..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR RAJAWALI SAKTI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR RAJAWALI SAKTI. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE PENGANTIN BERDARAH

matjenuh khairil




SATU


Senja mulai turun merayap mendekatj malam. Matahari 

semakin condong ke ufuk Barat Sinarnya yang lembut 

kemerahan membias indah menanti datangnya rembulan 

Seorang pemuda berkulit kuning langsat, duduk ber-

jongkok di pinggir gundukan tanah merah. Keadaan 

sekitarnya sepi dan mulai gelap. 

Matanya merembang sayu menatap pada batu pi pih 

yang tertanam di atas gundukan tanah di depan nya. Entah 

sejak kapan pemuda itu duduk berjongkok di sana. Raut 

wajahnya terlihat sedih dan matanya sembab seperti bekas 

tangisan. 

"Aku yakin kau menderita di alam sana. Maafkan aku 

baru bisa mengunjungimu hari ini, mudah-mudahan kau 

senang dengan kedatanganku," pelan dan lirih dia ber-

gumam. 

Pemuda itu menarik napas panjang dan berat, lalu 

pelahan lahan dia mengangkat kepalanya. Sejenak dia 

menatap sang surya yang hampir tenggelam di ufuk Barat 

Di sini, di tempat sepi ini segalanya pernah terjadi. 

Peristiwa yang tak akan pemah terlupakan sepanjang 

hidupnya Peristiwa yang terjadi lima belas tahun silam, di 

mana saat itu dia masih seorang bocah berumur sepuluh 

tahun 

Ingatannya kembali pada peristiwa yang begitu 

membekas di hatinya dan menimbulkan api dendam yang 

selalu membara Saat di mana dia dengan kakak 

perempuannya baru pulang mencari kayu bakar. Dan di 

jalan yang agak sepi dan tersembunyi, keduanya berhenti 

sejenak melepaskan lelah dan penat 

"Kau masih punya makanan, Dimas?" 

"Kak Surti sudah lapar, ya?" 

Gadis yang berkulit kuning langsat itu tersenyum dan 

mengangguk. Dia menurunkan kayu bakar dan punggung


nya kemudian duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. 

Bocah kecil yang dipanggil Dimas itu mendekat. Dan 

menyerahkan bungkusan daun kepada Surti, kakaknya. 

"Hayo Dimas, kita makan sama-sama," Surti me-

nawarkan bekal itu setelah membukanya. 

"Kakak sajalah, aku belum lapar," tolak Dimas seraya 

duduk menghadapi kakaknya. 

Ketika Dimas tengah memperhatikan kakaknya yang 

sedang makan, mendadak muncul lima orang laki-laki ber-

tubuh kekar dengan wajah seram, dan segera mendekati 

mereka. Kelimanya menyandang senjata di pinggang 

masing-masing senjata berbentuk golok besar dan ber-

gagang hitam pekat 

Seketika Surti langsung menghentikan makannya dan 

segera bangkit menarik tangan adiknya. Lima orang asing 

di hadapan mereka itu tertawa terkekeh-kekeh. Sinar 

matanya liar memandangi wajah dan tubuh Surti. Perlahan-

lahan kelimanya melangkah semakin dekat 

Tiba-tiba saiah seorang meloncat, dan mencekal 

tangan Surti. Gadis itu kontan menjerit dan meronta ber-

usaha melepaskan diri. Dimas, bocah tanggung yang baru 

berusia sepuluh tahun itu, segera menyadari kalau mereka 

terancam bahaya. Kedua tangannya langsung men-

cengkeram dan menarik tangan kasar yang mencekal 

tangan kakaknya. 

"Setan!" geram laki-laki itu. 

Kaki kanannya menyepak lambung Dimas, sehingga 

tubuh bocah itu terlempar ke samping. 

"Akh, jangan...!" jerit Surti begitu rubuhnya tertarik dan 

mukanya membentur dada orang yang mencekal tangan-

nya. 

Orang itu seperb sengaja melepaskan cekalannya dan 

Surti langsung berlari mendekati adiknya. Namun sebentar 

kemudian pundaknya kembali dicekal keras sehingga 

tubuh Surti pun tersentak ke belakang Dan sebelum 

tubuhnya jatuh terjengkang, sepasang tangan kekar telah 

memeluknya. Surti menjerit-jerit melepaskan diri, namun


pelukan laki laki itu terlalu kuat dia rasakan. 

"He... he... he..., diamlah Cah Ayu," orang itu terkekeh. 

Bret! 

"Auh!" Surti memekik kaget, wajahnya jelas menampak-

kan kengerian 

Orang itu membuka bajunya dengan kasar. Tubuh yang 

terbalut kain kuning halus itu pun terbuka lebar. Lima 

orang lelaki itu serempak tertawa penuh nafsu, melihat 

tubuh indah berlarian berusaha menyelamatkan diri. 

Langkah kaki Surti terhenti begitu salah seorang dari 

mereka melompat menghadangnya. 

"He... he... he...!" 

"Akh..., jangan! Aku mohon, jangan...," rintih Surti 

memelas. 

"Kemarilah, anak manis. He... he... he..., kau cantik dan 

menggairahkan." 

"Tidak...." 

Nasib Surti benar-benar seperti mainan, dirinya di 

dorong dan dioperkan ke sana kemari bagai bola. Pakaian-

nya sudah tak karuan lagi robek di sana-sini. Beberapa 

bagian tubuhnya tersembul ke luar, membuat mata jalang 

lima laki laki itu semakin liar dan buas. 

Surti menjerit-jerit, meronta berusaha melepaskan diri 

dari cengkeraman salah seorang yang memeluknya dan 

belakang. Belum lagi gadis itu melepaskan diri, salah 

seorang lainnya sudah menarik tangannya. Tubuh Surti 

sempoyongan, dan jatuh terguling ke tanah. Gadis itu 

memekik keras begitu salah seorang lagi menindih tubuh-

nya. 

"Ehhh..., lepaskan! Jangaan..!" teriak Surti merintih. 

Tenaga Surti tak bisa menandingj laki laki kekar dan 

kasar itu. Surti sudah tidak berdaya lagi. Laki laki itu 

semakin liar, sia-sia saja dia meronta dan mencakar. Laki 

laki itu menarik kasar sisa kain yang dipakainya. 

"Akh!" Surti memekik kaget. 

"He... he... he...!" lima orang laki-laki berandal itu ter-

tawa liar.


Mereka segera mendekati Surti yang terus meronta-

ronta di bawah himpitan salah seorang dari mereka. Surti 

sudah tak punya kekuatan lagi. Kedua tangannya di-

pegangi. Tubuhnya sudah polos tanpa selembar kain pun. 

Air matanya mengalir deras menangisi nasibnya. Dia hanya 

bisa merintih dan memohon, namun semuanya sia-sia 

belaka. 

"Aaakh...!" Surti menjerit keras begitu merasakan 

sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. 

Mata gadis itu terpejam, tak sanggup lagi menyaksikan 

wajah-wajah kasar yang tersenyum menyeringai di atas 

tubuhnya. Belum lagi dia menarik napas lega setelah laki 

laki yang berada di atasnya bangkit, tubuhnya kembali 

ditindih oleh seorang lainnya. Kembali Surti menjerit keras, 

lalu pingsan tak tahan lagi menerima cobaan yang bertubi-

tubi itu. Tubuhnya yang sudah tergolek pingsan pun 

kembali digilir oleh tiga orang berikutnya. 

"Tidaaak...!" Dimas menjerit keras. 

Tubuh anak muda itu jatuh lemas memeluk gundukan 

tanah di depannya. Air matanya jatuh bergulir di pipi, tak 

sanggup lagi dia membayangkan peristiwa keji yang 

memmpa kakaknya lima belas tahun silam. Lima orang 

yang kerasukan iblis memperkosa kakak perempuannya 

secara bergiliran, dan membunuhnya setelah puas. 

"Akan kucari mereka, akan kubunuh mereka semua. 

Percayalah, Kak. Aku akan membalaskan sakit hatimu!" 

geram Dimas. Kedua telapak tangannya saling terkatup 

mengepal. 

Pelahan-lahan Dimas bangkit, dan menyeka air mata-

nya. Lalu kembali dia menatap pusara Surti, dan menarik 

napas panjang dan berat 

"Mereka harus mati! Mati...!" teriak Dimas keras, penuh 

dendam. 

Suara teriakan yang keras itu menggema, terpantul 

oleh pepohonan dan bukit-bukit batu. Teriakannya yang 

disertai tenaga dalam itu membuat alam sekitarnya seolah 

bergetar ikut merasakan getaran hatinya yang penuh bara


dendam. 

"Aku bersumpah, mereka harus mati di tanganku!" 

*** 

Sementara itu di sebuah perkampungan kecil di antara 

perbukitan, seorang gadis bertubuh sintal dan berkulit 

hitam manls, tengah duduk merenung di atas dipan kayu di 

teras rumahnya Wajahnya murung dan pandangan mata-

nya tampak kosong. Bibimya yang mungil dan tipis 

kemerahan, terkatup rapat 

"Wulan...," terdengar suara lembut memanggil. 

Gadis itu menoleh, pandangannya langsung tertuju 

pada perempuan tua yang berdiri di ambang pintu. Tapi 

bibir mungil indah itu tak menjawab sedikit pun, dia 

kembali menatap kosong ke depan. Perempuan tua yang 

tak lain ibu si gadis itu melangkah mendekati, dan duduk di 

samping anaknya. Jari-jari tangan tuanya yang kurus dan 

berkenput membelai-belai rambut Wulan. 

"Kenapa Ayah menerima pinangan tua bangka itu, Bu?" 

pelan dan lirih suara Wulan bertanya. 

"Ayahmu tidak bisa berbuat a pa-apa anakku." 

"Orang itu sudah punya banyak istri, Bu! Lagi pula aku 

tidak pantas jadi istrinya. Dia terlalu tua, lebih tua dari 

Ayah!" 

"Kau harus mengerti, Wulan. Tidak seorang pun yang 

bisa menolak keinginan Gusti Wira Perakin. Apa kau rela 

melihat Ayahmu mati di tiang gantungan? Sementara kau 

sendiri...," perempuan tua itu tak bisa lagi membayangkan 

dan meneruskan kata katanya 

Wulan terdiam mematung. Dia hanya menoleh pada 

ibunya sesaat, lalu menatap kembali jauh ke depan. 

Sementara itu langit mendung, awan tebal menghitam 

seolah turut merasakan hati gadis yang tengah diliputi 

kegalauan itu. Nyi Sukirah menepuk lembut bahu anaknya. 

dan mengajaknya masuk ke dalam begitu dia menyadari 

akan turun hujan.


Keduanya duduk berdampingan di balai-balai bambu di 

dalam ruangan depan rumahnya Di sudut balai-balai 

bambu itu tergeletak sekotak kayu berukir indah. Wulan 

memandangi benda itu dengan perasaan yang dipahami 

benar oleh ibunya. Sekotak kayu yang berisi perhiasan 

emas! Tanda ikatan pinangan yang jumlahnya baru sekali 

ini dia lihat selama hidupnya! 

Wulan tak sanggup membayangkan, bagaimana 

perasaan kekasihnya bila mengetahui dirinya telah 

dipinang lelaki tua bangka, yang lebih pantas menjadi 

ayahnya daripada menjadi suaminya. Laki laki yang ber-

kuasa dan amat ditakuti oleh seluruh penduduk desa ini. 

Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya! Ya..., 

tidak seorang pun! 

"Hhh...!" Wulan mendesah panjang. Nadanya gusar. 

"Pulangkan saja tanda ikatan pinangan itu, Bu!" 

"Wulan...!" Nyi Sukirah tersentak kaget 

"Aku tidak mau, Bu. Aku tidak bisa mengkhianati Kang 

Dimas. Aku sudah berjanji akan setia sampai menunggu 

Kang Dimas kembali. Kembalkan saja tanda ikatan 

pinangan itu, Bu," Wulan merajuk. 

"Wulan..., kau tahu apa akibatnya menolak pinangan 

Gusti Wira Perakin? Tidak, Nak! Jangan bawa orang tuamu 

ke tiang gantungan! Aku mohon, jangan," Nyi Sukirah tak 

bisa lagi membendung air matanya. Dia memeluk bahu 

putrinya. 

"Kita bisa meninggalkan desa ini, Bu. Di sini kita juga 

tidak mempunyai apa-apa. Semuanya dikuasai si Tua 

Bangka itu. Seumur hidup kita dililit hutang yang semakin 

membengkak!" makin meninggi suara Wulan. 

"Gusti Wira Perakin akan membebaskan semua hutang-

hutang ayahmu, Wulan. Bahkan dia akan menyerahkan 

kembali tanah milik ayahmu. Dia akan menjamin 

kehidupan kita," bujuk Nyi Sukirah. "Berbaktilah pada 

orang tuamu, Wulan." 

"Tidak, Bu! Diriku bukan untuk dijual!" tegas Wulan. 

"Wulan...!" Nyi Sukirah tak mampu lagi bersuara.


Wulan bangkit berdiri, lalu dia mengambil kotak kayu 

yang ada di sudut balai-balai bambu itu. Dia tercenung 

sebentar, lalu berbalik dan duduk kembali di samping 

ibunya. Tangannya terulur ke depan menyerahkan kotak 

perhiasan itu kepada orang tuanya. Nyi Sukirah hanya 

menatap kosong. Menahan kegetiran hatinya. 

"Kalau Ibu atau Ayah tidak mau mengembalikan 

perhiasan ini, biar aku yang mengembalikan sendiri," kata 

Wulan tegas. 

"Wulan...!" 

Wulan meletakkan kotak perhiasan itu di pangkuan 

ibunya, kemudian dia melangkah mendekati jendela yang 

masih terbuka lebar. Nyi Sukirah tak tahu lagi apa yang 

mesti dia perbuat Dia bangkit dan melangkah masuk ke 

kamarnya membawa kotak perhiasan itu. Pintu kamar 

berderit pelan, lalu tertutup rapat 

"Maafkan aku, Ibu..., Ayah," bisik Wulan lirih. 

"Tidak mungkin!" dengus Ki Sukirah kencang. 

Laki laki tua yang rambutnya telah memutih itu, 

menatap kotak kayu berukir di tangan istrinya. Kepalanya 

tergeleng-geleng seakan tidak percaya kalau Wulan 

menolak pinangan yang sudah diterimanya. 

"Wulaaan...!" panggil Ki Sukirah keras. 

"Pak...," Nyi Sukirah gemetaran melihat suaminya 

begitu marah. 

Pintu kamar terkuak pelahan lahan, dan dari balik pintu 

itu muncul gadis ayu berwajah sendu. Sejenak dia 

memandang kedua orang tuanya yang duduk di tepi 

pembaringan. Pelahan lahan sekali dia melangkah men-

dekati. 

"Duduk!" perintah Ki Sukirah. 

Bibir Wulan tak menjawab sedikit pun. Dia duduk di 

samping ayahnya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. 

Tidak berani memandang wajah lelah tua di hadapannya. 

Gadis itu menyadari benar apa yang tengah berkecamuk di 

dada orang tuanya. 

"Apa maksudmu mengembalikan tanda pinangan ini,


Wulan?" tanya Ki Sukirah mencoba menahan amarahnya. 

"Membatalkan pinangan itu, Ayah," sahut Wulan lirih. 

"Dan kau tahu, apa akibatnya?" 

Wulan mengangguk pasti. Keberaniannya untuk me-

nentang ayahnya mendadak bangkit. Tatapan matanya 

langsung ke bola mata ayahnya yang memerah. 

Ki Sukirah menatap tajam anak gadisnya ini. Dia sangat 

heran melihat begitu tegarnya Wulan! 

"Pikirkan kembali matang-matang, Wulan. Ayah dan 

ibumu hanya orang kecil, tak punya kekuatan apa-apa," 

pelan suara Nyi Sukirah mencoba menengahi. 

"Gusti Wira Perakin sudah membawakan tanda 

lamarannya, Wulan. Aku sudah menerimanya. Tidak 

mungkin aku mengembalikannya lagi. Kau tahu itu, Wulan," 

sambung Ki Sukirah. Amarahnya tampak mulai surut 

Sejenak suasana di kamar itu hening sesaat "Aku 

sudah menyatakan tadi, kalau Ayah dan Ibu tidak mau 

mengembalikan, biar aku sendiri yang mengembalikannya," 

pelan dan mantap suara Wulan. 

"Wulan! Kau sadar mengatakan itu!" sentak Ki Sukirah. 

"Aku sadar, Ayah! Justru aku sadar makanya kutolak 

pinangan si Tua Bangka itu!" 

Ki Sukirah terdiam dan menatap anak gadisnya dengan 

gusar. 

"Aku yakin, di dalam hati Ibu maupun Ayah tentu tidak 

menerimanya. Jujur saja Ayah, aku ingin bertanya apakah 

Ayah senang?" 

Ki Sukirah dan istrinya terhenyak. Kata-kata anak 

gadisnya menghunjam tepat dalam hati dan perasaan 

mereka yang paling dalam. Mereka mengakui kebenaran 

ucapan anaknya, dan tak mungkin lagi mereka bersitegang 

mempertahankan pendiriannya, yang hanya didasari rasa 

ketakutan mereka pada kekejaman Wira Perakin dan 

orang-orangnya. Suasana di dalam kamar itu tercekam 

kebisuan sepeninggal Wulan yang telah melangkahkan 

kakinya ke luar.


DUA


Matahari belum lagi condong ke Barat, ketika utusan Wira 

Perakin itu tiba. Rombongan itu terdiri dari delapan orang, 

dan dipimpin oleh Jaran Kedung. Wajah-wajah mereka 

tampak kasar dan bengis. 

Ki Sukirah menyambut mereka dengan tergopoh gopoh. 

Tubuhnya terbungkuk-bungkuk merendahkan dari. Sedang-

kan Nyi Sukirah hanya memandangjnya dari ambang pintu. 

Wajah perempuan itu jelas memancarkan ketakutan yang 

teramat sangat. Kedatangan delapan orang berkuda itu 

menunjukkan Wira Perakin tidak main-main dengan niat-

nya mengambil Wulan. Dan kedatangan mereka pastilah 

karena penguasa desa itu menginginkan ketetapan waktu 

pelaksanaannya 

"Oh, silakan. Silakan Tuan-tuan ke dalam," sambut Ki 

Sukirah membungkuk hormat 

"Hm...," Jaran Kedung mendengus sombong. 

Laki-laki bertubuh tinggj kekar itu mdompat turun dari 

punggung kuda, dan ketujuh orang lainnya pun mengikuti-

nya. Jaran Kedung melangkah tegap mengikuti Ki Sukirah 

yang berjalan mendahuluinya. Sementara Nyi Sukirah 

sudah menghilang dari ambang pintu. 

Hanya dua orang yang mengjkuti Jaran Kedung masuk 

ke dalam rumah. Ki Sukirah duduk bersila didampingi 

istrinya. Sementara kebga orang utusan Wira Perakin itu 

duduk di kursi. Berbeda dengan istrinya yang tampak 

begitu cemas, Ki Sukirah seolah siap menghadapi apa pun 

yang akan terjadi. Ucapan dan sikap Wulan telah 

menyadarkan dirinya untuk tidak menyerah begitu saja 

pada nasib yang akan menimpanya. 

"Aku datang atas perintah Gusti Wira Perakin. Beliau 

menginginkan perkawinannya dengan putrimu dipercepat," 

kata Jaran Kedung membuka suaranya lebih dulu. 

Ki Sukirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang


kan istrinya semakin mengkeret ketakutan. Nyi Sukirah 

gelisah dan duduk dengan sikap yang serba salah. Tatapan 

matanya tak lepas dari lantai di seputar dia duduk, tak 

berani dia menatap tamu-tamu yang tidak diharapkan 

kedatangannya ini 

"Kau harus memutuskan sekarang juga, kapan per-

kawinan itu akan dilaksanakan!" sambung Jaran Kedung. 

"Maaf, Gusti Jaran Kedung. Bukannya aku tidak meng-

hormati. Gusti Wira Perakin. Tapi aku gagal membujuk 

anakku," sahut Ki Sukirah pelahan. 

"Ki Sukirah!" sentak Jaran Kedung keras. Urat-urat 

matanya berkerut dengan tatapan yang tajam. 

"Sekali lagi, aku mohon maaf. Anakku telah punya 

calon piihannya sendiri, dan...." 

"Phuih!" dengus Jaran Kedung memotong ucapan lelaki 

tua itu. Dia berdiri bertolak pinggang mendekati Ki Sukirah 

dan istrinya. "Aku tidak peduli anakmu mau atau tidak! 

Tujuh hari lagi kau harus menyerahkan anakmu! Aku yang 

akan menjemputnya!" 

"Tapi, Gusti...." 

"Tidak ada alasan! Gusti Wira Perakin telah me-

nyiapkan pesta perkawinannya dengan anakmu, dan Gusti-

ku telah mengundang kerabat kerabatnya'" 

Jaran Kedung langsung melangkah keluar diikuti dua 

orang pengawalnya. Ki Sukirah tergopoh-gopoh beranjak ke 

luar membawa kotak kayu berisi perhiasan tanda pinangan 

Wira Perakin pada putrinya. 

"Gusti...." panggil Ki Sukirah. 

Langkah Jaran Kedung tertahan. Tubuhnya urung 

meloncat ke atas punggung kudanya. Dia membalikkan 

wajahnya memandang Ki Sukirah yang menghampirinya. 

"Aku mengembalikan ini pada Gusti Wira Perakin," kata 

Ki Sukirah menyodorkan kotak kayu berukir itu. 

Jarang Kedung mendelik geram Dia membalikkan 

tubuhnya dan segera merampas kotak kayu itu dari tangan 

lelaki tua yang ada di hadapannya. Kemudian dia 

mengegoskan kepalanya sedikit sebelum naik ke punggung


kudanya. Dua orang bertubuh kekar yang tadi mengikuti-

nya langsung mendekati Ki Sukirah. 

Sret! 

Hampir bersamaan dua orang itu mcncabut goloknya 

yang terselip di pinggang. Ki Sukirah terkejut, dia me-

langkah mundur dengan tubuh agak gemetar. Dua buah 

golok itu berkilatan tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan 

dua orang itu menghampiri Ki Sukirah yang terus 

melangkah mundur. Tubuh lelaki tua itu mulai basah oleh 

keringat 

"Orang tua bodoh! Mau dikasih enak, malah minta 

penyakit!" dengus salah seorang. 

Ki Sukirah tersentak begitu salah seorang lainnya 

melompat sambil mengibaskan goloknya. Ki Sukirah 

berkelit sedikit. Ilmu olah kanuragan yang pernah sedikit 

dipelajarinya kini tidak percuma. Tebasan golok itu hanya 

menyambar angin. Bahkan tanpa diduga sama sekali, kaki 

kanan Ki Sukirah melayang cepat menghantam bagian 

perut penyerangnya. 

"Hugh!" orang itu mengeluh pendek. 

Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mundur dua 

bndak, bibimya menyeringai dan matanya menatap tajam 

Ki Sukirah. 

"Minggir...!" mendadak Jaran Kedung melompat cepat 

dan punggung kudanya. 

Tangannya memutar mutar tambang di samping 

kanannya. Sepasang kakinya bergerak menyusur tanah 

mengitari Ki Sukirah, dan tujuh orang lainnya segera ber-

lompatan mengurung tubuh lelaki tua itu. 

Wuuut..! 

Jaran Kedung mengebutkan tambangnya. Ki Sukirah 

segera berkelit menghindari ujung tambang. Namun 

tambang itu bagai bermata, ujungnya meliuk liuk mengikub 

ke mana lelaki tua itu berkelit menghindar. 

Ki Sukirah memang bukan tandingan Jaran Kedung. 

Dalam beberapa gebrakan saja, tambang itu berhasil 

membelit pergelangan tangannya. Ki Sukirah kuat tenaga



berusaha melepaskan belitan itu, namun ujung tambang 

satunya segera menyambar pergelangan tangan kinnya 

Jaran Kedung membetot keras, dan tubuh Ki Sukirah 

tersentak jatuh bergulingan di tanah. 

"Hiyaaa...!" Jaran Kedung berteriak kencang. 

Bersamaan dengan itu, tubuhnya berlompatan 

mengitari tubuh Ki Sukirah yang bergulingan di tanah. 

Tambang di tangan Jarang Kedung membelit kedua ngan 

lelaki tua itu. Gerakan tubuh Jaran Kedung lalu terhenti. 

Dia berdiri tegak memegangi satu ujung tambang. Matanya 

tajam menatap Ki Sukirah yang telentang di tanah dengan 

kedua tangan terikat. 

"Seret orang ini!" perintah Jaran Kedung. Dia me-

lemparkan tambang yang dipegangnya pada salah seorang 

yang terdekat. 

Orang yang menangkap tambang Itu segera melompat 

ke punggung kuda. K Sukirah ikut tersentak ketika kuda 

digebah dengan kencang. Tapi tiba-tiba. 

Tasss! 

*** 

Tambang yang mengikat kedua tangan Ki Sukirah itu 

terputus. Dan bersamaan dengan itu pula sebuah 

bayangan putih berkelebat cepat menyambar Ki Sukirah, 

langsung dibawanya tubuh laki-laki itu ke beranda rumah. 

Beberapa saat Jaran Kedung dan orang-orangnya hanya 

bisa terperangah kaget 

Nyi Sukirah menghambur ke luar, menubruk tubuh 

suaminya. Di belakang perempuan itu, berdiri seorang 

gadis ayu berbaju biru muda dengan isak tangi tertahan. 

"Ayah...," isak Wulan langsung berlutut 

Wulan mendongakkan kepalanya memandangi pemuda 

tampan berbaju rompi putih yang tengah berdiri di dekat 

ayahnya yang terbaring Di punggungnya tersandang 

pedang bergagang kepala burung. Sinar matanya tajam 

tapi menyiratkan kearifan.


Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali 

Sakti itu tak lama beradu pandang dengan anak gadis Ki 

Sukirah. Dia lalu membalikkan badannya dan menatap 

tajam Jaran Kedung dan orang-orangnya. Kedelapan orang 

itu sudah menghunus pedangnya masing-masing. Tampak 

Jarang Kedung menggeram menahan amarah. 

"Siapa kau, berani mencampuri urusanku?!" Jaran 

Kedung menyentak. 

"Kau tak perlu tahu siapa aku," sahut Rangga dingin. 

"Gembel busuk! Buka matamu lebar lebar dengan siapa 

kini kau berhadapan?" 

"Aku tahu, kau adalah orang yang tak pantas hidup di 

dunia." 

"Setan belang! Bunuh gembel busuk itu!" teriak Jaran 

Kedung gusar. 

Serentak tujuh orang anak buahnya berlompatan 

mengurung Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu tampak 

tenang menghadapi musuh musuhnya dia hanya melompat 

ringan menjauhi beranda. Kedua matanya tajam merayapi 

tujuh orang yang bergerak memutari sambil membuka 

jurus-jurusnya 

"Seraaang...!" perintah Jaran Kedung keras. 

Serentak ketujuh orang bersenjata pedang itu 

menerjang Rangga. Sinar keperakan dari pedang itu ber-

kelebat cepat menyambar dan memburu tubuh Pendekar 

Rajawali Sakti itu dari setiap sudut. Rangga dengan manis 

dan lincah menghindari setiap serangan yang datangnya 

beruntun. 

"Huh! Mereka tidak boleh dibiarkan keenakan me-

nyerangku!" dengus Rangga dalam hati. 

Rangga langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut 

Paruh Rajawali.' Seketika itu juga tangannya menjadi 

merah bagai terbakar. Sambil berteriak nyaring, dia 

menerjang sambil melontarkan pukulan mautnya. Dua 

orang dari ketujuh pengepungnya itu langsung menjerit 

keras begitu terhantam pukulan maut yang dilepaskan 

Rangga.


Dua orang itu langsung menggelepar dengan dada 

melesak ke dalam. Dari mulut dan hidungnya mengucur 

darah segar. Kelima orang lainnya, tak terkecuali Jaran 

Kedung, terperangah takjub menyaksikan pukulan itu. 

Belum hilang perhaban mereka dari kejadian itu, men-

dadak Rangga bergerak cepat seraya melontarkan 

beberapa pukulan. 

Jeritan dan erangan panjang terdengar saling sahut 

menyahut Tubuh tubuh itu menggelepar tak berdaya lalu 

satu per satu nyawa mereka melayang dari badan. Jaran 

Kedung yang menyaksikannya melompat mundur beberapa 

langkah. Rangga berdiri tegak memandangi dengan sorot 

mata yang tajam bagai burung rajawali 

"Sekarang giliranmu, lblis!" geram Rangga. 

"Phuih!" Jaran Kedung menyemburkan ludahnya. 

Perlahan-lahan Rangga mendekati, kedua tangannya 

yang berwarna merah menyala terkepal erat 

"Hiyaaa...!" teriakan Rangga terdengar melengking 

tinggi 

Bersamaan dengan itu, kedua tangannya menghentak 

ke depan, sinar merah meluncur deras ke arah Jaran 

Kedung. Anak buah Wira Perakin itu menghindar dengan 

cepat, hingga sinar merah itu melesat mengenai sebuah 

pohon besar di belakang Jaran Kedung. Ledakan keras 

begitu jelas terdengar memekakkan telinga, lalu disusul 

robohnya pohon besar itu. Jaran Kedung terpana menyaksi-

kan pohon besar itu hancur berkeping keping, nyalinya pun 

mulai surut 

Belum lagi hilang rasa kagetnya, mendadak Rangga 

sudah melontarkan lagi pukulan jarak jauhnya. Jaran 

Kedung cepat menyadari keadaan, dia berlompatan meng-

hindari pukulan yang mulai datang bertubi-tubi. 

"Gila! Aku tak mungkin bisa menandingi orang ini," 

dengus Jaran Kedung dalam hati. 

Tepat ketika Rangga melesat hendak menerjangnya, 

Jarang Kedung langsung melompat dan menggebah 

punggung kudanya. Rangga berdiri tegak memandangi



kepergian Jarang Kedung yang sudah hilang keberaniannya 

itu, dan tidak berniat mengejarnya. 

Pendekar Rajawali Sakb itu menoleh ketika mendengar 

suara langkah langkah kaki menghampiri dari belakang. 

Tampak Ki Sukirah bersama istri dan anaknya berlarian 

menghampiri. Mereka berhenti di depan pendekar muda 

itu. Sejenak Rangga memandang dua orang yang mem-

bungkuk memberi hormat padanya, lalu tatapannya beralih 

pada seorang gadis ayu yang hanya berdiri tegak me-

mandangnya dengan sinar mata yang aneh. 

"Terima kasih, Tuan Pendekar," ucap Ki Sukirah. 

"Tapi, sebaiknya kau cepat tinggalkan desa ini," 

sambung Wulan. 

"Wulan...!" sentak Nyi Sukirah tertahan. 

"Tua bangka itu pasti marah. Lebih-lebih tujuh orangnya 

mati di sini," kata Wulan lagi. 

"Sebenarnya apa yang terjadi di sini! Maksudku, 

kenapa Bapak sampai disiksa mereka?" Rangga bertanya 

sopan. Bibirnya menyunggingkan senyuman ramah. 

"Ini adalah persoalan pribadi, dan kau tidak perlu ikut 

campur. Terima kasih atas pertolonganmu!" Wulan yang 

menyahut, nada suaranya terdengar ketus dan tak senang. 

Rangga mengernyitkan keningnya. Matanya agak 

menyipit memandang gadis manis di depannya. Sungguh 

baru kali ini dia menemui sikap seorang gadis yang seperti 

itu, sikap yang tak ramah bahkan menjurus kasar. 

Rangga menarik napas panjang, wajahnya pun kembali 

menyiratkan keramahan 

"Baiklah, maafkan kalau aku telah mencampuri urusan 

kalian, aku permisi." 

Rangga berbalik dan segera melangkah pergi. Dalam 

sekejap saja tubuh pendekar muda itu lenyap di balik 

pepohonan. Ki Sukirah dan istrinya memandangi ke arah 

mana tubuh anak muda yang telah menolongnya itu 

berlalu. Lalu hampir berbarengan keduanya menoleh ke 

arah Wulan. Sinar mata mereka menunjukkan kedongkolan 

karena merasa malu atas sikap anak gadisnya.


"Keterlaluan kau, Wulan!" bentak Ki Sukirah tertahan. 

"Aku tidak percaya dia orang baik-baik. Ayah. Bisa saja 

dia pura-pura menolong, tapi menyimpan maksud tertentu 

yang kita tidak tahu," sahut Wulan mempertahankan sikap-

nya. 

"Tapi tidak seharusnya kau bersikap begitu, dia sudah 

mempertaruhkan nyawanya untuk membela ayahmu," 

tandas Nyi Sukirah. 

"Kalau hanya menghadapi begundal-begundal Itu, aku 

rasa Kakang Dimas juga bisa. Bahkan si Wira Perakin itu 

tak akan mampu menghadapi Kang Dimas!" ada nada 

kebanggaan pada suara Wulan. 

"Ah! Sudahlah, Wulan. Kau terlalu berharap dia pulang. 

Dimas tidak akan kembali lagi ke sini, dia tengah pergi 

menuntut balas pada nasib kakaknya yang diperkosa dan 

dibunuh oleh orang-orang yang dia sendiri tidak tahu ke 

mana harus mencarinya," kata Ki Sukirah menenangkan 

gejolak hati anak gadisnya. 

Wulan memberengut kesal, laki berbalik dan berlari 

masuk ke dalam rumah. Ucapan ayahnya telah mematah-

kan harapannya akan kedatangan Dimas, lelaki muda dan 

gagah tambatan hatinya. Ki Sukirah menggeleng-gelengkan 

kepalanya pelahan, dia menyadari benar kalau anak gadis-

nya telah terpikat daya asmara, suatu daya yang membuat 

dia dan istnnya dalam keadaan sulit, yaitu ancaman dari 

Wira Perakin dan kaki tangannya. 

Suami istri itu beberapa saat lamanya hanya diam 

terpaku. Sinar matahari yang panas menyengat seolah 

menyadarkan mereka, bahwa masih banyak yang harus 

mereka kerjakan, termasuk mengurus mayat-mayat yang 

bergelimpangan di hadapan mereka. 

*** 

Brak! 

Satu kepalan tangan menggebrak meja dengan keras. 

Bola mata Wira Perakin merah menatap Jaran Kedung


yang berdiri tertunduk di depannya. Belum pemah ada 

orang yang berani menentangnya. Belum ada seorang 

gadis pun yang menolak pinangannya! Dan laporan Jaran 

Kedung akan penolakan anak gadis Ki Sukirah benar-benar 

membuatnya murka! 

"Seharusnya kau tidak perlu kembali, Jaran Kedung. 

Aku lebih suka melihatmu mati bersama yang lain!" dingin 

dan datar suara Wira Perakin. 

"Ampun, Gusti. Orang itu amat sakti, hamba tidak 

sanggup menandinginya," sahut Jaran Kedung bergetar. 

"Siapa dia?" 

"Orangnya masih muda, Gusti Ada pedang bergagang 

kepala burung di punggungnya. Rambutnya panjang 

terikat, dan berbaju rompi putih. Rasanya hamba belum 

pernah bertemu dia sebelumnya, Gusti." 

Wira Perakin memandang laki laki tua berbaju merah 

yang duduk di samping kanannya, seorang laki-laki tua 

dengan ramburnya yang memutih dan di tangan kanannya 

tergenggam tongkat hitam berkepala bundar. Tampak 

bulatan hijau bercahaya di kepala tongkat itu. Raut wajah 

orang itu menampakkan kekalutan dan juga kebengisan. 

"Demung Pari, kau cari anak muda itu. Bawa kepalanya 

ke sini," perintah Wira Perakin. 

"Hamba laksanakan, Gusti," jawab laki-laki berbaju 

merah yang dipanggil Demung Pari itu. Dia segera bangkit 

berdiri dan membungkuk hormat 

Demung Pari menatap Jaran Kedung yang tetap berdiri 

menundukkan kepala. Kemudian dia memandang dua 

orang lainnya yang berdiri di belakang Jaran Kedung. 

"Kalian bertiga ikut aku!" kata Demung Pari. 

Ketiga orang itu membungkuk memberi hormat, lalu 

bergegas mengikuti langkah Demung Pari. Wira Perakin 

menjatuhkan tubuhnya di kursi sepeninggal mereka. 

Matanya memandangi empat orang yang masih terduduk 

di kursi. 

"Kebo Rimang," panggil Wira Perakin. 

"Hamba Gusti," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar.


Wajahnya penuh berewok kasar dengan sebelah matanya 

terdapat luka gores memanjang hingga ke pipi. Kakinya 

terbungkus celana hitam sebatas lutut Dadanya yang ter-

buka lebar, memamerkan bulu-bulu kasar yang hitam 

pekat 

"Kau pergi ke rumah Ki Sukirah! Bawa orang tua itu ke 

sini. Ingat! Jangan sakiti dia dan bawa dengan cara baik-

baik," perintah Wira Perakin lagi. 

"Baik, Gusti," sahut Kebo Rimang seraya bangkit berdiri. 

"Bawa beberapa orang, sediakan kuda untuk Ki 

Sukirah." 

Wira Perakin menarik napas panjang, kemudian 

bangkit berdiri. Kakinya terayun ringan mendekati pintu 

depan. Rasa cemas dan dongkol berbaur jadi satu di 

benaknya. Hal itu tersirat pada wajahnya yang berkerut 

tegang. 

***


TIGA


Sinar rembulan di keheningan malam yang menyelimuti 

alam tampak begitu indah dan mengundang sejuta pesona. 

Namun sayang, rembulan yang bersinar penuh itu tak 

mampu lagi mengundang minat penduduk desa itu untuk 

menikmatinya Mereka telah berangkat dan berlabuh di 

alam mimpi, kecuali seorang pemuda tampan yang berdiri 

menatap ke luar dari jendela kamar penginapannya yang 

terbuka lebar. 

Dengan matanya yang bersinar bening, pemuda itu 

memandang wajah sang rembulan yang memancarkan 

sinar keemasan. Sesekali terdengar desahan napasnya 

yang terdengar panjang dan berat 

"Sejak tadi kau berdiri di situ. Ada yang mengganggu 

pikiranmu, Kakang?" suara Pandan Wangi yang lembut 

memecah kesunyian kamar penginapan itu. 

Pemuda tersebut membalikkan tubuhnya mem-

belakangi jendela, seulas senyum bermain di bibimya. 

Matanya memandang Pandan Wangi yang tergolek di 

pembaringan. Rambut hitam lebat panjang, terurai indah 

menambah pesona yang telah dimiliki gadis itu. Pandan 

Wangi membalas senyuman itu, dan sinar matanya 

menampakkan kehangatan. Kebersamaan yang selalu di-

laluinya, membuat gadis itu tak lagi merasa malu dan kikuk 

berduaan di kamar bersama pemuda tampan yang tak Iain 

adalah Rangga. Dia merasa tak memiliki jarak lagi dengan 

lelaki tersebut. Dia juga tak akan menolak jika Rangga 

mencumbunya. Namun setiap kali perasaan itu bergejolak 

dan menggoda di dadanya setiap kali itu pula dia harus 

menelan kekecewaannya. Rangga seolah tak punya 

keinginan sedikit pun untuk melakukannya. 

Pandan Wangi menggerakkan tubuhnya. Gerakan 

tubuh yang gemulai itu sedikit membuat jantung Rangga 

berdetak kencang. Pandan Wangi seperti sengaja ber


baring miring, hingga lekuk pinggulnya begitu indah 

dipandang mata. Seperti sengaja pula, gadis itu mem-

biarkan bagian belahan baju di dadanya sedikit terbuka. 

Buah dadanya yang mengembung mengintip ke luar 

mengundang gairah. 

"Kalau sudah mengantuk, tidur saja," kata Rangga men-

coba mengalihkan perasaannya. 

"Kau tidak tidur, Kakang?" lembut suara Pandan Wangi 

"Tidak," Rangga menjawab pelahan. 

Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya, 

kembali menatap ke luar. 

"Sejak kembali siang tadi, kau kelihatan berubah. Aku 

yakin ada sesuatu yang kau pikirkan," kata Pandan Wangi 

seraya beringsut. Dia duduk memeluk lututnya di tepi 

pembaringan. 

"Kau yakin?" tanya Rangga sambil membalikkan badan-

nya kembali 

"Apa aku harus menebak?" 

Rangga mengangkat bahunya, dan kembali membalik-

kan tubuhnya menghadap jendela. Kedua tangannya ber-

topang pada kayu jendela yang terbuka. Apa yang tersirat 

di hatinya adalah mengakui kebenaran dugaan Pandan 

Wangi. 

Peristiwa yang dialami Ki Sukirah masih membekas 

dan membayang di hatinya, belum lagi sikap anak gadisnya 

yang ketus dan seperti tak menganggap apa yang telah dia 

lakukan untuk ayahnya. 

Dan semua yang mengganggu pikirannya, diperhatikan 

benar oleh Pandan Wangi. Gadis itu mempunyai naluri dan 

perasaan yang tajam. Kebersamaan telah membuahkan 

perasaan seperti itu di antara mereka. 

"Sore tadi aku mendengar ada beberapa orang men-

carimu, Mereka memang tidak menyebutkan namamu, tapi 

dari ciri-ciri yang mereka katakan, aku yakin, Kakang-lah 

yang telah mereka cari!" kata Pandan Wangi. 

"Berapa orang?" tanya Rangga tetap memandang ke 

luar lewat jendela.



"Banyak juga, ada sekitar sepuluh orang." 

Gadis itu bangkit dan menghampiri Rangga. Dia berdiri 

di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Pandangannya 

juga mengarah ke luar yang diliputi sinar rembulan yang 

tampak mulai redup. Sunyi, tak terlihat seorang pun di luar 

sana. Hanya pelita kecil saja yang kelihatan berkelap-kelip 

dari rumah-rumah di sekitar penginapan ini. 

Kesunyian malam itu mendadak terpecah oleh suara 

derap langkah kaki kuda. Dan tempat Rangga dan Pandan 

Wangi berdiri, terlihat jelas serombongan orang berkuda 

seperti mengontrol dan mengawasi keadaan di sekitarnya 

Rombongan orang berkuda itu berhenti tepat di depan 

penginapan. Terlihat oleh dua pendekar muda itu, salah 

seorang dari mereka melompat turun dari punggung 

kudanya. Laki-laki tua yang berbaju merah itu melangkah 

masuk ke penginapan. Sementara yang lainnya menunggui 

di atas punggung kudanya masing masing. Beberapa saat 

lamanya suasana di luar penginapan itu hening. Rangga 

terus memperhatikannya hingga lelaki itu ke luar lagi 

diringi pemilik penginapan. 

"Ayo, kita kembali. Anak setan itu tidak ada di sini!" 

kata laki-laki tua berbaju merah yang tak lain Demung Pari. 

"Ingat, Ki Parung. Kalau kau melihat orang yang telah ku-

sebutkan ciri-cirinya tadi, cepat kau beritahu aku, 

mengerti?!" 

"Hamba pasti akan melaporkannya, Gusti," sahut Ki 

Parung, pemilik rumah penginapan itu. 

Demung Pari melompat ringan ke atas punggung kuda-

nya. Rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu segera 

menggebah kudanya meninggalkan Ki Parung yang masih 

berdiri memandang kepergian mereka. 

"Mereka mencarimu, Kakang," kata Pandan Wangi yang 

sejak tadi turut memperhatikan. 

"Hm...," Rangga hanya bergumam pendek. 

Dalam keremangan cahaya rembulan, Rangga masih 

bisa mengenali kalau salah seorang di antara mereka 

adalah orang yang sempat bentrok dengannya, setelah


gagal menganiaya Ki Sukirah. Rangga mengerutkan kening-

nya. Dilihat dari pakaiannya, mereka seperti para prajurit 

kerajaan. 

Apakah mereka orang-orang kerajaan? Kerajaan 

mana? Perkampungan ini tak lebih dari sebuah kadipaten. 

"Tentu ada persoalan, hingga mencarimu," kata Pandan 

Wangi setengah bergumam. 

"Memang...," desah Rangga pelahan. 

"Kenapa tidak kau ceritakan?" 

Rangga lagi lagi tersenyum, senyum yang menampak-

kan godaan. Seolah-olah memberikan teka-teki yang harus 

ditebak sendiri oleh Pandan Wangi. Dia berbalik dan me-

langkah mendekati pembaringan. Sambil mendesah 

panjang, Pendekar Rajawali Sakti itu membaringkan tubuh-

nya di pembaringan yang beralaskan kain merah muda. 

"Besok aku ceritakan, sekarang aku mau tidur," kata 

Rangga seraya memejamkan matanya. 

"Hehhh...," Pandan Wangi menaikkan pundaknya. Dia 

pun segera melangkah mendekati pembaringan. 

*** 

Sementara itu di rumah Ki Sukirah, hujan tangis 

terdengar memilukan. Wulan menangis di tempat tidurnya, 

juga Nyi Sukirah yang terduduk di tepi pembaringan. Orang 

yang begitu mereka cintai dan menjadi tumpuan hidup 

mereka, diseret paksa oleh orang orang Wira Perakin. 

Ki Sukirah tak berdaya. Dia mencoba menentang apa 

yang diperbuat Kebo Rimang yang menyuruhnya meng-

hadap Wira Perakin, dan akibatnya, tubuh laki-laki tua itu 

tak henti-hentinya menerima pukulan dan tendangan. 

"Itu semua gara-gara aku...," rintih Wulan di sela-sela 

tangisnya. 

"Sudahlah, Wulan," Nyi Sukirah terisak. "Kau benar, kita 

memang orang kecil. Tapi kita punya harga diri. Ibu sendiri 

sebenarnya tidak rela kalau kau menerima pinangan Gusti 

Wira Perakin."


"Tapi, Bu.... Ayah...," suara Wulan tersekat di teng-

gorokan. 

"Ayahmu memang laki-laki ksatria. Dia rela mati demi 

membela kehormatan keluarganya. Sebaiknya kita berdoa 

saja agar ayahmu selamat," kata Nyi Sukirah mencoba 

tabah. 

"Bu...," Wulan bangkit dan memeluk ibunya. Kembali 

tangisnya pecah di pelukan ibunya. 

Nyi Sukirah membiarkan anak gadisnya menangis. 

Sementara air mata Nyi Sukirah kering sudah, tak ada lagi 

yang bisa mengalir membasahi pipinya. Pengalaman hidup 

dan penderitaan panjang yang telah dilaluinya bersama 

suaminya, membuatnya tak bisa lagi menangis terlalu 

lama! 

Perlahan-lahan Wulan melepaskan pelukannya. Dia 

menyusut air matanya dengan ujung baju. Mata yang 

sembab memerah, menatap lurus ke bola mata 

perempuan tua yang telah melahirkan dan membesar-

kannya. Tak terdengar lagi isak tangis dari bibirnya. 

Ketabahan hati ibunya seolah menyadarkannya bahwa 

nasib tak perlu ditangisi, melainkan harus diubah sekuat 

tenaga dengan kemampuan sendiri! 

"Keringkan air matamu, Wulan. Tegarkan hatimu 

menerima cobaan hidup. Ibu yakin, Tuhan Yang Maha 

Kuasa akan menolong umatnya yang Iemah," kata Nyi 

Sukirah pelan. Bibirnya yang keriput pucat, menyungging-

kan senyum bergetar. 

Lagi-lagi Wulan menyusut air matanya. Sekuat tenaga 

dia mencoba untuk tidak menangis lagi. Kata-kata lembut 

ibunya seperti membuarnya terbangun dari mimpi buruk. 

Dia sadar, tak seharusnya dia menangis terus Karena 

semua yang terjadi berawal dari dirinya sendiri. Seharusnya 

dialah yang lebih tabah dan tegar menghadapi semua ini. 

Wulan menguruki dirinya sendiri yang begitu lemah. Berani 

mengambil dan menentukan sikapnya tapi tak berdaya dan 

lemah akan akibatnya. 

"Maafkan Wulan, Bu," desah Wulan lirih.


"Sudahlah, cepat atau lambat Wira Perakin pasti akan 

membawamu juga." 

"Tidak! Lebih balk aku mati daripada menjadi istri tua 

bangka Wira Perakin," geram Wulan. 

"Itu bukan jalan yang terbaik, Wulan. Apa pun alasanmu 

perbuatan nekad seperti itu jelas tak akan membuat lega 

orang yang kau tinggalkan." 

"Lalu, apa yang harus kuperbuat, Bu?" 

"Entahlah, Wulan. Mungkin yang terbaik berserah diri 

pada kekuasaan Tuhan." 

"Aku akan melawan mereka, Bu," tegar nada suara 

Wulan. 

"Dengan cara apa?" tanya Nyi Sukirah. 

Wulan terdiam. Dia sendiri tidak tahu apa yang diper-

buatnya. Dia sadar benar siapa dirinya, seorang gadis 

dusun yang tak punya kekuatan dan kesaktian apa-apa. Nyi 

Sukirah pun terdiam. Dia memaklumi benar kalau ucapan 

anaknya keluar dari hatinya yang kalut. 

Wulan bangkit dari pembaringan. Dia melangkah men-

dekati jendela yang terbuka sebagian. Tangannya men-

dorong daun jendela agar terbuka lebih lebar. Kedua bola 

matanya menatap lurus pada sang dewi malam yang ber-

sinar penuh memancarkan cahaya indah keemasan. 

Namun di mata Wulan, cahaya bulan itu begitu redup, 

seakan ikut berduka akan nasib yang menimpa dirinya. 

"Kang Dimas...," Wulan mendesis lirih. 

Gadis itu teringat satu nama. Ya..., hanya pada Dimas 

dia bisa mengadu. Hanya pada pemuda yang dicintainya itu 

dia bisa berlindung. Hanya Dimas satu-satunya harapan 

Wulan yang akan bisa mengatasi kemelut yang kini tengah 

menimpa dirinya. 

"Bu...," panggil Wulan seraya berbalik. 

Nyi Sukirah memandang wajah putrinya yang kini mulai 

nampak bersinar dan ada cahaya harapan. Dia sudah 

mantap dengan kata-kata hatinya yang mendadak saja 

muncul begitu nama Dimas bergetar di lidahnya. 

"Ada apa?" tanya Nyi Sukirah lembut


"Kira-kira Kang Dimas di mana ya?" Wulan seperti 

bertanya pada dirinya sendiri. 

"Untuk apa kau bertanya begitu?" Nyi Sukirah bertanya 

tak mengerti. Tapi hati perempuan itu sudah bisa meraba 

ke mana arah ucapan anaknya. 

"Aku ingin mencarinya, Bu," kata Wulan. 

"Wulan...," Nyi Sukirah menggeleng-gelengkan kepala-

nya. Naluri keibuannya begitu tersentuh oleh tekad anak-

nya yang muncul tiba-tiba. 

Hubungan antara Wulan dan Dimas memang bukan 

rahasia lagi. Semua orang tahu itu. Juga mereka tahu 

sejarah hidup Dimas yang kelam. Kakak perempuan satu-

satunya pengganti orang tuanya yang telah tiada, mati ter-

bunuh setelah lebih dulu diperkosa secara bergiliran oleh 

lima laki-laki berandal. Tidak ada yang melihat kejadi-an 

itu, kecuali Dimas sendiri. 

Sejak peristiwa naas yang menimpa kakak perempuan 

satu-satunya itu, Dimas lantas menghilang dari desa ini. 

Dan saat orang sudah melupakan peristiwa lima belas 

tahun yang silam itu, Dimas muncul kembali. Dia datang 

pada Ki Sukirah dan keluarganya, keluarga yang memberi-

nya hidup, meskipun hanya untuk sekedar sesuap nasi. 

Ki Sukirah puluhan tahun silam memang termasuk 

orang yang cukup berada dan terpandang di desanya. 

Namun nasib hidupnya benar benar bagai roda pedati yang 

berputar. Nasib tragis menimpa dirinya, dia jatuh miskin 

setelah hartanya dirampas oleh Wira Perakin dan orang-

orangnya. Dia tak punya daya untuk melawan. Rumahnya 

kini dijadikan tempat tinggal Wira Perakin, dan terpaksa Ki 

Sukirah dan keluarganya menempati gubuk reot yang 

dulunya ditempati Dimas dan kakak perempuannya. 

Mengingat kejadian itu, hati Nyi Sukirah kembali terasa 

remuk redam. Ingin rasanya dia berbuat yang sama seperti 

yang diinginkan anaknya, mati meninggalkan dunia yang 

begitu kejam menderanya. Dan itu memang kesalahan 

suaminya, Ki Sukirah kalah main judi dengan Wira Perakin, 

terus kalah dan kalah, hingga kemiskinan kini setia


menemani kehidupannya. Dan kini keganasan siap 

menerkam mereka, keangkaramurkaan Wira Perakin atas 

penolakan pinangannya pada Wulan.... 

*** 

Sepanjang malam yang larut hingga menjelang dini 

hari, tak sekejap pun Wulan bisa memejamkan matanya. 

Seperti ada kekuatan dan dorongan yang menggerakkan 

hatinya, manakala benaknya terisi oleh bayangan Dimas, 

kekasih hatinya. Ya, kekuatan dan dorongan untuk lari dari 

kenyataan yang tak berapa lama lagi akan dihadapinya, 

menjadi istri Wira Perakin. 

Tepat ketika terdengar oleh telinganya suara ayam 

jantan berkokok, Wulan merangkak turun dari pem-

baringan. Sebentar dia duduk di tepi pembaringan, ke-

mudian melangkah turun mendekati lemari kayu. Pelan-

pelan Wulan membuka lemari pakaiannya, lalu mengeluar-

kan beberapa potong pakaian, dan mem-buntalnya dengan 

kain. Hatinya sudah bulat, dia harus meninggalkan tanah 

kelahlrannya, meninggalkan kedua orang tua yang teramat 

dicintainya! 

Pelan-pelan Wulan melangkah ke luar dari kamarnya. 

Buntalan pakaian dan sedikit bekal tersandang di bahunya. 

Dia terus melangkah dan berhenti di depan kamar ibunya. 

Wulan sejenak terpaku di depan pintu kamar itu. 

"Maafkan Wulan, Bu. Terpaksa Wulan meninggalkan 

Ibu," bisiknya pelan. 

Gadis itu menempelkan tangannya pada daun pintu, 

kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Udara 

dingin berseiimut kabut menyongsong tubuh gadis ramping 

itu, begitu kakinya menjejak tanah di luar rumah. Dengan 

kebulatan hatinya, Wulan berjalan cepat-cepat meninggal-

kan rumahnya. 

Sebentar dia berhenta dan menoleh ke belakang, 

kemudian terus beriari ke arah Utara, ke arah mana dulu 

kekasihnya pergi. Pergi meninggalkan dirinya untuk mem


balaskan kematian kakaknya. 

Kegelapan malam masih menyelimuti sekitarnya. 

Matahari belum lagi menampakkan diri. Wulan melangkah 

pelan begitu sampai di tepi hutan yang meng hadang di 

depan. Kakinya bergetar begitu melangkah memasuki 

hutan yang lebat dan terselimuti kabut tebal. 

"Grrr...!" 

"Akh...!" Wulan terpekik ketika tiba-tiba terdengar suara 

menggeram keras. 

Gadis itu berdiri terpaku. Kedua matanya membelalak 

lebar menembus kegelapan malam di pagi buta ini. 

Seluruh tubuhnya gemetaran bersimbah peluh. Suara 

menggeram itu semakin keras dan jelas, seakan-akan 

begitu dekat dengan dirinya. 

"Oh!" Wulan semakin ketakutan begitu dari semak 

belukar terlihat sepasang bola mata bersinar bergerak 

maju ke arahnya. 

Semakin lama semakin jelas terlihat. Dua bola mata 

yang bersinar itu ternyata sepasang mata seekor harimau 

besar! Binatang buas itu menggeram beberapa kali, 

membuat Wulan semakin lemas gemetaran. Harimau itu 

mendekam, tapi sepasang bola matanya tetap menatap 

Wulan yang semakin lemas ketakutan. 

Wulan menguatkan hatinya untuk melangkah mundur, 

tapi raja hutan itu menggeram bangun melihat calon 

mangsanya bergerak. Lagi-lagi gadis itu memekik tertahan. 

Kedua lututnya terasa lemas tak bisa digerakkan. Keringat 

dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Wulan sudah 

pasrah akan apa yang terjadi pada dirinya. 

"Auuummm...!" Harimau itu mengaum dahsyat. 

"Tolooong...!" jerit Wulan melengking. "Tolooong...," 

Wulan merasakan sekujur tubuhnya mengeluarkan 

keringat dingin. Dia benar-benar takut melihat harimau itu 

berjalan menghampirinya. Lalu.... 

Binatang buas itu benar-benar melompat ke arah 

Wulan yang sudah sangat ketakutan! Dan... gadis itu ter-

jatuh lemas sebelum sang raja rimba mencapai tubuh


nya.... 

Bug! 

Sebuah baru sebesar kepala bayi menimpa kepala 

harimau, tepat ketika cakarnya nyaris merobek kulit tubuh 

Wulan yang tergeletak pingsan! Si raja rimba itu 

menggeram sesaat, lalu tubuhnya terjajar ke samping, dan 

secepat kilat sesosok bayangan putih berkeiebat 

menyambar tubuh Wulan. 

"Grrr...!" Harimau itu menggeram keras. 

***


EMPAT


Sinar matahari yang menyeruak masuk melalui pintu yang 

tak tertutup rapat itu menerpa wajahnya. Kehangatan yang 

dia rasa kan mulai membangunkan kesadarannya dari 

pingsan yang cukup panjang. Wulan pelahan-lahan mem-

buka matanya, dan dia begitu terkejut menyadari 

keberadaannya di tempat asing yang belum pernah dia 

kenal sama sekali. 

Pikiran Wulan mulai meraba-raba. Dia mulai teringat 

kejadian yang terakhir kali dialaminya, dan tahu-tahu dia 

sudah berada di tempat ini Sedikit demi sedikit gadis itu 

beringsut bangun, dan duduk di tepi balai-balai bambu itu. 

Sepasang matanya menangkap buntalan kain yang dibawa-

nya dari rumah. Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya 

diliputi tanda tanya, siapa gerangan orang yang telah 

menyelamatkan nyawanya dan membawanya kemari. 

Belum lagi dia sempat menduga duga, pintu bilik yang 

tak tertutup rapat itu pelahan-lahan terkuak. Wulan 

beringsut ke sudut. Tangannya mendekap buntalan berisi 

kain dan sedikit bekalnya Pintu bilik itu semakin terbuka 

lebar. Dan di ambang pintu itu berdiri seorang lelaki muda 

dan tampan dengan pakaiannya serba putih dan ketat, 

hingga postur tubuhnya yang tegap dan kekar begitu 

mudah dikenali oleh Wulan. 

"Kang...!" desis Wulan begitu mengenali laki-laki itu, 

Wulan segera melompat dan menubruk pemuda 

tampan itu. Air matanya seketika tumpah di dada lelaki 

muda itu, yang tak lain adalah Dimas. Pemuda tampan itu 

hanya membelai-belai rambut kekasihhnya. Beberapa saat 

lamanya mereka hanya saling perpelukan, diselingi oleh 

isak tangis sang gadis. 

Dimas melepaskan pelukan gadis itu, dan membawa-

nya duduk di tepi pembaringan. Sejenak mereka hanya 

saling pandang. Dengan lembut Dimas mengusap air mata


di pipi yang halus kemerahan itu Wulan membiarkan saja 

jari-jemari kekasihnya menghapus air matanya. 

"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa tidak pulang 

pulang?" tanya Wulan lirih suaranya. 

"Maafkan aku, Wulan. Bukan aku tak rindu padamu, 

tapi pekerjaanku belum selesai," sahut Dimas lembut 

"Aku tidak tahan lagi, Kakang. Aku terpaksa kabur dari 

rumah, aku ingin bersamamu," rintih Wulan kembali ter-

isak. 

"Sudahlah sekarang kau sudah aman bersamaku. Kita 

bisa hidup damai dan tenteram di ani," hibur Dimas tetap 

lembut 

Secercah senyum kini tersungging di bibir gadis itu. 

Dimas membalasnya dengan manis pula. Pelahan-lahan 

wajah mereka yang saling beradu pandang itu semakin 

mendekat, hingga desah napas Dimas menerpa hangat di 

seputar wajah Wulan. Kedua pasang mata mereka saling 

bertatapan dengan mesra 

"Wulan...," desah Dimas bergetar. 

"Kakang...!" 

Pelan dan lembut sekali Dimas menempelkan bibimya 

ke bibir gadis itu yang terbuka merekah. Mata Wulan ter-

pejam merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuh 

dan urat syarafnya. Tangannya melingkar di leher Dimas, 

dan menekannya kuat-kuat, hingga bibir mereka bersatu 

dalam gairah yang semakin menggelegak. 

Tak ada lagi kata kata yang terucap. Tak ada isak 

tangis keharuan, yang ada kini hanyalah rasa cinta dan 

kerinduan yang menyatu dalam daya asmara yang semakin 

memburu. Wulan merintih merasakan kenikmatan yang 

membawanya melayang layang terbang mengarungi lautan 

asmara. Mata gadis itu terbuka dan tertutup, menandakan 

hasrat birahinya yang sangat mendidih. 

"Kakang...!" tiba-tiba Wulan tersentak begitu 

merasakan jari-jari tangan Dimas menyentuh bagian dari 

tubuhnya yang sangat peka. 

Seketika itu juga Wulan menyentakkan tubuh Dimas.


Gadis itu begitu terkejut menyadari hampir seluruh 

pakaiannya terlepas. Bergegas gadis itu membereskan 

pakaiannya yang sudah tak karuan dan nyaris membuatnya 

telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. 

"Apa yang kau lakukan?" tanya Wulan bergetar. 

"Wulan..., aku mencintaimu," bisik Dimas seraya men-

dekat 

"Tapi...," suara Wulan tersekat di tenggorokan. 

"Kau mencintaiku juga, kan?" 

Wulan tidak bisa menjawab. Tak mungkin dia akan 

pergi dari rumah dan sampai ke tempat ini kalau dia tak 

mencintainya. Tapi apakah yang barusan diinginkan oleh 

Dimas itu ukuran dari perasaan cinta dan kasih sayangnya. 

Tidak, bisiknya dalam hati. Ia tak mau melakukan hal ter-

larang itu sebelum mereka terikat resmi menjadi suami 

istri. Wulan tak ingin penderitaan hidupnya terus ber-

kepanjangan, hanya karena menuruti nafsu birahi sesaat. 

"Aku mencintaimu, Wulan. Aku berjanji, kalau tekadku 

sudah tercapai, aku pasti akan menikahimu," Dimas 

berucap lembut. 

"Kakang...," suara Wulan kembali tersekat di teng-

gorokan. 

"Baiklah...," desah Dimas mengalah. 

Wulan hanya memandangi Dimas yang mengenakan 

pakaiannya kembali, kemudian pemuda itu ke luar kamar 

tanpa berkata apa-apa lagi. Wulan duduk tepekur di balai-

balai bambu. Dia sadar penolakannya telah mengecewa-

kan hati Dimas. 

"Ah.., Dimas..., maafkan aku," desah Wulan lirih. 

Pelahan-lahan pintu gubuk kecil itu terbuka. Tampak 

Wulan melangkah ke luar setengah menundukkan kepala-

nya. Sebentar dia mengamati keadaan sekitarnya, dan dia 

agak terkejut begitu menyadari dirinya berada di tengah-

tengah hutan lebat dengan satu gubuk kecil yang ter-

sembunyi di antara lebatnya pepo-honan. 

Seekor kera hitam bergelantungan dari dahan pohon 

yang satu ke dahan lainnya. Suaranya memecah kesunyian


pagi di sekitar gubuk kecil itu. Bersama burung-burung 

yang berkicau saling bersahutan. 

"Ah, seandainya aku bisa bebas seperti mereka...," 

desah Wulan lirih. 

"Kau sudah bebas, Wulan," terdengar suara lembut dari 

belakang. 

"Oh!" Wulan tersentak kaget. Buru-buru dia mem-

balikkan tubuhnya. 

Dimas tampak duduk di akar pohon yang menyembul 

ke luar dari dalam tanah. Tangannya sibuk membuat anak 

panah. Beberapa anak panah menggeletak di sekitamya. 

Dan sebuah busur besar tersandar di pohon. Wulan meng-

hampiri dan duduk di samping pemuda itu. 

"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak bermaksud mem-

buatmu kecewa," kata Wulan pelan. 

"Ah, sudahlah. Lupakan soal itu," sahut Dimas tenang. 

Sesaat mereka terdiam, dan hanya saling berpan-

dangan dengan sinar mata penuh cinta. 

"Kenapa kau meninggalkan orang tuamu?" tanya 

Dimas. 

"Terpaksa," sahut Wulan. Kepalanya tertunduk, dan ada 

kesenduan membayang di wajahnya. Dimas tahu itu. 

"Ceritakan, Wulan. Ada apa?!" desak Dimas. Tangan 

kanan pemuda itu memegangi bahu Wulan. 

"Kau jangan marah, Kakang.... Aku terpaksa meninggal-

kan mereka, karena aku tak mau menjadi istri si Tua 

Bangka itu!" Wulan menghentikan ucapan-nya, air matanya 

yang bening bergayut di sudut matanya. "Dan ayahku, 

Kakang... dia menerima akibat dari sikapku. Kaki tangan 

Wira Perakin telah menahannya," Wulan mencoba 

menahan tangisnya, tapi sia-sia. Kecemasan akan nasib 

ayah dan ibunya sangat mem belenggu babnnya. 

Dimas menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. 

Hatinya benar-benar ikut tercabik oleh penderitaan yang 

dialami Wulan. 

"Wira Perakin...," gumam Dimas lirih, tangannya 

membelai-belai rambut gadis itu. "Bagaimana dengan


ayahmu, Wulan? Maksudmu beliau...." 

"Tidak, Kakang," sahut Wulan. "Wira Perakin tak 

mungkin membunuh Ayah, selagi masih ada yang di-

harapkannya.... Tapi sekarang... aku tak tahu, Kakang!" 

"Kau tunggu saja di sini, Wulan," kata Dimas seraya 

bangkit melepaskan pelukannya. "Kakang mau ke mana?" 

"Aku akan membawa ayah dan ibumu ke sini. Aku tidak 

akan lama, Wulan, kau tak usah cemas," sahut Dimas 

seraya menjumput anak-anak panah dan memasukkannya 

ke dalam kantung kulit 

Dimas mengikatkan kantung penuh anak panah itu di 

pinggang, kemudian dia mengambil pedang dan 

menyandangkannya di punggung. Tangan kirinya meng-

genggam busur besar yang sedikit terukir di bagian tengah-

nya. Wulan berdiri dan menghadang langkah pemuda itu 

dengan wajah penuh kecemasan. 

"Kakang...," serak dan lirih suara Wulan. 

"Kau jangan pergi ke mana-mana Wulan. Tempat ini 

tidak ada yang tahu selain aku," pesan Dimas. 

Sesaat mereka safing tatap, kemudian Dimas 

mengecup lembut bibir gadis Itu. Dia berbalik, langsung 

melangkah cepat tanpa menoleh lagi. Wulan memandangi 

tanpa berkedip, sampai punggung lelaki pujaannya itu 

hilang dari pandangan. 

*** 

Nyi Sukirah langsung terlonjak terbangun dari tidurnya. 

Suara pintu didobrak sangat mengagetkannya. Pintu kamar 

itu hancur berantakan. Nyi Sukirah menjerit tertahan 

melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di ambang 

pintu yang hancur Di belakang laki-laki yang bertampang 

seram itu, berdiri beberapa orang berpakaian seragam 

kuning keemasan seperti prajurit kerajaan. 

Nyi Sukirah tahu, orang yang berdiri congkak di ambang 

pintu itu adalah Kebo Rimang, tangan kanan Wira Perakin. 

Ya, orang itulah yang turut merampas rumahnya dulu


bersama Wira Perakin. Dan kini, sejarah hidupnya kembali 

terulang. Orang yang terkenal kejam itu kini siap meng-

hancurkan hidupnya kembali 

"Seret perempuan ini ke luar! Cepat!" perintah Kebo 

Rimang. Suaranya terdengar keras dan kasar. Kedua 

matanya menatap tajam dan memerah. 

Dua orang anak buahnya langsung bergerak maju ke 

dalam kamar yang pintunya jebol berantakan. Tanpa 

banyak bicara lagi, dua orang itu langsung menyeret Nyi 

Sukirah. 

"Akh...!" Nyi Sukirah memekik keras begitu tubuhnya 

dicampakkan. 

Perempuan tua itu jatuh bergulingan di tanah. Kulit 

tangannya yang keriput, tergores mengeluarkan darah. Nyi 

Sukirah berusaha bangkit berdiri, tapi salah seorang yang 

menyeretnya segera menendang keras. Kembali tubuh 

perempuan tua itu bergulingan di tanah. Dadanya terasa 

sesak sekali dan rintihannya terdengar memelas 

"Di mana anak gadismu. Perempuan Tua?" tanya Kebo 

Rimang datar. 

Nyi Sukirah tidak menyahut, hanya suara rintihannya 

yang menyayat dan terdengar memilukan. Beberapa kepala 

bersembulan ke luar dari rumah rumah di sekitar rumah 

Nyi Sukirah. Tidak ada seorang pun yang berani ke luar 

rumah, apalagi mencampuri urusan ini. Mereka semua 

hanya bisa mengurut dada, iba melihat nasib keluarga Ki 

Sukirah. 

"Di mana anakmu, Nyi Sukirah?" Kebo Rimang meng-

ulangi lagi pertanyaannya. 

Tetap saja Nyi Sukirah tidak menjawab. Dia malah 

membalas tajam tatapan mata Kebo Rimang. Dia seperti 

mendapatkan kekuatan bathin, tak sedikit pun ada rasa 

gentar di hati perempuan ini. 

"Setan!" geram Kebo Rimang. "Geledah rumahnya!" 

Lima orang pengikutnya segera beranjak masuk ke 

dalam rumah itu. Tak lama kemudian mereka sudah ke 

luar lagi. Salah seorang mendekati Kebo Rimang yang


berdiri angker memandang tajam pada Nyi Sukirah. 

"Tidak ada, Gusti," lapor orang itu. 

"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang gusar. "Bakar...!" 

perintah Kebo Rimang kalap. 

"Oh, jangaan..!" sentak Nyi Sukirah terkejut. 

Tapi permintaan itu sama sekali tidak digubris. Salah 

seorang anak buah Kebo Rimang sudah mencabut obor 

yang tertancap di bang penyangga beranda. Kemudian 

melemparkannya ke atas atap, api langsung berkobar 

besar melahap atap rumah yang terbuat dari daun rumbia 

kering itu. Nyi Sukirah merintih dan terus meratap. Dia 

hanya bisa melihat api yang terus melahap rumah tempat 

tinggal satu-satunya itu. 

Kejam! Kalian semua kejam! Binatang!" geram Nyi 

Sukirah di sela isak tangisnya. 

"Kau manusia tidak tahu diuntung, Perempuan Tua! 

Gusti Wira Perakin sudah terlaiu baik padamu. Membiar-

kan kau, suamimu dan anakmu hidup. Tapi masih juga kau 

mau bertingkah macam-macam," ujar Kebo Rimang dingin. 

"Phuih! Kalian anjing-anjing keparat!" 

"Kurang ajar...!" 

Plak! 

"Akh!" 

Nyi Sukirah terpelanting keras ke tanah begitu tangan 

kanan Kebo Rimang menghajar pipinya. Perempuan tua itu 

jatuh pingsan. Tamparan Kebo Rimang begitu keras. 

"Ikat perempuan tua itu! Seret dengan kuda!" perintah 

Kebo Rimang kalap. 

Salah seorang segera maju mendekati Nyi Sukirah yang 

tergeletak pingsan. Orang itu mengeluarkan tambang dari 

balik bajunya, kemudian mengikat tangan Nyi Sukirah, lalu 

melemparkan satu ujung tambang itu pada temannya yang 

menunggang kuda. 

Kebo Rimang melompat tangkas ke atas punggung 

kuda hitam tunggangannya. Orang-orang Wira Perakin yang 

jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang itu, segera 

berlompatan naik ke punggung kudanya ma sing-masing.

"Jalan!" perintah Kebo Rimang. 

Baru saja mereka menggebah kuda, tiba-tiba. 

Wuuut, tras...! 

Tambang yang mengikat tangan Nyi Sukirah putus. 

Sebatang anak panah tertancap di tanah, tak jauh dari 

tubuh perempuan tua yang masih pingsan dengan kedua 

tangannya terikat itu. Kebo Rimang dan sepuluh orang 

pengikutnya terkejut setengah mati. Bergegas mereka ber-

lompatan turun. 

Tampak seorang pemuda tampan berbaju pubh ketat 

berdiri tegak. Busur besar dengan anak panah tergenggam 

di tangannya. Dan tiba-tiba saja dia menarik tali busur itu, 

dan.... 

Wuuut! 

"Aaakh...!" salah seorang menjerit keras. 

Anak panah yang dilepaskan Dimas menancap tepat 

menembus leher orang itu. Tubuhnya seketika terjajar ke 

belakang, lalu ambruk mencium tanah Belum lagi hilang 

rasa terkejut mereka, Dimas sudah melepaskan lagi tiga 

anak panah secara beruntun dan cepat. Tiga orang 

langsung menyusul temannya, bergulingan jatuh ber-

simbah darah 

"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang. Secepat kilat laki-

laki bertubuh bnggi besar dengan luka codet di wajahnya 

itu, melompat begitu Dimas kembali menghujaninya 

dengan anak-anak panah. Kebo Rimang berkelebatan 

cepat menyambar anak-anak panah yang datangnya bagai-

kan hujan itu. 

"Phuih!" Kebo Rimang menyemburkan ludahnya sengit 

Laki-laki kasar itu berdiri tegak dengan sikap meremeh-

kan. Puluhan batang anak panah tergenggam di kedua 

tangannya. Sedangkan kantung anak panah di pinggang 

Dimas sudah kosong. Pemuda itu membuang busumya. 

Kagum juga dia pada Kebo Rimang yang begitu tangkas 

bisa menangkap semua anak panah yang dilepaskannya 

Kebo Rimang menjuiurkan kedua tangannya ke depan, 

lalu meremas anak panah di tangannya hingga hancur.


Semua mata memandang kagum pada ketinggian ilmu 

tenaga dalam yang dimiliki Kebo Rimang. 

"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau mencampuri 

urusanku!" dengus Kebo Rimang menggeram. 

"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Aku datang untuk 

membasmi anjing-anjing Wira Perakin," balas Dimas tak 

kalah sengitnya. 

"Setan! Apa kau sudah punya nyawa pengganti, heh? 

Berani-beraninya sesumbar di depanku!" 

"Nyawaku cuma satu, tapi aku mampu menyumbat 

kesombonganmu!" 

"Anjing geladak! Hiyaaa...!" Hup! 

Kebo Rimang segera membuka jurus jurusnya. Dimas 

melirik enam orang yang sudah menghunus pedangnya 

masing masing Dari bentuk senjata mereka yang beraneka 

ragam, bisa diketahui kalau mereka bukanlah prajurit 

kerajaan. Mereka orang-orang rimba persilatan yang 

mengenakan seragam seperti prajurit. 

Kebo Rimang melompat menerjang Dimas. Per-

tempuran tidak bisa lagi dihindarkan. Dua orang yang 

masing masing memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu 

saling menyerang menggunakan jurus jurus maut mereka 

yang berbahaya. 

Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari sepuluh 

jurus telah mereka kerahkan. Namun belum terlihat siapa 

yang lebih unggul atau terdesak. Mereka kelihatan sama-

sama tangguh dengan gerakan jurus-jurusnya yang cepat 

Enam orang lainnya, dan orang-orang yang mengintip 

dari celah-celah rumah mereka di sekitarnya, seolah 

terpaku menyaksikan pertarungan itu. 

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Kebo Rimang berteriak nya-ring. 

Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, dan pada 

waktu yang bersamaan, Dimas juga berbuat yang sama. 

Keduanya telah mencabut senjata masing masing. Kini di 

tangan Dimas tergenggam sebilah pedang yang panjang 

dan tipis keperakan. Sedang lawannya menggenggam dua 

buah tongkat besi kecil bercabang dua. Tongkat itu


berwama kuning keemasan. 

Trang, trang 

Dua senjata beradu keras di udara. Dua tubuh di 

angkasa itu sama-sama terpental. Tubuh Kebo Rimang 

jatuh berdebum keras di tanah, lalu bergulingan sejauh tiga 

ujung tombak. Dimas juga mengalami nasib yang sama, 

tapi dia masih sanggup berdiri kembali dengan cepat 

Sementara Kebo Rimang berusaha bangkit, enam 

orang pengikutnya langsung berlompatan mengurung 

Dimas. Senjata mereka berkelebatan di depan dada. 

Dimas memandangi enam orang itu dengan mata merah 

menahan geram. 

"Jaring berantai!" teriak Kebo Rimang tiba-tiba. 

Enam orang itu langsung memasukkan senjata masing 

masing ke dalam tempatnya Kemudian dengan cepat 

mereka mengeluarkan tambang bersimpul dari bafik baju 

masing-masing. Mereka memutar-mutar tambang ber-

simpul itu di atas kepala. Kaki-kaki mereka bergerak lincah 

mengitari tubuh Dimas. 

Dimas jadi kebingungan juga menghadapi enam orang 

yang memutar-mutarkan tambang bersimpul mengelilingi 

dirinya. Kakinya segera bergerak lincah mengikuti arah 

putaran enam orang itu. Kedua matanya tajam mengawasi 

setiap gerakan yang dilakukan enam orang lawan lawannya 

Dan tiba-tiba salah seorang melemparkan tambang ke 

atas, jauh di atas kepalanya. 

Hampir bersamaan waktunya, seorang lagi melempar-

kan tambangnya, lalu disusul berganban oleh yang lain. 

Dimas benar-benar tak tahu maksudnya. Dia terkejut 

begitu tiba-tiba enam orang itu serempak berlompatan ke 

udara. 

Tap, tap...! 

Enam orang berseragam bagai prajurit itu menangkap 

ujung uung tambang yang saling teriempar ke atas. Lalu 

dengan gerakan manis dan cepat sekali, mereka meluruk 

turun. Dimas yang belum menyadari tidak dapat berbuat 

apa-apa. sekebka itu juga tubuhnya terjerat enam utas



tambang. 

"Hih!" Dimas berkutat berusaha melepaskan diri dari 

jeratan yang membelit tubuhnya. 

Tapi, keenam orang itu lebih cepat lagi bergerak 

memutar mengelilingi. Dimas benar-benar tak berdaya lagi 

sekarang Pemuda itu jatuh berdebum ke tanah dengan 

seluruh tubuhnya terikat tambang. Pedangnya ikut terikat 

menempel di paha kakinya. Keenam orang berseragam 

kuning keemasan itu, terus memegangi ujung-ujung 

tambang. 

"Ha... ha... ha...!" Kebo Rimang tertawa terbahak-bahak. 

Namun seketika tawanya terhenb sebuah bayang-an 

pubh lain tiba-tiba bergerak cepat membabat putus 

tambang-tambang yang membelit tubuh Dimas. Belum lagi 

Kebo Rimang hilang rasa terkejutnya, muncul lagi satu 

bayangan biru menghajar enam orang berseragam itu. 

Jeritan kematian terdengar melengking bersahutan. 

Tubuh enam orang yang memegangi tambang itu, langsung 

bergelimpangan di tanah. Sebentar mereka menggelepar, 

lalu diam tak bemyawa lagi. Darah segar membanjiri tanah, 

menyebarkan aroma anyir menusuk hidung. 

Kini di depan Kebo Rimang berdiri dua orang anak 

muda. Seorang laki-laki berbaju rompi pubh, dan seorang 

perempuan cantik mengenakan pakaian biru ketat Mereka 

tak lain adalah Rangga dan Pandan Wangi, dua pendekar 

muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas 

Maut. Pandan Wangi mengebut-ngebutkan kipas baja 

putihnya di depan dada. Pandangan matanya tajam 

menatap Kebo Rimang. 

"Monyet busuk! Siapa kalian?" geram Kebo Rimang 

membentak. 

Mata Kebo Rimang tak lepas memandang Pendekar 

Rajawali Sakti. Dia jadi teringat dengan cerita Jaran 

Kedung. Semua ciri-ciri yang diceritakannya ada pada 

orang di hadapannya. 

"Ooo..., rupanya kau yang membunuh tujuh orang anak 

buahku kemarin?" dengus Kebo Rimang tetap memandang


tajam pada Rangga. 

"Benar! Dan hari ini giliranmu yang mampus!" sahut 

Rangga tak kalah gertak. 

"Setan alas! Rupanya kau sudah bosan hidup, hingga 

berani mengusik macan, heh?!" 

"Macan ompong...!" ejek Pandan Wangi sengit. 

Kebo Rimang mendelik lebar menerima ejekan itu. 

Matanya menyipit. Kini di hadapannya berdiri tiga orang 

anak muda menantangnya. Dimas berdiri di samping 

Pendekar Rajawali Sakti. Di tangan kanannya tergenggam 

sebuah pedang. 

Kebo Rimang mulai surut nyalinya. Dia telah jelas-jelas 

melihat kalau ketiga orang anak muda itu memiliki tingkat 

kepandaian yang cukup tinggi, dan tak mungkin baginya 

untuk bisa menandingi. 

Tanpa malu-malu lagi, Kebo Rimang melompat ke atas 

punggung kudanya. Kuda tinggi besar itu bagaikan 

sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, berlari 

cepat hingga dalam sekejap saja telah hilang dari 

pandangan. 

"Pengecut!" dengus Dimas menggeram. 

"Sebaiknya kau urus saja orang tuamu," kata Rangga 

mengingatkan. 

Dimas tersentak, buru-buru ia menghampiri Nyi Sukirah 

yang masih tergolek pingsan. Pemuda kekasih Wulan itu 

sekilas menatap rumah yang kini tinggal puing-puing 

membara mengepulkan asap tipis. Dimas lalu membopong 

tubuh perempuan tua itu, dan membawanya ke suatu 

tempat yang teduh Dimas memeriksa keadaannya. Dia 

menoleh pada Rangga dan Pandan Wangi yang juga sudah 

berlutut di samping tubuh Nyi Sukirah. 

"Bagaimana?" tanya Pandan Wangi. 

"Hanya pingsan, tidak ada luka yang serius," sahut 

Dimas. 

Pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi. 

Dia agak berkerut juga keningnya, sama sekali dia belum 

pernah melihat dua orang yang telah menolongnya ini.


Rangga mengerti arti pandangan Dimas, dia tersenyum dan 

menepuk pundak pemuda itu dengan sikap bersahabat 

"Terima kasih atas pertolongan kalian," ucap Dimas 

membalas senyuman Rangga. 

"Ah, lupakan saja," sahut Rangga. 

***


LIMA


Apa yang menjadi firasatnya selama dua hari ini, sekarang 

menjadi kenyataan. Orang-orang Wira Perakin telah mem-

bumihanguskan rumahnya dan tega pula menyiksa istrinya. 

Semua itu dia ketahui dari penjaga kamar tahanan di mana 

kini dia berada, yang terus mencoba menjatuhkan mental-

nya dan memancing agar dia mau menunjukkan di mana 

anak gadisnya kini berada. 

Ki Sukirah menarik napas panjang, lalu berjalan 

mondar-mandir di kamar tahanannya yang pengap dan 

sempit. Dia memandangi kamar kecil yang terbuat dari 

dinding baru itu Hanya lubang kecil pada pintu, dan dua 

orang penjaga bersenjata selalu berjaga-jaga di depan 

pintu. Tidak ada sedikit pun celah untuk meloloskan diri. 

Pintu kamar itu terbuka pelahan-lahan Ki Sukirah ber-

diri tegak, menanti siapa yang datang. Dia sudah pasrah 

dengan apa yang akan teijadi pada dirinya, walau harus 

mengorbankan nyawa sekalipun! Akhir-akhir ini dia baru 

sadar, bahwa putrinya berada di jalan yang benar! Dan 

memang lebih baik mati daripada harus menyerahkan 

kehormatan pada si Tua bangka itu! Pintu kamar semakin 

terbuka lebar. Wira Perakin melangkah masuk, diikuti oleh 

Arya Mahesa dan Cakala Pati. Sedang dua orang lainnya, 

Antasuro dan Galang Gembul menunggu di luar pintu ber 

sama dua orang penjaga bersenjata tombak. 

"Sukirah, aku masih bisa bersabar padamu. Kuberi kau 

kesempatan untuk hidup sekali lagi," kata Wira Perakin 

datar suaranya. 

"Hm...," Ki Sukirah cuma bergumam sambil menarik 

napas panjang. Dia sudah bisa menduga apa yang akan 

dikatakan Wira Perakin padanya. Dia tahu maksud ter-

selubung dari kesempatan yang diberikan saat ini. 

"Hari ini juga kau kubebaskan, tapi kau harus mencari

di mana anak dan istrimu berada. Juga tiga anak muda 

yang telah membunuh orang-orangku," lanjut Wira Perakin. 

Ki Sukirah bersyukur dalam hati, karena anak dan istri-

nya masih selamat. Hanya saja dia tidak mengerti tentang 

tiga anak muda yang barusan disebutkan Wira Perakin. 

Tapi bagaimanapun dia merasa lega, hatinya ter-senyum 

penuh kemenangan. 

"Penjaga...!" panggil Wira Perakin. 

"Hamba, Gusti," seorang penjaga segera meng-

hamplrinya. 

"Buka rantai itu!" 

"Hamba laksanakan, Gusti." 

Penjaga itu segera melaksanakan perintah majik-

annya. Dia membuka rantai rantai yang mengikat tangan 

dan kaki Ki Sukirah. Setelah itu dia kembali ke luar. Ki 

Sukirah mengurut-urut pergelangan tangannya yang terasa 

pegal oleh rantai yang membelitnya selama bga hari ini. 

"Kau bebas sekarang, Sukirah. Tapi ingat, kau harus 

menemukan istri dan anakmu. Bawa mereka padaku. Juga 

tiga anak muda yang telah berani melawan kekuasaanku!" 

tegas kata-kata yang keluar dari mulut Wira Perakin. 

Ki Sukirah tidak menyahut, dia hanya menganggukkan 

kepalanya. Dia tahu benar arti kebebasan yang akan 

dinikmatinya. Kebebasan yang akan menyebabkan nyawa-

nya melayang jika tak menemukan dan menyerahkan anak 

gadisnya, juga tiga anak muda yang dia sendiri merasa tak 

mengenalnya. Ki Sukirah hanya pasrah, tapi hatinya masih 

berharap, semoga tiga anak muda yang disebutkan tadi 

bisa menjadi dewa penolong bagi keluarganya. 

"Nah! Kau boleh keluar sekarang," kata Wira Perakin 

lagi. 

Ki Sukirah melangkahkan kakinya keluar dari kamar 

tahanan yang pengap dan sempit itu. Kakinya terus terayun 

tanpa menoleh lagi. Dua orang penjaga mengawalnya 

sampai di pintu gerbang. 

"Kenapa kau bebaskan orang itu, Kakang Wira 

Perakin?" tanya Cakala Pati.


"Itu cuma pancingan saja," sahut Wira Perakin tenang. 

"Maksudmu?" tanya Antasuro yang sudah mendekat, 

bersama Galang Gembul. 

"Aku berharap tiga pendekar yang membantu keluarga 

Sukirah muncul, dan mengira orang tua itu masih berada di 

sini." 

"Kalau mereka tahu Sukirah sudah dibebaskan?" 

celetuk Cakala Pab lagi 

"Kita bisa menguntitnya, ke mana mereka membawa 

Sukirah pergi. Aku yakin, mereka pasti membawa ke 

tempat persembunyian anak dan istrinya." 

"Kalau begitu, kau harus sebarkan beberapa orang 

untuk mengawasinya," sambung Antasuro yang sudah bisa 

mengerti tujuan Wira Perakin. 

"Semuanya sudah kupikirkan. Setiap langkahnya selalu 

diawasi oleh orang-orangku!" sahut Wira Perakin sombong. 

"Tidak disangka, otakmu cerdas juga, Kakang," puji 

Galang Gembul. 

"He... he... he...," Wira Perakin terkekeh senang. 

"Asal saja kau jangan lupa, Kakang...," kata Galang 

Gembul lagi. 

"Beres, kalau semuanya sudah selesai, kalian ber-

empat pasti bisa ikut menikmati kemulusan tubuh Wulan." 

Lima orang itu lalu tertawa terbahak bahak sambil 

keluar dari pintu kamar tahanan. Otak mereka yang hanya 

diisi oleh kenikmatan duniawi, sudah membayangkan 

kemulusan tubuh Wulan saja. Tubuh yang sudah mereka 

incar berulang kali! 

*** 

Ki Sukirah terus melangkahkan kakinya menyusuri 

jalan berdebu menuju ke rumahnya. Bagi yang melihatnya, 

langkah kaki Ki Sukirah sepertinya langkah yang sia-sia. 

Karena semua orang tahu kalau rumahnya kini tinggal 

reruntuhan puing berdebu. Tapi Ki Sukirah tak peduli, 

sepotong perasaan dan hatinya seperti masih tertinggal di


sana. Dan dia terus melangkahkan kakinya... tak peduli lagi 

dengan ancaman Wira Perakin untuk mencari anak dan 

istnnya. 

Pikiran dan otak tua Ki Sukirah tak menyadari kalau 

dirinya terus diikuti ke mana saja kakinya melangkah. Ki 

Sukirah terus saja melangkah. Dia tertegun melihat rumah-

nya yang tinggal puing puing hitam habis terbakar. Tak ada 

lagi asap yang mengepul, seperti hati dan perasaannya 

yang mati dan tak punya harapan lagi untuk melanjutkan 

perjalanan hidupnya. 

Jauh dari tempat Ki Sukirah berdiri, tampak Rangga 

dan Pandan Wangi sedang memperhatikan laki-laki tua 

yang sedang dirundung malang itu. 

"Kau yakin, laki-laki itu Ki Sukirah?" tanya Pandan 

Wangi. 

"Ya, aku pemah melihatnya sekali. Bahkan sempat 

menolongnya waktu itu," sahut Rangga 

"Aku tidak mengerti, kenapa Wira Perakin membebas-

kannya," gumam Pandan Wangi. 

"Manusia licik seperti Wira Perakin punya seribu satu 

cara untuk memenuhi nafsunya," sahut Rangga pelan. 

Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke 

sekeliling. Dia melihat beberapa orang dengan jarak 

terpisah juga tengah mengawasi Ki Sukirah. Meskipun 

mereka tampak seperti penduduk biasa, namun mata 

gadis itu cukup jeli untuk mengetahui ada senjata ter-

sembul di balik baju mereka. 

"Kau benar, Kakang. Ki Sukirah tidak dilepaskan begitu 

saja," kata Pandan Wangi. 

"Kau melihat mereka juga, Pandan?" 

"Ya, mereka semua bersenjata." 

"Kalau begitu, kau awasi mereka dari sini." 

"Kau mau ke mana?" 

"Memancing mereka." 

Rangga terus melangkah tenang menuju ke arah Ki 

Sukirah yang masih berdiri mematung memandangi puing 

puing rumahnya. Pandan Wangi mengamati sekitar dua


puluh orang yang menyebar di berbagai tempat Tampak 

pula olehnya seorang laki-laki tua mengenakan jubah 

kuning gading turut mengawasi Ki Sukirah. Dari jarak yang 

agak jauh terlihat gambar seekor kala hitam di tangan 

kanannya. 

Sementara itu Rangga semakin dekat dengan Ki 

Sukirah. Kewaspadaannya pun tak pernah lepas pada 

orang-orang yang tengah mengawasinya Rangga berdiri di 

belakang Ki Sukirah, tangannya menepuk lembut pundak 

lelaki tua itu. 

"Oh!" Ki Sukirah terkejut 

"Ssst ," Rangga memberi isyarat untuk bersikap biasa. 

Ki Sukirah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. 

Begitu matanya melihat laki-laki tua berjubah kuning 

gading, langsung dia mengerti isyarat Rangga. Dia kenal 

laki-laki itu, dialah Galang Gembul. Tidak jauh dari Galang 

Gembul, tampak Kebo Rimang dan Demung Pari. 

"Kau dijadikan pancingan oleh mereka, Ki. Sebaiknya 

jalan terus menuju hutan, biar di sana aku membereskan 

mereka," bisik Rangga pelahan. 

"Bagaimana keadaan istri dan anakku?" tanya Ki 

Sukirah. 

"Mereka baik-baik saja," sahut Rangga. 

"Oh, syukurlah," desah Ki Sukirah lega. 

"Mari aku antar kau mencari anak dan istrimu," kata 

Rangga sengaja agak keras, untuk memancing reaksi 

orang-orang yang tengah menguntit. 

"Apakah jauh dari sini?" tanya Ki Sukirah juga dengan 

suara sedikit keras. 

"Cukup jauh juga, mereka di tempat yang aman." 

Ki Sukirah tersenyum lebar, dia melangkah di samping 

Pendekar Rajawali Sakti itu. Perasaannya benar-benar 

tenang sekarang, dia yakin kalau istri dan anaknya dalam 

keadaan selamat dan tenang di tempat yang aman. Dia 

juga tahu kalau Rangga sekarang bukan mengajak ke 

tempat istri dan anaknya berada. 

Pancingan Rangga memang tepat. Orang-orang



suruhan Wira Perakin mengikuti ke mana Ki Sukirah dan 

Rangga pergi. Sedangkan Pandan Wangi juga mulai 

mengikuti dari jarak yang cukup jauh. 

Selama dalam perjalanan, Rangga terus berbicara 

dengan suara agak keras. Ki Sukirah menanggapi semua 

pembicaraan Pendekar Rajawali Sakn ini dengan mimik 

serius. Padahal pembicaraan itu untuk memancing mereka 

yang terus mengikuti. Rangga tersenyum dalam hati karena 

akalnya cukup mengena tanpa hambatan sedikit pua 

*** 

Matahari sudah condong ke Barat ketika Rangga dan Ki 

Sukirah memasuki hutan. Mereka terus berjalan semakin 

masuk ke dalam hutan yang lebat. Hingga pada saat yang 

tepat, secepat kilat Rangga menyambar tubuh Ki Sukirah. 

Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak, 

sehingga tahu tahu sudah lenyap dari pandangan mata 

para penguntitnya. 

Melihat buruannya hilang, Galang Gembul langsung 

melompat cepat. Kebo Rimang dan Demung Pari juga 

berbuat sama Mereka benar-benar kaget, karena Rangga 

dan Ki Sukirah menghilang tanpa seorang pun di antara 

mereka melihatnya! 

"Kurang ajar! Ke mana mereka pergi?" geram Galang 

Gembul. 

Sementara itu, sekitar dua puluh orang lainnya sudah 

sampai di tempat Galang Gembul berada. Mereka semua 

juga kebingungan, karena orang yang mereka kuntit men-

dadak hilang tak berbekas. Galang Gembul memberi 

perintah untuk mencari di sekitar tempat mereka berdiri. 

"Jangan-jangan ini cuma jebakan saja, Gusti," kata 

Kebo Rimang menduga-duga 

"Hm...," Galang Gembul menggumam tak jelas. 

"Aku menduga mereka tidak menuju ke tempat yang 

sebenarnya," kata Demung Pari menyambung. 

Galang Gembul tersentak begitu mengedarkan



pandangannya ke sekeliling. Tempat di mana mereka 

berada dikelilingi batu baru yang curam. Segera dia 

menyadari kalau mereka sengaja digiring dan dijebak. 

Mendadak terdengar suara gemuruh. Lalu disusul 

dengan bergetarnya tanah yang mereka pijak. Dan belum 

lagi mereka sempat berpikir, di sekeliling mereka telah ber-

guguran baru batu dari atas tebing. Begitu cepatnya 

kejadian itu berlangsung, hingga Galang Gembul tak 

sempat lagi memberi peringatan. Batu-batu berguguran 

menghujani orang-orang yang berada di bawahnya. 

Jerit kematian menggema saling bersambut dengan 

suara gemuruh batu batu yang meluncur dari atas tebing. 

Galang Gembul berlompatan menghindari batu batu itu. 

Kebo Rimang dan Demung Pari juga tak kalah sibuknya. 

Mereka langsung mengeluarkan senjatanya masing masing 

menghalau setiap batu yang meluncur ke arah mereka. 

Akibatnya sungguh mengerikan Semua pengikut dan 

kaki tangan Wira Perakin tewas mengenaskan. Mayat-

mayat mereka menggeletak mengerikan. Mereka tewas 

dengan kepala dan tubuh yang tertindih batu batu. Tinggal 

Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari yang 

masih bertahan. Kebga orang itu pun tampak kepayahan. 

"Setan...!" Galang Gembul memaki keras. 

Muka laki-laki yang benubah kuning gading itu merah 

padam melihat dua puluh orang-orangnya tewas tanpa 

mampu membalas. Sementara Kebo Rimang dan Demung 

Pari semakin waspada dengan senjata di tangan. Suasana 

di tempat itu mendadak sepi. 

"Keluar kau, Setaaan...!" teriakan Galang Gembul meng-

gema keras. 

'Tidak perlu berteriak-teriak, Kakek Tua! Aku di sini!" 

sahut sebuah suara bernada tenang. 

Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari ter-

sentak kaget. Tahu tahu Rangga sudah berdiri di atas 

sebuah batu besar. Di samping Pendekar Rajawali Sakb 

itu, berdiri Pandan Wangi dengan kipas baja putihnya di 

tangan.


"Dia yang selalu menolong Ki Sukirah, Gusti," ucap 

Kebo Rimang memberitahu. 

"Hm..., jadi kau rupanya yang telah membunuh orang-

orangku, heh!" dengus Galang Gembul. 

"Benar!" sahut Rangga tenang. Nada suaranya 

mengandung tantangan yang menyakitkan. 

"Kurang ajar! Kau sudah bosan hidup rupanya. Anak 

Setan!" geram Galang Gembul sengit 

"Kita lihat saja siapa yang bosan hidup...?" 

"Monyet! Hiyaaa...!" 

Galang Gembul tidak bisa lagi menahan amarahnya. 

Dia langsung melompat menerjang Rangga. Pertarungan 

sengit pun tak bisa dihindari lagi. Rangga melayani 

serangan Galang Gembul dengan jurus-jurus andalannya. 

Sedangkan Galang Gembul sudah menghunus senjatanya 

yang berupa golok besar beruarna hitam pekat 

Wut, wut, wut! 

Galang Gembul semakin bernafsu, setiap serangannya 

dimentahkan di tengah jalan oleh Rangga. Sudah hampir 

seluruh kemampuannya dia kerahkan, tapi belum juga dia 

bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Galang 

Gembul jadi semakin kalap dan merasa dipermainkan, dia 

pun segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang ter-

dahsyat! 

"Hih.. !" Rangga terkesiap juga melihat ilmu itu. 

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan 

aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian andalannya yang 

digunakan terhadap lawan tangguh. Sekejap saja kedua 

tangan Rangga memancarkan cahaya biru menyilaukan 

mata. 

"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga. 

Bersamaan dengan itu, tubuh Galang Gembul me-

lompat cepat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. 

Tangan Rangga terangkat naik, dan menerima kedua 

tangan Galang Gembul yang menjulur ke depan. 

Ledakan keras terdengar begitu kedua tangan itu saling 

beradu Rangga tidak bermain-main lagi, dia langsung


mengerahkan tingkat akhir dan aji 'Cakra Buana Sukma'. 

Tubuh Galang Gembul terpental kencang ke belakang 

begitu kedua tangannya membentur tangan Rangga. 

Sedang Pendekar Rajawali Sakti itu tetap berdiri tegak tak 

bergeming sedikit pun. 

Galang Gembul meluncur deras membentur dinding 

batu cadas dengan keras. Begitu kerasnya, hingga dinding 

batu itu bergetar dan berguguran! Tak ampun lagi, batu 

batu yang berguguran itu menimpa tubuh Galang Gembul, 

hingga seluruh tubuhnya tak ada yang terlihat lagi. Galang 

Gembul tewas seketika 

"Mau lari ke mana kau! Hiyaaa...!" bentak Pandan 

Wangi yang sejak tadi mengawasi Kebo Rimang dan 

Demung Pari. 

Kebo Rimang terkejut setengah mati, buru-buru dia 

mengibaskan pedangnya ke arah bayangan biru yang 

menerjangnya. Namun Kebo Rimang jadi tersentak begjtu 

pedangnya beradu dengan benda keras bertenaga dahsyat. 

Tangan Kebo Rimang bergetar hebat, dan pedangnya 

nyaris terlepas dari tangan. 

Belum sempat dia menyadari apa yang barusan terjadi, 

mendadak sebuah tendangan geledek meng-hantam dada-

nya. Kebo Rimang mengeluh pendek, dan tubuhnya 

sempoyongan terdorong ke belakang. Laki-laki bertubuh 

tinggi besar itu langsung menjatuhkan dirinya begitu 

datang serangan benkumya yang sangat cepat bagai kilat. 

Bret! 

"Akh...!" Kebo Rimang memekik tertahan. 

Tanpa diduga sama sekali, kipas baja putih milik 

Pandan Wangi merobek bahu kiri Kebo Rimang. Darah 

bercucuran dari luka yang panjang dan dalam di bahu kiri. 

Kebo Rimang meringis merasakan perih pada bahunya 

yang terluka. Pandan Wangi berdiri tegak dengan kipas 

baja putih terbuka di depan dada. 

"Kau lebih baik mati, Setan!" geram Pandan Wangi 

sengit. 

Pandan Wangi lalu berteriak nyaring dan bergerak


cepat seraya mengebutkan kipas saktinya. Kebo Rimang 

hanya bisa mendelik. Mendadak dia merasakan sesuatu 

yang sangat sangat keras menusuk tubuhnya. Tanpa 

sempat bersuara sedikit pun, Kebo Rimang langsung tewas 

saat itu juga. 

Pandan Wangi berdiri sejenak memandang tubuh Kebo 

Rimang yang tergeletak tanpa nyawa itu. Dia baru menoleh 

kebka merasakan tepukan lembut di pundaknya. 

"Kenapa kau biarkan satunya lolos?" tanya Pandan 

Wangi. 

"Biar dia memberitahu pimpinannya," sahut Rangga 

tenang. 

"Huh! Tanganku rasanya gatal jika melihat kejahatan di 

depan mata," dengus Pandan Wangi. 

"Tapi tidak seharusnya kau berlaku begitu sadis." 

"Orang-orang seperti mereka tidak perlu dikasih hati." 

Rangga cuma tersenyum. Belakangan ini dia memang 

lebih arif pada lawannya, seringkali dia membiarkan lawan-

nya pergi jika dianggapnya sudah tak berdaya menghadapi 

dirinya. Kecuali kalau lawannya benar-benar telah berbuat 

kejahatan di luar batas 

"Bagaimana kedaan Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi. 

"Mereka sudah berkumpul di gubuk Dimas," sahut 

Rangga. 

"Begitu cepat..?!" Pandan Wangi merasa heran. 

"Tidak jauh lagi dari sini, kan?" 

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Dia seolah 

baru tahu siapa Rangga. Jarak dari tempat mereka berada 

sekarang sebenamya cukup jauh dan harus melewati 

tebing-tebing berbaru untuk mencapai gubuk Dimas. Tapi 

bagi Rangga hal itu bukanlah menjadi soal. 

"Ayo...." ajak Rangga. 

Baru saja mereka hendak melangkah, mendadak 

muncul Dimas dari balik tebing batu yang tinggi. Rangga 

dan Pandan Wangi mengurungkan niatnya untuk 

meninggalkan tempat itu. Dimas menghampiri kedua 

pendekar muda itu Tiba-tiba ia sangat terkejut melihat


gambar kala hitam pada salah satu sosok mayat itu! 

Gambar yang mengingatkannya kembali pada peristiwa 

yang menimpa kakak perempuannya lima belas tahun yang 

lalu. Dimas seolah tak percaya pada penglihatannya, mata-

nya terus menatap mayat Galang Gembul. 

"Rupanya mereka ada di sini!" Dimas seperti ber-

gumam. "Huh! Wira Perakin, rupanya kau dalang dari 

semua ini!" geram Dimas seraya bangkit berdiri. 

"Dimas...," panggil Pandan Wangi pelan. 

Dimas menoleh, memandang kedua pendekar yang 

berdiri di dekatnya. Sinar matanya begitu tajam dan berapi-

api. Api dendam yang bersemayam bertahun-tahun di hati-

nya, kini kembali berkobar begitu melihat salah seorang 

yang memperkosa dan membunuh kakaknya ternyata ada 

di sini! 

"Ada apa denganmu, Dimas?" tanya Pandan Wangi. 

"Sekarang saatnya biar aku yang membunuh mereka!" 

dengus Dimas sedikit tersengal. 

Pandan Wangi memandang Rangga tak mengerti. 

Keduanya lalu hampir berbarengan menoleh ke arah 

Dimas. Pelahan-lahan keduanya mendekat. lalu mengajak 

Dimas untuk menjauhi tempat itu. 

Mulanya Dimas merasa enggan, tapi teringat akan jasa 

Rangga dan Pandan Wangi, akhirnya dia pun menceritakan 

semuanya. Menceritakan tentang nasib kakak perempuan-

nya yang malang. Menceritakan tentang nasib Ki Sukirah 

dan keluarganya. Dan mengungkapkan dendam kesumat-

nya pada orang-orang yang telah menoreh luka panjang di 

hatinya. 

"Hm..., kalau memang orang itu salah seorang yang 

membunuh kakakmu berarb masih ada empat orang lagi," 

kata Rangga setengah bergumam. 

"Ya, dan aku yakin mereka ada hubungannya dengan si 

tua bangka Wira Perakin," sahut Dimas. 

"Bagaimana kalau kita kembali ke desa?" usul Pandan 

Wangi. 

"Untuk apa?" tanya Rangga.


"Membantu Dimas mencari orang-orang itu." sahut 

Pandan Wangi. 

"Apa benar mereka pasti di sana?" 

"Paling tidak, kita bisa menyelesaikan persoalan Wira 

Perakin!" 

"Bagaimana, Dimas?" Rangga meminta pendapat pada 

yang berkepentingan. 

"Aku percaya saja pada kalian berdua," sahut Dimas 

mulai tenang. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sergah Pandan Wangi 

segera. 

"Ya, kalau mau bergerak memang harus cepat!" timpal 

Rangga sambil beranjak pergi. Dan tiga orang pemuda itu 

pun segera berjalan beriringan menuju sasaran yang 

mereka cari! 

***


ENAM


Wira Perakin menggeram hebat mendengar laporan 

Demung Pari Galang Gembul, salah seorang kepercaya-

annya bersama dua puluh pengikut lainnya tewas oleh 

hanya tiga orang anak muda! Begitu juga dengan Arya 

Mahesa, Cakala Pati dan Antasuro, sulit menerima 

kenyataan kalau Galang Gembul dan kawan-kawannya 

begitu mudah dijebak. 

"Ini tidak bisa didiamkan, Wira Perakin. Bocah setan itu 

harus mampus sebelum menjadi dun untuk selamanya," 

kata Cakala Pari sengit 

"Benar! Kita harus cepat membereskannya," sambung 

Arya Mahesa. 

"Kau tahu, di mana Anak Setan itu berada?" tanya Wira 

Perakin pada Demung Pari. 

"Di hutan sebelah Utara dari desa ini." 

"Kau yaWn?" desak Antasuro. 

"Rasanya bukan, Gusti. Tempat itu seperti perangkap. 

Dikelilingi oleh bukit bukit batu yang mudah longsor. Kami 

terjebak di sana, dua puluh orang tewas tertimbun batu 

longsor." 

"Kurang ajar!" geram Wira Perakin. 

"Apa rindakan kita selanjutnya, Wira Perakin? 

"Pancingan sudah lolos tanpa mendapatkan hasil," kata 

Cakala Pari 

Wira Perakin tidak menjawab. Pikirannya mendadak 

jadi buntu. Kekalahan demi kekalahan telah menimpa 

pihaknya. Sudah banyak orang orang yang tewas hanya 

karena tiga anak muda yang membantu Ki Sukirah. Wira 

Perakin seperti putus asa, tidak tahu apa lagi yang mesb 

diperbuatnya, sedangkan wajah Wulan yang ayu selalu 

mengganggunya sebap saat, dan dia merasa ditantang 

untuk mendapatkan gadis itu. 

"Kalian cari setan setan itu! Pakai otak kalian sendiri!"


ucap Wira Perakin keras. 

Wira Perakin beranjak pergi dari ruangan besar yang 

digunakan sebagai tempat pertemuan ini. Cakala Pati, Arya 

Mahesa dan Antasuro hanya saling pandang. 

Wira Perakin tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan 

orangnya-orangnya. Dia langsung masuk ke kamar 

peraduannya. Di dalam kamar itu telah menunggu seorang 

perempuan muda dan tampak genit. Wanita itu hanya 

melilitkan kain sutra tipis putih di tubuhnya. 

Sementara itu jauh di luar rumah besar yang dijadikan 

tempat bnggal Wira Perakin, tampak Rangga bersama 

Pandan Wangi dan Dimas tengah duduk-duduk di dalam 

sebuah kamar penginapan. Sengaja Rangga membuka 

jendela kamar, agar bisa mengamatj keadaan di luar. Dan 

bba bba terdengar pintu kamar diketuk dari luar. 

Dimas bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dia 

membuka pintu pelahan lahan dan mengintip keluar, 

kemudian membukanya lebar-lebar. Seorang laki-laki tua 

segera masuk ke dalam. Dimas segera menutup kembali 

pintu itu. Dia masih berdiri di pintu yang sudah tertutup. 

Rangga berdiri bersandar di samping jendela yang terbuka, 

sedangkan Pandan Wangi duduk di kursi tidak jauh dari 

jendela. 

"Ada yang ingin kau sampaikan, Ki Parung?" tanya 

Dimas. 

"Benar. Ada tiga orang saudara Wira Perakin datang 

kemari tadi, mereka menanyakan kalian bertiga," sahut Ki 

Parung, pemilik penginapan ini. 

"Lalu, Ki Parung bilang apa?" tanya Dimas lagi. 

"Aku katakan kalau kalian tidak berada di sini." 

"Bagus," kata Pandan Wangi seraya bangkit mendekat. 

"Ada sepuluh orang yang berjaga-jaga di penginapan ini 

Mereka dipimpin oleh Demung Pari. Juga seluruh desa ini 

selalu diawasi. Wira Perakin sudah memerintahkan orang-

orangnya untuk menangkap siapa saja yang dicurigai," 

tutur Ki Parung. 

"Bagaimana, Kakang?' Pandan Wangi meminta


pendapat pada Rangga 

"Kau pancing mereka keluar desa, aku dan Dimas akan 

menunggu di sana," Rangga membuka suara. 

"Demung Pari sudah mengenaliku," sergah Pandan 

Wangi. 

"Itu lebih bagus lagi. Kalau bisa, kau pancing tiga orang 

saudara Wira Perakin itu, syukurlah bila dia sendiri ikut ter-

pancing." 

"Terlalu berbahaya...," gumam Dimas tidak menyetujul 

"Benar!" sambung Ki Parung. "Nona sangat cantik, Wira 

Perakin tidak akan nelepaskan wanita cantik begitu saja. 

Mereka sangat liar dan buas pada perempuan-perempuan 

cantik! Bahaya sekali, Nona!" 

"Dia bisa mengatasinya, Ki Parung. Kalian berdua tidak 

perlu khawatir," kata Rangga sambil melirik Pandan Wangi. 

"Justru kelemahan itu yang harus kita manfaatkan," 

sambung Pandan Wangi. 

"Tapi...," Dimas merasa sayang kalau Pandan Wangi 

dijadikan umpan. 

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebelum mereka 

menjamah tubuhku kipas mautku akan bicara lebih dulu," 

sergah Pandan Wangi cepat 

"Nah! Sekarang bersiaplah," kata Rangga. "Kau segera 

ke batas desa sebelah Timur, Dimas. Aku sendiri akan 

menjaga Pandan Wangi dari kejauhan. Terima kasih atas 

bantuanmu, Ki Parung." 

"Seharusnya aku atas nama penduduk desa ini yang 

mengucapkan terima kasih pada kalian, karena orang-

orang itu terlalu kejam dan menyengsarakan penduduk," 

balas Ki Parung. 

Rangga tersenyum. Dimas membuka pintu, membiar-

kan Ki Parung keluar. Kemudian dia sendiri ikut keluar 

bersama lelaki tua pemilik penginapan ini. Rangga 

memberi isyarat, dan Pandan Wangi langsung melompat ke 

luar melalui jendela. Rangga mengikutinya seraya menutup 

jendela kamar Itu. 

Pandan Wangi melenting berlompatan dari atap rumah


yang satu ke atap rumah lainnya, dan baru berhenti di atas 

tembok benteng rumah besar. Tampak beberapa orang 

dengan senjata tersandang berjaga-jaga di sekitar tembok 

itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang 

dimiliki Pandan Wangi, hingga tak seorang pun yang 

mengetahui kehadirannya. 

"Aku harus memancing Wira Perakin, itu yang paling 

penting dari pada yang lainnya." gumam Pandan Wangi 

dalam hati. 

Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera 

melompat turun dari atas atap Namun begitu kakinya 

menjejak tanah, sebatang tombak meluncur ke arahnya. 

Pandan Wangi segera memiringkan tubuhnya, sehingga 

tombak itu lewat di samping pinggangnya. 

"He... he... he..., rupanya ada kelinci cantik menyusup 

ke sarang macan," Wira Perakin muncul dari balik pohon. 

Pandan Wangi terkejut Dia tidak menyangka kalau 

kehadirannya bisa diketahui dengan cepat oleh laki-laki tua 

yang masih tegap ini. Belum hilang rasa terkejutnya, 

muncul lagi tiga orang laki laki yang sebaya dengan Wira 

Perakin. 

"Hm...," Pandan Wangi bergumam pelan. Matanya 

melihat gambar kala hitam besar di tangan mereka. "Pasti 

orang-orang ini yang dicari Dimas." 

"Suiiit...!" tiba-tiba Wira Perakin bersiul nyaring. 

Seketika itu juga bermunculan orang-orang dengan 

pedang terhunus. Mereka rata-rata memegang senjata 

sejenis golok yang besar berkilatan dibmpa sinar matahan 

Tampak Demung Pari dan Jaran Kedung ada di sini. 

Pandan Wangi kaget begitu melihat orang-orang yang 

berjumlah sekitar dua puluhan itu kini telah mengepung-

nya. 

"He... he... he..., cantik sekali kelinci ini," kata Wira 

Perakin terkekeh. Bola matanya menatap liar penuh nafsu 

pada Pandan Wangi 

"Hati-hati, Wira Perakin," bisik Cakala Pati meng-

ingatkan.


"Aku tahu," sahut Wira Perakin, "tangkap dia!" 

Orang-orang yang berjumlah tak kurang dari dua puluh 

orang itu segera melompat maju ke depan. Gadis itu 

segera mencabut kipas mautnya dari ikat pinggang. 

"Majulah kalian semua.'" dengus Pandan Wangi. 

"Hiyaaa...!" 

"Hiyaaa...!" 

Orang-orang yang mengenakan seragam kuning 

keemasan itu langsung berlompatan menerjang Pandan 

Wangi Pandan Wangi pun siap siaga Dengan kipas maut di 

tangan, dia langsung mengamuk bagalkan singa betina 

yang diganggu tidurnya Dan tak tanggung-tanggung lag}, 

Pandan Wangi langsung mengeIuarkan jurus-jurus sakti-

nya. 

Dalam waktu yang tak berapa lama, lima orang sudah 

meregang kaku tak bernyawa. Lalu satu per satu orang-

orang yang mengeroyoknya bergelimpangan tersambar 

ujung kipas baja yang berkelebatan cepat dan sulit dfikuti 

mata itu. Mereka memang bukan tandingan Pandan Wangi 

Dan dalam waktu yang singkat pengeroyoknya hanya 

tinggal lima orang. 

"Kurang ajar!" geram Wira Perakin melihat orang-orang-

nya nyaris terbabat habis. 

Wira Perakin memerintahkan Demung Pari membekuk 

Pandan Wangi. Demung Pari segera melompat sambil ber-

teriak nyaring. 

"Mundur...!" 

Lima orang yang tersisa segera berlompatan mundur. 

Pandan Wangi merintangkan kipas baja saktinya ke depan 

dada. Kedua bola matanya tajam menatap Demung Pari 

yang sudah menghunus senjatanya berupa golok besar 

berwarna hitam. 

"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Manis. Percuma 

saja kau melawan," kata Demung Pari 

"Jangan banyak omong! Ayo maju, kalau ingin kepala-

mu kupisahkan dari badan!" sentak Pandan Wangi sengit 

Menyesal sekali, aku harus merobek mulutmu yang


indah," dengus Demung Pari menggeram. 

Demung Pari melennng sambil mengibaskan goloknya 

ke arah Pandan Wangi. Gadis itu memutar tangannya 

menghadang sabetan golok Demung Pari. 

Trang! 

"Ikh!" Demung Pari kaget bukan main. 

Buru-buru dia menarik goloknya. Seluruh persendian 

tulang lengannya terasa nyeri. Dia benar-benar tidak 

menyangka kalau gadis ini memiliki tenaga dalam yang 

tinggi juga. Demung Pari menggeram keras. Dia tak mau 

lagi menganggap enteng lawannya. 

"Kubunuh kau, Setaaan...!" 

"Uts!" 

*** 

Sementara itu Dimas yang menunggu di luar batas 

desa sudah merasa tak enak hati. Sudah cukup lama dia 

menunggu, tapi Rangga dan Pandan Wangi belum muncul 

juga. Dimas masih mengawasi jalan yang se harusnya 

ditempuh Pandan Wangi untuk memancing Wira Perakin 

dan orang-orangnya keluar sarang. Tapi jalan itu tetap saja 

terrrhat sepi, tak seorang pun terlihat mebntasinya. 

Jantung Dimas seketika berdetak kencang begitu 

melihat Rangga berlari-lari cepat ke arahnya. Pendekar 

Rajawali Sakti itu bagaikan terbang, sebentar saja dia 

sudah berada di depan Dimas. 

"Bagaimana...?" tanya Dimas tak sabar. 

"Aku kehilangan jejak," sahut Rangga sambil mengatur 

napasnya. 

"Maksudmu?" Dimas tak mengerti. 

"Pandan Wangi berbelok arah, dia menyimpang dari 

rencana semula." 

"Celaka!" seru Dimas. 

"Kita tunggu saja beberapa saat di sini." 

Dimas terbhat gelisah. Dan tiba-tiba terdengar derap 

langkah kaki kuda dipacu cepat Tampak debu mengepul


dari ujung jalan. Rangga dan Dimas siap siaga, tapi.... 

"Ki Parung...," desis Rangga mengenalnya. 

Rangga langsung melompat cepat diikuti Dimas. Kuda 

yang ditunggangi Ki Parung meringkik keras sambil meng-

angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu Rangga 

tiba-tiba menghadang jalannya. Untung saja Pendekar 

Rajawali Sakti itu cepat menarik tali kekangnya, hingga Ki 

Parung tidak jatuh. 

Ki Parung bergegas turun dari punggung kudanya. 

Wajah dan bajunya kotor, penuh debu yang bercampur 

pehih. Laki-laki tua pemilik penginapan Itu tersengal-sengal 

saat menghampiri Rangga dan Dimas yang memegangi tali 

kekang kuda. 

"Ah, oh...!" Ki Parung masih tersengal napasnya. 

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sedikit cemas. 

"Celaka! Gawat..!" sahut Ki Parung masih tersengal-

sengal. 

"Apa yang terjadi?" desak Dimas. 

"Wira Perakin mengetahui rencana kita," suara Ki 

Parung mulai terdengar tenang. 

"Bagaimana bisa begitu?" Rangga tidak percaya. 

"Salah seorang pembantuku berkhianat, dia yang me-

laporkan rencana kita." 

"Bajingan!" geram Dimas. 

"Lalu, bagaimana dengan Pandan Wangi?" Rangga ber-

tanya cemas. 

"Aku tidak tahu, tapi semua orang-orang Wira Perakin 

ditarik pulang." 

"Ini sangat berbahaya! Kemungkman besar Pandan 

Wangi pergi ke rumah itu," gumam Dimas. 

Rangga terdiam. Memang bisa jadi Pandan Wangi ke 

rumah itu. Masalahnya jadi lain sekarang, sudah pasti Wira 

Perakin mengetahui kehadiran Pandan Wangi. Tanpa 

banyak bicara lagi, Rangga segera melompat meninggalkan 

tempat itu. 

"Rangga...! Tunggu!" teriak Dimas seraya melompat 

mengikuti.


Ki Parung jadi melongo. Dia tertegun beberapa saat 

menyaksikan dua orang muda yang berilmu tinggi itu 

berloncatan cepat bagai terbang. Dia segera sadar dari 

rasa kagumnya, kemudian cepat-cepat naik ke atas 

punggung kuda. Kuda putih itu pun segera digebahnya. 

Sementara itu Dimas mengerahkan seluruh kekuatan-

nya untuk menyusul langkah Rangga. Tapi walaupun dia 

mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja dia 

tertinggal jauh oleh Rangga yang tingkatan ilmunya jauh 

lebih tinggi. 

"Rangga, tunggu...!" teriak Dimas terengah-engah 

sambil terus mengejanya. 

Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak mempeduli-

kannya. Dia terus saja berlompatan menuju rumah besar 

tempat tinggal Wira Perakin. Tempat di mana para 

pengawal si Tua Bangka itu telah ditarik kembali ke sana! 

Jika Pandan Wangi benar-benar pergi ke rumah itu, tentu 

keadaannya sangat berbahaya sekali! Sama saja dia 

menerobos sarang macan yang sudah siap menerkamnya! 

***


TUJUH


Demung Pari kewalahan juga menghadapi Pandan Wangi. 

Apalagi di tangan gadis itu kini tergenggam pedang pusaka 

Naga Geni. Pedang itu memancarkan sinar merah yang 

berkelebatan mengurung tubuh Demung Pari. Dengan dua 

senjata di tangan, lawannya itu kerepotan menghindan 

serangan serangan yang cepat dan berbahaya dari Pandan 

Wangi. 

Sudah puhihan jurus berlalu, dan tampaknya Pandan 

Wangi mulai berada di atas angin. Gadis itu tak memberi 

kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk balas 

menyerang. Demung Pari tidak bisa berbuat banyak. Ruang 

geraknya semakin sempit, beberapa kali dia harus jatuh 

bangun menghindari serangan yang datang begitu cepat 

dan beruntun dari dua senjata Pandan Wangi. 

"Hiyaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras. 

Bersamaan dengan tubuhnya yang melenting tinggi ke 

udara, tangan kirinya mengibas seraya merentangkan 

kipas baja putihnya. Buru-buru Demung Pari mengangkat 

goloknya untuk melindungi kepala. Tanpa diduga sama 

sekali, Pandan Wangi malah menuju bagian bawah. 

"Mampus kau!" bentak Pandan Wangi keras. 

Seketika itu juga pedangnya berkelebat cepat mem-

babat perut Demung Pari. Demung Pari mengeluh sejenak. 

lalu tubuhnya menggelosor ke tanah. Orang-orang yang 

berada di sekitamya bergumam ngeri melihat perut 

Demung Pari hampir terbelah dua. Pandan Wangi berdiri 

tegak. Dia memasukkan kembali pedang pusakan ke 

dalam warangkanya di punggung. 

Ketegangan menyelimuti suasana di tempat itu. Wira 

Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa terlihat 

menarik napas panjang. Dalam hati mereka mengakui 

kehebatan Pandan Wangi. 

Suasana hening. Pandan Wangi memandangi empat


orang yang berdiri berdampingan. Pandangan matanya 

berurutan menatap keempat orang itu satu per satu. Gadis 

ini tahu, keempat orang di hadapannya tentu memiliki 

tingkat kepandaian lebih tinggi dari yang lainnya. 

"Kuakui kau hebat! Tapi jangan senang dulu, kau belum 

menang," kata Wira Perakin jujur memuji. 

Pandan Wangi hanya tersenyum sinis. 

"Jaran Kedung!" panggil Wira Perakin. 

"Hamba, Gusti," sahut Jaran Kedung membungkuk 

hormat. Dia melangkah maju dua tindak. 

"Keluarkan algojoku!" 

"Segera, Gusti." 

Jaran Kedung segera melangkah meninggalkan tempat 

itu. Pandan Wangi tidak mengertj maksud Wira Perakin, 

tapi dia tetap waspada, kipas baja saktinya sudah ber-

pindah ke tangan kanan, melintang terbuka di depan dada. 

Pandan Wangi bagaikan seorang dewi cantik pencabut 

nyawa 

Seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa 

kemudian muncul mengiringi langkah Jaran Kedung. 

Tubuhnya nyaris telanjang, hanya cawat yang menutupi 

bagian bawah pusarnya. Dadanya penuh ditumbuhi rambut 

hitam keriring. Makhluk ini benar-benar bagaikan raksasa. 

Tinggi badannya tak bisa disamakan oleh manusia biasa. 

"Buto Gendeng, kau lihat kelinci cantik itu?" tanya Wira 

Perakin. "Nah, dia kuserahkan untukmuf" 

"Grrr...!" manusia raksasa bemama Buto Gendeng itu 

menggeram keras. Matanya yang bulat merah menatap 

ganas pada Pandan Wangi. 

"Dia calon istrimu, Buto Gendeng," lanjut Wira Perakin. 

"Ha... ha... ha...!" Buto Gendeng tertawa terbahak-

bahak. 

Pandan Wangi bergidik juga melihat perawakan yang 

tinggi besar dan kasar itu. Dia menyumpah pada Wira 

Perakin yang tak berani secara jantan menghadapi dirinya. 

Jantung Pandan Wangi semakin berdegup kencang ketika 

manusia yang bagai orang utan itu mendekati. Di tangan


kanannya tergenggam gada besar, lebih besar dari paha 

orang dewasa. 

"Ha... ha.... ha...! Cantik..., cantik sekali...!" Buto 

Gendeng terbahak-bahak kegirangan menerima hadiah 

yang sangat menyenangkan hatinya. 

"Phuih! Majulah, kupecahkan kepalamu!" dengus 

Pandan Wangi. Gadis itu telah menguatkan hatinya untuk 

menghadapi calon lawannya. 

"Graaakhg...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat 

"Ha ha ha...! Bawa dia ke kamarmu, Buto Gendeng," 

teriak Wira Perakin sambil tertawa terbahak-bahak. 

Pandan Wangi mendelik geram pada laki-laki tua itu. 

Tak ada pilihan lain baginya bagaimanapun juga, dia harus 

membunuh manusia raksasa itu. Dia segera mencabut 

pedang pusakanya. 

"Selamat bersenang-senang, Buto Gendeng!" seru Wira 

Perakin. 

Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu mem-

berikan isyarat agar semua orang menyingkir. Dia sendiri 

kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Cakala Pati, 

Antasuro dan Arya Mahesa. Tapi Wira Perakin mendadak 

menghentikan langkahnya, dan tidak jadi masuk ke dalam. 

Lelaki itu membalikkan badannya 

"Hm..., aku merasakan ada tamu yang tak diundang," 

gumam Wira Perakin pelahan. 

"Siapa?" tanya Cakala Pati. 

Sebuah bayangan putih berkeiebat cepat, dan tahu-

tahu sudah berdiri tegak di depan Wira Perakin dan lain-

Iainnya. Dan belum lagi mereka sempat mengenalinya, 

menyusul lagi sebuah bayangan putih berkelebat mendarat 

di sampingnya. Kini di tengah-tengah halaman, sudah 

berdiri dua pemuda tampan berbaju putih. Mereka adalah 

Rangga dan Dimas. 

Wira Perakin menjentikkan jarinya, seketika itu juga 

puluhan orang berseragam kuning keemasan bergerak 

mengurung. Dimas menggeretakkan rahangnya saat me-

lihat empat orang yang berdiri di tangga masuk rumah,



semuanya memiliki gambar kala hitam di tangan kanan. 

Merekalah yang selama ini dicarinya! Merekalah yang telah 

memperkosa dan membunuh Surti, kakak perempuannya! 

"Hm..., akhimya bisa kutemukan juga...," gumam Dimas. 

"Apa maksudmu?" tanya Rangga. 

"Merekalah yang selama ini kucari-cari," sahut Dimas. 

"Hm... jadi benar, Wira Perakin dan orang-orang-nya 

yang telah memperkosa dan membunuh kakakmu?" 

"Benar. Aku tidak akan lupa dengan gambar di tangan 

itu! Gambar kala hitam...." 

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Empat 

orang lelaki itu memang memiliki gambar kala hitam di 

tangan kanannya. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedar-

kan pandangannya berkeliling. Tidak kurang dari tiga puluh 

orang kini telah mengepung dirinya dan Dimas dengan 

senjata terhunus. 

Rangga tersenyum sinis. Dia tahu benar, orang-orang 

yang cuma menjadi kaki tangan majikan biasanya hanya 

mengandalkan ilmu kanuragan tanpa memiliki ilmu 

kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Tidak terlalu sulit 

baginya menghadapi orang-orang seperti ini! 

Rangga memusatkan perhatiannya pada empat orang 

yang telah membangkitkan dendam kesumat di dada 

Dimas. Sepintas saja Rangga telah dapat mengukur, 

bahwa Dimas tak akan mampu menghadapi mereka 

berempat sekaligus. Jika mereka maju satu per satu sekali 

pun, itu masih sangat sulit bagi Dimas. 

"Wira Perakin, pandang aku baik-baik!" seru Dimas. 

"Lima belas tahun kita tidak bertemu. Lima belas tahun 

aku tersiksa karena hutangmu, kini aku datang untuk 

menagih hutang lama itu!" 

"He he he..., Bocah! Bicaramu seperti orang tua saja. 

Lima belas tahun lalu, kau pasti masih seorang bocah 

ingusan!" Wira Perakin terkekeh. 

"Benar, dulu aku memang masih anak-anak. Tapi aku 

tidak pemah lupa dengan perbuatan kalian, memperkosa 

dan membunuh kakak perempuanku!"



"Bocah! Kau jangan cari-cari perkara di sini, heh," 

bentak Cakala Pati. "Aku tidak kenal denganmu!" 

"Dengar, kalian semua! Lima belas tahun lalu di Hutan 

Baka, lima orang kerasukan iblis memperkosa seorang 

perempuan lemah, kemudian membunuhnya tanpa rasa 

kasihan, disaksikan oleh seorang bocah berumur sepuluh 

tahun. Bocah kecil itu tak akan lupa seumur hidupnya. Dan 

dia bertekad membalas dendam dan membunuh lima laki-

laki yang telah menghancurkan hidupnya!" lantang suara 

Dimas. 

Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa 

tersentak kaget. Ingatan mereka segera kembali pada 

peristiwa sekitar lima belas tahun silam, peristiwa yang 

untuk pertama kali mereka lakukan sebagai orang-orang 

yang merasa punya kekuatan. Dan tanpa diduga, peristiwa 

itu kini temyata berbuntut panjang. Kini mereka sadar 

kalau anak muda yang berdiri di depan mereka adalah 

bocah kecil itu. 

"Nah, bersiaplah kalian! Aku akan menagih hutang itu!" 

dengus Dimas. 

Sret! 

Dimas meloloskan pedangnya yang terbuat dari bahan 

perak mumi. Mata pedang itu berkilauan tertimpa sinar 

matahari yang sudah agak condong ke arah Barat. Mata-

nya tajam menatap lurus empat laki-laki tua di depannya. 

Wira Perakin menepuk tangannya tiga kali. Dan segera 

saja sepuluh orang anak buahnya bergerak maju beberapa 

langkah lebih dekat ke arah dua anak muda itu. Di tangan 

mereka semua tergenggam golok berwarna hitam pekat. 

Dimas segera menyilangkan pedangnya di depan dada. 

Sementara Rangga sudah bersiap-siap mengerahkan jurus 

'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya seketika 

itu juga berubah menjadi merah membara bagai terbakar 

Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tak ingin berlama-lama 

meladeni lawannya, hingga dia langsung mengeluarkan 

jurus andalannya itu. 

"Bunuh mereka!" teriak Wira Perakin memerintah.


"Hiya, hiya, hiyaaa ,.!" 

Sepuluh orang itu langsung berteriak menyerang 

Rangga dan Dimas. Dimas bergerak cepat membabatkan 

pedangnya yang bergerak liar bagaikan banteng terluka 

Dimas tak sungkan sungkan lagi membabat lawan-lawan-

nya. Dendam kesumat di dadanya bagaikan air bah me-

nemukan anak sungai, mengalir deras tak terkendali! 

Sementara itu Rangga dengan dingin menghadapi 

lawan-lawannya. Setiap kali dia mengerahkan 'Pukulan 

Maut Paruh Rajawali', setiap kali itu pula satu nyawa 

melayang dengan dada hancur 

Satu persatu orang-orang berseragam kuning ke-

emasan itu roboh bergelimpangan. Dan dalam waktu 

singkat saja sepuluh orang lawan dua anak muda itu tak 

satu pun yang tersisa hidup. Wira Perakin yang 

menyaksikan pengikutnya dibantai tanpa ampun, langsung 

bertepuk tangan tiga kali lagi. Sepuluh orang lagi melompat 

maju. Namun semua itu tidak ada artinya bagi Rangga dan 

Dimas. Dengan mudah kedua pemuda itu membuat orang-

orang yang mengeroyoknya jungkir balik bergelimpangan 

dengan tubuh bersimbah darah. 

"Setan!" geram Wira Petakin, "maju kalian semua! 

Bunuh bocah-bocah setan itu!" 

Wira Perakin semakin gusar melihat orang-orangnya 

dlbuat tidak berdaya oleh dua pemuda tangguh yang 

bertarung bagaikan banteng terluka Jerit kematian kembali 

membahana ditingkahi oleh bergelimpangannya tubuh-

tubuh yang bersimbah darah segar. Dan dalam waktu yang 

tidak berapa lama, Iebih dan separuh sudah meng-

gelimpang jadi mayat 

Tiba-tiba Rangga melompat ke luar dari arena 

pertarungan Dia berdiri tegak menatap empat orang tua 

yang tetap berdiri dengan wajah gelisah dan geram. 

Sedangkan Dimas terus bertarung melawan sekitar 

delapan orang lagi. Kelihatannya anak muda itu benar-

benar di atas angin. 

"Pandan...!" tiba-tiba Rangga tersentak.


Telinganya yang setajam mata pisau bisa membedakan 

suara pertarungan yang tengah berlangsung dengan suara 

lain yang datangnya dari arah belakang rumah. Suara 

jeritan seorang wanita yang disertai suara menggeram 

bagai gorilla. 

"Dimas, aku tinggal sebentar!" seat Rangga seraya 

melompat cepat ke atas atap 

Wira Perakin dan yang lainnya terhenyak sesaat 

melihat begitu cepatnya Rangga bergerak. Cakala Pati 

langsung melenting tinggi ke udara mengejar Rangga. 

Sedangkan Arya Mahesa juga segera melompat, meluruk 

ke arah Dimas yang kini tengah menghadapi tiga orang 

lagi. 

"Aku lawanmu Bocah Setan!" bentak Arya Mahesa. 

"Bagus!" sambut Dimas yang memang sudah meng-

harapkan sejak tadi. 

Tiga orang yang masih tersisa hidup, langsung 

melompat mundur. Mereka masih bisa bernapas lega, 

karena terhindar dari kematian. Bagaimanapun juga 

mereka merasa ngeri dan kehilangan keberanian melihat 

teman-teman mereka sudah habis dibantai. 

*** 

Rangga terperangah melihat Pandan Wangi kewalahan 

menghadapi manusia raksasa Beberapa kali pedang 

pusakanya menghantam tubuh lawannya, tapi Buto 

Gendeng tetap saja tegar. Tidak ada luka sedikitpun pada 

kulitnya yang kasar dan kotor, meskipun Pandan Wangi 

sudah mengerahkan seluruh kekuatannya pada pedang 

yang terus menerus menghantam bagian-bagian tubuh 

manusia raksasa itu. 

Pandan Wangi benar-benar putus asa, tidak sedikit dia 

menerima pukulan dan tendangan dari Buto Gendeng. Baju 

dan tubuh gadis itu sudah kotor oleh debu yang bercampur 

keringat Pandan Wangi benar-benar bdak mampu lagi 

berbuat banyak, dan nyaris kehilangan akal. Aji 'Tapak


Wisa' yang dimilikinya juga tidak berpengaruh sama sekali 

pada Buto Gendeng. Seluruh kemampuannya sudah ter-

kuras, tapi manusia raksasa itu tetap saja tegar, bahkan 

semakin ganas dan liar. 

"Pandan, minggir...!" teriak Rangga seraya melompat, 

menerjang Buto Gendeng. 

"Oh, Kakang...," Pandan Wangi gembira melihat Rangga 

datang. 

"Aaarghk...!" Buto Gendeng menggeram marah melihat 

ada orang lain yang langsung menyerangnya. 

"Hati-hati, Kakang. Manusia aneh ini sangat kebal," 

kata Pandan Wangi setelah melompat menjauhi Buto 

Gendeng. Napasnya masih tersengal sengal 

"Hm...," Rangga hanya bergumam. Dia seperti sudah 

mengerti apa yang harus diperbuatnya. 

Rangga menghentikan gerakannya sejenak. Sesaat dia 

mengerutkan keningnya. Dia teringat dengan pengalaman-

nya ketika menghadapi manusia raksasa yang pernah 

bentrok dengannya. Tapi yang ini kelihatannya lebih besar 

lagi, dan lebih ganas dari yang dulu! (Baca: Serial Pendekar 

Rajawali Sakti, dalam kisah NAGA MERAH). 

"Menyingkirlah, Pandan. Biar aku yang hadapi manusia 

liar ini," kata Rangga seraya mendorong tubuh Pandan 

Wangi. 

Pandan Wangi tak membantah, dia melangkah mundur 

menjauh. Dia percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti itu 

dapat mengatasi kekebalan tubuh Buto Gendeng. Pandan 

Wangi memasukkan pedang pusakanya ke warangkanya. 

Sungguh dia tidak mengerb, pedang yang sangat dahsyat 

itu tidak berarti banyak buat Buto Gendeng. Mungkinkah 

manusia raksasa itu memiliki ilmu kekebalan yang 

sempurna? Kalau memang benar, tentu sukar bagi Rangga 

untuk mengalahkannya! 

"Majulah! Hadapi aku!" geram Rangga 

"Grrrh...!" Buto Gendeng menggeram sambil meng-

geleng-gelengkan kepalanya. 

"Ayo maju, biar kupecahkan kepalamu!" Rangga keras


memancing kemarahan manusia raksasa itu. 

Buto Gendeng menggerung-gerung marah. Matanya 

semakin merah. Gada sebesar paha manusia dewasa itu 

diayunkan-ayunkannya dengan cepat, sehingga menimbul-

kan deru angin dahsyat bagaikan topan. Rangga sedikit 

goyah juga mendapat dorongan angin yang sangat dahsyat 

berhembus. Cepat-cepat dia mengeluarkan jurus 'Pukulan 

Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. 

"Graaaghk...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat 

Tiba-tiba saja gadanya dilayangkan ke tubuh Rangga. 

Pendekar Rajawali Sakb itu melentingkan tubuhnya 

menghindari hantaman dahsyat dari gada Buto Gendeng 

Secepat kilat dia menghantamkan pukulan yang disertai 

pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke arah gada 

yang sangat besar itu. 

Darrr! 

Suara ledakan keras terdengar begitu tangan Rangga 

menghantam gada Buto Gendeng. Manusia raksasa itu 

menggeram dahsyat melihat gada miliknya pecah dan 

hancur. Cakala Pari yang berada tak jauh dari tempat 

pertempuran itu tersentak kaget melihat gada Buto 

Gendeng hancur dengan satu pukulan saja. 

"Aaargh...!" Buto Gendeng meraung keras. 

Sekuat tenaga dia melemparkan sisa gada tadi ke arah 

Rangga. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu meng-

elak. Potongan gada itu meluncur deras melewari kepala 

Rangga, langsung menghantam dua orang berseragam 

kuning keemasan yang tidak sempat menghindar. 

Begitu kerasnya lemparan Buto Gendeng, sehingga dua 

orang yang tersambar gada itu langsung ambruk tak ber-

nyawa. 

Buto Gendeng menggeram kembali, langsung dia me-

lompat menerjang Rangga. Manusia raksasa itu 

mengamuk membabi buta. Pohon-pohon dan tembok 

hancur berkeping keping terkena hantaman tangan Buto 

Gendeng yang dahsyat. Rangga sedikit kerepotan juga 

menghadapi amukan manusia raksasa itu, tapi masih


sempat dia mendaratkan beberapa pukulan mautnya ke 

tubuh Buto Gendeng. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' itu 

tidak juga membuat Buto Gendeng reda dari amukannya 

bahkan semakin menjadi-jadi' "Gila! Semua pukulanku 

mentah " dengus Rangga. 

"Awas, Kakang...!" teriak Pandan Wangi tiba-rJba. 

Terlambat! Satu hantaman keras dari Buto Gendeng 

mendarat telak di dada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti 

itu terpental sejauh dua batang tombak. Dia merasakan 

rongga dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Rangga 

buru-buru bangun dan melompat ketika melihat jejakan 

kaki Buto Gendeng. Bumi terasa bergetar begitu kaki 

manusia raksasa itu menghantam tanah. 

Rangga segera mengumpulkan hawa murni untuk 

mengusir rasa sesak di dadanya Pelahan-lahan dada 

Pendekar Rajawali Sakti itu terangkat, lalu tertahan be-

berapa saat, tak lama kemudian dadanya mengempis 

turun kembali. Buto Gendeng seperti tertegun melihat per-

buatan lawannya yang dirasanya aneh itu. 

"Terpaksa, aku harus menggunakan jurus 'Pedang 

Pemecah Sukma'," gumam Rangga. 

Sret! 

Sinar biru membias terang menyilaukan begitu pedang 

Rajawali Sakti itu keluar dari warangkanya. Rangga bagai-

kan sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa 

dengan pedang sakti di tangannya. Buto Gendeng me-

langkah mundur dua tindak, kedua matanya menyipit me-

mandang pedang yang berpamor sangat luar biasa itu. 

Cakala Pati yang sedari tadi menyaksikan jalannya 

pertarungan itu juga terperangah takjub melihat cahaya 

biru berkilauan menyilaukan mata. Rangga bergerak per-

lahan menggeser kakinya ke kanan Kedua matanya me-

natap tajam pada Buto Gendeng. Pedang pusakanya 

menyilang di depan dada. 

"Majulah, aku akan menyerah kalau kau mampu 

menandingi pedang pusakaku." kata Rangga menggeram. 

"Grrr...!" Buto Gendeng menggeram pelan.



Buto Gendeng sedikit membungkuk, bergerak perlahan 

menyusur tanah mengikuti gerak ki Rangga. Kelihatan 

sekali kalau manusia raksasa itu mulai bersikap hati-hati 

dan memperhitungkan kekuatan lawannya, terutama pada 

pedang yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka 

saling tatap dengan tajam, seolah sedang mencari jalan 

dan cara yang tepat untuk meringkus lawannya. 

Sambil meraung keras, Buto Gendeng melompat cepat 

menerjang Rangga. Bagaikan seekor gorilla raksasa, Buto 

Gendeng meluruk seraya melayangkan pukulan keras. 

Rangga langsung melenbng bnggi ke udara menghindan 

terjangan manusia raksasa itu. Bagaikan kilat kedua kaki 

Pendekar Rajawali Sakb itu menghantam kepala Buto 

Gendeng secara beruntun. 

Buto Gendeng menggening keras menggeleng-geleng-

kan kepalanya. Dia langsung berbalik cepat mengibaskan 

tangannya, namun Rangga sudah lebih cepat lagi 

melenting ke atas. Kembali kedua kakinya menghantam 

kepala manusia raksasa itu beberapa kali, hingga tubuh 

Buto Gendeng agak sempoyongan dibuatnya. 

"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga lantang. 

Seketika itu juga pedangnya berkelebat bagaikan kilat 

ke arah dada Buto Gendeng yang baru saja memutar 

tubuhnya. Buto Gendeng meraung keras. Badannya ter-

dorong mundur beberapa langkah. Ujung pedang Pendekar 

Rajawali Sakti itu berhasil menggores kulit dadanya. Darah 

segar mengucur dari luka panjang di dada yang berbulu 

lebat itu. 

"Sekarang giliran leher, hiyaaa...!" teriak Rangga seraya 

melompat cepat 

Pedang yang memancarkan sinar biru itu kembali 

berkelebat cepat ke arah leher Buto Gendeng. Manusia 

raksasa itu meraung keras sambil membekap lehemya 

yang terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini 

Rangga bdak mau lagi membenkan kesempatan, satu 

tendangan geledek dia sarangkan ke dada, dan satu 

sabetan pedang lagi menghajar perut



Buto Gendeng semakin keras meraung. Darah ber-

cucuran deras membasahi tubuhnya. Melihat manusia 

raksasa itu sudah tidak berdaya lagi, Pandan Wangi yang 

memang sudah kesal dan mendendam, langsung me-

lompat memberikan tendangan beruntun ke dada. Buto 

Dungkul bagaikan boneka raksasa mainan sekarang 

menjadi bulan-bulanan Rangga dan Pandan Wangi. 

"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi 

melengking tinggi. 

Secepat kilat dia melompat dan menusukkan ujung 

kipasnya ke arah mata. Lagi-lagi Buto Gendeng meraung 

keras begitu dua biji matanya bolong bercucuran darah 

tertusuk ujung kipas Pandan Wangi. Belum lagi manusia 

raksasa itu berhenti meraung, tiba-tiba secercah cahaya 

biru berkebebat bagai kilat, dan.... 

Cras! 

Buto Gendeng tak mampu lagi bersuara. Sebentar 

tubuhnya bergetar kemudian ambruk dengan kepala ter-

pisah dari leher. Darah semakin deras mengucur dari 

tubuh yang penuh luka. Tubuh Buto Gendeng menggelepar-

gelepar di tanah kemudian diam tak mampu bergerak lagi. 

"Serang...! Bunuh mereka...!" Cakala Pati segera 

memerintahkan orang-orangnya. 

Orang-orang yang sebenarnya sudah gentar itu ber-

lompatan sambil berteriak-teriak mengacung-acungkan 

senjatanya. Tidak kurang dari lima belas orang meluruk 

menyerbu Rangga dan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali 

Sakti merasa tak perlu menggunakan pedangnya, dia 

segera memasukkan pedang Rajawali Sakti ke dalam 

warangkanya di punggung. 

Lain halnya dengan Pandan Wangi yang sudah muak 

dan geram. Dia langsung mencabut pedang pusakanya, 

dan mengamuk menghajar orang-orang berseragam 

kurang keemasan itu. Rangga jadi tak mempunyai ruang 

gerak, akhimya dia melompat minggir dan hanya berdiri 

mengawasi. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja orang-

orang itu sudah berantakan. Jerit lengking kematian


terdengar saling menyusul. Pandan Wangi mengamuk 

bagaikan singa betina terluka. Setiap kali pedang dan 

kipasnya bergerak, setiap kah itu pula dua nyawa 

melayang. 

Menyadari tidak akan mampu menghadapi dua sejoli 

pendekar itu, Cakala Pati langsung mencelat kabur. 

Rangga yang sejak tadi mengawasi, tidak membiarkan laki-

laki tua licik itu melankan diri. Dia langsung mengejar 

dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. 

***


DELAPAN


Sementara itu pertarungan antara Dimas yang dikerubuti 

oleh Wira Perakin, Arya Mahesa dan Antasuro terus ber-

langsung. Di sekitar mereka mayat-mayat bergelimpangan 

bersimbah darah. Bau anyir menyebar terbawa angin 

menusuk hidung. Tidak ada lagi pengikut Wira Perakin yang 

tersisa hidup. Mereka mati percuma oleh kekuatan yang 

jelas di atas mereka. 

Dalam beberapa jurus, Dimas masih mampu melayani 

ketiga orang musuh yang selama ini dicarinya. Sedangkan 

Pandan Wangi yang sudah membereskan sisa-sisa 

pengikut Wira Perakin dihadang oleh Jaran Kedung saat 

dirinya hendak melompat menuju bagian depan bangunan 

itu. Terpaksa Pandan Wangi melayani Jaran Kedung yang 

memegang senjata berbentuk trisula di tangan kanan dan 

Idrinya. 

Lain halnya dengan Rangga, dia bertarung di atas atap 

melawan Cakala Pati. Jelas terlihat Pendekar Rajawali Sakti 

itu berada di atas angin. Beberapa kali pukulan dan 

tendangannya mendarat telak di tubuh Cakala Pati. Adik 

Wira Perakin itu sama sekali tak memiliki kesempatan 

untuk bertahan. apalagi menyerang. Dia berusaha mencari 

celah dan kesempatan untuk melarikan diri. 

"Kau tidak bisa kabur, Cakala Pari. Kau harus mampus 

di sini!" Rangga menggeram seraya mengerahkan jurus 

'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. 

"Huh!" Cakala Pati mendengus sengit Kedua bola 

matanya jelalatan ke sana kemari berusaha mencari-cari 

celah untuk melankan diri. 

Cakala Pati melangkah mundur melihat kedua tangan 

Rangga yang sudah berubah merah membara. Keringat 

dingin bercucuran membasahi wajah dan lehernya 

Ketakutan akan kematian yang bakal menjemputnya ter-

bayang jelas di wajahnya yang mulai memucat. Dia sudah


menyadari benar kalau dirinya tidak akan mampu meng-

hadapi pendekar muda yang kini ada di hadapannya 

"Celaka, mati aku!" gumam Cakala Pati bergetar. 

"Mampus kau, Iblis...!" bentak Rangga keras. 

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat 

seraya mengerahkan pukulan mautnya. Cakala Pati segera 

melompat menghindari sebelum pukulan jarak jauh yang 

dilontarkan Rangga itu mengenai tubuhnya. Atap tempat-

nya berpijak hancur berantakan terkena sambaran pukulan 

Rangga yang teramat dahsyat 

"Hiyaaat...!" Rangga berteriak nyaring. 

Seketika itu juga tubuhnya mencelat tinggi ke udara, 

menyusul Cakala Pari yang masih berada di angkasa saat 

menghindari pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti itu. 

Kedua tangan Rangga menyentak dengan cepat ke depan. 

Seketika itu juga sinar merah meluruk deras ke arah 

Cakala Pati. 

"Aaakh...!" Cakala Pati menjerit melengking. 

Pukulan maut yang dilepaskan Rangga begitu telak 

menghantam dada. Tubuh laki-laki tua itu jatuh terjungkal 

menghantam atap. Secepat kilat Rangga memburu, dan 

menendang tubuh yang sedang bergulingan itu. Tubuh 

Cakala Pati meluruk deras ke bawah, dan jatuh berdebum 

di tanah dengan keras. Seketika itu juga nyawanya 

langsung melayang. 

Rangga berdiri tegak di atas atap. Matanya menatap 

lurus pada Dimas yang kelihatan mulai terdesak. Dugaan-

nya tidak meleset, Dimas tidak akan mampu menandingj 

tiga orang lawannya yang rata rata memiliki tingkat 

kepandaian di atasnya Rangga tidak bisa lagi berdiam diri 

melihat Dimas yang semakin terdesak saja keadaannya 

Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di 

udara, meluncur ke bawah, dan bersalto dua kali sebelum 

mendarat dengan manis di tanah. Sejenak dia terpaku 

melihat tubuh Dimas yang bercucuran darah. 

"Ha... ha... ha...! Mampus kau, Bocah Setan!" Wira 

Perakin tergelak melihat Dimas sudah tidak berdaya lagi.


"Dimas, mundur...!" seru Rangga. Dimas menarik napas 

panjang melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri di 

depannya. Semangat anak muda itu tumbuh kembali, lupa 

dengan rasa sakit dan perih yang menyerang seluruh 

tubuhnya. 

"Bagus! Biar kubuat dendeng kalian semua!" dengus 

Wira Perakin. 

'Tua bangka bdak tahu diri! Kau tidak layak hidup di 

dunia ini!" sungut Rangga dingin. 

"Ha ha ha..!" Wira Perakin tertawa terbahak-bahak. 

"Kalian benar-benar tidak bisa mengukur tingginya 

gunung. Masih bau kencur sudah berani menantang Kala 

Hitam!" Antasuro mengejek seraya menyemburkan 

ludahnya. 

Rangga menyentakkan tangannya dengan cepat tiga 

kali ke arah mereka. Suara ledakan keras terjadi begitu 

cahaya merah yang meluncur dari tangan Rangga meng-

hantam tanah. Tampak tiga lubang menganga begitu debu 

yang mengepul oleh hantaman itu mulai menipis. 

"Kusiapkan kuburan untuk kalian, setan-setan tengik!" 

geram Rangga. 

"He... he... he .... permainan usang!" ejek Wira Perakin. 

"Salah-salah, kau sendiri yang menyiapkan lubang 

kubur!" sambung Arya Mahesa. 

"Kita lihat saja nanti, siapa yang lebih dulu masuk ke 

liang kubur!" tantang Rangga. 

"Ha ha ha...!" bga orang tua itu serempak tertawa 

terbahak-bahak. 

Dimas menggeram menggeretakkan rahangnya. Dia 

sudah sangat muak melihat kesombongan tiga orang yang 

berjuluk Kala Hitam itu. Sementara Rangga melirik Pandan 

Wangi yang temyata pertarungannya sudah berpindah ke 

halaman depan. 

***


Pertarungan antara Pandan Wangi dengan Jaran 

Kedung sudah berlangsung puluhan jurus. Dan tampaknya 

Jaran Kedung mulai terdesak dengan serangan-serangan 

Pandan Wangi yang sangat cepat dan berbahaya. Apalagi 

setelah gadis itu mengeluarkan pedang Naga Geni, pedang 

pusaka andalannya. Udara di sekitar tempat pertarungan 

itu menjadi panas oleh pedangnya yang mengeluarkan 

hawa panas yang semakin lama semakin membakar kulit. 

Napas Jaran Kedung tampak mulai tersengal, tak bisa 

lagi menghirup udara segar untuk tubuhnya. Gerakan-

gerakan jurusnya semakin kacau oleh serangan-serangan 

gencar Pandan Wangi yang sudah membaca keadaannya. 

"Awas kaki...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba. 

Secepat kilat gadis itu mengibaskan pedangnya ke arah 

kaki Jaran Kedung, buru-buru Jaran Kedung melompat 

menghindari tebasan pedang yang datang bagaikan kilat 

itu. Tapi tanpa diduga sama sekali. Pandan Wangi 

mengibaskan kipas mautnya yang berada di tangan kin. 

Bret! 

"Akh!" Jaran Kedung melenting sambil mendekap 

perutnya yang robek terkena sambaran kipas baja sakti. 

Darah mengucur dari perut yang sobek cukup panjang. 

Jaran Kedung meringis merasakan sakit yang teramat 

sangat pada luka di perutnya. Dan belum lagi dia sempat 

menyadari posisi lawannya mendadak Pandan Wangi 

menusukkan pedangnya ke arah dada. 

Tring! 

Jaran Kedung beruntung, dia masih bisa menangkis 

tusukan itu dengan trisulanya. Tapi tak urung tangan Jaran 

Kedung bergetar hebat, dan senjata yang diandalkannya 

Itu terlontar ke udara, dan belum lagi dia sempat mem-

perbaiki posisinya, kipas Pandan Wangi bagaikan kilat 

menghantam dadanya dengan telak. 

"Ugh!" Jaran Kedung mengeluh pendek. 

Selagi tubuh laki-laki itu terjajar ke belakang, Pandan 

Wangi memekik seraya bersalto di udara. Tepat ketika 

berada di atas kepala Jaran Kedung, pedang yang me


mancarkan cahaya merah itu berkelebat cepat 

Jaran Kedung tidak bisa mengelak lagi, pedang pusaka 

lawannya itu menghantam kepalanya hingga terbelah jadi 

dua bagian. Jeritan panjang terdengar jelas sebelum 

tubuhnya ambruk ke tanah. 

Pandan Wangi menarik napas panjang sambil 

memasukkan kembali pedang pusakanya itu ke dalam 

warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak di samping 

mayat Jaran Kedung. Sebentar dia menatap lawannya yang 

sudah menjadi mayat, kemudian beralih memandang 

Rangga dan Dimas yang masih berdiri berhadap-hadapan 

dengan Wira Perakin, Antasuro dan Arya Mahesa. 

Rangga sempat memberikan senyum pada Pandan 

Wangi yang dibalas dengan manis oleh gadis itu. Dengan 

langkah tegap, Pandan Wangi menghampiri Pendekar 

Rajawafi Sakti yang berdiri berdampingan dengan Dimas. 

Pandan Wangi berdiri tegak di samping Rangga. Kini 

imbang jadinya, tiga lawan tiga. 

*** 

Wira Perakin mengegoskan kepalanya sedikit, memberi 

isyarat pada dua orang yang mendampinginya. Arya 

Mahesa dan Antasuro mengerti, mereka lalu menggeser-

kan badannya ke samping, menjauhi Wira Perakin. Pandan 

Wangi dan Dimas juga bergeser mengikuti arah kedua laki-

laki tua itu bergerak. 

"Hup!" 

Wira Perakin melompati tiga lubang berjajar yang 

dibuat Rangga. Kedua kakinya menjejak tanah dengan 

nngan hanya sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar 

Rajawali Sakti itu. Kini dua tokoh sakti itu sudah ber-

hadapan dan saling bertatap muka dengan tajam, seakan 

tengah mengukur tingkat kepandaian masing masing. 

"Bersiaplah untuk mati, Bocah!" kata Wira Perakin 

dingin dan datar. Tatapan matanya juga tampak dingin 

membeku.


"Silakan, aku pun tidak akan sungkan-sungkan 

mengirimmu ke neraka," balas Rangga tenang. 

"Hm..., nyalimu besar juga," suara Wira Perakin 

terdengar sinis. 

Rangga hanya tersenyum. 

"Aku beri kau sepuluh jurus. Ayo, serang aku!" bentak 

Wira Perakin. 

"Aku rasa, yang tua sebaiknya lebih dulu menyerang. 

Biar aku yang muda tidak kelihatan kurang ajar," sambut 

Rangga tetap tenang, namun nadanya jelas mengejek. 

"Bedebah! Kau menghinaku, Bocah!" 

"Terserah apa maumu!" 

"Kurang ajar! Salahmu sendiri kalau mampus lebih 

dulu!" 

"Aku jamin, tiga jurus saja kau pasti roboh!" 

"Monyet buduk! Mampus, kau! Hiyaaa...!" 

"Eits!" 

Wira Perakin tidak dapat lagi mengendalikan amarah-

nya. Telinganya terasa panas mendengar ejekan dan 

tantangan Rangga. Baru kali ini dia ditantang anak muda 

yang lebih pantas menjadi anaknya. Wira Perakin langsung 

menyerang dengan jurus urus mautnya, namun sedikit pun 

dia tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya. Jelas sekali 

kalau Pendekar Rajawali Sakti itu masih ingin memancing 

emosi lawannya. 

Sementara itu Pandan Wangi juga sudah bertarung 

dengan Antasuro, dan Dimas menghadapi Arya Mahesa. 

Pertarungan seru terjadi pada tempat yang tidak berjauhan 

Sepertinya mereka tidak ingin jauh dari lubang yang dibuat 

Rangga untuk mereka yang kalah. Suatu pertarungan 

hidup dan mati! 

Tidak ada lagi kata saling mengejek, tidak ada lagi kata 

saling menantang. Pertarungan untuk mengenyahkan 

kesewenang-wenangan, pertarungan untuk membalaskan 

dendam, dan pertarungan untuk mempertahankan ke-

hormatan dan ambisi. 

Meskipun dalam keadaan terluka. Dimas masih


mampu menandingi Arya Mahesa, yang tingkat kepandai-

annya masih di bawah Wira Perakin dan Antasuro. 

Semuanya memang, tanpa disadari oleh yang lainnya, 

sudah diatur oleh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu 

memang sudah bisa memperhitungkan ketiga orang 

lawannya, dan memihkan Arya Mahesa menjadi lawan 

Dimas. 

Rangga selalu membagi perhatiannya pada Pandan 

Wangi dan Dimas, meskipun dirinya tengah bertarung 

hebat dengan Wira Perakin. Dia tidak ingin salah satu di 

antara mereka masuk lubang yang telah d buatnya sendiri, 

terutama Dimas, yang melawan Arya Mahesa dalam 

keadaan tubuhnya yang terluka. 

Wira Perakin tidak menyadari kalau Rangga tengah 

mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali' tingkat pertama 

Gerakan-gerakannya tampak tidak beraturan seperti orang 

mabuk kebanyakan minum arak. Namun tetap saja 

gerakan-gerakannya tidak bisa dipatahkan oleh Wira 

Perakin, bahkan untuk menjangkaunya pun terasa sulit. 

Hingga lelaki tua itu merasa geram dibuatnya. Setiap kali 

Wira Perakin melontarkan pukulan dan tendangan, setiap 

kali itu pula Rangga bisa mengelakkannya dengan manis, 

hingga pukulan dan tendangan lawannya hanya menemui 

tempat kosong. 

"Edan!" Wira Perakin mengumpat, pukulan mautnya 

luput dari sasaran. 

"Sudah dua puluh jurus, Setan Tua," kata Rangga 

mengingatkan, tap jelas nadanya mengejek Bibimya 

menyunggingkan senyum mengecilkan lawannya. 

"Phuih! Jangan besar kepala dulu, Bocah! Tahan aji 

'Pukulan Karang'ku!" geram Wira Perakin. 

Seketika itu juga Wira Perakin merubah gerakannya. 

Dan setiap pukulan yang dilepaskannya sungguh berakibat 

dahsyat. Tembok dan pepohonan di sekitar mereka 

tumbang dan hancur terkena sambaran dan hantaman 

pukulan Wira Perakin. Dan Rangga sendiri kerepotan, angin 

pukulan lawannya membuat tubuhnya sempoyongan.


"Aku harus segera mengakhiri pertarungan ini. Dimas 

sudah kelihatan terdesak." gumam Rangga dalam hati. 

Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan aji 

'Cakra Buana Sukma'. Kedua tangannya mulai diliputi 

cahaya biru berkilauan, lalu terulur ke depan. Wira Perakin 

yang sudah menerjang dengan aji 'Pukulan Karang'nya 

tidak bisa menarik tangannya kembali. 

Glarrr...! 

Satu ledakan keras terjadi begitu dua pasang tangan 

bertemu dan beradu kekuatan Wira Perakin sangat terkejut 

merasakan tangannya seperti membentur perekat yang 

sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas-

kan kedua tangannya dari telapak tangan Rangga. 

"Uhk! Hiyaaa...!" 

Wira Perakin mengerahkan seluruh tenaga dalamnya 

untuk melepaskan tangannya, namun semakin dia ber-

usaha keras, semakin kuat saja tangannya menempel 

pada tangan lawannya, bahkan kini dia merasakan tenaga-

nya mulai tersedot. Dan cahaya biru itu kini mulai menjalar 

ke seluruh tubuhnya. 

"Aaakh...!" Wira Perakin menjerit keras begitu tubuhnya 

terbungkus sinar biru yang memancar dari kedua telapak 

tangan Rangga. 

"Hih! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras. 

Seketika itu juga dia menyentakkan tangannya dan 

tubuh Wira Perakin terjungkal ke belakang. Tanpa ampun 

lagi tubuh laki-laki tua itu terjatuh ke dalam lubang yang 

disiapkan Pendekar Rajawali Sakti. Darah kental 

kehitaman merembes keluar dari mulut dan hidungnya. 

"Oh, akh!" 

Pelan-pelan Wira Perakin berusaha bangkit, tapi 

Rangga cepat menekan dada lelaki itu dengan kaki kanan-

nya. Kembali tubuh laki-laki tua itu telentang dalam lubang. 

Wajah Wira Perakin pucat pasi membayangkan apa yang 

akan terjadi pada dirinya. Kini dia benar-benar tak berdaya, 

tenaganya tersedot habis oleh aji 'Cakra Buana Sukma'. 

Tepat pada saat itu, Pandan Wangi memekik keras


sambil melenting tinggi ke udara. Pedang Naga Geni dia 

kibaskan dengan cepat, dan.... 

"Aaakh...!" Antasuro menjerit sambil mendekap dada-

nya yang hampir terbelah oleh pedang yang membabatnya. 

Pandan Wangi melayangkan kakinya menghantam 

dada Antasuro, tubuh laki-laki itu mental dan ambruk ke 

tanah. Pandan Wangi cepat memburunya, dengan kaki 

kirinya dia menendang, hingga tubuh Antasuro terguling 

masuk ke dalam lubang. Sebentar tubuh orang tua itu 

menggelepar, lalu terdiam kaku. Pandan Wangi berdiri 

tegak di samping lubang yang sudah terisi. Bibirnya 

menyunggingkan senyum di antara pipi dan lehernya yang 

bersimbah keringat. 

"Kenapa tidak kau bunuh saja dia, Kakang" tanya 

Pandan Wangi melihat Wira Perakin masih bernapas satu-

satu. 

"Biar Dimas yang melakukannya," sahut Rangga ter-

senyum. 

Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada Dimas 

yang masih bertarung menghadapi Arya Mahesa. Agak 

cemas juga gadis itu melihat Dimas jatuh bangun terdesak 

terus. Tapi.. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja 

keadaannya jadi terbalik. 

Kibasan-kibasan pedang Dimas kini lebih terarah, dan 

selalu mengincar bagian-bagian tubuh lawannya yang 

lowong. Pandan Wangi jadi tersenyum geli begitu melihat 

bibir Rangga bergerak-gerak, dan gadis itu segera 

mengerahkan ilmu pendengaran jarak jauh. Mula-mula 

hanya samar-samar saja terdengar, tapi kemudian jadi 

jelas. Rangga mengirimkan petunjuk untuk melumpuhkan 

Arya Mahesa pada Dimas dengan ilmu 'Pemindah Suara' 

yang sungguh hebat sehingga orang yang bdak dituju tidak 

dapat mendengarnya. 

Keadaan yang berbalik ini benar-benar membuat Arya 

Mahesa serba salah dan takut, apalagi melihat Wira 

Perakin dan Antasuro sudah terbujur di dalam lubang, juga 

melihat Rangga dan Pandan Wangi, yang mungkin akan


menggilirnya setelah Dimas, dengan ilmu kesaktian tingkat 

tingginya. Arya Mahesa benar-benar goyah, kepercayaan 

dan keberaniannya musnah sudah. 

"Kini giliranmu Setan! Yeaaah...!" teriak Dimas. 

Tubuh Dimas melompat, lalu dengan cepat menukik ke 

bawah. Sambil menjatuhkan diri, Arya Mahesa menangkis 

pedang Dimas, namun tanpa diduga sama sekali, kaki 

Dimas menjejak keras dadanya. 

"Aaahhh...!" Arya Mahesa merasa dadanya sesak sekali. 

Dan Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia 

langsung menusukkan pedangnya ke leher Arya Mahesa, 

dan mengoyaknya hingga robek lebar. Darah langsung 

muncrat menyembur ke luar. Dengan gemas dan dendam 

yang meluap di dada, Dimas menendang tubuh Arya 

Mahesa yang sudah tidak bemyawa itu ke dalam lubang 

yang tersisa. 

Mata anak muda itu mendelik ketika menghampiri 

Rangga dan melihat Wira Perakin masih hidup, meng-

geletak tak berdaya di dalam lubang. 

"Kenapa kau masih biarkan dia hidup?" tanya Dimas. 

"Kau mencari-cari orang ini, kan? Nah! Sekarang dia 

kuserahkan padamu dalam keadaan hidup," sahut Rangga 

tenang. 

Dimas hanya bisa memandang Rangga sesaat lalu 

beralih pada Pandan Wangi. 

"Terserah, apa yang akan kau lakukan padanya. Aku 

sudah menepati janjiku untuk menyerahkannya hidup-

hidup padamu," kata Rangga lagi. 

Dimas mendekati lubang yang diisi oleh tubuh Wira 

Perakin itu, lalu membungkukkan badannya. Dimas 

kemudian mengangkat dan menarik keluar tubuh orang itu. 

Wira Perakin sempoyongan dan jatuh terduduk. 

"Hm..., hari ini akhir dari segala penderitaan dan 

dendam kesumatku, Perakin! Kematan terlalu mudah 

bagimu! Kau tidak pernah merasakan bagaimana hidup 

dengan penderitaan Aku ingin semua orang di desa ini 

melihatmu tetap hidup! Dengan kesengsaraan dan


penderitaan seperti mereka, bahkan lebih nista dan 

abadi... seumur hidupmu!" Dimas melampiaskan gejolak di 

dadanya, "Berdiri kau, Wira Perakin! Berdiri...!" 

Wajah Wira Perakin pucat dan tubuhnya gemetar. Dia 

tidak tahu hukuman apa yang diterimanya dari Dimas, 

hanya samar-samar dia mendengar... penderitaan seumur 

hidup! Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan.... 

Bug! 

Cras! 

"Aaakh...!" Wira Perakin mengerang tertahan, lalu 

ambruk pingsan. Tangannya menutupi bagian bawah 

pusarnya yang bersimbah darah. Satu tendangan keras di 

dadanya, dan sabetan pedang pada alat vitalnya mem-

buktikan kenyataan seperti yang diucapkan Dimas... pen-

deritaan seumur hidup yang tak terperikan! 

*** 

Rumah besar yang pemah ditempati Wira Perakin itu 

tampak meriah. Sepasang pengantin duduk ditikar..., irama 

kehidupan yang baru kini mulai membentang. Wajah Dimas 

dan Wulan tampak cerah dan berseri-seri. Secerah hati 

penduduk yang baru terbebas dari belenggu penderitaan, 

dan kesewenang-wenang-an. Meski semua itu ditebus 

dengan bersimbahnya darah, darah keangkaramurkaan 

dan kesatriaan yang berbaur jadi satu. 



                             SELESAI

.



 

Share: