara sekandung denganmu
hingga kau tak mungkin bertempur dengannya. Apala-
gi membunuhnya. Bukan begitu, Kek?"
"Nah! Nah! Sekarang, kau sudah mampu berpikir
dengan baik. Rupanya, kau tidak segeblek yang kuki-
ra...," ujar Setan Ceriwis. "Setelah kau tahu siapa se-
benarnya aku, kuharap kau mau menerima dengan
senang hati beberapa ilmu kesaktian yang akan kutu-
runkan kepadamu. Setelah itu, kau harus mewakili
aku untuk menumpas Siluman Ragakaca dan seluruh
pengikut jahatnya...."
"Sebentar, Kek..."
"Ada apa lagi?'.'
"Mendengar ceritamu tentang Siluman Ragakaca,
sebenarnya tanpa kau pinta pun, aku pasti akan menumpas siluman itu walau aku mesti mempertaruhkan
nyawa. Tapi, masih ada pertanyaan yang ingin ku aju-
kan kepadamu?"
"Apa itu?"
"Siapa nama ibumu? Bagaimana dia bisa mela-
hirkan makhluk-makhluk aneh dan sakti macam Si-
luman Ragakaca, dirimu Setan Ceriwis, dan Dewa Ti-
kus?"
"Ha ha ha...! Ini sebuah pertanyaan lucu. Tapi,
bolehlah kujawab karena kalau menjawab pun aku tak
akan rugi," ujar Setan Ceriwis diiringi derai tawanya.
"Ibuku bernama Rara Gandari. Dia cantik luar
biasa. Dan, suaminya pun setampan Dewa Kamajaya.
Bernama Raka Samba. Hanya sayangnya, ibuku mem-
punyai darah siluman yang mengalir dari darah ba-
paknya, Siluman Baka. Sehingga, ibuku mesti mela-
hirkan tiga orang bocah yang dua di antaranya berwu-
jud sangat buruk, aku dan adikku Dewa Tikus! Se-
mentara, Siluman Ragakaca sebagai saudara tertua
memiliki bentuk tubuh bagus dan wajah tampan. Na-
mun sayang, ketampanannya berada di balik jiwa ib-
lis.... Perlu juga kau ketahui, Suropati..., Siluman Ra-
gakaca tak mau mengakui aku dan Dewa Tikus seba-
gai adik-adik-nya. Yah, karena kami memang amat bu-
ruk rupa.... Terlebih jahat lagi, Siluman Ragakaca sela-
lu berusaha membunuh kami, aku dan Dewa Tikus.
Sementara, kami tak pernah melawan karena aku dan
Dewa Tikus pernah mengangkat sumpah di hadapan
Ibunda Rara Gandari. Sampai dunia kiamat, aku dan
Dewa Tikus tak boleh mendendam dan sakit hati ter-
hadap Siluman Ragakaca. Apalagi, membunuh sauda-
ra tuaku itu.... Aku dan Dewa Tikus terpaksa men-
gangkat sumpah demi menuruti kemauan Ibunda
Gandari. Beliau amat sayang kepada Siluman Ragaka-
ca, sehingga beliau tak ingin melihat aku dan Dewa Tikus menyakitinya. Dengan kata lain, mencubit pun tak
diperkenankan.... Tapi setelah aku melihat bagaimana
kekejaman Siluman Ragakaca yang hendak mewujud-
kan cita-cita gilanya, tercetus keinginan dalam benak-
ku untuk menghentikan segala kegilaan ini...."
Beberapa kata di akhir kalimat Setan Ceriwis di-
ucapkan dengan suara bergetar. Setan Ceriwis terbawa
dalam suasana. Tanpa terasa, air bening mulai men-
gambang di pelupuk matanya. Namun, cepat Setan Ce-
riwis menghalau perasaan yang tak mengenakkan ini.
Bagaimanapun, kejahatan mesti diberantas, kebatilan
mesti ditindas. Kebenaran dan keadilan mesti dijun-
jung dan ditegakkan. Tak peduli siapa pelaku ke-
jahatan dan kebatilan itu! Tapi, tidak takutkah Setan
Ceriwis termakan tuah sumpahnya sendiri apabila dia
berkehendak menumpas Siluman Ragakaca walau ha-
nya dengan cara meminjam tangan orang lain?
"Sebagai makhluk yang punya. akal pikiran, se-
benarnya aku juga punya rasa takut akan tuah sum-
pah yang pernah mangkat bersama Dewa Tikus itu.
Tapi, apa boleh buat. Biarlah bumi menelanku. Biarlah
langit runtuh menimbunku. Kalau pengorbananku ini
ada gunanya, siksa itu akan kuterima dengan dada la-
pang...," lanjut Setan Ceriwis, menegaskan keyakinan-
nya. "Tapi... karena aku benar-benar punya pantang-n
membunuh. kau harus bersedia mewakili aku untuk
menumpas Siluman Ragakaca dan seluruh pengikut
jahatnya. Dan, kuharap kau pun tak salah menjatuh-
kan tangan maut, Suropati. Yang harus kau tumpas
hanya Siluman Ragakaca bersama para pengikut ja-
hatnya. Beberapa pengikut Siluman Ragakaca yang tak
jahat harus kau lepaskan.,.."
"Heran aku. Kenapa ada orang baik-baik bisa
menjadi pengikut siluman itu?"
"Mereka hanya terpaksa. Raja Angin Barat ada
lah satu contoh di antaranya."
"Yang lain lagi, siapa?" , .
"Kalau kau pandai menggunakan otak untuk
berpikir dan menimbang, pada saatnya nanti kau pasti
akan tahu siapa-siapa yang tak boleh kau bunuh itu....
Nah, sekarang kosongkan pikiranmu. Pusatkan selu-
ruh perhatian dan daya batinmu ke satu titik. Aku
akan segera menurunkan beberapa ilmu kesaktian ke-
padamu...."
Hati kecil Pengemis Binal tak berkata-kata lagi.
Jiwa dan pikirannya sudah mantap untuk menerima
apa yang akan diberikan Setan Ceriwis. Sebuah tugas
maha berat telah menunggu. Dan, tugas itu membu-
tuhkan kesiapan lahir batin. Tak keliru apabila Setan
Ceriwis hendak menurunkan beberapa ilmu kesaktian
kepada Pengemis Binal.
Untuk beberapa saat, Setan Ceriwis menatap le-
kat wajah Suropati yang tengah duduk dalam sikap
semadi. Kemudian, bibir kakek berkulit putih seperti
kapur ini kemak-kemik. Dan di dalam semadinya, Su-
ropati mendengar banyak sekali petunjuk yang me-
mang sengaja ditujukan kepada dirinya.
Di lain kejap, kedua mata Setan Ceriwis meman-
carkan cahaya hijau, menerpa lalu membungkus seku-
jur tubuh Pengemis Binal.
Tampak kemudian, tubuh Pengemis Binal berge-
tar. Sekujur tubuhnya terasa panas bagai dibakar api.
Tak ayal lagi, butiran keringat memercik ke sana-sini.
Kepala Pengemis Binal pun terasa pening, bahkan te-
ramat pening. Tulang belulangnya pun terasa bagai di-
jepit-jepit balok baja yang amat kuat Seluruh urat-urat
darahnya terasa ditarik-tarik, seperti hendak putus
bersamaan....
Suropati menguatkan hati untuk bertahan, dan
terus bertahan. Tapi..., siksaan itu terus merejam dan
semakin menyakitkan!
"Kini, kau telah berada pada saat-saat gawat, Su-
ro...," ujar Setan Ceriwis, kedua matanya terus me-
mancarkan cahaya hijau yang membungkus tubuh Su-
ropati. "Jangan menghimpun tenaga dalam untuk me-
lawan. Kalau itu kau lakukan, tubuhmu akan lang-
sung meledak hancur...."
Pengemis Binal mencoba bertahan, tapi rasa sa-
kit itu semakin menjadi-jadi....
Beberapa saat kemudian, Setan Ceriwis mene-
pukkan kedua telapak tangannya di atas kepala. Ber-
samaan dengan munculnya ledakan keras, dua larik
sinar merah melesat dalam bentuk lengkungan..., me-
nerpa telinga Suropati!
"Wuahhh...!"
Tanpa sadar Suropati memekik parau. Datang
rasa sakit yang lebih hebat Namun, Suropati tak hen-
dak memberi perlawanan. Suropati tak hendak mem-
buyarkan semadinya. Remaja tampan ini sudah per-
caya benar kepada Setan Ceriwis.
Tapi... di lain saat, Suropati merasakan telin-
ganya jadi pekak. Pikiran bawah sadarnya mengatakan
bahwa telinganya telah tuli! Di lain saat lagi, urat-urat
darahnya terasa bergeletar. Akibatnya, aliran darah ja-
di kacau. Tubuh Suropati pun terasa sangat lemah
dan tanpa tenaga sedikit pun!
Menilik penderitaan Pengemis Binal yang begitu
hebat, maka perlu disangsikan niat baik Setan Ceriwis!
Benarkah adik kandung Siluman Ragakaca itu hendak
menurunkan ilmu kesaktian? Apakah dia tidak berniat
untuk membuat tuli telinga Suropati, kemudian me-
lumpuhkan seluruh ilmu kesaktiannya?
"Argh...!"
Pengemis Binal memekik kesakitan! Tubuhnya
jatuh terkapar di lantai gua!
***
"Hei! Hei! Kau jangan berjalan mondar-mandir
seperti itu!" tegur Dewa Tikus atau Dewa Tangis alias
Dewa Gila,
"Kenapa?!" Peramal Buntung membentak jengkel.
"Kau duduk sajalah!".
"Kalau aku berjalan mondar-mandir, rugikah
kau?! Kau terlalu mengurusi kemauan orang! Pikirkan
saja keadaan tubuhmu yang terjepit tanah itu."
"Hei! Hei! Kenapa kau marah? Tak tahukah kau
bila aku bermaksud baik?"
"Bermaksud baik apa?!" Peramal Buntung mem-
bentak lebih keras. Karena terbawa rasa bingung dan
kalut kakek cacat ini jadi mudah naik darah. Bagai-
mana Peramal Buntung tidak bingung dan kalut, jalan
keluar untuk dapat lolos dari ruang penyekapan ini tak
dapat dia temukan!
"Hmmm.... Umurmu sudah lewat kepala enam,
tapi otakmu masih belum mampu berpikir dewasa...,"
cibir Dewa Tikus.
"Apa?!" geram Peramal Buntung dengan muka
merah padam.
"Bila kau tak segera menutup mulutmu yang
nyinyir itu, terpaksa aku akan membungkammu den-
gan segumpal tanah!"
"Ha ha ha...!" Dewa Tikus malah tertawa. "Lucu
sekali ancamanmu itu, Orang Buntung! Tidakkah ter-
pikir di benakmu... bila aku mati, kau pun akan mati?!
Kau pikir, udara yang mengisi paru-parumu itu beras-
al dari mana?"
Kening Peramal Buntung berkerut mendengar
ucapan Dewa Tikus. Dia mengedarkan pandangan se-
jenak. Ruang bawah tanah tempat dirinya didekap ini
tertutup rapat Tak ada jalan masuk ataupun keluar.
Tak juga untuk peredaran hawa!
""Kini, sudah tahukah kau berasal dari mana
udara yang kau hirup di tempat pengap dan tertutup
rapat ini?" ujar Dewa Tikus, kali ini terdengar penuh
kesungguhan.
Peramal Buntung diam.
Dewa Tikus menyeringai, lalu menangis. "Hik...
hik... hik.... Kasihan sekali kau, Orang Buntung, Sebe-
narnya, hidup pun kau sudah tiada berguna lagi. Hik...
hik... hik.... Jika kau ingin mati, marilah kita mati ber-
sama-sama...."
"Tidak! Aku belum ingin mati! Masih banyak tu-
gas yang harus kukerjakan!" seru Peramal Buntung.
"Tapi kalau aku mati, kau pun akan mati....
Hik... hik.... hik... Kalau aku mati, tidak ada lagi yang
memberimu udara untuk bernapas. Kalau aku mati,
hawa di ruangan ini akan sangat pengap dan panas.
Kau akan mati karena. kehabisan udara untuk berna-
pas. Hik... hik... hik..,,"
"Apa maksud ucapanmu itu, Orang Aneh? Be-
narkah udara yang kuhirup ini pemberianmu?" tanya
Peramal Buntung, khawatir.
"Begitulah. Aku punya ilmu bernama 'Mengolah
Udara Memperpanjang Usia'. Hik... hik... hik...."
Terkejut Peramal Buntung mendengar ucapan
Dewa Tikus. Dia memang pernah mendengar suatu il-
mu pernapasan bernama 'Mengolah Udara Memper-
panjang Usia'. Seseorang yang mempunyai ilmu itu
mampu bertahan hidup berbulan-bulan walau disekap
di sebuah tempat yang tertutup rapat Bahkan, di se-
buah tabung besi yang kedap udara sekalipun. Dengan
ilmu 'Mengolah Udara Memperpanjang Usia', seseorang
dapat mengolah udara di paru-parunya sedemikian
rupa, sehingga dapat dikeluarkan untuk kemudian di
hirup lagi. Pendek kata, seseorang yang memiliki ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia' dapat bertahan
hidup walau dengan menghirup udara yang sangat se-
dikit.
"Hmmm.... Kau jangan membual Orang Aneh!"
sentak Peramal Buntung untuk menutupi keterkeju-
tannya. "Ilmu 'Mengolah Udara Memperpanjang Usia'
hanya ada di masa dua ratus tahun yang silam! Ba-
gaimana kau dapat mengatakan bahwa kau memiliki
ilmu itu?!"
"Ha ha ha...!" mendadak Dewa Tikus mengubah
tangisnya menjadi tawa bergelak-gelak "Kau menye-
butku sebagai 'orang aneh', tapi sesungguhnya kaulah
yang aneh! Tidakkah kau tahu bila umurku telah lebih
dari dua ratus tahun?"
"Hah?! Benarkah itu?"
"Ha ha ha...! Kau tidak percaya, boleh. Tapi.. ta-
pi..., kau harus percaya bahwa kalau ku mati, kau pun
akan ikut mati. Hik... hik... hik....'
Dewa Tikus menangis lagi.
Peramal Buntung menatap heran.
"Jika sekarang aku harus membagi udara den-
ganmu, maka jalan kematianku sudah begitu dekat
Hik... hik... hik...," ujar Dewa Tikus di sela-sela tangis-
nya. "Sebenarnya.., sebenarnya, aku tak tega jika kau
turut mati. Hik... hik... hik...."
Merasakan kesungguhan ucapan Dewa Tikus,
Peramal Buntung bertambah kalut dan bingung. Mati!
Mati! Mati! Kata-kata mengerikan itu terus mengiang di
telinganya. Bagi Peramal Buntung, mati di ajang per-
tempuran adalah jauh lebih baik daripada mati keha-
bisan napas di dalam sebuah ruang penyekapan.
"Be... benarkah tidak ada jalan keluar untuk da-
pat pergi dari tempat terkutuk ini?" tanya Peramal
Buntung, tergagap.
"Tidak ada. Hik... hik... hik..:," jawab Dewa Tikus,
terus meneteskan air mata.
"Sungguh malang nasib kita, Orang Aneh.... Kau
tentu sangat tersiksa karena tubuhmu dibenamkan ke
dalam tanah seperti itu. Melihat wajahmu yang kotor
penuh debu itu, kau tentu telah lama disekap di tem-
pat ini...."
"Benar katamu. Hik... hik... hik... Walau aku tak
dapat lagi membedakan siang ataupun malam, walau
aku tak dapat lagi menghitung hari, tapi aku tahu
bahwa diriku disekap di tempat ini telah lebih dari dua
pekan. Hik... hik... hik... Sekarang aku harus membagi
udara denganmu. Hik... hik... hik... Beberapa saat lagi,
kita akan mati bersama-sama. Hik.. hik... hik..."
Mengelam paras Peramal Buntung mendengar
ucapan Dewa Tikus. "Sungguh kejam orang yang telah
menyekap kita di tempat ini...," ujarnya lirih seperti
menggumam.
"Kau kenal dengan orang itu?" tanya Dewa Tikus
tangisnya terhenti mendadak.
Peramal Buntung menggeleng. "Aku tak tahu. Di
sebuah tanah luas berbatu-batu, tiba-tiba tubuhku te-
rasa lemas. Aku pingsan. Dan ketika siuman, aku te-
lah berada di tempat ini...."
"Seseorang telah menotokmu dengan ilmu totok-
an jarak jauh bernama 'Sabetan Jari Pelumpuh Na-
ga'.,.."
"Dari mana kau tahu?"
"Apa yang kau alami, kualami juga."
"Kalau begitu, kau pasti tahu siapa orang yang
telah menyekap kita itu...."
"Aku memang tahu, Tapi.', kuberitahukan pun
percuma karena... kita akan segera mati!"
"Hmmm..... Jahat benar orang itu!" geram Pera-
mal Buntung. "Apa sebenarnya salahku kepadanya?
Kenapa dia berniat membunuhku?"
"Pertanyaanmu itu sama persis dengan perta-
nyaan yang ada di benakku," sahut Dewa Tikus.
"Dan, kau pun tak mampu menjawabnya?"
"Begitulah...."
Peramal Buntung mendesah. Kakek berompi
kuning ini geleng-geleng kepala ketika melihat Dewa
Tikus menangis lagi.
"Dewa Tikus...," gumam Peramal Buntung. "Dewa
Tikus. Sebuah nama atau julukan yang tepat bagi
makhluk berwajah mirip tikus itu. Hmmm.... Mung-
kinkah dia punya kemampuan menggerong tanah se-
perti tikus?"
Terbawa pikiran dibenaknya, Peramal Buntung
menatap lekat wajah Dewa Tikus, lalu bertanya,
"Orang aneh..., kau tadi mengenalkan dirimu sebagai
Dewa Tikus. Aku yang cacat dan bergelar Peramal
Buntung ini hendak bertanya kepadamu. Apakah kau
punya kemampuan menggerong tanah?"
"Kalau aku punya, kau mau apa?" Dewa Tikus
balik bertanya.
Peramal Buntung diam sejenak. Keningnya ber-
kerut rapat Lalu dengan suara berat dan penuh ke-
sungguhan, dia berkata, "Firasatku mengatakan bah-
wa kita tak akan mati di tempat ini. Pasti ada sebuah
cara untuk dapat lepas dari kungkungan ini. Dan ku-
pikir, kalau kau punya semacam ilmu mirip tikus yang
mampu, menggerong tanah, kita berdua pasti akan se-
lamat..."
"Aku memang punya ilmu 'Menembus Tanah
Membuat Liang'. Tapi..., ilmuku itu tak lagi berguna
kini. Tidak tahukah kau, mengeluarkan tubuhku dari
jepitan tanah lembek ini saja aku tak mampu?"
"Kenapa?".
"Kedua tangan dan kakiku diikat."
"Hmmm.... Kalau hanya membuka ikatan saja,
aku bisa membantumu...."
Kepala Dewa Tikus menggeleng lemah.
Peramal Buntung tak begitu memperhatikan. De-
ngan semangat yang tiba-tiba muncul dan menyala-
nyala, kakek berompi kuning ini mulai menggali tanah
untuk dapat mengeluarkan tubuh Dewa Tikus. Walau
hanya menggunakan telapak kaki, Peramal Buntung
tak banyak mendapat kesulitan.
"Sudahlah! Sudahlah! Percuma saja!" seru Dewa
Tikus.
"Aku bermaksud mengeluarkan tubuhmu, kemu-
dian melepas ikatan di kedua tangan dan kaki mu!"
sahut Peramal Buntung.
"Ah! Kubilang, percuma saja! Jangan-jangan per-
buatanmu ini hanya akan mempercepat kematian kita.
Atap ruangan ini akan runtuh! Kita akan tertimbun
hidup-hidup!"
"Kau jangan terlalu meremehkan kemampua-
nku!" sentak Peramal Buntung. "Aku akan berhati-
hati, agar atap tanah itu tidak runtuh!"
Di ujung kalimatnya, Peramal Buntung mulai
menggali lagi. Sedikit demi sedikit, dan terkesan amat
berhati-hati. Sementara, Dewa Tikus mendesah terus.
Mulutnya nyerocos panjang pendek. Namun, Peramal
Buntung tak memperhatikan sama sekali.
Sepeminum teh kemudian, tubuh Dewa Tikus te-
lah berhasil diangkat dari kubangan tanah. Tubuh
Dewa Tikus ternyata benar-benar mirip tikus. Seluruh
permukaan kulitnya ditumbuhi bulu-bulu halus ber-
warna hitam kekuningan. Perutnya pun terlihat buncit
dan menggantung. Dan hanya selembar cawat hitam
yang menempel di tubuhnya. Sekadar menutupi ba-
rang istimewanya!
"Sudah kubilang, percuma saja...!" seru Dewa Tikus seraya menggulingkan tubuhnya. Dalam keadaan
duduk berselonjor, Dewa Tikus memperlihatkan ikatan
di kedua tangan dan kakinya.
"Astaga!"
Peramal Buntung berseru kaget. Tali yang men-
gikat tangan dan kaki Dewa Tikus ternyata berupa ga-
ris-garis sinar berwarna kuning!
"Orang jahat itu mengikatku dengan ilmu
'Sabetan Jari Penjerat Naga'...," beri tahu Dewa Tikus,
"Kalau saja aku dapat memutuskan ikatan ini, tak ba-
kalan kau menjumpai aku di tempat pengap ini...."
"Bagaimana kalau aku mencoba memutuskan
ikatan itu?" tawar Peramal Buntung.
"Percuma saja."
"Kau benar-benar meremehkan kemampuanku,
Orang Aneh!" sentak Peramal Buntung.
"Tidak. Tapi kalau kau penasaran, bolehlah kau
tunjukkan ilmu kepandaianmu."
Tanpa pikir panjang lagi, Peramal Buntung be-
ringsut. Jari-jari kakinya menjepit garis-garis sinar
yang mengikat kedua tangan Dewa Tikus. Dikerah-
kannya tenaga dalam untuk dapat memutuskan garis-
garis sinar yang menyerupai tali itu. Namun hingga ke-
ringat bercucuran dan tenaga dalam Peramal Buntung
nyaris terkuras habis, ikatan Dewa Tikus tak juga da-
pat dilepaskan.
"Kini, kau baru percaya...," ujar Dewa Tikus. Air
bening mulai mengambang di pelupuk matanya. "Hik...
hik... hik... Kita akan mati di sini. Kecuali, Setan Ceri-
wis mau menolong...."
"Setan Ceriwis? Siapa itu?" tanya Peramal Bun-
tung, terkejut.
"Dia kakakku," jawab Dewa Tikus. "Dia juga pu-
nya nama Setan Tanah atau Setan Kapur. Hik.. hik..
hik... Kalau dia mau menolong, kita pasti selamat. Tapi
kalau tidak, hik... hik... hik... Kita akan mati...."
"Andai kakakmu itu bersedia, dengan cara apa
dia akan menolong kita?" tanya Peramal Buntung,.
semangat hidupnya mulai membara lagi.
"Dia punya ilmu, 'Pelacak Jejak'. Dia tahu kalau
aku disekap di tempat ini. Dia juga punya ilmu yang
lebih hebat dari ilmu 'Menembus Tanah Membuat
Liang' milikku. Dia bisa membelah tanah lalu menu-
tupnya sesuka hatinya. Dia punya ilmu 'Pemisah Ta-
nah Penyatu Bumi'. Tapi.,., hik... hik... hik... kalau dia
tak mau menolong, kita tetap akan mati. Hik.. hik...
hik..."
"Namun kalau dia bersedia menolong, kita pasti
selamat, bukan?"
"Ya! Ya! Tapi kau harus tahu, Orang Buntung...,
kalau kakakku itu telah berhasil dibunuh kakakku
yang satunya lagi, harapan kita hanya akan tinggal ha-
rapan. Kita pasti mati! Hik...'hik.. hik..."
"Kau bilang bahwa kau masih punya kakak lagi.
Siapa dia?" tanya Peramal Buntung, terbawa rasa ingin
tahunya.
"Siluman Ragakaca."
Melonjak kaget Peramal Buntung. Dengan mata
mendelik, kakek cacat ini hendak bertanya lagi, tapi
suaranya tersekat di tenggorokan. Tiba-tiba, napasnya
jadi sesak!
"Kita akan segera mati! Udara segar di ruangan
ini hampir habis. Uh! Hk! Napasku sesak! Kau juga ru-
panya! Hik... hik,, hik... Matilah kita sekarang..."
Dewa Tikus menutup kalimatnya dengan meng-
hirup udara sebanyak mungkin. Peramal Buntung
berbuat serupa. Namun..., maut akan menjemput!
***
8

Sona Langit melolong panjang tiada henti melihat
pertempuran seru yang tengah berlangsung di hada-
pannya. Anjing yang tubuhnya nyaris sebesar kuda ini
melompat ke sana sini, tak kuasa membendung hasrat
hatinya untuk membantu Raka Maruta ataupun Ang-
graini Sulistya. Namun, Raka Maruta berkali-kali me-
neriakinya agar tetap tenang.
"Huuungngng...!"
"Tenanglah! Jangan bertindak gegabah!" seru
Pendekar Kipas Terbang ketika melihat Sona Langit
meloncat ke dekatnya.
Raka Maruta tahu maksud Sona Langit yang in-
gin membantunya. Tapi, Raka Maruta justru tak mau
melihat Sona Langit celaka. Karena, sambaran Cam-
buk Api Darah di tangan Dewa Cinta yang menjadi la-
wannya sangatlah berbahaya. Sambaran sinar merah-
nya saja sudah mampu menghancurkan sebongkah
batu besar!
"Huuungngng...!" Sona Langit melolong lagi. An-
jing besar berbulu hitam ini berbuat nekat, menerjang
Dewa Cinta.
Sementara Pendekar Kipas Terbang mendelik ka-
get, Dewa Cinta tersenyum senang. Dewa Cinta tahu
bila Sona Langit adalah satwa piaraan Putri Impian
yang menjabat sebagai Ratu Istana Dalam di Istana
Langit. Oleh karena itulah Sona Langit pun dianggap-
nya sebagai musuh yang layak dienyahkan!
"Mati kau!"
Dewa Cinta menggembor keras seraya menyabet-
kan Cambuk Api Darahnya. Dengan cambuk aneh
yang semula berwujud sapu tangan itu, Dewa Cinta
hendak membelah tubuh Sona Langit yang tengah melayang di udara!
Srattt...!
Jderrr...!
"Huffing...!" '
Melihat bahaya yang mengancam Sona Langit,
Raka Maruta melemparkan kipas baja putihnya. Ter-
bentur tenaga lontaran yang amat kuat, arah sabetan
Cambuk Api Darah melenceng. Namun tak urung, tu-
buh sebelah kiri Sona Langit terserempet!
Akibatnya, tubuh besar Sona Langit terpelanting
lalu terbanting ke tanah. Sona Langit mendengking ke-
sakitan. Darah mengucur dari bagian tubuhnya yang
terluka. Namun dengan semangat tempur yang menya-
la-nyala, dan tak peduli akan luka di tubuhnya, Sona
Langit bangkit. Hendak diterjangnya lagi Dewa Cinta!
"Jangan...!" cegah Pendekar Kipas Terbang. Sam-
bil berteriak keras, pemuda berwajah lembut ini me-
nyambar kipas baja putih yang melesat balik ke arah-
nya.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Bola matanya
yang berkilat-kilat menatap tajam wajah Raka Maruta.
Melihat kesungguhan pemuda yang telah membe-
baskannya dari timbunan batu ini, Sona Langit men-
ganggukkan kepala walau hatinya masih diliputi hawa
amarah dan rasa penasaran.
"Kau minggirlah! Percayalah kepadaku!" ujar
Pendekar Kipas Terbang untuk menenangkan hati So-
na Langit.
Dan tampaknya, Sona Langit pun mau menuruti
kemauan Raka Maruta. Sekali lagi, dia mengangguk-
kan kepalanya, lalu melangkah mundur.
"Hmmm.... Rupanya, menantu Prabu Singgalang
Manjunjung Langit adalah seorang penjinak anjing...,"
cibir Dewa Cinta. "Tapi, tubuh anjing itu tetap akan
kubelah dua setelah aku meremukkan tubuhmu dulu,
Maruta!"
"Kalau kau mampu, silakan kau wujudkan kein-
ginanmu itu!" balas Pendekar Kipas Terbang. "Jangan
menyesal andai aku yang lebih dulu memenggal kepa-
lamu!"
"Bangsat! Kita buktikan saja, siapa yang lebih
unggul di antara kita?!"
Di ujung kalimat Dewa Cinta, Cambuk Api Darah
meliuk ke atas. Setelah mengeluarkan suara ledakan
keras, tali cambuk itu meluncur sebat ke arah Raka
Maruta. Sementara, garis-garis sinar merah turut me-
nyerbu ganas, membarengi luncuran Cambuk Api Da-
rah!
"Heaaa...!"
Srattt...!
Sambil memekik nyaring, Raka Maruta melem-
parkan kipas baja putihnya. Timbul seberkas cahaya
putih berkeredepan, menelan garis-garis sinar merah
yang muncul dari sabetan tali Cambuk Api Darah!
Tas...!
"Ih...!"
Tatkala tali cambuk di tangannya terbentur kipas
baja putih, Dewa Cinta memekik kaget. Jari-jari tan-
gan kanannya terasa kesemutan. Dan, bagian tubuh
sebelah kanannya pun terasa lumpuh. Kontan bola
mata Dewa Cinta melotot besar!
Setelah membentur tali cambuk api, kipas baja
putih Raka Maruta mencelat tinggi. Anehnya senjata
itu dapat melesat ke kiri lalu berputar ganas hendak
menebas leher Dewa Cinta!
Cepat Dewa Cinta mengatasi kegugupannya. De-
ngan menjatuhkan diri ke tanah, lelaki berpakaian ke-
tat hijau ini berhasil menyelamatkan diri. Namun, De-
wa Cinta terkejut luar biasa. Kipas baja putih terus
mengejarnya ke mana pun dia berkelit!
Agaknya, Raka. Maruta telah mengeluarkan ju-
rus terhebatnya ‘Kipas Terbang Membelah Angin’ yang
sudah sempurna dikuasainya atas petunjuk si Kipas
Sakti, gurunya.
Dengan menggunakan tenaga dalam tingkat ting-
gi yang mampu dipakai untuk menarik dan melontar-
kan sebuah benda dari jarak jauh, Raka Maruta me-
mainkan jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin' nya
yang dahsyat luar biasa. Hanya dengan menggerak-
gerak-kan kedua telapak tangannya dari jarak jauh,
Raka Maruta mampu mengirim serangan-serangan
mematikan. Kipas baja putihnya menyambar-nyambar
bagai seekor elang memburu mangsa. Sementara, bi-
asan cahaya putih yang muncul dari sambaran kipas
membuat udara di sekitarnya jadi panas seperti ada
api besar yang tengah berkobar-kobar!
Dewa Cinta mendengus gusar berkali-kali. Tu-
buhnya benar-benar terkurung oleh sambaran senjata
andalan Pendekar Kipas Terbang. Cambuk Api Darah
pun tak lagi dapat memperlihatkan kehebatannya.
Terdesak hebatlah Dewa Cinta!
***
Di bagian lain, wajah Dewi Asmara tampak pucat
pasi. Rasa kalut dan bingung mulai menggeluti ha-
tinya. Sepasang pedang lentur di tangannya tak ber-
daya sama sekali menghadapi ilmu 'Cahaya Sakti Ben-
tengi Jiwa' yang tengah diterapkan oleh Anggraini Su-
listya.
Cahaya putih yang menyelubungi tubuh
Anggraini Sulistya membuat tubuh putri raja Pasir Lu-
hur ini kebal senjata tajam. Tak takut lagi dia mena-
dahi sabetan dan tusukan pedang lentur Dewi Asmara.
Sementara Dewi Asmara harus berjuang sekuat tenaga
untuk dapat menghindari totokan-totokan berbahaya
sending emas di tangan Anggraini Sulistya.
"Kau datang hendak meminta batu mustika yang
bukan milikmu. Jelas kau seorang durjana. Menyerah-
lah!" ujar Putri Cahaya Sakti sambil terus mengirim to-
tokan.
"Aku akan menyerah kalau kau menyerahkan
kepalamu lebih dulu!" sahut Dewi Asmara. Salah satu
pedang lenturnya disabetkan ke depan untuk menang-
kis totokan sending Anggraini Sulistya.
Trang!
Namun tiba-tiba, tubuh Putri Cahaya Sakti me-
lenting amat cepat. Sambil berjumpalitan, dia mengi-
rim totokan maut yang mengarah jalan darah di pung-
gung Dewi Asmara.
Wuttt...!
Dewi Asmara yang sudah terdesak hebat, mem-
buang tubuhnya jauh-jauh ke kiri. Dan Anggraini Su-
listya pun tersenyum senang. Pancingannya berhasil.
Dengan tubuh masih melayang di udara, kakinya ter-
julur cepat. Di lain kejap, terdengar suara berdebuk.
Pinggang kanan Dewi Asmara berhasil ditendangnya.
Walau Anggraini Sulistya tak berniat. membunuh
lawan, tapi tendangannya sudah cukup kuat untuk
dapat melontarkan tubuh Dewi Asmara. Dan selagi
Dewi Asmara jatuh bergulingan di tanah, terdengar
pekik kesakitan dari mulut Dewa Cinta!
"Argh...!"
Tubuh Dewa Cinta juga jatuh bergulingan ke
arah yang sama dengan gulingan tubuh Dewi Asmara.
Ketika bangkit, bahu kiri Dewa Cinta mengucurkan
darah segar.. Rupanya, kipas baja putih Raka Maruta
telah berhasil melukainya. Sementara tendangan keras
Raka Maruta juga sempat menghajar punggungnya.
"Kalian adalah dua orang durjana yang layak di-
jebloskan ke penjara bawah tanah!" seru Anggraini Su-
listya, kakinya melangkah untuk mengiringi Dewa-
Dewi Kayangan ke istana.
"Kaulah yang harus dijebloskan ke neraka!" har-
dik Dewa Cinta tiba-tiba. Telapak tangan kirinya men-
gibas. Dewi Asmara pun berbuat serupa.
"Awas...!" teriak Pendekar Kipas Terbang, mem-
beri peringatan kepada istrinya.
Bergegas Putri Cahaya Sakti meloncat jauh saat
melihat gelombang angin pukulan menyerbu ganas ke
arahnya. Timbul suara gemuruh keras manakala batu-
batu berpentalan. Untuk beberapa lama, gumpalan ta-
nah berdebu menutupi pandangan mata.
"Bedebah!" maki Putri Cahaya Sakti.
Ketika pandangan menjadi terang lagi, ternyata
sosok Dewa-Dewi Kayangan sudah tak tampak. Dan
mengiang di telinga Putri Cahaya Sakti sebuah kalimat
yang dikirim dengan ilmu memindahkan suara.
"Tunggu pembalasan Siluman Ragakaca!" ujar
suara itu.
Anggraini Sulistya tahu bila ancaman yang di-
dengarnya adalah suara Dewi Asmara. Kontan hatinya
menjadi panas. Dia ingin mengejar, tapi Pendekar Ki-
pas Terbang telah menyentuh bahunya seraya berkata,
"Sudahlah. Kita harus kembali ke istana. Aya-
handa Prabu menunggu kita."
"Huuungngng...!"
Terdengar lolongan panjang Sona Langit. Ang-
graini Sulistya dan Raka Maruta menoleh bersamaan.
Sona Langit tampak berdiri terhuyung-huyung. Darah
segar masih mengucur dari luka di tubuhnya.
"Walau menyeramkan, anjing itu tidak jahat. Kita
bawa dia ke istana untuk mendapat pengobatan." ce-
tus Pendekar Kipas Terbang.
***
"Hmmm.... Rupanya, tubuhmu tak sekuat yang
kukira...," ujar Setan Ceriwis, bernada penyesalan.
Sinar hijau yang memancar dari kedua bola ma-
tanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya, memancar
sinar putih bening yang langsung menerpa tubuh Pe-
ngemis Binal!
Wusss...!
Luar biasa! Sinar putih bening itu mampu men-
gangkat tubuh Pengemis Binal yang tengah terbaring
telentang. Bahkan, sinar yang memancar dari bola ma-
ta Setan Ceriwis itu mampu menekuk tubuh Pengemis
Binal, lalu memaksanya untuk duduk bersila lagi!
"Bertahanlah untuk tetap sadar! Kalau pingsan
kau akan menyesal seumur hidup! Beberapa urat da-
rahmu akan pecah. dan kau akan lumpuh seumur hi-
dup!"
Antara sadar dan tidak, lamat-lamat Suropati
mendengar kata-kata Setan Ceriwis yang ditujukan
kepada dirinya. Tak mau mendapat celaka, Pengemis
Binal berusaha sekuat tenaga agar kesadarannya tak
hilang
Semakin lama, kata-kata Setan Ceriwis terdengar
makin keras. Suropati berseru girang dalam hati. "Itu
berarti telinganya tidak jadi tuli!"
Perlahan-lahan sinar putih bening yang meman-
car dari bola mata Setan Ceriwis berubah hijau lagi.
Kembali rasa sakit menyiksa sekujur tubuh Suropati.
Namun tidak seberapa lama kemudian, Suropati mera-
sakan tubuhnya sangat ringan..., dan terus bertambah
ringan. Alam pikirannya pun terasa amat lapang. Lalu,
hawa murni yang berputar di sekitar pusarnya terasa
menyentak-nyentak, namun tubuhnya malah terasa

sangat segar, hingga membuatnya terlena....
"Hei! Bangun! Bangun!"
Pengemis Binal terkesiap mendengar teriakan ke-
ras Setan Ceriwis. Namun karena takut akan terjadi
sesuatu yang bisa membuat celaka, Pengemis Binal tak
mau menutup semadinya.
"Bangun, Bocah Geblek!" seru Setan Ceriwis le-
bih keras. Tak ada lagi sinar yang memancar dari bola
matanya. "Kau ini tidak sedang bersemadi! Kau ketidu-
ran! Hayo! Bangun!"
Karena teriakan Setan Ceriwis terdengar keras
menggelegar. Pengemis Binal menggerigap kaget. Kelo-
pak matanya kontan membuka. Melihat Setan Ceriwis
yang tampak marah-marah, Pengemis Binal garuk-
garuk kepala seraya nyengir kuda.
"Aku boleh bangun, Kek?" tanyanya ketolol-
tololan.
"Memang itu yang ku mau, Geblek!" maki Setan
Ceriwis. "Kau boleh pergi sekarang!"
"Pergi?" ujar Suropati, tak mengerti. "Bukankah
Kakek hendak memberi ku beberapa ilmu kesaktian?"
"Huh! Dasar geblek! Apa kau tak merasa?!" ben-
tak Setan Ceriwis.
"Merasa bagaimana?"
"Aku telah menepati janjiku, Tolol!"
"Menurunkan ilmu kesaktian kepadaku?"
'Ya," sahut Setan Ceriwis, setengah membentak.
"Kini kau memiliki ilmu 'Pelacak Jejak',
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia', dan tenaga da-
lammu telah kulipat gandakan Sehingga, kau pun da-
pat menguasai ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi'
serta sebuah ilmu pukulan maha dahsyat bernama
'Pengguncang Jagat'."
"Ck... ck... ck..," Pengemis Binal geleng-geleng
kepala. "Kedengarannya hebat sekali keempat ilmu
yang kau turunkan kepadaku itu, Kek Kalau ilmu 'Pe-
lacak Jejak', aku tahu kegunaannya karena ada sa-
habatku yang juga mempunyai ilmu itu," ujar remaja
tampan ini. Yang disebut sebagai 'sahabat' adalah Sa-
ka Purdianta atau Dewa Guntur. "Tapi ketiga ilmu
lainnya masih sangat asing bagiku. Apa kehebatan il-
mu-ilmu itu, Kek?"
"Hmmm.... Bolehlah aku jelaskan sedikit saja.
Tapi setelah ini, kau harus segera pergi...," sahut Setan
Ceriwis. "Dengan ilmu 'Mengolah Udara Memperpan-
jang Usia', kau dapat mengolah udara sedemikian ru-
pa, sehingga kau akan dapat bertahan hidup walau
kau disekap di sebuah ruangan kedap udara...."
"Caranya?"
"Kau akan tahu sendiri nanti. Dan dengan ilmu
'Pemisah Tanah Penyatu Bumi', kau dapat membuka
tanah lalu menutupnya lagi sekehendak hatimu. Bila
digabungkan dengan ilmu 'Mengolah Udara Memper-
panjang Usia', kau dapat hidup di dalam tanah seperti
yang tengah kujalani sekarang ini."
"Lalu, apa keistimewaan ilmu pukulan 'Penggun-
cang Jagat'?"
"Itu tak perlu kujelaskan, Kau akan tahu keisti-
mewaannya jika kau gunakan ilmu pukulan itu untuk
menumpas Siluman Ragakaca.... Sekarang, kau harus
cepat pergi dari tempat ini. Balikkan badanmu! Gu-
nakan Ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi'! Berjalan-
lah lurus! Jangan turun ataupun naik! Cepat...!"
"Tapi, Kek...," Suropati hendak bertanya lagi. Ta-
pi, remaja berpakaian putih penuh tambalan ini men-
gurungkan niatnya karena Setan Ceriwis menatapnya
dengan mata mendelik!
"Cepat balikkan badanmu! Pergi dari sini!"
Mendengar bentakan keras Setan Ceriwis, berge-
gas Pengemis Binal bangkit seraya membalikkan badan. Namun Pengemis Binal cuma dapat menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Bagaimana dia harus berja-
lan bila di hadapannya terbentang dinding batu kapur
yang amat keras?
"Gunakan ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi',
Geblek!" maki Setan Ceriwis. "Alirkan separo tenaga
dalam ke kedua telapak tanganmu. Lalu, yang kiri kau
luruskan ke depan dan yang kanan kau tengadah-
kan!".
Walau belum mengerti benar apa maksud kata-
kata Setan Ceriwis, Pengemis Binal mengalirkan juga
separo tenaga dalamnya ke kedua telapak tangannya.
Dan, terkejutlah remaja tampan ini. Dia melihat kedua
pergelangan tangannya bergetar kencang.
"Hmmm.... Kakek Ceriwis itu benar-benar telah
melipat gandakan tenaga dalamku," kata hati Suropati.
"Hei! Kenapa diam saja?! Segera melangkah ma-
ju!"
"Ya. Ya!"
Tanpa pikir panjang lagi, Suropati segera menu-
ruti perintah Setan Ceriwis. Kakinya melangkah perla-
han. Setindak..., dua tindak.... Mendadak, dinding ba-
tu kapur di hadapan Suropati runtuh!
Tak mau tubuhnya terkena reruntuhan, Penge-
mis Binal menggerakkan telapak tangan kanannya
yang ditengadahkan. Aneh! Reruntuhan batu kapur
menyembur ke belakang. Hingga, Pengemis Binal da-
pat terus melangkah maju. Dinding-dinding batu ka-
pur di hadapannya terus runtuh. Telapak tangan kiri
Pengemis Binal laksana dapat mengebor dari jarak
jauh. Sementara, telapak tangan kanannya digerak-
gerakkan sedemikian rupa untuk menghalau reruntu-
han batu kapur ke belakang!
"Bagus! Terus melangkah maju! Lurus! Jangan
berbelok! Jangan turun ataupun naik! Ha ha ha.... Terus! Bagus! Ha ha ha...!"
Pengemis Binal mendengar tawa panjang Setan
Ceriwis. Namun seiring langkah kaki Pengemis Binal
yang terus maju, suara tawa Setan Ceriwis lenyap per-
lahan-lahan...
Beberapa saat kemudian, dada Suropati menjadi
sesak. Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti sulit bernapas. Dia memang berada di bawah tanah
yang tak memungkinkan ada udara segar masuk.
"Akan ku coba menggunakan ilmu 'Mengolah
Udara Memperpanjang Usia'…" kata Suropati kepada
dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat, Suropati bingung. Dia tak
tahu cara menggunakan ilmu pernapasan yang baru
didapat dari Setan Ceriwis itu. Tapi setelah memutar
otak, Suropati mengalirkan sebagian tenaga dalam ke
rongga dadanya. Untuk menghemat udara, dia berna-
pas dengan menghirup udara yang telah dikeluarkan
lewat mulut. Luar biasa! Dada Suropati tak sesak lagi.
Bahkan, dia pun dapat bernapas dengan leluasa!
Dengan mengerahkan ilmu 'Pemisah Tanah Pe-
nyatu Bumi' dan 'Mengolah Udara Memperpanjang
Usia', Suropati terus melangkah lurus ke depan. Tidak
turun ataupun naik, menuruti petunjuk yang diberi-
kan Setan Ceriwis.
Kini yang menghalang di depan Suropati tak lagi
berupa dinding keras yang berupa batu kapur, melain-
kan tanah lembek dan sedikit berair. Dengan menggu-
nakan ilmu 'Mata Awas' ajaran Mendiang Periang Ber-
tangan Lembut, Suropati berusaha melihat ke depan.
Dan, terkejutlah remaja tampan ini. Samar-samar dili-
hatnya dua sosok tubuh yang tengah tergeletak di da-
lam ruangan bawah tanah.
"Hmmm.... Agaknya, kedua orang itu tengah dis-
ekap. Aku harus menolong mereka. Kemungkinan besar memang inilah maksud Setan Ceriwis yang menyu-
ruhku untuk berjalan lurus menembus tanah...."
***
Peramal Buntung dan Dewa Tikus yang sudah
berada di ambang pintu maut, terhantam keterkejutan.
Kaget tiada terkira mereka ketika melihat salah satu.
dinding ruangan tiba-tiba jebol, lalu masuk seorang
remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan,
"Tu.... Tuan Mu... da...!" seru Peramal Buntung
tergagap karena kesulitan bernapas.
"Hei! Bukankah kau Kakek Peramal Buntung?"
kejut sosok remaja yang baru muncul. Si Pengemis Bi-
nal Suropati.
"Wa... walau aku tak mengenalmu, tapi aku ta-
hu... kau pasti disuruh Setan Ceriwis...," Dewa Tikus
turut bicara. "Aku adik orang yang menyuruhmu itu.
Cepat... tolong...!"
Pengemis Binal terkejut melihat wujud Dewa Ti-
kus yang benar-benar mirip seekor tikus. Namun meli-
hat kesengsaraan makhluk itu berikut Peramal Bun-
tung yang sulit bernapas, cepat Pengemis Binal berja-
lan ke depan lagi. Kali ini, kakinya melangkah naik un-
tuk membuat jalan menuju dunia bebas....


SELESAI






Share:

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game