SATU
Fajar baru saja datang, saat serombongan orang bergerak
mendekati pantai. Gerak-gerik mereka yang cekatan dan lincah,
menandakan mereka memiliki kepandaian ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi. Dan dari gagang senjata yang
tersembul di pinggang maupun di punggung, jelas
menunjukkan rombongan itu kaum rimba persilatan.
"Guntala! Di mana kau simpan perahu-perahu itu...?" tanya
seorang lelaki gemuk dengan suara berat dan dalam. Lelaki
gemuk itu melempar pandang ke arah seorang lelaki tegap
yang dipanggil Guntala.
"Jangan khawatir, Kakang Brajanata. Perahu-perahu itu
kusimpan di tempat yang aman. Segela sesuatunya telah
kupersiapkan dengan baik, sesuai perintah Kakang...," sahut
Guntala sambil mengacungkan ibu jari dan memperdengarkan
tawa yang menggelitik telinga.
"Hm.... Kalau begitu, bawa beberapa orang kawanmu untuk
mengambil perahu-perahu itu. Aku dan yang lain akan
menunggu di pantai," perintah lelaki bercambang bauk yang
memiliki sorot mata bengis.
"Baik, Kakang...," sahut Guntala dan segera mengajak enam
orang anggota rombongan untuk mengambil perahu.
Sedang lelaki gemuk yang bernama Ki Braja-nata,
memerintahkan anggota rombongan yang lain untuk
mengikutinya menuju tepi pantai. Ada lima orang yang
bergerak mengikuti langkahnya, agaknya Ki Brajanata
merupakan pimpinan rombongan.
Ki Brajanata berdiri tegak memandang lautan yang
membentang luas di hadapannya. Sosok lelaki gemuk yang
berpenampilan menyeramkan itu, seperti tidak peduli dengan
air laut yang datang membasahi kakinya. Dan baru bergerak
menggeser langkahnya saat Guntala dan enam orang anggota
rombongan datang membawa tiga buah perahu yang cukup
besar dan kuat untuk menahan gelombang lautan
"Ayo, kita berangkat...!"
Perintah Ki Brajanata kepada anggota rombongan untuk naik
ke atas perahu. Sementara kakinya sendiri sudah melangkah
menuju sebuah perahu yang berjajar di atas pasir.
"Kakang...."
Tiba-tiba salah seorang anggota rombongan memanggil Ki
Brajanata, membuat langkah lelaki gemuk bermata bengis itu
terhenti dan menoleh ke arah asal suara.
"Hm.... Ada apa, Soganta...?" tanya Ki Brajanata dengan
kening sedikit berkerut. Sepasang matanya menatap tajam
sosok lelaki kekar yang bernama Soganta.
"Apa tidak sebaiknya kita berangkat saat matahari terbit,
Kakang? Aku rasa itu lebih baik, karena kita dapat memastikan
arah yang dituju dengan tepat," Soganta mengajukan
pendapatnya, dan beberapa orang anggota tampak
mengangguk menyetujui.
Tapi tidak demikian dengan Ki Brajanata. Setelah
memandang wajah para pengikutnya, terdengar jawabannya
yang datar disertai dengusan tak senang.
"Soganta. Tujuan kita cukup jauh. Hari sudah siang sebelum
tempat itu terlihat. Itu sebabnya, mengapa aku perintahkan
kalian berangkat sekarang juga...," lanjut Ki Brajanata
memberikan alasannya. Sehingga seluruh anggota rombongan
mulai mengerti jalan pikiran pimpinan mereka.
"Apa kita akan datang dengan terang-terangan, Kakang...?"
tanya anggota rombongan yang lain, membuat pandangan Ki
Brajanata beralih.
"Kita belum tahu pasti kekuatan lawan. Selain itu, Ki Dayut
Ganda agaknya tidak akan datang. Mungkin paman guruku itu
tidak bersungguh-sungguh mengucapkan janjinya, saat aku
datang menemuinya. Tapi biarpun demikian, kita tetap
berangkat. Dan tentu saja kita tidak langsung menunjukkan diri
sebelum tahu pasti kekuatan lawan," jelas Ki
Brajanata dengan sesekali mengedarkan pandangan. Seolah
berharap dapat menemukan sosok Ki Dayut Ganda yang
dipanggilnya paman guru:
Orang yang diharapkan kedatangannya oleh Ki Brajanata
bukanlah tokoh sembarangan. Ki Dayut Ganda sangat dikenal
dalam rimba persilatan. Meskipun tokoh menggiriskan itu
jarang menampakkan diri di dunia ramai, tapi namanya
menggetarkan rimba persilatan dari barat sampai timur. Tokoh
itu termasuk dalam jajaran kaum tua yang menjadi tokoh
puncak golongan hitam. Bahkan Ki Dayut Ganda diakui sebagai
datuk kaum sesat yang bersemayam di daerah lautan timur,
sehingga dijuluki Datuk Lautan Timur. Itu sebabnya, mengapa
Ki Brajanata sangat mengharapkan bantuan paman gurunya.
'Tapi sewaktu Ki Dayut Ganda mengucapkan janjinya akan
membantu kita, beliau kelihatan bersungguh-sungguh, Kakang.
Tidakkah sebaiknya kita tunggu sebentar lagi. Mungkin beliau
hanya terlambat..."
Soganta rupanya masih ingin menanti kedatangan Datuk
Lautan Timur. Lelaki kekar itu pun ikut mengedarkan pandang
matanya ke sekeliling. Soganta sangat berharap dapat
menemukan sosok Ki Dayut Ganda dalam bayang-bayang
pohon kelapa yang banyak tumbuh di pantai itu.
"Sebenarnya aku pun sangat mengharapkan kehadirannya,
Soganta. Tapi kita tidak bisa menunda kepergian, hanya karena
menunggu kedatangan orang yang belum pasti akan membantu
kita. Kendati dia paman guruku, aku tidak akan sudi meminta
bantuannya dengan cara mengemis. Tanpa bantuannya pun
aku yakin kita dapat menundukkan lawan. Sudahlah. Mari kita
berangkat..," Ki Brajanata mengakhiri ucapannya. Kemudian
membalikkan tubuh, dan melangkah menuju perahu yang
berada paling kiri. "Kakang, lihat...!"
Tiba-tiba Soganta berseru keras. Sepasang matanya tampak
membelalak, menatap sosok bayangan hitam yang sedang
duduk di atas perahu yang akan ditumpangi pimpinannya.
Ki Brajanata sendiri sebenarnya tidak perlu diberi tahu
Soganta. Lelaki gemuk itu memang telah melihat sosok
bayangan hitam yang tampak duduk tenang di atas perahu
sambil memandang riak gelombang air laut. Merasa penasaran,
tubuhnya berbalik dan memandang anggota rombongannya
satu persatu. Agaknya, Ki Brajanata hendak menghitung jumlah
anggota rombongan. Dan hatinya sangat terkejut ketika
mendapati semua anggota rombongan masih berada di
belakangnya. Kenyataan itu menunjukkan, sosok bayangan
hitam yang duduk di atas perahu bukan salah satu anggota
rombongannya.
"He he he...! Mengapa kau seperti orang tolol begitu, Ki
Brajanata? Cepatlah berangkat Aku tidak sabar lagi melihat
sikap kalian yang penuh keraguan. Apa kau telah menduga
kalau aku telah berubah pikiran dan tidak jadi mengunjungi
Pulau Setan?" tegur sosok bayangan hitam, membuat wajah Ki
Brajanata berubah gembira. Jelas, pemilik suara itu telah
dikenalnya.
"Dayut Ganda...?! Kaukah itu...?!" seru Ki Brajanata dengan
suara tertahan.
Aneh memang, bila orang mendengar panggilan Ki Brajanata
kepada tokoh yang disebutnya paman guru itu. Dia sama sekati
tidak memanggil eyang atau panggilan hormat lainnya.
Melainkan cukup dengan nama saja. Mungkin bagi orang-orang
yang memiliki kesopanan, sikap Ki Brajanata dianggap kurang
ajar. Tapi memang seperti itulah sifat orang-orang golongan
sesat. Kadang meraka tidak mempedulikan tata cara
kesopanan. Sikap mereka sangat bebas, tidak terikat peraturan
yang menurut anggapan mereka hanya sekadar basa-basi saja.
Ki Dayut Ganda sendiri tidak mempersoalkan panggilan itu.
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Hayo, kita berangkat..!" seru
Ki Dayut Ganda.
Sebenarnya, baik Ki Brajanata maupun anggota
rombongannya masih terpana saat mengetahui siapa sosok
bayangan hitam yang duduk di atas perahu itu. Diam-diam hati
mereka bergidik melihat kesaktian tokoh yang telah berusia
lanjut itu. Sebab dari sekian banyak orang, tak satu pun yang
melihat atau mendengar kedatangan Ki Dayut Ganda. Bahkan
tak seorang pun tahu, sejak kapan datuk sesat itu duduk di
atas perahu. Mungkinkah datuk itu sempat mendengar ucapan
Ki Brajanata yang bernada tak puas barusan?
Tapi semua pertanyaan di dalam hati setiap anggota
rombongan itu tidak memperoleh jawaban yang pasti. Segala
pertanyaan yang memenuhi kepala mereka lenyap, saat
mendengar perintah Ki Dayut Ganda agar segera berangkat
meninggalkan pantai.
"Baik!" sahut Ki Brajanata bersemangat Kemudian tanpa
banyak cakap lagi, lelaki gemuk berwajah brewok itu segera
memerintahkan anggota rombongan naik ke atas perahu.
Sebentar kemudian, ketiga perahu itu bergerak meninggalkan
tepi pantai, membelah gelombang lautan.
***
"Warsa! Ke mana perginya tuan mudamu...?" tegur lelaki
gagah berusia sekitar tema puluh tahun lebih, berwibawa.
Sepasang matanya yang setajam mata elang menatap sosok
lelaki kurus yang duduk bersimpuh di hadapannya.
'Tuan Muda Sanggala sedang bermain-main di laut, Tuanku.
Hamba..., hamba...."
"Bodoh! Bukankah sudah kukatakan agar kau menyampaikan
pesanku, kalau Sanggala tidak bo leh pergi meninggalkan pulau
hari ini! Apa kau belum menyampaikannya...?!" bentak lelaki
gagah yang sangat marah melihat kelalaian pembantunya.
"Hamba sudah menyampaikan perintah Tuanku. Tapi, Tuan
Muda Sanggala mengatakan agar Tuanku tidak perlu khawatir.
Karena dia tidak akan pergi jauh meninggalkan pulau. Tuan
Muda hanya ingin menikmati keindahan laut. Hamba tidak
dapat berbuat apa-apa, Tuanku...," jelas Warsa dengan
terputus-putus.
Wajah lelaki kurus itu tampak pucat dan dipenuhi butir-butir
keringat. Jelas, dia sangat takut i melihat majikannya marah.
"Hhh...."
Lelaki gagah berkumis lebat bernama Ki Wana-lungga yang
menjadi Majikan Pulau Setan, hanya bisa menghela napas
mendengar keterangan pembantunya. Lelaki gagah itu sadar,
Warsa tidak pantas disalahkan. Putranya memang bandel dan
tidak bisa dinasihati. Apalagi hanya seorang pelayan seperti
Warsa.
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang, dan tunggu sampai
majikan mudamu kembali. Katakan padanya agar segera
menemuiku," ujar Ki Wana--lungga dengan nada lebih lunak,
Warsa menarik napas lega. Dari tekanan suara majikannya,
dapat diduga kalau dirinya tidak akan mendapat hukuman.
'Terima kasih, Tuanku. Hamba mohon diri...," ucap Warsa.
Kemudian, bergegas lelaki kurus itu meninggalkan ruangan
dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Dikhawatirkan kalau
majikannya akan berubah pikiran jika dirinya berlama-lama di
ruangan itu.
'Tunggu sebentar, Warsa...!" cegah Ki Wana-lungga tiba-
tiba, membuat langkah kaki lelaki kurus itu terhenti.
Wajah Warsa kembali memucat saat membalikkan tubuhnya
sambil membungkuk dalam-dalam. "Ya, Tuanku..."
"Sampaikan kepada Karmangga, aku ingin agar kawan-
kawannya dikumpulkan dan segera menghadapku," perintah Ki
Wanalungga, membuat Warsa merasa lega.
Semula lelaki kurus itu menduga kalau majikannya akan
memberi hukuman atas kelalaiannya. Tapi dugaannya ternyata
meleset. Meskipun majikannya seorang yang berwatak keras
dan penuh disiplin, tapi hatinya sangat baik.
"Baik, Tuanku. Akan hamba sampaikan secepatnya...."
Setelah membungkuk hormat, Warsa segera meninggalkan
ruangan itu dengan setengah berlari.
"Kasihan Warsa, Kakang. Kelihatannya sangat takut akan
menerima hukuman darimu...," gumam seorang wanita cantik
berusia sekitar empat puluh tahun yang duduk di sebelah Ki
Wanalungga. Wanita itu istri Ki Wanalungga, Majikan Pulau
Setan.
"Aku tidak berniat menghukumnya. Tapi biar bagaimanapun,
kita harus keras dalam mendidik orang-orang yang tinggal di
pulau ini. Apalagi belakangan ini hariku merasa tidak tenteram.
Firasatku mengatakan, akan ada badai besar yang mungkin
akan mengaramkan pulau ini berikut isinya...," ujar Ki
Wanalungga pelan, seperti berkata pada diri sendiri.
Tentu saja ucapan itu membuat istrinya terkejut. Tapi
sebelum membuka mulut, terdengar langkah orang banyak
mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, muncul seorang
pengawal yang langsung melapor.
'Tuanku, Ki Karmangga dan empat orang kawannya meminta
izin untuk menghadap...," lapor pengawal itu setelah
membungkukkan tubuh.
"Suruh mereka masuk...," sahut Ki Wanalungga cepat
Tidak berapa lama setelah pengawal itu lenyap di balik pintu,
muncul seorang lelaki tinggi besar. Tubuhnya terlihat sangat
kokoh dan kuat, tak ubahnya seekor harimau muda yang
garang dan penuh semangat Lelaki berusia empat puluh* tahun
itu adalah Ki Karmangga, yang datang bersama empat orang
rekannya. Mereka pembantu utama sekaligus murid utama Ki
Wanalungga.
Setelah kelima orang pembantu utama itu duduk di
hadapannya, Ki Wanalungga segera mengutarakan
kekhawatiran hatinya. Dan meminta kepada kelima orang itu
agar memperketat penjagaan di sekitar pulau, karena khawatir
akan ada sesuatu yang menimpa Pulau Setan
Baru saja Ki Karmangga ingin mengutarakan pendapatnya,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang pengawal
dengan wajah pucat dan napas memburu.
"Ada apa? Mengapa kau menghadap tanpa kupanggil...?!"
bentak Ki Wanalungga, marah. Kedatangan pengawal yang
tiba-tiba itu telah mengganggu pertemuannya.
"Ampun, Tuanku. Di luar sedang terjadi pertempuran. Pulau
ini telah diserang segerombolan orang-orang berkepandaian
tinggi," lapor pengawal itu, membuat wajah Ki Wanalungga dan
kelima orang pembantunya berubah tegang.
"Hm.... Panggil beberapa orang kawanmu untuk menjaga
keselamatan istriku...!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Ki Wanalungga
telah melesat cepat meninggalkan ruangan itu. Ki Karmangga
dan keempat orang lainnya tentu tidak tinggal diam. Mereka
langsung bergerak menyusul, hendak melihat orang-orang yang
telah berani mengacau Pulau Setan.
***
"Datuk Lautan Timur...?!" desis Ki Wanalungga ketika
melihat seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus sedang
melemparkan tubuh para pengawalnya dengan sebelah tangan.
Kehadiran datuk sesat yang menggariskan itu membuat Ki
Wanalungga sangat terkejut.
"He he he...! Selamat bertemu, Majikan Pulau Setan. Orang-
orangmu sangat ramah sekali. Mereka menyambut kedatangan
kami dengan meriah...," ujar kakek tinggi kurus sambil
memperdengarkan suara tawanya yang menyakitkan telinga.
"Kau terlalu kejam, Datuk Lautan Timur! Mereka bukan
lawan-lawanmu...!" geram Ki Wanalungga segera melesat
mencegah korban jatuh lebih banyak. "Haaat..!"
"Hm...!"
Datuk Lautan Timur hanya mendengus melihat datangnya
serangan lawan. Tubuhnya bergeser ke kanan menghindari
pukulan yang menimbulkan deruan angin keras.
Bettt!
Begitu serangan lawan luput, telapak tangan Ki Dayut Ganda
langsung bergerak melancarkan serangan balasan. Cepat dan
kuat sekali hantaman telapak tangan kakek tinggi kurus itu,
hingga membuat Ki Wanalungga terkejut. Sadar untuk
menghindar sudah terlambat, Majikan Pulau Setan itu
mengangkat tangan kirinya sambil menggeser kaki kanan ke
belakang. Plakkk!
Pelipisnya memang selamat dari incaran telapak tangan
lawan yang mampu meremukkan batu karang. Tapi akibat
perbuatannya, Ki Wanalungga terjajar mundur dengan wajah
menyeringai. Telapak tangannya terasa panas dan ngilu. Jelas,
kekuatan tenaga dalam lawan masih beberapa tingkat di
atasnya.
"Hiaaah...!"
Belum lagi sempat memperbaiki kuda-kuda, Datuk Lautan
Timur kembali mengirimkan serangan susulan ke arah dada Ki
Wanalungga.
"Haiiit..!"
Tidak ada jalan lain bagi Ki Wanalungga kecuali melempar
tubuhnya berjungkir-balik ke belakang, dan terus berputaran
sebelum mendaratkan kakinya sejauh satu setengah tombak
dari tempat semula.'
"Datuk Lautan Umur! Selama ini di antara kita tidak pernah
terjadi perselisihan. Lalu mengapa tiba-tiba kau memusuhiku?
Apakah ada salah seorang penduduk pulau ini pernah berbuat
salah padamu?" tegur Ki Wanalungga seraya menyiapkan ilmu
untuk menghadap gempuran lawan berikutnya.
"Aku tidak mau tahu! Yang jelas, kedatanganku ke tempat ini
dengan satu tujuan. Merebut Pulau Setan dari tanganmu!
Sekarang, sebaiknya kau bersiap menghadap malaikat maut!"
sahut Ki Dayut Ganda kembali melesat tanpa memberi
kesempatan pada lawan untuk berbicara lebih banyak.
"Kalau begitu, aku akan mempertahankan pulau ini sampai
titik darah penghabisan...!" ujar Ki Wanalungga lantang.
"Hahhh!"
Ki Wanalungga melompat mundur ketika sebuah pukulan
lawan datang mengancam jalan darah kematian di tubuhnya.
Kemudian, langsung membalas dengan tidak kalah ganas.
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu sudah saling gempur
dengan hebatnya!
Di tempat lain, Ki Karmangga tengah menghadapi Ki
Brajanata. Dengan kepandaiannya yang tinggi, lelaki gemuk
bermata bengis itu menggempur Ki Karmangga habis-habisan,
hingga membuatnya kewalahan.
"Yiaaa...!"
Plak! Plak!
"Aaah...!"
Ki Karmangga memang mampu menyelamatkan diri dari
hantaman lawan. Tapi kuda-kudanya tergempur terkena
tamparan lawan yang sangat kuat. Sehingga pada serangan
berikutnya, serangan Ki Brajanata tidak sempat lagi dihindari.-
Dan....
Desss!
"Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi tubuh Ki Karmangga terpental ke belakang
akibat tendangan keras yang singgah di dadanya. Tampak
darah segar menyembur dari mulutnya. Dan tubuhnya
terbanting ke tanah dengan suara berdebuk nyaring!
'Tamat riwayatmu...!" bentak Ki Brajanata.
Lelaki gemuk ini tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Selagi lawannya tidak berdaya, tubuhnya langsung melesat siap
menjejak tubuh lawan!
***
DUA
Derrr...!
Debu bercampur kepingan-kepingan tanah berhamburan,
saat telapak kaki Ki Brajanata yang mengandung kekuatan
hebat menjejak tempat Ki Karmangga tergeletak. Untunglah
lelaki tinggi kekar itu sempat menggulingkan tubuh, hingga
selamat dari malapetaka yang mengerikan.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Ki Karmangga
berusaha bangkit untuk memberikan perlawanan. Dicabutnya
sebilah golok besar yang tergantung di pinggang. Kemudian
memutarnya di depan tubuh, membentuk benteng pertahanan
yang sangat kuat.
"Hmhhh...!"
Ki Brajanata mendengus meremehkan senjata lawan. Dan
dengan langkah-langkah pendek, tubuh lawannya dihampiri.
"Haaat...!"
Kali ini Ki Karmangga rupanya tidak ingin kedukaan oleh
lawan. Saat tubuh lawan bergerak mendekat, lelaki kekar itu
melompat maju seraya memutar golok besarnya yang
menimbulkan deruan angin keras.
Bettt! Bettt!
Dua kaK sambaran golok Ki Karmangga berhasil dielakkan
lawan. Meski demikian, Ki Karmangga tidak patah semangat.
Bahkan kelebatan goloknya semakin terarah dengan baik.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Ki Brajanata tidak
mampu membalas serangan lawan. Karena ilmu golok yang
digunakan Ki Karmangga sungguh tidak bisa dipandang ringan.
Namun sikap yang ditunjukkan Ki Brajanata bukan karena
tidak mampu melancarkan serangan balasan. Agaknya, lelaki
gemuk itu sengaja memancing lawan agar semakin gencar
melancarkan gempuran. Ki Karmangga terus berkelebat dengan
menggunakan kelincahan tubuhnya. Dan ketika melihat
pertahanan lawan sedikit mengendur, langsung saja kakinya
mencelat melancarkan sebuah tendangan miring yang telak
menghajar iga Ki Karmangga.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Lagi-lagi Ki Karmangga harus mengakui kehebatan lawan.
Baik dalam kecepatan maupun kekuatan, dia masih berada di
bawah Ki Brajanata. Sehingga tanpa ampun lagi, tubuhnya
kembali terbanting keras.
"Habis...!" bentak Ki Brajanata.
Saat Ki Karmangga tengah berusaha berdiri tegak, Ki
Brajanata langsung melompat sambil mengembangkan kedua
lengannya. Dan....
Prakkk!
"Aaargh...!"
Terdengar raung kematian yang menggetarkan seisi pulau.
Sepasang telapak tangan Ki Brajanata yang mengandung
tenaga dalam kuat, menghantam telak kedua pelipis lawan,
hingga retak. Darah segar pun meleleh keluar membasahi
pakaian Ki Karmangga. Lelaki kekar itu ambruk ke tanah dan
tewas seketika.
Setelah menyelesaikan lawannya, Ki Brajanata angsu g
melesat menuju bangunan induk di pulau itu. Beberapa orang
pengawal yang mencoba menghadang, langsung
berpelantingan terkena tamparannya.
Tanpa mempedulikan korban-korbannya, Ki Brajanata
Bergerak memasuki bagian dalam bangunan. Setiap kamar
dijelajahinya dan isi kamar dia cak hingga porak-poranda.
Rupanya, lelaki gemuk itu sedang mencari sesuatu yang
menjadi tujuannya mendatangi pulau ini.
Brakkk...!
Sebuah kamar yang terkunci rapat hancur terkena
tendangan keras Ki Brajanata. Sepasang mata lelaki gemuk itu
berkilat saat melihat sesosok tubuh ramping meringkuk di sudut
kamar. Wanita itu tidak lain istri Majikan Pulau Setan!
"He he he...! Tak kusangka keparat Wanalungga memiliki
seorang istri yang cantik. Meskipun sudah tidak muda lagi, tapi
masih sangat menggairahkan...," ujar Ki Brajanata terkekeh
sambil meneliti sekujur tubuh wanita itu dengan sepasang mata
yang memerah saga.
"Pergi kau, Manusia Jahat! Atau aku akan mengakhiri
hidupku dengan senjata ini...?!" teriak wanita cantik itu sambil
mengangkat sebilah pisau dengan tangan kanannya.
Tapi wanita yang tidak memiliki kepandaian silat itu tidak
dapat berbuat apa-apa. Dengan sekali berkelebat, Ki Brajanata
melepaskan pisau itu. Kemudian menotok lumpuh tubuhnya.
"Cepat katakan! Di mana suamimu menyembunyikan benda
keramat itu?! Jika tidak, aku tidak akan segan-segan
menyiksamu...!" ancam Ki Brajanata sambil mendekatkan
wajahnya ke wajah wanita cantik itu.
"Aku tidak tahu benda apa yang kau cari! Aku pun tidak
pernah melihatnya...!" jawab wanita cantik itu, berusaha
menjauhkan wajahnya. Tapi karena tubuhnya telah tertotok,
wanita itu hanya bisa menangis.
"Bohong...!"
Ki Brajanata tidak percaya dengan jawaban wanita itu.
Kemudian, dilemparkannya tubuh perempuan malang itu ke
atas pembaringan. Dan....
Breeet..!
Sekali renggut saja, kain yang dikenakan wanita itu langsung
robek. Ki Brajanata menjilati bibirnya dengan jakun bergerak
turun-naik, melihat pemandangan yang membangkitkan nafsu
setannya.
"Bicaralah, atau...."
Kembali Ki Brajanata mengancam seraya mengulurkan
tangan, membuat wanita itu ketakutan. Tapi apa daya karena
tubuhnya telah tertotok lumpuh. Wanita itu hanya dapat
menangis, ketika jemari tangan Ki Brajanata menggerayangi
tubuhnya.
"Aku tidak tahu...!" rintihnya lemah dengan wajah bersimbah
air mata. "Setan...!"
Ki Brajanata memaki sambil melepaskan tubuh wanita
malang itu. Kemudian, isi kamar itu diobrak-abrik, mencari
benda yang diinginkannya. Sayang, meskipun seluruh sudut
kamar telah diperiksanya, Ki Brajanata tetap tidak menemukan
benda yang dicarinya.
"Hm.... Kaulah yang memaksaku berbuat kasar, Nyai.
Rasakanlah akibat kekerasan sikapmu...!" geram Ki Brajanata
dan langsung menerkam tubuh di atas pembaringan itu, lalu
menggelutinya dengan kasar.
Setelah melakukan perbuatan terkutuknya, Ki Brajanata
memukul pecah kepala perempuan malang itu hingga tewas
seketika. Kemudian melompat ke luar kamar, dan terus ke
pekarangan.
Desss...!
"Huakkkh...!"
Darah segar menyembur keluar dari mulut Ki Wanalungga.
Tubuh lelaki gagah itu terlempar deras dan jatuh terbanting di
tanah.
"He he he...!"
Datuk Lautan Timur melangkah maju sambil terkekeh parau
hingga menyakitkan telinga. Kekejaman terpancar jelas pada
sepasang matanya yang kecil dan tajam.
Ki Wanalungga menyeret tubuhnya menjauhi lawan,
kemudian bergerak bangkit dengan gerakan limbung.
Sementara lawannya sengaja memperlambat langkah untuk
menyiksa lelaki gagah itu.
"Hm.... Rupanya kau telah diperdaya oleh keparat Ki
Brajanata, Datuk Lautan Timur!" desis Ki Wanalungga ketika
melihat bayangan lelaki tinggi gemuk melesat keluar dari dalam
rumahnya.
"Apa maksudmu, Wanalungga...?" tanya Ki Dayut Ganda
seraya menyipitkan sepasang matanya. Agaknya tokoh sesat
yang menggiriskan ini tidak mengerti maksud ucapan Ki
Wanalungga.
"Ki Brajanata datang ke tempat ini dengan satu tujuan,
merebut sebuah benda keramat yang menurutnya ada padaku.
Dia telah memperalatmu untuk membantu usahanya...," sahut
Ki Wanalunggai tiba-tiba mendapatkan akal untuk mengadu
domba, kedua lawannya.
Setelah mendengar ucapan Ki Wanalungga, Datuk Lautan
Timur segera mematingkan wajahnya ke arah Ki Brajanata
yang menjadi kaget melihat] perubahan itu.
"Ki Brajanata...!" panggil Datuk Lautan Timur dengan suara
menggelegar.
Kakek itu memang tidak tahu tujuan sebenarnya perbuatan
Ki Brajanata. Murid keponakannya1 itu hanya mengatakan
meminta bantuannya untuk merebut Pulau Setan. Dan sama
sekati tidak memberi tahu soal benda keramat yang dikatakan
Ki Wanalungga.
Meskipun dengan wajah tegang, Ki Brajanata melangkah
mendatangi paman gurunya. Diam-diam lelaki gemuk itu
menyiapkan jawaban bila Ki Dayut Ganda menanyakan perihal
benda keramat yang dicarinya.
"Katakan terus terang! Apa sebenarnya tujuan-mu menyerbu
pulau ini?! Kalau tidak kau akan menyesal, dan aku tidak akan
memandangmu sebagai murid keponakan lagi! Karena kau
telah berani berdusta dan memperalatku...!" geram Ki Dayut
Ganda dengan sepasang mata berkilat tajam. Kakek itu sangat
marah karena merasa dipermainkan.
"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, Dayut Ganda.
Aku hanya khawatir kau akan menolak membantuku, bila aku
mengatakan hal yang sebenarnya. Sebab dengan
kepandaianmu yang tinggi, kau pasti tidak sudi membantuku
menemukan benda keramat itu. Jadi, aku tidak bermaksud
memperalatmu, apalagi menipumu," jawab Ki Brajanata, licik.
Sehingga kemarahan yang semula terpancar di wajah kakek itu
kini menurun.
"Hm.... Coba kulihat, seperti apa benda yang sangat kau
inginkan itu...?" ujar Ki Dayut Ganda mengulurkan tangannya,
meminta benda yang dicari Ki Brajanata.
"Aku belum menemukannya...," jawab Ki Brajanata sambil
menggelengkan kepala.
"Hm.... Kau hendak mengetahuiku, Ki Brajanata...?" geram
Datuk Lautan Timur dengan sepasang mata berkilat tajam.
"Aku sudah menggeledah setiap sudut bangunan. Tapi,
benda keramat itu tidak kutemukan. Entah di mana bangsat
Wanalungga menyembunyikannya...?" kilah Ki Brajanata
membela diri dan berusaha meyakinkan paman gurunya.
"Kalau begitu..., eh?! Keparat...!"
Ki Dayut Ganda yang teringat pada Ki Wanalungga segera
menoleh ke tempat lelaki gagah itu berada. Dan bukan main
terkejutnya hati kakek itu ketika melihat Ki Wanalungga telah
lenyap dan tidak kelihatan lagi batang hidungnya. "Bangsat!"
Geram Datuk Lautan Timur sambil mengedarkan pandangan
ke arah pertempuran yang mulai berakhir. Namun sosok Ki
Wanalungga tetap tidak ditemukan. Agaknya, Majikan Pulau
Setan itu telah melarikan diri saat Datuk Lautan Timur
bertengkar dengan Ki Brajanata.
"Ayo, kita cari keparat itu...!" ajak Ki Dayut Ganda yang
langsung disetujui Ki Brajanata dan beberapa orang anggota
rombongan.
Ki Dayut Ganda dan Ki Brajanata berpencar untuk mencari Ki
Wanalungga. Demikian pula dengan anggota rombongan lelaki
gemuk itu. Mereka men/ilajahi sekitar tempat itu. Semua
tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian, telah
mereka geledah. Namun, sosok lelaki tegap itu seperti lenyap
ditelan bumi.
Setelah gagal mencari Ki Wanalungga, Datuk Lautan Timur
kembali mengumpulkan anggota rombongan murid
keponakannya. Kini kakek itu mengambil alih pimpinan yang
semula dipegang Ki Brajanata.
"Saat ini lupakan Ki Wanalungga. Sekarang, kuperintahkan
kalian semua menggeledah setiap sudut pulau ini untuk
mencari benda keramat itu. Tanyakan pada Ki Brajanata
tentang ciri-ciri benda itu. Tapi sebelumnya, kalian harus
membereskan tempat ini, dan buang mayat-mayat itu ke laut
Aku ingin beristirahat..."
Setelah berkata begitu, Datuk Lautan Timur melangkah pergi
meninggalkan Ki Brajanata dan kawan-kawannya yang hanya
bisa bertukar pandang
"Kakek keparat...!"
Setelah Ki Dayut Ganda lenyap dari pandangan, Ki Brajanata
baru berani mengumpat Kemudian, memerintah semua
anggota rombongannya untuk melaksanakan perintah Datuk
Lautan Timur.
***
"Eh...?! Apa yang terjadi di tempat kediamanku...?" desis
pemuda tampan berusia sembilan belas tahun ketika melihat
mayat-mayat terapung di dekat pantai. Cepat perahunya
dibelokkan ke bagian pantai yang agak tersembunyi dari
pandangan orang-orang yang berada di Pulau Setan.
Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak,
pemuda tampan itu bergerak mengendap-endap, mendekati
bangunan besar yang di depannya tampak terjadi kesibukan.
"Hm.... Siapa mereka? Mengapa aku tidak melihat seorang
pengawal pun di depan bangunan? Aku harus menyelidikinya.
Entah apa yang telah terjadi di tempat ini. Mungkinkah Pulau
Setan diserbu gerombolan perampok? Tapi, rasanya tidak
mungkin. Sebab aku tidak menemukan perahu besar di
pantai...," gumam pemuda tampan itu, bertanya-tanya sendiri.
Pemuda tampan yang berusia sembilan belas tahun itu
adalah Sanggala, putra tunggal Majikan Pulau Setan. Pemuda
itu baru saja kembali dari laut, sehingga tidak tahu apa yang
telah terjadi di pulau itu. Untunglah kecurigaannya langsung
muncul ketika melihat belasan mayat terapung di laut. Kalau
saja tidak berpikir panjang dan langsung menuju tempat
tinggalnya, kemungkinan Sanggala akan tewas. Paling tidak
akan tertawan gerombolan Ki Brajanata.
Sanggala semakin terkejut saat melihat orang-orang yang
tidak dikenalnya itu bergerak menyebar ke seluruh pelosok
pulau. Pemandangan itu membuat hatinya semakin bertanya-
tanya.
"Siapa mereka sebenarnya? Mereka sepertinya tengah
mencari-cari sesuatu? Ke mana pula perginya ayah dan Paman
Karmangga serta yang lainnya? Mungkinkah di antara mayat-
mayat yang terapung di laut itu terdapat mayat ayah atau
Paman Karmangga? Hhh.... Benar-benar pening aku dibuatnya.
Sebaiknya aku tidak usah menampakkan diri sebelum segalanya
menjadi jelas. Hm.....Lebih baik aku menyelidikinya melalui
jalan rahasia...," gumam Sanggala yang tiba-tiba teringat
sebuah jalan rahasia yang hanya diketahui keluarganya.
Maka Sanggala segera melesat dengan hati-hati, menuju
semak belukar yang terdapat di samping bangunan yang
menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Tak seorang pun akan menduga kalau di dalam semak
belukar yang terdapat di samping bangunan, ada sebuah jalan
rahasia. Memang tidak mudah untuk mengetahuinya, karena
pintu masuk jalan rahasia itu tertutup semak belukar. Tapi bagi
Sanggala, hal itu tidak sulit, karena sejak kecil telah seringkah
melaluinya.
Sanggala menyusuri lorong panjang yang hanya bisa dilalui
satu orang. Pemuda itu berusaha tetap dapat menatap ke
depan. Untuk itu, tenaga dalamnya harus dikerahkan agar
dapat melihat dalam cahaya remang-remang. Dan
kewaspadaannya pun harus tetap dijaga. Siapa tahu lorong
rahasia ini telah diketahui orang-orang yang tak dikenalnya.
Sebab, ketika memasuki tempat rahasia ini, sempat dilihatnya
orang-orang asing itu tengah mencari-cari sesuatu. Bukan tidak
mungkin mereka sedang mencari jalan rahasia yang kini
dilaluinya.
Baru beberapa belas tombak berjalan, Sanggala
menghentikan langkahnya. Wajahnya seketika berubah tegang.
Samar-samar terdengar dengus napas berat dari arah depan.
"Hm.... Tidak kusangka tempat rahasia ini telah diketahui
mereka. Apa sebenarnya yang mereka cari di pulau ini...?"
gumam Sanggala.
Berpikir begitu, Sanggala segera meloloskan pedangnya
perlahan lahan tanpa suara. Dengan menyembunyikan pedang
di balik lengan agar kilaunya tidak tertangkap lawan, Sanggala
kembali bergerak maju dengan lebih hati-hati.
Pemuda tampan itu bertambah tegang ketika dengus napas
berat tadi semakin jelas terdengar. Setelah terdiam beberapa
saat untuk memastikan di mana pemilik napas itu, Sanggala
kembali bergerak maju. Tenaganya langsung menyebar ke
seluruh tubuh dan siap digunakan setiap waktu.
Sanggala yang merasa pasti kalau pemilik napas berat itu
berada di balik dinding sebelah depannya, segera melompat
cepat dengan pedang terhunus. Namun....
"Ayah...?!"
Sanggala terpekik ketika mengenali sosok pemilik napas
berat itu adalah ayahnya sendiri.
"Sanggala...! Kaukah itu...?" tegur lelaki tegap yang tergolek
lemah, bersandarkan dinding tanah lorong rahasia.
Sanggala tidak mampu lagi menahan perasaannya. Tanpa
menjawab pertanyaan ayahnya, pemuda itu langsung memburu
dan memeluk tubuh Ki Wanalungga.
"Ayah.... Kau..., terluka...? Apa yang sudah terjadi, Ayah? Di
mana ibu...?" Sanggala langsung memberondong Ki
Wanalungga dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi
kepalanya.
"Sabar, Anakku. Kita harus tabah menghadapi cobaan berat
ini...," bujuk Ki Wanalungga seraya menepuk-nepuk bahu
putranya.
Diam-diam lelaki gagah itu merasa bersyukur putranya
tengah bermain di laut saat peristiwa itu terjadi. Kalau tidak,
mungkin Sanggala sudah tewas di tangan lawan-lawannya yang
berkepandaian tinggi. Terutama Ki Dayut Ganda yang berjuluk
Datuk Lautan Timur.
Dengan suara perlahan, Ki Wanalungga menceritakan
peristiwa yang menimpa penduduk Pulau Setan. Sanggala
mendengarkan dengan hati terbakar. Meski demikian, tak sekali
pun cerita ayahnya dipotong. Baru setelah Ki Wanalungga
selesai bercerita, Sanggala mengungkapkan rasa marah dan
penasarannya.
"Jadi kedatangan orang-orang jahat itu hanya karena sebuah
benda yang sebenarnya tidak ada pada Ayah?! Lalu, dari mana
Ki Brajanata mendapat berita bohong itu? Bagaimana pula
nasib ibu? Apakah Ayah sudah mengetahuinya?"
Kembali Sanggala melontarkan pertanyaan-pertanyaan
kepada ayahnya. Agaknya pemuda itu sangat mengkhawatirkan
keselamatan ibunya.
"Entahlah, Sanggala. Aku sendiri tidak tahu, dari mana
keparat Ki Brajanata mendapat berita bohong itu.... Tapi
kelihatannya dia sangat yakin benda itu berada di tangan Ayah.
Mengenai nasib ibumu..., dapat dipastikan tidak mungkin
selamat. Sebab saat aku bertarung dengan Ki Dayut Ganda,
sempat kulihat Ki Brajanata keluar dari dalam bangunan.
Kemungkinan besar ibumu telah dibunuhnya...," jelas Ki
Wanalungga dengan suara terpatah-patah.
Sesekali lelaki gagah itu menyeringai sambil memegang
dadanya yang terasa bagai ditusuk ribuan jarum. Majikan Pulau
Setan itu memang mengalami luka dalam yang parah!
"Ayah, luka dalammu mungkin sangat parah. Kau harus
menyembuhkannya dulu, setelah itu kita cari ibu," ujar
Sanggala. Ucapan itu jelas menunjukkan Sanggala masih
sangat hijau dengan pengalaman.
Ki Wanalungga pun memaklumi ketidaktahuan putranya.
Lelaki gagah itu tersenyum pahit dan menggelengkan
kepalanya disertai helaan napas panjang.
"Hhh.... Lukaku sangat parah, Sanggala. Selain orang yang
memiliki tenaga sakti sempurna, tidak ada lagi yang dapat
menolongku. Sekarang aku tak ubahnya orang lumpuh. Siapa
pun dapat dengan mudah membunuhku. Sebaiknya, kau
tinggalkan tempat ini, carilah kehidupan baru di tempat lain.
Dan jangan sekali-kali berniat hendak membalas dendam,
karena musuhmu bukan orang sem-barangan. Tokoh sakti
seperti Datuk Lautan Timur sangat sukar dicari tandingannya.
Kendati kau berlatih seumur hidup, tokoh itu belum tentu dapat
dikalahkan. Untuk itu, tinggalkan tempat ini. Lupakan Pulau
Setan, Anakku," ujar Ki Wanalungga menyadari saat
kematiannya tidak akan lama lagi. Lelaki gagah itu ingin
memberi nasihat untuk terakhir kalinya kepada putra
tunggalnya.
Batin Sanggala, menjerit mendengar ucapan ayahnya.
Betapa tidak? Dia tidak mampu membalas sakit hati kedua
orangtuanya pada orang-orang yang telah demikian kejam
melukai ayah dan mungkin membunuh ibunya. Sehingga
Sanggala menyembunyikan wajahnya, khawatir air matanya
akan jatuh dan terlihat oleh ayahnya. Sanggala tidak ingin lelaki
gagah yang sangat dicintainya itu menganggap dirinya pemuda
cengeng.
"Tidak. Kalau Ayah tidak pergi, aku pun akan tetap tinggal di
sini. Dan jika pergi, Ayah harus kubawa. Siapa tahu di daratan
sana ada orang yang mampu menyembuhkan luka Ayah. Nanti
malam, aku akan membawa Ayah pergi dari pulau ini," bantah
Sanggala mantap, tidak dapat ditawar lagi.
Mendengar ucapan itu, Ki Wanalungga hanya bisa menghela
napas panjang. Lelaki gagah itu pasrah pada keinginan putra
tunggal yang sangat disayangnya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Ayah tidak bisa
mencegah lagi, Sanggala. Hanya saja kita harus hati-hati. Siapa
tahu mereka masih mencariku...," ujar Ki Wanalungga dengan
suara perlahan.
"Jangan khawatir, Ayah. Aku pasti dapat membawamu
meninggalkan tempat ini...," sahut Sanggala merasa yakin
mereka dapat meninggalkan Pulau Setan dengan selamat.
Ki Wanalungga tidak menyahut. Rasa nyeri masih menggigit
bagian dalam dadanya. Ki Wanalungga hanya bisa menggigit
bibir, menahan rasa sakit yang dideritanya.
***
TIGA
Dua sosok tubuh tampak melangkah di bawah siraman
cahaya matahari siang. Pasir basah di tepi pantai, membuat
jejak kaki mereka meninggalkan bekas yang cukup dalam.
Rambut dan pakaian mereka berkibaran dipermainkan angin
pantai yang bertiup keras. Tapi kedua sosok tubuh itu
tampaknya tidak merasa terganggu. Malah terlihat mereka
menikmatinya sepenuh hati.
"Sudah lama sekali kita tidak merasakan suasana seperti ini,
Kakang. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin merasakan
suasana laut. Bagaimana kalau perjalanan ini kita lanjutkan
melalui samudera yang luas itu? Apa kau tidak merasa
tertantang oleh gelombang yang bergulung-gulung itu,
Kakang?"
Terdengar suara merdu sosok tubuh ramping berpakaian
serba hijau. Wajahnya yang jelita tampak kemerahan tersengat
terik sinar matahari. Yang semakin menambah pesona dirinya.
Pemuda tampan bertubuh sedang berjubah panjang warna
putih tidak segera menjawab. Pandang matanya dilayangkan ke
laut lepas, memandang ombak yang berkejaran menuju pantai.
Baru kemudian beralih menatap wajah jelita di sebelahnya.
"Kalau kau memang menginginkannya, aku setuju saja. Tapi
kita harus mencari pelabuhan yang terdekat Sebab di
perkampungan nelayan ini aku tidak menemukan kapal besar,
yang ada hanya perahu penangkap ikan," sahut pemuda
tampan berjubah putih itu. Pandangannya diedarkan ke sekitar
tempat itu. Tapi sejauh mata memandang, yang terlihat hanya
deretan perahu-perahu nelayan.
"Lalu...."
Dara jelita itu meminta kepastian dengan wajah dimiringkan,
memandang pemuda tampan di sebelahnya. Melihat adanya
pijar kemesraan dalam pandang mata mereka, dapat diduga
pasangan muda itu bukan sekadar kawan seperjalanan.
"Ya. Kita cari dermaga tempat kapal-kapal besar merapat
Mungkin kita bisa menumpang bila kapal itu kembali bertolak,"
jawab pemuda tampan itu, menyetujui.
"Kalau begitu kita harus mencarinya, Kakang...," ujar dara
jelita itu lagi.
Pemuda tampan itu kelihatannya setuju saja. Tapi baru saja
mereka hendak menjauhi tepi pantai, terdengar suara
pertarungan yang cukup jelas.
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" tanya pemuda tampan
berjubah putih, kepada dara jelita yang tidak lain Kenanga.
Sedang pemuda itu adalah Panji yang dalam rimba persilatan
berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Ya. Aku mendengarnya, Kakang. Ayo kita lihat..!" ajak
Kenanga.
Kemudian tanpa menunggu jawaban Panji, dara cantik
berpakaian serba hijau itu langsung melesat mencari sumber
suara pertarungan.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya melihat seorang
pemuda tampan berusia sekitar sembilan belas tahun, tengah
mati-matian membela diri dalam keroyokan empat orang
bertampang kasar. Sekali melihat saja, Panji bisa menilai pihak
mana yang harus dibelanya. Maka tanpa banyak cakap lagi,
Pendekar Naga Putih segera berkelebat mendahului kekasihnya.
"Haiiit..!"
Plak! Plak!
Begitu tiba, Panji langsung memasuki arena pertempuran
dan menyelamatkan pemuda itu dari ancaman dua pedang
lawan. Sehingga kedua orang kasar itu hampir terpelanting
terkena tangkisan Pendekar Naga Putih.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?!"
bentak seseorang yang bertubuh tinggi tegap. Sepasang
matanya berkilat menatap wajah Pendekar Naga Putih.
Rupanya lelaki itu sangat marah melihat campur tangan Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki bertubuh
tegap itu. Dan dengan sikap yang tenang pertanyaan itu
dijawabnya.
"Kisanak. Persoalan di antara kalian memang bukan
urusanku. Tapi sebagai orang gagah, aku tidak bisa tinggal
diam melihat ketidakadilan terjadi di depan mata. Sudah
menjadi kewajiban setiap manusia untuk memerangi
ketidakadilan," ujar Panji, membuat lelaki tegap itu
menggereng.
"Hm.... Kalau begitu, kau pun harus segera kukirim ke
neraka! Bersiaplah...!" geram lelaki tegap itu. Kemudian, anak
buahnya diperintahkan untuk mengeroyok Panji.
"Kisanak, hati-hati...," ujar pemuda tampan berusia sembilan
belas tahun yang tubuhnya terlihat kokoh. "Mereka memiliki
kepandaian tinggi."
'Tenang. Aku akan berusaha menyingkirkan mereka...,"
jawab Panji seraya melangkah maju mendekati empat orang
lawannya.
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu,
Pemuda Tolol...!" desis lelaki kasar yang bertubuh kekar dan
otot lengan bersembulan. "Haaat...!"
Sebelum Panji sempat menimpali ucapannya, lelaki kekar itu
sudah menerjang dengan kepalan-kepalannya yang besar.
Angin keras mengiringi setiap lontaran pukulannya,
menandakan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya tidak
bisa diremehkan.
"Hmh...."
Panji hanya mendengus melihat datangnya kepalan lawan.
Dengan mengegoskan tubuh, kedua serangan itu pun luput di
dekat sasarannya. Dan karena elakan Pendekar Naga Putih
dianggap suatu kebetulan, maka lelaki kekar itu pun
mempergencar serangannya.
Plakkk!
Seielah bosan berkelit, akhirnya Panji menepis sebuah
kepalan yang mengincar dadanya. Saat lawan terhuyung,
Pendekar Naga Putih menyodok-kan sikutnya yang telak
mengenai iga lawan.
Dukkk!
Lelaki kekar itu terkejut merasakan sodokan sikut yang
membuatnya menyeringai. Bahkan merasa heran melihat kuda-
kudanya tergempur mundur. Maka amarahnya pun meledak.
"Aaat.J"
Sebelum lelaki kekar itu kembali melancarkan serangan, tiga
orang pengeroyok lain sudah menghambur ke arah Panji.
Kilatan-kilatan putih mulai memenuhi arena, saat tiga pedang
lawan berkelebatan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
"Minggat kalian...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kesepuluh, tiba-tiba
Panji membentak sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri
dan kanan Akibatnya....
Bresssh...!
Ketiga lelaki kasar itu terpekik ngeri dengan tubuh terlempar
hingga satu tombak lebih. Mereka menjadi gentar, karena tidak
menyangka kalau pemuda tampan berjubah putih itu ternyata
memiliki kepandaian tinggi. "Haaat..!"
Tapi lelaki kekar berotot yang hatinya masih penasaran,
kelihatan belum jera. Bahkan semakin memperhebat serangan,
dan melipatgandakan kekuatannya untuk merobohkan
Pendekar Naga Putih.
"Hm....!"
Pendekar Naga Putih bergumam tak jelas melihat serangan
yang dilancarkan lelaki kekar itu. Kali ini Panji tidak berusaha
mengelak, malah seperti hendak menerima pukulan lawan
dengan tubuhnya.
"Ahhh...?!"
Pemuda tampan yang diselamatkan Panji terpekik melihat
kenyataan itu. Hampir saja dia menyerbu ke dalam arena. Tapi
Kenanga yang juga menyaksikan perkelahian itu cepat
menahannya. Sehingga pemuda itu tidak jadi membantu Panji,
dan hanya bisa menatap dengan rasa ngeri.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kepalan yang besar dan kuat singgah dengan telak di tubuh
Pendekar Naga Putih. Tapi yang berteriak kesakitan justru lelaki
kekar itu. Bahkan tubuhnya terhuyung mundur sambil
memegangi kepalannya yang bengkak. "Lari...!"
Menyadari pemuda tampan berjubah putih itu bukan
tandingan mereka, lelaki kekar itu segera menghambur
meninggalkan tempat itu dengan mengajak ketiga kawannya.
Panji hanya tersenyum melihat keempat lawannya melarikan
diri tunggang-langgang. Pendekar Naga Putih tidak berniat
mengejarnya, karena antara mereka dengan dirinya tidak ada
permusuhan.
"Mereka orang-orang jahat! Mengapa dibiarkan pergi begitu
saja? Kelak mereka akan mencarimu dengan membawa kawan-
kawan dan pimpinannya."
Pemuda tampan bertubuh kokoh yang diselamatkan Panji
menegur tak puas. Kelihatan sekali kalau tindakan Panji yang
membiarkan lawan-lawannya melarikan diri disesalinya.
"Apa yang menyebabkan kau bermusuhan dengan mereka?
Kelihatannya kau sangat membenci orang-orang kasar itu,"
tanya Panji tanpa mempe-dulikan perasaan tak puas pemuda
berpakaian serba biru itu.
"Nanti kuceritakan. Sekarang aku hendak melihat ayahku.
Beruntung mereka tidak begitu memperhatikan. Kalau saja
ayahku sampai terlihat, mungkin mereka sudah
membunuhnya....," ujar pemuda berpakaian serba biru yang
tidak iain Sanggala, putra Majikan Pulau Setan.
Rupanya pemuda itu berhasil meninggalkan Pulau Setan
bersama ayahnya. Sayang mereka terlihat lawan, sehingga
Sanggala nyaris tewas di tangan musuh-musuhnya. Untunglah
Panji cepat datang menyelamatkannya.
Melihat pemuda itu berlari masuk ke dalam hutan kecil, Panji
dan Kenanga bergegas mengikuti. Sepasang pendekar muda itu
kelihatannya sangat tertarik dengan kejadian yang menimpa
pemuda itu Bahkan mereka bermaksud ingin membantu
pemuda yang baru dikenal itu.
***
"Ayah...!" panggil Sanggala menyeruak ke dalam sela
bebatuan yang agak terlindung dari sinar matahari dan tertutup
pepohonan berdaun rimbun.
"Sanggala...," desis lelaki gagah yang tampak semakin payah
dan pucat.
Lelaki itu adalah Ki Wanalungga. Majikan Pulau Setan itu
pergi dari pulaunya dengan membawa luka dalam yang
semakin parah.
"Ayah...," desah Sanggala semakin iba melihat keadaan
ayahnya.
"Syukurlah kau selamat, Anakku. Apakah mereka sudah
pergi dari tempat ini...?" tanya Ki Wanalungga belum
menyadari ada dua orang lain yang datang bersama putranya.
"Sanggala...," pangil Panji yang mengetahui nama pemuda
itu dari panggilan orangtuanya. "Kelihatannya luka ayahmu
sangat parah. Kalau tidak keberatan, aku ingin
memeriksanya...."
Sanggala tidak langsung menjawab. Dipandanginya Kenanga
dan Panji berganti-ganti, seolah ingin menilai sepasang
pendekar itu. Karena biar bagaimanapun, mereka baru saja
bertemu. Nama kedua penolongnya pun belum diketahuinya.
Jadi wajar saja jika Sanggala belum percaya sepenuhnya pada
Panji dan Kenanga.
"Bagaimana, Sanggala...?" kali ini Kenanga yang mengajukan
permintaan.
"Siapa mereka, Sanggala...?" tanya Ki Wanalungga ketika
mendengar ada suara lain. Kening lelaki gagah itu berkerut
ketika melihat sseorang lelaki dan perempuan muda
membungkuk dan tersenyum padanya.
"Kami sahabat putramu, Paman...," sahut Panji mendahului
Sanggala menjawab pertanyaan Ki Wanalungga.
"Merekalah yang menyelamatkan aku dari manusia-manusia
jahat itu, Ayah...," jelas Sanggala ketika Ki Wanalungga
menatap anaknya meminta penjelasan.
"Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga. Kami
kebetulan sedang lewat di tempat itu saat Sanggala
bertempur," jelas Panji, langsung memperkenalkan diri tanpa
diminta.
'Terima kasih atas pertolongan kalian...," ujar Ki
Wanalungga. Lalu, terbatuk hebat hingga terlihat cairan merah
di sudut bibirnya.
"Luka dalam yang Paman derita kelihatannya sudah cukup
parah. Bolehkah aku memeriksanya? Kalau dibiarkan berlarut-
larut bisa bertambah parah dan membahayakan nyawa
Paman...," ucap Panji ketika melihat kesempatan baik untuk
menawarkan bantuannya.
"Luka ini sudah sulit disembuhkan, Panji. Aku sudah pasrah
menanti kematian...," kata Ki Wanalungga.
'Paman, sebelum kematian datang menjemput, kita wajib
berusaha. Izinkan aku memeriksa lukamu. Siapa tahu aku bisa
meringankan jpende-ritaan Paman," bujuk Panji.
Pendekar Naga Putih langsung berjongkok di dekat Ki
Wanalungga. Kemudian tangannya diulurkan ketika melihat
orang tua itu terdiam, seolah menyetujui usulnya.
"Hm.... Kita harus mencari tempat yang lebih baik untuk
menyembuhkan luka ayahmu, Sanggala," ujar Panji setelah
memeriksa Ki Wanalungga.
"Kau bisa menyembuhkannya, Panji...?" tanya Sanggala
setengah tak percaya.
Sebab menurut penuturan ayahnya, luka itu hanya bisa
disembuhkan oleh orang yang memiliki tenaga dalam
sempurna. Sedang Sanggala tak yakin pemuda berjubah putih
itu memilikinya.
"Kita harus berusaha, Sanggala."
Setelah berkata demikian, Panji mengeluarkan dua butir obat
berwarna merah dan putih. Kemudian, memberikannya kepada
Ki Wanalungga.
Lelaki gagah itu menatap Panji, lalu beralih ke obat yang
diangsurkan. Agaknya Ki Wanalungga merasa obat yang
diberikan Panji tak akan berguna.
"Ambillah, Paman. Kedua obat ini dapat mengurangi rasa
nyeri yang setiap kafi datang mengganggu di dalam dada...,"
jelas Panji, membuat sepasang mata Ki Wanalungga terbelalak.
Rupanya orang tua itu kaget mendengar Panji mengetahui
penderitaannya.
Melihat Panji mengangguk, Ki Wanalungga segera menerima
kedua pil itu, dan menelannya tanpa ragu. Wajah orang tua itu
semakin memperlihatkan rasa kaget ketika beberapa saat
setelah kedua pil itu masuk ke dalam perutnya, dirasakan ada
sesuatu yang bergolak.
"Luar biasa! Pil yang kau berikan sangat mukjizat, Panji!"
ujar Ki Wanalungga sambil memperlihatkan senyum ketika
merasakan sesuatu yang hangat dan sejuk berganti-ganti
menjalar ke seluruh tubuh. Kenyataan itu membuat harinya
gembira.
"Syukurlah, Paman. Memang itu yang kita harapkan...," ujar
Panji tersenyum lega.
Sanggala yang melihat ayahnya sudah bisa tersenyum,
menjadi heran. Tapi pemuda itu tidak bisa menyembunyikan
kegembiraan hatinya.
'Terima kasih, Panji. Meskipun ayahku belum sembuh, tapi
kau telah mengurangi penderitaannya. Agaknya kau sengaja
dikirim untuk menolong kami...," ucap Sanggala merasa
gembira mendengar ucapan ayahnya.
"Bahaya masih belum lewat, Sanggala. Mari kita ke
penginapan terdekat untuk mengobati luka dalam ayahmu.
Mudah-mudahan beliau dapat diselamatkan...," ujar Panji.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, tubuh Ki Wanalungga
diangkat dan diletakkan di bahu kanannya.
Semula Sanggala terkejut melihat perbuatan Panji. Namun
ketika melihat pemuda itu hanya sekadar ingin menolong,
legalah hati Sanggala. Tanpa banyak tanya, pemuda itu
mengikuti Panji dan Kenanga mencari tempat yang lebih aman
untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah
desa yang cukup ramai. Panji segera memesan tiga buah kamar
di sebuah rumah penginapan bagi para pelancong dan
pedagang keliling.
***
EMPAT
"Untuk menyembuhkan luka ayahmu, aku memerlukan
waktu paling sedikit dua hari, agar Ki Wanalungga terbiasa
dengan tenaga yang kusa-lurkan ke tubuhnya. Tapi cara
pengobatan ini cukup berbahaya, mengingat kau dan ayahmu
masih diburu musuh," ujar Panji.
Saat itu mereka berkumpul di kamar Sanggala untuk
membicarakan penyembuhan Ki Wanalungga.
"Apa bahaya yang kau khawatirkan, Panji?" tanya Sanggala
yang memang belum banyak pengalaman. Sehingga tidak
mengetahui bahaya menyalurkan tenaga sakti ke tubuh orang
lain.
"Begini, Sanggala. Saat aku menyalurkan tenaga saktiku ke
tubuh ayahmu, kau dan Kenanga harus tetap siaga jika musuh
datang menyerbu. Karena saat itu aku tidak bisa berbuat apa-
apa. Kalau sampai aku terganggu atau dibokong lawan,
mungkin aku akan mendapat luka dalam yang parah, dan
kemungkinan besar ayahmu akan tewas. Itu sebabnya
mengapa kita harus bicarakan terlebih dahulu sebelum
melakukannya," jelas Panji membuat Sanggala mengangguk-
anggukkan kepala tanda mengerti.
"Sungguh berbahaya sekali...," gumam Sanggala tidak
menyangka kalau akibat yang akan ditanggung Panji sangat
berat.
Diam-diam Sanggala kagum dengan keluhuran budi pemuda
itu. padahal mereka baru saling mengenal. Tapi pemuda
tampan berjubah putih demikian tulus menolong dirinya dan
ayahnya. Sampai-sampai berani menanggung akibat yang besar
dan berbahaya.
"Bagaimana? Apa kalian sudah siap? Nanti malam kita akan
memulai pengobatan itu...," ujar Panji meminta jawaban
Sanggala dan Kenanga.
"Aku siap, Kakang...," sahut Kenanga mantap, tanpa
keraguan sedikit pun.
"Demi kesembuhan ayahku, aku siap mengorbankan
nyawa...," Sanggala pun menjawab d^pgan tegas dan
bersemangat, hingga Panji merasa puas.
"Kalau begitu, kalian harus berjaga-jaga di luar kamar
selama aku mengobati Ki Wanalungga...," ujar Panji memberi
petunjuk pada kekasihnya dan Sanggala.
"Baik," jawab keduanya serentak.
***
Ketika gelap mulai datang menyelimuti bumi, Panji sudah
siap melakukan pengobatan pada Ki Wanalungga. Pemuda itu
melekatkan kedua telapak tangannya di punggung Majikan
Pulau Setan yang duduk bersila di depannya.
Sedangkan Kenanga dan Sanggala berjaga-jaga di luar
kamar. Kenanga kelihatan sangat tenang, karena sudah
terbiasa menghadapi bahaya maupun ancaman maut Berbeda
dengan Sanggala yang selama ini hidup di Pulau Setan. Apalagi
menghadapi bahaya maut yang sewaktu-waktu datang tanpa
dapat diduga. Maka tidak heran jika pemuda itu tampak
gelisah.
"Jangan terlalu tegang, Sanggala. Sebagai orang yang telah
ditempa, kejadian seperti ini sudah menjadi bagian hidup kita.
Dengan sikap tenang, kita akan bisa mengatasi segala ancaman
yang datang," bujuk Kenanga mencoba menenangkan hati
pemuda itu. Karena kegelisahan Sanggala terlihat jelas, tidak
bisa disembunyikan.
"Hhh.... Selama hidup, aku belum pernah merantau atau
meninggalkan Pulau Setan. Kejadian-kejadian yang kualami
belakangan ini membuat hidupku tidak tenteram. Tapi biar
bagaimanapun, aku siap menghadapi ancaman maut...," ujar
Sanggala, tidak malu mengakui perasaan hatinya kepada
Kenanga.
"Bersemadilah, Sanggala. Pusatkan pikiranmu dan jangan
biarkan mengembara tanpa tujuan. Setelah itu, aku yakin kau
akan merasa lebih enak...," Kenanga kembali memberi nasihat
kepada Sanggala.
Mendengar petunjuk gadis itu, Sanggala segera
menurutinya. Pemuda itu agaknya menyadari, hanya itulah
jalan satu-satunya yang dapat dilakukan agar hatinya menjadi
lebih tenang, dan tidak selalu dihantui perasaan was-was.
Kenanga tersenyum ketika melihat Sanggala menuruti
petunjuknya. Dara jelita itu menyukai Sanggala yang tidak
mempunyai sifat sombong. Dan mau mempertimbangkan serta
menuruti nasihat orang lain. Selama nasihat itu berguna bagi
dirinya.
Tapi baru beberapa saat Sanggala tenggelam dalam semadi,
samar-samar Kenanga menangkap suara ribut di luar. Kamar
mereka memang terletak di belakang. Tentu saja suara ribut itu
membuat Kenanga terkejut.
"Hm.... Kalau tidak ingat pesan Kakang Panji, aku akan
memeriksa apa yang terjadi di luar sana. Mungkinkah musuh-
musuh Sanggala dan ayahnya telah menemukan tempat ini?"
gumam Kenanga seraya meraba gagang pedangnya. Sengaja
Sanggala tidak dibangunkan dari semadinya, sebelum
mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi di luar
sana.
"Aaa...!"
Kenanga mulai yakin kalau kemungkinan besar musuh-
musuh yang dikhawatirkan itu benar-benar datang. Cepat gadis
itu menyadarkan Sanggala dari semadinya.
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Sanggala yang merasa harinya
menjadi lebih tenang setelah menjalankan semadi dengan
sungguh-sungguh.
"Aku mendengar suara jerit kematian di luar sana. Mungkin
musuh-musuhmu telah mengetahui kalian menginap di desa ini.
Aku ingin memeriksanya sebentar. Kau tunggu di sini, dan
jangan pergi ke mana-mana...," pesan Kenanga yang merasa!
penasaran ingin melihat apa yang terjadi dengan! pemilik
penginapan.
Sanggala tidak sempat mencegah- kepergian dara jelita itu,
karena bayangan Kenanga segera lenyap dari pandangannya.
Akhirnya, Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan
berjaga-jaga di depan pintu kamar dengan tangan siap di
gagang pedang.
***
Dugaan Kenanga ternyata meleset Memang benar di bagian
depan penginapan itu telah terjadi keributan. Tapi yang datang
mengacau bukanlah musuh-musuh Ki Wanalungga. Itu dapat
diketahuinya saat melihat beberapa orang kasar memanggul
barang-barang di bahunya. Rupanya mereka para perampok.
"Keparat busuk...!" desis Kenanga.
Saat itu dilihatnya seorang wanita cantik berusia tiga puluh
tahun dibawa dengan paksa oleh seorang lelaki brewok yang
tubuh bagian atasnya tidak tertutup pakaian. Tanpa banyak
cakap lagi, Kenanga langsung melesat dan melepaskan sebuah
tamparan keras ke kepala orang itu.
Plakkk!
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat tamparan telapak tangan dara jelita itu.
Korbannya yang tak sempat mengelak, langsung terpelanting
roboh. Dan melihat lelehan darah segar di kepala lelaki brewok
itu, dapat dipastikan kalau batok kepalanya retak.
"Kembalilah ke kamarmu. Biar aku yang akan memberi
pelajaran pada perampok-perampok busuk itu...!" ujar Kenanga
seraya menarik bangkit perempuan itu, dan mendorongnya ke
ruang dalam.
Kemudian, Kenanga yang sedang dilanda amarah itu
melompat keluar mengejar perampok lainnya.
"Hei, berhenti...!" bentak Kenanga seraya melesat dan
melambung ke udara. Kemudian melayang turun setelah
berputar beberapa kali, dan menghadang enam lelaki kasar
yang membawa barang-barang rampasan.
Tentu saja keenam perampok itu terkejut bukan main
melihat sesosok bayangan meluncur turun bagai jatuh dari
langit. Mereka segera bergerak mundur sambil menghunus
senjata. "Aihhh...?!"
Salah seorang perampok yang melihat wajah Kenanga,
berseru gembira. Betapa tidak? Sosok bayangan itu ternyata
seorang dara yang cantik luar biasa.
"Gadis cantik ini pasti bidadari yang turun dari langit untuk
menemani kita!" seru perampok yang bermata sipit, setelah
melihat wajah sosok yang menghadang mereka.
"Manusia-manusia keparat!" desis Kenanga semakin
bertambah marah mendengar ucapan lelaki itu.
Kata-kata kotor yang dilontarkan mereka, membuat wajah
Kenanga memerah. Maka tanpa banyak cakap lagi, Kenanga
langsung menerjang orang terdepan dengan tamparan keras.
Plakkk!
"Akhhh...!"
Tanpa ampun lagi, perampok bermata sipit itu terpelanting
ke tanah. Tubuhnya berkelojotan seperti ayam disembelih. Dan
sebentar kemudian, diam tak bergerak-gerak lagi. Perampok itu
tewas dengan kepala retak!
"Siluman...!"
"Perempuan iblis...!"
Kelima perampok itu terkejut dengan wajah pucat Mereka
hampir tidak percaya kalau wanita yang memiliki kecantikan
luar biasa itu dapat membunuh hanya sekali pukul! Sungguh
tidak masuk di akal!
"Hm.... Orang-orang seperti kalian tidak patut dibiarkan
hidup lebih lama. Kalian hanya menyusahkan orang lain saja.
Karena itu,' aku akan mencabut nyawa kalian satu persatu!
Siapa yang ingin maju lebih dulu...?" tantang Kenanga dengan
sorot mata menggetarkan jantung.
Kelima perampok itu saling bertukar pandang satu sama lain.
Tentu saja tak seorang pun dari mereka ingin mati. Sehingga,
tidak ada yang berani maju lebih dulu.
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pikir kami akan lari
ketakutan mendengar ancaman kosongmu! Walau kau memiliki
ilmu iblis neraka sekalipun, aku tidak mau menyerah begitu
saja!"
Salah seorang perampok rupanya tidak merasa gentar. Jika
kawannya tewas hanya sekali pukul, mungkin itu hanya
kebetulan, pikirnya menghibur diri. Maka, kakinya pun
melangkah maju dengan golok terhunus!
Melihat seorang kawannya bergerak maju dengan senjata di
tangan, yang lainnya pun tidak mau ketinggalan. Mereka
segera bergerak mengurung dara jelita itu.
"Hm..., bagus...!" desis Kenanga seraya mengedarkan
pandangannya, merayapi wajah-wajah yang terlindung
gelapnya malam. Dara jelita itu ikut berputar ketika para
pengepungnya bergerak mengelilingi dengan kedudukan
berpindah-pindah. "Haaat..!"
Didahului sebuah pekikan nyaring, pengeroyok di belakang
Kenanga menerjang sambil mengayunkan goloknya, disusul
dengan yang lainnya berturut-turut.
Bettt! Singgg!
Kilatan cahaya putih berkilauan mengancam tubuh Kenanga.
Tapi dengan penuh ketenangan, dara jelita itu menggeser
tubuhnya di antara sambaran sinar pedang lawan. Kemudian....
"Haiiit...!"
Tiba-tiba Kenanga berseru nyaring. Seiring seruannya,
tubuhnya berkelebat cepat disertai kilatan sinar putih yang
berpendar menyilaukan mata. Memang, Kenanga telah
mengeluarkan Pedang Sinar Rembulan untuk menghadapi
lawan-lawannya Terdengar jerit kematian susul-menyusul
memecah keheningan malam.
"Aaa...!"
Sekali Pedang Sinar Rembulan terhunus, kelima perampok
itu roboh bergelimpangan dengan tubuh bermandikan darah!
Kenanga berdiri tegak di tengah korban-korbannya. Setelah
membersihkan pedangnya pada pakaian lawan, senjata itu
kembali melingkari pinggangnya.
Baru saja dara jelita itu hendak mengumpulkan barang-
barang rampokan untuk dikembalikan kepada pemiliknya, tiba-
tiba matanya menangkap sosok-sosok yang berkelebat cepat
mendekati penginapan. Teringat akan musuh-musuh Ki
Wanalungga dan Sanggala yang mungkin akan datang mencari
kedua orang itu, Kenanga pun segera melesat naik ke atap
rumah. Kemudian meluncur turun di samping rumah
penginapan, dan terus berkelebat menuju kamar tempat
kekasihnya sedang mengobati Ki Wanalungga.
"Kenanga, mengapa lama sekali? Tadi aku mendengar jerit
kematian berturut-turut Apa mereka musuh-musuhku...?"
Sanggala langsung menyambut kedatangan Kenanga dengan
pertanyaan. Tangan pemuda itu menggenggam pedang
telanjang, karena sempat terkejut melihat bayangan berkelebat
menuju tempatnya berjaga. Hati Sanggala baru merasa lega
setelah mengetahui bayangan itu adalah Kenanga.,
"Hm.... Hanya perampok perampok busuk yang tidak tahu
diri. Aku terpaksa membunuh mereka. Selain pekerjaan mereka
hanya menyusahkan orang banyak, mereka juga bermulut
kotor dan menyebalkan," jelas Kenanga, membuat Sanggala
menarik napas lega.
"Perampok-perampok naas. Mengapa mereka melakukannya
saat kita sedang berjaga-jaga. Sehingga harus menemui
kematian di tanganmu...," gumam Sanggala tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala memikirkan perampok-
perampok sial itu.
"Jangan gembira dulu, Sanggala. Aku cepat-cepat kembali
justru karena melihat sosok-sosok bayangan mencurigakan
sedang menuju penginapan ini. Sebaiknya kita lebih berhati-
hati. Siapa tahu yang kulihat itu musuh-musuhmu," ujar
Kenanga, membuat Sanggala berubah tegang.
"Benarkah, Kenanga? Kalau begitu, kita harus bersiap-siap
menghadapi mereka...," ujar Sanggala seraya menggenggam
pedangnya erat-erat Sepasang matanya tampak berkilat
memancarkan semangat tinggi yang membuat Kenanga
tersenyum.
"Aku selalu siap, Sanggala...," sahut Kenanga.
Kemudian, dara jelita itu menggeser langkahnya menjauhi
daun pintu. Kenanga mengerahkan indera pendengarannya
untuk menangkap suara-suara mencurigakan. Suasana menjadi
hening dan mencekam ketika Sanggala pun membisu tanpa
kata.
***
"Sanggala, bersiaplah! Mungkin mereka akan datang ke
tempat ini...," ujar Kenanga dengan suara rendah. Jari-jari
tangan dara jelita itu meraba gagang pedangnya, siap untuk
digunakan.
Sanggala yang belum menangkap ada gerakan di luar rumah
penginapan menjadi tegang. Jemari tangannya semakin erat
menggenggam gagang pedang. Dan beberapa saat kemudian,
pemuda itu mendengar ada suara langkah dari sebelah kanan
rumah penginapan serta dari atap rumah.
Sanggala menggeser tubuhnya dari depan pintu ke tempat
yang agak tersembunyi dari pandangan. Pemuda itu siap
menghadapi segala kemungkinan dengan senjata di tangan.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki
mendekati kamar tempat Panji sedang mengobati Ki
Wanalungga. Dari suara langkahnya, dapat diketahui kalau
yang datang tidak hanya satu orang.
"Kau yakin mereka menginap di tempat ini...?" terdengar
suara berat dan parau bertanya kepada kawannya.
"Pasti, Kakang. Aku sudah menyelidiki sebelumnya. Dan
telah bertanya pada beberapa orang penduduk," sahut sebuah
suara, lantang tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm.... Tinggal tiga kamar di belakang ini yang belum kita
periksa. Mudah-mudahan keterangan yang kau dapat tidak
salah...," ujar suara pertama, separuh berharap.
Suara langkah kala mereka semakin jelas terdengar.
Agaknya tamu-tamu tak diundang itu ingin secepatnya tiba di
kamar bagian belakang rumah penginapan.
"Kalian hendak mencari siapa...?" tegur Kenanga yang
langsung berdiri menghadang, ketika tiga sosok tubuh muncul
dari pintu penghubung.
"Itu gadis yang telah menyelamatkan putra Majikan Pulau
Setan! Pasti pemuda berjubah putih dan yang lainnya berada di
tempat ini!" seru lelaki bertubuh tegap sambil menudingkan
jarinya ke wajah Kenanga.
Kenanga hanya mendengus melihat lelaki tegap yang siang
tadi dihajar Panji. Gadis itu tidak berbicara separah kata pun,
tapi segera menghunus senjata. Perhatiannya tertuju kepada
sosok kakek bertubuh kurus dan lelaki gemuk brewok yang
sedang menatapnya.
Lelaki gemuk brewok yang tidak lain Ki Brajanata, menatap
Kenanga dengan mata terbelalak, tak ubahnya seekor harimau
lapar melihat kijang muda. Tapi hal itu tidak aneh. Selain sosok
Kenanga sangat mempesona, Ki Brajanata pun seorang lelaki
mata keranjang. Lelaki itu hampir meneteskan air liur melihat
sosok yang begitu mempesona. Ki Brajanata yang sudah
melangkah maju, terpaksa menunda gerakannya, ketika
melihat tangan lelaki tua di sebelahnya melintang menghalangi
jalannya.
"Hati-hati, Ki Brajanata. Kelihatannya gadis jelita ini cukup
berisi. Biar aku yang menghadapinya...," bisik lelaki tua yang
tidak lain Ki Dayut Ganda, atau lebih dikenal berjuluk Datuk
Lautan Timur.
"Nisanak. Kami mencari telaki berusia sekitar lima puluh
tahun yang sedang menderita luka parah. Juga seorang
pemuda tampan berusia sembilan belas tahun yang
mengenakan pakaian serba biru. Apakah kau melihatnya...?"
tanya Ki Dayut Ganda tanpa melepaskan pandang matanya
yang tajam ke wajah dara jelita berpakaian serba hijau itu.
Tapi sebelum Kenanga sempat menjawab, Sanggala yang
sejak tadi bersembunyi mendengar pembicaraan itu segera
melesat ke luar. Tentu saja perbuatan pemuda itu mengejutkan
Kenanga.
"Sanggala...!" tegur Kenanga.
Tapi Sanggala tidak mempedulikannya. Pemuda itu sudah
menghadapi ketiga orang musuh ayahnya, dan menudingkan
senjatanya ke arah mereka.
"Untuk menawan ayahku, kalian harus melangkahi mayatku
dulu...!" bentak Sanggala dengan wajah kemerahan menahan
amarah.
"Bocah sombong!" desis Guntala, salah seorang pembantu
utama Ki Brajanata.
Sedangkan Ki Brajanata hanya tertawa terkekeh melihat
tingkah pemuda itu, sepertinya melihat sesuatu yang lucu.
Baginya, pemuda itu tak ubahnya seekor kijang muda yang
menggertak harimau kelaparan. Perumpamaan itu membuat Ki
Brajanata tak bisa menahan perasaan geli yang menggelitik
hatinya.
Wajah Sanggala semakin merah padam. Sepasang matanya
berkilat memancarkan api kemarahan. Dia tahu kalau lelaki
brewok itu menertawakan dirinya.
"Hm.... Manusia-manusia pengecut! Kalian bisanya hanya
mengeroyok! Kalau benar-benar jantan, kalian kutantang
bertarung satu lawan satu sampai salah seorang di antara kita
menggeletak jadi mayat! Nah, apa jawab kalian...?!" geram
Sanggala seraya melangkah maju dua tindak hendak melewati
Kenanga. Tapi dara itu segera merentangkan lengannya,
menahan gerak maju tubuh pemuda itu.
"Keparat! Kau sama keras kepalanya dengan ayahmu...!"
bentak Ki Brajanata tak bisa menahan kegeraman hatinya.
Diiringi gerengan keras, tubuh lelaki gemuk itu melesat maju
dengan sebuah tamparan telapak tangan yang mendatangkan
hembusan angin menderu tajam.
"Haiiit..!"
Kenanga yang berada di depan Sanggala segera membentak
nyaring. Tubuhnya bergerak ke depan menyambut serangan
lelaki gemuk brewok bermata bengis itu. Dan....
Hak! Plak!
"Akh...?!"
Terkejut bukan main hati Ki Brajanata ketika merasakan
betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di balik telapak
tangan halus itu. Bahkan lelaki gemuk itu merasakan telapak
tangannya panas dan nyeri. Tubuhnya tergeser mundur akibat
tangkisan dara jelita itu.
"Setan...!" umpat Ki Brajanata jengkel. Sambil menggereng
marah, segera jurusnya disiapkan untuk menggempur Kenanga.
"Hm.... Kau hadapi dara jelita itu, Ki Brajanata. Aku akan
mencari Wanalungga...," ujar Ki Dayut Ganda seraya bergerak
ke samping hendak melewati Kenanga.
"Berhenti...! Selangkah lagi kau maju, jangan salahkan aku
kalau tubuh peotmu remuk oleh pu-kulanku...!" ancam
Kenanga segera melompat menghadang kakek itu.
Ki Dayut Ganda terkekeh mendengar ancaman dara jelita itu.
Sepasang matanya yang kecil semakin menyipit meneliti wajah
jelita yang menghadang jalannya. Kenanga sendiri sudah
meloloskan Pedang Sinar Rembulan.
***
LIMA
Datuk Lautan Timur terbelalak ketika melihat sinar putih
keperakan berpendar keluar dari badan pedang di tangan
Kenanga. Kekehnya kemudian terdengar ketika mengetahui
pedang di tangan dara jelita itu bukan pedang biasa.
"Pedang bagus...!" puji Ki Dayut Ganda.
Kemudian, tangannya diulurkan hendak meno-tok
pergelangan Kenanga. Jelas Ki Dayut Ganda berniat merebut
pedang di tangan gadis itu.
Tapi betapapun cepatnya gerakan Ki Dayut Ganda, sepasang
mata indah dara itu tidak bisa dikelabui. Sebelum serangan licik
itu tiba, Kenanga sudah menarik lengannya dan memutar
dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lengan kakek itu
yang kini terancam mata pedang.
"Hebat..!" kembali Ki Dayut Ganda mengeluarkan pujian
melihat sambutan Kenanga. "Tidak mengecewakan kau
memiliki pedang sebagus itu, Nisanak."
Kenanga tidak tergoda oleh pujian lawan. Langkahnya
segera digeser untuk menyiapkan jurus andalannya
menghadapi kakek itu. Karena dalam gebrakan pertama tadi
Kenanga sudah menilai kakek itu bukan orang sembarangan.
Sementara Sanggala saat itu sudah bertarung melawan
Guntala. Pemuda itu bertarung seperti banteng luka. Sehingga
dalam beberapa jurus saja, pembantu utama Ki Brajanata itu
kelabakan. Mata pedang lawan seperti tidak pernah jauh dari
tubuhnya, selalu membayangi dan siap menghirup darahnya. .
"Haaat...!"
Saat Guntala berjuang sekuat tenaga untuk
mempertahankan selembar nyawanya, tiba-tiba terdengar
teriakan nyaring. Seiring dengan pekikan itu, sesosok tubuh
kekar melesat dan langsung menyerang Sanggala.
Bettt! Bettt!
Sanggala yang saat itu tengah mencecar lawannya, terkejut
merasakan sebuah serangan hebat yang mengancam jalan
darah kemarJan'di tubuhnya. Pemuda itu cepat melesat mundur
sambil mengibaskan senjatanya untuk melindungi tubuh.
"Syukurlah 'kau segera datang, Kakang Soganta. Terlambat
sedikit saja, mungkin aku sudah menjadi mayat Pemuda ini
tidak bisa dipandang ringan," ucap Guntala ketika mengetahui
penolongnya adalah Soganta, tangan kanan Ki Brajanata. Lelaki
kekar itu datang pada saat yang tepat
"Haaat...!"
Sanggala yang sangat dendam pada orang-orang yang telah
merebut pulaunya dan membuatnya sengsara, segera
menerjang dengan putaran pedangnya. Seluruh
kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi kedua lawannya
secepat mungkin.
Sebagai putra Ki Wanalungga, Sanggala tentu sudah dibekali
ilmu-ilmu tinggi. Pada saat ditolong Panji, dia dalam keadaan
terdesak karena dikeroyok empat orang lawan. Tapi kalau
hanya menghadapi Guntala dan Soganta, pemuda itu tidak
dapat dikalahkan dengan mudah. Hanya saja Sanggala belum
berpengalaman dalam bertarung. Sehingga seringkali terlihat
ragu untuk mempergunakan kesempatan-kesempatan yang
sering didapatinya dari kedua lawannya itu.
Sedangkan Guntala dan Soganta adalah orang-orang kasar
yang hidupnya lebih banyak dijalani dengan pertarungan-
pertarungan. Sehingga kedua pembantu utama Ki Brajanata itu
memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Sanggala. Hanya
berkat keuletan dan ketabahannyalah Sanggala masih sanggup
menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Pertempuran merka
berjalan seimbang, hingga belasan jurus terlewati.
Sementara Kenanga bertarung ketat melawan Ki Dayut
Ganda. Dara jelita yang menyadari kesaktian lawannya setelah
pertarungan semakin jauh, mulai menggunakan ilmu-ilmu
andalannya. Baik yang disempurnakan Panji, maupun yang
digabungkannya sendiri. Sehingga tidak mudah bagi Ki Dayut
Ganda untuk segera melumpuhkannya.
Ki Brajanata pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Dia berusaha menerobos masuk ke dalam kamar yang tertutup
dan dijaga ketat dara jelita itu. Karena meskipun Kenanga
tengah bertarung melawan Datuk Lautan Timur, namun gadis
itu selalu berusaha mencegah Ki Brajanata masuk ke dalam
kamar.
"Setan...!" geram Ki Brajanata yang setiap kafi bergerak
maju, selalu kembali melompat mundur. Karena pedang sinar
putih keperakan dara jelita itu selalu menghalanginya.
"Haaat..!"
Ki Dayut Ganda yang mengetahui maksud Ki Brajanata,
berusaha mendesak dara jelita itu dengan serangan-serangan
yang mematikan. Bahkan kakek kurus itu telah menggunakan
senjata khasnya yang berbentuk dayung, namun kedua sisinya
tajam seperti mata pedang. Dengan senjata aneh itu Datuk
Lautan Timur berusaha merobohkan Kenanga.
Kenanga sendiri berusaha sekuat tenaga untuk menghadapi
gempuran kakek sakti itu. Dia sengaja tidak mau
membenturkan pedangnya dengan senjata lawan, karena sadar
tenaga saktinya masih kalah. Sehingga Kenanga lebih banyak
menghindari bila dayung maut lawan mencecarnya. Dan
sesekali membalas serangan lawan, hingga membuat hati
Ki Dayut Ganda semakin bertambah penasaran.
***
Sedangkan di dalam kamar Ki Wanalungga! Panji tengah
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkan ke
tubuh Ki Wanalungga] Perlahan-lahan hawa sakti yang dingin
meresa masuk ke dalam tubuh Ki Wanalungga. Kemudia Panji
menggerakkan kekuatannya untuk mendorong keluar racun
yang berada di tubuh Majikan Pulau Setan itu. Luka dalam yang
diderita lelaki gagah itu sudah berubah menjadi racun, hingga
FV Wanalungga sering terbatuk hebat sampai menger luarkan
darah kehitaman.
Wajah Ki Wanalungga perlahan-lahan beruba. kehitaman,
ketika Panji mengerahkan kekuatanny untuk mengeluarkan
racun itu. Untuk melakukannya bukan pekerjaan yang mudah
bagi Panji. Penl dekar Naga Putih harus mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga saktinya agar Ki Wanalungga dapa sembuh
seperti sediakala. Dan usaha Panji akan berhasil, kalau saja
pada saat yang sangat menentukan itu, tidak muncul seorang
lelaki yang sebagian wajahnya tertutup selembar kain hitam.
Jleg!
Sosok tubuh tinggi kurus itu meluncur turun setelah
menjebol atap kamar. Gerakannya terlihat demikian ringan,
pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi.
Sosok tubuh itu melangkah mendekati Panji yang tengah
tenggelam dalam usaha penyembuhan luka dalam Majikan
Pulau Setan.
"Hmhhh...!"
Terdengar dengusan mengejek dari sosok tinggi kurus.
Kemudian, semangatnya dikempos untuk memancing keluar
seluruh tenaga sakti yang dimilikinya. Dan....
Desss...!
Tanpa ragu-ragu lagi, dengan curangnya lelaki tinggi kurus
itu mendorongkan telapak tangannya menggedor punggung
Pendekar Naga Putih! Akibatnya....
"Aaa...!"
Dalam keadaan yang sangat berbahaya, 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang seluruhnya sedang terpusat untuk
menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga, langsung memecah
ketika merasakan ada bahaya yang datang mengancam
majikannya. Sebagian tenaga yang merasuk ke dalam tubuh Ki
Wanalungga langsung berbalik melindungi tubuh Panji dari
serangan gelap itu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus itu terpental
balik menjebol bagian belakang dinding kamar yang terbuat
dari kayu. Dan jatuh terguling-guling ke luar.
Sedangkan yang dialami Ki Wanalungga tidak kalah
mengejutkan. Akibat berbaliknya seluruh kekuatan yang tengah
mendorong racun di dalami tubuh, tubuhnya bergetar hebat
Dan memuntahkan darah segar dari mulurnya.
"Huakhhh...!"
Darah segar itu menyembur keluar membasahi balai-balai
dan lantai di bawahnya. Kemudian tubuh Majikan Pulau Setan
itu terjungkal dari atas balai-balai dan tak sadarkan diri.
Sementara Pendekar Naga Putih mendapat akibat yang tidak
ringan. Tubuh pemuda itu terlempar dari atas pembaringan dan
terjerembab meng-hantam dinding depan kamar, tepat di
sampingi pintu. Hantaman licik yang telak menghajar
punggungnya, membuatnya muntah darah. Karena berbaliknya
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkannya ke tubuh Ki
Wanalungga, membuat Panji mendapat luka dalam yang tidak
ringan.
Sedangkan sosok tinggi kurus yang sebagian wajahnya
dilindungi kain hitam, sudah merangkak bangkit meskipun
dengan susah-payah. Kemudian bergerak memasuki kamar dan
menyambar tubuh Ki Wanalungga. Dengan memanggul tubuh
Majikan Pulau Setan di atas bahu kanannya, sosok tinggi kurus
itu bergerak meninggalkan rumah penginapan.
Sementara, Kenanga yang saat itu tengah terdesak hebat
oleh gempuran Datuk Lautan Timuil terkejut mendengar suara
ribut di dalam kamar yang dijaganya. Wajah dara jelita itu
semakin pucat melihat sesosok tubuh menjebol dinding kamar
di samping kanannya.
"Kakang...?!" teriak Kenanga, yang langsung mengenali
Panji. Dan karena kelengahannya itu, Kenanga menanggung
akibat yang tidak ringan. Sebuah hantaman gagang senjata Ki
Dayut Ganda mendarat di punggungnya.
Bukkk!
"Huakhhh...!"
Darah segar menyembur keluar seiring dengan terlemparnya
tubuh Kenanga. Kemudian, terus bergulingan ke dekat sosok
Panji yang mulai bangkit meski dengan pandangan nanar.
"Kenanga...?!"
Panji berseru tertahan ketika matanya menangkap sosok
bayangan hijau yang terguling di dekat kakinya. Cepat
tangannya terulur meraih tubuh kekasihnya.
Terpentalnya tubuh Panji ke luar kamar, membuat Ki Dayut
Ganda dan Ki Brajanata saling berpandangan. Mereka merasa
heran dengan kejadian itu. Seperti diperintah, keduanya
bergerak ke dalam kamar melalui dinding yang jebol terlanggar
tubuh Pendekar Naga Putih.
"Apa yang terjadi? Mana Ki Wanalungga...?" tanya Ki Dayut
Ganda kepada Panji yang saat itu tengah berpelukan dengan
kekasihnya.
"Tidak perlu berpura-pura, Manusia Licik! Salah seorang dari
kalian telah memasuki kamar dan membokongku dengan licik.
Mungkin sekarang orang itu telah melarikan Ki Wanalungga...,"
desil
Panji, membuat kedua tokoh sesat itu saling berpandangan
dengan wajah menyiratkan keheranan. Rupanya mereka tidak
memahami ucapan pemuda i berjubah putih itu.
"Hm.... Kaulah yang menipu kami, Anak Muda! Kami datang
ke tempat ini hanya berempat Tidak ada orang lain yang
menginginkan Majikan Pulau Setan selain kami! Cepat serahkan
Ki Wanalungga! Atau aku akan mencabut nyawamu sekarang
juga...?!" bentak Ki Brajanata tidak mempercayai keterangan
Panji. Dia menduga kalau Pendekar Naga Putih ingin
menipunya dengan berpura-pura terkika dan menyembunyikan
Ki Wanalungga darinya.
"Hm.... Jangan samakan kami dengan kalian yang
bergelimang kelicikan dan kejahatan! Kalau tidak percaya, aku
tidak akan memaksa. Kami siapi menghadapi kalian sampai titik
darah terakhir geram Panji tidak kalah gertak dengan Ki
Brajanata: Sehingga lelaki gemuk itu menjadi ragu.
"Kalau begitu, siapa lagi yang menginginkan! Majikan Pulau
Setan? Hm... Dia pasti juga mengetahui perihal benda keramat
itu...," gumam Ki Brajanata mulai mempercayai keterangan
Panji danj berpikir tentang tokoh lain yang mungkin bertujuan
sama dengan dirinya.
"Sudahlah, Ki Brajanata. Sebaiknya kita segera mengejar
orang itu. Kalau pemuda ini berbohong, kita akan kembali
untuk memenggal batang lehernya...," ujar Ki Dayut Ganda
yang sejak tadi menatap sosok pemuda berjubah putih yang
terluka itu
Lelaki tua itu melihat sinar kejujuran di mata Panji.
Sehingga, segera mengajak Ki Brajanata untuk melakukan
pengejaran terhadap orang misterius yang telah menculik Ki
Wanalungga.
"Guntala, Soganta! Ayo, kita tinggalkan tempat ini...!"
perintah Ki Brajanata, segera bergerak menyusul Ki Dayut
Ganda.
Kedua pembantu utama Ki Brajanata kelihatan sangat
terkejut Mereka tidak mengerti, mengapa ketua mereka
mengajak untuk meninggalkan tempat ini. Padahal dalam
beberapa jurus lagi mereka dapat merobohkan putra Majikan
Pulau Setan itu. Memang, Sanggala kelihatan sudah hampir
tidak mampu lagi mengadakan perlawanan. Di beberapa bagian
tubuhnya tampak luka goresan pedang. Bahkan bajunya sudah
terkoyak di beberapa tempat
"Ayo, Guntala...!" ajak Soganta melihat Ki Dayut Ganda dan
pimpinannya telah melangkah pergi. Tanpa banyak cakap lagi,
keduanya bergerak meninggalkan Sanggala yang jatuh
terduduk kehabisan tenaga.
"Sanggala...!" seru Kenanga dan Panji hampir bersamaan.
Keduanya segera bergerak mendekati pemuda itu yang
kelihatan sangat payah. Butir-butir keringat dan bercak-bercak
darah terdapat di beberapa bagian tubuhnya.
"Hhh.... Aku lelah sekali, Panji. Rasanya seluruh tenagaku
terkuras habis...," desah Sanggala dengan napas tersengal-
sengal.
Panji dan Kenanga menghela napas lega. Pemuda itu tidak
mendapat luka yang berbahaya, kecuali luka-luka kecil yang
hampir tidak berarti.
"Mengapa..., mereka pergi...? Bagaimana dengan ayahku?
Apakah dia sudah sehat..?" tanya Sanggala, membuat Panji dan
Kenanga saling berpandangan!
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Sebaiknya pulihkan dulu
tenagamu, nanti kuceritakan...," ujar Panji, tidak ingin
membuat pemuda ituj terpukul.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak mengatakan terus terang
mengenai kejadian yang dialaminya. Nanti, setelah keadaannya
sudah cukup tenang, Panji akan menjelaskannya kepada
Sanggala apa yang telah terjadi sebenarnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Sanggala segera mengikuti
petunjuk yang diberikan Panji. Sebentar, kemudian, pemuda itu
telah tenggelam dalam semadi
"Kakang. Apakah kau tidak sempat mengenali pembokong
licik itu?" tanya Kenanga, setelah Panji memberinya obat luka
dalam. Keadaan tubuh dara jelita itu tidak terlalu
mengkhawatirkan.
Panji mengajak Kenanga untuk menjauhi Sanggala, agar
tidak mengganggu semadi pemuda itu dengan pembicaraan
mereka. Pendekar Naga Putih menghela napas panjang,
sebelum menjawab pertanyaan Kenanga.
"Semula aku menduga penyerang licik itu salah seorang dari
mereka. Ternyata dugaanku keliru. Nyatanya lelaki gemuk yang
bernama Ki Brajanata dan lelaki tua itu tidak tahu. Mereka pun
hanya datang berempat tanpa membawa kawan lainnya. Aku
tidak sempat melihatnya meskipun sekilas, karena manusia
curang itu membokongku dengan sangat licik. Untung saja
tenaga saktiku bergerak memecah dan langsung melindungi
tubuhku. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas oleh
serangannya. Entah bagaimana nasib Ki Wanalungga. Mungkin
dia langsung tewas karena kekuatanku tiba-tiba lenyap separo
dari dalam tubuhnya. Tapi, mudah-mudahan Tuhan masih
melindunginya," sahut Panji seraya melepaskan pandangannya
ke langit kelam.
"Jadi kau tidak sempat melihat bentuk tubuh maupun raut
wajah pembokong itu, Kakang...?" tanya Kenanga lagi,
menegasi.
"Tidak. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat Mungkin
selagi aku berusaha bangkit, orang itu sudah melesat pergi
dengan membawa Ki Wanalungga," jawab Panji, membuat
Kenanga menghela napas, seperti menyesali kejadian yang
tidak diduganya itu.
"Mungkinkah orang itu terluka, mengingat tenaga saktimu
bergerak menahan gempurannya...?"
Pertanyaan itu tidak begitu jelas terdengar, karena mirip
sebuah desahan panjang. Tapi bagi Panji terdengar cukup jelas.
"Jelas dia terluka akibat benturan itu, Kenanga. Tapi melihat
dia dapat melarikan Ki Wanalungga dengan sangat cepat,
rasanya penyerang gelap itu bukan tokoh sembarangan. Orang
itu pasti berilmu tinggi atau bisa jadi salah seorang musuh lama
Ki Wanalungga...," jawab Panji, mulai menduga-duga hubungan
penyerang gelap itu dengan Majikan Pulau Setan. Karena baik
dirinya maupun kekasihnya belum mengetahu secara jelas asal-
usul Ki Wanalungga dan Sanggala.
"Nanti kita tanyakan saja kepada Sanggala, Kakang...," usul
Kenanga yang agaknya ingin mengungkap misteri yang
melibatkan mereka berdua.
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku...?"
Tiba-tiba terdengar sahutan atas usul Kenanga. Sanggala
muncul dengan wajah dan tubuh lebih segar. Meskipun
kesehatannya belum pulih seluruhnya, tapi pemuda itu
kelihatan sudah bisa tersenyum.
"Mari duduk bersama kami, Sanggala," ajak Panji kepada
putra Majikan Pulau Setan itu. "Ada sesuatu yang ingin kami
bicarakan denganmu...."
Sanggala mengerutkan keningnya melihat sikap Panji dan
Kenanga yang kelihatan bersungguh-sungguh. Pertanyaan
tentang ayahnya yang sudah berada di ujung lidah ditahannya.
Dia ingin mendengar lebih dulu, apa yang akan disampaikan
kedua penolongnya itu.
"Kami ingin menanyakan perihal ayahmu...," ujar Panji,
setelah Sanggala duduk di hadapannya.
Pertanyaan Panji seperti membuka peluang bagi Sanggala
untuk menanyakan perihal ayahnya. Maka, sebelum menjawab
pertanyaan Panji, Sanggala mengajukan pertanyaan lebih
dahulu.
"Aku melihat kamar itu berantakan dan ada ceceran darah di
dekat balai-balai. Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji?
Apakah ayahku berhasil mereka culik...?" tanya Sanggala
seraya menatap wajah Panji.
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab pertanyaan
Sanggala. Dia hanya menghela napas panjang, dan
mengalihkan pandangannya ke kegelapan malam. Sementara
Sanggala menunggu dengan sabar. Apa yang akan disampaikan
Panji, diduganya mungkin sangat berat Sehingga, Sanggala
tidak mendesak penolongnya itu.
Suasana hening untuk beberapa saat. Panji tengah
memikirkan kata-kata yang akan disampaikannya kepada
Sanggala. Pendekar Naga Putih tidak ingin Sanggala menjadi
kalap dan gelap mata, lalu bersikeras hendak mencari sendiri
penculik ayahnya. Kenyataan seperti itu yang ingin dihindari
Panji.
***
ENAM
"Aku minta maaf jika apa yang akan kusampaikan ini
membuatmu terpukul, Sanggala. Tapi percayalah, aku akan
membantumu dengan sekuat tenaga," ujar Panji sebelum
menyampaikan kejadian yang menimpa Ki Wanalungga.
"Maksudmu, ayahku berhasil diculik mereka...?" tanya
Sanggala tak sabar.
"Benar, ayahmu telah diculik. Tapi bukan oleh mereka.
Rupanya ada orang lain yang menginginkan ayahmu...," jawab
Panji hati-hati dan matanya tak lepas mengamati perubahan
wajah Sanggala.
"Orang lain...? Siapa orang lain yang kau maksudkan itu,
Panji?" desak Sanggala semakin tak sabar. Pemuda itu tidak
menduga ada orang lain yang menginginkan ayahnya, selain
musuh yang kini menguasai Pulau Setan.
"Itu yang ingin kutanyakan padamu; Sanggala. Apa kau
tahu, siapa musuh-musuh ayahmu? Dengan begitu, kita akan
lebih muda melacak, ke mana ayahmu dibawa pergi orang
misterius itu," ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam
seolah hendak mencari jawaban pertanyaan itu.
"Setahuku, selama ini kami hidup tenang di Pulau Setan,
tanpa mempunyai musuh seorang pun. Aku tidak tahu ada
permusuhan apa antara ayahku dengan Ki Brajanata, orang
yang telah menyerbu dan menguasai Pulau Setan. Selain
mereka, aku tidak tahu...."
Sanggala sungguh tidak mengerti dengan rentetan kejadian
yang membuat keluarganya berang takan.
"Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tenl tang sesuatu
yang dapat kita jadikan pegangan untuk mengetahui
penculiknya?" tanya Panji beri usaha mencari keterangan
sebanyak mungkin.
"Maksudmu...?" tegas Sanggala yang rupanya belum
mengerti ke mana arah pembicaraan Panji
"Begini, Sanggala. Apa kau tahu alasan Ki Brajanata merebut
Pulau Setan dari ayahmu? Sebab, bukan mustahil penculik itu
mempunyai tujuan yang sama," jelas Panji, membuat Sanggala
tersentak kaget
"Aku ingat sekarang!" seru pemuda itu, mengejutkan Panji
dan Kenanga. "Ayah pernah bercerita tentang suatu benda
keramat, yang menurutnya merupakan alasan Ki Brajanata dan
kawan-kawannya merebut dan menguasai Pulau Setan.
Sayangnya, ayah tidak tahu-menahu mengenai benda keramat
yang dimaksud Ki Brajanata. Seperti apa bentuk benda itu,
ayah pun tidak tahu. Entah dari mana manusia jahat itu
mengetahuinya...?"
"Benda keramat itulah yang menjadi pokok persoalan
sebenarnya, Sanggala. Tapi, benarkah ayahmu tidak
mengetahui benda keramat itu? Atau beliau sengaja
merahasiakannya agar tidak diketahui orang lain," ucap Panji
termenung memikirkan persoalan yang kini mulai menemui titik
terang.
'Termasuk aku...?" Sanggala menegasi maksud ucapan Panji.
"Mungkin. Tapi itu belum pasti, hanya sekadar dugaan,"
sahut Panji.
Suasana jadi hening beberapa saat lamanya. Ketiga orang
muda itu termenung dibawa arus pikiran masing-masing.
"Jika benar benda itu ada pada ayah, tidak mungkin dia
merahasiakannya padaku. Bukankah aku putra tunggalnya yang
akan mewarisi seluruh peninggalannya kelak...?" gumam
Sanggala, seolah berkata pada diri sendiri. Namun, terdengar
jelas oleh Panji dan Kenanga. Sehingga kedua orang itu
menoleh ke arah Sanggala yang kelihatan sangat berduka.
"Sudahlah, Sanggala. Hal itu tidak perlu menjadi beban
pikiranmu. Sebaiknya sekarang kita pikirkan ke mana kira-kira
penculik itu membawa pergi ayahmu. Kita harus menemukan
beliau secepatnya. Aku sendiri belum tahu bagaimana nasibnya.
Mudah-mudahan Tuhan masih melindunginya...," hibur Panji,
mencoba membangkitkan semangat pemuda berbaju biru itu.
Sanggala yang merasa sedih bercampur geram karena
ayahnya diculik orang tak dikenal, melirik sekilas ke arah Panji.
Jelas terlihat sinar keputus-asaan pada sepasang matanya.
"Sebelum meninggalkan Pulau Setan, ayah telah
menasihatiku untuk melupakan semua peristiwa ini Karena
meskipun aku belajar seumur hidup, aku tetap tidak akan
mampu merebut Pulau Setan dari tangan mereka. Sebab
kesaktian Datuk Lautan Timur sangat tinggi dan sukar dicari
bandingannya...," keluh Sanggala, teringat ucapan ayahnya
sebelum mereka meninggalkan Pulau Se tan secara sembunyi-
sembunyi
"Ah! Aku baru ingat sekarang!" seru Panji seraya memukul
keningnya dengan telapak tangan. "Pantas aku seperti pernah
melihat kakek kurus bersenjata dayung baja itu. Tidak salah
lagi, dialah yang berjuluk Datuk Lautan Timur. Benarkah
dugaanku, Sanggala?"
"Aku pun belum pernah berjumpa dengan datuk sesat itu.
Tapi menurut ayah, tokoh itu berusia sekitar tujuh puluh tahun
dan bertubuh kurus. Kakek itu yang telah menyiksa dan
melukai ayahku," ujar Sanggala yang hanya menyebut ciri-ciri
dan usia datuk sesat itu, tanpa membenarkan ucapan Panji.
"Hm.... Lalu, apa rencanamu sekarang? Apa kau tidak ingin
mencari ayahmu, dan merebut Pulau Setan dari tangan
mereka...?" tanya Kenanga, ingin mengetahui.isi hati Sanggala.
"Mereka terlalu kuat. Nasihat ayah benar. Sebaiknya aku
memang tidak usah memikirkan Pulau Setan lagi. Dan kalau
benar ayah masih hidup, aku akan berusaha mencarinya...,"
jawab Sanggala dengan suara lemah dan tak bersemangat
Rupanya dia sadar akan kemampuan dirinya.
"Sanggala...," ujar Panji seraya duduk di samping pemuda
itu. "Meskipun kita baru saling mengenal, tapi percayalah, kami
berdua akan membantumu dengan sekuat tenaga. Baik untuk
merebut Pulau Setan maupun mencari ayahmu...."
'Tapi yang kita hadapi tokoh-tokoh sesat berkepandaian
tinggi Mana mungkin kita bertiga sanggup melawan mereka?"
sergah Sanggala penasaran.
"Biarpun begitu, kita harus berusaha semampu kita,
Sanggala. Soal berhasil atau tidak, Itu perkara nanti. Yang
penting kita mempunyai semangat dan kemauan. Karena biar
bagaimanapun, kejahatan pasti akan dapat dikalahkan...," ucap
Panji bersemangat untuk menggugah semangat Sanggala yang
telah pudar.
"Aku hanya tidak ingin kalian tewas karena menolongku,"
ujar Sanggala lemah.
"Bagi orang-orang gagah seperti kita yang selalu
mendahulukan kepentingan orang banyak, mati bukanlah hal
yang menakutkan, Sanggala.
Kala kami harus mati, tidak perlu kau sesali. Sebab kami
membantumu dengan ikhlas," tegas Panji menekankan
keinginan hatinya, membuat Sanggala terharu.
Kalian terlalu baik padaku...," desah Sanggala, yang akhirnya
bersedia menuruti perkataan Panji untuk merebut Pulau Setan,
dan mencari ayahnya yang entah berada di mana.
"Bagus! Ayo, kita segera berangkat sambil memikirkan
langkah-langkah yang akan diambil...," ujar Panji lega, karena
telah berhasil membangkitkan semangat hidup Sanggala.
Malam itu juga ketiganya berangkat meninggalkan
penginapan, setelah Panji membayar semua kerugian yang
diderita pemilik rumah penginapan itu.
***
Di siang hari yang terik, tampak sebuah perahu nelayan
berlayar mengarungi lautan lepas. Penumpang perahui nelayan
itu adalah tiga orang muda yang tak lain dari Panji, Kenanga,
dan Sanggala. Tujuan mereka satu, Pulau Setan.
Dengan ilmunya yang tinggi, tidak sulit bagi Panji untuk
mempercepat perjalanan. Setiap kali menggerakkan dayung di
tangannya, perahu melaju pesat membelah samudera.
Sehingga, sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi
pantai.
Sanggala duduk di bagian depan perahu. Pemuda itu
bertindak sebagai penunjuk jalan, sehingga perjalanan
berlangsung cepat Dan saat matahari semakin tinggi, Pulau
Setan sudah tampak di depan mereka.
"Sebaiknya kita mencari tempat yang agak tersembunyi
untuk mendarat..," usul Sanggala ketika perahu mereka sudah
semakin mendekati Pulau Setan.
"Hm.... Berapa besar kekuatan mereka di pulau itu,
Sanggala?" tanya Panji sebelum menjawab usul putra Majikan
Pulau Setan itu.
Sanggala yang tidak mengerti maksud pertanyaan Panji,
menoleh ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Kelihatan
sekali kalau pertanyaan Panji tidak begitu dimengertinya.
"Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kurang lebih lima belas
orang termasuk Ki Brajanata dan Datuk Lautan Timur," jawab
Sanggala setelah terdiam beberapa saat.
"Hm.... Kalau begitu kita tidak perlu datang dengan
sembunyi-sembunyi. Lagi pula pulau itu adalah milikmu. Aku
akan meminta dengan baik-baik agar mereka menyerahkannya
padamu," jelas Panji, membuat Sanggala terkejut Sampai saat
ini, Sanggala memang belum mengetahui Panji adalah
Pendekar Naga Putih yang namanya telah menggetarkan rimba
persilatan.
"Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tapi mereka
memiliki kepandaian tinggi. Ayahku sendiri bersama penduduk
pulau tidak sanggup menghalau mereka. Jadi bagaimana
mungin kita dapat menghadapi keroyokan mereka...?" tanya
Sanggala, masih belum mengerti jalan pikiran Panji.
"Mudah-mudahan mereka mau berdamai dengan kita,
Sanggala," sahut Panji penuh harap.
Suasana kembali hening. Sanggala yang masih belum
mengerti jalan pikiran Panji jadi termenung. Pemuda itu heran
melihat keberanian Panji yang berniat memasuki pulau dengan
terang-terangan. Padahal orang-orang yang saat itu menguasai
pulau bukan tokoh-tokoh yang berilmu rendah.
"Hhh...!"
Akhirnya Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan
menyerahkan segala keputusan kepada pemuda tampan
berjubah putih itu. Apalagi Kenanga tidak kelihatan cemas saat
mendengar ucapan Panji. Sehingga membuat Sanggala
bertanya-tanya. Apa yang diandalkan kedua orang itu, sehingga
mereka tidak merasa gentar menghadapi kematian?
Sementara itu, perahu mereka sudah merapat di pantai.
Panji segera melompat dan menarik perahu ke pantai berpasir.
Sedangkan Sanggala dan Kenanga sudah lebih dulu melompat
turun dan siap menghadapi orang-orang Pulau Setan yang
mungkin telah mengetahui kedatangan mereka.
Apa yang dikhawatirkan Sanggala memang tidak berlebihan.
Baru saja mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tampak
serombongan orang berlari mendatangi mereka.
Panji yang baru saja selesai menyeret perahu ke atas pasir,
segera melompat menghadang enam orang lelaki kasar yang
datang dengan senjata teracung Hal itu dilakukan agar
Sanggala tidak sempat menumpahkan kemarahan dan
dendamnya kepada orang-orang yang telah merebut pulau itu.
"Siapa kalian..?!" tegur seorang lelaki gemuk berperut buncit
dengan kepala separo botak.
Tapi begitu sepasang matanya memandang wajah Sanggala,
lelaki itu bergerak mundur. Kemudian senjatanya disilangkan,
siap menghadapi pemuda yang dikenalnya sebagai putra
Majikan Pulau Setan.
"Hmh...!"
Sanggala menggeram sambil mencabut senjatanya. Kilatan
dendam dan nafsu membunuh terpancar jelas pada sepasang
matanya.
'Tahan, Sanggala. Biar aku yang menghadapi mereka...,"
cegah Panji melintangkan lengannya ketika melihat Sanggala
bergerak maju.
Pendekar Naga Putih memang bisa menahan tindakan
Sanggala Tapi tidak bisa mencegah enam lelaki kasar yang
bergerak maju dengan senjata siap dihunjamkan ke tubuh
mereka bertiga.
"Serbuuu...!"
Lelaki berperut buncit yang separo kepalanya botak segera
memerintahkan kawan-kawannya untuk menggempur Panji,
Kenanga, dan Sanggala. Keenam orang itu rupanya sudah
menduga, kalau kedatangan Sanggala ke pulau ini untuk
membalas dendam dan mengambil kembali pulau yang menjadi
haknya.
"Sudah kuduga mereka tidak bisa diajak bicara baik-baik,"
desis Sanggala segera menghunus pedangnya dan langsung
melompat menyambut datangnya serangan lawan.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan Sanggala.
Pendekar Naga Putih tahu, keenam orang itu tidak mungkin
dapat diajak berdamai. Apalagi saat melihat keenam lelaki itu
sangat garang, memancarkan nafsu membunuh yang meledak-
ledak. Sehingga tanpa banyak bicara lagi, Panji langsung
menghadapi dua orang lawan.
Demikian pula dengan Sanggala dan Kenanga. Masing-
masing menghadapi dua orang lawan. Sebentar kemudian,
pertarungan pun berlangsung tanpa bisa dicegah lagi.
"Haaat..!"
Sanggala agaknya memanfaatkan kesempatan itu untuk
membalas dendam. Maka serangan yang dilancarkannya sangat
ganas. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga
dalam beberapa jurus saja kedua pengeroyok kelabakan.
Breeet!
Seorang lawan Sanggala yang tak sempat menghindari
sambaran pedangnya, langsung terjungkal mandi darah. Tewas
seketika dengan luka memanjang di perut
"Heaaa...!"
Tanpa mempedulikan korban sambaran pedangnya,
Sanggala kembali menggerakkan senjatanya ke arah lawan
yang tinggal seorang. Kemudian mencecarnya tanpa
memberikan kesempatan pada lawan untuk membalas. Hingga
akhirnya....
Crakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung tersungkur
mencium tanah. Dan nyawanya terbang saat itu juga.
Tenggorokannya nyaris putus oleh sambaran pedang putra
Majikan Pulau Setan itu.
Bukan hanya Sanggala saja yang telah menyelesaikan lawan-
lawannya. Panji dan Kenanga pun telah menyelesaikan
pertarungan Bedanya, Panji dan Kenanga hanya melukai dan
membuat lawan-lawannya tak sadarkan diri. Pasangan
pendekar itu memang tidak berniat membunuh lawan-
lawannya.
"Hm...!"
Sanggala menggeram ketika mengetahui hal itu Cepat dia
melompat hendak menghabisi nyawa keempat orang yang
tergeletak pingsan. Tentu saja perbuatan itu membuat Panji
dan Kenanga terkejut
"Sanggala, tahan...!" seni Panji mencegah pemuda itu agar
jangan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.
Tapi Sanggala tidak mau mendengarkan ucapan Panji lagi.
Tebasan pedangnya yang menimbulkan angin berkesiutan tetap
dilanjutkan.
Plakkk!
"Ahhh...?!"
Sanggala kaget bukan main melihat sosok Panji melesat dan
menepiskan lengannya. Sehingga pedang di tangan pemuda itu
terlepas dari pegangan. Bahkan tubuh Sanggala terjajar
beberapa langkah ke belakang.
"Kau..., membela mereka...?." desis Sanggala dengan suara
bergetar. Jelas, Sanggala tidak senang Panji mencegah
maksudnya untuk menghabisi nyawa orang-orang jahat itu.
"Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya bukan sifat
orang gagah, Sanggala...," ujar Panji menentang tatapan tajam
pemuda itu.
"Kau tidak tahu, Panji! Mereka manusia-manusia keji yang
membunuh ibu dan kawan-kawanku. Kalau sekarang kita
ampuni, nanti mereka pasti akan mengulangi perbuatannya
lagi. Aku tidak ingin orang lain mengalami nasib sepertiku.
Maka aku harus membunuh mereka...," bantah Sanggala yang
rasa dendamnya telah melewati batas.
"Kita harus berjiwa besar, Sanggala. Siapa tahu setelah
siuman, mereka akan berubah pikiran dan mau meninggalkan
perbuatan jahat yang selama ini dikerjakan Berilah kesempatan
kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Untuk
menebus dosa-dosa yang telah mereka lakukan di masa lalu...,"
ujar Panji, tetap tidak menyetujui sikap Sanggala.
"Aku tidak percaya! Orang-orang jahat yang selama
hidupnya selalu menyusahkan orang lain, past' akan kembali
melakukannya. Mana mungkin orang berhari hitam.seperti
mereka dapat menjadi orang baik-baik...?" kilah Sanggala,
tetap pada pendiriannya. Sehingga Panji harus bersabar
menghadapi pemuda yang tengah dilanda dendam itu.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Kalau memang mereka masih
belum sadar dari kesesatannya, apa susahnya membunuh
mereka...?" ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam. Karena
merasa ucapan Panji benar dan tidak bisa dibantah lagi.
"Sebaiknya kita segera mendatangi tempat tinggalmu. Siapa
tahu Ki Brajanata dan Datuk Lautan Timur telah berhasil
menemukan penculik tak dikenal itu dan membawa ayahmu ke
pulau ini.
Ketika melihat Sanggala terdiam, Panji langsung
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengalihkan perhatian
Sanggala.
Kelihatannya usaha Panji berhasil. Terbukti Sanggala
menganggukkan kepalanya. Biar bagaimanapun, menurutnya
keselamatan ayahnya lebihi penting daripada membunuh
orang-orang itu yang bisa dilakukannya lain waktu. Maka tanpa
banyak cakap lagi, Sanggala segera membawa Panji darf
Kenanga ke tempat tinggalnya yang telah direbut Ki Brajanata
dan gerombolannya.
***
TUJUH
"Aneh, mengapa pulau ini kelihatan sepi-sepi saja? Apakah
Datuk Lautan Timur belum kembali...?" gumam Panji ketika tiba
di dekat sebuah bangunan besar tidak menemukan seorang
manusia pun
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang merasa heran.
Sanggala pun kelihatan mengerutkan keningnya ketika
mendapati tempat itu seperti tak berpenghuni. Langkah kakinya
pun diperlambat, khawatir jika suasana itu sebuah perangkap
lawan untuk menjebak mereka.
"Hm.... Selama aku tinggal di pulau ini, belum pernah pintu
gerbang bangunan ini tertutup. Mungkin dugaanmu tidak salah,
Panji. Datuk Lautan Timur bersama Ki Brajanata dan dua orang
pengikutnya belum kembali ke tempat ini. Kalau demikian, tidak
sulit bagi kita untuk merebut pulau ini...," ujar Sanggala
perlahan.
Ada nada kelegaan dan kegembiraan dalam suara pemuda
itu. Sebab dia tidak perlu bersusah-payah untuk merebut
kembali tempat tinggalnya.
"Sanggala, tunggu...!" seru Panji ketika melihat Sanggala
hendak memasuki pekarangan sebelah dalam bangunan
dengan melompati pintu gerbangj "Mengapa...?" tanya
Sanggala, terpaksa menaJ han gerakannya dan menoleh ke
arah Panji, seolah meminta penjelasan pemuda itu.
"Suasana ini terlalu mencurigakan.... Aku khawatir, jangan-
jangan mereka telah mempersiapkan jebakan untuk kita...,"
jawab Panji, membuat Sanggala mengurungkan niatnya untuk
melompati pintu gerbang.
"Lalu, apakah kita harus memanggil mereka keluar...?" tanya
pemuda itu seraya menatap Panji yang sedang meneliti
keadaan di sekitar bangunan.
"Kita tidak perlu melakukannya. Sebaiknya kau dan Kenanga
berjaga-jaga di sini. Aku akan mencoba memeriksa keadaan
sebelah dalam bangunan ini. Seandainya benar tempat ini
kosong, kalian boleh ikut masuk...," usul Panji.
'Tapi aku tidak bisa diam berpangku tangan, sementara kau
mempertaruhkan nyawamu untuk menolongku. Kau bisa
celaka, Panji...," ujar Sa g-gala penuh kekhawatiran.
Ucapannya itu tentu saja membuat Kenanga tersenyum.
Sedang Panji diam-diam me gagumi pemuda berwatak polos
itu.
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Kakan Panji tentu bisa
menjaga diri...."
Kenanga akhirnya angkat bicara untuk meyakinkan Sanggala
bahwa kekasihnya tidak perlu dikhawatirkan.
"Yahhh.... Terserah kalianlah...," Sanggala akhirnya
mengalah.
Tapi sebelum Panji bergerak melompati pagar setinggi satu
setengah tombak itu, tiba-tiba di kiri dan kanan pintu gerbang
muncul sosok-sosok tubuh yang siap membidikkan anak panah
ke arah mereka. Tentu saja Panji terkejut. Bagi dirinya dan
Kenanga, mungkin serangan anak panah itu tidak bisa berbuat
banyak. Tapi, apakah Sanggala mampu menghalau hujan anak
panah itu?
"Mundur...!" seru Panji.
Kemudian, Pendekar Naga Putih langsung menyambar tubuh
Sanggala dan melesat beberapa tombak menjauhi pintu
gerbang.
Tindakan Panji memang sangat tepat Karena pada saat
melompat terdengar suara berdesingan, pertanda anak panah
telah dilepaskan lawan.
Zinggg! Zinggg!
Suara berdesingan yang memekakkan telinga mengiringi
datangnya hujan anak panah yang puluhan jumlahnya.
Kenanga meloloskan Pedang Sinar Rembulan untuk menghalau
hujan anak panah yang mengancam tubuhnya.
Terdengar suara benda keras berparahan ketika pedang dara
jelita itu meruntuhkan belasan anak panah yang menuju ke
arahnya. Gerakan itu memang tidak sulit dilakukan oleh
seorang dara seperti Kenanga yang memiliki kecepatan dan
kekuatan melebihi ukuran manusia biasa.
Panji yang saat itu masih mengapung di udara, segera
mengibaskan lengan kanannya ke belakang dengan
mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga puluhan anak panah
itu langsung runtuh ke tanah sebelum mencapai sasarannya.
Baru terbuka mata Sanggala akan kehebatan Panji dan
Kenanga, saat melihat cara mereka menghalau datangnya
hujan anak panah. Sebab, ayahnya sendiri belum tentu mampu
melakukannya. Apalagi dia yang kepandaiannya masih berada
di bawah ayahnya. Kini Sanggala yakin akan dapat merebut
pulau itu dengan bantuan dua orang sahabatnya yang ternyata
memiliki kepandaian tinggi.
"Aneh, mengapa jumlah mereka jadi berlipat ganda? Padahal
sewaktu aku meninggalkan pulau ini, mereka hanya berjumlah
kurang lebih lima belas orang. Heran, dari mana datangnya
orang-orang itu...?" gumam Sanggala terkejut bukan main
melihat jumlah lawan ternyata cukup banyak. Paling sedikit
jumlah mereka sekitar lima puluh orang.
"Hm.... Menurutku mereka pengikut Datuk Lautan Timur.
Mungkin tokoh sesat itu telah membawa anak buahnya untuk
tinggal di pulau ini. Dan itu tidak terlalu mengherankan,
mengingat datuk sesat itu ikut membantu Ki Brajanata merebut
pulau ini...," sahut Panji, menduga-duga.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Ki Dayut
Ganda memang telah membawa para pengikutnya untuk
bergabung dengan pengikut Ki Brajanata. Itu sebabnya,
mengapa Ki Dayut Ganda tidak khawatir meninggalkan pulau
dalam waktu cukup lama.
"Keparat licik! Pantas sampai saat ini mereka belum kembali!
Rupanya pulau ini telah dijaga ketat oleh pengikut-
pengikutnya...!" geram Sanggala merasa harapan untuk dapat
merebut tempat itu sangat kecil. Sebab, jumlah lawan sangat
banyak dan telah terlatih baik untuk menghadapi setiap
serbuan yang datang ke pulau itu.
"Hm.... Satu-satunya jalan, kita harus membuka paksa pintu
gerbang. Jika tidak, akan sulit sekali untuk mendekat dan
memasuki bagian dalam bangunan. Sebaiknya kau tunggu di
sini, Sanggala. Aku akan mencoba menghancurkan pintu
gerbang itu," ujar Panji seraya bergerak maju mendekati
bangunan yang dijaga ketat oleh pasukan-panah.
"Biarkan Kakang Panji melakukannya, Sanggala...," cegah
Kenanga ketika melihat Sanggala hendak beranjak mengikuti
Panji.
Pemuda itu pun hanya memandang dari jauh apa yang akan
diperbuat Pendekar Naga Putih.
Melihat sosok pemuda tampan berjubah putih bergerak
mendekati pintu gerbang, hujan anak panah pun kembali
berdesingan ke arah sosok Panji. Tapi Pendekar Naga Putih
tidak mempe-dulikannya, dan tetap melangkah maju tanpa
terganggu hujan anak panah yang mengenai tubuhnya. Kecuali
yang mengarah ke bagian matanya, Panji tidak peduli. Setiap
anak panah yang menyentuh tubuhnya selalu runtuh ke tanah,
tanpa mampu menembus lapisan kabut bersinar putih
keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Luar biasa sekali kesaktian kekasihmu, Kenai nga.
Seharusnya pemuda sepertinya mendapat julukan dari kaum
rimba persilatan...," desis Sanggala takjub melihat Panji dengan
tenangnya terus bergerak mendekati pintu gerbang.
Sanggala melihat setiap anak panah yang menyentuh tubuh
Pendekar Naga Putih langsung runtuh ke tanah, tanpa melukai
kulit atau merusak pakaiannya. Sanggala menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat kejadian itu.
'Tentu saja dia mempunyai julukan. Apa kau belum
mengetahuinya...?" sahut Kenanga tenang, menyembunyikan
senyumnya.
Tentu saja jawaban dara jelita itu membuat Sanggala
menoleh dengan kening berkerut
"Apa julukannya, Kenanga? Mengapa kalian tidak
menceritakannya padaku...?" tanya Sanggala yang sangat
bernafsu mengetahui julukan Panji.
"Kakang Panji dijuluki Pendekar Naga Putih. Apa kau pernah
mendengarnya...?" jawab Kenanga! sambil meneliti perubahan
wajah Sanggala.
Dara jelita itu tidak yakin kalau Sanggala' pernah mendengar
tentang Pendekar Naga Putih.
Sebab menurut Sanggala, dia tidak pernah meninggalkan
Pulau Setan sejak kecil. Jadi, kemungkinan besar pemuda itu
belum mendangar nama besar Panji.
"Pendekar Naga Putih...?" gumam Sanggala mengulang
julukan Panji dengan wajah tercenung.
Rupanya, putra Majikan Pulau Setan itu sedang mengingat-
ingat, kapan dan di mana pernah mendengar orang menyebut
julukan itu.
"Ahhh.... Aku ingat sekarang! Beberapa waktu lalu
sekembalinya ayah dari daratan, dia pernah bercerita tentang
seorang pendekar muda yang membuat kaum sesat kalang-
kabut. Sungguh tidak kusangka kalau pendekar besar itu Panji,"
ujar Sanggala tidak menyembunyikan rasa kagumnya.
Kemudian, kembali dipandanginya sosok Panji yang saat itu
berada di dekat pintu gerbang.
***
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang kelihatan sangat
kokoh, Panji langsung mendorong sepasang lengannya ke
depan dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Dan....
Krakkkhhh...!
Diiringi suara berderak keras, pintu gerbang yang terbuat
dari kayu tebal itu pecah berantakan! Serpihan kayunya
menyebar ke segala arah. Tanpa menunggu reruntuhan itu
jatuh ke tanah, Panji langsung melesat menerjang ke dalam.
Melihat Panji sudah menerobos masuk, Kenanga segera
mengajak Sanggala menyusul. Tubuh keduanya melesat
menuju bangunan dengan pengerahan ilmu lari cepat
Pendekar Naga Putih saat itu sudah dikepung sekitar tiga
puluh orang bertampang kasar. Tapi sikapnya tetap tenang
sambil menatap wajah-wajah pengepungnya.
"Aku ada keperluan penting dengan Datuk Lautan Timur dan
Ki Brajanata! Tolong kalian panggilkan kedua tokoh itu...!" seru
Panji mengerahkan tenaga dalam melalui suaranya, sehingga
terdengar jelas dan lantang.
"Siapa kau, Anak Muda? Sebut namamu, baru kami
menyampaikannya kepada pimpinan kami...," seorang
pengepung yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju
sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut
"Hm.... Katakan saja kepada pimpinanmu kalau putra
Majikan Pulau Setan menginginkan agar dia segera angkat kaki
dari tempat ini!" sahut Panji, membuat wajah lelaki kekar itu
merah padam.
"Lancang sekali bicaramu, Anak Muda! Apa kau pikir kami
budakmu, sehingga dapat kau suruh-suruh seperti itu..?!"
bentak lelaki kekar itu sambil menuding wajah Panji dengan
ujung pedangnya.
"Aku tidak mengatakan demikian. Tapi kalau kalian ingin
menjadi budak-budakku, aku tidak keberatan...," sahut Panji
lagi, membuat lelaki kasar itu mendengus kasar.
"Keparat! Rupanya kau datang untuk mencari mati!" bentak
lelaki kekar itu tak bisa menahan kemarahannya lagi
Dengan teriakan parau, lelaki itu segera memerintahkan
orang-orangnya untuk menggempur pe-t muda berjubah putih
itu.
"Haaat..!"
"Heaaa...!"
Terdengar bentakan susul-menyusul diiringi berkelebatnya
para pengepung menyerbu Panji J Senjata-senjata di tangan
mereka berkilauan menuju sasaran.
Panji tetap berdiri tegak dengan sikap tenang, siap
menyambut para pengeroyoknya. Kemudian kakinya bergerak
ke kiri dan kanan menghindari! sambaran pedang yang susul-
menyusul datang mengancam tubuhnya. Sepasang tangannya
pun bergerak kian kemari membagi-bagi pukulan, membuat
lawan terdekatnya langsung terpelanting tanpa mampu bangkit
lagi Sepak terjang pemuda itu membuat para pengeroyoknya
kaget.
Ketika dalam beberapa gebrakan saja delapan orang
tergeletak di tanah, para pengeroyok Panji' pun bergerak
mundur dengan wajah berubah.]
Terlihat rasa gentar pada wajah-wajah mereka.
"Sebaiknya turuti saja kata-kataku. Panggil pimpinanmu agar
kalian tidak merasakan kerasnya kepalanku...," ujar Panji,
lantang.
"Jangan dengarkan omongan pemuda keparat itu! Ayo,
serang dia...!"
Lelaki kekar yang memimpin kawan-kawannya, berteriak
memberi perintah. Sehingga Panji pun kembali diserbu dari
segala penjuru.
Di bagian lain, Kenanga menghadapi keroyokan belasan
pengikut Datuk Lautan Timur. Dara jelita itu menggunakan
senjatanya yang berkelebat kian kemari membawa hawa
kematian. Setiap kafi pedangnya bergerak, selalu ada sosok
lawan yang terjungkal mencium tanah dengan tubuh
bermandikan darah. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu
lama, Kenanga telah merobohkan tujuh orang pengeroyok.
Kendati demikian, para pengeroyoknya tidak merasa jera.
Mereka terus menyerbu disertai teriakan-teriakan keras.
"Haiiit..!"
Untuk yang kesekian kalinya, pedang di tangan dara jelita itu
kembali berkelebat meminta korban! Dua sosok pengeroyoknya
terjungkal dan tewas seketika. Darah segar semakin-banyak
menggenangi permukaan tanah dan menyebarkan bau anyir.
Di arena lain, tidak jauh dari pertarungan Kenanga, Sanggala
tengah mengamuk menghadapi keroyokan dua belas orang
lawan. Pemuda itu rupanya hendak membalaskan dendamnya
yang] menggumpal di dalam dada. Ingatan tentang ayah,j ibu,
serta saudara-saudara seperguruannya, mem-j buat Sanggala
lebih mirip iblis haus darah! Pedang; di tangannya tak pernah
berhenti bergerak. Dalam sepuluh jurus, empat orang
pengeroyok telah berhasil dirobohkannya. Semua tewas dengan
leher1 hampir putus! Sungguh mengerikan sepak teriang
pemuda yang hatinya terbakar dendam itu.
"Yeaaat..!"
Breeet! Breeet!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok terdepan langsung terjungkal dengan
tubuh bersimbah darah. Sanggala yang seperti tidak pernah
puas itu, tidak mem-pedulikan korban sambaran pedangnya.
Dia terus merangsek maju mencari korban berikutnya.
Sementara itu para pengeroyok Panji semakin menipis.
Sudah dua puluh orang lebih yang bergelimpangan pingsan
terkena pukulan atau tendangannya. Sehingga lawan yang
tinggal dua belas orang termasuk lelaki kekar yang menjadi
pimpinan, bergerak mundur tanpa diperintah. Rupanya kali ini
mereka memang merasa gentar pada pemuda tampan berjubah
putih itu.
Pendekar Naga Putih menghentikan gerakannya dan
melangkah satu-satu menghampiri lawan-lawannya yang tenis
bergerak mundur.
"Mengapa majikan kalian belum kelihatan batang hidungnya?
Apa dia takut melihat kehadiranku...?" tanya Panji sambil
menatap wajah-wajah yang kini kelihatan sangat pucat.
Dan ketika tak seorang pun menjawab pertanyaannya,
Pendekar Naga Putih segera melangkah memasuki bagian
dalam bangunan. Tapi....
"Haaat..!"
Lelaki kekar pemimpin para pengikut Datuk Lautan Timur,
tiba-tiba melesat cepat disertai kelebatan pedangnya. Jelas,
lelaki itu tidak menginginkan Pendekar Naga Putih
menginjakkan kakinya di bagian dalam bangunan besar itu.
"Hm...."
Panji mendengus melihat serangan lawan. Tangan kanannya
terulur memapaki sambaran pedang, kemudian mengirimkan
serangan balasan dengan hantaman telapak tangan ke tubuh
lawan.
Plakkk!
Sebelum telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat
menyentuh tubuh lawan, tiba-tiba terdengar teriakan
melengking nyaring disusul berkelebatnya sesosok tubuh
memapak hantaman telapak tangannya. Seman kaget
terdengar dari sosok bayangan hitam yang menyambut
serangan Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sempat terkejut merasakan
lengannya bergetar.. Meskipun kuda-kudanya tidak sampai
tergempur mundur, tapi cukup mengejutkannya.
"Datuk Lautan Timur...?!" desis Panji ketika melihat sosok
kakek bertubuh kurus yang berdiri menatapnya dengan sorot
mata berkilat tajam.
"Bagus, jika kau sudah mengetahui siapa aku...," geram
kakek yang memang Datuk Lautan Timur dengan wajah dingin.
Dipandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih itu
dengan penuh selidik.
Panji pun tidak mengalihkan pandang matanya dari wajah
kakek kurus itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya kedua
tokoh sakti itu saling bertatapan tajam.
"Rupanya kau sengaja menipuku agar tidak segera kembali
ke pulau ini. Lalu kau pergunakan kesempatan itu untuk
menyerbu pulau ini. Sungguh suatu tipu muslihat yang sangat
jitu dan patut dipuji...," ujar Datuk Lautan Umur, tanpa
melepaskan pandang matanya.
Diam-diam Datuk Lautan Timur terkejut melihat kilatan sinar
bola mata pemuda itu yang mengandung perbawa amat kuat
Hatinya mulai menduga-duga, siapa pemuda tampan berjubah
putih itu.
"Apa maksudmu, Datuk Lautan Timur? Aku tidak bermaksud
menipumu. Ki Wanalungga memang telah diculik oleh orang tak
dikenal. Katakan saja kalau kau tidak bisa menemukan penculik
itu. Tidak perlu berdalih karena ketidakmampuan-mu..," balas
Panji tenang.
"Hm.... Rupanya kau harus dipaksa untuk mengatakan di
mana keparat Wanalungga berada...!" geram Datuk Lautan
Timur sambil menyiapkan jurus andalannya untuk menggempur
Panji.
Agaknya benturan tadi membuat Datuk Lautan Timur lebih
berhati-hati. Lelaki tua yang bernama Ki Dayut Ganda itu
merasakan kekuatan tenaga Panji.
Pendekar Naga Putih yang juga menyadari sepenuhnya kalau
kakek itu bukan lawan yang ringan, segera menggeser tubuh
dua langkah ke samping. Kemudian, menyiapkan ilmu
andalannya untuk menghadapi Datuk Lautan Timur.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, tubuh Ki Dayut
Ganda melesat ke arah Panji dengan serangan mautnya.
Sepasang tangannya berputaran menimbulkan suara bercicitan
saat meluncur ke arah Panji. Kenyataan itu menunjukkan kalau
tenaga dalam Datuk Lautan Timur tidak bisa dipandang ringan.
"Haiiit..!"
Panji tidak ingin menunggu serangan lawan tiba di dekatnya.
Maka, tubuhnya langsung melesat menyambut serangan lawan.
Sebentar saja, kedua to-j koh sakti itu telah terlibat dalam
sebuah pertarungan sengit dan mendebarkan!
***
DELAPAN
Kemunculan Datuk Lautan Timur, berarti juga kemunculan Ki
Brajanata dan dua pembantu utamanya. Rupanya mereka
memutuskan kembali ke Pulau Setan, setelah gagal
menemukan penculik Ki Wanalungga. Kedatangan mereka
memang pada saat yang tepat. Terlambat sedikit saja, bukan
tidak mungkin Panji, Kenanga, dan Sanggala sudah menguasai
pulau itu.
"Bedebah...!" bentak lelaki gemuk berwajah brewok.
Lelaki yang tak lain dari Ki Brajanata itu marah sekali ketika
melihat pengikut-pengikutnya banyak yang tewas di tangan
Kenanga dan Sanggala yang dikenalnya sebagai putra tunggal
Ki Wanalungga. Maka tanpa banyak cakap lagi, Ki Brajanata
segera melesat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan
serangan kilat
Whuuut'
Merasakan ada desingan tajam datang dari belakangnya,
Kenanga langsung menoleh. Pedang di tangannya bergerak
menyambut ketika melihat kelebatan pedang mengancam
tubuhnya.
Tranggg!
"Aihhh...?!"
Ki Brajanata yang terlalu memandang rendah dara jelita itu
terpekik kaget. Tubuhnya hampir terpelanting terkena
tangkisan lawan yang demikian kuat. Untunglah keseimbangan
tubuhnya masih dikuasai. Sehingga tidak sampai terbanting
jatuh dalam satu gebrakan saja.
"Hm.... Bagus kau muncul, Ki Brajanata. Dengan begitu, aku
bisa sekaligus mengirimmu ke neraka. Kasihan pengikut-
pengikutmu di sana. Mereka pasti akan kehilangan jika kau
tidak menyertai mereka," ujar Kenanga dengan nada mengejek.
Hingga paras Ki Brajanata merah seperti terbakar.
"Awas kau, Perempuan Liar! Kalau sampai tertawan olehku,
kau akan kupermainkan sepuas hatiku...!" geram Ki Brajanata
dan segera menyilangkan pedangnya di depan dada.
Kenanga hanya tertawa kecil mendengar ucapan lelaki
gemuk itu. Dara jelita itu tidak gentar mendengar ancaman
yang menyembunyikan niat kotor itu.
"Hiaaat...!"
Ki Brajanata segera menerjang maju tanpa memberi
kesempatan lawan untuk bersiap. Lelaki gemuk brewok itu
memang berwatak curang dan licik.
Bettt...!
Kenanga menggeser tubuhnya dengan gerakan
menyamping. Sehingga tusukan pedang lawan lewat setengah
jengkal di sisi tubuhnya. Kemudian, langsung dikirimkannya
serangan balasan yang cepat dan kuat
Ki Brajanata yang mengetahui kekuatan lawan, tidak ingin
membenturkan senjatanya kalau tidak terpaksa, karena itu
hanya akan merugikan dirinya sendiri. Maka ketika serangan
balasan dara jelita itu datang, Ki Brajanata melompat ke
belakang. Dan kembali membangun serangan yang lebih hebat
Pertarungan pun terus berlanjut sengit!
Di bagian lain, Sanggala kembali berhadapan dengan
Guntala dan Soganta. Sadar kalau kedua orang lawan sangat
lihai, Sanggala segera mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menahan gempuran lawan-lawannya. Dan sesekali
mengirimkan serangan balasan bila melihat ada peluang yang
terbuka.
Dalam jurus-jurus awal, pertarungan mereka kelihatan
seimbang. Kedua belah pihak saling berusaha untuk segera
merobohkan lawan. Sehingga pertempuran jadi sangat seru
dan mendebarkan.
Di tempat lain, pertarungan Panji dan Datuk Lautan Timur
semakin meningkat Apalagi tokoh sesat berkepandaian tinggi
itu sudah menggunakan senjata dayung maut andalannya.
Pertarungan itu membuat orang-orang yang berada di dekatnya
segera menjauh. Karena angin pukulan kedua tokoh itu dapat
menewaskan, meski dalam jarak satu setengah tombak.
Sehingga arena pertempuran kedua tokoh sakti itu agak
terpisah dari dua pertarungan lainnya.
Panji yang menggunakan tangan kosong dengan
mengerahkan 'Ilmu Silat Naga Sakti', mampu mengatasi
serangan dayung maut Datuk Lautan Timur. Sehingga kakek itu
semakin penasaran.
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah men-curigaimu,
Pendekar Naga Putih! Ternyata penglihatanku tidak salah...!"
geram Ki Dayut Ganda yang kini dapat menebak jati diri
pemuda tampan berjubah putih itu. Maka kakek itu pun
semakin memperhebat serangannya, setelah mengetahui siapa
lawannya.
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, Datuk Lautan Timur kembali
memperdengarkan pekik yang menggetarkan jantung.
Sehingga beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu
dan tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, langsung roboh
sambil mendekap dada yang teras nyeri dan sesak. Dapat
dibayangkan, betapa dahsyatnya pekikan Datuk Lautan Timur!
Sayangnya pekikan itu tidak berpengaruh bagi Pendekar
Naga Putih. Hingga Datuk Lautan Timur semakin penasaran.
Dan sampai jurus kesembilan puluh dua, kakek itu masih belum
mampu melukai Panji. Jangankan melukai, menyentuh
pakaiannya pun sangat sulit dilakukan.
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus tiga belas,
riba-riba Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan keras
yang terasa merontokkan jantung. Bersamaan dengan itu,
tubuhnya melesat ke depan dengan kecepatan yang sulit
ditangkap mata. Sepasang tangannya digerakkan menyilang
berganti-ganti, membuat pandangan Datuk Lautan Timur
kacau. Sehingga....
Bukkk! Desss...!
"Huakkkh...!"
Dua buah hantaman keras membuat tubuh kakek itu
terjungkal muntah darah. Lalu jatuh berguling-guling sejauh
satu tombak lebih. Dan ketika bangkit berdiri, terlihat kuda-
kudanya goyah. Sedang kedua tangannya mendekap dada yang
terkena hantaman Panji.
Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesaikan
pertarungan, langsung melesat ke depan dengan mendorong
sepasang telapak tangannya. Dan Datuk Lautan Timur yang
senjatanya telah terpental dari genggaman, hanya bisa
menatap dengan wajah pucat bagai mayat Maka....
Bresssh...!
Bagaikan selembar daun kering tubuh Datuk Lautan Timur
terpental deras. Darah segar kembali menyembur.ke luar dari
mulutnya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh renta itu terbanting di
tanah dan tewas dengan dada remuk!
Melihat lawannya telah tewas, Panji menoleh ke arah
pertarungan lain. Betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih
ketika melihat Sanggala terdesak hebat oleh dua orang
pengeroyoknya. Bahkan tubuh pemuda itu telah dipenuhi luka
yang mengucurkan darah. Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, Panji segera memasuki arena pertarungan. Dan
begitu tiba, kedua tangannya langsung dikibaskan ke kiri dan
kanan memapaki sambaran pedang dua pembantu utama Ki
Brajanata yang siap menghabisi nyawa Sanggala.
Plak! Bresssh...!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu terpelanting
deras. Bahkan Soganta lebih sial dari Guntala, karena dadanya
terkena hantaman telapak tangan Panji. Akibatnya, darah segar
menyembur keluar dari mulut lelaki kekar itu. Setelah
berkelojotan beberapa saat, tubuhnya diam tak bergerak lagi.
Soganta tewas dengan isi dada pecah!
Sanggala pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Ketika melihat tubuh Guntala terhuyung-huyung, maka dengan
sisa-sisa tenaganya, pemuda itu menerjang maju dengan
tusukan pedang lurus tertuju ke jantung lawan.
Blesss!
"Aaakh...!"
Guntala terpekik ngeri ketika pedang di tangan Sanggala
masuk ke dalam perutnya hingga setengah. Wajah lelaki itu
menegang menahan rasa sakit yang dideritanya.
"Heahhh...!"
Seiring bentakan itu, Sanggala menarik keluar pedangnya
yang terbenam di tubuh lawan. Darah segar pun mengucur
keluar dari luka yang dalam itu. Dan tubuh Guntala roboh
mencium tanah dengan nyawa terbang ke alam baka.
"Aaakh...!"
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jerit kematian
keluar dari mulut Ki Brajanata. Tubuh lelaki gemuk bermata
bengis itu terpelanting terkena sambaran pedang Kenanga yang
merobek tubuh bagian depannya. Ki Brajanata pun tewas
menyusul yang lainnya.
Para pengikut Datuk Lautan Timur dari Ki Brajanata yang
masih selamat langsung melempar senjata mereka, setelah
melihat kedua pemimpinnya tewas. Mereka berlutut di depan
ketiga pendekar itu sambil meminta ampun.
Sanggala menoleh ke arah Panji seolah meminta keputusan
pemuda itu. Pendekar Naga Putih tersenyum dan melangkah
menghampiri lima belas lelaki bertampang kasar itu.
"Minta maaflah kepada majikan muda kalian, yang mulai hari
ini jadi Majikan Pulau Setan," ujar Panji seraya menoleh ke arah
Sanggala yang menerima keputusan itu dengan senyuman.
Sebagai pertanda kalau pemuda itu mengampuni bekas musuh-
musuhnya.
'Terima, kasih, Tuan Muda Sanggala...!" ujar kelima belas
lelaki kasar itu yang merasa bersyul karena telah diampuni.
Mereka berjanji akan mengabdi kepada Sanggala, Majikan
Pulau Setan yang baru
***
"Sanggala. Menurut dugaanku, ayahmu mungkin dilarikan ke
pulau ini...," ujar Panji setelah mereka membereskan semua
kerusakan di tempat itu, dan membuang ke laut mayat-mayat
yang berserakan.
"Mengapa kau menduga demikian, Pendekar Naga Putih...?"
tanya Sanggala heran.
"Karena benda keramat itu pasti berada di sekitar pulau ini.
Jika orang misterius itu ingin membunuh ayahmu, untuk apa
dia harus bersusah-payah melarikannya. Padahal kesempatan
untuk itu telah terbuka lebar...," jelas Panji yang mulai
menemukan jawabannya setelah merangkai semua peristiwa-
peristiwa yang terjadi.
"Lalu di mana benda keramat itu disembunyikan?" tanya
Sanggala.
"Hm.... Apakah seluruh keluargamu secara turun-ternurun
tinggal di pulau ini?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih memang mulai menemukan titik terang
dari semua kejadian yang menimpa penghuni Pulau Setan.
Sanggala hanya mengangguk menjawab pertanyaan Panji.
Kening pemuda itu tampak berkerut merasakan pikirannya
mulai terbuka.
"Apa kau ingin mengatakan kalau benda keramat itu
tersimpan di sekitar makam leluhurku..?" duga Sanggala seraya
menatap Panji dengan wajah menegang.
"Itu hanya dugaanku, Sanggala," sahut Panji, membuat
Sanggala segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Ikuti aku...!" teriak Sanggala tanpa mengurangi kecepatan
larinya. "
Tanpa banyak tanya lagi, Panji danjfenanga bergegas
mengikuti pemuda yang terus bergerak menuju ke arah selatan
Pulau Setan.
"Makam leluhurku terletak di selatan pulau ini. Di sana ada
sebuah bangunan kuno yang tidak terlalu besar. Tapi tak ada
seorang pun yang berani memasukinya selama ini," jelas
Sanggala sambil tetap berlari.
"Mudah-mudahan dugaanku tidak keliru. Dan kita bisa
menemukan ayahmu di sana...," sahut Panji berharap agar
persoalan itu segera terungkap.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di daerah
pekuburan yang tidak terlalu luas. Di dalamnya terdapat enam
belas makam dalam ukuran sedang.
"Itu bangunan yang kumaksudkan...," ujar Sanggala seraya
menudingkan jarinya ke sebuah bangunan yang terbuat dari
batu dan tidak terlalu besar namun terlihat sangat kokoh.
Tiba-tiba Panji menarik lengan Sanggala dan Kenanga,
sehingga langkah keduanya tertahan.
"Aku mendengar suara bentakan yang samar...," ujar Panji
sebelum keduanya sempat bertanya. Karena Panji
mengatakannya dengan berbisik, Sanggala dan Kenanga pun
mengerti kalau mereka tidak boleh mengeluarkan suara terlalu
keras.
"Aku tidak mendengar apa-apa...," bisik Sanggala mencoba
mengerahkan indera pendengarannya. Tapi tetap saja tidak
dapat menangkap suara yang dimaksudkan Panji.
"Aku juga belum bisa mendengarnya...."
Kenanga pun tidak berbeda dengan Sanggala. Dara jelita itu
tidak mendengar suara yang didengar kekasihnya.
"Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan menyelidikinya...,"
ujar Panji yang dijawab dengan anggukan oleh Sanggala dan
Kenanga. Panji segera bergerak maju dengan langkah hati-hati.
Suara bentakan samar itu mulai bertambah jelas terdengar,
membuat Pendekar Naga Putih semakin mempercepat
langkahnya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, langkah Panji
tidak menimbulkan suara. Sehingga tidak mudah ditangkap
pendengaran manusia biasa.
Langkah Pendekar Naga Putih terhenti di sebuah mulut gua
yang berukuran sedikit lebih besar dari tubuhnya. Kemudian,
Panji merapatkan tubuhnya di dinding mulut gua. Dan berusaha
menjenguk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi di dalam
sana.
"Keparat kau, Saluya! Tidak kusangka kau semakin terseret
jauh ke dalam lumpur kesesatan! Kalau yang kau maksudkan
benda keramat itu peninggalan leluhurku, sampai mati pun aku
tidak akan memberitahukannya kepadamu. Sebaiknya kau
bunuh saja aku! Percuma kau menakut-nakuti-ku...!"
Terdengar suara parau dan lemah, menandakan pemilik
suara itu tengah menderita luka dalam.
"Ki Wanalungga...?!" desis Panji yang segera dapat
mengenali pemilik suara itu.
"Hm.... Kalau kau tetap keras kepala aku akan menyiksamu,
hingga kau menyesal telah dilahirkan di dunia ini!" bentak suara
lainnya yang terdengar garang dan penuh kemarahan
Kini semakin jelaslah bagi Panji, apa yang sedang
dipertengkarkan kedua orang yang berada di dalam gua itu.
"Murid murtad! Lakukan apa yang kau ingin kau ingini! Tapi
jangan harap aku akan memberitahukan di mana benda
keramat itu tersimpan!" terdengar suara Ki Wanalungga
menyiratkan kemarahan yang terpendam di dalam hati.
"Hm.... Jadi penculik itu salah seorang murid Ki Wanalungga
yang telah berkhianat dan memilih jalan sesat..," gumam Panji
semakin mengerti.
Terdengar suara langkah kaki bergerak menuju mulut gua.
Panji yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka, segera
melayang naik ke atas pohon yang berada tidak jauh dari mulut
gua. Dan ketika sesosok tubuh jangkung muncul dari mulut
gua, Pendekar Naga Putih langsung meluncur turun dan
menghadangnya.
"Siapa kau...?! Mau apa datang ke tempat ini...?!" bentak
lelaki jangkung itu terkejut sambil meraba gagang pedang di
pinggangnya.
"Hm.... Kau sungguh seorang murid yang tidak berbudi,
Saluya. Untuk itu kau harus dihukum!" geram Panji, membuat
lelaki jangkung itu terkejut mendengarnya.
Tapi Panji tidak memberikan kesempatan kepada Saluya
untuk mengungkapkan keheranannya. Pendekar Naga Putih
segera menerjang maju untuk membekuk lelaki jangkung yang
telah berkhianat kepada gurunya untuk mendapatkan benda
keramat yang bukan miliknya.
Beeet!
Tamparan tangan Panji mengenai angin kosong, karena
Saluya telah menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek ke
samping. Bahkan mulai memberikan perlawanan dengan
serangan-serangan yang cepat dan kuat. Tapi semua serangan
itu tidak berarti banyak bagi Pendekar Naga Putih, karena
dengan mudah dapat dielakkannya. Sebentar kemudian,
keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang tidak
seimbang.
Setelah lewat dua puluh jurus Saluya menyerang habis-
habisan, Pendekar Naga Putih segera menundukkan lelaki
jangkung itu dengan sebuah tendangan keras. Kontan tubuh
Saluya terpental dan jatuh di atas sebuah makam.
"Setan belang...!"
Saluya mengumpat seenaknya. Tapi belum sempat lelaki itu
berdiri tegak, Pendekar Naga Putih telah mengirimkan sebuah
pukulan yang bersarang telak di tubuhnya.
Bukkk!
"Huakkkh...!"
Pukulan keras itu membuat Saluya memuntahkan darah
segar. Tubuhnya menggigil seketika, karena Pendekar Naga
Putih telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya.
Saluya agaknya tidak sanggup menahan pukulan keras itu.
Terbukti, lelaki jangkung itu langsung! menggeletak pingsan.
Sementara darah segar masih mengalir dari bibirnya.
Panji segera meninggalkan tubuh lawannya. Pemuda itu
bergerak memasuki gua dan menyelamatkan Ki Wanalungga
yang keadaannya semakin bertambah parah.
Setelah memberikan dua butir pil berwarna merah dan putih
yang langsung ditelan lelaki tual itu, Panji segera memapah Ki
Wanalungga keluar j dari dalam gua.
"Ayah...!"
Sanggala berteriak ketika melihat Panji melangkah sambil
menggendong tubuh Ki Wanalungga di bahu kanannya dan
tubuh Saluya di bahu sebelah kiri.
"Penculik ayahmu adalah Saluya, Sanggala," jelas Panji
sebelum Sanggala menanyakannya.
"Kakang Sahaya...?! Hm.... Dulu pun dia pernah berkhianat
Lalu ayah mengusirnya dari pulau ini. Peristiwa itu terjadi kira-
kira tiga tahun yang lalu. Rupanya dia merasa sakit hati pada
kami...," jelas Sanggala.
"Hm.... Manusia jahat dan berhati licik ini harus mendapat
hukuman yang setimpal. Tapi, yang terpenting persoalan ini
sudah selesai. Sekarang tinggal mengobati ayahmu, Sanggala.
Kemungkinan besar beliau masih bisa diselamatkan. Beri doalah
untuk kesembuhan ayahmu...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menginap di Pulau
Setan untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga.
Rombongan kecil itu bergerak meninggalkan daerah
pekuburan. Baru beberapa tindak, Panji tiba-tiba menghentikan
langkahnya dan menoleh ke arah Sanggala.
"Sanggala, kalau diperkenankan, aku ingin melihat benda
keramat yang diperebutkan itu...?" ujar Panji, perlahan.
Sanggala ikut menghentikan langkahnya, dan menoleh ke
arah Panji. Ditatapnya pendekar muda itu dengan sinar mata
aneh. Kemudian berpaling pada ayahnya yang juga mendengar
ucapan pendekar muda itu.
"Mari kita ke sana. Aku pun belum pernah membukanya.
Hanya ada beberapa kitab peninggalan ayahku, yang menurut
beliau diambil dari daerah pekuburan tua ini...."
Ki Wanalungga rupanya percaya penuh kepada Pendekar
Naga Putih. Terbukti lelaki tua itu membawa Panji ke tempat
penyimpanan pusaka leluhurnya.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di depan
sebuah bangunan yang kokoh dan sangat tua. Ki Wanalungga
minta agar tubuhnya diturunkan.
Atas persetujuan Ki Wanalungga, Panji membongkar bagian
depan bangunan itu dengan menggunakan pukulan jarak jauh.
Dinding yang kokoh itu pun jebol dengan suara ribut.
Terciptalah sebuah lubang besar yang cukup untuk dimasuki
dua orang.
"Luar biasa...!"
Panji bergumam sambil melangkah ke luar dari dalam
bangunan itu dengan membawa beberapa kitab, pedang, dan
permata. Semua mata yang melihat terbelalak takjub, termasuk
Majikan Pulau Setan dan putranya. Sebab, mereka pun belum
pernah masuk ke dalamnya.
Setelah melihat benda-benda pusaka itu, rombongan pun
kembali bergerak menuju bangunan tempat tinggal Ki
Wanalungga. Setibanya di bangunan yang telah dihuni selama
berpuluh tahun, Ki Wanalungga memerintahkan orang-
orangnya untuk mengangkut benda-benda pusaka leluhurnya.
Dan membuatkan sebuah ruangan khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar