..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MAJIKAN PULAU SETAN

Matjenuh khairil

 

SATU

Fajar baru saja datang, saat serombongan orang bergerak 
mendekati pantai. Gerak-gerik mereka yang cekatan dan lincah, 
menandakan mereka memiliki kepandaian ilmu meringankan 
tubuh yang cukup tinggi. Dan dari gagang senjata yang 
tersembul di pinggang maupun di punggung, jelas 
menunjukkan rombongan itu kaum rimba persilatan. 
"Guntala! Di mana kau simpan perahu-perahu itu...?" tanya 
seorang lelaki gemuk dengan suara berat dan dalam. Lelaki 
gemuk itu melempar pandang ke arah seorang lelaki tegap 
yang dipanggil Guntala. 
"Jangan khawatir, Kakang Brajanata. Perahu-perahu itu 
kusimpan di tempat yang aman. Segela sesuatunya telah 
kupersiapkan dengan baik, sesuai perintah Kakang...," sahut 
Guntala sambil mengacungkan ibu jari dan memperdengarkan 
tawa yang menggelitik telinga. 
"Hm.... Kalau begitu, bawa beberapa orang kawanmu untuk 
mengambil perahu-perahu itu. Aku dan yang lain akan 
menunggu di pantai," perintah lelaki bercambang bauk yang 
memiliki sorot mata bengis. 
"Baik, Kakang...," sahut Guntala dan segera mengajak enam 
orang anggota rombongan untuk mengambil perahu. 
Sedang lelaki gemuk yang bernama Ki Braja-nata, 
memerintahkan anggota rombongan yang lain untuk 
mengikutinya menuju tepi pantai. Ada lima orang yang 
bergerak mengikuti langkahnya, agaknya Ki Brajanata 
merupakan pimpinan rombongan. 
Ki Brajanata berdiri tegak memandang lautan yang 
membentang luas di hadapannya. Sosok lelaki gemuk yang 
berpenampilan menyeramkan itu, seperti tidak peduli dengan

air laut yang datang membasahi kakinya. Dan baru bergerak 
menggeser langkahnya saat Guntala dan enam orang anggota 
rombongan datang membawa tiga buah perahu yang cukup 
besar dan kuat untuk menahan gelombang lautan 
"Ayo, kita berangkat...!" 
Perintah Ki Brajanata kepada anggota rombongan untuk naik 
ke atas perahu. Sementara kakinya sendiri sudah melangkah 
menuju sebuah perahu yang berjajar di atas pasir. 
"Kakang...." 
Tiba-tiba salah seorang anggota rombongan memanggil Ki 
Brajanata, membuat langkah lelaki gemuk bermata bengis itu 
terhenti dan menoleh ke arah asal suara. 
"Hm.... Ada apa, Soganta...?" tanya Ki Brajanata dengan 
kening sedikit berkerut. Sepasang matanya menatap tajam 
sosok lelaki kekar yang bernama Soganta. 
"Apa tidak sebaiknya kita berangkat saat matahari terbit, 
Kakang? Aku rasa itu lebih baik, karena kita dapat memastikan 
arah yang dituju dengan tepat," Soganta mengajukan 
pendapatnya, dan beberapa orang anggota tampak 
mengangguk menyetujui. 
Tapi tidak demikian dengan Ki Brajanata. Setelah 
memandang wajah para pengikutnya, terdengar jawabannya 
yang datar disertai dengusan tak senang. 
"Soganta. Tujuan kita cukup jauh. Hari sudah siang sebelum 
tempat itu terlihat. Itu sebabnya, mengapa aku perintahkan 
kalian berangkat sekarang juga...," lanjut Ki Brajanata 
memberikan alasannya. Sehingga seluruh anggota rombongan 
mulai mengerti jalan pikiran pimpinan mereka.

"Apa kita akan datang dengan terang-terangan, Kakang...?" 
tanya anggota rombongan yang lain, membuat pandangan Ki 
Brajanata beralih. 
"Kita belum tahu pasti kekuatan lawan. Selain itu, Ki Dayut 
Ganda agaknya tidak akan datang. Mungkin paman guruku itu 
tidak bersungguh-sungguh mengucapkan janjinya, saat aku 
datang menemuinya. Tapi biarpun demikian, kita tetap 
berangkat. Dan tentu saja kita tidak langsung menunjukkan diri 
sebelum tahu pasti kekuatan lawan," jelas Ki 
Brajanata dengan sesekali mengedarkan pandangan. Seolah 
berharap dapat menemukan sosok Ki Dayut Ganda yang 
dipanggilnya paman guru: 
Orang yang diharapkan kedatangannya oleh Ki Brajanata 
bukanlah tokoh sembarangan. Ki Dayut Ganda sangat dikenal 
dalam rimba persilatan. Meskipun tokoh menggiriskan itu 
jarang menampakkan diri di dunia ramai, tapi namanya 
menggetarkan rimba persilatan dari barat sampai timur. Tokoh 
itu termasuk dalam jajaran kaum tua yang menjadi tokoh 
puncak golongan hitam. Bahkan Ki Dayut Ganda diakui sebagai 
datuk kaum sesat yang bersemayam di daerah lautan timur, 
sehingga dijuluki Datuk Lautan Timur. Itu sebabnya, mengapa 
Ki Brajanata sangat mengharapkan bantuan paman gurunya. 
'Tapi sewaktu Ki Dayut Ganda mengucapkan janjinya akan 
membantu kita, beliau kelihatan bersungguh-sungguh, Kakang. 
Tidakkah sebaiknya kita tunggu sebentar lagi. Mungkin beliau 
hanya terlambat..." 
Soganta rupanya masih ingin menanti kedatangan Datuk 
Lautan Timur. Lelaki kekar itu pun ikut mengedarkan pandang 
matanya ke sekeliling. Soganta sangat berharap dapat 
menemukan sosok Ki Dayut Ganda dalam bayang-bayang 
pohon kelapa yang banyak tumbuh di pantai itu.

"Sebenarnya aku pun sangat mengharapkan kehadirannya, 
Soganta. Tapi kita tidak bisa menunda kepergian, hanya karena 
menunggu kedatangan orang yang belum pasti akan membantu 
kita. Kendati dia paman guruku, aku tidak akan sudi meminta 
bantuannya dengan cara mengemis. Tanpa bantuannya pun 
aku yakin kita dapat menundukkan lawan. Sudahlah. Mari kita 
berangkat..," Ki Brajanata mengakhiri ucapannya. Kemudian 
membalikkan tubuh, dan melangkah menuju perahu yang 
berada paling kiri. "Kakang, lihat...!" 
Tiba-tiba Soganta berseru keras. Sepasang matanya tampak 
membelalak, menatap sosok bayangan hitam yang sedang 
duduk di atas perahu yang akan ditumpangi pimpinannya. 
Ki Brajanata sendiri sebenarnya tidak perlu diberi tahu 
Soganta. Lelaki gemuk itu memang telah melihat sosok 
bayangan hitam yang tampak duduk tenang di atas perahu 
sambil memandang riak gelombang air laut. Merasa penasaran, 
tubuhnya berbalik dan memandang anggota rombongannya 
satu persatu. Agaknya, Ki Brajanata hendak menghitung jumlah 
anggota rombongan. Dan hatinya sangat terkejut ketika 
mendapati semua anggota rombongan masih berada di 
belakangnya. Kenyataan itu menunjukkan, sosok bayangan 
hitam yang duduk di atas perahu bukan salah satu anggota 
rombongannya. 
"He he he...! Mengapa kau seperti orang tolol begitu, Ki 
Brajanata? Cepatlah berangkat Aku tidak sabar lagi melihat 
sikap kalian yang penuh keraguan. Apa kau telah menduga 
kalau aku telah berubah pikiran dan tidak jadi mengunjungi 
Pulau Setan?" tegur sosok bayangan hitam, membuat wajah Ki 
Brajanata berubah gembira. Jelas, pemilik suara itu telah 
dikenalnya. 
"Dayut Ganda...?! Kaukah itu...?!" seru Ki Brajanata dengan 
suara tertahan.

Aneh memang, bila orang mendengar panggilan Ki Brajanata 
kepada tokoh yang disebutnya paman guru itu. Dia sama sekati 
tidak memanggil eyang atau panggilan hormat lainnya. 
Melainkan cukup dengan nama saja. Mungkin bagi orang-orang 
yang memiliki kesopanan, sikap Ki Brajanata dianggap kurang 
ajar. Tapi memang seperti itulah sifat orang-orang golongan 
sesat. Kadang meraka tidak mempedulikan tata cara 
kesopanan. Sikap mereka sangat bebas, tidak terikat peraturan 
yang menurut anggapan mereka hanya sekadar basa-basi saja. 
Ki Dayut Ganda sendiri tidak mempersoalkan panggilan itu. 
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Hayo, kita berangkat..!" seru 
Ki Dayut Ganda. 
Sebenarnya, baik Ki Brajanata maupun anggota 
rombongannya masih terpana saat mengetahui siapa sosok 
bayangan hitam yang duduk di atas perahu itu. Diam-diam hati 
mereka bergidik melihat kesaktian tokoh yang telah berusia 
lanjut itu. Sebab dari sekian banyak orang, tak satu pun yang 
melihat atau mendengar kedatangan Ki Dayut Ganda. Bahkan 
tak seorang pun tahu, sejak kapan datuk sesat itu duduk di 
atas perahu. Mungkinkah datuk itu sempat mendengar ucapan 
Ki Brajanata yang bernada tak puas barusan? 
Tapi semua pertanyaan di dalam hati setiap anggota 
rombongan itu tidak memperoleh jawaban yang pasti. Segala 
pertanyaan yang memenuhi kepala mereka lenyap, saat 
mendengar perintah Ki Dayut Ganda agar segera berangkat 
meninggalkan pantai. 
"Baik!" sahut Ki Brajanata bersemangat Kemudian tanpa 
banyak cakap lagi, lelaki gemuk berwajah brewok itu segera 
memerintahkan anggota rombongan naik ke atas perahu. 
Sebentar kemudian, ketiga perahu itu bergerak meninggalkan 
tepi pantai, membelah gelombang lautan.

*** 
"Warsa! Ke mana perginya tuan mudamu...?" tegur lelaki 
gagah berusia sekitar tema puluh tahun lebih, berwibawa. 
Sepasang matanya yang setajam mata elang menatap sosok 
lelaki kurus yang duduk bersimpuh di hadapannya. 
'Tuan Muda Sanggala sedang bermain-main di laut, Tuanku. 
Hamba..., hamba...." 
"Bodoh! Bukankah sudah kukatakan agar kau menyampaikan 
pesanku, kalau Sanggala tidak bo leh pergi meninggalkan pulau 
hari ini! Apa kau belum menyampaikannya...?!" bentak lelaki 
gagah yang sangat marah melihat kelalaian pembantunya. 
"Hamba sudah menyampaikan perintah Tuanku. Tapi, Tuan 
Muda Sanggala mengatakan agar Tuanku tidak perlu khawatir. 
Karena dia tidak akan pergi jauh meninggalkan pulau. Tuan 
Muda hanya ingin menikmati keindahan laut. Hamba tidak 
dapat berbuat apa-apa, Tuanku...," jelas Warsa dengan 
terputus-putus. 
Wajah lelaki kurus itu tampak pucat dan dipenuhi butir-butir 
keringat. Jelas, dia sangat takut i melihat majikannya marah. 
"Hhh...." 
Lelaki gagah berkumis lebat bernama Ki Wana-lungga yang 
menjadi Majikan Pulau Setan, hanya bisa menghela napas 
mendengar keterangan pembantunya. Lelaki gagah itu sadar, 
Warsa tidak pantas disalahkan. Putranya memang bandel dan 
tidak bisa dinasihati. Apalagi hanya seorang pelayan seperti 
Warsa. 
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang, dan tunggu sampai 
majikan mudamu kembali. Katakan padanya agar segera 
menemuiku," ujar Ki Wana--lungga dengan nada lebih lunak,

Warsa menarik napas lega. Dari tekanan suara majikannya, 
dapat diduga kalau dirinya tidak akan mendapat hukuman. 
'Terima kasih, Tuanku. Hamba mohon diri...," ucap Warsa. 
Kemudian, bergegas lelaki kurus itu meninggalkan ruangan 
dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Dikhawatirkan kalau 
majikannya akan berubah pikiran jika dirinya berlama-lama di 
ruangan itu. 
'Tunggu sebentar, Warsa...!" cegah Ki Wana-lungga tiba-
tiba, membuat langkah kaki lelaki kurus itu terhenti. 
Wajah Warsa kembali memucat saat membalikkan tubuhnya 
sambil membungkuk dalam-dalam. "Ya, Tuanku..." 
"Sampaikan kepada Karmangga, aku ingin agar kawan-
kawannya dikumpulkan dan segera menghadapku," perintah Ki 
Wanalungga, membuat Warsa merasa lega. 
Semula lelaki kurus itu menduga kalau majikannya akan 
memberi hukuman atas kelalaiannya. Tapi dugaannya ternyata 
meleset. Meskipun majikannya seorang yang berwatak keras 
dan penuh disiplin, tapi hatinya sangat baik. 
"Baik, Tuanku. Akan hamba sampaikan secepatnya...." 
Setelah membungkuk hormat, Warsa segera meninggalkan 
ruangan itu dengan setengah berlari. 
"Kasihan Warsa, Kakang. Kelihatannya sangat takut akan 
menerima hukuman darimu...," gumam seorang wanita cantik 
berusia sekitar empat puluh tahun yang duduk di sebelah Ki 
Wanalungga. Wanita itu istri Ki Wanalungga, Majikan Pulau 
Setan. 
"Aku tidak berniat menghukumnya. Tapi biar bagaimanapun, 
kita harus keras dalam mendidik orang-orang yang tinggal di 
pulau ini. Apalagi belakangan ini hariku merasa tidak tenteram.

Firasatku mengatakan, akan ada badai besar yang mungkin 
akan mengaramkan pulau ini berikut isinya...," ujar Ki 
Wanalungga pelan, seperti berkata pada diri sendiri. 
Tentu saja ucapan itu membuat istrinya terkejut. Tapi 
sebelum membuka mulut, terdengar langkah orang banyak 
mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, muncul seorang 
pengawal yang langsung melapor. 
'Tuanku, Ki Karmangga dan empat orang kawannya meminta 
izin untuk menghadap...," lapor pengawal itu setelah 
membungkukkan tubuh. 
"Suruh mereka masuk...," sahut Ki Wanalungga cepat 
Tidak berapa lama setelah pengawal itu lenyap di balik pintu, 
muncul seorang lelaki tinggi besar. Tubuhnya terlihat sangat 
kokoh dan kuat, tak ubahnya seekor harimau muda yang 
garang dan penuh semangat Lelaki berusia empat puluh* tahun 
itu adalah Ki Karmangga, yang datang bersama empat orang 
rekannya. Mereka pembantu utama sekaligus murid utama Ki 
Wanalungga. 
Setelah kelima orang pembantu utama itu duduk di 
hadapannya, Ki Wanalungga segera mengutarakan 
kekhawatiran hatinya. Dan meminta kepada kelima orang itu 
agar memperketat penjagaan di sekitar pulau, karena khawatir 
akan ada sesuatu yang menimpa Pulau Setan 
Baru saja Ki Karmangga ingin mengutarakan pendapatnya, 
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang pengawal 
dengan wajah pucat dan napas memburu. 
"Ada apa? Mengapa kau menghadap tanpa kupanggil...?!" 
bentak Ki Wanalungga, marah. Kedatangan pengawal yang 
tiba-tiba itu telah mengganggu pertemuannya.

"Ampun, Tuanku. Di luar sedang terjadi pertempuran. Pulau 
ini telah diserang segerombolan orang-orang berkepandaian 
tinggi," lapor pengawal itu, membuat wajah Ki Wanalungga dan 
kelima orang pembantunya berubah tegang. 
"Hm.... Panggil beberapa orang kawanmu untuk menjaga 
keselamatan istriku...!" 
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Ki Wanalungga 
telah melesat cepat meninggalkan ruangan itu. Ki Karmangga 
dan keempat orang lainnya tentu tidak tinggal diam. Mereka 
langsung bergerak menyusul, hendak melihat orang-orang yang 
telah berani mengacau Pulau Setan. 
*** 
"Datuk Lautan Timur...?!" desis Ki Wanalungga ketika 
melihat seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus sedang 
melemparkan tubuh para pengawalnya dengan sebelah tangan. 
Kehadiran datuk sesat yang menggariskan itu membuat Ki 
Wanalungga sangat terkejut. 
"He he he...! Selamat bertemu, Majikan Pulau Setan. Orang-
orangmu sangat ramah sekali. Mereka menyambut kedatangan 
kami dengan meriah...," ujar kakek tinggi kurus sambil 
memperdengarkan suara tawanya yang menyakitkan telinga. 
"Kau terlalu kejam, Datuk Lautan Timur! Mereka bukan 
lawan-lawanmu...!" geram Ki Wanalungga segera melesat 
mencegah korban jatuh lebih banyak. "Haaat..!" 
"Hm...!" 
Datuk Lautan Timur hanya mendengus melihat datangnya 
serangan lawan. Tubuhnya bergeser ke kanan menghindari 
pukulan yang menimbulkan deruan angin keras. 
Bettt!

Begitu serangan lawan luput, telapak tangan Ki Dayut Ganda 
langsung bergerak melancarkan serangan balasan. Cepat dan 
kuat sekali hantaman telapak tangan kakek tinggi kurus itu, 
hingga membuat Ki Wanalungga terkejut. Sadar untuk 
menghindar sudah terlambat, Majikan Pulau Setan itu 
mengangkat tangan kirinya sambil menggeser kaki kanan ke 
belakang. Plakkk! 
Pelipisnya memang selamat dari incaran telapak tangan 
lawan yang mampu meremukkan batu karang. Tapi akibat 
perbuatannya, Ki Wanalungga terjajar mundur dengan wajah 
menyeringai. Telapak tangannya terasa panas dan ngilu. Jelas, 
kekuatan tenaga dalam lawan masih beberapa tingkat di 
atasnya. 
"Hiaaah...!" 
Belum lagi sempat memperbaiki kuda-kuda, Datuk Lautan 
Timur kembali mengirimkan serangan susulan ke arah dada Ki 
Wanalungga. 
"Haiiit..!" 
Tidak ada jalan lain bagi Ki Wanalungga kecuali melempar 
tubuhnya berjungkir-balik ke belakang, dan terus berputaran 
sebelum mendaratkan kakinya sejauh satu setengah tombak 
dari tempat semula.' 
"Datuk Lautan Umur! Selama ini di antara kita tidak pernah 
terjadi perselisihan. Lalu mengapa tiba-tiba kau memusuhiku? 
Apakah ada salah seorang penduduk pulau ini pernah berbuat 
salah padamu?" tegur Ki Wanalungga seraya menyiapkan ilmu 
untuk menghadap gempuran lawan berikutnya. 
"Aku tidak mau tahu! Yang jelas, kedatanganku ke tempat ini 
dengan satu tujuan. Merebut Pulau Setan dari tanganmu! 
Sekarang, sebaiknya kau bersiap menghadap malaikat maut!"

sahut Ki Dayut Ganda kembali melesat tanpa memberi 
kesempatan pada lawan untuk berbicara lebih banyak. 
"Kalau begitu, aku akan mempertahankan pulau ini sampai 
titik darah penghabisan...!" ujar Ki Wanalungga lantang. 
"Hahhh!" 
Ki Wanalungga melompat mundur ketika sebuah pukulan 
lawan datang mengancam jalan darah kematian di tubuhnya. 
Kemudian, langsung membalas dengan tidak kalah ganas. 
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu sudah saling gempur 
dengan hebatnya! 
Di tempat lain, Ki Karmangga tengah menghadapi Ki 
Brajanata. Dengan kepandaiannya yang tinggi, lelaki gemuk 
bermata bengis itu menggempur Ki Karmangga habis-habisan, 
hingga membuatnya kewalahan. 
"Yiaaa...!" 
Plak! Plak! 
"Aaah...!" 
Ki Karmangga memang mampu menyelamatkan diri dari 
hantaman lawan. Tapi kuda-kudanya tergempur terkena 
tamparan lawan yang sangat kuat. Sehingga pada serangan 
berikutnya, serangan Ki Brajanata tidak sempat lagi dihindari.- 
Dan.... 
Desss! 
"Hugkhhh...!" 
Tanpa ampun lagi tubuh Ki Karmangga terpental ke belakang 
akibat tendangan keras yang singgah di dadanya. Tampak 
darah segar menyembur dari mulutnya. Dan tubuhnya 
terbanting ke tanah dengan suara berdebuk nyaring!
'Tamat riwayatmu...!" bentak Ki Brajanata. 
Lelaki gemuk ini tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. 
Selagi lawannya tidak berdaya, tubuhnya langsung melesat siap 
menjejak tubuh lawan! 
*** 
DUA

 
Derrr...! 
Debu bercampur kepingan-kepingan tanah berhamburan, 
saat telapak kaki Ki Brajanata yang mengandung kekuatan 
hebat menjejak tempat Ki Karmangga tergeletak. Untunglah 
lelaki tinggi kekar itu sempat menggulingkan tubuh, hingga 
selamat dari malapetaka yang mengerikan. 
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Ki Karmangga 
berusaha bangkit untuk memberikan perlawanan. Dicabutnya 
sebilah golok besar yang tergantung di pinggang. Kemudian 
memutarnya di depan tubuh, membentuk benteng pertahanan 
yang sangat kuat. 
"Hmhhh...!" 
Ki Brajanata mendengus meremehkan senjata lawan. Dan 
dengan langkah-langkah pendek, tubuh lawannya dihampiri. 
"Haaat...!" 
Kali ini Ki Karmangga rupanya tidak ingin kedukaan oleh 
lawan. Saat tubuh lawan bergerak mendekat, lelaki kekar itu 
melompat maju seraya memutar golok besarnya yang 
menimbulkan deruan angin keras. 
Bettt! Bettt!

Dua kaK sambaran golok Ki Karmangga berhasil dielakkan 
lawan. Meski demikian, Ki Karmangga tidak patah semangat. 
Bahkan kelebatan goloknya semakin terarah dengan baik. 
Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Ki Brajanata tidak 
mampu membalas serangan lawan. Karena ilmu golok yang 
digunakan Ki Karmangga sungguh tidak bisa dipandang ringan. 
Namun sikap yang ditunjukkan Ki Brajanata bukan karena 
tidak mampu melancarkan serangan balasan. Agaknya, lelaki 
gemuk itu sengaja memancing lawan agar semakin gencar 
melancarkan gempuran. Ki Karmangga terus berkelebat dengan 
menggunakan kelincahan tubuhnya. Dan ketika melihat 
pertahanan lawan sedikit mengendur, langsung saja kakinya 
mencelat melancarkan sebuah tendangan miring yang telak 
menghajar iga Ki Karmangga. 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Lagi-lagi Ki Karmangga harus mengakui kehebatan lawan. 
Baik dalam kecepatan maupun kekuatan, dia masih berada di 
bawah Ki Brajanata. Sehingga tanpa ampun lagi, tubuhnya 
kembali terbanting keras. 
"Habis...!" bentak Ki Brajanata. 
Saat Ki Karmangga tengah berusaha berdiri tegak, Ki 
Brajanata langsung melompat sambil mengembangkan kedua 
lengannya. Dan.... 
Prakkk! 
"Aaargh...!" 
Terdengar raung kematian yang menggetarkan seisi pulau. 
Sepasang telapak tangan Ki Brajanata yang mengandung 
tenaga dalam kuat, menghantam telak kedua pelipis lawan,

hingga retak. Darah segar pun meleleh keluar membasahi 
pakaian Ki Karmangga. Lelaki kekar itu ambruk ke tanah dan 
tewas seketika. 
Setelah menyelesaikan lawannya, Ki Brajanata angsu g 
melesat menuju bangunan induk di pulau itu. Beberapa orang 
pengawal yang mencoba menghadang, langsung 
berpelantingan terkena tamparannya. 
Tanpa mempedulikan korban-korbannya, Ki Brajanata 
Bergerak memasuki bagian dalam bangunan. Setiap kamar 
dijelajahinya dan isi kamar dia cak hingga porak-poranda. 
Rupanya, lelaki gemuk itu sedang mencari sesuatu yang 
menjadi tujuannya mendatangi pulau ini. 
Brakkk...! 
Sebuah kamar yang terkunci rapat hancur terkena 
tendangan keras Ki Brajanata. Sepasang mata lelaki gemuk itu 
berkilat saat melihat sesosok tubuh ramping meringkuk di sudut 
kamar. Wanita itu tidak lain istri Majikan Pulau Setan! 
"He he he...! Tak kusangka keparat Wanalungga memiliki 
seorang istri yang cantik. Meskipun sudah tidak muda lagi, tapi 
masih sangat menggairahkan...," ujar Ki Brajanata terkekeh 
sambil meneliti sekujur tubuh wanita itu dengan sepasang mata 
yang memerah saga. 
"Pergi kau, Manusia Jahat! Atau aku akan mengakhiri 
hidupku dengan senjata ini...?!" teriak wanita cantik itu sambil 
mengangkat sebilah pisau dengan tangan kanannya. 
Tapi wanita yang tidak memiliki kepandaian silat itu tidak 
dapat berbuat apa-apa. Dengan sekali berkelebat, Ki Brajanata 
melepaskan pisau itu. Kemudian menotok lumpuh tubuhnya. 
"Cepat katakan! Di mana suamimu menyembunyikan benda 
keramat itu?! Jika tidak, aku tidak akan segan-segan

menyiksamu...!" ancam Ki Brajanata sambil mendekatkan 
wajahnya ke wajah wanita cantik itu. 
"Aku tidak tahu benda apa yang kau cari! Aku pun tidak 
pernah melihatnya...!" jawab wanita cantik itu, berusaha 
menjauhkan wajahnya. Tapi karena tubuhnya telah tertotok, 
wanita itu hanya bisa menangis. 
"Bohong...!" 
Ki Brajanata tidak percaya dengan jawaban wanita itu. 
Kemudian, dilemparkannya tubuh perempuan malang itu ke 
atas pembaringan. Dan.... 
Breeet..! 
Sekali renggut saja, kain yang dikenakan wanita itu langsung 
robek. Ki Brajanata menjilati bibirnya dengan jakun bergerak 
turun-naik, melihat pemandangan yang membangkitkan nafsu 
setannya. 
"Bicaralah, atau...." 
Kembali Ki Brajanata mengancam seraya mengulurkan 
tangan, membuat wanita itu ketakutan. Tapi apa daya karena 
tubuhnya telah tertotok lumpuh. Wanita itu hanya dapat 
menangis, ketika jemari tangan Ki Brajanata menggerayangi 
tubuhnya. 
"Aku tidak tahu...!" rintihnya lemah dengan wajah bersimbah 
air mata. "Setan...!" 
Ki Brajanata memaki sambil melepaskan tubuh wanita 
malang itu. Kemudian, isi kamar itu diobrak-abrik, mencari 
benda yang diinginkannya. Sayang, meskipun seluruh sudut 
kamar telah diperiksanya, Ki Brajanata tetap tidak menemukan 
benda yang dicarinya.

"Hm.... Kaulah yang memaksaku berbuat kasar, Nyai. 
Rasakanlah akibat kekerasan sikapmu...!" geram Ki Brajanata 
dan langsung menerkam tubuh di atas pembaringan itu, lalu 
menggelutinya dengan kasar. 
Setelah melakukan perbuatan terkutuknya, Ki Brajanata 
memukul pecah kepala perempuan malang itu hingga tewas 
seketika. Kemudian melompat ke luar kamar, dan terus ke 
pekarangan. 
Desss...! 
"Huakkkh...!" 
Darah segar menyembur keluar dari mulut Ki Wanalungga. 
Tubuh lelaki gagah itu terlempar deras dan jatuh terbanting di 
tanah. 
"He he he...!" 
Datuk Lautan Timur melangkah maju sambil terkekeh parau 
hingga menyakitkan telinga. Kekejaman terpancar jelas pada 
sepasang matanya yang kecil dan tajam. 
Ki Wanalungga menyeret tubuhnya menjauhi lawan, 
kemudian bergerak bangkit dengan gerakan limbung. 
Sementara lawannya sengaja memperlambat langkah untuk 
menyiksa lelaki gagah itu. 
"Hm.... Rupanya kau telah diperdaya oleh keparat Ki 
Brajanata, Datuk Lautan Timur!" desis Ki Wanalungga ketika 
melihat bayangan lelaki tinggi gemuk melesat keluar dari dalam 
rumahnya. 
"Apa maksudmu, Wanalungga...?" tanya Ki Dayut Ganda 
seraya menyipitkan sepasang matanya. Agaknya tokoh sesat 
yang menggiriskan ini tidak mengerti maksud ucapan Ki 
Wanalungga.

"Ki Brajanata datang ke tempat ini dengan satu tujuan, 
merebut sebuah benda keramat yang menurutnya ada padaku. 
Dia telah memperalatmu untuk membantu usahanya...," sahut 
Ki Wanalunggai tiba-tiba mendapatkan akal untuk mengadu 
domba, kedua lawannya. 
Setelah mendengar ucapan Ki Wanalungga, Datuk Lautan 
Timur segera mematingkan wajahnya ke arah Ki Brajanata 
yang menjadi kaget melihat] perubahan itu. 
"Ki Brajanata...!" panggil Datuk Lautan Timur dengan suara 
menggelegar. 
Kakek itu memang tidak tahu tujuan sebenarnya perbuatan 
Ki Brajanata. Murid keponakannya1 itu hanya mengatakan 
meminta bantuannya untuk merebut Pulau Setan. Dan sama 
sekati tidak memberi tahu soal benda keramat yang dikatakan 
Ki Wanalungga. 
Meskipun dengan wajah tegang, Ki Brajanata melangkah 
mendatangi paman gurunya. Diam-diam lelaki gemuk itu 
menyiapkan jawaban bila Ki Dayut Ganda menanyakan perihal 
benda keramat yang dicarinya. 
"Katakan terus terang! Apa sebenarnya tujuan-mu menyerbu 
pulau ini?! Kalau tidak kau akan menyesal, dan aku tidak akan 
memandangmu sebagai murid keponakan lagi! Karena kau 
telah berani berdusta dan memperalatku...!" geram Ki Dayut 
Ganda dengan sepasang mata berkilat tajam. Kakek itu sangat 
marah karena merasa dipermainkan. 
"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, Dayut Ganda. 
Aku hanya khawatir kau akan menolak membantuku, bila aku 
mengatakan hal yang sebenarnya. Sebab dengan 
kepandaianmu yang tinggi, kau pasti tidak sudi membantuku 
menemukan benda keramat itu. Jadi, aku tidak bermaksud 
memperalatmu, apalagi menipumu," jawab Ki Brajanata, licik.

Sehingga kemarahan yang semula terpancar di wajah kakek itu 
kini menurun. 
"Hm.... Coba kulihat, seperti apa benda yang sangat kau 
inginkan itu...?" ujar Ki Dayut Ganda mengulurkan tangannya, 
meminta benda yang dicari Ki Brajanata. 
"Aku belum menemukannya...," jawab Ki Brajanata sambil 
menggelengkan kepala. 
"Hm.... Kau hendak mengetahuiku, Ki Brajanata...?" geram 
Datuk Lautan Timur dengan sepasang mata berkilat tajam. 
"Aku sudah menggeledah setiap sudut bangunan. Tapi, 
benda keramat itu tidak kutemukan. Entah di mana bangsat 
Wanalungga menyembunyikannya...?" kilah Ki Brajanata 
membela diri dan berusaha meyakinkan paman gurunya. 
"Kalau begitu..., eh?! Keparat...!" 
Ki Dayut Ganda yang teringat pada Ki Wanalungga segera 
menoleh ke tempat lelaki gagah itu berada. Dan bukan main 
terkejutnya hati kakek itu ketika melihat Ki Wanalungga telah 
lenyap dan tidak kelihatan lagi batang hidungnya. "Bangsat!" 
Geram Datuk Lautan Timur sambil mengedarkan pandangan 
ke arah pertempuran yang mulai berakhir. Namun sosok Ki 
Wanalungga tetap tidak ditemukan. Agaknya, Majikan Pulau 
Setan itu telah melarikan diri saat Datuk Lautan Timur 
bertengkar dengan Ki Brajanata. 
"Ayo, kita cari keparat itu...!" ajak Ki Dayut Ganda yang 
langsung disetujui Ki Brajanata dan beberapa orang anggota 
rombongan. 
Ki Dayut Ganda dan Ki Brajanata berpencar untuk mencari Ki 
Wanalungga. Demikian pula dengan anggota rombongan lelaki 
gemuk itu. Mereka men/ilajahi sekitar tempat itu. Semua

tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian, telah 
mereka geledah. Namun, sosok lelaki tegap itu seperti lenyap 
ditelan bumi. 
Setelah gagal mencari Ki Wanalungga, Datuk Lautan Timur 
kembali mengumpulkan anggota rombongan murid 
keponakannya. Kini kakek itu mengambil alih pimpinan yang 
semula dipegang Ki Brajanata. 
"Saat ini lupakan Ki Wanalungga. Sekarang, kuperintahkan 
kalian semua menggeledah setiap sudut pulau ini untuk 
mencari benda keramat itu. Tanyakan pada Ki Brajanata 
tentang ciri-ciri benda itu. Tapi sebelumnya, kalian harus 
membereskan tempat ini, dan buang mayat-mayat itu ke laut 
Aku ingin beristirahat..." 
Setelah berkata begitu, Datuk Lautan Timur melangkah pergi 
meninggalkan Ki Brajanata dan kawan-kawannya yang hanya 
bisa bertukar pandang 
"Kakek keparat...!" 
Setelah Ki Dayut Ganda lenyap dari pandangan, Ki Brajanata 
baru berani mengumpat Kemudian, memerintah semua 
anggota rombongannya untuk melaksanakan perintah Datuk 
Lautan Timur. 
*** 
"Eh...?! Apa yang terjadi di tempat kediamanku...?" desis 
pemuda tampan berusia sembilan belas tahun ketika melihat 
mayat-mayat terapung di dekat pantai. Cepat perahunya 
dibelokkan ke bagian pantai yang agak tersembunyi dari 
pandangan orang-orang yang berada di Pulau Setan. 
Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, 
pemuda tampan itu bergerak mengendap-endap, mendekati 
bangunan besar yang di depannya tampak terjadi kesibukan.

"Hm.... Siapa mereka? Mengapa aku tidak melihat seorang 
pengawal pun di depan bangunan? Aku harus menyelidikinya. 
Entah apa yang telah terjadi di tempat ini. Mungkinkah Pulau 
Setan diserbu gerombolan perampok? Tapi, rasanya tidak 
mungkin. Sebab aku tidak menemukan perahu besar di 
pantai...," gumam pemuda tampan itu, bertanya-tanya sendiri. 
Pemuda tampan yang berusia sembilan belas tahun itu 
adalah Sanggala, putra tunggal Majikan Pulau Setan. Pemuda 
itu baru saja kembali dari laut, sehingga tidak tahu apa yang 
telah terjadi di pulau itu. Untunglah kecurigaannya langsung 
muncul ketika melihat belasan mayat terapung di laut. Kalau 
saja tidak berpikir panjang dan langsung menuju tempat 
tinggalnya, kemungkinan Sanggala akan tewas. Paling tidak 
akan tertawan gerombolan Ki Brajanata.

Sanggala semakin terkejut saat melihat orang-orang yang 
tidak dikenalnya itu bergerak menyebar ke seluruh pelosok 
pulau. Pemandangan itu membuat hatinya semakin bertanya-
tanya. 
"Siapa mereka sebenarnya? Mereka sepertinya tengah 
mencari-cari sesuatu? Ke mana pula perginya ayah dan Paman 
Karmangga serta yang lainnya? Mungkinkah di antara mayat-
mayat yang terapung di laut itu terdapat mayat ayah atau 
Paman Karmangga? Hhh.... Benar-benar pening aku dibuatnya. 
Sebaiknya aku tidak usah menampakkan diri sebelum segalanya 
menjadi jelas. Hm.....Lebih baik aku menyelidikinya melalui 
jalan rahasia...," gumam Sanggala yang tiba-tiba teringat 
sebuah jalan rahasia yang hanya diketahui keluarganya. 
Maka Sanggala segera melesat dengan hati-hati, menuju 
semak belukar yang terdapat di samping bangunan yang 
menjadi tempat tinggalnya selama ini. 
Tak seorang pun akan menduga kalau di dalam semak 
belukar yang terdapat di samping bangunan, ada sebuah jalan 
rahasia. Memang tidak mudah untuk mengetahuinya, karena 
pintu masuk jalan rahasia itu tertutup semak belukar. Tapi bagi 
Sanggala, hal itu tidak sulit, karena sejak kecil telah seringkah 
melaluinya. 
Sanggala menyusuri lorong panjang yang hanya bisa dilalui 
satu orang. Pemuda itu berusaha tetap dapat menatap ke 
depan. Untuk itu, tenaga dalamnya harus dikerahkan agar 
dapat melihat dalam cahaya remang-remang. Dan 
kewaspadaannya pun harus tetap dijaga. Siapa tahu lorong 
rahasia ini telah diketahui orang-orang yang tak dikenalnya. 
Sebab, ketika memasuki tempat rahasia ini, sempat dilihatnya 
orang-orang asing itu tengah mencari-cari sesuatu. Bukan tidak 
mungkin mereka sedang mencari jalan rahasia yang kini 
dilaluinya.


Baru beberapa belas tombak berjalan, Sanggala 
menghentikan langkahnya. Wajahnya seketika berubah tegang. 
Samar-samar terdengar dengus napas berat dari arah depan. 
"Hm.... Tidak kusangka tempat rahasia ini telah diketahui 
mereka. Apa sebenarnya yang mereka cari di pulau ini...?" 
gumam Sanggala. 
Berpikir begitu, Sanggala segera meloloskan pedangnya 
perlahan lahan tanpa suara. Dengan menyembunyikan pedang 
di balik lengan agar kilaunya tidak tertangkap lawan, Sanggala 
kembali bergerak maju dengan lebih hati-hati. 
Pemuda tampan itu bertambah tegang ketika dengus napas 
berat tadi semakin jelas terdengar. Setelah terdiam beberapa 
saat untuk memastikan di mana pemilik napas itu, Sanggala 
kembali bergerak maju. Tenaganya langsung menyebar ke 
seluruh tubuh dan siap digunakan setiap waktu. 
Sanggala yang merasa pasti kalau pemilik napas berat itu 
berada di balik dinding sebelah depannya, segera melompat 
cepat dengan pedang terhunus. Namun.... 
"Ayah...?!" 
Sanggala terpekik ketika mengenali sosok pemilik napas 
berat itu adalah ayahnya sendiri. 
"Sanggala...! Kaukah itu...?" tegur lelaki tegap yang tergolek 
lemah, bersandarkan dinding tanah lorong rahasia. 
Sanggala tidak mampu lagi menahan perasaannya. Tanpa 
menjawab pertanyaan ayahnya, pemuda itu langsung memburu 
dan memeluk tubuh Ki Wanalungga. 
"Ayah.... Kau..., terluka...? Apa yang sudah terjadi, Ayah? Di 
mana ibu...?" Sanggala langsung memberondong Ki

Wanalungga dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi 
kepalanya. 
"Sabar, Anakku. Kita harus tabah menghadapi cobaan berat 
ini...," bujuk Ki Wanalungga seraya menepuk-nepuk bahu 
putranya. 
Diam-diam lelaki gagah itu merasa bersyukur putranya 
tengah bermain di laut saat peristiwa itu terjadi. Kalau tidak, 
mungkin Sanggala sudah tewas di tangan lawan-lawannya yang 
berkepandaian tinggi. Terutama Ki Dayut Ganda yang berjuluk 
Datuk Lautan Timur. 
Dengan suara perlahan, Ki Wanalungga menceritakan 
peristiwa yang menimpa penduduk Pulau Setan. Sanggala 
mendengarkan dengan hati terbakar. Meski demikian, tak sekali 
pun cerita ayahnya dipotong. Baru setelah Ki Wanalungga 
selesai bercerita, Sanggala mengungkapkan rasa marah dan 
penasarannya. 
"Jadi kedatangan orang-orang jahat itu hanya karena sebuah 
benda yang sebenarnya tidak ada pada Ayah?! Lalu, dari mana 
Ki Brajanata mendapat berita bohong itu? Bagaimana pula 
nasib ibu? Apakah Ayah sudah mengetahuinya?" 
Kembali Sanggala melontarkan pertanyaan-pertanyaan 
kepada ayahnya. Agaknya pemuda itu sangat mengkhawatirkan 
keselamatan ibunya. 
"Entahlah, Sanggala. Aku sendiri tidak tahu, dari mana 
keparat Ki Brajanata mendapat berita bohong itu.... Tapi 
kelihatannya dia sangat yakin benda itu berada di tangan Ayah. 
Mengenai nasib ibumu..., dapat dipastikan tidak mungkin 
selamat. Sebab saat aku bertarung dengan Ki Dayut Ganda, 
sempat kulihat Ki Brajanata keluar dari dalam bangunan. 
Kemungkinan besar ibumu telah dibunuhnya...," jelas Ki 
Wanalungga dengan suara terpatah-patah.

Sesekali lelaki gagah itu menyeringai sambil memegang 
dadanya yang terasa bagai ditusuk ribuan jarum. Majikan Pulau 
Setan itu memang mengalami luka dalam yang parah! 
"Ayah, luka dalammu mungkin sangat parah. Kau harus 
menyembuhkannya dulu, setelah itu kita cari ibu," ujar 
Sanggala. Ucapan itu jelas menunjukkan Sanggala masih 
sangat hijau dengan pengalaman. 
Ki Wanalungga pun memaklumi ketidaktahuan putranya. 
Lelaki gagah itu tersenyum pahit dan menggelengkan 
kepalanya disertai helaan napas panjang. 
"Hhh.... Lukaku sangat parah, Sanggala. Selain orang yang 
memiliki tenaga sakti sempurna, tidak ada lagi yang dapat 
menolongku. Sekarang aku tak ubahnya orang lumpuh. Siapa 
pun dapat dengan mudah membunuhku. Sebaiknya, kau 
tinggalkan tempat ini, carilah kehidupan baru di tempat lain. 
Dan jangan sekali-kali berniat hendak membalas dendam, 
karena musuhmu bukan orang sem-barangan. Tokoh sakti 
seperti Datuk Lautan Timur sangat sukar dicari tandingannya. 
Kendati kau berlatih seumur hidup, tokoh itu belum tentu dapat 
dikalahkan. Untuk itu, tinggalkan tempat ini. Lupakan Pulau 
Setan, Anakku," ujar Ki Wanalungga menyadari saat 
kematiannya tidak akan lama lagi. Lelaki gagah itu ingin 
memberi nasihat untuk terakhir kalinya kepada putra 
tunggalnya. 
Batin Sanggala, menjerit mendengar ucapan ayahnya. 
Betapa tidak? Dia tidak mampu membalas sakit hati kedua 
orangtuanya pada orang-orang yang telah demikian kejam 
melukai ayah dan mungkin membunuh ibunya. Sehingga 
Sanggala menyembunyikan wajahnya, khawatir air matanya 
akan jatuh dan terlihat oleh ayahnya. Sanggala tidak ingin lelaki 
gagah yang sangat dicintainya itu menganggap dirinya pemuda 
cengeng.

"Tidak. Kalau Ayah tidak pergi, aku pun akan tetap tinggal di 
sini. Dan jika pergi, Ayah harus kubawa. Siapa tahu di daratan 
sana ada orang yang mampu menyembuhkan luka Ayah. Nanti 
malam, aku akan membawa Ayah pergi dari pulau ini," bantah 
Sanggala mantap, tidak dapat ditawar lagi. 
Mendengar ucapan itu, Ki Wanalungga hanya bisa menghela 
napas panjang. Lelaki gagah itu pasrah pada keinginan putra 
tunggal yang sangat disayangnya. 
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Ayah tidak bisa 
mencegah lagi, Sanggala. Hanya saja kita harus hati-hati. Siapa 
tahu mereka masih mencariku...," ujar Ki Wanalungga dengan 
suara perlahan. 
"Jangan khawatir, Ayah. Aku pasti dapat membawamu 
meninggalkan tempat ini...," sahut Sanggala merasa yakin 
mereka dapat meninggalkan Pulau Setan dengan selamat. 
Ki Wanalungga tidak menyahut. Rasa nyeri masih menggigit 
bagian dalam dadanya. Ki Wanalungga hanya bisa menggigit 
bibir, menahan rasa sakit yang dideritanya. 
*** 
TIGA


Dua sosok tubuh tampak melangkah di bawah siraman 
cahaya matahari siang. Pasir basah di tepi pantai, membuat 
jejak kaki mereka meninggalkan bekas yang cukup dalam. 
Rambut dan pakaian mereka berkibaran dipermainkan angin 
pantai yang bertiup keras. Tapi kedua sosok tubuh itu 
tampaknya tidak merasa terganggu. Malah terlihat mereka 
menikmatinya sepenuh hati.

"Sudah lama sekali kita tidak merasakan suasana seperti ini, 
Kakang. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin merasakan 
suasana laut. Bagaimana kalau perjalanan ini kita lanjutkan 
melalui samudera yang luas itu? Apa kau tidak merasa 
tertantang oleh gelombang yang bergulung-gulung itu, 
Kakang?" 
Terdengar suara merdu sosok tubuh ramping berpakaian 
serba hijau. Wajahnya yang jelita tampak kemerahan tersengat 
terik sinar matahari. Yang semakin menambah pesona dirinya. 
Pemuda tampan bertubuh sedang berjubah panjang warna 
putih tidak segera menjawab. Pandang matanya dilayangkan ke 
laut lepas, memandang ombak yang berkejaran menuju pantai. 
Baru kemudian beralih menatap wajah jelita di sebelahnya. 
"Kalau kau memang menginginkannya, aku setuju saja. Tapi 
kita harus mencari pelabuhan yang terdekat Sebab di 
perkampungan nelayan ini aku tidak menemukan kapal besar, 
yang ada hanya perahu penangkap ikan," sahut pemuda 
tampan berjubah putih itu. Pandangannya diedarkan ke sekitar 
tempat itu. Tapi sejauh mata memandang, yang terlihat hanya 
deretan perahu-perahu nelayan. 
"Lalu...." 
Dara jelita itu meminta kepastian dengan wajah dimiringkan, 
memandang pemuda tampan di sebelahnya. Melihat adanya 
pijar kemesraan dalam pandang mata mereka, dapat diduga 
pasangan muda itu bukan sekadar kawan seperjalanan. 
"Ya. Kita cari dermaga tempat kapal-kapal besar merapat 
Mungkin kita bisa menumpang bila kapal itu kembali bertolak," 
jawab pemuda tampan itu, menyetujui. 
"Kalau begitu kita harus mencarinya, Kakang...," ujar dara 
jelita itu lagi.

Pemuda tampan itu kelihatannya setuju saja. Tapi baru saja 
mereka hendak menjauhi tepi pantai, terdengar suara 
pertarungan yang cukup jelas. 
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" tanya pemuda tampan 
berjubah putih, kepada dara jelita yang tidak lain Kenanga. 
Sedang pemuda itu adalah Panji yang dalam rimba persilatan 
berjuluk Pendekar Naga Putih. 
"Ya. Aku mendengarnya, Kakang. Ayo kita lihat..!" ajak 
Kenanga. 
Kemudian tanpa menunggu jawaban Panji, dara cantik 
berpakaian serba hijau itu langsung melesat mencari sumber 
suara pertarungan. 
Tidak berapa lama kemudian, keduanya melihat seorang 
pemuda tampan berusia sekitar sembilan belas tahun, tengah 
mati-matian membela diri dalam keroyokan empat orang 
bertampang kasar. Sekali melihat saja, Panji bisa menilai pihak 
mana yang harus dibelanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, 
Pendekar Naga Putih segera berkelebat mendahului kekasihnya. 
"Haiiit..!" 
Plak! Plak! 
Begitu tiba, Panji langsung memasuki arena pertempuran 
dan menyelamatkan pemuda itu dari ancaman dua pedang 
lawan. Sehingga kedua orang kasar itu hampir terpelanting 
terkena tangkisan Pendekar Naga Putih. 
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?!" 
bentak seseorang yang bertubuh tinggi tegap. Sepasang 
matanya berkilat menatap wajah Pendekar Naga Putih. 
Rupanya lelaki itu sangat marah melihat campur tangan Panji.

Panji hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki bertubuh 
tegap itu. Dan dengan sikap yang tenang pertanyaan itu 
dijawabnya. 
"Kisanak. Persoalan di antara kalian memang bukan 
urusanku. Tapi sebagai orang gagah, aku tidak bisa tinggal 
diam melihat ketidakadilan terjadi di depan mata. Sudah 
menjadi kewajiban setiap manusia untuk memerangi 
ketidakadilan," ujar Panji, membuat lelaki tegap itu 
menggereng. 
"Hm.... Kalau begitu, kau pun harus segera kukirim ke 
neraka! Bersiaplah...!" geram lelaki tegap itu. Kemudian, anak 
buahnya diperintahkan untuk mengeroyok Panji. 
"Kisanak, hati-hati...," ujar pemuda tampan berusia sembilan 
belas tahun yang tubuhnya terlihat kokoh. "Mereka memiliki 
kepandaian tinggi." 
'Tenang. Aku akan berusaha menyingkirkan mereka...," 
jawab Panji seraya melangkah maju mendekati empat orang 
lawannya. 
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu, 
Pemuda Tolol...!" desis lelaki kasar yang bertubuh kekar dan 
otot lengan bersembulan. "Haaat...!" 
Sebelum Panji sempat menimpali ucapannya, lelaki kekar itu 
sudah menerjang dengan kepalan-kepalannya yang besar. 
Angin keras mengiringi setiap lontaran pukulannya, 
menandakan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya tidak 
bisa diremehkan. 
"Hmh...." 
Panji hanya mendengus melihat datangnya kepalan lawan. 
Dengan mengegoskan tubuh, kedua serangan itu pun luput di 
dekat sasarannya. Dan karena elakan Pendekar Naga Putih

dianggap suatu kebetulan, maka lelaki kekar itu pun 
mempergencar serangannya. 
Plakkk! 
Seielah bosan berkelit, akhirnya Panji menepis sebuah 
kepalan yang mengincar dadanya. Saat lawan terhuyung, 
Pendekar Naga Putih menyodok-kan sikutnya yang telak 
mengenai iga lawan. 
Dukkk! 
Lelaki kekar itu terkejut merasakan sodokan sikut yang 
membuatnya menyeringai. Bahkan merasa heran melihat kuda-
kudanya tergempur mundur. Maka amarahnya pun meledak. 
"Aaat.J" 
Sebelum lelaki kekar itu kembali melancarkan serangan, tiga 
orang pengeroyok lain sudah menghambur ke arah Panji. 
Kilatan-kilatan putih mulai memenuhi arena, saat tiga pedang 
lawan berkelebatan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. 
"Minggat kalian...!" 
Ketika pertempuran memasuki jurus kesepuluh, tiba-tiba 
Panji membentak sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri 
dan kanan Akibatnya.... 
Bresssh...! 
Ketiga lelaki kasar itu terpekik ngeri dengan tubuh terlempar 
hingga satu tombak lebih. Mereka menjadi gentar, karena tidak 
menyangka kalau pemuda tampan berjubah putih itu ternyata 
memiliki kepandaian tinggi. "Haaat..!" 
Tapi lelaki kekar berotot yang hatinya masih penasaran, 
kelihatan belum jera. Bahkan semakin memperhebat serangan, 
dan melipatgandakan kekuatannya untuk merobohkan 
Pendekar Naga Putih.

"Hm....!" 
Pendekar Naga Putih bergumam tak jelas melihat serangan 
yang dilancarkan lelaki kekar itu. Kali ini Panji tidak berusaha 
mengelak, malah seperti hendak menerima pukulan lawan 
dengan tubuhnya. 
"Ahhh...?!" 
Pemuda tampan yang diselamatkan Panji terpekik melihat 
kenyataan itu. Hampir saja dia menyerbu ke dalam arena. Tapi 
Kenanga yang juga menyaksikan perkelahian itu cepat 
menahannya. Sehingga pemuda itu tidak jadi membantu Panji, 
dan hanya bisa menatap dengan rasa ngeri. 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Kepalan yang besar dan kuat singgah dengan telak di tubuh 
Pendekar Naga Putih. Tapi yang berteriak kesakitan justru lelaki 
kekar itu. Bahkan tubuhnya terhuyung mundur sambil 
memegangi kepalannya yang bengkak. "Lari...!" 
Menyadari pemuda tampan berjubah putih itu bukan 
tandingan mereka, lelaki kekar itu segera menghambur 
meninggalkan tempat itu dengan mengajak ketiga kawannya. 
Panji hanya tersenyum melihat keempat lawannya melarikan 
diri tunggang-langgang. Pendekar Naga Putih tidak berniat 
mengejarnya, karena antara mereka dengan dirinya tidak ada 
permusuhan. 
"Mereka orang-orang jahat! Mengapa dibiarkan pergi begitu 
saja? Kelak mereka akan mencarimu dengan membawa kawan-
kawan dan pimpinannya."

Pemuda tampan bertubuh kokoh yang diselamatkan Panji 
menegur tak puas. Kelihatan sekali kalau tindakan Panji yang 
membiarkan lawan-lawannya melarikan diri disesalinya. 
"Apa yang menyebabkan kau bermusuhan dengan mereka? 
Kelihatannya kau sangat membenci orang-orang kasar itu," 
tanya Panji tanpa mempe-dulikan perasaan tak puas pemuda 
berpakaian serba biru itu. 
"Nanti kuceritakan. Sekarang aku hendak melihat ayahku. 
Beruntung mereka tidak begitu memperhatikan. Kalau saja 
ayahku sampai terlihat, mungkin mereka sudah 
membunuhnya....," ujar pemuda berpakaian serba biru yang 
tidak iain Sanggala, putra Majikan Pulau Setan. 
Rupanya pemuda itu berhasil meninggalkan Pulau Setan 
bersama ayahnya. Sayang mereka terlihat lawan, sehingga 
Sanggala nyaris tewas di tangan musuh-musuhnya. Untunglah 
Panji cepat datang menyelamatkannya. 
Melihat pemuda itu berlari masuk ke dalam hutan kecil, Panji 
dan Kenanga bergegas mengikuti. Sepasang pendekar muda itu 
kelihatannya sangat tertarik dengan kejadian yang menimpa 
pemuda itu Bahkan mereka bermaksud ingin membantu 
pemuda yang baru dikenal itu. 
*** 
"Ayah...!" panggil Sanggala menyeruak ke dalam sela 
bebatuan yang agak terlindung dari sinar matahari dan tertutup 
pepohonan berdaun rimbun. 
"Sanggala...," desis lelaki gagah yang tampak semakin payah 
dan pucat. 
Lelaki itu adalah Ki Wanalungga. Majikan Pulau Setan itu 
pergi dari pulaunya dengan membawa luka dalam yang 
semakin parah.

"Ayah...," desah Sanggala semakin iba melihat keadaan 
ayahnya. 
"Syukurlah kau selamat, Anakku. Apakah mereka sudah 
pergi dari tempat ini...?" tanya Ki Wanalungga belum 
menyadari ada dua orang lain yang datang bersama putranya. 
"Sanggala...," pangil Panji yang mengetahui nama pemuda 
itu dari panggilan orangtuanya. "Kelihatannya luka ayahmu 
sangat parah. Kalau tidak keberatan, aku ingin 
memeriksanya...." 
Sanggala tidak langsung menjawab. Dipandanginya Kenanga 
dan Panji berganti-ganti, seolah ingin menilai sepasang 
pendekar itu. Karena biar bagaimanapun, mereka baru saja 
bertemu. Nama kedua penolongnya pun belum diketahuinya. 
Jadi wajar saja jika Sanggala belum percaya sepenuhnya pada 
Panji dan Kenanga. 
"Bagaimana, Sanggala...?" kali ini Kenanga yang mengajukan 
permintaan. 
"Siapa mereka, Sanggala...?" tanya Ki Wanalungga ketika 
mendengar ada suara lain. Kening lelaki gagah itu berkerut 
ketika melihat sseorang lelaki dan perempuan muda 
membungkuk dan tersenyum padanya. 
"Kami sahabat putramu, Paman...," sahut Panji mendahului 
Sanggala menjawab pertanyaan Ki Wanalungga. 
"Merekalah yang menyelamatkan aku dari manusia-manusia 
jahat itu, Ayah...," jelas Sanggala ketika Ki Wanalungga 
menatap anaknya meminta penjelasan. 
"Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga. Kami 
kebetulan sedang lewat di tempat itu saat Sanggala 
bertempur," jelas Panji, langsung memperkenalkan diri tanpa 
diminta.

'Terima kasih atas pertolongan kalian...," ujar Ki 
Wanalungga. Lalu, terbatuk hebat hingga terlihat cairan merah 
di sudut bibirnya. 
"Luka dalam yang Paman derita kelihatannya sudah cukup 
parah. Bolehkah aku memeriksanya? Kalau dibiarkan berlarut-
larut bisa bertambah parah dan membahayakan nyawa 
Paman...," ucap Panji ketika melihat kesempatan baik untuk 
menawarkan bantuannya. 
"Luka ini sudah sulit disembuhkan, Panji. Aku sudah pasrah 
menanti kematian...," kata Ki Wanalungga. 
'Paman, sebelum kematian datang menjemput, kita wajib 
berusaha. Izinkan aku memeriksa lukamu. Siapa tahu aku bisa 
meringankan jpende-ritaan Paman," bujuk Panji. 
Pendekar Naga Putih langsung berjongkok di dekat Ki 
Wanalungga. Kemudian tangannya diulurkan ketika melihat 
orang tua itu terdiam, seolah menyetujui usulnya. 
"Hm.... Kita harus mencari tempat yang lebih baik untuk 
menyembuhkan luka ayahmu, Sanggala," ujar Panji setelah 
memeriksa Ki Wanalungga. 
"Kau bisa menyembuhkannya, Panji...?" tanya Sanggala 
setengah tak percaya. 
Sebab menurut penuturan ayahnya, luka itu hanya bisa 
disembuhkan oleh orang yang memiliki tenaga dalam 
sempurna. Sedang Sanggala tak yakin pemuda berjubah putih 
itu memilikinya. 
"Kita harus berusaha, Sanggala." 
Setelah berkata demikian, Panji mengeluarkan dua butir obat 
berwarna merah dan putih. Kemudian, memberikannya kepada 
Ki Wanalungga.

Lelaki gagah itu menatap Panji, lalu beralih ke obat yang 
diangsurkan. Agaknya Ki Wanalungga merasa obat yang 
diberikan Panji tak akan berguna. 
"Ambillah, Paman. Kedua obat ini dapat mengurangi rasa 
nyeri yang setiap kafi datang mengganggu di dalam dada...," 
jelas Panji, membuat sepasang mata Ki Wanalungga terbelalak. 
Rupanya orang tua itu kaget mendengar Panji mengetahui 
penderitaannya. 
Melihat Panji mengangguk, Ki Wanalungga segera menerima 
kedua pil itu, dan menelannya tanpa ragu. Wajah orang tua itu 
semakin memperlihatkan rasa kaget ketika beberapa saat 
setelah kedua pil itu masuk ke dalam perutnya, dirasakan ada 
sesuatu yang bergolak. 
"Luar biasa! Pil yang kau berikan sangat mukjizat, Panji!" 
ujar Ki Wanalungga sambil memperlihatkan senyum ketika 
merasakan sesuatu yang hangat dan sejuk berganti-ganti 
menjalar ke seluruh tubuh. Kenyataan itu membuat harinya 
gembira. 
"Syukurlah, Paman. Memang itu yang kita harapkan...," ujar 
Panji tersenyum lega. 
Sanggala yang melihat ayahnya sudah bisa tersenyum, 
menjadi heran. Tapi pemuda itu tidak bisa menyembunyikan 
kegembiraan hatinya. 
'Terima kasih, Panji. Meskipun ayahku belum sembuh, tapi 
kau telah mengurangi penderitaannya. Agaknya kau sengaja 
dikirim untuk menolong kami...," ucap Sanggala merasa 
gembira mendengar ucapan ayahnya. 
"Bahaya masih belum lewat, Sanggala. Mari kita ke 
penginapan terdekat untuk mengobati luka dalam ayahmu. 
Mudah-mudahan beliau dapat diselamatkan...," ujar Panji.

Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, tubuh Ki Wanalungga 
diangkat dan diletakkan di bahu kanannya. 
Semula Sanggala terkejut melihat perbuatan Panji. Namun 
ketika melihat pemuda itu hanya sekadar ingin menolong, 
legalah hati Sanggala. Tanpa banyak tanya, pemuda itu 
mengikuti Panji dan Kenanga mencari tempat yang lebih aman 
untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga. 
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah 
desa yang cukup ramai. Panji segera memesan tiga buah kamar 
di sebuah rumah penginapan bagi para pelancong dan 
pedagang keliling. 
*** 
EMPAT


"Untuk menyembuhkan luka ayahmu, aku memerlukan 
waktu paling sedikit dua hari, agar Ki Wanalungga terbiasa 
dengan tenaga yang kusa-lurkan ke tubuhnya. Tapi cara 
pengobatan ini cukup berbahaya, mengingat kau dan ayahmu 
masih diburu musuh," ujar Panji. 
Saat itu mereka berkumpul di kamar Sanggala untuk 
membicarakan penyembuhan Ki Wanalungga. 
"Apa bahaya yang kau khawatirkan, Panji?" tanya Sanggala 
yang memang belum banyak pengalaman. Sehingga tidak 
mengetahui bahaya menyalurkan tenaga sakti ke tubuh orang 
lain. 
"Begini, Sanggala. Saat aku menyalurkan tenaga saktiku ke 
tubuh ayahmu, kau dan Kenanga harus tetap siaga jika musuh 
datang menyerbu. Karena saat itu aku tidak bisa berbuat apa-
apa. Kalau sampai aku terganggu atau dibokong lawan,

mungkin aku akan mendapat luka dalam yang parah, dan 
kemungkinan besar ayahmu akan tewas. Itu sebabnya 
mengapa kita harus bicarakan terlebih dahulu sebelum 
melakukannya," jelas Panji membuat Sanggala mengangguk-
anggukkan kepala tanda mengerti. 
"Sungguh berbahaya sekali...," gumam Sanggala tidak 
menyangka kalau akibat yang akan ditanggung Panji sangat 
berat. 
Diam-diam Sanggala kagum dengan keluhuran budi pemuda 
itu. padahal mereka baru saling mengenal. Tapi pemuda 
tampan berjubah putih demikian tulus menolong dirinya dan 
ayahnya. Sampai-sampai berani menanggung akibat yang besar 
dan berbahaya. 
"Bagaimana? Apa kalian sudah siap? Nanti malam kita akan 
memulai pengobatan itu...," ujar Panji meminta jawaban 
Sanggala dan Kenanga. 
"Aku siap, Kakang...," sahut Kenanga mantap, tanpa 
keraguan sedikit pun. 
"Demi kesembuhan ayahku, aku siap mengorbankan 
nyawa...," Sanggala pun menjawab d^pgan tegas dan 
bersemangat, hingga Panji merasa puas. 
"Kalau begitu, kalian harus berjaga-jaga di luar kamar 
selama aku mengobati Ki Wanalungga...," ujar Panji memberi 
petunjuk pada kekasihnya dan Sanggala. 
"Baik," jawab keduanya serentak. 
*** 
Ketika gelap mulai datang menyelimuti bumi, Panji sudah 
siap melakukan pengobatan pada Ki Wanalungga. Pemuda itu

melekatkan kedua telapak tangannya di punggung Majikan 
Pulau Setan yang duduk bersila di depannya. 
Sedangkan Kenanga dan Sanggala berjaga-jaga di luar 
kamar. Kenanga kelihatan sangat tenang, karena sudah 
terbiasa menghadapi bahaya maupun ancaman maut Berbeda 
dengan Sanggala yang selama ini hidup di Pulau Setan. Apalagi 
menghadapi bahaya maut yang sewaktu-waktu datang tanpa 
dapat diduga. Maka tidak heran jika pemuda itu tampak 
gelisah. 
"Jangan terlalu tegang, Sanggala. Sebagai orang yang telah 
ditempa, kejadian seperti ini sudah menjadi bagian hidup kita. 
Dengan sikap tenang, kita akan bisa mengatasi segala ancaman 
yang datang," bujuk Kenanga mencoba menenangkan hati 
pemuda itu. Karena kegelisahan Sanggala terlihat jelas, tidak 
bisa disembunyikan. 
"Hhh.... Selama hidup, aku belum pernah merantau atau 
meninggalkan Pulau Setan. Kejadian-kejadian yang kualami 
belakangan ini membuat hidupku tidak tenteram. Tapi biar 
bagaimanapun, aku siap menghadapi ancaman maut...," ujar 
Sanggala, tidak malu mengakui perasaan hatinya kepada 
Kenanga. 
"Bersemadilah, Sanggala. Pusatkan pikiranmu dan jangan 
biarkan mengembara tanpa tujuan. Setelah itu, aku yakin kau 
akan merasa lebih enak...," Kenanga kembali memberi nasihat 
kepada Sanggala. 
Mendengar petunjuk gadis itu, Sanggala segera 
menurutinya. Pemuda itu agaknya menyadari, hanya itulah 
jalan satu-satunya yang dapat dilakukan agar hatinya menjadi 
lebih tenang, dan tidak selalu dihantui perasaan was-was. 
Kenanga tersenyum ketika melihat Sanggala menuruti 
petunjuknya. Dara jelita itu menyukai Sanggala yang tidak

mempunyai sifat sombong. Dan mau mempertimbangkan serta 
menuruti nasihat orang lain. Selama nasihat itu berguna bagi 
dirinya. 
Tapi baru beberapa saat Sanggala tenggelam dalam semadi, 
samar-samar Kenanga menangkap suara ribut di luar. Kamar 
mereka memang terletak di belakang. Tentu saja suara ribut itu 
membuat Kenanga terkejut. 
"Hm.... Kalau tidak ingat pesan Kakang Panji, aku akan 
memeriksa apa yang terjadi di luar sana. Mungkinkah musuh-
musuh Sanggala dan ayahnya telah menemukan tempat ini?" 
gumam Kenanga seraya meraba gagang pedangnya. Sengaja 
Sanggala tidak dibangunkan dari semadinya, sebelum 
mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi di luar 
sana. 
"Aaa...!" 
Kenanga mulai yakin kalau kemungkinan besar musuh-
musuh yang dikhawatirkan itu benar-benar datang. Cepat gadis 
itu menyadarkan Sanggala dari semadinya. 
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Sanggala yang merasa harinya 
menjadi lebih tenang setelah menjalankan semadi dengan 
sungguh-sungguh. 
"Aku mendengar suara jerit kematian di luar sana. Mungkin 
musuh-musuhmu telah mengetahui kalian menginap di desa ini. 
Aku ingin memeriksanya sebentar. Kau tunggu di sini, dan 
jangan pergi ke mana-mana...," pesan Kenanga yang merasa! 
penasaran ingin melihat apa yang terjadi dengan! pemilik 
penginapan. 
Sanggala tidak sempat mencegah- kepergian dara jelita itu, 
karena bayangan Kenanga segera lenyap dari pandangannya. 
Akhirnya, Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan

berjaga-jaga di depan pintu kamar dengan tangan siap di 
gagang pedang. 
*** 
Dugaan Kenanga ternyata meleset Memang benar di bagian 
depan penginapan itu telah terjadi keributan. Tapi yang datang 
mengacau bukanlah musuh-musuh Ki Wanalungga. Itu dapat 
diketahuinya saat melihat beberapa orang kasar memanggul 
barang-barang di bahunya. Rupanya mereka para perampok. 
"Keparat busuk...!" desis Kenanga. 
Saat itu dilihatnya seorang wanita cantik berusia tiga puluh 
tahun dibawa dengan paksa oleh seorang lelaki brewok yang 
tubuh bagian atasnya tidak tertutup pakaian. Tanpa banyak 
cakap lagi, Kenanga langsung melesat dan melepaskan sebuah 
tamparan keras ke kepala orang itu. 
Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Hebat sekali akibat tamparan telapak tangan dara jelita itu. 
Korbannya yang tak sempat mengelak, langsung terpelanting 
roboh. Dan melihat lelehan darah segar di kepala lelaki brewok 
itu, dapat dipastikan kalau batok kepalanya retak. 
"Kembalilah ke kamarmu. Biar aku yang akan memberi 
pelajaran pada perampok-perampok busuk itu...!" ujar Kenanga 
seraya menarik bangkit perempuan itu, dan mendorongnya ke 
ruang dalam. 
Kemudian, Kenanga yang sedang dilanda amarah itu 
melompat keluar mengejar perampok lainnya. 
"Hei, berhenti...!" bentak Kenanga seraya melesat dan 
melambung ke udara. Kemudian melayang turun setelah

berputar beberapa kali, dan menghadang enam lelaki kasar 
yang membawa barang-barang rampasan. 
Tentu saja keenam perampok itu terkejut bukan main 
melihat sesosok bayangan meluncur turun bagai jatuh dari 
langit. Mereka segera bergerak mundur sambil menghunus 
senjata. "Aihhh...?!" 
Salah seorang perampok yang melihat wajah Kenanga, 
berseru gembira. Betapa tidak? Sosok bayangan itu ternyata 
seorang dara yang cantik luar biasa. 
"Gadis cantik ini pasti bidadari yang turun dari langit untuk 
menemani kita!" seru perampok yang bermata sipit, setelah 
melihat wajah sosok yang menghadang mereka. 
"Manusia-manusia keparat!" desis Kenanga semakin 
bertambah marah mendengar ucapan lelaki itu. 
Kata-kata kotor yang dilontarkan mereka, membuat wajah 
Kenanga memerah. Maka tanpa banyak cakap lagi, Kenanga 
langsung menerjang orang terdepan dengan tamparan keras. 
Plakkk! 
"Akhhh...!" 
Tanpa ampun lagi, perampok bermata sipit itu terpelanting 
ke tanah. Tubuhnya berkelojotan seperti ayam disembelih. Dan 
sebentar kemudian, diam tak bergerak-gerak lagi. Perampok itu 
tewas dengan kepala retak! 
"Siluman...!" 
"Perempuan iblis...!" 
Kelima perampok itu terkejut dengan wajah pucat Mereka 
hampir tidak percaya kalau wanita yang memiliki kecantikan 
luar biasa itu dapat membunuh hanya sekali pukul! Sungguh 
tidak masuk di akal!

"Hm.... Orang-orang seperti kalian tidak patut dibiarkan 
hidup lebih lama. Kalian hanya menyusahkan orang lain saja. 
Karena itu,' aku akan mencabut nyawa kalian satu persatu! 
Siapa yang ingin maju lebih dulu...?" tantang Kenanga dengan 
sorot mata menggetarkan jantung. 
Kelima perampok itu saling bertukar pandang satu sama lain. 
Tentu saja tak seorang pun dari mereka ingin mati. Sehingga, 
tidak ada yang berani maju lebih dulu. 
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pikir kami akan lari 
ketakutan mendengar ancaman kosongmu! Walau kau memiliki 
ilmu iblis neraka sekalipun, aku tidak mau menyerah begitu 
saja!" 
Salah seorang perampok rupanya tidak merasa gentar. Jika 
kawannya tewas hanya sekali pukul, mungkin itu hanya 
kebetulan, pikirnya menghibur diri. Maka, kakinya pun 
melangkah maju dengan golok terhunus! 
Melihat seorang kawannya bergerak maju dengan senjata di 
tangan, yang lainnya pun tidak mau ketinggalan. Mereka 
segera bergerak mengurung dara jelita itu. 
"Hm..., bagus...!" desis Kenanga seraya mengedarkan 
pandangannya, merayapi wajah-wajah yang terlindung 
gelapnya malam. Dara jelita itu ikut berputar ketika para 
pengepungnya bergerak mengelilingi dengan kedudukan 
berpindah-pindah. "Haaat..!" 
Didahului sebuah pekikan nyaring, pengeroyok di belakang 
Kenanga menerjang sambil mengayunkan goloknya, disusul 
dengan yang lainnya berturut-turut. 
Bettt! Singgg!

Kilatan cahaya putih berkilauan mengancam tubuh Kenanga. 
Tapi dengan penuh ketenangan, dara jelita itu menggeser 
tubuhnya di antara sambaran sinar pedang lawan. Kemudian.... 
"Haiiit...!" 
Tiba-tiba Kenanga berseru nyaring. Seiring seruannya, 
tubuhnya berkelebat cepat disertai kilatan sinar putih yang 
berpendar menyilaukan mata. Memang, Kenanga telah 
mengeluarkan Pedang Sinar Rembulan untuk menghadapi 
lawan-lawannya Terdengar jerit kematian susul-menyusul 
memecah keheningan malam. 
"Aaa...!" 
Sekali Pedang Sinar Rembulan terhunus, kelima perampok 
itu roboh bergelimpangan dengan tubuh bermandikan darah! 
Kenanga berdiri tegak di tengah korban-korbannya. Setelah 
membersihkan pedangnya pada pakaian lawan, senjata itu 
kembali melingkari pinggangnya. 
Baru saja dara jelita itu hendak mengumpulkan barang-
barang rampokan untuk dikembalikan kepada pemiliknya, tiba-
tiba matanya menangkap sosok-sosok yang berkelebat cepat 
mendekati penginapan. Teringat akan musuh-musuh Ki 
Wanalungga dan Sanggala yang mungkin akan datang mencari 
kedua orang itu, Kenanga pun segera melesat naik ke atap 
rumah. Kemudian meluncur turun di samping rumah 
penginapan, dan terus berkelebat menuju kamar tempat 
kekasihnya sedang mengobati Ki Wanalungga. 
"Kenanga, mengapa lama sekali? Tadi aku mendengar jerit 
kematian berturut-turut Apa mereka musuh-musuhku...?" 
Sanggala langsung menyambut kedatangan Kenanga dengan 
pertanyaan. Tangan pemuda itu menggenggam pedang 
telanjang, karena sempat terkejut melihat bayangan berkelebat

menuju tempatnya berjaga. Hati Sanggala baru merasa lega 
setelah mengetahui bayangan itu adalah Kenanga., 
"Hm.... Hanya perampok perampok busuk yang tidak tahu 
diri. Aku terpaksa membunuh mereka. Selain pekerjaan mereka 
hanya menyusahkan orang banyak, mereka juga bermulut 
kotor dan menyebalkan," jelas Kenanga, membuat Sanggala 
menarik napas lega. 
"Perampok-perampok naas. Mengapa mereka melakukannya 
saat kita sedang berjaga-jaga. Sehingga harus menemui 
kematian di tanganmu...," gumam Sanggala tersenyum sambil 
menggeleng-gelengkan kepala memikirkan perampok-
perampok sial itu. 
"Jangan gembira dulu, Sanggala. Aku cepat-cepat kembali 
justru karena melihat sosok-sosok bayangan mencurigakan 
sedang menuju penginapan ini. Sebaiknya kita lebih berhati-
hati. Siapa tahu yang kulihat itu musuh-musuhmu," ujar 
Kenanga, membuat Sanggala berubah tegang. 
"Benarkah, Kenanga? Kalau begitu, kita harus bersiap-siap 
menghadapi mereka...," ujar Sanggala seraya menggenggam 
pedangnya erat-erat Sepasang matanya tampak berkilat 
memancarkan semangat tinggi yang membuat Kenanga 
tersenyum. 
"Aku selalu siap, Sanggala...," sahut Kenanga. 
Kemudian, dara jelita itu menggeser langkahnya menjauhi 
daun pintu. Kenanga mengerahkan indera pendengarannya 
untuk menangkap suara-suara mencurigakan. Suasana menjadi 
hening dan mencekam ketika Sanggala pun membisu tanpa 
kata. 
***

"Sanggala, bersiaplah! Mungkin mereka akan datang ke 
tempat ini...," ujar Kenanga dengan suara rendah. Jari-jari 
tangan dara jelita itu meraba gagang pedangnya, siap untuk 
digunakan. 
Sanggala yang belum menangkap ada gerakan di luar rumah 
penginapan menjadi tegang. Jemari tangannya semakin erat 
menggenggam gagang pedang. Dan beberapa saat kemudian, 
pemuda itu mendengar ada suara langkah dari sebelah kanan 
rumah penginapan serta dari atap rumah. 
Sanggala menggeser tubuhnya dari depan pintu ke tempat 
yang agak tersembunyi dari pandangan. Pemuda itu siap 
menghadapi segala kemungkinan dengan senjata di tangan. 
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki 
mendekati kamar tempat Panji sedang mengobati Ki 
Wanalungga. Dari suara langkahnya, dapat diketahui kalau 
yang datang tidak hanya satu orang. 
"Kau yakin mereka menginap di tempat ini...?" terdengar 
suara berat dan parau bertanya kepada kawannya. 
"Pasti, Kakang. Aku sudah menyelidiki sebelumnya. Dan 
telah bertanya pada beberapa orang penduduk," sahut sebuah 
suara, lantang tanpa keraguan sedikit pun. 
"Hm.... Tinggal tiga kamar di belakang ini yang belum kita 
periksa. Mudah-mudahan keterangan yang kau dapat tidak 
salah...," ujar suara pertama, separuh berharap. 
Suara langkah kala mereka semakin jelas terdengar. 
Agaknya tamu-tamu tak diundang itu ingin secepatnya tiba di 
kamar bagian belakang rumah penginapan. 
"Kalian hendak mencari siapa...?" tegur Kenanga yang 
langsung berdiri menghadang, ketika tiga sosok tubuh muncul 
dari pintu penghubung.

"Itu gadis yang telah menyelamatkan putra Majikan Pulau 
Setan! Pasti pemuda berjubah putih dan yang lainnya berada di 
tempat ini!" seru lelaki bertubuh tegap sambil menudingkan 
jarinya ke wajah Kenanga. 
Kenanga hanya mendengus melihat lelaki tegap yang siang 
tadi dihajar Panji. Gadis itu tidak berbicara separah kata pun, 
tapi segera menghunus senjata. Perhatiannya tertuju kepada 
sosok kakek bertubuh kurus dan lelaki gemuk brewok yang 
sedang menatapnya. 
Lelaki gemuk brewok yang tidak lain Ki Brajanata, menatap 
Kenanga dengan mata terbelalak, tak ubahnya seekor harimau 
lapar melihat kijang muda. Tapi hal itu tidak aneh. Selain sosok 
Kenanga sangat mempesona, Ki Brajanata pun seorang lelaki 
mata keranjang. Lelaki itu hampir meneteskan air liur melihat 
sosok yang begitu mempesona. Ki Brajanata yang sudah 
melangkah maju, terpaksa menunda gerakannya, ketika 
melihat tangan lelaki tua di sebelahnya melintang menghalangi 
jalannya. 
"Hati-hati, Ki Brajanata. Kelihatannya gadis jelita ini cukup 
berisi. Biar aku yang menghadapinya...," bisik lelaki tua yang 
tidak lain Ki Dayut Ganda, atau lebih dikenal berjuluk Datuk 
Lautan Timur. 
"Nisanak. Kami mencari telaki berusia sekitar lima puluh 
tahun yang sedang menderita luka parah. Juga seorang 
pemuda tampan berusia sembilan belas tahun yang 
mengenakan pakaian serba biru. Apakah kau melihatnya...?" 
tanya Ki Dayut Ganda tanpa melepaskan pandang matanya 
yang tajam ke wajah dara jelita berpakaian serba hijau itu. 
Tapi sebelum Kenanga sempat menjawab, Sanggala yang 
sejak tadi bersembunyi mendengar pembicaraan itu segera

melesat ke luar. Tentu saja perbuatan pemuda itu mengejutkan 
Kenanga. 
"Sanggala...!" tegur Kenanga. 
Tapi Sanggala tidak mempedulikannya. Pemuda itu sudah 
menghadapi ketiga orang musuh ayahnya, dan menudingkan 
senjatanya ke arah mereka. 
"Untuk menawan ayahku, kalian harus melangkahi mayatku 
dulu...!" bentak Sanggala dengan wajah kemerahan menahan 
amarah. 
"Bocah sombong!" desis Guntala, salah seorang pembantu 
utama Ki Brajanata. 
Sedangkan Ki Brajanata hanya tertawa terkekeh melihat 
tingkah pemuda itu, sepertinya melihat sesuatu yang lucu. 
Baginya, pemuda itu tak ubahnya seekor kijang muda yang 
menggertak harimau kelaparan. Perumpamaan itu membuat Ki 
Brajanata tak bisa menahan perasaan geli yang menggelitik 
hatinya. 
Wajah Sanggala semakin merah padam. Sepasang matanya 
berkilat memancarkan api kemarahan. Dia tahu kalau lelaki 
brewok itu menertawakan dirinya. 
"Hm.... Manusia-manusia pengecut! Kalian bisanya hanya 
mengeroyok! Kalau benar-benar jantan, kalian kutantang 
bertarung satu lawan satu sampai salah seorang di antara kita 
menggeletak jadi mayat! Nah, apa jawab kalian...?!" geram 
Sanggala seraya melangkah maju dua tindak hendak melewati 
Kenanga. Tapi dara itu segera merentangkan lengannya, 
menahan gerak maju tubuh pemuda itu. 
"Keparat! Kau sama keras kepalanya dengan ayahmu...!" 
bentak Ki Brajanata tak bisa menahan kegeraman hatinya.

Diiringi gerengan keras, tubuh lelaki gemuk itu melesat maju 
dengan sebuah tamparan telapak tangan yang mendatangkan 
hembusan angin menderu tajam. 
"Haiiit..!" 
Kenanga yang berada di depan Sanggala segera membentak 
nyaring. Tubuhnya bergerak ke depan menyambut serangan 
lelaki gemuk brewok bermata bengis itu. Dan.... 
Hak! Plak! 
"Akh...?!" 
Terkejut bukan main hati Ki Brajanata ketika merasakan 
betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di balik telapak 
tangan halus itu. Bahkan lelaki gemuk itu merasakan telapak 
tangannya panas dan nyeri. Tubuhnya tergeser mundur akibat 
tangkisan dara jelita itu. 
"Setan...!" umpat Ki Brajanata jengkel. Sambil menggereng 
marah, segera jurusnya disiapkan untuk menggempur Kenanga. 
"Hm.... Kau hadapi dara jelita itu, Ki Brajanata. Aku akan 
mencari Wanalungga...," ujar Ki Dayut Ganda seraya bergerak 
ke samping hendak melewati Kenanga. 
"Berhenti...! Selangkah lagi kau maju, jangan salahkan aku 
kalau tubuh peotmu remuk oleh pu-kulanku...!" ancam 
Kenanga segera melompat menghadang kakek itu. 
Ki Dayut Ganda terkekeh mendengar ancaman dara jelita itu. 
Sepasang matanya yang kecil semakin menyipit meneliti wajah 
jelita yang menghadang jalannya. Kenanga sendiri sudah 
meloloskan Pedang Sinar Rembulan. 
***

LIMA

Datuk Lautan Timur terbelalak ketika melihat sinar putih 
keperakan berpendar keluar dari badan pedang di tangan 
Kenanga. Kekehnya kemudian terdengar ketika mengetahui 
pedang di tangan dara jelita itu bukan pedang biasa. 
"Pedang bagus...!" puji Ki Dayut Ganda. 
Kemudian, tangannya diulurkan hendak meno-tok 
pergelangan Kenanga. Jelas Ki Dayut Ganda berniat merebut 
pedang di tangan gadis itu. 
Tapi betapapun cepatnya gerakan Ki Dayut Ganda, sepasang 
mata indah dara itu tidak bisa dikelabui. Sebelum serangan licik 
itu tiba, Kenanga sudah menarik lengannya dan memutar 
dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lengan kakek itu 
yang kini terancam mata pedang. 
"Hebat..!" kembali Ki Dayut Ganda mengeluarkan pujian 
melihat sambutan Kenanga. "Tidak mengecewakan kau 
memiliki pedang sebagus itu, Nisanak." 
Kenanga tidak tergoda oleh pujian lawan. Langkahnya 
segera digeser untuk menyiapkan jurus andalannya 
menghadapi kakek itu. Karena dalam gebrakan pertama tadi 
Kenanga sudah menilai kakek itu bukan orang sembarangan. 
Sementara Sanggala saat itu sudah bertarung melawan 
Guntala. Pemuda itu bertarung seperti banteng luka. Sehingga 
dalam beberapa jurus saja, pembantu utama Ki Brajanata itu 
kelabakan. Mata pedang lawan seperti tidak pernah jauh dari 
tubuhnya, selalu membayangi dan siap menghirup darahnya. . 
"Haaat...!" 
Saat Guntala berjuang sekuat tenaga untuk 
mempertahankan selembar nyawanya, tiba-tiba terdengar

teriakan nyaring. Seiring dengan pekikan itu, sesosok tubuh 
kekar melesat dan langsung menyerang Sanggala. 
Bettt! Bettt! 
Sanggala yang saat itu tengah mencecar lawannya, terkejut 
merasakan sebuah serangan hebat yang mengancam jalan 
darah kemarJan'di tubuhnya. Pemuda itu cepat melesat mundur 
sambil mengibaskan senjatanya untuk melindungi tubuh. 
"Syukurlah 'kau segera datang, Kakang Soganta. Terlambat 
sedikit saja, mungkin aku sudah menjadi mayat Pemuda ini 
tidak bisa dipandang ringan," ucap Guntala ketika mengetahui 
penolongnya adalah Soganta, tangan kanan Ki Brajanata. Lelaki 
kekar itu datang pada saat yang tepat 
"Haaat...!" 
Sanggala yang sangat dendam pada orang-orang yang telah 
merebut pulaunya dan membuatnya sengsara, segera 
menerjang dengan putaran pedangnya. Seluruh 
kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi kedua lawannya 
secepat mungkin. 
Sebagai putra Ki Wanalungga, Sanggala tentu sudah dibekali 
ilmu-ilmu tinggi. Pada saat ditolong Panji, dia dalam keadaan 
terdesak karena dikeroyok empat orang lawan. Tapi kalau 
hanya menghadapi Guntala dan Soganta, pemuda itu tidak 
dapat dikalahkan dengan mudah. Hanya saja Sanggala belum 
berpengalaman dalam bertarung. Sehingga seringkali terlihat 
ragu untuk mempergunakan kesempatan-kesempatan yang 
sering didapatinya dari kedua lawannya itu. 
Sedangkan Guntala dan Soganta adalah orang-orang kasar 
yang hidupnya lebih banyak dijalani dengan pertarungan-
pertarungan. Sehingga kedua pembantu utama Ki Brajanata itu 
memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Sanggala. Hanya

berkat keuletan dan ketabahannyalah Sanggala masih sanggup 
menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Pertempuran merka 
berjalan seimbang, hingga belasan jurus terlewati. 
Sementara Kenanga bertarung ketat melawan Ki Dayut 
Ganda. Dara jelita yang menyadari kesaktian lawannya setelah 
pertarungan semakin jauh, mulai menggunakan ilmu-ilmu 
andalannya. Baik yang disempurnakan Panji, maupun yang 
digabungkannya sendiri. Sehingga tidak mudah bagi Ki Dayut 
Ganda untuk segera melumpuhkannya. 
Ki Brajanata pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. 
Dia berusaha menerobos masuk ke dalam kamar yang tertutup 
dan dijaga ketat dara jelita itu. Karena meskipun Kenanga 
tengah bertarung melawan Datuk Lautan Timur, namun gadis 
itu selalu berusaha mencegah Ki Brajanata masuk ke dalam 
kamar. 
"Setan...!" geram Ki Brajanata yang setiap kafi bergerak 
maju, selalu kembali melompat mundur. Karena pedang sinar 
putih keperakan dara jelita itu selalu menghalanginya. 
"Haaat..!" 
Ki Dayut Ganda yang mengetahui maksud Ki Brajanata, 
berusaha mendesak dara jelita itu dengan serangan-serangan 
yang mematikan. Bahkan kakek kurus itu telah menggunakan 
senjata khasnya yang berbentuk dayung, namun kedua sisinya 
tajam seperti mata pedang. Dengan senjata aneh itu Datuk 
Lautan Timur berusaha merobohkan Kenanga. 
Kenanga sendiri berusaha sekuat tenaga untuk menghadapi 
gempuran kakek sakti itu. Dia sengaja tidak mau 
membenturkan pedangnya dengan senjata lawan, karena sadar 
tenaga saktinya masih kalah. Sehingga Kenanga lebih banyak 
menghindari bila dayung maut lawan mencecarnya. Dan 
sesekali membalas serangan lawan, hingga membuat hati

Ki Dayut Ganda semakin bertambah penasaran. 
*** 
Sedangkan di dalam kamar Ki Wanalungga! Panji tengah 
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkan ke 
tubuh Ki Wanalungga] Perlahan-lahan hawa sakti yang dingin 
meresa masuk ke dalam tubuh Ki Wanalungga. Kemudia Panji 
menggerakkan kekuatannya untuk mendorong keluar racun 
yang berada di tubuh Majikan Pulau Setan itu. Luka dalam yang 
diderita lelaki gagah itu sudah berubah menjadi racun, hingga 
FV Wanalungga sering terbatuk hebat sampai menger luarkan 
darah kehitaman. 
Wajah Ki Wanalungga perlahan-lahan beruba. kehitaman, 
ketika Panji mengerahkan kekuatanny untuk mengeluarkan 
racun itu. Untuk melakukannya bukan pekerjaan yang mudah 
bagi Panji. Penl dekar Naga Putih harus mengerahkan seluruh 
kekuatan tenaga saktinya agar Ki Wanalungga dapa sembuh 
seperti sediakala. Dan usaha Panji akan berhasil, kalau saja 
pada saat yang sangat menentukan itu, tidak muncul seorang 
lelaki yang sebagian wajahnya tertutup selembar kain hitam. 
Jleg! 
Sosok tubuh tinggi kurus itu meluncur turun setelah 
menjebol atap kamar. Gerakannya terlihat demikian ringan, 
pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi. 
Sosok tubuh itu melangkah mendekati Panji yang tengah 
tenggelam dalam usaha penyembuhan luka dalam Majikan 
Pulau Setan. 
"Hmhhh...!" 
Terdengar dengusan mengejek dari sosok tinggi kurus. 
Kemudian, semangatnya dikempos untuk memancing keluar 
seluruh tenaga sakti yang dimilikinya. Dan....


Desss...! 
Tanpa ragu-ragu lagi, dengan curangnya lelaki tinggi kurus 
itu mendorongkan telapak tangannya menggedor punggung 
Pendekar Naga Putih! Akibatnya.... 
"Aaa...!" 
Dalam keadaan yang sangat berbahaya, 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' yang seluruhnya sedang terpusat untuk 
menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga, langsung memecah 
ketika merasakan ada bahaya yang datang mengancam 
majikannya. Sebagian tenaga yang merasuk ke dalam tubuh Ki 
Wanalungga langsung berbalik melindungi tubuh Panji dari 
serangan gelap itu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus itu terpental 
balik menjebol bagian belakang dinding kamar yang terbuat 
dari kayu. Dan jatuh terguling-guling ke luar. 
Sedangkan yang dialami Ki Wanalungga tidak kalah 
mengejutkan. Akibat berbaliknya seluruh kekuatan yang tengah 
mendorong racun di dalami tubuh, tubuhnya bergetar hebat 
Dan memuntahkan darah segar dari mulurnya. 
"Huakhhh...!" 
Darah segar itu menyembur keluar membasahi balai-balai 
dan lantai di bawahnya. Kemudian tubuh Majikan Pulau Setan 
itu terjungkal dari atas balai-balai dan tak sadarkan diri. 
Sementara Pendekar Naga Putih mendapat akibat yang tidak 
ringan. Tubuh pemuda itu terlempar dari atas pembaringan dan 
terjerembab meng-hantam dinding depan kamar, tepat di 
sampingi pintu. Hantaman licik yang telak menghajar 
punggungnya, membuatnya muntah darah. Karena berbaliknya 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkannya ke tubuh Ki 
Wanalungga, membuat Panji mendapat luka dalam yang tidak 
ringan.

Sedangkan sosok tinggi kurus yang sebagian wajahnya 
dilindungi kain hitam, sudah merangkak bangkit meskipun 
dengan susah-payah. Kemudian bergerak memasuki kamar dan 
menyambar tubuh Ki Wanalungga. Dengan memanggul tubuh 
Majikan Pulau Setan di atas bahu kanannya, sosok tinggi kurus 
itu bergerak meninggalkan rumah penginapan. 
Sementara, Kenanga yang saat itu tengah terdesak hebat 
oleh gempuran Datuk Lautan Timuil terkejut mendengar suara 
ribut di dalam kamar yang dijaganya. Wajah dara jelita itu 
semakin pucat melihat sesosok tubuh menjebol dinding kamar 
di samping kanannya. 
"Kakang...?!" teriak Kenanga, yang langsung mengenali 
Panji. Dan karena kelengahannya itu, Kenanga menanggung 
akibat yang tidak ringan. Sebuah hantaman gagang senjata Ki 
Dayut Ganda mendarat di punggungnya. 
Bukkk! 
"Huakhhh...!" 
Darah segar menyembur keluar seiring dengan terlemparnya 
tubuh Kenanga. Kemudian, terus bergulingan ke dekat sosok 
Panji yang mulai bangkit meski dengan pandangan nanar. 
"Kenanga...?!" 
Panji berseru tertahan ketika matanya menangkap sosok 
bayangan hijau yang terguling di dekat kakinya. Cepat 
tangannya terulur meraih tubuh kekasihnya. 
Terpentalnya tubuh Panji ke luar kamar, membuat Ki Dayut 
Ganda dan Ki Brajanata saling berpandangan. Mereka merasa 
heran dengan kejadian itu. Seperti diperintah, keduanya 
bergerak ke dalam kamar melalui dinding yang jebol terlanggar 
tubuh Pendekar Naga Putih.

"Apa yang terjadi? Mana Ki Wanalungga...?" tanya Ki Dayut 
Ganda kepada Panji yang saat itu tengah berpelukan dengan 
kekasihnya. 
"Tidak perlu berpura-pura, Manusia Licik! Salah seorang dari 
kalian telah memasuki kamar dan membokongku dengan licik. 
Mungkin sekarang orang itu telah melarikan Ki Wanalungga...," 
desil 
Panji, membuat kedua tokoh sesat itu saling berpandangan 
dengan wajah menyiratkan keheranan. Rupanya mereka tidak 
memahami ucapan pemuda i berjubah putih itu. 
"Hm.... Kaulah yang menipu kami, Anak Muda! Kami datang 
ke tempat ini hanya berempat Tidak ada orang lain yang 
menginginkan Majikan Pulau Setan selain kami! Cepat serahkan 
Ki Wanalungga! Atau aku akan mencabut nyawamu sekarang 
juga...?!" bentak Ki Brajanata tidak mempercayai keterangan 
Panji. Dia menduga kalau Pendekar Naga Putih ingin 
menipunya dengan berpura-pura terkika dan menyembunyikan 
Ki Wanalungga darinya. 
"Hm.... Jangan samakan kami dengan kalian yang 
bergelimang kelicikan dan kejahatan! Kalau tidak percaya, aku 
tidak akan memaksa. Kami siapi menghadapi kalian sampai titik 
darah terakhir geram Panji tidak kalah gertak dengan Ki 
Brajanata: Sehingga lelaki gemuk itu menjadi ragu. 
"Kalau begitu, siapa lagi yang menginginkan! Majikan Pulau 
Setan? Hm... Dia pasti juga mengetahui perihal benda keramat 
itu...," gumam Ki Brajanata mulai mempercayai keterangan 
Panji danj berpikir tentang tokoh lain yang mungkin bertujuan 
sama dengan dirinya. 
"Sudahlah, Ki Brajanata. Sebaiknya kita segera mengejar 
orang itu. Kalau pemuda ini berbohong, kita akan kembali 
untuk memenggal batang lehernya...," ujar Ki Dayut Ganda


yang sejak tadi menatap sosok pemuda berjubah putih yang 
terluka itu 
Lelaki tua itu melihat sinar kejujuran di mata Panji. 
Sehingga, segera mengajak Ki Brajanata untuk melakukan 
pengejaran terhadap orang misterius yang telah menculik Ki 
Wanalungga. 
"Guntala, Soganta! Ayo, kita tinggalkan tempat ini...!" 
perintah Ki Brajanata, segera bergerak menyusul Ki Dayut 
Ganda. 
Kedua pembantu utama Ki Brajanata kelihatan sangat 
terkejut Mereka tidak mengerti, mengapa ketua mereka 
mengajak untuk meninggalkan tempat ini. Padahal dalam 
beberapa jurus lagi mereka dapat merobohkan putra Majikan 
Pulau Setan itu. Memang, Sanggala kelihatan sudah hampir 
tidak mampu lagi mengadakan perlawanan. Di beberapa bagian 
tubuhnya tampak luka goresan pedang. Bahkan bajunya sudah 
terkoyak di beberapa tempat 
"Ayo, Guntala...!" ajak Soganta melihat Ki Dayut Ganda dan 
pimpinannya telah melangkah pergi. Tanpa banyak cakap lagi, 
keduanya bergerak meninggalkan Sanggala yang jatuh 
terduduk kehabisan tenaga. 
"Sanggala...!" seru Kenanga dan Panji hampir bersamaan. 
Keduanya segera bergerak mendekati pemuda itu yang 
kelihatan sangat payah. Butir-butir keringat dan bercak-bercak 
darah terdapat di beberapa bagian tubuhnya. 
"Hhh.... Aku lelah sekali, Panji. Rasanya seluruh tenagaku 
terkuras habis...," desah Sanggala dengan napas tersengal-
sengal.

Panji dan Kenanga menghela napas lega. Pemuda itu tidak 
mendapat luka yang berbahaya, kecuali luka-luka kecil yang 
hampir tidak berarti. 
"Mengapa..., mereka pergi...? Bagaimana dengan ayahku? 
Apakah dia sudah sehat..?" tanya Sanggala, membuat Panji dan 
Kenanga saling berpandangan! 
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Sebaiknya pulihkan dulu 
tenagamu, nanti kuceritakan...," ujar Panji, tidak ingin 
membuat pemuda ituj terpukul. 
Pendekar Naga Putih sengaja tidak mengatakan terus terang 
mengenai kejadian yang dialaminya. Nanti, setelah keadaannya 
sudah cukup tenang, Panji akan menjelaskannya kepada 
Sanggala apa yang telah terjadi sebenarnya. 
Tanpa banyak cakap lagi, Sanggala segera mengikuti 
petunjuk yang diberikan Panji. Sebentar, kemudian, pemuda itu 
telah tenggelam dalam semadi 
"Kakang. Apakah kau tidak sempat mengenali pembokong 
licik itu?" tanya Kenanga, setelah Panji memberinya obat luka 
dalam. Keadaan tubuh dara jelita itu tidak terlalu 
mengkhawatirkan. 
Panji mengajak Kenanga untuk menjauhi Sanggala, agar 
tidak mengganggu semadi pemuda itu dengan pembicaraan 
mereka. Pendekar Naga Putih menghela napas panjang, 
sebelum menjawab pertanyaan Kenanga. 
"Semula aku menduga penyerang licik itu salah seorang dari 
mereka. Ternyata dugaanku keliru. Nyatanya lelaki gemuk yang 
bernama Ki Brajanata dan lelaki tua itu tidak tahu. Mereka pun 
hanya datang berempat tanpa membawa kawan lainnya. Aku 
tidak sempat melihatnya meskipun sekilas, karena manusia 
curang itu membokongku dengan sangat licik. Untung saja

tenaga saktiku bergerak memecah dan langsung melindungi 
tubuhku. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas oleh 
serangannya. Entah bagaimana nasib Ki Wanalungga. Mungkin 
dia langsung tewas karena kekuatanku tiba-tiba lenyap separo 
dari dalam tubuhnya. Tapi, mudah-mudahan Tuhan masih 
melindunginya," sahut Panji seraya melepaskan pandangannya 
ke langit kelam. 
"Jadi kau tidak sempat melihat bentuk tubuh maupun raut 
wajah pembokong itu, Kakang...?" tanya Kenanga lagi, 
menegasi. 
"Tidak. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat Mungkin 
selagi aku berusaha bangkit, orang itu sudah melesat pergi 
dengan membawa Ki Wanalungga," jawab Panji, membuat 
Kenanga menghela napas, seperti menyesali kejadian yang 
tidak diduganya itu. 
"Mungkinkah orang itu terluka, mengingat tenaga saktimu 
bergerak menahan gempurannya...?" 
Pertanyaan itu tidak begitu jelas terdengar, karena mirip 
sebuah desahan panjang. Tapi bagi Panji terdengar cukup jelas. 
"Jelas dia terluka akibat benturan itu, Kenanga. Tapi melihat 
dia dapat melarikan Ki Wanalungga dengan sangat cepat, 
rasanya penyerang gelap itu bukan tokoh sembarangan. Orang 
itu pasti berilmu tinggi atau bisa jadi salah seorang musuh lama 
Ki Wanalungga...," jawab Panji, mulai menduga-duga hubungan 
penyerang gelap itu dengan Majikan Pulau Setan. Karena baik 
dirinya maupun kekasihnya belum mengetahu secara jelas asal-
usul Ki Wanalungga dan Sanggala. 
"Nanti kita tanyakan saja kepada Sanggala, Kakang...," usul 
Kenanga yang agaknya ingin mengungkap misteri yang 
melibatkan mereka berdua.

"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku...?" 
Tiba-tiba terdengar sahutan atas usul Kenanga. Sanggala 
muncul dengan wajah dan tubuh lebih segar. Meskipun 
kesehatannya belum pulih seluruhnya, tapi pemuda itu 
kelihatan sudah bisa tersenyum. 
"Mari duduk bersama kami, Sanggala," ajak Panji kepada 
putra Majikan Pulau Setan itu. "Ada sesuatu yang ingin kami 
bicarakan denganmu...." 
Sanggala mengerutkan keningnya melihat sikap Panji dan 
Kenanga yang kelihatan bersungguh-sungguh. Pertanyaan 
tentang ayahnya yang sudah berada di ujung lidah ditahannya. 
Dia ingin mendengar lebih dulu, apa yang akan disampaikan 
kedua penolongnya itu. 
"Kami ingin menanyakan perihal ayahmu...," ujar Panji, 
setelah Sanggala duduk di hadapannya. 
Pertanyaan Panji seperti membuka peluang bagi Sanggala 
untuk menanyakan perihal ayahnya. Maka, sebelum menjawab 
pertanyaan Panji, Sanggala mengajukan pertanyaan lebih 
dahulu. 
"Aku melihat kamar itu berantakan dan ada ceceran darah di 
dekat balai-balai. Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji? 
Apakah ayahku berhasil mereka culik...?" tanya Sanggala 
seraya menatap wajah Panji. 
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab pertanyaan 
Sanggala. Dia hanya menghela napas panjang, dan 
mengalihkan pandangannya ke kegelapan malam. Sementara 
Sanggala menunggu dengan sabar. Apa yang akan disampaikan 
Panji, diduganya mungkin sangat berat Sehingga, Sanggala 
tidak mendesak penolongnya itu.

Suasana hening untuk beberapa saat. Panji tengah 
memikirkan kata-kata yang akan disampaikannya kepada 
Sanggala. Pendekar Naga Putih tidak ingin Sanggala menjadi 
kalap dan gelap mata, lalu bersikeras hendak mencari sendiri 
penculik ayahnya. Kenyataan seperti itu yang ingin dihindari 
Panji. 
*** 
ENAM


"Aku minta maaf jika apa yang akan kusampaikan ini 
membuatmu terpukul, Sanggala. Tapi percayalah, aku akan 
membantumu dengan sekuat tenaga," ujar Panji sebelum 
menyampaikan kejadian yang menimpa Ki Wanalungga. 
"Maksudmu, ayahku berhasil diculik mereka...?" tanya 
Sanggala tak sabar. 
"Benar, ayahmu telah diculik. Tapi bukan oleh mereka. 
Rupanya ada orang lain yang menginginkan ayahmu...," jawab 
Panji hati-hati dan matanya tak lepas mengamati perubahan 
wajah Sanggala. 
"Orang lain...? Siapa orang lain yang kau maksudkan itu, 
Panji?" desak Sanggala semakin tak sabar. Pemuda itu tidak 
menduga ada orang lain yang menginginkan ayahnya, selain 
musuh yang kini menguasai Pulau Setan. 
"Itu yang ingin kutanyakan padamu; Sanggala. Apa kau 
tahu, siapa musuh-musuh ayahmu? Dengan begitu, kita akan 
lebih muda melacak, ke mana ayahmu dibawa pergi orang 
misterius itu," ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam 
seolah hendak mencari jawaban pertanyaan itu.
"Setahuku, selama ini kami hidup tenang di Pulau Setan, 
tanpa mempunyai musuh seorang pun. Aku tidak tahu ada 
permusuhan apa antara ayahku dengan Ki Brajanata, orang 
yang telah menyerbu dan menguasai Pulau Setan. Selain 
mereka, aku tidak tahu...." 
Sanggala sungguh tidak mengerti dengan rentetan kejadian 
yang membuat keluarganya berang takan. 
"Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tenl tang sesuatu 
yang dapat kita jadikan pegangan untuk mengetahui 
penculiknya?" tanya Panji beri usaha mencari keterangan 
sebanyak mungkin. 
"Maksudmu...?" tegas Sanggala yang rupanya belum 
mengerti ke mana arah pembicaraan Panji 
"Begini, Sanggala. Apa kau tahu alasan Ki Brajanata merebut 
Pulau Setan dari ayahmu? Sebab, bukan mustahil penculik itu 
mempunyai tujuan yang sama," jelas Panji, membuat Sanggala 
tersentak kaget 
"Aku ingat sekarang!" seru pemuda itu, mengejutkan Panji 
dan Kenanga. "Ayah pernah bercerita tentang suatu benda 
keramat, yang menurutnya merupakan alasan Ki Brajanata dan 
kawan-kawannya merebut dan menguasai Pulau Setan. 
Sayangnya, ayah tidak tahu-menahu mengenai benda keramat 
yang dimaksud Ki Brajanata. Seperti apa bentuk benda itu, 
ayah pun tidak tahu. Entah dari mana manusia jahat itu 
mengetahuinya...?" 
"Benda keramat itulah yang menjadi pokok persoalan 
sebenarnya, Sanggala. Tapi, benarkah ayahmu tidak 
mengetahui benda keramat itu? Atau beliau sengaja 
merahasiakannya agar tidak diketahui orang lain," ucap Panji 
termenung memikirkan persoalan yang kini mulai menemui titik 
terang.

'Termasuk aku...?" Sanggala menegasi maksud ucapan Panji. 
"Mungkin. Tapi itu belum pasti, hanya sekadar dugaan," 
sahut Panji. 
Suasana jadi hening beberapa saat lamanya. Ketiga orang 
muda itu termenung dibawa arus pikiran masing-masing. 
"Jika benar benda itu ada pada ayah, tidak mungkin dia 
merahasiakannya padaku. Bukankah aku putra tunggalnya yang 
akan mewarisi seluruh peninggalannya kelak...?" gumam 
Sanggala, seolah berkata pada diri sendiri. Namun, terdengar 
jelas oleh Panji dan Kenanga. Sehingga kedua orang itu 
menoleh ke arah Sanggala yang kelihatan sangat berduka. 
"Sudahlah, Sanggala. Hal itu tidak perlu menjadi beban 
pikiranmu. Sebaiknya sekarang kita pikirkan ke mana kira-kira 
penculik itu membawa pergi ayahmu. Kita harus menemukan 
beliau secepatnya. Aku sendiri belum tahu bagaimana nasibnya. 
Mudah-mudahan Tuhan masih melindunginya...," hibur Panji, 
mencoba membangkitkan semangat pemuda berbaju biru itu. 
Sanggala yang merasa sedih bercampur geram karena 
ayahnya diculik orang tak dikenal, melirik sekilas ke arah Panji. 
Jelas terlihat sinar keputus-asaan pada sepasang matanya. 
"Sebelum meninggalkan Pulau Setan, ayah telah 
menasihatiku untuk melupakan semua peristiwa ini Karena 
meskipun aku belajar seumur hidup, aku tetap tidak akan 
mampu merebut Pulau Setan dari tangan mereka. Sebab 
kesaktian Datuk Lautan Timur sangat tinggi dan sukar dicari 
bandingannya...," keluh Sanggala, teringat ucapan ayahnya 
sebelum mereka meninggalkan Pulau Se tan secara sembunyi-
sembunyi 
"Ah! Aku baru ingat sekarang!" seru Panji seraya memukul 
keningnya dengan telapak tangan. "Pantas aku seperti pernah

melihat kakek kurus bersenjata dayung baja itu. Tidak salah 
lagi, dialah yang berjuluk Datuk Lautan Timur. Benarkah 
dugaanku, Sanggala?" 
"Aku pun belum pernah berjumpa dengan datuk sesat itu. 
Tapi menurut ayah, tokoh itu berusia sekitar tujuh puluh tahun 
dan bertubuh kurus. Kakek itu yang telah menyiksa dan 
melukai ayahku," ujar Sanggala yang hanya menyebut ciri-ciri 
dan usia datuk sesat itu, tanpa membenarkan ucapan Panji. 
"Hm.... Lalu, apa rencanamu sekarang? Apa kau tidak ingin 
mencari ayahmu, dan merebut Pulau Setan dari tangan 
mereka...?" tanya Kenanga, ingin mengetahui.isi hati Sanggala. 
"Mereka terlalu kuat. Nasihat ayah benar. Sebaiknya aku 
memang tidak usah memikirkan Pulau Setan lagi. Dan kalau 
benar ayah masih hidup, aku akan berusaha mencarinya...," 
jawab Sanggala dengan suara lemah dan tak bersemangat 
Rupanya dia sadar akan kemampuan dirinya. 
"Sanggala...," ujar Panji seraya duduk di samping pemuda 
itu. "Meskipun kita baru saling mengenal, tapi percayalah, kami 
berdua akan membantumu dengan sekuat tenaga. Baik untuk 
merebut Pulau Setan maupun mencari ayahmu...." 
'Tapi yang kita hadapi tokoh-tokoh sesat berkepandaian 
tinggi Mana mungkin kita bertiga sanggup melawan mereka?" 
sergah Sanggala penasaran. 
"Biarpun begitu, kita harus berusaha semampu kita, 
Sanggala. Soal berhasil atau tidak, Itu perkara nanti. Yang 
penting kita mempunyai semangat dan kemauan. Karena biar 
bagaimanapun, kejahatan pasti akan dapat dikalahkan...," ucap 
Panji bersemangat untuk menggugah semangat Sanggala yang 
telah pudar.

"Aku hanya tidak ingin kalian tewas karena menolongku," 
ujar Sanggala lemah. 
"Bagi orang-orang gagah seperti kita yang selalu 
mendahulukan kepentingan orang banyak, mati bukanlah hal 
yang menakutkan, Sanggala. 
Kala kami harus mati, tidak perlu kau sesali. Sebab kami 
membantumu dengan ikhlas," tegas Panji menekankan 
keinginan hatinya, membuat Sanggala terharu. 
Kalian terlalu baik padaku...," desah Sanggala, yang akhirnya 
bersedia menuruti perkataan Panji untuk merebut Pulau Setan, 
dan mencari ayahnya yang entah berada di mana. 
"Bagus! Ayo, kita segera berangkat sambil memikirkan 
langkah-langkah yang akan diambil...," ujar Panji lega, karena 
telah berhasil membangkitkan semangat hidup Sanggala. 
Malam itu juga ketiganya berangkat meninggalkan 
penginapan, setelah Panji membayar semua kerugian yang 
diderita pemilik rumah penginapan itu. 
*** 
Di siang hari yang terik, tampak sebuah perahu nelayan 
berlayar mengarungi lautan lepas. Penumpang perahui nelayan 
itu adalah tiga orang muda yang tak lain dari Panji, Kenanga, 
dan Sanggala. Tujuan mereka satu, Pulau Setan. 
Dengan ilmunya yang tinggi, tidak sulit bagi Panji untuk 
mempercepat perjalanan. Setiap kali menggerakkan dayung di 
tangannya, perahu melaju pesat membelah samudera. 
Sehingga, sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi 
pantai. 
Sanggala duduk di bagian depan perahu. Pemuda itu 
bertindak sebagai penunjuk jalan, sehingga perjalanan

berlangsung cepat Dan saat matahari semakin tinggi, Pulau 
Setan sudah tampak di depan mereka. 
"Sebaiknya kita mencari tempat yang agak tersembunyi 
untuk mendarat..," usul Sanggala ketika perahu mereka sudah 
semakin mendekati Pulau Setan. 
"Hm.... Berapa besar kekuatan mereka di pulau itu, 
Sanggala?" tanya Panji sebelum menjawab usul putra Majikan 
Pulau Setan itu. 
Sanggala yang tidak mengerti maksud pertanyaan Panji, 
menoleh ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Kelihatan 
sekali kalau pertanyaan Panji tidak begitu dimengertinya. 
"Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kurang lebih lima belas 
orang termasuk Ki Brajanata dan Datuk Lautan Timur," jawab 
Sanggala setelah terdiam beberapa saat. 
"Hm.... Kalau begitu kita tidak perlu datang dengan 
sembunyi-sembunyi. Lagi pula pulau itu adalah milikmu. Aku 
akan meminta dengan baik-baik agar mereka menyerahkannya 
padamu," jelas Panji, membuat Sanggala terkejut Sampai saat 
ini, Sanggala memang belum mengetahui Panji adalah 
Pendekar Naga Putih yang namanya telah menggetarkan rimba 
persilatan. 
"Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tapi mereka 
memiliki kepandaian tinggi. Ayahku sendiri bersama penduduk 
pulau tidak sanggup menghalau mereka. Jadi bagaimana 
mungin kita dapat menghadapi keroyokan mereka...?" tanya 
Sanggala, masih belum mengerti jalan pikiran Panji. 
"Mudah-mudahan mereka mau berdamai dengan kita, 
Sanggala," sahut Panji penuh harap. 
Suasana kembali hening. Sanggala yang masih belum 
mengerti jalan pikiran Panji jadi termenung. Pemuda itu heran
melihat keberanian Panji yang berniat memasuki pulau dengan 
terang-terangan. Padahal orang-orang yang saat itu menguasai 
pulau bukan tokoh-tokoh yang berilmu rendah. 
"Hhh...!" 
Akhirnya Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan 
menyerahkan segala keputusan kepada pemuda tampan 
berjubah putih itu. Apalagi Kenanga tidak kelihatan cemas saat 
mendengar ucapan Panji. Sehingga membuat Sanggala 
bertanya-tanya. Apa yang diandalkan kedua orang itu, sehingga 
mereka tidak merasa gentar menghadapi kematian? 
Sementara itu, perahu mereka sudah merapat di pantai. 
Panji segera melompat dan menarik perahu ke pantai berpasir. 
Sedangkan Sanggala dan Kenanga sudah lebih dulu melompat 
turun dan siap menghadapi orang-orang Pulau Setan yang 
mungkin telah mengetahui kedatangan mereka. 
Apa yang dikhawatirkan Sanggala memang tidak berlebihan. 
Baru saja mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tampak 
serombongan orang berlari mendatangi mereka. 
Panji yang baru saja selesai menyeret perahu ke atas pasir, 
segera melompat menghadang enam orang lelaki kasar yang 
datang dengan senjata teracung Hal itu dilakukan agar 
Sanggala tidak sempat menumpahkan kemarahan dan 
dendamnya kepada orang-orang yang telah merebut pulau itu. 
"Siapa kalian..?!" tegur seorang lelaki gemuk berperut buncit 
dengan kepala separo botak. 
Tapi begitu sepasang matanya memandang wajah Sanggala, 
lelaki itu bergerak mundur. Kemudian senjatanya disilangkan, 
siap menghadapi pemuda yang dikenalnya sebagai putra 
Majikan Pulau Setan. 
"Hmh...!"

Sanggala menggeram sambil mencabut senjatanya. Kilatan 
dendam dan nafsu membunuh terpancar jelas pada sepasang 
matanya. 
'Tahan, Sanggala. Biar aku yang menghadapi mereka...," 
cegah Panji melintangkan lengannya ketika melihat Sanggala 
bergerak maju. 
Pendekar Naga Putih memang bisa menahan tindakan 
Sanggala Tapi tidak bisa mencegah enam lelaki kasar yang 
bergerak maju dengan senjata siap dihunjamkan ke tubuh 
mereka bertiga. 
"Serbuuu...!" 
Lelaki berperut buncit yang separo kepalanya botak segera 
memerintahkan kawan-kawannya untuk menggempur Panji, 
Kenanga, dan Sanggala. Keenam orang itu rupanya sudah 
menduga, kalau kedatangan Sanggala ke pulau ini untuk 
membalas dendam dan mengambil kembali pulau yang menjadi 
haknya. 
"Sudah kuduga mereka tidak bisa diajak bicara baik-baik," 
desis Sanggala segera menghunus pedangnya dan langsung 
melompat menyambut datangnya serangan lawan. 
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan Sanggala. 
Pendekar Naga Putih tahu, keenam orang itu tidak mungkin 
dapat diajak berdamai. Apalagi saat melihat keenam lelaki itu 
sangat garang, memancarkan nafsu membunuh yang meledak-
ledak. Sehingga tanpa banyak bicara lagi, Panji langsung 
menghadapi dua orang lawan. 
Demikian pula dengan Sanggala dan Kenanga. Masing-
masing menghadapi dua orang lawan. Sebentar kemudian, 
pertarungan pun berlangsung tanpa bisa dicegah lagi. 
"Haaat..!"

Sanggala agaknya memanfaatkan kesempatan itu untuk 
membalas dendam. Maka serangan yang dilancarkannya sangat 
ganas. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga 
dalam beberapa jurus saja kedua pengeroyok kelabakan. 
Breeet! 
Seorang lawan Sanggala yang tak sempat menghindari 
sambaran pedangnya, langsung terjungkal mandi darah. Tewas 
seketika dengan luka memanjang di perut 
"Heaaa...!" 
Tanpa mempedulikan korban sambaran pedangnya, 
Sanggala kembali menggerakkan senjatanya ke arah lawan 
yang tinggal seorang. Kemudian mencecarnya tanpa 
memberikan kesempatan pada lawan untuk membalas. Hingga 
akhirnya.... 
Crakkk! 
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung tersungkur 
mencium tanah. Dan nyawanya terbang saat itu juga. 
Tenggorokannya nyaris putus oleh sambaran pedang putra 
Majikan Pulau Setan itu. 
Bukan hanya Sanggala saja yang telah menyelesaikan lawan-
lawannya. Panji dan Kenanga pun telah menyelesaikan 
pertarungan Bedanya, Panji dan Kenanga hanya melukai dan 
membuat lawan-lawannya tak sadarkan diri. Pasangan 
pendekar itu memang tidak berniat membunuh lawan-
lawannya. 
"Hm...!" 
Sanggala menggeram ketika mengetahui hal itu Cepat dia 
melompat hendak menghabisi nyawa keempat orang yang 
tergeletak pingsan. Tentu saja perbuatan itu membuat Panji 
dan Kenanga terkejut

"Sanggala, tahan...!" seni Panji mencegah pemuda itu agar 
jangan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. 
Tapi Sanggala tidak mau mendengarkan ucapan Panji lagi. 
Tebasan pedangnya yang menimbulkan angin berkesiutan tetap 
dilanjutkan. 
Plakkk! 
"Ahhh...?!" 
Sanggala kaget bukan main melihat sosok Panji melesat dan 
menepiskan lengannya. Sehingga pedang di tangan pemuda itu 
terlepas dari pegangan. Bahkan tubuh Sanggala terjajar 
beberapa langkah ke belakang. 
"Kau..., membela mereka...?." desis Sanggala dengan suara 
bergetar. Jelas, Sanggala tidak senang Panji mencegah 
maksudnya untuk menghabisi nyawa orang-orang jahat itu. 
"Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya bukan sifat 
orang gagah, Sanggala...," ujar Panji menentang tatapan tajam 
pemuda itu. 
"Kau tidak tahu, Panji! Mereka manusia-manusia keji yang 
membunuh ibu dan kawan-kawanku. Kalau sekarang kita 
ampuni, nanti mereka pasti akan mengulangi perbuatannya 
lagi. Aku tidak ingin orang lain mengalami nasib sepertiku. 
Maka aku harus membunuh mereka...," bantah Sanggala yang 
rasa dendamnya telah melewati batas. 
"Kita harus berjiwa besar, Sanggala. Siapa tahu setelah 
siuman, mereka akan berubah pikiran dan mau meninggalkan 
perbuatan jahat yang selama ini dikerjakan Berilah kesempatan 
kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Untuk 
menebus dosa-dosa yang telah mereka lakukan di masa lalu...," 
ujar Panji, tetap tidak menyetujui sikap Sanggala.

"Aku tidak percaya! Orang-orang jahat yang selama 
hidupnya selalu menyusahkan orang lain, past' akan kembali 
melakukannya. Mana mungkin orang berhari hitam.seperti 
mereka dapat menjadi orang baik-baik...?" kilah Sanggala, 
tetap pada pendiriannya. Sehingga Panji harus bersabar 
menghadapi pemuda yang tengah dilanda dendam itu. 
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Kalau memang mereka masih 
belum sadar dari kesesatannya, apa susahnya membunuh 
mereka...?" ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam. Karena 
merasa ucapan Panji benar dan tidak bisa dibantah lagi. 
"Sebaiknya kita segera mendatangi tempat tinggalmu. Siapa 
tahu Ki Brajanata dan Datuk Lautan Timur telah berhasil 
menemukan penculik tak dikenal itu dan membawa ayahmu ke 
pulau ini. 
Ketika melihat Sanggala terdiam, Panji langsung 
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengalihkan perhatian 
Sanggala. 
Kelihatannya usaha Panji berhasil. Terbukti Sanggala 
menganggukkan kepalanya. Biar bagaimanapun, menurutnya 
keselamatan ayahnya lebihi penting daripada membunuh 
orang-orang itu yang bisa dilakukannya lain waktu. Maka tanpa 
banyak cakap lagi, Sanggala segera membawa Panji darf 
Kenanga ke tempat tinggalnya yang telah direbut Ki Brajanata 
dan gerombolannya. 
*** 
TUJUH


"Aneh, mengapa pulau ini kelihatan sepi-sepi saja? Apakah 
Datuk Lautan Timur belum kembali...?" gumam Panji ketika tiba

di dekat sebuah bangunan besar tidak menemukan seorang 
manusia pun 
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang merasa heran. 
Sanggala pun kelihatan mengerutkan keningnya ketika 
mendapati tempat itu seperti tak berpenghuni. Langkah kakinya 
pun diperlambat, khawatir jika suasana itu sebuah perangkap 
lawan untuk menjebak mereka. 
"Hm.... Selama aku tinggal di pulau ini, belum pernah pintu 
gerbang bangunan ini tertutup. Mungkin dugaanmu tidak salah, 
Panji. Datuk Lautan Timur bersama Ki Brajanata dan dua orang 
pengikutnya belum kembali ke tempat ini. Kalau demikian, tidak 
sulit bagi kita untuk merebut pulau ini...," ujar Sanggala 
perlahan. 
Ada nada kelegaan dan kegembiraan dalam suara pemuda 
itu. Sebab dia tidak perlu bersusah-payah untuk merebut 
kembali tempat tinggalnya. 
"Sanggala, tunggu...!" seru Panji ketika melihat Sanggala 
hendak memasuki pekarangan sebelah dalam bangunan 
dengan melompati pintu gerbangj "Mengapa...?" tanya 
Sanggala, terpaksa menaJ han gerakannya dan menoleh ke 
arah Panji, seolah meminta penjelasan pemuda itu. 
"Suasana ini terlalu mencurigakan.... Aku khawatir, jangan-
jangan mereka telah mempersiapkan jebakan untuk kita...," 
jawab Panji, membuat Sanggala mengurungkan niatnya untuk 
melompati pintu gerbang. 
"Lalu, apakah kita harus memanggil mereka keluar...?" tanya 
pemuda itu seraya menatap Panji yang sedang meneliti 
keadaan di sekitar bangunan. 
"Kita tidak perlu melakukannya. Sebaiknya kau dan Kenanga 
berjaga-jaga di sini. Aku akan mencoba memeriksa keadaan

sebelah dalam bangunan ini. Seandainya benar tempat ini 
kosong, kalian boleh ikut masuk...," usul Panji. 
'Tapi aku tidak bisa diam berpangku tangan, sementara kau 
mempertaruhkan nyawamu untuk menolongku. Kau bisa 
celaka, Panji...," ujar Sa g-gala penuh kekhawatiran. 
Ucapannya itu tentu saja membuat Kenanga tersenyum. 
Sedang Panji diam-diam me gagumi pemuda berwatak polos 
itu. 
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Kakan Panji tentu bisa 
menjaga diri...." 
Kenanga akhirnya angkat bicara untuk meyakinkan Sanggala 
bahwa kekasihnya tidak perlu dikhawatirkan. 
"Yahhh.... Terserah kalianlah...," Sanggala akhirnya 
mengalah. 
Tapi sebelum Panji bergerak melompati pagar setinggi satu 
setengah tombak itu, tiba-tiba di kiri dan kanan pintu gerbang 
muncul sosok-sosok tubuh yang siap membidikkan anak panah 
ke arah mereka. Tentu saja Panji terkejut. Bagi dirinya dan 
Kenanga, mungkin serangan anak panah itu tidak bisa berbuat 
banyak. Tapi, apakah Sanggala mampu menghalau hujan anak 
panah itu? 
"Mundur...!" seru Panji. 
Kemudian, Pendekar Naga Putih langsung menyambar tubuh 
Sanggala dan melesat beberapa tombak menjauhi pintu 
gerbang. 
Tindakan Panji memang sangat tepat Karena pada saat 
melompat terdengar suara berdesingan, pertanda anak panah 
telah dilepaskan lawan. 
Zinggg! Zinggg!

Suara berdesingan yang memekakkan telinga mengiringi 
datangnya hujan anak panah yang puluhan jumlahnya. 
Kenanga meloloskan Pedang Sinar Rembulan untuk menghalau 
hujan anak panah yang mengancam tubuhnya. 
Terdengar suara benda keras berparahan ketika pedang dara 
jelita itu meruntuhkan belasan anak panah yang menuju ke 
arahnya. Gerakan itu memang tidak sulit dilakukan oleh 
seorang dara seperti Kenanga yang memiliki kecepatan dan 
kekuatan melebihi ukuran manusia biasa. 
Panji yang saat itu masih mengapung di udara, segera 
mengibaskan lengan kanannya ke belakang dengan 
mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga puluhan anak panah 
itu langsung runtuh ke tanah sebelum mencapai sasarannya. 
Baru terbuka mata Sanggala akan kehebatan Panji dan 
Kenanga, saat melihat cara mereka menghalau datangnya 
hujan anak panah. Sebab, ayahnya sendiri belum tentu mampu 
melakukannya. Apalagi dia yang kepandaiannya masih berada 
di bawah ayahnya. Kini Sanggala yakin akan dapat merebut 
pulau itu dengan bantuan dua orang sahabatnya yang ternyata 
memiliki kepandaian tinggi. 
"Aneh, mengapa jumlah mereka jadi berlipat ganda? Padahal 
sewaktu aku meninggalkan pulau ini, mereka hanya berjumlah 
kurang lebih lima belas orang. Heran, dari mana datangnya 
orang-orang itu...?" gumam Sanggala terkejut bukan main 
melihat jumlah lawan ternyata cukup banyak. Paling sedikit 
jumlah mereka sekitar lima puluh orang. 
"Hm.... Menurutku mereka pengikut Datuk Lautan Timur. 
Mungkin tokoh sesat itu telah membawa anak buahnya untuk 
tinggal di pulau ini. Dan itu tidak terlalu mengherankan, 
mengingat datuk sesat itu ikut membantu Ki Brajanata merebut 
pulau ini...," sahut Panji, menduga-duga.

Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Ki Dayut 
Ganda memang telah membawa para pengikutnya untuk 
bergabung dengan pengikut Ki Brajanata. Itu sebabnya, 
mengapa Ki Dayut Ganda tidak khawatir meninggalkan pulau 
dalam waktu cukup lama. 
"Keparat licik! Pantas sampai saat ini mereka belum kembali! 
Rupanya pulau ini telah dijaga ketat oleh pengikut-
pengikutnya...!" geram Sanggala merasa harapan untuk dapat 
merebut tempat itu sangat kecil. Sebab, jumlah lawan sangat 
banyak dan telah terlatih baik untuk menghadapi setiap 
serbuan yang datang ke pulau itu. 
"Hm.... Satu-satunya jalan, kita harus membuka paksa pintu 
gerbang. Jika tidak, akan sulit sekali untuk mendekat dan 
memasuki bagian dalam bangunan. Sebaiknya kau tunggu di 
sini, Sanggala. Aku akan mencoba menghancurkan pintu 
gerbang itu," ujar Panji seraya bergerak maju mendekati 
bangunan yang dijaga ketat oleh pasukan-panah. 
"Biarkan Kakang Panji melakukannya, Sanggala...," cegah 
Kenanga ketika melihat Sanggala hendak beranjak mengikuti 
Panji. 
Pemuda itu pun hanya memandang dari jauh apa yang akan 
diperbuat Pendekar Naga Putih. 
Melihat sosok pemuda tampan berjubah putih bergerak 
mendekati pintu gerbang, hujan anak panah pun kembali 
berdesingan ke arah sosok Panji. Tapi Pendekar Naga Putih 
tidak mempe-dulikannya, dan tetap melangkah maju tanpa 
terganggu hujan anak panah yang mengenai tubuhnya. Kecuali 
yang mengarah ke bagian matanya, Panji tidak peduli. Setiap 
anak panah yang menyentuh tubuhnya selalu runtuh ke tanah, 
tanpa mampu menembus lapisan kabut bersinar putih 
keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

"Luar biasa sekali kesaktian kekasihmu, Kenai nga. 
Seharusnya pemuda sepertinya mendapat julukan dari kaum 
rimba persilatan...," desis Sanggala takjub melihat Panji dengan 
tenangnya terus bergerak mendekati pintu gerbang. 
Sanggala melihat setiap anak panah yang menyentuh tubuh 
Pendekar Naga Putih langsung runtuh ke tanah, tanpa melukai 
kulit atau merusak pakaiannya. Sanggala menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat kejadian itu. 
'Tentu saja dia mempunyai julukan. Apa kau belum 
mengetahuinya...?" sahut Kenanga tenang, menyembunyikan 
senyumnya. 
Tentu saja jawaban dara jelita itu membuat Sanggala 
menoleh dengan kening berkerut 
"Apa julukannya, Kenanga? Mengapa kalian tidak 
menceritakannya padaku...?" tanya Sanggala yang sangat 
bernafsu mengetahui julukan Panji. 
"Kakang Panji dijuluki Pendekar Naga Putih. Apa kau pernah 
mendengarnya...?" jawab Kenanga! sambil meneliti perubahan 
wajah Sanggala. 
Dara jelita itu tidak yakin kalau Sanggala' pernah mendengar 
tentang Pendekar Naga Putih. 
Sebab menurut Sanggala, dia tidak pernah meninggalkan 
Pulau Setan sejak kecil. Jadi, kemungkinan besar pemuda itu 
belum mendangar nama besar Panji. 
"Pendekar Naga Putih...?" gumam Sanggala mengulang 
julukan Panji dengan wajah tercenung. 
Rupanya, putra Majikan Pulau Setan itu sedang mengingat-
ingat, kapan dan di mana pernah mendengar orang menyebut 
julukan itu.

"Ahhh.... Aku ingat sekarang! Beberapa waktu lalu 
sekembalinya ayah dari daratan, dia pernah bercerita tentang 
seorang pendekar muda yang membuat kaum sesat kalang-
kabut. Sungguh tidak kusangka kalau pendekar besar itu Panji," 
ujar Sanggala tidak menyembunyikan rasa kagumnya. 
Kemudian, kembali dipandanginya sosok Panji yang saat itu 
berada di dekat pintu gerbang. 
*** 
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang kelihatan sangat 
kokoh, Panji langsung mendorong sepasang lengannya ke 
depan dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. 
Dan.... 
Krakkkhhh...!

Diiringi suara berderak keras, pintu gerbang yang terbuat 
dari kayu tebal itu pecah berantakan! Serpihan kayunya 
menyebar ke segala arah. Tanpa menunggu reruntuhan itu 
jatuh ke tanah, Panji langsung melesat menerjang ke dalam. 
Melihat Panji sudah menerobos masuk, Kenanga segera 
mengajak Sanggala menyusul. Tubuh keduanya melesat 
menuju bangunan dengan pengerahan ilmu lari cepat 
Pendekar Naga Putih saat itu sudah dikepung sekitar tiga 
puluh orang bertampang kasar. Tapi sikapnya tetap tenang 
sambil menatap wajah-wajah pengepungnya. 
"Aku ada keperluan penting dengan Datuk Lautan Timur dan 
Ki Brajanata! Tolong kalian panggilkan kedua tokoh itu...!" seru 
Panji mengerahkan tenaga dalam melalui suaranya, sehingga 
terdengar jelas dan lantang. 
"Siapa kau, Anak Muda? Sebut namamu, baru kami 
menyampaikannya kepada pimpinan kami...," seorang 
pengepung yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju 
sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki sampai ke ujung 
rambut 
"Hm.... Katakan saja kepada pimpinanmu kalau putra 
Majikan Pulau Setan menginginkan agar dia segera angkat kaki 
dari tempat ini!" sahut Panji, membuat wajah lelaki kekar itu 
merah padam. 
"Lancang sekali bicaramu, Anak Muda! Apa kau pikir kami 
budakmu, sehingga dapat kau suruh-suruh seperti itu..?!" 
bentak lelaki kekar itu sambil menuding wajah Panji dengan 
ujung pedangnya. 
"Aku tidak mengatakan demikian. Tapi kalau kalian ingin 
menjadi budak-budakku, aku tidak keberatan...," sahut Panji 
lagi, membuat lelaki kasar itu mendengus kasar.

"Keparat! Rupanya kau datang untuk mencari mati!" bentak 
lelaki kekar itu tak bisa menahan kemarahannya lagi 
Dengan teriakan parau, lelaki itu segera memerintahkan 
orang-orangnya untuk menggempur pe-t muda berjubah putih 
itu. 
"Haaat..!" 
"Heaaa...!" 
Terdengar bentakan susul-menyusul diiringi berkelebatnya 
para pengepung menyerbu Panji J Senjata-senjata di tangan 
mereka berkilauan menuju sasaran. 
Panji tetap berdiri tegak dengan sikap tenang, siap 
menyambut para pengeroyoknya. Kemudian kakinya bergerak 
ke kiri dan kanan menghindari! sambaran pedang yang susul-
menyusul datang mengancam tubuhnya. Sepasang tangannya 
pun bergerak kian kemari membagi-bagi pukulan, membuat 
lawan terdekatnya langsung terpelanting tanpa mampu bangkit 
lagi Sepak terjang pemuda itu membuat para pengeroyoknya 
kaget. 
Ketika dalam beberapa gebrakan saja delapan orang 
tergeletak di tanah, para pengeroyok Panji' pun bergerak 
mundur dengan wajah berubah.] 
Terlihat rasa gentar pada wajah-wajah mereka. 
"Sebaiknya turuti saja kata-kataku. Panggil pimpinanmu agar 
kalian tidak merasakan kerasnya kepalanku...," ujar Panji, 
lantang. 
"Jangan dengarkan omongan pemuda keparat itu! Ayo, 
serang dia...!"
Lelaki kekar yang memimpin kawan-kawannya, berteriak 
memberi perintah. Sehingga Panji pun kembali diserbu dari 
segala penjuru. 
Di bagian lain, Kenanga menghadapi keroyokan belasan 
pengikut Datuk Lautan Timur. Dara jelita itu menggunakan 
senjatanya yang berkelebat kian kemari membawa hawa 
kematian. Setiap kafi pedangnya bergerak, selalu ada sosok 
lawan yang terjungkal mencium tanah dengan tubuh 
bermandikan darah. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu 
lama, Kenanga telah merobohkan tujuh orang pengeroyok. 
Kendati demikian, para pengeroyoknya tidak merasa jera. 
Mereka terus menyerbu disertai teriakan-teriakan keras. 
"Haiiit..!" 
Untuk yang kesekian kalinya, pedang di tangan dara jelita itu 
kembali berkelebat meminta korban! Dua sosok pengeroyoknya 
terjungkal dan tewas seketika. Darah segar semakin-banyak 
menggenangi permukaan tanah dan menyebarkan bau anyir. 
Di arena lain, tidak jauh dari pertarungan Kenanga, Sanggala 
tengah mengamuk menghadapi keroyokan dua belas orang 
lawan. Pemuda itu rupanya hendak membalaskan dendamnya 
yang] menggumpal di dalam dada. Ingatan tentang ayah,j ibu, 
serta saudara-saudara seperguruannya, mem-j buat Sanggala 
lebih mirip iblis haus darah! Pedang; di tangannya tak pernah 
berhenti bergerak. Dalam sepuluh jurus, empat orang 
pengeroyok telah berhasil dirobohkannya. Semua tewas dengan 
leher1 hampir putus! Sungguh mengerikan sepak teriang 
pemuda yang hatinya terbakar dendam itu. 
"Yeaaat..!" 
Breeet! Breeet! 
"Aaa...!"

"Aaakh...!" 
Dua orang pengeroyok terdepan langsung terjungkal dengan 
tubuh bersimbah darah. Sanggala yang seperti tidak pernah 
puas itu, tidak mem-pedulikan korban sambaran pedangnya. 
Dia terus merangsek maju mencari korban berikutnya. 
Sementara itu para pengeroyok Panji semakin menipis. 
Sudah dua puluh orang lebih yang bergelimpangan pingsan 
terkena pukulan atau tendangannya. Sehingga lawan yang 
tinggal dua belas orang termasuk lelaki kekar yang menjadi 
pimpinan, bergerak mundur tanpa diperintah. Rupanya kali ini 
mereka memang merasa gentar pada pemuda tampan berjubah 
putih itu. 
Pendekar Naga Putih menghentikan gerakannya dan 
melangkah satu-satu menghampiri lawan-lawannya yang tenis 
bergerak mundur. 
"Mengapa majikan kalian belum kelihatan batang hidungnya? 
Apa dia takut melihat kehadiranku...?" tanya Panji sambil 
menatap wajah-wajah yang kini kelihatan sangat pucat. 
Dan ketika tak seorang pun menjawab pertanyaannya, 
Pendekar Naga Putih segera melangkah memasuki bagian 
dalam bangunan. Tapi.... 
"Haaat..!" 
Lelaki kekar pemimpin para pengikut Datuk Lautan Timur, 
tiba-tiba melesat cepat disertai kelebatan pedangnya. Jelas, 
lelaki itu tidak menginginkan Pendekar Naga Putih 
menginjakkan kakinya di bagian dalam bangunan besar itu. 
"Hm...." 
Panji mendengus melihat serangan lawan. Tangan kanannya 
terulur memapaki sambaran pedang, kemudian mengirimkan

serangan balasan dengan hantaman telapak tangan ke tubuh 
lawan. 
Plakkk! 
Sebelum telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat 
menyentuh tubuh lawan, tiba-tiba terdengar teriakan 
melengking nyaring disusul berkelebatnya sesosok tubuh 
memapak hantaman telapak tangannya. Seman kaget 
terdengar dari sosok bayangan hitam yang menyambut 
serangan Panji. 
Pendekar Naga Putih sendiri sempat terkejut merasakan 
lengannya bergetar.. Meskipun kuda-kudanya tidak sampai 
tergempur mundur, tapi cukup mengejutkannya. 
"Datuk Lautan Timur...?!" desis Panji ketika melihat sosok 
kakek bertubuh kurus yang berdiri menatapnya dengan sorot 
mata berkilat tajam. 
"Bagus, jika kau sudah mengetahui siapa aku...," geram 
kakek yang memang Datuk Lautan Timur dengan wajah dingin. 
Dipandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih itu 
dengan penuh selidik. 
Panji pun tidak mengalihkan pandang matanya dari wajah 
kakek kurus itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya kedua 
tokoh sakti itu saling bertatapan tajam. 
"Rupanya kau sengaja menipuku agar tidak segera kembali 
ke pulau ini. Lalu kau pergunakan kesempatan itu untuk 
menyerbu pulau ini. Sungguh suatu tipu muslihat yang sangat 
jitu dan patut dipuji...," ujar Datuk Lautan Umur, tanpa 
melepaskan pandang matanya. 
Diam-diam Datuk Lautan Timur terkejut melihat kilatan sinar 
bola mata pemuda itu yang mengandung perbawa amat kuat

Hatinya mulai menduga-duga, siapa pemuda tampan berjubah 
putih itu. 
"Apa maksudmu, Datuk Lautan Timur? Aku tidak bermaksud 
menipumu. Ki Wanalungga memang telah diculik oleh orang tak 
dikenal. Katakan saja kalau kau tidak bisa menemukan penculik 
itu. Tidak perlu berdalih karena ketidakmampuan-mu..," balas 
Panji tenang. 
"Hm.... Rupanya kau harus dipaksa untuk mengatakan di 
mana keparat Wanalungga berada...!" geram Datuk Lautan 
Timur sambil menyiapkan jurus andalannya untuk menggempur 
Panji. 
Agaknya benturan tadi membuat Datuk Lautan Timur lebih 
berhati-hati. Lelaki tua yang bernama Ki Dayut Ganda itu 
merasakan kekuatan tenaga Panji. 
Pendekar Naga Putih yang juga menyadari sepenuhnya kalau 
kakek itu bukan lawan yang ringan, segera menggeser tubuh 
dua langkah ke samping. Kemudian, menyiapkan ilmu 
andalannya untuk menghadapi Datuk Lautan Timur. 
"Haaat..!" 
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, tubuh Ki Dayut 
Ganda melesat ke arah Panji dengan serangan mautnya. 
Sepasang tangannya berputaran menimbulkan suara bercicitan 
saat meluncur ke arah Panji. Kenyataan itu menunjukkan kalau 
tenaga dalam Datuk Lautan Timur tidak bisa dipandang ringan. 
"Haiiit..!" 
Panji tidak ingin menunggu serangan lawan tiba di dekatnya. 
Maka, tubuhnya langsung melesat menyambut serangan lawan. 
Sebentar saja, kedua to-j koh sakti itu telah terlibat dalam 
sebuah pertarungan sengit dan mendebarkan!
*** 
DELAPAN


Kemunculan Datuk Lautan Timur, berarti juga kemunculan Ki 
Brajanata dan dua pembantu utamanya. Rupanya mereka 
memutuskan kembali ke Pulau Setan, setelah gagal 
menemukan penculik Ki Wanalungga. Kedatangan mereka 
memang pada saat yang tepat. Terlambat sedikit saja, bukan 
tidak mungkin Panji, Kenanga, dan Sanggala sudah menguasai 
pulau itu. 
"Bedebah...!" bentak lelaki gemuk berwajah brewok. 
Lelaki yang tak lain dari Ki Brajanata itu marah sekali ketika 
melihat pengikut-pengikutnya banyak yang tewas di tangan 
Kenanga dan Sanggala yang dikenalnya sebagai putra tunggal 
Ki Wanalungga. Maka tanpa banyak cakap lagi, Ki Brajanata 
segera melesat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan 
serangan kilat 
Whuuut' 
Merasakan ada desingan tajam datang dari belakangnya, 
Kenanga langsung menoleh. Pedang di tangannya bergerak 
menyambut ketika melihat kelebatan pedang mengancam 
tubuhnya. 
Tranggg! 
"Aihhh...?!" 
Ki Brajanata yang terlalu memandang rendah dara jelita itu 
terpekik kaget. Tubuhnya hampir terpelanting terkena 
tangkisan lawan yang demikian kuat. Untunglah keseimbangan

tubuhnya masih dikuasai. Sehingga tidak sampai terbanting 
jatuh dalam satu gebrakan saja. 
"Hm.... Bagus kau muncul, Ki Brajanata. Dengan begitu, aku 
bisa sekaligus mengirimmu ke neraka. Kasihan pengikut-
pengikutmu di sana. Mereka pasti akan kehilangan jika kau 
tidak menyertai mereka," ujar Kenanga dengan nada mengejek. 
Hingga paras Ki Brajanata merah seperti terbakar. 
"Awas kau, Perempuan Liar! Kalau sampai tertawan olehku, 
kau akan kupermainkan sepuas hatiku...!" geram Ki Brajanata 
dan segera menyilangkan pedangnya di depan dada. 
Kenanga hanya tertawa kecil mendengar ucapan lelaki 
gemuk itu. Dara jelita itu tidak gentar mendengar ancaman 
yang menyembunyikan niat kotor itu. 
"Hiaaat...!" 
Ki Brajanata segera menerjang maju tanpa memberi 
kesempatan lawan untuk bersiap. Lelaki gemuk brewok itu 
memang berwatak curang dan licik. 
Bettt...! 
Kenanga menggeser tubuhnya dengan gerakan 
menyamping. Sehingga tusukan pedang lawan lewat setengah 
jengkal di sisi tubuhnya. Kemudian, langsung dikirimkannya 
serangan balasan yang cepat dan kuat 
Ki Brajanata yang mengetahui kekuatan lawan, tidak ingin 
membenturkan senjatanya kalau tidak terpaksa, karena itu 
hanya akan merugikan dirinya sendiri. Maka ketika serangan 
balasan dara jelita itu datang, Ki Brajanata melompat ke 
belakang. Dan kembali membangun serangan yang lebih hebat 
Pertarungan pun terus berlanjut sengit!
Di bagian lain, Sanggala kembali berhadapan dengan 
Guntala dan Soganta. Sadar kalau kedua orang lawan sangat 
lihai, Sanggala segera mengerahkan seluruh kemampuan untuk 
menahan gempuran lawan-lawannya. Dan sesekali 
mengirimkan serangan balasan bila melihat ada peluang yang 
terbuka. 
Dalam jurus-jurus awal, pertarungan mereka kelihatan 
seimbang. Kedua belah pihak saling berusaha untuk segera 
merobohkan lawan. Sehingga pertempuran jadi sangat seru 
dan mendebarkan. 
Di tempat lain, pertarungan Panji dan Datuk Lautan Timur 
semakin meningkat Apalagi tokoh sesat berkepandaian tinggi 
itu sudah menggunakan senjata dayung maut andalannya. 
Pertarungan itu membuat orang-orang yang berada di dekatnya 
segera menjauh. Karena angin pukulan kedua tokoh itu dapat 
menewaskan, meski dalam jarak satu setengah tombak. 
Sehingga arena pertempuran kedua tokoh sakti itu agak 
terpisah dari dua pertarungan lainnya. 
Panji yang menggunakan tangan kosong dengan 
mengerahkan 'Ilmu Silat Naga Sakti', mampu mengatasi 
serangan dayung maut Datuk Lautan Timur. Sehingga kakek itu 
semakin penasaran. 
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah men-curigaimu, 
Pendekar Naga Putih! Ternyata penglihatanku tidak salah...!" 
geram Ki Dayut Ganda yang kini dapat menebak jati diri 
pemuda tampan berjubah putih itu. Maka kakek itu pun 
semakin memperhebat serangannya, setelah mengetahui siapa 
lawannya. 
"Haiiit..!" 
Untuk kesekian kalinya, Datuk Lautan Timur kembali 
memperdengarkan pekik yang menggetarkan jantung.

Sehingga beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu 
dan tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, langsung roboh 
sambil mendekap dada yang teras nyeri dan sesak. Dapat 
dibayangkan, betapa dahsyatnya pekikan Datuk Lautan Timur! 
Sayangnya pekikan itu tidak berpengaruh bagi Pendekar 
Naga Putih. Hingga Datuk Lautan Timur semakin penasaran. 
Dan sampai jurus kesembilan puluh dua, kakek itu masih belum 
mampu melukai Panji. Jangankan melukai, menyentuh 
pakaiannya pun sangat sulit dilakukan. 
"Heaaah...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus tiga belas, 
riba-riba Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan keras 
yang terasa merontokkan jantung. Bersamaan dengan itu, 
tubuhnya melesat ke depan dengan kecepatan yang sulit 
ditangkap mata. Sepasang tangannya digerakkan menyilang 
berganti-ganti, membuat pandangan Datuk Lautan Timur 
kacau. Sehingga.... 
Bukkk! Desss...! 
"Huakkkh...!" 
Dua buah hantaman keras membuat tubuh kakek itu 
terjungkal muntah darah. Lalu jatuh berguling-guling sejauh 
satu tombak lebih. Dan ketika bangkit berdiri, terlihat kuda-
kudanya goyah. Sedang kedua tangannya mendekap dada yang 
terkena hantaman Panji. 
Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesaikan 
pertarungan, langsung melesat ke depan dengan mendorong 
sepasang telapak tangannya. Dan Datuk Lautan Timur yang 
senjatanya telah terpental dari genggaman, hanya bisa 
menatap dengan wajah pucat bagai mayat Maka.... 
Bresssh...!

Bagaikan selembar daun kering tubuh Datuk Lautan Timur 
terpental deras. Darah segar kembali menyembur.ke luar dari 
mulutnya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh renta itu terbanting di 
tanah dan tewas dengan dada remuk! 
Melihat lawannya telah tewas, Panji menoleh ke arah 
pertarungan lain. Betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih 
ketika melihat Sanggala terdesak hebat oleh dua orang 
pengeroyoknya. Bahkan tubuh pemuda itu telah dipenuhi luka 
yang mengucurkan darah. Maka tanpa membuang-buang 
waktu lagi, Panji segera memasuki arena pertarungan. Dan 
begitu tiba, kedua tangannya langsung dikibaskan ke kiri dan 
kanan memapaki sambaran pedang dua pembantu utama Ki 
Brajanata yang siap menghabisi nyawa Sanggala. 
Plak! Bresssh...! 
"Aaakh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu terpelanting 
deras. Bahkan Soganta lebih sial dari Guntala, karena dadanya 
terkena hantaman telapak tangan Panji. Akibatnya, darah segar 
menyembur keluar dari mulut lelaki kekar itu. Setelah 
berkelojotan beberapa saat, tubuhnya diam tak bergerak lagi. 
Soganta tewas dengan isi dada pecah! 
Sanggala pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. 
Ketika melihat tubuh Guntala terhuyung-huyung, maka dengan 
sisa-sisa tenaganya, pemuda itu menerjang maju dengan 
tusukan pedang lurus tertuju ke jantung lawan. 
Blesss! 
"Aaakh...!" 
Guntala terpekik ngeri ketika pedang di tangan Sanggala 
masuk ke dalam perutnya hingga setengah. Wajah lelaki itu 
menegang menahan rasa sakit yang dideritanya.

"Heahhh...!" 
Seiring bentakan itu, Sanggala menarik keluar pedangnya 
yang terbenam di tubuh lawan. Darah segar pun mengucur 
keluar dari luka yang dalam itu. Dan tubuh Guntala roboh 
mencium tanah dengan nyawa terbang ke alam baka. 
"Aaakh...!" 
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jerit kematian 
keluar dari mulut Ki Brajanata. Tubuh lelaki gemuk bermata 
bengis itu terpelanting terkena sambaran pedang Kenanga yang 
merobek tubuh bagian depannya. Ki Brajanata pun tewas 
menyusul yang lainnya. 
Para pengikut Datuk Lautan Timur dari Ki Brajanata yang 
masih selamat langsung melempar senjata mereka, setelah 
melihat kedua pemimpinnya tewas. Mereka berlutut di depan 
ketiga pendekar itu sambil meminta ampun. 
Sanggala menoleh ke arah Panji seolah meminta keputusan 
pemuda itu. Pendekar Naga Putih tersenyum dan melangkah 
menghampiri lima belas lelaki bertampang kasar itu. 
"Minta maaflah kepada majikan muda kalian, yang mulai hari 
ini jadi Majikan Pulau Setan," ujar Panji seraya menoleh ke arah 
Sanggala yang menerima keputusan itu dengan senyuman. 
Sebagai pertanda kalau pemuda itu mengampuni bekas musuh-
musuhnya. 
'Terima, kasih, Tuan Muda Sanggala...!" ujar kelima belas 
lelaki kasar itu yang merasa bersyul karena telah diampuni. 
Mereka berjanji akan mengabdi kepada Sanggala, Majikan 
Pulau Setan yang baru 
***

"Sanggala. Menurut dugaanku, ayahmu mungkin dilarikan ke 
pulau ini...," ujar Panji setelah mereka membereskan semua 
kerusakan di tempat itu, dan membuang ke laut mayat-mayat 
yang berserakan. 
"Mengapa kau menduga demikian, Pendekar Naga Putih...?" 
tanya Sanggala heran. 
"Karena benda keramat itu pasti berada di sekitar pulau ini. 
Jika orang misterius itu ingin membunuh ayahmu, untuk apa 
dia harus bersusah-payah melarikannya. Padahal kesempatan 
untuk itu telah terbuka lebar...," jelas Panji yang mulai 
menemukan jawabannya setelah merangkai semua peristiwa-
peristiwa yang terjadi. 
"Lalu di mana benda keramat itu disembunyikan?" tanya 
Sanggala. 
"Hm.... Apakah seluruh keluargamu secara turun-ternurun 
tinggal di pulau ini?" tanya Panji. 
Pendekar Naga Putih memang mulai menemukan titik terang 
dari semua kejadian yang menimpa penghuni Pulau Setan. 
Sanggala hanya mengangguk menjawab pertanyaan Panji. 
Kening pemuda itu tampak berkerut merasakan pikirannya 
mulai terbuka. 
"Apa kau ingin mengatakan kalau benda keramat itu 
tersimpan di sekitar makam leluhurku..?" duga Sanggala seraya 
menatap Panji dengan wajah menegang. 
"Itu hanya dugaanku, Sanggala," sahut Panji, membuat 
Sanggala segera melesat meninggalkan tempat itu. 
"Ikuti aku...!" teriak Sanggala tanpa mengurangi kecepatan 
larinya. "

Tanpa banyak tanya lagi, Panji danjfenanga bergegas 
mengikuti pemuda yang terus bergerak menuju ke arah selatan 
Pulau Setan. 
"Makam leluhurku terletak di selatan pulau ini. Di sana ada 
sebuah bangunan kuno yang tidak terlalu besar. Tapi tak ada 
seorang pun yang berani memasukinya selama ini," jelas 
Sanggala sambil tetap berlari. 
"Mudah-mudahan dugaanku tidak keliru. Dan kita bisa 
menemukan ayahmu di sana...," sahut Panji berharap agar 
persoalan itu segera terungkap. 
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di daerah 
pekuburan yang tidak terlalu luas. Di dalamnya terdapat enam 
belas makam dalam ukuran sedang. 
"Itu bangunan yang kumaksudkan...," ujar Sanggala seraya 
menudingkan jarinya ke sebuah bangunan yang terbuat dari 
batu dan tidak terlalu besar namun terlihat sangat kokoh. 
Tiba-tiba Panji menarik lengan Sanggala dan Kenanga, 
sehingga langkah keduanya tertahan. 
"Aku mendengar suara bentakan yang samar...," ujar Panji 
sebelum keduanya sempat bertanya. Karena Panji 
mengatakannya dengan berbisik, Sanggala dan Kenanga pun 
mengerti kalau mereka tidak boleh mengeluarkan suara terlalu 
keras. 
"Aku tidak mendengar apa-apa...," bisik Sanggala mencoba 
mengerahkan indera pendengarannya. Tapi tetap saja tidak 
dapat menangkap suara yang dimaksudkan Panji. 
"Aku juga belum bisa mendengarnya...." 
Kenanga pun tidak berbeda dengan Sanggala. Dara jelita itu 
tidak mendengar suara yang didengar kekasihnya.

"Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan menyelidikinya...," 
ujar Panji yang dijawab dengan anggukan oleh Sanggala dan 
Kenanga. Panji segera bergerak maju dengan langkah hati-hati. 
Suara bentakan samar itu mulai bertambah jelas terdengar, 
membuat Pendekar Naga Putih semakin mempercepat 
langkahnya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, langkah Panji 
tidak menimbulkan suara. Sehingga tidak mudah ditangkap 
pendengaran manusia biasa. 
Langkah Pendekar Naga Putih terhenti di sebuah mulut gua 
yang berukuran sedikit lebih besar dari tubuhnya. Kemudian, 
Panji merapatkan tubuhnya di dinding mulut gua. Dan berusaha 
menjenguk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi di dalam 
sana. 
"Keparat kau, Saluya! Tidak kusangka kau semakin terseret 
jauh ke dalam lumpur kesesatan! Kalau yang kau maksudkan 
benda keramat itu peninggalan leluhurku, sampai mati pun aku 
tidak akan memberitahukannya kepadamu. Sebaiknya kau 
bunuh saja aku! Percuma kau menakut-nakuti-ku...!" 
Terdengar suara parau dan lemah, menandakan pemilik 
suara itu tengah menderita luka dalam. 
"Ki Wanalungga...?!" desis Panji yang segera dapat 
mengenali pemilik suara itu. 
"Hm.... Kalau kau tetap keras kepala aku akan menyiksamu, 
hingga kau menyesal telah dilahirkan di dunia ini!" bentak suara 
lainnya yang terdengar garang dan penuh kemarahan 
Kini semakin jelaslah bagi Panji, apa yang sedang 
dipertengkarkan kedua orang yang berada di dalam gua itu. 
"Murid murtad! Lakukan apa yang kau ingin kau ingini! Tapi 
jangan harap aku akan memberitahukan di mana benda

keramat itu tersimpan!" terdengar suara Ki Wanalungga 
menyiratkan kemarahan yang terpendam di dalam hati. 
"Hm.... Jadi penculik itu salah seorang murid Ki Wanalungga 
yang telah berkhianat dan memilih jalan sesat..," gumam Panji 
semakin mengerti. 
Terdengar suara langkah kaki bergerak menuju mulut gua. 
Panji yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka, segera 
melayang naik ke atas pohon yang berada tidak jauh dari mulut 
gua. Dan ketika sesosok tubuh jangkung muncul dari mulut 
gua, Pendekar Naga Putih langsung meluncur turun dan 
menghadangnya. 
"Siapa kau...?! Mau apa datang ke tempat ini...?!" bentak 
lelaki jangkung itu terkejut sambil meraba gagang pedang di 
pinggangnya. 
"Hm.... Kau sungguh seorang murid yang tidak berbudi, 
Saluya. Untuk itu kau harus dihukum!" geram Panji, membuat 
lelaki jangkung itu terkejut mendengarnya. 
Tapi Panji tidak memberikan kesempatan kepada Saluya 
untuk mengungkapkan keheranannya. Pendekar Naga Putih 
segera menerjang maju untuk membekuk lelaki jangkung yang 
telah berkhianat kepada gurunya untuk mendapatkan benda 
keramat yang bukan miliknya. 
Beeet! 
Tamparan tangan Panji mengenai angin kosong, karena 
Saluya telah menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek ke 
samping. Bahkan mulai memberikan perlawanan dengan 
serangan-serangan yang cepat dan kuat. Tapi semua serangan 
itu tidak berarti banyak bagi Pendekar Naga Putih, karena 
dengan mudah dapat dielakkannya. Sebentar kemudian,

keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang tidak 
seimbang. 
Setelah lewat dua puluh jurus Saluya menyerang habis-
habisan, Pendekar Naga Putih segera menundukkan lelaki 
jangkung itu dengan sebuah tendangan keras. Kontan tubuh 
Saluya terpental dan jatuh di atas sebuah makam. 
"Setan belang...!" 
Saluya mengumpat seenaknya. Tapi belum sempat lelaki itu 
berdiri tegak, Pendekar Naga Putih telah mengirimkan sebuah 
pukulan yang bersarang telak di tubuhnya. 
Bukkk! 
"Huakkkh...!" 
Pukulan keras itu membuat Saluya memuntahkan darah 
segar. Tubuhnya menggigil seketika, karena Pendekar Naga 
Putih telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. 
Saluya agaknya tidak sanggup menahan pukulan keras itu. 
Terbukti, lelaki jangkung itu langsung! menggeletak pingsan. 
Sementara darah segar masih mengalir dari bibirnya. 
Panji segera meninggalkan tubuh lawannya. Pemuda itu 
bergerak memasuki gua dan menyelamatkan Ki Wanalungga 
yang keadaannya semakin bertambah parah. 
Setelah memberikan dua butir pil berwarna merah dan putih 
yang langsung ditelan lelaki tual itu, Panji segera memapah Ki 
Wanalungga keluar j dari dalam gua. 
"Ayah...!" 
Sanggala berteriak ketika melihat Panji melangkah sambil 
menggendong tubuh Ki Wanalungga di bahu kanannya dan 
tubuh Saluya di bahu sebelah kiri.

"Penculik ayahmu adalah Saluya, Sanggala," jelas Panji 
sebelum Sanggala menanyakannya. 
"Kakang Sahaya...?! Hm.... Dulu pun dia pernah berkhianat 
Lalu ayah mengusirnya dari pulau ini. Peristiwa itu terjadi kira-
kira tiga tahun yang lalu. Rupanya dia merasa sakit hati pada 
kami...," jelas Sanggala. 
"Hm.... Manusia jahat dan berhati licik ini harus mendapat 
hukuman yang setimpal. Tapi, yang terpenting persoalan ini 
sudah selesai. Sekarang tinggal mengobati ayahmu, Sanggala. 
Kemungkinan besar beliau masih bisa diselamatkan. Beri doalah 
untuk kesembuhan ayahmu...," ujar Panji. 
Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menginap di Pulau 
Setan untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga. 
Rombongan kecil itu bergerak meninggalkan daerah 
pekuburan. Baru beberapa tindak, Panji tiba-tiba menghentikan 
langkahnya dan menoleh ke arah Sanggala. 
"Sanggala, kalau diperkenankan, aku ingin melihat benda 
keramat yang diperebutkan itu...?" ujar Panji, perlahan. 
Sanggala ikut menghentikan langkahnya, dan menoleh ke 
arah Panji. Ditatapnya pendekar muda itu dengan sinar mata 
aneh. Kemudian berpaling pada ayahnya yang juga mendengar 
ucapan pendekar muda itu. 
"Mari kita ke sana. Aku pun belum pernah membukanya. 
Hanya ada beberapa kitab peninggalan ayahku, yang menurut 
beliau diambil dari daerah pekuburan tua ini...." 
Ki Wanalungga rupanya percaya penuh kepada Pendekar 
Naga Putih. Terbukti lelaki tua itu membawa Panji ke tempat 
penyimpanan pusaka leluhurnya.

Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di depan 
sebuah bangunan yang kokoh dan sangat tua. Ki Wanalungga 
minta agar tubuhnya diturunkan. 
Atas persetujuan Ki Wanalungga, Panji membongkar bagian 
depan bangunan itu dengan menggunakan pukulan jarak jauh. 
Dinding yang kokoh itu pun jebol dengan suara ribut. 
Terciptalah sebuah lubang besar yang cukup untuk dimasuki 
dua orang. 
"Luar biasa...!" 
Panji bergumam sambil melangkah ke luar dari dalam 
bangunan itu dengan membawa beberapa kitab, pedang, dan 
permata. Semua mata yang melihat terbelalak takjub, termasuk 
Majikan Pulau Setan dan putranya. Sebab, mereka pun belum 
pernah masuk ke dalamnya. 
Setelah melihat benda-benda pusaka itu, rombongan pun 
kembali bergerak menuju bangunan tempat tinggal Ki 
Wanalungga. Setibanya di bangunan yang telah dihuni selama 
berpuluh tahun, Ki Wanalungga memerintahkan orang-
orangnya untuk mengangkut benda-benda pusaka leluhurnya. 
Dan membuatkan sebuah ruangan khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka itu. 







                            SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar