Dia datang
Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti orang linglung
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng ‘lima’ tokoh aneh
1
BUKIT CADAS SILUMAN siang itu tampak len-
gang... Hutan rimba di sekitar bukit itupun diam
membisu. Pantulan cahaya Matahari memercikkan ca-
haya kemilau dari permukaan sungai yang mengalir di
bawah bukit itu. Seekor elang melintas di atas bukit
itu. Mendadak terdengar suara mengiyak dari elang itu
ketika sebuah batu kecil meluncur dari bawah dan te-
pat menghantam elang tersebut.
"Kena!" terdengar suara teriakan di sebelah ba-
wah. Seorang bocah laki-laki tanggung berpakaian
warna abu-abu memburu ke arah elang yang jatuh itu
untuk memungutnya. Wajah bocah tanggung ini me-
nampakkan kegembiraan karena lemparannya berhasil
mengenai sasaran dengan tepat.
Seorang kakek kurus berkulit hitam mengena-
kan jubah lusuh berwarna hitam yang sejak tadi du-
duk di atas batu dipanas terik itu melompat turun dari
atas batu yang didudukinya. Matanya tajam seperti
elang mengawasi bocah laki-laki itu seraya mengham-
piri si kakek dengan perasaan bangga. Dia menyangka
kakek itu akan memujinya. Tapi sikap si kakek mem-
buat dia jadi melongo. Karena tanpa memandang sedi-
kitpun ke arahnya. Bahkan bibir kakek ini mencibir,
seraya berkata.
"Ilmu melempar batu mu masih jauh dari sem-
purna, anak jelek! kau masih perlu banyak belajar!"
Tentu saja dia jadi melengak heran. Hampir se-
bulan dia mempelajari cara melempar batu, tapi sete-
lah dia berhasil ternyata masih dibilang belum sem-
purna.
"Kalau begitu aku tak mau belajar melempar
batu lagi! Percuma saja! Sampai kapan guru mengata-
kan aku sempurna? Dan sampai kapan aku harus te-
rus melempar batu?" gerutu si bocah dengan wajah
cemberut.
Mendengar kata-kata si bocah, kakek ini jadi
tertawa tergelak-gelak.
"Hahahahaha.. anak jelek! mengapa adat mu
sejelek itu? Kau ini jelek, juga bodoh alias tolol!" ber-
kata si kakek diantara derai tawanya.
"Kalau aku jelek, bodoh dan tolol mengapa kau
mengambil aku sebagai murid?" berkata bocah ini den-
gan wajah masih memberengut.
Si kakek jadi berhenti tertawa. Wajahnya beru-
bah seketika. Matanya membeliak menatap tajam bo-
cah itu. "Bocah keparat! kalau saja aku tak memikir-
kan bahwa kau adalah orang yang kelak dapat mewu-
judkan cita-citaku, siang-siang aku telah membunuh
mampus dirimu!" berkata dalam hati si kakek. Akan
tetapi mulutnya berkata. "Anak jelek! karena kebodo-
han dan ketololan mu itulah aku mengangkatmu men-
jadi murid!"
Si bocah laki-laki itu jadi melengak.
"Guru benar-benar aneh!" ujarnya. "Apa yang
kau harapkan dari seorang murid yang tolol? Sampai
seratus tahun pun aku belajar padamu tetap saja aku
bodoh! kalau begitu buat apa kau berpayah-payah
mengajari aku dengan bermacam-macam ilmu?"
Si kakek jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Cerdik juga kau!" katanya dalam hati. Diam-
diam dia menyenangi watak anak itu yang beradat ke-
ras. Justru kekerasan dan keberanian demikian yang
dia harapkan. Disamping berani mengucapkan kata-
kata tanpa takut dimarahi atau diberi hukuman, juga
watak bocah itu polos dan jujur serta berani menyang-
kal bila tak sependapat dengan kata hatinya.
"Kau benar, anak jelek! tapi bukan bodoh dan
tolol seperti yang kau maksudkan. Ketahuilah! Ilmu itu
sedalam lautan. Di atas langit masih ada langit! Aku
mengatakan ilmu lemparanmu belum sempurna ka
rena masih ada ilmu yang lebih tinggi dari cara me-
lempar batu seperti yang berhasil kau lakukan!"
"Kau lihatlah!" kata si kakek. Tiba-tiba dia
membungkuk untuk menjumput sebutir batu. Saat itu
memang ada dua ekor burung melayang di udara. Si
kakek meremas batu itu, dan secepat kilat tanpa me-
noleh ke atas, jari lengannya menjentik. Pecahan batu
itu meluncur deras dan menghantam kedua ekor bu-
rung itu. Dan tepat mengenai sasarannya dengan te-
lak.
Kedua ekor burung itu melayang jatuh ke ba-
wah.
Bocah itu jadi terperangah. Bagaimana si kakek
dapat melempar batu tanpa melihat sasaran? pikirnya
Apakah gurunya mempunyai empat mata?
"Hebat!" pujinya tak sadar. Dengan mata mem-
belalak dia menatap si kakek dengan terkagum-
kagum. Yang di tatap tertawa tergelak-gelak.
"Hehehehehe... kau akan dapat melakukan se-
perti itu bila kau rajin belajar!"
"Betulkah, guru?"
"Ya! bukan hanya itu, kaupun dapat memiliki
ilmu-ilmu lainnya yang lebih hebat lagi!" sahut si ka-
kek dengan tersenyum. Tapi sepasang matanya me-
nyambar tajam menatap bocah laki-laki itu seperti
mau menelannya bulat-bulat.
Diam-diam dia berkata dalam hati. "Kau mem-
punyai tulang yang baik dan bakat yang hebat.
Sayang, aku terpaksa harus mempergunakanmu un-
tuk membunuh kedua orang tuamu sendiri!"
"Cukuplah untuk hari ini, anak jelek! Kau boleh
memanggang burung elangmu..!" ujarnya. Lalu berke-
lebat lenyap dari hadapan si bocah laki-laki.
"Terima kasih guru!" teriak si bocah dengan gi-
rang. "Ah, kapankah aku memiliki ilmu sehebat guru?"
berkata si bocah dalam hati memandang ke arah le-
nyapnya bayangan kakek itu dengan kagum.
Akan tetapi sebentar kemudian dia segera me-
lompat dan berlari-lari ke arah sebuah pondok kecil di-
celah tebing.
Di depan pondok itu dia mencabuti bulu elang.
Setelah selesai segera mengambil kayu bakar dari
samping pondok. Tak lama kemudian dia telah me-
manggang nasi perolehannya disamping pondok.
Siapakah adanya bocah laki-laki itu? Dia ber-
nama Guci Manik. Sejak berusia lima tahun telah ber-
diam dipuncak bukit Cadas Siluman bersama si kakek.
Tak ada seorangpun yang mengetahui bahwa sesung-
guhnya bocah itu adalah seorang putera mahkota Ke-
rajaan yang diculik.
Siapa adanya kakek berkulit hitam berwajah
kaku dan bermata elang itu? Tiada lain dari seorang
laki-laki bekas abdi Kerajaan, Dia bernama BEO
ANINGKAL
Beo Aningkal dipecat dari jabatan Adipati kare-
na dituduh melakukan perbuatan tercela yang meru-
sak kewibawaan Kerajaan Purwacarita. Rasa sakit hati
dan dendam yang terpendam didada Beo Aningkal
membuahkan rencana keji untuk membalas sakit hati
itu. Bukan saja pada Patih PANJI RANA akan tetapi ju-
ga pada semua orang kerajaan. Termasuk baginda Ra-
ja Citrasoma. Karena pemecatan itu langsung dari Pra-
bu Citrasoma setelah mendengar pengaduan Patih
Panji Rana.
Kegemparan terjadi di istana, ketika putera
mahkota GUCI MANIK lenyap! Permaisuri Banowati
menangis tak berkeputusan karena kehilangan putera
yang disayangnya, yang kelak bakal dicalonkan men-
jadi pengganti ayahnya. Prabu Citrasoma panik dan
memerintahkan Patih Panji Rana untuk mencarinya.
Seluruh prajurit dikerahkan untuk mencari dimana
adanya sang putera mahkota yang kemungkinan di-
culik orang. Akan tetapi sampai berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan tak membawa hasil. Guci Ma-
nik lenyap bagai ditelan bumi! Hilang tanpa krana..!
Permaisuri jatuh sakit sampai beberapa bulan
lamanya. Sang Prabu Citrasoma tak dapat berbuat
apa-apa selain menghibur istrinya. Demikianlah, Guci
Manik tetap tak ada khabar beritanya. Entah mati en-
tah masih hidup. Prabu Citrasoma sudah menganggap
puteranya tak ada lagi di dunia. Untunglah sang per-
maisuri setahun kemudian hamil lagi. Kelahiran pute-
ra mereka yang ternyata seorang bayi perempuan agak
menghibur hati Dewi Banowati. Walaupun adanya ke-
melut dalam istana mengenai lenyapnya putera mah-
kota, namun Prabu Citrasoma tetap memerintah kera-
jaan Purwa Carita dengan penuh tanggung jawab.
2
Waktu berlalu demikian pesat. Seperti anak
panah yang melesat dari busurnya. Beberapa tahun
berlalu sudah. Pagi baru saja menjelma. Matahari me-
nyorotkan sinarnya menerangi alam mayapada. Cuaca
cerah tak berawan. Pada saat itulah dari arah hutan
muncul seorang laki-laki muda berkulit hitam. Berpa-
kaian aneh, yaitu terbuat dari kulit harimau berbentuk
rompi. Bercelana pangsi hitam. Pada ikat pinggangnya
yang terbuat dari kulit ular, terselip seruling dari bam-
bu hitam.
Siapa adanya, pemuda ini tiada lain dari Guci
Manik yang telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Guci Manik memang telah diperbolehkan turun gu-
nung, dengan membawa tugas berat dari gurunya. Gu
ci Manik telah berubah menjadi seorang pemuda ga-
gah. Walaupun berkulit hitam, tapi ketampanan wa-
jahnya nampak jelas. Hidungnya mancung. Tubuhnya
tegap dan kekar. Rambutnya gondrong sebatas bahu.
Dan memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan ma-
ta seekor elang jantan.
"Hari ini adalah hari pertama aku turun gu-
nung!" menggumam Guci Manik. "Aku tak diperkenan-
kan guru menggunakan namaku, entah apa sebabnya?
Tapi gelar Iblis Seruling Maut pemberian guru cukup
bagus! Aneh!? Nama guru aku juga tak mengetahui,
kecuali gelar Hantu Elang Hitam. Tapi guru melarang
mengatakan pada sembarang orang..."
Setelah tercenung sejenak, Guci Manik berkele-
bat cepat meninggalkan hutan itu. Segerombolan bu-
rung terbang ketakutan karena terkejut. Dalam bebe-
rapa kejap saja bayangan tubuh Guci Manik pun le-
nyap dari tempat itu....
Siang itu dua ekor kuda berlari cepat mengitari
sisi hutan menuju arah timur. Penunggangnya adalah
dua orang laki-laki dan wanita. Yang satu ternyata
seorang pemuda berpakaian perwira kerajaan. Se-
dangkan yang satu lagi tak lain dari seorang gadis can-
tik berpakaian sutera merah. Rambutnya dikepang
dua dengan pita berwarna kuning.
Gadis cantik berbaju merah ini ternyata mahir
mengendarai kuda. Bahkan memiliki keberanian yang
mengagumkan. Bagi seorang gadis biasa tentu tak be-
rani melarikan kuda begitu cepat. Apalagi jalan-jalan
yang dilalui penuh akar dan batu. Perwira muda yang
dibelakangnya cuma geleng-gelengkan kepala melihat
keberanian si gadis. Walaupun kagum akan tetapi dia
khawatir terjadi hal yang tak diinginkan. Dia agak ter-
tinggal jauh, karena tak membedal kuda begitu cepat.
"Aku harus menyusulnya! Haih! gusti puteri
Retno Sekar terlalu gegabah. Agaknya dia mau menun-
jukkan kepandaian menunggang kuda dihadapanku..."
pikir pemuda ini. Dia bernama Gaman Seto, seorang
kepala prajurit Kadipaten. Serentak dia membedal ku-
da untuk menyusul gadis itu.
Kekhawatirannya benar-benar menjadi kenya-
taan. Tiba-tiba dilihatnya si gadis menjerit kaget. Kuda
yang ditungganginya terjungkal. Dan tampak tubuh
gadis itu terlempar dari punggung kuda.
"Celaka!" sentak Gaman Seto dengan terperan-
jat. Kuda tunggangannya dilarikan cepat untuk mem-
buru ke arah gadis itu dengan wajah berubah pucat.
Agaknya tubuh Retno Sekar akan terbanting ke
tanah dengan kejadian itu. Bila hal itu terjadi dan si
gadis tak dapat menyelamatkan diri, tentu lengan atau
kakinya akan cidera. Akan tetapi detik itu sebuah
bayangan berkelebat menyangga tubuh gadis itu...
Ketika Gaman Seto tiba ditempat kejadian, se-
pasang mata pemuda perwira Kerajaan ini jadi mem-
belalak lebar. Tubuh Retno Sekar tampak berada da-
lam pondongan seorang laki-laki berkulit hitam. Ba-
junya terbuat dari kulit harimau. Siapa adanya laki-
laki itu tiada lain dari Guci Manik.
"Hm, kau terlalu ceroboh membiarkan gadis ini
menunggang kuda di jalan yang berbahaya! Untunglah
aku berhasil menyelamatkannya..!" berkata Guci Ma-
nik dengan kerutkan kening menatap Gaman Seto.
Perwira muda ini melompat dari punggung ku-
da. Lalu menjura pada pemuda ini. "Terima kasih atas
pertolonganmu, sobat. Aku... aku telah berusaha men-
gejar untuk mencegahnya, namun terlambat!" kata
Gaman Seto. Diam-diam dia memperhatikan orang di
hadapannya. "Siapakah pemuda berkulit hitam ini?
kalau tak memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin dia
dapat menyangga tubuh Retno Sekar. Apalagi kejadian
itu tak terduga..."
Gaman Seto memperhatikan ke arah jalan yang
dilalui kuda Retno Sekar. Dan tempat bekas tergelin-
cirnya kuda tunggangan gadis itu. Akan tetapi tak di-
lihatnya ada akar atau batu yang menghalangi jalan.
"Kudanya tergelincir ketika melintas dijalan
ini!" kata Guci Manik. "Jalan disini memang agak licin
oleh lumut!"
Gaman Seto manggut-manggut tanpa memper-
hatikan apakah memang jalanan itu berlumut atau ti-
dak. Lalu melangkah menghampiri Guci Manik. Diam-
diam hatinya agak mendongkol pada pemuda hitam
itu, karena tak menurunkan Retno Sekar dari pondon-
gannya. "Dia masih tak sadarkan diri, mungkin terke-
jut dengan kejadian barusan. Biarlah aku menyadar-
kannya!" kata Guci Manik. "Disana ada sebuah sungai
kecil. Dengan membasahi wajahnya dengan air, dia
tentu akan cepat siuman."
Melengak Gaman Seto. Sebelum sempat dia
menyahut, pemuda itu telah membawanya melompat
dari situ.
"Hei! tunggu!" teriak Gaman Seto terkejut. "Si-
kap pemuda itu sungguh aneh dan amat mencuriga-
kan. Jangan-jangan dia bermaksud tidak baik dengan
gusti putri..." sentak pemuda perwira ini dalam hati.
Dengan khawatir dia melompat untuk mengiku-
ti pemuda itu. Benar, seperti yang dikatakan pemuda
berkulit hitam itu. Tak berapa jauh dari situ terdapat
sebuah sungai kecil yang berair jernih.
Dengan gerakannya yang sebat, sebentar saja
Guci Manik telah tiba ditepi sungai. "Tenanglah! aku
akan membuat dia siuman lagi!" berkata Guci Manik
melihat si perwira muda menyusulnya.
Guci Manik segera membaringkan tubuh Retno
Sekar direrumputan. Lalu membungkuk untuk me
nyendok air dengan sebelah lengannya. Sementara
Gaman Seto terpaku memandang Retno Sekar. Tak ta-
hu apa yang akan diperbuatnya. Pada saat itulah tiba-
tiba Gaman Seto memekik keras ketika percikan air
menyemprot wajahnya. Semprotan air itu adalah ulah
perbuatan Guci Manik. Di saat Gaman Seto mengaduh
dengan terhuyung-huyung mengucak-ucak matanya
yang perih bukan main. Pada detik itulah Guci Manik
dengan sebat memondong tubuh Retno Sekar. Dan me-
larikan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Gaman Seto marahnya bukan alang-kepalang.
Begitu berhasil membuka mata dia jadi terperangah
kaget, karena baik pemuda itu maupun Retno Sekar,
kedua-duanya telah lenyap. "Hah!? apa yang terjadi?"
sentaknya terkejut. "Keparat! aku telah terpedaya!" Pu-
catlah seketika wajah Gaman Seto. Dia melompat ke-
sana kemari dengan berteriak-teriak. "Penculik jaha-
nam! pengecut licik! keluarlah kau dari tempat per-
sembunyianmu! Mari hadapi aku secara kesatria!"
Dengan kalap Gaman Seto melompat kesana
kemari mencari jejak pemuda berbaju kulit harimau
itu. Namun Gaman Seto tak berhasil menjumpainya.
Pada saat itulah terdengar ringkik kuda. Ga-
man Seto tersentak kaget. Dia sangat hapal dengan
suara kudanya. Bagai disengat kala dia berkelebat me-
lompat dan berlari cepat dengan bergegas untuk
meme-riksa dimana kudanya ditinggalkan. Terlambat!
Derap kaki kuda telah terdengar menjauh! Ketika dia
tiba dijalan itu yang tampak cuma punggung pemuda
itu yang telah membedal kuda dengan cepat dengan
memondong gadis itu.
"Keparat!" maki Gaman Seto dengan menggigit
gerahamnya. "Aku tak boleh membiarkan dia kabur.
Keselamatan gusti puteri berada ditanganku!" berkata
dalam hati Gaman Seto. Detik itu juga dengan mem
bentak keras dia telah mengejar si penculik itu.
Napas Gaman Seto tersengal-sengal. Perwira
muda ini merasakan napas hampir putus. Akan tetapi
mana mampu dia mengejar seekor kuda yang mem-
bedal lari dengan cepat? Sebentar saja dia sudah jauh
tertinggal di belakang.
3
GUCI MANIK membedal kuda dengan cepat.
Sementara benaknya mengatur rencana terkutuk.
"Haha.. gadis secantik ini sukar didapat. Hari ini aku
sungguh beruntung mendapatkannya. Aku tak boleh
melewatkan kesempatan baik ini begitu saja.."
Entah berapa lama Retno Sekar tak sadarkan
diri setelah mengalami kejadian itu. Ketika dia mulai
sadarkan diri, terkejutlah dia karena kaki tangannya
se-rasa lumpuh tak dapat digerakkan. Semakin terke-
jut dia ketika melihat dirinya berada di dalam sebuah
pondok. Dan tubuhnya terbaring di atas balai-balai
bambu.
Guci Manik segera menyembunyikan kuda
rampasannya ke belakang pondok, setelah memba-
ringkan tubuh gadis yang diculiknya dibalai-balai
bambu dalam ruangan pondok itu. Dia tak mengetahui
adanya sesosok bayangan yang menyelinap masuk ke
pintu pondok. Sosok tubuh ini mendekati Retno Sekar.
Membelalak mata Retno Sekar melihat sesosok tubuh
tahu-tahu muncul di hadapannya. Sebelum dia sempat
berteriak, laki-laki yang menutup wajahnya sebatas
hidung dengan secarik kain itu telah ulurkan lengan-
nya menekap mulutnya, dan menotok urat suaranya.
Kejap berikutnya dia telah berada dalam pondongan
laki-laki itu.
Brak!
Sekali hantam daun pintu pondok itu hancur
berkepingan. Laki-laki ini berkelebat melompat keluar
pondok.
Saat itu Guci Manik baru saja selesai menyem-
bunyikan kuda.
Bukan main terperanjatnya dia mendengar su-
ara bergedubrakan dan melihat serpihan daun pintu
bertebaran keluar pondok. Ketika melihat seseorang
berkelebat keluar dan jelas terlihat memondong seso-
sok tubuh, Guci Manik terlonjak kaget.
"Bangsat! siapa kau?"
Bentakan itu disusul dengan gerakan melompat
mengejar orang itu. Akan tetapi serangkum angin ke-
ras menyambar ke arahnya membuat dia melompat
menghindar. Saat itu dipergunakan orang itu untuk
berkelebat cepat angkat kaki dari tempat itu. Gerakan-
nya ringan sekali walaupun gadis itu berada dalam
pondongannya.
Guci Manik tertegun seperti kena sihir dalam
terperangahnya karena kagum akan kegesitan orang
itu. Dia baru tersadar ketika sosok tubuh yang mem-
bawa gadis yang diculiknya itu telah lenyap.
"Setan! jangan lari bangsat!" Guci Manik berke-
lebat mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan. En-
tah kemana berkelebatnya orang itu. Dengan muka
merah, Guci Manik memaki-maki.
Entah beberapa saat sudah berlalu. Laki-laki
bercadar itu tiba-tiba menghentikan larinya. Lalu
membaringkan tubuh gadis itu ditanah. Retno Sekar
menatap dengan pandangan takut dan cemas. Dia
mau berteriak, tapi suaranya tersangkut ditenggoro-
kan. Laki-laki bercadar itu melepaskan cadar penutup
wajahnya. Ternyata dia seorang laki-laki muda yang
tiada lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung adanya.
"Hm, tubuhmu berat sekali. Aku tak tahu ke-
mana harus menghantar mu, sebaiknya kau kube-
baskan dari pengaruh totokan..."
Selesai berkata Nanjar ulurkan lengannya un-
tuk membuka totokan ditubuh dara itu. Sekaligus
membuka totokan pada urat suaranya. Merasai tu-
buhnya telah terbebas dari pengaruh totokan, gadis ini
melompat bangun.
"Kau... siapakah? mengapa kau membawaku ke
tempat ini? Kau pasti akan berbuat jahat!" teriak Retno
Sekar dengan menyurut mundur.
"Haha... aku telah menolongmu dari tangan
orang jahat, mengapa kau mengatakan aku mau ber-
buat jahat?" Nanjar tertawa geli.
"Aku, aku tak mengerti! siapakah kau? Dan
siapa yang kau maksudkan orang jahat itu?" sentak si
gadis dengan wajah sebentar merah sebentar pucat.
"Namaku Nanjar. Secara kebetulan aku telah
membuntuti seorang laki-laki berbaju kulit harimau
yang tindak-tanduknya mencurigai. Ketika tiba di satu
tempat tepat disisi jalan di sebelah timur hutan, aku
melihat dua orang menunggang kuda. Penunggang
yang paling depan adalah seorang gadis yang melari-
kan kuda begitu cepat. Aku sudah dapat menerka ga-
dis penunggang kuda itu bukan gadis sembarangan
dan amat mahir mengendarai kuda. Gadis penunggang
kuda itu adalah kau sendiri!
Tiba-tiba aku melihat laki-laki yang aku kuntit
itu menjumput sebutir batu. Sebelum aku sempat
mencegah, dia telah menyambit kudamu hingga jatuh
ter-sungkur dan sebelah kaki depannya patah. Kau
sendiri terlempar dari atas punggung kuda. Ternyata
laki-laki itu punya gerakan cepat untuk segera me-
nyangga tubuhmu sebelum menyentuh tanah.
Agaknya kau pingsan setelah mengalami kejadian mendadak itu. Namun mataku tak dapat dikela-
bui, karena aku melihat jelas dia menotokmu...!" Nan-
jar berhenti sejenak dalam menuturkan kejadian itu
untuk melihat reaksi si gadis.
Akan tetapi dara ini cuma terpaku mendengar-
kan.
"Ketika kawanmu datang menyusul, laki-laki
itu berpura-pura akan menyadarkan kau, tapi ternyata
dia cuma berpura-pura saja?" Nanjar tuturkan keja-
dian dari awal hingga akhir tanpa ada satupun yang
dilewatkan. "Demikianlah, hingga aku berhasil meno-
longmu dari niat jahat laki-laki berbaju kulit harimau
itu!" Nanjar mengakhiri penuturannya.
"Jadi... jadi kau bukan orang yang menculik di-
riku?" sentak di gadis dengan wajah berubah cerah.
Rasa cemasnya lenyap seketika. Dari sikap dan kata-
kata pemuda berambut gondrong bertampang kumal
tapi memiliki ketampanan dibalik kekusutan wajahnya
itu, Retno Sekar dapat mengetahui pemuda itu tidak
berdusta.
"Ya, kalau kau percaya!" sahut Nanjar.
"Aku. aku percaya..!"
"Hm, sukurlah! Nah, sekarang kau ceritakanlah
siapa dirimu dan siapa pula kawanmu seperjalanmu
itu? Kemanakah sebenarnya tujuanmu?" tanya Nanjar.
"Namaku... Retno Sekar!" sahut si gadis. Kemu-
dian gadis ini segera menceritakan siapa adanya dia
dan menerangkan siapa pemuda kawan seperjalanan-
nya itu. Nanjar mendengarkan penuturan Retno Sekar
dengan penuh perhatian.
4
Sungguh aku tak menyangka kalau kau seo-
rang puteri Adipati!" berkata Nanjar setelah menden-
garkan penuturan gadis itu.
Retno Sekar tersenyum. "Kau tak perlu cang-
gung denganku, sobat Nanjar. Panggillah aku dengan
sebutan Retno Sekar saja!" ujar gadis ini.
"Baiklah, Retno Sekar! kukira sudah saatnya
aku mengantarkan kau ke rumahmu. Aku khawatir
berjumpa lagi dengan laki-laki berbaju kulit harimau
itu. Dia bukan seorang laki-laki yang dapat dianggap
remeh. Selain ilmunya tinggi, juga memiliki bermacam
kelicikan!"
Gadis ini mengangguk. "Baiklah, sebelumnya
aku mengucapkan beribu terima kasih atas kebaikan-
mu..." Nanjar cuma manggut dengan tersenyum.
"Kau tak malu berjalan bersamaku hingga
sampai ke Kota Raja?"
"Mengapa malu?" sahut Retno Sekar dengan
kerenyitkan keningnya. "Kau seorang laki-laki yang ga-
gah dan telah berbaik hati menolong dan mengan-
tarkan aku sampai ke Kota Raja, tentu ayahku akan
senang melihatmu!"
"Ha? tampangku begini kumal masih dibilang
gagah?"
"Hihihi.. kau memang tampan dan gagah, ma-
sakan aku berdusta?" Retno Sekar ternyata seorang
gadis yang lincah. Usianya baru menginjak tujuh belas
tahun. Gadis ini tertawa geli melihat sikap Nanjar yang
seperti seorang dungu. Sepasang matanya membeliak
dengan biji mata seperti orang bermata juling, ketika
mendengar dirinya dipuji tampan dan gagah.
"Kau ternyata seorang pemuda jenaka, Nanjar!
Sudahlah, hayo kita berangkat!" berkata Retno Sekar.
"Baiklah, tuan puteri..!" sahut Nanjar seraya
membungkuk mempersilahkan gadis itu untuk lewat
didepannya.
"Kau.. kau memang konyol, Nanjar!" Retno Se-
kar tersenyum. Hatinya sangat girang karena berkena-
lan dengan pemuda itu. Diam-diam dia bermaksud
menahan pemuda itu hingga beberapa hari di Kadipa-
ten dengan demikian dia dapat mengenai lebih dekat.
Sepanjang perjalanan menuju Kota Raja, Retno
Sekar tak banyak bicara. Tapi hatinya justru yang bi-
cara tiada henti.
"Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi.
Setahuku sifat orang Rimba Persilatan selalu aneh-
aneh. Pemuda ini telah berjasa besar menyelamatkan
diriku dari bencana. Ayah tentu akan memberinya
penghargaan..."
Sesekali dia melirik pada Nanjar yang berjalan
di sebelahnya.
"Kau tidak letih, Retno?" tanya Nanjar tiba-tiba.
"Aku... aku tidak letih!" sahut Retno Sekar.
Mendadak dia teringat ketika dirinya dipondong oleh
pemuda itu. Mengingat demikian wajahnya menjadi
bersemu merah. Entah mengapa diam-diam dia men-
ginginkan hal itu terulang lagi. Tapi mana dia berani
mengatakan bahwa dia minta dipondong?
"Hm, aku seorang anak Adipati. Tak boleh sem-
barangan berbuat sesuatu yang meruntuhkan marta-
batku didepan seorang laki-laki yang baru dikenal!"
berkata Retno Sekar dalam hati. Akan tetapi walaupun
hatinya mengatakan demikian, direlung hatinya yang
lebih dalam mengatakan lain. "Aneh! Ayah selalu men-
gatakan demikian terhadapku. Apakah manusia harus
dibedakan dengan derajat dan kedudukan-nya? Kukira
tidak!" hati kecilnya membantah.
Apa yang tersirat dihati kecil Retno Sekar me-
mang benar. Manusia tak dapat dibedakan dari derajat
dan pangkat atau kedudukannya. Tapi manusia dibe
dakan karena perilakunya. Seorang pembesar Kerajaan
bisa saja berbuat suatu hal yang tidak baik dan bisa
menjatuhkan harkat kemanusiaannya.
Seorang rakyat jelata bisa saja mempunyai ke-
dudukan tinggi dimata orang banyak, karena budi ke-
baikan serta jasanya.
"Kita telah tiba diperbatasan Kota Raja, Retno!
Apakah aku harus mengantarmu sampai ke Kadipa-
ten?"
Pertanyaan Nanjar membuat Retno Sekar terke-
jut. Karena dalam perjalanan dia banyak melamun,
hingga tak menyadari kalau telah tiba diperbatasan
Kota Raja.
Pada saat itu dikejauhan terlihat seekor kuda
membedal cepat ke arah mereka. Ketika semakin men-
dekat Retno Sekar berteriak girang.
"Gaman Seto!" teriaknya. Benarlah orang ber-
kuda itu tak lain dari Gaman Seto si perwira muda Ke-
rajaan yang mengawal kepergiannya ke suatu tempat.
Karena kejadian ditengah jalan sekembali dari tempat
yang dituju, perwira muda itu terpisah. Bukan main
girangnya dia melihat kemunculan pemuda pengawal-
nya itu dalam keadaan selamat.
"Gusti puteri..! Siapakah orang ini?" berkata
Gaman Seto seraya melompat dari punggung kuda.
"Dialah yang telah menyelamatkan diriku, Ga-
man Seto! Hayo kau haturkan hormat padanya!" sahut
Retno Sekar. Tak menunggu diperintah dua kali, Ga-
man Seto segera menjura dengan membungkukkan
tubuh pada Nanjar. Nanjar membalas dengan menjura
pula.
"Ah, secara kebetulan aku berada ditempat ke-
jadian dan tak sengaja telah menolong gusti puteri
Retno Sekar..." kata Nanjar.
"He? kau menyebutku gusti puteri?" Retno Sekar pelototkan mata memandang Nanjar. Nanjar jadi
garuk-garuk tengkuknya. "Aku cuma membahasakan
dirimu pada pengawalmu ini" Nanjar menjelaskan.
"Tidak! kau harus tetap menyebutku Retno Se-
kar!" Retno Sekar berkeras dengan keinginannya.
"Ya, ya! aku secara kebetulan telah menolong
Jeng Retno Sekar" Nanjar mengulangi kata-katanya
dengan menatap pada Gaman Seto. Walau sikap Ga-
man Seto kelihatan tak menampilkan perubahan apa-
apa, tapi dalam hati perwira muda ini berkata. "Hm,
agaknya Retno Sekar telah mendapat sahabat baru
penggantiku? Aku sangsi apakah benar dia yang telah
menolong dari tangan penculik itu!" Diam-diam dia
memperhatikan Nanjar dari ujung rambut sampai ke
kaki dengan sikap kurang yakin.
"Siapakah namamu, sobat?" tanya Gaman Seto
dengan suara agak ditekan. Entah mengapa perasaan
"cemburu" tiba-tiba menindih dadanya.
"Namaku Nanjar, atau lengkapnya Ginanjar..."
Gaman Seto manggut-manggut. Sebelum Ga-
man Seto bertanya lebih lanjut Retno Sekar telah me-
narik lengan Nanjar. "Sudahlah, Gaman Seto. Kau be-
rangkatlah lebih dulu. Yang penting aku sudah sela-
mat. Kau tak usah khawatir didamprat ayahku atau
mendapat hukuman karena ketidak becusanmu men-
gawalku! Mari Nanjar! kau harus mengantarku sampai
ke gedung Kadipaten!"
Gaman Seto tak dapat berkata apa-apa selain
mengangguk dengan wajah berubah merah karena ma-
lu dikatakan tidak becus didepan pemuda itu.
"Baiklah, gusti puteri..!" sahutnya.
Cepat Gaman Seto segera menghampiri ku-
danya dan melompat ke atas punggung kuda tunggan-
gannya. Akan tetapi baru saja dia mau membedal ku-
danya mendadak Retno Sekar berkata.
"Tunggu!"
"Ada perintah apa lagi, gusti puteri?" tanya Ga-
man Seto dengan menyembunyikan kemendongkolan
hatinya.
"Katakan pada ayahku untuk mengadakan pe-
nyambutan pada tetamu kita ini! Katakan bahwa tak
lama lagi aku segera tiba!"
"Ba..baik, gusti puteri..!"
Seusai menyahut Gaman Seto segera membedal
kudanya dengan cepat meninggalkan perbatasan itu.
Hampir meledak rasanya dada Gaman Seto mendengar
perintah itu. Dia adalah seorang perwira Kadipaten,
akan tetapi di hadapan pemuda asing itu tak ubahnya
seperti seorang pesuruh saja.
"Tidak! aku tak akan menyampaikan perintah
itu pada Kanjeng Adipati walaupun aku harus mene-
rima hukuman sekalipun!"
Gaman Seto merasa dirinya direndahkan di ha-
dapan pemuda itu. "Tak seharusnya Retno Sekar ber-
sikap demikian, walaupun pemuda itu telah meno-
longnya!" desis laki-laki ini dalam hati. "Seandainya
aku dapat mengejar si manusia penculik itu, tentu na-
sibku tak sesial ini!" pikir Gaman Seto. Gaman Seto
menyesali kebodohannya yang kurang waspada. Hing-
ga dia mudah diperdayai laki-laki berbaju kulit hari-
mau itu. Dalam pencariannya mengejar laki-laki yang
membawa lari Retno Sekar, Gaman Seto cuma mene-
mukan kudanya di belakang sebuah pondok dalam hu-
tan. Dengan hati kalut dia segera kembali pulang un-
tuk melaporkan kejadian itu. Dia sudah pasrah untuk
menjalani hukuman apapun karena peristiwa itu
Untunglah dia menjumpai Retno Sekar dalam
keadaan selamat. Dia menarik napas lega. Akan tetapi
pemuda yang dikatakan telah menolong Retno Sekar
telah membuat dia cemburu. Sikap Retno Sekar seperti
tak memandang sebelah mata terhadap dirinya.
Memang tak dapat disembunyikan bahwa diam-
diam Gaman Seto mencintai gadis puteri Adipati Sa-
wunggana. Ketika mendapat perintah dari Adipati un-
tuk mengawal Retno Sekar ke desa Weringin Kolot,
tempat tinggal seorang guru silat yang bernama Ki
Pandoyo, dia amat girang hati.
Dengan demikian dia bisa mencurahkan pera-
saannya pada gadis itu.
Semua niatnya ternyata punah karena peristi-
wa itu. Walaupun dia dapat berlega hati dengan sela-
matnya Retno Sekar dari tangan si penculik, namun
dadanya dibakar api cemburu yang panasnya tak ter-
perikan. Dirinya tak ubahnya bagaikan seorang ma-
nusia kerdil yang tak ada harganya. Dengan wajah me-
rah padam dia melarikan kudanya bagai kesetanan.
Ketika hampir mendekati pintu penjagaan Ka-
dipaten, tiba-tiba Gaman Seto menghentikan lari kuda-
nya.
"Tidak! aku tak akan mematuhi perintah itu!
Tak perduli apapun yang bakal terjadi!" berkata Ga-
man Seto dalam hatinya. Keputusannya telah bulat
Detik itu juga Gaman Seto memutar kudanya dan
menghilang ditikungan jalan...
5
Nanjar yang tahu gelagat tidak baik melihat si-
kap Gaman Seto sang perwira muda itu dengan halus
menolak ajakan Retno Sekar untuk mengantar sampai
ke gedung Kadipaten dan menghadap ayah gadis itu.
"Lain kali kalau aku ada kesempatan tentu
akan singgah di gedung kediamanmu!" kata Nanjar.
"Tidak! kau harus mengantarku sampai ke ru
mahku dan menemui ayahku!" Retno Sekar berkeras
mengajak Nanjar untuk menghadap ayahnya.
"Terimakasih, Retno..! tapi maafkanlah aku.
Aku berjanji takkan melupakan dirimu..! Nah, sampai
bertemu lagi!" selesai berkata Nanjar segera memutar
tubuh, dan melangkah lebar meninggalkan tempat itu.
Gadis ini terpaku dengan wajah bersemu merah. Ham-
pir-hampir dia menangis karena kecewanya. Tapi tak
lama dia sadar bahwa dia tak dapat memaksa pemuda
itu. Mungkin dia malu dengan keadaan dirinya, pikir
Retno Sekar seraya mempercepat langkahnya untuk
segera tiba digedung Kadipaten.
Sementara itu Nanjar telah berada di sebelah
barat perbatasan Kota Raja. Senja hampir tiba ketika
Nanjar memasuki sebuah desa.
Mendadak Nanjar menahan langkah, ketika na-
lurinya yang tajam dapat merasakan adanya seseorang
yang membuntutinya.
"Hm, siapakah orang itu? ada maksud apa
membuntutiku?" berkata Nanjar dalam hati. "Ingin ku-
lihat siapa manusianya! jangan-jangan si laki-laki ber-
baju kulit harimau..."
Mendadak Nanjar mengalihkan niatnya untuk
singgah ke desa itu. Langkahnya membelok ke arah ki-
ri dimana padang rumput terbentang, dan sawah ker-
ing yang belum ditanami.
Tepat diujung jalan tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat dan sesosok tubuh telah berdiri tegak
menghadang dijalan yang akan dilalui. Dugaan Nanjar
meleset jauh, karena orang yang menghadang itu tidak
lain dari Gaman Seto si perwira Kerajaan.
"Tahan dulu langkahmu, pendekar gagah!" ber-
kata Gaman Seto dengan suara dingin. Walaupun me-
nyebut kata-kata "pendekar gagah", tapi Gaman Seto
bermaksud menghina. Karena jelas tampak bibirnya
mencibir dengan senyum tak sedap dipandang.
"Hoi! kiranya kau, sobat Gaman Seto? ada apa-
kah kau mencegat perjalananku?" tanya Nanjar de-
ngan tersenyum. Diam-diam dia memperhatikan sikap
perwira muda ini.
"Heh! kalau tak ada hal penting, tak mungkin
aku menahanmu!" sahut Gaman Seto dengan suara
angker.
"Ada hal yang penting?" Nanjar kerutkan ke-
ningnya. Diam-diam dia terkejut juga mendengar kata-
kata Gaman Seto.
"Ya! suatu hal yang penting dan ada pertalian-
nya dengan kau!"
"Hm, aku tak mengerti, sobat! sebaiknya kau
katakan saja apakah hal yang kau katakan penting itu
hingga kau mencegatku?"
Gaman Seto menatap Nanjar dengan tatapan
tajam. Sinar matanya menyorotkan api kecemburuan
juga iri hati yang jelas terlihat oleh Nanjar.
"Tahukah kau orang asing, dengan siapa kau
berhadapan?" tanya Gaman Seto. Nanjar naikkan alis-
nya dengan heran.
"Bukankah kau bernama Gaman Seto?" sahut
Nanjar dengan tersenyum,
"Heh! kau berhadapan dengan Panglima pasu-
kan sayap kiri Rajawali Sakti, Kerajaan Purwa Carita.
Aku bertugas sementara sebagai kepala prajurit Kadi-
paten atas persetujuan Gusti Patih Panji Rana. Dan
atas permintaan Gusti Adipati Sawunggana!"
"Ooo... begitu? Jadi ada perlu apakah sebenar-
nya kau mencegat perjalananku, tuan Panglima?" ta-
nya Nanjar tanpa menunjukkan rasa terkejut.
"Bagus! sebagai seorang panglima, aku patut
mencurigai setiap orang asing yang masuk ke wilayah
Kota Raja. Walaupun menurut Gusti puteri Retno Se
kar, kau telah berjasa menolongnya!"
"Dengan dasar apa tuan Panglima mencurigai
diriku?" tanya Nanjar. "Gusti Puteri Retno Sekar tak
sembarangan bergaul dengan orang biasa. Apalagi
orang asing sepertimu. Akan tetapi sikapnya seperti ti-
dak wajar! Aku curiga! jangan-jangan kau bermaksud
tidak baik di belakang hari dengan kemunculanmu di
Kota Raja! Dan siapa tahu laki-laki berbaju kulit hari-
mau itu adalah kawanmu sendiri!" kata Gaman Seto
dengan tegas.
Nanjar jadi membesarkan mata mendengar ka-
ta-kata Gaman Seto. Akan tetapi Nanjar sudah dapat
menduga bahwa Gaman Seto sengaja cari perkara. Da-
sarnya adalah cuma rasa cemburu karena sikapnya
Retno Sekar yang agak keterlaluan ketika berbicara
pada perwira muda ini di hadapannya.
"Hahaha... apakah aku tak salah dengar? Aku
menolong orang tanpa pamrih dan tak mengharapkan
balasan apa-apa, juga tak perduli siapa yang aku to-
long. Apakah dia seorang rakyat jelata atau anak se-
orang pembesar Kerajaan. Adalah aneh kalau kau
mencurigai aku berkomplot dengan laki-laki berbaju
kulit harimau itu..!"
"Kau boleh bicara sekehendakmu, tapi aku ter-
paksa harus menahanmu untuk sementara, demi men-
jaga hal yang tak diinginkan! Demi ketenteraman wi-
layah Kota Raja!" sambar Gaman Seto dengan suara
tandas. Nanjar jadi melengak. "Hm, manusia sombong
ini agaknya perlu diberi pelajaran!" berkata Nanjar da-
lam hati.
"Silahkan kau menahanku, tuan Panglima. De-
ngan cara bagaimanakah kau menghendaki?" tanya
Nanjar dengan sikap tak melakukan perlawanan.
"Bagus! kau akan menjadi tawanan istimewa
dan akan diperlakukan dengan baik bila kau tak me
lawan! Nah! Ulurkanlah kedua lenganmu!" berkata
Gaman Seto seraya mengeluarkan sebuah borgol dari
celah ikat pinggangnya.
Nanjar tak membantah. Kedua lengannya diju-
lurkan ke depan. Gaman Seto dengan gerakan sebat
segera menggubat pergelangan tangan Nanjar, dan se-
kaligus menguncinya.
"Balikkan tubuhmu, dan ikuti jalan ini!" perin-
tah Gaman Seto. Tanpa membantah Nanjar ikuti perin-
tah itu.
"Akan kau bawa kemana aku?"
"Tak usah banyak bicara! ikuti saja apa yang
kuperintahkan!"
"Baik! baik, tuan Panglima" sahut Nanjar den-
gan sikap seperti orang bodoh.
"Hm, ternyata tak sesukar seperti yang ku-
bayangkan..." berkata Gaman Seto dalam hati. "Pemu-
da sedungu inikah yang telah berhasil merebut Retno
Sekar dari tangan si penculik? Aku benar-benar tak
percaya!"
Cuaca kian gelap. Nanjar terus digusur melewa-
ti jalan-jalan penuh semak belukar. Sementara benak
Gaman Seto bekerja mengatur rencana.
"Akan ku apakankah pemuda dogol ini? Apakah
sebaiknya kuhabisi saja nyawanya ditempat ini?" pi-
kirnya. "Untunglah dia menolak diajak menghadap
Gusti Adipati. Hal itu akan membahayakan diriku. Aku
akan didamprat habis-habisan oleh Gusti Adipati se-
bagai seorang pengawal yang tidak becus! Dan bisa-
bisa aku dipecat dari jabatan Kepala Kadipaten! Un-
tunglah pemuda dogol ini percaya bahwa aku adalah
seorang Panglima Kerajaan, hingga aku tak susah-
susah untuk menawannya!"
Benak Gaman Seto terus memikir. "Kalau saja
pemuda dogol ini dapat ku peralat, tentu akan segera
tercapai cita-citaku! Hm, sebaiknya kukorek keteran-
gan dari mulut si dogol ini..." Mendadak Gaman Seto
memerintahkan Nanjar berhenti.
"Ada apa tuan Panglima? tadi kau menyuruh
aku berjalan cepat-cepat. Sekarang menyuruh berhen-
ti..!" Nanjar jatuhkan pantatnya ditanah.
"Dengar, sobat! Hm, namamu Nanjar, bukan?
Nah, dengar Nanjar! ada satu hal yang akan kubicara-
kan denganmu!" kata Gaman Seto dengan suara pela-
han. "Aku akan melepaskanmu dan membebaskan kau
dari tuduhan, asalkan kau berkata terus terang!" Seje-
nak Nanjar tertegun, lalu menatap tajam-tajam wajah
Gaman Seto.
"Apakah yang akan kau tanyakan?"
"Bagus!" seringai Gaman Seto. "Ceritakanlah
bagaimana kau bisa merebut Gusti Retno Sekar dari
tangan penculik itu? itu pertanyaan kesatu! Perta-
nyaan kedua, apakah benar dia kawanmu ataukah
kau memang tak mengenalnya? Dan ketiga! Apakah
kau mempunyai ilmu kepandaian menundukkan hati
perempuan?"
Nyaris Nanjar tertawa gelak-gelak mendengar
ketiga pertanyaan itu. Pertanyaan yang terakhir itulah
yang membuat dia hampir tertawa geli. Tapi dengan
menahan senyum, Nanjar segera menyahut.
"Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa se-
lain kepandaian menipu orang! Laki-laki berbaju kulit
harimau itu aku tak mengenalnya. Secara tak sengaja
aku melihat laki-laki itu memondong seorang gadis ke
dalam sebuah pondok..." Nanjar berhenti sebentar. Un-
tuk menyeka peluhnya yang mengalir didahi dengan
kedua lengannya yang diborgol.
"Teruskan! teruskan!" Gaman Seto menelan lu-
dah tak sabar.
"Tadinya aku tak perduli, kupikir aku tak perlu
mencampuri urusan orang. Tapi ketika laki-laki itu ke-
luar lagi untuk menyembunyikan kudanya di belakang
pondok, aku segera masuk ke kolong rumah..."
"Apa yang kau lakukan dikolong rumah itu?"
tanya Gaman Seto.
"Tadinya aku berniat mengintip. Tapi kubatal-
kan ketika melihat sebongkah kapur tak jauh dide-
katku. Lalu ku lumuri rambutku dengan kapur. Bukan
saja rambutku, tapi juga sekujur tubuhku termasuk
mukaku! Kemudian aku duduk di bawah tangga den-
gan bersila. Ketika laki-laki itu muncul lagi dan akan
memasuki pondok, dia terkejut melihat aku. Karena
tadi dia tak melihat siapa-siapa. Laki-laki itu melompat
kaget dan dengan suara menggeledek membentakku.
Dia menanyakan siapa aku. Aku katakan bahwa aku
adalah seorang manusia setengah siluman yang meng-
huni pondok itu..." Nanjar berhenti sejenak untuk me-
leletkan lidah. Dilihatnya Gaman Seto dengan penuh
perhatian, mendengarkan bualannya
"Tampaknya dia percaya. Cuaca gelap dikolong
rumah menolongku, hingga barut-barut bekas kapur
yang ku balurkan di sekujur tubuhku tak terlihat. Se-
gera kukatakan pada laki-laki itu bahwa perempuan
yang dibawanya mengidap penyakit menular. Dan ku
cegah meneruskan niatnya untuk menggagahi pe-
rempuan itu. Laki-laki itu manggut-manggut. Tampak-
nya dia percaya pada apa yang kukatakan. Kemudian
aku menyuruhnya pergi ketujuh buah sungai untuk
membersihkan tubuhnya, karena dia telah menyentuh
kulit perempuan itu. Kukatakan pula bahwa kalau dia
tak mematuhi syarat itu dia akan kena kutukan ku,
karena telah sembarangan memasuki rumah kosong
tanpa meminta izin padaku! Ketika dia pergi, aku se-
gera menyadarkan gadis itu dan cepat-cepat kuajak
meninggalkan tempat itu... hingga kemudian berjumpa
dengan tuan Panglima di perbatasan Kota Raja."
Gaman Seto manggut-manggut, seraya berkata.
"Kau sungguh cerdik!"
"Nah, masih ada satu pertanyaan lagi, yaitu
pertanyaan yang ketiga. Kau katakanlah dengan jujur
apakah kau memiliki ilmu yang kusebutkan tadi?"
"Ketika setahun yang lalu aku tinggal dirumah
kakekku, aku memang diberi wejangan untuk menga-
malkan satu ilmu aneh. Aku sendiri tak mengetahui
kegunaan ilmu itu..." kata Nanjar setelah termenung
sejenak.
"Pasti ilmu yang kumaksudkan itu!" sentak Ga-
man Seto. "Katakanlah, amalan apakah yang kakekmu
menyuruhmu mengerjakan?" tanya Gaman Seto den-
gan tak sabar.
"Pertama-tama kakek menyuruhku bersemadhi
di sudut kamar dengan bertelanjang bulat, sambil
mengucap.
REP SIREP, SAPI LANANG SAPI WEDOK,
MBAHMU ORA KETOK..! Selama satu hari satu malam
terus menerus!" Gaman Seto manggut-manggut. Lalu
menyuruh Nanjar mengulangi beberapa kali. Setelah
hapal, lalu dia menyuruh Nanjar meneruskannya.
"Kemudian setelah bersemedhi satu malam.
Berturut-turut tujuh malam aku disuruh memutari
rumah dengan telanjang bulat!"
"Dengan te...telanjang bulat?" sentak Gaman
Seto terkejut.
"Ya! tapi kau tak usah khawatir, kakekku men-
gatakan bahwa tak seorangpun yang akan melihat. Ka-
rena setelah bersemedhi dan membaca amalan itu, tu-
buh akan terisi oleh ilmu ghaib hingga orang tak
mampu melihat diri kita!" Lagi Gaman Seto manggut-
manggut.
"Lalu masih adakah syarat lainnya?"
"Tidak, hanya itu!" sahut Nanjar.
"Bagus! kalau cuma begitu tak susah untuk
mengerjakannya!" desis Gaman Seto dalam hati. "Teri-
ma kasih atas keteranganmu, sobat Nanjar!"
"Aku masih ada beberapa pertanyaan lagi, tapi
tidak sekarang! Cuaca sudah semakin gelap. Malam ini
kita menginap disebuah dangau. Diujung hutan kecil
ini kita akan menjumpai dangau itu..." kata Gaman Se-
to.
"Cepatlah! aku tak mau kemalaman di hutan
ini! Setelah kau menjawab pertanyaanku, aku akan
menepati janji untuk melepaskanmu!" Nanjar cuma
mengangguk. Kemudian bangkit berdiri untuk mene-
ruskan langkah menyusuri jalan setapak di hutan kecil
itu. Sebenarnya Nanjar dapat saja melepaskan diri dari
belenggu. Tapi dia ingin tahu apakah yang akan dita-
nyakan Gaman Seto lagi?. Walaupun demikian Nanjar
tak lepas dari kewaspadaan terhadap sikap Gaman Se-
to.
Apa yang terbersit dibenak Gaman Seto saat
itu? "Haha... aku telah berhasil mengorek keterangan
dari pemuda dogol ini. Inilah saat yang baik untuk
menghabiskan nyawanya karena aku telah tidak me-
merlukan lagi!" Sambil melangkah mengikuti Nanjar di
belakang, pelahan-lahan Gaman Seto menarik keluar
klewangnya dari pinggang. Wajah perwira muda ini
menyeringai. "Selamat jalan ke Akhirat, pemuda dogol!"
berkata dia dalam hati.. Klewangnya telah terangkat
dan siap ditebaskan ke batang leher si Dewa Linglung
"Eh, tuan Panglima! aku lupa mengatakan pa-
damu! Ada satu syarat lagi untuk memiliki ilmu pemi-
kat perempuan itu..!" kata Nanjar tiba-tiba. Secepat ki-
lat Gaman Seto menyembunyikan klewangnya ke bela-
kang punggung.
"A.. apakah syarat itu, sobat Nanjar?" tanya Gaman Seto agak gugup. "Selama kau memutari rumah
sebanyak tujuh malam berturut-turut, kau tak boleh
bicara apa-apa. Jangan lupa, kau harus memutari ru-
mah sebanyak tujuh kali setiap malam. Pekerjaan itu
cukup banyak halangannya, tapi kau harus tabah. Ka-
rena kalau gagal kau harus mengulanginya lagi dari
semula!"
"Ya, ya! aku mengerti..!" sahut Gaman Seto
manggut-manggut.
"Sudahlah, percepat langkahmu..!" Gaman Seto
sudah tak sabar untuk cepat menghabisi nyawa si De-
wa Linglung. Mendadak Nanjar merandek.
"Ssst..! ada seseorang membuntuti kita di sebe-
lah kanan hutan. Jangan-jangan si laki-laki berbaju
kulit harimau itu yang membuntuti kita!" bisik Nanjar.
Gaman Seto berpaling ke arah yang ditunjuk Nanjar
dengan mulutnya yang dimonyongkan.
"Kulihat sesosok bayangan menyuruk ke dalam
gerombolan ternak disana itu!" Nanjar kembali berbi-
sik. Wajah Gaman Seto berubah tegang dan tampak
membesi. "Bagus! kalau benar dia aku akan menang-
kapnya hidup-hidup. Dia telah mempermainkan aku!"
Berkata Gaman Seto dengan geram.
"Manusia busuk! keluarlah kau dari tempat
persembunyianmu!"
"Whuut! Pras..!
Gaman Seto layangkan pukulannya menghan-
tam semak belukar hingga rebah berhamburan. Kle-
wangnya siap dipergunakan untuk menebas bila sosok
tubuh orang yang bersembunyi itu muncul. Akan teta-
pi tak ada tanda-tanda dibalik belukar itu ada manu-
sia. Bukan kepalang terkejutnya Gaman Seto ketika
kembali ke tempatnya ternyata pemuda tawanannya
telah lenyap. Semakin membelalak mata perwira muda
ini melihat rantai borgol yang tergeletak ditempat itu.
Rantai borgol itu masih utuh dan dalam keadaan ter-
kunci. "Aneh! apakah dia...dia dapat menghilang? Atau
punya ilmu mengecilkan tubuh?" berkata Gaman Seto
dalam hati.
"Hah!? jangan-jangan dia benar-benar manusia
se.. setengah siluman?" sentak Gaman Seto mendesis.
Tak ayal lagi perwira ini segera angkat langkah seribu
dengan wajah pucat, lari terbirit-birit menerobos hutan
meninggalkan tempat itu.
6
Jadi kau belum sampai ke desa Weringin Kolot
menemui Ki Pandoyo?" tanya Adipati Sawunggana me-
natap anak gadisnya Retno Sekar Gadis itu mengge-
leng. "Karena kejadian itulah, niatku jadi terhalang,
ayah..! Ah, sayang sekali pemuda itu tak mau kuajak
menghadapmu"
"Siapakah nama pemuda itu dan darimanakah
asalnya?"
"Aku tak menanyakan dia berasal dari mana,
dia bernama Nanjar."
"Nanjar?" sentak Adipati Sawunggana dengan
kerenyitkan keningnya.
"Apakah orangnya bertampang seperti orang
bodoh, berambut panjang sebatas bahu, kumal dan..."
"Benar, ayah! tapi dia..dia sebenarnya tampan,
walaupun tampak kumal Dan dia memiliki ilmu yang
amat tinggi! Buktinya dia berhasil menolongku dari
tangan penculik itu..." potong Retno Sekar.
"Kau benar, anakku! Tahukah kau siapa pemu-
da itu? Dialah seorang tokoh muda Rimba Persilatan
yang terkenal dengan gelar di Dewa Linglung. Bahkan
ada pula yang menggelarinya si Pendekar Naga Merah!
Dan dia pulalah yang pernah menolongku pada bebe-
rapa bulan yang lalu ketika aku dalam perjalanan ke
Mataram atas perintah Gusti Prabu!"
Melengak Retno Sekar mendengar penuturan
ayahnya sang Adipati Sawunggana.
"Pantas kalau demikian, ayah! sayang... aku tak
berhasil membujuknya untuk menghadap ayah" kata
Retno Sekar dengan wajah penuh kemasygulan.
"Ya, sayang sekali. Akupun belum sempat men-
gucapkan terima kasih pada pemuda gagah itu. Anak
muda itu agaknya tak mau aku memberi penghargaan
padanya..."
Kemudian Adipati Sawunggana menuturkan ke-
jadian yang dialaminya pada beberapa bulan yang lalu
pada Retno Sekar. Pada kurang lebih empat bulan
yang lalu Adipati Sawunggana mendapat perintah dari
sang Prabu Citrasoma untuk mengantarkan surat dan
upeti ke kerajaan Mataram yang berdaulat atas kera-
jaan Purwacarita. Ditengah perjalanan ketika melintasi
sebuah hutan yang bernama Alas Jajaten, mendadak
rombongannya dihadang oleh segerombolan perampok.
Terkejutlah Adipati Sawunggana ketika mengetahui
kepala perampok itu tak lain dari Bantar Parean, yang
bergelar si Gagu Tangan beracun.
Manusia yang terkenal kejam dan ditakuti di
wilayah Alas Jajaten itu adalah bekas seorang buronan
Kerajaan Mataram yang masih berkeliaran dan sering
muncul mengganggu ketenteraman penduduk. Entah
berapa puluh manusia telah melayang ditangannya.
Bukan saja dari pihak kaum kerajaan, akan tetapi juga
dari pihak kaum pendekar. Manusia telengas ini mun-
cul dan perginya bagaikan hantu. Agaknya dia dan
komplotannya banyak mempunyai jalan-jalan dan
tempat-tempat rahasia untuk bersembunyi.
Terjadilah pertarungan yang memakan korban
belasan pengawal. Anak-anak buah Bantar Parean ter-
nyata mempunyai ilmu yang tinggi. Baru anak buah-
nya saja sudah berhasil membunuh belasan prajurit
yang terlatih. Entah bagaimana tingginya ilmu si Gagu
tangan beracun itu? Adipati Sawunggana mati-matian
mempertahankan nyawanya. Dia berhasil menewaskan
empat orang anak buah Bantar Parean, sementara pra-
juritnya cuma tinggal beberapa orang lagi
Pada saat itulah muncul si manusia telengas
itu. Pertarungan tak dapat dihindarkan lagi. Dengan
semangat baja Adipati Sawunggana bertarung mem-
pertahankan nyawa. Akan tetapi kehebatan ilmu Ban-
tar Parean tidak cuma khabar beritanya saja. Nyaris
leher Adipati itu putus disambar senjata si Gagu Ta-
ngan Beracun, kalau pada detik itu tak muncul seseo-
rang yang menolong jiwanya. Terpana Adipati Sa-
wunggana melihat kehebatan pertarungan antara si
penolong melawan Bantar Parean. Ternyata tak sampai
lebih dari dua belas jurus, sang penolong itu berhasil
menewaskan si Gagu Tangan Beracun.
Beberapa anak buahnya yang melihat kematian
ketua mereka segera melarikan diri. Ternyata si pe-
nolong itu tak kepalang tanggung bekerja. Sisa-sisa pe-
rampok itu berhasil diringkusnya dan diserahkan pada
Adipati Sawunggana. Sebelum Adipati Sawunggana
sempat mengucapkan terima kasih, laki-laki muda
yang bertampang kumal seperti orang bodoh itu telah
berkelebat pergi. Adipati Sawunggana mencoba menge-
jar. Disamping ingin mengenai siapa adanya pemuda
gagah itu dia juga ingin pemuda itu ikut ke Mataram.
Setidak-tidaknya pemuda itu akan mendapat penghar-
gaan besar dari sang Prabu Kerajaan Mataram bila dia
menceritakan kejadian tersebut, dengan bukti bebera-
pa orang anak buah Bantar Parean, serta kepala si Ga-
gu Tangan Beracun. Akan tetapi pemuda gagah itu
cuma menyebutkan nama dan gelarnya saja. Lalu ber-
kelebat lenyap.
Retno Sekar terpaku mendengar penuturan
ayahnya. Begitu terpana dan terkesan dia pada kisah
yang diceritakan sang ayah. Akan tetapi kembali dia
menarik napas penuh kemasygulan mengingat dia
gagal menahan pemuda gagah itu.
"Satu hal yang membuat aku heran yaitu, sia-
pakah laki-laki berbaju kulit harimau yang diceritakan
Gaman Seto dan yang telah menculikmu itu?" Adipati
Sawunggana bangkit dari kursinya. Pandangan ma-
tanya menatap keluar pendopo. "Kukira dia cuma pen-
jahat picisan saja, ayah! Si Gaman Seto itulah yang tak
becus mengawalku! Kukira dia belum pantas diangkat
sebagai Kepala Prajurit Kadipaten! Ilmunya paling ti-
dak tiga kali lipat di bawah pemuda yang telah meno-
longku!"
"Pendapatmu tidak benar, anakku..! Laki-laki
berbaju kulit harimau itu tentu seorang tokoh hitam
yang baru muncul di dunia persilatan. Menurut kete-
rangan Gaman Seto ilmunya tak seberapa jauh diatas-
nya. Tapi orang itu amat licik dan berhasil memancing
Gaman Seto hingga dia berada jauh dari kau. Di ke-
sempatan itulah dia kembali ke tempat dimana kau
pingsan, dan membawamu melarikan diri" tukas Adi-
pati Sawunggana memprotes pendapat anak gadisnya.
"Mulai sekarang kau tak boleh kemana-mana,
anakku! Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu" ber-
kata Adipati Sawunggana setelah termenung sejurus
lamanya.
"Tapi ayah..! aku belum menemui Ki Pandoyo,
bukankah ayah telah mengizinkan aku berguru selama
beberapa bulan ditempat kediamannya?" tukas Retno
Sekar dengan wajah tertunduk menampakkan kekece-
waan.
"Kau harus mengerti, anakku. Bagaimana ka-
lau terjadi sesuatu yang menimpamu? Kau akan mem-
buat susah ayah dan ibumu. Aku akan mengundang
orang tua itu untuk menetap sementara disini. Bukan-
kah kau dapat belajar lebih tenang?" Retno Sekar tak
menyahut. Pendapat ayahnya memang baik, tapi dia
sudah bosan berdiam di Kadipaten. Kalau diizinkan
ayahnya tentu dia sudah mencari guru diwilayah lain
dan menetap di luar Kota Raja sampai dia kembali
dengan membawa hasil ilmu kedigjayaan walaupun
harus memakan waktu lama.
Agaknya Adipati Sawunggana mengerti akan
perasaan anak gadisnya. Dia menghampiri seraya
mengelus rambutnya Retno Sekar.
"Nanti kalau keadaan sudah aman, ayah akan
mengizinkan kau mencari ilmu di luar Kota Raja. Sa-
barlah, anakku... bukan aku tak menyayangi dirimu,
tapi justru karena ayah sayang padamu" hibur Adipati
Sawunggana.
"Benarkah ayah?" Retno Sekar menatap ayah-
nya. Wajahnya tampak berubah berseri lagi. Adipati
Sawunggana mengangguk.
"Oh, ayah... terima kasih. Kau.. kau baik sekali"
Gadis ini memeluk ayahnya dengan berjingkrak girang.
Tapi tiba-tiba segera melepaskannya lagi. Wajahnya
merah. Karena girangnya dia lupa kalau dirinya telah
dewasa. Entah mengapa ada perasaan malu terhadap
ayahnya. Dia menunduk tersipu dan tiba-tiba saja ber-
lari masuk ke ruangan dalam. Adipati Sawunggana
tersenyum melihat kelakuan anak gadisnya. Dan ge-
lengkan kepala disertai tarikan napas panjang.
"Haih, Retno...Retno... kau masih seperti anak
kecil saja..!"
7
Mari masih pagi sekali. Suara burung masih
terdengar berkicau melagukan nyanyian merdu me-
nyambut munculnya sang surya diufuk timur yang ba-
ru menyembul dibalik gunung. Seorang laki-laki tua
berjubah putih tampak keluar dari sebuah pondok be-
sar yang boleh disebut sebagai pesanggrahan.
Siapa adanya orang ini tiada lain dari Ki Pan-
doyo. Pada beberapa tahun yang silam pesanggrahan
itu terisi oleh tujuh orang murid-muridnya yang mem-
pelajari ilmu kedigjayaan. Tapi saat ini pondok itu ko-
song. Tak seorangpun yang menetap di pesanggrahan
itu. Karena ketujuh orang murid-muridnya telah me-
namatkan pelajaran. Hanya sesekali ada tetamu yang
datang mengunjungi padepokan itu. Paling tidak salah
seorang dari murid-muridnya yang muncul untuk me-
nyambangi. Itupun tak terlalu sering. Terkadang sam-
pai beberapa bulan bahkan hampir lewat setahun, ba-
ru ada yang muncul.
Laki-laki tua yang sudah pantas disebut kakek
ini memiliki tubuh kecil dan kurus. Wajahnya boleh
dikatakan tinggal kulit dan tulang saja. Akan tetapi
jangan disangka si kakek ini sudah jompo dan tinggal
menunggu mati saja. Karena tulang yang terbalut kulit
itu masih kuat. Ki Pandoyo memang memiliki perawa-
kan demikian karena sudah kodrat dari Tuhan. Wa-
laupun demikian di dalam tulang dan kulit serta sedi-
kit daging itu terisi kekuatan dahsyat. Cengkeraman
tangannya masih dapat meremukan batang pohon
kayu sekeras apapun. Dan pukulan tenaga dalamnya
masih bisa menghancurkan batu gunung! Di masa
muda kakek ini sudah kenyang malang-melintang di
dunia Rimba Hijau. Tak sedikit wilayah yang didatangi
untuk sekedar mencari nama besar, disamping me-
nyumbangkan tenaga demi membela kebenaran Melin-
dungi si lemah dari si kuat yang menindas. Pada bela-
san tahun yang silam dia digelari orang di Pedang Ma-
laikat. Tak sedikit kaum golongan hitam yang tewas di-
tangannya. Sepak terjangnya membuat ciut nyali
kaum penjahat yang berusaha melebarkan sayapnya di
wilayah barat daya. Namanya harum di mata kaum
pendekar, akan tetapi menjadi momok yang mena-
kutkan bagi kaum golongan hitam. Bah-kan pernah
dia diangkat menjadi ketua diwilayah barat daya untuk
mempersatukan kaum pendekar di wilayah itu. Namun
dia mengundurkan diri dengan alasan sudah cukup
tua. Dan dia memerlukan ketenangan hidup. Sayang
dia tak menemukan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Istrinya lari meninggalkan dia dengan membawa seo-
rang bocah laki-laki berusia satu tahun. Mengapa de-
mikian? Karena dia sudah tak mampu memberi keba-
hagiaan bathin pada sang istri. Pandoyo menyadari itu.
Dan tak mencari kemana perginya sang istri. Kepahi-
tan itu diterimanya dengan sabar. Akhirnya dia mene-
tap di wilayah ini disebuah desa tenang dan damai.
Yaitu desa Weringin Kolot yang terletak di sebelah ti-
mur perbatasan Kota Raja dan termasuk dalam wi-
layah Kerajaan Purwa Carita...
Telah dua hari dia menunggu-nunggu kedatan-
gan tetamu istimewa yang akan mengunjungi padepo-
kannya. Tapi yang ditunggu sampai saat ini masih be-
lum muncul. Ki Pandoyo telah menerima sepucuk su-
rat yang dibawa oleh seorang prajurit Kerajaan. Dalam
surat Adipati mengatakan maksudnya untuk memba-
wa puterinya ke padepokannya Puterinya berkeinginan
mempelajari ilmu untuk menambah pengetahuan da-
lam hal ilmu kedigjayaan selama beberapa bulan, dan
menetap di padepokannya.
Disamping terkejut Ki Pandoyo juga berbesar
hati karena tenaganya masih diperlukan. Dengan pe-
nuh kerendahan hati Ki Pandoyo segera menulis surat
balasan untuk disampaikan pada Adipati Sawunggana,
lalu memberikannya pada si prajurit utusan ini. Sehari
kemudian utusan itu datang lagi dengan membawa se-
pucuk surat bahwa Retno Sekar puteri Adipati Sa-
wunggana akan datang beberapa hari lagi untuk ber-
kenalan terlebih dulu, sebelum memberi keputusan
kapan akan memulai berguru.
Namun sampai beberapa hari Ki Pandoyo me-
nunggu kedatangan tetamu istimewa nya, tapi tak
kunjung muncul. Hal itu cukup membuat resah laki-
laki tua ini.
"Aneh! apakah Gusti Adipati membatalkan
niatnya?" gumam Ki Pandoyo dengan suara mendesah.
Pandangan matanya menatap gumpalan awan hitam di
arah barat. Entah mengapa perasaannya mendadak
kurang enak. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa seo-
lah ada sesuatu bakal terjadi. Selama beberapa tahun
dia menetap di padepokan itu belum pernah merasa-
kan hal semacam itu. Mendadak saja hatinya gelisah.
Ki Pandoyo melangkah memasuki pondok padepokan.
"Ada apakah gerangan yang bakal terjadi?" desahnya
heran
Baru saja dia menindak dua langkah mendadak
terdengar desiran angin dibelakangnya. Secepat kilat
dia membalikkan tubuhnya. Terkejutnya Ki Pandoyo
melihat sesosok tubuh telah berdiri kira-kira empat li-
ma tombak di hadapannya.
"Aha! maaf orang tua! aku telah membuat kau
terkejut!"
"Siapakah kau anak muda?" sentak Ki Pandoyo
dengan suara tenang walaupun hatinya diam-diam
agak heran melihat kemunculan seorang pemuda di
tempat kediamannya. Pemuda itu berbaju kulit hari-
mau. Bertampang gagah. Tapi sikapnya kurang sopan,
karena dia berdiri dengan bertolak pinggang. Rambut-
nya hitam lurus, panjangnya sebatas pundak. Sebuah
seruling hitam terselip dipinggangnya. Siapa adanya
pemuda ini Ki Pandoyo, tak mengenalnya. Bahkan tadi
dia mengira salah seorang muridnya yang muncul.
"Apakah ini Padepokan Weringin Kolot?" tanya
Guci Manik tanpa menjawab terlebih dulu pertanyaan
Ki Pandoyo. Ki Pandoyo kerenyitkan keningnya. Benar-
benar dia dikunjungi seorang tetamu tak diundang
yang bersikap kurang ajar. Tapi dengan sabar Ki Pan-
doyo menyahut.
"Dugaanmu tidak salah, anak muda. Ada ke-
pentingan apakah kiranya, anak? Apakah kau memang
sengaja ingin kemari atau secara kebetulan saja lewat
ditempat ini?"
"Haha.. dibilang kebetulan, ya memang kebetul-
an. Tapi dibilang sengaja, aku tidak sengaja!" sahut
Guci Manik dengan tertawa asam.
"Apakah maksud ucapanmu, anak muda?!" Ki
Pandoyo masih bersabar.
"Artinya, aku memang entah kapan bakal da-
tang ke padepokan ini. Dan secara kebetulan aku lewat
di tempat ini. Bukankah itu tidak sengaja? Tapi me-
mang kebetulan sekali. Aku toh tak perlu mencari-cari
lagi dimana adanya padepokan yang bakal aku datangi
kelak? Nanti atau sekarang sama saja. Lebih cepat se-
lesai urusanku lebih baik..!" sahut Guci Manik dengan
tertawa.
Lagi-lagi Ki Pandoyo kerenyitkan keningnya. Di-
tatapnya pemuda itu tajam-tajam.
"Siapakah kau sebenarnya, anak muda? Siapa-
kah yang kau cari di padepokan ini, dan ada urusan
apakah sebenarnya?"
"Baiklah ku sebutkan siapa diriku. Aku berge-
lar si Iblis Seruling Maut!" sahut Guci Manik. "Tujua-
nku adalah menemui orang yang bernama Pandoyo,
atau lebih tepat bergelar si Pedang Malaikat!"
"Urusan apakah yang membawa langkahmu ke
mari untuk menemui si Pedang Malaikat?" tanya Ki
Pandoyo dengan hati kian tersentak. Gelar Iblis Seru-
ling Maut itu baru hari ini dia mendengarnya.
"Aku akan minta petunjuk pada bekas pende-
kar tua yang gagah perkasa itu. Terutama petunjuk il-
mu kedigjayaan. Serta ku ingin melihat kehebatan Pe-
dang Malaikat yang pernah membuat gempar Dunia
Persilatan belasan tahun yang lalu. Apakah pedang itu
masih tajam atau sudah menjadi besi tua...?"
Bagi seorang tokoh tua yang sudah banyak
makan asam-garam Rimba Hijau, jelas dia sudah men-
getahui apa maksud kata-kata pemuda itu. Yaitu da-
tang untuk mencari perkara. Tapi apakah tujuan se-
benarnya dia masih meragukan. Di zaman seperti se-
karang ini memang banyak bermunculan tokoh-tokoh
muda kaum Rimba Hijau yang berilmu tinggi. Hal itu
dimaklumi Ki Pandoyo. Segera dia berkata.
"Siapakah gurumu, bocah? mulutmu tajam se-
tajam pedang. Punya ilmu simpanan macam apakah
kau hingga membuat kesombonganmu melewati batas
ukuran?" Kata-kata Ki Pandoyo menusuk tajam.
"Haha.. aku bukan seorang bocah kecil yang
harus membawa-bawa nama guruku. Katakan saja di
mana pendekar tua itu!" Ternyata jawaban Guci Manik
lebih tajam menusuk ulu hati Ki Pandoyo.
"Bocah sombong! bukalah lebar-lebar matamu.
Akulah orang yang kau cari itu!" berkata Ki Pandoyo
dengan suara sedingin salju.
"Aha., sudah kuduga memang kau orangnya.
Tapi tampang malaikat walau aku belum pernah meli
hat tidak seperti kau! Haha... Entah macam apa pe-
dang yang pernah membuat gempar kalangan Rimba
Hijau itu?"
Merah padam wajah Ki Pandoyo. "Bocah som-
bong! Hari ini kalau aku tak merobek mulutmu yang
kotor itu, ku cabut gelarku dan takkan kupergunakan
lagi!"
Whuuut! Whuuutt!
Ki Pandoyo telah melancarkan serangan tenaga
dalam dengan kibasan lengan jubahnya yang gom-
brong. Hawa panas menyambar ke arah Guci Manik.
Tapi dengan lompatan indah bagai seekor burung wa-
let, Guci Manik melompat menghindar.
Duk!
Sambaran keras tahu-tahu menghantam dada
Guci Manik. Kalau saja dia tak gembungkan dada un-
tuk menangkis serangan tiba-tiba itu, dapat dipastikan
tulang dadanya akan hancur atau patah-patah terkena
tendangan keras yang dilancarkan Ki Pandoyo. Akan
tetapi cukup membuat Guci Manik menjerit kaget. Tu-
buhnya terlempar beberapa tombak.
Merah padam wajah Guci Manik. Dalam dua
jurus saja nyaris jiwanya melayang menghadapi pen-
dekar tua itu. Ternyata nama si Pedang Malaikat bu-
kan main-main. Kali ini Guci Manik tak memandang
enteng. Akan tetapi tetap saja kesombongannya tak
dapat ditutupi.
"Hai, orang tua! jurus tendangan mu sudah
berkurang tenaganya. Tulang-tulangmu pun telah mu-
lai rapuh. Sebaiknya kau keluarkan pedang pusakamu
yang kau banggakan untuk membuktikan ucapanmu.
Haha... kukira sudah sepantasnya kau beristirahat di
liang kubur!"
"Bocah sombong! rasakan ini!" Ki Pandoyo
membentak keras seraya mengirim serangan pukulan
nya yang bernama Pukulan Telapak Malaikat.
Bummm!
Bumi bergetar. Asap membumbung ke udara,
dan hawa panas menebar! Akan tetapi Guci Manik le-
nyap tak kelihatan batang hidungnya.
8
Bukan kepalang terkejutnya prajurit Kadipaten
utusan dari Adipati Sawunggana yang diperintah men-
jemput Ki Pandoyo, ketika mendapatkan laki-laki tua
itu dalam keadaan tak bernyawa terkapar didepan
pondok padepokan. Kematiannya amat mengerikan,
karena dari sekujur lubang di tubuhnya mengalirkan
darah kehitaman. Setelah memperhatikan mayat, den-
gan wajah pucat pias dan tengkuk meremang si praju-
rit utusan itu bergegas angkat kaki dari tempat itu.
"Aku harus segera melaporkan hal ini pada
gusti Adipati!" desis si prajurit utusan. Dia bernama
Lugut. Laki-laki ini menbedal kudanya bagai dikejar
setan.
Keringat dingin mengembun ditengkuknya.
Mendadak kudanya meringkik panjang. Binatang ini
seperti berubah jadi liar. Bagaimanapun kepandaian
Lugut menunggang kuda, tapi tak luput dari naas. Lu-
gut terjungkal jatuh dari punggung kudanya.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul sesosok tu-
buh yang tak lain dari Guci Manik. Dengan gerakan
gesit pemuda ini berkelebat menahan kuda yang liar
itu. Aneh! begitu pemuda itu melompat ke atas pung-
gungnya, kuda itu mendadak jadi jinak. Dengan ter-
tawa menyeringai Guci Manik membedal kuda si pra-
jurit. Dalam beberapa saat saja pemuda itu sudah tak
kelihatan lagi. Cuma suara derap kaki-kaki kuda yang
lapat-lapat semakin menjauh. Kemudian lenyap, me-
ninggalkan sisa-sisa debu yang mengepul.
Lugut mengucak-ucak matanya dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah. "Si.. siapa orang itu?
Edan! dia telah merampas kudaku! Bagaimana aku
harus pulang ke Kadipaten?" memaki si prajurit. Ak-
hirnya dengan melangkah cepat terpaksa si prajurit si-
al itu melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, ka-
lau tak mau mati ketakutan ditempat itu.
Laporan prajurit utusan yang tiba di kadipaten
dalam keadaan lesu pada sore hari itu, membuat Adi-
pati Sawunggana terkejut bagai disambar petir.
"Kau tak melihat siapa-siapa dipondok pe-
sanggrahan itu?" tanya Adipati Sawunggana. "Ampun,
gusti! kecuali orang yang merampas kuda hamba, tak
ada siapa-siapa lagi ditempat itu..." sahut Lugut.
"Kau hapal wajah dan bentuk perawakan si pe-
rampas kudamu?"
"Ya, hamba masih ingat. Dia seorang laki-laki
yang masih muda. Berparas gagah. Rambutnya lurus
panjang sebatas leher. Berbaju dari kulit harimau. Ma-
tanya agak sipit dan memakai ikat kepala warna kun-
ing!" bertutur Lugut.
"Berbaju kulit harimau?" sentak Adipati Sa-
wunggana. "Jangan-jangan dia orang yang telah men-
culik Retno Sekar..."
"Apakah dia yang telah membunuh Ki Pan-
doyo?" berkata Adipati Sawunggana dalam hati. "Ta-
hukah kau ke mana arah orang itu melarikan kuda-
mu?" tanya Adipati Sawunggana.
"Ke arah barat, gusti..!" sahut Lugut pasti.
"Hm, aku harus menemui Patih Panji Rana un-
tuk menceritakan hal ini. Aku khawatir dia memasuki
Kota Raja melalui pintu perbatasan sebelah barat!" de-
sis sang Adipati dengan wajah berubah tegang Firasat
nya mengatakan bahwa bakal ada kerusuhan di Kota
Raja.
Bergegas Adipati Sawunggana masuk ke dalam
ruangan. Tak lama telah keluar lagi dengan pakaian
lengkap. Sebilah keris pusaka yang biasanya disimpan
dalam kamar, telah terselip dipinggangnya.
"Siapkan kudaku!" perintahnya pada pengawal.
Prajurit itu dengan sigap segera menjalankan perintah,
berlari cepat ke ruang belakang gedung Kadipaten. Tak
lama dia telah muncul di halaman dengan menuntun
seekor kuda putih lengkap dengan pelananya.
Adipati Sawunggana mengumpulkan semua
prajuritnya. Kemudian membagi tugas serta melipat
gandakan penjagaan di sekitar gedung Kadipaten. Saat
itu Retno Sekar muncul di pintu pendopo.
"Hendak kemanakah ayah?" sentak gadis ini.
"Apakah yang terjadi?" Retno Sekar yang tampaknya
baru bangun dari tidur itu melompat mendapatkan
ayahnya.
"Tak ada apa-apa, anakku..! Tenanglah! Aku
hanya mengkhawatirkan terjadi sesuatu ditempat kita,
sementara kepergianku. Aku akan menghadap kanjeng
Gusti Patih. Ada hal penting yang akan kusampaikan.
Kuharap kau tak keluar rumah. Temani ibumu yang
sedang sakit. Jangan kau membuat sesuatu yang
mencemaskannya..!" kata Adipati Sawunggana
Setelah berkata, Adipati Sawunggana segera
melompat ke punggung kuda tunggangannya, dan
membedal dengan cepat keluar dari pintu gerbang Ka-
dipaten. Sebentar saja lenyap dari pandangan mata
gadis itu. Pintu gerbang segera ditutup kembali oleh
dua orang prajurit. Sementara barisan prajurit lainnya
segera menyebar ke masing-masing tempat penjagaan.
Retno Sekar tertegun beberapa saat. Tapi tak lama dia
beranjak masuk ke dalam gedung dengan benak masih
dipenuhi pertanyaan....
00OO00
Beberapa hari sudah Nanjar melacak jejak si
peniup seruling aneh yang diberitakan orang adalah si
manusia penebar maut. Karena setiap terdengar suara
seruling aneh itu, tak lama akan terjadi huru-hara
yang berlanjut dengan kematian! Datang dan perginya
manusia peniup seruling itu seperti setan. Sebentar
muncul diwilayah perbatasan sebelah barat, sebentar
kemudian lenyap. Dan ada berita muncul di wilayah
pintu Kota Raja sebelah selatan. Hal itu membuat Nan-
jar menjadi jengkel, karena sepertinya orang itu men-
gajak dia main kucing-kucingan.
Nanjar sebentar-sebentar jatuhkan pantatnya
duduk ditanah, setelah sekian kali mondar-mandir ka-
rena tak dapat memutuskan arah yang akan dituju.
"Siapakah si peniup seruling setan itu?" geru-
tunya dengan menendang mental sebuah batu. Tapi
karena dia menyalurkan kemengkalan hatinya tanpa
perhitungan. Batu yang ditendangnya justru mental
balik dan menghantam tulang keringnya. Akibatnya si
Dewa Linglung mengaduh kesakitan. Dan berjingkrak-
jingkrak dengan wajah menyeringai.
"Aduuh! Aduuh! sialan" maki Nanjar dengan
wajah menahan sakit. Mendadak dia tersentak kaget,
ketika tiba-tiba telinganya lapat-lapat mendengar sua-
ra seruling. "Si peniup seruling setan?" sentak Nanjar
terkejut. Segera dia memasang telinga untuk mengeta-
hui dari arah mana asal suara seruling itu. Mata Nan-
jar menatap tak berkesiap ke arah hutan kecil di sebe-
lah timur.
Dengan gerakan ringan dia berkelebat melom-
pat tanpa menimbulkan suara, mendekati ke arah sua
ra seruling itu. Dengan melompat dari pohon ke pohon
agar kedatangannya tak diketahui lawan, Nanjar se-
makin mendekat ke arah asal suara. Tapi dia jadi ter-
tegun karena mendadak suara seruling itu lenyap.
Keadaan menjadi sunyi mencekam...
"Sial! mengapa berhenti?" desis Nanjar. Dia
menunggu suatu gerakan yang dapat memungkinkan
lawan bergerak ke arah lain. Sementara dia tetap me-
masang mata dan telinga untuk siap menyergap. Akan
tetapi suara itu benar-benar lenyap. Tak ada tanda-
tanda di sekitar hutan kecil itu ada manusia.
Mendadak suara seruling itu kembali terdengar
lapat-lapat Nanjar tersentak.
"Kunyuk! suara seruling itu pindah ke hutan
sebelah barat! Ya! di hutan sebelah sana..." memaki
Nanjar. Disamping heran, Nanjar juga jadi penasaran.
Segera dia berkelebat menerobos hutan untuk mende-
kati asal suara seruling yang sudah pindah tempat itu
Lagi-lagi Nanjar kehilangan jejak suara. Menda-
dak dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam
yang bergerak cepat sekali. Melayang seperti sebuah
bayangan setan ke arah lamping bukit.
"Itu pasti makhluknya!" teriak Nanjar dalam ha-
ti. Kali ini Nanjar sudah siap untuk segera membekuk
lawannya. Tak ada jalan yang paling baik selain mem-
pergunakan ilmu terbang yang diandalkannya. Sedetik
kemudian tampak tubuh si Dewa Linglung telah me-
layang bagaikan seekor elang menerobos dedaunan,
dan membumbung melewati puncak pohon.
Benar saja! sesosok bayangan terlihat berkele-
bat ke arah bawah tebing. Nanjar menukik cepat ba-
gaikan elang yang menyambar mangsa
Whuuuk!
Dari udara Nanjar menghantam punggung
orang itu dengan pukulan jarak jauh, diiringi bentakan
keras. "Berhenti setan seruling!"
Brasss!
Hantaman yang dilontarkan Nanjar membuat
tanah berlubang hangus. Tapi manusia itu lenyap en-
tah kemana "Setan alas!" maki si Dewa Linglung den-
gan geram. Mendadak terdengar suara tertawa terke-
keh-kekeh dibelakangnya. Bukan kepalang terkejutnya
Nanjar ketika membalikkan tubuh, melihat seorang
kakek berjubah hitam tampak duduk di atas sebatang
pohon kayu dengan kaki menjuntai.
"Pukulan Kilat Bhuana yang hebat! hehehe...
nyaris tubuhku hangus terpanggang. Kaukah gerangan
yang bergelar si Dewa Linglung alias si Pendekar Naga
Merah?" Suara si kakek terdengar bagai tonggeret yang
merobek udara membuat gatal telinga. Nanjar melen-
gak heran, karena orang itu mengenali dirinya.
"Hm, dugaanmu tak salah, orang tua! Siapakah
kau sebenarnya? Dan apa yang kau lakukan ditempat
ini?" Si kakek kembali tertawa terkekeh-kekeh, kemu-
dian sahutnya. "Bukankah kau tengah mengejar si pe-
niup seruling setan? Hehehe... setelah bertemu men-
gapa kau menanyakan lagi?"
"Heh! jadi kaulah manusia penyebar maut itu?
Bagus! Aku memang mengejar si peniup seruling maut
itu. Kalau kau manusianya sungguh kebetulan sekali.
Tapi sebelum aku membekukmu, katakanlah apa
maksudmu sebenarnya dengan perbuatan yang kau
lakukan itu?"
"Hehehhe... anak muda! aku tak dapat menceri-
takan padamu mengenai urusanku itu. Tapi yang jelas
kau adalah orang berbahaya yang bakal menjadi peng-
halang langkahku. Oleh sebab itu aku sengaja me-
mancing mu ke tempat ini untuk membunuh mu!" sa-
hut si kakek berjubah hitam dengan suara tak sedap
didengar telinga.
"Hm, jadi maksudmu demikian? aku akan san-
gat berterima kasih kalau kau mampu membunuhku.
Tapi kalau ucapanmu tak terbukti jangan menyesal
kalau aku yang akan menghentikan perbuatan kejimu
untuk selama-lamanya!" berkata Nanjar dengan sikap
jumawa. Si kakek tertawa lagi terkekeh-kekeh. Seperti
geli melihat lawan berani jual lagak di hadapannya.
"Bagus! dengan rela akan kuserahkan kepalaku
bila kau sanggup menghadapi ilmu "Membetot sukma"
dari seruling ku!" ujar si kakek.
"Katakan dulu siapa nama dan gelarmu, tua
bangka sombong! sebelum kau mengatakan jangan ha-
rapkan aku mau melayanimu!" Si kakek tertawa gelak-
gelak mendengar ucapan Nanjar. "Heheh.. hehe.. su-
dah lama aku mengharapkan pertemuan dengan seo-
rang pendekar aneh yang punya gelar terkenal di se-
tiap penjuru jagat, setelah bertemu orangnya mana
mungkin kau tak melayaniku main-main?" berkata si
kakek jubah hitam.
"Baiklah! agar kau tak kecewa, sebelum nya-
wamu kukirim ke luar dunia akan kukatakan siapa
nama dan gelarku. Aku bernama Beo Aningkal! Gelar-
ku tak jauh dari senjata andalan ku ini, yaitu si Iblis
Seruling Maut!"
00OO00
Di lain tempat tepatnya di sebelah selatan per-
batasan Kota Raja, ternyata tengah terjadi kerusuhan
karena menyusupnya seorang pemuda berbaju kulit
harimau yang membunuh dua orang penjaga perbata-
san. Pemuda itu tak lain dari Guci Manik. Akan tetapi
tak begitu mudah bagi Guci Manik untuk menyusup
ke wilayah Kota Raja. Karena puluhan prajurit Kera-
jaan telah melakukan penjagaan ketat. Melihat munculnya pemuda yang dicurigai dengan ciri-ciri yang te-
lah dipesankan, segera mereka mengurung si pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Akan tetapi mendadak enam orang prajurit
menjerit dan terjungkal roboh. Tiga orang perwira yang
mengepalai tiga regu prajurit jadi tersentak kaget meli-
hat bagaimana hanya dengan mengibaskan lengan,
enam orang prajurit telah roboh tewas seketika. Tahu-
lah mereka kalau mereka tewas oleh serangan senjata
rahasia si pemuda pengacau itu.
Tiga perwira ini melompat maju. Mereka adalah
Pradigdo, Karmenda dan Bomaranu. Ketiganya adalah
perwira kelas satu yang memiliki ilmu tinggi dan telah
mendapat tanda penghargaan dari patih Panji Rana.
Tidak sedikit jasanya dalam memberantas pengacau.
"Manusia telengas! sebutkan siapa dirimu sebe-
lum kepalamu kami pisahkan dari batang lehermu!
Apa maksudmu mengacau diwilayah kerajaan kami?"
membentak Bomaranu. Laki-laki perwira kerajaan ini
telah mencabut senjata andalannya, sepasang tombak
pendek bermata tiga. Sementara Karmenda bersenja-
takan sebilah pedang dan Pradigdo menggunakan se-
buah tombak panjang bervariasi sepasang kapak di ki-
ri kanannya. Keduanya mengurung Guci Manik siap
untuk menerjang maju
"Hahaha... keroco-keroco macam kalian tak
pantas berhadapan denganku! Apakah tak ada orang
yang lebih pantas untuk menghadapiku?" ejek Guci
Manik. Membuat ketiga perwira Kerajaan ini jadi naik
darah. Akan tetapi mereka tak terpancing emosi.
"Heh! untuk menangkap seorang penjahat se-
macam kau, tak perlu mengotori tangan pemimpin
kami. Lekaslah kau sebutkan siapa kau. Dan apa tu-
juanmu mengacau diwilayah Kerajaan kami?" bentak
Bomaranu.
"Haha... baik! baik! Aku si Iblis Seruling Maut
bertujuan merebut kekuasaan Kerajaan Purwacarita!
Nah! menyingkirlah kalian kalau kalian tak ingin kehi-
langan nyawa!" sahut Guci Manik dengan suara tajam.
Meletuplah kemarahan ketiga perwira Kerajaan
ini. Serentak mereka menerjang setelah diberi aba-aba
oleh Bomaranu. Sepasang tombak pendek Bomaranu
meluncur deras menusuk ke arah dada dan perut la-
wan. Namun dengan cepat Guci Manik miringkan tu-
buhnya ke samping menghindari serangan.
Akan tetapi segera kakinya menjejak tanah un-
tuk melompat jungkir balik ketika tabasan pedang
Karmenda menabas ke arah kakinya. Saat tubuhnya
berputar di udara tombak panjang bermata kapak Pra-
digdo menyambar ganas diiringi bentakan laki-laki
perwira kerajaan itu.
"Mampus!"
Akan tetapi gesit luar biasa gerakan Guci Ma-
nik. Secepat kilat dia berhasil menangkap badan tom-
bak setelah terlebih dulu menghantam benda maut itu
dengan angin pukulannya. Nyatalah tenaga dalam si
pengacau muda ini amat tinggi. Karmenda terkejut ka-
rena senjatanya nyaris terlepas. Selagi dia terperangah,
tiba-tiba pangkal tombak menekan keras ke dadanya.
Menjeritlah perwira Kerajaan ini. Darah menyembur di
belakang punggungnya. Pangkal tombaknya telah me-
nembus dadanya hingga ke punggung.
Karmenda terjungkal roboh dengan serangan
merobek udara. Setelah menggeliat dengan mata mem-
belalak lebar, perwira inipun terkulai tak bergerak lagi.
Melihat kematian Karmenda meledaklah kemarahan
Bomaranu dan Pradigdo. Kedua perwira ini segera me-
nerjang dengan serangan-serangan ganas. Pedang di
tangan Pradigdo menyambar-nyambar laksana seekor
Naga mengamuk. Sedangkan sepasang tombak pendek
bermata tiga Bomaranu menusuk dan mendesis-desis
ketika dipergunakan menyerang lawan dengan gencar.
Guci Manik agak terkejut melihat serangan-
serangan ganas lawannya. Akan tetapi selama belasan
tahun dia telah digembleng oleh seorang tokoh kosen
yang mengajarinya ilmu-ilmu tinggi. Dalam hal kejelian
mata serta kelincahan tubuh tampaknya telah dikua-
sai Guci Manik. Segera saja sepasang mata elangnya
dapat melihat dimana kelemahan-kelemahan lawan.
Sambil menghindari setiap serangan, Guci Manik me-
nunggu kesempatan baik untuk melepas-kan puku-
lannya. Di jurus keenam belas, tiba-tiba pemuda itu
membentak keras. Tubuhnya berkelebat ke udara di
saat sambaran pedang dan tombak lawan siap me-
manggang tubuhnya. Detik itulah yang dinantikan, ka-
rena segera Guci Manik lepaskan tendangan ke arah
Pradigdo. Krak! Terdengar suara berderak yang diba-
rengi terlemparnya tubuh perwira itu diiringi jeritan
pendek. Tubuh Pradigdo berguling-guling beberapa
kali, lalu berhenti.
Tampak lehernya terkulai mengucurkan darah.
Ternyata tulang leher perwira muda itu telah patah.
Jeritan berikutnya merambah udara ketika
cengkeraman tangan Guci Manik hinggap di kepala
Bomaranu. Lima jari-jari tangan Guci Manik telah am-
blas menoblos batok kepala perwira kerajaan ini. Bo-
maranu perdengarkan jeritan menyayat hati. Bersa-
maan dengan melesatnya tubuh si pemuda berbaju
kulit harimau ke tanah, tubuh perwira kerajaan inipun
roboh ke depan nyawa lepas seketika.....
Puluhan prajurit yang melihat kejadian itu se-
rentak mundur dengan nyali menciut. Akan tetapi se-
bagian lagi menerjang dengan tombak dan pedang ter-
hunus. Kenekatan sekelompok prajurit-prajurit ini ter-
nyata tak ubahnya bagai kayu lapuk yang menyong
song kobaran api. Karena segera terdengar jeritan sal-
ing susul diiringi terjungkalnya tubuh-tubuh para pra-
jurit itu ketika ratusan jarum-jarum maut mengan-
dung racun meluruk ke arah mereka. Buyarlah sisa
pasukan kerajaan yang memang nyalinya sudah ciut
itu, melarikan diri....
"Haha.. haha... sudah kukatakan, kalian cuma
keroco-keroco yang hanya akan mengantar nyawa sa-
ja!" Guci Manik tertawa gelak-gelak. Namun sesaat wa-
jahnya berubah membesi. Matanya yang tajam bagai
mata elang menatap ke arah menara istana kerajaan
Purwacarita yang sudah terlihat dikejauhan.
"Hm, tunggulah kau patih PANJI RANA! manu-
sia pemfitnah yang telah menyebabkan kematian ayah-
ku, dan pembunuh serta pemerkosa ibuku! Hari ini
aku Guci Manik akan memisahkan kepalamu dari ba-
tang lehermu! Dan kau Prabu Citrasoma. Hari ini ada-
lah hari kau melepaskan kekuasaan. Akulah yang ke-
lak bakal menggantikan kedudukanmu menjadi Raja
kerajaan Purwacarita!" Setelah tertawa berkakakan si
Iblis Seruling Maut berkelebat ke arah Istana kerajaan
Purwacarita....
9
Kegelisahan hati Retno Sekar sejak kepergian
ayahnya Adipati Sawunggana semakin memuncak, ka-
rena telah dua hari dua malam sang ayah belum kem-
bali dari Istana. Bukan gadis itu saja yang gelisah,
akan tetapi semua prajurit kadipaten mulai was-was
akan adanya sesuatu yang telah terjadi dengan Adipati
Sawunggana. Ketidak sabaran Retno Sekar untuk ke-
luar dari gedung Kadi paten semakin nyata dengan
berkemasnya gadis itu memakai pakaian singsat leng
kap dengan pedang di pinggang. Retno Sekar beranjak
keluar dari dalam gedung.
Tapi dia kembali lagi ke ruang dalam, dan tam-
pak merenung sejenak di pintu ruangan. Dua orang
pengawal yang memperhatikan tingkah lakunya segera
melangkah menghampiri. "Hendak kemanakah, gusti
Puteri?" tanya salah seorang pengawal itu. Retno Sekar
menoleh. Sejenak dia menatap wajah si pengawal.
"Hm, tidak tahukah kau bahwa aku sedang cemas
memikirkan ayah yang tak kunjung datang? Kalian
tampaknya tenang-tenang saja! Bagaimana kalau ter-
jadi sesuatu di Istana?"
"Kami hanya menjalankan perintah gusti Adipa-
ti, gusti puteri..!" sahut si pengawal dengan menunduk
hormat.
"Aku akan menyusul ayah ke Istana. Hatiku tak
enak! Jangan-jangan ada terjadi sesuatu disana..."
berkata Retno Sekar.
"Maaf, gusti puteri. Bukan hamba mencegah,
tapi hamba hanya mengingatkan bahwa gusti Adipati
telah melarang gusti puteri meninggalkan gedung Kadi-
paten!" kata pengawal yang satunya setelah mem-
bungkuk hormat.
"Aku mengerti, tapi aku tak dapat berdiam diri
lebih lama untuk melihat keadaan ayah di Istana!" ka-
ta Retno Sekar. Selesai berkata, Retno Sekar segera
berlari ke halaman gedung. Agaknya dia telah memu-
tuskan untuk pergi menyusul sang ayah.
Namun pada saat itu juga tiga bayangan tubuh
berkelebat menghadang. Ternyata mereka adalah tiga
orang kepala regu pengawal Kadipaten. Ketiga laki-laki
ini menjura di hadapan Retno Sekar.
"Ampun gusti puteri. Hamba telah dipesan un-
tuk mengawasi gusti puteri dan mencegah gusti puteri
meninggalkan. gedung Kadipaten..
Melengak Retno Sekar. Sepasang alisnya naik
dengan mata menyorot tajam pada ketiga pengawal itu.
"Walau Gusti mu memerintahkan demikian, ta-
pi kalian tak dapat mencegah keputusanku. Aku tetap
akan ke istana untuk mengetahui keadaan beliau!"
ucapnya dengan ketus.
"Ampun gusti puteri. Kami hanya diperintah
oleh kepala prajurit Gaman Seto. Kalau gusti puteri
berkeras juga, tunggulah! hamba akan mengatakan hal
ini padanya" berkata pengawal yang bertubuh tegap
dengan kumis tipis di atas bibir itu. Dia bernama Gun-
dila. Retno Sekar sejenak tercenung. Tapi kemudian
dia menghela napas.
"Baiklah! panggil Gaman Seto untuk mengha-
dap ku!"
"Siap, gusti puteri!" sahut Gundila seraya
membungkuk. Kemudian bergegas melangkah pergi
menuju barak di belakang gedung. Sementara dua
orang kawannya masih tetap berdiri ditempat semula.
Retno Sekar menghela napas. Wajahnya tampak ku-
sut. Kecemasan menggayuti dadanya.
Serasa tak sabar dia menanti kedatangan Ga-
man Seto. Entah mengapa hatinya mendadak jadi ber-
debar-debar. Pada saat kesabarannya hampir habis,
tampak Gundila muncul sambil berlari-lari ke arahnya.
Tapi tanpa Gaman Seto si kepala prajurit itu.
"Mana Gaman Seto?" tanya Retno Sekar dengan
suara agak ditekan.
"Ampun Gusti Puteri..! Dia... dia tengah berse-
madhi. Hamba tak berani mengganggu. Sebaiknya gus-
ti puteri menunggu sampai semadhinya selesai!" sahut
Gundila dengan tergagap. Retno Sekar membelalak-
kan matanya.
"Bersemadhi? dalam saat seperti ini masih
sempat-sempatnya bersemadhi segala! Hm, biarlah
aku yang menemuinya!" Selesai berkata Retno Sekar
beranjak menuju barak dengan langkah cepat. Semen-
tara Gundila cuma menatap pada puteri Adipati itu de-
ngan mulut ternganga.
Alangkah terkejutnya Retno Sekar ketika mem-
buka pintu kamar barak, mendapatkan Gaman Seto
dalam keadaan duduk bersila disudut ruangan. Yang
membuat dia terkejut dan membelalakkan mata adalah
laki-laki kepala prajurit Kadipaten itu duduk dengan
keadaan tubuh bertelanjang bulat
Setengah menjerit, gadis itu menutupkan pintu
kamar keras-keras. Lalu berlari cepat, keluar dari
ruangan barak itu. Suara berdentamnya daun pintu
yang dihempaskan keras-keras oleh Retno Sekar mem-
buat Gaman Seto terlompat bangun dari semadhinya.
"Hah!? seperti kudengar suara jeritan gusti pu-
teri Retno Sekar?" sentak Gaman Seto dengan tertegun
sejenak. "Apakah dia telah memasuki kamarku?"
Sementara Retno Sekar langsung masuk ke
ruangan gedung Kadipaten. Disana dia duduk dikursi
dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. Nafas-
nya memburu seperti baru melihat setan.
"Apa-apaan Gaman Seto? Apakah dia telah gila
melakukan semadhi dengan keadaan seperti itu?" ber-
kata Retno Sekar dalam hati. Akhirnya Retno Sekar
menggagalkan niatnya untuk keluar dari gedung Kadi-
paten. Otaknya rumit dipenuhi berbagai pertanyaan
mengenai ayahnya yang sampai malam menjelang tiba
belum juga muncul. Juga memikirkan tingkah laku
Gaman Seto yang aneh. "Hm, aku curiga pada si Ga-
man Seto itu. Sejak dia diangkat ayah menjadi kepala
prajurit, sikapnya terhadapku agak lain. Dia sering
mencuri pandang bila aku tak memperhatikannya.
Anehnya, dia tak mematuhi perintahku ketika aku
menyuruhnya agar ayah mengadakan penyambutan
pada pendekar muda bernama Nanjar. Bahkan mela-
porpun tidak! Tapi yang lebih aneh adalah, ayah selalu
membela dia!" Retno Sekar teringat kejadian beberapa
hari yang lalu.
Mendadak terbersit dibenaknya akan sesuatu
yang membuat darahnya berdesir. "Hm, apakah si
Gundila sengaja menjebakku agar aku memasuki ka-
marnya?" pikir Retno Sekar. "Heh! jangan harap
kuampuni jiwanya bila dia berniat kurang ajar terha-
dapku! Hal ini akan kulaporkan pada ayah!"
10
Malam semakin melarut... Retno Sekar tak da-
pat tidur di kamarnya, setelah menghibur ibunya yang
masih terbaring sakit ditemani mbok emban. Hawa
panas dalam kamar seperti dia berdiam di dalam Nera-
ka layaknya. Retno Sekar melangkah keluar ruangan.
Dilihatnya para pengawal masih tetap menjalankan tu-
gas berjaga di sekitar gedung Kadipaten.
Tiba-tiba membelalak mata Retno Sekar melihat
sesosok tubuh berlari-lari kecil dari samping gedung.
Hampir saja dia menjerit saking terkejutnya karena
melihat siapa adanya orang itu. Ternyata tiada lain da-
ri Gaman Seto. Laki-laki kepala prajurit Kadipaten itu
mengeluarkan suara bergumam dari mulutnya entah
bicara apa. Tapi yang membuat kaki Retno Sekar me-
langkah mundur dengan mulut ternganga dan mata
membelalak adalah laki-laki itu berlari-lari kecil den-
gan tubuh membugil tanpa sehelai benangpun menu-
tupi tubuhnya.
Bukan saja Retno Sekar yang merasa aneh dan
terkejut melihat keadaan Gaman Seto, tapi juga pu-
luhan prajurit yang menyaksikan hal itu jadi terheran
heran.
"Hai? apa-apaan dia? Lho..? Kog? apakah ma-
taku tak salah lihat?" berkata seorang pengawal kepa-
da temannya yang juga terbelalak melihat keadaan
Gaman Seto si Kepala Prajurit yang berlari-lari kecil
dengan tubuh membugil. Sementara bibirnya tiada
henti bergumam menyebut kata-kata yang tak dimen-
gerti.
"Gaman Seto, telah berubah ingatan! Ya! dia..
dia telah gila!?" sentak pengawal kawannya. Segera pu-
luhan prajurit saling berdatangan. Semua mata jadi
terpentang lebar-lebar menyaksikan keadaan Gaman
Seto yang memalukan itu. Tapi tak seorangpun yang
berani mendekati laki-laki itu. Sementara Gaman Seto
sendiri tanpa mengacuhkan keadaan sekitarnya terus
berlari-lari memutari gedung Kadipaten.
Setelah tujuh kali memutar, Gaman Seto me-
masuki kamarnya. Beberapa pengawal yang berada di
pintu segera menyingkir melihat si Kepala Prajurit be-
ranjak masuk ke ruangan barak. Terdengar pintu ka-
mar ditutupkan. Rupanya Gaman Seto segera me-
masuki kamarnya dan tak keluar lagi hingga pagi.
Keadaan digedung Kadipaten semakin bertam-
bah memusingkan otak. Karena persoalan Adipati yang
belum kembali dari Istana telah bertambah dengan ke-
jadian aneh, yaitu berubahnya pikiran Gaman Seto
sang Kepala Prajurit Kadipaten. Pada malam berikut-
nya kembali Gaman Seto mengulangi perbuatan kema-
rin malam berlari-lari kecil memutari gedung Kadi-
paten dengan bertelanjang bulat.
"Gaman Seto telah menjadi gila! Oh, apa yang
harus aku lakukan? Sebaiknya aku segera menyusul
ayah!" desis Retno Sekar dengan kecemasan kian me-
muncak. Baru saja dia mengambil keputusan men-
dadak terdengar suara seruling memecah kesunyian.
Puluhan prajurit yang berjaga-jaga di sekitar halaman
gedung Kadipaten terkejut mendengar suara seruling
itu. Sementara Retno Sekar sendiri terpana dengan
berdiri mematung.
Sukmanya seolah-olah terbetot oleh suara seru-
ling itu. Puluhan prajurit berdiri mematung dengan
mata membelalak dan mulut terkancing. Pada saat itu-
lah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh,
disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan hitam
ke halaman gedung Kadipaten. Siapa adanya sosok tu-
buh ini tak lain dari Beo Aningkal alias si Iblis Seruling
Maut. Ternyata diwilayah Kota Raja bukan hanya seo-
rang yang menamakan dirinya si Iblis Seruling Maut.
Karena si pemuda berbaju kulit harimau itupun meng-
gelari dirinya si Iblis Seruling Maut.
Bagaimana sampai Beo Aningkal, si kakek
penghuni Cadas Siluman itu bisa berada di gedung Ka-
dipaten? Kisahnya demikian.... Ketika terjadi perta-
rungan antara si Dewa Linglung melawan kakek ber-
nama Beo Aningkal yang menyebut dirinya bergelar si
Iblis Seruling Maut ini, keadaan di Kota Raja tengah
terjadi kegemparan. Guci Manik berhasil menyusup ke
dalam Istana. Namun pemuda itu tak semudah itu me-
laksanakan maksudnya. Karena penjagaan di Istana
amat ketat.
Agaknya Guci Manik menunda penyerangan
untuk menunggu kemunculan Beo Aningkal, gurunya.
Segera dia menyelinap dan bersembunyi di menara Is-
tana. Ratusan prajurit mengepung sekitar istana, me-
lakukan penjagaan dengan ketat.
Sementara pertarungan Nanjar dengan Beo
Aningkal memakan waktu cukup lama. Gempuran su-
ara seruling yang menimbulkan- kekuatan hebat
mempengaruhi syaraf Nanjar. Dalam keadaan kepala
terasa berat dan pandangan berkunang-kunang, dia
mencabut seruling simpanannya. Yaitu seruling yang
selalu disimpannya, pemberian dari seorang tokoh wa-
nita yang masih ada pertaliannya dengan Pedang Mus-
tika Naga Merah. Seruling yang terbuat dari tulang dan
berukiran kepala Naga itu segera membersitkan suara
melengking menindih kekuatan hebat seruling lawan
yang nyaris membetot sukmanya. Bila dia tak teringat
pada benda itu entahlah apa yang terjadi. Karena di
saat itu Nanjar merasa sekujur tulang-tulang persen-
diannya serasa lemas. Dalam keadaan demikian akan
mudah bagi lawan untuk merobohkannya.
Adu kekuatan tenaga dalam melalui suara se-
ruling segera saling gempur. Ternyata kekuatan tenaga
dalam Nanjar berhasil menggempur suara seruling Beo
Aningkal. Kakek itu terkejut. Akan tetapi dengan tipu
muslihat licik dia sengaja memancing Nanjar agar
menjauhi Kota Raja. Saat itu adalah saat dimana dia
akan mulai bergerak untuk menumpas orang-orang
Kerajaan. Dengan mengumbar tenaga menghadapi si
Dewa Linglung akan menguras habis tenaganya.
Dia tahu saat yang baik untuk kelak membu-
nuh pendekar muda itu. Nanjar berhasil dijebak ma-
suk ke dalam lubang perangkap. Agaknya Beo Aning-
kal tak berniat membunuh si Dewa Linglung saat itu.
Segera dia menutup lubang jebakan. Dan cepat menu-
ju ke arah Kota Raja. Demikianlah, hingga dia muncul
digedung Kadipaten.
Kekuatan suara seruling yang mengandung te-
naga dalam hebat mempengaruhi syaraf membuat pu-
luhan pengawal Kadipaten tak berkutik bagaikan ter-
kena tenung. Begitu juga dengan keadaan Retno Se-
kar, yang berdiri terpana dengan pandangan mata
membelalak dan mulut ternganga.
Beo Aningkal terkekeh, seraya melangkah men-
dekati gadis ini. Lengannya bergerak menotok, dan
dengan sebat dia memondong gadis itu ke atas pun-
dak. Lalu dengan terkekeh dia melangkah lebar menu-
ju pintu penjagaan. Puluhan prajurit cuma berdiri
mematung tanpa bereaksi apa-apa.
BRAAAK!
Sekali hantam pecahlah pintu kayu jati yang
menjadi pintu utama gedung Kadipaten itu dihantam
pukulan lengannya.
Pecahnya pintu gapura itu membuat semua
prajurit sadar dari pengaruh kekuatan yang telah me-
nenung mereka. Serentak saja mereka mengejar si ka-
kek dengan berteriak-teriak.
"Penculik! penculik! Tangkaaap! dia menculik
gusti puteri Retno Sekar!" Suara gaduh dan hiruk-
pikuk meledak di halaman gedung Kadipaten. Gaman
Seto pun baru tersadar dari pengaruh hebat itu. Serta-
merta dia melompat mengejar ke arah pintu. "Goblok!
Kalian membiarkan saja penculik itu kabur dari sini?
Akan ku pecat kalian semua!" bentak Gaman Seto
dengan wajah merah padam. Akan tetapi yang diben-
tak cuma membelalakkan mata memandang ke bawah
pusar sang Kepala Prajurit. Karena Gaman Seto me-
mang tak mengenakan pakaian sama sekali alias
membugil.
Sadar akan dirinya, Gaman Seto membentak
seorang prajurit. "Buka celanamu!"
"Ba..baik, den..!" sahut si pengawal dengan wa-
jah pucat pias. Tanpa membuang waktu Gaman Seto
segera mengenakan celana si prajurit. Selesai menutu-
pi tubuh bagian bawah dan barang terlarangnya, Ga-
man Seto cepat menyambar tombak yang dicekal se-
orang prajurit. Selanjutnya bagaikan terbang dia me-
ngejar si penculik anak gadis Adipati Sawunggana
dengan berteriak-teriak.
00OO00
BHLAARRRR!
Batu persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal
lengan itu pecah berhamburan menjadi puing-puing
kecil yang bertebaran di udara. Nanjar berhasil menje-
bol batu penutup yang memenjarakan dia di dalam lu-
bang perangkap yang digunakan Beo Aningkal.
"Sial dangkalan! aku tertipu si kakek keparat
itu!" maki Nanjar dengan wajah merah padam dan na-
pas memburu. Untuk menjebol batu penutup lubang
itu telah menguras tenaga dalamnya hampir sepertiga
bagian.
Mendadak Nanjar punya firasat buruk dan sa-
dar akan kelicikan lawan yang sengaja menjebak dia
pada perangkap itu.
"Celaka! aku baru ingat si laki-laki berbaju ku-
lit harimau. Bukankah diapun mempunyai sebuah se-
ruling yang mirip dengan seruling kakek keparat itu?
Tentulah dia murid si kakek keparat itu!" sentak Nan-
jar dengan wajah pucat. "Pantas aku terkecoh oleh su-
ara seruling yang membingungkan. Tentu kakek kepa-
rat itu sengaja memancingku agar menjauhi Kota Raja.
Dengan demikian si pemuda berbaju kulit harimau itu
bebas menyusup masuk ke Kota Raja untuk menga-
cau..."
Tiba-tiba Nanjar teringat pada Retno Sekar, ga-
dis puteri Adipati yang pernah diculik si laki-laki ber-
baju kulit harimau. Entah mengapa tiba-tiba dia
mengkhawatirkan gadis itu. Seolah-olah pada pengli-
hatannya gadis itu tengah dalam bahaya....
Tak berayal lagi Nanjar segera berkelebat me-
lompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tu-
juannya cuma satu yaitu Kota Raja.
—-00OO00—
Adipati Sawunggana ternyata berada di sebelah
timur Istana dengan dua puluh orang pasukan berku-
da. Malam yang penuh ketegangan itu telah lewat tan-
pa terjadi sesuatu. Akan tetapi tampak nyata kegelisa-
han laki-laki yang duduk dipunggung kuda ini. Entah
berapa kali dia mondar-mandir memutari perkemahan.
Ingatannya selalu tertuju pada istrinya yang tengah
terbaring sakit, dan pada puterinya Retno Sekar.
Sejak tadi hatinya berdebaran tak menentu.
Kegelisahan semakin memuncak ketika dia melihat fa-
jar mulai menyingsing. "Sebaiknya aku kembali ke Ka-
dipaten dulu..! Hatiku tak enak. Aku akan meminta
izin dulu pada Gusti Patih Panji Rana" desis Adipati
ini.
Mendadak terdengar suara seruling memecah
keheningan pagi, membuat Adipati Sawunggana terlon-
jak kaget. Berita si peniup seruling maut yang telah
membawa banyak korban di luar wilayah Kota Raja
memang telah disiarkan kesegenap orang Kerajaan.
Tentu saja terdengarnya suara seruling yang memecah
keheningan pagi itu membuat kedua puluh perwira Ke-
rajaan itu terkesiap.
Suara seruling itu mendadak berhenti. Tapi se-
gera disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan
hitam ke tengah perkemahan. Membelalak mata Adipa-
ti Sawunggana melihat kemunculan seorang kakek
berjubah hitam yang memondong sesosok tubuh di
atas pundaknya. Semakin membelalak mata laki-laki
ini melihat siapa adanya orang yang berada di atas
pundak kakek kurus berjubah hitam itu.
"Retno Sekar!? anakku..." sentaknya terperan-
jat. Saat itu beberapa perwira Kerajaan telah berlompa-
tan mengurung dengan senjata-senjata terhunus.
"Hehehe... tentu kau Adipati Sawunggana, ayah
angkat gadis ini! Sudah kuduga kau berada ditempat
ini, karena ketika aku membawa bocah perempuan ini
kau tak ada digedungmu karena kau tak menampak-
kan diri malam tadi!" berkata si peniup seruling kakek
tua renta itu.
"Si.. siapakah kau?!" bentak Adipati Sawungga-
na.
"Hm, lupakah kau padaku, Sawunggana? Aku
Beo Aningkal! Sebelum kau menduduki jabatan Adipati
bukankah kau pernah melihatku?" sahut si kakek
dengan senyum sinis. Sementara sepasang matanya
menyorot tajam seolah sebilah pedang yang menyam-
bar menatap sang Adipati.
"Beo Aningkal...?" desis Adipati Sawunggana
terkejut. Wajah Adipati ini berubah pucat mengetahui
siapa adanya kakek itu.
"Apa maksudmu dengan semua ini? Mengapa
kau menculik anakku?" bentak Sawunggana dengan
melangkah setindak seraya mencabut keris pusaka di-
pinggangnya.
"Hehehe... mengapa kau masih juga mengela-
buiku? Mata tuaku sejak lama telah mengetahui kalau
gadis ini adalah puteri sang Prabu Citrasoma yang
sengaja disembunyikan ditempat kediamanmu! Karena
Prabu Citrasoma khawatir terjadi penculikan lagi ter-
hadap putrinya, setelah putera laki-lakinya lenyap di-
culik orang!" sahut Beo Aningkal dengan suara tandas.
"Belasan tahun aku menyimpan dendam pada
orang-orang Kerajaan, karena fitnah keji Patih Panji
Rana. Sehingga aku dipecat dari jabatanku sebagai
Adipati dan diusir seperti anjing kurap!" sambung Beo
Aningkal dengan suara parau yang melengking penuh
dendam.
"Bukan saja aku mendendam pada Patih Panji
Rana dan Sang Prabu Citrasoma yang telah memecat
ku. Tapi juga terhadap seluruh orang Kerajaan Purwa-
carita! Takkan puas hatiku sebelum melenyapkan
nyawa dan menghancur-leburkan Kerajaan ini! Nama
Kerajaan Purwacarita harus lenyap dari muka bumi ini
berikut orang-orang Kerajaan itu sendiri!" Lanjut Beo
Aningkal.
"Oleh sebab itulah aku menculik GUCI MANIK,
putera Sang Prabu. Dan selama belasan tahun aku
mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan, yang ke-
lak akan kupergunakan dia untuk melampiaskan den-
dam ku! Kini Guci Manik telah dewasa. Dan saat ini
dia sudah menyusup masuk ke Istana. Tibalah saatnya
aku membalas dendam! Tak lama lagi Guci Manik
akan mengirim nyawa Sang Prabu Citrasoma ke Akhi-
rat! Sejarah akan mencatat bahwa kematian Raja Ke-
rajaan Purwacarita tewas di tangan putera Mahkota.
Puteranya sendiri! Dan Kerajaan Purwacarita akan
bergelimang oleh darah!"
Sampai disini Adipati Sawunggana tak dapat
menahan amarahnya.
"Hentikan ocehanmu, Beo Aningkal! Lepaskan
gadis itu dari tanganmu! Kau takkan berhasil melak-
sanakan dendam gilamu! Rawe-rawe rantas. Malang-
malang putung! Takkan kami biarkan selangkahpun
kau menindak sebelum melangkahi mayat kami!" ben-
tak Adipati Sawunggana dengan suara lantang.
"Heheh..hehe.. aku memang akan mengirim
nyawa-nyawa kalian ke pintu Akhirat!" Mendadak len-
gan Beo Aningkal mengibar ke belakang. Tiga orang
perwira yang melancarkan serangan dari belakang
menjerit keras dan terjungkal roboh. Terkejut beberapa
kawan perwira itu melihat ketiganya tewas dengan tu-
lang dada remuk terkena hantaman angin pukulan si
kakek.
Serentak belasan perwira maju menerjang. Tapi
lagi-lagi terdengar jeritan saling susul ketika dengan
gerakan cepat sekali tubuh si kakek melesat ke udara.
Lima jari tangannya mengembang melancarkan pu-
kulan yang membersitkan uap hitam berbau amis.
Tersentak kaget Adipati Sawunggana. Dalam beberapa
jurus saja delapan perwira telah tewas di tangan kakek
itu.
Di samping mengkhawatirkan Retno Sekar,
Adipati Sawunggana mencari siasat untuk meroboh-
kan lawan yang luar biasa saktinya itu. Karena adanya
Retno Sekar dalam pondongan lawan membuat para
perwira Kerajaan sukar melancarkan serangan. Dis-
amping mulai jeri melihat kehebatan kakek itu. Mereka
tak dapat bertindak sembrono untuk menempuh resi-
ko yang berakibat kematian!
Mendadak kakek itu cabut keluar serulingnya
dari balik jubah. Detik berikutnya segera terdengar su-
ara melengking dari tiupan seruling yang menggetar-
kan gendang telinga. Kakek itu mempergunakan dua
buah jari tangannya untuk melagukan irama tiupan
serulingnya.
Nada-nada aneh yang mengalun itu menimbul-
kan segelombang kekuatan hebat yang mempengaruhi
syaraf. Seketika mereka terpana oleh pengaruh suara
itu hingga masing-masing menjublak bagai patung.
Detik-detik maut semakin dekat, karena tiupan
suara seruling semakin melengking tinggi. Dan tampak
beberapa orang perwira mulai terhuyung. Tampak da-
rah kental berwarna hitam mengalir dari lubang hi-
dung, telinga dan mulut mereka. Tak berapa lama em-
pat perwira telah terjungkal roboh dengan nyawa me-
layang!
Keadaan Adipati Sawunggana pun dalam kea-
daan kritis Laki-laki ini berusaha menekap kedua te
linganya dengan tangan menggeletar. Keris pusakanya
telah lepas dari genggaman tangannya. Adipati ini me-
rasakan urat syarafnya bagai dibetot-betot dan sakit
luar biasa. Dalam keadaan demikian dia tak dapat ber-
fikir lagi. Agaknya tak lama lagi maut akan menjem-
putnya.
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar suara ben-
takan keras yang disusul dengan berkelebatnya seso-
sok bayangan.
"Iblis tua! hentikan tiupan seruling mu!"
Whuuuk!
Sambaran angin keras tiba-tiba menerpa ke
arah wajah si kakek. Plas! Suara seruling lenyap seke-
tika. Dan disusul dengan suara berderak hancur. Ter-
nyata sambaran angin itu telah membuat seruling di
tangan Beo Aningkal terlepas. Benda itu menghantam
batang pohon besar yang tak jauh berada dibelakang-
nya. Hingga membuat benda maut itu hancur beserpi-
han, dan melesak amblas ke batang pohon.
Bukan kepalang terkejutnya Beo Aningkal me-
lihat si Dewa Linglung tahu-tahu telah muncul dide-
pan mata. Belum hilang terkejutnya, mendadak sam-
baran dahsyat menghantam ke arah kakinya. Tersen-
tak kaget kakek ini. Detik itu juga dia melesat meng-
hindar. Tanah menyemburat meninggalkan lubang be-
sar. Di antara kepulan debu tampak berkelebat bayan-
gan putih merambah udara. Teriakan kaget terdengar
merobek udara dibarengi terlemparnya sesosok tubuh
laksana dihempaskan dari langit ke bumi. Tampak tu-
buh si kakek terguling-guling beberapa kali ditanah.
Dan baru terhenti setelah menabrak kemah hingga ro-
boh membungkus tubuhnya.
Tampak kepala kakek itu terkulai diantara
kain-kain kemah yang menggulung tubuhnya. Ada da-
rah yang mengalir... dan tubuh itu tak bergerak lagi.
Terperangah seketika para perwira Kerajaan itu
melihat sesosok tubuh melayang ringan dari udara dan
jejakkan kaki ke tanah. Seorang pemuda berbaju putih
kumal telah berdiri tegak ditempat itu dengan memon-
dong tubuh seorang gadis yang dalam keadaan tak sa-
darkan diri. Siapa adanya pemuda itu tiada lain dari si
Dewa Linglung alias Nanjar.
Bagai baru tersadar dari mimpi Adipati Sa-
wunggana melompat ke arah pemuda itu. "Sobat pen-
dekar Dewa Linglung! Oh, terima kasih atas bantuan-
mu..! lagi-lagi kau menyelamatkan jiwaku. Sungguh
kami tak menyangka masih bisa hidup. Seruling maut
itu nyaris merenggut jiwa kami kalau kau tak datang
tepat pada waktunya..!" berkata Adipati Sawunggana
dengan membungkuk, menjura pada Nanjar.
Nanjar mengangguk. "Secara kebetulan aku ti-
ba ditempat ini. Semua itu karena Tuhan masih meng-
hendaki kita bertemu lagi, sobat Adipati!" sahut Nanjar
seraya memberikan gadis dalam pondongannya pada
laki-laki itu.
"Untunglah dia dalam keadaan pingsan. Kalau
tidak, diapun akan menjadi korban ketelengasan ma-
nusia itu!" Cepat-cepat Adipati Sawunggana menyam-
but Retno Sekar, puteri angkatnya. Sementara para
perwira lainnya segera mendekati Nanjar. Masing-
masing menjura pada pemuda ini dan mengucapkan
terima kasih.
"Kalian tampaknya terluka dalam, juga kau so-
bat Adipati. Beristirahatlah kalian sambil mengobati
luka dalam kalian. Dan yang terpenting adalah gadis
ini. Kau harus menjaganya, sobat Adipati karena kese-
lamatannya telah menjadi tanggung jawabmu..! Rawat-
lah dia; Biarlah aku yang akan menyelesaikan urusan
dalam istana!"
Para perwira Kerajaan itu hampir serentak
mengangguk. Adipati Sawunggana tak sempat berpe-
san lagi, karena kejap itu juga tubuh si Dewa Linglung
telah berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Laki-laki
ini menghela napas. Bibirnya bergerak-gerak mengu-
capkan kata-kata bergumam pelahan.
"Pendekar muda..! Semoga Tuhan melindungi
dirimu..."
00OO00
Patih Panji Rana membelalakkan mata lebar-
lebar melihat sesosok bayangan melompat dari atas
menara diiringi suara tertawa gelak-gelak merobek ke-
tegangan yang mencekam. Akan tetapi segera disusul
dengan suara jeritan-jeritan menyayat hati.
Seorang pemuda berbaju kulit harimau tampak
mengibaskan-ngibaskan lengannya kesana kemari.
Desiran senjata-senjata rahasia menyambar ke arah
belasan prajurit yang berjaga-jaga sejak tadi malam di
sekitar pendopo Istana. Dalam waktu sekejapan saja
belasan prajurit itu terjungkal roboh.
"Setan! kiranya dia bersembunyi di atas mena-
ra?" sentak Patih Panji Rana dengan wajah pucat. Ke-
jap itu juga dia telah berkelebat melompat dari tempat
berdirinya. "Manusia iblis! hentikan perbuatanmu!"
membentak laki-laki tua berusia di atas lima puluh ta-
hun ini.
"Haha... siapakah kau? Syukurlah kalau orang
penting Kerajaan yang datang! Apakah kau Patih Panji
Rana?" Guci Manik menatap tajam abdi Kerajaan itu.
Agaknya dia sudah dapat menduga siapa orang itu.
"Benar! akulah Patih Panji Rana!" sahut abdi
kerajaan ini dengan tersentak. Terasa tatapan mata
pemuda itu bagaikan hunjaman pedang yang menem-
bus ke dadanya.
"Bagus! bersiaplah untuk menjemput kematian.
Karena aku segera akan mengirim nyawa busukmu ke
liang Neraka!" berkata dingin Guci Manik.
"Heh! dendam apakah yang tersimpan di dalam
dadamu, anak muda? Mengapa kau memusuhi orang-
orang Kerajaan?" Dalam terkejutnya Patih Panji Rana
masih sempat untuk bertanya. Guci Manik tertawa ge-
lak-gelak. Suara tertawa yang membuat hati Patih Pan-
ji Rana tergetar. Bahkan bulu tengkuknya meremang.
"Sebenarnya aku pantang menyebutkan nama-
ku. Tapi biarlah aku memberitahukan siapa diriku,
walau guruku melarangnya!" berkata pemuda ini sele-
sai mengumbar tawa.
"Namaku GUCI MANIK! Aku datang dan mun-
cul di Istana ini untuk membunuh seorang manusia
yang bernama Panji Rana! Siapakah Panji Rana? Ha-
ha.. dialah seorang Patih Kerajaan Purwacarita yang
telah memfitnah ayahku yang bernama Beo Aningkal!
Ayahku tewas karena menjalani hukuman mati atas
perintah Prabu Citrasoma! Ternyata manusia bernama
Panji Rana itu belum puas mengumbar hawa nafsu.
Dia telah pula memperkosa ibuku! Akibat perbuatan
terkutuk itu menyebabkan ibuku membunuh diri! Nah!
Cukupkah penjelasanku? Kini setelah belasan tahun
aku menuntut ilmu, hari inilah saatnya aku membalas
dendam!"
Tersentak Patih Panji Rana mendengar kata-
kata laki-laki muda berbaju kulit harimau itu. Dengan
mata membelalak dia menatap pemuda itu tak berke-
siap.
"Jadi kau... GUCI MANIK?" seru Patih Panji Ra-
na terperangah. "Siapakah yang menceritakan peristi-
wa belasan tahun itu padamu, anak muda?" Suara Pa-
tih Panji Rana tergetar.
"Siapa lagi kalau bukan guruku yang telah menyelamatkan diriku dan mendidik ku selama ini. Aku
tak mengetahui siapa nama guruku. Tapi dia menye-
butkan gelar yang pernah disandangnya di dunia per-
silatan. Dia bergelar si Hantu Elang Hitam!" sahut Guci
Manik.
"Hah!? Hantu Elang Hitam? Dia.. dialah yang
sebenarnya bernama BEO ANINGKAL!" sentak Patih
Panji Rana terkejut.
"Jangan ngaco! Beo Aningkal adalah nama
ayahku yang telah tewas karena fitnah kejimu, Panji
Rana!" bentak Guci Manik. "Hm, saat kematianmu su-
dah didepan mata, manusia busuk! Ternyata kau ma-
sih bisa memutar lidah! Pantas Sang Prabu Citrasoma
percaya dengan kata-katamu, hingga tak segan-segan
dia menjatuhkan hukuman mati pada ayahku! Haha-
ha... hari ini hari yang terakhir kau hidup di dunia, pa-
tih busuk! Nah! terimalah kematianmu!" Kata-kata Gu-
ci Manik ditutup dengan pukulan ganas yang meng-
hantam batok kepala laki-laki abdi Kerajaan itu.
Akan tetapi didetik itu tiba-tiba terdengar suara
berteriak.
"Tahan!"
Teriakan itu seperti amat berpengaruh pada
Guci Manik yang serta merta mengalihkan pukulan
mautnya ke udara.
Bhlarrr!
Ledakan keras terdengar merobek udara. Gema
suara ledakan keras itu berpantulan ke seluruh ruan-
gan Istana. Tahu-tahu di depan Guci Manik telah ber-
diri seorang laki-laki berpakaian keraton. Siapa adanya
laki-laki ini tiada lain dari Prabu Citrasoma.
Dari melihat pakaiannya saja Guci Manik telah
dapat menerka siapa laki-laki itu. "Heh! kau tentu Pra-
bu Citrasoma, raja Kerajaan Purwacarita!"
"Benar, anak muda..!" sahut Prabu Citrasoma.
Suara laki-laki ini bergetar, sementara pandangan ma-
tanya menatap Guci Manik dari ujung rambut sampai
ke mata kaki. Akhirnya kedua pasang mata mereka
saling bentrok. Adanya pertalian darah di antara mere-
ka membuat masing-masing merasakan adanya sesua-
tu yang menyentuh direlung hati masing-masing, Si
pemuda bermata elang ini tertegun menatap. Bahkan
dia merasa jantungnya berdetak keras.
"Anak muda! kalau kau benar bernama Guci
Manik, aku pernah kehilangan seorang anak laki-laki
pada belasan tahun yang silam. Dia bernama Guci
Manik. Aku sendiri yang telah memberi nama anakku
itu. Dia hilang diculik orang! Aku tak tahu siapa yang
telah menculiknya. Tapi dugaanku adalah orang yang
bernama BEO ANINGKAL! Dia bekas seorang Adipati
yang ku pecat karena melakukan perbuatan yang me-
malukan dan menjatuhkan nama baik Kerajaan! Apa-
kah kau mempunyai tanda hitam sebesar ibu jari di
belakang punggung?"
Tersentak Guci Manik mendengar kata-kata
Prabu Citrasoma. Entah kekuatan apa yang telah me-
lunakkan hati pemuda ini hingga sorot matanya yang
setajam mata pedang itu mendadak luruh. Bagai ada
kekuatan aneh yang menggerak tangannya, Guci Ma-
nik membuka baju kulit harimau yang dikenakannya.
Lalu balikan tubuh membelakangi Prabu Citrasoma.
Terpekiklah seketika sang Prabu Citrasoma me-
lihat hitam yang benar ada dipunggung pemuda itu.
"Guci Manik! kau... kau memiliki tanda hitam
itu. Kalau begitu kau...kau adalah anakku! Kaulah
anakku yang hilang diculik orang itu!" Membelalak ma-
ta Guci Manik. Dia berdiri terpaku tak bergeming.
Saat itu Patih Panji Rana telah berteriak girang,
dan menyembah di hadapan pemuda itu.
"Gusti Raden Guci Manik. Benar! kaulah putera
mahkota Kerajaan Puwacarita!"
"Anakku..! akulah ayahmu yang sebenarnya!
Kaulah darah daging ku!" Prabu Citrasoma tak dapat
membendung kegembiraannya. Dipeluknya Guci Ma-
nik dengan kegembiraan meluap-luap. Entah kekuatan
apa yang telah membuka mulut pemuda ini hingga ter-
lontar kata-kata dari mulutnya.
"Ayah..! Oh, ayah...!" Guci Manik balas meme-
luk dan keduanya saling rangkul dengan erat seperti
tak akan dilepaskan lagi. Pada saat itulah muncul se-
orang perempuan tua kurus pucat. Tapi mengenakan
pakaian keraton. Perempuan ini tak lain dari permai-
suri sang Prabu Citrasoma.
"Guci Manik..!? benarkah kau Guci Manik?"
berkata wanita ini dengan suara bergetar, sementara
matanya menatap Guci Manik tak berkesiap.
"Anakku! itulah ibumu! Ibumu yang telah me-
lahirkan kau. Yang telah hampir habis air matanya
menangisi dirimu, karena kehilangan anak laki-laki
sangat dicintainya..!" berkata Prabu Citrasoma. Sesaat
Guci Manik menatap perempuan itu. Dan... terdengar-
lah pekikan pemuda ini seraya melompat memeluk
wanita keraton itu.
"Ibuuu...!"
"Anakku...!" Kedua ibu dan anak itu seketika
sating berpelukan diiringi isak tangis kebahagiaan
Prabu Citrasoma menatap dengan air mata me-
leleh di pipinya.
Laki-laki ini mendadak menengadah menatap
ke langit. Dari bibirnya terlompat kata-kata dengan
suara bergetar.
"Dewata Yang Agung! Segala puji atasku yang
telah mempertemukan kami kembali. Dan menyela-
matkan Kerajaan Purwacarita dari kehancuran..!" En-
tah sejak kapan sesosok tubuh telah berdiri di puncak
menara Istana. Dialah si Dewa Linglung. Pendekar
muda ini tersenyum. Lengannya menggaruk-garuk
tengkuknya, menatap kejadian di bawahnya.
"Syukurlah tak terjadi pertumpahan darah..!"
gumam Nanjar. Dari puncak menara dia melihat rom-
bongan pasukan berkuda mendatangi ke arah Istana.
Orang paling depan yang menunggang kuda adalah
Adipati Sawunggana. Sedangkan disebelahnya yang
menunggang kuda putih tak lain dari Retno Sekar
adanya. Di bagian belakang adalah para perwira ke-
rajaan yang mengiringi mereka berdua.
Di saat keharuan dan kegembiraan tengah ber-
langsung di Istana, si Dewa Linglung berkelebat lenyap
dari puncak menara. Tak seorangpun mengetahui ka-
lau si Pendekar Naga Merah yang turut ambil bagian
dalam menumpas kejahatan manusia pengacau, telah
meninggalkan tempat itu.....
SELESAI
https://matjenuhkhairil.blogspot.com