Tampilkan postingan dengan label DEWA LINGLUNG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DEWA LINGLUNG. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Desember 2025

Dewa Linglung Episode Begal Dari Gunung Kidul


Begal Dari Gunung Kidul
Dia datang
Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti orang linglung
Para ksatria menyebut dia SiDewa Linglung
Pendekar sakti yang Digembleng ‘lima’ tokoh aneh

SATU

AWAN BERGULUNG DI LEHER LANGIT...
Desah angin dipuncak pohon seperti napas-napas yang
memburu merengkuh kebebasan....
Dahan-dahan pohon bergelinjangan dalam hempasan lembut
yang membuai dan terkadang kasar, hingga tak kuasa untuk
menahan daun-daunnya yang berlepasan helai demi helai...
Matahari seperti gelisah dalam himpitan mega kelabu. Dalam
keadaan tubuh setengah telanjang dia mencoba mengusik mega
dengan sinarnya yang melemah.
Namun dia tak berdaya dalam rengkuhan awan hitam yang
berguling-guling, dan menelan tubuhnya yang setengah telanjang
itu bulat-bulat!
Senja yang rupawan itu tak mampu disinari lagi dengan
cahaya merahnya, karena awan hitam tampak begitu buas, dan
perkasa membawa benih air hujan untuk ditaburkan dan disemai
dirahim bumi.
Setelah didahului dengan jilatan-jilatan lidah petir yang
melukis langit diselingi suara menggelegar diangkasa, maka
hujanpun turun dengan lebatnya, diiringi deru dan hempasan
badai yang kian menggila...
O, Alam...!
***
Dalam hujan badai yang menggila itu ternyata sesosok tubuh
tampak berlari-lari jatuh bangun.
Dia seorang wanita berambut beriapan. Wajahnya pucat
bersimbah air hujan yang deras mengguyur tubuh. Terpaan angin
keras membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Entah berapa kali dia mengeluh karena jatuh terjerembab,
namun dia bangkit lagi... Lalu meneruskan berlari dengan napas
tersengal-sengal.
Kira-kira lima belas tombak dibelakangnya tampak sesosok
tubuh berjalan cepat merambas semak belukar menyongsong
hujan dan badai memburu ke arah depan. Ketika kilatan petir
melukis udara, tampak sekilas siapa adanya sosok tubuh itu.
Ternyata dia seorang laki-laki bertubuh kekar bertelanjang
dada. Berwajah brewok. Matanya nyalang seperti mata seekor
serigala yang haus darah. Tangannya menggenggam sebilah
keris.
Apakah yang terjadi sebenarnya? Sepintas saja sudah dapat
diterka kalau laki-laki itu mengejar gadis tadi. Apakah keris
telanjang ditangannya akan digunakan untuk membunuh
buruannya, atau hanya untuk menakut-nakuti gadis itu saja.
Entahlah!
Yang jelas laki-laki brewok ini terus berjalan cepat
merambas hujan dan badai yang menggila untuk mengejar gadis
itu...
Sementara gadis itu tampak mulai semakin le-mah
tenaganya. Beberapa kali dia jatuh tersungkur. Tubuhnya mulai
menggigil kedinginan. Dia kembali bangkit untuk meneruskan
berlari. Akan tetapi tulang lututnya terasa ngilu.
Kakinya kian terasa berat untuk melangkah.
Sementara gebu napasnya semakin memburu. Jantungnya
melonjak-lonjak karena rasa takut dan cemas semakin
menggerogoti jiwanya.
Di saat itulah suara berkrosakan dibelakangnya tampak
semakin jelas terdengar. Dia melihat semak belukar bergoyang
karena disibakkan tangan lelaki kekar itu yang terus
memburunya.
Gadis ini merasakan jantungnya seperti berhenti berdenyut.
Matanya mulai nanar. Harapannya untuk bisa menyelamatkan diri
dari tangan laki-laki itu semakin tipis...
Di saat itulah kilatan petir membelah angkasa. Kilatan
cahaya terang sekilas itu telah membuat mata gadis ini
membelalak.
“Aku melihat ada sebuah bangunan tua di sebelah depan...
Oh, aku bisa bersembunyi ditempat itu...” sentaknya dalam hati.
Harapan yang semula kandas itu mendadak tersembul lagi.
Seperti mendapat tenaga baru saja layaknya, dia bangkit berdiri
dan berlari cepat kea-rah bangunan tua dihadapannya.

Sesaat kakinya telah menginjak tangga batu yang licin
berlumut. Sementara badai mulai mereda, namun hujan masih
terus menggila.
Dia melihat pintu bangunan itu setengah terbuka. Tak
berayal segera dia melangkah masuk dengan setengah menyeret
tubuhnya.
Aneh! Dia melihat ruangan yang kosong itu tampak terang
oleh dua buah lampu. Namun lagi-lagi aneh! Dia melihat dua
buah lampu seperti bergerak mendekat, sedangkan ruangan
dibelakang lampu kembali gelap pekat.
Tiba-tiba.
“Ngeeooooong....!”
Hampir saja gadis ini menjerit saking terkejutnya. Karena
dua buah lampu itu adalah sepasang mata seekor kucing berbulu
hitam. Binatang itu mengeong dan sepasang lampu aneh itupun
lenyap!
Gadis ini merasakan ada hembusan angin yang lewat disela
kakinya. Hampir saja dia pingsan saking terkejutnya. Ternyata
kucing berbulu hitam itu melintasi keluar dari pintu yang
dikuakkannya.
Kini ruangan itu kembali gelap pekat! Tapi hati gadis ini
sudah nekat. Tak perduli bangunan tua ini adalah rumah hantu
atau rumah iblis.
Dari pada dia terkejar oleh laki-laki brewok itu lebih baik dia
mati dicekik hantu! Demikian pikirnya. Dengan cepat dia
menutup pintu. Kemudian lengannya meraba-raba mencari-cari
apa saja yang bisa digunakan untuk mengunci pintu dari dalam.
Beruntung dia menemukan palang pintu. Lalu dengan cepat dia
menggunakannya untuk mengganjal daun pintu itu.
Sesaat dia bisa bernapas lega. Kini matanya mencoba
menembus kegelapan. Dia melihat ada pintu lagi yang menuju ke
ruangan lain. Bergegas dia melangkah dengan berhati-hati dan
jantung berdebar. Tapi tanpa rasa takut lagi. Dia hanya khawatir
kakinya terantuk dan jatuh terjerembab.
Sementara itu laki-laki brewok ini terus melangkah cepat
merambas semak belukar. Matanya mencari-cari dimana adanya
gadis yang tengah dikejarnya. Sesaat dia berdiri terpaku dan
memutar pandangan dalam rinai air hujan.
“Bedebah! Kemana perginya perempuan itu...!” bergumam
laki-laki dalam gemetar tubuhnya karena hawa dingin yang
menembus ke tulang sumsum. Getar suaranya bercampur dengan
hawa amarah. Sudah dapat dipastikan tujuan laki-laki brewok ini
adalah untuk melenyapkan nyawa gadis itu.
“Hujan keparat!” Laki-laki ini memaki. Lengannya bergerak
menepiskan air hujan yang meluncur ke dahi. Kemudian setelah
menduga-duga ke arah mana dia harus mengejar segera dia
meneruskan berjalan cepat setengah berlari untuk mengejar
buruannya.
“Hm, dia tak akan jauh dari sekitar tempat ini...! Atau bisa
saja dia telah jatuh pingsan tanpa setahuku...” berpikir laki-laki
ini dalam benak. Dalam cuaca gelap dan hujan lebat demikian
mana mungkin dia menemukan orang yang jatuh pingsan dalam
semak belukar selebat itu?
Namun rasa penasaran dihati si laki-laki brewok membuat
dia tak berhenti mencari.
“Aneh...! Tak ada tanda-tanda gerakan atau suara desah
napasnya di sekitar sini. Apakah dia benar-benar pingsan?” laki-
laki ini berkata dalam hati. Ketika dia memutar langkah ke arah
kanan, mendadak kakinya terantuk sesuatu. Dia mengaduh, dan
nyaris jatuh terjerembab. Untung dia sempat menahan tubuhnya
dengan kedua telapak tangan menempel ditanah.
“Benda apakah yang terantuk kakiku?” mendesis si brewok.
Di saat itu kilatan petir membelah angkasa. Mata laki-laki ini
membesar. Dan dia tersentak kaget, ketika melihat gundukan
tanah di-hadapannya. Secara tak disadari dia telah melangkahi
sebuah kuburan manusia, dan kakinya menyandung batu nisan
hingga benda itu miring dan hampir tercongkel.
“Edan! Rupanya aku tersasar ke kuburan tua...!” rutuk si
laki-laki brewok dengan tengkuk agak meremang. Kini hatinya
mulai ragu untuk menemukan gadis itu, karena disamping malam
mulai merambah juga rasa enggan untuk mengu-bak-ubak sekitar
tempat itu.
Tapi baru saja dia mau beranjak untuk meninggalkan tempat
itu, tiba-tiba matanya membelalak melihat sebuah bangunan tua
yang terlihat dari sela semak belukar. Saat itu hujan mulai agak
mereda. Dan tak berapa lama kemudian hujanpun berhenti sama
sekali.
“Sebuah gedung kuno...? Ah, ternyata dalam hutan ini ada
sebuah gedung tua yang tersem-bunyi...” mendesis laki-laki
brewok ini. Mendadak dia tersenyum menyeringai. Laki-laki
brewok ini berkata dalam hati.
“Ha ha... kalau dia tak bersembunyi ke tempat itu, ke mana
lagi...?” Dengan harapan yang pasti segera dia memburu ke
tempat itu. Matanya nya-lang memperhatikan sekitar bangunan
tua itu.
Saat itu rembulan mulai muncul walau sinarnya tak begitu
terang.
Laki-laki ini mulai melangkah mendaki tangga batu.
Pandangan matanya tertuju pada bekas-bekas telapak kaki.
Tampak kembali seringainya dibibir.
Dengan langkah perlahan dia mengikuti bekas-bekas telapak
yang penuh tanah itu. Barulah dia menghentikan langkahnya,
tepat didepan pintu gedung tua itu. Seringainya melebar.
Sebelah lengannya terjulur ke arah pintu. Lalu digerakkan
lengannya untuk mendorong. Seperti sudah diduganya, dia
mendapatkan pintu itu ter-kunci.
“Hm, kau kira aku tak dapat membukanya...?” berkata si
brewok dalam hati. Dia mundur dua langkah memasang kuda-
kuda. Dan...
Brrakk!
Terdengar suara papan berderak. Tendangan keras sepenuh
tenaga yang digunakannya telah membuat pintu gedung tua yang
memang sudah lapuk itu hancur berserpihan, berikut palang pintu
yang mengganjal dari sebelah dalam.
Saat berikutnya dia telah melompat masuk. Matanya liar
merambah dalam kegelapan ruangan itu. Dengan langkah pasti
laki-laki brewok itu terus beranjak ke dalam. Sementara dia
memasang telinga baik-baik untuk mendengar suara yang bisa
membuat dia mengetahui dimana gadis itu bersembunyi. Tapi
ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya remang-remang dari
sinar rembulan yang menerobos dari pintu gedung itu, begitu
sunyi lengang.
––––––––
DUA

Gemetar tubuh gadis ini mendengar suara berderak itu.
Dalam ruangan gelap itu wajahnya pucat pias.
“Celaka...!?” sentaknya berdesis. Apakah yang akan
dilakukan kini? Sementara telinganya mendengar langkah-
langkah yang kian mendekat.
Ternyata laki-laki brewok itu justru melangkah ke ruangan
dimana dia bersembunyi.
Sebisa-bisa gadis ini menahan napasnya yang memburu.
Dadanya tampak bergelombang, dan detak jantungnya kembali
memalu. Dia merapatkan tubuhnya didinding ruangan. Akan
tetapi gadis ini tersentak karena kakinya dirayapi sesua-tu. Tentu
saja tak terasa mulutnya mengeluarkan suara, yang dibarengi
dengan mengangkat kakinya.
“Ciit...! Ciiit...!”
Seekor tikus melompat, dan lenyap disudut ruangan. Karena
ulah tikus itulah si laki-laki brewok segera mengetahui dimana
gadis itu bersem-bunyi.
“Haha... keluarlah dari tempat persembunyianmu, manis...!
Aku tak akan menyakitimu kalau kau mau bicara baik-baik!”
berkata laki-laki brewok itu.
“Kau... tak akan membunuhku..?” terdengar gadis itu
menyahut dengan suara bercampur isak.
“Percayalah! Tak selembar rambut ditubuhmu yang akan
kuganggu, asal kau mau bicara baik-baik padaku!” mengulang si
laki-laki brewok. Menyahut si brewok. Tapi dalam hati laki-laki
ini ber-kata lain.
“Haha... setelah aku gagal merampok, kalau tak kudapatkan
kehangatan tubuh anak seorang Demang calon istri muda Adipati,
bukanlah aku Warok Sobrah Si Begal dari Gunung Kidul!
Hitung-hitung penebus kesialan ku...!”
Mata si laki-laki brewok liar berkilat-kilat menatap ke arah
pintu ruangan dimana gadis itu bersembunyi. Tiba-tiba dia
kembali menggembor keras.
“Cepat kau keluar! Atau aku yang akan masuk untuk
menyeretmu?”
Tak ada pilihan lain, keluar atau tak keluar sa-ma saja. Maka
lambat-lambat gadis itu munculkan diri. Mata si laki-laki brewok
berkilat melihat sosok tubuh gadis yang basah kuyup itu. Walau
cahaya remang-remang namun dia masih bisa melihat le-kuk-liku
tubuh dara itu.
“Bagus! Mendekatlah, manis...! Ah, kasihan... kau pasti
kedinginan sekali...” berkata laki-laki sambil menyimpan
kerisnya dibelakang punggung.
“Kau berjanji tak akan menggangguku, bukan?” kata gadis
ini dengan suara gemetar. Mendengar kata-kata gadis itu, laki-
laki brewok ini tertawa bergelak.
“Jangan khawatir! WAROK SOBRAH akan menepati
janjinya!” kata laki-laki ini seraya melang-kah mendekati.
Tampaknya gadis ini sudah percaya betul dengan kata-kata laki-
laki jembros itu, walau diam-diam hatinya kebat-kebit.
Sesaat Warok Sobrah tercenung menatap gadis yang berdiri
dihadapannya dengan tubuh gemetar itu.
“Siapa namamu, nduk...?” tanyanya lembut.
“Sumanti...!” sahut gadis ini.
“Ah, nama yang bagus, sebagus orangnya...” Kepala laki-laki
brewok ini manggut-manggut. Se-belah lengannya mengusap
mukanya yang basah oleh air hujan tadi.
“Mengapa kau lari dari rumah ayahmu Ki Demang
Sunggoro?” Tiba-tiba Warok Sobrah bertanya. Gadis ini menyeka
air matanya yang meng-genang.
“Aku tak sudi dikawinkan dengan Adipati yang sudah
mempunyai empat orang isteri itu!” sahut gadis ini dengan suara
terisak. Lalu menyambung kata-katanya.
“Ki Demang bukanlah ayah kandungku...”
“Bukan ayah kandungmu?... Hm, jadi kau tak mengetahui
terjadinya perampokan itu?”
“Perampokan? Siapa yang dirampok?” balik bertanya gadis
bernama Sumanti itu. Tampak wajahnya berubah memucat.
“Hm, ternyata banyak hal yang harus kau ketahui. Aku
segera akan menuturkannya padamu. Tapi... kau tunggulah disini.
Aku akan memeriksa bangunan tua ini, siapa tahu dapat
kutemukan kain usang untuk pengganti pakaianmu yang basah
kuyup. Kau tampaknya kedinginan sekali...”
Memang saat itu Warok Sobrah melihat si gadis beberapa
kali bergidik kedinginan.
Selesai berkata Warok Sobrah segera melangkah pergi untuk
memeriksa salah satu ruangan. Se-mentara gadis bernama
Sumanti ini berdiri terpaku menatap laki-laki brewok itu.
Terdengar mena-rik napas perlahan.
Rasa khawatirnya seketika hilang lenyap meli-hat sikap
Warok Sobrah diluar dugaan.
Setelah memeriksa ruangan demi ruangan da-lam gedung tua
itu.
Tampaknya laki-laki brewok itu menemukan seperangkat
pakaian usang dalam sebuah lemari yang sudah lapuk dan
digunakan sarang tikus.
Dia melompat keluar membawa setumpuk pa-kaian ke
hadapan gadis itu.
Dan menjatuhkannya dilantai. Dua ekor tikus kecil rupanya
ikut terbawa dalam lipatan pakaian usang itu. Ketika Warok
menjatuhkan pakaian itu kelantai, binatang kecil itu berlompatan
sambil mencicit. Tentu saja membuat gadis ini kembali tersentak
untuk kedua kalinya.
“Hahaha... hanya dua ekor tikus yang tak menggigit!” kata
Warok Sobrah sambil tertawa. “Nah! Kau carilah pakaian yang
cocok dan cukup baik untuk pengganti pakaianmu. Aku akan
mencari kayu kering untuk membuat api unggun!” selesai berkata
kembali dia memasuki sebuah ruangan. Tak lama dia telah keluar
lagi dengan membawa sepotong kayu lapuk. Kayu itu
dihancurkannya menjadi kepingan kecil-kecil.
Kemudian mengumpulkannya diatas lantai.
Selesai menumpuk serpihan kayu, lengan Wa-rok Sobrah
menggerayang kesela ikat pinggangnya yang lebar. Ternyata pada
ikat pinggang kulit itu ada terdapat sebuah kantung kecil tempat
me-nyimpan alat pembuat api.
“Hm, untunglah alat pembuat api ini tak basah terkena air
hujan.” menggumam si laki-laki brewok. Tak menunggu lama
segera di menggunakannya.
Setelah beberapa kali mencoba, maka sumbu pada alat itupun
menyala.
Sementara Warok Sobrah membuat api unggun, gadis ini
memilih-milih pakaian usang, dan memeriksanya satu persatu.
Dengan adanya cahaya api unggun yang sudah dinyalakan
Warok Sobrah, maka gadis ini mene-mukan sebuah pakaian
usang yang masih cukup baik. Yaitu sebuah kebaya panjang. Juga
selembar kain yang tak terlalu buruk. Walau warnanya sudah
kusam, tapi kain itu masih cukup baik.
Sumanti cepat berdiri, ketika melihat laki-laki brewok itu
menghampiri.
“Kau sudah menemukannya?” tanya Warok Sobrah. Gadis
ini mengangguk.
“Nah, cepatlah ganti pakaianmu...!” Tapi gadis ini
tampaknya sepergi bingung atau serba salah. Karena tak mungkin
kalau dia harus berganti pakaian dihadapan laki-laki itu.
Warok Sobrah tersenyum, lalu lengannya menunjuk, seraya
berkata.
“Gantilah pakaianmu diruangan itu! Tak usah takut ada
setan! Setannya cuma aku!”
Sesaat Sumanti menatap laki-laki brewok itu. Tapi segera
palingkan wajahnya karena melihat sepasang mata laki-laki itu
tampak begitu tajam menatap kearahnya, seolah-olah menguliti
tubuhnya.
Tak berayal segera dia melangkah cepat ke balik ruangan.
Dalam ruangan yang tak begitu gelap ka-rena adanya cahaya api
unggun, gadis ini cepat melepaskan pakaiannya. Lalu
menggantinya dengan pakaian usang.
Terasa bau pengap melanda hidung dari pakaian itu.
Hatinya lega, karena sampai dia selesai berganti pakaian,
Warok Sobrah tampak masih berjongkok memilih-milih pakaian
yang bisa dikenakannya.
Melihat dirinya muncul, laki-laki brewok itu menoleh.
“Wah! Kau cantik sekali dengan pakaian kuno itu...!”
katanya sambil tersenyum. “Nah! kau duduklah dekat api unggun
itu untuk menghan-gatkan tubuhmu”.
Tampaknya Warok Sobrah telah pula menemukan
seperangkat pakaian usang. Tak terlalu bagus, bahkan ada bekas
gigitan tikus dibeberapa bagian ujung celana pangsi hitam itu.
Tapi hanya itu yang masih utuh. Lainnya sudah tak berbentuk
lagi. Tapi dia beruntung karena dapatkan sebuah kemeja tanpa
leher berukuran besar yang juga berwarna hitam dari bahan sutera
tebal yang alot. Pantaslah masih utuh, karena gigi tikus tak kuat
menggerogotinya.
Melihat Sumanti sudah beranjak mendekati api unggun, dia
segera lepaskan celananya yang ba-sah. Tepat saat itu si gadis
menoleh sambil berjongkok.
Tentu saja seketika wajahnya berubah merah.
Cepat-cepat dia berpaling.
Warok Sobrah ini cuek saja mengenakan celana barusan
(baru usang) itu. Lalu selesai mengenakan celana, lengannya
menyambar kemeja sutera hitam, dan langsung dikenakannya.
Barulah dia membalut pinggangnya dengan ikat pinggang ku-
litnya yang lebar. Tampaknya laki-laki brewok ini girang sekali
mendapatkan pakaian yang cocok dengan kesenangannya.
Setelah berdiri mematut-matut, segera dia balikkan tubuh, dan
beranjak mendekati api unggun.
“Coba kau lihat, apakah aku pantas dengan pakaian ini?”
tanya Warok Sobrah. Sumanti menoleh untuk memandang laki-
laki itu.
“Kau tampak gagah dengan pakaian itu..” sahutnya memuji.
Pujian itu memang tak sekedar pujian. Dalam hati gadis ini diam-
diam memang memuji dengan sesungguhnya. Walau laki-laki itu
memang tampak tua, setidak-tidaknya berusia empat puluhan
tahun, tapi tubuhnya yang kekar dan kesegaran wajahnya tak
menampakkan ketuaannya. Bahkan seandainya laki-laki itu
mencukur jembrosnya tentu akan kelihatan lebih muda dan
gagah.
Warok Sobrah tampaknya senang sekali mendapat pujian itu.
Hidungnya kelihatan kembang-kempis, dan bi-birnya segera
menampakkan senyum melebar.
“Benarkah aku masih tampak gagah? Hm, apakah aku tak
setua Adipati? Masih lebih muda dan gagah mana aku dengan
Adipati“ bertanya Warok Sobrah.
Gadis ini tersenyum. Agaknya baru kali ini dia bisa
tersenyum karena melihat sikap laki-laki jembros itu yang lucu.
“Tentu saja lebih muda dan... jauh lebih gagah kau...” sahut
Sumanti jujur.
“Sungguh...?” tanya Warok Sobrah menatapnya semakin
tajam.
“Sungguh!” sahut Sumanti. Mau tak mau kedua pasang mata
mereka sama-sama beradu tatap. Tapi cepat-cepat Sumanti
mengalihkan tatapannya.
Mendadak dia merasa ada getaran aneh didadanya. Tatapan
mata si laki-laki jembros tampaknya tak seliar mata seekor
serigala. Tatapan itu seperti mengandung arti yang dalam yang
menelusup kerelung hatinya.
Apakah hal itu karena dia mulai menaruh ke-percayaan pada
laki-laki itu? Entahlah! Yang jelas dia merasa sudah terlepas dari
bahaya yang sangat ditakutinya...
––––––––
TIGA

KEJADIAN APAKAH sebenarnya di belakang peristiwa ini?
Keluarga siapakah yang mengalami perampokan? Marilah
kita simak kisah dibelakang sebelum kemunculan si laki-laki
jembros Warok Sobrah yang mengejar gadis anak angkat Ki
Demang SUNGGORO, yang melarikan diri dari rumahnya...
Desas-desus yang didengar penduduk desa Ku-to Anyar
semakin santar, bahwa anak gadis Ki Demang Sunggoro yang
bernama Sumanti telah di-lamar oleh Adipati KUNCORO
SETHO DENING PROJO untuk dijadikan isterinya yang kelima.
Betapapun tadinya hal itu dirahasiakan, namun tak urung berita
itu sampai juga ke telinga penduduk.
Ternyata secara diam-diam penduduk desa Kuto Anyar dan
sekitarnya kurang menyenangi Ki De-mang Sunggoro. Bahkan
juga terhadap Adipati Kuncoro Sheto Dening Projo yang terlalu
menekan rakyat dengan pajak-pajak berat, serta bermacam
peraturan yang dibebankan pada penduduk.
Hal itu sudah berlangsung lama... hingga kea-daan rakyat
semakin tertekan. Disamping itu me-reka melihat kehidupan Ki
Demang semakin mewah.
Gedungnya diperbesar, lengkap dengan gudang-gudang
untuk menampung berkarung-karung beras, kopra dan sebagainya
hasil pajak dari penduduk.
Belum setahun Adipati itu menjabat, ternyata sudah tiga kali
mengaet gadis-gadis untuk dijadikan isterinya. Kehidupan
Adipati sendiri tampaknya lebih mewah. Disamping cara
mengatur pemerintahan yang dibebankan pihak Kerajaan padanya
tidak sempurna, alias semrawut, juga see-naknya saja memungut
pajak tanpa mau tahu ke-susahan rakyat.
Dalam pandangannya mungkin pajak yang di-bebankan pada
penduduk adalah cukup memadai. Tapi dibelakang Adipati bukan
sedikit pajak tambahan yang dikenakan pada rakyat, yang
dipungut oleh orang-orang bawahannya, termasuk Ki Demang
Sunggoro.
Kemarahan penduduk yang merasa terus tertekan itu
tertumpah pada Ki Demang Sunggoro. Timbullah kerawanan
yang membengkak, hingga beberapa orang desa diwilayah itu
telah merencanakan suatu perampokan terhadap Ki Demang
mereka.
Siapakah sebenarnya Warok Sobrah? Dia adalah seorang
begal ulung yang bekerja sendiri, dan untuk kepentingan dirinya
sendiri. Sebelum melakukan pembegalan atau perampokan,
biasanya dia akan melacak terlebih dulu siapa yang bakal dija-
dikan korbannya. Sebenarnya yang menjadi sasa-rannya kali ini
adalah Adipati Kuncoro Setho Dening Projo. Tentu saja dia dapat
mengetahui kekayaan harta Adipati itu, karena sering terdengar
dimana-mana yang dibicarakan penduduk adalah Adipati itu.
Kekayaan serta tingkah laku dan perbuatannya bukan
dongeng lagi.
Keluhan rakyat yang hasil panennya tak cukup untuk
menghidupi anak-isteri sampai menunggu hasil panen
selanjutnya, karena pajak dan peraturan ini-itu. Sumbangan untuk
pembangunan gedung dan gudang yang mencekik leher dan diha-
ruskan, dan sebagainya, mendengung-dengung di-telinga Warok
Sobrah. Sementara diam-diam Adi-pati itu masih pula melamar
seorang gadis untuk dijadikan isterinya yang kelima. Yaitu anak
Ki De-mang Sunggoro.
Tampaknya Ki Demang seperti ingin memperkuat
kedudukan dengan memberikan anak gadisnya yang seolah-oleh
dijadikan jembatan penghu-bung bagi kelangsungan dan
kelanggengan jabatannya.
Seperti dikatakan tadi, sasaran Warok Sobrah adalah Adipati
Kuncoro Setho Dening Projo. Tapi mendengar berita itu sasaran
Warok Sobrah kini beralih pada Ki Demang. Diam-diam dia
ingin tahu juga anak gadis Ki Demang Sunggoro. Secantik
apakah gadis anak Ki Demang itu hingga diingini oleh Adipati?
Kemunculan Warok Sobrah ternyata hampir bersamaan
dengan minggatnya Sumanti dari rumah Demang itu. Dia
melarikan diri karena tak mau di jadikan isteri kelima Adipati.
Warok Sobrah berpapasan dengan anak buah Ki Demang yang
mencari jejak gadis yang minggat dipagi subuh tadi.
Demikian menurut penjelasan salah seorang dari para pencari
jejak gadis itu yang ditanyai.
Niat untuk melihat situasi dikediaman Ki Demang sebelum
melakukan perampokan segera diurungkan. Dia melibatkan diri
dalam pencarian jejak gadis itu.
Di saat itulah ditempat kediaman Ki Demang Sunggoro
terjadi perampokan. Belasan orang bertopeng telah merambas
masuk ke dalam gedung penguasa itu. Terjadilah kegaduhan
didalam gedung itu.
Ki Demang tersentak kaget melihat belasan sosok orang-
orang bercadar menyerbu masuk ke dalam ruangan dengan golok
dan senjata terhunus.
Tentu saja dia membentak marah, dan terjadilah pertarungan.
Dalam keadaan kalut karena lenyapnya anak gadis yang telah
dilamar oleh Adipati, Ki Demang jadi kalap melihat kemunculan
para perampok yang memasuki gedungnya. Akan tetapi
perlawanannya sia-sia. Para perampok itu berhasil
membunuhnya. Bahkan membunuh pula isterinya. Lalu
merampok apa saja yang dapat mereka bawa. Tak terkecuali
bahan pangan, dan sebagainya. Bahkan karena geramnya, para
perampok itu telah membakar gedung itu.
Melihat asap mengepul dikejauhan, membuat Warok Sobrah
terkejut.
Dia segera berlari untuk melihatnya. Alangkah kagetnya laki-
laki brewok ini melihat rumah Ki Demang sudah terbakar.
Untunglah api belum membesar. Dengan bantuan beberapa
orang-orang Ki Demang api berhasil dipadamkan. Akan tetapi
mereka menjumpai Ki Demang dan isterinya telah menjadi
mayat....
Dari keterangan salah seorang penduduk, segera diketahui
kalau belum lama telah terjadi perampokan yang dilakukan oleh
orang-orang bertopeng. Setelah menguras harta benda dan
membakar gedung para perampok bertopeng itu melari-kan diri,
dan lenyap entah kemana perginya.
Sesaat lamanya Warok Sobrah tercenung. Tapi dia tak punya
urusan dengan masalah itu. Warok memutuskan untuk mencari
gadis anak Ki Demang yang melarikan diri itu. Hingga akhirnya
dia menemukan jejak Sumanti...
––––––––
EMPAT

GADIS INI termangu-mangu mendengar penuturan Warok
Sobrah. Tampak sepasang matanya berkaca-kaca. Dia tak
menyangka kalau kepergiannya justru bersamaan dengan
musibah itu. Walau bagaimana buruknya kelakuan Ki Demang,
namun orang tua itulah yang telah merawat dirinya sejak kecil.
Dan isteri Ki Demang sangat baik sekali terhadapnya.
Wanita setengah tua itu tak mampu berbuat apa-apa dengan
keputusan Ki Demang suaminya yang telah menerima lamaran
Adipati.
Sumanti menahan isaknya, sementara air ma-tanya tak
terbendung lagi meluncur turun dikedua pipinya.
“Sudahlah, Sumanti...! Aku tahu kesedihan hatimu. Tapi tak
usahlah sampai terlalu bersedih hati, karena semua sudah menjadi
kehendak Yang Maha Kuasa...” hibur Warok Sobrah.
Malam semakin melarut... keheningan semakin mencekam
dalam gedung kuno itu. Namun api unggun masih tetap menyala
didalam halaman di tengah gedung tersebut.
Warok Sobrah masih duduk didepan api unggun. Sebentar-
sebentar dia menambahnya dengan kayu kering yang cukup
banyak tersedia dida-lam ruangan gedung. Kemanakah gadis
bernama Sumanti itu? Ternyata gadis itu telah tertidur pulas
dilantai beralaskan kain-kain usang.
Sesekali Warok menengok ke arah gadis itu yang terlena
dalam pelukan malam yang lengang dan berhawa dingin.
Entah berapa kali laki-laki brewok ini menarik napas.
Termangu-mangu dalam kesendirian. Seolah-olah dia merenungi
masa-masa silam, dan apa yang selama ini dilakukannya. Dalam
relung hatinya seperti ada yang berkata.
“Warok Sobrah...! Kau adalah manusia tak lebih kejam dari
para perampok yang telah membunuh Ki Demang dan isterinya.
Belasan nyawa telah melayang diujung kerismu. Puluhan gadis
telah kau perkosa, dan banyak harta telah kau rampas dari
pemiliknya...! Apakah tujuan hidupmu sebenar-nya?
“Ya! apakah tujuan hidupku sebenarnya?” mendesis Warok
Sobrah.
Kembali dia termangu-mangu dalam senyapnya malam.
Dalam desah napas gadis malang yang ti-dur dalam
kebimbangan. Tak tahu nasib apa yang kelak bakal dihadapinya
nanti. Suara berkeretekannya kayu yang terbakar, dan lelatu api
yang sesekali memercik, serta panasnya api unggun, yang seperti
menampar-nampar pipinya. Seolah api unggun itu berbicara
padanya dengan mengejek.
“Warok Sobrah! Lihatlah aku! Saat ini aku berguna buat
mengusir hawa dingin, buat menerangi kegelapan! Aku punya
jasa buat manusia.
Tapi akupun bisa membuat manusia sengsara karena
amukanku! Aku bisa membuat orang menangis karena
kehilangan rumah dan harta benda. Bahkan mungkin juga
kehilangan seorang anak yang dikasihaninya yang tertambus
dalam kobaran kemarahanku! Tapi aku hanyalah sesosok
makhluk tak berakal! Makhluk yang berada dibawah kekuasaan
alam dan manusia. Aku bisa dipergunakan untuk amal kebajikan,
tapi bisa juga untuk membuat malapetaka!
Sekarang aku ingin bertanya... Samakah aku dengan kau?
Dan samakah kau dengan aku?”
Warok Sobrah terpaku menatap api unggun yang dengan
rakus melahap kayu kering yang dis-odorkan kedalam mulutnya.
Tiba-tiba dia seperti mendengar seolah-olah sang api unggun
yang semakin membesar itu kembali meneruskan bica-ranya.
“Lihat Warok Sobrah! Betapa rakusnya aku. Betapa
tamaknya aku melahap kayu kering yang empuk dan menjadi
kesukaanku! Tapi rakusnya aku adalah karena perantaraanmu!
Perantaraan manusia, yang mengetahui watak dan tabiatku! Aku
tak ubahnya setitik hawa nafsu yang berada dalam bathinmu!
Kalau kau biarkan aku berkobar, maka akan membakar tubuhmu.
Tapi kalau kau bisa mempergunakannya, maka kau akan
mendapat hikmah dari diriku yang bisa menenteramkan
jiwamu...! Nah! samakah aku dengan kau, dan sa-makah kau
dengan diriku?” Tergetar tubuh Warok Sobrah. Mukanya terasa
panas bagai bara.
Laki-laki jembros ini mendadak bangkit berdiri. Matanya
nyalang melihat ke arah api unggun yang berkobar-kobar
dihadapannya. Napasnya membu-ru tersengal-sengal. Tiba-tiba
dia berteriak sekuat-kuatnya.
“Tidaaaaaaaaaaaaak...!”
Tentu saja teriakannya membuat si gadis yang tertidur lelap
jadi terjaga dan terlonjak kaget.
“Ada apakah Paman Warok..?” bertanya Sumanti dengan
membelalak memandang laki-laki jem-bros itu. Warok Sobrah
bagai baru tersadar dari pengaruh yang bergejolak dalam jiwanya.
Dia menoleh pada Sumanti sambil tersenyum.
“Tidak ada apa-apa....! Kau tidurlah lagi, anak manis...”
sahutnya seraya menghampiri. Lengannya terjulur memagut dagu
gadis itu.
“Kau memanggilku paman...? Ah, senang sekali aku
mendengarnya. Ya! kau boleh panggil aku dengan sebutan paman
Warok!” sambungnya dengan senyum semakin melebar.
Sepasang matanya menatap gadis ayu itu dengan pandangan
penuh kasih sayang dan perasaan kasihan yang mendalam.
Sumanti tersenyum dan agak tersipu. Dia sendiri merasa aneh,
mengapa tiba-tiba menyebutnya dengan kata-kata paman?
“Paman Warok mengigau...?” tanya Sumanti perlahan.
“Yya...ya... aku mengigau. Aku bermimpi melihat seekor
ular mau mematuk dirimu. Ular itu besar sekali. Tentu saja tak
kubiarkan binatang itu mengganggumu. Dalam mimpiku, aku
mengambil sepotong kayu. Sambil membentak kuhantam kepala
ular itu hingga remuk!
Dan... aku... aku melompat bangun...!” kata Warok Sobrah
berdusta.
“Tapi... tapi ular itu tidak ada kan, paman Warok?” menukas
Sumanti.
“Haha... ha… ha... tentu saja tidak, anak manis. Itu hanya
dalam mimpiku. Nah, sekarang tidurlah lagi. Hari masih larut
malam. Besok kita periksa rumah tua ini...” Warok mengedipkan
sebelah matanya dengan tersenyum.
Sumanti menatapnya sesaat. Dia melihat ada sebutir air
bening dipelupuk mata si laki-laki brewok. Tapi dia tak berani
bertanya apa-apa.
Warok Sobrah kembali duduk dekat api unggun. Diam-diam
dia menyeka air matanya dengan lengan bajunya. Tampak
bibirnya tersenyum, dan terdengar helaan napasnya menyibak
kelengangan.
––––––––
LIMA

DUA HARI KEMUDIAN.... Tiga penunggang kuda muncul
dihalaman depan gedung kuno itu. Ternyata ketiganya adalah tiga
orang perwira Kerajaan. Salah seorang dari tiga perwira ini
melompat turun dari punggung kuda. Lalu melompat masuk
kedalam gedung tua itu. Sesaat dia memperhati-kan pintu depan
gedung yang hancur berantakan.
Laki-laki perwira Kerajaan ini terdengar menghembuskan
napas di hidung. Sret! Dia telah menarik keluar klewangnya. Lalu
melompat memasuki ruangan dalam. Salah satu penunggang kuda
yang menunggu diluar turut melompat turun. Tampak-nya dia
tertarik pada bekas-bekas telapak kaki pe-nuh tanah yang terdapat
ditangga batu. Perwira ini segera menyusul kawannya, melompat
masuk ke-ruangan dalam setelah menghunus senjatanya.
Penunggang satunya tak turun dari atas kuda. Dia
memperhatikan sekitar gedung. Mendadak dia gerakkan kudanya
melangkah ke arah samping kiri bangunan kuno itu. Matanya
menatap pada secarik kain usang yang tercecer ditanah.
Dia melompat turun dari atas kuda. Lalu menjumput kain
usang itu. Dan memperhatikan beberapa saat lamanya. Mendadak
matanya liar menatap jejak telapak-telapak kaki yang setelah
diikutinya dengan pandangan matanya, ternyata menjurus ke arah
hutan disebelah kanan gedung kuno itu. Hatinya tersentak.
Tepat disaat itu dua orang perwira kawannya melompat
keluar dari pintu depan gedung kuno itu. Salah seorang berkata
dengan memaki.
“Keparat! Laki-laki brewok itu sudah kabur dari tempat ini
bersama gadis itu!”
“Kita terlambat!” teriak perwira satunya. “Eh!? apakah yang
kau temukan?” tanyanya tiba-tiba ketika melihat kawannya yang
menunggu diluar ten-gah memegangi sehelai kain usang.
Kedua perwira ini segera melompat menghampi-ri.
“Mereka belum jauh! Lihat jejak-jejak kaki itu! Kain usang
ini walau sudah usang tapi masih bersih, dan belum lama
dicampakkan!” berkata laki-laki perwira yang menemukan kain
itu.
“Bagus! Mari kita kejar mereka! Dengan mem-bawa gadis
itu si laki-laki brewok itu tak akan da-pat berlari cepat!” kata
perwira satunya.
Ketiga perwira Kerajaan ini segera melompat ke punggung
kuda masing-masing. Dan tak lama kemudian segera merambas
masuk kehutan kecil dimana bekas jejak-jejak telapak kaki itu
lenyap...
Salah seorang perwira Kerajaan itu menabaskan klewangnya
pada sebatang pohon pisang... Cras! Cras! Dua kali tabas batang
pisang itu roboh berkerosakan.
Agaknya perwira satu ini mendongkol sekali karena
buruannya telah keburu meloloskan diri. Hingga dia
menumpahkan kemarahannya pada batang pisang yang dilewati
kudanya.
Warok Sobrah mencekal lengan gadis itu untuk berjalan
cepat menyusuri tepi sungai. Sumanti yang sudah menyerahkan
nasibnya pada laki-laki brewok itu hanya menuruti saja kemana
dia akan dibawa. Dia memilih keputusan ini karena tak mau
dijadikan isteri kelima Adipati. Sudah jelas kepergiannya akan
dicari oleh orang-orang Adipati.
Dugaan itu memang tidak meleset, karena saat itu tiga
perwira Kerajaan memang tengah mencari jejak gadis itu. Bahkan
telah mengetahui kalau gadis calon isteri muda Adipati itu
dilarikan oleh si laki-laki brewok.
“Kita akan pergi kemana, paman Warok?” tanya Sumanti
dengan napas tersengal.
“Kita menyeberangi sungai ini. Disebelah sana ada sebuah
rakit yang kusembunyikan...” tapi ti-ba-tiba laki-laki ini
merandek. Langkahnya terhenti. Matanya menatap ke arah air
sungai yang ke-coklatan, dan mengalir deras.
“Celaka...! Aku lupa kalau hujan besar telah membuat air
sungai ini naik dan banjir. Rakit itu sudah pasti hanyut terbawa
air deras...!”
“Lalu apa yang kita lakukan?” tanya Sumanti cemas.
Sesaat Warok Sobrah tak menjawab. Tampak-nya dia tengah
memikir jalan yang terbaik untuk meloloskan diri dari wilayah
itu.
“Hm, sebaiknya kita kembali ke atas. Lalu me-nyusuri lereng
bukit sebelah timur. Dikaki bukit ada sebuah desa yang kukenal.
Kita membeli kuda, dan pergi meninggalkan wilayah ini...!”
“Kau punya uang untuk membeli kuda?” tanya Sumanti.
Mendengar pertanyaan gadis itu Warok Sobrah tersenyum.
Lengannya mengeluarkan se-buah buntalan kain sebesar dua
kepala dari balik bajunya yang gombrong.
“Uang emas ini cukup untuk membeli dua puluh ekor kuda!
Bahkan masih tersisa cukup untuk membangun sebuah rumah
dengan isinya...!”
Cringng..! Laki-laki brewok ini menepak buntalan kain itu
dengan tangan kirinya.
“Ahh.. dari mana kau dapatkan uang sebanyak itu?” sentak
Sumanti dengan mata membelalak. Warok Sobrah masukkan
buntalan itu ke balik ba-junya lagi, lalu menyahut.
“Aku menemukannya dalam sebuah ruangan dalam gedung
kuno itu. Entah milik siapa...! Terpaksa kuambil karena aku
memerlukannya. Mungkin dan pasti banyak gunanya dalam
perjalanan kita”.
Sumanti tak berkata apa-apa selain tersenyum. Tapi dalam
hati dia berkata.
“Aneh! Siapa yang menaruh uang sebanyak itu didalam
ruangan gedung kuno tersembunyi itu?”
“Cepat, Sumanti! Aku punya dugaan kita tengah dalam
pengejaran orang-orang Kerajaan. Setidak-tidaknya orang-orang
suruhan Adipati.
Karena kemarin malam aku melihat ada dua orang
menyelinap pergi dari balik semak belukar. Aku menduga mereka
orang-orang Ki Demang Sunggoro yang melacak jejakmu.
Kejadian di rumah ayah angkatmu itu pasti sudah diketahui
Adipati...!”
Sumanti ulurkan lengannya. Warok Sobrah ce-pat
menangkap pergelangan tangan gadis itu. Lalu menariknya untuk
mendaki jalanan menanjak keatas yang licin. Susah payah mereka
merayap naik. Ternyata untuk kembali naik ke atas tak se-mudah
turunnya.
Sampai diatas tempat ketinggian itu napas Su-manti
tersengal-sengal.
“Ooh...h...h...aku capek sekali...” keluh gadis ini.
Warok Sobrah sesaat tercenung, kemudian ber-kata. “Apakah
kau izinkan aku memondongmu?”
Sumanti sesaat terdiam, tapi kemudian mengangguk
perlahan. Memang tak ada jalan lain selain itu, karena dia merasa
letih luar biasa dan tak sanggup untuk meneruskan langkah
kakinya. Tak berayal Warok Sobrah segera memondong gadis itu.
Bersamaan dengan itu telinga laki-laki brewok ini lapat-lapat
mendengar suara derap kaki-kaki kuda dikejauhan.
Hatinya tersentak, dan tak menunggu waktu la-gi segera dia
melangkah cepat memasuki hutan kecil itu....
***
LIMA
SEORANG PEMUDA berbaju putih berkelebat memasuki
sebuah jendela tua yang menjeblak terbuka. Itulah jendela salah
satu ruangan gedung kuno yang baru beberapa saja ditinggal
Warok So-brah dan Sumanti.
Pemuda ini bersembunyi disudut ruangan. Tak lama
telinganya mendengar suara seorang wanita berteriak memanggil
dikejauhan.
“Nanjar...! Nanjar...! Dimana kau?” Tampak seorang gadis
berbaju merah berlari merambas semak belukar. Tapi gadis ini
merandek ketika pandangan matanya melihat sebuah bangunan
tua di hadapannya.
“Hm, gedung kuno milik siapakah ditempat ter-sembunyi
ini?” berkata dara ini dalam hati. Dia melompat kehalaman depan
gedung itu. Setelah beberapa saat lamanya memperhatikan, maka
ga-dis ini memastikan bahwa gedung tua tak ber-penghuni.
“Huh! Pasti dia bersembunyi digedung kuno ini...”
membathin si gadis. Tapi baru saja dia mau melompat masuk,
mendadak terdengar bentakan diiringi berkelebatnya sesosok
tubuh.
“Tunggu...!” Tentu saja dia menahan gerakannya, dan
balikkan tubuh dengan cepat. Terkejut si gadis baju merah
melihat seorang laki-laki berkulit putih berkumis kecil berusia
diatas empat pulu-han tahun tahu-tahu berada dihadapannya.
“Hm, siapa kau, anak manis? Apa maksudmu memasuki
gedung ini?” bertanya laki-laki yang berpakaian warna gelap itu.
Sepasang matanya berkilat dan kelihatan liar menatap gadis
berbaju merah ini.
“Aku...”
Akan tetapi baru saja gadis ini mau menjawab mendadak
cepat sekali gerakan tangan laki-laki itu menotok dibagian
tubuhnya.
Karena gerakan orang sangat tak terduga, maka tak ampun
gadis ini menjerit kecil, dan roboh dengan tubuh kaku tak dapat
digerakkan.
Baru saja gadis itu tergeletak ditanah yang baru mengering,
laki-laki ini telah menerkamnya. Bahkan tangannya meremas
dibagian dada.
“Keparat! Jahanam!? Lepaskan aku!” teriak dara ini dengan
wajah pucat. Dia berusaha menggerakkan lengannya, akan tetapi
tenaganya lenyap entah kemana.
“Haha.... katakan apa maksudmu ke tempat ini!” kata laki-
laki ini dengan mata liar merayapi sekujur tubuh dara itu. Dalam
hati laki-laki ini berkata. “Hm, gadis secantik ini berani
kelayapan ditempat sesunyi ini kalau bukan seorang gadis yang
memiliki ilmu kepandaian rasanya tak mungkin...!”
“Lepaskan aku, keparat! Kau akan menyesal mengganggu
diriku!” bentak gadis ini dengan ma-rah, karena terasa lengan
laki-laki itu kembali me-remas dadanya.
“Heh! Kau berani memakiku! Kau juga akan menyesal, anak
manis kalau kau mengetahui siapa aku!” berkata dingin laki-laki
ini. “Akulah Adipati Kuncoro Sheto Dening Projo yang berkuasa
penuh diwilayah ini!”
Tentu saja penjelasan laki-laki itu yang mem-perkenalkan
dirinya membuat si gadis terperangah kaget.
“Ah... maafkan kata-kataku, Gusti Adipati. Tapi...”
Belum selesai gadis ini meneruskan kata-katanya, terdengar
suara yang menyambung dari arah ruangan dalam gedung kuno.
“Tapi patutkah seorang Adipati bertingkah laku sangat
memalukan?”
Bagai disengat kala, laki-laki ini melompat berdiri, dan
berpaling. Pandangan matanya segera terbentur pada sesosok
tubuh yang berdiri dipintu depan gedung kuno yang sudah tak
berdaun pintu lagi.
“Kurang ajar! Rupanya kau si bocah tengik yang tempo hari
pernah dihajar oleh orang-orang bawahanku. Ki Demang
Renggono...?” walau berkata demikian, namun diam-diam dia
terkejut karena tak mengetahui kalau pemuda gondrong itu
berada didalam ruangan gedung. Beberapa hari yang lalu
memang anak buahnya ada yang melaporkan tentang munculnya
seorang pemuda gondrong, dengan ciri-ciri seperti yang
dilihatnya saat itu. Pemuda gondrong itu telah berani terang-
terangan membela seorang penduduk yang sudah berkali-kali
ditagih uang pembayaran pajak, tapi belum juga membayar.
Tahu-tahu muncul pemuda gondrong yang mirip orang
sinting mau membela penduduk yang membandel itu. Tentu saja
ketiga orang anak buah Ki Demang menghajarnya hingga
sungsang sumbal. Demikian laporan yang diterima dari salah
seorang anak buah Ki Demang kepadanya ketika dia berkunjung
ketempat kediaman Ki Demang Sunggoro untuk menjenguk
calon isterinya.
Mendengar kata-kata Adipati itu, Nanjar kerutkan kening
terheran. Tapi segera dia berkata sambil tersenyum, dan
menggaruk tengkuknya.
“Tampaknya ceritanya jadi terbalik, sobat Adipati! Kukira
anak buah Ki Demang keliru melaporkan...!”
“Keliru apanya bocah tengik?” membentak Adipati ini.
Ternyata bentakannya disusul dengan mengirim pukulan keras ke
arah batok kepala Nanjar. Tentu saja membuat terkejut si Dewa
Linglung, karena tak menyangka kalau akan diserang begitu rupa.
Whuuk!
Sambaran pukulan lewat sejengkal diatas kepala ketika
dengan cepat pemuda gondrong ini merundukkan kepala.
Brassssh!
Angin pukulan yang lewat dibelakangnya menghantam
tembok bangunan gedung tua yang seketika mengelupas. Nanjar
tersentak karena pukulan itu sangat berbahaya. Sadarlah kalau
Adipati itu mau melenyapkan jiwanya.
“Bagus! Ternyata kau memiliki ilmu kepandaian juga, bocah
tengik!” membentak Adipati. Tapi dalam hati dia sangat terkejut
karena pukulan maut yang dilontarkan untuk membungkam
mulut pemuda gondrong itu selamanya telah luput.
Dalam hati Adipati ini berkata. “Heh! Bocah tengik ini harus
dilenyapkan jiwanya, karena dia telah mengetahui ulahku..! Hm,
jangan-jangan dia telah menggeratak didalam ruangan gedung
ini...” mendadak Adipati ini teringat dengan tujuannya ketempat
itu.
“Aku harus segera membereskannya! Lebih cepat, lebih
baik!”
Berpikir demikian Adipati Kuncoro segera cabut sebuah
tombak pendek berunce biru dari belakang punggungnya. Tanpa
membuang waktu laki-laki ini langsung menyerang. Tombak
pendek ditangannya meluncur ke arah leher si Dewa Linglung
dengan kecepatan kilat....
“Aih! sungguh telengas seranganmu, Adipati!” berkata
Nanjar. Mendadak tubuhnya terhuyung-huyung seperti mau jatuh.
Akan tetapi gerakan itu justru meluputkan serangan maut Adipati.
Melihat dua kali serangannya lolos, marahlah Adipati
Kuncoro. Dengan membentak keras, laki-laki ini menghujani
pemuda itu dengan serangan-serangan beruntun. Ujung
tombaknya menyambar-nyambar bagaikan seekor ular mematuk.
Diam-diam si Dewa Linglung terkesiap juga melihat serangan
lawan yang ganas.
Dia terpaksa merubah jurus Langkah Dewa Mabuk dengan
jurus Kera Sakti. Tampak tubuh si Dewa Linglung berkelebatan
melompat menghin-dari serangan-serangan maut Adipati
Kuncoro. Akan tetapi Adipati ini segera merubah serangan
dengan pukulan dan tendangan. Hal itu tampak-nya suatu taktik
untuk memancing lawan. Benar saja, si Dewa Linglung
terpancing, dengan pukulan-pukulan dan tendangan itu. Dia tak
perlu melompat-lompat seperti kera.
Akan tetapi cukup menggunakan jurus-jurus semula, yaitu
jurus Langkah Dewa Mabuk.
Walau dalam hati laki-laki ini cukup kagum dengan gerakan
terhuyung macam orang mabuk itu, tapi dia telah memasang
perangkap maut.
Mendadak dia membentak keras, seraya mengi-rim
tendangan kilat ke arah tempat kosong. Tentu saja serangan aneh
itu membuat si Dewa Linglung agak terheran. Tapi tahu-tahu
gerakan tendangannya berubah memutar berikut berputarnya
tubuh Adipati. Nanjar terhuyung ke arah kanan. Lengannya siap
menghantam ke arah ujung kaki lawan. Hal tersebut sudah
diperhitungkan. Dia sudah cukup mengelak terus menerus, kini
siap melakukan serangan balasan. Tapi yang muncul ternyata
bukan ujung kaki, karena cepat kilat Adipati menarik kaki dengan
menekuk. Dan satu hantaman tangan kiri menyambar ke
lambungnya. Terpaksa Nanjar membuang tubuhnya ke samping
kanan. Di saat itulah tiba-tiba menyambar ujung tombak Adipati,
meluruk deras ke arah jantung.
“Edan...!?” Nanjar merutuk. Tak ada jalan selain gunakan
jurus Naga Melipat Ekor. Mendadak tubuh Nanjar melengkung
setengah lingkaran.
Whesss!
Ujung mata tombak lewat lima inci dibawah ru-suk. Sedikit
kulit dadanya tergores, dan.... Breeet! ujung bajunya terkoyak.
“Ahhh...!” Gadis baju merah tanpa sadar menjerit.
Akan tetapi dara ini segera melihat tubuh Nan-jar meletik
bagai seekor belalang keudara...
Ternyata walaupun dalam keadaan rebah ditanah, si gadis
baju merah menyaksikan jalannya pertarungan. Dalam hati dia
bersorak girang meli-hat serangan maut Adipati itu kembali
luput. Akan tetapi disaat itulah tombak Adipati menyambar
keatas... Nanjar tampaknya sudah menduga serangan lawan.
Lengan kirinya siap digunakan untuk menang-kis serangan
lawan.
Namun Nanjar tak menyangka kalau serangan tombak
Adipati itu akan berhenti ditengah jalan. Dan... tahu-tahu belasan
jarum halus meluncur dari pangkal mata tombak.
Tentu saja serangan tak terduga itu membuat Nanjar
tersentak, merasai adanya sambaran halus. Urung menghantam
karena melihat serangan tombak terhenti ditengah jalan justru
menguntungkan lawan, dan belasan jarum halus itu meluruk
tanpa rintangan.
Nanjar terkesiap kaget. Tak ada kesempatan lain selain dia
gembungkan pipinya untuk meniup!
Beberapa jarum melencong dari sasaran, tapi dua buah jarum
menancap juga disebelah kanan bahu. Jarum lainnya merambas
lewat menembus baju gombrongnya yang melambai dibagian
bawah.
Dewa Linglung mengeluh. Tubuh sebelah kanannya terasa
kesemutan.
Dan pada tempat yang tertancap jarum terasa gatal dan
panas. Dengan gerakan salto Nanjar jejakkan kakinya ke tanah.
Akan tetapi tampak tubuhnya langsung terguling roboh.
“Luar biasa! Ternyata cukup memeras tenaga untuk
melumpuhkan bocah tengik ini...!” mendesis Adipati. Tapi
wajahnya tampak menyeringai girang.
“Bagus! Aku harus segera mengirim jiwanya ke Akhirat!”
berkata dalam hati Adipati Kuncoro. Tubuhnya berkelebat
melompat... Ujung tombak pendeknya meluncur deras untuk
menamatkan riwayat pemuda itu.
Akan tetapi didetik itu terdengar teriakan si ga-dis baju
merah.
“Tahan! Jangan bunuh dia...!“ Tentu saja Adipati ini segera
menahan gerakannya. Dia berpaling menatap gadis yang rebah
terlentang ditanah itu dengan tatapan mata berkilat.
“Haha... mengapa kau melarang aku membunuhnya?” tanya
Adipati.
Tampak sepasang mata si gadis baju merah berkaca-kaca.
Dia menyahut dengan suara bercampur isak.
“Tidak malukah kau sebagai seorang Adipati membunuh
orang yang sudah tak berdaya..?” Adipati Kuncoro
mendenguskan napasnya dihidung. Lalu berpaling memandang
ke arah tubuh pemuda berbaju putih itu yang tertelungkup lima
tombak di rerumputan tak bergerak.
“Hm, baiklah! Aku menunda membunuhnya. Toh, dia tak
akan lama bertahan dari racun berbisa dalam jarum mautku...!”
ujar laki-laki ini. Kini dia menatap gadis itu dengan tatapan liar.
Yang di-tatap justru menangis sesenggukan. Dalam hati gadis ini
menjerit pilu.
“Nanjar...! Oh, seandainya kau benar-benar tak tertolong
jiwamu, pastilah aku segera akan menyusulmu ke Alam Baka...
“Sudahlah, tak perlu kau tangisi nasib kawanmu itu. Eh,
kawanmu atau kekasihmu?” kata Adi-pati ini seraya berjongkok
didepan si gadis baju merah. Lengannya terjulur menggamit dagu
si ga-dis. Dara ini gerakkan kepalanya menghindar. Na-pasnya
memburu. Dia sudah mendapat pirasat buruk, tak nantinya
Adipati itu membiarkan dia begitu saja.
“Lepaskan aku Gusti Adipati! Apakah kesalahanku?” kata
gadis ini dengan suara ketus. Sikap kurang ajar Adipati itu
membuat dia muak.
“Aku akan melepaskanmu, tapi nanti, tidak sekarang...! Nah,
kau tunggulah disini!“ seraya menyahut, laki-laki ini
menggerakan jarinya menotok urat suara dipangkal leher gadis
itu. Lalu berkele-bat masuk ke dalam ruangan gedung. Sesaat dia
menatap pada pintu gedung yang jebol berantakan.
Dia mengerutkan keningnya. Lalu melompat masuk...
Adipati Kuncoro berkelebat memasuki ruangan disebelah
dalam.
Tapi segera merandek untuk memperhatikan bekas-bekas api
unggun.
Lalu menatap ke arah pakaian usang yang ber-ceceran
dilantai. Hatinya semakin tersentak. Tak berayal segera dia
melompat masuk kesalah se-buah ruangan kamar paling ujung.
Dalam ruangan inipun terdapat sebuah lemari lapuk yang penuh
pakaian usang. Hatinya lega melihat tempat itu sepertinya utuh
tanpa disentuh tangan manusia. Tampak bibir laki-laki ini
menyunggingkan senyuman.
Cepat dia beranjak melangkah mendekati lemari itu.
Ternyata lengannya tak menjamah tumpukan pakaian usang pada
lemari yang tak berpintu itu. Melainkan merogohkan tangannya
ke belakang lemari. Ketika dia mengeluarkan tangannya lagi,
ternyata telah menggenggam sebuah kotak kecil terbuat dari
perak. Cepat dia memeriksa peti itu dengan membuka tutupnya.
Melihat sebuah buntalan kain yang masih utuh dalam peti
kecil itu, segera dia menutupnya lagi. Kemudian membungkus
peti itu dengan kain usang yang diambil dari rak lemari. Lalu
diselipkan dibalik bajunya.
Tak lama dia telah berkelebat melompat keluar dari ruangan
itu.
Terdengar suaranya mendesis.
“Bagus! Untunglah orang yang bermalam dige-dung kuno ini
tak menggeradah ruangan kamar itu. Haha... seandainya dia
menggeradah, toh tak akan menemukan dimana aku menyimpan
uang emas ini...” Adipati Kuncoro tersenyum sendiri. La-lu
berkelebat keluar dari dalam bangunan tua itu.
Setiba diluar gedung, dia masih melihat gadis berbaju merah
itu terlentang ditempat semula. Akan tetapi ketika menatap ke
arah dimana pemuda gondrong itu menggeletak tertelungkup,
ternyata pemuda itu telah lenyap.
Akan tetapi Adipati ini hanya tersenyum sinis. Dia berkata
sendiri.
“Haha.... seandainya kau bisa kabur saat ini, toh tak akan
sempat tertolong jiwamu...!”
Tanpa membuang waktu segera dia memondong gadis yang
tergeletak itu dan menyampirkan tubuh dara berwajah cantik itu
keatas pundak.
Tak lama dia segera membawanya meninggalkan tempat itu
dengan langkah cepat.
Kemanakah tujuan Adipati Kuncoro? Ternyata dia menuju
ke arah timur dimana terbentang hu-tan lebat dikaki bukit. Sambil
berjalan cepat merambas semak belukar benaknya terus memikir.
Dia berkata dalam hati.
“Saat ini tampaknya kedudukanku mulai terancam... Baru
tadi pagi ada laporan ke Kadipaten, bahwa telah terjadi
perampokan dan pembunuhan di rumah Ki Demang Sunggoro.
Aku kurang perhitungan...! Tampaknya penduduk mulai merasa
tertekan. Aku telah menyuruh tiga orang perwira untuk mencari
jejak Sumanti yang minggat dari rumah ayahnya. Edan! Ada
berita gadis itu dilarikan seorang laki-laki brewok! Siapakah dia?
Hm, jangan-jangan perampokan dan pembunuhan itu di-dalangi
si brewok itu...”
Mendadak Adipati Kuncoro teringat sesuatu. Dia merandek.
“Hm, aku sepertinya melihat jejak tapak kaki-kaki kuda
dihalaman gedung kuno itu... Apakah ketiga orang perwira
suruhanku itu melacak jejak anak gadis Ki Demang ketempat
rahasia itu?” bertanya-tanya Adipati ini dalam hati. Tapi segera
dia mempercepat langkahnya...
Tak jauh dari mulut hutan tampak sebuah pondok. Tampak
bibirnya tersenyum menyeringai. Ka-rena dipondok kosong itulah
dia akan melepaskan hasratnya. Pondok itu tempat tak terawat.
Pagar dibagian depan roboh, dan rumput menjalar sam-pai ke
tiang rumah. Tampaknya pondok itu telah lama kosong
ditinggalkan pemiliknya.
Adipati Kuncoro letakkan bebannya diatas ba-lai-balai
bambu tanpa alas. Tampak matanya liar menatap gadis yang
terlentang dibalai-balai itu.
“Haha... setelah selesai urusanku, segera kukembali ke
Kadipaten untuk melihat keadaan. Santapan ini kalau kubiarkan
sungguh sayang sekali. Entah anak siapakah gadis ini?
Tampaknya dia seorang gadis persilatan. Bocah tengik yang saat
ini sudah mampus itu tentu kekasihnya...” berkata Adipati dalam
hati.
Adipati Kuncoro segera mempersiangi pakaian gadis itu satu
persatu hingga polos. Matanya menjalari sekujur tubuh
dihadapan-nya. Napasnya mulai memburu. Kemudian
meloloskan tombak pendeknya, dan ditaruh disisi balai-balai.
Tak berayal segera dia membuka bajunya. Terlebih dulu dia
mengeluarkan bungkusan kain berisi kotak dari perak itu, lalu
menutupinya dengan bajunya. Ronde berikutnya dia
memerosotkan celananya...
Dengan mendengus bagai seekor kerbau liar, dia merengkuh
tubuh polos memutih yang menggairahkan itu...
Akan tetapi mendadak Adipati ini membelalakkan matanya
lebar-lebar. Bahkan hampir-hampir kedua biji matanya melejit
dari kelopak mata. Mulutnya ternganga, dan dia berteriak kaget,
seraya melompat bagai dipagut ular.
Apakah yang dilihatnya? Ternyata yang direngkuhnya
dengan hasrat dan hawa nafsu berkobar-kobar itu tak lain dari
sebongkah batang pisang yang kulitnya terkelupas hingga tampak
putih ber-sih.
“Gila...! Mimpikah aku...? Mengapa berubah jadi
b...bat...batang pis...pis...a...n...g...???”
***
Adipati Kuncoro melompat keluar dari pondok itu dengan
wajah merah padam, dan terasa panas kulit mukanya. Seumur
hidup barulah dia mengalami hal seperti ini. Dalam hati dia
memaki dan meruntuk habis-habisan pada orang yang telah
mempermainkan dia. Tapi diam-diam benaknya memikirkan.
Siapakah orang yang memiliki ilmu sihir yang sedemikian
hebatnya, hingga menipu pandangan matanya?
“Apakah si bocah tengik bertampang dogol itu yang
mempermainkan aku? Hm, rasanya mustahil! Pasti ada seseorang
yang diam-diam telah menolong pemuda gondrong itu, lalu
menyihir batang pisang hingga menyerupai gadis itu. Kemudian
membawa pergi disaat aku memasuki gedung kuno...”
“EDAAAN...!
Tiba-tiba Adipati Kuncoro berteriak marah. Matanya
mendelik lebar ketika melihat isi kain buntalan yang berada
dalam peti perak ternyata bukan berisi uang emas, melainkan
batu-batu kerikil.
Dengan geram dibantingnya kain buntalan berisi bebatuan itu
ke tanah lumpur hingga melesak lenyap. Sialnya cipratan lumur
itu menyemprot ke mukanya dan mengotori pakaiannya.
“Haram jadah! Sial dangkalan!” memaki Adipati Kuncoro.
Karena geramnya, kotak perak itu ditendangnya hingga
terpental jauh. Akan tetapi tampak mulutnya menyeringai
menahan sakit pada ujung kakinya. Karena kotak perak itu
berpinggiran tajam, tentu saja telah melukai ujung jari-jari
kakinya. Dengan muka celemongan lumpur dan berjalan
terpincang-pincang Adipati Kuncoro yang bernasib sial ini
meninggalkan tempat itu.
Untung saja tak ada yang mengetahui kejadian itu. Kalau saja
ada yang melihat Adipati yang berjalan terpincang-pincang
sambil menyeringai dengan muka bercelemongan, pasti akan
tertawa terpingkal-pingkal. Karena saat itu Adipati Kuncoro tak
ubahnya seperti seekor kera yang baru keluar dari kubangan
lumpur
––––––––
ENAM

DEWA LINGLUNG berlari cepat diikuti si gadis berbaju
merah dibelakangnya. Tampak Nanjar berlari sambil memegangi
bahunya yang sebelah kanan.
Wajahnya agak menyeringai seperti menahan sakit. Lengan
sebelah kanannya tampak menggantung seperti lumpuh. Gadis
baju merah membuntuti si Dewa Linglung dengan perasaan
cemas.
Kira-kira dua ratus tombak dari gedung kuno itu, Nanjar
segera memperlambat larinya. Kemudian berhenti dibawah
sebatang pohon rindang.
Nanjar jatuhkan pantatnya direrumputan. Gadis baju merah
memburunya.
“Nanjar...! Kau... kau terkena jarum beracun itu...?” bertanya
gadis ini. “Oh, apa yang harus kulakukan? Aku tak mau
kau...kau..mati...!”
Nanjar tak menyahut, walau dalam hati dia tersenyum
mendengar kata-kata gadis itu.
Kelumpuhan sebelah lengan Nanjar adalah karena dia telah
menotok jalan darah dibeberapa bagian tubuhnya untuk
mencegah racun menjalar.
Nanjar membuka sebahagian bajunya, hingga tampak
racahan bergambar Naga di bagian dadanya yang bidang. Diam-
diam gadis baju merah ini memperhatikan racahan itu. Keningnya
agak mengerut. Dia mau mengucapkan sesuatu, akan tetapi
segera mengurungkan, karena melihat pemuda itu tampak
menekan jari-jari tangannya pada sisi bagian bawah bahu
kanannya dimana terdapat lingkaran warna merah kehitaman.
Disitulah tempat tertanamnya jarum berbisa yang menancap ke
dalam daging.
Sebatang jarum berwarna hitam sebesar ujung lidi tampak
tersembul keluar. Nanjar dekatkan mulutnya pada jarum yang
mencuat keluar itu. Lalu menggigit dengan giginya. Dan
menjatuhkannya keatas rumput. Kemudian kembali memencet
dibagian sebelah kanan dekat ketiak. Dibagian sekitar bahu dan
dada sebelah kanan Nanjar me-mang ada terdapat dua buah
lingkaran berwarna merah kehitaman.
Sebatang jarum kembali muncul mencuat. Kembali Nanjar
menggigitnya dengan gigi, lalu menjatuhkannya ke rumput.
Gadis baju merah tak berani menjumput jarum yang berlumur
darah menghitam itu. Sebentar dia menatap ke arah dua buah
jarum diatas rumput, lalu menatap ke arah dua buah luka didada
kanan pemuda itu. Tampak dari bekas tercabutnya jarum itu
mengalir darah kental berwarna kehitaman.
Walau hatinya bergidik melihatnya, namun dalam hati si
gadis ini telah merasa lega, dan girang karena dua buah senjata
rahasia mengandung maut itu berhasil tercabut dari tubuh sang
pemu-da pujaannya.
Tiba-tiba gadis baju merah ini bangkit berdiri.
Lalu membalikkan tubuhnya.
Dan... Weeek! Weeek! Breeeeet!
Apa yang dilakukannya? Ternyata dia telah merobek pakaian
dalamnya. Tentu saja membuat si Dewa Linglung tertegun
menatap. Ketika gadis baju merah itu membalikkan tubuhnya,
tampak belahan payudaranya yang membuntal padat itu
tersembul sebagian. Karena yang disobek adalah baju lapisan
dalam, tentu saja pakaian yang menutup bagian terlarang gadis itu
terbuka, dan gadis baju merah ini karena tergesa-gesa terlupa
mengancingkan bajunya lagi.
Mata si Dewa Linglung mau tak mau menatap pemandangan
indah itu.
Tapi segera dia cepat-cepat palingkan wajahnya,
menghijrahkan pandangan matanya ke arah dua batang jarum
yang tadi dijatuhkan ke atas rum-put.
Lalu tangannya menjulur untuk menjumput dua batang jarum
maut itu.
“Aku baru ingat kalau membawa obat ramuan anti racun!”
ujar gadis ini seraya merogohkan lengannya ke kantung celana
yang tersembunyi di sebelah dalam. Dari dalam kantung celana
itu dike-luarkan sebuah lipatan kain. Lalu... cepat dia melompat
ke belakang si Dewa Linglung.
Gadis ini segera membuka lipatan kain kecil itu. Ternyata
berisi serbuk ramuan berwarna kehi-jauan. Diambilnya sejumput,
lalu di balurkan pada lubang disekitar luka. Dua kali dia berturut-
turut membalurkan obat ramuan anti racun itu, segera dia dengan
cepat membalut luka itu dengan sobekan kain bajunya.
Begitu cekatan sekali pekerjaan si gadis baju merah. Hingga
selang tak lama dia telah selesai membalut dengan rapih.
Nanjar menatap gadis itu dengan tatapan matanya yang
berkilat.
Ternyata gadis itu justru tengah menatapnya dengan bibir
tersenyum. Bahkan baru saja gadis ini menarik napas lega. Tentu
saja kedua pasang mata mereka saling bentrok. Nanjar merasa da-
rahnya berdesir cepat. Senyum gadis itu terlalu manis. Bibirnya
yang tipis berwarna merah delima yang setengah merekah itu
membuat dia terkagum menatap. Dan ketika senyum gadis itu
melebar, tampak sederet gigi yang putih rata membuat si Dewa
Linglung sejenak terkesima. Mau tak mau dia memang
mengagumi kecantikan gadis itu.
Melihat Nanjar hanya terpaku bagai patung, da-ra ini
mendadak berkata dengan wajah berubah cemberut. Tapi justru
makin cantik kelihatannya.
“Kau... kau menatapku begitu rupa, apakah kau tak senang
aku membalut lukamu?”
“Eh..!? Bu., bukan begitu, adik manis... Tapi... tapi...” sahut
Nanjar tergagap.
“Tapi...tapi apa? kau selalu berusaha menghindariku. Telah
beberapa kali kau meninggalkan aku. Kalau kau memang tak
senang, biarlah aku pergi...!” kata gadis ini. Mendadak wajahnya
berubah seperti orang berduka.
Dan tampak sepasang mata dara ini berkaca-kaca. Mendadak
dia membalikkan tubuh dan ber-lari cepat meninggalkan tempat
itu.
“Eh...!? Tu...tunggu...!” teriak Nanjar seraya bangkit berdiri.
Jarum yang berada ditangannya dilemparkan ke semak
belukar. Dan dia melompat mengejar gadis baju merah yang
berlari cepat sambil terisak-isak itu.
“Tunggu, adik manis...! Dengar penjelasanku!” teriak
Nanjar.
“Tak perlu kau menjelaskan lagi! Aku sudah tahu kau tak
akan sudi bersahabat denganku..!” menyahut si gadis tanpa
menoleh. Dan sebentar saja sosok tubuh gadis baju merah itu
semakin menjauh, dan lenyap dibalik bukit. Nanjar tak mengejar.
Sesaat dia berdiri terpaku. Lalu merapihkan bajunya dengan
tatapan mata masih terarah ke tempat gadis itu lenyap. Kemudian
lengannya menggaruk tengkuk dengan menghela napas.
“Biarlah dia pergi...! Mudah-mudahan saja dia sadar, bahwa
dia telah bertindak salah. Dan kembali pulang untuk menamatkan
pelajarannya.
Salah-salah Tumenggung Mahesa bisa menuduhku melarikan
anak gadisnya dari rumah perguruan...” menggumam si Dewa
Linglung. Lalu segera memutar tubuh, dan berkelebat pergi dari
tempat itu.
––––––––
TUJUH

WAROK SOBRAH bergulingan ditanah ketika klewang-
klewang panjang berkilatan itu merencah tubuhnya. Akan tetapi
senjata maut itu terus memburu nyawanya. Terpaksa dia
mencabut ke-risnya untuk melindungi diri dan menangkis
serangan senjata-senjata ketiga perwira Kerajaan itu....
Sumanti hanya terpaku memandang dengan wajah pucat pias.
Jantungnya melonjak keras. Dia sangat mengkhawatirkan
nasib laki-laki brewok itu.
Crass...!
Satu tabasan klewang mengenai pundak kirinya. Untunglah
hanya menyerempet sedikit kulit, tak sampai menoreh terlalu
dalam. Tapi cukup membuat Warok Sobrah meringis menahan
nyeri. Dan darah mengucur dari lukanya.
Satu tublasan klewang dari sebelah kanan membuat dia
terpana.
Sementara dari arah kiri perwira satunya men-gayun klewang
untuk menabas ke arah leher.
Trang! Detik yang gawat itu masih sempat di-pergunakan
Warok Sobrah untuk menangkis dengan kerisnya. Akan tetapi
tabasan perwira satunya....?
Cras!
Tabasan itu nyaris memutuskan urat lehernya. Untunglah dia
masih sempat menghindar dengan menggulingkan tubuhnya
kesamping. Tabasan klewang mengandung maut itu lewat
disamping kepala. Benda tajam itu menghunjam ketanah
memapas rerumputan.
Gadis bernama Sumanti ini tak terasa menjerit ngeri dan
menutupi wajahnya. Seperti sudah terbayang dalam benaknya
kepala si laki-laki jembros itu terpisah dari tubuhnya.
Kesempatan baik sebelum perwira itu mengangkat
klewangnya segera dipergunakan Warok Sobrah untuk
melayangkan kakinya menendang pangkal lengan si perwira.
Perwira itu roboh terguling. Klewangnya terlepas dari
tangannya.
Warok Sobrah segera membarengi gerakannya dengan
melompat berdiri.
Matanya menatap ke arah salah seekor kuda dari ketiga
perwira Kerajaan itu yang tak jauh berada didekatnya. Selintas
dia terniat di benaknya untuk melompat ke punggung kuda, dan
melari-kan diri. Tapi mendadak dia urungkan niatnya ketika
teringat pada gadis itu.
“Tidak! Tak seorangpun kuperbolehkan menyentuhnya...! “
mendesis laki-laki ini. Di saat itulah dua perwira Kerajaan
kembali menerjangnya dengan tusukan dan tabasan klewang...
Dengan menggerung keras, laki-laki ini terpaksa menangkis dan
melompat menghindar serangan. Namun serangan kedua perwira
itu tiada putusnya. Bahkan semakin gencar menyerang dengan
tabasan klewang yang menderu-deru dari kiri dan kanan.
Tampaknya perwira-perwira Kerajaan itu sangat bernapsu sekali
untuk melenyapkan nyawanya. Itu disebabkan karena mereka
telah mengetahui siapa adanya laki-laki itu.
“Haha... menyerahlah kau Warok Sobrah! Atau terpaksa
kami akan mengantar nyawamu ke Neraka!” berkata salah satu
perwira yang bernama Gantar Mangu. Dia adalah bekas seorang
kepala prajurit yang diperbantukan pada Tumenggung Mahesa
sebelum diperbantukan pada Adipati Kuncoro.
Tentu saja dia mengenal siapa laki-laki jembros itu. Karena
beberapa bulan yang lalu dalam suatu peristiwa perampokan yang
dilakukan oleh Warok Sobrah diwilayah utara, perwira ini
memergoki perbuatannya. Sayang saat itu Warok Sobrah berhasil
melarikan diri dalam penggerebekan yang dilakukan oleh
Tumenggung Mahesa untuk menjebak laki-laki jembros itu.
Nama Warok Sobrah yang bergelar si Begal dari Gunung
Kidul sudah tidak asing lagi ditelinga orang-orang Kerajaan.
Dengan berhasilnya menangkap hidup-hidup atau membunuh
dan membawa kepala Warok Sobrah, tentu hadiah besar dari
Baginda Sultan Pekik Hadiwijoyo sudah menanti.
Oleh sebab itulah perwira-perwira Kerajaan itu terus
merangsak dengan tabasan-tabasan klewangnya yang ganas.
Ternyata ketiga perwira itu adalah perwira-perwira Kerajaan
kelas satu.
Tentu saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Hingga
sukarlah bagi Warok Sobrah untuk melepaskan diri dari
kepungan ketat, walaupun hanya dua orang perwira yang saat itu
dihadapinya.
Sementara itu perwira yang tadi kena tendang pangkal
lengannya sudah melompat bangun berdi-ri. Segera dia
menjumput klewangnya yang tertan-cap ditanah. Akan tetapi
mendadak mata perwira ini melihat sebuah kain buntalan
menggeletak direrumputan tak jauh dari klewangnya yang
menancap ditanah.
Tentu saja juluran tangannya membelok, dan menjumput
benda itu terlebih dulu. Mendadak ha-ti perwira satu ini jadi
berdebar.
Cepat ia membuka kain buntalan kecil yang besarnya kira-
kira dua kepalan tangan itu. Tentu sa-ja sepasang matanya
seketika membelalak melihat isi kain buntalan itu adalah uang
emas. Tak pelak lagi benda itu pasti terjatuh dari sela baju Warok
Sobrah si laki-laki brewok itu disaat tubuhnya berguling-guling
menghindari serangan.
Menyeringai girang perwira ini. Cepat dia menyelipkan
dalam kantung bajunya sebelah dalam. Sementara matanya
menatap ke arah pertarungan. Tampak Warok Sobrah masih tetap
bertahan mati-matian menghadapi serangan gencar kedua perwi-
ra kawannya.
Perwira ini cepat memungut klewangnya yang tertancap
ditanah. Mendadak dia teringat pada ga-dis itu. Matanya segera
mencari-cari dimana gadis yang dilarikan Warok Sobrah. Segera
saja ia melihatnya. Ternyata Sumanti tengah berdiri di dekat
semak belukar dengan wajah pucat dan pipi bersimbah air mata.
Tentu saja Sumanti melihat perwira itu memungut kain buntalan
yang tercecer dari dalam baju Warok, dan melihat perwira itu
membukanya, lalu memasukkan dalam sela bajunya. Hatinya
tersentak ketika beradu tatap dengan mata perwira itu. Tahu-tahu
perwira itu melompat ke arahnya.
Pucat pias seketika wajah gadis ini. Akan tetapi dengan
tersenyum perwira itu berkata.
“Jangan takut, nona...! Kami datang untuk menolongmu dari
tangan penjahat. Kini kau sudah selamat. Tak lama lagi kedua
kawanku tentu akan meringkus si Begal dari Gunung Kidul itu,
atau mengirim nyawanya ke Akhirat...!”
“Tapi... tapi...” berkata Sumanti dengan wajah semakin pias
memucat.
“Mengapa nona? Apakah kau tak senang kami
menolongmu?” tanya perwira ini. Sambil berkata mata perwira
ini menjalar menatap bagian-bagian tubuh gadis dihadapannya.
Tampaknya perwira ini selain mata duitan juga mata keranjang!
Tiba-tiba saja lengannya telah terlulur menangkap pinggang gadis
itu.
Tentu saja Sumanti tersentak kaget karena ta-hu-tahu lengan
perwira itu telah memeluk ping-gangnya. Dia berusaha meronta
untuk melepaskan diri sambil menjerit keras. Akan tetapi
suaranya tertahan karena dengan cepat lengan perwira itu telah
menekap mulutnya.
Perwira ini bekerja cepat. Setelah memungut klewangnya
yang tadi dilepaskan karena lengan-nya digunakan untuk
menekap mulut dara cantik itu, segera dia menyeret tubuh
Sumanti mendekati kuda tunggangannya.
Sumanti tak berdaya dalam himpitan tangan laki-laki kekar
itu. Bau keringatnya saja yang keluar dari ketiak perwira itu
sudah menusuk hidung, dan hampir-hampir membuat dia
pingsan.
Sebelum menaikkan keatas kuda, terlebih dulu dia
menyumpal mulut gadis itu dengan sobekan baju kebaya panjang
dibagian dada si gadis. Sesaat matanya membeliak membinar
melihat tersembulnya sepasang payudara yang membuntal padat.
Tapi dia tak dapat berlama-lama untuk berada ditempat itu.
Dengan menelan ludah cepat dia melompat terlebih dulu keatas
punggung kuda, sementara lengannya yang sebelah masih tetap
mencekal pergelangan tangan si gadis. Klewangnya telah terlebih
dulu dimasukkan dalam serangka dipinggang. Kemudian segera
menarik tubuh gadis itu untuk dinaikkan ke punggung kuda.
“Haha...beres! Aku harus segera angkat kaki dari sini! Dan.,
tak perlu lagi aku kembali ke Kadipaten. Dengan uang emas
sebanyak ini dan seorang gadis cantik yang menemaniku, aku
bisa hidup senang...! Uang sebanyak ini tak akan kudapatkan
seumur hidupku. Hanya orang bodohlah yang tak memanfaatkan
kesempatan sebaik ini...” berkata dalam hati si perwira.
Di saat dia menghentakkan kakinya diperut kuda untuk
segera meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan
Warok Sobrah meng-gembor keras.
“Sumantiiiii....!?”
Ternyata Warok Sobrah mendengar suara teriakan gadis itu.
Dan melihat gadis itu dalam pelukan salah seorang perwira
Kerajaan. Akan tetapi dia tak ada kesempatan untuk meloloskan
diri dari kepungan dua perwira Kerajaan itu.
Melihat Sumanti telah berada diatas punggung kuda dan siap
dilarikan oleh perwira itu, laki-laki brewok ini menggembor
keras.
“Haha... biarkan gadis itu diantarkan ke Gusti Kanjeng
Adipati! Kau boleh menyusulnya setelah nyawamu terbang ke
Akhirat!” berkata Gantar Mangu seraya mempergencar
serangannya. Laki-laki perwira ini tadi sempat melirik ke arah
perwira kawannya yang melarikan kuda dengan membawa gadis
itu.
Karena dalam keadaan kalut melihat Sumanti dilarikan
perwira itu. Warok terlengah menghin-darkan diri dari tabasan
klewang perwira yang berada dibelakangnya.
Crass...!
Brret!
Warok Sobrah mengerang kesakitan. Dia jatuhkan tubuhnya
berguling ditanah.
Laki-laki ini merasakan perih dibagian punggungnya. Dan
bagian depan bajunya terkoyak oleh tabasan klewang perwira
satunya.
Akan tetapi dia melompat berdiri dengan terhuyung. Tampak
baju bagian belakangnya juga terkoyak lebar. Darah mengalir
dari luka meman-jang yang menoreh kulit dan mengiris daging di
bagian punggungnya.
Saat itulah Warok tersentak ketika teringat sesuatu.
Lengan meraba kebalik bajunya yang terkoyak. Wajahnya
mendadak berubah pucat.
“Celaka...! Uang emas dalam buntalan kain itu lenyap! Pasti
terjatuh...” berkata Warok dalam hati. Tapi saat itu tampaknya
Warok Sobrah sudah tak memperdulikan uang emas itu lagi.
Pikirannya tertuju pada Sumanti.
“Aku harus mengejar perwira itu! Takkan kubiarkan
seorangpun menyentuh tubuhnya!” mendesis laki-laki brewok itu.
Warok Sobrah memang harus cepat mengambil keputusan,
karena dilain pihak nyawanya diingin-kan oleh perwira Kerajaan
itu. Bahkan dengan membentak keras dua perwira itu kembali
mener-jang sambil mengayunkan klewangnya.
“Warok Sobrah! Serahkan jiwamu!”
Trang!
Whuuut!
Dua tabasan klewang itu menderu dan dua arah berlawanan.
Sambaran yang menabas ke pinggang dielakkan dengan
membuang tubuhnya ke samping kanan, sambil gerakkan
kerisnya menangkis tusukan deras yang mengarah ke jantungnya.
“Keparat! Kalian benar-benar menginginkan jiwaku?
Majulah kalian kunyuk-kunyuk Kerajaan!” menggembor keras
Warok Sobrah. Dadanya tam-pak berombak-ombak, sepasang
matanya menatap bengis kedua perwira itu. Tiba-tiba
menerjanglah Warok Sobrah dengan serangan membabi buta.
Kerisnya menyambar-nyambar menimbulkan sua-ra bersiutan.
Serangan yang dibarengi dengan ke-marahan meluap-luap itu
ternyata membuat ke-dua perwira ini tersentak kaget. Tampaknya
si laki-laki jembros itu sudah tak menghiraukan jiwanya lagi.
Akan tetapi justru hal itu membuat kedua perwira itu terkejut
setengah mati, karena serangan Warok Sobrah yang kalap itu
sangat membahaya-kan jiwa mereka. Kini keduanyalah yang
terdesak hebat.
Satu jeritan ngeri terdengar ketika keris laki-laki brewok itu
menghunjam dijantung salah satu dari kedua perwira Kerajaan
itu.
Tak ampun lagi perwira itu roboh terjungkal, dan
menggelepar merenggang nyawa. Lalu tewas seketika.
Gantar Mangu tersentak kaget. Nyalinya seketika menjadi
ciut melihat kawannya tewas kena tikaman keris laki-laki brewok
itu.
Dia melompat mendapat kudanya untuk mela-rikan diri. Baru
saja dia membedal binatang tung-gangannya untuk angkat kaki,
tiba-tiba perwira Kerajaan ini menjerit parau lalu jatuh tengkurap
diatas kuda.
Ternyata punggungnya tertembus klewang yang dilontarkan
Warok Sobrah.
Kuda itu terus membedal lari dengan meringkik panjang.
Disisi lereng bukit beban dipunggungnya terlepas. Tubuh perwira
yang telah tak bernyawa itu terguling ke bawah lereng.
Warok Sobrah dengan cepat melompat ke punggung kuda
milik si perwira kerajaan. Lalu membedalnya dengan cepat untuk
mengejar gadis yang dilarikan itu....
––––––––
DELAPAN

ALANGKAH TERKEJUTNYA Adipati Kuncoro ketika
melihat keadaan digedung Kadipaten telah dijaga ketat oleh para
perwira Kerajaan.
Tampak berdiri di altar pendopo Senopati Tohpati dengan
wajah tampak mengelam seperti tak sa-bar menunggu yang
ditunggu kemunculannya.
Dihalaman gedung Kadipaten terlihat Tumenggung Mahesa
yang sedang bercakap-cakap dengan seorang gadis berbaju
merah.
Pucatlah seketika wajah Adipati Kuncoro, melihat gadis baju
merah itu adalah gadis yang baru beberapa saat yang lalu telah
ditotoknya di depan gedung kuno ditengah hutan tersembunyi.
Dan... ketika dia teringat pada batang pisang, seketika wajahnya
berubah merah padam.
“Linggar Wati! Lain kali kau tak kuizinkan meninggalkan
padepokan sebelum kau menamatkan pelajaranmu...! Untung saja
pendekar muda itu berhasil menyelamatkan dirimu. Jangan
sementang kau berguru pada Nyi Soko Murti yang bibimu
sendiri, hingga kau menjadi bengal dan sukar dibimbing!
Padahal semua itu untuk kepentingan dan kebaikan dirimu
sendiri. Wajarlah kalau bibimu bersikap keras. Ketika kau lari
dari padepokan tanpa sepengetahuannya, bibimu telah
menemuiku di Kota Raja dan melapor padaku...!
Hm, bagaimanakah keadaan luka pendekar muda itu?”
Adipati Kuncoro mendengar suara Tu-menggung Mahesa yang
berbicara pada si gadis baju merah.
“Aku... aku telah membalut lukanya, ayah...! Dan
sebelumnya telah kububuhi serbuk anti racun. Untunglah aku
membawanya. Tampaknya keadaannya sudah membaik, karena
dua buah jarum mengandung racun itu sudah berhasil tercabut
keluar. Tapi...tapi...” Gadis baju merah yang bernama Linggar
Wati ini tak meneruskan kata-katanya, karena seketika wajahnya
berubah seperti mau menangis.
“Hm... tapi kenapa, anakku...? Apakah yang telah terjadi?”
bertanya Tumenggung Mahesa melihat perubahan wajah anak
gadisnya.
“Aku... aku benci dia, ayah...! Dia... dia telah menyakiti
hatiku!” menyahut Linggar Wati dengan suara bercampur isak.
Tampak sepasang matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
“Menyakiti hatimu? Hm, aku tak mengerti... bukankah dia
telah menyelamatkan dirimu dari napsu rendah si Kuncoro itu?”
Linggar Wati mengangguk. Lalu sahutnya dengan wajah
cemberut.
“Aku telah ucapkan terima kasih atas pertolon-gannya, tapi
dia tak mengucapkan terima kasih ketika aku membalut
lukanya...”
“Haih...! Mengapa kau merisaukan hal sekecil itu,
anakku...?” menukas Tumenggung Mahesa sambil tersenyum,
seraya mencekal pundak anak gadisnya yang manja dan bengal
itu. “Sudahlah! mengucapkan atau tidak tak menjadi masalah.
Apakah kau ikhlas menolongnya?”
“Tentu saja, ayah...!” sahut Linggar Wati sambil menunduk.
“Nah! Menolong orang dengan ikhlas adalah perbuatan yang
sangat terpuji. Dan perbuatan yang terpuji adalah tak
mengharapkan imbalan, walaupun yang kau tuntut hanyalah
berupa uca-pan terima kasih. Kukira walaupun pemuda pen-dekar
gagah itu tak mengucapkannya, tapi dalam hatinya dia sangat
berterima kasih padamu...! Tahukah kau, anakku? Sampai saat ini
ayahmu belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Dia
pernah menolongku dari bahaya maut beberapa hari yang lalu.
Ketika kudaku terperosok akibat tanah longsor. Kuda
tungganganku mati terhempas ke dasar jurang dalam. Untunglah
disaat tubuhku melayang ke mulut jurang lenganku berhasil
menangkap akar gantung yang tumbuh disisi jurang. Akan tetapi
aku tak dapat naik, sementara dibawah maut siap menanti. Kalau
tak muncul pendekar muda itu yang menolongku, tak tahulah
bagaimana nasibku... Belum sempat aku mengucapkan terima
kasih, ternyata pendekar muda itu telah berlari pergi!”
Tentu saja penuturan singkat ayahnya membuat gadis ini
terpaku, dan tersipu. Tumenggung Mahesa menepuk-nepuk
pundak anak gadisnya. Lalu bertanya lagi.
“Nah! Begitu perlukan sebuah ucapan terima kasih?”
Linggar Wati menggeleng sambil tersenyum. Dan menyeka
air matanya.
“Kau masih membencinya?” tanya lagi Tumenggung
Mahesa.
Gadis ini menggeleng, tapi segera menyahut dengan
tergagap.
“Sebenarnya... sebenarnya bukan ucapan te... terima kasih itu
yang aku membencinya ayah... Tapi... tapi aku benci karena dia
tak mau bersahabat padaku!”
“Haha... aku tahu watak pendekar muda itu, anak manis! Dia
tahu kau pergi diam-diam dari padepokan tanpa setahu gurumu.
Mana sudi dia mengajak berkawan seorang gadis bengal macam-
kau?” ujar Tumenggung Mahesa.
“Maafkan aku, ayah...! Aku yang salah...!” Akhirnya Linggar
Wati mengakui kesalahannya. Tampak wajahnya semakin
menunduk. Tapi ayahnya memujinya sambil membelai
rambutnya penuh kasih sayang.
“Aku senang mendengar pengakuanmu yang jujur. Haih!
Lagi-lagi kita telah berhutang budi pada pendekar itu. Hampir
saja aib menimpa dirimu. Perbuatan Kuncoro sudah melebihi
batas. Dia tak patut menjadi seorang Adipati. Saat ini kita tengah
menanti kedatangannya untuk menangkap manusia sesat itu!
Semua kejahatannya telah terbongkar. Tidak saja dia melakukan
pemerasan pada penduduk, tapi juga telah menyuap orang
kepercayaan Gusti Sultan untuk berkhianat, dan menyelewengkan
uang perbendaharaan Kerajaan. Telah beberapa hari terjadi
kekisruhan dalam istana, patih Mangkudilaga dituduh
menggelapkan uang kas Kerajaan, dan bersekongkol dengan
Senopati Tohpati untuk menumbangkan kekuasaan Sultan. Telah
ditemui sepucuk surat dikamar Bendahara yang dibuat secara
rahasia atas nama Patih Mangkudilaga. Akan tetapi Patih
Mangkudilaga tak mengakui.
Untunglah penggelapan uang kas Kerajaan itu segera
diketahui dengan dibekuknya wakil Bendahara Kerajaan...” tutur
Tumenggung Mahesa.
“Apakah yang dilakukan wakil Bendahara kerajaan itu,
ayah?” bertanya Linggar Wati dengan wajah berubah kaget. Dia
tak menyangka kalau urusan Adipati yang perbuatan tak
senonohnya dilaporkan pada ayahnya, ternyata berekor panjang.
Bahkan telah terjadi kekisruhan yang membengkak di Istana.
Setelah menghela napas, Tumenggung Mahesa menyahut.
“Hm.! Dia telah mencuri cap Kerajaan, dan memalsukannya!
Bukan itu saja dia juga telah memalsukan tanda tangan para
pembesar Kerajaan. Mudah saja bagi dia menirunya, karena
sehari-hari bekerja menjadi bawahan Bendahara Kera-jaan.
Semua itu adalah atas suruhan Adipati Kun-coro.
Dan dengan tanda tangan serta cap Kerajaan palsu itu,
dengan mudah Adipati Kuncoro mengeruk uang kas Kerajaan.
Bangsat licik itu benar-benar edan! Pantas dia semakin
mewah hidupnya.
Dalam waktu setahun saja sudah menyimpan banyak isteri
muda! Bahkan dia sudah melamar lagi anak Ki Demang untuk
menjadi isterinya yang keempat...!”
“Kudengar Ki Demang Sunggoro tewas dalam suatu
perampokan, dan isterinya juga dibunuh perampok! Benarkah
ayah?” memotong Linggar Wati.
“Benar! Kukira hal itu wajar. Karena penduduk sudah
merasa tertekan dengan pajak-pajak berat yang dibebankan pada
mereka. Para perampok bertopeng itu tak dapat disamakan
dengan perampok sungguhan.
Dimanapun adanya berdiri suatu pemerintahan, tetapi
pemerintahan itu menjalankan kekuasaan dengan sewenang-
wenang, maka disana akan tim-bul suatu pemberontakan!
Perbuatan Ki Demang Sunggoro yang kaki tangan Adipati
Kuncoro itu pantas mendapat balasan yang layak dengan keke-
jamannya!
Tinggal kini menangkap biang keladi kejahatan besar ini.
Kuncoro edan itu bukan saja telah memfitnah para pembesar
Kerajaan, tapi juga melakukan perbuatan melanggar susila,
berbuat sewe-nang-wenang dengan kekuasaannya! Suatu hal
yang tak terpuji! Dialah yang membuat surat fitnah terhadap
Patih Mangkudilaga seolah-olah bersekongkol dengan Senopati
Tohpati!”
Tumenggung Mahesa menuturkan pada anak gadisnya. Tentu
saja membuat Linggar Wati jadi marah bukan main pada manusia
yang bukan saja gila harta, tapi juga gila perempuan itu.
“Adipati itu layak dihukum mati, ayah! Tapi enaknya disiksa
dulu, biar matinya secara perla-han-lahan, dan dia merasakan
sakit disaat seka-ratnya! Atau.... enaknya digantung kepala
dibawah kaki diatas. Lalu ditaruh dikandang...”
“Wah, wah, wah....! Urusan itu adalah urusan Gusti Sultan
yang berhak memberi hukuman!” memotong Tumenggung
Mahesa dengan terse-nyum. Kepala gadis bengal itu diusap-
usapnya se-raya berkata memerintah.
“Sudahlah jangan mengaco terus anak manis.
Mulutmu yang comel itu kau sumpal dulu dengan makanan.
Pergilah ke dapur memanggang sate un-tuk mengisi perutmu!”
Gadis baju merah itu mengangguk gembira, se-raya beranjak
pergi untuk menuju ke barak di se-belah belakang gedung
Kedipatian. Tapi masih sempat gadis ini menoleh, sambil
menyeloteh ber-kata kepada ayahnya.
“Membakar sate adalah kesenanganku. Tapi aku lebih senang
lagi kalau menyate tubuh Adipati sinting itu!” Selesai berkata
gadis itu berlari kecil menuju ke belakang gedung. Beberapa
orang pra-jurit yang mendengar percakapan dan kata-kata gadis
itu jadi tersenyum.
“Haih...! Dasar bocah nakal...” menggumam Tumenggung ini
sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap ke punggung anak
gadisnya.
***
Bagai terbakar rasanya dada Adipati Kuncoro, disamping
terkejut mendengar pembicaraan Tumenggung Mahesa.
Tumenggung ini baru saja memutar tubuh untuk menghadap
Senopati Tohpati. Tiba-tiba saja laki-laki tua itu tersentak kaget
mendengar suara berdesis dibelakangnya. Itulah sambaran
pukulan jarum beracun yang meluruk dari rimbunan daun pohon
besar yang tumbuh di luar pagar tembok gedung Kedipatian.
Tumenggung ini kibaskan lengan bajunya ke belakang seraya
membuang tubuh ke samping. Tak urung dia mengaduh
kesakitan, karena tiga batang jarum menghunjam dipangkal
lengan. Tentu saja membuat terkejut para prajurit yang berada di
halaman gedung itu. Mendengar teriakan ayahnya, Linggar Wati
balikkan tubuhnya. Seketika wajahnya berubah pucat melihat
laki-laki tua itu terguling ditanah dengan mengerang kesakitan.
Tak ayal dia menjerit seraya memburu ke tempat ayahnya
menggeletak.
“Ayaaah..!?”
Senopati Tohpati yang tengah berdiri dan duduk seperti tak
sabar menunggu kemunculan Adipati Kuncoro seketika
terperanjat mendengar kegaduhan itu. Dia melompat dari ruang
pendopo. Ma-tanya tertuju pada Tumenggung yang menggeletak
ditanah. Tiba-tiba dia melihat gerakan dahan po-hon besar
disamping tembok halaman gedung itu bergerak.
“Bedebah! Jangan lari!!” membentak laki-laki Senopati
Kerajaan ini. Bentakannya disusul dengan berkelebat tubuhnya
mengejar keluar dari pin-tu gerbang gedung Kedipatian. Belasan
prajurit dan perwira Kerajaan tersentak. Mereka segera tu-rut
memburu keluar....
Adipati Kuncoro melompat cepat ke punggung kuda setelah
melepas jarum maut ke arah Tu-menggung Mahesa, lalu
membedal kudanya den-gan cepat.
“Kejar...! Tangkap!” Gaduhlah seketika keadaan ditempat
itu. Belasan prajurit berlari mengejar. Tapi segera berhenti,
karena apa artinya mengejar orang yang melarikan diri dengan
menunggang kuda yang membedal tunggangannya bagai dikejar
setan? Namun saat itu empat perwira Kerajaan muncul dipintu
gerbang, membedal kudanya den-gan cepat mengejar orang yang
melarikan diri itu. Senopati Tohpati kembali memasuki pintu
gerbang. Tampaknya wajahnya merah padam karena marahnya.
Hampir saja seorang prajurit melanggar tubuhnya, karena tak
mengetahui kalau saat itu Senopati Tohpati melangkah masuk.
“Ah..!? Ma.. maaf, Gusti..!” sentak prajurit itu dengan wajah
pucat, seraya cepat-cepat menyingkir memberi jalan.
“Hm, mau kemana kau?” bentak Senopati Tohpati.
“Me.. mengejar pen.. penjahat itu, Gusti..!” sa-hutnya
tergagap.
“Penjahat sudah sampai ke seberang lautan, kau baru mau
mengejar?” bertanya Senopati sambil melototkan mata. Tentu
saja membuat prajurit itu gelagapan tak bisa menjawab. Tampak
wajahnya pucat pias bagai tak berdarah. Akan tetapi sebagai
basa-basi dan untuk menghilangkan keterkejutannya, prajurit ini
berkata.
“Sudah sampai ke., ke seberang lautan, Gusti? Wah... cepat
sekali...???” Seketika prajurit lainnya jadi tergelak tak dapat
menahan geli. Akan tetapi segera dibentak oleh Senopati Tohpati.
Bagai suara jengkerik terinjak, seketika semua diam.
“Hm, kesinilah kau!” Senopati memanggil prajurit dungu
itu.“Siap, Gusti! Perintah Gusti Senopati kami junjung diatas
kepala. Hamba siap menjalankan tugas!” sahut si prajurit dengan
menyembah.
“Bagus..!” kata Senopati Tohpati dengan tersenyum kaku.
“Kuperintahkan sekarang juga kau pergi ke tepi laut untuk
mencuci mukamu yang macam cecurut sakit itu!” Selesai berkata
melayanglah kaki Senopati menyepak prajurit itu hingga
terguling-guling.
“Am.. ampun Gusti..! Ampuuun..!” Prajurit itu cepat bangkit
dan menyembah sambil meringis-ringis menahan sakit pada
punggungnya yang ke-na tendangan.
“Kalian semua goblok! Mengapa sampai tak mengetahui ada
penjahat menyelundup?” bentaknya sambil menatap pada semua
prajurit yang berkerumun ditempat itu. Serentak semuanya
menundukkan kepala tanpa ada berani berkata sepatah katapun.
Senopati Tohpati memang sedang berang hatinya karena telah
difitnah oleh Adipati Kuncoro. Tentu saja gagalnya menangkap
penjahat yang belum diketahui siapa adanya itu ditumpahkan
pada para prajuritnya. Dengan wajah merah padam segera dia
beranjak melangkah ke arah kerumunan beberapa orang prajurit
Kadipaten yang tengah melakukan pertolongan pada
Tumenggung Mahesa.
Untunglah Linggar Wati membawa serbuk anti racun.
Setelah jarum berhasil dikeluarkan dari pangkal lengan ayahnya
segera dia membubuhkan serbuk itu. Lalu membalutnya dengan
kain perban yang dibawa seorang prajurit. Dari keterangan si
gadis berbaju merah Linggar Wati itulah Senopati Tohpati
mengetahui kalau penjahat yang menye-lundup itu adalah Adipati
Kuncoro yang memang tengah dinantikan kemunculannya untuk
ditangkap!
––––––––
SEMBILAN

EMPAT PERWIRA KERAJAAN yang mengejar kuda putih
berpenunggang Adipati Kuncoro itu terkejut ketika berhasil
mengejar buruan mereka ternyata si penunggang kuda putih itu
adalah seorang kakek tua renta berambut semrawut, dan berwajah
kaku berkeriput. Si kakek tua renta menatap keempat perwira
Kerajaan yang mengurungnya dengan pandangan terheran.
“Ah..? Siapakah kau kakek?” membentak salah seorang
perwira 
“Heheheh.. ada kepentingan apa kalian menanyakan aku?”
balik bertanya yang ditanya. Tentu saja membuat perwira itu jadi
mendongkol.
“Kami mengejar seorang laki-laki berkuda putih untuk
menangkapnya!” sahut perwira ini dengan setengah membentak.
“Siapa laki-laki itu? Dan apa kesalahannya?” tanya si kakek.
“Dia Adipati Kuncoro yang telah berkhianat pada Kerajaan!”
sahut salah seorang perwira kawan-nya. Si kakek tampak
manggut-manggutkan kepa-la. Mendadak kakek itu
menyelinapkan lengannya ke balik jubah.
“Apakah dia si pemilik senjata ini?” tanyanya seraya
mengeluarkan sebuah tombak pendek berunce merah. Empat
pasang mata perwira itu segera menatapnya. Tentu saja
keempatnya menge-tahui senjata itu milik Adipati Kuncoro.
“Benar! Itu memang senjatanya!” menyahut keempat perwira
hampir serempak. Mendadak lengan si kakek bergerak
menghunjamkan tombak itu ke tanah. Tampaknya gerakannya
ringan saja. Akan tetapi membelalak mata keempat perwira itu
melihat senjata itu amblas masuk ke dalam tanah hingga lenyap
tak kelihatan lagi.
“Kalau itu manusia yang kau cari, aku telah mengikatnya
dibalik pohon itu! Silahkan kalian membawanya!” ujar si kakek,
seraya menunjuk lalu memutar kuda, dan membedalnya perlahan
meninggalkan tempat itu.
“Hei..! Tunggu dulu..!?” berteriak seorang perwira menahan
kepergian laki-laki tua aneh itu. Tentu saja perwira itu tak
percaya begitu saja pada uca-pan si kakek. Akan tetapi tiga
perwira kawannya telah membedal kuda menuju ke arah sebatang
pohon besar yang ditunjuk kakek itu. Benar saja mereka
mendapatkan Adipati Kuncoro dalam terikat oleh seutas tali kulit.
Itulah tali sanggurdi kuda yang telah digunakan mengikat.
Melihat ketiga kawannya melompat turun dari punggung kuda
dekat dibawah pohon besar itu, perwira ini segera membedal
kuda untuk melihat.
Sementara keempat perwira Kerajaan itu sibuk menggotong
Adipati Kuncoro yang dalam keadaan tertotok tak berdaya, si
kakek aneh telah lenyap dari tempat itu...
Akan tetapi ketika keempat perwira itu membawa tubuh
Adipati Kuncoro yang dalam keadaan terikat dinaikkan
kepunggung kuda, kemudian keempat perwira itu membedal kuda
meninggalkan tempat itu, tahu-tahu si kakek aneh muncul
kembali, dan mengikuti dibelakang mereka.
Tampaknya kakek aneh itu khawatir keempat perwira itu
melepaskan lagi manusia yang telah berhasil diringkusnya.
Ternyata keempat perwira itu adalah perwira tulen, bukan
begundalnya Adipati Kuncoro. Mereka membawa masuk
tawanan memasuki pintu gerbang halaman gedung Kedipatian.
Kira-kira lima puluh tombak dari pintu gerbang itu si kakek
aneh belokan kudanya merambas hutan kecil, lalu lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan....
––––––––
SEPULUH

WAROK SOBRAH melarikan kudanya bagai orang
kesurupan...
Pandangan matanya liar mencari jejak dimana perwira
berkuda itu membawa lari gadis bernama Sumanti itu. Sementara
darah terus mengalir dari luka-lukanya. Warok merasa
punggungnya nyeri sekali. Luka torehan klewang perwira
Kerajaan itu mengganggu gerakan tubuhnya untuk mengenda-
likan kuda yang berlari cepat.
Saat itu hari mulai merambah senja... Ketika kuda
tunggangannya melewati tanah licin berbatu-batu, kaki kuda
tergelincir. Binatang itu meringkik keras dan mengangkat kaki
depannya. Tak ampun Warok Sobrah kehilangan keseimbangan
tubuhnya. Dia terjungkal masuk ke semak belukar. Kuda itu terus
membedal lari sambil meringkik tiada henti, dan lenyap
merambas hutan belantara... Warok Sobrah mengerang menahan
sakit pada tubuhnya. Pakaiannya yang sudah koyak-koyak
semakin banyak sobekan disana-sini, karena tersangkut ranting
semak yang tajam, dan menggores pula kulit tubuhnya. Dengan
susah payah dia keluar dari semak belukar yang menggerombol.
Laki-laki jembros ini memperhatikan sekitarnya. Mendadak
telinganya mendengar suara gemericik air. Hatinya tercekat. Dia
menelan ludah. Saat itu tenggorokannya terasa kering. Segera dia
mencari dari mana datangnya suara gemericik itu. Setelah
beberapa saat melangkah merambas onak dan du-ri, akhirnya dia
menemukan sebuah sungai berair jernih.
Sepasang mata Warok berkilat-kilat. Semangat-nya kembali
muncul. Direngkuhnya air bening itu, dan direguknya sepuas-
puasnya. Kemudian dia membasahi pula wajahnya. Terasa segar
kini tubuhnya. Akan tetapi percikan air yang mengenai lukanya
membuat dia menyeringai. Namun dia bisa menarik napas lega,
dan bersyukur menemukan sungai itu. Beberapa saat lamanya dia
termangu-mangu memandangi aliran air sungai yang bersuara
gemericik disela batu-batu berlumut. Dalam termangu itu ingatan
Warok Sobrah tetap saja memikirkan Sumanti.
“Ah... dimanakah dia saat ini? Kemanakah aku harus
mencari? Apakah perwira itu membawa Sumanti ke Kota Raja?”
berkata dalam hati si laki-laki brewok ini. Tampak wajahnya
kelihatan san-gat berduka. Sepasang matanya yang kemerahan itu
tampak berkaca-kaca.
“Sumanti.... oh, anak manis... mengapa nasibmu begitu buruk
seperti aku..?” mendesis Warok Sobrah dengan suara bergetar.
“Akupun telah kehilangan semua yang kumiliki... Anakku,
isteriku... harta bendaku... dan juga harga diri... Aku telah
menjadi sampah manusia! Hidupku kotor menjijikkan. Apa yang
ku lakukan adalah sebagai balas dendam terhadap kekalahan-ku.
Terhadap ketidak adilan Tuhan yang kurasa-kan waktu itu. Tapi
ternyata aku salah kaprah. Tuhan Maha Adil dan Maha Pemurah.
Tuhan ma-sih memberiku hidup sampai saat ini. Hingga aku
kembali sadar akan arti hidup yang sebenarnya... Aku sadar
bahwa semua ini adalah cobaan hidup dialam Dunia yang tidak
langgeng. Untuk menguji ummatnya..! Ternyata aku telah jauh
tersesat, mengumbar nafsu angkara, membunuh, memper-kosa,
merampok, membegal dan sebagainya..!”
Warok berhenti mengucapkan kata-kata lirihnya yang berupa
penyesalan dan kutukan pada dirinya sendiri. Dia terguguk
menangis bagai anak kecil dengan pipi bersimbah air mata. Tiba-
tiba dia me-nengadah ke langit dan membuka kedua telapak
tangannya. Terdengar suaranya bergetar.
“Ya... Tuhan, penguasa Alam Semesta! Yang telah
memberiku hidup sampai saat ini. Bila Kau berkehendak
menghukumku, maka hukumlah aku! Matikanlah aku saat ini...
tapi ampunilah segala dosaku! Ampunilah segala kekhilafanku
selama ini! Aku rela meninggalkan dunia fana ini. Aku percaya
Engkaulah Tuhan Yang Maha Tunggal, yang menciptakan
seluruh Alam dengan segala isinya...! Ya, Tuhan Yang Maha
Pengasih..! Sebelum kau cabut nyawaku, pertemukanlah aku pada
Sumanti. Selamatkanlah dia... dari bencana...”
Selesai berkata, tampak napas Warok Sobrah tersengal-
sengal. Sekujur tubuhnya tampak bergetar. Dia telah
menumpahkan seluruh perasaan dalam relung jiwanya kepada
Sang Penguasa Alam Semesta. Keadaan lukanya memang cukup
parah. Dan darah banyak keluar dari tubuhnya. Dengan
terhuyung-huyung Warok Sobrah bangkit berdiri... Masih ada
tersisa semangatnya untuk menemukan gadis itu. Akan tetapi
ketika itu pandangan mata si laki-laki brewok tampak nanar.
Bumi yang dipijaknya serasa berputar. Akhirnya Warok Sobrah
terhuyung roboh ditepian sungai berbatu. Laki-laki itu seketika
tak sadarkan diri.
Mendadak langit berubah gelap. Angin keras membersit
bersiutan. Tampak kilatan petir membelah diangkasa. Tapi hal itu
tak berlangsung lama. Seolah-olah Yang Maha Agung telah
menerima do’anya. Alam kembali tenang seperti sediakala.... Dan
senja terus merayap. Keheningan tambah mencekam ketika suara
burung-burung yang be-rebut mencari tempat bermalam telah
melenyap. Sepi... lengang..! Gemericik air sungai yang mengalir
diantara sela bebatuan itu semakin terdengar nyata. O, Alam..!
––––––––
SEBELAS

SEEKOR KUDA BERBULU COKLAT sejak tadi berdiri
ditepi hulu sungai berbatu-batu itu. Tam-paknya dia setia
menunggu majikannya sambil memakan rerumputan yang
tumbuh ditepian sungai.
Ternyata dibalik-balik pohon berakar gantung bertanah
lembab itu terdapat sebuah relung batu menyerupai sebuah goa.
Dari sebelah dalam ter-dengar suara gemerincing, dan sesekali
diseling oleh suara tertawa kecil seorang laki-laki. Siapa adanya
laki-laki itu, anda pasti sudah menerkanya. Ya! Siapa lagi kalau
bukan perwira Kerajaan yang rakus dan tamak pada harta benda,
hingga dia rela mencopot gelar perwira Kerajaan yang
disandangnya. Apalagi dia bersama seorang gadis cantik yang
menggairahkan, berkulit putih dan bertubuh mulus...
“Haha... lebih dari seratus keping emas..! Cukup untuk
bersenang selama dua atau tiga tahun... haha.. ha... aku kaya
dalam sekejap. Dan... dis-ampingku ada gadis cantik yang
menemani. Ah, alangkah beruntungnya aku..” berkata sendiri
perwira Kerajaan yang telah melepas pakaian perwiranya itu.
Tadinya dia telah berniat melam-piaskan nafsu bejatnya karena
tak tahan melihat gadis telah yang pingsan itu dalam keadaan
setengah membugil. Tapi dia penasaran untuk mengetahui
banyaknya uang emas dalam kain buntalan itu.
Hasratnya kembali muncul setelah dia selesai menghitung
uang yang dimilikinya. Tumpukan uang emas itu disorongkannya
kesisi bebatuan. Sementara matanya menjalari sekujur tubuh
gadis itu yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Sesaat antaranya
dia sudah mendekati.
“Oh, manisku... alangkah cantik parasmu... Kau akan hidup
senang mendampingiku...” terdengar suara laki-laki perwira
Kerajaan itu mendesis entah menggumam.
Tatapan matanya terhenti disepasang payudara si gadis yang
tersembul dari sela sobekan baju ke-baya yang menutupinya.
Napas si perwira mulai memburu... Hidungnya kembang-kempis.
Lengan-nya terjulur menepis pipinya yang mengalirkan ke-ringat.
Kembali mulutnya mendesis.
“Benar-benar luar biasa...
Perawira ini melemparkan pakaiannya di atas onggokan
bajunya, diatas batu. Lalu menatap sejenak untuk menikmati
pemandangan indah didepan matanya.
Saat itu sesuatu telah bergerak menjulur dari libatan akar.
Sesuatu yang kelihatan licin berkilat...
Laki-laki ini tampaknya sudah tak sadar untuk segera
merengkuh tubuhnya yang pasrah itu. Akan tetapi baru saja dia
menggulirkan tubuhnya, tiba-tiba perwira ini menjerit parau, lalu
roboh terguling... Entah dari mana munculnya seekor ular hitam
berkulit licin berkilat telah mematuk punggung laki-laki itu. Lalu
membelit lehernya. Tubuh laki-laki itu meregang-regang
bergeleparan dengan mata membeliak dan lidah terjulur. Tapi tak
lama kepalanya terkulai. Gerakan tubuhnya terhenti. Nyawanya
langsung melayang ke Akhirat.
Ular sebesar betis itu melepaskan belitannya, dan... tiba-tiba
lenyap sirna berubah jadi gumpalan asap putih. Namun tak lama
asap putih itupun lenyap...
Beberapa saat antaranya Sumanti sadar dari pingsannya.
Tentu saja terperanjat melihat keadaan dirinya. Matanya
membeliak melihat sesosok tubuh laki-laki membugil
tertelungkup tak bergerak.
Sadarlah dia apa yang terjadi. Tapi setelah merasai keadaan
dirinya tak kurang suatu apa, dia cepat beringsut setengah
merayap menjauhi laki-laki yang membugil terkurap tak bergerak
itu. Lalu bergegas mengenakan pakaiannya. Detik itu juga dengan
wajah pucat pias dia menghambur keluar dari relung batu.
Akan tetapi tiba-tiba dia merandek. Sesaat dia menatap laki-
laki itu. Tampak ada darah mengalir dari telinga, dan hidung laki-
laki itu. Barulah dia tersentak kaget ketika melihat mata laki-laki
itu membeliak memutih, dan lidahnya terjulur keluar. Dari
mulutnya yang setengah terbuka itu tampak ada darah mengalir,
dan masih menetes. Darah kental berwarna kehitaman.
Yakinlah Sumanti kalau perwira itu sudah tak bernapas lagi.
Mendadak kakinya menyentuh tumpukan uang emas yang berada
disisi batu.
“Oh... Tuhan..! Aku... aku selamat...” mendesis gadis ini
dengan wajah berubah girang. Tak ayal lagi segera dia
membungkus keping-keping uang emas itu, membuntal dan
mengikatnya dengan erat. Dia tahu uang emas itulah yang
tercecer dari pakaian Warok Sobrah, dan ditemukan oleh laki-laki
perwira Kerajaan itu. Kini manusia yang membawa lari dirinya
itu telah tewas entah siapa yang telah membunuhnya.
Selang tak lama Sumanti bergegas meninggalkan relung batu
itu. Sesaat dia menatap ke arah seekor kuda ditepian sungai.
Gadis ini mengetahui itulah kuda si perwira Kerajaan. Segera dia
menghampiri, lalu menariknya untuk dibawa menyeberangi
sungai dangkal berbatu-batu itu... Kemudian menyusuri tepian
sungai dengan hati agak bimbang. Kemana yang akan
ditujunya...?
––––––––
DUA BELAS

SUARA MENYIBAK bergemericiknya air sungai yang
ditingkah sesekali oleh suara dengus dan ringkik perlahan seekor
kuda, membuat sosok tu-buh berjubah kelabu ini menyingkap
semak belu-kar untuk melihat ke arah seberang sungai. Siapa
adanya sosok tubuh ini tak lain dari si kakek aneh yang telah
meringkus Adipati Kuncoro.
Matahari baru saja menyembul dibalik bebuki-tan. Suara
burung masih terdengar berkicau me-nyambut munculnya sang
Matahari. Malam tadi telah dilewati si kakek dengan bermalam
diatas dahan pohon, sementara kuda putihnya diikatkan dibawah
pohon. Semalam-malaman dia menden-gar suara aneh seperti
orang mengerang atau me-rintih. Terkadang terdengar jelas
terbawa angin, terkadang lenyap.
Sebenarnya kakek itu mau memeriksa dimana adanya suara-
suara aneh itu. Akan tetapi segera mengurungkan, dan akan
menyelidikinya besok pagi. Ketika dipagi harinya dia agak
kesiangan terbangun, lalu mencari sungai untuk mencuci muka,
mendadak dia mendengar suara air menyibak, dan ringkik suara
seekor kuda.
Ketika dia menyibak semak untuk melihat, tampak seorang
gadis menuntun seekor kuda, ber-jalan menyusuri sungai berbatu-
batu itu. Tam-paknya kakek ini mau munculkan diri. Segera dia
menutup lagi semak yang disibakkan. Lalu diam-diam menguntit
gadis itu.
Selang beberapa saat lamanya dia melihat gadis itu
menghentikan langkahnya. Lalu beranjak ke darat. Gadis itu
duduk diatas batu. Sepasang matanya tampak kuyu, seperti
kurang tidur atau entah kebanyakan menangis.
Sumanti memang kurang tidur malam tadi. Karena malam
hampir tiba, dia beranjak naik ke darat. Lalu mendaki tempat
ketinggian. Untunglah dia menemukan sebuah dangau reyot. Di
dangau tua yang sudah tak terawat pada tanah kering penuh
rumput alang-alang itulah dia bermalam, dengan ditemani seekor
kuda. Semalam-malaman gadis itu tak dapat tidur, karena
pikirannya tertuju pada si brewok Warok Sobrah yang tak
diketahui bagaimana nasibnya. Barulah pada pagi harinya dia
kembali menyusuri sungai dangkal berbatu-batu itu. Dia berharap
diujung sungai itu dapat menemukan sebuah muara yang terus
menuju ke arah laut. Mungkin dia bisa menemukan seorang
nelayan, dan pergi meninggalkan wilayah itu.
Akan tetapi rasa penat telah memaksanya untuk beristirahat.
Tiba-tiba mata gadis itu membelalak melihat sesosok tubuh
tergeletak tak jauh dari tempat dia melepaskan lelah. Alangkah
terkejutnya Sumanti ketika melihat orang itu adalah Warok
Sobrah.
“Paman Warok...!?” teriaknya dengan suara menggetar
bercampur isak, juga perasaan girang luar biasa. Akan tetapi
tampak terselip suatu pera-saan cemas melihat laki-laki itu.
“Apakah yang terjadi dengan paman Warok? Matikah dia?”
berkata gadis ini dalam hati. Ma-tanya menatap nanar bersimbah
air mata. Dia me-lihat laki-laki brewok itu tak bergerak. Cepat-
cepat dia mendekatkan kepalanya, lalu menempelkan te-linganya
didada laki-laki itu.
Wajah Sumanti berubah agak cerah. Dia masih mendengar
denyut nadi laki-laki itu walaupun sangat lemah. Gadis ini
memutar pandangan ke kiri dan ke kanan. Dia bermaksud
meminta tolong, kalau-kalau saja ada orang disekitar tepi sungai
itu.
Tiba-tiba pandangannya terbentur pada sesosok tubuh
seorang kakek bungkuk yang tongolkan kepala disemak belukar
diseberang sungai.
“Siapapun adanya kau orang tua, tolonglah pamanku ini...”
teriak Sumanti dengan suara bergetar bercampur isak.
“Pamanmukah orang itu..?” sahut kakek aneh itu dengan
mata agak dibesarkan.
“Benar, orang tua... Tolonglah dia. Dia terluka parah, dan
dalam keadaan pingsan..!” menyahut Sumanti. “Ah, siapakah
laki-laki tua aneh itu? Mudah-mudahan dia mau menolongku...”
berkata Sumanti dalam hati.
“Baik..! Baik aku akan menolongmu..!” kata kakek aneh
yang wajahnya kelihatan aneh itu. Gerakan tubuhnya ringan
sekali ketika menyeberangi sungai berbatu-batu. Seolah-olah
kakinya tak menyentuh batu sama sekali. Hingga membuat Su-
manti kagum, tapi juga terkesima melihat orang tua itu dalam
beberapa kejap saja sudah berada dihadapannya. Tapi yang lebih
terkesima adalah melihat wajah si kakek yang kini semakin nyata
keanehannya. Karena dia melihat kakek bungkuk itu cuma
memiliki sebelah kumis dan sebelah jenggot.
Ketika kakek bungkuk itu membungkukkan tubuhnya lagi
untuk memeriksa Warok Sobrah. Wajah Sumanti tampak
memuncat pias.
“Ular..! ular! Dipunggungmu ada ular..!” teriaknya sambil
menunjuk. Tentu saja membuat kakek itu tersentak kaget. Secara
reflek dia melompat bangun berdiri lalu berjingkrakan
mengebutkan jubahnya dibagian belakang.
“Mana ularnya?” teriak si kakek dengan mata melotot,
karena tak melihat adanya binatang berbisa itu. Bahkan dia tak
merasakan sama sekali sesuatu yang merayap dipunggungnya.
“I., itu... ular bulu! Aku... aku takut pada ular bulu..!”
menyahut Sumanti yang melihat binatang yang menjijikkan dan
kalau terkena kulit bisa gat-al-gatal itu sudah terjatuh menemplok
diatas batu.
Tentu saja mata di kakek jadi mendelik semakin lebar. Tak
terasa lengannya menggaruk tengkuknya. Mulutnya mengomel.
“Haiih! Kukira ular apa, tak tahunya ular bulu..?” Baru saja
dia selesai menggerutu, mendadak dia berjingkrak kaget.
“Celaka!? Aku lupa kalau aku seorang kakek bungkuk..!
Wah?! lebih celaka lagi. Kumis dan jenggotku hilang sebelah...
?!?”
Saat itu si kakek tampak melihat gadis dihadapannya
memalingkan wajah sambil menutupi mulutnya. Mau tak mau
Sumanti tersenyum, dan hampir saja tak dapat menahan tertawa
melihat si kakek bungkuk dalam sekejap mendadak sembuh
bungkuknya. Dan punggungnya kembali lempang. Bahkan sejak
tadi dia sudah hampir tertawa meli-hat jenggot dan kumis
memutih kakek itu cuma sebelah-sebelah.
“Wah, percumalah aku menyamar lagi..!” gumam si kakek,
seraya mencabut kumis dan jenggot palsu yang tinggal sebelah-
sebelah itu. Lalu membuka jubahnya. Ternyata si kakek itu
adalah Nanjar si Dewa Linglung. Sambil tersenyum dia me-
lemparkan jubah yang dilepaskan dari tubuhnya ke arah gadis itu.
Sejak mengintai dari balik se-mak, dia melihat keadaan aurat
gadis itu sudah terlihat. Karena baju kebaya yang dipakai dara itu
sobek lebar dibagian depan.
“Hehe... aku memang bukan seorang kakek tua jelek dan
bungkuk. Nah, kau pakailah pakaian ini agar kau tak masuk
angin!” kata Nanjar.
Tentu saja girangnya hati si gadis bukan kepalang menerima
pemberian pemuda gagah itu. Seketika wajahnya berubah
memerah ketika sadar bahwa sepasang auratnya menyembul
keluar sejak tadi. Pasti pemuda penyamar itu sejak tadi sudah
melihatnya... Pikirnya dibenak. Tapi tanpa ayal lagi segera dia
mengenakan jubah pemberian itu.
Sementara itu dilihatnya si pemuda gondrong tengah
membungkuk memeriksa keadaan si laki-laki brewok. Hati
Nanjar tersentak ketika mengenal laki-laki itu adalah orang yang
tengah dikejarnya, seperti ciri-ciri yang disebutkan Tumenggung
Mahesa.
“Bukankah laki-laki ini Warok Sobrah si Begal dari gunung
Kidul?” sentaknya dalam hati. Namun Nanjar segera salurkan
hawa murni ke tubuh laki-laki yang terkapar pingsan itu. Lalu
membantunya dengan mengurut dibeberapa jalan darah. Nanjar
terkejut melihat darah merembes dari bagian belakang punggung
laki-laki itu. Ketika dia membalik tubuh si jembros, ditemukan
sebuah luka lebar. Perlahan dia menggulirkan lagi tubuh laki-laki
itu.
“Laki-laki ini banyak kehabisan darah. Dan tampaknya dia
demam. Tubuhnya panas sekali... Setelah dia siuman kucoba
membalut lukanya..!”
Selang tak lama tampak laki-laki brewok itu membuka
matanya. Tampaknya dia mulai siuman. Tahulah Nanjar kalau
suara yang semalam didengarnya adalah suara rintihan laki-laki
ini.
Sumanti segera menyobek pakaiannya yang sudah
dilepaskan, lalu mengambilnya selebar sapu tangan. Dia telah
mengenakan jubah pemberian si Dewa Linglung. Kemudian
membasahi dengan air sungai. Girang hati gadis ini melihat
Warok Sobrah sudah sadarkan diri. Dia berjongkok di sebelah
tubuh Warok Sobrah. Kain basah itu diusapkan ke-kening si laki-
laki brewok perlahan. Lengannya membelai rambutnya. Tampak
sepasang mata dara ini berkaca-kaca. Dan setetes air bergulir
kepipi Meluncur turun dan... menetes ke wajah laki-laki itu.
Mata Warok semakin membuka lebar. Dia merasakan usapan
lembut dikepalanya. Dan melihat se-raut wajah cantik yang
sepasang matanya menggenang air mata.
“Ya... Tuhan..! Engkau ka.. kabulkan do’a ku...” tampak
bibir laki-laki ini bergerak mengucapkan kata-kata berdesis.
“Su.. man.. ti... benarkah kau.. Su.. manti...?” bertanya
Warok Sobrah.
“Benar, paman Warok..! Aku menemukan kau menggeletak
ditempat ini” menyahut Sumanti. Lalu berpaling pada Nanjar.
“Kakak inilah yang telah berusaha membuat kau kembali
sadarkan diri..” sambungnya seraya kembali menatap Warok
Sobrah. Perlahan Warok menggerakkan kepalanya untuk
memandang si Dewa Linglung. Dia dapatkan seorang pemuda
gagah tengah tersenyum menatapnya. Mendadak dia
membesarkan matanya, ketika melihat racahan bergambar Naga
yang tersembul dari belahan baju dibagian dada pemuda itu.
“Ah... kalau... aku tak., sa.. salah, tentu anda si Pendekar
Naga Merah... yang terkenal dengan sebutan si Dewa...
Linglung..! Benarkah dugaanku..?” berkata Warok dengan suara
lamban berge-tar.
Nanjar mengangguk, sambil tersenyum.
“Memang itu gelar yang diberikan orang persilatan padaku..!
Bukankah anda yang benama... Warok Sobrah?” balik bertanya
Nanjar. Laki-laki itu tersenyum menganggukkan kepala perlahan.
“Girang hatiku bertemu anda... Aku memang Warok Sobrah
si Begal dari gunung Kidul. Tapi... nama itu telah lenyap... dan
tak akan terdengar lagi... selamanya...! Terima., kasih atas
pertolonganmu, pendekar gagah...” Kemudian dia berpaling
menatap Sumanti.
“Kau., kau selamat, anak manis..?” tanyanya penuh perasaan
girang yang tak terlukiskan.
Sumanti mengangguk sambil menyeka air matanya.
“Tuhan masih melindungi diriku, paman Warok. Aku
selamat, tak kurang suatu apa. Perwira jahat yang membawa lari
aku kutemukan telah tewas. Dan... aku menemukan uang emas
yang terjatuh dari bajumu, paman Warok..!” sahut Sumanti
seraya membuka buntalan yang tersangkut dipinggangnya, lalu
menunjukkan pada Warok Sobrah.
“Sukurlah... Tapi berikan uang emas itu pada pendekar muda
ini agar dapat dikembalikan pada pemilik sebenarnya...” kata
Warok seraya berpaling menatap Nanjar. “Aku telah
menemukan... uang emas itu disebuah gedung kuno. Tak tahu
siapa... pemiliknya...” kata Warok pada si Pendekar Naga Merah.
“Hm, untunglah kau menemukannya, sobat Warok! Pasti
Adipati Kuncoro yang telah menyembunyikan digedung kuno
itu!” kata Nanjar. Dia segera teringat pada peristiwa ketika
bersama si gadis baju merah, yang nyaris diperkosa oleh Adipati
itu. Di saat dia tertelungkup ditanah, dan Adipati itu tak jadi
menyerang dengan tombak pendeknya karena dicegah gadis itu,
dia melihat Adipati itu memasuki gedung kuno. Tentu untuk
mengambil uang emas yang telah disembunyikannya.
“Adipati Kuncoro telah ditangkap, dan bakal dihukum
gantung untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya
yang merugikan rakyat dan Kerajaan!” kata Nanjar lebih lanjut.
Sepasang mata Warok membinar. Bibirnya tersenyum.
“Oh, sukurlah...” lalu dia menoleh pada Sumanti seraya
berkata
“Anak manis... jangan menangis. Kau beruntung berjumpa
dengan pendekar gagah Dewa Linglung. Kelak... kalau aku sudah
tak ada... kau mengikutlah... padanya..!”
“Paman Warok,... kau akan sembuh, paman! Kau tak boleh
mati! Kau... kau harus hidup!” teriak Sumanti dengan menyentak
kaget. Tapi Warok menatapnya dengan tersenyum.
“Manusia tak dapat menentang... takdir, anak manis..! Tuhan
telah mengabulkan doaku... hingga disaat aku sadar dari
kekhilafanku selama ini dengan menjadi... seorang begal yang
hina dina, aku... aku telah menemukan anak gadisku yang
hilang..! Anakku hilang belasan tahun yang silam dalam suatu
musibah peperangan..! Dan... anakku itu adalah kau sendiri..”
Selesai berkata, tiba-tiba kepala Warok Sobrah terkulai... Gadis
ini tersentak kaget dengan membelalakkan matanya. Tiba-tiba dia
menjerit dan memeluk laki-laki brewok itu. Dan mengguncang-
guncangkan tubuhnya.
“Paman Warok! Paman Warook! Benarkah uca-panmu?
Benarkah kau ayahku..?? Ohh.. hh... tidak! Kau tak boleh pergi
meninggalkan aku! Jan-gan pergi, pa...paman...” teriak Sumanti
dengan menangis, dan mengguncang-guncangkan tubuh Warok
Sobrah. Tapi laki-laki itu sudah lepaskan nyawanya dengan
tersenyum. Dia telah berpulang diambil Yang Maha Kuasa. Dia
pergi dengan ik-hlas, seikhlas-ikhlasnya, karena dia telah bertobat
sebelum ajal. Dan ternyata Tuhan Maha Pengasih. Dia telah
dipertemukan dengan Sumanti anak gadisnya, serta dalam
keadaan selamat.
Menjeritlah Sumanti sekuat-kuatnya ketika mengetahui
Warok Sobrah sudah melepaskan nyawanya.
“A y a a a a h... h. h. h..!”
Bersamaan dengan teriakannya menyebut ayah pada si laki-
laki jembros Warok Sobrah itu, gadis inipun terkulai pingsan tak
sadarkan diri. Tinggal si Dewa Linglung yang menjublak terpaku
sambil menggaruk tengkuknya...
––––––––
                       TAMAT
Share:

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game