SATU
Senja mulai turun merayap mendekatj malam. Matahari
semakin condong ke ufuk Barat Sinarnya yang lembut
kemerahan membias indah menanti datangnya rembulan
Seorang pemuda berkulit kuning langsat, duduk ber-
jongkok di pinggir gundukan tanah merah. Keadaan
sekitarnya sepi dan mulai gelap.
Matanya merembang sayu menatap pada batu pi pih
yang tertanam di atas gundukan tanah di depan nya. Entah
sejak kapan pemuda itu duduk berjongkok di sana. Raut
wajahnya terlihat sedih dan matanya sembab seperti bekas
tangisan.
"Aku yakin kau menderita di alam sana. Maafkan aku
baru bisa mengunjungimu hari ini, mudah-mudahan kau
senang dengan kedatanganku," pelan dan lirih dia ber-
gumam.
Pemuda itu menarik napas panjang dan berat, lalu
pelahan lahan dia mengangkat kepalanya. Sejenak dia
menatap sang surya yang hampir tenggelam di ufuk Barat
Di sini, di tempat sepi ini segalanya pernah terjadi.
Peristiwa yang tak akan pemah terlupakan sepanjang
hidupnya Peristiwa yang terjadi lima belas tahun silam, di
mana saat itu dia masih seorang bocah berumur sepuluh
tahun
Ingatannya kembali pada peristiwa yang begitu
membekas di hatinya dan menimbulkan api dendam yang
selalu membara Saat di mana dia dengan kakak
perempuannya baru pulang mencari kayu bakar. Dan di
jalan yang agak sepi dan tersembunyi, keduanya berhenti
sejenak melepaskan lelah dan penat
"Kau masih punya makanan, Dimas?"
"Kak Surti sudah lapar, ya?"
Gadis yang berkulit kuning langsat itu tersenyum dan
mengangguk. Dia menurunkan kayu bakar dan punggung
nya kemudian duduk di bawah sebuah pohon yang rindang.
Bocah kecil yang dipanggil Dimas itu mendekat. Dan
menyerahkan bungkusan daun kepada Surti, kakaknya.
"Hayo Dimas, kita makan sama-sama," Surti me-
nawarkan bekal itu setelah membukanya.
"Kakak sajalah, aku belum lapar," tolak Dimas seraya
duduk menghadapi kakaknya.
Ketika Dimas tengah memperhatikan kakaknya yang
sedang makan, mendadak muncul lima orang laki-laki ber-
tubuh kekar dengan wajah seram, dan segera mendekati
mereka. Kelimanya menyandang senjata di pinggang
masing-masing senjata berbentuk golok besar dan ber-
gagang hitam pekat
Seketika Surti langsung menghentikan makannya dan
segera bangkit menarik tangan adiknya. Lima orang asing
di hadapan mereka itu tertawa terkekeh-kekeh. Sinar
matanya liar memandangi wajah dan tubuh Surti. Perlahan-
lahan kelimanya melangkah semakin dekat
Tiba-tiba saiah seorang meloncat, dan mencekal
tangan Surti. Gadis itu kontan menjerit dan meronta ber-
usaha melepaskan diri. Dimas, bocah tanggung yang baru
berusia sepuluh tahun itu, segera menyadari kalau mereka
terancam bahaya. Kedua tangannya langsung men-
cengkeram dan menarik tangan kasar yang mencekal
tangan kakaknya.
"Setan!" geram laki-laki itu.
Kaki kanannya menyepak lambung Dimas, sehingga
tubuh bocah itu terlempar ke samping.
"Akh, jangan...!" jerit Surti begitu rubuhnya tertarik dan
mukanya membentur dada orang yang mencekal tangan-
nya.
Orang itu seperb sengaja melepaskan cekalannya dan
Surti langsung berlari mendekati adiknya. Namun sebentar
kemudian pundaknya kembali dicekal keras sehingga
tubuh Surti pun tersentak ke belakang Dan sebelum
tubuhnya jatuh terjengkang, sepasang tangan kekar telah
memeluknya. Surti menjerit-jerit melepaskan diri, namun
pelukan laki laki itu terlalu kuat dia rasakan.
"He... he... he..., diamlah Cah Ayu," orang itu terkekeh.
Bret!
"Auh!" Surti memekik kaget, wajahnya jelas menampak-
kan kengerian
Orang itu membuka bajunya dengan kasar. Tubuh yang
terbalut kain kuning halus itu pun terbuka lebar. Lima
orang lelaki itu serempak tertawa penuh nafsu, melihat
tubuh indah berlarian berusaha menyelamatkan diri.
Langkah kaki Surti terhenti begitu salah seorang dari
mereka melompat menghadangnya.
"He... he... he...!"
"Akh..., jangan! Aku mohon, jangan...," rintih Surti
memelas.
"Kemarilah, anak manis. He... he... he..., kau cantik dan
menggairahkan."
"Tidak...."
Nasib Surti benar-benar seperti mainan, dirinya di
dorong dan dioperkan ke sana kemari bagai bola. Pakaian-
nya sudah tak karuan lagi robek di sana-sini. Beberapa
bagian tubuhnya tersembul ke luar, membuat mata jalang
lima laki laki itu semakin liar dan buas.
Surti menjerit-jerit, meronta berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman salah seorang yang memeluknya dan
belakang. Belum lagi gadis itu melepaskan diri, salah
seorang lainnya sudah menarik tangannya. Tubuh Surti
sempoyongan, dan jatuh terguling ke tanah. Gadis itu
memekik keras begitu salah seorang lagi menindih tubuh-
nya.
"Ehhh..., lepaskan! Jangaan..!" teriak Surti merintih.
Tenaga Surti tak bisa menandingj laki laki kekar dan
kasar itu. Surti sudah tidak berdaya lagi. Laki laki itu
semakin liar, sia-sia saja dia meronta dan mencakar. Laki
laki itu menarik kasar sisa kain yang dipakainya.
"Akh!" Surti memekik kaget.
"He... he... he...!" lima orang laki-laki berandal itu ter-
tawa liar.
Mereka segera mendekati Surti yang terus meronta-
ronta di bawah himpitan salah seorang dari mereka. Surti
sudah tak punya kekuatan lagi. Kedua tangannya di-
pegangi. Tubuhnya sudah polos tanpa selembar kain pun.
Air matanya mengalir deras menangisi nasibnya. Dia hanya
bisa merintih dan memohon, namun semuanya sia-sia
belaka.
"Aaakh...!" Surti menjerit keras begitu merasakan
sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Mata gadis itu terpejam, tak sanggup lagi menyaksikan
wajah-wajah kasar yang tersenyum menyeringai di atas
tubuhnya. Belum lagi dia menarik napas lega setelah laki
laki yang berada di atasnya bangkit, tubuhnya kembali
ditindih oleh seorang lainnya. Kembali Surti menjerit keras,
lalu pingsan tak tahan lagi menerima cobaan yang bertubi-
tubi itu. Tubuhnya yang sudah tergolek pingsan pun
kembali digilir oleh tiga orang berikutnya.
"Tidaaak...!" Dimas menjerit keras.
Tubuh anak muda itu jatuh lemas memeluk gundukan
tanah di depannya. Air matanya jatuh bergulir di pipi, tak
sanggup lagi dia membayangkan peristiwa keji yang
memmpa kakaknya lima belas tahun silam. Lima orang
yang kerasukan iblis memperkosa kakak perempuannya
secara bergiliran, dan membunuhnya setelah puas.
"Akan kucari mereka, akan kubunuh mereka semua.
Percayalah, Kak. Aku akan membalaskan sakit hatimu!"
geram Dimas. Kedua telapak tangannya saling terkatup
mengepal.
Pelahan-lahan Dimas bangkit, dan menyeka air mata-
nya. Lalu kembali dia menatap pusara Surti, dan menarik
napas panjang dan berat
"Mereka harus mati! Mati...!" teriak Dimas keras, penuh
dendam.
Suara teriakan yang keras itu menggema, terpantul
oleh pepohonan dan bukit-bukit batu. Teriakannya yang
disertai tenaga dalam itu membuat alam sekitarnya seolah
bergetar ikut merasakan getaran hatinya yang penuh bara
dendam.
"Aku bersumpah, mereka harus mati di tanganku!"
***
Sementara itu di sebuah perkampungan kecil di antara
perbukitan, seorang gadis bertubuh sintal dan berkulit
hitam manls, tengah duduk merenung di atas dipan kayu di
teras rumahnya Wajahnya murung dan pandangan mata-
nya tampak kosong. Bibimya yang mungil dan tipis
kemerahan, terkatup rapat
"Wulan...," terdengar suara lembut memanggil.
Gadis itu menoleh, pandangannya langsung tertuju
pada perempuan tua yang berdiri di ambang pintu. Tapi
bibir mungil indah itu tak menjawab sedikit pun, dia
kembali menatap kosong ke depan. Perempuan tua yang
tak lain ibu si gadis itu melangkah mendekati, dan duduk di
samping anaknya. Jari-jari tangan tuanya yang kurus dan
berkenput membelai-belai rambut Wulan.
"Kenapa Ayah menerima pinangan tua bangka itu, Bu?"
pelan dan lirih suara Wulan bertanya.
"Ayahmu tidak bisa berbuat a pa-apa anakku."
"Orang itu sudah punya banyak istri, Bu! Lagi pula aku
tidak pantas jadi istrinya. Dia terlalu tua, lebih tua dari
Ayah!"
"Kau harus mengerti, Wulan. Tidak seorang pun yang
bisa menolak keinginan Gusti Wira Perakin. Apa kau rela
melihat Ayahmu mati di tiang gantungan? Sementara kau
sendiri...," perempuan tua itu tak bisa lagi membayangkan
dan meneruskan kata katanya
Wulan terdiam mematung. Dia hanya menoleh pada
ibunya sesaat, lalu menatap kembali jauh ke depan.
Sementara itu langit mendung, awan tebal menghitam
seolah turut merasakan hati gadis yang tengah diliputi
kegalauan itu. Nyi Sukirah menepuk lembut bahu anaknya.
dan mengajaknya masuk ke dalam begitu dia menyadari
akan turun hujan.
Keduanya duduk berdampingan di balai-balai bambu di
dalam ruangan depan rumahnya Di sudut balai-balai
bambu itu tergeletak sekotak kayu berukir indah. Wulan
memandangi benda itu dengan perasaan yang dipahami
benar oleh ibunya. Sekotak kayu yang berisi perhiasan
emas! Tanda ikatan pinangan yang jumlahnya baru sekali
ini dia lihat selama hidupnya!
Wulan tak sanggup membayangkan, bagaimana
perasaan kekasihnya bila mengetahui dirinya telah
dipinang lelaki tua bangka, yang lebih pantas menjadi
ayahnya daripada menjadi suaminya. Laki laki yang ber-
kuasa dan amat ditakuti oleh seluruh penduduk desa ini.
Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya! Ya...,
tidak seorang pun!
"Hhh...!" Wulan mendesah panjang. Nadanya gusar.
"Pulangkan saja tanda ikatan pinangan itu, Bu!"
"Wulan...!" Nyi Sukirah tersentak kaget
"Aku tidak mau, Bu. Aku tidak bisa mengkhianati Kang
Dimas. Aku sudah berjanji akan setia sampai menunggu
Kang Dimas kembali. Kembalkan saja tanda ikatan
pinangan itu, Bu," Wulan merajuk.
"Wulan..., kau tahu apa akibatnya menolak pinangan
Gusti Wira Perakin? Tidak, Nak! Jangan bawa orang tuamu
ke tiang gantungan! Aku mohon, jangan," Nyi Sukirah tak
bisa lagi membendung air matanya. Dia memeluk bahu
putrinya.
"Kita bisa meninggalkan desa ini, Bu. Di sini kita juga
tidak mempunyai apa-apa. Semuanya dikuasai si Tua
Bangka itu. Seumur hidup kita dililit hutang yang semakin
membengkak!" makin meninggi suara Wulan.
"Gusti Wira Perakin akan membebaskan semua hutang-
hutang ayahmu, Wulan. Bahkan dia akan menyerahkan
kembali tanah milik ayahmu. Dia akan menjamin
kehidupan kita," bujuk Nyi Sukirah. "Berbaktilah pada
orang tuamu, Wulan."
"Tidak, Bu! Diriku bukan untuk dijual!" tegas Wulan.
"Wulan...!" Nyi Sukirah tak mampu lagi bersuara.
Wulan bangkit berdiri, lalu dia mengambil kotak kayu
yang ada di sudut balai-balai bambu itu. Dia tercenung
sebentar, lalu berbalik dan duduk kembali di samping
ibunya. Tangannya terulur ke depan menyerahkan kotak
perhiasan itu kepada orang tuanya. Nyi Sukirah hanya
menatap kosong. Menahan kegetiran hatinya.
"Kalau Ibu atau Ayah tidak mau mengembalikan
perhiasan ini, biar aku yang mengembalikan sendiri," kata
Wulan tegas.
"Wulan...!"
Wulan meletakkan kotak perhiasan itu di pangkuan
ibunya, kemudian dia melangkah mendekati jendela yang
masih terbuka lebar. Nyi Sukirah tak tahu lagi apa yang
mesti dia perbuat Dia bangkit dan melangkah masuk ke
kamarnya membawa kotak perhiasan itu. Pintu kamar
berderit pelan, lalu tertutup rapat
"Maafkan aku, Ibu..., Ayah," bisik Wulan lirih.
"Tidak mungkin!" dengus Ki Sukirah kencang.
Laki laki tua yang rambutnya telah memutih itu,
menatap kotak kayu berukir di tangan istrinya. Kepalanya
tergeleng-geleng seakan tidak percaya kalau Wulan
menolak pinangan yang sudah diterimanya.
"Wulaaan...!" panggil Ki Sukirah keras.
"Pak...," Nyi Sukirah gemetaran melihat suaminya
begitu marah.
Pintu kamar terkuak pelahan lahan, dan dari balik pintu
itu muncul gadis ayu berwajah sendu. Sejenak dia
memandang kedua orang tuanya yang duduk di tepi
pembaringan. Pelahan lahan sekali dia melangkah men-
dekati.
"Duduk!" perintah Ki Sukirah.
Bibir Wulan tak menjawab sedikit pun. Dia duduk di
samping ayahnya dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
Tidak berani memandang wajah lelah tua di hadapannya.
Gadis itu menyadari benar apa yang tengah berkecamuk di
dada orang tuanya.
"Apa maksudmu mengembalikan tanda pinangan ini,
Wulan?" tanya Ki Sukirah mencoba menahan amarahnya.
"Membatalkan pinangan itu, Ayah," sahut Wulan lirih.
"Dan kau tahu, apa akibatnya?"
Wulan mengangguk pasti. Keberaniannya untuk me-
nentang ayahnya mendadak bangkit. Tatapan matanya
langsung ke bola mata ayahnya yang memerah.
Ki Sukirah menatap tajam anak gadisnya ini. Dia sangat
heran melihat begitu tegarnya Wulan!
"Pikirkan kembali matang-matang, Wulan. Ayah dan
ibumu hanya orang kecil, tak punya kekuatan apa-apa,"
pelan suara Nyi Sukirah mencoba menengahi.
"Gusti Wira Perakin sudah membawakan tanda
lamarannya, Wulan. Aku sudah menerimanya. Tidak
mungkin aku mengembalikannya lagi. Kau tahu itu, Wulan,"
sambung Ki Sukirah. Amarahnya tampak mulai surut
Sejenak suasana di kamar itu hening sesaat "Aku
sudah menyatakan tadi, kalau Ayah dan Ibu tidak mau
mengembalikan, biar aku sendiri yang mengembalikannya,"
pelan dan mantap suara Wulan.
"Wulan! Kau sadar mengatakan itu!" sentak Ki Sukirah.
"Aku sadar, Ayah! Justru aku sadar makanya kutolak
pinangan si Tua Bangka itu!"
Ki Sukirah terdiam dan menatap anak gadisnya dengan
gusar.
"Aku yakin, di dalam hati Ibu maupun Ayah tentu tidak
menerimanya. Jujur saja Ayah, aku ingin bertanya apakah
Ayah senang?"
Ki Sukirah dan istrinya terhenyak. Kata-kata anak
gadisnya menghunjam tepat dalam hati dan perasaan
mereka yang paling dalam. Mereka mengakui kebenaran
ucapan anaknya, dan tak mungkin lagi mereka bersitegang
mempertahankan pendiriannya, yang hanya didasari rasa
ketakutan mereka pada kekejaman Wira Perakin dan
orang-orangnya. Suasana di dalam kamar itu tercekam
kebisuan sepeninggal Wulan yang telah melangkahkan
kakinya ke luar.
DUA
Matahari belum lagi condong ke Barat, ketika utusan Wira
Perakin itu tiba. Rombongan itu terdiri dari delapan orang,
dan dipimpin oleh Jaran Kedung. Wajah-wajah mereka
tampak kasar dan bengis.
Ki Sukirah menyambut mereka dengan tergopoh gopoh.
Tubuhnya terbungkuk-bungkuk merendahkan dari. Sedang-
kan Nyi Sukirah hanya memandangjnya dari ambang pintu.
Wajah perempuan itu jelas memancarkan ketakutan yang
teramat sangat. Kedatangan delapan orang berkuda itu
menunjukkan Wira Perakin tidak main-main dengan niat-
nya mengambil Wulan. Dan kedatangan mereka pastilah
karena penguasa desa itu menginginkan ketetapan waktu
pelaksanaannya
"Oh, silakan. Silakan Tuan-tuan ke dalam," sambut Ki
Sukirah membungkuk hormat
"Hm...," Jaran Kedung mendengus sombong.
Laki-laki bertubuh tinggj kekar itu mdompat turun dari
punggung kuda, dan ketujuh orang lainnya pun mengikuti-
nya. Jaran Kedung melangkah tegap mengikuti Ki Sukirah
yang berjalan mendahuluinya. Sementara Nyi Sukirah
sudah menghilang dari ambang pintu.
Hanya dua orang yang mengjkuti Jaran Kedung masuk
ke dalam rumah. Ki Sukirah duduk bersila didampingi
istrinya. Sementara kebga orang utusan Wira Perakin itu
duduk di kursi. Berbeda dengan istrinya yang tampak
begitu cemas, Ki Sukirah seolah siap menghadapi apa pun
yang akan terjadi. Ucapan dan sikap Wulan telah
menyadarkan dirinya untuk tidak menyerah begitu saja
pada nasib yang akan menimpanya.
"Aku datang atas perintah Gusti Wira Perakin. Beliau
menginginkan perkawinannya dengan putrimu dipercepat,"
kata Jaran Kedung membuka suaranya lebih dulu.
Ki Sukirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang
kan istrinya semakin mengkeret ketakutan. Nyi Sukirah
gelisah dan duduk dengan sikap yang serba salah. Tatapan
matanya tak lepas dari lantai di seputar dia duduk, tak
berani dia menatap tamu-tamu yang tidak diharapkan
kedatangannya ini
"Kau harus memutuskan sekarang juga, kapan per-
kawinan itu akan dilaksanakan!" sambung Jaran Kedung.
"Maaf, Gusti Jaran Kedung. Bukannya aku tidak meng-
hormati. Gusti Wira Perakin. Tapi aku gagal membujuk
anakku," sahut Ki Sukirah pelahan.
"Ki Sukirah!" sentak Jaran Kedung keras. Urat-urat
matanya berkerut dengan tatapan yang tajam.
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Anakku telah punya
calon piihannya sendiri, dan...."
"Phuih!" dengus Jaran Kedung memotong ucapan lelaki
tua itu. Dia berdiri bertolak pinggang mendekati Ki Sukirah
dan istrinya. "Aku tidak peduli anakmu mau atau tidak!
Tujuh hari lagi kau harus menyerahkan anakmu! Aku yang
akan menjemputnya!"
"Tapi, Gusti...."
"Tidak ada alasan! Gusti Wira Perakin telah me-
nyiapkan pesta perkawinannya dengan anakmu, dan Gusti-
ku telah mengundang kerabat kerabatnya'"
Jaran Kedung langsung melangkah keluar diikuti dua
orang pengawalnya. Ki Sukirah tergopoh-gopoh beranjak ke
luar membawa kotak kayu berisi perhiasan tanda pinangan
Wira Perakin pada putrinya.
"Gusti...." panggil Ki Sukirah.
Langkah Jaran Kedung tertahan. Tubuhnya urung
meloncat ke atas punggung kudanya. Dia membalikkan
wajahnya memandang Ki Sukirah yang menghampirinya.
"Aku mengembalikan ini pada Gusti Wira Perakin," kata
Ki Sukirah menyodorkan kotak kayu berukir itu.
Jarang Kedung mendelik geram Dia membalikkan
tubuhnya dan segera merampas kotak kayu itu dari tangan
lelaki tua yang ada di hadapannya. Kemudian dia
mengegoskan kepalanya sedikit sebelum naik ke punggung
kudanya. Dua orang bertubuh kekar yang tadi mengikuti-
nya langsung mendekati Ki Sukirah.
Sret!
Hampir bersamaan dua orang itu mcncabut goloknya
yang terselip di pinggang. Ki Sukirah terkejut, dia me-
langkah mundur dengan tubuh agak gemetar. Dua buah
golok itu berkilatan tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan
dua orang itu menghampiri Ki Sukirah yang terus
melangkah mundur. Tubuh lelaki tua itu mulai basah oleh
keringat
"Orang tua bodoh! Mau dikasih enak, malah minta
penyakit!" dengus salah seorang.
Ki Sukirah tersentak begitu salah seorang lainnya
melompat sambil mengibaskan goloknya. Ki Sukirah
berkelit sedikit. Ilmu olah kanuragan yang pernah sedikit
dipelajarinya kini tidak percuma. Tebasan golok itu hanya
menyambar angin. Bahkan tanpa diduga sama sekali, kaki
kanan Ki Sukirah melayang cepat menghantam bagian
perut penyerangnya.
"Hugh!" orang itu mengeluh pendek.
Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mundur dua
bndak, bibimya menyeringai dan matanya menatap tajam
Ki Sukirah.
"Minggir...!" mendadak Jaran Kedung melompat cepat
dan punggung kudanya.
Tangannya memutar mutar tambang di samping
kanannya. Sepasang kakinya bergerak menyusur tanah
mengitari Ki Sukirah, dan tujuh orang lainnya segera ber-
lompatan mengurung tubuh lelaki tua itu.
Wuuut..!
Jaran Kedung mengebutkan tambangnya. Ki Sukirah
segera berkelit menghindari ujung tambang. Namun
tambang itu bagai bermata, ujungnya meliuk liuk mengikub
ke mana lelaki tua itu berkelit menghindar.
Ki Sukirah memang bukan tandingan Jaran Kedung.
Dalam beberapa gebrakan saja, tambang itu berhasil
membelit pergelangan tangannya. Ki Sukirah kuat tenaga
berusaha melepaskan belitan itu, namun ujung tambang
satunya segera menyambar pergelangan tangan kinnya
Jaran Kedung membetot keras, dan tubuh Ki Sukirah
tersentak jatuh bergulingan di tanah.
"Hiyaaa...!" Jaran Kedung berteriak kencang.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya berlompatan
mengitari tubuh Ki Sukirah yang bergulingan di tanah.
Tambang di tangan Jarang Kedung membelit kedua ngan
lelaki tua itu. Gerakan tubuh Jaran Kedung lalu terhenti.
Dia berdiri tegak memegangi satu ujung tambang. Matanya
tajam menatap Ki Sukirah yang telentang di tanah dengan
kedua tangan terikat.
"Seret orang ini!" perintah Jaran Kedung. Dia me-
lemparkan tambang yang dipegangnya pada salah seorang
yang terdekat.
Orang yang menangkap tambang Itu segera melompat
ke punggung kuda. K Sukirah ikut tersentak ketika kuda
digebah dengan kencang. Tapi tiba-tiba.
Tasss!
***
Tambang yang mengikat kedua tangan Ki Sukirah itu
terputus. Dan bersamaan dengan itu pula sebuah
bayangan putih berkelebat cepat menyambar Ki Sukirah,
langsung dibawanya tubuh laki-laki itu ke beranda rumah.
Beberapa saat Jaran Kedung dan orang-orangnya hanya
bisa terperangah kaget
Nyi Sukirah menghambur ke luar, menubruk tubuh
suaminya. Di belakang perempuan itu, berdiri seorang
gadis ayu berbaju biru muda dengan isak tangi tertahan.
"Ayah...," isak Wulan langsung berlutut
Wulan mendongakkan kepalanya memandangi pemuda
tampan berbaju rompi putih yang tengah berdiri di dekat
ayahnya yang terbaring Di punggungnya tersandang
pedang bergagang kepala burung. Sinar matanya tajam
tapi menyiratkan kearifan.
Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali
Sakti itu tak lama beradu pandang dengan anak gadis Ki
Sukirah. Dia lalu membalikkan badannya dan menatap
tajam Jaran Kedung dan orang-orangnya. Kedelapan orang
itu sudah menghunus pedangnya masing-masing. Tampak
Jarang Kedung menggeram menahan amarah.
"Siapa kau, berani mencampuri urusanku?!" Jaran
Kedung menyentak.
"Kau tak perlu tahu siapa aku," sahut Rangga dingin.
"Gembel busuk! Buka matamu lebar lebar dengan siapa
kini kau berhadapan?"
"Aku tahu, kau adalah orang yang tak pantas hidup di
dunia."
"Setan belang! Bunuh gembel busuk itu!" teriak Jaran
Kedung gusar.
Serentak tujuh orang anak buahnya berlompatan
mengurung Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu tampak
tenang menghadapi musuh musuhnya dia hanya melompat
ringan menjauhi beranda. Kedua matanya tajam merayapi
tujuh orang yang bergerak memutari sambil membuka
jurus-jurusnya
"Seraaang...!" perintah Jaran Kedung keras.
Serentak ketujuh orang bersenjata pedang itu
menerjang Rangga. Sinar keperakan dari pedang itu ber-
kelebat cepat menyambar dan memburu tubuh Pendekar
Rajawali Sakti itu dari setiap sudut. Rangga dengan manis
dan lincah menghindari setiap serangan yang datangnya
beruntun.
"Huh! Mereka tidak boleh dibiarkan keenakan me-
nyerangku!" dengus Rangga dalam hati.
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali.' Seketika itu juga tangannya menjadi
merah bagai terbakar. Sambil berteriak nyaring, dia
menerjang sambil melontarkan pukulan mautnya. Dua
orang dari ketujuh pengepungnya itu langsung menjerit
keras begitu terhantam pukulan maut yang dilepaskan
Rangga.
Dua orang itu langsung menggelepar dengan dada
melesak ke dalam. Dari mulut dan hidungnya mengucur
darah segar. Kelima orang lainnya, tak terkecuali Jaran
Kedung, terperangah takjub menyaksikan pukulan itu.
Belum hilang perhaban mereka dari kejadian itu, men-
dadak Rangga bergerak cepat seraya melontarkan
beberapa pukulan.
Jeritan dan erangan panjang terdengar saling sahut
menyahut Tubuh tubuh itu menggelepar tak berdaya lalu
satu per satu nyawa mereka melayang dari badan. Jaran
Kedung yang menyaksikannya melompat mundur beberapa
langkah. Rangga berdiri tegak memandangi dengan sorot
mata yang tajam bagai burung rajawali
"Sekarang giliranmu, lblis!" geram Rangga.
"Phuih!" Jaran Kedung menyemburkan ludahnya.
Perlahan-lahan Rangga mendekati, kedua tangannya
yang berwarna merah menyala terkepal erat
"Hiyaaa...!" teriakan Rangga terdengar melengking
tinggi
Bersamaan dengan itu, kedua tangannya menghentak
ke depan, sinar merah meluncur deras ke arah Jaran
Kedung. Anak buah Wira Perakin itu menghindar dengan
cepat, hingga sinar merah itu melesat mengenai sebuah
pohon besar di belakang Jaran Kedung. Ledakan keras
begitu jelas terdengar memekakkan telinga, lalu disusul
robohnya pohon besar itu. Jaran Kedung terpana menyaksi-
kan pohon besar itu hancur berkeping keping, nyalinya pun
mulai surut
Belum lagi hilang rasa kagetnya, mendadak Rangga
sudah melontarkan lagi pukulan jarak jauhnya. Jaran
Kedung cepat menyadari keadaan, dia berlompatan meng-
hindari pukulan yang mulai datang bertubi-tubi.
"Gila! Aku tak mungkin bisa menandingi orang ini,"
dengus Jaran Kedung dalam hati.
Tepat ketika Rangga melesat hendak menerjangnya,
Jarang Kedung langsung melompat dan menggebah
punggung kudanya. Rangga berdiri tegak memandangi
kepergian Jarang Kedung yang sudah hilang keberaniannya
itu, dan tidak berniat mengejarnya.
Pendekar Rajawali Sakb itu menoleh ketika mendengar
suara langkah langkah kaki menghampiri dari belakang.
Tampak Ki Sukirah bersama istri dan anaknya berlarian
menghampiri. Mereka berhenti di depan pendekar muda
itu. Sejenak Rangga memandang dua orang yang mem-
bungkuk memberi hormat padanya, lalu tatapannya beralih
pada seorang gadis ayu yang hanya berdiri tegak me-
mandangnya dengan sinar mata yang aneh.
"Terima kasih, Tuan Pendekar," ucap Ki Sukirah.
"Tapi, sebaiknya kau cepat tinggalkan desa ini,"
sambung Wulan.
"Wulan...!" sentak Nyi Sukirah tertahan.
"Tua bangka itu pasti marah. Lebih-lebih tujuh orangnya
mati di sini," kata Wulan lagi.
"Sebenarnya apa yang terjadi di sini! Maksudku,
kenapa Bapak sampai disiksa mereka?" Rangga bertanya
sopan. Bibirnya menyunggingkan senyuman ramah.
"Ini adalah persoalan pribadi, dan kau tidak perlu ikut
campur. Terima kasih atas pertolonganmu!" Wulan yang
menyahut, nada suaranya terdengar ketus dan tak senang.
Rangga mengernyitkan keningnya. Matanya agak
menyipit memandang gadis manis di depannya. Sungguh
baru kali ini dia menemui sikap seorang gadis yang seperti
itu, sikap yang tak ramah bahkan menjurus kasar.
Rangga menarik napas panjang, wajahnya pun kembali
menyiratkan keramahan
"Baiklah, maafkan kalau aku telah mencampuri urusan
kalian, aku permisi."
Rangga berbalik dan segera melangkah pergi. Dalam
sekejap saja tubuh pendekar muda itu lenyap di balik
pepohonan. Ki Sukirah dan istrinya memandangi ke arah
mana tubuh anak muda yang telah menolongnya itu
berlalu. Lalu hampir berbarengan keduanya menoleh ke
arah Wulan. Sinar mata mereka menunjukkan kedongkolan
karena merasa malu atas sikap anak gadisnya.
"Keterlaluan kau, Wulan!" bentak Ki Sukirah tertahan.
"Aku tidak percaya dia orang baik-baik. Ayah. Bisa saja
dia pura-pura menolong, tapi menyimpan maksud tertentu
yang kita tidak tahu," sahut Wulan mempertahankan sikap-
nya.
"Tapi tidak seharusnya kau bersikap begitu, dia sudah
mempertaruhkan nyawanya untuk membela ayahmu,"
tandas Nyi Sukirah.
"Kalau hanya menghadapi begundal-begundal Itu, aku
rasa Kakang Dimas juga bisa. Bahkan si Wira Perakin itu
tak akan mampu menghadapi Kang Dimas!" ada nada
kebanggaan pada suara Wulan.
"Ah! Sudahlah, Wulan. Kau terlalu berharap dia pulang.
Dimas tidak akan kembali lagi ke sini, dia tengah pergi
menuntut balas pada nasib kakaknya yang diperkosa dan
dibunuh oleh orang-orang yang dia sendiri tidak tahu ke
mana harus mencarinya," kata Ki Sukirah menenangkan
gejolak hati anak gadisnya.
Wulan memberengut kesal, laki berbalik dan berlari
masuk ke dalam rumah. Ucapan ayahnya telah mematah-
kan harapannya akan kedatangan Dimas, lelaki muda dan
gagah tambatan hatinya. Ki Sukirah menggeleng-gelengkan
kepalanya pelahan, dia menyadari benar kalau anak gadis-
nya telah terpikat daya asmara, suatu daya yang membuat
dia dan istnnya dalam keadaan sulit, yaitu ancaman dari
Wira Perakin dan kaki tangannya.
Suami istri itu beberapa saat lamanya hanya diam
terpaku. Sinar matahari yang panas menyengat seolah
menyadarkan mereka, bahwa masih banyak yang harus
mereka kerjakan, termasuk mengurus mayat-mayat yang
bergelimpangan di hadapan mereka.
***
Brak!
Satu kepalan tangan menggebrak meja dengan keras.
Bola mata Wira Perakin merah menatap Jaran Kedung
yang berdiri tertunduk di depannya. Belum pemah ada
orang yang berani menentangnya. Belum ada seorang
gadis pun yang menolak pinangannya! Dan laporan Jaran
Kedung akan penolakan anak gadis Ki Sukirah benar-benar
membuatnya murka!
"Seharusnya kau tidak perlu kembali, Jaran Kedung.
Aku lebih suka melihatmu mati bersama yang lain!" dingin
dan datar suara Wira Perakin.
"Ampun, Gusti. Orang itu amat sakti, hamba tidak
sanggup menandinginya," sahut Jaran Kedung bergetar.
"Siapa dia?"
"Orangnya masih muda, Gusti Ada pedang bergagang
kepala burung di punggungnya. Rambutnya panjang
terikat, dan berbaju rompi putih. Rasanya hamba belum
pernah bertemu dia sebelumnya, Gusti."
Wira Perakin memandang laki laki tua berbaju merah
yang duduk di samping kanannya, seorang laki-laki tua
dengan ramburnya yang memutih dan di tangan kanannya
tergenggam tongkat hitam berkepala bundar. Tampak
bulatan hijau bercahaya di kepala tongkat itu. Raut wajah
orang itu menampakkan kekalutan dan juga kebengisan.
"Demung Pari, kau cari anak muda itu. Bawa kepalanya
ke sini," perintah Wira Perakin.
"Hamba laksanakan, Gusti," jawab laki-laki berbaju
merah yang dipanggil Demung Pari itu. Dia segera bangkit
berdiri dan membungkuk hormat
Demung Pari menatap Jaran Kedung yang tetap berdiri
menundukkan kepala. Kemudian dia memandang dua
orang lainnya yang berdiri di belakang Jaran Kedung.
"Kalian bertiga ikut aku!" kata Demung Pari.
Ketiga orang itu membungkuk memberi hormat, lalu
bergegas mengikuti langkah Demung Pari. Wira Perakin
menjatuhkan tubuhnya di kursi sepeninggal mereka.
Matanya memandangi empat orang yang masih terduduk
di kursi.
"Kebo Rimang," panggil Wira Perakin.
"Hamba Gusti," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar.
Wajahnya penuh berewok kasar dengan sebelah matanya
terdapat luka gores memanjang hingga ke pipi. Kakinya
terbungkus celana hitam sebatas lutut Dadanya yang ter-
buka lebar, memamerkan bulu-bulu kasar yang hitam
pekat
"Kau pergi ke rumah Ki Sukirah! Bawa orang tua itu ke
sini. Ingat! Jangan sakiti dia dan bawa dengan cara baik-
baik," perintah Wira Perakin lagi.
"Baik, Gusti," sahut Kebo Rimang seraya bangkit berdiri.
"Bawa beberapa orang, sediakan kuda untuk Ki
Sukirah."
Wira Perakin menarik napas panjang, kemudian
bangkit berdiri. Kakinya terayun ringan mendekati pintu
depan. Rasa cemas dan dongkol berbaur jadi satu di
benaknya. Hal itu tersirat pada wajahnya yang berkerut
tegang.
***
TIGA
Sinar rembulan di keheningan malam yang menyelimuti
alam tampak begitu indah dan mengundang sejuta pesona.
Namun sayang, rembulan yang bersinar penuh itu tak
mampu lagi mengundang minat penduduk desa itu untuk
menikmatinya Mereka telah berangkat dan berlabuh di
alam mimpi, kecuali seorang pemuda tampan yang berdiri
menatap ke luar dari jendela kamar penginapannya yang
terbuka lebar.
Dengan matanya yang bersinar bening, pemuda itu
memandang wajah sang rembulan yang memancarkan
sinar keemasan. Sesekali terdengar desahan napasnya
yang terdengar panjang dan berat
"Sejak tadi kau berdiri di situ. Ada yang mengganggu
pikiranmu, Kakang?" suara Pandan Wangi yang lembut
memecah kesunyian kamar penginapan itu.
Pemuda tersebut membalikkan tubuhnya mem-
belakangi jendela, seulas senyum bermain di bibimya.
Matanya memandang Pandan Wangi yang tergolek di
pembaringan. Rambut hitam lebat panjang, terurai indah
menambah pesona yang telah dimiliki gadis itu. Pandan
Wangi membalas senyuman itu, dan sinar matanya
menampakkan kehangatan. Kebersamaan yang selalu di-
laluinya, membuat gadis itu tak lagi merasa malu dan kikuk
berduaan di kamar bersama pemuda tampan yang tak Iain
adalah Rangga. Dia merasa tak memiliki jarak lagi dengan
lelaki tersebut. Dia juga tak akan menolak jika Rangga
mencumbunya. Namun setiap kali perasaan itu bergejolak
dan menggoda di dadanya setiap kali itu pula dia harus
menelan kekecewaannya. Rangga seolah tak punya
keinginan sedikit pun untuk melakukannya.
Pandan Wangi menggerakkan tubuhnya. Gerakan
tubuh yang gemulai itu sedikit membuat jantung Rangga
berdetak kencang. Pandan Wangi seperti sengaja ber
baring miring, hingga lekuk pinggulnya begitu indah
dipandang mata. Seperti sengaja pula, gadis itu mem-
biarkan bagian belahan baju di dadanya sedikit terbuka.
Buah dadanya yang mengembung mengintip ke luar
mengundang gairah.
"Kalau sudah mengantuk, tidur saja," kata Rangga men-
coba mengalihkan perasaannya.
"Kau tidak tidur, Kakang?" lembut suara Pandan Wangi
"Tidak," Rangga menjawab pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya,
kembali menatap ke luar.
"Sejak kembali siang tadi, kau kelihatan berubah. Aku
yakin ada sesuatu yang kau pikirkan," kata Pandan Wangi
seraya beringsut. Dia duduk memeluk lututnya di tepi
pembaringan.
"Kau yakin?" tanya Rangga sambil membalikkan badan-
nya kembali
"Apa aku harus menebak?"
Rangga mengangkat bahunya, dan kembali membalik-
kan tubuhnya menghadap jendela. Kedua tangannya ber-
topang pada kayu jendela yang terbuka. Apa yang tersirat
di hatinya adalah mengakui kebenaran dugaan Pandan
Wangi.
Peristiwa yang dialami Ki Sukirah masih membekas
dan membayang di hatinya, belum lagi sikap anak gadisnya
yang ketus dan seperti tak menganggap apa yang telah dia
lakukan untuk ayahnya.
Dan semua yang mengganggu pikirannya, diperhatikan
benar oleh Pandan Wangi. Gadis itu mempunyai naluri dan
perasaan yang tajam. Kebersamaan telah membuahkan
perasaan seperti itu di antara mereka.
"Sore tadi aku mendengar ada beberapa orang men-
carimu, Mereka memang tidak menyebutkan namamu, tapi
dari ciri-ciri yang mereka katakan, aku yakin, Kakang-lah
yang telah mereka cari!" kata Pandan Wangi.
"Berapa orang?" tanya Rangga tetap memandang ke
luar lewat jendela.
"Banyak juga, ada sekitar sepuluh orang."
Gadis itu bangkit dan menghampiri Rangga. Dia berdiri
di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Pandangannya
juga mengarah ke luar yang diliputi sinar rembulan yang
tampak mulai redup. Sunyi, tak terlihat seorang pun di luar
sana. Hanya pelita kecil saja yang kelihatan berkelap-kelip
dari rumah-rumah di sekitar penginapan ini.
Kesunyian malam itu mendadak terpecah oleh suara
derap langkah kaki kuda. Dan tempat Rangga dan Pandan
Wangi berdiri, terlihat jelas serombongan orang berkuda
seperti mengontrol dan mengawasi keadaan di sekitarnya
Rombongan orang berkuda itu berhenti tepat di depan
penginapan. Terlihat oleh dua pendekar muda itu, salah
seorang dari mereka melompat turun dari punggung
kudanya. Laki-laki tua yang berbaju merah itu melangkah
masuk ke penginapan. Sementara yang lainnya menunggui
di atas punggung kudanya masing masing. Beberapa saat
lamanya suasana di luar penginapan itu hening. Rangga
terus memperhatikannya hingga lelaki itu ke luar lagi
diringi pemilik penginapan.
"Ayo, kita kembali. Anak setan itu tidak ada di sini!"
kata laki-laki tua berbaju merah yang tak lain Demung Pari.
"Ingat, Ki Parung. Kalau kau melihat orang yang telah ku-
sebutkan ciri-cirinya tadi, cepat kau beritahu aku,
mengerti?!"
"Hamba pasti akan melaporkannya, Gusti," sahut Ki
Parung, pemilik rumah penginapan itu.
Demung Pari melompat ringan ke atas punggung kuda-
nya. Rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu segera
menggebah kudanya meninggalkan Ki Parung yang masih
berdiri memandang kepergian mereka.
"Mereka mencarimu, Kakang," kata Pandan Wangi yang
sejak tadi turut memperhatikan.
"Hm...," Rangga hanya bergumam pendek.
Dalam keremangan cahaya rembulan, Rangga masih
bisa mengenali kalau salah seorang di antara mereka
adalah orang yang sempat bentrok dengannya, setelah
gagal menganiaya Ki Sukirah. Rangga mengerutkan kening-
nya. Dilihat dari pakaiannya, mereka seperti para prajurit
kerajaan.
Apakah mereka orang-orang kerajaan? Kerajaan
mana? Perkampungan ini tak lebih dari sebuah kadipaten.
"Tentu ada persoalan, hingga mencarimu," kata Pandan
Wangi setengah bergumam.
"Memang...," desah Rangga pelahan.
"Kenapa tidak kau ceritakan?"
Rangga lagi lagi tersenyum, senyum yang menampak-
kan godaan. Seolah-olah memberikan teka-teki yang harus
ditebak sendiri oleh Pandan Wangi. Dia berbalik dan me-
langkah mendekati pembaringan. Sambil mendesah
panjang, Pendekar Rajawali Sakti itu membaringkan tubuh-
nya di pembaringan yang beralaskan kain merah muda.
"Besok aku ceritakan, sekarang aku mau tidur," kata
Rangga seraya memejamkan matanya.
"Hehhh...," Pandan Wangi menaikkan pundaknya. Dia
pun segera melangkah mendekati pembaringan.
***
Sementara itu di rumah Ki Sukirah, hujan tangis
terdengar memilukan. Wulan menangis di tempat tidurnya,
juga Nyi Sukirah yang terduduk di tepi pembaringan. Orang
yang begitu mereka cintai dan menjadi tumpuan hidup
mereka, diseret paksa oleh orang orang Wira Perakin.
Ki Sukirah tak berdaya. Dia mencoba menentang apa
yang diperbuat Kebo Rimang yang menyuruhnya meng-
hadap Wira Perakin, dan akibatnya, tubuh laki-laki tua itu
tak henti-hentinya menerima pukulan dan tendangan.
"Itu semua gara-gara aku...," rintih Wulan di sela-sela
tangisnya.
"Sudahlah, Wulan," Nyi Sukirah terisak. "Kau benar, kita
memang orang kecil. Tapi kita punya harga diri. Ibu sendiri
sebenarnya tidak rela kalau kau menerima pinangan Gusti
Wira Perakin."
"Tapi, Bu.... Ayah...," suara Wulan tersekat di teng-
gorokan.
"Ayahmu memang laki-laki ksatria. Dia rela mati demi
membela kehormatan keluarganya. Sebaiknya kita berdoa
saja agar ayahmu selamat," kata Nyi Sukirah mencoba
tabah.
"Bu...," Wulan bangkit dan memeluk ibunya. Kembali
tangisnya pecah di pelukan ibunya.
Nyi Sukirah membiarkan anak gadisnya menangis.
Sementara air mata Nyi Sukirah kering sudah, tak ada lagi
yang bisa mengalir membasahi pipinya. Pengalaman hidup
dan penderitaan panjang yang telah dilaluinya bersama
suaminya, membuatnya tak bisa lagi menangis terlalu
lama!
Perlahan-lahan Wulan melepaskan pelukannya. Dia
menyusut air matanya dengan ujung baju. Mata yang
sembab memerah, menatap lurus ke bola mata
perempuan tua yang telah melahirkan dan membesar-
kannya. Tak terdengar lagi isak tangis dari bibirnya.
Ketabahan hati ibunya seolah menyadarkannya bahwa
nasib tak perlu ditangisi, melainkan harus diubah sekuat
tenaga dengan kemampuan sendiri!
"Keringkan air matamu, Wulan. Tegarkan hatimu
menerima cobaan hidup. Ibu yakin, Tuhan Yang Maha
Kuasa akan menolong umatnya yang Iemah," kata Nyi
Sukirah pelan. Bibirnya yang keriput pucat, menyungging-
kan senyum bergetar.
Lagi-lagi Wulan menyusut air matanya. Sekuat tenaga
dia mencoba untuk tidak menangis lagi. Kata-kata lembut
ibunya seperti membuarnya terbangun dari mimpi buruk.
Dia sadar, tak seharusnya dia menangis terus Karena
semua yang terjadi berawal dari dirinya sendiri. Seharusnya
dialah yang lebih tabah dan tegar menghadapi semua ini.
Wulan menguruki dirinya sendiri yang begitu lemah. Berani
mengambil dan menentukan sikapnya tapi tak berdaya dan
lemah akan akibatnya.
"Maafkan Wulan, Bu," desah Wulan lirih.
"Sudahlah, cepat atau lambat Wira Perakin pasti akan
membawamu juga."
"Tidak! Lebih balk aku mati daripada menjadi istri tua
bangka Wira Perakin," geram Wulan.
"Itu bukan jalan yang terbaik, Wulan. Apa pun alasanmu
perbuatan nekad seperti itu jelas tak akan membuat lega
orang yang kau tinggalkan."
"Lalu, apa yang harus kuperbuat, Bu?"
"Entahlah, Wulan. Mungkin yang terbaik berserah diri
pada kekuasaan Tuhan."
"Aku akan melawan mereka, Bu," tegar nada suara
Wulan.
"Dengan cara apa?" tanya Nyi Sukirah.
Wulan terdiam. Dia sendiri tidak tahu apa yang diper-
buatnya. Dia sadar benar siapa dirinya, seorang gadis
dusun yang tak punya kekuatan dan kesaktian apa-apa. Nyi
Sukirah pun terdiam. Dia memaklumi benar kalau ucapan
anaknya keluar dari hatinya yang kalut.
Wulan bangkit dari pembaringan. Dia melangkah men-
dekati jendela yang terbuka sebagian. Tangannya men-
dorong daun jendela agar terbuka lebih lebar. Kedua bola
matanya menatap lurus pada sang dewi malam yang ber-
sinar penuh memancarkan cahaya indah keemasan.
Namun di mata Wulan, cahaya bulan itu begitu redup,
seakan ikut berduka akan nasib yang menimpa dirinya.
"Kang Dimas...," Wulan mendesis lirih.
Gadis itu teringat satu nama. Ya..., hanya pada Dimas
dia bisa mengadu. Hanya pada pemuda yang dicintainya itu
dia bisa berlindung. Hanya Dimas satu-satunya harapan
Wulan yang akan bisa mengatasi kemelut yang kini tengah
menimpa dirinya.
"Bu...," panggil Wulan seraya berbalik.
Nyi Sukirah memandang wajah putrinya yang kini mulai
nampak bersinar dan ada cahaya harapan. Dia sudah
mantap dengan kata-kata hatinya yang mendadak saja
muncul begitu nama Dimas bergetar di lidahnya.
"Ada apa?" tanya Nyi Sukirah lembut
"Kira-kira Kang Dimas di mana ya?" Wulan seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
"Untuk apa kau bertanya begitu?" Nyi Sukirah bertanya
tak mengerti. Tapi hati perempuan itu sudah bisa meraba
ke mana arah ucapan anaknya.
"Aku ingin mencarinya, Bu," kata Wulan.
"Wulan...," Nyi Sukirah menggeleng-gelengkan kepala-
nya. Naluri keibuannya begitu tersentuh oleh tekad anak-
nya yang muncul tiba-tiba.
Hubungan antara Wulan dan Dimas memang bukan
rahasia lagi. Semua orang tahu itu. Juga mereka tahu
sejarah hidup Dimas yang kelam. Kakak perempuan satu-
satunya pengganti orang tuanya yang telah tiada, mati ter-
bunuh setelah lebih dulu diperkosa secara bergiliran oleh
lima laki-laki berandal. Tidak ada yang melihat kejadi-an
itu, kecuali Dimas sendiri.
Sejak peristiwa naas yang menimpa kakak perempuan
satu-satunya itu, Dimas lantas menghilang dari desa ini.
Dan saat orang sudah melupakan peristiwa lima belas
tahun yang silam itu, Dimas muncul kembali. Dia datang
pada Ki Sukirah dan keluarganya, keluarga yang memberi-
nya hidup, meskipun hanya untuk sekedar sesuap nasi.
Ki Sukirah puluhan tahun silam memang termasuk
orang yang cukup berada dan terpandang di desanya.
Namun nasib hidupnya benar benar bagai roda pedati yang
berputar. Nasib tragis menimpa dirinya, dia jatuh miskin
setelah hartanya dirampas oleh Wira Perakin dan orang-
orangnya. Dia tak punya daya untuk melawan. Rumahnya
kini dijadikan tempat tinggal Wira Perakin, dan terpaksa Ki
Sukirah dan keluarganya menempati gubuk reot yang
dulunya ditempati Dimas dan kakak perempuannya.
Mengingat kejadian itu, hati Nyi Sukirah kembali terasa
remuk redam. Ingin rasanya dia berbuat yang sama seperti
yang diinginkan anaknya, mati meninggalkan dunia yang
begitu kejam menderanya. Dan itu memang kesalahan
suaminya, Ki Sukirah kalah main judi dengan Wira Perakin,
terus kalah dan kalah, hingga kemiskinan kini setia
menemani kehidupannya. Dan kini keganasan siap
menerkam mereka, keangkaramurkaan Wira Perakin atas
penolakan pinangannya pada Wulan....
***
Sepanjang malam yang larut hingga menjelang dini
hari, tak sekejap pun Wulan bisa memejamkan matanya.
Seperti ada kekuatan dan dorongan yang menggerakkan
hatinya, manakala benaknya terisi oleh bayangan Dimas,
kekasih hatinya. Ya, kekuatan dan dorongan untuk lari dari
kenyataan yang tak berapa lama lagi akan dihadapinya,
menjadi istri Wira Perakin.
Tepat ketika terdengar oleh telinganya suara ayam
jantan berkokok, Wulan merangkak turun dari pem-
baringan. Sebentar dia duduk di tepi pembaringan, ke-
mudian melangkah turun mendekati lemari kayu. Pelan-
pelan Wulan membuka lemari pakaiannya, lalu mengeluar-
kan beberapa potong pakaian, dan mem-buntalnya dengan
kain. Hatinya sudah bulat, dia harus meninggalkan tanah
kelahlrannya, meninggalkan kedua orang tua yang teramat
dicintainya!
Pelan-pelan Wulan melangkah ke luar dari kamarnya.
Buntalan pakaian dan sedikit bekal tersandang di bahunya.
Dia terus melangkah dan berhenti di depan kamar ibunya.
Wulan sejenak terpaku di depan pintu kamar itu.
"Maafkan Wulan, Bu. Terpaksa Wulan meninggalkan
Ibu," bisiknya pelan.
Gadis itu menempelkan tangannya pada daun pintu,
kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Udara
dingin berseiimut kabut menyongsong tubuh gadis ramping
itu, begitu kakinya menjejak tanah di luar rumah. Dengan
kebulatan hatinya, Wulan berjalan cepat-cepat meninggal-
kan rumahnya.
Sebentar dia berhenta dan menoleh ke belakang,
kemudian terus beriari ke arah Utara, ke arah mana dulu
kekasihnya pergi. Pergi meninggalkan dirinya untuk mem
balaskan kematian kakaknya.
Kegelapan malam masih menyelimuti sekitarnya.
Matahari belum lagi menampakkan diri. Wulan melangkah
pelan begitu sampai di tepi hutan yang meng hadang di
depan. Kakinya bergetar begitu melangkah memasuki
hutan yang lebat dan terselimuti kabut tebal.
"Grrr...!"
"Akh...!" Wulan terpekik ketika tiba-tiba terdengar suara
menggeram keras.
Gadis itu berdiri terpaku. Kedua matanya membelalak
lebar menembus kegelapan malam di pagi buta ini.
Seluruh tubuhnya gemetaran bersimbah peluh. Suara
menggeram itu semakin keras dan jelas, seakan-akan
begitu dekat dengan dirinya.
"Oh!" Wulan semakin ketakutan begitu dari semak
belukar terlihat sepasang bola mata bersinar bergerak
maju ke arahnya.
Semakin lama semakin jelas terlihat. Dua bola mata
yang bersinar itu ternyata sepasang mata seekor harimau
besar! Binatang buas itu menggeram beberapa kali,
membuat Wulan semakin lemas gemetaran. Harimau itu
mendekam, tapi sepasang bola matanya tetap menatap
Wulan yang semakin lemas ketakutan.
Wulan menguatkan hatinya untuk melangkah mundur,
tapi raja hutan itu menggeram bangun melihat calon
mangsanya bergerak. Lagi-lagi gadis itu memekik tertahan.
Kedua lututnya terasa lemas tak bisa digerakkan. Keringat
dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Wulan sudah
pasrah akan apa yang terjadi pada dirinya.
"Auuummm...!" Harimau itu mengaum dahsyat.
"Tolooong...!" jerit Wulan melengking. "Tolooong...,"
Wulan merasakan sekujur tubuhnya mengeluarkan
keringat dingin. Dia benar-benar takut melihat harimau itu
berjalan menghampirinya. Lalu....
Binatang buas itu benar-benar melompat ke arah
Wulan yang sudah sangat ketakutan! Dan... gadis itu ter-
jatuh lemas sebelum sang raja rimba mencapai tubuh
nya....
Bug!
Sebuah baru sebesar kepala bayi menimpa kepala
harimau, tepat ketika cakarnya nyaris merobek kulit tubuh
Wulan yang tergeletak pingsan! Si raja rimba itu
menggeram sesaat, lalu tubuhnya terjajar ke samping, dan
secepat kilat sesosok bayangan putih berkeiebat
menyambar tubuh Wulan.
"Grrr...!" Harimau itu menggeram keras.
***
EMPAT
Sinar matahari yang menyeruak masuk melalui pintu yang
tak tertutup rapat itu menerpa wajahnya. Kehangatan yang
dia rasa kan mulai membangunkan kesadarannya dari
pingsan yang cukup panjang. Wulan pelahan-lahan mem-
buka matanya, dan dia begitu terkejut menyadari
keberadaannya di tempat asing yang belum pernah dia
kenal sama sekali.
Pikiran Wulan mulai meraba-raba. Dia mulai teringat
kejadian yang terakhir kali dialaminya, dan tahu-tahu dia
sudah berada di tempat ini Sedikit demi sedikit gadis itu
beringsut bangun, dan duduk di tepi balai-balai bambu itu.
Sepasang matanya menangkap buntalan kain yang dibawa-
nya dari rumah. Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya
diliputi tanda tanya, siapa gerangan orang yang telah
menyelamatkan nyawanya dan membawanya kemari.
Belum lagi dia sempat menduga duga, pintu bilik yang
tak tertutup rapat itu pelahan-lahan terkuak. Wulan
beringsut ke sudut. Tangannya mendekap buntalan berisi
kain dan sedikit bekalnya Pintu bilik itu semakin terbuka
lebar. Dan di ambang pintu itu berdiri seorang lelaki muda
dan tampan dengan pakaiannya serba putih dan ketat,
hingga postur tubuhnya yang tegap dan kekar begitu
mudah dikenali oleh Wulan.
"Kang...!" desis Wulan begitu mengenali laki-laki itu,
Wulan segera melompat dan menubruk pemuda
tampan itu. Air matanya seketika tumpah di dada lelaki
muda itu, yang tak lain adalah Dimas. Pemuda tampan itu
hanya membelai-belai rambut kekasihhnya. Beberapa saat
lamanya mereka hanya saling perpelukan, diselingi oleh
isak tangis sang gadis.
Dimas melepaskan pelukan gadis itu, dan membawa-
nya duduk di tepi pembaringan. Sejenak mereka hanya
saling pandang. Dengan lembut Dimas mengusap air mata
di pipi yang halus kemerahan itu Wulan membiarkan saja
jari-jemari kekasihnya menghapus air matanya.
"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa tidak pulang
pulang?" tanya Wulan lirih suaranya.
"Maafkan aku, Wulan. Bukan aku tak rindu padamu,
tapi pekerjaanku belum selesai," sahut Dimas lembut
"Aku tidak tahan lagi, Kakang. Aku terpaksa kabur dari
rumah, aku ingin bersamamu," rintih Wulan kembali ter-
isak.
"Sudahlah sekarang kau sudah aman bersamaku. Kita
bisa hidup damai dan tenteram di ani," hibur Dimas tetap
lembut
Secercah senyum kini tersungging di bibir gadis itu.
Dimas membalasnya dengan manis pula. Pelahan-lahan
wajah mereka yang saling beradu pandang itu semakin
mendekat, hingga desah napas Dimas menerpa hangat di
seputar wajah Wulan. Kedua pasang mata mereka saling
bertatapan dengan mesra
"Wulan...," desah Dimas bergetar.
"Kakang...!"
Pelan dan lembut sekali Dimas menempelkan bibimya
ke bibir gadis itu yang terbuka merekah. Mata Wulan ter-
pejam merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuh
dan urat syarafnya. Tangannya melingkar di leher Dimas,
dan menekannya kuat-kuat, hingga bibir mereka bersatu
dalam gairah yang semakin menggelegak.
Tak ada lagi kata kata yang terucap. Tak ada isak
tangis keharuan, yang ada kini hanyalah rasa cinta dan
kerinduan yang menyatu dalam daya asmara yang semakin
memburu. Wulan merintih merasakan kenikmatan yang
membawanya melayang layang terbang mengarungi lautan
asmara. Mata gadis itu terbuka dan tertutup, menandakan
hasrat birahinya yang sangat mendidih.
"Kakang...!" tiba-tiba Wulan tersentak begitu
merasakan jari-jari tangan Dimas menyentuh bagian dari
tubuhnya yang sangat peka.
Seketika itu juga Wulan menyentakkan tubuh Dimas.
Gadis itu begitu terkejut menyadari hampir seluruh
pakaiannya terlepas. Bergegas gadis itu membereskan
pakaiannya yang sudah tak karuan dan nyaris membuatnya
telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Wulan bergetar.
"Wulan..., aku mencintaimu," bisik Dimas seraya men-
dekat
"Tapi...," suara Wulan tersekat di tenggorokan.
"Kau mencintaiku juga, kan?"
Wulan tidak bisa menjawab. Tak mungkin dia akan
pergi dari rumah dan sampai ke tempat ini kalau dia tak
mencintainya. Tapi apakah yang barusan diinginkan oleh
Dimas itu ukuran dari perasaan cinta dan kasih sayangnya.
Tidak, bisiknya dalam hati. Ia tak mau melakukan hal ter-
larang itu sebelum mereka terikat resmi menjadi suami
istri. Wulan tak ingin penderitaan hidupnya terus ber-
kepanjangan, hanya karena menuruti nafsu birahi sesaat.
"Aku mencintaimu, Wulan. Aku berjanji, kalau tekadku
sudah tercapai, aku pasti akan menikahimu," Dimas
berucap lembut.
"Kakang...," suara Wulan kembali tersekat di teng-
gorokan.
"Baiklah...," desah Dimas mengalah.
Wulan hanya memandangi Dimas yang mengenakan
pakaiannya kembali, kemudian pemuda itu ke luar kamar
tanpa berkata apa-apa lagi. Wulan duduk tepekur di balai-
balai bambu. Dia sadar penolakannya telah mengecewa-
kan hati Dimas.
"Ah.., Dimas..., maafkan aku," desah Wulan lirih.
Pelahan-lahan pintu gubuk kecil itu terbuka. Tampak
Wulan melangkah ke luar setengah menundukkan kepala-
nya. Sebentar dia mengamati keadaan sekitarnya, dan dia
agak terkejut begitu menyadari dirinya berada di tengah-
tengah hutan lebat dengan satu gubuk kecil yang ter-
sembunyi di antara lebatnya pepo-honan.
Seekor kera hitam bergelantungan dari dahan pohon
yang satu ke dahan lainnya. Suaranya memecah kesunyian
pagi di sekitar gubuk kecil itu. Bersama burung-burung
yang berkicau saling bersahutan.
"Ah, seandainya aku bisa bebas seperti mereka...,"
desah Wulan lirih.
"Kau sudah bebas, Wulan," terdengar suara lembut dari
belakang.
"Oh!" Wulan tersentak kaget. Buru-buru dia mem-
balikkan tubuhnya.
Dimas tampak duduk di akar pohon yang menyembul
ke luar dari dalam tanah. Tangannya sibuk membuat anak
panah. Beberapa anak panah menggeletak di sekitamya.
Dan sebuah busur besar tersandar di pohon. Wulan meng-
hampiri dan duduk di samping pemuda itu.
"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak bermaksud mem-
buatmu kecewa," kata Wulan pelan.
"Ah, sudahlah. Lupakan soal itu," sahut Dimas tenang.
Sesaat mereka terdiam, dan hanya saling berpan-
dangan dengan sinar mata penuh cinta.
"Kenapa kau meninggalkan orang tuamu?" tanya
Dimas.
"Terpaksa," sahut Wulan. Kepalanya tertunduk, dan ada
kesenduan membayang di wajahnya. Dimas tahu itu.
"Ceritakan, Wulan. Ada apa?!" desak Dimas. Tangan
kanan pemuda itu memegangi bahu Wulan.
"Kau jangan marah, Kakang.... Aku terpaksa meninggal-
kan mereka, karena aku tak mau menjadi istri si Tua
Bangka itu!" Wulan menghentikan ucapan-nya, air matanya
yang bening bergayut di sudut matanya. "Dan ayahku,
Kakang... dia menerima akibat dari sikapku. Kaki tangan
Wira Perakin telah menahannya," Wulan mencoba
menahan tangisnya, tapi sia-sia. Kecemasan akan nasib
ayah dan ibunya sangat mem belenggu babnnya.
Dimas menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
Hatinya benar-benar ikut tercabik oleh penderitaan yang
dialami Wulan.
"Wira Perakin...," gumam Dimas lirih, tangannya
membelai-belai rambut gadis itu. "Bagaimana dengan
ayahmu, Wulan? Maksudmu beliau...."
"Tidak, Kakang," sahut Wulan. "Wira Perakin tak
mungkin membunuh Ayah, selagi masih ada yang di-
harapkannya.... Tapi sekarang... aku tak tahu, Kakang!"
"Kau tunggu saja di sini, Wulan," kata Dimas seraya
bangkit melepaskan pelukannya. "Kakang mau ke mana?"
"Aku akan membawa ayah dan ibumu ke sini. Aku tidak
akan lama, Wulan, kau tak usah cemas," sahut Dimas
seraya menjumput anak-anak panah dan memasukkannya
ke dalam kantung kulit
Dimas mengikatkan kantung penuh anak panah itu di
pinggang, kemudian dia mengambil pedang dan
menyandangkannya di punggung. Tangan kirinya meng-
genggam busur besar yang sedikit terukir di bagian tengah-
nya. Wulan berdiri dan menghadang langkah pemuda itu
dengan wajah penuh kecemasan.
"Kakang...," serak dan lirih suara Wulan.
"Kau jangan pergi ke mana-mana Wulan. Tempat ini
tidak ada yang tahu selain aku," pesan Dimas.
Sesaat mereka safing tatap, kemudian Dimas
mengecup lembut bibir gadis Itu. Dia berbalik, langsung
melangkah cepat tanpa menoleh lagi. Wulan memandangi
tanpa berkedip, sampai punggung lelaki pujaannya itu
hilang dari pandangan.
***
Nyi Sukirah langsung terlonjak terbangun dari tidurnya.
Suara pintu didobrak sangat mengagetkannya. Pintu kamar
itu hancur berantakan. Nyi Sukirah menjerit tertahan
melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di ambang
pintu yang hancur Di belakang laki-laki yang bertampang
seram itu, berdiri beberapa orang berpakaian seragam
kuning keemasan seperti prajurit kerajaan.
Nyi Sukirah tahu, orang yang berdiri congkak di ambang
pintu itu adalah Kebo Rimang, tangan kanan Wira Perakin.
Ya, orang itulah yang turut merampas rumahnya dulu
bersama Wira Perakin. Dan kini, sejarah hidupnya kembali
terulang. Orang yang terkenal kejam itu kini siap meng-
hancurkan hidupnya kembali
"Seret perempuan ini ke luar! Cepat!" perintah Kebo
Rimang. Suaranya terdengar keras dan kasar. Kedua
matanya menatap tajam dan memerah.
Dua orang anak buahnya langsung bergerak maju ke
dalam kamar yang pintunya jebol berantakan. Tanpa
banyak bicara lagi, dua orang itu langsung menyeret Nyi
Sukirah.
"Akh...!" Nyi Sukirah memekik keras begitu tubuhnya
dicampakkan.
Perempuan tua itu jatuh bergulingan di tanah. Kulit
tangannya yang keriput, tergores mengeluarkan darah. Nyi
Sukirah berusaha bangkit berdiri, tapi salah seorang yang
menyeretnya segera menendang keras. Kembali tubuh
perempuan tua itu bergulingan di tanah. Dadanya terasa
sesak sekali dan rintihannya terdengar memelas
"Di mana anak gadismu. Perempuan Tua?" tanya Kebo
Rimang datar.
Nyi Sukirah tidak menyahut, hanya suara rintihannya
yang menyayat dan terdengar memilukan. Beberapa kepala
bersembulan ke luar dari rumah rumah di sekitar rumah
Nyi Sukirah. Tidak ada seorang pun yang berani ke luar
rumah, apalagi mencampuri urusan ini. Mereka semua
hanya bisa mengurut dada, iba melihat nasib keluarga Ki
Sukirah.
"Di mana anakmu, Nyi Sukirah?" Kebo Rimang meng-
ulangi lagi pertanyaannya.
Tetap saja Nyi Sukirah tidak menjawab. Dia malah
membalas tajam tatapan mata Kebo Rimang. Dia seperti
mendapatkan kekuatan bathin, tak sedikit pun ada rasa
gentar di hati perempuan ini.
"Setan!" geram Kebo Rimang. "Geledah rumahnya!"
Lima orang pengikutnya segera beranjak masuk ke
dalam rumah itu. Tak lama kemudian mereka sudah ke
luar lagi. Salah seorang mendekati Kebo Rimang yang
berdiri angker memandang tajam pada Nyi Sukirah.
"Tidak ada, Gusti," lapor orang itu.
"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang gusar. "Bakar...!"
perintah Kebo Rimang kalap.
"Oh, jangaan..!" sentak Nyi Sukirah terkejut.
Tapi permintaan itu sama sekali tidak digubris. Salah
seorang anak buah Kebo Rimang sudah mencabut obor
yang tertancap di bang penyangga beranda. Kemudian
melemparkannya ke atas atap, api langsung berkobar
besar melahap atap rumah yang terbuat dari daun rumbia
kering itu. Nyi Sukirah merintih dan terus meratap. Dia
hanya bisa melihat api yang terus melahap rumah tempat
tinggal satu-satunya itu.
Kejam! Kalian semua kejam! Binatang!" geram Nyi
Sukirah di sela isak tangisnya.
"Kau manusia tidak tahu diuntung, Perempuan Tua!
Gusti Wira Perakin sudah terlaiu baik padamu. Membiar-
kan kau, suamimu dan anakmu hidup. Tapi masih juga kau
mau bertingkah macam-macam," ujar Kebo Rimang dingin.
"Phuih! Kalian anjing-anjing keparat!"
"Kurang ajar...!"
Plak!
"Akh!"
Nyi Sukirah terpelanting keras ke tanah begitu tangan
kanan Kebo Rimang menghajar pipinya. Perempuan tua itu
jatuh pingsan. Tamparan Kebo Rimang begitu keras.
"Ikat perempuan tua itu! Seret dengan kuda!" perintah
Kebo Rimang kalap.
Salah seorang segera maju mendekati Nyi Sukirah yang
tergeletak pingsan. Orang itu mengeluarkan tambang dari
balik bajunya, kemudian mengikat tangan Nyi Sukirah, lalu
melemparkan satu ujung tambang itu pada temannya yang
menunggang kuda.
Kebo Rimang melompat tangkas ke atas punggung
kuda hitam tunggangannya. Orang-orang Wira Perakin yang
jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang itu, segera
berlompatan naik ke punggung kudanya ma sing-masing.
"Jalan!" perintah Kebo Rimang.
Baru saja mereka menggebah kuda, tiba-tiba.
Wuuut, tras...!
Tambang yang mengikat tangan Nyi Sukirah putus.
Sebatang anak panah tertancap di tanah, tak jauh dari
tubuh perempuan tua yang masih pingsan dengan kedua
tangannya terikat itu. Kebo Rimang dan sepuluh orang
pengikutnya terkejut setengah mati. Bergegas mereka ber-
lompatan turun.
Tampak seorang pemuda tampan berbaju pubh ketat
berdiri tegak. Busur besar dengan anak panah tergenggam
di tangannya. Dan tiba-tiba saja dia menarik tali busur itu,
dan....
Wuuut!
"Aaakh...!" salah seorang menjerit keras.
Anak panah yang dilepaskan Dimas menancap tepat
menembus leher orang itu. Tubuhnya seketika terjajar ke
belakang, lalu ambruk mencium tanah Belum lagi hilang
rasa terkejut mereka, Dimas sudah melepaskan lagi tiga
anak panah secara beruntun dan cepat. Tiga orang
langsung menyusul temannya, bergulingan jatuh ber-
simbah darah
"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang. Secepat kilat laki-
laki bertubuh bnggi besar dengan luka codet di wajahnya
itu, melompat begitu Dimas kembali menghujaninya
dengan anak-anak panah. Kebo Rimang berkelebatan
cepat menyambar anak-anak panah yang datangnya bagai-
kan hujan itu.
"Phuih!" Kebo Rimang menyemburkan ludahnya sengit
Laki-laki kasar itu berdiri tegak dengan sikap meremeh-
kan. Puluhan batang anak panah tergenggam di kedua
tangannya. Sedangkan kantung anak panah di pinggang
Dimas sudah kosong. Pemuda itu membuang busumya.
Kagum juga dia pada Kebo Rimang yang begitu tangkas
bisa menangkap semua anak panah yang dilepaskannya
Kebo Rimang menjuiurkan kedua tangannya ke depan,
lalu meremas anak panah di tangannya hingga hancur.
Semua mata memandang kagum pada ketinggian ilmu
tenaga dalam yang dimiliki Kebo Rimang.
"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau mencampuri
urusanku!" dengus Kebo Rimang menggeram.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Aku datang untuk
membasmi anjing-anjing Wira Perakin," balas Dimas tak
kalah sengitnya.
"Setan! Apa kau sudah punya nyawa pengganti, heh?
Berani-beraninya sesumbar di depanku!"
"Nyawaku cuma satu, tapi aku mampu menyumbat
kesombonganmu!"
"Anjing geladak! Hiyaaa...!" Hup!
Kebo Rimang segera membuka jurus jurusnya. Dimas
melirik enam orang yang sudah menghunus pedangnya
masing masing Dari bentuk senjata mereka yang beraneka
ragam, bisa diketahui kalau mereka bukanlah prajurit
kerajaan. Mereka orang-orang rimba persilatan yang
mengenakan seragam seperti prajurit.
Kebo Rimang melompat menerjang Dimas. Per-
tempuran tidak bisa lagi dihindarkan. Dua orang yang
masing masing memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu
saling menyerang menggunakan jurus jurus maut mereka
yang berbahaya.
Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari sepuluh
jurus telah mereka kerahkan. Namun belum terlihat siapa
yang lebih unggul atau terdesak. Mereka kelihatan sama-
sama tangguh dengan gerakan jurus-jurusnya yang cepat
Enam orang lainnya, dan orang-orang yang mengintip
dari celah-celah rumah mereka di sekitarnya, seolah
terpaku menyaksikan pertarungan itu.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Kebo Rimang berteriak nya-ring.
Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, dan pada
waktu yang bersamaan, Dimas juga berbuat yang sama.
Keduanya telah mencabut senjata masing masing. Kini di
tangan Dimas tergenggam sebilah pedang yang panjang
dan tipis keperakan. Sedang lawannya menggenggam dua
buah tongkat besi kecil bercabang dua. Tongkat itu
berwama kuning keemasan.
Trang, trang
Dua senjata beradu keras di udara. Dua tubuh di
angkasa itu sama-sama terpental. Tubuh Kebo Rimang
jatuh berdebum keras di tanah, lalu bergulingan sejauh tiga
ujung tombak. Dimas juga mengalami nasib yang sama,
tapi dia masih sanggup berdiri kembali dengan cepat
Sementara Kebo Rimang berusaha bangkit, enam
orang pengikutnya langsung berlompatan mengurung
Dimas. Senjata mereka berkelebatan di depan dada.
Dimas memandangi enam orang itu dengan mata merah
menahan geram.
"Jaring berantai!" teriak Kebo Rimang tiba-tiba.
Enam orang itu langsung memasukkan senjata masing
masing ke dalam tempatnya Kemudian dengan cepat
mereka mengeluarkan tambang bersimpul dari bafik baju
masing-masing. Mereka memutar-mutar tambang ber-
simpul itu di atas kepala. Kaki-kaki mereka bergerak lincah
mengitari tubuh Dimas.
Dimas jadi kebingungan juga menghadapi enam orang
yang memutar-mutarkan tambang bersimpul mengelilingi
dirinya. Kakinya segera bergerak lincah mengikuti arah
putaran enam orang itu. Kedua matanya tajam mengawasi
setiap gerakan yang dilakukan enam orang lawan lawannya
Dan tiba-tiba salah seorang melemparkan tambang ke
atas, jauh di atas kepalanya.
Hampir bersamaan waktunya, seorang lagi melempar-
kan tambangnya, lalu disusul berganban oleh yang lain.
Dimas benar-benar tak tahu maksudnya. Dia terkejut
begitu tiba-tiba enam orang itu serempak berlompatan ke
udara.
Tap, tap...!
Enam orang berseragam bagai prajurit itu menangkap
ujung uung tambang yang saling teriempar ke atas. Lalu
dengan gerakan manis dan cepat sekali, mereka meluruk
turun. Dimas yang belum menyadari tidak dapat berbuat
apa-apa. sekebka itu juga tubuhnya terjerat enam utas
tambang.
"Hih!" Dimas berkutat berusaha melepaskan diri dari
jeratan yang membelit tubuhnya.
Tapi, keenam orang itu lebih cepat lagi bergerak
memutar mengelilingi. Dimas benar-benar tak berdaya lagi
sekarang Pemuda itu jatuh berdebum ke tanah dengan
seluruh tubuhnya terikat tambang. Pedangnya ikut terikat
menempel di paha kakinya. Keenam orang berseragam
kuning keemasan itu, terus memegangi ujung-ujung
tambang.
"Ha... ha... ha...!" Kebo Rimang tertawa terbahak-bahak.
Namun seketika tawanya terhenb sebuah bayang-an
pubh lain tiba-tiba bergerak cepat membabat putus
tambang-tambang yang membelit tubuh Dimas. Belum lagi
Kebo Rimang hilang rasa terkejutnya, muncul lagi satu
bayangan biru menghajar enam orang berseragam itu.
Jeritan kematian terdengar melengking bersahutan.
Tubuh enam orang yang memegangi tambang itu, langsung
bergelimpangan di tanah. Sebentar mereka menggelepar,
lalu diam tak bemyawa lagi. Darah segar membanjiri tanah,
menyebarkan aroma anyir menusuk hidung.
Kini di depan Kebo Rimang berdiri dua orang anak
muda. Seorang laki-laki berbaju rompi pubh, dan seorang
perempuan cantik mengenakan pakaian biru ketat Mereka
tak lain adalah Rangga dan Pandan Wangi, dua pendekar
muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas
Maut. Pandan Wangi mengebut-ngebutkan kipas baja
putihnya di depan dada. Pandangan matanya tajam
menatap Kebo Rimang.
"Monyet busuk! Siapa kalian?" geram Kebo Rimang
membentak.
Mata Kebo Rimang tak lepas memandang Pendekar
Rajawali Sakti. Dia jadi teringat dengan cerita Jaran
Kedung. Semua ciri-ciri yang diceritakannya ada pada
orang di hadapannya.
"Ooo..., rupanya kau yang membunuh tujuh orang anak
buahku kemarin?" dengus Kebo Rimang tetap memandang
tajam pada Rangga.
"Benar! Dan hari ini giliranmu yang mampus!" sahut
Rangga tak kalah gertak.
"Setan alas! Rupanya kau sudah bosan hidup, hingga
berani mengusik macan, heh?!"
"Macan ompong...!" ejek Pandan Wangi sengit.
Kebo Rimang mendelik lebar menerima ejekan itu.
Matanya menyipit. Kini di hadapannya berdiri tiga orang
anak muda menantangnya. Dimas berdiri di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Di tangan kanannya tergenggam
sebuah pedang.
Kebo Rimang mulai surut nyalinya. Dia telah jelas-jelas
melihat kalau ketiga orang anak muda itu memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi, dan tak mungkin baginya
untuk bisa menandingi.
Tanpa malu-malu lagi, Kebo Rimang melompat ke atas
punggung kudanya. Kuda tinggi besar itu bagaikan
sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, berlari
cepat hingga dalam sekejap saja telah hilang dari
pandangan.
"Pengecut!" dengus Dimas menggeram.
"Sebaiknya kau urus saja orang tuamu," kata Rangga
mengingatkan.
Dimas tersentak, buru-buru ia menghampiri Nyi Sukirah
yang masih tergolek pingsan. Pemuda kekasih Wulan itu
sekilas menatap rumah yang kini tinggal puing-puing
membara mengepulkan asap tipis. Dimas lalu membopong
tubuh perempuan tua itu, dan membawanya ke suatu
tempat yang teduh Dimas memeriksa keadaannya. Dia
menoleh pada Rangga dan Pandan Wangi yang juga sudah
berlutut di samping tubuh Nyi Sukirah.
"Bagaimana?" tanya Pandan Wangi.
"Hanya pingsan, tidak ada luka yang serius," sahut
Dimas.
Pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi.
Dia agak berkerut juga keningnya, sama sekali dia belum
pernah melihat dua orang yang telah menolongnya ini.
Rangga mengerti arti pandangan Dimas, dia tersenyum dan
menepuk pundak pemuda itu dengan sikap bersahabat
"Terima kasih atas pertolongan kalian," ucap Dimas
membalas senyuman Rangga.
"Ah, lupakan saja," sahut Rangga.
***
LIMA
Apa yang menjadi firasatnya selama dua hari ini, sekarang
menjadi kenyataan. Orang-orang Wira Perakin telah mem-
bumihanguskan rumahnya dan tega pula menyiksa istrinya.
Semua itu dia ketahui dari penjaga kamar tahanan di mana
kini dia berada, yang terus mencoba menjatuhkan mental-
nya dan memancing agar dia mau menunjukkan di mana
anak gadisnya kini berada.
Ki Sukirah menarik napas panjang, lalu berjalan
mondar-mandir di kamar tahanannya yang pengap dan
sempit. Dia memandangi kamar kecil yang terbuat dari
dinding baru itu Hanya lubang kecil pada pintu, dan dua
orang penjaga bersenjata selalu berjaga-jaga di depan
pintu. Tidak ada sedikit pun celah untuk meloloskan diri.
Pintu kamar itu terbuka pelahan-lahan Ki Sukirah ber-
diri tegak, menanti siapa yang datang. Dia sudah pasrah
dengan apa yang akan teijadi pada dirinya, walau harus
mengorbankan nyawa sekalipun! Akhir-akhir ini dia baru
sadar, bahwa putrinya berada di jalan yang benar! Dan
memang lebih baik mati daripada harus menyerahkan
kehormatan pada si Tua bangka itu! Pintu kamar semakin
terbuka lebar. Wira Perakin melangkah masuk, diikuti oleh
Arya Mahesa dan Cakala Pati. Sedang dua orang lainnya,
Antasuro dan Galang Gembul menunggu di luar pintu ber
sama dua orang penjaga bersenjata tombak.
"Sukirah, aku masih bisa bersabar padamu. Kuberi kau
kesempatan untuk hidup sekali lagi," kata Wira Perakin
datar suaranya.
"Hm...," Ki Sukirah cuma bergumam sambil menarik
napas panjang. Dia sudah bisa menduga apa yang akan
dikatakan Wira Perakin padanya. Dia tahu maksud ter-
selubung dari kesempatan yang diberikan saat ini.
"Hari ini juga kau kubebaskan, tapi kau harus mencari
di mana anak dan istrimu berada. Juga tiga anak muda
yang telah membunuh orang-orangku," lanjut Wira Perakin.
Ki Sukirah bersyukur dalam hati, karena anak dan istri-
nya masih selamat. Hanya saja dia tidak mengerti tentang
tiga anak muda yang barusan disebutkan Wira Perakin.
Tapi bagaimanapun dia merasa lega, hatinya ter-senyum
penuh kemenangan.
"Penjaga...!" panggil Wira Perakin.
"Hamba, Gusti," seorang penjaga segera meng-
hamplrinya.
"Buka rantai itu!"
"Hamba laksanakan, Gusti."
Penjaga itu segera melaksanakan perintah majik-
annya. Dia membuka rantai rantai yang mengikat tangan
dan kaki Ki Sukirah. Setelah itu dia kembali ke luar. Ki
Sukirah mengurut-urut pergelangan tangannya yang terasa
pegal oleh rantai yang membelitnya selama bga hari ini.
"Kau bebas sekarang, Sukirah. Tapi ingat, kau harus
menemukan istri dan anakmu. Bawa mereka padaku. Juga
tiga anak muda yang telah berani melawan kekuasaanku!"
tegas kata-kata yang keluar dari mulut Wira Perakin.
Ki Sukirah tidak menyahut, dia hanya menganggukkan
kepalanya. Dia tahu benar arti kebebasan yang akan
dinikmatinya. Kebebasan yang akan menyebabkan nyawa-
nya melayang jika tak menemukan dan menyerahkan anak
gadisnya, juga tiga anak muda yang dia sendiri merasa tak
mengenalnya. Ki Sukirah hanya pasrah, tapi hatinya masih
berharap, semoga tiga anak muda yang disebutkan tadi
bisa menjadi dewa penolong bagi keluarganya.
"Nah! Kau boleh keluar sekarang," kata Wira Perakin
lagi.
Ki Sukirah melangkahkan kakinya keluar dari kamar
tahanan yang pengap dan sempit itu. Kakinya terus terayun
tanpa menoleh lagi. Dua orang penjaga mengawalnya
sampai di pintu gerbang.
"Kenapa kau bebaskan orang itu, Kakang Wira
Perakin?" tanya Cakala Pati.
"Itu cuma pancingan saja," sahut Wira Perakin tenang.
"Maksudmu?" tanya Antasuro yang sudah mendekat,
bersama Galang Gembul.
"Aku berharap tiga pendekar yang membantu keluarga
Sukirah muncul, dan mengira orang tua itu masih berada di
sini."
"Kalau mereka tahu Sukirah sudah dibebaskan?"
celetuk Cakala Pab lagi
"Kita bisa menguntitnya, ke mana mereka membawa
Sukirah pergi. Aku yakin, mereka pasti membawa ke
tempat persembunyian anak dan istrinya."
"Kalau begitu, kau harus sebarkan beberapa orang
untuk mengawasinya," sambung Antasuro yang sudah bisa
mengerti tujuan Wira Perakin.
"Semuanya sudah kupikirkan. Setiap langkahnya selalu
diawasi oleh orang-orangku!" sahut Wira Perakin sombong.
"Tidak disangka, otakmu cerdas juga, Kakang," puji
Galang Gembul.
"He... he... he...," Wira Perakin terkekeh senang.
"Asal saja kau jangan lupa, Kakang...," kata Galang
Gembul lagi.
"Beres, kalau semuanya sudah selesai, kalian ber-
empat pasti bisa ikut menikmati kemulusan tubuh Wulan."
Lima orang itu lalu tertawa terbahak bahak sambil
keluar dari pintu kamar tahanan. Otak mereka yang hanya
diisi oleh kenikmatan duniawi, sudah membayangkan
kemulusan tubuh Wulan saja. Tubuh yang sudah mereka
incar berulang kali!
***
Ki Sukirah terus melangkahkan kakinya menyusuri
jalan berdebu menuju ke rumahnya. Bagi yang melihatnya,
langkah kaki Ki Sukirah sepertinya langkah yang sia-sia.
Karena semua orang tahu kalau rumahnya kini tinggal
reruntuhan puing berdebu. Tapi Ki Sukirah tak peduli,
sepotong perasaan dan hatinya seperti masih tertinggal di
sana. Dan dia terus melangkahkan kakinya... tak peduli lagi
dengan ancaman Wira Perakin untuk mencari anak dan
istnnya.
Pikiran dan otak tua Ki Sukirah tak menyadari kalau
dirinya terus diikuti ke mana saja kakinya melangkah. Ki
Sukirah terus saja melangkah. Dia tertegun melihat rumah-
nya yang tinggal puing puing hitam habis terbakar. Tak ada
lagi asap yang mengepul, seperti hati dan perasaannya
yang mati dan tak punya harapan lagi untuk melanjutkan
perjalanan hidupnya.
Jauh dari tempat Ki Sukirah berdiri, tampak Rangga
dan Pandan Wangi sedang memperhatikan laki-laki tua
yang sedang dirundung malang itu.
"Kau yakin, laki-laki itu Ki Sukirah?" tanya Pandan
Wangi.
"Ya, aku pemah melihatnya sekali. Bahkan sempat
menolongnya waktu itu," sahut Rangga
"Aku tidak mengerti, kenapa Wira Perakin membebas-
kannya," gumam Pandan Wangi.
"Manusia licik seperti Wira Perakin punya seribu satu
cara untuk memenuhi nafsunya," sahut Rangga pelan.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dia melihat beberapa orang dengan jarak
terpisah juga tengah mengawasi Ki Sukirah. Meskipun
mereka tampak seperti penduduk biasa, namun mata
gadis itu cukup jeli untuk mengetahui ada senjata ter-
sembul di balik baju mereka.
"Kau benar, Kakang. Ki Sukirah tidak dilepaskan begitu
saja," kata Pandan Wangi.
"Kau melihat mereka juga, Pandan?"
"Ya, mereka semua bersenjata."
"Kalau begitu, kau awasi mereka dari sini."
"Kau mau ke mana?"
"Memancing mereka."
Rangga terus melangkah tenang menuju ke arah Ki
Sukirah yang masih berdiri mematung memandangi puing
puing rumahnya. Pandan Wangi mengamati sekitar dua
puluh orang yang menyebar di berbagai tempat Tampak
pula olehnya seorang laki-laki tua mengenakan jubah
kuning gading turut mengawasi Ki Sukirah. Dari jarak yang
agak jauh terlihat gambar seekor kala hitam di tangan
kanannya.
Sementara itu Rangga semakin dekat dengan Ki
Sukirah. Kewaspadaannya pun tak pernah lepas pada
orang-orang yang tengah mengawasinya Rangga berdiri di
belakang Ki Sukirah, tangannya menepuk lembut pundak
lelaki tua itu.
"Oh!" Ki Sukirah terkejut
"Ssst ," Rangga memberi isyarat untuk bersikap biasa.
Ki Sukirah mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Begitu matanya melihat laki-laki tua berjubah kuning
gading, langsung dia mengerti isyarat Rangga. Dia kenal
laki-laki itu, dialah Galang Gembul. Tidak jauh dari Galang
Gembul, tampak Kebo Rimang dan Demung Pari.
"Kau dijadikan pancingan oleh mereka, Ki. Sebaiknya
jalan terus menuju hutan, biar di sana aku membereskan
mereka," bisik Rangga pelahan.
"Bagaimana keadaan istri dan anakku?" tanya Ki
Sukirah.
"Mereka baik-baik saja," sahut Rangga.
"Oh, syukurlah," desah Ki Sukirah lega.
"Mari aku antar kau mencari anak dan istrimu," kata
Rangga sengaja agak keras, untuk memancing reaksi
orang-orang yang tengah menguntit.
"Apakah jauh dari sini?" tanya Ki Sukirah juga dengan
suara sedikit keras.
"Cukup jauh juga, mereka di tempat yang aman."
Ki Sukirah tersenyum lebar, dia melangkah di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu. Perasaannya benar-benar
tenang sekarang, dia yakin kalau istri dan anaknya dalam
keadaan selamat dan tenang di tempat yang aman. Dia
juga tahu kalau Rangga sekarang bukan mengajak ke
tempat istri dan anaknya berada.
Pancingan Rangga memang tepat. Orang-orang
suruhan Wira Perakin mengikuti ke mana Ki Sukirah dan
Rangga pergi. Sedangkan Pandan Wangi juga mulai
mengikuti dari jarak yang cukup jauh.
Selama dalam perjalanan, Rangga terus berbicara
dengan suara agak keras. Ki Sukirah menanggapi semua
pembicaraan Pendekar Rajawali Sakn ini dengan mimik
serius. Padahal pembicaraan itu untuk memancing mereka
yang terus mengikuti. Rangga tersenyum dalam hati karena
akalnya cukup mengena tanpa hambatan sedikit pua
***
Matahari sudah condong ke Barat ketika Rangga dan Ki
Sukirah memasuki hutan. Mereka terus berjalan semakin
masuk ke dalam hutan yang lebat. Hingga pada saat yang
tepat, secepat kilat Rangga menyambar tubuh Ki Sukirah.
Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak,
sehingga tahu tahu sudah lenyap dari pandangan mata
para penguntitnya.
Melihat buruannya hilang, Galang Gembul langsung
melompat cepat. Kebo Rimang dan Demung Pari juga
berbuat sama Mereka benar-benar kaget, karena Rangga
dan Ki Sukirah menghilang tanpa seorang pun di antara
mereka melihatnya!
"Kurang ajar! Ke mana mereka pergi?" geram Galang
Gembul.
Sementara itu, sekitar dua puluh orang lainnya sudah
sampai di tempat Galang Gembul berada. Mereka semua
juga kebingungan, karena orang yang mereka kuntit men-
dadak hilang tak berbekas. Galang Gembul memberi
perintah untuk mencari di sekitar tempat mereka berdiri.
"Jangan-jangan ini cuma jebakan saja, Gusti," kata
Kebo Rimang menduga-duga
"Hm...," Galang Gembul menggumam tak jelas.
"Aku menduga mereka tidak menuju ke tempat yang
sebenarnya," kata Demung Pari menyambung.
Galang Gembul tersentak begitu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tempat di mana mereka
berada dikelilingi batu baru yang curam. Segera dia
menyadari kalau mereka sengaja digiring dan dijebak.
Mendadak terdengar suara gemuruh. Lalu disusul
dengan bergetarnya tanah yang mereka pijak. Dan belum
lagi mereka sempat berpikir, di sekeliling mereka telah ber-
guguran baru batu dari atas tebing. Begitu cepatnya
kejadian itu berlangsung, hingga Galang Gembul tak
sempat lagi memberi peringatan. Batu-batu berguguran
menghujani orang-orang yang berada di bawahnya.
Jerit kematian menggema saling bersambut dengan
suara gemuruh batu batu yang meluncur dari atas tebing.
Galang Gembul berlompatan menghindari batu batu itu.
Kebo Rimang dan Demung Pari juga tak kalah sibuknya.
Mereka langsung mengeluarkan senjatanya masing masing
menghalau setiap batu yang meluncur ke arah mereka.
Akibatnya sungguh mengerikan Semua pengikut dan
kaki tangan Wira Perakin tewas mengenaskan. Mayat-
mayat mereka menggeletak mengerikan. Mereka tewas
dengan kepala dan tubuh yang tertindih batu batu. Tinggal
Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari yang
masih bertahan. Kebga orang itu pun tampak kepayahan.
"Setan...!" Galang Gembul memaki keras.
Muka laki-laki yang benubah kuning gading itu merah
padam melihat dua puluh orang-orangnya tewas tanpa
mampu membalas. Sementara Kebo Rimang dan Demung
Pari semakin waspada dengan senjata di tangan. Suasana
di tempat itu mendadak sepi.
"Keluar kau, Setaaan...!" teriakan Galang Gembul meng-
gema keras.
'Tidak perlu berteriak-teriak, Kakek Tua! Aku di sini!"
sahut sebuah suara bernada tenang.
Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari ter-
sentak kaget. Tahu tahu Rangga sudah berdiri di atas
sebuah batu besar. Di samping Pendekar Rajawali Sakb
itu, berdiri Pandan Wangi dengan kipas baja putihnya di
tangan.
"Dia yang selalu menolong Ki Sukirah, Gusti," ucap
Kebo Rimang memberitahu.
"Hm..., jadi kau rupanya yang telah membunuh orang-
orangku, heh!" dengus Galang Gembul.
"Benar!" sahut Rangga tenang. Nada suaranya
mengandung tantangan yang menyakitkan.
"Kurang ajar! Kau sudah bosan hidup rupanya. Anak
Setan!" geram Galang Gembul sengit
"Kita lihat saja siapa yang bosan hidup...?"
"Monyet! Hiyaaa...!"
Galang Gembul tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Dia langsung melompat menerjang Rangga. Pertarungan
sengit pun tak bisa dihindari lagi. Rangga melayani
serangan Galang Gembul dengan jurus-jurus andalannya.
Sedangkan Galang Gembul sudah menghunus senjatanya
yang berupa golok besar beruarna hitam pekat
Wut, wut, wut!
Galang Gembul semakin bernafsu, setiap serangannya
dimentahkan di tengah jalan oleh Rangga. Sudah hampir
seluruh kemampuannya dia kerahkan, tapi belum juga dia
bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Galang
Gembul jadi semakin kalap dan merasa dipermainkan, dia
pun segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang ter-
dahsyat!
"Hih.. !" Rangga terkesiap juga melihat ilmu itu.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan
aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian andalannya yang
digunakan terhadap lawan tangguh. Sekejap saja kedua
tangan Rangga memancarkan cahaya biru menyilaukan
mata.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga.
Bersamaan dengan itu, tubuh Galang Gembul me-
lompat cepat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Tangan Rangga terangkat naik, dan menerima kedua
tangan Galang Gembul yang menjulur ke depan.
Ledakan keras terdengar begitu kedua tangan itu saling
beradu Rangga tidak bermain-main lagi, dia langsung
mengerahkan tingkat akhir dan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Tubuh Galang Gembul terpental kencang ke belakang
begitu kedua tangannya membentur tangan Rangga.
Sedang Pendekar Rajawali Sakti itu tetap berdiri tegak tak
bergeming sedikit pun.
Galang Gembul meluncur deras membentur dinding
batu cadas dengan keras. Begitu kerasnya, hingga dinding
batu itu bergetar dan berguguran! Tak ampun lagi, batu
batu yang berguguran itu menimpa tubuh Galang Gembul,
hingga seluruh tubuhnya tak ada yang terlihat lagi. Galang
Gembul tewas seketika
"Mau lari ke mana kau! Hiyaaa...!" bentak Pandan
Wangi yang sejak tadi mengawasi Kebo Rimang dan
Demung Pari.
Kebo Rimang terkejut setengah mati, buru-buru dia
mengibaskan pedangnya ke arah bayangan biru yang
menerjangnya. Namun Kebo Rimang jadi tersentak begjtu
pedangnya beradu dengan benda keras bertenaga dahsyat.
Tangan Kebo Rimang bergetar hebat, dan pedangnya
nyaris terlepas dari tangan.
Belum sempat dia menyadari apa yang barusan terjadi,
mendadak sebuah tendangan geledek meng-hantam dada-
nya. Kebo Rimang mengeluh pendek, dan tubuhnya
sempoyongan terdorong ke belakang. Laki-laki bertubuh
tinggi besar itu langsung menjatuhkan dirinya begitu
datang serangan benkumya yang sangat cepat bagai kilat.
Bret!
"Akh...!" Kebo Rimang memekik tertahan.
Tanpa diduga sama sekali, kipas baja putih milik
Pandan Wangi merobek bahu kiri Kebo Rimang. Darah
bercucuran dari luka yang panjang dan dalam di bahu kiri.
Kebo Rimang meringis merasakan perih pada bahunya
yang terluka. Pandan Wangi berdiri tegak dengan kipas
baja putih terbuka di depan dada.
"Kau lebih baik mati, Setan!" geram Pandan Wangi
sengit.
Pandan Wangi lalu berteriak nyaring dan bergerak
cepat seraya mengebutkan kipas saktinya. Kebo Rimang
hanya bisa mendelik. Mendadak dia merasakan sesuatu
yang sangat sangat keras menusuk tubuhnya. Tanpa
sempat bersuara sedikit pun, Kebo Rimang langsung tewas
saat itu juga.
Pandan Wangi berdiri sejenak memandang tubuh Kebo
Rimang yang tergeletak tanpa nyawa itu. Dia baru menoleh
kebka merasakan tepukan lembut di pundaknya.
"Kenapa kau biarkan satunya lolos?" tanya Pandan
Wangi.
"Biar dia memberitahu pimpinannya," sahut Rangga
tenang.
"Huh! Tanganku rasanya gatal jika melihat kejahatan di
depan mata," dengus Pandan Wangi.
"Tapi tidak seharusnya kau berlaku begitu sadis."
"Orang-orang seperti mereka tidak perlu dikasih hati."
Rangga cuma tersenyum. Belakangan ini dia memang
lebih arif pada lawannya, seringkali dia membiarkan lawan-
nya pergi jika dianggapnya sudah tak berdaya menghadapi
dirinya. Kecuali kalau lawannya benar-benar telah berbuat
kejahatan di luar batas
"Bagaimana kedaan Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka sudah berkumpul di gubuk Dimas," sahut
Rangga.
"Begitu cepat..?!" Pandan Wangi merasa heran.
"Tidak jauh lagi dari sini, kan?"
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Dia seolah
baru tahu siapa Rangga. Jarak dari tempat mereka berada
sekarang sebenamya cukup jauh dan harus melewati
tebing-tebing berbaru untuk mencapai gubuk Dimas. Tapi
bagi Rangga hal itu bukanlah menjadi soal.
"Ayo...." ajak Rangga.
Baru saja mereka hendak melangkah, mendadak
muncul Dimas dari balik tebing batu yang tinggi. Rangga
dan Pandan Wangi mengurungkan niatnya untuk
meninggalkan tempat itu. Dimas menghampiri kedua
pendekar muda itu Tiba-tiba ia sangat terkejut melihat
gambar kala hitam pada salah satu sosok mayat itu!
Gambar yang mengingatkannya kembali pada peristiwa
yang menimpa kakak perempuannya lima belas tahun yang
lalu. Dimas seolah tak percaya pada penglihatannya, mata-
nya terus menatap mayat Galang Gembul.
"Rupanya mereka ada di sini!" Dimas seperti ber-
gumam. "Huh! Wira Perakin, rupanya kau dalang dari
semua ini!" geram Dimas seraya bangkit berdiri.
"Dimas...," panggil Pandan Wangi pelan.
Dimas menoleh, memandang kedua pendekar yang
berdiri di dekatnya. Sinar matanya begitu tajam dan berapi-
api. Api dendam yang bersemayam bertahun-tahun di hati-
nya, kini kembali berkobar begitu melihat salah seorang
yang memperkosa dan membunuh kakaknya ternyata ada
di sini!
"Ada apa denganmu, Dimas?" tanya Pandan Wangi.
"Sekarang saatnya biar aku yang membunuh mereka!"
dengus Dimas sedikit tersengal.
Pandan Wangi memandang Rangga tak mengerti.
Keduanya lalu hampir berbarengan menoleh ke arah
Dimas. Pelahan-lahan keduanya mendekat. lalu mengajak
Dimas untuk menjauhi tempat itu.
Mulanya Dimas merasa enggan, tapi teringat akan jasa
Rangga dan Pandan Wangi, akhirnya dia pun menceritakan
semuanya. Menceritakan tentang nasib kakak perempuan-
nya yang malang. Menceritakan tentang nasib Ki Sukirah
dan keluarganya. Dan mengungkapkan dendam kesumat-
nya pada orang-orang yang telah menoreh luka panjang di
hatinya.
"Hm..., kalau memang orang itu salah seorang yang
membunuh kakakmu berarb masih ada empat orang lagi,"
kata Rangga setengah bergumam.
"Ya, dan aku yakin mereka ada hubungannya dengan si
tua bangka Wira Perakin," sahut Dimas.
"Bagaimana kalau kita kembali ke desa?" usul Pandan
Wangi.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Membantu Dimas mencari orang-orang itu." sahut
Pandan Wangi.
"Apa benar mereka pasti di sana?"
"Paling tidak, kita bisa menyelesaikan persoalan Wira
Perakin!"
"Bagaimana, Dimas?" Rangga meminta pendapat pada
yang berkepentingan.
"Aku percaya saja pada kalian berdua," sahut Dimas
mulai tenang.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sergah Pandan Wangi
segera.
"Ya, kalau mau bergerak memang harus cepat!" timpal
Rangga sambil beranjak pergi. Dan tiga orang pemuda itu
pun segera berjalan beriringan menuju sasaran yang
mereka cari!
***
ENAM
Wira Perakin menggeram hebat mendengar laporan
Demung Pari Galang Gembul, salah seorang kepercaya-
annya bersama dua puluh pengikut lainnya tewas oleh
hanya tiga orang anak muda! Begitu juga dengan Arya
Mahesa, Cakala Pati dan Antasuro, sulit menerima
kenyataan kalau Galang Gembul dan kawan-kawannya
begitu mudah dijebak.
"Ini tidak bisa didiamkan, Wira Perakin. Bocah setan itu
harus mampus sebelum menjadi dun untuk selamanya,"
kata Cakala Pari sengit
"Benar! Kita harus cepat membereskannya," sambung
Arya Mahesa.
"Kau tahu, di mana Anak Setan itu berada?" tanya Wira
Perakin pada Demung Pari.
"Di hutan sebelah Utara dari desa ini."
"Kau yaWn?" desak Antasuro.
"Rasanya bukan, Gusti. Tempat itu seperti perangkap.
Dikelilingi oleh bukit bukit batu yang mudah longsor. Kami
terjebak di sana, dua puluh orang tewas tertimbun batu
longsor."
"Kurang ajar!" geram Wira Perakin.
"Apa rindakan kita selanjutnya, Wira Perakin?
"Pancingan sudah lolos tanpa mendapatkan hasil," kata
Cakala Pari
Wira Perakin tidak menjawab. Pikirannya mendadak
jadi buntu. Kekalahan demi kekalahan telah menimpa
pihaknya. Sudah banyak orang orang yang tewas hanya
karena tiga anak muda yang membantu Ki Sukirah. Wira
Perakin seperti putus asa, tidak tahu apa lagi yang mesb
diperbuatnya, sedangkan wajah Wulan yang ayu selalu
mengganggunya sebap saat, dan dia merasa ditantang
untuk mendapatkan gadis itu.
"Kalian cari setan setan itu! Pakai otak kalian sendiri!"
ucap Wira Perakin keras.
Wira Perakin beranjak pergi dari ruangan besar yang
digunakan sebagai tempat pertemuan ini. Cakala Pati, Arya
Mahesa dan Antasuro hanya saling pandang.
Wira Perakin tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan
orangnya-orangnya. Dia langsung masuk ke kamar
peraduannya. Di dalam kamar itu telah menunggu seorang
perempuan muda dan tampak genit. Wanita itu hanya
melilitkan kain sutra tipis putih di tubuhnya.
Sementara itu jauh di luar rumah besar yang dijadikan
tempat bnggal Wira Perakin, tampak Rangga bersama
Pandan Wangi dan Dimas tengah duduk-duduk di dalam
sebuah kamar penginapan. Sengaja Rangga membuka
jendela kamar, agar bisa mengamatj keadaan di luar. Dan
bba bba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.
Dimas bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dia
membuka pintu pelahan lahan dan mengintip keluar,
kemudian membukanya lebar-lebar. Seorang laki-laki tua
segera masuk ke dalam. Dimas segera menutup kembali
pintu itu. Dia masih berdiri di pintu yang sudah tertutup.
Rangga berdiri bersandar di samping jendela yang terbuka,
sedangkan Pandan Wangi duduk di kursi tidak jauh dari
jendela.
"Ada yang ingin kau sampaikan, Ki Parung?" tanya
Dimas.
"Benar. Ada tiga orang saudara Wira Perakin datang
kemari tadi, mereka menanyakan kalian bertiga," sahut Ki
Parung, pemilik penginapan ini.
"Lalu, Ki Parung bilang apa?" tanya Dimas lagi.
"Aku katakan kalau kalian tidak berada di sini."
"Bagus," kata Pandan Wangi seraya bangkit mendekat.
"Ada sepuluh orang yang berjaga-jaga di penginapan ini
Mereka dipimpin oleh Demung Pari. Juga seluruh desa ini
selalu diawasi. Wira Perakin sudah memerintahkan orang-
orangnya untuk menangkap siapa saja yang dicurigai,"
tutur Ki Parung.
"Bagaimana, Kakang?' Pandan Wangi meminta
pendapat pada Rangga
"Kau pancing mereka keluar desa, aku dan Dimas akan
menunggu di sana," Rangga membuka suara.
"Demung Pari sudah mengenaliku," sergah Pandan
Wangi.
"Itu lebih bagus lagi. Kalau bisa, kau pancing tiga orang
saudara Wira Perakin itu, syukurlah bila dia sendiri ikut ter-
pancing."
"Terlalu berbahaya...," gumam Dimas tidak menyetujul
"Benar!" sambung Ki Parung. "Nona sangat cantik, Wira
Perakin tidak akan nelepaskan wanita cantik begitu saja.
Mereka sangat liar dan buas pada perempuan-perempuan
cantik! Bahaya sekali, Nona!"
"Dia bisa mengatasinya, Ki Parung. Kalian berdua tidak
perlu khawatir," kata Rangga sambil melirik Pandan Wangi.
"Justru kelemahan itu yang harus kita manfaatkan,"
sambung Pandan Wangi.
"Tapi...," Dimas merasa sayang kalau Pandan Wangi
dijadikan umpan.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebelum mereka
menjamah tubuhku kipas mautku akan bicara lebih dulu,"
sergah Pandan Wangi cepat
"Nah! Sekarang bersiaplah," kata Rangga. "Kau segera
ke batas desa sebelah Timur, Dimas. Aku sendiri akan
menjaga Pandan Wangi dari kejauhan. Terima kasih atas
bantuanmu, Ki Parung."
"Seharusnya aku atas nama penduduk desa ini yang
mengucapkan terima kasih pada kalian, karena orang-
orang itu terlalu kejam dan menyengsarakan penduduk,"
balas Ki Parung.
Rangga tersenyum. Dimas membuka pintu, membiar-
kan Ki Parung keluar. Kemudian dia sendiri ikut keluar
bersama lelaki tua pemilik penginapan ini. Rangga
memberi isyarat, dan Pandan Wangi langsung melompat ke
luar melalui jendela. Rangga mengikutinya seraya menutup
jendela kamar Itu.
Pandan Wangi melenting berlompatan dari atap rumah
yang satu ke atap rumah lainnya, dan baru berhenti di atas
tembok benteng rumah besar. Tampak beberapa orang
dengan senjata tersandang berjaga-jaga di sekitar tembok
itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pandan Wangi, hingga tak seorang pun yang
mengetahui kehadirannya.
"Aku harus memancing Wira Perakin, itu yang paling
penting dari pada yang lainnya." gumam Pandan Wangi
dalam hati.
Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera
melompat turun dari atas atap Namun begitu kakinya
menjejak tanah, sebatang tombak meluncur ke arahnya.
Pandan Wangi segera memiringkan tubuhnya, sehingga
tombak itu lewat di samping pinggangnya.
"He... he... he..., rupanya ada kelinci cantik menyusup
ke sarang macan," Wira Perakin muncul dari balik pohon.
Pandan Wangi terkejut Dia tidak menyangka kalau
kehadirannya bisa diketahui dengan cepat oleh laki-laki tua
yang masih tegap ini. Belum hilang rasa terkejutnya,
muncul lagi tiga orang laki laki yang sebaya dengan Wira
Perakin.
"Hm...," Pandan Wangi bergumam pelan. Matanya
melihat gambar kala hitam besar di tangan mereka. "Pasti
orang-orang ini yang dicari Dimas."
"Suiiit...!" tiba-tiba Wira Perakin bersiul nyaring.
Seketika itu juga bermunculan orang-orang dengan
pedang terhunus. Mereka rata-rata memegang senjata
sejenis golok yang besar berkilatan dibmpa sinar matahan
Tampak Demung Pari dan Jaran Kedung ada di sini.
Pandan Wangi kaget begitu melihat orang-orang yang
berjumlah sekitar dua puluhan itu kini telah mengepung-
nya.
"He... he... he..., cantik sekali kelinci ini," kata Wira
Perakin terkekeh. Bola matanya menatap liar penuh nafsu
pada Pandan Wangi
"Hati-hati, Wira Perakin," bisik Cakala Pati meng-
ingatkan.
"Aku tahu," sahut Wira Perakin, "tangkap dia!"
Orang-orang yang berjumlah tak kurang dari dua puluh
orang itu segera melompat maju ke depan. Gadis itu
segera mencabut kipas mautnya dari ikat pinggang.
"Majulah kalian semua.'" dengus Pandan Wangi.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Orang-orang yang mengenakan seragam kuning
keemasan itu langsung berlompatan menerjang Pandan
Wangi Pandan Wangi pun siap siaga Dengan kipas maut di
tangan, dia langsung mengamuk bagalkan singa betina
yang diganggu tidurnya Dan tak tanggung-tanggung lag},
Pandan Wangi langsung mengeIuarkan jurus-jurus sakti-
nya.
Dalam waktu yang tak berapa lama, lima orang sudah
meregang kaku tak bernyawa. Lalu satu per satu orang-
orang yang mengeroyoknya bergelimpangan tersambar
ujung kipas baja yang berkelebatan cepat dan sulit dfikuti
mata itu. Mereka memang bukan tandingan Pandan Wangi
Dan dalam waktu yang singkat pengeroyoknya hanya
tinggal lima orang.
"Kurang ajar!" geram Wira Perakin melihat orang-orang-
nya nyaris terbabat habis.
Wira Perakin memerintahkan Demung Pari membekuk
Pandan Wangi. Demung Pari segera melompat sambil ber-
teriak nyaring.
"Mundur...!"
Lima orang yang tersisa segera berlompatan mundur.
Pandan Wangi merintangkan kipas baja saktinya ke depan
dada. Kedua bola matanya tajam menatap Demung Pari
yang sudah menghunus senjatanya berupa golok besar
berwarna hitam.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Manis. Percuma
saja kau melawan," kata Demung Pari
"Jangan banyak omong! Ayo maju, kalau ingin kepala-
mu kupisahkan dari badan!" sentak Pandan Wangi sengit
Menyesal sekali, aku harus merobek mulutmu yang
indah," dengus Demung Pari menggeram.
Demung Pari melennng sambil mengibaskan goloknya
ke arah Pandan Wangi. Gadis itu memutar tangannya
menghadang sabetan golok Demung Pari.
Trang!
"Ikh!" Demung Pari kaget bukan main.
Buru-buru dia menarik goloknya. Seluruh persendian
tulang lengannya terasa nyeri. Dia benar-benar tidak
menyangka kalau gadis ini memiliki tenaga dalam yang
tinggi juga. Demung Pari menggeram keras. Dia tak mau
lagi menganggap enteng lawannya.
"Kubunuh kau, Setaaan...!"
"Uts!"
***
Sementara itu Dimas yang menunggu di luar batas
desa sudah merasa tak enak hati. Sudah cukup lama dia
menunggu, tapi Rangga dan Pandan Wangi belum muncul
juga. Dimas masih mengawasi jalan yang se harusnya
ditempuh Pandan Wangi untuk memancing Wira Perakin
dan orang-orangnya keluar sarang. Tapi jalan itu tetap saja
terrrhat sepi, tak seorang pun terlihat mebntasinya.
Jantung Dimas seketika berdetak kencang begitu
melihat Rangga berlari-lari cepat ke arahnya. Pendekar
Rajawali Sakti itu bagaikan terbang, sebentar saja dia
sudah berada di depan Dimas.
"Bagaimana...?" tanya Dimas tak sabar.
"Aku kehilangan jejak," sahut Rangga sambil mengatur
napasnya.
"Maksudmu?" Dimas tak mengerti.
"Pandan Wangi berbelok arah, dia menyimpang dari
rencana semula."
"Celaka!" seru Dimas.
"Kita tunggu saja beberapa saat di sini."
Dimas terbhat gelisah. Dan tiba-tiba terdengar derap
langkah kaki kuda dipacu cepat Tampak debu mengepul
dari ujung jalan. Rangga dan Dimas siap siaga, tapi....
"Ki Parung...," desis Rangga mengenalnya.
Rangga langsung melompat cepat diikuti Dimas. Kuda
yang ditunggangi Ki Parung meringkik keras sambil meng-
angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu Rangga
tiba-tiba menghadang jalannya. Untung saja Pendekar
Rajawali Sakti itu cepat menarik tali kekangnya, hingga Ki
Parung tidak jatuh.
Ki Parung bergegas turun dari punggung kudanya.
Wajah dan bajunya kotor, penuh debu yang bercampur
pehih. Laki-laki tua pemilik penginapan Itu tersengal-sengal
saat menghampiri Rangga dan Dimas yang memegangi tali
kekang kuda.
"Ah, oh...!" Ki Parung masih tersengal napasnya.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sedikit cemas.
"Celaka! Gawat..!" sahut Ki Parung masih tersengal-
sengal.
"Apa yang terjadi?" desak Dimas.
"Wira Perakin mengetahui rencana kita," suara Ki
Parung mulai terdengar tenang.
"Bagaimana bisa begitu?" Rangga tidak percaya.
"Salah seorang pembantuku berkhianat, dia yang me-
laporkan rencana kita."
"Bajingan!" geram Dimas.
"Lalu, bagaimana dengan Pandan Wangi?" Rangga ber-
tanya cemas.
"Aku tidak tahu, tapi semua orang-orang Wira Perakin
ditarik pulang."
"Ini sangat berbahaya! Kemungkman besar Pandan
Wangi pergi ke rumah itu," gumam Dimas.
Rangga terdiam. Memang bisa jadi Pandan Wangi ke
rumah itu. Masalahnya jadi lain sekarang, sudah pasti Wira
Perakin mengetahui kehadiran Pandan Wangi. Tanpa
banyak bicara lagi, Rangga segera melompat meninggalkan
tempat itu.
"Rangga...! Tunggu!" teriak Dimas seraya melompat
mengikuti.
Ki Parung jadi melongo. Dia tertegun beberapa saat
menyaksikan dua orang muda yang berilmu tinggi itu
berloncatan cepat bagai terbang. Dia segera sadar dari
rasa kagumnya, kemudian cepat-cepat naik ke atas
punggung kuda. Kuda putih itu pun segera digebahnya.
Sementara itu Dimas mengerahkan seluruh kekuatan-
nya untuk menyusul langkah Rangga. Tapi walaupun dia
mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja dia
tertinggal jauh oleh Rangga yang tingkatan ilmunya jauh
lebih tinggi.
"Rangga, tunggu...!" teriak Dimas terengah-engah
sambil terus mengejanya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak mempeduli-
kannya. Dia terus saja berlompatan menuju rumah besar
tempat tinggal Wira Perakin. Tempat di mana para
pengawal si Tua Bangka itu telah ditarik kembali ke sana!
Jika Pandan Wangi benar-benar pergi ke rumah itu, tentu
keadaannya sangat berbahaya sekali! Sama saja dia
menerobos sarang macan yang sudah siap menerkamnya!
***
TUJUH
Demung Pari kewalahan juga menghadapi Pandan Wangi.
Apalagi di tangan gadis itu kini tergenggam pedang pusaka
Naga Geni. Pedang itu memancarkan sinar merah yang
berkelebatan mengurung tubuh Demung Pari. Dengan dua
senjata di tangan, lawannya itu kerepotan menghindan
serangan serangan yang cepat dan berbahaya dari Pandan
Wangi.
Sudah puhihan jurus berlalu, dan tampaknya Pandan
Wangi mulai berada di atas angin. Gadis itu tak memberi
kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk balas
menyerang. Demung Pari tidak bisa berbuat banyak. Ruang
geraknya semakin sempit, beberapa kali dia harus jatuh
bangun menghindari serangan yang datang begitu cepat
dan beruntun dari dua senjata Pandan Wangi.
"Hiyaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras.
Bersamaan dengan tubuhnya yang melenting tinggi ke
udara, tangan kirinya mengibas seraya merentangkan
kipas baja putihnya. Buru-buru Demung Pari mengangkat
goloknya untuk melindungi kepala. Tanpa diduga sama
sekali, Pandan Wangi malah menuju bagian bawah.
"Mampus kau!" bentak Pandan Wangi keras.
Seketika itu juga pedangnya berkelebat cepat mem-
babat perut Demung Pari. Demung Pari mengeluh sejenak.
lalu tubuhnya menggelosor ke tanah. Orang-orang yang
berada di sekitamya bergumam ngeri melihat perut
Demung Pari hampir terbelah dua. Pandan Wangi berdiri
tegak. Dia memasukkan kembali pedang pusakan ke
dalam warangkanya di punggung.
Ketegangan menyelimuti suasana di tempat itu. Wira
Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa terlihat
menarik napas panjang. Dalam hati mereka mengakui
kehebatan Pandan Wangi.
Suasana hening. Pandan Wangi memandangi empat
orang yang berdiri berdampingan. Pandangan matanya
berurutan menatap keempat orang itu satu per satu. Gadis
ini tahu, keempat orang di hadapannya tentu memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi dari yang lainnya.
"Kuakui kau hebat! Tapi jangan senang dulu, kau belum
menang," kata Wira Perakin jujur memuji.
Pandan Wangi hanya tersenyum sinis.
"Jaran Kedung!" panggil Wira Perakin.
"Hamba, Gusti," sahut Jaran Kedung membungkuk
hormat. Dia melangkah maju dua tindak.
"Keluarkan algojoku!"
"Segera, Gusti."
Jaran Kedung segera melangkah meninggalkan tempat
itu. Pandan Wangi tidak mengertj maksud Wira Perakin,
tapi dia tetap waspada, kipas baja saktinya sudah ber-
pindah ke tangan kanan, melintang terbuka di depan dada.
Pandan Wangi bagaikan seorang dewi cantik pencabut
nyawa
Seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa
kemudian muncul mengiringi langkah Jaran Kedung.
Tubuhnya nyaris telanjang, hanya cawat yang menutupi
bagian bawah pusarnya. Dadanya penuh ditumbuhi rambut
hitam keriring. Makhluk ini benar-benar bagaikan raksasa.
Tinggi badannya tak bisa disamakan oleh manusia biasa.
"Buto Gendeng, kau lihat kelinci cantik itu?" tanya Wira
Perakin. "Nah, dia kuserahkan untukmuf"
"Grrr...!" manusia raksasa bemama Buto Gendeng itu
menggeram keras. Matanya yang bulat merah menatap
ganas pada Pandan Wangi.
"Dia calon istrimu, Buto Gendeng," lanjut Wira Perakin.
"Ha... ha... ha...!" Buto Gendeng tertawa terbahak-
bahak.
Pandan Wangi bergidik juga melihat perawakan yang
tinggi besar dan kasar itu. Dia menyumpah pada Wira
Perakin yang tak berani secara jantan menghadapi dirinya.
Jantung Pandan Wangi semakin berdegup kencang ketika
manusia yang bagai orang utan itu mendekati. Di tangan
kanannya tergenggam gada besar, lebih besar dari paha
orang dewasa.
"Ha... ha.... ha...! Cantik..., cantik sekali...!" Buto
Gendeng terbahak-bahak kegirangan menerima hadiah
yang sangat menyenangkan hatinya.
"Phuih! Majulah, kupecahkan kepalamu!" dengus
Pandan Wangi. Gadis itu telah menguatkan hatinya untuk
menghadapi calon lawannya.
"Graaakhg...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat
"Ha ha ha...! Bawa dia ke kamarmu, Buto Gendeng,"
teriak Wira Perakin sambil tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi mendelik geram pada laki-laki tua itu.
Tak ada pilihan lain baginya bagaimanapun juga, dia harus
membunuh manusia raksasa itu. Dia segera mencabut
pedang pusakanya.
"Selamat bersenang-senang, Buto Gendeng!" seru Wira
Perakin.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu mem-
berikan isyarat agar semua orang menyingkir. Dia sendiri
kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Cakala Pati,
Antasuro dan Arya Mahesa. Tapi Wira Perakin mendadak
menghentikan langkahnya, dan tidak jadi masuk ke dalam.
Lelaki itu membalikkan badannya
"Hm..., aku merasakan ada tamu yang tak diundang,"
gumam Wira Perakin pelahan.
"Siapa?" tanya Cakala Pati.
Sebuah bayangan putih berkeiebat cepat, dan tahu-
tahu sudah berdiri tegak di depan Wira Perakin dan lain-
Iainnya. Dan belum lagi mereka sempat mengenalinya,
menyusul lagi sebuah bayangan putih berkelebat mendarat
di sampingnya. Kini di tengah-tengah halaman, sudah
berdiri dua pemuda tampan berbaju putih. Mereka adalah
Rangga dan Dimas.
Wira Perakin menjentikkan jarinya, seketika itu juga
puluhan orang berseragam kuning keemasan bergerak
mengurung. Dimas menggeretakkan rahangnya saat me-
lihat empat orang yang berdiri di tangga masuk rumah,
semuanya memiliki gambar kala hitam di tangan kanan.
Merekalah yang selama ini dicarinya! Merekalah yang telah
memperkosa dan membunuh Surti, kakak perempuannya!
"Hm..., akhimya bisa kutemukan juga...," gumam Dimas.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga.
"Merekalah yang selama ini kucari-cari," sahut Dimas.
"Hm... jadi benar, Wira Perakin dan orang-orang-nya
yang telah memperkosa dan membunuh kakakmu?"
"Benar. Aku tidak akan lupa dengan gambar di tangan
itu! Gambar kala hitam...."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Empat
orang lelaki itu memang memiliki gambar kala hitam di
tangan kanannya. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedar-
kan pandangannya berkeliling. Tidak kurang dari tiga puluh
orang kini telah mengepung dirinya dan Dimas dengan
senjata terhunus.
Rangga tersenyum sinis. Dia tahu benar, orang-orang
yang cuma menjadi kaki tangan majikan biasanya hanya
mengandalkan ilmu kanuragan tanpa memiliki ilmu
kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Tidak terlalu sulit
baginya menghadapi orang-orang seperti ini!
Rangga memusatkan perhatiannya pada empat orang
yang telah membangkitkan dendam kesumat di dada
Dimas. Sepintas saja Rangga telah dapat mengukur,
bahwa Dimas tak akan mampu menghadapi mereka
berempat sekaligus. Jika mereka maju satu per satu sekali
pun, itu masih sangat sulit bagi Dimas.
"Wira Perakin, pandang aku baik-baik!" seru Dimas.
"Lima belas tahun kita tidak bertemu. Lima belas tahun
aku tersiksa karena hutangmu, kini aku datang untuk
menagih hutang lama itu!"
"He he he..., Bocah! Bicaramu seperti orang tua saja.
Lima belas tahun lalu, kau pasti masih seorang bocah
ingusan!" Wira Perakin terkekeh.
"Benar, dulu aku memang masih anak-anak. Tapi aku
tidak pemah lupa dengan perbuatan kalian, memperkosa
dan membunuh kakak perempuanku!"
"Bocah! Kau jangan cari-cari perkara di sini, heh,"
bentak Cakala Pati. "Aku tidak kenal denganmu!"
"Dengar, kalian semua! Lima belas tahun lalu di Hutan
Baka, lima orang kerasukan iblis memperkosa seorang
perempuan lemah, kemudian membunuhnya tanpa rasa
kasihan, disaksikan oleh seorang bocah berumur sepuluh
tahun. Bocah kecil itu tak akan lupa seumur hidupnya. Dan
dia bertekad membalas dendam dan membunuh lima laki-
laki yang telah menghancurkan hidupnya!" lantang suara
Dimas.
Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa
tersentak kaget. Ingatan mereka segera kembali pada
peristiwa sekitar lima belas tahun silam, peristiwa yang
untuk pertama kali mereka lakukan sebagai orang-orang
yang merasa punya kekuatan. Dan tanpa diduga, peristiwa
itu kini temyata berbuntut panjang. Kini mereka sadar
kalau anak muda yang berdiri di depan mereka adalah
bocah kecil itu.
"Nah, bersiaplah kalian! Aku akan menagih hutang itu!"
dengus Dimas.
Sret!
Dimas meloloskan pedangnya yang terbuat dari bahan
perak mumi. Mata pedang itu berkilauan tertimpa sinar
matahari yang sudah agak condong ke arah Barat. Mata-
nya tajam menatap lurus empat laki-laki tua di depannya.
Wira Perakin menepuk tangannya tiga kali. Dan segera
saja sepuluh orang anak buahnya bergerak maju beberapa
langkah lebih dekat ke arah dua anak muda itu. Di tangan
mereka semua tergenggam golok berwarna hitam pekat.
Dimas segera menyilangkan pedangnya di depan dada.
Sementara Rangga sudah bersiap-siap mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya seketika
itu juga berubah menjadi merah membara bagai terbakar
Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tak ingin berlama-lama
meladeni lawannya, hingga dia langsung mengeluarkan
jurus andalannya itu.
"Bunuh mereka!" teriak Wira Perakin memerintah.
"Hiya, hiya, hiyaaa ,.!"
Sepuluh orang itu langsung berteriak menyerang
Rangga dan Dimas. Dimas bergerak cepat membabatkan
pedangnya yang bergerak liar bagaikan banteng terluka
Dimas tak sungkan sungkan lagi membabat lawan-lawan-
nya. Dendam kesumat di dadanya bagaikan air bah me-
nemukan anak sungai, mengalir deras tak terkendali!
Sementara itu Rangga dengan dingin menghadapi
lawan-lawannya. Setiap kali dia mengerahkan 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali', setiap kali itu pula satu nyawa
melayang dengan dada hancur
Satu persatu orang-orang berseragam kuning ke-
emasan itu roboh bergelimpangan. Dan dalam waktu
singkat saja sepuluh orang lawan dua anak muda itu tak
satu pun yang tersisa hidup. Wira Perakin yang
menyaksikan pengikutnya dibantai tanpa ampun, langsung
bertepuk tangan tiga kali lagi. Sepuluh orang lagi melompat
maju. Namun semua itu tidak ada artinya bagi Rangga dan
Dimas. Dengan mudah kedua pemuda itu membuat orang-
orang yang mengeroyoknya jungkir balik bergelimpangan
dengan tubuh bersimbah darah.
"Setan!" geram Wira Petakin, "maju kalian semua!
Bunuh bocah-bocah setan itu!"
Wira Perakin semakin gusar melihat orang-orangnya
dlbuat tidak berdaya oleh dua pemuda tangguh yang
bertarung bagaikan banteng terluka Jerit kematian kembali
membahana ditingkahi oleh bergelimpangannya tubuh-
tubuh yang bersimbah darah segar. Dan dalam waktu yang
tidak berapa lama, Iebih dan separuh sudah meng-
gelimpang jadi mayat
Tiba-tiba Rangga melompat ke luar dari arena
pertarungan Dia berdiri tegak menatap empat orang tua
yang tetap berdiri dengan wajah gelisah dan geram.
Sedangkan Dimas terus bertarung melawan sekitar
delapan orang lagi. Kelihatannya anak muda itu benar-
benar di atas angin.
"Pandan...!" tiba-tiba Rangga tersentak.
Telinganya yang setajam mata pisau bisa membedakan
suara pertarungan yang tengah berlangsung dengan suara
lain yang datangnya dari arah belakang rumah. Suara
jeritan seorang wanita yang disertai suara menggeram
bagai gorilla.
"Dimas, aku tinggal sebentar!" seat Rangga seraya
melompat cepat ke atas atap
Wira Perakin dan yang lainnya terhenyak sesaat
melihat begitu cepatnya Rangga bergerak. Cakala Pati
langsung melenting tinggi ke udara mengejar Rangga.
Sedangkan Arya Mahesa juga segera melompat, meluruk
ke arah Dimas yang kini tengah menghadapi tiga orang
lagi.
"Aku lawanmu Bocah Setan!" bentak Arya Mahesa.
"Bagus!" sambut Dimas yang memang sudah meng-
harapkan sejak tadi.
Tiga orang yang masih tersisa hidup, langsung
melompat mundur. Mereka masih bisa bernapas lega,
karena terhindar dari kematian. Bagaimanapun juga
mereka merasa ngeri dan kehilangan keberanian melihat
teman-teman mereka sudah habis dibantai.
***
Rangga terperangah melihat Pandan Wangi kewalahan
menghadapi manusia raksasa Beberapa kali pedang
pusakanya menghantam tubuh lawannya, tapi Buto
Gendeng tetap saja tegar. Tidak ada luka sedikitpun pada
kulitnya yang kasar dan kotor, meskipun Pandan Wangi
sudah mengerahkan seluruh kekuatannya pada pedang
yang terus menerus menghantam bagian-bagian tubuh
manusia raksasa itu.
Pandan Wangi benar-benar putus asa, tidak sedikit dia
menerima pukulan dan tendangan dari Buto Gendeng. Baju
dan tubuh gadis itu sudah kotor oleh debu yang bercampur
keringat Pandan Wangi benar-benar bdak mampu lagi
berbuat banyak, dan nyaris kehilangan akal. Aji 'Tapak
Wisa' yang dimilikinya juga tidak berpengaruh sama sekali
pada Buto Gendeng. Seluruh kemampuannya sudah ter-
kuras, tapi manusia raksasa itu tetap saja tegar, bahkan
semakin ganas dan liar.
"Pandan, minggir...!" teriak Rangga seraya melompat,
menerjang Buto Gendeng.
"Oh, Kakang...," Pandan Wangi gembira melihat Rangga
datang.
"Aaarghk...!" Buto Gendeng menggeram marah melihat
ada orang lain yang langsung menyerangnya.
"Hati-hati, Kakang. Manusia aneh ini sangat kebal,"
kata Pandan Wangi setelah melompat menjauhi Buto
Gendeng. Napasnya masih tersengal sengal
"Hm...," Rangga hanya bergumam. Dia seperti sudah
mengerti apa yang harus diperbuatnya.
Rangga menghentikan gerakannya sejenak. Sesaat dia
mengerutkan keningnya. Dia teringat dengan pengalaman-
nya ketika menghadapi manusia raksasa yang pernah
bentrok dengannya. Tapi yang ini kelihatannya lebih besar
lagi, dan lebih ganas dari yang dulu! (Baca: Serial Pendekar
Rajawali Sakti, dalam kisah NAGA MERAH).
"Menyingkirlah, Pandan. Biar aku yang hadapi manusia
liar ini," kata Rangga seraya mendorong tubuh Pandan
Wangi.
Pandan Wangi tak membantah, dia melangkah mundur
menjauh. Dia percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti itu
dapat mengatasi kekebalan tubuh Buto Gendeng. Pandan
Wangi memasukkan pedang pusakanya ke warangkanya.
Sungguh dia tidak mengerb, pedang yang sangat dahsyat
itu tidak berarti banyak buat Buto Gendeng. Mungkinkah
manusia raksasa itu memiliki ilmu kekebalan yang
sempurna? Kalau memang benar, tentu sukar bagi Rangga
untuk mengalahkannya!
"Majulah! Hadapi aku!" geram Rangga
"Grrrh...!" Buto Gendeng menggeram sambil meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Ayo maju, biar kupecahkan kepalamu!" Rangga keras
memancing kemarahan manusia raksasa itu.
Buto Gendeng menggerung-gerung marah. Matanya
semakin merah. Gada sebesar paha manusia dewasa itu
diayunkan-ayunkannya dengan cepat, sehingga menimbul-
kan deru angin dahsyat bagaikan topan. Rangga sedikit
goyah juga mendapat dorongan angin yang sangat dahsyat
berhembus. Cepat-cepat dia mengeluarkan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Graaaghk...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat
Tiba-tiba saja gadanya dilayangkan ke tubuh Rangga.
Pendekar Rajawali Sakb itu melentingkan tubuhnya
menghindari hantaman dahsyat dari gada Buto Gendeng
Secepat kilat dia menghantamkan pukulan yang disertai
pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke arah gada
yang sangat besar itu.
Darrr!
Suara ledakan keras terdengar begitu tangan Rangga
menghantam gada Buto Gendeng. Manusia raksasa itu
menggeram dahsyat melihat gada miliknya pecah dan
hancur. Cakala Pari yang berada tak jauh dari tempat
pertempuran itu tersentak kaget melihat gada Buto
Gendeng hancur dengan satu pukulan saja.
"Aaargh...!" Buto Gendeng meraung keras.
Sekuat tenaga dia melemparkan sisa gada tadi ke arah
Rangga. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu meng-
elak. Potongan gada itu meluncur deras melewari kepala
Rangga, langsung menghantam dua orang berseragam
kuning keemasan yang tidak sempat menghindar.
Begitu kerasnya lemparan Buto Gendeng, sehingga dua
orang yang tersambar gada itu langsung ambruk tak ber-
nyawa.
Buto Gendeng menggeram kembali, langsung dia me-
lompat menerjang Rangga. Manusia raksasa itu
mengamuk membabi buta. Pohon-pohon dan tembok
hancur berkeping keping terkena hantaman tangan Buto
Gendeng yang dahsyat. Rangga sedikit kerepotan juga
menghadapi amukan manusia raksasa itu, tapi masih
sempat dia mendaratkan beberapa pukulan mautnya ke
tubuh Buto Gendeng. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' itu
tidak juga membuat Buto Gendeng reda dari amukannya
bahkan semakin menjadi-jadi' "Gila! Semua pukulanku
mentah " dengus Rangga.
"Awas, Kakang...!" teriak Pandan Wangi tiba-rJba.
Terlambat! Satu hantaman keras dari Buto Gendeng
mendarat telak di dada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti
itu terpental sejauh dua batang tombak. Dia merasakan
rongga dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Rangga
buru-buru bangun dan melompat ketika melihat jejakan
kaki Buto Gendeng. Bumi terasa bergetar begitu kaki
manusia raksasa itu menghantam tanah.
Rangga segera mengumpulkan hawa murni untuk
mengusir rasa sesak di dadanya Pelahan-lahan dada
Pendekar Rajawali Sakti itu terangkat, lalu tertahan be-
berapa saat, tak lama kemudian dadanya mengempis
turun kembali. Buto Gendeng seperti tertegun melihat per-
buatan lawannya yang dirasanya aneh itu.
"Terpaksa, aku harus menggunakan jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'," gumam Rangga.
Sret!
Sinar biru membias terang menyilaukan begitu pedang
Rajawali Sakti itu keluar dari warangkanya. Rangga bagai-
kan sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa
dengan pedang sakti di tangannya. Buto Gendeng me-
langkah mundur dua tindak, kedua matanya menyipit me-
mandang pedang yang berpamor sangat luar biasa itu.
Cakala Pati yang sedari tadi menyaksikan jalannya
pertarungan itu juga terperangah takjub melihat cahaya
biru berkilauan menyilaukan mata. Rangga bergerak per-
lahan menggeser kakinya ke kanan Kedua matanya me-
natap tajam pada Buto Gendeng. Pedang pusakanya
menyilang di depan dada.
"Majulah, aku akan menyerah kalau kau mampu
menandingi pedang pusakaku." kata Rangga menggeram.
"Grrr...!" Buto Gendeng menggeram pelan.
Buto Gendeng sedikit membungkuk, bergerak perlahan
menyusur tanah mengikuti gerak ki Rangga. Kelihatan
sekali kalau manusia raksasa itu mulai bersikap hati-hati
dan memperhitungkan kekuatan lawannya, terutama pada
pedang yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka
saling tatap dengan tajam, seolah sedang mencari jalan
dan cara yang tepat untuk meringkus lawannya.
Sambil meraung keras, Buto Gendeng melompat cepat
menerjang Rangga. Bagaikan seekor gorilla raksasa, Buto
Gendeng meluruk seraya melayangkan pukulan keras.
Rangga langsung melenbng bnggi ke udara menghindan
terjangan manusia raksasa itu. Bagaikan kilat kedua kaki
Pendekar Rajawali Sakb itu menghantam kepala Buto
Gendeng secara beruntun.
Buto Gendeng menggening keras menggeleng-geleng-
kan kepalanya. Dia langsung berbalik cepat mengibaskan
tangannya, namun Rangga sudah lebih cepat lagi
melenting ke atas. Kembali kedua kakinya menghantam
kepala manusia raksasa itu beberapa kali, hingga tubuh
Buto Gendeng agak sempoyongan dibuatnya.
"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga lantang.
Seketika itu juga pedangnya berkelebat bagaikan kilat
ke arah dada Buto Gendeng yang baru saja memutar
tubuhnya. Buto Gendeng meraung keras. Badannya ter-
dorong mundur beberapa langkah. Ujung pedang Pendekar
Rajawali Sakti itu berhasil menggores kulit dadanya. Darah
segar mengucur dari luka panjang di dada yang berbulu
lebat itu.
"Sekarang giliran leher, hiyaaa...!" teriak Rangga seraya
melompat cepat
Pedang yang memancarkan sinar biru itu kembali
berkelebat cepat ke arah leher Buto Gendeng. Manusia
raksasa itu meraung keras sambil membekap lehemya
yang terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini
Rangga bdak mau lagi membenkan kesempatan, satu
tendangan geledek dia sarangkan ke dada, dan satu
sabetan pedang lagi menghajar perut
Buto Gendeng semakin keras meraung. Darah ber-
cucuran deras membasahi tubuhnya. Melihat manusia
raksasa itu sudah tidak berdaya lagi, Pandan Wangi yang
memang sudah kesal dan mendendam, langsung me-
lompat memberikan tendangan beruntun ke dada. Buto
Dungkul bagaikan boneka raksasa mainan sekarang
menjadi bulan-bulanan Rangga dan Pandan Wangi.
"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi
melengking tinggi.
Secepat kilat dia melompat dan menusukkan ujung
kipasnya ke arah mata. Lagi-lagi Buto Gendeng meraung
keras begitu dua biji matanya bolong bercucuran darah
tertusuk ujung kipas Pandan Wangi. Belum lagi manusia
raksasa itu berhenti meraung, tiba-tiba secercah cahaya
biru berkebebat bagai kilat, dan....
Cras!
Buto Gendeng tak mampu lagi bersuara. Sebentar
tubuhnya bergetar kemudian ambruk dengan kepala ter-
pisah dari leher. Darah semakin deras mengucur dari
tubuh yang penuh luka. Tubuh Buto Gendeng menggelepar-
gelepar di tanah kemudian diam tak mampu bergerak lagi.
"Serang...! Bunuh mereka...!" Cakala Pati segera
memerintahkan orang-orangnya.
Orang-orang yang sebenarnya sudah gentar itu ber-
lompatan sambil berteriak-teriak mengacung-acungkan
senjatanya. Tidak kurang dari lima belas orang meluruk
menyerbu Rangga dan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali
Sakti merasa tak perlu menggunakan pedangnya, dia
segera memasukkan pedang Rajawali Sakti ke dalam
warangkanya di punggung.
Lain halnya dengan Pandan Wangi yang sudah muak
dan geram. Dia langsung mencabut pedang pusakanya,
dan mengamuk menghajar orang-orang berseragam
kurang keemasan itu. Rangga jadi tak mempunyai ruang
gerak, akhimya dia melompat minggir dan hanya berdiri
mengawasi. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja orang-
orang itu sudah berantakan. Jerit lengking kematian
terdengar saling menyusul. Pandan Wangi mengamuk
bagaikan singa betina terluka. Setiap kali pedang dan
kipasnya bergerak, setiap kah itu pula dua nyawa
melayang.
Menyadari tidak akan mampu menghadapi dua sejoli
pendekar itu, Cakala Pati langsung mencelat kabur.
Rangga yang sejak tadi mengawasi, tidak membiarkan laki-
laki tua licik itu melankan diri. Dia langsung mengejar
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
***
DELAPAN
Sementara itu pertarungan antara Dimas yang dikerubuti
oleh Wira Perakin, Arya Mahesa dan Antasuro terus ber-
langsung. Di sekitar mereka mayat-mayat bergelimpangan
bersimbah darah. Bau anyir menyebar terbawa angin
menusuk hidung. Tidak ada lagi pengikut Wira Perakin yang
tersisa hidup. Mereka mati percuma oleh kekuatan yang
jelas di atas mereka.
Dalam beberapa jurus, Dimas masih mampu melayani
ketiga orang musuh yang selama ini dicarinya. Sedangkan
Pandan Wangi yang sudah membereskan sisa-sisa
pengikut Wira Perakin dihadang oleh Jaran Kedung saat
dirinya hendak melompat menuju bagian depan bangunan
itu. Terpaksa Pandan Wangi melayani Jaran Kedung yang
memegang senjata berbentuk trisula di tangan kanan dan
Idrinya.
Lain halnya dengan Rangga, dia bertarung di atas atap
melawan Cakala Pati. Jelas terlihat Pendekar Rajawali Sakti
itu berada di atas angin. Beberapa kali pukulan dan
tendangannya mendarat telak di tubuh Cakala Pati. Adik
Wira Perakin itu sama sekali tak memiliki kesempatan
untuk bertahan. apalagi menyerang. Dia berusaha mencari
celah dan kesempatan untuk melarikan diri.
"Kau tidak bisa kabur, Cakala Pari. Kau harus mampus
di sini!" Rangga menggeram seraya mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Huh!" Cakala Pati mendengus sengit Kedua bola
matanya jelalatan ke sana kemari berusaha mencari-cari
celah untuk melankan diri.
Cakala Pati melangkah mundur melihat kedua tangan
Rangga yang sudah berubah merah membara. Keringat
dingin bercucuran membasahi wajah dan lehernya
Ketakutan akan kematian yang bakal menjemputnya ter-
bayang jelas di wajahnya yang mulai memucat. Dia sudah
menyadari benar kalau dirinya tidak akan mampu meng-
hadapi pendekar muda yang kini ada di hadapannya
"Celaka, mati aku!" gumam Cakala Pati bergetar.
"Mampus kau, Iblis...!" bentak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
seraya mengerahkan pukulan mautnya. Cakala Pati segera
melompat menghindari sebelum pukulan jarak jauh yang
dilontarkan Rangga itu mengenai tubuhnya. Atap tempat-
nya berpijak hancur berantakan terkena sambaran pukulan
Rangga yang teramat dahsyat
"Hiyaaat...!" Rangga berteriak nyaring.
Seketika itu juga tubuhnya mencelat tinggi ke udara,
menyusul Cakala Pari yang masih berada di angkasa saat
menghindari pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti itu.
Kedua tangan Rangga menyentak dengan cepat ke depan.
Seketika itu juga sinar merah meluruk deras ke arah
Cakala Pati.
"Aaakh...!" Cakala Pati menjerit melengking.
Pukulan maut yang dilepaskan Rangga begitu telak
menghantam dada. Tubuh laki-laki tua itu jatuh terjungkal
menghantam atap. Secepat kilat Rangga memburu, dan
menendang tubuh yang sedang bergulingan itu. Tubuh
Cakala Pati meluruk deras ke bawah, dan jatuh berdebum
di tanah dengan keras. Seketika itu juga nyawanya
langsung melayang.
Rangga berdiri tegak di atas atap. Matanya menatap
lurus pada Dimas yang kelihatan mulai terdesak. Dugaan-
nya tidak meleset, Dimas tidak akan mampu menandingj
tiga orang lawannya yang rata rata memiliki tingkat
kepandaian di atasnya Rangga tidak bisa lagi berdiam diri
melihat Dimas yang semakin terdesak saja keadaannya
Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di
udara, meluncur ke bawah, dan bersalto dua kali sebelum
mendarat dengan manis di tanah. Sejenak dia terpaku
melihat tubuh Dimas yang bercucuran darah.
"Ha... ha... ha...! Mampus kau, Bocah Setan!" Wira
Perakin tergelak melihat Dimas sudah tidak berdaya lagi.
"Dimas, mundur...!" seru Rangga. Dimas menarik napas
panjang melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri di
depannya. Semangat anak muda itu tumbuh kembali, lupa
dengan rasa sakit dan perih yang menyerang seluruh
tubuhnya.
"Bagus! Biar kubuat dendeng kalian semua!" dengus
Wira Perakin.
'Tua bangka bdak tahu diri! Kau tidak layak hidup di
dunia ini!" sungut Rangga dingin.
"Ha ha ha..!" Wira Perakin tertawa terbahak-bahak.
"Kalian benar-benar tidak bisa mengukur tingginya
gunung. Masih bau kencur sudah berani menantang Kala
Hitam!" Antasuro mengejek seraya menyemburkan
ludahnya.
Rangga menyentakkan tangannya dengan cepat tiga
kali ke arah mereka. Suara ledakan keras terjadi begitu
cahaya merah yang meluncur dari tangan Rangga meng-
hantam tanah. Tampak tiga lubang menganga begitu debu
yang mengepul oleh hantaman itu mulai menipis.
"Kusiapkan kuburan untuk kalian, setan-setan tengik!"
geram Rangga.
"He... he... he .... permainan usang!" ejek Wira Perakin.
"Salah-salah, kau sendiri yang menyiapkan lubang
kubur!" sambung Arya Mahesa.
"Kita lihat saja nanti, siapa yang lebih dulu masuk ke
liang kubur!" tantang Rangga.
"Ha ha ha...!" bga orang tua itu serempak tertawa
terbahak-bahak.
Dimas menggeram menggeretakkan rahangnya. Dia
sudah sangat muak melihat kesombongan tiga orang yang
berjuluk Kala Hitam itu. Sementara Rangga melirik Pandan
Wangi yang temyata pertarungannya sudah berpindah ke
halaman depan.
***
Pertarungan antara Pandan Wangi dengan Jaran
Kedung sudah berlangsung puluhan jurus. Dan tampaknya
Jaran Kedung mulai terdesak dengan serangan-serangan
Pandan Wangi yang sangat cepat dan berbahaya. Apalagi
setelah gadis itu mengeluarkan pedang Naga Geni, pedang
pusaka andalannya. Udara di sekitar tempat pertarungan
itu menjadi panas oleh pedangnya yang mengeluarkan
hawa panas yang semakin lama semakin membakar kulit.
Napas Jaran Kedung tampak mulai tersengal, tak bisa
lagi menghirup udara segar untuk tubuhnya. Gerakan-
gerakan jurusnya semakin kacau oleh serangan-serangan
gencar Pandan Wangi yang sudah membaca keadaannya.
"Awas kaki...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.
Secepat kilat gadis itu mengibaskan pedangnya ke arah
kaki Jaran Kedung, buru-buru Jaran Kedung melompat
menghindari tebasan pedang yang datang bagaikan kilat
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali. Pandan Wangi
mengibaskan kipas mautnya yang berada di tangan kin.
Bret!
"Akh!" Jaran Kedung melenting sambil mendekap
perutnya yang robek terkena sambaran kipas baja sakti.
Darah mengucur dari perut yang sobek cukup panjang.
Jaran Kedung meringis merasakan sakit yang teramat
sangat pada luka di perutnya. Dan belum lagi dia sempat
menyadari posisi lawannya mendadak Pandan Wangi
menusukkan pedangnya ke arah dada.
Tring!
Jaran Kedung beruntung, dia masih bisa menangkis
tusukan itu dengan trisulanya. Tapi tak urung tangan Jaran
Kedung bergetar hebat, dan senjata yang diandalkannya
Itu terlontar ke udara, dan belum lagi dia sempat mem-
perbaiki posisinya, kipas Pandan Wangi bagaikan kilat
menghantam dadanya dengan telak.
"Ugh!" Jaran Kedung mengeluh pendek.
Selagi tubuh laki-laki itu terjajar ke belakang, Pandan
Wangi memekik seraya bersalto di udara. Tepat ketika
berada di atas kepala Jaran Kedung, pedang yang me
mancarkan cahaya merah itu berkelebat cepat
Jaran Kedung tidak bisa mengelak lagi, pedang pusaka
lawannya itu menghantam kepalanya hingga terbelah jadi
dua bagian. Jeritan panjang terdengar jelas sebelum
tubuhnya ambruk ke tanah.
Pandan Wangi menarik napas panjang sambil
memasukkan kembali pedang pusakanya itu ke dalam
warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak di samping
mayat Jaran Kedung. Sebentar dia menatap lawannya yang
sudah menjadi mayat, kemudian beralih memandang
Rangga dan Dimas yang masih berdiri berhadap-hadapan
dengan Wira Perakin, Antasuro dan Arya Mahesa.
Rangga sempat memberikan senyum pada Pandan
Wangi yang dibalas dengan manis oleh gadis itu. Dengan
langkah tegap, Pandan Wangi menghampiri Pendekar
Rajawafi Sakti yang berdiri berdampingan dengan Dimas.
Pandan Wangi berdiri tegak di samping Rangga. Kini
imbang jadinya, tiga lawan tiga.
***
Wira Perakin mengegoskan kepalanya sedikit, memberi
isyarat pada dua orang yang mendampinginya. Arya
Mahesa dan Antasuro mengerti, mereka lalu menggeser-
kan badannya ke samping, menjauhi Wira Perakin. Pandan
Wangi dan Dimas juga bergeser mengikuti arah kedua laki-
laki tua itu bergerak.
"Hup!"
Wira Perakin melompati tiga lubang berjajar yang
dibuat Rangga. Kedua kakinya menjejak tanah dengan
nngan hanya sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Kini dua tokoh sakti itu sudah ber-
hadapan dan saling bertatap muka dengan tajam, seakan
tengah mengukur tingkat kepandaian masing masing.
"Bersiaplah untuk mati, Bocah!" kata Wira Perakin
dingin dan datar. Tatapan matanya juga tampak dingin
membeku.
"Silakan, aku pun tidak akan sungkan-sungkan
mengirimmu ke neraka," balas Rangga tenang.
"Hm..., nyalimu besar juga," suara Wira Perakin
terdengar sinis.
Rangga hanya tersenyum.
"Aku beri kau sepuluh jurus. Ayo, serang aku!" bentak
Wira Perakin.
"Aku rasa, yang tua sebaiknya lebih dulu menyerang.
Biar aku yang muda tidak kelihatan kurang ajar," sambut
Rangga tetap tenang, namun nadanya jelas mengejek.
"Bedebah! Kau menghinaku, Bocah!"
"Terserah apa maumu!"
"Kurang ajar! Salahmu sendiri kalau mampus lebih
dulu!"
"Aku jamin, tiga jurus saja kau pasti roboh!"
"Monyet buduk! Mampus, kau! Hiyaaa...!"
"Eits!"
Wira Perakin tidak dapat lagi mengendalikan amarah-
nya. Telinganya terasa panas mendengar ejekan dan
tantangan Rangga. Baru kali ini dia ditantang anak muda
yang lebih pantas menjadi anaknya. Wira Perakin langsung
menyerang dengan jurus urus mautnya, namun sedikit pun
dia tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya. Jelas sekali
kalau Pendekar Rajawali Sakti itu masih ingin memancing
emosi lawannya.
Sementara itu Pandan Wangi juga sudah bertarung
dengan Antasuro, dan Dimas menghadapi Arya Mahesa.
Pertarungan seru terjadi pada tempat yang tidak berjauhan
Sepertinya mereka tidak ingin jauh dari lubang yang dibuat
Rangga untuk mereka yang kalah. Suatu pertarungan
hidup dan mati!
Tidak ada lagi kata saling mengejek, tidak ada lagi kata
saling menantang. Pertarungan untuk mengenyahkan
kesewenang-wenangan, pertarungan untuk membalaskan
dendam, dan pertarungan untuk mempertahankan ke-
hormatan dan ambisi.
Meskipun dalam keadaan terluka. Dimas masih
mampu menandingi Arya Mahesa, yang tingkat kepandai-
annya masih di bawah Wira Perakin dan Antasuro.
Semuanya memang, tanpa disadari oleh yang lainnya,
sudah diatur oleh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu
memang sudah bisa memperhitungkan ketiga orang
lawannya, dan memihkan Arya Mahesa menjadi lawan
Dimas.
Rangga selalu membagi perhatiannya pada Pandan
Wangi dan Dimas, meskipun dirinya tengah bertarung
hebat dengan Wira Perakin. Dia tidak ingin salah satu di
antara mereka masuk lubang yang telah d buatnya sendiri,
terutama Dimas, yang melawan Arya Mahesa dalam
keadaan tubuhnya yang terluka.
Wira Perakin tidak menyadari kalau Rangga tengah
mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali' tingkat pertama
Gerakan-gerakannya tampak tidak beraturan seperti orang
mabuk kebanyakan minum arak. Namun tetap saja
gerakan-gerakannya tidak bisa dipatahkan oleh Wira
Perakin, bahkan untuk menjangkaunya pun terasa sulit.
Hingga lelaki tua itu merasa geram dibuatnya. Setiap kali
Wira Perakin melontarkan pukulan dan tendangan, setiap
kali itu pula Rangga bisa mengelakkannya dengan manis,
hingga pukulan dan tendangan lawannya hanya menemui
tempat kosong.
"Edan!" Wira Perakin mengumpat, pukulan mautnya
luput dari sasaran.
"Sudah dua puluh jurus, Setan Tua," kata Rangga
mengingatkan, tap jelas nadanya mengejek Bibimya
menyunggingkan senyum mengecilkan lawannya.
"Phuih! Jangan besar kepala dulu, Bocah! Tahan aji
'Pukulan Karang'ku!" geram Wira Perakin.
Seketika itu juga Wira Perakin merubah gerakannya.
Dan setiap pukulan yang dilepaskannya sungguh berakibat
dahsyat. Tembok dan pepohonan di sekitar mereka
tumbang dan hancur terkena sambaran dan hantaman
pukulan Wira Perakin. Dan Rangga sendiri kerepotan, angin
pukulan lawannya membuat tubuhnya sempoyongan.
"Aku harus segera mengakhiri pertarungan ini. Dimas
sudah kelihatan terdesak." gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'. Kedua tangannya mulai diliputi
cahaya biru berkilauan, lalu terulur ke depan. Wira Perakin
yang sudah menerjang dengan aji 'Pukulan Karang'nya
tidak bisa menarik tangannya kembali.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terjadi begitu dua pasang tangan
bertemu dan beradu kekuatan Wira Perakin sangat terkejut
merasakan tangannya seperti membentur perekat yang
sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas-
kan kedua tangannya dari telapak tangan Rangga.
"Uhk! Hiyaaa...!"
Wira Perakin mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
untuk melepaskan tangannya, namun semakin dia ber-
usaha keras, semakin kuat saja tangannya menempel
pada tangan lawannya, bahkan kini dia merasakan tenaga-
nya mulai tersedot. Dan cahaya biru itu kini mulai menjalar
ke seluruh tubuhnya.
"Aaakh...!" Wira Perakin menjerit keras begitu tubuhnya
terbungkus sinar biru yang memancar dari kedua telapak
tangan Rangga.
"Hih! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Seketika itu juga dia menyentakkan tangannya dan
tubuh Wira Perakin terjungkal ke belakang. Tanpa ampun
lagi tubuh laki-laki tua itu terjatuh ke dalam lubang yang
disiapkan Pendekar Rajawali Sakti. Darah kental
kehitaman merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
"Oh, akh!"
Pelan-pelan Wira Perakin berusaha bangkit, tapi
Rangga cepat menekan dada lelaki itu dengan kaki kanan-
nya. Kembali tubuh laki-laki tua itu telentang dalam lubang.
Wajah Wira Perakin pucat pasi membayangkan apa yang
akan terjadi pada dirinya. Kini dia benar-benar tak berdaya,
tenaganya tersedot habis oleh aji 'Cakra Buana Sukma'.
Tepat pada saat itu, Pandan Wangi memekik keras
sambil melenting tinggi ke udara. Pedang Naga Geni dia
kibaskan dengan cepat, dan....
"Aaakh...!" Antasuro menjerit sambil mendekap dada-
nya yang hampir terbelah oleh pedang yang membabatnya.
Pandan Wangi melayangkan kakinya menghantam
dada Antasuro, tubuh laki-laki itu mental dan ambruk ke
tanah. Pandan Wangi cepat memburunya, dengan kaki
kirinya dia menendang, hingga tubuh Antasuro terguling
masuk ke dalam lubang. Sebentar tubuh orang tua itu
menggelepar, lalu terdiam kaku. Pandan Wangi berdiri
tegak di samping lubang yang sudah terisi. Bibirnya
menyunggingkan senyum di antara pipi dan lehernya yang
bersimbah keringat.
"Kenapa tidak kau bunuh saja dia, Kakang" tanya
Pandan Wangi melihat Wira Perakin masih bernapas satu-
satu.
"Biar Dimas yang melakukannya," sahut Rangga ter-
senyum.
Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada Dimas
yang masih bertarung menghadapi Arya Mahesa. Agak
cemas juga gadis itu melihat Dimas jatuh bangun terdesak
terus. Tapi.. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja
keadaannya jadi terbalik.
Kibasan-kibasan pedang Dimas kini lebih terarah, dan
selalu mengincar bagian-bagian tubuh lawannya yang
lowong. Pandan Wangi jadi tersenyum geli begitu melihat
bibir Rangga bergerak-gerak, dan gadis itu segera
mengerahkan ilmu pendengaran jarak jauh. Mula-mula
hanya samar-samar saja terdengar, tapi kemudian jadi
jelas. Rangga mengirimkan petunjuk untuk melumpuhkan
Arya Mahesa pada Dimas dengan ilmu 'Pemindah Suara'
yang sungguh hebat sehingga orang yang bdak dituju tidak
dapat mendengarnya.
Keadaan yang berbalik ini benar-benar membuat Arya
Mahesa serba salah dan takut, apalagi melihat Wira
Perakin dan Antasuro sudah terbujur di dalam lubang, juga
melihat Rangga dan Pandan Wangi, yang mungkin akan
menggilirnya setelah Dimas, dengan ilmu kesaktian tingkat
tingginya. Arya Mahesa benar-benar goyah, kepercayaan
dan keberaniannya musnah sudah.
"Kini giliranmu Setan! Yeaaah...!" teriak Dimas.
Tubuh Dimas melompat, lalu dengan cepat menukik ke
bawah. Sambil menjatuhkan diri, Arya Mahesa menangkis
pedang Dimas, namun tanpa diduga sama sekali, kaki
Dimas menjejak keras dadanya.
"Aaahhh...!" Arya Mahesa merasa dadanya sesak sekali.
Dan Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia
langsung menusukkan pedangnya ke leher Arya Mahesa,
dan mengoyaknya hingga robek lebar. Darah langsung
muncrat menyembur ke luar. Dengan gemas dan dendam
yang meluap di dada, Dimas menendang tubuh Arya
Mahesa yang sudah tidak bemyawa itu ke dalam lubang
yang tersisa.
Mata anak muda itu mendelik ketika menghampiri
Rangga dan melihat Wira Perakin masih hidup, meng-
geletak tak berdaya di dalam lubang.
"Kenapa kau masih biarkan dia hidup?" tanya Dimas.
"Kau mencari-cari orang ini, kan? Nah! Sekarang dia
kuserahkan padamu dalam keadaan hidup," sahut Rangga
tenang.
Dimas hanya bisa memandang Rangga sesaat lalu
beralih pada Pandan Wangi.
"Terserah, apa yang akan kau lakukan padanya. Aku
sudah menepati janjiku untuk menyerahkannya hidup-
hidup padamu," kata Rangga lagi.
Dimas mendekati lubang yang diisi oleh tubuh Wira
Perakin itu, lalu membungkukkan badannya. Dimas
kemudian mengangkat dan menarik keluar tubuh orang itu.
Wira Perakin sempoyongan dan jatuh terduduk.
"Hm..., hari ini akhir dari segala penderitaan dan
dendam kesumatku, Perakin! Kematan terlalu mudah
bagimu! Kau tidak pernah merasakan bagaimana hidup
dengan penderitaan Aku ingin semua orang di desa ini
melihatmu tetap hidup! Dengan kesengsaraan dan
penderitaan seperti mereka, bahkan lebih nista dan
abadi... seumur hidupmu!" Dimas melampiaskan gejolak di
dadanya, "Berdiri kau, Wira Perakin! Berdiri...!"
Wajah Wira Perakin pucat dan tubuhnya gemetar. Dia
tidak tahu hukuman apa yang diterimanya dari Dimas,
hanya samar-samar dia mendengar... penderitaan seumur
hidup! Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan....
Bug!
Cras!
"Aaakh...!" Wira Perakin mengerang tertahan, lalu
ambruk pingsan. Tangannya menutupi bagian bawah
pusarnya yang bersimbah darah. Satu tendangan keras di
dadanya, dan sabetan pedang pada alat vitalnya mem-
buktikan kenyataan seperti yang diucapkan Dimas... pen-
deritaan seumur hidup yang tak terperikan!
***
Rumah besar yang pemah ditempati Wira Perakin itu
tampak meriah. Sepasang pengantin duduk ditikar..., irama
kehidupan yang baru kini mulai membentang. Wajah Dimas
dan Wulan tampak cerah dan berseri-seri. Secerah hati
penduduk yang baru terbebas dari belenggu penderitaan,
dan kesewenang-wenang-an. Meski semua itu ditebus
dengan bersimbahnya darah, darah keangkaramurkaan
dan kesatriaan yang berbaur jadi satu.
SELESAI