..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label MAHESA KELUD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAHESA KELUD. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE KOLAM IBLIS

MAHESA KELUD EPISODE KOLAM IBLIS

 SATU


INI BENAR—BENAR merupakan salu pemandangan yang 

sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Dieng 

sebelah selatan, dibawah udara yang selalu sejuk dalam 

tiupan angin lembut terdapat sebuah lembah yang di-

tumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah 

yang tidak ditumbuhi pepohonan. menghijau pedataran 

rumput. Di ujung timur lembah menjulang tinggi pohon-

pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat pada keting-

gian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan 

pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai. Dari 

induknya di pegunungan Dieng anak sungai ini meng-

alirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat 

sebuah danau berbentuk bulat. 

Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air danau 

itu sebenarnya berwarna biru. Namun pantulan daun-daun 

pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang 

serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa 

cahaya matahari, membuat air danau memiliki belasan 

warna yang indah menakjubkan. 

Bagian tepi danau dilingkari oleh batu-batu besar 

hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu 

hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu 

dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Maka 

banyak yang berpendapat bahwa danau itu bukanlah 

danau ciptaan alam, melainkan dibuat dan dibentuk oleh 

tangan manusia. Dan dulunya mungkin sekali merupakan 

kolam mandi para dewi,permaisuri raja atau para puteri 

cantik jelita. Apalagi di antara bebatuan di sepanjang 

tepian danau tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati 

yang menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang 

berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk 

turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang 

ternyata dalamnya hanya sebatas dada.


Pada malam hari. apalagi ketika saat bulan purnama, 

pemandangan di atas kolam dan sekitarnya sungguh 

sangat menakjubkan. Sangat cocok untuk tempat 

pasangan yang sedang berkasih-kasihan memadu asmara. 

Namun adalah sulit dipercaya kalau di balik semua 

keindahan menakjubkan dan kesejukan yang menyegarkan 

tersembunyi malepetaka ganas mengerikan yang berakhir 

hanya pada satu titik, yakni titik kematian! 

Saat itu memasuki bulan ke dua musim panas. Sejak 

lama hujan tak pernah turun. Tanam-tanaman mulai ke-

keringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur 

banyak yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar 

mulai susut airnya. 

Adalah aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti 

tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Dieng di 

mana terletak kolam yang dikitari pemandangan indah itu. 

Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang 

sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau. 

Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, 

dan tiupan angin tetap lembut menyegarkan. Karenanya 

tidak mengherankan kalau Tumenggung Singaranu yang 

dalam perjalanan kembali ke Surakarta menghentikan rom-

bongannya di lereng lembah, memandang ke bawah 

dengan penuh takjub. 

"Taman bidadari atau kolam istana raja-rajakah yang di 

bawah sana...?" ujar sang tumenggung seraya turun dari 

kudanya yang keletihan. "Tapi aneh, tak ada rumah tak ada 

bangunan. Siapa gerangan pemilik kolam bulat itu. 

Mustahil terpelihara begitu bersih dan bagus kalau tak ada 

yang merawatnya..." 

Tumenggung Singaranu berpaling pada lelaki bermisai 

lebat di sampingnya dan berkata, "Seharian penuh kita 

menempuh jalan sulit penuh debu di bawah terik matahari. 

Saatnya untuk beristirahat Bagaimana kalau kita turun ke 

bawah lembah?" 

Parangwulung, lelaki bermisai lebat mengangguk dan 

menjawab hormat, "Saya hanya mengikut saja


Tumenggung." 

Maka Tumenggung Singaranu mendahului rombongan 

yang terdiri dari sembilan orang itu menuruni lembah, 

melangkahi di antara pohon-pohon bunga, berlari-lari kecil 

di atas pedataran rumput yang menurun. 

"Parangwulung," kata Singaranu sambil membelai-belai 

sekuntum bunga, "Aapakah kau melihat keanehan di 

tempat ini?" 

Lelaki berkumis tebal yang merupakan kepala 

pengawal sang tumenggung memandang berkeliling, 

coba menerka apa jawab yang harus diberikannya. 

Akhirnya dia menggeleng. "Saya tidak melihat keanehan 

apa-apa, Tumenggung," katanya. 

Sang tumenggung tersenyum. "Rupanya kau hanya ter-

pesona melihat keindahan alam yang terhampar di depan 

mata saja. Tidak berusaha menyimak bagaimana ke-

indahan ini bisa tercipta." 

"Saya tidak mengerti maksud Tumenggung," jawab 

Parangwulung terus terang. 

Sambil melangkah menuruni pedataran rumput hijau 

Tumenggung Singaranu berkata, "Dua hari dua malam kita 

menempuh perjalanan sebelum sampai ke tempat ini. Apa 

yang kita lihat? Bukit bukit dan pedataran tandus. 

Hamparan tanah keras yang pecah-pecah karena sekian 

lama tak tersentuh air. Sawah ladang yang mengering. Para 

petani yang dirundung kesusahan. Tapi di sini! Kau 

saksikan sendiri. Segalanya serba menghijau. Bahkan air 

sungai pun mengalir seolah-olah mata airnya tak ter-

pengaruh oleh musim panas. Lihat bunga-bunga itu. Lihat 

rerumputan yang kita pijak. Lembah ini benar-benar luar 

biasa. Bukankah ini satu keanehan?" 

Parangwulung manggut-manggut berulang kali. Baru 

dia mengerti apa maksud kata kata sang tumenggung tadi. 

Rombongan sampai di tepi kolam. Tumenggung Singaranu 

tegak di atas sebuah batu besar sementara para peng-

ikutnya duduk di batu-batu lain keletihan. Semua me-

mandang ke dalam kolam yang airnya tampak berwarna


warni. Dalam warna-warni itu kejernihannya memungkin-

kan mata melihat dasar kolam yang tidak seberapa dalam. 

Kesejukan menyelubungi diri setiap orang yang me-

mandang air kolam itu. Apalagi saat itu angin bertiup 

Iembut, menambah sejuk tenteramnya perasaan di tempat 

itu. Hasrat setiap anggota rombongan untuk ingin 

menceburkan tubuh ke dalam kolam itu seolah tak ter-

tahankan. Hanya saja mereka tidak berani melakukan 

karena takut terhadap sang tumenggung. 

Singaranu berjongkok di atas batu. Dicelupkannya 

tangan kirinya ka dalam air kolam. Terasa kesejukan men-

jalar sampi ke lengannya. Dicelupkannya sekali lagi tangan 

kirinya, lalu tangan yang basah itu diusapkannya ke 

mukanya yang penuh debu. 

"Ah.... benar-benar segar," kata sang tumenggung. "Aku 

ingin mandi di kolam ini!" 

"Kami akan menunggu sampai Tumenggung selesai 

mandi." kata Parangwulung. "Sementara itu biar anak-anak 

beristirahat...." Kepala pengawal ini lalu memberi tahu 

pada anak buahnya bahwa Tumenggung hendak mandi di 

kolam. Mereka boleh beristirahat agak jenuh dan tepi 

kolam karena tak pantas memperhatikan atasan mereka 

sedang mandi. Parangwulung sendiri pergi duduk di bawah 

sebatang pohon rindang. Pedang besarnya ditanggalkan 

dari pinggang dan diletakkan di atas pangkuan. Hembusan 

angin sejuk membuat ke dua matanya terkantuk-kantuk. Di 

seberang sana tampak Tumenggung Singaranu menanggal-

kan pakaian luarnya, meletakkan topi tingginya di atas 

batu lalu terdengar suara air berdebur tanda sang 

tumenggung sudah melompat masuk ke dalam kolam yang 

berair jernih dan sejuk itu. 

Tapi, tak sampai sepuluh hitungan sejak Tumenggung 

Singaranu masuk ke dalam kolam, mendadak terdengar 

suara jeritan sang tumenggung. Panjang dan berulang kali! 

Parangwulung dan anak buahnya melompat dari 

tempat masing masing. Langsung menghambur ke tepi 

kolam! Apa yang mereka saksikan kemudian membuat


tengkuk masing-masing merinding dan muka pucat pasi 

seperti kain kafan! 

Di sana! Di dalam kolam itu mereka menyaksikan 

ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan berwarna hitam 

sebesar empu jari kaki, bertebar berkerumun mengge-

rogoti tubuh Tumenggung Singaranu. Dalam waktu sangat 

cepat seluruh daging di tubuh sang tumenggung, mulai dari 

kepala sampai ke kaki, licin tandas tak bersisa lagi. 

Termasuk isi perut dan dadanya. Sosok tubuh itu kini 

hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong dengan 

sedikit sisa-sisa rambut pada batok tengkorak kepalanya! 

Parangwulung dan tujuh anak buahnya sampai ter-

lompat mundur menyaksikan kejadian yang sangat 

mengerikan itu. Saking ngerinya mereka hampir-hampir tak 

berani melihat. Untuk melakukan usaha pertolongan pun 

saat itu tidak terpikirkan lagi. Malah ketika mereka melirik 

ke tengah kolam, sosok tubuh Tumenggung Singaranu 

telah lenyap. Yang ada hanya jerangkong terapung-apung 

dan air kolam tampak ke merah-merahan oleh darah! 

*** 

Kita kembali pada beberapa saat sewaktu rombongan 

Tumenggung Singaranu sampai di atas lembah. Di balik 

deretan batu-batu besar di bagian timur kolam di mana 

tumbuh rapat pohon-pohon besar berdaun rimbun, sulit 

terlihat oleh siapa pun yang berada di sekotar kolam, 

tampak duduk menjelepok di tanah dua orang kakek ber-

pakaian dan bertingkah laku aneh. 

Keduanya berwajah lonjong berkepala botak plontos. 

Mata dan pipi cekung sedang mulut tak lagi ditumbuhi gigi 

alias ompong, tanda usia keduanya su dah sangat lanjut. 

Kakek yang duduk di sebelah kiri hanya mengenakan 

sehelai celana kolor putih yang sudah bulukan dan dekil 

apak. Matanya sebelah kanan picak sedang tulang kakinya 

melengkung hingga kalau dia berdiri kedua kaki itu hampir 

membentuk huruf O.


Kakek ke dua yang menjelepok di sebelah kanan, juga 

memiliki mata buta alias picak, tapi kalau kawannya di 

sebelah kanan maka dia picak di sebelah kiri. Tubuhnya 

kurus kerempeng hanya tertutup oleh sehelai cawat hitam. 

Di dagunya ada sebuah tahi lalat besar yang ditumbuhi 

rambut panjang. 

Dua kakek aneh itu asyik bercakap-cakap sambil 

sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang mereka 

bicarakan. Tiba-tiba Picak Kiri, begitu nama kakek yang 

matanya picak di sebelah kiri, menggamit lutut temannya 

dan letakkan jari di atas mulut. 

"Ada apa...?" bertanya kakek yang digamit. Namanya 

Picak Kanan. 

"Lihat ke atas lembah sana. Ada orang datang ...." si 

Picak Kiri menunjuk ke arah kejauhan, ke atas lembah. 

Kawannya memandang ke tempat yang ditunjuk. 

Saat itu kelihatan serombongan orang berkuda ber-

henti di atas lembah, memandang ke bawah. 

"Yang paling depan berpakaian bagus. Pakai topi 

tinggi... Pasti orang terkemuka. Kalau bukan bangsawan 

kaya mungkin orang dalam keraton" 

Picak Kanan mengangguk "Delapan orang lainnya itu 

tentu pengiring-pengiringnya. Lihat, mereka turun dari 

kuda. Yang berpakaian bagus mulai menuruni lembah 

"Yang lain lainnya juga mengikuti. Nan .... nah .. . nah! 

Ada rejeki besar buat kita hari ini rupanya!" kata Picak Kiri. 

"Perlahan bicaramu! Jangan sampai mereka men-

dengar!" memperingatkan si Picak Kanan. Lalu dia meng-

garuk-garuk perutnya yang gatal. 

Orang-orang yang mendatangi lembah itu bukan lain 

adalah rombongan Tumenggung Singaranu yang dalam 

perjalanan kembali ke Surakarta, berhenti di lembah 

karena terpesona akan keindahan pemandangan dan 

kesejukan di tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat 

sebuah kolam berair jernih di dasar lembah. 

Ketika Tumenggung Singaranu menyentuh air kolam 

yang sejuk dengan tangan kirinya lalu membasahi muka


nya yang berdebu dengan air kolam itu, si Picak Kiri ber-

bisik, "Aku yakin orang berpakaian bagus itu pasti akan 

masuk mandi ke dalam kolam kita. Peralatanmu sudah 

siap...?" 

"Sudah," jawab si Picak Kanan. "Tanganku sudah gatal 

untuk mendorong rotan itu...." 

Kedua kakek itu, sambil memperhatikan gerakan 

rombongan Tumenggung Singaranu, keduanya beringsut 

mendekati semak belukar pendek di antara dua batang 

pohon besar. 

"Dugaanku tepat! Lihat! Orang itu membuka pa-

kaiannya!" kata si Picak Kiri ketika terlihat Tumenggung 

Singaranu mulai menanggalkan pakaian sementara para 

pengiringnya bertebar beristirahat tak berapa jauh dari tepi 

kolam. 

Picak Kanan segera memasukkan tangan kanannya ke 

dalam semak belukar sampai dia menyentuh ujung dari 

sebuah tali rotan sepanjang tiga tombak yang berhubungan 

dengan sebuah terowongan berair di bawah tanah yang 

berbatu-batu. Ujung lain dari tali rotan itu melekat pada 

sebuah lempengan tembaga tebal dan berat yang 

merupakan sekat atau pintu penutup mulut terowongan 

berair. 

Picak Kanan tertawa mengekeh tapi tanpa suara ketika 

dia melihat Tumenggung Singaranu memasukkan kedua 

kakinya ke dalam air kolam. Kawannya si Picak Kiri tampak 

berkomat-kamit dan basahi bibir dengan ujung lidah ber-

ulang kali. 

Terdengar suara air kolam berdebur ketika tubuh sang 

tumenggung masuk sampai sebatas dadanya yang berbulu. 

"Sekarang Picak... Sekarang!" bisik Picak Kiri ketika 

Tumenggung Singaranu bergerak ke bagian tengah kolam. 

Picak Kanan dorong ujung tali rotan yang sejak tadi di 

pegangnya. Tembaga tebal dan berat penutup mulut 

terowongan air terdorong ke depan dan membuka lebar. 

Dari mulut terowongan yang terbuka itu, yang ternyata ber-

hubungan dengan bagian bawah kolam, menderulah


ratusan bahkan ribuan ekor ikan aneh berwarna hitam. 

Berbentuk segitiga dengan mulut terbuka lebar memper-

lihatkan gigi-giginya yang runcing seperti mata gergaji yang 

luar biasa tajamnya! 

Ribuan ikan ini menyerbu kaki, perut dan dada 

Tumenggung Singaranu hingga orang ini terlonjak ke-

sakitan, menjerit dan menggapai-gapai, berusaha melari-

kan diri ke tepi kolam. Tapi terlambatl Cepat sekali ribuan 

mulut gergaji itu melumat sekujur tubuhnya. Ketika sang 

tumenggung roboh tergelimpang ke dalam air kolam, maka 

leher, muka dan kepalanya pun jadi santapan ikan-ikan 

hitam itu. 

"Bagus...! Bagus...! Ikan peliharaan kita memang 

hebat!" Si Picak Kiri tertawa mengekeh tanpa suara. 

Kawannya si Picak Kanan juga tampak senang dan 

ikut-ikutan tertawa. "Tidak percuma kuberi nama ikan-ikan 

Iblis Prahara! Jangankan manusia! Kuda pun akan di-

santapnya dalam sekejapan mata!" 

Di dalam kolam sosok tubuh Tumenggung Singaranu 

yang malang telah lenyap. Yang tampak kini hanyaIah 

tulang belulang atau jerangkong berselimut air dan darah, 

mengapung mengerikan. Delapan orang pengiringnya ter-

tegun menggigil di tepi kolam, memandang dengan muka 

pucat pasti dan mata membeliak. 

"Picak Kanan, lekas kau masukkan ikan-ikan itu. 

Jangan sampai orang-orang itu tahu jelas apa yang terjadi. 

Ayo cepat!" Si Picak Kiri berbisik. 

Picak Kanan goyang-goyangkan ujung rotan yang di-

pegangnya. Dari atas terowongan berjatuhan benda-benda 

halus seperti pasir yang memancarkan warna putih ber-

kilat-kilat. Kilatan benda-benda halus ini menarik perhatian 

ribuah ikan hitam segitiga. Mereka segera melesat masuk 

ke dalam terowongan. Setelah tak seekor pun yang ter-

tinggal di dalam kolam. Picak Kanan menarik ujung rotan. 

Lempengan tembaga tebal dan berat ikut tertarik dan 

menutup rapat-rapat mulut terowongan! 

Picak Kanan gosok-gosok kedua telapak tangannya


dengan sukacita. Kawannya tak henti-hentinya menepuk 

bahunya dan berbisik: "Bagus! Permainan kita sudah 

selesai. Atau mungkin ada lagi dari orang-orang itu yang 

mau mencebur masuk ke dalam kolam kita?" 

Kedua kakek aneh menunggu. Tapi tak ada seorang 

pun yang masuk ke dalam kolam itu. Bahkan ketakutan 

membuat mereka sama sekali tidak berusaha mengambil 

atau menarik sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang 

kini telah berubah menjadi jerangkong tulang belulang itu. 

Parangwulung lari paling dulu menuju ke atas lembah 

diikuti oleh tujuh anak buahnya. Seperti dikejar setan 

mereka melompat ke atas punggung kuda masing-masing, 

lalu menghambur meninggalkan tempat itu tanpa berani 

menoleh ke belakang! 

***


DUA



KUDA PUTIH besar tinggi dan gagah itu berhenti di 

depan sebuah surau kecil di puncak bukit. Meski 

baru saja menempuh perjalanan jauh dan sulit di 

dalam musim kemarau yang membara tetapi binatang yang 

jinak ini tidak kelihatan letih. Ekornya yang panjang tebal di 

kibas-kibaskan. Sikapnya tetap tegak dengan gagah 

sampai tuannya—seorang pemuda berpakaian putih yang 

duduk menunggangnya—turun dari punggungnya. Setelah 

si pemuda turun baru kuda putih ini melangkah 

menghampiri rumput liar di bawah sebatang pohon nangka 

hutan. 

Pemuda berpakaian putih tadi mencuci kaki dan 

tangannya di sebuah pancuran di samping surau lalu 

mengambil air wudhu. Setelah itu dia masuk ke dalam 

surau berlantai papan. 

Kiai Kali Mutu tengah khusuk bersembahyang lohor. 

Pemuda tadi bardiri di samping sang kiai, agak ke balakang 

sadikit. lalu ikut sambahyang dan menjadikan orang tua itu 

sebagai imam. Sesaat setelah si orang tua mengucap 

salam dan diikuti oleh si pemuda, keduanya membaca doa 

dan berzikir. 

Begitu zikir selesai pemuda tadi beringsut mendekat 

Kiai Kali Mutu seraya memberi salam dan berkata, "Guru 

murid sudah kembali..." Lalu diambilnya tangan kanan 

orang tua itu, disalami dan diciumnya. 

Kiai Kali Mutu tersenyum gembira dan tepuk bahu 

muridnya dengan tangan kiri. 

"Aku bersyukur kepada Tuhan kau telah kembali 

dengan selamat, Panji," kata Kiai Kali Mutu. "Sebelum ke 

mari apakah kau ada menziarahi makam kakekku di desa 

Kadilangu?" 

"Saya tidak lupa hal itu, guru. Saya ada menziarahi 

makam Sunan," sahut si pemuda yang bernama Panji.


"Bagus. Kau memang murid yang tahu berbakti." 

"Apakah selama ini guru ada baik-baik dan sehat-

sehat?" 

"Ah... orang setuaku ini bagaimana bisa selalu sehat. 

Kadang-kadang kena angin sedikit saja terus menang atau 

batuk-batuk. Tapi syukurlah semua penyakit itu tidak 

kerasan mendekam dalam tubuh rongsokan ini. Cepat 

datang cepat pula perginya. Muridku, satu tahun kulepas, 

pengalaman apa saja yang telah kau dapati... ?" 

"Banyak guru. Saya kira-kira dapat menarik satu 

kesimpulan." 

"Kesimpulan apa?" tanya Kiai Kali Mutu. 

"Ternyata dunia kita ini masih banyak didiami oleh 

manusia-manusia jahat. Mulai dari bangsa maling dan 

rampok yang berbuat kejahatan secara terang terangan, 

sampai pada para penguasa yang berbuat kejahatan 

secara tersamar..." 

Kiai Kali Mutu tertawa. 

"Itulah hidup di dunia, muridku," katanya. "Sepanjang 

umur dunia manusia jahat dan kejahatan tidak akan 

pernah lenyap. Hanya cara mereka melaku kan kejahatan 

berbeda-beda. Satu hal jangan kau lupakan Panji. Segala 

pelajaran dan ilmu yang kuberikan padamu justru adalah 

untuk mengikis kejahatan itu. Kenapa kukatakan me-

ngikis? Karena kita orang-orang yang berusaha di jalan 

yang benar hanya merupakan segelintir kecil saja dari satu 

kekuatan melawan kejahatan. Ketahuilah kejahatan itu 

banyak temannya sedang kebenaran banyak musuhnya. 

Karena itulah kau kusuruh kembali ke mari untuk menggali 

lebih banyak ilmu. Jika kau rajin mungkin hanya enam 

bulan saja kau sudah boleh pergi lagi..." 

"Saya akan mengikuti segala petunjuk guru dan berjanji 

rajin belajar..." kata Panji. 

Sang kiai menepuk bahu muridnya kembali. "Aku 

senang mendengar kata-katamu itu. Apakah Panah Putih 

tidak banyak bertingkah selama berkelana bersamamu?" 

"Dia kuda yang baik guru. Saya suka padanya. Kalau


saya boleh bertanya apakah adik Sri Magaresmi sudah 

kembali?" 

"Kau tahu adikmu itu gadis bandel. Waktu kusuruh dia 

mengelana satu tahun, dia minta diberikan waktu tiga 

lahun. Akhirnya seielah berdebat panjang pendek. 

kusetujui dua tahun. Berarti baru tahun dapan dia muncul 

di sini." 

Kiai Kali Mutu meIihat ada bayangan rasa cam as di 

wajah Panji. Maka diapun barkata, "Kau tak usah kawatir, 

muridku. Ilmu kepandaian yang dimilikinya cukup dapat 

diandalkan untuk menjaga diri. Asal saja dia jangan suka 

nakal dan jahil. Lagi pula dia pergi dengan menyamar 

seperti lelaki. Kalau pun kau bar sua dengannya, mungkin 

kau tak akan menganali itu adalah adik kandungmu sendiri 

Mendengar penjelasan gutunya itu puaslah hati Panji. 

"Waktu berjalan cepat. Panji. Waktu tak pernah me-

nunggu kita. Besok selesai sembahyang subuh kita mulai. 

Partama sekali kau harus memperlihatkan padaku saluruh 

jurus-jurus silat yang telah kau miliki. Jika ada kekurangan-

kekurangan harus diperbaiki dulu, Setelah itu akan kucoba 

pukulan-pukulan yang mengandung tenaga putih. Lalu 

menguji kecepatan gerakmu. Satelah itu baru mulai 

dengan pelajaran baru. Jika apa yang kini kau miliki benar-

benar sudah mantap, aku hanya akan menitik beratkan 

pelajaran pada latihan menghimpun dan melepas tenaga 

dalam. Apakah kau siap besok subuh?" 

"Saya siap guru. Sekarang izinkan saya member, 

minum Panah Putih dulu." 

Kiai Kali Mutu mengangguk. Begitu muridnya leyap di 

pintu surau, dia pun bangkit berdiri dan mengerjakan 

sembahyang sunat. 

*** 

PICAK KANAN menguap lebar-lebar lalu menyeka mata 

kirinya yang berair. 

"Sial benar nasib kita kali ini. Hampir sebulan lebih tak


ada seorang pun yang lewat di sini. Ke mana semua 

manusia di kolong langit ini....?!" 

Picak Kiri yang duduk bersandar di batang pohon 

sambil mencabuti janggutnya memandang ke atas lembah 

lalu berkata, "Yang aku kawatirkan adalah jangan-jangan 

telah tersiar kabar di luaran bahwa kolam kita ini 

merupakan kolam maut. Hingga tak ada yang berani lewat 

apalagi datang dekat dekat ke mari." 

"Kekawatiranmu itu beralasan juga," ujar Picak Kanan 

dengan wajah gundah sambil usap-usap kepalanya yang 

botak plontos. Sesaat kemudian dia bangkit berdiri seraya 

memegang-megang perutnya yang kempis. "Aku lapar. 

Lebih baik kita cari makanan dulu, baru memikirkan lagi 

korban-korban baru." 

Mjalas-malasan Picak Kiri bangkit pula dari duduknya, 

tapi cepat sekali dia tundukkan badannya di balik semak 

belukar, malah bergerak berlindung ke balik pohon besar. 

"Kenapa kau?" tanya Picak Kanan melihat gerak-gerik 

kawannya yang aneh itu. 

"Sttt... Kau lihat ke atas sana. Ada serombongan orang 

muncul. Seperti serombongan pasukan. Kelihatannya 

seperti orang-orang Kerajaan dari timur 

Picak Kiri menyibak semak belukar dan memandang ke 

atas lembah. Apa yang dikatakan kawannya memang 

benar. Di atas sana kelihatan serombongan orang berkuda 

berhenti di bibir lembah. Semuanya menunggang kuda. 

Kira-kira dua puluh berpakaian prajurit lengkap dengan 

senjata di pinggangnya. Lalu ada dua orang tua berpakaian 

seperti orang persilatan. Di antara ke dua orang tua ini 

kelihatan seorang lelaki baya bermisai tebal. Di depan 

orang bermisai ada seorang penunggang kuda berpakaian 

perwira kerajaan. Lalu ada tujuh orang berpakaian 

seragam pengawal, tapi tidak seperti pakaian yang di-

kenakan dua puluh perajurit pertama 

Ketika melihat lelaki bermisai itu, Picak Kanan berbisik 

pada kawannya, "Aku ingat betul! Lelaki berkumis lebat itu, 

bukankah dia orang yang mengawal lelaki berpakaian


bagus yang mampus di kolam kita tempo hari?" 

Picak Kiri buka mata kanannya lebar lebar dan otaknya 

coba mengingat ingat. 

"Kau betul. Aku ingat. Dia yang kabur paling dulu. Hik... 

hik... . . . hik. Aku ingat. Memang dia!" 

"Hus! Jangan tertawa keras-keras. Lihat, rombongan itu 

mulai menuruni lembah. Mereka menuju kemari! Apakah 

letak persembunyian kita ini sudah aman?" 

"Jangan kawatir! Setan mata sepuluhpun tak bakal 

tahu kalau kita ada di sini!" jawab Picak Kiri. "Kelihatannya 

rombongan ini seperti hendak melakukan penyelidikan. 

Kita harus hati-hati, Picak Kanan. Lelaki berkumis itu 

kelihatan tidak bergerak bebas. Dua orang tua itu seperti 

selalu mengapitnya.... Dan kau lihat. Dua puluh perajurit 

menuruni lembah sambil menyebar... Tujuh orang lainnya... 

Ah aku ingat sekarang! Tujuh orang itu adalah orang-orang 

yang mengawal lelaki berpakaian bagus dulu! Ada apa ini 

sebenarnya!" 

Saat itu memang rombongan yang barusan datang 

tampak menuruni lembah. Lelaki berkumis yang bukan lain 

adalah Parangwulung menunggangi kuda diapit oleh dua 

orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di sebelah 

depan memimpin orang bertubuh tegap, berseragam 

perwira kerajaan. Dia menunggangi kudanya dengan mata 

tak berkesip memandang ke arah kolam yang airnya 

tampak berwarna-warni. Di belakang keempat orang ini, 

bergerak tujuh orang anak buah Parangwulung, lalu di 

sebelah belakang sekali dua puluh perajurit menuruni 

lembah dengan sikap penuh waspada, menebar 

memanjang. Rombongan itu sampai di depan kolam. Orang 

barpakaian parwira berpaling pada Parangwulung dan 

bertanya, "Jadi inilah kolam yang kau katakan sebagai 

tampat Tumenggung Singaranu menemui ajalnya dengan 

cara aneh!" 

"Betul sekali Kebo Alit ...." jawab Parangwulung. 

"Kolam begini bagus. Berair jernih. Di lembah yang 

berpemandangan luar biasa indah. Bagaimana seseorang


bisa menemui kematian di sini...?" kata sang perwira yang 

bernama Kebo Alit sambil geleng-geleng kepala. "Katamu 

kau menyaksikan ada ikan ikan hitam yang ribuan 

banyaknya menyambar tubuh Tumenggung. Lalu sebentar 

saja tubuh itu hanya tinggal tulang belulang. Tapi aku tidak 

malihat sisa-sisa jenasah Tumenggung di sini..." 

"Mungkin sekali sudah dimakan atau dilarikan binatang 

hutan," jawab Parangwulung. 

"Bisa jadi!" ujar sang perwira pula sambil usap-usap 

dagunya. "Tapi aku pun tidak melihat ikan-ikan hitam itu di 

dalam kolam yang dasarnya jelas tampak dari sini. Atau 

mungkin mataku buta...? Paman Randu Wungu dan paman 

Randu Ireng, apakah kau melihat ada ikan atau binatang 

lain dalam kolam ini?!" 

Dua orang tua yang mengapit Parangwulung sama-

sama menggelengkan kepala Parangwulung tampak pucat 

parasnya. 

Kabo Alit mangusap-usap kuduk kudanya lalu berkata, 

"Aku akan mengitari kolam ini. Menyelidik, kalau-kalau ada 

petunjuk yang dapat menunjang keteranganmu. Kalian 

semua tunggu di sini... !" 

Lalu dengan menunggang kuda perwira itu mengitari 

kolam sambil menunggang kudanya perlahan-Iahan. Tak 

selang berapa lama dia sampai di tempat rombongan 

berhenti, langsung berkata, "Tak ada satu pun yang ku-

temui. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak ada ikan di 

dalam kolam, tak ada jga binatang lain. Bagaimana kami 

bisa mempercayai keteranganmu tentang kematian 

Tumenggung Singaranu itu, Parangwulung!" 

"Sudah kukatakan berulang kali. Kebo Alit! Aku berani 

bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan 

dusta! Tumenggung Singaranu menemui kamatiannya di 

kolam ini. Ketika handak mandi! Diserbu oleh ribuan ikan-

ikan hitam! Tujuh pengawal itu ikut menyaksikan! Kami 

kemudian melarikan diri ketakutan ketika melihat sosok 

tubuh Tumenggung Singaranu hanya tinggal jerangkong 

dan tengkorak belaka!"

.


"Parangwulung! Kau tahu apa hukuman bagi seorang 

bawahan yang membunuh atasannya hanya untuk merebut 

kedudukan atasan! Kau terlalu bodoh! Sekalipun 

Tumenggung menemui kematian secara wajar, kedudukan 

itu tak bakal diberikan padamu! Kau hanya seorang kepala 

pengawal yang tidak layak menduduki jabatan 

Tumenggung! Apalagi sangat besar kecurigaan bahwa kau-

lah yang talah membunuh Tumenggung Singaranu lalu 

mengarang cerita yang tidak masuk akal!" 

"Aku bersumpah! Aku tidak membunuh Tumenggung 

Singaranu! Aku tidak mengarang cerita! Tujuh perajurit itu 

melihat dengan mata kepala mereka sendiril" 

Kebo Alit memandang pada tujuh orang bawahan 

Parangwulung dan bertanya, "Benar kalian melihat sendiri 

Tumenggung Singaranu menemui ajal dimakan ikan di 

dalam kolam yang berair sejuk ini?!" 

Tujuh orang perajurit itu serentak menggelengkan 

kepala. Dua orang diantara mereka membuka mulut: 

"Parangwulung yang membunuh Tumenggung! Mayatnya 

dibuang ke dalam hutan sana. Dan kami disuruhnya untuk 

ikut berserikat memberi keterangan palsu!" 

Berubahlah paras Parangwulung. Tiba-tiba dia ber-

teriak, "Manusia-manusta pengkhianat! Kalian tahu apa 

yang terjadi! Kini kalian berani bicara dustal" 

Tubuh Parangwulugng melesat dari punggung kudanya. 

Salah satu perajurit yang tadi membuka mulut dihantam-

nya dengan tendangan kaki kanan hingga terjengkang dan 

roboh pingsan dekat bebatuan di tepi kolam. Ketika dia 

hendak mengamuk menghajar bawahannya yang lain, 

Randu Wungu dan Randu Ireng cepat melompat turun dari 

kuda masmg-masing dan berusaha menangkap Parang-

wulung. Melihat orang merintangi amukannya Parang-

wulung berteriak marah. 

"Aku lebih baik mati mengadu jiwa dengan kalian 

daripada mati difitnah!" 

Sebagai orang yang dipercayakan menjadi kepala 

pengawal Tumenggung Singaranu semasa hidupnya tentu


saja Parangwulung memiliki kepandaian silat yang dapat 

diandalkan. Gebrakan-gebrakan kilatnya yang dilandasi 

hawa amarah membuat dua orang tua yang diserangnya 

terpaksa menyingkir. Ketika Kebo Alit mendorong 

punggungnya dengan tumit hingga dia hampir jatuh ter-

jerembab, Parangwulung segera hunus pedang besarnya. 

Sekali membabat pedang itu hampir saja membacok putus 

kaki kanan Kebo Alit. Untuk selamatkan kakinya perwira ini 

jatuhkan diri dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah 

dia langsung kirimkan satu jotosan ke dada Parangwulung. 

Tapi yang diserang cepat menerpa dengan senjatanya 

hingga Kebo Alit dengan geram terpaksa tarik pulang 

tangannya dan melompat mundur! Dengan pedang di 

tangan memang sulit bagi Kebo Alit untuk menghadapi 

lawan karena tingkat kepandaian mereka memang hampir 

sejajar. 

Tetapi lain haInya dengan dua orang tua itu. Baik 

Randu Wungu maupun Randu Ireng sama-sama memiliki 

kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari Parangwulung. 

Sehingga sekalipun Parangwulung memegang pedang di 

tangan, setelah menyerang gencar dan beringas, empat 

jurus kemudian dua orang tua ini berhasil melumpuhkan 

Parangwulung dengan satu totokan. Dalam keadaan tak 

berdaya lagi sementara pedangnya jatuh tergeletak di atas 

rumput, kedua orang tua itu membawa kepala pengawal itu 

ke tepi kolam. 

Di sini Randu Wungu berkata, "Parangwulung, harap 

maafkan kami berdua! Walau kita bersahabat tetapi 

sebagai hamba kerajaan kami tunduk akan perintah yang 

diberikan oleh mapatih kerajaan. Jika kolam ini memang 

ada ikan ganas seperti katamu mari sama-sama kita 

buktikan!" 

Lalu kedua orang itu melemparkan tubuh Parang-

wulung ke dalam kolam. Parangwulung berteriak 

ketakutan. Tubuhnya jatuh duduk di dasar kolam. Karena 

kedua kaki dan tangannya lumpuh akibat totokan, dia tak 

sanggup berdiri dan megap-megap dalam air. Dia yakin


seperti apa yang disaksikannya terjadi atas diri 

Tumenggung Singaranu, sebentar lagi akan menimpa diri-

nya. Ribuan ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-gigi 

yang runcing seperti gergaji akan menyerbu dan melumat 

seluruh daging yang membalut tubuh dan kepalanya. 

Tetapi sampai sekian lama menunggu tak seekor ikan pun 

muncul. Dalam keadaan lemas hampir pingsan Randu 

Wulung dan Randu Ireng mengangkat Parangwulung ke 

luar dari dalam kolam lalu melepas totokannya. 

Begitu totokannya lepas langsung dia telungkupkan 

badan hingga air kolam yang banyak terminum keluar 

kembali. 

Kebo Alit melangkah rnendekatmya dan berkata, "Kau 

saksikan sendiri Parang! Kolam itu tak ada makhluk apa 

apanya! Apa itu tidak cukup bukti atas kedustaanmu...?!" 

Parangwulung yang tidak berdaya karena masih sangat 

lemas tak bisa menjawab apa apa. Dia hanya memandang 

dengan mata merah melotot pada Kebo Alit ketika perwira 

ini memberi perintah pada dua orang perajurit untuk 

mengikat dua pergelangan tangan serta bahunya. 

"Parang! Kau telah membuktikan kedustaanmu sendiri! 

Atas nama mapatih kerajaan, kau kami tangkap dan 

dibawa kembali ke Kotaraja!" 

Parangwulung diangkat dan didudukkan di punggung 

Kuda. 

Ketika rombongan itu meninggalkan lembah, Picak Kiri 

berpaling pada Picak Kanan dengan wajah menunjukkan 

rasa kesal. 

"Kenapa tidak kau lepaskan ikan-ikan Iblis Prahara 

itu?!" 

"Aku tak merasa perlu meskipun sudah sekian lama tak 

ada yang dapat dijadikan mangsa ikan-ikanku!" 

"Gila! Kenapa tidak merasa perlu?!" si Picak Kiri jadi 

sewot. 

"Kau yang gila!" balas menyemprot Picak Kanan. 

Kedua kakek aneh itu serantak sama sama berdiri, 

hampir beradu hidung dan sama-sama kepalkan tangan.


"Kau berani memaki aku gila?!" sentak Picak Kiri. 

"Kau yang duluan mengatakan aku gila!" balas 

menyentak Picak Kanan. 

"Kau memang gila! Apa kau tidak menyadari akibatnya 

jika ikan-ikan itu kulepas?! Mereka akan melihat dan tahu 

di kolam ini benar-benar ada ikan iblis itu! Dan mereka 

akan menghancurkan tempat ini. Lalu apa lagi permainan 

kita?!" 

Picak Kanan terdiam. Amarahnya surut. Perlahan-lahan 

dia kembali duduk menjelepok di tanah. Tapi bangun lagi 

ketika ingat akan perutnya yang lapar lalu mengajak 

kawannya mancari makanan. 

***


TIGA


PEMUDA bertubuh ramping itu memacu kuda iiitamnya di 

kaki pegunungan Dieng menuju ke arah timur. Kulitnya 

yang putih tampak kemerah-merahan oleh teriknya sinar 

matahari. Sambil menunggang kuda kedua matanya 

memandang kian kemari menehti keadaan di sekelilingnya. 

Ke mana pun mata memandang yang dilihatnya hanya 

pedataran atau bukit tandus, atau pohon-pohon yang 

mengering dedaunannya. 

Bosan menempuh pedataran garsang sejajar kaki 

pegunungan, pemuda ini membelokkan kudanya menuju 

ke sebuah bukit. 

"Kudaku, kau tentu haus. Siapa tahu di puncak bukit 

sana kita bakal menemukan mata air," kata si pemuda 

pada kuda tunggangannya sambil mengelus-elus tengkuk 

binatang itu. 

Seperti mengerti akan ucapan tuannya. kuda hitam itu 

kedap-kedipkan kedua matanya dan mem percepat larinya 

menuju bukit. Pada saat baru saja mencapai lereng. dari 

atas bukit si pemuda melihat serombongan orang berkuda 

menuruni bukit, tepat mengarah ke jurusannya. 

Meskipun lereng bukit itu cukup luas dan sebenarnya si 

pemuda bisa menghindar agar tidak berpapasan langsung 

dengan rombongan yang turun, namun nyatanya pemuda 

ini tak mau melakukan hal itu. Dia terus mendaki bukit, 

menyongsong arus rombongan di depannya. Baru sejarak 

dua puluh tombak dari orang-orang itu dia hentikan 

kudanya dan menunggu sambil memandang tajam-tajam 

ke depan. Makin dekat ke arahnya makin dapat dilihatnya 

siapa-siapa para penunggang kuda itu. 

Di sebelah depan adalah seorang lelaki separuh baya 

berpakaian perwira kerajaan. Di belakangnya menyusul 

tiga penunggang kuda. Yang dua orang berusia lanjut,


mengenakan pakaian seperti orang-orang dari rimba 

persilatan. Keduanya menunggang kuda mengapit seorang 

lelaki berkumis tebal. Ada keanehan pada lelaki berkumis 

ini yang membuat si pemuda memperhatikannya dengan 

seksama. Dia mengenakan pakaian perajurit kepala yang 

basah kuyup dan kedua tangannya berada di depan perut 

dalam keadaan terikat. Di belakang tiga orang ini tampak 

lebih dari dua puluh perajurit, bergerak dalam posisi 

demikian rupa seperti mengawal orang-orang yang ada di 

sebelah depan mereka. 

Melihat ada penunggang kuda yang sengaja berhenti di 

arah jalan yang mereka lalui, lelaki berpa kaian perwira 

angkat tangannya memberi tanda. Maka seluruh 

rombongan pun berhenti. Perwira itu yang bukan lain 

adalah Kebo Alit mendekati si pemuda dan berhenti 

sejarak empat langkah. lalu menegur. 

"Orang muda, kau seperti sengaja menghadang per-

jalanan kami!" 

Pemuda itu menatap wajah sang perwira sesaat 

dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab, 

"Aku tak merasa menghadang siapa-siapa. Lereng bukit ini 

cukup luas dan aku berhenti di sini tanpa mengandung 

maksud apa apa ..." 

"Begitu? Kalau demikian menyingkirlah. Kami akan 

lewat!" 

"Sekali lagi kukatakan, lereng bukit ini cukup luas. 

Mengapa aku harus menyingkir?!" 

"Hemm... Pemuda ini mungkin bebal atau keras 

kepala!" kata Kebo Alit dalam hati. Sementara itu Randu 

Wungu dan Randu Ireng memperhatikan si pemuda 

dengan perasaan jengkel sedang Parangwulung yang 

dalam keadaan seperti itu hanya tundukkan kepala, 

merasa tak ada perlunya dia memperhatikan siapa adanya 

orang di hadapan rombongan. 

"Anak muda! Jadi kau tidak mau menyingkir memberi 

jalan?!" tanya Kebo Alit. Suaranya bernada memperingat-

kan, bahkan mengancam.


"Kenapa aku harus menyingkir atau memberi jalan? 

Aku tidak menghadang siapa-siapa di tempat ini. Jika kau 

dan rombonganmu ingin lewat silahkan. Berbelok ke kiri 

atau mengambil jalan di sebelah kanan. Terus juga boleh 

asalkan jangan menabrakku!" 

Kebo Alit jadi penasaran. "Kau tidak tahu kalau kami 

rombongan kerajaan?!" 

"Dari pakaian kalian tadi-tadi pun aku sudah tahu 

kalian rombongan atau pasukan kerajaan. Tapi apa 

sangkut pautnya diriku dengan siapa pun adanya kalian?!" 

Untuk pertama kalinya Parangwulung mengangkat 

kepala memperhatikan orang di depannya. Ketika 

dilihatnya orang itu adalah seorang pemuda berparas 

cakap, berkulit putih dan bertubuh ramping maka dia pun 

berkata, "Anak muda, kau menghindarlah. Beri jalan. Biar 

lebih cepat aku sampai di Kotaraja dan menerima 

hukuman!" 

"Ah, rupanya kau seorang tawanan!" ujar si pemuda 

pula sambil meneliti dari kepala sampai ke kaki 

Parangwulung. "Tetapi kau tawanan yang aneh! Kau 

mengenakan pakaian perajurit tingkat tinggi. Pakaianmu 

basah kuyup!" 

"Siapa dia dan apa yang terjadi dengan dirinya bukan 

urusanmu!" membentak Kebo Alit. "Kalau kau tak lekas 

menyingkir, para perajuritku akan kuperintahkan untuk 

menindakmu!" 

"Sungguh malang nasibku! Tak bersalah apa-apa mau 

ditindak perajurit kerajaan!" sahut si pemuda pula dengan 

nada mengejek. Lalu dia berpaling pada Parangwulung. 

"Aku kasihan melihatmu! Sudah basah kuyup dan harus 

menunggang kuda dengan tangan terikat. Sekali kau 

kehilangan keseimbangan kau akan terjungkal jatuh dan 

lehermu bisa patah, kau bisa mati konyol!" 

"Mati konyol jatuh dari atas kuda lebih baik baginya 

daripada mati di tiang gantungan!" tukas Kebo Alit. 

"Oh, dia mau digantung! Apa sih salahnya?!" bertanya si 

pemuda.


Sampai di situ Randu Wungu tak dapat menahan rasa 

kesalnya. Dia berkata, "Kebon Alit! Kenapa menghabiskan 

waktu melayani pemuda tidak beres itu?!" 

Dikatakan tidak beres membuat si pemuda jadi gusar 

dan balik memaki, "Kalianlah orang-orang yang tidak beres! 

Meributkan soal jalan! Membawa tawanan seenaknya!" 

Randu Wungu geleng-geleng kepala. "Kebo, pemuda ini 

pantas diberi pelajaran sopan-satun. Perintahkan 

perajurit-perajuritmu untuk mengajarnya!" 

Kebo Alit yang memang sejak tadi menahan marah, 

mendengar ucapan Randu Wungu itu segera berikan 

isyarat, pada lima orang perajurit. Lalu pada anggota 

rombongan yang lain dia memberi aba-aba untuk meng-

ikutinya meneruskan perjalanan dengan menyibak ke kiri. 

Tetapi baru beberapa langkah kuda-kuda mereka ber-

gerak, di sebelah belakang terdengar suara gedebak-

gedebuk disertai pekik-pekik kesakitan. Ketika berpaling, 

kagetlah Kebo Alit dan yang lain-lainnya. Lima perajurit 

yang tadi diperintahkan menghajar si pemuda kini 

kelihatan berkaparan di tanah, merintih kesakitan! 

"Hemmm......!" menggumam Randu Ireng. "Rupanya ada 

sedikit ilmu yang diandalkan makanya dia bersikap pongah 

dan bertindak kurang ajar!" Orang tua ini majukan kudanya 

mendekati si pemuda. "Apa hubunganmu dengan Parang-

wulung tawanan ini! Katakan!" 

"Aku tak punya hubungan apa-apa!" 

"Kalau tak ada hubungan berarti kau memang sengaja 

menjadi lantaran!" Randu Ireng lalu kibaskan lengan baju 

tangan panjangnya sebelah kiri. 

Angin keras menggebu menghantam ke arah si 

pemuda. Meskipun kaget dan tak mengira orang tua itu 

dapat lepaskan pukulan tangan kosong yang hebat, namun 

si pemuda tidak mau tunjukkan sikap terkejut. 

"Orang tua! Kau sendiri rupanya sengaja obral 

kepandaian!" teriak si pemuda lalu gebrak pinggul kuda 

hitamnya. Binatang ini melompat ke samping tapi ber-

samaan dengan itu dia hantamkan kaki kiri belakangnya


ke arah kuda lawan. Tendangan kaki kuda yang keras ini 

mendarat tepat dilutut kuda yang ditunggangi Randu Ireng. 

Kraak!!! 

Kaki kuda itu patah. Binatang ini meringkik. Tubuhnya 

langsung terjerambab ke depan, melemparkan pe-

nunggangnya. Sambil bersuit nyaring Randu Ireng jungkir 

balik di udara. Sebelum kedua kakinya menjejak tanah dia 

kembali lepaskan pukulan tangan kosong. Kali ini dengan 

tangan kiri. Namun seperti tadi, si pemuda kembali meng-

gebrak tubuh kudanya, binatang ini melompat jauh hingga 

serangan Randu Ireng hanya mengenai tempat kosong! 

Randu Wungu terkesima, diam-diam merasa kagum 

juga melihat kelincahan pemuda itu namun hatinya men-

jadi penasaran karena saudaranya seolah-olah dipermain-

kan. 

Randu Ireng sendiri malu bukan main. Di hadapan 

sekian banyak mata perajurit dan perwira kerajaan, bahkan 

di depan hidung Parangwulung yang menjadi tawanan, 

dirinya seperti orang yang baru belajar silat saja. Dua kali 

menyerang dua kali gagaI. MaIah kudanya dibuat patah 

kaki dan dia terpaksa tunggang-langgang berjumpalitan 

agar tidak melosoh jatuh ke tanah! 

Ketika Randu Ireng hendak menyerbu kembali, Randu 

Wungu berseru, "Tunggu dulu Ireng! Aku perlu bertanya 

dengan pemuda ini! Jangan-jangan dia kaki tangan orang-

orang Pajang. Bukan mustahil dia kemari tidak seorang 

diri!" 

Pemuda berkuda hitam yang dituduh kaki tangan 

orang-orang Pajang itu tertawa. "Kau bisa saja mengada-

ada! Orang tua, orang yang jatuh dari kuda itu pasti 

saudaramu. Cara kalian berpakaian sama dan tampang 

kalian juga mirip satu sama lain! Melihat bagaimana dia 

hendak mengobral kepandaian tapi hampir celaka sendiri, 

jelas dia bukan tandinganku!" 

"Pemuda lancang! Kau hendak merendahkan Randu 

Ireng tokoh pengawal Keraton Surakarta?!" Yang 

membentak adalah Kebo Alit.


"Siapa dia aku tidak perduli!" menyahuti pemuda itu 

dengan beraninya "Jika ada tokoh pengawal istana yang 

kepandaiannya seperti dia, tidak dapat menahan amarah 

dan bertindak seenaknya saja, wah! Istana bisa kebobolan. 

Kalau aku jadi raja kalian, orang seperti dia tak akan 

kupakail" 

Paras Randu Ireng mengelam sampai ke telinga. Darah-

nya mendidih. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat 

penghinaan demikian rupa. Dan oleh seorang pemuda tak 

dikenal pulal 

Kebo Alit memajukan kudanya beberapa langkah lalu 

menunjuk tepat-tepat si pemuda, "Mulutmu kotor kurang 

ajar! Kau sangat berani menghina kami orang-orang 

Keraton! Kau terpaksa kutangkap seat ini juga!" Habis 

berkata begitu Kebo Alit merangsak ke depan tapi si 

pemuda dapat berkelit ke samping seraya berseru. 

"Perwira! Tahan dulu! Bagaimana kalau kita membuat 

taruhan!" 

"Taruhan kepala bapak moyangmu!" bentak Kebo Alit 

seraya menerjang ke depan. 

Tapi seat itu Randu Wungu menyela: "Kebo Alit! Biarkan 

saja! Aku ingin tahu apa taruhannya! Orang muda sombong 

jelaskan maksudmu'" 

"Terima kasih kau mau memberi kesempatan," ucap si 

pemuda seraya menjura ke arah Randu Wungu. Sikapnya 

dirasakan bukan seperti penghormatan tapi lebih banyak 

merupakan satu ejekan! "Begini, jika perwira kerajaan ini 

sanggup menangkapku dalam waktu lima jurus per-

kelahian, aku akan serahkan diri dan bersedia dijadikan 

tawanan seperti lelaki bermisai itu! Tetapi, jika lima jurus 

dia tak berhasil menangkapku maka kalian harus mem-

bebaskan tawanan itu! Bagaimana .... ?!" 

Randu Wungu terkesiap. Randu Ireng menggeram. 

Sementara puluhan perajurit melongo di atas kuda masing-

masing. Ucapan si pemuda itu benar-benar merupakan 

tantangan gila! Dalam marahnya Kebo Alit menjawab. 

"Setuju! Jika lima jurus kau tak berhasil kutangkap,


tawanan ini akan kami bebaskan! Tapi jika dalam lima 

jurus kau dapat kulumpuhkan, maka kau harus serahkan 

kepalamu pada aku! Akan kupancung di tempat ini juga!" 

Semula semua orang akan menyangka si pemuda 

menjadi ciut nyalinya ditantang begitu rupa. Tapi! Malah dia 

terdengar menjawab, "Setuju! Kepalaku atau kebebasan 

tawanan itu!" 

Parangwulung yang masih berada dalam keadaan ter-

ikat di atas kudanya sampai ternganga tak percaya. 

"Pemuda tak dikenal itu mengapa mau korbankan nyawa 

untuk diriku yang tak punya hubungan apa-apa, bahkan 

kenal pun tidak. "Terlalu cerobohl Terlalu ceroboh!" kata 

Parangwulung berulang kali. Kebo Alit bukan perwira 

sembarangan. Tingkat kepandaiannya hampir sejajar 

dengan dua tokoh silat istana yaitu Randu Ireng dan Randu 

Wungu. 

"Perwira, kau ingin berkelahi di atas kuda atau 

samasama turun ke tanah?!" si pemuda bertanya. 

menantang menyepelekan lagi sikapnya! 

Dari apa yang dilakukan terhadap kuda tunggang-n 

Randu Ireng. Kebo Alit maklum kalau kuda hitam 

tunggangan si pemuda buka kuda sembarangan. 

Menyadari hal ini maka dia tak mau melakukan per-

kelahian di atas kuda. Kebo Alit langsung melompat ke 

tanah. Gerakannya cepat dan enteng. Si pemuda pun 

melakukan hal yang sama. Turun dari punggung kudanya, 

tapi sikapnya jelas dibuat-buat yaitu berpagut pada leher 

kudanya, melosoh ke tanah seperti anak kecil yang 

ketakutan atau gampang turun dari tempat tinggi! Begitu 

sampai di tanah pemuda ini usap-usap kedua telapak 

tangannya satu sama lain dan bertanya, "Perwira, kau ingin 

berkelahi dengan tangan kosong atau pakai senjata?" 

"Untuk meringkus tikus busuk sepertimu perlu apa 

pakai senjata! Sebaliknya kalau kau punya senjata silah-

kan keluarkan!" sahut Kebo Alit semakin mendidih amarah-

nya. 

"Kalau begitu aku pun akan melayanimu dengan


tangan kosong. Ingat lima jurus! Nah silahkan mulai 

perwira!" 

Baru saja si pemuda selesai mengucapkan kata kau itu 

Kebo Alit sudah melompat menerjang dan buk! Buk! 

Jotosan kiri kanan perwira itu bersarang di perut dan 

pertengahan dada si pemuda, membuatnya terpental dua 

langkah dan jatuh duduk di tanah! 

"Nah... nah.... nah!" Randu Wungu buka suara. "Belum 

lima jurus kau sudah roboh! Ternyata kemampuanmu tidak 

sesuai dengan kecongkakan dan mulut besarmu!" 

Serangan Kebo Alit tadi memang luar biasa cepatnya 

dan tidak terduga oleh si pemuda. Dia sengaja terus ber-

sikap dan mengeluarkan kata-kata mengejek untuk me-

mancing kemarahan orang. Namun karena bertindak 

sedikit lengah maka ketika dua pukulan Kebo Alit meng-

hantam dia tak sempat berkelit dan hanya mampu mem-

bentengi dada dan perutnya dengan tenaga dalam. Meski-

pun begitu tetap saja pemuda ini merasakan dada dan 

perutnya sakit bukan main. Tapi dasar bandel, sambil 

menahan sakit dia cepat berdiri dan berkata, "Cuma dua 

pukulan anak kecil, seperti digelitik! Meskipun aku jatuh 

tapi bukan di situ letak perjanjian kita! Aku belum kalah! 

Dia belum melumpuhkan apa lagi menangkapku!" 

Apa yang dikatakan si pemuda memang benar. Ke-

nyataan dan lagi lagi ucapan serta sikap mengeiek ini 

membuat Kebo Alit kembali terbakar amarahnya. Dia yakin 

pemuda itu cidera di dalam akibat dua jotosannya tadi, 

namun diam-diam dia merasa heran bagaimana pemuda 

ini masih bisa bangkit berdiri dan seperti tidak mengalami 

apa-apa. 

"Pemuda sombong! Ini jurus kedua!" teriak Kebo Alit. 

Perwira ini kembali menyerbu. Seperti tadi kedua tangan-

nya menjotos dan lagi lagi satu mengarah perut satu 

mengarah dada. Ketika lawan bersiap menangkis, men-

dadak dua serangan berupa jotosan itu ditarik pulang dan 

kini kaki kanan Kebo Alit yang melesat ke dada lawan! 

"Hebat!" Seru si pemuda memuji.


Tubuhnya melesat ke atas setinggi satu tombak, tangan 

kanannya terkembang dan menepis betis Kebo Alit. 

Gerakan menepis ini tampak perlahan saja bahkan ketika 

balik telapak tangannya menyen tuh betis sang perwira 

sama sekali tidak terdengar suara beradunya betis dengan 

tangan. Namun Kebo Alit merasakan kaki kanannya ter-

dorong keras ke kiri. Akibatnya kaki kiri yang menjadi 

tumpuan kuda-kuda ikut berputar ke kiri. Di saat yang 

sama tangan kiri lawan tiba tiba menderu dengan pinggiran 

tangan membabat laksana sebilah pedang. Kebo Alit cepat 

rundukkan kepala. Kepalanya selamat tapi dia masih 

kurang cepat. Topi tingginya yang berwarna hitam kena 

dibabat tangan si pemuda, mental tercampak jauh. Ketika 

Randu Ireng dan Randu Wungu melihat topi yang jatuh itu 

kagetlah keduanya. Topi hitam sang perwira ternyata telah 

terpotong dua! Tabasan tangan pemuda itu setajam 

pedang! Kebo Alit sendiri tampak berubah parasnya. Dapat 

diba-yangkan kalau tepi telapak tangan itu tadi tepat 

menghantam muka atau batok kepalanya! 

"Jurus ketiga!" teriak Kebo Alit yang tak mau menunggu 

lebih lama. Dia bergerak memutari lawan. Si pemuda 

mengikuti arah putaran hingga Kebo Alit selalu ber ada di 

depan ny a. Tiba tiba Kebo Alit merubah arah gerakannya. 

Kalau tadi dari kiri ke kanan maka kini dan kanan ke kin. 

Perubahan gerakan yang mendadak ini membuat si 

pemuda sesaat berada pada jurusan menyamping. Di 

kejap inilah Kebo Alit masuk menyusupkan jotosan tangan 

kanan ke pelipis si pemuda. 

Di pihak lain, meskipun kedudukannya tidak tepat 

menghadapi lawan namun sudut mata si pemuda cukup 

jeli melihat datangnya serangan. Tubuhnya dilontarkan ke 

belakang seperti sebatang pohon tumbang. Tapi ber-

samaan dengan itu tangan kanannya membabat ke atas 

yaitu ke arah pinggang sang perwira. Kebo Alit tadi telah 

melihat kehebatan pukulan tepi telapak tangan si pemuda. 

Tak mau mencari celaka dia terpaksa batalkan jotosannya 

dan tangan kanannya kini dipergunakan untuk menyapu


lengan lawan. Maka beradunya dua lengan tak dapat 

dihindarkan lagi! 

Buk! 

Pemuda itu terbanting ka tanah. Lengan kanannya 

tampak merah kebiruan. Sebaliknya Kebo Alit... Tampak 

kesakitan dan ketika memeriksa lengannya ternyata 

lengan itu pun tampak merah dan bengkak. Tapi dia tak 

perdulikan. Lawan yang jatuh tertelentang merupakan 

makanan empuk baginya. Cepat dia melompat dan 

hunjamkan tumitnya ke parut Si pemuda. Tapi si pemuda 

lebih cepat berguling jauhkan diri hingga kaki kanan Kebo 

Alit menghantam tanah dan tanah itu tampak melesak 

sampai setengah jengkall Dengan demikian jurus ke tiga 

dan keempat berlalu sudah. Kini masuk jurus ke lima yang 

merupakan jurus terakhir. 

Kebo Alit sadar betapa malunya dia kalau sampai 

dalam jurus kelima tidak dapat meringkus atau melumpuh-

kan lawannya. Apalagi itu akan berarti dia harus mem-

bebaskan Parangwulung yang menjadi tawanannya. Gila! 

Bagaimana dia sampai mau menerima pertaruhan gila itu! 

Tak ada jalan lain. Dia harus menghantam habis lawannya 

pada jurus kelima ini. 

Pemuda berpakaian putih itu tampak tegak seenaknya 

tapi sambil usap-usap lengan kanannya pertanda bahwa 

bentrokan pukulan tadi betapa pun kuatnya dia telah men-

datangkan rasa sakit pada daging dan tulang lengannya. 

"Jika kau mau menyerah aku akan memperingan 

hukuman yang bakal dijatuhkan terhadapmu!" tiba-tiba 

Kebo Alit berkata sambil menggeser kakinya beberapa 

langkah mendekati lawan. 

Si pemuda menyeringai dan menjawab, "Bukan begitu 

taruhan kita!" Agaknya pemuda ini sudah mencium adanya 

rasa kekawatiran dalam diri sang perwira. 

"Rupanya kau memang minta digebuk dan ingin diseret 

jadi tawanan!" Kebo Alit menggeram. Tubuhnya mem-

bungkuk memasang kuda-kuda rendah. Lawannya tegak 

tak bergerak.


"Hiaatt!" Kebon Alit berteriak dan dari jarak empat 

langkah dia lepaskan pukulan tangan kosong. Sebelum 

angin pukulan sampai di jarak sasaran satu kali lagi ter-

dengar suara teriakan perwira itu lalu tubuhnya tampak 

mencelat ke udara, jungkir balik. Gerakannya sangat cepat 

sekali. Ketika tubuhnya melayang turun tahu tahu dia 

sudah berada di belakang lawan dan langsung menerkam 

leher pemuda itu dengan kedua tangannya yang kuat dan 

besar. 

"Hek!" suara tercekik keluar dari tenggorokan si 

pemuda. Tak dapat tidak tamatlah perlawanan pemuda itu 

seat itu juga apalagi jelas napasnya mulai menyengal. 

"Mampus!" teriak Kebo Alit seraya melipatgandakan 

cekikan mautnya. Tapi perwira ini lupa menjaga jarak. Saat 

itu dia berada terlalu dekat dengan tubuh lawannya. Ketika 

si pemuda tiba-tiba menghantamkan siku tangan kanannya 

ke belakang, Kebo Alit tak sempat berkelit. Siku lawan 

melabrak lambungnya. Pada saat dia menggeliat kesakitan 

lawan rundukkan kepala lalu secepat kilat tangannya 

bergerak ke belakang menjambak rambut Kebo Alit. Begitu 

rambut sang perwira terjambak maka pemuda itu mem-

buat gerakan setengah berputar yang mengakibatkan 

cekikan kedua tangan Kebo Alit tetlepas dan di lain detik 

tubuhnya terlontar ke atas lalu brukk! Kebo Alit terbanting 

keras ke tanah. Dia tidak pingsan tapi sekujur tubuhnya 

sebelah belakang terase seperti remuk. Untuk beberapa 

saat dia terkapar dan menggigit bibir agar tidak keluarkan 

suara keluhan kesakitan! 

Pemuda bertubuh ramping berkulit putih memandang 

berkeliling sambil usut-usut lehernya yang tampak 

kemerah-merahan akibat cekikan Kebo Alit tadi. Lalu dia 

menarik napas dalam beberapa kali. Di dapannya sang 

perwira tampak berusaha ban gun dengan susah payah. 

"Kau kalah taruhan. Sudah saatnya membebaskan 

tawanan itu!" kata si pemuda pula. Dia melangkah men-

dekati Parangwulugng yang sampai saat itu berada di atas 

punggung kuda dan terikat kedua pergelangan tangannya.


Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara Kebo Alit 

memberi perintah, "Tangkap pemuda itu!" 

Hampir selusin perajurit mengurung dengan cepat. 

Randu Ireng dan Randu Wungu sesaat tampak ragu-ragu. 

Tapi ketika Kebo Alit mereka lihat memimpin para 

bawahannya itu maka kedua tokoh silat itu pun ikut me-

lakukan pengurungan untuk menangkap si pemuda. Yang 

dikurung tampak terheran-heran karena tidak menyangka 

hal itu. Jika semua orang yang ada di situ benar-benar 

hendak menangkapnya, dia bakal mendapat kesulitan. 

Walaupun begitu tak sedikit pun ada beyangan rasa takut 

di wajahnya yang polos. Cepat sakali dia melompat ka kin, 

menggebuk seorang perajurit tardekat lalu merampas 

pedangnya. Dengan senjata rampasan di tangan dia tegak 

tak bergerak, menunggu serbuan para pengeroyok. 

"Kalau tak bisa ditangkap hidup-hidup, dibunuh pun tak 

jadi apa!' teriak Kebo Alit. Lalu dia mendahului menyerang. 

Saat itu mendadak terdengar suara membentak. 

"Kalian orang-orang kerajaan curang semual" 

***


EMPAT


SUARA bentakan itu demikian keras dan membahana 

hingga menggetarkan seantero bukit tandus dan 

membuat semua orang hentikan gerakan. Semua 

berpaling ke arah kiri, dari mana tadi datangnya suara 

membentak. Namun aneh, tak seorang pun tampak di 

jurusan itu! Padahal suara bentakan tadi begitu keras 

nyaring tanda siapapun yang mengeluarkan bentakan pasti 

berada dekat dari situ. 

Randu Ireng yang berada, di bawah pohon kering me-

lambaikan tangannya pada Randu Wungu, memberi isyarat 

bahwa suara bentakan itu tadi datang dari arah belakang-

nya. Randu Wungu menyelidik ke jurusan yang dikatakan 

saudaranya, tetap saja dia tak dapat melihat siapa-siapa. 

Dia memandang lagi berkeliling. Aneh, di bukit tandus 

begini rupa, yang hanya ditumbuhi pohon-pohon berdaun 

kering tak mungkin si pembentak dapat sembunyikan diri. 

Randu Wungu sesaat saling pandang dengan Kebo Alit. 

Keduanya saling mendekati. 

"Apa pendapatmu?" bisik Randu Wungu. 

"Begini, aku dan yang Iain-Iain meneruskan membekuk 

pemuda itu. Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika ada yang 

muncul dan bermaksud membantu pemuda itu kau harus 

menghalangi dan menghajarnya. Mengerti...?" 

Randu Wungu tak begitu senang diperintah seperti itu. 

Bagaimanapun dia seorang perwira. Namun karena diapun 

ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang berteriak 

tadi maka diapun anggukkan kepala menyetujui. 

Kebo Alit kembali memimpin perajurit-perajurit itu 

mengurung dan menyerbu si pemuda. 

"Benar-benar pengecut!" suara yang tadi membentak 

kembali terdengar. Bersamaan dengan itu sebuah benda 

panjang tampak melayang di udara disertai suara jeritan.


Benda panjang ini jatuh tepat di atas kepala Kebo Alit. 

Sang perwira hantamkan tangannya untuk memukul 

namun cepat menarik pulang pukulannya ketika menyadari 

benda yang jatuh itu bukan lain adalah sosok tubuh Randu 

Ireng. Orang tua ini menjerit kesakitan ketika tubuhnya ter-

hempas di tanah lalu pingsan tak berkutik lagi. 

Gemparlah semua orang yang ada di situ. Randu 

Wungu lari ke balik pohon di mana sebelumnya saudaranya 

menggeletak. Namun dia tidak menemukan apa-apa di 

situ, apalagi melihat seseorang. Dia mendongak ke atas 

pohon. Tetap saja tidak menemukan siapa-siapa. 

Dengan perasaan sangat tidak enak dia segera men-

dekati Kebo Alit dan berkata perlahan. "Jangan-jangan 

tempat ini ada dedemitnya. Ingat keterangan Parang-

wulung tentang ikan-ikan aneh yang menggerogoti daging 

Tumenggung Singaranu ..." 

"Aku tidak begitu percaya pada segala tahyul seperti 

itu," sahut Kebo Alit. "Mana ada dedemit yang sanggup 

melemparkan tubuh Randu Ireng begitu rupa. Besar 

kemungkinan ada seorang berkepandaian tinggi di sekitar 

tempat ini. Mungkin kawan pemuda keparat itu... " 

"Menurutku baiknya kita pergi saja dari sini. Biarkan 

pemuda itu tapi Parangwulung tetap harus dibawa ke 

kotaraja sebagai tawanan!" 

"Aku setuju," sahut Kebo Alit yang memang sudah me-

lihat dan mendapat firasat tidak enak. Cepat-cepat dia 

memberi isyarat pada semua orang untuk naik ke kuda 

masing-masing. Dia dan Randu Wungu membantu Randu 

Ireng naik ke atas seekor kuda cadangan, lalu mengapit 

Parangwulung. 

"Hai! Kalian mau ke mana?!" seru pemuda berpakaian 

putih ketika melihat rombongan itu siap untuk pergi. 

"Kemana kami mau pergi perduli setan!" bentak 

Kebo Alit. "Tidak kami cincang kau juga sudah untung!" 

"Kalian boleh pergi tapi sesuai perjanjian kalian tidak 

boleh membawa tawanan itu. Dia harus dibebaskan!" 

Yang berkata ini bukanlah si pemuda, tapi orang yang


tadi membentak. Suaranya datang dari satu tempat yang 

sulit untuk dijajagi! 

"Keparat!" kertak Kebo Alit marah sekali. "Kau hanya 

berani bermulut besar tapi takut unjukkan muka!" 

"Mukaku tidak penting bagi kalian! Tapi aku lebih 

penting mengingatkan agar kalian membebaskan tawanan 

itu!" terdengar suara jawaban. 

"Apakah kau tahu kalau tawanan ini telah membunuh 

Tumenggung Singaranu? Dia layak dihukum gantung!" 

"Layak kalau dia memang bersalah! Apakah kalian 

telah membuktikan kesalahannya?!" tanya suara tadi pula. 

"Soal bukti membuktikan bukan urusanmu dedemit 

pengecut!" yang berteriak adalah Randu Wungu. 

Orang yang tak kelihatan keluarkan suara tawa 

panjang. 

"Randu Wungu! Sebagai tokoh tertinggi di keraton 

Surakarta kau harus tahu bagaimana mengatur dan men-

jatuhkan hukum. Ternyata kau lebih banyak menurutkan 

hawa amarah dari pada bertindak bijak. " 

Paras Randu Wungu menjadi berubah. Ternyata orang 

yang bicara tanpa memperlihatkan ujud itu mengetahui 

nama dan siapa dia adanya. Sementara pemuda bertubuh 

ramping berkulit putih diam-diam juga jadi terheran heran 

dan berusaha menduga-duga siapa adanya orang yang 

bicara tanpa memperlihatkan muka itu. Gurunya? Pasti 

tidak. Dia kenal betul suara gurunya. 

"Orang-orang kerajaan!" terdengar kembali suara tanpa 

ujud tadi. "Aku akan menunggu sampai tiga daun kering 

pohon di sebelah kanan kalian melayang ke tanah. Jika 

sampai saat ketiga daun kering itu menyentuh tanah kalian 

masih belum membebaskan tawanan. salah satu dari 

kalian bertiga akan kujadikan tawanan pengganti!" 

Kebo Alit, Randu Wungu saling pandang. Sedang Randu 

Ireng masih melingkar pingsan di atas kuda. Tiba-tiba 

semua orang di tempat itu mendengar suara angin men-

desir. Memandang ke atas pohon di samping kanan 

mereka mereka melihat tiga daun kering melayang jatuh.


Beberapa saat kemudian daun pertama yang menyentuh 

tanah. Menyusul daun kedua, terakhir sekali daun ketiga! 

"Kebo Alit," kata Randu Wungu. "Kita benar-benar ber-

hadapan dengan dedemit! Sebaiknya lekas pergi dari sini. 

Tinggalkan saja Parangwulung. Aku akan membuat laporan 

pada Mahapatih seolah-olah orang ini terbunuh karena 

melakukan perlawanan. Habis perkara..." Lalu Randu 

Wungu menggerakkan kudanya sambil menarik tali kekang 

kuda yang membawa sosok tubuh Randu Ireng. 

"Keparat sialan!" maki Kebo Alit. "Kalaupun kita ter-

paksa meninggalkannya, dia harus mampus lebih dulu!" 

Lalu perwira ini cabut kerisnya dan hunjamkan ke dada 

Parangwulung. 

Di saat itu tiga helai daun kering yang tadi berguguran 

jatuh secara aneh ke tanah, tiba-tiba terangkat dari tanah 

lalu melesat laksana panah ke arah Kebo Alit. Daun 

pertama menghantam tangan kanannya yang memegang 

keris. Gagang daun yang kering menancap di dagingnya 

membuat perwira ini kesakitan dan lepaskan keris. Daun 

kedua memukul telinganya hingga merah lecet. Sesaat 

Kebo Alit merasakan telinganya berdengug dan tuli. Daun 

ketiga menyerempet alis matanya sebelah kiri hingga 

menimbulkan luka tersayat dan mengucurkan darah. 

Nyali perwira kerajaan itu menjadi lumer. Lebih-lebih 

ketika diketahuinya dia hanya tinggal seorang diri di tempat 

itu. Yang Iain-Iain telah pergi meninggalkannya. Kebo Alit 

cepat pungut kerisnya yang jatuh, menyeka darah yang 

mengucuri alisnya lalu melompat ke atas punggung 

kudanya dan membedal binatang itu secepat yang bisa 

dilakukannya. Tinggal kini Parangwulung yang duduk 

bingung serta heran di atas punggung kudanya. 

"Anak muda, terima kasih kau telah menolongku..." 

"Bukan aku yang menolongmu. Ada seorang lain yang 

kepandalannya sangat tinggi. Tapi dia malu-malu mem-

perlihatkan wajahnya Mungkin wajahnya jelek sekali!" 

sahut si pemuda lalu tolong membukaa tali yang mengikat 

pergelangan tangan Parangwulung. "Kau boleh pergi


sekarang!" kata si pemuda. 

"Ya, aku akan pergi. Tapi tak tahu akan pergi ke mana. 

Jelas tak mungkm ke kotaraja. Mereka akan menangkapku 

kembali. Tapi anak dan istriku berada di sana. Ah. 

bagaimana ini..." Parangwulung benar benar bingung. 

Namun akhirnya dia meninggalkan tapat itu setelah sekali 

lagi mengucapkan tenma kasih dan si pemuda tetap 

menolak bahwa bukan dialah yang telah menolong lelaki 

itu. 

Sesaat setelah Parangwulung lenyap dari kejauhan, 

pemuda itu memandang berkeliling. Lalu dia menjentikkan 

tangan memanggil kuda hitamnya. Ketika binatang ini 

hendak ditungganginya mendadak terdengar lagi suara 

tanpa u)ud itu. 

"Anak muda! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara 

denganmu!" 

Si pemuda memandang lagi berkeliling. "Hmm..." 

gumamnya "Kukira kau pun sudah pergi. Ternyata masih 

nongkrong di sini. Orang pandai kenapa kau tidak mau 

menunjukkan diri?l" 

"Sejak tadi aku ada di dekatmu. apa kau tidak melihat? 

Atau matamu mungkin lamur?" Suara itu datang dari 

sebelah kiri Si pemuda berpaling. Astaga! Di sampingnya 

saat itu memang berdiri sesosok tubuh serba putih Mulai 

dari pakaiannya yang berbentuk jubah lebih dalam sampai 

ke rambut, alis, janggut dan kumisnya. Di atas bahu orang 

tua ini tampak duduk enak-enakan seekor anak rusa 

"Hah... orang tua, kau ini setan atau malaikat? Bicara 

tak kelihatan, tahu-tahu ada di depan hidungku!" kata si 

pemuda pula. Sebelum yang ditanya menjawab dia kembali 

memberondong. "Kaukah tadi yang melempar tubuh orang 

tua bernama Randu Ireng itu? Kau juga yang meluruhkan 

tiga daun kering lalu menghantamkannya ke tubuh si 

perwira?" 

Orang tua itu tertawa. "Pertanyaanmu banyak amat 

anak muda. Biar kujawab satu satu. Pertama aku bukan 

setan bukan malaikat. Aku manusia sepertimu, cuma aku


hampir empat kali lipat umurmu. Memang aku yang tadi 

melemparkan sosok tubuh Randu Ireng itu. Juga aku 

mempergunakan tiga helai daun untuk menghantam 

perwira kerajaan itu. Nah semua pertanyaanmu sudah 

kujawab Ada lagi pertanyaan lain . . . ?" 

"Binatang yang di pundak kirimu itu. Kucing apa itu? 

Bentuknya aneh....!" 

Si orang tua tertawa mengekeh. "Seumur hidupmu 

tentu kau belum pernah melihat binatang seperti ini. Ini 

bukan kucing. Tapi seekor anak rusa ..." 

"Apa namanya?" 

"Rusa!" 

"Rusa!" mengulang si pemuda. 

Orang tua itu mengangguk. "Kini giliranku bertanya 

Kenapa kau sengaja menghadang rombongan kerajaan 

tadi. Mengapa kau begitu repot-repot mencampuri urusan 

orang lain dan ingin membebaskan tawanan berkumis itu? 

Lalu siapa namamu, kau berasal dari mana dan mau ke 

mana?" 

"Aih! Pertanyaanmu ternyata banyak amat. Dan dengar, 

aku tak akan menjawab satupun dan pertanyaan itu!" 

Si orang tua kerenyitkan kening lalu tersenyum. "Anak 

muda. ada beberapa hal kulihat pada dirimu yang kurang 

pantas kau miliki..." 

"Hen! Apa?!" si pemuda jadi penasaran dikatakan 

demikian. 

"Pertama, kau termasuk anak jahil yang suka mencari 

tantangan tanpa perduli apakah itu mengganggu orang 

lain..." 

"Tidak bisa!" memotong pemuda itu. 

"Dengar dulu, bicaraku belum selesai. Kedua, kau ter-

masuk orang yang agak keras kepala. Ketiga, sikapmu 

bicara menyatakan bahwa kau kurang mengenal sopan 

santun ..." 

"Orang tua! Kau benar benar menghinaku!" 

"Tidak! Karena tabiat yang kukatakan itu memang 

benar-benar melekat di dirimu. Selain pelajaran silat apa


kah gurumu tak pernah mengajarkan sikap yang baik 

hormat dan bagaimana bicara sopan bagaimana jangan 

sampai usil mengganggu orang?!" 

"Orang tua. sekali lagi kau menyebut-nyebut nama 

guruku, kutampar mulutmu!" 

"Nah... nah... Itu bukti kekurangsopanan dan kekerasan 

kepalamu!" 

Si pemuda hentakkan kaki kanannya ke tanah saking 

marahnya. 

"Kalau kau bukan orang tua, benar benar sudah 

kutampar mulutmu I" 

"Nah, kau menunjukkan tanda-tanda ingin berlaku baik 

Tak jadi menamparku tapi masih memperlihatkan sikap 

kurang ajar!" 

"Orang tua! Aku tak ingin bicara denganmu lagi'" 

Pemuda itu lantas naik ke punggung kudanya. Si orang tua 

cuma tertawa. "Kudaku, ayo jalan!" Si pemuda tepuk 

pinggul kudanya. Tapi binatang itu tak mau jalan. "Hai! Ayo 

jalan Panah Hitam!" seru si pemuda. Tetap saja kudanya 

tak mau jalan, bahkan bergerak sedikitpun tidak. Ada apa 

denganmu sebenarnya?" Si pemuda memeriksa dan 

dapatkan ternyata binatang itu tertegak kaku, entah 

ditotok entah diapakan. "Pasti kau yang melakukannya!" 

uiar si pemuda dengan mata dibesarkan pada orang tua 

ber pakaian putin 

Orang tua itu kembali tertawa. "Anak muda, ketahuilah. 

Kau berjodoh denganku!" 

Mendengar ucapan itu si anak muda melotot besar 

matanya. "Tua bangka gila! Apa katamu! Kupecahkan 

kepalamu!" 

"Eh, kenapa kau marah-marah? Seharusnya kau 

senang!" 

"Tua bangka busuk! Barusan tadi kau mengatakan 

usiamu empat kali umurku! Kini kau mengatakan aku 

berjodoh denganmu. Apa itu namanya bukan gila... !" 

Orang tua berambut putih geleng-geleng kepala "Akhir-

nya kau membuka kedokmu sendiri nak. Sejak tadi aku


sudah tahu kalau kau bukan seorang pemuda..." 

Tiba-tiba saja paras si pemuda meniadi pucat pasi. 

Orang tua di hadapannya kembali berkata, "Kalau aku 

menyebut soal jodoh bukan berarti aku ingin memper-

istrikanmu! Soal jodoh adalah soal jodoh sebagai guru dan 

murid. Kau berjodoh denganku! Kau pantas jadi muridku..." 

"Jadi muridmu? Memangnya apa sih kepandaianmu?!" 

"Nah, keras kepala dan kurang sopanmu kembali. Aku 

tahu kau memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Dan pasti 

saat ini kau tengah mengelana mencari pengalaman. Tapi 

ketahuilah, ilmu itu apa pun adanya tak ada batasnya. 

Semakin dituntut semakin kita ketahui bahwa kita masih 

banyak ketinggalan. Apakah kau tidak ingin belajar bagai-

mana cara meruntuhkan daun dan mempergunakan se-

bagai senjata seperti yang kulakukan tadi...?" 

"Tidak, aku tak perlu ilmu seperti itu?" jawab si 

pemuda. "Dan aku tak sudi bicara denganmu lebih lama!" 

Kembali pemuda itu melompat ke atas kuda nya. Namun 

segera pula disadarinya bahwa binatang itu masih berada 

dalam keadaan kaku tegang. Bagaimanapun dia berusaha 

tetap saja dia tak dapat membuat kudanya mampu ber-

gerak apalagi berjalan. 

"Orang tua! Kalau tidak kau bebaskan kudaku, ku-

patahkan tanganmu. Ternyata kau pun seorang yang jahil!" 

pemuda itu mengancam. 

"Kudamu itu akan bebas dengan sendirinya beberapa 

saat lagi. Dengar, pada permulaan bulan ke tujuh datang-

lah ke tempat kediamanku di selatan. di tepi hutan 

Grinting. Jika kau tidak datang kau akan menyesal seumur 

hidup..." 

Pemuda itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi di-

dapatnya orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Me-

mandang ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada 

jauh di kaki bukit tandus. 

"Ah... dia benar-benar hebat. Ilmunya jelas jauh lebih 

tinggi dari guru..." kata si pemuda dalam hati. Lalu dia 

kembali memeriksa kudanya dan ternyata binatang ini


sudah bisa bergerak kembali. Maka dia pun naik ke 

punggungnya dan memacunya menuju puncak bukit 

tandus. 

***



LIMA



KETIKA sampai di puncak bukit tandus dan me-

mandang ke depan, tercenganglah pemuda pe-

nunggang kuda hitam itu. Dia hampir-hampir tak 

dapat mempercayai pemandangan matanya. Di bawah 

sana terdapat sebuah Iembah yang sebagiannya tertutup 

rumput hijau serta pohon pohon bunga yang sedang mekar 

berwarna-warni. Di sebelah timur ada sungai kecil yang 

airnya mengalir menuju sebuah kolam di pertengahan 

lembah. Koseluruhannya menyajikan satu pemandangan 

yang luar biasa indahnya. 

Bagaimana bisa terjadi bagian bukit yang baru dilewati-

nya berada dalam keadaan tandus kering kerontang 

sedang bagian yang di sini merupakan satu lembah subur 

dengan pemandangan yang sangat menakjubkan. 

"Kudaku, nasib kita hari ini sedang mujur. Lihat, di sana 

ada air dan rumput seger untukmu!" 

Pemuda itu lalu menuruni lembah dengan cepat. 

Sebelum turun dari kudanya dia mengelilingi dulu kolam 

yang airnya tampak berwarna-warni itu, menikmati satu 

keindahan yang belum pernah disaksikannya sebelumnya. 

"Kau minumlah sepuasmu lalu merumput di pedataran 

sana!" kata si pemuda seraya mengucap tengkuk kudanya. 

Lalu turun dan berlari-lari kecil menufu aliran anak sungai. 

Di sini pemuda itu membasahi mukanya laki meneguk air 

segar sepuasnya. Mecmandang Ke kolam dari tempatnya 

duduk, hatinya terdorong untuk membasahi sekujur tubuh-

nya. Tapi ada rasa kawatir. Kalau kalau ada orang lain di 

tempat itu. Dia memandang berkeliling. Meneliti setiap 

sudut lembah dengan seksama. Tak tampak siapa-siapa. 

Perlahan-Iahan dia menuju ka tepi kolam. Dia tidak segera 

masuk ke dalam airn tapi duduk dulu di atas batu batu 

besar dan mencelupkan kedua kakinya yang putih. Terasa 

segar sejuk air kolam itu. Sekali lagi dia memperhatikan


berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di 

tempat itu selain kudanya yang merumput di kejauhan 

maka pemuda ini segera lepaskan pakaian putihnya. 

Terlindung di balik batu batu besar dan batang-batang 

pohon rapat. dua kakek berkepala lonjong dan bermata 

picak tertawa lebar. 

"Sekian minggu menunggu akhirnya datang juga 

mangsa baru!" kata si Picak Kiri sambil usap-usap telapak 

tangannya satu sama lain. "Sudahkah kau periksa per-

alatanmu, Picak Kanan?" 

"Jangan kawatit. Peralatanku beres. Dan ikan-ikan iblis 

itu pasti akan menyantap mangsanya cepat sekali! Bayang-

kan sekian lama mereka tidak mendapat makanan. Dan 

kau lihat, yang datang ternyata seorang pemuda berparas 

cakap berkulit putih! Tentu daging dan darahnya sedap 

sekali. Hik... hik.... hik....!" 

"Huss! Jangan keras keras tertawamu. Nanti ke-

dengaran! Lihat, pemuda itu sudah duduk di tepi kolam. 

Nah, dia mencelupkan kedua kakinya dan memain-main-

kan air kolam. Sekarang lihat, dia mulai menanggalkan 

pakaiannya. Hai.... Lihat!" seru Picak Kin. 

"Ada apa?" Picak Kanan bertanya. 

"Pemuda itu! Ternyata dia... dia... Lihat dadanya! Dia 

bukan seorang lakilaki! Tapi perempuan! Seorang gadis! 

Nah, dia melepas ikat kepalanya. Nah, benar kan. 

Rambutnya panjang sebahu! Aih, cantiknya. Dan buah 

dadanya itu... Bagus sekali... Bagus sekali! Tak pernah aku 

melihat pemandangan begini luar biasa. Sebentar lagi dia 

tentu akan membuka seluruh pakaiannya ..." 

Mata kiri Picak Kanan terpentang lebar. Apa yang 

dikatakan saudaranya memang benar. Orang di tepi kolam. 

yang semula mereka sangka adalah seorang lelaki muda, 

setelah membuka pakaian dan melepas ikatan rambutnya 

ternyata adalah seorang gadis berkulit putih mulus ber-

paras jelita. 

"Pinggangnya ramping amat dan pinggul serta pahanya 

begitu putih. Ampun mau mati aku rasanya melihatnya!"


kata si Picak Kanan. 

Orang yang di tepi kolam perlahan-lahan masuk ke 

dalam air, bergerak ke tengah sambil sesekah membasahi 

mukanya dengan air sejuk. 

"Jangan kau lepas dulu ikan-ikan Iblis Prahara itu, Picak 

Kanan. Biar kita menikmati pemandangan yang luar biasa 

ini!" kata si Picak Kiri. Matanya yang cuma satu tidak 

berkedip-kedip. Dara di tengah kolam tampak memandang 

berkeliling. Dia masih kawatir kalau-kalau ada orang lain di 

tempat itu. Setelah yakin benar memang tak ada siapa-

siapa di situ maka diapun berkecimpung di dalam kolam 

sepuas-puasnya. Rambutnya yang hitam basah berkilat 

kilat ditimpa sinar matahari. Letih bermain air dia duduk 

sebentar di tepi kolam. Dua kakek botak seperti mau gila 

melihat tubuh putih mulus itu. Sesaat kemudian gadis itu 

masuk kembali ke dalam kolam. 

"Picak Kiri..." berbisik Picak Kanan. "Aku ada nsul. 

Sebaiknya ikan ikan itu tidak kita lepas. Jika gadis itu kita 

bunuh sekarang berarti hanya kali ini kita melihat 

keindahan tubuh telanjangnya. Tapi kalau kita biarkan 

hidup, siapa tahu dia bakal datang lagi kemari? Berarti kita 

akan dapat lagi melihat pemandangan yang begini me-

nakjubkan! Bagaimana pendapatmu?" 

Picak Kiri usap usap mata kanannya. Dia berpikir 

sejenak. "Kau betul!" sahutnya kemudian. "Aku setuju. Biar 

kita lepaskan yang satu jni. .. " 

Gadis di dalam kolam berenang perIahan ke tepian di 

mana tadi dia meninggalkan pakaiannya. Sampai di tepi 

kolam dia tidak segera mengenakan pakaian tetapi duduk 

duduk dulu seperti berjemur mengeringkan air yang 

menempel di badannya. Sambil menunggu keringnya 

badan dia memetik bunga-bunga melati yang banyak 

lumbuh di sela-sela batu-batu besar. Rambotnya disanggul 

lalu bunga melati itu diselipkannya di sela gulungan 

rambut. Sesaat kemudian diapun sudah mengenakan 

pakaian kembali. 

Picak Kanan dan Picak Kiri sama-sama menarik nafas


dalam dan mengurut dada. 

"Luar biasa... Benar-benar luar biasa!" kata Picak 

Kanan sambil rebahkan diri ke tanah dan menelentang 

menatap langit sesaat lalu bangkit kembali. Saat itu gadis 

yang berpakaian seperti lelaki itu tampak tegak di atas 

batu besar memandang berkeliling lalu melangkah men-

dekati kudanya yang juga telah puas merumput. 

"Panah Hitam, mari kita pergi. Tempat ini sangat indah. 

Lain kali kita akan kemari lagi. .. " Lalu sekali lompat saja 

dia sudah berada di punggung kuda hitam itu. 

Si gadis yang menyamar sebagai laki-laki ini bukan lain 

adalah Sri Megaresmi, murid perempuan Kiai Kali Mutu 

dari Demak. 

"Kalau saja aku tak dapat menahan hati, mungkin tadi 

aku sudah keluar dan tempat persembunyian ini dan 

masuk ke dalam kolam. Mandi bersama gadis cantik tadi! 

Dan tidak mandi saja tentunya. Akan kupeluk tubuhnya. 

kudekap dadanya yang putih kencang itu dan..." 

"Ssstt... !" Picak Km menggamit kaki saudaranya. "Lihat 

ada orang datang di puncak lembah!" 

Saat itu di atas lembah memang tanpak seekor kuda 

putih tegak berhenti. Di punggungnya duduk seorang 

pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. 

"Yang satu ini kuharap benar benar lelaki! Bukan gadis 

berpakaian pemuda!" kata Picak Kiri. 

"Jika dia mandi di kolam kita maka dialah mangsa ikan-

ikan kita itu. Hitung-hitung sebagai pengganti gadis tadi!" 

kata Picak Kanan pula. 

Penunggang kuda putih adalah Panji murid Kiai Kali 

Mutudari Demak. telah menyelesaikan gemblengan 

terakhir sekitar satu bulan lalu. Sang Kiai kini melepaskan 

kembali ke dalam rimba persilatan untuk mencari 

pengalaman agar benar-benar menjadi seorang pendekar 

yang mantap. Seperti siapa saia yang baru pertama kali 

melihat keadaan lembah itu. diapun merasa terheran 

heran. Di musim kemarau yang panjang, di mana segala 

sesuatunya menjadi tandus kerontang. Tahu-tahu di


lembah itu terdapat kesuburan yang disertai pemandangan 

indah luar biasa. 

"Panah Putih," si pemuda memanggil nama kudanya. 

"kita akan bersenang senang di lembah itu. Kau 

menyantap rumput sepuasmu dan aku beristirahat di 

kolam sana." 

Bersama kudanya dia menuruni lembah. Binatang itu 

dilepas di padataran rumput, dia sendiri menuju kolam, 

merendam kepalanya beberapa saat lalu menarik nafas 

segar dalam-dalam. 

"Air kolam ini sejuk nyaman sekali. Tak puas rasanya 

kalau tidak mandi berendam..." Panji membuka kancing-

kancing pakaiannya. Sesaat kemudian dia sudah men-

cebur masuk ke dalam kolam. 

Picak Kiri berpaling pada saudaranya, "Mangsa sudah 

di dalam kolam. Kau tunggu apa lagi...?" 

Picak Kanan menyeringai. Lidahnya berulang kali di-

julurkan membasahi bibir. Tenggorokannya turun naik. Per-

lahan lahan tangan kanannya bergerak ke dalam Iubang di 

antara semak belukar. Begitu menyentuh ujung tali rotan. 

segera dia mendorong ke depan. Lempengan tembaga 

berat penutup mulut terowonganpun terbukal 

Panji mendengar suara berdesir aneh di dalam air 

kolam. Memandang ke samping kiri dilihatnya ikan hitam 

aneh banyak sekali berenang melesat ke arahnya. Hanya 

ikan-ikan kecil, pasti binatang penghuni kolam itu, apa 

yang ditakutinya? Pemuda ini tak pernah menyangka kalau 

hari itu, di tempat itu, adalah akhir dari perjalanan 

hidupnya yang masih sangat muda. Kematian datang 

menjemput bukan dalam berlaga menghadapi musuh dan 

kejahatan, tetapi justru muncul di sebuah kolam bagus 

berair sejuk. 

Pemuda ini tersentak kaget dan menjerit kesakitan 

sawaktu ikani-kan Iblis Prahara manancapkan gigi-giginya 

di paha, di parut, sepanjang kedua kaki, pinggang, dada 

dan punggungnya Dia pargunakan kedua tangannya untuk 

manepis binatang itu. Tatapi percuma. Hanya beberapa


ekor yang barjatuhan sedang yang datang menyerbu jauh 

labih banyak. Panji karahkan tenaga dalam, maksudnya 

hendak lepaskan pukulan guna memusnahkan ikan-ikan 

Iblis itu. Tatapi pemuda ini menjerit sewaktu melihat kedua 

tangannya ternyata hanya tinggal tulang saja! Tubuhnya 

kemudian seperti diseret kuat-kuat ke dasar kolam. Kini 

ikan-ikan hitam berbantuk segitiga dengan gigi-giginya yang 

lancip runcing serta tajam seperti mata gergaji bukan saja 

manggerogoti tubuhnya, tetapi juga muka dan kepalanya. 

Air kolam yang tadi bening jernih kini tampak butek oleh 

darah! 

Kuda putih yang tengah merumput di lereng lembah 

dongakkan kepala. Matanya berkedip-kedip memandang 

ke arah kolam. Seperti tahu apa yang terjadi binatang ini 

meringkik. Panjang dan keras. Barulangkali tiada henti. 

***


ENAM



SUARA ringkik kuda yang keras panjang dan terus itu 

menarik perhatian Mahesa Kelud yang tengah dalam 

perjalanan menuju ke timur. Mungkin itu hanya 

ringkik kuda liar yang kehausan. Mungkin juga ringkik 

saakor kuda yang tengah menghadapi bahaya. Atau ada 

kuda penarik kereta terbalik. Untuk mengetahui apa yang 

sebenarnya terjadi pemuda ini segera mendaki bukit 

tandus di depannya. Sampai di puncak bukit kalau saja dia 

tidak melihat seekor kuda putih yang tarus meringkik, 

pastilah dia akan terpesona melihat keindahan yang ter-

bentang di depan matanya. 

Mahesa berlari mendekati kuda putih itu. Pada jarak 

tiga langkah mendadak binatang mi tendangkan kaki kiri 

belakangnya ke arah Mahesa. Kalau tidak cepat meng-

hindar pasti perutnya kena diterjang kaki kuda itu. 

"Kuda putih... tenang. Tenang... Aku sahabatmu. Aku 

tak akan mengganggumu! Kenapa kau meringkik terus 

menerus!" Mahesa berkata itu sambil ulurkan tangan 

mengelus tengkuk kuda putih. Binatang ini masih terus 

meringkik, tetapi tidak galak lagi. Mahesa memandang 

berkeliling. Tangannya terus mengusap leher kuda. Ketika 

dia menuruni pedataran berumput menuju ke kolam di 

bawah sana. kuda putih itu mengikutinya. 

Di tepi kolam Mahesa menemukan sehelai pakaian 

yang terdiri dari pakaian dan celana panjang putih. Lalu 

ikat kepala putih. Persis seperti yang saat itu dikenakannya 

sendiri. Namun apa yang menjadi perhatiannya dan 

membuat pandekar ini keranyitkan kening adalah sesosok 

kerangka manusia lengkap dengan tengkorak kepala, 

terapung di air kolam yang tampak kemerah-merahan. Bau 

amis menusuk hidungnya. Kuda putih di sampingnya 

meringkik keras.


"Celaka! Kita tidak keburu mengambil dan 

menyembunyikan tengkorak itu. Air kolampun masih ada 

darahnya!" terdengar bisikan di balik tumpukan batu besar 

dan kerapatan pohon pohon. Yang berbisik adalah kakek 

botak Picak Kanan. 

"Tenang saja...." Picak Kiri menyahut. "Tak mungkin 

orang itu mengetahui apa yang terjadi. Yang penting jangan 

keluarkan suara berisik. Pemuda itu jelas tengah meneliti 

keadaan di tempat ini!" 

Mahesa tegak di atas batu besar di tepi kolam. Otaknya 

bekerja keras memecahkan teka-teki apa yang telah terjadi 

di tempat itu. Pembunuhan? Seseorang, pemilik pakaian 

putih dan pemilik kuda putih itu. diakah yang jadi korban? 

Tapi siapa yang membunuh? Mahesa menatap ke arah 

tengkorak yang tarapung di air kolam. Pada saat itulah di 

belakangnya terdengar suara derap kaki kuda, disusul oleh 

suara seseorang berseru, "Kakak Panji!" 

Mahesa cepat berpaling. Bukan saja ingin melihat 

siapa yang memanggil itu tetapi juga karena Panji adalah 

nama aslinya, nama sebelum gurunya Embah Jagatnata 

memberikan nama Mahesa Kelud kepadanya. Siapa 

gerangan orang yang mengetahui nama aslinya itu?' 

Ketika berpaling Mahesa dapatkan dirinya ber had ap 

had a pan dengan seorang muda penunggang kuda hitam. 

Pemuda itu bertubuh ramping, berpakaian serba putih dan 

memiliki paras serta kulit sehalus perempuan. 

"Ah! Kau bukan kakak Panji!" penunggang kuda hitam 

berkata dan di wajahnya tampak bayangan rasa heran. Dia 

memandang ke tengah kolam di mana tampak mengapung 

tengkorak manusia. Lalu melirik pada kuda putih di 

samping kiri si pemuda. "Kau bukan kakak Panji! Tapi kuda 

itu adalah Panah Putih. Kuda miliknya. Dan ..." Penunggang 

kuda hitam meluncur turun dan kudanya ketika melihat 

seonggok pakaian putih di atas batu di tepi kolam. "Ini 

pasti pakaiannya. Kakak Panji! Di mana kau!" seru pemuda 

ramping itu yang bukan lam adalah Sri Megaresmi murid 

Kiai Kali Muntu, adik seperguruan Panji. Kenapa gadis


berpakaian lelaki ini kembali ke tempat itu? 

Seperti diceritakan, sebelumnya Megaresmi telah 

datang ke lembah yang indah itu dan sempat mandi di 

kolam. Meskipun hatinya diselimuti rasa senang karena 

dapat mandi di air yang bersih bening dan sejuk demikian 

rupa namun setelah meniggalkan tempat itu gadis ini 

menaruh rasa tidak enak. Dia yakin gerak-geriknya ketika 

mandi tadi telah diintip oleh orang lain. Rasa jengah timbul 

dalam dirinya. Tetapi sekaligus juga rasa marah. Jika ada 

orang yang berani mengintipnya mandi, orang itu siapapun 

adanya harus digebuk dan dihajar. Maka gadis yang keras 

hati ini sengaja kembali ke tempat itu untuk menyelidik. 

Justru yang ditemuinya adalah Mahesa Kelud dan kuda 

putih milik kakak seperguruannya. 

"Saudara, kau memanggil nama Panji berulang kali! 

Siapakah dia? Aku sendiri juga bernama Panji!" Mahesa 

menegur. 

"Aku tak perduli siapa namamu! Yang kucari adalah 

Panji kakak seperguruanku! Kulihat kuda putihnya ada 

bersamamu! Dan itu pasti pakaiannya!" 

"Ketika aku sampai di tempat ini kutemui kuda ini 

meringkik terus-terusan. Lalu kutemui pakaian. Aku tidak 

melihat siapapun di sini, kecuali tengkorak yang terapung 

apung di dalam kolam ..." menerangkan Mahesa. 

Megaresmi memandang ka kolam kembali. Hatinya 

tidak enak. Berpaling ke arah Mahasa dia tiba-tiba berkata: 

"Pasti kau yang tadi mengintip aku mandi!" 

"Hah! Aku baru saja sampai di tempat ini! Bagaimana 

kau bisa menuduh aku mengintipmu mandi! Memangnya 

kapan kau mandi di sini? Di dalam kolam yang ada 

jerangkong ada airnya amis itu?!" 

"Jangan berpura-pura! Ketika aku mandi kolam itu 

bersih dan sejuk airnya. Tak ada bau amis, apalagi 

jerangkong!" tukas Megaresmi. 

"Aneh, kalau begitu sesuatu telah terjadi sesaat setelah 

kau pergi dan sebelum aku muncul di tempat ini!" kata 

Mahesa pula.


"Aku curiga! Kaulah yang telah membunuh kakak 

seperguruanku!" 

Mahesa Kelud tentu saja terkejut mendengar tuduhan 

itu. 

"Tuduhanmu tak beralasan. Aku tak pernah bertemu 

dangan kakak seperguruanmu itu. Lalu apa pula pasal 

musababnya aku membunuhnya?!" Mahesa memandang 

ke arah kolam. "Apa kau bisa membuktikan bahwa aku 

yang membunuh saudaramu dan bagaimana cara aku 

membunuh!" 

"Aku tidak merasa perlu membuktikannya. Justru kau 

yang harus mengakuinya. Jika kau berani bardusta 

kupecahkan batok kepalamu!" 

Mahesa tersenyum. "Siapa sudi mengakui sesuatu yang 

tidak dilakukannya? Apalagi membunuh orang!" 

"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus! Aku yakin kau 

membunuh kakakku Mungkin karena kau menginginkan 

kuda putihnya itu Atau antara kalian ada dendam 

kesumat!" 

"Pemuda picik! Jika aku membunuh seseorang mana 

mayatnya?!" 

"Pasti telah kau sembunyikan. Atau mungkin 

jerangkong yang ada dalam kolam itu!" 

Mahesa tertawa. "Membunuh seseorang lalu mem 

buatnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak 

seperti itu bukan pekerjaan mudah! Mayat yang di-

kuburpun berbilang tahun baru menjadi tengkorak putih!" 

"Sudahlah! Kau mau mengaku atau tidak?!" Megaresmi 

mengancam. 

"Apa yang harus kuakui?!" tukas Mahesa. 

"Keparat! Mulutmu pandai berdalih! Lihat serangan!" 

Mahesa Kelud terkejut ketika melihat "pemuda" di 

hadapannya menerjang dengan satu pukulan kilat 

mengarah mukanya. Dari angin pukulan yang mengeluar-

kan suara berdesir. Mahesa segeraa maklum kalau 

pemuda yang kelihatannya lemah lembut itu memiliki 

kepandaian yang tidak rendah. Untuk menjajal sampai di


mana kekuatan lawan maka diapun angkat lengan kiri, 

menangkis. 

Megaresmi dalam marahnya juga ingin menjajagi 

kehebatan si pemuda maka diapun tidak berusaha untuk 

menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Buk! 

Mahesa melompat mundut sambil teliti pergelangan 

tangannya. Ternyata lengannya tampak kemerah-merahan 

dan rasa sakit membuat pendekar ini menatap kagum ke 

depan. Tidak disangka pemuda yang bertubuh ramping 

halus itu memiliki kekuatan luar biasa. 

Sebaliknya Megaresmi sendiri tampak terbungkuk-

bungkuk sambil pegangi tangannya. Jelas dia menderita 

sakit yang amat sangat. Melihat hal ini diam-diam Mahesa 

jadi kasihan dan berkata, "Harap maafkan, bukan 

maksudmu mencelakaimu. Tanganmu cidera?!" 

"Kentut busuk!" Megaresmi memaki gemas. Ucapan 

belas kasihan itu olehnya terasa justru seperti ejekan. 

Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangan kirinya membabat 

deras mencari sasaran seru. Jurus demi jurus berlalu 

sangat cepat. Tak terasa dua puluh jurus telah terlewatkan. 

Megaresmi keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat 

memukul atau merobohkan lawan. Namun sampai 

tenaganya terkuras dia tak mampu menyentuh tubuh 

pemuda itu. Sebaliknya Mahesa bekerja keras dan harus 

keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Embah 

Jagatnata, sesekali digabung dengan jurus-jurus ilmu 

pedang yang didapatnya dari Suara Tanpa Rupa. Selama 

perkelahian Mahesa lebih banyak mengambil sikap ber-

tahan. Entah mengapa dia merasa tidak tega balas 

menyerang. apalagi sampai menjatuhkan tangan keras. 

Selain tidak ada silang sengketa dengan "pemuda" itu. 

Mahesa juga sadar kalau lawannya banyak terpengaruh 

oleh anggapan bahwa dialah yang telah membunuh kakak 

seperguruannya. 

Memasuki junjs keduapuluh lima gerakan Mega resmi 

tampak semakin lamban. Nafasnya menyengal. Gila! Maki 

"pemuda" ini. Tadi bertempur melawan orang-orang


kerajaan itu dia sama sekali tidak merasa lemas. Mengapa 

menghadapi lawan yang seorang ini tenaganya seperti 

tersedot. Dalam keadaan kehabisan tenaga, ketika 

Mahesa menepuk bahunya, Megaresmi akhirnya jatuh 

terduduk di antara pohon-pohon bunga yang sedang 

bermekaran. Perasaannya campur aduk. Malu, gemas, 

marah dan menyesal. Sekian lama menjadi murid Kiai Kali 

Mutu ternyata kepandaiannya hanya sampai di situ saja. 

Tak sanggup menghadapi pemuda itu. Percuma meng-

habiskan waktu sekian lama di Demak kalau hasilnya 

hanya begin! saja. Terlupa akan penyamarannya. 

Megaresmi duduk bersimpuh di tanah sambil tekap 

mukanya dengan kedua tangan. lalu tak sadar dia men-

jambak-jambak rambut di kepalanya hingga gelungannya 

terlepas dan rambutnya yang panjang sebatas bahu 

tergerai. 

Melihat ini Mahesa Kelud tentu saja jadi terkejut. 

"Hah... kau ini lelaki atau ..." 

Megaresmi turunkan kedua tangannya, memandang 

melotot pada Mahesa 

"Kau... seorang perempuan!" ujar Mahesa. 

Baru Megaresmi sadar. Kedua tangannya diusapkan ke 

kepala. Sadar dia apa yang terjadi. Sanggulnya lepas. 

Penyamarannya terbuka. Yang bisa dilakukannya kini 

adalah menangis dan menangis! 

Mahesa geleng geleng kepala. Dia duduk di tanah di 

hadapan gadis itu tapi tetap menjaga jarak karena bukan 

mustahil tiba-tiba si gadis kembali menyerangnya. 

"Apa yang hendak kau lakukan padaku?!" tiba-tiba 

Megaresmi bertanya dengan suara keras. Nadanya penuh 

putus asa. 

"Eh. aku tak akan melakukan apa apa. Memangnya 

kenapa?" tanya Mahesa heran. 

"Kalau begitu enyahlah dari hadapanku!" 

"Jika kau tidak suka pada tampangku yang jelek, tak 

jadi apa." sahut Mahesa. "Tapi di tempat ini ada sesuatu 

yang tidak beres. Bagaimana kalau kita melakukan


penyelidikan bersama-sama. Bukankah kau menaruh 

curiga bahwa kakak seperguruanmu berada di tempat ini 

dan lenyap secara aneh. Lalu ada jerangkong terapung di 

kolam sana... Dan kuda putih itu yang menurutmu adalah 

kuda kakakmu. Dan pakaian putih... Atau mungkin kau 

masih menuduhku sebagai pembunuh?" 

"Sampai kau sendiri yang membuktikan bahwa kau 

bukan pembunuh, aku tetap mencapmu sebagai pem-

bunuh!" 

"Kau keterlaluan. Siapa sih namamu?!" Tanya Mahesa. 

"Perlu apa kau tahu namaku! Dengar! Hari ini aku 

mengaku kalah. Mengejek dan mempermankankul Tapi 

tunggu saja! Aku akan datang lagi mencarimu. Aku akan 

berguru ke selatan. Sekali kau kutemui lagi akan kuhajar 

kau sampai menggelepar!" 

"Kau gadis keras hati!" kata Mahesa Megaresmi tak 

menyahut. Dia bangkit berdiri, mengambil pakaian putih 

yang terletak di atas batu di tepi kolam lalu melompat ke 

atas kuda hitamuya. Sebelum pergi dia berpaling pada 

kuda putih yang tegak di samping Mahesa. 

"Panah Putih." katanya. "aku tak bisa membawamu. 

Jagalah dirimu baik-baik..." Sesaat gadis itu melirik ke arah 

Mahesa lalu membedal kudanya dan tinggalkan tempat itu. 

Yang ada di benaknya saat itu adalah bayangan orang tua 

serba putih yang muncul bersama anak rusa di pundaknya. 

Orang tua itu telah menyuruhnya pergi menemuinya di 

selatan. Semula sama sekali tak ada niat di hati 

Megaresmi untuk memenuhi permintaan itu. Tapi setelah 

dia dikalahkan oleh pemuda tadi. hatinya benar-benar 

kesal. Dia bertekad untuk membalas kekalahan itu. Untuk 

kembali ke gurunya di Demak dia merasa malu. Karena itu 

dia menuju ke selatan, mencari kakek sakti yang 

mengatakan bahwa dirinya berjodoh untuk diambil murid. 

Gadis ini sama sekali tak pernah mengetahui kalau orang 

tua yang hendak mengambilnya menjadi murid itu 

sesungguhnya adalah juga guru Mahesa Kelud 

Sesaat setelah sandirian Mahesa tegak termangu.


Akhirnya didekatinya kuda putih itu, dielus-elusnya 

tengkukb inatang ini seraya berkata, "Kuda putih, namamu 

Panah Putih, benar...?" Sang kuda kedip-kedipkan mata. 

"Dari pada tak ada yang mengurusmu, lebih baik ikut 

bersamaku." Lalu Mahesa melompat ke punggung kuda itu 

dan memacunya ke juruian timur. 

***



TUJUH



TIGA ekor kuda berpacu menu rum lembah her rumput. 

Dua kuda di tunggangi oleh dua orang bertubuh kekar 

berwaiah bengis dan memiliki rambut gondrong 

menjela bahu. Muka masing-masing selain tertutup debu 

juga terbungkus oleh cambang bawuk serta kumis tebal. 

Kuda ketiga tidak bar penumpang tapi membewa sejumlah 

buntalan dan peti kayu. 

"Delapan tahun malang-melintang di daerah ini, baru 

hari ini aku tahu kalau di sini ada lembah yang begini 

indah, lengkap dengan bunga dan kolam sejuk!" 

Penunggang kuda yang sebelah kanan berkata sambil 

tekankan telapak tangan kanannya ke gagang golok besar 

yang tersisip di pinggang. 

"Warok. tempat ini pantas kita jadikan markas!" kata 

kawan di sebelahnya. 

Yang dipanggil dengan sebutan warok usap-usap 

cambang bawuknya lalu menjawab, "Itu tadi memang ter-

lintas dalam benakku. Tapi tempat seindah ini tidak aman 

bagi kita dan anak-anak. Kau tahu siapa saja yang lewat di 

sini pasti menyempatkan singgah untuk menikmati 

pemandangan serta bermain di kolam. Aku sendiri merasa 

gerah. Sudah seminggu tubuhku tak menyentuh air. 

Sampang Ijo. kau berangkatlah duluan. Bawa serta barang-

barang itu. Tunggu aku di Goa Srindil. Aku ingin mandi dulu 

di kolam ini.. . " 

"Kalau warok berkata begitu baiklah," kata Sampang Ijo 

lalu dia menarik tali kuda barang dan segera tinggalkan 

tempat itu. 

Kakek botak Picak Kiri mengusap-usap kepatanya yang 

botak. "Kalau aku tidak salah terka, manusia gondrong 

bertampang buas itu adalah Warok Suto Jagal, kepala 

rampok yang terkenal jahat dan ganas itu... 


"Memang dia," jawab Picak Kanan. "Gerak-geriknya dia 

hendak mandi kolam kita. Kali ini ikan-ikan kita akan dapat 

mangsa alot! Daging dan darah-nya pasti tidak sedap!" 

"Tak jadi apa. Yang penting ikan-ikan Iblis Prahara itu 

dapat makan. Yang aku takutkan justru kalau mereka 

sampai mati kelaparan. Siapkan perkakasmu Picak Kanan. 

Sebentar lagi sang warok akan berlangir darah dan daging-

nya sendiri! Hik... hik... hik!" 

Saat itu Warok Suto Jagai memang sudah menang-

galkan pakaiannya. Dadanya tampak penuh tertutup bulu 

sampai ke pusar dan perutnya yang buncit berlemak. Air 

kolam muncrat tinggi ketika tubuh yang besar gendut itu 

mencemplung masuk. 

"Sedapnya mandi di sini ..." kata sang warok. "Sehabis 

mandi sebaiknya aku tidak terus ke Goa Srindil. Aku 

mampir dulu ke tempat Nyi Jumilah. Dia tentu senang 

bergelut-gelut dengan tubuhku yang bersih. Selama ini dia 

selalu mengatakan badanku bau...!" 

Suto Jagal berenang ke tepi, maksudnya hendak 

mengambil daun-daun dan kembang-kembang melati 

untuk digosokkan kepadanya agar harum. Tetapi sebelum 

dia mencapai tepi kolam tiba-tiba ada sesuatu yang 

menggigit kakinya. pahanya, laiu pinggul dan pinggangnya. 

Dan terpekik kesakitan. Kini malah dada dan perutnya 

seperti dicucuk. 

"Binatang keparat!" maki kepala rampok itu ketika 

melihat ternyata yang menggigit tubuhnya adalah ikanikan 

kecil berwarna hitam. Dia mengibas kian kemari sambil 

berusaha mencapai tepi kolam. Namun ikan-ikan yang 

ribuan ekor banyaknya itu lebih dahulu menyeretnya ke 

dalam kolam. Ketika tak lama kemudian Warok Suto Jagal 

muncul di permukaan air maka tubuhnya hanya tinggal 

tulang belulang dan tengkorak yang mengerikan! 

"Ikan-ikan luar biasa!" kata Picak Kiri sambil 

menyeringai puas. "Tubuh begitu besar alot dan penuh 

temak dihabisi dalam waktu singkat! Picak Kanan, ayo 

cepat masukkan ikan ikanmu. Aku harus mengangkat


jerangkong itu dari dalam air. Kawatir ada pendatang lain 

muncul seperti kejadian tempo hari..." 

Picak Kanan goyang-goyang ujung tali rotan yang 

dipegangnya. Dan bagian atas tarowongan di dalam tanah 

berjatuhan butir-butir pasir berkilauan. Ribuan ikan hitam 

yang tertarik melihat benda-benda ini segera menghambur 

masuk ke dalam terowongan. Picak Kanan lalu menarik 

ujung tali rotan. Lempeng-an tembaga berat turut menutup 

mulut terowongan. Sementara itu Picak Kiri keluar dari 

tempat persembunyian mereka. membawa sebuah galah 

yang ujungnya ada pengait. Dengan galah itu dikaitnya 

jerangkong tengkorak Suto Jagal lalu diseretnya sejauh dua 

ratus tombak, ke satu tempat tersembunyi di mana ter-

pampang satu pemandangan yang mengerikan. Di situ ter-

tumpuk puluhan tulang belulang dan tengkorak manusia. 

Semua adalah korban-korban tak berdosa yang menemui 

ajal terjebak dalam kolam iblis! 

Selesai membuang tulang belulang Warok Wuto Jagal, 

Picak Kiri kembali ke tempat persembunyian di belakang 

batu dan pohon-pohon besar. Dia mengeluarkan sebuah 

pisau kecil, lalu menggurat batang pohon di depannya 

dengan ujung pisau. Pada batang pohon itu terdapat 

puluhan guratan. 

"Sudah berapa semuanya Picak Kiri?" tanya kakek 

Picak Kanan. 

"Tiga puluh satu ..." 

"Banyak juga. Hik... hik... hik... Berapa korban lagi yang 

bakal kita dapatkan!" 

Mendadak dari atas salah satu pohon di bawah mana 

kedua kakek botak ompong mi berada, terdengar suara 

seseorang membentak, 

"Manusia-manusia edan! Kalian tidak akan mendapat 

korban baru! Kalau ada yang mampus dalam kolam itu, itu 

adalah kalian berdua!" 

Tentu saja Picak Kanan dan Picak Kiri kaget bukan 

main. Kadua kakek botak ini mendongak ke atas pohon. 

Saat itu tampak sesosok tubuh melayang turun. Sambil


turun orang itu hantamkan kaki kiri kanan ke batok kepala 

dua kakek aneh. Ini adalah satu serangan maut yang 

ganas! 

Dua kakek berseru keras dan serentak menghambur 

selamatkan diri. Satu melompat ke kiri, satunya lagi 

membuang diri ke kanan. Sambil berkelit keduanya sama 

hantamkan tangan ke atas. Dua gelombang angin deras 

laksana gunting menyambar tubuh yang melayang turun. 

Tapi meleset karena orang itu kelihatan jungkir balik dan di 

lain kejap dia sudah menjejakkan kedua kaki di tanah. 

tegak sejauh enam langkah dari dua kakek botak plontos. 

Orang ini seorang tua mengenakan pakaian biru. Di 

pinggangnya tergelung sebuah ikat pinggang berupa ular 

sanca besar yang merupakan satu senjata ampuh ber-

bahaya. Yang menggidikkan dari orang ini ialah mukanya 

yang tmggal kulit pembungkus tulang hingga muka itu 

hampir menyerupai sebuah tengkorak! 

"Datuk Ulat Muka Tengkorak!" seru Picak Kiri dan Picak 

Kanan dengan suara bergetar. 

"Tak ada hujan tak ada angin! Tak ada silang sengketa 

tak ada lantai terjungkat! Kenapa kau hendak membunuh 

kami?!" bertanya Picak Kanan. Baik dia maupun Picak Kiri 

tahu betul kehebatan Datuk Ular apalagi kalau manusia ini 

sampai pergunakan ikat pinggang ular sancanya urusan 

bisa berabe. 

Datuk Ular meludah ke tanah. "Antara kita memang tak 

ada silang sengketa ataupun perselisihan! Tetapi antara 

kau dan kebenaran ada yang perlu diselesaikan! Tigapuluh 

satu orang tak berdosa telah jadi korban kejahatan kaiian! 

Untuk itu kalian pantas dihajar sampai mati!" (Mengenai 

siapa adanya Datuk Ular Muka Tengkorak ini harap baca 

serial Pedang Sakti Keris Ular Emas: Simo Gembong 

Mencari Mati dan Srigala Berbulu Domba) 

"Datuk Ular... Datuk Ular..." kata Picak Kiri sambil 

geleng-geleng kepala. "Aku menghormati nama besarmu 

Tapi jika kau memaksa bukan berarti aku dan saudaraku 

ini akan diam saja seperti kerbau dungu!"


Datuk Ular Muka Tengkorak tertawa mengekeh. "Perlu 

dibuktikan dulu apa betul kalian bukan dua ekor kerbau 

dungu!" Habis berkata begitu sang datuk langsung 

menyerbu kedua orang itu. 

Meskipun dikeroyok dua namun tampaknya sulit bagi 

dua kakek botak untuk mengalahkan lawan. Setelah 

menggebrak terus-terusan selama delapan jurus Picak Kiri 

dan Picak Kanan mulai mendapat serangan serangan 

balasan yang membuat keduanya terdesak. 

"Celaka, dua jurus di muka dia pasti dapat menggebuk 

kita. Bagaimana pendapatmu?" bisik Picak Kiri pada Picak 

Kanan. 

"Tak ada jalan lain. Kau harus memancingnya berkelahi 

di tepi kolam. Begitu ada kesempatan dorong tubuhnya ke 

dalam air. Aku akan membuka katup tembaga di mulut 

terowongan!" 

Mendengar ucapan itu maka Picak Kiri lepaskan dua 

serangan berantai ke arah Datuk Ular, begitu lawan balas 

menghantam dia cepat melompat ke atas batu-batu besar 

pembatas kolam iblis. Sementara saudaranya Picak Kanan 

menyelinap ke balik pepohonan di mana terdapat 

peralatan rahasia. 

Datuk Ular bukan orang bodoh. Dia sempat melihat 

kasak-kusuk di antara kedua lawannya. Pasti mereka 

menyusun rencana, pikirnya. Maka diapun lebih berhati-

hati. 

"Datuk Ular! Mari kita berkelahi satu lawan satu di atas 

batu-batu ini!" seru Picak Kiri. 

Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. 

Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. "Kenapa 

cuma di atas batu-batu di tepi kolam itu? Mengapa tidak di 

dalam kolam saja?!" sahutnya. 

Picak Kiri lemparkan senyum mengejek. "Nyalimu 

rupanya hanya sampai di situ! Lagakmu bersikap bersih, 

seolah-olah hendak metenyapkan kejahatan di muka bumi 

ini. Tapi semua orang tahu kau tak lebih dari seekor ular 

busuk kepala dua!"


Mendengar caci maki itu marahlah Datuk Ular. Dia ter-

pancing melompat ke atas batu dan kirimkan serangan 

gencar pada Picak Kiri. Yang terserang pergunakan 

kesempatan sebaik-baiknya. Dengan satu gerak tipu dia 

berhasil membetot pinggang Datuk Ular dan menariknya ke 

dalam kolam. Tapi sang Datuk tidak bodoh. Begitu tubuh-

nya jatuh. kakinya cepat mengait kaki lawan hingga kedua-

nya sama-sama tercebur masuk ke dalam kolam. Malang 

bagi Picak Kiri justru tubuhnya terbenam lebih dulu. Selagi 

dia megap-megap karena hidung dan mulutnya kemasukan 

air, Datuk Ular hantam mukanya dengan satu jotosan. 

Di balik pohon Picak Kanan telah mendengar suara 

tubuh masuk ke dalam kolam, tapi dia tak dapat 

mengetahui dengan jelas siapa yang tercebur. Maka 

diapun bangkit mengintip-intip lewat celah-celah batu. 

Justru saat itu satu tendangan menghantam pelipisnya 

hingga si botak ini terpental dan roboh di tanah antara 

sadar dan pingsan. Datuk Ular seret tubuh Picak Kanan 

dan masuk-kan ke dalam kolam. Sadar apa yang bakal 

dialaminya Picak Kanan berteriak dan kumpuikan tenaga 

yang ada untuk keluar dari dalam air. Namun kembali satu 

tendangan menghantam tubuhnya di bagian dada. Picak 

Kanan terhempas ke belakang. Jatuh manimpa tubuh 

Picak Kiri yang dalam keadaan megap-megap berusaha 

pula selamatkan diri. 

Datuk Ular lari ke balik pohon-pohon besar. Selama 

satu minggu secara diam-diam dia telah mengintai gerak-

gerik kedua kakek botak itu dan tahu betul seluk-beluk alat 

rahasia yang tersembunyi di balik semak belukar. Dengan 

cepat dia mendorong ujung tali rotan. Tembaga penutup 

mulut terowongan terbuka. Ribuan ikan hitam menyerbu ke 

luar terowongan, langsung melumat dua sosok tubuh yang 

ada di dalam kolam, Picak Kiri dan Picak Kanan mengge-

lepar-gelepar. Teriakan-teriakan putus asa keluar dari 

mulut keduanya. Namun itu hanya merupakan teriakan 

pengantar kematian mereka.



DELAPAN


SEBELUM menamatkan riwayat dua kakek jahat Picak 

Kiri dan Picak Kanan tujuan utama Datuk Ular 

semata-mata adalah untuk membasmi kejahatan 

dari muka bumi ini. Namun setelah kedua kakek itu ter-

bunuh, maka satu pikiran sesat justru merasuk hati sang 

Datuk, malah sangat bertentangan dengan niat baiknya 

semula. 

Seperti diketahui Datuk Ular adalah termasuk tokoh 

silat golongan putih. Meskipun demikian kerap kali 

tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak begitu disukai 

oleh para tokoh golongan karena hanya mengikuti 

kehendak pribadi dan terkadang bahkan menguntungkan 

mereka dari golongan hitam. 

Dengan kematian dua kakek botak, sang datuk kini 

sadar betul bahwa hanya dia seorang yang mengetahui 

seluk beluk dan rahasia kolam iblis di lembah subur itu. 

Maka dalam hatinya yang telah terhasut oleh setan itu, 

Datuk Ular merasa dengan menguasai kolam itu dia dapat 

melakukan satu kejutan besar tetapi secara rahasia, yakni 

menguasai dunia persilatan! Caranya tentu saja mula-mula 

dengan membunuhi para tokoh silat yang tidak sehaluan 

dengan dia. Manusia pertama yang ingin dibunuhnya 

adalah bekas sekutunya sendiri yakni Dewi Rebab 

Kencana. Perempuan sakti ini yang termasuk golongan 

putih dalam banyak hal selalu menentang apa-apa yang 

ingin dilakukan sang datuk sehingga Datuk Ular mencap-

nya sebagai musuh dalam selimut. Setelah Dewi Rebab 

Kencana dibereskan, orang kedua yang masuk dalam 

daftar maut sang datuk adalah Mahesa Kelud. 

Beberapa waktu yang lalu, bersama beberapa orang 

kawannya dia pernah menempur pemuda murid Simo 

Gembong itu hingga terjungkal masuk ke dalam jurang


batu bersama seorang anak buah Dewi Maut. Semula 

diperkirakan kedua orang itu telah menemui ajal di dasar 

jurang. Tetapi beberapa waktu yang lalu Datuk Ular 

menyirap kabar dan menemui bukti-bukti kuat yang 

menyatakan bahwa Mahesa Kelud masih hidup! 

Tempat kematian yang paling tepat bagi kedua orang 

tersebut adalah kolam ikan iblis itu. Namun Datuk Ular 

tahu betul, tidak mudah untuk menjebak Dewi Rebab 

Kencana ataupun Mahesa Kelud untuk datang ke lembah 

itu. Tapi dasar manusia cerdik panjang akal, sang datuk 

segera menemukan akal bagaimana agar Mahesa Kelud 

serta Dewi Rebab bisa dibuat muncul. 

Selain cerdik Datuk Ular juga seorang yang memiliki 

perhitungan panjang. Untuk menjaga segala kemungkinan, 

dia menghubungi Pengemis Sableng dan Pengemis 

Berkipas Putih yaitu dua orang tokoh silat pentolan istana 

yang dulu pernah ditugaskan hartawan Prajadika untuk 

menangkap Mahesa Kelud karena pendekar ini telah mem-

bunuh putera sang hartawan yang bernama Prajakuncara, 

yaitu ketika Prajakuncara hendak merusak kehormatan 

Wulansari. (Baca Simo Gembong Mencari Mati dan Srigala 

Berbulu Domba). 

Begitulah, selama beberapa bulan ini dunia persilatan 

diam-diam telah dilanda kegegeran. Beberapa tokoh silat 

dikabarkan lenyap tanpa diketahui apa yang sebenarnya 

terjadi dengan mereka. Dalam kegegeran itu. dua orang 

menerima surat secara aneh. Surat pertama diterima oleh 

Dewi Rebab Kencana, berbunyi : 

Berbilang bulan telah berlalu sejak kematian guru 

Jika dendam kesumat masa lalu bisa dipupus 

Ada satu pesan Simo Gembong yang perlu di-

sampaikan. 

Sudikah Dewi datang ke lembah subur di kaki 

selatan pegunungan Dieng. 

 Datanglah tepat pada tengah hari ketika sang 

surya bersinar terik.


Pada hari ke lima bulan enam. 

Aku menunggu Dewi di tepi kolam berair sejuk. 

Mehesa Kelud 

Surat kedua sampai di tangan Mahesa Kelud. Di situ 

tertulis : 

Berbulan-bulan telah berlalu sejak kematian 

gurumu 

Ada pesan mendiang Simo Gembong yang terlupa 

kusampaikan 

Jika kau murid yang patuh datanglah tepat pada 

tengah hari ketika sang surya bersinar terik. 

Pada hari ke tujuh bulan enam. 

Aku menunggumu di tepi kolam berair sejuk. 

Di lembah subur kaki selatan pegunungan Dieng. 

Dewi Rebab Kencana. 

Sewaktu Dewi Rebab Kencana menerima surat itu. 

hatinya diliputi berbagai kebimbangan. Pertama apakah 

benar surat itu dikirimkan oleh Mahesa Kelud, murid 

mendiang Simo Gembong, kekasihnya di masa muda. 

Kedua surat itu secara aneh disampaikan oleh seorang 

berpakaian seperti nelayan ketika dia berada di pantai 

selatan. Sewaktu dia berusaha menguntit nelayan itu, 

orang tersebut lenyap tanpa jejak. 

Nelayan biasa tak bakal bisa melakukan hal itu. Pasti 

nelayan tadi adalah seorang berkepandaian tinggi yang 

sengaja menyamar. Ketiga, jika Simo Gembong memang 

mempunyai pesan untuknya mengapa sang murid tidak 

memberrtahukan ketika mereka berada di Pulau Mayat. 

tempat kediaman Dewi Maut, yaitu ketika mereka berada 

di tana sebelum Simo Gembong menemui ajal bunuh diri. 

Namun mengenang kehidupan masa lalunya bersama 

Simo Gembong dan teringat pada bayangan wajah Mahesa


Kelud yang tak pernah dilupakannya karena wajah pemuda 

itu mirip seseorang yang pern ah dicintainya, maka Dewi 

Rebab Kencana memutuskan untuk segera berangkat ke 

utara, menuju pegunungan Dieng. Hanya saja perempuan 

berusia lanjut tetapi awet muda ini mengadakan per-

jalanan seenak yang disukainya, maka dia sampai di 

lembah subur itu bukan pada hari ke lima bulan enam, 

melainkan pada hari ke tujuh bulan enam. Jadi terlambat 

dua hah dari yang tertulis dalam surat. Sang Dewi merasa 

tak perlu harus tepat seperti yang ditetapkan pengirim 

surat karena menurut anggapannya jika Mahesa memang 

memerlukannya, pemuda itu harus mau menunggu. 

Mahesa Kelud sendiri dengan menunggang kuda putih 

milik Panji sampai di lembah lewat tengahari, hanya 

terpaut beberapa seat dari Dewi Rebab Kencana. Pemuda 

ini datang dari arah utara, jadi tidak melalui bukit tandus 

seperti ketika pertama kali dia sampai di tempat itu. Justru 

karena kedatangannya dari arah yang berlawanan ini 

Mahesa berhasil mengetahui bahaya maut yang meng-

ancam di tempat itu. 

Karena datang dan sebelah utara, Mahesa berada di 

kaki pegunungan yang lebih tinggi dan lembah tujuannya. 

Semakin ke bawah ternyata jalan yang ditempuh bukan 

semakin mudan, malah bertambah sulit karena bebatuan 

gunung bukan saja besar besar tetapi juga licin berlumut. 

Mahesa turun dan atas Panah Putih. Di satu tempat dia 

terpaksa meninggal kan binatang ini dan melanjutkan 

perjalanan dengan jalan kaki. Sekitar lima puluh tombak 

sebelum dia mencapai lembah subur di mana terletak 

kolam berair sejuk itu, dari kejauhan Mahesa melihat 

sosok tubuh seseorang membelakanginya. Orang ini duduk 

di tanah, di balik batu-batu besar dan pohon pohon rimbun. 

Tampaknya seperti tengah memperhatikan ke arah kolam. 

Dari pakaian dan potongan tubuhnya Mahesa tahu betul 

orang itu bukanlah Dewi Rebab Kencana. Siapa adanya 

orang ini dan apa yang dila kukannya di tempat yang 

tersembunyi itu? Mahesa mendekati dengan hati-hati.


Ketika jaraknya hanya terpisah lima belas tombak 

Mahesa segera mengenali siapa adanya orang itu, walau 

dia belum sempat melihat waiahnya. Pakaiannya yang biru, 

ikat pinggang ular besar yang tergelung di pinggangnya! 

"Datuk Ular..." kata Mahesa dalam hati. Perasaannya 

tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Dari balik pohon besar 

tempat dia berlindung pemuda ini coba melihat ke sebelah 

depan. Dia hanya dapat melihat sebagian dari kolam. lalu 

pedataran berumput serta pohon-pohon bunga. Tak 

tampak siapapun di sekitar kolam. Tapi tunggu dulu! 

Seseorang berambut panjang tergerai, memegang sebuah 

rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan tiba-

tiba tampak melangkah mundar-mandir di tepi kolam itu. 

Dewi Rebab Kencana! Sikapnya menandakan perempuan 

ini berada dalam ketidak sabaran. 

Dewi Rebab Kencana kini menyesali diri sendiri yang 

terlambat dua hari datang ke tempat itu hingga tidak 

menemui Mahesa Kelud si pengirim surat. Tapi dia juga 

menyesali pemuda itu yang tak mau menunggu sampai dia 

muncul. 

Di balik pepohonan rapat Datuk Ular Muka Tengkorak 

merasa kesal, mengapa Dewi Rebab Kencana datang pada 

hari ketujuh bukannya hari ke lima seperti yang disebutkan 

dalam surat. Dia sengaja mengatur perbedaan waktu 

datang antara perempuan itu dengan Mahesa. Karena jika 

keduanya datang dalam waktu bersamaan, sulit baginya 

untuk menjalankan rencana jahatnya. Dia berharap agar 

Dewi Rebab cepat-cepat masuk ke dalam kolam dan agar 

Mahesa tidak muncul di tempat itu sebelum dia dapat 

membereskan perempuan sakti tersebut. Sang datuk tidak 

tahu kalau pendekar itu justru sudah ada di belakangnya. 

Mahesa merasa heran rnengapa Datuk Ular—orang 

yang selama ini menganggapnya sebagai musuh—berada di 

tempat itu dan apa yang dikerjakannya di tempat itu. Jelas 

dia tengah memperhatikan gerak-geik Dewi Rebab dan 

sengaja bersembunyi. 

"Bangsat ini pasti punya maksud yang tidak baik," kata


Mahesa dalam hati. "Dua kali dia berusaha hendak mem-

bunuhku. Terakhir ketika dia membuat aku jatuh ke dalam 

jurang batu bersama Sembilan Biru. Jangan-jangan dia 

yang mengirimkan surat itu. Tapi mengapa Dewi Rebab 

juga bisa ada di sini...?" 

Di tepi kolam Dewi Rebab menghibur hati dengan 

memetik bunga-bunga melati, menciumi bunga bunga yang 

harum itu dan menyisipkannya di kelepak pakaiannya. 

Angin lembab bertiup sejuk. Sang Dewi melangkah di atas 

batu-batu besar pembatas tepi kolam. Memandang ke 

dalam kolam, mau tak mau hati perempuan ini jadi ter-

gerak. Air kolam begitu jernih hingga dia dapat melihat 

dasar kolam yang tak sebe-rapa dalam. 

"Sebelum pemuda itu datang sebaiknya aku mandi saja 

dulu," pikir sang dewi. "Tapi kalau dia datang dan aku 

berada di kolam tanpa pakaian ..." Hati perempuan ini 

sesaat ragu. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk 

ke dalam kolam tapi tanpa membuka pakaian dalamnya. 

Di balik pohon-pohon besar Datuk Ular Muka Tengkorak 

tersenyum lega ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana 

masuk ke dalam kolam. Mula-mula bermain air di tepian, 

kemudian bergerak ke tengah. Datuk Ular menyeringai. 

Tangan kanannya menyelu-sup di antara semak-semak 

sampai akhirnya dia menyentuh ujung tali rotan. 

"Tamat riwayatmu sekarang dewi ... I" desis Datuk Ular. 

Lalu didorongnya ujung tali rotan itu. 

Lempengan tembaga berat penutup mulut terowongan 

terbuka. Ikan-ikan Iblis Prahara menyerbu keluar. 

Pada saat itu dari lereng pedataran berumput ter-

dengar suara kuda dipacu, menyusul satu teriakan 

memperingatkan. 

"Hai! Jangan mandi di kolam itu! Berbahaya! Lekas naik 

ke darat!" 

Tiga orang tersentak kaget! Dewi Kencana, Datuk Ular 

Muka Tengkorak dan Mahesa Kelud! 

***



SEMBILAN



KEPARAT sialan!" maki Datuk Ular. "Siapa bangsat 

yang berteriak memberi peringatan itu?!" Dia cepat 

berdiri dan mengintai dari balik pohon besar. 

Di dalam kolam saat itu ribuan ikan Iblis Prahara telah 

ke luar dari terowongan, langsung menyerbu Dewi Rebab 

Kencana. Perempuan sakti ini sempat mendengar suara 

aneh bersiuran di dalam air, namun teriakan orang tadi 

membuatnya lebih cepat waspada Bukan saja karena dia 

merasa sangat malu kalau sampai kedapatan orang lain 

hanya dalam keadaan mengenakan pakaian dalam serta 

basah kuyup begitu rupa hingga setiap liku badannya yang 

bagus tersembul dengan jelas, tetapi juga peringatan itu 

sekaligus membuat dia mencium memang adanya bahaya 

yang tak kelihatan di dalam kolam itu. 

Satu hal cerdik yang dilakukan oleh Dewi Rebab ialah 

dia bukan berenang menuju tapi kolam. tapi pergunakan 

kepandaiannya untuk melompat ke udara, jungkir balik dan 

melesat ke atas batu-batu. Tak urung tiga ikan iblis masih 

sempat mematuk dan menancap di kakinya hingga sang 

dewi terpekik kesakitan. Begitu sampai di batu dia segera 

menggebuk hancur ketiga ikan ini. Lalu cepat menotok 

beberapa bagian dari kakinya agar darah tidak terus 

mengucur dan sekaligus membendung rasa sakit. 

Dewi Rebab cepat cepat mengenakan pakaian luarnya 

tanpa membuka pakaian dalam yang basah. Dia 

memandang tak berkedip pada penunggang kuda. Mem-

buat orang ini bergidik merasakan keangkeran pada wajah 

cantik tapi pucat itu. 

"Aku tidak kenal padamu! Tapi aku berterima kasih kau 

talah menolong. Siapa kau dan apa sebenar nya yang ada 

dalam kolam itu?" bertanya Dewi Rebab Kencana. 

"Aku Parangwulung. Bekas kepala pengawal


Tumenggung Singaranu! Tumenggungku menemui ajalnya 

di kolam Ini tiga bulan yang lalu. Mati dilumat ribuan ikan-

ikan ganas! Lihat ke dalam kolam sana!" 

Parangwulung melompat turun dari kudanya dan 

melangkah ke tepi kolam. Dewi Kencana ikut memperhati-

kan ke dalam kolam. Tengkuknya menjadi dingin. Bulu 

kuduknya merinding. Ribuan ikan aneh berwarna hitam 

legam berbentuk segi tiga berkeliaran kian ke mari. 

Mulutnya selalu membuka hingga jelas kelihatan gigi-

giginya yang runcing tajam seperti mata gergaji. 

"Binatang binatang jahanam!" sumpah Dewi Rebab 

Kencana. Dia ingat pada tiga ikan hitam itu yang sempat 

menancap di kakinya Tapi apa benarkah ikan-ikan itu 

ganas berbahaya? 

Seekor burung hutan melayang rendah di permukaan 

kolam. Dewi Rebab Kencana cepat mengambil rebabnya 

laki menjetik satu dari empat tali rebab. Terdengar suata 

melengking dan satu sinar putih kekuningan berkelebat ke 

atas. Burung hutan yang sedang terbang terdengar men-

cicit, tubuhnya langsung jatuh dan masuk ke dalam kolam. 

Ribuan ikan hitam bersirebut cepat. Dalam waktu 

sekejapan mata saja tubuh burung itu amblas lenyap. Tak 

bersisa lagi baik tulang-tulang maupun bulunya! 

Bagaimana Parangwulung bisa berada dan muncul di 

tempat itu kembali? Seperti yang telah diceritakan 

sebelumnya, ketika dia ditangkap oleh orang-orang 

kerajaan dan di bawanya ke tempat itu untuk memakan 

bahwa Tumengggung Singaranu memang menemui ajal 

karena diserbu ikan aneh di dalam kolam, ketika Sri 

Megaresmi yang menyamar sebagai seorang muda 

bersama seorang kakek sakti berpakaian serba putih telah 

menolongnya. Meskipun dirinya kini bebas tetapi untuk 

kembali ke kotaraja tak mungkin bagi Parangwulung. 

Kembali ke kotataja berarti sama dengan menyerahkan diri 

bulat-bulat untuk ditangkap. Malah mungkin dia akan 

menerima perlakuan yang lebih kejam. Karena itu dia ber-

tekad untuk mendapatkan bukti-bukti bahwa Tumenggung


Singaranu memang menemui ajal di kolam itu. Setelah 

malang-melintang lebih dari dua bulan di luar kotaraja 

akhirnya dia kembali ke lembah subur tersebut untuk 

melakukan penyelidikan. Dia sampai di lembah pada hari 

dan saat ketika Dewi Rebab Kencana dilihatnya baru saja 

masuk ke dalam kolam. Karena sudah menyaksikan 

sendiri sebehimnya ikan-ikan hitam ganas dalam kolam itu, 

langsung saja Parangwulung berteriak memberi peringatan. 

Dan peringatannya itu tidak sia-sia karena berhasil 

menyelamatkan Dewi Rebab Kencana dari kematian yang 

mengerikan dan mengenaskan. 

"Siapa yang punya pekerjaan gila ini?!"' tanya Dewi 

Rebab Kencana. 

Parangwulung menggeleng. "Justru aku datang ke mari 

untuk menyelidik. Aku menjadi manusia buronan gara-gara 

kolam dan ikan-ikan iblis itu." 

Dewi Rebab Kencana berpikir-pikir 

"Mungkinkah pemuda itu...?" tanyanya dalam hati. 

"Mungkin dia yang sengaja memancingku mengirimkan 

surat jebakan. Tapi... aku dan dia tak ada perselisihan. 

Malah di pulau Mayat dia tahu betul bagaimana aku ber-

tindak bijaksana, aku tidak ikut mengejarnya bersama 

Datuk Ular dan tokoh-tokoh silat istana. Dia sendiri 

menunjukkan sikap hormat terhadapku . . 

Di balik pepohonan besar di aabelah timur kolam iblis, 

Datuk Ular membalik cepat ketika terdengar suara 

menggeresek di belakangnya. Matanya terpentang lebar 

ketika melihat siapa yang tec ik di hadapannya. Tapi dia 

tak mau menunjukkan sikap takut. 

"Bagus! Ternyata benar kau masih hidup. Tahukah 

bahwa kedatanganmu ke mari hanya untuk mengantar 

nyawa!" 

Mahesa Kelud menyeringai. 

"Mulutmu terlalu busuk! Hatimu ternyata sangat jahat! 

Jangan harap hari ini kau bakal kulepaskan hidup-hidup!" 

"Pemuda sombong! Sampai di mana kehebatanmu!" 

Datuk Ular menerjang ke depan seolah-olah hendak


menyerang Tetapi begitu Mahesa berkelit ke samping 

manusia muka tengkorak itu cepat menghambur ke kiri 

dan melarikan diri. 

"Datuk keparat! Kau mau Iari ke mana?!" bentak 

Mahesa Kelud. 

Suara bentakan yang keras ini sempat terdengar oleh 

Dewi Rebab Kencana. 

"Hai! Itu suara Mahesa!" seru sang Dewi. Dia me-

mandang berkeliling! Di lain saat tubuhnya melayang 

laksana terbang ke arah batu-batu besar dan pohon-pohon 

di sebelah timur kolam. Parangwulung menyusul. Di situ 

keduanya menemukan Mahesa Kelud tengah berkelahi 

melawan seorang kakek muka tengkorak barbaju biru 

gelap. 

"Datuk ular!" teriak Dewi Rebab Kencana ketika 

mengenali orang tua itu. "Jadi kau...!" 

"Dewi Rebab Kencana!" balas berseru Datuk Ular. 

Otaknya yang cerdik segera bekerja. "Syukur kau datang! 

Lekas kau bantu aku menangkap pemuda inil Bukankah 

dia murid Simo Gembong dengan siapa kau menanam 

dendam kesumat?!" 

Dewi Rebah Kencana menyeringai "Dendam kesumatku 

dengan Simo Gembong tak ada sangkut pautnya dengan 

pemuda ini. Katakan apakah kau yang mengirim surat 

keparat ini?!" Sang Dewi keluarkan surat yang pernah 

diterimanya dan balik pakaian dan melemparkannya ke 

tanah ke hadapan Datuk Ular. 

"Dewi! Kau tahu aku tak pandai tulis baca. Mana 

mungkin aku yang mengirim surat itu. Pasti pemuda ini! Dia 

yang sengaja hendak menjebakmu!" 

Hampir Dewi Rebab Kencana termakan oleh ucapan 

sang datuk kalau Mahesa Kelud tidak lekas membuka 

mulut. 

"Otakmu cerdik, mulutmu licin! Tapi hatimu busuk! Aku 

juga menerima sepucuk surat jebakan untuk datang ke 

mari. Bukankah kau yang menulis?!" Mahesa keluarkan 

surat yang dibawanya dan melemparkannya ke arah Datuk


Ular. "Dewi, aku tadi menangkap basahnya tengah 

menggerakkan satu alat rahasia di balik pohon sana!" 

Muka Dewi Rebab yang selalu pucat kini tampak 

merah. Sepasang matanya laksana dikobari api. 

"Antara aku dan kau tak ada perselisihan. Mengapa 

kau inginkan jiwa secara keji?" Suara Dewi Rebab bergetar 

tanda dia tidak dapat mengendalikan amarah. 

Sang datuk tak bisa menjawab. Mahesa membuka 

mulut. "Kalau dia tidak mau menerangkan saat ini biar 

arwahnya yang bicara di hadapan setan akhirat!" 

"Betul sekali! Mari kita berebut pahala menghajar 

manusia ular kepala dua ini!" teriak sang dewi lalu 

menerjang kirimkan serangan dengan penggesek rebab. 

"Celaka! Rencanaku berantakan!" keluh Datuk Ular dalam 

hati menghadapi Dewi Rebab seorang saja bukan urusan 

mudah baginya, apalagi kini di situ ada pula Mahesa Kelud. 

Datuk ini memandang berkeliling dan dalam hati dia 

menyumpah, "Sialan! Mana dua keparat edan itu! Sampai 

saat ini masih juga belum muncul!" maki sang datuk 

keluarkan suara suitan keras. 

Dari kaki Iembah sebelah selatan mendadak terdengar 

suitan balasan. Dua kali berturut turut. Di lain saat dua 

orang tua berpakaian aneh seperti pengemis muncul di 

tempat itu sambil tertawa-tawa. Yang satu sambil berkipas-

kipas. 

Mahesa Kelud terkejut seteah melihat kemunculan dua 

manusia ini. Namun hatinya tidak kecut. Dua orang tua ini 

punya hutang piutang dengan dirinya. Merekalah dulu yang 

membantu Datuk Ular sampai dia jatuh ke dalam jurang 

batu! 

***


SEPULUH



DUA ORANG TUA itu tertawa-tawa memandang pada 

Mahesa Kelud. Yang satu menuding seraya berkata: 

"Hai! Bukankah budak ini sudah mampus waktu 

jatuh di jurang batu?!" 

"Memang aku sudah mampus!" sahut Mahesa marah 

karenadipanggil dengan sebutan budak. "Yang tegak di 

depanmu adalah arwahku yang gentayangan. Yang akan 

mencopot kepalamu!" 

"Hik... hik...hik! Lucu ada arwah bisa bicara." 

Dan mau mencopot kepala kita!" kata orang tua yang 

satu lagi. Dia mengenakan pakaian dekil bertambal-tambal. 

Rambutnya panjang awut-awutan. Dialah yang bernama 

Pengemis Sableng dan otaknya memang tidak watas. Di 

sebelahnya berdiri adik kembarnya yang dikenal dengan 

nama julukan Pengemis Berkipas Putih. Seperti kakaknya 

dia juga berotak tidak waras, mengenakan pakaian penuh 

tambalan tetapi bersih dan selalu membawa sebuah kipas 

putih. Kipas ini bukan kipas biasa, melainkan sebuah 

senjata sakti yang hebat. 

"Hai... kalian berdua jangan tetap mematung saja!" 

berteriak Datuk Ular. "Tangkap dan kalau perlu bunuh 

pemuda itu! Aku akan melayani perempuan bermuka pucat 

tukang pengamen ini!" 

Lagi-lagi Datuk Ular berlaku cerdik. Dengan begitu dia 

akan menghadapi Dewi Rebab Kencana yang dianggapnya 

bisa dilayaninya sementara dua pengemis mengeroyok 

Mahesa Kelud yang menurut Datuk Ular jauh lebih ber-

bahaya dari Dewi Rebab. 

Karena sebelumnya telah pemah dikeroyok oleh dua 

kakek berotak miring itu, Mahesa tahu betul kehebatan 

mereka. Terlebih pengemis yang memegang kipas putih. 

Maka tanpa menunggu lebih lama Mahesa segera cabut



pedang Dewa dan siapkan pukulan karang sewu di tangan 

kiri. 

"Aha! Pedang Dewa!" seru Pengemis Sableng. "Dulu aku 

inginkan senjata itu tapi tak kesampaian! Tidak tahunya 

hari ini kembali bertemu! Rupanya aku memang berjodoh 

memilikinya!" 

Selesai berseru Pengemis Sableng menggapai ke 

depan hendak merampas senjata sakti itu. Gerakannya 

tampak lamban saja. Tapi seolah olah kedua tangannya 

menjadi panjang secara aneh, tahu-tahu tangan yang kiri 

telah berkelebat ke pergelangan kanan Mahesa sementara 

tangan kanannya meluncur hendak menarik badan 

pedang! 

Mahesa cepat putar tangannya. padang sakti merah 

menderu. Sinar merah berkiblat menyilaukan. Pengemis 

Sableng tersentak kaget dan cepat tarik kedua tangannya 

yang hampir terbabat putus. Begitu pedang lewat dia 

kembali merangsak dengan gerakan-gerakan aneh! 

Dari samping di saat yang same. Pengemis Berkipas 

Putih mulai membuka serangan dengan kibaskan kipas 

saktinya. Satu gelombang angin panas menerpa Mahesa. 

Pendekar ini merasakan tangannya yang memegang 

pedang bergetar. Cepat dia melompat ke atas untuk 

hindari serangan ganas itu lalu secepat kilat membalik 

menukik tusukkan pedang ke pangkal tenggorokan 

Pengemis Berkipas Putih! 

Braakk! 

Badan pedang sakti dan kipas putih saling beradu 

ketika Pengemis Berkipas Putih membuat gerakan meng-

gebrak memukul senjata lawan. Mahesa yang se ngaja tak 

mau manghindari bentrokan karena mengetahui 

keampuhan pedangnya hanya menggerakkan tangan 

sedikit laki menerpa senjata lawan sambil keahlian tenaga 

dalam. 

Dua bagian kipas putih robek besar. Pengemis Berkipas 

Putih melompat kaget dan mengomel tak kanan ketika 

dapati senjatanya telah rusak sementara Mahesa cepat


atur pernafasan. Bentrokan tadi membuat rasa sakit 

menjalar dari lengan sampai ke pundak kanannya. Dalam 

keadaan seperti itu mendadak Pengemis Sableng 

menyerbunya sambil berteriak-teriak. 

Kita tinggalkan dulu Mahesa dan dua pengeroyoknya. 

Di tepi kolam sebetah kiri Datuk Ular Muka Tengkorak 

tengah menempur Dewi Rebab Kencana dengan serangan 

serangan mematikan. Sejak jurus pertama sang datuk 

telah loloskan ikat pinggang ular sancanya. Senjata yang 

bisa berubah jadi tongkat atau bergeking sepertt ular hidup 

ini menderu-deru menggempur sang dewi yang bertahan 

dengan rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan 

kanan. Setelah le wat tujuh jurus dia masih belum dapat 

mendesak lawannya maka Datuk Ular mulai semburkan 

racun jahat dari mulut bangkai ular. Mau tak mau Dewi 

Rebab Kencana menghadapi lawannya dengan lebih hati-

hati dan terpaksa menutup jalan pernafasan pada saat 

racun menyemprot ke arahnya. 

"Datuk Ular!" seru Dewi Rebab. "Sejak dulu kau selalu 

mencari penyakit! Hari ini kau malah menggunting dalam 

lipatan hendak mencelakai kau sendiri! Kelakuanmu 

sungguh keji! Jangan harap aku akan memberi ampun 

padamu!" 

"Perempuan muka pucatl Siapa yang merengek minta 

ampun padamu! Perempuan yang telah dirusak Simo 

Gembong di mataku tak lebih daripada barang rongsokan 

yang tak ada harganya!" balas berteriak Datuk Ular. 

Ucapan sang datuk benar-benar membuat Dewi Rebab 

marah sekali. Tubuhnya mencelat ke udara. Dari atas 

perempuan ini gesekkan rebabnya. Suara melengking 

menembus langit di atas lembah. Cahaya putih kekuningan 

menyilaukan mata berkiblat. Datuk Ular sapukan senjata-

nya ke atas untuk menangkis. Namun dia salah per-

hitungan. Bagaimana pun juga cahaya lebih cepat jalannya 

dari pada gebukan bangkai ularnya. Datuk Ular terhempas 

ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa panas seperti 

dipanggang. Dia gerakkan lagi tangannya untuk menghantam dengan senjatanya. Tetapi apa yang terjadi mem-

buat nyalinya jadi lumer. Bangkai ular sanca yang sangat 

diandalkannya itu ternyata telah hangus dan begitu 

digerakkan senjata ini jadi luruh ke tanah! 

Dewi Rebab Kencana tertawa panjang. Sekali lompat 

saja dia sudah berada di hadapan sang datuk dengan 

penggesek rebab ditekankan ke tenggorokannya. 

"Datuk, apakah kau senang mandi di kolam yang sejuk 

sana...?" 

Sepasang mata Datuk Ular terbeliak besar ketika men-

dengar kata-kata Dewi Rebab. Kemudian dirasakannya 

tekanan kuat pada lehernya membuat dia terjajar mundur 

ke arah kolam. 

"Tidak! Jangan!" teriak Datuk Ular. 

Dewi Rebab kembali perdengarkan suara tawa panjang. 

Dia terus menekan leher sang datuk dengan penggesek 

rebab. 

"Kau boleh bunuh aku dengan cara apa pun! Tapi 

jangan suruh aku masuk ke dalam kolam iblis itu!" teriak 

Datuk Ular 

"Itu satu-satunya tempat kematian yang paling bagus 

untukmu!" sahut Dewi Rebab. 

Dalam takutnya Datuk Ular menjadi nekad. Dia 

menyeruduk ke muka sambil menendang salah satu 

tangan mencengkeram. 

Bret! 

Datuk Ular hanya berhasil merobek dada pakaian Dewi 

Rebab. Sebaliknya penggesek rebab yang menekan leher-

nya tiba-tiba bergerak sangat kuat hingga kepalanya ter-

banting ke kiri dan badannya ikut miring. Sebelum dia 

mampu mengimbangi kedua kaki, ujung penggesek 

menusuk dadanya. Datuk Ular menjerit. Tapi bukan rasa 

sakit tusukan pada dada itu yang membuat dia menjerit. 

Melainkan rasa takut luar biasa ketika dia menyadari 

tubuhnya terpelanting ke belakang dan tak ampun lagi 

terjerumus masuk ke dalam kolam! 

Jeritan Datuk Ular masih terdengar dua kali lagi.


Setelah itu lenyap. Tubuhnya yang sesaat menggelepar-

gelepar kini tampak diam. Ribuan ikan Iblis Prahara 

menggerogoti tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke 

ujung kaki. Tubuh itu kemudian hanya tinggal tulang 

belulang! 

Dewi Rebab yang sudah sering menyaksikan berbagai 

macam kematian yang mengerikan kini benar-benar 

merinding bulu tengkuknya. Tak ada kematian sedahsyat 

seperti yang dilihatnya di kolam itu. Kalau saja tadi dia 

tidak mendapat teriakan peringatan dan tak sempat 

melompat ke luar dari dalam kolam, nasibnya pasti sama 

seperti yang di alarm Datuk Ular itu. 

"Datuk Ular! Kami bertempur mati-matian kau enak-

enak mandi di kolam!" Tiba-tiba terdengar teriakan kakek 

sinting Pengemis Sableng. Dasar otaknya miring. Datuk 

Ular yang meregang nyawa dan kini hanya tinggal 

jerangkong dikatakannya sedang enak-enakan mandi. Saat 

itu meskipun dia bersama adik kembarnya berada dalam 

keadaan terdesak, enak saja dia meninggalkan kalangan 

perkelahian dan melompat ke tepi kolam 

"Hai! Datuk Ular! Di mana kau?" teriak Pengemis 

Sableng. Di dalam kolam yang airnya telah butek oleh 

darah dia hanya melihat ribuan ikan hitam dan tulang 

tengkorak manusia. 

"Pengemis Sableng!" menegur Dewi Rebab. "Jika kau 

tidak lekas ajak adikmu minggat dari sini kalian akan 

segera menyusul Datuk Ular menjadi tulang belulang!" 

"Perempuan muka pucat mulutmu sombong amat!" 

maki Pengemis Sableng. Dia hendak menyerang Dewi 

Rebab tapi di sebelah sana terdengar saudaranya minta 

tolong. Ditinggal sendirian rupanya Pengemis Berkipas 

Putih tak sanggup menahan gempuran Mahesa Kelud. 

Walau dia berhasil melepaskan beberapa kali gebukan ke 

tubuh dan muka Mahesa, namun kipas saktinya telah 

hancur terbabat pedang sakti lawan. Pakaiannya bahkan 

telah robek-robek di beberapa bagian. Pengemis Sableng 

capat kembali membantu adiknya. Namun saat itu


serangan Mahesa Katud tak terbendung lagi. Pemuda ini 

keluarkan seluruh jurut-jurus ilmu pedang dewa yang 

didapatnya dari gurunya Suara Tanpa Rupa. 

"Adikku! Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Tak 

ada gunanya meneruskan perkelahian!" kata Pengemis 

Sableng. 

Pangemit Berkipas Sakit menyabut marah. "Pengecut! 

Jika kau mau kabur, kaburlah! Tapi hubungan kita sebagai 

adik kakak putus hari ini juga!" 

"Manusia tolol! Datuk Ular sudah mampus. Upah yang 

kita dapat dari hartawan Prajadika tidak seberapa! Apa kau 

mau korbankan nyawa untuk hadiah yang secuil itu!" 

bentak Pengemis Sableng. 

"Ucapanmu memalukan!" balas membentak Pengeamis 

Berkipas Putih. Dia menarik tangannya ketika Pengemis 

Sableng membetotnya memaksa agar meninggalkan 

tempat itu. Justru di saat itu Padang Dewa di tangan 

Mahesa Kelud datang membabat dan crass! 

Pengemis Berkipas Putih menjerit. Lengan kirinya 

putus. Darah mengucur. Pengemis Sableng ikut menjerit. 

Tapi menjerit marah dan menyerbu Mahesa dalam gerakan 

tak karuan hingga mudah sekali bagi pemuda itu meng-

hantamnya dengan pukulan karang sewu ke arah dadanya. 

Pengemis Sableng terpentaI jauh. Darah mengucur dari 

mulutnya. Dengan susah payah dia bangkit berdiri. Tanpa 

perdulikan lagi adiknya dia melarikan diri tinggalkan 

lambah itu. Menyadari dirinya ditinggal sendirian. Pengemis 

Berkipas akhirnya mengikuti jejak kakaknya melarikan diri 

dalam keadaan luka parah. 

Mahesa Kelud bersihkan padang saktinya. Setelah 

masukkan senjata itu ke dalam sarungnya dia melangkah 

menemui Dewi Rebab dan menjura memberi peng-

hormatan. 

"Dewi, jika kau tak ada di sini, sulit bagiku menghadapi 

ketiga manusia itu sekaligus." 

"Kau pandai merendahkan diri Mahesa," sahut Dewi 

Rabab sambiI menatap paras pemuda itu. Wajahnya tetap


pucat dan dingin. Namun di lubuk hatinya ada rasa 

gembira. Dia ingat Mahesalah orang yang pernah memuji 

kepolosan hati dan kecantikan wajahnya. 

Mahasa manggoyangkan kepala ke arah kolam. "Sulit 

dipercaya ada kolam iblis seperti ini." 

"Pasti puluhan orang telah jadi korban di tempat ini. 

Kurasa lenyapnya beberapa tokoh silat ada sangkut 

pautnya dengan tempat ini. Ulah Datuk celaka itu. Ikan-

ikan ini harus dimusnahkan!" 

"Harus dimusnahkan sabelum ada korban lagi yang 

jatuh!" mengulang Mahesa. Lalu dia melangkah ke tepi 

kolam, tegak di atas batu-batu besar. Tangan kanannya di 

angkat ke atas. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanan 

itu tampak bergetar ketika ada asap tipis keluar. Dewi 

Rebab dan Parangwulung merasakan lembah yang tadinya 

begitu sejuk kini tiba-tiba menjadi panas. 

Mahesa berteriak keras lalu pukukan tangan kanannya 

ke arah kolam. Asap putih menggebu disertai hawa yang 

sangat panas 

"Pukulan Api Salju!" teriak Dewi Rebab kaget dan 

kagum lalu melompat menjauh. 

Air kolam muncrat lalu terdengar mendidih. Ketika asap 

putih Ienyap tampakIah ribuan ikan-ikan Iblis Prahara telah 

mengambang dalam keadaan mati seperti direbus. 

Perlahan-lahan Mahesa Kelud turun dari batu besar. 

"Mahesa... Apakah... apakah kau juga murid Pendekar 

Api Salju....." terdengar Dewi Rebab Kencana bertanya. 

Mahesa hanya tundukkan kepala tak memberikan 

jawaban. Tapi itu sudah cukup menjadi pertanda jawaban 

bagi sang dewi. Dan hatinya bertambah kagum terhadap 

pemuda ini. Dengan menguasai ilmu pukulan Api Salju itu 

maka dia sadar kalau ilmu kepandaiannya jauh tertinggal 

di bawah si pemuda. 

"Tak ada gunanya kita berlama-lama di tempat ini 

Mahesa." 

"Ya, sebaiknya kita pergi dari sini. Sabentar lagi maIam 

akan tiba," menyahuti Mahesa. Lalu dia bersiul memanggil


kuda putih yang menunggu sabar di bukit-bukit batu. 

"Ah... kau memiliki kuda bagus. Aku hanya berjalan 

kaki!" kata Dewi Rebab pula. 

"Kalau kau suka kau boleh ambil kudaku..." kata 

Parangwulung yang sejak tadi tegak berdiam diri, tertegun 

menyaksikan segala kejadian. 

"Terima kasih. Aku tak menolak pemberianmu yang 

tulus. Tapi kau sendiri bagaimana tanpa kuda..." tanya 

Dewi Rebab. 

"Jangan pikirkan diriku Apa yang telah terjadi di sini 

mendatangkah nikmat bagiku. Kini aku punya bukti-bukti 

bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal 

karena ikan-ikan keparat itu! Aku akan membawa kepala 

pengawal istana bernama Kebo Alit itu ke mari. Agar dia 

melihat sendiri!" 

Dewi Rebab hendak naik ke atas kuda pemberian 

Parangwulung ketika dia ingat sesuatu sementara Mahesa 

sudah siap di atas punggung Panah Putih 

"Kau telah menyelamatkan jiwaku dari ikan-ikan iblis 

itu. Tidak pantas rasanya kalau aku tidak meninggalkan 

sesuatu sebagai tanda terima kasih... " 

"Dewi... aku tidak meminta balas jasa apapun..." kata 

Parangwulung. Saat itu Dewi Rebab telah berada di 

hadapannya. Parangwulung tak tahu apa yang hendak 

dilakukan perempuan sakti ini. Tiba-tiba Dewi Rebab 

ulirkan tangan kanan dan mencengkeram perut Parang-

wulung di bagian pusar. Lelaki ini menjerit kesakitan ketika 

dirasakannya ada hawa panas mengalir masuk ke dalam 

pusarnya laki menyebar ke seluruh badan. Perlahan-lahan 

rasa sakit itu pun lenyap. Ketika Parangwulung buka kedua 

matanya yang tadi terpejam karena kesakitan, dilihatnya 

Mahesa Kelud dan Dewi Rebab Kencana telah memacu 

kuda masing-masing ke arah timur. Lelaki ini singkapkan 

pakaiannya di bagian perut. Tampak tanda merah bekas 

cengkeraman Dewi Rebab. Ketika dia melangkahkan 

kakinya, bekas pengawal Tumenggung ini terkejut. Dia 

dapatkan gerakannya sangat enteng.


"Eh, apa yang telah dialirkan perempuan sakti itu tadi 

ke dalam tubuhku...?" membatin Parangwulung. Dia 

acungkan tinju kanannya, mengusap-usap dengan tangan 

kiri. "Jangan-jangan ..." Parangwulung memandang ke arah 

Dewi Rebab di kejauhan. Lalu ke arah sebuah batu besar di 

tepi kolam yang telah ambruk itu. Sesaat hatinya meragu. 

Namun dengan satu keyakinan Parangwulung hantamkan 

tangan kanan itu ke atas batu besar. 

Braakk! 

Batu besar itu hancur berantakan! 

Parangwulung berteriak girang. Lalu lelaki ini jatuhkan 

diri berlutut ke arah Dewi Rebab yang semakin jauh di arah 

Timur. "Terima kasih Dewi... Kau baik sekali. Terima kasih 

untuk tenaga dalam yang kau berikan! Aku tak pernah 

mengimpikan rezeki begini besar...!" 




                                TAMAT



Share: