..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PEMBURU NYAWA

Matjenuh khairil

 

Serial Pendekar Naga Putih dalam episode: Pemburu Nyawa 
oleh T. Hidayat 
Penyunting : Puji S. 
128 hal. ; 12 x 18 cm Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 


SATU


"Nah! Sekarang, kita telah tiba di perbatasan desa...," desah 
salah seorang dari tiga sosok, ketika berhenti di sebuah 
pertigaan jalan. 
Bentuk tubuh orang yang berbicara tadi cukup aneh. 
Wajahnya lucu. Hidungnya bulat dan besar, seperti tomat. 
Sepasang pipinya kemerahan, mungkin terlalu sering terbakar 
sinar matahari. Bibirnya agak tebai dan berwarna merah. 
Bahkan potongan rambutnya pun terlihat aneh, mengingatkan 
orang akan jengger di atas kepala ayam jantan. 
Sedangkan orang yang berada di tengah juga tak kalah 
aneh. Rambutnya hanya tumbuh di kedua sisi kepala. Sedang 
pada. bacaan tengahnya licin pelontos, tanpa ditumbuhi sehelai 
rambut pun. Sepasang matanya besar dan agak sayu, 
mengingatkan orang akan mata seekor sapi. Dan pada telinga 
kirinya, tergantung sebuah anting-anting sebesar gelang. Yang 
lebih mengesankan adalah bentuk pakaiannya yang terlihat 
kebesaran. Padahal, tubuhnya gemuk dan pendek seperti bola. 
Yang jelas, orang kedua ini pun terlihat lucu. Bahkan bisa 
membuat orang yang melihatnya menjadi tersenyum. 
Namun, keanehan pada dua orang tadi rupanya tidak dimiliki 
orang yang berdiri paling kanan. Tubuhnya tinggi besar. Otot

ototnya yang melingkar, menambah kejantanannya. Wajahnya 
juga tampak keras, apalagi ditambah cambang bauk lebat. 
"Perbatasan desa apa ini, Kakang Wirya Bajang...?" tanya 
orang yang rambutnya hanya tumbuh di kedua sisi kepala, 
sambil menggeleng-geleng. Suaranya terdengar kecil tinggi, 
sepera suara perempuan genit. 
Orang pertama yang ditanya menjadi agak jengkel. Sikapnya 
tampak berubah berang ketika mendengar pertanyaan lelaki 
gemuk itu 
"Bodoh, kau Pasopati! Apakah kau tidak bisa membaca 
tulisan yang tertera pada batu di tepi jalan itu?" umpat Wirya 
Bajang sambil menudingkan telunjuknya ke tepi jalan. Di situ 
terlihat sebuah tembok batu setinggi pinggang yang merupakan 
tanda perbatasan desa. 
Mendengar ucapan itu, laki-laki berpakaian kebesaran yang 
ternyata bernama Pasopati itu tertunduk diam. Setelah 
mengerling sejenak, kakinya melangkah ke arah batu itu, dan 
memperhatikannya dengan teliti. Lama dia berdiri sambil 
menggerakkan kepala ke kiri dan kanan. Keningnya tampak 
berkerut dalam. Sepertinya tengah mengalami kesukaran dalam 
membaca tulisan di batu itu. 
"Ha ha ha...!" 
Tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak, sehingga membuat 
Pasopati dan Wirya Bajang menoleh bersamaan. Mereka 
tampak memandang tak se-, nang ke arah laki-iaki bertubuh 
tinggi besar yang tengah terbungkuk-bungkuk sambil 
memegangi perutnya. Rupanya, dia menertawakan ringkah 
Pasopati yang tengah berusaha membaca tulisan di batu itu. 
"Mengapa kau tertawa, Gajah Mungkur? Apa yang kau 
tertawakan?" tegur Wirya Bajang dengan sorot mata tajam.

Lelaki tinggi besar yang bernama Gajah Mungkur itu masih 
juga tertawa, tanpa menjawab pertanyaan itu. Kemudian, 
dengan wajah yang masih menyeringai, matanya menatap geli 
pada Wirya Bajang yang merupakan saudaranya yang tertua. 
Memang, mereka adalah tiga bersaudara. Sedangkan Gajah 
Mungkur adalah orang termuda di antara mereka. 
"Bagaimana aku tidak geli, Kakang Wirya Bajang. Sampai 
kiamat pun, Kakang Pasopati tidak akan dapat membaca tulisan 
pada batu itu. Apa kau lupa kalau dia sama sekali tidak bisa 
membaca...?" kata Gajah Mungkur, kembali tergelak. Rupanya 
dia kembali teringat tingkah iucu Pasopati tadi ketika disuruh 
membaca tulisan di batu itu. 
Meskipun bertubuh tinggi besar, namun sorot mata Gajah 
Mungkur tetap saja terlihat begitu lucu. Yang jelas, tak jauh 
beda dengan kedua saudaranya yang memiliki bentuk tubuh 
dan watak aneh. 
Namun sebenarnya, jangan dipandang remeh ketiga lelaki 
yang tampak kurang waras itu. Dalam kalangan rimba 
persilatan, mereka dikenal sebagai tokoh sesat yang sangat 
kejam dalam menghukum lawan-lawannya. Tak heran kalau 
kemudian mereka dijuluki sebagai Tiga Badut Setan! 
Jawaban Gajah Mungkur membuat Wirya Bajang terhenyak. 
Orang tertua dari Tiga Badut Setan itu segera sadar akan 
kekurangan adiknya yang bernama Pasopati itu. Maka seketika 
Wirya Bajang ikut tertawa terkekeh, mirip ringkik seekor kuda. 
"Hieh heh heh...! Kau benar, Gajah Mungkur. Ah, betapa 
bodohnya aku. Aku baru ingat kalau Pasopati tidak bisa 
membaca...," ujar Wirya Bajang dengan wajah masih 
menyimpan senyum geli.

Sedangkan Pasopati tampak tertunduk malu. Tingkahnya 
seperti dara remaja yang baru saja menerima pernyataan cinta 
dari seorang pemuda. 
"Itu sebabnya kenapa aku bertanya kepadamu tadi. Tapi 
karena disuruh membaca sendiri, ya..., terpaksa kucoba 
membacanya. Padahal, kepalaku pusing sekali melihat garis-
garis seperti cacing itu...," ujar Pasopati yang mengakui 
kekurangannya sambil mengerling manja kepada kedua orang 
saudaranya. 
"Sudahlah. Desa yang akan kita datangi ini bernama Desa 
Kandaran. Mudah-mudahan saja di situ banyak orang 
berkepandaian silat tinggi. Kalau harapanku terkabul, tentu kita 
akan senang...," kata 8 
Wirya Bajang dengan wajah berbinar-binar. 
Jelas ucapan itu sangat aneh bagi sebagian orang yang 
mendengarnya. Tapi, tidak bagi telinga kedua saudaranya. 
Mereka bertiga memang merupakan tokoh aneh yang sangat 
suka bertarung. Semakin pandai lawan yang dihadapi, semakin 
senanglah hati mereka. 
"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu, Kakang? Ayolah, 
kita datangi Desa Kandaran itu...," selak Gajah Mungkur. 
Kelihatannya laki-laki tinggi besar itu tidak sabar setelah 
mendengar ucapan kakaknya yang tertua. Sepasang matanya 
tampak berbinar-binar penuh semangat. Jari-jari tangannya 
terlihat mengepal, seperti sudah ingin bertarung dengan 
lawannya. 
"Tentu..., tentu.... Ayo, kita segera berangkat..," ajak Wirya 
Bajang seraya melangkah menuju jalan sebelah kiri yang 
menuju Desa Kandaran. 
"Satu, dua.... Satu, dua.... Kiri..., kanan...!"

Sambil melangkah tegap, Wirya Bajang berjalan di depan. 
Mulutnya tak henti-henti memberi aba-aba kepada kedua 
saudaranya yang berjajar di belakangnya. Sikap itu benar-benar 
menunjukkan ketidakwarasan mereka. 
*** 
Ketiga lelaki aneh dengan bentuk tubuh berbeda-beda itu, 
baru saja memasuki mulut Desa Kandaran. 
"Kakang, perutku lapar sekali..." Terdengar keluhan salah 
seorang di antara ketiga lelaki itu. Rupanya lelaki bertubuh 
besar yang bernama Gajah Mungkur itu merengek seperti anak 
kecil kepada lelaki yang berhidung seperti tomat Tentu saja 
sikap yang tidak wajar itu membuat beberapa penduduk 
menoleh dan tersenyum geli. Dan melihat penampilannya, tak 
dapat dibantah kalau mereka adalah Tiga Badut Setan. 
"Lucu sekali orang itu. Usianya sudah dewasa, dan tubuhnya 
sebesar gajah, tapi tingkahnya seperti anak kecil. Pasti otaknya 
agak miring." 
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari seorang pemuda 
remaja penduduk Desa Kandaran yang berusia sekitar lima 
belas tahun. Bahkan tanpa sadar, jari telunjuknya menuding ke 
arah Gajah Mungkur. 
Mendengar ucapan yang jelas-jelas bernada ejekan itu, 
Gajah Mungkur langsung menoleh ke arah sumber suara. 
Kemudian, pandangannya beralih kepada Wirya Bajang yang 
berhidung seperti tomat dengan mimik wajah lucu. 
"Kakang, ada orang yang menghinaku...," adu Gajah 
Mungkur. 
Sikapnya yang seperti anak kecil semakin menjadi perhatian 
bagi yang melihatnya. Tentu saja sikapnya kembali 
mengundang tawa beberapa penduduk Desa Kandaran.

"Eh, mengapa kau semakin bertambah bodoh, Gajah 
Mungkur? Kalau ada yang menghinamu, bunuh saja! Kalau 
dagingnya masih lunak dan manis, santap saja. Bukankah kau 
suka...?" sahut Wirya Bajang, datar dan tanpa perasaan. 
Mendengar ucapan itu, Gajah Mungkur kontan gembira. 
Bagaikan anak kecil yang akan mendapat hadiah, lelaki tinggi 
besar itu melangkah berdebum. Dihampirinya kerumunan orang 
desa yang memandang ke arahnya. Karena wajah Gajah 
Mungkur tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, para 
penduduk pun tidak merasa takut, apalagi lari. 
Setelah dekat dengan kerumunan orang-orang yang 
memandangnya, Gajah Mungkur menatap wajah mereka satu 
persatu dengan lagak lucu. Orang-orang desa itu sama sekali 
tidak menyadari bahaya yang mengancam. Padahal, semakin 
lucu lagak yang ditunjukkan Tiga Badut Setan, maka akan 
semakin buaslah tindakan yang dilakukan! 
Semula kerumunan orang desa itu tertawa-tawa saat 
sepasang lengan Gajah Mungkur terulur menangkap tubuh laki-
laki berusia lima belas tahun yang mengejeknya. Mereka baru 
menampakkan ketakutan dan jeritan ketika Gajah Mungkur 
mengangkat tubuh anak laki-laki itu ke atas kepala, kemudian 
membantingnya kuat-kuat ke tanah. Jrettt! 
Tanpa sempat berbuat sesuatu, tubuh anak tanggung yang 
malang itu kontan remuk, nyawanya langsung melayang. MaB! 
Sedangkan Gajah Mungkur sama sekali tidak peduli dengan 
orang-orang desa yang menjerit-jerit ketakutan. Laki-laki 
bertubuh raksasa itu langsung melorot duduk di atas tanah, 
kemudian mulai mempreteli anggota tubuh anak laki-laki yang 
tewas itu! 
Sementara itu, Wirya Bajang dan Pasopati hanya 
memperhatikan dari jarak yang cukup jauh, sambil tertawa


terbahak-babak Kejadian itu bagi mereka justru adalah 
pertujukan lucu. Sama sekali tak tersirat belas kasihan pada 
wajah mereka. 
Dengan nikmatnya, Gajah Mungkur mulai melahap daging 
lengan mayat anak laki-laki itu Darah segar berlelehan di 
sekitar mulut dan dagunya yang ditumbuhi bulu lebat. Tanpa 
mempedulikan keadaan di sekelilingnya, lelaki bertubuh raksasa 
berusia sekitar tiga puluh tahun itu terus saja menyantap 
dengan nikmatnya. Cruppp! Cruppp! 
"Ah...! Lezat dan gurih sekali...," gumam Gajah Mungkur, 
seraya mencerucup kembali darah segar yang masih 
membasahi potongan lengan itu. Mulutnya terdengar berdecap-
decap nikmat. 
Pemandangan itu terlihat sangat mengerikan bagi yang baru 
melihatnya. Tapi, Gajah Mungkur sendiri tampaknya sangat 
menikmati perbuatannya itu. 
"Gajah Mungkur! Kutunggu kau di kedai depan itu...!" kata 
Wirya Bajang, sedikit berteriak. Kemudian, dia melangkah 
bersama Pasopati sambil terus terkekeh-kekeh. 
"Ya..., ya...," sahut Gajah Mungkur cepat, tanpa menolehkan 
kepalanya. 
Sepertinya lelaki bertubuh raksasa yang kurang waras itu 
benar-benar telah lupa pada keadaan sekelilingnya. Rupanya, 
santapan di depannya jauh lebih menarik. 
Tidak lama setelah tubuh Wirya Bajang dan Pasopati 
memasuki kedai, tiba-tiba muncul serombongan orang yang 
dipimpin seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh 
tahun. Tubuhnya tegap, padat berisi seperti menyimpan 
kekuatan. Rupanya, mereka yang ternyata para keamanan desa

itu menghampiri Gajah Mungkur yang masih menikmati 
santapan mengerikan! 
"Itu dia raksasa pemakan daging manusia, Ki Banang! 
Makhluk biadab itu harus segera dibasmi! Aku yakin, dia akan 
mencari anak-anak lain untuk menjadi santapan berikutnya. 
Tapi hati-hati, Ki Banang! Raksasa itu kelihatannya tidak 
waras...," tunjuk seorang penduduk yang melaporkan peristiwa 
itu kepada Kepala Keamanan Desa Kandaran yang bernama Ki 
Banang. 
"Menepilah, Kisanak. Biar aku yang akan membereskannya," 
ujar Ki Banang. Kemudian, laki-laki gagah itu bergerak maju 
bersama sepuluh anak buahnya. 
"Gila! Dari mana datangnya raksasa pemakan daging itu?! 
Mudah-mudahan saja aku dapat mengatasinya..," gumam Ki 
Banang. 
Ki Banang kelihatannya agak gentar juga melihat perawakan 
Gajah Mungkur, yang memang menggetarkan jantung itu. 
Dengan gerak perlahan, kawan-kawannya diperintahkan untuk 
mengepung. 
"Hei, Orang Asing! Siapa kau?! Dan, dari mana asalmu?! Apa 
kesalahan penduduk desa ini, sampai kau tega melakukan 
perbuatan terkutuk itu...?" tegur Ki Banang yang berdiri dalam 
jarak satu tombak lebih dari laki-laki bertubuh besar itu. 
Kakinya terpentang lebar seperti telah siap menghadapi 
pertarungan. 
Tapi, teguran itu tidak membuat Gajah Mungkur 
menghentikan makannya. Bahkan wajahnya sama sekali tidak 
menoleh. Telinganya seolah-olah telah tertutup rapat oleh 
kenikmatan yang tengah dirasakannya. Tentu saja sikap Gajah 
Mungkur membuat Ki Banang naik pitam.

"Keparat! Raksasa ini ternyata tuli!" umpat Ki Banang. 
Laki-laki setengah baya itu menjadi tak sabar ketika melihat 
Gajah Mungkur sama sekali tidak mempedulikannya. Dan 
karena merasa dianggap angin lalu, dikeluarkannya sebilah 
pisau sepanjang satu jengkal dari dalam pakaiannya. 
"Maaf, bukan maksudku berlaku curang...." 
Usai berkata demikian, Ki Banang melepaskan pisau kecil itu 
ke arah dada kanan Gajah Mungkur. 
Syuuut..! 
Pisau yang dilepaskan Ki Banang yang disertai pengerahan 
tenaga dalam meluncur cepat menuju sasarannya. Dan.... 
Takkk! 
Kejadian selanjutnya, benar-benar membuat Ki Banang 
terkejut! Ternyata, bukan tubuh lawan yang terluka. Tapi 
sebaliknya, malah pisau itu sendiri yang patah dua ketika 
menghantam bagian kanan dada Gajah Mungkur. Dari sini saja 
sudah terbukti kalau tubuh lelaki raksasa itu sangat keras dan 
kebal terhadap senjata tajam. 
"Grrrhhh...," Gajah Mungkur menggereng. 
Lelaki bertubuh besar itu jelas merasa kenikmatannya 
terganggu Maka sambil mengangkat wajahnya sekilas, 
sepasang matanya menyambar tajam. Meski demikian, mimik 
wajahnya tak sedikit pun menggambarkan kemarahan. Bahkan 
semakin memperlihatkan seringai-seringai lucu. 
Dari sini, Ki Banang segera mengambil kesimpulan kalau laki-
laki tinggi besar itu memang benar tidak waras seperti yang 
dilaporkan warganya tadi. Dan dia jadi terpaku, tak mengerti 
harus berbuat apa. Maka untuk beberapa saat, suasana jadi 
tegang.

Sementara itu Gajah Mungkur perlahan bangkit, sambil 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Senyumnya melebar 
ketika orang-orang bersera-gam hitam tampak sudah 
mengelilinginya. 
"Kalian ingin bermain-main denganku...? Bagus! Aku suka 
sekali," kata Gajah Mungkur yang kini mengalihkan tatapannya 
kepada Ki Banang. 
Meskipun tampak kurang waras, tapi sepertinya Gajah 
Mungkur dapat mengetahui orang yang memimpin sepuluh 
sosok berseragam hitam itu. Buktinya, laki-laki bertubuh besar 
ini lebih banyak memandangi Ki Banang, ketimbang yang 
lainnya. 
"Sapa kau, Kisanak?! Mengapa kau menyebar kekejian 
terhadap penduduk desa kami? Apa kesalahannya...?!" tanya Ki 
Banang. 
Sepasang mata Ki Banang menatapi sosok tinggi besar di 
hadapannya penuh selidik. Bentuk tubuh Ki Banang memang 
termasuk tinggi dan kekar. Tapi dibandingkan Gajah Mungkur, 
Ki Banang hanya setinggi bahunya saja. Jelas, sosok Gajah 
Mungkur memang jauh melebihi ukuran manusia biasa. 
"Aku menyebar kekejian? Lucu sekali. Orang Kecil. Aku 
hanya ingin makan. Ketika kulihat bocah itu berbicara 
kepadaku, kelihatannya dia berusaha hendak menyenangkan 
hariku. Maka langsung saja kupilih untuk menjadi makananku. 
Apakah itu Jahat namanya?" sahut Gajah Mungkur dengan 
wajah bergerak-gerak lucu. Tentu saja jawaban Itu membuat Ki 
Banang terkejut 
"Raksasa gila!" desis Ki Banang. Laki-laki setengah baya itu 
segera mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. 
Kemudian, dia bergerak maju sambil memerintahkan kawan-
kawannya untuk bersiap-siap.

"Hei! Mau apa kalian...?! Ingin, menyakiti aku ya...? Hayo, 
pergi sana! Pergi jauh-jauh...!" 
Gajah Mungkur berusaha mengusir mereka, seraya bergerak 
mundur. Seolah-olah hatinya merasa gentar ketika melihat 
kilatan sinar pedang. Tangannya bergerak-gerak dengan sikap 
mengusir. 
"Bunuh raksasa gila itu...!" perintah Ki Banang, langsung 
saja melesat ke depan sambil menyabetkan pedangnya sekuat 
tenaga. 
Laki-laki setengah baya itu sadar kalau calon lawannya 
sangat kuat. Kalau tenaga dalamnya tidak kuat, mungkin tubuh 
raksasa itu tidak akan mampu melukainya. 
Wuertt...!" 
"Heiii...?!" 
Gajah Mungkur terpekik kaget ketika melihat pedang Ki 
Banang berkelebat menyambar bagian perutnya. Maka dengan 
gerakan lucu seperti orang ketakutan, Gajah Mungkur bergerak 
ke belakang. Sehingga, sambaran pedang Ki Banang hanya 
mengenai angin kosong. 
Dan rupanya, lelaki bertubuh raksasa itu memang tidak siap 
bertaruny. Buktinya, empat batang pedang pengeroyoknya 
telak sekali menghantam tubuhnya 
Bukkk! Takkk! 
Meskipun keenam batang pedang itu jelas-jelas menghantam 
tubuhnya, tapi Gajah Mungkur seperti tidak merasa sakit sedikit 
pun. Apalagi terluka. Bahkan, senjata-senjata itulah yang 
perpatahan jatuh ke tanah. Sedangkan Gajah Mungkur tampak 
menyeringai, seperti merasakan pijatan yang membuat 
tubuhnya terasa nikmat

"He he he...! Kalian benar-benar baik. Aku patut memberi 
hadiah yang pantas buat kalian berempat..," kata Gajah 
Mungkur dengan senyum lucu. 
Begitu ucapan laki-laki bertubuh raksasa itu selesai, tangan 
kanannya langsung bergerak ke depan. Tahu-tahu saja, lengan 
salah seorang lawan yang berseragam hitam itu telah dapat 
dicekalnya Dan.... 
"Aaa...!" 
Salah seorang pengeroyok yang bernasib sial itu memekik 
ngeri, ketika tubuhnya terasa melayang di udara. Rupanya, 
Gajah Mungkur telah melemparkan tubuh orang itu ke arah 
sebatang pohon yang ada di tepi jalan. 
Prokkk...! 
Tanpa ampun lagi, tubuh pengeroyok yang meluncur dengan 
kepala lebih dulu langsung menghantam sebatang pohon besar 
yang tumbuh di tepi jalan. Jelas, kalau orang itu pasti tewas 
seketika dengan kepala remuk. 
Belum lagi kejadian itu sempat disadari oleh pengeroyok 
yang lain, termasuk Ki Banang, laki-laki bertubuh raksasa itu 
kembali melompat ke arah dua pengeroyok lainnya. Kedua 
tangannya bergerak cepat menangkap kepala kedua lawannya. 
Kemudian, kepala itu dibenturkan nya saru sama lain. 
Akibatnya, kedua pengeroyok kontan ambruk dengan kepala 
pecah. 
"Bedebah keji...!" Ki Banang menggereng marah. 
Setelah menyaksikan kejadian itu, lelaki separo baya ini 
kembali menerjang maju. Meskipun disadari kalau tubuh 
lawannya terlindung kulit tebal, namun Ki Banang sama sekali 
tidak gentar.

"Hiaaa...!" 
Whuttt..! 
Ujung pedang Ki Banang datang meluruk cepat. Sasarannya 
mengarah pada bagian-bagian kelemahan tubuh lawannya. 
Yang menjadi sasaran pertama adalah ulu hati Gajah Mungkur. 
Namun sayang, lelaki bertubuh raksasa itu dapat bergerak 
lincah dalam mengelakkan serangan. 
"Aihhh, luput..!" ejek Gajah Mungkur sambil meleletkan 
lidahnya. 
Mendapat ejekan seperti itu, hati Ki Banang semakin 
bertambah panas. Maka, serangannya pun semakin diperhebat. 
Tapi, Gajah Mungkur ternyata bukan hanya memiliki tubuh 
kebaL Bahkan, ilmu silatnya pun sangat tinggi dengan gerakan-
gerakan cepat. Sehingga tanpa terduga, jari-jari yang besar itu 
telah mencekal erat lengan Ki Banang yang sedang 
mengacungkan pedang. Sebelum laki-laki setengah baya itu 
menyadari adanya bahaya, kepalan yang sebesar kepala bayi 
Gajah Mungkur telah meluncur ke arah batok kepalanya. 
Prakkk! 
Tanpa ampun lagi, batok kepala Ki Banang pecah. Darah 
segar bercampur cairan putih seketika membasahi bumi. Tubuh 
lelaki gagah itu langsung jatuh, begitu Gajah Mungkur 
melepaskannya. Sebentar dia menggelepar meregang nyawa, 
lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Mati! 
"Hei! Kalian mau ke mana...?" teriak Gajah Mungkur, ketika 
melihat para pengeroyoknya yang lain menghambur pergi. 
Rupanya kemaCan Ki Banang membuat keberanian sisa anak 
buahnya lenyap seketika. Maka tanpa diberi aba-aba lagi, sisa 
keamanan Desa Kandaran itu segera melarikan diri 
meninggalkan arena pertempuran.
"Ahhh...! Tempat ini jadi sepi dan menjemukan. Sebaiknya 
aku pergi menyusul Kakang Wirya Bajang dan Kakang 
Pasopati...," gumam Gajah Mungkur, yang kemudian 
melangkahkan kakinya dengan suara berdebum meninggalkan 
korban-korbannya. 
*** 
DUA


"Wah...! Rupanya kalian baru saja selesai berpesta...!" kata 
Gajah Mungkur setelah memasuki kedai yang tampak 
berantakan. 
Belasan mayat tampak bergeletakan di sana-sini. Sedangkan 
di sudut ruangan, tampak Wirya Bajang dan Pasopati sedang 
duduk dengan tenangnya, sambil menikmati hidangan. 
Bersama mereka tampak pula dua wanita berusia sekitar dua 
puluh lima dan tiga puluh tahun. 
"Hieh heh heh...! Mengapa kau tidak membawa teman, 
Gajah Mungkur? Apa kau tidak iri melihat kami?" sambut 
Pasopati yang berpakaian kebesaran itu, sambil mencium 
seorang wanita yang duduk di sebelahnya. 
Wajah wanita yang berada dalam dekapan Pasopati itu 
tampak pucat dan tak dapat berbuat apa-apa. Sepertinya, 
hatinya merasa ngeri untuk memberontak Dia tahu, baik Wirya 
Bajang maupun Pasopati tidak akan segan-segan menyiksa. 
Apalagi jika kehendak kedua lelaki aneh dari Tiga Badut Setan 
itu tidak dituruti. 
"Ah! Aku memang kurang beruntung, Kakang Pasopati. 
Pinjamilah sebentar saja. Apa kau tidak, kasihan kepada

adikmu ini yang tak berteman...?" pinta Gajah Mungkur seraya 
bergerak maju. 
Lelaki bertubuh besar itu langsung saja berusaha hendak 
merebut wanita dalam pelukan Pasopati. 
"Eh?! Apa-apaan ini, Gajah Mungkur?! Jangan kurang ajar 
kau!" bentak Pasopati. 
Tentu saja Pasopati marah melihat perbuatan adiknya. Maka 
lelaki gemuk pendek itu segera mengangkat tangan kanannya 
untuk menghalau cengkeraman Gajah Mungkur. 
Dukkk! 
Tubuh mereka seketika bergetar mundur, ketika sepasang 
lengan satu sama lain saling berbenturan. Bahkan, kursi yang 
diduduki Pasopati langsung hancur akibat hebatnya pertemuan 
kedua tenaga tadi. 
"Hei! Kau berani melawanku, Gajah Mungkur! Kurang ajar!" 
bentak Pasopati tanpa sifat-siiat lucu maupun lagak gilanya. 
Pasopati segera beranjak maju dengan hati panas. 
Namun, Gajah Mungkur kelihatannya tidak mau mengalah 
begitu saja. Melihat Pasopati marah, dia pun menggereng bagai 
harimau terluka. Kini keduanya tampak siap saling tempur. 
Memang aneh sekali sifat Tiga Badut Setan itu. Hanya 
karena masalah sepele saja, antara satu dan lainnya bisa saling 
gontok-gontokan. Apalagi terhadap orang yang tidak mereka 
kenal. Mereka pun tidak segan-segan menyiksa dengan tangan 
kejam. 
Bahkan sampai membunuh! 
Wirya Bajang sendiri sepertinya tidak mem-pedulikan 
pertengkaran kedua adiknya Lelaki berhidung seperti tomat itu 
masih saja asyik tertawa-tawa sambil menenggak arak di gelas

bambunya. Sesekali wanita di sebelahnya diciumi penuh nafsu. 
Dia benar-benar tidak mau tahu atas pertengkaran yang 
berlangsung di depan matanya Padahal, pertengkaran itu sudah 
jelas akan berlanjut menjadi perang otot 
"Kau terlalu sekali, Kakang Pasopati! Aku hanya ingin pinjam 
sebentar saja, tidak boleh!" bantah Gajah Mungkur, yang masih 
juga menginginkan wanita dalam dekapan Pasopati. 
"Haa..,. Pinjam menurutmu, bukanlah pinjam yang 
sebenarnya, Gajah Mungkur. Kalau wanita ini kuberikan, pasti 
akan disantap setelah kehangatan tubuhnya kau nikmati 
dengan kasar. Dan, aku tidak ingin hal itu terjadi...!" tegas 
Pasopati, lantang. Rupanya, keputusan Pasopati tidak bisa 
diubah lagi. 
"Kalau begitu, aku terpaksa harus merebutnya...," ancam 
Gajah Mungkur sambil melangkah maju. Laki-laki raksasa itu 
kembali mengulurkan kedua tangannya untuk merebut wanita 
dalam pelukan Pasopati. 
Whuuut! 
Sambaran jari-jari tangan Gajah Mungkur yang besar dan 
kasar luput Namun, Pasopati lebih cepat menggeser tubuhnya 
beberapa langkah. 
Setelah menotok lumpuh dan meletakkan tubuh wanita itu di 
sudut ruangan kedai, Pasopati melangkah maju untuk 
bertarung melawan adiknya sendiri. 
"Kau memang perlu diajar adat, Gajah Mungkur...!" geram 
Pasopati, seraya meleset ke depan. Langsung dilontarkannya 
tamparan ke pelipis adiknya. 
Bettt!

Deru angin keras terdengar menyambar ketika telapak 
tangan Pasopati meluncur ke pelipis adiknya. Namun Gajah 
Mungkur yang bertubuh raksasa, sudah menarik tubuhnya 
hingga doyong ke samping. Kemudian, langsung dibalasnya 
serangan itu dengan sebuah tendangan kilat. Melihat 
ketidakbe-ranian Gajah Mungkur dalam menerima tamparan, 
dapat ditebak kalau tenaga dalam Pasopati mampu menembus 
kekebalannya. Tak heran kalau Gajah Mungkur terpaksa 
memilih menghindar, ketimbang menerima tamparan. 
Pertarungan antara kakak melawan adik itu pun tak 
terelakkan lagi, laksana musuh bebuyutan. 
Sementara itu, Wirya Bajang, lelaki tertua dari Tiga Badut 
Setan, masih saja tidak peduli. Tampaknya perselisihan seperti 
itu sudah sering terjadi di antara mereka, sehingga dia merasa 
tidak perlu memisahkan. 
Namun, pertarungan yang tengah berlangsung sengit itu 
tiba-tiba terhenti, ketika terdengar suara ribut-ribut di luar 
kedai. Seketika Pasopati dan Gajah Mungkur menghentikan 
pertarungan, dan saling berpandangan. Seperti diberi aba-aba, 
mereka langsung melesat ke arah keramaian di luar kedai. 
Sekali lompat saja, kedua lelaki itu telah tiba di luar. 
Pasopati dan Gajah Mungkur segera menjejakkan kakinya di 
tanah secara bersamaan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. 
Seketika mereka tertawa terkekeh begitu di depan kedai itu 
tampak berdiri seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. 
Sedangkan di belakang, kiri, dan kanan orang tua itu terdapat 
puluhan lelaki berseragam hitam. Mereka tidak lain adalah 
Kepala Desa Kandaran beserta para pengawalnya. Rupanya, 
setelah mendapat laporan dari para keamanan desa, Kepala 
Desa Kandaran yang bernama Ki Sobali itu langsung membawa 
para pengawalnya untuk mengusir penjahat-penjahat yang 
mengacau desanya.

Ki Sobali menjadi terkejut melihat dua lelaki yang keluar dari 
kedai. Menurut laporan, pengacau itu hanya ada satu orang. 
Tubuhnya tinggi besar, dan pemakan daging manusia. Tapi 
kenyataannya, sama sekali tidak terduga. Ternyata pangacau 
itu berjumlah dua orang! 
"Hm.... Bukan tidak mungkin kalau di dalam kedai itu masih 
ada kawan mereka yang lain," gumam Ki Sobali sambil 
mengamati bentuk tubuh kedua orang itu. 
Penampilan Gajah Mungkur dan Pasopati yang lucu itu 
membuat Ki Sobali langsung menduga kalau yang dihadapi kali 
ini bukanlah penjahat biasa. Maka, dia pun agak berhari-hari 
dalam menghadapi mereka. 
"Wah, Kakang. Rupanya kakek itulah yang barusan 
berteriak-teriak, sehingga mengganggu kesenangan kita...," 
kata Gajah Mungkur kepada Pasopati. 
Tampak Gajah Mungkur telah melupakan pertengkarannya 
dengan Pasopati tadi. Dan kini, tatapannya ditujukan pada 
wajah Ki Sobali. 
"Hei, Kakek! Apakah kau telah kehilangan cucumu, sampai 
berteriak-teriak seperti orang gila...?" tegur Gajah Mungkur 
dengan mimik wajah berkerut-kerut lucu. 
Kalau saja Ki Sobali dan para pengawalnya tidak mendapat 
laporan sebelumnya, mungkin akan tertawa melihatnya. Atau 
paling tidak tersenyum geli melihat nhgkah-laku lelaki bertubuh 
raksasa itu. 
"Hm.... Untuk apa bertanya lagi, Gajah Mungkur. 
Kedatangan mereka sudah jelas hendak bermain-main dengan 
kita. Ayo kita layani saja...," timpal Pasopati. 
Pasopati rupanya juga telah melupakan pertengkaran 
barusan. Dan kini kakinya segera melangkah maju. Pakaiannya

yang memang kebesaran, tampak berkibar tertiup angin yang 
cukup keras. 
"Tunggu dulu...!" cegah Ki Sobali seraya mengangkat 
tangannya ke depan. "Kalian ini siapa? Dan, mengapa kalian 
melakukan pembunuhan tanpa sebab? Apa salah warga desa 
ini?" 
Ki Sobali menatap wajah kedua orang itu penuh selidik. 
Sayang, meskipun telah berusaha mengenali kedua orang itu, 
tapi ternyata Ki Sobali tak juga dapat mengenalinya. Dan dia 
memang belum pernah bertemu kedua pengacau itu 
sebelumnya. 
Setelah mendengar pertanyaan lelaki tua Itu, Pasopati 
menoleh ke arah adiknya. Terdengar suara gumamannya yang 
kecil tinggi seperti wanita. 
"Gajah Mungkur, kesalahan apa yang telah mereka perbuat?" 
tanya Pasopati dengan mimik seperti orang bodoh. 
Nada ucapan Pasopati sama sekali tidak menunjukkan kalau 
tengah mengejek Ki Sobali Pertanyaannya memang terdengar 
sungguh-sungguh, seolah-olah Pasopati memang tidak tahu 
akan hal itu. 
"Salah apa? Tidak ada yang salah. Setahuku, orang-orang 
yang bersalah pasti dimasukkan ke dalam penjara. Dan kalau 
kesalahannya terlalu berat, mungkin bisa dihukum gantung. 
Bukankah begitu, Kakek?" sahut Gajah Mungkur dengan wajah 
bersungguh-sungguh. 
Ki Sobali dan para pengawalnya menjadi heran mendengar 
ucapan kedua tokoh lucu namun bersikap kejam itu. Dari 
perkataan itu, jelas menunjukkari ketidakwajaran pikirannya.

"Orang gila...!" desis Ki Sobali dengan suara perlahan. Baru 
disadari kalau kali ini dia berhadapan dengan penjahat yang 
kurang waras. 
"Benar! Kau pintar sekali, Kakek. Hanya orang gilalah yang 
membunuh orang tanpa sebab. Aku benar-benar kagum atas 
jawabanmu yang sangat tepat Itu...!" puji Pasopati setelah 
mendengar ucapan Ki Sobali. Bahkan dengan lagak kocak, ibu 
jari tangannya diacungkan sebagai tanda pujian. 
"Kalianlah yang gila, Manusia Keparat! Dan untuk itu, kalian 
harus dihukum mati!" bentak Ki Sobali. 
Laki-laki tua itu jadi hilang kesabarannya, setelah menerima 
tanggapan ngawur kedua orang di hadapannya. Tanpa ingin 
memperpanjang perdebatan yang sia-sia ini, maka langsung 
pedangnya dihunus. Disadari kalau lawannya berasal dari 
golongan sesat yang berkepandaian tinggi. Karena sepanjang 
pengetahuannya, hanya orang-orang berkepandaian tinggi saja 
yang memiliki sifat aneh serta tidak wajar. Dan kini, segera 
para pengawalnya diperintahkan maju dan mengepung kedua 
orang yang dianggapnya sinting itu. 
"Nah! Benar yang kukatakan tadi, Gajah Mungkur. Mereka 
memang ingin bermain-main dengan kita...," desah Pasopati 
dengan wajah berbinar ketika melihat orang-orang bersenjata 
itu mulai mengepung. 
"Kalau begitu, marilah kita berlomba. Siapa yang paling 
banyak dan paling cepat mengirim mereka ke akhirat, dialah 
yang menang," timpal Gajah Mungkur. Hatinya kelihatan sangat 
gembira menghadapi pertarungan yang bakal pecah sebentar 
lagi. 
"Ayolah...," tantangan itu diterima Pasopati.

Dan begitu ucapannya selesai, laki-laki bertubuh gemuk itu 
langsung saja bergerak terhuyung-huyung ke depan. Sepasang 
tangannya bergerak aneh, menimbulkan deru angin keras yang 
ber-decitan tajam. 
"Haaat..!" 
Ki Sobali yang merasakan sambaran angin pukulan lelaki 
gemuk itu, segera memekik keras. Langsung disambutnya 
kedatangan tubuh lawan dengan pedang di tangannya. Maka 
sebentar saja Pasopati telah bertempur melawan Ki Sobali yang 
masih dibantu lima belas orang pengawalnya. 
*** 
"Heaaat..!" 
Di pihak lain. Gajah Mungkur telah mengamuk. Sepak 
terjangnya benar-benar menggiriskan. Sepasang tangannya 
menyambar-nyambar disertai desir angin tajam. Walaupun 
serangan Gajah Mungkur sama sekali tidak mengenal sasaran, 
tapi cukup membuat tubuh para pengeroyoknya 
terhuyunghuyung! Bahkan orang yang terkena tamparan Gajah 
Mungkur langsung binasa dengan kepala pecah dan tulang 
dada remuk. Tak heran kalau dalam waktu singkat, telah 
belasan mayat bergeletakan di tanah. 
Tentu saja amukan lelaki bertubuh raksasa itu membuat 
lawan-lawannya menjadi gentar. Karena selain tamparan dan 
tendangannya bisa mengakibatkan kematian, tubuh Gajah 
Mungkur pun kebal terhadap senjata tajam. 
"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Pasopati. Jumlah yang kuperoleh 
lebih banyak!" seru Gajah Mungkur sambil terus melepaskan 
serangan-serangan mematikan.

"Hieh heh heh...! Jangan takabur, Gajah Mungkur! 
Tengoklah hasil yang kuperoleh. Pasti tidak kalah banyak 
dengan hasilmu...!" sahut Pasopati. 
Rupanya, lelaki bertubuh gemuk pendek itu telah banyak 
pula menewaskan lawannya. Sehingga, jumlah para 
pengeroyoknya semakin berkurang. Bahkan, Ki Sobali sendiri 
kelihatan sudah kepayahan menghadapinya. 
"Keparat! Terimalah pembalasanku..!" pekik Ki Sobali. 
Laki-laki tua itu menjadi penasaran melihat para 
pengawalnya semakin banyak yang tewas di tangan lelaki 
gemuk pendek ini. Tubuhnya segera cepat melesat dengan 
gerakan menyilang, disertai tebasan pedangnya dari atas ke 
bawah. Jelas, Ki Sobali telah mengerahkan sisa-sisa tenaga 
dalam serangannya kali ini. Whuuut..! 
Sayang, serangan yang telah dipersiapkan dengan baik itu, 
masih juga meleset dari sasaran. Karena pada saat hampir 
bersamaan, Pasopati telah menggeser tubuhnya ke samping 
dengan kuda-kuda rendah. Kemudian, langsung dibalasnya 
serangan itu dengan sodokan jari-jari tangah ke arah ulu hati 
lawan. 
Crabbb! 
"Aaakh...?!" 
Ki Sobali memekik keras ketika jari-jari tangan lawan yang 
setajam mata pedang, amblas memasuki tubuhnya. Darah 
segar kontan mengalir deras dari tubuh Ki Sobali, seiring 
amblasnya jari-jari tangan Pasopati. 
"Heaaah...!" 
Dibarengi bentakan keras, Pasopati menarik kembali 
tangannya yang telah merenggut segumpal daging sebesar

kepalan tangan. Akibatnya, tubuh Ki Sobali langsung ambruk 
tanpa nyawa, karena jantungnya telah dicopot paksa. 
Kematian Ki Sobali tentu saja membuat para pengawalnya 
tersentak mundur dengan wajah pucat. Tapi, Pasopati tidak 
mau bertindak kepalang tanggung. Setelah melemparkan 
jantung Ki Sobali ke tanah, tubuhnya langsung melesat dengan 
serangan kilatnya. 
"Hihhh...!" 
Sekali berkelebat saja, empat orang lawan yang tersisa 
langsung terpelanting dengan kepala pecah! Gerakan Pasopati 
memang sangat sulit dilihat mata telanjang. 
Begitu menyelesaikan lawan-lawannya, Pasopati menoleh ke 
arah Gajah Mungkur yang ternyata telah pula menyudahi 
lawan-lawannya. 
Gajah Mungkur pun saat itu menoleh ke arah kakaknya. 
Lelaki bertubuh raksasa itu tersenyum lebar ketika melihat 
lawan-lawan kakaknya tidak ada yang tersisa. Mereka 
kemudian saling bertatapan dengan wajah mencerminkan 
kepuasan. 
"Wah! Sayang, aku terlambat..." 
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat Pasopati dan 
Gajah Mungkur menoleh bersamaan. Keduanya langsung 
tertawa bergelak ketika melihat wajah Wirya Bajang yang baru 
muncul, tampak menyiratkan kekecewaan. 
"Tidak ada bagian lagi untukmu, Kakang Wirya Bajang. 
Semuanya sudah kami habiskan...," sahut Pasopati sambil 
tertawa seperti ringkik kuda.

'Tidak mengapa, Pasopati. Aku masih bisa mencarinya di 
tempat lain. Ayo kita tinggalkan desa Ini...," ajak Wirya Bajang 
seraya berbalik. 
"Tapi..., bagaimana dengan wanita milikku, Kakang? Aku 
ingin menikmatinya dulu, sebelum meninggalkan tempat ini...," 
Pasopati mencoba membantah perintah kakaknya. 
Kalau belum menikmati wanita yang ditinggalkannya di 
kedai, rasanya Pasopati tak ingin meninggalkan Desa Kandaran. 
Rupanya wanita itu telah membangkitkan gairah nafsu iblisnya. 
"Wanita milikmu itu membuat hatiku jengkel, Pasopati. Dia 
merengek tak habis-habisnya. Karena aku geram, maka 
kupukul saja kepalanya hingga pecah. Demikian juga wanita 
yang kumiliki. Tapi, tentu saja kehangatan tubuh mereka telah 
kunikmati dulu. He he he.... Aku memang lebih beruntung 
ketimbang dirimu, Pasopati...," jawab Wirya Bajang dengan 
nada datar tanpa perasaan. Seolah, nyawa manusia tidak ada 
artinya baginya. 
"Ah! Sayang sekali...," sesal Pasopati yang tampaknya tidak 
berani marah kepada kakaknya. 
"Sudahlah. Nanti kita cari yang lebih cantik. Ayo ikuti aku...," 
bujuk Wirya Bajang lagi. 
Kali ini kedua adiknya menurut saja. Maka, setelah 
menebarkan bencana di Desa Kandaran, Tiga Badut Setan itu 
segera meninggalkan tempat itu 
*** 
Matahari baru saja menampakkan dirinya saat tiga sosok 
memasuki daerah Bukit Kundul. Mereka terus bergerak ringan 
mendaki lereng bukit. Lereng yang terjal itu tidak membuat 
mereka kesukaran mendakinya. Langkah kaki mereka kelihatan

sangat mantap dan terlatih baik. Sehingga, sebentar saja sudah 
bertemu lereng yang datar dan tidak menanjak lagi. 
"Apa ada wanita cantik di bukit ini, Kakang Wirya Bajang?" 
tanya lelaki bertubuh raksasa, yang wajahnya terhias cambang 
bauk lebat. Siapa lagi orang itu kalau bukan Gajah Mungkur? 
Rupanya, yang tengah mendaki lereng Bukit Kundul itu adalah 
Tiga Badut Setan. 
"Kisanak! Harap berhenti sebentar...!" 
Tiba-tiba terdengar seruan halus, yang membuat langkah 
Tiga Badut Setan tertahan. Baru saja seruan itu lenyap, enam 
sosok bermunculan menghadang jalan mereka. 
Wirya Bajang yang berjalan paling depan, menatap tajam 
keenam orang yang berjajar menghadang jalan. Satu persatu 
dirayapinya wajah orang-orang itu dengan kepala bergerak-
gerak ke kiri dan kanan. Tingkahnya terlihat lucu, sehingga 
keenam orang itu saling berpandangan. 
Salah seorang penghadang yang tampaknya sebagai 
pemimpin dari kelima kawannya, melangkah maju beberapa 
tindak. Kemudian, dia menghormat sebelum melontarkan 
pertanyaannya kepada Wirya Bajang. 
"Siapakah kalian bertiga? Dan, apa tujuan kalian datang ke 
Bukit Kundul ini?" tanya lelaki gagah berusia empat puluh 
tahun, menunjukkan nada persahabatan. 
"Kami ingin mencari wanita cantik. Apakah di atas puncak 
bukit ini banyak wanita cantik...?" sahut Gajah Mungkur 
langsung, sebelum Wirya Bajang membuka suara. 
"Wanita cantik...? Wanita manakah yang kau maksudkan, 
Kisanak?" tanya lelaki gagah itu lagi.

Tentu saja dia menjadi heran mendengar jawaban yang 
sama sekali tidak lumrah. Meski demikian, sikapnya masih 
sabar untuk meminta keterangan yang lebih jelas dari sosok 
lelaki bertubuh raksasa itu. 
"Ya..., wanita mana saja. Asal cantik, aku pasti suka...," 
sahut Gajah Mungkur lagi seenaknya. 
Mendengar jawaban Gajah Mungkur, lelaki gagah itu menjadi 
merah selebar wajahnya. Jelas, nada ucapan Gajah Mungkur 
menunjukkan maksud tidak baik 
"Maaf. Di atas puncak bukit ini tidak ada rumah bordil. Yang 
ada, hanya Perguruan Bukit Kundul. Kalian telah salah alamat, 
silakan cari di tempat lain saja...," jawab lelaki gagah itu. 
Secara tak langsung, kata-katanya bernada mengusir ketiga 
tamu yang tak diundang itu. 
"Ahhh...! Jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mendapat 
jawaban yang mengecewakan. Benar-benar tak adil! Kau tentu 
bohong, Kisanak. Biar kulihat sendiri untuk membuktikan 
ucapanmu itu...," ujar Gajah Mungkur. 
Setelah berkata demikian. Gajah Mungkur bergerak 
melangkah tanpa mempedulikan wajah ketidaksenangan dari 
lelaki gagah itu. 
'Tunggu, Kisanak! Kau tidak boleh berbuat seenaknya di 
tempat ini! Kami mempunyai peraturan yang harus ditaati oleh 
siapa pun yang datang. Harap kalian tinggalkan saja tempat ini. 
Jangan memaksa kami untuk bertindak kasar...!" cegah lelaki 
gagah itu bernada ancaman. Bahkan lima orang kawannya 
yang berada di belakang telah bergerak maju, juga siap 
mencegah maju Gajah Mungkur. 
"Apa?! Kalian hendak menggunakan kekerasan? Haaa.... 
Ingin kulihat, seperti apa kekerasan yang dimaksudkan itu,

Orang Gagah. Karena, aku pun suka kekerasan...," sahut Gajah 
Mungkur kembali, sekenanya. Lelaki bertubuh besar itu 
melanjutkan langkahnya tanpa peduli kalau lelaki gagah itu 
telah bersiap-siap untuk menyerangnya. 
"Sial! Tempat ini ternyata telah kedatangan orang gila...!" 
umpat lelaki gagah Itu, jengkel. Sepasang tangannya tampak 
bergetar, karena telah teraliri tenaga dalam yang siap 
digunakan sewaktu-waktu. 
*** 
TIGA


"Hati-hatilah, Kakang Darinta! Tampaknya mereka memiliki 
tenaga kuat...," bisik seorang kawan lelaki gagah itu. 
Lelaki yang bernama Darinta itu hanya mengangguk 
maklum, karena juga berpendapat sama. 
"Hayo, sambut kepalanku...!" seru Gajah Mungkur disusul 
gerakan berputar yang aneh. Tubuhnya yang tinggi besar 
segera melesat ke depan melancarkan pukulan. 
Bettt...! 
Darinta sudah dapat mengukur kekuatan tenaga dalam dari 
sambaran angin pukulannya. Sehingga, dia bdak ingjn 
bertindak ceroboh. Cepat-cepat tubuhnya bergeser mundur dua 
langkah. Kemudian kakinya melangkah ke depan setelah 
pukulan lawannya luput. Lalu, sepasang telapak tangannya 
cepat meluncur ke arah dada lawan. 
Tampak Gajah Mungkur seperti hendak memperlihatkan 
kekebalan tubuhnya. Dorongan sepasang tangan lawan 
disambut oleh dadanya yang dibusungkan ke depan. Akibatnya,

hantaman sepasang telapak tangan Darinta telak mengenai 
sasarannya. 
Bukkl 
"Akh...!" 
Apa yang terjadi benar-benar membuat kawan-kawan 
Darlnta terbelalak kaget. Mereka hampir tidak percaya ketika 
melihat tubuh pimpinannya terhempas ke belakang diiringi 
pekik kesakitan. Padahal, mereka jelas-jelas tahu kalau 
hantaman sepasang telapak tangan Darinta sanggup 
menghancurkan batu besar. Tapi, kenapa sekarang justru 
membuat Darinta menjerit 
"Kakang...!" 
Dua kawan Darinta bergegas memburu, dan membantu 
pimpinannya bangkit. Mereka semakin terkejut ketika melihat 
sepasang tangan Darinta tampak membengkak akibat tenaga 
pukulan yang membalik. 
"Gila! Manusia raksasa itu ternyata jauh lebih kuat dari 
dugaanku! Ini saja baru seorang yang maju. Apalagi, bila 
mereka bertiga maju bersamaan! Rasanya kita tidak akan 
sanggup mencegah mereka untuk naik ke puncak. Sebaiknya, 
salah seorang dari kalian segera melaporkan kejadian ini 
kepada guru. Ceparjah...!" bisik Darinta. 
Lelaki gagah itu kini telah berdiri tegak, siap bertarung 
kembali. 
Sementara tanpa banyak membuang waktu, salah seorang 
dari kawan Darinta bergegas naik ke puncak bukit. Sedangkan 
Darinta bersama keempat kawannya tetap bertahan untuk 
bertarung marimatian. 
Sringgg! Srattt!

Empat kawan Darinta bersamaan menghunus senjata untuk 
menghadapi lawan. Mereka bergerak mengepung Gajah 
Mungkur dengan pedang di tangan. Memang yang menjadi 
lawan Darinta hanya Gajah Mungkur. Sedangkan Pasopati dan 
Wirya Bajang hanya menjadi penonton saja. Dua orang dari 
Tiga Badut Setan itu sepertinya telah percaya dengan 
kemampuan adiknya. 
Sementara itu, Darinta sendiri telah berdiri di depan Gajah 
Mungkur. Rupanya, dia tidak merasa jera meskipun kedua 
tangannya sudah tidak bisa digunakan lagi untuk menyerang. 
"Ha ha ha...! Kalian seperti tikus-tikus kecil yang menghadapi 
kucing liar!" ejek Gajah Mungkur sambil tertawa-tawa dengan 
tangan kiri memegangi perutnya. Sedangkan tangan kanannya 
menuding wajah kelima lawannya berganti-ganti. 
Sikap yang sombong Itu tentu saja membuat wajah lawan-
lawannya menjadi merah. 
"Jangan takabur dulu, Kerbau Dungu! Kita lihat saja, apakah 
kau memang mampu melawan kami berlima...!" desis Darinta. 
Jelas, Darinta merasa terhina atas ucapan yang dilontarkan 
Gajah Mungkur. Segera saja diberinya isyarat kepada kawan-
kawannya untuk maju menggempur. 
"Haaat...!" 
Diiringi sebuah teriakan nyaring, seorang kawan Darinta 
yang berada di samping kanan Gajah Mungkur melesat disertai 
sambaran pedangnya yang mengarah ke leher. Kemudian, tiga 
kawahnya yang lain menyusuli dengan serangan beruntun" 
susul-menyusul. Mereka bergerak dengan kecepatan 
mengagumkan. 
Darinta sendiri menerjang dari depan dengan tendangan-
tendangannya yang berputaran cepat, laksana baling-baling.

Rupanya laki-laki ini memang cukup lihai juga dalam ilmu 
tendangan. Semua itu terlihat jelas, sewaktu menerjang Gajah 
Mungkur. 
"Hm...," Gajah Mungkur bergumam perlahan. 
Tubuh laki-laki tinggi besar itu sama sekali tidak bergeser 
dari tempat berpijaknya semula. Jelas, kalau kekebalan 
tubuhnya sangat diandalkan untuk menyelesaikan pertarungan 
itu. 
Trakkk! Trakkk! Trakkk! 
"Ahhh...?!" 
"Haih...?!" 
Terdengar pekikan kaget berturut-turut dari keempat anak 
buah Darinta, begitu senjata masing-masing telak menghantam 
sasaran. Tapi, tak satu pun dari keempat batang pedang itu 
yang sanggup melukai tubuh Gajah Mungkur. Sebaliknya, tubuh 
empat anak buah Darinta sendirilah yang terpental balik. 
Memang, tenaga tolakan yang keluar dari tubuh Gajah Mungkur 
sangat kuat! 
Zebbb! 
Setelah keempat batang pedang itu berpatahan ketika 
mengenai tubuh Gajah Mungkur, tendangan Darinta meluncur 
mengancam pelipis. Jelas, Darinta ingin melihat apakah jalan 
darah besar di kepala lawan juga terlindung kekebalan? 
Tapi, Gajah Mungkur sepertinya bisa menebak maksud lawan 
yang satu itu. Maka, cepat kepalanya dimiringkan ketika 
tendangan Darinta meluncur datang. Dan tanpa diduga sama 
sekali, tangannya bergerak sangat cepat Sehingga.... 
Tappp! 
"Ahhh...?!"

Darinta benar-benar terkesiap ketika pergelang-an kakinya 
dirasakan telah tercekal jari-jari tangan lelaki raksasa yang 
besar dan kuat Dia terpaksa menjerit, ketika Gajah Mungkur 
meremas dan memuntir kakinya disertai pengerahan kekuatan 
tenaganya. 
"Hiaaah...!" 
Gajah Mungkur membentak keras. Langsung disertakannya 
tubuh Darinta yang langsung terangkat ke udara. Kemudian, 
diputar-putamya tubuh laki-laki gagah itu di atas kepalanya 
seperti baling-baling! 
"Aaa...!" 
Darinta memekik ngeri ketika tubuhnya terasa meluncur 
pesat, saat dilepaskan Gajah Mungkur. 
Tanpa ampun lagi, tubuhnya melayang dan menghantam 
dinding bukit yang berbatu cadas itu. 
Prokkk! 
Terdengar suara benturan keras ketika kepala Darinta 
menghantam dinding bukit. Darah segar bercampur cairan 
putih kontan muncrat membasahi tanah! Darinta pun tewas 
seketika itu juga. 
"Ahhh...!" 
Keempat kawan Darinta sama-sama terpekik ngeri melihat 
pimpinannya tewas secara mengerikan! Tanpa sadar, mereka 
bergerak mundur menjauhi lawannya. Sementara lelaki raksasa 
itu menatapi keempat murid Perguruan Bukit Kundul sambil 
tertawa terbahak-bahak 
"Jangan khawatir! kalian pun pasti akan mendapat bagian 
yang tidak kalah menariknya...," ejek Gajah Mungkur. Tawanya

terdengar semakin keras, menandakan nafsu membunuh yang 
sudah berada di puncaknya. 
Mendengar ucapan lelaki bertubuh besar itu, wajah keempat 
murid Perguruan Bukit Kundul menjadi semakin pucat Seketika 
itu juga, keberanian mereka langsung lenyap entah ke mana. 
Sehingga, kaki mereka terus bergerak mundur menjauhi sosok 
Gajah Mungkur yang terlihat bagaikan seorang raksasa 
pemburu nyawa. 
"Haaa...!" 
Gajah Mungkur kelihatan sangat gembira menyaksikan 
wajah-wajah yang dilanda ketakutan hebat Malah calon-calon 
korbannya sengaja ditakut-takuti. Bentakannya yang 
menggelegar serta kedua tangannya yang terkembang, 
membuat keempat lawannya melompat ke belakang. Bahkan 
keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuh mereka. 
"Ha ha ha..!" 
Senang bukan main Gajah Mungkur menyaksikan tingkah 
laku keempat orang lawannya Tawanya tergelak-gelak sampai 
menitikkan air mata melihat lawan-lawannya semakin 
bertambah pucat Apalagi setelah mendengar bentakannya 
"Hieeeh heh heh..! Bagus.... Bagus, Gajah Mungkur! Aku 
senang sekali melihat tontonan seperti ini...!" 
Pasopati yang masih menjadi penonton bersama Wirya 
Bajang memperdengarkan tawanya yang seperti ringkik kuda. 
Rupanya hatinya juga merasa gembira menyaksikan kekejaman 
adiknya 
Sementara itu, Wirya Bajang sampai jatuh terduduk 
menyaksikan pertunjukan yang baginya sangat lucu. Benar-
benar mengiriskan sifat Tiga Badut Setan itu. Semakin orang 
ketakutan, Tiga Badut Setan akan semakin senang dan puas

melihatnya. Bagi mereka bertiga, pertunjukan itu merupakan 
hiburan yang mengasyikkan. 
Setelah puas mempermainkan lawan-lawannya yang hampir 
mati ketakutan, Gajah Mungkur berniat mengakhiri 
permainannya. Dengan bentakan keras, lelaki tinggi besar itu 
melompat Kedua tangannya tampak dikembangkan, 
menangkap leher dua lawannya. Kemudian, diangkatnya kedua 
tubuh itu dengan jari-jari tangan mencekik leher tawan hingga 
tewas. 
Setelah menewaskan kedua lawannya, Gajah Mungkur 
berpaling ke arah dua lawan lainnya yang tersisa. Dan dengan 
gerakan cepat, kedua lawannya ditangkap. Lalu tanpa ada rasa 
kasihan, satu persatu dipatahkannya anggota tubuh dua 
korbannya. Dan tanpa menghiraukan jeritan-jeritan kesakitan, 
dipatahkannya batang leher keduanya hingga tewas dengan 
mata terbeliak! 
Setelah melepaskan korbannya hingga tersuruk di tanah, 
Gajah Mungkur bertepuk tangan disertai senyum penuh 
kepuasan. Sekilas wajahnya berpaling ke arah dua saudaranya, 
seolah mengharapkan pujian atas hasil perbuatannya. 
"Pekerjaan yang sangat bagus dan menyenangkan, Gajah 
Mungkur...," puji Pasopati tersenyum puas. 
"Nikmat sekali aku melihatnya, Gajah Mungkur...," tambah 
Wirya Bajang sambil bertepuk tangan, sehingga membuat 
Gajah Mungkur semakin bangga. 
"Sekarang tinggal mencari wanita cantik di atas bukit ini...," 
kata Gajah Mungkur. 
Laki-laki tinggi besar itu kemudian mempersilakan Wirya 
Bajang untuk berjalan lebih dulu. Dia baru berjalan paling 
belakang, setelah Pasopati melangkah melewatinya.

*** 
"Itu mereka, Guru...! Celaka! Pasti Kakang Darinta dan yang 
lainnya telah dibunuh...!" 
Terdengar kata-kata keras dari lelaki pendek kepada seorang 
lelaki tua yang di tangan kanannya tergenggam tongkat 
berwarna merah. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah tiga 
sosok lelaki yang tengah bergerak semakin mendekat 
"Eh?! Tidak salahkah penglihatanku...? Betulkah Tiga Badut 
Setan yang datang mengacau...?" desis lelaki tua itu sambil 
menyipitkan matanya, menegasi. 
Perkataannya jelas menandakan kalau laki-laki tua yang 
ternyata Ketua Perguruan Bukit Kundul itu telah cukup 
mengenal ketiga tamu tak diundang Itu. Sebagal kaum rimba 
persilatan golongan tua, tentu saja ketiga tokoh sesat yang 
memiliki sifat aneh mendekat kegilaan itu sudah dikenalnya. 
Kenyataan itu membuat hatinya sangat terkejut' 
"Ha ha ha...! Rupanya yang mendekam di bukit ini adalah 
Tongkat Kayu Merah! Sungguh kebetulan! Berarti perjalananku 
tidak sia-sia. Bertarung dengan orang sepertimu, pasti sangat 
menyenangkan...!" tantang Wirya Bajang setelah berada agak 
dekat 
Rupanya laki-laki berhidung seperti tomat ini mengenali lelaki 
bertongkat merah yang berusia sekitar lima puluh tahun itu. 
"Tanyakan kepadanya, Kakang. Apakah dia memelihara 
gadis-gadis cantik di dalam perguruannya..?" bisik Gajah 
Mungkur yang masih saja memikirkan gadis-gadis cantik 
Lelaki bertubuh raksasa itu tampak masih penasaran setelah 
kejadian di Desa Kandaran. Sehingga, sepanjang perjalanan 
benaknya hanya dipenuhi bayangan gadis-gadis cantik saja.

'Tenanglah, Gajah Mungkur. Kita pasti akan mendapatkan 
banyak gadis cantik Kau boleh memilih dan menikmatinya 
nanti...," jawab Wirya Bajang agak keras. Sehingga suaranya 
terdengar oleh laki-laki yang ternyata berjuluk Pendekar 
Tongkat Kayu Merah dan murid-muridnya. 
"Kalau begitu, aku pesan empat Yang cantik-cantik, dan 
mulus-mulus...," timpal Pasopati, langsung saja. Bibirnya 
tampak tersenyum membayangkan dirinya dikelilingi gadis-
gadis cantik yang membuat air liurnya menetes. 
"Aku memilihnya nanti saja kalau sudah melihat..," kata 
Gajah Mungkur sambil menjilati bibirnya Bayangan gadis-gadis 
cantik itu seolah santapan yang terlezat baginya 
"Hm.... Rupanya mata tuaku masih cukup baik Kiranya Tiga 
Badut Setan yang datang berkunjung. Hhh.... Betapa sempitnya 
dunia ini. Sayang, kedatangan kalian disertai maksud keji...." 
Percakapan Tiga Badut Setan terhenti ketika mendengar 
kata-kata Pendekar Tongkat Kayu Merah yang berwibawa dan 
cukup lantang. 
"Sebenarnya, kedatangan kami hanya untuk bersenang-
senang, Tongkat Merah. Sambutan murid-muridmu pun cukup 
hangat Sayang, mereka harus kami tinggalkan di bawah 
sana..," sahut Wirya Bajang, datar. 
Bagi yang belum mengetahui sifat Tiga Badut Setan, tentu 
akan mengira ucapan .itu tidak menyimpan arti lain. Namun 
tidak demikian halnya Pendekar Tongkat Kayu Merah. Laki-laki 
tua itu cukup mengenal sifat serta istilah yang selalu digunakan 
Tiga Badut Setan. Makanya, tak heran kalau wajahnya tampak 
berubah kelam ketika mendengar kata-kata Wirya Bajang. 
Pendekar Tongkat Kayu Merah yang bernama asli Ki Bajpnta 
sadar, ucapan itu berarti kematian bagi murid-muridnya yang

berada di sana. Meski demikian, kemarahannya berusaha 
ditekan, karena bisa berakibat parah bagi dirinya. Apalagi, 
lawan yang harus dihadapinya sangat tangguh dan belum tentu 
mampu ditandinginya. 
"Kalian benar-benar iblis keji! Tanpa sebab yang jelas) 
murid-muridku kalian bantai seperti sekumpulan lalat! Apa 
sebenarnya yang diharapkan dengan melakukan kejahatan 
seperti itu..?" 
Meskipun telah menekan kegeramannya sekuat tenaga, tak 
urung nada suara Ki Baginta terdengar agak bergetar 
mengandung kemarahan. Tapi, Wirya Bajang malah 
menanggapinya dengan tawa terbahak keras. 
"He he he...! Tidak banyak yang kuinginkan, Ki Baginta. 
Kami hanya mencari kesenangan, kepuasan, kemashyuran, dan 
pengakuan bahwa Tiga Badut Setan adalah tokoh nomor wahid 
dalam dunia ini...," sahut Wirya Bajang terkekeh 
berkepanjangan. 
"Kalian benar-benar sinting! Hanya karena alasan kosong itu 
sampai tega membunuh orang lain?! Rasanya berdosa besar 
jika kalian kubiarkan merajalela menebar bencana! Meski harus 
mengorbankan nyawa, kebiadaban kalian akan kuhen-Bkan...!" 
geram Ki Baginta. 
Segera laki-laki tua itu memutar tongkat merahnya, hingga 
menimbulkan putaran angin keras yang menerbangkan 
bebatuan kecil. Kemudian, tongkatnya disilangkan di depan 
dada dengan sorot mata tajam. 
"Bagus..., bagus...! Memang itulah yang kuinginkan, Ki 
Baginta. Tanpa ditantang pun, aku pasti akan memaksamu 
bertarung denganku...," sambut Wirya Bajang melompat-
lompat kegirangan, persis seperti bocah kecil yang memperoleh 
mainan kesukaannya.

"Biar yang lainnya bermain-main denganku, Kakang...," pinta 
Pasopati. Sepasang matanya sempat berbinar-binar ketika 
melihat murid-murid Perguruan Bukit Kundul sudah siap 
tempur. 
"Aku juga ikut bermain...!" seru Gajah Mungkur yang tidak 
kalah gembiranya. 
"Manusia-manusia gila...!" umpat Ki Baginta. 
Diam-diam Ketua Perguruan Bukit Kundul itu merasa geram 
melihat orang-orang yang gila menyiksa serta membunuh 
sesamanya. Mereka tak ubahnya seperti pemburu-pemburu 
nyawa. 
Melihat Wirya Bajang sudah menggeser langkahnya, Ki 
Baginta pun mulai mempersiapkan diri dengan jurus-jurus 
andalan. Lelaki berjuluk Pendekar Tongkat Kayu Merah sadar, 
lawannya bukanlah orang sembarangan. Maka begitu 
berhadapan, langsung dikeluarkannya jurus-jurus andalan. 
Sementara itu, Gajah Mungkur dan Pasopati telah bergerak 
untuk menerjang murid-murid Ki Baginta. Jelas, mereka sangat 
bernafsu untuk saling berlomba dalam menewaskan lawan-
lawannya. 
"Haaat..!" 
Ki Baginta langsung membuka serangan dengan putaran 
tongkat merahnya. Kemudian tongkatnya bergerak lurus 
dengan totokan yang mengancam jalan darah kemarian di 
tubuh lawan. 
Syuuut..! 
Wirya Bajang terkekeh parau melihat datangnya serangan 
tongkat lawan. Dengan gerak aneh namun jelas sangat ampuh 
dan membingungkan, serangkaian totokan itu berhasil

dielakkan tanpa perlu menggeser tubuhnya jauh-jauh. Jelas hal 
itu menunjukkan betapa tingginya ilmu berkelit yang 
dimilikinya. Ki Baginta pun mau tak mau harus memuji dalam 
hati. 
"Shaaa...!" 
Serangan tongkat Ki Baginta mulai melemah, karena selalu 
meleset dari sasaran. Dan kesempatan ini digunakan Wirya 
Bajang untuk melancarkan serangan balasan. Didahului sebuah 
bentakan mengejutkan, tubuhnya bergerak cepat dengan 
tusukan jari-jari tangan yang membentuk paruh ular. 
Bettt! Bettt! 
Tampak Ki Baginta kewalahan dalam mengelakkan serangan 
beruntun yang datang laksana air bah. Namun dengan 
kelincahannya, serangan lawan tetap berusaha dihindari sambil 
sesekali menangkis dan membalas. Maka sebentar saja kedua 
tokoh itu telah terlibat dalam perkelahian sengit 
Tapi setelah bertarung kurang lebih tiga puluh jurus, Ki 
Baginta mulai kerepotan menghadapi serangan beruntun 
lawannya. Bahkan sudah tidak sempat lagi membalas, karena 
terlalu sibuk mengelak serta menangkis serangan-serangan. 
"Yiaaah...!" 
Wirya Bajang yang melakukan tekanan-tekanan berat tiba-
tiba membentak nyaring mengejutkan. Berbarengan dengan 
itu, tubuhnya merendah hampir berjongkok Kemudian, dia 
melompat cepat sambil mendorongkan sepasang telapak 
tangannya. Maka.... 
Blaggg...! 
"Huakkkh...!"

Telak sekali sepasang telapak tangan Wirya Bajang mendarat 
di tubuh Ki Baginta. Akibatnya, Ketua Perguruan Bukit Kundul 
itu terjajar disertai muntahan darah segar dari mulutnya. Meski 
demikian, dia berusaha menahan kuda-kudanya agar jangan 
sampai terjatuh. Tapi malang. Sebelum laki-laki tua itu bersiap 
kembali, pukulan Wirya Bajang kembali datang menghantam 
dadanya 
Bukkk! 
Kali ini tubuh Ki Baginta terhempas deras, dan terbanting 
keras di tanah. Dan belum juga laki-laki tua itu bisa bangkit, 
telapak kaki Wirya Bajang telah mengakhiri hidupnya. Ketua 
Perguruan Bukit Kundul itu langsung tewas begitu batang 
lehernya patah diinjak Wirya Bajang! 
Pada saat yang hampir bersamaan, Pasopati dan Gajah 
Mungkur juga mengakhiri nyawa lawan terakhirnya Kedua 
murid Perguruan Bukit Kundul yang tersisa telah tewas dengan 
kepala retak akibat tamparan keras tokoh sesat itu. 
"Sekarang, tinggal mencari wanita-wanita cantik yang 
tentunya disimpan dalam perguruan itu..." 
Lagi-lagi Gajah Mungkur yang mengucapkan kalimat itu 
Sepertinya dia sudah tidak sabar menyalurkan hajatnya 
Mendekap tubuh molek, dan 52 menyantapnya untuk mengisi 
perut' 
Wirya Bajang dan Pasopati hanya terkekeh mendengar 
ucapan adiknya. Mereka kini bergerak memasuki perguruan 
yang sudah tidak terjaga lagi, karena semua murid Perguruan 
Bukit Kundul telah dibasmi dengan kejam, termasuk 
pimpinannya! 
***

EMPAT


Tak banyak orang yang berlalu lalang di desa ini. Hanya satu 
dua saja yang tampak Bahkan tak terlihat sosok wanita. Namun 
keadaan yang demikian tidak membuat dua sosok yang tengah 
berjalan ini jadi bertanya-tanya. 
Dua sosok itu tampak memasuki sebuah kedai makan yang 
ramai pengunjungnya. Mereka adalah seorang pemuda tampan 
bertubuh sedang, mengenakan jubah panjang berwarna putih. 
Dan yang seorang lagi adalah seorang dara jelita berpakaian 
serba hijau. Kehadiran mereka tentu saja menjadi pusat 
perhatian, terutama sosok dara jelita berpakaian serba hijau. 
Tidak satu lelaki pun di dalam kedai yang melewatkan 
kesempatan menatap wajah jelita itu penuh kekaguman. 
Sebagian lagi menatap disertai hasrat yang menggebu-gebu. 
Namun pandangan mata mereka serentak merunduk, ketika 
melihat gagang pedang yang menghiasi pinggang dara jelita 
itu. Senjata itu menandakan kalau gadis itu berasal dari kaum 
rimba persilatan. Maka, tentu saja mereka tidak berani main-
main. 
Beberapa pemuda yang berusia sekitar dua puluh atau dua 
puluh lima tahun, menatap penuh Iri kepada pemuda tampan 
berjubah putih yang kelihatannya sangat akrab. Mereka 
menduga kalau pemuda itu pasti suami, atau paling tidak 
kekasihnya. 
"Beruntung sekali pemuda itu, entah bagaimana caranya 
dara jelita itu didapatkannya...," gumam seorang pemuda 
berusia dua puluh lima tahun. Rupanya, dia tidak bisa 
menyembunyikan rasa iri terhadap pemuda tampan berjubah 
putih itu. Tapi dia tidak bisa berbuat lain, kecuali hanya 
menatapi sosok dara jelita itu dari kejauhan.

Sedangkan sepasang anak muda itu menyadari kalau tengah 
menjadi pusat perhatian para pengunjung kedai. Namun, 
keduanya tetap melangkah tenang ke sebuah meja yang masih 
kosong. Kemudian, mereka duduk berdampingan dan memesan 
hidangan kepada pelayan yang datang menghampiri. 
Baru saja pelayan kedai pergi, seorang lelaki tua datang ke 
arah meja sepasang pemuda itu. Sengaja dia pindah dari 
mejanya untuk mendekati pemuda tampan dan dara jelita yang 
tidak begitu jauh dari tempat duduknya. 
"Maaf, kalau aku mengganggu. Bolehkah aku bergabung 
dengan kalian...?" pinta lelaki tua yang berusia sekitar lima 
puluh tahun. Sikap dan nadanya terlihat sangat sopan. 
'Tentu saja, Paman. Silakan...," sambut pemuda tampan 
berjubah putih itu setelah menatap wajah lelaki tua di 
hadapannya sejenak Kemudian, orang tua itu diberinya tempat 
untuk duduk bersama. 
"Terima kasih...," ucap lelaki tua itu dengan wajah yang 
sopan dan wajar. 
Lelaki tua itu tampaknya ingin menyampaikan sesuatu 
kepada pasangan muda di depannya. Sementara, sepasang 
anak muda itu pun seolah telah mengerti, sehingga tetap 
bersikap menunggu. 
"Maaf...," ujar lelaki tua itu setelah duduk dan 
memperhatikan orang-orang yang berada dalam kedai. 
"Bukannya aku menakut-nakuti. Tapi menurut pendapatku, 
terlalu berbahaya bagi wanita secantik Nisanak untuk berada di 
luar rumah dalam keadaan yang kacau seperti sekarang ini." 
Orang tua itu menghentikan ucapannya dan kembali 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seolah, khawatir kalau 
ada orang yang memperhatikan.

"Mengapa, Paman...? Bukankah kami tidak berbuat 
kesalahan?" tanya pemuda tampan itu. Keningnya tampak agak 
berkerut, karena belum bisa.menebak arah pembicaraan orang 
tua itu. 
"Sebagai pedagang keliling, aku cukup tahu akan keadaan 
sekarang ini. Di mana-mana, banyak terjadi kejahatan. Bahkan 
kabarnya, penjahat-penjahat itu memiliki kesaktian tinggi dan 
mempunyai banyak pengikut Tidak jarang gadis-gadis muda 
dan cantik diculik, tanpa peduli miskin atau kaya. 
Pembunuhan terjadi di mana-mana tanpa seorang pun yang 
mampu mencegahnya. Dan aku khawatir, kalau sampai Nisanak 
ini mengalaminya. Sekali lagi, aku mohon maaf. Aku hanya 
ingin mencjngatkan, dan bukan menakut-nakuti. Harap jangan 
salah paham...," jelas lelaki tua yang mengaku sebagai 
pedagang keliling. 
Melihat dari raut wajah dan sikapnya, lelaki tua itu memang 
sekadar mengingatkan tanpa bermaksud menakut-nakuti, 
seperti yang ditekankannya berulang kali. 
"Kejahatan memang tidak akan pernah habis, Paman. Di 
mana-mana selalu saja ada orang yang sengaja atau tidak, 
melakukan kejahatan. Tapi kami berdua yakin, akan selalu ada 
yang bersedia mengorbankan nyawa untuk memberantas 
kejahatan. Yang penting, kita harus selalu waspada dan jangan 
sampai terjerumus melakukan kejahatan...," timpal pemuda 
tampan itu. 
Pemuda berjubah putih itu rupanya memiliki pengalaman 
cukup luas. Hanya saja, dia tidak merincinya satu persatu, 
karena membutuhkan waktu lama. Sehingga, dia hanya 
mengemukakan garis besarnya saja. 
"Bukan itu maksudku, Anak Muda. Terus terang saja, 
kawanmu ini terlalu menarik bagi kaum lelaki. Sedangkan

kejahatan yang kumaksudkan, terjadi sekarang ini. Itu yang 
kukhawatirkan...," bantah lelaki tua itu. 
Lagi-lagi pandang mata lelaki tua itu meraya pengunjung di 
ruangan ini dengan sikap penu curiga. Sehingga, dara jelita 
yang sejak tadi hanya mendengar, kini malah menatap tajam 
padanya. 
"Paman," panggil dara jelita itu dengan suara lembut 
menyejukkan hati. "Coba jelaskan keja hatan yang Paman 
maksudkan? Kami memang baru tiba di desa ini, sehingga 
belum mengetahui peristiwa yang terjadi baru-baru ini...." 
"Apakah Paman melihat ada salah satu di antara mereka di 
dalam kedai ini...?" tanya pemuda tampan ini, ketika lelaki tua 
itu belum juga menjawab. Malah pandang matanya beredar 
dengan wajah agak cemas. 
"Aku tidak tahu, Anak Muda. Yang jelas, mereka pasti 
berjumlah banyak Dan, bisa saja kalau di antara para 
pengunjung kedai ada salah satu dari mereka. Kami, para 
pedagang keliling pernah menyaksikan perampok itu bertindak. 
Mereka rata-rata pandai silat dan sangat kejam. Untung saja 
nasibku dan dua kawanku masih dilindungi Tuhan. Saat para-
perampok datang, kami bersembunyi sambil membawa barang-
barang dagangan. Ngeri sekali menyaksikan para perampok itu 
membunuhi penduduk desa tanpa perasaan. Bahkan membawa 
gadis-gadis muda, yang sudah pasti untuk kepuasan nafsu iblis 
yang merasuki tubuh mereka," tutur orang tua itu perlahan, 
takut kalau terdengar orang lain. 
"Apakah perampokan dan penculikan itu sering terjadi, 
Paman?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau itu, agak 
menyelidik.

'Ya, begitulah. Tidak jarang dalam satu hari, ada dua atau 
tiga desa yang dijarah," sahut lelaki tua itu, masih dengan 
suara perlahan. Bahkan kali ini agak berbisik lirih. 
"Hm.... Apakah tidak ada tokoh persilatan yang berusaha 
membasminya...?" tanya pemuda tampan berjubah putih itu. 
Rupanya dia agak penasaran. 
"Tentu saja ada. Tapi kebanyakan dari mereka telah tewas, 
meskipun sebelumnya berhasil mengusir perampok-perampok 
ganas itu. Kabarnya, tokoh-tokoh persilatan yang hendak 
menegakkan kebenaran itu tewas di tangan para pemimpin 
perampok. Bahkan banyak juga perguruan yang membubarkan 
murid-muridnya, karena tidak jarang didatangi oleh gembong 
penjahat. Mereka mengacau perguruan-perguruan, dari yang 
letaknya terpencil sampai yang ternama. Mungkin karena 
kesaktian gembong-gembong penjahat itulah, yang membuat 
orang-orang beraliran putih berpikir sepuluh kali untuk 
menumpas mereka. Makanya, aku harus menasihati kalian agar 
berhati-hati. Kalau sampai Nisanak terlihat oleh salah satu dari 
anggota mereka, celakalah kalian berdua...." 
Lelaki tua itu menghentikan penjelasannya, tepat pada saat 
pelayan kedai datang membawa makanan dan minuman 
pesanan sepasang anak muda ini. 
"Hm... Tadi Paman mengatakan, gerombolan itu pernah 
menjarah desa, saat Paman melewatkan malam di desa itu. 
Dapatkah kau tunjukkan, ke mana gerombolan itu pergi?" tanya 
pemuda tampan berjubah putih itu hati-hati. Tampak sekali 
kalau semua cerita orang tua itu disimak baik-baik 
Lelaki tua itu tampak berpikir sejenak Jelas dia tidak ingin 
memberikan jawaban asal jadi saja.

"Hm.... aku tidak tahu pasti. Tapi kalau tidak salah, mereka 
menuju ke arah barat, setelah menjarah desa itu. Kalau dari 
desa ini, kira-kira arahnya ke utara," jawab lelaki tua itu. 
Pemuda tampan itu tampak mengangguk-angguk -eperti 
hendak menyimpan baik-baik keterangan pedagang keliling itu. 
Saat itu dua kawannya yang diceritakan barusan, telah 
memanggilnya dari ambang pintu kedai. Rupanya mereka 
hendak melanjutkan perjalanan untuk menjajakan barang 
dagangan. 
"Maaf aku harus pergi. Pesanku, berhati-hatilah dan jangan 
lengah...," ujar orang tua itu seraya bergegas bangkit dari 
kursinya. 
"Akan kuperhatikan, Paman. Dan, terima kasih...," sahut 
pemuda tampan berjubah putih itu sambil membalas anggukan 
kepala lelaki tua itu. 
Sebentar kemudian, pedagang itu meninggalkan sepasang 
anak muda ini. Tubuhnya lalu menghilang, bersama dua orang 
kawannya yang menunggu. 
"Kakang bermaksud menyelidiki gerombolan perampok yang 
diceritakan lelaki tua itu...?" tanya dara jelita berpakaian hijau 
seperti meminta kepastian kepada pemuda tampan di 
sebelahnya, setelah pedagang keliling tadi sudah tidak nampak 
lagi. 
"Tentu saja, Kenanga. Dan rasanya, memang sudah menjadi 
tugas kita dalam kehidupan ini...," sahut pemuda tampan itu. 
Pemuda berjubah putih itu menatap gadis cantik yang 
dipanggil Kenanga. Melihat ciri-cirinya, dia sudah pasti Panji 
dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.

"Bagaimana kalau gerombolan itu hanya perampok biasa 
yang tidak mempunyai hubungan dengan tokoh tertentu...?" 
tanya Kenanga lagi, seperti masih meragukan cerita pedagang 
keliling tadi. 
Memang, bukan tidak mungkin kalau lelaki tua tadi telah 
membesar-besarkan kejadian yang sebenarnya. Dan biasanya, 
setiap peristiwa yang berasal dari mulut ke mulut selalu 
dibumbu-bumbui agar menjadi menarik. 
"Biarpun begitu, kita tetap berkewajiban untuk 
menumpasnya. Kalau hal itu dibiarkan berlarut-larut, jelas akan 
mengganggu ketenangan orang banyak...," kilah Panji lagi, 
tenang. 
"Lalu, mengapa kita Gdak segera berangkat ke utara? Aku 
pun ingin melihat sendiri, seberapa kehebatan gerombolan 
perampok yang diceritakan orang tua itu," ujar Kenanga lagi. 
Tampaknya gadis itu merasa penasaran. Hendak 
dibuktikannya sendiri cerita-cerita pedagang keliling itu. 
Menurutnya, cerita orang tua tadi jelas menggambarkan 
keganasan serta kehebatan gerombolan perampok. Kalau saja 
orang lain yang mendengarnya, mungkin akan gentar. Tapi 
orang yang dinasihati pedagang keliling itu adalah Pendekar 
Naga Putih dan kekasihnya, Kenanga. Sepasang pendekar 
muda itu tentu saja tidak pernah merasa gentar dalam 
menghadapi penjahat atau tokoh sesat sesakti apa pun. 
"Baiklah. Kita berangkat setelah selesai mengisi perut yang 
keroncongan ini...," desah Panji. 
Jawaban Pendekar Naga Putih membuat semangat dara 
jelita itu bangkit. Dan itu tampak sekali dari wajah Kenanga 
yang bersinar gembira dan mata berbinar-binar. Dia memang 
sangat menyukai petualangan-petualangan yang mendebarkan.


Apalagi bersama pemuda pujaan hatinya. Tidak aneh kalau dia 
kelihatan ingin segera menghabiskan santapannya. 
*** 
"Kita langsung menuju ke utara, Kakang...?" tanya Kenanga 
ketika mereka tengah melintasi sebuah hutan kecil. 
"Ya! Dan untuk mempercepat perjalanan, kita harus 
melewati tempat-tempat yang jarang dilalui orang. Sehingga, 
mungkin saja kita secara tak sengaja menemukan markas 
perampok yang biasanya terletak di daerah seperti itu," sahut 
Panji sambil tetap mengayunkan langkahnya menerabas semak 
perdu. 
Namun, tiba-tiba saja pemuda tampan itu menghentikan 
langkahnya. Sedangkan Kenanga sedikit terkejut, dan juga 
segera berhenti. Dan gadis itu memang sudah sering 
melakukan perjalanan bersama kekasihnya. Maka segera saja 
bisa diduga, apa yang menyebabkan Panji berhenti mendadak. 
Indera pendengarannya segera dipasang tajam-tajam kalau 
kalau mendengar suara-suara yang mencurigakan. 
"Kau dapat menangkap suara itu, Kenanga...?" tanya Panji 
ketika melihat kekasihnya tampak tengah memusatkan 
pendengarannya. 
"Hhh.... Aku tidak menangkap suara apa-apa, Kakang...," 
sahut Kenanga agak kecewa. 
"Ikuti aku. Sepertinya, ada pertempuran di sekitar daerah ini 
Mungkin agak jauh, karena terdengarnya samar-samar. Tapi 
aku yakin, suara yang kudengar itu teriakan dan dentingan 
senjata beradu...," jelas Panji. 
Dan tanpa menunggu lagi, langsung saja Pendekar Naga 
Putih berkelebat ke arah selatan hutan kecil itu.

Sementara, Kenanga yang melihat kekasihnya fidak 
mengerahkan tenaga sepenuhnya dalam berlari, segera saja 
dapat menjajarinya. Kedua pendekar muda itu bergerak ke arah 
selatan, seperti yang diinginkan Panji. 
"Ahhh...?! Aku mulai dapat menangkap suara itu, Kakang. 
Jelas ada orang yang tengah bertempur di sekitar daerah ini. 
Mudah-mudahan saja gerombolan itulah yang diceritakan 
pedagang keliling tadi...," seru Kenanga, gembira. 
"Hm.... Coba, bawalah aku ke tempat asal suara itu...," ujar 
Panji, sengaja hendak menguji ketajaman pendengaran 
kekasihnya. 
"Baik...," sahut Kenanga, mantap dan penuh keyakinan. 
Jelas, dara jelita itu telah yakin akan ketajaman indera 
pendengarannya. Segera saja tubuhnya melesat ke arah kanan 
dengan kecepatan mengagumkan. 
Sedangkan Panji bergerak mengikuti arah yang dituju 
kekasihnya. Diam-diam hatinya dihinggapi rasa bangga melihat 
kemajuan dara jelita itu Latihan-latihan yang sering dilakukan 
dalam perjalanan, membuat kepandaian Kenanga telah 
meningkat pesat. Selain memiliki bakat yang cukup baik, 
latihannya pun sangat tekun. Terutama melatih ilmu-ilmu yang 
diajarkan kekasihnya. Tidak heran kalau kemajuannya kini 
cukup berarti. 
"Itu dia, Kakang...!" desah Kenanga, gembira ketika melihat 
ada yang bertarung di depan. 
Jarak mereka dengan pertarungan masih terpisah sekitar 
sepuluh tombak Namun, mereka terus bergerak mendekat dan 
bersembunyi di balik semak-semak. 
Panji dan Kenanga sama sekali belum memutuskan untuk 
bergerak, dan hanya menatap perkelahian untuk beberapa

saat. Mereka hendak memastikan lebih dulu, pihak mana yang 
akan dibela. 
Kedua pendekar muda itu seperti telah sepakat untuk 
membantu dua wanita yang tengah dikeroyok belasan lelaki 
kasar berpakaian serba hitam. Dan Kenanga telah lebih dulu 
berkelebat ke arena pertempuran. 
"Jangan khawatir. Sahabat! Aku datang membantu kalian! 
Mari kita gempur pengacau-pengacau kurang ajar ini...!" seru 
Kenanga. 
Kenanga sudah bisa menduga kalau belasan lelaki itu adalah 
golongan sesat. Dari cara mereka bertarung melawan kedua 
wanita itu sudah memperlihatkan sikap-sikap yang tidak sopan. 
Selain kata-kata kotor yang sesekali terlontar, serangan-
serangan balasan orang itu pun selalu tertuju ke arah dada 
yang membusung indah. Dan perbuatan itu tentunya hanya 
dilakukan oleh orang-orang golongan sesat. 
Dua wanita cantik berusia sekitar dua puluh empat tahun 
dan tiga puluh tahun itu memandang Kenanga dengan penuh 
rasa terima kasih. Apalagi, saat itu mereka memang sudah 
kewalahan menghadapi tekanan para pengeroyoknya. 
Terutama dua pengeroyok yang kepandaiannya tampak lebih 
tinggi dari pengeroyok lainnya. Tentu saja datangnya bantuan 
membuat mereka lega, begitu menyaksikan dara jelita 
berpakaian hijau itu langsung dapat menghempaskan seorang 
pengeroyok. 
Rasa syukur kedua wanita yang sama-sama berwajah cantik 
dan manis itu semakin bertambah, ketika melihat seorang 
pemuda tampan berjubah putih melayang turun dan ikut 
membantu. Sepak terjang pemuda yang seketika langsung 
merobohkan dua pengeroyok, membuat kedua wanita itu

memandang kagum. Keduanya merasa yakin akan selamat 
karena pertolongan sepasang tokoh muda yang sakti itu. 
"Lari...!" 
Salah satu lelaki yang merupakan pimpinan belasan orang 
berpakaian serba hitam itu segera memberi perintah mundur. 
Rupanya, dia sadar kalau sepasang pendekar muda yang baru 
tiba ini tidak mungkin dapat dilawan. 
Melihat lawan-lawannya berlarian mundur. Kenanga dan 
Panji sama sekali tidak berusaha mengejar. Mereka hanya 
menatap kepergian orang-orang berpakaian serba hitam itu 
dengan senyuman. 
"Sahabat-sahabat yang gagah, tolong jangan biarkan orang-
orang jahat itu pergi! Mereka telah banyak menyusahkan kami! 
Habisi saja mereka!" pinta wanita yang usianya lebih tua. Jelas 
sekali kalau dia tidak ingin melihat orang-orang jahat itu 
selamat 
"Hm.... Baiklah. Tunggu di sini, dan jaga mereka, 
Kenanga...!" ujar Panji. 
Langsung Pendekar Naga Putih kini telah berubah menjadi 
sosok bayangan putih, sebelum gema suaranya lenyap. Tentu 
saja gerakannya yang bagaikan sambaran kilat itu membuat 
semua orang yang ada di situ semakin terkagum-kagum. 
Tidak sulit bagi Panji untuk dapat menyusul ketiga belas 
lawan-lawannya. Dalam beberapa saat saja, Pendekar Naga 
Putih telah berhasil menyusul belasan lelaki berpakaian serba 
hitam itu. 
Dalam jarak dua tombak lagi, riba-riba Panji menghentakkan 
kedua kakinya ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melayang 
di atas kepala orang-orang itu dan mendarat ringan di hadapan 
mereka. Belasan lelaki itu kontan jadi terkejut melihatnya.

"Keparat! Rupanya kau benar-benar mencari mati...!" geram 
laki-laki tinggi kurus yang berlari paling depan. 
Dengan kemarahan yang menggelegak, laki-laki itu langsung 
saja menerjang sosok pemuda tampan berjubah putih yang 
tengah berdiri menghadang jalan. 
"Haaat...!" 
Bettt! 
Sambaran pedang lelaki tinggi kurus itu meluncur 
mengancam tubuh Panji. Namun Pendekar Naga Putih sama 
sekali tidak berusaha menggeser tubuhnya. Tangan kanannya 
hanya diulurkan, menyambut datangnya sambaran mata 
pedang lawan. 
Tappp! 
"Aihhh...?!" 
Bukan main terkejutnya hari lelaki tinggi kurus itu ketika 
menyaksikan mata pedangnya terjepit jari-jari tangan Pendekar 
Naga Putih. Tentu saja hal yang sangat mustahil ini 
membuatnya hampir tidak percaya. 
"Hm.... Pedang tumpul dan tua ini seharusnya tidak 
digunakan untuk menyerangku, Kisanak...," ujar Panji dengan 
suara tetap tenang. 
Kelihatannya Pendekar Naga Putih sama sekali tidak 
mengerahkan tenaga sedikit pun untuk menjepit pedang lawan. 
Padahal, lelaki tinggi kurus itu tengah berusaha sekuat tenaga 
untuk melepaskan senjatanya. Bahkan, tubuh lelaki kurus itu 
tampak telah mengeluarkan peluh yang membasahi pakaian. 
Jelas, seluruh tenaganya telah dikerahkan untuk melepaskan 
senjatanya. 
Takkk!

"Aiii...?!" 
Tiba-tiba terdengar suara keras. Bahkan pedang itu pun 
langsung patah menjadi dua bagian ketika Panji menekukkan 
jari tangannya. Akibatnya, tubuh lelaki tinggi kurus itu 
terpelanting ke belakang, karena pada saat yang bersamaan, 
pedangnya tengah berusaha disentakkan dengan sisa-sisa 
tenaga. 
Brukkk! 
Terdengar suara berdebum keras ketika sosok tinggi kurus 
itu terbanting ke tanah. Seketika beberapa orang kawannya 
berlarian dan bergegas membantunya bangkit. Sedang 
sebagian lagi langsung menerjang Panji dengan pedang di 
tangan. 
Panji hanya bergumam perlahan ketika tujuh batang pedang 
itu berdesingan datang mengancam tubuhnya. Tapi yang 
terjadi kemudian, membuat para pengeroyok menjadi tak 
mengerti. Ternyata sebelum serangan mengenai sasaran, 
pedang-pe-dang itu seketika menyentak balik. Akibatnya, para 
penyerang itu kontan terpelanting ke kiri dan karian. Sungguh 
tidak diketahui kalau pemuda itu telah menggunakan kekuatan 
tenaga dalam untuk menolak serangan. 
"Ilmu iblis...!" desis lelaki tinggi kurus itu. Rupanya dia 
sempat melihat kejadian yang menimpa kawan-kawannya. Kini, 
disadari betul untuk mengalahkan pemuda tampan berjubah 
putih itu memang merupakan hal mustahil. Maka 
diputuskannya untuk diam menanti apa yang hendak dilakukan 
pemuda itu terhadapnya. 
***

LIMA


Melihat gerombolan laki-laki berpakaian hitam itu hanya 
berdiam diri dan menatapnya dengan wajah tegang, Panji 
perlahan-lahan melangkah maju. Sepertinya mereka sengaja 
hendak digiring ke tempat semula. 
Ketika langkah Pendekar Naga Putih mendekati jarak 
setengah tombak, tiba-tiba saja pimpinan gerombolan itu 
mencabut tiga bilah pisau pendek yang langsung 
dilemparkannya. Dan tentu saja arahnya menuju Pendekar 
Naga Putih! 
"Manusia licik...!" geram Panji, menjadi jengkel melihat 
kenekatan lawannya. 
Pendekar Naga Putih menggeram perlahan. Kemudian, 
lengan kanannya dikibaskan saat tiga bilah pisau itu sudah 
mendekati tubuhnya. 
"Aaa...!" 
Lelaki tinggi kurus itu menjerit ngeri ketika tiga pisau terbang 
yang dilepaskannya, membalik menyerang dirinya. Dengan 
kecepatan tiga kali lipat, pisau-pisau itu langsung menancap di 
kening, leher, serta dada kirinya. Tanpa ampun lagi, lelaki 
tinggi kurus itu pun ambruk ke tanah dengan napas putus! 
"Ada lagi yang hendak menyusul pimpinan kalian...?" tantang 
Panji tegas dan dengan sorot mata tajam. 
Ketika menunggu beberapa saat tidak ada yang menjawab, 
Panji memerintahkan kepada lawan-lawannya itu untuk kembali 
ke tempat semula.

Kedua belas laki-laki itu sepertinya masih ragu untuk 
melaksanakan perintah Panji. Mereka berpandangan satu sama 
lain, seolah saling meminta pendapat. 
"Hukuman dari ketua kita akan lebih mengerikan lagi. Lebih 
baik mati di tangannya, daripada menerima siksaan yang belum 
pernah terbayang-kan di kepala kita...," desis salah seorang 
anggota gerombolan, meski dengan wajah pucat dan suara 
gemetar. 
Begitu ucapannya selesai, orang itu langsung menerjang 
maju dengan sambaran pedangnya. 
"Haaat...!" 
Panji sempat tertegun ketika mendengar ucapan orang yang 
menyerangnya. Pemuda berjubah putih itu menjadi agak 
jengkel melihat kebandelan lawan-lawannya. Maka, langsung 
dilancarkannya pukulan jarak jauh yang mengandung 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan'. 
Debbb! 
"Aaakh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh penyerang itu pun terpental balik 
akibat pukulan yang dilancarkan 
Pendekar Naga Putih. Tubuhnya terhempas jatuh dan tewas 
seketika dengan kulit membiru. Tampak lapisan kabut tipis 
berhawa dingin menyelimuti mayat laki-laki itu. 
"Silakan, kalau kalian menginginkan kematian seperti 
kawanmu ini...," kata Panji seraya menatapi wajah-wajah pucat 
di depannya dengan sorot mata tajam menikam jantung. 
Tapi sebelas orang sisa gerombolan itu rupanya sudah 
telanjur dipengaruhi ucapan kawannya barusan. Meskipun 
penuh keraguan, mereka bergerak menerjang Pendekar Naga

Putih. Jelas, bayangan hukuman yang telah menunggu lebih 
membuat gentar mereka. Sehingga, sisa gerombolan itu lebih 
memilih mati di tangan Panji. 
"Hebat! Entah siapa yang menjadi pimpinan gerombolan ini, 
sehingga mereka lebih suka mati di tanganku...?" gumam Panji 
yang terpaksa melayani serangan lawan-lawannya. 
Setelah kehilangan pimpinannya, tampaknya mereka lebih 
suka mari ketimbang dibebaskan. Maka sudah bisa diterka, 
bagaimana akhir pertarungan itu. itu. 
"Mereka semua lebih memilih mati di tanganku...," desah 
Panji, disertai helaan napas panjang, penuh penyesalan. 
"Kau tidak pedu menyesali tindakanmu, Kisa-nak. Mereka 
adalah orang-orang golongan hitam yang menamakan dirinya 
sebagai Gerombolan Kelelawar Hitam. Ketuanya yang berjuluk 
Iblis Mata Satu memang sangat kejam. Orang-orang itu 
ditugaskan untuk menangkap kami berdua dalam keadaan 
hidup. Kalau tidak, mereka akan dihukum secara 
mengerikan...," jelas wanita yang usianya lebih tua. Sambil 
menjelaskan, matanya tak henti-hentinya mengagumi 
ketampanan serta kegagahan Panji. Mendapat tatapan seperti 
itu, tentu saja membuat Panji menjadi agak risih. 
"Hm.... Apa yang membuat kalian bermusuhan dengan 
Gerombolan Kelelawar Hitam?" tanya Panji. Pertanyaan itu 
dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian wanita yang baru 
saja menjelaskan duduk perkaranya. Selain itu, dia pun ingin 
mencari tahu penyebab kedua wanita itu dikeroyok. 
Untuk sesaat lamanya, kedua wanita itu saling bertukar 
pandangan. Setelah melihat kawannya mengangguk, kemudian 
yang tertua menghela napas panjang. Sepertinya persoalan itu 
diserahkan kepadanya.


*** 
Kedua sosok wanita yang mengaku bernama Rinjani dan 
Sumarti seperti hendak menceritakan kisah perjalanan mereka, 
hingga bertemu sepasang pendekar muda itu. 
"Kami berdua adalah murid Perguruan Tinju Berantai yang 
tersisa. Saat Gerombolan Kelelawar Hitam menyerbu 
perguruan, kami berdua terpaksa melarikan diri atas perintah 
guru. Karena menurutnya, gerombolan itu sukar dilawan. 
Dengan sangat terpaksa, kami melarikan diri saat pertempuran 
berkobar. Dan yang terjadi selanjutnya, kami tidak tahu," jelas 
Rinjani dengan suara parau. 
Rupanya ingatan akan kehancuran perguruannya membuat 
wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu, tidak mampu 
menahan kesedihan yang selama ini terpendam di hati. Merasa 
diberi kesempatan untuk menumpahkan isi harinya yang 
mengandung dendam dan penasaran, Rinjani tidak bisa 
menahan air matanya. Isaknya terdengar tertahan dengan 
bahu berguncang-guncang. Dan hal ini membuat Panji dan 
Kenanga menjadi iba dan ikut merasakan penderitaan wanita 
cantik Itu. 
Sumarti, wanita yang berusia lebih muda, juga tidak bisa 
menahan kesedihan hatinya. Gadis manis itu merunduk, 
menyembunyikan air mata yang membasahi wajahnya. 
'Tapi..., bagaimana Iblis Mata Satu sampai mengetahui 
tentang kalian? Apakah kalian berdua sempat terlihat sebelum 
meninggalkan kancah per-74 tempuran...?" tanya Kenanga 
setelah tangis kedua orang wanita itu mulai lenyap. 
Kenanga dan Panji sama sekali tidak berusaha menghentikan 
tangis kedua wanita malang itu. Mereka tahu, tangis bisa 
membuat dada yang sesak menjadi terasa lapang. Dan hal itu

dirasakan Rinjani dan Sumarti. Mereka merasa agak lega 
setelah mengeluarkan segala derita yang selama ini terpendam. 
"Iblis Mata Satu memang belum pernah melihat kami 
berdua. Tapi, mana mungkin hati ini bisa tenteram sebelum 
mengetahui pasti, apa yang telah terjadi terhadap guru dan 
saudara-saudara seperguruan kami...?" sahut Rinjani agak 
parau setelah menghentikan tangisannya. 
"Hm.... Pasti kalian berdua telah nekat menyatroni rumah 
perguruan yang telah dikuasai Gerombolan Kelelawar Hitam! 
Lalu kalian kepergok. dan melarikan diri hingga dikejar mereka. 
Begitu maksudmu...?" ujar Panji, seperti sudah bisa menebak 
arah dari Hsah dua murid Perguruan Tinju Berantai tru 
"Benar...," sahut Rinjani singkat 
"Sudahlah, jangan terlalu bersedih. Sekarang, kalian telah 
selamat. Dan kami berdua berjanji akan membantu kalian 
mendapatkan kembali perguruan ttu," tandas Panji yang juga 
disetujui Kenanga. Mendengar janji itu, wajah Rinjani dan 
Sumarti menjadi cerah. 
"Benarkah kalian berdua bersedia membantu kami...?" tanya 
Rinjani seperti belum mempercayai pendengarannya. 
Bias-bias harapan tampak terpancar pada wajah mereka 
berdua. Apalagi ketika melihat Kenanga dan Panji tersenyum 
pasti. 
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-
menolong. Lalu mengapa kalian merasa ragu?" tegas Kenanga 
seraya tersenyum manis kepada Rinjani dan Sumarti. 
Saat itu Kenanga merasa betapa dirinya jauh lebih beruntung 
ketimbang dua wanita Itu. Dia masih memiliki Panji yang 
menyayangi sepenuh hati. Bahkan selalu melindungi dengan

segenap jiwa raga. Teringat akan hal itu, Kenanga tertunduk 
haru dan bahagia. 
"Bukan aku tidak percaya Tapi, selama ini telah banyak kaum 
pendekar yang tewas di tangan pimpinan Gerombolan 
Kelelawar Hitam. Dan..., aku takut kalau kalian berdua menjadi 
korban hanya karena ingin membela kami. Hhh.... Kalau saja 
kami dapat menemukan Pendekar Naga Putih...," desah Rinjani, 
menggantung dengan sepasang mata menerawang jauh. 
Kelihatan sekali kalau wanita itu sangat mengharapkan untuk 
dapat berjumpa Pendekar Naga Putih. Sepertinya, Rinjani 
sangat yakin kalau hanya pendekar muda itulah yang mampu 
membantunya. "Eh...?l" 
"Eh...?!" 
Teringat akan pendekar muda yang telah mengguncangkan 
rimba persilatan itu, Rinjani tiba-tiba menoleh cepat ke arah 
Panji. Ingatannya kepada Pendekar Naga Putih membuatnya 
baru menyadari sosok pemuda berjubah putih itu. Dengan dada 
berdebar, ditatapnya sosok Panji dari atas ke bawah. 
Kenanga yang melihat besarnya harapan Rinjani untuk 
bertemu Pendekar Naga Putih, menahan kata-kata yang hampir 
meluncur dari mulutnya. Tampak Rinjani tengah mengawasi 
Panji penuh selidik. Tahulah Kenanga, rupanya Rinjani telah 
mendapat gambaran tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih. 
"Kau.... Siapakah kau sebenarnya, Kisanak...?" 
Akhirnya, meski terdengar bergetar, meluncur juga ucapan 
itu dari mulut Rinjani 
"Menurutmu, siapakah tunanganku ini, Rinjani? Terkalah...?" 
selak Kenanga tiba-tiba, sebelum Panji menjawab pertanyaan 
wanita cantik yang kelihatan sangat tegang itu.

"Mungkinkah..., kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" 
desah Rinjani. Tampaknya dia kesukaran untuk mengeluarkan 
setiap perkataan, karena harinya sudah lebih dulu dilanda 
ketegangan yang berbaur harapan. 
"Menurutmu, apakah Kakang Panji patut menyandang 
julukan itu?" timpal Kenanga, masih juga belum hendak 
memberikan jawaban pasti kepada Rinjani. 
"Ohhh...." 
Rinjani sepertinya tidak ragu-ragu lagi ketika mendengar 
ucapan Kenanga. Maka langsung saja dirinya dijatuhkan untuk 
memeluk kedua kaki Panji. Semuanya dilakukan tanpa sadar. 
Wanita itu benar-benar tidak menduga kalau akan dapat 
berjumpa pendekar muda yang sangat dikaguminya itu. 
"Ah. Bangkitlah, Rinjani! Kau membuatku malu...," ujar Panji. 
Sungguh sama sekali tidak diduga kalau Rinjani akan berbuat 
demikian. Lalu, diangkatnya tubuh wanita cantik itu. 
"Pendekar Naga Putih..., Pendekar Naga Putih...," rintih 
Rinjani. 
Kelihatannya, wanita ini sangat terguncang oleh pertemuan 
tak terduga itu. Bahkan sampai jatuh pingsan, karena tidak 
sanggup menahan luapan kegembiraan dan kebahagiaan dalam 
hatinya. 
Tentu saja kejadian tak terduga itu, membuat semuanya 
menjadi terkejut Sehingga untuk beberapa saat mereka terdiam 
dan masih terkesima. 
"Nampaknya, beban batin yang ditanggung kakak 
seperguruanmu ini sangat berat, Sumarti...," desah Panji 
memecah keheningan.

"Maafkan atas kelemahan kakak seperguruanku, Pendekar 
Naga Putih. Sejak guru kami bercerita tentang dirimu, sikap 
Rinjani langsung berubah. Dia seringkaii membicarakan tentang 
dirimu kepadaku. Dan keinginannya sangat besar untuk dapat 
berjumpa denganmu. Bahkan keinginan itu sudah terpendam 
selama hampir tiga tahun. Mungkiri semua itulah yang 
membuatnya tidak bisa menahan luapan perasaannya, ketika 
tahu tentang dirimu yang sebenarnya, Kakang Panji...," jelas 
Sumarti panjang lebar. 
Panji dan Kenanga sama-sama merasa maklum. 
"Hm.... Kalau begitu, kita tunggu saja sampai dia siuman 
sendiri. Setelah itu, baru kita bergerak untuk mencari tahu 
nasib saudara-saudara seperguruanmu yang lain." 
Sumarti menatap wajah Pendekar Naga Putih secara 
sembunyi-sembunyi. Wanita yang satu ini memang agak 
pemalu, dan tidak pernah membuka rahasia hatinya kepada 
siapa pun. Termasuk, kepada kakak seperguruannya sendiri. 
Seperti halnya Rinjani, Sumarti pun diam-diam menyimpan 
kekaguman terhadap Pendekar Naga Putih. Hat itu juga 
dirasakan setelah mendengar sepak-terjang pemuda gagah itu 
dari gurunya. 
Sumarti menyimpan perasaannya rapat-rapat, ketika 
mengetahui kalau kakak seperguruannya juga menyimpan 
perasaan serupa. Dan kalau dicobanya membunuh perasaan 
yang semakin berkembang, karena tidak ingin bersaing dengan 
kakak seperguruannya. Apalagi, setelah kini mengetahui kalau 
Pendekar Naga Putih ternyata telah bertunangan dengan 
seorang wanita yang memiliki kelebihan, baik dalam hal 
kepandaian maupun kecantikan. Bahkan hatinya merasa 
bahagia ketika mengetahui betapa mulianya hati tunangan 
pendekar muda itu. Maka, Sumarti pun berjanji kepada dirinya, 
untuk menyimpan perasaan hatinya rapat-rapat

"Sumarti.... Kau kenapa...?" 
Tiba-tiba saja Sumarti melompat bangkit bagaikan disengat 
kalajengking, begitu mendengar suara teguran. Dihelanya 
napas dengan wajah berubah merah, ketika mengetahui kalau 
yang menyentuh bahunya adalah Kenanga. 
"Kau membuatku terkejut, Kenanga...," desah Sumarti 
menyembunyikan wajahnya yang kemerahan. 
"Apa yang kau pikirkan, sampai-sampai tidak mendengar 
teguranku? Padahal, aku sudah tiga kali memanggll-
manggilmu...," tanya Kenanga dengan pandangan menyelidik. 
"Hhh.... Mungkin aku hanya merasa tegang, mengingat akan 
berhadapan dengan Iblis Mata Satu nanti...," sahut wanita itu 
berbohong. Tentu saja Sumarti tidak akan mengatakan hal 
yang sebenar-nya kepada dara jelita itu. 
Kenanga sepertinya mempercayai jawaban Sumarti. 
Buktinya, dia tidak terlalu mendesak dengan pertanyaan 
berikutnya. 
"Lapangkanlah pikiranmu, Sumarti. Percayalah! Kebenaran 
selalu berada di atas kebathilan...," hibur Kenanga. 
Sesaat kemudian, keduanya kembali membisu. Mereka 
menunggu Rinjani siuman. Jika Rinjani sudah siuman, mereka 
akan bergerak mendatangi Perguruan Tinju Berantai yang telah 
dikuasai Gerombolan Kelelawar Hitam. 
***

ENAM

Matahari semakin bergeser ke barat. Sinarnya terlihat mulai 
redup. Panasnya tidak lagi terasa menyengat seperti tadi. Angin 
menjelang sore itu, bertiup silir-silir lembut menyejukkan. 
Namun, sesekali bertiup keras menerbangkan daun-daun kering 
Saat itu, Panji bersama Kenanga, Rinjani, dan Sumarti 
bergerak menuju Perguruan Tinju Berantai. Mereka kini telah 
mengatur rencana bersama-sama, setelah mendapat 
penjelasan dari Rinjani tentang letak bangunan perguruan. 
Perjalanan menuju tempat itu memang tidak memakan 
waktu lama. sebelum senja, mereka telah tiba, tidak jauh dari 
tempat tujuan. 
Tiba-tiba Panji menghentikan langkahnya, seraya 
memandang Kenanga dengan kening berkerut. Tampak sekali, 
kalau pemuda itu tengah memikirkan sesuatu. Kemudian, 
kepalanya menoleh ke arah Rinjani, 
"Rinjani! Kau mengatakan, pimpinan Gerombolan Kelelawar 
Hitam itu berjuluk Iblis Mata Satu. Apakah kau tidak salah...?" 
tanya Panji. 
Rinjani terdiam sesaat. 
"Aku tidak mungkin salah mengenali orang, Kakang. Hm.... 
Sepertinya ada sesuatu yang Kakang pikirkan...?" sahut Rinjani. 
"Melihat dari cara belasan orang yang mengeroyok kalian 
berdua, sepertinya mereka tidak bermaksud membunuh. 
Kemungkinan, mereka hanya ingin menawan kalian berdua. 
Apakah kalian tahu, apa sebabnya?" tanya Panji lagi. 
Pertanyaan itu membuat Rinjani, Sumarti, dan Juga Kenanga 
menatap pemuda itu dengan wajah penuh tanda-tanya.

"Tentu saja mereka ingin menangkap kami hidup-hidup. 
Dan, kami lebih baik mati daripada harus menjadi permainan 
mereka...," sahut Rinjani. 
Wanita itu jelas tahu maksud Iblis Mata Satu yang hendak 
menangkapnya hidup-hidup bersama adik seperguruannya. 
"Hm.... Apakah kau tahu tentang gerombolan yang tengah 
mengganas, dan suka menculik gadis-gadis muda...?" tanya 
Panji lagi. 
Pertanyaan ini membuat ketiga wanita itu semakin heran. 
Dan ketika Kenanga hendak bertanya, Panji mengangkat 
tangannya mencegah. Sepertinya, ingin didengarnya jawaban 
Rinjani lebih dulu. 
"Ya! Sudah pasti yang melakukan adalah Gerombolan 
Kelelawar Hitam. Dan aku tidak pernah mendengar adanya 
gerombolan lain yang begitu berani mengacau perguruan-
perguruan, tanpa gentar dengan kemarahan kaum pendekar," 
jawab Rinjani pasti. 
Panji lalu mengangguk puas, kemudian baru menoleh ke 
arah Kenanga. 
"Kenanga. Apa kau tahu, siapa Iblis Mata Satu itu? Dan, dari 
mana asalnya...?" tanya Panji. 
Kenanga mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-
ingat. 
"Iblis Mata Satu...," ulang Kenanga berdesah perlahan, 
seolah mulai mengerti arah pertanyaan kekasihnya "Ah! Aku 
ingat sekarang, Kakang. Tokoh itu berasal dari Pantai Utara. 
Dan..., dia tidak suka wanita, f ampai-sampai para pengikutnya 
tidak pernah menikah seumur hidup."

"Persis!" sentak Panji, dengan wajah berseri. "Nah! Kalau 
orang yang tidak suka wanita, lalu melakukan penculikan 
terhadap gadis-gadis muda, apakah itu bukan hal aneh?" 
Rinjani dan Sumarti menjadi bingung. Karena mereka berdua 
memang jarang melakukan pengembaraan, sehingga tidak 
banyak mengenal tokoh-tokoh rimba peralatan. 
"Lalu, untuk apa gadis-gadis muda yang diculik itu? 
Mungkinkah hendak dipersembahkan untuk orang lain...?" 
gumam Rinjani, seraya menatap Kenanga dan Panji berganti-
ganti. Jelas, dia merasa bingung sekali. 
"Justru itulah yang hendak kuketahui. Dan bukan musahil 
kalau dugaanmu benar, Rinjani. Setahuku, kepandaian Iblis 
Mata Satu memang sangat sakti. Tapi, rasanya dia belum gila 
dengan perbuatannya yang membangkitkan kemarahan kaum 
pendekar. Jadi kemungkinan besar, ada orang lain di belakang 
tokoh sesat itu. Ini lebih berbahaya. Kalau sampai tokoh seperti 
Iblis Mata Satu mau merendah diri, sudah pasti kepandaian 
tokoh yang jadi pelindungnya sangat tinggi....," kata Panji 
menduga-duga. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang? Apakah rencana 
yang telah tersusun rapi harus dibatalkan...?" tanya Kenanga. 
Kepala gadis itu menjadi pening menghadapi persoalan 
berbelit-belit ini. 
'Terpaksa harus dirubah. Kalau disetujui, aku ingin 
mengajukan dirimu sebagai pancingan. Kemudian, kita lihat apa 
yang akan diperbuat Iblis Mata Satu terhadap dirimu. Kalau 
memang dia bekerja untuk tokoh lain, kau pasti akan dikirimkan 
kepada junjungannya itu. Dengan demikian, kita akan segera 
tahu tokoh di belakang Iblis Mata Satu itu...," jelas Panji sambil 
menatap Kenanga. Seolah, dia meminta pendapat pada dara 
jelita itu mengenai usul yang diajukannya.

Tapi..., bagaimana kaiau mereka menggunakan racun untuk 
membiusku, Kakang? Tentu aku tidak berdaya. Dan..., aku 
ngeri membayangkannya, Kakang...," sergah Kenanga. Gadis 
itu jadi bergidik, membayangkan dirinya dipermainkan orang-
orang kasar, tanpa mampu melakukan perlawanan. 
"Aku berjanji akan selalu melindungimu,! Kenanga. Dan 
mudah-mudahan rencana ini berjalan sesuai yang 
diinginkan...," desak Panji. 
Rupanya Panji tetap menginginkan kekasihnya untuk 
dijadikan umpan. Pendekar Naga Putih yakin, hanya Kenanga 
yang mampu melakukannya. Kalau Rinjani atau Sumarti 
sebagai pancingan, terlalu besar bahaya yang harus ditanggung 
Apalagi kepandaian kedua wanita itu masih di bawah Kenanga. 
"Boleh aku mengajukan syarat, Kakang..?" tanya Kenanga. 
Rupanya, gadis itu tahu alasan Panji memilihnya. Makanya, dia 
bertanya dengan sinar mata lain dari biasanya. 
"Ah! Kau ini aneh-aneh saja. Kenanga. Tapi coba katakan, 
apa syarat yang hendak kau ajukan...?" tanya Panji hendak 
mengetahui syarat yang dikehendaki kekasihnya. 
"Yang kukhawatirkan, hanyalah soal racun yang mungkin 
akan dilolohkan ke mulutku. Dan satu-satunya yang mampu 
mencegahnya, hanyalah Pedang Naga Langit. Bagaimana kalau 
senjata itu kau pinjamkan kepadaku, sebagaimana kau 
menyimpannya," jelas Kenanga. 
Tentu saja permintaan dara jelita itu membuat Rinjani dan 
Sumarti mencari-cari pedang yang dimaksud Kenanga. 
Keduanya semakin heran ketika melihat Panji tidak membawa 
pedang. 
'Tentu aku setuju, Kenanga. Masalahnya, apakah aku bisa 
menyimpannya dalam dirimu...," sahut Panji.


Tentu saja Pendekar Naga Putih menjadi bingung, setelah 
mendengar permintaan kekasihnya. Bukannya merasa 
keberatan, tapi Panji benar-benar tidak tahu bagaimana cara 
memindahkan Pedang Naga Langit ke tubuh kekasihnya. Dan 
dia pun tidak tahu, apakah pedang keramat itu juga akan 
berubah menjadi tenaga dalam tubuh Kenanga. 
"Kita coba saja, Kakang. Tidak ada salahnya, bukan? Selain 
itu, pengetahuanmu tentu akan bertambah...," desak Kenanga, 
sehingga membuat Panji menggaruk-garuk kepalanya yang 
tidak gatal. 
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Mari kita cari tempat yang 
aman dan terlindung," ajak Panji. 
Pendekar Naga Putih segera melangkah mencari tempat 
yang dimaksudkannya. Sedangkan, Kenanga, Rinjani, dan 
Sumarti mengikuti dari belakang. 
Kedua wanita murid Perguruan Tinju Berantai Itu merasa 
penasaran sekali. Mereka ingin tahu, bagaimana bentuk pedang 
keramat yang sanggup menolak segala jenis racun itu. Mereka 
juga ingin tahu, di mana pemuda itu menyimpan senjatanya. 
Sampai lelah mencari, mereka berdua tidak berhasil 
menemukannya. 
Setelah menemukan tempat yang cocok, Panji menghentikan 
langkahnya. Dimintanya agar Rinjani dan Sumarti agak 
menjauh. Kini Pendekar Naga Putih menyilangkan kedua 
lengannya dengan telapak melekat ke dada. Kemudian, 
terdengar bentakannya yang menggetarkan jantung Dan begitu 
sepasang lengannya dijulurkan ke atas, muncullah sinar kuning 
keemasan yang kemudian membentuk sebatang pedang 
"Luar biasa...!" pelak lirih Rinjani dan Sumarti hampir 
bersamaan.


Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, 
belum tentu mereka akan percaya. Tapi kejadian itu jelas 
terlihat di depan mata. Dan, bukan merupakan bayangan semu, 
sebagaimana halnya ilmu sihir. Kini barulah jelas bagaimana 
cara Pendekar Naga Putih menyimpan senjatanya. 
"Pantas saja aku tidak bisa menemukan pedang itu. 
Ternyata, Pendekar Naga Putih menyimpannya di dalam tubuh. 
Benar-benar sukar dipercaya...!" desis Sumarti. 
Dia tentu saja semakin bertambah kagum terhadap kesaktian 
pendekar muda itu. Dengan demikian, keyakinannya pun 
semakin bertambah kalau Pendekar Naga Putih pasti akan 
dapat menolong mereka. 
"Bersiaplah, Kenanga! Kosongkan pikiranmu. Jangan sekali-
kali mengerahkan tenaga untuk melawan, apa pun yang kau 
rasakan nanti," ujar Panji, memperingatkan kekasihnya kalau 
akan segera memulai penyatuan itu 
"Aku sudah siap, Kakang...," sahut Kenanga, segera 
memejamkan matanya dan mengosongkan pikiran. 
Setelah mendengar ucapan kekasihnya, Panji segera 
menghubungkan tenaga batinnya dengan Pedang Naga Langit. 
Dan memang, pedang keramat itu pada dasarnya adalah 
seekor naga raksasa. 
"Naga Langit! Jika kau memang benar jodohku dan dapat 
menyatu dengan tubuhku, kau pun harus dapat menyatu 
dengan tubuh kekasihku Meski, untuk sementara waktu...," 
bisik batin Panji. 
Kemudian, pemuda berjubah putih itu kembali menjulurkan 
kedua lengannya ke arah pedang keramat yang melayang di 
udara. Lalu, pedang itu dituntunnya hingga tepat berada di atas

kepala Kenanga. Perlahan lahan, lengan pemuda itu turun 
seiring turunnya Pedang Naga Langit. 
"Ahhh...?!" 
Rinjani dan Sumarti menutup mulutnya dengan telapak 
tangan, menahan jeritan takjubnya. Mata mereka juga 
terbelalak lebar ketika menyaksikan badan pedang itu lenyap 
perlahan-lahan saat menyentuh kepala Kenanga. Benar-benar 
mengagumkan. Pedang keramat itu dapat menyatu ke dalam 
tubuh Kenanga! 
Ketika seluruh bagian pedang telah lenyap ke dalam tubuh 
Kenanga, Panji menarik kedua lengannya perlahan-lahan. 
Kemudian, disilangkannya di depan dada. Pendekar Naga Putih 
kelihatan agak lelah, karena harus mengerahkan banyak 
tenaga. Memang, apa yang dilakukannya bukanlah pekerjaan 
mudah. 
"Apa yang kau rasakan, Kenanga...?" tanya Panji ketika 
melihat kekasihnya sudah membuka mata. 
Wajah jelita bagai bidadari itu, menyunggingkan senyum 
lembut yang manis bagai madu. 
"Tidak terlalu mengejutkan, Kakang. Rasanya seperti aliran 
tenaga saku yang dipindahkan orang lain ke dalam tubuh kita. 
Nah! Sekarang, aku tidak ragu lagi melakukan tugas yang kau 
berikan, Kakang," sahut dara jelita itu lantang dan tampak 
sangat gembira. 
"Jangan terburu nafsu dulu. Kenanga! Kita belum mencoba, 
apakah pedang yang tersimpan di dalam tubuhmu dapat 
bekerja, seperti bila berada di dalam tubuhku. Sekarang harus 
dibuktikan. Kerahkanlah hawa mumimu dan alirkan ke kedua 
lengan! Kemudian, baru ke seluruh tubuh...," ujar Panji, 
memberi petunjuk Kenanga langsung menurut. Dan....


"Hebat...!" puji Panji. 
Pendekar Naga Putih sampai mengeluarkan pujian penuh 
kekaguman. Selama ini Pendekar Naga Putih hanya 
merasakannya' saja dan melihat dari tubuhnya sendiri. Dan 
ketika menyaksikan tubuh Kenanga terlapis sinar kuning 
keemasan, barulah hatinya merasa takjub. Padahal, apa yang 
disaksikannya sudah sering dilakukan. 
Kenanga tampak gembira sekali setelah merasakan apa yang 
selama ini hanya dilihatnya. Bahkan gadis itu sampai terlonjak, 
karena teramat gembiranya. Dan Panji harus mengingatkan 
kekasihnya untuk menarik kembali kekuatan ajaib itu, karena 
udara yang ditimbulkannya terasa panas. Bahkan mampu 
membuat 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dalam tubuh Panji 
bergolak. 
Rinjani dan Sumarti yang berdiri dalam jarak lima tombak 
lebih, tak urung terkena juga pengaruh hawa panas itu. Meski 
rida k sampai menyengat kulit dan membahayakan tubuh, 
namun peluh mereka mengalir deras akibat udara pengap yang 
terhirup. 
Mendengar seruan Panji, Kenanga segera menarik tenaga 
ajaib itu. Sebentar saja, sinar kuning keemasan itu lenyap 
tanpa bekas. 
"Nah! Kalau sekarang kau sudah siap, pergilah. Tantanglah 
Iblis Mata Satu! Sebut segala kejahatan yang selama Ini 
dilakukannya! Yang jelas, kau harus bersikap sebagal sosok 
pendekar wanita yang hendak membasmi kejahatan...," ujar 
Panji, memberi petunjuk. 
"Aku paham, Kakang...," sahut Kenanga sambil 
menganggukkan kepala.

Setelah berpamitan kepada Rinjani dan Sumarti, dara jelita 
itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. 
"Apa kau tidak khawatir akan keselamatannya, Kakang 
Panji?" tanya Rinjani menyelidik. Wanita itu memang melihat 
wajah Panji tetap tenang, tanpa terlihat kekhawatiran. 
"Tentu saja aku khawatir. Setiap perbuatan, pasti ada 
bahayanya Namun,kita harus berani berbuat Tidak boleh patah 
semangat sebelum berhasil...," sahut Panji sambil tersenyum. 
Kemudian, Pendekar Naga Putih mengajak Rinjani dan 
Sumarti menuju Perguruan Tinju Berantai untuk menyusul 
Kenanga. Mereka harus tetap siap melindungi Kenanga, serta 
menyelidiki tindakan Iblis Mata Satu. 
Kenanga tiba di depan gerbang Perguruan Tinju Berantai 
yang telah diganti papan namanya menjadi Perguruan 
Kelelawar Hitam. Dara Jelita berpakaian serba hijau itu berdiri 
tegak di depan gerbang. Kepalanya menengadah ke arah pos di 
atas gerbang. Tentu saja Sikapnya menyebabkan dua penjaga 
yang bertugas, seperti tengah bermimpi melihat pemandangan 
yang membuat mata terbelalak lebar. 
"Hei! Cepat panggil ketua kalian yang berjuluk Iblis Mata 
Satu! Katakan kepadanya, aku datang hendak menghentikan 
segala kejahatannya...!" seru Kenanga sambil mengerahkan 
tenaga dalamnya 
Sehingga, gema suaranya terdengar sayup-sayup ke 
bangunan induk. 
Tepat pada saat itu seorang lelaki tinggi kekar dengan 
sebelah mata tertutup tengah melangkah keluar dari dalam 
bangunan induk. Di sebelah kiri dan kanannya ikut mengawal 
dua lelaki berkepala botak. Jelas mereka adalah pembantu

pembantu utama sosok lelaki tinggi besar yang berjuluk Iblis 
Mata Satu. 
Baru saja Iblis Mata Satu hendak bertanya kepada 
pembantunya yang berada di sebelah kanan, tiba-tiba seorang 
anggotanya menghampiri dan langsung melapor. 
"Lapor, Ketua! DI depan gerbang ada seorang gadis 
pendekar yang mengatakan ingin memberantas gerombolan 
kita. Tapi..., wajahnya sangat cantik seperti bidadari, Ketua...," 
lapor lelaki itu sebelum Iblis Mata Satu bertanya. 
"Gadis secantik bidadari datang hendak menantangku...? Apa 
kau tidak salah lihat...?'* tanya Iblis Mata Satu dengan suara 
berat dan dalam. Ucapannya yang terdengar seperti bentakan 
itu, membuat tubuh penjaga Itu berjingkrak kaget 
"Benar, Ketua. Aku berani sumpah!" tegas penjaga Itu, 
lantang. 
Iblis Mata Satu langsung saja memerintahkan untuk 
membuka gerbang. 
"Mari kita lihat, Beruang Gurun! Kalau benar, pemimpin 
agung tentu akan senang sekali menerima persembahan kita 
kali ini," ajak Iblis Mata Sa tu, sambil tertawa serak. 
Kemudian Iblis Mata Satu melangkah lebar menuju gerbang 
dengan diiringi kedua pembantunya yang berjuluk Beruang 
Gurun itu. 
"Haaa...! Selamat datang, Bidadari Cantik!" sapa Iblis Mata 
Satu begitu tiba di gerbang dan melihat sosok ramping 
berwajah jelita yang berpakaian serba hijau. 
Meskipun mata yang tinggal sebelah tidak menyiratkan 
keinginan tertentu, namun tampak sekali kegembiraannya 
melihat betapa dara itu memang sangat cantik seperti bidadari.

"Hm.... Tidak pedu bermanis-manis. Iblis Mata Satu! 
Kedatanganku bukan untuk bertamu. Tapi, untuk mencabut 
nyawamu...!" 
Sambil berkata demikian, Kenanga melolos pedang yang 
melilit pinggangnya. Pedang itu memang sangat lemas seperti 
sabuk hingga bisa dilibatkan ke pinggang. Itulah Pedang Sinar 
Rembulan yang diberikan Panji kepada Kenanga. Swiilng...! 
Terdengar suara mengaung ketika pedang yang sangat 
lentur itu terlolos ke luar. Pancaran sinarnya yang keperakan 
nampak sangat indah, sehingga Iblis Mata Satu pun 
mengaguminya. 
"Pedang bagus...!" puji lelaki kekar itu, tanpa 
menyembunyikan rasa kagumnya. 
"Apakah kau sudah siap melayat ke neraka, Iblis Mata Satu?" 
tantang Kenanga lagi, lantang. 
Iblis Mata Satu tersadar dan menggeram marah, mendengar 
ejekan wanita berpakaian serba hijau itu. 
"Hmhhh...!" 
Sambil menggeram gusar, Iblis Mata Satu mengibaskan 
kedua tangannya. Langsung diperintahkannya kedua 
pembantunya yang berjuluk Beruang Gurun untuk maju 
menghadapi gadis jelita itu. 
Kenanga tampak sudah menggeser langkahnya ke kanan, 
ketika melihat dua lelaki berkepala botak telah bergerak 
mengepungnya. Segera Pedang Sinar Rembulan 
dilintangkannya di depan dada, siap menghadapi serbuan 
lawan. 
"Hati-hati! Jangan sampai bidadari itu terluka parah...!" seru 
Iblis Mata Satu keras.

Rupanya, dia tidak menginginkan Kenanga terluka. Meskipun 
kedua pembantunya tidak menyahut, namun perintah Iblis 
Mata Satu tidak mungkin dilanggar. "Haiiit...!" 
Kenanga langsung saja membuka serangan dengan pekikan 
nyaring! Pedang Sinar Rembulan di tangannya berputaran 
menimbulkan suara meng-aung tajam, laksana ratusan lebah 
marah. Gerakan senjatanya melingkar-lingkar, sehingga 
membuat silau mata kedua lawannya. 
Bettt! 
Kelebatan sinar perak itu meluncur cepat, mengancam 
tenggorokan lawannya yang terdekat Namun, salah satu dari 
Beruang Gurun itu keburu menghindar. 
"Hiaaah...!" 
Dibarengi sebuah bentakan keras, lawan yang berada di 
sebelah kanan Kenanga melesat cepat sambil melancarkan 
serangan-serangan cepat. Sambaran angin tajam yang 
berdesing-desing cukup dirasakan Kenanga, sehingga harus 
menggeser tubuhnya satu langkah ke belakang. Kemudian, 
langsung dibalasnya serangan itu dengan sebuah tusukan kilat! 
Namun, kedua lawan Kenanga memang sangat gesit dan 
tidak bisa diremehkan. Sehingga, jurus-jurus ampuhnya 
terpaksa dikeluarkan untuk merobohkan lawan. 
*** 
TUJUH


Pertarungan sengit tampak masih berjalan seimbang, hingga 
memasuki jurus kedua puluh. Baru ketika pertarungan 
menginjak jurus kedua puluh lima, Kenanga mulai

memperiihatkan keunggulannya. Kedua orang lelaki berkepala 
botak itu tampak mulai kelabakan. Ke mana mereka bergerak 
menghindar. Pedang Sinar Rembulan selalu saja mengejarnya. 
"Hiaaat...!" 
Sambil memekik keras, Kenanga melesat mengejar salah 
seorang lawannya yang mencoba menghindar dari mata 
pedangnya. Gerakannya memang masih lebih cepat daripada 
lawan. Sehingga tanpa ampun lagi, ujung pedang bersinar 
perak itu merobek pangkal lengan salah seorang lawan. 
Brettt! 
"Aaakh...!" 
Lelaki kekar itu memekik kesakitan. Darah segar langsung 
mengucur dari luka yang terlihat cukup dalam itu. Tapi, 
serangan Kenanga memang belum berakhir. Pedangnya 
kembali berputar dan menyabet mendatar, hendak merobek 
perut lawan! 
"Hait...!" 
Seorang lelaki botak lainnya, rupanya tidak ingin 
membiarkan kawannya sampai tewas. Cepat tubuhnya 
bergerak, memapak sambaran pedang Kenanga dengan sebuah 
kapak yang telah tergenggam di tangan kanannya. 
Whuuut.. tranggg! 
Terdengar dentingan nyaring, ketika dua senjata itu saling 
berbenturan keras. Bunga api yang memercik menandakan 
betapa kerasnya benturan tadi. 
"Aihhh...!" 
Jelas sekali, kalau tenaga dalam Kenanga jauh lebih unggul 
dari lawannya. Buktinya, tubuh lawan sampai terdorong balik.


Sedangkan dara jelita itu tetap tegak di tempat, meskipun agak 
bergetar. 
'Tamat riwayatmu..!" maki Kenanga, seraya melesat dengan 
tusukan pedangnya. 
Tanpa memberi kesempatan pada lawan untuk memperbaiki 
keadaan, mata pedang Kenanga meluncur datang dengan 
kecepatan menggetarkan. Melihat hal ini, wajah lawan kontan 
pucat. Tanpa sempat mengelak, ujung pedang itu pun amblas 
ke tubuh lawan hingga mengenai jantung, 
Crabbb! 
"Aaargh.,.!" 
Salah seorang dari Beruang Gurun itu menjerit keras ketika 
Kenanga menarik kembali senjatanya. Darah langsung 
menyembur dari luka yang menganga di perutnya. Tanpa 
ampun lagi, tubuh lelaki botak itu pun ambruk tak bernyawa! 
"Keparat! Kucincang tubuhmu...!" 
Tiba-tiba Beruang Gurun yang satunya menjadi kalap bukan 
main. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, langsung saja 
dara jelita itu diterjang dengan kuku-kukunya yang panjang 
dan kuat. 
Wettt! Wettt! 
Namun Kenanga telah siap menghadapi serangan itu. 
Dengan sikap tetap tenang, dia melompat pendek ke samping 
kanan. Langsung dibarengj-nya gerakan Sawan dengan 
babatan pedangnya. Akibatnya Beruang Gurun terkejut bukan 
kepalang. 
Tapi sebelum mata pedang sempat merobek lambung, tahu-
tahu saja melesat sesosok bayangan hitam yang langsung 
memapak pedang dara jelita itu.

Tranggg! 
Lagi-lagi terdengar suara benturan yang memekakkan 
telinga. Bahkan, kali ini jauh lebih keras. Bahkan akibat 
benturan itu sempat membuat kuda-kuda Kenanga tergempur, 
hingga terdorong mundur sejauh empat langkah. Bayangan 
hitam yang menyelamatkan nyawa salah satu dari Beruang 
Gurun itu juga mengalami hal yang serupa. Terlihat 
keterkejutan di wajah bengisnya. 
"Gila...! Tidak kusangka kalau dia cukup tangguh juga! Entah 
dari mana asalnya. Dan, datang bersama siapa ke tempat iri..?" 
geram sosok bayangan hitam yang tak lain Iblis Mata Satu. 
Kelihatan sekali kalau kenyataan yang baru dialaminya tidak 
bisa diterima akalnya. 
Kenanga sendiri agak kaget ketika mengetahui sosok 
bayangan hitam yang menyambut sambaran pedangnya adalah 
Iblis Mata Satu. Cepat tubuhnya bergerak mundur, setelah 
sadar kalau lawannya kali ini tidak bisa dipandang ringan. 
Kenanga memang harus bersikap lebih hati-hati untuk 
menghadapinya. 
"Kau benar-benar mengagumkan, Nisanak! Kalau saja aku 
bisa menjinakkan dan membawamu ke hadapan pemimpin 
agungku, tentu beliau akan gembira sekali...," puji Iblis Mata 
Satu seraya memperdengarkan kekehnya yang parau 
"Hm.... Jangan mimpi untuk dapat menangkapku, Mata 
Binttt! Sebentar lagi, matamu yang satu itu akan kubutakan! 
Dengan demikian, juluk-anmu akan berubah menjadi Iblis Tak 
Bermata. Nah! Cukup bagus, bukan...?" ejek Kenanga. 
"Hmhhh...," geram Iblis Mata Satu menanggapi ejekan 
Kenanga. Kemudian, kakinya melangkah maju Gerakannya 
miring dengan kuda-kuda tampak kuat


"Ah! Jalanmu jelek sekali seperti seekor kepiting, Iblis Mata 
Satu! Mengapa kau tidak langsung menyerangku...?" ejek 
Kenanga lagi. 
Gadis itu memutar langkahnya ke kanan, menjauhi 
lawannya. Sehingga, Iblis Mata Satu menjadi murka, karena 
merasa dipermainkan. 
"Hmhhh...! 
Iblis Mata Satu kembali menggeram jengkel. Segera 
dirogohnya kantung kain yang tergantung di pinggang kiri. 
Begitu mendengar suara gemerih-cing halus, Kenanga sadar 
kalau lawan hendak menggunakan paku-paku halus yang 
mengandung racun. 
"Shaaa...!" 
Secara tiba-tiba, Iblis Mata Satu yang ternyata memiliki sifat 
licik, langsung saja membentak sambil mengibaskan tangan 
kanannya ke arah Kenanga. 
Srrr... srrr...! 
Terdengar suara berdesmgan halus menuju ke arah 
Kenanga. Dara jelita itu tentu saja sudah dapat menebak, kalau 
lawannya pasti tengah menggunakan senjata rahasia beracun. 
"Hm...." 
Kenanga hanya bergumam melihat serangan yang cukup 
berbahaya. Tanpa membuang-buang waktu lagi. Pedang Sinar 
Rembulan diputarnya disertai lesatan tubuhnya ke depan. 
Sehingga, paku-paku kecil yang dilepaskan Iblis Mata Satu 
beterbangan kian kemari. Satu pun tak ada yang mengenai 
sasaran, karena tubuh Kenanga telah terbungkus sinar pedang. 
Tentu saja hal itu membuat Iblis Mata Satu semakin penasaran.

"Jangan takabur dulu, Nisanak. Itu baru permulaan....," kata 
Iblis Mata Satu berusaha menyembunyikan kekecewaannya. 
Kenanga tidak lagi mempedulikan ocehan lawannya. 
Tubuhnya terus saja bergerak maju, dengan putaran 
pedangnya yang mengaung-ngaung. "Hm.... Sambut 
setanganku..!" Ketika jarak tubuh Kenanga tinggal satu tombak, 
Iblis Mata Satu langsung melempar tubuhnya bergulingan. 
Setelah berdiri tegak, tangan kanannya dikibaskan untuk 
melepaskan paku-paku kecil yang mengandung racun pembius. 
Kenanga kembali menyabetkan senjatanya, untuk 
menghalau paku-paku halus yang dilemparkan lawan. 
Kemudian, langsung pedangnya ditusukkan secepat kilat, 
mengancam tenggorokan lawan. 
Perkelahian kembali berlanjut. Kali ini, bahkan lebih seru! 
Memang, kepandaian Iblis Mata Satu berada di atas kepandaian 
kedua pembantunya. Jadi tidak aneh kalau pertarungan kali ini 
jauh lebih menarik 
Kepandaian mereka sepertinya memang tidak berselisih jauh. 
Bahkan, bisa dibilang berimbang, Dan meski pertarungan telah 
menginjak lebih dari empat puluh jurus, tetap saja belum 
kelihatan yang bakal keluar sebagai pemenang. 
"Jiaaah...!" 
Merasa penasaran karena tidak mampu mengalahkan 
seorang gadis yang pantas menjadi putrinya, mendadak Iblis 
Mata Satu mengeluarkan bentakan sambil merundukkan 
tubuhnya, persis seperti seekor katak! Tapi.... 
Kokkk! Kokkk! 
"Ahhh...?!"

Kenanga berseru kaget ketika sepasang telapak tangan 
lawan mendorong ke arahnya. Itulah 'Ilmu Pukulan Katak 
Buduk' yang mengandung racun pelumpuh tenaga. 
Bresssh...! 
"Aaakh...!" 
Karena baru sekali menyaksikan ilmu yang demikian aneh. 
Kenanga menjadi lengah. Akibatnya, pukulan lawan telak 
menghajar tubuhnya. Tubuh dara jelita itu kontan terpental 
sejauh satu tombak lebih ke belakang. 
Kenanga yang juga mempelajari ilmu pengobatan, segera 
saja tahu untuk apa racun yang mengenainya. Meskipun tenaga 
ajaib jelmaan Pedang Naga Langit telah bekerja cepat mengusir 
hawa-hawa beracun yang meresap ke dalam tubuhnya, tapi 
Kenanga berpura-pura terluka. 
"He he he...! Sekarang kau baru tahu kehebatan Iblis Mata 
Satu!" desis lelaki tinggi kekar berwajah bengis itu. 
Tokoh sesat itu merasa bangga sekali atas hasil pukulannya 
yang membuat Kenanga tergeletak pingsan seketika itu juga. 
Sambil tetap memperdengarkan kekehnya yang parau, Iblis 
Mata Satu bergerak hati-hati mendekati Kenanga yang rebah 
pingsan. Setelah merasa pasti lawannya benar-benar telah 
terbius racun pukulannya, Iblis Mata Satu segera 
memerintahkan anak buahnya untuk membawa tubuh Kenanga 
ke dalam bangunan. 
*** 
"Kakang! Apakah Kenanga benar-benar pingsan akibat 
pukulan Iblis Mata Satu tadi...?" tanya Rinjani. 
Panji, Rinjani, dan Sumarti saat itu memang tengah berada 
di atas atap bangunan utama. Mereka pun juga menyaksikan

jalannya pertarungan. Rupanya atas petunjuk Rinjani, Panji 
berhasil membawa kedua wanita itu menyelinap ke dalam 
lingkungan Perguruan Kelelawar Hitam. Mereka belum lama 
tiba, dan hanya menyaksikan perkelahian antara Kenanga 
melawan Iblis Mata Satu. 
"Tidak perlu cemas, Rinjani Meskipun pukulan itu telak 
mengenai tubuh Kenanga, tapi tidak akan mendatangkan luka 
dalam. Biar tidak tahu secara pasti, tapi aku yakin Kenanga 
tidak apa-apa," jawab Panji. 
Kini hati Rinjani dan Sumarti agak lega. Biar bagaimanapun, 
mereka merasa kalau telah melibatkan Kenanga dan Panji ke 
dalam bahaya. 
"Syukurlah kalau memang begitu, Kakang...," desah Rinjani 
menghela napas berkepanjangan, melepaskan kegundahan 
hatinya. 
"Kalian tetap di sini. Jangan pergi ke mana-mana. Aku ingin 
mencari tahu letak kamar tempat Kenanga ditawan. Setelah itu, 
aku akan kembali ke sini. Ingat baik-baik pesanku...," pesan 
Panji menekankan berulang-ulang. 
Kemudian Pendekar Naga Putih berbaiik. Tubuhnya lalu 
meluncur turun di bagian belakang bangunan utama yang 
tampak sepi. Ketika melihat di sekitarnya tidak ada yang 
memergoki, cepat bagai kilat tubuhnya teiah menyelinap ke 
bagian dalam bangunan. Saat ini, senja telah menjelang. Cuaca 
pun mulai agak gelap. 
*** 
Setelah menemukan tempat Kenanga ditawan, Panji kembali 
ke tempat Rinjani dan Sumarti menunggu. Kedua gadis cantik 
itu menyambut kedatangan Panji dengan wajah menyimpan

banyak pertanyaan. Terpaksa Pendekar Naga Putih 
menjelaskannya, agar tidak membuat mereka penasaran. 
"Aku sudah menemukan tempat Kenanga disekap. Dan bisa 
kupastikan dia tidak apa-apa. Semuanya berjalan sesuai 
rencana. Mudah-mudahan saja. Iblis Mata Satu tidak sampai 
tahu. Kalau sampai dia tahu, kemungkinan kita akan gagal 
untuk mengetahui tokoh tersembunyi yang melindungi Iblis 
Mata Satu. Dan, apa benar tokoh itu ada...?" jelas Panji. 
"Kakang...," panggil Rinjani setelah beberapa saat suasana 
hening menyelimuti. 
'Ya...," sahut Panji, singkat. 
Pendekar Naga Putih menatap wajah gadis cantik di 
depannya. Kelihatan semakin menarik, karena terpantul cahaya 
rembulan yang bersinar terang. 
"Sebaiknya, kita melewatkan malam di tempat lain. Rasanya 
di sini kita kurang leluasa bergerak..," usul Rinjani. 
"Semestinya memang demikian. Kita harus mengetahui 
perkembangan selanjutnya. Tapi karena kau kurang suka, kita 
bisa cari tempat lain. Di taman belakang umpamanya. 
Bagaimana...?" sahut Panji. 
"Kurasa di taman belakang memang lebih aman, Kakang," 
timpal Sumarti. Panji langsung menoleh ke arahnya, kemudian 
memandang Rinjani seperti meminta pendapat. 
"Aku setuju...," tegas Rinjani. 
Panji kemudian bangkit berdiri dari duduknya. 
Mari kita turun. Hati-hati, jangan sampai menimbulkan suara 
yang mencurigakan...," pesan Panji. 
Tidak berapa lama kemudian, ketiga tokoh muda itu pun tiba 
di taman, yang terletak di belakang bangunan induk

'Tidurlah kalian. Biar aku yang menjaga...," ujar Panji ketika 
melihat kedua wanita itu sudah menguap berkali-kali. 
Pendekar Naga Putih maklum, karena Rinjani dan Sumarti 
bukanlah orang-orang petualang Sehingga, mereka berdua 
belum terbiasa dengan keadaan yang sulit seperti sekarang. 
*** 
Sebelum fajar datang, Panji membangunkan Rinjani dan 
Sumarti Kemudian, kedua gadis itu dibawa keluar dari 
lingkungan Perguruan Kelelawar Hitam. Tanpa banyak tanya 
lagi, Rinjani dan Sumarti menurut saja. Mereka tahu. Panji 
mungkin mempunyai rencana lain yang belum dikatakan. 
Panji berlari cepat diikuti Rinjani dan Sumarti. Mereka terus 
bergerak menerobos cuaca yang masih dikuasai kegelapan, 
Tidak berapa lama kemudian Panji menghentikan iarinya, diikuti 
Rinjani dan Sumarti. 
"Ada apa sebenarnya, Kakang...?" tanya Rinjani penasaran. 
Sedangkan Sumarti yang jarang bicara, hanya menatap Panji 
dengan sinar mata penuh keingintahuan. 
"Hm.... Kalian berdua tunggu di tempat ini, dan jangan pergi 
sebelum aku kembali...," ujar Panji kembali berpesan kepada 
Rinjani dan Sumar-
Tentu saja kedua wanita itu menjadi semakin tak mengerti. 
Perlahan Rinjani mengawas keadaan sekitarnya dengan 
pandangan matanya. Meskipun suasana masih gelap, tapi 
Rinjani tahu kalau tidak jauh dari tempat ini ada sebuah jalan 
agak besar yang berbatu. 
"Aku pergi dulu. Ingat pesanku tadi...," pamit Pendekar Naga 
Putih setelah menatap Rinjani dan Sumarti berganti-ganti.

Sebelum Rinjani sempat bertanya, tubuh pemuda itu sudah 
lenyap ditelan kegelapan. Sehingga, Rinjani hanya bisa 
menghela napas panjang. 
*** 
DELAPAN


Mentari pagi mulai tampak. Dahan dan dedaunan tampak 
terang oleh pancaran sinar kuning keemasan yang hangat 
menyengat tubuh. Panji yang saat itu tengah bersembunyi di 
atas atap bangunan induk, menyaksikan kesibukan di 
bawahnya. 
"Hm..., tepat dugaanku. Mereka pasti akan membawa 
Kenanga untuk dipersembahkan kepada pimpinan yang 
tersembunyi itu...," gumam Panji. 
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat orang-orang di 
bawahnya tengah mempersiapkan dua buah kereta kuda. 
Tampaknya, hari ini pimpinan Perguruan Kelelawar Hitam 
hendak bepergian. 
Tidak berapa lama kemudian, apa yang ditunggu-tunggu 
Pendekar Naga Putih muncul. Iblis Mata Satu yang diantar 
orang termuda dari Beruang Gurun tampak bergerak keluar dari 
dalam bangunan induk. Sementara, Kenanga pun terlihat di 
antara mereka. Keadaannya rampak tidak berdaya, dan seperti 
berada dalam pengaruh aneh. "Ayo, kita segera berangkat..!" 
Terdengar Iblis Mata Satu memberikan perintahnya. Maka, 
kereta kuda itu pun bergerak melewati pintu gerbang yang 
telah terbuka lebar. Rombongan yang terdiri dari dua buah 
kereta kuda itu terus bergerak melintasi jalan berdebu yang

cukup lebar, dikawal empat orang penunggang kuda di kiri dan 
kanan. 
Setelah memastikan arah bergerak kereta kuda itu, Panji 
kembali melesat turun dari atas atap bangunan. Begitu kedua 
kakinya menginjak halaman samping, tubuhnya kembali 
melesat menuju luar bangunan, dan terus ke tempat Rinjani 
serta Sumarti menunggu. 
Kedua wanita itu segera saja menyongsong kedatangan Panji 
dengan wajah meminta perjelasan. 
"Iblis Mata Satu telah pergi, dikawal empat anggotanya. 
Mungkin dia hendak membawa Kenanga kepada pimpinannya. 
Di dalam bangunan Perguruan Kelelawar Hitam hanya ada 
Beruang Gurun yang tinggal seorang. Aku tahu, kalian pasti 
ingin merebut kembali perguruan itu, bukan? Nah, sekaranglah 
saat yang paling baik untuk bergerak," jelas Panji, sebelum 
Rinjani sempat bertanya. 
Kemudian, langsung saja Pendekar Naga Putih mengajak 
mereka untuk merebut kembali bangunan perguruan itu. Dan 
begitu tiba, langsung saja telapak tangan kanannya 
didorongkan ke arah pintu gerbang bangunan yang terlihat 
kokoh. 
Whusss... brakkk! 
Sekali hantam saja, pecahlah pintu gerbang dengan 
memperdengarkan suara keras. Mendengar suara keras yang 
tiba-tiba, tentu saja murid-murid Perguruan Kelelawar Hitam 
jadi terkejut bukan main. Namun, kekhawatiran di wajah 
mereka agak berkurang ketika melihat kalau yang muncul 
hanya tiga orang muda yang berwajah tampan dan menarik 
Tapi, beberapa murid Perguruan Tinju Berantai yang 
terpaksa menjadi anggota gerombolan itu, merasa terkejut

bukan main ketika mengenali Rinjani dan Sumarti. Memang, 
kedua orang wanita itu merupakan murid-murid utama 
Perguruan Tinju Berantai. 
"Jangan takut! Kedatanganku bukan untuk menghukum. Aku 
memaklumi, apa yang kalian pilih adalah sangat terpaksa. 
Maka, sekarang marilah bergabung denganku untuk membasmi 
orang-orang yang telah menghancurkan perguruan kita...!" 
seru Rinjani lantang. 
Melihat siapa yang datang dan apa yang diucapkan wanita 
cantik yang kini terlihat sangat berwibawa, belasan anggota 
Perguruan Tinju Berantai segera saja bergabung dengan 
Rinjani. Jelas, mereka memang tidak bersungguh-sungguh 
masuk ke dalam gerombolan penjahat itu. 
"Bagus! Nah, sekarang mari kita hancurkan musuh-musuh 
kita...!" seru Rinjani membangkitkan semangat saudara-
saudara seperguruannya. 
Tanpa menunggu perintah dua. kali, belasan orang murid 
yang kembali sadar dan rela mati demi membela perguruan, 
segera saja menyerbu orang-orang Kelelawar Hitam dengan 
senjata di tangan. Maka sebentar saja pertempuran pun pecah. 
"Haaat..!" 
Rinjani dan Sumarti pun tidak mau berpangku tangan saja. 
Cepat mereka menerjang disertai putaran pedang yang 
bergulung-gulung menimbulkan angin menderu-deru 
Panji yang semula hanya berdiri menatapi pertempuran, 
bergerak maju ketika melihat Beruang Gurun muncul dan 
hendak terjun ke dalam kancah pertempuran. Rupanya, sosok 
lelaki botak kekar Itulah yang ditunggu-tunggu. Memang, 
hanya Beruang Gurun yang masih dikhawatirkan Panji, karena 
kepandaian tokoh itu masih di atas Rinjani dan Sumarti. Itulah

sebabnya, mengapa Panji ikut menyertai Rinjani dan Sumarti 
untuk menyerbu. 
"Grrrhhh...!" 
Beruang Gurun menggereng ketika melihat seorang pemuda 
tampan berjubah putih berdiri tegak menghadang jalannya. 
Sejenak sepasang matanya menatap tajam, mengawasi sosok 
Panji. Kemudian dia bergerak maju beberapa langkah. 
"Siapa kau...?! Apakah kau pun ingin menumpas Gerombolan 
Kelelawar Hitam...?!" tegur Beruang Gurun dengan wajah 
bengis. 
"Siapa pun aku, tidak terlalu penting Dan kedatanganku ke 
tempat ini, sudah kau jawab sendiri. Nah! Sekarang, bersiaplah. 
Aku akan segera melenyapkanmu, atau paling tidak 
melumpuhkan-mu...," sahut Panji. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Pendekar Naga Putih 
langsung saja bergerak maju, siap melontarkan serangan. 
"Keparat! Kupecahkan kepalamu, Bocah...! Haaat..!" 
Beruang Gurun sepertinya benar-benar marah. Apalagi ketika 
melihat pemuda itu bergerak maju dengan sikap tenang, tanpa 
bersiap menghadapi sebuah pertarungan. Merasa dianggap 
remeh, maka langsung saja kapaknya digunakan dan 
menerjang kalap. 
Bettt! Bettt...! 
Sekali terjang saja, tokoh berkepala botak itu telah 
melancarkan serangan bertubi-tubi. Meski demikian, tak satu 
pun yang mengenai sasaran. Dan Pendekar Naga Putih 
memang telah bergerak mengelak dengan kecepatan tinggi, 
sehingga Beruang Gurun seperti kehilangan lawannya.

"Aku di belakangmu, Beruang Tolol...!" ledek Panji yang 
telah berdiri tegak di belakang lawannya. 
"Bedebah...! Mampus kau...!" bentak Beruang Gurun. 
Tanpa menoleh lebih dulu, langsung saja Beruang Gurun 
membabatkan kapaknya ke belakang dengan gerakan berputar. 
Kali ini Panji sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. 
Tepat pada saat kapak lawan dalang, kepalanya direndahkan 
sedikit. Itu pun masih disusuli dengan tangan kirinya yang 
terangkat menyambut serangan lawan. 
Dukkk! 
"Ahhh...?!" 
Beruang Gurun memekik kesakitan ketika lengannya 
tertangkis lengan Panji yang bagaikan batang besi. Sebelum 
tubuh lawan terdorong jatuh, tangan Pendekar Naga Putih 
sudah melibat perge-langan tangan Beruang Gurun dan 
menyentakkan-nya ke depan. Lalu langsung disambutnya tubuh 
Beruang Gurun dengan sebuah totokan keras. 
Tukkk! 
"Aaakh...?!" 
Tubuh Beruang Gurun langsung melorot jatuh bagaikan 
sehelai karung basah. Kemudian Panji bergerak menghampiri. 
Langsung diangkatnya tubuh Beruang Gurun dan 
dilemparkannya ke dekat sebatang pohon yang tumbang di 
samping bangunan. Setelah itu, tubuh Panji bergerak ke dalam 
arena pertempuran. 
"Rinjani! Aku harus menyusul Iblis Mata Satu yang 
membawa pergi Kenanga. Beruang Gurun sudah kulumpuhkan. 
Semoga kalian berhasil. Oh, ya. Sampaikan salamku kepada

Sumarti dan saudara-saudara seperguruanmu yang lain...," ujar 
Panji. 
Dan Pendekar Naga PuHh langsung melesat meninggalkan 
tempat itu setelah merobohkan beberapa orang lawan lagi. 
Rinjani hanya mengangguk. Kepergian Pendekar Naga Putih 
memang tidak bisa dicegah, karena tempat ini tidak boleh 
ditinggalkan. Sedangkan kemenangan sudah berada di depan 
mata. Maka, dia hanya bisa berharap agar Panji kembali 
mengunjungi Perguruan Tinju Berantai setelah urusannya 
selesai. 
Tubuh Pendekar Naga Putih melesat bagaikan anak panah 
yang lepas dari busur. Segenap ilmu larinya dikerahkan untuk 
dapat menyusul kereta kuda Iblis Mata Satu. Karena memang 
telah memperhitungkan arah yang bakal ditempuh buruannya, 
sebentar saja Pendekar Naga Putih sudah melihat rombongan 
kecil itu beberapa belas tombak di depannya. Seketika 
Pendekar Naga Putih memperlambat larinya membayangi 
kereta kuda itu. 
Tidak berapa lama kemudian, kereta kuda itu tiba di bawah 
sebuah bukit yang puncaknya cukup tinggi. Pendekar Naga 
Putih mengenali tempat itu sebagai Bukit Kundul. Dan, dia juga 
pernah mendengar tentang adanya sebuah perguruan berdiri di 
atas puncak bukit itu. 
"Hm.... Tidak mungkin kalau Pendekar Tongkat Kayu Merah 
telah berubah menjadi sesat Kemungldnan besar, perguruan itu 
telah direbut tokoh-tokoh sesat dari tangannya...," gumam 
Panji. 
Pendekar Naga Putih terus membayangi rombongan Iblis 
Mata Satu, meskipun mereka telah melanjutkan perjalanan 
dengan berjalan kaki

Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil Iblis Mata 
Satu tiba di atas puncak bukit Di situ terdapat sebuah 
bangunan besar yang cukup megah. Kedatangan Iblis Mata 
Satu ternyata langsung disambut hangat oleh tiga orang aneh 
dan memiliki gerak-gerik lucu 
'Tiga Badut Setan...!" desis Panji yang langsung saja 
mengenali ketiga sosok tubuh di depannya itu. "Jadi, merekalah 
yang selama ini menjadi orang di belakang Iblis Mata Satu...." 
Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya, Panji langsung 
melesat sebelum Kenanga diserahkan kepada Tiga Badut Setan. 
"Kenanga! Sekarang...!" teriak Panji memperingatkan 
kekasihnya kalau sandiwara yang mereka buat telah selesai. 
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung saja melancarkan 
serangan ke arah Tiga Badut Setan. Mendapatkan serangan 
cepat itu, tiga tokoh sesat bertampang lucu itu langsung 
berlompatan mundur. Dari angin pukulan sosok bayangan putih 
itu, mereka tahu kalau serangan yang datang sangat 
berbahaya. 
Kenanga sendiri yang semula kelihatan seperti orang 
kehilangan pikiran sadarnya, langsung bergerak melepaskan 
diri dari Iblis Mata Satu. Langsung diterjangnya tokoh bertubuh 
kekar itu dengan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. 
Sadar kalau serangan itu sangat berbahaya dan tidak 
mungkin dielakkan. Iblis Mata Satu langsung saja memapaknya. 
Plakkk! 
Tubuh mereka sama-sama terdorong mundur, ketika lengan 
saling berbenturan keras. Iblis Mata Satu benar-benar tidak 
menyangka kalau gadis jelita tawanannya ternyata hanya 
berpura-pura. Dia tidak habis mengerti, bagaimana mungkin 
tawanannya sampai bisa tidak terpengaruh racun pembius yang

diminumkan. Tentu saja Iblis Mata Satu tidak akan pernah bisa 
mengerti, karena hanya Panji dan Kenanga saja yang tahu. 
"Ahhh...! Kurang ajar sekali kau, Iblis Mata Satu! Apakah kau 
memang hendak memberontak terhadap kami...?" tegur lelaki 
berhidung bulat yang bentuk rambutnya seperti jengger ayam. 
Memang, rambut di kepalanya itu hanya tumbuh di bagian 
tengah, memanjang dari depan ke belakang. Tokoh itu sama 
sekali tidak kelihatan marah. Bahkan malah tersenyum seraya 
menggeleng-gelengkan kepala menatap Iblis Mata Satu. 
Tokoh sesat bermata satu Itu pun tentu saja telah tahu sifat 
aneh pimpinannya. Maka kakinya melangkah mendekat, hendak 
menjelaskan kalau dia sendiri sama sekali tidak tahu. 
"Aku sama sekali tidak tahu, Tuanku Wirya Bajang. Aku 
sendiri telah dibodohi perempuan setan itu..!" bantah Iblis Mata 
Satu berusaha meyakinkan pimpinannya. 
"Hm.... Tunjukkan kalau kau tidak bersalah...." 
Yang berbicara kali ini adalah Pasopati, yang disusul tawa 
ringkik kudanya. Tapi Iblis Mata Satu sadar kalau di balik wajah 
penuh tawa dan lucu, tersembunyi sifat kejam dan tak kenal 
ampun. 
"Baik,..," sahut Iblis Mata Satu. 
Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja Iblis Mata Satu 
menerjang Kenanga dengan serangan-serangan maut. 
Namun tentu saja Kenanga tidak tinggal diam. Meskipun kali 
ini dia harus menggunakan tangan kosong untuk 
menghadapinya, tapi dara jelita itu tidak gentar. Cepat 
tubuhnya melesat menyambut datangnya serangan lawan. 
Maka sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam pertempuran 
sengit


Panji sendiri sudah berhadapan dengan Tiga Badut Setan 
yang tampak tengah menegasi sosok pemuda tampan berjubah 
putih itu. Terdengar Wirya Bajang bertanya dengan suaranya 
yang parau. 
”Benarkah aku tengah berhadapan dengan orang yang 
berjuluk Pendekar Naga Putih ?" tanya warya Bajang. Rupanya 
dia telah mengenal ciri-ciri pendekar besar itu. 
'Tidak salah," sahut Panji tegas. "Kalian memang tengah 
berhadapan dengan Pendekar Naga Putih. Dan, pertemuan ini 
merupakan akhir kejahatan kalian, Tiga Badut Setan...!" 
Mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pendekar Naga 
Putih, lenyaplah sikap dan gerak-gerik ketiga tokoh sesat itu. 
Jelas kelihatan kalau mereka merasa tegang berhadapan 
dengan pendekar muda yang terkenal sangat sakti dan telah 
banyak menjatuhkan tokoh puncak golongan sesat. 
"Hieeeh heh heh...! Kau terlalu takabur, Pendekar Naga 
Putih. Seharusnya kau sadar kalau pertemuan ini merupakan 
akhir petualanganmu. Bukan kami...! Kalau tida percaya, 
bersiaplah! Aku akan memberikan pelajaran baru padamu...!" 
Setelah agak lama, barulah Pasopati menyahuti ucapan 
Panji. Lalu, kakinya melangkah maju dan bergerak ke kanan. 
Melihat Pasopati sudah hendak berhadapan dengan 
Pendekar Naga Putih, Wirya Bajang dan Gajah Mungkur 
bergegas mengepung dari depan dan belakang. Kini Panji harus 
menghadapi lawan-lawannya yang akan menyerang dari tiga 
jurusan. 
"Mulailah! Tanganku sudah gatal ingin menempeleng kepala 
kalian yang berisi rencana-rencana jahat dan kotor itu...!" 
tantang Panji.

Pendekar Naga Putih kini sudah merendahkan kuda-kudanya, 
siap menghadapi serangan Tiga Badut Setan. Dia tahu, lawan-
lawannya yang memiliki silat aneh dan cenderung sinting, 
ternyata juga memiliki beragam ilmu tinggi. 
"Sambut seranganku...!" 
Gajah Mungkur yang memang sangat suka bertarung dan 
menganggap permainan menyenangkan, segera saja datang 
menyerbu Panji dengan kedua tangan terkembang. 
Whuuut..! 
Panji melompat pendek ke samping sehingga sergapan 
Gajah Mungkur hanya mengenai angin saja. 
"Ha ha ha...!" 
Melihat Gajah Mungkur kebingungan seperti orang tolol, 
Wirya Bajang dan Pasopati tertawa bergelak. Rupanya mereka 
benar-benar merasa geli melihat wajah Gajah Mungkur yang 
kelihatan sangat lucu. 
"He he he..!" 
Meskipun dengan wajah menyeringai seperti orang tolol, 
Gajah Mungkur akhirnya tertawa juga. Lelaki bertubuh raksasa 
itu memandang kedua saudaranya berganti-ganti sambil 
terkekeh. 
Melihat sikap ketiga lawannya yang seperti telah melupakan 
dirinya. Panji hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala 
keheranan. Meskipun telah mendengar tentang sifat-sifat aneh 
Tiga Badut Setan, tak urung hatinya merasa heran juga ketika 
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. 
"Hieeeh heh heh...! Siapa yang kau tangkap, Gajah 
Mungkur? Coba tunjukkan padaku, apa yang kau dapatkan...?"

ledek Pasopati dengan ringkik kudanya yang masih terdengar 
berkepanjangan. 
"Ahhh! Aku belum dapat apa-apa, Kakang...," sahut Gajah 
Mungkur. 
Laki-laki tinggi besar itu menjadi kebingungan sendiri ketika 
mendengar pertanyaan saudaranya itu. Lalu, masih seperti 
orang tolol, dipandanginya sepasang lengannya. Seolah, dia 
tengah berusaha mengingat apa yang barusan hendak 
ditangkapnya. 
"Ha ha ha...! Dasar raksasa tolol! Kau barusan hendak 
menangkap naga berwarna putih. Dan sekarang, dia ada di 
belakangmu...," jelas Wirya Bajang sambil menggeleng-
gelengkan kepala yang merupakan kebiasaannya. 
"Naga...? Naga berwarna putih...?" gumam Gajah Mungkur 
sambil mencari-cari ke atas dan ke bawah. 
Pada saat sepasang matanya berbentur sosok Panji, barulah 
Gajah Mungkur teringat apa yang barusan hendak 
ditangkapnya. 
"Ah, benar! Aku memang hendak menangkap naga putih...! 
Sekarang aku akan mencobanya lagi...," seru Gajah Mungkur 
yang tertawa-tawa sambil melangkah berdebum menghampiri 
sosok Pendekar Naga Putih. 
Panji sendiri masih tetap berdiri tegak, ketika melihat lelaki 
raksasa itu kembali datang hendak menyergapnya. 
"Kena...!" teriak Gajah Mungkur, menyergap tubuh Panji 
dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu lebat itu. 
Tapi, sergapannya yang kedua kali ini pun masih saja gagal. 
Bahkan tubuhnya sempat terhuyung, karena Panji telah 
melenting ke udara. Bahkan kepala Gajah Mungkur digunakan

sebagai lan-dasan kakinya. Kemudian Panji meluncur turun 
seraya melepaskan tendangan ke punggung lelaki bertubuh 
raksasa itu 
Tendangan Pendekar Naga Putih memang tidak terlalu keras, 
dan hanya sekadar membuat tubuh lawannya terhuyung. Tapi, 
perbuatannya membuat Gajah Mungkur teringat siapa orang 
yang tengah dihadapinya saat ini. 
"Grrrh...!" 
Gajah Mungkur menggereng, memperlihatkan gigi-giginya 
yang besar dan kuat Sepasang tangannya kali ini tidak lagi 
bergerak seperti hendak menyergap, tapi membentuk gerak-
gerak silat yang aneh dan cepat Mau tak mau, Pendekar Naga 
Putih sendiri sempat kagum dibuatnya. 
"Hm.... Aku harus hati-hati dalam menghadapi raksasa 
seperti Gajah Mungkur ini. Biasanya orang sepertinya memiliki 
kulit tubuh kebal dan kuat...," gumam Panji, kali ini bersiap 
menghadapi terjangan lawan. 
Rupanya kejadian yang rr)enimpa Gajah Mungkur, juga telah 
membangkitkan ingatan Wirya Bajang dan Pasopati terhadap 
pemuda berjubah putih itu. Maka mereka pun bergerak susul-
menyusul dengan serangan-serangan berbahaya. "Heaaa...!" 
Panji yang saat itu tengah bertarung melawan Gajah 
Mungkur, cepat melesat ke kanan. Dihindarinya terjangan 
Pasopati yang cengkeramannya sekeras baja, siap merobek 
lambungnya. 
Bettt! 
Lagi, sebuah pukulan dari Wirya Bajang yang menimbulkan 
suara mencicil tajam datang mengancam tubuh Panji. Padahal, 
Pendekar Naga Putih baru saja-menjejakkan sebelah kakinya di 
tanah. Maka langsung saja tubuhnya merunduk dan

mengangkat tangan kanannya untuk memapak serangan 
lawan. 
Dukkk... plakkk! 
Terdengar benturan dua kali berturut-turut, sehingga 
membuat tubuh Wirya Bajang terdorong ke belakang. Belum 
lagi tokoh itu sempat berbuat sesuatu. Panji telah menyusulinya 
dengan sebuah tendangan miring. 
Desss...! 
Tanpa ampun lagi, tubuh Wirya Bajang terpental disertai 
muntahan darah segar ketika tendangan Pendekar Naga Putih 
telak menghajar dada. Meski demikian, tokoh berhidung bulat 
seperti tomat itu sempat memperbaiki tubuhnya agar tidak 
sampai terbanting. 
"Haaa...!” 
Gajah Mungkur dan Pasopati kelihatannya sangat marah 
ketika mengetahui saudara tuanya terkena tendangan Pendekar 
Naga Putih. Mereka segera melesat maju, menerjang pemuda 
itu. Akibatnya, Panji dibuat kewalahan menghadapi serangan-
serangan kedua lawannya yang seperti kerbau gila. 
"Heaaa...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus yang ketujuh puluh 
delapan, Pendekar Naga Putih tiba-tiba mengeluarkan 'Pekikan 
Naga Marah*. Seketika itu juga, tubuhnya langsung melayang 
ke udara. Dan dari atas, kedua kakinya melepaskan tendangan-
tendangan berantai ke arah Gajah Mungkur yang terdekat. 
Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...?!" 
Gajah Mungkur yang biasanya kebal terhadap pukulan 
maupun senjata tajam, kali ini memekik kesakitan akibat

tendangan Panji yang mendarat di punggung dan dadanya. 
Akibatnya, tubuh raksasa itu terhuyung-huyung bagaikan orang 
mabuk laut. 
"Yiaaah...!" 
Serangan Panji rupanya belum selesai. Buktinya setelah 
melancarkan serangkaian tendangan yang sekaligus digunakan 
untuk pijakan, tubuhnya cepat jungkir balik dengan kepala di 
bawah. Kedua tangannya langsung mengembang ke kiri dan 
kanan, menghantam tubuh kedua lawannya. 
Desss... desss...! 
"hiuakkkh...!" 
Sungguh hebat hantaman telapak tangan yang telah diisi 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Akibatnya, tubuh Gajah Mungkur 
dan Pasopati terjengkang sejauh satu tombak lebih, dan terus 
jatuh berguling-guling. 
Gajah Mungkur dan Pasopati yang jatuh secara terpisah 
sama-sama memuntahkan darah kental. Mereka menggigil 
bagaikan terkena serangan malaria, akibat pukulan yang 
berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dari Pendekar Naga 
Putik 
"Shaaa...!" 
Wirya Bajang yang menyaksikan kedua orang saudaranya 
jatuh berguling-guling, segera saja berseru keras sambil 
menyerbu Pendekar Naga Putih. Tap karena tenaganya sudah 
berkurang akibat luka dalam yang diderita, Wirya Bajang 
kembali harus menelan pil pahit. Ternyata sebuah pukulan Panji 
malah singgah di dada kirinya. 
Bukkk! 
"Aaakh...!"

Tubuh Wirya Bajang kembali tersentak deras ke belakang. 
Bahkan kali ini tidak mampu untuk bangkit lagi. Setelah 
meregang nyawa sebentar, nyawa Wirya Bajang langsung 
terbang akibat pukulan Panji yang berisi tenaga dalam tinggi. 
"Aaa...!" 
Bagaikan orang gila, Gajah Mungkur maju menerjang Panji 
begitu mengetahui kalau saudara tuanya telah tewas. Gajah 
Mungkur benar-benar nekati Pukulan-pukulan yang 
dilepaskannya datang bertubi-tubi mengancam tubuh Panji. 
Namun, karena gerakan Pendekar Naga Putih jauh lebih cepat, 
sehingga tak satu pun yang mengenai sasaran. Bahkan.... 
Desss...! 
Sambil merendahkan tubuh menghindari kepalan lawan, 
Panji langsung saja mendorongkan sepasang telapak tangan ke 
tubuh raksasa itu. Tanpa ampun lagi, tubuh Gajah Mungkur 
tersentak ke belakang dan terbanting jatuh dengan tubuh 
menggigil kedinginan. Sebentar kemudian, tubuh raksasa itu 
pun diam tak bergerak-gerak lagi. Mati! 
"Kaaakhhh...!" 
Pasopati yang melihat kedua orang saudaranya telah binasa 
di tangan Pendekar Naga Putih, langsung memekik parau! 
Tubuhnya cepat melayang dan berjumpalitan di udara dengan 
sepasang cakar siap terhunjam ke leher lawan. 
"Haaat..!" 
Panji sendiri tidak tinggal diam. Tubuhnya cepat ikut 
mencelat ke udara. Langsung disambutnya tubuh lawan dengan 
tendangan terbangnya. Dan.... 
Bukkk! 
"Aaa...!"

Pasopati kontan terpental balik disertai raung kemarinnya 
yang parau. Tamatlah riwayat orang kedua dari Tiga Badut 
Setan dengan dada remuk, akibat tendangan Pendekar Naga 
Putih yang menyambut luncuran tubuhnya. 
"Kakang..." 
Kenanga yang rupanya juga telah menyelesaikan 
pertarungannya melawan Iblis Mata Satu, datang menghampiri 
Panji yang juga tengah melangkah menghampirinya. 
"Hhh.... Berakhirlah segala kekejaman Tiga Badut Setan. 
Mereka sebenarnya tidak lebih dari orang-orang gila yang 
memang patut dibasmi, karena selalu mengganggu ketenangan 
orang banyak...," desah Panji. 
Pendekar Naga Putih lalu menyambut tubuh kekasihnya 
dengan kedua tangan terbuka. Kemudian mereka melangkah 
meninggalkan tempat itu, untuk melanjutkan petualangan. 



                           SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar