Hak cipta dan copy right pada penerbit di
bawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak se-
bagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit.
SATU
SEKELEBAT bayangan tiba-tiba melintas di
tengah pertarungan. Wuuuut...! Bayangan itu me-
nyambar seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas
tahun. Baju coklat si pemuda berhasil dicengkeram
dengan satu tangan dan tubuhnya bagaikan dibawa
terbang oleh bayangan hijau itu.
Dalam sekejap si pemuda berbaju coklat celana
merah itu sudah berada di atas gundukan tanah be-
rumput tipis. Tubuhnya yang kurus masih ditenteng
oleh tangan kekar seorang lelaki berpakaian serba hi-
jau. Pemuda belia itu tergantung kakinya, tapi pung-
gung bajunya tetap tercengkeram oleh tangan si pe-
nyambarnya.
"Bocah konyol! Apakah kau tak tahu kalau ilmu
mu belum ada se kuku hitamnya dibanding perem-
puan itu, hah?!" bentak si penyambar dengan mata
mendelik geram. Rambutnya yang panjang meriap
sampai punggung itu dibiarkan dipermainkan angin,
membuat tampangnya menjadi tambah beringas. Me-
nyeramkan.
Pemuda yang ditenteng melirik ke arah yang
menentengnya. Ia menjadi semakin gugup dan gelaga
pan tak bisa bicara, karena ia tahu yang menenteng-
nya saat itu adalah si Setan Cabul.
Tokoh berkumis lebat yang badannya sedang-
sedang saja sebagai lelaki berusia sekitar empat puluh
lima tahun itu, belakangan ini cukup dikenal di kalan-
gan dunia persilatan karena kekejamannya. Ia bukan
saja berilmu tinggi, namun juga setengah gila; gemar
memperkosa lawan jenisnya dan selalu membuat cacat
si korban, Kemunculannya yang sewaktu-waktu dan
tempat tinggalnya yang tak diketahui itu membuatnya
mirip setan. Tindakannya yang gemar memperkosa pe-
rempuan itu dipadu dengan kemunculannya yang mis-
terius itulah yang membuatnya dikenal dengan nama
si Setan Cabul.
"Kalau kau masih tetap melawannya, sama saja
mati sia-sia. Jika maumu begitu, lebih baik dadamu
ku jebol untuk ku ambil jantungnya!"
"Ja... ja... jangan! Ak... aku masih butuh jan-
tung dan... dan dada Juga...," pemuda berbaju coklat
itu semakin ketakutan.
Perempuan yang tadi bertarung melawan si
pemuda segera serukan kata dengan suara lantang,
menampakkan sikapnya yang tak punya rasa takut
sedikit pun dengan si Setan Cabul. Padahal para pe-
rempuan lainnya, jika bertemu dengan si Setan Cabul
akan lari terbirit-birit, bila perlu kencing di celana, itu
pun bila pakai celana. Tak ada perempuan yang berani
beradu pandangan mata dengan si Setan Cabul, selain
perempuan berilmu, seperti halnya si perempuan mu-
da berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Lepaskan tikus cilik itu dan jangan campuri
urusan ku, Setan Cabul! Kau akan kehilangan kepala
sekarang juga jika tidak mau melepaskan lawanku
itu!"
Bruuukkk...! Setan Cabul benar-benar mele-
paskan cengkeramannya. Pemuda bertubuh kurus itu
jatuh terpuruk di tanah bagai tak bertulang lagi. Ia
bukan takut kepada perempuan berbaju kuning itu,
melainkan takut dibuat cacat oleh si Setan Cabul.
"Cepat pulang, dan jangan coba-coba bertaruh
nyawa dengan iblis betina itu!" perintahnya kepada si
pemuda. Maka pemuda itu pun segera bergegas pergi
dengan tersungkur-sungkur karena kakinya bagai tak
bertulang. Pemuda itu penasaran, lalu ia bersembunyi
di balik pohon Jauh. Ia ingin tahu apa yang akan dila-
kukan si Setan Cabul dengan perempuan yang kena-
kan pakaian ketat warna kuning hingga membentuk
lekuk-lekuk tubuhnya.
Agaknya si Setan Cabul tidak bermaksud men-
celakai pemuda itu. Terbukti setelah mendengar se-
ruan lantang perempuan bertubuh sekal dengan ram-
but sebahu itu, si Setan Cabul langsung lepaskan pe-
muda itu dan melompat turun dari gundukan tanah
yang membukit itu.
Wuuuut...! Jleeeg...!
Matanya memandang dengan angker. Suara ge-
ramnya terdengar bagai ingin merontokkan jantung. Ia
melangkah dekati perempuan berusia sekitar dua pu-
luh lima tahun itu.
"Terlalu berani bicaramu padaku, Cindawarti!"
Perempuan berwajah cantik dengan dada sekal itu
hanya membatin dengan. rasa heran, "Dari mana dia
tahu namaku? Rupanya dia sudah mengenaliku sebe-
lum aku jumpa dengannya di sini?!
Si Setan Cabul berkelebat menerjang secara
mendadak. Wuuuut...! Cindawarti terkejut mendapat
terjangan itu. Tak punya kesempatan untuk menghin-
dar. Maka ia segera lakukan lompatan kecil dan kedua
tangannya disentakkan ke depan. Kedua tangan itu
beradu dengan kedua telapak tangan si Setan Cabul.
Blaaarrr...!
Cindawarti melayang ke belakang bagai dilem-
parkan dengan tenaga cukup besar. Ia jatuh terbanting
dengan punggung membentur akar pohon yang me-
nonjol keras seperti batu. Brruuk...!
"Aaakh...!" erangnya kesakitan, namun segera
bangkit karena si Setan Cabul bergegas menyerangnya
lagi.
Sreeet...! Cindawarti tak mau main-main, mera-
sa tak perlu menjajal ilmunya si Setan Cabul, karena
ilmu si Setan Cabul tak pantas dijajal, kecuali orang
yang sudah bosan hidup dan ingin percepat kematian-
nya.
Perempuan itu segera kibaskan pedangnya ke
arah perut si Setan Cabul.
Weees...! Traaang...
Cindawarti sempat terperanjat melihat pedang-
nya ditangkis dengan telapak tangan kiri si Setan Ca-
bul. Rupanya tangan itu dapat menjadi sekeras baja,
sehingga pedang setajam itu tak mampu memotong te-
lapak tangan tersebut. Bahkan suara beradunya seper-
ti suara pedang beradu dengan besi baja.
Namun Cindawarti tak mau lengah sedikit pun.
Ia ingin tunjukkan bahwa ia pun bisa membuat lawan
tak punya kesempatan lakukan serangan lagi. Tangan
kiri Cindawarti menyentak ke depan dengan semua ja-
rinya lurus merapat.
Suuut, claaap...!
Seberkas sinar merah seperti bintang menghan-
tam wajah si Setan Cabul. Hanya saja, sinar merah mi-
rip bintang itu segera ditangkis oleh si Setan Cabul
menggunakan telapak tangan yang satunya lagi.
Zuuurb...! Duaaar...!
Manusia berwajah beringas itu tersentak mun-
dur saat terjadinya ledakan cukup lumayan itu. Na-
mun ia tak sampai jatuh, hanya sedikit limbung, lalu
tegak kembali dan siap lepaskan pukulan jarak jauh-
nya.
Ternyata ia tak secepat dugaan lawannya dalam
melepaskan pukulan jarak jauh. Setan Cabul sempat
hentikan gerakan sebentar dan serukan kata kepada
Cindawarti.
"Boleh juga kekuatan tenaga dalammu, Cinda-
warti! Pantas jika kau dijadikan utusan yang dipercaya
oleh ratu mu!"
"Dari mana kau tahu namaku dan tugasku?!"
sentak Cindawarti dengan penasaran.
"Hah, kau pikir telingaku sudah tuli dan mata-
ku buta?! Kudengarkan percakapan mu saat di kedai
tadi, dan kuikuti kau dari kejauhan sana. Begitu kau
menyebut nama Ratu Cumbu Laras sebagai ratu mu,
maka aku tertarik untuk melihat seberapa tinggi ilmu
dari utusan Cumbu Laras! Ternyata tak lebih besar da-
ri sebutir upil ku! Huah, hah, hah, hah...!"
Cindawarti menggeram jengkel. Rupanya tadi
percakapannya dengan pemilik kedai ada yang menya-
dapnya, dan orang yang menyebalkan itu tak lain ada-
lah si Setan Cabul sendiri. Karenanya, perempuan
sekal itu segera menggeram dan melesat dalam satu
jurus pedang yang berbahaya.
"Hiaaat...!"
Pedang itu hampir saja kenai leher si Setan Ca-
bul kalau kepala tidak buru-buru mengayun ke ba-
wah. Weess...!
Setan Cabul cepat sodokkan tangannya ke pe-
rut lawan.
Dees...!
"Heeeekh...!"
Jurus 'Totok Mesum' kenai perut Cindawarti.
Perempuan muda itu langsung jatuh terpuruk bagai
tak bertulang lagi. Tapi ia masih sadar, masih bisa
mengerang dan memekik walaupun terdengar cukup
pelan. Gerakannya masih ada, tapi lemah sekali.
"Hah, hah, hah, hah...!" Setan Cabul tertawa
liar. "Kini giliran mu melayaniku, Cindawarti! Hahh,
hah, hah, hah...!"
Si Setan Cabul segera menyeret kaki Cindawarti
ke balik kerimbunan semak. Sepasang mata anak mu-
da yang tadi mencoba menyerang Cindawarti itu masih
membelalak lebar menatap adegan tersebut. Bahkan ia
bergegas pindah ke tempat yang lebih dekat lagi agar
dapat melihat dengan jelas. Sekalipun jantung berde-
tak cepat dan tubuh gemetaran, si pemuda berbaju
coklat itu merasa rugi kalau tak sampai melihat ade-
gan berikutnya dari jarak dekat.
"Lepaskan...! Lepaskan aku, Binatang..!"
Cindawarti meronta dan bermaksud teriakan
kata, tapi totokan itu membuat suaranya bagaikan
terbenam dalam air. Serak dan lirih sekali.
"Tubuhmu elok sekali! Ooh... sungguh meng-
gairahkan sekali, Sayang ku. Hah, hah, hah, hah...!"
"Jang... jangan...! Oouh, ooh...!" Setan Cabul merobek
pakaian Cindawarti dengan kuku jari tangannya yang
tak panjang namun cukup runcing. Breeet...! Maka
koyaklah pakaian bagian depan dari batas dada sam-
pai ke perut. Dengan suara tawa yang berhamburan, si
Setan Cabul semakin ganas. Pakaian itu dirobek lebih
lebar lagi.
Wreeek...!
"Aaa...!" jerit Cindawarti, namun tetap tak bisa
keras.
Kini tubuh Cindawarti tergolek dengan gera-
kan-gerakan lamban. Kulit tubuhnya tampak mulus di
antara robekan pakaiannya. Tangan si Setan Cabul
merayap di permukaan perut si perempuan, kemudian
naik ke atas dan menjelajahi kedua bukit sekal di da-
da. Sesekali tangan itu meremas, dan jika suara Cin-
dawarti meratap lirih.
"Aaaakh...! Manggara...! Manggara, toloong... to-
long aku, Manggara! Ooh, ooh, ooh, ouuh...!"
Ratapan itu justru seperti perempuan menge-
rang ditikam rasa nikmat. Suara ratapan dan gerakan
lamban membuat gairah si Setan Cabul kian berkobar-
kobar. Suara tawa dan geram rasa geregetan semakin
berhamburan bersama dengus napas tak teratur.
"Hhggrm... hhggrmm...! Hangat sekali kau,
Saang...! Ooh, kencang sekali ini. Hiah, hah, hah,
hah...!"
Si Setan Cabul mulai menggerayangi dada den-
gan mulutnya. Sesekali lidahnya menyapu permukaan
dada itu, sesekali memagut kencang. Nyuut...!
"Aooww...!" Cindawarti memekik lirih seperti
orang diterkam rasa nikmat yang luar biasa. Hal itu
membuat si Setan Cabul kian mengganas kan kecu-
pannya.
"Hmmrr.... Hummmmr...! Sedap sekali...! Ke-
hangatannya sampai menyentuh pucuk-pucuk asmara
ku, Cindawarti. Huummgrr...! Nyum, nyum, nyum,
nyum...! Hmmm, aaaahhh...!"
Cindawarti meronta terus. Pada dasarnya ia tak
sudi melayani gairah si Setan Cabul. Tapi dalam kea-
daan sekujur tubuhnya lemas, Cindawarti hanya bisa
bergerak-gerak lambat, justru mirip ayunan kenikma-
tan. Sementara itu, si Setan Cabul merusak seluruh
pakaian Cindawarti dengan kasar. Wreek, breet,
breet...!
"Aaaahhh, hah, hah, hah...! Uuhmmm...!"
"Aaaow...!" Cindawarti memekik keras kesaki-
tan karena bawah dada kirinya digigit oleh si Setan
Cabul. Jeritan itu membuat Setan Cabul tertawa kegi-
rangan. Kedua tangannya meremas ke mana saja,
mengamuk dengan buasnya sambil meluncurkan ke-
cupan, pagutan dan sapuan lidah ke sekujur tubuh
Cindawarti. Plaaak...!
"Buka...!" bentaknya sambil menepak paha pe-
rempuan itu. Plaaak...!
"Ayo, buka! Ada tamu mau masuki Hah, hah,
hah, hah...! Uuhhmm...!Hmmm, ahh... hhhmmm,
aaah... hhmmm, aaah...!"
Setan Cabul menggila. Kecupan dan pagutan
mulutnya merajalela di 'mahkota' Cindawarti. Perem-
puan itu menggelinjang, sulit dibedakan antara meron-
ta dan bergoyang.
"Haaaaahhhh...!"
Si Setan Cabul berteriak keras dalam erangan
ketika, 'sang tamu' benar-benar menerobos benteng
pertahanan Cindawarti. Lalu dengan liar dan kasar se-
kali si Setan Cabul mengayuh dayung untuk perahu
cintanya. Ia memaksa Cindawarti ikut mengarungi sa-
mudera kenikmatan. Tubuh lemas itu tergolek tanpa
daya lagi. Dibolak balik tetap saja tampak molek dan
mulus. Sementara itu si Setan Cabul menikmatinya
dengan gila-gilaan. Remasan kukunya di tubuh mulus
itu meninggalkan bekas merah berdarah. Tubuh mulus
itu menjadi rusak karena cakaran.
"Hahhk... hhaakh... hhaaakh...!" si Setan Cabul
menyentak-nyentak dengan kuat, dan akhirnya berte-
riak liar tanpa tanggung-tanggung.
"Heeeaaahhhh...!"
"Oooooh...!" suara Cindawarti tak seimbang,
bahkan nyaris tertutup oleh suara keras si Setan Ca-
bul manakala puncak keindahannya telah tercapai.
Ia benar-benar lelaki yang liar, kasar, buas, ga-
nas, dan gila! Tak peduli lawan jenisnya tanpa daya la-
gi, ia masih meluncurkan perahu cintanya ke samude-
ra kenikmatan, karena ingin mencapai puncak keinda-
han kedua kalinya. Sedangkan dalam melampiaskan
keindahannya itu cengkeraman kuku dan gigitan-
gigitan yang dilakukan si Setan Cabul bukan lagi beri-
rama mesra, melainkan lebih cenderung kejam dan
buas. Beberapa bagian tubuh yang digigit sempat
koyak dan berdarah. Hal itu membuat si Setan Cabul
menjadi lebih beringas lagi.
"Ooh, nikmat sekali perahu cinta mu, Cinda-
warti! Nikmat sekali ayunan asmara mu tadi, hah, hah,
hah, hah...!"
Cindawarti hanya bisa merintih dalam tangis-
nya. Ia bukan sebagai perempuan tangkas dan berilmu
lagi, melainkan sebagai perempuan tanpa daya yang
tak mampu melawan kekerasan sedikit pun.
Sedangkan di balik semak pohon bawah pohon
besar itu, mata si pemuda berbaju coklat tak bisa ber-
kedip menyaksikan adegan gila-gilaan tersebut. Lutut-
nya benar-benar tak bisa dipakai berdiri, sehingga lu-
tut itu kini menempel di tanah. Nafasnya tak beraturan
lagi, sehingga daun-daun semak tertiup tanpa irama.
"Kasihan juga si Cindawarti! Gagal menda-
patkan Kitab Guntur Bayangan, sekarang malahan
mendapatkan pusaka perusak mahkota. Hmmm...
seandainya aku tadi menuruti perintahnya, menun-
jukkan di mana Guru berada dan membantu mencuri
kitab itu dari Guru, mungkin ia tak akan diperkosa
oleh si Setan Cabul!" ujar pemuda itu dalam hati.
Pemuda yang tadi namanya disebut-sebut da-
lam ratapan Cindawarti sebagai Manggara itu, akhir-
nya mendekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan
dan matanya terpejam kuat-kuat ketika si Setan Cabul
sudah merasa puas menikmati kehangatan tubuh Cin-
dawarti. la mencabut pedang Cindawarti sendiri dan
sambil berkata keras-keras.
"Sampaikan salamku kepada Ratu Cumbu La-
ras! Katakan bahwa aku ingin memberinya kenikma-
tan seperti tadi di tempat mana saja dan kapan saja!
Sebagai tanda bahwa aku benar-benar ingin memua-
skan gairahnya sepuas gairah yang telah kau rasakan
ini, maka telapak tanganmu akan ku sambung lagi se-
telah ratu mu benar-benar puas berada dalam cum-
buan hangat ku! Hiaahh...!"
Craass...!
"Aaaaa...!"
Cindawarti menjerit tak bisa keras, dan saat
itulah Manggara pejamkan mata kuat-kuat, sambil
menahan jerit.
*
**
DUA
KEKEJAMAN si Setan Cabul menjadi bahan
pembicaraan dari kedai ke kedai, dari mulut ke mulut,
hingga sampai ke telinga sepasang pemuda kembar;
Raka Pura dan Soka Pura. Mereka adalah anak angkat
si Pawang Badai yang telah mendapatkan gelar Pende-
kar Kembar dari Gunung Merana sejak mendapatkan
pusaka Pedang Tangan Malaikat, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam Episode: "Gua Mulut Naga").
Kehadiran dua pemuda kembar yang sama-
sama mengenakan baju buntung warna putih dan ce-
lana warna putih pula yang dililit ikat pinggang kain
merah itu menjadi pusat perhatian para pengunjung
kedai. Wajah tampan mereka yang sama persis dan
postur tubuh yang sama-sama gagah dan kekar mem-
buat para pengunjung merasa bingung membedakan
mana kakak dan yang mana adiknya.
Bahkan beberapa orang dari pengunjung kedai
itu merasa tertarik dengan senjata si Pendekar Kembar
yang berupa pedang bersarung kristal berukir dengan
gagang kristal pula. Bahkan jika pedang itu dicabut,
maka mereka akan merasa kagum melihat mata pe-
dang yang terbuat dari kaca kristal mengagumkan. Le-
bih mengagumkan lagi jika pedang itu digunakan oleh
si Pendekar Kembar, maka orang akan terbengong-
bengong melihat ketajaman pedang kristal itu. Seper-
tinya mudah pecah, tapi kenyataannya pedang itu bisa
dipakai untuk memotong besi baja setebal apa pun.
Eyang Mangkuranda alias si Dewa sudah wafat
beberapa tahun yang lalu itu sering hadir dalam mimpi
kedua pemuda kembar itu dan menurunkan jurus-
jurus pedang berkekuatan dahsyat. karena kedua pe-
muda kembar itu telah menjadi murid si Dewa Kencan
walau sang tokoh tua itu hanya hadir dalam mimpi
atau penglihatan gaib mereka selama ini.
"Seperti yang pernah kukatakan pada kalian
dulu," ujar si Dewa Kencan yang hadir dalam pengliha-
tan gaib kedua anak kembar itu, sewaktu mereka belum turun dari gunung untuk yang kedua kalinya.
".... Kedua Pedang Tangan Malaikat itu adalah
milik mendiang ayahku dan mendiang paman ku. Me-
reka adalah saudara kembar seperti kalian. Dan aku
diutus untuk sampaikan pesan pada kalian mengenai
kedua pedang itu."
"Kami siap menerima pesan dan menjalankan-
nya, Eyang Guru," kata Raka Pura dengan penuh hor-
mat.
Bayangan sosok tua berjenggot panjang dan ju-
bah putih bintik-bintik merah itu mengangguk-
anggukkan kepala sambil sunggingkan senyum.
"Kalian hanya boleh pergunakan pedang itu jika
dalam keadaan sangat terpaksa," katanya. "Pedang itu
adalah nyawa kalian. Jadi jaga dan rawat baik-baik
pedang itu seperti kalian menjaga dan merawat nyawa
kalian."
"Baik, Eyang Guru. Kami akan penuhi pesan
itu!"
"Kehebatan pedang ini apa saja, Guru?" tanya
Soka Pura, sang adik.
"Selain dapat memotong baja, juga dapat me-
motong kepala tanpa permisi. Angin tebasannya dapat
merobekkan perut Lawan dalam jarak tiga langkah da-
ri tempat kalian berdiri, itu jika kalian gunakan jurus
'Nenek Petir' yang pernah kuajarkan pada kalian tempo
hari...," kata Eyang Guru Dewa Kencan. Lalu, ia menje-
laskan beberapa hal yang berkaitan dengan kehebatan
atau kesaktian Pedang Tangan Malaikat tersebut.
Kehadiran Pendekar Kembar ke kedai itu bukan
untuk 'nguping' percakapan orang tentang si Setan
Cabul, tapi untuk mencari seorang lelaki yang menjadi
ayah kandungnya dan bernama Panji Pura. Menurut
cerita yang didengar mereka dari si ayah angkat: Pendekar Kembar, ibu kandung mereka memang telah tia-
da, tewas setelah melahirkan. Sedangkan seluruh ke-
luarga Panji Pura dan beberapa tetangga dibantai ha-
bis oleh rombongan bertopeng yang dipimpin oleh Be-
tina Rimba, orang kepercayaan Ratu Cumbu Laras.
Hanya Panji Pura dan seorang penduduk yang lolos
dari pembantai massal itu, karena kala itu Panji Pura
justru sedang berada dalam pelukan mesra si Ratu
Cumbu Laras. Begitu mengetahui nasib keluarganya,
Panji Pura menjadi gila dan lari dari perguruannya en-
tah ke mana, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode perdana: "Dendam Asmara Liar").
Hingga sekarang tak ada orang yang menemu-
kan mayat Panji Pura, sehingga beberapa tokoh di ka-
langan dunia persilatan beranggapan bahwa Panji Pura
masih hidup. Hanya saja, separah apa kondisi fisik
dan jiwanya yang gila itu, tak seorang pun dapat mem-
perkirakan. Oleh sebab itu, si pemuda tampan kembar
wajah itu berkelana mencari sang ayah sejati. Jika te-
lah tewas, mereka harus menemukan kuburannya, ji-
ka masih hidup mereka harus menemukan kenya-
taannya.
Tanpa disengaja suara percakapan para pen-
gunjung itu menarik perhatian si Pendekar Kembar.
Soka Pura bicara kepada kakaknya; Raka Pura dengan
berbisik pelan.
"Sepertinya aku pernah mendengar nama Setan
Cabul."
"Kapan kau mendengarnya?"
"Saat kita bertemu dengan Ratih Selayang dan
Nini Sawandupa."
Raka Pura manggut-manggut, seraut wajah
cantik imut-imut milik gadis bernama Ratih Selayang
itu melintas dalam benaknya, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode : "Kencan Di Ujung Maut").
"Kita tak perlu terlibat, Soka. Ingat kesepakatan
kita semula; cari dulu ayah kandung kita yang berna-
ma Panji Pura itu, setelah beliau kita temukan, baru
kita menangani masalah lain."
Soka Pura mengatakan sesuatu kepada kakak-
nya, tapi sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba seo-
rang pemuda muncul di kedai itu dengan napas ngos-
ngosan dan wajah tegang. Pemuda berusia tujuh belas
tahun itu mengenakan baju kuning dan celana merah
dengan pedang di pinggang, Pendekar Kembar merasa
asing dengan pemuda itu, tapi para pengunjung kedai
dan pemilik kedai tidak merasa asing terhadap wajah
muda milik Manggara itu.
"Hei, ada apa kau ngos-ngosan seperti dikejar
hantu anjing, Manggara?!" tegur pemilik kedai yang be-
rambut abu-abu itu.
"Setan Cabul, Wak...! Setan Cabul ternyata ca-
bul sekali, Wak Balong!" sambil Manggara dekati Wak
Balong, si pemilik kedai yang berbadan agak gemuk
itu.
"Apa maksudmu, Manggara?!" seru pengunjung
yang berpakaian hitam.
"Aku melihat sendiri kekejaman si Setan Cabul!
Aku melihatnya saat sedang memperkosa Cindawarti,
lalu memotong telapak tangan perempuan itu!"
Semua wajah tampak terkejut dan menegang
begitu mendengar kata-kata Manggara yang diucapkan
dengan penuh semangat. Kini perhatian Pendekar
Kembar semakin tertuju kepada Manggara, walau ke-
dua pemuda itu masih tetap diam, tak ikut memberi-
kan tanggapan seperti para pengunjung kedai lainnya.
"Mana mungkin dia berani memperkosa Cinda-
warti?! Apakah ia tak tahu kalau Cindawarti adalah
orangnya Ratu Cumbu Laras?!" ujar salah seorang.
"Aku berani sumpah disambar janda sepuluh
biji; apa yang kukatakan bukan main-main. Aku meli-
hat dengan mata kepalaku sendiri!" Manggara ngotot
sekali, bahkan ia menceritakan saat pertarungannya
dengan si Cindawarti.
"Apa urusanmu dengan perempuan itu sehing-
ga kau sampai diserangnya?" tanya Wak Balong.
"Dia memaksaku untuk menemui guruku, dan
memaksaku agar membantunya mencarikan kitab pu-
saka. Karena aku tak mau menunjukkan di mana gu-
ruku berada, dia marah dan menyerangku. Lalu tiba-
tiba si Setan Cabul muncul pada saat keadaan ku ter-
desak oleh serangan Cindawarti! Akhirnya si Setan Ca-
bul yang berhadapan dengan Cindawarti...."
"Lalu di mana si Setan Cabul sekarang?!" tanya
seorang lelaki berperawakan gagah, kekar dan berwa-
jah keras. Tampaknya ia sangat serius ajukan perta-
nyaan tadi, sehingga kini ia menjadi pusat perhatian
mereka, termasuk si Pendekar Kembar ikut memperha-
tikan ke arah lelaki berpakaian serba merah itu.
"Dia pergi ke arah Candi Palagan! Tapi aku tak
tahu apakah tujuannya memang Candi Palagan atau
hanya kebetulan saja arahnya ke sana!"
Lelaki berpakaian serba merah itu segera se-
rahkan sejumlah uang kepada Wak Balong, kemudian
ia segera pergi dengan tampak terburu-buru. Pendekar
Kembar hanya memandangi kepergian si lelaki berpa-
kaian merah itu, sementara beberapa orang lainnya
saling membicarakan lelaki tersebut.
"Mau apa si Kalasura itu?"
"Dia punya dendam kepada si Setan Cabul. Ku
rasa dia akan mengejar si Setan Cabul ke Candi Pala-
gan!"
"Lho", dendam apa? Aku baru mendengar seka-
rang kalau si Kalasura punya persoalan dengan si Se-
tan Cabul?"
"Kakaknya si Kalasura adalah salah satu pe-
rempuan yang menjadi korban kekejaman si Setan Ca-
bul!"
"Oh, gawat kalau begitu! Kalasura tak tahu il-
munya si Setan Cabul sangat tinggi. Nyawanya akan
melayang dalam sekejap jika lakukan pertarungan
dengan si Setan Cabul," ujar Wak Balong.
Manggara menyahut, "Aku mau mengikutinya
dan melihat pertarungan itu!"
Setelah menyambar minuman orang lain dan
meneguknya dengan cepat, Manggara segera tinggal-
kan tempat tersebut. Beberapa orang ada yang mengi-
kuti langkah Manggara, mereka juga ingin melihat per-
tarungan Kalasura dengan Setan Cabul.
Kepergian mereka membuat hati Soka Pura pe-
nasaran.
"Bagaimana kalau kita ikut mereka untuk me-
lihat pertarungan tersebut, Raka?"
"Untuk apa kita melihat pertarungan itu? Toh
urusan kita belum selesai, Soka!"
"Aku hanya ingin melihat jurus-jurusnya si Se-
tan Cabul yang terkenal dahsyat itu. Kalau kau tak
mau ikut, tinggallah di sini dulu, nanti aku akan kem-
bali ke sini!"
"Kalau kau pergi aku juga harus ikut pergi! Un-
tuk apa menunggumu di sini bengong saja? Apa kau
kira aku kekasihmu yang setia menanti kedatangan
mu? Hmm...!" Raka Pura membuat Soka tertawa kecil,
lalu mereka pun segera bergegas ikuti langkah si Kala-
sura, setelah terlebih dulu, membayar biaya makan-
minum mereka di kedai tersebut.
Pendekar Kembar mengikuti langkah mereka
dari kejauhan. Raka melarang adiknya bergabung den-
gan orang-orang yang mengikuti Kalasura, karena ia
tak mau sang adik dan dirinya terlibat apa pun dengan
mereka.
"Kita mengawasi dari kejauhan saja," ujar Raka
kepada sang adik yang berwajah cemberut karena ke-
cewa atas larangan kakaknya itu.
Tanpa diketahui oleh kedua pemuda tampan
kembar rupa itu, ternyata ada pihak lain yang diam-
diam memperhatikan langkah mereka saat mereka
berdua melintasi jalanan bawah bukit cadas.
Bukit itu tak seberapa tinggi dan juga tak terla-
lu besar. Selain mudah didaki juga mudah dikelilingi.
Tanaman yang ada di atas bukit cadas itu hanya satu
batang pohon jenis jati berdahan lebar. Selebihnya
hanya rumput dan bebatuan cadas. Beberapa beba-
tuan ada yang ukurannya melebihi tinggi manusia de-
wasa.
Sepasang mata yang mengikuti si Pendekar
Kembar itu tiba-tiba melompat dari atas bukit cadas
dan bersalto dua kali di udara.
Wuk, wuuk..! Jleg...! Orang itu daratkan ka-
kinya di depan langkah si Pendekar Kembar.
Kehadirannya tidak terlalu mengejutkan kedua
pemuda tampan itu. Mereka berdua. hanya sama-
sama hentikan langkah dan lemparkan pandangan
dengan tajam, penuh waspada. Raka terkesiap pan-
dangi orang tersebut yang ternyata adalah seorang le-
laki agak gemuk dan sedikit pendek. Lelaki itu berusia
sekitar lima puluh tahun berpakaian abu-abu. Dengan
rambut pendek, berikat kepala merah dan wajah
berkesan bundar, ia tidak kelihatan sangar tetapi ju-
stru kelihatan lucu.
Maaf, Paman..., siapa Paman sebenarnya, se-
hingga sengaja menghentikan langkah kami berdua
ini?" tanya Raka Pura dengan sopan walau tetap mem-
punyai kecurigaan yang disembunyikan.
"Siapa diriku, itu tak penting," kata orang ter-
sebut. "Yang paling penting adalah siapa kalian."
Raka dan Soka saling pandang dengan dahi
berkerut.
"Anak muda," ujar orang itu lagi,"... apakah be-
nar kau yang berjuluk Pendekar Kembar?"
"Memang benar!" jawab Raka.
Soka ikut angkat bicara, "Dari mana Paman ta-
hu kalau kami adalah Pendekar Kembar?"
"Heh, heh. heh...! Apa kau pikir aku buta, tak
bisa melihat wajah kalian yang serupa itu?! Hmmm...,
serupa tapi tak sama!"
"Di mana letak ketidaksamaan kami, Paman?"
tanya Soka lagi.
"Letak pedang kalian!" jawab orang itu kepada
Soka. "Pedangmu di pinggang kanan, sedangkan pe-
dang saudaramu ada di pinggang kiri. Dengan begitu
aku bisa membedakan nama kalian masing-masing."
"Kau cukup jeli, Paman," kata Raka.
Orang itu pun segera berkata dengan hembu-
san napas lega.
"Kalau begitu, tepat sekali! Raka dan Soka, itu-
lah nama yang harus kutemukan secepatnya dan ha-
rus segera kubawa ke Puri Cawan Mesum."
Raka dan Soka sama-sama berkerut dahi per-
tanda merasa asing dengan nama Puri Cawan Mesum
itu. Akhirnya, Raka Pura ajukan tanya kepada orang
berpakaian abu-abu itu.
"Kami tidak punya hubungan apa pun dengan
Puri Cawan Mesum. Mengapa kau ingin membawa
kami ke sana, Paman?"
"Ketua Puri Cawan Mesum ingin bicara dengan
kalian. Bukan ingin bermusuhan. Kuharap kalian jan-
gan punya kecurigaan apa-apa terhadap maksud baik-
ku ini!"
"Hal apa yang ingin dibicarakan dengan kami?!
Jelaskan lebih dulu, Paman!" sahut Soka Pura.
"Kalian bisa tanyakan sendiri kepada ketua
nanti!"
"Bagaimana kalau kami menolak?" pancing So-
ka Pura.
"Aku terpaksa harus menyeret kalian berdua
dengan paksa!"
"Tentu saja kami akan melawanmu, Paman!"
tegas Soka sebelum Raka Pura bicara.
"Kalau begitu aku ingin menjajal kekuatanmu,
Paman! Jika kau unggul, kau boleh membawa kami
menghadapi ketuamu, tapi jika aku yang unggul kau
boleh pergi dan memanggil orang-orang Puri Cawan
Mesum itu!" kata Soka Pura dengan nada mulai bere-
mosi.
Raka Pura sangat mencemaskan adiknya, ka-
rena ia tak ingin timbulnya perselisihan dengan pihak
lain. Namun agaknya orang berpakaian abu-abu itu
tak merasa gentar ditantang secara halus oleh Soka
Pura.
"Kalau memang begitu kemauanmu, aku akan
melayanimu sebatas kemampuanku, Soka! Bersiaplah
untuk menerima jurus 'Monyet Gembira" ini.
Hiaaah...!"
Orang itu tiba-tiba menyodokkan tangan ka-
nannya dengan dua jari mengeras tegak. Kaki kirinya
ditarik ke belakang, kaki kanannya berjingkat, tangan
kirinya bagai menari ke belakang. Gerakannya seperti
orang main balet.
Tetapi Soka Pura segera merasakan ada hawa
padat yang menerjang tubuhnya seketika itu juga.
Wuuuut.,..! Hawa padat itu segera ditangkis dengan
hentakkan telapak tangan kiri ke depan. Suuuut...
Dan tiba-tiba hawa padat itu terasa menghantam tela-
pak tangan kirinya bagai seekor paruh burung yang
mematuk. Dees...!
"Ooooh...?!" Soka tersentak kaget, karena ia
merasakan ada gerakan yang menggelincir dengan ce-
pat dari telapak tangannya ke seluruh lengan. Seper-
tinya telapak tangan itu dimasuki bola kecil yang sege-
ra menggelinding sampai pundak, dari pundak turun
ke bawah mendekati dada kirinya, di situ bola kecil
yang berupa hawa padat itu pecah dalam satu senta-
kan yang mengejutkan. Duusss...!
"Akh, heh, heh...." Soka Pura tersenyum sambil
tertawa pelan. Matanya memandang Raka dan lawan-
nya secara bergantian. Tubuhnya diam dalam sikap
biasa tanpa ketegangan. Tapi lama-lama tawanya ber-
kepanjangan.
"Hah, ha, ha, ha, ha...!"
Raka Pura merasa heran melihat adiknya ter-
tawa. ia jadi bingung sendiri dan bertanya dalam hati,
"Apa yang ditertawakan?"
Orang berpakaian abu-abu itu hanya terkekeh
pelan memperhatikan Soka. Sementara itu, Soka ju-
stru semakin terpingkal-pingkal.
"Huah, hah, ha, ha, ha...."
"Soka!" gertak Raka Pura. "Hentikan tawamu!
Apa yang kau tertawakan, Soka?!"
"Huah, hah, ha, ha", ha, ha...! Hieeh, heh, heh,
he, he, he...."
Raka Pura tambah kebingungan melihat adik
nya tertawa sampai pegangi perut dan terbungkuk-
bungkuk. Orang berpakaian abu-abu ikut-ikutan ter-
tawa karena geli melihat Soka tertawa sedemikian ru-
pa. Raka Pura segera dekati adiknya dan menepuk ke-
ras punggung sang adik. Plok...!
"Hei, sadar! Tak ada yang perlu ditertawakan!"
"Haah, hah, hah, hah, hah...! Heh, heh, heh...!
hiks ihik, hik, hik, hik...!"
"Gendeng ini anak!" gerutu Raka Pura. "Apa
yang kau tertawakan sampai segeli itu, Soka?! Henti-
kanlah tawamu!"
Orang berikat kepala merah itu berkata, "Tak
mungkin dia bisa berhenti tertawa, karena saraf ta-
wanya sudah kutotok dengan jurus 'Monyet Gembira'
tadi. Dia akan tertawa dan tertawa terus! Heh, heh,
heh...!"
Mata sang kakak terkesiap mendengar ucapan
orang itu. Hatinya pun membatin, "Jurus yang aneh!
Adikku bisa mati kaku jika tertawa terus-terusan begi-
ni! Harus segera kuhentikan dengan totokan jurus
'Sambung Nyawa' ku yang biasa untuk pengobatan
itu!"
Wut, wut, wut...! Raka Pura segera sentakkan
tangannya dengan jari tengahnya mengeras tegak. Jari
itu memancarkan cahaya kemilau ungu, kemudian di-
totokkan ke bawah ketiak Soka Pura. Dees...!
"Heh, heh, heh, hiiik, hik, hik...! Huuuhh, huh,
huh, huh...!"
Dalam sekejap bagian di sekitar ketiak Soka
memancarkan cahaya ungu, kemudian cahaya itu se-
gera redup dan hilang sama sekali. Tawa itu mulai pe-
lan, makin lama semakin pelan, akhirnya Soka jatuh
terduduk di tanah sambil terengah-engah habiskan si-
sa tawanya yang tinggal mengikik bercampur napas
kelelahannya. Tubuh Soka menjadi lemas, seakan ia
telah menguras tenaganya untuk tertawa sebanyak-
banyaknya.
Orang berjubah abu-abu sudah hentikan ta-
wanya sejak tadi dan merasa heran melihat totokan ja-
ri Raka Pura. Bahkan ia tak segan-segan berkata den-
gan suara jelas bagai ditujukan pada dirinya sendiri.
"Luar biasa! Ternyata kau bisa bebaskan pen-
garuh jurus 'Monyet Gembira' ku, Raka?! Sungguh sa-
tu tindakan yang jarang sekali terjadi, bahkan sein-
gatku baru sekarang ada orang bisa melepaskan pen-
garuh totokan jurus 'Monyet Gembira'. Ini benar-benar
membuatku kagum dan heran sekali."
Soka Pura sama sekali hentikan tawanya. Tapi
tubuhnya yang lemas itu akhirnya bersandar di pohon
sambil duduk melonjorkan kedua kaki. Ia masih teren-
gah-engah bagai orang habis berlari jauh. Sementara
itu, Raka Pura berdiri di samping adiknya sambil bica-
ra kepada orang yang belum mau sebutkan namanya
itu.
"Aku bisa membalas mu lebih parah dari jurus
'Monyet Gembira' mu, Paman! Jika kau tak meminta
maaf kepada adikku, aku akan lakukan pembalasan
itu!"
"Oh, jangan cepat marah dulu, Raka! Tujuanku
sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.
Aku hanya melayani tantangan adikmu tadi. Siapa
yang unggul dalam hal ini menurutmu, Raka?"
"Hmmm...," Raka diam sebentar, akhirnya
mengakui kenyataan yang ada. "Memang kau yang un-
ggul. Adikku terhitung kalah, karena kau gunakan ju-
rus aneh!"
"Aneh atau tidak, yang jelas aku unggul dan se-
suai perjanjian kalian harus ikut aku ke Puri Cawan
Mesum. Kurasa sebagai sepasang pendekar kalian ti-
dak akan ingkar janji!"
Raka Pura tak bisa membantah lagi, demikian
pula Soka yang mengakui kalah secara aneh melawan
orang itu. Maka mereka pun akhirnya mengikuti orang
tersebut, dibawa ke Puri Cawan Mesum.
*
**
TIGA
UTUSAN Puri Cawan Mesum itu akhirnya men-
gaku berjuluk si Biang Tawa. Rupanya orang itu men-
genal nama Pawang Badai, ayah angkat Pendekar
Kembar itu. Sikapnya yang tidak bermusuhan dan ba-
nyak memuji kehebatan ilmunya si Pawang Badai
membuat Raka dan Soka pun tak merasa sedang ber-
sama-sama seorang musuh.
"Sejak aku menjadi murid perguruan yang du-
lu, aku sudah mengenal nama si Pawang Badai dan ce-
rita kehebatan ilmunya sering kudengar. Bahkan gu-
ruku sendiri sering bercerita tentang kehebatan ilmu
aliran Dewa Kencan, yaitu gurunya si Pawang Badai
yang sekarang sudah tiada itu."
"Oh, jadi Paman mengenal nama Eyang Guru
kami; Dewa Kencan itu?"
"Siapa orang di rimba persilatan yang tak men-
genal nama Dewa Kencan, sebab Dewa Kencan adalah
tokoh yang disegani oleh berbagai kalangan, terutama
bagi para tokoh aliran putih," ujar Biang Tawa mem-
buat hati Pendekar Kembar merasa senang karena
eyang guru mereka diakui kehebatan ilmunya.
Dengan maksud coba-coba, Soka ajukan tanya
kepada si Biang Tawa tentang ayahnya.
"Paman Biang Tawa, apakah kau mengenal ba-
nyak nama-nama para tokoh di rimba persilatan ini?!"
"O, tentu. Aku orang yang gemar bergaul, se-
hingga hampir semua tokoh di rimba persilatan ku
kenal, walaupun belum tentu mereka mengenalku."
"Apakah kau juga mengenal nama Panji Pura,
Paman?"
Biang Tawa hentikan langkah. Matanya me-
mandang tajam kepada Soka, karena Soka yang aju-
kan tanya. Pendekar Kembar sama-sama merasa heran
melihat cara memandang si Biang Tawa yang tak ber-
kedip dan tanpa senyum itu.
"Dari mana kau tahu nama Panji Pura? Apakah
si Pawang Badai sering bercerita pada kalian tentang
Panji Pura?" tanya Biang Tawa.
"Kami adalah anak kembar Panji Pura, Paman."
"Hahhh...?!" Biang Tawa terkejut. Matanya ma-
kin dilebarkan dan pandangannya kian dipertajam.
Raka Pura segera menimpali, "Kami sedang
mencari di mana ayah kami berada."
"Kka... kalian...? Kaa... kalian anaknya Panji
Pura?!"
"Mengapa Paman menjadi gugup begitu?"
Untuk sesaat Biang Tawa tidak segera menja-
wab, tapi memperhatikan Pendekar Kembar dengan le-
bih tegas lagi. Beberapa saat kemudian, barulah ter-
dengar suaranya yang sedikit bergetar dan ragu-ragu.
"Aku... aku kenal betul dengan Panji Pura."
"Sungguhkah kau mengenal ayah kami, Pa-
man?" sergah Raka dengan tampak mulai tegang.
Biang Tawa anggukkan kepala. "Panji Pura...
Panji Pura adalah saudara seperguruanku di masa
itu."
Raka menatap Soka, sang adik pun meman-
dang kakaknya dengan tegang.
Biang Tawa berkata lagi, "Aku tahu persis ten-
tang Panji Pura, karena kami sama-sama murid dari
Eyang Resi Pangkayon dari Perguruan Elang Bumi."
"Oh, benar! Aku pernah mendengar nama per-
guruan itu dari ayah angkatku, Paman!" sergah Soka
Pura berbinar-binar.
Kemudian si Biang Tawa menceritakan tentang
peristiwa pembantaian massal yang keji itu, sampai
akhirnya membuat Panji Pura menjadi gila dan dipa-
sung oleh sang guru. Tapi suatu hari si Panji Pura da-
pat lolos dari pasungan dan melarikan diri entah ke
mana.
"Aku dan seorang temanku ditugaskan oleh
Guru untuk mencari Panji Pura, tapi tak berhasil," tu-
tur Biang Tawa sambil mengenang masa dua puluh
tahun yang lalu. Wajahnya tampak murung, bagai me-
nyimpan keharuan yang membuat hatinya duka.
"Waktu itu, aku mencari Panji Pura bersama
Wiraga yang sekarang telah tewas dalam pertempuran
merebut Puri Cawan Mesum itu. Kurasa, si Pawang
Badai tahu tentang Wiraga dan diriku. Tapi Pawang
Badai tak tahu kalau aku telah mengubah namaku
menjadi Biang Tawa. Dulu aku dikenal dengan nama
Pongge. Tapi sejak ku kuasai jurus 'Monyet Gembira'
dan paling sering kugunakan melumpuhkan lawan,
maka beberapa sahabatku mengusulkan agar namaku
diganti, dan ku pilih nama Biang Tawa yang menurut
mereka lebih cocok dari pada nama Pongge."
Raka dan Soka manggut-manggut, lalu me-
langkah lagi dengan rasa bersahabat lebih akrab dari
sebelumnya. Kedua pemuda yang kini berusia dua puluh tahun itu sama-sama tidak menduga bahwa mere-
ka akan bertemu dengan Pongge, sahabat seperguruan
ayah kandung mereka yang dulu pernah susah payah
mencari Panji Pura bersama Wiraga, (Baca serial Pen-
dekar Kembar dalam episode perdana : "Dendam As-
mara Liar").
Biang Tawa berkata lagi,
"Pantas sejak tadi aku merasa janggal dengan
wajah kalian. Sepertinya aku pernah melihat wajah ka-
lian, tapi di mana? Sekarang kuingat betul, wajah ka-
lian memang mirip dengan wajah Panji Pura yang
sampai sekarang tak ku ketahui di mana rimbanya
dan bagaimana nasibnya."
Raka Pura ingin ucapkan kata, tapi baru saja
mulutnya terbuka sedikit, tiba-tiba sekelebat bayangan
menyambar mereka dari arah belakang.
Wuuut...! Bruuus...!
Biang Tawa terlempar dan jatuh tersungkur
dengan sangat menyedihkan. Sementara itu, sepasang
Pendekar Kembar saling melompat ke kanan dan ke ki-
ri ketika bayangan itu menerjang Biang Tawa. Namun
mereka berdua segera pasang kuda-kuda dan bersiap
menerima serangan berikutnya dari lawan.
"Uuuukh...!" Biang Tawa mengerang sambil be-
rusaha bangkit dari jatuhnya. Pada saat itu, mata
Pendekar Kembar tertuju kepada sesosok tubuh ber-
kulit kuning langsat dan mengenakan jubah tanpa
lengan warna biru muda. Ternyata ia seorang gadis
yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, namun
mempunyai kecantikan yang matang dan pandangan
mata yang sedikit jalang.
Gadis berambut panjang diikat ke belakang itu
menatap Soka dan Raka secara bergantian. Gerakan
matanya yang cepat, pukulan Biang Tawa yang bertenaga dalam cukup besar itu meleset dari perut gadis
berjubah biru muda itu.
Wuuut, weees...!
Gadis yang juga mengenakan penutup dada
merah dan kain penutup pinggulnya juga merah tipis
itu segera lakukan lompatan melambung ke atas den-
gan cepat.
Weess...! Akibatnya pukulan Biang Tawa mele-
set dari sasaran dan ia sendiri nyaris terkena tendan-
gan kaki gadis itu saat sedang bergerak turun.
Raka Pura segera lepaskan pukulan tanpa sinar
dari jarak lima langkah ke arah gadis berdada sekal
itu. Wuuuut...! Gelombang pukulan tanpa sinar itulah
yang membuat kaki gadis itu tertahan hingga tak jadi
kenai punggung Biang Tawa. Gelombang pukulan ter-
sebut cukup besar.
Wees...! Buuukh...! Pukulan itu membuat gadis
itu akhirnya terpelanting mau jatuh saat daratkan kaki
ke bumi.
Ia segera tegang memandang Raka, karena ia
tahu Raka yang melepaskan pukulan tersebut. Ia tam-
pak tak senang usahanya mencelakai Biang Tawa ter-
ganggu oleh ikut campurnya Raka. Karenanya ia sege-
ra berseru dengan suara lantangnya.
"Rupanya kalian adalah si kembar dari Puri
Cawan Mesum?!"
"Salah! Kau keliru, Nona!" sergah Soka Sambil
melangkah lebih dekat lagi.
"Kami bukan orang Puri Cawan Mesum! Kakak
ku hanya menyelamatkan Paman Biang Tawa dari ten-
dangan maut mu yang tak beralasan itu!"
"Manusia bodoh!" geram gadis berhidung bangir
itu. "Kalian tak tahu persoalan antara pihakku dengan
pihaknya si Biang Tawa ini. Mengapa kalian mau ikut
campur?! Kalian akan menyesal seumur hidup jika
membela pihak Puri Cawan Mesum!"
"Baik, kami tak akan ikut campur," sergah Ra-
ka. "Tapi jelaskan dulu alasanmu menyerang Paman
Biang Tawa!"
"Mereka telah mencuri kitab pusaka Guntur
Bayangan' milik kakekku!"
"Kitab Guntur Bayangan?!" gumam Raka tanpa
sengaja bersamaan dengan gumam keheranan Soka
Pura. Mereka pun akhirnya beradu pandang dengan
dahi berkerut.
"Kalau tak salah kitab itulah yang membuat te-
wasnya Ki Mandura di tangan Tandu Sangrai," bisik
Raka kepada Soka Pura.
"Sebenarnya siapa orang yang berhak memiliki
kitab itu?"
"Aku tak tahu," bisik Raka. "Waktu itu Ki Man-
dura hanya mengatakan bahwa kitab tersebut adalah
milik kakaknya Ki Mandura, yaitu si Rayap Sewu. Tapi
sejak si Rayap Sewu tewas, kitab itu hilang dan diduga
telah dicuri oleh salah satu murid si Rayap Sewu. En-
tah siapa yang berhak sebenarnya?!" (Baca serial Pen-
dekar Kembar dalam episode : "Gua Mulut Naga").
Suara gadis berbibir menggiurkan itu terdengar
lagi dengan lantang.
"Jika kalian memihak Puri Cawan Mesum, be-
rarti kalian ikut mempertahankan kitab tersebut! Maka
aku pun terpaksa tega membantai kalian, karena ka-
kekku telah mengutus ku untuk membantai semua
orang Puri Cawan Mesum jika kitab itu tak diserahkan
kembali kepadaku!"
Baru saja si gadis selesai bicara, tiba-tiba Biang
Tawa yang tadi sedang menahan rasa sakit di tulang
punggungnya akibat terjangan pertama tadi, kini mulai
keraskan kedua jari tangannya dan jari itu pun disen-
takkan ke depan dengan kaki kiri terangkat ke bela-
kang dan tangan kiri merentang bagai orang menari
balet. Suuut...! Deees...!
Hawa padat berupa tenaga dalam tanpa sinar
telah melesat dari jari tangan Biang Tawa. Jurus
'Monyet Gembira' dilepaskan kembali, dan jurus itu te-
pat kenai pinggang kiri gadis berjubah biru itu. Wajah
si gadis pun berubah dari berang menjadi kalem, dari
kalem menjadi tersenyum, dari tersenyum menjadi
mengikik geli, dan akhirnya terpingkal-pingkal sendiri
karena saraf tawanya telah ditotok oleh jurus 'Monyet
Gembira' itu. Saraf tawa yang terbuka lebar akibat to-
tokan membuat si gadis tak mampu menahan hasrat
tertawanya.
"Hik, hik, hik...! Hiiii, hi, hi, hi, hi...! Lucu, lucu,
aaah, hah, hah, hah, hah...!"
"Ya ampun. Amit-amit, cantik-cantik terta-
wanya kok mirip kuntilanak liar?!" ujar Soka yang ikut
tersenyum geli bersama kakak kembarnya. "Kau pun
tadi begitu," ujar sang kakak.
"Jurus aneh itu memang sukar dikendalikan,"
ucap Soka sambil makin tersenyum geli melihat gadis
itu terpingkal-pingkal sampai tubuhnya membungkuk-
bungkuk.
"Haaaah, hak, hak, hak, hak...! Ihiiiik, ihik,
ihiik, ihik...."
Biang Tawa bersuara dalam senyumannya,
"Mampus, mampuslah situ! Nikmati saja kematian
yang penuh tawa itu, Gadis konyol!"
"Paman, siapa gadis itu sebenarnya?" tanya Ra-
ka Pura.
"Dia yang berjuluk Dewi Binal, cucunya Tabib
Kubur dari Bukit Gamping. Kudengar Tabib Kubur
pernah mengobati orang gila dengan cara dikubur hi-
dup-hidup dan akhirnya orang gila itu bangkit dari
liang kubur dalam keadaan waras, tapi larikan diri
sambil mencuri kitab pusaka sang Tabib."
"Apakah... apakah orang gila itu adalah ayah
kami; Panji Pura?"
"Aku tak jelas tentang siapa si orang gila itu.
Yang ku tahu, sejak saat itu Tabib Kubur selalu men-
curigai setiap orang sebagai pencuri kitab pusakanya."
"Apakah kitab pusaka itu adalah Kitab Guntur
Bayangan?"
"Itu pun aku tak jelas, Soka. Dan aku tak tahu
kalau Dewi Binal diperintahkan menyerang pihakku,
sementara aku sendiri tak pernah dengar Kitab Guntur
Bayangan ada di Puri Cawan Mesum! Sebaiknya kalian
segera ikut aku, menghadap ketua Puri Cawan Mesum
supaya...."
Belum selesai si Biang Tawa lanjutkan kata-
katanya, mendadak tubuh Dewi Binal yang terhuyung-
huyung sambil hamburkan tawa tak bisa di hentikan
itu lenyap dalam satu kelebatan cepat. Seseorang telah
menyambarnya dan membawanya lari. Hal itu mem-
buat Raka dan Soka sangat terkejut. Lebih terkejut lagi
setelah mereka mendengar Biang Tawa berkata dengan
nada menyentak kaget.
"Hei...?! itu dia si Setan Cabul!"
"Setan Cabul?!" gumam Soka lirih sekali. Lalu
ia segera berkata kepada kakaknya.
"Raka, tetaplah di sini, aku akan merebut Dewi
Binal dari tangan si Setan Cabul! Kurasa Dewi Binal
bisa jelaskan siapa orang gila yang pernah disembuh-
kan oleh kakeknya itu! Ayah kita atau bukan?!"
"Tak perlu, Soka. Sebab...."
Wuuuuz...! Tanpa pedulikan ucapan sang ka
kak belum selesai, Soka Pura segera gunakan jurus
'Jalur Badai' yang mempunyai kecepatan berlari mele-
bihi hembusan badai paling cepat. Raka Pura mengge-
ragap sebentar, lalu bergegas untuk menyusul adik-
nya. Hanya saja, secara tiba-tiba dan sangat di luar
dugaan, punggungnya ditotok oleh tangan Biang Tawa
yang membuat seluruh uratnya menjadi lemas, tulang-
tulangnya terasa remuk semua.
Deeeb..! Tubuh yang terkulai itu segera diteri-
ma oleh Biang Tawa, kemudian dipanggul ke pundak
dan dibawanya pergi ke Puri Cawan Mesum.
"Salah satu dari kalian harus menghadap sang
Ketua, biar aku tak kena hukuman!" ujar Biang Tawa
bagaikan bicara pada diri sendiri sambil membawa lari
tubuh kekar yang dipanggulnya memakai kekuatan te-
naga dalam hingga tampak seperti menyampirkan sa-
rung basah di pundak.
Soka Pura menggerutu sendiri dalam pengeja-
rannya. "Sialan! Jika benar orang yang menyambar
Dewi Binal itu adalah si Setan Cabul, berarti dia mem-
punyai kemampuan gerak sama cepatnya dengan ge-
rakan jurus 'Jalur Badai' ku?! Sampai sekarang aku
masih belum bisa menyusulnya. Tapi aku tak akan
kehilangan arah karena suara tawa si Dewi Binal ma-
sih terdengar terus. Uh, edan betul gerakan si Setan
Cabul itu! Kalasura dan orang-orang yang mengiku-
tinya menyangka si Setan Cabul bergerak ke arah
Candi Palagan. Tapi ternyata Setan Cabul ada di dae-
rah ini! Apakah jalan ini adalah jalan menuju Candi
Palagan juga?!"
Suara tawa yang terkikik-kikik tanpa bisa di-
kendalikan lagi itu telah menjadi sasaran arah pelarian
Soka Pura. Dalam tekadnya, Soka Pura harus bisa se-
lamatkan gadis itu, karena ia berharap gadis itu dapat
berikan keterangan tentang orang gila yang disembuh-
kan kakeknya dengan cara dikubur itu. Karenanya,
meski sampai beberapa saat orang yang menyambar
Dewi Binal itu belum bisa terkejar, namun Soka tak
mau berhenti sampai di situ saja. ia memburunya te-
rus sambil sesekali pertajam pendengarannya untuk
mendengarkan arah suara tawa terpingkal-pingkal itu.
Pengejaran dilakukan hingga di kaki sebuah
bukit. Di sana suara itu terdengar tak bergerak ke ma-
na-mana lagi. Soka Pura merasa lega, karena dia yakin
bahwa si penyambar Dewi Binal telah hentikan pela-
riannya. Dalam waktu sekejap, Soka pun akhirnya tiba
di kaki bukit itu dan temukan si Dewi Binal yang se-
dang dibaringkan dl tanah berumput oleh seorang le-
laki berpakaian hijau kumal, wajah beringas, kumis
lebat, mata liar. Soka Pura langsung saja membentak
tokoh berambut panjang acak-acakan itu.
"Hentikan tindakanmu, Setan Cabul!"
Wajah beringas segera berpaling pandangi Soka
Pura dengan seringai menyeramkan.
"Grrrhmm...!" Setan Cabul menggeram. Posi-
sinya yang tadi merangkak di atas tubuh Dewi Binal,
kini telah bangkit dengan kedua tangan mengeraskan
jarinya bagai ingin menyerang dengan Jurus cakar
mautnya. Sementara itu, Soka Pura tampak tenang
dan penuh waspada. Tak ada rasa takut sedikit pun
pada pemuda itu. Sedangkan Dewi Binal masih ter-
pingkal-pingkal di rerumputan dengan berbagai gaya
dan tingkah yang sebenarnya memang menggelikan
itu.
"Setan Cabul! Tinggalkan gadis itu atau kukirim
kau ke liang kubur?!" ujar Soka dengan lantang dan
tegas. Setan Cabul semakin menggeram ganas dan
menampakkan wajah liarnya.
*
**
EMPAT
SETAN CABUL tidak segera bertindak. Matanya
yang liar hanya memandang dengan lebih tajam lagi.
Suara geramnya terdengar sesekali sambil ia melang-
kah menjauhi Dewi Binal. Padahal Soka Pura sudah
slap hadapi serangan Setan Cabul. Kedua tangannya
telah terangkat sebatas dada. Pukulan tenaga dalam
disalurkan ke telapak tangan kirinya, sewaktu-waktu
dapat dilepaskan untuk menghantam dada atau kepala
si Setan Cabul.
Tetapi orang angker itu akhirnya Justru henti-
kan langkah dan, hentikan suara geramannya. Ma-
tanya memandang tak berkedip dengan dahi berkerut.
Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk
menyerang pemuda tampan itu. Soka Pura sendiri me-
rasa aneh melihat sikap diamnya si Setan Cabul, na-
mun ia sengaja tak bicara apa pun sebelum Setan Ca-
bul ucapkan kata.
"Siapa kau, hmmmr...?!" "Pertanyaan yang ba-
gus! Untung kau bertanya siapa diriku, jika tidak kau
akan terkejut, melihat tubuhmu pecah di tanganku,
Setan Cabul!"
"Sebutkan siapa dirimu, Jahanam!" bentak Se-
tan Cabul dengan suara keras, ia tampak tak sabar
menahan murka dalam hatinya.
Soka menjawab dengan tenang dan menurun-
kan kedua tangannya yang sudah siap lepaskan puku-
lan itu. Bahkan ia sempat tersenyum tipis dengan mata melirik Dewi Binal sekejap.
"Perlu kau ingat dalam otakmu, aku adalah So-
ka Pura, murid mendiang Eyang Guru Dewi Kencan!
Akulah yang bergelar Pendekar Kembar dari Gunung
Merana!"
Setan Cabul tampak melebarkan mata walau
sedikit. Ia kelihatan gusar sambil melangkah mundur
pelan-pelan. Soka melihat rona ketakutan muncul di
wajah beringas itu.
"Apakah... apakah kau memang anak kem-
bar?!"
"Benar, aku dan kakakku; Raka Pura adalah
anak kembar! Sebab itulah kami berjuluk Pendekar
Kembar. Oleh karena itu, kusarankan padamu agar
jangan ganggu gadis itu jika kau ingin panjang umur,
banyak rezeki, enteng jodoh dan disayang mertua!"
Setan Cabul melangkah mundur lagi sambil se-
sekali matanya melirik ke arah pedang kristal di ping-
gang kanan Soka Pura. Sementara itu, Dewi Binal ma-
sih hamburkan tawa hingga mengecil dan nyaris tak
terdengar lagi. Tapi tubuhnya yang meringkuk masih
terguncang-guncang sebagai tanda tawanya masih
ada.
"Bocah ingusan, lain kali kita bertemu dalam
satu pertarungan beradu nyawa!" Tiba-tiba saja si Se-
tan Cabul berkata demikian, dan setelah itu ia melesat
pergi bagai menghilang ditelan bumi. Laaap...!
Tahu-tahu Soka Pura melihat si Setan Cabul
sudah berada di tempat yang amat jauh dan masih te-
tap berlari menjauhi kaki bukit tersebut.
"Aneh!" gumam hati Soka Pura. "Mengapa ia
tampak takut sekali berhadapan denganku?! Rupanya
nama Pendekar Kembar punya kekuatan gaib sendiri
yang membuat lawan menjadi ciut nyali. Oh, hebat sekali nama Pendekar Kembar itu!"
Memang tak habis pikir jika si Setan Cabul
sampai meninggalkan lawannya dalam keadaan keta-
kutan begitu. Padahal lawannya hanya bocah kemarin
sore ukurannya. Padahal pula, jika ia sudah punya
niat memperkosa seorang perempuan, maka siapa pun
yang menghalangi hasratnya itu pasti akan disingkir-
kan, baik disingkirkan orangnya atau disingkirkan
nyawanya. Tapi kali ini ternyata Setan Cabul hanya bi-
sa memendam kemarahannya walau Si Pendekar
Kembar termasuk penghalang hasrat memperkosanya.
Akhirnya Soka tak mau pikirkan lagi kejangga-
lan itu. Ia cenderung memperhatikan nasib si gadis
cantik yang terkulai lemas dengan wajah merah sambil
masih menghamburkan tawa tanpa suara. Napas gadis
itu sudah tersengal-sengal, sehingga tawanya sendiri
pun terputus-putus. Tawa itu sukar dihentikan jika
Soka Pura tidak segera menotoknya dengan jurus
Sambung Nyawa', seperti yang dilakukan Raka kepa-
danya tadi.
Jurus 'Sambung Nyawa' bukan saja mele-
paskan pengaruh totokan jurus 'Monyet Gembira' saja,
namun juga memulihkan kekuatan dan tenaga yang
telah hilang akibat terkuras oleh tawa tak wajar itu.
Dewi Binal akhirnya sadar siapa orang yang menolong
menghentikan tawanya tadi.
"Kau...," gumamnya lirih sambil mata indahnya
yang berkesan sedikit nakal itu memandang tak ber-
kedip kepada Soka Pura. Yang dipandang sengaja pa-
merkan senyum dengan sikap berdiri santai, lengan
kanannya bersandar di pohon, kedua jempol tangan-
nya diselipkan di ikat pinggang kain merah. Dalam
keadaan seperti itu, pemuda berambut panjang tanpa
ikat kepala itu tampak semakin menawan dan menggoda hati setiap wanita.
"Kucing kurap!" gerutu hati Dewi Binal. "Dia
membuat hatiku berdebar-debar terus. Sialan! Sulit
sekali bersikap tegas dan galak di depannya."
Sekalipun hati berkata demikian, namun Dewi
Binal tetap berusaha bersikap tegar dan tak mau mu-
rah senyum kepada pemuda gagah itu. Ia menjaga
harga dirinya agar tak dinilai sebagai gadis murahan,
walaupun nanti jika sudah menjadi akrab ia akan san-
gat murah senyum dan murah cium.
"Mengapa kau menolongku dari pukulan jaha-
nam orang Puri Cawan Mesum itu?!"
Soka Pura menjawab dengan seenaknya.
"Iseng-iseng saja! Daripada tak ada kerjaan,
eeeh... coba-coba menotok tubuhmu agar jadi patung,
ternyata malah menghentikan tawamu."
"Hmmmm!" Dewi Binal mencibir tak percaya.
"Samar-samar kulihat bayangan Si Setan Cabul
pergi dari Sini. Apakah benar dia si Setan Cabul?"
"Entah ya...!" sambil Soka sentakkan kedua
pundaknya. "Aku orang baru di sini jadi belum kenal
siapa-siapa. Mungkin saja orang tadi adalah Setan Ca-
bul, tapi mungkin juga dia Setan Ngibul!" senyum Soka
dilebarkan sebagai tanda hatinya digelitik rasa geli oleh
jawabannya sendiri.
Dewi Binal sebenarnya ingin tertawa, tapi kare-
na merasa pertanyaannya dipermainkan, maka justru
yang tumbuh di hatinya adalah rasa kesal dan ingin
menampar Soka Pura. Wajahnya kian dibuat ketus
dan seangkuh mungkin, agar pemuda itu tidak mere-
mehkan tiap pertanyaannya. Tapi dalam hatinya ia
bertanya pada diri sendiri dengan nada kagum.
"Siapa pemuda ini sebenarnya, sehingga si Se-
tan Cabul tak berani berhadapan dengannya?! Menurutku, orang yang menyambar ku dan membawaku
sampai di sini adalah si Setan Cabul. Mungkin dia
mau memperkosaku seperti para korban lainnya, tapi
niatnya menjadi urung setelah kemunculan si tampan
yang konyol ini!"
Soka Pura mencabut sehelai ilalang dan dipakai
untuk mainan tangannya secara iseng. Namun pada
saat itu ia ajukan tanya kepada Dewi Binal tanpa me-
mandangi orangnya.
"Apakah benar kau cucunya Tabib kubur dari
Bukit Gamping?!"
"Siapa kau sebenarnya, sehingga mengetahui
nama kakekku?!"
Soka tertawa pendek. "Hmmm...! Kau ini di-
tanya belum menjawab sudah ganti bertanya? Apakah
kau tak paham dengan bahasa yang kugunakan ini?'
Apakah aku harus memakai bahasa monyet purba?"
"Aku bukan jenis monyet purba, Setan!" bentak
si gadis dengan tambah jengkel.
"Biang Tawa menjelaskan padaku tentang diri-
mu," kata Soka serius. "Aku tertarik untuk mengetahui
orang gila yang disembuhkan oleh kakekmu itu. Mau-
kah kau menceritakan tentang orang gila itu, Dewi Bi-
nal?!"
"Jelaskan dulu siapa dirimu!"
"Aku dan kakakku adalah Pendekar Kembar.
Dia bernama Raka dan aku Soka!"
Dewi Binal pandangi sambil manggut-manggut.
Lalu terdengar suara ajukan tanya dalam nada tegas.
"Apa perlunya kau mengetahui orang gila yang
disembuhkan kakekku itu?!"
"Hmmmm... hmmm..., benarkah dia mencuri
kitab pusaka dari kakekmu?" Soka sengaja menutupi
maksud sebenarnya, karena ia tak ingin terlalu membuka pribadinya di depan gadis yang baru dikenalnya.
"Semula kami menyangka begitu. Tapi belakan-
gan kami dengar kitab pusaka itu ada di tangan ketua
Puri Cawan Mesum. Jadi kami harus merebut kitab itu
secepatnya sebelum isi kitab telanjur dipelajari oleh
orang-orang Puri Cawan Mesum?"
"O, begitu...?" Soka menggumam datar dan
angguk-anggukkan kepala. Setelah diam beberapa
saat, ia pun perdengarkan suaranya kembali dengan
nada bersungguh-sungguh.
"Aku ingin bertemu dengan kakekmu. Maukah
kau membawaku bertemu dengan beliau?"
"Aku harus merebut kitab pusaka itu dulu!"
"Itu soal mudah. Aku akan membantumu jika
benar kakekmu yang berhak memegang kitab terse-
but."
Dewi Binal pertimbangkan keputusannya. Ia
pandangi Soka tanpa berkedip dengan batin berkeca-
muk sendiri. Soka Pura masih bermain daun ilalang
sambil sesekali melirik Dewi Binal yang berbelahan
dada mengundang selera itu.
"Aku bersedia membawamu kepada kakekku,
tapi ada syarat yang harus kau penuhi," kata Dewi Bi-
nal secara tiba-tiba.
"Apa syaratnya?!"
"Dua syarat yang harus kau penuhi itu adalah:
pertama, kau harus membantuku merebut kembali Ki-
tab Guntur Bayangan itu. Kedua...."
Belum habis bicara, Dewi Binal terpaksa ditarik
tangannya oleh Soka Pura. Tarikan kuat membuat De-
wi Binal bagaikan jatuh dalam pelukan pemuda itu.
Tetapi tangan kiri pemuda itu segera berkelebat dalam
jarak dua jengkal dari kepala Dewi Binal.
Wuuuut, jleeep...!
Daun ilalang yang dipegang tangan kiri Soka
menjadi korban hujaman sebatang jarum warna me-
rah. Rupanya mata tajam Soka Pura melihat gerakan
jarum yang melesat dengan sangat cepat ke arah kepa-
la Dewi Binal. Dengan gerakan yang sukar dipercaya,
jarum itu berhasil ditangkis Soka Pura dengan meng-
gunakan ilalang. Jarum tersebut menancap di perten-
gahan daun ilalang, tepat di bagian galih daun yang
keras itu. Tentu saja tenaga dalam Soka segera tersa-
lur ke daun tersebut, sehingga jarum merah itu tidak
bisa menembus lolos dari pertengahan daun.
Dewi Binal nyaris marah karena tarikan tangan
Soka yang membuatnya seakan jatuh dalam pelukan
pemuda itu. Tapi begitu melihat sebatang jarum merah
menancap pada daun ilalang, kemarahan Dewi Binal
beralih ke orang lain, yaitu ke pemilik senjata rahasia
dalam bentuk jarum merah itu.
"Seseorang ingin membunuhmu" ujar Seka Pu-
ra dengan mata memandang ke sana-sini. Lincah dan
tajam sekali."
"Keparat...!" geram Dewi Binal dengan pandan-
gan mata nanar. Daun ilalang diambil dari tangan So-
ka, jarumnya diperhatikan beberapa saat ilalang itu ti-
ba-tiba menjadi layu dan mulai akan mengering seba-
gai tanda bahwa jarum merah itu mengandung racun
yang cukup ganas.
"Aku tahu si pemilik jarum merah ini!" ujar De-
wi Binal sambil memisahkan diri dari Soka dalam jarak
tiga langkah ke sampingnya.
Kemudian gadis itu berseru dengan lantang dan
penuh keberanian.
"Keluar kau, Rahmini!"
Hidung gadis itu segera mengendus-endus se-
perti mencari aroma wangi yang mencurigakan. Soka
Pura pun ikut-ikutan menghirup udara melalui hi-
dung, lalu ia mencium bau wangi cendana secara sa-
mar-samar.
"Kau mencium bau wangi kayu cendana?"
tanya Dewi Binal.
"Memang aku sedang menikmati kewangian-
nya!"
"Pemilik jarum merah inilah yang mempunyai
pedang berbau wangi kayu cendana!"
"Siapa orang tersebut, Dewi Binal?!"
"Nanti akan ku kenalkan kepadamu, mungkin
setelah menjadi bangkai!"
Dewi Binal berseru lagi sambil pandangi sekeli-
lingnya, terutama arah datangnya jarum merah tadi.
"Keluar dari persembunyianmu, Perempuan
busuk! Jika kau masih penasaran melawanku, kita
bertarung sampai salah satu dari kita ada yang tewas!
Jika kau setuju, kau pasti keluar dari persembu-
nyianmu. Tapi jika kau tidak setuju, kuanggap kau te-
lah pergi, pulang ke perguruanmu dan mintalah kepa-
da gurumu untuk ditempatkan di bagian dapur saja!
Percuma kau hadir di rimba persilatan jika menjadi pe-
rempuan pengecut, Rahmini!"
Soka Pura tidak bertindak apa-apa kecuali
hanya memandang dan mengawasi setiap semak-
semak. Ia hanya bersikap menjaga dan mengawasi se-
tiap semak-semak. Ia hanya bersikap menjaga kesela-
matan Dewi Binal, karena ia tak ingin gadis itu celaka
sebelum membawanya ke Bukit Gamping dan memper-
temukan dengan Tabib Kubur.
Dewi Binal jengkel, lalu melepaskan pukulan
jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning me-
nyerupai bintang dari telapak tangan kirinya.
Claaap...! Duaaar...!
Semak-semak di bawah pohon dihantamnya
dengan pukulan bersinar kuning itu. Pohon tersebut
retak dan nyaris terbelah menjadi dua bagian. Dari ba-
lik pohon itulah segera muncul sekelebat bayangan
yang menghampiri pohon sebelahnya. Bayangan berge-
rak cepat itu bagai menjejak pohon tersebut, lalu tu-
buhnya meluncur lebih cepat lagi ke arah Dewi Binal.
Wuuuut...!
Dewi Binal melompat menghindari terjangan
bayangan tersebut sambil lepaskan sinar kuningnya
lagi.
Claaap...! Duaaarr...!
Sinar kuning itu tidak mengenal bayangan ter-
sebut, melainkan mengenai tanah berbatu. Tanah itu
segera menyebar ke udara dan bekas hantaman sinar
kuning membentuk cekungan lebar berasap tipis.
Tak jauh dari cekungan lebar itu kini berdiri
sesosok tubuh sekal berpinggul meliuk penuh undan-
gan bercumbu. Pinggul itu milik seorang perempuan
cantik berjubah hijau muda dengan kain dalamnya
warna merah tua. Rambutnya disanggul rapi sehingga
kulit lehernya tampak kuning mulus menggemaskan.
Bahkan matanya yang sayu menatap Soka Pura dan
membuat Soka Pura terperangah kaget begitu menge-
nali si perempuan berdada montok itu tak lain adalah
Tandu Sangrai, si pembunuh Ki Mandura yang juga
memburu Kitab Guntur Bayangan, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode : "Gua Mulut Naga").
"Iblis betina kau!" geram Dewi Binal sambil me-
nuding perempuan cantik yang menyandang pedang di
pinggang. Kayu sarung pedang itulah yang menyebar-
kan wewangian aroma cendana sejak tadi. Karenanya,
Dewi Binal yang sudah mengenali jenis senjata rahasia
si Tandu Sangrai semakin yakin bahwa ia akan berha
dapan dengan Tandu Sangrai karena mencium bau
cendana.
Kini Dewi Binal mencabut pedangnya dengan
wajah berang. Tandu Sangrai yang bernama asli Rah-
mini itu dihampirinya dengan penuh nafsu untuk
membunuh. Tandu Sangrai tenang-tenang saja. Bah-
kan ia sunggingkan senyum tipis kepada Soka sambil
melirik ke arah Dewi Binal.
"Cegah gadis ingusan itu agar tidak mati dalam
tiga langkah lagi, Soka!"
Serta-merta Soka mengangkat tangannya dan
berseru, "Tahan, Dewi...!" Ia pun bergegas menghadang
langkah Dewi Binal.
"Apa maksudmu menahanku, hah?!" bentak
Dewi Binal.
"Apakah kau kuda pemuas gairah si Iblis betina
itu, Soka?!"
"Maksudku... maksudku bukan begitu, Dewi!
Hmmm... aku akan selesaikan masalah ini. Aku di pi-
hakmu!" bisik Soka lirih.
Dewi Binal hembuskan napas kesal, tapi ia tak
berani menyingkirkan Soka dan menyerang Tandu
Sangrai. Mendengar bisikan Soka tadi, Dewi Binal
menjadi percaya kepada pemuda tersebut dan seakan
menyerahkan pertikaian itu kepada si pemuda. Karena
terbukti, Soka Pura segera hadapi Tandu Sangrai den-
gan sikap sebagai wakil dari Dewi Binal.
"Apa maumu sebenarnya, Tandu Sangrai?!"
"Aku akan melumpuhkan gadis itu biar kakek
nya menyerahkan kitab pusaka milik guruku!"
"Maksudmu, Kitab Guntur Bayangan?"
"Benar! Hak pemegang kitab itu ada di tangan
guruku, karena guruku adalah murid seperguruan
dengan mendiang Eyang Rayap Sewu! Hanya perguruan aliran kami yang berhak memiliki kitab tersebut!"
"Kau salah duga. Kitab itu tidak ada di tangan
kakeknya Dewi Binal, melainkan di tangan ketua Puri
Cawan Mesum!"
"Tidak mungkin!" bantah Tandu Sangrai. "Kitab
itu masih tetap ada di tangan Tabib Kubur. Tapi senga-
ja dikabarkan hilang supaya tak ada orang yang mem-
buru kitab itu kepadanya."
"Mulut busuk!" sentak Dewi Binal. "Kakekku ti-
dak punya kelicikan seperti itu! Hanya otak iblismu
yang bisa mengatur siasat seperti itu, Perem-
puan Lacur!"
"Hei, terlalu kasar bicaramu, Gadis ingusan!"
ujar Tandu Sangrai dengan sinis tapi kalem. Ia berkata
pula kepada Soka Pura.
"Ingatkan kepada gadis itu agar hati-hati bicara
dengan Tandu Sangrai, Soka! Jika ia bicara seenaknya
begitu, bukan mulutnya saja yang bisa kurobek dari
sini, tapi nyawanya pun bisa ku cabut dengan kelingk-
ing ku!"
Soka Pura tersenyum sinis. "Itu tak mungkin
kau lakukan selama masih ada aku di sini, Tandu
Sangrai!"
Perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh ta-
hun yang sempat tergila-gila oleh kemesraan Soka itu
kini memandang dengan mata mengecil seperti mena-
han kebencian kepada Soka. Bicaranya pun semakin
bernada lebih ketus lagi.
"Kau di pihak si cabo kencur itu, Soka?!"
"Jika kau beranggapan begitu, aku tidak kebe-
ratan," jawab Soka yang memang sudah kurang simpa-
ti lagi kepada Tandu Sangrai, terutama sejak Soka ta-
hu bahwa orang yang membunuh Ki Mandura adalah
Tandu Sangrai sendiri.
Jawaban Soka itu cukup menyakitkan di hati
Tandu Sangrai. Sebab dalam hatinya ia berharap agar
Soka masih seperti yang dulu; bergairah padanya dan
bersemangat dalam bercumbu. Begitu menyadari sikap
Soka sudah berubah, Tandu Sangrai pun mulai berka-
ta ketus kepada pemuda tampan yang doyan keme-
sraan itu.
"Jika kau memang berada di pihaknya, berarti
kau adalah musuhku dan orang yang harus kule-
nyapkan, Soka!"
"Aku sangsi, apakah kau bisa melakukan uca-
panmu itu atau tidak, Tandu Sangrai!"
"Kalau begitu kau perlu menjajal jurusku ini,
Sayang! Hiaaaah...!".
Tiba-tiba tangan kanan Tandu Sangrai menyen-
tak ke depan dengan kaki ke belakang dan merendah.
Sentakan tangan ke depan keluarkan sinar merah
yang melesat menghantam dada Soka Pura. Claaap...!
Tetapi Soka Pura tidak kalah sigap. Sinar me-
rah itu diadu dengan jurus 'Cakar Matahari', berupa
sinar putih berbentuk pisau runcing yang keluar dari
tangan kirinya pada saat tangan itu disentakkan ke
depan membentuk cakar tengkurap.
Claaap...!
Blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi saat kedua sinar itu
beradu di pertengahan jarak. Keduanya sama-sama
tersentak ke belakang karena hentakan gelombang le-
dak yang sangat kuat dan berudara panas itu. Tandu
Sangrai terjungkal tanpa ampun lagi, sedangkan Soka
Pura terpelanting nyaris jatuh jika tidak segera berpe-
gangan pada pohon.
Pada saat Tandu Sangrai jatuh terjungkal, Dewi
Binal yang sudah sejak tadi mencabut pedangnya itu
segera menerjang ke arah perempuan itu.
Wuuut...! Pedangnya ditebaskan dari atas ke
samping bawah. Wuuuus...!
Tandu Sangrai cepat sentakkan lengannya
hingga tubuhnya berguling ke samping. Dengan begitu
tebasan pedang Dewi Binal meleset dari sasaran. Tan-
du Sangrai cepat-cepat cabut pedangnya sendiri.
Sriiing...! Aroma cendana kian menyebar mewangi.
Tapi pedang itu ternyata tidak selembut bau
wewangiannya. Pedang itu berkelebat menebas kepala
Dewi Binal. Satu tebasan menghadirkan dua bahaya,
yaitu bahaya ketajaman pedang itu sendiri dan bahaya
serbuk beracun yang menyebar dari tepian mata pe-
dang tersebut.
Wuuuurs...! Pedang tersebut memang lolos dari
leher dan kepala Dewi Binal. Tetapi serbuk racun yang
menyebar terhirup napas Dewi Binal melalui hidung.
Seeerb...! Racun itu segera bekerja dengan ga-
nas. Wajah cantik Dewi Binal mulai berasap dan terasa
sangat panas. Dewi Binal memekik keras.
"Aaauh...!" Tangannya menutup wajah sambil
terbungkuk-bungkuk.
Keadaan terbungkuk begitu membuat Tandu
Sangrai dapat memenggal leher Dewi Binal dengan
mudah. Maka pedangnya pun berkelebat ke arah teng-
kuk kepala Dewi Binal.
Wuuut...!
Traaaang...!
Pedang itu terpental bersama pemegangnya,
karena Soka Pura buru-buru melepaskan jurus 'Mata
Bumi', berupa sinar merah seperti piringan yang me-
mutar cepat memercikkan bunga api, keluar dari tela-
pak tangannya.
Craaalp...! Wuuuurs...! Duaarr...!
Pedang beraroma cendana itu bukan saja ikut
terpental bersama pemiliknya, namun hancur berkep-
ing-keping begitu jatuh ke tanah bersama pemiliknya.
Karena sinar merah seperti piringan berputar itu tidak
kenai tubuh Tandu Sangrai, melainkan kenai mata pe-
dang tersebut, maka yang hancur hanya mata pedang
itu sedangkan Tandu Sangrai hanya terkena bias ca-
haya merah dari ledakan tadi. Bias cahaya merah itu
membakar pakaian perempuan tersebut bagian depan.
Sedangkan mulut perempuan itu sendiri menyembur-
kan darah segar pertanda bagian dalamnya terluka pa-
rah.
"Jahanam kauuu...!" geram Tandu Sangrai be-
gitu melihat pedang andalannya hancur berkeping-
keping. Tubuhnya yang mulai terbungkus api segera
berguling-guling di semak-semak dan api pun berhasil
dipadamkan.
"Ingat, Soka...! Selama ini aku mencari-cari mu
hingga melupakan tentang kitab tersebut, tapi begitu
kutemukan dirimu, kerinduan ku kau hancurkan den-
gan cara seperti ini. Kini yang ada dalam hatiku adalah
kebencian dan dendam padamu!"
Soka Pura diam saja, memandang iba kepada
perempuan jubah hijau yang tampak menitikkan air
mata. Perempuan yang merasa sulit bernapas itu be-
rusaha berkata lagi,
"Kita akan bertemu sekali lagi untuk tentukan
siapa yang mati di antara kita!"
Setelah lontarkan ancaman seperti itu, Tandu
Sangrai segera larikan diri dengan sempoyongan. Se-
benarnya Soka bisa saja mengejarnya, dan dengan
mudah membunuh perempuan itu. Tapi ia sengaja
membiarkan Tandu Sangrai pergi karena tak tega un-
tuk membunuhnya.
Kini ia lebih tertarik menolong Dewi Binal yang
meraung-raung dengan wajah menjadi hangus menye-
ramkan. Wajah cantik itu kini menjadi seperti arang
yang makin lama makin kering, hingga bagian lehernya
pup mulai ikut hangus pula.
"Celaka! Kalau tidak segera kutolong bisa mati
menjadi arang gadis ini!" ujar Soka dalam hati dengan
cemas. Ia segera membawa Dewi Binal ke tempat teduh
dan membaringkannya di sana.
"Aku tak kuat... aku tak kuat, oooh...! Pa-
naas...!" rintih Dewi Binal menyedihkan sekali.
*
* *
LIMA
PURI CAWAN MESUM terletak di kedalaman
hutan yang seolah-olah dibelah oleh sungai dangkal
berair jernih. Bangunan puri itu sendiri termasuk be-
rada di tepi sungai tersebut.
Bangunan puri itu terdiri dari satu bangunan
utama yang mempunyai tiga lantai bersusun, serta
dua bangunan samping kanan-kiri bangunan utama.
Dari kejauhan puri itu seperti gundukan batu besar
karena warna seluruh bangunannya yang hitam.
Beberapa penjaga ditempatkan di sudut-sudut
atau tempat-tempat tertentu. Di luar benteng puri juga
terdapat beberapa penjaga yang sewaktu-waktu siap
hadapi kedatangan musuh dari berbagai arah. Para
penjaga tersebut sebagian besar adalah kaum wanita
muda yang mengenakan busana tergolong seronok dan
wajah mereka pun cantik-cantik. Jika ada penjaga lelaki hanya sebagai pengintai-pengintai jarak jauh. Se-
luruh lelaki yang ada di tempat itu mempunyai wajah
yang tak dapat menarik perhatian kaum wanita.
Tak heran begitu Biang Tawa datang langsung
menjadi pusat perhatian mereka, karena Biang Tawa
membawa seorang pemuda tampan, gagah, dan kekar.
Terlebih setelah Biang Tawa melepaskan totokannya
dan Raka Pura sadar kembali, senyum Raka Pura
membuat beberapa wanita puri tersebut menjadi ter-
paku di tempat karena terpesona, dan ada pula yang
menjerit histeris karena luapan rasa gembiranya.
Ada pula yang sampai menangis tersedu-sedu
hingga beberapa saat lamanya tak bisa berhenti. Sete-
lah diselidiki ternyata gadis itu menangis karena kehi-
langan cincin permatanya ketika berdesak-desakan
mendekati Raka Pura tadi.
"Mereka tampak buas-buas terhadap seorang
lelaki," bisik Raka kepada Biang Tawa.
"Ya, memang pada umumnya mereka yang
tinggal di puri adalah wanita-wanita berselera tinggi.
Gairahnya besar, tapi haus akan belaian lelaki."
"Pantas Paman betah tinggal di sini, karena se-
tiap saat pasti berganti-ganti pelukan wanita."
"Dugaanmu keliru, Raka. Aku sudah dikebiri.
Setiap lelaki yang mengabdi di puri ini selalu dikebiri
lebih dulu. Tapi... bagi yang tampan sepertimu tentu
saja tidak akan dikebiri, sehingga dapat memenuhi se-
lera mereka."
Bejat sekali suasana di sini, Paman!"
"Aku tak bisa lepas dari kekuasaan sang Ketua,
karena siapa yang keluar dari anggota puri akan dibu-
nuh, agar tidak menjadi pengkhianat di kemudian ha-
ri. Aku takut dibunuh oleh sang Ketua, maka mau tak
mau aku tetap mengabdi di puri ini, Raka."
Sebelum Raka bicara lagi, Biang Tawa sudah
lebih dulu membawanya naik ke lantai atas tempat
sang Ketua berada.
"Kita sudah diberi isyarat oleh pengawal utama
agar segera menghadap sang Ketua! Jangan buang-
buang waktu, sebab jika sang Ketua jengkel, aku yang
kena hukuman!"
Puri itu dulu bernama Puri Cawan Pamujan,
milik seorang pertapa yang bernama Begawan Deksa-
wana. Pertapa sakti itu menurunkan ilmunya pada
saat menjelang kematiannya hampir tiba. Ia sempat
mempunyai tujuh belas murid yang diharapkan men-
jadi pewaris seluruh ilmu aliran sang Begawan.
Tetapi baru separuh ilmu yang dikuasai oleh
para murid, sang Begawan sudah meninggal lebih du-
lu. Akhirnya dari ketujuh belas murid Begawan Dek-
sawana itu sepakat untuk mengangkat salah seorang
sebagai ketua mereka. Namun beberapa saat kemu-
dian, mereka diserang oleh sekelompok perempuan liar
yang dipimpin oleh seorang wanita bertubuh tinggi, te-
gap, kekar, dan sekal. Wanita tinggi besar itu berhasil
menghimpun kekuatan dan menyerang puri tersebut.
Kekuatan yang tak seimbang membuat ketujuh belas
murid Begawan Deksawana tewas semua, sehingga pu-
ri dikuasai oleh wanita cantik bertubuh tinggi besar
yang tak lain adalah Betina Rimba.
Betina Rimba adalah mantan pengawal andalan
Ratu Cumbu Laras yang melarikan diri saat mau dija-
tuhi hukuman mati. Ia bahkan berhasil menyusup ke
Perguruan Elang Bumi dengan pihak Ratu Cumbu La-
ras. Dalam peristiwa itulah, Biang Tawa yang kala itu
bernama Pongge, mengenal Betina Rimba dan menjadi
akrab sekali, karena sahabat Biang Tawa yang berna-
ma Wiraga adalah kekasih Betina Rimba, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode : "Dendam Asmara
Liar").'
Dalam peristiwa merebut puri itu, Wiraga tewas
di tangan salah seorang murid Begawan Deksawana,
sedangkan Pongge masih hidup dan meneruskan pen-
gabdiannya kepada Betina Rimba. Sedangkan Pergu-
ruan Elang Bumi telah morat-marit dan menjadi be-
rantakan sejak meninggalnya sang guru: Resi Pang-
kayon. Puri tersebut akhirnya diganti nama menjadi
Purl Cawan Mesum, karena Betina Rimba selalu mem-
butuhkan lelaki yang dapat memuaskan gairahnya se-
perti Wiraga, namun sampai saat ini belum pernah
berhasil. Setiap lelaki yang dianggap tak bisa menya-
mai kehebatan cumbuan Wiraga selalu dilemparkan
kepada anak buahnya dan menjadi santapan gadis-
gadis pengikut si Betina Rimba itu.
Biang Tawa ditugaskan mencari Pendekar
Kembar bukan karena untuk dijadikan pemuas gairah
Betina Rimba, namun agaknya perempuan yang punya
ilmu awet cantik dan awet muda pemberian Ratu
Cumbu Laras itu mempunyai maksud-maksud terten-
tu dan hanya beberapa pengawal utamanya yang men-
getahui maksud tersebut.
Betina Rimba sempat terperanjat melihat Biang
Tawa membawa Raka ke hadapannya. Wajah anak
muda itu mengingatkan Betina Rimba pada seraut wa-
jah yang pernah dikenalnya, yaitu wajah Panji Pura.
Hati sang Ketua pun segera menyimpulkan siapa si
Pendekar Kembar itu sebenarnya.
"Kurasa dia adalah anak kembarnya si Panji
Pura! Wajahnya mirip sekali, dan... oh, sebaiknya aku
tak bicara tentang Panji Pura. Lebih baik aku berlagak
tidak mengenai Panji Pura daripada akhirnya akan bi-
kin pusing diriku sendiri."
Dari dulu Betina Rimba selalu tampil cantik
dan rambutnya yang cepak seperti rambut lelaki.
Hanya saja sekarang ia mengenakan logam kuning
emas kecil dengan batu merah di tengahnya yang meli-
lit di kepala.
Ia seorang perempuan berusia lebih dari empat
puluh tahun, tapi masih tampak seperti dua puluh tiga
tahun. Selain tinggi, tegap, dan kekar, ia juga keliha-
tan montok dan amat menggiurkan lelaki. Mata indah-
nya yang berkesan galak itu justru membangkitkan
khayalan mesum bagi setiap lelaki yang memandang-
nya.
Jika dulu ia hanya mengenakan kutang kuning
kecil bertali rantai dan cawat kuning kecil berantai ju-
ga, kini perempuan yang mempunyai banyak bulu di
tubuhnya itu mengenakan jubah merah mengkilap da-
ri bahan kain sejenis satin.
Melihat kecantikan dan kemolekan perempuan
seperti Betina Rimba, pemuda tampan itu tetap tenang
dan tak ada kesan tergiur atau kagum sedikit pun. Si-
kapnya tetap tenang, kalem, dan tegar.
"Aku mengenal betul siapa ayah kandungmu
sebenarnya, Raka Pura," ujar Betina Rimba setelah
Raka berterus terang mengenai tujuan pengembaraan-
nya.
"Kuharap kau mau tunjukkan padaku di mana
ayah kandungku itu berada, Betina Rimba!"
"Itu sangat mudah. Tapi kau harus membantu-
ku lebih dulu. Aku sengaja mengutus Biang Tawa un-
tuk mencari Pendekar Kembar, karena aku ingin men-
gikat satu perjanjian dengan kalian."
"Itulah sebabnya aku tak memberontak di sini,
karena aku penasaran ingin mengetahui maksudmu
sebenarnya!"
Betina Rimba berdiri dan tinggalkan tempat
duduknya. Ia dekati Raka Pura dengan pandangan ma-
ta lurus tak berkedip, seakan ingin menembus ke da-
lam bola mata Raka Pura. Pemuda itu tetap berdiri te-
gak dan tenang sekali.
"Raka Pura, ayahmu yang bernama Panji Pura
itu adalah putra seorang demang yang masih keturu-
nan bangsawan. Tapi sayang keluarganya dibantai ha-
bis oleh Ratu Cumbu Laras, tinggal ayahmu yang se-
lamat, karena pada waktu itu ayahmu berada dalam
pelukan Ratu Cumbu Laras sendiri. Setelah ayahmu
gila, ia kabur dari perguruannya dan menyepi di suatu
tempat yang jauh dari sini. Tapi aku tahu persis di
mana tempat itu, karena pada waktu itu aku sempat
bertemu dengan Panji Pura dan melihatnya memban-
gun sebuah gubuk sebagai tempat tinggalnya."
"Di mana gubuk itu berada?!" sergah Raka Pura
bagai tak sabar lagi.
"Nanti akan kuberitahukan setelah kau penuhi
syarat kerja sama ini."
"Syarat apa yang harus kulakukan?!"
"Membunuh si Setan Cabul!"
Raka terkesiap begitu mendengar perintah ter-
sebut. Terngiang kembali cerita si Manggara tentang
pemerkosaan Setan Cabul terhadap Cindawarti dan
beberapa cerita keganasan Setan Cabul lainnya terha-
dap beberapa perempuan yang menjadi korbannya.
Sebenarnya Raka Pura tak ingin terlibat urusan den-
gan si Setan Cabul, karena ia belum temukan ayah
kandungnya. Tetapi karena pertemuan dengan si Setan
Cabul merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mengetahui di mana ayah kandungnya berada, maka
mau tak mau Raka Pura harus menyetujui perjanjian
yang ditawarkan oleh Betina Rimba itu.
"Sudah banyak anak buahku yang menjadi
korban keganasan si Setan Cabul, sementara pihakku
sendiri ternyata sampai sekarang tak pernah berhasil
menangkap atau membunuh si Setan Cabul. Kuakui,
ia mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Tapi aku yakin,
sebagai Pendekar Kembar yang kudengar memiliki pu-
saka Pedang Tangan Malaikat...," mata Betina Rimba
melirik ke pedang kristal di pinggang kiri Raka. "...
maka aku yakin kau pasti bisa tumbangkan kekuatan
si Setan Cabul."
"Bagaimana mungkin kau bisa sangat yakin
bahwa pedangku ini punya kekuatan yang dapat me-
numbangkan kekuatan Setan Cabul?"
"Ketika aku berusia lima belas tahun, aku per-
nah mendengar cerita tentang kedahsyatan Pedang
Tangan Malaikat dari kakek buyut ku. Cerita itu sudah
lama menghilang dari ingatanku. Tapi belakangan ini
Pedang Tangan Malaikat menjadi bahan pembicaraan
di kalangan tokoh tua, dan aku sempat mendengarnya
dari seorang kenalan yang usianya sudah banyak. Dia
adalah pamannya Anggiri, si Perawan Hutan."
Raka Pura segera terbayang seraut wajah can-
tik milik gadis bernama Anggiri alias si Perawan Hu-
tan. Gadis itulah yang ikut dalam peristiwa di Gua Mu-
lut Naga. Anggiri mendapatkan Bunga Ratu Jagat, se-
dangkan Raka dan Soka mendapatkan pusaka Pedang
Tangan Malaikat, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Gua Mulut Naga"). Tapi sekarang mereka
berpisah dengan Anggiri, sejak Pawang Badai menya-
rankan agar Anggiri menemui gurunya dan memberi-
tahukan tentang apa yang diperolehnya dari Gua Mu-
lut Naga itu.
"Apakah kau tidak setuju dengan perjanjian
kerja sama ini, Raka Pura?!" tanya Betina Rimba
menggugah lamunan Raka.
"Selama kau menepati perjanjian ini, aku tak
akan menolaknya, Betina Rimba!"
"Aku tak akan ingkar janji! Bunuh si Setan Ca-
bul itu, dan akan kuberitahukan di mana Panji Pura
berada. Bila perlu akan kuantar sendiri kau ke tempat
pengasingan ayah kandungmu itu."
Raka Pura menarik napas. menahan rasa gem-
bira karena akan segera bertemu dengan ayah kan-
dungnya. Wajahnya memancarkan semangat yang ber-
kobar-kobar, hingga kata-katanya pun semakin tegas
dan lebih mantap lagi.
"Baik. Aku setuju dengan perjanjian ini. Dalam
waktu tak lama lagi riwayat hidup si Setan Cabul akan
tamat dan tak ada lagi pemerkosa keji yang berkeliaran
di permukaan bumi ini!"
"Bagus! Tapi, kurasa kau tak perlu berangkat
sekarang juga, Raka. Sebentar lagi petang akan tiba.
Kusarankan kau bermalam di puri ku ini, esok pagi
kau bisa berangkat mencari Setan Cabul!"
Raka Pura diam mempertimbangkan keputu-
sannya; haruskah ia bermalam di puri yang penuh
dengan wanita-wanita cantik itu? Apakah tak akan ada
gangguan batin jika ia bermalam di situ, sementara pe-
rempuan-perempuan cantik berdada montok dapat
muncul sewaktu-waktu dengan godaan mesranya?
"O, ya... mengapa kau tak datang bersama adik
kembar mu, Raka?" tanya Betina Rimba setelah mem-
bawa Raka ke ruang perjamuan.
"Soka Pura, adikku, sedang ada keperluan lain.
Tapi kurasa esok kami pasti akan bertemu."
Sambil menjawab demikian, batin Raka berke-
camuk sendiri.
"Ke mana aku harus mencari Soka Pura?! Dia
pasti berhasil menyusul si Dewi Binal. Mungkin dia se-
gera dibawa ke Bukit Gamping dan bertemu dengan
kakeknya Dewi Binal. Tetapi di mana letak Bukit
Gamping itu? Aku belum pernah ke sana. Hmmm...
kurasa Paman Biang. Tawa mengetahui tempat itu.
Esok akan ku desak agar Paman Biang Tawa mau me-
nunjukkan di mana Bukit Gamping berada."
Seandainya Raka tahu bahwa ia akan menda-
pat tawaran kerja sama seperti itu, maka ia tak akan
biarkan Soka Pura, adiknya, mengejar Dewi Binal. Cu-
kup datang kepada ketua Puri Cawan Mesum, maka
mereka akan mendapat keterangan di mana ayah kan-
dung mereka berada.
"Lalu bagaimana dengan Kitab Guntur Bayan-
gan?" pikir Raka menjelang malam tiba, saat ia duduk
di sebuah taman belakang bangunan utama.
"Sejak aku di sini tak kudengar Betina Rimba
menyinggung-nyinggung tentang Kitab Guntur Bayan-
gan. Apakah sengaja dirahasiakan atau memang tak
pernah ada pembicaraan tentang kitab tersebut? Tapi
mengapa Dewi Binal kelihatannya yakin betul bahwa
kitab itu ada di tangan Betina Rimba?!"
*
* *
ENAM
PERJALANAN menuju Bukit Gamping terhalang
petang. Dewi Binal yang berhasil disembuhkan oleh
Soka dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya, kini telah
sehat dan wajahnya menjadi cantik seperti sediakala.
Diam-diam gadis itu sangat bersyukur atas bantuan
Soka Pura dan semakin menyimpan rasa kagum ter-
hadap pemuda tampan itu.
"Aku punya seorang sahabat yang rumahnya
tak jauh dari sini. Kurasa tak ada jeleknya jika kita
singgah ke rumahnya untuk numpang bermalam di
sana," usul Dewi Binal.
"Semasa kau anggap itu hal yang baik, aku ti-
dak keberatan," ujar Soka Pura sambil melangkah
dampingi Dewi Binal.
Rumah yang dimaksud Dewi Binal terletak di
lereng bukit. Rumah itu terpencil dan tanpa mempu-
nyai tetangga satu pun. Dibangun menggunakan kayu-
kayu hutan yang ditumpuk-tumpuk dan ditata rapi
hingga menjadi rumah yang kokoh.
Ukuran bagian dalamnya tak seberapa luas, ta-
pi tanah sekelilingnya yang digunakan sebagai hala-
man berpagar bambu itu cukup lebar. Agaknya hala-
man itu sering digunakan sebagai tempat berlatih pu-
kulan-pukulan tangan kosong. Banyak batu dan kayu-
kayu yang berserakan dalam keadaan hancur pertanda
habis dipakai sebagai sasaran jurus-jurus yang dilatih.
Ketika Soka dan Dewi Binal tiba di rumah itu,
suasana alam sudah semakin remang-remang. Senja
semakin menghilang dan petang mulai datang. Dari ce-
lah-celah dinding kayu tampak biasan sinar lampu
minyak yang menerangi bagian dalam rumah. Tapi
keadaan rumah itu tampak sepi, tak terlihat gerakan
seseorang keluar dari rumah, atau suara-suara perca-
kapan di dalamnya.
"Siapa yang menempati rumah ini?" tanya Soka
sebelum mereka masuk ke halaman rumah tersebut.
"Sumo Gaok!"
"Siapa itu Sumo Gaok?!" Soka sengaja hentikan
langkah, mereka bicara dalam nada lirih karena sudah
berada di halaman rumah tersebut. Pintu pagar bambu
tinggi yang tak terkunci itu membuat mereka mudah
masuk tanpa timbulkan suara.
"Sumo Gaok adalah pelarian dari Pulau Ganda
Mayit yang pernah ditolong oleh kakekku."
Soka Pura tak jadi ajukan tanya lagi, karena
pintu rumah sudah dibuka sebelum mereka sampai di
depannya. Seorang lelaki bertubuh gemuk sekali den-
gan tinggi badan sedang telah muncul di ambang pin-
tu. Lelaki tak berkumis dan tak berjenggot itu menge-
nakan pakaian serba hitam dengan baju tidak dikan-
cingkan. Perutnya yang berlemak tampak membeng-
kak seperti perempuan hamil sembilan bulan.
Akibat kegemukannya itu lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun itu seperti mempunyai dua dagu.
Lehernya berkulit tebal dan sepertinya alot jika di-
penggal. Ia berambut panjang, tapi dikonde hingga dari
belakang mirip seorang perempuan.
"Sudah kuduga kau akan datang, Dewi! Huh,
huh, huh, huh...!" Sumo Gaok tertawa dengan mulut
maju. Bibirnya yang tebal dan pipinya yang mirip ba-
pao ganda itu sangat lucu jika dipakai untuk tertawa
atau cemberut. Matanya yang kecil tampak seperti ter-
pejam jika ia sedang tertawa.
Sumo Gaok menerima kedatangan Soka dan
Dewi Binal dengan ceria dan penuh suasana akrab.
Dalam beberapa kejap saja ia sudah berani lontarkan
canda cerianya kepada Soka Pura. Bagi Soka, keakra-
ban Sumo Gaok bagaikan seorang teman yang sudah
lama tak pernah saling jumpa.
"Sangat kebetulan sekali kau datang, Dewi. Le-
bih kebetulan sekali datang bersama pemuda tampan
yang membuat hatimu sejak tadi berdebar-debar...."
"Jangan ngomong sembarangan kau, Gaok!"
hardik Dewi Binal menutupi rasa malunya. Sumo Gaok
hanya tertawa.
"Huh, huh, huh, huh...!"
"Dari mana kau tahu kalau hatinya sejak tadi
berdebar-debar?" tanya Soka Pura.
"Aku dapat merasakan sisa getaran nadinya
yang sampai sekarang masih terasa bergetar. Huh,
huh, huh...! Kau pun sejak tadi juga berdebar-debar
Soka, karena kau punya khayalan indah tentang sa-
habatku si Dewi Binal ini! Huh, huh huh, huh...."
"Ah, bicaramu mulai kacau, Sumo Gaok," ujar
Soka sambil tersipu dan palingkan wajah ke arah lain.
Kata-kata itu diam-diam dicatat dalam ingatan Dewi
Binal, membuat debar-debar di hati Dewi Binal sema-
kin keras.
"Kalian tak usah malu-malu padaku. Aku bisa
membaca jalan pikiran kalian, karena ilmu itu belum
punah dariku," ujar Sumo Gaok. "Oleh sebab itu tadi
kukatakan; kebetulan sekali, sebab malam ini aku
akan pergi menemui seseorang. Kalian boleh tidur di
sini dan anggap saja ini rumah kalian sendiri."
"Kalau begitu, boleh kujual sewaktu-waktu,
Sumo Gaok?" canda Soka.
"Boleh saja, asal ditukar dengan pedangmu.
Huh, huh, huh, huh...!" Sumo Gaok tertawa sambil
melirik pedang kristal di pinggang kanan Soka.
"Apakah kau tahu kehebatan pedangku ini?"
"Tentu saja aku mengetahuinya, Soka. Salah
satu kehebatan pedangmu itu adalah dapat ditukarkan
ketan bakar di kedai-kedai. Huh, huh, huh, huh...!"
Soka Pura tersenyum masam. Dewi Binal me-
nangkap rasa tersinggung Soka dalam canda itu. Ka-
renanya gadis itu segera berkata kepada Soka.
"Sumo Gaok gemar bercanda. Jangan tersinggung dengan candanya tadi."
"O, tidak! Aku tidak tersinggung."
"Huh, huh, huh, huh...! Maafkan aku kalau
menyinggung perasaanmu, aku tidak bermaksud
menghina pedangmu, Soka," sambil Sumo Gaok mene-
puk-nepuk bahu Soka Pura. "Aku tahu pedangmu itu
pedang sakti, sekalipun aku tak tahu seberapa tinggi
kesaktiannya. Yang jelas, kau pasti berani memperta-
ruhkan nyawamu demi mempertahankan pedang itu."
"Lupakan anggapan Dewi Binal tadi. Aku sama
sekali tidak tersinggung, Sumo Gaok," sambil Soka Pu-
ra sunggingkan senyum berkesan ramah lagi.
"Nah, berbahagialah kalian, karena aku harus
pergi sekarang juga."
"Mau ke mana kau sebenarnya, Gaok?!" tanya
Dewi Binal.
"Hanya sekadar jalan-jalan sambil membunuh
si Setan Cabul."
"Hahhh..,?!" Soka Pura dan Dewi Binal terkejut
walau Sumo Gaok bicara dengan santai dan sambil
melangkah ke pintu.
"Gaok! Jangan main-main dengan Setan Cabul!
Ilmunya sangat tinggi! Kau bisa diperkosa dari bela-
kang jika nekat melawannya."
"Huh, huh, huh, huh...! Tenang saja, Dewi. Aku
tak akan melawannya jika aku tak bisa menumbang-
kannya dalam tiga jurus."
"Gaok, jangan gila kau! Lebih balk tak usah te-
mui si Setan Cabul!"
"Ooh, nanti aku tak dapat upah, lalu aku harus
makan dari mana kalau tak mendapatkan uang buat
jajan di kedai dan beli perempuan malam. Huh, huh,
huh, huh...!"
Ketika orang gemuk itu melangkah keluar ru
mah, Dewi Binal buru-buru melesat menghadang
langkah sahabatnya, sementara itu Soka pun segera
menyusul, sehingga mereka kini berada di halaman
depan rumah itu.
"Gaok, siapa yang menyuruhmu membunuh si
Setan Cabul?! Siapa yang akan mengupah mu?!"
"Utusan dari Puri Cawan Mesum datang mene-
muiku sebelum senja tiba tadi!"
"Oh...?!" Dewi Binal dan Soka Pura terkejut.
Tapi orang gemuk itu tidak peduli dengan keterkejutan
mereka berdua.
"Hanya aku yang tahu tempat tinggal si Setan
Cabul! Karenanya aku sekarang akan ke sana dan
membunuhnya! Huh, huh, huh...!"
"Bagaimana kalau kau gagal, Sumo?" tanya So-
ka Pura.
"Sumo Gaok tak pernah gagal jika melawan
siapa pun. Sebelum gagal, pasti sudah kabur lebih du-
lu, huh, huh, huh...!"
Setelah berkata begitu, Sumo Gaok langsung
pergi dengan satu sentakan yang membuatnya melom-
pati pagar halaman rumahnya.
Wuuuut...! Dewi Binal ingin mengejar, tapi So-
ka Pura segera mencekal lengan gadis itu dan mem-
buat langkah si gadis tertahan.
"Percuma saja kau mengejarnya, ia tetap tidak
akan mengubah niatnya!"
"Tapi dia bisa celaka di tangan si Setan Cabul!"
Dewi Binal tampak cemas.
"Dia tak akan celaka. Aku yakin dia bukan saja
berbadan besar atau berilmu tinggi, tapi juga berotak
licik. Ia akan gunakan akalnya untuk selamatkan diri
sendiri."
Tanpa sadar Dewi Binal ikuti langkah Soka masuk ke dalam rumah. Soka duduk di sebuah bangku
panjang dari kayu jati yang ada di dekat meja, di sebe-
rang dipan beralas tikar pandan. Dewi Binal masih
berdiri di samping pintu yang masih terbuka. ia me-
mandangi kegelapan malam dalam satu renungan pri-
badi. Setelah meletakkan pedang di meja, Soka Pura
merebahkan badan telentang di bangku panjang itu
dengan kedua kaki menapak di tanah di kanan-kiri
bangku. Nafasnya terhembus panjang-panjang bagai
sedang melepaskan kelelahan yang mulai merayapi tu-
buhnya.
Tiba-tiba Dewi Binal berkata dari tempatnya
berdiri dengan suara agak keras.
"Kau bilang tadi, Setan Cabul tampak takut ke-
padamu dan segera pergi tak jadi memperkosaku.
Mengapa ia takut padamu, Soka?"
Tanyakan saja kepada si Setan Cabul! Ten-
tunya dia lebih tahu dariku."
Setelah menutup pintu, Dewi Binal dekati Soka
Pura sambil berkata dengan senyum tipis mengembang
di bibirnya yang sensual itu.
"Barangkali wajahmu lebih menyeramkan dari-
pada wajahnya?"
Soka Pura tertawa agak keras, tak menduga si
cantik bermata menggoda itu bisa berkelakar seperti
itu. Soka Pura bangkit dan duduk pandangi Dewi Binal
yang berdiri di depannya. Gadis itu akhirnya duduk di
samping Soka Pura saat Soka berkata dengan sisa ta-
wa gelinya.
"Canda mu lucu juga. Kenapa tidak sejak tadi
kau mau bercanda begitu?"
"Karena baru sekarang kusadari wajahmu me-
mang lebih mengerikan daripada wajah si Setan Cabul."
"Berarti kau tak suka dengan wajahku?" Soka
menatap dalam-dalam dengan senyum menawan.
"Justru aku suka wajah yang sangat mengeri-
kan. Maksudnya, mengerikan kalau sampai ditinggal-
kan."
"Hah, haa, haaa, ha...!" Soka Pura tak segan-
segan lepaskan tawanya. Dewi Binal tersenyum malu
dan melengos ke samping. Soka Pura mencubit pipi
Dewi Binal karena gemas. Tapi tiba-tiba tangan yang
mencubit itu ditangkap cepat-cepat oleh tangan Dewi
Binal. Teeb...! Wajah itu berpaling memandang Soka
dengan tajam.
"Jangan ngelunjak!" hardik gadis itu. "Kau bo-
leh bercanda denganku, tapi tak boleh lakukan keraji-
nan tangan!"
"Maaf aku hanya melampiaskan kegemasan ku
saja!" kata Soka dengan tersipu malu, tapi masih nekat
juga, karena setelah itu ia berkata lagi dalam nada le-
bih pelan dan lebih lembut.
"Tanganku memang tak boleh nakal. Tapi ba-
gaimana dengan bibirku? Bolehkah nakal sedikit?!"
Pandangan mata Dewi Binal masih tertuju na-
nap ke mata Soka Pura. Tangan Soka masih dalam
genggaman tangan itu.
"Tak bolehkah bibirku nakal sedikit?" ulang So
ka makin menggoda.
"Aku bukan gadis murahan!"
"Justru karena kau bukan gadis murahan ma-
ka aku gunakan bibirku untuk sedikit nakal padamu.
Apakah aku kurang menghargai mu?"
Senyum Soka semakin mekar berseri menabur-
kan jerat keindahan yang sukar dihindari Dewi Binal.
"Aku takut...," tiba-tiba Dewi Binal berkata lirih.
"Takut?! Takut kepadaku?!"
"Takut kalau menganggapku benar-benar gadis
binal yang liar dan tak tahu malu."
"O, alangkah bodohnya otakku jika aku be-
ranggapan begitu? Tentu saja justru aku menganggap
mu gadis yang bukan sembarang gadis. Aku akan me-
rasa, bahwa kau bukan gadis yang mudah jatuh di pe-
lukan setiap lelaki. Karena buktinya saja aku sampai
susah payah memberi pengertian begini kepadamu.
Biasanya gadis lain tak sesusah ini. Tanpa diberi pen-
gertian sudah mau menerima kemesraan. Itu namanya
gadis murahan. Sedangkan kau... kau bukan gadis
murahan! Perjuanganku untuk membuatmu paham
dengan isi hatiku sangat sukar."
Genggaman tangan yang mencekal pergelangan
tangan Soka itu mengendur. Kini tangan Soka ditarik
sedikit dan ganti meremas jari-jemari si gadis. Ternya-
ta remasan itu dibalas oleh Dewi Binal dengan kelem-
butan yang terasa menghangat di sekujur tubuh.
Soka memahami arti balasan jari yang meremas
itu. Dewi Binal siap menerima kehadiran bibir Soka.
Maka pemuda itu tak segan-segan mendekatkan wa-
jahnya pelan-pelan. Ternyata Dewi Binal justru meme-
jamkan mata samar-samar dan menggigit bibirnya
sendiri. Soka diguncang oleh debar-debar harapan. Ia
merasa ditantang dengan isyarat pejaman mata itu.
Maka ciuman pertama pun menempel di pipi gadis itu
dengan lembut sekali. Cup...!
Ternyata si gadis semakin meremas jemari tan-
gan Soka. Itu pun dianggap sebagai pertanda bahwa si
gadis tak menuntut lebih dari sekadar ciuman pipi.
Maka bibir Soka pun merayap ke bibir si gadis.
Bibir itu disapu dengan lidahnya samar-samar.
Seeeeet...!
Darah pun bagai mengalir dengan deras.
Siiiirr...!
Sentuhan bibir yang hangat membuat Dewi Bi-
nal tak mampu menahan gengsi. Akhirnya bibir Soka
dipagutnya pelan-pelan. Pagutan itu terasa membakar
gairah Soka, sehingga Soka pun membalasnya. Akhir-
nya mereka saling melumat bibir dengan napas mem-
buru.
Tangan Soka dibiarkan merayap ke mana-
mana, sementara tangan Dewi Binal pun menelusuri
tubuh Soka. Bahkan ikat pinggang Soka berhasil dile-
paskan, baju putih tanpa lengan itu tak terkancing la-
gi. Kedua tangan Dewi Binal menelusup masuk dan
melingkar dalam pelukan. Tangan gadis itu merayap
ke atas meremas punggung ketika lumatan bibir Soka
bertambah ganas.
"Ssss, ahhh...!" Dewi Binal mendesah. Matanya
memandang sangat sayu. Ia membiarkan jubahnya
yang tak berlengan dilepaskan oleh Soka. Bahkan
membiarkan penutup dadanya dinaikkan ke atas, se-
hingga kedua gumpalan di dadanya itu saling bertonjo-
lan dengan ujung-ujungnya yang ranum tegak penuh
tantangan.
Mulanya Soka Pura hanya meraba pelan dan
samar-samar sehingga sentuhannya sangat mendebar-
kan. Tapi erangan Dewi Binal semakin panjang, bah-
kan seperti suara merengek memohon sesuatu. Maka
Soka Pura pun berlutut dan mendekatkan mulut ke
ujung dada itu. Lidah pun menyapu pelan dan samar-
samar.
"Oouh...!" Dewi Binal merengek terang-terang-
an. Tangannya mulai meremas rambut belakang Soka
sambil sedikit menekan kepala pemuda itu agar lebih
terbenam lagi ke dadanya. Maka mulut Soka pun melebar dan bukit itu disambarnya bagai umpan yang tak
boleh dilewatkan begitu saja. Seeet...!
"Aaaow...!" Dewi Binal memekik lirih ditikam
kenikmatan. "Soka... uuh, hangat sekali, Soka. Ooh,
ooh... jangan keras-keras, jangan... yah, begitu. Begitu
terasa sangat nikmat dan, aaah... Soka, tangan mu...
tangan mu nakal, Soka. Ooh..'. teruskan, jangan ber-
henti. Teruskan tanganmu, ohhh...!"
Malam semakin kelam. Hembusan angin bagai-
kan tiupan romantika yang membuat api asmara me-
reka semakin membara. Kobaran api asmara itu mem-
bakar seluruh gairah Dewi Binal hingga si gadis tak
kehilangan gengsi dan tak punya rasa sungkan lagi. Ia
telah dibuat mabuk oleh cumbuan Soka Pura yang
makin lama terasa semakin menerbangkan jiwa.
"Indah...?" bisik Soka saat mereka beradu pan-
dang sejenak.
"Indah sekali, Soka," jawab Dewi Binal sambil
meremas-remas kehangatan yang ada pada diri Soka
dan telah dilepaskan dari sangkamya.
"Kau ingin lebih dari ini?."
Gadis itu anggukkan kepala.
"Kau pernah melakukannya?" Dewi Binal ber-
tanya lirih. Soka menjawab dengan lirih pula.
"Belum. Kau sendiri pernah melakukannya?"
Dewi Binal hanya mengangguk, tak mampu
menjawab karena mulutnya segera berdesis memberi
tanda bahwa batinnya tak bisa lagi menahan tuntutan
keindahan yang lebih tinggi.
Maka gadis itu pun segera berbaring di bangku
panjang itu dengan kedua kaki berada di kanan-kiri
bangku. Dalam keadaan seperti itu, Soka Pura seperti
melihat bayi baru lahir yang perlu dimandikan. Maka
Soka pun menjadi seekor kucing yang memandikan
anaknya.
"Oouh, pouh, Sokaa... aduuh, nikmat sekali,
Soka. Kau pandai sekali me... me... ouuh, Soka... la-
kukanlah sekarang, Soka. Lakukan sekarang, oouh...!"
Pekikan dan erangan gadis itu membuat cum-
buan Soka bertambah galak. Ia senang mendengar jerit
dan pekik sang gadis yang menandakan hadirnya seju-
ta kenikmatan.
Soka Pura pun akhirnya menuruti keinginan si
gadis tanpa mempedulikan tempat. Si gadis mampu
menempatkan diri sedemikian rupa, sehingga mereka
pun mulai berlayar ke samudera cinta yang penuh gai-
rah membara. Keringat Soka bercucuran karena men-
dayung perahu cintanya, membawa Dewi Binal me-
lambung ke puncak kemesraan.
"Soka... oh, ulangi lagi, Sayang... aku suka se-
kali, aku ingin mencapai ke sana lagi, ooouh... terus,
teruskan Soka... oouh, yaaah...!"
Malam yang sepi menjadi malam yang penuh
jeritan, pekikan, dan erangan berturut-turut. Sang ma-
lam hanya tersenyum dan membiarkan udara dingin
semakin memacu kemesraan mereka yang tak pernah
merasa bosan,
"Pantas si Tandu Sangrai tampak cemburu pa-
daku, rupanya ia ingin mendapatkan kenikmatan se-
besar ini darinya. Oouh aku pun tak ingin membiarkan
keindahan ini diberikan kepada perempuan lain!" ucap
hati Dewi Binal dengan tetap penuh semangat berlayar
ke lautan cinta.
*
**
TUJUH
KALAU saja Raka mau melakukannya, maka
malam itu ia pun bisa memperoleh keindahan seperti
yang diperoleh adik kembarnya bersama Dewi Binal.
Tapi sayang sekali Raka tidak sepanas Soka, sehingga
ajakan bercumbu Betina Rimba berhasil ditolaknya.
"Aku tak akan bisa bergairah sebelum dapat se-
lesaikan tugasku, yaitu membunuh Setan Cabul," ujar
Raka dalam siasat penolakannya. Dengan begitu hati
Betina Rimba tidak merasa tersinggung atau terlukai.
Ia justru merasa bangga mendengar tekad Raka seperti
itu.
Malam itu Raka juga sempat menanyakan ten-
tang kitab Guntur Bayangan. Tetapi Betina Rimba ju-
stru sunggingkan senyum tipis berkesan geli.
"Kitab itu sebenarnya tak ada padaku. Tapi aku
sengaja menyebar omongan bahwa kitab itu ada di
tanganku."
"Dengan maksud apa kau menyebar omongan
seperti itu?"
"Supaya orang-orang tidak mencari ke tempat
di mana kitab itu sebenarnya berada."
"Jadi kau tahu di mana kitab itu berada?"
"Aku memang tahu di mana kitab itu berada.
Tapi aku tak sanggup mengambilnya. Kitab itu ada di
tangan seseorang."
"Kau pernah melihat orang itu membawa Kitab
Guntur Bayangan?"
"Tidak. Tapi aku pernah bertarung dengannya
dan nyaris mati karena dia menggunakan jurus dalam
Kitab Guntur Bayangan itu," jawab Betina Rimba sam-
bil masih duduk di tepi pembaringan dalam jarak ku
rang dari sejengkal dari Raka Pura.
"Siapa pemegang kitab itu sebenarnya?"
"Aku tak bisa mengatakan padamu sebelum tu-
gasmu selesai," jawab Betina Rimba. "Aku sendiri men-
gincar kitab tersebut. Tapi karena penjagaannya san-
gat kuat, maka aku harus menggunakan siasat mena-
rik perhatian para pemburu kitab tersebut kemari."
Siasat itu memang jitu. Raka Pura mengakui
kehebatan siasat Betina Rimba. Sementara orang-
orang beranggapan kitab itu ada di Puri Cawan Me-
sum, namun sebenarnya kitab itu ada di suatu tempat
yang hanya diketahui oleh pemiliknya dan Betina Rim-
ba sendiri.
Bagi Betina Rimba, menumbangkan para pem-
buru kitab lebih mudah daripada menumbangkan si
pemilik kitab. Karenanya, ia selalu siap menghadapi
siapa pun yang ingin merebut Kitab Guntur Bayangan,
dan ia pun bersikap seolah-olah mempertahankan ki-
tab tersebut.
Sekalipun dengan berbagai bujukan, Raka Pura
tak berhasil jatuh dalam pelukan Betina Rimba. Hal
itu membuat Betina Rimba menaruh simpati lebih da-
lam kepada Raka Pura, karena ia menjadi penasaran
sekali terhadap pemuda yang satu itu.
Raka Pura akhirnya berangkat ke Bukit Gamp-
ing untuk menemui adiknya yang diperkirakan berada
di rumah Tabib Kubur. Ketua puri tersebut mengizin-
kan Biang Tawa mendampingi Raka Pura sekaligus
menjadi pemandu langkah menuju ke Bukit Gamping.
Jika Raka berangkat ke Bukit Gamping diawali
dari terbitnya matahari, maka Soka bersama Dewi Bi-
nal berangkat ke Bukit Gamping pada saat matahari
sudah mendekati pertengahan jarak edarnya. Mereka
meninggalkan rumah Sumo Gaok ketika hari sudah
siang, karena pagi hari mereka mengulangi pelayaran
cinta kembali. Dewi Binal sudah tak kenal malu lagi
terhadap Soka, sehingga ia membakar gairah Soka pa-
da saat mereka mandi di pancuran, tak jauh dari ru-
mah Sumo Gaok.
Pada saat itu, Sumo Gaok sendiri sedang terte-
gun bengong memandang pertarungan yang mengeri-
kan dari balik pohon. Pertarungan itu melibatkan seo-
rang lelaki berpakaian hijau lusuh, berambut panjang
acak-acakan, wajahnya menyeramkan dan berkesan
beringas, berkumis lebat dan cambangnya tak beratu-
ran.
Tokoh berkulit gelap itu tak lain adalah si Setan
Cabul yang sedang bertarung melawan seorang lelaki
berusia tiga puluhan, bertubuh tinggi, tegap, rambut
panjang berombak, mengenakan ikat kepala warna hi-
jau. Lelaki berpakaian serba merah itu tak lain adalah
Kalasura yang menuntut balas atas kematian kakak
perempuannya yang diperkosa dan dibunuh oleh Setan
Cabul.
Sejak berangkat dari kedai dan diikuti oleh
Manggara serta beberapa orang lainnya, ternyata baru
sekarang Kalasura berhasil menemukan si Setan Ca-
bul. Maka pertarungan pun tak dapat dihindari lagi.
Kalasura mencoba menyerang dari belakang dengan
kapaknya. Kapak itu dihantamkan ke kepala Setan
Cabul. Weeess...!
Tapi di luar dugaan, Setan Cabul cepat balik-
kan badan dan lepaskan pukulan bercahaya hijau dari
telapak tangannya. Cahaya hijau itu berbentuk bin-
tang jatuh yang melesat dengan cepat dan sukar di-
hindari Kalasura.
Claaap...!
Duaaar...!
"Aaakh...!" Kalasura memekik keras, karena
pangkal pundaknya terhantam sinar hijau itu. Tanpa
menunggu dua-tiga kejap lagi, pangkal, pundak itu pe-
cah dan lengan kiri Kalasura putus seketika itu juga.
Manggara dan beberapa orang yang mengintai
pertarungan itu menjadi merinding melihat tangan kiri
Kalasura tergeletak ditanah dengan berlumuran darah.
Tubuh Kalasura sendiri begitu terhantam cahaya hijau
langsung terpental ke belakang dan mengerang-erang
di kejauhan sana.
Sumo Gaok masih sempat berkata dalam ha-
tinya, "Hmmm..., orang berpakaian merah itu kurang
waspada dan terlalu menganggap remeh. Ia tak tahu
bahwa si Setan Cabul punya jurus-jurus jebakan yang
cukup membahayakan lawannya. Aku harus hati-hati
menghadapi lagak si Setan Cabul yang seperti orang
lengah itu."
Kalasura sendiri menjadi semakin murka sete-
lah kehilangan tangan kirinya. Hasrat membunuhnya
bertambah meluap-luap, sehingga dengan cepat ia
berdiri dan melemparkan kapaknya dalam posisi mir-
ing. Wuuung...!
Kapak itu terbang dengan cepat dan meman-
carkan sinar merah di sekitarnya. Gerakan terbangnya
yang memutar mirip sekali bentuk piringan bersinar
merah.
"Terimalah pembalasanku ini, Jahanam...!" Ka-
lasura masih sempat berteriak meluapkan emosinya.
Tetapi sebelum kapak bercahaya merah itu
mendekatinya, Setan Cabul segera melepaskan sinar
berbentuk bola kecil berwarna hijau kekuning-
kuningan. Claaap...! Sinar tersebut segera menghan-
tam kapak bercahaya merah itu.
Blaam, blegaaarrr...!
Kapak itu pecah seketika, kepingannya menye-
bar ke mana-mana. Tanah dan alam sekeliling mereka
terasa terguncang akibat ledakan dahsyat tadi. Bahkan
dua batang pohon di sekitar terjadinya benturan kapak
dengan sinarnya si Setan Cabul itu menjadi pecah ter-
belah-belah beberapa bagian. Keadaan itu menunjuk-
kan betapa dahsyatnya sinar hijau kekuningan tadi
dan sangat membahayakan nyawa sang lawan.
Manggara dan beberapa orang lainnya hanya
bisa tertegun bengong dan berdecak dalam hati men-
gagumi kedahsyatan ilmu si Setan Cabul tersebut.
Bahkan dua orang yang mengikuti Kalasura dari kedai
itu sempat gemetaran dan lututnya sukar dipakai ber-
diri, sehingga ia berpegangan batang pohon kuat-kuat.
Sumo Gaok menggumam dalam hati, "Sinar hi-
jau kekuningan adalah sinar berbahaya. Aku harus
menghindari sinar itu dan tak perlu menangkisnya!"
Setan Cabul segera hampiri lawannya dengan
serukan kata keras-keras.
"Sekarang juga kau akan menyusul kakak pe-
rempuanmu; si Culaswati yang menjadi perempuan
liar dan bergabung dengan pihak Kuil Darah Perawan
yang kini telah kukirim ke neraka itu! Memang se-
layaknya dia mati daripada memperbudak setiap lelaki
untuk dijadikan pemuas gairahnya!"
"Bangsat kau, Setan Cabul! Heeeaaah...!"
Kalasura nekat menyerang walau hanya dengan
satu tangan. Tubuhnya meluncur di udara dengan jari-
jari tangan mulai kepulkan asap tipis, pertanda selu-
ruh tenaga dalamnya dipusatkan ke tangan tersebut.
Tetapi Jaraknya yang cukup jauh dengan Setan
Cabul membuat Setan Cabul punya kesempatan meno-
lak kehadiran tubuh Kalasura. Ia menolak kehadiran
lawannya dengan melepaskan pukulan jarak jauhnya
yang berupa sinar merah mirip mata tombak. Slaaap.. !
Sinar itu keluar dari ujung jari telunjuk yang dituding-
kan lurus ke arah Kalasura.
Melihat sinar merah melesat mendekatinya, Ka-
lasura segera rentangkan telapak tangannya dan me-
nahan sinar tersebut dengan tangan menjadi biru le-
gam. Desss...! Sinar itu menghantam telapak tangan
Kalasura. Kurang dari sekejap, terdengar suara leda-
kan yang menggelegar.
Blaaarrr...!
Pohon-pohon bergetar, tanah pun ikut bergetar,
dan tubuh Kalasura bukan bergetar saja, melainkan
terpental melambung di udara,
"Aaaa...!" jeritan Kalasura bagai memenuhi
alam sekitar tempat itu. Semua mata para penonton
yang bersembunyi menatap tubuh Kalasura yang mirip
boneka dari kain terlempar di udara tanpa keseimban-
gan tubuh. Para pengamat tersembunyi itu tak me-
nyangka, tubuh itu akan meledak di udara setelah Se-
tan Cabul kirimkan pukulan sinar merah seperti tadi
sekali lagi.
Claaap...!
Blaaarrr...!
Sumo Gaok pejamkan mata, tak berani me-
mandang nasib Kalasura.
"Ooh...! Mengerikan sekali!" gumamnya dalam
hati.
Kalasura pecah menjadi serpihan yang tak bisa
dikumpulkan secara utuh lagi. Tak seorang pun dapat
mengenai wajah serpihan daging sebesar potongan
daging sate itu adalah jenazah Kalasura yang mestinya
dimakamkan. Dari kepala sampai kaki, tak ada yang
bisa dikenali sebagai tubuh Kalasura jika orang itu ti-
dak melihat sendiri pertarungan yang mengerikan tersebut.
Sumo Gaok yang masih tetap ingin menghadapi
Setan Cabul segera membatin, "Goblok sekali orang
itu! Mestinya sinar merah tadi tak usah ditahan den-
gan tangannya. Nanti aku tidak akan mau menahan
sinar merah itu. Lebih baik ku hindari saja sambil le-
paskan pukulan jarak jauh yang langsung menghan-
tam jantung si Setan Cabul!"
Sumo Gaok ternyata tak sempat tidur. Sema-
lam ia sibuk memburu bayangan si Setan Cabul. Kare-
na sebelum ia sampai di gua tempat tinggal Setan Ca-
bul yang diketahuinya beberapa waktu yang lalu tanpa
disengaja itu, ternyata ia telah melihat kelebatan
bayangan yang mencurigakan.
Firasatnya mengatakan bahwa bayangan itu
adalah si Setan Cabul. Rasa penasaran membuat Su-
mo Gaok mengikuti arah kepergian bayangan tersebut.
Bahkan ia sempat melihat si Setan Cabul memperkosa
seorang perempuan dan mematahkan kedua kaki pe-
rempuan itu.
Sumo Gaok sengaja tak menolong perempuan
itu, sebab ia tahu perempuan itu adalah pengikut Ratu
Cumbu Laras yang belakangan ini juga bernafsu untuk
memiliki Kitab Guntur Bayangan, sehingga siapa pun
yang dicurigai jika tidak memberikan kitab itu lang-
sung dibunuhnya. Sumo Gaok pernah melihat perem-
puan yang diperkosa Setan Cabul itu membunuh seo-
rang tokoh tua yang sedang dalam keadaan sakit, ka-
rena tokoh tua itu tidak menyerahkan kitab pusaka
tersebut. Kala itu Sumo Gaok tak bisa ikut campur ju-
ga karena ia tak mau berurusan dengan Ratu Cumbu
Laras yang sering didengar kabarnya sebagai ratu be-
rilmu tinggi dan selalu dibantu oleh kekuatan iblis
yang menamakan dirinya Dewa Seribu Laknat.
Pertarungan yang menewaskan Kalasura itu te-
lah usai. Para penonton gelap tetap bersembunyi di
tempat masing-masing, karena takut diketahui oleh si
Setan Cabul.
"Sekaranglah saatnya aku tampil menjadi pe-
nantang si Setan Cabul!" ujar hati Sumo Gaok.
Ia bermaksud menerjang Setan Cabul dari be-
lakang, karena pada saat itu Setan Cabul ingin ting-
galkan tempat tersebut. Namun baru saja Sumo Gaok
kumpulkan tenaganya di kaki dan tangan, tiba-tiba Se-
tan Cabul sudah diserang oleh pihak lain dengan dihu-
jani sinar-sinar merah sebesar lidi dalam jumlah pulu-
han sinar. Sinar-sinar merah itu datang dari atas po-
hon bercabang tiga.
Sraaap, craap, craap, craaap...!
Setan Cabul sendiri terkejut dan segera bersalto
ke belakang, plik-plak beberapa kali dengan cepat.
Plak, plak, plak, plak! Serbuan sinar merah itu meng-
hantam tanah tempat Setan Cabul tadi berdiri.
Bluuub...! Gleeerrr...! Bum! bagaikan dilanda
gelap. Tanah itu retak sepanjang delapan langkah,
membentuk celah bercabang-cabang. Seakan bumi di-
buat retak oleh sinar-sinar merah sebesar lidi itu. Asap
mengepul dari celah-celah retakan tanah yang menghi-
tam, bahkan beberapa batu kecil berubah menjadi ba-
ra api yang tentunya sangat panas.
"Gila! Ilmunya siapa yang bisa bikin tanah men-
jadi seperti kerak neraka ini?!" gumam Sumo Gaok.
Matanya yang kecil segera memandang ke arah pohon
bercabang tiga. Pada saat itu, pohon tersebut sedang
diserang oleh Setan Cabul dengan sinar hijau keku-
ningan yang tadi digunakan dalam melawan Kalasura.
Claap, wuuus...!
Blaarrr...!
Pohon tersebut langsung pecah terbelah-belah
dari atas ke bawah. Namun sebelum pohon itu terhan-
tam sinar hijau kekuningan, sekelebat bayangan me-
lompat tinggalkan pohon tersebut dalam gerakan ber-
salto beberapa kali di udara.
Wuk, wuk, wuk .!
Jleeg...!
Sumo Gaok terkejut, karena ternyata bayangan
yang melesat dari atas pohon itu adalah seorang wani-
ta cantik berjubah merah jambu, rambutnya di urai
panjang dan mengenakan mahkota kecil di kepalanya.
Sumo Gaok mengenal wanita cantik bermata sayu
yang selalu berpakaian menantang
gairah lelaki; kutang hijau kecil dan kain penu-
tup 'mahkota'-nya juga hijau kecil, seakan hanya me-
nutup apa yang perlu ditutup saja itu. Wanita tersebut
tak lain adalah Ratu Cumbu Laras sendiri.
Rupanya ia sengaja mencari Setan Cabul sete-
lah tadi malam anak buahnya menjadi korban lagi. Ia
sengaja tak memerintahkan pengawalnya atau anak
buahnya, karena beberapa anak buahnya yang sudah
menjadi korban keganasan Setan Cabul dianggap se-
bagai tantangan yang merendahkan harga dirinya, se-
hingga ia merasa perlu turun tangan sendiri.
Sekalipun demikian, ternyata beberapa pen-
gawal dan anak buahnya secara diam-diam mengikuti
langkah sang Ratu dengan nilai kesetiaan tersendiri.
Delapan orang anak buah Ratu Cumbu Laras segera
berjaga-jaga di delapan penjuru, seakan mengepung
Setan Cabul yang kini sedang berhadapan dengan Ra-
tu Cumbu Laras.
"Akhirnya kau muncul juga, Perempuan Iblis!"
geram Setan Cabul dengan mata memandang menye-
ramkan. Bola mata itu menjadi semburat merah, seakan memantulkan cahaya api dendam dan murka yang
berkobar-kobar. Ratu Cumbu Laras masih bersikap
tenang, tap! kedua matanya memandang dengan jeli
dan tajam.
"Sudah waktunya aku turun tangan untuk
membantai mu, Biadab! Dua puluh anak buahku telah
kau jadikan korban kebinatanganmu, sekarang wak-
tunya kau pulang ke neraka dan menjadi abdinya jun-
junganku; Dewa Seribu Laknat!" seru Ratu Cumbu La-
ras dengan lantang, sehingga semua orang menden-
garnya, termasuk Sumo Gaok.
Bertepatan dengan itu, dua sosok bayangan
melesat mendekati Sumo Gaok. Lelaki gemuk itu terke-
jut dan nyaris berteriak jika mulutnya tidak segera di-
bungkam oleh tangan seorang gadis cantik yang tak
lain adalah Dewi Binal. Tentu saja pemuda yang ber-
sama gadis itu adalah Soka Pura.
"Kucing gering! Kusangka tangan si Setan Ca-
bul muncul sendiri membungkam mulutku!" gerutu
Sumo Gaok dengan suara pelan. Dewi Binal nyengir
bersama Soka. Tapi pemuda tampan itu segera berbi-
sik pula kepada Sumo Gaok.
"Setan Cabul ada di sana, mengapa kau di sini?
Bagaimana kau akan bisa menangkap atau membu-
nuhnya?"
"Kuberi kesempatan kepada yang lain dulu,"
jawab Sumo Gaok membuat Dewi Binal mencibir, me-
remehkan nyali si gemuk itu.
*
* *
DELAPAN
SETAN CABUL dan Ratu Cumbu Laras saling
mengumbar tantangan. Saat itu seorang anak buah
Ratu Cumbu Laras ingin menyerang Setan Cabul dari
arah belakang dengan lemparan pisau terbangnya.
Zuuut...!
Dengan cepat tangan Setan Cabul berkelebat ke
atas pundaknya sambil badannya dimiringkan ke ka-
nan, pandangannya tetap tertuju pada Ratu Cumbu
Laras. Rupanya tangan itu bagaikan mempunyai mata
sendiri, sehingga dalam waktu singkat jari-jari tangan
tersebut telah berhasil menjepit pisau yang dilempar-
kan dari belakang.
Teeeb...!
Seketika itu juga Setan Cabul memutar tubuh-
nya dengan cepat sekali, nyaris tak terlihat gerakan-
nya. Tahu-tahu ia sudah menghadap ke arah Ratu
Cumbu Laras lagi, tapi pisau di tangannya telah mele-
sat dan menancap tepat di leher pelemparnya.
Juurb.!
"Aaakh...!" orang itu tak bisa memekik, hanya
bisa mendelik dan limbung sesaat, kemudian tumbang
ke tanah tanpa nyawa lagi. Sejak itu Ratu Cumbu La-
ras memberi isyarat kepada ketujuh anak buahnya un-
tuk tidak lakukan serangan demi mengirit nyawa me-
reka. Mereka segera mundur beberapa langkah dan
memberi kesempatan kepada sang Ratu untuk hadapi
si Setan Cabul sendiri.
"Gila! Gerakannya cepat sekali!" gumam Sumo
Gaok. "Agaknya... agaknya lebih baik aku menjadi pe-
nonton saja daripada tumbang tanpa nyawa seperti
gadis anak buah Ratu Cumbu Laras itu!"
"Itulah sebabnya aku mencemaskan dirimu ke-
tika kau nekat berangkat mencari si Setan Cabul," bisik Dewi Binal. Gadis itu tiba-tiba berkata kepada Soka
Pura.
"Hei, lihat... siapa yang ada di balik pohon se-
berang sana?!"
Ternyata yang dimaksud Dewi Binal adalah Ra-
ka dan Biang Tawa yang berdiri di belakang Manggara.
"Oh, kakakku sudah ada di sana?" gumam So-
ka dengan nada senang.
"O, jadi kau manusia kembar?!" ujar Sumo
Gaok.
"Katamu kau punya ketajaman indera dan bisa
membaca pikiran orang?"
"Jika sedang beruntung memang begitu," jawab
Sumo Gaok sambil mau tertawa, tapi mulutnya buru-
buru ditutup dengan tangan Dewi Binal seperti tadi.
Tawa orang gemuk itu pun tak jadi keluar. Soka Pura
segera mengajak Dewi Binal memutar ke seberang un-
tuk bergabung dengan Raka Pura dan Biang Tawa.
Dewi Binal sendiri tak keberatan, karena ia melihat
Manggara dan ingin memberi peringatan kepada murid
si Tabib Kubur itu agar menjauhi arena pertarungan
tersebut. Sumo Gaok akhirnya ikut memutar dan ber-
gabung dengan Raka Pura supaya mendapat teman
berkasak-kusuk.
"Soka...?! Oh, kebetulan sekali kita bertemu di
sini!" ujar Raka dengan girang pula Sementara itu, Bi-
ang Tawa dan Dewi Binal saling adu pandan dengan
sinis.
Raka membisikkan rencananya untuk membu-
nuh Setan Cabul. Dan jelaskan secara singkat kerja
samanya dengan Betina Rimba; si Ketua Puri Cawan
Mesum itu.
"Kalau begitu, kita serang sekarang saja si Se-
tan Cabul, biar Betina Rimba segera memberi tahu di
mana tempat ayah kita mengasingkan diri."
"Jangan sekarang! Kita tunggu sampai perem-
puan itu tumbang di tangan Setan Cabul!"
Ucapan Raka itu didengar oleh Biang Tawa, dan
Biang Tawa segera ikut bicara secara bisik-bisik, tapi
didengar oleh Pendekar Kembar.
"Perempuan itulah yang bernama Ratu Cumbu
Laras, yang membantai habis seluruh keluarga ayah
kalian!"
"Ooh...?!" Pendekar Kembar terkejut dan kedua
wajah serupa itu menjadi sama-sama tegang. Bara
dendam pun mulai berkobar di dalam hati Pendekar
Kembar.
"Jangan buru-buru bertindak. Biarkan si Setan
Cabul menghancurkan perempuan itu," saran Biang
Tawa. Lalu, mereka tak sempat berkasak-kusuk lagi
karena Setan Cabul dan Ratu Cumbu Laras mulai sal-
ing lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Claap, claap...! Blegaarr...!
Sinar hijau kekuningan dari tangan Setan Ca-
bul beradu di pertengahan jarak dengan sinar putih-
nya Ratu Cumbu Laras. Tabrakan kedua sinar itu tim-
bulkan ledakan yang mengguncang bumi dan mem-
buat daun-daun pohon serta beberapa rantingnya ber-
guguran.
Ratu Cumbu Laras tersentak mundur, demi-
kian juga si Setan Cabul. Tapi keduanya masih sama-
sama tangguh dan segera lepaskan pukulan tenaga da-
lamnya.
Selarik sinar merah keluar dari telapak tangan
Ratu Cumbu Laras.
Claaap...! Tap! selarik sinar hijau pun keluar
dari telapak tangan Setan Cabul.
Claaap...! Kedua sinar yang melesat tanpa putus itu saling bertemu di pertengahan jarak, memer-
cikkan bunga api yang berpijar-pijar. Mereka saling ke-
rahkan tenaga dalam melalui sinar-sinar tersebut.
Sampai beberapa saat tak ada yang tumbang. Keringat
mereka sama-sama bercucuran, tubuh mereka sama-
sama bergetar, namun keduanya masih sama-sama
ingin mendesak sinar lawannya dan menghancurkan
lawan dengan sinar masing-masing.
Keadaan menegangkan bagi para penonton itu
akhirnya terputus karena tangan kiri Setan Cabul ber-
kelebat bagai melemparkan sesuatu.
Suuut...!
Tak ada sinar dan tak ada suara. Hanya saja,
Ratu Cumbu Laras segera melompat tinggi-tinggi dan
bersalto di udara sambil lepaskan sinar merahnya. Ti-
ba-tiba pohon di belakangnya hancur tanpa suara le-
dakan kecuali derak kayu-kayu yang hangus bagaikan
disambar petir.
Rupanya perempuan yang dari dulu tetap awet
cantik dan awet muda karena punya aji pengawet ke-
cantikan itu merasakan adanya gelombang panas yang
mempunyai getaran peledak sangat besar. Sebelum ge-
lombang panas itu menyentuhnya, ia buru-buru
menghindar dengan satu sentakan melambung ke
atas.
Setan Cabul mengejarnya dengan kibasan tan-
gan kirinya lagi, sementara sinar hijaunya juga telah
redup kembali.
Sut...! Ia seperti melemparkan sesuatu ke arah
Ratu Cumbu Laras. Gelombang panas dan getaran
daya ledak tinggi dirasakan mendekatinya, maka sang
Ratu pun segera sentakkan kakinya yang ingin menda-
rat ke bumi itu. Kaki keluarkan tenaga padat tanpa
warna sehingga mampu menyentak di tanah dalam ke
tinggian jarak sekitar satu tombak lebih sedikit.
Deeb...! Tahu-tahu tubuh sekal dan montok itu
melesat ke arah lain sambil bersalto lagi dengan cepat.
Wuk, wuk...!
Krrak, bruuussk...!
Sebatang pohon besar menjadi sasaran puku-
lan tak terlihat itu. Pohon tersebut pecah sebagian dan
menjadi hitam hangus bagai habis disambar petir. Se-
mua mata yang melihatnya tertegun heran dan terka-
gum-kagum terhadap jurus tak bersuara dan tak terli-
hat wujudnya itu.
Sementara itu, dalam keadaan masih melam-
bung turun, Ratu Cumbu Laras segera melepaskan
pukulan bersinar merah patah-patah ke arah kepala
Setan Cabul. Tapi sinar merah patah-patah segera
hancur karena dihantam oleh sinar hijau kekuningan
dari tangan Setan Cabul.
Clap, clap...! Blaaar...!
Setan Cabul terpelanting oleh gelombang leda-
kan yang cukup berbahaya bagi gendang telinganya
itu. Ia hanya jatuh berlutut, lalu segera rentangkan
kedua tangan dengan jari membentuk cakar. Sedang-
kan Ratu Cumbu Laras segera mengambil sikap kuda-
kuda begitu kedua kakinya menapak di tanah. Kedua-
nya saling pandang dengan napas terengah engah.
Saat si Setan Cabul berdiri pelan-pelan dengan
tangan siap menghantamkan pukulannya lagi itu, tiba-
tiba Ratu Cumbu Laras berseru dengan geram.
"Rupanya kau telah menguasai jurus 'Guntur
Bayangan' itu, Keparat! Berarti kaulah yang sekarang
memiliki pusaka Kitab Guntur Bayangan!"
"Memang aku!" tegas Setan Cabul. Beberapa
penonton di sekeliling tempat itu menjadi terkejut, ka-
rena mereka tidak menyangka bahwa kitab yang banyak diburu orang itu ternyata ada di tangan si Setan
Cabul. Namun mereka tak berani kasak-kusuk, karena
mereka ingin dengarkan lanjutan kata-kata Setan Ca-
bul itu.
"Ku pelajari jurus itu khusus untuk hancurkan
kejahatan mu, Untari!" Setan Cabul sebutkan nama
asli Ratu Cumbu Laras sebagai tanda bahwa ia telah
cukup lama mengenal Ratu Cumbu Laras.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga mengetahui
nama asli ku, hah?!" bentak Ratu Cumbu Laras.
"Akulah korban yang keluarganya kau bantai
semua."
Pendekar Kembar mulai berdebar-debar men-
dengar ucapan Setan Cabul. Mereka saling berpandan-
gan dengan wajah tegang. Tak satu pun berani berka-
ta-kata. Setan Cabul sambung ucapannya lagi.
"Akulah orang yang menjadi gila sejak terlepas
dari pelukan mu dan menyimpan dendam sebesar gu-
nung padamu, Untari! Sekalipun kau tak menga-
kuinya, tapi firasat ku tak pernah meleset, pasti kau
orang yang membantai keluargaku, karena kau mem-
butuhkan bayi kembar ku yang baru lahir itu untuk
dikorbankan sebagai tumbal iblis Dewa Seribu Lak-
nat!"
Wajah Raka dan Soka mulai pucat. Seluruh tu-
buhnya gemetar. Pernafasannya terasa sesak. Ratu
Cumbu Laras pun perdengarkan suaranya yang berge-
tar.
"Ooh...?! Ja... jadi kau adalah Panji Pura?!"
"Ya, aku Panji Pura!" tegas Setan Cabul yang
lebih mengejutkan setiap orang yang ada di sekitar
tempat itu. Rasa terkejut yang paling besar ada di da-
lam hati Pendekar kembar. Tapi sebelum mereka ber-
tindak, ternyata mereka harus menahan diri lebih dulu, karena Ratu Cumbu Laras segera serukan kata.
"Persetan dengan siapa dirimu!" kata-kata itu
sengaja dilontarkan dengan keras-keras untuk hilang-
kan rasa duka mengenang masa lalunya.
"Jika kau memang Panji Pura, maka seharus-
nya kau berurusan dengan si Betina Rimba, karena
Betina Rimba adalah ketua pasukan bertopeng yang
kerjanya membantai seluruh keluargamu atas perintah
dan tindakan si Betina Rimba!"
"Hahhh...?!" Raka dan Soka makin lebarkan
mata dan nafasnya menjadi sangat berat karena koba-
ran api dendam semakin meluap-luap.
Setan Cabul yang ternyata adalah Panji Pura,
ayah kandung Pendekar Kembar itu segera berseru
dengan lebih murka lagi.
"Kaulah yang bertanggung jawab atas pemban-
taian itu, Untari! Karena Betina Rimba bertindak atas
perintahmu! Dan sekarang sudah waktunya kau me-
nebus kekejamanmu itu! Heeeaaah...!"
Wes, wes, wes...!
Tangan si Setan Cabul berkelebat silih berganti.
Sepertinya tak melepaskan pukulan apa pun, tapi se-
benarnya ia menggunakan jurus 'Guntur Bayangan'
yang tanpa rupa dan tanpa suara itu. Amukan si Setan
Cabul membuat beberapa anak buah Ratu Cumbu La-
ras tiba-tiba pecah dalam keadaan hangus bagai dis-
ambar petir, pohon-pohon pun terbelah dan menjadi
arang, demikian pula beberapa batu yang berada di
sekitar tempat itu menjadi hancur dan kepulkan asap
berarang. Mereka dan benda-benda itu hancur tanpa
suara letupan sedikit pun, membuat Ratu Cumbu La-
ras terpaksa gunakan jurus 'Perisai Baja Gaib'-nya.
Dengan sentakan kaki ke tanah, tiba-tiba dari
dalam tanah memancar cahaya biru yang mengelilingi
Ratu Cumbu Laras membentuk lapisan seperti kaca
tembus pandang. Dalam keadaan begitu, sang Ratu
tak bisa ditembus oleh jurus 'Guntur Bayangan' atau
senjata dan pukulan apa pun. Tetapi dari balik cahaya
biru itu Ia masih bisa lepaskan pukulan mautnya ke
arah lawan dengan sangat mudahnya.
Craaap, craap, craaap...!
Sinar merah seperti lidi keluar dari pucuk-
pucuk jari sang Ratu. Sinar merah patah-patah itu
menyerang si Setan Cabul secara bertubi-tubi. Ke ma-
na pun si Setan Cabul menghindar, sinar merah pa-
tah-patah yang jumlahnya lebih dari sepuluh larik itu
dilancarkan terus-menerus, sehingga si Setan Cabul
kewalahan.
Sambil hindari sinar tersebut, Setan Cabul te-
tap lepaskan jurus 'Guntur Bayangan' yang membuat
ledakan berkali-kali jika bertabrakan dengan sinar me-
rah patah-patah itu.
Duaar, blaar, blegar, gleer...!
"Aaaakh...!"
Setan Cabul memekik bertepatan dengan mele-
satnya dua bayang putih yang menerjang Ratu Cumbu
Laras.
Wuuuut, wuuut...! Blaarrr...!
Cahaya biru yang mengurung Ratu Cumbu La-
ras itu pecah bagaikan kaca menyebar dan lenyap di
udara. Ratu Cumbu Laras terpental terkena tendangan
dari kanan-kiri. Namun ia segera bangkit dan menatap
dua penyerangnya yang ternyata adalah Pendekar
Kembar; Soka Pura dan Raka Pura.
Ratu Cumbu Laras menggeram penuh murka.
"Keparat kau bocah-bocah ingusan! Minggat
kau yang jauh, jangan campuri urusan orang tua!"
Soka Pura berseru, "Kami adalah bayi yang kau
incar untuk dijadikan tumbal pada waktu itu! Aku dan
kakakku layak menuntut kematianmu untuk menebus
kematian para leluhur ku! Hadapilah aku; Soka Pura,
putra Panji Pura!"
"Aku si Raka Pura juga menuntut balas pada-
mu atas nama keluarga Eyang Demang Yasaguna!"
"Ku hancurkan mulut lancang mu, Jahanam!
Heeeaahh...!"
Ratu Cumbu Laras sentakkan kedua tangannya
ke arah kanan-kiri. Tiba-tiba dari dalam tubuhnya me-
lesat dua bayangan hitam yang berbentuk seperti di-
rinya sendiri. Wees, wees...! Dua bayangan hitam itu
segera menerjang Raka Pura dan Soka Pura bagaikan
sepasang makhluk ganas yang sukar dikendalikan.
Gerakan cepatnya membuat Raka terkena cakaran pa-
da lengannya dan Soka terjungkal karena mendapat
tendangan kuat di pundak kanannya.
"Ggrrrh...!" "Grroohw...!!"
Kedua makhluk hitam yang mirip bayangan itu
mengerang dan bergerak terus menyerang Pendekar
Kembar dengan ganas.
Namun kedua anak kembar itu segera menca-
but Pedang Tangan Malaikat dari sarungnya.
Sraaaang, srraaaang...!
"Hiaaahh...!"
"Heeeaaah...!"
Raka Pura dan Soka Pura segera mengibaskan
pedang kristal yang memancarkan cahaya ungu itu.
Satu kali tebasan membuat bayangan hitam jelmaan
Ratu Cumbu Laras menjadi lenyap terhantam sinar
ungu yang keluar dari ujung pedang mereka.
Blaar, blaar...!
Ratu Cumbu Laras terkejut, para penonton ge-
lap terperangah kagum melihat kilatan cahaya ungu
dari kedua pedang Pendekar Kembar itu ternyata tidak
hanya berhenti sebatas melenyapkan dua bayangan hi-
tam tadi, tapi juga meluncur lurus ke arah Ratu Cum-
bu Laras.
Rasa kaget sang Ratu yang hanya sekejap itu-
lah yang dimanfaatkan oleh kedua sinar ungu dari Pe-
dang Tangan Malaikat, sehingga sang Ratu pun berha-
sil ditembus oleh kedua sinar ungu yang menggumpal
menjadi satu saat tiba di depan dada sang Ratu.
Blegaaarrr...!
Suara ledakan kali ini adalah ledakan yang pal-
ing dahsyat dari semua ledakan tadi. Pendekar Kembar
tetap berdiri dengan pedang terangkat ke atas dan te-
tap memancarkan cahaya ungu bagai petir berlonca-
tan.
Sementara itu, tubuh Ratu Cumbu Laras masih
berdiri tegak tanpa luka sedikit pun. Wajahnya me-
mancarkan senyum tipis yang membuat Sumo Gaok
sangat heran.
"Edan! Sudan terkena sinar ungu yang menim-
bulkan daya ledak begitu kuat, tapi dia masih tetap
utuh dan tak terkoyak sedikit pun?! Bahkan pakaian-
nya pun tak ada yang robek atau hangus seujung
rambut pun?! Benar-benar perempuan tahan gebukan
Ratu itu!"
Bukan hanya Sumo Gaok yang berpikiran begi-
tu, tapi Dewi Binal, Manggara, Biang Tawa, dan bebe-
rapa orang lainnya juga bergumam dalam hati seperti
Sumo Gaok. Para penonton pertarungan ternyata men-
jadi semakin banyak karena suara ledakan sejak tadi
menarik perhatian para tokoh dari berbagai aliran. Ha-
dir pula di situ, seorang lelaki tua berjubah coklat yang
dikenal dengan nama Tabib Kubur, kakek Dewi Binal
dan gurunya si Manggara. Tokoh itu rupanya sudah
sejak tadi berada di atas sebatang pohon tinggi, berdiri
di sela-sela dedaunan pohon dengan menggunakan ju-
rus peringan tubuh yang sangat dikuasai.
Mereka semakin tercengang ketika menyadari
bahwa Ratu Cumbu Laras yang berdiri dengan senyum
tipis itu ternyata sudah tidak bernyawa sejak tadi. Ku-
lit tubuhnya makin lama tampak membiru dan lama-
lama menjadi hitam bagaikan arang. Pakaiannya pun
berhamburan karena telah menjadi abu sejak tadi.
Sang Ratu akhirnya tumbang dalam keadaan
remuk seperti seonggok arang. Kekuatan kedua Pe-
dang Tangan Malaikat itu ternyata menjadi sangat
dahsyat jika disatukan dan tak ada yang bisa menan-
dinginya.
"Uuukh...! Aaakh.. aaanakku...!" terdengar sua-
ra Setan Cabul yang terluka parah pada bagian da-
danya. Dada itu membusuk karena terkena sinar me-
rah patah-patah tadi.
"Ayaaah...!" seru Raka Pura segera hampiri Se-
tan Cabul. Seruan Raka membuat Soka Pura pun
mengikutinya dan kini kedua anak kembar itu sudah
berada di samping Setan Cabul yang terkapar bersan-
dar pohon.
"Raka, gunakan jurus 'Sambung Nyawa' untuk
sembuhkan luka ayah kita!"
"Tak... tak perlu, Anakku...! Tak perlu...," suara
Setan Cabul terputus-putus di sela nafasnya yang
memberat. Ia memegangi kedua tangan Pendekar
Kembar yang berada di kanan-kirinya. Sedangkan Su-
mo Gaok, Dewi Binal, Tabib Kubur, dan yang lainnya
segera mengerumun di tempat itu.
"Aaak... aku sudah waktunya untuk pergi...,"
ucap Panji Pura alias si Setan Cabul.
"Ayah, kami sanggup memulihkan kesehatan
mu, Ayah!" ujar Raka dengan wajah sendu.
"Tid... tidak, Anakku. Aku... merasa lebih baik
menyusul ibumu. Bee... beginilah caraku menebus do-
saku yang sangat... ku sesali."
Wajah-wajah pengerumun tampak ikut berdu-
ka. Tak satu pun ada yang berani bicara. Semua per-
hatian terpusat pada Setan Cabul. Mereka hanya ber-
kecamuk dalam batin karena tak menyangka bahwa
Kitab Guntur Bayangan ternyata telah berhasil dicuri
dan dipelajari oleh Setan Cabul.
"Anakku... aku sudah cukup gembira dapat
bertemu dengan kalian. Kematianku terasa akan da-
mai, karena aku telah mendengar kalian memanggilku
'Ayah'. Aku.., memang sudah telanjur... rusak. Biarlah
aku pergi, dan... kalian tetaplah berada dalam aliran
putih. Tap... tapi perlu kalian ketahui, kulakukan ke-
kejaman ini hanya semata-mata ingin membalas den-
dam kepada perempuan-perempuan yang... yang ber-
jiwa iblis. Mereka yang kujadikan korban adalah... pa-
ra perempuan sesat, seperti anak buah si... Ratu
Cumbu Laras itu.... Karena, aku menjadi seperti ini
karena diracuni oleh... kemesraan perempuan sesat
itu. Sampaikan maaf ku... kepada cucu si Tabib Ku-
bur, karena... karena ia mirip salah seorang anak buah
Ratu Cumbu Laras, sehingga hampir saja menjadi...
korbanku. Aku... oh, aku tak kuat lagi, Anakku...."
"Ayah, bertahanlah!"
"Kami akan sembuhkan lukamu, Ayah! Berta-
hanlah...!"
"Seee... selamat tinggal... Anakku... Pendekar
Kembar... sampaikan salamku kepada guru kalian
dan... dan...." Setan Cabul pun tak mampu teruskan
ucapannya. Napas terakhir terhembus panjang, dan ia
terkulai lemas tanpa nyawa lagi.
"Ayaaaah...!" teriak Raka dan Soka sambil me-
meluk jenazah ayah kandung mereka.
Suasana haru meliputi mereka yang mengeru-
mun. Mereka tundukkan kepala sebagai penahan du-
ka. Tapi dalam keheningan duka itu, Biang Tawa sem-
pat berucap dalam hatinya.
"Kutukan Nyai Sekap Madu benar-benar terja-
di. Ratu itu akhirnya mati di tangan anak kembar, yai-
tu si Pendekar Kembar, putra Panji Pura...," sambil ia
mengenang peristiwa pertarungan antara Nyai Sedap
Madu dengan Ratu Cumbu Laras, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode perdana : "Dendam Asmara
Liar").
Setelah memakamkan jenazah Panji Pura alias
si Setan Cabul, kedua anak kembar itu mendapat pen-
jelasan dari Tabib Kubur tentang si orang gila yang
disembuhkan oleh sang Tabib. Ternyata orang gila itu
adalah Panji Pura sendiri. Tekanan batin dan penyesa-
lannya telah mengubah jiwa Panji Pura menjadi liar
dan ganas terhadap perempuan pengumbar gairah.
Bahkan penampilan Panji Pura pun
berubah menjadi ganas dan buas. Ia mencuri
Kitab Guntur Bayangan tanpa diduga-duga oleh Tabib
Kubur, karena menurut Tabib Kubur, mungkin kitab
itu ditemukan Panji Pura secara tak sengaja di dalam
kotak besi yang ditanam dalam tanah.
Sumo Gaok yang mengetahui gua tempat ting-
gal Setan Cabul segera membawa mereka ke sana dan
ternyata kitab tersebut memang ada di dalam gua itu.
Kitab Guntur Bayangan segera diambil oleh Tabib Ku-
bur yang sebenarnya adalah kakak sepupu dari men-
diang Eyang Rayap Sewu, termasuk kakak sepupunya
mendiang Ki Mandura. Kitab itu segera dimusnahkan
oleh Tabib Kubur agar tidak menjadi biang bencana la
gi bagi kedamaian di muka bumi.
"Kalian mau ke mana lagi?" tanya Dewi Binal
kepada Raka.
"Kami akan hancurkan Puri Cawan Mesum, ka-
rena Betina Rimba itulah pelaku pembantaian keluar-
ga kami!"
Biang Tawa segera berkata, "Aku setuju, dan
aku ada di pihakmu. Selama ini aku sama sekali tak
tahu kalau berada di bawah kekuasaan sang pemban-
tai keji itu!"
Pendekar Kembar pun segera berangkat ting-
galkan Tabib Kubur dan Dewi Binal. Tetapi secara di-
am-diam Dewi Binal menyusul Pendekar Kembar dan
Biang Tawa, karena di dalam hati Dewi Binal telah te-
rukir keindahan cinta yang tercipta lewat cumbuan
mesra Soka Pura. Gadis itu merasa sulit berjauhan
dengan Soka Pura. Sementara ia sendiri tak tahu, apa-
kah Soka Pura juga merasa sulit berpisah dari dirinya?
SELESAI
Segera terbit!!
GAIRAH SANG PEMBANTAI
https://matjenuhkhairil.blogspot.com