SATU
INI BENAR—BENAR merupakan salu pemandangan yang
sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Dieng
sebelah selatan, dibawah udara yang selalu sejuk dalam
tiupan angin lembut terdapat sebuah lembah yang di-
tumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah
yang tidak ditumbuhi pepohonan. menghijau pedataran
rumput. Di ujung timur lembah menjulang tinggi pohon-
pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat pada keting-
gian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan
pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai. Dari
induknya di pegunungan Dieng anak sungai ini meng-
alirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat
sebuah danau berbentuk bulat.
Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air danau
itu sebenarnya berwarna biru. Namun pantulan daun-daun
pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang
serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa
cahaya matahari, membuat air danau memiliki belasan
warna yang indah menakjubkan.
Bagian tepi danau dilingkari oleh batu-batu besar
hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu
hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu
dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Maka
banyak yang berpendapat bahwa danau itu bukanlah
danau ciptaan alam, melainkan dibuat dan dibentuk oleh
tangan manusia. Dan dulunya mungkin sekali merupakan
kolam mandi para dewi,permaisuri raja atau para puteri
cantik jelita. Apalagi di antara bebatuan di sepanjang
tepian danau tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati
yang menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang
berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk
turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang
ternyata dalamnya hanya sebatas dada.
Pada malam hari. apalagi ketika saat bulan purnama,
pemandangan di atas kolam dan sekitarnya sungguh
sangat menakjubkan. Sangat cocok untuk tempat
pasangan yang sedang berkasih-kasihan memadu asmara.
Namun adalah sulit dipercaya kalau di balik semua
keindahan menakjubkan dan kesejukan yang menyegarkan
tersembunyi malepetaka ganas mengerikan yang berakhir
hanya pada satu titik, yakni titik kematian!
Saat itu memasuki bulan ke dua musim panas. Sejak
lama hujan tak pernah turun. Tanam-tanaman mulai ke-
keringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur
banyak yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar
mulai susut airnya.
Adalah aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti
tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Dieng di
mana terletak kolam yang dikitari pemandangan indah itu.
Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang
sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau.
Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam,
dan tiupan angin tetap lembut menyegarkan. Karenanya
tidak mengherankan kalau Tumenggung Singaranu yang
dalam perjalanan kembali ke Surakarta menghentikan rom-
bongannya di lereng lembah, memandang ke bawah
dengan penuh takjub.
"Taman bidadari atau kolam istana raja-rajakah yang di
bawah sana...?" ujar sang tumenggung seraya turun dari
kudanya yang keletihan. "Tapi aneh, tak ada rumah tak ada
bangunan. Siapa gerangan pemilik kolam bulat itu.
Mustahil terpelihara begitu bersih dan bagus kalau tak ada
yang merawatnya..."
Tumenggung Singaranu berpaling pada lelaki bermisai
lebat di sampingnya dan berkata, "Seharian penuh kita
menempuh jalan sulit penuh debu di bawah terik matahari.
Saatnya untuk beristirahat Bagaimana kalau kita turun ke
bawah lembah?"
Parangwulung, lelaki bermisai lebat mengangguk dan
menjawab hormat, "Saya hanya mengikut saja
Tumenggung."
Maka Tumenggung Singaranu mendahului rombongan
yang terdiri dari sembilan orang itu menuruni lembah,
melangkahi di antara pohon-pohon bunga, berlari-lari kecil
di atas pedataran rumput yang menurun.
"Parangwulung," kata Singaranu sambil membelai-belai
sekuntum bunga, "Aapakah kau melihat keanehan di
tempat ini?"
Lelaki berkumis tebal yang merupakan kepala
pengawal sang tumenggung memandang berkeliling,
coba menerka apa jawab yang harus diberikannya.
Akhirnya dia menggeleng. "Saya tidak melihat keanehan
apa-apa, Tumenggung," katanya.
Sang tumenggung tersenyum. "Rupanya kau hanya ter-
pesona melihat keindahan alam yang terhampar di depan
mata saja. Tidak berusaha menyimak bagaimana ke-
indahan ini bisa tercipta."
"Saya tidak mengerti maksud Tumenggung," jawab
Parangwulung terus terang.
Sambil melangkah menuruni pedataran rumput hijau
Tumenggung Singaranu berkata, "Dua hari dua malam kita
menempuh perjalanan sebelum sampai ke tempat ini. Apa
yang kita lihat? Bukit bukit dan pedataran tandus.
Hamparan tanah keras yang pecah-pecah karena sekian
lama tak tersentuh air. Sawah ladang yang mengering. Para
petani yang dirundung kesusahan. Tapi di sini! Kau
saksikan sendiri. Segalanya serba menghijau. Bahkan air
sungai pun mengalir seolah-olah mata airnya tak ter-
pengaruh oleh musim panas. Lihat bunga-bunga itu. Lihat
rerumputan yang kita pijak. Lembah ini benar-benar luar
biasa. Bukankah ini satu keanehan?"
Parangwulung manggut-manggut berulang kali. Baru
dia mengerti apa maksud kata kata sang tumenggung tadi.
Rombongan sampai di tepi kolam. Tumenggung Singaranu
tegak di atas sebuah batu besar sementara para peng-
ikutnya duduk di batu-batu lain keletihan. Semua me-
mandang ke dalam kolam yang airnya tampak berwarna
warni. Dalam warna-warni itu kejernihannya memungkin-
kan mata melihat dasar kolam yang tidak seberapa dalam.
Kesejukan menyelubungi diri setiap orang yang me-
mandang air kolam itu. Apalagi saat itu angin bertiup
Iembut, menambah sejuk tenteramnya perasaan di tempat
itu. Hasrat setiap anggota rombongan untuk ingin
menceburkan tubuh ke dalam kolam itu seolah tak ter-
tahankan. Hanya saja mereka tidak berani melakukan
karena takut terhadap sang tumenggung.
Singaranu berjongkok di atas batu. Dicelupkannya
tangan kirinya ka dalam air kolam. Terasa kesejukan men-
jalar sampi ke lengannya. Dicelupkannya sekali lagi tangan
kirinya, lalu tangan yang basah itu diusapkannya ke
mukanya yang penuh debu.
"Ah.... benar-benar segar," kata sang tumenggung. "Aku
ingin mandi di kolam ini!"
"Kami akan menunggu sampai Tumenggung selesai
mandi." kata Parangwulung. "Sementara itu biar anak-anak
beristirahat...." Kepala pengawal ini lalu memberi tahu
pada anak buahnya bahwa Tumenggung hendak mandi di
kolam. Mereka boleh beristirahat agak jenuh dan tepi
kolam karena tak pantas memperhatikan atasan mereka
sedang mandi. Parangwulung sendiri pergi duduk di bawah
sebatang pohon rindang. Pedang besarnya ditanggalkan
dari pinggang dan diletakkan di atas pangkuan. Hembusan
angin sejuk membuat ke dua matanya terkantuk-kantuk. Di
seberang sana tampak Tumenggung Singaranu menanggal-
kan pakaian luarnya, meletakkan topi tingginya di atas
batu lalu terdengar suara air berdebur tanda sang
tumenggung sudah melompat masuk ke dalam kolam yang
berair jernih dan sejuk itu.
Tapi, tak sampai sepuluh hitungan sejak Tumenggung
Singaranu masuk ke dalam kolam, mendadak terdengar
suara jeritan sang tumenggung. Panjang dan berulang kali!
Parangwulung dan anak buahnya melompat dari
tempat masing masing. Langsung menghambur ke tepi
kolam! Apa yang mereka saksikan kemudian membuat
tengkuk masing-masing merinding dan muka pucat pasi
seperti kain kafan!
Di sana! Di dalam kolam itu mereka menyaksikan
ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan berwarna hitam
sebesar empu jari kaki, bertebar berkerumun mengge-
rogoti tubuh Tumenggung Singaranu. Dalam waktu sangat
cepat seluruh daging di tubuh sang tumenggung, mulai dari
kepala sampai ke kaki, licin tandas tak bersisa lagi.
Termasuk isi perut dan dadanya. Sosok tubuh itu kini
hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong dengan
sedikit sisa-sisa rambut pada batok tengkorak kepalanya!
Parangwulung dan tujuh anak buahnya sampai ter-
lompat mundur menyaksikan kejadian yang sangat
mengerikan itu. Saking ngerinya mereka hampir-hampir tak
berani melihat. Untuk melakukan usaha pertolongan pun
saat itu tidak terpikirkan lagi. Malah ketika mereka melirik
ke tengah kolam, sosok tubuh Tumenggung Singaranu
telah lenyap. Yang ada hanya jerangkong terapung-apung
dan air kolam tampak ke merah-merahan oleh darah!
***
Kita kembali pada beberapa saat sewaktu rombongan
Tumenggung Singaranu sampai di atas lembah. Di balik
deretan batu-batu besar di bagian timur kolam di mana
tumbuh rapat pohon-pohon besar berdaun rimbun, sulit
terlihat oleh siapa pun yang berada di sekotar kolam,
tampak duduk menjelepok di tanah dua orang kakek ber-
pakaian dan bertingkah laku aneh.
Keduanya berwajah lonjong berkepala botak plontos.
Mata dan pipi cekung sedang mulut tak lagi ditumbuhi gigi
alias ompong, tanda usia keduanya su dah sangat lanjut.
Kakek yang duduk di sebelah kiri hanya mengenakan
sehelai celana kolor putih yang sudah bulukan dan dekil
apak. Matanya sebelah kanan picak sedang tulang kakinya
melengkung hingga kalau dia berdiri kedua kaki itu hampir
membentuk huruf O.
Kakek ke dua yang menjelepok di sebelah kanan, juga
memiliki mata buta alias picak, tapi kalau kawannya di
sebelah kanan maka dia picak di sebelah kiri. Tubuhnya
kurus kerempeng hanya tertutup oleh sehelai cawat hitam.
Di dagunya ada sebuah tahi lalat besar yang ditumbuhi
rambut panjang.
Dua kakek aneh itu asyik bercakap-cakap sambil
sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang mereka
bicarakan. Tiba-tiba Picak Kiri, begitu nama kakek yang
matanya picak di sebelah kiri, menggamit lutut temannya
dan letakkan jari di atas mulut.
"Ada apa...?" bertanya kakek yang digamit. Namanya
Picak Kanan.
"Lihat ke atas lembah sana. Ada orang datang ...." si
Picak Kiri menunjuk ke arah kejauhan, ke atas lembah.
Kawannya memandang ke tempat yang ditunjuk.
Saat itu kelihatan serombongan orang berkuda ber-
henti di atas lembah, memandang ke bawah.
"Yang paling depan berpakaian bagus. Pakai topi
tinggi... Pasti orang terkemuka. Kalau bukan bangsawan
kaya mungkin orang dalam keraton"
Picak Kanan mengangguk "Delapan orang lainnya itu
tentu pengiring-pengiringnya. Lihat, mereka turun dari
kuda. Yang berpakaian bagus mulai menuruni lembah
"Yang lain lainnya juga mengikuti. Nan .... nah .. . nah!
Ada rejeki besar buat kita hari ini rupanya!" kata Picak Kiri.
"Perlahan bicaramu! Jangan sampai mereka men-
dengar!" memperingatkan si Picak Kanan. Lalu dia meng-
garuk-garuk perutnya yang gatal.
Orang-orang yang mendatangi lembah itu bukan lain
adalah rombongan Tumenggung Singaranu yang dalam
perjalanan kembali ke Surakarta, berhenti di lembah
karena terpesona akan keindahan pemandangan dan
kesejukan di tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat
sebuah kolam berair jernih di dasar lembah.
Ketika Tumenggung Singaranu menyentuh air kolam
yang sejuk dengan tangan kirinya lalu membasahi muka
nya yang berdebu dengan air kolam itu, si Picak Kiri ber-
bisik, "Aku yakin orang berpakaian bagus itu pasti akan
masuk mandi ke dalam kolam kita. Peralatanmu sudah
siap...?"
"Sudah," jawab si Picak Kanan. "Tanganku sudah gatal
untuk mendorong rotan itu...."
Kedua kakek itu, sambil memperhatikan gerakan
rombongan Tumenggung Singaranu, keduanya beringsut
mendekati semak belukar pendek di antara dua batang
pohon besar.
"Dugaanku tepat! Lihat! Orang itu membuka pa-
kaiannya!" kata si Picak Kiri ketika terlihat Tumenggung
Singaranu mulai menanggalkan pakaian sementara para
pengiringnya bertebar beristirahat tak berapa jauh dari tepi
kolam.
Picak Kanan segera memasukkan tangan kanannya ke
dalam semak belukar sampai dia menyentuh ujung dari
sebuah tali rotan sepanjang tiga tombak yang berhubungan
dengan sebuah terowongan berair di bawah tanah yang
berbatu-batu. Ujung lain dari tali rotan itu melekat pada
sebuah lempengan tembaga tebal dan berat yang
merupakan sekat atau pintu penutup mulut terowongan
berair.
Picak Kanan tertawa mengekeh tapi tanpa suara ketika
dia melihat Tumenggung Singaranu memasukkan kedua
kakinya ke dalam air kolam. Kawannya si Picak Kiri tampak
berkomat-kamit dan basahi bibir dengan ujung lidah ber-
ulang kali.
Terdengar suara air kolam berdebur ketika tubuh sang
tumenggung masuk sampai sebatas dadanya yang berbulu.
"Sekarang Picak... Sekarang!" bisik Picak Kiri ketika
Tumenggung Singaranu bergerak ke bagian tengah kolam.
Picak Kanan dorong ujung tali rotan yang sejak tadi di
pegangnya. Tembaga tebal dan berat penutup mulut
terowongan air terdorong ke depan dan membuka lebar.
Dari mulut terowongan yang terbuka itu, yang ternyata ber-
hubungan dengan bagian bawah kolam, menderulah
ratusan bahkan ribuan ekor ikan aneh berwarna hitam.
Berbentuk segitiga dengan mulut terbuka lebar memper-
lihatkan gigi-giginya yang runcing seperti mata gergaji yang
luar biasa tajamnya!
Ribuan ikan ini menyerbu kaki, perut dan dada
Tumenggung Singaranu hingga orang ini terlonjak ke-
sakitan, menjerit dan menggapai-gapai, berusaha melari-
kan diri ke tepi kolam. Tapi terlambatl Cepat sekali ribuan
mulut gergaji itu melumat sekujur tubuhnya. Ketika sang
tumenggung roboh tergelimpang ke dalam air kolam, maka
leher, muka dan kepalanya pun jadi santapan ikan-ikan
hitam itu.
"Bagus...! Bagus...! Ikan peliharaan kita memang
hebat!" Si Picak Kiri tertawa mengekeh tanpa suara.
Kawannya si Picak Kanan juga tampak senang dan
ikut-ikutan tertawa. "Tidak percuma kuberi nama ikan-ikan
Iblis Prahara! Jangankan manusia! Kuda pun akan di-
santapnya dalam sekejapan mata!"
Di dalam kolam sosok tubuh Tumenggung Singaranu
yang malang telah lenyap. Yang tampak kini hanyaIah
tulang belulang atau jerangkong berselimut air dan darah,
mengapung mengerikan. Delapan orang pengiringnya ter-
tegun menggigil di tepi kolam, memandang dengan muka
pucat pasti dan mata membeliak.
"Picak Kanan, lekas kau masukkan ikan-ikan itu.
Jangan sampai orang-orang itu tahu jelas apa yang terjadi.
Ayo cepat!" Si Picak Kiri berbisik.
Picak Kanan goyang-goyangkan ujung rotan yang di-
pegangnya. Dari atas terowongan berjatuhan benda-benda
halus seperti pasir yang memancarkan warna putih ber-
kilat-kilat. Kilatan benda-benda halus ini menarik perhatian
ribuah ikan hitam segitiga. Mereka segera melesat masuk
ke dalam terowongan. Setelah tak seekor pun yang ter-
tinggal di dalam kolam. Picak Kanan menarik ujung rotan.
Lempengan tembaga tebal dan berat ikut tertarik dan
menutup rapat-rapat mulut terowongan!
Picak Kanan gosok-gosok kedua telapak tangannya
dengan sukacita. Kawannya tak henti-hentinya menepuk
bahunya dan berbisik: "Bagus! Permainan kita sudah
selesai. Atau mungkin ada lagi dari orang-orang itu yang
mau mencebur masuk ke dalam kolam kita?"
Kedua kakek aneh menunggu. Tapi tak ada seorang
pun yang masuk ke dalam kolam itu. Bahkan ketakutan
membuat mereka sama sekali tidak berusaha mengambil
atau menarik sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang
kini telah berubah menjadi jerangkong tulang belulang itu.
Parangwulung lari paling dulu menuju ke atas lembah
diikuti oleh tujuh anak buahnya. Seperti dikejar setan
mereka melompat ke atas punggung kuda masing-masing,
lalu menghambur meninggalkan tempat itu tanpa berani
menoleh ke belakang!
***
DUA
KUDA PUTIH besar tinggi dan gagah itu berhenti di
depan sebuah surau kecil di puncak bukit. Meski
baru saja menempuh perjalanan jauh dan sulit di
dalam musim kemarau yang membara tetapi binatang yang
jinak ini tidak kelihatan letih. Ekornya yang panjang tebal di
kibas-kibaskan. Sikapnya tetap tegak dengan gagah
sampai tuannya—seorang pemuda berpakaian putih yang
duduk menunggangnya—turun dari punggungnya. Setelah
si pemuda turun baru kuda putih ini melangkah
menghampiri rumput liar di bawah sebatang pohon nangka
hutan.
Pemuda berpakaian putih tadi mencuci kaki dan
tangannya di sebuah pancuran di samping surau lalu
mengambil air wudhu. Setelah itu dia masuk ke dalam
surau berlantai papan.
Kiai Kali Mutu tengah khusuk bersembahyang lohor.
Pemuda tadi bardiri di samping sang kiai, agak ke balakang
sadikit. lalu ikut sambahyang dan menjadikan orang tua itu
sebagai imam. Sesaat setelah si orang tua mengucap
salam dan diikuti oleh si pemuda, keduanya membaca doa
dan berzikir.
Begitu zikir selesai pemuda tadi beringsut mendekat
Kiai Kali Mutu seraya memberi salam dan berkata, "Guru
murid sudah kembali..." Lalu diambilnya tangan kanan
orang tua itu, disalami dan diciumnya.
Kiai Kali Mutu tersenyum gembira dan tepuk bahu
muridnya dengan tangan kiri.
"Aku bersyukur kepada Tuhan kau telah kembali
dengan selamat, Panji," kata Kiai Kali Mutu. "Sebelum ke
mari apakah kau ada menziarahi makam kakekku di desa
Kadilangu?"
"Saya tidak lupa hal itu, guru. Saya ada menziarahi
makam Sunan," sahut si pemuda yang bernama Panji.
"Bagus. Kau memang murid yang tahu berbakti."
"Apakah selama ini guru ada baik-baik dan sehat-
sehat?"
"Ah... orang setuaku ini bagaimana bisa selalu sehat.
Kadang-kadang kena angin sedikit saja terus menang atau
batuk-batuk. Tapi syukurlah semua penyakit itu tidak
kerasan mendekam dalam tubuh rongsokan ini. Cepat
datang cepat pula perginya. Muridku, satu tahun kulepas,
pengalaman apa saja yang telah kau dapati... ?"
"Banyak guru. Saya kira-kira dapat menarik satu
kesimpulan."
"Kesimpulan apa?" tanya Kiai Kali Mutu.
"Ternyata dunia kita ini masih banyak didiami oleh
manusia-manusia jahat. Mulai dari bangsa maling dan
rampok yang berbuat kejahatan secara terang terangan,
sampai pada para penguasa yang berbuat kejahatan
secara tersamar..."
Kiai Kali Mutu tertawa.
"Itulah hidup di dunia, muridku," katanya. "Sepanjang
umur dunia manusia jahat dan kejahatan tidak akan
pernah lenyap. Hanya cara mereka melaku kan kejahatan
berbeda-beda. Satu hal jangan kau lupakan Panji. Segala
pelajaran dan ilmu yang kuberikan padamu justru adalah
untuk mengikis kejahatan itu. Kenapa kukatakan me-
ngikis? Karena kita orang-orang yang berusaha di jalan
yang benar hanya merupakan segelintir kecil saja dari satu
kekuatan melawan kejahatan. Ketahuilah kejahatan itu
banyak temannya sedang kebenaran banyak musuhnya.
Karena itulah kau kusuruh kembali ke mari untuk menggali
lebih banyak ilmu. Jika kau rajin mungkin hanya enam
bulan saja kau sudah boleh pergi lagi..."
"Saya akan mengikuti segala petunjuk guru dan berjanji
rajin belajar..." kata Panji.
Sang kiai menepuk bahu muridnya kembali. "Aku
senang mendengar kata-katamu itu. Apakah Panah Putih
tidak banyak bertingkah selama berkelana bersamamu?"
"Dia kuda yang baik guru. Saya suka padanya. Kalau
saya boleh bertanya apakah adik Sri Magaresmi sudah
kembali?"
"Kau tahu adikmu itu gadis bandel. Waktu kusuruh dia
mengelana satu tahun, dia minta diberikan waktu tiga
lahun. Akhirnya seielah berdebat panjang pendek.
kusetujui dua tahun. Berarti baru tahun dapan dia muncul
di sini."
Kiai Kali Mutu meIihat ada bayangan rasa cam as di
wajah Panji. Maka diapun barkata, "Kau tak usah kawatir,
muridku. Ilmu kepandaian yang dimilikinya cukup dapat
diandalkan untuk menjaga diri. Asal saja dia jangan suka
nakal dan jahil. Lagi pula dia pergi dengan menyamar
seperti lelaki. Kalau pun kau bar sua dengannya, mungkin
kau tak akan menganali itu adalah adik kandungmu sendiri
Mendengar penjelasan gutunya itu puaslah hati Panji.
"Waktu berjalan cepat. Panji. Waktu tak pernah me-
nunggu kita. Besok selesai sembahyang subuh kita mulai.
Partama sekali kau harus memperlihatkan padaku saluruh
jurus-jurus silat yang telah kau miliki. Jika ada kekurangan-
kekurangan harus diperbaiki dulu, Setelah itu akan kucoba
pukulan-pukulan yang mengandung tenaga putih. Lalu
menguji kecepatan gerakmu. Satelah itu baru mulai
dengan pelajaran baru. Jika apa yang kini kau miliki benar-
benar sudah mantap, aku hanya akan menitik beratkan
pelajaran pada latihan menghimpun dan melepas tenaga
dalam. Apakah kau siap besok subuh?"
"Saya siap guru. Sekarang izinkan saya member,
minum Panah Putih dulu."
Kiai Kali Mutu mengangguk. Begitu muridnya leyap di
pintu surau, dia pun bangkit berdiri dan mengerjakan
sembahyang sunat.
***
PICAK KANAN menguap lebar-lebar lalu menyeka mata
kirinya yang berair.
"Sial benar nasib kita kali ini. Hampir sebulan lebih tak
ada seorang pun yang lewat di sini. Ke mana semua
manusia di kolong langit ini....?!"
Picak Kiri yang duduk bersandar di batang pohon
sambil mencabuti janggutnya memandang ke atas lembah
lalu berkata, "Yang aku kawatirkan adalah jangan-jangan
telah tersiar kabar di luaran bahwa kolam kita ini
merupakan kolam maut. Hingga tak ada yang berani lewat
apalagi datang dekat dekat ke mari."
"Kekawatiranmu itu beralasan juga," ujar Picak Kanan
dengan wajah gundah sambil usap-usap kepalanya yang
botak plontos. Sesaat kemudian dia bangkit berdiri seraya
memegang-megang perutnya yang kempis. "Aku lapar.
Lebih baik kita cari makanan dulu, baru memikirkan lagi
korban-korban baru."
Mjalas-malasan Picak Kiri bangkit pula dari duduknya,
tapi cepat sekali dia tundukkan badannya di balik semak
belukar, malah bergerak berlindung ke balik pohon besar.
"Kenapa kau?" tanya Picak Kanan melihat gerak-gerik
kawannya yang aneh itu.
"Sttt... Kau lihat ke atas sana. Ada serombongan orang
muncul. Seperti serombongan pasukan. Kelihatannya
seperti orang-orang Kerajaan dari timur
Picak Kiri menyibak semak belukar dan memandang ke
atas lembah. Apa yang dikatakan kawannya memang
benar. Di atas sana kelihatan serombongan orang berkuda
berhenti di bibir lembah. Semuanya menunggang kuda.
Kira-kira dua puluh berpakaian prajurit lengkap dengan
senjata di pinggangnya. Lalu ada dua orang tua berpakaian
seperti orang persilatan. Di antara ke dua orang tua ini
kelihatan seorang lelaki baya bermisai tebal. Di depan
orang bermisai ada seorang penunggang kuda berpakaian
perwira kerajaan. Lalu ada tujuh orang berpakaian
seragam pengawal, tapi tidak seperti pakaian yang di-
kenakan dua puluh perajurit pertama
Ketika melihat lelaki bermisai itu, Picak Kanan berbisik
pada kawannya, "Aku ingat betul! Lelaki berkumis lebat itu,
bukankah dia orang yang mengawal lelaki berpakaian
bagus yang mampus di kolam kita tempo hari?"
Picak Kiri buka mata kanannya lebar lebar dan otaknya
coba mengingat ingat.
"Kau betul. Aku ingat. Dia yang kabur paling dulu. Hik...
hik... . . . hik. Aku ingat. Memang dia!"
"Hus! Jangan tertawa keras-keras. Lihat, rombongan itu
mulai menuruni lembah. Mereka menuju kemari! Apakah
letak persembunyian kita ini sudah aman?"
"Jangan kawatir! Setan mata sepuluhpun tak bakal
tahu kalau kita ada di sini!" jawab Picak Kiri. "Kelihatannya
rombongan ini seperti hendak melakukan penyelidikan.
Kita harus hati-hati, Picak Kanan. Lelaki berkumis itu
kelihatan tidak bergerak bebas. Dua orang tua itu seperti
selalu mengapitnya.... Dan kau lihat. Dua puluh perajurit
menuruni lembah sambil menyebar... Tujuh orang lainnya...
Ah aku ingat sekarang! Tujuh orang itu adalah orang-orang
yang mengawal lelaki berpakaian bagus dulu! Ada apa ini
sebenarnya!"
Saat itu memang rombongan yang barusan datang
tampak menuruni lembah. Lelaki berkumis yang bukan lain
adalah Parangwulung menunggangi kuda diapit oleh dua
orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di sebelah
depan memimpin orang bertubuh tegap, berseragam
perwira kerajaan. Dia menunggangi kudanya dengan mata
tak berkesip memandang ke arah kolam yang airnya
tampak berwarna-warni. Di belakang keempat orang ini,
bergerak tujuh orang anak buah Parangwulung, lalu di
sebelah belakang sekali dua puluh perajurit menuruni
lembah dengan sikap penuh waspada, menebar
memanjang. Rombongan itu sampai di depan kolam. Orang
barpakaian parwira berpaling pada Parangwulung dan
bertanya, "Jadi inilah kolam yang kau katakan sebagai
tampat Tumenggung Singaranu menemui ajalnya dengan
cara aneh!"
"Betul sekali Kebo Alit ...." jawab Parangwulung.
"Kolam begini bagus. Berair jernih. Di lembah yang
berpemandangan luar biasa indah. Bagaimana seseorang
bisa menemui kematian di sini...?" kata sang perwira yang
bernama Kebo Alit sambil geleng-geleng kepala. "Katamu
kau menyaksikan ada ikan ikan hitam yang ribuan
banyaknya menyambar tubuh Tumenggung. Lalu sebentar
saja tubuh itu hanya tinggal tulang belulang. Tapi aku tidak
malihat sisa-sisa jenasah Tumenggung di sini..."
"Mungkin sekali sudah dimakan atau dilarikan binatang
hutan," jawab Parangwulung.
"Bisa jadi!" ujar sang perwira pula sambil usap-usap
dagunya. "Tapi aku pun tidak melihat ikan-ikan hitam itu di
dalam kolam yang dasarnya jelas tampak dari sini. Atau
mungkin mataku buta...? Paman Randu Wungu dan paman
Randu Ireng, apakah kau melihat ada ikan atau binatang
lain dalam kolam ini?!"
Dua orang tua yang mengapit Parangwulung sama-
sama menggelengkan kepala Parangwulung tampak pucat
parasnya.
Kabo Alit mangusap-usap kuduk kudanya lalu berkata,
"Aku akan mengitari kolam ini. Menyelidik, kalau-kalau ada
petunjuk yang dapat menunjang keteranganmu. Kalian
semua tunggu di sini... !"
Lalu dengan menunggang kuda perwira itu mengitari
kolam sambil menunggang kudanya perlahan-Iahan. Tak
selang berapa lama dia sampai di tempat rombongan
berhenti, langsung berkata, "Tak ada satu pun yang ku-
temui. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak ada ikan di
dalam kolam, tak ada jga binatang lain. Bagaimana kami
bisa mempercayai keteranganmu tentang kematian
Tumenggung Singaranu itu, Parangwulung!"
"Sudah kukatakan berulang kali. Kebo Alit! Aku berani
bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan
dusta! Tumenggung Singaranu menemui kamatiannya di
kolam ini. Ketika handak mandi! Diserbu oleh ribuan ikan-
ikan hitam! Tujuh pengawal itu ikut menyaksikan! Kami
kemudian melarikan diri ketakutan ketika melihat sosok
tubuh Tumenggung Singaranu hanya tinggal jerangkong
dan tengkorak belaka!"
.
"Parangwulung! Kau tahu apa hukuman bagi seorang
bawahan yang membunuh atasannya hanya untuk merebut
kedudukan atasan! Kau terlalu bodoh! Sekalipun
Tumenggung menemui kematian secara wajar, kedudukan
itu tak bakal diberikan padamu! Kau hanya seorang kepala
pengawal yang tidak layak menduduki jabatan
Tumenggung! Apalagi sangat besar kecurigaan bahwa kau-
lah yang talah membunuh Tumenggung Singaranu lalu
mengarang cerita yang tidak masuk akal!"
"Aku bersumpah! Aku tidak membunuh Tumenggung
Singaranu! Aku tidak mengarang cerita! Tujuh perajurit itu
melihat dengan mata kepala mereka sendiril"
Kebo Alit memandang pada tujuh orang bawahan
Parangwulung dan bertanya, "Benar kalian melihat sendiri
Tumenggung Singaranu menemui ajal dimakan ikan di
dalam kolam yang berair sejuk ini?!"
Tujuh orang perajurit itu serentak menggelengkan
kepala. Dua orang diantara mereka membuka mulut:
"Parangwulung yang membunuh Tumenggung! Mayatnya
dibuang ke dalam hutan sana. Dan kami disuruhnya untuk
ikut berserikat memberi keterangan palsu!"
Berubahlah paras Parangwulung. Tiba-tiba dia ber-
teriak, "Manusia-manusta pengkhianat! Kalian tahu apa
yang terjadi! Kini kalian berani bicara dustal"
Tubuh Parangwulugng melesat dari punggung kudanya.
Salah satu perajurit yang tadi membuka mulut dihantam-
nya dengan tendangan kaki kanan hingga terjengkang dan
roboh pingsan dekat bebatuan di tepi kolam. Ketika dia
hendak mengamuk menghajar bawahannya yang lain,
Randu Wungu dan Randu Ireng cepat melompat turun dari
kuda masmg-masing dan berusaha menangkap Parang-
wulung. Melihat orang merintangi amukannya Parang-
wulung berteriak marah.
"Aku lebih baik mati mengadu jiwa dengan kalian
daripada mati difitnah!"
Sebagai orang yang dipercayakan menjadi kepala
pengawal Tumenggung Singaranu semasa hidupnya tentu
saja Parangwulung memiliki kepandaian silat yang dapat
diandalkan. Gebrakan-gebrakan kilatnya yang dilandasi
hawa amarah membuat dua orang tua yang diserangnya
terpaksa menyingkir. Ketika Kebo Alit mendorong
punggungnya dengan tumit hingga dia hampir jatuh ter-
jerembab, Parangwulung segera hunus pedang besarnya.
Sekali membabat pedang itu hampir saja membacok putus
kaki kanan Kebo Alit. Untuk selamatkan kakinya perwira ini
jatuhkan diri dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah
dia langsung kirimkan satu jotosan ke dada Parangwulung.
Tapi yang diserang cepat menerpa dengan senjatanya
hingga Kebo Alit dengan geram terpaksa tarik pulang
tangannya dan melompat mundur! Dengan pedang di
tangan memang sulit bagi Kebo Alit untuk menghadapi
lawan karena tingkat kepandaian mereka memang hampir
sejajar.
Tetapi lain haInya dengan dua orang tua itu. Baik
Randu Wungu maupun Randu Ireng sama-sama memiliki
kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari Parangwulung.
Sehingga sekalipun Parangwulung memegang pedang di
tangan, setelah menyerang gencar dan beringas, empat
jurus kemudian dua orang tua ini berhasil melumpuhkan
Parangwulung dengan satu totokan. Dalam keadaan tak
berdaya lagi sementara pedangnya jatuh tergeletak di atas
rumput, kedua orang tua itu membawa kepala pengawal itu
ke tepi kolam.
Di sini Randu Wungu berkata, "Parangwulung, harap
maafkan kami berdua! Walau kita bersahabat tetapi
sebagai hamba kerajaan kami tunduk akan perintah yang
diberikan oleh mapatih kerajaan. Jika kolam ini memang
ada ikan ganas seperti katamu mari sama-sama kita
buktikan!"
Lalu kedua orang itu melemparkan tubuh Parang-
wulung ke dalam kolam. Parangwulung berteriak
ketakutan. Tubuhnya jatuh duduk di dasar kolam. Karena
kedua kaki dan tangannya lumpuh akibat totokan, dia tak
sanggup berdiri dan megap-megap dalam air. Dia yakin
seperti apa yang disaksikannya terjadi atas diri
Tumenggung Singaranu, sebentar lagi akan menimpa diri-
nya. Ribuan ikan hitam berbentuk segitiga dengan gigi-gigi
yang runcing seperti gergaji akan menyerbu dan melumat
seluruh daging yang membalut tubuh dan kepalanya.
Tetapi sampai sekian lama menunggu tak seekor ikan pun
muncul. Dalam keadaan lemas hampir pingsan Randu
Wulung dan Randu Ireng mengangkat Parangwulung ke
luar dari dalam kolam lalu melepas totokannya.
Begitu totokannya lepas langsung dia telungkupkan
badan hingga air kolam yang banyak terminum keluar
kembali.
Kebo Alit melangkah rnendekatmya dan berkata, "Kau
saksikan sendiri Parang! Kolam itu tak ada makhluk apa
apanya! Apa itu tidak cukup bukti atas kedustaanmu...?!"
Parangwulung yang tidak berdaya karena masih sangat
lemas tak bisa menjawab apa apa. Dia hanya memandang
dengan mata merah melotot pada Kebo Alit ketika perwira
ini memberi perintah pada dua orang perajurit untuk
mengikat dua pergelangan tangan serta bahunya.
"Parang! Kau telah membuktikan kedustaanmu sendiri!
Atas nama mapatih kerajaan, kau kami tangkap dan
dibawa kembali ke Kotaraja!"
Parangwulung diangkat dan didudukkan di punggung
Kuda.
Ketika rombongan itu meninggalkan lembah, Picak Kiri
berpaling pada Picak Kanan dengan wajah menunjukkan
rasa kesal.
"Kenapa tidak kau lepaskan ikan-ikan Iblis Prahara
itu?!"
"Aku tak merasa perlu meskipun sudah sekian lama tak
ada yang dapat dijadikan mangsa ikan-ikanku!"
"Gila! Kenapa tidak merasa perlu?!" si Picak Kiri jadi
sewot.
"Kau yang gila!" balas menyemprot Picak Kanan.
Kedua kakek aneh itu serantak sama sama berdiri,
hampir beradu hidung dan sama-sama kepalkan tangan.
"Kau berani memaki aku gila?!" sentak Picak Kiri.
"Kau yang duluan mengatakan aku gila!" balas
menyentak Picak Kanan.
"Kau memang gila! Apa kau tidak menyadari akibatnya
jika ikan-ikan itu kulepas?! Mereka akan melihat dan tahu
di kolam ini benar-benar ada ikan iblis itu! Dan mereka
akan menghancurkan tempat ini. Lalu apa lagi permainan
kita?!"
Picak Kanan terdiam. Amarahnya surut. Perlahan-lahan
dia kembali duduk menjelepok di tanah. Tapi bangun lagi
ketika ingat akan perutnya yang lapar lalu mengajak
kawannya mancari makanan.
***
TIGA
PEMUDA bertubuh ramping itu memacu kuda iiitamnya di
kaki pegunungan Dieng menuju ke arah timur. Kulitnya
yang putih tampak kemerah-merahan oleh teriknya sinar
matahari. Sambil menunggang kuda kedua matanya
memandang kian kemari menehti keadaan di sekelilingnya.
Ke mana pun mata memandang yang dilihatnya hanya
pedataran atau bukit tandus, atau pohon-pohon yang
mengering dedaunannya.
Bosan menempuh pedataran garsang sejajar kaki
pegunungan, pemuda ini membelokkan kudanya menuju
ke sebuah bukit.
"Kudaku, kau tentu haus. Siapa tahu di puncak bukit
sana kita bakal menemukan mata air," kata si pemuda
pada kuda tunggangannya sambil mengelus-elus tengkuk
binatang itu.
Seperti mengerti akan ucapan tuannya. kuda hitam itu
kedap-kedipkan kedua matanya dan mem percepat larinya
menuju bukit. Pada saat baru saja mencapai lereng. dari
atas bukit si pemuda melihat serombongan orang berkuda
menuruni bukit, tepat mengarah ke jurusannya.
Meskipun lereng bukit itu cukup luas dan sebenarnya si
pemuda bisa menghindar agar tidak berpapasan langsung
dengan rombongan yang turun, namun nyatanya pemuda
ini tak mau melakukan hal itu. Dia terus mendaki bukit,
menyongsong arus rombongan di depannya. Baru sejarak
dua puluh tombak dari orang-orang itu dia hentikan
kudanya dan menunggu sambil memandang tajam-tajam
ke depan. Makin dekat ke arahnya makin dapat dilihatnya
siapa-siapa para penunggang kuda itu.
Di sebelah depan adalah seorang lelaki separuh baya
berpakaian perwira kerajaan. Di belakangnya menyusul
tiga penunggang kuda. Yang dua orang berusia lanjut,
mengenakan pakaian seperti orang-orang dari rimba
persilatan. Keduanya menunggang kuda mengapit seorang
lelaki berkumis tebal. Ada keanehan pada lelaki berkumis
ini yang membuat si pemuda memperhatikannya dengan
seksama. Dia mengenakan pakaian perajurit kepala yang
basah kuyup dan kedua tangannya berada di depan perut
dalam keadaan terikat. Di belakang tiga orang ini tampak
lebih dari dua puluh perajurit, bergerak dalam posisi
demikian rupa seperti mengawal orang-orang yang ada di
sebelah depan mereka.
Melihat ada penunggang kuda yang sengaja berhenti di
arah jalan yang mereka lalui, lelaki berpa kaian perwira
angkat tangannya memberi tanda. Maka seluruh
rombongan pun berhenti. Perwira itu yang bukan lain
adalah Kebo Alit mendekati si pemuda dan berhenti
sejarak empat langkah. lalu menegur.
"Orang muda, kau seperti sengaja menghadang per-
jalanan kami!"
Pemuda itu menatap wajah sang perwira sesaat
dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab,
"Aku tak merasa menghadang siapa-siapa. Lereng bukit ini
cukup luas dan aku berhenti di sini tanpa mengandung
maksud apa apa ..."
"Begitu? Kalau demikian menyingkirlah. Kami akan
lewat!"
"Sekali lagi kukatakan, lereng bukit ini cukup luas.
Mengapa aku harus menyingkir?!"
"Hemm... Pemuda ini mungkin bebal atau keras
kepala!" kata Kebo Alit dalam hati. Sementara itu Randu
Wungu dan Randu Ireng memperhatikan si pemuda
dengan perasaan jengkel sedang Parangwulung yang
dalam keadaan seperti itu hanya tundukkan kepala,
merasa tak ada perlunya dia memperhatikan siapa adanya
orang di hadapan rombongan.
"Anak muda! Jadi kau tidak mau menyingkir memberi
jalan?!" tanya Kebo Alit. Suaranya bernada memperingat-
kan, bahkan mengancam.
"Kenapa aku harus menyingkir atau memberi jalan?
Aku tidak menghadang siapa-siapa di tempat ini. Jika kau
dan rombonganmu ingin lewat silahkan. Berbelok ke kiri
atau mengambil jalan di sebelah kanan. Terus juga boleh
asalkan jangan menabrakku!"
Kebo Alit jadi penasaran. "Kau tidak tahu kalau kami
rombongan kerajaan?!"
"Dari pakaian kalian tadi-tadi pun aku sudah tahu
kalian rombongan atau pasukan kerajaan. Tapi apa
sangkut pautnya diriku dengan siapa pun adanya kalian?!"
Untuk pertama kalinya Parangwulung mengangkat
kepala memperhatikan orang di depannya. Ketika
dilihatnya orang itu adalah seorang pemuda berparas
cakap, berkulit putih dan bertubuh ramping maka dia pun
berkata, "Anak muda, kau menghindarlah. Beri jalan. Biar
lebih cepat aku sampai di Kotaraja dan menerima
hukuman!"
"Ah, rupanya kau seorang tawanan!" ujar si pemuda
pula sambil meneliti dari kepala sampai ke kaki
Parangwulung. "Tetapi kau tawanan yang aneh! Kau
mengenakan pakaian perajurit tingkat tinggi. Pakaianmu
basah kuyup!"
"Siapa dia dan apa yang terjadi dengan dirinya bukan
urusanmu!" membentak Kebo Alit. "Kalau kau tak lekas
menyingkir, para perajuritku akan kuperintahkan untuk
menindakmu!"
"Sungguh malang nasibku! Tak bersalah apa-apa mau
ditindak perajurit kerajaan!" sahut si pemuda pula dengan
nada mengejek. Lalu dia berpaling pada Parangwulung.
"Aku kasihan melihatmu! Sudah basah kuyup dan harus
menunggang kuda dengan tangan terikat. Sekali kau
kehilangan keseimbangan kau akan terjungkal jatuh dan
lehermu bisa patah, kau bisa mati konyol!"
"Mati konyol jatuh dari atas kuda lebih baik baginya
daripada mati di tiang gantungan!" tukas Kebo Alit.
"Oh, dia mau digantung! Apa sih salahnya?!" bertanya si
pemuda.
Sampai di situ Randu Wungu tak dapat menahan rasa
kesalnya. Dia berkata, "Kebon Alit! Kenapa menghabiskan
waktu melayani pemuda tidak beres itu?!"
Dikatakan tidak beres membuat si pemuda jadi gusar
dan balik memaki, "Kalianlah orang-orang yang tidak beres!
Meributkan soal jalan! Membawa tawanan seenaknya!"
Randu Wungu geleng-geleng kepala. "Kebo, pemuda ini
pantas diberi pelajaran sopan-satun. Perintahkan
perajurit-perajuritmu untuk mengajarnya!"
Kebo Alit yang memang sejak tadi menahan marah,
mendengar ucapan Randu Wungu itu segera berikan
isyarat, pada lima orang perajurit. Lalu pada anggota
rombongan yang lain dia memberi aba-aba untuk meng-
ikutinya meneruskan perjalanan dengan menyibak ke kiri.
Tetapi baru beberapa langkah kuda-kuda mereka ber-
gerak, di sebelah belakang terdengar suara gedebak-
gedebuk disertai pekik-pekik kesakitan. Ketika berpaling,
kagetlah Kebo Alit dan yang lain-lainnya. Lima perajurit
yang tadi diperintahkan menghajar si pemuda kini
kelihatan berkaparan di tanah, merintih kesakitan!
"Hemmm......!" menggumam Randu Ireng. "Rupanya ada
sedikit ilmu yang diandalkan makanya dia bersikap pongah
dan bertindak kurang ajar!" Orang tua ini majukan kudanya
mendekati si pemuda. "Apa hubunganmu dengan Parang-
wulung tawanan ini! Katakan!"
"Aku tak punya hubungan apa-apa!"
"Kalau tak ada hubungan berarti kau memang sengaja
menjadi lantaran!" Randu Ireng lalu kibaskan lengan baju
tangan panjangnya sebelah kiri.
Angin keras menggebu menghantam ke arah si
pemuda. Meskipun kaget dan tak mengira orang tua itu
dapat lepaskan pukulan tangan kosong yang hebat, namun
si pemuda tidak mau tunjukkan sikap terkejut.
"Orang tua! Kau sendiri rupanya sengaja obral
kepandaian!" teriak si pemuda lalu gebrak pinggul kuda
hitamnya. Binatang ini melompat ke samping tapi ber-
samaan dengan itu dia hantamkan kaki kiri belakangnya
ke arah kuda lawan. Tendangan kaki kuda yang keras ini
mendarat tepat dilutut kuda yang ditunggangi Randu Ireng.
Kraak!!!
Kaki kuda itu patah. Binatang ini meringkik. Tubuhnya
langsung terjerambab ke depan, melemparkan pe-
nunggangnya. Sambil bersuit nyaring Randu Ireng jungkir
balik di udara. Sebelum kedua kakinya menjejak tanah dia
kembali lepaskan pukulan tangan kosong. Kali ini dengan
tangan kiri. Namun seperti tadi, si pemuda kembali meng-
gebrak tubuh kudanya, binatang ini melompat jauh hingga
serangan Randu Ireng hanya mengenai tempat kosong!
Randu Wungu terkesima, diam-diam merasa kagum
juga melihat kelincahan pemuda itu namun hatinya men-
jadi penasaran karena saudaranya seolah-olah dipermain-
kan.
Randu Ireng sendiri malu bukan main. Di hadapan
sekian banyak mata perajurit dan perwira kerajaan, bahkan
di depan hidung Parangwulung yang menjadi tawanan,
dirinya seperti orang yang baru belajar silat saja. Dua kali
menyerang dua kali gagaI. MaIah kudanya dibuat patah
kaki dan dia terpaksa tunggang-langgang berjumpalitan
agar tidak melosoh jatuh ke tanah!
Ketika Randu Ireng hendak menyerbu kembali, Randu
Wungu berseru, "Tunggu dulu Ireng! Aku perlu bertanya
dengan pemuda ini! Jangan-jangan dia kaki tangan orang-
orang Pajang. Bukan mustahil dia kemari tidak seorang
diri!"
Pemuda berkuda hitam yang dituduh kaki tangan
orang-orang Pajang itu tertawa. "Kau bisa saja mengada-
ada! Orang tua, orang yang jatuh dari kuda itu pasti
saudaramu. Cara kalian berpakaian sama dan tampang
kalian juga mirip satu sama lain! Melihat bagaimana dia
hendak mengobral kepandaian tapi hampir celaka sendiri,
jelas dia bukan tandinganku!"
"Pemuda lancang! Kau hendak merendahkan Randu
Ireng tokoh pengawal Keraton Surakarta?!" Yang
membentak adalah Kebo Alit.
"Siapa dia aku tidak perduli!" menyahuti pemuda itu
dengan beraninya "Jika ada tokoh pengawal istana yang
kepandaiannya seperti dia, tidak dapat menahan amarah
dan bertindak seenaknya saja, wah! Istana bisa kebobolan.
Kalau aku jadi raja kalian, orang seperti dia tak akan
kupakail"
Paras Randu Ireng mengelam sampai ke telinga. Darah-
nya mendidih. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat
penghinaan demikian rupa. Dan oleh seorang pemuda tak
dikenal pulal
Kebo Alit memajukan kudanya beberapa langkah lalu
menunjuk tepat-tepat si pemuda, "Mulutmu kotor kurang
ajar! Kau sangat berani menghina kami orang-orang
Keraton! Kau terpaksa kutangkap seat ini juga!" Habis
berkata begitu Kebo Alit merangsak ke depan tapi si
pemuda dapat berkelit ke samping seraya berseru.
"Perwira! Tahan dulu! Bagaimana kalau kita membuat
taruhan!"
"Taruhan kepala bapak moyangmu!" bentak Kebo Alit
seraya menerjang ke depan.
Tapi seat itu Randu Wungu menyela: "Kebo Alit! Biarkan
saja! Aku ingin tahu apa taruhannya! Orang muda sombong
jelaskan maksudmu'"
"Terima kasih kau mau memberi kesempatan," ucap si
pemuda seraya menjura ke arah Randu Wungu. Sikapnya
dirasakan bukan seperti penghormatan tapi lebih banyak
merupakan satu ejekan! "Begini, jika perwira kerajaan ini
sanggup menangkapku dalam waktu lima jurus per-
kelahian, aku akan serahkan diri dan bersedia dijadikan
tawanan seperti lelaki bermisai itu! Tetapi, jika lima jurus
dia tak berhasil menangkapku maka kalian harus mem-
bebaskan tawanan itu! Bagaimana .... ?!"
Randu Wungu terkesiap. Randu Ireng menggeram.
Sementara puluhan perajurit melongo di atas kuda masing-
masing. Ucapan si pemuda itu benar-benar merupakan
tantangan gila! Dalam marahnya Kebo Alit menjawab.
"Setuju! Jika lima jurus kau tak berhasil kutangkap,
tawanan ini akan kami bebaskan! Tapi jika dalam lima
jurus kau dapat kulumpuhkan, maka kau harus serahkan
kepalamu pada aku! Akan kupancung di tempat ini juga!"
Semula semua orang akan menyangka si pemuda
menjadi ciut nyalinya ditantang begitu rupa. Tapi! Malah dia
terdengar menjawab, "Setuju! Kepalaku atau kebebasan
tawanan itu!"
Parangwulung yang masih berada dalam keadaan ter-
ikat di atas kudanya sampai ternganga tak percaya.
"Pemuda tak dikenal itu mengapa mau korbankan nyawa
untuk diriku yang tak punya hubungan apa-apa, bahkan
kenal pun tidak. "Terlalu cerobohl Terlalu ceroboh!" kata
Parangwulung berulang kali. Kebo Alit bukan perwira
sembarangan. Tingkat kepandaiannya hampir sejajar
dengan dua tokoh silat istana yaitu Randu Ireng dan Randu
Wungu.
"Perwira, kau ingin berkelahi di atas kuda atau
samasama turun ke tanah?!" si pemuda bertanya.
menantang menyepelekan lagi sikapnya!
Dari apa yang dilakukan terhadap kuda tunggang-n
Randu Ireng. Kebo Alit maklum kalau kuda hitam
tunggangan si pemuda buka kuda sembarangan.
Menyadari hal ini maka dia tak mau melakukan per-
kelahian di atas kuda. Kebo Alit langsung melompat ke
tanah. Gerakannya cepat dan enteng. Si pemuda pun
melakukan hal yang sama. Turun dari punggung kudanya,
tapi sikapnya jelas dibuat-buat yaitu berpagut pada leher
kudanya, melosoh ke tanah seperti anak kecil yang
ketakutan atau gampang turun dari tempat tinggi! Begitu
sampai di tanah pemuda ini usap-usap kedua telapak
tangannya satu sama lain dan bertanya, "Perwira, kau ingin
berkelahi dengan tangan kosong atau pakai senjata?"
"Untuk meringkus tikus busuk sepertimu perlu apa
pakai senjata! Sebaliknya kalau kau punya senjata silah-
kan keluarkan!" sahut Kebo Alit semakin mendidih amarah-
nya.
"Kalau begitu aku pun akan melayanimu dengan
tangan kosong. Ingat lima jurus! Nah silahkan mulai
perwira!"
Baru saja si pemuda selesai mengucapkan kata kau itu
Kebo Alit sudah melompat menerjang dan buk! Buk!
Jotosan kiri kanan perwira itu bersarang di perut dan
pertengahan dada si pemuda, membuatnya terpental dua
langkah dan jatuh duduk di tanah!
"Nah... nah.... nah!" Randu Wungu buka suara. "Belum
lima jurus kau sudah roboh! Ternyata kemampuanmu tidak
sesuai dengan kecongkakan dan mulut besarmu!"
Serangan Kebo Alit tadi memang luar biasa cepatnya
dan tidak terduga oleh si pemuda. Dia sengaja terus ber-
sikap dan mengeluarkan kata-kata mengejek untuk me-
mancing kemarahan orang. Namun karena bertindak
sedikit lengah maka ketika dua pukulan Kebo Alit meng-
hantam dia tak sempat berkelit dan hanya mampu mem-
bentengi dada dan perutnya dengan tenaga dalam. Meski-
pun begitu tetap saja pemuda ini merasakan dada dan
perutnya sakit bukan main. Tapi dasar bandel, sambil
menahan sakit dia cepat berdiri dan berkata, "Cuma dua
pukulan anak kecil, seperti digelitik! Meskipun aku jatuh
tapi bukan di situ letak perjanjian kita! Aku belum kalah!
Dia belum melumpuhkan apa lagi menangkapku!"
Apa yang dikatakan si pemuda memang benar. Ke-
nyataan dan lagi lagi ucapan serta sikap mengeiek ini
membuat Kebo Alit kembali terbakar amarahnya. Dia yakin
pemuda itu cidera di dalam akibat dua jotosannya tadi,
namun diam-diam dia merasa heran bagaimana pemuda
ini masih bisa bangkit berdiri dan seperti tidak mengalami
apa-apa.
"Pemuda sombong! Ini jurus kedua!" teriak Kebo Alit.
Perwira ini kembali menyerbu. Seperti tadi kedua tangan-
nya menjotos dan lagi lagi satu mengarah perut satu
mengarah dada. Ketika lawan bersiap menangkis, men-
dadak dua serangan berupa jotosan itu ditarik pulang dan
kini kaki kanan Kebo Alit yang melesat ke dada lawan!
"Hebat!" Seru si pemuda memuji.
Tubuhnya melesat ke atas setinggi satu tombak, tangan
kanannya terkembang dan menepis betis Kebo Alit.
Gerakan menepis ini tampak perlahan saja bahkan ketika
balik telapak tangannya menyen tuh betis sang perwira
sama sekali tidak terdengar suara beradunya betis dengan
tangan. Namun Kebo Alit merasakan kaki kanannya ter-
dorong keras ke kiri. Akibatnya kaki kiri yang menjadi
tumpuan kuda-kuda ikut berputar ke kiri. Di saat yang
sama tangan kiri lawan tiba tiba menderu dengan pinggiran
tangan membabat laksana sebilah pedang. Kebo Alit cepat
rundukkan kepala. Kepalanya selamat tapi dia masih
kurang cepat. Topi tingginya yang berwarna hitam kena
dibabat tangan si pemuda, mental tercampak jauh. Ketika
Randu Ireng dan Randu Wungu melihat topi yang jatuh itu
kagetlah keduanya. Topi hitam sang perwira ternyata telah
terpotong dua! Tabasan tangan pemuda itu setajam
pedang! Kebo Alit sendiri tampak berubah parasnya. Dapat
diba-yangkan kalau tepi telapak tangan itu tadi tepat
menghantam muka atau batok kepalanya!
"Jurus ketiga!" teriak Kebo Alit yang tak mau menunggu
lebih lama. Dia bergerak memutari lawan. Si pemuda
mengikuti arah putaran hingga Kebo Alit selalu ber ada di
depan ny a. Tiba tiba Kebo Alit merubah arah gerakannya.
Kalau tadi dari kiri ke kanan maka kini dan kanan ke kin.
Perubahan gerakan yang mendadak ini membuat si
pemuda sesaat berada pada jurusan menyamping. Di
kejap inilah Kebo Alit masuk menyusupkan jotosan tangan
kanan ke pelipis si pemuda.
Di pihak lain, meskipun kedudukannya tidak tepat
menghadapi lawan namun sudut mata si pemuda cukup
jeli melihat datangnya serangan. Tubuhnya dilontarkan ke
belakang seperti sebatang pohon tumbang. Tapi ber-
samaan dengan itu tangan kanannya membabat ke atas
yaitu ke arah pinggang sang perwira. Kebo Alit tadi telah
melihat kehebatan pukulan tepi telapak tangan si pemuda.
Tak mau mencari celaka dia terpaksa batalkan jotosannya
dan tangan kanannya kini dipergunakan untuk menyapu
lengan lawan. Maka beradunya dua lengan tak dapat
dihindarkan lagi!
Buk!
Pemuda itu terbanting ka tanah. Lengan kanannya
tampak merah kebiruan. Sebaliknya Kebo Alit... Tampak
kesakitan dan ketika memeriksa lengannya ternyata
lengan itu pun tampak merah dan bengkak. Tapi dia tak
perdulikan. Lawan yang jatuh tertelentang merupakan
makanan empuk baginya. Cepat dia melompat dan
hunjamkan tumitnya ke parut Si pemuda. Tapi si pemuda
lebih cepat berguling jauhkan diri hingga kaki kanan Kebo
Alit menghantam tanah dan tanah itu tampak melesak
sampai setengah jengkall Dengan demikian jurus ke tiga
dan keempat berlalu sudah. Kini masuk jurus ke lima yang
merupakan jurus terakhir.
Kebo Alit sadar betapa malunya dia kalau sampai
dalam jurus kelima tidak dapat meringkus atau melumpuh-
kan lawannya. Apalagi itu akan berarti dia harus mem-
bebaskan Parangwulung yang menjadi tawanannya. Gila!
Bagaimana dia sampai mau menerima pertaruhan gila itu!
Tak ada jalan lain. Dia harus menghantam habis lawannya
pada jurus kelima ini.
Pemuda berpakaian putih itu tampak tegak seenaknya
tapi sambil usap-usap lengan kanannya pertanda bahwa
bentrokan pukulan tadi betapa pun kuatnya dia telah men-
datangkan rasa sakit pada daging dan tulang lengannya.
"Jika kau mau menyerah aku akan memperingan
hukuman yang bakal dijatuhkan terhadapmu!" tiba-tiba
Kebo Alit berkata sambil menggeser kakinya beberapa
langkah mendekati lawan.
Si pemuda menyeringai dan menjawab, "Bukan begitu
taruhan kita!" Agaknya pemuda ini sudah mencium adanya
rasa kekawatiran dalam diri sang perwira.
"Rupanya kau memang minta digebuk dan ingin diseret
jadi tawanan!" Kebo Alit menggeram. Tubuhnya mem-
bungkuk memasang kuda-kuda rendah. Lawannya tegak
tak bergerak.
"Hiaatt!" Kebon Alit berteriak dan dari jarak empat
langkah dia lepaskan pukulan tangan kosong. Sebelum
angin pukulan sampai di jarak sasaran satu kali lagi ter-
dengar suara teriakan perwira itu lalu tubuhnya tampak
mencelat ke udara, jungkir balik. Gerakannya sangat cepat
sekali. Ketika tubuhnya melayang turun tahu tahu dia
sudah berada di belakang lawan dan langsung menerkam
leher pemuda itu dengan kedua tangannya yang kuat dan
besar.
"Hek!" suara tercekik keluar dari tenggorokan si
pemuda. Tak dapat tidak tamatlah perlawanan pemuda itu
seat itu juga apalagi jelas napasnya mulai menyengal.
"Mampus!" teriak Kebo Alit seraya melipatgandakan
cekikan mautnya. Tapi perwira ini lupa menjaga jarak. Saat
itu dia berada terlalu dekat dengan tubuh lawannya. Ketika
si pemuda tiba-tiba menghantamkan siku tangan kanannya
ke belakang, Kebo Alit tak sempat berkelit. Siku lawan
melabrak lambungnya. Pada saat dia menggeliat kesakitan
lawan rundukkan kepala lalu secepat kilat tangannya
bergerak ke belakang menjambak rambut Kebo Alit. Begitu
rambut sang perwira terjambak maka pemuda itu mem-
buat gerakan setengah berputar yang mengakibatkan
cekikan kedua tangan Kebo Alit tetlepas dan di lain detik
tubuhnya terlontar ke atas lalu brukk! Kebo Alit terbanting
keras ke tanah. Dia tidak pingsan tapi sekujur tubuhnya
sebelah belakang terase seperti remuk. Untuk beberapa
saat dia terkapar dan menggigit bibir agar tidak keluarkan
suara keluhan kesakitan!
Pemuda bertubuh ramping berkulit putih memandang
berkeliling sambil usut-usut lehernya yang tampak
kemerah-merahan akibat cekikan Kebo Alit tadi. Lalu dia
menarik napas dalam beberapa kali. Di dapannya sang
perwira tampak berusaha ban gun dengan susah payah.
"Kau kalah taruhan. Sudah saatnya membebaskan
tawanan itu!" kata si pemuda pula. Dia melangkah men-
dekati Parangwulugng yang sampai saat itu berada di atas
punggung kuda dan terikat kedua pergelangan tangannya.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara Kebo Alit
memberi perintah, "Tangkap pemuda itu!"
Hampir selusin perajurit mengurung dengan cepat.
Randu Ireng dan Randu Wungu sesaat tampak ragu-ragu.
Tapi ketika Kebo Alit mereka lihat memimpin para
bawahannya itu maka kedua tokoh silat itu pun ikut me-
lakukan pengurungan untuk menangkap si pemuda. Yang
dikurung tampak terheran-heran karena tidak menyangka
hal itu. Jika semua orang yang ada di situ benar-benar
hendak menangkapnya, dia bakal mendapat kesulitan.
Walaupun begitu tak sedikit pun ada beyangan rasa takut
di wajahnya yang polos. Cepat sakali dia melompat ka kin,
menggebuk seorang perajurit tardekat lalu merampas
pedangnya. Dengan senjata rampasan di tangan dia tegak
tak bergerak, menunggu serbuan para pengeroyok.
"Kalau tak bisa ditangkap hidup-hidup, dibunuh pun tak
jadi apa!' teriak Kebo Alit. Lalu dia mendahului menyerang.
Saat itu mendadak terdengar suara membentak.
"Kalian orang-orang kerajaan curang semual"
***
EMPAT
SUARA bentakan itu demikian keras dan membahana
hingga menggetarkan seantero bukit tandus dan
membuat semua orang hentikan gerakan. Semua
berpaling ke arah kiri, dari mana tadi datangnya suara
membentak. Namun aneh, tak seorang pun tampak di
jurusan itu! Padahal suara bentakan tadi begitu keras
nyaring tanda siapapun yang mengeluarkan bentakan pasti
berada dekat dari situ.
Randu Ireng yang berada, di bawah pohon kering me-
lambaikan tangannya pada Randu Wungu, memberi isyarat
bahwa suara bentakan itu tadi datang dari arah belakang-
nya. Randu Wungu menyelidik ke jurusan yang dikatakan
saudaranya, tetap saja dia tak dapat melihat siapa-siapa.
Dia memandang lagi berkeliling. Aneh, di bukit tandus
begini rupa, yang hanya ditumbuhi pohon-pohon berdaun
kering tak mungkin si pembentak dapat sembunyikan diri.
Randu Wungu sesaat saling pandang dengan Kebo Alit.
Keduanya saling mendekati.
"Apa pendapatmu?" bisik Randu Wungu.
"Begini, aku dan yang Iain-Iain meneruskan membekuk
pemuda itu. Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika ada yang
muncul dan bermaksud membantu pemuda itu kau harus
menghalangi dan menghajarnya. Mengerti...?"
Randu Wungu tak begitu senang diperintah seperti itu.
Bagaimanapun dia seorang perwira. Namun karena diapun
ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang berteriak
tadi maka diapun anggukkan kepala menyetujui.
Kebo Alit kembali memimpin perajurit-perajurit itu
mengurung dan menyerbu si pemuda.
"Benar-benar pengecut!" suara yang tadi membentak
kembali terdengar. Bersamaan dengan itu sebuah benda
panjang tampak melayang di udara disertai suara jeritan.
Benda panjang ini jatuh tepat di atas kepala Kebo Alit.
Sang perwira hantamkan tangannya untuk memukul
namun cepat menarik pulang pukulannya ketika menyadari
benda yang jatuh itu bukan lain adalah sosok tubuh Randu
Ireng. Orang tua ini menjerit kesakitan ketika tubuhnya ter-
hempas di tanah lalu pingsan tak berkutik lagi.
Gemparlah semua orang yang ada di situ. Randu
Wungu lari ke balik pohon di mana sebelumnya saudaranya
menggeletak. Namun dia tidak menemukan apa-apa di
situ, apalagi melihat seseorang. Dia mendongak ke atas
pohon. Tetap saja tidak menemukan siapa-siapa.
Dengan perasaan sangat tidak enak dia segera men-
dekati Kebo Alit dan berkata perlahan. "Jangan-jangan
tempat ini ada dedemitnya. Ingat keterangan Parang-
wulung tentang ikan-ikan aneh yang menggerogoti daging
Tumenggung Singaranu ..."
"Aku tidak begitu percaya pada segala tahyul seperti
itu," sahut Kebo Alit. "Mana ada dedemit yang sanggup
melemparkan tubuh Randu Ireng begitu rupa. Besar
kemungkinan ada seorang berkepandaian tinggi di sekitar
tempat ini. Mungkin kawan pemuda keparat itu... "
"Menurutku baiknya kita pergi saja dari sini. Biarkan
pemuda itu tapi Parangwulung tetap harus dibawa ke
kotaraja sebagai tawanan!"
"Aku setuju," sahut Kebo Alit yang memang sudah me-
lihat dan mendapat firasat tidak enak. Cepat-cepat dia
memberi isyarat pada semua orang untuk naik ke kuda
masing-masing. Dia dan Randu Wungu membantu Randu
Ireng naik ke atas seekor kuda cadangan, lalu mengapit
Parangwulung.
"Hai! Kalian mau ke mana?!" seru pemuda berpakaian
putih ketika melihat rombongan itu siap untuk pergi.
"Kemana kami mau pergi perduli setan!" bentak
Kebo Alit. "Tidak kami cincang kau juga sudah untung!"
"Kalian boleh pergi tapi sesuai perjanjian kalian tidak
boleh membawa tawanan itu. Dia harus dibebaskan!"
Yang berkata ini bukanlah si pemuda, tapi orang yang
tadi membentak. Suaranya datang dari satu tempat yang
sulit untuk dijajagi!
"Keparat!" kertak Kebo Alit marah sekali. "Kau hanya
berani bermulut besar tapi takut unjukkan muka!"
"Mukaku tidak penting bagi kalian! Tapi aku lebih
penting mengingatkan agar kalian membebaskan tawanan
itu!" terdengar suara jawaban.
"Apakah kau tahu kalau tawanan ini telah membunuh
Tumenggung Singaranu? Dia layak dihukum gantung!"
"Layak kalau dia memang bersalah! Apakah kalian
telah membuktikan kesalahannya?!" tanya suara tadi pula.
"Soal bukti membuktikan bukan urusanmu dedemit
pengecut!" yang berteriak adalah Randu Wungu.
Orang yang tak kelihatan keluarkan suara tawa
panjang.
"Randu Wungu! Sebagai tokoh tertinggi di keraton
Surakarta kau harus tahu bagaimana mengatur dan men-
jatuhkan hukum. Ternyata kau lebih banyak menurutkan
hawa amarah dari pada bertindak bijak. "
Paras Randu Wungu menjadi berubah. Ternyata orang
yang bicara tanpa memperlihatkan ujud itu mengetahui
nama dan siapa dia adanya. Sementara pemuda bertubuh
ramping berkulit putih diam-diam juga jadi terheran heran
dan berusaha menduga-duga siapa adanya orang yang
bicara tanpa memperlihatkan muka itu. Gurunya? Pasti
tidak. Dia kenal betul suara gurunya.
"Orang-orang kerajaan!" terdengar kembali suara tanpa
ujud tadi. "Aku akan menunggu sampai tiga daun kering
pohon di sebelah kanan kalian melayang ke tanah. Jika
sampai saat ketiga daun kering itu menyentuh tanah kalian
masih belum membebaskan tawanan. salah satu dari
kalian bertiga akan kujadikan tawanan pengganti!"
Kebo Alit, Randu Wungu saling pandang. Sedang Randu
Ireng masih melingkar pingsan di atas kuda. Tiba-tiba
semua orang di tempat itu mendengar suara angin men-
desir. Memandang ke atas pohon di samping kanan
mereka mereka melihat tiga daun kering melayang jatuh.
Beberapa saat kemudian daun pertama yang menyentuh
tanah. Menyusul daun kedua, terakhir sekali daun ketiga!
"Kebo Alit," kata Randu Wungu. "Kita benar-benar ber-
hadapan dengan dedemit! Sebaiknya lekas pergi dari sini.
Tinggalkan saja Parangwulung. Aku akan membuat laporan
pada Mahapatih seolah-olah orang ini terbunuh karena
melakukan perlawanan. Habis perkara..." Lalu Randu
Wungu menggerakkan kudanya sambil menarik tali kekang
kuda yang membawa sosok tubuh Randu Ireng.
"Keparat sialan!" maki Kebo Alit. "Kalaupun kita ter-
paksa meninggalkannya, dia harus mampus lebih dulu!"
Lalu perwira ini cabut kerisnya dan hunjamkan ke dada
Parangwulung.
Di saat itu tiga helai daun kering yang tadi berguguran
jatuh secara aneh ke tanah, tiba-tiba terangkat dari tanah
lalu melesat laksana panah ke arah Kebo Alit. Daun
pertama menghantam tangan kanannya yang memegang
keris. Gagang daun yang kering menancap di dagingnya
membuat perwira ini kesakitan dan lepaskan keris. Daun
kedua memukul telinganya hingga merah lecet. Sesaat
Kebo Alit merasakan telinganya berdengug dan tuli. Daun
ketiga menyerempet alis matanya sebelah kiri hingga
menimbulkan luka tersayat dan mengucurkan darah.
Nyali perwira kerajaan itu menjadi lumer. Lebih-lebih
ketika diketahuinya dia hanya tinggal seorang diri di tempat
itu. Yang Iain-Iain telah pergi meninggalkannya. Kebo Alit
cepat pungut kerisnya yang jatuh, menyeka darah yang
mengucuri alisnya lalu melompat ke atas punggung
kudanya dan membedal binatang itu secepat yang bisa
dilakukannya. Tinggal kini Parangwulung yang duduk
bingung serta heran di atas punggung kudanya.
"Anak muda, terima kasih kau telah menolongku..."
"Bukan aku yang menolongmu. Ada seorang lain yang
kepandalannya sangat tinggi. Tapi dia malu-malu mem-
perlihatkan wajahnya Mungkin wajahnya jelek sekali!"
sahut si pemuda lalu tolong membukaa tali yang mengikat
pergelangan tangan Parangwulung. "Kau boleh pergi
sekarang!" kata si pemuda.
"Ya, aku akan pergi. Tapi tak tahu akan pergi ke mana.
Jelas tak mungkm ke kotaraja. Mereka akan menangkapku
kembali. Tapi anak dan istriku berada di sana. Ah.
bagaimana ini..." Parangwulung benar benar bingung.
Namun akhirnya dia meninggalkan tapat itu setelah sekali
lagi mengucapkan tenma kasih dan si pemuda tetap
menolak bahwa bukan dialah yang telah menolong lelaki
itu.
Sesaat setelah Parangwulung lenyap dari kejauhan,
pemuda itu memandang berkeliling. Lalu dia menjentikkan
tangan memanggil kuda hitamnya. Ketika binatang ini
hendak ditungganginya mendadak terdengar lagi suara
tanpa u)ud itu.
"Anak muda! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara
denganmu!"
Si pemuda memandang lagi berkeliling. "Hmm..."
gumamnya "Kukira kau pun sudah pergi. Ternyata masih
nongkrong di sini. Orang pandai kenapa kau tidak mau
menunjukkan diri?l"
"Sejak tadi aku ada di dekatmu. apa kau tidak melihat?
Atau matamu mungkin lamur?" Suara itu datang dari
sebelah kiri Si pemuda berpaling. Astaga! Di sampingnya
saat itu memang berdiri sesosok tubuh serba putih Mulai
dari pakaiannya yang berbentuk jubah lebih dalam sampai
ke rambut, alis, janggut dan kumisnya. Di atas bahu orang
tua ini tampak duduk enak-enakan seekor anak rusa
"Hah... orang tua, kau ini setan atau malaikat? Bicara
tak kelihatan, tahu-tahu ada di depan hidungku!" kata si
pemuda pula. Sebelum yang ditanya menjawab dia kembali
memberondong. "Kaukah tadi yang melempar tubuh orang
tua bernama Randu Ireng itu? Kau juga yang meluruhkan
tiga daun kering lalu menghantamkannya ke tubuh si
perwira?"
Orang tua itu tertawa. "Pertanyaanmu banyak amat
anak muda. Biar kujawab satu satu. Pertama aku bukan
setan bukan malaikat. Aku manusia sepertimu, cuma aku
hampir empat kali lipat umurmu. Memang aku yang tadi
melemparkan sosok tubuh Randu Ireng itu. Juga aku
mempergunakan tiga helai daun untuk menghantam
perwira kerajaan itu. Nah semua pertanyaanmu sudah
kujawab Ada lagi pertanyaan lain . . . ?"
"Binatang yang di pundak kirimu itu. Kucing apa itu?
Bentuknya aneh....!"
Si orang tua tertawa mengekeh. "Seumur hidupmu
tentu kau belum pernah melihat binatang seperti ini. Ini
bukan kucing. Tapi seekor anak rusa ..."
"Apa namanya?"
"Rusa!"
"Rusa!" mengulang si pemuda.
Orang tua itu mengangguk. "Kini giliranku bertanya
Kenapa kau sengaja menghadang rombongan kerajaan
tadi. Mengapa kau begitu repot-repot mencampuri urusan
orang lain dan ingin membebaskan tawanan berkumis itu?
Lalu siapa namamu, kau berasal dari mana dan mau ke
mana?"
"Aih! Pertanyaanmu ternyata banyak amat. Dan dengar,
aku tak akan menjawab satupun dan pertanyaan itu!"
Si orang tua kerenyitkan kening lalu tersenyum. "Anak
muda. ada beberapa hal kulihat pada dirimu yang kurang
pantas kau miliki..."
"Hen! Apa?!" si pemuda jadi penasaran dikatakan
demikian.
"Pertama, kau termasuk anak jahil yang suka mencari
tantangan tanpa perduli apakah itu mengganggu orang
lain..."
"Tidak bisa!" memotong pemuda itu.
"Dengar dulu, bicaraku belum selesai. Kedua, kau ter-
masuk orang yang agak keras kepala. Ketiga, sikapmu
bicara menyatakan bahwa kau kurang mengenal sopan
santun ..."
"Orang tua! Kau benar benar menghinaku!"
"Tidak! Karena tabiat yang kukatakan itu memang
benar-benar melekat di dirimu. Selain pelajaran silat apa
kah gurumu tak pernah mengajarkan sikap yang baik
hormat dan bagaimana bicara sopan bagaimana jangan
sampai usil mengganggu orang?!"
"Orang tua. sekali lagi kau menyebut-nyebut nama
guruku, kutampar mulutmu!"
"Nah... nah... Itu bukti kekurangsopanan dan kekerasan
kepalamu!"
Si pemuda hentakkan kaki kanannya ke tanah saking
marahnya.
"Kalau kau bukan orang tua, benar benar sudah
kutampar mulutmu I"
"Nah, kau menunjukkan tanda-tanda ingin berlaku baik
Tak jadi menamparku tapi masih memperlihatkan sikap
kurang ajar!"
"Orang tua! Aku tak ingin bicara denganmu lagi'"
Pemuda itu lantas naik ke punggung kudanya. Si orang tua
cuma tertawa. "Kudaku, ayo jalan!" Si pemuda tepuk
pinggul kudanya. Tapi binatang itu tak mau jalan. "Hai! Ayo
jalan Panah Hitam!" seru si pemuda. Tetap saja kudanya
tak mau jalan, bahkan bergerak sedikitpun tidak. Ada apa
denganmu sebenarnya?" Si pemuda memeriksa dan
dapatkan ternyata binatang itu tertegak kaku, entah
ditotok entah diapakan. "Pasti kau yang melakukannya!"
uiar si pemuda dengan mata dibesarkan pada orang tua
ber pakaian putin
Orang tua itu kembali tertawa. "Anak muda, ketahuilah.
Kau berjodoh denganku!"
Mendengar ucapan itu si anak muda melotot besar
matanya. "Tua bangka gila! Apa katamu! Kupecahkan
kepalamu!"
"Eh, kenapa kau marah-marah? Seharusnya kau
senang!"
"Tua bangka busuk! Barusan tadi kau mengatakan
usiamu empat kali umurku! Kini kau mengatakan aku
berjodoh denganmu. Apa itu namanya bukan gila... !"
Orang tua berambut putih geleng-geleng kepala "Akhir-
nya kau membuka kedokmu sendiri nak. Sejak tadi aku
sudah tahu kalau kau bukan seorang pemuda..."
Tiba-tiba saja paras si pemuda meniadi pucat pasi.
Orang tua di hadapannya kembali berkata, "Kalau aku
menyebut soal jodoh bukan berarti aku ingin memper-
istrikanmu! Soal jodoh adalah soal jodoh sebagai guru dan
murid. Kau berjodoh denganku! Kau pantas jadi muridku..."
"Jadi muridmu? Memangnya apa sih kepandaianmu?!"
"Nah, keras kepala dan kurang sopanmu kembali. Aku
tahu kau memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Dan pasti
saat ini kau tengah mengelana mencari pengalaman. Tapi
ketahuilah, ilmu itu apa pun adanya tak ada batasnya.
Semakin dituntut semakin kita ketahui bahwa kita masih
banyak ketinggalan. Apakah kau tidak ingin belajar bagai-
mana cara meruntuhkan daun dan mempergunakan se-
bagai senjata seperti yang kulakukan tadi...?"
"Tidak, aku tak perlu ilmu seperti itu?" jawab si
pemuda. "Dan aku tak sudi bicara denganmu lebih lama!"
Kembali pemuda itu melompat ke atas kuda nya. Namun
segera pula disadarinya bahwa binatang itu masih berada
dalam keadaan kaku tegang. Bagaimanapun dia berusaha
tetap saja dia tak dapat membuat kudanya mampu ber-
gerak apalagi berjalan.
"Orang tua! Kalau tidak kau bebaskan kudaku, ku-
patahkan tanganmu. Ternyata kau pun seorang yang jahil!"
pemuda itu mengancam.
"Kudamu itu akan bebas dengan sendirinya beberapa
saat lagi. Dengar, pada permulaan bulan ke tujuh datang-
lah ke tempat kediamanku di selatan. di tepi hutan
Grinting. Jika kau tidak datang kau akan menyesal seumur
hidup..."
Pemuda itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi di-
dapatnya orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Me-
mandang ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada
jauh di kaki bukit tandus.
"Ah... dia benar-benar hebat. Ilmunya jelas jauh lebih
tinggi dari guru..." kata si pemuda dalam hati. Lalu dia
kembali memeriksa kudanya dan ternyata binatang ini
sudah bisa bergerak kembali. Maka dia pun naik ke
punggungnya dan memacunya menuju puncak bukit
tandus.
***
LIMA
KETIKA sampai di puncak bukit tandus dan me-
mandang ke depan, tercenganglah pemuda pe-
nunggang kuda hitam itu. Dia hampir-hampir tak
dapat mempercayai pemandangan matanya. Di bawah
sana terdapat sebuah Iembah yang sebagiannya tertutup
rumput hijau serta pohon pohon bunga yang sedang mekar
berwarna-warni. Di sebelah timur ada sungai kecil yang
airnya mengalir menuju sebuah kolam di pertengahan
lembah. Koseluruhannya menyajikan satu pemandangan
yang luar biasa indahnya.
Bagaimana bisa terjadi bagian bukit yang baru dilewati-
nya berada dalam keadaan tandus kering kerontang
sedang bagian yang di sini merupakan satu lembah subur
dengan pemandangan yang sangat menakjubkan.
"Kudaku, nasib kita hari ini sedang mujur. Lihat, di sana
ada air dan rumput seger untukmu!"
Pemuda itu lalu menuruni lembah dengan cepat.
Sebelum turun dari kudanya dia mengelilingi dulu kolam
yang airnya tampak berwarna-warni itu, menikmati satu
keindahan yang belum pernah disaksikannya sebelumnya.
"Kau minumlah sepuasmu lalu merumput di pedataran
sana!" kata si pemuda seraya mengucap tengkuk kudanya.
Lalu turun dan berlari-lari kecil menufu aliran anak sungai.
Di sini pemuda itu membasahi mukanya laki meneguk air
segar sepuasnya. Mecmandang Ke kolam dari tempatnya
duduk, hatinya terdorong untuk membasahi sekujur tubuh-
nya. Tapi ada rasa kawatir. Kalau kalau ada orang lain di
tempat itu. Dia memandang berkeliling. Meneliti setiap
sudut lembah dengan seksama. Tak tampak siapa-siapa.
Perlahan-Iahan dia menuju ka tepi kolam. Dia tidak segera
masuk ke dalam airn tapi duduk dulu di atas batu batu
besar dan mencelupkan kedua kakinya yang putih. Terasa
segar sejuk air kolam itu. Sekali lagi dia memperhatikan
berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di
tempat itu selain kudanya yang merumput di kejauhan
maka pemuda ini segera lepaskan pakaian putihnya.
Terlindung di balik batu batu besar dan batang-batang
pohon rapat. dua kakek berkepala lonjong dan bermata
picak tertawa lebar.
"Sekian minggu menunggu akhirnya datang juga
mangsa baru!" kata si Picak Kiri sambil usap-usap telapak
tangannya satu sama lain. "Sudahkah kau periksa per-
alatanmu, Picak Kanan?"
"Jangan kawatit. Peralatanku beres. Dan ikan-ikan iblis
itu pasti akan menyantap mangsanya cepat sekali! Bayang-
kan sekian lama mereka tidak mendapat makanan. Dan
kau lihat, yang datang ternyata seorang pemuda berparas
cakap berkulit putih! Tentu daging dan darahnya sedap
sekali. Hik... hik.... hik....!"
"Huss! Jangan keras keras tertawamu. Nanti ke-
dengaran! Lihat, pemuda itu sudah duduk di tepi kolam.
Nah, dia mencelupkan kedua kakinya dan memain-main-
kan air kolam. Sekarang lihat, dia mulai menanggalkan
pakaiannya. Hai.... Lihat!" seru Picak Kin.
"Ada apa?" Picak Kanan bertanya.
"Pemuda itu! Ternyata dia... dia... Lihat dadanya! Dia
bukan seorang lakilaki! Tapi perempuan! Seorang gadis!
Nah, dia melepas ikat kepalanya. Nah, benar kan.
Rambutnya panjang sebahu! Aih, cantiknya. Dan buah
dadanya itu... Bagus sekali... Bagus sekali! Tak pernah aku
melihat pemandangan begini luar biasa. Sebentar lagi dia
tentu akan membuka seluruh pakaiannya ..."
Mata kiri Picak Kanan terpentang lebar. Apa yang
dikatakan saudaranya memang benar. Orang di tepi kolam.
yang semula mereka sangka adalah seorang lelaki muda,
setelah membuka pakaian dan melepas ikatan rambutnya
ternyata adalah seorang gadis berkulit putih mulus ber-
paras jelita.
"Pinggangnya ramping amat dan pinggul serta pahanya
begitu putih. Ampun mau mati aku rasanya melihatnya!"
kata si Picak Kanan.
Orang yang di tepi kolam perlahan-lahan masuk ke
dalam air, bergerak ke tengah sambil sesekah membasahi
mukanya dengan air sejuk.
"Jangan kau lepas dulu ikan-ikan Iblis Prahara itu, Picak
Kanan. Biar kita menikmati pemandangan yang luar biasa
ini!" kata si Picak Kiri. Matanya yang cuma satu tidak
berkedip-kedip. Dara di tengah kolam tampak memandang
berkeliling. Dia masih kawatir kalau-kalau ada orang lain di
tempat itu. Setelah yakin benar memang tak ada siapa-
siapa di situ maka diapun berkecimpung di dalam kolam
sepuas-puasnya. Rambutnya yang hitam basah berkilat
kilat ditimpa sinar matahari. Letih bermain air dia duduk
sebentar di tepi kolam. Dua kakek botak seperti mau gila
melihat tubuh putih mulus itu. Sesaat kemudian gadis itu
masuk kembali ke dalam kolam.
"Picak Kiri..." berbisik Picak Kanan. "Aku ada nsul.
Sebaiknya ikan ikan itu tidak kita lepas. Jika gadis itu kita
bunuh sekarang berarti hanya kali ini kita melihat
keindahan tubuh telanjangnya. Tapi kalau kita biarkan
hidup, siapa tahu dia bakal datang lagi kemari? Berarti kita
akan dapat lagi melihat pemandangan yang begini me-
nakjubkan! Bagaimana pendapatmu?"
Picak Kiri usap usap mata kanannya. Dia berpikir
sejenak. "Kau betul!" sahutnya kemudian. "Aku setuju. Biar
kita lepaskan yang satu jni. .. "
Gadis di dalam kolam berenang perIahan ke tepian di
mana tadi dia meninggalkan pakaiannya. Sampai di tepi
kolam dia tidak segera mengenakan pakaian tetapi duduk
duduk dulu seperti berjemur mengeringkan air yang
menempel di badannya. Sambil menunggu keringnya
badan dia memetik bunga-bunga melati yang banyak
lumbuh di sela-sela batu-batu besar. Rambotnya disanggul
lalu bunga melati itu diselipkannya di sela gulungan
rambut. Sesaat kemudian diapun sudah mengenakan
pakaian kembali.
Picak Kanan dan Picak Kiri sama-sama menarik nafas
dalam dan mengurut dada.
"Luar biasa... Benar-benar luar biasa!" kata Picak
Kanan sambil rebahkan diri ke tanah dan menelentang
menatap langit sesaat lalu bangkit kembali. Saat itu gadis
yang berpakaian seperti lelaki itu tampak tegak di atas
batu besar memandang berkeliling lalu melangkah men-
dekati kudanya yang juga telah puas merumput.
"Panah Hitam, mari kita pergi. Tempat ini sangat indah.
Lain kali kita akan kemari lagi. .. " Lalu sekali lompat saja
dia sudah berada di punggung kuda hitam itu.
Si gadis yang menyamar sebagai laki-laki ini bukan lain
adalah Sri Megaresmi, murid perempuan Kiai Kali Mutu
dari Demak.
"Kalau saja aku tak dapat menahan hati, mungkin tadi
aku sudah keluar dan tempat persembunyian ini dan
masuk ke dalam kolam. Mandi bersama gadis cantik tadi!
Dan tidak mandi saja tentunya. Akan kupeluk tubuhnya.
kudekap dadanya yang putih kencang itu dan..."
"Ssstt... !" Picak Km menggamit kaki saudaranya. "Lihat
ada orang datang di puncak lembah!"
Saat itu di atas lembah memang tanpak seekor kuda
putih tegak berhenti. Di punggungnya duduk seorang
pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.
"Yang satu ini kuharap benar benar lelaki! Bukan gadis
berpakaian pemuda!" kata Picak Kiri.
"Jika dia mandi di kolam kita maka dialah mangsa ikan-
ikan kita itu. Hitung-hitung sebagai pengganti gadis tadi!"
kata Picak Kanan pula.
Penunggang kuda putih adalah Panji murid Kiai Kali
Mutudari Demak. telah menyelesaikan gemblengan
terakhir sekitar satu bulan lalu. Sang Kiai kini melepaskan
kembali ke dalam rimba persilatan untuk mencari
pengalaman agar benar-benar menjadi seorang pendekar
yang mantap. Seperti siapa saia yang baru pertama kali
melihat keadaan lembah itu. diapun merasa terheran
heran. Di musim kemarau yang panjang, di mana segala
sesuatunya menjadi tandus kerontang. Tahu-tahu di
lembah itu terdapat kesuburan yang disertai pemandangan
indah luar biasa.
"Panah Putih," si pemuda memanggil nama kudanya.
"kita akan bersenang senang di lembah itu. Kau
menyantap rumput sepuasmu dan aku beristirahat di
kolam sana."
Bersama kudanya dia menuruni lembah. Binatang itu
dilepas di padataran rumput, dia sendiri menuju kolam,
merendam kepalanya beberapa saat lalu menarik nafas
segar dalam-dalam.
"Air kolam ini sejuk nyaman sekali. Tak puas rasanya
kalau tidak mandi berendam..." Panji membuka kancing-
kancing pakaiannya. Sesaat kemudian dia sudah men-
cebur masuk ke dalam kolam.
Picak Kiri berpaling pada saudaranya, "Mangsa sudah
di dalam kolam. Kau tunggu apa lagi...?"
Picak Kanan menyeringai. Lidahnya berulang kali di-
julurkan membasahi bibir. Tenggorokannya turun naik. Per-
lahan lahan tangan kanannya bergerak ke dalam Iubang di
antara semak belukar. Begitu menyentuh ujung tali rotan.
segera dia mendorong ke depan. Lempengan tembaga
berat penutup mulut terowonganpun terbukal
Panji mendengar suara berdesir aneh di dalam air
kolam. Memandang ke samping kiri dilihatnya ikan hitam
aneh banyak sekali berenang melesat ke arahnya. Hanya
ikan-ikan kecil, pasti binatang penghuni kolam itu, apa
yang ditakutinya? Pemuda ini tak pernah menyangka kalau
hari itu, di tempat itu, adalah akhir dari perjalanan
hidupnya yang masih sangat muda. Kematian datang
menjemput bukan dalam berlaga menghadapi musuh dan
kejahatan, tetapi justru muncul di sebuah kolam bagus
berair sejuk.
Pemuda ini tersentak kaget dan menjerit kesakitan
sawaktu ikani-kan Iblis Prahara manancapkan gigi-giginya
di paha, di parut, sepanjang kedua kaki, pinggang, dada
dan punggungnya Dia pargunakan kedua tangannya untuk
manepis binatang itu. Tatapi percuma. Hanya beberapa
ekor yang barjatuhan sedang yang datang menyerbu jauh
labih banyak. Panji karahkan tenaga dalam, maksudnya
hendak lepaskan pukulan guna memusnahkan ikan-ikan
Iblis itu. Tatapi pemuda ini menjerit sewaktu melihat kedua
tangannya ternyata hanya tinggal tulang saja! Tubuhnya
kemudian seperti diseret kuat-kuat ke dasar kolam. Kini
ikan-ikan hitam berbantuk segitiga dengan gigi-giginya yang
lancip runcing serta tajam seperti mata gergaji bukan saja
manggerogoti tubuhnya, tetapi juga muka dan kepalanya.
Air kolam yang tadi bening jernih kini tampak butek oleh
darah!
Kuda putih yang tengah merumput di lereng lembah
dongakkan kepala. Matanya berkedip-kedip memandang
ke arah kolam. Seperti tahu apa yang terjadi binatang ini
meringkik. Panjang dan keras. Barulangkali tiada henti.
***
ENAM
SUARA ringkik kuda yang keras panjang dan terus itu
menarik perhatian Mahesa Kelud yang tengah dalam
perjalanan menuju ke timur. Mungkin itu hanya
ringkik kuda liar yang kehausan. Mungkin juga ringkik
saakor kuda yang tengah menghadapi bahaya. Atau ada
kuda penarik kereta terbalik. Untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi pemuda ini segera mendaki bukit
tandus di depannya. Sampai di puncak bukit kalau saja dia
tidak melihat seekor kuda putih yang tarus meringkik,
pastilah dia akan terpesona melihat keindahan yang ter-
bentang di depan matanya.
Mahesa berlari mendekati kuda putih itu. Pada jarak
tiga langkah mendadak binatang mi tendangkan kaki kiri
belakangnya ke arah Mahesa. Kalau tidak cepat meng-
hindar pasti perutnya kena diterjang kaki kuda itu.
"Kuda putih... tenang. Tenang... Aku sahabatmu. Aku
tak akan mengganggumu! Kenapa kau meringkik terus
menerus!" Mahesa berkata itu sambil ulurkan tangan
mengelus tengkuk kuda putih. Binatang ini masih terus
meringkik, tetapi tidak galak lagi. Mahesa memandang
berkeliling. Tangannya terus mengusap leher kuda. Ketika
dia menuruni pedataran berumput menuju ke kolam di
bawah sana. kuda putih itu mengikutinya.
Di tepi kolam Mahesa menemukan sehelai pakaian
yang terdiri dari pakaian dan celana panjang putih. Lalu
ikat kepala putih. Persis seperti yang saat itu dikenakannya
sendiri. Namun apa yang menjadi perhatiannya dan
membuat pandekar ini keranyitkan kening adalah sesosok
kerangka manusia lengkap dengan tengkorak kepala,
terapung di air kolam yang tampak kemerah-merahan. Bau
amis menusuk hidungnya. Kuda putih di sampingnya
meringkik keras.
"Celaka! Kita tidak keburu mengambil dan
menyembunyikan tengkorak itu. Air kolampun masih ada
darahnya!" terdengar bisikan di balik tumpukan batu besar
dan kerapatan pohon pohon. Yang berbisik adalah kakek
botak Picak Kanan.
"Tenang saja...." Picak Kiri menyahut. "Tak mungkin
orang itu mengetahui apa yang terjadi. Yang penting jangan
keluarkan suara berisik. Pemuda itu jelas tengah meneliti
keadaan di tempat ini!"
Mahesa tegak di atas batu besar di tepi kolam. Otaknya
bekerja keras memecahkan teka-teki apa yang telah terjadi
di tempat itu. Pembunuhan? Seseorang, pemilik pakaian
putih dan pemilik kuda putih itu. diakah yang jadi korban?
Tapi siapa yang membunuh? Mahesa menatap ke arah
tengkorak yang tarapung di air kolam. Pada saat itulah di
belakangnya terdengar suara derap kaki kuda, disusul oleh
suara seseorang berseru, "Kakak Panji!"
Mahesa cepat berpaling. Bukan saja ingin melihat
siapa yang memanggil itu tetapi juga karena Panji adalah
nama aslinya, nama sebelum gurunya Embah Jagatnata
memberikan nama Mahesa Kelud kepadanya. Siapa
gerangan orang yang mengetahui nama aslinya itu?'
Ketika berpaling Mahesa dapatkan dirinya ber had ap
had a pan dengan seorang muda penunggang kuda hitam.
Pemuda itu bertubuh ramping, berpakaian serba putih dan
memiliki paras serta kulit sehalus perempuan.
"Ah! Kau bukan kakak Panji!" penunggang kuda hitam
berkata dan di wajahnya tampak bayangan rasa heran. Dia
memandang ke tengah kolam di mana tampak mengapung
tengkorak manusia. Lalu melirik pada kuda putih di
samping kiri si pemuda. "Kau bukan kakak Panji! Tapi kuda
itu adalah Panah Putih. Kuda miliknya. Dan ..." Penunggang
kuda hitam meluncur turun dan kudanya ketika melihat
seonggok pakaian putih di atas batu di tepi kolam. "Ini
pasti pakaiannya. Kakak Panji! Di mana kau!" seru pemuda
ramping itu yang bukan lam adalah Sri Megaresmi murid
Kiai Kali Muntu, adik seperguruan Panji. Kenapa gadis
berpakaian lelaki ini kembali ke tempat itu?
Seperti diceritakan, sebelumnya Megaresmi telah
datang ke lembah yang indah itu dan sempat mandi di
kolam. Meskipun hatinya diselimuti rasa senang karena
dapat mandi di air yang bersih bening dan sejuk demikian
rupa namun setelah meniggalkan tempat itu gadis ini
menaruh rasa tidak enak. Dia yakin gerak-geriknya ketika
mandi tadi telah diintip oleh orang lain. Rasa jengah timbul
dalam dirinya. Tetapi sekaligus juga rasa marah. Jika ada
orang yang berani mengintipnya mandi, orang itu siapapun
adanya harus digebuk dan dihajar. Maka gadis yang keras
hati ini sengaja kembali ke tempat itu untuk menyelidik.
Justru yang ditemuinya adalah Mahesa Kelud dan kuda
putih milik kakak seperguruannya.
"Saudara, kau memanggil nama Panji berulang kali!
Siapakah dia? Aku sendiri juga bernama Panji!" Mahesa
menegur.
"Aku tak perduli siapa namamu! Yang kucari adalah
Panji kakak seperguruanku! Kulihat kuda putihnya ada
bersamamu! Dan itu pasti pakaiannya!"
"Ketika aku sampai di tempat ini kutemui kuda ini
meringkik terus-terusan. Lalu kutemui pakaian. Aku tidak
melihat siapapun di sini, kecuali tengkorak yang terapung
apung di dalam kolam ..." menerangkan Mahesa.
Megaresmi memandang ka kolam kembali. Hatinya
tidak enak. Berpaling ke arah Mahasa dia tiba-tiba berkata:
"Pasti kau yang tadi mengintip aku mandi!"
"Hah! Aku baru saja sampai di tempat ini! Bagaimana
kau bisa menuduh aku mengintipmu mandi! Memangnya
kapan kau mandi di sini? Di dalam kolam yang ada
jerangkong ada airnya amis itu?!"
"Jangan berpura-pura! Ketika aku mandi kolam itu
bersih dan sejuk airnya. Tak ada bau amis, apalagi
jerangkong!" tukas Megaresmi.
"Aneh, kalau begitu sesuatu telah terjadi sesaat setelah
kau pergi dan sebelum aku muncul di tempat ini!" kata
Mahesa pula.
"Aku curiga! Kaulah yang telah membunuh kakak
seperguruanku!"
Mahesa Kelud tentu saja terkejut mendengar tuduhan
itu.
"Tuduhanmu tak beralasan. Aku tak pernah bertemu
dangan kakak seperguruanmu itu. Lalu apa pula pasal
musababnya aku membunuhnya?!" Mahesa memandang
ke arah kolam. "Apa kau bisa membuktikan bahwa aku
yang membunuh saudaramu dan bagaimana cara aku
membunuh!"
"Aku tidak merasa perlu membuktikannya. Justru kau
yang harus mengakuinya. Jika kau berani bardusta
kupecahkan batok kepalamu!"
Mahesa tersenyum. "Siapa sudi mengakui sesuatu yang
tidak dilakukannya? Apalagi membunuh orang!"
"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus! Aku yakin kau
membunuh kakakku Mungkin karena kau menginginkan
kuda putihnya itu Atau antara kalian ada dendam
kesumat!"
"Pemuda picik! Jika aku membunuh seseorang mana
mayatnya?!"
"Pasti telah kau sembunyikan. Atau mungkin
jerangkong yang ada dalam kolam itu!"
Mahesa tertawa. "Membunuh seseorang lalu mem
buatnya hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak
seperti itu bukan pekerjaan mudah! Mayat yang di-
kuburpun berbilang tahun baru menjadi tengkorak putih!"
"Sudahlah! Kau mau mengaku atau tidak?!" Megaresmi
mengancam.
"Apa yang harus kuakui?!" tukas Mahesa.
"Keparat! Mulutmu pandai berdalih! Lihat serangan!"
Mahesa Kelud terkejut ketika melihat "pemuda" di
hadapannya menerjang dengan satu pukulan kilat
mengarah mukanya. Dari angin pukulan yang mengeluar-
kan suara berdesir. Mahesa segeraa maklum kalau
pemuda yang kelihatannya lemah lembut itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah. Untuk menjajal sampai di
mana kekuatan lawan maka diapun angkat lengan kiri,
menangkis.
Megaresmi dalam marahnya juga ingin menjajagi
kehebatan si pemuda maka diapun tidak berusaha untuk
menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Buk!
Mahesa melompat mundut sambil teliti pergelangan
tangannya. Ternyata lengannya tampak kemerah-merahan
dan rasa sakit membuat pendekar ini menatap kagum ke
depan. Tidak disangka pemuda yang bertubuh ramping
halus itu memiliki kekuatan luar biasa.
Sebaliknya Megaresmi sendiri tampak terbungkuk-
bungkuk sambil pegangi tangannya. Jelas dia menderita
sakit yang amat sangat. Melihat hal ini diam-diam Mahesa
jadi kasihan dan berkata, "Harap maafkan, bukan
maksudmu mencelakaimu. Tanganmu cidera?!"
"Kentut busuk!" Megaresmi memaki gemas. Ucapan
belas kasihan itu olehnya terasa justru seperti ejekan.
Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangan kirinya membabat
deras mencari sasaran seru. Jurus demi jurus berlalu
sangat cepat. Tak terasa dua puluh jurus telah terlewatkan.
Megaresmi keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat
memukul atau merobohkan lawan. Namun sampai
tenaganya terkuras dia tak mampu menyentuh tubuh
pemuda itu. Sebaliknya Mahesa bekerja keras dan harus
keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Embah
Jagatnata, sesekali digabung dengan jurus-jurus ilmu
pedang yang didapatnya dari Suara Tanpa Rupa. Selama
perkelahian Mahesa lebih banyak mengambil sikap ber-
tahan. Entah mengapa dia merasa tidak tega balas
menyerang. apalagi sampai menjatuhkan tangan keras.
Selain tidak ada silang sengketa dengan "pemuda" itu.
Mahesa juga sadar kalau lawannya banyak terpengaruh
oleh anggapan bahwa dialah yang telah membunuh kakak
seperguruannya.
Memasuki junjs keduapuluh lima gerakan Mega resmi
tampak semakin lamban. Nafasnya menyengal. Gila! Maki
"pemuda" ini. Tadi bertempur melawan orang-orang
kerajaan itu dia sama sekali tidak merasa lemas. Mengapa
menghadapi lawan yang seorang ini tenaganya seperti
tersedot. Dalam keadaan kehabisan tenaga, ketika
Mahesa menepuk bahunya, Megaresmi akhirnya jatuh
terduduk di antara pohon-pohon bunga yang sedang
bermekaran. Perasaannya campur aduk. Malu, gemas,
marah dan menyesal. Sekian lama menjadi murid Kiai Kali
Mutu ternyata kepandaiannya hanya sampai di situ saja.
Tak sanggup menghadapi pemuda itu. Percuma meng-
habiskan waktu sekian lama di Demak kalau hasilnya
hanya begin! saja. Terlupa akan penyamarannya.
Megaresmi duduk bersimpuh di tanah sambil tekap
mukanya dengan kedua tangan. lalu tak sadar dia men-
jambak-jambak rambut di kepalanya hingga gelungannya
terlepas dan rambutnya yang panjang sebatas bahu
tergerai.
Melihat ini Mahesa Kelud tentu saja jadi terkejut.
"Hah... kau ini lelaki atau ..."
Megaresmi turunkan kedua tangannya, memandang
melotot pada Mahesa
"Kau... seorang perempuan!" ujar Mahesa.
Baru Megaresmi sadar. Kedua tangannya diusapkan ke
kepala. Sadar dia apa yang terjadi. Sanggulnya lepas.
Penyamarannya terbuka. Yang bisa dilakukannya kini
adalah menangis dan menangis!
Mahesa geleng geleng kepala. Dia duduk di tanah di
hadapan gadis itu tapi tetap menjaga jarak karena bukan
mustahil tiba-tiba si gadis kembali menyerangnya.
"Apa yang hendak kau lakukan padaku?!" tiba-tiba
Megaresmi bertanya dengan suara keras. Nadanya penuh
putus asa.
"Eh. aku tak akan melakukan apa apa. Memangnya
kenapa?" tanya Mahesa heran.
"Kalau begitu enyahlah dari hadapanku!"
"Jika kau tidak suka pada tampangku yang jelek, tak
jadi apa." sahut Mahesa. "Tapi di tempat ini ada sesuatu
yang tidak beres. Bagaimana kalau kita melakukan
penyelidikan bersama-sama. Bukankah kau menaruh
curiga bahwa kakak seperguruanmu berada di tempat ini
dan lenyap secara aneh. Lalu ada jerangkong terapung di
kolam sana... Dan kuda putih itu yang menurutmu adalah
kuda kakakmu. Dan pakaian putih... Atau mungkin kau
masih menuduhku sebagai pembunuh?"
"Sampai kau sendiri yang membuktikan bahwa kau
bukan pembunuh, aku tetap mencapmu sebagai pem-
bunuh!"
"Kau keterlaluan. Siapa sih namamu?!" Tanya Mahesa.
"Perlu apa kau tahu namaku! Dengar! Hari ini aku
mengaku kalah. Mengejek dan mempermankankul Tapi
tunggu saja! Aku akan datang lagi mencarimu. Aku akan
berguru ke selatan. Sekali kau kutemui lagi akan kuhajar
kau sampai menggelepar!"
"Kau gadis keras hati!" kata Mahesa Megaresmi tak
menyahut. Dia bangkit berdiri, mengambil pakaian putih
yang terletak di atas batu di tepi kolam lalu melompat ke
atas kuda hitamuya. Sebelum pergi dia berpaling pada
kuda putih yang tegak di samping Mahesa.
"Panah Putih." katanya. "aku tak bisa membawamu.
Jagalah dirimu baik-baik..." Sesaat gadis itu melirik ke arah
Mahesa lalu membedal kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Yang ada di benaknya saat itu adalah bayangan orang tua
serba putih yang muncul bersama anak rusa di pundaknya.
Orang tua itu telah menyuruhnya pergi menemuinya di
selatan. Semula sama sekali tak ada niat di hati
Megaresmi untuk memenuhi permintaan itu. Tapi setelah
dia dikalahkan oleh pemuda tadi. hatinya benar-benar
kesal. Dia bertekad untuk membalas kekalahan itu. Untuk
kembali ke gurunya di Demak dia merasa malu. Karena itu
dia menuju ke selatan, mencari kakek sakti yang
mengatakan bahwa dirinya berjodoh untuk diambil murid.
Gadis ini sama sekali tak pernah mengetahui kalau orang
tua yang hendak mengambilnya menjadi murid itu
sesungguhnya adalah juga guru Mahesa Kelud
Sesaat setelah sandirian Mahesa tegak termangu.
Akhirnya didekatinya kuda putih itu, dielus-elusnya
tengkukb inatang ini seraya berkata, "Kuda putih, namamu
Panah Putih, benar...?" Sang kuda kedip-kedipkan mata.
"Dari pada tak ada yang mengurusmu, lebih baik ikut
bersamaku." Lalu Mahesa melompat ke punggung kuda itu
dan memacunya ke juruian timur.
***
TUJUH
TIGA ekor kuda berpacu menu rum lembah her rumput.
Dua kuda di tunggangi oleh dua orang bertubuh kekar
berwaiah bengis dan memiliki rambut gondrong
menjela bahu. Muka masing-masing selain tertutup debu
juga terbungkus oleh cambang bawuk serta kumis tebal.
Kuda ketiga tidak bar penumpang tapi membewa sejumlah
buntalan dan peti kayu.
"Delapan tahun malang-melintang di daerah ini, baru
hari ini aku tahu kalau di sini ada lembah yang begini
indah, lengkap dengan bunga dan kolam sejuk!"
Penunggang kuda yang sebelah kanan berkata sambil
tekankan telapak tangan kanannya ke gagang golok besar
yang tersisip di pinggang.
"Warok. tempat ini pantas kita jadikan markas!" kata
kawan di sebelahnya.
Yang dipanggil dengan sebutan warok usap-usap
cambang bawuknya lalu menjawab, "Itu tadi memang ter-
lintas dalam benakku. Tapi tempat seindah ini tidak aman
bagi kita dan anak-anak. Kau tahu siapa saja yang lewat di
sini pasti menyempatkan singgah untuk menikmati
pemandangan serta bermain di kolam. Aku sendiri merasa
gerah. Sudah seminggu tubuhku tak menyentuh air.
Sampang Ijo. kau berangkatlah duluan. Bawa serta barang-
barang itu. Tunggu aku di Goa Srindil. Aku ingin mandi dulu
di kolam ini.. . "
"Kalau warok berkata begitu baiklah," kata Sampang Ijo
lalu dia menarik tali kuda barang dan segera tinggalkan
tempat itu.
Kakek botak Picak Kiri mengusap-usap kepatanya yang
botak. "Kalau aku tidak salah terka, manusia gondrong
bertampang buas itu adalah Warok Suto Jagal, kepala
rampok yang terkenal jahat dan ganas itu...
"Memang dia," jawab Picak Kanan. "Gerak-geriknya dia
hendak mandi kolam kita. Kali ini ikan-ikan kita akan dapat
mangsa alot! Daging dan darah-nya pasti tidak sedap!"
"Tak jadi apa. Yang penting ikan-ikan Iblis Prahara itu
dapat makan. Yang aku takutkan justru kalau mereka
sampai mati kelaparan. Siapkan perkakasmu Picak Kanan.
Sebentar lagi sang warok akan berlangir darah dan daging-
nya sendiri! Hik... hik... hik!"
Saat itu Warok Suto Jagai memang sudah menang-
galkan pakaiannya. Dadanya tampak penuh tertutup bulu
sampai ke pusar dan perutnya yang buncit berlemak. Air
kolam muncrat tinggi ketika tubuh yang besar gendut itu
mencemplung masuk.
"Sedapnya mandi di sini ..." kata sang warok. "Sehabis
mandi sebaiknya aku tidak terus ke Goa Srindil. Aku
mampir dulu ke tempat Nyi Jumilah. Dia tentu senang
bergelut-gelut dengan tubuhku yang bersih. Selama ini dia
selalu mengatakan badanku bau...!"
Suto Jagal berenang ke tepi, maksudnya hendak
mengambil daun-daun dan kembang-kembang melati
untuk digosokkan kepadanya agar harum. Tetapi sebelum
dia mencapai tepi kolam tiba-tiba ada sesuatu yang
menggigit kakinya. pahanya, laiu pinggul dan pinggangnya.
Dan terpekik kesakitan. Kini malah dada dan perutnya
seperti dicucuk.
"Binatang keparat!" maki kepala rampok itu ketika
melihat ternyata yang menggigit tubuhnya adalah ikanikan
kecil berwarna hitam. Dia mengibas kian kemari sambil
berusaha mencapai tepi kolam. Namun ikan-ikan yang
ribuan ekor banyaknya itu lebih dahulu menyeretnya ke
dalam kolam. Ketika tak lama kemudian Warok Suto Jagal
muncul di permukaan air maka tubuhnya hanya tinggal
tulang belulang dan tengkorak yang mengerikan!
"Ikan-ikan luar biasa!" kata Picak Kiri sambil
menyeringai puas. "Tubuh begitu besar alot dan penuh
temak dihabisi dalam waktu singkat! Picak Kanan, ayo
cepat masukkan ikan ikanmu. Aku harus mengangkat
jerangkong itu dari dalam air. Kawatir ada pendatang lain
muncul seperti kejadian tempo hari..."
Picak Kanan goyang-goyang ujung tali rotan yang
dipegangnya. Dan bagian atas tarowongan di dalam tanah
berjatuhan butir-butir pasir berkilauan. Ribuan ikan hitam
yang tertarik melihat benda-benda ini segera menghambur
masuk ke dalam terowongan. Picak Kanan lalu menarik
ujung tali rotan. Lempeng-an tembaga berat turut menutup
mulut terowongan. Sementara itu Picak Kiri keluar dari
tempat persembunyian mereka. membawa sebuah galah
yang ujungnya ada pengait. Dengan galah itu dikaitnya
jerangkong tengkorak Suto Jagal lalu diseretnya sejauh dua
ratus tombak, ke satu tempat tersembunyi di mana ter-
pampang satu pemandangan yang mengerikan. Di situ ter-
tumpuk puluhan tulang belulang dan tengkorak manusia.
Semua adalah korban-korban tak berdosa yang menemui
ajal terjebak dalam kolam iblis!
Selesai membuang tulang belulang Warok Wuto Jagal,
Picak Kiri kembali ke tempat persembunyian di belakang
batu dan pohon-pohon besar. Dia mengeluarkan sebuah
pisau kecil, lalu menggurat batang pohon di depannya
dengan ujung pisau. Pada batang pohon itu terdapat
puluhan guratan.
"Sudah berapa semuanya Picak Kiri?" tanya kakek
Picak Kanan.
"Tiga puluh satu ..."
"Banyak juga. Hik... hik... hik... Berapa korban lagi yang
bakal kita dapatkan!"
Mendadak dari atas salah satu pohon di bawah mana
kedua kakek botak ompong mi berada, terdengar suara
seseorang membentak,
"Manusia-manusia edan! Kalian tidak akan mendapat
korban baru! Kalau ada yang mampus dalam kolam itu, itu
adalah kalian berdua!"
Tentu saja Picak Kanan dan Picak Kiri kaget bukan
main. Kadua kakek botak ini mendongak ke atas pohon.
Saat itu tampak sesosok tubuh melayang turun. Sambil
turun orang itu hantamkan kaki kiri kanan ke batok kepala
dua kakek aneh. Ini adalah satu serangan maut yang
ganas!
Dua kakek berseru keras dan serentak menghambur
selamatkan diri. Satu melompat ke kiri, satunya lagi
membuang diri ke kanan. Sambil berkelit keduanya sama
hantamkan tangan ke atas. Dua gelombang angin deras
laksana gunting menyambar tubuh yang melayang turun.
Tapi meleset karena orang itu kelihatan jungkir balik dan di
lain kejap dia sudah menjejakkan kedua kaki di tanah.
tegak sejauh enam langkah dari dua kakek botak plontos.
Orang ini seorang tua mengenakan pakaian biru. Di
pinggangnya tergelung sebuah ikat pinggang berupa ular
sanca besar yang merupakan satu senjata ampuh ber-
bahaya. Yang menggidikkan dari orang ini ialah mukanya
yang tmggal kulit pembungkus tulang hingga muka itu
hampir menyerupai sebuah tengkorak!
"Datuk Ulat Muka Tengkorak!" seru Picak Kiri dan Picak
Kanan dengan suara bergetar.
"Tak ada hujan tak ada angin! Tak ada silang sengketa
tak ada lantai terjungkat! Kenapa kau hendak membunuh
kami?!" bertanya Picak Kanan. Baik dia maupun Picak Kiri
tahu betul kehebatan Datuk Ular apalagi kalau manusia ini
sampai pergunakan ikat pinggang ular sancanya urusan
bisa berabe.
Datuk Ular meludah ke tanah. "Antara kita memang tak
ada silang sengketa ataupun perselisihan! Tetapi antara
kau dan kebenaran ada yang perlu diselesaikan! Tigapuluh
satu orang tak berdosa telah jadi korban kejahatan kaiian!
Untuk itu kalian pantas dihajar sampai mati!" (Mengenai
siapa adanya Datuk Ular Muka Tengkorak ini harap baca
serial Pedang Sakti Keris Ular Emas: Simo Gembong
Mencari Mati dan Srigala Berbulu Domba)
"Datuk Ular... Datuk Ular..." kata Picak Kiri sambil
geleng-geleng kepala. "Aku menghormati nama besarmu
Tapi jika kau memaksa bukan berarti aku dan saudaraku
ini akan diam saja seperti kerbau dungu!"
Datuk Ular Muka Tengkorak tertawa mengekeh. "Perlu
dibuktikan dulu apa betul kalian bukan dua ekor kerbau
dungu!" Habis berkata begitu sang datuk langsung
menyerbu kedua orang itu.
Meskipun dikeroyok dua namun tampaknya sulit bagi
dua kakek botak untuk mengalahkan lawan. Setelah
menggebrak terus-terusan selama delapan jurus Picak Kiri
dan Picak Kanan mulai mendapat serangan serangan
balasan yang membuat keduanya terdesak.
"Celaka, dua jurus di muka dia pasti dapat menggebuk
kita. Bagaimana pendapatmu?" bisik Picak Kiri pada Picak
Kanan.
"Tak ada jalan lain. Kau harus memancingnya berkelahi
di tepi kolam. Begitu ada kesempatan dorong tubuhnya ke
dalam air. Aku akan membuka katup tembaga di mulut
terowongan!"
Mendengar ucapan itu maka Picak Kiri lepaskan dua
serangan berantai ke arah Datuk Ular, begitu lawan balas
menghantam dia cepat melompat ke atas batu-batu besar
pembatas kolam iblis. Sementara saudaranya Picak Kanan
menyelinap ke balik pepohonan di mana terdapat
peralatan rahasia.
Datuk Ular bukan orang bodoh. Dia sempat melihat
kasak-kusuk di antara kedua lawannya. Pasti mereka
menyusun rencana, pikirnya. Maka diapun lebih berhati-
hati.
"Datuk Ular! Mari kita berkelahi satu lawan satu di atas
batu-batu ini!" seru Picak Kiri.
Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu.
Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. "Kenapa
cuma di atas batu-batu di tepi kolam itu? Mengapa tidak di
dalam kolam saja?!" sahutnya.
Picak Kiri lemparkan senyum mengejek. "Nyalimu
rupanya hanya sampai di situ! Lagakmu bersikap bersih,
seolah-olah hendak metenyapkan kejahatan di muka bumi
ini. Tapi semua orang tahu kau tak lebih dari seekor ular
busuk kepala dua!"
Mendengar caci maki itu marahlah Datuk Ular. Dia ter-
pancing melompat ke atas batu dan kirimkan serangan
gencar pada Picak Kiri. Yang terserang pergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Dengan satu gerak tipu dia
berhasil membetot pinggang Datuk Ular dan menariknya ke
dalam kolam. Tapi sang Datuk tidak bodoh. Begitu tubuh-
nya jatuh. kakinya cepat mengait kaki lawan hingga kedua-
nya sama-sama tercebur masuk ke dalam kolam. Malang
bagi Picak Kiri justru tubuhnya terbenam lebih dulu. Selagi
dia megap-megap karena hidung dan mulutnya kemasukan
air, Datuk Ular hantam mukanya dengan satu jotosan.
Di balik pohon Picak Kanan telah mendengar suara
tubuh masuk ke dalam kolam, tapi dia tak dapat
mengetahui dengan jelas siapa yang tercebur. Maka
diapun bangkit mengintip-intip lewat celah-celah batu.
Justru saat itu satu tendangan menghantam pelipisnya
hingga si botak ini terpental dan roboh di tanah antara
sadar dan pingsan. Datuk Ular seret tubuh Picak Kanan
dan masuk-kan ke dalam kolam. Sadar apa yang bakal
dialaminya Picak Kanan berteriak dan kumpuikan tenaga
yang ada untuk keluar dari dalam air. Namun kembali satu
tendangan menghantam tubuhnya di bagian dada. Picak
Kanan terhempas ke belakang. Jatuh manimpa tubuh
Picak Kiri yang dalam keadaan megap-megap berusaha
pula selamatkan diri.
Datuk Ular lari ke balik pohon-pohon besar. Selama
satu minggu secara diam-diam dia telah mengintai gerak-
gerik kedua kakek botak itu dan tahu betul seluk-beluk alat
rahasia yang tersembunyi di balik semak belukar. Dengan
cepat dia mendorong ujung tali rotan. Tembaga penutup
mulut terowongan terbuka. Ribuan ikan hitam menyerbu ke
luar terowongan, langsung melumat dua sosok tubuh yang
ada di dalam kolam, Picak Kiri dan Picak Kanan mengge-
lepar-gelepar. Teriakan-teriakan putus asa keluar dari
mulut keduanya. Namun itu hanya merupakan teriakan
pengantar kematian mereka.
DELAPAN
SEBELUM menamatkan riwayat dua kakek jahat Picak
Kiri dan Picak Kanan tujuan utama Datuk Ular
semata-mata adalah untuk membasmi kejahatan
dari muka bumi ini. Namun setelah kedua kakek itu ter-
bunuh, maka satu pikiran sesat justru merasuk hati sang
Datuk, malah sangat bertentangan dengan niat baiknya
semula.
Seperti diketahui Datuk Ular adalah termasuk tokoh
silat golongan putih. Meskipun demikian kerap kali
tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak begitu disukai
oleh para tokoh golongan karena hanya mengikuti
kehendak pribadi dan terkadang bahkan menguntungkan
mereka dari golongan hitam.
Dengan kematian dua kakek botak, sang datuk kini
sadar betul bahwa hanya dia seorang yang mengetahui
seluk beluk dan rahasia kolam iblis di lembah subur itu.
Maka dalam hatinya yang telah terhasut oleh setan itu,
Datuk Ular merasa dengan menguasai kolam itu dia dapat
melakukan satu kejutan besar tetapi secara rahasia, yakni
menguasai dunia persilatan! Caranya tentu saja mula-mula
dengan membunuhi para tokoh silat yang tidak sehaluan
dengan dia. Manusia pertama yang ingin dibunuhnya
adalah bekas sekutunya sendiri yakni Dewi Rebab
Kencana. Perempuan sakti ini yang termasuk golongan
putih dalam banyak hal selalu menentang apa-apa yang
ingin dilakukan sang datuk sehingga Datuk Ular mencap-
nya sebagai musuh dalam selimut. Setelah Dewi Rebab
Kencana dibereskan, orang kedua yang masuk dalam
daftar maut sang datuk adalah Mahesa Kelud.
Beberapa waktu yang lalu, bersama beberapa orang
kawannya dia pernah menempur pemuda murid Simo
Gembong itu hingga terjungkal masuk ke dalam jurang
batu bersama seorang anak buah Dewi Maut. Semula
diperkirakan kedua orang itu telah menemui ajal di dasar
jurang. Tetapi beberapa waktu yang lalu Datuk Ular
menyirap kabar dan menemui bukti-bukti kuat yang
menyatakan bahwa Mahesa Kelud masih hidup!
Tempat kematian yang paling tepat bagi kedua orang
tersebut adalah kolam ikan iblis itu. Namun Datuk Ular
tahu betul, tidak mudah untuk menjebak Dewi Rebab
Kencana ataupun Mahesa Kelud untuk datang ke lembah
itu. Tapi dasar manusia cerdik panjang akal, sang datuk
segera menemukan akal bagaimana agar Mahesa Kelud
serta Dewi Rebab bisa dibuat muncul.
Selain cerdik Datuk Ular juga seorang yang memiliki
perhitungan panjang. Untuk menjaga segala kemungkinan,
dia menghubungi Pengemis Sableng dan Pengemis
Berkipas Putih yaitu dua orang tokoh silat pentolan istana
yang dulu pernah ditugaskan hartawan Prajadika untuk
menangkap Mahesa Kelud karena pendekar ini telah mem-
bunuh putera sang hartawan yang bernama Prajakuncara,
yaitu ketika Prajakuncara hendak merusak kehormatan
Wulansari. (Baca Simo Gembong Mencari Mati dan Srigala
Berbulu Domba).
Begitulah, selama beberapa bulan ini dunia persilatan
diam-diam telah dilanda kegegeran. Beberapa tokoh silat
dikabarkan lenyap tanpa diketahui apa yang sebenarnya
terjadi dengan mereka. Dalam kegegeran itu. dua orang
menerima surat secara aneh. Surat pertama diterima oleh
Dewi Rebab Kencana, berbunyi :
Berbilang bulan telah berlalu sejak kematian guru
Jika dendam kesumat masa lalu bisa dipupus
Ada satu pesan Simo Gembong yang perlu di-
sampaikan.
Sudikah Dewi datang ke lembah subur di kaki
selatan pegunungan Dieng.
Datanglah tepat pada tengah hari ketika sang
surya bersinar terik.
Pada hari ke lima bulan enam.
Aku menunggu Dewi di tepi kolam berair sejuk.
Mehesa Kelud
Surat kedua sampai di tangan Mahesa Kelud. Di situ
tertulis :
Berbulan-bulan telah berlalu sejak kematian
gurumu
Ada pesan mendiang Simo Gembong yang terlupa
kusampaikan
Jika kau murid yang patuh datanglah tepat pada
tengah hari ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke tujuh bulan enam.
Aku menunggumu di tepi kolam berair sejuk.
Di lembah subur kaki selatan pegunungan Dieng.
Dewi Rebab Kencana.
Sewaktu Dewi Rebab Kencana menerima surat itu.
hatinya diliputi berbagai kebimbangan. Pertama apakah
benar surat itu dikirimkan oleh Mahesa Kelud, murid
mendiang Simo Gembong, kekasihnya di masa muda.
Kedua surat itu secara aneh disampaikan oleh seorang
berpakaian seperti nelayan ketika dia berada di pantai
selatan. Sewaktu dia berusaha menguntit nelayan itu,
orang tersebut lenyap tanpa jejak.
Nelayan biasa tak bakal bisa melakukan hal itu. Pasti
nelayan tadi adalah seorang berkepandaian tinggi yang
sengaja menyamar. Ketiga, jika Simo Gembong memang
mempunyai pesan untuknya mengapa sang murid tidak
memberrtahukan ketika mereka berada di Pulau Mayat.
tempat kediaman Dewi Maut, yaitu ketika mereka berada
di tana sebelum Simo Gembong menemui ajal bunuh diri.
Namun mengenang kehidupan masa lalunya bersama
Simo Gembong dan teringat pada bayangan wajah Mahesa
Kelud yang tak pernah dilupakannya karena wajah pemuda
itu mirip seseorang yang pern ah dicintainya, maka Dewi
Rebab Kencana memutuskan untuk segera berangkat ke
utara, menuju pegunungan Dieng. Hanya saja perempuan
berusia lanjut tetapi awet muda ini mengadakan per-
jalanan seenak yang disukainya, maka dia sampai di
lembah subur itu bukan pada hari ke lima bulan enam,
melainkan pada hari ke tujuh bulan enam. Jadi terlambat
dua hah dari yang tertulis dalam surat. Sang Dewi merasa
tak perlu harus tepat seperti yang ditetapkan pengirim
surat karena menurut anggapannya jika Mahesa memang
memerlukannya, pemuda itu harus mau menunggu.
Mahesa Kelud sendiri dengan menunggang kuda putih
milik Panji sampai di lembah lewat tengahari, hanya
terpaut beberapa seat dari Dewi Rebab Kencana. Pemuda
ini datang dari arah utara, jadi tidak melalui bukit tandus
seperti ketika pertama kali dia sampai di tempat itu. Justru
karena kedatangannya dari arah yang berlawanan ini
Mahesa berhasil mengetahui bahaya maut yang meng-
ancam di tempat itu.
Karena datang dan sebelah utara, Mahesa berada di
kaki pegunungan yang lebih tinggi dan lembah tujuannya.
Semakin ke bawah ternyata jalan yang ditempuh bukan
semakin mudan, malah bertambah sulit karena bebatuan
gunung bukan saja besar besar tetapi juga licin berlumut.
Mahesa turun dan atas Panah Putih. Di satu tempat dia
terpaksa meninggal kan binatang ini dan melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Sekitar lima puluh tombak
sebelum dia mencapai lembah subur di mana terletak
kolam berair sejuk itu, dari kejauhan Mahesa melihat
sosok tubuh seseorang membelakanginya. Orang ini duduk
di tanah, di balik batu-batu besar dan pohon pohon rimbun.
Tampaknya seperti tengah memperhatikan ke arah kolam.
Dari pakaian dan potongan tubuhnya Mahesa tahu betul
orang itu bukanlah Dewi Rebab Kencana. Siapa adanya
orang ini dan apa yang dila kukannya di tempat yang
tersembunyi itu? Mahesa mendekati dengan hati-hati.
Ketika jaraknya hanya terpisah lima belas tombak
Mahesa segera mengenali siapa adanya orang itu, walau
dia belum sempat melihat waiahnya. Pakaiannya yang biru,
ikat pinggang ular besar yang tergelung di pinggangnya!
"Datuk Ular..." kata Mahesa dalam hati. Perasaannya
tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Dari balik pohon besar
tempat dia berlindung pemuda ini coba melihat ke sebelah
depan. Dia hanya dapat melihat sebagian dari kolam. lalu
pedataran berumput serta pohon-pohon bunga. Tak
tampak siapapun di sekitar kolam. Tapi tunggu dulu!
Seseorang berambut panjang tergerai, memegang sebuah
rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan tiba-
tiba tampak melangkah mundar-mandir di tepi kolam itu.
Dewi Rebab Kencana! Sikapnya menandakan perempuan
ini berada dalam ketidak sabaran.
Dewi Rebab Kencana kini menyesali diri sendiri yang
terlambat dua hari datang ke tempat itu hingga tidak
menemui Mahesa Kelud si pengirim surat. Tapi dia juga
menyesali pemuda itu yang tak mau menunggu sampai dia
muncul.
Di balik pepohonan rapat Datuk Ular Muka Tengkorak
merasa kesal, mengapa Dewi Rebab Kencana datang pada
hari ketujuh bukannya hari ke lima seperti yang disebutkan
dalam surat. Dia sengaja mengatur perbedaan waktu
datang antara perempuan itu dengan Mahesa. Karena jika
keduanya datang dalam waktu bersamaan, sulit baginya
untuk menjalankan rencana jahatnya. Dia berharap agar
Dewi Rebab cepat-cepat masuk ke dalam kolam dan agar
Mahesa tidak muncul di tempat itu sebelum dia dapat
membereskan perempuan sakti tersebut. Sang datuk tidak
tahu kalau pendekar itu justru sudah ada di belakangnya.
Mahesa merasa heran rnengapa Datuk Ular—orang
yang selama ini menganggapnya sebagai musuh—berada di
tempat itu dan apa yang dikerjakannya di tempat itu. Jelas
dia tengah memperhatikan gerak-geik Dewi Rebab dan
sengaja bersembunyi.
"Bangsat ini pasti punya maksud yang tidak baik," kata
Mahesa dalam hati. "Dua kali dia berusaha hendak mem-
bunuhku. Terakhir ketika dia membuat aku jatuh ke dalam
jurang batu bersama Sembilan Biru. Jangan-jangan dia
yang mengirimkan surat itu. Tapi mengapa Dewi Rebab
juga bisa ada di sini...?"
Di tepi kolam Dewi Rebab menghibur hati dengan
memetik bunga-bunga melati, menciumi bunga bunga yang
harum itu dan menyisipkannya di kelepak pakaiannya.
Angin lembab bertiup sejuk. Sang Dewi melangkah di atas
batu-batu besar pembatas tepi kolam. Memandang ke
dalam kolam, mau tak mau hati perempuan ini jadi ter-
gerak. Air kolam begitu jernih hingga dia dapat melihat
dasar kolam yang tak sebe-rapa dalam.
"Sebelum pemuda itu datang sebaiknya aku mandi saja
dulu," pikir sang dewi. "Tapi kalau dia datang dan aku
berada di kolam tanpa pakaian ..." Hati perempuan ini
sesaat ragu. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk
ke dalam kolam tapi tanpa membuka pakaian dalamnya.
Di balik pohon-pohon besar Datuk Ular Muka Tengkorak
tersenyum lega ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana
masuk ke dalam kolam. Mula-mula bermain air di tepian,
kemudian bergerak ke tengah. Datuk Ular menyeringai.
Tangan kanannya menyelu-sup di antara semak-semak
sampai akhirnya dia menyentuh ujung tali rotan.
"Tamat riwayatmu sekarang dewi ... I" desis Datuk Ular.
Lalu didorongnya ujung tali rotan itu.
Lempengan tembaga berat penutup mulut terowongan
terbuka. Ikan-ikan Iblis Prahara menyerbu keluar.
Pada saat itu dari lereng pedataran berumput ter-
dengar suara kuda dipacu, menyusul satu teriakan
memperingatkan.
"Hai! Jangan mandi di kolam itu! Berbahaya! Lekas naik
ke darat!"
Tiga orang tersentak kaget! Dewi Kencana, Datuk Ular
Muka Tengkorak dan Mahesa Kelud!
***
SEMBILAN
KEPARAT sialan!" maki Datuk Ular. "Siapa bangsat
yang berteriak memberi peringatan itu?!" Dia cepat
berdiri dan mengintai dari balik pohon besar.
Di dalam kolam saat itu ribuan ikan Iblis Prahara telah
ke luar dari terowongan, langsung menyerbu Dewi Rebab
Kencana. Perempuan sakti ini sempat mendengar suara
aneh bersiuran di dalam air, namun teriakan orang tadi
membuatnya lebih cepat waspada Bukan saja karena dia
merasa sangat malu kalau sampai kedapatan orang lain
hanya dalam keadaan mengenakan pakaian dalam serta
basah kuyup begitu rupa hingga setiap liku badannya yang
bagus tersembul dengan jelas, tetapi juga peringatan itu
sekaligus membuat dia mencium memang adanya bahaya
yang tak kelihatan di dalam kolam itu.
Satu hal cerdik yang dilakukan oleh Dewi Rebab ialah
dia bukan berenang menuju tapi kolam. tapi pergunakan
kepandaiannya untuk melompat ke udara, jungkir balik dan
melesat ke atas batu-batu. Tak urung tiga ikan iblis masih
sempat mematuk dan menancap di kakinya hingga sang
dewi terpekik kesakitan. Begitu sampai di batu dia segera
menggebuk hancur ketiga ikan ini. Lalu cepat menotok
beberapa bagian dari kakinya agar darah tidak terus
mengucur dan sekaligus membendung rasa sakit.
Dewi Rebab cepat cepat mengenakan pakaian luarnya
tanpa membuka pakaian dalam yang basah. Dia
memandang tak berkedip pada penunggang kuda. Mem-
buat orang ini bergidik merasakan keangkeran pada wajah
cantik tapi pucat itu.
"Aku tidak kenal padamu! Tapi aku berterima kasih kau
talah menolong. Siapa kau dan apa sebenar nya yang ada
dalam kolam itu?" bertanya Dewi Rebab Kencana.
"Aku Parangwulung. Bekas kepala pengawal
Tumenggung Singaranu! Tumenggungku menemui ajalnya
di kolam Ini tiga bulan yang lalu. Mati dilumat ribuan ikan-
ikan ganas! Lihat ke dalam kolam sana!"
Parangwulung melompat turun dari kudanya dan
melangkah ke tepi kolam. Dewi Kencana ikut memperhati-
kan ke dalam kolam. Tengkuknya menjadi dingin. Bulu
kuduknya merinding. Ribuan ikan aneh berwarna hitam
legam berbentuk segi tiga berkeliaran kian ke mari.
Mulutnya selalu membuka hingga jelas kelihatan gigi-
giginya yang runcing tajam seperti mata gergaji.
"Binatang binatang jahanam!" sumpah Dewi Rebab
Kencana. Dia ingat pada tiga ikan hitam itu yang sempat
menancap di kakinya Tapi apa benarkah ikan-ikan itu
ganas berbahaya?
Seekor burung hutan melayang rendah di permukaan
kolam. Dewi Rebab Kencana cepat mengambil rebabnya
laki menjetik satu dari empat tali rebab. Terdengar suata
melengking dan satu sinar putih kekuningan berkelebat ke
atas. Burung hutan yang sedang terbang terdengar men-
cicit, tubuhnya langsung jatuh dan masuk ke dalam kolam.
Ribuan ikan hitam bersirebut cepat. Dalam waktu
sekejapan mata saja tubuh burung itu amblas lenyap. Tak
bersisa lagi baik tulang-tulang maupun bulunya!
Bagaimana Parangwulung bisa berada dan muncul di
tempat itu kembali? Seperti yang telah diceritakan
sebelumnya, ketika dia ditangkap oleh orang-orang
kerajaan dan di bawanya ke tempat itu untuk memakan
bahwa Tumengggung Singaranu memang menemui ajal
karena diserbu ikan aneh di dalam kolam, ketika Sri
Megaresmi yang menyamar sebagai seorang muda
bersama seorang kakek sakti berpakaian serba putih telah
menolongnya. Meskipun dirinya kini bebas tetapi untuk
kembali ke kotaraja tak mungkin bagi Parangwulung.
Kembali ke kotataja berarti sama dengan menyerahkan diri
bulat-bulat untuk ditangkap. Malah mungkin dia akan
menerima perlakuan yang lebih kejam. Karena itu dia ber-
tekad untuk mendapatkan bukti-bukti bahwa Tumenggung
Singaranu memang menemui ajal di kolam itu. Setelah
malang-melintang lebih dari dua bulan di luar kotaraja
akhirnya dia kembali ke lembah subur tersebut untuk
melakukan penyelidikan. Dia sampai di lembah pada hari
dan saat ketika Dewi Rebab Kencana dilihatnya baru saja
masuk ke dalam kolam. Karena sudah menyaksikan
sendiri sebehimnya ikan-ikan hitam ganas dalam kolam itu,
langsung saja Parangwulung berteriak memberi peringatan.
Dan peringatannya itu tidak sia-sia karena berhasil
menyelamatkan Dewi Rebab Kencana dari kematian yang
mengerikan dan mengenaskan.
"Siapa yang punya pekerjaan gila ini?!"' tanya Dewi
Rebab Kencana.
Parangwulung menggeleng. "Justru aku datang ke mari
untuk menyelidik. Aku menjadi manusia buronan gara-gara
kolam dan ikan-ikan iblis itu."
Dewi Rebab Kencana berpikir-pikir
"Mungkinkah pemuda itu...?" tanyanya dalam hati.
"Mungkin dia yang sengaja memancingku mengirimkan
surat jebakan. Tapi... aku dan dia tak ada perselisihan.
Malah di pulau Mayat dia tahu betul bagaimana aku ber-
tindak bijaksana, aku tidak ikut mengejarnya bersama
Datuk Ular dan tokoh-tokoh silat istana. Dia sendiri
menunjukkan sikap hormat terhadapku . .
Di balik pepohonan besar di aabelah timur kolam iblis,
Datuk Ular membalik cepat ketika terdengar suara
menggeresek di belakangnya. Matanya terpentang lebar
ketika melihat siapa yang tec ik di hadapannya. Tapi dia
tak mau menunjukkan sikap takut.
"Bagus! Ternyata benar kau masih hidup. Tahukah
bahwa kedatanganmu ke mari hanya untuk mengantar
nyawa!"
Mahesa Kelud menyeringai.
"Mulutmu terlalu busuk! Hatimu ternyata sangat jahat!
Jangan harap hari ini kau bakal kulepaskan hidup-hidup!"
"Pemuda sombong! Sampai di mana kehebatanmu!"
Datuk Ular menerjang ke depan seolah-olah hendak
menyerang Tetapi begitu Mahesa berkelit ke samping
manusia muka tengkorak itu cepat menghambur ke kiri
dan melarikan diri.
"Datuk keparat! Kau mau Iari ke mana?!" bentak
Mahesa Kelud.
Suara bentakan yang keras ini sempat terdengar oleh
Dewi Rebab Kencana.
"Hai! Itu suara Mahesa!" seru sang Dewi. Dia me-
mandang berkeliling! Di lain saat tubuhnya melayang
laksana terbang ke arah batu-batu besar dan pohon-pohon
di sebelah timur kolam. Parangwulung menyusul. Di situ
keduanya menemukan Mahesa Kelud tengah berkelahi
melawan seorang kakek muka tengkorak barbaju biru
gelap.
"Datuk ular!" teriak Dewi Rebab Kencana ketika
mengenali orang tua itu. "Jadi kau...!"
"Dewi Rebab Kencana!" balas berseru Datuk Ular.
Otaknya yang cerdik segera bekerja. "Syukur kau datang!
Lekas kau bantu aku menangkap pemuda inil Bukankah
dia murid Simo Gembong dengan siapa kau menanam
dendam kesumat?!"
Dewi Rebah Kencana menyeringai "Dendam kesumatku
dengan Simo Gembong tak ada sangkut pautnya dengan
pemuda ini. Katakan apakah kau yang mengirim surat
keparat ini?!" Sang Dewi keluarkan surat yang pernah
diterimanya dan balik pakaian dan melemparkannya ke
tanah ke hadapan Datuk Ular.
"Dewi! Kau tahu aku tak pandai tulis baca. Mana
mungkin aku yang mengirim surat itu. Pasti pemuda ini! Dia
yang sengaja hendak menjebakmu!"
Hampir Dewi Rebab Kencana termakan oleh ucapan
sang datuk kalau Mahesa Kelud tidak lekas membuka
mulut.
"Otakmu cerdik, mulutmu licin! Tapi hatimu busuk! Aku
juga menerima sepucuk surat jebakan untuk datang ke
mari. Bukankah kau yang menulis?!" Mahesa keluarkan
surat yang dibawanya dan melemparkannya ke arah Datuk
Ular. "Dewi, aku tadi menangkap basahnya tengah
menggerakkan satu alat rahasia di balik pohon sana!"
Muka Dewi Rebab yang selalu pucat kini tampak
merah. Sepasang matanya laksana dikobari api.
"Antara aku dan kau tak ada perselisihan. Mengapa
kau inginkan jiwa secara keji?" Suara Dewi Rebab bergetar
tanda dia tidak dapat mengendalikan amarah.
Sang datuk tak bisa menjawab. Mahesa membuka
mulut. "Kalau dia tidak mau menerangkan saat ini biar
arwahnya yang bicara di hadapan setan akhirat!"
"Betul sekali! Mari kita berebut pahala menghajar
manusia ular kepala dua ini!" teriak sang dewi lalu
menerjang kirimkan serangan dengan penggesek rebab.
"Celaka! Rencanaku berantakan!" keluh Datuk Ular dalam
hati menghadapi Dewi Rebab seorang saja bukan urusan
mudah baginya, apalagi kini di situ ada pula Mahesa Kelud.
Datuk ini memandang berkeliling dan dalam hati dia
menyumpah, "Sialan! Mana dua keparat edan itu! Sampai
saat ini masih juga belum muncul!" maki sang datuk
keluarkan suara suitan keras.
Dari kaki Iembah sebelah selatan mendadak terdengar
suitan balasan. Dua kali berturut turut. Di lain saat dua
orang tua berpakaian aneh seperti pengemis muncul di
tempat itu sambil tertawa-tawa. Yang satu sambil berkipas-
kipas.
Mahesa Kelud terkejut seteah melihat kemunculan dua
manusia ini. Namun hatinya tidak kecut. Dua orang tua ini
punya hutang piutang dengan dirinya. Merekalah dulu yang
membantu Datuk Ular sampai dia jatuh ke dalam jurang
batu!
***
SEPULUH
DUA ORANG TUA itu tertawa-tawa memandang pada
Mahesa Kelud. Yang satu menuding seraya berkata:
"Hai! Bukankah budak ini sudah mampus waktu
jatuh di jurang batu?!"
"Memang aku sudah mampus!" sahut Mahesa marah
karenadipanggil dengan sebutan budak. "Yang tegak di
depanmu adalah arwahku yang gentayangan. Yang akan
mencopot kepalamu!"
"Hik... hik...hik! Lucu ada arwah bisa bicara."
Dan mau mencopot kepala kita!" kata orang tua yang
satu lagi. Dia mengenakan pakaian dekil bertambal-tambal.
Rambutnya panjang awut-awutan. Dialah yang bernama
Pengemis Sableng dan otaknya memang tidak watas. Di
sebelahnya berdiri adik kembarnya yang dikenal dengan
nama julukan Pengemis Berkipas Putih. Seperti kakaknya
dia juga berotak tidak waras, mengenakan pakaian penuh
tambalan tetapi bersih dan selalu membawa sebuah kipas
putih. Kipas ini bukan kipas biasa, melainkan sebuah
senjata sakti yang hebat.
"Hai... kalian berdua jangan tetap mematung saja!"
berteriak Datuk Ular. "Tangkap dan kalau perlu bunuh
pemuda itu! Aku akan melayani perempuan bermuka pucat
tukang pengamen ini!"
Lagi-lagi Datuk Ular berlaku cerdik. Dengan begitu dia
akan menghadapi Dewi Rebab Kencana yang dianggapnya
bisa dilayaninya sementara dua pengemis mengeroyok
Mahesa Kelud yang menurut Datuk Ular jauh lebih ber-
bahaya dari Dewi Rebab.
Karena sebelumnya telah pemah dikeroyok oleh dua
kakek berotak miring itu, Mahesa tahu betul kehebatan
mereka. Terlebih pengemis yang memegang kipas putih.
Maka tanpa menunggu lebih lama Mahesa segera cabut
pedang Dewa dan siapkan pukulan karang sewu di tangan
kiri.
"Aha! Pedang Dewa!" seru Pengemis Sableng. "Dulu aku
inginkan senjata itu tapi tak kesampaian! Tidak tahunya
hari ini kembali bertemu! Rupanya aku memang berjodoh
memilikinya!"
Selesai berseru Pengemis Sableng menggapai ke
depan hendak merampas senjata sakti itu. Gerakannya
tampak lamban saja. Tapi seolah olah kedua tangannya
menjadi panjang secara aneh, tahu-tahu tangan yang kiri
telah berkelebat ke pergelangan kanan Mahesa sementara
tangan kanannya meluncur hendak menarik badan
pedang!
Mahesa cepat putar tangannya. padang sakti merah
menderu. Sinar merah berkiblat menyilaukan. Pengemis
Sableng tersentak kaget dan cepat tarik kedua tangannya
yang hampir terbabat putus. Begitu pedang lewat dia
kembali merangsak dengan gerakan-gerakan aneh!
Dari samping di saat yang same. Pengemis Berkipas
Putih mulai membuka serangan dengan kibaskan kipas
saktinya. Satu gelombang angin panas menerpa Mahesa.
Pendekar ini merasakan tangannya yang memegang
pedang bergetar. Cepat dia melompat ke atas untuk
hindari serangan ganas itu lalu secepat kilat membalik
menukik tusukkan pedang ke pangkal tenggorokan
Pengemis Berkipas Putih!
Braakk!
Badan pedang sakti dan kipas putih saling beradu
ketika Pengemis Berkipas Putih membuat gerakan meng-
gebrak memukul senjata lawan. Mahesa yang se ngaja tak
mau manghindari bentrokan karena mengetahui
keampuhan pedangnya hanya menggerakkan tangan
sedikit laki menerpa senjata lawan sambil keahlian tenaga
dalam.
Dua bagian kipas putih robek besar. Pengemis Berkipas
Putih melompat kaget dan mengomel tak kanan ketika
dapati senjatanya telah rusak sementara Mahesa cepat
atur pernafasan. Bentrokan tadi membuat rasa sakit
menjalar dari lengan sampai ke pundak kanannya. Dalam
keadaan seperti itu mendadak Pengemis Sableng
menyerbunya sambil berteriak-teriak.
Kita tinggalkan dulu Mahesa dan dua pengeroyoknya.
Di tepi kolam sebetah kiri Datuk Ular Muka Tengkorak
tengah menempur Dewi Rebab Kencana dengan serangan
serangan mematikan. Sejak jurus pertama sang datuk
telah loloskan ikat pinggang ular sancanya. Senjata yang
bisa berubah jadi tongkat atau bergeking sepertt ular hidup
ini menderu-deru menggempur sang dewi yang bertahan
dengan rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan
kanan. Setelah le wat tujuh jurus dia masih belum dapat
mendesak lawannya maka Datuk Ular mulai semburkan
racun jahat dari mulut bangkai ular. Mau tak mau Dewi
Rebab Kencana menghadapi lawannya dengan lebih hati-
hati dan terpaksa menutup jalan pernafasan pada saat
racun menyemprot ke arahnya.
"Datuk Ular!" seru Dewi Rebab. "Sejak dulu kau selalu
mencari penyakit! Hari ini kau malah menggunting dalam
lipatan hendak mencelakai kau sendiri! Kelakuanmu
sungguh keji! Jangan harap aku akan memberi ampun
padamu!"
"Perempuan muka pucatl Siapa yang merengek minta
ampun padamu! Perempuan yang telah dirusak Simo
Gembong di mataku tak lebih daripada barang rongsokan
yang tak ada harganya!" balas berteriak Datuk Ular.
Ucapan sang datuk benar-benar membuat Dewi Rebab
marah sekali. Tubuhnya mencelat ke udara. Dari atas
perempuan ini gesekkan rebabnya. Suara melengking
menembus langit di atas lembah. Cahaya putih kekuningan
menyilaukan mata berkiblat. Datuk Ular sapukan senjata-
nya ke atas untuk menangkis. Namun dia salah per-
hitungan. Bagaimana pun juga cahaya lebih cepat jalannya
dari pada gebukan bangkai ularnya. Datuk Ular terhempas
ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa panas seperti
dipanggang. Dia gerakkan lagi tangannya untuk menghantam dengan senjatanya. Tetapi apa yang terjadi mem-
buat nyalinya jadi lumer. Bangkai ular sanca yang sangat
diandalkannya itu ternyata telah hangus dan begitu
digerakkan senjata ini jadi luruh ke tanah!
Dewi Rebab Kencana tertawa panjang. Sekali lompat
saja dia sudah berada di hadapan sang datuk dengan
penggesek rebab ditekankan ke tenggorokannya.
"Datuk, apakah kau senang mandi di kolam yang sejuk
sana...?"
Sepasang mata Datuk Ular terbeliak besar ketika men-
dengar kata-kata Dewi Rebab. Kemudian dirasakannya
tekanan kuat pada lehernya membuat dia terjajar mundur
ke arah kolam.
"Tidak! Jangan!" teriak Datuk Ular.
Dewi Rebab kembali perdengarkan suara tawa panjang.
Dia terus menekan leher sang datuk dengan penggesek
rebab.
"Kau boleh bunuh aku dengan cara apa pun! Tapi
jangan suruh aku masuk ke dalam kolam iblis itu!" teriak
Datuk Ular
"Itu satu-satunya tempat kematian yang paling bagus
untukmu!" sahut Dewi Rebab.
Dalam takutnya Datuk Ular menjadi nekad. Dia
menyeruduk ke muka sambil menendang salah satu
tangan mencengkeram.
Bret!
Datuk Ular hanya berhasil merobek dada pakaian Dewi
Rebab. Sebaliknya penggesek rebab yang menekan leher-
nya tiba-tiba bergerak sangat kuat hingga kepalanya ter-
banting ke kiri dan badannya ikut miring. Sebelum dia
mampu mengimbangi kedua kaki, ujung penggesek
menusuk dadanya. Datuk Ular menjerit. Tapi bukan rasa
sakit tusukan pada dada itu yang membuat dia menjerit.
Melainkan rasa takut luar biasa ketika dia menyadari
tubuhnya terpelanting ke belakang dan tak ampun lagi
terjerumus masuk ke dalam kolam!
Jeritan Datuk Ular masih terdengar dua kali lagi.
Setelah itu lenyap. Tubuhnya yang sesaat menggelepar-
gelepar kini tampak diam. Ribuan ikan Iblis Prahara
menggerogoti tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke
ujung kaki. Tubuh itu kemudian hanya tinggal tulang
belulang!
Dewi Rebab yang sudah sering menyaksikan berbagai
macam kematian yang mengerikan kini benar-benar
merinding bulu tengkuknya. Tak ada kematian sedahsyat
seperti yang dilihatnya di kolam itu. Kalau saja tadi dia
tidak mendapat teriakan peringatan dan tak sempat
melompat ke luar dari dalam kolam, nasibnya pasti sama
seperti yang di alarm Datuk Ular itu.
"Datuk Ular! Kami bertempur mati-matian kau enak-
enak mandi di kolam!" Tiba-tiba terdengar teriakan kakek
sinting Pengemis Sableng. Dasar otaknya miring. Datuk
Ular yang meregang nyawa dan kini hanya tinggal
jerangkong dikatakannya sedang enak-enakan mandi. Saat
itu meskipun dia bersama adik kembarnya berada dalam
keadaan terdesak, enak saja dia meninggalkan kalangan
perkelahian dan melompat ke tepi kolam
"Hai! Datuk Ular! Di mana kau?" teriak Pengemis
Sableng. Di dalam kolam yang airnya telah butek oleh
darah dia hanya melihat ribuan ikan hitam dan tulang
tengkorak manusia.
"Pengemis Sableng!" menegur Dewi Rebab. "Jika kau
tidak lekas ajak adikmu minggat dari sini kalian akan
segera menyusul Datuk Ular menjadi tulang belulang!"
"Perempuan muka pucat mulutmu sombong amat!"
maki Pengemis Sableng. Dia hendak menyerang Dewi
Rebab tapi di sebelah sana terdengar saudaranya minta
tolong. Ditinggal sendirian rupanya Pengemis Berkipas
Putih tak sanggup menahan gempuran Mahesa Kelud.
Walau dia berhasil melepaskan beberapa kali gebukan ke
tubuh dan muka Mahesa, namun kipas saktinya telah
hancur terbabat pedang sakti lawan. Pakaiannya bahkan
telah robek-robek di beberapa bagian. Pengemis Sableng
capat kembali membantu adiknya. Namun saat itu
serangan Mahesa Katud tak terbendung lagi. Pemuda ini
keluarkan seluruh jurut-jurus ilmu pedang dewa yang
didapatnya dari gurunya Suara Tanpa Rupa.
"Adikku! Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Tak
ada gunanya meneruskan perkelahian!" kata Pengemis
Sableng.
Pangemit Berkipas Sakit menyabut marah. "Pengecut!
Jika kau mau kabur, kaburlah! Tapi hubungan kita sebagai
adik kakak putus hari ini juga!"
"Manusia tolol! Datuk Ular sudah mampus. Upah yang
kita dapat dari hartawan Prajadika tidak seberapa! Apa kau
mau korbankan nyawa untuk hadiah yang secuil itu!"
bentak Pengemis Sableng.
"Ucapanmu memalukan!" balas membentak Pengeamis
Berkipas Putih. Dia menarik tangannya ketika Pengemis
Sableng membetotnya memaksa agar meninggalkan
tempat itu. Justru di saat itu Padang Dewa di tangan
Mahesa Kelud datang membabat dan crass!
Pengemis Berkipas Putih menjerit. Lengan kirinya
putus. Darah mengucur. Pengemis Sableng ikut menjerit.
Tapi menjerit marah dan menyerbu Mahesa dalam gerakan
tak karuan hingga mudah sekali bagi pemuda itu meng-
hantamnya dengan pukulan karang sewu ke arah dadanya.
Pengemis Sableng terpentaI jauh. Darah mengucur dari
mulutnya. Dengan susah payah dia bangkit berdiri. Tanpa
perdulikan lagi adiknya dia melarikan diri tinggalkan
lambah itu. Menyadari dirinya ditinggal sendirian. Pengemis
Berkipas akhirnya mengikuti jejak kakaknya melarikan diri
dalam keadaan luka parah.
Mahesa Kelud bersihkan padang saktinya. Setelah
masukkan senjata itu ke dalam sarungnya dia melangkah
menemui Dewi Rebab dan menjura memberi peng-
hormatan.
"Dewi, jika kau tak ada di sini, sulit bagiku menghadapi
ketiga manusia itu sekaligus."
"Kau pandai merendahkan diri Mahesa," sahut Dewi
Rabab sambiI menatap paras pemuda itu. Wajahnya tetap
pucat dan dingin. Namun di lubuk hatinya ada rasa
gembira. Dia ingat Mahesalah orang yang pernah memuji
kepolosan hati dan kecantikan wajahnya.
Mahasa manggoyangkan kepala ke arah kolam. "Sulit
dipercaya ada kolam iblis seperti ini."
"Pasti puluhan orang telah jadi korban di tempat ini.
Kurasa lenyapnya beberapa tokoh silat ada sangkut
pautnya dengan tempat ini. Ulah Datuk celaka itu. Ikan-
ikan ini harus dimusnahkan!"
"Harus dimusnahkan sabelum ada korban lagi yang
jatuh!" mengulang Mahesa. Lalu dia melangkah ke tepi
kolam, tegak di atas batu-batu besar. Tangan kanannya di
angkat ke atas. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanan
itu tampak bergetar ketika ada asap tipis keluar. Dewi
Rebab dan Parangwulung merasakan lembah yang tadinya
begitu sejuk kini tiba-tiba menjadi panas.
Mahesa berteriak keras lalu pukukan tangan kanannya
ke arah kolam. Asap putih menggebu disertai hawa yang
sangat panas
"Pukulan Api Salju!" teriak Dewi Rebab kaget dan
kagum lalu melompat menjauh.
Air kolam muncrat lalu terdengar mendidih. Ketika asap
putih Ienyap tampakIah ribuan ikan-ikan Iblis Prahara telah
mengambang dalam keadaan mati seperti direbus.
Perlahan-lahan Mahesa Kelud turun dari batu besar.
"Mahesa... Apakah... apakah kau juga murid Pendekar
Api Salju....." terdengar Dewi Rebab Kencana bertanya.
Mahesa hanya tundukkan kepala tak memberikan
jawaban. Tapi itu sudah cukup menjadi pertanda jawaban
bagi sang dewi. Dan hatinya bertambah kagum terhadap
pemuda ini. Dengan menguasai ilmu pukulan Api Salju itu
maka dia sadar kalau ilmu kepandaiannya jauh tertinggal
di bawah si pemuda.
"Tak ada gunanya kita berlama-lama di tempat ini
Mahesa."
"Ya, sebaiknya kita pergi dari sini. Sabentar lagi maIam
akan tiba," menyahuti Mahesa. Lalu dia bersiul memanggil
kuda putih yang menunggu sabar di bukit-bukit batu.
"Ah... kau memiliki kuda bagus. Aku hanya berjalan
kaki!" kata Dewi Rebab pula.
"Kalau kau suka kau boleh ambil kudaku..." kata
Parangwulung yang sejak tadi tegak berdiam diri, tertegun
menyaksikan segala kejadian.
"Terima kasih. Aku tak menolak pemberianmu yang
tulus. Tapi kau sendiri bagaimana tanpa kuda..." tanya
Dewi Rebab.
"Jangan pikirkan diriku Apa yang telah terjadi di sini
mendatangkah nikmat bagiku. Kini aku punya bukti-bukti
bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui ajal
karena ikan-ikan keparat itu! Aku akan membawa kepala
pengawal istana bernama Kebo Alit itu ke mari. Agar dia
melihat sendiri!"
Dewi Rebab hendak naik ke atas kuda pemberian
Parangwulung ketika dia ingat sesuatu sementara Mahesa
sudah siap di atas punggung Panah Putih
"Kau telah menyelamatkan jiwaku dari ikan-ikan iblis
itu. Tidak pantas rasanya kalau aku tidak meninggalkan
sesuatu sebagai tanda terima kasih... "
"Dewi... aku tidak meminta balas jasa apapun..." kata
Parangwulung. Saat itu Dewi Rebab telah berada di
hadapannya. Parangwulung tak tahu apa yang hendak
dilakukan perempuan sakti ini. Tiba-tiba Dewi Rebab
ulirkan tangan kanan dan mencengkeram perut Parang-
wulung di bagian pusar. Lelaki ini menjerit kesakitan ketika
dirasakannya ada hawa panas mengalir masuk ke dalam
pusarnya laki menyebar ke seluruh badan. Perlahan-lahan
rasa sakit itu pun lenyap. Ketika Parangwulung buka kedua
matanya yang tadi terpejam karena kesakitan, dilihatnya
Mahesa Kelud dan Dewi Rebab Kencana telah memacu
kuda masing-masing ke arah timur. Lelaki ini singkapkan
pakaiannya di bagian perut. Tampak tanda merah bekas
cengkeraman Dewi Rebab. Ketika dia melangkahkan
kakinya, bekas pengawal Tumenggung ini terkejut. Dia
dapatkan gerakannya sangat enteng.
"Eh, apa yang telah dialirkan perempuan sakti itu tadi
ke dalam tubuhku...?" membatin Parangwulung. Dia
acungkan tinju kanannya, mengusap-usap dengan tangan
kiri. "Jangan-jangan ..." Parangwulung memandang ke arah
Dewi Rebab di kejauhan. Lalu ke arah sebuah batu besar di
tepi kolam yang telah ambruk itu. Sesaat hatinya meragu.
Namun dengan satu keyakinan Parangwulung hantamkan
tangan kanan itu ke atas batu besar.
Braakk!
Batu besar itu hancur berantakan!
Parangwulung berteriak girang. Lalu lelaki ini jatuhkan
diri berlutut ke arah Dewi Rebab yang semakin jauh di arah
Timur. "Terima kasih Dewi... Kau baik sekali. Terima kasih
untuk tenaga dalam yang kau berikan! Aku tak pernah
mengimpikan rezeki begini besar...!"
TAMAT