HILANGNYA PUSAKA
KERAJAAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode
Hilangnya Pusaka Kerajaan
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Malam sudah semakin larut. Bulan sepo-
tong nampak menggantung di langit pekat. Ca-
hayanya redup, sehingga tak mampu menerobos
kekelaman malam.
Di bawah siraman cahaya rembulan yang
temaram itu, tampak sesosok bayangan hitam
tengah berlari cepat. Gerakannya tak ubahnya ba-
gai bayangan hantu yang berkeliaran mencari
mangsa. Menilik dari gerakannya yang ringan dan
gesit, jelas kalau kepandaiannya sangat tinggi.
Tak berapa lama kemudian, sosok bayan-
gan itu telah tiba di bawah sebuah tembok tinggi
dan kokoh. Sambil merapatkan tubuh ke tembok,
sepasang matanya tampak merayapi sekeliling
dengan pandangan penuh curiga. Dari tarikan na-
pasnya yang berat, jelas kalau sosok tubuh berpa-
kaian serba hitam itu tengah diliputi ketegangan
Setelah merasa yakin kalau keadaan di se-
kitarnya aman, kedua kakinya segera dijejakkan
ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya yang tinggi
besar melambung melewati tembok belakang Ista-
na Kerajaan Cadas Putih.
Sepasang kaki sosok tubuh itu hinggap di
sebuah taman belakang tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Tubuhnya langsung merunduk di ba-
lik semak-semak ketika dua orang penjaga lewat
beberapa langkah di depannya.
Sepeninggal kedua orang penjaga itu, tu-
buhnya kembali melesat bagai anak panah menu-
ju gudang penyimpanan senjata pusaka Kerajaan
Cadas Putih.
Sosok tubuh itu kini harus menghadapi
orang yang tengah berbincang-bincang di pos jaga,
di depan tempat penyimpanan senjata pusaka ke
rajaan.
Dengan gerakan ringan tanpa suara sedikit
pun, orang itu melesat cepat ke arah pos jaga. Ke-
dua tangannya bergerak cepat ke arah para penja-
ga.
Empat orang penjaga yang berada di pos
jaga itu kontan roboh tak berkutik, hanya sekali
totokan saja. Cepat bagai kilat, tubuhnya kemu-
dian langsung menyelinap di balik pintu tempat
penyimpanan pusaka kerajaan.
Belum juga sosok bayangan hitam itu me-
neliti pusaka-pusaka yang berada di dalam gu-
dang, terdengar seruan-seruan terkejut dari luar
gudang ini. Sepertinya, empat penjaga yang diro-
bohkannya tadi telah diketemukan para penjaga
lainnya.
"Pasti ada orang gila yang nekat menyeli-
nap ke tempat ini. Kalian berdua, cepat beri tahu
yang lain. Aku dan yang lainnya, akan memeriksa
setiap sudut tempat ini!" terdengar perintah yang
keluar dari mulut seorang perwira berusia sekitar
empat puluh tahun.
Setelah berkata demikian, golok besar yang
tergantung di pinggangnya segera dicabut. Kemu-
dian, perwira itu melangkah memasuki gudang
penyimpanan senjata pusaka Kerajaan Cadas Pu-
tih, ditemani dua orang bawahannya.
Sementara itu, wajah di balik kain hitam
yang berada di dalam gudang terlihat menegang.
Keringat tampak telah membasahi bajunya.
"Hei?! Mengapa pintu gudang ini tidak di-
kunci?" tanya perwira itu seraya menolehkan ke-
palanya kepada dua orang pengawal di belakang-
nya. la sama sekali tidak menduga kalau ada
orang tak dikenal telah masuk ke gudang penyim-
panan pusaka. Apalagi kunci pintu gudang itu
sama sekali tidak rusak.
Sementara, dua orang penjaga yang men-
dapat pertanyaan itu hanya bisa saling berpan-
dangan mengangkat bahu.
Baru saja kaki perwira itu melangkah ma-
suk sejauh dua tindak, serangkum angin keras
menerpa tubuhnya. Cepat-cepat dikerahkannya
tenaga dalam untuk menahan dorongan yang
amat kuat itu.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tahu-tahu saja, sebuah tendangan keras
telah membuat perwira itu terpental ke luar! Ter-
dengar jerit kesakitan dari mulutnya. Darah segar
seketika menyembur dari mulutnya. Jelas kalau
dia menderita luka dalam yang cukup parah.
'Tangkap orang itu...!" teriak si perwira,
marah.
Dia mencoba bergerak bangkit, namun ra-
sa nyeri di dadanya menghambat gerakannya.
Perwira itu hanya bisa menekap dadanya yang
terhajar tendangan tadi. Mulutnya menyeringai
menahan sakit.
Sementara dua orang penjaga yang semula
berada di belakangnya langsung tersadar begitu
mendengar teriakan Cepat mereka menodongkan
ujung tombak ke arah sosok tubuh tinggi besar
yang berdiri tegak dengan sinar mata mencorong
tajam.
"Hmh...!"
Sosok bayangan hitam itu mendengus
mengejek ketika dua batang tombak meluncur
mengancam tubuhnya.
Trakkk! Trakkk!
Bukan main terkejutnya hati kedua orang
penjaga itu ketika tombak di tangan mereka lang
sung patah begitu dihunjamkan ke tubuh bayan-
gan hitam itu.
Belum lagi rasa terkejut mereka hilang,
orang berpakaian serba hitam itu sudah men-
gayunkan tangannya menampar dua kali berturut-
turut
Prakkk! Prakkk!
Tanpa sempat menjerit lagi, kedua orang
pengawal itu kontan roboh dengan kepala pecah.
Sebentar mereka menggelepar, sesaat kemudian
diam tak berkutik lagi.
"Keparat kau, Maling Hina! Kau akan dihu-
kum gantung akibat perbuatanmu ini!" bentak
perwira berusia empat puluh tahun itu, geram.
Walaupun dadanya terasa masih sakit, ia berusa-
ha menghadang dengan golok besar melintang di
depan dadanya. Sedangkan tangan kirinya masih
menekap dada yang terasa nyeri.
Sosok tinggi besar berpakaian serba hitam
itu sama sekali tidak menyahut Seketika itu juga,
tubuhnya meluruk melakukan tamparan dengan
telapak tangan kanan. Sungguh hebat serangan
itu, karena ditandai oleh suara mencicit tajam.
Sementara di tangan kirinya nampak tergenggam
sebatang tongkat yang terbuat dari batu pualam.
Pada bagian ujungnya bertahtakan permata. Ru-
panya barang yang dicarinya itu sudah dida-
patkan.
Perwira yang bernama Maharya itu melom-
pat mundur menghindari tamparan maut lawan-
nya. Namun, betapa terkejutnya dia ketika samba-
ran angin tamparan orang itu membuat tubuhnya
limbung. Padahal, Maharya sudah melompat se-
jauh hampir dua batang tombak.
"Gila! Kepandaian pencuri ini hebat sekali!
Siapakah dia sebenarnya? Dan apa maksudnya
mencuri pusaka kebesaran Kerajaan Cadas Putih?
Mungkinkah ia orang sewaan?" gumam Maharya
sibuk menduga-duga, siapa orang berpakaian hi-
tam itu.
Maharya tidak sempat lagi berpikir terlalu
jauh. Dan memang saat itu lawannya kembali me-
nerjang dengan serangan-serangan yang lebih
dahsyat.
Kini Maharya harus sibuk menghalau se-
rangan yang datang bagaikan gelombang lautan
Dalam lima jurus saja, perwira itu sudah terdesak
hebat. Bahkan tidak mampu lagi melakukan se-
rangan balasan. Diam-diam harinya mengeluh,
karena bantuan yang diharapkannya belum juga
muncul.
Bukkk! Desss!
"Aaargh...!"
Raung kematian terdengar dari mulut Ma-
harya ketika dua buah hantaman telapak tangan
dan tendangan pencuri itu telak menghantam da-
da dan lambungnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh perwira
gemuk Itu langsung jatuh berdebuk keras. Darah
segar langsung mengalir dari mulut dan hidung-
nya. Maharya tewas seketika di tangan pencuri
yang rupanya berkemampuan tinggi.
Bersamaan dengan jatuhnya tubuh Ma-
harya, terdengar derap langkah banyak orang
mendatangi tempat itu.
"Hei! Jangan lari...!"
"Tangkap orang itu...!"
"Jangan biarkan lolos...!"
Terdengar teriakan-teriakan marah dari
beberapa orang pengawal yang mengejar bayangan
hitam itu. Namun sayang, kepandaian pencuri itu
masih lebih tinggi daripada pengejarnya. Sehingga
dalam beberapa kali lompatan saja, para pengawal
itu sudah jauh tertinggal di belakang.
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Maling Bu-
suk!" bentak seorang senapati muda yang telah
berdiri tegak menghadang di depan sosok bayan-
gan hitam itu.
Tiga orang perwira dan delapan pengawal
yang berada di belakang senapati muda bernama
Palareja, langsung bergerak mengepung si pencuri.
Sepasang mata yang tersembunyi di balik kain hi-
tam penutup wajah tampak bergerak liar. Seper-
tinya, ia tengah mencari jalan untuk lolos dari ke-
pungan. Dari gerakan dadanya yang bergelom-
bang, jelas kalau pencuri itu merasa tegang dan
cemas. Dia benar-benar sadar kalau harus cepat
meloloskan diri sebelum tokoh-tokoh kerajaan
yang lainnya berdatangan. Apa bila hal itu terjadi,
maka jangan harap kalau bisa selamat. Apalagi
tempat itu banyak dipenuhi tokoh sakti yang men-
gabdikan dirinya pada Kerajaan Cadas Putih.
"Kisanak! Lebih baik menyerah saja secara
baik-baik. Dengan begitu, mungkin hukuman
yang dijatuhkan untukmu menjadi lebih ringan,"
ujar senapati muda bernama Palareja itu dengan
sikap tenang dan penuh percaya diri. Sikap seo-
rang panglima muda tulen.
"Persetan dengan ocehanmu itu...!" geram
sosok tinggi besar berpakaian serba hitam itu, pa-
rau.
Setelah berkata demikian, tubuhnya mele-
sat kesebelah kiri, tempat dua orang pengawal
yang mengepungnya berdiri.
Melihat tubuh pencuri itu meluruk ke arah
mereka, langsung saja kedua orang pengawal itu
menusukkan ujung tombaknya untuk menyambut
serangan.
Dan ternyata luncuran dua batang tombak
tidak membuat pencuri itu menghentikan seran-
gan. Tangan kanannya langsung bergerak cepat
menimbulkan deru angin dahsyat.
Seketika terdengarlah teriakan ngeri yang
disusul terlemparnya tubuh kedua orang pengawal
itu dalam keadaan tak bernyawa.
"Keparat...!"
Palareja memaki gusar melihat kejadian
yang tak disangka itu. Senapati muda yang sudah
siap melancarkan serangan itu, menahan lang-
kahnya ketika melihat dua orang perwira yang tadi
mengejar datang menghampiri.
"Tuanku.... Pencuri itu juga sudah mem-
bunuh Kakang Maharya," lapor perwira tinggi ku-
rus dengan napas memburu.
"Keparat! Kalau begitu, ia harus menerima
hukuman yang seberat-beratnya! Cepat, kepung
dia!
Jangan beri kesempatan untuk lolos!" pe-
rintah Palareja dengan suara menggelegar penuh
kemarahan.
Seusai mengeluarkan perintah, tubuh se-
napati muda itu langsung melesat ke arah si pen-
curi yang tengah mengamuk, dikeroyok dua belas
orang prajurit dan lima orang perwira.
Wuttt!
Sambaran angin pukulan Palareja mem-
buat pencuri itu melempar tubuhnya ke belakang.
Sebab, dari sambaran angin pukulan yang mende-
ru itu, disadari betul kalau penyerangnya kali ini
bukanlah orang sembarangan dan tidak bisa di-
pandang rendah.
Begitu lolos dari pukulan Palareja, tubuh
pencuri itu kembali melenting ke kanan. Seketika
dirobohkannya empat orang prajurit sekaligus.
Tentu saja hal itu membuat Palareja terkejut.
"Gila! Orang ini benar-benar bukan tokoh
sembarangan! Entah apa maksudnya mencuri pu-
saka lambang Kerajaan Cadas Putih?" gumam Pa-
lareja tak habis mengerti.
Sadar betapa berartinya benda yang dicuri
sosok tinggi besar itu, Palareja pun melesat dan
mengerahkan seluruh kemampuan untuk me-
nangkap si pencuri, hidup atau mati!
"Jangan mimpi untuk dapat lolos dari tem-
pat ini, Maling Hina!" bentak Palareja. Kembali di-
lancarkannya serangan-serangan maut dengan ti-
dak kepalang tanggung.
"Hmh...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar berpakaian
serba hitam itu mendengus penuh ejekan. Tubuh-
nya bergerak berputar sambil melakukan serang-
kaian tendangan ke arah para prajurit yang melu-
ruk ke arahnya. Hal itu dilakukan untuk sekaligus
menghindari terjangan Palareja. Sebuah gerakan
yang hebat, dan menunjukkan kecerdikan sosok
tubuh itu.
Palareja gusar bukan main. Bukan saja se-
rangannya dapat dielakkan orang itu. Bahkan so-
sok tubuh itu mampu sekaligus menewaskan tiga
orang prajuritnya. Dapat dibayangkan, betapa
murkanya hati senapati muda itu. Maka cepat-
cepat tubuhnya melompat mengejar pencuri yang
berlari menuju halaman belakang gudang penyim-
panan pusaka kerajaan
Kembali hati senapati muda itu dilanda ra-
sa penasaran. Meskipun, seluruh kemampuan il-
mu meringankan tubuhnya telah dikerahkan, ter-
nyata ia masih belum bisa mengimbangi ilmu lari
yang dimiliki pencuri Itu.
"Bangsat, berhenti...!" teriak Palareja se
makin gusar.
Rasa penasaran dan kemarahan di hati se-
napati muda itu hampir-hampir memecahkan da-
danya. Betapa tidak? la yang dalam Kerajaan Ca-
das Putih berpangkat senapati muda, ternyata ti-
dak mampu menangkap seorang pencuri. Sungguh
hal yang sangat memalukan! Padahal sebagai seo-
rang senapati muda, tentu saja kepandaian yang
dimiliki Palareja sudah sangat tinggi. Dan hanya
ada beberapa orang saja di kerajaan itu yang
mampu menandingi kepandaiannya. Tapi, seka-
rang ia terpaksa harus menelan kekecewaan, ka-
rena telah dipecundangi seorang pencuri yang sa-
ma sekali tidak dikenalnya. Hal itu benar-benar
menyakitkan bagi Palareja.
Saat itu, si pencuri sudah memasuki ta-
man belakang bangunan besar Kerajaan Cadas
Putih. Namun Palareja berusaha untuk terus
mengejar. Senapati muda itu baru menyerah ka-
lah, ketika tubuh pencuri itu melambung melewati
tembok setinggi tiga batang tombak lebih. Hal
yang tidak mungkin dapat dilakukan Palareja.
Palareja hanya berdiri terlongong sambil
memandangi arah kepergian pencuri itu. Sambil
mendengus kesal, tubuhnya disandarkan di ba-
wah tembok. Wajah-nya menampakkan kekece-
waan dan rasa penasaran.
"Apa kata Gusti Prabu apabila mendengar
kegagalanku ini...," desah senapati muda itu lesu.
Dengan langkah lunglai, Palareja mening-
galkan taman untuk melaporkan peristiwa yang
baru saja terjadi
Malam semakin bertambah larut. Suara
binatang-binatang malam yang menyemarak, se-
makin membuat gundah hati Palareja.
"Malam sial!" desah hatinya kecewa.
*****
DUA
"Apa! Tongkat Pualam Putih lenyap dicuri
orang? " tanya Prabu Aria Winata, menggelegar.
Raja Agung Cadas Putih itu tersentak
bangkit dari singgasananya dengan wajah merah
padam.
Sedangkan seluruh pembesar kerajaan
yang hadir di ruangan itu menundukkan kepala
dengan wajah pucat Tak seorang pun yang berani
mengangkat wajahnya melihat kemurkaan Prabu
Aria Winata.
Demikian pula halnya dengan Palareja
yang melaporkan kejadian itu. Wajah senapati
muda itu tampak pucat pias. Titik-titik keringat
mengalir turun, membasahi lehernya.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba menerima
salah, dan rela menerima hukuman atas kebodo-
han hamba Ini," ucap Palareja dengan suara ber-
getar. Kepalanya tetap tertunduk tanpa berani
memandang rajanya.
"Hm.... Coba ceritakan kejadian semalam
itu seluruhnya, Palareja," titah Prabu Aria Winata
sambil menghenyakkan bokongnya di atas kursi
kebesaran yang berlapiskan emas murni.
"Ampun, Gusti Prabu...," sembah Palareja
sebelum memulai ceritanya.
Setelah menarik napas sejenak untuk me-
nenangkan diri, Palareja pun menceritakan keja-
dian yang diketahuinya.
"Sama sekali tidak diduga kalau kepan-
daian pencuri itu demikian tinggi, hingga berhasil
lolos dari tangan hamba. Dan hamba siap mene-
rima hukuman atas kebodohan ini," Palareja menutup ceritanya dengan kepala tetap tertunduk.
"Lalu, ke mana perginya Ki Sempana? Bu-
kankah ia yang bertugas menjaga pusaka itu?
Mengapa ia tidak kelihatan sekarang?" tanya Pra-
bu Aria Winata lagi, sambil mengedarkan pandan-
gan ke sekitar ruangan ini.
"Ampunkan hamba, Gusti. Sudah sejak
semalam hamba tidak melihat Ki Sempana. Dan
hamba tidak tahu, di mana dia sekarang. Orang
tua itu seperti lenyap ditelan bumi," sahut Palareja
lagi.
"Hm.... Apakah kau sudah mencarinya?"
kening Prabu Aria Winata berkerut dalam men-
dengar jawaban senapati mudanya itu.
"Sudah, Gusti Prabu. Tapi, hamba tidak
berhasil menemukannya," jawab Palareja. Benak
senapati muda itu dipenuhi tanda tanya. Ia pun
mulai menduga-duga tentang lenyapnya Ki Sem-
pana yang bertepatan dengan pencurian itu.
Raja Agung Cadas Putih termenung men-
dengar keterangan Palareja. Perlahan-lahan ia
bangkit dari singgasananya, kemudian berjalan hi-
lir-mudik tanpa sepatah kata pun terlompat dari
mulutnya.
Tentu saja sikap Prabu Aria Winata itu
membuat para pembesar istana menjadi tegang.
Tak seorang pun yang berani mengeluarkan suara.
Semuanya bungkam dengan wajah menunduk
menekuri lantai.
Setelah agak lama ruangan itu dicekam ke-
sunyian, terdengar helaan napas berat berkepan-
jangan yang keluar dari mulut Prabu Aria Winata.
Dia kini kembali duduk di singgasananya.
"Bagaimana menurutmu, Paman Patih?
Apakah lenyapnya Ki Sempana berkaitan dengan
pencurian pusaka itu? Dan tindakan apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?"
tanya Prabu Aria Winata seraya menolehkan kepa-
la kepada seorang lelaki berusia sekitar enam pu-
luh tahun yang duduk di sebelah kanannya.
Patih Kerajaan Cadas Putih itu tidak segera
menjawab pertanyaan rajanya. Orang tua yang ter-
lihat bijaksana itu melepaskan pandangannya
yang menerawang jauh. Tangan kanannya menge-
lus-elus jenggot panjang dan berwarna putih itu.
"Ampun, Gusti Prabu...," ucap orang tua
itu kemudian. "Kejadian ini memang sangat aneh
dan menimbulkan berbagai dugaan di hati kita
semua. Tapi sebelum Ki Sempana dapat ditemu-
kan, rasanya sulit sekali bagi hamba untuk men-
gambil kesimpulan. Jadi, menurut hemat hamba,
sebaiknya dikesampingkan saja dulu lenyapnya Ki
Sempana itu."
"Maksud Paman Patih, bagaimana...?" se-
lak Prabu Aria Winata tak sabar ketika melihat
orang tua itu menghentikan ucapannya.
"Ampun, Gusti Prabu.... Menurut hamba,
lebih baik bereskan dulu masalah hilangnya Pusa-
ka Tongkat Pualam Putih yang menjadi lambang
kebesaran Kerajaan Cadas Putih. Sebab, apabila
hilangnya pusaka itu sampai terdengar kerajaan
lain, bukan mustahil mereka akan mempere-
butkan pusaka itu. Kalau sampai pusaka
itu jatuh ke tangan raja negeri lain, maka lenyap-
lah nama Kerajaan Cadas Putih yang kita cintai
ini. Sudah menjadi peraturan tertulis, siapa pun
yang memegang Tongkat Pualam Putih, maka ia
mempunyai peluang menjadi penguasa negeri ini,"
jawab patih itu lagi dengan wajah sedih.
Prabu Aria Winata memang masih sangat
muda dan belum lama menduduki tahta ayahnya
yang mangkat setengah tahun lewat. Itulah sebabnya, mengapa ia belum begitu banyak menge-
tahui masalah-masalah yang berkaitan dengan ke-
rajaan.
"Tapi, Paman Patih. Bukankah kita masih
memiliki balatentara tangguh untuk memperta-
hankan negeri ini? Dan rasanya, tidak mudah bagi
kerajaan-kerajaan lain untuk menaklukkan Kera-
jaan Cadas Putih!" sergah Prabu Aria Winata den-
gan suara mantap.
"Ampun, Gusti Prabu. Menurut sepengeta-
huan hamba, dengan lenyapnya tongkat pusaka
itu berarti kehancuran bagi negeri kita. Menurut
cerita ayah hamba almarhum, pada beberapa pu-
luh tahun yang lalu hal ini pun sudah pernah ter-
jadi. Dan seperti yang hamba katakan tadi, negeri
yang dahulunya bernama Kerajaan Muara Bumi
mengalami kehancuran. Tapi, hal itu masih dapat
dihindari bila secepatnya mencari pusaka itu.
Hamba rasa, pusaka itu akan dapat ditemukan
dengan mengerahkan ketiga pasukan inti Kerajaan
Cadas Putih," usul patih itu, menutup ceritanya.
"Maksud, Paman Patih..., Pasukan Garuda
Hitam, Garuda Perak, dan Garuda Emas?" tanya
Prabu Aria Winata menegasi.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba rasa, hanya
ketiga pasukan itulah yang akan dapat menunai-
kan tugas berat ini dengan baik."
"Baiklah, Paman Patih. Akan segera kupe-
rintahkan ketiga pasukan itu untuk menyebar ke
seluruh pelosok negeri."
Setelah berkata demikian, Prabu Aria Wi-
nata membubarkan pertemuan pagi hari itu.
***
Siang ini matahari memancarkan sinarnya
yang begitu terik. Sinarnya yang kuning keemasan
terasa lianas menyengat permukaan kulit. Hem-
busan angin pun, terasa hangat menerpa wajah.
Saat itu, pintu gerbang Kerajaan Cadas Pu-
tih terbuka lebar. Puluhan kelompok penunggang
kuda tampak bergerak berpencaran ke segala pen-
juru. Mereka tak lain adalah, Pasukan Tiga Garu-
da yang menjadi tulang punggung kekuatan Kera-
jaan Cadas Putih. Dan kini mereka diberi tugas
untuk mencari pusaka Tongkat Pualam Putih yang
merupakan tongkat kebesaran sekaligus keramat
bagi kerajaan itu.
Ketiga pasukan inti yang beranggotakan
hampir mencapai dua ratus orang segera menye-
bar. Agar pencarian benda pusaka yang hilang Itu
tidak menyolok, para anggota pasukan menyamar
sebagai kaum rimba persilatan. Hal itu dilakukan
agar mereka bisa leluasa bergerak. Apalagi, pusa-
ka itu memang diperebutkan oleh kerajaan lain.
Bukan tidak mungkin, bila hilangnya pusaka itu
terdengar oleh kerajaan lain akan lebih memperke-
ruh suasana.
Pasukan Garuda Hitam yang memiliki ang-
gota enam puluh orang dan rata-rata berusia seki-
tar tiga puluh tahun, memecah menjadi tiga ke-
lompok. Tiap kelompok dipimpin seorang perwira
berusia empat puluh tahun. Mereka bergerak me-
nuju ke tiga penjuru.
Kelompok pertama yang dipimpin seorang
perwira bernama Jaya Prana bergerak menuju ke
arah Barat. Derap kaki kuda dua puluh orang itu
terdengar bergemuruh, dan meninggalkan kepulan
debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Jaya Prana memimpin kedua puluh orang
anggotanya menuju Desa Gedangan yang letaknya
cukup jauh dari kotaraja. Sikap perwira berusia
empat puluh tahun itu terlihat gagah dan penuh
percaya diri. Sebaris kumis tebal yang melintang,
membuat wajahnya semakin angker dan berwiba-
wa. Menilik dari gerak-geriknya, jelas kalau Jaya
Prana memiliki kepandaian tinggi. Hal itu memang
pa tut diakui, karena ia termasuk salah seorang
pemimpin Pasukan Garuda Hitam yang sangat
terkenal kegagahannya.
Dan kini puluhan penunggang kuda itu
pun mulai menginjak perbatasan Desa Gedangan.
Itu bisa diketahui dari adanya sebuah tiang batu
setinggi orang dewasa yang terpancang di tepi ka-
nan jalan.
Sebelum memasuki perbatasan, perwira
gagah itu mengangkat tangan kanannya tinggi-
tinggi sebagai isyarat kepada yang lainnya untuk
berhenti.
"Ingat! Tidak ada seorang pan yang bisa
bertindak seenaknya tanpa seizinku. Usahakan
untuk menghindari keributan. Mengerti?!" tegas
Jaya Prana seraya mengedarkan pandangan ke
sekeliling dengan sinar mata tajam.
"Mengerti, Kakang," sahut kedua puluh
orang anggota itu sambil menganggukkan kepala.
Satu keistimewaan ataupun ciri dari ketiga pasu-
kan inti Kerajaan Cadas Putih, adalah bebasnya
panggilan antar mereka. Dalam Pasukan Garuda
Hitam, Garuda Perak, maupun Garuda Emas tidak
ada perbedaan jabatan. Karena, para anggota keti-
ga pasukan inti itu rata-rata setingkat dengan
pangkat seorang perwira menengah kerajaan. Se-
hingga, mereka memanggil pimpinan cukup den-
gan kakang saja. Sedangkan di antara para anggo-
ta sendiri, biasanya memanggil nama saja.
Setelah dirasakan cukup memberi nasihat-
nasihat lainnya, rombongan itu pun kembali bergerak memasuki mulut Desa Gedangan. Lari kuda
mereka diperlambat agar tidak terlalu menarik
perhatian penduduk.
Jaya Prana menghentikan kudanya di de-
pan sebuah kedai makan yang cukup besar dan
terlihat sepi pengunjung. Hanya ada empat orang
yang terlihat tengah menikmati hidangan.
Setelah menambatkan kuda pada sebuah
tiang kayu yang terdapat di depan kedai, Jaya
Prana melangkah masuk mendahului yang lain-
nya. Lalu, dipesannya maka nan dan minuman
kepada pelayan setengah tua yang tergopoh-gopoh
datang menyambutnya.
Sedangkan kedua puluh orang lainnya su-
dah mengambil tempat masing-masing. Perjalanan
yang cukup jauh dan melelahkan itu membuat pe-
rut mereka terasa lapar. Dan ketika makanan su-
dah dihidangkan pelayan, mereka santap dengan
lahapnya.
Tengah para anggotanya sibuk dengan hi-
dangan masing-masing, Jaya Prana melangkahkan
kakinya mendekati pemilik kedai. Tampak lelaki
gagah itu berbisik-bisik sambil menggerak-
gerakkan kedua tangannya. Sepertinya, ia tengah
menanyakan sesuatu. Namun si pemilik kedai ter-
lihat menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah
ketololan.
Karena tidak mendapat keterangan seba-
gaimana yang diinginkan, Jaya Prana bergegas
kembali ke mejanya. Setelah semua anggota pasu-
kannya menyelesaikan hidangan, lelaki gagah itu
pun segera mengajak mereka untuk melanjutkan
perjalanan.
Rombongan berkuda itu pun kembali ber-
gerak melintasi jalan utama Desa Gedangan. Begi-
tu tiba di luar desa, kuda-kuda tunggangan itu segera dipacu tepat Kepulan debu membumbung
tinggi mengiringi kepergian mereka.
***
TIGA
Pagi baru saja menyapa bumi. Kicau bu-
rung saling bersahutan menyemarakkan suasana
yang cerah itu. Hembusan angin yang bersilir lem-
but, terasa segar menerpa tubuh.
Di bawah siraman hangatnya sinar mata-
hari pagi, tampak serombongan penunggang kuda
bergerak lambat menyusuri jalan berbatu. Seorang
lelaki gagah bertubuh gemuk dan bercambang
bauk duduk dengan punggung lurus di atas ku-
danya yang berada paling depan. Sikapnya terlihat
angkuh, menunjukkan sikap seorang pemimpin.
Jelas kalau lelaki itu merupakan pemimpin rom-
bongan berkuda itu.
Rombongan itu terus bergerak maju perla-
han menuju sebuah bangunan yang sekelilingnya
dibentengi dinding kayu bulat dan kokoh. Di atas
sebuah pintu gerbang, terdapat papan kayu yang
cukup lebar.
"Perguruan Tinju Selatan...," bibir tebal le-
laki gemuk bercambang bauk itu bergerak-gerak
membaca papan nama yang tergantung di atas
pintu gerbang.
"Hoiii..., Kisanak! Siapa kalian...? Apa
maksudmu mendatangi perguruan kami?!" teriak
seorang lelaki berkumis tipis dari atas tempat ja-
ganya.
Sementara itu penjaga yang lainnya hanya
memandang dengan kening berkerut Sepertinya, ia
merasa heran melihat kedatangan rombongan penunggang kuda itu.
"Aku adalah salah seorang sahabat Tinju
Sakti dari Selatan! Bukalah pintu gerbang ini, dan
antarkan kami menemui beliau!" teriak lelaki ge-
muk bercambang bauk lebat itu menyahuti.
"Sebutkan nama dan julukanmu...!" pinta
penjaga itu lagi, sebelum meluluskan permintaan
kepala rombongan berkuda itu.
"Aku Juraga! Gurumu lebih mengenal julu-
kanku sebagai Harimau Bukit Munjul. Sudahlah!
Cepat laporkan dan jangan banyak tanya lagi!" ja-
wab Harimau Bukit Munjul mulai kesal atas per-
tanyaan penjaga itu yang dianggapnya bertele-tele.
Tak berapa lama kemudian, terdengar sua-
ra berderak keras ketika pintu gerbang Perguruan
Tinju Selatan dibuka dari dalam. Sedangkan salah
seorang murid perguruan itu sudah berlari untuk
melaporkan kedatangan rombongan itu kepada
gurunya.
Juraga atau lebih dikenal berjuluk Hari-
mau Bukit Munjul, membawa rombongannya me-
masuki halaman perguruan itu. Mereka terus ber-
gerak menuju balai utama perguruan dengan di-
antar oleh salah seorang penjaga pintu gerbang
perguruan.
Begitu seluruh rombongan penunggang
kuda itu memasuki halaman depan perguruan,
mendadak saja lelaki yang berjuluk Harimau Bukit
Munjul itu melompat turun dari punggung ku-
danya. Tanpa berkata apa-apa lagi, tangan kanan-
nya bergerak menampar ke arah kepala murid
Perguruan Tinju Selatan yang mengantarkannya.
Rupanya orang yang diserang Juraga itu
cukup tangkas. Begitu merasakan ada sambaran
angin kuat dari belakang, lelaki berkumis tipis itu
menoleh. Melihat datangnya tamparan yang mengandung tenaga dalam kuat itu, cepat-cepat ka-
kinya melangkah dua tindak ke samping dengan
mendoyongkan tubuhnya membentuk kuda-kuda
rendah.
"Hei! Apa-apaan ini...? Mengapa...?
Ugkh...!"
Belum lagi laki-laki berkumis tipis itu me-
nyelesaikan pertanyaannya, sebuah hantaman
mendarat telak pada batang lehernya. Akibatnya
orang itu terpelanting dan menjerit keras.
Dari suara berderak keras yang ditimbul-
kan pukulan sisi telapak tangan miring Juraga, je-
las kalau tulang leher orang itu langsung patah
seketika itu juga. Melihat dari darah segar yang
mengalir lewat mulutnya dan sepasang matanya
yang mendelik lebar, sudah dapat dipastikan ka-
lau orang itu telah tewas akibat pukulan Harimau
Bukit Munjul.
"Hei?! Apa maksudmu...? Mengapa kau
membunuh kawan kami..?" teriak salah seorang
murid sambil berlari ke arah tempat itu bersama
belasan orang murid lainnya.
Dan dalam sekejap saja, seluruh anggota
rombongan berkuda itu telah terkepung puluhan
murid Perguruan Tinju Selatan yang memandang
marah.
"Ha ha ha...! Dengarlah, Tikus-tikus Bu-
suk! Hari ini, Pasukan Garuda Emas akan menya-
pu bersih Perguruan Tinju Selatan!" ancam Juraga
sambil tertawa terbahak-bahak.
"Apa kesalahan kami, Kisanak? Mengapa
kau sedemikian tega menjatuhkan tangan kejam
kepada salah seorang murid kami? Bukankah ka-
lau ada persoalan bisa dibicarakan baik-baik?" te-
gur seorang lelaki bertubuh tegap dan memiliki wajah gagah.
"Sudahlah, Kakang. Mengapa mesti ber-
tanya lagi? Jelas orang-orang ini hendak mencari
perkara. Lebih baik beri mereka pelajaran agar
lain kali tidak memandang rendah Perguruan Tin-
ju Selatan. Kalau tidak begitu, aku yakin mereka
akan semakin kurang ajar terhadap kita," selak
seorang murid tak senang.
Kemarahan hati murid itu masih dapat di-
tahan, karena adanya lelaki tegap yang merupa-
kan salah seorang tokoh perguruan itu.
"Betul, Kakang. Tunggu apa lagi...?"
"Kekejaman si brewok itu sudah melewati
batas!"
Ucapan murid-murid berhasil juga me-
mancing amarah lelaki gagah itu. Wajahnya yang
semula tenang, terlihat agak menggelap. Sepasang
matanya yang semula menyiratkan kewibawaan,
berubah berkilat menyimpan api kemarahan.
"Cepat katakan! Apa alasanmu membunuh
murid kami?" geram lelaki gagah itu sambil men-
gepal jari-jari tangannya hingga memperdengarkan
bunyi gemeretak nyaring.
"Kalian orang rimba persilatan telah mem-
buat kami susah! Salah seorang tokoh rimba per-
silatan telah mencuri sebuah pusaka berharga da-
ri gudang istana. Dan akibat perbuatan tokoh itu,
kami tidak boleh kembali ke istana sebelum me-
nemukan benda pusaka keramat itu. Kalian tahu,
apa hukumannya kalau tugas kami gagal? Huku-
man pancung yang akan diterima apabila berani
kembali dengan tangan hampa. Akibat kejadian
ini, aku jadi benci terhadap orang-orang rimba
persilatan! Kalian tentu tahu, betapa beratnya tu-
gas yang harus kami pikul ini? Nah, sebelum me-
nerima hukuman pancung itu, akan ku basmi se-
luruh kaum rimba persilatan yang kutemui. Jelas?!" bentak Juraga dengan wajah bengis.
"Kisanak! Sadarkah kalau perbuatanmu ini
adalah tindakan bodoh? Kalau perbuatanmu ini
diteruskan, maka kemarahan seluruh kaum rimba
persilatan yang ada di muka bumi ini akan ter-
bangkit! Dan akibatnya, akan kau rasakan sendiri
kelak!" sahut lelaki bertubuh tegap itu semakin
geram mendengar keterangan Juraga.
Sadar kalau ucapan Harimau Bukit Munjul
itu bukan sekadar gertakan kosong belaka, senja-
tanya segera diloloskan, siap menghadapi ke-
mungkinan yang akar terjadi.
Saat itu, para penunggang kuda yang men-
gaku dari anggota Pasukan Garuda Emas sudah
berlompatan turun. Masing-masing juga sudah
melolos senjata, siap menghadapi pertarungan.
Namun sebelum peristiwa berdarah itu ter-
jadi, terdengar bentakan nyaring yang menggun-
tur. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok tu-
buh tinggi kurus yang mendaratkan kakinya di
tengah arena itu
"Tahan...!"
Hebat sekali akibat bentakan yang dido-
rong tenaga dalam tinggi itu. Kedua belah pihak
yang semula siap membunuh, bergerak mundur
sambil menahan napas melindungi guncangan pa-
da bagian dalam dada mereka. Beberapa orang
murid yang belum kuat tenaganya, terhuyung ke
belakang dengan wajah pucat pasi.
"Guru...!"
Puluhan orang murid Perguruan Tinju Se-
latan langsung menjatuhkan dirinya berlutut
Dan memang, orang tinggi kurus yang baru
tiba Itu tak lain adalah Tinju Sakti dari Selatan
yang menjadi Ketua Perguruan Tinju Selatan.
Lelaki tua berusia sekitar enam puluh ta
hun itu mengerutkan keningnya ketika melihat sa-
lah seorang muridnya sudah tergeletak tanpa
nyawa. Tenang sekali kakek itu membungkuk,
memeriksa luka yang menyebabkan kematian mu-
ridnya itu.
"Pukulan keji...! Siapa yang melakukan
perbuatan Ini?" tanya orang tua itu. Dia kemudian
bergerak bangkit sambil melepaskan pandangan
ke arah Juraga dan rombongannya.
Sepasang mata tua yang berkilat mengge-
tarkan itu berhenti di wajah bercambang bauk le-
bat milik Juraga.
"Kaukah yang telah membunuh muridku,
Kisanak? Siapakah kau sebenarnya?" tanya Tinju
Sakti dari Selatan.
Kening laki-laki tua itu tampak berkerut
Dari nada pertanyaannya, jelas kalau dia sama
sekali tidak mengenal Harimau Bukit Munjul.
"Tunggu apa lagi? Ayo, kita musnahkan
perguruan ini!" Tanpa menjawab pertanyaan yang
diajukan Ketua Perguruan Tinju Selatan, Juraga
memerintahkan anggotanya untuk maju menye-
rang. la sendiri juga sudah melompat menyerang
orang tua itu dengan ditemani salah seorang ang-
gotanya.
"Hei, tunggu...!" cegah Tinju Sakti dari Se-
latan sambil melompat mengelakkan serangan ke-
dua orang lawannya. Tangan orang tua itu berge-
rak mengibaskan dua buah senjata yang menyam-
bar ke arah tubuhnya.
Takkk! Takkk!
Juraga dan kawannya terdorong mundur
akibat tangkisan ujung baju lawannya. Bagaikan
seekor ular hidup, ujung lengan baju Tinju Sakti
dari Selatan terus bergerak meliuk dan mematuk
pergelangan kedua orang lawan yang memegang
senjata.
Bettt! Bettt!
Namun, kedua lawan Ketua Perguruan Tin-
ju Selatan itu pun ternyata bukan orang semba-
rangan. Serangan yang dilakukan orang tua itu
dengan mudah dapat dielakkan. Bahkan langsung
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah
ganas dan berbahayanya.
Tak pelak lagi, pertarungan pun berlang-
sung sengit. Tubuh ketiga orang itu bergerak cepat
melancarkan serangan ganas dan mengandung te-
naga dalam kuat Sebentar saja, kedua belah pihak
sudah mengeluarkan ilmu andalan masing-
masing.
Anggota rombongan Juraga mengamuk he-
bat menghadapi keroyokan puluhan orang murid
Perguruan Tinju Selatan. Sembilan belas orang le-
laki muda yang mengaku dari Pasukan Garuda
Emas itu memang rata-rata memiliki kepandaian
sangat tinggi. Sehingga dalam beberapa jurus saja,
delapan orang murid
Perguruan Tinju Selatan telah menggeletak
roboh mandi darah.
Tentu saja kejadian itu membuat empat
orang murid utama Tinju Sakti dari Selatan men-
jadi penasaran. Terutama orang yang tertua. Dia
adalah laki-laki tegap berwajah gagah. Namanya
Samala. Dengan kemarahan yang menggelegak,
Samala mengayun senjatanya yang berputar me-
nimbulkan deru angin keras.
Trang! Trang!
Dua kali ayunan senjata Samala berhasil
dipukul mundur salah seorang lawan. Lelaki tegap
itu terkejut bukan main ketika telapak tangannya
terasa kesemutan akibat tangkisan lawan. Hal itu
menyadarkannya untuk bertindak lebih hati-hati
dalam melancarkan serangan-serangan berikut
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring melengking,
Samala kembali menerjang lawan yang berkumis
seperti tikus itu. Pedang di tangannya diputar se-
demikian rupa, hingga membentuk gulungan sinar
yang membungkus tubuhnya.
Wrrr! Wrrr!
"Hmh...!"
Terdengar. dengusan mengejek dari orang
berkumis seperti tikus itu Jelas sekali kalau dia
sangat memandang rendah Samala. Begitu tusu-
kan ujung pedang Samala meluncur mengancam
lambungnya, orang itu menggeser kaki kanan ke
depan seperti hendak menyambut serangan itu.
Samala terbelalak heran, dan juga girang
melihat gerakan lawannya. Biasanya, orang akan
bergerak mundur dan menjauhi senjatanya untuk
mengelak. Tapi, orang itu justru melakukan hal
kebalikannya. Tentu saja hal itu terasa aneh dan
asing bagi lelaki bertubuh tegap itu.
Wuttt!
Pada saat ujung pedang Samala hampir
menghunjam di lambung lawan, mendadak saja
tubuh lelaki berkumis seperti tikus itu berputar
bagai gangsing. Gerakannya dibarengi pula oleh
sambaran pedang yang bergerak dari bawah ke
atas.
Wuttt! Brettt!
"Aaakh...!"
Gerakan lawan yang cepat dan tak terduga
itu, membuat Samala tak sempat lagi menghindar.
Tubuh lelaki tegap itu melintir tersambar pedang
lawan. Luka memanjang dari lambung ke dada se-
ketika tercipta, dan tampak cukup dalam. Darah
segar pun mengalir membasahi celana dan pakaiannya.
Belum lagi Samala dapat memperbaiki si-
kapnya, pedang di tangan lawan kembali melun-
cur lurus menuju jantung.
Cappp!
"Aaargh...!"
Terdengar jerit kematian yang melengking
merobek angkasa, disusul robohnya tubuh Samala
yang bermandikan darah segar. Tokoh utama Per-
guruan Tinju Selatan itu tewas seketika.
"Keparat, kubunuh kau...!"
Salah seorang murid utama lainnya yang
melihat kejadian itu nampak begitu murka. Saat
itu juga tubuhnya meluruk disertai putaran pe-
dang yang mengaung dahsyat.
"Hmh...."
Melihat datangnya serangan lawan, lelaki
berkumis seperti tikus itu hanya bergumam lirih.
Seperti halnya ketika menghadapi serangan Sama-
la, tubuh orang itu kembali meluncur maju seperti
hendak menyambut serangan lawan dengan tu-
buhnya.
Gerakan yang dilakukan si kumis tikus itu,
tentu saja membuat lawannya menjadi girang.
Maka kekuatannya segera ditambah. Maksudnya
agar dapat membunuh lelaki berkumis seperti ti-
kus itu dengan sekali tusuk.
Bibir laki-laki berkumis seperti tikus itu
tersenyum mengejek. Dia merasa telah berhasil
menipu lawannya yang jelas-jelas telah kehilangan
pertahanan diri itu. Maka ketika ujung pedang la-
wan hampir menyentuh kulit tubuhnya, tahu-tahu
saja laki-laki berkumis seperti tikus itu menjatuh-
kan tubuh ke tanah. Gerakan yang tak terduga itu
masih dibarengi tusukan ujung pedang ke tenggorokan lawan.
Cappp!
"Eeegkh...!"
Ujung pedang yang menancap sedalam se-
jengkal Itu cepat ditarik kembali. Berbarengan
dengan gerakan menarik itu, tubuh laki-laki ber-
kumis seperti tikus itu melenting ke udara disertai
babatan pedang dari atas ke bawah.
Crakkk!
Kembali terdengar raung kematian yang
menyayat, disusul suara berdebuk tubuh terbant-
ing di atas tanah. Adik seperguruan Samala pun
tewas berlumuran darah di tangan laki-laki ber-
kumis seperti tikus yang memiliki kepandaian
tinggi dan aneh itu.
Saat itu, pertarungan yang berlangsung an-
tara Tinju Sakti dari Selatan melawan Juraga dan
seorang anggotanya masih berlangsung sengit To-
koh sakti berusia enam puluh tahun itu menga-
muk hebat Sepasang tangannya bergerak cepat
menghamburkan serangan ganas dan mematikan.
"Adi Lambit, awas...!" tiba-tiba saja Juraga
berseru keras memperingatkan kawannya.
Tapi sayang, peringatan Juraga terlambat!
Pukulan maut yang dilancarkan Ketua Perguruan
Tinju Selatan itu telah mendarat di tubuh Lambit.
Bukkk! Desss!
Lelaki bertubuh sedang yang dipanggil
Lambit itu terlempar akibat dua buah pukulan ke-
ras yang bersarang di dada dan perutnya.
Darah segar mengucur deras dari telinga
dan mulut, mengiringi kematian Lambit Dua pu-
kulan keras Tinju Sakti dari Selatan, telah men-
gantarkan laki-laki bertubuh sedang itu ke nera-
ka.
***
"Adi Lambit..!"
Juraga berteriak parau ketika melihat tu-
buh kawannya diam tak bergerak. Bagaikan orang
linglung, laki-laki bercambang bauk itu melangkah
mendekati mayat kawannya. Tak dihiraukannya
lagi Tinju Sakti dari Selatan yang menatap heran.
Untuk beberapa saat lamanya, Ketua Perguruan
Tinju Selatan itu hanya berdiri memandangi ting-
kah Juraga yang menurutnya aneh.
"Ada hubungan apa sebenarnya antara Ju-
raga dengan orang bernama Lambit itu? Mengapa
ia nampak demikian terpukul atas kematian ka-
wannya?" pikir Tinju Sakti dari Selatan tak habis
mengerti.
Tapi orang tua itu tidak bisa lama-lama
memikirkannya. Karena saat itu, Juraga sudah
bangkit dengan wajah gelap. Dari sorot matanya,
nampak jelas gumpalan api dendam yang terasa
akan membakar tubuh Ketua Perguruan Tinju Se-
latan.
"Bangsat kau, Orang Tua! Kematian adik
seperguruanku ini hanya dapat ditebus dengan
darahmu!" desis Juraga penuh dendam.
Kematian Lambit yang ternyata adalah adik
seperguruannya itu, jelas membuatnya demikian
mendendam. Sepertinya, Juraga sangat me-
nyayangi adik seperguruannya yang tewas di tan-
gan Tinju Sakti dari Selatan.
"Jangan timpakan kesalahan itu kepadaku,
Kisanak. Bukankah kau sendiri yang mencari pe-
nyakit? Dan kalau kau mau berpikir sedikit, sebe-
narnya kematian adik seperguruanmu itu adalah
karena ulahmu sendiri. Nah! Makilah dirimu sen-
diri! Atau kalau ingin membuat arwah adik seper-
guruanmu itu tenteram, bunuhlah dirimu sendiri.
Temani arwahnya biar tidak kesepian!" sahut Tinju
Sakti dari Selatan dengan tidak kalah geramnya.
Dan memang, ia pun sudah terbangkit amarahnya
melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan
bermandikan darah.
Ucapan orang tua itu bagai api yang sema-
kin mengobarkan kemurkaan Harimau Bukit
Munjul. Wajah lelaki gemuk bercambang bauk itu
berkerut-kerut menahan hawa marah yang terasa
akan meledakkan dadanya.
"Hm.... Dikira aku tidak bisa membunuh-
mu seorang diri, Orang Tua! Rupanya kau belum
kenal Harimau Bukit Munjul! Bersiaplah! Rasa-
kan, betapa kerasnya cakaranku!" ancam Juraga
seraya melempar senjatanya ke tanah begitu saja.
"Hmh...!"
Disertai geramannya yang terasa mengge-
tarkan isi dada, Harimau Bukit Munjul mendo-
rongkan kedua tangannya yang telah membentuk
cakar ke atas kepala. Terdengar helaan napas be-
rat dan panjang yang keluar dari hidung dan mu-
lutnya.
Jari-jari tangan yang berbentuk cakar ha-
rimau itu tampak bergetar, menandakan betapa
kuatnya tenaga yang terhimpun di dalamnya.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Harimau Bukit
Munjul menurunkan kedua tangan sehingga bersi-
langan di depan dada. Kemudian tangannya dibu-
ka sambil menarik kaki kanan ke belakang dengan
kuda-kuda rendah namun kokoh. Sikap Juraga
tak ubahnya se-ekor harimau yang siap menerkam
mangsa.
Orang tua berusia enam puluh tahun itu
memandang gerakan lawannya dengan kening
berkerut dalam. Meskipun ia memang tidak men-
genal orang yang berjuluk Harimau Bukit Munjulitu, namun menilik dari gerakannya, jelas kalau
lelaki gemuk itu tidak bersungguh-sungguh ketika
melawannya tadi.
"Haaah...!" Tinju Sakti dari Selatan mem-
bentak keras menggelegar.
Bentakan yang dikeluarkan lewat pengera-
han tenaga dalam tinggi itu sempat membuat dada
Juraga bergetar untuk sesaat Apalagi ketika Ketua
Perguruan Tinju Selatan itu memutar kedua tan-
gannya dengan kecepatan tinggi.
Tinju Sakti dari Selatan memang tidak
memusingkan, apakah mengenal orang itu atau
tidak. Sekarang ini yang terpenting adalah, me-
nundukkan orang Itu secepatnya sebelum murid-
muridnya habis dibantai teman-teman lelaki ge-
muk itu.
Juraga benar-benar terkejut melihat sepa-
sang tangan lawan bagaikan menjadi banyak. Be-
lum lagi, sambaran angin yang ditimbulkannya te-
rasa demikian kuat menerpa tubuhnya. Jelas, ju-
lukan Tinju Sakti dari Selatan yang disandangnya
bukan sekadar julukan kosong belaka. Namun Ju-
raga tidak mau menunjukkan kekagumannya, ka-
rena hal itu akan membuat dirinya dipandang re-
meh lawan.
'Tunjukkan 'Tinju Sakti'mu, Orang Tua...!"
bentak Juraga keras, sambil meluruk ke arah la-
wan dengan kecepatan tinggi.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin yang ditimbulkan gerakan
kedua tangan Harimau Bukit Munjul menderu-
deru dahsyat Sepasang cakar yang mengandung
kekuatan hebat itu bergerak cepat, ganas, dan
mematikan.
Tinju Sakti dari Selatan mendoyongkan tu-
buhnya ke kanan sambil melepaskan sebuah pukulan ya menderu tajam. Hebat dan tak terduga
serangan yang dilakukan orang tua itu. Akibatnya,
Juraga yang tubuhnya tengah doyong ke depan
karena serangannya berhasil dielakkan lawan, ter-
paksa membanting tubuhnya ke kanan. Kemu-
dian, langsung dilepaskannya sebuah tendangan
kilat yang menyambar lambung Ketua Perguruan
Tinju Selatan.
Bettt!
Rupanya gerakan Juraga telah diperhi-
tungkan lawannya. Buktinya orang tua itu mena-
rik mundur kaki kanannya yang dibarengi tepisan
telapak tangan kirinya disertai pengerahan tenaga
sepenuhnya. Hal itu dimaksudkan, sekaligus un-
tuk meremukkan tulang telapak kaki Juraga.
Plak!
"Akh...!"
Tubuh Juraga yang memang dalam kea-
daan kurang memungkinkan itu, terlempar sejauh
dua batang tombak. Untunglah tenaga dalamnya
yang sudah cukup tinggi itu dikerahkan ketika
melakukan tendangan tadi Kalau tidak, tentu tu-
lang telapak kakinya telah patah akibat tangkisan
yang amat kuat itu.
Meskipun tidak sampai mengalami patah
tulang, namun jelas Juraga cukup menderita aki-
bat tangkisan lawannya tadi Ia berusaha untuk
berdiri walaupun kakinya terpincang-pincang. Wa-
jahnya terlihat menyeringai menahan sakit.
Di pihak lain, Tinju Sakti dari Selatan pun
bukan tidak merasakan kekuatan tenaga lawan.
Buktinya telapak tangannya terasa nyeri. Tentu
saja orang tua itu diam-diam merasa terkejut den-
gan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Harimau
Bukit Munjul. Bahkan, kuda-kudanya pun sempat
tergempur. Padahal, saat menangkis tadi, sikap
kuda-kudanya sudah sangat kokoh. Tapi, ternyata
ia masih juga terdorong mundur sampai sejauh
enam langkah.
Saat itu, empat orang pengikut Harimau
Bukit Munjul menghambur ke arah pimpinannya.
Wajah mereka terlihat cemas melihat langkah Ju-
raga yang terpincang-pincang.
"Kakang, kau tidak apa-apa...?" tanya salah
seorang yang bertubuh kurus namun terlihat te-
gap.
"Mengapa kau tinggalkan kawan-kawanmu
yang lain? Apakah pekerjaan kalian sudah sele-
sai?" tegur Juraga.
Sepertinya, dia merasa tidak senang meli-
hat kedatangan empat orang pengikutnya itu. Ta-
pi, wajah yang gelap itu mendadak terang begitu
mendengar jawaban lelaki kurus tegap itu.
"Sudah hampir selesai, Kakang. Hanya
tinggal beberapa orang saja. Dan kepandaiannya
pun tidak seberapa," sahut lelaki kurus itu seraya
menarik napas lega melihat wajah pimpinannya
yang nampak senang setelah mendengar laporan-
nya.
"Kalau memang begitu, mari kita habisi tua
bangka keparat itu," ajak Juraga.
Kemudian, laki-laki bercambang bauk itu
melangkah terpincang-pincang mendekati Tinju
Sakti dari Selatan. Sementara itu, wajah laki-Laki
tua Ketua Perguruan Tinju Selatan itu terlihat pu-
cat menyaksikan murid-muridnya yang tinggal be-
berapa orang saja. Dan itu pun terlihat tidak dapat
bertahan lama.
"Kepung dia...! Gunakan tali...!" perintah
Harimau Bukit Munjul.
Seketika, keempat orang pengikutnya sege-
ra bergerak mengepung Ketua Perguruan Tinju Selatan. Sedangkan lelaki gemuk itu sendiri sudah
melompat kembali menerjang Tinju Sakti dari Se-
latan.
Ketua Perguruan Tinju Selatan kembali
menggeser kakinya menghindari serangan Hari-
mau Bukit Munjul Pukulannya menderu, mengan-
cam tubuh lawannya. Pertarungan pun kembali
berlangsung sengit.
Meskipun gerakannya terpincang-pincang,
ternyata kelihaian Harimau Bukit Munjul tidak
berkurang. Serangan-serangannya masih tetap
ganas dan berbahaya. Bahkan masih dapat mem-
buat repot lawan
Namun memasuki jurus yang kelima belas,
terlihat Tinju Sakti dari Selatan mulai dapat men-
guasai lawan. Perlahan-lahan Harimau Bukit
Munjul mulai terdesak oleh serangan-serangan
lawan yang menderu-deru. Maka, lelaki bercam-
bang bauk itu hanya dapat bertahan tanpa mam-
pu membalas.
Wuttt!
Pada saat Harimau Bukit Munjul benar-
benar dalam keadaan terjepit, sebuah pukulan la-
wan meluncur bagai kilat menuju bagian dada se-
belah kiri. Melihat sikap lelaki gemuk itu yang
nampak gugup, sudah dapat dipastikan kalau pu-
kulan Tinju Sakti dari Selatan akan dapat menca-
pai sasaran.
Namun keempat orang pengikut lelaki ge-
muk itu rupanya tidak tinggal diam. Melihat pe-
mimpinnya dalam keadaan berbahaya, tali-tali
yang semula hanya diputar di atas kepala lang-
sung dilepaskan secara serempak.
Rrrt.. rrrt..!
Tubuh Ketua Perguruan Tinju Selatan yang
tengah melancarkan serangan maut itu mendadak
tertahan di udara. Empat utas tali yang dilempar-
kan ke arahnya, tepat melibat kedua tangan dan
kaki orang tua itu. Akibatnya kepalan tangannya
yang hampir mengenal dada lawan, berhenti da-
lam jarak tiga jari.
Sepasang mata Harimau Bukit Munjul
yang sempat melihat gerakan keempat orang pen-
gikutnya, tentu saja tidak menyia-nyiakan kesem-
patan emas itu. Sepasang tangannya bergerak ce-
pat melakukan dorongan dengan kekuatan sepe-
nuhnya menuju dada lawan.
Wusss! Blaggg!
"Aaakh...!"
Hantaman sepasang tangan yang mengan-
dung kekuatan hebat, telak sekali menghantam
dada Tinju Sakti dari Selatan. Tubuh orang tua itu
tersentak kuat ke belakang. Darah segar menyem-
bur dari mulut pendekar tua itu dan membasahi
tanah di bawahnya. Kemudian, tubuhnya ambruk
ke tanah.
Namun, tubuh itu kembali tersentak balik
oleh tali-tali yang menjerat kuat lengan dan ka-
kinya. Selagi orang tua itu mengerang menahan
sakit, Harimau Bukit Munjul menusukkan sebilah
pedang yang dipungut dari tanah. Dan....
Bret! Bret! Crap!
Pedang di tangan lelaki gemuk itu berkali-
kali merobek tubuh Tinju Sakti dari Selatan. Da-
rah yang memercik dari luka-luka di tubuh orang
tua itu rupanya makin membuat Harimau Bukit
Munjul kesetanan. Tanpa rasa perikemanusiaan
sedikit pun, pedangnya terus berkelebat bagai
hendak mencincang hancur tubuh Ketua Pergu-
ruan Tinju Selatan itu.
"Mampus kau, Tua Bangka! Pergilah ke ne-
raka...!" sambil membacokkan pedangnya berulang-ulang, mulut Harimau Bukit Munjul tak hen-
ti-hentinya memaki
Lelaki gemuk itu baru menghentikan gera-
kannya setelah merasa puas melihat keadaan mu-
suhnya. Dilemparkannya pedang di tangan, ke-
mudian berbalik meninggalkan tubuh Tinju Sakti
dari Selatan yang sudah tak bernyawa lagi.
Para pengikut Harimau Bukit Munjul yang
telah berkumpul dan menyaksikan penyiksaan itu,
hanya tertawa berderai. Sepertinya, mereka pun
ikut merasa puas atas perbuatan pemimpinnya
itu. Mereka yang telah membantai habis seluruh
murid Perguruan Tinju Selatan, melemparkan tu-
buh orang tua itu begitu saja tanpa perasaan.
"Ha ha ha...! Biarpun harus kehilangan
adik seperguruan yang sangat kusayangi, tapi aku
puas! Mari kita tinggalkan tempat ini...," perintah
Juraga sambil melangkah ke arah binatang tung-
gangannya yang meringkik seperti ikut merasa
gembira atas keberhasilan majikannya.
Harimau Bukit Munjul yang sudah bersiap
meninggalkan tempat itu, mendadak menghenti-
kan langkahnya. Tiba-tiba saja, tubuh lelaki ge-
muk itu melesat ke arah samping balai utama per-
guruan itu. Memang, dia sempat melihat dua
orang berpakaian kuning yang berkelebat hendak
meninggalkan tempat itu.
"Berhenti...!" bentak Harimau Bukit Munjul
dengan suara menggelegar mengejutkan.
Dua orang berpakaian kuning yang ru-
panya sisa murid Perguruan Tinju Selatan itu me-
rasakan lutut mereka jadi lemas. Keduanya jatuh
dengan bertopang pada lutut, tak ubahnya seperti
orang hendak menyembah.
"Ampunkan kami, Tuan.... Jangan bunuh
kami," ratap keduanya, ketakutan.
Harimau Bukit Munjul yang sekali melom-
pat sudah berada di depan kedua orang murid
Perguruan Tinju Selatan itu, mengangkat tangan
kanannya, siap menghancurkan batok kepala me-
reka. Namun tangan yang semula siap memukul
itu, perlahan turun. Di wajah lelaki gemuk itu ter-
bayang senyum licik. Sepertinya, ia mendapat se-
buah gagasan baik dengan adanya kedua orang
murid musuhnya yang selamat itu.
"Hm.... Kalau kuberi kebebasan, apa yang
akan kalian perbuat sebagai balasannya?" tanya
Harimau Bukit Munjul sambil menatap tajam wa-
jah kedua orang Itu yang mengangkat kepalanya.
Mendapat pertanyaan yang tak disangka-
sangka Itu, tentu saja membuat kedua orang itu
seperti melihat setitik harapan untuk dapat hidup
lebih lama. Dengan penuh harap, mereka men-
gangkat wajah untuk menatap Juraga.
"Kami..., kami akan bersedia melaksana-
kan segala perintah Tuan, asalkan tidak dibunuh,"
sahut salah seorang dari mereka yang berwajah
kehitaman.
"Betul, begitu...? Ingat! Kalau kalian berbo-
hong, aku tidak segan-segan meremukkan batok
kepala kalian!" tegas Juraga dengan suara berat
penuh ancaman maut.
"Betul, Tuan.... Betul! Kami berjanji dengan
taruhan nyawa," sahut orang itu lagi Kawannya
ikut pula menguatkan janji lelaki berwajah hitam
itu.
"Baik!" ujar Juraga.
Setelah memberikan perintah, ia pun berla-
lu bersama para pengikutnya meninggalkan tem-
pat itu.
***
EMPAT
"Heya... heya...!"
Serombongan penunggang kuda berpacu
cepat melewati padang rumput luas yang hijau
terbentang. Derap langkah kaki kuda seperti hen-
dak meruntuhkan bumi. Tampak tubuh-tubuh
penunggang kuda itu berguncang-guncang mengi-
kuti irama lari binatang itu.
Ketika kaki-kaki kuda itu melintasi jalan
besar yang di kiri kanannya terbentang persawa-
han luas, seorang penunggang kuda yang berada
di tengah, memacu kudanya ke arah depan.
Penunggang kuda berusia sekitar tiga pu-
luh tahun itu memperlambat lari kudanya, di se-
belah lelaki tegap berkumis lebat yang merupakan
pimpinan rombongan itu.
"Kakang, tempat ini tidak jauh dari kedia-
man guruku. Bagaimana kalau kita singgah se-
bentar? Siapa tahu guruku bisa memberi sedikit
petunjuk kepada kita," usul lelaki berbahu lebar
itu kepada pemimpinnya.
Lelaki tegap berkumis lebat yang tak lain
dari Jaya Prana itu, termangu sejenak. la berpikir,
menimbang-nimbang sebelum menjawab usul sa-
lah seorang anggota pasukannya itu.
"Betul, Kakang. Apa yang diusulkan Banja
rasanya cukup baik. Aku pun sudah lama tidak
mengunjungi guruku. Selagi kita berada tidak
jauh dari tempat kediaman guruku, tidak ada sa-
lahnya kalau singgah sebentar."
Yang mendukung saran lelaki bernama
Banja itu adalah seorang lelaki bertubuh kecil
namun padat berisi. Menilik dari ucapannya, jelas
kalau orang itu adalah saudara seperguruan Ban"Baiklah. Tapi, ingat! Tidak boleh ada seo-
rang pun yang membicarakan tugas kita, sebelum
aku memulainya. Bagaimana, setuju?" tanya Jaya
Prana.
"Baik, Kakang. Kami akan ingat kata-
katamu itu," janji Banja dan lelaki bertubuh kecil
padat yang bernama Gandira. Wajah mereka tam-
pak berseri ketika mendengar jawaban yang mele-
gakan hati itu.
"Ayo, kalian berdua di depan sebagai pe-
nunjuk jalan," ajak Jaya Prana lagi kepada Banja
dan Gandira.
"Baik," jawab mereka serempak.
Banja dan Gandira memacu kudanya ke
depan dan membelokkannya ke kanan ketika me-
lintasi jalan bercabang tiga.
Jalan yang dilewati kali ini terlihat rata dan
mulus. Tidak seperti jalan semula yang dipenuhi
batu kerikil. Sehingga, perjalanan pun semakin
mudah dan cepat. Dan kini, tampaklah sebuah
bangunan besar yang dikelilingi kayu-kayu bulat
dan kokoh. Bangunan itu menyerupai sebuah per-
guruan silat.
Dengan hati berdebar penuh kegembiraan
karena hendak bertemu dengan saudara-saudara
seperguruan dan gurunya, kedua orang lelaki ga-
gah itu memacu kudanya agar lebih cepat lagi.
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terdapat
sebuah papan nama bertuliskan 'Perguruan Tinju
Selatan", Banja dan Gandira tampak saling ber-
pandangan bingung.
"Kau tidak merasa aneh dengan kesunyian
ini, Banja...?" tanya Gandira memandang saudara
seperguruannya dengan wajah cemas. Sepertinya,
lelaki bertubuh kecil padat itu merasa kan sesuatu
yang ganjil.
'Ya. Seingatku, pos penjagaan di atas itu
tidak pernah ditinggalkan. Tapi, mengapa kali ini
tidak terlihat seorang pun? Aneh!" gumam Banja
seraya mengerutkan keningnya dengan wajah he-
ran.
"Ada apa, Banja, Gandira...? Mengapa ka-
lian tidak lekas memberitahukan kedatangan ka-
lian?" tegur .Jaya Prana ketika melihat kedua
orang itu nampak bingung dan ragu.
"Entahlah, Kakang. Sepertinya perasaanku
tidak enak. Sebab, tidak biasanya perguruan terli-
hat sunyi. Tidak ada sebuah suara pun yang ter-
dengar. Padahal, sore hari begini biasanya murid-
murid berlatih di halaman depan," sahut Banja tak
bersemangat.
"Ah! Kalian ini ada-ada saja. Siapa tahu di
dalam sedang ada kesibukan, sehingga semua
murid berkumpul di dalam balai utama pergu-
ruan. Lebih baik kalian panggil saja dari sini kuat-
kuat," usul Jaya Prana yang tidak sabar melihat
keraguan kedua orang itu.
"Hoiii...! Buka pintu...! Kami, Banja dan
Gandira datang berkunjung...!"
Banja langsung berteriak begitu mendengar
usul yang diajukan pimpinannya itu. Suara lelaki
berbahu lebar itu bergema karena didorong tenaga
dalam kuat.
Sampai agak lama mereka menunggu, tapi
tidak juga terdengar sahutan ataupun langkah
kaki orang mendatangi tempat itu dari dalam per-
guruan.
Jaya Prana yang merasa tidak sabar itu,
segera menarik napas dalam-dalam untuk men-
gumpulkan tenaga dalamnya.
"Hoii..! Buka pintu...!
Teriakan Jaya Prana yang didorong kekua
tan tenaga dalam itu terdengar berkumandang
jauh dan bergema. Dari suara teriakannya yang
jauh lebih kuat daripada teriakan Banja, sudah
pasti akan terdengar apabila di dalam bangunan
itu memang ada penghuninya.
Banja dan Gandira menarik napas lega ke-
tika terdengar langkah kaki mendatangi dari da-
lam bangunan itu. Tidak lama kemudian, terden-
gar derit keras yang disusul terbukanya pintu ger-
bang Perguruan Tinju Selatan.
"Mengapa lama sekali kalian membuka pin-
tu ini? Ke mana yang lainnya?" tegur Banja begitu
melihat seorang murid berusia sekitar dua puluh
tahun lebih, dan berwajah kehitaman. Sedangkan
seorang lagi yang bertubuh pendek gemuk, hanya
menundukkan kepala tidak berani menatap wajah
Banja dan Gandira.
Banja dan Gandira bergegas turun dari
punggung kudanya. Sementara Jaya Prana dan
lainnya tetap berada di punggung kuda masing-
masing.
Setelah meneliti sejenak dan mengenali wa-
jah! Banja dan Gandira, lelaki berwajah kehitaman
itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut sambil
menangis. Perbuatannya ternyata diikuti lelaki
gemuk pendek setelah mengangkat wajahnya dan
mengenali kedua orang itu.
"Hei? Ayo bangun...! Guru akan marah be-
sar apabila melihat muridnya menangis seperti
anak kecil! Hayo, ceritakan! Ada apa ini sebenar-
nya? Dan ke mana murid yang lainnya? Di mana
pula guru sekarang berada?" Banja yang bersifat
lebih pemarah itu memberondong lelaki bermuka
kehitaman itu dengan pertanyaan-pertanyaan.
Lelaki berwajah kehitaman itu mengangkat
wajahnya dan menghapus air mata yang masih
mengalir turun membasahi pipi. Sejenak hatinya
bingung karena tidak tahu, pertanyaan mana yang
harus dijawabnya lebih dahulu.
"Semuanya.... Semuanya habis, Kakang
Banja.... Perguruan... kita sudah binasa.... Mus-
nah...!"
Karena tidak tahu harus bagaimana men-
jawab pertanyaan Banja, akhirnya lelaki berwajah
kehitaman itu mengatakan seadanya yang saat itu
terlintas di benak. Kemudian kepalanya kembali
tertunduk sedih.
"Apa... apa maksud ucapanmu itu...? Hayo
jawab yang benar! Hentikan tangismu!" desak
Banja.
Banja yang mulai mendapat firasat buruk
itu menjadi kalap mendengar jawaban yang tak
berujung pangkal Dengan geram, dicekalnya leher
baju orang itu dan diangkatnya berdiri secara
paksa.
Gandira yang memiliki sikap lebih tenang
dan sabar, menepuk bahu Banja perlahan dan
mencoba menenangkannya.
"Sabarlah, Banja. Kalau cara bertanyamu
seperti Itu, bagaimana mungkin dapat dijawab
dengan benar? Tidakkah kau lihat, betapa batin-
nya sangat tersiksa oleh kemarahanmu yang tidak
pada tempatnya?" tegur Gandira dengan suara ha-
lus, namun tegas.
"Benar apa yang dikatakan Gandira itu,
Banja. Kalau saja kau bersabar sedikit, aku yakin
kita akan memperoleh keterangan yang lebih leng-
kap dan jelas," Jaya Prana ikut pula menasihati.
"Hhh...!"
Banja menghela napas panjang, seolah-
olah ingin melepaskan seluruh kekesalan hatinya.
Dilepaskannya cekalan pada leher baju lelaki mu
da berwajah kehitaman itu, kemudian melangkah
ke belakang dan menyerahkan persoalan itu kepa-
da Gandira.
Lelaki berwajah gagah yang memiliki ben-
tuk tubuh padat berisi itu tidak menghampiri si
muka kehitaman, namun malah mendekati orang
yang satunya lagi. Dan memang lelaki bertubuh
pendek gemuk itu terlihat lebih tenang daripada
kawannya.
"Siapa namamu, Kisanak? Dan apa jaba-
tanmu di Perguruan Tinju Selatan ini?" tanya
Gandira dengan suara halus sambil menepuk-
nepuk bahu lelaki pendek gemuk itu perlahan.
Melihat wajah orang itu yang agak tenang,
jelas kalau cara yang dilakukan Gandira sudah te-
pat.
"Namaku Janaka. Sedangkan kawanku ini
bernama Santika. Kami bertugas sebagai pengurus
rumah tangga dan sekaligus murid Perguruan Tin-
ju Selatan. Meskipun Kakang berdua tidak men-
genal kami, tapi kami berdua telah mengenal Ka-
kang Banja dan Kakang Gandira."
Setelah memperkenalkan diri, lelaki pendek
gemuk bernama Janaka itu pun mulai bercerita.
Sepanjang ceritanya, seluruh anggota rombongan
termasuk juga Jaya Prana, berkali-kali mengelua-
rkan seruan terkejut. Wajah-wajah mereka nam-
pak pucat dan merah berganti-ganti. Mungkin ka-
lau orang itu tidak bersumpah kalau telah melihat
dengan mata kepala sendiri, pasti Jaya Prana dan
anggota pasukannya tidak ada yang akan mem-
percayai cerita Janaka itu.
"Begitulah kejadian yang sebenarnya, Ka-
kang. Tidak satu pun yang kami tambah dan ku-
rangi. Semuanya lengkap dan jelas. Dan kami be-
rani bersumpah untuk mempertaruhkan kebenaran cerita itu, Kakang."
Janaka mengakhiri ceritanya, seraya me-
nundukkan wajah dalam-dalam. Seolah-olah dia
enggan bertemu pandang secara langsung dengan
Gandira. Apalagi sepasang mata lelaki gagah itu
nampak menyiratkan kilatan marah dan dendam.
"Kakang! Benarkah Pasukan Garuda Emas
tega melakukan perbuatan keji yang diceritakan
Janaka ini?" tanya Gandira kepada Jaya Prana.
Karena menurutnya, sebagai seorang pimpinan
tentu Jaya Prana memiliki pengetahuan yang cu-
kup luas tentang ketiga pasukan garuda itu.
"Hm.... Sebenarnya sangat sulit dipercaya.
Tapi melihat kesungguhan yang terpancar dari si-
nar mata Janaka, aku mulai percaya meskipun ti-
dak sepenuhnya. Apalagi penggambaran tentang
pemimpin yang disebutkan Janaka tadi, aku rasa
keterangannya memang benar. Hanya saja, kita ti-
dak boleh langsung terpancing dengan cerita itu....
Harus diselidiki dulu kebenarannya sebelum me-
nuduh orang," jelas Jaya Prana hati-hati.
Memang, masalah yang kini tengah diper-
bincangkan, bisa berubah menjadi masalah besar
yang akan membuat Kerajaan Cadas Putih gem-
par! Itulah, mengapa Jaya Prana lebih suka me-
nyimpannya untuk sementara.
Sedangkan Banja sudah berlari meninggal-
kan kawan-kawannya. Cerita yang didengar dari
Janaka, membuat sekujur tubuhnya gemetar ba-
gai orang terserang demam hebat. Lelaki tegap
berbahu lebar itu terus melesat ke belakang balai
utama perguruan.
Gandira sama sekali tidak mencegah ke-
pergian Banja. Dia tahu, apa yang hendak dilaku-
kan saudara seperguruannya itu.
"Ia hendak membuktikan kebenaran cerita
Janaka. Marilah kita ke sana, Kakang. Di belakang
balai utama itulah letak kuburan bagi anggota
Perguruan Tinju Selatan," jelas Gandira saat meli-
hat tatapan Jaya Prana yang menuntut jawaban.
Memang, lelaki tegap berkumis lebat itu tidak
mengerti akan tindakan Banja.
Jaya Prana yang masih berada di atas
punggung kudanya menarik napas lega setelah
mendengar keterangan Gandira. Kemudian kepa-
lanya terangguk. Laki-Laki berkumis lebat itu lalu
memberi perintah kepada seluruh anggota pasu-
kan untuk menjalankan kudanya lambat-lambat,
mengikuti langkah Gandira, Janaka, dan Santika.
Delapan belas orang anggota Pasukan Garuda Hi-
tam mengikuti dari belakang.
Rombongan itu pun bergerak menuju ke
belakang balai utama, tempat pemakaman murid-
murid dan gum Perguruan Tinju Selatan.
Hati Gandira bergetar menahan keharuan
yang menyeruak dalam rongga dadanya. Puluhan
gundukan tanah yang masih baru dan basah ter-
bentang di depan matanya. Setelah termenung be-
berapa saat, kakinya melangkah perlahan meng-
hampiri Banja yang saat itu tengah berlutut di
samping sebuah gundukan tanah merah. Sudah
dapat dipastikan, makam itu pasti tempat gurunya
beristirahat panjang.
"Guru...," desah Gandira serak sambil men-
jatuhkan lututnya di sebelah Banja. "Maafkan ke-
terlambatan kami.... Akibat kelalaian kamilah,
hingga nasib buruk ini menimpa Perguruan Tinju
Selatan. Ampuni kami, Guru...."
"Guru.... Kami berjanji akan mencari pem-
bunuh keji itu walau sampai ke ujung langit seka-
lipun! Meskipun untuk itu harus mengorbankan
nyawa, kami tak lagi peduli. Dengarlah janji kami
ini, Guru. Seluruh arwah saudara kami menjadi
saksinya," ucap Banja bergetar penuh dendam.
Usai mengucapkan janji di hadapan ma-
kam gurunya, kedua orang lelaki gagah itu pun
bangkit dan meninggalkan gundukan tanah yang
hanya bisa diam membisu.
"Kakang, maafkan kelancanganku. Aku
dan Gandira terpaksa harus mengambil jalan ke
Selatan. Rasanya kami harus mendapat jawaban
atas kejadian ini, langsung dari pimpinan Pasukan
Garuda Emas. Tapi Kakang tidak usah cemas. Se-
panjang perjalanan, tugas dari Gusti Prabu Aria
Winata tetap akan dijalankan," pinta Banja kepada
Jaya Prana.
Melihat dari sikap dan tatapan matanya,
rasanya keputusan Banja sudah bulat dan tidak
mungkin dapat dirubah lagi. Meski oleh pimpi-
nannya sekalipun.
"Hm.... Sadarkah akan ucapanmu itu, Ban-
ja? Lupakah kau, siapa kita ini? Coba sebutkan,
apa bunyi ikrar kelima dari Pasukan Garuda Hi-
tam?" tegur Jaya Prana dengan kening berkerut
tak senang.
Mendengar kata-kata yang jelas-jelas ber-
nada teguran keras itu, Banja maupun Gandira
sama-sama menundukkan kepala dalam-dalam.
Tak satu bantahan pun yang keluar dari mulut
mereka.
"Rupanya kalian berdua benar-benar telah
lupa akan bunyi ikrar kelima itu," gumam Jaya
Prana ketika melihat sikap kedua orang anggota
pasukannya itu.
"Sama sekali tidak, Kakang. Hanya saja,
kami merasa tidak enak untuk melibatkan Pasu-
kan Garuda Hitam dalam persoalan ini," sahut
Gandira mewakili Banja.
"Hm.... Kalau begitu, coba sebutkan," pinta
Jaya Prana bernada memerintah.
Banja dan Gandira sama-sama mengang-
kat wajah saling bertukar pandang sejenak. Sesaat
kemudian, terdengarlah suara lantang dari mulut
mereka.
"Kami Pasukan Garuda Hitam, adalah satu.
Setiap persoalan yang menyangkut salah seorang
anggota, menjadi tanggung jawab seluruh anggota
yang berdiri di bawah bendera Garuda Hitam. Hi-
dup mati, suka dan duka, akan dihadapi bersa-
ma,"
"Hm.... Masihkah kalian tidak memahami
makna yang tersirat dalam ikrar itu?" tanya Jaya
Prana lagi. Kali ini bibirnya menyunggingkan ke-
menangan.
"Maafkan kami, Kakang. Hanya...."
"Ah, sudahlah! Mari kita berangkat ke Sela-
tan bersama-sama," potong Jaya Prana seraya
mengulapkan tangannya. Lelaki berkumis lebat itu
mengatupkan rahangnya, pertanda tidak ingin me-
lanjutkan perdebatan kosong itu.
"Terima kasih atas kesediaan Kakang dan
kawan-kawan untuk membantu kami. Dengan
adanya Kakang, kami yakin persoalan ini dapat
diselesaikan dengan baik," ucap Gandira sambil
membungkuk hormat kepada pimpinan yang san-
gat dihormatinya itu. Perbuatannya pun diikuti
Banja.
"Hm.... Kalian berdua ikut bersama kami,"
ujar Jaya Prana kepada Janaka dan Santika.
"Maaf, Tuanku. Bukannya kami menolak.
Tapi, kalau kami berdua ikut pergi, siapa yang
akan mengurus makam gum dan juga perguruan
ini. Jadi, maafkan kalau terpaksa kami menolak-
nya," sahut Janaka sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Rasanya alasan mereka bisa diterima, Ka-
kang. Biarlah mereka tinggal untuk mengurus
makam guru dan perguruan kami," Banja ikut
memperkuat alasan yang diajukan Janaka. Maka,
lelaki muda bertubuh gemuk pendek itu menjadi
agak lega.
"Baiklah," Jaya Prana akhirnya mengalah.
"Ayo kita berangkat."
Rombongan Pasukan Garuda Hitam itu
pun bergerak meninggalkan bangunan Perguruan
Tinju Selatan.
***
LIMA
"Aaahhh...."
Gadis jelita berpakaian serba hijau itu
menggeliat sambil merentangkan kedua tangannya
ke atas. Sinar matahari pagi yang menerobos di
antara rimbunan dedaunan, tepat jatuh di wajah-
nya yang bening dan sejuk. Sejenak ia tergagap,
lalu menggosokkan telapak tangan pada sepasang
mata berbentuk bulat dan indah miliknya.
"Mengapa Kakang tidak membangunkan
aku...?" sungut gadis jelita itu kepada seorang pe-
muda tampan berjubah putih yang duduk di atas
baru tak jauh di sebelahnya.
"Kulihat tidurmu begitu lelap. Jadi, aku ti-
dak tega mengganggumu," sahut pemuda tampan
itu seraya tersenyum lembut "Sudahlah. Sekarang,
bersihkanlah dirimu. Kau lihat aku sudah me-
nyiapkan hidangan yang istimewa untukmu."
Wajah jelita yang semula cemberut itu,
berseri seketika. Tersentuh hatinya melihat perhatian yang demikian besar dari pemuda tampan itu.
'Tunggulah, Kakang. Aku tidak akan la-
ma...," ujar gadis jelita itu.
Dia kemudian segera bangkit dan melesat
ke arah aliran sungai yang terletak tidak jauh dari
tempat itu. Sementara, pemuda tampan berjubah
putih itu hanya tersenyum melihat kegembiraan
yang terpancar di wajah si gadis.
Tak berapa lama kemudian, gadis jelita itu
pun kembali muncul dengan wajah yang lebih se-
gar kemerahan. Geraknya terlihat penuh keman-
jaan ketika bokongnya dijatuhkan di depan si pe-
muda. Disambarnya ayam hutan bakar yang ter-
hidang itu.
Dengan senyum yang makin melebar, pe-
muda tampan itu pun mengambil ayam bakar
yang seekor lagi Kemudian, dinikmatinya sambil
tak lepas menatap wajah jelita di depannya.
Selesai menikmati hidangan, mereka mera-
pikan diri masing-masing. Kemudian meninggal-
kan tempat itu. Angin pagi bersilir lembut mengi-
ringi langkah kaki dua orang muda berlainan jenis
itu.
"Hei? Ada apa di depan sana...?" gumam si
gadis jelita ketika melihat kerumunan orang di de-
pan sebuah bangunan besar. Saat itu, keduanya
telah memasuki perbatasan sebelah Barat Desa
Malaju.
"Entahlah! Kelihatannya orang-orang itu
begitu gembira. Mungkin yang mereka lihat itu
adalah sebuah tontonan menarik," sahut pemuda
tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji
yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Kemudian,
mereka mempercepat langkah ingin segera menge-
tahui, apa sebenarnya yang telah dilihat orang-
orang itu.
"Ah! Rupanya hanya tukang obat yang be-
rusaha menarik perhatian pembeli dengan mem-
pertontonkan kepandaian silat," ucap gadis jelita
yang sudah pasti Kenanga.
Suara gadis itu tidak terdengar jelas, kare-
na saat itu orang-orang yang menonton bersorak
gembira menyaksikan pertunjukan yang disuguh-
kan.
Panji hanya tersenyum menanggapi ucapan
kekasihnya. Sepasang matanya kembali beralih ke
arena pertunjukan.
Saat itu, dua orang yang tengah bertarung
di tengah arena terlihat semakin seru dan menarik
Meskipun pertunjukan itu tak lebih hanya sekadar
pertunjukan ilmu meringankan tubuh, namun
Panji sempat dibuat kagum oleh gerakan-gerakan
mereka yang berkesan indah dan menarik.
"Haiiit...!"
Orang bertubuh kurus yang saat itu tengah
ter-desak, tiba-tiba berseru nyaring sambil berkelit
ke kanan seraya melepaskan sebuah pukulan ke
iga kiri lawannya yang memiliki tubuh sedikit le-
bih pendek.
Mungkin karena terlalu sibuk dengan se-
rangan-serangannya, orang bertubuh gemuk pen-
dek itu tak sempat lagi menghindar dari pukulan
balasan lawan yang sama sekali tidak diduga. Dan
akibatnya....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gemuk itu
pun terjajar ke belakang disertai jeritannya. Pada
bagian iganya yang memang tidak terlindung pa-
kaian itu, terlihat membiru akibat pukulan si ting-
gi kurus yang cukup keras tadi.
Seorang lelaki setengah baya yang merupa
kan pimpinan kelompok penjual obat itu, bergegas
melangkah ke tengah arena.
"Saudara-saudara sekalian! Pertunjukan
ini terpaksa dihentikan sejenak. Di sini, akan di-
pertunjukkan khasiat obat gosok kami. Lihatlah
luka bekas pukulan yang diderita kawan kami ini,"
ujar lelaki setengah baya itu sambil menunjukkan
luka memar yang terdapat di iga lelaki gemuk tadi.
Para penduduk Desa Malaju mengangguk-angguk-
kan kepala setelah menegasi luka yang terlihat
agak membiru itu.
"Nah! Luka memar yang telah saudara-
saudara saksikan ini, akan lenyap dan tidak lagi
terasa sakit apabila sudah diurut dengan obat go-
sok kami," tegas lelaki setengah baya itu lagi sam-
bil mengangkat botol obatnya tinggi-tinggi.
Setelah berkata demikian, dibukanya penu-
tup botol dan dioleskan cairan dari dalam botol ke
tempat luka memar tadi. Kemudian, laki-Laki se-
tengah baya itu mengurutnya dari bawah ke atas
sebanyak tiga kali dengan menggunakan ibu jari.
Ajaib! Tak lama setelah lelaki setengah
baya itu mengoleskan obat gosoknya, luka memar
yang semula membiru itu terlihat memudar, untuk
kemudian lenyap sama sekali.
"Kemanjuran obat kami sudah terbukti.
Sekarang, kami akan mengobati dengan cuma-
cuma. Bagi saudara-saudara yang menderita luka
memar, luka bakar, dan lain-lainnya, silakan maju
ke depan. Tidak usah ragu-ragu! Kami tidak akan
memungut bayaran sepeser pun!" tegas lelaki se-
tengah baya itu lagi sambil memamerkan senyum-
nya.
"Kisanak! Aku tidak yakin akan kemanju-
ran obat gosokmu itu! Kalaupun kau telah mem-
buktikannya, itu hanya karena keahlianmu memijat. Jadi, bukan karena kemanjuran obat murahan
yang kau jual kepada penduduk desa ini," ujar se-
seorang bertubuh kurus dan berwajah bopeng,
bernada hina sekali Dia kemudian menghampiri si
penjual obat.
Tentu saja ucapan kasar yang keluar dari
mulut lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu
mengejutkan semua orang. Para penduduk yang
semula mengerumuni si penjual obat, serentak
menyingkir. Sebab dari tingkah laku orang berwa-
jah bopeng itu, dapat diduga kalau ia memang
sengaja hendak mencari keributan.
Sekejapan mata saja, arena itu pun menja-
di sepi. Para penduduk kini berdiri di tepi, hendak
melihat kelanjutan perbuatan lelaki berwajah bo-
peng itu.
Sedangkan lelaki setengah baya yang ma-
sih berdiri di tengah arena, memandang lelaki
tinggi kurus itu dengan kening berkerut. Sepasang
matanya nampak berkilat untuk sesaat.
'Tuan," sebut lelaki setengah baya itu te-
nang. Seketika sinar matanya kembali cerah. "Apa
yang Tuan tuduhkan itu sama sekali tidak benar.
Kami hanyalah orang bodoh yang mencari nafkah
dengan mengandalkan sedikit pengetahuan ten-
tang pengobatan. Dan selama kami menjual obat
gosok ini, tak seorang pun yang mengembalikan
obat ini. Apalagi sampai menuduh kami sebagai
penipu."
"Hm.... Aku tetap tidak mempercayainya!"
bentak lelaki berwajah bopeng itu semakin berla-
gak.
"Saudara-saudara, marilah kita buktikan
kemanjuran obat gosok tua bangka penipu ini! Ka-
lau obat ini tidak berhasil menyembuhkan luka
akibat pukulanku, itu berarti kalian telah tertipu
mentah-mentah!" seru lelaki berwajah bopeng itu
dengan lagak sombong, seraya kembali membalik-
kan tubuhnya menghadap ke arah lelaki setengah
baya yang menjadi terkejut mendengarnya.
"Kisanak" panggil lelaki setengah baya itu
datar. Dan memang, ia sudah mulai tersinggung
atas sikap lelaki berwajah bopeng itu. Maka, pang-
gilan tuan pun dirubahnya menjadi kisanak Itu
pertanda ia tidak lagi menaruh hormat kepada
orang yang jelas-jelas hendak memancing keribu-
tan. "Apa untungnya kau mengganggu cara hidup
kami? Kalau memang tidak ingin membeli obat go-
sok ini, silakan pergi dan jangan mengganggu ka-
mi."
"Ha ha ha.... Kau takut ketahuan belangmu
rupanya, ya? Tampaknya kau begitu khawatir ka-
lau obat gosokmu itu tidak mampu menghilang-
kan luka akibat pukulanku? Kalau begitu, kemasi-
lah barang-barangmu dan tinggalkan Desa Malaju
ini. Dan, jangan coba berani kembali lagi" si wajah
bopeng berbalik mengusir dengan lagak seperti
seorang tuan besar yang memerintah kacungnya.
"Ayah! Orang buruk ini sudah keterlaluan
menghina kita. Biarlah aku mewakilimu untuk
memberi pelajaran kepadanya," pinta seorang ga-
dis manis.
Gadis yang semula hanya duduk memper-
hatikan perdebatan itu, rupanya menjadi tak sa-
bar. Dia segera melangkah ke tengah arena.
***
Lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu
menyeringai bagai serigala lapar. Sepasang ma-
tanya yang semula menyipit, terbuka lebar menje-
lajahi seluruh tubuh gadis itu.
"He he he.... Rupanya kau menyimpan ke-
linci cantik, Tua Bangka...," kata laki-Laki bopeng
itu, tanpa melepaskan tatapannya dari wajah dan
tubuh si gadis.
Merasakan betapa tatapan lelaki bopeng
bagai menelanjangi tubuhnya, seketika merah pa-
dam seluruh wajah gadis manis berpakaian merah
muda itu. Matanya yang bulat menyiratkan kema-
rahan.
Srattt!
Selarik sinar putih berkeredep ketika gadis
itu melolos sebilah pedang yang tergantung di
pinggang.
"Manusia ceriwis! Rasakan pedangku...!"
bentak gadis berpakaian merah muda itu sambil
mengayunkan pedang dengan gerakan menyilang.
Swing!
"Ah...! Galak juga rupanya kau, Ni sanak.
Coba kulihat, sampai di mana kepandaianmu!"
ujar lelaki berwajah bopeng itu pongah, sambil
menarik mundur kaki kanan dengan gerakan tu-
buh doyong ke belakang.
Begitu serangan pedang lewat di depan tu-
buhnya, tangan lelaki tinggi kurus itu bergerak
cepat melakukan cengkeraman ke arah dada kiri
gadis itu. Gerakannya terlihat ringan dan tangkas.
Jelas, lelaki berwajah bopeng itu bukan orang
sembarangan.
Wuttt!
Cengkeraman itu lewat ketika gadis anak
penjual obat menggeser kaki kanannya ke samp-
ing disertai gerakan tubuhnya. Berbarengan den-
gan gerakan itu, pedang di tangan kanannya ber-
balik dan menebas tangan kanan lawan.
Lagi-lagi lelaki tinggi kurus itu segera me-
nunjukkan kegesitan tubuhnya. Pedang lawan
yang bergerak mendatar, hanya lewat di atas kepa-
la ketika tubuhnya meliuk dengan kuda-kuda ren-
dah. Rasa penasaran akibat kegagalan serangan-
nya tadi, rupanya membuat orang itu penasaran.
Terbukti, tangan kirinya kembali meluncur dengan
cengkeraman menuju dada kiri gadis itu.
Dari caranya menyerang ke arah sasaran
yang sama sebanyak dua kali, jelas dia memiliki
niat kotor.
Gerakan yang cepat dan tak terduga, sem-
pat membuat gadis manis itu menjadi gugup.
Meskipun telah berusaha untuk menghindarinya,
namun serangan lelaki tinggi kurus itu tetap saja
terarah pada sasarannya. Maka....
Brettt!
"Auw...!"
Terdengar bunyi kain sobek ketika cengke-
raman lelaki tinggi kurus itu mengenai sasaran.
Gadis itu melompat mundur sambil mene-
kap bagian dada kirinya yang terdapat lubang cu-
kup besar. Meskipun hanya sekilas, namun dada
berkulit putih yang ranum itu, sempat tertangkap
sepasang mata liar milik lelaki berwajah bopeng
itu.
"Larsih.... Kau tidak apa-apa...?" tanya le-
laki setengah baya itu cemas sambil menyambar
tubuh anak gadisnya yang terhuyung ke arahnya.
Gadis manis yang ternyata bernama Larsih
itu tidak menyahuti pertanyaan ayahnya. Bahkan
hampir saja tangisnya meledak karena rasa malu
yang diderita. Wajahnya semakin merah ketika te-
ringat betapa lelaki berwajah bopeng itu sempat
meremas dada kirinya Rasanya, ia lebih suka ter-
pukul daripada harus mendapat hinaan seperti
itu.
Lelaki setengah baya yang maklum akan
perasaan anak gadisnya, segera memeluk dan
membisikkan kata-kata bernada menghibur.
"Sudahlah, Larsih. Orang itu bukan la-
wanmu. Biarlah Ayah yang akan membalasnya.
Sekarang kembalilah ke tempatmu. Salinlah pa-
kaianmu dengan yang lain."
Setelah berkata demikian, lelaki setengah
baya itu melangkah maju mendekati lelaki tinggi
kurus yang terlihat tengah menciumi sobekan pa-
kaian Larsih di tangan kirinya.
"Hm.... Bukan main harumnya tubuh anak
gadismu, Pak Tua. Rasanya aku akan senang se-
kali kalau kau bersedia memberikannya untuk
menemaniku selama beberapa malam. Bagaimana,
Orang Tua? Apakah kau bersedia?" kata lelaki
berwajah bopeng itu tanpa mempedulikan pan-
dangan lawan yang penuh amarah.
"Jaga mulutmu, Kisanak! Meskipun hanya
seorang penjual obat jalanan, namun aku bukan-
lah seorang pengecut! Dan aku akan menjaga
anakku dengan taruhan nyawa tuaku ini!"
Setelah berkata demikian, lelaki setengah
baya itu menggeser kedua kakinya membentuk
kuda-kuda seperti tengah menunggang kuda. Tan-
gan kanannya mengepal di atas kepala. Sedang-
kan tangan kirinya berada di depan dada dengan
jari-jari lurus menghadap ke atas.
"Hm.... Rupanya kau lebih suka kalau aku
menyeret anakmu secara paksa. Kalau memang
itu yang diinginkan, baiklah! Jangan sesali nasib
burukmu hari ini," ancam lelaki tinggi kurus itu
dengan sepasang bola mata berkilat tajam.
Selesai berkata demikian, lelaki berwajah
bopeng itu melemparkan sobekan kain di tangan
kirinya. Dengan lagak sombong, ia berdiri tegak
menghadapi lelaki setengah baya itu tanpa persiapan sedikit pun. Jelas, ia memandang rendah la-
wannya.
"Haiiit...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, lelaki
setengah baya itu membuka serangan dengan pu-
kulan-pukulan yang menimbulkan angin berkesi-
utan.
Bettt! Bettt...!
Serangkaian serangan yang dilancarkan le-
laki setengah baya itu, berhasil dielakkan lawan
hanya dengan geseran-geseran kaki yang disertai
egosan tubuhnya. Sesekali lelaki tinggi kurus itu
melakukan tangkisan, yang sekaligus disusul den-
gan serangan balasan. Sebentar saja mereka telah
terlibat pertarungan, yang bagi penduduk Desa
Malaju lebih seru dan lebih ramai ketimbang per-
tarungan dua orang pengikut si penjual obat tadi.
Larsih dan dua orang pembantu ayahnya
hanya dapat memandang dengan wajah cemas.
Sebab melihat dari jalannya pertarungan itu, jelas
kalau lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu me-
miliki kepandaian di atas kepandaian ayahnya.
Kenyataan itu membuat hati mereka diliputi kete-
gangan.
***
Sampai saat ini pertarungan telah mengin-
jak jurus yang kedua puluh satu. Dan dalam ju-
rus-jurus selanjutnya, jelas terlihat kalau lelaki
setengah baya penjual obat keliling itu terdesak
oleh serangan lawan.
Bahkan ketika pertarungan mulai mengin-
jak jurus yang kedua puluh empat, serangan-
serangan lelaki berwajah bopeng itu terlihat sema-
kin cepat dan ganas. Akibatnya, laki-Laki setenga
baya penjual obat itu tidak lagi mempunyai pe-
luang untuk melancarkan serangan balasan. Dia
hanya dapat bertarung mundur dan berusaha
menghindari kepalan maupun tendangan lawan
yang berkali-kali hampir bersarang di tubuhnya.
Bukkk! Desss!
"Hugkh...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima,
sebuah pukulan dan tendangan lawan tak dapat
lagi dihindari lelaki setengah baya itu. Tubuhnya
yang agak gemuk itu, terpental ke belakang diirin-
gi jeritnya.
Brukkk!
Tubuh lelaki setengah baya itu terbanting
di atas tanah disertai semburan darah segar yang
terlompat dari mulutnya. Sambil mengerang lirih,
ia berusaha bangkit berdiri.
"Ayah...!"
Larsih langsung menghambur ke arah
ayahnya dan berusaha membantu untuk bangkit
berdiri. Di wajah gadis manis itu tampak mengalir
turun air bening. Rupanya ia tidak sanggup me-
nahan kesedihan melihat keadaan ayahnya yang
nampak terluka parah itu.
"Paman...!"
Dua orang lelaki muda yang menjadi pem-
bantu penjual obat pun berlari menghambur ke
arah lelaki setengah baya itu. Mereka cepat mem-
bantu Larsih yang tengah menolong ayahnya
bangkit.
"He he he.... Bagaimana, Orang Tua? Apa-
kah masih tidak bersedia menyerahkan anak ga-
dismu kepadaku? Jangan khawatir.... Aku tidak
akan menyia-nyiakannya. Bahkan akan kujadikan
istriku yang tercinta," ujar lelaki tinggi kurus itu
terkekeh sambil melangkah mendekat
"Cihhh! Siapa yang sudi menjadi istrimu,
Manusia Bejat! Lebih baik aku mati daripada men-
jadi pemuas nafsu iblismu!" seru Larsih sambil
meludah dengan perasaan benci.
"Hm.... Kau memang harus dijinakkan le-
bih dahulu, Betina Liar. Ketahuilah! Tidak ada
seorang pun yang bisa menolak keinginan Jerang-
kong Bukit Karang! Suka atau tidak, kau akan
kubawa ke tempat tinggalku!" geram lelaki tinggi
kurus yang mengaku berjuluk Jerangkong Bukit
Karang. Rupanya, ia merasa tersinggung dengan
penolakan Larsih.
"Keparat, jangan ganggu dia...!"
Lelaki pendek gemuk yang menjadi pem-
bantu ayah Larsih seketika bergerak maju dan
menghadang di depan Jerangkong Bukit Karang.
Perbuatannya diikuti pula oleh kawannya yang
bertubuh lebih tinggi sedikit.
"Huh! Gentong-gentong kosong yang tidak
punya guna! Mau apa kalian menghadangku!
Minggir...!" sentak lelaki tinggi kurus itu.
Seketika tangannya dikibaskan secara
sembarangan. Serangkum angin kuat berhembus
mengiringi kibasan tangan kanannya.
Wuttt!
Dan belum juga kibasan tangan itu meng-
hantam dua orang pembantu tukang obat menda-
dak saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat
Maka....
"Akh...!"
Jerangkong Bukit Karang berseru kaget ke-
tika merasa kan lengannya membentur sebuah
benda yang keras bagaikan batangan besi. Bahkan
tubuhnya pun terdorong mundur sejauh satu ba-
tang tombak.
"Hei?!"
Lelaki tinggi kurus itu menarik kepalanya
dengan sepasang mata hampir terlompat ke luar.
Rasa nyeri pada lengannya seolah-olah terlupa ka-
rena pesona yang memancar dari sosok tubuh
ramping di hadapannya. Dan itu benar-benar
membuat lelaki itu bagaikan tersihir! Hingga un-
tuk beberapa saat lamanya, ia hanya dapat tern-
ganga tanpa mampu bergerak.
"Apakah kau sudah berubah menjadi mu-
rung, Jerangkong Bukit Karang?" tegur sosok tu-
buh ramping berpakaian serba hijau itu sambil
bertolak pinggang.
Meskipun suara itu bernada mengejek,
namun tetap saja terdengar merdu di telinga. Sia-
pa lagi sosok tubuh ramping itu kalau bukan Ke-
nanga. Rupanya ia langsung turun tangan ketika
melihat nyawa kedua orang pembantu penjual ob-
at itu terancam maut.
Jerangkong Bukit Karang tersentak kaget
dan tersadar dari keterpakuannya. Kedua matanya
langsung digosok-gosok, seolah-olah masih tidak
mempercayai kehadiran dara jelita berpakaian hi-
jau yang berdiri satu batang tombak di depannya.
"Kau.... Kau siapa, Ni sanak..?" tanya laki-
Laki bopeng itu dengan suara gagap, seraya sepa-
sang matanya menjelajahi sekujur tubuh gadis je-
lita itu.
"Hm.... Dasar lelaki kurang ajar! Kau me-
mang patut diberi hajaran!" bentak Kenanga ta-
jam.
Rupanya gadis jelita itu merasa marah me-
lihat tatapan mata lelaki tinggi kurus itu yang ba-
gaikan menelanjangi tubuhnya.
"Eh...?!"
Lelaki tinggi kurus berwajah bopeng itu
tersentak mundur ketika pandangan matanya ber
tumbuk dengan sepasang mata Kenanga yang
berkilat tajam penuh kemarahan. Diam-diam hati
Jerangkong Bukit Karang merasa terkejut melihat
sinar mata itu. Dia teringat akan benda sekeras
besi yang menangkis kibasan tangannya tadi.
"Gadis jelita inikah yang telah menangkis
kibasan tanganku?" pikir laki-Laki bopeng itu pe-
nuh keraguan.
Namun tanda tanya di hati Jerangkong
Bukit Karang tidak berlangsung lama, setelah ga-
dis di depannya mengeluarkan bentakan nyaring
dan mengejutkan.
"Sambut seranganku, Manusia Kurang
Ajar...! " seru gadis jelita itu sambil melompat dan
melancarkan dua buah pukulan sekaligus.
Bettt! Bettt!
Sambaran angin pukulan yang menderu ta-
jam itu membuat hati Jerangkong Bukit Karang
semakin tercekat. Kini baru disadari kalau gadis
jelita itu ternyata adalah seorang pendekar wanita
yang memiliki kepandaian tinggi. Maka cepat-
cepat ia melompat mundur dan melakukan bebe-
rapa kali salto, ketika! sepasang tangan gadis jelita
itu masih juga mengejarnya. Sadar kalau lawan
yang kali ini dihadapinya bukan orang sembaran-
gan, maka kepandaiannya segera dikerahkan un-
tuk melancarkan serangan balasan.
"Yeaaah...!"
Diiringi teriakan parau, Jerangkong Bukit
Karang] melepaskan sebuah pukulan keras setelah
berhasil mengelakkan pukulan yang dilancarkan
Kenanga. Dari suara yang ditimbulkannya, dapat
diduga kalau lelaki tinggi kurus itu telah menge-
rahkan hampir seluruh tenaganya untuk mengim-
bangi serangan lawan.
Melihat pukulan lawan yang meluncur
mengancam iga kirinya, Kenanga sama sekali ti-
dak berusaha mengelak. Seketika kaki kirinya
bergeser ke belakang sambil memutar tubuh me-
nyamping. Kuda-kudanya segera direndahkan se-
raya lengan kanannya bergerak melakukan tang-
kisan dengan sikap menekuk. Sadar akan kekua-
tan tenaga lawan, Kenanga pun mengerahkan
hampir sepertiga dari tenaganya dalam melakukan
tangkisan.
Dukkk!
Terdengar suara nyaring bagaikan dua ba-
tang besi yang sating bertumbukan keras. Tubuh
keduanya terpental balik sejauh dua batang tom-
bak. Dari sikap kuda-kuda mereka yang sama-
sama terlihat kokoh, dapat dinilai kalau perte-
muan tenaga itu ternyata memiliki kekuatan
seimbang.
Jerangkong Bukit Karang yang telah men-
gerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, tentu
saja menjadi terkejut setengah mati. Sama sekali
tidak disangka kalau gadis jelita itu ternyata me-
miliki tenaga dalam tinggi. Bahkan mungkin lebih
kuat daripada tenaga dalam yang dimilikinya Hal
itu dapat dilihat dari deru napas gadis itu yang
sama sekali tidak memburu. Berbeda dengan na-
pasnya yang bagaikan orang habis berlari menem-
puh jarak cukup jauh. Kenyataan itu membuat
hatinya bergetar, dan wajahnya berubah mene-
gang.
"Haiiit..!"
Kenanga yang sempat melihat wajah lelaki
bopeng itu meringis sambil memegangi lengan ka-
nannya, dapat menduga kalau tenaga yang dimili-
kinya masih lebih kuat. Dibarengi teriakan nyar-
ing, gadis jelita itu pun kembali mencecar lawan
dengan gerakan cepat dan kuat Dan kini Kenanga
telah mengeluarkan ilmu andalannya.
Hebat bukan main jurus 'Bidadari Menabur
Bunga' yang digunakan gadis jelita itu. Sepasang
tangannya tampak bergerak cepat hingga bentuk-
nya pun lenyap. Yang tampak kini hanya bayan-
gan puluhan batang lengan mematuk-matuk me-
nimbulkan angin berkesiutan.
Wuttt! Wuttt!
"Aiiih...!"
Jerangkong Bukit Karang berseru kaget
Hampir saja dada kirinya terkena pagutan jemari
tangan gadis jelita itu yang berbentuk paruh ban-
gau. Untung tubuhnya masih sempat dimiringkan,
sehingga serangan gadis itu lewat beberapa jari di
depan dadanya.
Tapi, rasa lega lelaki berwajah bopeng itu
rupanya tidak berlangsung lama. Sebab begitu pa-
tukan jemari tangannya berhasil dielakkan lawan,
tahu-tahu saja kaki dara jelita itu mencelat naik
menghantam iganya.
Desss!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki ting-
gi kurus itu pun terlempar ke belakang sejauh tiga
batang tombak.
Namun, Jerangkong Bukit Karang memang
bukan tokoh sembarangan. Meskipun tendangan
telak itu membuat iganya terasa remuk, namun
kuda-kudanya masih dapat dipertahankan. Se-
hingga, tubuhnya tidak sampai terbanting jatuh.
Kenanga rupanya tidak ingin memberi ke-
sempatan kepada lawannya untuk membangun
serangan. Selagi tubuh Jerangkong Bukit Karang
terjajar mundur, gadis jelita itu membarenginya
dengan serangan cepat dan kuat
Jerangkong Bukit Karang yang belum sem
pat mempersiapkan pertahanannya, terpaksa
menghindar sebisa-bisanya. Tapi memang dasar
nasibnya sedang sial, maka ia pun kembali harus
menelan pil pahit!
Bukkk... Desss!
Untuk kedua kalinya, tubuh tinggi kurus
itu kembali terlempar bergulingan. Jerit kesakitan
terlontar dari mulut Jerangkong Bukit Karang,
yang kemudian memuntahkan darah segar.
Kenanga melangkah perlahan menghampiri
lawannya yang masih terduduk sambil mengerang
kesakitan. Dua buah hantaman yang telak men-
genai dada dan lambung, membuat Jerangkong
Bukit Karang tidak mampu buru-buru bangkit Se-
pertinya, hantaman gadis jelita itu mendatangkan
luka dalam yang cukup parah.
Jerangkong Bukit Karang memaksa bang-
kit pada saat langkah kaki gadis jelita itu tinggal
beberapa belas tindak lag}.
"Hari ini aku mengaku kalah kepadamu, Ni
sanak Tapi, ingatlah! Suatu hari nanti aku akan
mencarimu untuk membalas penghinaan ini!" tan-
das Jerangkong Bukit Karang dengan sorot mata
penuh dendam. Kemudian, ia pun berlari tertatih-
tatih meninggalkan tempat itu.
Melihat orang itu melarikan diri, Kenanga
sudah bergerak mengejar. Namun, langkah ka-
kinya terhenti ketika terdengar seruan di bela-
kangnya.
"Biarkan dia pergi...!"
Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok
bayangan putih tahu-tahu saja telah berada di be-
lakang gadis jelita itu.
"Kakang, mengapa mencegahku? Anca-
mannya tadi, jelas membuktikan kalau orang itu
belum jera," bantah Kenanga, menuntut jawaban
sosok bayangan putih yang ternyata Panji.
"Menyiksa lawan yang sudah tidak ber-
daya, bukanlah sifat ksatria, Kenanga. Apalagi, Je-
rangkong Bukit Karang jelas-jelas mengaku kalah
tadi Sedangkan ancamannya hanyalah luapan
amarah seorang pecundang. Mudah-mudahan saja
ia bisa berpikir lebih dalam dan melupakan anca-
mannya," sahut Panji sambil melebarkan senyum-
nya.
Kenanga hanya menghela napas, seolah-
olah ingin membuang sisa-sisa rasa tak puas yang
menggumpal dalam rongga dadanya. Sesaat ke-
mudian, senyum manisnya pun kembali terlukis,
menghias wajahnya yang jelita.
Kedua orang pendekar muda itu sama-
sama menolehkan kepalanya ketika mendengar
langkah kaki mendatangi.
"Ni sanak! Kami mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu. Entah dengan apa kami da-
pat membalasnya," ucap lelaki setengah baya itu
sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam
kepada Panji dan Kenanga.
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Paman.
Apa yang kulakukan tadi, hanyalah suatu kewaji-
ban. Jadi, tidak ada keharusan bagi Paman untuk
membalasnya," sahut Kenanga sambil membalas
penghormatan penjual obat itu.
"Apa yang dikatakan kawan saya ini me-
mang benar, Paman. Janganlah merasa berhutang
budi karena pertolongannya tadi. Maaf, kami ha-
rus melanjutkan perjalanan. Sekarang, silakan te-
ruskan pekerjaan Paman," timpal Panji yang lang-
sung berpamitan karena saat itu para penduduk
desa telah berdatangan mengerumuni.
Keempat orang itu hanya dapat meman-
dang kepergian Panji dan Kenanga penuh rasa terima kasih. Setelah tubuh kedua orang pendekar
muda itu semakin menjauh, lelaki setengah baya
itu pun membalikkan tubuh dan melanjutkan pe-
kerjaannya.
***
ENAM
Di bawah siraman cahaya matahari yang
semakin naik tinggi, nampak dua sosok tubuh me-
langkah memasuki mulut hutan. Yang seorang
memakai jubah putih, dan yang seorang lagi men-
genakan pakaian serba hijau. Dan rupanya sinar
matahari tak lagi dirasakan, karena tubuh mereka
terlindungi pepohonan besar yang tumbuh menju-
lang tinggi.
Pada saat mereka hampir berada di tengah
hutan, mendadak sosok yang mengenakan jubah
putih itu menghentikan langkahnya. Kepalanya
segera dimiringkan seolah-olah hendak memasti-
kan pendengarannya.
"Ada apa, Kakang...?" tanya sosok tubuh
yang berpakaian serba hijau.
Wajahnya yang putih halus menampakkan
keheranan melihat tingkah laku kawannya. Dari
suara dan kehalusan wajahnya, dapat dipastikan
kalau dia adalah seorang wanita.
"Sepertinya aku mendengar suara orang
bertengkar. Apa kau tidak mendengarnya?" sosok
berjubah putih yang memang seorang pemuda itu
balas bertanya.
"Tidak, Kakang. Aku sama sekali tidak
mendengarnya," sahut gadis jelita itu sambil
menggeleng perlahan.
"Hm...," pemuda berjubah putih itu hanya
menggumam mendengar jawaban itu. "Mari ikut
aku...."
Tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya
pun segera melesat ke depan. Dan tanpa banyak
cakap, gadis jelita yang mengenakan pakaian ser-
ba hijau itu bergegas mengerahkan ilmu larinya
mengikuti pemuda tadi.
"Aku mulai dapat menangkap suara yang
kau maksudkan itu, Kakang. Kedengarannya me-
mang seperti orang yang sedang bertengkar," kata
gadis jelita itu sambil terus mengimbangi lari ka-
wannya. Saat itu mereka sudah semakin jauh
memasuki hutan.
"Ya! Suara itu semakin jelas terdengar,"
sahut pemuda tampan berjubah putih. "Hati-hati,
jangan sampai langkah kaki kita terdengar mere-
ka."
Gadis jelita itu mengangguk dan menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga gera-
kan langkah kakinya sama sekali tidak menimbul-
kan suara sedikit pun.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba
pada sebuah tempat terbuka yang cukup luas. Di
sana, tampak dua kelompok penunggang kuda
saling berhadapan dalam keadaan tegang.
"Jangan sembarangan menuduh, Jaya Pra-
na! Sadarkah kau kalau kata-katamu itu bisa
mengakibatkan perpecahan di antara kita?" ben-
tak lelaki tinggi besar bertubuh kokoh bagai batu
karang. Suaranya terdengar berat dan kasar, se-
suai bentuk tubuhnya. Wajahnya kemerahan se-
perti menahan kemarahan.
Sebelum orang yang dipanggil Jaya Prana
itu menyahut, seorang yang berbahu lebar dan be-
rusia sekitar tiga puluh tahun, melompat turun
dari atas punggung kudanya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, orang itu langsung menu-
dingkan telunjuknya ke wajah lelaki tinggi besar
yang masih berada di atas punggung kuda.
"Hmh! Tidak kusangka kalau pimpinan Pa-
sukan Garuda Emas ternyata seorang pengecut
yang tidak berani mengakui perbuatannya. Sung-
guh memalukan!" ujar lelaki tegap berbahu lebar
itu dengan suara sangat menghina.
"Jaga mulutmu, Banja! Apa kau ingin agar
aku merobek mulutmu dulu, supaya tidak sema-
kin kurang ajar!" bentak lelaki tinggi besar itu.
Wajah orang itu tampak dipenuhi cambang
bauk. Sepasang matanya tampak berkilat penuh
kemarahan. Jelas, ia tidak bisa menerima hinaan
yang dilontarkan lelaki berbahu lebar yang tak lain
dari Banja.
Rupanya kedua kelompok penunggang ku-
da itu adalah Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan
Garuda Emas yang merupakan pasukan inti Kera-
jaan Cadas Putih.
"Keparat keji! Akibat perbuatanmu terha-
dap guru dan saudara-saudara seperguruanku,
apakah kau kira aku masih sudi menghormatimu!
Tidak, Pragola. Aku tidak lagi memandangmu se-
bagai pemimpin, melainkan seorang pembunuh
keji yang berjiwa pengecut'" Banja semakin berapi-
api melontarkan kata-katanya.
Jelas sekali kalau ia tidak memandang se-
belah mata pun kepada Pragola yang menjadi sa-
lah satu pimpinan Pasukan Garuda Emas.
"Kurang ajar...! Mulutmu benar-benar ha-
rus dirobek!" bentak Pragola yang melompat dari
kudanya, langsung menerjang Banja.
Jaya Prana yang menjadi pimpinan dua pu-
luh orang anggota Pasukan Garuda Hitam tentu
saja tidak bisa berdiam diri melihat Banja terancam. Lelaki tegap berkumis lebat itu pun melesat
dari atas punggung kuda, dan langsung memapak
serangan Pragola.
"Perlahan dulu, Pragola...!" seru Jaya Prana
sambil mengibaskan lengan kanan menyambut se-
rangan lelaki tinggi besar itu.
Wuttt... Wuttt!
Plakkk!
Terdengar benturan keras yang disusul
terpentalnya tubuh kedua orang itu ke belakang.
Namun, baik Pragola maupun Jaya Prana ternyata
dapat menguasai keseimbangan tubuh. Setelah
berjumpalitan beberapa kali, tubuh mereka jatuh
di atas tanah dalam sikap kuda-kuda kokoh dan
indah.
"Kau akan membela orangmu yang kurang
ajar itu, Jaya Prana? Baik! Kalau begitu, sambut-
lah seranganku ini...!" seru Pragola.
Laki-Laki itu semakin marah melihat cam-
pur tangan Jaya Prana. Maka, Pragola kembali
menerjang maju dengan serangan-serangan hebat
dan berbahaya.
Jaya Prana pun tidak tinggal diam. Melihat
lawan sudah kembali menyerang, maka segera
disambut dengan tidak kalah hangatnya. Dalam
sekejap saja, kedua orang lelaki gagah itu pun ter-
libat perkelahian seru dan mati-matian.
Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang melihat pemimpin pemimpin me-
reka masing-masing sudah terlibat dalam perkela-
hian sengit, menjadi gatal tangannya. Tanpa dipe-
rintah lagi, kedua kelompok pasukan inti Kerajaan
Cadas Putih itu pun masing-masing melompat tu-
run dari atas punggung kuda.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua kelompok itu pun
mencabut senjata masing-masing.
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan nyaring bergemuruh, Pa-
sukan Garuda Hiram meluruk ke arah dua puluh
orang anggota Pasukan Garuda Emas.
Sesaat sebelum pertempuran itu pecah,
mendadak dua sosok tubuh melesat ke tengah
arena. Gerakan kedua sosok tubuh itu demikian
cepat dan menimbulkan desir angin kuat
Sosok tubuh pertama yang merupakan
bayangan putih, menuju ke arah dua pasukan
yang hampir bertemu itu. Kedua tangannya men-
gibas ke kiri kanan setelah menjejakkan kakinya
di antara kedua kelompok itu.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang amat kuat
berhembus bagaikan badai salju yang menghum-
balangkan tubuh kedua pasukan kecil itu.
"Tahan...!" teriak bayangan putih itu den-
gan suara laksana ledakan guntur di angkasa. Je-
las, suara itu dikeluarkan dengan pengerahan te-
naga dalam tinggi.
Tak satu pun dari kedua kelompok itu yang
sanggup mempertahankan diri dari dorongan an-
gin dingin itu. Tubuh mereka bergelimpangan dan
menggigil kedinginan. Dengan demikian, pertarun-
gan kedua pasukan kecil itu jadi batal.
Sedangkan sosok tubuh lain yang merupa-
kan bayangan hijau, meluruk ke arah Jaya Prana
dan Pragola yang saat itu tengah bertarung sengit
Gerakan bayangan hijau itu ternyata sangat lincah
dan gesit Sehingga, tanpa mengalami kesulitan
sedikit pun tahu-tahu saja tubuhnya telah berada
di antara kedua orang lelaki gagah itu.
"Berhenti...!"
Bentakan nyaring dan merdu itu disertai
dorongan sepasang lengannya ke kiri kanan.
Wuttt! Wusss!
Sambaran angin kuat yang mengancam tu-
buh Jaya Prana dan Pragola, membuat kedua
orang itu melompat ke belakang dan melakukan
beberapa kali salto di udara.
"Siapa kau, Ni sanak? Apa maksudmu
mencampuri urusan kami?" bentak Pragola setelah
terdiam beberapa saat lamanya.
Laki-laki itu sama sekali tidak menduga
kalau sosok tubuh yang memisahkan mereka ter-
nyata seorang wanita muda berparas jelita. Kalau
saja tidak mengalaminya sendiri, tentu Pragola ti-
dak akan percaya begitu saja. Apalagi ketika men-
dapat kenyataan, betapa kuatnya tenaga yang ter-
sembunyi di balik sosok tubuh ramping itu.
Jaya Prana pun tidak kalah terkejutnya
dengan kenyataan itu. Padahal, ia adalah salah
seorang pimpinan pasukan inti Kerajaan Cadas
Putih. Tapi kenyataannya mampu didorong mun-
dur oleh seorang gadis muda berparas jelita. Un-
tung gadis itu tidak bermaksud jelek. Kalau tidak,
mungkin ia dan Pragola sudah mengalami luka da-
lam yang cukup parah.
Lelaki gagah berkumis lebat itu jelas-jelas
tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Ia berdiri
tegak menanti jawaban yang keluar dari dara jelita
itu.
Sebelum pertanyaan Pragola terjawab, so-
sok berjubah putih yang tak lain dari Panji atau
berjuluk Pendekar Naga Putih melangkah meng-
hampiri mereka.
"Paman berdua harap maafkan kelancan-
gan aku dan kawanku ini. Semua ini dilakukan
semata-mata karena telah terjadi kesalahpahaman
di antara kalian. Dari sanggahan Paman Pragola
tadi, aku yakin kalau ia tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Maka, aku terpaksa berbuat
lancang agar kesalahpahaman ini tidak berlarut-
larut," jelas Panji sambil membungkuk hormat ke-
pada mereka.
"Hm.... Jadi kau telah lama mengintai ka-
mi?" tegur Jaya Prana, tak senang.
"Maaf, hal ini terpaksa kulakukan karena
merasa tertarik dengan pertengkaran Paman ber-
dua tadi. Karena sepintas tadi, aku mendengar
tentang pembunuhan yang dituduhkan kepada
Paman Pragola. Melihat kesungguhan dan kegaga-
hannya, aku yakin tuduhan itu sama sekali tidak
benar. Kalau boleh aku bertanya, adakah saksi
yang dapat dipercaya dalam hal ini?" tanya Panji
akhirnya.
Suara dan wajah Pendekar Naga Putih ter-
lihat tenang. Dan hal ini membuat kedua orang
perwira itu bertanya-tanya, siapa gerangan pemu-
da tampan berjubah putih ini.
"Hm.... Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?
Dari sikap dan nada bicaramu, aku yakin kau bu-
kan orang sembarangan. Sebutkan nama dan ju-
lukanmu? Dengan demikian, mungkin kami dapat
mempertimbangkan dan memaafkan perbuatan-
mu," tanya Pragola mulai menduga-duga pemuda
yang memiliki ketenangan mengagumkan hatinya
itu.
Melihat dari kepandaian yang dimiliki gadis
jelita tadi, bukan tidak mungkin kalau kepandaian
pemuda ini masih lebih tinggi lagi. Atau paling ti-
dak sejajar dengan kepandaian gadis jelita berpa-
kaian serba hijau yang berdiri di samping pemuda
tampan itu.
"Maaf, Paman. Namaku Panji. Sedangkan
kawanku bernama Kenanga. Orang-orang rimba
persilatan memberikan julukan Pendekar Naga Putih kepadaku," sahut Panji.
Dia terpaksa memperkenalkan julukannya.
Karena, menurutnya julukan itu mungkin dapat
membuat kedua orang itu lebih mempercayainya.
"Ah.... Jadi, kaukah yang berjuluk Pende-
kar Naga Putih? Sepak terjangmu sudah lama
membuatku kagum. Tahukah kau, julukanmu itu
sempat pula menggemparkan Istana Kerajaan Ca-
das Putih?" seru Pragola. Saking kagumnya, ia
sampai menyebutkan rahasia yang seharusnya
disembunyikan.
"Hm.... Mengingat julukanmu yang telah
mendatangkan kekaguman, maka kami percaya
kalau kau memang pantas menjadi penengah bagi
masalah yang tengah dihadapi ini," timpal Jaya
Prana.
Dari nada suaranya, jelas kalau ia tidak
menyesali kata-kata Pragola yang telah membuka
rahasia penyamaran mereka. Dan memang, menu-
rutnya, julukan Pendekar Naga Putih dapat men-
jadi jaminan dan bisa dipercaya.
Panji yang semula hanya menduga-duga,
sempat terkejut mendengar pengakuan lelaki ga-
gah berwajah brewok itu. Sebagaimana sikap seo-
rang rakyat jelata terhadap pembesar kerajaan,
maka kedua orang muda itu menjatuhkan dirinya
memberi hormat
"Maafkan kalau sikap kami kurang hormat
terhadap Tuan Perwira berdua," ucap Panji.
Pendekar Naga Putih segera menekuk lutut
sambil merangkapkan telapak tangannya sebagai
penghormatan. Hal yang sama dilakukan pula oleh
Kenanga.
"Bangkitlah kau, Pendekar Naga Putih dan
Kenanga. Janganlah terlalu banyak peraturan.
Apalagi tempat ini bukanlah istana kerajaan," kata
Pragola sambil membungkuk dan mengangkat tu-
buh Panji.
Diam-diam hati perwira berusia empat pu-
luh lima tahun ini semakin kagum atas sikap yang
ditunjukkan pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih itu.
"Nah! Sekarang katakan, apa usulmu agar
persoalan ini dapat kita selesaikan?" tanya Jaya
Prana yang percaya penuh setelah melihat sikap
pemuda itu.
"Kembali kepada pertanyaanku tadi, Pa-
man Perwira. Adakah saksi yang bisa membukti-
kan kalau pembunuhan itu memang dilakukan
Tuanku Pragola?" tanya Panji yang merubah pang-
gilannya begitu mengetahui kalau kedua orang di
depannya adalah perwira kerajaan.
"Tidak usah terlalu sungkan, Pendekar Na-
ga Putih. Sebut saja kami dengan panggilan pa-
man tanpa embel-embel perwira segala macam,"
tegas Pragola ketika mendengar panggilan pemuda
itu berubah.
"Betul, Panji Dan mengenai pertanyaanmu
itu, kami memang mempunyai dua orang saksi
mata. Dari merekalah didapatkan keterangan ten-
tang pelaku perbuatan itu. Bahkan mereka mem-
berikan gambaran jelas mengenai raut wajah dan
bentuk tubuh si pembunuh. Dan keterangan itu
jelas-jelas menggambarkan sosok Kakang Pragola
ini," Jaya Prana memberi keterangan kepada Panji,
karena tidak ingin dituduh melemparkan fitnah
tanpa bukti jelas.
"Kedua orang saksi mata itu dapat diper-
caya, karena mereka adalah murid Perguruan Tin-
ju Selatan sendiri! Aku tidak percaya kalau kete-
rangan mereka hanya sekadar fitnah! Sebab kalau
tidak menyaksikan sendiri, dari mana mereka
mendapat gambaran tentang bentuk tubuh dan
raut wajah pembunuh keji itu!"
Mendengar ucapan keras yang berapi-api
itu, Panji, Kenanga, Jaya Prana, dan Pragola me-
nolehkan kepala. Kening Pragola terkejut, dan wa-
jahnya kembali gelap ketika melihat Banja dan
Gandira datang menghampiri. Rupanya kedua
orang itu dan anggota yang lainnya sudah terlepas
dari pengaruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang
dikerahkan Pendekar Naga Putih tadi.
"Tenanglah, Banja. Kami telah berembuk
untuk memecahkan masalah pembunuhan guru
dan saudara-saudara seperguruanmu itu. Tahan
amarahmu kalau ingin masalah ini segera. sele-
sai," ujar Jaya Prana.
Laki-laki berkumis lebat itu memang mera-
sa tidak enak terhadap Pragola. Maka, bergegas
dia menghampiri Banja dan menepuk-nepuk bahu
lelaki itu.
"Benar, Banja. Dan kalau memang ternyata
aku yang melakukan perbuatan keji itu, aku tidak
akan lari dari tanggung jawab," sahut Pragola pe-
nuh ketegasan.
"Kalau boleh kuusulkan, dapatkah kedua
orang saksi mata itu dihadapkan kemari," pinta
Pendekar Naga Putih ketika keadaan sudah kem-
bali tenang. Bahkan kini mereka telah duduk di
atas rumput membuat lingkaran.
"Sayang kedua orang saksi itu tidak bisa
menyertai kami, karena harus merawat perguruan
dan makam guru mereka. Sebab, hanya kedua
orang murid itulah yang saat ini tinggal di dalam
bangunan Perguruan Tinju Selatan," jelas Jaya
Prana.
Laki-Laki berkumis lebat itu sedikit kece-
wa, karena kedua orang saksi itu tidak ada. Dan
kalau ada, sudah pasti masalahnya dapat cepat
diselesaikan.
"Ah, sayang sekali. Padahal tanpa mereka,
kita tidak bisa memutuskan apa-apa. Saat ini,
hanya kedua orang saksi itulah yang menjadi
kunci untuk memecahkan persoalan ini," sesal
Panji, seraya menghela napas kecewa.
"Kakang, bagaimana kalau kita datangi
Perguruan Tinju Selatan bersama-sama. Bukan-
kah itu lebih baik, daripada persoalan ini menjadi
tertunda dan tetap gelap?" Kenanga yang semen-
jak tadi hanya diam mendengarkan, tiba-tiba
mengajukan usul
Pragola, Jaya Prana, Banja, dan Gandira
mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya, usul
gadis Jelita itu bisa dipertimbangkan. Sedangkan
Panji hanya menatap wajah keempat orang lelaki
gagah itu berganti-ganti. Menurut perkiraannya,
apa yang diusulkan Kenanga itu merupakan jalan
satu-satunya untuk memecahkan masalah yang
tengah dihadapi.
Setelah semuanya menyetujui usul yang
diajukan Kenanga, berangkatlah dua rombongan
pasukan itu disertai Kenanga dan Pendekar Naga
Putih.
***
Saat matahari sudah meratakan sinarnya
ke seluruh permukaan bumi. Rombongan dua pa-
sukan itu pun tiba di depan pintu gerbang Pergu-
ruan Tinju Selatan.
Panji dan Kenanga yang juga mengendarai
kuda, bergegas melompat turun mengikuti dua
orang pimpinan pasukan itu.
Banja yang merasa paling penasaran, ber
gegas menggedor pintu gerbang sambil berteriak-
teriak me-manggil. Kekesalan yang menggumpal di
dada, membuatnya menjadi tidak sabar ketika
panggilannya tidak juga disahuti.
"Kurang ajar! Ke mana pula perginya Jana-
ka dan Santika? Mengapa mereka belum juga ke-
luar?" omel Banja dengan wajah gelap.
"Sabarlah. Mungkin saat ini mereka berada
jauh di belakang. Jadi, wajar saja kalau belum
mendengar panggilanmu," bujuk Gandira sambil
menepuk-nepuk punggung saudara seperguruan-
nya.
"Biarlah aku yang akan memanggil mere-
ka," pinta Pragola menyelak.
Sebagai seorang tertuduh, lelaki bercam-
bang bauk ini pun tidak kalah penasarannya den-
gan Banja. Pragola ingin melihat, bagaimana rupa
orang yang telah menjatuhkan fitnah keji terha-
dapnya.
"Silakan, Kakang Pragola...," sahut Gandi-
ra, terpaksa.
Sementara Banja telah menekuk wajahnya
ketika melihat Pragola mendekati mereka. Melihat
sikapnya, jelas kalau ia masih tetap menyalahkan
Pragola atas kejadian yang menimpa guru dan
saudara-saudara seperguruannya.
"Hei! Siapa pun yang berada di dalam ban-
gunan Perguruan Tinju Selatan, harap keluar!
Banja dan Gandira datang berkunjung...!"
Hebat sekali teriakan Pragola yang dido-
rong tenaga dalam kuat itu. Beberapa orang ang-
gota pasukan yang paling lemah kepandaiannya,
terpaksa harus menutup telinga sambil menge-
rahkan hawa murni untuk melindungi bagian da-
lam dada mereka. Dan memang teriakan itu sem-
pat pula mengguncangkan dada.
Panji sendiri tidak menyembunyikan rasa
kagum-nya. Hal itu terlihat dari pancaran sinar
matanya ketika memandang Pragola. Diam-diam
pemuda itu semakin bertambah kagum melihat
kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang bauk
itu.
Hanya Banja yang terlihat agak sinis. Ke-
kesalan hatinya membuat lelaki gagah berbahu le-
bar itu menganggap Pragola sengaja menyom-
bongkan kekuatan tenaga dalam. Pikiran itu
membuat rasa tak suka di hati Banja semakin
menebal.
Meskipun berwatak berangasan, namun
Pragola memiliki pandangan sangat luas. Dan ia
bukan tidak tahu akan cibiran sinis bibir Banja
yang tertuju kepadanya. Tapi dengan kematangan
jiwa, sikap Banja dapat dimakluminya.
Sayang apa yang dilakukan Pragola itu sia-
sia Meskipun teriakan tadi sangat kuat, tapi Jana-
ka dan Santika belum juga muncul. Tentu saja hal
itu menimbulkan berbagai pertanyaan di hati me-
reka.
Panji yang memiliki pengalaman luas ten-
tang dunia persilatan, segera bisa menebak pe-
nyebab ketidakmunculan orang yang bernama Ja-
naka dan Santika. Maka seketika kecurigaannya
timbul.
"Aku akan mencoba masuk untuk membu-
ka pintu dari dalam," usul pemuda berjubah putih
itu.
Tanpa menunggu jawaban dari yang lain-
nya, Pendekar Naga Putih langsung melesat me-
lompati dinding pagar setinggi tiga batang tombak.
Semua orang yang berada di tempat itu,
membelalak kagum melihat tubuh pemuda tam-
pan itu melayang bagaikan seekor burung besar.
"Hm.... Pantas saja dunia persilatan dapat
dibuat gempar. Kepandaian yang dimilikinya be-
nar-benar hebat! Rasanya sukar sekali mencari
orang yang dapat menandinginya pada masa ini.
Untunglah kepandaian sehebat itu dimiliki pemu-
da seperti dia. Entah apa jadinya kalau dimiliki
seorang pemuda berwatak bejat Mungkin dunia
persilatan akan kacau dibuatnya," gumam Jaya
Prana pelan sambil menggelengkan kepala.
"Kalau saja pemuda seperti dia sudi men-
gabdikan diri untuk Kerajaan Cadas Putih, bukan
main gembiranya hati Gusti Prabu," desah Pragola
yang juga semakin kagum oleh Pendekar Naga Pu-
tih.
"Yah.... Aku pun berpendapat demikian,"
Jaya Prana yang mendengar ucapan Pragola, me-
nyahuti Laki-Laki berkumis tebal itu agak me-
nyesal, karena sadar kalau harapan mereka ber-
dua tidak mungkin akan dapat terpenuhi. Sebab,
mereka tahu kalau seorang pendekar petualang
seperti Pendekar Naga Putih akan lebih suka hi-
dup bebas tanpa ikatan apa pun.
Jaya Prana, Pragola, dan yang lainnya,
bam tersadar ketika mereka mendengar derit pintu
gerbang yang bergerak karena telah dibuka Pen-
dekar Naga Putih. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, mereka pun bergegas masuk.
Banja sudah lebih dulu melesat masuk,
dan langsung berlari menuju halaman belakang
balai utama. Tak lama setelah tubuh pemuda ber-
bahu lebar itu menghilang di balik bangunan be-
sar itu, terdengar hiruk-pikuk yang disertai ma-
kian marah.
"Biadab! Manusia iblis!" terdengar makian
Banja yang mengejutkan semua orang yang berada
di halaman depan Perguruan Tinju Selatan.
"Ada apa, Ban.... Ahhh...!?"
Gandira yang tiba lebih dulu di halaman
belakang bangunan perguruan, membelalak pucat
tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Lelaki ga-
gah itu hanya dapat berdiri memandang dua buah
tiang, dua depa di hadapannya.
Seruan-seruan terkejut bercampur kema-
rahan seketika bersahutan saat seluruh rombon-
gan telah berada di tempat itu. Sebab apa yang
mereka saksikan, benar-benar membuat darah
mereka mendidih.
Panji yang tidak tega melihat pemandangan
mengerikan itu, bergegas menghampiri. Diturun-
kannya dua sosok tubuh yang tak lain dari Janaka
dan Santika. Tubuh mereka terpentang di tiang
berbentuk salib. Tubuh keduanya yang tanpa pa-
kaian dan dipenuhi luka bakar maupun sayatan
pisau itu ditutupi Panji dengan menggunakan pa-
kaian cadangan dalam buntalannya. Tampak da-
rah masih membasahi luka-luka di tubuh mereka,
membuktikan kalau kejadian penyiksaan itu be-
lum lama berlangsung.
"Kedatangan kita ternyata telah terlambat.
Ini membuktikan kalau gerakan kita telah diketa-
hui lawan," jelas Pendekar Naga Putih yang mem-
buat orang-orang di sekitarnya terperangah den-
gan wajah menegang.
"Aku akan mencari manusia-manusia keji
itu! Dan aku tidak akan pernah berhenti, sebelum
tubuh iblis-iblis itu kukuliti dengan tanganku!" te-
riak Banja bagai orang kesetanan.
Sebelum semua orang yang berada di tem-
pat itu menyadari, tubuh lelaki tegap berbahu le-
bar itu sudah melesat meninggalkan tempat itu.
"Banja, tunggu...!" teriak Jaya Prana.
Laki-Laki berkumis tebal itu berlari cepat menge
jar anggota pasukannya. Karena kepandaiannya
masih lebih tinggi, dalam beberapa kali loncatan
saja tubuhnya sudah dapat menangkap lengan
Banja.
"Lepaskan aku! Akan kucari iblis-iblis keji
itu walau sampai ke ujung langit sekalipun!" teriak
Banja sambil berusaha melepaskan pegangan Jaya
Prana.
"Manusia dungu!" bentak Jaya Prana, gu-
sar melihat keadaan Banja. "Siapa yang akan kau
cari?! Apa kau tahu, siapa manusia biadab itu?
Dasar bodoh! Perbuatan tololmu yang tanpa perhi-
tungan ini hanya akan menambah kerumitan saja,
tahu!"
Mendengar bentakan kasar dari pimpinan-
nya, baru terbuka pikiran Banja. Memang benar
apa yang dikatakan pimpinannya itu. Siapa yang
harus dicarinya? Dan bagaimana dapat menemu-
kan orang itu, kalau ia sendiri belum mengenal-
nya. Pikiran itu membuat Banja jatuh terduduk
lemas dan menekap wajah dengan kedua tangan-
nya.
"Maafkan aku, Kakang.... Aku terlalu me-
nuruti amarah," rintih Banja serak dan penuh pe-
nyesalan.
"Sudahlah, Banja. Kau tidak perlu menye-
sali diri. Lebih baik kita cari jalan, bagaimana ca-
ranya agar dapat menemukan pembunuh biadab
itu," hibur Pragola yang sudah berada di dekat
Jaya Prana.
"Maafkan aku, Kakang Pragola. Betapa bo-
dohnya aku telah menuduhmu yang melakukan
perbuatan ini," ucap Banja yang jadi lega ketika
melihat anggukan dan senyum di wajah lelaki ke-
kar berotot itu.
"Bangkitlah. Mari kita pecahkan masalah
ini bersama Pendekar Naga Putih," hibur Pragola
mengajak Banja menemui Panji.
***
TUJUH
"Tangkap dan bunuh pendekar sombong
itu!" teriak lelaki brewok bertubuh kekar tiba-tiba.
Seketika dia melakukan pengejaran. Golok
besar berkilat di tangan kanannya diacung-
acungkan di atas kepala.
Di sebelah kanannya, seorang lelaki gagah
berkumis tebal ikut menyertainya. Sementara be-
berapa langkah di belakang, tampak puluhan laki-
laki berusia sekitar tiga puluh tahun berlari cepat
mengikuti langkah kedua orang itu.
Namun, dua sosok tubuh yang dikejar itu
ternyata memiliki ilmu lari cepat yang tinggi. Se-
hingga, jarak di antara mereka semakin bertam-
bah jauh saja.
Sadar kalau kedua sosok tubuh itu me-
mang memiliki ilmu lari yang demikian tinggi, ma-
ka ketika melewati pintu gerbang, lelaki brewok
yang tak lain Pragola itu bergegas melompat ke
atas punggung kuda. Dan langsung dibedalnya
kuda itu untuk melakukan pengejaran.
Perbuatan Pragola diikuti yang lainnya.
Terdengarlah suara derap bergemuruh yang me-
ninggalkan kepulan debu tebal.
"Hiya.... Hiya...!"
Bentakan-bentakan nyaring yang disertai
ledakan cambuk, ikut mewarnai suara bergemu-
ruh derap kaki kuda.
Pengejaran dengan menunggang kuda ter-
nyata mulai menampakkan hasilnya. Dan me
mang, jarak antara dua sosok tubuh itu dengan
mereka semakin bertambah dekat saja. Tentu saja
hal itu membuat Pragola, Jaya Prana, dan seluruh
anggota pasukannya makin bersemangat.
Tapi, kedua sosok tubuh itu pun ternyata
cukup cerdik. Sadar kalau para pengejarnya su-
dah semakin dekat maka mereka berlari menuju
sebuah hutan lebat.
Pohon-pohon besar yang tumbuh tak bera-
turan itu, membuat gerak langkah kaki kuda agak
terhambat Beberapa kali rombongan pengejar itu
harus menghentikan lari kuda karena terhalang
pohon besar yang tumbuh rapat
Sedangkan dua orang yang dikejar itu enak
saja menyelinap di antara batang-batang pohon.
Maka sebentar saja para pengejar sudah tertinggal
jauh di belakang. Dan tak lama kemudian, kedua
sosok tubuh itu pun lenyap ditelan keremangan
hutan.
"Kurang ajar kau, Pendekar Naga Putih!
Tunggulah! Lain waktu jangan harap berhasil lolos
dari tanganku!" teriak Pragola disertai pengerahan
tenaga dalam, hingga suaranya terdengar jauh ke
dalam hutan.
Setelah berkata demikian, lelaki kekar ber-
wajah brewok itu membalikkan kudanya yang saat
itu terperangkap di tengah semak belukar.
"Bagaimana ini, Kakang? Hari sudah se-
makin gelap. Sedangkan untuk keluar dari hutan
ini, sudah tidak mungkin. Yang jelas, kita akan
kemalaman di jalan," tanya Jaya Prana ketika Pra-
gola menjalankan kudanya menghampiri.
"Kita terus saja. Siapa tahu ada tempat
terbuka yang cukup baik untuk melewatkan ma-
lam," sahut Pragola setelah terdiam beberapa saat
lamanya. Kemudian, ia pun memberi aba-aba ke
pada seluruh rombongan untuk melanjutkan per-
jalanan.
Tanpa diperintah dua kali, seluruh rom-
bongan berkuda itu mulai bergerak mengikuti Pra-
gola dan Jaya Prana. Semak belukar yang meng-
halangi jalan, diterobos seenaknya.
Tak berapa lama kemudian, Pragola dan
Jaya Prana sama-sama mengangkat tangan ka-
nannya ke atas. Kemudian mereka melambai per-
lahan sebagai tanda agar lari kuda diperlambat
"Kita istirahat di sini...!"
Kembali terdengar suara Pragola yang ke-
ras. Kemudian, ia melompat turun dari atas pung-
gung kuda dan berjalan memeriksa daerah seki-
tarnya.
Perbuatan Pragola diikuti Jaya Prana. Le-
laki berkumis tebal itu pun melangkah mengelilin-
gi sisi sebelah kiri. Itu sudah menjadi kebiasaan
Pasukan Garuda apabila hendak bermalam di sua-
tu tempat asing.
Demikian pula dengan anggota pasukan
mereka. Begitu tiba, kedua pasukan itu memecah
dan menyiapkan tenda-tenda darurat dan ranting-
ranting kering untuk membuat api unggun.
Ketika kegelapan sudah mulai turun me-
nyelimuti seluruh permukaan bumi, di sekitar la-
pangan berumput itu telah berdiri sepuluh buah
tenda. Lidah api unggun tampak menjilat-jilat,
menerangi sekitar perkemahan darurat kedua Pa-
sukan Garuda itu.
***
"Hm.... Tidak kusangka kalau orang yang
berjuluk Pendekar Naga Putih demikian angkuh
dan sombong! Ucapannya tadi benar-benar keterlaluan dan sangat merendahkan kita semua. He-
ran! Mengapa orang-orang persilatan demikian
memujanya? Tak habis pikir aku," dengus lelaki
tinggi kekar. Suaranya seperti bernada sangat pe-
nasaran. Dia tampak berdiri tegak, memandangi
api unggun di bawahnya.
"Sebagai seorang pendekar yang sangat di-
kagumi seluruh tokoh persilatan, seharusnya ia
berhati-hati dalam setiap mengucapkan kata-kata.
Bahkan tidak boleh sembarangan menghina orang.
Lenyap sudah seluruh kekagumanku padanya.
Pendekar muda itu benar-benar mengecewakan.
Kalau suatu saat nanti aku kembali berjumpa
dengannya, akan kuberi pelajaran pemuda som-
bong itu!" sambut laki-laki berkumis tebal Dia tak
lain dari Jaya Prana. Ucapannya diakhiri perasaan
geram.
Banja dan Gandira yang saat itu ikut me-
riting mengelilingi api unggun, sama-sama me-
nundukkan wajah dalam-dalam. Sepertinya, ke-
dua lelaki gagah itu masih teringat akan kematian
gurunya yang tidak sempat mereka saksikan. Dan
yang membuat hati bertambah penasaran adalah,
tidak diketahuinya siapa orang yang telah mem-
bantai guru dan saudara-saudara seperguruan
mereka.
"Istirahatlah dulu, Banja, Gandira. Aku
dan Jaya Prana menyusul nanti."
Hanya itu yang bisa diucapkan Pragola.
Karena, ia pun maklum kalau sampai saat itu be-
lum satu pun yang dapat diperbuatnya untuk me-
ringankan kesedihan kedua orang lelaki gagah itu.
"Biarlah, Kakang. Kami berdua sudah se-
pakat untuk melakukan penjagaan malam ini. Ka-
lau memang Kakang berdua sudah merasa lelah,
silakan beristirahat," sahut Gandira.
Laki-laki ini tidak enak, karena telah me-
nuduh Pragola sebagai pembunuh guru dan sau-
dara-saudara seperguruannya. Untunglah Pragola
tidak sampai sakit hati karenanya. Dan tentu saja
hal itu membuat hati Gandira sedikit lega. Maka,
ia pun semakin menaruh hormat kepada lelaki
bertubuh tinggi kekar itu.
"Baiklah kalau begitu. Aku istirahat dulu,"
ujar Pragola yang segera berpamitan dan mema-
suki tenda yang paling bagus di antara tenda-
tenda lain.
Sepeninggal Pragola, Jaya Prana juga ber-
gegas bangkit dari duduknya. Setelah menghela
napas sejenak, kakinya melangkah menuju ten-
danya setelah meninggalkan pesan kepada kedua
orang anak buahnya itu agar berhati-hati.
Kedua lelaki gagah itu sama-sama men-
gangguk hormat kepada pimpinannya. Kemudian
mereka kembali duduk sambil menggosok-
gosokkan telapak tangan di dekat api unggun. Hal
itu dilakukan untuk mengusir hawa dingin.
Malam pun semakin larut. Beberapa orang
anggota Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang berjaga-jaga mulai terserang rasa
kantuk. Hawa yang kian bertambah dingin, mem-
buat mereka berkali-kali menguap.
Banja dan Gandira yang berjaga di dekat
tenda kedua orang pemimpin Pasukan Garuda itu
mendadak bangkit sambil mengedarkan mata ke
sekitarnya. Wajah mereka terlihat menegang.
"Kau dengar suara-suara itu, Gandira...?"
tanya Banja, suaranya terdengar pelahan sambil
meraba gagang pedang yang terselip di pinggang
kanannya.
"Benar! Aku pun mendengarnya. Suara itu
memang seperti suara binatang hutan. Tapi, kalau
memang ditimbulkan binatang-binatang hutan,
mengapa terdengar saling bersahutan? Ini mencu-
rigakan! Jangan-jangan, itu adalah sandi rahasia
dari musuh-musuh kita," timpal Gandira. Lelaki
gagah bertubuh padat berisi ini pun meraba ga-
gang pedang dengan wajah tegang.
"Yaaaooouuu....!"
Kedua orang lelaki gagah itu semakin ber-
tambah curiga ketika kembali dengan jelas me-
nangkap suara-suara mencurigakan itu. Tapi yang
membuat sulit dimengerti, mengapa Pragola dan
Jaya Prana tidak segera keluar dari tendanya. Ra-
sanya, suara itu juga terdengar mereka.
"Mungkin Kakang Pragola dan Kakang Jaya
Prana terlalu lelah, sehingga sudah tertidur sangat
lelap dan kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kau
pergi ke sana, dan bangunkan mereka. Biar aku
yang akan berjaga-jaga di sini," kata Gandira sam-
bil menolehkan kepala ke arah Banja yang saat itu
juga tengah menatap ke arahnya.
"Baik. Hati-hatilah, aku akan segera kem-
bali..."
Begitu ucapannya selesai, tubuh Banja
langsung melesat menuju tenda yang didiami Jaya
Prana.
Sepeninggal Banja, Gandira yang sudah
bersiaga dengan senjata di tangan tiba-tiba tersen-
tak kaget Cepat pedangnya diputar membentuk
gulungan sinar bulat yang melindungi tubuhnya.
Trang! Tring!
Paku-paku halus yang meluncur ke arah-
nya, langsung berjatuhan ke atas tanah. Sambil
tetap memutar pedang, tubuh Gandira mencelat
ke belakang dan langsung melakukan salto bebe-
rapa kali.
"Ada apa, Gandira...?" tiba-tiba saja Banja
yang rupanya mendengar suara ribut itu telah me-
lesat dan berdiri di samping Gandira dengan sen-
jata terhunus.
"Jelas ada orang-orang yang mengintai ki-
ta. Sepeninggalmu tadi, aku diserang senjata ra-
hasia yang berupa paku-paku kecil. Dan aku ya-
kin, senjata rahasia itu past! telah diolesi racun.
Kita harus berhati-hati, Banja. Bagaimana tugas-
mu? Apakah hal ini sudah kau ceritakan kepada
mereka?" tanya Gandira setelah menceritakan ke-
jadian yang menimpanya.
"Dugaanmu ternyata meleset. Ternyata Ka-
kang Pragola dan Kakang Jaya Prana sama-sama
mendengar suara-suara itu. Tapi, mereka berdua
sengaja menunggu di dalam untuk memancing
orang-orang itu keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Rupanya, kedua pemimpin kita itu su-
dah menduga sejak semula. Jadi, tidak perlu kha-
watir tentang keadaan ini," sahut Banja yang tidak
melepaskan pandangannya dari semak belukar di
depannya.
Belum lagi ketegangan di hati mereka le-
nyap, tiba-tiba terdengar jerit kematian yang me-
nyayat langkah mereka yang sudah siap berlari
menuju asal jeritan itu, mendadak terhenti. Seso-
sok bayangan Iain berkelebat cepat mendahului,
setelah meninggalkan pesan kepada Banja dan
Gandira.
'Tetap di tempatmu! Biar aku yang akan
melihatnya...," perintah bayangan itu, yang terus
berkelebat tanpa menunggu jawaban mereka.
Selagi Banja dan Gandira tercenung, tahu-
tahu saja sesosok tubuh lain telah berdiri di bela-
kang mereka.
"Kakang Pragola...," desah Banja dan Gan-
dira berbarengan.
Lega hati mereka begitu mengetahui, siapa
sosok tubuh yang berdiri tegak di belakang itu.
"Tenanglah. Jangan mudah terpancing oleh
kelicikan musuh," ujar Pragola. Melihat sikap te-
nang yang ditunjukkan Pragola, mau tak mau ke-
dua lelaki gagah itu mengerutkan keningnya.
"Kakang. Nampaknya kau sama sekali ti-
dak terkejut oleh kejadian ini? Mengapa?" tanya
Banja menuntut Rupanya, ia tidak bisa menyim-
pan keheranan dan rasa penasaran di hatinya.
"Apa kalian tidak ingat pada kematian San-
tika dan Janaka yang aneh itu? Hal itu terjadi, ka-
rena kita ingin menjumpai dan mengorek keteran-
gan dari mereka," jelas Pragola yang membuat ke-
rutan di kening Banja dan Gandira semakin nyata.
"Maksud, Kakang...?" Gandira yang belum
mengerti ke mana arah pembicaraan Pragola, tak
dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Hm.... Kalian ini benar-benar bodoh!" um-
pat Pragola tanpa maksud menghina. "Itu tan-
danya, musuh-musuh selalu membayangi perjala-
nan kita. Jadi, aku tidak heran kalau malam ini
mereka akan menyerbu kita."
Mendengar keterangan itu, Banja dan
Gandira mengangguk-anggukkan kepala tanda
mengerti. Dugaan yang diajukan Pragola, mem-
buat harapan untuk berhadapan dengan pembu-
nuh guru mereka menjadi terbuka. Mengingat hal
itu, sepasang mata mereka tampak bersinar penuh
semangat.
Pembicaraan mereka terhenti ketika ter-
dengar derap langkah kaki banyak orang menda-
tangi. Mereka adalah anggota Pasukan Garuda
Emas yang hendak menghadap pimpinan.
"Kakang! Para anggota Garuda Hitam yang
dipimpin Kakang Jaya Prana tengah bertarung
melawan puluhan orang-orang berpakaian serba
hitam. Kami kini menunggu perintah. Dan kini Pa-
sukan Garuda Hitam terdesak oleh orang-orang
itu," lapor salah seorang anggota Pasukan Garuda
Emas, lantang.
"Hm, benarkah?! Mengapa bisa demikian?
Siapa sebenarnya musuh-musuh gelap kita ini?"
seru Pragola terkejut.
Laki-laki itu bukan tidak mendengar suara
perkelahian. Tapi, sesuai rencana yang telah di-
atur bersama Jaya Prana, maka ia pun diam saja
menanti perkembangan selanjutnya. Sebab menu-
rutnya, bukan tidak mungkin kalau pasukan mu-
suh itu masih ada yang bersembunyi, menanti me-
reka letih. Saat bantuan musuh datang, barulah ia
dan pasukannya akan datang membantu.
"Kami harus pergi, Kakang Pragola...!" pa-
mit Gandira yang tidak dapat menahan hati meli-
hat lelaki tinggi kekar itu malah termenung.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, kedua
lelaki gagah itu pun melesat ke tempat terjadinya
pertarungan. Gerakan mereka begitu bersemangat
karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui
pembunuh gum dan saudara-saudara sepergu-
ruan mereka.
"Mari kita ke sana...!" perintah Pragola se-
telah tersadar dari lamunannya.
Begitu ucapannya selesai, tubuh tinggi ke-
kar itu langsung melesat menuju tempat perta-
rungan yang tengah berlangsung.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua puluh
orang anggota Pasukan Garuda Emas bergerak
mengikuti pimpinannya. Derap kaki mereka ter-
dengar bergemuruh bagai hendak merobohkan
pohon-pohon di hutan itu.
Pragola langsung menerjunkan diri ke are
na pertempuran yang tengah berlangsung ramai
itu. Hatinya benar-benar terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau lawan-lawannya itu ternyata ra-
ta-rata memiliki kemampuan cukup tinggi. Bah-
kan boleh dikatakan seimbang dengan kemam-
puan para anggota pasukannya. Tentu saja den-
gan kenyataan itu, dia tidak merasa heran melihat
Pasukan Garuda Hitam terdesak. Karena, jumlah
lawan masih lebih banyak daripada anak buah
Jaya Prana yang hanya berjumlah dua puluh
orang.
Melihat kehadiran Pragola dan pasukan-
nya, Jaya Prana dan pasukannya dapat bernapas
lega. Bantuan Pasukan Garuda Emas itu membuat
lawan-lawan kini terdesak mundur. Sehingga,
keadaan pun kini berbalik.
Jaya Prana sendiri mendapat lawan seo-
rang lelaki brewok bertubuh gendut Dia ternyata
cukup tangguh dan dapat bergerak lincah tanpa
terhalang kegemukan tubuhnya. Bahkan pukulan-
pukulan yang dilontarkan sangat berbahaya, se-
hingga pimpinan Pasukan Garuda Hitam harus
mengerahkan seluruh kemampuan untuk menan-
dingi kesaktiannya.
Wuttt!
Pukulan yang meluncur menimbulkan an-
gin berkesiutan itu dielakkan Jaya Prana dengan
memiringkan tubuh sambil menarik kaki kanan ke
belakang. Begitu pukulan lawan lewat, kaki yang
semula ditarik ke belakang, mendadak berbalik.
Langsung dilepaskannya tendangan berputar,
mengancam batang leher lawan.
Lelaki bertubuh gemuk dan berwajah bre-
wok yang tak lain dari Harimau Bukit Munjul,
memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah. Ber-
barengan dengan itu, tangannya yang berbentuk
cakar terulur menangkap kaki Jaya Prana. Gera-
kan itu masih disusul dengan sodokan sikut ka-
nan yang menggedor dada lelaki berkumis lebat
itu.
Bret... Desss!
"Hegkh...!"
Tubuh Jaya Prana terpental mundur diba-
rengi suara kain robek. Namun, lelaki tegap itu
memang tidak percuma sebagai pimpinan Pasukan
Garuda Hitam. Maka tubuhnya cepat bergulingan
menghindari serangan susulan lawan
Setelah terbebas dari ancaman, tubuh Jaya Prana
melenting bangkit dan agak tertatih-tatih. Kaki
kanannya tampak mengalirkan darah akibat caka-
ran kuku lawan. Wajahnya pun tampak menyerin-
gai kesakitan Di sela bibirnya, mengalir cairan me-
rah. Rupanya sodokan sikut lawan pada dadanya,
telah mengakibatkan luka dalam yang cukup pa-
rah!
***
"He he he.... Hanya sampai sedemikiankah
kepandaian yang dimiliki pimpinan Pasukan Ga-
ruda Hitam?" ejek Harimau Bukit Munjul yang
bernama asli Juraga, sambil bertolak pinggang.
"Hm.... Jangan sombong dulu, Kisanak.
Boleh kau saksikan kehebatan Pasukan Garuda
Hitam sekarang," geram Jaya Prana sambil mena-
tap lawan dengan sorot mata tajam.
Perlahan-lahan lelaki gagah berkumis lebat
itu melangkah mundur. Tiba-tiba, terdengar teria-
kannya yang membahana. Teriakan itu merupa-
kan perintah bagi anggota pasukannya untuk
membentuk barisan.
"Kawan-kawan, mundur...!" seru Jaya Prana memerintah. "Bentuk barisan dalam jajaran
'Garuda Hitam Membentang Sayap'...!"
Setelah berkata demikian, ia sendiri sudah
berdiri tegak dengan sikap kuda-kuda bersilang.
Kedua tangannya terkembang ke kiri kanan me-
nyerupai sepasang sayap garuda.
Sedangkan para anggota pasukannya ter-
masuk Banja dan Gandira, sudah berlari ke arah
belakang Jaya Prana. Tak lama kemudian, terben-
tuklah bentuk barisan yang dimaksud.
Dua puluh orang anggota Pasukan Garuda
Hitam berbaris rapi berlapis dua di kiri kanan
Jaya Prana. Kuda-kuda maupun bentuk tangan
mereka tidak berbeda dengan pemimpinnya.
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan keras yang merupakan
aba-aba, tubuh Jaya Prana dan sepuluh barisan
terdepan meluruk maju menyerbu lawan-
lawannya.
Harimau Bukit Munjul dan kawan-
kawannya yang semula memandang rendah bari-
san itu, terkejut bukan main. Barisan terdepan
yang menerjang maju itu mendadak bergulingan
secara tak terduga. Pada saat Juraga dan kawan-
kawan belum mengerti apa yang hendak dilaku-
kan lawan, sepuluh orang yang berada di barisan
belakang melesat melampaui kepala barisan ter-
depan yang tengah bergulingan. Langsung diki-
rimkan serangan dengan menggunakan senjata
mereka.
Terdengar jeritan-jeritan kematian yang
merobek udara malam itu. Jeritan itu disusul oleh
robohnya delapan orang kawan Harimau Bukit
Munjul, dengan tubuh berlumuran darah.
Sedangkan tokoh sesat berwajah brewok
berperut gendut itu sendiri sudah melompat mundur menghindari tebasan Banja yang mengancam
leher. Belum lagi Harimau Bukit Munjul dapat
menarik napas lega, tahu-tahu saja tubuh Jaya
Prana yang masih bergulingan itu melenting dan
langsung membabatkan senjata secara mendatar.
Wuttt!
"Akh...!"
Bukan main terkejutnya hati Harimau Bu-
kit Munjul mendapat serangan tak terduga itu.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang dan
melakukan beberapa kali salto di udara untuk
menjauhi lawan-lawannya.
Sayang, Harimau Bukit Munjul belum
mengetahui keistimewaan pasukan inti Kerajaan
Cadas Putih itu. la yang merasa yakin bisa terbe-
bas dari ancaman maut itu, kembali terbelalak
pucat. Baru saja kakinya menginjak tanah, dua
batang pedang yang digerakkan Banja dan Jaya
Prana sudah mengancam dari bawah ke atas.
Wuttt... Brettt!
"Akh...!"
Meskipun Harimau Bukit Munjul telah be-
rusaha menyelamatkan diri, tak urung bahu ka-
nannya terkena sambaran ujung pedang Banja
yang berputar mengejutkan. Belum lagi rasa terke-
jutnya hilang, sebuah tendangan keras membuat
tubuh gendut itu terjungkal, jatuh berguling-
guling.
"Bangsat..! Kubunuh kalian semua...!" te-
riak Harimau Bukit Munjul dengan kemarahan
yang menyesakkan dadanya.
Sepasang mata Juraga yang kemerahan itu
menatap tajam ke arah Pasukan Garuda Hitam
yang sudah membentuk barisan semula. Diam-
diam hati lelaki gendut itu sempat bergetar meli-
hat keangkeran barisan 'Garuda Hitam Membentang Sayap' yang dibentuk lawan-lawannya. Ha-
tinya masih ngeri membayangkan, betapa ia ham-
pir saja kehilangan nyawa akibat barisan itu.
Pasukan Garuda Hitam dalam bentuk
'Garuda Hitam Membentang Sayap' terlihat mulai
bergerak maju. Gerak langkah mereka terlihat te-
ratur rapi. Jelas, barisan itu memang sudah terla-
tih baik.
***
DELAPAN
Di arena lain, Pasukan Garuda Emas pun
sudah pula merobohkan banyak lawan. Pragola
yang juga membentuk barisan dalam posisi 'Paruh
Garuda', berhasil menguasai pertempuran. Se-
hingga, dalam waktu yang singkat kedua Pasukan
Garuda telah dapat mengendalikan lawan-
lawannya.
"Mundur...!" lelaki tinggi kurus yang wa-
jahnya dipenuhi bopeng, berteriak keras.
Setelah berteriak, ia sendiri telah melompat
mundur sejauh dua tombak. Di wajahnya tampak
seringai kesakitan. Dari gerak tangannya yang
mengurut-urut dada, jelas kalau lelaki bopeng itu
telah mendapat luka. Kalau melihat sinar matanya
yang menatap Pragola, bisa ditebak, dia telah me-
nerima pukulan dari pemimpin Pasukan Garuda
Emas.
Kawan-kawan si muka bopeng langsung
berlompatan mundur, meninggalkan kawan-
kawannya yang terluka ataupun tewas di tangan
Pasukan Garuda Emas. Belasan orang yang ter-
nyata masih berusia muda itu berkerumun di be-
lakang pemimpinnya. Siapa lag} lelaki tinggi kurus
berwajah bopeng itu kalau bukan Jerangkong Bu-
kit Karang! Rupanya tokoh ini bersekutu dengan
Harimau Bukit Munjul.
Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang telah membentuk posisi masing-
masing, terus bergerak maju mengurung lawan-
lawannya. Gerakan langkah kaki mereka yang ter-
lihat mantap dan ringan, membuat Harimau Bukit
Munjul dan kawan-kawan bergerak mundur den-
gan wajah tegang. Jelas, mereka merasa gentar
untuk menghadapi kedua barisan yang memang
sangat ampuh itu.
"Hm.... Jelas sudah semua persoalan ini
bagiku sekarang. Kalianlah yang telah membantai
Perguruan Tinju Selatan. Sayang, kelicikan kalian
itu tidak sampai membuat kami saling bunuh.
Dan kini, kalian semua harus menerima balasan-
nya!" tegas Pragola setelah melihat bentuk tubuh
dan raut wajah Harimau Bukit Munjul.
Kalau dilihat sepintas, jelas mereka me-
mang hampir mirip satu sama lain. Maka wajar
saja kalau kedua orang murid Perguruan Tinju Se-
latan salah memberi keterangan.
"Ya! Akulah yang telah menghabisi nyawa
tua bangka itu beserta murid muridnya. Sayang,
kedua orang bodoh itu tidak berhasil membuat ka-
lian saling bunuh. Jadi, nyawa mereka terpaksa
kuhabisi sekalian," sahut Harimau Bukit Munjul
membeberkan persoalannya.
Dan memang, menurutnya tidak ada gu-
nanya lagi menyembunyikan perbuatan itu. Dan
keterusterangan nya itu dimaksudkan agar kema-
rahan lawannya terpancing. Siapa tahu saja den-
gan kemarahan itu, barisan lawan menjadi kacau.
Apa yang diharapkan Harimau Bukit Mun
jul yang juga bernama Juraga, hampir menjadi
kenyataan. Banja dan Gandira yang mendengar
penuturan itu langsung saja bergerak maju den-
gan wajah penuh dendam. Kedua orang lelaki ga-
gah itu siap meninggalkan barisannya, untuk
membalas kematian guru dan saudara-saudara
seperguruan mereka.
"Banja, Gandira, mundur...!" Jaya Prana
yang melihat kelakuan kedua orang anggota pasu-
kannya itu, cepat mencegah. "Kembali ke tempat-
mu, atau perjalanan kita selama ini akan sia-sia!"
'Tapi, Kakang.... Aku..., aku harus memba-
las kematian guru dan saudara-saudara sepergu-
ruanku.... Iblis keji itu harus kucincang hancur
tubuhnya...," ragu-ragu Banja membantah perin-
tah pimpinannya. Suaranya terdengar bergetar
dan tersendat-sendat
"Bodoh! Dia sengaja memancing amarah-
mu, agar kau meninggalkan barisan. Itu yang di-
inginkannya, Banja! Manusia itu sangat licik dan
keji. Ia masih juga ingin memancing kemarahan-
mu, setelah fitnah yang dilemparkan kepada Pra-
gola, tidak membuat kita saling bunuh. Jelas ma-
nusia ini sengaja mengadu domba. Aku rasa per-
buatannya ini pasti mempunyai hubungan yang
erat dengan hilangnya Tongkat Pualam Putih!" se-
ru Jaya Prana tak sabar melihat keraguan di wa-
jah Banja dan Gandira.
Harimau Bukit Munjul maupun Jerang-
kong Bukit Karang tidak ingin menyia-nyiakan ke-
sempatan baik itu. Sebab, kalau Banja dan Gandi-
ra sudah kembali memasuki barisan, akan sulit
bagi mereka untuk dapat menyelamatkan diri dari
keganasan Pasukan Garuda itu.
"Serbu...!"
Dibarengi teriakan keras dari Harimau Bu
kit Munjul dan Jerangkong Bukit Karang, maka
puluhan pemuda di bawah pimpinannya meluruk
maju. Suara-suara teriakan mereka yang gegap-
gempita, terdengar riuh-rendah mengejutkan
penghuni hutan.
Untunglah saat itu Banja maupun Gandira
sadar akan perbuatan bodoh mereka. Maka cepat
keduanya melompat dan memasuki barisan. Begi-
tu barisan telah terbentuk seperti semula, kedua
barisan itu bergerak maju menyambut serangan
lawan-lawan. Hebatnya, meskipun menghadapi
pertempuran kacau, Pasukan Garuda tetap tersu-
sun rapi. Sehingga, lawan-lawannya hanya bisa
bermain mundur. Sebab apabila nekat maju, su-
dah pasti nyawa mereka akan melayang mening-
galkan raga.
Selagi kedua Pasukan Garuda itu mende-
sak lawan, tiba-tiba bertiup angin yang amat kuat
Dan belum juga ada yang menyadari, dua sosok
tubuh berpakaian merah dan hitam telah melesat
mengiringi tiupan angin kuat itu.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat! Pasukan Ga-
ruda ternyata memang bukan nama kosong!" seru
suara menggelegar yang berasal dari sosok berpa-
kaian merah. Sambil berseru demikian, kedua
tangannya mengibas ke kiri kanan.
Wusss! Wusss!
Hebat sekali akibat kibasan tangan yang
kelihatannya perlahan itu! Barisan Garuda Emas
yang dipimpin Pragola seketika terpukul mundur
dan berjatuhan bagai dihempas badai!
Pasukan Garuda Hitam yang dipimpin Jaya
Prana pun mengalami nasib serupa. Barisan
'Garuda Hitam Membentang Sayap'nya, kontan
kocar-kacir akibat amukan sosok berpakaian hi-
tam yang mengobat-abitkan lengan bagaikan
orang mengusir lalat.
Namun sebagai prajurit-prajurit yang terla-
tih baik, para anggota kedua Pasukan Garuda itu
bergegas bangkit meskipun agak terhuyung.
Sayang, sebelum mereka sempat membentuk bari-
san lagi, kedua orang aneh itu langsung mener-
jang maju. Jelas, orang berpakaian hitam dan me-
rah itu tidak ingin memberi kesempatan kepada
kedua Pasukan Garuda untuk menyusun kekua-
tan.
"Mundur...!"
Pragola yang menyadari datangnya bahaya,
cepat berteriak memperingatkan anggota pasu-
kannya. Sedangkan ia sendiri yang merasa ber-
tanggung jawab penuh atas keselamatan setiap
anggotanya, sudah melompat maju dengan kiba-
san senjatanya.
Orang berjubah merah yang mengacau-
balaukan pasukan Pragola, hanya mendengus me-
lihat serangan laki-Laki brewok itu. Tanpa mem-
pedulikan sambaran pedang yang mengancam
punggung, dia terus saja melanjutkan pukulan ke
arah dua orang anggota Pasukan Garuda Emas.
Bukkk! Desss!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan ngeri ketika pukulan
yang dilancarkan lelaki berjubah merah itu tepat
menghantam dada korbannya. Disertai semburan
darah segar yang memercik membasahi bumi, tu-
buh kedua orang malang itu terpental dan melam-
bung tinggi bagai dilempar sebuah kekuatan rak-
sasa.
Setelah menyelesaikan serangannya, sosok
berjubah merah itu bam menggeser kakinya ke
samping. Langsung dilepaskannya sebuah puku-
lan dengan telapak tangan terbuka ke dada Prago
la.
Bukkk!
"Hugkh...!"
Pragola terbatuk keras ketika telapak tan-
gan lawan yang bagaikan palu godam itu telak
menghajar dadanya. Bagai dihentakkan tangan
raksasa, tubuh lelaki tinggi besar itu tersentak de-
ras ke belakang.
"Hup...!"
Tubuh Pragola yang meluncur deras itu ti-
dak sampai jatuh ke atas tanah. Tiba-tiba sepa-
sang lengan halus sosok ramping berpakaian ser-
ba hijau telah melesat dan menangkapnya di uda-
ra.
"Kenanga...!" desah Pragola bersyukur me-
lihat kedatangan wanita jelita yang digdaya itu.
"Maafkan aku, Paman. Aku datang terlam-
bat..." ucap Kenanga setelah merebahkan tubuh
Pragola di atas rerumputan tebal.
'Tidak apa. Mana Pendekar Naga Putih...?"
tanya Pragola begitu tidak melihat Panji dekat ga-
dis jelita itu.
'Tenanglah, Paman. Kakang Panji telah be-
rada di antara kita. Sekarang, ia tengah bertarung
melawan lelaki tua berpakaian hitam. Orang itu
dipanggil Paman Jaya Prana dengan nama Ki
Sempana. Apakah Paman juga mengenalnya?"
tanya Kenanga sambil menyerahkan sebutir obat
luka yang diambil dari dalam buntalan pakaian-
nya.
"Ki Sempana...!? Ah, pantas saja Tongkat
Pusaka Keramat itu dapat dicuri. Tak tahunya, dia
ikut membantunya. Untunglah kalian berdua ber-
sedia membantu kami Kalau tidak, mungkin
hanya nama kami sajalah yang akan kembali ke
istana," kata Pragola, setelah menelan pil yang di
berikan kepadanya.
"Hm.... Aku pun sudah mendengar hal itu
dari Paman berdua ketika merencanakan siasat ini
di Perguruan Tinju Selatan. Sayang, rencana kita
tidak semulus apa yang dibayangkan. Sehingga,
beberapa orang anggota pasukan Paman dan Pa-
man Jaya Prana harus menjadi korban. Sebaiknya
Paman beristirahat saja dulu. Biar aku yang
menghadapi orang berbaju merah itu," ujar Ke-
nanga yang segera bangkit meninggalkan Pragola.
Setelah menoleh kepala ke arah pertarun-
gan yang tengah berlangsung antara Panji dan Ki
Sempana, Pragola memejamkan matanya untuk
memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam-
nya. Sikapnya bersemadi, untuk menghimpun ha-
wa murni.
Saat itu, pertarungan antara Panji mela-
wan Ki Sempana tengah berlangsung sengit Jaya
Prana dan sisa anggota pasukannya terpaksa
menjauhi arena pertarungan. Dan memang, angin
pukulan yang ditimbulkan kedua orang tokoh sak-
ti itu dapat menewaskan mereka. Sehingga, perta-
rungan itu terpaksa disaksikan dari tempat yang
agak jauh.
Pertempuran yang sudah melewati seratus
jurus itu nampak semakin seru dan menegangkan.
Sadar kalau lawan tidak mungkin dapat ditun-
dukkan begitu saja, maka Panji pun mulai menge-
rahkan ilmu simpanannya.
"Haiiit..!"
Sebuah pukulan yang meluncur ke arah
dadanya, berhasil dihindari Pendekar Naga Putih
dengan jalan melempar tubuh jauh ke belakang.
Begitu kakinya menjejak tanah, pemuda tampan
itu langsung menggeser kakinya membentuk ku-
da-kuda bagai menunggang kuda.
"Hmh...!"
Disertai geraman yang mengguncangkan isi
dada, kedua tangan pendekar muda itu bergerak
naik dalam bentuk cakar naga. Kemudian, kedua
tangan itu mengembang di depan dada.
Ki Sempana yang melihat betapa lawannya
mulai mengeluarkan jurus-jurus andalan, segera
menarik keluar sebatang suling berwarna putih
dari selipan pinggangnya.
Swingngng!
Terdengar lengkingan tinggi rendah ketika
suling di tangan kakek berusia tujuh puluh tahun
itu bergerak cepat turun naik.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan dahsyat, tubuh Panji
meluruk ke arah lawannya. Sepasang tangannya
berputaran cepat saat melancarkan serangan ber-
tubi-tubi.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran hawa dingin yang membuat be-
ku tubuh lawan, menyertai sambaran tangan Pen-
dekar Naga Putih. Dalam beberapa jurus saja, Ki
Sempana dibuat terkejut Karena tubuhnya terasa
bagai dikelilingi dinding-dinding salju yang amat
dingin. Tentu saja keadaan itu membuat gerakan-
nya terhalang dan tidak bisa bergerak cepat.
"Heaaa...!"
Sadar kalau dibiarkan terlalu lama bisa
membahayakan, Ki Sempana berteriak menggun-
tur untuk mengusir hawa dingin yang mempenga-
ruhi gerakannya. Sepasang tangannya mengibas
ke kiri kanan dengan pengerahan tenaga sepe-
nuhnya. Gerakan itu dilakukan dalam sikap tu-
buh miring. Maksudnya, sekaligus untuk meng-
hindari hantaman tangan kanan lawan.
Bettt!
Cakaran Pendekar Naga Putih yang lewat
sejengkal di depan tubuhnya, langsung disambut
sebuah hantaman suling di tangan kanannya.
Wuttt!
Dengan menggunakan jurus 'Naga Sakti
Memutar Ekor', tubuh pemuda berjubah putih itu
meliuk rendah menghindari sambaran suling yang
memperdengarkan suara mencicit tajam. Dan se-
belum Ki Sempana sempat menarik pulang tan-
gannya, tahu-tahu saja tubuh Panji berputar dis-
ertai sebuah tendangan kilat yang meluncur men-
gancam batang leher.
Desss!
"Akh...!"
Tubuh kakek itu melintir meskipun ten-
dangan Panji berhasil dielakkan, dan hanya
menghantam bahu kirinya. Kesempatan baik itu
tidak disia-siakan begitu saja oleh Pendekar Naga
Putih. Saat itu juga, tubuh Panji langsung melesat
disertai dorongan sepasang telapak tangannya.
Wusss.... Desss!
"Waaa...!"
Terdengar jeritan kesakitan ketika sepa-
sang telapak tangan yang mengandung 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' menggedor dada Ki Sempa-
na. Tubuh lelaki tua itu tersentak ke belakang
dengan amat kuatnya.
Brukkk!
"Ougkh...!"
Ki Sempana mengerang kesakitan. Tubuh
tuanya yang terbanting keras di atas tanah, tam-
pak berkelojotan dengan kedua tangan menekap
dada. Dari mulutnya, mengalir darah segar yang
menggenang membasahi tanah di bawah kepala.
"Ikat orang tua itu...!" Jaya Prana cepat
memerintah kepada para anggota pasukannya untuk segera menangkap Ki Sempana.
Laki-laki berkumis tebal itu sendiri tidak
tinggal diam. Tubuh tegapnya berkelebat meng-
hambur ke arah Ki Sempana yang terbaring lemah
akibat luka dalam yang dideritanya.
Panji yang merasa lelah setelah melakukan
pertempuran hampir dua ratus jurus melawan Ki
Sempana, menolehkan kepala ke arah pertarun-
gan lain. Tubuhnya segera melesat ketika melihat
Kenanga tengah terdesak hebat melawan seorang
laki-laki tinggi gagah yang mengenakan pakaian
serba merah.
"Haittt..!"
Begitu tiba, Panji langsung mengirimkan
pukulan telapak tangannya untuk memapak tu-
sukan jari tangan orang itu yang tengah mengan-
cam kekasihnya.
Plakkk!
"Ugkh...!"
Ledakan keras yang timbul akibat perte-
muan dua gelombang tenaga sakti yang dahsyat
membuat tubuh Panji maupun orang berjubah
merah itu terpental ke belakang. Tapi, baik Panji
maupun lawannya dapat mematahkan daya lun-
cur itu dengan bersalto di udara beberapa kali.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pan-
ji langsung menyedot napas dalam-dalam. Kemu-
dian, dia menghembuskannya disertai dorongan
kedua telapak tangannya ke depan. Gerakan itu
dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perte-
muan tenaga yang sempat menggetarkan bagian
dalam dadanya.
Selesai berbuat demikian, Pendekar Naga
Putih berdiri tegak menatap tajam lawannya.
Sempat terlihat orang berjubah merah itu juga me-
lakukan hal yang sama dengannya. Jelas, orang
berjubah merah itu merasakan juga akibat tangki-
san Panji tadi.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih, Kisanak?" tanya orang berjubah merah itu
memastikan.
Sambil berkata demikian, sorot matanya
yang mencorong tajam meneliti sekujur tubuh
Panji. Sepertinya, orang itu tengah menilai Pende-
kar Naga Putih yang telah mengguncangkan dunia
persilatan itu.
'Tidak salah. Dan kalau boleh kutahu, sia-
pakah kau sebenarnya, Kisanak? Mengapa kau
sembunyikan wajahmu di balik kain merah itu?
Apakah kau merasa malu karena wajahmu bu-
ruk?" Panji malah balik bertanya. Sengaja dilon-
tarkannya kata-kata bernada mengejek untuk
memancing lawannya agar membuka rahasia di-
rinya.
"Hm.... Siapa adanya aku, itu bukan uru-
sanmu! Yang perlu diketahui adalah, aku tidak
menyukai orang yang sok pahlawan! Apa tujuan-
mu mencampuri urusan orang lain?" dengus orang
berjubah merah itu tajam. Tatapan matanya pun
berubah penuh kebencian kepada pemuda tampan
di hadapannya.
"Kakang, untuk apa banyak bertanya lagi?
Tangkap saja orang itu, dan serahkan kepada Pa-
man Pragola dan Paman Jaya Prana," tegur Ke-
nanga yang merasa tidak sabar melihat kekasih-
nya malah berbincang dengan orang berjubah me-
rah yang jelas-jelas seorang tokoh sesat
Orang berjubah merah itu melirik sejenak
ke tempat Ki Sempana yang tengah terduduk le-
mah dengan tangan dan kaki terikat Sepertinya,
dia menyadari kalau keadaannya tidak mengun-
tungkan. Maka, ia pun segera melangkah mundur
perlahan-lahan.
"Hm.... Kalian akan menyesal kalau telah
mencampuri urusan ini!" ancam orang itu.
Dia terus melangkah mundur, walaupun
matanya masih menatap tajam Pendekar Naga Pu-
tih. Sepertinya perhatian Panji dan Kenanga sen-
gaja hendak dialihkan lewat ucapan-ucapannya.
Pada saat tubuhnya telah terpisah jauh da-
ri Panji, tiba-tiba orang berjubah merah itu berba-
lik dan melesat pergi disertai perintahnya kepada
Harimau Bukit Munjul dan kawan-kawannya.
"Tinggalkan tempat ini...!" seru orang ber-
jubah merah itu sambil melarikan diri.
Harimau Bukit Munjul dan yang lainnya
pun sadar akan keadaan mereka. Maka tanpa di-
perintah dua kali, ia dan kawan-kawannya pun
segera berlari meninggalkan tempat itu.
"Hei, jangan lari...!" teriak Panji yang segera
melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk
mengejar orang berjubah merah itu.
"Tangkap mereka...!" Pragola yang sudah
sembuh dari lukanya, berseru memerintah pasu-
kannya untuk segera mengejar Harimau Bukit
Munjul dan kawan-kawannya.
"Cegah mereka...!" Jaya Prana pun tidak
tinggal dam. Ia dan anggota pasukannya bergegas
ikut mengejar.
Karena untuk menyelamatkan diri sudah
tidak mungkin, maka Harimau Bukit Munjul dan
Jerangkong Bukit Karang, memerintahkan kawan-
kawannya untuk melakukan perlawanan.
Tanpa dapat di cegah lagi, pertempuran
pun kembali berkecamuk. Denting senjata dan je-
rit kematian mewarnai pertempuran sengit itu.
Darah segar pun kembali mengalir membasahi re-
rumputan hijau.
Di tempat lain, Panji tengah mengejar
orang berjubah merah yang merupakan pimpinan
gerombolan pengacau itu. Pendekar Naga Putih
mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk
dapat menyusul lawan. Diam-diam hati pendekar
muda itu merasa penasaran ketika mendapat ke-
nyataan kalau ilmu kepandaian lari lawan, ternya-
ta tidak kalah dengan ilmu lari yang dimilikinya.
Setelah agak lama kejar-kejaran yang mele-
lahkan itu berlangsung, Panji mulai dapat mem-
perpendek jarak di antara mereka. Hingga akhir-
nya, dapat menyusul orang berjubah merah itu ke-
tika mereka melintasi padang rumput yang cukup
luas.
"Haiiit..!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pende-
kar Naga Putih melambung melewati kepala lawan.
Kemudian, kakinya mendarat ringan sejauh satu
setengah tombak di hadapan lawan.
"Jangan harap dapat meloloskan diri dari
tanganku, Kisanak!" tegas Panji yang segera mem-
balikkan tubuhnya menghadapi orang berjubah
merah itu.
"Bedebah! Rupanya kau memang benar-
benar ingin mati, Pendekar Naga Putih! Sambutlah
seranganku...!" bentak orang berjubah merah itu
dengan penuh kemarahan.
Berbarengan dengan suara bentakan, tu-
buhnya pun meluncur ke arah Pendekar Naga Pu-
tih dengan serangan ganas dan berbahaya.
Bettt! Bettt!
Dua kali pukulan lawan dihindari Panji
dengan menarik mundur tubuhnya ke belakang.
Pemuda itu terlihat agak hati-hati ketika menden-
gar suara mencicit tajam yang ditimbulkan samba-
ran pukulan lawan Sebab, orang yang sudah memiliki sambaran pukulan seperti itu sudah pasti
memiliki tenaga dalam tinggi dan berbahaya.
Panji masih saja mengelak ketika orang
berjubah merah itu melontarkan tendangan kilat
menuju lambungnya. Cepat pemuda itu menarik
mundur kaki kanannya dengan sikap tubuh
doyong ke belakang. Maka sambaran tendangan
lawan hanya lewat beberapa jengkal di atas kepa-
lanya. Belum lagi orang itu sempat menarik pu-
lang tendangannya, tiba-tiba saja tubuh Panji su-
dah berputar cepat disertai tendangan berputar
yang mengancam dada orang itu.
Wuttt!
Plakkk!
Panji terhuyung ke belakang ketika orang
itu mengangkat tangan untuk menangkis seran-
gan kakinya. Hal itu bukan karena tenaga lawan
lebih kuat, tapi karena pada saat menendang, si-
kap kuda-kudanya lebih lemah dari lawan.
Pertarungan sengit pun kembali berlanjut
Kedua orang tokoh yang ternyata sama-sama me-
miliki kepandaian tinggi saling serang dan saling
mendesak hebat Beberapa batang pohon langsung
tumbang akibat sambaran pukulan mereka yang
nyasar.
Pertempuran yang terus bergeser itu mem-
buat daerah di sekitarnya porak-poranda bagaikan
diamuk badai. Batu-batu besar dan kecil beter-
bangan akibat sambaran kaki mereka yang men-
gandung kekuatan hebat.
"Haaat..!"
Memasuki jurus yang kesembilan puluh
enam, tiba-tiba orang berjubah merah itu berseru
keras disertai dorongan sepasang telapak tangan
ke arah tubuh Panji.
Wusss! Darrr!
Semak perdu yang berada dua tombak di
belakang pemuda itu langsung berhamburan aki-
bat hantaman pukulan orang berjubah merah. Un-
tunglah, Panji masih sempat menyelamatkan di-
rinya. Kalau tidak, tubuhnya akan luluh lantak
akibat pukulan yang mengandung kekuatan rak-
sasa itu. Buktinya, tanah tempat Pendekar Naga
Putih berpijak tadi langsung berlubang dalam.
Ketika angin pukulan yang amat kuat itu
lewat beberapa jengkal di samping tubuhnya, Pen-
dekar Naga Putih pun langsung melompat disertai
pukulan telapak tangan yang menimbulkan sam-
baran angin dingin.
Wuttt! Wuttt!
Angin dingin seketika bertiup, bagai hen-
dak merobohkan pepohonan di hutan itu. Setelah
berputar, telapak tangan Pendekar Naga Putih
langsung melontarkan pukulan jarak jauh.
Wusss!
Merasakan sambaran angin dingin yang
amat kuat mengancam dirinya, lelaki bertubuh
sedang yang mengenakan jubah merah itu berge-
gas menyedot udara sebanyak-banyaknya. Kemu-
dian, dengan pengerahan seluruh tenaga saktinya,
orang berjubah merah itu mendorongkan telapak
tangan ke depan menyambut serangan Pendekar
Naga Putih. Dan....
Wusss!
Blarrr!
Bumi di sekitar tepi hutan itu bagaikan di-
guncang gempa yang amat hebat Dua gelombang
tenaga sakti yang maha dahsyat itu saling ber-
tumbukan di udara, sehingga menimbulkan leda-
kan yang menulikan telinga.
Akibat yang dialami kedua orang itu pun
tidak kalah hebatnya. Tubuh keduanya terlempar,
bagaikan sehelai daun kering yang tertiup angin.
Tubuh Panji maupun orang berjubah merah itu
terlempar menabrak sebatang pohon besar hingga
daun-daunnya berguguran bagai dilanda seekor
gajah. Kemudian tubuh mereka melorot jatuh ba-
gaikan sehelai karung basah.
"Kau.... Kau hebat, Pendekar Naga Putih...!"
puji orang berjubah merah itu tulus.
Kemudian tangan orang berjubah merah
itu bergerak melepas kain yang menutupi sebagian
wajahnya. Nampaklah wajah seorang laki-Laki ga-
gah berusia sekitar tiga puluh tahun. Dihapusnya
lelehan darah yang membasahi seta bibirnya.
"Kau pun hebat Kisanak," ujar Panji me-
muji lawannya sungguh-sungguh.
Memang, jarang sekali Pendekar Naga Pu-
tih mendapat lawan yang benar-benar tangguh se-
perti sekarang ini. Panji jadi menyayangkan, men-
gapa orang yang memiliki kepandaian setinggi itu
harus melakukan kejahatan. Alangkah baiknya
kalau kepandaiannya digunakan untuk kebaikan.
Kedua laki-Laki yang terbaring lemah itu sama-
sama memalingkan wajah ketika mendengar suara
banyak langkah yang mendekati tempat itu.
Rupanya Jaya Prana dan Pragola yang
membawahi Pasukan Garuda juga telah berhasil
meringkus Harimau Bukit Munjul, Jerangkong
Bukit Karang dan kawan-kawannya. Dan sambil
membawa tawanan, mereka menghampiri Pende-
kar Naga Putih dan orang berjubah merah itu.
"Tidak usah kalian takut! Aku sudah tidak
mempunyai daya lagi untuk melakukan perlawa-
nan," ujar orang berjubah merah itu lemah.
"Kau.... Bukankah kau Pendekar Karang
Jatra yang merupakan pengawal pribadi Gusti
Pangeran Dwipa Sura?" tanya Pragola hampir tak
mempercayai pandangannya.
Rupanya baik Pragola maupun Jaya Prana
bukan terdiam karena takut, melainkan tengah
menegasi wajah lelaki gagah berjubah merah itu.
"Benar! Dan aku pulalah yang telah men-
curi Tongkat Pualam Putih atas perintah junjun-
ganku yang ingin menguasai Kerajaan Cadas Pu-
tih. Dan Tongkat Pualam Putih menurutnya dapat
membuat keinginannya cepat terlaksana. Semua
ini kukatakan bukan karena mengharap keringa-
nan hukuman. Sama sekali tidak. Tapi, aku be-
nar-benar sadar akan kesalahanku selama ini.
Dan itu semua kusadari setelah bertemu Pendekar
Naga Putih," sahut Pendekar Karang Jatra yang
kemudian menolehkan kepala ke arah Panji. "Aku
iri kepadamu, Pendekar Naga Putih."
Panji yang luka dalamnya sudah tidak be-
gitu terasa setelah menelan obat yang diberi Ke-
nanga, bergegas bangkit dan tersenyum kepada
Pendekar Karang Jatra. Senyum Pendekar Naga
Putih bukan karena rasa bangga atas sanjungan
itu, melainkan karena mendengar kesadaran to-
koh itu akan kesesatannya selama ini.
Pragola dan Jaya Prana melangkah ke arah
Panji setelah mengikat tubuh Pendekar Karang Ja-
tra terlebih dahulu.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih
atas bantuanmu yang sangat besar ini, Panji. Sia-
sat yang kau atur, ternyata berjalan lancar. Mere-
ka benar-benar muncul setelah kau menghilang
dalam pengejaran. Bahkan bukan hanya begun-
dalnya saja. Para tokohnya pun dapat pula seka-
lian terjaring," jelas Pragola, sambil tersenyum dan
mengangguk hormat pada Panji dan Kenanga.
"Kami akan membawa para tawanan ini ke
Istana Cadas Putih. Mengenai Tongkat Pualam putih, akan kami urus kelak bersama para pembesar
kerajaan lain Apakah kau bersedia ikut bersama
kami untuk menghadap Gusti Prabu Aria Winata?
Aku yakin, beliau pasti akan senang menerima
kedatanganmu. Dan selain itu, kau pun patut
mendapat imbalan sebagai tanda terima kasih
sang Prabu. Bagaimana, Panji?" kata Jaya Prana
menawarkan.
"Terima kasih, Paman. Sayang, kami tidak
bisa meluluskan permintaan itu. Dan karena per-
soalan ini sudah selesai, maka kami berdua mo-
hon pamit".
Usai berkata demikian, Panji menggenggam
jemari kekasihnya dan mengajaknya meninggal-
kan tempat itu.
Pragola dan Jaya Prana hanya dapat mena-
rik napas melihat kepergian pasangan pendekar
muda itu. Baru setelah bayangan kedua orang
yang menimbulkan rasa kagum di hati mereka le-
nyap, keduanya pun meninggalkan tempat itu
sambil membawa para tawanan.
Angin pagi bertiup lembut mengiringi lang-
kah kaki Pasukan Garuda Hitam dan Pasukan Ga-
ruda Emas yang berhasil menunaikan tugasnya
dengan gemilang. Perlahan kemudian, sinar mata-
hari pun mulai menyeluruh menghangatkan per-
mukaan bumi. Pagi tampak cerah, diwarnai cericit
burung di atas dahan-dahan pepohonan
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar