..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 11 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TERSESAT DI LEMBAH KEMATIAN

matjenuh

 

SATU

DI bawah siraman cahaya matahari tampak empat 
orang laki-laki bertampang seram melangkah ringan 
dan mantap. Pertanda mereka adalah orang-orang 
persilatan yang berilmu cukup tinggi. Pakaian yang dikena-
kan keempat orang itu sangat mencolok dan menarik per-
hatian. Sebab masing-masing dari mereka mempunyai 
wajah yag sama dengan warna pakaiannya. 
Orang pertama, berjubah panjang berwarna merah 
darah yang sesuai dengan warna kulit wajahnya. Tubuhnya 
tinggi kekar dan selalu menyunggingkan senyum mengejek. 
Sedangkan orang kedua, usianya sekitar empat puluh 
tahun, mengenakan jubah berwarna biru gelap. Wajahnya 
dihiasi kumis tebal, dan mempunyai sepasang mata yang 
memancarkan kelicikan hatinya. Sebuah gagang golok 
besar tampak tersembul di balik punggungnya. 
Sementara, orang ketiga dan keempat, masing-masing 
mengenakan pakaian berwarna kuning pucat dan hijau. 
Keanehan-keanehan itulah yang membuat keempat 
orang itu menarik perhatian orang-orang yang berpapasan 
dengan mereka. 
Saat matahari sudah tergelincir ke arah Barat, keempat 
orang aneh itu telah memasuki mulut Desa Keranggan. 
Beberapa petani yang sempat melihat mereka bergegas 
menghindar. Tampak di wajah mereka ada perasaan ngeri 
melihat orang-orang aneh dan menyeramkan itu. 
Sikap para petani yang demikian, rupanya membuat 
keempat orang-orang aneh itu merasa tersinggung. Salah 
seorang dari mereka, yang mengenakan jubah berwarna 
kuning pucat, menoleh dan menatap tajam ke arah petani 
yang bergegas kembali ke sawahnya. 
“Hei! Kemari kau…!” panggil orang yang berwajah

kuning pucat itu dengan suara parau. Sepasang matanya 
tampak berkilat menyiratkan nafsu membunuh! 
Keempat petani yang berpura-pura sibuk itu terkejut 
sekali mendengar panggilan orang aneh tersebut. Seketika 
wajah mereka berubah pucat, dan dadanya berdegup 
keras. 
“Keparat! Rupanya kalian sudah bosan hidup!” bentak 
laki-laki kurus berwajah kuning pucat itu dengan nada 
semakin tinggi. Jelas, ia merasa marah sekali terhadap 
keempat petani yang berpura-pura tidak mendengar 
panggilannya tadi. 
“Kami…kami yang Tuan maksudkan…?” tanya salah 
seorang dari petani itu dengan wajah tegang! Bahkan, 
nada suaranya terdengar gemetar dan diselimuti rasa 
takut. 
“Hm… Jangan berpura-pura bodoh kau, Orang Tua Peot! 
Apakah telingamu mau dibuat tuli? Cepat, kau dan ketiga 
rekanmu naik kemari!” bentak lelaki tinggi kurus berwajah 
kuning pucat itu sambil menunjukkan tangannya. 
“Baik….baik….Tuan…” sahut lelaki setengah baya itu 
mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, ia bergegas 
naik diikuti ketiga rekannya. 
“Hm….untuk apa kau membuang-buang waktu dengan 
manusia-manusia tak berguna itu, Adi Sangkuni? Kubur 
saja mereka di sawah,” ujar lelaki berjubah merah dengan 
wajah bengis dan tersenyum sinis. 
Ucapan lelaki bertubuh kekar dan berjubah merah itu 
menyiratkan perasaan tidak setuju dengan tindakan rekan-
nya yang dianggap membuang-buang waktu saja. 
“Sebenarnya aku ingin bermain-main sebentar dengan 
mereka. Sayang Kakang tidak menyukainya. Baiklah, 
Kakang. Aku akan memberikan sesuatu yang nikmat buat 
mereka untuk menuju ke alam kedamaian,” ujar lelaki 
berjubah kuning pucat itu seaya menyelinapkan tangan 
kanannya ke dalam jubah. 
“Kalian terimalah ini sebagai hadian dariku…” ujarnya 
sambil mengibaskan tangan kananya ke arah keempat

orang petani yang baru saja menginjakkan kakinya di atas 
jalanan lebar itu. 
Wuuut…! 
Bubuk berwarna kuning dan berbau harum menyebar 
seiring kibasan tangan Sangkuni. Dan langsung menerpa 
wajah keempat orang petani itu. Lalu, mereka berteriak-
teriak dengan tubuhnya berjumpalitan. Kemudian teriakan 
itu berubah menjadi lolongan panjang yang mengerikan! 
“Akh…!” 
“Aaa…!” 
Keempat orang petani malang itu terus meraung sambil 
bergulingan di atas tanah berbatu kerikil. Kedua tangannya 
sibuk menggaruk seluruh tubuh sambil mendesis-desis 
bagai orang kesetanan! Tak lama kemudian, tubuh mereka 
mengejang menahan azab. Lalu tewas dengan sekujur kulit 
tubuh terkelupas bagai dikuliti. 
“He he he…. Kau lihatlah, Kakang. Bukankah per-
mainan itu sungguh mengasyikkan. Sayang, Kakang tidak 
memperkenankan aku untuk bermain lebih lama,” ujar 
Sangkuni sambil terkekeh memandang tubuh korbannya 
dengan sinar mata yang gembira. Jelas, penderitaan 
keempat petani itu telah menimbulkan rasa bahagia di 
dalam hatinya. 
“Sudahlah. Ayo kita tinggalkan tempat ini…” ajak lelaki 
berjubah merah darah yang menjadi pimpinan mereka. 
Keempat orang aneh yang bersifat mengerikan itupun 
melangkah lebar meninggalkan tempat tersebut. Luar 
biasa sekali kekejaman mereka. Hanya kesalahan kecil 
saja, mereka tega membunuh empat orang petani itu 
secara keji. 
Tak sedikitpun tersirat rasa iba di wajah keempat orang 
aneh itu, meski korbannya merintih dan meraung menahan 
rasa perih. Justru dengan melihat penderitaan orang itu, 
mereka memperoleh kepuasan hati. Semakin korbannya 
kesakitan dan meraung tinggi, semakin puaslah hati 
mereka. Melihat kekejamannya itu, jelas keempat orang itu 
merupakan tokoh-tokoh sesat dalam dunia persilatan.

“Hei, Pelayan! Cepat sediakan empat guci tuak dan 
penganan untuk kami!” teriak orang aneh yang berjubah 
biru gelap. Padahal, saat itu ia baru saja melangkahkan 
kakinya melewati pintu kedai, dan belum sempat memilih 
tempat duduk. 
Tentu saja suara yang keras dan bernada dingin itu, 
membuat para pengunjung kedai terkejut dan menolehkan 
kepalanya. Namun, ketika mereka melihat penampilan 
lelaki berjubah biru gelap dan tiga orang lainnya, serentak 
pengunjung kedai itu menundukkan kepalanya. Bahkan, 
beberapa pengunjung langsung beranjak meninggalkan 
bangku-bangkunya. 
Kening lelaki berjubah biru gelap yang baru saja men-
jatuhkan pantatnya di atas kursi itu berkerut dalam. 
Tindakan pengunjung yang hendak meninggalkan kedai itu 
membuat dirinya tersinggung. Dengan gerakan kasar, lelaki 
berkumis tebal itu bangkit dan menggebrak meja. 
Brakkk…! 
Enam orang lelaki yang baru saja hendak melangkah 
keluar kedai itu merasa terkejut. Langkah mereka terhenti 
dan menolehkan kepala ke arah pengunjung aneh itu. 
“Dengar! Tidak seorangpun boleh meninggalkan tempat 
ini! Bagi siapa yang berani membantah, maka kematianlah 
yang akan diterima!” ancam lelaki berjubah biru gelap itu 
dengan tatapan mata tajam dan menggetarkan jantung. 
Mendengar ancaman yang tegas itu, membuat mereka 
semua kembali duduk dengan wajah pucat. Kegelisahan 
membayang jelas di wajah mereka. 
Namun, tidak semua pengunjung kedai itu bernyali 
kecil. Dua orang lelaki bertubuh kekar berotot, bergerak 
bangkit dan melangkah menuju pintu kedai. Mereka tidak 
gentar sama sekali dengan ancaman lelaki berjubah biru 
gelap itu. 
Melihat lagak dua orang bertubuh kekar berotot ter-
sebut, lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak. 
“Ha ha ha…! Tidak kusangka di tempat ini ada juga 
orang-orang bernyali harimau. Bagus… bagus…. Benar


benar sangat menyenangkan!” ujar laki-laki itu sambil 
bangkit dari duduknya. 
“He... he he…! Hati-hati Kakang Gumilang. Siapa tahu 
kedua orang itu benar-benar harimau buas….!” Cetus lelaki 
berjubah hijau dengan suara mengejek. 
“Ha... ha... ha…! Justru itu yang kuharapkan, Sura 
Lejang. Jika mereka betul-betul harimau buas, senang 
sekali hatiku,” ujar lelaki berjubah biru gelap yang ternyata 
bernama Gumilang. 
Dia melangkah lebar menghampiri kedua lelaki ber-
tubuh kekar itu. Sikapnya terlihat angkuh dan sangat 
menghina sekali. Tanpa memperdulikan kedua orang itu, ia 
berdiri di ambang pintu dan menghalangi jalan keluar. 
“Maaf, Kisanak. Berilah jalan untuk kami lewat…” pinta 
salah seorang yang berwajah keras dengan bulu-bulu hitam 
menghias sisi wajahnya. Nada suaranya yang sopan itu 
mengandung ketegasan. 
Lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak meng-
indahkan permintaanya. Sepasang matanya menatap 
dingin ke arah dua orang lelaki yang berniat meninggalkan 
kedai itu. 
Setelah beberapa kali mengulang permintaanya, tapi 
selalu diabaikan, lelaki berwajah keras itu mulai naik 
pitam. Dengan tatapan mata yang menyiratkan 
kemarahan, ia melangkah maju dua tindak ke depan. 
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dari kami, 
Kisanak? Mengapa kau menghalangi jalan keluar? 
Bukankah diantara kita tidak ada persoalan?” tegur lelaki 
kekar berwajah keras itu dengan suara penasaran. 
Sepasang matanya dikepalkan hingga terdengar suara 
gemeretak. Melihat dari sikap dan tingkahnya, tampak 
lelaki itu bukanlah seorang sembarangan. 
“Hm…. Aku tidak akan menghalangimu jika per-
mintaanku kau turuti,” ujar Gumilang dengan suara 
perlahan, namun terasa menggetarkan hati. Sedang 
sepasang matanya yang dingin dan setajam mata pisau itu, 
tetap tidak beralih dari wajah lawan.

“Apa permintaanmu, Kisanak? Selagi masih dalam 
batas-batas wajar tentu akan kupenuhi. Katakanlah!” sahut 
lelaki berwajah keras itu dengan menentang pandangan 
mata Gumilang. Jelas, ia ingin memperlihatkan bahwa 
dirinya tidak takut berhadapan dengan lelaki berjubah biru 
gelap. 
Mendengar ucapan lawan bicaranya, Gumilang 
memperlihatkan senyum iblis yang sempat membuat hati 
lelaki berwajah keras itu bergetar. Karena senyumnya 
merupakan senyum licik yang mengandung banyak arti. 
“Permintaanku tidak banyak dan gampang dipenuhi. 
Kalau kalian ingin meninggalkan kedai ini, tinggalkan 
nyawa kalian berdua untukku. Setelah itu kalian boleh 
pergi tanpa kuganggu,” ucap Gumilang dengan suara 
dingin dan menantang. 
“Bangsat! Rupanya kau sengaja mencari persoalan 
dengan kami! Kuperingatkan agar kau segera menarik 
ucapanmu itu. Kalau tidak, tubuhmu akan kulumat habis!” 
bentak lelaki bertubuh kekar itu dengan wajah merah 
padam. 
“Kisanak. Sadarkan kau, saat ini tengah berhadapan 
dengan Sepasang Macan Kumbang? Dan perlu kau ketahui 
tak seorangpun bisa menghalangi keinginan kami. Maka, 
menyingkirlah kau sebelum kesabaran kami habis!” ancam 
lelaki yang satunya lagi. Wajahnya yang kehitaman dengan 
sebaris kumis tebal melintang, tampak semakin gelap. 
Nama Sepasang Macan Kumbang memang cukup 
dikenal dan ditakuti penduduk Desa Keranggan. Tindakan 
mereka pun sukar ditebak. Terkadang mereka bertindak 
kasar hanya karena persoalan sepele. Bahkan, tidak jarang 
mereka membunuh orang yang tidak disukainya, meski 
tanpa sebab yang jelas. Tapi kedua, orang lelaki kekar 
berkulit hitam itu, kerap juga menolong penduduk yang 
ditimpa kesulitan, atau mengusir perampok-perampok yang 
mengganggu ketentraman Desa Keranggan. Sehingga, 
Kepala Desa Keranggan pun enggan berurusan dengan 
Sepasang Macan Kumbang itu.

Selama bertahun-tahun malang melintang di Desa 
Keranggan tak seorangpun mampu mengalahkannya, 
membuat mereka menjadi tinggi hati. Semula kedua orang 
itu tidak mau ambil perduli dengan tingkah empat orang 
aneh tersebut. Namun karena orang-orang itu seperti 
sengaja mencari keributan, maka kedua orang itupun tak 
dapat membiarkan mereka. 
Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, 
sudah hilang kesabarannya ketika mendengar permintaan 
gila Gumilang. Namun karena saat itu hati mereka sedang 
gembira, sengaja dia bersikap mengalah. Lain halnya 
dengan Juwana, orang kedua dari Sepasang Macan 
Kumbang itu. Dari tatapan matanya yang garang, jelas dia 
tidak dapat menerima perlakuan Gumilang. Begitu tiba di 
hadapan lelaki berjubah biru gelap yang berdiri di ambang 
pintu kedai, Juwana mengulurkan tangannya dengan 
maksud menyingkirkan orang aneh itu dari ambang pintu. 
Tindakan Juwana itu sama sekali tidak diperdulikan 
Gumilang. Lelaki berusia empat puluh tahun yang bermata 
licik itu tetap mematung dan menghalangi jalan. Padahal, 
saat itu cengkeraman Juwana sudah menyentuh pangkal 
lengan kanannya. Tapi, ia tidak mengindahkan sama 
sekali. 
Melihat sikap lelaki berjubah biru gelap itu memandang 
rendah kepadanya, tentu saja Juwana semakin geram. 
Dicekalnya pangkal lengan lelaki berjubah biru gelap itu. 
Lalu, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Juwana 
membetot tubuh lelaki berjubah birru gelap itu sambil 
mengeluarkan bentakan nyaring! 
“Haaah…!” 
Sentakan tangannya yang mampu melemparkan tubuh 
lelaki dewasa itu, kali ini tidak mampu menghempaskan 
tubuh lawannya. Meskipun dia yakin tenaga sentakannya 
cukup kuat, tapi tubuh Gumilang tetap saja tak bergeser 
dari tempatnya. 
“Bangsat! Hiaaah…!” 
Bentakan nyaring terlontar dari mulut Juwana. Dengan

mengerahkan tenaga yang lebih kuat, tangannya kembali 
menyentuh tubuh lelaki berjubah biru gelap itu. 
“Ha... ha... ha…!” 
Gumilang tertawa mengejek, setelah melihat wajah 
Juwana bersimbah peluh. Tubuh lelaki berjubah biru gelap 
itu tetap tidak bergeming, walaupun Juwana telah 
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. 
Kenyataan itu membuat Juwana makin penasaran! 
Sadar usahanya sia-sia, dia segera melepaskan cekalan 
tangannya. Begitu cekalannya ditarik pulang, dia langsung 
mengirm tamparan keras ke wajah Gumilang. 
Wuuut…! 
“Aiiih… hati-hati dengan tamparan itu, Kisanak. Nanti 
kepalaku bisa pecah…” ejek Gumilang yang segera 
merundukkan kepalanya dan lenyap dari hadapan lawan. 
“Ehhh…!?” 
Heran bukan main hati orang termuda dari Sepasang 
Macan Kumbang itu. Tampaknya orang berjubah biru gelap 
itu sengaja mempermainkan Juwana di depan orang 
banyak. Dicabut golok besar yang terselip di pingganngya. 
Lalu, diedarkan pandangannya mencari-cari lawannya yang 
lenyap tanpa bekas itu. 
“Apa yang kau cari, Kisanak…?” 
Mendengar suara teguran dari belakangnya, Juwana 
segera membalikkan tubuh dan membabatkan golok 
besarnya dengan kecepatan tinggi. Kemarahannya telah 
memuncak, sehingga dia tidak peduli lagi dengan keadaan 
di sekitarnya. Dalam benaknya hanya satu yang diinginkan, 
yakni membunuh lelaki berjubah biru gelap yang telah 
mempermalukan dirirnya di depan orang banyak. Maka, 
gerakan goloknya pun tidak main-main lagi. 
Wuuuk… Crakg…! 
Terdengar suara berderak ribut ketika golok besarnya 
membabat tiang penyangga kedai makan itu. 
Tentu saja runtuhnya atap kedai membuat pengunjung 
kalang kabut! Serentak mereka berlarian keluar, tanpa 
memperdulikan keempat orang aneh yang duduk tenang di

mejanya. 
Kraaagh…! 
Juwana dan Jakula pun bergegas melompat keluar dari 
kedai yang akan roboh itu. Sebab, mereka tidak ingin 
terkubur hidup-hidup. 
“He.... he... he…. Menyenangkan sekali dapat bermain-
main denganmu, Kisanak. Ayo kita lanjutkan permainan 
yang menarik tadi….” Ujar lelaki berjubah biru gelap 
dengan wajah berwarna kebiruan. 
Entah kapan datanngya orang itu yang jelas, dia telah 
berada di belakang Sepasang Macan Kumbang. Hal ini 
membuat Juwana dan Jakula tersentak seperti melihat 
hantu di siang bolong! 
Aneh! Ternyata tidak hanya lelaki berjubah biru gelap 
itu saja yang telah berada di luar kedai, melainkan ketiga 
rekannya sudah berdiri di belakang Gumilang. Padahal 
ketika atap kedai itu runtuh, mereka masih tetap tenang 
duduk menikmati hidangannya. Tentu saja kenyataan ini 
membuat hati Sepasang Macan Kumbang terkejut 
sekaligus gentar! 
Jakula dan Juwana sadar kalau lawan yang di 
hadapinya adalah tokoh-tokoh sakti kalangan persilatan. 
Keduanya cepat melompat mundur sambil menghunus 
senjatanya. 
Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk 
Hantu Laut itu, tertawa tergelak melihat tingkah Sepasang 
Macan Kumbang. Di muka Gumilang tingkah kedua orang 
jago-jago itu terasa lucu dan menggelitik perutnya. 
Sehingga ia terkekeh-kekeh berkepanjangan. 
***

DUA

SEPASANG Macan Kumbang bergerak mundur satu 
setengah tombak. Golok besar yang bagian belakang-
nya bergerigi tergenggam di tangan mereka dan 
digerak-gerakkan menyilang di depan dada. Keduanya 
bersiap-siap menghadapi lawan yang memiliki kepandaian 
sangat tinggi itu. 
“Hm…. Meski kau memiliki kepandaian seperti iblis 
neraka, jangan harap kami akan gentar! Majulah, biar 
kucincang tubuhmu!” bentak Juwana sambil mengobat-
abitkan senjatanya. 
Sementara Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan 
Kumbang, bergerak merenggang. Maksudnya untuk 
memecah perhatian lawan. 
Wuuuk…! Wuuuk…! 
Golok besar di tangan Jakula diputar sedemikian rupa, 
sehingga menimbulkan suara angin menderu-deru. 
Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk 
Hantu Laut itu, sama sekali tidak memperdulikan tingkah 
Sepasang Macan Kumbang. Ia malah melangkah ke depan, 
tanpa peduli dengan golok besar yang berkilat tajam di 
tangan lawan. 
“He he he…! Mengapa kalian tidak langsung maju 
berdua? Ayolah, janga ragu-ragu,” tantang Gumilang sambil 
memperdengarkan suara tawanya yang serak. 
“Bangsat! Kalau itu memang kemauanmu, terimalah 
ini! Hiaaat…!” 
Teriakan nyaring yang dilontarkan orang termuda dari 
Sepasang Macan Kumbang itu diiringi sabetan golok 
besarnya ke arah leher Gumilang. 
Wueeet…! 
“Hmh…!” 
Sambil mengeram dingin, Hantu Laut merundukkan

kepalanya disertai geseran kaki kanannya selangkah ke 
belakang. Secepat kaki itu ditarik, serentak Gumilang 
melesat kembali ke depan dengan tendangan kilat yang 
mengejutkan! 
Zebbb….! 
Tendangan kilat yang mengandung kekuatan hebat itu 
luput, ketika Juwana memiringkan tubuhnya dengan 
gerakan berputar. Orang termuda dari Sepasang Macan 
Kumbang itu ternyata cukup sigap. Langsung membarengi 
gerakannya dengan sambaran golok besarnya. Golok besar 
yang bergerak menyilang dari bawah ke atas itu, membuat 
Gumilang berseru memujinya. Wajah lelaki berwajah 
kebiruann ini makin berseri melihat kegesitan lawannya. 
Beuuut…! 
Sambaran golok besar yang membeset dari bawah ke 
atas itu, dihindari Gumilang dengan menarik tubuhnya ke 
belakang. Kemudian disusul dengan gerakan berputar, 
sekaligus melepaskan tendangan yang mengancam batang 
leher lawannya. 
Pada saat bersamaan, Jakula meluncur dengan disertai 
tebasan golok besarnya. Kemudian senjata itu ditebaskan 
ke arah kaki Gumilang. Menyadari bahaya yang akan 
mengancam, lelaki berjubah biru gelap itu terpaksa 
menarik pulang tendangannya, karena tidak diinginkan 
kakinya termakan senjata lawan. 
Jakula ternyata lebih gesit dari saudaranya. Begitu 
sambaran golonya luput, pergelangan tangannya berputar 
cepat. Dan golok besar itu kembali berkelebat menusuk 
dada musuh. 
Melihat kedua lawannya cukup ulet, Gumilang menjadi 
tidak sabar. Dijepitnya golok besar Jakula yang meluncur 
ke arah dada dengan merangkapkan sepasang telapak 
tangannya. 
Syuuut…! 
Kreppp! 
Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya 
seperti dijepit baja yang amat kuat! Meskipun telah

dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong 
ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming. 
“Heaaah…!” 
 Syuuut…! 
Kreppp! 
Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya 
seperti dijepit baja yang amat kuat! Meskipun telah 
dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong 
ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming. 
Pada saat Jakula tengah mengerahkan seluruh tenaga 
untuk mendorong maju ujung goloknya, tiba-tiba Gumilang 
menyentakkan golok itu dengan sentakan keras yang dialiri 
tenaga dalam. Senjata itupun melambung terlepas dari 
genggaman tangan Jakula. Sedangkan tubuhnya ter-
jengkang ke belakang! 
“Yeaaah…!” 
Jakula tersentak kaget. Sebelum hilang rasa terkejut-
nya, Gumilang segera melompat disertai dorongan se-
pasang telapak tangannya ke arah dada lawan yang ter-
buka lebar! 
Wuuut…! 
Blaggg…! 
“Huaaakh…!” 
Darah segar terlompat dari mulut Jakula, ketika 
sepasang tangan lawan menghantam dadanya dengan 
telak. Tubuh lelaki kekar itu terlempar bagai sehelai daun 
kering yang diterbangkan angin! 
Brusssh…! 
Tubuh Jakula meluncur dan menjebol bilik rumah 
penduduk yang berada tiga tombak di belakanngya! 
“Huaaakh…!” 
Jakula bangkit. Dan memuntahkan darah berwarna 
kehitaman. Pertanda lelaki kekar itu mengalami luka 
dalam yang parah! 
Melihat saudaranya terluka, Juwana bertambah kalap. 
Orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu, 
langsung melompat seraya mengibaskan golok besarnya.

Lawan yang dihadapi Sepasang Macan Kumbang kali 
ini bukanlah tokoh sembarangan. Buktinya, serangan ber-
tubi-tubi yang dilancarkan Juwana, dapat dielakkan lelaki 
berjubah biru gelap itu dengan gampang. Bahkan tepisan 
telapak tangannya sempat membuat Juwana terbuyung 
mundur. Itu terjadi setiap kali Gumilang bergeak menepis 
sambaran golok besar lawannya. 
Melihat dari cara Gumilang yang jelas-jelas telah 
mempermainkan lawannya. Sehingga membuat dada 
Juwana menyadari dirinya diporak porandakan lawannya. 
Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia dihina dan di-
permainkan di hadapan orang yang menonton pertarungan 
tersebut. Sikap lawannya itu membuat dia berang dengan 
serangannya makin ganas dan berbahaya! 
“Hiaaat…!” 
Teriakan marah dan mengguntur itu dilontarkan 
Juwana, seraya berusaha mendesak lawannya. 
Bettt! Bettt! 
Golok besar di tangannya digerakkan dengan meng-
gunakan tenaga dalam menyambar berkali-kali. Kelebatan 
golok orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu 
diiringi suara angin berkesiutan. 
Namun semakin gencar Juwana melancarkan 
serangan-serangan tidak membuat lawannya terdesak. 
Bahkan sebaliknya ketika Gumilang mulai melancarkan 
serangan balasan, orang termuda dari Sepasang Macan 
Kumbang itu terdesak hebat! 
Gerakan Gumilang yang cepat dan terlihat aneh itu, 
benar-benar membuat Juwana kewalahan! Tidak sampai 
lima jurus, sebuah gedoran telapak tangan lawan tidak 
sempat dielakkannya. 
Wuuut…! Blaggg…! 
“Hukhhh…!” 
Hantaman telapak tangan Gumilang telah menghajar 
dada kanan Juwana. Lelaki kekar itu terpekik kesakitan. 
Kontan tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak ke 
belakang.

Brakkk…! 
Pohon sebesar pelukan orang dewasa yang ada di 
belakang tubuh Juwana, berderak keras ketika tertimpa 
tubuh lelaki kekar berkumis hitam itu. 
Tubuh Juwana melorot jatuh bersamaan dengan luruh-
nya daun-daun pohon akibat benturan tubuhnya. Antara 
sadar dan tidak, lelaki kekar itu mengeluh lirih. Tampak di 
sudur bibirnya mengalir cairan kental berwarna merah! 
Gumilang melangkah lebar menghampiri tubuh Jakula 
yang tergeletak pingsan. Tanpa rasa kasihan sedikitpun, 
diseretnya tubuh orang pertama dari Sepasang Macan 
Kumbang itu. Kemudian dilemparkannya disamping tubuh 
Juwana. Lelaki termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu 
mengerang kesakitan. Cairan berwarna merah kehitaman 
kembali mengalir dari sudut mulutnya. 
“Apa yang hendak kau perbuat terhadap kedua orang 
berkulit hitam itu, Kakang…?” tanya lelaki berjubah hijau 
yang bernama Sura Lejang, seraya melangkah mendekati 
Gumilang yang tengah berdiri menatapi dua sosok tubuh 
tak berdaya itu. 
“He... he... he…! Aku akan mencoba keampuhan 
ramuan racun-racun terbaruku. Kau boleh menebaknya, 
Adi Suro Lejang. Menurutmu, apa yang akan dialami kedua 
Macan Kumbang itu, bila cairan ini kusiramkan ke tubuh 
mereka?” ucap Gumilang tanpa ada rasa kemanusiaan 
sedikitpun. Seolah-olah bukan manusia yang menjadi 
sasaran untuk menguji keampuhan racunnya itu. 
“He... he... he…! Cepatlah kau siramkan, Kakang. Aku 
rasa, mereka pasti berkelojotan bagaikan ayam di-
sembelih. Sebuah pertunjukan yang pasti menggembira-
kan,” ujar Suro Lejang dengan wajah berseri-seri. 
Orang-orang berpenampilan aneh itu tampaknya sudah 
kehilangan perasaan kemanusiaannya. Bagi mereka pen-
deritaan orang lain adalah sebuah tontonan yang menarik 
dan menyenangkan. 
Dengan disaksikan ketia orang kawannya dan belasan 
orang penduduk Desa Keranggan, Gumilang meneteskan

cairan berwarna biru ke tubuh Juwana dan Jakula. 
Terdengar tawa iblisnya ketika ia menyelipkan kembali 
botol kecil, sebesar ibu jari ke dalam lipatan sabuk yang 
melilit pinggangnya. 
“Aaargh….!” 
Jakula dan Juwana meraung keras sekali setelah cairan 
itu membasahi tubuhnya. Asap tipis berbau busuk 
mengepul disertai jerit kesakitan Sepasang Macan 
Kumbang itu. Tubuh mreka berkelojotan menahan rasa 
sakit yang luar biasa! Di raut wajahnya yang berkerut-kerut 
itu, tergambar jelas siksaan yang hebat. 
Cairan berwarna biru itu memang mengerikan seklai. 
Bila cairan itu diteteskan ke tubuh seseorang, maka 
membuat pakaiannya akan berlubang. Bahkan daging 
tubuhnya pun akan berlubang dan terbakar. Seperti yang 
dialami Sepasang Macan Kumbang itu. 
Zesss…! 
Terdengar suara berdesis seiring makin melebarnya 
cairan berwarna biru itu menimpa tubuh mereka. Semakin 
lama kepulan asap tipis berbau busuk itu, semakin dalam 
pula lubang di tubuhnya. Akhirnya sekujur tubuh Sepasang 
Macan Kumbang itu terbakar dan berlubang. 
Bagaikan binatang buas pemakan daging, cairan itu 
terus melebar dan menggerogoti daging Jakula dan 
Juwana. Sehingga seluruh daging kedua orang itu lebur. 
Yang tersisa, hanya tulang belulang berwarna kehitaman 
dan berbau busuk. 
“Aaah…!” 
Beberapa penduduk Desa Keranggan yang menyaksi-
kan korban perbuatan keji empat orang aneh itu, terpekik 
dengan wajah pucat pasi. Tanpa sadar mereka melangkah 
mundur. Bahkan, ada beberapa orang lari meninggalkan 
tempat mengerikan itu. Mereka takut kalau-kalau kejadian 
itu merembet dan menimpa dirinya. 
Sementara keempat orang aneh yang mempunyai sifat 
kejam seperti iblis itu tertawa terbahak-bahak. Kematian 
Sepasang Macan Kumbang yang mengerikan itu telah
membuat hati mereka merasa puas dan bahagia sekali. 
“Ha... ha... ha…..! hebat sekali penemuan barumu itu, 
Kakang Gumilang. Tapi, sudahkah ramuan itu kau beri 
nama?” tanya lelaki kurus berjubah kuning pucat yang ber-
nama Sangkuni. 
“Ha ha ha….! Tentu saja sudah, Adi Sangkuni. Racun ini 
kunamakan ‘Carian Neraka’. Caritan beracun ini kelak 
akan kuperbanyak, agar kau lebih sering menikmati 
tontonan yang menggembirakan seperti ini,” sahut 
Gumilang dengan nada penuh kebanggaan. Jelas ia 
merasa puas sekali dengan hasil yang diperolehnya itu. 
“He... he... he…!” Bukan kau saja yang telah men-
ciptakan racun baru seperti itu, Kakang Gumilang. Aku pun 
telah berhasil membuat racun yang tak kalah hebat dari 
racunmu,” ujar Suro Lejang sambil mengeluarkan sebuah 
bumbung bambu dari balik bajunya. Kemudian ia 
menolehkan kepalanya ke arah beberapa penduduk yang 
masih berada di tempat itu. 
Lima belas orang penduduk Desa Keranggan yang ter-
paku menyaksikan kejadian itu, menjadi pucat ketika 
melihat tatapan mara orang aneh itu! Tubuh mereka 
gemetar, kemudian mereka melangkah mundur ketika 
melihat sorot mata Suro Lejang seperti mata seekor 
harimau buas itu. tatapan itu tentu saja membuat mereka 
ketakutan setengah mati! 
“He... he... he…! Kalian cepat maju kemari. Aku akan 
memberi hadiah yang sangat menarik buat kalian semua. 
Ayo kemari, jangan takut-takut….” Bujuk Suro Lejang 
sambil menatap tajam penduduk Desa Keranggan. 
“Ampun, Tuan….ampun….!” ucap seorang lelaki ber-
kumis lebat yang menjadi sasaran Suro Lejang. Kedua 
lututnya gemetar, membuat dirinya terpaku dan tak bisa 
meninggalkan tempat itu. keringat dingin mengucur deras 
membasahi pakaiannya. Dan, dari sela-sela pahanya 
tampak mengucur carian berbau tak sedap. Jelas kalau 
lelaki itu dilanda ketakutan yang sangat hebat. 
Lelaki berpakaian serba hijau itu terkekeh gembira

melihat tingkah laku orang itu. Ketakutan dan ketidak-
berdayaan calon korbannya membangkitkan rasa bahagia 
tersendiri di hatinya. Sehingga tawanya pun semakin 
nyaring dan keras. 
“Berhenti….!” Bentak Suro Lejang, ketika mendengar 
suara langkah kaki beberapa orang yang hendak 
meninggalkan tempat itu. “Kalau kalian tidak ingin kubuat 
menyesal telah dilahirkan ke dunia, tetaplah tinggal di 
tempat! Bagi yang membantah akan kusiksa sampai mati!” 
ancam lelaki berpakaian serba hijau itu dengan sepasang 
mata mencorong tajam. Melihat kebengisan yang ter-
pancar di wajah Suro Lejang. Jelas kalau ancaman itu 
bukan sekadar gertakan belaka. 
Delapan orang penduduk Desa Keranggan yang semula 
hendak meninggalkan tempat itu, segera menghentikan 
langkahnya. Namun empat orang di antaranya berbuat 
nekat. Mereka melarikan diri tanpa menghiraukan 
ancaman lelaki berpakaian serba hijau itu. 
“Keparat…!” maki Suro Lejang marah, ketika empat 
orang penduduk itu kabur. 
Belum gema suara makiannya lenyap, tubuh Suro 
Lejang sudah melesat dan berjumpalitan beberapa kali di 
udara. Gerakan yang dilakukan lelaki bengis itu sangat 
cepat sekali. Sehingga, dalam sekejapan mata, kedua 
kakinya telah mendarat sejauh dua batang tombak di 
depan keempat orang penduduk itu. 
“Aaah…!” 
Karuan saja keempat penduduk Desa Keranggan yang 
hendak melarikan diri itu terkejut setengah mati! Serasa 
copot jantung mereka ketik amelihat lelaki berpakaian 
serba hijau yang berwajah bengis itu telah berdiri meng-
hadang jalan mereka. 
“Ampunilah kami, Tuan… Kami mengaku salah… 
ampun, Tuan….” 
Keempat orang penduduk desa itu langsung menjatuh-
kan dirinya berlutut, dan meratap mohon ampun. Tubuh 
mereka gemetar hebat melihat sinar mata yang sangat

mengerikan dari lelaki bengis itu. 
“Kalau memang kalian telah mengaku bersalah, 
bangkitlah! Jangan takut. Aku tidak alan menyakiti kalian. 
Bahkan akan kuberi hadiah-hadiah yang sangat menarik 
atas keberanian kalian meninggalkan tempat ini,” sahut 
Suro Lejang tersenyum sinis, seraya melangkah maju 
mendekati keempat orang yang tengah dilanda ketakutan 
hebat itu. 
Mendengar ucapan bernada lembut dan terdengar 
manis itu, keempat orang penduduk itu pun serentak 
mengangkat wajahnya. Seolah-olah mereka hendak 
memastikan kalau lelaki berpakaian serba hijau itu 
memang benar-benar tidak marah. 
“He he he…. Bagus….bagus… Pandanglah wajahku. 
Apakah diriku terlihat seperti orang jahat?” ucap Suro 
Lejang sambil memamerkan senyumnya. 
Jemari tangan Suro Lejang meraih kantung kain di balik 
pakaiannya. Dikeluarkannya empat butir pil berwarna hijau. 
Lalu, diberikannya kepada keempat penduduk Desa 
Keranggan itu. 
“Telanlah obat ini. Niscaya tubuh kalian akan ber-
tambah kuat. Dan tenaga kalian pun akan menjadi berlipat 
ganda,” bujuk Suro Lejang mengangsurkan empat butir pil 
di tangannya ke arah empat orang itu. 
Suro Lejang kembali memamerkan senyum manisnya 
ketika melihat kepala orang-orang itu menggeleng, dan 
menolak pil yang diangsurrkannya. Karena tidak sabar 
melihat empat orang itu masih tetap menggelengkan 
kepalanya, meski telah dibujuk baik-baik. Maka, terpaksa 
ia menjejalkan pil-pil itu ke dalam mulut empat orang 
penduduk yang tidak mampu untuk menolaknya lagi. 
“Nah, begitu baru enak…!” tawa Suro Lejang kembali 
menggema ketika melihat pil-pil itu ditelan keempat orang 
warga Desa Keranggan. 
Tidak berapa lama setelah pil-pil itu memasuki 
kerongkongan mereka, terdengar keluhan-keluhan 
kesakitan dari mulut keempat orang itu. Masing-masing

dari mereka memegangi lehernya erat-erat. Sepasang mata 
mereka terbelalak seolah-olah hendak melompat keluar 
dari tempatnya. 
“Aiiir….aiiir…Hauuus….!” 
Keempat orang penduduk Desa Keranggan itu ber-
teriak-teriak parau sambil memegangi lehernya. Sebab, 
kerongkongan mereka terasa sangat kering dan panas. 
Bahkan bibir keempat orang penduduk desa yang sial itu 
telah pecah-pecah, akibat rasa panas yang menjalari leher 
dan wajah mereka. 
Melihat keadaan keempat orang itu, Suro Lejang dan 
ketiga orang kawannya tertawa terbahak-bahak. Jelas 
sekali kalau mereka sangat gembira melihat penderitaan 
penduduk desa yang tengah sekarat itu. 
Tawa keempat orang aneh yang kejamnya luar biasa itu 
terdengar semakin keras, ketika tubuh keempat orang 
desa itu mulai bergulingan dan berkelojotan menahan rasa 
sakit yang sangat. 
“Ha... ha... ha…! Kau lihat itu, Kakang Gumilang! 
Nampaknya mereka sudah semakin menikmati pil 
pemberianku!” seru Suro Lejang ketika melihat mulut 
keempat orang itu mengeluarkan buih berwarna kehijauan. 
Gumilang, Sangkuni, dan lelaki berpakaian serba 
merah yang bernama Lawa Gurintang, tertawa semakin 
keras ketika menyaksikan pemandangan itu. Tubuh-tubuh 
sengsara yang berkelojotan itu meregang nyawa itu, 
rupanya menimbulkan kegembiraan di hati mereka. 
Tawa keempat orang berwatak iblis itu baru terhenti 
setelah keempat orang pendduk desa yang malang itu 
menghembuskan napasnya. Penderitaannya yang me-
nyiksa itu lenyap bersamaan dengan keluarnya roh 
keempat orang malang itu. 
***

TIGA

""JAHANAM! Siapa yang telah melakukan perbuatan 
biadab ini?” 
Suara bentakan nyaring, tiba-tiba terdengar 
disusul munculnya seorang lelaki gagah berusia sekitar 
lima puluh tahun. Sorot matanya yang tajam tertuju kepada 
empat orang lelaki berpakaian menyolok itu. 
Di belakang lelaki tua itu, tampak belasan orang 
mengenakan seragam putih mengiringinya. Jelas lelaki tua 
yang masih gagah itu merupakan orang penting di Desa 
Keranggan. 
“He... he... he… Siapakah kau, Orang Tua? Mengapa 
memandangi kami seperti itu? Apakah kau manuduh kami 
yang melakukannya?” bentak lelaki kurus berwajah kuning 
pucat seraya melangkah maju beberapa tindak. Dan 
sepasang matanya menyipit menatap wajah lelaki tua itu. 
“Hm…. Rupanya kalian orang baru di desa ini. perlu 
diketahui bahwa aku adalah Ki Bongol. Dan, Desa 
Keranggan beserta warganya merupakan tanggung jawab-
ku. Karena akulah Kepala Desa di sini! Mengapa kalian 
menghukum wargaku demikian kejam? Apa salah mereka 
terhadap kalian?” ujar lelaki tua yang bernama Ki Bongol 
itu menuntut jawaban. 
Lelaki berpakaian kuning pucat yang tak lain Sangkuni, 
tertawa terbahak-bahak. Sikap yang ditunjukkan itu jelas 
menghina, tak heran wajah Ki Bongol berubah merah 
menahan geram. 
“Ketahuilah, Ki Bongol. Kami adalah Empat Iblis 
Lembah Beracun. Kehadiran kami di desa ini, meringankan 
tugasmu. Karena itu kau boleh beristirahat menjadi Kepala 
Desa. Serahkan saja segala urusan di desa ini kepada 
kami. Dan semua akan beres,” ujar Sangkuni sambil ber-
kacak pinggang.

Jawaban yang sangat kurang ajar itu tentu saja mem-
buat pengawal Ki Bongol geram. Kalau saja lelaki tua itu 
tidak keburu mencegah, tentu pengawal Kepala Desa 
Keranggan yang marah itu sudah melancarkan serangan 
ke arah lelaki berwajah pucat yang berani berlaku kurang 
ajar terhadap pimpinannya. 
“Hm… Sudah kuduga kedatangan kalian di desa ini 
mengandung niat tidak baik. Sekarang kau dan ketiga 
kawanmu itu boleh pilih! Tinggalkan desa ini, atau terpaksa 
aku menggunakan kekerasan untuk mengusir kalian?” 
ancam Ki Bongol tegas. 
Sambil berkata demikian, lelaki tua yang masih 
nampak gagah itu melompat turun dari atas punggung 
kudanya. Dan matanya menatap tajam ke arah tamu yang 
telah mengganggu ketentraman desanya. 
“Huh! Kau terlalu bertele-tele, Adi Sangkuni! Sudah, 
bunuh saja orang tua tak berguna itu habis perkara!” ujar 
Suro Lejang yang merasa tidak sabar mendengar per-
debatan itu. 
Sangkuni yang semula masih hendak menanggapi 
ucapan Ki Bongol, sejenak menoleh ke arah Suro Lejang. 
Lalu, kembali berpaling menghadap Kepala Desa 
Keranggan. Sepasang matanya tampak berkilat penuh 
ancaman! 
Ki Bongol sadar tatapan Sangkuni mengandung 
ancaman maut. Cepat ia mengibaskan tangannya sebagai 
perintah kepada para pengawalnya untuk mengepung 
keempat ibls itu. Sementara, ia sendiri sudah meloloskan 
pedangnya dan menghadapi Sangkuni. 
“Hm….!” 
Sambil menggeram gusar, Sangkuni yang berjuluk Iblis 
Muka Mayat mengibaskan tangannya ke depan. 
Wuuut…! 
Serangkum angin pukulan berhembus amat kuat, 
diiringi hawa busuk yang memualkan perut. Mencium ada-
nya hawa beracun dari pukulan lawan, Ki Bongol melompat 
ke samping. Kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya,

disertai sambaran pedanngya mengancam tubuh lawan. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Sekali melompat, Ki Bongol langsung mengirimkan 
serangkaian serangan yang cepat dan susul menyusul! 
Gerakan lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu, ternyata 
masih sangat berbahaya! Sehingga Sangkuni pun sempat 
berdecak kagum. 
Lawan yang dihadapi Ki Bongol kali ini bukanlah tokoh 
sembarangan. Tak mengherankan ketika Sangkuni me-
lancarkan serangan balasan, lelaki setengah baya itu 
terdesak hebat! 
Namun, Ki Bongol bukanlah jenis orang yang mudah 
menyerah! Meskipun ia sadar akan kehebatan lawannya, 
tapi lelaki tua itu tidak gentar sedikitpun. Pedang di tangan-
nya terus berkelebatan guna mengatasi serangan lawan. 
Perlawanan Kepala Desa Keranggan itu membangkit-
kan amarah Sangkuni. Ketika pertarungan memasuki jurus 
kedua puluh tiga, Iblis Muka Mayat melepaskan pukulan 
berantai yang membuat Ki Bongol kelabakan! 
“Haiiit…!” 
Buggg…! 
Serangan lawan yang cepat dan susul menyusul itum 
membuat Ki Bongol terpaksa menerima pukulan lawan 
berkali-kali di dadanya, tanpa dapat dielakkan. 
“Huaaakh…!” 
Tubuh lelaki setengah baya itu langsung terjungkal ke 
belakang! Darah kental berwarna kehitaman muncrat dari 
mulutnya. Dan tubuh Ki Bongol pun rebah ke tanah. 
“Ki Bongol…!” 
Teriak dua orang lelaki gagah yang merupakan 
pengawal utama Kepala Desa Keranggan. Mereka serentak 
menghambur ke arah tubuh kepala desanya. Hati mereka 
terkejut ketika melihat orang tua itu sudah tidak bernapas 
lagi. Dadanya yang terkena hantaman telapak tangan 
lawan, tampak hangus bagaikan terbakar! 
“Bangsat! Pembunuh keji, terimalah pembalasanku!” 
teriak seorang berkumis tebal. Saat itu juga, tubuhnya

langsung melesat menerjang Sangkuni. 
Wuuut! 
Tusukan pedangnya luput ketika Sangkuni memiring-
kan tubuhnya sedikit. Tanpa membuang waktu lai, lelaki 
berwajah pucat itu mengirimkan pukulan keras ke arah 
kepala lawannya! 
Prakkk! 
Tanpa sempat berteriak, tubuhnya langsung roboh dan 
tewas seketika. Karena pukulan Sangkuni telah memecah-
kan batok kepalanya! 
Begitu lawannya roboh, Sangkuni merasakan sambaran 
angin tajam dari belakanngya. Ia cepat merundukkan 
kepala. Sambil berbalik, Iblis Muka Mayat menjatuhkan 
tubuhnya dan langsung mengirimkan tendangan kilat ke 
ulu hati pembokonngya. 
Buggg…! 
“Hukhhh…!” 
Pengawal Ki Bongol itu, kontan terjengkang hingga dua 
tombak! Tubuhnya berkelojotan menahan rasa sakit pada 
ulu hatinya. Sesaat kemudian tubuhnya diam tak bergerak! 
Setelah ketiga lawannya menjadi mayat, Sangkuni 
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu, tawa 
iblisnya meledak ketika melihat mayat para pengawal Ki 
Bongol yang berpakaian serba putih telah tewas ber-
gelimpangan. 
“Hm…. Kau terlalu lamban, Adi Sangkuni. Lihat, para 
pengawal lelaki tua itu telah menjadi mayat, selagi kau 
menghadapi lawan-lawanmu,” ujar Suro Lejang tertawa 
terbahak-bahak. 
“Ahhh, itu tidak penting, Kakang Suro Lejang. Sekarang 
lebih baik kita kumpulkan seluruh penduduk Desa 
Keranggan ini. lalu, kita umumkan kepala desa yang baru. 
Siapa lagi, kalau bukan Kakang Lawa Gurintang sebagai 
kepala desa yang baru!” teriak Sangkuni sambil me-
mandang lelaki tinggi besar berjubah merah yang merupa-
kan orang pertama dari Empat Iblis Lembah Beracun itu. 
“Hm… Kalau begitu, apa lagi yang kalian tunggu? Cepat


kumpulkan orang-orang desa ini! siapa saja yang berani 
membantah bunuh!” ujar Lawa Gurintang dengan suara 
dingin. 
Mendengar perintah itu, Sangkuni, Suro Lejang serta 
Gumilang, bergegas menyebar. Kemudian, mereka telah 
kembali sambil menggiring orang-orang Desa Keranggan 
ke tanah lapang di depan balai desa. Setelah mereka 
berkumpul, Sangkuni tampil menghadapi warga desa yang 
hanya dapat pasrah itu. 
“Seluruh warga Desa Keranggan, dengarkan baik-baik! 
Mulai saat ini, yang menjadi kepala desa kalian adalah 
Lawa Gurintang! Semua perintah dan peraturannya harus 
dipatuhi. Siapa saja yang berani membantah, akan 
dibunuh tanpa ampun!” seru Sangkuni yang membuat 
semua kepala warga desa itu tertunduk dalam. 
Usai menyampaikan semua rencananya, Empat Iblis 
Lembah Beracun itu segera meninggalkan halaman balai 
desa. Sedangkan kerumunan warga Desa Keranggan itu 
dibubarkan, setelah sebelumnya memilih beberapa gadis 
desa sebagai pemuas nafsu iblis mereka. 
Sambil tertawa tergelak, Empat Iblis Lembah Beracun 
melangkah ke arah sebuah rumah besar. Tempat 
kediaman Kepala Desa Keranggan yang lama yaitu Ki 
Bongol. 
*** 
Empat orang lelaki gagah itu bergegas menerobos 
semak belukar. Mereka bergerak dan memasuki Hutan 
Keranggan. Melihat wajah-wajah mereka yang pucat, jelas, 
keempat orang gagah itu tengah menderita luka. Langkah-
langkah kaki merekapun terlihat oleng. 
“Huaaakh…!” 
Lelaki yang berjalan paling belakang, tiba-tiba terguling 
dan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. 
Wajahnya nampak semakin memucat. Melihat gerakan 
tubuhnya, ia tidak mampu lagi berdiri. Jelas ia tidak

sanggup lagi meneruskan perjalanan. 
“Adi Lungga…!” 
Ketiga orang lelaki gagah lainnya serentak berbalik dan 
menghambur ke arah orang yang bernama Lungga itu. 
serentak mereka menjatuhkan diri di samping tubuh lelaki 
berusia tiga puluh tahun yang tergeletak lemah itu. 
“Maaa… maafkan aku, Kakang…. Aku…. Aku tid….tidak 
sanggup lagi. Larilah kalian. Jangan hiraukan aku….” Ucap 
Lungga terbata-bata. Nampak lelaki muda itu sangat sukar 
mengeluarkan ucapannya. Desah napasnya makin 
melemah, membaut ketiga orang lainnya saling ber-
pandangan satu sama lain. 
“Tapi, kami tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, Adi. 
Kami…. kami harus membawamu,” ujar seorang dari ketiga 
lelaki gagah itu, sambil membelai kening Lungga yang 
basah oleh peluh. 
“Tidak, Kakang Guraba. Kakang bertiga harus selamat 
dari kejaran iblis itu. Cepatlah, sebelum racun yang 
mengeram di dalam tubuh kalian menyebar ke seluruh 
tubuh. Ingatlah! Waktu yang kalian miliki hanya sampai 
tengah hari. Setelah itu, kalian tidak mempunyai harapan 
lagi untuk hidup. Bila hal itu sampai terjadi, habislah 
kesempatan kita untuk melenyapkan manusia-manusia 
iblis itu. Dan itu berarti kakang bertiga telah mengecewa-
kan harapanku,” ucap Lungga dengan suara lirih. 
“Adi…!” 
Guraba berseru keras sambil mengguncang-
guncangkan tubuh adik seperguruannya. Namun Lungga 
telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Kepalanya 
terkulai dalam pangkuan Guraba. 
“Bedebah kalian, Iblis-iblis Lembah Beracun! Aku 
bersumpah akan membalas kematian adik seperguruanku 
ini!” geram Guraba dengan sepasang mata berkilat tajam. 
Sementara dua orang lainnya tak mampu berkata-kata, 
kecuali menundukkan wajahnya dalam-dalam. Jelas kedua 
orang itu sangat terpukul dengan kematian Lungga. 
Ketiga orang lelaki gagah itu tengah tenggelam dalam

duka, tiba-tiba terdengar langkah kaki ke arah mereka. 
Ketiganya kaget dan seling berpandangan dengan wajah 
pucat! 
“Kalian berdua larilah. Biar aku yang menghadapi 
manusia keparat itu!” ujar Guraba dengan suara parau. 
“Jangan bodoh, Kakang! Kita berempat saja tidak 
mampu melawan mereka, apalagi Kakang sendiri. Ingat 
pesan Adi Lungga! Dia menghendaki agar kita bertiga 
selamat, dan kelak kita membuat perhitungan dengan 
mereka. Apakah Kakang tega membiarkan arwah adik 
seperguruan kita itu tidak tenang? Ayolah kita tinggalkan 
tempat ini. jangan turuti hawa nafsu yang dapat 
mencelakakan kita!” bujuk salah seorang yang usianya 
lima tahun lebih muda dari Guraba. 
Kedua sisi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu 
tampak cemas. Terlebih suara langkah kaki orang-orang 
yang mengejarnya semakin terdengar jelas. 
Guraba yang memang sangat menyayangi adik seper-
guruannya itu, termenung ketika mendengar ucapan 
tersebut. Jelas sekali ucapan itu mengena di hatinya. Ter-
bukti ia menolehkan kepalanya dengan gerakan perlahan. 
“Lalu, bagaimana dengan Adi Lungga….?” Tanya 
Guraba bagaikan orang bodoh. Padahal, biasanya dia yang 
selalu membimbing adik-adik seperguruannya dalam 
segala hal. Namun kematian Lungga membuat pikiran 
lelaki gagah itu buntu. Ia tidak tahu lagi harus bebuat apa. 
“Terpaksa kita tinggalkan, Kakang. Sebab, jangankan 
membawa beban, untuk menyelamatkan diri sendiri saja 
sudah sangat sulit. Apalagi tenaga yang kita miliki sudah 
semakin susut. Dan, aku yakin Adi Lungga pun dapat 
memaklumi kesulitan kita,” sahut orang ketiga ikut 
menimpali. Wajahnya yang berbentuk persegi dengan 
tarikan bibir menggambarkan kekerasan hatinya itu. 
Meskipun demikian, nada ucapannya terdengar pelan. Biar 
bagaimanapun ia memaklumi seberapa besar rasa sayang 
Guraba terhadap Lungga. 
“Tapi….” Guraba rupanya hendak membantah. Ia masih

merasa berat untuk meninggalkan mayat adik seper-
guruannya yang paling bungsu itu. 
“Kakang! Kita tidak mempunyai waktu lagi! Dan kalau 
memang kita tidak mau meninggalkan tempat ini, biarlah 
kita hadapi mereka bersama-sama! Aku pun tidak takut 
mati dalam menegakkan keadilan!” 
Sambil berkata demikian, lelaki kedua yang bernama 
Pradana itu melangkah dan berdiri tegak di sebalah kanan 
Guraba. 
Mendengar ucapan bernada keras yang jelas mem-
bayangkan kekerasan hati itu, membuat Guraba tersentak 
kaget. Dan, sikap yang ditunjukkan Pradana itu membuat-
nya sadar terhadap ketololan yang dibuatnya. 
“Maafkan aku, adi. Seharusnya aku tidak bersikap 
setolol ini. Mari kita pergi….” Ujar Guraba. 
Dengan perasaan sedih Guraba melangkah meninggal-
kan tempat itu. sesekali kepalanya menoleh ke arah tubuh 
Lungga yag terbujur kaku. Jelas hatinya masih diliputi 
kesedihan yang mendalam dan tidak tega meninggalkan 
mayat adik seperguruannya yang paling bungsu itu. 
Melihat Guraba sudah melangkah hendak meninggal-
kan tempat itu, bergegas kedua orang adik sepergurua-
nnya mengikuti. Kekesalan di wajah Pradana lenyap ketika 
melihat wajah kakak seperguruannya masih diliputi rasa 
duka. 
Sayang, tindakan ketiga orang lelaki gagah itu ter-
lambat! Di hadapan mereka telah berdiri sesosok tubuh 
berjubah kuning pucat! 
“Iblis Muka Mayat…!” 
Seruan Guraba dan Pradana hampir bersamaan. 
Serentak ketiganya melangkah mundur dengan wajah 
pucat! Kehadiran tokoh sesat berwatak iblis itu, melenyap-
kan harapan mereka untuk lolos dari kejarannya. 
“He... he... he…. Mau lari ke mana kalian, Tikus-tikus 
Busuk? Jangan mimpi dapat lolos dari kematian! Karena 
kalian telah mencoba melarikan diri, maka kematian kalian 
semakin menyakitkan,” ujar Sangkuni.

Meskipun ucapan yang dikeluarkannya terdengar 
penuh ancaman, namun wajah lelaki berwajah pucat itu 
terlihat gembira. Seolah-olah ia tidak berhadapan dengan 
musuh, melainkan dengan seorang sahabat. Guraba sudah 
mengetahui keanehan sifat lawannya, tentu saja menjadi 
berdebar tegang! Makin gembira hati lelaki kurus itu, 
semakin menyakitkan cara kematian yang mereka terima. 
Bayang-bayang yang mengerikan itu memenuhi benak 
Guraba dan kedua adik seperguruannya. 
“Ha... ha... ha…. Lihatlah, Anak-anak. Aku akan mem-
berikan tontonan yang menarik untuk kalian,” ucap 
Sangkuni kepada belasan pengikutnya yang telah 
mengepung ketiga pendekar itu. 
Sambil memperdengarkan tawanya yang mengekeh. 
Iblis Muka Mayat mengeluarkan benda kecil berbentuk 
pipih dari lipatan sabuknya. Guraba dan kedua orang adik 
seperguruannya memperhatikan benda yang berada di 
tangan lelaki berwajah pucat itu. Dada mereka berdegup 
keras ketika melihat Sangkuni menempelkan benda kecil 
di bibirnya. 
Sesaat kemudian, terdengarlah siulan lembut bernada 
aneh. Suara itu terus menyelusup ke seluruh hutan dengan 
irama yang sangat asing bagi telinga ketiga pendekar itu. 
Sesaat kemudian, terdengarlah suara berkeresekan di 
sekeliling tempat itu. Denyut jantung ketiga lelaki gagah itu 
berdegup keras! Tampak dari segala penjuru semak 
belukar bermunculan ratusan ekor tikus dan bergerak 
mengurung Guraba serta kedua orang adik seperguruan-
nya. Tentu saja hal itu membuat wajah mereka pucat 
dengan mata terbelalak. 
“Hah….!” 
Ketiga orang pendekar itu gemetar hebat! Ratusan ekor 
tikus ganas itu bergerak ke arah mereka. 
“Ba….bagaimana….ini, Kakang…?” ucap Pradana 
dengan suara gemetar karena rasa ngeri yang men-
cengkeram hatinya, seraya merapatkan tubuhnya ke 
Guraba.

Guraba, lelaki gagah berusia lima puluh tahun 
merupakan orang pertama dari Empat Pendekar Gunung 
Larang, tidak sempat menyahuti ucapan Pradana. Sebab, 
dirinya sendiri tengah dilanda rasa ngeri dan jijik! 
Sangkuni yang menyaksikan ketiga orang pendekar 
yang tengah dilanda ketakutan hebat, tertawa terkekeh-
kekeh. Kemudian ia meniup kembali benda kecil yang 
mengeluarkan irama aneh itu. Serentak ratusan ekor tikus 
buas dengan mata berwarna merah berlompatan dan 
saling berebut menerjang ketiga orang pendekar itu. 
***

EMPAT

"A"Guraba dan Pradana dengan napas 
tersenggal-senggal, serentak menoleh ke 
belakang. Bukan main ngeri hati mereka menyaksikan 
pemandangan itu. 
Tubuh adik seperguruannya yang berada di belakang-
nya, tampak tengah berkelojotan, dikeroyok ratusan ekor 
tikus buas! Sehingga tubuhnya lenyap terselimuti tikus-
tikus yang tengah menjadi gila akibat irama tiupan yang 
masih terus diperdengarkan Sangkuni. 
“Heaaat…!” 
Kedua orang lelaki gagah yang tengah dilanda 
kengerian hebat itu juga tak luput mendapat serangan 
tikus-tikus hutan yang ganas itu, mereka mengibaskan 
kedua tangan dan kakinya. Namun, kawanan tikus-tikus 
buas itu tetap saja menyerangnya meski beberapa di 
antaranya mati akibat pukulan dan tendangan kedua orang 
itu. Binatang-binatang menjijikkan itu terus saja merangsek 
maju menerjang Guraba dan Pradana. 
Di tengah sibuknya Guraba dan Pradana mempertahan-
kan selembar nyawanya dari ancaman tikus-tikus buas itu, 
tiba-tiba melayang sosok bayangan putih menyambar 
lengan kedua orang itu. 
“Haiiit…!” 
Setelah berhasil menangkap lengan Guraba dan 
Pradana, sosok bayangan putih itu berseru nyaring. Tubuh-
nya kembali melambung dan berjumpalitan beberapa kali 
di udara bagai seekor burung raksasa. 
Sosok bayangan putih melayang hingga beberapa 
tombak dari tempat itu. Dengan gerakan yang ringan, 
tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun, sosok tubuh itu men-
daratkan kakinya di tempat yang aman.

Setelah menurunkan tubuh kedua orang lelaki gagah 
yang ditolongnya, tangan sosok bayangan putih itu ber-
kelebat cepat. Beberapa ekor tikus yang masih menempel 
di tubuh Guraba dan Pradana, kontan berjatuhan tewas. 
Tanpa sadar Guraba dan Pradana masih berteriak-teriak 
bagaikan orang gila. Jelas jiwa mereka terguncang dengan 
kejadian yang baru saja mereka alami. 
Menyaksikan kedua orang lelaki gagah itu terus 
menjerit-jerit dan berlompatan bagai orang kerasukan 
setan, kedua tangan sosok berjubah putih itu kembali 
bergerak. Totokan-totokan kilat yang dilancarkannya mem-
buat Guraba dan Pradana melorot jatuh tak sadarkan diri. 
“Kenanga! Bawa kedua orang itu pergi. Biar aku sendiri 
ang menghadapi manusia-manusia jahat itu…!” seru sosok 
berjubah putih kepada dara jelita berpakaian hijau yang 
selebar wajahnya tampak memucat. 
Gadis jelita yang bernama Kenanga itu, melangkah 
maju meski hatinya diliputi rasa jijik. Rupanya terguncang 
juga pendekar jelita itu ketika melihat ratusan ekor tikus 
buas bergerak ke arah mereka. 
Sosok berjubah putih yang sudah pasti Panji yang 
berjuluk Pendekar Naga Putih itu, bergegas menyambar 
Guraba dan Pradana. Lalu, dihampirinya Kenanga yang 
tengah melangkah ragu. Diberikannya tubuh kedua orang 
lelaki itu kepada kekasihnya. 
“Kenanga, pergilah dan cari tepat yang aman. Aku akan 
mengacaukan binatang-binatang menjijikkan itu. Kalau 
tidak, mereka akan mengejar kita terus,” ujar Panji yang 
segera membalikkan tubuhnya menghadapi ratusan ekor 
tikus yang hanya tinggal tiga tombak di depannya. 
“Hmh…!” 
Terdengar geraman lirih dari mulut pemuda tampan itu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya 
bergerak saling susul menyusul melancarkan pukulan jarak 
jauh! 
Blarrr…! 
Ledakan keras terdengar saling susul menyusul, ketika
pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Pendekar 
Naga Putih memporak porandakan tikus-tikus buas itu. 
Dan serentak puluhan ekor tikus buas terlempar dalam 
keadaan tak berbentuk. Darah segar memercik dan 
menebarkan bau amis yang memualkan perut. 
Rupanya binatang-binatang menjijikkan itu merasa 
getar juga terhadap amukan Pendekar Naga Putih. Mereka 
berhenti bergerak dan matanya menatap tajam ke arah 
pemuda tampan berjubah putih itu. 
Namun irama siulan yang kembali dialunkan Sangkuni, 
membuat ratusan ekor tikus itu tersentak gelisah. 
Meskipun demikian, binatang-binatang buas itu tak 
satupun menyerang Pendekar Naga Putih. Seolah-olah 
naluri mereka menangkap adanya bahaya yang terpandar 
dari tatapan mata pemuda tampan berjubah putih. 
Sehingga, tikus-tikus buas itu hanya berkeliaran di depan 
Pendekar Naga Putih dengan gerakan gelisah. 
Pendekar Naga Putih sadar, ratusan tikus itu menjadi 
buas dan liar karena siulan dari lelaki kurus berwajah 
pucat itu. Maka, ia segera bergegas melompat ke arah 
Sangkuni. Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung 
melancarkan serangan berbahaya ke arah Iblis Muka 
Mayat! 
Wuuut…! Wuuut…! 
Sangkuni yang semula menganggap remeh pemuda 
tampan berjubah putih itu, tentu saja menjadi terkejut 
setengah mati! Hembusan angin pukulan yang menderu 
itu, membuat Sangkuni sadar bahwa serangan pemuda 
tampan berjubah putih itu tidak bisa dianggap main-main. 
Tubuhnya segera bergerak ke kirimenghindari hantaman 
telapak tangan lawan. Namun gerakan yang dilakukan Iblis 
Muka Mayat itu terlambat. Sehingga, sebuah tamparan 
yang menyusul hantaman telapak tangan mendarat telak di 
bahu Iblis Muka Mayat! 
Desss…! 
Pukulan keras itu membuat tubuh Sangkuni ter-
jengkang, hingga dua batang tombak jauhnya. Tokoh

termuda dari Empat Iblis Lembah Beracun itu menjerit 
kesakitan. Wajahnya yang pucat nampak semakin putih. 
“Keparat! Kulumat tubuhmu, Pemuda Setan!” maki 
Sangkuni. 
Iblis Muka Mayat itu menjadi berang karena merasa 
dipermainkan seorang anak muda di hadapan pengikutnya. 
Kalau saja tokoh sesat Empat Iblis Lembah Beracun itu 
tidak mengalaminya sendiri, mungkin ia tidak dapat mem-
percayai begitu saja. Ia yang merasa selama ini selalu 
mengagulkan kepandaiannya, ternyata dapat dipecundangi 
lawannya dalam segebrakan saja. Padahal, kalau dilihat 
dari usia lawannya, paling banyak sekitar dua puluh tahun 
atau lebih sedikit. Kenyataan itu yang membuat dirinya 
terpaku dan malu. 
“Sebutkan namamu, sebelum tubuhmu kulumat 
hancur!” bentak Sangkuni sambil menatap tajam sosok 
pemuda tampan berjubah putih yang berdiri beberapa 
langkah di hadapannya. 
Mendadak wajah Sangkuni tegang ketika sepasang 
matanya meneliti sosok tubuh di depannya. Sejenak lelaki 
berwajah pucat itu merayapi sekujur tubuh Panji dengan 
kening semakin berkerut. Hatinya berdebar tegang setelah 
mengetahui ciri-ciri pemuda tampan di depannya, persis 
dengan gambaran seorang pendekar muda digdaya yang 
didengarnya berjuluk Pendekar Naga Putih. Bayangan 
Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba 
persilatan itu, membuat Sangkuni melangkah mundur. 
Tokoh termuda Empat Iblis Lembah Beracun itu 
menggertakkan giginya kuat-kuat. Diusirnya bayangan 
Pendekar Naga Putih yang telah menciutkan nyalinya. 
Sangkuni tidak percaya sebelum menyaksikan sendiri ciri-
ciri terakhir dari pendekar muda yang memiliki kesaktian 
yang menggiriskan itu. Lapisan kabut bersinar putih 
keperakan pada tubuh pemuda di depannya tidak terlihat, 
membuat keberanian Iblis Muka Mayat kembali muncul. 
“Hm…. Seharusnya akulah yang bertanya demikian 
kepadamu, Kisanak. Siapakah kau? Dan mengapa kau

ingin membunuh mereka dengan cara yang sangat 
kejam?” tanya Panji dengan sinar mata mencorong tajam. 
Sikap Pendekar Naga Putih itu terlihat tetap tenang, 
meskipun ia sadar bahwa lelaki tinggi kurus berwajah 
pucat itu merupakan seorang ahli racun yang tidak ada 
bandingannya. Belum lagi benda kecil yang berada di 
tangannya yang dapat membuat binatang-binatang men-
jijikkan seperti tikus-tikus hutan itu menjadi buas dan 
patuh terhadap perintahnya. Kepandaian yang sangat 
jarang dimiliki tokoh-tokoh persilatan lainnya. 
“Bangasat! Rupanya kau pendekar usilan yang suka 
mencampuri urusan orang lain! Kalau itu maumu, kubikin 
mampus kau!” geram Sangkuni yang langsung mengibas-
kan lengan kanannya dengan gerakan tak terduga. 
Melihat cara lawannya melontarkan serangan, 
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya. Jelas lelaki 
tinggi kurus itu hendak berlaku curang dengan memancing 
lawannya melalui pembicaraan dan makian. Maka, apabila 
lawan lengah, ia melontarkan serangan dengan gerakan 
yang sangat mendadak sekali. Dan hal itu sama sekali 
tidak disukai Pendekar Naga Putih. 
Sepasang mata Panji mengeluarkan sinar berapi ketika 
melihat puluhan jarun-jarum halus yang mengandung 
racun, meluncur ke arahnya. 
“Hiiih…!” 
Sambil menggertak marah, Pendekar Naga Putih 
mendorongkan telapak tangan kanannya ke depan. 
Serangkum angin pukulan berhawa dingin menusuk, 
menderu memapaki puluhan batang jarum beracun itu. 
Pyaaar…! 
Jarum-jarum beracun yang sedianya hendak merejam 
tubuh Pendekar Naga Putih, langsung terpukul balik! Dan 
kini meluncur deras mengancam pemiliknya, si Iblis Muka 
Mayat! 
“Aaah…!” 
Tentu saja kenyataan itu kembali membuat Sangkuni 
terperangah pucat! Bukan berbaliknya jarum-jarum itu yang

membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut. Melainkan bentuk 
jarum-jarum itulah yang membuatnya terperanjat. Sebab, 
senjata-senjata beracun yang dilontarkan tadi, kini berbalik 
dalam keadaan memecah menjadi tiga bagian. 
Sangkuni sadar, pemuda tampan yang kinii tengah ber-
hadapan dengannya, jelas bukan pemuda sembarangan. 
Sebab, hanya tokoh-tokoh tingkat tinggi sajalah yang dapat 
melakukan hal itu, tapi pemuda tampan yang usianya 
masih sangat muda itu, ternyata mampu mengatur 
kekuatan tenaganya melalui jarum-jarum itu. 
Ketika jarum-jarum beracun itu mendekati tubuhnya, 
Sangkuni segera melempar tubuh ke samping dan 
langsung berguling. Begitu tubuhnya melenting bangkit, 
tokoh sesat ahli racun itu langsung meniup benda pipih di 
tangannya. Siulan aneh yang membangkitkan kebuasan 
tikus-tikus hutan itu pun kembali terdengar. 
Melihat tikus-tikus hutan yang diam mematung itu 
kembali bergeark liar, bergegas Pendekar Naga Putih 
melesat ke arah Sangkuni. Sepasang tangan Pendekar 
Naga Putih langsung mengirimkan dua buah serangan 
sekaligus! 
Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, tokoh ter-
muda Empat Iblis Lembah Beracun itu melompat ber-
gulingan. Ketika Sangkuni bangkit hatinya terkejut melihat 
sepasang tangan lawan masih terus mengejar dan meng-
ancam tubuhnya. Tidak ada kesempatan untuk meng-
hindari, maka dia nekat memapak serangan yang meng-
arah ke lehernya. 
Plakkk! Brettt! Desss….! 
“Ughhh…!” 
Sangkuni tidak menduga gerakan lawan sangat cepat! 
Selagi tubuhnya terhuyung, benda di tangannya langsung 
direbut pemuda tampan berjubah putih. Bahkan, sebuah 
hantaman telapak tangan kiri pemuda tampan itu meng-
hajar telak dadanya. Sangkuni pun terjungkal hingga dua 
batang tombak jauhnya. Darah segar muncrat dari mulut 
lelaki tinggi kurus itu. Sekujur tubuhnya menggigil hebat

akibat ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang merasuk ke 
dalam tubuhnya. 
“Huaaakh…!” 
Darah kental berwarna merah pekat kembali muncrat 
dari mulut Iblis Muka Mayat. Setelah itu, tubuhnya 
meregang, berkelojotan dan diam tak bergerak lagi. Tewas! 
Belasan orang lelai berpakaian serba hitam yang 
semenjak tadi hanya berdiri terpaku, tersentak kaget! 
Mereka hampir tidak percaya kalau pemimpinnya yang 
berkepandaian sangat tinggi itu, tewas di tangan seorang 
pemuda tampan yan tidak mereka kenal. 
Pendekar Naga Putih tahu belasan orang itu hanya 
keroco-keroco Sangkuni. Karenanya mereka dibiarkan 
hidup. 
“Sampaikan kepada pemimpinmu yang lain. Katakan 
bahwa Pendekar Naga Putih telah membunuh saudara-
nya,” ujar Panji lantang. “Bawa mayat pemimpin kalian ini!” 
lanjut Panji. 
Dengan sikap takut-takut empat laki-laki berseragam 
hitam itu segera mengangkat mayat Sangkuni, dan mem-
bawanya pergi dari hutan itu. 
Sepeninggalan belasan orang lelaki berpakaian serba 
hitam itu, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya 
meninggalkan hutan Keranggan. Sekali berkelebat saja, 
tubuh pemuda tampan itu lenyap di balik lebatnya 
pepohonan hutan itu. 
***

LIMA

SOSOK tubuh yang mengenakan jubah berwarna putih 
itu, terus mempercepat larinya menuju arah selatan 
Hutan Keranggan itu. Begitu tiba di luar hutan, sosok 
tubuh berjubah putih itu melesat menyusuri jalan lebar 
yang berbatu-batu. 
Tidak berapa lama kemudian, tibalah ia di sebuah 
gubuk kecil di tepi sungai. Tanpa mengetuk pintu, ia 
langsung memasuki gubuk itu. 
“Ah, kiranya kau, Kakang. Mengapa kau tidak memberi 
tanda-tanda sebelum masuk?” tegur gadis jelita kepada 
pemuda tampan berjubah putih. Ia melintangkan pedang-
nya di depan dada. Jelas kedatangan sosok berjubah putih 
yang tidak lain dari Panji si Pendekar Naga Putih itu telah 
membuatnya terkejut. 
Pendekar Naga Putih tertawa kecil melihat wajah gadis 
jelita itu cemberut. Dilangkahkan kakinya mendekati dua 
balai-balai bambu yang telah reot. Lalu tubuhnya mem-
bungkuk, diperiksanya dua sosok tubuh lelaki yang tengah 
terbaring di atas balai-balai bambu itu. 
“Hm….keadaan mereka cukup parah, Kenanga. Jelas 
mereka tidak mungkin sembuh dalam waktu dekat. Racun 
yang merasuk ke dalam tubuhnya sangat aneh. Untung 
daya kerja racun ini sangat lambat. Kalau tidak akibatnya 
sangat mengerikan,” ujar Panji setelah memeriksa 
keadaan Guraba dan Pradana. 
“Benar, Kakang. Aku sendiri belum mengetahui jenis 
racun yang mengeram dalam tubuh mereka. Bagaimana 
dengan Kakang? Apakah sudah dapat mengetahui jenis 
racun itu?” tanya Kenanga sambil menatap wajah kekasih-
nya dengan penuh harap. Sebab ia tahu bahwa kepandai-
an ilmu pengobatan Pendekar Naga Putih sudah sangat 
tinggi.

“Hhh…sayang akupun belum mengethuinya secara 
pasti. Kabar yang kita dengar dalam perjalanan itu ternyata 
benar. Orang-orang Lembah Beracun itu telah keluar dari 
tempat kediamannya. Dan kini mereka mulai menebarkan 
bencana. Entah apa yang dialami penduduk desa itu? ingin 
rasanya aku menyelidiki desa itu,” ujar Panji sambil 
melepaskan pandangannya keluar pintu. 
“Lalu, bagaimana dengan kedua orang itu, Kakang? 
Apakah merka akan kita tinggalkan begitu saja?” tanya 
Kenanga ketika melihat sinar mata kekasihnya yang 
menyiratkan keinginan hatinya. 
“Hm…. begini saja. Kita cari desa terdekat untuk 
menitipkan kedua pendekar ini. Setelah itu, kau bisa 
mengobati mereka dengan tenang. Karena pengobatan ini 
membutuhkan waku cukup lama. Aku berharap kau suka 
merawatnya. Dan aku sendiri akan pergi menyelidiki Desa 
Keranggan, bagaimana? Apakah kau setuju dengan 
pendapatku?” tanya Panji sambil menatap wajah kekasih-
nya lekat-lekat. 
Sejenak gadis jelita itu terdiam. Kemudian, kakinya me-
langkah ke arah pintu gubuk yang terbuka ebar. Sambil 
menyandarkan tubuhnya di pintu gubuk itu, Kenanga 
melepaskan pandangannya ke arah cakrawala biru. Jelas 
sekali kalau dara jelita itu merasa sangat berat untuk ber-
pisah dengan kekasihnya. 
Pendekar Naga Putih segera menghampiri gadis jelita 
yang termenung memikirkan usulnya itu. Dipeluknya tubuh 
Kenanga erat-erat dari belakang. Hingga beberapa saat 
lamanya kedua pendekar muda itu terdiam tanpa kata. 
“Mengapa kita harus berpisah karena persoalan ini, 
Kakang? Kalau pengobatan ini hanya beberapa hari, 
bukankah Kakang bisa menunggu? Setelah itu, baru kita 
bersama-sama menyelidiki Desa Keranggan,” ucap 
Kenanga dengan suara lirih. Sementara pandangannya 
tetap tertuju ke langit biru. 
“Aku bisa saja mengunggu sampai kedua orang itu 
sembuh. Tapi, apakah iblis-iblis itu tidak melakukan

kejahatan selama beberapa hari itu? Ingat, Kenanga. Kita 
dilahirkan sebagai pendekar-pendekar yang tidak boleh 
mengutamakan kepentingan sendiri. Dan kita harus rela 
mengenyampingkan kepentingan pribadi demi ke-
selamatan orang banyak. Apakah kau telah lupa, atau 
sengaja tidak mau mengingat segala wejangan yang 
pernah diberikan guru kita?” ujar Panji menekan nada 
suaranya agar tetap lembut dan tidak menyinggung 
perasaan kekasihnya itu. 
“Apa yang kau katakan itu benar, Kakang. Aku sadar 
dengan jalan hidupku yang telah digariskan untuk kita. 
Tapi, mengingat Kakang menghadapi bahaya seorang diri, 
rasanya aku tidak bisa membayangkan. Aku takut 
kehilangan kau, Kakang. Hanya Kakanglah satu-satunya 
tempat aku menggantungkan harapan untuk mengarungi 
hidup di dunia ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, 
Kakang. Aku tidak sanggup membayangkan hari-hari tanpa 
adanya Kakang di sisiku. Maafkan aku, Kakang. Entah 
mengapa hatiku menjadi lemah ketika Kakang mengata-
kan akan pergi sendiri dalam menempuh bahaya itu,” 
suara dara jelita yang parau itu berganti dengan isak lirih. 
Membuat Panji terharu. 
Pendekar Naga Putih tidak berkata-kata sama sekali, 
hanya pelukannya saja dipererat, menandakan betapa ia 
sayang terhadap kekasihnya itu. Hatinya sangat berat 
untuk berpisah dengan kekasihnya. Tapi, tugas yang 
diemban sebagai seorang pendekat menuntutnya untuk 
mengutamakan kepentingan orang banyak. Dan panggilan 
itu tidak bisa dihindari. 
Entah berapa lama kedua pendekar itu tenggelam 
dalam pelukan. Setelah isak Kenanga reda, Pendekar Naga 
Putih mengangkat wajah kekasihnya. Dihapusnya sisa air 
mata yang membasahi pipi kekasihnya. Lalu dia menatap 
lekat-lekat mata kekasihnya. 
“Kapan Kakang akan pergi menyelidiki keadaan Desa 
Keranggan itu?” tanya Kenanga yang sudah dapat mem-
bedakan antara kepentingan dirinya dengan orang banyak.

Di wajah dara jelita itu mengembang senyum tulus. 
Sepasang mata yang bulat dan jernih kembali bercahaya. 
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dia hanya 
mengecup bibir kekasihnya dengan penuh kasih sayang. 
Jelas Pendekar Naga Putih tengah berusaha untuk me-
yakinkan kekasihnya itu. 
Kenanga sama sekali tidak mengelak ketika Pendekar 
Naga Putih mengecup bibirnya. Bahkan gadis jelita itu 
membalas dengan hangat. Seolah-olah ia ingin menumpah-
kan segala kerinduan hatinya. Kenanga tidak ingin 
melepaskan pelukan kekasihnya. 
“Cukup, Kenanga….” Desah Panji sambil melepaskan 
kecupannya. “Aku takut kita terbakar. Sabaiknya, kita 
segera membawa kedua orang itu ke desa yang terdekat 
dari tempat ini,” ucap Panji sambil melepaskan pelukan 
kekasihnya. 
Kenanga mengangguk tanpa kata. Diam-diam ia 
merasa berterima kasih kepada kekasihnya. Sebab, apa 
yang dikatakan pemuda tampan itu sama sekali tidak 
meleset. 
“Ayolah, tunggu apa lagi….?” Ajak Panji yang sudah 
membawa tubuh Guraba dan Pradana di atas bahunya. 
Sebentar kemudian, keduanya pun sudah melesat 
meninggalkan gubuk kecil itu. 
*** 
Sang malam sudah menampakkan kekuasaannya. 
Bulan sepotong yang menggantung di langit kelam itu, 
menebarkan cahaya temaram. Bintang di langit tampak 
berkedip bagaikan mata dara remaja yang tegah dilanda 
cinta. 
Saat itu, sesosok bayangan putih berkelebatan 
melintas perkebunan menuju Desa Keranggan. Pepohonan 
yang tumbuh dengan teratur, membuat sosok bayangan 
puith itu terkadang lenyap, kemudian muncul bagaikan 
bayangan hantu yang dapat menghilang dari pandangan

mata. 
Sosok bayangan putih itu terus bergerak. Kali ini tubuh-
nya berlompatan daru satu atap rumah ke atap lainnya. 
Jubahnya yang panjang berwarna putih itu, menimbulkan 
kesan seram bagi seorang yang berjiwa penakut. Apalagi 
gerakan sosok tubuh itu demikian cepat dan tanpa 
menimbulkan suara. 
Tidak berapa lama kemudian, sosok bayangan putih itu 
menhentikan larinya. Tubuhnya berdiri tegak di atas 
sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah 
penduduk lainnya. Sepasang matanya tampak emncorong 
tajam, membuat bulu tengkuk orang yang kebetulan 
melihatnya akan berdiri. Merinding. Hal itu wajar saja. 
Sebab, pancaran mata sosok bayangan berjubah putih itu 
memang sanggup menggetakan hati seorang lelaki yang 
paling pemberani sekalipun! 
“Aneh. Mengapa desa ini nampak sepi sekali? Padahal, 
hari belum terlalu larut? Di pelataran rumah besar yang 
merupakan kediaman kepala desa ini tidak terlihat ada 
penjaga? Hm…. Suasana sunyi yang mencurigakan!” 
gumam sosok tubuh berjubah putih itu sambil mengedar-
kan pandangannya berkeliling. 
Setelah menanti agak lama, keadaan tetap tidak 
berubah, sesosok tubuh itu bergerak turun dari atas atap. 
Namun gerak kakinya tertahan ketika lamat-lamat 
telinganya menangkap suara isak lirih dari salah satu 
kamar rumah itu. 
Sosok berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar 
Naga Putih, tertegun sejenak. Jelas ia hendak memastikan 
dari mana asal suara isak tangis lirih itu. Begitu dapat 
memastikan sumbernya, ia pun segera melayang turun 
melalui bagan belakang rumah besar itu. 
Setelah tiba di bawah, Pendekar Naga Putih langsung 
bergerak menyelinap di tempat-tempat yang agak ter-
sembunyi. Kemudia ia terus bergerak menuju asal suara 
yang didengarnya. Langkah kaki Pendekar Naga Putih 
mengarah ke sebuah ruangan cukup luas, tanpa

penerangan. Sehingga keadaan di tempat itu sangat gelap 
sekali. 
Namun kegelapan itu sama sekali tidak mengganggu 
penglihatan Pendekar Naga Putih. Sebagai seorang tokoh 
yang memiliki kepandaian yang sukar diukur, dengan 
mudah ia melihat segala yang ada di dalam ruangan itu. 
Dikerahkannya sedikit tenaga sakti, dengan begitu sekali-
pun keadaan itu tanpa disirami secercah cahaya. 
Sesosok tubuh ramping tampak terikat di sebuah kursi, 
membuat kening Pendekar Naga Putih berkerut. Pendekar 
Naga Putih bukan tidak tahu kalau itu merupakan sebuah 
perangkap untuknya. Dan sudah diketahuinya semenjak 
awal. Karena indera keenam pemuda itu dapat merasakan 
adanya bahaya yang tengah mengintainya. Tapi rasa 
kasihan melihat penderitaan gadis yang terikat di kursi, 
membuat ia tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. 
“Hm…. Betapa cerobohnya mereka menggunakan 
perangkap seperti ini. Kalau aku mau, betapa mudahnya 
menyelamatkan gadis itu dan pergi meninggalkan tempat 
ini,” gumam Panji yang diam-diam merasa curiga dengan 
jebakan sederhana itu. 
Maka, sambil mengerahkan tenaga untuk melindungi 
dirinya dari serangan gelap, pemuda tampan itu melangkah 
ke arah sosok tubuh ramping yang tengah berusaha 
melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya. 
“Tuan….tolonglah bebaskan aku…. Bawalah aku pergi 
dari tempat terkutuk ini…” ratap wanita itu sambil menatap 
sosok tubuh yang semakin mendekat. 
Pendekar Naga Putih terkejut dengan wanita yang 
minta pertolongan kepada dirinya. Karena dalam suasana 
gelap gulita, wanita yang tubuhnya diikat di kursi itu 
mampu melihatnya dengan jelas. Namun setelah ia 
menyadari warna pakaian yang dikenakannya dapat 
terlihat jelas dalam kegelapan, membuat kecurigaannya 
berkurang. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tetap 
waspada dan tidak melepaskan tenaga pelindung di 
sekujur tubuhnya.

“Tenanglah, Nyai. Aku akan membebaskanmu,” sahut 
Panji berbisik sambil mendekati sosok tubuh wanita itu. 
Ketika Pendekar Naga Putih berada di depan sosok 
wanita itu, bergegas ia mengulurkan tangan hendak 
melepaskan ikatan yang membelit tubuh tawanan wanita 
itu. 
Namun sungguh di luar duggan Pendekar Naga Putih! 
Wanita itu tiba-tiba melontarkan pukulan yang 
menimbulkan deruan angin keras! Bahkan sambaran angin 
pukulan itu disertai hawa busuk yang memualkan perut! 
Wusss…! 
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika 
diserang secara mendadak! Jarak yang sangat dekat itu, 
sangat menyulitkan Pendekar Naga Putih untuk meng-
hindar! Sehingga, pukulan wanita itu telak menghajar dada-
nya! 
Desss…! 
“Aiiih…!” 
Hantaman jarak dekat yang sangat kuat itu, membuat 
tubuh Pendekar Naga Putih terlempar hingga dua batang 
tombak! Dinding tebal yang berada di belakangnya, kontan 
jebol dihantam tubuh pemuda tampan itu. 
Brolll…! 
Terdengar suara hiruk pikuk ketika dinding tebal di 
belakang Pendekar Naga Putih ambrol. Sedangkan tubuh 
pemuda tampan itu terus meluncur menembus dinding 
hingga ke luar ruangan. 
Namun wanita yang melontarkan pukulan ke tubuh 
Pendekar Naga Putih tidak terlepas dari rasa kaget! Tubuh 
Panji yang telah terlindung tenaga sakti itu, membuatnya 
memekik tertahan! 
Tubuh ramping itu pun terjengkang keras ke belakang! 
Bahkan kursi yang didudukinya hancur akibat dorongan 
yang amat kuat. Wanita itu cepat bengkit berdiri sembari 
meringis. Tangan kanannya yang melontarkan pukulan 
keras tadi, dipijatnya sambil menyeringai menahan rasa 
nyeri.

“Keparat! Pemuda itu ternyata sangat cerdik! Ia pasti 
telah melindungi seluruh tubuhnya dengan tenaga sakti. 
Benar-benar pandai dia,” umpat wanita bertubuh tinggi 
langsing itu sambil tetap memijat pergelangan tangan 
kanannya yang terasa linu. 
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sudah bangkit 
berdiri, menahan rasa sesat di dadanya. Cairan merah 
tampak mengalir di sudut bibirnya. Jelas pemuda tampan 
itu menderita akibat hantaman pada dadanya itu. Untung-
lah, sebelumnya ia telah melindungi tubuhnya dengan 
tenaga sakti yang dimilikinya. Kalau tidak, mungkin saat itu 
ia sudah tewas. 
Pendekar Naga Putih yang ketika bangkit berdiri sudah 
terkepung puluhan orang, cepat-cepat memusatkan pikiran 
dan mengerahkan ‘Tenaga Panas Bumi’ yang berasa dari 
Pedang Naga Langit. Untuk mengetahui apakah tenaga 
pukulan lawannya mengandung racun. Dan Pendekar Naga 
Putih sadar kalau dirinya terkena racun. Saat pemuda 
tampan itu berusaha melenyapkan pengaruh racun dalam 
tubuhnya. Tiba-tiba terdengar teriakan lantang mengejut-
kan dirinya! 
“Seraaang…!” 
Suara teriakan yang dilakukan dengan pengerahan 
tenaga dalam tingkat tinggi itu, membuat Pendekar Naga 
Putih tersentak kaget. Cepat ia melompat guna meng-
hindari beberapa mata tombak yang mengancam tubuh-
nya. 
“Hiaaah…!” 
Begitu mata-mata tombak yang berkilat lewat dan 
mengenai tempat kosong, Pendekar Naga Putih mem-
bentak nyaring dengan disertai kibasan tangannya. 
Terdengar jeritan ngeri saat sambaran angin kibasan 
pemuda tampan itu telak mengenai dada mereka, mem-
buat enam orang penyerangnya terjungkal dan tewas! 
Pendekar Naga Putih berusaha meloloskan diri dari 
kepungan lawan, karena kesehatannya belum pulih. Dia 
tak menduga kalau tokoh-tokoh Lembah Beracun memiliki
banyak pengikut. 
Pendekar Naga Putih melompat dan bersalto ke 
belakang, guna menghindari sambaran mata pedang dan 
ujung tombak lawan. Ia segera melontarkan satu dua 
pukulan untuk merobohkan pengeroyoknya tanpa harus 
membunuh. Namun apa yang dilakukan Pendekar Naga 
Putih itu terbaca oleh tokoh Lembah Beracun. Memang 
Pendekar Naga Putih tidak berniat untuk menewaskan 
para pengikut Empat Iblis Lembah Beracun. Maka mereka 
segera melancarkan serangan, sehingga membuat pemuda 
tampan itu menjadi repot! 
“Yeaaat…!” 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Sekali menyerang, lelaki berjubah biru gelap melancar-
kan serangkaian pukulan ke arah bagian terlemah di tubuh 
Pendekar Naga Putih. Hembusan angin berbau amis, 
menyertai serangan lelaki berjubah biru gelap itu. 
Pendekar Naga Putih mengeluarkan ilmu ‘Silat Naga 
Sakti’nya. Karena salah satu cara untuk lolos dari 
kepungan adalah merobohkan para pemimpinnya. Maka, 
serangan lelaki bejubah biru gelap segera dipapak 
Pendekar Naga Putih dengan menggunakan tangan kiri. 
Sedang tangan kanannya siap melontarkan pukulan 
balasan secara tak terduga ke tubuh lawannya. 
Plakkk! 
“Uhhh…!” 
Tangkisan Pendekar Naga Putih dialiri kekuatan 
‘Tenaga Gerhana Bulan’ itu, membuat Gumilang memekik 
tertahan! Tubuh lelaki tinggi tegap itu terlempar beberapa 
tombak jauhnya hingga menabrak tubuh pengikutnya. Dan 
mereka pun terbanting jatuh saling tindih. 
Jatuhnya Gumilang tentu saja membuat peluang 
Pendekar Naga Putih puntuk mengirimkan serangan 
mematikan! Pukulan tangan kanannya meluncur disertai 
hembusan angin dingin yang membekukan tubuh! 
“Haiiit…!” 
Seruan nyaring yang disertai serangkum angin berbau

amis, membuat Pendekar Naga Putih menarik pulang 
serangannya. Cepat tubuh pemuda tampan itu berputar 
setengah lingkaran dan langsung mengirimkan tamparan 
ke arah penyerang di samping kirinya. 
Plakkk! Plakkk! 
Suara pekik tertahan terdengar dari mulut seorang 
wanita, ketika pukulannya berhasil ditangkis Pendekar 
Naga Putih. Tubuh wanita itu terdorong mundur. 
“Haiiit…!” 
Sambil berseru nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih 
melambung melewati kepala para pengepunngya. 
Kemudian berjumpalitan beberapa kali di udara guna 
membebaskan diri dari kepungan lawan. 
Namun sebelum tubuh pemuda tampan itu sempat 
mendarat ke tanah, sosok bayangan merah menyusulinya 
dan langsung melontarkan tendangan keras ke bagian 
belakang tubuh Pendekar Naga Putih! 
Desss…” 
“Ughhh…!” 
Tendangan sosok tubuh berjubah merah itu, telak 
menghantam tubuh bagian belakang Pendekar Naga Putih. 
Sehingga, tubuh yang tengah mengapung itu, terlempat 
deras sejauh lima batang tombak! 
Tapi, Pendekar Naga Putih masih mampu mengatur 
keseimbangan tubuhnya. Hingga, tubuhnya tidak sampai 
terbanting. Pendekar Naga Putih menjejakkan kedua kaki-
nya dengan baik, meski tubuhnya agak limbung. 
Rasa nyeri di bagian belakang tubuhnya, membuat 
pemuda tampan itu menyeringai kesakitan. Lelehan darah 
mengalir dari sela bibirnya, segera dihapus dengan 
menggunakan lengan punggunngya. Lalu, ia kembali ber-
siap menghadapi lawan yang mengepungnya. 
***

ENAM

KEPUNGAN yang kembali merapat itu, membuat 
kemarahan Pendekar Naga Putih bangkit. Apalagi 
saat itu ia sudah menderita luka-luka akibat pukulan 
dan tendangan tokoh Lembah Beracun. Tentu saja semua 
itu membuatnya naik pitam. 
“Heaaah…!” 
Terdengar bentakan menggeledek keluar dari mulut 
Pendekar Naga Putih! Orang-orang berpakaian serba hitam 
yang mengurunngya, terjungkal roboh dalam keadaan 
pingsan! Sementara orang-orang yang memiliki kepandaian 
rendah, langsung tewas! 
Bentakan yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu, 
membuat pembuluh darah mereka pecah! Kontan para 
pengepungnya berlarian menjauh. Belum lagi hilang rasa 
terkejut di hati mereka, kejutan lain kembali diperlihatkan 
Pendekar Naga Putih. Tahu-tahu di tangan pemuda tampan 
berjubah putih itu telah tergenggam sebilah pedang. 
Kilauan bercahaya kuning keemasan berpendar dari 
pedang itu. 
“Pedang Naga Langit…..!?” 
Terdengar seruan kaget bercampur kagum dari tokoh 
Lembah Beracun. Mereka pun mendengar tentang pedang 
mukjizat yang telah menggemparkan dunia persilatan. 
Maka tak mengherankan bila tokoh Lembah Beracun ter-
longong-longong sambil matanya menatap pedang mukjizat 
di tangan Pendekar Naga Putih! 
“Gila dari mana datangnya pedang itu…? Padahal, aku 
sama sekali tidak melihat pemuda itu menyandang 
pedang…?” seru Lawa Gurintang yang merasa heran bukan 
main dengan keberadaan pedang tanpa diketahui dari 
mana pemuda tampan itu mencabutnya. 
“Entahlah! Pedang mukjizat itu muncul begitu saja

seiring dengan suara bentakan yang dikeluarkannya. 
Benar-benar aneh dan sulit untuk dipercaya!” desah 
Gumilang yang juga tidak mengerti bagaimana pedang itu 
berada dalam genggaman Pendekar Naga Putih. 
“Pemuda itu benar-benar sangat mengagumkan sekali! 
Sayang, ia seorang musuh yang sangat berbahaya. Kalau 
tidak, senang sekali memiliki seorang kekasih yang 
menguasai kepandaian yang sangat tinggi dan langka itu,” 
ucap seorang wanita cantik bertubuh langsung dan 
menggiurkan. 
“Kau ini ada-ada saja, Nini Lawang. Dalam keadaan 
seperti ini, masih saja kesenanganmu yang kau pikirkan,” 
sahut Lawa Gurintang yang tidak senang mendengar 
wanita cantik itu memuji-muji musuhnya. 
Teguran itu disambut Nini Lawang dengan tawa yang 
dibuat-buat. Lagak wanita yang berusia sekitar tiga puluh 
tahun itu, makin menambah daya pikat. Semua gaya yang 
diperlihatkannya mengundang hasrat birahi laki-laki. Dari 
sikap dan lagaknya, jelas wanita cantik itu merupakan 
seorang yang diperbudak nafsu. 
Lawa Gurintang menjadi gemas melihat kegenitan 
wanita itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun 
usianya lebih muda dari dirinya, namun dalam urusan 
Perguruan Lembah Beracun, wanita itu terhitung bibi 
gurunya. Maka, iapun tidak meladeninya lagi. Hanya 
wajahnya yang makin memerah. Pertanda bahwa hati 
lelaki berjubah merah darah itu sedang kesal. 
“He, Lawa Gurintang. Bagaimana kalau pemuda itu kita 
tangkap saja hidup-hidup? Dia pasti akan menjadi menurut 
bila telah kutangani.” Usul Nini Lawang sambil terkekeh 
genit. 
Pendekar Naga Putih sempat mendengar ucapan itu, 
menjadi merah selebar wajahnya. Ia sadar betul apa 
maskud ucapan ‘menundukkan’ yang dilontarkan wanita 
genit itu. 
“Hm… Rupanya wanita itulah yang telah mengelabuiku. 
Entah apa hubungannya dengan tokoh-tokoh Lembah

Beracun itu?” gumam Pendekar Naga Putih yang menatap 
wanita cantik itu dengan penuh selidik. 
“Jangan, Nini. Pemuda itu sangat berbahaya sekali. 
Sebaiknya, kita segera lenyapkan saja, sebelum ia 
menimbulkan kesulitan lebih besar bagi kita,” sahut Lawa 
Gurintang yang tidak menyetujui usul Nini Lawang. 
Kawatir kalau-kalau wanita cantik itu akan berulah, ber-
gegas lelaki tinggi besar berjubah merah itu melompat 
sambil memberikan aba-aba kepada para pengikutnya. 
“Seraaang…!” 
Suara teriakan Lawa Gurintang disusul dengan 
melesatnya tubuh Gumilang dan Suro Lejang. Sedangkan 
para pengikut tokoh Lembah Beracun itu tak satupun 
bergerak maju. Lawa Gurintang menjadi marah dan berang. 
“Keparat! Mengapa kalian diam saja? Apa kalian ingin 
kuhukum?” bentak Lawa Gurintang memandang para 
pengikutnya dengan sinar mata yang menyiratkan maut! 
Mendengar ancaman itu, wajah para pengikut tokoh-
tokoh Lembah Beracun itu menjadi pucat. Namun ketika 
mereka memandang ke arah pemuda tampan berjubah 
putih itu, yang berdiri angker dengan pedang di tangannya, 
mereka menjadi ragu. Hati mereka gentar. Sehingga tidak 
ada satu pun orang-orang berpakaian serba hitam itu 
bergerak maju. 
“Bangsat! Kalian sama sekali tak berguna, mampuslah 
kau,” teriak Lawa Gurintang mengibaskan tangannya ke 
depan. 
Jerit kematian terdengar susul menyusul, dibarengi 
robohnya empat tubuh lelaki berpakaian serba hitam 
dalam keadaan tewas! 
Pengikut Lawa Gurintang yang lainnya sadar kalau tidak 
menuruti perintah mereka akan tewas. Dengan perasaan 
diliputi ketakutan yang amat sangat mereka bergerak maju 
ke arah Pendekar Naga Putih. 
“Hm… Lebih baik kalian pergilah, jauhi tempat ini! 
Kalau tidak, aku bisa bertindak lebih kejam dari pada 
majikanmu itu,” ancam Panji sengaja menakut-nakuti para

pengikut tokoh-tokoh Lembah Beracun itu. 
“Jangan hiraukan ucapannya! Hayo, serang…!” teriak 
Lawa Gurintang ketika melihat orang-orangnya menjadi 
ragu karena ancaman pemuda itu. 
Sambil berteriak demikian, ia sendiri melompat dengan 
sambaran senjatanya yang menimbulkan desingan keras! 
Pendekar Naga Putih marah dengan tingkah tokoh-
tokoh Lembah Beracun itu. segera ia memutar pedang di 
tangannya. Udara di sekitar arena itu pun berubah-ubah, 
membuat para pengepung Pendekar Naga Putih tersentak 
kaget! Terkadang udara panas menyengat dan berganti 
sewaktu-waktu dapat menjadi dingin menusuk tulang. Para 
pengikut Lawa Gurintang berlompatan mundur! Kemudian, 
mereka terus berlari tanpa menghiraukan teriakan 
pemimpinnya. 
“Heaaah…!” 
Lawa Gurintang membentak keras sambil mengerah-
kan hawa murninya untuk mengusir pengaruh yang 
ditimbulkan putaran pedang lawannya. Hatinya benar-
benar terkejut sekali menyaksikan kepandaian yang 
dimiliki pemuda tampan itu. diam-diam ia mengakui kalau 
Pendekar Naga Putih memang patut mendapat pujian dari 
tokoh-tokoh persilatan. 
Demikian pula halnya dengan Nini Lawang. Wanita 
cantik yang genit dan berwatak cabul itu, berdecak kagum 
menyaksikan kesaktian pemuda tampan yang telah 
menarik hatinya. Hasrat untuk mendapat memiliki pemuda 
tampan itu pun semakin kuat mencengkeram jiwanya. 
“Hm… Benar-benar seorang pemuda yang hebat dan 
jarang ada duanya! Aku harus dapat memilikinya,” gumam 
Nini Lawang berjanji kepada diri sendiri. Setelah 
menyaksikan kesaktian Pendekar Naga Putih. 
“He, Lawa Gurintang, Gumilang, dan kau, Suro Lejang! 
Ayo kita keroyok pemuda itu! jangan takut! Kalau kita dapat 
bekerja sama dengan baik, aku yakin pemuda itu akan 
menyerah,” seru Nini Lawang takabur. 
Sambil berkata demikian, wanita berwatak cabul itu

mengelebatkan selendang yang melilit di pinggang 
rampinngya. 
Ctarrr…. Ctarrr…! 
Ujung selendang berwarna merah muda itu meledak-
ledak memekakkan telinga. Suara ledakan itu diiringi 
dengan wewangian yng membuat kepala pening. Jelas, 
selendang itu telah dilumuri bubuk beracun! 
Pendekar Naga Putih dikepung empat orang tokoh 
Lembah Beracun, namun ia sama sekali tidak merasa 
gentar! Dengan kuda-kuda rendah dan pedang teracung di 
atas kepala, pemuda itu bersiap menghadapi keroyokan 
lawannya. 
Sementara keempat orang tokoh Lembah Beracun itu 
belum menunjukkan tanda-tanda menyerang. Mereka 
berputaran berganti-ganti arah dengan gerakan yang 
terkadang cepat, dan di lain saat berubah lamban. 
Terkadang hanya mengitari tubuh Pendekar Naga Putih. 
Jelas, mereka tengah meneliti gerak Pendekar Naga Putih 
guna mencari kelemahan pemuda tampan itu. 
“Heaaat…!” 
Lawa Gurintang, membuka serangan dengan sebuah 
lesatan panjang dan disertai kibasan tangan kanannya ke 
depan! 
Wuuut…! 
Serangkum angin kuat berbau amis menyambar ke 
arah tubuh Pendekar Naga Putih! Menilik dari suara 
sambaran angin berkesiutan iu, jelas kekuatan pukulan 
yang dimiliki Lawa Gurintang sangat hebat! 
Belum lagi serangan lelaki tinggi besar itu mengenai 
sasaran, Nini Lawang menyusulinya dengan sambaran 
ujung selendanngya. Senjata kain lemas sepanjang tiga 
batang tombak itu meledak-ledak dan mematuk-matuk 
menincar titik terlemah jalan darah di tubuh Pendekar 
Naga Putih. Maka, sibuklah pemuda tampan itu mengelak-
kan ujung selendang yang seperti membayanginya itu. 
Jtarrr… Ctarrr…! 
“Haiiit…!”

Pendekar Naga Putih menggoyangkan tubuhnya ke 
samping, menghindari patukan ujung selendang yang 
mengincar pelipisnya. Berbarengan dengan itu, tangan 
kirinya didorongkan ke depan untuk menyambut serangan 
Lawa Gurintang. 
Plarrr…! 
Ledakan keras terdengar ketika kedua pukulan yang 
menggunakan tenaga dalam saling bertabrakan. Suaranya 
menggetarkan bangunan besar tempat pertarungan itu 
berlangsung! 
“Aaah…!” 
Terdengar pekik tertahan Lawa Gurintang yang tubuh-
nya terdorong akibat benturan keras itu. Selagi tubuhnya 
melambung di udara, tubuh Pendekar Naga Putih melesat 
mengejar! Pendekar Naga Putih tidak ingin melewatkan 
kesempatan baik itu, langsung pedangnya dibabatkan ke 
arah Lawa Gurintang. 
Pancaran senjata mukjizat yang menimbulkan kilauan 
sinar kuning keemasan itu mengaung tajam. Sehingga tak 
ubahnya bagaikan suara ratusan ekor lebah yang marah! 
Untunglah, pada saat yang gawat bagi keselamatan 
tokoh berjubah merah itu, Gumilang dan Suro Lejang 
datang menolong! Kedua tokoh Lembah Beracun itu 
langsung menyabetkan senjatanya memapaki sambaran 
pedang Pendekar Naga Putih! 
Singggg…! 
Suro Lejang yang bersenjatakan tongkat sepanjang 
satu tombak, menusukkan ke arah perut Pendekar Naga 
Putih. Tongkat yang bagian ujunngya terdapat logam tajam 
berbentuk bulan sabit itu berdesing dengan kecepatan 
tinggi! 
Sedangkan Gumilang mengelebatkan sepasang belati 
dari baja putih yag berkeredepan bagai sambaran kilat. 
Sepasang senjata yang panjangnya dua jengkal itu, 
berkesiutan merobek udara! 
Kedua orang tokoh sesat itu tidak bisa dipandang 
ringan! Pendekar Naga Putih terpaksa menunda serangan

nya. Pedang Naga Langit di tangannya berputar setengah 
lingkaran dan langsung memapaki serangan kedua 
lawannya itu. 
Tranngngg! Tranngngg! 
Terdengar suara berdentang nyaring ketika empat 
batang senjata mapuh itu saling bertumbukan keras! 
Disusul dengan pekik tertahan Gumilang dan Suro Lejang! 
“Aiiih…!” 
Tubuh kedua orang tokoh sesat ahli racun itu, terpental 
hingga dua batang tombak ke belakang! Meskipun senjata 
mereka telah terpental entah ke mana, namun keduanya 
sempat mematahkan daya dorong yang dilancarkan 
Pendekar Naga Putih itu dengan berjumpalitan di udara. 
Sehingga dapat mendaratkan tubuh dengan kuda-kuda 
yang cukup kokoh! 
Namun, kesialan itu rupanya dialamai Pendekar Naga 
Putih juga. Sebab, pada waktu ia memukul balik serangan 
kedua orang tokoh sesat itu, dari belakanngya meluncur 
serangan Selendang Maut Nini Lawang! 
Jtarrr…! 
Lecutan ujung selendang wanita berwatak cabul itu, 
telak mengenai punggung Pendekar Naga Putih! 
“Aaakh…!” 
Pendekar Naga Putih kesakitan! Tubuhnya terjerembab 
ke depan akibat lecutan cambuk yang dikerahkan dengan 
kekuatan hebat itu! Cepat pemuda tampan itu bergulingan 
menghindari lecutan cambuk yang masih meledak-ledak 
mengejarnya itu. 
Tubuh Pendekar Naga Putih melenting bangkit setelah 
cukup jauh menghindari serangan Selendang Maut Nini 
Lawang. Melihat dari raut wajahnya, terlihat tetesan darah 
segar di sudur bibirnya, jelasnya Pendekar Naga Putih 
cukup menderita akibat totokan ujung selendang beracun 
itu. 
Baru saja pemuda tampan itu bengkit berdiri, Gumilang 
telah melesat menerjang ke arahnya. Dengan sebatang 
bambu kecil, yang berbentuk sebuah sumpit, lelaki

berjubah biru gelap itu meniupkan beberapa benda bulat 
sebesar jagung! 
Tusss! Tusss! 
Benda bulat berwarna biru gelap itu meluncur dengan 
kecepatan tinggi ke arah Pendekar Naga Putih! 
Melihat empat buah benda bulat sebesar jagung itu, 
Pendekar Naga Putih segera dapat menebak kalau benda 
itu merupakan peluru-peluru beracun! Maka, bergegas ia 
melompat menghindari luncuran benda-benda maut itu. 
Namun Gumilang seperti telah menduga gerakan 
Pendekar Naga Putih. Dan, tokoh sesat itu kembali 
menyumpitkan peluru-peluru ke arah tubuh lawannya yang 
tengah berada di udara itu! 
Menyadari posisinya yang sulit untuk menghindari lagi, 
Pendekar Naga Putih pun mengibaskan pedanngya me-
mapaki sambaran benda-benda beracun jahat itu! 
Tasss! Tasss! 
“Haiii…!” 
Kaget bukan main Pendekar Naga Putih ketika benda-
benda bulat yang ditebasnya itu, ternyata tidak meledak! 
Melainkan memercikkan cairan berwarna biru pekat yang 
muncrat dan menebar. Justru percikan itu jauh lebih 
berbahaya daripada jarum-jarum beracun. Sebab, cairan 
biru pekat itu adalah jenis racun mengerikan yang bernama 
‘Cairan Neraka’. 
Cepat Pendekar Naga Putih mengelebatkan senjatanya 
dan menghalau percikan cairan yang diduganya sangat 
beracun itu. 
Cusss…! 
“Aaah…!” 
Pemuda tampan berjubah putih itu memekik ngeri 
ketika setetes cairan beracun itu mengenai bagian perut-
nya! Pucat wajah Pendekar Naga Putih ketika menyaksikan 
pakaiannya langsung berlubang bagaikan termakan api! 
Terlebih-lebih lagi ketika ia merasakan sesuatu yang panas 
menyebar dari bagian tubuhnya yang terkena cairan 
beracun itu!

Sadar bahwa tubuhnya telah terkena racun jahat yang 
sangat mengerikan, cepat Pendekar Naga Putih memusat-
kan pikirannya dan menyatukan dengan pedang mukjizat 
di tangannya. 
Sambil memejamkan mata dan tidak perduli dengan 
rasa sakit yang dideritanya, Pendekar Naga Putih mem-
bentak keras bagaikan hendak merobohkan bangunan 
tempat kediaman Kepala Desa Keranggan! 
“Heaaaah…!” 
Luar biasa! Hebat sekali bentakan nyaring yang di-
eriakkan Pendekar Naga Putih. Hembusan angin bertiup 
keras bagaikan hendak terjadi topan. Bersamaan dengan 
bentakan itu, Pedang Naga Langit pun lenyap dan bersatu 
dengan tubuh Pendekar Naga Putih. 
Sedangkan keempat orang tokoh Lembah Beracun itu 
menggigil hebat akibat bentakan menggelegar Pendekar 
Naga Putih. Bahkan Suro Lejang yang kepandaiannya 
paling lemah di antara keempat tokoh sesat itu, sudah 
melorot jatuh! Jelas, bentakan Pendekar Naga Putih telah 
membuatnya tak sanggup berdiri tegak. 
***

TUJUH

APA yang terjadi pada diri Pendekar Naga Putih, benar-
benar membuat keempat lawannya terbelalak bagai-
kan melihat hantu di siang bolong! 
Tubuh Pendekar Naga Putih menyatu dengan pedang 
mukjizat Naga Langit, tampak tubuhnya diselimuti dua 
buah sinar yang sangat menakjubkan! 
Lapisan sinar kuning keemasan yang bersumber dari 
‘Tenaga Inti Panas Bumi’, berpendar menyelimuti tubuh 
sebelah kanannya. Sedangkan bagian kirinya, tampak ter-
balut lapisan kabut bersinar putih keperakan. Peristiwa itu 
membuat hati lawan-lawannya terguncang hebat! 
“Gila….! Ilmu setan apa lagi yang digunakan pemuda 
itu?” seru Gumilang dengan wajah pucat bagai mayat! 
Warna biru yang biasanya terdapat pada wajah lelaki tegap 
itu, lenyap. 
“Iblis…!” desis Lawa Gurintang parau. Jelas hati lelaki 
tinggi besar itu tengah terancam rasa ngeri yang hebat! 
Hanya Nini Lawang saja yang tidak mengeluarkan 
suara. Namun, dari tidak tampaknya lagak genit dan 
senyum memikat yang selalu menyertai sikapnya. Jelas, 
wanita genit berwatak cabul itu pun tengah bergetar 
perasaannya! 
Namun peristiwa menggiriskan itu belum selesai! 
Pendekar Naga Putih tampak melakukan gerakan-gerakan 
yang menimbulkan suara angin menderu dahsyat! Padahal, 
gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu pelan sekali. 
Tapi akibat yang ditimbulkannya sangat menggiriskan! 
Melihat dari kerut-kerut pada wajahnya, jelas saat itu 
Pendekar Naga Putih tengah berjuang keras melawan 
maut! Rupanya jenis racun yang digunakan Gumilang sulit 
ditaklukan. Meskipun, Pedang Naga Langit telah menyatu 
dan berubah menjadi kekuatan dahsyat dalam tubuhnya,

namun Pendekar Naga Putih harus berjuang menawarkan 
racun tersebut. 
“Kreaaagh…!” 
Bersamaan raungan panjang, terdengar suara 
berkerokotan yang dibarengi kepulan asap kebiruan dan 
berbau busuk, pertanda Pendekar Naga Putih berhasil me-
lenyapkan racun yang dapat melunakkan dan meng-
hancurkan tubuh korbannya. Dengan napas yang masih 
memburu dan cucuran keringat membasahi sekujur tubuh-
nya, tangan pemuda itu bergerak merobek jubah bagian 
depan tubuhnya. 
“Hhh…!” 
Terdengar helaan nafas lega dari Pendekar Naga Putih, 
ia melihat sebagian perutnya hanya terdapat luka seperti 
terjilat api. Melihat luka seperti terbakar itu, jelas pengaruh 
racun ‘Cairan Neraka’ yang digunakan Gumilang hanya 
mampu membakar kulitnya. 
“Jahanam keji! Kalian benar-benar iblis yang tidak bisa 
dibiarkan hidup bebas! Selagi manusia-manusia iblis 
macam kalian masih bebas berkeliaran di atas dunia ini, 
bencana akan terus berlanjut. Untuk mencegah bencana 
itu, kalian sebaiknya harus segera dilenyapkan!” ujar Panji 
yang kali ini benar-benar dilanda kemarahan hebat! 
Melihat wajah pemuda yang selalu tersenyum dan 
tenang berubah menyeramkan, tanpa sadar empat tokoh 
Lembah Beracun itu melangkah mundur! Sorot matanya 
yang mencorong tajam dan menggiriskan dari pemuda 
tampan itu, membuat wajah manusia kejam itu berubah 
pucat bagaikan mayat! 
Sangat mengerikan memang perbawa yang terpancar 
dari sosok pemuda berjubah putih itu, sehingga tokoh-
tokoh sakti berhati iblis seperti empat tokoh Lembah 
Beracun itu, ternganga dan tak mampu berbuat apa-apa. 
Suro Lejang dan Gumilang yang biasanya bertindak 
kejam dan tak kenal ampun itu gemetar ketakutan! 
Sehingga, jangankan untuk menyerang lawan, melangkah 
saja mereka merasa kedua kakinya diganduli beban berat!

“Heaaa…!” 
Mendadak Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan 
nyaring yang menggetarkan jantung! Bersamaan dengan 
itu, sepasang lengannya didorong bergantian ke arah Suro 
Lejang dan Gumilang yang hanya bisa memandang 
ketakutan! 
Whusss…! Blarrr…! Blarrr…! 
“Aaargh…!” 
Terdengar ledakan dahsyat yang diiringi jeritan Suro 
Lejang dan Gumilang! Tubuh kedua tokoh sesat Lembah 
Beracun itu tersentak ke belakang. Seolah-olah tubuh 
mereka dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak 
tampak! 
Derrr…! 
Tubuh Suro Lejang meluncur menghantam sebatang 
pohon besar! Tubuh lelaki berjubah hijau itu, terhempas 
jatuh bersamaan dengan tumbangannya pohon besar itu. 
Setelah berkelojotan disertai erang kesaktian, Suro Lejang 
tewas seketika. Karena seluruh tulang-tulang di dalam 
tubuhnya remuk akibat pukulan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, 
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih! 
Sedangkan Gumilang mengalami nasib yang lebih 
mengerikan lagi! Tubuh lelaki berjubah biru gelap itu, jatuh 
menimpa dinding batu di halaman samping rumah besar 
itu. Suara berdentam keras yang disusul dengan gemuruh 
runtuhnya dinding tembok itu, dan diiringi percikan darah 
segar yang menyebar membasahi permukaan tanah. 
Gumilang menggelepar kesakitan dengan kepala pecah! 
Sesaat kemudian, tubuh kedua tokoh Lembah Beracun itu 
pun meregang dan nyawanya melayang meninggalkan 
raga. 
Apa yang dialami Suro Lejang dan Gumilang benar-
benar membuat jiwa Lawa Gurintang maupun Nini Lawang 
terguncang hebat! Kedua tokoh utama Lembah Beracun itu 
terbelalak bagai tak percaya dengan kejadian yang ber-
langsung di depan mata mereka itu! 
Kedua tokoh sesat yang selama hidupnya bergelimpang

kekerasan dan maut itu, terpekik dengan wajah pucat! 
Keduanya melangkah mundur, hati mereka diliputi rasa 
ngeri yang hebat! Apa yang dipertunjukkan Pendekar Naga 
Putih itu telah melenyapkan keberanian mereka. 
Namun Nini Lawang menyadari akan bahaya maut yang 
mengincar mereka. Dengan menguatkan hatinya, wanita 
cantik berwatak cabul itu memutar Selendang Mautnya 
dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya. 
“Lawa Gurintang, kita serang pemuda gila itu ber-
barengan. Setelah itu, kita segera melarikan diri. 
Kemudian, kita pancing pemuda itu ke Lembah 
Kematian….” Bisik Nini Lawang dengan suara perlahan, 
namun jelas bagi Lawa Gurintang. 
“Baik, Nini,” sahut Lawa Gurintang sembari merogoh 
sebuah kantung kain di pinggangnya. “Nini, rasanya kita 
tidak perlu menggempur pemuda itu. dengar! Begitu aku 
melepaskan isi bumbung bambu ini, larilah dan selamat-
kan dirimu. Kita bertemu di dekat jalan masuk Lembah 
Kematian. Bersiaplah!” sambung Lawa Gurintang yang me-
lihat kesempatan itu. 
“Pendekar Naga Putih, sambutlah ini…!” seru Lawa 
Gurintang sambil melontarkan dua buah bumbung bambu 
yang tutupnya telah terbuka! 
Terdengar suara mengaung ribut ketika puluhan ekor 
lebah salju, beterbangan marah, secara berkelompok 
mereka meluncur mengeroyok Pendekar Naga Putih! 
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih melihat 
lebah-lebah berwarna putih seperti butiran salju, menyerbu 
ke arahnya. Pemuda tampan itu sadar bahwa binatang-
binatang itu sangat beracun. Sehingga, Pendekar Naga 
Putih bergegas melompat mundur. 
Sadar bahwa lebah-lebah itu akan terus mengejar dan 
memburunya. Maka, ia mengerahkan tenaga gabungannya 
untuk memukul mati binatang-binatang yang memiliki 
sengat beracun yang mematikan. 
Diiringi bentakan nyaring, Pendekar Naga Putih 
mengibaskan tangannya. Sambaran angin keras bercicitan

mengiringi lontaran pukulan pemuda tampan itu. 
Tasss! Tasss! 
Pendekar Naga Putih kaget ketika pukulannya hanya 
mampu meruntuhkan beberapa belas ekor lebah. 
Sedangkan yang lainnya dapat menghindari sambaran 
angin pukulan dari pemuda tampan itu. Hhati Pendekar 
Naga Putih bertambah penasaran ketika pukulan yang 
dikerahkannya, tidak mengenai binatang-binatang itu. 
Akhirnya, Pendekar Naga Putih tidak lagi mengumbar 
pukulannya. Ia hanya berdiri sambil mengerahkan tenaga 
gabungan yang dimilikinya. 
Lebah-lebah yang memiliki racun mematikan itu, 
langsung mengerubuti tubuh Pendekar Naga Putih. Namun 
lapisan dua buah sinar yang menyelimuti sekujur tubuh 
pemuda tampan itu, membuat binatang-binatang itu 
berjatuhan tewas. Sehingga, dalam waktu singkat lebah-
lebah salju itu berserakan di bawah kaki Pendekar Naga 
Putih dalam keadaan hangus atau beku. 
Setelah lebah-lebah salju itu mati, Pendekar Naga Putih 
segear melesat melakukan pengejaran terhadap Lawa 
Gurintang dan Nini Lawang. Sekejap saja, tubuh pemuda 
tampan berjubah putih itu pun lenyap di balik rumah-rumah 
penduduk. 
*** 
Sosok berjubah putih itu, terus berkelebat cepat 
bagaikan bayangan hantu. Kegelapan yang mulai sirna 
membuat gerakannya semakin leluasa. Sehingga, dalam 
waktu yang singkat sosok tubuh itu telah jauh meninggal-
kan Desa Keranggan. 
Cukup lama sosok bayangan berjubah putih itu berlari 
degan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata. Gerakan-
nya baru diperlambat setelah ia tiba di daerah perbukitan 
tandus. Kemudian, sosok tubuh itu menghentikan larinya. 
Lalu, ia berdiri tegak dan sepasang matanya merayapi 
daerah sekitarnya. Namun yang dilihatnya hanya

gumpalan-gumpalan batu cadas dan pepohonan kering. 
“Aneh…… ke mana perginya kedua orang iblis keparat 
itu? Tidak mungkin kalau mereka tidak tersusul olehku? 
Menilik dari kepandaian yang mereka memiliki, jelas ilmu 
lari kedua orang tokoh Lembah Beracun itu tidaklah terlalu 
tinggi. Kecuali pengetahuan mereka tentang racun. Hanya 
itulah kelebihan yang mereka miliki,” gumam Panji sambil 
tetap mengedarkan pendangannya dengan kening ber-
kerut. 
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya perlahan 
sambil tetap waspada. Ia sadar kalau musuh-musuhnya 
kali ini sangatlah berbahaya. Sekali saja ia lengah, nyawa-
nya dapat melayang. Karena racun-racun yang diperguna-
kan lawannya sangat jahat dan mematikan. 
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak 
ada tanda-tanda yang mencurigakan hatinya. Pendekar 
Naga Putih menduga kalau kedua orang lawannya tidak 
bersembunyi di tempat itu. 
“Apakah mereka telah kembali ke Lembah Beracun…?” 
desah Panji ketika tidak menemukan jejal lawannya. 
Munculnya dugaan itu, membuat tubuh Pendekar Naga 
Putih melesat melakukan pengejaran. Sepertinya pemuda 
tampan itu sudah mengambil keputusan untuk 
mengunjungi Lembah Beracun yang menjadi tempat 
kediaman tokoh-tokoh sesat itu. 
Dugaan Pendekar Naga Putih semakin kuat ketika 
dalam perjalanan ia menemukan jejak-jejak kedua orang 
lawannya itu. Hal itu dapat ditemukannya pada pohon-
pohon atau batu-batu yang terdapat di kiri kanan jalan 
setapak. Meskipun hanya kecurigaan, namun Pendekar 
Naga Putih tetap melakukan pengejaran tanpa khawatir 
dijebak lawan. 
“Hm… mereka sengaja meninggalkan jejak untukku. 
Iblis-iblis jahat itu tidak ingin melepaskan aku begitu saja,” 
gumam Panji sambil meneliti sebuah pohon besar yang 
tumbuh di pinggir jalan setapak. 
Pendekar Naga Putih mengangguk-anggukkan kepala

seraya matanya menatapi pohon besara yang telah mati 
akibat pukulan beracun. Dengan meneliti jenis racun yang 
terdapat pada batang pohon itu, ia dapat menduga kalau 
pukulan itu dilakukan oleh Lawa Gurintang. Sebab, pada 
batang pohon itu terdapat tanda berwarna merah darah. 
Dan itu merupakan ciri-ciri racun yang dimiliki oleh Lawa 
Gurintang. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga 
Putih pun kembali melanjutkan pengejarannya. 
Untuk mencari Lembah Beracun, tidaklah sukar bagi 
Pendekar Naga Putih. Selain ia pernah mendengar cerita 
tentang lembah itu dari eyang gurunya, lembah itu pun 
mudah ditemukan. Sebab, dalam jarak puluhan batang 
tombak, hawa beracun yang mematikan itu keluar dalam 
lembah, menandakan tempat itu dikenali orang. Itu pula 
yang menjadi patokannya untuk menemukan Lembah 
Beracun. 
Jejak-jejak yang diikuti Pendekar Naga Putih, mem-
bawa langkah pemuda tampan itu ke wilayah utara. 
Tampak sebuah pegunungan yan gpuncaknya terselimuti 
kabut tebal di hadapan Pendekar Naga Putih, ia pun 
mempercepat langkahnya. 
“Hm…. Tepat dugaanku. Jejak-jejak ini pasti akan 
membawaku ke kaki Gunung Puncak Awan Hitam. Mulai 
dari sini, aku harus lebih berhati-hati….” Gumam Panji yang 
segera mengambil jalan memutar. 
Pendekar Naga Putih tersentak mundur beberapa 
langkah ke belakang. Hembusan hawa berbau busuk yang 
menerpanya, menyadarkan pemuda tampan itu kalau 
lembah yang dicarinya sudah dekat. 
Pendekar Naga Putih segera melompat mundur dan 
mengambil obat dalam buntalan pakaiannya. Setelah 
menelan dua pil berwarna putih dan merah, pemuda 
tampan itu mengerahkan tenaga dalamnya. Untuk mem-
percepat daya kerja obat yang ditelannya. Setelah rasa 
sesak di dadanya lenyap, Pendekar Naga Putih melangkah 
maju.

Kali ini Pendekar Naga Putih melangkah sambil 
mengerahkan tenaga gabungan untuk melindungi tubuh-
nya dari hawa beracun yang terbawa angin. Tenaga 
gabungan berupa lapisan sinar berwarna kuning keemasan 
dan putih keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya. Hawa 
beracun yang terhisap segera ditawarkan oleh dua lapisan 
sinar tersebut. 
Langkah kaki pemuda tampan itu terhenti sejenak, 
karena ia terantuk tulang belulang yang berserakan. 
Sementara bau busuk makin kuat menusuk hidunngya, 
membuat hatinya berdebar tegang. 
“Gila….! Padahal Lembah Beracun masih belasan 
tombak di depanku. Tapi, hawanya sanggup membunuh 
orang-orang yang hendak mendekatinya. Hahhh… Benar-
benar mengerikan sekali. Untunglah, aku memiliki unsur 
tenaga sakti yang mampu menawarkan segala jenis racun. 
Kalau tidak, setinggi apapun kepandaian yang kumiliki 
pasti akan mengalami nasib yang serupa dengan tulang 
belulang manusia malang itu,” desah Panji sambil 
melompati seonggok tulang belulang manusia yang telah 
berwarna hitam. 
Pendekar Naga Putih terhenti sejenak. Dipandanginya 
sebuah batu besar berbentuk tengkorak kepala manusia. 
“Hm…. Sepertinya batu ini merupakan pintu gerbang 
Lembah Beracun. Aku harus lebih berhati-hati…” gumam 
Panjii sambil melompat menuruni lembah. 
Kening pemuda sakti itu sempat berkerut dan 
langkahnya pun terhenti sesaat lamanya. Hati Pendekar 
Naga Putih diliputi rasa heran ketika di tempat itu ia tidak 
merasakan adanya hawa beracun. Kenyataan itu 
menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benaknya. 
Rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih 
menghentikan pengerahan tenaga gabungannya. Setelah 
kedua sinat yang menyelimuti sekujur tubuhnya lenyap, 
pemuda tampan itu menarik napas dalam-dalam. 
Keheranannya makin bertambah tatkala ia tidak 
merasakan adanya hawa beracun yang terhisap oleh

tarikan napasnya. 
“Aneh….? Mengapa di dalam lembah ini tidak terdapat 
hawa beracun? Lalu, dari mana datanngya hawa beracun 
yang tersebar hingga puluhan tombak dari tempat ini…?” 
desah hati Panji yang makin tidak mengerti dengan apa 
yang dialaminya. 
Namun Pendekar Naga Putih tidak memikirkannya 
lebih jauh. Memang, ada terbesit dalam pikirannya kalau 
semua itu mungkin merupakan permainan kedua orang 
buruannya. Maka, sambil tetap meningkatkan kewaspada-
an, pemuda tampan itu kembali melangkah menyusuri 
lembah. 
Meskipun ia melangkah semakin jauh, namun ia tidak 
menemukan adanya binatang-binatang beracun. Dan 
Pendekar Naga Putih tetap melanjutkan langkahnya. 
“Huppp!” 
Cepat Pendekar Naga Putih mundur sejauh tiga batang 
tombak ketika tiba-tiba saja serangkum angin berbau 
busuk menyergapnya. Kemudain, pemuda tampan itu 
berdiri tegak dengan wajah tegang. Dihembuskannya 
napas perlahan untuk mengusir bau busuk yang sempat 
terhisap olehnya. Cepat pemuda tampan itu mengerahkan 
hawa murni untuk mengusir rasa mual yang menyerang-
nya. 
Sadar bahwa hawa busuk menyengat itu dapat 
menunda langkahnya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 
sebuah botol kecil dari dalam buntalan pakaiannya. 
Dioleskannya cairan minyak yang terdapat dalam botol 
sebesar jari kelingking itu dekat lubang hidungnya. Harum 
kesturi yang terhisap olehnya, membuat langkah Pendekar 
Naga Putih kembali terayun memasuki lembah. 
Pendekar Naga Putih melanjutkan langkahnya perlahan 
tiba-tiba terngiang di telinga ucapan-ucapan mendiang 
eyang gurunya. 
“Panji, Cucuku. Daerah Lembah Beracun bukan saja 
sangat berbahaya. Tapi letaknya yang tersembunyi dapat 
membuat musuhnya tersesat ke Lembah Kematian. Sebab,

selain Lembah Beracun, masih ada sebuah lembah yang 
bernama Lembah Kematian. Jarak antara keduanya boleh 
dibilang hampir menjadi satu. Memang ada jalan rahasia, 
tapi hanya diketahui oleh para penghuni Lembah Beracun. 
Dan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan tersesat di 
Lembah Kematian,” demikian ucapan Eyang Tirtayasa. 
“Apakah Lembah Kematian itu tidak ada penghuninya, 
Eyang…?” tanya panju saat itu. 
“Tentu saja ada, Cucuku. Namun, tokoh gila yang 
tinggal di Lembah Kematian itu pun tidak pernah 
menemukan jalan rahasia menuju Lembah Beracun. Selain 
itu, tokoh gila yang memiliki kepandaian yang tidak lumrah 
bagi manusia, tidak berusaha untuk mencarinya. Ia pun 
enggan bermusuhan dengan tokoh-tokoh Lembah Beracun. 
Kedua penghuni lembah itu tidak pernah saling ganggu. 
Mereka tidak ingin berselisih satu sama lain. Kepandaian 
tokoh Lembah Kematian yang sangat tinggi, membuatnya 
tidak tewas oleh hawa jahat dari Lembah Beracun. Hanya 
pikirannya saja yang terganggu. Itu sebabnya ia dijuluki 
Dewa Gila Lembah Kematian. Meski ia tidak jahat, namun 
setiap orang yang memasuki lembah kediamannya, pasti 
tidak pernah kembali dengan selamat.” 
Pendekar Naga Putih termenung mengingat ucapan 
eyang gurunya ketika ia hendak terjun ke dunia ramai. 
Ingatan itu membuatnya semakin waspada. 
“Mungkinkah aku telah tersesat ke Lembah 
Kematian…?” desis Panji dengan wajah tegang! 
***

DELAPAN

KETEGANGAN yang tergurat di wajah Pendekar Naga 
Putih nampak jelas saat ia teringat sergapan hawa 
busuk, pemuda tampan itu menduga kalau bau itu 
berasal dari bangkai manusia yang tersesat di elmbah itu. 
“Hm… Tidak salah lagi. Tempat ini pastilah Lembah 
Kematian. Entah sudah berapa banyak manusia tewas di 
tempat ini? Mungkinkah tokoh berjuluk Dewa Gila Lembah 
Kematian itu masih hidup?” gumam Pendekar Naga Putih 
dengan urat-urat syarafnya menegang. 
Kebimbangan tergambar jelas di wajah Pendekar Naga 
Putih. Ingatannya tentang tokoh gila yang menjadi peng-
huni lembah itu, membuat langkahnya terhenti. Namun, 
bayangan dua orang buruannya tetap mengganggu pikiran-
nya. Pemuda tampan itu ragu untuk meninggalkan Lembah 
Kematian. 
Bayangan dua orang tokoh Lembah Beracun, membuat 
Pendekar Naga Putih nekat melanjutkan langkahnya. Dia 
pun berharap agar tokoh menggiriskan itu tewas dimakan 
usianya. 
Namun, langkah Pendekar Naga Putih mendadak 
terhenti! Suara sambaran angin tertangkap dari arah 
kirinya, membuat urat syaraf pemuda itu menegang! Dan ia 
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan! 
Ketika pemuda tampan itu mencium benda-benda 
berbau busuk yang menusuk cuping hidungnya, cepat ia 
mendorongkan telapak tangannya dan melontarkan 
pukulan jarak jauh! 
Wuuut…! 
Kraghhh! Kraghhh! 
Luncuran benda-benda berbau busuk yang berasal dari 
tulang belulang menusia itu hancur terhantam pukulan 
Pendekar Naga Putih. Pemuda tampan itu kaget setelah

mengetahui benda yang digunakan untuk menyerang 
dirinya. Belum rasa terkejutnya hilang, tiba-tiba terdengar 
suara tawa menggelegar! 
“Ha... ha... ha…!” 
Gema suara tawa itu terus berkumandang seraya 
menimbulkan hembusan angin yang kencang, membuat 
pohon-pohon yang tumbuh di lembah itu berderak ribut dan 
bertumbangan satu persatu. 
Pendekar Naga Putih sadar akan kedahsyatan 
serangan yang dikirim lawannya melalui suara tawa itu, ia 
cepat mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi isi 
dadanya. 
Bukan main kagetnya Pendekar Naga Putih, ketika 
mendapat kenyataan yang mengejutkan! Sebab, meskipun 
ia telah mengerahkan seluruh kekuatan ‘Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan-nya. Pengaruh tawa itu ternyata masih 
mampu menggetarkan isi dadanya. 
“Gila…!” desis Panji ketika merasakan betapa 
dahsyatnya tenaga yang disalurkan memalu suara tawa itu. 
Diam-diam hati pemuda sakti itu berebar keras. Dalam 
benaknya, terlintas sosok tokoh Lembah Kematian, yang 
memiliki kepandaian tidak lumrah bagi manusia biasa itu. 
Pendekar Naga Putih sadar yang dihadapinya kali ini 
seorang lawan yang tangguh dan kepandaiannya sukar 
diukur! 
Pendekar Naga Putih menarik nafas lega tatkala suara 
tawa itu lenyap. Tapi, ia kembali tersentak kaget! Ter-
dengar suara berdesing keras dari dua sosok tubuh, 
menyerang ke arah tubuhnya. 
“Haiiit…!” 
Teriakan nyaring yang dibarengi pukulan maut itu 
membuat Pendekar Naga Putih mengayunkan kedua 
tangannya secara bergantian! 
Wuuut… Wuuut…! 
Serangkum angin pukulan mengeluarkan hawa dingin 
dan panas, meluncur deras ke arah dua sosok tubuh yang 
sedang mengarah ke tubuh Pendekar Naga Putih!

Buggg! Desss…! 
Dua sosok tubuh yang tengah mengapung di udara itu, 
tersentak balik akibat hantaman tenaga dahsyat Pendekar 
Naga Putih! 
Namun pemuda tampan itu merasa heran. Karena ia 
tidak mendengar keluhan dari kedua sosok tubuh yang 
terhantam pukulannya itu. Ia segera melompat mendekati 
kedua sosok tubuh yang tergeletak di depannya. Dan apa 
yang dilihatnya, kembali membuat hati Pendekar Naga 
Putih dicekam ketegangan hebat! 
“Gila….! Siapa yang telah membunuh mereka…?” desis 
Panji ketika ia mengenali kedua sosok tubuh itu yang 
ternyata Lawa Gurintang dan Nini Lawang. 
Kedua tubuh tokoh Lembah Beracun itu hampir tidak 
dapat dikenali lagi, membuat Pendekar Naga Putih 
melompat mundur hingga tiga batang tombak jauhnya. 
Pemuda tampan itu mengedarkan pandangannya ber-
keliling dengan otot-otot syarafnya menegang. 
“Siapa pun kau, tunjukkan wujudmu! Sebab, melaku-
kan penyerangan secara sembunyi adalah perbuatan 
seorang pengecut!” seru Panji sambil mengerahkan indera 
pendengarannya agar dapat menangkap gerakan yang 
sekecil apapun. 
“Ha... ha... ha…! Kau benar-benar memiliki nyali yang 
besar Anak Muda! Sayangnya matamu buta. Sehingga, kau 
tidak melihat bahwa aku berada di dekatmu!” suara parau 
yang membuat kepala Panji menoleh ke samping kirinya. 
Ketegangan kembali menyelimuti hati Pendekar Naga 
Putih. Seluruh indera pendengarannya dikerahkan, tapi 
tidak mampu menangkap gerakan sosok tinggi kurus itu. 
Padahal, ia tahu pasti kalau beberapa saat tadi sosok itu 
sama sekali tidak dilihatnya. Tentu saja kehadiran sosok 
tinggi kurus itu yang sama sekali tidak diketahuinya itu 
membuat Pendekar Naga Putih terkejut! 
Sosok tinggi kurus berpakaian compang-camping itu, 
menatap tajam ke arah Pendekar Naga Putih. Rambut, 
jenggot dan kumisnya yang awut-awutan itu, makin

menambah keangkeran dan kegarangan kakek itu. kulit 
wajahnya nyaris tak berdaging itu, menandakan usianya 
sudah sangat tua. Matanya bersinar kehijauan, sempat 
membuat hati Pendekar Naga Putih tergetar. Pemuda 
tampan itu melangkah mundur beberapa tindak, tanpa 
sadar. Tapi, ia segera menguasai perasaannya. Di-
pandanginya wajah kakek itu penuh selidik. 
“Maafkan aku, Kakek! Aku mencari kedua manusia 
yang jahat itu. Karena itu tanpa sengaja aku telah tersesat 
ke tempat ini. Namun karena kedua musuhku telah tewas, 
aku mohon dri meninggalkan tempat ini,” ucap Panji sopan 
sambil membungkuk hormat. 
“Ha... ha... ha…! Ucapan apa itu, Bocah? Rupaya kau 
belum tahu tempat apa yang telah kau masuki ini? 
Sadarkan kau berhadapan dengan siapa saat ini?” tegur 
kakek kurus itu. 
“Maafkan aku, Kakek. Meskipun aku mengetahui siapa 
sebenarnya Kakek. Namun karena di antara kita tidak 
mempunyai persoalan, aku mohon kepada Kakek untuk 
mengizinkan aku pergi dari tempat ini,” ucap Panji lagi, 
tetap dengan nada sopan dan penuh rasa hormat. 
“Hm… Tidak semudah itu, Bocah!” cetus kakek itu 
dengan wajah berubah bengis. “Ketahuilah, Bocah. Kau 
telah memasuki Lembah Kematian. Dan, itu merupakan 
kesalahan yang tidak bisa dimaafkan! Siapa pun yang 
memasuki lembah ini, ia tidak akan kubiarkan keluar 
dalam keadaan hidup! Mayatnya harus menjadi penghuni 
Lembah Kematian! Nah, bagaimana kau bisa mengatakan 
kita tidak mempunyai urusan?” tanya kakek kurus itu 
dengan tatapan penuh ancaman. 
“Kakek, aku menghormatimu, karena aku paham 
bahwa kau adalah penghuni lembah ini yang berjuluk Dewa 
Gila. Selain itu, mengingat usia Kakek yang sudah tua, 
bukankah lebih baik Kakek hidup tenang tanpa per-
musuhan? Nah, izinkahlah aku meninggalkan lembah ini. 
Dan, aku akan mengingat Kakek sebagai orang tua yang 
bijaksana dan baik hati,” sahut Panji berusaha meng

hindari perkelahian. 
Alasan yang dikemukakan pemuda tampan itu, bukan 
karena rasa takut. Pendekar Naga Putih sadar akan 
kedahsyatan ilmu kakek itu, namun tidak terbesit rasa 
takut di hatinya. Hanya karena mengingat tidak adanya 
permusuhan di antara mereka, maka Pendekar Naga Putih 
berusaha menghindari perkelahian. Apalagi kedua musuh-
nya telah tewas di tangan kakek itu. Dan Pendekar Naga 
Putih merasa persoalannya sudah selesai. 
“He he he… Bagus kalau kau telah mengenalku, Bocah. 
Itu sama artinya kau sudah mengetahui peraturan yang 
berlaku di Lembah Kematian. Dan peraturan itu tidak bisa 
kau indahkan begitu saja. Sekarang, kau bersiaplah untuk 
melayat ke akhirat. Karena aku tidak suka membunuh 
orang tanpa perlawanan,” ujar Dewa Gila Lembah 
Kematian itu. 
Setelah berkata demikian, penghuni Lembah Kematian 
melangkah ke arah Pendekar Naga Putih. Gerakan kakek 
itu mengejutkan sekali! Langkah kakinya yang terlihat 
perlahan sekali, tapi membuat tubuhnya meluncur cepat 
bagai kapas tertiup angin. Sehingga dalam sekejap mata 
saja, tubuh kakek itu telah berada satu tombak di depan 
Pendekar Naga Putih. 
“Tunggu dulu, Kakek…!” cegah Panji sambil melangkah 
mundur hingga satu tombak. 
“Ada apa lagi, Bocah?” tanya dengan mengerutkan 
keningnya ketika mendengar ucapan Panji. Tangannya 
yang semula siap melontarkan pukulan maut, menjadi 
mengapung di udara. 
“Bagaimaan kalau kita bertaruh…?” usul Panji sambil 
menatap wajah kakek itu lekat-lekat. 
“Kurang ajar…! Sadarkah bahwa kau telah melakukan 
kesalahan besar! Untuk itu kau harus mati tanpa boleh 
mengajukan permintaan atau apa pun yang sejenis dengan 
itu! Keluarkanlah seluruh kepandaian yang kau miliki! Jalan 
satu-satunya hanya itu untuk keluar hidup-hidup dari 
tempat ini hanyalah dengan membunuhku! Dan itu

merupakan suatu hal yang mustahil!” bentak Dewa Gila 
Lembah Kematian. 
Pendekar Naga Putih sadar bahwa ia tidak akan 
mungkin dapat keluar dari Lembah Kematian tanpa 
mengalahkan penghuninya. Pemuda tampan itu bersiap 
menyambut serangan Dewa Gila Lembah Kematian! 
Sejenak Pendekar Naga Putih menoleh ke arah dua sosok 
mayat tokoh Lembah Beracun itu. 
“Hm… Rupanya mereka sempat dilihat penghuni 
Lembah Kematian ketika memasuki Lembah Beracun. 
Sehingga, kakek gila itu membunuh mereka tanpa ampun,” 
gumam Panji seraya mengalihkan pandangannya ke arah 
kakek kurus itu. 
“He... he... he… Mereka terpaksa kubunuh. Karena 
mereka telah berani meninggalkan racun di tempat ini. Aku 
sudah tidak suka kepada mereka, karena selalu keluar 
masuk melalui wilayahku. Walaupun untuk memasuki 
Lembah Beracun harus melalui wilayahku namun 
kehadiran mereka sempat terlihat olehku, tentu saja tidak 
bisa kudiamkan begitu saja. Siapa saja yang memasuki 
lembah ini dan terlihat olehku, mereka harus mati. 
Sekalipun mereka penghuni Lembah Beracun!” jelas Dewa 
Gila Lembah Kematian. 
“Hm… Jelas aku tidak mungkin keluar dari tempat ini. 
Tidak ada jalan lain, aku harus menewaskannya agar dapat 
meninggalkan tempat celaka ini.” gumam Panji yang 
segera memasang kuda-kudanya dengan tubuh rendah. 
Hal itu dilakukannya ketika melihat Dewa Gila Lembah 
Kematian telah siap melontarkan serangan kepadanya. 
*** 
Pendekar Naga Putih menyongsong serangan lawan. 
Sengaja ia tidak melakukan serangan lebih dahulu. Karena 
akan membuka pertahanan dirinya. 
Dewa Gila Lembah Kematian melihat lawannya belum 
juga bergerak, mengerutkan kening sejenak. Senyum tipis

mengembang di bibirnya ketika melihat posisi Pendekar 
Naga Putih. Senyum yang menandakan kegembiraan hati-
nya itu, semakin melebar. Sepertinya dengan melihat posisi 
lawan, ia dapat menduga bahwa calon korbannya bukan 
orang sembarangan. Apalagi sikap dan wajah Pendekar 
Naga Putih tidak mencerminkan rasa takut meski telah 
mengenal nama julukannya. Jelas, pemuda tampan itu 
berbeda dengan korban-korban sebelumnya. 
“Heaaa…!” 
Dibarengi dengan teriakan nyaring, tubuh tinggi kurus 
itu melesat cepat! Sepasang tangannya yang berbentuk 
cakar menyambar-nyambar dan menimbulkan suara men-
cicit tajam. Jelas, serangan itu mengandung kekuatan 
tenaga dalam yang penuh dan berbahaya! 
Wuuut…! Wuuut…! 
Begitu sambaran lawan tiba, Pendekar Naga Putih 
cepat menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek. Ber-
barengan dengan itu, tangan kanannya bergerak dari 
bawah ke atas dengan menimbulkan angin berkesiutan! 
Sambaran angin berhawa panas menyengat keluar dari 
tangan pm itu, sempat membuat penghuni Lembah 
Kematian terkejut! 
Namun sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang 
digerakkan dengan kecepatan tinggi itu, tidak membuatnya 
repot. Dengan gerakan aneh dan lucu, kakek kurus itu 
menarik perutnya ke dalam dengan gerakan pantat yang 
megol-megol seperti bebek berjalan. Serangan lawan yang 
berkecepatan tinggi itu berhasil dipatakannya. Bahkan 
gerakan itu masih disusul dengan putaran tubuh 
melingkar. Sambil bergerak, tangan kanannya ikut meng-
ancam tengkuk Pendekar Naga Putih! 
Wuuuk…! 
Cepat Pendekar Naga Putih menekukkan lututnya dan 
mendoyongkan tubuh ke belakang. Namun, ia tak 
menduga sama sekali, pukulan telapak tangan yang luput 
itu kembali berputar dan langsung bergerak naik meng-
ancam dadanya! Sadar serangan mendadak itu sulit

dihindari, Pendekar Naga Putih memutar tangan kiriya 
untuk memapaki cengkeraman itu! 
Plarrr…! 
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga 
dahsyat itu! tubuh keduanya terpental hingga tiga tobak ke 
belakang! Namun, Dewa Gila Lembah Kematian dapat 
mematahkannya dengan gerakan tubuh berputar. 
Sehingga tubuh kakek itu kembali siap dalam posisi kuda-
kuda yang kokoh dan aneh. 
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri harus 
melempar tubuhnya ke belakang dan berjumpalitan tiga 
kali di udara. Kemudian ia dapat mendaratkan kakinya 
dengan baik. Melihat dari seringai di wajahnya, jelas 
Pendekar Naga Putih merasakan akibat benturan keras itu. 
Dewa Gila Lembah Kematian sendiri, sempat terheran-
heran dengan keadaan itu. sepertinya kakek kurus itu 
belum dapat mempercayai apa yang menimpanya barusan. 
Tampak wajah kakek kurus itu terlongong bagaikan orang 
tolol. 
Rasa keheranan iu membuatnya makin penasaran. 
Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya kembali meluruk ke 
arah Pendekar Naga Putih! 
Serangan yang dilancarkan Dewa Gila Lembah 
Kematian kali ini, benar-benar sangat mengerikan sekali! 
Angin keras berhembus hingga membuat pepohonan di 
sekitarnya berderak roboh! Bahkan beberap semak perdu 
yang akarnya tak kuat menahan putaran angin keras itu 
langsung tercabut keluar. Sehingga dalam sekejapan saja, 
tempat itu dipenuhi semak-semak dan dedaunan yang 
berterbangan! 
Melihat kenyataan itu, Pendekar Naga Putih sadar 
bahwa Dewa Gila Lembah Kematian, memang bermaksud 
membunuhnya. Pemuda tampan itu segera memusatkan 
pikirannya, sambil menatap ke arah lawan dengan 
pandangan tajam. Sesaat kemudian, tercipta dua lapisan 
sinar menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih! 
Hembusan angin yang saling bertentangan menebar di

sekitar arena pertarungan maut itu. bahkan ketika 
Pendekar Naga Putih menggerak-gerakkan tangannya 
dengan jurus ilmu ‘Silat Naga Sakti’, gulungan angin ber-
warna kuning keemasan dan putih keperakan berputar 
kencang membuat arena pertempuran makin kacau balau. 
“Ha ha ha…. Tidak kusangka kalau menjelang akhir 
hayatku ini, aku berhadapan dengan anak muda berilmu 
tinggi sepertimu. Hm…. Kau memang pantas untuk 
dikagumi, Bocah! Merupakan kehormatan besar jika aku 
dapat membunuhmu,” ujar Dewa Gila Lembah Kematian 
yang mengenali lawannya setelah melihat lapisan kabut 
bersinar puith keperakan. Meskipun keningnya sempat 
berkerut ketika melihat sinar lain yang menyelimuti tubuh 
sebelah kanan pemuda itu, Dewa Gila Lembah Kematian 
tetap melanjutkan serangannya. 
“Yeaaat…!” 
Diiringi teriakan panjang, tubuh kakek kurus itu 
bergerak cepat dengan langkah-langkah aneh. Sepasang 
tangannya menyambar-nyambar dan menimbulkan angin 
bercicitan tajam! 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Sekali menyerang, Dewa Gila Lembah Kematian 
langsung melontarkan serangkaian pukulan maut! Angin 
pukulannya meluncur datang sebelum cengkeraman mau-
pun kepalan kakek kurus itu tiba. 
Angin pukulan yang terlontar dari setiap serangan 
kakek kurus itu tidak dapat dianggap remeh. Sebab, 
jangankan terkena tubuh manusia, pohon besar dua 
pelukan orang dewasa pun akan roboh bila terkena angin 
pukulan Dewa Gila Lembah Kematian. Serangan yang 
dilancarkan kakek kurus itu sangat dahsyat sekali! 
Pendekar Naga Putih sendiri sempat repot oleh 
serangkaian serangan yang mengancam tubuhnya. Ia pun 
terpaksa bergerak cepat menghindari setiap pukulan 
lawannya. Nyaris pada gebrakan pertama Pendekar Naga 
Putih tidak mendapat peluang sedikitpun untuk membalas 
gempuran lawannya.

Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan cepat di 
antara sambaran-sambaran pukulan lawannya. Terkadang 
pemuda tampan itu melakukan lompatan panjang, meng-
hindari gempuran yang dilancarkan Dewa Gila Lembah 
Kematian. 
Beruntung Pendekar Naga Putih telah memiliki 
pendengaran maupun penglihatan yang tajam. Walaupun 
ia terdesak oleh lontaran pukulan lawan, tapi pemuda 
tampan tu sempat mengirimkan satu dua pukulan setiap 
ada kesempatan. 
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Tanpa disadari, 
keduanya telah bertarung kurang lebih seratus jurus! Meski 
pertarungan telah berlangsung demikian jauh, namun 
belum nampak tanda-tanda kelelahan pada diri Dewa Gila 
Lembah Kematian. Padahal, usianya telah mencapai 
seratus tahun lebih. Kenyataan itu tentu saja membuat hati 
Pendekar Naga Putih menjadi kagum. 
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus dua 
puluh, tiba-tiba Dewa Gila Lembah Kematian mengeluar-
kan pekikan nyaring yang mengejutkan lawna. Ber-
barengan dengan itu, ia langsung memutar tubuhnya 
seperti baling-baling. 
Pendekar Naga Putih terkejut melihat tubuh lawannya 
mendadak lenyap! Yang dilihatnya, hanya gulungan angin 
yang terus mendesaknya. Gerakan lawan yang cepat dan 
tak terduga itu, membuat Pendekar Naga Putih tidak 
sempat menghindari pukulan lawan. Dua buah pukulan 
lawan, muncul dari gulungan itu mencelat dan meng-
hantam dada serta perut Pendekar Naga Putih! 
Buggg! Desss…! 
“Aaakh…!” 
Pendekar Naga Putih memekik tertahan ketika dua 
buah pukulan Dewa Gila Lembah Kematian menghajar 
telak dadanya dan perutnya! Kontan tubuh Pendekar Naga 
Putih tersentak keras ke belakang. Dan cairan merah 
muncrat dari mulutnya. 
Brakkk…!

Sebuah pohon besar yang tida tombak berada di 
belakangnya, langsung tumbang ketika terhantam tubuh 
Pendekar Naga Putih. Sedang pemuda tampan itu sendiri, 
melorot jatuh ke tanah. Dadanya serasa remuk. Pendekar 
Naga Putih bangkit dan mencoba berdiri tegak. Lapisan 
kabut bersinar putih keperakan, lenyap seketika. Sedang-
kan lapisan sinar keemasan menebar menyelimuti sekujur 
tubuh pemuda tampan itu. Sehingga, tubuh Pendekar Naga 
Putih bagai terselimuti kobaran api yang amat panas! 
Sepasang mata Dewa Gila Lembah Kematian terbelalak 
takjub melihat kenyataan itu! Kakek kurus itu tidak 
menduga ‘Tenaga Inti Panas Bumi’ tengah melebur luka 
dalam yang diderita pemuda tampan itu. 
Bukan hanya lawannya yang merasa heran dengan 
kejadian itu. Pendekar Naga Putih sendiri terkejut pula 
dengan apa yang dialaminya. Namun rasa terkejut mereka 
berbeda. Bagi Pendekar Naga Putih kejadian itu sangat 
menggembirakan. Sebab makin melebarnya sinar 
keemasan yang melebur luka dalam tubuhnya, 
menandakan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’ telah bereaksi bila 
ada yang tidak beres dalam tubuh pemuda tampan itu. 
Kekuatan daya tolak tenaga sakti yang berasal dari 
Pedang Naga Langit itu, memang mempunyai khasiat 
untuk meleburkan racun maupun luka dalam. Sehingga 
dalam beberapa saat saja, luka akibat pukulan Dewa Gila 
Lembah Kematian lenyap tanpa bekas. 
Sedangkan Dewa Gila Lembah Kematian heran bukan 
main melihat kejadian itu. Sebagai seorang tokoh sakti 
yang memiliki pengetahuan tinggi, ia segera mengetahui 
apa yang barusan dialami lawannya. Justru hal itu makin 
menambah kegembiraan hatinya. Sebab, ia merasa kali ini 
benar-benar menemui lawan yang tangguh! 
Sambil terkekeh parau, Dewa Gila Lembah Kematian 
kembali menyiapkan serangannya. Sepasang tangannya 
berputaran bagaikan baling-baling yang kemudian diikuti 
dengan putaran tubuhnya. Sepertinya kakek kurus itu ingin 
mengulangi keberhasilan serangannya.

“Haiiit…!” 
Disertai teriakan nyaring yang memekakkan telinga, 
tubuh kurus itu melompat dengan serangan-serangan 
dahsyatnya. 
Pendekar Naga Putih pun tidak mau kalah! Dengan 
membuat gerakan pembukaan jurus ‘Naga Sakti Meluruk 
ke Dalam Bumi’, tubuh pemuda tampan itu melesat 
menyambut serangan lawannya! Tubuh kedua tokoh sakti 
itu saling berputaran dan meluncur deras dengan 
serangan-serangan dahsyat! 
“Yeaaa…!” 
“Haaat…!” 
Pyarrr…! 
Hebat sekali pertemuan kedua tenaga dalam raksasa 
yang tersalur lewat telapk tangan mereka, luar biasa! Bumi 
sekitar Lembah Kematian bagaikan diguncang gempa yang 
hebat! Bahkan beberapa pohon kecil langsung ber-
tumbangan! Demikian pula halnya dengan tubuh kedua 
orang tokoh itu terdorong ke belakang bagaikan sehelai 
daun kering! 
Namun baik Pendekar Naga Putih maupun Dewa Gila 
Lembah Kematian memang bukan tokoh-tokoh 
sembarangan! Sehingga daya luncur tubuh mereka yang 
deras itu, dapat dipatahkan dengan cara berjumpalitan 
bebrapa kali di udara. Mereka pun dapat mendarat 
kembali di atas tanah dengan selamat! Meski kuda-kuda 
mereka agak goyah ketika menjejak tanah, namun jelas 
keduanya sama sekali tidak mengalami luka parah. 
Pendekar Naga Putih tidak ingin meluangkan 
kesempatan sedikitpun! Ketika kedua kakinya mendarat 
meski sedikit goyah, tubuhnya kembali melambung, dan 
langsung mengirimkan serangannya yang menimbulkan 
suara mencicit tajam! Serangannya kali ini menggunakan 
tenaga gabungannya. 
“Haaat…!” 
Teriakan nyaring bergema dengan diiringi luncuran 
tubuh Pendekar Naga Putih ke arah lawannya! Angin keras


berputaran membentuk bulatan-bulatan sinar menyilaukan 
mata. Dari bulatan dua buah sinar itu, membentuk cakar-
cakar naga yang berhawa maut! 
Pendekar Naga Putih kembali menggunakan jurus 
‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’ untuk kedua kalinya 
menghadapi Dewa Gila Lembah Kematian. Serangan 
dahsyat yang dilancarkan pemuda tampan itu sempat 
membuat penghuni Lembah Kematian menyadari, tidaklah 
mungkin dapat menghindari serangan itu, maka kakek 
kurus itu pun memapakinya sambil melompat menyambut 
gempuran pemuda tampan berjubah putih itu! 
Dewa Gila belum mengetahui sama sekali keistimewa-
an jurus lawannya. Sehingga, ketika ia melihat cakar lawan 
menyambar, cepat dipapakinya dengan tamparan tangan 
kiri! Kakek kurus itu terkejut bukan main! Cakar lawan yang 
diduganya hendak mencengkeram dada, tiba-tiba melejit 
menghindari tamparannya. Gerakan yang licin bagaikan 
liukan tubuh naga itu, berputar cepat, dan meluruk 
mengancam lambung Dewa Gila Lembah Kematian! 
Bahkan disusuli dengan hantaman telapak tangan ke arah 
dada lawan. Maka…. 
Brettt…! Diesss…! 
“Aaakh…!” 
Dewa Gila Lembah Kematian menjerit kesakitan ketika 
cakaran dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga 
Putih tepat mengenai sasarannya! Dan tubuh kurus itu pun 
langsung terpental deras hingga lima tombak jauhnya. 
Lalu, terbanting ke atas tanah berbatu. Namun daya tahan 
tokoh skti Lembah Kematian itu memang tidak lumrah bai 
manusia biasa! Secepatnya tubuhnya jatuh, secepat pula ia 
melompat bangkit, meski agak terhuyung dan limbung ke 
belakang. Cairan merah pun tampak menetes dari sudut 
bibirnya. 
Sayang pada saat tubuh kakek kurus itu tertatih 
mundur, sebuah tendangan keras dari Pendekar Naga 
Putih telah bersarang di dadanya! 
Buggg…!

“Huaaakh…!” 
Darah segar langsung menyembur dari mulut kakek 
kurus itu. tubuhnya kbamli terjengkang hingga mencapai 
tiga batang tombak dan terbanting jatuh tanpa dapat 
bangkit kembali. Kakek kurus itu menggelepar di tanah, jari 
tangannya bergerak-gerak menahan rasa sakit bukan 
kepalang. 
Melihat lawannya sudah tergeletak dengan napas satu-
satu, Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati men-
dekatinya. Otot-otot tubuhnya tetap menegang, siap meng-
hadapi serangan mendadak. 
Namun ketika mendapat kenyataan bahwa Dewa Gila 
Lembah Kematian sudah tidak mampu bangkit lagi, cepat 
pemuda tampan itu membungkuk dan memeriksa tubuh 
kakek kurus iu. 
“Maafkan aku, Kakek. Semua ini terjadi karena kau 
yang memaksaku,” ucap Panji yang bersiap untuk 
mengobati luka-luka lawannya. 
“Kau sama sekali tidak bersalah, Anak Muda. Memang 
kematian seperti inilah yang kudambakan semenjak 
dahulu. Aku tidak sudi mati karena penyakit tua. Itulah 
sebabnya mengapa aku selalu membunuh siapa saja yang 
memasuki lembah ini. dan sekarang aku benar-benar 
merasa puas.” 
Setelah mengucapkan kata-kata itu, kepala Dewa Gila 
Lembah Kematian terkulai. Karena nyawanya telah 
meningggalkan raga. Tokoh sakti menggiriskan itu tewas 
dengan senyum puas yang menghias wajahnya. 
Pendekar Naga Putih termenung sesaat setelah 
mengetahui Dewa Gila Lembah Kematian benar-benar 
telah pergi. Beberapa saat kemudian, pemuda tampan itu 
bergerak bangkit. Digalinya tanah gembur untuk mengubur-
kan ketiga sosok mayat yang tergeletak di tempat itu. 
Tak lama kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas 
meninggalkan Lembah Kematian untuk menjemput 
kekasihnya. Hatinya lega. Karena bencana yang dibuat oleh 
tokoh-tokoh Lembah Beracun yang membuatnya sampai

tersesat di Lembah Kematian itu telah berakhir. 
Hembusan angin bersilir lembut, mengiringi ayunan 
langkah Pendekar Naga Putih. Sejenak kepala pemuda 
tampan itu menengadah menatap cakrawala luas. 
Sepertinya pemuda tampan itu tengah membayangkan 
petualangan-petualangan lainnya yang merupakan garis perjalanan hidupnya. 


                              SELESAI









Share:

0 comments:

Posting Komentar